PENGARUH PERCEIVED PRODUCT QUALITY DAN PERCEIVED PRICE FAIRNESS TERHADAP LOYALITAS KONSUMEN DENGAN MODERASI CUSTOMER SATISFACTION PADA KONSUMEN HYPERMARKET DI JAKARTA REAGAN BRIAN Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Pelita Harapan Email:
[email protected]
Abstract Fierce competition in the retail industry in Jakarta makes all the operator trying to get customer loyalty, both behavioral loyalty and attitudinal loyalty. Hypermarket operator try to make customer satisfied. Customer satisfaction usually influence by perceived product quality and perceived price fairness from the products of customer bought. The Operator of Retail Industry also try to barrier the customers from switching with the comfort and familiar shopping environment. With the present of switching costs as barrier, customer will be more difficult to switch. This study used non-probability, convenience sampling and the data will be analyzed using SEM. In summary, perceived product quality and perceived price fairness form behavioral loyalty and attitudinal loyalty through customer satisfaction, with the switching costs moderating the relationship of customer satisfaction and behavioral loyalty. The result show that there are positive significant effect from perceived product quality to customer satisfaction. Perceived price fairness also have significant positive effect to behavioral loyalty and attitudinal loyalty. Finally there are moderating effect of switching costs between the relationship of customer satisfaction and behavioral loyalty. Keywords: Perceived product quality, perceived price fairness, customer satisfaction, switching costs, behavioral loyalty, attitudinal loyalty Abstrak Ketatnya kondisi persaingan industri retail hypermarket di Jakarta membuat para operator hypermarket berusaha mendapatkan loyalitas konsumen, baik behavioral loyalty dan attitudinal loyalty. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan customer satisfaction. Kepuasan konsumen umumnya dipengaruhi oleh perceived product quality dan perceived price fairness dari produk yang dibeli. Pihak operator juga mencoba menghambat perpindahan konsumen ke kompetitor, yaitu dengan memberikan suasana berbelanja yang nyaman dan akrab bagi konsumen. Dengan hadirnya salah satu bentuk switching costs sebagai hambatan ini, konsumen akan menjadi lebih sulit berpindah ke kompetitor. Atau dengan kata lain perceived product quality dan perceived price fairness membentuk behavioral loyalty dan attitudinal loyalty melalui customer satisfaction, serta switching costs mempengaruhi hubungan customer satisfaction dan behavioral loyalty. Penelitian ini akan menggunakan non-probability sampling dengan tipe convenience sampling, data akan diolah dengan menggunakan analisis SEM. Hasil penelitian menemukan terdapat pengaruh positif yang cukup signifikan dari perceived product quality terhadap customer satisfaction. 154
Perceived price fairness juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap customer satisfaction. Customer satisfaction tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan baik terhadap behavioral loyalty dan attitudinal loyalty. Namun ditemukan adanya pengaruh moderasi dari switching costs diantara hubungan customer satisfaction dan behavioral loyalty. Kata kunci: persepsi kualitas produk, persepsi kelayakan harga, kepuasan konsumen, switching costs, loyalitas perilaku, loyalitas sikap Latar Belakang Permasalahan Pasar adalah tempat awal mula terjadinya transaksi jual beli antara penjual dan konsumen. Kini pasar telah berubah mengikuti perkembangan jaman, menjadi semakin nyaman bagi konsumen. Bentuk awal pasar (pasar tradisional) sekarang masih banyak di Indonesia, namun satu dekade terakhir ditandai dengan munculnya istilah baru untuk bentuk pasar baru bagi konsumen, yakni hypermarket. Persaingan yang ketat membuat perusahaan hypermarket harus berusaha menekan biaya dan meningkatkan profitnya untuk dapat lebih mengembangkan usahanya. Perusahaan akan berusaha memenuhi customer satisfaction, agar mendapatkan customer loyalty. Pandangan literatur menurut Kotler dan Keller (2012) pelanggan secara konstan berpikir mengenai produk atau jasa seperti apa yang akan memaksimalkan value, dan kemudian menciptakan harapan mengenai value sebagai referensi berbelanja. Walaupun persaingan di antara operator hypermarket sangat ketat, tidak jarang pihak operator berusaha mengambil kesempatan untuk menambah keuntungannya. Hal-hal yang dilakukan antara lain adalah dengan menjual produk yang kualitasnya rendah atau kurang baik, karena terkadang konsumen tidak menyadarinya saat membeli, baru setelah produk tersebut digunakan, konsumen menyadari adanya perbedaan kualitas. Konsumen yang telah menjadi pelanggan tetap dan senantiasa berbelanja di tempat yang sama tidak menyadari perbedaan kualitas tersebut. Hal-hal inilah yang kadang dilakukan operator hypermarket demi mendapatkan keuntungan, namun tanpa disadari akan membuat konsumen kecewa dan berpindah ke pesaing. Penelitian ini akan menganalisis efek perceived product quality, perceived price fairness, pada customer satisfaction, attitudinal loyalty, dan behavioral loyalty, serta efek customer satisfaction pada attitudinal loyalty, dan behavioral loyalty dan juga efek moderasi switching costs. 155
Tinjauan Teori Retailing Retail adalah aktivitas penambahan nilai pada produk dan jasa yang merupakan proses akhir dari rantai suplai dengan menjual spesifik produk pada spesifik konsumen (Levy dan Weitz, 2011). Kotler dan Keller (2012) menyatakan retailing mencakup semua kegiatan dalam menjual barang atau jasa secara langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan untuk usaha. Lebih jauh, Kotler dan Keller (2012) mengelompokkan jenis-jenis usaha retail yang umum ada, di antaranya adalah specialty store, department store, supermarket, convenience store, discount store, off-price retailer, superstore, dan catalog showroom. Selain kategori umum, jenis usaha retail dapat digolongkan berdasarkan tingkat layanan yaitu self-service, self-selection, limited service, dan full service. Sedangkan jenis usaha retail menurut Levy dan Weitz (2011) adalah food retailers dan general merchandise retailers.
Perilaku Konsumen Perilaku konsumen didefinisikan oleh Schiffman, Kanuk, dan Wisenblit (2009) sebagai perilaku yang konsumen tampilkan dalam pencarian, pembelian, penggunaan, penilaian, dan penyelesaian penggunaan produk dan jasa yang diharap akan memenuhi kebutuhan konsumen. Selanjutnya Schiffman, Kanuk, dan Wisenblit (2009) menjelaskan bahwa perilaku konsumen yang fokus kepada bagaimana konsumen perorangan dan keluarga membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki (waktu, uang, dan usaha) untuk membeli barang yang akan dikonsumsi. Perceived Product Quality Wang, Lo, dan Hui (2003) menyatakan walaupun banyak penelitian mengenai product quality, perlu dicatat bahwa ada beberapa perbedaan dalam konsep mengenai product quality. Sebagai contoh di bidang pemasaran dan ekonomi, quality dianggap sebagai atribut dari produk; di bidang manajemen operasional, quality dianggap memiliki beberapa dimensi (fitness of use, reliability, dan beberapa dimensi-dimensi lain); di bidang industri jasa, quality dipandang sebagai penilaian secara keseluruhan. Yieh, Chiao, dan Chiu (2007) mendefinisikan perceived product quality sebagai penilaian konsumen terhadap produk yang dijual oleh perusahaan. Selanjutnya Yieh, Chiao, dan Chiu (2007) 156
melakukan penelitian yang menemukan adanya pengaruh positif product quality terhadap customer satisfaction.
Perceived Price Fairness Menurut Daskalopoulou dan Petrou (2006) persepsi fairness mengacu kepada penilaian konsumen terhadap harga keseluruhan produk atau layanan yang mereka rasakan kini dengan harga transaksi yang pernah mereka alami. Herrmann et al. (2007) menyatakan dasar persepsi price fairness adalah prinsip dual entitlement, yaitu satu kelompok seharusnya mengambil keuntungan tanpa merugikan kelompok lainnya. Ketika perusahaan menggunakan tingginya permintaan konsumen untuk keuntungannya sendiri dengan menaikkan harga, konsumen akan merasa dirugikan dan akan merasa harga menjadi tidak fair. Herrmann et al. (2007) menyatakan bahwa persepsi harga mempengaruhi penilaian kepuasan konsumen baik secara langsung dan tidak langsung melalui persepsi price fairness. Lebih jauh lagi, Herrmann et al. (2007) menyatakan harga adalah elemen penting dalam proses pembelian konsumen; karenanya harga mempunyai pengaruh kuat dalam penilaian kepuasan yang dirasakan konsumen. Penelitian oleh Daskalopoulou dan Petrou (2006) juga menemukan konsumen cenderung berbelanja lebih di toko atau penyedia jasa yang mereka nilai melakukan transaksi secara fair. Yieh, Chiao, dan Chiu (2007) juga menyediakan bukti empiris dari bidang jasa layanan perbaikan atau bengkel kendaraan yang membuktikan bahwa perceived price fairness memiliki pengaruh positif terhadap customer satisfaction dan customer loyalty. Sejalan dengan Yieh, Chiao dah Chiu (2007), Consuegra, Molina, dan Esteban (2007) juga menyediakan bukti empiris bahwa price fairness yang dirasakan oleh konsumen memiliki pengaruh positif terhadap customer satisfaction dan customer loyalty.
Customer Satisfaction Menurut Oliver (1999) kepuasan adalah bentuk sementara setelah pemakaian untuk konsumsi satu kali atau bentuk pengalaman berulang untuk konsumsi berkelanjutan yang mencerminkan bagaimana produk atau jasa memenuhi fungsinya. Menurut Gustafsson, Johnson, dan Roos (2005) customer satisfaction didefinisikan sebagai evaluasi atas 157
performa secara keseluruhan untuk penawaran yang ada. Bolton dan Lemon (1999) menyatakan seiring dengan evaluasi keseluruhan yang terbentuk sejalan dengan waktu, kepuasan biasanya memediasi efek product quality, service quality, dan price/payment equity pada loyalitas. Lebih jauh lagi, menurut Oliver (1999) customer satisfaction mengandung komponen afektif yang signifikan, yang tercipta melalui penggunaan produk atau jasa yang berulang. Dalam studi skala besar industri otomotif, Mittal dan Kamakura (2001) menunjukkan efek yang kuat namun tidak linier dari customer satisfaction pada perilaku pembelian kembali. Dimitriades (2006) mengemukakan dewasa ini para peneliti saling berargumen bahwa ada perbedaan dalam customer satisfaction terkait produk tangible dan customer satisfaction terkait dengan produk jasa. Perbedaan ini karena sifat kasat mata dan perishability dari produk jasa, dan juga sifat yang tidak dapat dipisahkan antara produksi dan konsumsi jasa. Lebih jauh lagi, Dimitriades (2006) menyatakan dikarenakan perbedaan diatas, maka customer satisfaction produk tangible dan customer satisfaction produk jasa yang berasal dan dipengaruhi oleh hal yang berbeda, harus dipisahkan dan dibedakan satu sama lainnya.
Switching Costs Switching costs dikonsepkan sebagai persepsi konsumen terhadap besaran beban tambahan untuk mengakhiri hubungan saat ini dan jaminan atas pilihan alternatif lainnya, definisi ini mencegah konsumen untuk tidak memilih penawaran dari kompetitor (Yanamandram dan White, 2006). Para peneliti (Weiss and Anderson, 1992; Smith, 1998; Jones et al., 2000; Jackson, 1985) sebagaimana dikutip oleh Yen (2010) mengungkapkan switching costs memainkan peran sebagai hambatan untuk mengakhiri hubungan diantara pembeli dan penjual. Karena hambatan keluar yang tak terlihat ini, konsumen akan mempertimbangkan switching costs ketika mereka memutuskan untuk berganti supplier. Berdasarkan berbagai pandangan peneliti-peneliti yang ada, Yen (2010) mencoba meringkas bahwa switching costs adalah tergantung kepada industri, bergantung sebagian kepada konsumen, dan switching costs dapat diciptakan oleh perusahaan, sehingga konsumen sulit berpindah ke kompetitor.
158
Customer Loyalty Oliver (1999) menyatakan bahwa customer loyalty yang hebat adalah fungsi dari perceived product yang baik, ketahanan pribadi, ikatan sosial, dan efek sinergi. Srinivasan, Anderson, dan Ponnavolu (2002) mengusulkan dua faktor utama dalam mengukur loyalitas: word-of-mouth, dan toleransi harga. Konsumen dengan loyalitas yang lebih akan memiliki tingkat toleransi harga yang lebih tinggi dan kerelaan yang lebih tinggi untuk membuat rekomendasi untuk kenalannya. Dick dan Basu (1994) mengutip Day (1969) dan Lutz dan Winn (1974) mengajukan indeks loyalitas yang terdiri dari attitudinal dan behavioral measures.
Behavioral Loyalty Pendekatan loyalitas secara behavioral didasarkan pada aspek perilaku pembelian kembali di masa depan, jumlah pembelian, frekuensi pembelian, dan pergantian brand sejalan dengan waktu (Liang dan Chen, 2009). Menurut Chen et al. (2009) behavioral loyalty adalah seberapa konsisten konsumen melakukan pembelian kembali produk atau jasa. Dengan kata lain, pengukuran behavioral loyalty melihat perilaku pembelian yang konsisten, dan berulang sebagai indikator dari loyalitas. Namun satu masalah dengan pendekatan behavioral adalah pembelian berulang tidak selalu menghasilkan komitmen psikologis terhadap suatu merk (TePeci, 1999). Lebih lanjut lagi, Dick dan Basu (1994) menyatakan perusahaan sering mengejar bentuk loyalitas yang salah yaitu pembelian berulang, yang menurut perusahaan pembelian berulang itu adalah behavioral loyalty. Pembelian berulang semata bukanlah behavioral loyalty. Bukti empiris diberikan oleh Chen et al. (2009) yang melakukan penelitian di industri retail di Taiwan. Chen et al. (2009) menyediakan bukti penelitian bahwa konsumen yang memiliki behavioral loyalty akan menghabiskan lebih banyak uang untuk berbelanja produk atau jasa yang perusahaan jual, sehingga memberikan efek positif keuntungan bagi perusahaan.
Attitudinal Loyalty Menurut Chen et al. (2009) attitudinal loyalty adalah sikap positif yang mencerminkan preferensi atau komitmen sejalan waktu.
Pengukuran attitudinal
menggunakan data attitudinal yang merefleksikan emosi dan keterikatan psikologis yang 159
melekat pada loyalitas. Pengukuran attitudinal menekankan pada perihal loyalitas, keterikatan, dan kesetiaan.(Bowen dan Chen, 2001). Dick dan Basu (1994) menyatakan attitudinal loyalty dan behavioral loyalty sulit untuk dinilai secara terpisah. Mengukur behavioral loyalty secara terpisah dari attitudinal loyalty akan menyulitkan penilaian loyalitas karena pengukuran behavioral sendiri tidak bisa menjelaskan perihal kondisi situasi atau dorongan attitude dari suatu pembelian berulang. Pernyataan ini didasarkan dan sejalan dengan penelitian oleh Lutz dan Winn (1974) yang juga berusaha menjelaskan bahwa pembelian berulang tidak dapat langsung dikatakan sebagai behavioral loyalty. Bukti empiris dari Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004) menyatakan customer satisfaction memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan attitudinal loyalty. Lebih jauh lagi, Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004) menyatakan hubungan diantara antecedents dengan behavioral loyalty dan attitudinal loyalty akan bervariasi diantara penelitian yang berbeda.
Hipotesis Penelitian Menurut Oliver (1999), konsumen biasa melakukan evaluasi kualitas pada layanan yang diterimanya untuk menilai apakah layanan yang diterimanya memuaskan atau tidak. Yieh, Chiao, dan Chiu (2007) menyediakan bukti empiris tambahan dari pernyataan Oliver, bahwa, sesungguhnya bukan hanya service quality yang merupakan bentuk pendahulu dari customer satisfaction, melainkan juga product quality. Konsumen umumnya mencari petunjuk untuk membantunya menilai apakah produk atau layanan yang diterima itu memuaskan atau tidak. Dan kualitas produk merupakan petunjuk yang dapat dinilai oleh konsumen. Karena itu, hipotesis pertama penelitian adalah: H1 : perceived product quality memiliki pengaruh positif terhadap customer satisfaction Anderson et al. (1994) menyatakan customer satisfaction bergantung kepada suatu nilai, dimana nilai dapat dipandang sebagai perbandingan kualitas dengan harga atau keuntungan yang didapat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Varki dan Colgate (2001) mengemukakan peranan harga masih kurang diteliti dan perlu banyak dipelajari di dalam industri. Karenanya hipotesis kedua penelitian ini adalah: H2
: perceived price fairness memiliki pengaruh positif terhadap customer
satisfaction 160
Reichheld dan Sasser (1990) menyatakan konsumen yang puas akan memiliki customer loyalty lebih tinggi. Lebih jauh lagi, Reicheld dan Sasser (1990) mengatakan customer loyalty adalah hal yang akan meningkatkan peluang konsumen melakukan pembelian kembali di masa datang. Customer loyalty dalam studi ini dibagi menjadi behavioral loyalty dan attitudinal loyalty. Dengan loyalitas dibagi menjadi behavioral dan attitudinal, loyalitas dapat dijelaskan secara lebih mendalam, karena pembelian berulang yang sering disamakan dengan loyalitas oleh banyak orang, sesungguhnya adalah bentukan loyalitas yang palsu (Dick dan Basu, 1994). Karena itu, hipotesis berikutnya dari penelitian adalah: H3a : customer satisfaction memiliki pengaruh positif terhadap behavioral loyalty H3b : customer satisfaction memiliki pengaruh positif terhadap attitudinal loyalty Ketika konsumen melakukan serangkaian pembelian seiring waktu akan mengalami kenaikan costs atau kesulitan dalam berganti supplier, dan merasa bahwa komitmen terhadap suatu supplier sebagai hampir permanen (Yanamandram dan White, 2006). Lam et al. (2004) juga mengemukakan hal serupa, di mana ada hubungan antara customer satisfaction dengan switching costs terhadap loyalitas. Karena itu, hipotesis berikutnya dari penelitian adalah: H4 : switching costs memiliki pengaruh moderasi diantara customer satisfaction dan behavioral loyalty
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu dilakukan oleh Tsai, Tsai, dan Chang (2010) dengan judul penelitian “The effect of customer value, customer satisfaction, and switching costs on customer loyalty: An empirical study of hypermarkets in Taiwan”. Penelitian dilakukan pada konsumen hypermarket di Taiwan, karena menurut Tsai, Tsai, dan Chang (2010) persaingan hypermarket di Taiwan sangatlah ketat dan para operator bersaing menurunkan harga serendah mungkin, sedangkan karakteristik hypermarket memiliki keuntungan kotor yang rendah dan tingginya tingkat turnover, sehingga untuk mencegah kerugian para operator hypermarket perlu mengetahui mengenai apa yang menjadi value bagi konsumen sehingga bisa memuaskan konsumen dan menjaga loyalitas konsumen terhadap perusahaan.
161
Hasil studi menunjukkan bahwa customer value memiliki efek positif yang signifikan terhadap customer loyalty dan customer satisfaction. Lebih jauh lagi, customer satisfaction memiliki efek positif pada customer loyalty dan switching costs memiliki efek perantara diantara customer satisfaction dan customer loyalty. Dengan kata lain konsumen memiliki persepsi yang lebih baik atau positif terhadap nilai produk akan memberikan evaluasi yang lebih baik kepada hypermarket, meningkatkan customer satisfaction, dan loyalitas. Penelitian ini akan menggunakan dasar model penelitian oleh Tsai, Tsai, dan Chang (2010) dengan judul “The effect of customer value, customer satisfaction, and switching costs on customer loyalty: An empirical study of hypermarkets in Taiwan” dengan sedikit perubahan. Variabel customer value akan coba diganti dengan variabel perceived product quality dan perceived price fairness, dengan harapan akan memberikan hasil yang berbeda dari penelitian terdahulu. Untuk variabel customer loyalty pada penelitian ini akan coba dibagi menjadi dua yaitu attitudinal loyalty dan behavioral loyalty, sejalan dengan pendapat Day (1969) dan Lutz dan Winn (1974) sebagaimana dikutip oleh Dick dan Basu (1994) yang mengemukakan bahwa loyalitas dapat dibagi menjadi dua measures yaitu attitudinal dan behavioral. Karena diduga dengan dua jenis loyalitas mungkin akan ditemukan hasil yang berbeda dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka model penelitian ini dikembangkan menjadi:
Gambar 1 Model Penelitian
Sumber: Hasil Pengolahan (2013)
162
Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Variabel Perceived Product Quality
Definisi Konseptual Penilaian konsumen terhadap kualitas produk / jasa yang ditawarkan oleh perusahaan
Definisi Operasional 1. Mudah menemukan barang yang dibutuhkan di hypermarket ini 2. Variasi produk yang disediakan di hypermarket ini mencerminkan kualitas produk yang baik
Sumber Yieh, Chiao, dan Chiu (2007) Wang, Lo, dan Hui (2003)
3. Jumlah produk yang disediakan di hypermarket ini mencukupi kebutuhan 4. Berdasarkan pengalaman secara keseluruhan produk yang dijual di hypermarket ini baik Perceived Price Fairness
Penilaian konsumen terhadap harga produk/jasa yang ditawarkan perusahaan
1. Membayar harga yang sesuai dengan produk di hypermarket ini
Customer Satisfaction
Evaluasi secara keseluruhan terhadap penawaran yang dilakukan
1. Sepenuhnya puas dengan hypermarket ini
2. Kebijakan harga di hypermarket ini layak 3. Kebijakan harga di hypermarket ini dapat terjangkau
2. Hypermarket ini selalu memenuhi harapan 3. Pengalaman dengan hypermarket ini sangat baik
MartinConsuegra, Molina, dan Esteban (2007)
Tsai, Tsai, dan Chang (2010) Hennig-Thurau (2004)
4. Sejauh ini, hypermarket ini tidak pernah mengecewakan Switching Costs
Pengorbanan atau beban yang konsumen rasa akan mereka alami dengan berpindah dari satu penyedia layanan ke penyedia layanan lain
1. Memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar untuk mencari alternatif hypermarket lain 2. Akan merasa kehilangan dengan suasana belanja di hypermarket ini, jika berbelanja di hypermarket lain
Jones, Reynolds, Mothersbaugh, dan Beatty (2007)
3. Tidak yakin bahwa hypermarket lain akan memberikan layanan yang lebih baik dari hypermarket ini
Yen, YS. (2010)
Taylor, Celuch, Goodwin (2004)
Behavioral Loyalty
Konsumen menunjukkan perilaku terhadap produk/perusahaan sebagai bentuk loyalitas mereka
1. Akan terus berbelanja di hypermarket ini
Attitudinal Loyalty
Konsumen menunjukkan sikap positif terhadap produk, yang akan memiliki efek positif terhadap keuntungan
1. Akan berbelanja di hypermarket ini, karena hypermarket ini merupakan pilihan terbaik
2. Tidak akan berpindah ke hypermarket lain, bahkan jika mengalami permasalahan dengan hypermarket ini 3. Di masa depan akan tetap berbelanja di hypermarket ini
2. Menganggap sebagai konsumen yang loyal terhadap hypermarket ini 3. Mempunyai komitmen terhadap hypermarket ini 4. Di masa datang akan rela membayar lebih mahal di hypermarket ini 5. Hypermarket ini merupakan pilihan utama ketika berbelanja
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
163
Taylor, Celuch, Goodwin (2004)
Sampling Method Penelitian ini akan menggunakan non-probability sampling dengan tipe convenience sampling. Responden merupakan para pengunjung hypermarket di daerah Jakarta yang bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan kuesioner. Data penelitian akan dikumpulkan dengan cara menyebarkan kuesioner secara langsung. Jumlah responden atau sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 orang.
Profil Responden Pengumpulan data menghasilkan 200 sampel yang valid untuk digunakan dalam analisis. Profil responden terbagi atas beberapa kategori seperti pada tabel berikut: Tabel 2 Profil Responden Penelitian Karakter Demografis
Kategori
Gender
Pria
33%
Wanita
67%
SD/SMP/SMU D3
11% 14%
S1/D4
59%
S2
13%
S3
3%
Karyawan Swasta Pegawai Negeri TNI/POLRI Pengusaha Ibu Rumah Tangga
57% 3% 2% 21% 14%
Lainnya
3%
< 1.000.000 1.000.000 - 3.000.000 3.000.001 - 6.000.000 6.000.001 - 9.000.000
2% 9% 48% 18%
9.000.001 -12.000.000 >12.000.000 1-2 kunjungan 3-4 kunjungan
10% 13% 9% 43%
4-5kunjungan 6-7 kunjungan > 7 kunjungan
35% 8% 5%
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan per Bulan (dalam Rupiah)
Frekuensi Kunjungan per bulan
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
164
Persentase
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jumlah responden berdasarkan gender mayoritas adalah wanita, yaitu sebanyak 67% atau 114 orang. Untuk tingkat pendidikan sebanyak 59% atau 101 orang berpendidikan S1 atau sarjana strata satu. Sedangkan untuk jenis pekerjaan, responden yang berprofesi sebagai karyawan swasta sebanyak 57% atau 97 orang. Untuk tingkat pendapatan, responden yang memiliki pendapatan Rp. 3.000.001 – Rp. 6.000.000 sebanyak 48% atau 82 orang. Berdasarkan jumlah frekuensi kunjungan per bulan, 3-4 kunjungan per bulan memiliki responden sebanyak 43% atau 73 orang.
Hasil Uji Penelitian Uji Validitas Menurut Rigdon dan Ferguson (1991) dan Doll, Xia, dan Torkzadeh (1994), suatu variabel mempunyai validitas yang baik terhadap variabel latennya, jika: Nilai t muatan faktornya lebih besar dari nilai kritis ( ≥1,96 atau ≥ 2); α = 0,05; muatan faktor standarnya (standardized factor loadings) lebih besar atau sama dengan 0,70. Namun, Igbaria et al. (1997) menyatakan nilai muatan faktor standar lebih besar atau sama dengan 0,50 menunjukkan validitas yang baik dari sebuah variabel pengukur terhadap variabel latennya (Hair et al., 2010). Hasil pengolahan data model penelitian baik nilai t atau standardized factor loadings menghasilkan nilai yang masuk ke dalam kategori valid.
Uji Reliabilitas Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi dari variabel – variabel pengukur dari suatu variabel laten. Hair et al. (2010) menyatakan dalam prosedur SEM, uji reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan: 165
a. Composite / Construct Reliability Measure; dengan nilai baik ≥ 0,70 Construct Reliability = b. Variance Extracted Measure; dengan nilai baik ≥ 0,50 Variance Extracted = Berdasarkan perhitung berikut adalah hasil perhitungan construct reliability dan variance extratcted dari tiap – tiap variabel: Tabel 3 Hasil Perhitungan CR dan VE Variabel
PQ PF CS SC BL AL
Construct Reliability
Variance Extracted
0,59 0,87 0,84 0,79 0,79 0,65
0,33 0,71 0,59 0,56 0,55 0,29
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
Dari Tabel 4 dapat dilihat nilai perolehan construct reliability dan variance extracted dari variabel PF, CS, SC, BL termasuk dalam kategori nilai baik, sedangkan untuk konstruk PQ dan AL termasuk kedalam kategori nilai marginal. Berdasarkan hal tersebut, maka variabel dalam penelitian ini cukup reliable.
Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis - CFA) Dalam model pengukuran, dilihat nilai factor loading atau lamda yang diperoleh. Nilai factor loading yang dipersyaratkan harus mencapai = 0,50 (Hair et al., 2010). Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori disimpulkan variabel-variabel teramati telah mencapai nilai lamda lebih besar dari 0,50. Hasil analisis faktor konfirmatori tersebut tertera pada Tabel 5 berikut ini. 166
Tabel 4 Hasil Analisis Faktor Konfirmatori Standardize Regression Weight
Path
T-Values
Perceived_Product_Quality Perceived_Product_Quality Perceived_Product_Quality Perceived_Product_Quality
---> ---> ---> --->
PQ1 PQ2 PQ3 PQ4
0,502 0,344 0,833 0,521
4,179 3,565 5,488
Perceived_Price_Fairness Perceived_Price_Fairness Perceived_Price_Fairness
---> ---> --->
PF1 PF2 PF3
0,794 0,779 0,941
13,159 12,768
Customer_Satisfaction Customer_Satisfaction Customer_Satisfaction Customer_Satisfaction
---> ---> ---> --->
CS1 CS2 CS3 CS4
0,955 0,568 0,883 0,546
7,904 5,961 7,731
Behavioral_Loyalty Behavioral_Loyalty Behavioral_Loyalty
---> ---> --->
BL1 BL2 BL3
0,823 0,810 0,832
10,942 11,143
Attitudinal_Loyalty Attitudinal_Loyalty Attitudinal_Loyalty Attitudinal_Loyalty Attitudinal_Loyalty
---> ---> ---> ---> --->
AL1 AL2 AL3 AL4 AL5
0,338 0,652 0,730 0,414 0,460
3,526 3,554 3,056 3,191
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
Tingkat kekuatan dimensi dalam membentuk faktor latennya dapat dianalisis melalui regression weight dengan dilihat dari nilai critical ratio atau t-values. Tvalues di atas 1,96 untuk tingkat kepercayaan penelitian sebesar 95% menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (Hair et al., 2010). Tabel 4 di atas menunjukkan hasil analisis faktor konfirmatori valid karena nilai kritis setiap variabel di atas 1,96. Dari hasil analisis, diperoleh indeks kesesuaian untuk mengukur kesesuaian model Indeks uji kesesuaian model diantaranya Normed chi-square atau CMIN/DF merupakan 167
salah satu indikator untuk mengukur tingkat fit suatu model, yakni dengan membagi chisquare dengan DF. Normed chi-square senilai 178,56 menunjukkan terdapat kesesuaian antara model dan data. Nilai RMSEA yang diperoleh yakni sebesar 0,046 menunjukkan parameter-parameter yang diestimasi oleh model hipotesis sesuai dengan parameterparameter yang diestimasi dalam populasi. Sedangkan GFI sebesar 0,90 dan AGFI senilai 0,85 menunjukkan model memiliki kesesuaian yang cukup baik, di mana terdapat kesesuaian marginal (marginal fit) antara model dengan teknik statistik yang digunakan. Model struktural digunakan untuk menggambarkan hubungan antar variabel laten. Hasil estimasi penelitian ini akan menunjukkan besarnya hubungan antara variabel eksogen dan variabel endogen. Gambar 3 berikut menunjukkan hasil estimasi yang diperoleh dalam analisis model struktural. Gambar 2 Path Diagram dengan indikator masing-masing variabel
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
168
Dari path diagram pada gambar 3 dapat dijelaskan hubungan antar variabel – variabel penelitian sebagai berikut. Variabel customer satisfaction ternyata tidak memiliki pengaruh terhadap variabel behavioral loyalty, namun variabel customer satisfaction memiliki pengaruh sangat kecil, yang tidak signifikan terhadap variabel attitudinal loyalty. Selanjutnya, dari gambar 3 dapat dijelaskan bahwa variabel perceived product quality dan perceived price fairness memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap customer satisfaction, namun perceived price fairness memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap customer satisfaction, daripada pengaruh perceived product quality terhadap customer satisfaction. Setelah dilakukan uji kesesuaian model dan model dapat diterima, maka dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang telah disusun sebelumnya. Hasil pengujian hipotesis dinyatakan dalam tabel 5 berikut. Tabel 6 Hubungan Struktural Model Pengukuran S
Hipotesis
Path
Standardize Regression Weight
Tvalues
Analisis terhadap Hipotesis
H1
Perceived Product Quality-> Customer Satisfaction
0,387
3,758
Data Mendukung
H2
Perceived Price Fairness -> Customer Satisfaction
0,529
5,527
Data Mendukung
H3a
Customer Satisfaction -> Behavioral Loyalty
0,002
0,027
Data Tidak Didukung
H3b
Customer Satisfaction -> Attitudinal Loyalty
0,328
2,549
Data Tidak Didukung
H4
CusSat_SwCosts-> Behavioral Loyalty
0,003
4,555
Data Mendukung
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
169
Pengujian hipotesis dilakukan berdasarkan nilai batas kritis atau T-values. Nilai Tvalues menunjukkan nilai uji statistik terhadap hubungan yang diestimasi. Supaya hipotesis nol dapat ditolak, maka berdasarkan tingkat signifikansi 0,05 atau pada tingkat kepercayaan 95%, nilai uji statistik akan signifikan jika nilai T-values diatas 1,96. Hasil tersebut dapat dijelaskan melalui gambar 4 berikut ini. Gambar 3 Hasil Pengujian Hipotesis
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka berikut adalah pembahasan hasil pengujian hipotesis penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan fakta menarik, bahwa customer satisfaction tidak memiliki pengaruh positif terhadap behavioral loyalty dan attitudinal loyalty. Koefisien sebesar 0,002 dan tidak signifikan (0,979; signifikan pada 0,05) diantara customer satisfaction dan behavioral loyalty menunjukkan 170
tidak adanya pengaruh positif customer satisfaction terhadap behavioral loyalty, dan hal ini sekaligus tidak mendukung hipotesis 3a yang menduga adanya pengaruh positif customer satisfaction terhadap behavioral loyalty. Variabel customer satisfaction memiliki empat indikator, dengan indikator CS1 dan CS3 paling mempengaruhi. Indikator CS1 adalah “sepenuhnya puas dengan hypermarket ini”, sedangkan CS3 adalah “pengalaman dengan hypermarket ini sangat baik”. Dari sini dapat dikatakan bahwa konsumen yang puas sepenuhnya dan pengalaman baik yang dialami konsumen selama berbelanja membentuk customer satisfaction. Variabel behavioral loyalty memiliki tiga indikator, dengan indikator BL3 (di masa depan akan tetap berbelanja di hypermarket ini) dan BL1 (akan terus berbelanja di hypermarket ini) adalah indikator yang paling berpengaruh terhadap variabel behavioral loyalty dalam penelitian ini. Indikator “di masa depan akan tetap berbelanja di hypermarket ini” dapat dikatakan terlalu umum dan kurang spesifik bagi responden untuk menggambarkan loyalitas mereka di masa depan. Indikator “akan terus berbelanja di hypermarket ini” juga dapat dianggap responden terlalu umum untuk menggambarkan loyalitas mereka, sehingga jawaban yang diberikan kurang mencerminkan loyalitas sesungguhnya. Hipotesa 3a yang tidak didukung mungkin dikarenakan kedua indikator ini, walaupun telah dilakukan uji validitas terhadap indikator – indikator penelitian, namun indikator ini dapat menjadi salah satu sebab tidak didukungnya H3a. Koefisien sebesar 0,328 dan tidak signifikan (0,011; signifikan pada 0,05) ditemukan diantara customer satisfaction dan attitudinal loyalty hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh positif customer satisfaction terhadap attitudinal loyalty, sehingga
171
hipotesis 3b, yang menduga adanya pengaruh positif customer satisfaction terhadap attitudinal loyalty tidak didukung oleh hasil dari penelitian ini. Variabel attitudinal loyalty memiliki lima indikator, dengan indikator AL3 (mempunyai komitmen terhadap hypermarket ini) dan AL2 (menganggap diri sebagai konsumen yang loyal terhadap hypermarket ini) merupakan indikator yang paling mempengaruhi variabel attitudinal loyalty dalam penelitian ini. Indikator “mempunyai komitmen terhadap hypermarket ini” dan “menganggap diri sebagai konsumen yang loyal terhadap hypermarket ini” dapat menjadi penyebab tidak didukungnya hipotesa 3b penelitian ini. Indikator mengenai komitmen dapat dirasa oleh responden sebagai bentuk loyalitas yang melampaui “keinginan” konsumen, atau dapat dikatakan kata “komitmen” terlalu berat untuk loyalitas konsumen hypermarket, mengingat industri retail hypermarket yang low involvement. Indikator anggapan diri sebagai konsumen yang loyal juga dapat dirasa oleh konsumen sebagai pernyataan yang kurang sesuai, karena pada kenyataannya konsumen pasti pernah berbelanja di beberapa hypermarket yang berbeda dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, atau berbelanja di minimarket di dekat rumah untuk kebutuhan yang tiba – tiba atau tidak terencana. Penelitian ini menemukan adanya pengaruh moderasi switching costs, walaupun kecil antara customer satisfaction dan behavioral loyalty dengan nilai koefisien sebesar 0,003. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lam et al. (2004), dimana mereka mengatakan bahwa ada hubungan diantara customer satisfaction dan switching costs dengan loyalitas. Variabel switching costs memiliki tiga indikator, dengan indikator yang paling berpengaruh adalah SC2 (akan merasa kehilangan dengan suasana berbelanja di 172
hypermarket ini, jika berpindah ke hypermarket lain) dan SC3 (tidak yakin hypermarket lain akan memberi layanan yang lebih baik dari hypermarket ini). Dari loading factor yang dimiliki indikator–indikator switching costs dapat dikatakan bahwa terkait dengan switching costs konsumen merasa suasana berbelanja merupakan “hambatan” untuk berpindah ke hypermarket lain. Terkait suasana berbelanja konsumen mungkin merasa nyaman dengan mengetahui letak produk–produk yang ditawarkan, suhu udara, pencahayaan, kebisingan, aroma ruangan hypermarket, dan elemen–elemen lingkungan retail lainnya. Perihal keyakinan konsumen akan kemiripan layanan yang diberikan diantara hypermarket juga mempengaruhi “hambatan” berpindah konsumen ke hypermarket lain. Terkait dengan variabel perceived product quality hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Yieh, Chiao, dan Chiu (2007) yang menemukan bahwa product quality memiliki pengaruh positif terhadap customer satisfaction. Koefisien dari perceived product quality adalah sebesar 0,387. Dari sini dapat dikatakan bahwa kualitas produk yang dijual di hypermarket mempengaruhi kepuasan konsumen, karena konsumen memperhatikan kualitas produk. Variabel perceived product quality memiliki empat indikator dengan indikator PQ3 (jumlah produk yang disediakan di hypermarket ini mencukupi kebutuhan), PQ4 (berdasarkan pengalaman secara keseluruhan produk yang dijual di hypermarket ini baik), dan PQ1 (mudah menemukan barang yang dibutuhkan di hypermarket ini) adalah indikator yang paling mempengaruhi perceived product quality. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsumen menilai kualitas produk yang dijual di hypermarket berdasarkan jumlah yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Jumlah produk mempengaruhi pandangan konsumen akan kualitas produk yang dijual di hypermarket. Selain jumlah 173
produk yang disediakan, konsumen menilai kualitas produk hypermarket dari penempatan produk–produk di hypermarket dianggap konsumen sebagai kualitas produk di hypermarket. Hasil penelitian ini menemukan bahwa perceived price fairness atau perihal harga produk yang konsumen beli merupakan variabel yang paling kuat mempengaruhi customer satisfaction, dengan koefisien sebesar 0,529. Variabel perceived price fairness memiliki tiga indikator dengan PF3 (kebijakan harga di hypermarket ini dapat terjangkau), dan PF1 (membayar harga yang sesuai dengan produk di hypermarket ini) adalah indikator yang paling mempengaruhi perceived price fairness. Dengan kata lain, konsumen melihat fair tidaknya suatu harga produk berdasarkan kemampuan mereka terhadap kebijakan harga yang diterapkan di hypermarket dan kesesuaian harga tersebut dengan produk yang mereka beli.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas dan penjelasan didukung atau tidak didukungnya hipotesis–hipotesis pada penelitian ini, maka dapat dijelaskan bahwa perceived product quality yang dirasa konsumen mempengaruhi customer satisfaction, dan perceived price fairness yang dirasa konsumen juga mempengaruhi customer satisfaction. Namun perceived price fairness yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap customer satisfaction. Selanjutnya, loyalitas sulit didapatkan dari konsumen hypermarket, walaupun mereka sudah puas. Namun kualitas produk yang baik dan harga yang wajar merupakan pertimbangan konsumen dalam berbelanja, dan switching costs memoderasi hubungan customer satisfaction dengan behavioral loyalty. 174
Secara menyeluruh dapat disimpulkan bahwa customer satisfaction dibentuk dari perceived product quality dan perceived price fairness, namun customer satisfaction tidak membentuk behavioral loyalty dan attitudinal loyalty, serta switching costs memoderasi hubungan customer satisfaction dan behavioral loyalty.
Implikasi Manajerial dan Saran Penelitian Mendatang Berdasarkan hasil penelitian, maka dinyatakan beberapa implikasi manajerial dari penelitian ini. Pertama, pihak operator hypermarket harus memperhatikan perihal harga yang mereka terapkan terhadap produk–produk yang dijual. Konsumen sangat peka terhadap kewajaran harga dari produk yang mereka beli, hal ini terlihat dari paling besarnya pengaruh perceived price fairness dalam penelitian ini. Kedua, variabel perceived product quality merupakan variabel yang berpengaruh lainnya dalam menciptakan customer satisfaction, karenanya pihak operator hypermarket kiranya mempertimbangkan lokasi tempat suatu produk diletakkan di dalam hypermarket, dan jumlah masing-masing jenis produk yang dijual. Karena menurut konsumen kualitas produk di hypermarket adalah jumlah yang disediakan mencukupi kebutuhan konsumen dan juga penempatan produk yang mudah ditemukan oleh konsumen. Ketiga, customer satisfaction tidak menghasilkan loyalitas baik behavioral loyalty maupun attitudinal loyalty, dengan kata lain sulit mendapatkan loyalitas konsumen hypermarket di Jakarta. Penelitian ini menemukan variabel switching costs memiliki sedikit pengaruh positif dalam hubungan customer satisfaction dan behavioral loyalty. Maka operator hypermarket dapat mencoba meningkatkan rasa enggan konsumen berpindah
175
tempat belanja, sehingga konsumen merasakan switching costs yang meningkat dan mengurungkan niatnya berpindah ke kompetitor. Walaupun penelitian ini telah memberi masukan dan temuan baru, namun masih ada kekurangan, karena itu penelitian selanjutnya kiranya dapat memperbaiki kekurangan yang ada. Oleh karena itu saran bagi penelitian selanjutnya di antaranya: 1. penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel perceived service quality sebagai variabel bebas yang berpengaruh terhadap customer satisfaction, bersamaan dengan perceived product quality, dan perceived price fairness. 2. Penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel–variabel moderasi seperti ikatan sosial, ketahanan pribadi di antara customer satisfaction dan behavioral loyalty serta attitudinal loyalty. Dalam hal demografis, penelitian selanjutnya dapat mengambil sampel dari konsumen salah satu operator hypermarket saja, atau diambil di kota selain Jakarta, karena mungkin akan ditemukan hasil yang berbeda.
176
Daftar Pustaka
Anderson, E.W., Fornell, C., dan Lehmann, D. R. (1994). Customer satisfaction, market share, and profitability: findings from Sweden. Journal of Marketing, 58(July), 5366. Bolton, N. L., dan Lemon, K. N. (1999). A dynamic model of customers’ usage of services: Usage as an antecedent and consequence of satisfaction. Journal of Marketing Research, 36 (May), 171–86. Bowen, J. T., dan Chen, S. L. (2001). The relationship between customer loyalty and customer satisfaction. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 13 (5), 213-7. Chen, Y. C., Shen, Y. C., dan Liao, S. (2009). An integrated model of customer loyalty: An empirical examination in retailing practice. The Service Industries Journal, 29 (3), 267-80. Consuegra D.M., Molina, A., Esteban, A. (2007). Relational benefits and customer satisfaction in retail banking. International Journal of Bank Marketing, 25 (4), 253–71. Daskalopoulou, I., dan Petrou, A. (2006). Consumers' expenditures and perceived price fairness. International Journal of Social Economics, 33 (11), 766 – 780. Dick, A. S., dan Basu, K. (1994). Customer loyalty: Toward an integrated conceptual framework. Journal of the Academy of Marketing Science, 22 (2), 99-114. Dimitriades, Z. S. (2006). Customer satisfaction, loyalty and commitment in service organizations – Some evidence from Greece. Management Research News, 29(12): 782-800. Doll, W.J., Xia, W., dan Torkzadeh, G. (1994). A Confirmatory Factor Analysis of the EndUser Computing Satisfaction Instrument. MIS Quarterly, 18(4), 453-61. Gustafsson, A., Johnson, M. D., dan Roos, I. (2005). The effects of customer satisfaction, relationship commitment dimensions, and triggers on customer retention. Journal of Marketing. 69(4), 210-8. Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., dan Anderson, A. E. (2010). Multivariate Data Analysis. Pearson Higher Education. 177
Hennig-Thurau, T. (2004). Customer orientation of service employees: Its impact on customer satisfaction, commitment, and retention. International Journal of Service Industry Management, 15 (5), 460-78. Herrmann, A., Xia, L, Monroe, K. B., & Huber, F. (2007). The influence of price fairness on customer satisfaction: An empirical test in the context of automobile purchases. Journal of Product and Brand Management, 16(1), 49-58. Jones, M. A., Reynolds, K. E., Mothersbaugh, D. L., dan Beatty, S. E. (2007). The Positive and Negative Effects of Switching Costs on Relational Outcomes. Journal of Service Research, 9 (4), 335-55. Kotler, P., dan Keller, K.L (2012). Marketing Management (14th
ed.). New Jersey:
Prentice Hall. Lam, Y. S., Shankar, V., Erramili, M. K., dan Murthy, B. (2004). Customer value, satisfaction, loyalty, and switching costs: An illustration from a business-tobusiness service context. Journal of the Academy of Marketing Science, 32(3), 293311. Levy, M. dan Weitz, B. A. (2011). Retailing Management (8th ed.). McGraw-Hill Liang, C. J., dan Chen, H. J. (2009). A Study of the Impacts of website quality on Customer Relationship Management. Total Quality Management & Business Excellence. 20 (9), 971-88. Lutz, R. J. and Winn, P. R. (1974). Developing a Bayesian Measure of Brand Loyalty: A Preliminary Report. American Marketing Association. 104-8. Mittal, V., dan Kamakura, W. (2001). Satisfaction, repurchase intent, and repurchase behavior: Investigating the moderating effects of customer characteristics. Journal of Marketing Research, 38 (February), 131–42. Molina, A., Consuegra, D. M., dan Esteban, A. (2007). Relational benefits and customer satisfaction in retail banking, International Journal of Bank Marketing, 25(4), 253 – 271. Oliver, R. L. (1999). Whence consumer loyalty. Journal of Marketing, 63(Special Issue), 33-44. Reichheld, F. F., dan Sasser, W. E. Jr. (1990). Zero defection: Quality comes to services. Harvard Business Review, 68 (5), 105-11. 178
Rigdon, E.E. dan Ferguson, C.E. (1991). The Performance of Polychoric Correlation Coefficient and Selected Fitting Functions in Confirmatory Factor Analysis with Ordinal Data. Journal of Marketing Research, 28 (4), 491-7. Schiffman L. G., Kanuk, L. L., dan Wisenblit, J. (2009). Consumer Behavior (10 ed. International). Prentice Hall International. Srinivasan, S. S., Anderson, R., dan Ponnavolu, K. (2002). Customer loyalty in ecommerce: An exploration of its antecedents and consequences. Journal of Retailing, 78, 41-50. Taylor, S. A., Celuch, K, dan Goodwin, S. (2004). The importance of brand equity to customer loyalty. Journal of Product and Brand Management, 13 (4), 217-27. TePeci, M. (1999). Increasing brand loyalty in the hospitality industry. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 11 (5), 223-9. Tsai, M. T., Tsai C. L., dan Chang, H. C. (2010). The effect of customer value, customer satisfaction, and switching costs on customer loyalty: An empirical study of hypermarkets in taiwan. Social Behavior and Personality, 38 (6), 729-40. Varki, S., dan Colgate, M. (2001). The role of price perceptions in an integrated model of behavioral intentions. Journal of Service Research, 3(3), 232-40. Wang, Y., Lo, H-P., dan Hui, Y. V. (2003). The antecedents of service quality and product quality and their influences on bank reputation: Evidence from the banking industry in china. Managing Service Quality, 13 (1), 72-83. Yanamandram, V., dan White, L. (2006). Switching barriers in business-to-business services: A qualitative study. International Journal of Service Industry Management, 17 (2), 158-92. Yen, Y. S. (2010). Can perceived risks affect the relationship of switching costs and customer loyalty in e-commerce. Internet Research, 20 (2), 210-24. Yieh, K., Ciao, Y. C., dan Chiu, Y. K. (2007). Understanding the antecedents to customer loyalty by applying structural equation modeling. Total Quality Management. 18(3), 267-84.
179