1
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Bidan Di Pusat Kesehatan Masyarakat Dengan Tempat Bersalin (Puskesmas DTP) Kota Bandung Tahun 2013 Ratih Komala1, Robiana Modjo2 1. Peminatan Kebidanan Komunitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Abstrak Bidan berpotensi tinggi mengalami risiko gangguan otot rangka atau Musculoskeletal disorders (MSDs) karena memiliki faktor-faktor risiko untuk terjadi MSDs. Penelitian ini berdesain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan terhadap keluhan MSDs pada bidan dan melakukan analisis risiko ergonomi menggunakan metode REBA. Berdasarkan hasil penelitian, 91,7% bidan memiliki keluhan MSDs terutama di daerah leher, bahu, tangan, pergelangan tangan, punggung atas dan pergelangan kaki. Disamping itu terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologis individu (p=0,01) terhadap timbulnya keluhan MSDs pada bidan. Dari analisis risiko ergonomi menggunakan metode REBA terhadap tahapan Asuhan Persalinan Normal didapatkan hasil 2 tahapan berisiko sangat tinggi, 2 tahapan berisiko tinggi dan 2 tahapan berisiko sedang. Diharapkan adanya fasilitas relaksasi otot di tempat kerja dan pendidikan kesehatan mengenai ergonomi kepada bidan untuk mencegah MSDs, serta adanya penelitian lain yang lebih lengkap dan akurat. Kata Kunci : Bidan; Ergonomi; Musculoskeletal Disorders (MSDs) Abstract Midwives have high potential risk of musculoskeletal disorders or musculoskeletal disorders (MSDs) as having risk factors for MSDs occur This cross-sectional study design with quantitative and qualitative approaches aims to describe the factors related to MSDs complaints on midwives and ergonomic risk analysis using methods REBA. Based on the results of the study, 91.7% midwife had a MSDs complaints especially in the neck, shoulder, hand, wrist, upper back and ankle. Besides, there is a significant relationship between individual psychological factors (p = 0.01) on the incidence of MSDs complaints on midwives. From ergonomics risk analysis towards Normal Delivery Care using REBA methods, two stage were very high risk, two stage were high risk and two stage were medium. Expected that there will be held facilities for relaxation of body muscles at work and health education about ergonomics for midwives to prevent MSDs , as well as the other studies about this issue in a more accurate and complete. Keywords : Midwives, Ergonomics, Musculoskeletal Disorders
Universitas Indonesia
2
PENDAHULUAN Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) merupakan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan masyarakat di wilayahnya. Program pelayanan kesehatan minimal yang harus dilaksanakan oleh tiap Puskesmas, dikemas dalam istilah basic six, yaitu Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk KB (KIA/KB), Program Gizi, Pemberantasan Penyakit Menular, dan Pengobatan (DepKes, 2002). Bidan berperan sebagai ujung tombak pelayanan KIA/KB di Puskesmas. Salah satu indikator keberhasilan pelayanan KIA adalah cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Linakes). Cakupan linakes bertujuan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang menjadi indikator penting derajat kesehatan masyarakat. Sensitivitas AKI terhadap perbaikan pelayanan kesehatan menjadikannya indikator keberhasilan pembangunan kesehatan (Profil Kesehatan Indonesia, 2010). Masih tingginya AKI yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 34/1000 kelahiran hidup (SDKI 2007), menjadikan program KIA/KB menjadi program prioritas dalam pembangunan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan cakupan linakes, yaitu dengan pembangunan pondok bersalin di desa (Polindes) dan Puskesmas dengan tempat persalinan (Puskesmas DTP) di daerah perkotaan. Ergonomi adalah ilmu interdisiplin yang mempelajari interaksi manusia (pekerja) dengan objek yang dia gunakan dalam pekerjaannya (Pulat, 1992). Beberapa efek kesehatan yang banyak terjadi disebabkan pekerjaan yang dilakukan masih tidak memperhatikan prinsip ergonomi. Pekerjaan tersebut antara lain manual material handling, postur janggal saat bekerja dalam jangka waktu yang lama serta intensitas yang sering. Masalah kesehatan yang sering dikeluhkan pekerja yang bekerja secara manual (manual material handling) adalah gangguan pada sistem otot rangka (musculoskeletal disorders/MSDs). Petugas kesehatan menempati urutan tertinggi dalam keluhan MSDs berupa Upper Limb Disorders (HSE, 2011). Terjadinya MSDs akibat pekerjaan terhadap petugas kesehatan berdampak sangat vital di bidang industri kesehatan. Beberapa dampak tersebut seperti menjadi kurang produktif, kurang perhatian terhadap tugas, lebih mudah melakukan kesalahan dan mengalami kecelakaan, rawan cedera, serta berdampak pada kesehatan dan keselamatan rekan kerjanya. Bidan sebagai salah satu petugas kesehatan juga berpotensi tinggi mengalami MSDs. Saat menolong persalinan, bidan menggunakan postur tubuh yang bukan merupakan posisi
Universitas Indonesia
3
netral tubuh. Misalnya memutar posisi badan (twisted) agar posisi tangan pas menghadap jalan lahir untuk memegang kepala bayi, sementara telapak tangan kanan menahan perineum dengan kuat agar tidak teregang maksimal. Setelah bayi lahir, bidan masih harus berdiri dala jangka waktu lama saat melakukan penjahitan robekan perineum serta mengerahkan tenaga sekuatnya saat melepas plasenta secara manual atau eksplorasi cavum uteri untuk memastikan tidak ada jaringan plasenta yang tertinggal. Penelitian Suparni (2011) mengenai analisis risiko ergonomi dan keluhan MSDs pada perawat dan bidan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bandung menunjukkan bahwa bidan memiliki risiko sangat tinggi timbulnya muskuloskeletal disorders (MSDs) saat melakukan pertolongan persalinan. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan terhadap keluhan MSDs pada bidan di Puskesmas DTP Kota Bandung tahun 2013. TINJAUAN TEORITIS Tahapan Asuhan Persalinan Normal (APN) Berikut ini adalah tahapan Asuhan Persalinan Normal yang bersumber dari Jaringan Nasional Pelatihan Klinik- Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR, 2007). 1. Mengenali tanda dan gejala kala II 2. Menyiapkan pertolongan persalinan 3. Memastikan pembukaan lengkap dan keadaan janin baik 4. Menyiapkan ibu dan keluarga untuk membantu proses meneran 5. Persiapan pertolongan kelahiran bayi 6. Penanganan bayi baru lahir 7. Penatalaksanaan aktif persalinan kala III 8. Menilai perdarahan 9. Penjahitan luka vagina dan perineum 10. Melakukan prosedur pasca persalinan 11. Dokumentasi Ergonomi Ergonomi
berasal
dari
bahasa
Yunani
yaitu
ergon
(kerja)
dan
nomos
(peraturan/hukum) yang berarti aturan atau hukum yang berhubungan dengan kerja. Badan Asosiasi Ergonomi Internasional atau International Ergonomics Association (IEA) pada Agustus 2000, menyatakan bahwa ergonomi adalah disiplin ilmu yang mempelajari interaksi
Universitas Indonesia
4
antara manusia dengan elemen-elemen dalam sebuah sistem yang terkait dan profesi yang mengaplikasikan teori, prinsip, data dan metode lain dalam rangka mendesain kerja untuk mengoptimalkan kesejahteraan manusia serta kinerja sistem secara keseluruhan (Proctor & Zandt, 2008). Musculoskeletal Disorders (MSDs) Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan penyakit atau gangguan pada jaringan lunak baik berupa otot, sendi, ligament, tendon dan tulang rawan) serta pada sistem syaraf (OSHA, 2000). Dalam rentang waktu yang lama, kasus MSDs akan menjadi kronis. Kasus MSDs yang kronis dapat berakibat fatal dimana akan terjadi kerusakan yang parah dan berdampak pada disabilitas permanen dan mengurangi kemampuan kerja. Proses penyembuhan MSDs yang kronis kadang kurang efektif sehingga lebih baik untuk melakukan pencegahan (Luttman et al., 2003). Work Related MSDs (WRMSDs) didefinisikan sebagai terjadinya MSDs yang disebabkan atau diperburuk oleh kegiatan atau lingkungan kerja (Long et al, 2012). The Bone and Joint Decade Model Pengukuran keluhan MSDs berdasarkan laporan pribadi telah diakui dan digunakan secara luas untuk riset epidemiologi MSDs dan surveilens kesehatan di tempat kerja. Keluhan MSDs sekarang digunakan untuk evaluasi intervensi ergonomi, atau sebagai alat skrining dalam konteks surveilens hazard untuk mendeteksi pajanan fisik dan psikososial di tempat kerja (Stanton et al., 2005). Faktor risiko terhadap terjadinya keluhan MSDs yang didapatkan dari tempat kerja, terangkum dalam “Bone and Joint Decade Model (2010)”, yaitu : 1. Faktor individu yang terbagi menjadi: a)
Foundational factors misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, Indeks Massa Tubuh (IMT), kehadiran anak kecil (3 tahun atau kurang), tanggung jawab merawat orang tua yang tergantung pada responden.
b)
Developmental Factors yaitu: perilaku sehat (merokok, aktivitas fisik, jam tidur setiap malam); faktor pekerjaan (praktek bidan, jadwal kerja di shift, lama kerja di shift; kesehatan umum (kesehatan yang dirasakan, indeks massa tubuh dan riwayat nyeri otot).
2. Faktor pajanan di tempat kerja (workplace factors) yang meliputi: a). Faktor pajanan fisik : waktu untuk mengangkat, menarik, mendorong objek yang berat (manual handling); bekerja dengan postur janggal dan postur statis. b). Faktor pajanan psikososial meliputi: tuntutan tinggi pekerjaan, stres kerja dan rendahnya dukungan dari atasan.
Universitas Indonesia
5 Individual factors
Workplace Exposure
a. Foundational factors
a. Pajanan fisik
Coping terhadap stress di tempat kerja
Demografi
Laporan pajanan fisik di tempat kerja
Etnis b. Developmental factors
b. Pajanan Psikososial Keluhan MSDs
Perilaku sehat
Laporan pajanan psikososial di tempat kerja
Kesehatan umum, riwayat nyeri otot Pekerjaan Faktor psikososial
Gambar 1 Bone And Joint Decade Model, adapted from Long H et al, 2012
Metode Analisis Risiko Ergonomi Rapid Entire Body Assessment (REBA) REBA adalah metode yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAttamney (2000) yang telah dikenal sebagai metode untuk menganalisis risiko ergonomi dengan melihat postur tubuh pekerja, tenaga yang digunakan, beban yang diangkat, pegangan yang jadi tumpuan dan tipe dari pergerakan pekerja. Metode REBA mudah dipahami dan tidak menekankan pada ketepatan besar sudut yang dibentuk postur tubuh secara spesifik, tetapi hanya dalam bentuk rentang sudut. Nilai akhir dari REBA memberikan evaluasi indikasi level risiko dari suatu pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan (Stanton, 2005). Terdapat empat tahapan proses penilaian yang dilakukan yaitu: 1) Mengumpulkan data postur pekerja tiap kegiatan menggunakan video/foto 2) Menentukan sudut pada postur tubuh saat bekerja pada bagian tubuh. 3) Menentukan berat beban, pegangan (coupling) dan aktivitas kerja. 4) Menentukan nilai REBA untuk postur yang relevan dan menghitung skor akhir Setelah didapatkan nilai akhir REBA, lalu ditentukan level resiko dan aksi yang dilakukan. Tabel 1 Perhitungan REBA Level Aksi 0 1 2 3 4
Skor REBA 1 2-3 4-7 8-10 11-15
Level Risiko Negligible Low Medium High Very high
Aksi None necessary May be necessary Necessary Necessary Soon Necessary Now
Sumber : Stanton, et al (2004).
Universitas Indonesia
6
Nordic Body Map Kuesioner Nordic body map merupakan salah satu bentuk kuesioner checklist ergonomi untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja. Kuesioner ini paling sering digunakan karena sudah terstandarisasi dan tersusun rapi dengan menggunakan gambar tubuh manusia yang dibagi menjadi: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) m) n) o) p)
Leher Bahu Punggung bagian atas Siku Punggung bagian bawah Pergelangan tangan/tangan Pinggang pantat Lutut Tumit/kaki Punggung bagian atas Siku Punggung bagian bawah Pergelangan tangan/tangan Pinggang pantat Lutut Tumit/kaki
Gambar 2 Pembagian Tubuh Nordic Body Map METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan, mengetahui keluhan-keluhan yang terjadi sekarang serta menganalisis risiko ergonomi menggunakan metode REBA. Objek observasi dilakukan terhadap bidan
Universitas Indonesia
7
yang sedang melakukan asuhan persalinan normal langsung kepada pasien. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital untuk mengambil gambar dan video postur tubuh dan cara kerja; lembar kuesioner Nordic Body Map dan kuesioner faktor risiko keluhan MSDs. Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 1 Mei - 31 Mei 2013. Lokasi penelitian dilakukan di lima Puskesmas DTP Kota Bandung yaitu Puskesmas Garuda, Puskesmas Pagarsih, Puskesmas Padasuka, Puskesmas Kiaracondong dan Puskesmas Puter. Seluruh populasi menjadi sampel dalam penelitian ini (total populasi) yang berjumlah 60 orang. Analisis data kualitatif pada penelitian ini dilakukan untuk melihat level risiko ergonomi menggunakan metode REBA. Sementara pengolahan
data hasil kuesioner
dilakukan dengan bantuan software computer, dianalisis secara univariat dan bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Keluhan MSDs Gambar 2. Grafik Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs Pada Responden Di Puskesmas DTP Kota Bandung Tahun 2013 8% ,dak ada keluhan 92%
ada keluhan
Gambar 3. Grafik Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs Menurut Bagian Tubuh Pada Responden di Puskesmas Garuda Tahun 2013 70 70 80 66.7 70 58.3 55 53.3 53.3 51.7 51.7 51.7 60 48.3 48.3 48.3 46.7 46.7 45 41.7 50 33.3 30 30 40 30 20 10 0
ya ,dak
Universitas Indonesia
8
Keluhan tertinggi yang terjadi pada daerah leher dan punggung atas sebesar 70% dapat dihubungkan dengan karakteristik postur tubuh bidan yang tidak alamiah saat menolong persalinan. Bidan menerapkan postur membungkuk dengan sudut lebih dari 200dan berputar (twisted) serta leher menekuk dan berputar (twisted) sekitar 200 dalam jangka waktu lama dan statis. Sesuai dengan teori Bridger (1995) bahwa postur janggal dapat menyebabkan otot tidak dapat bekerja secara efisien, oleh karena itu otot memerlukan energi lebih untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan dan ketegangan pada otot dan tendon. Lebih lanjut menurut Bridger (1995), postur statis dapat menyebabkan meningkatnya tekanan pada otot. Tekanan pada otot dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya iskemik (penurunan aliran darah ke jaringan otot), yang berakibat berkurangnya asupan oksigen, meningkatnya karbondioksida dan zat sampah lainnya seperti asam laktat. Penumpukan asam laktat di otot inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan nyeri otot. Kroemer and Grandjean (1997) menyatakan bahwa postur statis dapat berupa: 1. Pada postur yang membutuhkan tenaga sangat besar selama 10 detik atau lebih, 2. Pada postur yang membutuhkan tenaga yang moderat,selama 1 menit atau lebih 3. Pada postur yang membutuhkan tenaga ringan (sekitar sepertiga dari jumlah tenaga maksimum tubuh), setidaknya 5 menit atau lebih. Keluhan tertinggi kedua dirasakan responden pada pergelangan kaki (58,3%) dan pergelangan tangan (53,3%). Hal ini dapat disebabkan postur pergelangan tangan bidan saat melakukan pertolongan kelahiran bayi adalah dengan menekan dan menahan sekuat mungkin perineum ibu untuk mencegah robekan perineum yang lebar. Sementara pergelangan kaki menopang beban tubuh yang sedang mengerahkan tenaga yang besar. Menurut NIOSH, keluhan ini disebabkan oleh adanya penekanan, seperti menggenggam yang kuat pada permukaan yang keras, dapat memusatkan pengerahan tenaga pada satu area tubuh saja, sehingga muncul keluhan nyeri dan kelelahan pada area tubuh tersebut. Analisis Hubungan Individual Factors Terhadap Keluhan MSDs Responden
Pada tabel di bawah ini disajikan analisis hubungan faktor risiko individu terhadapkeluhan MSDs pada responden. Faktor risiko individu dalam penelitian ini meliputi foundational factors dan developmental factors. Lebih lengkapnya dapat dilihat di bawah ini.
Universitas Indonesia
9
Tabel 2 Hubungan Foundational Factors Terhadap Keluhan MSDs Responden di Puskesmas DTP Kota Bandung Tahun 2013 Variabel
Keluhan Ya N %
Tidak N %
N
%
OR (95% CI)
Umur > 29 tahun
36
90
4
10
40
66,7
0,474
-
19
95
1
5
20
33,3
(0,04-4,54)
13 42
86,7 93,3
2 3
13,3 6,7
15 45
25 75
0,464 (0,07-3,08)
0,59
8 47 55
80 94 91,7
2 3 5
20 6 8,3
10 50 60
16,7 83,3
0,25 (0,03-1,77)
0,19
≤ 29 tahun
Masa Kerja > 10 tahun ≤ 10 tahun IMT Tidak normal Normal Total
Total
Pvalue
0,65
Berdasarkan analisis di atas, didapatkan informasi bahwa proporsi keluhan MSDs pada reponden dengan usia ≤ 29 tahun lebih tinggi (95%) daripada responden dengan usia > 29 tahun (90%). Hubungan antara usia dengan keluhan MSDs juga menunjukkan hubungan yang tidak signifikan, dengan p > 0,05. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Sherehiy et al (2004) dalam review gangguan musculoskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan di perawat, usia yang lebih tua dikaitkan secara bermakna dengan MSDs pada leher dan bahu. Begitu juga dengan teori Bridger (1995) yang menyatakan bahwa tendon dan jaringan otot berkurang elastisitasnya seiring usia bertambah, sehingga lebih berisiko timbulnya keluhan MSDs. Sedangkan menurut Hettinger dalam Kroemer dan Grandjean (1997), puncak kekuatan otot baik pada perempuan maupun laki-laki adalah pada rentang usia 25-35 tahun. Pada pekerja dengan rentang usia 50-60 tahun hanya dapat menghasilkan 75-85% dari kekuatan otot. Brown et al. (2007) menyatakan bahwa hingga usia awal 30an, tulang secara bertahap bertambah padat. Namun setelah usia ini, tulang mulai dirombak lebih cepat daripada penggantinya sehingga kepadatan tulang menurun. Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan, pergantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan. Keadaan ini menyebabkan stabilitas pada otot dan tulang berkurang (Mutiah et al., 2013). Pada penelitian ini didapatkan hasil yang berbeda dengan teori, mungkin dikarenakan jumlah sampel yang sedikit yaitu hanya 60 orang. Disamping itu, berdasarkan observasi dan keterangan yang didapatkan di lapangan, responden dengan usia yang lebih muda cenderung memiliki proporsi kuantitas dan frekuensi bekerja lebih banyak dibandingkan responden dengan usia yang lebih senior. Meskipun secara teori otot tubuh pada usia ≤ 29 tahun sedang
Universitas Indonesia
10
mencapai puncaknya, namun kuantitas dan frekuensi kerja yang tinggi bisa menimbulkan gangguan pada otot rangka. Sesuai dengan teori Kroemer and Grandjean (1997) bahwa apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam jangka waktu yang lama akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan inilah yang biasanya disebut sebagai musculoskeletal disorders (MSDs). Gangguan MSDs di usia yang masih muda sangat vital dampaknya terhadap kesehatan individu. Akumulasi dari keluhan-keluhan MSDs yang berlangsung lama dapat memperparah kondisi keluhan menjadi MSDs kronis. Kasus MSDs yang kronis dapat berakibat fatal dimana akan terjadi kerusakan yang parah dan berdampak pada disabilitas permanen dan mengurangi kemampuan kerja. Proses penyembuhan MSDs yang kronis kadang kurang efektif sehingga lebih baik untuk melakukan pencegahan (Luttman et al., 2003). Relaksasi diselang waktu kerja dan istirahat yang cukup untuk pemulihan otot–otot yang teregang, bisa menjadi solusi yang baik bagi masalah ini, disamping perlu dilakukan rotasi dan pembagian rekan kerja shift yang lebih merata, serta ada pengawasan dari Bidan Koordinator KIA mengenai pelaksanaannya. Perlu pula dilakukan skrining kesehatan secara berkala untuk mendeteksi lebih awal jika terjadi kelainan (Early Diagnosis and Prompt Treatment). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa masa kerja juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan MSDs pada bidan. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Rahayu (2011) pada perawat, bahwa masa kerja berhubungan dengan keluhan MSD dengan p<0,05. Hasil penelitian ini menjadi tidak signifikan mungkin selain karena jumlah sampel yang sedikit juga karena hampir setengahnya bidan membuka praktek swasta di rumahnya tanpa mlihat status masa kerja. Orang yang pekerjaannya memerlukan energi yang cukup besar, namun tidak memiliki waktu yang cukup untuk pemulihan/istirahat, risiko untuk mengalami keluhan MSDs akan meningkat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan keluhan MSDs pada bidan (p>0,05). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Noorloos et al.(2008) mengenai hubungan IMT dengan risiko terjadinya Low Back Pain (LBP) menghasilkan simpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan timbulnya LBP baik dalam 7 hari terakhir (r=0,07 p=0,34) maupun 12 bulan terakhir (r=-0,30 p=0,63). Namun berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan Lusted et al. (1996) pada perawat di Australia, menemukan bukti bahwa perawat dengan tinggi badan yang lebih pendek dan berat badan lebih ringan, secara signifikan memiliki laporan keluhan MSDs yang lebih besar dibandingkan yang lain.
Universitas Indonesia
11
Nilai IMT yang baik ini harus terus dipertahankan untuk mencegah dari Penyakit Tidak Menular (PTM) yang kejadiannya terus meningkat. Kesehatan dan kekuatan fisik yang optimal sangat diperlukan untuk menunjang pekerjaan bidan. Olahraga rutin minimal dua kali dalam seminggu sebaiknya rutin dilakukan oleh pihak Puskesmas DTP, selain diberikan juga menu makanan yang sehat untuk menunjang kelancaran pekerjaan bidan di puskesmas. Analisis Hubungan Developmental Factors Terhadap Keluhan MSDs Responden Dari tabel 5.2 dapat dilihat bahwa seluruh responden yang mengaku pernah atau sedang memiliki kebiasaan merokok, mengalami keluhan MSDs, sedangkan dari 58 responden yang tidak pernah merokok, hanya 91,4% yang mengalami keluhan MSDs. Meskipun hasil ini tidak signifikan, namun dapat diwaspadai bahwa kebiasaan merokok memiliki potensi terhadap timbulnya keluhan MSDs.Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Smith et al. (2006) bahwa kebiasaan merokok pada perawat berhubungan secara signifikan terhadap MSDs, dengan OR 2,45 (95%CI:1,17-2,96). Tabel 3 Hubungan Developmental Factors Terhadap Keluhan MSDs Responden di Puskesmas DTP Kota Bandung Tahun 2013 Variabel
Keluhan Ya n
Merokok Ya Tidak Kerja shift Ya Tidak
Total
OR (95% CI)
p-value
%
Tidak n
%
n
%
2 53
100 91,4
0 5
0 8,6
2 58
3,3 96,7
0,91 (0,84-0,99)
1
49 6
92,5 85,7
4 1
7,5 14,3
53 7
88,3 11,7
2,04 (0,19-21,39)
0,47 0,15
Praktek Ya Tidak
34 21
97,1 84,0
1 4
2,9 16
35 25
58,3 41,7
0,48 (0,67-61,8)
Beban di rumah Ya Tidak
26 29
89,7 93,5
3 2
10,3 6,5
29 31
48,3 51,7
0,59 (0,09-0,86)
0,59
Jam tidur malam < 8jam >=8jam
38 17
90,5 94,4
4
42 18
70 30
0,56 (0,05-5,38)
1
1
9,5 5,6
Gangguan psikologis Ya 33
100
0
0
33
55
0,01
Tidak
22
81,5
5
18,5
27
45
(0,68-0.97)
Gangguan otot Ya Tidak
45 10
93,8 83.3
3 2
6,2 16,7
48 12
80 20
3 (0,44-20.37)
0,25
Total
55
91,7
5
8,3
60
100
Universitas Indonesia
12
McPartland dan Mitchell (1997) dalam penelitiannya mengenai hubungan tingkat konsumsi nikotin dan kafein terhadap terjadinya Chronic Back Pain (CBP), menemukan bukti bahwa nikotin dan kafein memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian Chronic Back Pain (CBP). Kandungan nikotin akan meningkatkan efinefrin dalam plasma yang dapat menyebabkan insomnia dan berkurangnya kadar mineral dalam tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada tulang. Hal ini didukung oleh Palmer et al. (2003) yang juga menemukan hubungan signifikan antara kebisaan merokok dengan nyeri musculoskeletal pada beberapa bagian tubuh seperti punggung, bahu, lutut, baik pada perokok maupun bukan perokok. Pada variabel status kerja shift, dapat dilihat bahwa dari 53 responden dengan status kerja shift, 49 responden mengalami keluhan MSDs (92,5%). Dari tujuh responden yang tidak bekerja secara shift, enam orang (85,7%) mengalami keluhan MSDs. Secara proporsi, keluhan MSDs lebih banyak terjadi pada responden dengan status shift, meskipun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara bekerja shift dengan keluhan MSDs (p>0,05). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Trinkoff et al. (2006) yang memberikan bukti bahwa karakteristik jadwal perawat berhubungan secara bermakna dengan kejadian Work Related Upper Quadrant MSDs (WRUQMSDs). Variabel yang ditanyakan meliputi aspek penjadwalan kerja termasuk waktu shift yang panjang, kurang dari 10 jam off antar shift, bekerja di saat sakit atau hari libur, lembur, on-call (24jam siaga dipanggil), pekerjaan akhir pekan dan tidak ada istirahat selama bekerja. Beberapa karakteristik jadwal tersebut secara bermakna berhubungan dengan MSDs pada leher dan bahu. Faktor organisasi di tempat kerja seperti kerja shift (Sveinsdottir et al, 2006), jam kerja yang panjang (Lipscomb et al, 2002), dan iklim organisasi (Gerson et al, 2007; Stone et al, 2007; Stone dan Gerson, 2006) telah dievaluasi untuk kontribusi mereka terhadap MSDs pada perawat dan telah dikategorikan dalam beberapa penelitian sebagai paparan psikososial di tempat kerja (Long H, et al., 2010). Pada variabel praktek bidan swasta di rumah, didapatkan informasi bahwa dari 35 responden yang membuka praktek di rumah, 34 responden (97,1%) mengalami keluhan MSDs sedangkan dari 25 responden yang tidak praktek di rumah, 84% yang mengeluh MSDs. Meskipun proporsi keluhan MSDs lebih banyak pada responden yang praktek di rumah, namun hubungan keduanya tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Long H. et al (2011) yang melakukan penelitian mengenai prevalensi gejala MSDs pada leher dan punggung atas terhadap bidan-bidan di Australia,
Universitas Indonesia
13
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam proporsi peserta baik MSDs di daerah leher maupun punggung atas menurut status praktik kebidanan. Pada variabel beban anak kecil kurang dari tiga tahun atau adanya orangtua yang sangat tergantung, terlihat proporsi yang berbeda. Dari 29 responden yang memiliki beban tanggungan di rumah, hanya 26 responden (89,7%) yang mengalami keluhan MSDs, sementara pada 31 responden yang tidak memiliki beban tanggungan di rumah, 93,5% mengalami keluhan MSDs. Hasil ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara status beban tanggungan di rumah dengan keluhan MSDs (p>0,05). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian mengenai analisis faktor risiko MSDs pada perawat di Jepang yang dilakukan Smith et al. (2006) yang menyimpulkan bahwa memiliki anak kecil di rumah merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap MSDs, dengan OR 2,53 (95% CI:1,32-4,91). Tigapuluh empat responden (90,5%) dari 42 responden dengan tidur malam <8jam mengalami keluhan MSDs, sementara 17 responden (94,4%) dari 18 responden dengan jam tidur >=8 jam, mengalami keluhan MSDs. Secara statistik, pada penelitian ini tidak terdapat hubungan signfikan antara jumlah jam tidur dengan keluhan MSDs (p=1). Berbeda dengan penelitian Dorrian et al.,(2008) pada perawat di Australia yang menemukan adanya hubungan antara penurunan jumlah jam tidur perawat yang bekerja shift dengan tingginya kesalahan saat bekerja dan kecelakaan saat menyetir atau bersepeda dalam perjalanan pulang. Kelelahan, stress kerja dan kesulitan untuk mengingat diprediksi sebagai sebab terjadinya bahaya tersebut. Knardahl (2005) dalam Long H. et al. (2011) menyatakan bahwa bekerja di bawah kondisi kelelahan, jam tidur yang kurang dari 8 jam, dan potensi konflik antara kerja dengan kepentingan keluarga dapat menyebabkan cedera saat bekerja pada perawat dan bidan di Australia. Kroemer and Grandjean (1997) menyatakan fungsi paling penting yang menopang ritme sirkardian berjalan optimal adalah tidur. Walaupun belum dapat disimpulkan fungsi pasti dari tidur, namun memiliki jam tidur yang cukup merupakan syarat fundamental bagi kesehatan tubuh, kesejahteraan dan efisiensi fungsi tubuh.
Seorang manusia dewasa
membutuhkan sekitar 6-8 jam tidur setiap malamnya. Kurang tidur, baik dalam bentuk kualitas dan kuantitas, dengan pemulihan kondisi tubuh yang tidak optimal, dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan kronis yang berdampak timbulnya keluhan pada sistem syaraf dan pencernaan.
Universitas Indonesia
14
Waktu istirahat untuk pemulihan otot-otot yang teregang bisa dilakukan di tempat kerja dengan adanya ruangan istirahat yang nyaman dan tempat tidur yang bisa membantu relaksasi otot-otot tubuh. Bangku yang nyaman dan ergonomis dapat diletakkan di ruangan bersalin untuk membantu relaksasi otot diantara selang waktu menolong persalinan. Pada variabel gangguan psikologis individu, diketahui bahwa dari 33 responden yang pernah atau sedang mengalami gangguan psikologis, seluruhnya (100%) mengalami keluhan MSDs. Sementara dari 27 responden yang mengaku tidak pernah mengalami gangguan psikologis, 22 responden (81,5%) mengalami keluhan MSDs. Secara statistik, hubungan ini bermakna dengan p<0,05. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bru et al (1993) yang menyimpulkan bahwa dua ciri kepribadian, yaitu neurotisisme dan untuk tingkat yang lebih rendah yaitu lekas marah, berhubungan dengan nyeri leher dan bahu pada bidan. Namun hasil ini berbeda dengan Szeto et al.(2009) yang menemukan bukti bahwa workstyle, suatu bentuk kategori faktor psikologis individu, tidak terkait dengan nyeri leher dan ekstremitas atas pada pada dokter bedah umum (Long H. et al, 2012). Dalam ruang bersalin, emosi kerap kali hadir, mulai dari rasa cemas sampai rasa frustrasi. Sementara di luar ruang bersalin, bidan mungkin saja menghadapi perselisihan, penilaian keterampilan klinis yang tak jarang menimbulkan pertanyaan yang tidak beralasan, atau kekerasan lainnya antar rekan kerja (Curtis et al, 2006). Dalam hal ini, tekanan stressor yang tinggi di ruang bersalin, akan semakin memperparah risiko timbulnya keluhan MSDs pada bidan terutama mereka yang memiliki faktor psikologis individu cenderung negatif. Hasil penelitian ini menunjukkan faktor-faktor psikologis individu layak untuk diteliti lebih lanjut untuk mengetahui peranannya terhadap keluhan MSDs. Pada variabel riwayat gangguan otot didapatkan data bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat MSDs sebelumnya dengan timbulnya keluhan MSDs. Hal ini sesuai penelitian Long H. et al (2010)
pada bidan di Australia bahwa riwayat MSDs
sebelumnya tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian MSDs di masa datang. Analisis Hubungan Faktor Pajanan di Tempat Kerja Terhadap Keluhan MSDs Responden Dari kedua tabel di bawah ini dapat diketahui bahwa proporsi keluhan MSDs pada responden dengan risiko pajanan fisik tinggi lebih besar (94,47%) dibandingkan proporsi keluhan MSDs pada responden dengan risiko rendah (87,5%), begitu pula pada tingkat risiko ajanan psikososial. Namun p-value keduanya
>0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Universitas Indonesia
15
hubungan antara pajanan fisik dan psikososial di tempat kerja dengan keluhan MSDs, tidak signifikan secara statistik. Tabel 4 Hubungan Tingkat Risiko Physical Workplace Exposure Terhadap Keluhan MSDs Responden di Puskesmas DTP Kota Bandung Tahun 2013 Variabel
Physical exposure Risiko tinggi Risiko rendah
Keluhan Ya n %
Tidak n %
n
%
OR (95% CI)
34 21
2 3
36 24
60 40
2,42 (0,37-15,75)
94,4 87,5
Total
5,6 12,5
pvalue
0,38
Secara statistik, hubungan antara faktor risiko pajanan fisik di tempat kerja dengan keluhan MSDs pada penelitian ini tidak bermakna secara signifikan, meskipun pada responden dengan risiko pajanan fisik tinggi memiliki risiko MSDs sebesar 2,4 kali daripada responden dengan risiko pajanan fisik rendah (OR 2,42). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Long et al (2012) yang memiliki simpulan bahwa ada hubungan positif antara tuntutan fisik dalam pekerjaan dengan kejadian Work Related Upper Quadrant MSDs (WURQMSDs). Demikian juga dengan Trinkoff et al (2002) yang menyatakan bahwa tuntutan fisik menyumbang hubungan yang signifikan terhadap WURQMSDs. Pada penelitian lainnya, Long H. et al. (2012) juga menyatakan bahwa semua bentuk pajanan fisik secara signifikan berhubungan dengan pada keluhan Upper Back MSDs, namun untuk keluhan MSDs pada leher (Neck MSDs) hanya bekerja dalam posisi canggung dan statis yang secara statisktik memiliki hubungan yang bermakna. Saat menolong persalinan, bidan melakukan postur janggal dan statis dalam waktu yang lama, sekitar 1-2 jam. Posisi berdiri, membungkuk dan duduk menjadi posisi yang dominan selama waktu kerja. Meskipun tenaga yang dibutuhkan pada posisi tersebut tidak besar, namun durasi yang lama pada posisi ini bisa menimbulkan keluhan pada otot akibat postur statis.Sesuai teori dari
Kroemer and Grandjean (1997) menyatakan bahwa postur
statis dapat terjadi salah satunya pada postur yang membutuhkan tenaga ringan (sekitar sepertiga dari jumlah tenaga maksimum tubuh), setidaknya 5 menit atau lebih. Sedangkan postur janggal adalah bentuk paling sering dari postur statis. Penyebab utama postur janggal adalah memposisikan badan, leher dan atau punggung dalam posisi yang tidak alamiah. Postur statis dapat menyebabkan tekanan pada otot. Tekanan pada otot dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya iskemik (penurunan aliran darah ke jaringan otot), yang berakibat berkurangnya asupan oksigen, meningkatnya CO2 dan zat limbah lainnya
Universitas Indonesia
16
seperti asam laktat. Penumpukan asam laktat di otot inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan nyeri otot (Bridger, 1995). Tujuan utama dari penelitian-penelitian mengenai postur statis atau janggal adalah untuk menemukan prinsip-prinsip desain kerja yang dapat mengurangi tekanan postural pada pekerja. Tabel 5.4 Hubungan Psychosocial Workplace Exposure Terhadap Keluhan MSDs Di Puskesmas DTP Kota Bandung Tahun 2013 Variabel
Keluhan Ya n
Psychosocial exposure Risiko tinggi Risiko rendah Total
29 26 55
%
96,7 86,7 91,7
Total
Tidak n %
1 4 5
3,3 13,3 8,3
n
%
30 30 60
50 50 100
OR
p-value
(95% CI)
4,46 (0,46-42,51)
0,35
Dari data di atas dapat diketahui bahwa proporsi keluhan MSDs pada responden dengan risiko tinggi lebih besar (96,7%) dibandingkan proporsi keluhan MSDs pada responden dengan risiko rendah (86,7%). Namun p-value >0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara pajanan psikososial di tempat kerja dengan keluhan MSDs, tidak signifikan secara statistik meskipun pada responden dengan risiko pajanan psikososial tinggi memiliki risiko MSDs 4,46 kali lebih besar daripada yang berisiko rendah (OR=4,46). Long et al (2012) yang melakukan review terhadap faktor risiko dan konsekuensi fungsional dari Work-Related Upper Quadrant Musculoskeletal Disorders (WRUQMSDs) pada bidan, perawat dan dokter di Australia menyimpulkan bahwa semua penelitian yang menyajikan eksposur kerja psikososial, mayoritas gagal menemukan hubungan yang signifikan. Hal ini mungkin karena kesulitan untuk mempelajari variabel yang tidak dapat menangkap semua aspek terkait dairi lingkungan psikososial. Meskipun temuan dari ulasan studi tidak sepenuhnya konsisten, mereka menyarankan bahwa persepsi beban kerja, insentif, kerja monoton, kontrol kerja terbatas, kejelasan pekerjaan yang rendah, dan dukungan sosial yang rendah berkaitan dengan berbagai gangguan muskuloskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa faktor psikososial mungkin merupakan faktor risiko umum untuk pekerjaan yang berhubungan MSDS.
Universitas Indonesia
17
Rekapitulasi Hasil Analisis Risiko Ergonomi Pada Bidan Saat Melakukan Asuhan Persalinan Normal Dengan Keluhan Msds Pada Responden Tabel 5.5 Rekapitulasi Risiko Ergonomi Asuhan Persalinan Normal oleh Bidan dengan Metode REBA di Puskesmas DTP Kota Bandung Tahun 2013 No Kegiatan APN Risiko ergonomi No Keluhan MSDs Persentase berdasarkan metode keluhan REBA 1 Pertolongan kelahiran 10 1 Memiliki keluhan 91,7% bayi MSDs 2 Penyuntikkan oksitosin 4 2 Tidak memiliki 8,3% IM keluhan MSDs 3 Penanganan kelahiran 10 plasenta 4 Penjahitan perineum 11 5 Eksplorasi cavum uteri 11 6 Prosedur pasca 4 persalinan
Berdasarkan analisis risiko ergonomi menggunakan metode REBA dapat dilihat bahwa nilai terbesar risiko terjadi pada tubuh bagian atas (upper quadrant MSDs) seperti pada leher (neck), lengan atas (upper arm), pergelangan tangan (wrist) dan punggung atas (trunk). Hal ini sesuai dengan keluhan MSDs responden yang mengeluhkan ketidaknyamanan pada tubuh bagian atas dari leher hingga punggung atas, ditambah pergelangan kaki. Keluhan terbanyak dirasakan pada leher 12 bulan terakhir dan punggung atas 12 bulan terakhir masingmasing sebesar 70%. Keluhan tersebut timbul karena sebagian besar bidan menghabiskan waktu kerjanya dalam posisi berdiri dan membungkuk dengan beban tubuh terus disangga oleh kedua kaki. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap tingginya risiko ergonomi pada penelitian ini adalah postur statis, postur janggal seperti membungkuk, memutar leher, badan dan pergelangan tangan (twisted), adanya gerakan miring ke samping, serta pengerahan tenaga yang berlebih dan tiba-tiba.
2.
Berdasarkan Kuesioner Nordic Body Map (NMQ) tentang keluhan MSDs pada responden, ternyata hampir seluruh bidan memiliki keluhan MSDs (91,7%).
5.1 Saran 1.
Penilaian dengan metode REBA ini hanya sebagai analisis awal,perlu dilakukan penelitian lebih mendalam sehingga didapatkan hasil analisis yang lebih akurat.
Universitas Indonesia
18
2.
Menyediakan bangku yang nyaman dan memadai serta alas kaki yang aman dan sesuai anatomi telapak kaki di setiap ruangan bersalin.
3.
Mendesain jadwal shift yang aman dan jarak antar shift minimal 24 jam, dengan waktu istirahat yang cukup setelah shift malam.
4.
Menyarankan pada bidan untuk rutin melakukan peregangan otot leher, bahu dan punggung sejenak diantara rangkaian pertolongan persalinan, minimal 5-10 menit dalam satu jam.
5.
Adanya edukasi dan promosi kesehatan pada bidan mengenai risiko ergonomi dan peregangan otot yang baik dan benar saat bekerja.
DAFTAR REFERENSI Bridger, R.S. Introductions to Ergonomics. London: Mc Graw Hill:1995 Dorrian et al. Sleep And Errors In A Group Of Australian Hospital Nurses At Work And During Commute. http://dx.doi.org/1016/j.epergo.2008.01.12 Hammond, Alison; Harriss, Anne. Carpal Tunnel Syndrom. Occupational Health 64. 12 (Dec 2012) : 14 16. http://search.proquest.com/docview/1266507342/fulltext/13C4AB8CE9332FD8953/1?ac countid=17242. Diunduh 18 Februari 2013. JNPK-KR. Pelatihan Asuhan Persalinan Normal Bahan Tambahan Inisiasi Menyusu Dini, Buku Panduan Peserta. Diterbitkan bersama atas kerjasama JNPK-KR/POGI, IDAI, USAID Indonesia dan Health Services Program;2007. Kroemer and Grandjean. 1997. Fitting The Task To The Human: A Textbook Of Occupational Ergonomics. Fifth Ed. Taylor And Francis, London And Newyork. Reprinted 2005. Long H et al. Helping Women But Hurting Ourselves? Neck And Upperback Musculokeletal Symptom In A Cohort Of Australian Midwives. Midwifery 29 (2013) 359-367. www.elsevier.com/midw. diunduh 29 April 2013. Long H et al. Work-Related Upper Quadrant Musculoskeletal Disorders In Midwives, Nurses And Physicians, A Systematic Review Of Risk Factors And Functional Consequences. Applied Ergonomics (2012) 455-467. www.elsevier.com/locate/apergo. diunduh 29 April 2013. Luttman, alwin, et al. Preventing musculoskeletal disorders in the workplace. WHO (online),2003. http://www.who.int/occupational_health/publications/en/oehmsd3.pdf. diakses 21 juni 2013, Lusted, MJ; Carrasco, CL; Mandryk JA; Healey, S. Self reported symptom in the neck and upper limb in nurses. Applied Ergonomics, volume 27, issue 6, ecember 1996, http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0003687096000300. diakses 29 Juni 2013 Mc Attamney, Lynn & Sue Higgnett. Rapid Entire Body Assesment. In Neville Stanton et al. (Ed.). Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods. USA. CRC Press; 2005. Mc Partland JM, Mitcell JA. Caffeine And Chronic Back Pain. Departmentof physical medicine research institute & academiy. USA. http://www.ncbi.nlm.nih/gov/pubmed/9014959. Mutiah, Setyaningsih, Jayanti. Analisis Tingkat Risiko Musculoskeletal Disorders (Msds) Dengan Metode BRIEF Survey Dan Karakteristik Individu Terhadap Keluhan Msds
Universitas Indonesia
19
Pembuat Wajan Di Desa Cepogo Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013, volume 2 Nomor 2, April 2013. NIOSH .Musculoskeletal Disorders. http://www.cdc.gov/niosh/programs/msd/. Diunduh 2 Maret 2013. Noorloos, et al. Does body mass index increase the risk of low back pain in a population exposed to whole body vibration?. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S000368700700097X OSHA. Prevention Of Work-Related Musculoskeletal Disorders. http://www.osha.gov/pls/oshaweb/owadisp.show_document?p_table=UNIFIED_AGEN DA&p_id=4481. Diunduh 2 Maret 2013. OSHA. Ergonomics: The study of work U.S. Departement of Labor.occupational Safety and Health Administration OSHA 3125. 2000 (Revised) http://www.osha.gov/Publications/osha3125.pdf Procton, Robert W ; Van Zandt T. 2012. Human Factors In Simple And Complex System, 2nd Ed. USA. CRC Press. Smith, DR; Mihashi, M; Adachi, Y; Koga, H; Ishitake T. A detailed analysis of musculoskeletal disorders risk factors among Japanese nurses. Journal of Safety Research, volume 37, Issue 2, 2006, Page 195-200. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0022437506000302. diakses 29 Juni 2013 Suparni. Analisis Risiko Ergonomi Dan Keluhan Musculoskeletal Disorder (Msds)Pada Perawat Dan Bidan Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung Tahun 2011. Tesis. Depok: Universitas Indonesia; 2011. Waters-TR. Health Care Ergonomic. Source : Occupational ergonomics: theory and applications, second edition. Bhattacharya A, McGlothlin JD, eds., Boca Raton, FL: CRC Press, 2012 Mar; :613-627. http://www.crcpress.com/product/isbn/9781439819340 Widanarko B. Interaction between physical and psychosocial work risk factors for low back symptoms. A study of: Prevalence, risk factors, and interaction between physical and psychosocial work risk factors for low back symptoms and its consequences (reduced activities and absenteeism) in a random sample of workers in New Zealand and in Indonesian coal mining workers [Thesis]. Palmerston North: Massey University; 2013.
Universitas Indonesia