eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (2): 329-340 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
REDD SEBAGAI POST AGREEMENT NEGOTIATION PASCA PROTOKOL KYOTO (STUDI KASUS : TINJAUAN PADA SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA) M. Ade Setiawan1 NIM.0802045043 Abstract Complexity of various problems as a result of the influence of global warming and climate change has long been studied as well as being one of the main topics of the world since the activities of First Assessment Report of the Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC), the UN Conference on Environment and Development in Rio de Janeiro, Brazil in 1992.From the research, the IPCC then produce a treaty or protocol, known as the Kyoto Protocol. In the context of the Kyoto Protocol and climate change, forests can act both as a sink (absorber / carbon storage) and the source (emitter of carbon) are capable of reducing the concentration of greenhouse gases as causes of global warming and climate change. Indonesia ratified the Convention on Climate Change ( IPCC ) by Act 6 of 1994 and the ratification of the Kyoto Protocol, which was approved by Parliament on June 28, 2004 through Law no. 17 In 2004 , Indonesia is implementing the Kyoto Protocol in some programs , such as mitigation and adaptation. In the mitigation and adaptation policies implementation, Indonesian government faced by many barriers. To the issues raised and the Kyoto Protocol is also not succeeded in achieving emission reduction targets the world because of the lack of commitment of countries - industrialized countries ( Annex I) to lower emissions as well as the Kyoto Protocol will end in 2012 , proposed a mechanism that is a replacement for the Kyoto Protocol incentive mechanism for avoided deforestation , known as Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries ( RED ) at the Conference of the Parties ( COP ) to 11 in Montreal in 2005 and then followed up at COP 12 in Nairobi . Keywords : Global Warming, Kyoto Protocol, Forest, REDD, Indonesia.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: 329-340
Pendahuluan Pemanasan global yang berlanjut pada perubahan iklim merupakan kecenderungan kondisi yang berkembang di bumi saat ini. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya penduduk dan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya hingga mampu menciptakan Revolusi Industri pada abad ke-18 dan berpengaruh buruk pada lingkungan. Perubahan iklim adalah fenomena yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan.(Daniel Murdiyarso, 2003 : 1) Kegiatan industri pada kelanjutannya meningkatkan konsentrasi gas buang (CO2,CH4, N2O, HFCs, PFCs, SF6 ) ke lapisan atmosfer dengan dampak penipisan lapisan ozon dan menimbulkan efek rumah kaca (GRK) yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global.(www.answer.com, diakses pada 12 Agustus 2012)
Kompleksitas berbagai masalah sebagai akibat pengaruh dari pemanasan global dan perubahan iklim sudah cukup lama diteliti serta menjadi salah satu topik utama dunia sejak kegiatan First Assessment Report of the Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) dalam Konferensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992.(www.suaramerdeka.com, diakses pada 12 Agustus 2012) Dari hasil penelitian IPCC kemudian menghasilkan sebuah perjanjian atau protokol yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan suatu dokumen yang diformulasikan di bawah perjanjian perubahan iklim PBB yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang. Dalam konteks protokol Kyoto dan perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon) yang mampu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Hutan adalah komponen penting dalam masalah karbon dan daur hidrologis dunia. Sekitar 18 - 20% dari emisi anthropogenic GRK (Gas Rumah Kaca) dunia berasal dari perubahan tata guna lahan dan sektor kehutanan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (IPCC) melalui UU No.6 Tahun 1994 dan ratifikasi Protokol Kyoto yang disetujui oleh DPR pada tanggal 28 Juni 2004 melalui UU No. 17 Tahun 2004, artinya Indonesia membuka peluang ikut serta dalam arus perdagangan karbon. Indonesia mengimplementasikan Protokol Kyoto dalam beberapa program, diantaranya adalah mitigasi dan adaptasi. Dalam pelaksanaan kebijakan program mitigasi dan adaptasi, terdapat hambatan – hambatan yang dihadapi pemerintah Indonesia seperti masih seringnya terjadi penebangan liar (Illegal Logging), tingginya tingkat kebakaran hutan dikarenakan pembakaran lahan untuk menyiapkan perkebunan skala besar, dan sasaran penyuluhan tentang kebakaran hutan dan lahan yang hanya terbatas pada masyarakat dengan kemampuan terbatas yang mengolah lahannya sendiri serta kurangnya perangkat hukum yang mengatur kebijakan tersebut. 330
REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan)
Dengan permasalahan yang terjadi dan protokol Kyoto ini juga tidak berhasil mencapai target penurunan emisi dunia karena kurangnya komitmen negara – negara industri (Annex I) untuk menurunkan emisinya serta seiring akan berakhirnya protokol Kyoto pada tahun 2012, diusulkan suatu mekanisme pengganti protokol Kyoto yaitu sebuah mekanisme insentif untuk pencegahan deforestasi yang dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (RED) pada Konferensi para Pihak (COP) ke 11 di Montreal pada tahun 2005 yang kemudian ditindaklanjuti pada COP ke 12 di Nairobi.(Fachrudin Mangunjaya, 2008: 59) Kerangka Dasar Teori Teori Internalisasi Eksternalitas Pengertian eksternalitas diberikan oleh Baumol (1978). Menurutnya, eksternalitas adalah efek yang timbul dari suatu kegiatan yang tidak dikompensasi ataupun diapreasiasi.(Baumol, W. J. 1978) Sedangkan Kolm (1971) seperti dikutip oleh Simarmata (1994) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak dari keputusan seseorang pada orang lain tanpa melibatkan penerima dampak dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Dengan kata lain eksternalitas adalah dampak negatif atau positif yang tidak memiliki harga dimana baik penghasil maupun penerimanya tidak merasa memilikinya. Eksternalitas adalah kegiatan atau tindakan yang membawa dampak bagi orang lain. Dalam ilmu ekonomi, eksternalitas dijelaskan sebagai dampak yang timbul akibat hasil pasar terhadap kelompok selain produsen dan konsumen. Adanya eksternalitas, menjadikan pasar tidak efisien sehingga menimbulkan kegagalan pasar. Konsep eksternalitas sering digunakan dalam ilmu ekonomi sebagai penentu dalam lahirnya suatu kebijakan, sebagaimana yang diketahui semua kebijakan yang diambil pemerintah selalu punya retorika tunggal yakni untuk kesejahteraan rakyat. Dengan memahami logika tentang eksternalitas ini, dalam hal isu lingkungan hidup dan implementasi protokol Kyoto di Indonesia dalam penerapannya menimbulkan eksternalitas negatif. Dalam menghadapi masalah ekternalitas negatif terdapat beberapa alternatif, salah satunya adalah internalisasi. Internalisasi merupakan salah satu instrumen untuk mengatasi eksternalitas. Pada intinya, internalisasi merupakan upaya memasukan biaya eksternal yang diakibatkan oleh suatu kegiatan produksi maupun konsumsi menjadi sebuah keputusan yang utuh dan menyatu dengan kegiatan produksi maupun konsumsi tersebut. Secara sederhana, hal ini bisa dipahami bahwa penghasil eksternalitas negatif memperhitungkan kerugian sosial akibat dari eksternalitas negatif. Dalam hal internalisasi eksternalitas negatif yang dihasilkan dari implementasi protokol Kyoto pada sektor kehutanan, Indonesia berupaya menegosiasikan REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) pada COP 13 pada tahun 2007 di Bali. Konsep Post Agreement Negotiation definisi konsep Post Agreement menurut Christer Jonsson dan Jonas Tallberg ialah : (Jonsson Christer and Jonas Tallberg, Hal.2)
331
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: 329-340
“Post agreement is the more generic term, referring to all those processes which follow from the conclusion of an agreement. For instance, many international treaties are developed from general framework agreements to increasingly specific protocols and contracts through a sequence of bargaining processes ”. Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa post agreement merupakan suatu perjanjian baru yang lebih spesifik (specific protocols) yang berangkat dari perjanjian yang telah disepakati sebelumnya (general framework agreement), dimana dalam post agreement ini terdapat perubahan / revisi terhadap perjanjian yang telah ada sebelumnya, baik perubahan terkait dengan pihak – pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut ataupun terkait permasalahan yang diatur dalam perjanjian sebelumnya. Sama halnya dengan perjanjian internasional, pihak – pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut saling menyetujui dengan adanya perubahan terhadap perjanjian terdahulu sehingga menimbulkan hak dan kewajiban dalam hukum internasional.(McGarry John, Hal.22) Dalam hal ini fase post agreement negotiation merupakan fase negosiasi lanjutan ketika suatu perjanjian telah ditandatangani dan disepakati sebelumnya sebagai review perjanjian yang telah ada sebelumnya tersebut. Dalam hal perjanjian REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) merupakan post agreement negotiation dari perjanjian protokol Kyoto, dimana tujuan dari post agreement negotiation adalah melanjutkan dialog untuk mendorong kemajuan dan perkembangan dari implementasi perjanjian yang telah disepakati. Metode Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe Deskriptif Analitik, dimana penulis memberikan penjelasan secara konkrit mengenai REDD sebagai Post Agreement Negotiation pasca protokol Kyoto. Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, koran, internet dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pembahasan REDD sebagai Post Agreement Negotiation pasca protokol Kyoto dapat dijelaskan Berdasarkan konsep Internalisasi Eksternalitas dan konsep Post Agreement Negotiation. Maka eksternalitas negatif dari Industri protokol Kyoto dapat dijelaskan dengan adanya internalisasi eksternalitas sedangkan konsep Post Agreement Negotiation akan menjelaskan tentang perjanjian REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) merupakan post agreement negotiation dari perjanjian protokol Kyoto, dimana tujuan dari post agreement negotiation adalah melanjutkan dialog untuk mendorong kemajuan dan perkembangan dari implementasi perjanjian yang telah disepakati. Protokol Kyoto dan Implementasinya di Indonesia Protokol ini merupakan sebuah instrumen hukum yang dirancang untuk mengimplementasikan konvensi perubahan iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca agar tidak mengganggu sistem iklim di 332
REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan)
bumi dan merupakan dasar bagi negara – negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Protokol ini disusun untuk mengatur target penurunan emisi dan target waktu penurunan bagi negara maju. Sementara negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen untuk menurunkan emisinya. Protokol ini juga bertujuan untuk membantu negara – negara berkembang dalam proyek – proyek yang berhubungan untuk memperbaiki keadaan iklim bumi. Protokol Kyoto juga mencakup instrumen atau mekanisme fleksibel yang berbasis pasar yang dikenal sebagai Mekanisme Kyoto, yang memberikan kesempatan kepada negara – negara untuk dapat membeli atau mendapat kredit pengurangan emisi melalui investasi dalam proyek – proyek pengurangan efek negatif perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (IPCC) melalui UU No.6 Tahun 1994 dan Protokol Kyoto yang disetujui oleh DPR pada tanggal 28 Juni 2004 melalui UU No. 17 Tahun 2004, artinya Indonesia membuka peluang ikut serta dalam arus perdagangan karbon (www.wilkipedia.org, diakses pada 12 Agustus 2012). Berbagai kebijakan diterapkan dalam mendukung proses implementasi protokol Kyoto di Indonesia. Adapun kebijakan tersebut berupa upaya mitigasi dan adaptasi sesuai dengan anjuran pemerintah yang telah meratifikasi protokol Kyoto. Dalam hal ini, implementasi difokuskan pada sektor kehutanan di Indonesia. Adapun upaya tersebut mengenai pembalakan liar (Illegal Logging) maupun kebakaran hutan di Indonesia. Pembalakan liar atau penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta US$ (www.menlh.go.id, diakses pada 19 Juli 2013). Dalam mengimplementasikan protokol Kyoto baik dari segi mitigasi maupun adaptasi dari sektor kehutanan, maka pemerintah membuat Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Indonesia, merupakan landasan kordinasi penanggulangan Illegal Logging dengan fokus upaya percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan. Selain permasalahan penebangan liar atau Illegal Logging, kebakaran hutan di Indonesia juga menjadi permasalahan utama yang menjadi agenda dari implementasi protokol Kyoto di Indonesia.Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah – rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia, dan pembakaran. Kebakaran hutan dan lahan sangat mengkhawatirkan dan sangat merugikan dalam berbagai hal, baik secara ekonomi dan sosial maupun secara ekologi. Dampak yang cepat terasa adalah asap, sampai negara tetangga juga merasakannya, apalagi yang dekat dengan sumbernya. Kemudian dampak yang harus diterima setelah kebakaran hutan dan lahan, yaitu rusaknya ekologi, yang dengan sendiri akan ditanggung oleh masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan secara 333
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: 329-340
langsung serta seluruh masyarakat secara tidak langsung. Dalam implementasinya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran itu terjadi. Penanganan jenis ini , contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak – pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan, dan lain – lain. REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto Kurangnya komitmen negara – negara industri (Annex I) untuk menurunkan emisinya serta seiring akan berakhirnya protokol Kyoto pada tahun 2012, diusulkan suatu mekanisme pengganti protokol Kyoto yaitu sebuah mekanisme insentif untuk pencegahan deforestasi yang dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (RED) pada Konferensi para Pihak (COP) ke 11 di Montreal pada tahun 2005 yang kemudian ditindaklanjuti pada COP ke 12 di Nairobi. Skema ini mulai menjadi perdebatan yang hangat sejak Papua Nugini dan Kosta Rika menjabarkan proposal pengurangan emisi deforestasi pada diskusi konfrensi tersebut. Skema ini menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional karena dianggap sebagai salah satu cara paling murah untuk memperlambat laju perubahan iklim. Mekanismenya menuruti prinsip “common but differentiated responsibility”, di mana negara maju, yang menghasilkan banyak emisi dalam proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka. Akhirnya pada konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan. Perjanjian Kopenhagen secara terbuka menyebutkan REDD sebagai bagian dari portofolio mitigasi iklim untuk diimplementasikan di bawah perjanjian pasca Kyoto. Dalam konvensi perubahan iklim terakhir di Cancun tahun 2010, dunia telah sepakat untuk memasukkan REDD dalam mekanisme yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto berakhir di tahun 2012. REDD adalah mekanisme pengurangan emisi yang khusus membahas deforestasi dan degradasi hutan. REDD merupakan pengadaan insentif bagi negara berhutan 334
REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan)
tropis untuk melindungi hutan agar bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, perlindungan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan peningkatan jumlah cadangan karbon. Strategi-strategi REDD bertujuan untuk membuat hutan lebih bernilai dari pada ketika hutan tersebut ditebang. Perdagangan karbon dalam skema REDD lebih dikenal sebagai carbon offset, yaitu program atau proyek untuk menyelamatkan terlepasnya emisi ke atmosfer yang berasal dari sector kehutanan. Ada tiga skema pendanaan yang ditawarkan pada REDD. Pertama, direct carbon market, yaitu skema yang hampir menyerupai skema pendanaan pada CDM. Dalam hal ini, Negara maju diizinkan untuk memproduksi emisi lebih dari yang dibatasi di negaranya asalkan dikompensasikan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang. Kedua market linked, yaitu skema yang merupakan pendanaan melalui pelelangan pendapat. Ketiga, voluntary market, yaitu skema pendanaan yang merupakan inisiatif dari investor atau dari negara industri lain, tetapi tidak dikaitkan dengan kegiatan pengurangan emisi di negaranya. Implementasi REDD pada sektor kehutanan di Indonesia Untuk menyongsong implementasi REDD di Indonesia, sejak beberapa tahun lalu Kementrian kehutanan sudah menyiapkan beberapa kebijakan. Selain peraturan nomor Permenhut No.36, telah ada aturan menteri nomor Permenhut No.30 tahun 2009 tentang mekanisme dan persyaratan untuk REDD serta nomor Permenhut No.68 tahun 2008 tentang implementasi dari demonstration activities REDD. (www.dephut.go.id, diakses pada 13 Februari 2013) Permenhut No.68 tahun 2008 menguraikan prosedur permohonan dan pengesahan kegiatan demonstrasi REDD, sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaannya dapat dicoba dan dievaluasi. Tantangannya adalah bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek REDD yang sesungguhnya di masa yang akan datang.(www.dephut.go.id, diakses pada 13 Februari 2013) Permenhut No.30 tahun 2009 mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan sertifikasi, serta hak dan kewajiban pelaku REDD.( www.dephut.go.id, diakses pada 13 Februari 2013) Hingga saat ini ketentuan mengenai penetapan tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum ditetapkan. Berdasarkan peraturan ini, REDD merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Permenhut No.36 tahun 2009 mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon.( www.dephut.go.id, diakses pada 13 Februari 2013) Di dalamnya juga diatur perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai 335
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: 329-340
jenis hutan dan jenis usaha. Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah dapat dilaksanakan. Petunjuk teknis untuk hal – hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Dengan telah terbentuknya tiga peraturan ini maka pada dasarnya REDD di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional seharusnya sudah dapat dilaksanakan. Namun pada kenyataannya tiga peraturan menteri kehutanan ini bukanlah undang – undang dan tidak memiliki kekuatan hukum. Secara konseptual, Indonesia mempunyai hampir 60% luas daratan yang menjadi kewenangan Departemen Kehutanan. Meningkatnya kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk, desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pembangunan sektor lain seperti pertanian, perkebunan, perumahan, dan pekerjaan umum telah menekan kualitas sumber daya hutan dan luasan kawasan hutan tersebut. Kondisi ini berbenturan dengan penerapan mekanisme REDD. Oleh karena itu koordinasi, komunikasi dan sinergi dalam berbagai aspek menyangkut kegiatan pembangunan dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan di level nasional dan sub nasional harus terus dilaksanakan. Selain itu pemerintah juga berkomitmen menjaga hutan agar dapat berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan karbon. Walaupun telah berkomitmen melalui berbagai persiapan regulasi dan kelembagaan, Indonesia juga berada dalam darurat protokol Kyoto. Terjadinya benturan kepentingan antar institusi pemerintah. Peningkatan perekonomian berhadapan dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan. Benturan ini melibatkan Kementrian Lingkungan Hidup dengan Kementerian ESDM, Kehutanan, Perkebunan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Secara konseptual, Indonesia mempunyai hampir 60% luas daratan yang menjadi kewenangan Departemen Kehutanan. Meningkatnya kebutuhan lahan akibat peningkatan jumlah penduduk, desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pembangunan sektor lain seperti pertanian, perkebunan, perumahan, dan pekerjaan umum telah menekan kualitas sumber daya hutan dan luasan kawasan hutan tersebut. Kondisi ini berbenturan dengan penerapan mekanisme REDD. Oleh karena itu koordinasi, komunikasi dan sinergi dalam berbagai aspek menyangkut kegiatan pembangunan dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan di level nasional dan sub nasional harus terus dilaksanakan. Indonesia merupakan contoh kasus dimana deforestasi terjadi baik secara terencana maupun tidak direncanakan. Lahan hutan konversi dan Areal Penggunaan Lain (APL) dapat diubah menjadi penggunaan lahan yang lain, dalam hal ini deforestasi yang dikategorikan sebagai yang direncanakan. Menipisnya kayu dari yang berasal dari hutan alam, di dorong oleh kebijakan pemerintah untuk memacu pembangunan hutan tanaman industri (HTI), sejumlah industri perkayuan terutama industri bubur kertas (pulp) membangun hutan tanaman dengan jenis-jenis cepat tumbuh untuk menjamin pasokan bahan kayu dari
336
REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan)
sumbernya. Namun demikian, kecepatan pembangunan hutan tanaman tersebut masih belum mampu mengurangi tekanan terhadap hutan. Masalah utama di sektor kehutanan adalah deforestasi yang sangat besar sehingga kinerja kebijakan yang diterapkan tidak efektif. Melalui skema REDD sektor kehutanan diharapkan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 14%. Permasalahannya target kualitatif ini yang dijadikan basis kebijakan tidak disertai perhitungan yang akurat serta landasan ilmiah yang solid sehingga masa depan ekonomi kehutanan menjadi tidak jelas. Kementerian kehutanan sebagai lembaga pemerintah yang memiliki otoritas resmi untuk mengelola hutan perlu mengkaji kembali strategi dan pendekatannya, mengingat tingkat emisi terbesar berasal dari sektor ini. Berdasarkan catatan kementerian kehutanan sendiri, tingkat emisi di sektor kehutanan mencapai 60% dari total emisi nasional, oleh karena itu upaya penurunan emisi nasional oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditargetkan 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional difokuskan pada sektor kehutanan. Dilihat dari sektor kehutanan, kehutanan nasional mulai memasuki era baru ditengah isu perubahan iklim. Pembangunan kehutanan nasional kini lebih mengarah pada kebijakan yang memelihara dan menanam serta tidak lagi mengedepankan kebijakan ekstraktif yang menguras sumber daya alam. Konsep ekonomi hijau pada tahun 2009 juga ikut diaplikasikan pada sektor kehutanan. Tujuannya adalah melakukan pembangunan rendah karbon setelah traktat global protokol Kyoto tentang perubahan iklim makin sulit direalisasikan. Saat ini upaya mengatasi perubahan iklim lebih banyak dilakukan dalam kerangka bilateral, termasuk program REDD+. Pada bulan September 2010, Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan Tugas REDD+ untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ berjalan dengan baik melalui Keputusan Presiden No.19/2010. Kemudian disusunlah strategi REDD Indonesia untuk Readiness Phase. Strategi ini dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, dan infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD+. Strategi ini juga untuk mengintegrasikan semua aksi terkait REDD/REDD+ termasuk kegiatan yang didanai dari sumber luar negeri. Strategi Readiness mencakup baik aspek metodologi maupun aspek kebijakan, serta kegiatan pendukung yaitu peningkatan kapasitas dan komunikasi stakeholders. Strategi Readiness REDD Indonesia (REDDI) ini tidak hanya bermanfaat dalam mendukung kesiapan Indonesia untuk implementasi REDD/REDD+ di bawah kerangka UNFCCC, melainkan juga merupakan bagian dari strategi dan upaya Indonesia untuk mewujudkan pembangunan kehutanan berkelanjutanan (Sustainable Forest Management/ SFM). ( www.dephut.go.id, diakses pada 13 Februari 2013) Pelaksanaan Strategi Nasional REDD+ dijalankan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan kesiapannya dan dipandu oleh dokumen Rencana Aksi Nasional 337
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: 329-340
untuk REDD+ dan dokumen Rencana Bisnis Nasional untuk REDD+ yang dibangun berdasarkan Strategi Nasional REDD+. Di tingkat nasional, dimulai dari penyusunan regulasi, penetapan REL/RL dan pembangunan sistem MRV. Di tingkat sub-nasional, pelaksanaan Demonstration Activities (DA)–REDD merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Keputusan COP-13 di Bali tentang REDD yaitu mendorong negara berkembang dan negara maju untuk bekerjasama dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, termasuk di dalamnya dukungan finansial, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi dari negara maju. Hambatan Dalam Pelaksanaan REDD Di Indonesia Indonesia menjadi berbeda dengan negara – negara lain dalam pelaksanaan REDD karena di Indonesia ada mega biodiversity dan mega cultural diversity. Tentang masalah adat ada 3 hal yaitu tanah, darah dan adat. Suku bangsa tertentu belum tentu masih menjadi masyarakat adatnya karena mungkin sudah meninggalkan sistem adatnya. Berbagai aktifitas manusia masih sering dijumpai di dalam kawasan yang dilindungi seperti di cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya sehingga dapat mendorong peningkatan laju kerusakan di kawasan – kawasan konservasi tersebut, selain kerusakan yang juga terjadi di kawasan hutan produksi. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukannya yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus dijaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi. Kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi (irreversible). Permenhut yang mengatur sektor kehutanan nyatanya tidak cukup untuk mengembalikan lingkungan hutan yang rusak. Tidak tersedianya dana dan aturan yang pasti untuk menjaga kelestarian hutan menjadi salah satu pemicu rusaknya lingkungan hutan di Indonesia. Selain itu, pembahasan Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang penyelenggaraan Demonstration Activities pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Permenhut No. P. 36/Menhut –II/2009 tentang tata cara perizinan usaha pemanfaatan penyerapan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung, pada satu sisi Indonesia memiliki regulasi yang berkaitan dengan MPB, seperti diberlakukan UU No. 32 Tahun 2009 perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang mengutamakan keseimbangan dalam aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Namun di sisi lain,
338
REDD Sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto (M. Ade Setiawan)
berbagai regulasi memacu peningkatan investasi (PMA dan PMDN) justru mengabaikan pertimbangan pelestarian lingkungan, misalnya bidang pertambangan.( www.dephut.go.id, diakses pada 13 Februari 2013) Target investasi bidang ini terus ditingkatkan dengan cara peningkatan target produksi dan penerimaan negara. Demikian juga dengan investasi perkebunan (utamanya kelapa sawit) dengan cara konversi kawasan hutan jutaan hektar, termasuk lahan gambut. Walaupun pemerintah telah berkomitmen melalui berbagai persiapan regulasi dan kelembagaan, masih terjadi ketidaksepahaman antar institusi pemerintah tentang berbagai kepentingan, yaitu peningkatan perekonomian berhadapan dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan. Ketidaksepahaman ini melibatkan Kementrian Lingkungan Hidup dengan Kementrian ESDM, Kehutanan, Perkebunan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Hal ini menjadi masalah ketika menyinergikan peraturan terkait REDD dengan kepentingan masing – masing institusi pemerintah, termasuk penegakan peraturan selama program REDD berjalan yang akhirnya berdampak pada ketidakefektifan dari pelaksanaan REDD. Kesimpulan REDD adalah mekanisme pengurangan emisi yang khusus membahas deforestasi dan degradasi hutan. pelaksanaan Demonstration Activities (DA)–REDD merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Keputusan COP-13 di Bali tentang REDD yaitu mendorong negara berkembang dan negara maju untuk bekerjasama dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, termasuk di dalamnya dukungan finansial, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi dari negara maju. Indonesia telah membangun beberapa DA-REDD, yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, Pemerintah Jerman, Pemerintah Korea, ITTO, dan TNC. Selain itu untuk menyongsong implementasi REDD di Indonesia, sejak beberapa tahun lalu Kementrian kehutanan sudah menyiapkan beberapa kebijakan. Selain peraturan nomor P.36, telah ada aturan menteri nomor P.30 tahun 2009 tentang mekanisme dan persyaratan untuk REDD serta nomor P.68 tahun 2008 tentang implementasi dari demonstration activities REDD. Dengan telah terbentuknya tiga peraturan ini maka pada dasarnya REDD di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional seharusnya sudah dapat dilaksanakan. Namun, dalam pelaksanaan REDD terhambat permasalahan sosial yang saling terkait dengan keberadaan masyarakat adat yang sebagian besar hidupnya tergantung dengan kawasan dan fungsi hutan. Kemudian 3 permenhut terkait dengan REDD juga berbenturan dengan peraturan pemerintah mengenai peningkatan investasi seperti di bidang pertambangan dan perkebunan. Ini menjadi masalah ketika menyinergikan peraturan terkait REDD dengan kepentingan institusi pemerintah tersebut, termasuk penegakan peraturan selama program REDD berjalan yang akhirnya berdampak pada ketidakefektifan dari pelaksanaan REDD karena terganjal dengan peraturan yang ada yang tentunya 339
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014: 329-340
tidak sesuai dengan hukum. Jadi, peraturan yang ada terkait REDD tidak sesuai dengan komitmen dalam pelaksanaan mekanisme tersebut, peraturan yang ada hanya bersifat umum untuk mengatur sektor kehutanan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Baumol, W. J. Economic Theory and Operation Analysis. Prentice-Hall of India, New Delhi. 1978. Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto: Implikasinya Pada negara – negara berkembang. KOMPAS, Jakarta, 2003. Fachruddin Mangunjaya, Bertahan di Bumi (Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim), Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008.
Artikel, Jurnal: Jonsson Christer and Jonas Tallberg, “Compliance and Post Agreement in Bargaining”, European Journal of International Relations. McGarry John, Northern Ireland and The Devided World, The Northern Ireland Confict and The Good Friday Agreement in Comparative Perspective. Internet : http : // www.Answer.com/topic/kyotoprotokol, diakses pada 12 Agustus 2012 http ://www.wilkipedia.org, diakses pada 12 Agustus 2012 http ://www.menlh.go.id, diakses pada 19 Februari 2013 http ://www.dephut.go.id, diakses pada 19 Februari 2013
340