NYERI
REFERAT
Pembimbing :
dr. Imam Suhada, SpS
Penyusun:
Koas Neurologi RSAL Periode 19 Oktober – 21 November 2015
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, NOVEMBER 2015
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN Referat
Judul: NYERI
Telah disetujui untuk dipresentasikan
Pada Hari
, Tanggal
2015
Pembimbing
dr. Imam Suhada, SpS
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul “NYERI.” Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Saraf RSAL Mintohardjo. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama kepada: 1. dr. Imam Suhada, SpS selaku pembimbing dalam referat ini. 2. Dokter dan staf SMF Saraf RSAL Mintohardjo. 3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf RSAL Mintohardjo atas bantuan dan dukungannya. Saya menyadari dalam pembuatan presentasi kasus ini masih banyak terdapatkekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan presentasi kasus ini sangat saya harapkan. Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang ilmu saraf.
Jakarta, 10 November 2015
Penyusun DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
....................................................................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................................................................................... ii DAFTAR ISI ....................................................................................................................................................... iii BAB I ....................................................................................................................................................... 1 BAB II ....................................................................................................................................................... 2 BAB III ....................................................................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................................... 41
iii
BAB I PENDAHULUAN Setiap orang pasti pernah merasakan rasa nyeri dan dapat pula mengatakan bagaimana nyeri tersebut dirasakan. Namun hingga sampai kini, para peneliti masih tetap belum memiliki pendapat yang baku tentang definisi nyeri tersebut. Bagi psikolog, nyeri adalah impuls sensorik dasar. Bagi ahli neurofisiologi, ahli saraf dan ahli bedah saraf, nyeri merupakan suatu pola aktivitas neurofisiologi pada suatu pusat saraf tertentu. Bagi ahli biologi, nyeri merupakan suatu aktivitas yang penting artinya untuk mempertahankan hidup. Untuk ahli jiwa, nyeri merupakan efek atau emosi, dan bagi seorang analis, nyeri merupakan produk konflik psikis internal. Secara objektif, nyeri adalah suatu ekspresi dari interpretasi berbagai macam input yang masuk ke berbagai pusat di otak. “The International Association for the Study of Pain” (IASP), menyepakati definisi Nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan karena kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan dalam istilah sebagai kerusakan. Gambaran nyeri akan selalu mempunyai komponen subyektif. Masing-masing orang membentuk konstruksi internal mengenai nyeri dalam bereaksi terhadap cedera atau kerusakan jaringan. Nyeri merupakan keluhan yang paling sering dijumpai, baik dalam praktek umum maupun dokter spesialis khususnya spesialis saraf. Nyeri terjadi bersama dengan berbagai proses penyakit atau bersamaan dengan pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Dari segi berlangsungnya nyeri dibagi atas nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya berlangsung singkat yang berkaitan dengan pembedahan trauma atau penyakit akut. Sementara nyeri kronis berasal nyeri akut yang rekurens yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Penyakit yang dapat menimbulkan nyeri kronis misalnya, rematoid arthititis, osteoarthritis, fibromyalgia, low back pain, dan kanker. BAB II PEMBAHASAN
1
2.1 DEFINISI NYERI Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak berkaitan yang dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan keputusan tersebut. 2.1 KLASIFIKASI NYERI Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya dan juga berdasarkan jenisnya. Berdasarkan durasinya nyeri dibagi menjadi akut dan kronik. Berdasarkan jenisnya nyeri dapat dibagi menjadi nosiseptif, neuropati dan campuran. Berikut tabel dibawah menjelaskan karakteristik nyeri akut dan kronik. Tabel 1. Karateristik Nyeri Akut dan Kronik Karakteristik Awitan dan durasi
Nyeri Akut
Nyeri Kronik
Awitan mendadak, durasi Awitan
bertahap,
singkat, kurang dari 6 menetap, lebih dari 6 bulan
bulan
Intensitas
Sedang sampai parah
Sedang sampai parah
Kausa
Spesifik,
dapat Kausa
diidentifikasi
mungkin
jelas,
secara mungkin tidak
biologis Respons fisiologik
Hiperaktivitas
autonom Aktivitas autonom normal
yang dapat diperkirakan: meningkatnya
tekanan
darah, nadi dan nafas; dilatasi pupil; kepucatan; perspirasi; mual dan/atau muntah Respons emosi/perilaku
Cemas;
tidak
mampu Depresi dan kelelahan;
berkonsentrasi;
gelisah; imobilitas dan inaktivitas
mengalami distres tetapi fisik; menarik diri dari optimis bahwa nyeri akan lingkungan sosial; tidak hilang
akan
melihat
harapan
kesembuhan,
2
memperkirakan
nyeri
akan berlangsung lama Respons
terhadap Meredakan nyeri secara Sering
analgesik
efektif
kurang
dapat
meredakan nyeri
Berdasarkan jenisnya, nyeri dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu: neuropatik, nosiseptif dan campuran: a) Nyeri nosiseptif Nyeri nosiseptif muncul ketika cedera pada jaringan mengaktivitasi reseptor nyeri spesifik yaitu nosiseptor. Nosiseptor merupakan saraf aferen primer untuk menerima dan menyalurkan rangsang nyeri. Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor yang peka terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik atau kimiawi yang menimbulkan nyeri. Distribusi nosiseptor bervariasi diseluruh tubuh, dengan jumlah terbesar terdapat di kulit. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka dan sendi. Nyeri nosiseptif dapat dibagi lagi menjadi nyeri somatik dan nyeri viseral tergantung dari lokasi teraktivasinya nosiseptor. b) Nyeri somatik Nyeri somatik dapat dibagi menjadi nyeri somatik superfisial (kulit) dan nyeri somatik dalam. Pada nyeri somatik superfisial, nyeri berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan seperti menyengat, tajam, mengiris, atau seperti terbakar; tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut. Pada nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur tersebut memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri akibat suatu cedera akut pada sendi memiliki lokalisasi yang jelas dan biasanya dirasakan seperti rasa tertusuk, terbakar atau berdenyut. Pada peradangan kronik sendi (artritis), yang dirasakan adalah nyeri pegal-tumpul yang disertai seperti tertusuk apabila sendi bergerak. Nyeri tulang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di periosteum dan lokalisasinya relatif kurang jelas; nyeri ini sering dirasakan sebagai 3
rasa pegal-tumpul atau linu. Nyeri otot rangka juga memiliki lokalisasi yang kurang jelas dan dirasakan sebagai rasa pegal-tumpul atau kram. Nyeri otot rangka akan terasa menghebat saat otot berkontraksi dalam keadaan iskemia. c) Nyeri Viseral Nyeri viseral merupakan nyeri yang berasal dari organ dalam tubuh. Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot- otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena. Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan. Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. d) Nyeri neuropatik
4
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Gangguan pada otak dan korda spinalis, seperti multiple sclerosis, stroke dan spondilitis atau mielopati post traumatik, dapat menyebabkan nyeri neuropatik. Aktivasi nervus simpatetik yang abnormal, pelepasan katelokamin dan aktivasi free nerve endings atau neuroma dapat menimbulkan sympathetically mediated pain. Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering adalah:
Nyeri neuropatik perifer :
Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik Polineuropati diabetik Polineuropati oleh karena kemoterapi Sindrom nyeri regional kompleks Carpal tunnel syndrome Neuropati sensoris oleh karena HIV Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri
post thorakotomi) Neuropati sensoris idiopatik Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor Neuropati diabetik Neuralgia trigeminal Radikulopati (servikal, torakal atau lumbosakral)
Nyeri neuropatik sentral :
Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis Mielopati HIV Multiple sclerosis Penyakit parkinson Mielopati post iskemik Mielopati post radiasi Nyeri post stroke Nyeri post trauma korda spinalis Siringomelia
Pasien yang mengalami n yeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid.
5
2.3 ETIOLOGI NYERI Tidak hanya satu stimulus yang menghasilkan suatu yang spesifik dari nyeri, tetapi nyeri memiliki suatu etiologi multimodal. Nyeri biasanya dihubungkan dengan beberapa proses patologis spesifik. Kelainan yang mengakibatkan rasa nyeri, mencakup: infeksi, keadaan inflamasi, trauma, kelainan degenerasi, keadaan toksik metabolik atau neoplasma. Nyeri dapat juga timbul karena distorsi mekanis ujung-ujung saraf misalnya karena meningkatnya tekanan di dinding viskus / organ. Banyak faktor yang mempengaruhi nyeri (gambar 1), antara lain: lingkungan, umur, kelelahan, riwayat nyeri sebelumnya, mekanisme pemecahan masalah pribadi, kepercayaan, budaya dan tersedianya orang-orang yang memberi dukungan. Sebagian besar rasa nyeri hebat oleh karena: trauma, iskemia atau inflamasi disertai kerusakan jaringan. Hal ini mengakibatkan terlepasnya zat kimia tertentu yang berperan dalam merangsang ujung-ujung saraf perifer. Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan, misalnya: kebisingan, cahaya yang sangat terang dan kesendirian. Kelelahan juga meningkatkan nyeri sehingga banyak orang merasa lebih nyaman setelah tidur. Riwayat nyeri sebelumnya dan mekanisme pemecahan masalah pribadi berpengaruh pula terhadap seseorang dalam mengatasi nyeri, misalnya: ada beberapa kalangan yang menganggap nyeri sebagai suatu kutukan. Tersedianya orang-orang yang memberi dukungan sangat berguna bagi seseorang dalam menghadapi nyeri, misalnya: anak-anak akan merasa lebih nyaman bila dekat dengan orang tua. Faktor kognitif (seperti: kepercayaan seseorang) dapat meningkatkan ataupun menahan nyeri, terutama pemahaman tentang nyeri yang dimiliki individu merupakan penyebab yang mungkin atau implikasinya. Dalam suatu penelitian yang dilakukan Woodrow et al, ditemukan bahwa toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan umur, misalnya semakin bertambah usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman
6
terhadap nyeri dan usaha mengatasinya. Toleransi terhadap nyeri lebih besar pada pria daripada wanita dan pada orang kulit putih lebih dapat mentoleransinya dibanding pada orang kulit hitam ataupun pada orang ras oriental. Depresi dihubungkan dengan nyeri kronik dan merupakan konsekuensi dari nyeri sedangkan kecemasan dihubungkan dengan nyeri akut dan merupakan antisipasi nyeri. Menurut penelitian yang dilakukan Sternbach menyatakan bahwa kecemasan menambah sensitivitas nyeri dan meningkatkan respon nyeri. Karakteristik dari Host
Biologis: genetik,jenis kelamin,kontrol nyeri endogenous
Psikologis:kecemasan,depresi,turunan,tingkah laku.
Kognitif
NYERI
Penyakit
Lingkungan
- Sejarah
-Sosialisasi
-Gaya Hidup - Penyakit yang ada
-Trauma
-Budaya
Gambar 1. Faktor-faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi pengalaman nyeri
2.4 PATOFISIOLOGI NYERI Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf,
7
dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan. Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara langsung maupun tidak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu terjadinya remodelling atau hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini, ada yang tumbuh dan mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya tidak mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma. Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+ channel. Akumulasi Na+ channel menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping ion channel juga terlihat adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang semuanya dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, abnormal mechanosensitivity, thermosensitivity, dan chemosensitivity. Ectopic discharge dan sensitisasi dari berbagai reseptor (mechanical, termal, chemical) dapat menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan evoked pain. Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri akan hilang. Akan tetapi, lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang mungkin mengakibatkan terjadinya sensisitasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia sekunder. Dari keterangan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral. Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik)
8
dan kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Sensitisasi ini pada umumnya berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi ditambah dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls aferen baik yang berasal dari perifer maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan
dengan
berkembangnya
reseptor
penelitian
AMPA/kainat secara
dan
molekuler
NMDA. maka
Sejalan
ditemukan
dengan beberapa
kebersamaan antara nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA dan plastisitas disinapsis, immediate early gene changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara paroksismal pada epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah ectopic discharge. Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologi yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat mungkin di terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba, tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah cedera pada saraf. Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru atau sprouting affreen dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada
9
pasien dengan nyeri neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena respon sentral abnormal serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi. Nyeri neuropati merupakan nyeri yang dikarenakan adanya lesi pada sistem saraf perifer maupun pusat. Nyeri ini bersifat kronik dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderita. Nyeri neuropati melibatkan gangguan neuronal fungsional dimana saraf perifer atau sentral terlibat dan menimbulkan nyeri khas bersifat epikritik (tajam dan menyetrum) yg ditimbulkan oleh serabut Aδ yg rusak, atau protopatik seperti disestesia, rasa terbakar, parestesia dengan lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh serabut C yang abnormal. Gejala-gejala ini biasa disertai dengan defisit neurologik atau gangguan fungsi lokal.
Umumnya, lesi saraf tepi maupun sentral berakibat hilangnya fungsi seluruh atau sebagian sistim saraf tersebut, ini sering disebut sebagai gejala negatif. Akan tetapi, pada bagian kecil penderita dengan lesi saraf tepi, seperti pada penderita stroke, akan menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia, parestesia atau nyeri. Nyeri yang terjadi akibat lesi sistem saraf ini dinamakan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahuluhi atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf. Iskemia, keracunan zat tonik, infeksi dan gangguan metabolik dapat menyebabkan lesi serabut saraf aferen. Lesi tersebut dapat mengubah fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekular, sehingga aktivitas serabut saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptik sentral. Pada nyeri inflamasi maupun nyeri neuropatik sudah jelas keterlibatan reseptor NMDA dalam proses sensitisasi sentral yang menimbulkan gejala hiperalgesia terutama sekunder dan alodinia. Akan tetapi di klinik ada perbedaaan dalam terapi untuk kedua jenis nyeri inflamasi sedangkan untuk nyeri neuropatik
10
obat tersebut kurang efektif. Banyak teori telah dikembangkan untuk menerangkan perbedaan tersebut. Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akibat kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropatik). Eksitasi meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut pada neyeri neuropatik dari beberapa keterangan sebelumnya telah diketahui bahwa inhibisi menurun yang sering disebut dengan istilah disinhibisi. Disinhibisi dapat disebabkan oleh penurunan reseptor opioid di neuron kornu dorsalis terutama di presinap serabut C. 2.5 ANAMNESA NYERI 1. Lokasi :
Dimana terasa nyeri ? Apakah nyeri menyebar ? Apakah nyeri berada di permukaan atau didalam ?
2. Cara awitan : Kapan nyeri dimulai ? Apakah nyeri timbul mendadak atau perlahan ? Apakah ada kejadian terntentu yang tampaknya menimbulkan nyeri saat nyeri tersebut dimulai? 3. Pola (penentuan waktu, frekuensi, durasi) Kapan nyeri timbul ( Pagi, siang, malam ) ? Seberapa sering nyeri tersebut ? Apakah nyerinya terus menerus atau hilang timbul? Seberapa lama nyeri menetap ? 4. Faktor yang memperberat dan memperingan nyeri Apa yang kira-kira memicu nyeri ? Apa yang menyebabkan nyeri bertambah parah ( Misalnya gerakan, atau perubahan posisi, batuk atau mengejan,minum atau makan)? Apa yang menyebabkan nyeri berkurang ( Misalnya, beristirahat, tidur, merubah posisi misalnya berdiri, duduk, membungkuk, berbaring, makanan atau obat-obatan ? 5. Kualitas :
11
Seperti apa nyeri terasa ( Misalnya berdenyut, tumpul, pegal, tajam seperti tertusuk, perih, terbakar) 6. Intensitas : Seberapa hebat nyerinya ( Meminta pasien mengukur nyeri menggunakan skala analog visual atau verbal sebelum dan sesudah pengobatan) 7. Gejala terkait : Apakah ada masalah lain yang ditimbulkan oleh nyeri (Misalnya anoreksia, mual, muntah, insomnia) 8. Efek pada gaya hidup: Apakah nyeri menganggu aktifitas anda dirumah, pekerjaan atau interaksi social normal) Apakah nyeri menganggu keseharian hidup anda (Misalnya makan, tidur, aktivitas social, menyetir) 9. Metode untuk mengurangi nyeri : Apakah yang pernah dapat mengurangi nyeri anda? Apakah yang tidak bermanfaat untuk mengurangi nyeri anda? 2.6 SKALA NYERI Penilaian kualitas nyeri dapat dinilai secara sederhana dengan meminta pasien menjelaskan nyerinya dengan kalimat mereka sendiri atau dengan cara yang lebih formal saperti menggunakan kuesioner nyeri McGill yang merupakan salah satu alat bantu yang paling sering digunakan untuk menilai kualitas nyeri. Alat bantu ini sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan dapat digunakan baik dalam lingkup nyeri akut atau kronis, serta untuk riset. Kuesioner ini mengukur dimensi fisiologis dan psikologis nyeri yang dibagi menjadi 4 bagian. Pada bagian pertama pasien menandai lokasi nyeri pada sebuah gambar tubuh manusia. Pada bagian kedua pasien memilih 20 kata yang menjelaskan kualitas sensorik, afektif, evaluatif, dan kualitas lain dari nyeri. Pada bagian ketiga pasien memilih kata seperti singkat, berirama, atau menetap untuk menjelaskan pola nyeri. Pada bagian keempat pasien menentukan tingkatan nyeri pada suatu skala dari 0 sampai 5.
12
Gambar 1. Kuesioner Nyeri McGill
13
Penilaian Intensitas Nyeri Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukan ekspresi nyeri yang dirasakan. Alat bantu yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri pada pasien antara lain adalah: 1. Wong-Baker Face Pain Rating Scale Skala dengan 6 gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
Gambar 2. Wong-Baker Face Pain Rating Scale 2. Verbal Rating Scale (VRS) Pasien ditanyakan derajat nyeri yang dirasakan Berdasarkan skala 5 poin: tidak nyeri, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. 3. Numerical Rating Scale (NRS) Pertama kali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukan angka 0 - 5 atau 0 - 10, dimana angka 0 menunjukan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukan nyeri yang hebat.
Gambar 3. Numerical Rating Scale (VRS) 4. Visual Analogue Scale (VAS) Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda 14
tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic). Gambar 4. Visual Analogue Scale (VAS)
2.7 MANAJEMEN NYERI AKUT 1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu. 2. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang. 3. Tentukan mekanisme nyeri: a. Nyeri somatik: i. Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kima dari sel yang cedera dan memediasi ii.
inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit. Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan
iii.
nyeri bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam. Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri visceral: i. Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ii.
ditekan benda berat. Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament,
spasme otot polos, distensi organ berongga / lumen. iii. Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat. 15
c. Nyeri neuropatik: i. Berasal dari cedera jaringan saraf ii. Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia. iii. Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya) iv. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi / radioterapi. 4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya. a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO i. OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif ii.
untuk nyeri sedang-berat. Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2) dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan
iii.
pasien. Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedangberat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam
iv.
setelah langkah 1). Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang
v.
sering digunakan adalah morfin, kodein. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat
vi.
diberikan opioid ringan. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara bertahap Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS,
opioid, tramadol. Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid,
fenotiazin Topical: lidokain patch, EMLA Subkutan: opioid, anestesi lokal
16
3-Step WHO Analgesic Ladder8 *Keterangan: patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut
karena tidak sesuai indikasi dan onset kerjanya lama. Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi
analgesik adjuvant (misalnya amitriptilin, gabapentin). *Istilah: NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug S/R: slow release PRN: when required ii. Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn) intravena untuk nyeri akut, dengan syarat: Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat
instruksi Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin
di ruang rawat inap biasa Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua pasien harus diobservasi dengan ketat selama fase ini.
17
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut8 tidak
Apakah pasien nyeri sedang/berat? ya Saat dosis telah diberikan, lakukan monitor setiap 5 menit selama minimal 20 menit. Tunggu hingga 30 menit dari pemberian dosis terakhir sebelum mengulangi siklus. Dokter mungkin perlu untuk meresepkan dosis ulangan Ya, tetapi telah diberikan dosis total
tidak Nyeri
tidak
Apakah diresepkan opioid IV? ya
Siapkan NaCl
Observasi rutin
ya
ya
Skor sedasi 0 atau 1? ya
ATAU
Kecepatan ya > 8 pernapasan
Tekanan darah ya100 sistolik ≥
Minta untuk diresepkan Gunakan spuit 10ml Ambil 10mg morfin sulfat dan campur dengan NaCl 0,9% hingga 10ml (1mg/ml) Berikan label pada spuit Gunakan spuit 10ml Ambil 100mg petidin dan campur dengan NaCl 0,9% hingga 10ml (10mg/ml) Berikan label pada spuit
tidak
Tunggu selama 5
Observasi rutin
tidak
tidak Usia pasien ya < 70 tahun?
Minta saran ke dokter senior Tunda dosis hingga skor sedasi <2 dan kecepatan pernapasan > 8 kali/menit. Pertimbangkan nalokson IV
Minta saran
Jika skor nyeri 7-10: berikan 2ml Jika skor nyeri 4-6: berikan 1
Jika skor nyeri 7-10: berikan 3ml Jika skor nyeri 4-6: berikan 2
18
Keterangan: Skor nyeri: 0 = tidak nyeri 1-3 = nyeri ringan 4-6 = nyeri sedang 7-10 = nyeri berat
Skor sedasi: 0 = sadar penuh 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan 3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan S = tidur normal
*Catatan: Jika tekanan darah sistolik < 100mmHg: haruslah dalam rentang 30% tekanan darah sistolik normal pasien (jika diketahui), atau carilah saran/bantuan.
Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan) Teruskan penggunaan OAINS IV jika diresepkan bersama dengan opioid. iii. Manajemen efek samping: opioid Mual dan muntah: antiemetic Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut. Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan antihistamin. Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid,
atau
berikan
mengatasi mioklonus. Depresi pernapasan
benzodiazepine akibat
opioid:
untuk berikan
nalokson (campur 0,4mg nalokson dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02 mg (0,5ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang
jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang. OAINS: Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor) Perdarahan akibat
disfungsi
platelet:
pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet. b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.
23
c. Non-farmakologi: i. Olah raga ii. Imobilisasi iii. Pijat iv. Relaksasi v. Stimulasi saraf transkutan elektrik 5. Follow-up / asesmen ulang a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur. b. Panduan umum: i. Pemberian parenteral: 30 menit ii. Pemberian oral: 60 menit iii. Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit. 6. Pencegahan a. Edukasi pasien: i. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta ii.
tatalaksananya. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk
iii.
pasien Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika
iv.
memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan
jadwal control). b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik 7. Medikasi saat pasien pulang a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti biasa / normal. b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.
24
8. Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri akut: Algoritma Asesmen Nyeri Akut Pasien mengeluh nyeri Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Asesmen nyeri
Apakah etiologi nyeri bersifat reversibel?
ya
tidak Apakah nyeri berlangsung > 6 minggu?
ya
tidak
Prioritas utama: identifikasi dan atasi etiologi nyeri
Lihat manajemen nyeri kronik. Pertimbangkan untuk merujuk ke spesialis yang sesuai
Tentukan mekanisme nyeri (pasien dapat mengalami > 1 jenis nyeri)
Nyeri somatic
Nyeri viseral
Nyeri neuropatik
Nyeri bersifat tajam, menusuk, terlokalisir, seperti ditikam
Nyeri bersifat difus, seperti ditekan benda berat, nyeri tumpul
Nyeri bersifat menjalar, rasa terbakar, kesemutan, tidak
26
Algoritma Manajemen Nyeri Akut Nyeri somatic
Nyeri viseral
Kortikosteroid Anestesi lokal intraspinal OAINS Opioid
Parasetamol Cold packs Kortikosteroid Anestesi lokal (topical / infiltrasi) OAINS Opioid
Pilih alternatif terapi yang lainnya tidak Lihat manajemen nyeri kronik. Pertimbangkan untuk merujuk ke spesialis yang sesuai
Nyeri neuropatik
ya Apakah nyeri > 6 minggu?
Antikonvulsan Kortikosteroid Blok neuron OAINS Opioid Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
Pencegahan
Edukasi pasien Terapi farmakologi Konsultasi (jika perlu) Prosedur pembedahan Non-farmakologi
ya tidak
Kembali ke kotak ‘tentukan mekanisme nyeri’
tidak
Mekanisme nyeri sesuai?
ya
Analgesik adekuat? ya
Efek samping pengobatan tidak
Manajemen efek samping
Follow-up / nilai ulang
27
MANAJEMEN NYERI KRONIK 1. Lakukan asesmen nyeri: a. anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri sebelumnya) b. pemeriksaan penunjang: radiologi c. asesmen fungsional: i. nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan / ii. iii.
disabilitas buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
2. tentukan mekanisme nyeri: a. manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya. b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri. c. Terbagi menjadi 4 jenis: i. Nyeri neuropatik: disebabkan oleh kerusakan / disfungsi
sistem
somatosensorik. Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia
pasca-herpetik. Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal,
kesemutan, alodinia. Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3bulan
ii.
Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah,
panggul, dan ekstremitas bawah. Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot,
berakibat kelemahan, keterbatasan gerak. Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan
repetitive. Tatalaksana:
mengembalikan
fungsi
otot
yang dengan
fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan) iii.
Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif): Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri
pasca-operasi Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera / luka.
28
Tatalaksana:
manajemen
proses
inflamasi
dengan
antibiotic / antirematik, OAINS, kortikosteroid. iv.
Nyeri mekanis / kompresi: Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan
istirahat. Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain
ligament/otot),
degenerasi
diskus,
osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur. Merupakan nyeri nosiseptif Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
3. Nyeri kronik: nyeri yang persisten / berlangsung > 6 minggu
4. Asesmen lainnya: a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi,
cemas,
riwayat
penyalahgunaan
obat-obatan,
riwayat
penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur) b. Masalah pekerjaan dan disabilitas c. Faktor yang mempengaruhi: i. Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk ii. Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik pasien d. Hambatan terhadap tatalaksana: i. Hambatan komunikasi / bahasa ii. Faktor finansial iii. Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas iv. v.
kesehatan Kepatuhan pasien yang buruk Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman
5. Manajemen nyeri kronik a. Prinsip level 1: i. Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi nyeri). Berikut adalah formulir rencana perawatan pasien dengan nyeri kronik:
29
Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik 1. Tetapkan tujuan Perbaiki skor kemampuan fungsional (ADL) menjadi:____ pada tanggal: _________ Kembali ke aktivitas spesifik, hobi, olahraga____________ pada tanggal: _________ a. ____________________________________________ b. ____________________________________________ c. ____________________________________________ Kembali ke kerja terbatas/ atau kerja normal pada tanggal: __________ 2. Perbaikan tidur (goal: _______ jam/malam, saat ini: ________ jam/malam) Ikuti rencana tidur dasar a. Hindari kafein dan tidur siang, relaksasi sebeum tidur, pergi tidur pada jam yang ditentukan _____________ Gunakan medikasi saat mau tidur a. ______________________________________________ b. ______________________________________________ c. ______________________________________________ 3. Tingkatkan aktivitas fisik Ikuti fisioterapi ( hari/minggu ___________________) Selesaikan peregangan harian (_____ kali/hari, selama _____ menit) Selesaikan latihan aerobic / stamina a. Berjalan (_____ kali/hari, selama _____ menit) b. Treadmill, bersepeda, mendayung (_____ kali/minggu, selama _____ menit) c. Goal denyut jantung yang ditargetkan dengan latihan ______ kali/menit Penguatan a. Elastic, angkat beban (_____ menit/hari, _____ hari/minggu) 4. Manajemen stress – daftar penyebab stress utama ____________________________________ Intervensi formal (konseling, kelompok terapi) a. _________________________________________________ Latihan harian dengan teknik relaksasi, meditasi, yoga, dan sebagainya a. _________________________________________________ b. _________________________________________________ Medikasi a. _________________________________________________ b. _________________________________________________ 5. Kurangi nyeri (level nyeri terbaik minggu lalu: ____/10, level nyeri terburuk minggu lalu: ____/10) Tatalaksana non-medikamentosa a. Dingin/panas ___________________________________________ b. ______________________________________________________ Medikasi a. ______________________________________________________ b. ______________________________________________________ c. ______________________________________________________ d. ______________________________________________________ Terapi lainnya: ___________________________________________________
31
ii.
iii.
Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fungsi Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi. Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup
manajemen
stress,
latihan
fisik,
terapi
relaksasi, dan sebagainya Beritahukan pasien bahwa
manajemen nyerinya Ajaklah pasien untuk
manajemen nyeri Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan
focus
dokter
adalah
aktif
dalam
berpartisipasi
penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh peningkatan
iv.
level nyeri pasien. Bekerjasama dengan
dukungan kepada pasien Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara
bertahap Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut
keluarga
untuk
memberikan
nyeri. Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)
b. Manajemen
level
1:
menggunakan
pendekatan
standar
dalam
penatalaksanaan nyeri kronik termasuk farmakologi, intervensi, nonfarmakologi, dan tetapi pelengkap / tambahan. i. Nyeri Neuropatik Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri: Control gula darah pada pasien DM Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien
tumor dengan kompresi saraf Control infeksi (antibiotic) Terapi simptomatik: antidepresan trisiklik (amitriptilin) antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi) OAINS, kortikosteroid, opioid
31
anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intratekal, infus epidural / intratekal terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi dengan radiofrekuensi terapi lainnya: hypnosis,
terapi
saraf
relaksasi
(mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi
perilaku kognitif (mengurangi
perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis) ii.
nyeri otot lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius,
faktor psikososial yang dapat menghambat pemulihan berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap. Rehabilitasi fisik: Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan mekanik pijat, terapi akuatik manajemen perilaku: stress / depresi teknik relaksasi perilaku kognitif ketergantungan obat manajemen amarah terapi obat: analgesik dan sedasi antidepressant opioid jarang dibutuhkan
iii.
nyeri inflamasi control inflamasi dan atasi penyebabnya obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid
iv.
nyeri mekanis / kompresi
32
penyebab yang sering: tumor / kista yang menimbulkan kompresi pada struktur yang sensitif dengan nyeri,
dislokasi, fraktur. Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau
stabilisasi, bidai, alat bantu. Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.
c. Manajemen level 1 lainnya i. OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri ii.
non-neuropatik Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker.9
33
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy)9 Skor
Faktor Diagnosis
Penjelasan 1 = kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimal atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya: fibromyalgia, migraine, nyeri punggung tidak spesifik. 2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri sedang menetap dengan temuan objektif medium. Misalnya: nyeri punggung dengan perubahan degeneratif medium, nyeri neuropatik. 3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata. Misalnya:
Intractability
penyakit iskemik vascular berat, neuropati lanjut, stenosis spinal berat. 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal dalam
(keterlibatan) manajemen nyeri 2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis) 3 = pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respons terapi tidak Risiko (R) Psikologi
adekuat. R = jumlah skor P + K + R + D 1 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang mempengaruhi terapi. Misalnya: gangguan kepribadian, gangguan afek berat. 2 = gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang. Misalnya: depresi, gangguan cemas. 3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau gangguan jiwa yang
Kesehatan Reliabilitas
signifikan 1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat. 2 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi psikofarmaka 3 = tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan. 1 = banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja / jadwal control, komplians buruk 2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi secara keseluruhan
Dukungan sosial
Efikasi
dapat diandalkan 3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control, dan terapi) 1 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat, kehilangan peran dalam kehidupan normal 2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan dalam sosisl 3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah, tidak ada isolasi sosial 1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan penggunaan dosis obat sedang-tinggi 2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan opioid dosis sedang-tinggi) 3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai dengan dosis
Skor total
yang stabil. =D+I+R+E Keterangan: Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
34
Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
iii.
iv.
Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi epidural Terapi pelengkap / tambahan: akupuntur, herbal
d. Manajemen level 2 i.
meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau
ii.
iii.
infus intratekal). Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen level 1. Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen level 1.
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:
35
Algoritma Asesmen Nyeri Kronik Pasien mengeluh nyeri Asesmen nyeri Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan
Pasien dapat mengalami jenis nyeri dan faktor yang mempengaruhi yang beragam
Tentukan mekanisme nyeri
Nyeri neuropatik Perifer (sindrom nyeri regional kompleks, neuropati HIV, gangguan metabolik) Sentral (Parkinson, multiple sclerosis, mielopati, nyeri pascastroke, sindrom
Nyeri otot Nyeri miofasial
Nyeri inflamasi Artropati inflamasi (rematoid artritis) Infeksi Nyeri pasca-
Apakah nyeri kronik? ya
tidak
Apakah etiologinya dapat dikoreksi / diatasi? tidak
ya
Nyeri mekanis/kompresi Nyeri punggung bawah Nyeri leher Nyeri
Pantau dan observasi
Atasi etiologi nyeri sesuai indikasi
Asesmen lainnya Masalah pekerjaan dan disabilitas Asesmen psikologi dan spiritual
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik
36
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik9 Prinsip level 1 Buatlah rencana dan tetapkan tujuan Rehabilitasi fisik dengan tujuan fungsional Manajemen psikososial dengan tujuan Manajemen level 1:
Manajemen level 1:
Manajemen level 1:
Manajemen level 1: Nyeri mekanis/kompresi
Manajemen level 1 lainnya Farmakologi (skor DIRE) Intervensi
Layanan primer untuk mengukur pencapaian tujuan dan meninjau ulang rencana perawatan tidak Tujuan terpenuhi? Fungsi Kenyamanan
Telah melakukan manajemen level 1 dengan
ya Rencana perawatan selanjutnya oleh pasien
ya
Manajemen level 2 Rujuk ke tim interdisiplin, atau Rujuk ke klinik khusus manajemen nyeri
tidak
Asesmen hasil
37
BAB III KESIMPULAN Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak berkaitan yang dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan keputusan tersebut. Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak berkaitan yang dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan keputusan tersebut. Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya dan juga berdasarkan jenisnya. Berdasarkan durasinya nyeri dibagi menjadi akut dan kronik. Berdasarkan jenisnya nyeri dapat dibagi menjadi nosiseptif, neuropati dan campuran. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukan ekspresi nyeri yang dirasakan. Alat bantu yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri pada pasien antara lain adalah Wong-Baker Face Pain Rating Scale, Verbal Rating Scale (VRS), Numerical Rating Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS.
38
DAFTAR PUSTAKA 1. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC.p.1063-87 2. Winnipeg Regional Health Authority. Pain Assessment and Management: Clinical Practice Guidelines. Canada: WRHA; 2012. 22-3p. 3. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline: assessment and management of acute pain. Edisi ke-6. ICSI; 2008. 4. Pain Management Task Group of the Hull & East Riding Clinical Policy Forum. Adult pain management guidelines. NHS; 2006. 5. Spanswick CC, Main CJ. Pain management: an interdisciplinary approach. Edinburgh: Churchill Livingston; 2000. 93. 6. Steven D. Waldman, MD, JD. The measurement of pain: Objectifying the Subjective. Pain Management. Saunders Elsevier; 2007. 1: Section 1, Ch. 18. 7. Klit H, Finnerup NB, Andersen G, Jensen TS. Central poststroke pain: A populationbased study. Pain. 2011 Apr. 152(4):818-24.
39