RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR ....TAHUN .... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3676); MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEAMANAN INSTALASI NUKLIR.
KESELAMATAN
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Instalasi nuklir adalah a. reaktor nuklir; b. fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau c. fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas. 2. Reaktor nuklir adalah alat atau instalasi yang dijalankan dengan bahan bakar nuklir yang dapat menghasilkan reaksi inti berantai yang terkendali dan digunakan untuk pembangkitan daya, atau penelitian, dan/atau produksi radioisotop. 3. Bahan nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai atau bahan yang dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai. 4. Pembangunan adalah kegiatan yang dimulai dari penentuan tapak sampai dengan penyelesaian konstruksi. 1
www.djpp.depkumham.go.id
5. Pengoperasian adalah kegiatan yang mencakup komisioning dan operasi instalasi nuklir. 6. Tapak adalah lokasi di daratan yang dipergunakan untuk pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning, satu atau lebih instalasi nuklir beserta sistem terkait lainnya. 7. Konstruksi adalah kegiatan membangun instalasi nuklir di tapak yang sudah ditentukan, mulai dari persiapan atau pengecoran pertama pondasi sampai dengan pemasangan dan pengujian komponen instalasi beserta sistem penunjang hingga instalasi tersebut siap diisi dengan bahan nuklir. 8. Komisioning adalah kegiatan pengujian untuk membuktikan bahwa struktur, sistem dan komponen instalasi nuklir terpasang yang dioperasikan dengan bahan nuklir memenuhi persyaratan dan kriteria desain. 9. Operasi adalah kegiatan operasi instalasi nuklir secara aman dan selamat sesuai dengan desain dan tujuan pemanfaatannya. 10. Dekomisioning instalasi nuklir yang selanjutnya disebut dekomisioning adalah suatu kegiatan untuk menghentikan beroperasinya instalasi nuklir secara tetap, antara lain dilakukan pemindahan bahan nuklir dari instalasi nuklir, pembongkaran komponen instalasi, dekontaminasi, dan pengamanan akhir. 11. Modifikasi adalah setiap upaya yang mengubah struktur, sistem dan/atau komponen, termasuk pengurangan dan/atau penambahan, yang mempengaruhi keselamatan instalasi nuklir. 12. Utilisasi adalah penggunaan instalasi nuklir, penggunaan eksperimen atau penggunaan peralatan eksperimen selama operasi instalasi nuklir. 13. Surveilan adalah inspeksi, uji fungsi dan pengecekan kalibrasi yang dilakukan dalam interval waktu tertentu pada nilai-nilai parameter, struktur, sistem dan/atau komponen untuk menjamin kepatuhan terhadap batasan dan kondisi operasi, dan keselamatan instalasi nuklir 14. Manajemen penuaan adalah kegiatan rekayasa, operasi dan perawatan untuk mengendalikan agar pengaruh penuaan pada struktur, sistem dan/atau komponen masih dalam batas yang dapat diterima. 15. Operasi normal adalah proses operasi instalasi nuklir dalam kondisi batas untuk operasi yang dinyatakan pada batasan dan kondisi operasi. 16. Kejadian operasi terantisipasi adalah proses operasi yang menyimpang dari operasi normal yang diperkirakan terjadi paling tidak satu kali selama umur operasi instalasi tetapi dari pertimbangan desain tidak menyebabkan kerusakan berarti pada peralatan yang penting untuk keselamatan atau mengarah pada kondisi kecelakaan. 17. Kejadian khusus adalah kejadian berupa pelepasan zat radioaktif dari negara lain, atau adanya penyebaran atau potensi penyebaran radiasi dan kontaminasi akibat sumber radioaktif atau bahan nuklir yang tidak diketahui pemiliknya. 18. Kecelakaan radiasi adalah kejadian yang tidak direncanakan, termasuk kesalahan operasi, kerusakan ataupun kegagalan fungsi alat, atau kejadian lain yang menjurus timbulnya dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan/atau kontaminasi yang melampaui batas sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan. 19. Kecelakaan dasar desain adalah kondisi kecelakaan yang digunakan sebagai dasar untuk mendesain instalasi nuklir menurut kriteria desain 2
www.djpp.depkumham.go.id
20. 21.
22.
23.
24. 25.
26. 27. 28. 29. 30.
31.
32.
yang ditetapkan dan sebagai dasar untuk mempertahankan lepasan zat radioaktif tidak melampaui batas yang diizinkan. Kecelakaan yang melampaui dasar desain adalah kecelakaan yang lebih parah dari pada kecelakaan dasar desain. Kedaruratan nuklir adalah keadaan bahaya yang mengancam keselamatan manusia, kerugian harta benda atau kerusakan lingkungan hidup, yang timbul sebagai akibat dari adanya kecelakaan radiasi atau kejadian khusus. Kesiapsiagaan nuklir adalah serangkaian kegiatan sistematis dan terencana yang dilakukan untuk mengantisipasi kedaruratan nuklir melalui penyediaan unsur infrastruktur dan kemampuan fungsi penanggulangan untuk melaksanakan penanggulangan kedaruratan nuklir dengan cepat, tepat, efektif, dan efisien. Penanggulangan kedaruratan nuklir adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat terjadi kedaruratan nuklir untuk mengurangi dampak serius yang ditimbulkan terhadap keselamatan manusia, kerugian harta benda atau kerusakan lingkungan hidup. Seifgard adalah setiap upaya yang ditujukan untuk memastikan bahwa tujuan pemanfaatan bahan nuklir hanya untuk maksud damai. Protokol Tambahan terhadap Perjanjian Seifgard yang selanjutnya disebut Protokol Tambahan adalah instrumen hukum yang dijadikan pedoman dalam memastikan bahwa setiap kegiatan yang terkait dengan nuklir tidak dimaksudkan untuk pembuatan senjata nuklir. Ancaman dasar desain adalah sifat dan karakteristik musuh dari dalam maupun luar yang digunakan sebagai dasar untuk mendesain dan mengevaluasi sistem proteksi fisik. Proteksi fisik adalah setiap upaya yang ditujukan untuk mendeteksi dan mencegah pemindahan bahan nuklir secara tidak sah dan mencegah sabotase instalasi nuklir. Sistem proteksi fisik adalah kumpulan dari peralatan, instalasi, personil dan prosedur yang secara bersama-sama memberikan proteksi fisik terhadap bahan nuklir atau instalasi nuklir. Badan Pengawas Tenaga Nuklir yang selanjutnya disebut BAPETEN adalah badan pengawas sebagaimana yang dimaksud dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disingkat BNPB adalah lembaga pemerintah non-departemen setingkat menteri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Badan Penanggulangan Bencana Daerah, yang selanjutnya disingkat BPBD, adalah badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib, dan badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3
www.djpp.depkumham.go.id
33. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai: a. teknis keselamatan instalasi nuklir; b. teknis keamanan instalasi nuklir; c. manajemen keselamatan dan keamanan instalasi nuklir; dan d. kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir. Pasal 3 (1) Setiap badan hukum yang akan melaksanakan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning instalasi nuklir wajib memiliki izin sesuai dengan persyaratan dan tatacara dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 4 (1) Pemberlakuan Peraturan Pemerintah ini harus disesuaikan dengan pendekatan pemeringkatan. (2) Pendekatan pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada: a. karakteristik bahan nuklir dan/atau instalasi nuklir; b. nilai dan kebolehjadian paparan radiasi yang ditimbulkan oleh instalasi nuklir; dan c. tingkat dan kebolehjadian ancaman terhadap instalasi dan bahan nuklir.
BAB II TEKNIS KESELAMATAN INSTALASI NUKLIR Bagian Kesatu Umum Pasal 5 Ketentuan teknis keselamatan instalasi nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
4
www.djpp.depkumham.go.id
a. b. c. d. e. f. g.
pemantauan tapak; desain dan konstruksi; komisioning; operasi; modifikasi; verifikasi dan penilaian keselamatan; dan dekomisioning. Bagian Kedua Pemantauan Tapak Pasal 6
(1) Pemegang izin wajib melakukan pemantauan tapak instalasi nuklir sejak pelaksanaan konstruksi dimulai sampai dengan dekomisioning. (2) Pemantauan tapak instalasi nuklir meliputi pemantauan karakteristik bahaya akibat kejadian alam dan kejadian ulah manusia yang relevan dengan instalasi nuklir. (3) Dalam hal hasil pemantauan tapak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tahap konstruksi, komisioning atau operasi ditemukan bahaya yang signifikan terhadap keselamatan instalasi nuklir, pemegang izin wajib melakukan solusi rekayasa. (4) Dalam hal solusi rekayasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan, tapak dinyatakan tidak layak dan kegiatan konstruksi, komisioning atau operasi dihentikan. Pasal 7 Karakteristik bahaya akibat kejadian alam dan ulah manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) meliputi aspek: a. pengaruh kejadian eksternal di tapak dan wilayah sekitarnya, baik yang berasal dari kejadian alam maupun kejadian ulah manusia terhadap keselamatan instalasi nuklir; b. karakteristik tapak dan lingkungan yang berpengaruh pada perpindahan zat radioaktif yang dilepaskan instalasi nuklir sampai kepada manusia dan lingkungan; dan c. demografi penduduk dan karakteristik lain dari tapak dan wilayah sekitarnya yang berkaitan dengan evaluasi risiko terhadap anggota masyarakat dan kelayakan penerapan rencana penanggulangan kedaruratan.
5
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 8 (1) Khusus untuk reaktor nuklir, pemegang izin wajib memantau kemampuan tapak menerima buangan panas yang ditimbulkan selama tahap operasi. (2) Kewajiban pemantauan kemampuan tapak menerima buangan panas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai program pemantauannya. Bagian Ketiga Desain dan Konstruksi Pasal 9 (1) Konstruksi instalasi nuklir dilaksanakan oleh pemegang izin. (2) Konstruksi instalasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada desain yang memenuhi prinsip dasar keselamatan. (3) Prinsip dasar keselamatan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
penghalang ganda; margin keselamatan; redundansi; keragaman; kemandirian; gagal-selamat; dan kualifikasi peralatan. Pasal 10
(1) Pemegang izin wajib menjamin terpenuhinya persyaratan desain sejak konstruksi sampai dengan dekomisioning. (2) Persyaratan desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persyaratan umum dan persyaratan khusus desain. Pasal 11 Persyaratan umum desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) meliputi:
6
www.djpp.depkumham.go.id
a. b. c. d. e. f. g. h.
desain keandalan struktur, sistem, dan komponen; desain kemudahan pengoperasian, inspeksi, perawatan dan pengujian; desain kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir; desain kemudahan dekomisioning; desain proteksi radiasi; desain proteksi fisik; desain untuk faktor manusia; dan desain untuk meminimalkan penuaan. Pasal 12
(1) Persyaratan khusus desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) meliputi: a. persyaratan khusus desain reaktor nuklir; dan b. persyaratan khusus desain instalasi nuklir nonreaktor. (2) Persyaratan khusus desain reaktor nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi desain: a. teras reaktor; b. sistem pemindahan panas; c. sistem shutdown; d. sistem proteksi reaktor; e. fitur keselamatan teknis; f. sistem pengungkung; g. sistem instrumentasi dan kendali; h. sistem penanganan dan penyimpanan bahan bakar nuklir; i. sistem pengelolaan limbah radioaktif; dan j. sistem bantu. (3) Persyaratan khusus desain instalasi nuklir nonreaktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi desain: a. sistem penanganan dan penyimpanan bahan nuklir; b. sistem fabrikasi; c. sistem proses; d. sistem proteksi dan interlok; e. sistem alarm; f. sistem catu daya listrik; g. sistem pemasok air; h. sistem pemasok udara; i. sistem pemasok dan distribusi uap; j. sistem pendingin; k. sistem komunikasi; dan/atau l. sistem proteksi kebakaran dan ledakan. Pasal 13 (1) Untuk memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), pemegang izin wajib menetapkan klasifikasi struktur, sistem, dan/atau komponen instalasi nuklir.
7
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan klas keselamatan, klas mutu dan/atau klas seismik. Pasal 14 (1) Pemegang izin wajib melakukan konfirmasi desain dalam mencapai tujuan dan persyaratan keselamatan. (2) Dalam melakukan konfirmasi desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang izin wajib menunjuk tim independen selain pendesain. Pasal 15 (1) Pemegang izin wajib melaksanakan program konstruksi yang sudah ditetapkan. (2) Program konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan desain. (3) Program konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. b. c. d. e.
prosedur dan jadwal pelaksanaan konstruksi; prosedur uji fungsi; titik tunda; kriteria penerimaan desain; dan dokumentasi dan pelaporan.
(4) Pelaksanaan prosedur uji fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b mencakup semua jenis uji fungsi struktur, sistem dan komponen yang tidak melibatkan bahan nuklir. (5) Uji fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencakup pengujian masing-masing struktur, sistem dan komponen dan pengujian secara terintegrasi untuk semua sistem. Pasal 16 (1) Pemegang izin dapat melaksanakan perubahan desain selama tahap konstruksi instalasi nuklir, dalam hal: a. peningkatan keselamatan instalasi nuklir; b. pencegahan kegagalan yang teridentifikasi selama konstruksi instalasi nuklir; dan/atau c. peningkatan kemudahan untuk perawatan instalasi nuklir. (2) Dalam hal perubahan desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempengaruhi struktur, sistem, dan/atau komponen yang penting untuk keselamatan, pemegang izin wajib memperoleh persetujuan dari Kepala BAPETEN. (3) Dalam hal perubahan desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mempengaruhi struktur, sistem, dan/atau komponen yang penting untuk keselamatan, pemegang izin wajib memberitahukan kepada Kepala BAPETEN.
8
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan desain diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN. Bagian Keempat Komisioning Pasal 18 (1) Pemegang izin wajib menetapkan dan melaksanakan program komisioning untuk memastikan struktur, sistem dan/atau komponen instalasi nuklir yang telah terpasang dapat berfungsi sesuai dengan desain. (2) Program komisioning sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pengujian secara terintegrasi untuk semua sistem. (3) Dalam pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin melakukan verifikasi terhadap pemenuhan batasan dan kondisi operasi sesuai dengan persyaratan desain. Pasal 19 (1) Pemegang izin wajib menetapkan rencana deteksi penuaan struktur, sistem dan komponen pada tahap komisioning. (2) Rencana deteksi penuaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pengumpulan dan analisis data yang terkait dengan penuaan struktur, sistem dan komponen sejak kegiatan komisioning dimulai. Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan komisioning diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN. Bagian Kelima Operasi Pasal 21 Dalam pelaksanaan menetapkan: a. b. c. d.
operasi
instalasi
nuklir,
pemegang
izin
wajib
batasan dan kondisi operasi; prosedur operasi; program perawatan, surveilan, dan inspeksi; dan program manajemen penuaan
9
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 22 (1) Pemegang izin wajib menetapkan batasan dan kondisi operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a sesuai dengan hasil analisis keselamatan, pengujian dan komisioning. (2) Batasan dan kondisi operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. batas keselamatan; b. pengesetan sistem keselamatan; c. kondisi batas untuk operasi normal; d. persyaratan surveilan; dan e. persyaratan administrasi. (3) Pemegang izin wajib melaksanakan operasi instalasi sesuai dengan batasan dan kondisi operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 23 (1) Pemegang izin wajib menetapkan dan melaksanakan prosedur operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b pada semua kondisi instalasi. (2) Kondisi instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. operasi normal; b. kejadian operasi terantisipasi; dan c. kecelakaan dasar desain dan kecelakaan yang melampaui dasar desain. (3) Dalam hal terjadi kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pemegang izin wajib segera menyampaikan laporan kepada Kepala BAPETEN. Pasal 24 Pemegang izin wajib menetapkan dan melaksanakan program perawatan, surveilan dan inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c untuk setiap struktur, sistem dan/atau komponen yang penting untuk keselamatan. Pasal 25 Pemegang izin wajib menjamin bahwa operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dan perawatan, surveilan dan inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilaksanakan oleh petugas yang terlatih dan/atau terkualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Pasal 26 Pemegang izin wajib menyampaikan secara berkala kepada Kepala BAPETEN: a. laporan operasi instalasi nuklir; dan b. laporan hasil pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
10
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 27 (1) Pemegang izin wajib menetapkan dan melaksanakan program manajemen penuaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d pada struktur, sistem dan komponen kritis. (2) Pemegang izin wajib melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan program manajemen penuaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 28 (1) Pemegang izin wajib memperoleh persetujuan Kepala BAPETEN dalam hal akan melakukan utilisasi yang: a. tidak tercantum dalam laporan analisis keselamatan; b. mempengaruhi keselamatan instalasi nuklir; atau c. mengubah batasan dan kondisi operasi. (2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin harus melakukan analisis keselamatan. (3) Analisis keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat paling sedikit: a. alasan dan justifikasi utilisasi; b. analisis potensi bahaya akibat utilisasi; c. analisis dampak radiologi dan nonradiologi selama pelaksanaan utilisasi, pada saat uji fungsi setelah utilisasi; dan d. upaya untuk mengatasi potensi bahaya akibat utilisasi. Pasal 29 Pemegang izin untuk reaktor daya komersial dilarang melakukan eksperimen selama operasi. Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan operasi diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN. Bagian Keenam Modifikasi Pasal 31 (1) Pemegang izin dapat melaksanakan modifikasi selama tahap pengoperasian instalasi nuklir, dalam hal: a. peningkatan keselamatan instalasi nuklir; b. pencegahan kegagalan yang teridentifikasi selama pengoperasian instalasi nuklir; c. pemenuhan ketentuan peraturan perundangan; d. pengurangan kebolehjadian kesalahan manusia; e. peningkatan kemudahan untuk perawatan instalasi nuklir; dan/atau f. peningkatan kinerja instalasi nuklir. 11
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Dalam hal pelaksanaan modifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c, pemegang izin wajib menghentikan sementara kegiatan pengoperasian instalasi nuklir. (3) Pemegang izin yang akan melaksanakan modifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama tahap pengoperasian instalasi nuklir wajib memperoleh persetujuan Kepala BAPETEN, apabila modifikasi: a. menyebabkan perubahan batasan dan kondisi operasi; b. mempengaruhi struktur, sistem dan/atau komponen yang penting untuk keselamatan; atau c. menimbulkan bahaya yang sifatnya berbeda atau kemungkinan terjadinya lebih besar dari yang dianalisis dalam laporan analisis keselamatan. (4) Pemegang izin untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus: a. melakukan analisis keselamatan dan menyampaikan desain rinci modifikasi yang merupakan bagian dari program modifikasi; dan b. menyampaikan dokumen sistem manajemen untuk modifikasi. (5) Analisis keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memuat paling sedikit: a. alasan dan justifikasi modifikasi; b. analisis potensi bahaya akibat modifikasi; c. dampak radiologi dan non radiologi selama pelaksanaan modifikasi, pada saat uji fungsi setelah modifikasi, perawatan dan pengoperasian instalasi nuklir; d. dampak yang timbul pasca modifikasi pada struktur, sistem dan/atau komponen yang tidak dimodifikasi; dan e. upaya untuk mengatasi potensi bahaya akibat modifikasi. Pasal 32 (1) Pemegang izin wajib melaksanakan uji fungsi setelah modifikasi untuk memastikan struktur, sistem dan/atau komponen instalasi nuklir berfungsi sesuai dengan tujuan desain modifikasi. (2) Dalam hal hasil uji fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi tujuan desain modifikasi, pemegang izin wajib melakukan analisis untuk mencari penyebab ketidaksesuaian dan melakukan upaya untuk mengatasi ketidaksesuaian. (3) Dalam hal hasil uji fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi tujuan desain modifikasi, pemegang izin harus menyampaikan laporan pelaksanaan modifikasi kepada Kepala BAPETEN untuk mendapatkan persetujuan mengoperasikan kembali instalasi nuklir setelah modifikasi selesai dilaksanakan. Pasal 33 Pemegang izin wajib menjamin keselamatan instalasi nuklir selama dan setelah pelaksanaan modifikasi. Pasal 34 12
www.djpp.depkumham.go.id
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan modifikasi diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN. Bagian Ketujuh Verifikasi dan Penilaian Keselamatan Pasal 35 Pemegang izin wajib melaksanakan verifikasi dan penilaian keselamatan selama pembangunan dan pengoperasian instalasi nuklir. Pasal 36 (1) Verifikasi keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 harus dilakukan melalui analisis dan surveilan. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penerapan sistem manajemen pada setiap tahap kegiatan; b. penilaian mandiri terhadap keselamatan desain; c. peninjauan kembali faktor yang terkait tapak; d. surveilan yang dilakukan secara terus menerus selama pengoperasian instalasi termasuk pemantauan lingkungan; dan e. penilaian terhadap keperluan modifikasi dan pengendaliannya Pasal 37 (1) Penilaian keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib dilakukan secara berkala, yang meliputi penilaian terhadap: a. desain instalasi nuklir; b. kondisi terkini struktur, sistem, dan/atau komponen; c. kualifikasi peralatan; d. penuaan; e. kinerja keselamatan dan umpan balik pengalaman operasi; f. manajemen keselamatan termasuk rencana kesiapsiagaan nuklir; dan g. dampak radiologi pada lingkungan. (2) Dalam hal terjadi kecelakaan pada instalasi nuklir lain yang sejenis, pemegang izin wajib: a. menghentikan sementara kegiatan pengoperasian instalasi nuklir; dan b. melaksanakan penilaian keselamatan terhadap instalasi nuklirnya. Pasal 38 (1) Pemegang izin wajib membentuk panitia penilai keselamatan yang independen selama tahap komisioning, operasi, dan dekomisioning instalasi nuklir. (2) Anggota panitia penilai keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi dan kompetensi yang berkaitan dengan pengoperasian dan/atau dekomisioning instalasi nuklir. (3) Anggota panitia penilai keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari dalam dan/atau luar organisasi pemegang izin.
13
www.djpp.depkumham.go.id
(4) Anggota panitia penilai keselamatan dari dalam organisasi pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh berasal dari bidang yang terkait langsung dengan pengoperasian dan/atau dekomisioning instalasi nuklir. Pasal 39 Panitia penilai keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) bertugas melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi tentang hal-hal terkait keselamatan paling sedikit: a. operasi rutin instalasi termasuk pemantauan radiasi personil, daerah kerja dan lingkungan; b. modifikasi struktur, sistem dan/atau komponen; c. perubahan batasan dan kondisi operasi; d. pelanggaran terhadap batasan dan kondisi operasi, kondisi izin, dan prosedur yang mempengaruhi keselamatan; e. prosedur baru dan perubahan prosedur yang mempengaruhi keselamatan; f. kejadian operasi terantisipasi, kecelakaan dasar desain dan kecelakaan yang melampaui dasar desain; g. pengujian/eksperimen baru dan perubahan pengujian/eksperimen; dan h. penilaian berkala terhadap kinerja operasi dan keselamatan instalasi nuklir. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai verifikasi dan penilaian keselamatan diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN. Bagian Kedelapan Dekomisioning Pasal 41 (1) Pada tahap dekomisioning, pemegang izin wajib melaksanakan program dekomisioning. (2) Pelaksanaan program dekomisioning sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai dari karakterisasi sampai dengan survei radiasi akhir. Pasal 42 (1) Program dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) wajib dikaji ulang dan dimutakhirkan secara berkala. (2) Dalam mengkajiulang dan memutakhirkan program dekomisioning sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin harus mempertimbangkan paling sedikit:
14
www.djpp.depkumham.go.id
a. perubahan struktur, sistem, dan/atau komponen selama operasi instalasi nuklir; b. kejadian operasi terantisipasi dan/atau kecelakaan yang pernah terjadi selama pengoperasian instalasi nuklir; c. biaya dekomisioning; dan d. teknologi terkini terkait dengan dekomisioning. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai dekomisioning diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN. BAB III TEKNIS KEAMANAN INSTALASI NUKLIR Bagian Kesatu Umum Pasal 44 Ketentuan teknis keamanan instalasi nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi persyaratan seifgard termasuk Protokol Tambahan dan persyaratan proteksi fisik pada tahap atau kegiatan: a. b. c. d. e. f.
keamanan pada tapak; desain dan konstruksi; komisioning dan operasi; perubahan seifgard dan sistem proteksi fisik; evaluasi keamanan; dan dekomisioning. Pasal 45
(1) Pemegang izin bertanggung jawab secara menyeluruh terhadap seifgard termasuk pemenuhan ketentuan dalam Protokol Tambahan pada instalasi nuklir. (2) Pemegang izin bertanggung jawab secara penuh terhadap proteksi fisik selama penggunaan, penyimpanan dan pengangkutan bahan nuklir dan proteksi fisik terhadap sabotase instalasi dan bahan nuklir. Pasal 46 Pemegang izin wajib menetapkan dan melaksanakan kebijakan seifgard termasuk pemenuhan ketentuan yang terdapat dalam Protokol Tambahan dan kebijakan proteksi fisik sesuai dengan tahapan kegiatan pembangunan dan pengoperasian serta dekomisioning.
15
www.djpp.depkumham.go.id
Bagian Kesatu Keamanan pada Tapak Pasal 47 (1) Pemegang izin dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) wajib melaksanakan: a. deklarasi rencana umum pengembangan daur bahan bakar nuklir termasuk penelitian dan pengembangan yang terkait dengan daur bahan bakar nuklir; dan b. Daftar Informasi Desain Pendahuluan. (2) Pemegang izin dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib menetapkan ancaman dasar desain lokal yang mengacu pada ancaman dasar desain nasional. Bagian Kedua Desain dan Konstruksi Pasal 48 (1) Pemegang izin dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) wajib melaksanakan: a. deklarasi impor peralatan khusus dan bahan yang terkait nuklir; dan b. Daftar Informasi Desain. (2) Pemegang izin dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib menetapkan dan melaksanakan: a. b. c. d. e. f.
kajian kerawanan fasilitas; rencana proteksi fisik; karakteristik sistem proteksi fisik; kendali jalur komunikasi; ketentuan akses; dan uji fungsi sistem proteksi fisik.
(3) Pemegang izin dalam menetapkan dan melaksanakan proteksi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus: a. berdasarkan pada ancaman dasar desain lokal sesuai dengan penggolongan bahan nuklir dan lokasi bahan nuklir; dan b. menerapkan konsep pertahanan berlapis untuk tindakan pencegahan dan perlindungan. (4) Rencana proteksi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b memuat uraian sistem proteksi fisik. Pasal 49 (1) Pemegang izin wajib menerapkan dan merawat sistem proteksi fisik instalasi nuklir sejak konstruksi dimulai sampai dengan dekomisioning. (2) Pemegang izin dalam menerapkan dan merawat sistem proteksi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menetapkan dan melaksanakan 16
www.djpp.depkumham.go.id
prosedur untuk memastikan terkendalinya keamanan dalam segala kondisi ancaman. Pasal 50 Pemegang izin wajib melakukan uji fungsi sistem proteksi fisik sebelum bahan nuklir sampai di tapak. Bagian Ketiga Komisioning dan Operasi Pasal 51 (1) Pemegang izin dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) sejak komisioning sampai dengan bahan nuklir dipindahkan keluar tapak wajib: a. mempunyai sistem perekaman dan pelaporan inventori bahan nuklir; b. menyampaikan laporan mengenai keberadaan bahan nuklir kepada Kepala BAPETEN; dan c. menyampaikan deklarasi Protokol Tambahan kepada Kepala BAPETEN. (2) Pemegang izin wajib menyampaikan laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) kepada Kepala BAPETEN secara berkala. (3) Pemegang izin dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib menetapkan dan melaksanakan: a. uji fungsi sistem proteksi fisik terintegrasi; b. uji kontinjensi; dan c. koordinasi dengan satuan perespons. (4) Pemegang izin wajib melaksanakan pelatihan dan/atau gladi sistem proteksi fisik secara berkala selama pengoperasian dan dekomisioning. Bagian Keempat Perubahan Seifgard dan Sistem Proteksi Fisik Pasal 52 (1) Pemegang izin wajib melaksanakan pemutakhiran daftar informasi desain dalam hal terjadi perubahan data. (2) Daftar informasi desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Kepala BAPETEN. Pasal 53 (1) Pemegang izin dapat melaksanakan perubahan sistem proteksi fisik yang meliputi: 17
www.djpp.depkumham.go.id
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
ancaman dasar desain; organisasi dan personil sistem proteksi fisik; penggolongan bahan nuklir; prosedur terkait proteksi fisik; desain dan pembagian daerah proteksi fisik; sistem deteksi; sistem penghalang fisik; sistem akses yang diperlukan; sistem komunikasi; perawatan dan surveilan; rencana kontinjensi; dan dokumentasi.
(2) Pemegang izin wajib melaporkan perubahan sistem proteksi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala BAPETEN. (3) Pemegang izin yang akan melaksanakan perubahan sistem proteksi fisik yang terkait dengan perubahan ancaman dasar desain dan/atau golongan bahan nuklir selama tahap pengoperasian instalasi nuklir wajib memperoleh persetujuan Kepala BAPETEN. Pasal 54 (1) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3), pemegang izin harus menyampaikan perubahan rencana proteksi fisik dan alasan perubahan. (2) Pemegang izin wajib melaksanakan uji fungsi setelah perubahan sistem proteksi fisik untuk memastikan tujuan perubahan tercapai. (3) Dalam hal hasil uji fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi tujuan perubahan sistem proteksi fisik, pemegang izin wajib mengidentifikasi penyebab ketidaksesuaian dan melakukan upaya untuk mengatasi ketidaksesuaian. (4) Dalam hal hasil uji fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi tujuan perubahan sistem proteksi fisik, pemegang izin wajib menyampaikan laporan pelaksanaan perubahan sistem proteksi fisik kepada Kepala BAPETEN. Bagian Kelima Evaluasi Keamanan Pasal 55 (1) Pemegang izin wajib melaksanakan evaluasi inventori bahan nuklir secara berkala melalui kegiatan audit dokumen bahan nuklir, inspeksi dan analisis inventori bahan nuklir. (2) Laporan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Kepala BAPETEN. Pasal 56
18
www.djpp.depkumham.go.id
(1) Pemegang izin wajib melaksanakan evaluasi ancaman dasar desain lokal dan sistem proteksi fisik instalasi dan bahan nuklir secara berkala. (2) Laporan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Kepala BAPETEN. (3) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjukkan adanya perubahan ancaman dasar desain dan golongan bahan nuklir yang sifatnya berbeda atau lebih besar, pemegang izin wajib melakukan perubahan terhadap sistem proteksi fisik Pasal 57 Pemegang izin dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) wajib memberikan akses bagi inspektur BAPETEN untuk melakukan inspeksi seifgard termasuk protokol tambahan, dan proteksi fisik. Bagian Keenam Dekomisioning Pasal 58 Dalam hal bahan nuklir telah dipindahkan keluar tapak pada saat dekomisioning, pemegang izin wajib: a. menyampaikan deklarasi peralatan khusus dan bahan yang terkait nuklir; dan b. menjamin proteksi fisik instalasi nuklir termasuk peralatan khusus dan bahan yang terkait nuklir, sampai dengan diperoleh pernyataan pembebasan dari Kepala BAPETEN. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai seifgard termasuk pemenuhan ketentuan dalam Protokol Tambahan dan/atau mengenai sistem proteksi fisik instalasi dan bahan nuklir diatur atau ditetapkan dengan Peraturan Kepala BAPETEN
BAB IV MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR Pasal 60 Manajemen keselamatan dan keamanan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi: a. b. c.
tanggung jawab dan kewajiban; sistem manajemen; dan faktor manusia.
19
www.djpp.depkumham.go.id
Bagian Kesatu Tanggung Jawab dan Kewajiban Pasal 61 (1) Pemegang izin bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan keselamatan nuklir dan tujuan keamanan nuklir dalam setiap pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning instalasi nuklir, serta dalam pemanfaatan bahan nuklir. (2) Tujuan keselamatan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan melalui upaya pertahanan efektif terhadap bahaya radiasi yang ditimbulkan oleh instalasi nuklir dengan menerapkan pertahanan berlapis untuk memenuhi fungsi keselamatan dasar instalasi nuklir. (3) Tujuan keamanan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan melalui upaya: a. pencegahan penyimpangan terhadap pemanfaatan bahan nuklir dari tujuan damai; dan b. pencegahan, pendeteksian, penilaian, penundaan, dan respons tindakan pemindahan bahan nuklir secara tidak sah dan sabotase instalasi nuklir. Pasal 62 Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pemegang izin wajib : a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan keselamatan dan keamanan; b. menentukan kriteria keselamatan dan keamanan; c. menjamin tapak, desain, konstruksi, komisioning, operasi dan dekomisioning instalasi nuklir memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. d. menjamin dipenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan dalam pemanfaatan bahan nuklir; e. menetapkan, melaksanakan dan mengembangkan prosedur dan aturan internal untuk memastikan terkendalinya keselamatan dan keamanan dalam segala kondisi; f. memiliki organisasi dengan pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab serta jalur komunikasi yang jelas; g. menetapkan dan memastikan petugas atau personil memiliki tingkat kompetensi dan keahlian yang sesuai dengan bidang tugasnya; dan h. melakukan evaluasi, pemantauan dan audit secara berkala terhadap halhal yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan. Bagian Kedua Sistem Manajemen Pasal 63 (1) Pemegang izin wajib menetapkan dan menerapkan sistem manajemen pada seluruh tahap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning instalasi nuklir, serta dalam pemanfaatan bahan nuklir.
20
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Sistem manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. budaya keselamatan dan keamanan; b. pemeringkatan dan dokumentasi; c. tanggung jawab manajemen; d. manajemen sumber daya; e. pelaksanaan proses; dan f. pengukuran efektivitas, penilaian dan peluang perbaikan. Pasal 64 (1) Pemegang izin wajib melakukan evaluasi sistem manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 secara berkala sesuai dengan jenis instalasi nuklir. (2) Evaluasi sistem manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan bahwa setiap unsur, kebijakan dan sasaran dalam organisasi masih relevan atau perlu diperbaiki. Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan penerapan sistem manajemen diatur dalam Peraturan Kepala BAPETEN. Bagian Ketiga Faktor Manusia Pasal 66 (1) Pemegang izin wajib secara berkala melakukan analisis keandalan manusia yang meliputi analisis terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dan kelalaian manusia yang dapat mempengaruhi keselamatan dan keamanan instalasi dan bahan nuklir. (2) Dalam melakukan analisis keandalan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin harus mempertimbangkan: a. b. c. d.
kualifikasi personil yang akan dipekerjakan di instalasi nuklir; faktor kesehatan; analisis tugas (task analysis); dan faktor ergonomi dan faktor antarmuka manusia-mesin. Pasal 67
Pemegang izin bertanggung jawab dalam pelaksanaan program pendidikan, pelatihan dan kualifikasi bagi personil tertentu yang bertugas dalam pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning instalasi nuklir, serta dalam pemanfaatan bahan nuklir.
21
www.djpp.depkumham.go.id
BAB V KESIAPSIAGAAN DAN PENANGGULANGAN KEDARURATAN NUKLIR Pasal 68 Persyaratan kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:
nuklir
a. kesiapsiagaan nuklir; dan b. penanggulangan kedaruratan nuklir. Bagian Kesatu Kesiapsiagaan Nuklir Pasal 69 (1) Kesiapsiagaan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a terdiri atas: a. kesiapsiagaan nuklir tingkat instalasi; b. kesiapsiagaan nuklir tingkat daerah; dan c. kesiapsiagaan nuklir tingkat nasional. (2) Kesiapsiagaan nuklir dilakukan berdasarkan program kesiapsiagaan nuklir. Paragraf 1 Program Kesiapsiagaan Nuklir Pasal 70 (1) Program kesiapsiagaan penanggulangan.
nuklir memuat
infrastruktur dan
fungsi
(2) Infrastruktur paling sedikit meliputi unsur: a. b. c. d. e.
organisasi; koordinasi; fasilitas dan peralatan termasuk peralatan peringatan dini dan alarm; prosedur penanggulangan; dan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir.
(3) Fungsi penanggulangan paling sedikit terdiri atas: a. b. c. d. f.
identifikasi, pelaporan, dan pengaktifan; tindakan mitigasi; tindakan perlindungan segera; tindakan perlindungan untuk petugas penanggulangan kedaruratan nuklir, pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup; dan pemberian informasi dan instruksi pada masyarakat.
22
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 71 (1) Program kesiapsiagaan nuklir disusun berdasarkan kategori potensi bahaya radiologi. (2) Kategori potensi bahaya radiologi paling sedikit meliputi: a. kategori I, yaitu instalasi dengan potensi bahaya sangat besar yang mampu menghasilkan lepasan radioaktif ke luar tapak instalasi sehingga memberi dampak deterministik serius terhadap kesehatan; dan b. kategori II, yaitu instalasi dengan potensi bahaya yang mampu menghasilkan lepasan radioaktif dan menyebabkan meningkatnya dosis masyarakat sehingga memerlukan tindakan perlindungan segera. Paragraf 2 Kesiapsiagaan Nuklir Tingkat Instalasi Pasal 72 (1) Kesiapsiagaan nuklir tingkat instalasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan oleh pemegang izin berdasarkan program kesiapsiagaan nuklir. (2) Program kesiapsiagaan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN. Pasal 73 Pemegang izin wajib melaksanakan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf e di tingkat instalasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Paragraf 3 Kesiapsiagaan Nuklir Tingkat Daerah Pasal 74 (1) Kesiapsiagaan nuklir tingkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b dikoordinasikan oleh Kepala BPBD Provinsi, dan dilaksanakan dengan melibatkan instansi terkait, termasuk pemegang izin berdasarkan program kesiapsiagaan nuklir. (2) Program kesiapsiagaan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Kepala BPBD Provinsi dengan melibatkan instansi terkait, termasuk pemegang izin.
23
www.djpp.depkumham.go.id
(3) Dalam menyusun program kesiapsiagaan nuklir tingkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala BPBD Provinsi mengacu kepada pedoman teknis yang ditetapkan oleh Kepala BAPETEN. (4) Program kesiapsiagaan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari program kesiapsiagaan penanggulangan bencana daerah. Pasal 75 (1) Kepala BPBD provinsi mengkoordinasikan pelaksanaan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf e di tingkat daerah secara terpadu. (2) Pemegang izin dan instansi terkait wajib mengikuti pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir tingkat daerah. (3) Pelaksanaan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun. Paragraf 4 Kesiapsiagaan Nuklir Tingkat Nasional Pasal 76 (1) Kesiapsiagaan nuklir tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c dikoordinasikan oleh Kepala BNPB, dan dilaksanakan dengan melibatkan instansi terkait berdasarkan program kesiapsiagaan nuklir. (2) Penyusunan program kesiapsiagaan nuklir tingkat nasional dilakukan oleh instansi/lembaga yang berwenang, baik secara teknis maupun administratif, yang dikoordinasikan oleh Kepala BNPB. (3) Program kesiapsiagaan nuklir nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari program kesiapsiagaan penanggulangan bencana nasional. Pasal 77 (1) Kepala BNPB mengkoordinasikan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir tingkat nasional secara terpadu. (2) Pemegang izin dan instansi terkait wajib mengikuti pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir tingkat nasional. (3) Pelaksanaan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun. Bagian Kedua Penanggulangan Kedaruratan Nuklir 24
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 78 (1) Penanggulangan kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b terdiri atas: a. penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat instalasi; b. penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat daerah; dan c. penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat nasional. (2) Penanggulangan kedaruratan nuklir meliputi kegiatan: a. identifikasi kedaruratan nuklir dan penentuan status kedaruratan nuklir dan tingkat penanggulangan, pelaporan kepada instansi terkait, dan pengaktifan tim penanggulangan keadaan darurat; b. tindakan untuk membatasi dan mengurangi dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan/atau kontaminasi dalam hal terjadi kecelakaan radiasi yang berfokus pada sumber kecelakaan; c. tindakan pemberian tempat berlindung sementara (sheltering), evakuasi, dan/atau pemberian tablet yodium; d. penggunaan alat proteksi radiasi, pemantauan dosis yang diterima dan pengendalian kontaminasi zat radioaktif agar selalu sesuai dengan nilai batas yang dapat diterima dan tindakan bagi petugas penanggulangan yang terkena paparan berlebih, serta pemberian instruksi untuk tidak mengkonsumsi makanan yang dicurigai telah terkontaminasi zat radioaktif; dan/atau e. pemberian informasi dan instruksi kepada pekerja dan masyarakat sekitar secara cepat dan tepat dan pemberian informasi kepada media. (3) Dalam melaksanakan penanggulangan kedaruratan nuklir, pemegang izin wajib mengutamakan keselamatan manusia. Pasal 79 Kegiatan penanggulangan kedaruratan nuklir dilaksanakan sesuai dengan program kesiapsiagaan nuklir. Pasal 80 (1) Penentuan status kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan laju dosis akibat lepasan radioaktif yang ditimbulkan oleh kecelakaan radiasi. (2) Status kedaruratan nuklir terdiri atas: a. status kedaruratan nuklir tingkat instalasi; b. status kedaruratan nuklir tingkat daerah; dan c. status kedaruratan nuklir tingkat nasional.
25
www.djpp.depkumham.go.id
Paragraf 1 Penanggulangan Kedaruratan Nuklir Tingkat Instalasi Pasal 81 Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi di instalasi, pemegang izin wajib menyatakan status kedaruratan nuklir tingkat instalasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a. Pasal 82 Pemegang izin wajib melaksanakan kegiatan penanggulangan kedaruratan nuklir berdasarkan status kedaruratan nuklir tingkat instalasi. Paragraf 2 Penanggulangan Kedaruratan Nuklir Tingkat Daerah Pasal 83 Status kedaruratan nuklir tingkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan: a. adanya laju dosis 5 µSv/jam (lima mikro Sievert per jam) atau lebih yang terukur selama 10 (sepuluh) menit atau lebih di batas tapak instalasi; dan/atau b. lepasan radioaktif abnormal dengan konsentrasi aktivitas udara setara dengan atau melebihi laju dosis 5 µSv/jam (lima mikro Sievert per jam) di batas tapak instalasi yang terdeteksi dari jalur pelepasan normal. Pasal 84 (1) Gubernur menyatakan status kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83. (2) Kepala BPBD provinsi mengaktifkan dan memimpin pelaksanaan kegiatan penanggulangan kedaruratan nuklir sebagaimana berdasarkan status kedaruratan nuklir tingkat daerah. (3) Pemegang izin wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Mekanisme penanggulangan kedaruratan nuklir mengikuti ketentuan peraturan Perundang-undangan.
dilaksanakan
Pasal 85 (1) Gubernur menyatakan status kedaruratan nuklir berakhir apabila kecelakaan radiasi yang menyebabkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 telah ditanggulangi. 26
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Pernyataan berakhirnya status kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala BAPETEN. Paragraf 3 Penanggulangan Kedaruratan Nuklir Tingkat Nasional Pasal 86 Status kedaruratan nuklir tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan: a. adanya laju dosis 500 µSv/jam (lima ratus mikro Sievert per jam) atau lebih yang terukur selama 10 (sepuluh) menit atau lebih di batas tapak instalasi; dan/atau b. lepasan radioaktif abnormal dengan konsentrasi aktivitas udara setara dengan atau melebihi laju dosis 500 µSv/jam (lima ratus mikro Sievert per jam) di batas tapak instalasi yang terdeteksi dari jalur pelepasan normal. Pasal 87 (1) Presiden menyatakan status kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86. (2) Kepala BNPB mengaktifkan dan memimpin pelaksanaan penanggulangan kedaruratan nuklir berdasarkan status kedaruratan nuklir tingkat nasional. (3) Pemegang izin wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Mekanisme penanggulangan kedaruratan nuklir mengikuti ketentuan peraturan Perundang-undangan.
dilaksanakan
Pasal 88 (1) Presiden menyatakan status kedaruratan nuklir berakhir bila kecelakaan radiasi yang menyebabkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 telah ditanggulangi. (2) Pernyataan berakhirnya status kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala BNPB. Bagian Ketiga Kejadian Khusus
27
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 89 (1) Dalam hal terdapat kejadian khusus, Kepala BAPETEN memimpin pelaksanaan tindakan penanggulangan. (2) Dalam pelaksanaan tindakan penanggulangan, Kepala BAPETEN dapat meminta bantuan kepada dan/atau berkoordinasi dengan BNPB, dan/atau instansi terkait. (3) Tindakan penanggulangan akibat kejadian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan pedoman teknis yang ditetapkan oleh Kepala BAPETEN. Bagian Keempat Pengawasan dan Pelaporan Pasal 90 BAPETEN melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penanggulangan kedaruratan nuklir oleh pemegang izin. Pasal 91 (1) Untuk menjamin tindakan penanggulangan kedaruratan nuklir yang cepat dan tepat, pemegang izin wajib melapor kepada Kepala BAPETEN apabila terjadi kecelakaan radiasi dan/atau kedaruratan nuklir. (2) Laporan harus disampaikan kepada Kepala BAPETEN secara lisan dengan segera paling lama 1 (satu) jam dan secara tertulis paling lama 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah terjadi kecelakaan radiasi. (3) Pemegang izin wajib melaporkan kegiatan pelaksanaan penanggulangan kedaruratan nuklir di instalasinya kepada Kepala BAPETEN. Pasal 92 Kepala BNPB melaporkan terjadinya dan kegiatan pelaksanaan penanggulangan kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada Presiden. Bagian Kelima Pengalokasian dan Penggunaan Dana Pasal 93 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat pusat dan tingkat daerah dalam APBN dan APBD secara memadai berdasarkan program kesiapsiagaan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1). 28
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Pengalokasian dana kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (3) Pemegang izin wajib mengalokasikan anggaran untuk kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir berdasarkan program kesiapsiagaan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) sebelum kegiatan pengoperasian instalasi nuklir dimulai. (4) Dalam hal pemegang izin merupakan instansi pemerintah, pengalokasian anggaran kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir dilakukan sesuai ketentuan peraturan Perundangundangan. Pasal 94 Penggunaan dana kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, BNPB dan/atau BPBD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Bagian Keenam Peran serta Lembaga Internasional Pasal 95 Dalam hal terjadi kedaruratan nuklir, Kepala BAPETEN harus memberitahukan mengenai rincian kedaruratan nuklir kepada Badan Tenaga Atom Internasional dan/atau kepada negara lain. Pasal 96 Lembaga Internasional, negara lain dan/atau lembaga asing nonpemerintah dapat ikut serta dalam penanggulangan kedaruratan nuklir setelah mendapatkan izin dari Kepala BNPB.
BAB VI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 97 Pemegang izin yang melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, dikenakan sanksi administratif. Pasal 98 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dapat berupa: 29
www.djpp.depkumham.go.id
a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara beroperasinya instalasi; dan/atau c. pencabutan izin. Pasal 99 (1) Kepala BAPETEN memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali kepada pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33, Pasal 35, Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), Pasal 48 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (2), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (3), Pasal 54 ayat (3), Pasal 54 ayat (4), Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (1), Pasal 56 ayat (2), Pasal 57, dan Pasal 58, Pasal 62 huruf a, Pasal 62 huruf b, Pasal 62 huruf c, Pasal 62 huruf d, Pasal 62 huruf e, Pasal 62 huruf f, Pasal 62 huruf g, Pasal 62 huruf h, Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 67, Pasal 72 ayat (1), Pasal 73, Pasal 75 ayat (2), Pasal 77 ayat (2) dan Pasal 91 ayat (3). (2) Pemegang izin wajib menindaklanjuti peringatan tertulis pertama dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis pertama. (3) Jika dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang izin belum mematuhi peringatan tertulis pertama, Kepala BAPETEN memberikan peringatan tertulis kedua yang wajib dipenuhi dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. (4) Jika pemegang izin tidak mematuhi peringatan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala BAPETEN memberikan peringatan ketiga yang wajib dipenuhi dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. (5) Jika pemegang izin tetap tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala BAPETEN menghentikan sementara kegiatan konstruksi, komisioning atau operasi instalasi nuklir pemegang izin yang bersangkutan. (6) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku sampai dipenuhinya persyaratan keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir. (7) Jika selama penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pemegang izin tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir, dan tetap melaksanakan kegiatan konstruksi, komisioning atau operasi instalasinya, Kepala BAPETEN dapat langsung mencabut izin konstruksi, komisioning atau operasi instalasi nuklir. Pasal 100 30
www.djpp.depkumham.go.id
(1) Kepala BAPETEN memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali kepada pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1). (2) Pemegang izin wajib menindaklanjuti peringatan tertulis pertama dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis pertama. (3) Jika dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang Izin belum mematuhi peringatan tertulis pertama, Kepala BAPETEN memberikan peringatan tertulis kedua yang wajib dipenuhi dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. (4) Jika pemegang izin tidak mematuhi peringatan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala BAPETEN memberikan peringatan ketiga yang wajib dipenuhi dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. (5) Jika pemegang izin tetap tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala BAPETEN menghentikan sementara kegiatan dekomisioning pemegang izin yang bersangkutan. (6) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku sampai dipenuhinya persyaratan keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir. (7) Jika selama penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pemegang izin tetap tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir, Kepala BAPETEN mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Pasal 101 (1) Kepala BAPETEN memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali kepada pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1). (2) Pemegang izin wajib menindaklanjuti peringatan tertulis pertama dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis pertama. (3) Jika dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang Izin belum mematuhi peringatan tertulis pertama, Kepala BAPETEN memberikan peringatan tertulis kedua yang wajib dipenuhi dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. (4) Jika pemegang izin tidak mematuhi peringatan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala BAPETEN memberikan peringatan ketiga yang wajib dipenuhi dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. (5) Jika pemegang izin tetap tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala BAPETEN menghentikan sementara kegiatan komisioning, operasi atau dekomisioning instalasi nuklir pemegang izin yang bersangkutan. (6) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku sampai dipenuhinya persyaratan keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir. 31
www.djpp.depkumham.go.id
(7) Jika selama penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pemegang izin tetap tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir, Kepala BAPETEN mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Pasal 102 (1) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 61 ayat (2), Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 91 ayat (1), Kepala BAPETEN dapat langsung menghentikan sementara kegiatan komisioning atau operasi instalasi. (2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dipenuhinya persyaratan keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir. (3) Jika selama penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang izin tidak memenuhi keselamatan dan/atau keamanan instalasi atau bahan nuklir dan tetap melaksanakan kegiatan komisioning atau operasi instalasi nuklir, Kepala BAPETEN dapat langsung mencabut izin komisioning atau operasi instalasi nuklir. Pasal 103 Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 61 ayat (1), Pasal 78 ayat (3), Pasal 84 ayat (3) dan Pasal 87 ayat (3), Kepala BAPETEN dapat langsung mencabut izin komisioning atau operasi instalasi nuklir. Pasal 104 Kepala BAPETEN dapat mencabut izin komisioning atau operasi instalasi nuklir yang karena kelalaian atau kesengajaan pemegang izin menimbulkan kecelakaan nuklir. Pasal 105 Dalam hal pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (3), Pasal 103, dan Pasal 104, pemegang izin tetap harus bertanggung jawab atas pengelolaan instalasi dan bahan nuklir dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 106 Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini setiap persyaratan keselamatan dan keamanan yang diterapkan dalam pembangunan dan pengoperasian serta dekomisioning instalasi nuklir sebelum ditetapkan Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sampai jangka waktu masa 32
www.djpp.depkumham.go.id
berlakunya berakhir.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 107 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di J a k a r t a Pada tanggal ............... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal ................. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ttd PATRIALIS AKBAR
33
www.djpp.depkumham.go.id
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR … TAHUN … TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR I. UMUM Istilah nuklir pada bidang ilmu fisika dipahami sebagai suatu bagian dari zat yang berupa partikel terkecil yaitu atom, dimana selain tersusun atas inti atom (nuklir) juga elektron. Inti atom atau nuklir dikenal luas karena menghasilkan energi yang disebut tenaga nuklir. Tenaga nuklir dikenal masyarakat luas dalam bentuk bom atom, yang dalam perkembangannya lebih tepat dinamakan bom nuklir, karena yang menghasilkan energi lebih dominan pada bagian nuklir. Sesuai kemajuan zaman, karena kharakteristik tenaga nuklir yang menghasilkan energi luar biasa besar, juga dimanfaatkan untuk tujuan damai, dalam hal ini tujuan selain untuk pembuatan senjata nuklir, yang dapat dikembangkan untuk berbagai keperluan di banyak bidang. Dalam reaksi yang melibatkan nuklir dimungkinkan timbulnya potensi bahaya dalam bentuk pancaran energi atau partikel radiasi yang dapat berinteraksi dengan materi yang dilaluinya. Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia sudah cukup meluas yang meliputi berbagai bidang seperti kesehatan, penelitian, industri, dan lain-lain. Namun pemanfaatan tersebut mengandung potensi bahaya terutama bila tidak dilakukan sesuai dengan peraturan keselamatan yang berlaku. Potensi bahaya dapat timbul karena inti atom dapat menjadi tidak stabil yang disebabkan oleh beberapa hal, sehingga memancarkan radiasi gamma, beta dan alpha yang mempunyai potensi bahaya bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup. Terkait dengan ketentuan keselamatan tersebut, saat ini telah diterbitkan, antara lain: a. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif yang mempunyai ruang lingkup pengaturan keselamatan pengangkutan zat radioaktif yang meliputi perizinan, kewajiban dan tanggung jawab, pembungkusan, program proteksi radiasi, pelatihan program jaminan kualitas, jenis dan batas aktivitas zat radioaktif, zat radioaktif dengan sifat bahaya lain, dan penanggulangan keadaan darurat. Peraturan Pemerintah ini juga berlaku untuk pengangkutan bahan nuklir. b. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, yang mempunyai ruang lingkup pengaturan keselamatan radiasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir, intervensi, keamanan sumber radioaktif dan inspeksi dalam pemanfaatan tenaga nuklir; dan bertujuan menjamin keselamatan pekerja dan anggota masyarakat, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan keamanan sumber radioaktif. Peraturan Pemerintah ini tidak mengatur masalah keamanan bahan nuklir. Pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan dalam suatu instalasi nuklir, seperti reaktor nuklir, baik reaktor untuk keperluan menghasilkan listrik maupun untuk tujuan riset dan produksi isotop untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit, fasilitas pemurnian, fasilitas fabrikasi bahan bakar nuklir, fasilitas penyimpanan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas. Termasuk dalam lingkup instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. 34
www.djpp.depkumham.go.id
Instalasi nuklir harus didesain dan dibangun serta dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga nuklir selamat dan aman. Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan dan ketentraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam setiap pemanfaatan tenaga nuklir, sejak dini dilakukan upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan radiasi dengan menerapkan prinsip pertahanan berlapis (defense in depth). Untuk kepentingan kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir, instalasi dibagi menjadi 5 (lima) kategori bahaya radiologi, yaitu: a. kategori I, yaitu instalasi dengan potensi bahaya sangat besar yang mampu menghasilkan lepasan radioaktif ke luar tapak instalasi sehingga memberi dampak deterministik serius terhadap kesehatan; b. kategori II, yaitu instalasi dengan potensi bahaya yang mampu menghasilkan lepasan radioaktif ke luar tapak instalasi dan menyebabkan meningkatnya dosis masyarakat sehingga memerlukan tindakan perlindungan segera; c. kategori III, yaitu instalasi dengan potensi bahaya tidak berdampak terhadap daerah di luar tapak instalasi tetapi memerlukan tindakan perlindungan segera pada tapak instalasi; d. kategori IV, yaitu kegiatan dengan potensi bahaya yang memerlukan tindakan perlindungan segera pada tempat yang tidak dapat diprediksi, termasuk kegiatan yang tidak memiliki izin; dan e. kategori V, yaitu kegiatan yang dalam keadaan normal tidak terkait dengan sumber radiasi pengion, tetapi dapat menghasilkan produk yang mempunyai kemungkinan terkontaminasi akibat kecelakaan yang terjadi pada instalasi dengan kategori bahaya radiologik I atau II, baik di dalam maupun di luar negara. Untuk kepentingan kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir, peraturan pemerintah ini hanya mengatur instalasi nuklir dengan kategori bahaya radiologi I dan II. Sementara itu, instalasi nuklir seperti reaktor daya dengan daya lebih kecil dari atau sama dengan 2 (dua) megawat termal, instalasi radiometalurgi, instalasi fabrikasi bahan bakar nuklir, tetap harus menetapkan dan melaksanakan program kesiapsiagaan nuklir berdasarkan peraturan pemerintah yang lain, yaitu Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif. Sampai saat ini ketentuan yang mengatur tentang keselamatan dan keamanan instalasi dan bahan nuklir, termasuk upaya kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan nuklir, masih merupakan peraturan setingkat Peraturan Kepala BAPETEN, dan belum ada dalam bentuk Peraturan Pemerintah, khususnya sebagai instrumen pengawasan instalasi dan bahan nuklir di masa yang akan datang. Peraturan Pemerintah diperlukan sebagai payung hukum yang efektif demi terjaminnya keselamatan dan keamanan instalasi dan bahan nuklir, termasuk upaya kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan nuklir yang optimal. Khususnya mengenai kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir, subyek yang terlibat dalam sistem kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35
www.djpp.depkumham.go.id
33 Tahun 2007 adalah pemegang izin atau pengusaha instalasi nuklir, sedangkan subyek yang belum dicakup adalah pemerintah daerah (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, termasuk lembaga / instansi teknis di daerah yang terkait dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat daerah) dan pemerintah (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, termasuk lembaga / instansi teknis di pusat terkait dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat nasional). Sudah merupakan keniscayaan bahwa dalam setiap instalasi nuklir terdapat bahan nuklir yang bermanfaat untuk menghasilkan reaksi pembelahan berantai atau dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai. Karena kekhususan sifat inilah bahan nuklir dapat menghasilkan energi yang sangat dahsyat. Potensi yang terdapat dalam bahan nuklir harus diatur juga, sehingga pengawasan bahan nuklirnya tidak mungkin terpisahkan dari keselamatan dan keamanan instalasi nuklir. Aspek keamanan bahan nuklir menjadi hal yang penting, sehingga sekecil apapun kemungkinan bahan nuklir akan digunakan untuk tujuan selain tujuan damai, harus dicegah. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka disusunlah Peraturan Pemerintah ini, yang mengatur mengenai keselamatan dan keamanan instalasi nuklir, termasuk upaya kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan nuklir sebagai aturan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud “kejadian alam” meliputi antara lain: kejadian yang terkait dengan aspek kegempaan, kegunungapian, geologi, hidrologi dan meteorologi. Sedangkan yang dimaksud “kejadian ulah manusia” meliputi antara lain: bahaya yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pada instalasi kimia, pelepasan gas beracun dan mudah terbakar, dan jatuhnya pesawat terbang. Ayat (3) Cukup jelas. 36
www.djpp.depkumham.go.id
Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Kemampuan menerima buangan panas yang ditimbulkan selama operasi mencakup juga selama shutdown. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan “penghalang ganda” adalah dua atau lebih penghalang untuk mencegah atau menghambat perpindahan radionuklida atau fenomena lainnya. Huruf b Yang dimaksud dengan “margin keselamatan” adalah rentang nilai yang melebihi nilai batas yang ditetapkan untuk memastikan tujuan keselamatan terwujud, atau perbedaan antara batas keselamatan dan batas operasi. Biasanya dinyatakan sebagai rasio dari kedua nilai batas keselamatan dan batas operasi. Huruf c Yang dimaksud dengan “redundansi” adalah upaya duplikasi struktur, sistem, dan komponen (baik yang identik ataupun berbeda) sehingga berfungsi sesuai persyaratan baik dalam kondisi operasi maupun kondisi gagal, atau perlengkapan yang berupa lebih dari jumlah minimum unsur atau sistem yang sejenis atau beraneka ragam, sehingga kehilangan salah satu dari mereka tidak mengakibatkan kehilangan keseluruhan fungsi yang disyaratkan. Huruf d Yang dimaksud dengan “keragaman” adalah upaya peragaman struktur, sistem, dan komponen yang memiliki fungsi yang identik, tapi memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dapat mengurangi kemungkinan kegagalan penyebab sama. Misalnya: kondisi operasi yang berbeda, prinsip kerja atau kelompok desain yang berbeda, serta ukuran dan manufaktur yang berbeda. Di samping itu jenis peralatan yang menggunakan metode fisis yang berbeda. Huruf e Yang dimaksud dengan “kemandirian” adalah kemampuan struktur, sistem dan/atau komponen menunjukkan fungsinya tanpa dipengaruhi oleh kondisi operasi atau kegagalan struktur, sistem, dan komponen lain, atau kondisi kejadian awal terpostulasi yang mensyaratkan berfungsinya struktur, sistem dan/atau komponen tersebut. Huruf f Yang dimaksud dengan “gagal-selamat” adalah suatu desain yang menjamin tidak terjadinya bahaya jika terjadi kegagalan. Prinsip gagal-selamat diterapkan untuk struktur, sistem, dan komponen yang penting untuk keselamatan, misalnya, apabila sistem atau komponen harus gagal, instalasi nuklir tetap berada pada status selamat tanpa inisiasi tindakan protektif atau mitigasi. Jika memungkinkan, prinsip gagal-selamat hendaknya diterapkan pada komponenkomponen yang penting untuk keselamatan, yakni, jika suatu sistem atau 37
www.djpp.depkumham.go.id
komponen gagal, maka instalasi nuklir hendaknya berada dalam keadaan selamat tanpa keharusan melakukan tindakan apapun oleh operator. Huruf g Yang dimaksud dengan “kualifikasi peralatan” adalah upaya untuk memastikan peralatan yang terkait keselamatan beroperasi sesuai dengan fungsi, kondisi operasi, dan persyaratan yang ditetapkan, dengan pengaruh dari kondisi lingkungan seperti vibrasi, temperatur, tekanan, interferensi elektromagnetik, irradiasi, kelembaban, dan kombinasi yang terjadi. Kondisi lingkungan yang dipertimbangkan termasuk variasi kondisi lingkungan yang diharapkan terjadi kondisi operasi normal, kejadian operasi terantisipasi, dan kecelakaan dasar desain. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) a. Yang dimaksud dengan “klas keselamatan” adalah klasifikasi struktur, sistem, dan komponen berdasarkan fungsi keselamatan dan pentingnya terhadap keselamatan. b. Yang dimaksud dengan “klas mutu” adalah klasifikasi struktur, sistem dan komponen berdasarkan kendali pemenuhan persyaratan desain dan aspek jaminan mutu pada tahap desain, konstruksi termasuk manufaktur dan pemasangan peralatan, operasi termasuk perawatan, dan modifikasi. c. Yang dimaksud dengan “klas seismik” adalah klasifikasi struktur, sistem dan komponen berdasarkan kebutuhan tetap berfungsinya struktur, sistem dan komponen tersebut selama gempa dengan skala keparahan tertentu, serta mempertimbangkan kondisi pascagempa dan kemungkinan perambatan kerusakan. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “konfirmasi desain” adalah penilaian keselamatan dan verifikasi yang secara mandiri dan komprehensif terhadap desain untuk menjamin tujuan dan persyaratan keselamatan terpenuhi. Ayat (2) Tim independen dapat berasal dari dalam atau luar organisasi pemegang izin. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 38
www.djpp.depkumham.go.id
Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud “titik tunda” adalah suatu tahapan dari pengujian/uji fungsi setelah suatu proses tertentu untuk dilakukan penilaian atau review apakah memenuhi syarat untuk dilanjutkan atau ditinjau ulang. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud “perubahan terhadap desain” adalah perubahan desain rinci (detail design) selama tahap konstruksi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “struktur, sistem dan/atau komponen yang penting untuk keselamatan” adalah struktur, sistem, dan/atau komponen yang menyediakan fungsi keselamatan untuk menjamin kejadian awal terpostulasi tidak melampaui batas yang dinyatakan dalam dasar desain untuk kejadian operasi terantisipasi dan kecelakaan dasar desain, meliputi: a. Struktur, sistem dan/atau komponen yang mencegah timbulnya paparan radiasi pada personil, masyarakat dan lingkungan hidup; b. Struktur, sistem dan/atau komponen yang mencegah kejadian operasi terantisipasi menjadi kondisi kecelakaan; dan c. Fitur yang disediakan untuk mitigasi konsekuensi penyimpangan fungsi atau kegagalan struktur, sistem, dan/atau komponen. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”pengujian secara terintegrasi” adalah pengujian dalam program komisioning untuk memastikan: a. struktur, sistem dan komponen yang terkait dengan sistem proses berfungsi pada kondisi operasi normal; dan b. struktur, sistem, dan komponen yang terkait sistem keselamatan berfungsi pada kondisi operasi normal, operasi terantisipasi, dan kecelakaan dasar desain sehingga menunjukkan adanya proteksi terhadap kegagalan, termasuk 39
www.djpp.depkumham.go.id
akibat kesalahan manusia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”deteksi penuaan” adalah mendeteksi dan mengkaji komponen yang mengalami penuaan dan mempengaruhi seluruh keselamatan instalasi nuklir, secara tepat waktu dalam kerangka kerja kegiatan manajemen penuaan. Program tersebut harus berdasar informasi dari desain, perawatan, surveilan komponen dan sistem. Kegagalan aktual atau insiden harus dipertimbangkan sebagai faktor dalam program tersebut. Deteksi penuaan dilakukan antara lain dengan pemilihan dan kategorisasi struktur, sistem dan komponen yang rentan terhadap penuaan, kegiatan pengawasan penuaan, metode pengumpulan data dan metode untuk evaluasi lebih lanjut efek penuaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “batas keselamatan” adalah batasan nilai parameter operasi dalam keadaan instalasi nuklir telah dioperasikan dengan selamat. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengesetan (setting) sistem keselamatan” adalah nilai parameter dengan peralatan proteksi berfungsi secara otomatis pada kejadian operasi terantisipasi, untuk mencegah terlampuinya batas keselamatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. 40
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 24 Yang dimaksud dengan ”inspeksi” adalah inspeksi terhadap struktur, sistem, dan komponen yang dilakukan oleh pemegang izin selama umur operasi dengan tujuan mengidentifikasi sisa umur reaktor terkait dengan degradasi atau kondisi yang mungkin menyebabkan kegagalan, struktur, sistem, dan/atau komponen. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Laporan operasi instalasi nuklir memuat antara lain data operasi, data bahan nuklir, pengujian, perawatan dan inspeksi, proteksi radiasi, data limbah, dan kesiapsiagaan nuklir. Huruf b Laporan hasil pemantauan dan pengelolaan lingkungan memuat antara lain hasil pemantauan radioaktivitas di udara, air, tanah, dan tanaman di tapak dan di luar tapak, termasuk peta stasiun pemantauan. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”struktur, sistem dan komponen (SSK) kritis” adalah struktur, sistem, dan komponen yang penting untuk keselamatan dan rentan terhadap penuaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Modifikasi yang terkait dengan perubahan peraturan Perundangundangan terutama dalam hal keselamatan instalasi nuklir. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f 41
www.djpp.depkumham.go.id
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan modifikasi berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemegang izin dan dilaksanakan oleh petugas yang terkualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Ayat (4) Huruf a Desain rinci modifikasi meliputi: a. Dasar desain, spesifikasi teknis, standar dan perhitungan yang digunakan; b. Diagram dan gambar teknis; c. Analisis faktor manusia; d. Perubahan batasan dan kondisi operasi instalasi; e. Analisis keandalan; f. Persyaratan perawatan, pengujian dan pelatihan; g. Perubahan prosedur pengoperasian perawatan; h. Prosedur pemasangan; i. Persyaratan untuk verifikasi; j. Persyaratan untuk uji fungsi; k. Persyaratan pengelolaan limbah; l. Hasil eksperimen yang relevan; dan m. Pengalaman dari instalasi nuklir lain. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dokumen yang relevan untuk pengoperasian kembali pasca modifikasi perlu dimutakhirkan, (misalnya dokumen tentang gambar teknis, prosedur pengoperasian, laporan analisis keselamatan, batasan dan kondisi operasi) dan personil terkait pengoperasian instalasi nuklir pasca mendapat pelatihan yang memadai. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 42
www.djpp.depkumham.go.id
Ayat (1) Tujuan verifikasi adalah untuk memastikan kondisi fisik memenuhi persyaratan keselamatan dan pengoperasian instalasi memenuhi batasan dan kondisi operasi. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Contoh penilaian terhadap keperluan modifikasi, antara lain apabila instalasi nuklir sejenis mengalami kecelakaan, pemegang izin melakukan penilaian terhadap instalasi nuklir yang menjadi tanggung jawabnya untuk menentukan modifikasi yang diperlukan sehingga tujuan dan persyaratan keselamatan terpenuhi. Pasal 37 Ayat (1) Selama operasi instalasi, pemegang izin wajib melakukan penilaian keselamatan secara berkala dengan mempertimbangkan pengalaman operasi dan informasi keselamatan yang baru dari semua sumber yang relevan terhadap faktor keselamatan. Huruf a Penilaian keselamatan yang dilakukan terhadap desain instalasi nuklir untuk menjamin desain dan dokumentasi yang terkait desain instalasi nuklir memenuhi peraturan perundangan, code dan standar yang ditetapkan. Huruf b Penilaian keselamatan yang dilakukan terhadap kondisi terkini struktur, sistem dan komponen untuk menjamin struktur, sistem dan komponen memiliki kondisi yang memenuhi persyaratan desaun yang ditetapkan. Huruf c Penilaian keselamatan yang dilakukan terhadap kualifikasi peralatan untuk menjamin peralatan yang penting untuk keselamatan terkualifikasi memiliki kinerja fungsi keselamatan sesuai dengan desain selama masa layan. Huruf d Penilaian keselamatan yang dilakukan terhadap penuaan untuk menjamin penuaan instalasi nuklir diatur dengan efektif sehingga fungsi keselamatan dan program manajemen penuaan tersedia. Huruf e Penilaian keselamatan yang dilakukan terhadap kinerja keselamatan dan umpan balik pengalaman operasi untuk menentukan kinerja keselamatan instalasi nuklir dan kecendrukan kinerja tersebut berdasarkan rekaman pengalaman operasi dan menjamin umpan balik pengalaman operasi dan hasil penelitian memadai. Huruf f 43
www.djpp.depkumham.go.id
Penilaian keselamatan yang dilakukan terhadap manajemen keselamatan termasuk rencana kesiapsiagaan nuklir untuk menjamin manajemen dan rencana kesiapsiagaan nuklir memadai untuk pengoperasian instalasi nuklir secara selamat dan kondisi kedaruratan dan prosedur yang ada memenuhi peraturan perundangan dan standard, dan menentukan kondisi variasi faktor manusia yang menimbulkan dampak pada keselamatan operasi instalasi nuklir. Huruf g Penilaian keselamatan yang dilakukan terhadap dampak radiologi pada lingkungan untuk menjamin program surivailan untuk dampak radiologi pada lingkungan tersedia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Salah satu tanggung jawab pemegang izin adalah melakukan audit keselamatan terhadap dokumen keselamatan. Penunjukan pelaksana audit keselamatan dapat dilakukan oleh internal pemegang izin maupun oleh kelompok eksternal misalnya panitia penilai keselamatan. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Program Dekomisioning memuat uraian rinci tentang: a. struktur organisasi pelaksana dekomisioning dan jadwal kegiatan yang merupakan bagian dari manajemen dekomisioning ; b. uraian instalasi; c. metode atau opsi dekomisioning; d. rencana survei karakterisasi atau ringkasannya; e. perkiraan biaya dekomisioning; f. analisis atau kajian keselamatan; g. kajian lingkungan atau ringkasannya; h. program proteksi radiasi; i. program seifgard dan proteksi fisik; j. program kesiapsiagaan nuklir; k. rencana penanganan limbah radioaktif; l. kegiatan dekomisioning; m. surveilan dan perawatan; dan n. survei radiasi akhir. Ayat (2) Yang dimaksud dengan karakterisasi adalah penentuan jenis dan aktivitas radionuklida yang berada di dalam suatu tempat. Pasal 42 Ayat (1) Kajian ulang dan pemutakhiran program dekomisioning dilakukan secara 44
www.djpp.depkumham.go.id
berkala sesuai dengan jenis instalasi nuklir. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Biaya dekomisioning harus mencakup seluruh kegiatan dekomisioning, yang meliputi antara lain: perencanaan, dekontaminasi, pembongkaran, perawatan, surveilan, proteksi fisik, survei akhir dan pengelolaan limbah radioaktif termasuk penyimpanan limbah. Penentuan biaya mempertimbangkan perkembangan teknologi dalam kegiatan dekomisioning, kedaruratan, perubahan nilai mata uang termasuk inflasi dan indeks harga konsumen, dan hasil analisa biaya-keuntungan (costbenefit analysis) dan sensitivitas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Daftar Informasi Desain” adalah dokumen yang memuat informasi tentang bahan nuklir meliputi bentuk, jumlah, lokasi, dan alur bahan nuklir yang digunakan, fitur fasilitas yang mencakup uraian fasilitas, tata letak fasilitas dan pengungkung, dan prosedur pengendalian bahan nuklir. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Karakteristik sistem proteksi fisik meliputi: a. Disesuaikan dengan sistem keselamatan di instalasi nuklir; b. Memiliki pertahanan berlapis untuk proteksi fisik yang meliputi 45
www.djpp.depkumham.go.id
pencegahan dan perlindungan; c. Memiliki konsekuensi minimum akibat kegagalan komponen; d. Memiliki proteksi yang seimbang; dan e. Memiliki proteksi atas dasar pendekatan berperingkat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud ”konsep pertahanan berlapis”untuk sistem proteksi fisik meliputi: a. desain peralatan keamanan; b. prosedur proteksi fisik; c. organisasi pengamanan dan tugasnya; dan d. desain fasilitas termasuk denah fasilitas dan mempertimbangkan aspek keselamatan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pelatihan dan/atau gladi sistem proteksi fisik termasuk uji fungsi terhadap seluruh sistem proteksi fisik dan dipastikan sistem proteksi fisik dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas.
46
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Inspeksi Protokol Tambahan pada instalasi nuklir termasuk akses (complementary access) dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Protokol Tambahan. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tujuan keselamatan nuklir meliputi: a. tujuan umum keselamatan nuklir yaitu untuk melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya pertahanan yang efektif terhadap timbulnya bahaya radiasi di instalasi nuklir. b. tujuan khusus keselamatan nuklir, meliputi: 1. tujuan proteksi radiasi, meliputi: a) menjamin paparan radiasi pada setiap kondisi instalasi nuklir dan bahan nuklir atau setiap pelepasan zat radioaktif yang terantisipasi dari instalasi serendah-rendahnya yang secara praktik dapat dicapai dan di bawah pembatas dosis yang ditetapkan; dan b) menjamin mitigasi dampak radiologi dari suatu kecelakaan yang ditimbulkan selama pemanfaatan instalasi dan bahan nuklir. 2. tujuan keselamatan teknis, a) mencegah terjadinya kecelakaan selama pemanfaatan instalasi dan bahan nuklir serta melakukan mitigasi dampak radiologi apabila kecelakaan tetap terjadi; b) memastikan dengan tingkat kepercayaan tinggi bahwa semua kecelakaan yang telah dipertimbangkan dalam desain instalasi nuklir memberikan resiko serendah-rendahnya; dan c) memastikan bahwa kecelakaan dengan dampak radiologi yang serius mempunyai kebolehjadian yang sangat kecil. Tujuan proteksi radiasi dan tujuan keselamatan teknis dapat dicapai melalui upaya teknis dan administratif yang saling bergayut. Yang dimaksud dengan ’dampak radiologi yang serius’ adalah dampak radiasi yang merupakan efek deterministik yang terjadi dengan tingkat radiasi sangat tinggi. Contoh dampak radiologi yang serius adalah sindrom saluran pencernaan, sindrom sistem syaraf, bahkan kematian. Ayat (2) Pertahanan yang efektif diwujudkan melalui penerapan strategi pertahanan 47
www.djpp.depkumham.go.id
berlapis untuk memenuhi fungsi keselamatan dasar instalasi nuklir, meliputi: a. Fungsi keselamatan dasar reaktor nuklir, meliputi: 1. mengendalikan reaktivitas; 2. memindahkan panas dari teras reaktor; dan 3. mengungkung zat radioaktif dan menahan radiasi. b. Fungsi keselamatan dasar instalasi nuklir nonreaktor, meliputi: 1. mempertahankan keadaan subkritik dan mengendalikan sifat kimia; 2. memindahkan panas peluruhan radionuklida; dan 3. mengungkung zat radioaktif dan menahan radiasi. Strategi pertahanan berlapis meliputi: a. mencegah terjadinya kecelakaan; dan b. membatasi konsekuensi akibat terjadinya kecelakaan dan mencegah menjalarnya kecelakaan menjadi lebih serius. Yang dimaksud dengan “pertahanan berlapis” adalah penerapan upaya proteksi sehingga tujuan keselamatan dapat terwujud meskipun bila salah satu upaya proteksi menemui kegagalan. Tingkatan dalam pertahanan berlapis, meliputi: a. Tingkat 1, pencegahan kegagalan dan kejadian operasi terantisipasi yang dilakukan dengan desain konservatif, konstruksi dan operasi yang berkualitas tinggi; b. Tingkat 2, pengendalian terhadap kejadian operasi terantisipasi serta deteksi kegagalan yang dilakukan dengan sistem pengendalian, pembatasan dan proteksi serta fitur survailen yang lain; c. Tingkat 3, pengendalian kecelakaan dasar desain, yang dilakukan dengan fitur keselamatan teknis dan prosedur kecelakaan; d. Tingkat 4, pengendalian terhadap kondisi yang parah, termasuk pencegahan perambatan kecelakaan dan mitigasi konsekuensi kecelakaan parah yang dilakukan dengan upaya tambahan dan manajemen kecelakaan; dan/atau e. Tingkat 5, mitigasi konsekuensi radiologi untuk pelepasan zat radioaktif signifikan, yang dilakukan dengan tindakan darurat di lokasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 62 Huruf a Sikap dan kebijakan keselamatan dan keamanan memerlukan komitmen pada setiap level pemegang izin. Huruf b Pemegang izin menjamin bahwa instalasi dibangun, dioperasikan dan didekomisioning sesuai spesifikasi desain, analisis keselamatan yang diuraikan dalam laporan analisis keselamatan, dan program proteksi fisik. Huruf c Pemegang izin memiliki tanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan dengan menjaga kualitas, struktur, sistem dan komponen instalasinya memenuhi ketentuan desain, konstruksi, komisioning, operasi dan dekomisioning instalasi nuklir. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 48
www.djpp.depkumham.go.id
Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Sistem manajemen yang ditetapkan dan diterapkan oleh pemegang izin mencakup juga pengertian tentang jaminan mutu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Analisis keandalan manusia termasuk dalam lingkup laporan analisis keselamatan dan laporan analisis keselamatan probabilistik Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “faktor kesehatan” adalah bahwa pemegang izin dalam mempekerjakan personil instalasi nuklir, mempertimbangkan dan memastikan bahwa personil tersebut sehat secara fisik dan psikis. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan ”faktor ergonomi” adalah faktor yang mempertimbangkan interaksi antara manusia dan sistem/komponen serta penerapannya pada teori, prinsip, metode desain, dan data yang relevan untuk meningkatkan kenyamanan personil dan keefektifan sistem secara menyeluruh. Sedangkan yang dimaksud dengan ”faktor antarmuka manusia-mesin” adalah metode interaksi operator dengan proses yang meliputi pemanfaatan metode konvensional atau komputerisasi untuk pengendalian dan pemantauan instalasi nuklir, antara lain : indikator, rekaman, alarm windows, displays, dan pengendali. Pasal 67 Personil tertentu yang bertugas dalam kegiatan terkait keselamatan instalasi nuklir dilatih guna memenuhi kualifikasi untuk menunjukkan kemampuan kinerjanya. Personil tertentu yang bertugas antara lain: petugas pemantau lingkungan, petugas jaminan kualitas, welder, piping engineer, petugas pengawas konstruksi, operator, supervisor, petugas perawatan, petugas proteksi radiasi, petugas inventori bahan 49
www.djpp.depkumham.go.id
nuklir, dan petugas dekomisioning instalasi nuklir. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Organisasi penanggulangan kedaruratan nuklir meliputi: struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab tiap unsur organisasi, tugas dan tanggung jawab personil tiap posisi, hubungan dan kerja sama dengan organisasi terkait lain, konsep operasi dan koordinasi dengan program kedaruratan organisasi lain. Huruf b Koordinasi meliputi: i. sistem hubungan kerja antar organisasi yang terkait dalam fungsi penanggulangan kedaruratan nuklir; ii. prosedur koordinasi dengan organisasi terkait lain (contoh: pemberitahuan dan permintaan bantuan); dan iii. perjanjian atau dokumen tertulis dengan organisasi atau pihak-pihak terkait lain untuk melaksanakan tindakan penanggulangan kedaruratan nuklir. Huruf c Fasilitas dan peralatan kedaruratan mencakup pemberdayaan fasilitas kedaruratan, bantuan teknis dan keuangan. Huruf d Prosedur penanggulangan meliputi antara lain: - prosedur tindakan protektif. Tindakan protektif tersebut berupa penampungan di bunker (tempat perlindungan), evakuasi, dan pemberian tablet kalium yodida atau zat lain yang sejenis (sebagai profilaksis); dan - prosedur tindakan remedial atau pemulihan. Huruf e Pelatihan adalah proses pemberian instruksi, baik teori maupun praktik dengan silabus yang telah ditetapkan. Sedangkan gladi adalah pelatihan secara terintegrasi dengan menggunakan skenario tertentu. Kegiatan gladi dapat berupa gladi posko (table top exercise) dan/atau gladi lapang (field exercise). Program pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir meliputi antara lain pelatihan dan uji coba penanggulangan kedaruratan nuklir di dalam maupun di luar kawasan yang diselenggarakan oleh pemegang izin atau Pengusaha Instalasi Nuklir secara berkala. Ayat (3) Fungsi Penanggulangan hanya akan diberlakukan pada saat terjadi kedaruratan nuklir. 50
www.djpp.depkumham.go.id
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tindakan mitigasi adalah tindakan yang dilakukan oleh pemegang izin atau Pengusaha Instalasi Nuklir untuk membatasi dan mengurangi dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan/atau kontaminasi dalam hal terjadi kecelakaan radiasi. Tindakan ini berfokus pada sumber kecelakaan. Tindakan tersebut meliputi antara lain dekontaminasi dan pertolongan medis, survei, pemantauan dan pengawasan, yang dilakukan dengan cepat dan tepat waktu serta tindak lanjut untuk mengurangi eskalasi dan risiko kecelakaan. Huruf c Tindakan perlindungan segera diambil untuk mencegah sedemikian rupa munculnya efek deterministik maupun dosis yang melebihi batasan yang diizinkan dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan. Tindakan perlindungan segera meliputi tempat berlindung sementara (sheltering), evakuasi, dan/atau pemberian tablet kalium yodida. Huruf d Tindakan perlindungan untuk petugas penanggulangan kedaruratan nuklir, pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup dilakukan melalui penggunaan perlengkapan proteksi radiasi, pemantauan dosis yang diterima dan pengendalian kontaminasi zat radioaktif agar selalu sesuai dengan nilai batas yang diizinkan dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan, dan ada tindak lanjut bagi petugas penanggulangan yang terkena paparan berlebih, serta perintah tidak mengkonsumsi makanan yang dicurigai telah terkontaminasi zat radioaktif. Huruf e Informasi dan instruksi pada masyarakat diberikan secara cepat dan tepat kepada masyarakat sekitar melalui media komunikasi atau dari rumah ke rumah. Sedangkan kepada media massa diberikan informasi. Pasal 71 Ayat (1) Yang dimaksud dengan potensi bahaya radiologik di sini adalah bahaya yang terkait dengan instalasi nuklir, baik di dalam maupun di luar batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ayat (2) Huruf a Contoh instalasi kategori bahaya radiologik I antara lain: - reaktor dengan daya lebih besar 100 megawat termal, Dampak deterministik serius adalah dampak pasti yang ditimbulkan dari bahaya radiasi dengan tingkat dosis radiasi akut. Huruf b Contoh instalasi kategori bahaya radiologik II adalah: - reaktor dengan daya lebih besar atau sama dengan 2 (dua) megawat termal tetapi lebih kecil atau sama dengan 100 megawat termal; - instalasi penyimpanan bahan bakar bekas jenis kolam yang mengandung aktivitas ekivalen dengan inventori zat radioaktif di dalam teras reaktor dengan daya lebih besar dari 10 megawat termal dan lebih kecil dari 3000 megawat termal; dan 51
www.djpp.depkumham.go.id
- instalasi dengan inventori zat radioaktif yang cukup untuk menghasilkan dosis yang memerlukan tindakan perlindungan segera. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Program kesiapsiagaan nuklir di sini dapat disamakan dengan rencana kontinjensi. Instansi terkait antara lain dinas pemadam kebakaran dan dinas kesehatan, termasuk ambulans dan rumah sakit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 75 Dengan melaksanakan pelatihan dan gladi kedaruratan yang dilakukan di tingkat daerah, pemegang izin dapat dianggap telah melaksanakan pelatihan dan gladi kedaruratan untuk tingkat instalasi pada tahun dilaksanakannya pelatihan dan gladi kedaruratan tingkat daerah. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Instansi/lembaga yang berwenang, baik secara teknis maupun administratif antara lain adalah BAPETEN. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. 52
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 µSv adalah singkatan dari mikro Sievert. ‘Sievert’ adalah satuan internasional untuk dosis ekivalen, yang menyatakan tingkat kerusakan jaringan tubuh manusia akibat radiasi pengion. 1 Sv = 1.000.000 µSv. Pasal 84 Langkah-langkah yang diatur dalam ayat (1) sampai dengan ayat (3) bukanlah merupakan urutan. Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan secara bersamaan. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Kejadian khusus dimasukkan sebagai kategori potensi bahaya radiologik IV dan V. Bom kotor (radiation dispersal device) adalah bom yang bahan dasarnya mengandung zat radioaktif. Apabila diledakkan, bom ini akan menyebarkan zat radioaktif yang menyebabkan lokasi bom tersebut diledakkan terpapar radiasi dan/atau kontamniasi. Pelepasan zat radioaktif dari negara lain (transboundary release) adalah zat radioaktif yang keluar dari instalasi yang melampaui batas negara tempat instalasi tersebut berada. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 90 Yang dimaksud dengan pengawasan adalah penilaian terhadap pelaksanaan penanggulangan kedaruratan nuklir dilakukan oleh BAPETEN. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. 53
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden No. 81 Tahun 1993 Tentang: Pengesahan Convention On Early Notification Of A Nuclear Accident, BAPETEN telah ditetapkan sebagai National Competent Authority Abroad (NCAA), National Competent Authority Domestic (NCAD), National Warning Point (NWP) yang salah satu tugasnya adalah melakukan pemberitahuan dini (early notification) apabila terjadi kecelakaan nuklir. Bila terjadi kecelakaan, maka pemberitahuan dini dilakukan oleh Deputi Bidang Perizinan dan Inspeksi BAPETEN selaku NCAD. Apabila di negara lain terjadi kecelakaan, maka peringatan dari IAEA akan diterima oleh Direktur Keteknikan dan Kesiapsiagaan Nuklir BAPETEN selaku NWP, tetapi NWP tidak berhak menanyakan tentang hal ihwal yang terjadi terkait peringatan dari IAEA. Yang berhak menanyakan adalah Kepala BAPETEN selaku NCAA. Pasal 96 Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya yang mewakili pemerintahan suatu negara. Sebagai contoh adalah Badan Tenaga Atom Internasional. Lembaga asing nonpemerintah adalah suatu lembaga internasional yang terorganisasi secara fungsional bebas dari dan tidak mewakili pemerintahan suatu negara atau organisasi internasional yang dibentuk secara terpisah dari suatu negara tempat organisasi itu didirikan. Contohnya adalah Green Peace. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas.
54
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas.
55
www.djpp.depkumham.go.id