Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia Ahmad Erani Yustika Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia Eko Listiyanto Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan Dias Satria Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia Evi Noor Afifah Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran Bagi Indonesia Abdul Manap Pulungan Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II Tahun 2008 Abdul Manap Pulungan
BISNIS & EKONOMI POLITIK Quarterly Review of the Indonesian Economy
Published by Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta-Indonesia ISSN: 1410-2625 ____________________________________________________________________________ Advisory Board: Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, University of Indonesia Emil Salim, University of Indonesia Juwono Sudarsono, University of Indonesia Muslimin Nasution, MWA Bogor Agricultural University Nurimansjah Hasibuan, Sriwijaya University Suroso Imam Zadjuli, Airlangga University Director: Ahmad Erani Yustika, Executive Director of INDEF Editor-in-Chief: Bustanul Arifin, Institutional Economics Assistants to the Editor: Evi Noor Afifah, Development Economics Deniey Adi Purwanto, Macro Economics, Monetary and Banking
Editorial Board: Ahmad Erani Yustika, Institutional Economics Aviliani, Banking and Finance Didik J. Rachbini, Development Economics, Political Economy Didin S. Damanhuri, Development Economics, Political Economy Dradjad H. Wibowo, Macro Economics, Development Economics Faisal H. Basri, Development Economics Iman Sugema, Macro Economics, Monetary and Banking Indra J. Piliang, Political Science M. Fadhil Hasan, Agricultural Economics, International Trade M. Ikhsan Modjo, Development Industrial Economics M. Nawir Messi, Industry and Trade, Environmental Economics Ravli Harun, Law Rina Oktaviani, International Trade Syamsul Muarif, Industry and Trade
______________________________________________________________________________ Bisnis & Ekonomi Politik (Quarterly Review of the Indonesian Economy) is devoted to the study of political economy and business issues, focusing on encouraging transparency in economic decision making process in Indonesia. The review is published quarterly in January, April, July and October by the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta, Indonesia. Subscription information, change of address, request for advertising rate and other business correspondence should be sent to: Bisnis & Ekonomi Politik (Quarterly Review of the Indonesian Economy) INDEF, Jl. Batu Merah No.45, Pejaten Timur, Jakarta 12510, Indonesia. e-mail at:
[email protected], Facsimile at +62-21-7919-4018, Website: www.indef.or.id
BISNIS & EKONOMI POLITIK Quarterly Review of the Indonesian Economy Volume 9, Nomor 3, Juli 2008
CONTENTS
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
1
Ahmad Erani Yustika Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia Eko Listiyanto
9
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan Dias Satria
29
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia Evi Noor Afifah
41
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran Bagi Indonesia Abdul Manap Pulungan
59
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II Tahun 2008 Abdul Manap Pulungan
91
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
Refleksi Subsidi dalam P erek onomian Indonesia Perek erekonomian Ahmad Erani Yustika
Subsidi pada hakikatnya merupakan instrumen fiskal yang bertujuan untuk memastikan terlaksanakannya peran negara dalam aktivitas ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Skema ini kian penting tatkala negara (pemerintah) telah mengurangi perannya secara signifikan dalam aktivitas ekonomi, sehing ga pemerintah yang berposisi sebagai regulator layak mengeksekusi pemberian subsidi. Oleh karena itu, subsidi sebagai instrumen fiskal ini kadang kala juga disebut sebagai salah satu skema untuk mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure). Dalam kerangka ini, subsidi pasti diperuntukkan bagi sektor ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Walaupun dalam implementasi di berbagai negara sektor-sektor ekonomi yang diberikan subsidi itu memiliki perbedaan, namun secara umum sektor ekonomi tersebut bagi pemerintah masing-masing merupakan sektor ekonomi yang paling penting. Bagi negara-negara maju, sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi utama yang mendapatkan subsidi.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9(3), Juli 2008
Pemilihan sektor ini bukan tanpa dasar, karena dibandingkan sektor ekonomi lainnya, sektor pertanian di negara-negara maju memiliki daya saing yang relatif kurang baik. Oleh karena itu, sebagai bagian integral untuk memproteksi serbuan produk pertanian asing sekaligus memastikan eksistensi sektor pertanian domestik, maka subsidi pertanian tersebut diberikan. Dengan begitu, tampak bahwa subsidi pertanian selain sebagai salah satu strategi untuk melaksanakan perdagangan internasional juga lebih bermakna meningkatkan produktivitas masyarakat daripada memenuhi kebutuhan konsumsi semata. Kenyataan ini tentu berbeda dengan realitas yang ada di negara berkembang, di mana mayoritas subsidi yang diberikan oleh pemerintah bukan untuk sektor pertanian. Di Indonesia sendiri, porsi terbesar atas subsidi diberikan dalam bentuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dalam satu dekade terakhir, porsi subsidi BBM selalu lebih dari 50 persen terhadap total subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Penumpukan subsidi BBM ini kian besar
1
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
tatkala pada sisi penawaran terjadi penurunan lifting minyak domestik secara konsisten dalam sepuluh tahun terakhir dan di sisi permintaan ter us naiknya pertumbuhan konsumsi BBM (terutama oleh kendaraan bermotor). Lebih lanjut, data-data yang ada memberikan gambaran bahwa saat ini pertumbuhan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor, sangat tinggi. Jauh di atas rata-rata pertumbuhan kendaraan satu dekade silam. Fakta yang demikian ini tidak dapat dilepaskan dari menjamurnya lembaga pembiayaan kendaraan bermotor sekaligus kurang ketatnya standar pemberian kredit, sehingga masyarakat dengan tingkat kemampuan membayar yang tidak begitu tinggi dapat leluasa memperoleh kendaraan bermotor baru. Pada sisi yang lain, fakta tersebut akan menjadi salah satu pemicu penting terjadinya instabilitas keuangan. Perilaku lembaga pembiayaan yang berafiliasi dengan sektor perbankan tersebut memang didasarkan atas pertimbangan rasional, di mana pembiayaan kendaraan bermotor yang merupakan kredit konsumsi memberikan imbal hasil yang lebih tinggi daripada pemberian kredit investasi atau modal kerja. Sebagai gambaran, selama 2007, rata-rata suku bunga kredit konsumsi dalam setahun sebesar 16,87 persen. Sedangkan rata-rata suku bunga untuk kredit investasi dan modal kerja hanya sebesar 13,93 persen dan 13,86 persen (Bank Indonesia, 2008). Perbedaan suku bunga ini menjadi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
insentif tersendiri bagi para pelaku ekonomi (baca: lembaga keuangan) dalam menyalurkan dana yang dimilikinya. Realitas ini memang wajar, karena secara teoritis pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitasnya selalu dipandu oleh insentif. Ketika wilayah tertentu memberikan nisbah ekonomi yang lebih besar daripada lokasi yang lain, maka di daerah tertentu itulah para pelaku ekonomi akan menjalankan aktivitasnya. Beralaskan argumentasi tersebut, maka sebagai upaya integral menghemat pemakaian energi sekaligus supaya subsidi BBM dapat ditekan, maka harus terdapat regulasi moneter dari BI yang intinya bisa merestriksi lembaga pembiayaan dalam menyalurkan dananya, terutama terhadap kredit konsumsi kendaraan bermotor. Bila hal ini dapat dieksekusi, selain menyebabkan subsidi BBM tidak bertambah secara siginifikan juga akan mengakibatkan dua hal penting, yakni (i) instabilitas keuangan (terutama kemungkinan membumbungnya NPLs, dapat tereduksi; dan (ii) meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Walaupun subsidi BBM ini termasuk dalam kategori subsidi konsumsi dan belum pasti memberikan imbas positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas bawah, namun bukan lantas pemberian subsidi BBM yang sangat besar ini tidak memiliki dasar yang kuat. Bagi pemerintah, setidaknya ada dua penyebab atas dieksekusinya subsidi BBM. Pertama, BBM
2
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
merupakan komoditas utama yang memiliki dampak peng ganda strategis bagi perekonomian nasional, sehingga ketika subsidi BBM dikurangi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM, secara langsung dan tidak langsung pasti akan memberikan tekanan terhadap perekonomian nasional. Membentang dari sisi moneter (naiknya inflasi secara drastis), terjadinya ketidakstabilan pasar modal jangka pendek, meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, tergerusnya iklim investasi, sampai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kedua, selama sembilan tahun terakhir (sejak era demokrasi) BBM bukan lagi murni sebagai komoditas ekonomi, tetapi telah menjadi komoditas politik, sehingga ketika subsidi BBM dipangkas guna menyesuaikan dengan berbagai keadaan akan menyebabkan terjadinya instabilitas politik. Dalam jangka menengah, penurunan subsidi BBM tersebut juga pasti akan mereduksi modal politik rezim pemerintah yang sedang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, subsidi BBM walaupun sangat membebani APBN dan juga mengurangi hak warga negara kelas bawah tetap diberlakukan. Lebih dari itu, kian besarnya subsidi yang dipatok dalam APBN Indonesia satu dekade terakhir mengilustrasikan bahwa subsidi semakin perlu diberlakukan ketika sistem ekonomi mulai sarat dengan mekanisme pasar. Seperti diketahui seiring dengan mulai mengakarnya sistem
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9(3), Juli 2008
demokrasi politik di Indonesia, sistem ekonomi Indonesia mau diakui atau tidak telah banyak dipandu oleh mekanisme pasar. Sayangnya, sektor privat peng gerak mekanisme pasar terbatas tersebut lebih banyak didominasi oleh asing dan pelaku besar domestik, sehingga mekanisme tersebut berjalan sangat tidak sempurna. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa hasil yang kemudian muncul dari implementasi mekanisme pasar tersebut justru lebih banyak mendonasikan ketidakseimbangan kesejahteraan masyarakat. Tepat pada titik inilah, subsidi sebagai salah satu skema untuk mengurangi imbas kegagalan pasar menyeruak. Tapi, skema subsidi yang diformulasikan di Indonesia bukan secara mutlak diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah, baik dalam bentuk subsidi yang dapat menstimulus peningkatan produktivitas masyarakat kelas bawah, desain subsidi yang bisa membentuk modal sosial dan akan berkontribusi besar dalam perekonomian nasional di masa mendatang, maupun memberikan jaminan sosial secara berkala kepada masyarakat yang sangat miskin. Oleh karena itu, secara keseluruhan implementasi subsidi di Indonesia dalam kerangka mengatasi dampak kegagalan pasar kurang memerlihatkan hasil yang maksimal. ***** Lebih dari segalanya, selama Triwulan I 2008, harga minyak mentah internasional
3
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
terus merangkak naik. Dalam perspektif lokal Indonesia, peningkatan itu mau tidak mau pasti memberikan tekanan kepada APBN 2008. Pasalnya, seperti diketahui bahwa neraca BBM Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah negatif. Walaupun pada arah yang lain defisit tersebut masih patut dipertanyakan lagi: apakah data lifting minyak yang disetorkan oleh para operator minyak kepada pemerintah memang telah sesuai dengan lifting sebenarnya atau belum. Namun, secara umum dengan memerhatikan fakta yang ada subsidi BBM yang telah dipatok dalam APBN 2008 pasti harus direvisi. Pada arah inilah, konsep subsidi di Indonesia layak ditinjau ulang. Tujuannya, pada satu sisi supaya tidak terjadi pembengkakan subsidi BBM secara siginifikan sekaligus menghadirkan defisit APBN yang besar, dan di sisi lain subsidi yang selama ini diterima oleh masyarakat kelas menengah atas dapat disubstitusikan kepada masyarakat kelas bawah. Pada satu sisi, kesempatan tersebut memang merupakan waktu yang tepat untuk mengubah konsep subsidi di Indonesia. Tapi, pada sisi yang lain upaya tersebut pasti akan mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak. Pasalnya, pengubahan skema subsidi tersebut tidak dipandu secara murni oleh inisiatif meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi lebih didorong oleh faktor kenaikan harga minyak mentah dunia. Bahkan dengan rentang waktu formulasi pengubahan subsidi yang relatif pendek, di Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
samping menyebabkan terjadinya penurunan kinerja makro ekonomi juga berpotensi besar mengakibatkan tidak tercapainya visi subsidi langsung itu. Selain subsidi BBM, subsidi lain yang yang cukup menyita anggaran adalah subsidi listrik. Subsidi ini sepintas memang layak diberikan, karena listrik merupakan salah satu infrastruktur yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, ketika menguliti struktur subsidi listrik di Indonesia tampak sektor rumah tangga merupakan pihak yang harus membayar listrik dengan harga tertinggi untuk setiap Kwh yang dipakainya. Sedangkan sektor industri dan komersial yang dalam aktivitasnya bertujuan mendapatkan keuntungan justru memiliki kewajiban membayar yang lebih rendah. Hal ini menggambarkan bahwa konsep subsidi listrik di Indonesia kurang tepat, di mana bukan hanya berakibat pada meningkatnya biaya listrik oleh masyarakat tetapi juga menekan anggaran negara yang seharusnya dapat disubstitusikan untuk pembiayaan yang lebih produktif. Terlepas dari polemik di atas, pemerintah akhirnya mengurangi subsidi BBM. Kebijakan itu kemudian diformulasikan pula subsidi langsung tunai sebagai kompensasi kenaikan harga BBM tersebut. Subsidi langsung tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa dampak kenaikan harga BBM tersebut tidak terlalu menekan masyarakat kelas bawah. Asumsinya, kenaikan harga-harga pangan
4
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
utama akibat kenaikan harga BBM tersebut dapat ditutupi oleh adanya subsidi langsung tunai. Bahkan, dari perhitungan yang telah dilakukan oleh pemerintah, subsidi langsung tunai itu dapat mengurangi kuantitas masyarakat miskin, sehingga dengan kebijakan tersebut dua hasil dicapai sekaligus, yakni (i) kuantitas penduduk miskin dapat direduksi; dan (ii) instrumen fiskal pemerintah tetap dapat berjalan secara normal. Sungguh pun begitu, terdapat pandangan dari beberapa pihak bahwa pengurangan subsidi BBM tersebut seharusnya tidak desain sedemikian itu. Tetapi lebih untuk investasi migas (terutama minyak). Pandangan tersebut memang merupakan salah satu varian dari berbagai pendapat yang muncul. Pendapat lainnya menyarankan subsidi bahan bakar tersebut lebih baik dialihkan kepada subdisi langsung bagi masyarakat miskin yang terkena dampak pengganda kenaikan harga minyak atau untuk pengembangan sektor pertanian (terutama subsidi pangan dan subsidi produksi pangan). Namun, bila ini yang diambil sebenarnya salah satu akar permasalahan krisis energi masih tetap menganga, sehingga dalam beberapa waktu ke depan subsidi BBM pasti akan menekan APBN Indonesia. Kondisi berbeda akan terjadi bila subsidi bahan bakar dialihkan untuk mengeksplorasi minyak. Data-data yang ada melukiskan bahwa saat ini cadangan minyak yang belum dieksplorasi sebesar 86,9 miliar
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9(3), Juli 2008
barrel (lihat pula artikel yang berjudul Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya Terhadap Subsidi Energi di Indonesia), sehingga eksplorasi minyak sangat mungkin dilakukan. Pilihan kebijakan ini dalam jangka pendek memang akan memicu inflasi, namun dalam jangka panjang lifting minyak domestik akan dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dalam pandangan tersebut, jika kebijakan-kebijakan ini yang dieksekusi, maka pola kebijakan subdisi pemerintah di masa mendatang dapat didesain ulang secara lebih tepat dan yang krisis energi akan segera mulai mereda. Pada akhirnya, kebijakan tersebut bisa memberikan makna kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia di Indonesia.
*****
Atas dasar latar belakang di atas, beberapa tulisan yang berkaitan dengan konsep subsidi di Indonesia akan disajikan dalam BEP Volume 9 Nomor 3 Tahun 2008. Tulisan-tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya Terhadap Subsidi Energi di Indonesia (Eko Listiyanto). Artikel ini menguraikan secara detail faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan harga minyak mentah dunia, baik dari perspektif global maupun perspektif domestik Indonesia.
5
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
Dimulai dari paparan mengenai faktor fundamental, menurunnya nilai tukar mata uang dollar AS terhadap beberapa mata uang lainnya (terutama Euro), krisis geopolitik di negara-negara penghasil minyak, sampai dengan ulah para spekulan komoditas. Pada bagian akhir artikel juga dibahas mengenai relasi kenaikan harga minyak mentah dunia tersebut terhadap subsidi BBM di Indonesia. 2. Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan (Dias Satria). Dalam risalah ini diuraikan mengenai peran subsidi dalam membangun sumber daya manusia yang tang guh, sehing ga diharapkan dapat menjadi modal sosial yang sangat penting dalam memapankan posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia di masa mendatang. Risalah ini dibuka dengan ulasan mengenai peran modal manusia dalam meningkatkan kinerja perekonomian suatu negara. Selanjutnya, dipaparkan tentang konsep subsidi dalam perspektif makroekonomi, baik dilihat dari wilayah global maupun lokal Indonesia. Dilanjutkan dengan uraian tentang pendidikan dan globalisasi ekonomi. Bagian akhir dari risalah ini mengilustrasikan dampak positif apa saja yang akan muncul dari kebijakan pemberian subsidi yang pro-poor growth. 3. Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia (Evi Noor Afifah). Dalam makalah ini
dikaji secara mendalam berbagai hal yang berkaitan dengan subsidi di Indonesia. Pada bagian awal dibuka dengan paparan mengenai realitas subsidi yang ada di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Selanjutnya, dibahas tentang analisis kerangka subsidi di Indonesia. Dilanjutkan lagi dengan uraian mengenai kerangka subsidi di berbagai negara terpilih (India, Nigeria, dan Malaysia). Terakhir, dijelaskan secara detail mengenai faktor-faktor yang menjadi determinan penting dalam penentuan subsidi di Indoensia. 4. Krisis Pangan ’Silent Tsunami’ dan Pelajaran Bagi Indonesia (Abdul Manap Pulungan). Dalam paper ini dijelaskan mengenai relasi antara krisis pangan global dengan kenaikan harga minyak mentah dunia (terutama dampak dari penggunaan bahan pangan sebagai bahan bakar untuk mensubstitusi penggunaan bahan bakar minyak). Kemudian, dilanjutkan dengan paparan mengenai kemungkinan terjadinya krisis pangan di Indonesia, ter masuk di dalamnya di bahas mengenai subsidi pertanian yang pada kenyataannya bisa jadi memberikan kontribusi dalam terjadi krisis pangan di Indonesia. Pada bagian akhir paper ini diulas mengenai tantangan untuk menciptakan ketahanan pangan di Indonesia, sehing ga diharapkan krisis energi yang mungkin mendera Indonesia di kemudian hari tidak dibarengi dengan krisis pangan.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
6
Refleksi Subsidi dalam Perekonomian Indonesia
5. Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan I 2008 (Abdul Manap Pulungan). Dalam evaluasi ini terdiri atas: (i) kinerja pertumbuhan ekonomi; (ii) perkembangan sektor moneter (inflasi, nilai tukar, dan suku bunga); (iii) perkembangan sektor perbankan dan pasar modal (intermediasi perbankan, perkembangan pasar obligasi,
dan kinerja saham); dan (iv) tekanan perekonomian global. Demikianlah, pada edisi ini kami mengambil topik bahasan tentang Subsidi dalam Perekonomian. Penentuan topik ini didasarkan pada krusialnya peranan subsidi dalam penopang kegiatan perekonomian. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memperkaya informasi kepada publik tentang kondisi subsidi nasional.
*****
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9(3), Juli 2008
7
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Kenaik an Harga Minyak Dunia: Kenaikan Penyebab dan Dampaknya Terhadap Subsidi Energi di Indonesia Eko Listiyanto*
Abstract Using descriptive statistic analysis this article explained the impact of increased oil prices on the energy subsidies in fiscal budgeting of Indonesia. The study began from fundamental factors that influence the increasing in oil price eg. demand-supply gap, OPEC’s market power and other factors eg. depreciation in US Dollar, geopolitics in the middle east and investor’s speculation on derivative market. Further, the implication of increasing in oil prices on fuel oil price subsidies and electric subsidies are explained by decriptive data.
* Eko Listiyanto adalah peneliti INDEF
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
9
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
1.
Pendahuluan
Persoalan energi menjadi wacana hangat yang sering diperbincangkan di belahan dunia. Mulai dari meningkatnya harga minyak dunia, spekulasi di komoditas minyak sampai dengan substitusi energi fosil ke biofuel yang mengancam produksi pangan. Di Indonesia wacana ini tidak kalah serunya, masyarakat disuguhi pemberitaan menurunnya lifting minyak dalam negeri yang diikuti dengan tren meningkatnya impor minyak nasional. Selain itu, akibat meningkatnya harga minyak dunia, PLN kesulitan memenuhi pasokan energi listrik untuk industri dan rumah tangga. Berbagai problematika seputar energi kembali menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat pada 2007 lalu. Menghadapi situasi seperti ini masyarakat tersadarkan kembali bahwa energi memegang peranan yang sangat penting bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. Energi adalah jantung yang memompa denyut nadi perekonomian. Berbagai hasil pembangunan terutama infrastruktur dan mesin industri menjadi tidak optimal tanpa ketersediaan energi yang mencukupi. Lebih parahnya, kenaikan harga minyak menjadi efek domino bagi sektor energi lain yaitu listrik. Penyediaan energi listrik menjadi ikut tergang gu akibat meningkatnya harga minyak. Ketika konsumen minyak (termasuk PLN) mencoba mensubstitusi dengan sumber energi lain, hukum ekonomi pun bekerja,
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
batubara sebagai pengganti BBM harganya juga ikut naik, demikian pula harga gas elpiji dan energi alternatif lainnya juga mengalami kenaikan. Sejatinya, wacana pentingnya energi dalam perekonomian bukan hal yang baru lagi. Bahkan kalau mau ditelusuri lebih jauh bisa ditarik mulai sejak dilakukannya revolusi industri atau mungkin sejak adanya kegiatan ekonomi itu sendiri. Namun, dalam perkembangannya wacana ini juga mengalami pasang surut seiring fluktuasi ekonomi yang terjadi dan kiblat ekonomi yang dianut. Minyak -komoditas energi yang paling dominan digunakan dalam kegiatan ekonomi- bisa dijadikan gambaran perkembangan wacana energi selama ini (Gambar 1.). Ketidaksiapan mengantisipasi kelangkaan energi pada akhirnya menjadi boomerang bahkan bagi negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya seperti Indonesia. Kekayaan alam yang ada sebenarnya bisa menjadi potensi bagi pengembangan berbagai jenis energi apabila tepat pengelolaannya. Fluktuasi harga minyak dunia (Gambar 1) mewartakan bahwa minyak sebagai komoditas energi eksklusif dalam perekonomian tidak hanya sensitif terhadap isu ekonomi tetapi juga geopolitik, kondisi alam dan kebijakan perminyakan dunia. Pada 1974 harga minyak mulai meningkat drastis karena efek peperangan antara Arab dan Israel pada tahun sebelumnya (1973) yang menyebabkan terjadinya embargo minyak arab. Pada 1980 harga minyak
10
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Gambar 1. Penyebab Fluktuasi Harga Minyak Dunia (1970-2007) $90
$80
Awal perang IranIrak Resesi ekonomi, Non OPEC membanjiri pasar
$70
Perang Irak, ekonomi dunia menguat, permintaan meningkat, kapasitas cadangan mengecil, stok terbatas, dll
$ 2005 konstan/barel
$60
$50
Imported RAC
$40
Revolusi Iran
S Arabia membanjiri pasar Perang OPEC memotong Teluk produksi, permintaan Selesai meningkat
$30
$20
Saudi Light
$10
Embargo minyak Arab 1973
Perang Iran-Irak selesai
Invasi Irak ke Kuwait Krisis ekonomi Asia, pasokan minyak berlebih
Serangan 11 Sept, ekonomi melemah, permintaan
$-
Source: Modified EIA
Sumber: Kurtubi, 2008
kembali naik menyusul perang Irak-Iran yang berlanjut pada 1981. Setelah tahun 1980-an penyebab fluktuasi harga minyak semakin kompleks dan tidak hanya didominasi oleh faktor geopolitik saja tetapi juga faktor kebijakan, faktor fundamental (terbatasnya stok minyak) hingga yang terbaru ini yaitu adanya faktor spekulasi di pasar berjangka minyak. Minyak bumi menjadi energi terbesar dalam kegiatan produksi dan distribusi. Apalagi setelah tahun 2000, tren kenaikannya
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
semakin menanjak. Lonjakan harga minyak tanggal 6 Juni 2008 yaitu US$139,12 per barel sebelum akhirnya ditutup pada US$138,54 per barrel mencatat rekor kenaikan tertinggi dalam sehari yaitu sebesar US$10,75 per barrel (Investor Daily, 9 Juni 2008). Tanggal 3 Juli 2008 harga minyak tembus US$ 145,85 per barrel yang kemudian membuat kondisi pasar saham tertekan dan mengalihkan dananya ke pasar komoditas. Ada beberapa hal yang mendasari naiknya harga minyak dunia saat ini. Lebih
11
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
lanjut, tulisan ini berusaha mengidentifikasi beberapa penyebab kenaikan harga minyak dunia, problem perminyakan di Indonesia serta efeknya terhadap subsidi energi pada APBN. Tulisan diawali dengan melihat faktor penyebab disertai dengan data empiris dalam upaya mengidentifikasi dan menelusuri penyebab meningkatnya harga minyak saat ini. Kemudian dilanjutkan dengan pengkajian singkat mengenai problematika perminyakan di Indonesia serta perkembangan subsidi energi utamanya setelah meningkatnya harga minyak dunia. Selanjutnya, berbagai solusi mengenai kebijakan energi akan dijadikan sebagai penutup.
2.
Penyebab Meningkatnya Harga Minyak Dunia
Apabila dikelompokkan setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab naiknya harga minyak dunia saat ini. Pertama, faktor yang berasal dari sisi permintaan, ini berupa peningkatan permintaan minyak bumi oleh banyak negara terutama negara berkembang yang ingin mengenjot pertumbuhan ekonominya. Kondisi ini membuat mereka (negara berkembang) memerlukan Bahan Bakar Minyak dalam jumlah yang besar untuk melakukan aktivitas ekonomi terutama produksi dan distribusi. Termasuk dalam bagian ini adalah adanya permintaan yang meningkat dari dua negara yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yakni India dan China. Selain Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
itu, permintaan juga datang dari para trader di pasar berjangka dalam bentuk paper karena keuntungan memegang komoditas minyak ini sangat besar. Perdagangan komoditas minyak sekarang sudah mengalami ’metamorfosis’ karena infiltrasi teknologi informasi yang demikian pesat di pasar berjangka minyak. Pergerakan harga minyak saat ini lebih mirip fluktuasi harga saham di bandingkan layaknya harga sebuah komoditas biasa. Kedua, faktor dari sisi penawaran, ini berupa kondisi supply minyak bumi dari para pemasok minyak dunia serta posisi kekuatan pasar Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam percaturan bisnis minyak. Dengan lebih menggali perkembangan kondisi sisi supply minyak saat ini serta bargaining position OPEC di kancah perminyakan internasional akan memperjelas sumber peningkatan harga yang lebih dominan. Sehing ga sisi penawaran ini juga dianggap cukup krusial untuk ditelusuri sama pentingnya dengan melihat kenaikan harga minyak ini dari sisi permintaan. Dua faktor sebelumnya (yaitu permintaan dan penawaran) bisa dikatakan sebagai faktor fundamental. Sedangkan yang ketiga adalah faktor-faktor lain di luar kondisi fundamental tetapi masih berkaitan erat dengan peningkatan harga minyak dunia. Termasuk dalam faktor ketiga ini antara lain; kondisi geopolitik; melemahnya nilai tukar dolar AS; kondisi cuaca yang tidak kondusif; serta ulah spekulan di pasar
12
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Gambar 1.2 Penyebab Meningkatnya Harga Minyak Demand Structure Factors: • •
Supply Structure Factors: •
Continuously rising demand especially from Emerging Market economies Becoming more of an asset class
• •
•
Decreasing supply sensitivity to price OPEC’s market power
Increasing oil price trend Rising volatility of oil prices
Other Factors: • • • •
Weak US dollars Geopolitics Severe weather conditions Investors’ speculation
Sumber: Waiquamdee, 2008
berjangka minyak bumi (Waiquamdee, 2008). Untuk memermudah pemahaman terhadap tiga faktor penyebab meningkatnya harga minyak ini Gambar 1.2. bisa membantu mengilustrasikannya. Analisis awal penyebab kenaikan harga minyak bersumber dari faktor fundamental yaitu sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi fundamental lonjakan harga minyak disebabkan oleh meningkatnya permintaan (demand) di satu sisi dan berkurang ataupun tidak bertambahnya pasokan (supply) di sisi Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
lain. Logika yang dibangun sangat sederhana, walaupun persoalan riil yang dihadapi tidak sesederhana ini. Permintaan minyak bumi meningkat sementara pasokan minyak tidak mampu mengimbangi peningkatan permintaan yang terjadi, secara otomatis kondisi ini akan mendorong naiknya harga. Permintaan yang meningkat dilatarbelakangi oleh keinginan negara berkembang untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Selain itu, dua negara industri China dan India yang dalam beberapa tahun
13
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
ini berhasil menyaingi dominasi AS dan Jepang dalam ekonomi global, sedang giatgiatnya memacu pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tinggi di kedua negara itu tentu membutuhkan jumlah energi yang besar guna memertahankan momentum yang telah dicapai. Menjadi pertanyaan apakah situasi meningkatnya per mintaan ini didukung oleh data fundamental yang ada? Tabel 1. berikut bisa memberi gambaran mengenai hal ini. Tabel 2. menggambarkan faktor fundamental minyak bumi dari sisi permintaan dan penawaran. Berdasarkan
data sampai 30 April 2008 pasokan minyak cukup mampu untuk mengimbangi permintaan pasar. Baik permintaan maupun pasokan juga cenderung stabil. Namun, kondisi berbeda terjadi ketika data produksi minyak dunia dari OPEC per Mei 2008 sebesar 81,85 juta barrel per hari, sementara konsumsi minyak dunia sebesar 84,81 juta barrel per hari (tidak ada dalam tabel). Ini menunjukkan adanya kekurangan pasokan sebesar 2,96 juta barrel per hari. Data tersebut dikuatkan dengan hasil riset Deutsche Bank yang menyebutkan pendorong kenaikan harga minyak adalah
Tabel 1. Permintaan dan Pasokan Minyak (Juta Barrel per Hari) Permintaan
30 April 2008
Maret
Januari
Juni 2007
OECD
47,2
48,1
49,1
49,6
Negara lainnya
37,9
37,1
37,0
36,5
Total
85,1
85,2
86,1
86,1
31,4
31,8
31,6
31,3
5
5
5
4,8
Non OPEC
48,2
48,4
48,2
47,8
Tambahan
2,1
2,1
2,1
2,1
Total
86,7
87,3
86,9
86,0
Pasokan Minyak OPEC OPEC kondensasi
Sumber: Bloomberg/Bisnis Indonesia, 4 Juni 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
14
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
faktor fundamental yakni terbatasnya pasokan di tengah kenaikan konsumsi minyak dunia. Lebih lanjut upaya politisi AS meredam spekulasi dengan mencoba menginvestigasi pasar komoditas berjangka justru dilawan pasar dengan mengerek harga minyak (Investor Daily, 2008). Sungguh pun demikian, kondisi Januari – April 2008 menunjukkan pada saat permintaan masih dapat diimbangi dengan pasokan, harga minyak tetap saja meroket. Ini membuktikan bahwa tidak hanya faktor fundamental (per mintaan-penawaran) yang bisa menyebabkan harga minyak meningkat tajam. Tabel 1. sekaligus juga mengilustrasikan kekerdilan kekuatan pasar negara OPEC dibandingkan Non OPEC. Pangsa pasar yang lebih didominasi negara di luar OPEC menyebabkan tumpulnya berbagai kebijakan yang dilakukan oleh OPEC dalam merespon lonjakan harga minyak. Sebagai informasi tambahan (tidak terdapat di tabel) kontribusi pasokan minyak negara-negara timur tengah terhadap produksi OPEC sebesar 65,61 persen (2007). Dengan rincian; Saudi Arabia berkontribusi sebesar 28,22 persen, Iran sebesar 11,97 persen, Uni Emirat Arab sebesar 8,07 persen, Kuwait sebesar 7,97 persen, Iraq sebesar 6,74 persen, serta Qatar berkontribusi sebesar 2,63 persen (Investor Daily, 2008). Kontribusi yang besar dari negara-negara di Timur Tengah terhadap OPEC seharusnya membuat organisasi ini punya kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan. Tetapi fakta di lapangan berbeda, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
OPEC terlihat kerdil dalam meredam lonjakan harga minyak dunia. Melihat data pasokan bulan April 2008 sebenarnya supply (86,8 juta bph) sudah lebih tinggi dari demand (85,1 juta bph), tetapi harga minyak tetap saja meroket. Selain faktor fundamental ada faktor lain yang berpengaruh terhadap lonjakan harga minyak dunia. Turunnya nilai mata uang dolar AS terhadap Euro dan sebagian besar mata uang lainnya juga menyebabkan harga minyak dunia meningkat. Ekspektasi pasar terhadap melemahnya nilai tukar dolar mendorong commodity market untuk menyesuaikan dengan mata uang yang lebih stabil (Prijambodo, 2008). Ditinjau dari faktor geopolitik, kondisi stabilitas di Nigeria, Pakistan dan Timur Tengah juga menjadi pemicu. Kondisi keamanan negara-negara yang memiliki ladang minyak sering mewarnai lonjakan harga minyak dunia selama tiga dekade terakhir ini. Tercatat harga minyak sempat melonjak beberapa kali sebagai akibat terganggunya keamanan suatu negara ataupun kawasan penghasil minyak. Pada 1974 harga minyak menyentuh US$ 10 per barel pasca perang Arab-Israel 1973. Pada 1980 harga minyak mencapai US$ 30 per barel karena perang Irak-Iran. Satu tahun kemudian (1981) harga minyak menyetuh US$ 39 per barrel karena perang masih berlanjut. Tidak hanya berhenti di sini, pada 1990 harga minyak dunia mencapai US$40 per barrel menyusul invasi Irak ke Kuwait. Pada Januari 2008 untuk pertama kalinya
15
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
harga minyak tembus US$ 100 per barrel karena faktor geopolitik di Nigeria dan Pakistan serta pada 6 Juni 2008 tembus US$ 138,54 per barel karena meningkatnya suhu geopolitik di timur tengah (Investor Daily & Kompa, 2008). Faktor lain penyebab kenaikan harga minyak yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah tindakan spekulasi di pasar berjangka. Fenomena kapitalisasi yang kental di bisnis perminyakan menjadi semakin terlihat dengan jelas. Premis bahwa kelangkaan minyak terjadi tidak hanya karena meningkatnya permintaan dari negaranegara yang sedang memacu pertumbuhan ekonomi seperti China dan India, tetapi juga terjadinya spekulasi besar-besaran di pasar derivatif minyak menjadi logis. Dugaan ini bukan hanya isapan jempol belaka, buktinya badan pengawas berjangka AS, Commodity Futures Trading Commission (CFTC) mulai membuka detail data investor di bursa berjangka dan di indeks dana kelolaan komoditas untuk melihat besaran aksi spekulasi yang dilakukan pengelola dana. CFTC telah membuat kesepakatan dengan otoritas keuangan di Inggris (United Kingdom Financial Services Authority/FSA) dan bursa berjangka di Eropa, ICE Futures Europe pada tanggal 29 Mei 2008 (Bisnis Indonesia, 4 Juni 2008). Inti dari kesepakatan tersebut adalah seluruh pihak yang terlibat dalam perjanjian berkewajiban memberikan informasi untuk pengawasan transaksi kontrak berjangka komoditas energi (minyak mentah jenis West Texas Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Intermediate) dengan tempat pengiriman dari AS. Terlepas dari kontroversi yang muncul, upaya meredam spekulasi di pasar minyak ini akan menjadi solusi efektif apabila tidak ditunggangi dengan berbagai kepentingan parsial terutama dari anggotanya. Hal ini setidaknya terlihat dari investigasi CFTC terhadap aktivitas pembelian, transportasi, penyimpanan, perdagangan minyak, serta hal-hal lain yang terkait dengan kontrak berjangka minyak yang membuktikan adanya manipulasi di pasar minyak AS dan telah menyebabkan harga minyak melonjak. Terkait dengan hal ini Alan Greenspan mantan gubernur The Federal Reserve (Bank Sentral AS) mengatakan sekitar 10 dolar AS dari setiap harga minyak yang tercatat sekarang memang karena ulah spekulan (Sunarsip, 2008). Hedge funds diduga telah melakukan spekulasi sehingga harga minyak melonjak. Transaksi komoditas minyak di pasar berjangka menyebabkan harga minyak cenderung fluktuatif. Parahnya, laba yang dihasilkan di pasar berjangka minyak justru lebih banyak dinikmati oleh pelaku pasar yang tidak mempunyai ladang minyak. Stok minyak, termasuk kekayaan telah beralih dari NOC-IOC (National Oil Company International Oil Company) kepada para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak punya ladang minyak, fasilitas kilang, gudang, atau kapal tanker (Kasali, 2008). NYMEX,2006 (Kasali, 2008)
16
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
mengemukakan bahwa Kongres AS mengungkapkan investasi terbesar saat ini berbentuk paper di sektor energi, dari porsi semula 4,6 persen (2003) menjadi 30,7 persen (2005) dan di atas 50 persen (2006). Keuntungan yang bisa diraup pun menggiurkan, berdasarkan data The New York Times 2005 yaitu 1,5 miliar dolar AS dinikmati oleh Goldman Sachs dan Morgan Stanley. Keuntungan sebesar itu menimbulkan efek berantai di pasar berjangka minyak. Berdasarkan berbagai fakta yang diungkapkan di atas terlihat bahwa penyebab kenaikan harga minyak tidak hanya faktor fundamental yaitu dari sisi permintaan dan pasokan tetapi juga ada kontribusi dari faktor geopolitik, melemahnya mata uang dolar AS serta perilaku spekulatif para trader minyak bumi. Ketatnya pasar minyak bumi membuat pasar ini sangat sensitif terhadap masalah-masalah di luar ekonomi seperti geopolitik maupun kondisi alam. Kompleksitas penyebab naiknya harga minyak saat ini membuat kian rumitnya jalan keluar yang efektif.
3.
Subsidi Energi dan Problematika Perminyakan di Indonesia
Melonjaknya harga minyak dunia telah menyebabkan instabilitas perekonomian di banyak negara. Berbeda dengan negara pengekspor minyak yang mendapat keuntungan karena meningkatnya windfall profit, negara pengimpor sampai harus
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
mempertaruhkan kredibilitas pemerintahannya akibat lonjakan harga minyak ini. Di Indonesia sendiri, melambungnya harga minyak menyebabkan pembengkakan anggaran subsidi BBM yang diperkirakan bisa mencapai Rp 190 triliun, dengan asumsi harga minyak US$ 124 per barrel. Kondisi ini memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi karena maksimal anggaran subsidi BBM yang bisa diberikan sebesar Rp 135,3 triliun (Kompas, 2008). Berarti ada selisih 55 triliun apabila anggaran subsidi tidak dikurangi. Dari sisi politik, pengurangan subsidi BBM merupakan suatu bentuk kebijakan yang tidak populer dan berpotensi menyulut konflik vertikal antara pemerintah dengan rakyat. Terlebih lagi pengurangan subsidi ini terjadi di saat masyarakat sudah terbebani oleh meningkatnya harga komoditas pangan dunia. Selain akan mendorong inflasi, hal ini tentu akan menurunkan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap kebutuhan pangan. Selama ini harga BBM di Indonesia berdasarkan ketentuan pemerintah, tanpa terikat langsung dengan fluktuasi harga internasional. Tujuannya, menurunkan harga guna percepatan pembangunan ekonomi. Dengan BBM yang lebih terjangkau diharapkan akan mampu memacu pertumbuhan melalui meningkatnya berbagai kegiatan ekonomi seperti industri, transportasi dan distribusi barang dan jasa. Walaupun di sisi lain disparitas harga BBM domestik dengan pasar internasional juga bisa menyuburkan kasus penyelundupan.
17
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Sebuah ekses kebijakan yang cukup sulit ditanggulangi dalam situasi penegakan hukum yang carut-marut saat ini. Secara teoritis kebijakan subsidi BBM merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka membantu konsumen (dalam hal ini masyarakat) agar mendapatkan harga BBM pada tingkat harga yang lebih murah dengan sebagian beban harga ditang gung pemerintah. Dengan harga yang lebih terjangkau maka akan semakin banyak masyarakat yang bisa mengakses BBM. Pada gilirannya penggunaan BBM akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui makin aktifnya kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa termasuk
kegiatan transportasi. Dalam APBN subsidi energi yang dimaksud ada dua yaitu subsidi untuk harga BBM dan subsidi untuk listrik. Bisa dikatakan subsidi BBM termasuk kategori subsidi yang diberikan kepada konsumen agar bisa mengakses komoditas pada harga yang lebih terjangkau. Sedangkan subsidi listrik diberikan kepada produsen (dalam hal ini PLN) agar bisa memroduksi listrik pada kuantitas yang lebih banyak dengan harga yang relatif sama. Harga minyak dunia saat ini sudah menyentuh US$ 145,85 per barel (Investor Daily, 2008). Kurtubi (2008) mengingatkan bila harga minyak mentah selama satu tahun ke depan berada pada kisaran US$ 130 per
Gambar 3. Arus Minyak Nasional 2007
Sumber: Departemen ESDM, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
18
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Tren meningkatnya impor minyak sejak tahun lalu (2007) ditengah situasi melonjaknya harga minyak dunia membuat ang garan untuk mengimpor minyak meningkat. Akibatnya penyesuaian terhadap situasi ini dianggap perlu dilakukan. Impor minyak yang meningkat sebenarnya merupakan sinyal bahwa produksi minyak dalam negeri sendiri menurun. Setelah dikonfirmasi dengan data yang ada, fakta ini memang terjadi. Salah satu indikator menurunnya produksi minyak bisa ditelusuri dari data lifting minyak (Gambar 4.). Peningkatan lifting minyak (produksi minyak siap jual) perlu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pasokan minyak
barel, devisa yang harus dikeluarkan untuk impor minyak mentah sebesar 400.000450.000 barrel mencapai US$ 43 miliar. Suatu situasi yang semakin mengancam kestabilan ekonomi Indonesia yang sangat terbebani dengan persoalan minyak ini. Terlebih lagi sekarang Indonesia menjadi negara net importer yang secara otomatis mengakibatkan kenaikan harga minyak akan meningkatkan ang garan untuk impor minyak tanpa disertai pemasukan dari adanya windfall profit. Gambar arus minyak nasional tahun 2007 (Gambar 3) bisa memberikan ilustrasi situasi perminyakan di Indonesia saat ini.
0. 95 0. 91
0. 92 0. 7 92 5
1 0. 95
0. 99 9
1. 07 5
2007
2008*
0. 4
0. 46 3
1. 07 2 1. 03 6
Gambar 4. Target dan Realisasi Lifting Minyak 2003-2008 (juta barel per hari)
2003
2004
2005 target
2006
realisasi
Sumber: DESDM/Investor Daily, 2008 * target APBNP 2008 dengan nilai realisasi rata-rata dari bulan Januari-Mei
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
19
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
bumi dalam negeri. Menurunnya realisasi lifting minyak dari target yang sudah ditetapkan menjadi salah satu pemicu naiknya harga BBM bersubsidi. Bahkan dalam 12 tahun terakhir produksi minyak nasional terus merosot hingga 35 persen (Investor Daily, 14 Mei 2008). Usaha peningkatan lifting minyak dalam jangka pendek bisa dimulai dengan perbaikan infrastruktur dan pengoptimalan sumur-sumur minyak yang sudah ada. Dari perbaikan-perbaikan yang dilakukan diharapkan target yang ditetapkan bisa terpenuhi. Dari Gambar 4. terlihat selama lima tahun terakhir target lifting minyak tidak tercapai, bahkan sejak tahun 2004 memperlihatkan tren yang menurun. Sementara harga minyak dunia terus menanjak. Kondisi yang kontra ini menjadi salah satu penyebab naiknya harga BBM dalam negeri. Pasokan minyak yang terus menurun sementara permintaan cenderung meningkat menyebabkan harga minyak naik. Lifting minyak tahun ini (Januari-Mei 2008) baru mencapai 0,925 juta barrel per hari sementara target dalam APBN-P adalah 0,927 juta barrel per hari. Dengan kata lain target belum terpenuhi. Walaupun target lifting minyak 2008 tersebut kemungkinan bisa terpenuhi, Indonesia masih tetap menjadi net importer minyak. Hal ini dikarenakan kebutuhan konsumsi harian BBM di Indonesia lebih tinggi dari target lifting, yaitu sekitar 1,2-1,4 juta barrel per hari sementara target realistis hanya 0,927 juta barel per hari. Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Masalah minyak di dalam negeri tidak hanya berhenti pada soal lifting minyak saja, ada juga persoalan dalam cost recovery minyak nasional. Akibat dari meningkatnya cost recovery (biaya produksi kontraktor minyak yang harus dikembalikan oleh pemerintah) penerimaan negara menjadi tergerus karena digunakan untuk membayar cost recovery tersebut. Menariknya, terdapat fenomena yang berlawanan arah dalam hal ini, dimana ketika produksi minyak terus menurun justru cost recovery kian meningkat. Cost recovery 2002 sebesar US$4,338 Miliar meningkat menjadi US$5,044 Miliar pada 2003. Antara 2002-2007 peningkatan yang cukup besar terjadi pada 2005 yaitu sebesar US$2,21 Miliar, dari US$5,326 Miliar (2004) menjadi US$7,533 miliar (2005) [Investor Daily, 2008]. Naiknya sewa rig pengeboran serta menuanya sejumlah lapangan minyak menjadi alasan yang mencoba menetralisir persoalan cost recovery ini. Kendala lain untuk meningkatkan produksi minyak adalah pada eksplorasi. Tren eksplorasi minyak saat ini menunjukkan kecenderungan menurun, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Penurunan tersebut diakibatkan oleh perubahan kebijakan investor multinasional akibat merosotnya harga pada 1998 serta pemotongan anggaran investasi secara signifikan. Terkait dengan masalah eksplorasi, pakar perminyakan, Kurtubi menyarankan agar mempercepat produksi Blok Cepu sebagai langkah jangka pendek. Dalam jangka menengah eksplorasi di 20
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Tabel 2. Perkembangan Subsidi BBM 2000-2008 (Miliar Rupiah)
Tahun
Jumlah Subsidi (Miliar Rp)
2002
31.161,70
2003
13.210,00
2004
14.527,10
20051
89.194,00
20062 20073
62.735,20
20084
132.100,00
56.361,20
Sumber:Diolah dari Depkeu, 2007 1 APBN-PII 2 APBN-P 3 APBN-P 4 Angka target APBN-P kedua
Natuna dengan tetap memerhatikan faktor keamanan dan lingkungan hidup. Sedang dalam jangka panjang perlunya perbaikan sistem dan regulasi perminyakan nasional agar investasi pencarian cadangan baru bisa kembali meningkat (Kompas, 2008). Semua upaya tersebut diarahkan agar antisipasi terhadap harga minyak di masa mendatang menjadi lebih baik lagi. Berbagai kendala perminyakan baik yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak internasional maupun kondisi dalam negeri yang masih memerlukan pembenahan berimplikasi pada beban fiskal subsidi BBM yang semakin meningkat. Setidaknya ini terlihat pada Tabel 2 dimana secara relatif
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
dari tahun demi tahun menunjukkan peningkatan, terlebih lagi pada 2008, subsidi BBM diperkirakan membebani APBN sebesar Rp 132,1 triliun.
4.
Listrik Sebagai Bagian dari Subsidi Energi
Selain untuk subsidi BBM, APBN juga mensubsidi listrik. Pelaksanaannya disalurkan melalui PLN. Listrik juga merupakan energi yang sangat penting bagi roda pembangunan. Dengan diadakannya subsidi listrik diharapkan lebih banyak masyarakat yang dapat menikmati penggunaan energi listrik, terutama untuk aktivitas yang
21
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
produktif. Termasuk dalam hal ini untuk listrik di daerah pedesaan yang akan sangat ber manfaat untuk menstimulus perekonomian daerah. Alasannya, investasi di daerah biasanya sangat tergantung infrastruktur yang ada. Program listrik desa bisa meningkatkan kemajuan ekonomi desa melalui multiplier efect yang terjadi. Ketersediaan energi listrik salah satunya juga dipengaruhi oleh harga BBM. Kenaikan harga BBM dapat berpengaruh terhadap penyediaan listrik karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar minyak dan batubara untuk menggerakkan pembangkit listrik (Tabel 3.). Untuk pembangkit yang menggunakan bahan bakar batubara juga terganggu dengan naiknya harga minyak dunia saat ini.
Persoalannya, untuk mendatangkan batubara yang tambangnya sebagian besar di luar Pulau Jawa sedangkan sebagian besar pembangkit listrik berada di Jawa memerlukan alat angkut kapal, sehingga ongkos angkut juga meningkat bila harga BBM naik. Terlebih lagi harga batubara sendiri di pasar internasional juga mengalami kenaikan. Saat ini (2008) sumber energi primer untuk pembangkit tenaga listrik berupa batubara mencapai 48,8 persen, gas 17,0 persen, bahan bakar minyak 11,4 persen, panas bumi 6,1 persen, hidro 9,1 persen dan lainnya seperti biofuel, batubara hibrid 7 persen (Investor Daily, 4 Juli 2008). Kenaikan beban subsidi listrik dalam APBN bisa dilihat melalui perkembangan subsidi listrik yang diberikan pemerintah
Tabel 3. Komposisi Sumber Energi Listrik PLN (%)
Sumber: Annual Report PLN,2006
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
22
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Tabel 4. Perkembangan Subsidi Listrik 2002-2008 (Miliar Rupiah) Tahun
Jumlah Subsidi (Miliar Rp)
2002 2003 2004 20051 20062 20073 20084
4.102,7 4.519,0 3.363,3 12.511,0 31.246,0 32.487,5 60.292,0
Sumber: Departemen Keuangan, diolah –dalam Bappenas-INDEF 2007 1
APBN-PII APBN-P 3 APBN-P 4 Angka target APBN-P 2
(Tabel 4). Walaupun tidak sebesar subsidi BBM, anggaran untuk subsidi listrik juga ikut terpengaruh oleh adanya kenaikan BBM. Porsi yang semakin besar dari tahun ke tahun selain dikarenakan semakin luasnya jaringan listrik, juga karena bahan bakar pembangkitnya yang semakin mahal. Atau dengan kata lain biaya produksi listrik meningkat seiring melonjaknya harga minyak dunia dan batubara sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik. Kondisi tersebut tentunya akan menggangu target PLN untuk segera meningkatkan jumlah pengguna listrik di tanah air yakni rasio desa berlistrik diharapkan 100 persen pada 2010. Aksesibilitas listrik yang terganggu ini dipastikan bisa menghambat pembangunan ekonomi. Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Dilihat dari perkembangannya antara 2002-2008 subsidi listrik meningkat drastis sejak tahun 2006. Peningkatan ini salah satunya merupakan konsekuensi dari upaya PLN untuk meningkatkan kuantitas layanan listrik kepada masyarakat. Disamping itu, peningkatan subsidi yang terjadi juga dikarenakan meningkatnya biaya produksi penyediaan listrik karena bahan energi primer yang semakin mahal. Dari sisi investasi, tergang gunya ketersediaan energi listrik akan menurunkan produktifitas industri dan menurunkan daya saing investasi. Terganggunya dunia usaha akan memperburuk keadaan perekonomian. Pengaruh terganggunya supply energi listrik akan berdampak pada sektorsektor yang dominan menggunakan energi
23
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Gambar 5. Penjualan Listrik Berdasarkan Kategori (Gwh)
Sumber: Indonesia Energy Statistics 2008, ESDM
ini. Dari Gambar 5 terlihat bahwa konsumen listrik terbesar di Indonesia adalah untuk industri dan rumah tangga. Terbatasnya pasokan akan menyebabkan indutri sulit mengoptimalkan produksinya. Bagi industri yang padat karya kelangkaan listrik juga menurunkan penghasilan pekerja karena pengurangan jam lembur. Industri kecil dan industri rumah tangga juga tidak bisa mengelak dari kerugian apabila sampai terjadi pemadaman bergilir berkepanjangan.
mengakibatkan berkurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Gambar 5. menunjukkan sebagian besar konsumen listrik PLN adalah rumah tangga (household), ini berarti apabila harga listrik naik beban rumah tangga akan semakin berat setelah sebelumnya pada 25 Mei 20008 harga BBM dinaikkan. Sensitifitas pemerintah sebagai eksekutor kebijakan publik akan dinilai semakin merosot oleh masyarakat apabila kenaikan Tarif Dasar Listrik ini dilakukan.
Di sisi lain upaya mengimbangi kenaikan biaya produksi listrik PLN dengan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) akan
Kajian Makmun dan Abdurahman (2003) setidaknya membuktikan akan dampak kenaikan TDL terhadap konsumsi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
24
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
listrik dan pendapatan masyarakat. Dalam hasil kajian tersebut dinyatakan bahwa kenaikan TDL membawa dampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat. Setiap kenaikan 10 persen dari TDL akan mengurangi pendapatan riil rumah tangga petani 1,47 persen dan sebesar 3,47 persen untuk rumah tangga di bawahnya. Kenaikan listrik juga berdampak pada turunnya permintaan sektoral sebesar 3,52 persen. Selanjutnya, kenaikan listrik pada akhirnya juga mengurangi pendapatan institusi 1,46 persen.
terus menunjukkan tren peningkatan. Meskipun demikian peningkatan konsumsi listrik belum mampu diimbangi dengan pasokan (produksi masih di bawah konsumsi). Tidak seimbangnya kebutuhan listrik dengan pasokan yang ada menyebabkan terbatasnya penggunaan energi ini. Menyikapi hal ini pemerintah berupaya mensosialisasikan penghematan energi listrik nasional. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang hemat energi untuk membatasi serta mengoptimalkan penggunaan energi listrik.
Kebutuhan energi listrik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Terlihat pada Gambar 6. baik konsumsi maupun produksi
Pada praktiknya memang tidak mudah untuk mengurangi dampak fiskal akibat
Gambar 6. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik 2006 – 2010 180,000
169,571
160,000
156,949
140,000 120,000 100,000
120,498 106,456
125,284 109,755
19,930
20,273
145,345 127,582
137,895
23,504
25,387
134,866 118,264
149,102
80,000 60,000 40,000 20,000
21,826
27,407
2005
2006
Konsumsi (GWh)
2007
2008
Produksi GWh)
2009
2010
Beban Puncak (MW)
Sumber: Investor Daily, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
25
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
membengkaknya subsidi energi dalam APBN, baik untuk subsidi BBM maupun subsidi listrik. Terlebih lagi faktor penyebab meningkatnya subsidi tidak hanya berasal dari dalam negeri seperti masalah lifting, cost recovery maupun menurunnya kegiatan eksplorasi minyak bumi. Tetapi juga faktor dari dunia internasional yakni meningkatnya harga minyak dan komoditas dunia. Seperti yang dikemukakan Handoko dan Patriadi (2005) bahwa upaya konsolidasi fiskal demi tercapainya kesinambungan fiskal (fiscal stability) dan pertumbuhan ekonomi yang stabil memang tidak mudah. Konsolidasi fiskal dihadapkan pada kenyataan beban berat utang publik yang cukup tinggi, subsidi yang semakin meningkat terutama subsidi BBM dan penerimaan pajak yang kurang optimal.
Cukup seringnya peraturan kebijakan energi yang diubah mengidikasikan beratnya kadar persoalan energi di Indonesia. Sehing ga berbagai peraturan harus mengalami revisi untuk disesuaikan dengan perkembangan kondisi yang ada. Walaupun harus diakui perkembangan tersebut kadang tidak berpihak pada ekonomi bangsa seperti kenaikan harga minyak saat ini. Ini juga mengindikasikan minimnya implementasi, inefisiensi penggunaan energi, dan tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang lebih spesifik dan terukur. Tetapi selama kebijakan yang dibuat ditujukan untuk kepentingan dan keberlangsungan kehidupan bangsa di masa depan, akan selalu ada harapan.
Dari sisi kelembagaan, telah cukup banyak berbagai kebijakan tentang energi nasional dikeluarkan demi tercapainya pengelolaan energi yang bernilai guna dan berkelanjutan. Tabel 5. memberi gambaran tentang usaha-usaha pemerintah dalam mengelola sumber energi di Indonesia. Setidaknya sejak 1981 telah terjadi lima kali penyempurnaan kebijakan energi nasional. Ini di luar dokumen lain seperti; kebijakan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi; Blue print pengelolaan energi nasional 2005-2025; Perpres No. 5/ 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional; Inpres No. 1/2006 tentang Penyedian dan Pemanfaatan Bahan bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain; serta UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (Rakhmanto, 2008).
5.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Penutup
Krisis energi yang disebabkan melonjaknya harga minyak dunia menyadarkan bangsa ini untuk tidak meng gantungkan lokomotif perekonomian dari energi minyak bumi saja. Penggunaan energi alternatif terbarukan dirasa perlu, bukan hanya di saat harga minyak dunia naik seperti saat ini yang kemudian membebani APBN melalui membengkaknya subsidi, tetapi juga demi kelangsungan perekonomian bangsa di masa depan. Berkaitan dengan beban subsidi energi yang meningkat karena melonjaknya harga minyak dunia, beberapa solusi berikut perlu untuk menjadi pertimbangan.
26
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
Pertama, usaha untuk meningkatkan lifting minyak melalui pengoptimalan ladang minyak perlu dilakukan. Upaya meningkatkan efisiensi cost recovery yang justru semakin meningkat ditengah menurunnya produksi minyak nasional juga penting. Selain itu, peningkatan investasi di sektor minyak bumi terutama untuk kegiatan ekplorasi juga sangat diperlukan. Kedua, program diversifikasi energi menjadi bagian yang tidak terelakkan. Harga minyak dunia yang terus menanjak membuat Indonesia harus aktif dan kreatif untuk menggunakan bahan bakar alternatif lainnya. Peng gunaan batubara untuk menggantikan BBM di sektor industri dan pembangkit energi primer PLN perlu dilakukan. Ketiga, percepatan pengembangan dan penggunaan Bahan Bakar Nabati yang berbasis pada tanaman-tanaman non-pangan. Keempat, mendukung riset-riset di bidang energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia serta sosialisasi penggunaannya oleh masyarakat, kalau perlu pemerintah memberi contoh penggunaan energi alternatif terlebih dahulu. Kelima, penghematan penggunaan listrik yang sekarang sedang disosialisasikan perlu ditingkatkan melalui contoh yang mengedukasi masyarakat.
Daftar Pustaka Amalia, Happy Amanda, 2008. “DPR: Genjot Lifting Minyak”. Investor Daily, 27 Mei 2008. Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Ari dan Heriyono. 2008. “Harga Minyak Lewati US$ 130 Per Barel”. Investor Daily, 22 Mei 2008. Bappenas dan INDEF, 2007. Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia. 2007. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008. Indonesia Energy Statistics 2008. Pusat Data dan Informasi ESDM, www.esdm.go.id, diakses 1 Juli 2008. Elisabeth, S. Berliana, 2008. “CFTC Selidiki Data Spekulan Minyak”. Bisnis Indonesia, 4 Juni 2008. Fathoni, Riza, 2008. “Subsidi BBM Rp 190 Triliun: Pertamina Menaikkan Kuota Premium 5 Persen”. Kompas, 15 Mei 2008. Gunarto, Hari dan Toidin Bintarnyu, 2008. “Minyak lampaui US$ 145, Bursa Global Tumbang”. Investor Daily, 4 Juli 2008. Handoko, Rudi dan Patriadi Pandu, 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, No. 4, Desember 2005. Heriyono, 2008. “Harga Minyak Ancam APBN”. Investor Daily, 9 Juni 2008. Kasali, Rhenald, 2008. “Wajah Baru ‘Pedagang’ Minyak”. Kompas, 30 Juni 2008. Kurtubi, 2008. “Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia: Solusi Kebijakan ke Depan”. Disampaikan pada RTD di Hotel sultan, Januari 2008. ______, 2008. “Harga BBM dan Langkah ke Depan”. Kompas, 26 Mei 2008.
27
Kenaikan Harga Minyak Dunia: Penyebab dan Dampaknya terhadap Subsidi Energi di Indonesia
______, 2008. “Perlu Penyempurnaan Manajemen Migas”. Investor Daily, 23 Juni 2008. Listyarini, Tri, 2008. “Meski Merana, Sektor Migas Punya Asa”. Investor Daily, 14 Mei 2008. ___________, 2008. “Harga Minyak Tembus US$ 142: Indeks Saham Rontok, mata Uang Asia Melemah”. Investor daily, 2829 Juni 2008 Makmun dan Abdurahman, 2003. Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Terhadap Konsumsi Listrik dan Pendapatan Masyarakat. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2 Desember 2003. PLN, 2007. Annual Report 2006. Corporate Secretary of PT PLN (Persero), www. pln.co.id, diakses 7 Juli 2008. Prijambodo, Bambang, 2008. “Dampak Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia Terhadap Stabilitas Dan Pertumbuhan
Ekonomi Nasional”. Disampaikan pada acara Round Table Discussion Diselenggarakan oleh National Legislative Strengthening Program The Asia Foundation, Jakarta, 8 Januari 2008. Rakhmanto, Pri Agung, 2008. Catatan Awal tahun LP3ES: Ekonomi Politik Energi Indonesia tahun 2008. disampaikan pada Catatan Awal Tahun LP3ES, Jakarta, 8 Januari 2008. Reuters, dkk. 2008. “Harga Minyak 135 Dollar AS”. Kompas, 23 Mei 2008. Sunarsip, 2008. “Hedge Funds dan Krisis Global”. Republika, 28 Juni 2008. Waiquamdee, Atchana. 2008. “What is to be done? Coping with oil price risk: A Case of Thailand”. For Global International Finance Forum on Oil Price Volatility, Economic Impact, and Financial Management: RiskManagement Experience, Best Practice and Outlook, Washington D.C. March 10, 2008.
*****
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
28
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Krisis P angan “Silent T sunami” Pangan Tsunami” dan P elajaran Bagi Indonesia Pelajaran Abdul Manap Pulungan1
Abstract The food crisis gives a teaching for Indonesia how much important an agriculture sector. It will appear in Indonesia if agriculture sector is not a priority. Agriculture problems still focus in harvested area, institutions access, subsidy, infrastructures and climate factor. These problems will explain in this paper. Moreover, this paper also will describe a developing agriculture sector and challenges in food security in Indonesia. Keywords : food crisis, agriculture sector, harvested area, institutions access, subsidy, infrastructures, climate factor, food security
1 Abdul Manap Pulungan adalah peneliti INDEF
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
59
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
1.
Latar Belakang
Adalah Thomas Robert Malthus, ekonom sejak abad ke-18 mengkhawatirkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan pertumbuhan makanan. Pemikirannya terfokus pada pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan makanan yang mengikuti deret hitung. Kekhawatiran ekonom klasik ini mulai terbukti, dengan gambaran ekonomi global yang terus didera kelangkaan komoditas pangan yang mendorong kenaikan harga. Diawali dari pergerakan harga minyak mentah yang terus melejit, mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 138,54 dollar per barrel (5 Juni 2008) -sempat menyentuh US$ 139,12 per barrel-, sampai kenaikan harga komoditas pangan sebagai efek bawaan dari kenaikan harga minyak. Jika mengamati kondisi seperti ini, maka semua akan sejalan dengan ungkapan Henry Kissinger -38 tahun lalu-”siapa yang menguasai minyak, ia akan mengendalikan banyak negara dalam cengkramannya dan siapa yang menguasai pangan, ia yang akan mengendalikan orang” Krisis pangan layaknya ’silent tsunami’ yang siap menggulung siapa saja dan bisa mengakhiri peradaban manusia. Kejadian awal telah muncul di Haiti dimana kaum miskin berdemo sampai mengais tumpukan sampah untuk mendapatkan sisa-sisa makanan disusul kerusuhan yang menyebabkan tewasnya sejumlah warga miskin. Tingkat kematian juga meningkat
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
akibat emosi dan perkelahian yang tidak terkendali di Mauritania, Mozambique, Senegal, Pantai Gading, dan Kamerun. Selanjutnya, kenaikan harga pangan mencekik negara-negara di dunia di Afrika sebelah selatan sampai sub-Sahara di utara. Kondisi yang sama juga menghampiri Meksiko sampai Brazil di jajar selatan benua Amerika, dan Mesir sampai Suriah di Timur Tengah, Pakistan sampai Bangladesh di lintang selatan Asia (Jafar, 2008). Krisis pangan akan semakin serius karena ancaman kegagalan panen di 33 negara yakni 21 di Afrika (Lesotho, Somalia, Swaziland, Zimbambwe, Eritrea, Liberia, Mauritania, Sierra Leone, Burundi, Central Africam Republic, Chad, Congo, Cote d’Luoire, Ethiopia, Ghana, Guinea, Bissao, Kenya, Sudan dan Uganda), 10 di Asia (Irak, Afganistan, Korea, Bangladesh, China, Nepal, Sri Langka, Tajikistan, Timor Leste, Vietnam), 5 di Amerika Latin (Bolivia, Republic Cominican, Ekuator, Haiti, Nikaragua) dan 1 di Eropa (Moldova) [Media Indonesia, 2008]. Selain itu, kondisi tersebut diperburuk oleh penurunan produksi pangan di China karena terjadinya banjir di sentral produksi beras. Sejak 1999/ 2000 FAO menjelaskan gejala krisis pangan dunia telah muncul karena menurunnya stok biji-bijian dunia. Stok biji-bijian dunia hampir defisit tujuh periode yakni 2000, 2002, 2003, 2004, 2006 dan 2007 serta diprediksi pada 2008 (Kompas, 2008). Menurut FAO, walaupun produksi pangan dunia meningkat dari 2006-2008
60
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
yakni 2012 juta, 2108 juta dan 2164 juta (prediksi) –merupakan kontribusi Asia, Eropa, dan Amerika Tengah sedangkan Afrika, Amerika Selatan, Oceania dan Amerika Utara mengalami kegagalan produksi pangan- tetapi keadaan tersebut masih meninggalkan kekhawatiran karena stok pangan (sereal) dunia terus menurun. Tercatat, stok pangan dunia menurun menjadi 405 juta ton atau turun 21 juta dan merupakan angka terendah sejak 25 tahun terakhir. Pada kondisi ini rasio antara stok dan konsumsi sereal menjadi 18,8 persen atau turun 6 persen dari tahun sebelumnya (Prasetyo, 2008). Disisi lain, ancaman kelaparan juga melanda kawasan Pasifik karena mengabaikan sektor pertanian. Kawasan ini terbuai akan murahnya tarif impor sehingga pemenuhan pangan tergantung pada kran impor. Kebergantungan yang terlalu tinggi menyebabkan kesulitan besar ketika sejumlah negara produsen pangan membatasi ekspor pangan guna memenuhi kuota dalam negeri. Akibatnya, kenaikan harga pangan pun melebihi 50 persen di kawasan tersebut. Kenaikan harga pangan di Fiji misalnya, telah menyedot penghasilan masyarakat miskin hingga 50-65 persen, sedangkan orang kaya sekitar 20 persen. Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB) setidaknya kenaikan harga pangan yang terjadi telah mendorong lima persen keluarga berpendapatan kecil di Pasifik masuk dalam golongan melarat (Republika, 2008).
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Selain sejumlah kawasan yang dikemukakan, lonjakan harga pangan dunia juga menyebabkan kenaikan harga pangan di beberapa negara, tetapi dalam porsi yang berbeda, tergantung kondisi fundalmental setiap perekonomian (Tabel 1). Untuk komoditas beras Bangladesh dan Kamboja mengalami kenaikan tertinggi diikuti Afghanistan, sedangkan China menempati posisi terendah disusul Indonesia yang naik masing-masing US$ 6 dan US$ 8,7. Kenaikan tertinggi pada komoditas gandum dialami Kirgizstan dan Tajikistan naik masing-masing US$ 100, sedangkan India malah mengalami penurunan harga US$ 2,5. Pada komoditas daging, dari data lima negara tercatat Bangladesh mengalami kenaikan tertinggi diikuti Tajikistan masingmasing US$ 60 persen dan US$ 50. Dana Moneter Internasional (IMF) mengemukakan beberapa faktor yang memicu krisis pangan, (i) lonjakan harga minyak mentah yang mendorong naiknya biaya tranportasi dan saranan produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida (ii) tingginya permintaan pangan dari negara berkembang (khususnya China dan India), (iii) munculnya program biofuel (iv) faktor cuaca yang memicu gagal panen dibeberapa negara, (vi) pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan (vii) dari sisi finansial, dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar dollar AS, penurunan suku bunga di negaranegara maju, dan bergesernya motif spekulasi dari instrumen pasar uang ke pasar
61
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 1. Pengaruh Kenaikan Harga Pangan Dunia pada Beberapa Negara Maret 2007-Maret 2008 (US$ ) Negara Afghanistan Bangladesh Kamboja China India Indonesia Kirgizstan Mongolia Nepal Pakistan Filipina Sri Lanka Tajikistan Vietnam
Beras 70 100 100 6 9,3 8,7
Gandum 16 74 45 7,2 -2,5
Daging 30 60
100 40 20 60 40 55
36 100
38 30 50
17
Sumber : ADB (dalam Media Indonesia, 2008)
komoditas dan terus diikuti oleh penimbunan bahan pangan sehingga harga komoditas semakin melonjak [Samhadi, 2008], (vii) krisis subprime mortage di Amerika Serikat yang memicu aksi spekulasi investasi jangka pendek (short term investment) dan berujung pada pengalihan modal dari pasar finansial ke bursa komoditas. Di awal motifnya para spekulan tidak langsung terlibat di pasar komoditas tetapi bermain di pasar indeks komoditas (commodity index market) (Pratomo, 2008). Harga minyak misalnya, merujuk data historis, kenaikan harga emas hitam ini sudah terjadi sejak 2001, tetapi masih turun pada 2003 sebesar 5,39 persen. Kenaikan tertinggi terjadi pada 2004 sebesar 90,16 persen, mengangkat harga minyak ke level US$ 36,7
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
per barrel. Namun, lonjakan harga pada awal tahun 2008 sontak menjadi shock besar bagi perekonomian global. Harga minyak dunia meroket dari rata-rata US$ 72 per barrel (2007) menjadi US$ 100 per barrel (awal 2008) karena desakan geopolitik di Nigeria dan Pakistan, pengaruh penurunan perekonomian Amerika Serikat maupun penurunan produksi (Bank Indonesia, 2008). Departemen energi Amerika Serikat (US Department of Energy) menjelaskan bahwa konsumsi energi dunia memiliki tendensi peningkatan hingga tahun 2030. Departemen tersebut menguraikan bahwa permintaan minyak untuk negara bukan anggota organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) naik sekitar 57 persen dan untuk negara-negara
62
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
anggota OECD naik sekitar 24 persen. Menghadapi harga dan kelangkaan minyak, banyak negara yang mencoba mencari subsitusinya yakni biofuel. Brazil, Amerika Serikat, China, India, Malaysia dan Singapura telah memiliki rencana matang untuk memulai proyek pengadaan biofuel. Amerika Serikat akan memproduksi 35 miliar galon pada tahun 2017 sedangkan China dan India masing-masing 15 persen dan 20 persen pada tahun 2020 dari total produksi1. Kenaikan harga dan kelangkaan minyak yang direspon dengan biofuel akan terus menekan harga komoditas pangan internasional dan berujung kepada krisis pangan dunia yang semakin menjadi-jadi. Friends of The Earth Eropa mengemukakan, program tersebut sontak mendongkrak harga pangan hingga 30 persen. Ditambahkan lagi, program tersebut akan menyedotkan hampir 20 persen dari total minyak sayur dunia. Data terbaru menyebutkan, harga jagung, kedelai, gandum, beras untuk pengiriman Juli telah mengalami peningkatan signifikan. Jagung meningkat 0,9 persen menjadi 6,4925 per lot. Menurut FAO, harga komoditas ini telah mengalami kenaikan 73 persen dalam setahun terakhir. Kedelai naik 0,7 persen menjadi US$ 14,6275 per lot yang merupakan level tertinggi sejak Mei 2008.
1
Ibid Prasetyo, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Komoditas ini sempat menyentuh harga US$ 15,865 (3 Maret 2008) dan telah mengalami kenaikan 78 persen lebih tinggi 5 persen dari kenaikan harga jagung selama setahun terakhir. Harga gandum mencapai US$ 7,905 per lot, naik 4,3 persen. Kenaikan tersebut sebagai dampak spekulasi panen gandum di Kansas sebagai produsen gandum terbesar di Amerika Serikat. Demikian juga untuk komoditas beras, naik 2,3 persen sehingga menjadi US$ 19,805 per 100 ton. Setahun terakhir komoditas ini telah mengalami kenaikan 89 persen. Lonjakan harga beras juga dipicu oleh pengurangan ekspor yang dilakukan sejumlah negara produsen beras dengan dalih untuk memenuhi kuota dalam negeri seperti dilakukan Brasil, Mesir, India dan Vietnam (Investor Daily, 2008). Lonjakan harga sejumlah komoditas pada 10 tahun ke depan akan tetap naik seperti yang dipublikasikan oleh FAO. Menurut outlook 2008-2017 terbitan FAO yang dirilis OECD, harga komoditas beras dan gula masih akan naik sekitar 10 persen, gandum 20 persen, produk susu dan biji-bijian masing-masing 30 persen dan minyak nabati 50 persen. Hal ini masih terkait dengan suplai dan per mintaan komoditas yang belum seimbang, serta pengaruh iklim (Hernanda, 2008). Program biofeul yang digawangi Amerika Serikat dan Uni Eropa mendapat respon negatif dari sejumlah negara seperti Argentina, Venezuela dan Kuba serta
63
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
organisasi internasional. FAO telah melakukan pertemuan di Roma dan mengimbau agar negara-negara yang gencar dengan program biofuel-nya untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang akan ditempuh. Deklarasi tersebut juga meminta negara-negara untuk mengurangi pembatasan perdagangan komoditas pangan, mendesak mencabut larangan ekspor dan merevisi kebijakan tarif impor. Organisasi tersebut menyatakan, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam untuk menjamin bahwa produksi biofuel yang akan diperoleh setara dengan mamfaatnya. Friends of the Earth Europe menambahkan, secara moral penggunaan bahan pangan menjadi bahan energi untuk transportasi maupun kegiatan lainnya merupakan pilihan yang sangat keliru dan tidak manusiawi, ditengah-tengah kelaparan yang semakin merajalela. Kebijakan yang terus bersikeras untuk memproduksi biofuel akan berdampak terhadap penurunan produksi komoditas pangan karena komoditas tersebut akan cenderung ditinggalkan dan diganti dengan tanaman penghasil ethanol. Disamping itu, Arifin (2008) mengemukakan faktor iklim memberikan andil besar akan kondisi kekurangan pangan. Merujuk kepada laporan Intergovernmental Panel on Climate Change, penurunan produksi pangan juga disebabkan oleh perubahan. Lebih lanjut dijelaskan, setiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius akan menurunkan produksi pertanian China dan Bangladesh Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
sebesar 30 persen pada 2050. Laporan tersebut juga memaparkan, jika laju emisi karbon stabil pada tingkat saat ini maka suhu permukaan bumi masih akan naik 2-5 derajat celsius sampai mencapai keseimbangan. Namun, jika terjadi peningkatan emisi maka akan menaikkan suhu antara 3-10 derajat celsius dan akan terus memengaruhi produksi tanaman pangan. Selain itu, Pakar iklim Australia dan Amerika Serikat menyebutkan pemenuhan pangan dunia akan terganggu karena semakin naiknya suhu air laut. Kondisi ini akan menenggelamkan pulaupulau kecil. Ilmuan tersebut menjelaskan setidaknya seluruh daratan dunia telah mengalami kenaikan suku antara satu hingga tiga derajat celsius. Kenaikan suhu ini akan menyebabkan melelehnya es di kutub. Disisi lain, peneliti tersebut juga menjelaskan bahwa rata-rata gelombang air laut di seluruh dunia telah mencapai 7 meter karena mencairnya gumpalan es di Greenland. Kondisi ini akan mengancam peradaban dunia karena akan terjadi kekurangan pasokan makanan karena terendamnya daratan disebagian belahan dunia (Media Indonesia, 2008)
2.
Ancaman Krisis Pangan di Indonesia
Krisis pangan dunia memberikan pelajaran kepada Indonesia akan pentingnya sektor pertanian. Jika dikelola
64
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
dengan baik maka sektor ini akan menyumbang windfall yang tidak sedikit, sama halnya negara-negara Timur Tengah sebagai dampak kenaikan harga minyak. Walaupun tidak masuk dalam kategori negara yang rawan pangan -dikeluarkan FAO- tetapi berbagai keadaan akan dapat menjerat dan menjeruskan Indonesia dalam krisis pangan yang lebih parah. Kerawanan pangan bukan saja tergambar dari kekurangan produksi pertanian atau tanamaman pangan. Lebih dari itu, kerawanan pangan memiliki masalah multidimensional mencakup masalah pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, kehutanan, dan prasarana fisik. Kerawanan pangan dibagi menjadi dua yakni kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan transien. Sunny (2007) mengemukakan penetapan kondisi rawan pangan kronis didasarkan pada sepuluh indikator yang tercakup dalam tiga aspek penting yakni (i) aspek ketersediaan pangan, tergambar dari indikator konsumsi normatif per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar (ii) aspek akses pangan dan mata pencaharian, dengan indikator persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; persentase desa tidak memiliki akses penghubung yang memadai, dan persentase penduduk tanpa akses listrik (iii) aspek kesehatan dan gizi, dengan indikator angka harapan hidup saat lahir, berat badan balita di bawah standar, perempuan buta huruf; angka kematian bayi, persentase penduduk tanpa akses ke air bersih dan persentase penduduk yang tinggal Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
lebih dari 5 km dari puskesmas. Sedangkan kerawanan pangan transien adalah keadaan kerawanan pangan disebabkan kondisi tidak terduga karena datangnya berbagai musibah, bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak. Indikator untuk kerawanan pangan transien adalah (1) persentase daerah tak berhutan, (2) daerah puso, (3) daerah rawan longsor dan banjir serta (4) fluktuasi/ penyimpangan curah hujan. Ide penurunan kerawanan pangan bermula dari Deklarasi World Food Summit 1996 di Roma ketika munculnya kesepakatan negara-negara peserta untuk menurunkan kerawanan pangan dunia hingga separuhnya pada 2015. Jumlah indikator kerawanan pangan untuk setiap negara cukup berbeda walaupun pada awal telah distandarisasikan. Misalnya, India menggunakan 21 indikator sedangkan Indonesia lebih sedikit yakni 15 indikator. Kerawanan pangan bukan hanya terjadi di daerah yang produksi pangannya sedikit tetapi kemungkinan kerawanan pangan juga dapat terjadi di daerah surplus. Hal tersebut terjadi ketika rendahnya tingkat pendidikan penduduknya sehingga pemanfaatan sumber pangan tidak maksimal. Selain itu, kasus kerawanan pangan juga terjadi di beberapa daerah yang produksi surplus pangan namun sebagian besar penduduknya tidak bekerja, walaupun bekerja dalam jumlah jam kerja yang minim. Hal tersebut berdampak memenuhi asupan gizi (Martoyo, 2008). 65
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Contoh kasusnya adalah pada pemetaan Deptan 2002, disimpulkan empat kelompok kabupaten yang memiliki proporsi rawan pangan paling tinggi. Keempat kelompok tersebut tersebar masing-masing dua kabupaten di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kabupaten di Jawa Timur tersebut adalah Madura dan bagian tenggara Jawa Timur, padahal kedua kabupaten tersebut merupakan daerah surplus pangan. Kerawanan pangan di Madura disebabkan tingginya persentase penduduk miskin, perempuan buta huruf, rendahnya umur harapan hidup, tingginya persentase anak balita yang kurang gizi, rendahnya akses air bersih, dan kurangnya wilayah yang masih berhutan. Selain Madura, kabupaten lainnya adalah Bondowoso, Probolinggo, dan Situbondo yang disebabkan tingginya proporsi penduduk yang tidak mendapat kesempatan kerja yang cukup. Disamping itu, kabupten tersebut diwarnai oleh tingginya tingkat perempuan buta huruf, relatif rendahnya harapan hidup, relatif tingginya gizi buruk, minimnya jumlah dokter dan pelayanan kesehatan serta tingginya degradasi lahan. Lain halnya dengan Sidoarjo, yang merupakan salah satu kabupaten defisit pangan, tetapi tidak masuk dalam kategori rawan pangan karena terkompensasi oleh kegiatan ekonomi yang tinggi. Implikasinya, penduduknya relatif sejahtera dibanding daerah lainnya. Kegiatan perekonomian yang relatif baik berpengaruh signifikan pada penyediaan Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
fasilitas kesehatan, penyediaan air bersih, dan tingkat kesehatan balita [Kompas, 2008]. Selain itu, Arifin (2006) juga memetakan indikator kerawanan pangan lainnya seperti (i) tinggi rendahnya proporsi penduduk yang kekurangan pangan (ii) tingkat kekurangan energi/protein dari rata-rata kebutuhan energi/protein yang disyaratkan (food gap) (iii) besarnya indeks gini dari food gap konsumsi energi/protein (iv) besarnya koefisien variasi konsumsi/energi. Dengan kriteria tersebut, Indonesia masih rawan akan krisis pangan. Fadil dan Yustika (2008) menjelaskan bahwa kerawanan tersebut tergambar dari tingginya proporsi penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi kalori kurang dari 2,150 kilo kalori (kkal) mencapai 56 persen serta proporsi penduduk dengan konsumsi protein kurang dari 45 gram mencapai 8 persen. Disisi lain, indeks gini food gap konsumsi energi dan protein tercatat 0,36 dan 0,39; koefisien variasi konsumsi energi dan protein mencapai 28 persen dan 34 persen. Selain itu, konsumsi energi juga masih relatif rendah. Jumlah energi yang dikonsumsi baru 1994 kkal/kapita/hari atau naik 5 kkal/kapita/hari dari 2005, yang angka tersebut masih di bawah rekomendasi WKNPG VIII. Arifin menambahkan kerawanan pangan nasional juga tergambar dari ketidakmerataan akses terhadap pangan. Hal tersebut teridentifikasi dari peta kerawanan pangan (food security atlas) yang menempatkan 40 kabupaten dari 265 kabupaten berada dalam kategori agak rawan, 30 kabupaten
66
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
lainnya masuk kategori daerah rawan pangan dan 30 kabupaten dalam kategori sangat rawan pangan. Food Security Atlas menggambarkan situasi sebaran pangan di 30 provinsi Indonesia, termasuk 100 kabupaten yang masuk dalam kategori rawan pangan utama. Peta kerawanan pangan diharapkan menjadi sumber informasi akan keberadaan kantongkantong rawan pangan dan gizi di seluruh Indonesia.
3.
dominasi sektor industri pengolahan, padahal sektor pertanian tumpuan bagi lebih dari 40 persen penduduk Indonesia (Tabel 2). Secara keseluruhan pada 2007, sektor pertanian masih menjadi lahan penting bagi 42,60 juta penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, angka tersebut menurun dibandingkan tahun 2000. Tahun 2000 sektor ini masih mampu menyerap 45,3 persen dari total pekerja, menurun 3,3 persen (yoy) pada 2001. Peningkatan terjadi pada 2003 yakni naik 4,51 persen menjadi 46,3 persen. Pada 2005-2006 penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian masih di atas 40 persen dan pada 2007 sebesar 43,7 persen atau turun 1,79 persen (yoy).
Kondisi Pertanian Indonesia
Mengamati perekonomian nasional akan disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan haluan pembangunan dari dominasi sektor pertanian menjadi
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Lapangan Kerja Utama Tahun 2007 (Jiwa kecuali %) Lapangan Kerja Utama Pertanian Perdagangan Industri Jasa lainnya Angkutan Bangunan Keungan Pertambangan Listrik, Gas dan Air Total
Laki-laki (lk) 26.790.684 10.38.944 7.212.380 6.211.675 5.311.880 4.268.154 850.662 886.818 230.085
Jenis Kelamin % Perempuan (lk/totallk) (pr) 43,11 15.818.076 16,72 9.036.326 11,60 4.881.687 9,99 4.750.677 8,55 263.619 6,87 128.978 1,37 401.533 1,43 133.989 0,37 16.974
62.151.282
35.431.859
Jumlah %(pr/totalpr) 44,64 25,50 13,78 13,41 0,74 0,36 1,13 0,38 0,05
42.608.760 19.425.270 12.094.067 10.962.352 5.575.499 4.397.132 1.252.195 1.020.807 247.059 97.583.141
Sumber : Diolah dari BPS
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
67
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Sektor pertanian juga berkontribusi signifikan terhadap PDB. Data Bank Indonesia (2007) menunjukkan, rata-rata kontribusi sektor pertanian pada periode 1997-2007 sebesar 15,54 persen sedikit di bawah sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 15,64 persen. Secara historis, sejak 1968 kontribusi sektor pertanian mencapai 51 persen, sedangkan industri pengolahan hanya 8,5 persen. Sejak 1988-1993, struktur perekonomian Indonesia berubah sehingga dominasi sektor pertanian disalip industri pengolahan. Kondisi tersebut semakin
dramatis karena sejak tahun 1993, kontribusi sektor pertanian terus berada di bawah industri pengolahan. Sejak krisis ekonomi 1998, sektor pertanian hanya berkontribusi 17,98 persen terhadap PDB. Kontribusi sektor pertanian terus menurun pada 2005, dimana sektor pertanian hanya mampu berkontribusi 12,4 persen sedangkan industri pengolahan 27,41 persen. Keadaan tersebut terus berlanjut pada 2006, dimana sektor pertanian hanya berkontribusi 12,97 persen atau turun 0,16 persen dan pada 2007 sebesar 13,83 persen atau naik 0,86 persen (yoy) (Tabel 3).
Tabel 3. Kontribusi Ekonomi Sektoral terhadap PDB 1997-2007 (Persen) Sekor Ekonomi
1997
2003
2004
2005
2006
2007
Rata-rata 97-07
Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa
16,09
15,02
14,34
13,13
12,97
13,83
15,54
8,85 26,79
8,23 29,05
8,94 28,07
11,14 27,41
10,97 27,54
11,14 27,01
10,64 27,73
1,25 7,44
0,94 6,15
1,03 6,59
0,96 7,03
0,91 7,52
0,88 7,71
1,04 6,51
15,86
16,46
16,05
15,56
15,02
14,93
15,64
6,14
5,84
6,20
6,51
6,94
6,70
5,82
8,66 8,92
8,55 9,76
8,47 10,32
8,31 9,96
8,06 10,07
7,71 10,09
7,61 9,48
Sumber : Diolah dari Bank Indonesia, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
68
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Pertanian Indonesia masih dibayangbayangi masalah klasik seperti luas lahan, akses kelembagaan, kelangkaan pupuk, namun bukan menjadi masalah yang mudah untuk diselesaikan. A. Luas Lahan Luas lahan yang cenderung menurun karena konversi lahan yang terus terjadi. Jika diperhitungkan luas daratan Indonesia setelah direduksi hutan lindung, hutan produksi, pemukiman, industri- tidak memenuhi untuk menanam sejumlah komoditas pangan, yang kebutuhannya terus meningkat. Luas lahan pertanian akan terus berkurang karena alih fungsi lahan beririgasi yang mencapai 80.000 hektar per tahun. Disisi lain kemampuan cetak sawah nasional juga semakin sulit karena dorongan sektor industri dan ancaman pemanasan global (Apriyantono, 2008). Berdasarkan data BPS, setidaknya konversi lahan pertanian dalam tiga tahun terakhir (setelah 2004) mencapai 187.720 hektar per tahun. BPS merinci alih fungsi ke nonpertanian mencapai 110.164 hektar dan lahan kering pertanian ke nonpertanian 9.152 hektar per tahun (Herlianto, 2008). Dengan luas lahan tersebut, Indonesia masih dihadapkan pada produktivitas lahan yang semakin rendah. Diantara negara-negara produsen beras, produktivitas lahan Indonesia yang paling rendah. India mampu menghasilkan 3,28 ton per hektar, Bangladesh 3,7 ton per hektar, China 4,29 ton per hektar, dan Indonesia 2,88 ton per Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
hektar (Herbawati, 2008). Pratomo (2008) menambahkan ketidakjelasan penanganan konversi lahan pertanian menjadi pabrik, perumahan, yang nilai lahan tersebut akan lebih menjanjikan sebagai lahan produksi komoditas pangan. Hal ini diperburuk dengan ketersediaan dan kualitas infrastruktur pertanian seperti irigasi yang menjadi hidupmatinya sektor pertanian.
B. Akses Kelembagaan Permasalahan akses kelembagaan masih dipengaruhi minimnya informasi dan buruknya komunikasi antara sektor pertanian dan lembaga keuangan. Arifin (2006) menjelaskan, kondisi ini terjadi karena kurang aktifnya pelaku bisnis sektor pertanian untuk menyampaikan peluang bisnis dan prospek usaha kepada sektor pembiayaan. Akibatnya, sektor pertanian cenderung tersisih dibandingkan dengan sektor lainnya seperti jasa, perdagangan maupun perindustrian. Hal ini diperparah dengan kurangnya pemahaman sektor pembiayaan terhadap prospek sektor pertanian sehingga munculnya anggapan bahwa sektor pertanian merupakan sektor high risk yang tergantung pada musim maupun jaminan harga yang tidak pasti. Berbagai hal tersebut berujung pada minimnya dana yang tersalur pada sektor tersebut. Lebih lanjut, peta penyaluran kredit perbankan pada berbagai sektor perekonomian ditampilkan pada Tabel 4 berikut ini. 69
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 4. Penyaluran Kredit Sektoral (2000-2008)*)
2000 12,21
2001 8,91
2002 8,98
2003 8,22
2004 8,05
2005 8,05
2006 7,66
2007 7,74
2008 7,73
Rata2 00-08 10,56
Pertambangan
2,51
3,24
2,98
2,35
1,65
2,15
1,59
2,60
3,49
2,88
Perindustrian
42,88
48,42
46,96
42,17
36,35
35,34
34,57
32,38
29,02
45,65
Perdagangan
21,21
19,03
20,35
24,57
26,18
27,49
28,46
29,24
29,21
20,12
Jasa-jasa**)
21,19
20,40
20,73
22,69
27,76
26,97
27,72
28,04
30,55
20,80
Pertanian
Sumber : Diolah dari Bank, 2008 *) data per Januari-April disetiap tahun **) termasuk jasa-jasa listrik, gas, air, kontruksi, pengangkutan, jasa dunia usaha, jasa sosial masyarakat, jasa lain-lain
Sektor pertanian hanya memperoleh alokasi kredit rata-rata 10,56 persen jauh di bawah sektor lain. Sektor perindustian menjadi fokus penyaluran kredit dengan angka fantastik rata-rata sebesar 45,65 persen. Minimnya penyaluran kredit kepada sektor pertanian disebabkan sulit dan banyaknya persyaratan kredit yang diajukan pihak perbankan sehingga petani cenderung tidak memamfaatkan keberadaan lembaga pembiayaan, walaupun dengan bunga relatif lebih ringan. Arifin menambahkan permasalahan lainnya adalah munculnya persepsi bahwa petani-petani kecil -yang luas lahan kurang dari 0,5ha- tidak akan mampu menawarkan keuntungan yang lebih besar. Sebagai lembaga keuangan yang profit oriented, pihak perbankan tentunya akan memetakan sektor produktif dan yang menurut persepsi mereka belum dimiliki oleh sektor pertanian.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
C. Subsidi Kredit yang relatif kecil juga diikuti oleh minimnya subsidi pemerintah ke sektor pertanian. Dengan angka subsidi yang terbatas, penyalurannya juga dihantui oleh penyelewengan. Situmorang (2008) mengemukakan hampir 30 persen anggaran subsidi sektor pertanian tidak tepat sasaran karena penyelewengan serta pola distribusi yang tidak melibatkan petani. Penyelewengan tersebut terindetifikasi khusus subsidi pupuk- dari perbedaan harga yang ditetapkan oleh pemerintah dengan harga pasar yang dapat berbeda antara 200 hingga 800 rupiah/kg. Selain itu, subsidi yang diberikan pemerintah menjadi ajang bagi para pedagang untuk meraup keuntungan. Lebih lanjut, perkembangan subdisi ditampilkan pada Tabel 5 berikut ini.
70
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 5. Perkembangan Subsidi Pemerintah (Miliar Rupiah kecuali
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
TS
R
S
BBM
R
S
30828 66269 41586 25465 26362 119089 107628 105073 234405
59726 81575 40006 43885 69854 120708 107410 150214 -
28.898 15306 -1580 18.420 43492 1619 -218 45141 -
22462 53774 30377 13210 14527 89194 64212 55604 187107,8
51135 68381 31162 30038 59179 95661 64212 83792 -
-14607 -785 -16828 -44652 -6467 0 -28188
Non BBM*) 8366 12495 11209 12255 10995 23643 43416 49469 47297,2
)
R
S
8590 13194 8845 9901 10675 18847 43198 49308 -
224 699 -2364 -2354 -320 -4796 -218 -161 -
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia, 2008 TS : Total Subsidi R : Realisasi S : Selisih (Angka negatif pada selisih berarti APBN (Total Subsidi) > Realisasi, dan sebaliknya) *) termasuk subsidi pupuk, subsidi pangan, subsidi bunga kredit program, dan subsidi lainnya
Periode 2000-2008 subsidi pemerintah lebih didominasi oleh BBM (70,91 persen) sedangkan non BBM hanya sekitar 29,09 persen. Jika dikomparasikan dengan China dan India, subsidi pupuk Indonesia saat ini relatif lebih rendah. Di India, anggaran subsidi pupuk mencapai US$ 22,5 miliar per tahun naik dari US$ 9,25 miliar. Selain itu, seluruh petani tanaman pangan mendapatkan kupon pengambilan pupuk secara periodik. Lain halnya dengan China, subsidi diberikan kepada petani sebesar 3 juta rupiah per hektar di samping memproteksi ketersediaan pupuk domestik dengan menaikkan pajak eskpor 100 persen hingga 135 persen2. Subsidi yang relatif kecil diperparah dengan rencana
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
pengurangan subsidi Non BBM yang akan terjadi pada 2009 (Tabel 6.). Pengurangan subsidi non BBM dan listrik kembali mengundang pertanyaan akan keberpihakan pemerintah kepada sektor-sektor perekonomian khususnya sektor pertanian. Pengurangan subsidi mencapai 42,24 persen ini akan terus mempersulit sektor-sektor perekonomian. Walaupun ada indikasi peningkatan subsidi pupuk dan pangan namun proporsi dana tersebut relatif kecil untuk kondisi saat ini.
1
Ibid, Herbawati, 2008
71
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 6. Nilai Subsidi pada RAPBN 2009 (Triliun Rupiah) Jenis Subsidi
2006
2007
APBN P 2008
RAPBN 2009
Non BBM dan listrik 1. Pupuk 2. Pangan 3. Bunga kredit program Lain-lain Benih Minyak goreng (melalui operasi pasar) Bahan baku kedelai Subsidi pajak Pso
13,65 2,98 5,57 0,32 4,78
16,31 6,98 6,58 1,64 1,1
47,2 7,81 8,58 2,15 1,02 0,5 0,5 25 1,73
27,26 10,75 10,81 3,08 0,904 1,72
Sumber : Bisnis Indonesia, Mei 2008
D. Pupuk Masalah kelangkaan pupuk juga sering terjadi. Banyak yang menyebabkan kondisi ini, mulai penumpukan oleh pedagang sampai penyeludupan ke luar negeri. Penyeludupan terjadi karena terjadinya disparitas harga. Dengan kualitas pupuk yang lebih baik dibanding Vietnam dan Malaysia, pelaku akan memperoleh revenue yang tidak sedikit. Disisi lain, lemahnya pengawasan distribusi pupuk berujung pada mudahnya penyeludupan dilakukan. Kontras dengan Indonesia, dengan disparitas harga yang tinggi penyeludupan pupuk jarang terjadi di Jepang karena regulasi yang ketat. Kelangkaan pupuk di daerah tertentu dipengaruhi oleh kenakalan pedagang yang menjual pupuk ke daerah lain sehingga terjadi kekurangan stok, seperti terjadi di Banyumas, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
dimana pupuk SP 36 ’menghilang’ karena naiknya harganya di atas harga eceran tertinggi (HET). Kondisi lain juga terjadi di Kediri, dimana terjadi penimbunan pupuk jenis ZA sebanyak 2.263 ton, SP 36 101,65 ton dan Phonska 50 mencapai 207,5 ton, sedangkan di lokasi lain -tetap di Kediriditemukan penimbunan lebih 1300 ton pupuk urea. Kondisi kekurangan pupuk dimamfaatkan oleh sebagian pupuk dengan mengalurkan pupuk palsu. Pada beberapa daerah masih memiliki stok pupuk namun dengan harga yang cukup tinggi, yang cenderung tidak terjangkau petani. Berbagai kendala penyediaan pupuk tersebut menyebabkan enggannya investor masuk dalam bisnis pertanian maupun perkebunan, padahal menurut Pratomo dana investor sangatlah dibutuhkan untuk revitalisasi pertanian yang sedang digalakkan pemerintah (Kompas, 2008).
72
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 7. Produksi PT. Pusri 2005-2006 (Ton)
PT. Pupuk Sriwidjaja Amoniak Urea PT. Petrokimia Gresik Amoniak Urea ZA SP-36/TSP Phonska DAP NPK ZK PT. Pupuk Kujang Amoniak Urea PT. Pupuk Kalimantan Timur Amoniak Urea PT. Pupuk Iskandar Muda Amoniak Urea
2005
2006
1332050 2045860
1349970 2051250
1,35 0,26
383857 404364 644320 819704 276875 6796 56275 3975
1328589 331677 631645 647868 415506 0 81184 4701
246,12 -17,98 -1,97 -20,96 50,07 -100,00 44,26 18,26
354677 537563
540197 851579
52,31 58,41
1866683 2665021
1618191 2214961
-13,31 -16,89
72155 195847
147299 205225
104,14 4,79
Sumber : Bisnis Indonesia, 2008
Kelangkaan pupuk bukan saja disebabkan ulah pedagang tetapi juga dipengaruhi oleh moderatnya produksi pupuk nasional. Setidaknya ada lima perusahaan yang beroperasi dalam bisnis pupuk tetapi selama beberapa periode mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi terjadi karena keterbatasan dan keterlambatan pasokan gas sebagai bahan baku utama industri pupuk. Dilain hal, biaya bahan baku pupuk -amoniak dan fospatBisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
dunia turut naik yang menyebabkan Harga Pokok Penjualan (HPP) pupuk domestik terdorong naik. Dengan kenaikan harga bahan baku amoniak 115 persen menjadi 475 dolar AS (Juni, 2008) menyebabkan naiknya harga pupuk internasional mencapai 434 dolar AS. Produksi pupuk amoniak PT. Pupuk Sriwidjaja pada 2006 hanya naik sebesar 1,35 persen (yoy) sedangkan urea naik 0,26 persen
73
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Pembangunan pabrik baru PT. Pupuk Kalimantan yang memproduksi NPK super diharapkan menjadi sinyal baik bagi pemenuhan pupuk di tanah air. Produsen pupuk tersebut akan memproduksi 200.000 ton per tahun dengan nilai investasi 14,8 juta dolar US dan direncanakan selesai Triwulan III-2009. Pembanguan ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk tunggal (urea) yang selama ini terus digunakan. Seperti dijelaskan disebelumnya, pemerintah memberikan subsidi pupuk kepada petani. Pada 2007, terjadi penurunan realisasi pupuk bersubdisi dibandingkan 2006 (Tabel 8.).
(yoy) sehingga masing-masing menjadi 1,34 juta ton dan 2,05 juta ton. Pertumbuhan produksi amoniak diperoleh PT. Petrokimia Gresik sebesar 246,12 persen namun dalam kapasitas di bawah PT. Pupuk Sriwidjaja, sedangkan untuk urea menurun 17,98 persen. Selanjutnya, produksi amoniak PT. Pupuk Kujang dan PT. Pupuk Iskandar Muda masing-masing naik 52,31 persen dan 104,14 persen, sedangkan PT. Pupuk Kalimantan Timur turun 13,31 persen. Dari sisi produksi urea, PT. Pupuk Kujang dan PT. Pupuk Iskandar Muda masing-masing naik 58,41 persen dan 4,79 persen sedangkan PT. Pupuk Kalimantan Timur turun 16,89 persen. Secara keseluruhan produksi amoniak hanya tumbuh rata-rata 78,11 persen dengan kontributor utama adalah PT. Petrokimia Gresik, sedangkan urea hanya tumbuh rata-rata 5,72 persen dengan kontributor utama adalah PT. Pupuk Sriwidjaja.
Tahun 2006 secara keseluruhan penyaluran pupuk bersubsidi mencapai di atas 92,15-100,58 persen. Urea merupakan jenis pupuk dengan realisasi terkecil pada 2006 sedangkan tertinggi SP 36. Berbeda dengan 2006, pada 2007 realisasi penyaluran pupuk bersubsidi relatif lebih rendah hanya berkisar 68-78 persen.
Tabel 8. Penyaluran Pupuk Bersubsidi 2006-2007 (Ton) Jenis Pupuk
2006
2007
Rencana (a)
Realisasi (b)
(%b/a)
Rencana (c)
Realisasi (d)
(%d/c)
Urea
4.300.000
3.962.404
92,15
4.300.000
3.196.176
74,33
NPK
400.000
399.970
99,99
700.000
477.235
68,18
SP 36
700.000
711.081
101,58
800.000
642.409
80,30
ZA
600.000
600.972
100,16
700.000
547.366
78,20
Sumber : Departemen Pertanian, Statistik Pertanian dalam Pratomo, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
74
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 9. Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Beras pada 1999-2007 (Ribu Ton, Kecuali Jumlah Penduduk) Uraian Produksi GKG Produksi Beras Ekspor Impr Ketersediaan Kebutuhan Konsumsi Jumlah Penduduk Stok Akhir
1999 50866 29447 2,7 4751 34196
2000 51899 30045 1,19 1355 31399
2001 50461 29212 4,01 733 29942
2002 51490 29808 3,99 1805 31609
2003 52138 30183 0,68 1428 31610
2004 54088 31312 0,90 237 31549
2005 54151 31725 42,30 190 32629
2006 54455 31903 0,84 198 33165
2007 57049 33423 0,68 1294 35877
28375
28643
29004
29389
29716
30110
30592
30995
31398
203914 5821
205843 2756
208437 938
211206 2220
213551 1895
216382 1439
219852 2037
222747 2170
225642 4479
* Gabah Kering Giling Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, 2008
Dengan kondisi yang demikian, produksi komoditas pangan nasional (khususnya beras) relatif moderat (Tabel 9). Produksi GKG secara rata-rata hanya tumbuh 1,47 persen, sedangkan produksi beras hanya tumbuh rata-rata 1,67 persen dan stok akhir rata-rata tumbuh 16,73 persen. Tahun 2000 stok akhir beras mengalami penurunan 65,97 persen (yoy), yang merupakan penurunan terbesar selama satu dekade terakhir. Pertumbuhan produksi GKG dan beras yang cenderung moderat akan terus mengkhawatirkan ditengahtengah pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,27 (1999-2007). Jika tidak ditangani serius maka ancaman kelaparan akan menghinggapi perekonomian nasional. Selain ancaman dari komoditas beras, ancaman lain juga muncul dari berbagai
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
komoditas pangan yang tergolong pada pangan nabati karena kekurangan produksi. Beberapa komoditas tersebut adalah jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayuran, buah-buahan, dan gula. Secara keseluruhan hanya produksi beras, ubi jalar, buah-buahan, dan minyak sawit (CPO) yang surplus. Defisit tertinggi terjadi pada kedelai yang mencapai 1,189 ribu ton, disusul jagung sebesar 1,128 ribu ton. Selain komoditas pangan nabati, defisit juga terjadi pada komoditas pangan hewani seperti daging sapi, daging kerbau, daging ayam, telur, dan susu. Dari sejumlah komoditas tersebut hanya komoditas ikan yang surplus sebesar 1,264 ribu ton (Tabel 10). Dengan defisit produksi pada beberapa komoditas pangan, mendorong kenaikan harga pada beberapa komoditas tersebut diberbagai pasar di tanah air. Sur vei
75
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 10. Ketersediaan dan Kebutuhan Beberapa Komoditas Pangan Penting 1999, 2002, 2005, 2006, 2007 (Ribu Ton) Komoditas
1999 KTD KBT
I. Pangan Nabati - Beras 34196 - Jagung 8090 - Kedelai 1250 - Kacang Tanah 600 - Ubi Kayu 13990 - Ubi Jalar 1466 - Sayuran 7755 - Buah-buahan 7258 - Minyak Sawit 6301 (CPO) -Minyak Goreng 1750 -Gula 1474 II. Pangan Hewani - Daging Sapi + 355 Kerbau - Daging Ayam 602 - Telur 570 - Susu 411 - Ikan 4159
2002 KTD KBT
2005 KTD KBT
2006 KTD KBT
2007 KTD KBT
Rata2 +/-
28375 8617 2551 708 12935 1459 7900 7274 5436
31609 8500 615 642 14376 1559 6859 11226 9392
29389 9638 1981 761 14219 1546 7047 11468 6593
32629 11039 731 763 16423 1624 8738 14232 11578
30592 11170 1817 880 15892 1623 9050 14571 7013
33165 10234 677 765 16989 1632 9181 15565 13071
30995 11981 1810 931 17698 1621 9456 8802 7872
35877 11713 552 723 16108 1632 9438 17378 14378
31398 13326 1675 958 17901 1598 9865 17618 8271
3534 -1128 -1189 -163 -425 16,67 -296 947,7
1750 4588
2347 1738
2347 2710
1314 2220
1314 3474
1921 2284
1921 3202
2011 2442
2011 3543
365
370
382
394
414
437
410
461
481
603 630 984 3630
1077 863 465 4688
1077 1038 1263 4247
1119 960 505 5839
1123 1083 1643 4634
1381 1145 543 6286
1385 1094 1901 4753
1487 1215 558 6827
1512 1110 2071 4888
4274 0 -1410
-9,17 -9,83 -16,2 -1149 1264
Sumber : Badan Ketahan Pangan, Departemen Pertanian, 2008 KTD = Ketersediaan (berasal dari produksi dalam negeri, setelah dikurangi impor netto, perubahan stok, kebutuhan benih, pakan, dan tercecer, kebutuhan mencakup konsumsi
langsung
KBT = Kebutuhan
Departemen Pertanian (2007) menunjukkan cabe merah biasa, kacang tanah, beras merupakan komoditas yang mengalami kenaikan tertinggi. Secara rata-rata (20042007) komoditas tersebut masing-masing naik 20,74 persen, 20,19 persen dan 20,17 persen, sedangkan kenaikan terendah pada komoditas daging ayam ras, yang naik ratarata 6,51 persen (Tabel 11). Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah pada komoditas beras. Tabel 10 di Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
atas telah diketahui bahwa komoditas tersebut mengalami surplus produksi mencapai 3.534 ribu ton tetapi harga komoditas tersebut terus naik mencapai rata-rata sebesar 20,17 persen. Kondisi setidaknya menyiratkan terjadinya permainan pihak-pihak yang tidak pertanggung jawab seperti penumpukan maupun penguasaan pasar. Memang, selama ini perkembangan harga beras sangat dipengaruhi oleh campur tangan tengkulak dan pedagang besar. 76
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 11. Perkembangan Harga Komoditas Pangan Pokok 2004-2007*) Provinsi/Komoditi
Beras Gula Pasir (SHS-1 lokas) Gula Pasir (impor) Kacang Tanah Minyak Goreng (curah/non merk) Cabe Merah Biasa Bawang Merah Daging Sapi (murni) Daging Ayam Ras Telur Ayam
2004 Rata-rata (Rp/kg) 2828 4240 4186 7227 5285
2005 Rata-rata (Rp/kg) 3417 5517 5575 8130 4296
2006 Rata-rata (Rp/kg) 4340 6022 6105 8433 5191
2007 Rata-rata (Rp/kg) 5187 6295 6482 10877 7976
? Rt 04-07
8042 6000 34296 12319 7257
8657 7644 39527 13359 7599
8579 8860 44861 14140 7822
11559 8100 46764 14788 8978
21,19 9,41 9,75 6,51 9,75
20,17 17,33 19,68 20,74 17,47
Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, 2008 *) data median dari 6 provinsi (DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar)
Setidaknya kedua pihak ini menguasasi hampir 75 persen produksi beras dari penggilingan di Indonesia. Penguasaan ini akan mempengaruhi harga pasar yang signifikan. Pencari keuntungan ini akan menaikkan harga drastis ketika stok beras Bulog rendah maupun ketika musim paceklik tiba. Dengan harga di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) -sebesar 4.500 rupiah atau lebih mahal 200 rupiah (Juni 2008)- pemilik penggilingan dengan senang hati menjual kepada tengkulak atau pedagang besar (Situmorang, 2008). Ancaman krisis pangan semakin besar ketika tidak terprediksinya kondisi cuaca. Prakiraaan cuaca yang sering meleset
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
menyebabkan musim tanam semakin tidak jelas. Disis lain, musim kekeringan cenderung lebih lama dibanding musim penghujan yang menyebabkan lahan-lahan pertanian mengalami kekeringan. Menurut data perlindungan pangan (dalam Kompas, 2008) kekeringan bukan saja mengancam daerah Jawa tetapi Sumatera Utara dan Nanggro Aceh Darussalam (NAD) serta Sulawesi. Dijelaskan lebih lanjut, di NAD sekitar 8.606 hektar sawah mengalami kekeringan dan 1.763 hektarnya mengalami puso, sedangkan Sumatera Utara seluas 2.308 hektar dan puso 70 hektar. Selanjutnya, di Jawa Barat ditemukan seluas 2.001 hektar dan puso seluas 40 hektar. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya
77
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
ditemukan seluas 254 hektar dan tidak ditemukan puso. Selain beberapa daerah tersebut, kekeringan juga melanda Sulawesi Selatan seluas 1.137 hektar dengan puso seluas 316 hektar. Secara keseluruhan luas tanaman padi yang mengalami kekeringan adalah 14.306 hektar sedangkan puso seluas 2.189 hektar. Disamping itu, kondisi sektor pertanian semakin mengkhawatirkan ketika munculnya analisis dari Intergovernmental Panel on Climate Change 2001 yang mengemukakan bahwa sejak periode 1970-2004 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan di Indonesia antara 0,2 derajat celsius hingga satu derajat celsius. Kenaikan suhu tersebut akan menurunkan produktivitas lahan pertanian, peningkatan kerusakan pesisir karena banjir dan cuaca buruk, peningkatan gizi buruk dan diare serta perubahan pola distribusi hewan dan serangga sebagai vektor penyakit. Kemudian dijelaskan, kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5 derajat celsius hingga 2,5 derajat celsius akan menyebabkan punahnya spesies tanaman dan satwa antara 20 persen hingga 30 persen [Kompas, 2008]. Frekuensi banjir akan relatif lebih sering terjadi, karena penggundulan hutan sehingga mempersulit pengadaan pangan. Menurut data FAO 2000-2005, Indonesia merupakan negara yang paling ting gi tingkat penghancuran hutannya. Selama 2000-2005 laju penghancuran hutan di Indonesia mencapai 2 persen, lebih tinggi 0,3 persen dari Zimbabwe dan 0,6 persen dari Myanmar serta 1,4 persen dari Blazil. Data
tersebut menjelaskan bahwa dari sekitar 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan dunia, Indonesia menempati peningkat pertama sebagai negara paling cepat menghancurkan hutan dengan angka 1,871 juta hektar per tahun dari 2000-2005. Angka tersebut menjelaskan bahwa setiap harinya 51 kilometer persegi hutan di Indonesia hancur (setara dengan kehancuran hutan 2 persen setiap tahunnya atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya). Jika penghancuran hutan terus terjadi maka hutan primer yang tersisa di Jawa (19 persen), Kalimantan (19 persen), Sumatera (25 persen), Papua (71 persen), Sulawesi (43 persen), dan Bali (22 persen) akan lenyap (Media Indonesia, 2008).
4.
Tantangan Ketahanan Pangan
Berbagai hal di atas menuntut Indonesia untuk mampu mencapai ketahanan pangan untuk meminimalisir kebergantung impor dan ancaman krisis pangan. Ketahanan pangan bukan saja meng gambarkan ketersediaan pangan yang cukup tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pada pihak manapun. Pada kondisi nyata, ketahanan pangan akan teridentifikasi dari ketersediaan bahan pangan (seperti beras) di suatu daerah baik pada harihari biasanya maupun hari-hari khusus seperti hari raya keagamaan yang permintaan relatif tinggi- dengan harga yang terjangkau.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
78
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Simatupang (1999) mengemukakan ketahanan pangan tergambar dari tiga sub sistem yang saling terkait. Ketiga sub sistem tersebut terdiri dari sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Simatupang menjelaskan pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan, dan impor. Selanjutnya, pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis, sedangkan pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Nainggolan (2008) menambahkan ketersediaan pangan saat ini sangat mengkawatirkan. Kondisi ini berawal dari minimnya inovasi maupun teknologi serta rendahnya insentif finansial dalam penerapan teknologi. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya sistem penyuluhan pertanian sehingga menghambat adopsi teknologi karena keterbatasan tingkat pendidikan petani. Selanjutnya, distribusi pangan juga dihambat oleh masalah musim dan tantangan medan yang harus ditempuh. Masalah yang muncul seperti keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar dan banyaknya pungutan resmi dan tidak resmi menyebabkan besarnya biaya distribusi sehingga menaikkan harga pokok. Disamping itu, peranan
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
lembaga pemasaran juga belum optimal dalam memasarkan hasil-hasil pangan sehingga kestabilan distribusi dan harga pangan terganggu. Masalah lain muncul ketika besarnya dominasi kelompokkelompok tertentu pada lembaga-lembaga pemasaran pangan. Mengingat kondisi tersebut, tak heran jika sejumlah daerah mengalami kerawanan pangan. Menghadapi berbagai gejolak di atas, Hasan dan Yustika (2008) mengemukakan bahwa kebijakan pangan kini dan mendatang harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Setidaknya ada lima kebijakan pangan yang perlu diperhatikan, (i) kebijakan peningkatan produksi pangan, (ii) kebijakan reformasi agraria yang berdampak pada peningkatan produksi dan peningkatan kesejahteraan produsen (iii) kebijakan diversifikasi pangan baik produksi dan konsumsi berbasis sumber daya lokal (iv) kebijakan terkait dengan intervensi yang menjamin ketahanan pangan bagi setiap keluarga terutama yang belum memiliki akses terhadap pangan yang memadai (targeted safety nets) (v) kebijakan harga yang mampu mengakomodasi kepentingan produsen dan konsumen melalui program stabilisasi harga. Selain itu, Hasan dan Yustika menjelaskan kebijakan di atas harus didukung oleh tiga aspek penting yakni stabilitas dan kebijakan makro ekonomi, kebijakan anggaran dan infrastruktur. Stabilitas makro ekonomi tergambar dari
79
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
relatif rendahnya dan terkendalinya tingkat inflasi, nilai tukar petani yang meningkat disertai suku bunga riil yang rendah. Sedangkan kebijakan anggaran diharapkan mampu memihak sektor pangan dalam bentuk insentif fiskal yang memadai. Dari sisi kebijakan infrastruktur ditempuh dengan mendorong pembangunan sarana produksi seperti irigasi maupun infrastruktur jalan.
5.
Kondisi Infrastruktur Indonesia
Keberadaan infrastruktur pertanian menjadi prasyarat penting dan paling mendasar dapat kegiatan ekonomi, tetapi secara keseluruhan kondisi infrastruktur di Indonesia masih buruk. Data Bank Pembangunan Asia (ADB) berikut ini merinci beberapa kondisi infrastruktur di Indonesia dengan beberapa negara tetangga.
Dari sisi akses terhadap air bersih di perkotaan, Indonesia masih berada di bawah Thailand dan Vietnam dan sedikit di atas Myanmar, sedangkan untuk di pedesaan berada di bawah Myanmar. Selain itu untuk akses terhadap sanitasi di perkotaan dan pedesaan, Indonesia juga relatif masih rendah dibandingkan negara sekawasan. Sebagai perbandingan, Myanmar dan Filipina mampu memberikan akses kepada masyarkat kota dan desa masing-masing sebesar 80 persen dan 72 persen. Posisi Indonesia untuk kategori ini hanya sedikit di atas Timor Leste Selain dari akses sanitas, tabel di atas juga menampilkan kapasitas sambungan telepon tetap untuk setiap 100 orang penduduk. Pada kategori ini, posisi pertama diduduki Singapura disusul Vietnam dan Malaysia, sedangkan Indonesia berada di urutan ke lima. Dari segi
Tabel 12. Infrastruktur Beberapa Kasawan Asia Tenggara Negara
Malaysia Myanmar Filipina Indonesia Singapura Thailand Timor Leste Vietnam
Akses terhadap air bersih (%) Kota Desa 100 96 80 77 87 82 87 69 100 ... 98 100 77 56 99 80
Akses terhadap sanitasi (%) Kota Desa 95 93 88 72 80 59 73 40 100 ... 98 99 66 33 92 50
Telepon sambungan tetap*) 16,83 0,93 4,30 6,57 42,32 10,92 0,24 18,81
Telepon seluler*)
Penggunaan Internet*)
75,45 0,42 50,75 28,30 109,34 62,88 4,88 18,17
54,23 0,18 5,48 4,69 43,62 13,07 0,12 17,21
Sumber : ADB, 2008 (diolah) *) dalam 100 orang
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
80
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 13. Produksi Listrik di Indonesia Tahun 2002 – 2006 (dalam Gigawatt) Tahun
Produksi Sendiri (a)
Pembelian (b)
Sewa (c)
Total (d)
a/d
b/d
c/d
2002
88.068
19.067
1.225
108.360
81,27
17,60
1,13
2003
90.046
20.549
2.435
113.030
79,67
18,18
2,15
2004
93.113
23.978
3.154
120.244
77,44
19,94
2,62
2005
98.177
26.088
3.105
127.370
77,08
20,48
2,44
2006
101.664
28.639
2.804
133.108
76,38
21,52
2,11
78,37
19,54
2,09
Rata-rata
Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan PLN, 2007
kepemilikan telepon seluler, Singapura tetap menjadi menduduki posisi puncak dengan angka 109,34 yang artinya terdapat sejumlah penduduk yang memiliki lebih dari satu telepon seluler. Penggunaan internet di Indonesia juga masih rendah hanya sebesar 4,69 untuk 100 orang artinya dari 100 orang hanya 5 orang saja yang mengakses internet, sedangkan posisi pertama diduduki Malaysia sebesar 54,23.
Listrik Dari sisi pemenuhan listik juga belum menunjukkan perkembangan yang meng gembirakan. Angka pemenuhan konsumsi listrik masih dipengaruhi pembelian dan penyewaan dari pihak ketiga. Setidaknya, proporsi produksi listrik sendiri semakin menurun sejak 2003 sedangkan Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
pemenuhan listrik dari sisi pembelian dan sewa naik berlahan. Pada 2006, pemenuhan listrik dari sisi produksi sendiri hanya 76,38 persen turun 0,7 persen (yoy), sedangkan dari sisi pembelian naik 1,04 persen (yoy) dan dari sisi sewa turun 0,33 persen (yoy) (Tabel 13). Dengan produksi listrik yang bergerak moderat, berujung pada defisit listrik yang terus membengkak. Pada 2002, sebenarnya kondisi penyediaan listrik nasional masih surplus 0,98 gigawatt tetapi setelahnya defisit. Tercatat, ketersediaan listrik nasional pada 2006, defisit 10,95 gigawatt naik 2,09 gigawatt (yoy). Defisit yang terjadi disebabkan ting ginya pertumbuhan konsumsi listrik yang tidak diikuti peningkatan produksi listrik disetiap periode berjalan. Dengan menggunakan data PLN 2002-2006, pertumbuhan konsumsi listrik rata-rata mencapai 6,67 persen sedangkan 81
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 14. Neraca Listrik PLN (dalam Gigawatt) Tahun
Produksi
Konsumsi
Surplus/ (Defisit)
2002
88.068
87.089
0,98
-
-
2003
90.046
90.441
(0,39)
2,25
3,85
2004
93.113
100.097
(6,98)
3,41
10,68
2005
98.177
107.032
(8,86)
5,44
6,93
2006
101.664
112.609
(10,95)
3,55
5,21
3,66
6,67
Rata-rata Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan PLN, 2007
pertumbuhan produksi listrik rata-rata hanya 3,66 persen (Tabel 14.). Jalan Infrastruktur jalan juga menunjukkan kondisi yang memprihatikan khususnya untuk Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Irian Jaya Barat. Dari total jalan rusak, 13,65 persen berada di Kalimantan, 12,54 persen di Sulawesi, 10,61 persen di Papua + Irjabarat, 7,77 persen di Maluku + Maluku Utara, 4,32 persen di Sumatera serta 1,11 persen di Jawa dan sisanya di daerah lain. Dari angka tersebut tergambar perbaikan jalan masih terfokus di Jawa dan Sumatera sedangkan untuk Indonesia Bagian Timur, Kalimantan serta Sulawesi cenderung belum maksimal (Tabel 15). Perkembangan jalan tol juga belum memuaskan. Data Jasa Marga (2007) Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
menunjukkan panjang jalan tol masih 630 km atau hanya 1,82 persen dari total jalan umum. Panjang jalan tol tersebut tidak berkembang signifikan karena sejak awal pembangunan hingga akhir 2007 -tenggang waktu 30 tahun- hanya bertambah 603 km. Perkembangan panjang jalan tol yang hanya 77 persen disetiap tahunnya dan hanya didonasikan oleh pertumbuhan pada dekade pertama yang tumbuh 63 persen, sedangkan pada dekade berikutnya relatif lebih rendah pada rata-rata 15 persen per tahun bahkan, pada satu dekade terakhir sekitar 3 persen per tahunnnya.
Irigasi dan Waduk Selain perbaikan jalan, sarana irigasi menjadi problema yang harus diselesaikan. Perkembangan pembangunan irigasi selama
82
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 15. Kondisi Infrastruktur Jalan di Beberapa Pulau di Indonesia Tahun 2006 (km) Rusak Berat
Lokasi Sumatera
Rusak Ringan
218,53
Baik
Tidak Mantap
Sedang
302,22
3.812,42
6.255,75
Mantap
Total
520,74
10.068,18
10.588,92 5.498,38
Jawa + Bali
56,15
100,45
1.742,53
3.599,25
156,61
5.341,77
Kalimantan
690,53
1,382,37
1.501,28
2.131,78
2.072,89
3.633,08
5.705,97
0
159,48
589.49
1.125,89
159,48
1.715,37
1.874,85
Sulawesi
634,01
764,32
1.437,33
4.255,85
1.398,32
5.693,18
7.091,50
Maluku + Malut
392,89
297,78
463,29
289,72
690,67
753
1.443,67
Papua + Irjabar Indonesia Tanpa DKI
536,49
821,83
30,58
914,26
1.358,32
944,84
2.303,16
28.149,42
34.506,45
Nusa Tenggara
DKI Jakarta 2) Indonesia +DKI Jakarta
2,528,60
3,828,45
9.576,92
18.572,50
6.357,03
-
-
-
-
-
-
122,38
-
-
-
-
-
-
34.628,83
Sumber : www.pu.go.id, 2006
Gambar 1. Panjang Jalan Tol di Indonesia (dalam km)
Sumber: Laporan Tahunan Jasa Marga, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
83
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
ini (data 2004) masih terpusat di Sumatera dan Jawa serta Bali. Sebagai perbandingan, untuk irigasi teknis dari seluruh pembagunan irigasi sebesar hampir 52 persen berada di Jawa dan Bali sedangkan 33,26 persen berada di Sumatera. Kontras dengan pulau-pulau tersebut, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku + Maluku Utara hanya sekitar 15 persen dari program irigasi, bahkan Papua sama sekali tidak memiliki irigasi teknis yang menjelaskan bahwa sawah-sawah di provinsi tersebut hanya menggunakan irigasi semi teknis dan sederhana. Melihat kondisi tersebut pemerintah harus berupaya menyelaraskan kebijakan irigasi dengan memfokuskan pembangunan irigasi ke wilayah Indonesia Bagian Timur. Hal ini diharapkan dapat menjadi penggerak produksi pertanian yang selama ini masih relatif rendah di kawasan
tersebut, padahal di beberapa dalam kawasan -Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua- memiliki potensi untuk pengembangan komoditas pangan seperti padi, jagung, kedelai dan tebu. Perkembangan infrastruktur pertanian lainnya juga relatif buruk. Data 2007 menunjukkan infrastruktur pertanian hampir 20 persen dalam kondisi rusak baik rusak ringan maupun rusak berat. Untuk jaringan irigasi 0,05 persen rusak berat sedangkan rusak ringan 17,4 persen. Selain itu, keandalan air lebih didominasi nonwaduk dengan angka 89,38 persen sedangkan waduk 10,62 persen. Selain itu, infrastruktur pertanian misalnya waduk- yang dibangun sebelumnya juga tidak menujukkan perkembangan yang memuaskan. Di Jawa Barat, setidaknya dua
Tabel 16. Perkembangan Irigasi di Beberapa Daerah Tahun 2004
Sumber : www.pu.go.id
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
84
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tabel 17. Perkembangan Kondisi Infrastruktur Pertanian Tahun 2007 Infrastruktur Terbangun
Jumlah
Unit
Jaringan Irigasi
6.771,83
km
1.154
lokasi
273
lokasi
Bendungan Waduk
Kondisi Rusak Rusak Berat Ringan 341,33 1.178,55 (0,05%) (17,4%) 1 (0,24%) 14 5 (5,1%) (1,8)
Keandalan Air Waduk Non Waduk 719,17 6.052,65 (10,62%) (89,38%) -
-
Sumber : Bank Indonesia, 2008
Tabel 18. Perkembangan Kondisi Waduk di Beberapa Daerah Waduk
Deviasi* (Meter)
Status
-0,26 -0,29 0,66
Waspada Waspada Normal
-0,47 -1,12 -6,95 -224,55 -195,55 -170,96 -325,38 -0,94 -4,46 -113,77 -69,32 -172,23 -23,39 -2,87 -1,09
Kering Waspada Waspada Kering Kering Kering Kering Waspada Waspada Kering Kering Kering Kering Waspada Waspada
Jabar Dhjuanda Saguling Cirata Jateng Wonogiri Sempor Ngancar, Wonogiri Plumbon Parang joho Brambang, Sragen Gebyar, Sragen Lalung, Karanganyar Delingan, Karanganyar Tempuran Butak Kedunguling Batulegi (Lampung) Semo (Jogja) Bili-bili (Sulsel)
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 30 Juni 2008 dalam Bisnis Indonesia Keterangan : *) penurunan permukaan waduk dari kondisi normal
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
85
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
dari tiga waduk berstatus waspada sedangkan di Jateng ditemukan delapan waduk yang kering, empat waduk berstatus waspada dan di Lampung, Jogjakarta dan Sulawesi Selatan masing-masing berstatus kering dan waspada. Investasi menjadi salah satu pokok penting dalam mendukung ketahan pangan nasional. Data Departemen Pertanian (2007), setidaknya investasi tahun 2008, diproyeksi sebesar 170.384 milar atau naik 4,34 persen (yoy). Investasi sangat terkait dengan kondisi internal Indonesia termasuk ijin usaha, infrastruktur maupun perpajakan. Data Bank Dunia (2008) menjelaskan iklim investasi Indonesia masih relatif buruk, walaupun ditemukan perbaikan pada beberapa indikator (Tabel 19).
6.
Perkembangan Indikator Investasi Indonesia
Tidak ada perubahan signifikan pada iklim usaha Indonesia. Perubahan terbesar muncul dari Paying Taxes pada posisi 110 dari 141, Dealing with Licenses dan Trading Across Borders pada level masing-masing 99 dan 41. Percepatan perbaikan iklim investasi yang tersirat dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2007 belum berjalan lancar. Hal ini disebabkan munculnya berbagai kendala dalam pengimplementasian instruksi tersebut, misalnya dari 49 rencana tindak perbaikan iklim investasi hanya 40 rencana yang terealisasi. Selain itu, reformasi sektor keuangan yang menetapkan 36 rencana tindak, hanya tercapai 28, sedangkan
Tabel 19. Perkembangan Indikator Investasi Indonesia 2008
Indikator Doing Business Starting a Business Dealing with Licenses Employing Workers Registering Property Getting Credit Protecting Investors Paying Taxes Trading Across Borders Enforcing Contracts Closing a Business
2008 123 168 99 153 121 68 51 110 41 141 136
2007 Perubahan Peringkat 133 163 117 154 123 62 49 141 61 142 137
10 -5 18 1 2 -6 -2 31 20 1 1
Sumber : Bank Dunia, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
86
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Tengah sebesar 10,2 persen diikuti Nanggro Aceh Darussalam 9,7 persen dan Sulawesi Utara 7,8 persen (Tabel 20).
pemberdayaan UMKM hanya tercapai 28 rencana dari 34 rencana tindak. Paling ironis adalah percepatan pembangunan infrastruktur, dari 40 rencana tindak, yang terealisasi hanya 13 (Bank Indonesia, 2008). 7
Penurunan Nilai Tukar Petani secara langsung dipengaruhi pergerakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Selama ini kenaikan HPP hanya sebagai strategi pemerintah untuk memenuhi kuota Bulog yang belum terpenuhi. Hal tersebut tergambar dari kebijakan pemerintah menaikkan HPP di luar pakem sehingga tidak mampu mendongkrak pendapatan petani. Selayaknya kenaikan HPP dilakukan pada musim tanam dan diberlakukan menjelang musim panen sehingga petani menikmati hasil panennya. Ironisnya, kenaikan HPP tersebut lebih dinimati
Nilai Tukar Petani
Masalah lainnya adalah kesejahteraan petani. Hal tersebut tergambar dari nilai tukar petani yang mengukur rasio antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani3. Nilai tukar petani cenderung menurun sejak krisis ekonomi. Tahun 1996, nilai tukar petani masih di atas 85 persen (kecuali Lampung) kemudian menurun pada tahun berikutnya. Tekanan terbesar terjadi saat krisis ekonomi yang menurukan nilai tukar petani tertinggi di Jawa
Tabel. 20. Perkembangan Nilai Tukar Petani 1996-Juli 2007
Jatim
96
97
98
97-98
99
98-99
04
05
04-05
07
Rata2 96-06
107
112,8
105,1
-7,7
97,6
-7,5
114,58
91,76
-22,82
99,04
106,73 103,30
Jateng
109
104,2
94
-10,2
91,5
-2,5
117,74
92,3
-25,44
101,17
Jabar
101
104,1
101,4
-2,7
112,1
10,7
130,69
112,39
-18,3
118,20
113,60
DIY
111
114,5
131,1
16,6
121,5
-9,6
126,26
122,01
-4,25
127,35
123,26
NAD
98,5
95
85,3
-9,7
92,1
6,8
127,43
107,6
-19,83
105,36
100,80
Sumut
86,7
85,9
81,4
-4,5
88,9
7,5
94,09
94,96
0,87
92,53
91,42
Sumbar
108,6
121,6
116,4
-5,2
95,3
-21,1
81,32
67,73
-13,59
68,84
93,32
Sumsel
99,6
105,1
121,5
16,4
102,4
-19,1
107,86
118,43
10,57
142,81
100,63
Lampung
78,7
75,9
73,1
-2,8
81,4
8,3
89,58
107,38
17,81
110,13
83,72
Bali
118,3
119,9
129,1
9,2
146,3
17,2
133,91
116,93
-16,98
139,5
133,04
NTB
116
124
142,3
18,3
102,6
-39,7
71,81
56,62
-15,19
51,87
91,87
Kalsel
107,2
106,5
107
0,5
133,9
26,9
99,19
83,57
-15,63
93,40
106,78
Sulut
98,1
101,6
93,8
-7,8
143,4
49,6
153,12
157,79
4,68
138,96
133,66
Sules
113,2
115,9
125,7
9,8
134,7
9
105,9
94,96
-10,94
113,4
112,96
Sumber : BPS, 2007 (diolah)
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
87
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
tengkulak dan pedagang karena petani telah menjual hasil produksi setelah panen. Selama ini, petani sudah jarang menyimpang panen di lumbung-lumbung padi karena terdesak oleh kebutuhan sehari-hari.
Daftar Pustaka Apriyantono, Anton, 2008, Cukupkah Lahan Pertanian Kita? dalam http:// b e l i d a . u n m u l . a c . i d / ndex.php?option=com_content&task=view&id=81&Itemid=2, i diakses 18 Juni 2008 Arifin, Bustanul, 2006, Kemiskinan, Bank Dunia, dan Revitalisasi Pertanian dalam http://barifin.multiply.com/ journal?&page_start=20 diakses 10 Juni 2008 2008, Peluang Kekeringan dan Misteri Indeks Penanaman, dalam Kompas Edisi Senin, 2 Juni 2008 _____________, 2008, Tantangan Baru Pangan Dunia, dalam http:// barifin.multiply.com/journal?&page_start=20 diakses 10 Juni 2008 ___________________, 2008, 30% Subsidi Pertanian Tidak Tepat Sasaran, Investor Daily Edisi 26 Mei 2008, Jakarta Bank Indonesia, 2008, Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012 : Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional, Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Brilianto Endot dan Siti Munawaroh, Pemerintah Naikkan Subsidi Pupuk Jadi Rp 13 Triliun, Bisnis Indonesia Edisi 2 Juni 2008, Jakarta Dahur, Rokhmin, 2008, Kenaikan Harga Pangan Kedaulatan Pangan Bangsa dalam h t t p : / / w w w. u n i s o s d e m . o r g / ekopol_detail.php?aid=10046&coid=2&caid=30 diakses 18 Juni 2008 Departemen Pekerjaan Umum, Info Statistik, dalam http://www.pu.go.id/ infoStatistik/ diakses 18 Juni 2008 Hakim, Lukman, 2008, Krisis Pangan, Dulu dan Kini, dalam http:// w w w . h m i n e w s . c o m / index.php?action=news.detail&id_news=964 diakses 8 Juni 2008 Hasan Fadhil M dan Ahmad Erani Yustika, 2008, Situasi Pangan ke Depan dan Kebijakan untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan, Dipresentasikan pada Seminar Pra Lokakarya Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG), Jakarta, 11 Juni 2008 diselenggarakan oleh Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Jakarta Heho, 2008, Indonesia Luncurkan Peta Kerawanan Pangan dalam http:// www.geografiana.com/nasional/sosial/petakerawanan-pangan, diakses 20 Juni 2008 Herbawati, Neneng, 2008, Investasi Pangan Difasilitasi, Bisnis Indonesia Edisi 16 Juni 2008, Jakarta
88
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Herlianto Dudi, Kondisi Pertanian Indonesia : Menunju Swasembada Pangan 2009, Media Indonesia Edisi 2 Juni 2008, Jakarta Hernanda Aprika A, Harga Produk Pertanian Masih Tinggi 2017, Bisnis Indonesia Edisi 14 Juni 2008, Jakarta Jafar M. Sidik, 2008, Krisis Pangan Lebih Menakutkan Ketimbang Krisis Energi, http://www.indonesiamedia.com/2008/5/mid/opini/ Krisis.htm, diakses 8 Juni 2008 Jasa Marga, 2008, Laporan Tahunan 2007, Internet website:www.pu.go.id. diakses 16 Juni 2008 Maksum, Dwidjo U, 2008, Lahan Pertanian di Blitar Termakan Real Estate, dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/ nusa/jawamadura/2008/02/06/ brk,20080206-117010,id.html, diakses 19 Juni 2008
http://cidesonline.org/content/view/195/63/ lang,id/, diakses 12 Juni 2008 Nugroho, Pratomo 2008, Mobilitas Modal Sektor Pangan : Hambatan (Peluang) Revitalisasi Pertanian ?, Media Indonesia Edisi 28 April 2008, Jakarta Perusahaan Listrik Negara, 2008, Laporan Tahunan 2007, dalam www.pln.co.id Prasetyo, Lilik B, 2008, Dari Krisis Energi ke Krisis Pangan, Kompas, 4 Juni 2008 Ria, 2008, Harga Pangan di Pasifik Naik, Republika Edisi 18 Juni, Jakarta Rosidi, Ali,2007, Disajikan Pada: Departemen Pertanian Bogor, 15 Maret 2007 dalam http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ p d f f i l e s / M a k a l a h % 2 0 NTP_1_15_Maret_07.pdf, diakses 12 Juni 2008 Samhadi, Sri Hartati, 2008, Krisis Pangan
Maryoto, A, 2008, Membaca Peta Rawan Pangan, dalam http://64.203.71.11/ kompas-cetak/0401/14/ekonomi/801596.htm, diakses 20 Juni 2008
Bencana atau Peluang? http:// w w w. u n i s o s d e m . o r g / ekopol_detail.php?aid=9993&coid =2&caid=30, diakses 18 Juni 2008
Maryoto, Andreas, 2008, Nilai Tukar Petani Dimutakhirkan dalam http:// www.kompas.com/read/xml/2008/06/24/ 08040087/nilai.tukar.petani.dimutakhirkan, diakses 17 Juni 2008
Situmorang, Parluhutan, 2008, 75% Beras Dikuasai Pedagang Besar, Investor Daily Edisi 28 April 2008, Jakarta
Nainggolan, Kaman, 2008, Penguatan Strategi Ketahanan Pangan Nasional, dalam
Tim Media Indonesia, Produktivitas Pangan di Daerah Tropis Turun : Suhu Air Laut
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Tim Kompas, Ancaman Kekeringan Meluas, Kompas Edisi 30 Mei 2008, Jakarta
89
Krisis Pangan “Silent Tsunami” dan Pelajaran bagi Indonesia
Terus Naik, Media Indonesia Edisi 20 Juni 2008, Jakarta
06/05/Internas/int02.htm, diakses 18 Juni 2008
Tim Suara Pembaharuan, Dunia Cari Solusi Atasi Krisis Pangan, pembaharuan daily, http://www.suarapembaruan.com/News/2008/
Zakiyah, 2008, Saudi dan Qatar Investasi Pangan US$ 15 M, Investor Daily Edisi 9 Juni 2008, Jakarta
*****
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
90
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
Modal Manusia dan Globalisasi: P eran Subsidi P endidik an Peran Pendidik endidikan Dias Satria*
Abstract Subsidy is one of the fiscal policies which is needed for the economy to achieve to the equilibrium or its potential. We can see a subsidy in different perspectives in economics, by seeing it from the short run perspective to a long run perspective by analyzing it from the intertemporal analysis. In the long run perspective, a subsidy can also seen as a powerfull tool in a development, especially if a subsidi is set in particular sectors, like education and health. Some empirical evidences show that a subsidy in education can be a strong buffer from preventing nation to the negative effect of globalization-inequality of income. Thus, it can be a solutive way to reduce a poverty in Indonesia.
* Dias Satria adalah Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
29
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
1.
Latar Belakang
Modal manusia dalam mendorong pembangunan ekonomi sudah sangat dipahami oleh para ahli ekonomi dan pengambil kebijakan. Sehingga tidak jarang, strategi pembangunan disebagian besar negara memioritaskan pada pembangunan kualitas modal manusia dengan melakukkan perbaikan sistem pendidikan dan support anggaran (subsidi) yang besar. Selain itu pembangunan modal manusia diyakini tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan, namun juga berperan sentral mempengaruhi distribusi pendapatan di suatu perekonomian (Becker, 1964; Schultz, 1981 dalam Heckman, 2005). Logika ini jugalah yang mendorong strategi pengentasan kemiskinan yang bersentral pada pentingnya pembangunan modal manusia (human capital). Dalam upaya mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development), sektor pendidikan memainkan peranan yang sangat strategis khususnya dalam mendorong akumulasi modal yang dapat mendukung proses produksi dan aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi, seperti yang dilansir dalam World Commision on Environmental and Development, 1997 dalam McKeown (2002), bahwa sustainable development adalah: “Sustainable development is development that meets the needs of the present without comprimising the ability of future generations to meet their own needs.” Dalam konteks ini, pendidikan dianggap sebagai
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
alat untuk mencapai target yang berkelanjutan, karena dengan pendidikan aktivitas pembangunan dapat tercapai, sehingga peluang untuk meningkatkan kualitas hidup di masa depan akan lebih baik. Di sisi lain, dengan pendidikan, usaha pembangunan yang lebih hijau (greener development) dengan memperhatikan aspekaspek lingkungan juga mudah tercapai. Romer, 1986; Lucas, 1988 (dalam Cui et.,al. 2008) menjelaskan bahwa modal manusia tidak hanya diidentifikasi sebagai kontributor kunci dalam pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan, namun juga mendorong tujuan pembangunan untuk meningkatkan human freedom secara umum. Selain itu, fokus perkembangan global saat ini yang dicatat dalam millennium development goals juga telah memposisikan perbaikkan kualitas modal manusia dalam prioritas yang utama. Dikebanyakan negara miskin dan berkembang, kurangnya sumberdaya dan modal (termasuk modal manusia) diidentifikasi sebagai penyebab utama lemahnya daya saing dan hambatan untuk maju. Keadaan ini secara umum disebabkan karena lingkaran setan kemiskinan yang menyebabkan negara tersebut sulit sekali untuk melakukkan investasi dan akumulasi modal yang penting bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Hal ini juga dipertegas oleh Jeffrey Sachs (2005) yang menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya adalah lack of innovation, yang mana berkaitan
30
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
dengan kurangnya investasi dalam knowledge ekonomi sehingga mengurangi insentif masyarakat untuk berkreativitas dan meningkatkan produktivitasnya. Kondisi modal manusia di negara miskin dan berkembang semakin parah dengan adanya pengaruh globalisasi ekonomi yang tidak terkendali. Hal ini disebabkan karena peluang (oppurtunity) Globalisasi ekonomi hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki kemampuan dan knowledge yang baik. Rendahnya kualitas modal manusia dihampir sebagian negara miskin dan berkembang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap perubahan globalisasi yang cepat, sehingga akhirnya larut dan dirugikan dalam proses didalamnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam teori perdagangan internasional “Heckscher-Ohlin” model, yang mana perdagangan internasional membawa dampak pada distribusi pendapatan khususnya terhadap para pemilik sumber daya maupun pekerja. Dalam konteks ini, maka peran pemerintah dalam mengisi gap kurangnya modal harus dapat diisi oleh pemerintah. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan anggaran sosial (social spending) untuk subsidi khususnya di sektor pendidikan. Dalam beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Shultz, 1999 dan Barro, 1996b (dalam Cui et.,al. 2008) menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam mengisi peran tersebut. Sebagai contoh, dengan tingginya social spending dalam pendidikan tinggi akan
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi keluarga dan meningkatkan kapasitas kesehatan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Dalam pengembangan model ekonomi tersebut dijelaskan juga bagaimana interaksi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara umum. Namun, pengembangan model juga telah dikembangkan dengan baik oleh beberapa peneliti (Gupta et.al., 2002a dan Hausmann, Pritchett and Rodrik, 2005) bahwa secara lebih spesifik efektivitas social spending (pendidikan) bagi pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh aspek penting pemerintah, dimana pemerintahan yang buruk berkontribusi terhadap pelaksanaan aktivitas pendidikan yang dapat mendukung proses pembangunan. Pendidikan dan kesehatan selain harus dianggap sebagai suatu hak asasi dan bentuk keadilan, juga harus difahami sebagai perbaikan kebebasan masyarakat untuk berkembang dan memerbaiki dirinya, lepas dari lingkaran setan dan jeratan kemiskinan. Efektivitas pencapaian tujuan ini tentu sangat tergantung dari dukungan atau support pemerintah dalam konteks penganggaran investasi fasilitas dasar pendidikan dan pemberian subsidi (transfer of payment) khususnya bagi masyarakat miskin. Dalam menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan modal manusia khususnya di negara miskin dan berkembang, maka dalam tulisan ini akan dibagi menjadi dua pembahasan. Pertama, 31
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
pembasahan ekonomi positif, yang erat kaitannya dengan perspektif makroekonomi. Dalam konteks ini selain akan membahas bagaimana peran anggaran (subsidi) dalam model pertumbuhan endogen. Selain itu juga akan didiskusikan analisis intertemporal (antar waktu) akibat implementasi kebijakan anggaran yang dilakukkan saat ini dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku individu dimasa depan. Kedua, Pembahasan ekonomi normatif, yang mana pendidikan berkontribusi dalam proses-proses pembangunan khususnya sebagai penguat modal manusia (human capital) menghadapi keterbukaan ekonomi. Dalam konteks ini, proposisi bahwa globalisasi dapat meningkatkan gap distribusi pendapatan yang semakin besar seperti yang dijelaskan dalam teori perdagangan internasional “HeckscherOhlin Model”, akan dapat diredam dengan adanya perbaikan pendidikan atau penguatan kualitas human capital.
or economic sector. A subsidy can be used to support businesses that might otherwise fail, or to encourage activities that would otherwise not take place. (Wikipedia Dictionary)
2.
Di sisi pengeluaran, pengeluaran pemerintah (government expenditure) dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Sebagai contoh, model pertumbuhan endogen (endogenous growth) yang memperkenalkan pengeluaran pemerintah sebagai mesin pertumbuhan. Pemikirian ini disampaikan oleh Robert Lucas (1980), yang meyakini bahwa investasi dalam pendidikan dapat meningkatkan modal manusia dalam perekonomian.
Subsidi (Kebijakan Fiskal) dalam perspektif Makroekonomi
Sebelum memulai analisis terhadap subsidi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, ada baiknya kita memahami definisi dari subsidi itu sendiri. Berdasarkan kamus wikipedia, subsidy dapat dijelaskan sebagai berikut: In economics, a subsidy (also known as a subvention) is a form of financial assistance paid to a business
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Dalam konteks makroekonomi, subsidi merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan respon jangka pendek dalam siklus bisnis atau ekonomi, yang mana dilakukan untuk menutup gap fluktuasi output. Kebijakan ini biasanya dilakukkan untuk mengisi kekosongan dalam aggregate demand sehingga perekonomian dapat didorong hingga mendekati titik optimal atau potensialnya. Oleh karena itu, kualitas dari kebijakan fiskal tentu menjadi topik kajian yang penting karena dapat mengoptimalkan fungsi kebijakan fiskal untuk mengatasi fluktuasi output. Namun, meski kebijakan fiskal merupakan isu sentral dalam kebijakan jangka pendek (short run policy), pengaruhnya dalam jangka panjang tidak seharusnya dihiraukan.
32
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
Investasi pendidikan dianggap memiliki implikasi yang positif terhadap penambahan sumber daya bagi perekonomian, sehingga dapat meningkatkan output secara umum. Oleh karena itu, perubahan dalam pengeluaran bidang pendidikan yang dipengaruhi oleh kebijakan fiskal jangka pendek akan mendukung proses akumulasi dalam modal manusia sehing ga pada akhirnya akan mendorong pada pertumbuhan ekonomi. (Keuschnigg and Fisher, 2002 Dalam Zagler and Durnecker, 2003). Namun perlu disadari bahwa disisi penerimaan, pajak dapat mendistorsi keputusan individu masyarakat. Hal ini secara umum disebabkan karena distorsi pajak akan mengubah perilaku individu masyarakat untuk menabung dan berinvestasi, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi. Dalam model Ricardian, pengeluaran pemerintah dianggap sebagai Tax Delayed atau pajak yang tertunda. Dalam pandangan ini, masyarakat akan memiliki ekspektasi bahwa pajak akan meningkat dimasa depan, akibat keadaan defisit pada saat ini. Sehingga pandangan ini berang gapan bahwa pengeluaran pemerintah tidak ada bedanya dengan distorsi pajak, dan hanya mendistorsi ekonomi. Singkatnya, dalam intertemporal analisis, budget constraint pemerintah dalam anggaran sosial (ex: subsidi pendidikan) akan menciptakan ekspektasi masyarakat bahwa
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
kebijakan defisit ang garan ini akan menyebabkan koleksi peningkatan pajak dimasa depan. Keadaan inilah yang secara umum akan mendorong perilaku masyarakat untuk menahan pengeluarannya dengan melakukkan akumulasi tabungan. Dengan kata lain, perubahan perilaku ini secara umum akan menyebabkan terkoreksinya pengeluaran pemerintah (government spending) karena melemahnya sisi konsumsi masyarakat (salah satu Komponen Aggregate Demand). Sehingga pada akhirnya, mereka beranggapan kebijakan ini tidak akan efektif mendorong pertumbuhan output. Namun tentu saja, keadaan ini merupakan analisis ekonomi positif yang terjadi dalam dunia Ricardian. Social spending sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, memiliki efek yang lebih luas seperti yang dimodelkan dalam pandangan ekonomi positif. Bahwa social spending “pendidikan”, memiliki dimensi yang kompleks menyangkut dimensi pendapatan maupun non-pendapatan. Dalam dimensi pendapatan, jika social spending bagi subsidi pendidikan dapat meningkatkan tingkat pengembalian yang maksimal bagi pendapatan maka bisa dibilang bahwa social spending bisa menjadi alat yang tepat bagi perekonomian. Analisis ini tentu sangatlah static, dan tidak mempertimbangkan bagaimana pengaruhnya yang lebih luas dalam pengembangan mental manusia, cara berfikir, berkreasi, kebebasan dan pengembangan inovasi yang tinggi. Bahwa permasalahan modal manusia bukanlah
33
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
permasalahan yang sifatnya temporal, namun lebih luas lagi menyangkut kebebasan dan perlakuan yang lebih baik untuk mengubah kualitas hidup manusia. Dimensi non-pendapatan inilah yang strategis, dan perlu kajian lebih mendalam.
pendapatan yang meningkat akibat globalisasi dapat diredam. Ketiga, aspek penting dalam akumulasi modal manusia bagi tatanan masyarakat adalah dengan semakin baiknya pastisipasi politik masyarakat yang dapat mensuport ekonomi. (Verdier and Bourguignon, 2005)
3.
Per masalahan utama dalam perdagangan internasional akibat globalisasi berkaitan dengan efek disparitas pendapatan. Hal ini dapat disimpulkan dalam model Hecksher-Ohlin: “A country will be better off with trade, but owners of abundant factors gain and owners of scarce factors lose; with trade, owners of scarce factors will be worse off without compensation.” Secara umum teori ini menjelaskan bahwa sebagian masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan perdagangan internasional karena tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan perekonomian, akan mengalami kerugian akibat perdagangan. Jika teori ini kita kembangkan lebih luas dalam konteks knowledge economy, maka sebagian masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup sudah pasti akan dirugikan karena mereka tidak akan mampu mengambil kesempatan (oppurtunity) dalam perekonomian.
Pendidikan Ekonomi
dan
Globalisasi
Globalisasi sebagai suatu fakta yang tidak terelakkan, telah memasuki fase baru yang telah menciptakan dependensi yang kuat antar ekonomi negara-negara di dunia. Globalisasi telah memengaruhi perekonomian dan kehidupan suatu negara melewati beberapa channel, antara lain: perdagangan internasional, liberalisasi keuangan, penanaman modal asing dan transfer teknologi. Meskipun potensi keuntungan telah diraup oleh beberapa negara dengan memanfaatkan era globalisasi (ex. India dan China), namun dalam kajian terbaru bahwa integrasi ekonomi telah memaksa terjadinya konflik dalam distribusi pendapatan. Dengan semakin terbukanya perekonomian, setidaknya ada 3 channel penting mengapa investasi dalam modal manusia menjadi sangat strategis. Pertama, akumulasi modal manusia adalah determinan penting dalam pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. Kedua, karena pendidikan memiliki peran yang penting dalam distribusi pendapatan yang lebih merata, maka dengan pendidikan efek gap
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Pengembangan model di atas memiliki asumsi dengan keadaan pasar kredit yang tidak sempurna (imperfect credit markets), maka masyarakat miskin akan mengalami kesulitan likuiditas untuk mendapatkan akses pinjaman untuk melakukkan investasi di
34
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
dunia pendidikan. Hal ini yang secara tidak langsung akan memengaruhi kemampuan masyarakat miskin untuk mengubah kualitas hidupnya dan mengambil keuntungan dalam globalisasi. Dalam perspektif pendapatan, akibat ketidakmampuan melakukan investasi dalam pendidikan, masyarakat miskin tidak akan dapat menikmati perbaikan pendapatan sehingga menimbulkan disparitas pendapatan yang tinggi dengan mereka yang dapat menikmati keuntungan globalisasi (orang kaya). Namun, keadaan ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah tahu betul posisinya dalam memecahkan masalah ini. Hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menutupi kekurangan likuiditas masyarakat miskin dengan meningkatkan anggaran subsidi dalam dunia pendidikan. Realisasi ini hanya bisa dicapai jika tekanan politik masyarakat untuk menginginkan hal tersebut dapat tercapai. Hal yang perlu disadari bahwa pemerintah yang memberikan prioritas terhadap kapabilitas dasar manusia (kesehatan dan pendidikan) tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, namun juga akan mendorong perbaikan dalam distribusi pendapatan dalam jangka panjang. Selain itu, kontributor kunci bagi pembangunan “pendidikan” tidak hanya memberikan keuntungan dalam dimensi pendapatan, namun juga berkontribusi pada dimensi non pendapatan. (Becker, 1964; Schultz, 1981 dalam Heckman, 2005). Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
Keuntungan dari modal manusia tentu memiliki pengaruh yang luas dalam perekonomian, khususnya bagaimana kontribusi modal manusia dalam mendorong produktivitas, serta mengembangkan adaptibility dan efisiensi alokasi. Pertama, berkaitan dengan kontribusi modal manusia. Investasi dalam pendidikan (training) secara umum akan meningkatkan skill pekerja, sehing ga pada akhirnya produktivitas mereka dalam bekerja dapat ditingkatkan secara optimal. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pengembangan adaptibility dan efisiensi alokasi. Bahwa dengan semakin meningkatnya kualitas modal manusia dalam perekonomian, maka pekerja yang berskill baik akan lebih pintar untuk mengalokasikan sumberdaya yang ada untuk setiap pekerjaan serta lebih mudah untuk beradaptasi dengan adanya perubahan kondisi dan menangkap peluang. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Nelson and Phelps, 1966; Schultz, 1975 dalam Heckman 2005. Selain itu, dengan semakin baiknya skill yang dimiliki oleh pekerja, yang berarti semakin baik modal manusia, maka kemampuan individu untuk menuangkan ide baru, mengadopsi teknologi baru dan mengimplementasi pengetahuan yang datang dari luar akan semakin mudah. Dengan semakin meningkatnya keterbukaan terhadap dunia luar, maka kebutuhan modal manusia yang dapat mengabsorp teknologi dari luar menjadi sangat penting. Ketidakseimbangan strategi investasi dapat
35
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
mengurangi rate of return on investment, karena manusia sebagai operator yang ada dibalik penggunaan mesin tersebut tidak mampu secara optimal mengaplikasikannya. Selanjutnya, modal manusia di sektor pertanian (agriculture) juga sangat penting, yaitu bagaimana modal manusia dapat menangkap perubahan pasar dan menerapkan teknologi. Angkatan kerja dengan pendidikan yang baik dapat mengambil keputusan yang baik, baik dalam sektor pertanian maupun industri perkotaan. Overinvestment disalah satu sektor dengan mengabaikan investasi sektor pendukungnya dapat menyebabkan kehilangan kesejahteraan (welfare lost) dan ketidakmerataan distribusi pendapatan. Dalam kasus yang spesifik, yaitu sektor pertanian. Rendahnya produktivitas petani salah satunya disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan petani. Sebagai pekerja disektor yang subsistem, yang memiliki ruang gerak yang sempit untuk berkembang dan meningkatkan pendapatan. Para petani di negara berkembang terperangkap dalam kondisi yang kurang menguntungkan, bahkan mereka dikategorikan sebagai pekerja yang tidak berkeahlian (unskilled labour) dengan pendapatan yang sangat minimal. Dalam kondisi ini, tentu saja investasi masa depan dalam dunia pendidikan hanya sebagai angan-angan dan impian semu. Selain tidak mampu meningkatkan kualitas kehidupannya dimasa depan akibat
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
minimnya pendidikan, keadaan ini juga akan memengaruhi produktivitas petani dalam produksinya. Dalam beberapa penelitian yang ada, pendidikan (literacy and numeracy) akan membantu petani dalam mengaplikasikan metode baru dalam pertanian, mengatasi risiko dan merespon sinyal pasar. Selain itu, dengan pendidikan (literacy and numeracy) petani akan lebih baik dalam melakukan pencampuran bahan kimia (pupuk dan pestisida) sehingga mengurangi bahaya bagi manusia dan lingkungan. Terakhir, pendidikan dasar akan memudahkan para petani untuk melakukan pinjaman pada lembaga keuangan, untuk kebutuhan investasi pertanian. Di sisi lain, keadaan ini akan juga lebih baik jika akses pendidikan bagi masyarakat miskin juga bisa diakses dengan lebih baik bagi para wanita. Dengan semakin baiknya tingkat pendidikan wanita dalam keluarga, maka perencanaan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik dalam keluarga akan semakin mudah untuk terealisasi. Hal inilah yang secara umum akan membantu mendorong pencapaian tujuan pembangunan secara aggregat.
4. Policy Implication : Kebijakan anggaran (subsidi) yang pro-poor dan pro-growth. Dalam memahami permasalahan kemiskinan dan disparitas pendapatan yang mengancam akibat derasnya era globalisasi.
36
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
Maka diperlukan keberanian dan upaya strategis pemerintah untuk meredamnya. Dalam konteks ini peran strategis pemerintah ada pada keputusan politik anggaran (subsidi) untuk perbaikan kualitas pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Hal ini juga dipertegas oleh penelitian yang dilakukan oleh Cui et.,al. 2008 yang menunjukkan bahwa investasi pendidikan dan kesehatan memiliki kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan output, namun dengan rute mekanisme yang berbeda. Selanjutnya dalam penelitian itu dijelaskan bahwa keadaan pemerintah yang baik (good governance) mendukung efektifitas pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan output. Berdasarkan Sumarto dan Mawardi, 2003, pemerintah memiliki peran yang strategis dalam mengarahkan kebijakan anggarannya ke kebijakan publik yang memihak masyarakat tidak mampu. Hal ini dilakukkan agar kebijakan anggaran dapat memperbaiki kualitas pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Setidaknya ada tiga hal utama yang dijelaskan dalam paparanya, antara lain pentingnya: political willingness, iklim yang mendukung dan tata pemerintahan yang baik. Pertama, dalam konteks “Political Willingness”. Perlu adanya komitmen kuat dari pemerintah untuk bertanggungjawab dalam penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi sangat penting agar penyusunan programprogram yang pro poor dapat menempatkan
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
program kemiskinan pada prioritas utama. Kedua, Iklim yang Mendukung. Iklim atau kondisi yang mendukung untuk penyusunan kebijakan anggaran yang pro poor dapat berjalan jika ada kesadaran kolektif bahwa kemiskinan adalah permasalahan utama yang harus diselesaikan. Di sisi lain, perlu juga dukungan peraturan dan kebijakan strategis yang mendukung penang gulangan kemiskinan. Ketiga, adalah Tata Pemerintahan yang Baik (good governance). Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka penanggulangannya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan kata lain diperlukan adanya tata pemerintahan yang baik (good governance) dari lembaga-lembaga pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan pelayanan umum lainnya.
5.
Kesimpulan
Subsidi, sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal memiliki peran yang strategis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, kita sudah faham betul bagaimana dalam ananalisis IS-LM (pasar uang dan barang) kebijakan tersebut dapat mendorong output ke titik potensialnya. Namun perlu difahami lebih mendalam, bahwa dimensi anggaran
37
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
khususnya anggaran bagi subisidi sektor yang strategis seperti Pendidikan, memiliki dimensi yang tidak temporer dan tidak sempit. Peranan analisis intertemporal dengan melihat sisi anggaran secara unsich bisa menjadi penting untuk dipertimbangkan. Bahwa dengan constraint budget yang semakin ketat, maka pengaruh kebijakan defisit ang garan yang berlebihan akan menyebabkan permasalahan bagi perekonomian itu sendiri. Oleh karena itu selain dibutuhkan reformulasi hitunghitungan anggaran yang tepat, dibutuhkan juga perilaku good governance dari pemerintah untuk meyakinkan bahwa anggaran sosial (subsidi pendidikan) benar-benar telah diserap sepenuhnya sesuai dengan yang dianggarkan. Dalam menghadapi era globalisasi yang memiliki implikasi pada disparitas pendapatan, pemerintah perlu menyiapkan langkah strategis untuk meredam efek negatif tersebut. Peran sentral ini hanya bisa diisi oleh penguatan pendidikan untuk meningkatkan kualitas human capital (modal manusia) agar masyarakat negara miskin dan berkembang dapat mengambil keuntungan dalam era globalisasi. Rendahnya akumulasi modal karena keadaan yang serba susah di negara miskin dan berkembang mendorong peran strategis pemerintah untuk mengisi kekurangan likuiditas dan keadaan imperfect markets. Dengan kontribusi pemerintah berupa subisidi anggaran pendidikan, tentu
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
masyarakat akan mampu mencapai titik optimal kesejahteraan dengan manfaat yang luas dari pendidikan. Hal inilah yang secara umum dapat menguntungkan kehidupannya dimasa depan dengan peningkatan kualitas hidup dan pendapatan.
Daftar Pustaka Barro, R. J. (1998). “Government Spending in a Simple Model of Endogeneous Growth.” The Journal of Political Economy, Vol. 98, No. 5, Part 2. Birdsall, N. (1996). “Public Spending on Higher Education in Developing Countries: Too Much or Too Little?” Economics of Education Review, Vol. 15, No. 4, pp. 407~119, 1996. David L. Lindauer, A. V. (1992). “Government Spending In Developing Countries: Trends, Causes, And Consequences.” The WorU Bank. Research Observer, vol. 7, no. 1 (January 1992), pp. 59-78. Emanuele Baldacci, B. C., Sanjeev Gupta, Qiang Cui (2008). “Social Spending, Human Capital, and Growth in Developing Countries.” World Development Vol.36 No.8. François Bourguignon, T. V. (2005). “The Political Economy of Education and Development in an Open Economy.” Review of International Economics, 13(3), 529–548, 2005.
38
Modal Manusia dan Globalisasi: Peran Subsidi Pendidikan
Heckman, J. J. (2004). “China’s human capital investment.” China Economic Review 16 (2005) 50–70. Jimenez, E. “The Public Subsidization Of Education And Health In Developing Countries: A Review Of Equity And Efficiency.” http:/wbro.oxfordjournals.org. proxy.library.adelaide.edu.au/cgi/content/ abstract/1/1/111 Martin Zagler, G. D. (2003). “Fiscal policy and Economic Growth.” Journal of Economic Surveys Vol.17 No.3. McKeown, R. (2002). “Education for Sustainable Development Toolkit.” http://kpe-kardits.kar.sch.gr/Aiforia/ esd_toolkit_v2.pdf
Michael Bruno, M. R. a. L. S. “Equity and Growth in Developing Countries.” (The World Bank). http://papers.ssrn.com/ sol3/papers.cfm?abstract_id=604912 Shantanayan Devarajan, V. S. a. H. f. Z. (1996). “The composition of public expenditure and economic growth.” Journal of monetary economics 37 (1996) 313-344. Stiglitz, B. G. A. J. E. “Helping Infant Economies Grow: Foundations of Trade Policies for Developing Countries.” http:/ /works.bepress.com/cgi/ viewcontent.cgi?article =1011&context=joseph_stiglitz Sulton Mawardi, S. S. (2003). “Kebijakan Publik yang Memihak Masyarakat Miskin.” Penelitian SMERU.
*****
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol.9 (3), Juli 2008
39
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
K ajian Kerangk a Subsidi di Indonesia Kajian Kerangka
Evi Noor Afifah*
Abstract The Government’s role in the economic structure is creating a prosperous with distribution income improvement and solving market failure. Many studies show that government’s role is relative dominant, especially in developing country. It causes that government not only as outpost but also as development controller. One of government’s role can describe in accumulate and control government expenditure allocations. It can show how many government activities in one period. One of government’s expenditure is subsidy. This paper will explain subsidy that focus in subsidy framework include subsidy giving criteria, kinds of subsidy and term of time subsidy. Moreover, this paper will describe how to arrange an effective, an efficient and a suitable subsidy for Indonesia. It also will compare a subsidy framework in other countries, like India, Nigeria, and Malaysia. Keywords : government expenditure, subsidy, subsidy framework
* Evi Noor Afifah adalah peneliti INDEF
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
41
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
1.
tinggi, subsidi yang semakin meningkat terutama subsidi BBM dan penerimaan pajak yang kurang optimal. Kenaikan harga minyak dunia yang diikuti dengan penurunan kurs rupiah terhadap dolar AS serta kenaikan BI rate untuk meredam inflasi dan penurunan kurs, semakin menambah beban APBN.
Latar Belakang
Indonesia saat ini sedang melakukan konsolidasi fiskal dalam rangka mencapai kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Akan tetapi konsolidasi fiskal ini menghadapi beban berat berupa utang publik yang cukup
Tabel 1. Perkembangan Pengeluaran untuk Subsidi dan Pengeluaran Negara (Dalam Miliar Rupiah)
S u b sid i (M ilia r R p .)
T ahun
B e la n ja N e g a ra (M ilia r R p .)
% S u b sid i T e rh a d a p B e la n ja N e g a ra
1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 2004
1 .8 5 8 3 .5 7 0 1 .2 3 0 867 1 .4 5 5 1 .5 0 2 179 1 .6 6 0 2 1 .1 2 1 3 5 .7 8 6 6 5 .9 1 6 6 2 .7 4 5 7 7 .4 4 3 4 0 .0 0 6 2 5 .4 6 5 2 6 .6 3 8
3 2 .6 9 2 3 9 .7 5 4 4 4 .5 8 1 5 2 .0 4 8 5 7 .8 3 3 6 2 .6 0 7 6 5 .3 4 2 8 2 .2 2 1 1 0 9 .3 0 2 1 7 2 .6 6 9 2 3 1 .8 7 9 2 2 1 .4 6 7 3 4 1 .5 6 3 3 4 5 .6 0 5 3 7 0 .5 9 2 2 5 5 .3 0 9
5 ,6 8 8 ,9 8 2 ,7 6 1 ,6 7 2 ,5 2 2 ,4 0 0 ,2 7 2 ,0 2 1 9 ,3 2 2 0 ,7 3 2 8 ,4 3 2 8 ,3 3 2 2 ,6 7 1 1 ,5 8 6 ,8 7 1 0 ,4 3
20051
1 1 9 .0 9 0
3 9 2 .8 2 0
3 0 ,3 2
20062
1 0 7 .6 2 8
4 2 2 .4 7 0
2 5 ,4 8
20073
1 0 5 .1 5 4
4 5 7 .3 0 0
2 2 ,9 9
Keterangan: 1.APBN-PII
2.APBN-P
3. APBN-P
Sumber: Nota Keuangan APBN, Departemen Keuangan, diolah.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
42
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
Sebagai gambaran, pada Tabel 1. perkembangan pengeluaran untuk subsidi dan pengeluaran sejak 1989/1990 sampai dengan 2007. Pengeluaran negara meningkat tajam sejak 1997/1998 dan mencapai puncaknya pada tahun anggaran 1999/2000 dan 2000. Sampai 2007, pengeluaran subsidi cenderung fluktuatif dengan nilai tertinggi dicapai pada tahun 2005. Pada 2006 pemerintah berupaya untuk menekan pengeluaran, sehingga pengeluaran subsidi semakin menurun menjadi Rp 107.628 Miliar dan menurun lagi menjadi Rp 105.154 Miliar pada 2007.
bunga kredit program dan lainnya). Berdasarkan Tabel 2. di bawah, komponen terbesar dari subsidi yang dikeluarkan pemerintah adalah subsidi BBM, sedangkan subsidi non BBM yang memiliki porsi terbesar adalah subsidi listrik, dan subsidi pangan. Tabel 2. menunjukkan bahwa sejak 2002 secara nominal besarnya subsidi yang dikeluarkan pemerintah terus meningkat, namun sebenarnya secara riil jumlah subsidi tersebut berkurang dari tahun ke tahun mengingat keterbatasan dana APBN. Saat ini hampir 30 persen dana APBN telah dialokasikan untuk membayar angsuran pokok hutang negara dan bunga, sehingga tidak mengherankan jika dana subsidi pada APBN dikurangi oleh pemerintah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya rasio total subsidi yang dikeluarkan pemerintah
Kebijakan pemberian subsidi oleh pemerintah telah berlangsung selama bertahun-tahun, dengan klasifikasi subsidi BBM dan non BBM (listrik, pangan, pupuk,
Tabel 2. Perkembangan Subsidi 2002-2007 (Dalam Miliar Rupiah) Jenis Subsidi
2002
2003
2004
20051
20062
20073
Total Subsidi
40.006,30
25.465,30
26.638,20
119.089,50
107.627,60
105.153,90
Subsidi BBM
31.161,70
13.210,00
14.527,10
89.194,00
62.735,20
56.361,20
Non BBM
8.844,60
12.255,30
12.111,10
29.895,50
44.892,40
48.792,70
- Pupuk
-
-
1.353,20
2.593,80
2.982,00
6.981,30
- Pangan
4.507,40
4.696,90
5.475,50
6.452,30
5.570,20
6.584,30
- Listrik
4.102,70
4.519,00
3.363,30
12.511,00
31.246,00
32.487,50
- Bunga kredit program
183,70
1.644,40
-
473,70
319,00
1.639,50
- Lainnya
50,80
1.395,00
1.919,10
7.864,70
4.775,20
1.100,10
Keterangan: 1.APBN-PII
2.APBN-P
3. APBN-P
Sumber: Nota Keuangan APBN, Departemen Keuangan, diolah.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
43
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 2005-2007 yang terus mengalami penurunan.
2.
Subsidi: Kerangka Analisis
Menurut konsep ilmu ekonomi, definisi subsidi adalah jumlah bantuan keuangan dari pemerintah, seperti grant, tax break, atau trade barrier, supaya mendorong produksi atau pembelian barang. Term subsidi juga mengacu pada bantuan grant kepada yang lain, misalnya kepada individual, lembaga swadaya masyarakat (non-government institution). WTO (World Trade Organisazation) mendefinisikan subsidi sebagai berikut: (a) transfer dana langsung termasuk potensial transfer seperti loan guarantees, (b) pendapatan yang hilang (foregone revenues), (c) barang dan jasa yang disediakan pemerintah seperti infrastruktur umum atau pembelian barang lainnya oleh pemerintah, dan (d) subsidi yang spesifik dari pemerintah seperti mekanisme pembayaran dana. Subsidi memiliki peranan yang cukup krusial dalam perekonomian. Subsidi merupakan suatu instrumen yang dapat memengaruhi input, output dan harga bermacam komoditas dalam perekonomian. Dengan demikian, subsidi juga menjadi satu instrumen yang krusial dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam pembangunan ekonomi. Hal ini dicapai dengan menggerakkan intrumen subsidi sehingga berpengaruh terhadap elastisitas permintaan dan penawaran suatu komoditas. Subsidi Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
akan menggeser kurva permintaan ke atas untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau kurva penawaran ke bawah untuk produksi bersubsidi (subsidized production). Klasifikasi manfaat subsidi berdasarkan penerimanya (beneficiaries) baik itu konsumen dan produsen, seperti berikut ini: (1) subsidi untuk bahan pangan sangat berguna bagi kaum miskin tapi jika terjadi kebocoran maka benefit yang diterima si miskin akan berkurang, (2) subsidi listrik meningkat untuk sektor pertanian dan sektor domestik lainnya, biasanya negara yang kaya akan memberikan subsidi listrik lebih besar daripada negara yang miskin, (3) subsidi untuk irigasi diberikan pemerintah mendorong produksi pertanian, karena dengan adanya irigasi, pupuk kimia, dan komponen input lainnya maka marginal produktivitas akan tinggi, (4) subsidi untuk pendidikan diberikan dalam rangka mempersiapkan generasi penerus lebih baik daripada sebelumnya. Biasanya semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita masyarakat maka subsidi yang dialokasikan untuk pendidikan dasar semakin rendah, dan (5) subsidi untuk kesehatan lebih banyak dialokasikan untuk kasus curative health daripada untuk preventive health. Subsidi ini sangat menguntungkan masyarakat golongan ekonomi lemah. Kebijakan pemberian subsidi biasanya dikaitkan kepada barang dan jasa yang memiliki positif eksternalitas dengan tujuan
44
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
agar untuk menambah output dan lebih banyak sumberdaya yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut, misalnya pendidikan dan teknologi tinggi. Namun, subsidi juga mememiliki eksternalistas yang negatif, misalnya: (i) subsidi menciptakan alokasi sumberdaya yang tidak efisien, karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar maka ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi. Hal ini disebabkan oleh harga yang disubsidi lebih rendah daripada biaya kesempatan (opportunity cost) maka terjadi pemborosan dalam penggunaan sumber daya untuk memproduksi barang yang disubsidi;dan (ii) subsidi menyebabkan distorsi harga. Secara umum efek subsidi menurut teori ekonomi dapat diklasifikasi sebagai berikut: (1) allocative effect, berkaitan dengan alokasi sumberdaya, pemerintah mengalokasikan sumber daya ke sektor tertentu yang dipandang memerlukan subsidi, (2) redistributive effect, umumnya tergantung dari elastisitas per mintaan kelompok masyarakat yang menggunakan barang yang disubsidi atau tergantung penawaran barang yang disubsidi, (3) fiscal effect, subsidi biasanya akan meningkatkan defisit fiscal karena penerimaan negara dari pajak berkurang, (4) trade effect, subsidi tidak langsung berupa peraturan harga yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menaikkan harga bahan baku tertentu akan mengurangi penawaran komoditi domestik dan akan meningkatkan Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
impor. Sebaliknya jika subsidi diberikan pada pengusaha domestik, maka akan mengurangi impor dan meningkatkan ekspor. Kemudian subsidi juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti terjadi alokasi sumber daya yang tidak efisien, sehingga mendorong pasar tidak kompetitif dan ada persaingan tidak sempurna, misalnya kebijakan pemerintah untuk mengkontrol harga mendorong penurunan produksi dan merangsang tumbuhnya pasar gelap (black market). Subsidi dalam teori ekonomi tidak mempunyai makna konotasi yang negatif, dan bukan pula preskriptif melainkan deskriptif, artinya adanya subsidi akan mengkoreksi kegagalan pasar sehingga pasar menjadi efisien, misalnya subsidi langsung lebih efisien dibandingkan subsidi tidak langsung seperti hambatan perdagangan (trade barrier). Namun bukan berarti subsidi langsung itu baik, tapi subsidi langsung lebih efisien dan lebih efektif sebagai alat untuk mencapai hasil yang diinginkan. Subsidi sebagai alternatif kebijakan politik (political choice) yang intinya adalah mentransfer sebagian dana dari kelompok masyarakat yang satu ke kelompok masyarakat lainnya. Beberapa jenis subsidi antara lain: (a) direct subsidies, (b) indirect subsidies, (c) labor subsidies, (d) tax subsidy, (e) production subsidies, (f) regulatory advantages, (g) infrastructure subsidies, (h) trade protection (import), (i) export subsidies (trade promotion), (j) procurement subsidies, (k) consumption subsidies, (l) tax breaks and corporate welfare, (m) subsidies due to the effect of debt guarantees. 45
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
3.
Kriteria Subsidi di Berbagai Negara
3.1. Subsidi di India Subsidi di India terdiri dari 3 jenis, yaitu subsidi makanan, subsidi pupuk, subsidi BBM. Ketiga jenis subsidi tersebut disebut dengan eksplisit subsidi, karena tercantum dalam dokumen keuangan Pemerintah India. Selain eksplisit subsidi, India juga memiliki implisit subsidi, yang termasuk didalamnya adalah subsidi transportasi. Tidak berbeda dengan Indonesia, tujuan subsidi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu; (1) untuk pemerataan; (2) untuk memenuhi kebutuhan dasar; (3) untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; dan (4) untuk stabilisasi harga. Dari ketiga jenis subsidi tersebut, subsidi makanan mendapatkan alokasi subsidi terbesar untuk periode tahun
2000-2007, yaitu sekitar 90 persen dari keseluruhan subsidi di India. Sedangkan, alokasi subsidi terbesar kedua di India adalah subsidi indigenous (urea) fertiliser. Subsidi di India secara umum dibedakan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) layanan secara umum, yang berupa pengeluaran sekretariat untuk layanan sosial dan ekonomi, (2) layanan yang memberikan eksternalitas yang besar, yang diperlakukan sebagai merit goods atau mendekati public goods, yaitu terdiri dari: (i) merit social services: pendidikan dasar, kesehatan masyarakat, sanitasi, informasi dan publikasi, kesejahteraan tenaga kerja, kesejahteraan masyarakat, nutrisi, dan (ii) Merit economic services: konservasi air dan tanah, lingkungan kehutanan dan binatang liar, penelitian dan
Tabel 3. Kriteri Penentuan Subsidi di India No.
Kriteria Subsidi
Subsidi Pupuk
Subsidi Transportasi
Subsidi BBM
1
Tujuan
Stabilisasi, Kebutuhan Dasar
Stabilisasi
Pertumbuhan
2
Ketepatan
Efektivitas
Efektivitas
Efektivitas
3
Pengajuan dan Pencairan
-
-
-
4
Jenis Subsidi
Produsen
Produsen
Produsen
Produktivitas, Kemiskinan dan Perdagangan Biaya Operasional+Margin+ Distribusi
Produktivitas, Kemiskinan dan Perdagangan Biaya Operasional+Margin+ Distribusi
5
Dampak
6
Harga Keekonomian
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Produktivitas dan Perdagangan
Biaya Operasional
46
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
pendidikan pertanian, pengendalian banjir dan drainase, jalan dan jembatan, scientific research, ekologi, lingkungan dan meterologi, serta (3) layanan lainnya.
3.2. Subsidi di Nigeria Pertanian merupakan sektor vital dan penting bagi perekonomian Nigeria. Hal ini disebabkan, adanya prediksi mengenai kenaikan output pertanian di Nigeria. Alasan yang melatarbelakangi adanya kenaikan permintaan tersebut, adalah; (1) populasi Nigeria yang sekarang berjumlah 120 juta, dengan tingkat pertumbuhan populasi 3 persen per tahun. Dengan demikian, populasi Nigeria diperkirakan mencapai 240 juta pada tahun 2030 dan 360 juta pada tahun 2040; (2) permintaan output pertanian di masa akan datang akan naik sejalan dengan kenaikan pendapatan disposibel; dan (3) Adanya permintaan output pertanian dari negara lain (ekspor). Untuk mengantisipasi
kenaikan permintaan output pertanian tersebut, maka Pemerintah Nigeria melakukan kebijakan-kebijakan yang salah satunya adalah subsidi pupuk. Pemerintah Nigeria, baik pusat maupun daerah melakukan subsidi pupuk dan mengatur distribusinya dengan beberapa cara. Alasan Pemerintah Nigeria melakukan subsidi pupuk adalah karena petani tidak dapat membeli pupuk pada harga pasar. Banyak pendapat yang menyatakan selain harga yang tinggi, hambatan yang dihadapi petani di Nigeria adalah masalah kualitas dan ketepatan waktu. Oleh karena itu, selain subsidi, sistem distribusi pupuk juga harus diatur dengan menghapuskan perantara, sehingga pupuk bisa datang tepat waktu. Pada 1999 dan 2001 telah dilakukan beberapa evaluasi, dan temuan utama dari evaluasi tersebut menunjukkan bahwa ternyata banyak stakeholders yang tidak mendapat subsidi pupuk pada harga yang
Tabel 4. Kriteria Penentuan Subsidi Pupuk di Nigeria No.
Kriteria Subsidi
Deskripsi
1
Tujuan
Stabilisasi
2
Ketepatan
Efisiensi, Efektivitas, Distorsi
3
Pengajuan dan Pencairan
-
4
Jenis Subsidi
Produsen
5
Dampak
Produktivitas, Kemiskinan dan Perdagangan
6
Harga Keekonomian
Harga Pasar+Margin+ Distribusi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
47
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
disubsidi, pupuk-pupuk tersebut banyak dijual di pasar gelap. Adapun kriteria penentuan subsidi yang dilakukan oleh Pemerintah Nigeria yang berkaitan dengan pupuk dapat dilihat pada Tabel 4.
3.3. Subsidi di Malaysia Dibandingkan dengan negara-negara Asean lain, harga minyak di Malaysia jauh lebih rendah, hal ini disebabkan karena adanya subsidi BBM dan penghapusan pajak yang berlebihan dari Pemerintah Malaysia. Akibatnya, banyak penduduk Singapura dan Thailand menerima manfaat dari subsidi tersebut dengan membeli BBM di Malaysia. rendahnya harga BBM di Malaysia disebabkan oleh subsidi dan penghapusan pajak untuk semua produk BBM. Dengan kombinasi antara pajak dan subsidi tersebut, masyarakat dapat menikmati transportasi publik yang terjangkau. Subsidi juga
membuat rendahnya biaya operasi untuk nelayan dan operator dari transportasi sungai di Sabah dan Sarawak. Mekanisme harga ini telah dihubungkan dengan harga pasar internasional. Harga aktual produk ditentukan setelah memperhatikan harga internasional, biaya operasional seperti distribusi dan biaya pemasaran, dan pajak penjualan. Subsidi BBM di Malaysia diberikan langsung ke produsen atau pengecer. Pemerintah Malaysia berencana untuk melanjutkan subsidi BBM tetapi jumlah subsidinya akan diperbaharui dan ditentukan oleh Pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia merencanakan untuk membuat metode yang lebih efektif agar subsidi yang diberikan benar-benar tepat sasaran, sehingga operator transportasi publik, nelayan, operator transportasi sungai di Sabah dan Sarawak benar-benar merasakan manfaatnya.
Tabel 5. Kriteria Penentuan Subsidi BBM di Malaysia No.
Kriteria Subsidi
Deskripsi
1
Tujuan
Pemerataan
2
Ketepatan
Efektivitas, Distorsi
3
Pengajuan dan Pencairan
Tidak Langsung
4
Jenis Subsidi
Produsen
5
Dampak
Produktivitas, Kemiskinan dan Perdagangan
6
Harga Keekonomian
Harga Pasar+Margin+ Distribusi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
48
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
Lebih lanjut lagi, Subsidi BBM di Malaysia berdampak negatif terhadap perekonomian. Pertama, adanya distorsi pasar karena harga komoditi tidak menggambarkan harga aktual. Selain itu, subsidi BBM merugikan perekonomian nasional karena adanya peningkatan drastis dari konsumsi dan terjadinya kecurangan dan penyelundupan BBM. Kedua, subsidi BBM di Malaysia juga mengakibatkan adanya penyelundupan BBM ke negara lain. Berdasarkan suatu studi, Malaysia mengalami kerugian, yang diperkirakan sebesar 10 persen atau sekitar 660 juta Ringgit Malaysia akibat dari penyelundupan tersebut. Selanjutnya, subsidi juga meningkatkan defisit anggaran pemerintah.
4.
Kerangka Penentuan Subsidi
Subsidi didefinisikan sebagai pembayaran yang tidak mendapat imbalan pada saat diberikan (current unrequited payment) yang dilakukan pemerintah kepada penerima manfaat (government finance statistic). Dari identifikasi awal baik secara teoritis maupun empiris kriteria dibedakan atas 6 kriteria yaitu: (i) tujuan pemberian subsidi adalah tujuan yang ingin dicapai melalui pemberian subsidi (ii) ketepatan pemberian subsidi adalah ketepatan pelaksanaan pemberian subsidi dengan yang telah direncanakan (iii) mekanisme pengajuan dan pencairan alur proses pengajuan subsidi dan pencairan dana subsidi (iv) jenis subsidi adalah penerima manfaat langsung
Gambar 1. Hirarki Kriteria Kerangka Subsidi Pemerintah
KERANGKA SUBSIDI
GOAL
TUJUAN
KETEPATAN
PENGAJUAN & PENCAIRAN
JENIS
DAMPAK
HARGA KEEKONOMIAN
Pemerataan
Efisiensi
Langsung
Produsen
Belanja Fiskal
Biaya Operasional
Kebutuhan Dasar
Efektifitas
Tidak Langsung
Konsumen
Produktivitas
BO+ Margin
Stabilisasi
Distorsi
Kombinasi
Input
Kemiskinan
BO+Margin+ Distribusi
KRITERIA
SUB KRITERIA
Pertumbuhan
Perdagangan
Harga Pasar+Distribusi+ Margin
Gambar 1. Hirarki Kriteria Kerangka Subsidi Pemerintah
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
49
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
subsidi (v) dampak subsidi adalah efek yang ditimbulkan dari adanya pemberian subsidi dan (vi) harga keekonomian adalah nilai nominal tertentu yang ditentukan dengan metode tertentu yang akan menjadi salah satu dasar penentuan besaran subsidi. Pada masing-masing kriteria subsidi di atas,
Prioritas
Umum
terdapat sejumlah sub kriteria seperti telah digambarkan pada hirarki kriteria di atas. Untuk lebih memahami dan memperjelas arah dan penentuan bobot dari kriteria dan sub kriteria yang ada, masing-masing kriteria dideskripsikan berdasarkan sub kriteria, deskripsi sub kriteria, dan acuan penentuan sub kriteria.
Subsidi BBM
Subsidi Transportasi Tujuan Ketepatan Pengajuan dan Pencairan
Tujuan Ketepatan Harga keekonomian
Subsidi Pupuk
Pertama Kedua
Tujuan Ketepatan
Tujuan Ketepatan
Ketiga
Dampak
Jenis
Pengajuan dan Pencairan Harga Keekonomian
Pengajuan dan Pencairan
Dampak
Dampak
Dampak
Harga Keekonomian
Jenis
Harga Keekonomian
Jenis
Pengajuan dan Pencairan
Keempat Kelima Keenam
Prioritas Subkriteria
Jenis
Umum
Subsidi BBM
Subsidi Transportasi Pemerataan, Kebutuhan Dasar
Subsidi Pupuk
Tujuan
Pemerataan
Pemerataan
Ketepatan
Efisiensi, Efektivitas
Efisiensi
Efisiensi
Efektivitas
Langsung
Kombinasi
Langsung
Langsung
Produsen Belanja Fiskal, Produktivitas, Kemiskinan, Perdagangan
Input
Input
Produsen
Perdagangan
Kemiskinan
Kemiskinan
BO + Margin
BO + Margin
Biaya Operasional
Pengajuan dan Pencairan Jenis Subsidi Dampak Harga Keekonomian
Biaya Operasional
Dari AHP diperoleh hasil kriteria sebagai berikut: hasil perhitungan AHP di atas telah merumuskan prioritas kriteria dan sub kriteria dari subsidi baik subsidi secara
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Pemerataan
umum maupun subsidi khusus (pupuk, transportasi dan BBM). Berdasarkan hasil AHP tersebut, terdapat beberapa hal yang harus dijadikan perhatian, yaitu: 50
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
Jenis Subsidi
Poin Penting • •
• Subsidi secara umum • • •
•
• •
Subsidi BBM
Kebijakan subsidi ke depan haruslah subsidi yang menekankan pada peningkatan produktivitas bukan yang sifatnya hanya konsumtif semata. Kebijakan subsidi ke depan haruslah memiliki tujuan untuk pemerataan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Sehingga apapun jenis subsidinya haruslah diperuntukkan bagi masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar. Jika karena pertimbangan tertentu subsidi harus dihapuskan maka kompensasi dari penghapusan subsidi tersebut haruslah bertujuan untuk pengentasan kemiskinan sehingga pemerataan tercapai dan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin. Terdapat usulan mekanisme pengajuan dan pencairan dalam subsidi sebaiknya menggunakan mekanisme kombinasi, dimana pada saat pengajuan sebaiknya melalui departemen teknis karena mereka yang lebih mengetahui permasalahan di lapangan, sedangkan pencairan subsidi sebaiknya dilakukan secara langsung dari departemen keuangan ke produsen atau konsumen, agar keterlambatan dapat dihindari. Besaran subsidi sebaiknya tidak didasarkan hanya pada biaya margin saja, tapi juga harus didasarkan oleh biaya lain juga. Semakin tinggi cakupan biaya subsidi maka semakin besar masyarakat miskin dapat menerima manfaat subsidi. Pemerintah juga harus benar-benar menghitung harga keekonomian sebagai acuan pemberian subsidi, sehingga beban pemerintah dapat diminimalkan tanpa harus menghilangkan manfaat subsidi itu sendiri. Pemerintah harus benar-benar melakukan sistem monitoring evaluasi yang baik, karena apapun kerangka subsidi yang dipilih jika tidak diikuti dengan monitoring evaluasi yang baik, maka manfaat subsidi tersebut tidak dapat dirasakan secara optimal. Sebaiknya pemerintah mengembangkan subsidi untuk transportasi di perkotaan, seperti di negara maju, agar urban transportation dapat berkembang sehingga akan mengurangi konsumsi BBM secara signifikan dan berkurangnya eksternalitas dari penggunaan kendaraan bermotor di perkotaan. Dalam pelaksanaan subsidi transportasi diperlukan monitoring dan evaluasi yang baik sehingga pelaksanaan subsidi tranportasi sesuai dengan yang direncanakan. Subsidi BBM harus dipertimbangkan lebih matang jika ingin tetap dipertahankan karena selain “salah target” yang terjadi pada subsidi tersebut, juga karena adanya eksternalitas seperti polusi dan dampak negatif pada lingkungan yang harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, terdapat beberapa langkah beberapa langkah efisiensi/substitusi yang layak dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM, antara lain: i. Meningkatkan efisiensi pemakaian BBM di sektor transportasi dengan memaksa berlakunya sistem transportasi perkotaan yang lebih efisien dalam penggunaan energi (yang berarti pula lebih sehat secara lingkungan). ii. Menggantikan pemakaian solar di pembangkit-pembangkit tenaga listrik diesel yang tersebar di seluruh tanah air dengan pembangkit listrik batubara, panas bumi, gas, atau yang mengandalkan sumber energi setempat. iii. Mengurangi/mensubstitusi pemakaian minyak tanah dengan mengembangkan pemakaian briket batu bara, menyediakan LPG dalam tabung kecil, mempercepat pemanfaatan dan penyebaran CNG (compressed natural gas) serta mempercepat pembangunan jaringan distribusi gas bumi ke rumah-rumah tangga. iv. Menerapkan strategi pendanaan bagi upaya peningkatan efisiensi, rehabilitasi, substitusi BBM dan diversifikasi energi. v. Menerapkan harga BBM yang lebih mahal dibandingkan yang dipraktekkan sekarang
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
51
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
Jenis Subsidi
Poin Penting •
Subsidi Transportasi
•
• •
•
Subsidi Pupuk • •
• •
Subsidi transportasi disarankan tetap dipertahankan karena subsidi transportasi yang ada di Indonesia adalah subsidi transportasi untuk rakyat kecil dimana nilai ekonominya sangat kecil, sehingga hal ini tidak menarik bagi swasta untuk menanganinya. Mekanisme pengajuan dan pencairan subsidi transportasi sebaiknya menggunakan mekanisme kombinasi. Pengajuan subsidi sebaiknya dilakukan tidak langsung, dimana pengajuan dilakukan melalui departemen teknis, sehingga ketidaksesuaian antara kebutuhan dan realisasi dapat dihindari. Sedangkan keterlambatan realisasi subsidi/PSO dapat dihindari dengan pencairan secara langsung dari Departemen Keuangan ke BUMN. Subsidi pupuk disarankan tetap dipertahankan karena dapat meningkatkan produktivitas dari petani yang pada akhirnya meningkatkan output pertanian dalam negeri. Terkait dengan subsidi pupuk, subsidi harus diberikan pada kegiatan pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan yang lebih luas dibandingkan dengan jumlah dana subsidi itu sendiri (prinsip good subsidy). Indikator yang dapat dilihat sebagai dampak dari pemberian subsidi adalah penciptaan lapangan kerja, peningkatan output produksi dan penurunan tingkat kemiskinan. Untuk mencapai indikator tersebut maka penyaluran subsidi memerlukan persyaratan (a) memenuhi target produksi, (b) apliksi teknologi baru, dan (c) distribusi output yang optimal. Diperlukan perbaikan dalam kriteria jenis subsidi pupuk kedepan. Pemerintah sebaiknya mengganti kriteria jenis subsidi dari produsen menjadi konsumen, sehingga manfaat subsidi benar-benar dirasakan oleh petani. Pemerintah dapat memberlakukan sistem voucher yang dibagikan kepada petani sebagai target subsidi, seperti yang akan dilakukan di Nigeria. Adapun, untuk memberlakukan sistem voucher tersebut diperlukan data yang lengkap dan akurat, sehingga semua petani yang menjadi target mendapatkan subsidi tersebut. Selain itu, diperlukan monitoring dan evaluasi agar sistem voucher tersebut berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Selain itu, pemerintah dapat mempertimbangkan subsidi input, sehingga masalah ketersediaan gas dapat diatasi. Pemerintah sebaiknya melakukan mekanisme kombinasi dalam pengajuan dan pencairan subsidi pupuk. Mekanisme kombinasi adalah proses dimana pengajuan subsidi pupuk dilakukan oleh Departemen Teknis, karena mereka lebih mengerti kebutuhan di lapangan. Sedangkan pencairan dilakukan oleh Departemen Keuangan langsung ke BUMN, hal ini untuk menghindari keterlambatan dalam pencairan. Pemerintah juga dapat melakukan subsidi juga di saluran distribusi, seperti yang dilakukan di Nigeria, sehingga kelangkaan pupuk dapat diatasi. Harga keekonomian sebaiknya untuk subsidi pupuk berdasarkan harga pasar plus margin plus distribusi, sehingga petani dapat membeli pupuk dengan harga yang terjangkau dan tidak ada kelangkaan pupuk di pasar. Dengan harga keekonomian yang mencakup harga pasar plus margin plus distribusi, maka berkurangnya insentif bagi produsen untuk menjual pupuk di pasar luar negeri.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
52
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
5.
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan Dari aspek-aspek yang berkait dengan mekanisme subsidi baik secara umum maupun secara teknis, maka dari hasil analisis yang dilakukan terdapat beberapa hal yang harus dijadikan perhatian, yaitu bahwa kebijakan subsidi ke depan haruslah subsidi yang menekankan pada peningkatan produktivitas bukan yang sifatnya hanya konsumtif semata. Kemudian terkait dengan tujuan susbidi, ke depan hendaknya lebih diarahkan pada tujuan untuk pemerataan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Sehingga apapun jenis subsidinya haruslah diperuntukkan bagi masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar. Jika karena pertimbangan tertentu subsidi pupuk, BBM maupun transportasi harus dihapuskan maka kompensasi dari penghapusan subsidi tersebut haruslah bertujuan untuk pengentasan kemiskinan sehingga pemerataan tercapai dan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin. Mekanisme pengajuan dan pencairan dalam subsidi sebaiknya menggunakan mekanisme kombinasi, dimana pada saat pengajuan sebaiknya melalui departemen teknis karena institusi ini yang lebih mengetahui permasalahan di lapangan, sedangkan pencairan subsidi sebaiknya dilakukan secara langsung dari departemen keuangan ke produsen atau konsumen, agar Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
keterlambatan dapat dihindari. Besaran subsidi juga sebaiknya tidak didasarkan hanya pada biaya margin saja, tapi juga harus didasarkan oleh biaya lain juga. Semakin tinggi cakupan biaya subsidi maka semakin besar masyarakat miskin dapat menerima manfaat subsidi. Selain itu, pemerintah harus benar-benar melakukan sistem monitoring evaluasi yang baik, karena apapun kerangka subsidi yang dipilih jika tidak diikuti dengan monitoring evaluasi yang baik, maka manfaat subsidi tersebut tidak dapat dirasakan secara optimal. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kerangka secara umum kebijakan subsidi di Indonesia boleh saja dirumuskan. Namun pada akhirnya kebijakan atas kebijakan subsidi di Indonesia perlu secara spesifik ditentukan baik yang bersifat mekanisme umum maupun mekanisme teknisnya. Kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang baik bagi penentuan kebijakan subsidi di Indonesia ke depan maupun bagi dilaksanakan kajian-kajian yang lebih spesifik yang dapat menjadi acuan teknis bagi kebijakan tiap-tiap jenis subsidi yang ada di Indonesia.
5.2. Rekomendasi Diperlukan perbaikan dalam kriteria jenis subsidi pupuk ke depan. Pemerintah sebaiknya mengganti kriteria jenis subsidi dari produsen menjadi konsumen, sehingga manfaat subsidi benar-benar dirasakan oleh
53
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
petani. Pemerintah dapat memberlakukan sistem voucher yang dibagikan kepada petani sebagai target subsidi, seperti yang akan dilakukan di Nigeria. Adapun, untuk memberlakukan sistem voucher tersebut diperlukan data yang lengkap dan akurat, sehingga semua petani yang menjadi target mendapatkan subsidi tersebut. Selain itu, diperlukan monitoring dan evaluasi agar sistem voucher tersebut berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Selain jenis subsidi di atas, pemerintah dapat mempertimbangkan subsidi input, sehingga masalah ketersediaan gas dapat diatasi. Pemerintah juga dapat melakukan subsidi juga di saluran distribusi, seperti yang dilakukan di Nigeria, sehingga kelangkaan pupuk dapat diatasi. Pemerintah juga harus benar-benar menghitung harga keekonomian sebagai acuan pemberian subsidi, sehingga beban pemerintah dapat diminimalkan tanpa harus menghilangkan manfaat subsidi itu sendiri. Harga keekonomian sebaiknya untuk subsidi pupuk berdasarkan harga pasar plus margin plus distribusi, sehingga petani dapat membeli pupuk dengan harga yang terjangkau dan tidak ada kelangkaan pupuk di pasar. Dengan harga keekonomian yang mencakup harga pasar plus margin plus distribusi, maka berkurangnya insentif bagi produsen untuk menjual pupuk di pasar luar negeri. Pemerintah sebaiknya melakukan mekanisme kombinasi dalam pengajuan dan pencairan subsidi pupuk. Mekanisme kombinasi adalah proses dimana pengajuan
subsidi pupuk dilakukan oleh departemen teknis, karena mereka lebih mengerti kebutuhan di lapangan. Sedangkan pencairan dilakukan oleh Departemen Keuangan langsung ke BUMN, hal ini untuk menghindari keterlambatan dalam pencairan. Sementara itu subsidi transportasi yang ada di Indonesia adalah subsidi transportasi untuk rakyat kecil dimana nilai ekonominya sangat kecil, sehingga hal ini tidak menarik bagi swasta untuk menanganinya. Subsidi ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk memberikan layanan publik salah satunya transportasi publik. Mekanisme pengajuan dan pencairan subsidi transportasi sebaiknya menggunakan mekanisme kombinasi. Pengajuan subsidi sebaiknya dilakukan tidak langsung, dimana pengajuan dilakukan melalui departemen teknis, sehingga ketidaksesuaian antara kebutuhan dan realisasi dapat dihindari. Sedangkan keterlambatan realisasi subsidi/ PSO dapat dihindari dengan pencairan secara langsung dari Departemen Keuangan ke BUMN. Kriteria jenis subsidi transportasi sebaiknya dengan input subsidi atau subsidi ke produsen. Ke depan, sebaiknya pemerintah mengembangkan subsidi untuk transportasi di perkotaan, seperti di negara maju, agar urban transportation dapat berkembang sehingga akan mengurangi konsumsi BBM secara signifikan dan berkurangnya eksternalitas dari penggunaan kendaraan bermotor di perkotaan.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
54
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
Daftar Pustaka Ananda, Mukesh. Raghbendra Jhab. Budgetary Subsidies and the Fiscal Deficit: Case of Maharashtra. August 2004. ASARC Working Paper 2004/17. CEE (center for energy economics), Bureau of Economic Geology, Jackson School of Geosciences, The University of Texas at Austin, LPG Subsidies in India. Chang, Tsangyao. Yuan-Hong Ho. A Note on Testing “Tax-and-Spend, Spendand-Tax or Fiscal Synchronization”: The Case of China. Journal of Economic Development. Volume 27, Number 1, June 2002. Chory, Davin. Subsidies for FDI: Implications from a Model with Heterogeneous Firms. Department of Economics Harvard University. April 2, 2007. Coady, David. El-Said Moafaz, Gillingham, Robert. Kpodar Kangni. Medas, Paulo dan Newhouse, David: The Magnitude and Distribution of Fuel Subsidies: Evidence from Bolivia, Ghana,Jordan, Mali, and Sri Lanka. IMF Working Paper, 2006. Does Subsidy Removal Hurt the Poor? Evidence from Computable General Equilibrium Analysis AIAE (Africa Institute for Applied Economy) Research Paper 2. Economic Impacts of Not Extending Biofuels Subsidies. FAPRI - UMC Report #17-07. www.fapri.missouri.edu. May 2007.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Economic Outlook, Coping with Dear Oil, 2006 Energy Information administration, Country Analysis Brief, India, January, 2007 Faisal Basri, Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2002. GTZ energy information. Fuel Prices in Asean Countries., 2005. Handoko, Rudi dan Pandu Patriadi, 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi Non BBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol 9 No. 4 Desember 2005. ICLEI, local government for sustainability, European Commission. Hidden Subsidies For Urban Car Transportation: Public Funds for Private Transport. IFDC:An International Center for Soil Fertility and Agriculture Development. Input Subsidies and Agricultural Development: Issues and Options for Developing and Transitional Economies. Internasional Food Policy Research Institute. : Sustainable Solutions for Ending Hunger and Poverty, IFPRI Discussion Paper 00716, September 2007 Joseph G. Nag yand Oluwole. Assessment of Nigerian Government Fertilizer Policy and Suggested Alternative Market-Friendly Policies. Edun Consultants to IFDC. September 26, 2002. Khan, Muhammad Khalid Nadeem. Syed Masoom Shah Bukhari. Review of
55
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
Wheat Subsidy Mechanism of the Food Department and Replacement of Existing Wheat Subsidy with a pro-Poor Targeted Atta Subsidy Mechanism in Balochistan Balochistan Resource Management Program, Finance Department Government of Balochistan.
Adjustment Program in Nigeria: State Repression, Coercion & Co-Optation Versus Social Forces’ Contestation, 19861993. AfricaResource.com. 13 November 2005.
Krusec Dejan, 2003. The Effects Of Fiscal Policy On Output In a Atructural VEC Model Framework: The Case Of Four EMU And Four Non-EMU OECD Countries. European University Institute Florence, Italy, November 2003.
Pasha, Ajmal Pasha. Economic and Environmental Impact of Policy on Transportation Subsidy to Wood-Based Industries in Andaman and Nicobar Islands. Planning Commision, Government Of India, Ecological Economics Unit. Institute For Social and Economic Change. March 2003.
Kumah, Francis. John M. Matovu. Commodity Price Shocks and the Odds on Fiscal Performance: A Structural Vector Auto regression Approach. IMF Staff Papers. Vol. 54, No. 1.
Ramaswami B., P. Balakrishnan. Food Prices and the Efficiency of Public Inter vention: the Case of the Public Distribution System in India. www.elsevier.com.
M. Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, Edisi ke-5, hal. 34, 2003, BPFE, Yogyakarta.
Rangamannar, T.S. Chakraborty, Pinaki. Rao, C.Bhujanga dan Srivastava, D.K. Budgetary Subsidies in India: Subsidising Social and Economic Services. National Institute of Public Finance and Policy, New Delhi. March 2003.
McGillivray, Mark. Oliver Morrissey. A Review of Evidence on the Fiscal Effects of Aid. CREDIT Research Paper. No. 01/ 13. Milton H. Spencer & Orley M. Amos, Jr., Contemporary Economics, Edisi ke-8, hal. 464, 1993, Worth Publishers, New York. Nwafor, Manson. Kannayo Ogujiuba. Robert Asogwa. Does Subsidy Removal Hurt the Poor. Working Paper Series. Les Cahiers du SISERA – 2006/ 2. Okome , Mojubaolu Olufunke. The Politics of Implementing the Structural
S. Chungpaibulpatana, B. Sajjakulnukit, Limmeechokchai B, Santisirisomboon J. , and S.C. Bhattacharya, Application Of Ahp For Prioritizing Barriers On The Implementation Of Improved Biomass Cooking Stoves In Thailand. S.Proost, B. De Borger. Subsidiarity and Transport Policy in Europe: What EUSubsidies Do We Need for the Ten’s. www.elsevier.com.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
56
Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia
Saavalainen, Tapio. Joy ten Berge. Quasi-Fiscal Deficits and Energ y Conditionality in Selected CIS Countries. IMF Working Paper/06/43.
Initiative for Central and Eastern Europe. www.elsevier.com. Unit Perancang Ekonomi dan Majlis Tindakan Ekonomi Negara Jabatan Perdana Menteri. Oil Prices and subsidies: an explanation, 31 juli, 2005
Sowa Nii K., EDPRI, Accrta. The Role Of Subsidies As a Means To Increase Welfare. Ekonomi Politik Antidumping: kasus Perdagangan Kertas Indonesia – Amerika.
Wikipedia, the free encyclopedia, http:/ /en.wikipedia.org/wiki/, diakses pada 12 September 2005.
Tumanyan, David. Fiscal Equalization in Armenia: The Fiscal Decentralization
*****
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
57
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
P erk embangan Indik ator Ek onomi Perk erkembangan Indikator Ekonomi T riwulan II 2008 Triwulan Abdul Manap Pulungan*
Tekanan harga minyak dunia dan harga komoditas pangan terus mewarnai perjalanan perekonomian nasional. Harga minyak sempat menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 147,27 dollar AS per barrel -minggu keempat Juli-, sehingga mendongkrak harga komoditas pangan dunia. Kedua shok tersebut berujung pada melesunya perekonomian global dan langsung memengaruhi perekonomian domestik. Efek kenaikan harga minyak dunia telah direspon pemerintah dengan menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik. Isu kenaikan harga BBM domestik sebenarnya telah menyeruak jauh sebelum dilakukannya kenaikan pada 24 Mei. Isu yang berkembang berujung pada naiknya ekspektasi masyarakat dan secara langsung mendorong melejitnya harga berbagai kebutuhan (khususnya bahan makanan) sebelum kebijakan tersebut resmi diberlakukan. Pengaruhnya tergambar dari kenaikan inflasi pada Mei dan Juni. Inflasi April masih pada posisi 8,96 persen menjadi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
10,38 persen dan 11,03 persen pada Mei dan Juni. Sebagian kalangan menilai, inflasi Mei masih terkait dengan pengaruh ekspektasi kenaikan harga BBM sedangkan pengaruh kenaikan BBM terpancar pada inflasi Juni. Kenaikan harga minyak dunia dan pesimisme ekonomi global juga menekan rupiah. Pada April, rupiah sedikit melemah pada kisaran 0,37 persen (mom) dari Rp 9.174 per dollar menjadi Rp 9.209 per dollar. Namun, tingkat volatilitas rupiah pada periode tersebut relatif membaik, turun dari 0,6 persen menjadi 0,21 persen (mom). Nilai rupiah yang relatif terjaga pada April, tidak berlanjut dibulan Mei. Rupiah melemah rata-rata 0,78 persen (mom) dari level Rp 9.209 per dollar menjadi Rp 9.281 per dollar. Pelemahan tersebut diikuti dengan peningkatan volatilitas dari 0,21 persen menjadi 0,50 persen (mom). Secara keseluruhan, kinerja rupiah pada triwulan II relatif stabil pada level Rp 9.226 per dollar
91
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
atau melemah tipis 0,07 (qtq), yang diikuti penurunan volatilitas dari 1,42 persen menjadi 0,61 persen (qtq). Berikutnya, BI Rate, yang dipertahankan pada level 8 persen (April) mengalami kenaikan 25 basis poin pada Mei dan kembali naik pada Juni dengan kenaikan yang sama. Penyesuaian BI Rate tersebut terkait dengan pengetatan kebijakan (tight biased policy) yang ditempuh BI untuk meredam dampak kenaikan BBM. BI Rate yang stabil pada April masih berpengaruh pada suku bunga PUAB untuk bergerak disekitar BI Rate. Selain itu, suku bunga perbankan turut turun pada beberapa tenor. Suku bunga deposito 1 bulan dan 3 bulan masing-masing turun 0,29 persen (mom) dan 0,41 persen (mom) sedangkan suku bunga deposito 6 bulan bergerak stabil pada level 7,57 persen (mom). Suku bunga kredit investasi juga turun 0,95 persen (mom) tetapi suku bunga kredit modal kerja justru naik 0,38 persen (mom). Namun, penurunan suku bunga perbankan terhenti -kecuali pada Mei karena suku bunga kredit modal kerja dan Investasi masih turun pada kisaran 0,08 persen- pada Mei dan Juni seiring naiknya BI Rate. Suku bunga deposito (1 bulan) pada Mei dan Juni masing-masing naik 1,75 persen (mom) dan 3,01 persen (mom). Suku bunga kredit modal kerja dan suku bunga kredit investasi pada Juni naik masing-masing naik sekitar 0,54 persen (mom) dan 1,21 persen (mom). Kinerja perbankan nasional masih bergerak moderat karena krisis keuangan
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
global yang belum mereda. Penghimpunan dana pada April 0,02 persen (mom). Pada Mei dan Juni, penghimpunan dana perbankan masih bergerak masing-masing 1,47 persen (mom) dan 3,52 persen (mom). Dari sisi penyaluran dana, proporsi penempatan SBI masih cukup tinggi tetapi menunjukkan kecenderungan penurunan, sedangkan penyaluran kredit semakin membaik. Pada Maret dan April, proporsi kredit mencapai 71,95 persen dan 73,28 persen sedangkan pada Mei dan Juni masing-masing menjadi 74,90 persen dan 75,95 persen. Risiko penyaluran kredit juga menunjukkan perbaikan mencapai 4,1 persen pada Juni. Perkembangan rasio kecukupan modal perbankan (CAR) menunjukkan kecenderungan penurunan hingga berada pada level 17,1 persen pada Juni. Dari sisi pencapaian Loans to Deposit Ratio (LDR) cukup baik pada kisaran 76,77 pada Juni. Kinerja pasar obligasi dan pasar saham belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. Kinerja kedua pasar tersebut masih terpengaruh kenaikan harga minyak dunia yang berdampak pada naiknya eskpektasi inflasi sehing ga meningkatkan risiko fiskal dan berujung pada tertekannya kinerja SUN. Pada triwulan II ini, terjadi penurunan volume harian dari 365,6 triliun menjadi 304,0 triliun. Selain itu, rata-rata harian frekuensi perdagangan SUN juga menurun menjadi sebesar 5,75 persen (qtq) menjadi 300,2 kali. Disisi lain, kinerja IHSG selain dipengaruhi 92
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
kondisi internal juga dipersulit oleh tekanan eksternal seperti tren pelemahan bursa global, terutama pemasalahan tenaga kerja dan pasar kredit AS serta tingginya inflasi di China, India dan AS. Hal tersebut menyebakan kinerja IHSG pada triwulan II ini turun 4,01 persen (qtq) menjadi 2.349.
sektor moneter dan perbankan. Uraian tentang pencapaian perekonomian pada triwulan ini akan diakhiri dengan gambaran kinerja transaksi internasional.
Kinerja transaksi internasional masih menunjukkan surplus yang bersumber dari transaksi berjalan. Membaiknya kinerja transaksi internasional juga didukung oleh penurunan defisit transaksi finansial dan modal akibat penerbitan obligasi valas pemerintah di luar negeri (global bond) sekitar 2,2 miliar dollar pada Juni. Secara keseluruhan, neraca pembayaran Indonesia pada triwulan ini mencatat surplus 2,6 miliar dollar sehingga cadangan devisa nasional naik menjadi 59,9 miliar dollar. Nilai cadangan devisa tersebut setara dengan 5,1 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri pemerintah.
Dengan berbagai tekanan khususnya dari harga minyak dunia, yang diikuti dengan penyesuaikan harga BBM domestik, perekonomian nasional masih tumbuh 6,39 persen (yoy). Jika dihitung berdasarkan pertumbuhan triwulan, pertumbuhan perekonomian nasional mencapai 2,4 persen (qtq). Data BPS (2008) mencatat, terdapat tiga sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi (qtq) yaitu sektor pertanian, sektor pengangkutan dan sektor telekomunikasi, serta sektor listrik, gas dan air bersih, masingmasing tumbuh 5,1 persen (qtq); 4,1 persen (qtq) dan 3,6 persen (qtq). Namun, pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini secara nyata belum mampu berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya pertumbuhan pada sektor-sektor padat modal sedangkan sektor-sektor padat karya masih cenderung merana.
Selanjutnya kinerja perekonomian nasional pada triwulan ini cukup menggembirakan - tumbuh 6,39 persen (yoy) atau 2,4 persen (qtq) ditengah-tengah tekanan harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang belum mereda. Untuk memetakan berbagai langkah strategis ke depan maka perlu dilakukan evaluasi kinerja perekonomian. Tulisan ini akan mendeskripsikan berbagai perkembangan indikator perekonomian nasional pada periode berjalan. Bagian awal akan dimulai dengan peng gambaran pertumbuhan ekonomi dilanjutkan pemaparan kondisi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
1.
Pertumbuhan Ekonomi
Secara struktural, industri pengolahan masih menjadi kontributor utama terhadap PDB nasional, diikuti sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor industri pengolahan setidaknya berkontribusi 27,3 persen sedangkan sektor pertanian 14,7 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restoran 14,3 persen (Tabel 1). 93
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 1. Kontribusi Ekonomi Sektoral 2007:1-2008:II 2007 Sektor Ekonomi
2008
Selisih
Tw I (a)
Tw II (b)
Tw I (c)
Tw II (d)
d-c
d-b
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
13,6
14,1
14,7
14,7
0,0
0,6
Pertambangan dan Penggalian
11,2
11,0
11,2
11,5
0,3
0,5
Industri Pengolahan
27,1
27,0
27,1
27,3
0,2
0,3
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,9
0,9
0,9
0,8
-0,1
-0,1
Kontruksi
7,6
7,6
7,8
8,0
0,2
0,4
Perdagangan, Hotel dan Restoran
14,9
14
14,5
14,3
-0,2
0,3
Pengangkutan dan Komunikasi
6,6
6,6
6,5
6,0
-0,5
-0,6
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
7,9
7,7
7,6
7,2
-0,4
-0,5
Jasa-jasa
10,2
10,2
9,7
10,2
0,5
0,0
Sumber : Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2008.
Secara keseluruhan, sektor pertanian menjadi sektor yang paling tinggi kenaikan kontribusi terhadap PDB. Tercatat, kontribusi sektor ini naik 0,6 persen (qtq) lebih tinggi daripada sektor pertambangan dan peng galian serta sektor industri pengolahan yang juga mengalami kenaikan kontribusi selama periode berjalan. Melejitnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terkait dengan naiknya harga komoditas pertanian di pasar internasional khususnya untuk komoditas crude palm oil
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
(CPO/minyak kelapa sawit), karet, lada dan biji cokelat. Selanjutnya, dari sisi pengeluaran, kinerja penyusun PDB juga menunjukkan perbaikan. Pengeluaran konsumsi rumah tangga, naik 1,07 persen (qtq) sedangkan pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh fantastik 21,23 persen (qtq). Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga tumbuh 2,46 persen (qtq), sedangkan ekspor dan impor masing-masing tumbuh 5,19 persen (qtq) dan 5,44 (qtq) persen (Tabel 2).
94
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 2. Perkembangan PDB dari Sisi Pengeluaran Harga Konstan 2000 Jenis Pengeluaran
%/PDB
Triw I
Triw II
Triw I
Triw II
290,8
293,9
57,5
56,7
-0,8
32,5
39,4
6,4
7,6
1,2
Modal Tetap Bruto (PMTB)
118
120,9
23,3
23,3
0,0
Perubahan Inventori
-0,7
3,3
-0,1
0,6
0,7
Diekrepansi Statistik
13,2
6,4
2,6
1,3
-1,3
Ekspor Barang dan Jasa
258,1
271,5
51,0
52,4
1,4
206
217,2
40,7
41,9
1,2
505,9
518,2
100,0
100,0
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pembentukan
Dikurangi Impor Barang dan Jasa PDB
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2008
Dari sisi kontribusi terhadap PDB, pengeluaran konsumsi rumah tang ga berkontraksi 0,8 persen (qtq) sedangkan pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh 1,2 persen (qtq). Konstribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) bergerak stabil sedangkan kontribusi ekspor dan impor masing-masing naik 1,4 persen (qtq) dan 1,2 persen (qtq). Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga yang bergerak moderat dan mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB tergambar dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Indeks ini masih menggambarkan berlanjutnya fase kontraksi. Pada Juni IKK hanya 79,1 persen turun dari Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
82,4 pada Mei. Penurunan IKK terkait dengan terkoreksinya Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) masingmasing 7,5 persen dan 0,9 persen menjadi 72,9 dan 85,2. Dari survei tentang kondisi ekonomi saat ini dibandingkan 6 bulan lalu, tergambarnya kondisi yang sama, dimana beberapa indikator juga menunjukkan penurunan. Menurun survei tersebut, responden berpendapat bahwa penghasilan pada Juni cenderung menurun dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Memang penurunan penghasilan masyarakat telah terjadi sejak awal 2008. Pada Desember 95
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
indeks ini menunjukkan angka 116, sedangkan pada Januari, Februari serta Maret masing-masing 114,5; 110,8 dan 109,8. Perbaikan indeks tersebut hanya terjadi pada April (111,5) dan kembali turun menjadi 109,6 dan 105,7 pada Mei dan Juni. Selain itu, pada sisi ekspektasi konsumen dalam 6 bulan ke depan juga menunjukkan fesimistik. Dari tiga indikator, hanya indikator ekspektasi ekonomi yang naik sekitar 3,5 persen, sedangkan ekspektasi penghasilan, ekspektasi ketersediaan lapangan masingmasing turun 2,5 persen (Tabel 3).
Sisi dunia usaha menujukkan perkembangan relatif baik tetapi belum berpengaruh signifikan dalam menarik investasi. Survei kegiatan dunia usaha (SKDU) oleh Bank Indonesia pada 2.435 perusahaan menyimpulkan bahwa kegiatan usaha pada periode ini relatif membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal tersebut tergambar Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang mencapai 16,55 persen naik dari 5,70 persen pada triwulan sebelumnya. Peningkatan ekspansi kegiatan tersebut terkait dengan meningkatkan permintaan
Tabel 3. Beberapa Indeks Penilaian Konsumen terhadap Perekonomian Indikator
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
94,5
92,4
89,9
86,8
82,4
79,1
Kondisi Ekonomi Saat ini (IKE)
86,0
82,5
80,8
79,5
78,8
72,9
103,0
102,2
99,0
94,1
86,0
85,2
Ekspektasi Konsumen (IEK)
Kondisi Ekonomi saat ini dibandingkan 6 bulan yang lalu Penghasilan saat ini
114,5
110,8
109,8
111,5
109,6
105,7
barang tahan lama
79,4
74,2
70,9
68,6
69,6
61,6
Ketersediaan Lapangan Kerja
64,2
62,5
61,6
58,4
57,2
51,3
129,7
129,6
128,2
123,9
117,3
114,4
Ekspektasi Ekonomi
93,6
92,6
86,6
81,7
69,4
71,8
Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja
85,6
84,5
82,1
76,6
71,3
69,5
Ketepatan waktu pembelian
Ekspektasi Konsumen dalam 6 bulan ke depan Ekspektasi Penghasilan
Sumber : Bank Indonesia, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
96
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
akan barang dan semakin membaiknya kondisi pasar nasional serta munculnya faktor musiman seperti liburan sekolah. Dari sisi ekonomi regional, Jawa masih menjadi kontributor utama terhadap PDB nasional disusul Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pulau Jawa, setidaknya berkontribusi sekitar 57,7 persen, Sumatera 24,2 persen dan Kalimantan 9,9 persen, Sulawesi 4,1 persen sedangkan Wilayah Indonesia Timur 4,3 persen. Kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional pada periode ini adalah DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat, dengan kontribusi 44,8 persen. Berikutnya, konstributor utama pertumbuhan ekonomi Jawa adalah DKI Jakarta (27,7 persen), Jawa Timur (25,4 persen), Jawa Barat (24,8 persen), Jawa Tengah (15,6 persen), Banten dan DI Yogyakarta masing-masing 5 persen dan 1,5 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi di Sumatera masing-masing dikontribusikan oleh Riau (29,8 persen), Sumatera Utara (15,6 persen), Sumatera Selatan (13,6 persen). Selanjutnya, penyumbang utama pertumbuhan di Kalimantan adalah Kalimantan Timur (68,9 persen) dan di Sulawesi adalah Sulawesi Selatan (50,1 persen).
pada April terkait dengan tersendatnya distribusi minyak tanah dan elpiji di beberapa daerah yang menyebabkan tekanan inflasi administered price. Selain itu pengaruh kenaikan harga BBM domestik semakin memperdalam pengaruh inflasi yang diatur pemerintah ini. Sementara itu, tekanan inflasi administered price lainnya muncul dari kenaikan tarif air minum PAM, harga Bahan Bakar Khusus, tarif angkutan udara, dan harga rokok terkait penyesuaian tarif spesifik rokok dan ad volarum per 1 Januari 2008. Dorongan kenaikan pada beberapa barang tersebut berdampak pada naiknya sumbangan inflasi administered price dari 0,16 persen per Maret menjadi 0,34 persen per April. Jenis inflasi ini menjadi penyumbang utama terhadap inflasi umum 0,62 persen dengan inflasi 2,84 persen (Tabel 4). Inflasi volatite food juga relatif tinggi akibat masih naiknya harga komoditas pangan internasional, sedangkan inflasi inti masih dipengaruhi tekanan inflasi dari sisi impor dan ekspektasi inflasi. Pada April dan
1
2.
Perkembangan Sektor Moneter
a.
Inflasi1
Inflasi IHK April menunjukkan peningkatan dari 8,17 persen (yoy) per Maret menjadi 8,96 persen (yoy). Kenaikan inflasi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Mulai 1 Juli 2008, penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Juni 2008 menggunakan tahun dasar 2007 = 100 (sebelumnya 2002 = 100) yang didasarkan pada hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2007. Cakupan kota bertambah dari 45 menjadi 66 kota, sedangkan paket komoditas naik dari 744 pada tahun 2002 menjadi 774 tahun 2007. Bobot komoditas makanan turun dari 43,38 persen menjadi 36,12 persen (BPS, Juli 2008)
97
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 4. Perkembangan Infasi Januari-Mei 2008 (Persen) Keterangan Core Inflation -Inflasi -Sumbangan thdp. Inflasi Administered Price -Inflasi -Sumbangan thdp. Inflasi Volatile Food -Inflasi -Sumbangan thdp. Inflasi
Jan
Feb
Mar
April
Mei
1,52 0,89
0,76 0,44
0,87 0,49
0,34 0,18
1,41 0,43
1,84 0,39
-0,57 -0,12
0,69 0,16
1,58 0,34
2,84 0,62
2,36 0,49
1,63 0,33
1,45 0,30
0,29 0,05
1,73 0,36
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008 Mei kelompok bahan makanan masih mengalami kenaikan tertinggi masing-masing 15,73 persen (yoy) dan 18,18 persen (yoy) yang diikuti sektor listrik, air dan gas masingmasing 7,32 (yoy) persen dan 8,63 persen (yoy). Disamping itu, peningkatan ekspektasi inflasi juga terus terjadi. Survei Bank Indonesia (2008) menunjukkan ekspektasi masyarakat akan kenaikan harga cukup tinggi khususnya pada Mei. Untuk harga umum pada Mei -kategori ekspektasi harga 3 bulandiekspektasi masyarakat naik 3,84 persen (mom) dan diekspektasi turun pada Juni sekitar 1,29 persen. Tingginya ekspektasi kenaikan harga pada Mei dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM, walaupun kenaikan harga BBM tersebut direalisasikan pada akhir Mei. Sedangkan untuk periode 6 bulan, diekspektasi naik 3,60 persen pada Mei dan turun 2,51 pada Juni.
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Secara keseluruhan indeks ekspertasi tertinggi terjadi pada bahan makanan. Pada April, Mei dan Juni -untuk kategori ekspektasi harga 3 bulan- indeks kelompok ini hampir mencapai 187, sedangkan pada kategori 6 bulan mencapai 188. Namun, kenaikan ekspektasi tertinggi untuk kategori 3 bulan (April ke Mei) adalah kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan mencapai 8,19 persen (mom) disusul kesehatan 5,73 persen (mom), sedangkan bahan makanan hanya 4,06 persen (mom). Sejalan dengan itu, pada kategori 6 bulan, kenaikan ekspektasi tertinggi juga terjadi pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan mencapai 6,68 persen (mom), disusul kelompok sandang dan kesehatan masing-masing naik 5,63 persen (mom) dan 5,00 persen (mom). Berbeda dengan Mei, pada Juni, indeks ekspektasi masyarakat
98
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
cenderung menurun pada kisaran di bawah 5 persen baik untuk kategori 3 bulan maupun 6 bulan. Penurunan ekspektasi tertinggi terjadi pada kelompok perumahan, listrik, gas dan bahan bakar sekitar 4,25 persen (mom) (Tabel 5).
harga BBM. Berbeda dengan dua bulan sebelumnya, pada Juni kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan menyumbang inflasi tertinggi sebesar 1,55 persen. Kenaikan sumbangan inflasi kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan memang telah terjadi sejak Mei. Setidaknya kelompok ini mengalami peningkatan sumbangan 0,52 persen (April-Mei) dan 1,22 persen (Mei-Juni). Kenaikan inflasi pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan melebihi kenaikan inflasi umum (Mei-Juni) (Tabel 6).
Dari sisi sumbangan kelompok pengeluaran, kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar menjadi penyumbang utama inflasi per April, sedangkan pada Mei adalah kelompok bahan makanan yang didorong peningkatan ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan
Tabel 5. Ekspektasi Harga Dalam 3 dan 6 bulan Yang Akan Datang
Kelompok
Apr (a)
Mei (b)
Harga umum
179,6
186,5
Bahan Makanan Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau Perumahan, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
179,9
3 bulan Jun (c)
b-a
c-b
Apr (d)
Mei (e)
184,1
3,84
-1,29
180,6
187,1
187,2
184,9
4,06
-1,23
179,2
173,2
180,6
181,0
4,27
0,22
175,9
183,8
178,5
4,49
Sandang
154,2
164,4
167,3
Kesehatan Transpor, Komunikasi dan Jasa Keuangan Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga
155,2
164,1
162,3
159,6
6 bulan Jun (f)
e-d
f-e
182,4
3,60
-2,51
186,7
181,1
4,19
-3,00
174,4
182,0
177,8
4,36
-2,31
-2,88
175,9
183,6
175,8
4,38
-4,25
6,61
1,76
159,9
168,9
167,4
5,63
-0,89
166,3
5,73
1,34
159,9
167,9
165,0
5,00
-1,73
175,6
177,9
8,19
1,31
167,7
178,9
173,5
6,68
-3,02
167,2
170,9
4,76
2,21
164,1
171,3
168,2
4,39
-1,81
Sumber : Diolah dari Bank Indonesia, 2008
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
99
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 6. Perkembangan Sumbangan Inflasi Kelompok Pengeluaran Kelompok Pengeluaran
April
Mei
Juni
Umum
0,57
1,41
2,46
Bahan Makanan
0,13
0,47
0,31
Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau
0,15
0,15
0,23
Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar
0,43
0,42
0,27
Sandang
-0,02
-0,01
0,04
Kesehatan
0,06
0,03
0,03
Pendidikan, Rekreasi & Olahraga
0,01
0,02
0,03
Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan
-0,19
0,33
1,55
Sumber : Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2008
Selain itu, terjadi penurunan sumbangan kelompok bahan makanan 0,16 persen (Mei-Juni) padahal pada AprilMei naik 0,34 persen atau menjadi kelompok penyumbang inflasi tertinggi kedua setelah transport, komunikasi dan jasa keuangan. Penurunan sumbangan inflasi juga muncul dari kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar dalam porsi yang relatif besar 0,15 persen (Mei-Juni) naik dari 0,01 persen (April-Mei). Perkembangan tersebut menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM pada Mei lebih berpengaruh kepada sektor transport, komunikasi dan jasa keuangan dibanding sektor lainnya.
b. Nilai Tukar Kinerja nilai tukar rupiah pada triwulan II masih dipengaruhi pesimisme terhadap
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
ekonomi domestik akibat kenaikan harga minyak dan komoditas pangan. Menyeruaknya kedua kondisi tersebut khususnya harga minyak duniamemunculkan sentimen negatif terhadap sustainibilitas fiskal. Hal tersebut didasari oleh munculnya isu pembengkakakan subsidi BBM yang akan menggoyang ketahanan fiskal. Selain itu, tingginya ekspektasi inflasi masyarakat akan kenaikan harga minyak dunia serta meningkatnya permintaan valas untuk kebutuhan impor minyak turut menekan rupiah pada berbagai perdagangan. Implikasinya, rupiah melemah pada kisaran 0,37 persen (mom) dari Rp 9.174 per dollar menjadi Rp 9.209 (April). Namun, tingkat volatilitas rupiah (April) relatif membaik dengan penurunan dari 0,6 persen menjadi 0,21 persen (mom). Pada Mei, rupiah melemah lebih besar yakni 0,78 persen dari level Rp 9.209 per dollar
100
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Grafik 1. Perkembangan Nilai Rupiah Terhadap Dollar AS April-Juni 9,900.00 9,850.00 9,800.00 9,750.00 9,700.00 9,650.00 9,600.00 1
9 18 30 2
9 19 30 2
April
Mei
4
6
9 11 13 16 19 23 25 27 30 Juni
Sumber : Diolah dari Bank Indonesia, 2008
menjadi Rp 9.281 per dollar. Pelemahan juga diikuti dengan peningkatan volatilitas dari 0,21 persen menjadi 0,50 persen. Gejolak nilai tukar pada Mei masih terkait dengan harga minyak yang memberikan tekanan pada mata uang regional. Pelemahan mata uang regional turut menekan rupiah akibat trade defisit yang terjadi selama periode berjalan. Lebih lanjut perkembangan nilai tukar ditampilkan pada Grafik 1.
c.
Suku Bunga
BI Rate pada April yang dipertahankan di posisi 8 persen terdorong naik karena kurang kondusifnya fundamental perekonomian akibat kenaikan harga minyak dan pangan dunia. Gejolak kenaikan harga
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
minyak dunia yang direspon dengan kenaikan harga BBM domestik menyebabkan naiknya BI Rate pada Mei sebesar 25 basis poin. BI Rate kembali naik pada Juni sebesar kenaikan Mei sehingga berada pada level 8,5 persen. Kestabilan BI Rate dari Januari-April diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan -kecuali suku bunga kredit modal kerja pada Aprildalam level yang berbeda. Koreksi suku bunga deposito maupun suku bunga kredit yang terjadi pada beberapa bulan, tidak berlanjut pada bulan berikunya. Kenaikan BI rate yang menjadi acuan perbankan mendorong penyesuaikan suku bunga yang terus berlanjut. Pada Mei, kenaikan suku bunga deposito (1 bulan) sekitar 1,75 persen belum 101
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
memberikan signal bagi perbankan untuk menyesuaikan suku bunga pinjamannya. Tercatat, suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi masih bertengger pada level 12,92 persen dan 12,36 persen atau terkoreksi 0,08 persen (mom) dan 0,88 persen (mom). Namun, kenaikan BI Rate yang terus berlanjut dan diikuti kenaikan suku bunga deposito pada Juni, langsung mendongkrak suku bunga kredit modal kerja ke level 12,99 persen dan kredit investasi 12,51 persen atau masing-masing melejit 0,54 persen (mom) dan 1,21 persen (mom) (Tabel 7). Penurunan suku bunga deposito tertinggi terjadi pada tenor 1 bulan sebesar 1,70 persen (mom) sedangkan pada suku bunga pinjaman terjadi pada kredit investasi sebesar 1,5 persen (mom). Penurunan suku bunga simpanan direspon lebih rendah oleh
penurunan suku bunga pinjaman khususnya suku bunga kredit modal kerja. Suku bunga simpanan (1 bulan) sempat turun 1,67 persen (mom) dan 1,70 persen (mom) pada Januari dan Februari hanya direspon sekitar 0,08 persen (mom) dan 0,23 persen (mom) pada suku bunga kredit modal kerja serta 1,54 persen (mom) dan 0,78 persen (mom) pada suku bunga investasi. Moderatnya penurunan suku bunga tersebut masih terkait dengan tingginya risiko penyaluran kredit khususnya kredit modal kerja. Penurunan suku bunga simpanan dan kredit turut mempengaruhi spread perbankan. Spread merupakan selisih antara suku bunga pinjaman dengan simpanan dan menjadi sumber pendapatan bagi bank. Pada Desember 2007, spread perbankan untuk kredit modal kerja mencapai 5,81
Tabel 7 Perkembangan Suku Bunga Perbankan, Desember 2007- Juni 2008 (Persen)
Sumber : Diolah dari Bank Indonesia (2008)
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
102
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
persen dan terus meningkat hingga mencapai 6,07 persen pada April. Sedangkan untuk jenis kredit investasi relatif lebih kecil dimana pada Desember 2007 mencapai 5,82 persen dan cenderung menurun hingga pada tingkat 5,61 persen dibulan April.
3.
Perkembangan Sektor Perbankan
a.
Intermediasi Perbankan
Perkembangan sektor perbankan masih tumbuh moderat. Penghimpunan dana pada April hanya tumbuh 0,02 persen (mom) lebih rendah dari periode yang sama 2007 sebesar 0,46 persen. Secara rata-rata pertumbuhan penghimpunan dana perbankan (JanuariApril) mencapai 0,25 persen lebih rendah dari periode yang sama 2007 sebesar 0,26 persen. Pada Mei dan Juni, pertumbuhan penghimpunan dana perbankan lebih baik daripada April dimana masing-masing tumbuh 1,47 persen (mom) dan 3,52 persen (mom). Dari sisi penyaluran dana, proporsi penempatan SBI masih cukup tinggi tetapi menunjukkan kecenderungan penurunan. Rata-rata penempatan pada SBI diperiode Januari-April mencapai 12,85 persen yang dipengaruhi peningkatan pada Januari 15,38 persen (mom). Berbeda dengan beberapa bulan sebelumnya, pada Mei dan Juni, proporsi penempatan dana perbankan pada SBI cenderung menurun masing-masing menjadi 9,88 persen -turun 1,38 persen dari April- dan 7,55 persen. Penurunan proporsi
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
SBI pada portofolio perbankan berdampak pada meningkatnya penyaluran kredit perbankan. Rata-rata (Januari-April) proporsi kredit pada portofolio perbankan mencapai 70,72 persen dengan kecenderungan peningkatan. Januari proporsi kredit mencapai 68,55 persen dan meningkat 0,56 persen pada Februari. Peningkatan proporsi kredit terus terjadi pada Maret hingga Juni. Pada Maret dan April, proporsi kredit mencapai 71,95 persen dan 73,28 persen sedangkan pada Mei dan Juni masing-masing menjadi 74,90 persen dan 75,95 persen. Lebih lanjut, perkembangan indikator perbankan ditampilkan pada Tabel 8. Perkembangan risiko perbankan juga relatif terjaga pada level 4,4 persen (April) dan terus membaik sampai Juni. Non Performing Loan untuk Mei dan Juni masingmasing 4,3 persen dan 4,1 persen atau masing-masing turun 0,1 persen (mom) dan 0,2 persen (mom). Hal ini diharapkan menjadi stimulus penting bagi perbankan untuk memerbaiki kinerja kreditnya. Berikutnya, pertumbuhan kredit perbankan yang relatif baik berdampak pada pergerakan laba operasional perbankan. Pada Januari-April laba operasional tumbuh rata-rata 64,54 persen sedangkan pada April-Juni rata-rata tumbuh 25,98 persen, dengan peningkatan tertinggi pada periode Januari-Februari sebesar 120,58 persen. Disisi lain, kinerja laba nonoperasional juga menunjukkan pergerakan yang cukup baik dengan pertumbuhan rata-rata 32,19 persen pada
103
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 8. Perkembangan Indikator Perbankan April - Juni 2008 Keterangan
Apr
Mei
Juni
Penghimpunan Dana
1.647,70
1.671,90
1.730,80
DPK
1.481,80
1.481,80
1.553,40
165,9
166,3
177,4
1.505,30
1.518,90
1.566,80
169,55
148,73
113,70
Lainnya Penyaluran Dana 1
Sertifikat Bank Indonesia
2
Surat Berharga Lainnya
84,2
81,70
82,60
3
Antar Bank Aktiva
142,6
144,70
174,50
4
Penyertaan
5,9
6,00
6,10
5
Kredit
1.103,10
1.137,70
1.190,00
1.949,30
1.972,60
2.040,90
169,7
183,40
196,50
4,4
4,3
4,1
Laba/Rugi
16,6
21,30
24,90
a
Operasional
11,1
14,40
17,60
b
Non Operasional
5,5
6,8
7,20
8,6
8,9
9,60
Asset Permodalan 1
Non Performing Loan Ratio terhadap total kredit (%)
2
3
Net Interest Margin
4
Capital Adequacy Ratio (CAR) (%)
19,39
17,6
17,1
5
Loan to Deposit Ratio (LDR) (%)
74,44
76,77
76,60
Sumber : Bank Indonesia, 2008 * data sementara
Januari-April, sedangkan April-Juni hanya tumbuh rata-rata 5,67 persen. Perkembangan tersebut tidak diikuti oleh kinerja NIM karena pada April mengalami kontraksi 4,44 persen menjadi 8,6 triliun rupiah. Namun kontraksi NIM yang terjadi pada April menunjukkan perbaikan pada Mei dan Juni masing-masing tumbuh 3,49 persen (mom) dan 7,87 persen (mom).
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Perkembangan rasio kecukupan modal perbankan (CAR) menunjukkan kecenderungan penurunan. Awal 2008, CAR perbankan masih berada pada level 21,30 persen tetapi terus menurun pada bulan berikutnya. Pada April, CAR perbankan hanya berada pada level 19,39 persen atau turun 5,50 persen (mom) sedangkan pada Mei dan Juni masingmasing turun 1,79 persen (mom) dan 0,5
104
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
persen (mom) menjadi 17,6 persen dan 17,1 persen. Dari sisi pencapaian Loans to Deposit Ratio (LDR) perbankan, masih berada dalam kisaran 74 persen (April) dengan tendensi ke arah peningkatan. Angka tersebut membaik dari posisi 73,66 persen, 70,93 persen dan 70,08 persen masing-masing pada Maret, Februari dan Januari. Perbaikan LDR terus berlanjut pada Mei menjadi 76,77 persen atau naik sekitar 2 persen (mom). Posisi LDR pada Juni sedikit terkoreksi menjadi 76,60 persen akibat kurang signifikannya pertumbuhan kredit. Namun, secara keseluruhan, kinerja LDR memiliki tendensi peningkatan tetapi masih lebih rendah dari sebelum krisis ekonomi.
b. Perkembangan Pasar Obligasi dan Pasar Saham Kenaikan harga minyak dunia dan penyesuaian harga BBM domestik berdampak pada naiknya ekspektasi inflasi. Kondisi tersebut menyebabkan naiknya penilaian pelaku pasar akan risiko domestik khususnya risiko fiskal. Keadaan yang demikian terus menekan SUN pada berbagai perdagangan. Keputusan pemerintah (BI) untuk tetap mempertahankan BI Rate pada level 8 persen (April) -menyebabkan melebarnya interest rate differential-- belum mampu menggerakkan transaksi SUN. Yield SUN kembali naik 0,78 persen menjadi 11,77 persen. Pelaku pasar menilai bahwa kenaikan tersebut menggambarkan naiknya risiko Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
SUN sehingga berdampak pada pelemahan harga pada hampir diseluruh jenis dan tenor SUN khususnya jenis Fixed Rate. Pada Mei, kinerja pasar obligasi terdongkrak karena mulai membaiknya faktor risiko khususnya risiko domestik. Hal tersebut tergambar dari penurunan yield SUN terutama untuk jangka menengah. Perbaikan tersebut juga tergambar dari rata-rata volume harian perdagangan SUN yang naik Rp 0,69 triliun (mom) menjadi Rp 5,65 triliun. Perbaikan volume harian perdangan SUN tidak diikuti frekuensi perdagangan SUN. Tercatat, frekuensi perdagangan SUN justru menurun dari 447 kali (April) menjadi 273 kali. Selain dukungan membaiknya risiko domestik, kinerja SUN juga tertolong oleh perbaikan risiko fiskal serta arah kebijakan ekonomi ke depan. Membaiknya arah kebijakan ekonomi tergambar dari peningkatan BI Rate 25 poin sebagai keseriusan pemerintah dalam menjaga ekspektasi inflasi. Selain itu, penurunan suku bunga The Fed 25 basis poin juga berdampak pada pelebaran interest rate differential sehingga mendorong minat investor untuk bertransaksi pada SUN. Disisi lain, perbaikan SUN juga terkait dengan menurunnya risiko emerging market selama Mei. Secara keseluruhan, pada triwulan II terjadi penurunan volume harian dari 365,6 triliun menjadi 304,0 triliun. Sejalan dengan itu, rata-rata harian frekuensi perdagangan SUN selama triwulan II-2008 juga menurun
105
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Grafik 2. Aktifitas Perdagangan SUN
Sumber : Bank Indonesia, 2008 5,75 persen (qtq) menjadi 300,2 kali. Lebih lanjut, perkembangan transkasi SUN ditampilkan pada Grafik 2. Kondisi pasar saham juga belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Secara keseluruhan kinerja pasar saham pada triwulan ini relatif lebih buruk dibanding triwulan sebelumnya, sebagai dampak peningkatan faktor risiko domestik dan regional. Momentum kestabilan BI Rate dan mulai reboundnya pasar keuangan global belum mampu memperbaiki kinerja IHSG. Tercatat, akhir April IHSG melemah 5,8 persen (mom) sehing ga ditutup pada level 2.304,5. Pelemahan tersebut masih terkait dengan
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
tekanan inflasi dan risiko fiskal akibat kenaikan subsidi BBM yang semakin tinggi. Namun pada Mei, kinerja IHSG menunjukkan perbaikan akibat membaiknya persepsi pelaku pasar akan kondisi perekonomian ke depan. Hal tersebut mengangkat IHSG ke level 2.444 diakhir Mei atau naik 6,07 persen (mom). Respon positif tersebut terkait dengan perkembangan perekonomian nasional pada paruh pertama yang relatif baik khususnya pertumbuhan PDB serta munculnya respon positif dari kebijakan BBM domestik yang secara langsung mengakhiri spekulasi tentang arah kebijakan dan faktor risiko global. Pada Mei, IHSG
106
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Grafik 3 Perkembangan IHSG
Sumber : Bank Indonesia, 2008 juga sempat mengalami rebound, yang merupakan rebound tertinggi diantara bursa lainnya. Namun demikian, secara keseluruhan kinerja IHSG pada triwulan II masih meninggalkan kontraksi sekitar 4,01 persen (qtq) menjadi 2.349. Selain berbagai hal di atas, kinerja IHSG juga terpengaruh oleh munculnya potensi hit and run pelaku asing menjadikan offset kerugian akibat subprime mortgage, yang terjadi antara dua pasar yaitu pasar komoditas dan pasar keuangan menyebabkan tekanan terhadap kinerja IHSG semakin dalam. Tekanan semakin dalam juga muncul karena terjadi tren pelemahan bursa global, pemasalahan
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
tenaga kerja dan pasar kredit AS serta tingginya inflasi di China, India dan AS. Lebih lanjut, perkembangan IHSG ditampilkan pada Grafik 3.
4. Sektor Luar Negeri Kinerja transaksi internasional masih menunjukkan surplus yang bersumber dari transaksi berjalan. Kinerja transaksi berjalan masih membaik karena berlanjutnya kenaikan harga komoditas internasional khususnya komoditas pertanian. Disamping itu, transaksi finansial dan modal turut menunjukkan pergerakan positif sebagai outcome kondisi fundamental
107
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 9. Kinerja Ekspor Indonesia Maret-Juni 2008
JanJuni 08
% MeiJuni
% Jan-Mei 08-07
Mar
Apr
Mei
Juni
JanJun 07
11897,0
10970,9
12887,9
12895
53859,9
70450,6
0,06
30,80
2759,9
2480,9
3214,8
2980,3
9719,6
16068,5
-7,29
65,32.
Minyak Mentah
1331,3
1226,1
1652,6
7068,9
7448,5
-19,65
83,06
Hasil Minyak
281,7
304,2
335,8
298,8
1325,2
1740,6
-11,02
31,35
Gas
1146,9
950,6
1226,4
1353,7
4325,5
6879,4
10,38
59,04
9137,1
8490,0
9673,1
9914,7
44140,3
54382,1
2,50
23,20
Total Ekspor Migas
Nonmigas
1372,8
Sumber : BPS, 2008 (diolah)
makroekonomi. Kebijakan pemerintah menerbikan obligasi valas pemerintah di luar negeri (global bond) sekitar 2,2 miliar dollar pada Juni, berkontribusi besar terhadap perbaikan kinerja transaksi finansial dan modal. Secara keseluruhan, kinerja neraca pembayaran Indonesia pada triwulan ini mencatat surplus 2,6 miliar dollar sehingga cadangan devisa nasional naik menjadi 59,9 miliar doolar. Nilai cadangan devisa tersebut setara dengan 5,1 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri pemerintah. Dari sisi kinerja ekspor masih fluktuatif, dimana pada April mengalami kontraksi 7,78 persen (mom) menjadi 10,97 miliar dollar. Kontraksi nilai ekspor tersebut terkait dengan terkoreksinya nilai ekspor nonmigas sekitar 7,08 persen (mom) menjadi 8,49 miliar dollar. Namun, kinerja ekspor kembali Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
membaik pada Mei dan Juni. Tercatat, nilai ekspor pada Mei mencapai 12,89 miliar dollar atau naik 17,5 persen (mom) sedangkan pada Juni tumbuh 0,06 persen (mom) menjadi 12,90 miliar dollar. Sejalan dengan itu, peningkatan pada kedua periode tersebut didorong oleh melejitnya kinerja ekspor nonmigas yang masing-masing tumbuh 13,94 persen (mom) dan 2,50 persen (mom). Kinerja ekspor nonmigas pada Juni lebih didonasikan oleh komoditas lemak dan minyak hewa/nabati mencapai 153,6 juta dollar sedangkan kontraksi tertinggi terjadi pada komoditas kertas/karton sekitar 45,9 juta dollar. Jika dikumulatifkan, nilai ekspor Indonesia sejak Januari-Juni mencapai US$ 70,45 miliar atau naik 30,80 persen dibanding periode yang sama tahun 2007 sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$ 54,38 miliar atau meningkat 23,20 persen (Tabel 9).
108
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 10 Perkembangan Kinerja Ekspor Indonesia pada Beberapa Negara (Miliar USD)
Juni
Market Share
rata2
Maret
April
Mei
Mar-Juni
ASEAN
2028,6
1965,9
2065,3
2020
45,98
0,19
Singapura
824,3
937
871
760,6
19,34
-0,68
Malaysia
653,9
423,9
549,6
550,4
12,36
-2,03
ASEAN Lainnya
550,4
596
644,7
400,8
12,50
-3,29
UNI EROPA
1160,3
1254,9
1478,3
1454
30,45
9,32
Jerman
182,9
199,9
242,6
218,6
4,81
9,02
Perancis
69,9
86,2
90,9
74,3
1,83
6,22
Inggris
111,8
128,7
127,4
138,8
2,89
7,53
UNI EROPA Lainnya
796
840,1
1017,4
1022
20,92
10,10
Negara Utama Lainnya
3632,4
3496,1
3601,2
3883
83,14
1,68
China
852,9
649,8
703
763,8
16,87
-3,70
Jepang
1046,9
1118,2
1064,3
1001
24,10
-0,74
Amerika Serikat
970,3
1011,6
1110,2
1188
24,36
7,00
Australia
139,3
148,7
134,8
174,3
3,40
6,35
Korea Selatan
421,5
341
368,5
488,3
9,20
3,99
Taiwan
201,3
226,8
220,4
268,4
5,22
9,14
Sumber : BPS, 2008 (diolah)
Secara keseluruhan, Amerika Serikat masih menjadi tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia, disusul Jepang dan Singapura dengan market share masing masing sebesar 24,36 persen, 24,10 persen dan 19,34 persen. Sementara pertumbuhan ekspor nonmigas tertinggi berada pada kasawan Uni Eropa Lainnya sedangkan kawasan ASEAN hanya tumbuh 0,19 persen. Pada Juni, nilai ekspor nonmigas
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
Indonesia ke kawasan ASEAN mengalami kontraksi 2,19 persen akibat menurunnya pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia ke negara utama yaitu Singapura, sekitar 12,69 persen (mom). Dari sisi pertumbuhannya, Jerman menempati urutan pertama rata-rata 9,02 persen disusul Taiwan 9,14 persen dan Inggris 7,53 persen sedangkan Amerika Serikat hanya tumbuh 7 persen dan Jepang malah kontraksi 0,74 persen (Tabel 10).
109
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Impor Indonesia pada April menunjukkan peningkatan 14,86 persen (mom), menjadi 11,50 miliar dollar. Peningkatan ini terjadi baik pada kasawan berikat maupun nonkawasan berikat, masing-masing 0,60 persen (mom) dan 18,65 (mom) persen. Kenaikan impor berlanjut pada Mei dengan angka yang relatif kecil yakni 1,41 persen (mom). Peningkatan tersebut mendorong nilai impor menjadi 11,66 miliar dollar. Pada Mei peningkatan impor kawasan nonberikat relatif lebih rendah dibanding kawasan berikat masingmasing 3,30 persen (mom) dan 6,96 persen (mom). Komoditas mesin/pesawat mekanik menjadi impor utama komoditas nonmigas (April-Mei) yang berasal dari Jepang, China dan Singapura masing-masing 5,73 miliar dollar AS, 5,71 miliar dollar dan 4,74 miliar dollar. Secara keseluruhan, impor Indonesia disuplai oleh Jepang dengan pertumbuhan hampir 6 persen (Maret-Juni), disusul ASEAN 0,63 persen dan Amerika Serikat 19,61 persen. Disamping itu, pada periode Maret-Juni terjadi penurunan impor beberapa negara seperti Thailand 2,34 persen, Perancis 20,74 persen dan China 1,60 persen. Pada Juni, nilai impor Indonesia kembali naik sekitar 3,13 persen (mom) menjadi 12,02 miliar dolar. Kenaikan tersebut berasal dari impor nonmigas sekitar 8,44 miliar dollar atau 70,18 persen dari total impor. Selanjutnya, impor kawasan berikat juga naik sekitar 11,34
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
persen (mom) menjadi 2,19 miliar dollar, sedangkan untuk kawasan nonberikat menjadi 9,83 miliar dollar atau naik 1,46 persen (mom). Sama seperti bulan sebelumnya, komoditas impor nonmigas tertinggi adalah mesin/pesawat mekanik dengan nilai 8,66 miliar dollar atau 17,91 persen dari total impor. Negara pemasok utama komoditas impor adalah Jepang disusul Cina dan Singapura, masingmasing 7,06 miliar dollar; 7,05 miliar dollar dan 5,66 miliar dollar. Ketiga pemasok tersebut menguasai pangsa impor nasional sekitar 41 persen dimana Jepang menguasai sekitar 14,60 persen, Cina 14,58 persen dan Singapura 11,70 persen. Selain beberapa negara tersebut, impor nonmigas Indonesia juga berasal dari ASEAN sekitar 23,71 persen dan Uni Eropa sebesar 10,12 persen. Neraca perdagangan Indonesia pada beberapa negara/kawasan masih menunjukkan surplus. Tercatat, surplus tertinggi masih dari Uni Eropa Lainnya sebesar 494,50 juta dollar, disusul Uni Eropa dan Amerika Serikat masingmasing 483,83 juta dollar dan 417,58 juta dollar. Sedangkan defisit tertinggi pada China 496,63 juta dollar disusul Negara utama lainnya dan Austalia masing-masing 367,28 juta dollar dan 257,60 juta dollar (Tabel 11).
110
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Tabel 11 . Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia pada Beberapa Negara (Juta USD) Maret Kawasan/Negara
April
Mei
Jun
Rata2 Def/Surp
Eks
Imp
Eks
Imp
Eks
Imp
Eks
Imp
ASEAN
2028.6
1965.1
1965.9
1989.1
2065.3
1989.7
2020
1892.8
60,78
Singapura
824.3
940.7
937
994.3
871
981.2
760,6
878.9
-100,55
Malaysia
653.9
353.3
423.9
347.6
549.6
365.5
550,4
558.8
138,15
ASEAN Lainnya
550.4
111.5
596
130.2
644.7
110.9
400,8
135.6
425,93
UNI EROPA
1160.3
782.1
1254.9
924.4
1478.3
911.9
1454
793.8
483,83
Jerman
182.9
253.2
199.9
308.6
242.6
275.3
218,6
233.4
-56,63
Perancis
69.9
100.5
86.2
85.5
90.9
62.8
74,3
93.4
-5,23
Inggris
111.8
73.8
128.7
77.5
127.4
84.9
138,8
64.9
51,40
796
354.6
840.1
452.8
1017.4
488.9
1022
402.1
494,28
Lainnya
3632.4
3608.4
3496.1
4224.6
3601.2
4026
3883
4222.8
-367,28
China
852.9
1247
649.8
1252.3
703
1207
763,8
1249.7
-496,63
Jepang
1046.9
965
1118.2
1201.7
1064.3
1050.5
1001
1314.2
-75,25
Amerika Serikat
970.3
512.8
1011.6
749.7
1110.2
697.4
1188
649.9
417,58
Australia
139.3
333.5
148.7
422.5
134.8
405.3
174,3
466.2
-257,60
Korea Selatan
421.5
320.9
341
354
368.5
414.6
488,3
301.1
57,18
Taiwan
201.3
229.1
226.8
244.4
220.4
251.2
268,4
241.7
-12,38
UNI EROPA Lainnya Negara Utama
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, 2008, Berita Resmi Statistik : Perkembangan Indeks Har ga Konsumen April, Badan Pusat Statistik, Jakarta _________________, 2008, Berita Resmi Statistik : Perkembangan Indeks Harga Konsumen Mei, Badan Pusat Statistik, Jakarta
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
_________________, 2008, Berita Resmi Statistik : Perkembangan Indeks Harga Konsumen Juni, Badan Pusat Statistik, Jakarta _________________, 2008, Berita Resmi Statistik : Pertumbuhan Ekonomi Indoenesia Triwulan II-2008, Badan Pusat Statistik, Jakarta
111
Perkembangan Indikator Ekonomi Indonesia Triwulan II 2008
Bank Indonesia, 2008, Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia di Bidang Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran Triwulan I:2008, Bank Indonesia, Jakarta
Bank Indonesia, 2008, Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia di Bidang Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran Triwulan II:2008, Bank Indonesia, Jakarta
*****
Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9 (3), Juli 2008
112