RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KONSEP TGL. 9-4-2003 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Bab X Pasal 48 Undangundang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Keselamatan Ketenagalistrikan; Mengingat

: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821); 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 65); 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4226); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Daerah sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3950); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020); MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN.

INDONESIA

TENTANG

-2-

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1) Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Ketenagalistrikan, Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik, Tenaga Listrik, Pembangkit Tenaga Listrik, Transmisi Tenaga Listrik, Distribusi Tenaga Listrik, Peralatan Tenaga Listrik, Pemanfaat Tenaga Listrik, Sistem Tenaga Listrik, Pengoperasian Tenaga Listrik, Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik, Menteri, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, memiliki definisi yang sama seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. (2) Disamping istilah yang didefenisikan di atas pada ayat (1), dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1.

Bahaya adalah bahaya bagi keselamatan dan kesehatan manusia akibat arus kejut, terbakar atau luka lain, termasuk bahaya terhadap harta benda, instalasi atau peralatan dan pemanfaat tenaga listrik serta lingkungan yang diakibatkan oleh tenaga listrik.

2.

Keselamatan ketenagalistrikan adalah segala upaya atau langkah-langkah pengamanan instalasi tenaga listrik, peralatan dan pemanfaat tenaga listrik untuk mewujudkan kondisi andal bagi instalasi dan kondisi aman bagi manusia, baik pekerja maupun masyarakat umum, serta kondisi akrab lingkungan dalam arti tidak merusak lingkungan hidup disekitar instalasi tenaga listrik.

3.

Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal yang menyatakan bahwa suatu lembaga/institusi telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu.

4.

Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang, jasa, proses, sistem atau tenaga teknik.

5.

Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium/ institusi yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau tenaga teknik telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.

6.

Institusi Akreditasi adalah institusi yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memberikan akreditasi kepada lembaga / laboratorium / institusi / perusahaan / asosiasi sebagai lembaga sertifikasi dalam bidang kegiatan tertentu.

7.

Lembaga Sertifikasi adalah institusi/perusahaan/asosiasi yang telah diakreditasi oleh Institusi Akreditasi untuk memberikan sertifikasi atas barang, jasa, proses, sistem atau tenaga teknik dalam bidang kegiatan tertentu.

8.

Saluran Transmisi adalah saluran tenaga listrik dengan tegangan tinggi atau ekstra tinggi untuk menyalurkan tenaga listrik.

9.

Saluran Distribusi adalah saluran tenaga listrik dengan tegangan menengah atau tegangan rendah untuk menyalurkan tenaga listrik.

-3-

10. Saluran Udara adalah saluran transmisi atau distribusi dengan kabel atau konduktor telanjang termasuk penunjangnya yang berada di atas permukaan tanah dan di udara terbuka. 11. Saluran Bawah Tanah adalah saluran kabel transmisi atau distribusi termasuk penunjangnya yang dipasang di dalam tanah. 12. Saluran Bawah Air adalah saluran kabel transmisi atau distribusi termasuk penunjangnya yang berada di bawah permukaan (dasar) sungai atau laut. 13. Tegangan Ekstra Tinggi, Tegangan Tinggi, Tegangan Menengah dan Tegangan Rendah adalah tingkat tegangan listrik sebagaimana ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia. 15. Tanda Keselamatan adalah suatu tanda sesuai SNI 19-6659-2002 yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan telah diberlakukan secara wajib oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sesuai keputusan No 207 K/30/MEM/2003 yang menyatakan bahwa suatu produk yang telah dibubuhi Tanda Keselamatan tersebut diakui telah memenuhi persyaratan keselamatan dan aman untuk digunakan. 16. Pra Studi Kelayakan adalah Kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan Studi Kelayakan. 17. Studi Kelayakan adalah Kajian ilmiah yang menyatakan sesuatu kegiatan / pekerjaan pantas untuk diteruskan. 18. Kinerja Desain adalah Prestasi yang diperlihatkan dari rencana kerja 19. Rincian Desain selama Perencanaan adalah rician kegiatan yang dilakukan selama tahap perencanaan 20. Persiapan Tender adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan persiapan dilakukannya Tender . 21. Pengadaan adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemenuhan material yang berkaitan dengan suatu kegiatan . 22. Rancangan instalasi harus dibuat sesuai Standar Nasional Indonesia atau ketentuan lain yang berlaku. 23. Jasa Pengujian adalah usaha yang bergerak dalam bidang pengujian. 24. Jasa Penelitian dan Pengembangan adalah usaha yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan. 25. Usaha Pendidikan dan Pelatihan adalah Usaha yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pelatihan. 26. Usaha Jasa Lain adalah usaha atau jasa lain yang belum tercakup dan berhubungan dengan ketenagalistrikan. 27. Pemeliharaan Sistem Tenaga Listrik adalah segala kegiatan yang meliputi program pemeriksaan, perawatan, perbaikan dan uji ulang, agar instalasi selalu dalam keadaan baik dan bersih, penggunaannya aman dari gangguan serta kerusakan mudah diketahui, dicegah, atau diperkecil.

-4-

28. Pengujian adalah segala kegiatan pada sistem tenaga listrik yang bertujuan untuk mengukur dan menilai unjuk kerja suatu instalasi sesuai persyaratan yang ditentukan, sehingga dapat dinyatakan siap untuk dioperasikan. 29. Pemeriksaan adalah kegiatan penilaian kesesuaian persyaratan dan spesifikasi teknis yang ditentukan.

instalasi

terhadap

30. Laik Operasi adalah suatu kondisi yang menyatakan sesuatu instalasi tenaga listrik telah memenuhi persyaratan andal, aman, dan akrab lingkungan untuk dapat dioperasikan. 31. Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang selanjutnya disebut Standardisasi Kompetensi adalah proses merumuskan, menetapkan, memberlakukan, menerapkan, dan meninjau kembali standar kompetensi serta akreditasi dan sertifikasi kompetensi. 32. Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang selanjutnya disebut Standar Kompetensi adalah rumusan suatu kemampuan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan didukung sikap serta penerapannya ditempat kerja yang mengacu pada unjuk kerja yang dipersyaratkan. 33. Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang selanjutnya disebut Tenaga Teknik adalah seseorang yang berpendidikan di bidang teknik dan atau memiliki pengalaman kerja di bidang ketenagalistrikan. 34. Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang selanjutnya disebut Kompetensi adalah kemampuan tenaga teknik untuk mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. 35. Perumusan Standar Kompetensi adalah rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun rancangan Standar Kompetensi sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait. 36. Penetapan Standar Kompetensi adalah kegiatan menetapkan rancangan Standar Kompetensi menjadi Standar Kompetensi. 37. Pemberlakuan Standar Kompetensi adalah kegiatan memberlakukan Standar Kompetensi secara wajib. 38. Penerapan Standar Kompetensi adalah kegiatan menggunakan Standar Kompetensi. 39. Peninjauan Kembali Standar Kompetensi adalah kegiatan menyempurnakan Standar Kompetensi sesuai dengan kebutuhan. 40. Komisi Akreditasi Kompetensi Ketenagalistrikan yang selanjutnya disebut Komisi Akreditasi adalah komisi yang memberikan Akreditasi. 41. Lembaga Sertifikasi Kompetensi adalah lembaga yang telah diakreditasi untuk melaksanakan Sertifikasi Kompetensi. 42. Sertifikasi Kompetensi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat kompetensi kepada Tenaga Teknik oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi.

-5-

43. Sertifikat Kompetensi adalah pengakuan tertulis yang diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi yang menyatakan bahwa Tenaga Teknik telah memiliki Kompetensi. 44. Inspektur Ketenagalistrikan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan inspeksi ketenagalistrikan. 45. Inspeksi Ketenagalistrikan adalah kegiatan melakukan inspeksi, pengujian, penelaahan proses dan gejala berbagai aspek ketenagalistrikan, mengembangkan metoda dan teknik inspeksi, melaporkan dan menyebarluaskan hasil inspeksi. 46. Bangunan adalah semua jenis bangunan dengan tinggi lebih dari 3 (tiga) meter. 47. Bangunan Tahan Api adalah bangunan permanen yang atap dan dinding luarnya terbuat dari bahan tidak mudah terbakar. 48. Bangunan Tidak Tahan Api adalah bangunan yang atapnya atau dinding luarnya terbuat dari bahan yang mudah terbakar dan segala bangunan yang dapat menimbulkan kebakaran yang besar. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2

Lingkup Pengaturan Keselamatan Ketenagalistrikan meliputi Instalasi Tenaga Listrik, Peralatan Tenaga Listrik, Pemanfaat Tenaga Listrik, Tenaga Teknik, Pengujian, Inspeksi, Sertifikasi, Lindungan Lingkungan, Resusitasi, Pembinaan dan Pengawasan, dan Sanksi. BAB III INSTALASI TENAGA LISTRIK Pasal 3 (1). Instalasi Tenaga Listrik meliputi Instalasi Penyediaan dan Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik. (2). Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik dimulai dari instalasi pembangkit tenaga listrik, instalasi transmisi tenaga listrik, instalasi distribusi tenaga listrik sampai dengan alat pengukur dan pembatas. (3). Pelaksanaan pekerjaan instalasi penyediaan tenaga listrik melalui beberapa tahapan rancangan, pembangunan, supervisi, pengoperasian, pemeliharaan, dan penghancuran. (4). Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik meliputi Instalasi pelanggan tegangan rendah, pelanggan tegangan menengah dan pelanggan tegangan tinggi termasuk instalasi non pelanggan yang tersambung langsung ke pembangkit (captive) dimulai dari alat pengukur dan pembatas (5). Pelaksanaan pekerjaan instalasi pemanfaatan tenaga listrik melalui beberapa tahapan rancangan, pemasangan, supervisi, pengoperasian, dan pemeliharaan.

-6-

Pasal 4 Rancangan Instalasi Tenaga Listrik (1) Tahapan rancangan instalasi penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan melalui tahapan pra studi kelayakan, studi kelayakan termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), desain unjuk kerja, desain rinci, persiapan tender, dan rencana pengadaan. (2) Tahapan rancangan instalasi pemanfaatan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dilakukan melalui tahapan desain rinci (khusus untuk instalasi besar) dan rencana pengadaan. (3) Rancangan instalasi yang mencakup gambar situasi/letak, gambar instalasi, diagram garis tunggal, gambar rinci, perhitungan teknik, daftar material instalasi, uraian teknik dan perkiraan biaya harus dibuat oleh Jasa Konsultan Perencanaan yang telah mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah.

Pasal 5 Pembangunan, Pemasangan dan Supervisi (1) Pembangunan instalasi penyediaan tenaga listrik harus sesuai dengan rancangan instalasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (2) Pembangunan instalasi penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui tahapan pengadaan, pembangunan, dan uji komisioning. (3) Pemasangan instalasi pemanfaatan tenaga listrik harus sesuai dengan rancangan instalasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (4) Pemasangan instalasi pemanfaatan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan melalui tahapan pengadaan, pemasangan, dan pemeriksaan instalasi. (5) Pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (4) harus dilakukan oleh usaha jasa pelaksana pembangunan dan pemasangan yang telah mempunyai izin. (6) Pelaksana pembangunan dan pemasangan bersama konsultan pengawas membuat gambar instalasi sesuai hasil pembangunan dan pemasangan (as built drawing) beserta daftar material instalasi yang terpasang. Pasal 6 (1) Supervisi terhadap pelaksanaan pembangunan dan pemasangan dilakukan dengan cara menyesuaikan hasil pekerjaan dengan rancangan instalasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (2) Supervisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh usaha jasa konsultansi pengawasan.

-7-

Pasal 7 Pengamanan Instalasi, Pekerja dan Masyarakat Umum (1) Instalasi harus dilengkapi dengan peralatan pengaman terhadap bahaya tegangan sentuh ≥ 50 volt, arus kejut dan arus lebih ≥ 30 mA, pengaman terhadap tegangan lebih dan kebakaran sesuai dengan persyaratan dan standar yang berlaku. (2) Instalasi yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi pekerja dan masyarakat umum harus dilengkapi dengan tanda bahaya. (3) Untuk Instalasi didaerah mudah terbakar atau mempunyai potensi ledak tinggi maka setiap bangunan instalasi harus terbuat dari bangunan tahan api . Pasal 8 (1) Pembangkit, saluran udara, saluran bawah tanah dan saluran bawah air harus memperhatikan aspek keselamatan, keamanan dan tata ruang sesuai dengan peraturan yang berlaku. (2) Saluran udara yang melintasi jalan umum harus memperhatikan jarak bebas daerah yang dilintasinya sehingga keselamatan dan keamanan daerah di bawah saluran dapat terjaga. (3) Saluran bawah tanah dan saluran bawah air harus terpasang dengan memperhatikan aspek keselamatan instalasi maupun sekitarnya dan harus diberi tanda-tanda peringatan yang jelas terbaca dan mudah dimengerti. Pasal 9 (1) Perancangan dan pemasangan saluran udara, saluran bawah tanah dan saluran bawah air harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Penentuan jalur saluran udara, saluran bawah tanah dan saluran bawah air harus memperhatikan keselamatan umum, keamanan instalasi dan pengaruh induksi elektromagnetik. Pasal 10 Pemeriksaan Instalasi (1) Instalasi harus diperiksa dan diuji ulang secara berkala. (2) Periode pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 11 Sertifikat Laik Operasi (1) Instalasi hanya dapat dioperasikan setelah mendapatkan sertifikat laik operasi. (2) Untuk mendapatkan sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setiap instalasi harus diperiksa dan diuji oleh Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi.

-8-

BAB IV PENGUJIAN Pasal 12 Pengujian Produk (1) Pengujian produk ketenagalistrikan hanya dapat dilakukan oleh laboratorium uji yang sudah diakreditasi. (2) Dalam hal belum ada laboratorium uji yang telah diakreditasi, Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menunjuk laboratorium uji untuk melakukan pengujian. (3) Pengujian dilakukan sesuai SNI atau standar keselamatan yang berlaku. Pasal 13 Pemeriksaan dan Pengujian Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik (1) Setiap instalasi penyediaan tenaga listrik sebelum dioperasikan, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan dan pengujian untuk mendapatkan sertifikat laik operasi. (2) (2) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha pengujian instalasi tenaga listrik yang telah diakreditasi dan mendapat penugasan dari Direktur Jenderal. (3) Dalam hal belum ada badan usaha pengujian yang telah diakreditasi, Direktur Jenderal dapat menunjuk badan usaha pengujian untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian. (4) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam sertifikat laik operasi. Pasal 14 Pemeriksaan dan Pengujian Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik (1) Setiap instalasi pemanfaatan tenaga listrik sebelum dioperasikan, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan sertifikat laik operasi. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga independen yang diakreditasi dan mendapat penugasan dari Direktur Jenderal. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemeriksaan kesesuaian standar instalasi pemanfaatan tenaga listrik. (4) Dalam hal belum ada lembaga independen yang telah diakreditasi, Direktur Jenderal dapat menunjuk lembaga independen untuk melakukan pemeriksaan. (5) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam sertifikat laik operasi.

-9-

BAB V INSPEKSI Pasal 15 (1) Inspeksi pada produk ketenagalistrikan dapat dilakukan di pasar/toko serta pada proses produksi dengan bekerjasama dengan instansi terkait. (2) Inspeksi pada instalasi ketenagalistrikan dapat dilakukan secara rutin maupun berkala atau keadaan insidensial yang dilaksanakan oleh Inspektur ketenagalistrikan. (3) Inspeksi tersebut mencakup tinjauan dokumen dan pengamatan unjuk kerja peralatan/pemanfaat dan instalasi serta aspek lingkungan hidup.

Pasal 16 Peralatan Tenaga Listrik (1) Semua Peralatan Tenaga Listrik yang digunakan pada Instalasi Penyediaan dan Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik harus sesuai Standar Nasional Indonesia bidang ketenagalistrikan atau sesuai standar International Electrotechnical Commission (IEC). (2) Semua Peralatan Tenaga Listrik yang digunakan pada Instalasi Penyediaan dan Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik harus telah dibubuhi tanda SNI. (3) Tata cara Pembubuhan Tanda SNI diatur lebih lanjut oleh Menteri cq. Direktur Jenderal. Pasal 17 Pemanfaat Tenaga Listrik (1) Semua Pemanfaat Tenaga Listrik yang diperjualbelikan harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia bidang ketenagalistrikan atau sesuai standar International Electrotechnical Commission (IEC). (2) Semua Pemanfaat Tenaga Listrik yang diperjualbelikan harus telah dibubuhi Tanda Keselamatan. (3) Tata cara Pembubuhan Tanda SNI dan Tanda Keselamatan diatur lebih lanjut oleh Menteri cq. Direktur Jenderal.

BAB VI TENAGA TEKNIK Pasal 18 (1) Tenaga teknik bidang ketenagalistrikan untuk kegiatan jasa konsultansi perencanaan, pembangunan dan pemasangan, konsultansi pengawasan, pengujian, pengoperasian, pemeliharaan instalasi tenaga listrik, penelitian dan pengembangan,

-10-

pendidikan dan pelatihan, serta usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik wajib memiliki sertifikat kompetensi. (2) Tenaga teknik bidang ketenagalistrikan untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup bidang pembangkitan, transmisi, distribusi, instalasi pengendali, instalasi pemanfaatan tenaga listrik dan pemanfaat/ piranti tenaga listrik. Pasal 19 Tujuan Standardisasi Kompetensi Standardisasi Kompetensi bertujuan untuk : a. menunjang usaha ketenagalistrikan dalam mewujudkan penyediaan tenaga listrik yang andal, aman, dan akrab lingkungan; b. mewujudkan peningkatan Kompetensi Tenaga Teknik; c. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan pada usaha ketenagalistrikan. Pasal 20 Perumusan Standar Kompetensi (1) Direktur Jenderal membentuk Panitia Teknik Perumusan Standar Kompetensi yang susunan keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi/asosiasi perusahaan, organisasi masyarakat, organisasi profesi dan para pakar bidang ketenagalistrikan untuk menyusun konsep Standar Kompetensi. (2) Direktur Jenderal membentuk Forum Konsensus yang susunan keanggotaannya terdiri dari Panitia Teknik Perumusan Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pihak lain yang berkepentingan dengan perumusan dan penerapan standar yang bersangkutan untuk membahas konsep Standar Kompetensi menjadi rancangan Standar Kompetensi. Pasal 21 (1) Standar Kompetensi disusun berdasarkan : a. Data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan; b. Kualifikasi dan klasifikasi teknis ketenagalistrikan; c. Acuan standar internasional, standar negara lain atau acuan lainnya yang relevan. (2) Konsep Standar Kompetensi yang dihasilkan oleh Panitia Teknik Perumusan Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) sebelum dibahas dalam Forum Konsensus terlebih dahulu disebarluaskan oleh Direktur Jenderal kepada instansi dan masyarakat terkait lainnya untuk memperoleh tanggapan dan atau masukan. (3) Tanggapan dan atau masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Direktur Jenderal dalam periode 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal penyebarluasan. (4) Konsep Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) serta tanggapan dan atau masukan dari instansi dan masyarakat terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dibahas dalam Forum Konsensus untuk mencapai konsensus menjadi rancangan Standar Kompetensi.

-11-

Pasal 22 (1) Perusahaan, asosiasi, badan atau lembaga dapat mengajukan Standar Kompetensi perusahaan, asosiasi, badan atau lembaga kepada Direktur Jenderal sebagai bahan masukan untuk perumusan Standar Kompetensi. (2) Standar Kompetensi perusahaan, asosiasi, badan atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibahas oleh Panitia Teknik Perumusan Standar Kompetensi dan Forum Konsensus untuk menjadi rancangan Standar Kompetensi melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Pasal 23 Penetapan Standar Kompetensi (1) Direktur Jenderal mengusulkan rancangan Standar Kompetensi hasil Forum Konsensus kepada Menteri untuk ditetapkan menjadi Standar Kompetensi. (2) Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi nomor dan kode sesuai pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 24 Pemberlakuan Standar Kompetensi (1) Direktur Jenderal mengusulkan Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) kepada Menteri untuk diberlakukan sebagai standar wajib. (2) Dalam mengusulkan pemberlakuan Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal memperhatikan kesiapan/ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Pasal 25 Penerapan Standar Kompetensi Lembaga Sertifikasi Kompetensi menerapkan Standar Kompetensi melalui Sertifikasi Kompetensi. Pasal 26 Peninjauan Kembali Standar Kompetensi (1) Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ditinjau kembali sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali. (2) Usulan peninjauan kembali Standar Kompetensi dipersiapkan oleh Panitia Teknik Perumusan Standar Kompetensi atau masyarakat yang membutuhkan dan diajukan kepada Direktur Jenderal. (3) Dalam hal Peninjauan Kembali Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdapat perubahan, maka pelaksanaannya melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

-12-

Pasal 27 Akreditasi dan Sertifikasi Kompetensi (1) Komisi Akreditasi melakukan akreditasi terhadap Lembaga Sertifikasi Kompetensi. (2) Komisi Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Keputusan Menteri, yang susunan keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi atau asosiasi perusahaan, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan para pakar di bidang ketenagalistrikan. (3) Komisi Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain mempunyai tugas menetapkan Akreditasi dapat memberikan pertimbangan serta saran kepada Menteri dalam pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi Kompetensi. Pasal 28 (1) Lembaga Sertifikasi Kompetensi yang telah diakreditasi oleh Komisi Akreditasi melakukan Sertifikasi Kompetensi kepada Tenaga Teknik. (2) Persyaratan dan tatacara Akreditasi dan Sertifikasi Kompetensi ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. (3) Unjuk kerja Lembaga Sertifikasi Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibina dan diawasi oleh Komisi Akreditasi. (4) Akreditasi secara internasional terhadap Lembaga Sertifikasi Kompetensi didasarkan pada perjanjian saling pengakuan antara Komisi Akreditasi baik secara bilateral maupun multilateral. BAB VII LINDUNGAN LINGKUNGAN Pasal 29 Pemilik instalasi wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan untuk memenuhi baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan harus memperhatikan Kawasan Kerja Operasi Ketenagalistrikan (KKOK). Pasal 30 Pemanfaatan Jaringan (1) Jaringan Tenaga Listrik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di luar tenaga listrik. (2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemanfaatan penyangga dan jalur sepanjang jaringan, pemanfaatan serat optik pada jaringan, dan pemanfaatan konduktor pada jaringan. (3) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan peraturan perundangan-undangan di bidang ketenagalistrikan, khususnya yang berkaitan dengan standar, dan keselamatan ketenagalistrikan sehingga tidak mengganggu kualitas dan keandalan penyaluran tenaga listrik. (4) Ketentuan mengenai perijinan dan sewa jaringan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

-13-

BAB VIII RESUSITASI Pasal 31 (1) Pemilik instalasi harus menyediakan petugas, ruangan dan atau tempat yang memenuhi syarat untuk keperluan pertolongan pertama pada kecelakaan yang dilengkapi dengan peralatan dan fasilitas yang memadai. (2) Pemilik instalasi diwajibkan memberikan pengetahuan mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan kepada semua pekerja sehingga para pekerja tersebut mampu memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. (3) Pada tempat-tempat tertentu harus dipasang petunjuk tertulis yang singkat dan jelas tentang tindakan pertama yang harus dilakukan apabila terjadi kecelakaan. BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 32 (1) Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keselamatan ketenagalistrikan. (2) Menteri menetapkan pedoman untuk pelaksanaan pembinaan dan pengawasan keselamatan ketenagalistrikan. (3) Direktur Jenderal menyelenggarakan pembinaan Standardisasi Kompetensi. (4) Dalam menyelenggarakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Direktur Jenderal melakukan penyebaran informasi serta penyusunan pedoman Standardisasi Kompetensi. (5) Direktur Jenderal melakukan pengawasan atas penerapan Standar Kompetensi dan pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi. (6) Komisi Akreditasi melakukan pengawasan terhadap unjuk kerja Lembaga Sertifikasi Kompetensi. (7) Lembaga Sertifikasi Kompetensi melakukan pengawasan terhadap unjuk kerja Tenaga Teknik yang telah memperoleh Sertifikat Kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Kompetensi tersebut. Pasal 33 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 32 ayat (5) dilaksanakan oleh Inspektur Ketenagalistrikan.

-14-

Pasal 34 Dalam hal terjadi keadaan yang membahayakan keselamatan umum dan lingkungan, Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah dapat memerintahkan tindakan penghentian operasi. BAB X SANKSI Pasal 35 Pelaku di sektor ketenagalistrikan yang tidak mentaati ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dikenakan sanksi administrasi dan atau pidana sesuai ketentuan yang berlaku. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 36 Pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan pelaksanaan yang berhubungan dengan keselamatan ketenagalistrikan meliputi kesesuaian standar, kelaikan instalasi tenaga listrik, pengamanan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik, tenaga teknik, lindungan lingkungan dan pelaksanaan inspeksi ketenagalistrikan yang telah ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. (2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal ......... SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

-15-

ttd BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …. NOMOR …. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan

Lambock V Nahattands

-16-

PENJELASAN ATAS RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO. ….. TAHUN ……. TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN UMUM Pembangunan Nasional bertujuan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam upaya untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga listrik sebagai bagian dari cabang produksi yang penting bagi negara untuk meningkatkan pembangunan nasional dan kualitas kehidupan bangsa, ketersediaan listrik yang mencukupi dan harga yang terjangkau merupakan bagian yang terpenting untuk menghasilkan barang dan jasa. Untuk itu, pemerintah selalu memberikan prioritas utama pada pembangunan sektor ketenagalistrikan dalam rencana pembangunan nasional. Tenaga listrik disamping bermanfaat bagi pembangunan nasional, berpotensi juga menimbulkan bahaya bagi keselamatan manusia dan merusak lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin keselamatan ketenagalistrikan pada penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik yang aman, andal, efisien dan akrab lingkungan Untuk melaksanakan keselamatan ketenagalistrikan diberlakukan standarisasi melalui akreditasi dan sertifikasi terhadap instalasi tenaga listrik, peralatan dan pemanfaat tenaga listrik, serta tenaga teknik dengan menerbitkan sertifikat kelaikan untuk instalasi tenaga listrik, tanda keselamatan dan label efisiensi untuk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik, dan sertifikat kompetensi untuk tenaga teknik. Penerbitan sertifikasi tersebut, dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang telah di Akreditasi. Untuk mengawasi pelaksanaan keselamatan ketenagalistrikan, pemerintah membentuk inspektur ketenagalistrikan yang merupakan pegawai negeri pusat dan atau daerah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang dimaksud dengan : Istilah listrik, kelistrikan, tenaga listrik, ketenagalistrikan adalah sebagai berikut : - listrik berarti meliputi tenaga listrik (electronic power) dan juga listrik untuk kepentingan komunikasi dan elektronika (electronic); - kelistrikan berarti hal-hal yang menyangkut listrik; - tenaga listrik berarti hanya terbatas pada pengertiannya (power); - ketenagalistrikan berarti segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik termasuk usaha penunjang.

-17-

Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Cukup jelas Angka 10 Cukup jelas Angka 11 Cukup jelas Angka 12 Cukup jelas Angka 13 Cukup jelas Angka 14 Cukup jelas Angka 15 Cukup jelas Angka 16 Cukup jelas Angka 17 Cukup jelas Angka 18 Cukup jelas Angka 19

-18-

Cukup jelas Angka 20 Cukup jelas Angka 21 Cukup jelas Angka 22 Cukup jelas Angka 23 Cukup jelas Angka 24 Cukup jelas Pasal 2 Ketentuan ini menetapkan ruang lingkup minimal untuk mencapai keselamatan ketenagalistrikan, berikut kewajiban untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyediaan, penunjang dan pemanfaatan tenaga listrik. Ruang lingkup tersebut diperlukan agar pelaku usaha dapat benar-benar mengetahui kewajiban dan tanggung jawabnya dalam melakukan kegiatan di sektor ketenagalistrikan, sehingga masyarakat umum mendapatkan tenaga listrik yang andal, aman dan akrab lingkungan. Pasal 3 Ayat (1) Standar lain adalah standar internasional, regional atau negara lain. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pemeriksaan dan pengujian meliputi aspek teknis dan lingkungan dari instalasi tenaga listrik. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) . Pasal 7 Ayat (1)

-19-

Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24

-20-

Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32