Ratna Yudha
IN HER SHOES
IN HER SHOES Oleh: Ratna Yudha Copyright © 2014 by Ratna Yudha
Desain Sampul: Elly Herma Guistha Ratna Yudha
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih:
Allah SWT yang telah begitu banyak memberi keajaiban dalam setiap helaan napas My super – gorjess - ohwesome man : Mr. Muhandoko *kiss* My beloved parents and family Pihak – pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, mulai dari penggalian ide hingga saran dan desain cover The Girls : Gwen, Prilly, dan Phia atas kerjasamanya yang baik dalam penulisan novel ini. You rock it babes! The Boys : Marco, Alvin, Mahendra Datta, dan juga Arsen yang telah menjalankan perannya dengan sungguh – sungguh. Great job! Many thanks for all of you, who read and love this book, merci beaucoup ☺
3
Kau mau cincin seperti apa untuk pertunangan kita nanti ? Tiffany’s ? Baiklah, aku akan mengaturnya untukmu Atau mungkin … diawali dulu dengan cincin kuno warisan dari ibuku ? *** Kata orang, ujung kuku adalah bagian tubuh manusia yang tidak terhubung oleh sistem neuron. Dan tak akan pernah bisa merasakan sensasi. Apa pun itu. Tapi entah kenapa. Kehangatan yang ditawarkannya kali ini, berpangkal dari ujung kuku, lalu berujung di sudut hati ? *** Lain kali, jangan pernah membiarkan kekasihmu menunggu sepanjang malam seperti ini hanya demi pria itu. Pria yang kau sebut hanya seorang sahabat *** Cinta pada pandangan pertama ? Aku bahkan mencintaimu pada pandangan kedua, ketiga, keseratus, keseribu. Bahkan ketika kau tak sanggup lagi menyebutkan jumlah bilangannya pun, aku tetap hanya akan mencintaimu 4
Prolog Cinderella, dongeng tentang sepatu kaca Anak gadis memujanya : Sepatu kaca Cinderella Ketika para orang tua menidurkan gadis kecil mereka, membiarkan meringkuk nyaman dalam selimut hangat. Maka dongeng dilantunkan.
abadi
pengantar
tidur
pun
Sepatu kaca Cinderella. Sepatu yang indah. Sepatu impian. Dan sepatu kaca Cinderella pun merasuk ke dalam dunia mimpi. Menyusup lembut ke aliran neuron.
5
Saat sang gadis kecil beranjak dewasa, Dongeng pun berubah menjadi mimpi buruk. Sang gadis tak lagi mengingkan sepatu yang lain. Ia hanya menginginkan Sepatu Kaca Cinderella. Tanpa pernah tahu, pecahan kacanya yang tajam mampu melukai kakinya
6
Satu Matahari sedang bersinar terlalu cerah ketika tiga orang wanita muda berusia akhir dua puluhan duduk dengan anggun di sebuah coffe shop bergaya vintage. Mereka memilih duduk melingkar di sebuah meja bundar di sudut ruangan. Sinar matahari yang terik terhalang oleh sebuah gorden warna coklat muda dengan detail rampel yang dipasang pada jendela kaca berukuran lebar. Udara yang mengalir melalui mesin pendingin ruangan membuat mereka semakin betah berlama – lama duduk mengobrol sembari menikmati pesanan. Terdengar obrolan ringan yang ribut seperti benang kusut khas wanita. Mulai dari merk make up yang sanggup mencerahkan wajah dalam sekejap, gosip para artis yang sedang terlibat berbagai skandal, baju model terbaru, hingga membahas tentang kisah cinta mereka sendiri. Tentunya dengan bumbu yang lebih sedap dibandingkan realita yang ada. Dikemas semenarik mungkin. Soal kebenaran isinya, nanti dulu. Nikmati saja kemewahan bungkusnya. Salah satu diantaranya , seorang wanita dengan gaya rambut pendek yang disemir warna coklat sedang antusias menceritakan koleksi kosmetik terbaru miliknya. Ia bernama Gwen. Wajahnya cerah mulus dipulas produk kosmetik keluaran terbaru. Sesekali ia tertawa lepas. Memamerkan deretan giginya yang rapi hasil 7
perawatan dentist terkemuka. Soal penampilan, jangan ditanya. Ia bak sosialita level pemula. Tas dan bajunya mengikuti tren mode terbaru. Potongan rambut bob nungging-nya pun terinspirasi oleh gaya Victoria Beckham. Kali ini, baju yang dikenakannya adalah terusan model A – line dengan potongan lekukan memeluk tubuh. Panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Ia duduk menyilang memamerkan kaki jenjangnya yang dibalut stiletto warna hitam. Pendek kata, Gwen adalah cerminan wanita muda trendi dan modis masa kini. Yang bernama Prilly, duduk tepat di sebelah Gwen. Penampilannya sedikit konvensional. Cenderung membosankan. Rambutnya lurus panjang dikuncir kuda. Kacamata minus tiga dengan bingkai warna kayu menghias wajahnya yang mulai dihampiri kerutan tipis di sudut mata. Menegaskan bahwa hidupnya hanya didedikasikan kepada hal hal yang memerlukan pemikiran serius. Ia mengenakan kemeja warna putih dengan kerah leher tinggi berenda dipadu blazer warna hitam. Senada dengan warna celananya. Tak ada handbag merk terkenal. Hanya sebuah tas ransel yang penuh berisi buku diktat tebal dan laptop. Semuanya dijejalkan jadi satu. Ditutup dengan resleting yang harus ditarik dengan sekuat tenaga. Agar buku setebal batu bata miliknya tidak genit mengintip ke luar, Phia duduk di sebelah Prilly. Penampilannya selalu mencolok. Ia mengenakan dress bahan satin selutut warna peach, bermotif bunga kesukaannya. 8
Dipadu dengan jaket denim warna merah jambu. Beragam aksesoris seperti gelang dan kalung model lucu khas wanita melekat di tubuhnya. Tidak heran, banyak orang yang menyarankan ia harus mempekerjakan seorang fahsion stylist. Meskipun tubuhnya mungil dan masih terlihat seperti anak baru gede, tapi mengingat usianya yang sudah menginjak angka dua puluh delapan, kurang pas rasanya jika ia selalu berdandan full color layaknya remaja putri. Rambut hitam ikalnya dibiarkan tergerai sebahu. Ia hanya membawa handbag model vintage berwarna pastel. Sekilas, Phia adalah sosok wanita muda feminin. " Ah, aku baru saja mencoba lipstik warna merah menyala. Tak kusangka aku sedikit tidak percaya diri saat memakainya," Gwen berkata antusias. Lidahnya menyapu bibir atas dan bawahnya secara bergantian. Seolah menunjukkan : ini lho lipstik baruku. " Ah, kau terlihat cocok saja memakai lipstik warna apapun ," Prilly menggeleng. Berusaha mematahkan rasa tidak percaya diri sahabatnya. Meski menurut analisisnya, wanita muda dengan rasa percaya diri tinggi melebihi ambang batas seperti Gwen, pastilah hanya berpura - pura dengan kalimat antiklimaks tersebut. " Kau cocok pakai lipstik itu. Kalau aku sih, big no no ," Phia angkat bicara. Telunjuknya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sebuah kode fisik universal untuk berkata ‘tidak’. 9
" Oh, ya? Serius aku terlihat oke dengan lipstik ini ?" Gwen mengaduk isi tasnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak berbentuk oval. Membuka penutupnya. Lalu dengan penuh semangat ia mematut wajahnya di depan cermin mini yang terpasang di kotak bedak padat tersebut. Gwen tersenyum senang. Penampilannya kali ini dipuji oleh kedua sahabatnya. Bukan hal yang mengejutkan. Karena diantara mereka bertiga, hanya Gwen lah satu - satunya pengikut fanatik perkembangan mode. Sehingga merupakan hal yang biasa jika Prilly dan Phia menyanjungnya. Gwen mengamati Phia dari balik lensa kontak mata warna birunya. Seperti biasa, Phia selalu terlihat yang paling ceria. Tawanya lepas seolah tak ada beban. Wajahnya merona seolah hidûpnya dianugerahi berton - ton kebahagiaan. Sorot matanya cerah. Secerah matahari yang bersinar siang ini tanpa terhalang selembar awan pun. " Phia, dress baru ya ?", Gwen berusaha menggodanya. Phia tertawa kecil. Giginya yang mungil bak biji mentimun tampak berderet rapi. Ia menyentuh bajunya sambil menjawab riang ," Ah, Datta yang membelinya. Sebagai kado untukku." " Kado ?" dahi Prilly berkerut ," Ulang tahunmu masih lama, kan ?" " Kado hari jadian kami. " Phia menjawab bangga ," Setiap tahun, meski sudah menikah kami 10