REAKTUALISASI ''THE LIVING LAW'' DALAM MASYARAKAT SULAWESI SELATAN* Oleh: Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.
1. "TilE LIVING LAW'' Pertama-tamasayaingin menyampaikan bahwajudul makalah ini adalah . judul yang ditugaskan oleh panitiaseminar ini untuk saya bahas, dan apa boleh buat saya harus mengatakan bahwa terdapat kerancuan dalam judul tersebut; "Re-Aktualisasi The Living Law" dalam Masyarakat Sulawesi Selatan ". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( hal.649), makna "reaktualisasi" itu adalah proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali; penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, sesuatu yang direaktualisasikan adalah sesuatu yang tidak aktuallagi, kemudian diaktualkan kembali. Hal ini tentu saja tidak bisa dikenakan terhadap apa yang kita sebutkan "the living law", karena ''the living law'' itu sendiri sudah sesuatu yang aktual, sehingga tidak membutuhkan upayareaktualisasi. Sebagaimana seyogianya diketahui bahwa konseptor istilah "the living law" adalah seorang pakar hukum Austria, Eugen Ehrich (dalam Curzon, L.B, 1979: 145), danmendefinisikan "the living law" sebagai:
"derived from current custom within society and, in particular, from the norm- creating activities of the numerous grouping in which members of society were involved". Jadi, menwut konseptornya, "the living law'' itu diperoleh dari ''kebiasaan yang sekarang berlaku" di dalam masyarakat khususnya, dan norma yang tercipta dari aktivitas-aktivitas sejumlah kelompok di dalam mana warga masyarakat terlibat Kerancuan judul yang diberikan kepada saya itu sebenamya tidak terlalu mengherankan saya, karena selama ini, di kalangan terbatas memang sering •
Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Revitalisasi dan Reinterpretasi Nilai-nilai Hukum Tidak Tertulis Dalam Pembentukan dan Penemuan Hulrum, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Kanwil Departemen Hukum dan HAM RI Provinsi Sulawesi Selatan, tanggal 28-30 September 2005 di Makassar.
7
merancukan dengan mengidentikkan "hukum adat" sebagai "the living law". Dan oleh karena itu, dengan anggapan sudah banyak aturan hukum adat yang tidak lagi aktual, sehingga perlu di "reaktualisasikan". Pendapat seperti ini harus saya katakan adalah tidak tepat! ''The living law" tidak identik dengan hukum adat, melainkan seperti yang ditegaskan oleh konseptomya, Eugen Ehrlich, dikutip oleh Curzon (1979) sebagai berikut : a.
"It was the 'living law' that dominated society's life even though it had not always been reduced to formal, legal propositions.1t reflected the values of society" ( Curzon, 1979: 145).
(Adalah ''the living law" yang mendominasi kehidupan masyarakat meskipun ''the living law'' itu tidak selalu diubah menjadi fonnal, ke dalam proposisi-proposisi legal. 'The living law" mencerminkan nilai-nilai dan masyarakatnya). b.
"The 'inner order' ofsociety's life-its 'culture pattern '-was never static. Values changed; attitudes to wrong-doing varied from time to time; concepts ofwhat constituted 'criminal conduct' altered over the years" (Curzon, 1979: 146). (''Tertib dalam" dan kehidupan masyarakat-adalah 'pola-polakultur'yang tidak pemah statis. Nllai-nilai berubah; sikap-sikap tentang perl>uatan yang salah, berbeda dari waktu ke waktu; konsep-konsep tentang apa yang ditentukan sebagai 'tindak kriminal' berubah dari tahun ke tahun).
c.
''The 'living law' can be discovered, ... only from an examination of judicial decisions, a close investigation of the content of business documents etc, and, above all, from observation ofpeople" (Curzon, 1979: 146). (''the living law" dapat diketahui,... hanya dari suatu pengujian terhadap puttisan-putusan pengadilan, suatu investigasi tertutup tentang isi dari dokumen-dokumen bisnis, dan lain-lain, dan di atas dari semua itu, 'the living law' dapat diketahui dari observasi terlladap orang:.Orang).
Brian Z Tamanaha ( 2001 :31) mengemukakan bahwa menurut Ehrlich: "law consists of the rules of conduct followed in everyday life-the customary practices and usages which give rise to and maintain the inner ordering of associations (the family, village community, corporations, business associations •. professions, clubs, a schoolor factory, etc). This is the 'living law'."
8
("hukum terdiri dari aturan-aturan tentang perilaku yang diikuti di dalam kehidupan setiap hari-kebiasaan-kebiasaan praktis yang menyebabkan dan mempertahankan 'tertib dalam' dari asosiasi-asosiasi; keluarga, komunitas pedesaan, korporasi, asosiasi bisnis, asosiasi profesi, klub, sekolah atau pabrik, dan lain lain. Inilah 'the living law'). Dan yang lebih jelas dan tegas lagi, apa yang dikemukakan oleh Sampford (1989: 142)tentangpendapatEhrlichmengenai ''the living law": " ... the 'living law' is the rules used in ongoing living relationships.•... ". (..the living law' merupakan aturan-aturan yang digunakan di dalamhubunganhubungan kehidupan yang sedang berlangsung).
Dari seluruh kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ''the living law'' adalah hukum yang hidup dan sedang aktual dalam suatu masyarakat, sehingga tidak membutuhkan upaya reaktualisasi lagi. ''The living law" bukan sesuatu yang statis, tetapi terns berubah dari waktu ke waktu. ''The living law'' adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat, bisa tidak tertulis bisajuga tertulis. Demikian pula ''the living law" bisa berwujud hukum adat (yang tidak tertulis), bisajuga hukum kebiasaan mcx:Jem (yang tidak tertulis) yang berasal dari Barat maupun Hukumlslam di bidang-bidang hukum tertentu. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan ''the living law" di Sulawesi Selatan , maka menurut saya, ''the living law'' yang merupakan aturan-aturan . hukum yang aktual hidup di dalam realitas kehidupan hukum masyarakat , sudah lebih banyak berasal dari Hukuni Barat Modem dan Hukum Islam ketimbang Hukum Adat Sulawesi Selatan yang tersisa sangat sedikit, itupun terbatas di bidang hukum tertentu saja dan sernakin termarjinalkan, contohnya "hak ulayat" yang merupakan hak masyarakat hukum adat. Nilai-nilai Islam menjadi semakin penting bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang memang mayoritas Muslim, dengan aktifnya organisasi KPPSI (Komite Persiapan dan Penegakan Syariat Islam). Memang benar secara konstitusional (Pasal18 B ayat (2) dan Pasal28 I ayat (3) UUD 1945) mengakui hak masyarakat adat, tetapi dengan syarat; a. sepanjang masih hidup, b. sepanjang sesuai dengan perkembangan masyarakat, zaman dan peradaban, c. sepanjang sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sepanjang diatur oleh undangundang.
Sebaliknya, salah satu contoh dari ''the living law'' yang merupakan ''hukum kebiasaan" di dalam kehidupan hukum di Makassar misalnya, adalah
9
penggunaan kartu kredit. Tentu saja kebiasaan penggunaan kartu kredit ini tidak bersumber dari hukum adat, melainkan dari hukum Barat modem. Di bidang hukum perkawinan bagi masyarakat Muslim di Sulawesi Selatan, tentu saja yang merupakan ''the living law'' adalah hukum perkawinan Islam, dan bukan Hukum Perkawinan Adat. Kita hams mampu membedakan antara "Adat" dan "Hukum Adat". Di dalam realitas kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, ''nilai-nilai adat asli" memang masih cukup diindahkan, contohnya adat perkawinan di masingmasing daerah di Sulawesi Selatan, adat penguburan mayat di Tana Toraja, dan lainnya, tetapi ''bukan hukum adat''nya Contohnya, menyangkut ''hukum perkawinan"nya, tentu saja bukan lagi berdasarkan "hukum adat'', melainkan hukumpositiflndonesiasebagaimanadiaturoleh UUNo. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya Pasal2 UU No. 111974 mengatur bahwa: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ".
(2) Tzap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang...undang tersebut sama: sekali tidak menentukan bahwa perkawinan adalah sahjika dilakukan menurut hukum adat masing-masing, melainkan menuruthukum masing-masing agamanyadan k.epercayaan. Agar realistis, saya berpendapat, adalah lebih tepat jika makalah saya ini diubah judulnya menjadi : Reaktualisasi nilai-nilal Islam dan kultur hukum asli Sulawesi Selatan yang pemah berlaku sebagai 'the living law'.
Selain mencoba mereaktualisasikan nilai-nilai Islam tertentu yang relevan bagi pengembangan hukum, contohnya ''nilai malu" yang bagi akidah Islam dianggap sebagian dari keimanan seseorang, maka say a juga mencoba menemukan salah satu "kultur hukum asli Sulawesi Selatan" yang pemah hidup berlaku sebagai "the living legal culture", dan upaya untuk me"reaktualisasikan"nya kembali dalam kehidupan modem masyarakat Sulawesi Selatan di Abad ke-21 ini. Dalam hal ini, menurut saya, kultur hukum asli yang relevan dan patut untuk di "reaktualisasikan" adalah "kultur sirik" dalam maknanya yang tepat, yaitu maknanya yang positiflbaik/luhur. Oleh karena itu, makalah singkat ini hanya terbatas mengangkat tentang upaya
10
reaktualisasi kultur sirik tersebut mnghadapi tuntutan dan kebutuhan hukum di Indonesia di Abad ke-21 ini, terutama bagaimana mereaktualisasi kultur sirik tersebut untuk mendukung upaya pembebasan Indonesia dari keterpurukan hukumyangmasih terus melandahukumdan penegakan hukum di Indonesia
H. PENGERTIANKULTURHUKUM Pertama-tama sayaingin memberikan pengertian "kultur hukum" ("legal culture") dengan meminjam definisi yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam beberapa buku lauyanya Sebagaimanaseyogianyadik.etahui, Lawrence M. Friedman menjadi tersohor karenadialah pakar yang pertama ka1i memasukkan unsur "kultur hukum" ("legal culture") sebagai salah satu unsur dan sistem hukum. Sebelumnya, pandangan kaum positivis-legalistik hanya menganggap hukum positiflah satu-satunya hukum dan satu-satunya unsur dari setiap sistem hukum. MenurutFriedman ( 1987), dalam setiapsistemhukum terdapat tiga unsur, yaitu; Struktur, Substansi dan Kultur Hukum. Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk di dalamnyakepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan seterusnya Substansi adalah keseluruhan aturan bukum (tennasuk asas hukum dan norma hukum), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Sedangkan mengenai pengertian kultur hukumdijelaskan oleh Friedman berikut
ini. "Besides structure and substance, then, there is a third and vital element of the legal system. It is the element of demand. What creates a demand? One factor, for what of a better term, we call 'the legal culture'. By this we mean ideas, attitudes, beliefs, expectations, and opinions about law" (Friedman, 1977: 7)
(selain 'struktur' dan 'substansi', maka terdapat unsur yang ketiga dan vital dari sistern hukum. Unsur itu adalah 'tuntutan' atau 'kebutuhan'. Apa yang menciptakan suatu tuntutan atau kebutuhan? Satu faktor, yaitu yang baik diistilahkan sebagai 'kultur hukum'. Istilah 'kultur hukum' ini kitaartikan sebagai 11
ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, harapan-harapan dan opiniopini tentang hukum). Dalam kaitan dengan makalah ini, saya berpendapat bahwa yang paling penting untuk di reaktualisasikan adalah "kultur hukum" yang pernah menjadi ''thelivihglegalculture"yangmengandungunsur-unsurpositifdanmasihrelevan dengan kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat di Abad ke-21 ini, terutama yang dapat digunakan untuk mendukung penyelesaian berbagai masalah serius dalam hukum dan penegakan hukumdi Indonesiadewasaini. MenurutFriedman: a.
"Social forces are constantly at work on the law-destroying here, renewing there; invigorating here, deadening there; choosing what parts of 'law' will operate, which parts will not,· what substitutes, detours, and bypasses will spring up,· what changes will take place openly or secretly. For want of a better term, we can call some of these forces the leeal culture. It is the element ofsocial attitude and value. The phrase 'social forces' is itselfan abstraction; in any event, such forces do not work directly on the legal system. People in society have needs and make demands; these sometimes do and sometimes do not invoke legal process-depending on the culture...... The values and attitudes held by leaders and members are among these factors, since their behavior depends on their judgment about which options are useful or correct. Leral cultua: a:fers, then, to those parts of general cuUua:= customs. gff inions. wqys of doinr and thinking-that bend social forces toward or away from the law and in particular ways." (Friedlnan, 1987: 15).
(Kekuatan-kekuatan sosial secara terus-menerus bekerja terhadap hukum-di sini merusak, di sanamemperbaharui; di sini memperkuat, di sana memperlemah; memilih bagian-bagian hukum mana yang.akan dioperasikan, dan bagian hukum mana yang tidak akan dioperasikan; yang bersifat menggantikan, yang bersifat memutar dan yang bersifatjalan pintas, semuanya akan bermunculan; perubahan apa yang akan diadakan, apakah bersifat terbuka atau rahasia. Demi tuntutan untuk adanya suatu istilah yang lebih baik, makakitamenamakan 'kekuatan-kekuatan sosial' itu dengan istilah 'the legal culture'. Ia merupakan unsur dan sikap sosial dan nilai sosial.lstilah 'kekuatan-kekuatan sosial' sendiri adalah suatu abstraksi; di dalam setiap peristiwa, kekuatan-kekuatan sosial tersebut 12
tid~.k bekerja secara langsung pada sistem hukum. Warga masyarakat
mempunyai kebutuhan dan membuat tuntutan; semuainikadang-kadang menimbulkan proses hukum dan kadang-kadang tidak menimbulkan proses hukum-- tergantung pada kultur hukum yang mereka anut. ..... Nilai-nilai dan sikap-sikap dipertahankan oleh para pemimpin dan warga masyarakat di antara faktor-faktor ini, sejak perilaku mereka bergantung pada putusan tentang opsi mana yang digunakan atau yang tepat Kultur hukum berlcaitan dengan bagian-bagian dan kulturumum yaitu; kebiasaankebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan cara berpikir---- yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial ke afah atau menjauhi hukum dan cara-cara khusus). b.
The_ term legal culture has been loosely used to describe a number of related Phenomena. First, it refers to public knowledge of an attitudes and behaviour patterns toward the legal system. " (Friedman, 1987: 193).
(Istilah 'kultur hukum' telah digunakan secara longgar untuk menggambarkan sejumlah fenomena terkait. Pertama, istilah ini mengacu ke pengetahuan masyarakat tentang dan sikap-sikap dan pola-pola perilaku masyarakat terhadap sistem hukum). c.
"We define legal culture to mean attitudes, values, and opinions held in society, with regard to law, the legal system, and its various parts. So defined, it is the legal culture which determines when, why, and where people use law, legal institutions, or legal process; and when they use other institutions, or do nothing, in other words, cultural factors are an essential ingredient in turning a static structure and a static collection ofnorms into a body of living law. Adding the legal culture to the picture is like winding up a clock or plugging in a machine. It sets everything in motion (Frie.dman, 1977: 76). (Kita mendefinisikan kultur hukum sebagai 'sikap-sikap, nilai-nilai, dan
pendapat-pendapat yang dianut di masyarakat tentang hukum, sistem hukum dan beragam bagiannya Dengan didefinisikan seperti itu, kultur hukum itulah yang menentukan kapan, mengapa, dan di mana orangorang menggunakan hukum, institusi hukum, atau proses hukum; dan kapan merekanatggunakaninstitusi-institusi lainnya, atau tidakmelakukan apapun. Dengan kata lain, faktor-faktor kultural merupakan suatu unsur esensial dalam mengubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan nonna13
nonna statis menjadi suatu kumpulan hukum yang hidup. Menambahkan kultur hukum kepada gambaran ini adalah seperti memutar sebuahjam atau menghidupkan sebuah mesin. Kultur hukumitu menggerakkan segala sesuatunya). d.
"In theory, one ought to be able to classify and compare legal systems by means of their cultures. This would be more meaningful for the social study of law than the conventional method of classification. But the study of legal culture, as such, is in its infancy. Until it grows stronger, it is hardly adequate to this task" (Friedman, 1977: 76).
(Dalam teori, orang harus dapat mengklasiflkasikan dan memperbandingkan sistem-sistem hukum melalui kultur-kulturnya Ia akan lebih bermakna bagi kajian sosial tentang hukum, dibandingkan metode klasiflkasi konvensional. Tetapi kajian tentang kultur hukum itu sendiri masih berada pada tahap kanak-kanak. Hingga tumbuh menjadi lebih kuat, kajian ini hampirtidak memadai untuk tOgas ini). e.
"Basically, legal culture refers to two rather different sets of attitudes and values: that of the general public (we can call this 'lay legal culture'), and that of lawyers, judges, and other professionals (we can call this 'internal legal culture'). Lay legal culture can exist on many levels. It is possible to speak of the legal culture of France or Nigeria as a whole (attitudes and values which, on the whole are characteristic of Frenchmen or Nigerians) There are also regional, local, or grup attitudes and values about law; those of the Yoruba, or Jews, or Britons, or plumbers, cabdrivers, big business executives" (Friedman, 1977: 76).
(Pada dasarnya, kultur hukum mengacu kedua perangkat sikap-sikap dan nilai-nilai yang agak. berbeda; perangkat sikap-nilai publik umum (kita dapat menyebut ini kultur hukum awam), dan perangkat nilai-nilai para praktisi hukum, pengacara, hakim dan profesionallainnya (kita dapat menyebut ini kultur hukum internal). Kultur hukum 'awam' dapat eksis di banyak level. Dimungkinkan berbicara tentang kultur hukum Francis atau Nigeria sebagai suatu keutuhan (sikap-sikap dan nilai-nilai yang secara keseluruhan, khas orang-orang Francis atau khas orang-orang Nigeria). Terdapat juga sikap-sikap dan nilai-nilai regional, lokal, atau kelompok , tentang hukum: sikap-sikap dan nilai-nilai orang Yeruba, atau 14
orang-orang Yahudi, atau orang-orang Briton, atau para tukang ledeng, para sopir taksi, para eksekutifbesar). "A word should be said at the outset about the concept of 'legal culture'. Scholars have used the term in a number of senses. Sometimes the phrase describes legal consciousness-attitudes, values, beliefs, and expectations about law and the legal system. At other times, scholars employ the term in a broader but somewhat vaguer meaning-to capture what is distinctive about patterns of thought and behavior in, say, American law. Some sweep even more into the category: legal institutions and the distinctive ways they function. In any case, the term refers to living law, to law as a dynamic process; if the dry texts of statutes and cases, and the organizational charts that describe legal institutions are the bones and skeleton of a legal system, then legal culture is what makes the system move and breathe. The authors of the essays, however they make use of the term, never stray too far from the core meaning of legal consciousness; the law as image and incentive, in the minds of members of some public". (Friedman, 1996 : 1). Dengan memaharni pengertiankultur hukurn tersebutdi atas, sangatjelaslah bagi kita bahwa "nilai rnalu" dalam ajaran Islam dan ''kultur sirik'' dalarn adat asli Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, rneropakan bagian dari apa yang
dinarnakan kultur hukum.
m. REAKTUALISASI NILAI ''MALU'' DAN KULTUR ''SIRIK" Sayakira semua suku-bangsa dan semua bangsa di dunia memiliki kultur ''rnalu dan harga diri" di dalam nilai-nilai kulturmereka, tentunyadengan nama yang berbeda-beda Ajaran Islam mengenal "ghirah ", orang Jepang mengenal "girl", dan orang Sulawesi Selatan mengenal "sirik". Hal itu sangat mudah dipaharni, karena perasaan "malu dan harga diri" adalah suatu perasaan yang alamiah. Yang keberadaannya pada setiap manusia sesuai dengan fitrah manusia, dan perasaan "malu" dan "harga diri" itulah yang membedakan manusia dengan binatang rnisalnya "Malu" dalam ajaran Islam meropakan salah satu nilai terpenting yang menentukan kualitas keimanan seorang Muslim. Rasulullah saw bersabda : "Biarkanlah dia, karena malu ('al-hayya') adalah bagian dari iman" (ShahihAl- Bukhari).
Menurot Abdul 'Azis bin Fathi as-Sayyid Nada (2005 : 29) : 15
"Malu di hadapan Allah merupakan etika mulia, yang timbul dari seorang hamba yang memahami bahwa, Allah MahaMendengar setiap ucapan, Maha Melihat atas semua perbuatan, Maha Mengetahui segala rahasia dan yang bukan rahasia, serta membalas semua orang sesuai perbuatannya Saat itulah seorang hamba akan merasa malu apabila dia mengucapkan ucapan yang jelek, atau mengerjakan perbuatan yang buruk, atau membuat kerusakan. Rasa malu itu akan selalu bersamanyadi manapun dan kapanpun dia berada Apalagi pada saat dia sedang sendirian, saat diajauh dari pandangan manusia, saat dia dengan egonya merasakan bahwa Allah bersamanya, lalu dia malu apabila melakukan maksiat saat itu. Hikmah dari rasa malu itu di antaranya:
Bersegera dalam melaksanakan ketaatan dan menjauhkan diri dari maksiat. Diamalu bilaAllahmilihatnyakarenameninggalkan perintahNyadan melakukanlarangan-NyaDemikianlah yang dirasakan oleh setiap orang yang beriman.......• Menurut Prof. Mr. Dr, Andi Zainal Abidin ( 1999 : 198) "sirik" dalam pengertian nilai budaya adalah: "Pandangan hidup (Lebensanschauung) yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial". Dengan demikian, kultur sirik inijew merupakan kulturyang luhur,tetapi yang selama ini sudah dimaknakan secaramenyimpang oleh sebagian warga masyarakat Sulawesi Selatan dalamkonotasi negatif sebagai alat pembenaran untuk melakukan tindak kriminal, terutama yang berkaitan dengan tindak kekerasan seperti penganiayaan dan pembunuhan. Menurut pendapat saya, salah satu faktor sehingga bangsa ini mengalami keterpurukan di berbagai bidang kehidupan, terutama di bidang hukum dan penegakan hukum, tidak lain karena "kultur malu" yang mencakupi "harga diri" dan "rasa malu" sudah semakin termarjinalkan oleh ''kultur konsumtif materialistik". Kultur "komsumtif materialistik" ini kemudian pada tahapan yang sangat parah menciptakan keinginan untuk korupsi, dan pada tahapan yang lebih parah lagi melahirkan perilaku "kelainan jiwa" contohnyajual-beli gelar-gelar, baik gelar akademik maupun gelar kebangsawanan. Cobalah kita saksikan para pejabat yang dijadikan tersangka bahkan terdakwa dalam kasus korupsi milayaran atau trilyunan, masih mampu tampil di media tanpa terkesan 16
malu sama sekali, bahkan masih mampu mengumbar senyum "kecut" ke publik. Demikian pula, sosok-sosok pembeli gelar akademik tanpa pemah mengikuti program studi resmi dan legal untuk memperoleh jenjang akademik tertentu,juga tanpa sedikitpun rasa malu malah merasa bangga mengenakan gelar-gelar akademik yang diperolehnya hanyadengan membayar setumpuk uang kepadalembaga yang memang bergerak di bidangjual-beli gelar semacam itu, dengan bertopengkan nama-nama keren seperti universitas atau akademi intemasional dan semacarnnya Say a teringat dalam satu kesempatan almarhum Prof. Dr. Baharuddin Lopa pemah mengemukakan bahwa: "Sesuai dengan pengamatan saya, pengaruh-pengaruh untuk mendorong kita masuk ke lingkungan yang dice/a agama dan etika semakin kuat dan menyeluruh. Saya katakan semakin kuat, karena pengaruh untuk menaklukkan hati nurani kita sehingga terjerumus untuk melakukan maksiat semakin kuat daya tariknya. Juga sudah menyeluruh... ".
Reaktualisasi "nilai malu Islam'' dan kultur sirik secara optimal ke dalam penegakan hukum, niscaya akan mampu mengubah keterpurukan "law enforcement'' menjadi jauh lebih baik; reaktualisasi "nilai malu Islam" dan kultur sirik secara optimal ke dalam proses pengadilan, niscaya akan jauh lebih cfektif untuk memberantas "mafia pengadilan" ketimbang terlalu berharap banyak kepada Komisi Yudisial yang bam terbentuk. Reaktualisasi "nilai malu Islam" dan kultur sirik secaraoptimal di dalam praktekhukum pada umumnya, niscaya mampu membangun langkah-langkah terobosan untuk mengatasi ''the limit of law" dan mengatasi ketertinggalan sebagian perundang-undangan warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda Para hakim yang melahirkan putusan dengan pengaruh ''nilai malu Islam" (hakim Muslim) dan kultur sirik, niscaya putusannya akan jauh lebih mampu melaksanakan perintah undang-undang, yaitu perintah Pasal28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang bunyinya: "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Kita jangan pemah lupa, bahwa kualitas putusan hakim, tidak sekedar ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya yuridis semata, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor non yuridis, termasuk di dalarnnya, faktor kultur 17
hukum dari masing-masing hakim, sebagaimana yang pemah dikemukakan oleh mantan Hakim Agung Amerika Serikat yang sangat terkenal itu. Justice Benjamin N. Cardozo bahwa ia memutuskan suatu petkara,jelas dipengaruhi oleh: "by my own or the common standards of justice and moral? Into that strange compound which is brewed daily in the caldron of the courts, all these ingredients enter in varying proportions".
(oleh standar-standar moral dan keadilan yang saya anut, yang dituangkan menjadi suatu "ramuan asing" yang dimasak setiap hari di dalam ''panci"'nya pengadilan, eli mana semua unsur ramuan masuk ke dalam "putusan" itu dengan proporsi yang berbeda-beda). Para "aktor" yang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan, baik para hakim, maupun para pengacara, parajaksa penuntut umum, maupun para klien (pencari keadilan), kesemuanya itu tak mungkin terbebas dari betbagai pengaruh non-hukum yang mereka peroleh dalam proses sosialisasi yang mereka lalui. Sehubungan dengan hal ini, Michael J. Saks & Reid Hastie (1978 : 205) menulis bahwa: " .. the various actors who come together in and around courts are inseparable from their membership in a social system. Apart from their social system, the individual components become stripped oftheir meaning and without fimction ".
Lebih lanjut Michael J. Saks & Reid Hastie (1978: 205) menegaskan tidak mungkin suatu putusan pengadilan dinetra1kan dari berbagai pengaruh non-hukum yang diperolehnya sebagai anggota suatu sistem sosial tertentu: "In the decision-making and dispute-resolving system that is the court, no decision comes from any element acting alone,· all outputs resultfrom a structured system of social relationship". Harry C, Bredemeier (Vilhelm Aubert, 1979: 52-67) adalah salah satu eksponen Sosiologi Hukum yang secaralebih gamblang dan rinci menguraikan tentang hubungan timbal-balik antara pengadilan sebagai salah satu sub-sistem sosial dengan sub-sub sistem sosiallain yang ada di masyarakat. Harry C. Bredemeier menarnakannya sebagai ''proses inputs-outputs".
Bredemeiermelihat fungsi hukum adalah menembkan pemecahan konflikkonflik. Secara tidak langsung, "hukum" ,di mana model hukum yang paling 18
Jelas menurut Bredemeier adalah pengadilan, baru beroperasi setelah adanya suatu konflik. Menurut Bredemeier, untuk melaksanakan tugasnya itu, pengadilan membutuhkan tigakeadaan, atau di dalam istilah yang digunakan oleh Talcott Parsons dan para koleganya, pengadilan bergantung pada tiga jenis "inputs": (1) Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab-akibat. Pengadilan membutuhkan suatu cara untuk memastikan; a.
"hubungan masa lalu" antara tindakan yang diduga telah dilakukan oleh tergugat (atau terdakwa) dan kerugian yang diderita oleh penggugat (atau penuntut)
b. "kemungkinan di masa depan" mengenai hubungan antara putusan dan aktivitas-aktivitas tergugat dan penggugat, serta seluruh person dalam situasi yang serupa. (2) Pengadilan membutuhkan satu konsep tentang ''pembagian kelja", suatu konsep tentang tujuan dan sistem-sistem yang ada, serta mengetahui usaha
apa yang diupayakan negara untuk menciptakan atau mempertahankan pelaksanaan kekuasaan. Dengan perkataan lain, ada kebutuhankebutuhan standar untuk mengevaluasi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dan suatu putusan terhadap struktur peran. (3) Untuk melaksanakan fungsinya, pengadilan membutuhkan suatu kemauan dari para pihak untuk menggunakan pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian konflik mereka. Motivasi untuk menerima pengadilan dan menaati putusannyaadalah suatu "inputs" di mana pengadilan menukamya dengan "outputs" berupakeadilan. Dalam kaitan dengan butir (3) di atas, berminat atau tidaknya warga masyarakat pencari keadilan untuk memanfaatkan pranata pengadilan, tak ada bedanya dengan berminat atau tidaknya warga masyarakat untuk berbelanja atau tidak di pasar-pasar swalayan. Pilihan minat ini tentu lebih banyak berlaku untuk kasus-kasus perdata ketimbang kasus pidana, karena di dalam kasus pidana, warga masyarakat ''hampir" tidak mempunyai pilihan untuk menghindari penggunaan pengadilan. Saya mengatakan "hampir" dan bukannya mengatakan "tidak ada sama sekali pilihan", karena di dalam kenyataannya, di dalam kasus pidanapun pilihan itu tetap ada, meskipun lebih kecil dibanding dalam kasus-kasus perdata. Pilihan dalamkasus plchma untuk 19
mau menggunakan pengadilan atau tidak, merupakan "pilihan yang melanggar hukum". Contoh pilihan yang melanggar hukum, tetapi dalam kenyataannya sering terjadi, adalah pilihan dari seseorang pelanggar peraturan lalu lintas di jalan raya untuk ''berdamai" dengan oknum petugas yang menilangnya, sehingga dapat menghindari penggunaan pengadilan. Kebebasan memilih, apakah akan menggunakan pengadilan atau tidak, jauh lebih besar dalam kasus-kasus perdata. Sebagai contoh, seorang kreditor yang menginginkan uangnya kembali dan dibayar oleh pihak debitor, dapat memilih beberapa pilihan. Berkaitan dengan pilihan tersebut, kita tidak lagi berada dalam bidang normatif, tetapi sudah berada di "kawasan kultur hukum" Apakah seseorang memilib untuk menggunakan pengadilan atau tidak, tergantung pada kultur hukum yang melatarbelakanginya Jika kultur hukum seseorang didominasi oleh kultur litigasi, berarti ia akan lebih cenderung menggunakan pengadilan sebagai sarananyadalam menyelesaikan konfliknya dengan pihak lain. Sebaliknyajika kultur hukum seseorang didominasi oleh kultur non-litigasi, maka tentunyaia akan cenderung menggunakan cara-cara di luarpengadilan. Caranon-litigasi ini ada yang "legal" dan ada yang melanggar hukum. Cara non-litigasi yang legal misalnya dengan menggunakan cara mediasi; sedangkan caranon-litigasi yang sudahmelanggar hukumjikamisalnya seseorang menggunakan jasa "debt collector' untuk melakukan intimidasi, baik secara psikologis maupun secara fisik dalam menagih piutangnya Banyak penelitian pakaryangmengkaji bagaimana pengaruh kultur hukum terhadap putusan pengadilan, di antaranya Marc Galanter dengan karyanya yang terkenal; Why the "Have" Come Out Ahead: Speculations on the Limits ofLegal Change (termuat dalam : ''Law and Society Review, Edisi 9, 1974: 95), yang memaparkan mengapa golongan yang berkocek teballebih mampu memanfaatkan hukum ketimbang golongan tak berpunya Demikian juga pengkajian yang dilakukan oleh Dahrendorf (SChuyt, 1971: 112) mengenai hakim di Jerman Barat yang mengkaji tentang latar belakang sosial para hakim dan pengaruhnya terhadap peran mereka sebagai hakim. Hal yang identik juga dipaparkan dalam karya Chambliss & Seidman (1971 : 98) tentang hubungan antara para hakim dan sosialisasinya di Amerika Serikat. Talcott Parsons maupun Julius Stone ( 1966: 32) meskipun tidak secara khusus membahas masalah hakim dan pengadilan, tetapi masing-masing mengemukakan adanya "expected reactions'' dari masyarakat terhadap hakim, sehingga
20
apa yang ingin dilakukan oleh seorang hakim tak dapat ditentukannya sendiri secara penuh, melainkan sangat bergantung pada tata nilai dan struktur masyarakatnya. Friedman (1967: 798) juga mengemukakan beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh meningkatnyajumlah penduduk, k.emakmuran serta industri-industri komersial terhadap pengadilan di Amerika Serikat, terltadap langkah-langkah yang kemudian diambil oleh pengadilan (bacajuga Satjipto Rahardjo, 1983: 88). William M. Evans (1990) dalam bahasannya tentang struktur sosial dan hukum,juga tak lupa mengkaji peran para aktor hukumdi pengadilan. Demikian pula karya Alan M. Dershowitz (1966) yang membeberkan pengaruh diskriminasi ras dan kekuatan uang terltadap ''verdict" pengadilan (putusan juri) dalam kasus O.J. Simpson yang memutuskan "not guilty" bagi terdakwa yang oleh masyarakat Amerika Serikat diyakini adalah seorang pembunuh yang sesungguhnya (terhadap korban, mantan istrinya dan kekasih dari mantan istrinya). Bagaimana kuatnya pengaruh kultur hukum terhadap putusan hakim, digambarkan oleh Profesor Schubert (Curzon, 1979:195-198) dengan menekal1kan pentingnya arti dari pandangan Holmes tentang hukum sebagai "ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan di dalam kenyataannya". Esensi dari sains adalah kapasitasnya untukmembuatramalanramalan yang berltasil, berkenan dengan perilaku tentang partikel-partikel yang menyusun datanya Menurut Schubert,jika perltatian difokuskan pada perilaku para hakim, maka tes terakhir dari teori-teori dan metode-metode tentang perilaku hakim, akan mampu untuk meramalkan secara tepat putusanputusan pengadilan. Schubert telah menganalisis data yang tepat yang dibutuhkan untuk membuatramalan ilmiah tentang perilaku parahakim di pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat. Menurut Schubert, ramalan itu dapat menggunakan dua jenis pendekatan: a
Struktur Konversi, menurut Schubert, yang merupakan sentral dari prosesproses pembuatan kebijakan pengadilan adalah struktur konversi, di mana putusan hakim dipengaruhi oleh basil interaksi-interaksi dari suatu kelompok dan "pengintegrasian nilai-nilai" iridividual dari para hakim. Analisis tersebut membutuhkan suatu studi sosiologis dan psikologis terhadap para hakim. 21
b. Atribut-atribut dan orientasi, yang termasuk pengaruh atribut-atribut adalah; mencakupi pengalaman pribadi sang hakim, penunjukkan politis para hakim, aflliasi-afiliasi partai politik dari para hakim itu. Sedang yang termasuk pengaruh orientasi-sikap adalah pengaruh faktor ekonomis maupun politis, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang vital dan fundamental dalam kehidupan pribadi dan keluarga hakim itu.
IY. PENUfUP Salah satu bangsa yang benar-benarproses hukumdan proses penegakan hukummya didominasi oleh faktor kultur hukum asli bangsa tersebut adalah . Jepang. Berjalannya hukum dan penegakan hukum secara sangat baik di Jepang, terutama karena dukungan penguatan dari faktor kultur hukum asli bangsa Jepang, yaitu kultur "malu" yang identik dengan kultur hukum asli Sulawesi Selatan yaitu "sirik". Kultur hukum yang "hidup" baik di kalangan warga masyarakat Jepang pada umumnya maupun di kalangan penegak hukum Jepang, lebih efektif ketimbangancaman pidanamati dalamundang-undangpemberantasankorupsi kita di Indonesia. Kultur hukum "malu" yang masih besar dan masyarakat Jepang sangatefektif sebagai alat preventifmaupun penindak terhadap perilaku tercela, termasuk korupsi. Kultur hukum yang masih sangat bermoral di kalangan pengacara Jepang, menyebabkan hampir tidak ada kebiasaan pengacaraJepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi benar, dan yang benar menjadi salah. Konon umumnya pengacaraJepang senantiasa berusaha membujuk "klien"nya untuk mengakui kesalahannya, dan setelah itu mengembalikan basil kejahatannya. Jadi motto "maju talc gentar, membela yang membayar" tidak berlaku bagi pengacaraJepang. Di dalam praktek hukum di Jepang, pejabat yang masih diindikasikan melakukan suatu tindak pidana, umumnya langsung mengundurkan diri dari jabatannya, sekalipun tidak dimintaoleh masyarakat (apalagijikasudah dituntut mundur oleh masyarakatnya). Saat saya berada di Tokyo beberapa tahun silam, KejaksaanMetropolitan Tokyo sedang menahan GubemurTokushima yang didakwa mendapat suap dari seorang konglomeratJepang, dan dalam kasus lain juga menahan Walikota Shimozuma, lbaraki. Tetapi kedua pejabat itu secara sukarela langsung mengundurkan diri dari j abatannya sebagai gubernur dan walikota. Hampir tak pernah kita den gar pengacara Jepang berceloteh tentang "asas praduga tak bersalah", sangat kontras dengan 22
maraknya "asas praduga tak bersalah" itu dikumandangkan di lingkungan penegakan hukum Indonesia Bahkan sosok hakim bermasalah, sebelwn diajukan ke pengadilan, sudah mengakui kesalahannya, dan secara sukarela menerima sanksi administratif berupa pemecatan yang dijatuhkan terhadap dirinya, tanpa pernah berteriak: ''Ini melanggar asas prnduga tak bersalah!". Tampaknya ''nilai kejujuran" masih sangat kuat melekat dalam kesadaran orang Jepang, tennasuk kejujuran untuk mengakui kejahatannya sendiri. Di dalam praktek hukum di Jepang, seorang tersangka yang tidak mengaku, pasti akan ditahan, sebaliknya seorang tersangka yang mengakui kesalahannya, tidak ditahan, kecuali jika kasusnya tergolong kasus "kelas kakap" yang nilai kejahatannya 300 juta Yen atau lebih. Tidak ada salahnya kita bercennin terhadap penegakan hukum Jepang untuk memperbaiki penegakan hukum Indonesia yang penuh dengan "skenario sandiwara''. Apalagi kebetulan adakeidentikan antarakultur hukum asli Jepang dengan kultur hukum asli kita, termasuk salah satunyakultur "sirik'' di Sulawesi Selatan. Bukankah orang-orang bijak telah menasihati kita: "When we realize that we get lost, tum back and go down the right way".
23
DAFI'ARPUSTAKA
Abdul'Azis bin Fathi as-Sayyid Nada, 2005, Begini Semestinya Muslim Berperilaku, Ensiklopedi Etika Islam, Maghftrah Pustaka, Jakarta Achmad Ali, 1998, Menjelajah Kajian Empiris terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta - - - , 1999, Peranan Pengadilan sebagai Pranata Sosial, suatu Tinjauan Sosiologi Hukum, Universitas Hasanuddin Press, Makassar - - - , 2002, Menguak Tahir Hukum,· Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta - - - , 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia - - - , 2004, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Agatama Press, Jakarta - - - , 2004, Sosiologi Hukum; Kajian Empiris terhadap Pengadilan, BP lblam, Jakarta Andi Zainal Abidin, 1999, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Makassar Aubert, Vilhelm, 1979, Sociology ofLaw, Selected Reading, Penguin Black, Donald, 1976, The Behavior ofLaw, Academic Press, New YorkSan Francisco-London Cardozo, Benjamin N, 1962, The Nature of The Judicial Process, New Haven and London, Yale University Press Chamblish, WilliamJ &Seidman,Robert,B, 197l,Law, OrderandPower, Reading, Mass: Addison-Westley. Curzon, L.B, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd, Estover, Plymouth.
Dershowitz, Alan M, 1996, Reasonable Doubts, Simon & Schuster Evan, William M, 1980, Social Structure and Law; Theoretical and Empirical Perspectives, Sage Publication. Friedman, Lawrence M, 1977, Law and Society, an Introduction, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, NJ 24
- - - , 1987, The Legal System, A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York - - - & Harry N. Scheiber (Ed), 1996, Legal Culture and the Legal
Profession, Westview Press, Colorado, US Galanter, Marc, 1974, Why the 'haves' come out ahead: Speculations on the Limits ofLegal Change, 9 Law and Society Review 95. Imam Az-Zabidi, 2004, Ringkasan ShahihAl- Bukhar~ Mizan, Bandung
Parsons, Talcott, 1951, The Social System, The Free Press, New York Saks, Michael J & Hastie, Reid, 1978, Social Psychology in Court. Van Nostrand Reinhold Company, New York Sampord, Charles, 1989, The Disorder ofLaw, A Critique ofLegal Theory, Basil Blackwell. Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, suatu 1injauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung Schuyt, CJ.M, 1971, Rechtssociologie-een terreinverkenning, Universitaire Pers, Rotterdam Tamanaha, Brian Z, 2001, A General Jurisprudence ofLaw and Society, Oxford University Press.
25
BIO DATA SINGKAT PROF. DR. ACHMAD ALI, S.H., M.H. NamaLengkap
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.
Lahir
Makassar, 9 November 1952
Agama
Islam
Pendidikan
Sarjana Hukum UNHAS ( 1980) Magister Hukum UGM (1985) Doktor Hukum UNHAS (1998)
Pekerjaan
a. Dosen Tetap Fakultas Hukum UNHAS b. Dosen Luar Biasa pada beberapa Program Pasca Sarjanallmu Hukum, yaitu: - PPS UNHAS Makassar - PPS UMI Makassar - PPS STllilblam, Jakartadankelas-kelasjauh - PPS Universitas Borobudur, Jakarta - PPS UNISMUH PALU. c. Dosen Luar Biasa pada sejumlah Program S-1 Fakultas Hukum di berbagai PTS di tanah air. d. Dosen Non-Struktural SESKOAD.
Pangkat
PembinaUtama/Guru Besar/IV-E Pidato Pengukuhan Guru Besar dengan Judul "Pengadilan sebagai Pranata Sosial".
Jabatan sekarang
a. Komisioner/Anggota KOMNAS HAM RI (2002-2007) b. Komisioner/Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-Timor Leste. c. Ketua Program S-3 (Doktor) llmu Hukum PPS -UNHAS d. Ketua Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI) Sulawesi Selatan e. Director International Karate-Do Gojukai Association (IKGA) Cabang Indonesia f. Ketua Dewan Guru Nasional Karate-Do Gojukai Indonesia g. Instruktur Internasional Karate-Do (Shihan) h. Penasihat Hukum Pemda Sulteng
26
Pengalaman jabatan/ Organisasi
Lain-lain
a Man tan Dekan Fakultas Hukum UNHAS (2 periode; 1994-1998, dan 1998-2002) b. MantanTenagaAhliJaksaAgungRI(eraJaksa Agung Baharuddin Lopa) c. Mantan Pembantu Dekan IT Fakultas Hukum UNHAS ( 1992-1994) d. Mantan Pembantu Dekan Ill Fakultas Hukum UNHAS (2 periode; 1986-1988, dan 19881992) e. Mantan Kepala Humas UNHAS (1985-1986) f. Mantan Pemimpin Redaksi Koran UNHAS "Identitas" (1985-1987) g. Mantan Pengacara/Penasihat Hukum ( 19801983) h. Mantan Penasihat Hukum PT Penkonindo (1980-1983) i Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS 1977-1978 j. Man tan Wasit Nasional FORK.I (s.d. 1980) k. Mantan Juri lnternasional Kejuaraan Karate AsiaPasiftk(APUKO 11-1976). L Mantan Instruktur Seni Bela Diri Karate-Do; - MarinirAL,duluKKO-AL 1973-1974. - Pomdam XIV Hasanuddin, 1978-1979 Kolumnis di berbagai majalah dan koran, antara lain di Majalah Tempo, ForumKeadilan, Gatra,Gamma, Koran Kompas; Koran Suara Pembaruan, Koran Tempo, Koran Suara Karya, Koran Fajar, dan masih banyak lagi lainnya Redaktur Ahli Jumal: a Jurnal Hukum Amanna Gappa dari FH.Unhas b. Jurnal Hukum Clavia dari Univ. 45 Mks c. Jurnal Kepolisian dari PTIKJakarta.
KaryaTulis
16 buku yang diterbitkan secara nasional, 1 buku yang diterbitkan secara internasional Puluhan makalah, lebih 1000 artikel dan kolom. 27
Penghargaan
a. b. c. d.
Hobbi
a. Koleksi Buku dan Senjata Tradisional Seni Bela Diri b. Membaca c. Menulis buku, makalah, artikel dan kolom d. Seni BelaDiri
Keluarga A. a. Nama istri b. Pekerjaan
Alumni UNHAS berprestasi terbaik 1996. TheManofThe Year2001 Pemegang DAN VI Intemasional Karate-Do Sertiflkat Manggala BP 7 Pusat, Angkatan ke18 untuk pejabat eselon I di Istana Bogor 1996.
Ny. Wiwie Heryani, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum UNHAS
MuhammadMusashi Achmadputra B. a. Namaanak b. Pekerjaan anak : Siswa SMA Negeri V Makassar
Alamat
Telepon/Faksimile Handphone E-mail
28
Komp. Dosen UNHAS TamalanreaBlok L-2 D. Prof. SR. Nur Makassar, 90245. (0411) 585 591 0811468228 0812 9543272
[email protected]