REFERAT Pilihan Obat Anti Hipertensi Pada Pasien Stroke
Pembimbing: dr. Linda Suryakusuma, Sp.S MA Disusun oleh: Kevin Yulianto 2014-061-137
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Periode 16 Februari – 21 Maret 2015
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat mengakibatkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Di seluruh dunia terjadi 15 juta kasus stroke setiap tahunnya, sepertiga akan meninggal pada tahun berikutnya, sepertiga akan hidup dengan kecacatan dan sisanya sembuh kembali.1,2 Di Amerika stroke merupakan akibat kematian 130.000 orang per tahunnya, atau 1 dari 20 kematian.3 Satu dari empat stroke yang terjadi (185.000) terjadi pada orang yang pernah mengalami stroke sebelumnya.4 Stroke dapat diklasifikasikan menjadi stroke hemoragik dan stroke iskemik, hampir 90% stroke yang terjadi merupakan stroke iskemik. Tekanan darah tinggi, kadar kolesterol yang tinggi dan merokok merupakan faktor resiko terbesar pada stroke. Setengah penduduk Amerika memiliki sedikitnya satu dari tiga faktor resiko tersebut.5 Hipertensi terutama pada hipertensi sistolik merupakan faktor resiko terbesar dalam perkembangan stroke.6 Di Indonesia stroke merupakan penyebab 15.4% dari seluruh kematian dengan usia rata-rata 58.8 tahun. Sedikit berbeda dengan Amerika, hanya 42.9% stroke yang terjadi merupakan stroke iskemik, 18.5% perdarahan intraserebral dan 1.4% perdarahan subarachnoid.7 Pada penelitian terhadap 228 pasien stroke di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado, rentang usia 45-54 tahun dan pensiunan memiliki insiden stroke tertinggi. Resiko terkena stroke terus meningkat sejak usia 45 tahun, penambahan 3 tahun sejak usia 50 tahun meningkatkan resiko stroke sebesar 1120%.8 Faktor resiko terbesar dalam stroke adalah hipertensi yang merupakan penyebab 50% stroke dikarenakan penyumbatan (stroke iskemik). Hipertensi juga meningkatkan resiko perdarahan di otak (stroke hemoragik). Tekanan darah tinggi menyebabkan tegangan pada pembuluh darah di seluruh tubuh sehingga jantung harus memompa lebih kuat untuk menunjang sirkulasi, serta meningkatnya permeabilitas
2
sawar darah-otak dan edema serebri. Tegangan ini dapat mencederai pembuluh darah, menjadikannya lebih keras dan sempit (aterosklerosis), pembentukan thrombus lokal, dan lesi iskemik. Penyumbatan lebih mudah terjadi pada keadaan aterosklerosis yang dapat menyebabkan stroke atau TIA (Transient Ischemic Attack).9 Terdapat berbagai obat-obatan anti-hipertensi yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah, diantaranya ACE inhibitor, Angiotensin receptor blockers, beta blockers, Calcium channel blockers, thiazide atau diuretik.9,10 Terdapat perbedaan penggunaan obat anti hipertensi antara pedoman yang diterbitkan dari berbagai institusi, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengupas lebih lanjut tentang obat-obat anti-hipertensi sesuai dengan pedoman yang diterbitkan dari berbagai organisasi. 1.2. Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui berbagai panduan pemberian obat anti hipertensi pada pasien stroke. 1.2.2 Tujuan Khusus - Mengetahui epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan tatalaksana stroke - Mengetahui pedoman tatalaksana stroke dari berbagai institusi -
Membandingkan pedoman pemberian obat anti hipertensi pada pasien stroke
1.3.
Manfaat Penelitian 1.3.1. Masyarakat Hasil studi kepustakaan ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat mengenai stroke dan pilihan obat anti hipertensi pada pasien stroke. 1.3.2. Bidang akademik Hasil studi kepustakaan ini diharapkan dapat memajukan ilmu pengetahuan dengan menyajikan informasi mengenai penggunaan dan perbedaan berbagai obat anti hipertensi dalam tatalaksana pasien stroke.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke Iskemik Stroke atau yang sering disebut “brain attack” terjadi pada saat aliran darah ke otak terhambat. Apabila aliran darah terhambat lebih dari beberapa detik, otak tidak mendapatkan nutrisi dan oksigen yang diperlukan. Apabila aliran darah ke otak terhambat dalam waktu cukup lama akan terjadi kematian sel otak yang menyebabkan cedera permanen. Terdapat dua tipe stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik terjadi saat pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak terhambat oleh bekuan darah.
Sedangkan stroke hemoragik terjadi saat tekanan darah tinggi dan pembuluh darah di otak menjadi lemah dan robek ke luar sehingga darah bocor ke rongga otak, hal ini sering terjadi pada aneurisma dan malformasi arteri-vena. Stroke hemoragik juga dapat terjadi pada pasien yang menggunakan pengencer darah seperti warfarin (Coumadin).11,12
4
Stroke hemoragik memiliki berbagai faktor resiko antara lain hipertensi, fibrilasi atrial, diabetes, riwayat keluarga stroke, kolesterol, usia di atas 55 tahun, dan orang berkulit hitam.11 2.1.3. Tatalaksana
Pemeriksaan radiologis diperlukan dalam menegakkan diagnosa stroke iskemik. CT-scan tanpa kontras merupakan modalitas yang sering digunakan evaluasi pasien dengan stroke akut. CT-scan dapat memperlihatkan perdarahan intraserebral, pemeriksaan ini penting untuk manajemen perdarahan otak dan infark otak. Infark
5
otak akan menghasilkan CT-scan yang normal pada fase akut dan biasanya tampak setelah 72 jam serangan stroke. Apabila hasil CT-scan negative namun secara klinis mendukung maka perlu dilakukan lumbal pungsi untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis dan perdarahan subaraknoid.12,13 Magnetic Resonance Angiography (MRA) juga dapat digunakan sebagai modalitas dalam diagnosa stroke. Selain detil dari jaringan yang terlihat dengan jelas, MRI juga dapat digunakan untuk melihat adanya edema serebri. MRI terbukti sensitive dalam mendiagnosa peradarahan intrakranial akut. Di sisi lain MRI tidak selalu tersedia dalam keadaan gawat darurat seperti CT-scan dan beberapa pasien memiliki kontraindikasi terhadap MRI (pacemaker, implant), interpretasi hasil MRI pun lebih sulit dilakukan.12,14-16 Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk memperlihatkan keadaan jantung, diharapkan foto tersebut menunjukkan ada tidaknya kardiomegali atau pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis. Selain itu X-ray toraks dapat memperlihatkan keadaan paru yang dapat memperburuk prognosis. Pemeriksaan neuroimaging yang sekarang ini berkembang dalam diagnosa stroke adalah carotid duplex scanning dan digital substraction angiography. Selain pemeriksaan imaging, pemeriksaan laboratorium juga memiliki peranan penting dalam menyingkirkan kemungkinan gejala mirip stroke seperti yang ada pada hipoglikemia dan hiponatremia. Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukkan penyebab stroke seperti polisitemia, thrombositosis, trombositopenia, atau leukemia. Berikut pemeriksaan laboratorium yang dilakukan:12,16 -
Gula darah sewaktu pada pasien stroke akut dapat menunjukkan hiperglikemia reaktif. GDS dapat mencapai 250 mg/dL dan turun perlahan.
-
Kolestrol, ureum, kreatinin, asam urat, SGOT/SGPT, profil lipid
-
Pemeriksaan homeostasis mencangkup PT, aPTT, fibrinogen, D-dimer, INR, viskositas plasma
Pemeriksaan jantung seperti EKG dan CKMB juga dapat dilakukan, perubahan pada hasilnya berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung atau emboli.
6
Algoritma Tatalaksana Pasien Stroke
Penatalaksanaan pasien stroke iskemik:12-16 Umum
7
-
Nutrisi
-
Hidrasi intravena: koreksi dengan NaCl 0.9%, jika hipovolemik
-
Hiperglikemi: koreksi dengan insulin skala luncur, bila sudah stabil dengan insulin subkutan
-
Neurorehabilitas dini: stimulasi dini secepatnya dan fisioterapi gerak anggota badan aktif maupun pasif
-
Perawatan kandung kemih: kateter pada penurunan kesadaran, demensia, afasia global
Khusus -
Terapi stroke iskemik akut o Trombolisis rt-PA intravena/intraarterial 0.9mg/Kg pada <3 jam setelah onset stroke (maksimal 90 mg). 10% dosis awal diberi sebagai bolus, sisanya melalui infus dalam 1 jam. o Antiplatelet berupa asam salisilat 106-325 mg/hari 48 jam setelah onset sroke atau clopidogrel 75 mg/hari o Obat neuroprotektif
-
Hipertensi o Tekanan darah diturunkan bila tekanan sistolik >220 mmHg dan/atau tekanan diastolic >120 mmHg dengan penurunan maksimal 20% Mean Arterial Pressure (MAP) awal per hari. o Tekanan Darah Sistolik (TDS) >230 mmHg atau Tekanan Darah Diastolik (TDD) >140 mmHg, obat antihipertensi dengan nikardipin (5-15 mg/ jam infus kontinu), diltiazem (5-40 mg/Kg/menit infus kontinu) atau nimodipin (60 mg/4 jam PO) o TDS 180-230 mmHg, TDD 105-140 mmHg, MAP 130 mmHg pada 2X pengukuran selang 20 menit atau pada keadaan hipetensi emergensi dapat diberikan: §
Labetalol 10-20 mg IVselama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan setiap 10 menit (maksimum 300 mg). Atau berikan dosis awal bolus yang diikuti labetalol drip 2-8 mg/menit
§
Nikardipin
§
Diltiazem
§
Nimodipin 8
o TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg tidak diberikan obat antihipertensi -
Trombosis vena dalam o Heparin 5000 unit/12 jam selama 5-10 hari o Low Molecular Weight Heparin (enoksaparin/nadroparin) 2 X 0.30.4 IU SC abdomen o Pneumatic boots, stoking elastic, fisioterapi, mobilisasi
2.2. Stroke Hemoragik Mayoritas stroke yang terjadi adalah stroke iskemik karena oklusi trombotik atau emboli serebrovaskular. Hanya 10-13% stroke merupakan stroke hemoragik yang berasal dari perdarahan intraserebral dan perdarahan aneurisma di subaraknoid. Pada 20-40% pasien dengan infark iskemik terjadi perdarahan satu minggu setelah onset stroke.12,17 Resiko stroke hemoragik meningkat seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada pasien dengan riwayat hipertensi dan stroke sebelumnya. Penggunaan alkohol dan obat-obatan seperti kokain dan simpatomimetik lainnya juga meningkatkan resiko stroke hemoragik.17 Secara klinis gejala pasien dengan stroke hemoragik terlihat mirip dengan pasien stroke iskemik, namun pasien memiliki keadaan yang lebih buruk. Pasien stroke hemoragik lebih sering mengeluhkan sakit kepala, mual-muntah dan secara klinis memiliki kejang, perubahan status mental, hipertensi.12-17 2.2.1. Etiopatogenesis Terdapat banyak penyebab terjadinya stroke hemoragik. Amyloidosis serebri pada geriatri berkontribusi 10% terhadap penyebab perdarahan intraserebral. Koagulopati dan kelainan bawaan terhadap defisiensi faktor VII, VIII, IX, X dan XIII dapat menyebabkan perdarahan yang luar biasa banyak pada perdarahan intrakranial.17 Penyebab lainnya mencangkup terapi antikoagulan seperti warfarin, malformasi arter-vena dan hipertensi. Hipertensi merupakan penyebab stroke hemoragik primer terbanyak, dua dari tiga pasien dengan perdarahan intraparenkim didiagnosa dengan hipertensi sebelumnya.14-17
9
Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak. Hipertensi kronis menyebabkan kerusakan arteri intraserebral dan ekstravasasi darah ke luar pembuluh darah. Terjadi perubahan pada dinding pembuluh darah seperti hipohialinosis, nekrosis fibrinoid dan timbulnya aneurisma Bouchard. Kenaikan tekanan darah dalam jumlah yang signifikan dan waktu singkat menginduksi pecahnya pembuluh darah. Pada aneurisma atau dilatasi arteri lokal terjadi ruptur. Perdarahan intraserebral memiliki predileksi di beberapa area otak diantaranya thalamus, putamen, serebelum dan batang otak. Selain area yang mengalami perdarahan, area di sekitarnya juga mengalami kerusakan karena tekanan dari hematom yang meningkatkan tekanan intrakranial, kerusakan massa otak dan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen magnum. Perdarahan dapat berlanjut sampai 6 jam, apabila volumenya besar dapat merusak struktur anatomi otak. 14,15,17 Perdarahan yang kecil ukurannya tidak selalu menyebabkan kerusakan otak, namun darah masuk ke antara selaput akson substansia alba. Absorpsi darah pada keadaan ini akan diikuti dengan pulihnya fungsi neurologi. Kematian karena perdarahan dapat disebabkan kompresi batang otak, hemisfer otak, perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons terjadi perembesan darah ke ventrikel otak. Prognosis pada perdarahan serebri ditentukan oleh banyaknya darah yang keluar, volume darah lebih dari 60 cc memiliki resiko kematian 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Perdarahan serebelar dengan volume darah 30-60 cc memiliki resiko kematian 75%, sedangkan volume darah 5 cc saja di pons berakibat fatal.19 2.2.3. Tatalaksana Penatalaksanaan stroke hemoragik:12,14-18 Umum -
Terapi medik o Jalan napas dan oksigenasi dengan target PCO2 30-35 mmHg o Kontrol tekanan darah sama dengan tatalaksana pada stroke iskemik o Penanganan tekanan intracranial:
10
§
Osmoterapi dengan manitol 20% 1 g/Kg dalam 20 menit, dilanjutkan dengan 0.25-0.5 g/Kg/4 jam dalam 20 menit. Osmoterapi tidak boleh digunakan sebagai profilaksis. Untuk mempertahankan gradient osmotic, furosemide (10 mg dalam 2-8 jam) dapat diberikan bersama osmotrapi
-
§
Hiperventilasi dengan sasaran Co2 35 mmHg
§
Pengaturan cairan
Terapi pembedahan o Indikasi tindakan pembedahan: §
Pasien dengan perdarahan serebelar >3 cm yang secara neurologis memburuk atau kompresi batang otak dan hidrosefalus akibat obstruksi ventricular.
§
Perdarahan intraserebral dengan lesi structural (aneurisma, malformasi arteri-vena, angioma kavernosa)
§
Pasien usia muda dengan perdarahan lobus yang sedang atau besar dan klinis memburuk
o Indikasi terapi konservatif dengan medikamentosa: §
Pasien dengan perdarahan kecil (<10 cm3) atau defisit neurologis minimal
§
Pasien dengan GCS <5 kecuali dengan perdarahan serebelar disertai kompresi batang otak
11
12
Algoritma Tatalaksana Pasien Stroke
13
2.3. Pedoman Penatalaksanaan Hipertensi pada Pasien Stroke 2.3.1. American Heart Association20 Penatalaksaan fase akut
Terapi antihipertensi pada pasien stroke sebagai secondary prevention21
14
2.3.2. ACLS Suspected Stroke Algorithm22 Obat antihipertensi menurut ACLS untuk pasien stroke fase akut tanpa terapi fibrinolitik
Obat antihipertensi menurut ACLS untuk pasien stroke fase akut dengan terapi fibinolitik
15
2.3.3. Clinical Guidelines for Stroke Management 2010 Australian National Stroke Foundation23 4.4 Acute phase blood pressure lowering therapy a)
In ischaemic stroke, if blood pressure is more than 220/120 mmHg, antihypertensive therapy can be started or increased, but blood pressure should be cautiously reduced (e.g. by no more than 10–20%) and the patient monitored for signs of neurological deterioration.
b)
In acute primary intracerebral haemorrhage where severe hypertension is observed on several occasions within the first 24 to 48 hours of stroke onset, antihypertensive therapy (that could include intravenous treatment) can be used to maintain a blood pressure below 180 mmHg systolic (mean arterial pressure of 130 mmHg).
c)
Pre-existing antihypertensive therapy can be continued (orally or via nasogastric tube) provided there is no symptomatic hypotension or other reason to withhold treatment.
5.3 Blood pressure lowering a)
All stroke and TIA patients, whether normotensive or hypertensive, should receive blood pressure lowering therapy, unless contraindicated by symptomatic hypotension.
b)
new blood pressure lowering therapy should commence before discharge for those with stroke or TIA, or soon after TIA if the patient is not admitted.
Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya stroke, namun demikian hanya 72% pasien stroke dipulangkan dengan terapi antihipertensi. Sebuah systematic review menemukan bahwa terapi untuk menurunkan tekanan darah menurunkan kejadian stroke berulang dan kejadian kardiovaskular, bahkan saat tekanan darah pasien stroke atau TIA dalam batas normal. Terapi tersebut menurunkan kejadian infark miokard namun tidak menurunkan angka kematian secara total.24
ACE-I tunggal atau kombinasi dengan diuretik memiliki efek pengobatan yang baik, walaupun penggunaan obat antihipertensi lainnya kecuali beta blockers juga efektif.25 Sebuah penelitian RCT tidak menunjukkan keuntungan dari pemberian angiotensin receptor blocker sebagai tambahan dari terapi standar dalam mencegah stroke berulang.26 Belum ada pedoman tentang waktu pemberian obat antihipertensi, namun penelitian yang ada menunjukkan pemberian angiotensin II receptor antagonist atau ACE-I pada
16
hari ke 2-4 setelah stroke aman pada pasien dengan stroke ringan atau TIA tanpa penyakit karotis.27,28 2.3.4. UK National Clinical Guidelines for Stroke 201229 Terapi antihipertensi pada pasien stroke akut hanya direkomendasikan bila terjadi keadaan hipertensi emergensi atau salah satu dari: -
Ensefalopati hipertensi
-
Nefropati hipertensi
-
Gagal jantung atau infark miokard karena hipertensi
-
Diseksi aora
-
Pre-eklampsia atau eklampsia
-
Perdarahan intraserebral dengan TDS >200 mmHg
Pasien yang akan menjalani terapi trombolisis harus mempunyai tekanan darah dibawah 185/110 mmHg. Obat antihipertensi parenteral hanya diberikan kepada pasien stroke akut sebagai clinical trial, walaupun pasien memiliki perdarahan intraserebral akut dan TDS >200 mmHg, atau pasien yang akan menerima terapi trombolisis. Rekomendasi:30 -
Semua pasien stroke atau TIA harus diukur tekanan darahnya. Terapi dilakukan seperlunya atau sesuai batas toleransi untuk mencapai tekanan darah dibawah 130/80, kecuali pada pasien stenosis karotis dengan target 130-150 mmHg.
-
Pasien di atas 55 tahun dan pasien dengan ras Afrika atau Karibia yang mendapat terapi antihipertensi harus dimulai dengan dihydropine calcium channel blocker jangka panjang atau thiazide-like diuretic. Jika tekanan darah target belum tercapai, tambahkan ACE-I atau angiotensin II receptor blockers (ARB).
-
Pada pasien bukan ras Afrika atau Karibia dan lebih muda dari 55 tahun, obat lini pertama adalah ACE-I atau ARB
-
Obat antihipertensi harus dimulai setelah stroke atau TIA dan sebelum pasien dipulangkan atau pada minggu kedua, dipilih yang terlebih dahulu.
17
2.3.5. Health Care Guideline for Ischemic Stroke by Institute for Clinical Systems Improvement31 Tatalaksana hipertensi akut TDS >185 atau TDD >110 pada pasien kandidat tPA -
Pasien stroke iskemik yang akan menjalani terapi tPA harus diturunkan tekanan darahnya dibawah 185/110 sebelum terapi tPA. Setelah tPA masuk ke tubuh, tekanan darah harus diregulasi agar tidak melebihi batas 180/105 dalam 24 jam pertama.
-
Pasien yang akan menjalani terapi reperfusi harus dijaga tekanan darahnya dibawah 180/105 selama 24 jam pertama setelah terapi. Kebijakan ini sesuai dengan protocol NINDS dalam penggunaan terapi tPA untuk stroke iskemik 3 jam pertama. Tekanan darah yang tidak terkontrol meningkatkan resiko perburukan seperti perdarahan intracranial dan kematian.
Tatalaksana hipertensi akut pada pasien yang tidak menjalani terapi trombolisis: -
Dalam fase akut dan 24 jam pertama, hipertensi ekstrem (TDS >220mmHg, TDD >120 mmHg, MAP >130 mmHg) pada pasien stroke iskemik akut dapat dilakukan penurunan tekanan darah. Target penurunan tekanan darah sekitar 15%.
-
Tatalaksana hipertensi ekstrem pada pasien stroke akut diterima oleh konsensus karena perburukan yang terjadi pada pasien dengan hipertensi ekstrem. (TDS >220mmHg, TDD >120 mmHg, MAP >130 mmHg)
18
19
2.3.6. Perbandingan Tatalaksana Hipertensi pada Pasien Stroke Fase Akut Pada dasarnya pemberian obat antihipertensi pada pasien stroke masih bersifat kontroversial, tahun 2013 American Heart Association menerbitkan guidelines yang merekomendasikan penggunaan obat anti-hipertensi dalam 24 jam pertama pada pasien stroke dengan hipertensi dan secara neurologis dalam keadaan stabil. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah yang tinggi diperlukan untuk memberikan perfusi yang adekuat ke otak (10-20 mL/100 g) 24-48 jam setelah stroke.20 Aliran darah otak diregulasi antara tekanan perfusi serebral dan resistensi serebrovaskular. Peningkatan tekanan perfusi serebral atau tekanan darah arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan sebaliknya. Keseimbangan ini bertujuan untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) antara 60-150 mmHg. Pada pasien hipertensi kronis, autoregulasi lebih toleran terhadap tekanan darah tinggi dan menjadi kurang toleran terhadap tekanan darah rendah (penurunan aliran darah serebral).32 Penurunan tekanan darah pada masa kritis akan menurunkan perfusi serebral, memperluas area iskemik, menyebabkan cedera yang ireversibel dan memperburuk manifestasi klinis pasien. Pada sistematik review beberapa RCT terhadap 1153 pasien tidak ada bukti kuat bahwa penurunan tekanan darah pada fase akut stroke memperbaiki keadaan pasien.33 Berbeda dengan masa kritis, pada masa laten penelitian menunjukkan bahwa diperlukan obat anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah. Berbagai penelitian menemukan hubungan yang berbentuk U antara tekanan darah dengan hasil terbaik pada pasien dengan TDS 150 mmHg.34-37 Penurunan tekanan darah dapat sebagai pencegahan sekunder stroke, namun penurunan tekanan darah dalam 48 jam pertama masih kontroversial karena tekanan yang tinggi dan rendah keduanya berpengaruh buruk terhadap keadaan pasien.38,39 Penurunan secara signifikan tekanan darah dapat menyebabkan perburukan neurologis pada pasien, sedangkan penurunan sedang dapat memberikan keuntungan.40 Penelitian lain menemukan bahwa terapi untuk menurunkan tekanan darah pada pasien stroke iskemik akut dapat mengurangi edema otak, disrupsi sawar darah-otak dan konversi ke infark hemoragik. Dimulainya terapi antihipertensi pada fase akut merupakan bagian penting dari pencegahan sekunder stroke.20,31
20
Sebuah penelitian RCT menguji nimodipine sebagai agen penurunan tekanan darah berasosiasi dengan outcome yang buruk pada pasien stroke. Namun dalam studi lanjutan yang dilakukan Fogelholm menunjukkan pasien dengan stroke ringan sampai sedang yang mengkonsumsi nimodipine dengan tekanan darah yang lebih tinggi memiliki outcome yang lebih baik.41-43 Setiap penurunan tekanan darah sebanyak 10% meningkatkan odds ratio 1.89 terhadap perburukan. Penurunan TDS atau TDD >20 mmHg juga mengakibatkan perburukan neurologis, resiko kematian yang lebih tinggi dan volume infark yang lebih luas. Pemberian obat antihipertensi pada fase awal kepada pasien dengan TDS >180 mmHg berkorelasi dengan peningkatan kejadian perburukan, keadaan neurologis yang buruk bahkan kematian.44 Obat anti-hipertensi terbukti efektif dalam menurunkan insiden terjadinya stroke sebesar 36% pada penelitian terhadap 4736 orang dengan tekanan darah di atas 160 mmHg yang mengkonsumsi obat antihipertensi.45 Penurunan tekanan darah satu minggu setelah rawat inap juga meningkatkan kemampuan fungsional jangka pendek pada pasien dengan stroke iskemik akut. Hal ini tidak terjadi hanya pada pasien dengan hipertensi sebelumnya, pasien stroke dengan tekanan darah normal juga mendapatkan keuntungan dari penggunaan obat anti hipertensi.46 Sebuah penelitian di Kalifornia mencatat pada umumnya pasien yang dipulangkan setelah stroke iskemik atau TIA mendapat lebih dari satu obat anti hipertensi, namun satu dari tiga pasien tidak mendapat terapi anti hipertensi sama sekali.47 Padahal pada penelitian PROGRESS ditemukan bahwa penurunan tekanan darah setelah stroke atau TIA menurunkan 42% kejadian stroke berulang dan 35% penyakit coroner, bahkan pada pasien dengan tekanan darah normal.48-50 Terapi tersebut menurunkan kejadian infark miokard namun tidak menurunkan angka kematian secara total.51 Peningkatan tekanan darah sering ditemukan dalam satu jam pertama setelah stroke. Tekanan darah sistolik >160 mmHg ditemukan pada lebih dari 60% pasien stroke akut. Prognosis pasien stroke diperburuk oleh peningkatan maupun penurunan tekanan darah, setiap kenaikan 10 mmHg setelah 180 mmHg resiko defisit neurologis meningkat 40% dan prognosis yang buruk meningkat 23%.44,52-54 Dalam penelitian stroke akut dan hubungannya dengan tekanan darah, Vemmos menemukan
21
peningkatan dan penurunan tekanan darah berkorelasi dengan resiko kematian, riwayat hipertensi, keparahan defisit neurologis, cedera otak dan edema otak.55 Dalam studi lebih lanjut, Aslanyan menemukan bahwa peningkatan MAP pada hari-hari pertama stroke berhubungan dengan hasil yang buruk.56 Pulse pressure atau perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolic juga ternyata berhubungan dengan hasil yang buruk 3 bulan setelah stroke.57 Penurunan tekanan darah biasanya terjadi rata-rata 28% pada pasien stroke dalam satu jam setelah onset tanpa perawatan medis apapun.53,58 Penurunan tekanan darah fisiologis sering ditemukan saat pasien dipindahkan ke ruangan sunyi, istirahat, setelah buang air kecil atau nyeri yang menghilang. Tata laksana peningkatan tekanan intracranial juga menurunkan tekanan darah.53 2.3.7. Pilihan Obat Antihipertensi pada Pasien Stroke 2.3.7.1. Pengendalian Tekanan Darah dengan Obat Antihipertensi Pengendalian tekanan darah merupakan faktor terpenting dalam pencegahan sekunder stroke. Berbagai lini obat antihipertensi dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada pasien paska stroke dengan efektivitas yang berbeda-beda. Kondisi umum dan penyakit yang dimiliki individu masing-masing mempengaruhi pilihan obat antihipertensi, contohnya pada pasien dengan gagal jantung lebih baik diberikan ACEI karena berefek pada penurunan level angiotensin II yang bersirkulasi, dan pada pasien infark miokard pemberian ACEI maupun beta blockers dinilai lebih baik. Sebaliknya pada pasien dengan stenosis arteri renal tidak boleh diberikan ACEI dan pasien asma tidak boleh diberikan beta blockers. 59 Terdapat beberapa penelitian yang meneliti berbagai obat antihipertensi untuk mengontrol tekanan darah, sebuah cochrane review menemukan bahwa ACE-I, angiotensin receptor antagonist (ARB), calcium channel blockers (CCB), clonidine dan gliseril trinitrat dapat menurunkan tekanan darah pada pasien stroke dalam satu minggu, sedangkan fenilefrin meningkatkan tekanan darah. Namun tidak ada bukti bahwa terapi tersebut menurunkan tingkat kematian atau meningkatkan keadaan pasien.40,60 Pilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi oleh usia dan asal suku bangsa pasien. Pasien di atas 55 tahun dan pasien dengan ras Afrika atau Karibia yang
22
mendapat terapi antihipertensi harus dimulai dengan dihydropine calcium channel blocker jangka panjang atau thiazide-like diuretic. Jika tekanan darah target belum tercapai, ditambahkan ACE-I atau angiotensin II receptor blockers (ARB). Sedangkan pada pasien bukan ras Afrika atau Karibia dan lebih muda dari 55 tahun, obat lini pertama adalah ACE-I atau ARB Hal ini disebabkan respon setiap individu terhadap golongan obat antihipertensi yang bervariasi. Pasien yang muda dan berkulit putih (high renin, tipe 1) merespon lebih baik pada obat yang mensupresi RAAS seperti ACEI, ARB, dan beta blocker. Pasien Afrika-Karibia (low renin, tipe 2) dan berusia tua merespon lebih baik penggunaan CCB dan diuretik.29 2.3.7.2. Diuretik Pasien dengan riwayat penyakit jantung dan menerima terapi obat anti hipertensi tunggal berupa beta blocker, calcium channel blocker, atau ACE inhibitor memiliki resiko stroke iskemik lebih tinggi daripada terapi thiazide tunggal.61 Thiazide yang merupakan diuretik yang terbukti menurunkan kejadian stroke berulang, cedera vaskular dan dapat mencegah komplikasi kardiovaskular dari hipertensi dan direkomendasikan oleh JNC7 sebagai terapi awal hipertensi, baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan ACEI, ARB, BB, CCB. Dalam penelitian ALLHAT, diuretik terbukti lebih efektif dibandingkan lisinopril (ACEI) dalam mencegah stroke.62,63 Walaupun terdapat pedoman untuk penggunaan thiazid pada pasien hipertensi, peresepan thiazid ternyata lebih sedikit dibandingkan ACEI dan beta blocker pada pasien di Kalifornia.46 2.3.7.3. Diuretik dan ACEI ACEI dan diuretik digunakan bersamaan efektif menurunkan insiden stroke berulang, infark miokard dan cedera vascular lainnya, bahkan kombinasi ACEI dan thiazide merupakan kombinasi terbaik dalam mengurangi kejadian stroke berulang. Penelitian terakhir merekomendasikan penggunaan ACE-I tunggal atau kombinasi dengan diuretik karena memiliki efek pengobatan yang baik, walaupun penggunaan obat antihipertensi lainnya kecuali beta blockers juga tergolong efektif. Oleh karena itu terapi antihipertensif harus dimulai dengan diuretik atau ACEI.25,64 Indapamide (diuretik), perindopril (ACEI), ramipril (ACEI) teruji memiliki efek yang baik, kombinasi diuretic dan ACEI dipilih karena memberikan efek terbesar
23
pada tekanan darah yaitu penurunan 12/5 mmHg, menurunkan resiko stroke 43% dan cedera vaskular. Penggunaan perindopril dan indapamide akan mencegah satu kejadian fatal setiap 11 pasien selama 5 tahun.59 Perindopril yang diberikan 4 mg selama 14 hari menurunkan tekanan darah sebanyak 8% tanpa mempengaruhi perfusi serebral, aliran darah otak tetap adekuat dengan ACEI padahal terjadi penurunan tekanan darah pada pasien dengan penyakit atheromatous serebri yang ekstensif, sehingga ACEI cocok digunakan pada pasien dengan penyakit serebrovaskular. Penggunaan perindopril efektif dalam mengurangi resiko stroke hemoragik berulang. Ramipril dengan dosis 10 mg/hari secara signifikan menurunkan 32% kejadian stroke total, stroke berulang turun 33%, nonfatal stroke turun 24%, stroke fatal turun 61%. Dalam penelitian HOPE ramipril diberikan pada malam hari dan memiliki efek puncaknya pada pagi hari, waktu dimana stroke paling banyak terjadi.64 Walaupun belum ada pedoman tentang waktu pemberian obat antihipertensi, namun penelitian yang ada menunjukkan pemberian angiotensin II receptor antagonist (ARB) atau ACE-I pada hari ke 2-4 setelah stroke aman pada pasien dengan stroke ringan atau TIA tanpa penyakit karotis.27,65 ACEI tidak hanya berfungsi untuk menurunkan tekanan darah namun juga berguna bagi pasien dengan penyakit jantung koroner. ACEI dipercaya memiliki efek protektif terhadap pembuluh darah selain dari efek antihipertensinya sendiri. ACEI tidak mempengaruhi autoregulasi otak dan memperbaiki keadaan endothelial, tidak seperti obat antihipertensi dari kelas lain.59 Namun penggunaan ACEI dapat mengakibatkan batuk, hipotensi postural, hiponatremia, gagal ginjal pada 1 dari 7 pasien. Efek samping ini biasanya terjadi tidak lama setelah terapi. Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi ACEI dapat digantikan dengan ARB tanpa efek samping tambahan.66 2.3.7.4. Beta Blockers Sebuah penelitian RCT yang terdiri dari 25 pasien perdarahan intraserebral dan 147 pasien stroke iskemik dengan TDS >160 mmHg menunjukkan bahwa labetalol dapat menurunkan tekanan darah dengan efektif tanpa efek samping. Labetalol intravena bekerja lebih cepat dibandingkan oral dan terbukti lebih aman, dari penelitian tersebut didapatkan angka kematian dalam 3 bulan sebesar 9.7% pada kelompok yang mendapatkan labetalol dibandingkan 20.3% pada plasebo. Namun
24
demikian beta blocker tidak meningkatkan outcome pada pasien stroke, hal ini mungkin disebabkan penurunan cardiac output yang menyebabkan penurunan perfusi sehingga terjadi perluasan infark dan stroke berulang.67 Dari penelitian terhadap 2193 pasien dengan stroke atau TIA sebelumnya dibagi menjadi grup plasebo dan beta blocker (atenolol 5mg) juga tidak menemukan perbedaan angka kejadian stroke fatal dan non-fatal antara kedua grup.68 2.3.7.5. Angiotensin Receptor Blockers ARB menurunkan resiko stroke lebih besar daripada diuretik, dihydropiridine CCB, ACEI, dan beta blocker dengan besar penurunan tekanan darah yang sama.69 Sesungguhnya efek ACEI dan ARB tidak banyak berbeda, namun ditemukaan lebih banyak episode hipotensi pada grup ARB dan batuk, angioedema pada grup ACEI.70 ARB yang bekerja dengan mengurangi aktivitas RAAS mempunyai efek lebih dari sekedar menurunkan tekanan darah. Terdapat bukti bahwa terdapat efek cerebroprotective pada penggunaan ARB dan ACEI.71 Mekanisme proteksi terhadap stroke berhubungan dengan kerja angiotensin II non AT1 receptor pada daerah iskemik di otak. Terjadi peningkatan aktivitas nonAT1 receptor setelah iskemia global dan berperan sebagai mediator dalam sirkulasi kolateral dan menurunkan apoptosis neuron. Dengan demikian blokade reseptor AT1 (dan tidak memblok reseptor non-AT1) menggunakan ARB lebih baik untuk mencegah stroke daripada menurunkan angiotensin II dengan ACEI. Penelitian LIFE menunjukkan penggunaan losartan untuk blockade AT1 menurunkan kejadian stroke 25% dibandingkan terapi dengan atenolol. Losartan juga menurununkan angka kejadian stroke, infark miokard atau kematian sebanyak 13%. Dengan demikian penggunaan diuretik, ARB, dan CCB memberikan proteksi lebih terhadap stroke pada pasien tanpa penyakit kardiovaskular dibandingkan beta blocker dan ACEI.72 2.3.7.6. Calcium Channel Blockers Selain menurunkan tekanan darah, CCB juga berguna dalam mencegah stroke tipe atherothrombotik di arteri besar otak.73 Peningkatan ketebalan carotid intimamedia (IMT) merupakan faktor resiko independen dari stroke. CCB dapat mengurangi ketebalan IMT tersebut lebih besar daripada ACEI.69
25
Nimodipine oral direkomendasi untuk mencegah atau terapi vasospasme serebri setelah SAH, selain itu nimodipin juga bermanfaat pada pasien demensia vascular dan campuran. CCB terbukti memberikan proteksi yang lebih baik dibandingkan beta blocker, diuretik, ACEI.73 Pada penelitian lain dibuktikan bahwa penggunaan amlodipine menurunkan kejadian stroke 23% lebih besar daripada atenolol.69 Penggunaan kombinasi obat antihipertensi terbukti lebih efektif daripada tunggal, dan kombinasi CCB dengan ACEI atau ARB direkomendasikan oleh ESH/ESC guidelines sebagai pilihan peretama pada pasien hipertensi dengan resiko tinggi.69
26
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1. Kesimpulan Stroke merupakan penyakit yang sering ditemui dalam praktek dokter seharihari dan memerlukan penanganan yang cepat dan tepat seusai jenisnya. Pada umumnya stroke yang terjadi merupakan stroke iskemik, namun terdapat pula stroke hemoragik pada satu dari sepuluh kasus. Stroke memiliki banyak faktor resiko seperti usia, penyakit jantung, dan lain-lain. Namun penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi merupakan faktor kontributor terbesar dalam terjadinya stroke. Oleh karena itu diperlukan monitor tekanan darah dan penurunan tekanan darah apabila terjadi peningkatan yang dianggap berbahaya untuk mencegah kejadian stroke berulang. Obat antihipertensi digolongkan menjadi lima kelas yaitu ACEI, ARB, diuretik, CCB, dan beta blockers. Masing-masing golongan memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing, dan direspon berbeda antar individu. Adanya penyakit tertentu dapat menjadi indikasi maupun kontraindikasi penggunaan golongan obat anithipertensi. Secara umum konsensus menyetujui penggunaan ACEI dan diuretik sebagai kombinasi terbaik penangan hipertensi pada pasien paska stroke. Pada pasien yang tidak dapat mentoleransi ACEI dapat digantikan dengan golongan ARB. 3.2. Saran Banyaknya pilihan obat antihipertensi dalam penanganan tekanan darah tinggi pada pasien paska stroke diharapkan dapat disesuaikan dengan kondisi medik pasien untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbandingan efektivitas golongan obat antihipertensi dalam skala besar terhadap pasien paska stroke.
27
DAFTAR PUSTAKA 1. WHO/SEARO. Surveillance of major non-communicable disease in South East Asia region. Report of an inter- country consultation. Geneva: WHO: 2005 2. Mackay J, Mensah G. The Atlas of Heart Disease and Stroke. Geneva: WHO. 3. CDC, NCHS. Underlying Cause of Death 1999-2013 on CDC WONDER Online Database. 4. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, et al. Heart disease and stroke statistics—2015 update: a report from the American Heart Association. Circulation. 2015 ;e29-322. 5. CDC. Vital signs: awareness and treatment of uncontrolled hypertension among adults—United States, 2003–2010. MMWR. 2012;61(35):703–9. 6. Dickinson CJ. Strokes and their relationship to hypertension. Curr Opin Nephrol Hypertens. 2003 Jan;12(1):91–6. 7. Kusuma Y, Venketasubramanian N, Kiemas LS, Misbach J. Burden of stroke in Indonesia. Int J Stroke Off J Int Stroke Soc. 2009 Oct;4(5):379–80. 8. Ramadhini AZ, Angliadi LS, Engeline A. Gambaran angka kejadian stroke akibat hipertensi di instalasi rehabilitasi medic blu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2011. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. 9. Stroke Association. High blood pressure and stroke. http://www.stroke.org.uk/sites/default/files/files/F06_High%20blood%20press ure%20and%20stroke.pdf. Accessed on Feb 23, 2015. 10. Johansson BB. Hypertension mechanisms causing stroke. Clin Exp Pharmacol Physiol. 1999 Jul;26(7):563-5. 11. Stroke: MedlinePlus Medical Encyclopedia [Internet]. [cited 2015 Feb 23]. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000726.htm 12. Misbach HJ. Stroke: aspek diagnostic, patofisiologi, manajemen. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. 13. Ischemic Stroke. 2015 Jan 20 [cited 2015 Feb 23]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview
28
14. Smith WS, Johnston SC, Easton JD, Cerebrovascular Diseases. Dalam: Harrison’s Manual Of Medicine. Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. New York: Mc Graw Hill. 16th Edition, 2005:2372-2393. 15. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007 16. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC. 2009 17. Hemorrhagic Stroke. 2015 Jan 17 [cited 2015 Feb 23]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1916662-overview 18. Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat; 2012. 19. Flaherty ML, Woo D, Broderick JP. The epidemiology of intracerebral hemorrhage. Dalam: Intracerebral hemorrhage. Carhuapoma JR, Mayer SA, Hanley DF.Cambridge: Cambridge University Press; 2009. 20. Adams HP, Zoppo G del, Alberts MJ, Bhatt DL, Brass L, Furlan A, et al. Guidelines for the Early Management of Adults With Ischemic Stroke A Guideline From the American Heart Association/ American Stroke Association Stroke Council, Clinical Cardiology Council, Cardiovascular Radiology and Intervention Council, and the Atherosclerotic Peripheral Vascular Disease and Quality of Care Outcomes in Research Interdisciplinary Working Groups: The American Academy of Neurology affirms the value of this guideline as an educational tool for neurologists. Stroke. 2007 May 1;38(5):1655–711. 21. Furie KL, Kasner SE, Adams RJ, Albers GW, Bush RL, Fagan SC, et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or Transient Ischemic Attack A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2011 Jan 1;42(1):227–76. 22. ACLS. ACLS Suspected stroke algorithm. 2015 23. National Stroke Foundation. Clinical guidelines for stroke management. 2010. Melbourne Australia 24. Lakhan SE, Sapko MT. Blood pressure lowering treatment for preventing stroke recurrence: a systematic review and meta-analysis. Int Arch Med. 2009;2(1):30. 25. Rashid P, Leonardi-Bee J, Bath P. Blood pressure reduction and secondary
29
prevention of stroke and other vascular events: a systematic review. Stroke. 2003;34(11):2741–8. 26. Yusuf S, Diener HC, Sacco RL, Cotton D, Ounpuu S, Lawton WA, et al. Telmisartan to prevent recurrent stroke and cardiovascular events. N Eng J Med. 2008;359(12):1225–37. 27. Nazir FS, Overell JR, Bolster A, Hilditch TE, Reid JL, Lees KR. The effect of losartan on global and focal cerebral perfusion and on renal function in hypertensives in mild early ischaemic stroke. Journal of hypertension. 2004;22(5):989–95. 28. Nazir FS, Overell JR, Bolster A, Hilditch TE, Lees KR. Effect of perindopril on cerebral and renal perfusion on normotensives in mild early ischaemic stroke: a randomized controlled trial. Cerebrovascular Diseases. 2005;19(2):77–83. 29. Intercollegiate Stroke Working Party. National clinical guideline for stroke, 4th edition. London: Royal College of Physicians, 2012. 30. National Institute for Health and Clinical Excellence 2011; PROGRESS Collaborative Group 2001 31. Anderson D, Larson D, Bluhm J, Charipar R, Fiscus L, Hanson M, Larson J, Rabinstein A, Wallace G, Zinkel A. Institute for Clinical Systems Improvement. Diagnosis and Initial Treatment of Ischemic Stroke. Updated July 2012. 32. Christensen H, Meden P, Overgaard K, Boysen G. The course of blood pressure in acute stroke is related to the severity of the neurological deficits. Acta Neurol Scand 2002;106:142-47. 33. Geeganage CM, Bath PMW. Interventions for deliberately altering blood pressure in acute stroke. Stroke 2009;40:e390-91. 34. Ahmed N, Wahlgren N, Brainin M, et al. Relationship of blood pressure, antihypertensive therapy, and outcome in ischemic stroke treated with intravenous thrombolysis: retrospective analysis from safe implementation of thrombolysis in stroke-international stroke thrombolysis register (SITS-ISTR). Stroke 2009;40:2442-49.
30
35. Castillo J, Dávalos A, Marrugat J, et al. Timing for fever-related brain damage in acute ischemic stroke. Stroke 1998;29:2455-60. 36. Willmot M, Leonardi-Bee J, Bath PMW. High blood pressure in acute stroke and subsequent outcome: a systematic review. Hypertension 2004;43:18-24. 37. Leonardi-Bee J, Bath PMW, Phillips SJ, et al. Blood pressure and clinical outcomes in the international stroke trial. Stroke 2002;33:1315-20. 38. Mistri AK, Robinson TG, Potter JF. Pressor therapy in acute ischemic stroke: systematic review. Stroke. 2006;37(6):1565–71. 39. Willmot M, Leonardi-Bee J, Bath P. High Blood Pressure in Acute Stroke and Subsequent Outcome: A Systematic review. Hypertension. 2004;43:18–24. 40. Geeganage CM, Bath PMW. Relationship between therapeutic changes in blood pressure and outcomes in acute stroke: A metaregression. Hypertension. 2009;54(4):775–81. 41. Ahmed N, Wahlgren NG. Effects of blood pressure lowering in the acute phase of total anterior circulation infarcts and other stroke subtypes. Cerebrovasc Dis. 2003; 15: 235–243 42. Wahlgren NG, MacMahon DG, DeKeyser J, Indredavik B, Ryman T. Intravenous Nimodipine West European Stroke Trial (INWEST) of nimodipine in the treatment of acute ischaemic stroke. Cerebrovasc Dis. 1994; 4: 204–210. 43. Fogelholm R, Palomaki H, Erila T, Rissanen A, Kaste M. Blood pressure, nimodipine, and outcome of ischemic stroke. Acta Neurol Scand. 2004; 109: 200–204. 44. Castillo J, Leira R, Garcia MM, Serena J, Blanco M, Davalos A. Blood pressure decrease during the acute phase of ischemic stroke is associated with brain injury and poor stroke outcome. Stroke. 2004; 35: 520–526. 45. Prevention of stroke by antihypertensive drug treatment in older persons with isolated systolic hypertension. Final results of the Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP). SHEP Cooperative Research Group. JAMA. 1991 Jun 26;265(24):3255–64.
31
46. Ovbiagele B, Hills NK, Saver JL, Johnston SC. Antihypertensive Medications Prescribed at Discharge After an Acute Ischemic Cerebrovascular Event. Stroke. 2005 Sep 1;36(9):1944–7. 47. National Stroke Foundation. National Stroke Audit Acute Services Organisational Survey Report 2009. 2009. 48. Bernard V, Gabor V, Paulus K, John U, Michel B (2008) Adherence to prescribed antihypertensive drug treatments: longitudinal study of electronically compiled dosing histories. BMJ 336 (7653): 1114. 49. Johnson P, Rosewell M, James MA (2007) How good is the management of vascular risk after stroke, transient ischaemic attack or carotid endarterectomy? Cerebrovascular Diseases 23 (2–3): 156–61. 50. Mouradian MS, Majumdar SR, Senthilselvan A, Khan K, Shuaib A (2002) How well are hypertension, hyperlipidemia, diabetes, and smoking managed after a stroke or transient ischemic attack? Stroke 33 (6): 1656–9. 51. Lakhan SE, Sapko MT. Blood pressure lowering treatment for preventing stroke recurrence: a systematic review and meta-analysis. Int Arch Med. 2009;2(1):30. 52. Robinson T, Waddington A, Ward-Close S, Taub N, Potter J. The predictive role of 24-hour compared to causal blood pressure levels on outcome following acute stroke. Cerebrovasc Dis. 1997; 7: 264–272. 53. Phillips SJ. Pathophysiology and management of hypertension in acute ischemic stroke. Hypertension. 1994; 23: 131–136. 54. Johnston KC, Mayer SA. Blood pressure reduction in ischemic stroke: a twoedged sword? Neurology. 2003; 61: 1030–1031. 55. Vemmos KN, Spengos K, Tsivgoulis G, Zakopoulos N, Manios E, Kotsis V, Daffertshofer M, Vassilopoulos D. Factors influencing acute blood pressure values in stroke subtypes. J Hum Hypertens. 2004; 18: 253–259. 56. Aslanyan S, Fazekas F, Weir CJ, Horner S, Lees KR; GAIN International Steering Committee and Investigators. Effect of blood pressure during the acute period of ischemic stroke on stroke outcome: a tertiary analysis of the GAIN International Trial. Stroke. 2003; 34: 2420–2425
32
57. Aslanyan S, Weir CJ, Lees KR; GAIN International Steering Committee and Investigators. Elevated pulse pressure during the acute period of ischemic stroke is associated with poor stroke outcome. Stroke. 2004; 35: e153–e155. 58. Oliveira-Filho J, Silva SC, Trabuco CC, Pedreira BB, Sousa EU, Bacellar A. Detrimental effect of blood pressure reduction in the first 24 hours of acute stroke onset. Neurology. 2003; 61: 1047–1051. 59. Rashid P, Leonardi-Bee J, Bath P. Blood Pressure Reduction and Secondary Prevention of Stroke and Other Vascular Events A Systematic Review. Stroke. 2003 Nov 1;34(11):2741–8. 60. Perez MI, Musini VM, Wright JM. Effect of early treatment with antihypertensive drugs on short and long-term mortality in patients with an acute cardiovascular event. Cochrane Database Syst Rev. 2009, Issue 4. CD006743. 61. Klungel OH, Heckbert SR, Longstreth Jr WT, Furberg CD, Kaplan RC, Smith NL, et al. Antihypertensive drug therapies and the risk of ischemic stroke. Arch Intern Med 2001;161(1):37-43. 62. The ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Collaborative Research Group. Major outcomes in high-risk hypertensive patients randomized to angiotensin- converting enzyme inhibitor or calcium channel blocker vs diuretic: The Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT). JAMA. 2002;288:2981-97. 63. Psaty BM, Smith NL, Siscovick DS, et al. Health outcomes associated with antihyperten- sive therapies used as first-line agents. A systematic review and meta-analysis. JAMA. 1997;277:739-45. 64. Sica DA. ACE inhibitors and stroke: new considerations. J Clin Hypertens Greenwich Conn. 2002 Apr;4(2):126–9, 133. 65. Nazir FS, Overell JR, Bolster A, Hilditch TE, Lees KR. Effect of perindopril on cerebral and renal perfusion on normotensives in mild early ischaemic stroke: a randomized controlled trial. Cerebrovascular Diseases. 2005;19(2):77–83. 66. Hankey GJ. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors for Stroke Prevention Is There HOPE for PROGRESS After LIFE? Stroke. 2003 Feb 1;34(2):354–6. 67. Potter JF, Robinson TG, Ford GA, Mistri A, James M, Chernova J, et al. Controlling hypertension and hypotension immediately post-stroke (CHHIPS):
33
a randomised, placebo-controlled, double-blind pilot trial. Lancet Neurol. 2009;8(1):48–56. 68. De Lima LG, Soares BGO, Saconato H, Atallah AN, da Silva EMK. Betablockers for preventing stroke recurrence. Cochrane Database Syst Rev. 2013;5:CD007890. 69. Ravenni R, Jabre JF, Casiglia E, Mazza A. Primary stroke prevention and hypertension treatment: which is the first-line strategy? Neurol Int [Internet]. 2011 Sep 29 [cited 2015 Mar 7];3(2). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3207231/ 70. Dowlatshahi D, Hill MD. Angiotensin receptor blockers and secondary stroke prevention: the MOSES study. Expert Rev Cardiovasc Ther. 2009 May;7(5):459–64. 71. Lüders S. Drug therapy for the secondary prevention of stroke in hypertensive patients: current issues and options. Drugs. 2007;67(7):955–63. 72. Jeffrey S. Diuretics may preferentially reduce stroke risk. Medscape. 2003 73. Inzitari D, Poggesi A. Calcium channel blockers and stroke. Aging Clin Exp Res. 2005 Aug;17(4 Suppl):16–30.
34