RANCANG BANGUN DAN UJI COBA INSTRUMEN SISTEM BUOY MENGGUNAKAN A-WSN PROTOKOL ZIGBEE DI PERAIRAN PESISIR
ACTA WITHAMANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rancang Bangun dan Uji Coba Instrumen Sistem Buoy Menggunakan A-WSN Protokol ZigBee di Perairan Pesisir adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pergutuan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Acta Withamana NIM C552100021
RINGKASAN ACTA WITHAMANA. Rancang Bangun dan Uji Coba Instrumen Sistem Buoy Menggunakan A-WSN Protokol ZigBee di Perairan Pesisir. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan TOTOK HESTIRIANOTO Luasnya perairan laut dan lingkungan laut yang tidak bersahabat menimbulkan tantangan tersendiri untuk diobservasi. Akses yang sulit dan faktor cuaca menyebabkan lokasi pengamatan di daerah laut memerlukan perencanaan yang baik. Pemahaman tentang laut dan segala fenomena di dalamnya diperlukan bagi para pemangku kepentingan di bidang klimatologi, perikanan, pelabuhan, manajemen daerah pesisir, ketahanan negara, institusi kesehatan publik, pemerhati lingkungan, dan migas. Ekosistem pesisir yang terdiri dari estuaria, hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan ekosistem dengan produktifitas tinggi dan memiliki beragam fungsi. Masing-masing komponen dalam ekosistem pesisir saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Tekanan yang tinggi akibat aktivitas manusia menjadikan ekosistem ini sangat rentan terhadap kerusakan. Wahana mooring buoy atau buoy tertambat merupakan salah satu opsi untuk observasi laut secara otomatis. Seperangkat instrumen beserta sistem transmisi data dipasang untuk melakukan pengukuran secara otomatis. Wahana ini telah terbukti keberhasilannya dalam mempelajari iklim skala global seperti buoy TAO/TRITON. Akan tetapi, rancangan sistem buoy laut lepas tidak cocok untuk diaplikasikan di daerah pesisir akibat ukuran yang besar sehingga biaya keseluruhan menjadi tinggi. Seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah konsep Aerial Wireless Sensor Network (A-WSN). Konsep WSN yang efisien dalam penggunaan energi dan bisa membentuk sebuah jaringan dapat dimanfaatkan sistem instrumen buoy untuk daerah pesisir. Sebuah sistem sensor yang berukuran kecil, murah, dan kokoh akan menjadi sebuah sistem buoy ideal dan memiliki resolusi temporal serta spasial yang baik. Penelitian ini berusaha mengembangkan sebuah instrumen buoy sebanyak enam buah menggunakan A-WSN protokol ZigBee untuk mengamati parameter suhu permukaan laut (SPL) di daerah pesisir. Wahana buoy yang dibuat memiliki kestabilan yang baik pada pengujian statis dan dinamis. Buoy ini masih memiliki daya muatan sebesar 6 kg dari total daya muatan sebesar 23 kg untuk penambahan berbagai instrumen. Jaringan A-WSN sukses mengirimkan data sebesar 100% untuk seluruh sensor node pada uji coba statis. Pengujian dinamis menunjukan kinerja yang baik dengan tingkat keberhasilan 100% untuk R1, 99.91% untuk R2, 84.94% untuk E1, 99.57% untuk E2, dan 100% untuk E3. Analisis konsumsi daya dilakukan untuk mengetahui daya tahan baterai. Diperoleh hasil daya tahan baterai sebesar 39.7 jam untuk coordinator, 39.8 jam untuk router, dan 87.8 untuk end device. Sistem instrumen ini terbukti dapat bekerja dengan baik untuk mengamati parameter SPL Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Kata Kunci: instrumen, buoy tertambat, WSN, ZigBee, suhu permukaan laut
SUMMARY ACTA WITHAMANA Design, Construction and Sea Trial of Buoy System using A-WSN ZigBee Protocol for in Coastal Waters. Supervised by INDRA JAYA and TOTOK HESTIRIANOTO Ocean observation has become a challenge due to it's vast and rough condition. Limited access and unpredictable weather makes the ocean observation require a good plan. Understanding about the sea and its phenomenon is a key factor for many fields including climatology, fisheries, port management, coastal management, national resilience, public health institution, environmental assessment, and oil and gas company. Coastal ecosystem consisting of estuary, mangrove and seagrass are the ecosystem which has high primary productivity and many ecological functions. Each component in coastal ecosystem is closely related. Human activity put stress on this environment and makes it very fragile. Mooring buoy has been used as one of the options to monitor ocean autonomously. In this study, the instruments and telemetry system are installed in a specially designed buoy for automatic sampling. Mooring buoy has succeed in global climate study, for example is TAO/TRITON bouy. However the big dimension in the existing buoy system is not suitable for coastal ecosystem monitoring. Energy efficient system in Aerial Wireless Sensor Network (A-WSN) is applicable for coastal ecosystem monitoring buoy system. A small-size instrument, low cost, and durable can become ideal solution for a mooring buoy system, and also has advantage in term of spatial and temporal resolution. This research aim is to develop six mooring buoy instrument based on A-WSN ZigBee protocol for monitoring sea surface temperature. The design and construction of buoy platform has shown good stability both in static and dynamic test. The remaining 6 kg carrying capacity of the buoy is available from total 23 kg buoyancy for additional instrument. A-WSN performance shows 100% successful in data transmitting for static test. Dynamic test shows good performance with 100% success ratio for R1, 99.91% for R2, 84.94% for E1, 99.57% for E2, and 100% for E3. Power consumption analysis has been done for battery endurance test. The results are 39.7 hours for coordinator, 39.8 hours for router, and 87.8 hours for end device. The sea trial of the buoy shown a good performance for sea surface temperature monitoring in Panggang Island, Seribu Islands. Keywords : instrument, mooring buoy,WSN, ZigBee, sea surface temperature
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memeperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RANCANG BANGUN DAN UJI COBA INSTRUMEN SISTEM BUOY MENGGUNAKAN A-WSN PROTOKOL ZIGBEE DI PERAIRAN PESISIR
ACTA WITHAMANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi : Dr. Irmansyah
Judul Tesis Nama NIM
Rancang Bangun dan Uji Coba Instrumen Sistem Buoy Menggunakan A-WSN Protokol ZigB~e di Perairan Pesisir Acta Withamana C552100021
Disetujui o]eh Komisi Pembimbing
Prof Dr Indra Jaya Utama
Dr Ir Totok Hestirianoto. MSc Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Tanggal Ujian: 31 JuJi 2013
Tanggal LuJus:
4 St P2013
Judul Tesis Nama NIM
: Rancang Bangun dan Uji Coba Instrumen Sistem Buoy Menggunakan A-WSN Protokol ZigBee di Perairan Pesisir : Acta Withamana : C552100021 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Indra Jaya Utama
Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson L. Gaol, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 31 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas semua Rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Rancang Bangun dan Uji Coba Instrumen Sistem Buoy Menggunakan A-WSN Protokol ZigBee di Perairan Pesisir diajukan sebagai judul tesis yang dibahas dalam penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof Dr Indra Jaya, MSc dan Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc selaku dosen pembimbing. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada orang tua dan keluarga yang tak henti-hentinya memberikan doa dan motivasi serta semua pihak yang telah membantu penelitian ini. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Sachnaz Desta Oktarina yang membuat hari-hari penulis menjadi lebih berwarna. Penulis berharap tesis ini dapat berguna baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain. Juli 2013 Acta Withamana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Perumusan masalah 1.3 Tujuan penelitian 1.4 Hipotesis
1 1 2 6 6
2 METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Lokasi 2.2 Bahan penelitian 2.3 Peralatan penelitian 2.4 Prosedur penelitian
7 7 7 7 7
3 HASIL 3.1 Wahana apung 3.2 Instrumen 3.3 Uji coba jaringan 3.4 Analisis konsumsi daya
10 10 13 20 27
4 PEMBAHASAN
30
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.2 Saran
31 31 31
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT PENULIS
32 34 39
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Jenis teknologi nirkabel yang berkembang saat ini Hasil uji coba kondisi diam Hasil uji coba multihop Hasil pengukuran konsumsi daya Hasil penghitungan konsumsi daya dan daya tahan baterai
5 21 23 27 29
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Peta sebaran buoy di seluruh dunia Skema umum sistem observasi laut menggunakan mooring buoy Topologi jaringan ZigBee Diagram alir penelitian Diagram perancangan perangkat keras Rancangan wahana buoy Uji kestabilan wahana buoy di watertank Laboratorium AIK Kinerja wahana apung teruji dengan baik di P.Panggang Dimensi kompartemen elektronik Skematik rangkaian instrumen Papan sirkuit hasil layout, (a) tampak atas, (b) tampak bawah Perangkat keras yang telah terpasang dalam kompartemen elektronik Diagram alir dari perangkat tegar coordinator Diagram alir dari perangkat tegar router Diagram alir dari perangkat tegar end device Peletakan sensor node pada uji coba kondisi diam Peletakan sensor node pada uji coba multihop tanpa router Peletakan sensor node pada uji coba multihop dengan router Nilai RSSI terhadap perubahan jarak Posisi peletakan sensor node pada uji coba dinamis Persentase keberhasilan pengiriman data pada uji coba dinamis Plot suhu permukaan laut pada saat uji coba lapang dilakukan Baris contoh dari data yang diterima coordinator Pengukuran konsumsi daya pada saat siaga (kiri) dan aktif (kanan) Model konsumsi daya coordinator Model konsumsi daya router Model konsumsi daya end device Jaringan observasi oseanografi ideal
2 3 6 8 8 10 12 12 13 14 16 16 18 19 20 21 22 22 23 24 25 26 26 27 28 28 29 30
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Spesifikasi Atmega 328P Spesifikasi Modul Radio Xbee-PRO (SB2) Spesifikasi PCF8583 Spesifikasi DS1820B Contoh data yang direkam pada Coordinator
34 35 36 37 38
31
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Instrumen dangan wahana buoy berbasis komunikasi Aerial Wireless Sensor Network (A-WSN) dengan protokol ZigBee memiliki kinerja yang sangat baik. Wahana buoy yang dibuat teruji sangat stabil baik pada uji coba statis maupun dinamis. Daya muatan yang dimiliki buoy adalah sebesar 23 kg, dan beban muatan buoy adalah sebesar kurang lebih 12 kg. Masih ada ruang sekitar 6 kg untuk penambahan sensor apabila dilakukan penyesuaian pada posisi beban dan beban penyeimbang. Komunikasi radio A-WSN juga memiliki kinerja yang sangat baik. Hal ini ditunjukan dengan rasio kegagalan yang rendah baik pada pada uji coba statis maupun uji coba dinamis. Uji coba statis memiliki tingkat keberhasilan pengiriman paket data sebesar 100%, sedangkan tingkat keberhasilan pada uji coba dinamis bervariasi antara 84% hingga 100%. Konsumsi daya instrumen yang dibuat sangat bergantung pada jenis sensor node. Coordinator dan router memiliki konsumsi daya yang relatif sama yaitu sebesar 67.4 mA dan 67.6 mA pada kondisi siaga, serta 72.5 mA dan 74.1 mA pada kondisi aktif. End device memiliki konsumsi daya sebesar 22.2 mA pada kondisi siaga dan 73.6 mA pada kondisi aktif. Perbedaan yang signifikan antara end device dan coordinator ataupun router adalah akibat penggunaan mode sleep yang dapat menghemat daya lebih baik. Hasil penghitungan daya tahan baterai berdasarkan konsumsi daya adalah berturut-turut sebesar 39.7 jam, 39.8 jam dan 87.8 jam untuk coordinator, router, dan end device. Instrumen ini dapat dijadikan opsi tambahan untuk pengamatan pesisir yang real-time dan memiliki resolusi spasial yang tinggi. Aplikasi nyata instrumen ini akan maksimal ketika keseluruhan sistem pendukung seperti koneksi internet, server database atau cloud server, dan aplikasi untuk pengguna tingkat akhir dikembangkan dengan baik. Aplikasi instrumen juga tidak hanya terbatas untuk aplikasi observasi lingkungan saja, namun juga untuk kegiatan industri seperti precision aquaculture. 5.2 Saran Perbaikan pada sistem Real Time Clock (RTC) perlu dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari data. Perbaikan bisa dilakukan dengan menggunakan RTC dengan crystal yang terintegrasi dan memiliki kompensasi terhadap suhu. Untuk pengujian jangka panjang yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan sumber daya. Menggunakan baterai 2700mAH tidak cukup untuk menjaga sistem berjalan lebih dari 39 jam. Pemasangan solar cell 5 V dengan daya 1 watt beserta sistem kontrolnya memungkinkan instrumen berjalan tanpa kekurangan catu daya.
30
4. PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan bahwa instrumen memiliki potensi untuk diaplikasikan pada daerah pesisir. Penelitian ini mengobservasi parameter tunggal, namun tidak menutup kemungkinan untuk ditambah sensor lain. Terdapat dua gerbang ADC dan satu buah komunikasi serial untuk penambahan sensor. Dimensi yang kecil dan konsumsi daya instrumen yang rendah menjadikan instrumen ini ideal untuk dipasang di daerah pesisir. Teknologi sensor cerdas dan murah serta wireless sensor network semakin berkembang 10 tahun terakhir. Albaladejo (2010) telah merangkum beberapa riset yang mengaplikasikan teknologi WSN untuk observasi lingkungan perairan. Sejak tahun 2005 hingga 2010 terdapat 12 riset dengan waktu pengamatan bervariasi mulai satu minggu hingga dua tahun. Riset dengan keberlanjutan paling baik adalah Great Barrier Reef Ocean Observing System (GBROOS) di Australia yang berhasil bekerja selama dua tahun (2008-2010) dan berhasil mengumpulkan data 8.6 miliar data. Tidak ada satu pun penelitian tentang WSN untuk monitoring lingkungan pesisir yang dilakukan di Indonesia. Konsep pengembangan WSN bukan untuk menggantikan sistem telekomunikasi yang ada, namun saling melengkapi. WSN digunakan untuk efisiensi energi terhadap jarak transmisi. Observasi parameter-parameter fisik dan kimia laut tidak membutuhkan kecepatan dan bandwidth yang lebar, namun membutuhkan jaringan yang dapat diandalkan. Sedangkan agar data dapat digunakan oleh pengguna akhir (end user) diperlukan gateway yang terhubung dengan internet atau cloud server. Koneksi internet dapat diperoleh menggunakan teknologi GSM/GPRS/LTE atau komunikasi satelit yang telah ada. Konsep sistem monitoring oseanografi ideal dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Jaringan observasi oseanografi ideal. Diadaptasi dari Albaladejo et al (2010) dengan lisensi open access
10
3 HASIL 3.1 Wahana apung Mooring buoy atau buoy tertambat pada prinsipnya adalah sebuah alat yang mengapung diatas permukaan air yang kemudian diikat pada sebuah jangkar. Aplikasi dari buoy tertambat bervariasi, mulai dari penanda seorang penyelam, alat bantu navigasi kapal, hingga jangkar permanen sebuah kapal pesiar. Beberapa parameter penting dari sebuah wahana buoy tertambat adalah kestabilan, keseimbangan, dan kemampuan kembali ke kondisi seimbang (Jordán dan Beltrán-Aguedo 2004). Desain buoy yang dibuat dirancang khusus untuk daerah pesisir. Perairan di wilayah ini relatif lebih dangkal dan terlindungi dibandingkan laut lepas. Rancangan buoy harus mampu membawa beban instrumen serta memiliki kestabilan yang baik. Buoy juga dirancang agar tidak terlalu berat agar memudahkan ketika mobilisasi. Gambar 6 merupakan desain buoy secara keseluruhan. Bahan yang digunakan pada tiang penyangga adalah pipa stainless steel 304 dengan diameter 1/2 inch ANSI schedule 40. Bagian pelampung adalah plastik dengan diameter 35 cm dengan tebal 5mm lalu kemudian di isi polyurethane foam. Pengisian pelampung dengan busa dilakukan agar apabila terjadi kebocoran wahana pelampung tidak langsung tenggelam. Ada dua parameter yang diperhatikan dalam pembuatan wahana apung yakni daya apung dan kestabilan.
Gambar 6 Rancangan wahana buoy
11 3.1.1 Gaya apung Gaya apung merupakan gaya keatas yang dihasilkan dari volume air yang dipindahkan dari ruang kosong pada bagian yang terendam air. Gaya apung dari wahana apung yang dibuat diperoleh dari pelampung plastik berbentuk bola yang diisi oleh polyurethane foam. Gaya apung maksimum sebuah buoy dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.1. F b=V b× ρ×g
(1)
Fb merupakan gaya apung sebuah buoy dalam satuan Newton, Vb merupakan volume buoy yang terendam air, ρ merupakan densitas air laut, dan g merupakan percepatan gravitasi bumi. Gaya apung maksimum dihitung dengan mengasumsikan pelampung terendam seluruhnya di dalam air. Diketahui diameter pelampung adalah 35 cm sehingga memiliki jari-jari 0.175 m. Menggunakan Persamaan 3.2 diperoleh volume dari pelampung plastik yang digunakan. 4 V b = ×π×r 3 3
(2)
Sehingga diperoleh nilai volume pelampung plastik sebesar : 4 V b = ×3.1415927×0.1753=0.02245 m3 3 Menggunakan densitas rata air laut sebesar 1027 kg/m3 dan percepatan gravitasi bumi rata-rata 9.8 m/s, maka dengan Persamaan 1 diperoleh gaya apung sebesar : F b=0.02245×1027×9.8=225.9503 N Apabila dikonversi menjadi massa, maka jumlah beban maksimum yang dapat ditampung buoy tersebut adalah kurang lebih sebesar 23 kg. Beban keseluruhan wahana buoy saat ini kurang lebih sebesar 12 kg. Apabila dilakukan pengaturan beban penyeimbang dan posisi beban di atas buoy masih ada ruang sebesar kurang lebih 6 kg untuk penambahan instrumen. 3.1.2 Kestabilan wahana apung Kestabilan merupakan kemampuan wahana apung untuk tetap berdiri tegak. Kestabilan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu bentuk dan berat. Bentuk wahana apung yang terendam air mempengaruhi kestabilan. Semakin besar diameter pelampung, semakin stabil wahana buoy tersebut pada titik gravitasi yang sama (IALA 2013). Namun, bentuk yang terlalu besar juga dapat dipengaruhi angin sehingga wahana apung dapat terbalik. Kestabilan yang dipengaruhi berat merupakan kestabilan yang diakibatkan dari posisi titik gravitasi. Semakin ke bawah titik gravitasi, semakin stabil wahana apung tersebut. Penentuan kestabilan menggunakan parameter-parameter matematik sangat kompleks tergantung bentuk, ukuran, tinggi, kondisi lingkungan dan beban muatan. Penilaian akhir
12 wahana buoy terhadap kestabilan didasarkan berdasarkan pengamatan visual. Wahana yang dibuat harus bisa menampung beban muatan, berdiri tegak dan tidak miring, serta kembali ke posisi semula ketika mendapat tekanan dari gelombang. Uji coba kestabilan wahana buoy dilakukan di watertank Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, FPIK, IPB (Gambar 7). Hasil uji coba menunjukan bahwa wahana buoy sangat stabil. Hal ini diperoleh dengan penambahan beban pemberat seberat 8 kg agar titik gravitasi semakin ke bawah. Uji coba lapang di P. Panggang juga menunjukan kinerja yang baik dari wahana apung (Gambar 8). Selama pengujian, tidak ada wahana apung yang miring, tenggelam, terbawa gelombang dan stabil. Dimensi wahana apung yang relatif kecil memudahkan ketika distribusi instrumen berlangsung. Satu buah kapal kecil mampu membawa ke enam instrumen sekaligus.
Gambar 7 Uji kestabilan wahana buoy di watertank Laboratorium AIK
Gambar 8 Kinerja wahana apung teruji dengan baik di P.Panggang 3.1.3 Kompartemen elektronik Instrumen diletakan pada kompartemen elektronik yang berada di bagian atas wahana buoy ini (Gambar 9). Kompartemen ini terbuat dari bahan plastik acrylonitrile butadiene styrene (ABS) dengan standar proteksi IP68. International
13 Protection (IP) merupakan standar internasional sebuah kompartemen elektronik. Angka enam pada kode IP68 memiliki arti debu tidak bisa masuk ke dalam kompartemen, sedangkan angka delapan memiliki arti kompartemen ini tidak akan kemasukan air hingga kedalaman satu meter. Dengan standar proteksi ini dipastikan air tidak akan masuk melalui celah penutup karena terdapat segel yang terbuat dari karet sintetis. Lubang untuk antena dan kabel sensor pada bagian bawah juga dilengkapi cable gland yang juga memiliki standar IP68. Standar proteksi ini digunakan agar air hujan maupun cipratan air laut tidak masuk dan merusak komponen elektronik. Selain harus kokoh, kompartemen plastik ini juga dirancang agar memudahkan dalam perawatan. Mekanisme bongkar pasang dilakukan menggunakan empat buah baut dan mur stainless steel berdiameter 4mm.
Gambar 9 Dimensi kompartemen elektronik 3.2 Instrumen Instrumen dirancang dalam dua bagian utama, yaitu perancangan perangkat keras (hardware) dan perangkat tegar (firmware). 3.2.1 Perangkat keras Perangkat keras yang digunakan menggunakan mikrokontroler 8-bit buatan ATMEL. Jenis mikrokontroler yang digunakan adalah AVR ATmega 328P. Mikrokontroler ini memiliki arsitektur RISC yang efisien serta memiliki 23 buah gerbang digital yang dapat diprogram (ATMEL 2012). Fitur penting yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah Programable Serial USART, antarmuka I2C, Serial Peripheral Interface (SPI) dan satu buah gerbang digital. Datasheet Atmega 328P dapat dilihat pada Lampiran 1. Modul radio yang digunakan adalah XBEE-PRO(SB2), spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 2. Penyimpanan waktu menggunakan Real Time Clock (RTC) PCF8583 yang spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 3. Skematik rangkaian dapat dilihat pada Gambar 10
14
Gambar 10 Skematik rangkaian instrumen
15 Universal synchronous/asynchronous receiver/transmitter (USART) merupakan sistem komunikasi serial antar perangkat digital. Penelitian kali ini menggunakan USART ini untuk berkomunikasi dengan modul radio XBEE. Terdapat dua buah pin yang digunakan untuk menggunakan sistem komunikasi ini, yaitu RXD dan TXD. RXD merupakan pin untuk menerima data sedangkan TXD untuk mengirim data. Ketika dihubungkan dengan XBEE, pin ini harus saling bersilangan untuk pemasanganya. RXD mikrokontroler dihubungkan kepada TXD XBEE dan sebaliknya. Konfigurasi UART yang digunakan adalah kecepatan transfer data 9600, data bit = 8, stop bit =1, dan parity bit = none. I2C atau Inter-Integrated Circuit merupakan antar muka dua kabel yang dikembangkan Philips. Antarmuka ini digunakan untuk berkomunikasi dengan RTC PCF8583 untuk menyimpan tanggal dan waktu. Mikrokontroler pada antarmuka ini berperan sebagai master dan PCF8583 sebagai slave. Kelebihan dari I2C diantaranya adalah: hanya membutuhkan dua jalur untuk komunikasi; komunikasi master-slave yang sederhana; tidak memerlukan baud-rate seperti halnya RS-232, master yang menghasilkan pulsa clock; setiap perangkat memiliki penanda digital (ID) yang unik; serta mampu terdapat lebih dari satu master dalam jalur data. . Jumlah pin yang digunakan berjumlah dua buah, yaitu SDA dan SCL dan pemasangannya tidak terbalik pada perangkat digital yang lain. Komunikasi dengan micro SD card digunakan antarmuka SPI. Ada tiga macam cara berkomunikasi dengan SD card, yaitu : (1). One-bit SD mode; (2). Four-bit SD mode; (3). SPI (Serial Peripheral Interface) mode. Cara komunikasi yang terakhir merupakan cara termudah karena protokolnya mudah dipelajari, tersedia dokumentasi, dan berlisensi gratis. Sehingga komunikasi yang umum digunakan menggunakan mikrokontrer adalah SPI mode. Serial Peripheral Interface (SPI) merupakan jalur data serial synchronous yang biasa terdapat dapat pada mikroprosesor Motorola. Jalur data ini menjadi sangat populer sehingga mikrokontroler lain juga mendukung, termasuk AVR. SPI sanggup mengirim data hingga kecepatan 3Mhz. Sensor suhu yang digunakan adalah DS1820B versi anti air (Lampiran 4). Sensor ini dapat dicelup ke dalam air tanpa mengalami kerusakan. Sistem komunikasi yang digunakan adalah 1-wire interface. Antar muka ini merupakan buatan Dallas Semiconductor yang mirip dengan I2C. Hanya saja, kebutuhan pin lebih sedikit, yaitu satu buah, memiliki kecepatan yang lebih rendah, namun jarak jangkauan yang lebih jauh. Komponen pendukung lain diantaranya adalah linear voltage regulator AMS1117-3.3. Komponen ini mengubah tegangan dari sumber tegangan utama menjadi 3.3 Volt. Tegangan input yang digunakan harus memiliki rentang antara 3.6-5 Volt. Sumber tegangan utama yang digunakan adalah empat buah baterai Ni-MH berkapasitas 2700mAh yang dirangkai secara seri, sehingga total voltase menjadi 4.8 volt. Selanjutnya ada baterai backup untuk mempertahankan waktu pada komponen PCF8583. Baterai yang digunakan adalah baterai koin CR2032 dengan tegangan 3 Volt. Mikrokontroler yang digunakan menggunakan crystal eksternal sebagai sumber clock. Crystal yang digunakan memiliki frekuensi 7.3783 Mhz. Pemilihan jenis crystal ini agar selain dapat bekerja pada 3.3 volt, galat komunikasi USART bisa ditekan hingga 0%.
16
(a)
(b) Gambar 11 Papan sirkuit elektronik hasil layout, (a) tampak atas, (b) tampak bawah
Antena half-wave A24-HABUF-P5I
Kotak Baterai NiMH 4x1.2 V 2700mAH
Gambar 12 Perangkat keras yang telah terpasang dalam kompartemen elektronik
17 Setelah desain perangkat keras selesai dibuat, skematik elektronik dibuat menggunakan perangkat lunak EAGLE 6.4.0. Kemudian dari skematik yang dibuat tersebut, dirancanglah papan sirkuit elektronik (Gambar 11). Papan sirkuit ini memiliki spesifikasi bahan substrat FR4 epoxy, dual-layer, plate tin through hole serta memiliki soldermask. Penggunaan soldermask adalah untuk menghindari terjadinya short circuit antar jalur PCB. Komponen yang digunakan sebagian besar berupa tipe surface mount device (SMD) yang berukuran sangat kecil. Walaupun efisien dalam pemakaian tempat, namun komponen SMD memerlukan keterampilan khusus dalam penyolderan. Jarak antar kaki komponen yang sangat rapat menjadikan komponen SMD rentan konslet. Teknik penyolderan menggunakan pasta soldering flux dapat mencegah terjadinya konslet dan oksidasi pada timah solder. Hasil maksimal diperoleh melalui proses trial and error. Dimensi akhir papan sirkuit elektronik memiliki panjang 7 cm dan lebar 5.5 cm. Gambar 12 adalah papan sirkuit elektronik yang telah dipasang komponen lengkap dan dimasukan ke dalam kompartemen elektronik. 3.2.2 Perangkat tegar (firmware) Tanpa sebuah perangkat tegar, mikrokontroler tidak dapat bekerja. Perangkat tegar merupakan sebuah instruksi tetap yang disimpan dalam FLASH memory program. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah bahasa tingkat tinggi C dan kompiler open source AVR-gcc. Integrated Development Environment (IDE) yang digunakan adalah Eclipse versi Indigo. Perangkat tegar dirancang berdasarkan fungsi dari masing-masing jenis sensor node, yaitu coordinator, router dan end device. Coordinator hanya bertugas sebagai penerima data dari router dan end device. Router selain berfungsi untuk mengukur suhu permukaan air, sensor node ini juga berfungsi untuk mengarahkan data baik dari router lain maupun end device. Pengaturan jenis sensor node ini dilakukan pada modul radio XBEE menggunakan aplikasi X-CTU. Jenis topologi jaringan yang dipilih adalah mesh networking. Selanjutnya konfigurasi jaringan secara otomatis dilakukan oleh modul radio XBEE ketika diberi catu daya. Jenis komunikasi yang digunakan antara mikrokontroler dan modul radio XBEE adalah UART serial interface. UART serial interface yang digunakan memiliki konfigurasi baudrate 9600, data bits 8, stop bits 1, dan parity none. Terdapat dua protokol komunikasi serial XBBE, yaitu mode transparan dan Application Programming Interface (API). Mode transparan merupakan bentuk komunikasi yang lebih sederhana dibandingkan mode API namun memiliki kemampuan yang terbatas. Konfigurasi jaringan dan status pengiriman sebuah paket data lebih rumit dilakukan. Misalnya, keberhasilan pengiriman paket data tidak dapat diketahui pada mode transparan. Mode API memiliki kelebihan dalam hal fleksibilitas pemrograman dan fitur yang lebih banyak. Oleh karena itu, protokol komunikasi serial yang digunakan adalah mode API.
18
Gambar 13 Diagram alir dari perangkat tegar coordinator Perangkat tegar yang dirancang untuk coordinator memiliki diagram alir seperti pada Gambar 13. Karena konfigurasi jaringan sudah dilakukan secara otomatis oleh modul radio XBEE, perangkat tegar yang dibuat berfungsi untuk menerima data melalui UART dan merekamnya ke dalam micro SDcard. Mikrokontroler ATmega 328P akan menginisialisasi RTC dan micro SDcard pada saat pertama kali perangkat keras dinyalakan. Kemudian berdasarkan informasi waktu yang diperoleh dari RTC, dibuat file .txt pada micro SDcard. Selanjutnya mikrokontroler akan menunggu data tersedia di jalur UART, dan apabila sesuai dengan format data API frame maka data UART akan diterjemahkan dan direkam dalam file .txt pada micro SDcard. Lalu mikrokontroler akan meminta nilai RSSI transmisi radio terakhir dan kemudian merekam nilai RSSI tersebut ke file .txt. Perangkat tegar untuk router memiliki diagram alir seperti Gambar 14. Fungsi dari sensor node ini adalah mengukur suhu permukaan laut, merekam data suhu tersebut ke media penyimpanan micro SDcard, dan mengirimkannya ke coordinator. Awal dari program adalah menginisiasi UART, RTC, dan sensor suhu DS1820. Pada inisialisasi awal ini alarm pada RTC dikonfigurasi sesuai dengan waktu sampling yang diinginkan, pada penelitian kali ini adalah 1 menit. Sinyal alarm dari RTC akan mengaktifkan pin interrupt 0 pada mikrokontroler
19 dan kemudian akan melakukan pengukuran suhu, menyimpan serta mengirimkan ke coordinator. Pengukuran dan pengiriman suhu dilakukan secara digital sehingga galat akibat pengiriman data melalui gelombang radio dapat dihindari. Lalu mikrokontroler akan meminta nilai RSSI transmisi radio terakhir dan kemudian merekam nilai RSSI tersebut ke file .txt.
Gambar 14 Diagram alir dari perangkat tegar router Sama seperti perangkat tegar router, perangkat tegar end device juga memiliki diagram alir yang hampir sama (Gambar 15). Perbedaan utama dari perangkat tegar adalah pengaturan mode sleep modul radio XBEE. Mode sleep XBEE yang digunakan adalah berdasarkan sinyal pada pin SLEEP pada modul XBBE. Apabila pada pin SLEEP terdapat sinyal dengan logika 1 atau HIGH maka modul radio XBEE akan masuk mode sleep dan sebaliknya. Pada mode sleep ini modul radio akan mengonsumsi daya lebih rendah. Sinyal pada pin SLEEP modul radio XBEE diatur oleh PORT C 0 pada mikrokontroler ATmega 328P.
20
Gambar 15 Diagram alir dari perangkat tegar end device 3.3 Uji coba jaringan 3.3.1 Uji coba statis Uji coba statis dilakukan untuk melihat kinerja buoy pada kondisi terkontrol. Ada tiga uji coba statis yang dilakukan, yaitu: persentase keberhasilan data pada kondisi diam (uji statis 1) , uji multihop (uji statis 2), dan perbandingan antara jarak dan RSSI (uji statis 3). Uji coba pada kondisi diam atau uji statis 1 dilakukan di lapangan bola gymnasium IPB Dramaga dengan konfigurasi peletakan seperti pada Gambar 16. Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui kinerja dari perangkat
21 keras dan perangkat tegar. Masing-masing instrumen diletakan satu meter diatas tanah dan dinyalakan selama satu jam dengan interval pencuplikan 30 detik.
Gambar 16 Peletakan sensor node pada uji coba kondisi diam Tabel 2 Hasil uji statis 1 Gagal Persentase Max. Retries
Rerata RSSI (dBm)
Sensor Node
Terkirim
R1
107
0
100
0
-67.05
R2
181
0
100
1
-63.89
E1
116
0
100
1
-63.59
E2
109
0
100
1
-63.94
E3
107
0
100
1
-64.76
Tabel 2 menunjukan hasil uji statis 1. Persentase pengiriman data seluruh sensor node sebesar 100%. Nilai rerata RSSI relatif seragam pada kisaran -63 dBm hingga -67 dBm karena jarak peletakan yang juga relatif seragam. Hal ini menunjukan performa yang baik dari instrumen. Perangkat keras dan perangkat tegar berfungsi dengan baik dalam mengukur suhu, menyimpan data dan mengirimkan data. Uji coba selanjutnya adalah uji coba multihop atau uji statis 2. Jaringan WSN dengan topologi mesh networking memiliki kemampuan untuk mencari jalur terbaik untuk mengirimkan data ke alamat sensor node yang dituju. Kemampuan ini merupakan salah satu keunggulan protokol ZigBee. Modul radio yang digunakan menggunakan metode Ad-hoc On-demand Distance Vector (AODV) untuk melakukan routing. Untuk menguji fungsi mesh networking salah satu yang perlu diuji adalah mekanisme routing atau multihop. Apabila ada sebuah end device ingin mengirimkan paket data ke coordinator namun jangkauan radionya tidak memadai, maka paket data dapat diarahkan ke router terdekat yang kemudian akan mengirimkan ke coordinator. Mekanisme ini disebut multihop. Jumlah lompatan maksimum yang dilakukan bisa diatur pada modul radio. Uji
22 statis 2 ini dilakukan dengan meletakan sensor node dengan kondisi tanpa router (Gambar 17) dan dengan router (Gambar 18). Lokasi end device diletakkan pada secara berpindah pada titik 1 hingga 4 dengan pencuplikan selama empat menit pada setiap titik.
Gambar 17 Peletakan sensor node pada uji coba statis 2 tanpa router
Gambar 18 Peletakan sensor node pada uji coba statis 2 dengan router Tabel 3 menunjukan hasil uji statis 2. Pengambilan sampel yang dilakukan sebanyak empat buah pada masing-masing lokasi. Kondisi pengujian tanpa menggunakan router menunjukan kegagalan pengiriman data end device menuju coordinator pada lokasi keempat. Selain karena faktor jarak, gedung gymnasium IPB Dramaga juga menghalangi gelombang radio. Nilai RSSI pada uji coba tanpa router juga menggambarkan perubahan kekuatan sinyal radio berdasarkan jarak. Semakin jauh sensor node maka kekuatan radio yang diterima akan menurun hingga akhirnya gagal mengirim paket data. Selanjutnya router diletakan pada persimpangan antara coordinator dan end device (Gambar 3.12). Posisi router ini
23 memungkinkan router untuk berkomunikasi baik dengan coordinator maupun end device tanpa halangan. Uji statis 2 dengar router menunjukan keberhasilan pengiriman paket data pada lokasi keempat seperti terlihat pada Tabel 3. Nilai RSSI yang relatif konstan juga menunjukan bahwa data yang diterima di coordinator berasal dari satu sensor node yang memiliki lokasi tetap, yaitu router. Uji ini menunjukan bahwa mekanisme multihop bekerja dengan baik dengan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak yang dikembangkan. Tabel 3 Hasil uji statis 2 Tanpa Router
Lokasi
Dengan Router
Persentase
RSSI
Persentase
RSSI
1
100
95.5
100
68.4
2
100
97
100
74
3
100
103.4
100
68.2
4
0
Gagal
100
68
0
RSSI (dBm)
-20
f(x) = -0.1154x - 63.0045 R² = 0.7289
-40 -60 -80 -100 -120 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Jarak (Meter) RSSI
Linear (RSSI)
Gambar 19 Nilai RSSI terhadap perubahan jarak Uji coba statis selanjutnya adalah pengukuran Received Signal Strength Indicator (RSSI) terhadap jarak. Pengukuran ini dilakukan untuk menentukan jarak pemasangan antar sensor node ketika uji coba lapang. Peletakan sensor harus berada pada jarak maksimum transmisi radio masih berhasil dilakukan. Gambar 19 menunjukan plot hasil pengukuran RSSI berdasarkan jarak. Hasil pengamatan uji coba statis menunjukan terjadi perubahan nilai RSSI secara logaritmik. Pada sistem transmisi digital, nilai RSSI rendah bukan berarti adanya kegagalan pengiriman data. Adanya mekanisme pengulangan kembali (retry) dan penguatan (gain) meningkatkan keberhasilan pengiriman data. Gambar 19
24 menunjukan bahwa nilai sinyal radio pada jarak 450 m sebesar -105 dBm yang berarti sangat lemah. Uji regresi linier dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jarak dan RSSI. Berdasarkan persamaan regresi linier, didapatkan persamaan RSSI = -63.0045-0.1154*Jarak. Persamaan ini bisa diinterpretasikan bahwa, dalam peningkatan jarak sebanyak 1 meter, akan meningkatkan RSSI sebanyak -0.11542. Hal ini berbeda nyata dalam taraf alpha = 5%. Pengujian modul radio XBEE di lapangan akan dilakukan pada ambang batas kemampuan modul radio tersebut untuk mengetahui performa di kondisi paling buruk. Oleh karena itu, berdasarkan uji coba RSSI ini jarak pemasangan antar sensor node dalam kisaran 250 m hingga 400 m. 3.3.2 Uji coba dinamis Pengujian dinamis dilakukan untuk melihat kinerja instrumen pada kondisi sebenarnya. Uji coba dilakukan di goba Pulau Panggang, Kepulauan Seribu selama 18 Jam. Masing-masing sensor node diletakan seperti pada Gambar 20. Kode C merupakan coordinator; R1 dan R2 merupakan router; dan E1, E2, dan E3 merupakan end device.
Gambar 20 Posisi peletakan sensor node pada uji coba dinamis Hasil uji coba dinamis ditunjukan oleh tiga kondisi, yaitu keberhasilan pengiriman data, kegagalan jaringan, dan kegagalan hardware/software. Kegagalan jaringan merupakan kegagalan pengiriman data akibat sensor node tidak dapat mengirim paket data karena tidak dapat terhubung dengan jaringan. Sedangkan kegagalan hardware/software menunjukan kegagalan pengiriman akibat kesalahan mekanisme perangkat keras atau perangkat lunak. Gambar 21 menunjukan bahwa
25 E3 dan R1 behasil mengirimkan data sebanyak 100%. R2 menunjukan keberhasilan pengiriman data sebesar 99.91% dan kegagalan jaringan sebesar 0.09%. E2 Menunjukan keberhasilan pengiriman data sebesar 99.57% dan kegagalan jaringan sebesar 0.43%. E1 berhasil mengirimkan data sebanyak 84.94%, kegagalan hardware/software sebesar 14.29% dan kegagalan jaringan sebesar 0.77%. Kegagalan hardware/software terjadi pada saat-saat terakhir pengujian dilakukan yaitu sekitar pukul 1:00 dini hari. Diperkirakan kegagalan ini terjadi akibat uji dinamis sebelumnya. Pada saat uji dinamis pertama dilakukan jaringan gagal untuk mengirimkan data akibat perangkat lunak yang gagal bekerja. Hasil uji coba dinamis pertama tidak dimasukkan ke dalam pembahasan. Namun pada saat itu jangkar sensor node E1 terseret arus dan kompartemen elektronik tenggelam sedalam 1 m. Hal ini menyebabkan ada sedikit air masuk ke dalam kompartemen elektronik. Bagian yang terkena air laut adalah RTC. Kemungkinan besar sensor node berhenti mengirimkan data akibat RTC yang gagal bekerja dan berhenti mengirimkan sinyal alarm. Kinerja jaringan secara keseluruhan tergolong baik dengan persentase keberhasilan pengiriman data diatas 99% untuk sensor node dengan kondisi baik.
100
0.77
0.09
0.43
14.29
Persen (%)
80 60 40
84.94
99.57
100.00
100.00
99.91
E2
E3
R1
R2
20 0 E1
Node Kegagalan Jaringan
Kegagalan Software/Hardware
Berhasil
Gambar 21 Persentase keberhasilan pengiriman data pada uji coba dinamis Plot suhu permukaan laut (SPL) pada data yang berhasil dikirimkan ditunjukan pada Gambar 22. Pemasangan sensor node dilakukan sekitar pukul 10:30 pagi dan terpasang seluruhnya pada pukul 11:00, sehingga plot dimulai pada saat coordinator menerima data dari seluruh sensor node. Suhu paling tinggi didapat pada pukul 15:00 di R1 dan terendah pada 7:00 di E2. Terlihat adanya perbedaan suhu signifikan antara sensor node yang terpasang di dalam goba dan di luar goba Pulau Panggang. Hal ini disebabkan pada saat siang hari sirkulasi air
26 di dalam goba tidak sedinamis sirkulasi air di luar goba. Akumulasi bahang yang tinggi di dalam goba menjadikan suhu di dalam goba relatif lebih tinggi. Perbedaan suhu yang terjadi kurang lebih sebesar 1.5 ºC. Hal ini menggambarkan sifat instrumen yang memiliki resolusi spasial yang tinggi. Perbedaan suhu dalam luasan yang relatif kecil ini sulit diamati melalui satelit.
Gambar 22 Plot suhu permukaan laut pada saat uji coba lapang dilakukan Kekurangan instrumen yang dibuat terletak pada sistem Realtime Clock (RTC) yang digunakan. RTC Philips PCF8583 menggunakan clock eksternal dari crystal 32.768 kHz. Crystal jenis ini sangat dipengaruhi oleh suhu dan layout dari Printed Circuit Board (PCB). Gambar 23 menunjukan perbedaan waktu antara sensor node yang mengirim data dan waktu pada coordinator. Kolom pertama menunjukan tanggal, kedua adalah waktu pengiriman, ketiga adalah waktu penerimaan, keempat adalah asal pengirim data, kelima adalah alamat pengirim data, keenam adalah suhu, dan terakhir RSSI. Contoh data yang direkam dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 23 Baris contoh dari data yang diterima coordinator Apabila dilihat pada baris ke 192 terdapat anomali pada waktu pengiriman. Waktu pengiriman lebih cepat dibanding waktu penerimaan. Hal ini seharusnya tidak terjadi karena RTC dikalibrasi terlebih dahulu. PCB yang digunakan telah didesain memiliki sistem grounding yang baik untuk meminimalisir derau
27 terhadap crystal. Kemungkinan terbesar adalah perbedaan suhu lingkungan ketika uji coba lapang yang mempengaruhi laju dari waktu yang tersimpan di RTC. Hal ini dapat mengurangi akurasi waktu pengambilan data. 3.4 Analisis konsumsi daya Konsumsi daya masing-masing sensor node dipengaruhi oleh tipe dan jumlah transmisi radio yang dilakukan oleh sensor node tersebut. Konsumsi daya yang diperlukan oleh coordinator tentu berbeda dengan end device. Pengukuran konsumsi daya dilakukan menggunakan digital mutimeter Sanwa cd800a dengan pemasangan secara seri antara baterai dan komponen elektronik (Gambar 24). Ada dua kondisi yang diamati, yaitu konsumsi pada saat siaga (idle) dan pada saat ada transmisi radio atau aktif. Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran konsumsi daya masing-masing sensor node. Coordinator memiliki rata-rata konsumsi daya 67.4 mA pada saat siaga dan 72.5 mA pada saat aktif. Router memiliki rata-rata konsumsi daya 67.4 mA pada saat siaga dan 74.1 mA pada saat aktif. Sedangkan end device memiliki rata-rata konsumsi daya sebesar 22.2 mA pada saat siaga dan 73.6 mA pada saat aktif. Tidak ada beda signifikan antara konsumsi daya coordinator dan router, namun terdapat perbedaan signifikan terhadap end device. Hal ini menunjukkan bahwa mode sleep dari end device mengurangi konsumsi daya kurang lebih sebesar 45 mA pada saat siaga. Namun ketika aktif konsumsi daya dari semua tipe sensor node relatif sama.
Gambar 24 Pengukuran konsumsi daya pada saat siaga (kiri) dan aktif (kanan) Tabel 4 Hasil pengukuran konsumsi daya Jenis Node Coordinator Router 1 Router 2 End Device 1 End Device 2 End Device 3
Konsumsi Daya (mA) Siaga Aktif 67.4 72.5 68.1 74.8 67 73.4 21.9 71.2 22.3 77.6 22.3 72
Rata – Rata Konsumsi Daya (mA) Siaga Aktif 67.4 72.5 67.6
74.1
22.2
73.6
Pemakaian konsumsi daya secara berkelanjutan dapat dihitung dengan
28 mengetahui pola transmisi radio dari masing-masing sensor node. Selama rentang waktu 1 menit pola transmisi radio masing-masing sensor node diamati. Coordinator memiliki pola transmisi yaitu menerima 5 paket data dalam 1 menit (Gambar 25). Setiap penerimaan paket data diasumsikan membutuhkan waktu dua detik. Router dan end device dalam satu menit mengirimkan data sebanyak satu kali. Perbedaan terdapat pada konsumsi daya pada saat siaga dan waktu yang dibutuhkan masing-masing sensor node untuk mengirimkan data. Diasumsikan pengiriman data pada router membutuhkan waktu tiga detik (Gambar 26), sedangkan end device 10 detik (Gambar 27). Hal ini disebabkan router selalu terhubung dengan jaringan, sedangkan end device membutuhkan waktu untuk terkoneksi dengan jaringan ketika berubah dari mode sleep ke mode aktif.
73
Konsumsi Daya (mA)
72 71 70 69 68 67 66 65 0
10
20
30
40
50
60
T (Detik)
Konsumsi Daya (mA)
Gambar 25 Model konsumsi daya coordinator
75 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65 0
10
20
30
40
50
T (Detik)
Gambar 26 Model konsumsi daya router
60
29
Konsumsi Daya (mA)
80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
T (Detik)
Gambar 27 Model konsumsi daya end device Setelah diketahui model konsumsi daya dari masing-masing sensor node diketahui, konsumsi daya dapat diperoleh melalui Persamaan 3. Sehingga daya tahan baterai dapat diperoleh melalui Persamaan 4. ̄I =
̄ ×T siaga )+( I aktif ̄ ×T aktif ) ( I siaga 60
T battery =
(3)
Kapasitas Baterai 2700 = ̄I ̄I
(4)
̄ adalah konsumsi daya rata-rata instrumen pada kondisi siaga Dimana I siaga dalam satuan mA, T siaga waktu instrumen pada kondisi siaga dalam satuan ̄ adalah konsumsi daya rata-rata instrumen pada kondisi aktif dalam detik, I aktif satuan mA, dan T aktif waktu instrumen pada kondisi aktif dalam satuan detik. Tabel 5 Hasil penghitungan konsumsi daya dan daya tahan baterai Jenis Node Coordinator Router End Device
Konsumsi Daya Rata-Rata per Menit (mA) 68.1 67.9 30.7
Daya Tahan Baterai (Jam) 39.7 39.8 87.8
Hasil penghitungan konsumsi daya dan daya tahan baterai dapat dilihat pada Tabel 5. Coordinator dan router memiliki konsumsi daya rata-rata per menit yang hampir sama sebesar 68.1 mA dan 67.9 mA, sedangkan untuk end device sebesar 30.7 mA. Hal ini signifikan berpengaruh terhadap daya tahan baterai dari ketiga jenis sensor node tersebut. Baterai yang digunakan memiliki jenis NiMH dengan kapasitas 2700 mAH. Sehingga diperoleh daya tahan baterai selama 39.7 jam untuk coordinator, 39.8 jam untuk router, dan 87.8 jam untuk end device. Daya tahan baterai masih belum memadai untuk aplikasi berkelanjutan, oleh karena itu sebaiknya dipasang modul solar cell 5V dengan daya 1 watt beserta sistem kontrolnya.
7
2 METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari hingga Mei 2013. Perancangan dan pembuatan instrumen dilaksanakan di Laboratorium Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Uji coba statis dilakukan di Gymnasium IPB dan watertank Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan (AIK), sedangkan uji coba dinamis dilaksanakan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. 2.2 Bahan Penelitian Terdapat dua bagian utama dalam penelitian ini, yaitu pembuatan wahana buoy tertambat dan instrumen sensor. Bahan yang digunakan untuk pembuatan wahana buoy diantaranya: pelampung plastik, pipa stainless tipe 304 ukuran 1/2 inci ANSI schedule 40, epoxy resin, polyester resin, mat fiber glass, serta polyurethane foam. Selanjutnya pembuatan instrumen membutuhkan bahan antara lain: Modul RF Digi XBEE Pro ZB Series 2, half wave antena A24-HABUF-P5I dengan penguatan 2.1dBi, mikrokontroler ATmega328P, USB to Serial converter Prolific PL2303HX, RTC PCF8583, sensor suhu anti air DS1820, micro SD Card berkapasitas 4GB, baterai Ni-MH 2700mAh, box baterai, box plastik IP68, timah solder, flux, kapton tape serta beberapa komponen pasif seperti resistor, kapasitor dan transistor. 2.3 Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Solder, Digital Multi Meter Sanwa CD800a, laptop, bor listrik, gerinda listrik, tang, obeng, pinset, dan pemotong. Perangkat lunak yang digunakan antara lain: Operating System Linux Ubuntu versi 12.04, Cadsoftusa Eagle versi 6.4, Eclipse IDE versi Indigo, AVR Eclipse Plugin 2.4.0 beta, Libre Office versi 4.03, serta X-CTU versi 5.2.7.5. 2.4 Prosedur Penelitian Penelitian diawali dengan pembuatan wahana buoy tertambat. Wahana yang dibuat harus mampu mengapung dalam keadaan stabil. Uji kestabilan buoy dilakukan di watertank Laboratorium AIK, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Daya apung dari wahana apung dihitung untuk mengetahui kemampuan maksimum dalam mengangkat beban. Perancangan instrumen dilakukan seperti diagram alir pada Gambar 4. Terdapat dua tahap perancangan instrumen, yaitu perancangan perangkat keras (hardware) dan perangkat tegar (firmware). Perangkat keras dirancang terlebih dahulu, lalu dibuat skematik dan papan sirkuit elektronik menggunakan software Eagle. Kemudian dengan dasar rancangan perangkat keras, perangkat tegar yang akan menjalankan seluruh sistem instrumen dirancang menggunakan Eclipse Indigo.
8
Pembuatan Wahana Buoy Tertambat
Perancangan Perangkat Keras
Perancangan Perangkat Tegar
Uji Coba Statis Uji Coba Dinamis
Daya apung dan kestabilan Buoy
Analisis jaringan
Analisis konsumsi daya
Gambar 4 Diagram alir penelitian 2.4.1 Perancangan instrumen perangkat keras akan dirancang sesuai dengan diagram perancangan pada Gambar 5. Baterai dan Modul catu daya
Sensor Suhu DS1820
Modul Xbee Pro ZB series Mikrokontroler ATMega328P
RTC PCF8583
Micro SD Card
Gambar 5. Diagram perancangan perangkat keras
9 Komponen utama dalam masing-masing sensor node adalah mikrokontroler AVR ATmega 328p dan Modul RF Xbee Pro ZB Series 2. Real Time Clock (RTC) PCF8583 digunakan untuk menyimpan informasi waktu. Parameter fisik kelautan yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu permukaan laut (SPL). Sensor suhu yang digunakan adalah DS1820 yang telah diberi pelindung kedap air. Kemudian data suhu yang diambil dikirimkan melalui transmisi radio dan kemudian disimpan dalam micro SDcard. Instrumen yang dibuat sejumlah 6 buah untuk analisis jaringan. Perangkat lunak untuk sistem terintgrasi seperti ini disebut firmware atau perangkat tegar. Perangkat tegar dibuat menggunakan bahasa C dengan kompiler AVR-gcc menggunakan komputer berbasis Linux Ubuntu 12.04. 2.4.2 Uji coba statis Uji coba laboratorium akan dilakukan di lingkungan Institut Pertanian Bogor. Uji coba fungsional masing-masing komponen akan dilakukan di Workshop Instrumentasi Kelautan. Sedangkan uji coba jaringan statis akan dilakukan di lapangan gymnasium IPB. Selanjutnya dilakukan uji coba statis yang untuk mengetahui keberhasilan mekanisme multihop. Mekanisme ini penting untuk diketahui karena akan mengestimasi keberhasilan sistem keseluruhan di lapangan. Selanjutnya adalah menguruk perubahan Received Signal Strength Indicator (RSSI) terhadap jarak. Walau nilai RSSI tidak dapat dijadikan ukuran atas Quality of Service (QoS) suatu jaringan, uji ini dilakukan untuk mengestimasi jarak antar nodes di lapangan. 2.4.3 Uji coba dinamis Uji coba lapangan dilakukan untuk mengetahui kinerja alat pada kondisi sebenarnya. Uji coba lapang akan dilakukan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Jarak peletakan antar buoy didasarkan pada hasil uji coba statis. Lokasi penelitian di dalam goba Pulau Panggang dengan memperhatikan jarak dan kedalaman perairan. Apabila pada surut terendah kedalaman perairan kurang dari 1.5 meter, bisa dipastikan buoy akan kandas dan tenggelam. Kemudian masing masing node akan diaktifkan serta mengukur dan mengirim parameter suhu permukaan perairan. Nodes yang mampu mengukur dan merekam data adalah router dan end device. Sedangkan coordinator bertugas hanya menerima data. Lama pengujian lapangan dilakukan minimal 12 jam. Urutan pemasangan buoy dari yang pertama adalah coordinator, lalu router, dan terakhir end device. Hal ini dilakukan agar coordinator bisa membentuk jaringan PAN terlebih dahulu sehingga router dan end device dapat terhubung.
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luasnya perairan laut dan lingkungan laut yang tidak bersahabat menimbulkan tantangan tersendiri untuk diobservasi. Akses yang sulit dan faktor cuaca menyebabkan lokasi pengamatan di daerah laut memerlukan perencanaan yang baik. Secara umum, observasi sumber daya laut melibatkan dua komponen utama, yaitu: penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit dan observasi in situ. Observasi sumber daya laut membantu menjawab pertanyaan dasar penelitian, antara lain sebagai berikut: (a) seberapa besar peranan laut dalam iklim dan perubahan iklim; (b) transfer bahang, udara, dan gas antara laut dan atmosfer; (c) siklus karbon di laut dan bagaimana peran laut dalam proses penambahan karbon ke udara; (d) meningkatkan pemodelan ocean mixing serta sirkulasi laut skala besar; (e) bagaimana pola penyebaran dan keanekaragaman biologis di laut; (f) asal, penyebab dan dampak dari kejadian periodik di pesisir seperti algal blooming; (g) kesehatan daerah pesisir; (h) karakteristik habitat dan penyebaran kehidupan mikroba di lapisan kerak dalam biosfer; (i) posisi dan kondisi zona subduksi yang mampu menyebabkan gempa penghasil tsunami; (j) bagaimana meningkatkan model dari struktur global bumi dan dinamika mantel bumi. Pemahaman tentang laut dan segala fenomena di dalamnya diperlukan bagi para pemangku kepentingan di bidang klimatologi, perikanan, pelabuhan, manajemen daerah pesisir, ketahanan negara, institusi kesehatan publik, pemerhati lingkungan, dan migas (Ravicandran 2011). Ekosistem pesisir yang terdiri dari estuaria, hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan ekosistem dengan produktifitas tinggi dan memiliki beragam fungsi (Bengen 2009). Masing-masing komponen dalam ekosistem pesisir saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Tekanan yang tinggi akibat aktivitas manusia menjadikan ekosistem ini sangat rentan terhadap kerusakan. Kebijakan pengelolaan ekosistem pesisir secara terpadu yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan merupakan mekanisme terbaik dalam mengelola ekosistem pesisir. Namun, pengawasan aspek bio-fisik kunci dari perairan keempat ekosistem ini belum banyak dilibatkan dalam pengambilan suatu kebijakan. Hal ini disebabkan pengamatan kualitas suatu perairan memerlukan biaya yang tinggi. Metode observasi menggunakan satelit memiliki keterbatasan resolusi spasial dan temporal (Bromage et al. 2007). Kebutuhan data yang akurat dengan resolusi spasial maupun temporal yang tinggi, akan membantu para pemangku kepentingan untuk bereaksi cepat dan akurat dalam memutuskan sebuah kebijakan. Wahana mooring buoy atau buoy tertambat merupakan salah satu opsi untuk observasi laut. Seperangkat instrumen beserta sistem transmisi data dipasang untuk melakukan pengukuran secara otomatis. Wahana ini mampu meningkatkan resolusi pengamatan spasial dan temporal serta dapat berperan sebagai penyedia data lapang untuk kalibrasi data citra satelit. Namun rancangan sistem buoy untuk laut lepas tidak cocok diaplikasikan di daerah pesisir akibat ukuran yang besar.
2 1.2 Perumusan Masalah Observasi laut atau survey in situ biasanya menggunakan tenaga manusia untuk mengambil sampel pada lokasi yang diinginkan. Pengambilan sampel dengan teknik ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Apabila menggunakan kapal riset besar, biaya pengambilan data di laut mencapai 15.000 euro atau 200 juta rupiah per hari (Voigt 2007). Seiring dengan perkembangan teknologi, dikembangkan sistem observasi yang mampu mengambil data secara otomatis. Salah satu wahana yang dikembangkan adalah menggunakan mooring buoy atau buoy tertambat. Buoy tertambat merupakan wahana yang menggunakan metode eularian, yaitu pengukuran parameter dilakukan pada pada lokasi yang tetap. Menurut Ravichandran (2011) kelebihan sistem buoy tertambat antara lain: Resolusi horisontal bisa diatur sesuai kebutuhan, dapat dipasang di daerah terpencil, informasi kolom perairan dapat diperoleh melalui sistem sensor mooring, sampling time cepat, kuat, dan relatif murah. Namun, kekurangan dari sistem ini adalah: biofouling, kebutuhan penyimpanan data yang besar, resolusi horisontal tergantung jumlah buoy yang dipasang, variabel pengamatan terbatas, dan tidak bisa dipasang di beberapa wilayah. Salah satu wahana buoy tertambat paling sukses adalah Tropical Atmosphere Ocean / Triangle Trans-Ocean Buoy Network (TAO/TRITON) array di Samudera Pasifik. Sistem buoy yang dikembangkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) ini sukses mengamati fenomena iklim global termasuk La Nina dan El Nino. Lebih dari 600 jurnal ilmiah telah dipublikasi dari data TAO/TRITON sejak tahun 1980. Pemodelan iklim global berkembang dengan pesat semenjak saat itu. Gambar 1 menunjukan peta penyebaran buoy tertambat di seluruh dunia yang terdaftar di National Data Buoy Center, National Oceanic and Atmospheric Administration's (NDBC-NOAA), Amerika Serikat. Wahana buoy tertambat terbukti sukses dalam memperoleh data yang sangat penting untuk mempelajari ekosistem laut dan iklim global.
Gambar 1
Peta sebaran buoy tertambat di seluruh dunia. Gambar direproduksi dari http://www.ndbc.noaa.gov/
3 Untuk menghadapi lingkungan laut yang tidak bersahabat, buoy TAO/TRITON ini dirancang supaya kuat sehingga ukurannya pun besar. Tidak hanya itu, dimensi yang besar ini juga berkaitan dengan kebutuhan kompartemen catu daya yang besar karena kebutuhan energi yang tinggi untuk komunikasi melalui satelit. Beberapa jenis buoy tertambat bahkan memiliki generator diesel didalamnya. Hal ini menyebabkan tingginya biaya produksi dan distribusi. Skema umum sistem observasi in situ laut menggunakan wahana buoy tertambat dapat dilihat pada Gambar 2. Komponen utama sistem observasi laut ini adalah sensor bawah air dan permukaan, prosesor, sistem telemetri radio, catu daya, dan sistem buoy yang terdiri dari wahana terapung, jangkar serta tali tambat (Albaladejo et al. 2010). Sistem observasi buoy jenis ini umumnya dipakai untuk mengamati fenomena skala besar.
Gambar 2
Skema umum sistem observasi laut menggunakan mooring buoy. Diadaptasi dari Albaladejo et al (2010) dengan lisensi open access
Lalu bagaimana dengan pengamatan ekosistem pesisir? Sebagai contoh studi kasus ekosistem terumbu karang. Ekosistem ini memiliki fungsi ekologis yang sangat penting dan rentan terhadap aktivitas manusia (Bengen 2009). Umumnya pengamatan skala luas ekosistem ini menggunakan citra satelit. Misal, satelit Aqua MODIS yang memiliki resolusi spasial 1000m2 dan resolusi temporal harian pada pukul 13.30. Spesifikasi satelit ini cukup memadai untuk fenomena skala global, namun resolusi spasial dan temporal satelit tidak memadai untuk pengamatan kondisi terumbu karang secara real-time (Bromage et al. 2007). Sistem pengamatan buoy tertambat dengan resolusi tinggi baik temporal maupun spasial perlu dikembangkan untuk kebutuhan daerah pesisir.
4 Riset tentang buoy tertambat di Indonesia mulai dilakukan pada tahun 2009. Sistem Buoy Kepulauan Seribu telah dikembangkan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Suku Dinas Kelautan Perikanan Jakarta serta Badan Riset Kelautan Perikanan untuk mengamati ekosistem pesisir dan terumbu karang. Sistem buoy ini menggunakan teknologi GSM untuk pengiriman data. Catu daya yang digunakan adalah dua buah solar panel 50Wp dan dua buah baterai Valve Regulated Lead Acid (VRLA) 100 Ah yang masing-masing seberat 25kg. Buoy ini memiliki diameter 1.5 meter, tinggi total 3.5 meter dan berat kurang lebih 500kg. Ukuran yang besar dan kebutuhan energi yang tinggi menjadi kendala sehingga biaya produksi dan biaya pemasangan ikut melonjak. Aplikasi teknologi untuk mengobservasi lingkungan berkembang pesat. Perkembangan teknologi Microelectromechanical System (MEMS) membuat ukuran sebuah pemancar dan penerima radio memiliki ukuran sangat kecil, hemat daya, dan memiliki kecepatan transfer data yang baik (Fries 2007; Alkandari et al. 2011). Perkembangan teknologi ini kemudian diaplikasikan dalam konsep wireless sensor network (WSN). WSN berusaha menggabungkan teknologi sensing dan transmisi data nirkabel, sehingga pengamatan pada lingkungan yang sulit dapat dilakukan dengan resolusi tinggi. Dalam setiap sensor node (satu perangkat modul WSN, sensor dan baterai) terdapat mekanisme pengukuran variable, pengolahan data, penyimpanan data dan melakukan komunikasi (Dargie dan Poellabauer 2010). WSN dirancang untuk bekerja secara otomatis dengan keterbatasan energi yang bisa disediakan. Oleh karena itu, mekanisme kerja sebuah sensor node WSN harus dibuat seefisien mungkin baik dari sisi perangkat lunak maupun perangkat keras. WSN dirancang untuk dapat bekerja pada waktu yang lama dan tanpa perawatan. Sejak tahun 2000 Riset dan aplikasi WSN telah banyak berkembang, diantaranya dalam aspek konstruksi bangunan, medis, dan komunikasi antar mesin (M2M) pada industri. Dalam bidang oseanografi ada dua sistem WSN yang dikenal, yaitu Aerial Wireless Sensor Networks (A-WSN) dan Underwater Wireless Sensor Networks (UW-WSN). A-WSN menggunakan gelombang radio untuk berkomunikasi di melalui medium udara, namun radio tidak dapat merambat dalam air sehingga dikembangkan UW-WSN menggunakan gelombang suara. UW-WSN memiliki banyak kendala berkomunikasi seperti tingkat bit error yang tinggi dan lambat. Berbeda dengan perkembangan UW-WSN, A-WSN berkembang sangat pesat. Teknologi komunikasi nirkabel pun beragam. Tabel 1 menunjukan jenis-jenis teknologi komunikasi nirkabel yang berkembang saat ini. Awal perkembangan WSN tidak disertai dengan standarisasi protokol. Sehingga komunikasi antar perangkat menjadi sulit. Berbeda dengan jaringan nirkabel untuk komunikasi antar komputer yang telah memiliki standar terlebih dahulu. Perangkat radio yang telah tersertifikasi Wi-fi dapat berkomunikasi satu sama lain dengan protokol yang seragam. Namun, teknologi Wi-fi yang berkecepatan sangat tinggi tidak cocok untuk aplikasi sensor dan kontrol karena kebutuhan daya yang tinggi. Seiring dengan kebutuhan yang unik tersebut, protokol ZigBee dikembangkan. ZigBee bukan membuat teknologi baru, melainkan mengembangkan protokol tingkat tinggi dengan basis IEEE 802.15.4 untuk aplikasi sensor dan perangkat kontrol (Kinney, 2003).
5 Tabel 1 Jenis teknologi nirkabel yang berkembang saat ini Teknologi
Standar
Penjelasan
802.11n Sistem transmisi data 802.11/b/g/ nirkabel untuk n jaringan komputasi Standar untuk IEEE transmisi data WiMAX 802.16 menggunakan gelombang radio Spesifikasi industri untuk WPAN yang mampu IEEE mentransmisikan suara Bluetooth 802.15.1 dan data antar perangkat yang berbeda melalui frekuensi radio bebas.
WiFi
Jangkauan
Frekuensi
11/54/300Mbps
< 100 m
5 Ghz 2.4 Ghz
<75Mbps
<10 km
2-11 Ghz 3.5 Ghz : Eropa
v.1.2: 1Mbps Class 1 : 100m v.2.0: 3Mbps Class 2 : 20m 2.4 Ghz UWB:53-480Mb Class 3 : 1 m ps
GSM
Sistem standar komunikasi melalui telepon genggam dan 9.6 Kpbs menggabungkan teknologi digital.
Tergantung jaringan dari provider
900/1800 Mhz: Eropa 1900 Mhz: USA
GPRS
Ekstensi dari GSM untuk unswitch (atau paket) transmisi data
56-144Kpbs
Tergantung jaringan dari provider
868/915 Mhz and 2.4 Ghz
IEEE 802.15.4
Standar yang mendefinisikan tingkat fisik (physical level) dan mengontrol medium access dari WPAN dengan kecepatan transmisi rendah
20Kbps:868Mhz: EU 40Kbps:915Mhz: < 100m America 250Kbps:2.4Ghz :World
IEEE 802.15.4
Spesifikasi dari <75 m protokol komunikasi 250Kpbs:2.4Ghz hingga ratusan nirkabel tingkat tinggi 20kpbs:868Mhz meter untuk WPAN radio 40kpbs:915MHz menggunakan digital dengan standar mekanisme IEEE 802.15.4 yang multi-hop berdaya rendah.
ZigBee
a
Kecepatan
2.4 Ghz
868.0-868.6 Mhz: Eropa 902-928 Mhz: Amerika Utara 2400-2483.5 Mhz: World
Sumber : modifikasi Albaladejo et al. (2010)
Terdapat tiga topologi jaringan yang digunakan ZigBee ini seperti yang (Gambar 3). Topologi merupakan mekanisme pengaturan jaringan yang digunakan. Ada tiga jenis sensor node dari sistem ini, yaitu : Coordinator (C), router (R), dan end node (E). Coordinator mampu membuat jaringan Personal Access Network (PAN). PAN merupakan salah satu syarat bagi kedua node lain untuk bisa terhubung dan membentuk sebuah jaringan. Alamat PAN bisa diprogram sebelumnya kedalam modul radio atau ditentukan otomatis dengan
6 mekanisme pencarian. Apabila coordinator menemukan alamat PAN yang sama disekitarnya, maka akan membuat PAN dengan alamat lain. Router merupakan jenis node yang dapat mengirim data, menerima data, dan mengarahkan (routing) data dari end device dan coordinator. Namun router tidak bisa masuk membentuk PAN dan masuk ke mode sleep. End device merupakan jenis sensor node yang bisa mengirim data, menerima data dan masuk ke mode sleep. Ketika mode sleep radio tidak bisa mengirimkan atau menerima data, namun dikompensasi dengan kebutuhan energi yang jauh lebih kecil dibandingkan coordinator atau router.
Gambar 3 Topologi jaringan ZigBee
1.3 Tujuan penelitian Merancang sistem buoy tertambat serta uji coba Aerial Wireless Sensor Networks (A-WSN) berbasis modul radio protokol ZigBee untuk pengamatan ekosistem pesisir secara real-time. 1.4 Hipotesis Instrumen buoy tertambat dengan menggunakan teknologi A-WSN protokol ZigBee mampu membuat jaringan sensor yang handal sekaligus hemat daya, sehingga mengurangi biaya total keseluruhan sistem sensor. Kapasitas client dalam sebuah jaringan yang sangat besar diharapkan mampu meningkatkan resolusi spasial dan temporal. Sistem buoy berbasis ZigBee ini dapat menjadi instrumen yang ideal untuk pengamatan otomatis dan real time di ekosistem pesisir
7
2 METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari hingga Mei 2013. Perancangan dan pembuatan instrumen dilaksanakan di Laboratorium Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Uji coba statis dilakukan di Gymnasium IPB dan watertank Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan (AIK), sedangkan uji coba dinamis dilaksanakan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. 2.2 Bahan Penelitian Terdapat dua bagian utama dalam penelitian ini, yaitu pembuatan wahana buoy tertambat dan instrumen sensor. Bahan yang digunakan untuk pembuatan wahana buoy diantaranya: pelampung plastik, pipa stainless tipe 304 ukuran 1/2 inci ANSI schedule 40, epoxy resin, polyester resin, mat fiber glass, serta polyurethane foam. Selanjutnya pembuatan instrumen membutuhkan bahan antara lain: Modul RF Digi XBEE Pro ZB Series 2, half wave antena A24-HABUF-P5I dengan penguatan 2.1dBi, mikrokontroler ATmega328P, USB to Serial converter Prolific PL2303HX, RTC PCF8583, sensor suhu anti air DS1820, micro SD Card berkapasitas 4GB, baterai Ni-MH 2700mAh, box baterai, box plastik IP68, timah solder, flux, kapton tape serta beberapa komponen pasif seperti resistor, kapasitor dan transistor. 2.3 Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Solder, Digital Multi Meter Sanwa CD800a, laptop, bor listrik, gerinda listrik, tang, obeng, pinset, dan pemotong. Perangkat lunak yang digunakan antara lain: Operating System Linux Ubuntu versi 12.04, Cadsoftusa Eagle versi 6.4, Eclipse IDE versi Indigo, AVR Eclipse Plugin 2.4.0 beta, Libre Office versi 4.03, serta X-CTU versi 5.2.7.5. 2.4 Prosedur Penelitian Penelitian diawali dengan pembuatan wahana buoy tertambat. Wahana yang dibuat harus mampu mengapung dalam keadaan stabil. Uji kestabilan buoy dilakukan di watertank Laboratorium AIK, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Daya apung dari wahana apung dihitung untuk mengetahui kemampuan maksimum dalam mengangkat beban. Perancangan instrumen dilakukan seperti diagram alir pada Gambar 4. Terdapat dua tahap perancangan instrumen, yaitu perancangan perangkat keras (hardware) dan perangkat tegar (firmware). Perangkat keras dirancang terlebih dahulu, lalu dibuat skematik dan papan sirkuit elektronik menggunakan software Eagle. Kemudian dengan dasar rancangan perangkat keras, perangkat tegar yang akan menjalankan seluruh sistem instrumen dirancang menggunakan Eclipse Indigo.
8
Pembuatan Wahana Buoy Tertambat
Perancangan Perangkat Keras
Perancangan Perangkat Tegar
Uji Coba Statis Uji Coba Dinamis
Daya apung dan kestabilan Buoy
Analisis jaringan
Analisis konsumsi daya
Gambar 4 Diagram alir penelitian 2.4.1 Perancangan instrumen perangkat keras akan dirancang sesuai dengan diagram perancangan pada Gambar 5. Baterai dan Modul catu daya
Sensor Suhu DS1820
Modul Xbee Pro ZB series Mikrokontroler ATMega328P
RTC PCF8583
Micro SD Card
Gambar 5. Diagram perancangan perangkat keras
9 Komponen utama dalam masing-masing sensor node adalah mikrokontroler AVR ATmega 328p dan Modul RF Xbee Pro ZB Series 2. Real Time Clock (RTC) PCF8583 digunakan untuk menyimpan informasi waktu. Parameter fisik kelautan yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu permukaan laut (SPL). Sensor suhu yang digunakan adalah DS1820 yang telah diberi pelindung kedap air. Kemudian data suhu yang diambil dikirimkan melalui transmisi radio dan kemudian disimpan dalam micro SDcard. Instrumen yang dibuat sejumlah 6 buah untuk analisis jaringan. Perangkat lunak untuk sistem terintgrasi seperti ini disebut firmware atau perangkat tegar. Perangkat tegar dibuat menggunakan bahasa C dengan kompiler AVR-gcc menggunakan komputer berbasis Linux Ubuntu 12.04. 2.4.2 Uji coba statis Uji coba laboratorium akan dilakukan di lingkungan Institut Pertanian Bogor. Uji coba fungsional masing-masing komponen akan dilakukan di Workshop Instrumentasi Kelautan. Sedangkan uji coba jaringan statis akan dilakukan di lapangan gymnasium IPB. Selanjutnya dilakukan uji coba statis yang untuk mengetahui keberhasilan mekanisme multihop. Mekanisme ini penting untuk diketahui karena akan mengestimasi keberhasilan sistem keseluruhan di lapangan. Selanjutnya adalah menguruk perubahan Received Signal Strength Indicator (RSSI) terhadap jarak. Walau nilai RSSI tidak dapat dijadikan ukuran atas Quality of Service (QoS) suatu jaringan, uji ini dilakukan untuk mengestimasi jarak antar nodes di lapangan. 2.4.3 Uji coba dinamis Uji coba lapangan dilakukan untuk mengetahui kinerja alat pada kondisi sebenarnya. Uji coba lapang akan dilakukan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Jarak peletakan antar buoy didasarkan pada hasil uji coba statis. Lokasi penelitian di dalam goba Pulau Panggang dengan memperhatikan jarak dan kedalaman perairan. Apabila pada surut terendah kedalaman perairan kurang dari 1.5 meter, bisa dipastikan buoy akan kandas dan tenggelam. Kemudian masing masing node akan diaktifkan serta mengukur dan mengirim parameter suhu permukaan perairan. Nodes yang mampu mengukur dan merekam data adalah router dan end device. Sedangkan coordinator bertugas hanya menerima data. Lama pengujian lapangan dilakukan minimal 12 jam. Urutan pemasangan buoy dari yang pertama adalah coordinator, lalu router, dan terakhir end device. Hal ini dilakukan agar coordinator bisa membentuk jaringan PAN terlebih dahulu sehingga router dan end device dapat terhubung.
10
3 HASIL 3.1 Wahana apung Mooring buoy atau buoy tertambat pada prinsipnya adalah sebuah alat yang mengapung diatas permukaan air yang kemudian diikat pada sebuah jangkar. Aplikasi dari buoy tertambat bervariasi, mulai dari penanda seorang penyelam, alat bantu navigasi kapal, hingga jangkar permanen sebuah kapal pesiar. Beberapa parameter penting dari sebuah wahana buoy tertambat adalah kestabilan, keseimbangan, dan kemampuan kembali ke kondisi seimbang (Jordán dan Beltrán-Aguedo 2004). Desain buoy yang dibuat dirancang khusus untuk daerah pesisir. Perairan di wilayah ini relatif lebih dangkal dan terlindungi dibandingkan laut lepas. Rancangan buoy harus mampu membawa beban instrumen serta memiliki kestabilan yang baik. Buoy juga dirancang agar tidak terlalu berat agar memudahkan ketika mobilisasi. Gambar 6 merupakan desain buoy secara keseluruhan. Bahan yang digunakan pada tiang penyangga adalah pipa stainless steel 304 dengan diameter 1/2 inch ANSI schedule 40. Bagian pelampung adalah plastik dengan diameter 35 cm dengan tebal 5mm lalu kemudian di isi polyurethane foam. Pengisian pelampung dengan busa dilakukan agar apabila terjadi kebocoran wahana pelampung tidak langsung tenggelam. Ada dua parameter yang diperhatikan dalam pembuatan wahana apung yakni daya apung dan kestabilan.
Gambar 6 Rancangan wahana buoy
11 3.1.1 Gaya apung Gaya apung merupakan gaya keatas yang dihasilkan dari volume air yang dipindahkan dari ruang kosong pada bagian yang terendam air. Gaya apung dari wahana apung yang dibuat diperoleh dari pelampung plastik berbentuk bola yang diisi oleh polyurethane foam. Gaya apung maksimum sebuah buoy dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.1. F b=V b× ρ×g
(1)
Fb merupakan gaya apung sebuah buoy dalam satuan Newton, Vb merupakan volume buoy yang terendam air, ρ merupakan densitas air laut, dan g merupakan percepatan gravitasi bumi. Gaya apung maksimum dihitung dengan mengasumsikan pelampung terendam seluruhnya di dalam air. Diketahui diameter pelampung adalah 35 cm sehingga memiliki jari-jari 0.175 m. Menggunakan Persamaan 3.2 diperoleh volume dari pelampung plastik yang digunakan. 4 V b = ×π×r 3 3
(2)
Sehingga diperoleh nilai volume pelampung plastik sebesar : 4 V b = ×3.1415927×0.1753=0.02245 m3 3 Menggunakan densitas rata air laut sebesar 1027 kg/m3 dan percepatan gravitasi bumi rata-rata 9.8 m/s, maka dengan Persamaan 1 diperoleh gaya apung sebesar : F b=0.02245×1027×9.8=225.9503 N Apabila dikonversi menjadi massa, maka jumlah beban maksimum yang dapat ditampung buoy tersebut adalah kurang lebih sebesar 23 kg. Beban keseluruhan wahana buoy saat ini kurang lebih sebesar 12 kg. Apabila dilakukan pengaturan beban penyeimbang dan posisi beban di atas buoy masih ada ruang sebesar kurang lebih 6 kg untuk penambahan instrumen. 3.1.2 Kestabilan wahana apung Kestabilan merupakan kemampuan wahana apung untuk tetap berdiri tegak. Kestabilan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu bentuk dan berat. Bentuk wahana apung yang terendam air mempengaruhi kestabilan. Semakin besar diameter pelampung, semakin stabil wahana buoy tersebut pada titik gravitasi yang sama (IALA 2013). Namun, bentuk yang terlalu besar juga dapat dipengaruhi angin sehingga wahana apung dapat terbalik. Kestabilan yang dipengaruhi berat merupakan kestabilan yang diakibatkan dari posisi titik gravitasi. Semakin ke bawah titik gravitasi, semakin stabil wahana apung tersebut. Penentuan kestabilan menggunakan parameter-parameter matematik sangat kompleks tergantung bentuk, ukuran, tinggi, kondisi lingkungan dan beban muatan. Penilaian akhir
12 wahana buoy terhadap kestabilan didasarkan berdasarkan pengamatan visual. Wahana yang dibuat harus bisa menampung beban muatan, berdiri tegak dan tidak miring, serta kembali ke posisi semula ketika mendapat tekanan dari gelombang. Uji coba kestabilan wahana buoy dilakukan di watertank Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, FPIK, IPB (Gambar 7). Hasil uji coba menunjukan bahwa wahana buoy sangat stabil. Hal ini diperoleh dengan penambahan beban pemberat seberat 8 kg agar titik gravitasi semakin ke bawah. Uji coba lapang di P. Panggang juga menunjukan kinerja yang baik dari wahana apung (Gambar 8). Selama pengujian, tidak ada wahana apung yang miring, tenggelam, terbawa gelombang dan stabil. Dimensi wahana apung yang relatif kecil memudahkan ketika distribusi instrumen berlangsung. Satu buah kapal kecil mampu membawa ke enam instrumen sekaligus.
Gambar 7 Uji kestabilan wahana buoy di watertank Laboratorium AIK
Gambar 8 Kinerja wahana apung teruji dengan baik di P.Panggang 3.1.3 Kompartemen elektronik Instrumen diletakan pada kompartemen elektronik yang berada di bagian atas wahana buoy ini (Gambar 9). Kompartemen ini terbuat dari bahan plastik acrylonitrile butadiene styrene (ABS) dengan standar proteksi IP68. International
13 Protection (IP) merupakan standar internasional sebuah kompartemen elektronik. Angka enam pada kode IP68 memiliki arti debu tidak bisa masuk ke dalam kompartemen, sedangkan angka delapan memiliki arti kompartemen ini tidak akan kemasukan air hingga kedalaman satu meter. Dengan standar proteksi ini dipastikan air tidak akan masuk melalui celah penutup karena terdapat segel yang terbuat dari karet sintetis. Lubang untuk antena dan kabel sensor pada bagian bawah juga dilengkapi cable gland yang juga memiliki standar IP68. Standar proteksi ini digunakan agar air hujan maupun cipratan air laut tidak masuk dan merusak komponen elektronik. Selain harus kokoh, kompartemen plastik ini juga dirancang agar memudahkan dalam perawatan. Mekanisme bongkar pasang dilakukan menggunakan empat buah baut dan mur stainless steel berdiameter 4mm.
Gambar 9 Dimensi kompartemen elektronik 3.2 Instrumen Instrumen dirancang dalam dua bagian utama, yaitu perancangan perangkat keras (hardware) dan perangkat tegar (firmware). 3.2.1 Perangkat keras Perangkat keras yang digunakan menggunakan mikrokontroler 8-bit buatan ATMEL. Jenis mikrokontroler yang digunakan adalah AVR ATmega 328P. Mikrokontroler ini memiliki arsitektur RISC yang efisien serta memiliki 23 buah gerbang digital yang dapat diprogram (ATMEL 2012). Fitur penting yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah Programable Serial USART, antarmuka I2C, Serial Peripheral Interface (SPI) dan satu buah gerbang digital. Datasheet Atmega 328P dapat dilihat pada Lampiran 1. Modul radio yang digunakan adalah XBEE-PRO(SB2), spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 2. Penyimpanan waktu menggunakan Real Time Clock (RTC) PCF8583 yang spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 3. Skematik rangkaian dapat dilihat pada Gambar 10
14
Gambar 10 Skematik rangkaian instrumen
15 Universal synchronous/asynchronous receiver/transmitter (USART) merupakan sistem komunikasi serial antar perangkat digital. Penelitian kali ini menggunakan USART ini untuk berkomunikasi dengan modul radio XBEE. Terdapat dua buah pin yang digunakan untuk menggunakan sistem komunikasi ini, yaitu RXD dan TXD. RXD merupakan pin untuk menerima data sedangkan TXD untuk mengirim data. Ketika dihubungkan dengan XBEE, pin ini harus saling bersilangan untuk pemasanganya. RXD mikrokontroler dihubungkan kepada TXD XBEE dan sebaliknya. Konfigurasi UART yang digunakan adalah kecepatan transfer data 9600, data bit = 8, stop bit =1, dan parity bit = none. I2C atau Inter-Integrated Circuit merupakan antar muka dua kabel yang dikembangkan Philips. Antarmuka ini digunakan untuk berkomunikasi dengan RTC PCF8583 untuk menyimpan tanggal dan waktu. Mikrokontroler pada antarmuka ini berperan sebagai master dan PCF8583 sebagai slave. Kelebihan dari I2C diantaranya adalah: hanya membutuhkan dua jalur untuk komunikasi; komunikasi master-slave yang sederhana; tidak memerlukan baud-rate seperti halnya RS-232, master yang menghasilkan pulsa clock; setiap perangkat memiliki penanda digital (ID) yang unik; serta mampu terdapat lebih dari satu master dalam jalur data. . Jumlah pin yang digunakan berjumlah dua buah, yaitu SDA dan SCL dan pemasangannya tidak terbalik pada perangkat digital yang lain. Komunikasi dengan micro SD card digunakan antarmuka SPI. Ada tiga macam cara berkomunikasi dengan SD card, yaitu : (1). One-bit SD mode; (2). Four-bit SD mode; (3). SPI (Serial Peripheral Interface) mode. Cara komunikasi yang terakhir merupakan cara termudah karena protokolnya mudah dipelajari, tersedia dokumentasi, dan berlisensi gratis. Sehingga komunikasi yang umum digunakan menggunakan mikrokontrer adalah SPI mode. Serial Peripheral Interface (SPI) merupakan jalur data serial synchronous yang biasa terdapat dapat pada mikroprosesor Motorola. Jalur data ini menjadi sangat populer sehingga mikrokontroler lain juga mendukung, termasuk AVR. SPI sanggup mengirim data hingga kecepatan 3Mhz. Sensor suhu yang digunakan adalah DS1820B versi anti air (Lampiran 4). Sensor ini dapat dicelup ke dalam air tanpa mengalami kerusakan. Sistem komunikasi yang digunakan adalah 1-wire interface. Antar muka ini merupakan buatan Dallas Semiconductor yang mirip dengan I2C. Hanya saja, kebutuhan pin lebih sedikit, yaitu satu buah, memiliki kecepatan yang lebih rendah, namun jarak jangkauan yang lebih jauh. Komponen pendukung lain diantaranya adalah linear voltage regulator AMS1117-3.3. Komponen ini mengubah tegangan dari sumber tegangan utama menjadi 3.3 Volt. Tegangan input yang digunakan harus memiliki rentang antara 3.6-5 Volt. Sumber tegangan utama yang digunakan adalah empat buah baterai Ni-MH berkapasitas 2700mAh yang dirangkai secara seri, sehingga total voltase menjadi 4.8 volt. Selanjutnya ada baterai backup untuk mempertahankan waktu pada komponen PCF8583. Baterai yang digunakan adalah baterai koin CR2032 dengan tegangan 3 Volt. Mikrokontroler yang digunakan menggunakan crystal eksternal sebagai sumber clock. Crystal yang digunakan memiliki frekuensi 7.3783 Mhz. Pemilihan jenis crystal ini agar selain dapat bekerja pada 3.3 volt, galat komunikasi USART bisa ditekan hingga 0%.
16
(a)
(b) Gambar 11 Papan sirkuit elektronik hasil layout, (a) tampak atas, (b) tampak bawah
Antena half-wave A24-HABUF-P5I
Kotak Baterai NiMH 4x1.2 V 2700mAH
Gambar 12 Perangkat keras yang telah terpasang dalam kompartemen elektronik
17 Setelah desain perangkat keras selesai dibuat, skematik elektronik dibuat menggunakan perangkat lunak EAGLE 6.4.0. Kemudian dari skematik yang dibuat tersebut, dirancanglah papan sirkuit elektronik (Gambar 11). Papan sirkuit ini memiliki spesifikasi bahan substrat FR4 epoxy, dual-layer, plate tin through hole serta memiliki soldermask. Penggunaan soldermask adalah untuk menghindari terjadinya short circuit antar jalur PCB. Komponen yang digunakan sebagian besar berupa tipe surface mount device (SMD) yang berukuran sangat kecil. Walaupun efisien dalam pemakaian tempat, namun komponen SMD memerlukan keterampilan khusus dalam penyolderan. Jarak antar kaki komponen yang sangat rapat menjadikan komponen SMD rentan konslet. Teknik penyolderan menggunakan pasta soldering flux dapat mencegah terjadinya konslet dan oksidasi pada timah solder. Hasil maksimal diperoleh melalui proses trial and error. Dimensi akhir papan sirkuit elektronik memiliki panjang 7 cm dan lebar 5.5 cm. Gambar 12 adalah papan sirkuit elektronik yang telah dipasang komponen lengkap dan dimasukan ke dalam kompartemen elektronik. 3.2.2 Perangkat tegar (firmware) Tanpa sebuah perangkat tegar, mikrokontroler tidak dapat bekerja. Perangkat tegar merupakan sebuah instruksi tetap yang disimpan dalam FLASH memory program. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah bahasa tingkat tinggi C dan kompiler open source AVR-gcc. Integrated Development Environment (IDE) yang digunakan adalah Eclipse versi Indigo. Perangkat tegar dirancang berdasarkan fungsi dari masing-masing jenis sensor node, yaitu coordinator, router dan end device. Coordinator hanya bertugas sebagai penerima data dari router dan end device. Router selain berfungsi untuk mengukur suhu permukaan air, sensor node ini juga berfungsi untuk mengarahkan data baik dari router lain maupun end device. Pengaturan jenis sensor node ini dilakukan pada modul radio XBEE menggunakan aplikasi X-CTU. Jenis topologi jaringan yang dipilih adalah mesh networking. Selanjutnya konfigurasi jaringan secara otomatis dilakukan oleh modul radio XBEE ketika diberi catu daya. Jenis komunikasi yang digunakan antara mikrokontroler dan modul radio XBEE adalah UART serial interface. UART serial interface yang digunakan memiliki konfigurasi baudrate 9600, data bits 8, stop bits 1, dan parity none. Terdapat dua protokol komunikasi serial XBBE, yaitu mode transparan dan Application Programming Interface (API). Mode transparan merupakan bentuk komunikasi yang lebih sederhana dibandingkan mode API namun memiliki kemampuan yang terbatas. Konfigurasi jaringan dan status pengiriman sebuah paket data lebih rumit dilakukan. Misalnya, keberhasilan pengiriman paket data tidak dapat diketahui pada mode transparan. Mode API memiliki kelebihan dalam hal fleksibilitas pemrograman dan fitur yang lebih banyak. Oleh karena itu, protokol komunikasi serial yang digunakan adalah mode API.
18
Gambar 13 Diagram alir dari perangkat tegar coordinator Perangkat tegar yang dirancang untuk coordinator memiliki diagram alir seperti pada Gambar 13. Karena konfigurasi jaringan sudah dilakukan secara otomatis oleh modul radio XBEE, perangkat tegar yang dibuat berfungsi untuk menerima data melalui UART dan merekamnya ke dalam micro SDcard. Mikrokontroler ATmega 328P akan menginisialisasi RTC dan micro SDcard pada saat pertama kali perangkat keras dinyalakan. Kemudian berdasarkan informasi waktu yang diperoleh dari RTC, dibuat file .txt pada micro SDcard. Selanjutnya mikrokontroler akan menunggu data tersedia di jalur UART, dan apabila sesuai dengan format data API frame maka data UART akan diterjemahkan dan direkam dalam file .txt pada micro SDcard. Lalu mikrokontroler akan meminta nilai RSSI transmisi radio terakhir dan kemudian merekam nilai RSSI tersebut ke file .txt. Perangkat tegar untuk router memiliki diagram alir seperti Gambar 14. Fungsi dari sensor node ini adalah mengukur suhu permukaan laut, merekam data suhu tersebut ke media penyimpanan micro SDcard, dan mengirimkannya ke coordinator. Awal dari program adalah menginisiasi UART, RTC, dan sensor suhu DS1820. Pada inisialisasi awal ini alarm pada RTC dikonfigurasi sesuai dengan waktu sampling yang diinginkan, pada penelitian kali ini adalah 1 menit. Sinyal alarm dari RTC akan mengaktifkan pin interrupt 0 pada mikrokontroler
19 dan kemudian akan melakukan pengukuran suhu, menyimpan serta mengirimkan ke coordinator. Pengukuran dan pengiriman suhu dilakukan secara digital sehingga galat akibat pengiriman data melalui gelombang radio dapat dihindari. Lalu mikrokontroler akan meminta nilai RSSI transmisi radio terakhir dan kemudian merekam nilai RSSI tersebut ke file .txt.
Gambar 14 Diagram alir dari perangkat tegar router Sama seperti perangkat tegar router, perangkat tegar end device juga memiliki diagram alir yang hampir sama (Gambar 15). Perbedaan utama dari perangkat tegar adalah pengaturan mode sleep modul radio XBEE. Mode sleep XBEE yang digunakan adalah berdasarkan sinyal pada pin SLEEP pada modul XBBE. Apabila pada pin SLEEP terdapat sinyal dengan logika 1 atau HIGH maka modul radio XBEE akan masuk mode sleep dan sebaliknya. Pada mode sleep ini modul radio akan mengonsumsi daya lebih rendah. Sinyal pada pin SLEEP modul radio XBEE diatur oleh PORT C 0 pada mikrokontroler ATmega 328P.
20
Gambar 15 Diagram alir dari perangkat tegar end device 3.3 Uji coba jaringan 3.3.1 Uji coba statis Uji coba statis dilakukan untuk melihat kinerja buoy pada kondisi terkontrol. Ada tiga uji coba statis yang dilakukan, yaitu: persentase keberhasilan data pada kondisi diam (uji statis 1) , uji multihop (uji statis 2), dan perbandingan antara jarak dan RSSI (uji statis 3). Uji coba pada kondisi diam atau uji statis 1 dilakukan di lapangan bola gymnasium IPB Dramaga dengan konfigurasi peletakan seperti pada Gambar 16. Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui kinerja dari perangkat
21 keras dan perangkat tegar. Masing-masing instrumen diletakan satu meter diatas tanah dan dinyalakan selama satu jam dengan interval pencuplikan 30 detik.
Gambar 16 Peletakan sensor node pada uji coba kondisi diam Tabel 2 Hasil uji statis 1 Gagal Persentase Max. Retries
Rerata RSSI (dBm)
Sensor Node
Terkirim
R1
107
0
100
0
-67.05
R2
181
0
100
1
-63.89
E1
116
0
100
1
-63.59
E2
109
0
100
1
-63.94
E3
107
0
100
1
-64.76
Tabel 2 menunjukan hasil uji statis 1. Persentase pengiriman data seluruh sensor node sebesar 100%. Nilai rerata RSSI relatif seragam pada kisaran -63 dBm hingga -67 dBm karena jarak peletakan yang juga relatif seragam. Hal ini menunjukan performa yang baik dari instrumen. Perangkat keras dan perangkat tegar berfungsi dengan baik dalam mengukur suhu, menyimpan data dan mengirimkan data. Uji coba selanjutnya adalah uji coba multihop atau uji statis 2. Jaringan WSN dengan topologi mesh networking memiliki kemampuan untuk mencari jalur terbaik untuk mengirimkan data ke alamat sensor node yang dituju. Kemampuan ini merupakan salah satu keunggulan protokol ZigBee. Modul radio yang digunakan menggunakan metode Ad-hoc On-demand Distance Vector (AODV) untuk melakukan routing. Untuk menguji fungsi mesh networking salah satu yang perlu diuji adalah mekanisme routing atau multihop. Apabila ada sebuah end device ingin mengirimkan paket data ke coordinator namun jangkauan radionya tidak memadai, maka paket data dapat diarahkan ke router terdekat yang kemudian akan mengirimkan ke coordinator. Mekanisme ini disebut multihop. Jumlah lompatan maksimum yang dilakukan bisa diatur pada modul radio. Uji
22 statis 2 ini dilakukan dengan meletakan sensor node dengan kondisi tanpa router (Gambar 17) dan dengan router (Gambar 18). Lokasi end device diletakkan pada secara berpindah pada titik 1 hingga 4 dengan pencuplikan selama empat menit pada setiap titik.
Gambar 17 Peletakan sensor node pada uji coba statis 2 tanpa router
Gambar 18 Peletakan sensor node pada uji coba statis 2 dengan router Tabel 3 menunjukan hasil uji statis 2. Pengambilan sampel yang dilakukan sebanyak empat buah pada masing-masing lokasi. Kondisi pengujian tanpa menggunakan router menunjukan kegagalan pengiriman data end device menuju coordinator pada lokasi keempat. Selain karena faktor jarak, gedung gymnasium IPB Dramaga juga menghalangi gelombang radio. Nilai RSSI pada uji coba tanpa router juga menggambarkan perubahan kekuatan sinyal radio berdasarkan jarak. Semakin jauh sensor node maka kekuatan radio yang diterima akan menurun hingga akhirnya gagal mengirim paket data. Selanjutnya router diletakan pada persimpangan antara coordinator dan end device (Gambar 3.12). Posisi router ini
23 memungkinkan router untuk berkomunikasi baik dengan coordinator maupun end device tanpa halangan. Uji statis 2 dengar router menunjukan keberhasilan pengiriman paket data pada lokasi keempat seperti terlihat pada Tabel 3. Nilai RSSI yang relatif konstan juga menunjukan bahwa data yang diterima di coordinator berasal dari satu sensor node yang memiliki lokasi tetap, yaitu router. Uji ini menunjukan bahwa mekanisme multihop bekerja dengan baik dengan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak yang dikembangkan. Tabel 3 Hasil uji statis 2 Tanpa Router
Lokasi
Dengan Router
Persentase
RSSI
Persentase
RSSI
1
100
95.5
100
68.4
2
100
97
100
74
3
100
103.4
100
68.2
4
0
Gagal
100
68
0
RSSI (dBm)
-20
f(x) = -0.1154x - 63.0045 R² = 0.7289
-40 -60 -80 -100 -120 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Jarak (Meter) RSSI
Linear (RSSI)
Gambar 19 Nilai RSSI terhadap perubahan jarak Uji coba statis selanjutnya adalah pengukuran Received Signal Strength Indicator (RSSI) terhadap jarak. Pengukuran ini dilakukan untuk menentukan jarak pemasangan antar sensor node ketika uji coba lapang. Peletakan sensor harus berada pada jarak maksimum transmisi radio masih berhasil dilakukan. Gambar 19 menunjukan plot hasil pengukuran RSSI berdasarkan jarak. Hasil pengamatan uji coba statis menunjukan terjadi perubahan nilai RSSI secara logaritmik. Pada sistem transmisi digital, nilai RSSI rendah bukan berarti adanya kegagalan pengiriman data. Adanya mekanisme pengulangan kembali (retry) dan penguatan (gain) meningkatkan keberhasilan pengiriman data. Gambar 19
24 menunjukan bahwa nilai sinyal radio pada jarak 450 m sebesar -105 dBm yang berarti sangat lemah. Uji regresi linier dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jarak dan RSSI. Berdasarkan persamaan regresi linier, didapatkan persamaan RSSI = -63.0045-0.1154*Jarak. Persamaan ini bisa diinterpretasikan bahwa, dalam peningkatan jarak sebanyak 1 meter, akan meningkatkan RSSI sebanyak -0.11542. Hal ini berbeda nyata dalam taraf alpha = 5%. Pengujian modul radio XBEE di lapangan akan dilakukan pada ambang batas kemampuan modul radio tersebut untuk mengetahui performa di kondisi paling buruk. Oleh karena itu, berdasarkan uji coba RSSI ini jarak pemasangan antar sensor node dalam kisaran 250 m hingga 400 m. 3.3.2 Uji coba dinamis Pengujian dinamis dilakukan untuk melihat kinerja instrumen pada kondisi sebenarnya. Uji coba dilakukan di goba Pulau Panggang, Kepulauan Seribu selama 18 Jam. Masing-masing sensor node diletakan seperti pada Gambar 20. Kode C merupakan coordinator; R1 dan R2 merupakan router; dan E1, E2, dan E3 merupakan end device.
Gambar 20 Posisi peletakan sensor node pada uji coba dinamis Hasil uji coba dinamis ditunjukan oleh tiga kondisi, yaitu keberhasilan pengiriman data, kegagalan jaringan, dan kegagalan hardware/software. Kegagalan jaringan merupakan kegagalan pengiriman data akibat sensor node tidak dapat mengirim paket data karena tidak dapat terhubung dengan jaringan. Sedangkan kegagalan hardware/software menunjukan kegagalan pengiriman akibat kesalahan mekanisme perangkat keras atau perangkat lunak. Gambar 21 menunjukan bahwa
25 E3 dan R1 behasil mengirimkan data sebanyak 100%. R2 menunjukan keberhasilan pengiriman data sebesar 99.91% dan kegagalan jaringan sebesar 0.09%. E2 Menunjukan keberhasilan pengiriman data sebesar 99.57% dan kegagalan jaringan sebesar 0.43%. E1 berhasil mengirimkan data sebanyak 84.94%, kegagalan hardware/software sebesar 14.29% dan kegagalan jaringan sebesar 0.77%. Kegagalan hardware/software terjadi pada saat-saat terakhir pengujian dilakukan yaitu sekitar pukul 1:00 dini hari. Diperkirakan kegagalan ini terjadi akibat uji dinamis sebelumnya. Pada saat uji dinamis pertama dilakukan jaringan gagal untuk mengirimkan data akibat perangkat lunak yang gagal bekerja. Hasil uji coba dinamis pertama tidak dimasukkan ke dalam pembahasan. Namun pada saat itu jangkar sensor node E1 terseret arus dan kompartemen elektronik tenggelam sedalam 1 m. Hal ini menyebabkan ada sedikit air masuk ke dalam kompartemen elektronik. Bagian yang terkena air laut adalah RTC. Kemungkinan besar sensor node berhenti mengirimkan data akibat RTC yang gagal bekerja dan berhenti mengirimkan sinyal alarm. Kinerja jaringan secara keseluruhan tergolong baik dengan persentase keberhasilan pengiriman data diatas 99% untuk sensor node dengan kondisi baik.
100
0.77
0.09
0.43
14.29
Persen (%)
80 60 40
84.94
99.57
100.00
100.00
99.91
E2
E3
R1
R2
20 0 E1
Node Kegagalan Jaringan
Kegagalan Software/Hardware
Berhasil
Gambar 21 Persentase keberhasilan pengiriman data pada uji coba dinamis Plot suhu permukaan laut (SPL) pada data yang berhasil dikirimkan ditunjukan pada Gambar 22. Pemasangan sensor node dilakukan sekitar pukul 10:30 pagi dan terpasang seluruhnya pada pukul 11:00, sehingga plot dimulai pada saat coordinator menerima data dari seluruh sensor node. Suhu paling tinggi didapat pada pukul 15:00 di R1 dan terendah pada 7:00 di E2. Terlihat adanya perbedaan suhu signifikan antara sensor node yang terpasang di dalam goba dan di luar goba Pulau Panggang. Hal ini disebabkan pada saat siang hari sirkulasi air
26 di dalam goba tidak sedinamis sirkulasi air di luar goba. Akumulasi bahang yang tinggi di dalam goba menjadikan suhu di dalam goba relatif lebih tinggi. Perbedaan suhu yang terjadi kurang lebih sebesar 1.5 ºC. Hal ini menggambarkan sifat instrumen yang memiliki resolusi spasial yang tinggi. Perbedaan suhu dalam luasan yang relatif kecil ini sulit diamati melalui satelit.
Gambar 22 Plot suhu permukaan laut pada saat uji coba lapang dilakukan Kekurangan instrumen yang dibuat terletak pada sistem Realtime Clock (RTC) yang digunakan. RTC Philips PCF8583 menggunakan clock eksternal dari crystal 32.768 kHz. Crystal jenis ini sangat dipengaruhi oleh suhu dan layout dari Printed Circuit Board (PCB). Gambar 23 menunjukan perbedaan waktu antara sensor node yang mengirim data dan waktu pada coordinator. Kolom pertama menunjukan tanggal, kedua adalah waktu pengiriman, ketiga adalah waktu penerimaan, keempat adalah asal pengirim data, kelima adalah alamat pengirim data, keenam adalah suhu, dan terakhir RSSI. Contoh data yang direkam dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 23 Baris contoh dari data yang diterima coordinator Apabila dilihat pada baris ke 192 terdapat anomali pada waktu pengiriman. Waktu pengiriman lebih cepat dibanding waktu penerimaan. Hal ini seharusnya tidak terjadi karena RTC dikalibrasi terlebih dahulu. PCB yang digunakan telah didesain memiliki sistem grounding yang baik untuk meminimalisir derau
27 terhadap crystal. Kemungkinan terbesar adalah perbedaan suhu lingkungan ketika uji coba lapang yang mempengaruhi laju dari waktu yang tersimpan di RTC. Hal ini dapat mengurangi akurasi waktu pengambilan data. 3.4 Analisis konsumsi daya Konsumsi daya masing-masing sensor node dipengaruhi oleh tipe dan jumlah transmisi radio yang dilakukan oleh sensor node tersebut. Konsumsi daya yang diperlukan oleh coordinator tentu berbeda dengan end device. Pengukuran konsumsi daya dilakukan menggunakan digital mutimeter Sanwa cd800a dengan pemasangan secara seri antara baterai dan komponen elektronik (Gambar 24). Ada dua kondisi yang diamati, yaitu konsumsi pada saat siaga (idle) dan pada saat ada transmisi radio atau aktif. Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran konsumsi daya masing-masing sensor node. Coordinator memiliki rata-rata konsumsi daya 67.4 mA pada saat siaga dan 72.5 mA pada saat aktif. Router memiliki rata-rata konsumsi daya 67.4 mA pada saat siaga dan 74.1 mA pada saat aktif. Sedangkan end device memiliki rata-rata konsumsi daya sebesar 22.2 mA pada saat siaga dan 73.6 mA pada saat aktif. Tidak ada beda signifikan antara konsumsi daya coordinator dan router, namun terdapat perbedaan signifikan terhadap end device. Hal ini menunjukkan bahwa mode sleep dari end device mengurangi konsumsi daya kurang lebih sebesar 45 mA pada saat siaga. Namun ketika aktif konsumsi daya dari semua tipe sensor node relatif sama.
Gambar 24 Pengukuran konsumsi daya pada saat siaga (kiri) dan aktif (kanan) Tabel 4 Hasil pengukuran konsumsi daya Jenis Node Coordinator Router 1 Router 2 End Device 1 End Device 2 End Device 3
Konsumsi Daya (mA) Siaga Aktif 67.4 72.5 68.1 74.8 67 73.4 21.9 71.2 22.3 77.6 22.3 72
Rata – Rata Konsumsi Daya (mA) Siaga Aktif 67.4 72.5 67.6
74.1
22.2
73.6
Pemakaian konsumsi daya secara berkelanjutan dapat dihitung dengan
28 mengetahui pola transmisi radio dari masing-masing sensor node. Selama rentang waktu 1 menit pola transmisi radio masing-masing sensor node diamati. Coordinator memiliki pola transmisi yaitu menerima 5 paket data dalam 1 menit (Gambar 25). Setiap penerimaan paket data diasumsikan membutuhkan waktu dua detik. Router dan end device dalam satu menit mengirimkan data sebanyak satu kali. Perbedaan terdapat pada konsumsi daya pada saat siaga dan waktu yang dibutuhkan masing-masing sensor node untuk mengirimkan data. Diasumsikan pengiriman data pada router membutuhkan waktu tiga detik (Gambar 26), sedangkan end device 10 detik (Gambar 27). Hal ini disebabkan router selalu terhubung dengan jaringan, sedangkan end device membutuhkan waktu untuk terkoneksi dengan jaringan ketika berubah dari mode sleep ke mode aktif.
73
Konsumsi Daya (mA)
72 71 70 69 68 67 66 65 0
10
20
30
40
50
60
T (Detik)
Konsumsi Daya (mA)
Gambar 25 Model konsumsi daya coordinator
75 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65 0
10
20
30
40
50
T (Detik)
Gambar 26 Model konsumsi daya router
60
29
Konsumsi Daya (mA)
80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
T (Detik)
Gambar 27 Model konsumsi daya end device Setelah diketahui model konsumsi daya dari masing-masing sensor node diketahui, konsumsi daya dapat diperoleh melalui Persamaan 3. Sehingga daya tahan baterai dapat diperoleh melalui Persamaan 4. ̄I =
̄ ×T siaga )+( I aktif ̄ ×T aktif ) ( I siaga 60
T battery =
(3)
Kapasitas Baterai 2700 = ̄I ̄I
(4)
̄ adalah konsumsi daya rata-rata instrumen pada kondisi siaga Dimana I siaga dalam satuan mA, T siaga waktu instrumen pada kondisi siaga dalam satuan ̄ adalah konsumsi daya rata-rata instrumen pada kondisi aktif dalam detik, I aktif satuan mA, dan T aktif waktu instrumen pada kondisi aktif dalam satuan detik. Tabel 5 Hasil penghitungan konsumsi daya dan daya tahan baterai Jenis Node Coordinator Router End Device
Konsumsi Daya Rata-Rata per Menit (mA) 68.1 67.9 30.7
Daya Tahan Baterai (Jam) 39.7 39.8 87.8
Hasil penghitungan konsumsi daya dan daya tahan baterai dapat dilihat pada Tabel 5. Coordinator dan router memiliki konsumsi daya rata-rata per menit yang hampir sama sebesar 68.1 mA dan 67.9 mA, sedangkan untuk end device sebesar 30.7 mA. Hal ini signifikan berpengaruh terhadap daya tahan baterai dari ketiga jenis sensor node tersebut. Baterai yang digunakan memiliki jenis NiMH dengan kapasitas 2700 mAH. Sehingga diperoleh daya tahan baterai selama 39.7 jam untuk coordinator, 39.8 jam untuk router, dan 87.8 jam untuk end device. Daya tahan baterai masih belum memadai untuk aplikasi berkelanjutan, oleh karena itu sebaiknya dipasang modul solar cell 5V dengan daya 1 watt beserta sistem kontrolnya.
30
4. PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan bahwa instrumen memiliki potensi untuk diaplikasikan pada daerah pesisir. Penelitian ini mengobservasi parameter tunggal, namun tidak menutup kemungkinan untuk ditambah sensor lain. Terdapat dua gerbang ADC dan satu buah komunikasi serial untuk penambahan sensor. Dimensi yang kecil dan konsumsi daya instrumen yang rendah menjadikan instrumen ini ideal untuk dipasang di daerah pesisir. Teknologi sensor cerdas dan murah serta wireless sensor network semakin berkembang 10 tahun terakhir. Albaladejo (2010) telah merangkum beberapa riset yang mengaplikasikan teknologi WSN untuk observasi lingkungan perairan. Sejak tahun 2005 hingga 2010 terdapat 12 riset dengan waktu pengamatan bervariasi mulai satu minggu hingga dua tahun. Riset dengan keberlanjutan paling baik adalah Great Barrier Reef Ocean Observing System (GBROOS) di Australia yang berhasil bekerja selama dua tahun (2008-2010) dan berhasil mengumpulkan data 8.6 miliar data. Tidak ada satu pun penelitian tentang WSN untuk monitoring lingkungan pesisir yang dilakukan di Indonesia. Konsep pengembangan WSN bukan untuk menggantikan sistem telekomunikasi yang ada, namun saling melengkapi. WSN digunakan untuk efisiensi energi terhadap jarak transmisi. Observasi parameter-parameter fisik dan kimia laut tidak membutuhkan kecepatan dan bandwidth yang lebar, namun membutuhkan jaringan yang dapat diandalkan. Sedangkan agar data dapat digunakan oleh pengguna akhir (end user) diperlukan gateway yang terhubung dengan internet atau cloud server. Koneksi internet dapat diperoleh menggunakan teknologi GSM/GPRS/LTE atau komunikasi satelit yang telah ada. Konsep sistem monitoring oseanografi ideal dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Jaringan observasi oseanografi ideal. Diadaptasi dari Albaladejo et al (2010) dengan lisensi open access
31
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Instrumen dangan wahana buoy berbasis komunikasi Aerial Wireless Sensor Network (A-WSN) dengan protokol ZigBee memiliki kinerja yang sangat baik. Wahana buoy yang dibuat teruji sangat stabil baik pada uji coba statis maupun dinamis. Daya muatan yang dimiliki buoy adalah sebesar 23 kg, dan beban muatan buoy adalah sebesar kurang lebih 12 kg. Masih ada ruang sekitar 6 kg untuk penambahan sensor apabila dilakukan penyesuaian pada posisi beban dan beban penyeimbang. Komunikasi radio A-WSN juga memiliki kinerja yang sangat baik. Hal ini ditunjukan dengan rasio kegagalan yang rendah baik pada pada uji coba statis maupun uji coba dinamis. Uji coba statis memiliki tingkat keberhasilan pengiriman paket data sebesar 100%, sedangkan tingkat keberhasilan pada uji coba dinamis bervariasi antara 84% hingga 100%. Konsumsi daya instrumen yang dibuat sangat bergantung pada jenis sensor node. Coordinator dan router memiliki konsumsi daya yang relatif sama yaitu sebesar 67.4 mA dan 67.6 mA pada kondisi siaga, serta 72.5 mA dan 74.1 mA pada kondisi aktif. End device memiliki konsumsi daya sebesar 22.2 mA pada kondisi siaga dan 73.6 mA pada kondisi aktif. Perbedaan yang signifikan antara end device dan coordinator ataupun router adalah akibat penggunaan mode sleep yang dapat menghemat daya lebih baik. Hasil penghitungan daya tahan baterai berdasarkan konsumsi daya adalah berturut-turut sebesar 39.7 jam, 39.8 jam dan 87.8 jam untuk coordinator, router, dan end device. Instrumen ini dapat dijadikan opsi tambahan untuk pengamatan pesisir yang real-time dan memiliki resolusi spasial yang tinggi. Aplikasi nyata instrumen ini akan maksimal ketika keseluruhan sistem pendukung seperti koneksi internet, server database atau cloud server, dan aplikasi untuk pengguna tingkat akhir dikembangkan dengan baik. Aplikasi instrumen juga tidak hanya terbatas untuk aplikasi observasi lingkungan saja, namun juga untuk kegiatan industri seperti precision aquaculture. 5.2 Saran Perbaikan pada sistem Real Time Clock (RTC) perlu dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari data. Perbaikan bisa dilakukan dengan menggunakan RTC dengan crystal yang terintegrasi dan memiliki kompensasi terhadap suhu. Untuk pengujian jangka panjang yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan sumber daya. Menggunakan baterai 2700mAH tidak cukup untuk menjaga sistem berjalan lebih dari 39 jam. Pemasangan solar cell 5 V dengan daya 1 watt beserta sistem kontrolnya memungkinkan instrumen berjalan tanpa kekurangan catu daya.
32
5 DAFTAR PUSTAKA Albaladejo C, Sànchez P, Iborra A, Soto F, Lòpez JA, Torres R. 2010. Wireless Sensor Networks for Oceanographic Monitoring: A Systematic Review [ulas balik]. Sensors [internet].[diunduh 2013 Jan 15] 10(7):6948-6968. Tersedia pada: http://www.mdpi.com/1424-8220/10/7/6948. Albaladejo C, Soto F, Torres R, Sànchez P, Lòpez JA. 2012. A Low-Cost Sensor Buoy for Monitoring Shallow Marine Environments. Sensors [internet]. [diunduh 2013 Jan 24] 12(7):9613-9634. Tersedia pada: http://www.mdpi.com/1424-8220/12/7/9613. Alkandari A, Alnasheet M, Alabduljader Y, Moein SM, Water monitoring system using Wireless Sensor Network (WSN): Case study of Kuwait beaches. Second International Conference on Digital Information Processing and Communications (ICDIPC). 2012 Juli 10-12. Klaipeda City. Lithuania Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE). Hlm10-15. ATMEL. 2012. Atmel 8-bit Microcontroller with 4/8/16/32KBytes In-System Programmable Flash [internet]. [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.atmel.com/Images/Atmel-8271-8-bit-AVR-Microcontroller-A Tmega48A-48PA-88A-88PA-168A-168PA-328-328P_datasheet.pdf Bengen DG. 2009. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu [internet].[diunduh 2013 Feb 21]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/24548 Bromage M, Obraczka K, Potts D. 2007. SEA-LABS: A Wireless Sensor Network for Sustained Monitoring of Coral Reefs. 6th International IFIP-TC6 Networking Conference, 2007 Mei 14-18. Atlanta. USA. Jerman (DE). Springer Berlin Heidelberg. Hlm 1132-1135. Dargie W, Poellabauer C. 2010. Fundamentals of Wireless Sensor Networks Theory and Practice. Sherman X, Pan Y, editor. Sussex (UK). John Wiley & Sons. Firdausy CM. 2001. Pengembangan Potensi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pesisir. Ismail Z, editor. Jakarta (ID): LIPI. Fries DP, Ivanov SZ, Bhanushali PH, Wilson JA, Broadbent HA, Sanderson AC . 2007. Broadband, Low-cost, Coastal Sensor Nets. Oceanography [internet].[diunduh 2013 Jan 20] 20(4):150–155, Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2007.15. International Association of Marine Aids to Navigation and Lighthouse Authorities (IALA). 2013. Hydrostatic design of buoys edition 1. IALA-AISM Guidelines No.1099 . 1-25 Jordán MA, Beltrán-Aguedo R. 2004. Optimal identification of potential-radiation hydrodynamics for moored floating structures—a new general approach in state space. Ocean Eng. 31(14):1859-1914. doi:10.1016/j.oceaneng. 2004.01.007
33 Kinney
P. 2003. ZigBee Technology: Wireless Control that Simply Works.Communication Design Conference. 2003 Oktober 2. San Jose. Amerika Serikat . Amerika Serikat (USA). Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) Ravichandran M. 2011. In-Situ Ocean Observing System. ch. 3. In Schiller A dan Brassington GM, editor. Operational Oceanography in the 21st Century. Springer. New York. Sieber A, Markert J, Woegerer C, Cocco M, Wagner MF. 2010. Low Power Wireless Buoy Platform for Environmental Monitoring. Adv. in Wireless Sensors Networks, LNEE 64:25-42. Voigt T, Österlind F, Finne N, Tsiftes N, He Z, Erikkson J, Dunkels A, Båmstedt U, Schiller J, Hjort K. 2007. Sensor Networking in Aquatic Environments - Experiences and New Challenges. 32nd IEEE Conference of Local Computer Network. 2007 Oktober 15-18. Dublin. Irlandia. Irlandia (IE). Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE). Hlm 793 – 798.
34
LAMPIRAN Lampiran 1 Spesifikasi Atmega 328P
Lampiran 2 Spesifikasi Modul Radio Xbee-PRO (SB2)
35
36 Lampiran 3 Spesifikasi PCF 8583
37 Lampiran 4 Spesifikasi DS1820B
38 Lampiran 5 Contoh data yang direkam pada Coordinator Coordinator Log File Date 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013 18/05/2013
Time Sent 11:36:52 11:37:52 11:38:52 11:39:52 11:40:52 11:41:52 11:42:52 11:43:52 11:44:52 11:45:52 11:46:52 11:47:52 11:48:52 11:49:52 11:50:52 11:51:52 11:52:52 11:53:43 11:53:52 11:54:43 11:54:52 11:55:43 11:55:52 11:56:43 11:56:52 11:57:43 11:57:52 11:58:43 11:58:52 11:59:43 11:59:52 12:00:43 12:00:52 12:01:43 12:01:52 12:02:43 12:02:52 12:03:43 12:03:52 12:04:43 12:04:52 12:05:43 12:05:52 12:06:43 12:06:52 12:06:48 12:07:43
Time Received 11:36:51 11:37:51 11:38:51 11:39:51 11:40:51 11:41:51 11:42:51 11:43:51 11:44:51 11:45:51 11:46:51 11:47:51 11:48:51 11:49:51 11:50:51 11:51:51 11:52:51 11:53:40 11:53:51 11:54:40 11:54:51 11:55:40 11:55:51 11:56:40 11:56:51 11:57:40 11:57:51 11:58:40 11:58:51 11:59:40 11:59:51 12:00:40 12:00:51 12:01:40 12:01:51 12:02:40 12:02:51 12:03:40 12:03:51 12:04:40 12:04:51 12:05:40 12:05:51 12:06:40 12:06:51 12:06:56 12:07:40
Sender R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 E1 R2
Sender Address Temperature RSSI 0013a200 408d0357 30.6875 99 0013a200 408d0357 30.3125 101 0013a200 408d0357 30.1875 99 0013a200 408d0357 30.125 103 0013a200 408d0357 30.1875 102 0013a200 408d0357 30.1875 101 0013a200 408d0357 30.1875 99 0013a200 408d0357 30.1875 98 0013a200 408d0357 30.1875 102 0013a200 408d0357 30.1875 101 0013a200 408d0357 30.1875 97 0013a200 408d0357 30.1875 99 0013a200 408d0357 30.1875 104 0013a200 408d0357 30.1875 96 0013a200 408d0357 30.1875 98 0013a200 408d0357 30.25 95 0013a200 408d0357 30.1875 97 0013a200 408d0348 30 99 0013a200 408d0357 30.1875 98 0013a200 408d0348 29.9375 98 0013a200 408d0357 30.25 100 0013a200 408d0348 29.9375 103 0013a200 408d0357 30.25 96 0013a200 408d0348 29.9375 100 0013a200 408d0357 30.1875 99 0013a200 408d0348 29.9375 101 0013a200 408d0357 30.25 98 0013a200 408d0348 30 99 0013a200 408d0357 30.25 101 0013a200 408d0348 30 100 0013a200 408d0357 30.25 98 0013a200 408d0348 30 100 0013a200 408d0357 30.25 99 0013a200 408d0348 30 98 0013a200 408d0357 30.25 99 0013a200 408d0348 30 100 0013a200 408d0357 30.1875 101 0013a200 408d0348 30 100 0013a200 408d0357 30.25 97 0013a200 408d0348 30 99 0013a200 408d0357 30.25 95 0013a200 408d0348 30 99 0013a200 408d0357 30.25 100 0013a200 408d0348 30 100 0013a200 408d0357 30.25 99 0013a200 408d026e 30.3125 100 0013a200 408d0348 30 101
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1986 di Bogor dari pasangan Haryanto R. Putro dan Ani Sumardini. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Polisi IV. Kemudian melanjutkan pendidikan tingkat menengah di SMP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan tingkat atas kemudian dilanjutkan pada SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Semasa SMA penulis aktif di organisasi OSIS dan sempat menjadi juara 2 Lomba Murid Teladan Tingkat Kabupaten Bogor Timur. Setelah lulus SMA penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2009 penulis menyelesaikan program sarjana dan mendapatkan gelar Sarjana Perikanan. Tahun 2010 penulis mendaftar sebagai mahasiswa baru Program Master Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis tidak hanya aktif dalam bidang akademik, namun juga organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan periode 2007/2008. Selain itu, penulis juga pernah menjadi ketua praktek lapang mata kuliah Biologi Laut pada tahun 2006. Penulis juga pernah diamanahkan sebagai asisten laboratorium mata kuliah Instrumentasi Kelautan tahun ajaran 2007/2008. Selain kegiatan di dalam kampus, penulis juga aktif sebagai panitia dalam acara Seminar Nasional Kelautan pada tahun 2008. Tahun 2011 penulis berkesempatan melakukan program exchange student ke University of Tsukuba, Jepang selama 10 bulan.