PERANCANGAN ULANG KOMPOR BIOETANOL DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METODE QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) DAN TEORIYA RESHENIYA IZOBRETATELSKIKH ZADATCH (TRIZ) REDESIGN OF BIOETANOL STOVE BY USING THE APPROACH OF QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) AND TEORIYA RESHENIYA IZOBRETATELSKIKH ZADATCH (TRIZ) Anindita Laksmi, Sri Gunani Partiwi, Adithya Sudiarno Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Abstrak Sumber energi fosil di Indonesia khususnya minyak bumi kian langka. Penggunaan terbesar adalah pada sektor rumah tangga dan komersial, diikuti oleh sektor industri, transportasi, dan bahan baku. Hal ini mendorong pemerintah untuk mulai menggunakan energi alternatif untuk mencegah habisnya minyak bumi. Salah satu energi alternatif yang bisa dimanfaatkan adalah bioetanol. Sejak 4 tahun yang lalu pertama kali diperkenalkan hingga sekarang, bioetanol telah mengalami peningkatan dalam penjualannya. Akan tetapi bioetanol tersebut sebagian besar hanya dikonsumsi untuk skala industri. Sedangkan untuk target skala rumah tangga yaitu penggunaan kompor bioetanol, masih mengalami kendala seperti ketersediaan bahan baku serta kelemahan pada desain kompornya. Kelemahan utamanya antara lain kurang efisien, kurang aman dan kurang user-friendly bagi penggunanya. Kelemahan tersebut menyebabkan kompor bioetanol masih kurang bisa diterima masyarakat hingga saat ini. Karena itu, perlu dikembangkan kompor bioetanol yang lebih berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. Pendekatan yang digunakan dalam perancangan adalah gabungan metode Quality Function Deployment dan Teoriya Resheniya Izobretatelskikh Zadatch. Output dari penelitian ini ialah menghasilkan kompor bioetanol yang mampu digunakan selama 5 jam nonstop, menghemat Rp 20.000,00 setiap bulannya, lebih mudah digunakan , dan lebih aman. Kata Kunci : Pengembangan produk, Kompor Bioetanol, Quality Function Deployment, Teoriya Resheniya Izobretatelskikh Zadatch ABSTRACT Fossil energy sources in Indonesia, especially petroleum is growing scarce. The greatest use is for households and commercial sectors, followed by industrial sector, transportation, and as raw material for further processes. This forced the government to start using alternative energy to prevent petroleum depletion. One of the alternative energy that can be used is bioethanol. Since firstly introduced four years ago, bioethanol has experienced increase in sales, however most of the bioethanol is consumed only for industrial scale. While the scale for the target households are still experiencing problems namely the availability of raw materials as well as in the design of the stove. The weakness of the stove design lies on its efficientcy, safety-factor and userfriendly aspects for its users. These weaknesses cause the bioethanol stove to be less acceptable to the public until today. Therefore, it is necessary to develop higher quality of bioethanol stove to meet the needs of the user. The approach used in the design is a combined method of Quality Function Deployment and Teoriya Resheniya Izobretatelskikh Zadatch. The new design of stove bioethanol can be used for five straight hours, and it can save up to Rp. 20.000.00 per month compared to the existing stove. The newly designed stove is also safer and easier to use. Keywords: Product development, Bioethanol Stove, Quality Function Deployment, Teoriya Resheniya Izobretatelskikh Zadatch
ini. Hampir seluruh kebutuhan dunia bergantung pada sumber daya alam yang tidak terbarukan tersebut termasuk negara Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Energi dan
1. Pendahuluan Latar Belakang Minyak bumi merupakan penyangga kebutuhan energi yang utama di dunia saat
1
Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2006 pemakaian minyak bumi mendominasi 52,5% pemakaian energi di Indonesia. Sedangkan penggunaan gas bumi sebesar 19% , batu bara 21,5%, air 3,7%, panas bumi sebesar 3% dan energi terbarukan hanya sekitar 2% dari total penggunaan energi. Padahal menurut data ESDM 2006, cadangan minyak bumi Indonesia hanya sekitar 500 juta barel per tahun. Hal ini berarti minyak bumi jika terus dikonsumsi dan tidak ditemukan cadangan minyak baru atau tidak ditemukan teknologi baru, diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu dua puluh tiga tahun mendatang (Hidayat, 2007). Ini merupakan konsekuensi logis dari pemakaian besar-besaran bahan bakar fosil tanpa dibarengi ketersediaan bahan bakar fosil demi memenuhi kebutuhan manusia. Penggunaan terbesar minyak bumi adalah pada sektor rumah tangga yaitu pemanfaatan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak dengan pangsa sebesar 46% diikuti oleh sektor industri 25%, transportasi 19%, sebagai bahan baku 5% dan sisanya sekitar 4% untuk penggunaan lainnya (Pusat Informasi Energi, 2003). Terkait dengan masalah diatas, pemerintah telah mengupayakan rencana pengurangan penggunaan minyak tanah untuk keperluan rumah tangga dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain. Menindaklanjuti Inpres tersebut, masyarakat telah mengupayakan bioetanol sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah. Penggunaan bioetanol memerlukan kompor yang berbeda dengan kompor minyak tanah. Kompor bioetanol memang belum sepopuler kompor minyak tanah maupun kompor elpiji, akan tetapi sampai saat ini banyak pihak yang optimis akan kelangsungan hidup produk tersebut di masa yang akan datang, baik itu perseorangan maupun instansi. Beberapa penelitian mengenai kompor bioetanol yang pernah dilakukan antara lain kompor Bionas dari Yogyakarta, kompor Kuwatsu, serta kompor Repindo. Berdasarkan identifikasi masalah di lapangan, secara keseluruhan kompor-kompor yang sudah ada tersebut masih ditemukan beberapa
kelemahan, antara lain kurang aman, harga mahal, penggunaan yang kurang userfriendly, dan tidak efisien. Kelemahan tersebut mengakibatkan kompor bioetanol masih kurang bisa diterima masyarakat hingga saat ini. Dari beberapa hal yang melatarbelakangi masalah tersebut maka penelitian ini akan difokuskan pada perancangan ulang kompor bioetanol yang nantinya diharapkan dapat mengatasi kekurangan-kekurangan desain kompor sehingga kompor lebih efisien, aman, dan user-friendly bagi penggunanya. Untuk menghasilkan kompor yang lebih baik, harus dapat memenuhi keinginan pengguna. Diawali dengan mencari permasalahan yaitu kebutuhan dan kepuasan dalam kompor bioetanol menggunakan metode QFD. Selanjutnya melakukan penyelesaian masalah dari kebutuhan dan kepuasan yang paling vital dari pengguna dengan menggunakan metode TRIZ. Pada akhirnya diharapkan diperoleh kompor bioetanol yang dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini, yaitu melakukan evaluasi terhadap kompor bioetanol eksisting, merancang ulang kompor bioetanol eksisting agar mendapatkan kompor yang user-friendly, lebih efisien, dan lebih aman, serta membandingkan desain kompor bioetanol eksisting dengan desain kompor bioetanol yang baru. 1.3 Manfaat Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain adalah diperoleh kompor bioetanol yang lebih efisien, aman, dan user-friendly sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan kompor bioetanol, pemanfaatan bioetanol secara luas, dan membantu kebijakan pemerintah dalam upaya mengurangi penggunaan bahan bakar minyak bumi dan gas serta mendorong penggunaan sumber-sumber energi alternatif. 1.4 Ruang Lingkup Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terfokus, maka didefinisikan
2
beberapa batasan dan asumsi. Batasan dari penelitian ini adalah pertama kompor yang dirancang adalah kompor skala rumah tanggadan kedua penelitian ini tidak mencakup fase peluncuran produk. Sedangkan asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemilihan material dan bioetanol untuk rancangan produk kompor hanya berdasarkan data literatur tanpa pengujian material secara fisik.
kedua adalah TRIZ yang mana bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan kontradikstif dalam perancangan. Dari HoQ didapatkan respon-respon teknis dari prioritas atribut yang paling tinggi. Tahap selanjutnya adalah mereduksi kontradiksi teknis ataupun fisik dari respon teknis melalui metode TRIZ guna memperbaiki kinerja dari desain yang ada. Dimulai dari penentuan specific problem yang diperoleh dari respon teknis hasil dari wawancara atau kuesioner, dilanjutkan penentuan general problem kontradiksi teknis dan fisik. Kontradiksi teknis bisa langsung diselesesaikan dengan tabel matrik kontradiksi dan tool the 40 inventive principles sedangkan kontradiksi fisik bisa dipecahkan dengan tool the separation principles atau tool the 40 inventive principles. Pada akhirnya tahap terakhir dalam TRIZ adalah mencari solusi terbaik (specific solution) dari alternatif-alternatif solusi yang diberikan. Setelah mengetahui alternatif mana yang dipilih, maka tahap selanjutnya adalah proses perancangan produk, yaitu pembuatan kompor bioetanol. Apabila kompor telah selesai dibuat melalui proses perancangan, maka langkah selanjutnya adalah tahap pengujian kompor (prototipe). Tahap ini bertujuan untuk melakukan perbadingan antara kondisi awal dengan kondisi sesudah adanya prototipe hasil perancangan ulang. Pengujian ini meliputi kesemua atribut produk. Setelah itu dilakukan perhitungan biaya pembuatan kompor apabila diproduksi dalam skala massal. Tahap selanjutnya adalah analisa dari perancangan kompor bioetanol. . Analisis dimulai dari analisis kondisi eksting kompor, analisis kebutuhan konsumen sampai terbentuk house of quality, analisis kontradiksi teknis yang terjadi hingga mendapatkan solusi yang terbaik, analisa ekonomi, dan analisa lingkungan. Dari hasil analisis tersebut akan ditarik suatu kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian yang dilakukan. Selain itu juga dilengkapi dengan saran-saran dan rekomendasi yang dapat dijadikan bahan masukan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
2. METODOLOGI PENELITIAN Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap. Langkah awal dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi permasalahan yang terjadi. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana merancang ulang desain kompor bioetanol yang lebih efisien dan user-friendly dengan pendekatan metode Quality Function Deployment (QFD) dan Teoriya Resheniya Izobretatelskikh Zadatch (TRIZ). Tahap kedua adalah melakukan studi literatur mencakup studi terhadap beberapa jurnal dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan perancangan dan pengembangan produk, kompor bioetanol, metode QFD dan metode TRIZ. Studi lapangan ini dilakukan pengamatan atau observasi langsung pada obyek penelitian. Observasi langsung dengan pengamatan langsung pada kompor bioetanol, penyebaran kuesioner kepada pengguna dengan , dan brainstorming dengan pihak produsen kompor bioetanol. Dari tahap ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi eksisting kompor bioetanol. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan dan pengolahan data. Tahap yang pertama adalah tahap QFD yang digunakan untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen serta menerjemahkannya kedalam spesifikasi produk. Pertama-tama yang dilakukan adalah penggalian informasi mengenai kebutuhan pengguna akan kompor dengan menyebarkan kuesioner kepuasan dan kepentingan pada sembilan atribut dengan skala Likert 1-4. Setelah kuesioner direkap maka dilakukan penyusunan house of quality yang terdiri dari penentuan atribut atribut, penentuan respon teknis, menentukan matrik interaksi, dan menentukan spesifikasi dan target. Tahap
3
Gambar 1. Langkah-langkah penelitian
4
Tabel 2.Matrik Matrik Perencanaan
3. HASIL PENELITIAN
Dari hasil penyebaran kuesioner kepuasan saat demonstrasi kompor bioetanol eksisting ditentukan kompor Jala Lentera dari Tangerang yang menjadi acuan perbaikan produk dari dua kompor lain karena memenuhi tingkat kepuasan tertinggi di keenam atributnya dari sembilan atribut. Kedua kompor tersebut adalah kompor Repindo Yogyakarta dan kompor Kuwatsu watsu Sidoarjo.
Setelah didapatkan matrik perencanaan, dilakukan penentuan respon teknis. Respon teknis (Technical ( response) merupakan acuan atau spesifikasi teknis (lebih detail) yang akan dilakukan untuk memenuhi setiap atribut. Dengan kata lain, respon teknis adalah solusi-solusi solusi yang diberikan produsen dalam menjawab keinginan konsumen. Spesifikasi terdiri dari metrik dan nilai n metrik.
Gambar 2.. Kompor Jala Lentera
Setelah didapatkan kompor acuan, dilakukan penyusunan matriks HoQ. Tahap pertama adalah identifikasi suara pelanggan (voice of customer) melalui kuesioner tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan pada sembilan atribut yang didapatkan dari brainstorming dengan produsen kompor dan pengguna.
Tabel 3. Respon Teknis Atribut Desain kompor menarik
Kompor tahan lama
Tabel 1. Rekapan kuesioner Kemudahan penggunaan
Irit Bahan Bakar
Kemudahan perawatan
Tahap selanjutnya adalah matrik perencanaan. Matriks ini mencatat seberapa penting masing-masing masing kebutuhan atau keuntungan dari produk roduk yang ditawarkan kepada pengguna berdasarkan interpretasi tim pengembang dan data hasil penelitian. Adapun bagian- bagian dari matriks perencanaan antara lain importance to customer, benchmarking, improvement ratio, sales point, raw weight dan normalized raw weight.
Keamananan penggunaan
Nyala abi biru
Variasi warna
Metrik bentuk material bentuk head kompor fitur tambahan material bioetanol tuas pengatur fitur tambahan ukuran petunjuk waktu penggunaan panas api bioetanol fitur tambahan ukuran tuas pengatur bentuk head kompor waktu perawatan jumlah komponen ukuran bentuk jenis sambungan ukuran tuas pengatur material bentuk head kompor bioetanol material ukuran panas api bentuk head kompor warna material
Langkah selanjutnya adalah penyusunan matrik korelasi antar atribut dengan respon teknis serta matrik korelasi karakteristik teknis. Korelasi teknis mengidentifikasikan
5
hubungan yang terjadi pada tiap bagian dari respon teknis yang dinyatakan dengan matrix korelasi. Ada tujuh korelasi negatif dan 3 korelasi positif antar respon teknis. Nantinya korelasi negatif ini yang menjadi permasalahan yang diselesaikan dengan TRIZ. Selanjutnya merupakan tahap akhir yang harus dilalui dalam proses pembuatan House of Quality. Output dari HoQ adalah bobot respon teknis, bobot atribut produk, serta target atau spesifikasi teknis dari respon teknis. Bobot respon teknis terbesar adalah pada respon teknis material dengan nilai 391,99 dan target teknisnya berupa material stainless steel.
Kontradiksi pertama adalah material dengan bioetanol. Perbaikan yang diharapkan adalah peningkatan kadar air dalam bioetanol. Bioetanol berkadar rendah memiliki kandungan air yang lebih banyak. Harga bioetanol berkadar rendah lebih bersaing daripada yang berkadar tinggi. Akan tetapi semakin banyak kandungan air dalam bioetanol membuat material bagian kompor yang sering terkena bioetanol menjadi mudah korosif, lama-kelamaan berkarat dan tidak tahan lama. Padahal ketahanan tabung penampung dan head kompor pembakaran adalah aspek penting dalam kompor bioetanol. Kemudian dicari alternatif-alternatif solusi dari tabel matrik kotradiksi dan the 40 inventive principles. Tiga solusi yang ditwarkan adalah 3,35, dan 31 yang berbunyi berbunyi local quality, physical or chemical properties, dan porous materials Tabel 4 Matrik kontradiksi durability of nonmoving object versus amount of substance
Improving Feature 25
Setelah didapatkan nilai atau bobot masing-masing respon teknis maka dilakukan perankingan dari terbesar hingga terkecil dan diambil tujuh respon teknis dengan nilai tertinggi. Ternyata dari ketujuh respon teknis tersebut masing-masing memiliki korelasi negatif dengan respon teknis lain. Korelasi negative inilaih yang akan diselesaikan dengan TRIZ karena TRIZ mampu menyelesaikan suatu permasalahan kontradikstif dengan menggunakan prinsip prinsip inventive dan dari prinsip-prinsip tersebut dihasilkan ide-ide kreatif. Alur proses TRIZ adalah permasalahan kontradiktif dicari, dari permasalahan tersebut di-breakdown menjadi parameter yang ingin diperbaiki dan parameter yang menjadi lebih buruk akibat perbaikan parameter yang lain, parameter dapat dilihat dari tabel 39 parameter yang tersedia kemudian dicari solusinya dari separation principles dan the 40 inventive principles. Kontradiksi yang diselesaikan dalam TRIZ antara lain bioetanol dengan material, bentuk head kompor dengan ukuran, panas api dengan ukuran head kompor, dan fitur tambahan dengan ukuran.
26 27
16 Durability of nonmoving object
Gambar 3. Kontradiksi yang diselesaikan dengan TRIZ
15 Durability of moving object
14 Strength
Worsening Feature
29,3,28,1 20,10,28,1 28,20,10,16 8 8 14,35,34, Amount of substance 3,35,10 40 3,35,31 10
Waste of time
Reliability
11.28
2,35,3,25
Selanjutnya respon teknis yang berkontradiksi adalah bioetanol dengan material. Respon teknis yang ingin diperbaiki adalah bioetanol. Yang dimaksud bioetanol disini ialah kemampuan untuk mendeteksi atau mengukur volume bioetanol yang yang ada di tabung. Akibatnya timbul ide jika ingin merubah material tabung agar mengetahui volume bioetanol maka material diganti menjadi kaca atau plastik. Akan tetapi perubahan material seperti itu juga tidak diharapkan. Alternatif solusi yang didapatkan adalah 27,1,13 yang berbunyi the other way around, Cheap short-living objects, segmentation, dan inert atmosphere.
6
15 16 17
Improving Feature Durability of moving object durability of nonmoving object Temperature
3
4
2,19,9
5 area of moving object
Worsening Feature
length of stationary(no nmoving)
Tabel 7. Matrik kontradiksi temperature versus length of stationary length of moving
Tabel 5. Matrik kontradiksi difficulty of detecting versus shape
3,17,19 1,10,35
15,9,19
15,9,19
3,35,39,18
Respon teknis yang berkontradiksi adalah fitur tambahan dengan ukuran. Dibutuhkan fitur tambahan untuk memudahkan penggunaan bagi konsumen. Namun dengan ditambahkannya fitur baru, maka semakin banyak komponen. Padahal hal itu tidak diinginkan karena dapat mengambil daerah atau bagian yang kosong yang mungkin akan menyebabkan bagian tersebut berkurang kekuatannya. Solusi yang ditawarkan berbunyi Universality dan Pneumatics and hydraulics. Matrik kontradiksi antara kedua respon teknis diatas dapat dilihat dalam tabel berikut.
Ketiga, respon teknis panas api berkontradiksi dengan bentuk head kompor. Perbaikan yang diinginkan adalah semakin banyaknya volume oksigen yang masuk ke dalam kompor. Dengan itu panas api akan meningkat. Disisi lain bentuk head kompor harus dirancang sedemikian rupa agar aliran udara atau oksigen masuk dengan baik. Aternatif solusi yang didapatkan seperti pada tabel 6 berikut ini yang berbunyi segmentation, asymmetry, dynamics, pneumatics and hydraulics, universality, dan parameter changes.
Tabel 8 Matrik kontradiksi device complexity versus area of stationary
Tabel 6. Matrik kontradiksi volume of moving object versus shape
Solusi-solusi umum yang didapat dari The 40 Inventive Problem Solving akan dispesifikasikan menjadi satu solusi yang paling tepat diaplikasikan pada perancangan kompor bioetanol. Dari kontradiksi antara material dengan bioetanol dipilih digunakanlah ide solusi prinsip no. 35B yang berbunyi change the concentration or consistency dan 39 B yang berbunyi add neutral parts, or inert additives to an object.Masing-masing prinsip tersebut memberikan ide mengganti material yang memiliki kadar kromium yakni stainless steel dan menambah fitur baru pada kompor yaitu fitur berupa stik indikator jumlah bioetanol dalam tabung penampung.
Respon teknis yang berkontradiksi selanjutnya adalah panas api dengan ukuran head kompor. Perbaikan yang diinginkan semakin besar ukuran head kompor, volume udara dan bioetanol yang terbakar semakin banyak sehingga menyebabkan api semakin panas. Padahal ukuran head kompor terbatas mengikuti ukuran badan kompor. Kontradiksi yang terjadi ini bisa dikatakan kontradiksi fisik maupun teknis. Solusi yang didapatkan antara lain dynamics, periodic action, dan preliminary anti action.
7
Tabel 9. Pengujian kompor bioetanol rancangan baru
Kemudian untuk respon teknis bentuk head kompor versus respon teknis panas api. digunakanlah ide solusi prinsip no. 4A yang berbunyi change the shape of an object from symmetrical to asymmetrical. Prinsip Prin tersebut menyarankan agar membuat bentuk head kompor dan lubang head kompor asimetris. Tidak berbentuk 100% bundar dan lingkaran. Selanjutnya untuk Respon teknis ukuran versus respon teknis panas api. Setelah melihat penjelasan prinsip-prinsip prinsip tersebut, maka digunakanlah ide solusi prinsip no. 15A yang berbunyi Allow (or design) the characteristics of an object, external environment, or process to change to be optimal or to find an optimal operating condition. Prinsip tersebut menyarankan agar membuat head kompor dinamis menyesuaikan ketika ingin panas api tinggi ataupun panas api rendah. Pengaturan ukuran lubang head kompor lebih optimal agar dalam sirkulasi udaranya baik. Kontradiksi yang terakhir adalah antar respon teknis fitur fi
tambahan versus respon teknis
Pemaparan aran kebutuhan material dan biaya produksi prototype merupakan representasi dari kebutuhan material yang digunakan untuk pembuat kompor bioetanol beserta harga material tersebut di pasaran.Dari hasil perhitungan material dan biaya produksi didapatkan harga Rp 160.000,00 untuk satu unit kompor bioetanol rancangan baru.
ukuran
digunakanlah ide solusi prinsip no. 6A yang berbunyi make a part or object perform multiple functions, eliminate the need for other part. Ini berarti membuat objek yang multifungsi seperti ti fungsi fitur indikator bioetanol dan penutup tabung bioetanol digabungkan. Alternatif-alternatif alternatif solusi yang terpilih dirancang menjadi sebuah prototipe kompor bioetanol sebagai berikut.
4. ANALISA HASIL Matriks HoQ digunakan secara sistematis untuk menerjemahkan kebutuhan dan keinginan konsumen menjadi karakteristik desain produk,, mengetahui hubungan antar respon teknis baik itu positif maupun negatif, dan untuk mengetahui prioritas dari respon teknis yang muncul.. Maka dari itu proses perancangan produk dapat lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Ada sembilan atribut produk yang akhirnya diterjemahkan menjadi empat belas respon teknis. Pada matriks HoQ terdapat prioritas respon teknis yang dimana didapatkan dari perkalian antara nilai hubungan faktor teknis dengan bobot atribut. Bobot atribut didapatkan dari perkalian antara improvement rate, sales point,, dan tingkat kepentingan. Nilai bobot setiap atribut kompor bioetanol adalah sebagai berikut :
Gambar 4.Kompor .Kompor bioetanol rancagan baru
Setelah dilakukan perancangan prototype, maka tahap berikutnya ya adalah pengujian kompor bioetanol. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah kompor bioetanol hasil rancangan baru lebih baik dari kompor bioetanol eksisting. Hasil pengujian dari semua atribut tertera pada tabel 9 berikut ini.
8
Simbol positif berarti hubungan positif (sebanding) antar respon teknis dan sedangkan simbol negatif menandakan bahwa antara respon teknis memiliki korelasi yang negatif(berbanding terbalik). Khusus hubungan respon spon teknis yang negatif akan diselesaikan dengan menggunakan metode TRIZ. Hubungan negatif antar respon teknis menunjukkan bahwa respon teknis satu dengan respon teknis yang lain saling berkontradiksi, artinya ketika ingin menperbaiki aspek satu akan memperbutuk erbutuk aspek lainnya. Sebagai contoh ketika ingin menambahkan jumlah tuas pengatur pasti akan berpengaruh pada penambahan jumlah komponen. Padahal penambahan jumlah komponen yang menambah kompleksitas dihindari dari perancangan produk kompor. Respon teknisrespon teknis yang saling berkontradiksi adalah antara lain material dengan bioetanol, fitur tambahan dengan ukuran, jumlah komponen dengan tuas pengatur, bentuk tungku dengan panas api, bentuk dengan waktu penggunaan, dan lain-lain. lain. Output dari House of Quality yang digunakan sebagai input TRIZ adalah prioritas dari respon teknis dan respon teknis yang berkontradiksi dengan respon teknis yang lain. Terpilih 7 prioritas tertinggi respon teknis yaitu material, fitur tambahan, ukuran, tuas pengatur, bioetanol, bioeta bentuk head kompor, dan panas api. Masing-masing Masing memiliki korelasi negatif dengan dan bukan dengan keenam respon teknis tertinggi lainnya. Kontradiksi yang diselesaikan dengan TRIZ hanya respon teknis yang berkontradiksi dengan keenam respon teknis tertinggi t lainnya. Hal ini dilakukan karena ketujuh respon teknis ini sangat penting dan berpengaruh pada hasil perancangan dan apabila salah satu aspek berpeluang menjadi lebih buruk akibat kontradiksi maka akan menurunkan kualitas darii rancangan kompor itu it sendiri. Input respon teknis yang saling berkontradiksi diproses melalui tahapan TRIZ menghasilkan ouput berupa solusi-solusi solusi yang nantinya akan dipilih sebagai desain rancangan akhir. Pada penelitian ini, TRIZ hanya menyelesaikan lima buah permasahan kontradiktif ntradiktif yang terjadi karena dua permasalahan kontradiktif lainnya bukan berasal dari 7 respon teknis dengan prioritas tertinggi. Untuk memberikan ide ataupun solusi yang paling sesuai dengan kebutuhan maka harus memilih satu solusi dari beberapa solusi solus
Gambar 5.1 Bobot setiap atribut
Dari grafik histogram diatas dapat dilihat bahwa atribut dengan bobot tertinggi adalah keamanan penggunaan, kemudahan penggunaan, dan keiritan bahan bakar. Masyarakat berpendapat bahwa aspek keamanan, kemudahan penggunaan, dan keiritan bahan bakar adalah aspek terpenting yang harus dimiliki kompor dan dipertimbangkan dalam membeli kompor. Selanjutnya nilai prioritas respon teknis diartikan bahwa respon teknis tersebut yang harus diprioritaskan atau paling diperhatikan dalam perancangan produk mengingat respon teknis tersebut yang hubungannya paling erat dan paling banyak berhubungan dengann beberapa kebutuhan konsumen. Gambar 5.2 menunjukkan histogram prioritas respon teknis. Dari hasil perhitungan diatas dapat disimpulkan pemakaian kompor “Green Leaf” lebih hemat dibandingkan dengan kompor bioetanol eksisting “Jala Lentera” dan kompor minyak tanah. Akan tetapi sama hematnya jika dibandingkan dengan kompor gas elpiji 3 kg. Kompor or rancangan baru “Green Leaf” mampu menghemat sekitar Rp 20.000,00 setiap bulannya dibandingkan dengan kompor bioetanol “Jala Lentera”.
Gambar 5.2. Histogram Prioritas Respon Teknis
Dalam technical correlation matrix, matrix terdapat simbol positif dan simbol negatif.
9
yang ditawarkan. Kontradiksi yang pertama adalah kontradiksi antara material dengan bioetanol. Dari pertimbangan antara peneliti, produsen kompor, dan perancang kompor. Solusi yang dipilih adalah prinsip 35B yang berbunyi change the concentration or consistency. Dari prinsip tersebut didapatkan ide untuk menganti material yang mengandung konsentrasi setidaknya 10,5% kromium untuk mencegah proses korosi (pengkaratan logam) oleh bioetanol. Sehingga berdasarkan prinsip di atas, nantinya pada perancangan kompor yang baru bagian head kompor dan tabung penampung menggunakan baja yang tahan karat atau lebih dikenal dengan stainless steel. Kontradiksi antara bentuk head kompor versus panas api menggunakan prinsip no. 4A yang berbunyi change the shape of an object from symmetrical to asymmetrical. Prinsip tersebut menyarankan agar membuat bentuk head kompor dan lubang head kompor asimetris. Tidak berbentuk 100% bundar. Head kompor dirancang menyempit dibagian puncaknya agar api menjadi terpusat. Selanjutnya ukuran head kompor versus panas api menggunakan prinsip no. 15A yang berbunyi Allow (or design) the characteristics of an object, external environment, or process to change to be optimal or to find an optimal operating condition. Prinsip diatas dikembangkan menjadi sebuah ide untuk membuat bentuk head kompor agar memiliki fungsi membesarkecilkan api. Kompor yang baik akan mampu mengatur besar-kecilnya api karena penggunaan api tergantung pada kondisi memasak. Kondisi kompor bioetanol eksisting adalah saat mengecilkan api, api tidak bisa mengecil secara cepat bahkan harus menunggu bioetanol pada head kompor habis karena bahan bakarnya adalah cair bukan gas seperti pada kompor gas. Kontradiksi material dengan tuas pengatur dapat menggunakan prinsip no. 32B yang berbunyi change the transparency of an object or its external enviorenment. Dari prinsip tersebut didapatkan sebuah solusi untuk membuat tampilan dari tabung bioetanol yang mulanya tertutup menjadi transparan. Bisa menggunakan plastik, transparan, gelas transparan, maupun keramik. Diharapkan dengan warna yang transparan mampu membuat konsumen dengan mudah melihat dan mengatur volume bioetanol yang
dikeluarkan. Solusi kedua prinsip 39 B yang berbunyi add neutral parts, or inert additives to an object. Prinsip ini memberikan ide untuk menambahkan semacam stick indikator untuk mengukur kedalaman dari bioetanol pada tabung penampung. Ini mengadaptasi dari mobil. Dari dua alternatif solusi di atas, peneliti memutuskan untuk menggunakan menggunakan prinsip 39B dan menolak prinsip 32B karena alasan keamanan dan keawetan kompor. Apabila menggunakan prinsip 32B maka tabung penampung akan dibuat dari material seperti gelas atau plastik. Kedua bahan tersebut memiliki potensi terbakar ketika terkena api atau pecah ketika terkena benda keras. Kemudian untuk mengatasi permasalahan fitur tambahan dengan ukuran pada kompor maka dipilihlah prinsip no. 6A yang berbunyi make a part or object perform multiple functions, eliminate the need for other part. Dari prinsip tersebut didapatkan sebuah solusi untuk menggabungkan dua alat yang memiliki fungsi berbeda menjadi satu alat yang multifungsi. Fungsi fitur petunjuk (indikator) bioetanol dan penutup tabung bioetanol digabungkan untuk mengurangi luas area yang digunakan serta dapat mengurangi kompleksitas kompor. Jika dianalisis dari aspek ekonomi, dapat disimpulkan pemakaian kompor “Green Leaf” lebih hemat dibandingkan dengan kompor bioetanol eksisting “Jala Lentera” dan kompor minyak tanah. Akan tetapi sama hematnya jika dibandingkan dengan kompor gas elpiji 3 kg. Kompor rancangan baru “Green Leaf” mampu menghemat sekitar Rp 20.000,00 setiap bulannya dibandingkan dengan kompor bioetanol “Jala Lentera”. Sedangkan analisis lingkungan menyimpulkan bahwa bioetanol dapat mendorong program pengurangan gas rumah kaca (CO2 dan CH4). Hal ini terjadi karena pertumbuhan ubi kayu atau tanaman lain akan meningkatkan daya serap karbon (carbon sink capacity), dan dengan penggunaan yang kontinyu karbon hasil pembakaran energi (energy combustion) akan diserap kembali oleh tanaman-tanaman yang tumbuh secara seimbang, sedangkan penggunaan bahan bakar fosil yang akan memerlukan jutaan tahun untuk pembentukannya, adalah diluar keseimbangan produksi– penyerapan CO2 sehingga penggunaan energi fosil akan
10
meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Selain itu juga disebabkan kadar karbon dalam bioetanol lebih rendah dari minyak tanah. Saat pemakaian, kompor bioetanol tidak menghasilkan asap, jelaga, dan tidak mudah meledak.
6. DAFTAR PUSTAKA [1] Akao, Y. (2004). Quality Function Deployment : Integrating Customer Requirements Into Product Design. Taylor & Francis, Inc. Barry, K., Domb, E., & Slocum, M. (2006). TRIZwhat is TRIZ? Retrieved January 3, 2010, from The TRIZ Journal: http://trizjounal.com
5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan dari semua proses penelitian yang telah dilakukan, hasil yang dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1) Gap atribut terbesar antara tingkat kepentingan dan kepuasan kompor bioetanol eksisting adalah kemudahan penggunaan, keamanan penggunaan, dan desain kompor. 2) Kelemahan kompor bioetanol eksisting adalah sistem pengaturan api yang buruk. Bahkan akibat kelemahan tersebut, potensi kompor terbakar menjadi tinggi karena pada saat api sudah sangat membesar, api sulit untuk dikecilkan dan dipadamkan. 3) Proses redesign kompor bioetanol melalui tahap QFD yang terdiri dari pengumpulan voice of cutomer dan penyusunan house of quality kemudian korelasi negatif (kontradiksi) antar respon teknis dalam HoQ ditransformasi kedalam TRIZ. 4) Dari hasil pengujian, kompor bioetanol “Green Leaf” yang dibuat mampu memenuhi semua kebutuhan konsumen. 5) Hasil pengujian kompor rancangan baru menunjukkan bahwa dengan 1 liter bioetanol, kompor “Green Leaf” mampu memasak selama 5 jam nonstop. Sedangkan kompor bioetanol eksisting hanya mampu memasak selama 3.5 jam nonstop.
Cohen, L. (1995). Quality Function Deployment : How To Make QFD Work For You. Addison Wesley. Diegel, O. (2004). TRIZ. Creative Industries Conference 2010 . Ellen, D. (2006). Enhance Six Sigma Creativity with TRIZ. Retrieved February 2010, from Quality Digest: www.qualitydigest.com Ferikasari, P. K. (2006). Aplikasi Quality Function Deployment dalam TRIZ (Theory of Inventive Problem Solving) Pada Peningkatan Kualitas Jasa (Studi Kasus Pada Rumah Sakit Umum Islam Kustati Surakarta). Surakarta: Jurusan Manajemen UNS. Musanif, J. (n.d.). Bio-Etanol. Retrieved from Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian: http://agribisnis.deptan.go.id/xplore/files/P ENGOLAHAN HASIL/BioEnergiLingkungan/BioEnergiPerdesaan/BIOFUE L/Bioetanol/ Bioethanol.pdf Pusat Informasi Energi. (2003). Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2002. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Sandy, W. T. (2008, May). Konversi Minyak Tanah ke LPG. Retrieved Maret 2010, from My Journey are So Beautiful: http://widytaurus.wordpress.com
Sedangkan Saran yang dapat diajukan bagi pelaksanaan penelitian selanjutnya antara lain : 1. Penelitian dapat dilanjutkan pada tahap business plan dan uji kelayakan untuk produksi produk. 2. Dirancang sebuah alat monitor otomatis untuk isi tangki bioetanol. 3. Perancangan kompor bioetanol dua tungku dan tabung yang mampu menampung bioetanol yang lebih banyak.
Silverstein, D., De Carlo, N., & Slocum, M. I.-H. (2007). INsourcing Innovation-How to Achieve Competitive Excellence Using TRIZ. Auerbach Publications. Stratton, R., Mann, D., & Otterson, P. (2000). The Teory of Inventive Problem Solving (TRIZ) and Systema Innovation-a Missing Link in Engineering Education? Systematic Innovation . Swasthu, B. (2000). Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty.
11
Ulrich, K. T., & Epingger, S. D. (2001). Perancangan dan Pengembangan Produk. Jakarta: Salemba Teknik. Waskito, R. G. (2009). Nira sebagai Penghasil Bioetanol. Surabaya: Jurusan Fisika ITS .
12