RAGAM JENIS KUTU PADA AYAM BUKAN RAS DI PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR
ANJANI RETNO SETIAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Anjani Retno Setiawati NIM B04080162
ABSTRAK ANJANI RETNO SETIAWATI. 2014. Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUPRIYONO. Ayam bukan ras memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai unggas petelur dan pedaging. Kutu merupakan satu di antara ektoparasit yang dapat menyerang ayam bukan ras. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis kutu dan sebarannya pada ayam sehingga dapat dilakukan pengendalian dengan tepat. Kutu diperoleh dari 42 ekor ayam buras di beberapa pasar dalam wilayah Bogor, yaitu Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, Pasar Bogor, dan Pasar Warung Jambu. Kutu yang dikoleksi berasal dari beberapa regio pada tubuh ayam, yaitu kepala–leher, punggung, dada–kaki, sayap, dan ekor. Sampel kutu dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi alkohol 70% dan diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infestasi kutu pada ayam bukan ras di pasar tradisional sebesar 50%. Jenis kutu yang ditemukan adalah Menopon gallinae (77.14%), Lipeurus caponis (20.57%), dan Goniodes dissimilis (2.29%). Temuan ini didominasi oleh Menopon gallinae dengan sebaran terbanyak di regio dada–kaki (97.39%). Kata kunci: ayam bukan ras, Goniodes dissimilis, kutu, Lipeurus caponis, Menopon gallinae.
ABSTRACT ANJANI RETNO SETIAWATI. 2014. Diversity of Lice Species in Domestic Chickens at Traditional Market in Bogor City. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUPRIYONO. Domestic chickens has high economic value because it can be used as a chicken layer and broiler. Lice was one of the ectoparasites that can attack domestic chickens. This study was conducted to determine the diversity and distribution of lice on domestic chickens so that it can be controlled properly. Lices were obtained from 42 domestic chickens at several markets in the area of Bogor, such as Gunung Batu market, Anyar market, Bogor market and Warung Jambu market. Lices were collected from several regions of chicken’s body, such as head to neck, back, breast to feet, wings, and tail. Lice samples were put into the container which has already contained 70% alcohol and identified. The results showed that the prevalence of lice infestation at traditional market was 50%. Lice species discovered were Menopon gallinae (77.14%), Lipeurus caponis (20.57%), and Goniodes dissimilis (2.29%). This study was dominated by Menopon gallinae with the largest distribution in the breast to feet region (97.39%). Keywords: domestic chickens, Goniodes dissimilis, lice, Lipeurus caponis, Menopon gallinae.
RAGAM JENIS KUTU PADA AYAM BUKAN RAS DI PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR
ANJANI RETNO SETIAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi: Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor Nama
: Anjani Retno Seiawati
NIM
: B04080162
Disetujui oleh
'-----
c-s
�
ProfDr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS Pembimbing I
et
Tanggal Lulus:
fro 2
nrT
. � ..
.
PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan kehendak-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Judul karya tulis yang dipilih untuk penelitian sejak April 2013 adalah “Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor“. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS dan Bapak Drh Supriyono, MSi selaku Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan selama penyelesaian skripsi serta bapak Dr Drh Muhammad Agil, MSc selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam pembelajaran akademik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada sahabat-sahabat tercinta, terutama Dewi Kurniati, Dyah Ayuning, Febryana Permata, Dara Melisa, Desi Jayanti, Fathia Ramdhani, Minho Choi, teman-teman Mobster, Avenzoar FKH 45, dan Geochelone FKH 46 atas segala doa, cinta kasih, dan dukungan selama pembuatan skripsi ini. Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada keluarga tercinta, Ayah (Sugiyarto), Ibu (Annita Tenau), adik (Bobby Rahmanto dan Erik Bayu), dan keluarga besar di Merauke. Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih terdapat kesalahan baik dalam penulisan nama, gelar, maupun penyajian kalimat yang kurang berkenan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Demikian prakata dari penulis, semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014 Anjani Retno Setiawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Ayam Bukan Ras
2
Ektoparasit pada Ayam
4
Klasifikasi Kutu
4
Morfologi Kutu
5
Perilaku dan Siklus Hidup
5
METODE
6
Tempat dan Waktu
6
Metode Penelitian
6
Koleksi Kutu pada Ayam Buras
6
Pembuatan Preparat Kaca
7
Identifikasi
7
Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Prevalensi Kutu pada Ayam Buras di Pasar Tradisional
7
Jenis dan Sebaran Kutu pada Tubuh Ayam Buras
9
SIMPULAN DAN SARAN
14
Simpulan
14
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
15
RIWAYAT HIDUP
18
DAFTAR TABEL 1 Rata-rata jumlah kutu pada ayam buras di beberapa pasar tradisional Kota Bogor 2 Jumlah dan jenis kutu yang ditemukan tiap regio dari ayam buras terinfentasi
8 13
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) Kondisi ayam di dalam kandang pada pasar tradisional Menopon gallinae Lipeurus caponis Goniodes dissimilis Persentase (%) sebaran jenis kutu pada regio tubuh ayam buras
3 8 9 11 12 13
PENDAHULUAN Latar Belakang Ayam buras atau ayam bukan ras adalah ayam kampung yang telah mengalami proses seleksi dan pemeliharaan dengan teknik budi daya. Unggas ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena dimanfaatkan sebagai unggas petelur dan pedaging. Masyarakat pada umumnya memelihara ayam kampung sebagai usaha sampingan karena pemeliharaannya yang mudah. Unggas ini memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim. Secara umum, pemeliharaan ayam buras dilakukan dengan sistem ekstensif (tradisional), yaitu ayam diumbar atau dilepas bebas berkeliaran. Infestasi ektoparasit, khususnya kutu dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi peternak. Menurut Hadi dan Soviana (2010) jenis kutu yang umum ditemukan pada ayam di Indonesia antara lain Cuclutogaster heterographus, Goniocotes gallinae, Goniodes dissimilis, Goniodes gigas, Lipeurus caponis, Menacanthus stramineus, dan Menopon gallinae. Kutu ditemukan pada kulit dan bulu sehingga dapat menyebabkan kerusakan bulu, iritasi kulit, gelisah, penurunan nafsu makan, dan kehilangan bobot badan (Mullen dan Durden 2002; Wall dan Shearer 2001). Beberapa jenis kutu dapat menyebabkan anemia, lesio kulit multifokal yang parah atau dapat menyebabkan kematian pada unggas (Njunga 2003). Menurut Mccrea et al. (2005) infestasi kutu sering diikuti oleh buruknya kesehatan unggas yang disebabkan oleh penyebab lain, seperti bakteri, fungi, dan virus. Kondisi ini sangat berbahaya bagi unggas muda karena infestasi kutu dalam jumlah besar dapat menyebabkan kematian. Infestasi kutu dalam jumlah besar tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi peternak skala kecil, tetapi juga peternak dalam skala besar. Kerugian ini diakibatkan oleh penurunan produktivitas ayam, seperti penurunan bobot badan dan produksi telur. Lesio pada kulit ayam akibat bekas gigitan kutu dapat menjadi tempat berkembangnya infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, fungi, dan virus. Hal ini dapat menyebabkan tingginya tingkat kematian ayam ketika infestasi kutu yang sangat besar terjadi pada peternakan. Peternak tidak hanya harus mengendalikan kutu dengan tindakan sanitasi pada kandang dan ayam, tetapi juga perlu memelihara kesehatan ayam dengan pemberian obat dan vitamin. Biaya yang cukup besar pun harus dikeluarkan oleh peternak untuk mengendalikan kasus ini. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis kutu dan sebarannya pada tubuh ayam sehingga peternak dapat melakukan pengendalian dengan tepat.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui keragaman kutu serta sebarannya pada tubuh ayam buras.
2 Manfaat Penelitian Diperoleh informasi mengenai keragaman genus dan spesies kutu, serta sebarannya pada ayam buras.
TINJAUAN PUSTAKA Ayam Bukan Ras Ayam bukan ras adalah ayam lokal yang menjadi sumber plasma nutfah bagi rakyat Indonesia. Sastrodihardjo dan Resnawati (1999) menyatakan bahwa diperkirakan ada sepuluh jenis ayam yang tergolong sebagai ayam buras. Sebanyak sembilan jenis dari ayam tersebut mempunyai ciri morfologi dan berkembang pada kawasan habitat asli, sedangkan satu di antaranya tidak mempunyai ciri morfologi khusus dan jenis ini yang dikenal sebagai ayam kampung. Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Menurut Iskandar et al. (1993) ayam kampung mempunyai ciri-ciri campuran dari jenis ayam Kedu, ayam Pelung atau ayam Nunukan. Ayam kampung yang dipelihara saat ini berasal dari domestikasi ayam hutan. Proses domestikasi ayam hutan mengacu pada dua teori, yaitu teori monophyletic dan teori polyphyletic. Teori monophyletic adalah teori yang digagas oleh Charles Darwin. Menurutnya ayam peliharaan berasal dari satu jenis ayam hutan yang saat ini masih ada, yaitu Gallus gallus. Teori polyphyletic menyatakan ayam peliharaan berasal dari beberapa jenis ayam hutan yang saat ini masih ada di berbagai belahan dunia, yaitu Gallus gallus,Gallus sonneratti, Gallus laffayetti, dan Gallus varius (Suprijatna et al. 2005). Klasifikasi ayam kampung dalam Price (2002), sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Ordo : Galliformes Famili : Phasianide Subfamili : Phasianae Genus : Gallus Spesies : Gallus gallus
3
Gambar 1 Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus)
Ayam kampung (G. g. domesticus) memiliki tubuh yang kecil agak ramping. Ayam kampung memiliki rata-rata bobot badan adalah 1.148 g pada jantan dan 1.132 g pada betina (Alfahriani 2003). Hal ini disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang tidak seragam oleh peternak. Menurut hasil penelitian Mulyono dan Pangestu (1996) pemeliharaan ayam kampung secara intensif dapat menghasilkan bobot badan sebesar 1.815 ± 353 g pada jantan dan sebesar 1.382 ± 290 g pada betina. Perbedaan bobot badan pada ayam kampung dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, kualitas pakan, dan lingkungan sekitar (Kurnia 2011). Ayam kampung memiliki warna bulu yang bervariasi dari warna putih, hitam, coklat, kuning, atau kombinasi warna-warna tersebut. Ayam kampung memiliki kaki yang panjang dan kuat. Kedua kaki ayam kampung (G. g. domesticus) mempunyai dua segmen dan sebuah tulang kering ramping yang hanya terdiri atas tendon serta tumit yang bercakar empat (Cahyono 2000). Bagian kepala ayam dapat ditemukan paruh, jengger, cuping, dan pial. Paruh berasal dari tulang wajah yang mengalami perpanjangan. Paruh bawah pada ayam terbentuk dari lima tulang. Jengger berwarna merah karena terdapat banyak pembuluh darah pada bagian epidermis kulit ayam, sedangkan warna pial bervariasi bergantung pada masing-masing bangsa ayam. Pial merupakan cuping telinga berdaging tebal yang terletak di bawah bagian telinga (Suprijatna et al. 2005). Jengger dan pial sangat istimewa pada ayam dan beberapa jenis burung lainnya. Jengger dan pial dapat dijadikan indikator karakteristik kelamin sekunder karena sangat sensitif terhadap hormon seksual (Storer et al. 1968). Ayam memiliki mata yang berukuran besar, terletak di lateral dengan kelopak mata yang besar dan di dalamnya terdapat kelopak ketiga yang transparan, yaitu membrana nictitan. Tubuh ayam berbeda dari vertebrata lainnya karena ditutupi oleh bulu. Bulu merupakan bagian epidermal yang fleksibel dengan ruang hampa udara yang sangat banyak. Keberadaan ruang hampa udara ini menjadi pelengkap dalam menghasilkan bulu kontur yang halus dan melindungi tubuh (Storer et al.1968). Semua unggas, termasuk ayam, adalah hewan berdarah panas yang mempunyai suhu antara 40.5–42.2 °C pada siang hari dan lebih rendah pada
4 malam hari. Menurut Suprijatna et al. (2005) rata-rata suhu tubuh ayam dewasa sekitar 40.5–41.6 °C dan day old chick (DOC) memiliki temperatur sekitar 38.8 °C. Induk ayam yang sedang mengeram memiliki temperatur lebih rendah daripada induk yang tidak mengeram karena tingkat metabolisme yang rendah. Ayam mengalami proses pertumbuhan bulu dan rontok secara alami. Proses rontok bulu ini dinamakan molting. Proses ini berlangsung secara periodik sekitar setahun sekali dan diikuti proses pertumbuhan bulu. Bulu baru akan tumbuh pada tempat bulu yang rontok karena pengaruh hormonal.
Ektoparasit pada Ayam Ektoparasit merupakan parasit yang berada di luar tubuh hewan. Kebanyakan ektoparasit pada unggas hidup pada kulit atau bulu. Infestasi ektoparasit pada unggas menjadi masalah di peternakan ayam karena dapat mempengaruhi karkas, penampilan, dan konformasi tubuh ayam. Hal ini berkaitan dengan permasalahan higiene dan sanitasi dalam pemeliharaannya. Unggas yang sering menjadi inang antara lain ayam kampung, kalkun, bebek, angsa, dan merpati (Lancaster et al. 1986). Kutu adalah ektoparasit yang menyerang unggas. Kutu merupakan ektoparasit obligat karena seluruh hidupnya berada pada dan bergantung di tubuh inangnya. Secara morfologi, kutu sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki sayap, sebagian besar tidak bermata, dan bentuk tubuh yang pipih dorsoventral. Adapula bagian mulut disesuaikan untuk menusukisap atau untuk mengunyah dan memiliki enam tungkai atau kaki yang kokoh dengan kuku berukuran besar pada ujung tarsus. Kuku tersebut bersama dengan tonjolan tibia berfungsi untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya. Kutu mengalami metamorfosis sederhana (paurometabola) dengan hanya tiga instar nimfa (Hadi dan Soviana 2010). Klasifikasi Kutu Kutu adalah serangga tidak bersayap yang dapat diklasifikasikan dalam satu ordo, yaitu Phthiraptera (Clay 1970). Phthiraptera berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata ‘Phthir’ artinya kutu dan ‘Aptera’ artinya tidak bersayap. Ordo ini termasuk dalam filum Arthropoda, kelas insekta, dan memiliki dua subordo, yaitu Anoplura (kutu pengisap) dan Mallophaga (kutu penggigit). Phthiraptera memiliki tiga superfamili yang terdiri atas Ischnocera, Amblycera, dan Rhynchopthirina. Kutu Ischnocera dan Amblycera terdapat pada unggas dan mamalia, sedangkan Rhyncopthirina dapat ditemukan pada gajah dan babi hutan. Jenis kutu Ischnocera yang ditemukan pada unggas antara lain Cuclotogaster (Lipeurus heterograpus), L. caponis, Goniodes gigas, G. dissimilis, Goniocotes gallinae, Chlopister meleagridis (Goniodes meleagridis), dan Columbicola columbae. Jenis kutu Amblycera yang terdapat pada unggas adalah M. gallinae, Menopon paestomum, Menachantus stramineus, dan Trinoton anserium (Mullen dan Durden 2002).
5 Morfologi Kutu Kutu merupakan ektoparasit yang umum ditemukan pada tubuh unggas. Kutu yang temasuk dalam subordo Mallophaga (mallos = bulu, phagein = memakan) berukuran kecil, yaitu 2–6 mm. Kepala kutu ini lebih luas daripada toraks dan memiliki karakteristik tipe mulut pengigit, mandibulanya di ventral kepala, serta memiliki 3–5 segmen antena yang pendek dan berbentuk filiform. Kutu ini memiliki toraks sempit, tidak bersayap, bagian tubuh dorsoventral rata, dan kaki yang pendek dengan satu atau dua kuku yang memiliki ‘pinch’ (alat penjepit) sederhana atau lebih kompleks (Lancaster dan Meisch 1986). Mallophaga terdiri atas dua superfamili, yaitu Amblycera dan Ischnocera. Superfamili Amblycera dapat dibedakan dengan Ischnocera dari ukuran kepala, bentuk, dan banyaknya ruas antena serta ada tidaknya palpus maksila. Amblycera dilengkapi dengan palpus maksila, antena yang tidak jelas terlihat dan terdiri atas empat ruas, sedangkan Ischnocera memiliki antena berbentuk filiform dan terlihat nyata di sisi kepala dengan tiga sampai empat ruas dan tidak dilengkapi palpus maksila. Perilaku dan Siklus Hidup Mallophaga atau kutu penggigit merupakan parasit yang dapat ditemukan pada unggas atau mamalia, tetapi tidak menyerang manusia dan umumnya berhubungan dengan unggas (Marshall 1981). Beberapa kutu penggigit bersifat haematophagus. Kutu tidak merusak kulit inang untuk mendapatkan darah, tetapi hal ini dapat terjadi jika darah telah berada di permukaan kulit inang, misalnya saat ada luka terbuka. Kutu ditemukan pada kerokan kulit inangnya, eksudat, atau bulu (Gordon 1977). Infestasi kutu penggigit pada unggas dapat menyebabkan iritasi, penurunan bobot badan, dan anemia. Chelopistes meleagridis dan Oxylipeurus polytrapezius adalah kutu yang sering ditemukan pada kalkun, sedangkan Cuclutogaster heterographus, Goniocotes gallinae, G. dissimilis, Goniodes gigas, L. caponis, Menacanthus stramineus, dan M. gallinae adalah parasit pada ayam lokal yang terdapat di seluruh dunia (Cohen et al. 1991). Kutu memiliki derajat kekhasan inang (host specifity) yang sangat tinggi dan mempunyai habitat tertentu pada tubuh inang. Hal ini menyebabkan kutu hanya bisa hidup pada inang yang memiliki karakteristik tertentu (Hinkle 1996). Mallophaga mengalami metamorfosis sederhana, yaitu telur, nimfa I, II, III, dan menjadi kutu dewasa. Kutu betina dewasa rata-rata memproduksi 50–300 telur. Telur kutu berwarna keputihan, berbentuk lonjong, dan diletakkan pada kumpulan bulu kemudian menetas dalam waktu 4–7 hari. Telur mengalami proses pematangan embrio pada suhu 37 oC selama 3–5 hari, sedangkan pada suhu yang lebih rendah memerlukan waktu hingga 9–14 hari. Menurut Lancaster dan Meisch (1986), pada infestasi yang parah telur biasanya akan diletakkan di daerah dada. Siklus hidup kutu dari telur hingga menjadi dewasa memerlukan waktu 7–21 hari (Corwin dan Nahm 1997). Jenis kutu yang sering ditemukan pada unggas adalah M. gallinae dari genus Menopon yang berasal dari kelompok Amblycera. Kutu ini memiliki kemampuan berlari dengan cepat sehingga mudah menyebar di semua bagian tubuh (Corwin dan Nahm 1997). Kutu ini meletakkan telur di bagian dasar bulu
6 dan akan menetas dalam waktu 2–3 minggu. Kutu dewasa dapat hidup selama 9 bulan dan jenis ini tidak menyerang ayam muda karena ayam muda memiliki bulu yang relatif sedikit. Kutu dari kelompok Ischnocera memiliki perbedaan morfologi sesuai daerah tubuh unggas yang ditempati. Bentuk tubuh kutu yang bulat dan lebar, sering terdapat pada bulu-bulu yang lebih pendek, yaitu kepala dan leher. Pada bagian punggung dan sayap ayam dapat ditemukan kutu berbentuk pipih yang dapat menyelinap ke bagian sisi samping tubuh (Wana 2001). Perpindahan kutu dapat terjadi secara horizontal, yaitu kontak antara ayam dengan ayam. Kutu dapat hidup dan berkembang biak dalam waktu lama atau seluruh hidupnya di tubuh ayam. Beberapa spesies kutu dapat berada pada lokasi yang spesifik pada tubuh inang, atau ada juga spesies lain yang dapat ditemukan hampir di seluruh tubuh inang, seperti Menacanthus stramineus (Pickworth dan Morishita 2005). Penyebaran kutu pada tubuh ayam dibagi menjadi tiga, yaitu kepala, toraks, dan abdomen (Kettle 1985). Hal ini menyebabkan inang dapat terinfestasi lebih dari satu jenis kutu. Kerusakan akibat infestasi kutu bergantung pada jumlah kutu, keadaan nutrisi, dan penyakit yang diderita inang (Bains 1979).
METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2013. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu koleksi kutu dan identifikasi. Koleksi kutu dilakukan di Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, Pasar Bogor, dan Pasar Warung Jambu. Tahap identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian Koleksi Kutu pada Ayam Buras Pengambilan sampel dilakukan di Pasar Gunung Batu, Anyar, Bogor dan Warung Jambu. Koleksi kutu dilakukan pada regio kepala–leher, punggung, dada–kaki, sayap, dan ekor. Waktu koleksi kutu yang dibutuhkan tiap regio adalah 2–3 menit untuk setiap ekor ayam (Hadi dan Rusli 2006). Pengambilan spesimen kutu dilakukan menggunakan kuas yang telah dicelupkan ke dalam alkohol 70%. Kuas beralkohol ini digunakan untuk membuat kutu tidak bergerak (pingsan) sehingga memudahkan dalam proses pengambilan kutu. Kutu yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi alkohol 70%.
7 Pembuatan Preparat Kaca Kutu hasil koleksi dimasukkan ke dalam KOH 10% dalam tabung reaksi dan dipanaskan dengan suhu kurang lebih 60 °C. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan air selama 3–4 kali pembilasan. Bagian abdomen yang masih menggembung ditusuk dengan jarum halus dan ditekan secara perlahan dengan ujung jarum yang dibengkokkan untuk membersihkan isi abdomen yang masih tersisa. Tahap dehidratasi dengan alkohol bertingkat dimulai dari 70%, 80%, 90%, 96% dan masing-masing dilakukan selama 10 menit. Tahap penjernihan dilakukan dengan cara merendam spesimen ke dalam minyak cengkeh selama 15–30 menit. Spesimen dicuci dengan xylol secara berulang untuk menghilangkan kabut. Spesimen kutu yang telah siap untuk diletakkan pada gelas objek, diatur letaknya lalu ditetesi canada balsam, dan ditutup dengan gelas penutup yang telah diolesi xylol. Spesimen tersebut kemudian disimpan ke dalam autoclave selama 2-3 hari sampai kering. Preparat kaca yang telah kering kemudian diberi lapisan kuteks di sekitar gelas penutup, sedangkan pada gelas objek diberi label. Identifikasi Kutu hasil koleksi kemudian diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi morfologi Soulsby (1982).
Analisis Data Data yang diperoleh berupa data deskriptif. Data tersebut dianalisis dalam bentuk persentase dengan cara mengelompokkan kutu yang dikoleksi berdasarkan genus dan jenis kelamin inang. Prevalensi infestasi kutu dihitung dengan rumus: Jumlah Ayam terinfestasi Persentase % = Jumlah Sampel Ayam
HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Kutu pada Ayam Buras di Pasar Tradisional Kutu dikoleksi dari beberapa pasar yang ada di Kota Bogor antara lain Pasar Gunung Batu, Anyar, Bogor, dan Warung Jambu. Koleksi kutu dilakukan pada waktu siang hari karena keberadaan kutu dapat terlihat dengan mudah pada tubuh ayam. Jumlah sampel ayam yang digunakan adalah sebanyak 42 ekor dengan jumlah ayam terinfestasi kutu sebanyak 21 ekor ayam. Jumlah kutu yang diperoleh adalah sebanyak 350 ekor dari keempat pasar. Data tersebut disajikan oleh Tabel 1 di bawah ini.
8 Tabel 1 Rata-rata jumlah kutu pada ayam buras di beberapa pasar tradisional Kota Bogor Sampel Ayam
Ayam terinfestasi
Jumlah kutu yang ditemukan
Rata-rata jumlah kutu/ayam
Prevalensi (%)
12 8
5 4
55 72
11 18
41.67 50
Bogor Warung Jambu
12
6
146
24.33
50
10
6
77
12.83
60
Total
42
21
350
16.67
50
Pasar Gunung Batu Anyar
Prevalensi terjadinya infestasi kutu pada ayam di semua pasar sebesar 50% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa peluang ayam terinfestasi kutu adalah 50% dari seluruh jumlah sampel ayam. Keberadaan kutu dapat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan ayam yang dilakukan penjual di pasar. Ayam yang berada di pasar berasal dari peternakan rakyat di daerah sekitar Bogor, seperti Ciampea, Ciawi, Tajur, dan Bandung. Ayam yang dibeli penjual dari peternak biasanya berumur antara 2–4 bulan. Ayam tersebut diletakkan dalam kandang bersama ayam lain atau kandang kosong. Hal ini bergantung pada ukuran tubuh ayam dan juga ukuran kandang yang dapat menampung ayam. Ayam-ayam yang dijual di pasar dipelihara oleh penjual selama seminggu bahkan sebulan karena ayam-ayam tersebut tidak dapat terjual habis dalam sehari (Gambar 2).
Gambar 2 Kondisi ayam buras di dalam kandang pada pasar tradisional A. Pasar Gunung Batu C. Pasar Bogor B. Pasar Anyar D. Pasar Warung Jambu
9 Kondisi ayam di keempat pasar hampir sama, yaitu kebanyakan ayam diletakkan di dalam kandang. Berbeda dari ketiga pasar lainnya, sebagian ayam yang ada di Pasar Gunung Batu diletakkan di atas kandang. Ruang gerak bagi ayam pun lebih kecil sebab kaki ayam diikat pada tepi kandang. Aktivitas berjualan di dalam Pasar Gunung Batu terjadi di dalam ruangan tanpa terpapar sinar matahari. Minimnya ukuran kandang yang digunakan untuk menampung ayam di pasar dapat menjadi penyebab berkembangnya infestasi kutu pada ayam. Hal ini didukung oleh perilaku penjual yang menggabungkan ayam baru dan ayam lama dalam satu kandang. Perilaku penjual tersebut dapat memicu terjadinya perpindahan kutu antar-ayam. Perpindahan kutu antar-ayam dapat terjadi melalui kontak langsung sehingga dengan menggabungkan ayam dalam satu kandang memperbesar peluang perpindahan kutu. Jenis dan Sebaran Kutu pada Tubuh Ayam Buras Hasil identifikasi kutu menunjukkan bahwa kutu yang ditemukan pada tubuh ayam berasal dari subordo Mallophaga (biting lice) yang terdiri atas superfamili Amblycera dan Ischnocera. Kutu Amblycera yang ditemukan berasal dari genus Menopon, yaitu M.gallinae (Gambar 3). Kutu Ischnocera yang ditemukan berasal dari genus Lipeurus dan Goniodes, yaitu L. caponis (Gambar 4) dan G. dissimilis (Gambar 5). Ketiga jenis kutu ini merupakan jenis kutu penggigit yang tidak mengisap darah, melainkan memakan sisik kulit kering, bulu, dan koreng pada kulit. Kutu tersebut dapat mengisap darah apabila terdapat luka terbuka pada tubuh ayam akibat gesekan pada kandang atau patukan.
Gambar 3 M. gallinae tampak dorsal (perbesaran objektif 4x) Keterangan: A. Mandibula E. Tarsal claw B. Antena F. Tibia C. Palpus maksila G. Abdomen D. Palpus labial H. Seta
10 M. gallinae (Gambar 3) berukuran kecil, mempunyai panjang 1.5–2.5 mm, dan berwarna kuning pucat. Kutu ini mempunyai kepala berbentuk segitiga yang melebar dan diperluas di belakang mata. Palpus maksila berukuran kecil dan terdiri atas empat segmen, sedangkan palpus labial biasanya hanya satu segmen dan memiliki lima seta distal. Kutu ini mempunyai sepasang antena yang terletak dalam lekukan/fossa di regio kepala kutu. Antena tersebut terdiri atas empat atau lima segmen. Antena yang terdiri atas empat segmen memiliki dua sensila yang berdekatan dengan segmen terminal, sedangkan jika ada lima segmen maka hanya memiliki satu sensilum pada segmen keempat dan kelima. Segmen toraks kutu ini tidak menyatu dan terpisah dari tergum satu. Mesonotum tidak memiliki tonjolan seta. Abdomen M. gallinae memiliki delapan sampai sepuluh segmen yang ditutupi oleh rambut seta. Setiap segmen abdomen di bagian dorsal hanya terdapat sebaris rambut seta. Rambut seta berfungsi sebagai pelindung mekanik bagi kutu (Borror et al. 1992). Kaki kedua dan ketiga memiliki dua tarsal claws. Kutu betina dewasa meletakkan telur secara berkelompok di dasar tangkai bulu pada regio dada–kaki. Telur tersebut menetas menjadi nimfa yang akan melalui tiga tahap hingga menjadi dewasa (Wall dan Shearer 2001). M. gallinae mempunyai tipe mulut penggigit dan tidak menusuk kulit inang, tetapi dapat memakan darah pada ayam muda dan menggigit hingga ke dalam tangkai bulu M. gallinae sering ditemukan dalam jumlah banyak pada ayam dewasa daripada ayam muda. Hal ini disebabkan pertumbuhan bulu pada ayam muda belum sempurna seperti pada ayam dewasa. Infestasi kutu ini pada ayam muda dalam jumlah besar dapat berakibat fatal. Ayam yang terinfestasi parah oleh kutu ini dapat mengalami anemia hiperkromik dan penurunan bobot badan hingga kematian. M. gallinae juga dapat menginfestasi kalkun dan bebek, khususnya jika dipelihara berdekatan dengan ayam (Taylor et al. 2013).
11
Gambar 4
L.caponis tampak dorsal (perbesaran objektif 4x) Keterangan: A. Hyalin margin G. Coxa III B. Mandibula H.Femur III C. Nodus mata I. Abdomen D. Antena seksual dimorfik J. Tibia III E. Protoraks K.Tarsal claw F. Pterotoraks L. Seta
L.caponis (Gambar 4) mempunyai bentuk tubuh yang panjang dan ramping dengan ukuran panjang 2.2 mm dan lebar 0.3 mm serta berwarna abu–abu. Kutu ini mempunyai kepala yang panjang dan bulat di bagian depan. Antena L. caponis terlihat jelas dan berbentuk filiform yang terdiri atas lima segmen. Umumnya antena pada kutu berfungsi sebagai organ sensoris, namun antena pada L. caponis juga berfungsi sebagai pembeda jenis kelamin kutu atau disebut antena seksual dimorfik. Antena pada kutu jantan tampak mengalami perpanjangan scape, sedangkan perpanjangan scape tidak terjadi pada kutu betina. Toraks terlihat dengan jelas yang terdiri atas protoraks dan pterotoraks. Abdomen dari L. caponis terdiri atas delapan segmen dan terdapat rambut seta. Kutu ini memiliki kaki yang panjang dan kecil dengan karakteristik kaki belakang dua kali lebih panjang daripada kaki depan. Kutu betina menempelkan telur pada bulu dan menetas dalam waktu 4–7 hari. Nimfa kutu ini akan melewati tiga tahap selama 20–40 hari. L. caponis dewasa relatif tidak aktif dan dapat bertahap hidup sampai 35 hari (Wall dan Shearer 1997). L. caponis memakan partikel bulu dan kadang-kadang memakan runtuhan kulit. Infestasi kutu ini dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kegelisahan dan iritasi kulit pada ayam. Ayam muda rentan terhadap infestasi yang berat, khususnya ketika mengalami penyakit atau malnutrisi.
12
Gambar 5 G. dissimilis tampak dorsal (perbesaran objektif 4x) Keterangan: A. Hyalin margin D. Pterotoraks G. Abdomen B. Antena seksual dimorfik E. Femur II H. Tarsal claw C. Protoraks F. Tibia II I. Seta
Goniodes sp. memiliki ciri-ciri kepala yang bulat melebar di bagian anterior dan membentuk garis melintang yang luas (Wall dan Shearer 1997). G. dissimilis (Gambar 5) berukuran besar dengan panjang 3 mm dan berwarna kecokelatan. Kutu ini memiliki bentuk kepala yang cekung di bagian posterior dan membentuk sudut tepi di bagian posterior. Antenanya terdiri atas lima segmen dan termasuk antena seksual dimorfik. Antena kutu jantan membesar di scape dan terdapat penonjolan pada segmen ketiga antena. Toraks terdiri atas protoraks dan pterotoraks. Kaki pertama G. dissimilis terletak di protoraks terlihat pendek dan gemuk. Kaki kedua dan ketiga terletak di daerah pterotoraks dengan ukuran lebih panjang dari kaki pertama. Bentuk kaki pada kutu ini memiliki kesamaan, yaitu pembesaran di bagian coxae. Kutu betina meletakkan 14 butir telur yang akan menetas dalam waktu 1 minggu. Setelah dewasa G. dissimilis jantan hanya dapat bertahan hidup selama 19 hari, sedangkan G. dissimilis betina bertahan hidup selama 4 hari(Wall dan Shearer 1997). Goniodes sp. dapat ditemukan pada ayam dan burung. G. dissimilis ditemukan dalam jumlah yang sangat berlimpah di habitat beriklim sedang (Wall dan Shearer 1997). Kutu ini dapat ditemukan di kulit dan seluruh tubuh ayam. G. dissimilis sering ditemukan dalam jumlah kecil pada inang. Kutu ini dalam jumlah kecil hanya akan memberikan efek yang kecil pada inang. Secara umum, pada ayam muda dapat mengakibatkan kesakitan yang sangat parah sehingga akan mengalami penurunan bobot badan, kelemahan, dan kematian. Ketiga jenis kutu tersebut diperoleh dari regio tubuh ayam yang terbagi atas kepala–leher, punggung, dada–kaki, sayap, dan ekor (Tabel 2). Berdasarkan regio tubuh ayam tersebut, kutu terbanyak diperoleh pada regio dada–kaki sebanyak 115 kutu. Kutu ditemukan dalam jumlah kecil pada regio ekor sebanyak 36 kutu.
13 Jenis kutu yang mendominasi regio tubuh ayam adalah M. gallinae sebanyak 112 kutu pada regio dada-kaki. Data tersebut disajikan oleh Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Jumlah dan jenis kutu yang ditemukan tiap regio dari ayam buras terinfestasi Jumlah Kutu
Regio
Jenis Kutu M.gallinae Jumlah %
L. Caponis Jumlah %
G. dissimilis Jumlah %
Kepala–Leher
76
71
93.42
4
5.26
1
1.32
Punggung Dada–Kaki
70 115
62 112
88.57 97.39
3 2
4.29 1.74
5 1
7.14 0.87
Sayap
53
9
16.98
44
83.02
0
0
Ekor
36
16
44.44
19
52.78
1
2.78
Total Kutu Rata-rata kutu/ayam
350
270
77.14
72
20.57
8
2.29
2.57
0.69
Total (%) 22 20 33 15 10
0.08
Gambar 6 Persentase (%) sebaran jenis kutu pada regio tubuh ayam buras
M.gallinae (Gambar 3) merupakan jenis kutu yang paling banyak ditemukan daripada jenis kutu lain. Kutu ini ditemukan dengan persentase sebesar 77.14% (Tabel 2) di permukaan tubuh ayam. M. gallinae (shaft louse) sering ditemukan pada tangkai bulu di permukaan tubuh ayam, terutama pada regio dada. Kutu ini ditemukan dalam jumlah banyak di regio kepala, punggung, dan dada–kaki, sedangkan dalam jumlah kecil ditemukan di regio sayap dan ekor. Hal ini disebabkan oleh kemampuan kutu yang bergerak sangat cepat sehingga dapat menyebar di seluruh bagian tubuh inang (Corwin dan Nahm 1997). M. gallinae ditemukan dalam jumlah banyak pada regio dada–kaki dengan presentase sebesar 97.39% (Gambar 6). Hasil ini sesuai dengan penelitian Ardhani (2013) dan Setiawan (2013) yang juga menemukan M. gallinae di regio dada dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan struktur bulu di regio ini yang berlapis-lapis, halus, dan tebal sehingga memudahkan kutu untuk berlindung dari ancaman luar, seperti patukan. M.gallinae akan menyebar ke kulit ketika infestasi kutu meningkat pada
14 bulu di regio dada sampai kaki. Kutu ini jarang berada di kulit, seperti Menacanthus stramineus (chicken body louse), namun tersebar merata di regio dada–kaki serta punggung (Price dan Graham 1997). L. caponis (Gambar 4) ditemukan pada tubuh ayam dengan persentase sebesar 20.57% (Tabel 2). Kutu ini merupakan jenis kutu yang paling sering ditemukan selain M. gallinae pada tubuh ayam (Sychra 2008). L. caponis (wing louse) sering ditemukan pada bulu di regio sayap. Penelitian ini menunjukkan bahwa kutu ini dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh ayam. L. caponis ditemukan dalam jumlah banyak di regio sayap dan ekor. Kutu ini ditemukan dengan persentase sebesar 83.02% pada regio sayap (Gambar 6). L. caponis yang ditemukan di regio ini tampak berwarna gelap, berukuran besar, dan cenderung menempel pada tangkai bulu sayap. Kutu ini juga sering ditemukan di bawah bulu sayap yang besar. G. dissimilis (Gambar 5) merupakan kutu yang sering ditemukan dalam jumlah kecil pada tubuh ayam (Aldemir 2004). Kutu ini ditemukan dengan persentase sebesar 2.29% (Tabel 2) dari tubuh ayam. G. dissimilis dapat terlihat di seluruh permukaan tubuh walaupun, jumlahnya sangat kecil. Kutu ini paling banyak ditemukan pada regio punggung sebesar 7.14% (Gambar 6) dan dalam jumlah kecil di regio lain. Hal ini diduga berkaitan dengan kondisi iklim di Indonesia yang tidak sesuai dengan habitat hidup kutu. Kutu ini ditemukan berlimpah pada negara beriklim sedang, seperti Eropa. Perbedaan jumlah kutu yang ditemukan pada regio tubuh ayam berkaitan dengan pertumbuhan bulu pada ayam. Beberapa jenis kutu tidak dapat ditemukan pada ayam yang belum mengalami pertumbuhan bulu sempurna. Pertumbuhan bulu pada ayam dimulai sejak umur satu minggu dan sempurna pada umur empat bulan, sedangkan penelitian ini menggunakan ayam berumur 2–9 bulan. Bulu ayam yang terinfestasi kutu memiliki penampilan seperti moth-eaten (dimakan ngengat) (Durden dan Musserg 1994). Upaya pengendalian yang tepat perlu dilakukan untuk menanggulangi kerugian akibat infestasi kutu. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan sistem manajeman peternakan berupa tindakan sanitasi kandang dan pemberian insektisida. Insektisida digunakan untuk mengendalikan ektoparasit dengan cara mengganggu siklus hidupnya. Jenis insektisida yang umum digunakan untuk mengurangi jumlah kutu pada ayam adalah sipermetrin. Sipermetrin mampu mengendalikan kutu pada tubuh ayam dengan konsentrasi rendah. Penggunaan insektisida pada ayam dapat dilakukan dengan metode spraying, dipping, dan dustbathing. Metode yang paling efisien digunakan adalah spraying (penyemprotan) karena peternak dapat langsung mengaplikasikannya pada bagian tubuh ayam yang terdapat kutu.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Prevalensi kutu yang ditemukan di beberapa pasar Kota Bogor adalah 50%. Jenis kutu yang ditemukan sebanyak tiga jenis, yaitu Menopon gallinae (77.14%),
15 Lipeurus caponis (20.57%), dan Goniodes dissimilis (2.29%). Ketiga jenis kutu tersebut ditemukan pada regio kepala–leher (22%), punggung (20%), dada–kaki (33%), sayap (15%), dan ekor (10%). Jenis kutu yang mendominasi adalah M. gallinae pada regio dada–kaki (97.39%).
Saran Masalah infestasi kutu pada ayam buras perlu mendapat perhatian meskipun kerugian yang ditimbulkan belum dirasakan banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA Aldemir OS, 2004. Kars Iÿlinde Tavuklarda Bulunan Ektoparazitler.Türkiye Parazitol Derg. 28 : 154–157 (in Turkish). Alfahriani. 2003. Tanggap kebal terhadap virus Newcastle Disease dalam hubungannya dengan bobot badan pada ayam Kampung tanpa vaksin di desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ardhani WN. 2013. Efektivitas aplikasi insektisida Sipermetrin terhadap kutu ayam petelur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bains BS. 1979. A Manual Poultry Disease. New York (US): Roche. Borror DJ, Triplehorn CA, Jhonson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pres. Cahyono B. 2000. Ayam Buras Pedaging. Jakarta(ID): Trubus Agriwidya. Clay T. 1970. The Ambycera (Phthiraptera: Insecta). Bull Br Mus Nat Hist Entomol. 25: 73–98. Cohens, Greenwood MT, Fowler JA. 1991. The louse Trinoton anserinum (Amblycera : Phthiraptera), an intermediate host of Sarconema eurycerca (Filarioidea :Nematoda), a heartworm of swans. Med Vet Entomol. 5: 101– 110. Corwin RM, Nahm J. 1997. Veterinary parasitology. University of Missouri Extension [Internet]. [diunduh 2013 Juni 18]. Tersedia pada : http://www. parasitology.org Durden LA, Musserg GG. 1994. The mammalian hosts of the sucking lice (Anoplura) of the world: a host parasite list. Bull Soc Vector Ecol. 19:130168. Gordon RF. 1977. Poultry Diseases. London (GB): Bailliere & Tindall. Hadi UK, Rusli VL. 2006. Infestasi caplak anjing Rhipicepphalus sanguineus (Parasitiformis : Ixodidae) di daerah kota Bogor. J Med Vet Indones. 10(2): 55–60. Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit : Pengendalian, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr. 11–16. Hinkle N. 1996. Insects and pests on poultry. Extension Service Series [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 20]. Tersedia pada: http://www.unl.edu
16 Iskandar S, Juarini E, Zainudin D, Resnawaty H, Wibowo B, Sumanto. 1993. Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak Ciawi. Kettle DS. 1985. Medical and Veterinary Entomology. New York (US): J Wiley. Kurnia Y. 2011. Morfometrik ayam Sentul, Kampung, dan Kedu pada fase pertumbuhan dari umur 1–12 minggu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lancaster JL. Jr, MV Meich. 1986. Arthropods in Livestock and Poultry Production. New York (US): Halsted Pr. Marshall AG. 1981. The Ecology of Ectoparasitic Insects. London (GB): Academic Pr. Mccrea B, Jeffrey JS, Ernst RA, Gerry AC. 2005. Common lice and mites of poultry : Identification and treatment. ANR [Internet]. [diunduh 2013 Juni 18]; 8162: California (US). Tersedia pada: http://anrcatalog.ucdavis.edu Mullen GR, Durden LA. 2002. Medical and Veterinary Entomology. London (GB): Academic Pr. 557. Mulyono RH, Pangestu RB. 1996. Analsis statistik ukuran–ukuran tubuh dan analisis karakteristik genetik eksternal pada ayam Kampung, Pelung, dan Kedu. Seminar Hasil–hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor. 17–21. Njunga GR. 2003. Ecto– and haemoparasites of chickens in Malawi with emphasis on the effects of the chicken louse, Menacanthus cornutus [tesis]. Copenhagen (DK): Royal Veterinary and Agriculture University. Pickworth LC, Morishita TY. 2005. Common external ectoparasite in poultry : lice and mite. Extension Factsheet [Internet]. [diunduh 2013 Juni 18].Tersedia pada:http://ohioline.osu.edu Price EO. 2002. Animal Domestication and Behavior. London (GB): CAB International. Price MA, Graham OH. 1997. Chewing and Sucking Lice as Parsites of Mammals and Birds. Agri Res Serv. 18-25, 36-47. Sastrodihardjo, Resnawati H. 1999. Inseminasi Buatan pada Ayam Buras. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Setiawan YY. 2013. Efektivitas Sipermetrin terhadap kutu Menopon gallinae dengan metode penyemprotan pada ayam petelur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals. Ed7. London (GB): Bailliere & Tindall. Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW.1968. Elements of Zoology. Ed3. New York (US): McGraw–Hill. Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sychra O, Harmat P, Literák I. 2008. Chewing lice (Phthiraptera) on chicken (Gallus gallus) from backyard flocks in the eastern part of the Czech Republic. Vet Parasitol. 152: 344–348. Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2013. Veterinary Parasitology. Ed3. London (GB): Blackwell Science. Wall R, Shearer D. 1997. Veterinary Entomology : Arthropoda Ectoparasites of Veterinary Importance. London (GB): Chapman & Hall. 296, 301.
17 Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary ectoparasites: biology. In: Pathology and Control. Ed2.London (GB): Blackwell Science. 304. Wana PW. 2001. Sebaran kutu (Menoponidae : Menopon dan Philopteridae: Goniodes) pada beberapa bagian tubuh ayam Kampung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
18
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Merauke pada tanggal 3 September 1990 dan menjadi anak pertama dari pasangan Sugiyarto dan Annita Tenau. Saat ini penulis bertempat tinggal di Babakan Lio Wisma Mobster, Dramaga Bogor. Pendidikan formal Penulis dimulai dari sekolah dasar, yaitu SD Negeri 1 Meraukedan lulus pada tahun 2002. Pendidikan dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Merauke dan lulus pada tahun 2005 lalu menyelesaikan pendidikan SMA di SMANegeri 1 Merauke pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif di Himpunan profesi Ruminansia, Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2009–2010, IMAKAHI cabang FKH IPB, STERIL, Playground Teater IPB, dan ENJUKU Teater serta aktif sebagai Petugas Pemeriksa Hewan Kurban tahun 2009, 2010, 2011, 2012. dan 2013.