Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
KAJIAN PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK DI BANGSAL SARAF RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG Lassera Setriana1, Surya Dharma1, Suhatri1 Fakultas Farmasi, Universitas Andalas email:
[email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian yang mengkaji penggunaan obat antihipertensi pada pasien stroke hemoragik di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian yang dilakukan dari tanggal 20 Agustus 2012 sampai tanggal 20 November 2012 ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara prospektif. Hasil penelitian terhadap 33 pasien stroke hemoragik yang mendapat antihipertensi pada penelitian ini menunjukkan bahwa 57,57% pasien berjenis kelamin laki-laki dan 42,42% pasien berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 75,75% pasien berada dalam rentang umur 4565 tahun, sementara pasien <45 tahun diketahui sebanyak 6,06% dan pasien >65 tahun diketahui sebanyak 18,18%. Sebagian besar (75,75%) pasien menderita stroke hemoragik tipe perdarahan intraserebral; 15,15% pasien menderita perdarahan subarakhnoid dan 9,09% sisanya menderita kombinasi dari kedua tipe stroke hemoragik ini. Penggunaan obat antihipertensi pada penelitian ini dibandingkan dengan standar terapi yang menjadi rujukan. Hasil penelitian kemudian menunjukkan 100% penggunaan obat tepat indikasi; 75,76% tepat obat; 96,96% tepat dosis; 84,85% tepat rute pemberian; dan 100% tepat penderita. Ketidaktepatan pemilihan obat yang akan dikombinasikan dalam kombinasi antihipertensi merupakan jenis ketidaktepatan yang paling sering ditemui. Kata kunci: anti-hipertensi, stroke hemoragik. PENDAHULUAN Stroke termasuk di antara penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Menurut WHO, setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di dunia menderita stroke. Sebanyak lima juta orang diantaranya meninggal dunia dan lima juta penderita stroke lainnya mengalami kecacatan permanen, sehingga menyebabkan suatu beban emosional dan ekonomi tersendiri bagi keluarga maupun komunitasnya. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan RI pada tahun 2007 menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian terbanyak di Indonesia pada penduduk berusia di atas lima tahun (Balitbangkes Depkes RI, 2008). Stroke merupakan kondisi neurologis pengancam kehidupan yang paling sering terjadi (Robinson, 2004). Organisasi
kesehatan dunia, WHO, mendefinisikan stroke sebagai gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, berlangsung lebih dari 24 jam, dengan penyebab yang berasal dari gangguan pembuluh darah (WHO, 2006). Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia (stroke iskemik) atau perdarahan otak (stroke hemoragik). Stroke hemoragik mencakup stroke Perdarahan Intraserebral (PIS) dan stroke Perdarahan Subarakhnoid (PSA) (Setyopranoto, 2011). Stroke perdarahan intraserebral terjadi ketika suatu pembuluh darah intraserebral pecah sehingga menyebabkan darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan otak kemudian menyebabkan terbentuknya hematoma. Perdarahan 7
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
subarakhnoid, dapat menyebabkan hipoperfusi otak maupun jantung (Sugiyanto, 2007). Dengan demikian, baik tekanan darah yang terlalu tinggi maupun tekanan darah yang terlalu rendah, berhubungan dengan keluaran (outcome) terapi yang buruk (LiHsian, 2009). Hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Rahajeng pada tahun 2007 (seperti dikutip oleh Sari, 2009) pada 102 pasien stroke rawat inap RSAL Dr. Ramelan periode 1 September - 31 Oktober 2006 ditemukan 67 pasien (65,69%) mengalami masalah terkait obat. Sementara penelitian prospektif terbatas yang dilakukan di ICU RSSN Bukittinggi (Farizal, 2011) selama bulan Mei-Juli 2011, juga menunjukkan tingginya kejadian medication error dan Drug Related Problems (DRPs) pada pasien stroke. Menurut WHO (2006), obat-obat yang digunakan pada pengobatan kedaruratan yang penting, diantaranya adalah obat antihipertensi pada penanganan penderita stroke hemoragik, termasuk prioritas bagi pelaksanaan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO). Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya juga menunjukkan tingginya kejadian medication error dan Drug Related Problems (DRPs) pada pasien stroke. Berangkat dari berbagai latar belakang di atas, penelitian tentang penggunaan obat antihipertensi pada pasien stroke hemoragik menjadi suatu topik yang menarik untuk diteliti.
subarakhnoid terjadi ketika darah masuk ke ruangan subarakhnoid atau karena pecahnya pembuluh darah intrakranial (DiPiro, 2008; Junaidi, 2011). Sekitar 70-94% pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg (PERDOSSI, 2011). Menurut hasil penelitian International Stroke Trial (IST) pada tahun 2002 (seperti dikutip dalam PERDOSSI, 2011), di Indonesia didapatkan sekitar 73,9% pasien stroke akut mengalami hipertensi, sebesar 22,5-27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah sistolik di atas 180 mmHg. Banyak studi yang menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan (PERDOSSI, 2011). Namun demikian, penatalaksanaan hipertensi pada kedaruratan neurovaskular akut sesungguhnya mempunyai potensi manfaat terapetik maupun potensi menyebabkan kerusakan jika tidak diberikan dengan teliti (Pancioli, 2003). Pengontrolan tekanan darah setelah terjadinya perdarahan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian (Elliot and Smith, 2010; Pancioli and Kasner, 2006). Tekanan darah yang terlalu rendah pada pasien stroke hemoragik, baik perdarahan intraserebral maupun perdarahan
METODE PENELITIAN Pasien stroke hemoragik dengan/ tanpa komplikasi yang mendapat terapi obat antihipertensi, yang sedang rawat inap di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama 3 bulan, dari tanggal 20 Agustus 2012 hingga tanggal 20 November 2012, di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Kriteria Eksklusi Pasien stroke hemoragik dengan/ tanpa komplikasi yang tidak mendapatkan terapi obat antihipertensi dan/ atau tidak sedang rawat inap di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara prospektif. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi 8
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
penatalaksanaan hipertensi, yaitu pedoman penatalaksanaan hipertensi yang dikeluarkan oleh JNC7 dan European Society of Hypertension/European Society of Cardiology (ESH/ESC) pada tahun 2007.
Prosedur Penelitian Pengumpulan Data Data-data pada penelitian ini bersumber pada rekam medis pasien, catatan perawat, dan buku kontrol injeksi di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Analisis Data 1. Analisis deskripsi pasien berupa analisis terhadap gambaran pasien stroke hemoragik berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan tipe stroke hemoragik yang diderita oleh pasien. 2. Analisis ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien stroke hemoragik.
Standar/kriteria penggunaan obat Penggunaan obat antihipertensi di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang dibandingkan dengan standar/kriteria yang menjadi rujukan. Kriteria yang dipilih sebagai rujukan adalah Guideline Stroke 2011 yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) serta dua rujukan utama bagi
HASIL DAN DISKUSI Hasil
Kategori Jumlah seluruh pasien Jenis Kelamin
Tabel 1. Karakteristik Demografi Pasien Sub-kategori
Usia (thn)
Tipe Stroke Hemoragik
Laki-laki Perempuan < 45 45-65 > 65 Perdarahan intraserebral (PIS) Perdarahan subarakhnoid (PSA) PIS + PSA
n 33 19 14 2 25 6 25 5 3
% 100 57,57 42,42 6,06 75,75 18,18 75,75 15,15 9,09
Tabel 2. Ketepatan Penggunan Obat Antihipertensi pada Pasien Stroke Hemoragik yang Mendapat Antihipertensi Kategori Jumlah seluruh pasien Tepat indikasi Tepat obat Tepat penderita Tepat dosis Tepat rute pemberian
Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat
Hasil analisis deskripsi pasien dirangkum pada tabel 1, sedangkan analisis penggunaan obat antihipertensi pada
% 100 100 0 75,76 24,24 100 0 96,97 3,03 84,85 15,15
pasien stroke hemoragik yang mendapat antihipertensi terangkum pada tabel 2
9
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
kelompok umur penderita, jenis stroke yang lebih banyak diderita oleh pasien di bawah 65 tahun adalah stroke hemoragik. Stroke pada penderita di bawah 65 tahun dapat disebabkan oleh beberapa kondisi medis, diantaranya tekanan darah tinggi, diabetes, kelainan pembuluh darah atau jantung, dan migrain. Faktor gaya hidup yang tidak sehat, seperti konsumsi rokok dan alkohol, juga diketahui dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke pada kelompok usia ini (UK Stroke Association, 2012). Tipe stroke hemoragik yang diderita oleh pasien pada umumnya (75,75%) adalah berupa stroke perdarahan intraserebral. Sementara stroke perdarahan subarakhnoid diderita oleh lima orang pasien (15,15%). Tiga orang pasien lainnya menderita stroke perdarahan intraserebral sekaligus perdarahan subarakhnoid. Penentuan tipe stroke hemoragik yang diderita oleh pasien sangatlah penting dilakukan karena penanganan kedua jenis stroke ini, termasuk penatalaksanaan hipertensinya, masingmasingnya menggunakan pendekatan yang berbeda. Pada analisis ketepatan penggunaan obat dilakukan evaluasi terhadap ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan obat, ketepatan penderita, ketepatan dosis, dan ketepatan rute pemberian. Tepat indikasi berarti obat digunakan sesuai dengan indikasi dan diagnosa pasien (Siregar, 2005). International Network for the Rational Use of Drugs (INRUD) menyebutkan bahwa penggunaan obat dikatakan tepat indikasi ketika keputusan peresepan obat didasarkan atas indikasi medis yang ditemukan pada pasien dan terapi obat yang dipilih merupakan terapi obat yang efektif dan aman. Secara keseluruhan, dari hasil penelitian ditemukan 100% ketepatan indikasi. Pada penelitian ini ditemukan 75,75% ketepatan pemilihan obat. Tepat obat artinya ketika pemilihan obat dilakukan dengan mempertimbangkan kemanjuran, keamanan dan kecocokan bagi pasien, serta sesuai dengan kriteria/pedoman terapi yang menjadi rujukan (Siregar, 2006). Ketidaktepatan
Diskusi Data yang telah dikumpulkan (seperti yang terangkum dalam tabel 1) menunjukkan bahwa pasien stroke hemoragik di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang yang mendapatkan terapi dengan obat antihipertensi, lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki jika dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin perempuan. Lakilaki memang diketahui memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena serangan stroke dibanding perempuan (Junaidi, 2011). Lebih tingginya angka kejadian stroke pada laki-laki dibandingkan perempuan dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Efek positif estrogen bagi sirkulasi serebral pada perempuan merupakan salah satu kemungkinan yang telah lama diasumsikan oleh para peneliti sebagai alasan mengapa angka kejadian stroke lebih tinggi pada laki-laki dan perempuan pasca-menopause jika dibandingkan dengan perempuan yang belum mengalami menopause. Kemungkinan kedua berkaitan dengan tekanan darah. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan darah pada laki-laki lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan pada umur yang sama. Kemungkinan ketiga berkaitan dengan penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, dan kebiasaan merokok yang lebih sering dijumpai pada penderita stroke laki-laki. Ketiga kondisi ini berkaitan dengan kelainan pada pembuluh darah besar (Appelros, 2009; Pennington, 2007). Data yang terangkum dalam tabel 1 menunjukkan bahwa jika dilihat dari rentang umurnya, sebagian besar penderita berada dalam usia produktif. Pola serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Misbach di 28 rumah sakit di Indonesia pada tahun 2007 (Misbach, 2000). Stroke sering kali diasumsikan sebagai penyakit yang hanya menyerang lansia. Tetapi, pada kenyataannya kira-kira sepertiga kasus stroke terjadi pada penderita berusia di bawah 65 tahun. Walaupun stroke iskhemik merupakan tipe stroke yang paling banyak ditemukan di hampir semua 10
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
pemilihan obat dalam penelitian ini pada umumnya ditemukan dalam pemilihan obat dalam kombinasi antihipertensi. Data yang telah dikumpulkan menunjukkan bahwa dari lima belas variasi kombinasi antihipertensi yang telah diresepkan, sembilan diantaranya merupakan kombinasi yang tidak tepat karena berasal dari golongan antihipertensi yang sama. Pemilihan antihipertensi dari golongan yang sama dalam kombinasi antihipertensi dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping dari golongan ini. Pengkombinasian antihipertensi dari golongan yang sama juga tidak sesuai dengan pedoman penatalaksanaan antihipertensi, baik yang dikeluarkan oleh JNC 7 maupun yang dikeluarkan oleh ESH/ESC. Pada analisis ketepatan dosis, diperoleh ketidaktepatan dosis sebesar 3,03%. Dikatakan tidak tepat dosis bila obat digunakan tidak sesuai dengan dosis dan/atau frekuensi pemberian yang ditetapkan (INRUD, 1999). Pemberian obat dengan dosis kurang mengakibatkan ketidakefektifan terapi obat sedangkan dosis berlebih mengakibatkan hipotensi dan kemungkinan munculnya toksisitas (Muchid,et al., 2006). Ketidaktepan dosis ditemukan pada pasien dengan nomor urut 27 yang berumur 73 tahun. Pasien ini mendapatkan terapi hipertensi dengan amlodipin, yang diberikan dalam dosis awal 10 mg dengan frekuensi 1 kali dalam sehari. Dosis ini kemudian terus diberikan sebagai dosis pemeliharaan hingga hari terakhir penggunaan. Data tekanan darah pasien kemudian menunjukkan penurunan tekanan darah hingga tekanan darah yang terlalu rendah (100/60 mmHg) pada hari ketiga penggunaan amlodipin. Padahal tekanan darah yang terlalu rendah pada pasien stroke hemoragik dapat berhubungan dengan keluaran neurologis yang buruk (PERDOSSI, 2011). Pemberiaan 10 mg amlodipin sebagai dosis awal pada terapi hipertensi bagi pasien ini dipandang sudah tepat. Ketidaktepatan terletak pada keputusan untuk tetap menggunakan dosis 10 mg amlodipin
sebagai dosis pemeliharaan. AHFS (2011) maupun Martindale (2009) merekomendasikan penggunaan amlodipin dalam dosis yang lebih rendah (2,5 mg perhari) bagi pasien geriatri. Hal ini dikarenakan eliminasi amlodipin pada pasien geriatri berkurang secara substansial yang kemudian menyebabkan peningkatan pada bioavailabilitasnya (McEvoy, 2011). Pada analisis rute pemberian, ditemukan ketidaktepatan rute pemberian antihipertensi sebesar 15,15%. Ketidaktepatan rute pemberian yang ditemukan diantaranya adalah pemberian antihipertensi yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah direkomendasikan oleh PERDOSSI. Ketidaktepatan rute pemberian yang sering ditemukan adalah pemberian antihipertensi melalui rute per oral pada pasien dengan tekanan darah sistolik (TDS) di atas 180 mmHg, sementara PERDOSSI merekomendasikan pemberian antihipertensi melalui rute parenteral bagi pasien stroke hemoragik dengan TDS >180 mmHg. Algoritma terapi hipertensi pada pasien stroke hemoragik yang direkomendasikan oleh PERDOSSI dapat dilihat pada gambar 1. Pada penelitian ini ditemukan 100% ketepatan penderita. Tepat penderita dapat diartikan bahwa obat yang diberikan sesuai dengan kondisi fisiologis atau patofisiologis pasien (Siregar, 2006). Sebanyak tiga orang pasien pada penelitian ini mengalami hipertensi resisten, yaitu pasien dengan nomor urut 1, 7, dan 20. JNC 7 (2003) mendefinisikan hipertensi resisten sebagai kegagalan untuk mencapai target tekanan darah pada pasien yang telah mengikuti terapi dengan tiga jenis antihipertensi (yang salah satunya berupa diuretik) dengan dosis yang adekuat. Terjadinya hipertensi resisten harus mendapat perhatian karena hipertensi resisten dikenal sering berkaitan dengan kerusakan organ target lebih lanjut atau peningkatan resiko kardiovaskuler (ESH/ESC, 2007).
11
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
Gambar 1. Algoritma terapi hipertensi bagi pasien stroke hemoragik (PERDOSSI, 2011)
volume cairan tubuh berlebih, yang dapat berhubungan dengan insufisiensi ginjal, konsumsi natrium berlebih, terapi diuretik yang kurang adekuat atau hiperaldosteronisme penyebab yang berhubungan dengan obat, diantaranya dosis yang tidak adekuat, kombinasi obat antihipertensi yang kurang tepat, atau penggunaan obatobatan yang dapat meningkatkan tekanan darah, seperti NSAID, glukokortikoid, dan sebagainya kerusakan organ target yang tidak dapat atau hampir tidak dapat pulih kembali kondisi lain yang berhubungan, seperti obesitas atau konsumsi alkohol (Chobanian, 2003; ESH/ESC, 2007). Analisis yang telah dilakukan juga menunjukkan adanya kemungkinan interaksi obat pada beberapa orang pasien. Potensi interaksi obat ditemukan pada pemberian
Gambar 2. Kombinasi antihipertensi yang dimungkinkan. Garis hijau tebal: kombinasi pilihan; garis hijau putus-putus: kombinasi yang bermanfaat, dengan beberapa batasan; garis hitam putus-putus: kombinasi yang dimungkinkan, tapi belum teruji dengan baik; garis merah tebal: kombinasi yang tidak direkomendasikan. (ESH/ESC, 2007).
Hipertensi resisten dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab, diantaranya:
12
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
nimodipin dan fenitoin secara bersamaan. Nimodipin diketahui dapat menghambat metabolisme fenitoin, sehingga berpotensi meningkatkan toksisitas fenitoin (McEvoy, 2011). Potensi interaksi nimodipin dan fenitoin ini ditemukan pada tiga orang pasien. Potensi interaksi obat lainnya yang ditemukan pada penelitian ini adalah potensi interaksi farmakodinamik antara diltiazem
dan benzodiazepin (diazepam). Potensi interaksi ini ditemukan pada empat orang pasien. Potensi interaksi farmakodinamik juga ditemukan pada penggunaan diltiazem dan haloperidol pada pasien nomor urut 25. Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipotensi.
Tabel 3. Jenis Kombinasi Antihipertensi yang Paling Sering Diresepkan pada Pasien Stroke Hemoragik di Bangsal Saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang
Lima orang diantara 33 pasien stroke hemoragik yang mendapat antihipertensi
pada penelitian ini diketahui meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan 13
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
selama beberapa hari perawatan di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang. Analisis yang telah dilakukan menunjukkan adanya masalah terkait obat antihipertensi pada tiga orang diantara lima pasien meninggal dunia. Dua orang pasien meninggal dunia diketahui mendapatkan terapi dengan diltiazem dan diazepam yang diduga dapat berinteraksi secara farmakodinamik. Sementara pasien ketiga mendapatkan kombinasi antihipertensi amlodipin dan nimodipin yang berasal dari golongan antihipertensi yang sama. Salah seorang pasien yang meningggal dunia, yaitu pasien dengan nomor urut 28, mengalami asidosis respiratorik. Hal ini diketahui dari hasil pemeriksaan laboratorium sehari sebelum pasien meninggal dunia. Asidosis respiratorik merupakan kondisi yang terjadi ketika paruparu tidak dapat membuang semua karbon dioksida yang diproduksi oleh tubuh, sehingga cairan tubuh, terutama darah, menjadi terlalu asam. Asidosis repiratorik bisa kronis atau akut dan dapat disebabkan
oleh penyakit saluran nafas, penyakit dada (sarkoidosis), penyakit yang mempengaruhi saraf dan otot-otot yang mengatur pernapasan, obesitas parah, atau obat-obat yang menekan pernapasan, termasuk benzodiazepin dan obat-obat penahan nyeri yang kuat, seperti narkotika (Dugdale, 2011). Asidosis respiratorik akut terjadi pada penyumbatan jalan napas yang mendadak, trauma dada yang merusak otot pernapasan, paralisis akut, atau depresi pusat pernafasan pada susunan saraf pusat (Sacher, 2000). Pasien ini diketahui menderita gangguan pada sistem pernafasan dan juga tercatat menerima 3 jenis obat yang dapat menekan sistem pernafasan, yaitu diltiazem (antihipertensi), diazepam, dan fenitoin. Namun demikian, untuk mengetahui dengan lebih jelas apakah asidosis respiratorik yang terjadi merupakan reaksi merugikan yang diakibatkan oleh salah satu obat di atas atau merupakan reaksi merugikan yang diakibatkan oleh interaksi farmakodinamik dari obat-obat tersebut, tentu memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut.
KESIMPULAN Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masih terdapat ketidaktepatan penggunaan obat antihipertensi bagi pasien stroke hemoragik di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang ketika penggunaan obat ini dibandingkan dengan standar/ kriteria yang menjadi rujukan. Ketidaktepatan yang ditemukan
berupa tidak tepat obat, tidak tepat dosis, dan tidak tepat rute pemberian dengan persentase yang bervariasi pada masing-masingnya. Ketidaktepatan pemilihan obat yang akan dikombinasikan dalam kombinasi antihipertensi merupakan jenis ketidaktepatan yang paling sering ditemui pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Academy of Managed Care Pharmacy (AMCP). 2009. Drug Utilization Review. Diakses 3 Februari 2013 dari http://amcp.org/WorkArea/DownloadA sset.aspx. American Society of Health-System Pharmacist. 2008. AHFS Drug Information. Bethesda: ASHP. American Society of Health-System Pharmacist. 2011. AHFS Drug
Information Essentials. Bethesda: ASHP. Appelros, P., Stegmayr, B., Terent, A. 2009. Sex Differences in Stroke Epidemiology: A Systematic Review. Stroke, 40, 1082-1090. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 14
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
Baxter, K. (Ed.). 2008. Stockley’s Drug Interactions (8th ed). London: Pharmaceutical Press. Broderick, J., Connoly, S., Feldmann, E., Hanley, D., Kase, C., Krieger, D., Mayberg, M., & Morgenstern, L. 2007. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Adults:2007 Update: A Guideline From the American Heart Association/American Stroke Association. Dallas: AHA/ASA. Chobanian, A.V., Lenfant, C., Bakris, G.L., Black, H.R., Burt, V., Carter, B.L., Cohen, J.D, & Colman, P.J. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.JAMA, 289, 25602572. Connoly, E.S., Rabinstein, A.A., Carhuapoma, J.R., Derdeyn, C.P., Dion, J., Higashida, R.T., Hoh, B.L., & Kirkness, C.J. 2012. Guidelines for the Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage: A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/ American Stroke Association. Dallas: AHA/ASA. DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke G.R., Wells, B.G., & Posey, L.M. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (7th Ed.). New York:McGraw-Hill. Dugdale, D.C. (Ed.). 2011. Respiratory Acidosis. Diakses 2 September 2013 dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/e ncy/article/000092.htm Elliot, J., & Smith, M. 2010. The Acute Management of Intracerebral Hemorrhage: A Clinical Review. Anesth. Analg., 110, 1419-1425. Farizal. 2011. Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Stroke di ICU (Intensive Care Unit) Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Padang: Universitas Andalas.
INRUD. 1999. Session Guide: Problems of Irrational Drug Use. Diakses 24 Mei 2013 dari http://dcc2.bumc.bu.edu/prdu/Session_ Guides/problemsofirrationaldruguse.ht m. Junaidi, I. 2011. Stroke: Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kaplan, N., Shanti, M., Poulter, N., & Whitworth, J. 2003. WHO/ISH Statement on Management of Hypertension. Geneva: WHO Li-Hsian, C.C., Lee, S.H., Chan, B., Thomas, J., Ramani, N.V., Ng, I., Lee, K.E, & Sitoh, Y.Y. 2009. Stroke and Transient Ischaemic Attacks Assessment, Investigation, Immediate Management and Secondary Prevention. Singapore: Singapore Ministry of Health. Morgensten, L.B., Hemphill, J.C., Anderson, C. Becker, K., Broderic, J.P, & Connolly E.S. 2012. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Guideline for Healthcare Professionals from the American Heart Association/American Stroke Association. Dallas: AHA/ASA. Pancioli, A., & Kasner, S.E. 2006. Hypertension Management in Acute Neurovascular Emergencies. EMCREG Int., 3, 1-10. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2004. Guideline Stroke 2004. Jakarta: PERDOSSI. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2007. Guideline Stroke 2007. Jakarta: PERDOSSI. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2011. Guideline Stroke 2011. Jakarta: PERDOSSI. Robinson, T.G., &Potter, J.F. 2004. Review: Blood Pressure in Acute Stroke. Age & Ageing, 33, 6-12. Setyopranoto, I. 2008. Pendekatan EvidenceBased Medicine pada Manajemen 15
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014
Stroke Perdarahan Intraserebral. CDK, 165, 35, 321-327. Shah, Q.A., &Qureshi, A. 2006. Acute Hypertension in Intracerebral Hemorrhage –Pathophysiology and Management. US Neur. Dis., 48-52. Siregar, C.J.P. 2006. Farmasi Klinik: Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC. Sweetman, S.C (Ed.). 2009. Martindale The Complete Drug Reference (36th ed). London: Pharmaceutical Press. The Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA). 2004. SHPA Standards of Practice for Drug Use Evaluation in Australian Hospitals. J. Pharm. Pract. Res., 34, 220-223.
The Task Force for the Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). 2007. 2007 Guidelines for The Management of Arterial Hypertension. Eur. Heart J.,28, 1462–1536. UK Stroke Association. 2012. Stroke in Younger Adults. Diakses tanggal 1 November 2013 dari http://stroke.org.uk. World Health Organization (WHO). 2004. The Atlas of Heart Disease and Stroke. Geneva: WHO. World Health Organization (WHO). 2006. The WHO STEPwise Approach to Stroke Surveillance. Geneva: WHO.
16