RAJIN Gunawan Tjahjono Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Abstrak Rajin adalah kata umum yang menggambarkan sifat bekerja keras. Namun rajin juga menggambarkan hasil bermutu tinggi dalam dunia para tukang dan pengrajin. Arsitektur terkait erat dengan pertukangan dan mutu suatu bangunan amat ditentukan oleh keterampilan, dan kesediaan tukang menuangkan segenap jiwa dan raganya dalam bekerja dan berkarya. Tukang adalah penentu akhir kerapian bangunan. Oleh sebab itu rajin menjadi gayut untuk kita angkat dan bahas. Tulisan ini memilih pendekatan penafsiran untuk mengungkit arti rajin dan menggali maknanya agar dapat ditanamkan sebagai nilai luhur yang perlu dilakukan segenap bangsa. Ketika saya membangun rumah untuk keluarga sendiri di tahun 1994-1997, ada seorang tukang kayu dari Jawa Timur yang mengepalai pekerjaan seperti pembuatan daun pintu, pegangan tangga, anak tangga, dan perabot rumah tangga yang berbahan pokok kayu. Di suatu saat saya amati bahwa hasil pekerjaannya yang cukup lama itu sudah perlu dilanjutkan ke pemolesan akhir. Saya sampaikan hal itu kepadanya, dan sang tukang diam sejenak, lalu menjawab: “tapi ini belum rajin pak”. Saat itu saya tercengang karena bagi saya tahap yang dicapainya sudah cukup siap untuk diberi pelituran. Jawaban tersebut menyadarkan saya akan satu hal, bahwa kata rajin tak hanya menunjukkan suatu keadaan bekerja keras pantang henti, atau senang serta giat bekerja sebagaimana yang lajim dipahami, tetapi juga menunjukkan kepuasan pencapaian atas apa yang dikerjakan. Rajin, bagi tukang kayu saya yang sudah menunjukkan giat dan penuh disiplin kerja itu adalah suatu istilah yang terkait dengan karya, bukan kerja. Pengertian terakhir ini kini tampak sudah terlunturkan oleh pemahaman umum yang menunjukkan rajin sebagai bekerja keras lawan malas bekerja. Seseorang bekerja agar hidupnya berlanjut. Kerja adalah suatu hasrat kebutuhan badan manusia agar ada suatu hasil yang dapat dihabiskannya untuk menyambung hidup. Kerja adalah suatu sifat alami manusia, karena dalam bekerja kebutuhan lahiriahnya terpenuhi. Hal ini tentu berbeda dari karya. Berkarya adalah suatu keadaan manusia untuk mencapai sesuatu yang bersifat memuaskan hasrat batiniah. Hasil suatu karya dengan demikian tidak selalu sama dengan hasil sekedar kerja. Ada unsur lebih dalam karya tersebut sehingga mampu memenuhi kebutuhan batin pembuatnya.1 Tukang kayu saya menganggap tugasnya bukan hanya untuk menghasilkan sesuatu yang memenuhi peran saja. Jika itu adalah daun pintu maka hasilnya perlu memenuhi peran suatu daun pintu yang dapat ditutup rapat mengisi penuh lobang pintu yang terbatasi oleh kerangka yang kita sebut kusen pintu. Sang tukang memandang hasilnya berbeda dari sudut pandang saya yang cukup berhenti di ukuran, berat, kerapian dan kemudahan dibuka-tutup dan tak sampai menimbulkan kesan kurang jika dipandang. Dia menuntut hasilnya mencapai sesuatu yang lebih yang disebut rajin itu.
Pembedaan kerja, labor, dari karya, work, dengan sangat anggun digambarkan oleh filsuf Hannah Arendt. Dalam buku nya yang sudah tergolong Klasik. Simak, H. Arendt. The Human Condition. Chicago: University of Chicago Press, 1958. 1
Sebagai orang yang membangun untuk diri sendiri, saya kurang terikat pada tenggat waktu karena tata olah pembangunan amat tergantung pada ketersediaan dana. Bagi kepala tukang kayu itu kerjaan tak dapat diburu-buru, meski dia tahu bahwa waktu itu berharga dalam budaya kota yang menuntut pekerjaan seringkas-waktu mungkin. Tampak jelas dari sikapnya bahwa ada beban batin yang menuntutnya agar hasil pekerjaannya perlu memenuhi baku rajin. Nilai dibalik sikapnya menarik saya untuk membahas, karena tampaknya rajin kini meredup dikikis globalisasi keterampilan. Rajin Rajin dalam kamus adalah kata sifat yang menunjukkan keadaan kerja keras, tetapi juga berarti rapi. Sebagai lawan kata malas rajin menunjukkan suatu keuletan dan tekad bekerja keras yang seakan tak kenal lelah demi menyelesaikan suatu tugas. Rapi adalah suatu keadaan yang menggambarkan sifat hasil tindakan yang memenuhi suatu tolak ukur yang membedakannya dari ketakteraturan dan kekasaran. Rapi menuntut ketertiban, ketaatan akan patokan yang disepakati oleh suatu kalangan. Dalam kalangan pertukangan kayu tuntutan tersebut menentukan pencapaiann dan kedudukannya. Jika kalangan atau perkumpulan orang sepekerjaan menyepakati sesuatu, maka suatu baku mutu dapat terbentuk, baik tertulis maupun tidak. Keadaan demikian sudah menjadi suatu hal yang dengan sendirinya dituntut dalam masyarakat madani, masyarakat beradab. Dalam masyarakat madani, baku mutu lebih banyak mengacu pada citarasa kelompok pemakai jasa yang kita kenal sebagai golongan atas, atau mereka yang terpilih di zaman Romawi Kuna, yang kesepadanannya di Indonesia seperti kaum bangsawan. Kaum inilah yang menuntut kerapian agar harkat mereka juga terangkat. Dalam perkumpulan para ahli itu, empu atau master amat menentukan. Empu adalah ahli yang telah menunjukkan kepiawaiannya melalui hasil kerjanya yang mendapat pujian golongan atas atau pemilik. Dengan pengakuan umum seorang empu juga dianugrahi kewenangan menentukan baku mutu keterampilan suatu hasil pekerjaan mereka yang belajar dari atau dilatih oleh dia. Hubungan empumurid itu penting. Memagang dari seorang empu kesohor merupakan suatu kebanggaan. Berkat nama empu tersebut sang tukang mendapat kepercayaan untuk menjalankan suatu pekerjaan. 2 Rajin dalam kaitan tersebut di atas menjadi suatu sifat yang terlekat pada suatu karya yang menuntut mutu tinggi dan dapat membangkitkan rasa puas bagi yang menghasilkannya atau yang berhubungan dengannya. Untuk mencapai mutu tersebut pada saat mengerjakan tugasnya sang tukang menyatuken gerak tangan dengan akal dan rasanya. Seluruh jiwa raga seakan tertuang menyatu dengan sasaran yang akan dihasilkannya. Pikiran terlibat penuh jika dalam perjalanan penyelesaian tugas terjadi hambatan yang membutuhkan keputusan jitu agar rajin terpancar. Dalam menyelesaikan pekerjaannya seorang tukang perlu menguasai pengetahuan tentang sasaran yang dihadapinya, alat dan cara memakainya dan menghadirkannya dengan pantas. Dengan demikian rajin berlaku di berbagai bidang pertukangan yang terkait dengan pekerjaan tangan dengan alat. Dalam kaitan ini jika rajin disandingkan dengan teknik yang bercikal bakal techne, hasil pekerjaan tangan, maka bidang keteknikan senantiasa menyertai rajin sebagai ukuran mutu akhir yang perlu dicapai. Hal ini yang tampaknya mulai terlepas dari nilai di masa mekanisasi mengambil peran.
Keadaan demikian berlaku umum di Eropa di Abad Pertengahan, kekuasaan seorang empu amat besar dalam menentukan pencapaian muridnya. Perkataannya adalah suatu keputusan yang tanpa ada perdebatan. Untuk lebih jauh, simak. The Craftsman. New York: Penguin Books, 2008. Hal. 58. 2
Teknik menurut budayawan Amerika Serikat Lewis Mumford, bermula dari manusia mementilkan batu kecil ke sasaran melalui pengendalian jarinya.3 Selanjutnya kemampuan jari menghasilkan berbagai alat dan pengaturan lingkungan sekitarnya berkembang terus. Manusia semakin yakin atas kemampuan badannya mengatasi berbagai hambatan dalam kehidupan. Teknik turut berkembang dengan sedemikian pesatnya kini hingga kita semakin lupa tentang arti awalnya dan cenderung mengaitkannya dengan peralatan dan mesin, suatu hasil dari tangan manusia juga. Bagi tukang saya yang bersatu kelompok dengan kelompok pengrajin untuk pengerjaan bahan kayu di dunia pembangunan bangunan, rajin adalah suatu kewajiban tugas, baik rajin dalam arti lawan malas maupun rajin sebagai suatu pencapaian hasil pekerjaan. Malas, dengan demikian merupakan sesuatu yang dihindari karena bersekutu dengan sifat manusia yang tak terpuji, atau penanda kemerosotan akhlak. Dalam hubungan ini rajin menjadi suatu kewajiban moral, yang tertuang dalam etika pekerjaan sang tukang dan juga para pengrajin. Penanamkan kewajiban moral untuk mencapai hasil terbaik dalam diri seserong merupakan suatu syarat bagi suatu masyarakat beradab untuk memeroleh harkat diri melalui benda yang dihasilkan. Salah satu bangsa di dunia ini yang menjunjung tinggi hal tersebut adalah Jepang. Orang Jepang tersohor dengan hasil benda yang diolahnya sehingga “made in Jepan” menjadi suatu jaminan di suatu masa. Barang Jepang tak hanya mengutamakan isi, tetapi juga kemasan. Dari bungkusan hingga isi yang rapi dapat kita rasakan kehadiran rajin. Istilah kerajinan pantas tersandang ke buatan Jepang. Dalam dunia bangunan, orang Jepang senantiasa menghasilkan detil yang menakjubkan. Pengolahan bahan bangunan, terutama kayu yang dapat kita saksikan di rumah atau kuil tradisional Jepang sangat memukau. Dari pengolahan hal kecil ini jiwa rajin terpancar. Sejauh menyangkut pekerjaan tangan dan pertukangan, karya arsitektur orang Jepang sangat kesohor, terutama dalam kejelian mereka mengolah permukaan bahan dan sambungan bagian. Tampak di sini jiwa rajin yang merekat dalam diri tukang. Rajin menjadi bagian kebudayaan Jepang, yang kini juga dimiliki orang Korea Selatan.4 Kini keadaan mulai berbeda, karena negara tersebut tak lagi mampu menanggung beban membuat hasil melulu di dalam negeri, kecuali untuk dipakai di dalam negeri karena persaingan upah buruh berkat globalisasi. Meski melalui pembagian kerja dengan menanamkan modal dan membuat pabrik di luar negeri dengan keyakinan bahwa melalui pengawasan ala Jepang mutu tetap akan tinggi, nama harum mulai goyah seperti apa yang kita saksikan dengan nasib yang menimpa mobil buatan Toyota di luar Jepang yang mengalami penarikan kembali karena kesalahan beberapa bagian mesin. Selama ini, sejauh pengetahuan saya, rajin sebagai kerja keras sudah merupakan suatu nilai yang ditanamkan kepada anak didik. Namun nilai tersebut bukan yang sebagaimana dipahami oleh tukang kayu saya, melainkan yang bersifat ragawi tuntutan badan. Rajin demikian berada di dalam ranah kerja, bukan karya. Kebajikan bekerja terdapat dalam istilah rajin. Rajin sebagai kebajikan selain bekerja keras juga pencapaian kesempurnaan atas kepuasan diri dan masyarakat masih belum tertanam sebagai nilai luhur , seperti apa yang dipahami bangsa Jepang.
Ulasan tersebut adalah dalam rangka menjelaskan hubungan teknik dengan seni. Simak karya klasik L. Mumford. Art and Technics. New York: Columbia Uniersity Press, 1952. Hal 15. 4 Menyangkut kebudayaan sebagai etos kerja dan merupakan unsure terpenting dalam membangun suatu bangsa, simak, L. Harrison dan S. Huntington. Culture Matters: How ValuesShape Human Progress. New York: Basic Books, 2000. 3
Arsitektur dan Rajin Arsitektur adalah pengetahuan dan seni membangun bangunan. Itu arti umum yang dapat kita temui dalam berbagai kamus bahasa Inggeris. Meski di dunia praktek dan pendidikan, arsitektur semakin tak terbingkai oleh pengertian di kamus, ilmu dan seni membangun bangunan perlu sepenuhnya dikuasai oleh arsitek. Arsitek dalam konteks ruang dan waktu Yunani Kuna, tempat istilah itu lahir, adalah kepala tukang. Sejarahwan arsitektur Barat cenderung menganggap kepala tukang kayulah yang dimaksud.5 Kemudian pengetahuan sang kepala tukang kayu tersebut yang terkait arsitektur. Di masa itu kepala tukang (arsitek) adalah orang yang dipercayakan suatu masyarakat untuk mengelola pembangunan bangunan gedung. Untuk menjadi kepala seregu tukang seseorang tentu perlu menunjukkan bahwa dia memiliki kelebihan yang diakui oleh kelompoknya dan bahkan masyarakat luas. Dalam hal ini dia pasti menguasai bidang yang dikepalainya dari keseluruhan hingga ke hal-hal yang paling kecil. Hanya dengan demikian perintahnya akan dipatuhi. Manusia cenderung menilai sesama dari apa yang dilakukan dan dihasilkan, bukan dari sekedar apa yang diucapkan. Jika pengetahuan sang arsitek mencakup demikian banyak segi. Dia pantas juga memenuhi peran sebagai seorang seniman, yang tak hanya menguasai teknologi membangun tapi juga peka akan keindahan. Oleh sebab itu arsitek di zaman Romawi Kuna perlu dilatih tentang seni rupa, memelajari rekayasa karena di masa itu banyak perang, dan memagang dulu pada arsitek yang berpengalaman sebelum dapat dilepas menangani suatu projek pembangunan gedung.6 Dengan demikian kaidah kesenian atau kerajinan dan pengetahuan (teknologi) berembuk di dalam diri sang arsitek. Batas kesenian dan kerajinan cukup tipis, demikian pula dengan seniman dan pengrajin. Dalam kaitan pertukangan, istilah kerajinan lebih sering disandangkan ke diri pengrajin, orang yang bekerja dengan tangan dan alat untuk menghasilkan suatu benda atau perkakas. Dalam kaitan ini apakah sang arsitek seorang seniman atau seorang pengrajin? Untuk menjelaskan hal itu saya kembali ke pemahaman kata techne dan meminjam ulasan filsuf Jerman Martin Heidegger, yang memberi suatu pandangan amat mendalam tentang asal usul karya seni (work of art). Heidegger membedakan karya cipta,seni, dari karya buat, kerajinan. Hasil kerajinan bukanlah ciptaan, tapi pembuatan. Hasil seni itu ciptaan. Menghadirkan ciptaan berbeda dari menghadirkan suatu hasil pembuatan. Ciptaan itu karya, meski butuh kepengrajinan (craftsmanship) dalam tata olahnya. Namun kegiatan penciptaan berada di luar suatu penampakan praktis dan itu adalah hakekat dalam kata techne untuk seniman. Techne berkonotasikan sikap mengetahui. Mencipta adalah menghadirkan sesuatu seakan ia tumbuh. Seniman itu pencipta yang tak sekedar membuat alat. Pengrajin membuat alat.7 Arsitektur jelas terkait erat dengan bangunan. Bangunan tak lain adalah suatu sosok terbangun yang mengambil sebagian dari ruang bebas yang mengalir tak terhingga, untuk membatasi suatu ranah Kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan kepala tukang adalah kepala tukang kayu untuk arsitek di zaman Yunani Kuna dapat diperiksa di. S. Kostof . “”The Practice of Architecture in the Ancient World.” Dalam S. Kostof(ed.). The Architect: Chapters in the History of the Profession. Oxford; Oxford University Press, 1977. Hal. 3-27. 6 Tentang arsitek zman Romawi, simak, W.L. MacDonald. “Roman Architects.” Daalm S. Kostof (ed.). Op.cit. hal. 2858. 7 Kesulitan dalam meminjam istilah techne untuk ulasan ini terletak di, bahwa techne dalam pemakaian orang Yunani Kuna diterapkan untuk seni dan kerajinan. Baik seniman maupun pengrajin menyandang istilah technites. Hanya dalam tata olah menghadirkan suatu bendalah dapat kita bedakan dengan teliti dan amat tipis antara keduanya. Simak. M. Heidegger. “ The origin of the Work of Art.” Dalam M. Heidegger. Basic Writings. Diedit oleh D. F. krell. New York: Harper, 1993. Hal. 139-212. 5
agar bermakna bagi mereka yang berada di dalamnya atau di sekitarnya saat berkegiatan. Tugas arsitek adalah mewujudkan makna ruang yang terbatasi itu dengan kegiatan.8 Jika kegiatan itu berjalan mulus maka makna yang dibangkitkan dari pengalaman ruang bagi mereka yang terlibat juga akan manis. Jika sebaliknya yang terjadi, maka makna yang terbangkitkan akan asam atau pahit. Penjelasan tentang arsitektur seperti di atas tak memberi kepuasan bagi arsitek budayawan mendiang Mangunwijaya. Beliau mengusulkan, untuk konteks Indonesia, istilah untuk menggantikan arsitektur adalah wastuwidya. Arsitek dengan demikian adalah wastuwidyawan. Baginya widya bermakna jauh lebih luas jika dibandingkan techne, istilah Yunani untuk hasil pekerjaan tangan, yang juga merupakan akar techton, tukang. Memang dalam sejarah pembangunan bangunan gedung di tanah air ini, istilah arsitektur adalah kata pengalihan dari bahasa Belanda architektuur yang merujuk pada bahasa Latin. 9 Arche, archi, arch adalah kata Yunani untuk kepala, utama, pemimpin, paling awal. Kita mengenal kata-kata berkepala arche seperti archaeology, archetype, archbishop, archetrave, dalam bahasa Inggeris yang berasal dari bahasa Yunani. Semua menunjukkan kepala atau kuna. Architechton (arche, kepala dan techton, tukang) adalah istilah Yunani untuk arsitek. Bagi Mangunwijaya, arsitek itu berasal darikata archetektoon. Istilah tersebut berbeda asal dari berbagai sumber tentang arsitektur dalam bahasa Inggeris. Perbedaan asal tentu akan menghasilkan perbedaan cerapan.10 Mangunwijaya menemukan dalam dunia membangun, pimpinan pembangunan dalam kitab Manasara adalah Sthapati yang berkedudukan jauh lebih tinggi ketimbang architechton. Baginya wastu, sesuai sumbernya, adalah bangunan. Selain itu beliau juga menyebut wastu dalam bahasa Sansekerta juga berarti: “norma, tolok ukur, hidup susila, hidup secara betul, dan pegangan normatif semesta”.11 ada, nyata, benda, yang benar, pokok persoalan, tema. Dengan makna wastuwidya yang lebih lengkap, beliau menganjurkan kata itu sebagai pengganti arsitektur. Widya adalah ilmu pengetahuan, kepandaian, dan sekaligus kebijaksanaan.12 Kata tersebut tertelusuri ke asal bahasa Sanskerta, vedas, yang konon berakar bahasa Indo-Eropa (Indo-European) karena kitab Veda berhubungan dengan orang Arya yang hingga kini asal usulnya masih dalam perdebatan.13 Kegandaan makna widya itu mengakibatkan Mangunwijaya menganggap wastu widya akan lebih lengkap menggambarkan arsitektur untuk keadaan Indonesia. Jika kita menyimak keadaan masa para pujangga di Jawa, maka keberatan Mangunwijaya dapat dipahami. Hal tersebut adalah tugas seorang arsitek, menurut mendiang Charles Moore. Simak, C. Moore dan G. Allen. Dimension, Space, Shape and Scale in Architecture. New York: McGrow Hills, 1975. Bab tetnang Space. 9 Untuk asal usul kata-kata seperti techne dan techton serta kata-kata bahasa Ingggeris atau Indo-Eropean yang sebagian besar merupakan suatu turunan dari bahasa Latin dan Yunani, selain kini dalam Wikipedia banyak memuat sejarah kata, juga dapat simak E. Partidge. The Origins: A Short Etymological Dictionaary of Modern English. New York: Greenwich House, 1983. 10 Saya sudah berupaya mencari kata tektoon dan belum berhasil ketemu. Dari berbagai sumber yang dapat saya telusuri, architecture berakar kata techton dan awalan rangkapnya arche. Untuk lebih lengkap tentang argument Mangunwijaya, Simak, Y.B. Mangunwijaya. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contohcontoh Praktis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1988. Hal. 193-194. 11 Mangunwijaya, op.cit. hal 330. 12 Widya dalam arti sebagai kebijaksanaan perlu periksa sumber lain selain Kamus-kamus tentang bahasa Jawa dan Jawa Kuna seperti karya P.J. Zoetmoelder dan S.O. Robson. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2004. Dan S. Prawiroatmojo. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1985. Periksa juga penjelasan tentang vid asal kata widya, sebagai kebijaksanaan selain pengetahuan, dalam P. Watson. Ideas: A History from Fire to Freud. London: Orion House, 2006, hal. 156. 13 Untuk hal Sanskerta dan bahasa Vedas, periksa P. Watson. Op.cit., hal. 154-156. 8
Pujangga yang menghasilkan kakawin menganut penghayatan menyeluruh atas suatu keadaan. Nilai yang kita kenal sebagai keindahan juga menuntut keseluruhan pencerapan indra untuk memahami keindahan.14 Keadaan demikian kini telah punah dalam masa pembagian pekerjaan dan kekhususan keahlian menjadi kecenderungan kerja. Sebagai akibat, makna widya dan wastu bergeser dan semakin jauh dari pengalaman keseharian. Dalam keadaan demikian tak heran jika tawaran Mangunwijaya (yang mirip seorang empu)15 tak bersambut. Hingga kini istilah arsitektur dipakai seperti sediakala. Berkaitan dengan rajin dan wujud bangunan, apa yang tertulis dan tercontohkan lebih jelas dari pada apa yang diturunkan secara lisan. Dalam kitab Kawruh Kalang dan Kawuh Griya orang Jawa yang beredar, ada penjelasan tentang persyaratan dan ukuran dalam pertukangan kayu. Demikian pula dengan kitab Asta Kosala Kosali orang Bali, ada penggambaran tentang ukuran dan pesyaratan yang perlu dicapai dalam membangun bangunan. Dalam Lu Ban Jing orang Cina juga ada uraian lengkap tentang persyaratan dan perlengkapan pengerjaan kayu. 16 Dalam tulisan ini saya tak mengedepankan terlebih dahulu kitab beradar yang mana, dan seberapa absah adanya. Tajuk saya adalah, pencapaian yang disyaratkan dalam kitab-kitab pegangan untuk para tukang atau para pembangun bangunan berbeda-beda. Namun acuannya selalu pada yang tertinggi mutunya. Mutu tersebut ditentukan oleh siapa? Dalam hal ini kembali lagi kita pada citarasa golongan masyarakat. Tak dapat dipungkiri, dalam sejarah, kelas selalu membentuk hirarki. Jika itu suatu kenyataan, maka cita rasa kelas paling ataslah menjadi acuan di saat kitab lama itu dibuat. Masa agraris Nusantara, baik di desa maupun di kota, pekerjaan untuk persembahan kepada para dewa atau kemudian Yang Maha Kuasa atau leluhur senantiasa menarik perhatian penuh. Sudah suatu kewajiban untuk memberi persembahan terbaik. Di masa para dewa, pengorbanan adalah suatu kebajikan. Persembahan merupakan suatu tindakan kepatuhan dan nilai kehidupan. Imbalan yang lebih abadi akan menjelang di kehidupan setelah kehidupan ini. Dalam bungkusan nilai demikian wajar jika tukang memberi hasil terbaiknya demi suatu asa akan imbalan setimpal. Membangun untuk sesuatu yang dalam bayangan dan atas nama para dewa atau menurut kitab, jika ada, merasukkan jiwa para pelaksana pekerjaan. Oleh sebab itu kelas pendeta yang dianugrahi “kesaktian” dan penguasa sang personafikasi dewa merupakan ujung tombak menentukan baku mutu karya untuk bangunan pemujaan. Candi, kuil, istana, bangsal pertemuan, kuburan penguasa merupakan bangunan yang menuntut detak kekaguman. Keadaan itu berlaku hampir di seluruh dunia. Mutu dan kebesaran bangunan tersebut mewakili kejayaan, dan oleh sebab itu peradaban. Mengenai paham keindahan para pujangga di masa Jawa Kuna, simak P.J. Zoetmulder. Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Diterjemahkan dari judul asli: Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature oleh D. Hartoko, S.J. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985, 1983. Hal. 200-203. 15 Dalam berkarya, Mangunwijaya terkenal sangat tuntas. Beliau tidak ingin dirinya disebut arsitek meski beliau dianugrahi Aga khan Award for Architecture di tahun 1992. Dari keterangan berbagai muridnya dan berita saat eliau membangun saat Flores dilanda gempa yang mengakibatkan beliau membawa tukang untuk mengajarkan teknik ke penduduk dan tukang di Flores, jelas pendekatan beliau amat mementingkan pertukangan dalam membangun. 16 Kawruh Kalang adalah kitab tukang kayu yang beredar dalam aksara Jawa. Kawruh Griya Hasta Kosala Kosali adalah kitab orang Bali yang mengatur tata alam dari jagat besar hingga jagat kecil. Kawruh Kalang dan Kawruh Griya serta Asta Kosala Kosali beredar dalam berbagai ragam terbitan. Luban Jing adalah kitab tukang legendaries Cina Lu Ban, yang juga ada berbagai ragam terbitan. Tentang Kawruh Kalang, dan Kawruh Griya, simak J. Priyotomo. (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa: Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan.Surabaya: Wastu Lanas Grafika, 2006. Untuk Asta Kosala Kosali, sudah sangat banyak sumber. Untuk Lu Ban Jing, simak K. Ruitenbeek. Carpentry & Building in Late Imperial China: A Study of the Fifteenth-Century Carpenter’s Manual Lu Ban Jing. Leiden: E.J. Brill, 1996. 14
Meski kelas penguasa dan ningrat serta pimpinan agama mampu memandu tata tertib membangun melalui kitab panduan, hasilnya tetap tergantung pada tukang yang menyelesaikan bagian terakhir suatu bangunan. Oleh sebab itu melatih keterampilan pengrajin dan para tukang untuk membuahkan sesuatu sehingga mencapai rajin menjadi tuntutan masyarakat. Cara paling jitu adalah menyemikan semangat dan nilai agar dalam mengerjakan bangunan suci yang sasaran persembahannya akan menentukan kemakmuran diutamakan. Sanksi bagi yang tak melakukan itu adalah bencana. Kini keadaan berbeda, kelas lebih ditentukan kepemilikan harta. Kelompok pemilik modal ini adalah yang mampu membayar jasa arsitek profesional. Kebangsawanan tidak lagi menentukan, demikian pula untuk kaum terpilih (elit), meski keterpilihannya sebagian besar melalui uang, perorangan atau partai politik. Cita rasa mencapai rajin bukan lagi milik kaum tepilih itu, tetapi kaum berada yang terkadang bercitarasa jauh dari baku sebagaimana diberlakukan di bangku kuliah. Rentang rajin dengan demikian menjadi majemuk seiring dengan perubahan sosial ekonomi. Ketika tugas pembangunan sebagian besar dipegang negara maka peran kelas atas masyarakat tak akan menyumbangkan baku berarti, karena tak menghasilkan persyaratan tertulis. Hanya dari sosok dan tampilan bangunan kelompok ini awam dapat menyimak bahwa ada sesuatu yang berbeda. Rajin dalam hal ini menampakkan diri. Kehadiran rajin menyatu dengan setiap bagian bangunan yang terbuka terhadap indera manusia untuk dicerapi. Indera manusia peka terhadap apa yang tampil, baik dalam keutuhan raga, maupun dalam angan-angan setelah usai berhadapan langsung dengan gejala. Mutu suatu ruang ditentukan suasana yang terbentuk olehnya. Suasana ditentukan oleh antara lain, ukuran dan bahan-bahan yang membatasinya serta mutu pengolahannya. Ukuran suatu ruangan menceritakan hubungan manusia yang bergiat dan sosok pembatasnya. Keserasian hadir jika perbandingan antar bagian yang disuguhkan mampu membangkitkan rasa nyaman saat berada di dalam maupun di luar atau di bawah pembatas-pembatas tersebut. Perbandingan antara seluruh sosok pembagi ruang dan benda lain yang melatarinya membangkitkan rasa lain. Pembatas ruang terbuat dari bahan-bahan yang berukuran dan berpermukaan. Pertemuan bahanbahan yang berbeda dan bidang-bidang yang berbeda akan menentukan citra yang bakal dicerap oleh para pemakai. Bahan-bahan perlu diolah agar dapat bertahan terhadap berbagai gangguan seperti cuaca dan serangga yang memangsanya. Permukaan bahan perlu juga dikerjakan agar mencapai suatu sifat, apakah itu selicin mungkin untuk menunjukkan betapa rajin dan rapi pekerjaan tangan sang pengolah, atau sekasar apa yang inign diungkapkan agar suasana kembali ke asal itu mampu dicapai. Dalam dunia merancang kita giat menghasilkan suatu rancangan yang jika dilaksanakan bakal sesuai dengan yang digagas, dengan sesedikit mungkin efek samping yang tak dihendaki. Rancangan dengan demikian, sering dilengkapi dengan serangkaian persyaratan yang perlu dipenuhi pemanfaatnya pada saat pelaksanaan pekerjaan untuk mewujudkan rancangan tersebut. Dalam pencatuman tentang hasil suatu rancangan bangunan senantiasa dilengkapi dengan spesifikasi bahan dan penanganannya. Hal ini cocok untuk keadaan yang setiap tahap berbeda dilaksanakan pelaksana yang berbeda. Keadaan demikian tentu bereda dari masa lalu yang memercayakan tugas membangun pada satu regu yang dirancang dan diawasi seorang arsitek. Tanggung jawab demikian mendorong orang yang bertanggung jawab atas suatu projek pembangunan mencurahkan segenap kemampuannya karena keberhasilan karyanya menentukan nama baik dan pekerjaan berikut. Di masa tersebut bangunan tak
dilelangkan, tetapi ditunjuk berdasarkan rekomendasi kenalan yang dipercaya calon pemilik bangunan. Hal ini tak berarti bahwa cara pelelangan tak akan mendorong tanggung jawab lebih. Perbedaan cukup hakiki antara masa lalu dan kini adalah kini pembagian kerja amat ketat dan jika dapat, cara perakitan Ford Motor yang kita kenal sebagai “Fordism” diterapkan dalam pembangunan sehingga mencapai efisiensi tinggi penanganan projek.17 Dalam cara demikian nama baik seseorang tertelan nama besar perusahaan. Perusahaan pemborongan pekerjaan senantiasa memacu pekrejaan karena waktu adalah uang. Semakin lambat menyelesaikan suatu pekerjaan semakin kurang labanya. Dalam keadaan demikian tak terelak kemungkinan terjadi kekurangcermatan mengendalikan mutu. Apakah mutu akan lebih terjamin jika pembangunan tak terkendala waktu? Jawabannya belum tentu. Mutu itu suatu tuntutan dan dalam keadaan waktu tak menjadi kendala, tuntutan mutu belum tentu perlu jika yang diinginan adalah pemenuhan tugas suatu bangunan bukan kesempurnaan seluruh segi penyelesaian sosok yang memenuhi hasrat mendecak kekaguman. Tak semua bangunan di desa bertradisi kuat di Indonesia menghasilkan bangunan sesuai tuntutan rajin. Tampak di sini bahwa setelah ada pemunculan golongan atas maka rajin menjadi suatu tuntutan sebagai perbedaan kelas. Dalam keadaan ketergantungan pada suatu pengendalian operational, tata olah pekerjaan tunduk pada “kerjakan apa yang dituis dan tuliskan apa yang akan dikerjakan,” bahan-bahan tak lagi diolah tangan, melainkan pabrik pengolah bahan dan mutu diawasi di situ. Namun penyelesaian akhir suatu pekerjaan yang menyangkut pembangunan bangunan gedung tetap berada di tangan tukang. Kerapian yang melekat dalam jiwa rajin dengan demikian tetap tak tergantikan di lapangan. Dalam keadaan demikian rajin sebagai suatu cerminan etos kerja tetap merupakan suatu keharusan. Jika kita menganggap karya arsitektur semakin tergantung pada pasar yang menuntut cepat dan siap bangun, maka rajin yang terkandung merupakan rajin bekerja dan hasilnya lebih cenderung tergolong sebagai kerajinan, bukan penciptaan. Keadaan demikian semakin nyata dalam bingkai peraturan pembangunan yang menganut anggaran tahunan dan penghangusan dana. Jika kita ingin mengangkat kembali karya arsitektur sebagai seni, maka rajin perlu ditempatkan dalam tataran penciptaan. Dengan demikian jiwa rajin merasuk ke dalam sikap berkarya, bukan hanya bekerja. Sudah merupakan kewajiban segenap bangsa menentukan baku mutu yang erkait dengan piranti kepamongan serta peran serta masyarakat. Langkah pertama tetap pada meningkatkan kesadaran bahwa rajin telah luntur dan tereduksi. Langkah berikut adalah merekayasa rajin sebagai suatu gerakan bangsa. Lanjutan dari itu adalah pencontohan oleh kelas yang berperan dalam masyarakat tentang rajin. Kemudian penyebarluasan nilai rajin ke segala segi kehidupan dan menjalankan kehidupan dengan rajin. Rajin: Suatu Penutup Penekanan rajin sebagai sifat yang melekat pada kerja perlu diangkat ulang dan kembalikan ke makna awalnya. Hanya dengan demikian karya arsitektur mampu meningkat ke lapisan lebih berharga. Arsitektur tanpa rajin akan hampa makna dan terlepas dari daya cipta. Budaya siap saji akan menurunkan mutu karya arsitektur dari yang sedianya berupa karya seni menjadi karya kerajinan atau bahkan lebih buruk lagi, karya ala kadar. Dalam keadaan demikian jiwa rajin yang diperluas perlu ditanamkan dalam pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga ke tingkat paling tinggi. 17
Bandingkan dengan, dan simak R. Sennett, op.cit. hal. 45-47
Rajin yang menjadi nilai nasional akan menghasilkan karya-karya terpandang. Jika hal itu tercapai, maka bangsa yang dikenal pernah menghasilkan Borobudur dan Prambanan yang mengundang kekaguman dunia ini tetap akan dikenang sebagai yang mampu meneruskan jiwa leluhurnya. Sejauh ini hampir tak ada penciptaan lebih akbar lagi yang dihasilkan oleh generasi setelah Borobudur Prambanan. Mengangkat kembali semangat rajin memerlukan suatu program yang berskala nasional karena tak hanya menyangkut kerja keras, tetapi juga mutu tinggi hasil karya sebagai kebajikan. Menanamkan nilai rajin sama dengan menertibkan sikap kerkarya dan bekerja. Di situ ada pemacuan mengejar yang lebih. Ketakpuasan atas apa yang dihasilkan merupakan suatu kebajikan. Borobudur dan Prambanan sudah wajar perlu dilampaui. Oleh sebab itu, senantiasa meningkatkan baku mutu sudah waktunya kita geserkan ke atas normanya setiap ada pencapaian. Hanya dengan demikian akan tercipta suasana takut dikejar dan takut akan ketinggalan. Ketakutan demikian bersifat baik karena memelihara sikap, jika tak maju, akan dimangsa. Agar tak dimangsa, maka rajinlah!