QIYÂS USHÛLÎ DAN QIYÂS NAHWÎ DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN EPISTEMOLOGIS
TESIS Dimajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister (MA) Dalam Ilmu Agama Islam Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
Disusun oleh:
ABDUL HAMID Nim: 07.2.00.1.13.08.0030 Pembimbing:
Dr. Muhbib, MA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1430 H
LEMBAR PERNYATAAN
Bahwa saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Abdul Hamid
NIM
: 07.02.00.1.13.08.0030
Pekerjaan
: Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Agama
: Islam
Menyatakan bahwa: 1. Tesis yang berjudul “Qiyas Ushuli dan Qiyas Nahwi dalam Perspektif Historis dan Epistemologis” merupakan hasil karya saya yang digunakan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua (Magister) di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar. Jakarta,
Agustus 2009
ABDUL HAMID
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah memeriksa dan mengadakan perbaikan seperlunya atas tesis yang berjudul “Qiyâs Ushûlî dan Qiyâs Nahw dalam Perspektif Historis dan Epistemologis” oleh saudara Abdul Hamid, NIM. 07.02.00.1.13.08.0030, Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, maka kami dapat menyetujui untuk diajukan dalam ujian tesis.
Jakarta,
Agustus 2009
Pembimbing,
Dr. Muhbib, MA
iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI
Tesis atas nama Abdul Hamid (NIM. 07.2.00.1.13.08.0030) dengan judul “QIYÂS USHÛLÎ DAN QIYÂS NAHWÎ DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN EPISTEMOLOGIS” telah lulus dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 29 Agustus 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis. TIM PENGUJI :
Ketua Sidang / Penguji,
Pembimbing / Penguji,
Dr. Udjang Tholib, MA
Dr. Muhbib, MA
Penguji,
Penguji,
Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, MA
Dr. H. A. Sayuti Anshori Nasution, MA
iv
ABSTRAK
ABDUL HAMID. QIYÂS USHÛLI DAN QIYÂS NAHW DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN EPISTEMOLOGIS. Tesis. Jakarta: Program Studi Kajian Islam, Pendidikan Bahasa Arab, Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri ( UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2009. Tesis ini membuktikan bahwa qiyâs, baik yang ada pada ilmu ushûl al-fiqh maupun yang ada pada ilmu nahw mempunyai asal usulnya dalam kebudayaan Arab. Kesimpulan ini berbeda dengan pandangan Joseph Schacht yang mengatakan bahwa qiyâs yang ada dalam fiqh berasal dari konsep tafsir Bibel dalam agama Yahudi. Kesimpulan ini juga berbeda dengan pandangan de Boer yang mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw berasal dari filsafat Yunani. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa qiyâs dengan bebagai maknanya telah dipergunakan dalam bahasa dan kebudayaan Arab sebelum kedatangan Islam. Sesungguhnya qiyâs yang ada dalam ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw berasal dari ra’y yang karena tuntutan kebutuhan dan desakan sosial, berkembang menjadi lebih sistematis. Persamaan-persaman yang ada antara qiyâs ushûli dan qiyâs nahwi menunjukkan bahwa keduanya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Penyebab lainnya adalah karena keduanya bersumber dari epistemology yang sama, yaitu epistemologi bayâni yang salah satu cirinya adalah adanya konsep ashl dan far’, mengembalikan status hukum kasus baru dengan cara menerapkan ketentuan hukum dari kasus yang telah ada ketentuannya, karena keduanya memiliki titik kesamaan tertentu, yang dalam istilah teknisnya disebut ‘illat. Ini merupakan prinsip utama dalam qiyâs. Materi kata qiyas memang tidak terdapat dalam kedua sumber utama ajaran Islam. Tetapi kata atau ungkapan yang memiliki gagasan yang sama dengan qiyas banyak ditemukan pada kedua sumber utama tersebut. Misalnya kata I’tabara mempunyai makna atau gagasan yang kurang lebih sama dengan kata qiyas, yaitu melakukan perbandingan antara dua hal dan mengambil pelajaran dari perbandingan tersebut. Demikian pula kata nazara yang mempunyai makna yang kurang lebih sebanding dengan qiyas. Pada sunnah terdapat peryataan yang bersifat perbandingan. Ketika Rasul diminta pendapatnya tentang kebolehan menyelenggarakan ibadah haji atas nama orang yang telah meninggal. Rasul membandingkan hal tersebut dengan kebolehan membayar hutang. Ra’y merupakan cara penalaran alamiah yang dimiliki oleh semua bangsa, tidak dikhususkan kepada masyarakat tertentu. Dalam tahap perkembangannya ra’y berkembang kearah yang semakin sistematis. Secara berurutan menurut tahap perkembanganya dan tingkat kesistematisannya dapat di susun dengan susunan ra’y, istihsan dan qiyas. Hal ini menunjukkan bahwa qiyas berasal dari ra’y juga. Sumber-sumber yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku tentang ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw, seperti al-Risalah, karya al-Syafi’i, alKitab, karya Sîbawaih dan buku-buku lain yang relevan dengan penelitian ini. Data dianalis secara kritis dengan pendekatan sejarah.
v
ABSTRACT
ABDUL HAMID. Qiyâs Ushûlî and Qiyâs Nahwî in Historical and Epistemologies Perspective. Thesis Jakarta: Islamic Studies Program, Arabic Language Education, UIN Syarif Hidayatullah, 2009. The result of the thesis proves that qiyas (analogy), either on the science of Usul al-fiqh (principle of Islamic law) or in nahw has its origins in the Arabic culture. The result of this research refuses Joseph Schacht’s opinion. Schacht stated that the existing qiyas (analogy) in fiqh (Islamic law) derived from the concept of Biblical exegesis in the Jewish religion. And also refuses de Boer’s opinion too; he stated that qiyas (analogy) in nahw sciences comes from Greek philosophy. The results of the research analysis shows that the kinds of meaning qiyas been used in the Arabic language and culture before the arrival of Islam. Indeed qiyas is in usul al-fiqh (principle of Islamic law) and usul al-nahw (principle of nahw) came from ra'y that needs and demands of social pressure, developed into more systematic. The equations that exists between qiyas ushuli and qiyas nahwi show both are mutually affect one each other. Other causes, both are derived from the same epistemology, it is bayâni epistemology while one of its characteristic is the existence of the concept far and ashl ', restore the legal status of new cases by applying the legal provisions of the existing cases of its provisions, because they have certain common points, which called 'illat. This is the main principle in qiyas. Perhaps the words material of qiyas do not found in two main sources of Islamic concept. But the words or phrases that have the same idea with qiyas, were found in that two main sources above. For example, the word “I’tabara” has the same meanings with qiyas that makes a comparison between two things then take a conclusion. Similarly with “nazara” that have the same meaning with qiyas, like sunnah have the same statement. When the messenger was asked his opinion about the permissibility of pilgrimage on behalf of people who have died, He compares it with the permissibility of paying debt. Ra'y is a natural way of reasoning that possessed all nations, not devote to a particular community. According to its development, ra’y developed to high level systematic, that can be rank such as ra’y, istihsan dan qiyas. This condition indicates that qiyas cames from ra’y. The primary resources analyzed on this research is books of principle of Islamic law (ushul fiqh) and ushul al-nahw such as al-Risalah written by alSyafi’i, al-Kitâb written by Sîbawaihi and other books that relevant to this research. The data released critically based on historical approach.
vi
ا ا
،ا س ا وا س اى ار ا ر ا .ا " (%ا ،" $.آ +, ، &%ا را( ت ا)(' " " %& ،ا"#$ ا :" %.آ " $ا را( ت ا 3%4 ". $.ه ا" ا 1ا)(' " ا.٢٠٠٩ " 0 & "< A BCه@ا ا $ ? $أن $س = < ل +$أل ا 89وا @را وأ " = ا "= Cا ." %.ورد ه@ا ا B4 3( 8 , Dأن ا س = أل ا 9 89ه % 9& +ا 0ب ) = (Bibelا "Aا Iد" .وآ@ Jرد 8 , د ) (de Boerأن ا س = ا ا "9$9ا ." A A و& ل "< Aا $ ? $أن ا س I A . ?0ا" آ = " BA ا "#$وا "= Cا ?, " %.ا)('م .إن ا س = أل ا 89وا ا%أي ا@ى آ ن $Nت وا Oت ا " &Nر &Nرا .ا 8 Pا س ا وا دل . Q. IQ. %RS& $و IAا وا Oوه ا A IVW VXود I9م ا? وا%9ع وه رد +0Oا? ا@ى $ 80O TA , ا%9ع ا@ى 80O $ T +وا& = Iا ."$.وه@ا أ? أ( ( = ا س. Y9ا س 0 +دا = Vري ا)('م ا( (
.و +0ا "$0أو ا .رة ا و" ا .س & آ% Cا = ذ Jا Vر ا( (
Y9 ?C ، "ا . 8 "%و س .و= ا" ،رة ]$^ " ( ,ا(%ل رأ8 أن از أداء دة ا aا 8( , Bا(%ل <از أداء ا . ا%أي %Aة ^ c < " .ا . c< T +وN& 8&bPA "$O%ر &< N& dر .+وا0 ] &%ن &Nر ا%أي و& $ ]&% 8ا ا : ا%أي وا)( ن وا س .وه ل $أن ا س ا%أي. ا Vدر ا " = ه@ا ا ? $ه ا ]0اb "$.ل ا 89وا، آ %ا( " ،.= P$وا 0ب ،8وا ]0ا%Xى ا (" @Iا ا?$O +R .? $ & J$ا Vدر & ?X & ' $ا ر.
vii
KATA PENGANTAR + O% اO% ا1 ا+ A ( $ 'ة وا'مV وا.+ إ ا اA 4 وأر،+ اط ا%V اA ا@ي ه ا،+ . ا$. ا1 أ .ام%0 ا8 وأ8f $ و،+%0 ا ا،+( أ ا Segala puji dan syukur hamba panjatkan kehadirat Allah SWT Rab al‘Alamin. Dia-lah yang telah memberi potensi-potensi kecerdasan, pemberi rizki, pemotivasi jiwa. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan tesis dengan judul “Qiyas Ushuli dan Qiyas Nahwi dalam Perspektif Historis dan Epistemologis” dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, guna meraih gelar Magister Agama pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Bapak Menteri Agama RI, Kepala Kantor Wilayah Depertemen Agama Provinsi Riau, dan Kepala Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan, Pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam (S. T. A. I) Tembilahan, penulis sampaikan terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk belajar di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, guna peningkatan SDM dan profesionalitas penulis. Kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fu’ad Jabali, MA, dan Dr. Udjang Thalib, MA selaku Direktur dan Deputi Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh staf pengajarnya,
penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas perhatian dan
motivasinya. Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Pembimbing, yaitu Dr. Muhbib,MA atas diskusi dan bimbingannya di sela-sela kesibukan beliau sebagai dosen tetap Fakultas Pendidikan Bahasa
viii
Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas al-irsyâdât, dan al-isyrâf yang intens dari beliau, penulis memperoleh berbagai disiplin ilmu yang belum penulis dapatkan sebelumnya. Dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Pimpinan dan seluruh jajaran pengasuh Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan Riau, yang telah memberikan motivasi, dan tak lupa ucapan terima kasih yang tulus kepada teman- teman tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan atas persahabatannya yang hangat. Di samping itu juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya yang baik dan ramah dalam bentuk peminjaman buku-buku maupun foto copy data-data yang penulis butuhkan, semoga bantuannya mendapatkan balasan dari Allah swt. Kepada Ayahanda H. Jamaluddin Siddiq (alm), Ibunda Hamisah, Terima kasih telah membesarkan ananda dengan semangat keilmuan meskipun tanpa kekayaan. Ayahanda Ibrahim dan Ibunda Nurjannah (mertua), terima kasih atas bantuannya karena menjadi ikut direpotkan dengan kehadiran cucu, motivasi dan do’anya selama penulis menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Kepada sahabat-sahabatku pada program beasiswa Departemen Agama angkatan 2007 dari PBA dan PAI di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang selalu memberikan semangat dan waktu berdiskusi untuk segera menyelesaikan Program Magister terutama dalam penulisan Tesis ini. Dan, semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu. Wa bi al khusus, ucapan terima kasih yang paling dalam dan tulus yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta, Dewiana, S. Ag yang telah menanggung beban berat mengambil alih beban membiayai dan mengasuh dua buah hati kita. Mawaddah (4 th) dan Najwa Izzati (1,5 th) maafkan ayah yang tidak bisa mendampingi kalian dan tidak sempat memberikan kasih sayang untuk
ix
kalian pada saat kalian mebutuhkan hal tersebut. Khusus kepada ananda tercinta, Muhammad Najatullah al-Shiddiqi ( saudara kembar Najwa Izzati, wafat dalam usia tiga bulan), maafkan ayahmu yang tidak sempat menyaksikan wajah terakhirmu pada pada saat engkau menghadap Ilahi. Akhir kata, semoga Tesis ini dengan segala keterbatasannya dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis, khsususnya dan para pembaca pada umumnya sehingga menjadi amal jariyah yang tiada akan terputus, dan menambah wawasan keilmuan dalam khazanah masyarakat ilmiah. Amin.
Jakarta,
Agustus 2009
Penulis
ABDUL H AMID
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB - LATIN Pedoman transliterasi Arab - Latin yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah: A. Konsonan Huruf Arab
ا
ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و هـ & ء ي
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Alîf Bâ’ Ta’
B, b T, t
Tidak dilambangkan Be Te
Tsâ’
Ts, ts
Te dan es
Jîm Hâ’ Kha’
J, j H, h Kh, kh
Je Ha (dengan garis di bawah) Ka dan ha
Dâl Dzâl Râ’
D, d Dz, dz R, r
De De dan zet Er
Zây Sîn Syîn
Z, z S, s Sy, sy
Zet Es Es dan ye
Shâd Dhâd Thâ’
SH s D, d T, t
SH dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah
Zhâ’ ‘Ain Ghain Fâ’
Z, z ‘ Gh, gh F, f
zet dengan garis di bawah koma terbalik di atas Ge dan ha Ef
Qâf
Q, q
Ki
Kâf Lâm
K, k L, l
Ka El
Mîm
M, m
Em
Nûn Wâw
n, n w, w
En We
hâ’
h, h
Ha
lâm alîf Hamzah
Lâ, lâ ˏ
el dan a apostrof
yâ’
y, y
Ye
xi
B. Vokal 1. Vokal Tunggal
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
َ
Fathah
a
a
ِ
Kasrah
i
І
ُ
Dammah
u
u
2. Vokal Rangkap Tanda
Nama
Gabungan Huruf
Nama
َ ى...
Fathah dan yâ’
ai
a dan i
َ و...
Fathah dan wâw
au
a dan u
Contoh:
./01
: Husain
ل21
xii
: Haula
D. Tâ’ Marbûthah
Tâ’ Marbûthah yang dipakai di sini dimatikan atau diberi harakat sukûn, dan transliterasinya adalah /h/. Kalau kata yang berakhir dengan tâ’ marbûthah diikuti oleh kata yang bersandang /al/, maka kedua kata itu dipisah dan tâ’ marbûthah ditransliterasikan dengan /h/. Contoh: 3 7ّ56 ا3ّ56 ا: al-Makkah al-Mukarramah E. Syaddah
Syaddah/tasydîd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bersyiddah itu. Contoh:
89ّـ:ر
<;ّل
: rabbanâ
: nazzal
F. Kata Sandang
Kata sandang “ ” اـdilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya, jika diikuti huruf syamsiyah dan huruf qamariyah maka ditulis “al” Contoh:
=6>ا
76?ا
: al-syams
xiii
: al-qamar
DAFTAR SINGKATAN
Cet.
: Cetakan
dkk.
: dan kawan-kawan
H.
: Tahun Hijriyah
h.
: Halaman
H.R
: Hadis Riwayat
j.
: Jilid
j.
: Juz
M.
: Tahun Masehi
QS.
: al-Quran Surat
ra.
: Raḍiya Allâh ’anḥu
saw.
: Sallallâḥ ‘Alaiḥi wa Sallam
swt.
: Subhânahu wa Ta‘âla
t.th.
: Tanpa tahun
t.tp.
: Tanpa tempat penerbit
tp.
: Tanpa penerbit
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
SURAT PERNYATAAN ..................................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii PERSETUJUAN TIM PENGUJI ....................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................
v
ABSTRACT ....................................................................................................... vii D اT$ .......................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ....................................................................................... xi PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... xiii DAFTAR ISI ....................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................
1
B. Identifikasi dan Rumusan masalah ........................................................ 13 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 14 D. Signifikansi Penelitian ........................................................................... 14 E. Kajian Terdahulu yang Relevan ............................................................. 15 F. Metode Penelitian ................................................................................... 17 1. Sumber Data ..................................................................................... 17 2. Pendekatan ....................................................................................... 18 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data .......................................... 18 G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 19
BAB II ORISINALITAS ILMU KEISLAMAN A. Klasifikasi Ilmu ...................................................................................... 21 B. Hubungan Fiqh dengan Bahasa Arab ..................................................... 30 C. Budaya Ilmiah Bangsa Arab Sebelum dan Setelah Kedatangan Islam ..... 42
xv
BAB III QIYÂS: AWAL MULA DAN PERKEMBANGANNYA A. Qiyâs dalam Bahasa Arab ...................................................................... 47 B. Qiyâs dalam Ushûl al-Fiqh .................................................................... 50 C. Qiyâs Nahw ............................................................................................ 87
BAB IV STRUKTUR QIYÂS A. Ushul al-Fiqh .......................................................................................... 102 1. Kasus ‘Ashl ....................................................................................... 102 2. Kasus Cabang ................................................................................... 120 3. ’Ilat .................................................................................................... 127 B . Ushûl al-Nahw ........................................................................................ 148 1. Ashl .................................................................................................... 148 2. Hukum ................................................................................................ 155 3. ’Illat .................................................................................................... 157
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 162 A. Kesimpulan ............................................................................................ 162 B. Saran........................................................................................................ 163
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 165 LAMPIRAN
xvi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah Istilah qiyâs dipergunakan dalam dua bidang ilmu keislaman yang berbeda yaitu ilmu ushȗl al-fiqh dan ilmu ushȗl al-nahw. Dalam ushȗl al-fiqh, qiyâs ditempatkan pada posisi ke empat dari urutan dalil hukum, al-Qur’ân, sunnah, Ijma’ dan Qiyâs. Dalam teori hukum Islam, qiyâs lahir paling belakang. Ia dianggap sebagai prinsip, dasar atau sumber hukum yang ke empat, seperti sumber-sumber lainnya. Sebenarnya qiyâs adalah salah satu cara ijtihad dan bukan sebagai sumber hukum seperti yang digambarkan oleh ke empat perangkat teori hukum di atas.1 Alasannya adalah ia bukan hujjah (otoritas) dan bukan pula sumber yang berdiri sendiri. Ia merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk untuk mengungkap ketetapan hukum. Ia sepenuhnya bergantung pada sumber hukum yang lain, baik al-Qur’ân maupun sunnah. Terkadang ia didasarkan pada Ijma’, yang juga mencari dukungan pada kedua sumber tersebut. Dengan demikian semua sumber tersebut saling terkait dan pada dasarnya merujuk pada satu sumber, yaitu al-Qur’ân. Sedangkan fungsi qiyâs dalam ushul al- fiqh untuk memperluas hukum yang terdapat dalam al-Qur’ân dan sunnah. Karena tidak semua persoalan yang terjadi ada penjelasannya secara tekstual didalam al-Qur’ân dan sunnah. Hampir sama dengan qiyâs yang ada di dalam ushûl al-fiqh, qiyâs dalam ushûl al-nahw, ditempatkan pada posisi ketiga dalam deretan urutan dalil dalam cabang ilmu ini, yaitu al-sama’ atau al-riwâyah, ijma’ dan qiyâs. Fungsi qiyâs dalam ushûl al-nahw untuk memperluas kalam Arab dengan cara mengqiyaskan pada pola bahasa yang ada.
1
Para ahli ushul al-fiqh membedakan antara dalil dan sumber hukum. Sumber merupakan wadah yang darinya hokum diambil. Sedangkan dalil hanya merupakan petunjuk dimana letak keberadaan hukum. Dengan demikian al-Qur’an dan sunnah dapat disebur dengan sumber sekaligus dalil, sedangkan ijma’ dan qiyâs hanya dapat disebut dalil. Penjelasan lebih lanjut lihat Muhammad Hasyim Kamali, The Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991), h. 30.
1
2
Beralih ke struktur2 qiyâs, kedua jenis qiyâs tersebut mempunyai banyak persamaan. Menurut al-Âmidî, dengan mengutip pendapat Abu Husain al-Bashri, mengemukakan definisi qiyâs sebagai “penerapan hukum ashl kepada far’ karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya”.3 Sedangkan dalam ilmu ushûl al-nahw, Ibn Anbari (w. 557 H) mendefinisikan qiyâs sebagai “membawa (haml) far’” kepada asl karena ada ‘illat dan memberlakukan hukm asl kepada cabang tersebut.4 Dengan kata lain ketetapan hukum bagi kasus cabang (far’) didasarkan pada ketetapan hukum kasus pokok (ashl) karena ada sifat yang menghubungkan (wasf jâmi’) antara keduanya. Dengan membandingkan dua pengertian qiyâs di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok pembentuk qiyâs terdiri dari ashl, far’, hukm ashl dan ‘illat. Ini memperlihatkan ada kesamaan antara dua jenis qiyâs tersebut, yakni qiyâs dalam ushul al-fiqh dan qiyâs dalam ushul al-nahw. Persamaan lain dapat ditemukan ketika membandingkan macam-macam qiyâs dan cara-cara mencari ‘illat (masâlik al-‘illah). Sejumlah besar persamaan dapat ditemukan. Dari sekian banyak kesamaan tersebut timbul pertanyaan apakah salah satu dari kedu jenis qiyâs tersebut dipengaruhi atau disalin dari lainnya? Terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli dalam mejawab persoalan ini. Ali Syâmi al- Nassyâr berpendapat bahwa qiyâs yang ada pada ilmu nahw dipengaruhi oleh qiyâs dalam ushȗl al-fiqh.5 Alasannya adalah bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh lebih sistematis dibanding dengan qiyâs yang ada dalam ilmu nahw (ushul al-nahw). Menurut penulis alasan ini tidak cukup untuk membuktikan hal tersebut. Harus ada bukti kongkrit yang menunjukkan bahwa qiyâs dalam nahw dipengaruhi oleh qiyâs dalam ushûl al-fiqh.
2
Struktur merupakan unsur-unsur pokok pembentuk qiyâs seperti kasus asal, kasus cabang, hukum asl dan ‘illat (kausa). Lihat Ahmad Hasan, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence, (Delhi: Adam Publishers and Distributors,1994), h. 10. 3 Saifuddin Abi Hasan al-Âmidî, Al-Ihkâm fȋ al-Ushȗl al-Ahkâm, (Beirut: Dȃr al-Fikr, 2003), juz II, h. 126. 4 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’ al-Adillah, (ttp, 1988), h. 93. Bandingkan dengan Said al-Afghâni, Fȋ Ushûl al-Nahwî, (Beirut: Al-Maktab Al-Islȃmi, 1987), h. 78. 5 Ali Syami al-Nassyar, Manâhij al-Bahs ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, (Iskandariah: Dȃr alFikr al-Arabî), 1947, h. 27.
3
Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap ilmu nahw sesungguhnya tidak hanya terbatas di seputar qiyâs, tetapi bahkan hampir keseluruh bangunan qiyâs. Para ahli ilmu nahw (nuhât) mengakui bahwa mereka mengambil prinsip-prinsip ilmu mereka dari ushȗl al-fiqh Abu Hanîfah. Ibn Jinnî (w. 392 H) pernah berkata bahwa para ahli nahw mengambil konsep tentang ‘illat dari kitab Muhammad ibn Hasan al-Syaibânî yang merupakan salah seorang murid Abu Hanîfah. Tetapi di dalam Khasâisnya, Ibn Jinni mengatakan bahwa qiyâs ahli nahw lebih dekat kepada qiyâs para teolog dibanding dengan ahli fiqh.6 Alasannya menurut Ibn Jinni adalah karena ‘illat dalam nahwu, dalam proses pencarian dan penetapannya sangat dekat dengan cara-cara yang dipakai oleh para teolog dalam menetapakan ‘illat yaitu berdasarkan phenomena yang dapat tertangkap oleh panca indera. Lain halnya dengan proses pencarian ‘illat dalam fiqh. Proses pencariannya seringkali bersifat ta’abbudi, dimana peran akal hampir tidak berfungsi atau kecil sekali, seperti ketika para ahli fiqh menjelaskan hubungan antara tergelincirnya Matahari dengan kewajiban shalat dzuhur. Sesungguhnya yang terjadi adalah saling mempengaruhi antara ushûl alfiqh dengan ushûl al-nahw. Pada tahap awal perkembangannya ilmu ushûl al-Fiqh dipengaruhi oleh ilmu nahwu, khususnya berkaitan dengan pemikiran tentang ashl dan far’ yang merupakan prinsip dalam qiyas. Pada masa yang lebih terkemudian, ilmu ushûl al-fiqh berkembang lebih cepat dari pada ilmu bahasa dan menjadi cabang ilmu yang berdiri sendiri. Pada tahap ini giliran ilmu bahasa yang dipengaruhi oleh ilmu ushûl al-fiqh, khususnya yang berkaiatan dengan struktur dalil dalam ilmu nahwu, banyak dipengaruhi oleh struktur dalil dalam ushûl alfiqh. Buku-buku yang mengulas tentang biografi para ahli nahw menyebutkan bahwa ‘Abdullah ibn Ishaq al-Hadramî (w. 117 H) adalah orang yang mula-mula merumuskan nahw, menetapkan qiyȃs, dan menjelaskan kausa (‘illat) dan sangat teliti dalam mengupas qiyȃs. Juga di jelaskan bahwa al-Khalȋl ibn Ahmad alFarâhîdî (w. 175 H) berindak mengoreksi qiyȃs dan merumuskan masalah6
Abu al-Fath Utsmân ibn Jinnî, Al-khasâis, (Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1982), juz l I, h. 123.
4
masalah nahw dari kausanya.7 Sedangkan Sîbawaih (w. 180 H), dari buku yang ditulisnya al-Kitab terlihat bahwa qiyâs dalam nahw pada masa hidupnya telah menjadi alat untuk berfikir, untuk menghasilkan produk teoritis dalam wilayah konstruksi kata (nahw). Dengan demikian pada tahap yang masih sangat awal ini, yaitu sebelum al-Syâfi’i menulis kitab al-Risalah, qiyâs dalam nahw telah melampaui tujuan asalnya dari hanya sekedar memperluas perkataan orang Arab, menjadi sebuah keniscayaan-keniscayaan kognitif yang tidak diambil dari perkataan orang Arab atau dari instink Arab. Dalam buku-buku biografi para ahli nahw juga disebutkan bahwa Muhammad ibn al-Mustanbar yang terkenal di daerah Qutrub (w. 204 H) yang tidak lain adalah murid Sîbawaih, menulis buku yang berjudul al-‘illal fi alNahw. Setelah itu muncul beberapa buku yang mengulas tentang ‘illah dan qiyȃs al-nahwiyyah kemudian disusul buku-buku tentang metode nahw yang mencapai puncaknya pada Ibn Anbari yang menulis buku Luma’ al-Adillah, al-Inshȃf fi Masȃil al-Khilȃf. Penting untuk dicatat bahwa Ibn Sarrâj (w. 316 H) menulis buku tentang ushul al-nahw dengan judul al-Ushul fi al-Nahw, sebuah karya yang didasarkan pada al-Kitâb Sîbawaih dalam bentuk yang sistematis. Yang menarik untuk dicermati di sini bahwa proses penetapan dan perumusan metode kajian dalam nahw khususnya qiyȃs telah ada sejak al-Syafi’i menulis al-Risȃlahnya dalam bidang Ushȗl al-Fiqh, sehingga memunculkan pertanyaan, siapakah yang lebih dahulu merumuskan qiyȃs ? ahli nahw atau ahli fiqh. Sulit untuk memberikan jawaban pasti. Namun sumber- sumber yang ada menunjukkan bahwa ahli nahw secara umum adalah lebih dahulu melakukan qiyȃs secara sistematis. Sebab, jika fiqh untuk pertama kalinya dibangun berdasarkan naql (al-Qur’ȃn dan sunnah), maka nahw sejak semula dibangun berdasarkan qiyȃs. Secara definitif nahw adalah ilmu tentang standar penilaian yang di induksi (istiqra’) dari perkataan orang Arab. Atau seperti yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i bahwa bahwa nahw adalah qiyȃs yang di ikuti (qiyâs
7
Muhammad ‘Abd al-Karȋm, Al-Wasȋt fȋ Tarȋkh al-Nahw al-‘Arabȋ, (Riyȃdh: Dȃr al-Sawȃf, 1992), h.49, Muhammad Thantȃwi, Nasy’ah al-Nahw, (Dȃr al- Manȃr, 1991) h. 46. Syauqi Dhaif, Al-Madȃris al- Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma’rif, 1976), h. 23.
5
yuttaba’).8 Sama halnya jika di tetapkan awal perumusan nahw dikembalikan kepada Abu al- Aswad al-Du’ali (w. 67 H) yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama merumuskan ilmu nahw atau kepada ‘Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadramî dimana para ahli nahw sepakat bahwa dia orang yang mengkaji nahw secara metodik dan mempraktikkan qiyȃs, namun harus diakui bahwa para ahli nahw dari segi waktu, telah lebih dahulu mempraktikkan qiyȃs secara metodik.9 Terlepas dari persoalan siapa yang lebih dahulu, dari sumber yang ada terlihat jelas bahwa para ahli nahw menyalin perangkat-perangkat konsepsional dan metodis mereka dari para teolog dan ulama’ ushȗl al-fiqh. Hal ini berlangsung sejak mereka mulai melakukan teoritisasi wacana nahw hingga filsafat nahw mencapai puncaknya. Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap nahw sangat nyata pada Ibn Anbari dan al-Sayûti. Di dalam bukunya (Luma’al-Adillah), Ibn Anbari menyebutkan bahwa ilmu ushûl al-nahw sama seperti ilmu ushȗl al-fiqh. Ia merumuskan bab-bab untuk qiyâs berikut pembagiannya sama seperti susunan yang ada dalam bukubuku ushȗl al-fiqh. Al-Sayȗti di dalam bukunya (Al-Iqtirâh) menyebutkan kesamaan antara ilmu ushȗl al- fiqh dengan ilmu ushûl al-nahw, menyusun babbab bukunya seperti susunan yang ada dalam ilmu ushȗl al-fiqh dan membagi qiyȃs menjadi qiyâs ‘illat, qiyâs syabah dan qiyâs thard. Sama seperti yang ada di dalam ushûl al-fiqh.10 Contoh lain yang menunjukkan dipengaruhinya ilmu nahw oleh ushûl alfiqh, dipakainya konsep ushȗl al-fiqh dalam ilmu nahw. Ketika mendiskusikan dua kata kerja (fi’il) yang dimana para ahli ilmu nahw berbeda pendapat tentang apakah keduanya termasuk kata kerja (fi’il) ataukah kata benda (ism). Ibn Anbari (w. 577 H) berpendapat bahwa keduanya adalah kata kerja (fi’il). Selanjutnya ia mengatakan, bukti bahwa ni’ma dan bi’sa adalah kata kerja (fi’il), karena
8
Syauqi Dhaif, Al-Madȃris al-Nahwiyah,(Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1979), h. 176. Bandingkan dengan Khalid Sa’ad, Ushȗl al-Nahw, (Kairo: Maktabah al- Adȃb, 2006) h. 157. 9 Ini dapat dilihat pada buku-buku tentang ushûl nahw seperti Luma’ al-‘Adillah, Kitab alIqtirah dan buku-buku sejenis. 10 Lihat Jalâluddin Abdurrahmân ibn Abi Bakr al-Sayûti, Kitâb al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushûl alNahwî, (Kairo: Al-Jâmiah, 1998), h. 10 dan Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’ alAdillah, (Kairo: Al-Jâmiah, 1998), h. 8
6
keduanya selalu fathah. Seandainya kedua kata itu adalah kata benda (ism), harus dilengkapi bukti pendukung. Prinsip itu didasarkan pada ”istishâb al-hâl”.11 Istishâb merupakan salah satu dalil dalam ushȗl al-fiqh. Dalam penetapan ushul, para ahli nahw secara keseluruhan menyalin konsep ushûl al-fiqh. Hal ini terjadi tidak hanya pada tingkat istilah dan klasifikasi, tetapi juga pada tingkat pendasaran dan struktur. Sejauh pengetahuan penulis, Ibn Anbari (w. 557 H) adalah orang yang menyalin secara utuh struktur umum ushûl al-fiqh dan menetapkannya bagi ushûl al-nahw. Ini terlihat jelas dalam risalah kecilnya yang berjudul Luma’ al-Adillah tersebut. Dalam pengantar buku tersebut tertulis bahwa ushûl al-nahw adalah dalil-dalil nahw yang dari sana lahir cabang dan bagian-bagiannya, sebagaimana ushûl al- fiqh adalah dalil- dalil fiqh yang dari sana lahir totalitas dan detail-detailnya. Manfaat Ushûl al-nahw adalah menjadi sandaran dalam berargumentasi dan kausasi dalam menetapkan hukum dan naik dari derajad taqlid menjadi mampu menetapkan hukum dengan dalil.12Persesuaian antara struktur ushûl al-fiqh dengan ushûl al- nahw tidak hanya terbatas pada tingkat definisi dan tujuan, sebab dalil-dalil nahw juga meminjam dalil-dalil fiqh dan sekaligus mengadopsi persoalan-persoalan dan problematika epistemologisnya. Dengan demikian dalil-dalil nahw secara berurutan ada tiga: alnaql (al-sama’), qiyâs dan istishâb al-hâl, demikian pula istidlâlnya. Yang dimaksud dengan al-naql adalah perkataan orang Arab yang fasih yang ditransmisikan secara valid (sahîh) dengan jumlah jalur periwayatan yang banyak. Dalam hal ini naql ada dua macam: mutawâtir dan âhâd. Naql mutawâtir adalah bahasa Al-Qur’ȃn dan sunnah serta perkataan orang Arab yang ditransmisikan secara mutawâtir. Transmisi mutawâtir dan âhâd ini mempunyai beberapa syarat.13 Sedangkan qiyâs adalah ungkapan yang menunjukkan proses penetapan hukum kasus cabang berdasar hukum ashl. Jika dalam fiqh ada orang yang mengingkari argumentasi qiyâs, tidak demikian halnya dalam nahw, sebab nahw
11
Kamâluddin Abî Barakât ibn Anbari, Al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, (Kairo: Al-Istiqâmah, 1364 H), h. 73. 12 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’ al-Adillah, (Mesir: Al-Jȃmi’ah, 1988) h.81 13 Kamaluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’… h.81-85 bandingkan dengan Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Arabi, (Iskandariah: Dâr al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 2002).
7
secara keseluruhan adalah qiyâs dan siapa yang mengingkari qiyâs berarti mengingkari nahw14 Sebenarnya penolakan terhadap qiyâs dalam nahw juga terjadi namun tidak seluas yang terjadi dalam wilayah fiqh. Dapat dilihat pada pandangan Ibn Madhâ’ yang menolak qiyâs dalam nahw. Dalam karya tersebut selanjutnya diulas macam-macam qiyâs dengan meniru apa yang ada di kalangan ulama’ ushûl al-fiqh. Dengan demikian ada tiga macam qiyâs yaitu qiyâs ‘illah, qiyâs syibh dan qiyâs thard. Yang dimaksud dengan qiyâs ‘illah adalah apabila far’ dipersamakan dengan ashl sebab adanya ‘illah yang menghubungkannya dengan hukum asl, seperti mengqiyaskan nȃib alfȃ’il kepada fȃ’il dengan ‘illat isnâd. Sedangkan qiyâs syibh adalah ketika disamakan far’ dengan ashl karena adanya persamaan (bukan ‘illah) yang menghubungkan far’ dengan ashl. Misalnya i’rabnya fi’il mudhari’ (kata kerja untuk waktu sekarang) yang bersifat khusus setelah sebelumnya bersifat umum karena memiliki kesamaan dengan kata benda (ism) yang bersifat khusus setelah sebelumnya bersifat umum, maka i’rab fi’il itu seperti i’rab kata benda (ism). Sedangkan qiyâs thard adalah ketika ditemukan adanya persamaan hukum namun tidak ada persesuaian (munâsabah) dalam ‘illah. Terhadap jenis qiyâs yang ketiga ini terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahannya. Jelas pada ketiganya terdapat problem yang sama seperti yang tersebar dalam buku-buku fiqh dan ushûl al-fiqh seputar masalah qiyâs dan jenis-jenisnya, sehingga seolah-olah problematika nahw seolah-olah sama dengan problematika ushûl al-fiqh. Lebih lanjut dia juga membahas masalah istihsân dan kontradiksi antara naql dengan naql dan qiyâs dengan qiyâs, setelah itu kembali kepada dalil yang ketiga yaitu istishâb al-hâl yakni berlanjutnya hukum ashl untuk kata benda (ism) dalam keadaan mu’rab, dan berlanjutnya hukum untuk kata kerja (fi’il) dalam keadaan mabnî. Mahmûd Ahmad Nahlah15 dan Âbid al-Jâbiri berpendapat sejalan dengan pandangan di atas. Dengan menggunakan argumen historis al-Jâbiri mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw telah lebih dahulu matang dalam tulisan 14
Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’… h. 82 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl Al-Nahwî al-‘Arabî, (Iskandariah: Dâr al-Ma’rifah alJâmi’iyyah, 2002), h. 25. 15
8
Sîbawaih.16 Sementara qiyâs dalam ushȗl al-fiqh baru menemukan bentuknya yang sistematis ketika al-Syâfi’i merumuskannya dalam tulisan-tulisannya.17 Dan al- Syâfi’i ketika merumuskan tesisnya tentang qiyâs dalam ushȗl al-fiqh tersebut terjadi sekitar penghujung abad kedua hijrah, bahkan mungkin di awal abad ketiga hijrah.18 Jadi dari segi waktu jelas qiyâs dalam ilmu nahw lebih dahulu dirumuskan dan mencapai kematangannya pada saat qiyâs dalam ushûl al-fiqh belum dirumuskan.19 Berbeda dengan al-Jâbiri, Mahmûd Ahmad Nahlah mempunyai argumen lain. Baginya, karena bahasa merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka bahasa hadir terlebih dahulu dibanding ilmu lainnya, termasuk dalam hal ini qiyâs. Istilah dan konsep bahasa sering dipinjam oleh disiplin ilmu lain.20 Riwayat berikut memperlihatkan pengaruh ilmu nahw terhadap ushûl al-fiqh. Seorang ahli fiqh yang bermazhab al-Syâfi’i, Ibn al-Haddâd al-Misrî mengkhususkan satu malam tertentu di dalam seminggu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan fiqh berdasarkan kaidah nahw. Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa Abu Ja’far al-Nahhâs al- Misrȋ tidak pernah absen menghadiri majlis Ibn al-Haddâd tersebut.21 Jamâl al-Dîn al-Isnawi menulis sebuah buku yang berjudul al-Kawâkib al-Durriyyah fȋ al-tanzîl al-furû’ al-fiqhiyyah ‘alâ al-Qawâid al-nahwiyyah. Judul buku tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa ushûl alfiqh dipengaruhi oleh ilmu nahw. Qiyâs dalam ilmu nahw boleh jadi juga dipengaruhi oleh ilmu kalam. Mengingat banyak tokoh-tokoh ilmu nahw menganut teologi mu’tazilah. Sîbawaih, Al-Farrâ’, Abu Ali al-Fârisi, al-Rummânî, Ibnu Jinnî dan AlZamakhsyari adalah beberapa tokoh ilmu nahw yang yang menganut paham 16
Untuk biografi Sîbawaih lihat Syauqi Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyah, (Mesir: Dâr alMa’ârif, 1976), h, 57. Muhammah ’Abd al-Karim, Al-Wasith Fi Târikh al-Nahw al-‘Arabi, (Riyadh: Dâr al-Syawaf, 1992), h, 58. Muhammad al-Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, (Mesir: Dâr alManâr, 1991), h, 47. 17 Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut, Al-Markaz al-Saqâfi alArabi, 1991), h. 100 18 Al-Syâfi’i Wafat tahun 205 Hijriyah, kuat dugaan bahwa dia menulis buku Al-Risalahnya beberapa tahun menjelang wafatnya. 19 Muhammad ‘Âbid Al-Jâbiri, Takwîn…h.50. 20 Muhammad ‘Abid Al-Jâbiri, Takwîn…h.52. 21 Abû Bakr Muhammad ibn Hasan al-Zubaidi, Tabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn, (Kairo: Muhammad Sâmi al- Khâniji, 1954), h. 240.
9
mu’tazilah. Adalah Mungkin metodologi kalam mu’tazilah tersebut, khususnya analogi, masuk ke dalam ilmu nahw.22Dalam ilmu kalam dikenal ada istilah qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid, membandingkan yang tidak nyata dengan yang nyata. Pengaruh wacana teologis dalam wacana nahw sepanjang abad ketika ilmu teologi tumbuh dengan pesat. Konsep dan persoalan teoritis nahw banyak diambil dari teolog. Mereka sangat menyukai metode diskusi, dialektika dan analisa. Misalnya mereka menghubungkan konsep gerak (harakah) dalam wilayah teologis dengan dengan harakah dalam i’rab, mereka melarang menggabungkan dua i’rab dengan bersandar pada landasan yang dijadikan pegangan oleh para teolog, yaitu landasan yang mengatakan bahwa dua faktor yang berpengaruh (almuatsirâni ) tidak bisa dikumpulkan di satu tempat. Ilmu nahw juga dipengaruhi oleh ilmu hadits. Ilmu nahw menggunakan metoda ilmu hadits untuk menentukan kriteria riwayat-riwayat yang bisa diterima dari kalam Arab. Perbedaan pendapat tentang qiyâs tidak berakhir sampai di situ. Pada ranah epistemologis terjadi perbedaan pendapat. Qiyâs adalah bentuk penalaran yang sistematis baik dalam bahasa maupun dalam ushûl al-fiqh. Sebelum menjadi ajaran yang komplek di tangan Sîbawaihi dan al-Syâfi’i, qiyâs pada awalnya hanya merupakan bentuk penalaran sederhana dan tidak pelik. Gagasan tentang premis mayor dan minor yang logis dengan faktor-faktor esensial yang sama belumlah muncul. Waktu itu qiyâs hanya merupakan pengutipan preseden yang mirip atas sebuah kasus yang analog. Suatu persamaan sederhana sudah dapat dilakukan qiyâs. Misalnya, dalam bahasa Arab, ketika para ahli nahw mengqiyâskan sejumlah kata sifat dengan kata kerja dari segi bahwa kata sifat tersebut dapat beramal seperti kata kerja (fi’il). Dalam kasus fiqh hal yang sama juga terjadi. Contohnya seperti kasus berikut. Jika seorang pencuri mengumpulkan barang-barang di suatu tempat dalam rumah yang ingin dicurinya, tetapi barang tersebut tidak diangkutnya keluar rumah, maka tangan orang tersebut tidak dipotong. Kasus ini sejajar (diqiyâskan) dengan kasus seseorang yang menyiapkan minuman keras di hadapannya untuk 22
104.
Lihat Said al-Afghâni, Fȋ al-Ushȗl al-Nahwî, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi, 1987), h. 103-
10
diminum, tapi dia tidak meminumnya, orang ini tidak dikenai hukuman hadd bagi kejahatan tersebut. Tapi pada tahap selanjutnya, terutama setelah masa Sȋbawaihi dan alSyâfi’i, qiyâs berkembang menjadi ajaran yang komplek dan sistematis karena dilengkapi dengan sejumlah syarat yang ketat.23 Maka wajar kemudian muncul pertanyaan dari mana orang Arab memperoleh gagasan tentang qiyâs? Apakah qiyâs merupakan hasil pemikiran orang Arab yang lahir karena kebutuhan sosial mereka atau berasal dari luar?. Apalagi jika dibandingkan dengan qiyâs yang ada dalam logika Yunani, maka menjadi wajar jika terjadi perbedaan pendapat seputar asal usul qiyâs tersebut. Joseph Schacht, dalam The Origins berpendapat bahwa qiyâs dalam ushȗl al-fiqh dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi.24 Menurut Schacht, qiyâs diturunkan dari istilah tafsir dalam agama Yahudi hiqqish, dari akar kata bahasa Aramea naqsh yang berarti “memukuli bersama-sama”. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kata tersebut dipergunakan untuk arti berikut. Pertama, untuk penjajaran dua pokok masalah dalam Bibel, dan menunjukkan bahwa keduanya harus diperlakukan dengan cara yang sama. Kedua, mengenai kegiatan penafsir Bibel yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks yang tertulis dan ketiga, untuk kesimpulan dengan analogi, berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus patokan maupun kasus lain yang disejajarkan. Arti yang ketiga ini menurut Schacht identik dengan qiyâs yang ada dalam ushȗl fiqh.25 Ahmad Hasan mempunyai pendapat yang berbeda dengan Schacht. Menurut Ahmad Hasan, qiyâs lahir sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat
23
Untuk penjelasan rinci tentang qiyâs dalam ushȗl fiqh lihat Ahmad Hasan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence,(Delhi: Adam Publishers And Distributors, 1994), h. 200-250 dan al-Âmidi, al-Ihkam…,Hasyim Kamali, The Principle of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic texts society, 1991), h. 197-226. Sedangkan untuk pembahasan rinci tentang qiyâs dalam ilmu nahw lihat Muna Ilyas, Al-Qiyâs fî al-Nahwî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), dan Muhammad Hasan ‘Abd al-Azîz, Al-Qiyâs fî al-Lughah al- Arabiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr alArabi, 1995). 24 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (London: Oxford, 1959), h. 99 25 Joseph Schacht, The Origins…h, 100.
11
Arab Islam, bukan berasal dari pengaruh pemikiranYahudi atau lainnya.26 Menyanggah pandangan Schacht, Ahmad Hasan menjelaskan andai kata bahwa kata hiqqish dalam istilah tafsir Bibel itu identik dengan qiyâs yang ada dalam hukum Islam, masih harus dibuktikan bahwa qiyâs dalam hukum Islam itu dipinjam dari dari kata Yahudi tersebut. Dengan kata lain diperlukan bukti yang memadai untuk menetapkan asal-usul dari qiyâs. Karena bahasa Arab dan bahasa Yahudi termasuk dalam rumpun bahasa yang sama, tampaknya kedua kata tersebut mempunyai kesamaan arti, atau paling kurang hampir sama.27 Dari sudut pandang sosiologis, setiap masyarakat menciptakan norma-norma dan pranatapranata sosialnya sendiri menurut kebutuhan masing-masing. Menjadi keliru untuk membuat asumsi pranata-pranata tersebut selalu mesti dipinjam dari pranata asing, kecuali jika bisa dibuktikan sebaliknya. Jadi menurut penulis, prinsipprinsip qiyâs muncul karena desakan kebutuhan sosial ummat Islam walaupun dalam perkembangannya pada masa belakangan dipengaruhi oleh unsur asing. Hal yang sama terjadi pada qiyâs nahw. Terjadi perbedaan pendapat tentang asal usul qiyâs. De Boer berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh pemikiran Persia. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Ibn al-Muqaffa’ (w. 142 H) adalah orang yang melapangkan jalan bagi orang-orang Arab untuk mengenal bahasa dan filsafat Persia.28 Menurut Syauqi Dha’if, Ibn al-Muqaffa’ menyediakan jalan bagi masuknya pengaruh Yunani ke dalam ilmu nahw. Ia menerjemahkan buku-buku Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Ia hidup sezaman bahkan berteman dengan al-Khalȋl ibn Ahmad (w. 170 H). Besar kemungkinan alKhalȋl Ibn Ahmad mengenal logika Yunani lewat buku terjemahan Ibn alMuqaffa’ tersebut.29 Penelitian yang lebih belakangan menunjukkan bahwa alKalîl ibn ahmad tampaknya tidak memperoleh manfaat dari buku Ibn al-Muqaffa’ tersebut. Masih menurut de Boer juga, bahwa Pengaruh Logika Yunani yang
26
Ahmad Hasan, The Early Development…h, 125. Ahmad Hasan, The Early Development…h, 126. 28 De Boer, Târîkh al Falsafah fȋ al Islâm, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abu Ridah, (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Turjumah, 1938), h. 38. 29 Syauqi Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr al-Manâr, 1976), h.30. 27
12
masuk ke dalam ilmu nahw bukan melalui terjemahan Ibn Muqaffa’ tetapi lewat terjemahan Hunain ibn Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain.30 Perbedaan pendapat tentang qiyâs juga terjadi tentang keabsahan qiyâs untuk dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengistinbatkan hukum dalam Islam. Mayoritas ulama’ menerima qiyâs sebagai salah satu metoda ijtihad, walaupun dengan tingkat penerimaan yang berbeda. Tetapi Ibn Hazm menolak qiyâs untuk dijadikan metode istinbat dalam hukum Islam. Ibn Hazm adalah musuh besar bagi qiyâs. Yang mengherankan sebagai seorang ahli logika ia justru menolak qiyâs.31 Ada beberapa alasan mengapa ia menentang penggunaan qiyâs dalam hukum. Ia mengakui penggunaan qiyâs dalam ilmu fisika, tetapi tidak dalam ilmu-ilmu keagamaan, terutama hukum Islam. Sebagai seorang ahli logika ia mempunyai pemikiran yang mendalam tentang al-Qur’an dan menemukan hanya ada tiga sumber hukum: al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Ia berpendapat bahwa ummat Islam tidak dituntut untuk mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga yang dikehendaki oleh Tuhan, hal itu merupakan keputusan yang sewenang-wenang. Jika pintu sebab-akibat aturan-aturan syari’ah terbuka, maka akan banyak terjadi perselisihan di antara manusia dan kekacauan akan melanda hukum. Menurutnya, dalam hukum tidak ada ruang bagi akal sama sekali. Hukum didasarkan pada nass yang diwahyukan Tuhan.32 Ia menganggap bahwa logika dan hukum adalah dua ilmu yang terpisah, dan merupakan kesalahan yang besar menyamakan satu dengan lainnya. Dalam logika, sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah persepsi indera, penyelidikan dan sebab-sebab. Sedang dalam hukum sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah wahyu. Ada perbedaan besar antara objek yang tidak terlihat (mughibat) dengan objek-objek fisik (thabî’iyyât). Benar bahwa hasil keduanya
30
De Boer, Târȋkh....h. 25. Penolakan Ibn Hazm tehadap qiyâs ia bentangkan dalam bukunya Al-Ihkâm fî ushûl alAhkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt) dan bukunya tentang logika, al-Taqrîb li Hadd alMantiq, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt). 32 Abû Muhammad ‘Ali ibn Hazm, Al-Ihkâm…h. 515. 31
13
kadang- kadang bertepatan. Tetapi seseorang tidak boleh tertipu oleh ketepatan ini, karena premis kedua ilmu itu berbeda. Karena itu, syari’ah tidak boleh disamakan dengan ilmu-ilmu kealaman. Syariah didasarkan pada premis-premis yang diambil dari al-Qur’an, sunnah dan Ijma’ ulama’.33 Argumen Ibn Hazm ini kemudian dipakai oleh Ibn Madhâ’ untuk menyerang qiyâs dalam nahw.34 Yang menarik adalah bahwa keduanya sama-sama beraliran literalis. Pada umumnya aliran literalis tidaklah terlalu menekankan persoalan yang berkaiatan dengan penggunaan logika. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan qiyâs, khususnya tentang asal usul konsep qiyâs masih menjadi persoalan yang diperselisihkan oleh para ahli. Dengan demikian masih layak untuk dijadikan objek penelitian. Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan keyakinan mengenai gagasan tentang konsep qiyâs dan asal usulnya.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas dapat di identifikasi beberapa masalah. Dari kesamaan yang begitu banyak antara qiyâs ushûlî dengan qiyâs nahwî adalah layak untuk menjadi pertanyaan, pertama, bahwa Apakah salah satu dari kedua jenis qiyâs tersebut dipengaruhi oleh lainnya atau keduanya saling mempengaruhi dan seperti apa sifat keterpengaruhan itu. Kedua, dari mana orang Arab mendapatkan gagasan tentang qiyâs, Apakah qiyâs lahir sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat Arab, dengan kata lain merupakan produk pemikiran Arab, atau diambil dari budaya lain. Dan terakhir, mengenai keabsahan qiyâs sebagai metode penalaran hukum. 2. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dalam tesis ini dibatasi hanya pada masalah yang kedua yaitu mengenai asal-usul atau 33
Abû Muhammad ‘Ali ibn Hazm, Al-Taqrîb…h. 144, 163, 170 dan 202. Lihat Abû al-Abbâs Ahmad ibn Abdirrahmân ibn Madha’, Al-Radd ‘ala Al-Nuhât, (Kairo: Dâr al-Fikr Al-‘Arabi, 1949). Seluruh buku tersebut diarahkan untuk mengkritik ilmu nahw, khususnya konsep ‘âmil dan qiyâs. 34
14
sumber qiyâs. Mengenai masalah pertama, yaitu keterpengaruhan atau tepatnya saling mempengaruhi antara qiyâs ushûli dan qiyâs nahwî, sejumlah studi telah dilakukan oleh para peneliti. Kajian perbandingan yang cukup bagus tentang topik ini dapat dilihat pada karya Mahmûd Ahmad Nakhlah, yang membandingkan struktur dalil dalam ushûl al-fiqh dengan struktur dalil dalam ushûl al-nahw. Dengan cara yang hampir sama, Ibn Anbari juga melakukan perbandingan antara struktur dalil ushûl al-fiqh dengan dalil ushûl al-nahw. Karya ‘Abid al-Jâbiri, membandingkan dua jenis qiyâs tersebut dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa kedua qiyas tersebut berasal dari epistemologi yang sama yaitu epistemologi bayâni.35 Dengan demikian penulis tidak lagi perlu membahas topik tersebut. Sedangkan untuk masalah yang ketiga, yaitu tentang keabsahan qiyâs, pada prinsip qiyâs dapat dipakai sebagai salah satu metoda penetapan hukum.dengan demikian topik tersebut tidak cukup menarik untuk dibahas. 3. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dijadikan objek penelitian ini memastikan geneologis qiyas. Apakah memang murni berasal dari produk pemikiran atau kebudayaan Arab, atau berasal dari kebudayaan non Arab. C. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk, pertama, mendeskripsikan asal usul qiyâs termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kedua, Untuk mengetahui lebih lanjut perkembangan qiyâs sampai pada tingkat kematangannya dan wacana-wacana yang berkembang di sekitar qiyâs, dan untuk mengetahui dan menjelaskan ada atau tidaknya pengaruh budaya non Arab ikut berperan dalam pembentukan qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun qiyâs nahwî. D. Signifikansi Penelitian Signifikansi yang diharapkan dari penelitian ini di antaranya untuk pertama,Mengkaji konsep awal tentang qiyas. Kedua, Mengkaji perkembangan 35
Kajian tentang perbandingan qiyâs tersebut dapat diihat pada karya-karya berikut. Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw al- ‘Arabî, Ibn Anbari, Luma’ al-Adillah.
15
lebih lanjut tentang konsep qiyâs sampai pada tahap kematangannya dan wacanawacana yang berkembang diseputar qiyâs. Manfaat lainnya, agar menjadi sumber inspirasi bagi para peneliti lain untuk melanjutkan penelitian di bidang ini. Studi perbandingan antara qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh dan nahw untuk kemudian dibandingkan dengan analogi yang ada dalam logika formal mungkin dapat dijadikan objek penelitian lanjutan. E. Kajian Terdahulu Yang Relevan Objek penelitian dalam tesis ini memang bukan merupakan objek penelitian yang benar-benar baru. Sejumlah peneliti telah melakukan kajian terhadap objek ini. Akan tetapi menurut hemat penulis, masih ada hal-hal yang perlu dikritisi dan mungkin dikaji ulang terhadap hasil penelitian terdahulu tersebut. Di antara para peneliti yang telah mengkaji topik ini antara lain Joseph Schacht
dalam
The
Origins
of
Muhammadan
Jurisprudence,36
yang
menyimpulkan bahwa qiyâs dalam hukum Islam berasal dari qiyâs yang ada dalam agama Yahudi. Tetapi Schacht tidak menjelaskan bagaimana proses masuknya gagasan tentang qiyâs yang ada dalan agama Yahudi tersebut masuk atau tepatnya diadopsi oleh para ahli hukum Islam. Berbeda dengan Schacht, Ahmad Hasan dalam The Early Development of Islamic Jurisprudence,37 mengatakan bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh bukan berasal dari agama Yahudi atau budaya asing lainnya, melainkan ia muncul sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat Arab Islam. Tapi perlu penjelasan lebih lanjut mengenai proses pembentukan qiyâs tersebut sampai pada tingkat kematangannya seperti sekarang ini. Bisa jadi dalam perkembangannya qiyâs mendapat pengaruh dari budaya asing. Beralih ke qiyâs dalam ilmu nahw. Secara umum pendapat tentang qiyâs dalam ilmu nahw dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka 36
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, london: Oxford University Press, 1959. Topik yang sama lihat Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, United kingdom: Cambridge University Press, 2005. Yassin Dutton, The Origins of Islamic Law, (Great Britain: Curzon Press, 1999). 37 Lihat Ahmad Hasan, The Early Develofment of Islamic Jurisprudence, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1970), dan Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1986).
16
yang berpendapat bahwa qiyâs berasal dari budaya asing. De Boer dalam Târȋkh al-Falsafah fî al-Islâm, berpendapat bahwa qiyâs nahw dipengaruhi oleh budaya Persia. Ia menjelaskan bahwa Ibn al-Muqaffa’ menterjemahkan buku-buku yang berasal dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab dan al-Khalȋl ibn Ahmad memperoleh gagasan tentang qiyâs dari buku-buku tersebut. Di buku yang sama de Boer juga berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh logika Yunani lewat buku-buku Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hunain ibn Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain. Pendapat ini di ikuti oleh Syauqi Dhaif. Pendapat ini menjadi diragukan karena qiyâs telah ada dalam ilmu nahw sebelum terjadinya penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Kelompok kedua berpendapat bahwa qiyâs yang ada dalam ilmu nahw telah ada seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Ia lahir dan tumbuh dalam sistem bahasa Arab itu sendiri dan tak ada hubungan sama sekali dengan budaya asing. Pandangan seperti ini dianut oleh Thantâwi,38 Abbâs Hassân,39 Affâf Hasanain40 Taufiq Muhammad Syâhin.41 Pandangan seperti ini tidak melihat kenyataan bahwa bahasa Arab itu hidup dan tumbuh berdampingan bahkan telah didahului oleh budaya lain. Dan sulit untuk mengatakan bahwa bahasa itu tidak sama sekali dipengaruhi oleh unsur asing. Pendapat ketiga mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw ada dan tumbuh seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Namun dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh unsur asing, khususnya logika Yunani. Menurut penulis, hal ini merupakan pandangan yang moderat. Masuknya pengaruh asing ke dalam bahasa Arab, khususnya logika Yunani, memang telah terjadi walaupun terdapat penolakan. Perdebatan terbuka yang terjadi antara Yunus ibn Matta yang mewakili filosof dan al-Sirâfi yang mewakili para ahli nahw, tentang manfaat relatif logika dapat ditafsirkan sebagai cermin kegelisahan
38
Muhammad Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, (Mesir: Dâr al-Manâr, 1991). Abbâs Hassân, Al-Lughah wa al-Nahwu Baina al-Qadîm wa al-Hadîts, (Mesir: Dâr alMa’ârif, 1971). 40 Affâf Hasanain, Fî Adillah al-Nahwî, (Mesir: Al-Maktabah al-Akâdimiyyah, 1996). 41 Taufiq Muhammad Syâhin, ’Awâmil Tanmiyyah al-Lughah al-Arabiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1980). 39
17
para ahli nahw tentang masuknya unsur asing ke dalam bahasa Arab.42 Pandangan seperti ini dianut oleh Muhammad Husain Ali Yasin,43 ‘Abd Allah Jâd al-Karîm,44 Tammâm Hassân45 dan Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân.46 F. Metodologi Penelitian 1. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini dikelompokkan dalan dua kelompok, sumber primer dan sumber sekunder. Untuk sumber yang berkaitan dengan ushȗl al-fiqh, sumber utamanya adalah Al-Risalah karya al-Syâfi’i, al-Muwattha’ karya Mâlik, Kitâb al-Mu’tamad Fi Ushul al-Fiqh, karya Abu Husain al-Bashri dan buku-buku lain yang relevan. Karya al-Syâfi’i dipilih karena karya itu merupakan buku ushȗl al-fiqh pertama dan secara cukup jelas memperlihatkan konsep qiyâs. Sedangkan AlMuwatta’, meskipun secara umum merupakan buku kumpulan hadits, namun buku tersebut memuat metodologi penalaran hukum Mâlik, yangs secara implisit memberikan gambaran awal terhadap perkembangan konsep qiyâs. Schacht, sejauh pengetahuan penulis adalah orang pertama yang meyakini bahwa qiyâs dalam ushȗl al-fiqh berasal dari konsep tafsir Bibel Yahudi. Sedangkan Ahmad Hasan melakukan penelitian tentang qiyâs dan dalam beberapa hal kesimpulan penelitiannya berbeda pandangan dengan Schacht. Untuk sumber utama tentang qiyâs nahw, penulis menggunakan buku AlKitab karya Sîbawaihi, Luma’ al-Adillah, al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, keduanya karya Ibn Anbari, dan Kitab al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushȗl al-Nahwî karya al-Sayȗthi. Demikian pula karya Ibn Sarrâj yang telah disebutkan diatas, yaitu al-Ushul fi alnahw dan buku-buku lainnya tentang nahw. 42
Perdebatan ini dapat dilihat dalam, Abu Hayyân al-Tauhîdi, Al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah, (Kairo: Lajnah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, 1939). Dalam perdebatan yang berakhir dengan vonis yang dijatuhkan oleh Al-Sirâfi terhadap para filosof bahwa mereka telah membuat bahasa di dalam bahasa. 43 Muhammad Husain Ali Yâsin, Al-Dirâsât al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Hayah, 1980), h. 90-91. 44 ‘Abd Allah Jâd al-Karîm, Al-Dars al-Nahw fî al-Qarn al-‘Isyrîn, (Kairo: Maktabah alAdab, 2004), h. 187. 45 Tammâm Hassân, Al-Ushûl, (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 2000). 46 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahwî ‘Inda ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah al-Adâb, 2006), h. 210.
18
Karya Sîbawaih, al-Kitab, memperlihatkan dengan sangat jelas bagaimana qiyâs telah dipakai dalam penalaran kebahasaan. Sedangkan Ibn Anbari berada pada era di mana pertentangan antara aliran Kufah dan Basrah sudah sedemikian luasnya, khususnya dalam penggunaan qiyâs. Al-Sayȗthi mewakili puncak kematangan ilmu ushȗl al-nahw. Sedangkan untuk sumber sekunder, baik untuk ushȗl al-fiqh dan ushûl alnahw, penulis mempergunakan buku-buku ushȗl al-fiqh dan ushûl al-nahw, dan buku-buku lain yang relevan untuk penelitian ini. 2. Pendekatan Penelitian ini mengkaji basis epistemologis qiyâs dan pengaruh pemikiran asing (Yunani) terhadap qiyâs. Pendekatan yang akan dipakai adalah pendekatan sejarahdan filsafat. Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat. Objeknya adalah membahas tentang sejumlah konsep, prinsip dasar dan aktivitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era sejarah tertentu.47 Pendekatan filsafat digunakan untuk mengkaji struktur-struktur pembentuk qiyâs untuk mengetahui basis epistemologisnya. Singkatnya, metode ini dipergunakan untuk mengungkap perangkat pemikiran dan prinsip-prinsip dasar yang melahirkan qiyâs. Dengan ini diharapkan dapat diketahui asal-usul pemikiran tentang qiyâs dikalangan ahli bahasa dan ahli ushȗl al-fiqh. Pendekatan sejarah dipakai untuk melacak adanya pengaruh pemikiran asing terhadap konsep qiyâs ini. Juga untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk dan sifat keterpengaruhan itu. Umpamanya jika dikatakan bahwa qiyâs dipengaruhi oleh pemikiran Yunani, maka pernyataan ini perlu dibuktikan dengan bukti-bukti kesejarahan yang dapat menjelaskan proses masuknya pemikiran Yunani itu ke dalam Islam dengan melihat buku-buku sejarah yang ditulis tentang keterpengaruhan pemikiran Islam oleh pemikiran Yunani. 3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Setelah data terkumpul maka akan dilakukan langkah analisa data sebagai berikut. Pertama, menganalisis dan membanding unsur-unsur pokok struktur kedua qiyâs tersebut. langkah ini dilakukan untuk mendapatkan penjelasan 47
Hardono Hadi, Epistemologi, (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 55.
19
tentang sebab terjadinya kesamaan antara kedua qiyâs. Juga untuk mengetahui Epistemologi qiyâs tersebut. Kedua, melakukan kajian kritis terhadap sejarah masuknya pemikiran asing ke dalam Islam dan motif yang melatarbelakangi penerjemahan buku-buku Yunani secara massif. Pendekatan yang dipakai dalam hal ini adalah pendekatan sejarah. langkah ini dilakukan untuk mengetahui kapan masuknya pemikiran asing ke dalam Islam. G. Sistematika Penulisan Tesis ini akan ditulis dalam lima bab, yakni pendahuluan, orisinalitas ilmu keislaman, qiyâs: awal mula dan perkembangannya, struktur qiyâs dan terakhir merupakan penutup dan kesimpulan. Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasai penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan landasan teori yang menjelaskan bahwa qiyâs yang terdapat pada ilmu ushûl al-fiqh dan pada ushûl al-nahw memiliki landasan epistemologisnya dalam kebudayaan Arab Islam. Bab ini bertujuan untuk melihat hubungan qiyâs yang ada dalam ushûl al-Fiqh dan ushûl al-nahw tersebut. Juga akan dibahas pendapat sejumlah sarjana Barat yang mengatakan bahwa qiyâs yang ada pada dua disiplin ilmu tersebut berasal bukan dari produk budaya Arab sendiri, melainkan berasal dari luar. Disamping akan dikemukakan pula sanggahan atau keberatan atas pandangan tersebut. Bab ketiga membahas tentang qiyâs yang mencakup awal mula dan perkembangannya. Ini merupakan bab inti. Pada bab ini akan dibahas mengenai penggunaan qiyâs oleh para ahli hukum awal di daerah perkembangan pemikiran hukum, Madinah dan Iraq. Termasuk proses perkembangan qiyâs pada era alSyâfi’i dan sesudahnya. Disamping itu juga akan dibahas tentang penggunaan Qiyâs dalan ilmu nahw oleh para ahli nahw awal seperti al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaihi dan tokoh yang seangkatan dengannya. Tujuan utama bab ini untuk memberikan gambaran bagaimana qiyâs telah dipakai oleh para ahli hukum dan
20
ahli nahw sejak masa-masa awal, sebelum terjadinya penterjemahan buku-buku asing, utamanya buku-buku filsafat dari Yunani kedalam bahasa Arab. Bab ke empat membahas tentang struktur qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun qiyâs nahwî, yang mencakup kasus asal, kasus cabang, hukum asl dan ‘illat. Bab ini akan membahas tentang unsur-unsur pokok qiyâs, persyaratan yang ditetapkan oleh ahli ushûl al-fiqh dan ahli nahw bagi keabsahan persyaratan tersebut. Perbedaan pendapat mereka tentang persyaratan tersebut juga akan dibahas. Bab ke tiga dan ke empat ini sekaligus merupakan pembuktian bahwa qiyâs yang ada pada ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw tersebut memang berasal dari produk pemikiran Arab Islam, bukan berasal dari produk budaya asing. Ini dibuktikan dengan tidak adanya kesamaan antara struktur qiyâs Ushûl al-fiqh dan qiyâs alnahw dengan struktur analogi dalam filsafat. Bab kelima merupakan bab penutup dan kesimpulan. Bab ini berisi temuantemuan penting yang di dapat dari pembahasan bab-bab sebelumnya.
BAB II ORISINALITAS ILMU KEISLAMAN
A. Klasifikasi Ilmu Menurut Makdisi, pada masa klasik pengetahuan Islam terbagi ke dalam tiga Kelompok.1 Pertama, kelompok pengetahuan yang disebut dengan adâb (sastra), yaitu pengetahuan yang terkait dengan bahasa.Termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu nahw (tata bahasa Arab), puisi (syi’ir), balâghah (keindahan bahasa), retorika, seni menulis surat dan sejarah. Kedua, kelompok pengetahuan yang disebut dengan ilmu-ilmu agama. Ke dalam kelompok pengetahuan ini, termasuk pengetahuan yang terkait dengan al-Qur’ân (ulûm al-Qur’ân), ilmu-ilmu yang terkait dengan hadist (ulûm al-hadits), hukum Islam (fiqh), teologi dan tasawwuf. Ketiga, kelompok pengetahuan asing atau kuno. Termasuk dalam pengetahuan ini adalah ilmu-ilmu yang berasal dari kebudayaan di luar Arab, seperti filsafat. Klasifikasi ini membantu menjelaskan sumber pengetahuan tersebut. Filsafat, berikut seluruh cabang-cabangnya jelas berasal dari kebudayaan Yunani. Ilmu nahw, balâghah, syi’ir dan lainnya, yang masuk dalam kelompok adâb (sastra), mengindikasikan bahwa ilmu-ilmu ini merupakan produk pemikiran Arab. Sedangkan ilmu-ilmu agama merupakan ilmu yang tumbuh setelah Islam berkembang di tanah Arab. Walaupun terkait erat dengan ajaran Islam, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan budaya, terutama, bahasa Arab. Karena itu Makdisi mendiskusikan secara khusus hubungan antara rumpun ilmu pengetahuan adab dengan rumpun pengetahuan agama, khusus hubungannya dengan al-Qur’ân, hadits dan fiqh.2 Metode riwayat (samâ’) yang dipakai dalam adâb (sastra), merupakan metode yang juga diterapkan dalam hadits. Lebih jauh Ia menganalogikan adâb (sastra) dengan hadist sebagai dua sungai kembar yang mengalir dari sumber yang sama, sebuah analogi yang memperlihatkan kedekatan kedua cabang ilmu tersebut. Hubungan antara adâb (sastra) dengan fiqh sangat 1
George A. Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and Christian West, (Edinburg: Edinburgh University Press, 2000), h. 120. 2 George A. Makdisi, The Rise…, h. 121.
21
22
erat karena adanya kesamaan orientasi metodologi. Sejak awal para ahli fiqh dikenal sebagai sastrawan, sebaliknya sastrawan memahami betul masalah fiqh. Seorang tokoh fiqh dari Suriah, al-Auza’i (w.157 H/ 774 M), selain seorang tokoh hadits, juga cemerlang dalam penulisan dan kearsipan. Abdullah ibn Mubârak (w.181H/797M) selain tokoh fiqh, juga diriwayatkan memadukan antara ilmu agama dengan ilmu sastra, nahw, sya’ir dan retorika. Kesamaan orientasi metodologi pada akhirnya menimbulkan banyak kesamaan dalam persoalan-persoalan yang didiskusikan dan metoda-metoda penyelesaiannya. Seperti telah ditunjukkan pada bagian yang lalu (pada bab satu), persoalan-persoalan ilmu ushûl al-nahw hampir tidak ada bedanya dengan persoalan-persoalan ushûl al-fiqh. Singkatnya dapat dikatakan bahwa persoalan ushûl al-fiqh adalah juga persoalan ushûl al-nahw. Secara umum, ilmu-ilmu agama merupakan ilmu yang terbentuk dari hasil pemahaman ummat Islam terhadap ajaran agama. Meskipun sejumlah cabang ilmu ini tetap menjadi perdebatan. Ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’ân tidak terdapat perdebatan tentang asal-usulnya, demikian pula yang terkait dengan hadist, meskipun asal usul hadist sendiri diperdebatkan.3 Sedangkan ilmu fiqh, teologi Islam dan sufisme merupakan cabang-cabang ilmu yang diperdebatkan oleh para ahli, baik mengenai asal usulnya maupun perangkat metodologinya. Sufisme dicurigai bukan berasal dari ajaran Islam karena sejumlah praktiknya mempunyai kesamaan dengan praktik agama lain di luar Islam, seperti Hindu, 3
Beberapa sarjana non Muslim meragukan apa yang dikatakan sebagai hadis adalah asli berasal dari Nabi. Goldziher, Schacht dan Juynboll misalnya mengatakan terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa Hadist Nabi diciptakan pada masa yang lebih akhir dalam sejarah Islam, dan yang secara perlahan-lahan dinisbatkan kepada Nabi. Schacht menempatkan Sunnah dan laporan-laporan verbal yang mengekspresikannya, pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah. Sementara Juynboll yakin bahwa hal itu muncul seperempat abad lebih awal. Akan tetapi, penelitian yang akhir-akhir ini dilakukan, sejauh yang berhubungan dengan asal-usul historis hadist Nabi, menunjukkan bahwa Goldziher, Schacht dan Juynboll terlalu skeptis dan bahwa sejumlah hadist berasal lebih awal dari pemikiran di atas, bahkan semasa dengan Nabi. Penemuan-penemuan ini ditambah dengan studi-studi penting lainnya yang kritis terhadap tesis Schacht, menunjukkan bahwa, sementara banyak hadist Nabi yang berasal dari periode setelah hijrah, ada juga sejumlah materi yang berasal dari masa Nabi. Lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1950), G.H.A Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Cronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, (Beirut: al Maktabah al Islâmî, 1968), On Schacht’s Origin of Muhammad Jurisprudence, (New York: John Wiley, 1986).
23
Budha bahkan Kristen.4 Teologi Islam dikritik keras karena pengaruh filsafat yang sangat kuat dalam metodologinya.5 Fiqh Islam, ilmu tentang hukum Islam, termasuk metodologi penalaran hukumnya (ushûl al-fiqh), juga diperdebatkan oleh para ahli baik mengenai asal usul maupun metodologinya. Tesis-tesis Schacht yang memberikan gambaran secara garis besar sejarah dan perkembangan hukum Islam, sampai hari ini tetap menjadi tolak ukur semua kajian modern tentang topik ini. Tesis Schacht tentang topik ini, seperti yang tertuang dalam karyanya The Origins, dapat diringkas sebagai berikut. Hukum Islam (fiqh), seperti yang dikenal sekarang, belum ada pada masa hidup Muhammad atau pada sebagian besar abad pertama Hijriah. Meskipun al-Qur’ân membuat aturan-aturan tertentu dalam wilayah hukum keluarga, waris dan ibadah (ritual). Menurut Schacht, generasi muslim pertama hanya memberikan sedikit perhatian atas aturan-aturan tersebut dan mereka hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan yang paling elementer darinya dan dalam beberapa kasus praktek hukum awal memang menyimpang dari kata-kata exsplisit al-Qur’ân. Mengenai hadits, Schacht mengatakan, riwayat tentang perilaku dan ucapan yang berasal dari Nabi sesungguhnya riwayat itu baru ada pada akhir abad pertama Hijrah. Dasar-dasar hukum Islam, sesungguhnya tidak diletakkan oleh Muhammad atau para sahabatnya, tetapi justru oleh para qâdhi generasi awal, yaitu ahli hukum yang ditunjuk oleh para gubernur Dinasti Umayyah, yang mentransformasikan praktik-praktik populer dan administratif pemerintahan Umayyah menjadi hukum-hukum religius. Ketika kelompok-kelompok ahli hukum bertambah secara kuantitas dan kualitas sepanjang dekade-dekade pertama abad kedua Hijrah maka itu semua kemudian berkembang menjadi mazhabmazhab hukum awal di Kufah, Basrah, Makkah, Madinah dan Suriah. Pada masa ini, para ulama mulai memberikan perhatian yang serius terhadap norma-norma
4
Untuk informasi lebih rinci lihat ‘Ali Syâmi al-Nassyâr, Manâhij al-Bahts ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1947), h. 64. Bandingkan dengan Joel L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden: E. J. Brill, 1986), h. 246. 5 Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut: Markaz al-Saqâfi al‘Arabî, 1991), h. 170.
24
al-Qur’ân dan menarik kesimpulan-kesimpulan formal dari norma-norma itu. Untuk selanjutnya ini berakibat pada munculnya “tradisi yang hidup” (living tradition), yaitu kesepakatan anonim dari suatu generasi ulama’. Untuk memberi alasan pembenar atas kesinambungan mereka dengan opini mayoritas, para ahli hukum menyandarkan “tradisi yang hidup” itu ke masa-masa yang sebelumnya, dengan menganggapnya berasal dari, pertama-tama, sejumlah tokoh besar pada masa lalu yang meninggal pada sekitar abad pertama Hijrah, kemudian dari tokoh sahabat dan terakhir dari Nabi sendiri. Pada masa al-Syâfi’i (w. 204 H/820 M), dan sebagai akibat dari usahanya, nilai-nilai tradisi formal tentang Nabi mulai mengalahkan tradisi yang hidup dari mazhab-mazhab hukum awal. Hal ini pada akhirnya mendorong pemalsuan hadits yang diklaim sebagai laporan saksi mata tentang kata-kata atau perbuatan Nabi yang dialihtangankan secara lisan melalui mata rantai yang tidak terputus.6 Pemikiran Schacht tentang hadits, terkait erat dengan kajian utamanya mengenai asal usul hukum Islam dan peran al-Syâfi’î dalam perkembangannya. Al-Syâfi’î dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab atas kemenangan hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam.7 Ada beberapa alasan mengapa Schacht lebih memilih berangkat dari persoalan hukum di dalam mengkaji hadits. Pertama, sumber-sumber hukum dalam Islam tidak hanya lebih tua dan lebih kaya dari sumber-sumber lain, tetapi juga karena penilaian orang terhadap persoalan hukum cenderung terdistorsi oleh ide-ide prakonsepsi.8 Kedua, hukum Islam dalam pengertian teknis belum lahir pada abad pertama Hijriah.9 Menurut Schacht, Nabi Muhammad tidak memiliki alasan yang cukup untuk mengganti hukum adat yang sudah ada. Otoritas Nabi saat itu di Madinah tidak dalam masalah hukum, tetapi dalam masalah agama dan politik. 6
Joseph Schacht, Law and Justice, (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), h. 539-550. Dan An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendon Press, 1950), h. 10-30. Sedangkan dalam Origins pembahasan Schacht tentang topik ini tersebar hampir diseluruh bagian buku itu. 7 Joseph Schacht, The Origins of Islamic Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1959), h. 3. 8 Joseph Schacht, A Revaluation of Islamic Traditions. Dalam Journal of the Royal Asiatic Society, 1949, h.144. 9 Joseph Schacht, An Introduction…, h. 19.
25
Sementara itu, al-Khulafa’ al-Rasyidin adalah pemimpin-pemimpin politik dari masayarakat Islam yang tidak mengambil hukum dari sumber yang lebih tinggi, tetapi mereka mengambilnya dari mereka sendiri sebagai pembuat hukum masyarakat.10 Ketiga, pada dekade selanjutnya, para Khalifah Bani Umayyah melakukan langkah penting dengan mengangkat para hakim untuk menyelesaikan persoalanpersoalan hukum. Pemilihan para hakim kemudian ditujukan kepada orang-orang spesialis. Kelompok ini akhirnya berkembang dan lama-kelamaan semakin kuat. Pada dekade pertama abad kedua Hijriah, mereka berkembang menjadi aliran fiqh klasik (the ancient school of law) yang mempunyai persamaan dalam teori hukum yang esensial. Titik pusat ide dari teori ini adalah perkara-perkara yang sudah memasyarakat, yang disebut oleh Schacht dengan Istilah the living tradition of the school, yang dikemukakan oleh wakil resmi mereka. Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya menjadi praktik ideal yang disebut sunnah.11 Pandangan yang mengejutkan dari Schacht, yang terkait dengan hukum Islam, adalah pandangannya tentang salah satu metode penalaran hukum, yaitu qiyâs. Dengan menggunakan pendekatan filologi, Schacht sampai pada kesimpulan bahwa qiyâs yang ada dalam hukum Islam itu berasal dari qiyâs yang ada dalam agama Yahudi.12 Lebih jauh ia menyimpulkan bahwa hukum Islam berasal dari hukum Romawi. Dengan kata lain bahwa hukum Islam dan salah satu metode penalaran hukumnya tidaklah asli berasal dari produk pemikiran ummat Islam. Kesimpulan Schacht ini mendapat kritik dari Ahmad Hasan, tetapi secara tersirat disetujui oleh Wael Hallaq. Dengan pendekatan sejarah Ahmad Hasan, dalam The Earlynya membuktikan bahwa hukum Islam dan sekaligus qiyâs, murni bersumber dari al-Qur’ân dan merupakan produk pemikiran umat Islam.
13
Kesimpulan Ahmad Hasan ini sama dengan kesimpulan Yassin Dutton yang
10
Joseph Schacht, An Introduction…, h. 11-15. Joseph Schacht, The Origins…, h. 253. 12 Joseph Schacht, The Origins…, h. 99. 13 Ahmad Hasan, The Early development of Islamic Jurisprudence, (India: Adam Publishers and Distributors, 1994), h. 135-136. 11
26
melakukan kajian terhadap Kitab al-Muwaththa’ karya Mâlik. Dutton, dalam The Originsnya juga menyimpulkan bahwa hukum Islam itu telah ada seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri dan bersumber dari al-Qur’ân, dan bahwa kebijakankebijakan hukum semenjak awal telah ditetapkan oleh otoritas Nabi.14 Tetapi Hallaq, dalam dua karyanya, The History of Islamic legal Theories (1997) dan The origins and Evolutions of Islamic Law (2005) mengukuhkan pandangan Schacht.15 Tesis Schacht tentang hadits juga mendapat tanggapan, bahkan kritik dari sejumlah sarjana. Dengan tetap menerima secara keseluruhan tentang kesahihan dari kerangka studinya, sekelompok sejarawan mengkritisi aspek-aspek tertentu dari tesis Schacht di atas. S. Vesey-Fitzgerald, dengan mengakui bahwa hadits dalam jumlah yang besar telah dilupakan orang, berpendapat bahwa aturan-aturan legal yang disebutkan dalam “kisah- kisah palsu” tersebut boleh jadi benar merefleksikan pandangan Muhammad.16 Ahli sejarah hukum Inggris, N. J. Coulson, juga mengakui pokok-pokok tesis Schacht dan menyatakan bahwa mayoritas hadits hukum yang dinisbatkan kepada Muhammad adalah tidak asli dan merupakan hasil dari proses “perujukan kembali” (back projection) doktrin hukum.17 Akan tetapi, Coulson dihadapkan pada masalah karena munculnya ketidaksinambungan yang dibuat oleh tesis Schacht, antara al-Qur’ân dan pembentukan hukum Islam, sementara Coulson berpendapat bahwa legislasi alQur’ân, khususnya aturan-aturan rinci dalam hukum keluarga, semestinya mendorong munculnya perkembangan hukum yang dini dan berkesinambungan. Kenyataannya, al-Qur’ân sendiri mengajukan masalah-masalah yang pasti menjadi perhatian masyarakat Muslim awal dan masalah-masalah yang Nabi sendiri dalam kapasitasnya sebagai pemegang tertinggi kekuasaan politik dan otoritas hukum juga mengalami dan menghadapinya. Oleh sebab itu, ketika tesis 14
Yassin Dutton, The Origins of Islamic Law, (Great Britain: Curzon Press, 1999), h. 179-
180. 15
Wael B. Hallaq, History of Islamic Legal Theories, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 21. Dan The Origins and Evolutions of Islamic Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005, h. 4. 16 S.Vesey-Fitzgerald, Nature and Sources of the Syari’a, Dalam Law in the Midle East, (Washington, 1955), h. 93-94. 17 N. J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), h. 64.
27
Schacht secara sistematis difokuskan pada pengembangan sikap “bahwa bukti hadits-hadits hukum hanya mengarah pada sekitar tahun 100 Hijrah saja”, dan ketika keotentikan hukum-hukum yang secara praktis dianggap berasal dari Nabi ditolak, maka akan muncul asumsi bahwa adanya kevakuman hukum dalam potret perkembangan hukum masyarakat Muslim awal. Dari sudut pandang praktis dan dengan memperhatikan kenyataan historis pada waktu itu, pemikiran yang mengandaikan adanya kevakuman hukum seperti itu, sangat sulit diterima.18 Peneliti lainnya lebih senang menilai tesis Schacht dengan mendorong mundur asal-usul hukum Islam lebih jauh kebelakang dari yang dinyatakan oleh Schacht, meskipun tidak sejauh yang dilakukan Coulson. G. H. A. Juynboll meragukan pendapat Schacht yang didasarkan pada statemen yang konon dari Ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad, rangkaian transmisi, baru mulai pada seperempat kedua abad kedua Hijrah. Pendapat ini diambil Schacht dari penggunaan kata fitnah pada pernyataan Ibn Sirin, yang itu merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi menyusul wafatnya khalifah dari Bani Umayyah, Walid ibn Yazid, pada tahun 126 H.19 Namun Juynboll, setelah melakukan penelitian secara mendalam atas penggunaan kata fitnah dalam sejumlah sumber awal, menyimpukan bahwa Ibn Sirin paling mungkin sedang membicarakan pemberontakan Ibn Zubair (64-71 H) itu. Kritik yang lebih kokoh dan sistematis atas tesis Schacht dikemukakan oleh Nabia Abbot. Ia mempublikasikan volume kedua dari karyanya, Studies in Arabic Literary Papyry, yang dicurahkan untuk meneliti tafsir al-Qur’ân dan hadits. Dengan penelitian yang seksama atas papirus awal, dilengkapi dengan studi mendalam atas ilmu hadits, membawanya pada kesimpulan-kesimpulan berikut: (1) hadits telah ditransmisikan, baik secara lisan maupun tulisan, sejak zaman permulaan sejarah Islam; (2) laporan-laporan tentang Muhammad, seperti yang diriwayatkan oleh para pengikutnya, telah diteliti secara ketat dalam setiap mata rantai transmisinya; (3) perkembangan yang fenomenal dalam literatur hadits pada abad kedua dan ketiga Hijrah adalah dampak dari peningkatan jumlah mata 18
Coulson, A History…, h. 64-65. Joseph Schacht, The Origins…, h. 36-37. G. H. A Juynboll, The Date of the Great Fitna, (Cambridge: Cambridge University Press, 1973), h.143. 19
28
rantai transmisi, baik secara vertikal maupun horizontal, bukan karena bertambahnya pemalsuan matan hadits.20 Muhammad Musthafa Azami dalam karyanya, Studies in Early Hadits Literature, mempunyai kesimpulan sama dengan Abbot. Intinya adalah bahwa proses-proses perekaman hadits telah mulai dilakukan sejak zaman Muhammad. Azami mencatat sejumlah kelemahan dan kekuranan pada argument Schacht. Sama seperti Coulson, Azami mengkritik Schacht karena kegagalannya dalam mengamati legislasi al-Qur’ân, dan sama seperti Juynboll, Azami meragukan akurasi identifikasi Schacht pada kata fitnah sebagai perang sipil menyusul kematian Walid ibn Yazid.21 Lebih lanjut, Azami berpendapat bahwa Schacht telah gagal memahami makna teks-teks Arab tertentu, mengutip statemen keluar dari konteks, berargumen berdasarkan kasus-kasus pengecualian dan membuat generalisasi hanya berdasarkan contoh-contoh yang sangat terbatas.22 Azami juga memunculkan beberapa pertanyaan menarik ditengah analisis diskursifnya. Sebagai contoh bagaimana mungkin para ulama abad pertama Hijrah, seperti dikatakan Schacht, membatasi dirinya hanya pada masalahmasalah ritual? Mengapa pula para ulama menisbatkan doktrin mereka pada otoritas yang lemah dan tidak kepada yang kuat? Bagaimana mungkin, jika sebagian besar hadits yang telah dipalsukan pada abad ke dua dan ke tiga hijrah, kita dapat menemukan hadits yang bentuk dan maknanya populer tersebar di antara orang-orang Sunni, Zaidi dan Khawarij?.23 Tesis Schacht, selain telah mendapat kritik-kritik negatif seperti di atas, telah juga menjalani ujian waktu. Seperti catatan D. Forte dalam surveinya tentang pengaruh Schacht pada kesarjanaan kontemporer, bahwa hampir semua sarjana Barat setuju bahwa bukti-bukti yang dimajukan Schacht atas ketidakotentikan
20
Nabia Abbot, Studies in Arabic literary Papiry, (Chicago: Chicago University of Chicago, 1972), h. 75. 21 Muhammad Musthafa ‘Azami, Studies in Early Hadith Literature: Whith a Critical Edition of Some Early Texts, (Indianapolis: American Trust Publication, 1978), h. 215-217, 251252. 22 Azami, Studies…, h. 233-235, 237, 254-255. 23 Azami, Studies…, h. 242-243, 252.
29
hadits sebenarnya tak terbantahkan.24 Tetapi menurut David Powers, penalaran Schacht mempunyai dua kelemahan fundamental. Pertama, terjadi pada perlakuannya terhadap al-Qur’ân; dan kedua, terjadi pada kekaburannya dalam membedakan antara yurisprudensi dan hukum positif.25 Schacht mengatakan bahwa,” jelaslah bahwa banyak aturan dalam hukum Islam, khususnya dalam hukum keluarga dan hukum waris, untuk tidak menyebutkan pula hukum ibadah dan ritual, semuanya berdasarkan pada al-Qur’ân sejak awalnya.26 Tetapi, pada saat yang sama, ia berpendapat bahwa hukum Islam belum mulai berkembang sampai tahun 725 M, kira-kira seabad setelah Muhammad meninggal dunia. Schacht menghindari kontradiksi ini dengan menggunakan sedikit contoh saja untuk berargumen bahwa praktek hukum awal telah menyimpang dari maksudmaksud dan bahkan dari kata-kata explisit al-Qur’ân,27 dan bahwa norma-norma yang diambil dari al-Qur’ân baru dimasukkan kedalam doktrin hukum pada tahapan sekunder.28 Penting ditambahkan bahwa studi Schacht berisi tidak lebih dari empat halaman saja tentang elemen al-Qur’ân dalam hukum Islam awal.29 Mengenai kelemahan kedua, Schacht mengindikasikan dalam judul yang menjadi karya utamanya bahwa ia telah mengeksplorasi asal usul yurisprudensi Islam (Islamic Jurisprudence, Ushûl al-Fiqh), bukan hukum positif (fiqh). Disayangkan, bahwa Schacht tidak selalu tetap mmempertahankan perbedaan ini dalam pikirannya. Meskipun dalam epilog buku Origins Ia mengemukakan bahwa metode-metode yang Ia kembangkan untuk melacak pembentukan yurisprudensi Islam mungkin dapat dipergunakan pada kajian tentang perkembangan hukum positif. Ada perbedaan yang nyata antara hukum positif dengan yurisprudensi, dimana yang disebut pertama lebih menekankan pada realitas sedangkan yang disebut terakhir lebih bersifat teoritis. Dengan demikian diperlukan metodologi yang berbeda. 24
David Forte, Islamic Law: The Impact of Joseph Schacht, (Los Angeles: International and Comparative Law Annual, 1978), h. 15. 25 David Powers, Studies in al Qur’an and Hadith: The Formation of Islamic Law of Inheritance, (California: University of California, 1978), h. 19. 26 Joseph Schacht, Origins…, h. 224. Dan an Introduction…, h. 18. 27 Joseph Schacht, Origins…, h. 224. 28 Joseph Schacht, Origins…, h, 226. 29 Joseph Schacht, Origins…, h. 224-227.
30
B. Hubungan Fiqh Dengan Bahasa Arab Dari segi asal-usul atau dari segi kualitas diyakini bahwa fiqh Islam adalah murni produk pemikiran Arab Islam. Dari perspektif ini, fiqh Islam, di samping ilmu bahasa, membentuk karakter khas dalam kebudayaan Arab Islam. Oleh karena itu tidak ada artinya jika sebagian orientalis berusaha menghubungkan, baik secara langsung maupun tidak, antara undang-undang Romawi dengan fiqh Islam. Mereka yang secara terus menerus berusaha menemukan hubungan serupa, paling-paling hanya bisa mengatakan bahwa “sebagian undang-undang Romawi terimplementasikan di daerah timur (wilayah-wilayah yang dulu pernah menjadi jajahan Romawi), sehingga menjadi bagian dari kebiasaan dan tradisi negara, selanjutnya interaksi dan duplikasi ini masuk ke dalam undang-undang Islam secara tidak disadari”.30 Jelas pernyataan seperti ini sangat lemah jika dijadikan asumsi bagi suatu tindakan, bahkan sangat jauh sekali dari pendapat dan teori yang menegaskan bahwa undang-undang Romawi disusun berdasarkan undangundang Mesir dan Kildan kuno.31 Santillana, seorang orientalis Italia, merupakan orang pertama yang menyatakan adanya pengaruh undang-undang Romawi dalam fiqh Islam dan masih dipandang sebagai rujukan dalam masalah ini, dipaksa untuk menarik kembali pernyataannya karena tidak adanya bukti yang menguatkan hipotesanya yang tidak lain adalah hipotesa yang tergesa-gesa. Oleh karena itu dapat diterima pernyataan-pernyataan yang berkembang belakangan ini yang mengatakan “tidak ada artinya jika kita berusaha mencari sumber yang darinya undang-undang timur dan barat (Islam dan Romawi) itu berasal. Syari’at Islam memiliki batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang baku yang tidak mungkin dikembalikan atau dikaitkan dengan undang-undang Barat karena ia adalah Syari’at keagamaan yang sama sekali berbeda dengan pemikiran kita (Barat Romawi)”.32
30
Lihat penolakan terhadap pandangan orientalis dalam masalah ini dan diskusi tentang hubungan undang-undang Romawi dengan undang-undang Mesir dan Kildaniah dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Ma’rûf al-Dawâlibi, al-Wajîz fî al-Huqûq al-Rumâniah wa Târîkhuhâ, (Damaskus: Matba’ah Jâmi’ah, 1959), h. 54. 31 Muhammad Ma’rûf al-Dawâlibi, al-Wajiz…, h. 42. 32 Lihat tulisannya dalam, Turâts al-Islâmî, diedit dan diarabkan oleh Thomas Arnold, (Beirut: Dâr al-Talî’ah, 1972), h. 431.
31
Penting untuk ditegaskan bahwa fiqh Islam merupakan produk nalar Arab yang paling dekat dalam mengekpresikan karakteristik nalar tersebut. Ini dikuatkan dengan mengamati sejarah perkembangan fiqh itu sendiri. Poin-poin berikut adalah kesimpulannya. Pertama, fiqh adalah disiplin ilmu yang disana bertemu berbagai jenis disiplin ilmu sebelum, selama dan setelah era kodifikasi. Hemilton Gibb menyatakan bahwa selama tiga abad pertama Hijrah, berlangsung aktifitas pemikiran fiqh dalam lingkungan umat Islam dengan tanpa batas. Mereka yang berpartisipasi dalam aktivitas ini bukan hanya teolog, ahli hadits atau birokrat tetapi ahli bahasa, sejarawan dan sastrawan juga turut berpartisipasi dalam memperkaya literatur tentang syariat dan mendiskusikan masalah-masalah fiqh. Masuknya syari’at ini merasuk kedalam kehidupan dan pemikiran umat ini hampir-hampir menyerupai aktivitas yang pertama sekali berlangsung dalam peradaban Islam.33 Kedua, perbedaan mazhab dalam fiqh tidak selamanya tunduk di bawah perbedaan teologis dan ikatan-ikatan politis. Namun sebaliknya, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah dan Salafiyyun semuanya berusaha menjadikan mazhab fiqh lebih unggul dari mazhab-mazhab lainnya. Dengan demikian di tengah beragamnya mazhab dan perpecahan teologis dan politis, fiqh berperan menjadi alat redistribusi identitas ilmiyah sehingga mazhab fiqh menjadi tempat tercapainya titik temu dari berbagai perbedaan pada tingkat akidah, politik dan filosofis. Peran ini jelas memberi kontibusi dan menjadikan kebudayaan Arab Islam terbentuk sebagai aliran dan jalan yang diantara bagian-bagianya direkatkan oleh pateri, dan aliran dan jalan-jalan ini tidak lain adalah fiqh dan ilmu fiqh.34 Ketiga, ada fenomena yang menegaskan kekuatan dan independensi fiqh dalam kebudayaan Arab Islam. Tradisi kuno pra Islam yang dihadapi umat Islam pada tingkat akidah tidak mempunyai pengaruh apapun pada tingkat syari’ah. Sejarah tidak mencatat pertentangan atau perselisihan antara undang-undang kuno 33
H. A. R. Gibb, Dirâsât fî Hadhârât al-Islâmî, di Arabkan oleh Ihsan Abbas, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1964), h. 263. 34 Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut: Markaz al-Tsaqâfi al‘Arabî, 1991), h. 97.
32
pra Islam dengan syariat Islam, juga tidak mencatat adanya pengaruh undangundang kuno dalam undang-undang Islam. Syari’at Islam, yang awal perkembangannya hingga perkembangan selanjutnya tetap Islami, menggantikan undang-undang kuno di seluruh wilayah yang diduduki Islam. Sejarah tidak mencatat adanya pertentangan antara yang kuno (yakni, sebelum Islam) dengan yang baru (Islami), apakah berkenaan dengan hukum keluarga atau lainnya, di mana situasi ini berkebalikan dengan yang terjadi pada tataran akidah. Dalam wilayah fiqh, Islam sama sekali terputus dari yang sebelumnya. Memang di sana ada banyak sekali adat kebiasaan, yang sebagian diserap dan diadopsi oleh Islam, sedang sebagian lainnya diabaikan.
35
Namun dalam konteks ini yang menjadi
perhatian bukan dalam aspek implementatif dalam fiqh Islam, tetapi adalah struktur teoritisnya atau dengan kata lain pemikiran fiqhnya. Pada tingkat pemikiran dan teoritis ini, kebudayaan dan undang-undang sebelum Islam tidak memiliki pengaruh apapun dalam pemikiran fiqh Islam. Penting untuk ditarik perbedaan tegas antara fiqh aplikatif (amalî) dengan fiqh teoritis (nazharî). Pada masa Nabi dan sahabat, bahkan hingga akhir era Umayyah, fiqh bersifat realistis, bukan teoritis. Manusia mencari ketentuan hukum bagi suatu kasus setelah sebuah peristiwa terjadi dan peristiwa itu tidak diasumsikan. Adapun setelah itu, diawali dari era kodifikasi, fiqh juga dihasilkan lewat teori dan asumsi di samping realitas dan aktivitas.36 Fiqh menyerupai aktivitas pemikiran yang disana peristiwa diasumsikan dan dicari pemecahannya. Dalam proses asumsi itu para ahli fiqh tidak terikat dengan kemungkinan realistis, tetapi terikat dengan kemungkinan-kemungkinan rasional. Hal ini menjadikan peran fiqh dalam kebudayaan Islam hampir sama dengan peran matematika dalam kebudayaan Yunani dan Eropa modern. Dari sinilah nilai penting fiqh berkaitan dengan kajian epistemologis dalam kebudayaan Arab Islam. Beralih pada signifikansi ushul fiqh bagi fiqh. Ilmu ushûl al-fiqh adalah metode untuk menghasilkan produk-produk teoritis bagi fiqh. Otentisitas fiqh Islam sebenarnya kembali pada ilmu metodik ini, yang tidak ditemukan 35
Muhammad Âbid al-Jâbiri, Takwîn…, h. 98. Mushtafa Zarqa, al-Madkhal li al-Fiqh al-‘Âmm, (Damaskus: Mathba’ah Jâmi’ah, 1957), h. 125-126. 36
33
padanannya pada kebudayaan lain, di luar Islam. Menurut Muhammad Hamidullah, ushûl al-fiqh adalah upaya pertama di dunia, yang dimaksudkan untuk membangun sebuah ilmu tentang tata aturan (‘ilm li al-qânûn) yang berbeda dari aturan-aturan spesifik bagi suatu kasus tertentu; ilmu yang bisa digunakan untuk mengkaji tata aturan hukum di negara manapun. Dalam setiap masyarakat sering ditemukan adanya undang-undang dan adat kebiasaan. Dalam masyarakat Yunani, terdapat syari’at Hamurabi dan undang-undang dua belas, dalam masyarakat Romawi terdapat undang-undang Yustianus. Namun undang-undang tersebut tidak dibangun berdasarkan ilmu al-ushûl. Hal ini berbeda dengan fiqh Islam, dimana umat Islam yang mula-mula membangun ilmu ushûl al-fiqh dan tidak ditemukan bandingannya di Barat, baik Yunani maupun Romawi.37 Pentingnya Ilmu ushûl al-fiqh bagi fiqh sepadan dengan pentingnya ilmu logika bagi filsafat.38 Lebih jauh dapat dikatakan bahwa posisi fiqh dalam Islam sebanding dengan posisi filsafat dalam kebudayaan Yunani. Dengan demikian dapat dinyatakan jika signifikansi fiqh merupakan tata aturan bagi masyarakat Muslim, maka signifikansi ushûl al-fiqh adalah tata aturan bagi penalaran fiqh tersebut, ini sebanding dengan logika. Metode ushûl al-fiqh ini mempengaruhi cabang-cabang ilmu keislaman yang lain. Alasannya adalah karena ilmu ushûl alfiqh dibangun dengan cara merangkum berbagai ilmu yang sesuai dengan tujuannya untuk kemudian menjadikannya sebagai sebuah ilmu yang mandiri.39 Setelah ilmu ini menjadi metode yang matang dan teknis kemudian dipinjam oleh berbagai ilmu yang sebelumnya menjadi asal usulnya dan sumber perumusan ilmu ushul fiqh, termasuk dalam hal ini ilmu bahasa. Ini dapat menjelaskan keterkaitan yang begitu erat antara ilmu ushûl al-fiqh dan ilmu bahasa (ushûl nahw) baik pada tingkat materi maupun metode. Salah satu metode tersebut adalah qiyâs yang perkembangan dan strukturnya akan dibahas pada bab berikutnya.
37
Muhammad Hamidullah, dalam pengantar untuk buku al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqh, oleh Abû Husain al-Bashri, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1983). 38 Lihat pembahasan tentang perbandingan tentang tema ini dalam Syarh Musallam alTsubût, di bagian pinggir kitab Al-Mustashfâ fî Ushûl al-Fiqh karya al-Ghazâli, (Beirut: Dâr alFikr, 1980), h. 10. 39 Khudari Bek, Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Mathba’ah al-Istiqâmah, 1979), h. 15.
34
Jika unsur terpenting yang disumbangkan orang Arab terhadap peradaban Islam adalah bahasa dan agama itu sendiri, maka agama Islam tetap bercorak Arabik dan tidak mungkin melepaskan diri dari bahasa Arab, sebab al-Qur’ân adalah kitâbun arabiyyun mubîn, yang tidak mungkin dialihkan ke dalam bahasa lain tanpa mengalami penyimpangan-penyimpangan. Seperti dikemukakan oleh ahli ushul fiqh bahwa bahasa Arab adalah bagian esensial dari al-Qur’ân.40 Juga bisa dipahami sejauhmana signifikansi dasar-dasar ushul ini dalam Islam, jika dilihat dari betapa besar peran yang dimainkan oleh bahasa Arab dalam kajian dan pembahasan-pembahasan kajian-kajian Islam, baik akidah maupun Syari’ah. Kebanyakan dari pertentangan mazhab, baik kalam maupun fiqh, ujung-ujungnya kembali pada persoalan bahasa, karena bahasa Arab menyediakan begitu banyak kata dan kata itu mengandung banyak makna, di samping juga diversitas struktur bahasa dalam bahasa Arab. Fakta historis menunjukkan bahwa aktivitas ilmiah sistemik yang pertama dilakukan adalah mengumpulkan bahasa Arab dan menetapkan kaidah-kaidah kebahasaan. Karena itu, wajar jika aktivitas ilmiah yang mula-mula ini, yang kemudian menghasilkan ilmu bahasa dan ilmu gramatika Arab (nahw), dijadikan acuan oleh aktivitas-aktivitas ilmiah lain yang berlangsung setelahnya. Dengan demikian tidaklah aneh jika metode yang digunakan oleh pakar bahasa Arab dan gramatika awal, termasuk konsep-konsep yang mereka gunakan serta mekanisme pemikiran yang mereka jadikan pegangan, semuanya menjadi dasar yang dijadikan pijakan oleh para pendiri ilmu-ilmu keislaman, atau paling tidak dari sana mereka menderivasikan cara kerjanya jika tidak malah merakitnya untuk dijadikan miliknya. Tentu saja dengan tidak menafikan terjadinya saling mempengaruhi pada tahap selanjutnya sehingga ilmu agama menjadi acuan bagi ilmu bahasa. Fakta inilah yang dapat menjelaskan kenapa begitu banyak ditemukan kesamaan antara ilmu bahasa, khususnya ilmu ushûl nahw dengan ‘ilmu ushûl al-fiqh baik pada tataran materi maupun pada tataran epistemologi.41
40 41
Khudari Bek, Ushûl…, h. 204. Muhammad Abid al-Jâbiri, Takwîn…, h. 100.
35
Termasuk dalam kontek ini kesamaan-kesamaan yang terdapat pada qiyâs dalam ushûl al-fiqh dengan qiyâs dalam ushûl al-nahw. Sebenarnya, para ahli gramatika bahasa Arab (nuhât) memandang logika Aristoteles sebagai sesuatu yang asing yang masuk (dakhîl) ke dalam bahasa Arab yang kedatangannya justru merusak bahasa Arab. Hal ini jelas tercermin dari sikap Abû Said al-Sirafi, seorang tokoh gramatika, ketika dia berdebat dengan Abû Basyar Matta, seorang tokoh logika di Bagdad pada tahun 326 H, dihadapan menteri Abu Ja’far ibn Furat.42 Menurut al-Sirafi, Logika dirumuskan oleh orangorang Yunani dengan bahasa penuturnya dan peristilahan mereka dan berdasarkan kepada apa yang mereka kenal berkenaan dengan karakteristik dan sifat bahasanya. Oleh karena itu yang harus menggunakannya tidak lain hanyalah orang-orang Yunani. Karena itulah al-Sirafi menyatakan kepada Matta “sesungguhnya anda tidak menyeru kepada kami agar mempelajari logika, namun menyeru agar mempelajari bahasa Yunani, karena logika, logika Aristoteles adalah gramatikanya bahasa Yunani sebagaimana nahw Arab adalah logikanya bahasa Arab”. Dengan kata lain, gramatika (nahw) adalah logika namun ditarik dari bahasa Arab dan logika adalah gramatika (nahw) namun dipahami dengan bahasa. Dengan demikian, penggunaan atau penerapan logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab sama halnya dengan “menciptakan bahasa dalam bahasa yang telah eksis di antara penuturnya”. Lebih jauh tentang hubungan fiqh dengan bahasa Arab. Pemikiran Islam, dimulai sejak awal pembentukannya sampai terbentuknya aliran-aliran dan terkristalisasinya persoalan, cenderung terbagi kepada dua aliran. Pertama, aliran yang berpegang kepada warisan Islam dan menyerukan agar menjadikannya sebagai satu-satunya pegangan otentik untuk menilai segala sesuatu. Kedua, aliran yang berpegang kepada pemikiran (ra’y) yang menjadikannya sebagai sumber untuk dijadikan pegangan, baik untuk menilai sesuatu yang baru maupun untuk menilai warisan Islam itu sendiri. Pembagian kecenderungan pemikiran Islam ke
42
Perdebatan ini diabadikan oleh Abû Hayyân al-Tauhîdi dalam al-Imtâ’ wa alMu’ânasah, (Kairo: Lajnah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, 1993), h. 17.
36
dalam dua pembagian ini, berlaku pada seluruh cabang ilmu keislaman.43 Dalam tafsir misalnya, ditemukan dua aliran, yaitu salah satunya aliran tafsir yang berpegang kepada riwayat, yakni apa yang ditransmisikan dari Nabi dan sahabat dan aliran yang lainnya, aliran yang berpegang kepada pemikiran (ra’y), di mana dalam memahami al-Qur’ân dilakukan berdasarkan ijtihad dalam sinaran hukumhukum akal dengan berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa Arab dan dengan mempertimbangkan situasi diturunkannya suatu ayat.44 Kasus yang sama terjadi pula pada ilmu hadits.45 Dalam hal ini ada ditemukan kecenderungan sebagian ahli hadits yang menerima setiap riwayat yang dikatakan berasal dari Nabi dan tidak pernah mempersoalkan validitasnya karena boleh jadi tidak terbayang dalam benak mereka akan adanya orang-orang yang melakukan kebohongan terhadap Nabi. Di sisi lain terdapat ahli hadits yang menetapkan sejumlah syarat untuk menerima sebuah hadits dengan dasar pemikiran (ra’y). Demikian pula halnya dalam wilayah bahasa dan gramatika. Sebagian ahli bahasa berpegang kepada riwayat dan pendengarannya, ini berpusat di Kufah dan sebagian lagi berpegang kepada ra’y dan qiyâs, ini berpusat di Basrah. Sedangkan dalam bidang fiqh mereka yang berpegang kepada riwayat berpusat di Madinah sedangkan mereka yang berpegang kepada ra’y berpusat di Iraq.46 Perbedaan yang terjadi dalam ilmu keislaman, khususnya dalam fiqh, gramatika dan bahasa, sesungguhnya merupakan perbedaan sudut pandang dan kecenderungan para ahli di bidang ilmu-ilmu tersebut. Hanya saja pertentangan dalam ilmu gramatika (nahw) dan bahasa tidak bersentuhan secara langsung dengan masalah agama, baik masalah akidah maupun syari’ah.47 Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan mendesak untuk merumuskan aturan-aturan metodologi yang 43
Muhammad Âbid al-Jâbirî, Takwîn…, h. 105. Dalm ilmu tafsir terkenal pembagian tafsîr riwâyat dan tafsîr dirâyah. Lihat Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-fikr, 1995), h. 75. 45 Istilah yang sama dengan yang ada dalam ilmu tafsir, ditemukan pula dalam ilmu hadis. Pembagian tersebut berpangkal dari kecenderungan penggunaan nalar. Lihat Subhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalahuh, (Birut: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1980), h.16. 46 Sedangkan dalam fiqh digunakan istilah ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y, istilah yang lebih jelas memperlihatkan penggunaan nalar tersebut. 47 Muhammad Âbid al-Jâbiri, Takwîn…, h. 110. 44
37
cermat dalam perdebatan antara ahli Kufah dan ahli Basrah berkenaan dengan dasas-dasar yang mereka tetapkan.48 Sedangkan dalam wilayah syari’ah situasinya sama sekali berbeda, baik dari segi kuatnya pertentangan maupun signifikansi produk yang dihasilkan, karena disana terus-menerus terjadi pertentangan antara ahl al-ra’y dengan ahl al-hadîts bahkan sampai terjadi pemisahan antara kedua aliran tersebut. Di bawah desakan kebutuhan untuk mengakomodasi masalahmasalah baru secara empiris dan tuntutan keniscayaan-keniscayaan teoritis dan justifikasinya, hadis terus menerus mengalami pemalsuan dan, pada sisi lain, ra’y berkembang semakin jauh dan seringkali beralih dari teks dan jalan para ulama salaf kepada istihsân dan rasio murni. Dengan demikian menjadi keharusan untuk merumuskan kaidah-kaidah yang secara keseluruhan dapat melindungi hadits dan berpegang kepada nalar (ra’y) dalam batas-batas yang telah ditentukan dan jelas. Di sinilah al-Syâfi’i memberikan kontibusinya dengan menawarkan metodologi moderat antara ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y. Pertentangan dalam masalah “ushûl” (prinsip, metodologi) dalam wilayah tasyri’ berpengaruh pada aspek-aspek sosial dan politik. Perkembangan dalam pemikiran Islam khususnya dalam wilayah tasyri’ ini, telah sampai pada titik yang mengharuskan dicarinya pemecahan yang mendasar dalam wilayah “ushûl” ini. Al-Syâfi’i yang hidup pada masa penuh pertentangan tersebut mengambil perannya dengan tawaran alternatif yang dimajukannya. Al-Syâfi’i menetapkan batasan-batasan bagi ushûl dan melegalkan ra’y, dan ia ingin meletakkan tatanan syari’ah di bawah metodologi yang dibangunnya. Dalam upayanya merumuskan ilmu ushûl al-fiqh ini, al-Syâfi’i berhutang kepada ahli bahasa dan gramatika yang dari mereka ia belajar, berdebat dan kemudian mengambil manfaat dari ilmu mereka yang saat itu sedang berupaya keras mengkodifikasi bahasa dan gramatika dengan bergerak dari ushûl (prinsip, metodologi) yang jelas dan definitif – khususnya al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaih yang mengakhiri metode kebahasaan secara utuh.
48
Akibatnya perbedaan-perbedaan dalam persoalan nahw tidaklah seluas, jika dibandingkan dengan perbedaan pendapat yang ada dalam ushûl al-fiqh.
38
Pada masa mudanya al-Syâfi’i
49
(150 H- 204 H) semasa dengan al-Khalîl
50
ibn Ahmad (100- 175 H) , peletak dasar ilmu sya’ir (‘arûdh) dan juga orang yang mengumpulkan dan mengkodifikasi bahasa dengan asas-asas metodik yang jelas. Al-Syâfi’i juga hidup semasa dengan murid al-Khalîl ibn Ahmad, Sîbawaih (147 H-180 H)51 yang menulis buku al-Kitâb dan mengumpulkan kaidah-kaidah bahasa Arab dan mengokohkan prinsip-prinsipnya dalam metode yang baku. Dengan demikian sulit untuk mengatakan bahwa al-Syâfi’i tidak terpengaruh oleh para ahli bahasa tersebut. Pengaruh metoda ahli bahasa dan ahli gramatika jelas terlihat dalam karya ushul al-fiqhnya, al-Risâlah, baik dari segi bentuk maupun muatannya. Penamaan buku ushul fiqh al-Syâfi’i dengan al-Risâlah memberikan petunjuk adanya hubungan al-Syâfi’i dengan penulis buku al-Kitâb karya Sîbawaih, sebuah buku yang mengkaji tentang gramatika Arab, sedangkan buku yang ditulis al-Syâfi’i tentang ushûl al-fiqh. Penjelasannya adalah al-Khalîl ibn Ahmad telah menjelaskan bayân Arab lewat ‘arûdh, Sîbawaih menetapkan i’râb dan tasrîf dan al-Syafi’i menjelaskan apa yang dimaksud dengan bayan itu (kaif bayân). Artinya perumusan bayan Arab pada tingkat konstruksi (nahw) dan tingkat makna telah dikerjakan oleh al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaih. Yang masih tersisa adalah bayan tentang hubungan pada tingkat konstruksi dan makna, khususnya dalam teks keagamaan guna mengatasi terjadinya kekacauan yang melanda wilayah tasyri’, sebagai akibat dari pemalsuan hadits dan penggunaan ra’y tanpa terkendali. Jika penjelasan di atas dapat diterima, maka menjadi tidak ada gunanya mencari otoritas referensial yang dijadikan pegangan oleh al-Syâfi’i dalam proyeknya ini kepada logika Yunani ataupun lainnya seperti yang umumnya dilakukan oleh sarjana Barat. Sebenarnya al-Syâfi’i, dalam al-Risâlahnya, sejak 49
Untuk biografi al-Syâfi’i lihat Abu Zahrah, al-Imâm al-Syâfi’i, (Mesir: al-Maktab alIslami), 1976. Sebuah kajian yang bagus tentang al-Syâfi’i, pemikiran fiqh dan pengarunya di dunia Islam. 50 Untuk Biografi al-Khalîl ibn Ahmad al-Farâhidî lihat Abd al-Karîm Muhammad alAs’ad, al-Wasît fî Târîkh al-Nahw al-‘Arabî, (Riyadh: Dâr: al Syawaf, 1992), h. 53, al-Zubaidî, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tt), h. 47-51, Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1976), h. 30-59. 51 Untuk Biografi Sibawaih lihat Syauqi Dhaif, al-Madâris…, h, 57-93, al-Zubaidî, alThabaqât…, h. 66-72, ‘Abd al-Karîm, al-Wasîth…, h. 58.
39
awal telah mengisyaratkan otoritas referensial yang menjadi acuan dalam proyeknya itu. Otoritas referensial itu sebenarnya berkaiatan secara langsung dengan aktifitas intelektual yang berlangsung dalam wilayah pemikiran Arab itu sendiri dan bukan dari luarnya. Karena itulah persoalan pertama yang dimajukan oleh al-Syâfi’i dalam al-Risâlahnya adalah “kaif bayân, bagaimana bayan? Kemudian ia sendiri menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan penjelasan bahwa bayân adalah ungkapan yang mencakup berbagai makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama namun cabangnya berbeda-beda. Bagi mereka yang sangat mendalam penguasaannya tentang bahasa Arab, dimana alQur’ân diturunkan dengan bahasa itu, persamaan dan pecabangannya tampak jelas (bayân) dan serasi, meskipun sebagiannya nampak lebih kuat aspek bayânnya dari sebagian yang lain, tetapi hal tersebut menjadi tidak jelas bagi mereka yang tidak memahami bahasa Arab.52 Dengan demikian, yang dimaksud dengan bayân adalah wacana al-Qur’ân yang diturunkan dengan bahasa Arab dengan keserasian gaya bahasa pengungkapannya. Sedangkan tujuan al-Syâfi’i adalah menetapkan hubungan konstruksi dan makna yang ada di dalamnya dengan berangkat dari titik tolak bahwa bayân adalah ushûl dan furû’ dan bahwa hubungan antara ushûl dan furû’ ini ditentukan oleh pengetahuan tentang bahasa Arab. Ketidak jelasan dalam hubungan ini adalah karena orang tidak memahami bahasa Arab. Adapun fokus perhatian al-Syâfi’i hanya terbatas pada wilayah syari’ah, bukan pada wilayah akidah. Selanjutnya al-Syâfi’i mengklasifikasi dan menetapkan aspek-aspek bayân dalam wacana al-Qur’ân dan membaginya menjadi lima. Pertama, titah yang dijelaskan oleh Allah untuk makhluk-makhluk-Nya secara tekstual (nashsh) dan tidak memerlukan ta’wîl atau penjelasan karena telah jelas dengan sendirinya. Kedua, titah yang telah dijelaskan oleh Allah kepada makhluk-makhluk-Nya secara tekstual namun masih membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan. Dan fungsi penjelasan ini dipenuhi oleh Nabi. Ketiga, titah yang ditetapkan oleh Allah 52
Al-Syâfi’i, al-Risâlah, (Beirut: Dâr al Fikr, 1980). h. 21. Bandingkan dengan Wahbah Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Asriyyah), h. 125.
40
dalam kitab-Nya dan titah ini dijelaskan oleh Nabi-Nya. Keempat, masalahmasalah yang tidak disinggung oleh al-Qur’ân namun dijelaskan oleh Nabi sehingga memiliki kekuatan sebagaimana titah yang sebelumnya karena terkait dengan kewajiban mentaati rasul-Nya. Kelima, apa yang Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad, dan cara untuk sampai kearah itu adalah dengan memahami bahasa Arab dan stalistika ungkapan dan membangun fikiran berdasarkan qiyâs, yaitu menganalogikan suatu kasus yang tidak ada hukum tentang itu dalam teks (nashsh) atau khabar, dengan suatu keputusan hukum yang telah ada yang didasarkan pada teks, khabar atau ijma’.53 Dari sini kemudian ditetapkan aturan umum yang membingkai fikiran dan membatasi wilayah geraknya. Dalam hal ini al-Syâfi’i menegaskan bahwa tidak seorangpun berhak untuk mengatakan halal dan haramnya sesuatu kecuali dari perspektif ilmu. Dan perspektif ilmu itu adalah informasi dari kitab dan sunnah, ijmâ’ dan qiyâs.54 Dengan demikian al-Syâfi’i telah menetapkan prisip fundamental dalam wilayah tasyri’ (ushûl tasyrî’) ke dalam empat prisip pokok, yakni al-Qur’ân, sunnah, ijmâ’ dan qiyâs. Di sana ia mempertemukan ushûl ahl al-hadîts dan ushûl ahl al-ra’y, dengan mendasarkan pada dua prinsip penting: membatasi ra’y dan menetapkan syarat-syarat bagi qiyâs pada satu sisi, dan menghubungkan kata dengan makna berdasarkan bayân Arab pada sisi yang lain. Berkaiatan dengan hal yang pertama, ra’y tidak boleh berjalan kecuali berdasarkan qiyâs. Qiyâs adalah proses penalaran yang didasarkan kepada adanya persesuaian dengan informasi yang telah ada dengan yang sebelumnya dalam kitab dan sunnah, persesuaian antara ashl dengan cabang (far’), karena keduanya memiliki kesamaan makna atau adanya keserupaan. Untuk syarat qiyâs, al-Syâfi’i mengatakan bahwa orang tidak boleh melakukan qiyâs kecuali memiliki perangkat yang cukup untuk melakukannya, yakni mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum yang ada di dalam kitabullah, ketentuan-ketentuannya, aspek sastranya, nâsikh dan mansûkhnya, ‘âmm dan khasnya serta petunjukpetunjuknya. Orang tidak boleh melakukan qiyâs kecuali memiliki pengetahuan 53 54
Al-Syâfi’i, al- Risâlah, h. 38. Al-Syâfi’i, al-Risâlah, h. 39.
41
tentang sunnah, pendapat-pendapat ulama’ sebelumnya, ijma dan perselisihan umat serta menguasai bahasa Arab.55 Ini memperlihatkan keterkaitan dan peran penting bahasa Arab dalam hubungannya dengan fiqh. Mengenai istihsân, al-Syâfi’i mengatakan bahwa istihsân tidak boleh, sebab seandainya boleh meninggalkan qiyâs, tentunya bagi mereka yang bukan ahl al-‘ilm (ahl al-hadîts) boleh mengatakan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan istihsân, padahal pendapat yang tidak didasarkan pada khabar atau qiyâs tidak dibolehkan.56 Al-Syâfi’i juga menolak maslahah Mursalah yang ada dalam mazhab Mâlik.57 Dengan demikian al-Syâfi’i telah menarik diri dari Abu Hanîfah yang berpegang kepada ra’y (istihsân) dan juga dari Mâlik yang menggunakan Maslahah Mursalah58 sebagai pengganti hadits, ketika hadits tidak dijumpai untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Selanjutnya, al-Syâfi’i mengembalikan segala sesuatu kepada kitab dan sunnah melalui qiyâs. Selanjutnya
al-Syâfi’î menetapkan hubungan antara kata dan makna
dalam lingkup syari’ah. Sementara pada tingkat struktur telah diselesaikan oleh alKhalîl ibn Ahmad dan Sîbawaih. Menurut al-Syâfi’i, didalam al-Qur’ân Allah memberikan titah kepada orang Arab dengan bahas Arab serta dengan makna yang telah mereka kenal. Di antara makna-makna yang mereka kenal adalah keluasan bahasa Arab, karakternya dengan cara mengungkapkan sesuatu, dengan pola umum-eksplisit (‘âmm-zahir), dengan maksud yang juga umum dan eksplisit. Sehingga yang pertama tidak memerlukan pernyataan yang kedua. Ada pula pernyataan yang umum-eksplisit dengan maksud umum, namun mengandung makna khusus (khâs). Dalam hal ini hanya sebagian yang dititahkan saja yang dapat dijadikan dalil. Ada pula pernyataan yang umum-eksplisit dengan arti khusus,
55
serta
pernyataan
eksplisit-literal
(zâhir)
tetapi
dari
konteks
Al-Syâfi’i, al-Risâlah, h. 509-510. Al-Syâfi’i, al-Risâlah, h. 505. 57 Lihat pengantar yang ditulis oleh Ahmad Muhammad Syakir dalam tulisannya sebagai pengantar al- Risâlah, (Kairo: Bâbî al Halabî, 1940), h. 12. 58 Al-Masâlih al-Mursalah adalah setiap maslahat yang tidak ada ketentuannya secara tekstual. Al-Ghazali menyebutnya dengan al-istishlâh. Lihat al-Ghazali, al-Mustasfa, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), h. 300. 56
42
pengungkapannya, harus diberi arti implisit-non literal (ghair zâhir). Dalam pembicaraannya orang Arab menjadikan awal kata menjadi penjelas bagi akhirnya, atau sebaliknya, memulai suatu pembicaraan dengan asumsi kata-kata terakhir memperjelas kata pertama. Mereka kadang-kadang membicarakan sesuatu yang mereka kenali maknanya tanpa penjelasan melalui kata-kata, tetapi melalui isyarat. Pola bahasa yang terakhir ini merupakan pola bahasa tinggi yang hanya bisa difahami oleh mereka yang tingkat kecerdasannya tinggi pula.59 Demikianlah pola hubungan kata dengan makna dalam lingkup syari’ah60 yang digagas al-Syâfi’i. Dengan demikian, ijtihad pada dasarnya hanyalah upaya memahami teks keagamaan dalam lingkup yang ditetapkan tadi. Pemecahan suatu masalah harus dicari dalam dan hanya melalui teks. Qiyâs sama sekali bukan ra’y, tetapi suatu proses yang dilakukan berdasarkan dalil sesuai dengan informasi yang ada dalam dalam kitab dan sunnah. Dengan demikian, agar qiyâs dapat terlaksana, harus ada khabar (teks) dalam kitab atau sunnah yang dapat dijadikan dalil dan harus ada pula persamaan antara cabang dengan ashl. Mekanisme yang sama terjadi pula dalam qiyâs yang ada dalam nahw. C. Budaya Ilmiah Bangsa Arab Sebelum dan Setelah kedatangan Islam Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam seringkali digambarkan dalam buku-buku sejarah dengan ungkapan Arab jahili. Ungkapan ini seolah-olah memberikan gambaran bahwa tidak ada sama sekali nilai-nilai positif yang mereka yakini dan mereka terapkan dalam kehidupan mereka. Cara pandang seperti ini berpijak pada pandangan bahwa Islam adalah cahaya kebenaran dan sebelum kedatangan Islam kebenaran itu belum ada. Biasanya yang sering dipersoalkan adalah masalah keyakinan bangsa Arab yang masih menyembah berhala. Terlepas dari persoalan di atas, pada bangsa Arab sebelum Islam sesungguhnya terdapat hal-hal yang positif atau nilai-nilai kebajikan pada mereka. 59
Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 51-52. Pembahasan yang bagus mengenai pola hubungan hubungan kata dengan makna dalam lingkup Syari’ah lihat Muhammad ‘Abd al-‘Ali Muhammad ‘Ali, Mabâhits Ushûliyyah fî Taqsîmât al-Alfâz, (Kairo: Dar al-Hadits, 2007), Saifuddin al-Âmidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h. 16-29, Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), h. 87-137. 60
43
Philip K. Hitti misalnya mencatat beberapa nilai positif yang ada pada bangsa Arab sebelum Islam seperti murû’ah (kewibawaan) dan ‘irdh (kehormatan).
61
Unsur-unsur yang terdapat dalam muru’ah adalah keberanian, loyalitas dan kedermawanan. Keberanian pada umumnya diukur dengan berapa banyak jumlah peperangan yang telah diikuti. Kedermawanan terlihat dari kesediaannya mengurbankan untanya untuk menyambut tamu atau untuk kepentingan orang miskin yang memerlukan bantuan. Hal-hal positif lainnya dari bangsa Arab sebelum Islam adalah seperti keterampilan menunggang kuda, kekuatan daya hafal, membuat syi’ir.62 Hidup berpindah-pindah (nomaden) menuntut keterampilan untuk mempergunakan sarana mobilitas yang cepat dan tepat, yang membuat mereka dituntut untuk mahir menunggang kuda. Keterbatasan alat-alat tulis dan minimnya kemampuan tulis mereka memaksa mereka untuk mencatat peristiwa kehidupan yang mereka alami dengan cara menghafal. Dan kebanggaan mereka terhadap bahasa dan ungkapan yang indah
menumbuhkan bakat alamiah mereka untuk membuat syi’ir.
Kemampuan menghafal memainkan peran yang sangat penting pada masa kemudian setelah kedatangan Islam dan masa kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Jika pengertian ilmiah, diukur ddengan pengertian saat ini, yakni suatu kajian sistematis terhadap disiplin ilmu tertentu, maka sulit untuk menemukan adanya aktifitas ilmiah pada bangsa Arab sebelum Islam. Dengan kata lain aktifitas ilmiah belumlah ada pada masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Tetapi potensi bagi suatu kajian ilmiah telah dimiliki oleh bangsa Arab sebelum Islam yaitu berupa kekuatan daya hafal. Para ahli sejarah mencatat bahwa awal kegiatan ilmiah baru dimulai seiring dengan kedatangan Islam.63 Landasan awal bagi pemikiran dan tradisi keilmuan dalam Islam terdapat pada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Al-Qur’an secara 61
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemah oleh cecep Luqman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2006), h. 119. 62 Charles Michael Stanton, The Higher learning in Islam, (USA: Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1990), h. 14. 63 Gregor Schoeler, The Oral and The Written In Early Islam, (London: Routledge, 2006), h. 39.
44
tegas memerintahkan ummatnya untuk membaca semenjak awal al-Qur’an diturunkan. Demikian pula dengan usaha keras yang dilakukan Nabi yang menganjurkan pengikutnya untuk bergiat mencari ilmu pengetahuan. Contoh terbaik yang menggambarkan upaya keras Nabi untuk menggiatkan mencari ilmu adalah berkaitan dengan tawanan perang. Dalam salah satu peperangan yang terjadi antara kaum Muslim dengan orang kafir, kaum Muslim dapat menawan sejumlah kaum kafir. Sebuah kebijakan diluncurkan oleh Nabi menyangkut tawanan perang tersebut. Bagi mereka yang memiliki kesanggupan untuk membebaskan diri mereka dengan tebusan dapat memperoleh kembali kebebasannya dengan membayar sejumlah tebusan. Tetapi bagi mereka yang tidak mampu membayar tebusan, tetapi memiliki kemampuan tulis-baca, ia dapat memperoleh kebebasannya dengan cara mengajar tulis baca kepada anak-anak Muslim.64 Setelah Nabi wafat, di hadapan umat Islam terdapat dua sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’ân dan sunnah. Pada saat itu al-Qur’ân belum terhimpun menjadi buku yang terhimpun dan terkodifikasi. Al-Qur’ân masih tersimpan berserakan pada catatan pelepah kurma, bebatuan dan tulang unta. Demikian pula dengan hadis Nabi. Hadis masih tersimpan pada hafalan para sahabat dan sejumlah catatan pribadi.65 Upaya penyebaran al-Qur’ân dan hadis ini dilakukan secara oral (lisan) atau yang lebih lazim disebut dengan tradisi riwayat oleh para sahabat kepada generasi dibawah mereka. Tradisi riwayat ini menempati peran sentral dalam ilmu-ilmu keislaman dan kemudian berkembang sehingga menjadi tren metodologi pengetahuan abad kedua hijrah. Abad inilah yang disebut oleh Fazlurrahman sebagai fenomena metodologi keagamaan.66 Tradisi ini kemudian terkodifikasi pada abad ketiga hijrah dalam bentuk enam kumpulan buku hadis yang kemudian terkenal dengan sebutan Kutub al-Sittah. Fenomena ini menarik 64
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 16. 65 Muhammad Musthfa Azami, Studies in Early Hadith Literature: Whith a Critical Edition of Some Early Texts, (Indianapolis: American Trust Publication,1978), h. 50. Bandingkan dengan Musyrifah Sunanto, Sejararah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 15-16. 66 Fazlurrahman, Islam, terjemahan oleh Ammar Haryono, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 51-52.
45
karena dalam jangka yang begitu lama untuk ukuran berita, hadis bisa disaring menjadi sebuah catatan yang bisa diterima dan disahkan sebagai asli dari Nabi. Transmisi keilmuan dengan cara lisan dan tertulis ini menandai perkembangan awal tradidisi ilmiah dalam Islam. Pada tradisi lisan dilakukan dengan cara mendengarkan secara langsung ilmu dari orang yang memiliki otoritas dalam bidang ilmu yang terkait. Otoritas itu ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menguasai satu bidang ilmu tertentu dengan basis ingatannya yang kuat. Di sini peran kekuatan daya ingat yang merupakan salah satu nilai positif bangsa Arab, berperan besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Menurut Gregor Schoeler, tradisi lisan ini berlangsung hingga abad kedua hijrah, yang ia sebut sebagai masa pembentukan teks. Tradisi lisan, dengan mendengar langsung dari guru, dianggap sebagai metoda terbaik dalam tradisi ilmiah Islam hingga muncul istilah isnad.67 William C. Chittik mencatat dari para filosof Islam bahwa mereka membedakan pengetahuan antara yang ditransmisikan dengan pengetahuan intelektual. Pengetahuan yang ditransmisikan adalah pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun dari dari orang lain secara lisan, dalam arti tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan cara kerja akal. Ia memberikan contoh untuk ilmu-ilmu yang diperoleh dengan cara seperti itu adalah ilmu bahasa, wahyu, ilmu kalam dan fiqh. Sedangkan pengetahuan intelektual adalah kebalikan dari yang disebut pertama, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan memaksimalkan cara kerja akal secara sistemik. Contoh untuk ilmu-ilmu yang diperoleh dengan cara yang disebut terkhir ini adalah matematika, astronomi, psikologi, kosmologi dan filsafat.68 Dalam konteks inilah kemudian ia mengelompokkan para filosof sebagai kelompok yang memperoleh pengetahuan intelektual, berdasarkan perenungan dan pemikiran yang mendalam terhadap realitas. Masih dalam kontek cara memperoleh pengetahuan ini, Fazlurrahman
67
Gregor Schoeler, The Oral and Written in Early Islam, h. 45. Dalam penjelasan lebih lanjut Chittik menjelaskan bahwa di dalam Islam bahwa antara akal dan wahyu terdapat hubungan yang harmonis yang tidak bisa dipisahkan secara antagonis. Lihat William C. Chittik, dalam Ted Peters, Muzaffar Iqbal dan Syed Nomanul Haq (ed), Tuhan, Alam dan Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj (Bandung: Mizan, 2006), h. 146-150. 68
46
menggunakan istilah tradisi verbal dan praktis. Tradisi verbal yang dimaksud adalah keingintahuan masyarakat pada awal Islam untuk mengetahui sifat dan tindakan Nabi dengan cara mencari informasi dari orang-orang yang pernah menemani atau pernah sekedar dekat dengan Nabi. Sedangkan tradisi praktis adalah praktik yang telah berlangsung secara cultural semenjak Nabi masih hidup hingga wafatnyadan berlangsung secara bersama di beberapa tempat dengan transmisi dari orang yang juga pernah hidup bersama dan dan melihat langsung pribadi Nabi. Al-Ghazali mengklasifikasi pemerolehan ilmu berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu insani dan ilmu rabbany. Ilmu insani adalh ilmu yang diperoleh melalui pembelajaran biasa, yaitu menggunakan media panca indera, tulisan atau transmisi melalui guru. Sedangkan ilmu rabbani adalah ilmu yang langsung dari Tuhan, bisa dalam bentuk wahyu yang sudah tertulis maupun dalam bentuk ilham.69 Sedangkan Makdisi menceritakan periode pengetahuan dalam Islam melalui hafalan dan itu terjadi semenjak awal keberadaan Islam. Dalam penjelasannya ia menegaskan bahwa seseorang dalam pada masa awal Islam menghafal syi’ir-syi’ir Arab kuno untuk mendukung argumen dalam menjelaskan makna al-Qur’ân dan melahirkan ilmu nahw.70
69
Abû Hamid Muhammad al-Ghazâlî, Risâlah Laduniah dalam Majmû’ ât Rasâil, (Kairo: Maktabah Tawfiqiyah, 1960), h. 247. 70 George A. Makdisi, Cita humanisme Islam, terj. (Jakarta: Serambi, 2005), h. 316.
BAB III QIYÂS: AWAL MULA DAN PERKEMBANGANNYA
Pembahasan pada bab ini bertujuan untuk membuktikan bahwa qiyâs, baik yang ada pada ushûl al-fiqh maupun pada ushûl al-nahw, mempunyai akarakarnya dalam kebudayaan Arab. Qiyâs yang ada dalam dua cabang ilmu tersebut sesungguhnya merupakan ra’y, yang karena desakan kebutuhan sosial, berkembang menjadi lebih sistematis.
A. Qiyâs dalam Bahasa Arab Qiyâs mempunyai beberapa makna. Secara umum keseluruhan makna tersebut dapat dikembalikan kepada makna dasarnya yaitu mengukur. Sebuah ungkapan Arab رatau رberarti mengukur tombak atau lembing. Fakta ini juga menunjukkan bahwa kata qiyâs mempunyai dua akar kata yaitu – ق ي – س/ س- ق – وyang memiliki arti yang sama. Ungkapan Arab qistu al-syai’a bighairih berarti saya mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang serupa.1 Kesamaan jumlah dan kwalitas adalah dua hal yang mendasari pengukuran. Kata qiyâs digunakan oleh orang Arab untuk mengukur kedalaman luka di kepala. Sebuah ungkapan Arab س ا اatau س ااyang berarti dokter mengukur luka di kepala atau mengukur kedalaman luka.2 Sedangkan ungkapan ارdapat berarti gadis itu melangkah dengan teratur.3 Ketika berjalan ia melangkah dengan langkah-langkah yang terukur dan seimbang. Langkahlangkahnya nyaris sama. Dari sini diturunkan makna menyamakan sesuatu. Kata ّسberarti orang yang sering atau banyak melakukan qiyâs, sedangkan adalah orang yang mengukur kedalaman luka di kepala dengan dugaan. Bentuk lain dari qiyâs adalah iqtiyâs berarti mengikuti atau merujuk pada kesamaan atau pada sesuatu yang memiliki unsur yang sama.4 1
Al-Jauharî, al-Shihâh, Kairo: (Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1977), h. 200. Muhammad ibn Umar al-Zamakhsyari, Asas al-Balâghah, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1980), h.150. Lihat juga Jamâluddin Muhamad ibn Mukarram ibn Manzur, Lisân al‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr), juz. I, h. 81, juz II, h. 69. 3 Jamâluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr, Lisân…, juz III, h.59, juz IV, h.26. 4 Jamâluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr, Lisân…, juz XIII, h.364. 2
47
48
Qiyâs, yang menggambarkan pengertian ukuran dan persamaan, dalam arti kiasan dapat berarti ketetapan atau cara yang telah ditentukan. Dari sini diturunkan makna lain dari qiyâs yaitu menentukan (taqdîr). Misalnya seseorang mengatakan, ا "! اس#ه, yang berarti menurut ketetapan yang telah ditentukan. Demikian juga ungkapan ا#"! اس آ, yang berarti menurut cara begini.5 Istilah ini sering dipergunakan oleh para ahli hukum awal dalam pengertian “prisip umum” atau hukum yang telah ditentukan, seperti banyak ditemukan dalam literatur hukum. Berbagai makna qiyâs dapat diringkas menjadi pengukuran, perbandingan, kesamaan, hukum yang telah ditentukan, menetapkan dan prinsip umum. Dalam pemakaiannya secara teknis makna ini hanya dipakai dalam pengertian membandingkan antara dua kasus yang sama dan menyelesaikan kasus baru berdasarkan ketetapan hukum yang telah diterapkan sebelumnya. Penting untuk dicatat bahwa kata qiyâs dengan sejumlah maknanya tersebut telah ada dan dipakai oleh orang Arab jauh sebelum terjadinya penterjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab. Ini berarti bahwa qiyâs bukanlah sesuatu yang asing dalam bahasa dan budaya Arab. Berdasarkan analisa kebahasaan ini, al-Âmidî menyimpulkan bahwa qiyâs mensyaratkan dua
hal yang masing-masing dihubungkan satu dengan yang
lainnya oleh kesamaan yang menjadi titik temu hubungan tersebut.6 Jika dikatakan bahwa si A dibandingkan dengan si B, ini dapat berarti A sebanding dengan B karena keduanya mempunyai kesamaan tertentu. Makna literal qiyâs ini berpengaruh pada makna teknisnya. Dalam bidang fiqh misalnya, para ahli fiqh berpendapat bahwa kata qiyâs mengandung tiga makna. Pertama, mengukur atau mengevaluasi, yakni memastikan tingkat atau ukuran sesuatu dengan cara membandingkan dengan objek lainnya yang pas dan setara dan diketahui ukurannya. Seperti mengukur kain dengan meteran. Ini merupakan pengukuran nilai sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kedua, qiyâs berarti kesamaan. Seperti contoh di atas. 5
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1970), h. 140-141. 6 Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h. 125.
49
Terakhir, qiyâs dapat berarti gabungan dari kedua makna di atas, yaitu makna evaluasi dan kesamaan. Makna ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membuktikan kesamaan dua hal, dan terbukti keduanya sama. Dengan demikian, pengukuran dan evaluasi mengandaikan adanya kesamaan dalam pengertian qiyâs secara literal. Karena itu al-Bazdawî dan al-Nasafî tidak menambahkan apapun kepada makna literal qiyâs. Keduanya berpendapat bahwa qiyâs menurut makna asalnya berarti menentukan atau memastikan kualitas atau nilai sesuatu, atau menjadikan ukuran dua hal yang sama dalam kwantitasnya, baik keduanya terkait berdasarkan persepsi indra maupun berdasarkan persepsi akal.7 Pandangan yang sama tentang makna qiyas ini dikemukakan pula oleh para ahli nahw.8 Namun kata-kata qiyâs tidak pernah dipakai dalam al-Qur’ân. Tetapi kata-kata yang memiliki gagasan atau makna yang sama dengan qiyâs dapat ditemukan didalamnya, contohnya seperti kata i’tibâr dan nazhar. Kata qiyâs juga tidak muncul dalam literatur hadits. Akan tetapi ada ungkapan Nabi yang memiliki gagasan yang kurang lebih setara dengan makna qiyâs dalam bahasa Arab. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Nabi apakah ia boleh menunaikan ibadah haji atas nama orang tuanya yang telah meninggal. Nabi memberikan jawaban dengan membandingkan pada kebolehan membayarkan hutang atas nama orang tua. Jawaban tersebut memperlihatkan penggunaan makna qiyâs dalam penalaran yang bersifat alamiah meskipun tidak terdapat materi kata qiyas dalam hadits. Dapat disimpulkan bahwa qiyâs, dengan beragam maknanya, telah dipakai dalam bahasa dan kebudayaan Arab sebelum terjadinya penterjemahan bukubuku Yunani kedalam bahasa Arab.
7
Kamâl ibn Humam, al-Tahrîr, (Kairo: Dâr al Kutub, 1951), h. 263-264. Dan komentarnya oleh Amir Badsyah. 8 Lihat penjelasan Mahmûd Ahmad Nahlah yang membandingkan struktur ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw. Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw al-‘Arabî, (Iskandariyah: Dâr al-Ma’rifah al- Jâmi’iyyah, 2002), h. 99. Disebabkan karena pada masa-masa yang terkemudian ushûl al-nahw banyak dipengaruhi oleh ushûl al-fiqh, maka ketika ahli nahw menjelaskan pengertian qiyâs penjelasan mereka sangat mirip dengan pengertian qiyâs dalam ushûl al-fiqh. Argumen lainnya adalah karena biasanya seorang ahli nahw juga seorang ahli fiqh.
50
B. Qiyâs dalam Ushûl al-Fiqh Sumber hukum paling utama dalam tahap awal perkembangan hukum Islam adalah al-Qur’ân yang diperinci, diberi contoh dan ditafsirkan oleh sunnah. Dengan demikian, al-Qur’ân-sunnah merupakan satu sumber hukum. Masyarakat dimana al-Qur’ân diturunkan secara alamiah tumbuh dan berkembang semakin luas seiring dengan tersebarnya Islam keseluruh penjuru. Dengan terjadinya kontak sosial dan saling pengaruh-mempengaruhi antara Islam dengan budayabudaya lain yang bertetangga dengannya, banyak persoalan-persoalan baru muncul sebagai akibat dari kontak sosial tersebut. Sedangkan persoalan–persoalan tersebut belum pernah terjadi pada umat Islam yang hidup dimasa Nabi. Dengan demikian hukum-hukum yang disediakan oleh sumber al-Qur’ân-Sunnah dimasa Nabi harus ditambahi dan sesekali ditafsir ulang untuk mengakomodir persoalanpersoalan baru yang harus dicarikan jawaban hukumnya. Dengan demikian hukum Islam berkembang dengan munculnya persoalan baru dari waktu ke waktu semenjak masa Nabi, serta dicipta dan dicipta lagi, ditafsir dan ditafsir lagi sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Proses pemikiran ulang dan penafsiran ulang hukum ini disebut ijtihâd.9 Sarana utama ijtihâd pada periode awal perkembangan hukum Islam adalah ra’y. Istilah ini mendahului istilah qiyâs dan istihsân dalam penalaran hukum pada generasi awal. Pembahasan dalam bab ini akan dilakukan dengan urutan tersebut yaitu, ra’y, qiyâs dan istihsân. Karena ketiganya mempunyai kaitan yang sangat erat. Secara harfiah ra’y berarti pendapat dan pertimbangan. Orang-orang Arab telah lama mempergunakan makna tersebut untuk pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani persoalan yang dihadapi. Seseorang yang memiliki pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai dzu alra’y. Lawan kata dari dzu al-ra’y tersebut adalah mufannad, seseorang yang
9
Ahmad Hasan, The Early…, h. 115. Secara harfiah ijtihâd berarti bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Secara teknis ia didefinisikan sebagai mencurahkan segenap usaha untuk mengetahui hukum syar’i melalui istinbâth. Lihat Muhammad al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ilâ tahqîq al-haq min ‘Ilm al-ushûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), h. 250. Saifuddin al-Âmidî, alIhkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), Vol II, h. 342.
51
lemah dalam berfikir dan tidak bijaksana dalam pertimbangan. Penggunaan kata mufannad tersebut hanya diperuntukkan bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan, karena menurut keyakinan orang Arab dulu perempuan tidak mempunyai ra’y meskipun dimasa mudanya, apalagi dimasa tuanya.10 Al-Qur’ân menunjukkan bahwa kaum Nuh telah menolak pesan yang disampaikannya karena beliau diikuti oleh orang-orang yang lemah dan tidak matang dalam pertimbangan (bâdî alra’y).11 Penjelasan di atas secara implisit menyiratkan bahwa kesempurnaan intelektual dan kematangan dalam menimbang sesuatu telah lama dipakai sebagai kriteria bagi kebesaran seseorang. Al-Qur’ân sendiri secara berulang-ulang menyeru untuk berfikir secara mendalam dan merenungkan ayat-ayatnya. AlQur’ân juga mengajak untuk mempergunakan nalar dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Nabi sendiri memberikan contoh dengan menerima pendapat sahabat dalam persoalan-persoalan dimana beliau tidak dituntun wahyu. Contoh terbaik untuk ini adalah dalam peristiwa perang Badar. Nabi memilih tempat tertentu untuk membangun perkemahan bagi pasukan Muslim. Seorang sahabat, Hubbâb ibn Munzir, bertanya apakah beliau memilih tempat tersebut atas pertimbangan ( ra’y ) pribadi atau atas petunjuk Allah. Nabi menjawab bahwa pemilihan tempat tersebut berdasarkan pertimbangan beliau sendiri. Ketika sahabat tersebut mengusulkan suatu tempat yang lebih cocok, Nabi mengatakan kepada sahabat tersebut bahwa dia telah memberikan pertimbangan yang matang (laqad asyarta bi al-ra’y).12 Dorongan al-Qur’ân untuk bermusyawarah dengan para sahabat dalam berbagai persoalan yang sedang dihadapi, secara tidak langsung memberi arti diterimanya penggunaan ra’y dalam memutuskan persoalan, termasuk persoalan keagamaan. Persoalan yang dihadapi umat Islam tidaklah pelik ketika Nabi masih hidup. Karena setiap saat dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan keputusan
10
Muhammad ibn Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), Juz. V, h. 292-
293. 11
Al-Qur’ân, 47: 24. Abû Muhammad Abdullah ibn Yûsuf ibn Hisyâm, Sîrah al-Nabawî, (Kairo: Dâr alKutub, 1929), juz II, h. 210-211. 12
52
beliau merupakan keputusan final. Tetapi setelah beliau wafat persoalan semakin lama semakin pelik. Di hadapan para sahabat terdapat dua landasan untuk memutus kasus-kasus yang baru, yaitu al-Qur’ân dan preseden-preseden hukum yang ditinggalkan oleh Nabi. Tentang al-Qur’ân dapat dikatakan bahwa ra’y merupakan alat terbaik untuk menimbang ayat al-Qur’ân yang mana yang tepat untuk diterapkan pada suatu situasi tertentu dan mana yang tidak. Persoalan Sunnah jauh lebih sulit dari persoalan al-Qur’ân. Alasannya adalah pertama, dibutuhkan penegasan apakah suatu Sunnah tertentu memang benar berasal dari Nabi. Kedua, apakah sahabat yang meriwayatkan Sunnah tersebut benar-benar memahami makna Sunnah yang diriwayatkanya. Dalam masalah ini dapat dikemukakan kritik internal sejumlah sahabat terhadap sahabat lainnya tentang Sunnah-Sunnah yang mereka riwayatkan. Akibatnya penggunaan ra’y merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kaum muslimin dituntut untuk menggunakan ra’y dalam menafsirkan ayat al-Qur’ân dan menyeleksi sunnahsunnah yang tepat untuk diterapkan pada kasus- kasus tertentu.13 Penafsiran dan penyeleksian ini menyiratkan anjuran digunakannya pendapat pribadi. Karena itu, sejak masa-masa awal Islam telah terjadi perbenturan antara hukum yang tersurat dengan semangat yang tersirat didalam teks. Ini berarti bahwa ra’y tetap digunakan meskipun terdapat ayat atau hadits tentang kasus tertentu. Jika dilakukan penelitian yang cermat terhadap sejumlah pendapat sahabat, dapat ditemukan bahwa mereka tetap menggunakan ra’y meskipun terdapat ayat atau hadits tentang masalah tertentu. Kenyataannya seorang sahabat menunjuk suatu ayat atau hadits sedangkan sahabat yang lain menunjuk ayat atau hadits lain yang berbeda. Suatu ayat yang sama tetapi dipahami secara berbeda. Kasus ijtihad Umar ibn al-Khattâb memadai untuk menjelaskan persoalan ini. Umar ibn alKhattâb menggunakan pendapat pribadinya, meskipun petunjuk dalam masalah yang sedang dihadapi dapat diputuskan karena sudah ada ayat atau hadits yang mengatur. Diriwayatkan bahwa Umar ibn al-Khattâb menghapus pembagian zakat yang diberikan kepada orang Muslim tertentu atau non-muslim tertentu untuk 13
Ahmad Hasan, The Early…, h. 118.
53
memantapkan atau menggugah hati mereka, seperti yang diperitahkan oleh alQur’ân.14 Nabi biasanya memberikan bagian ini kepada kepala suku Arab tertentu dengan tujuan untuk menarik mereka agar masuk Islam atau mencegah mereka agar tidak membahayakan umat Islam. Bagian ini diberikan pula kepada orangorang yang baru masuk Islam agar mereka tetap menganut Islam dengan teguh. Tetapi Umar ibn al-Khattâb tidak melakukan pembagian tersebut pada masa pemeritahannya. Umar ibn al-Khattâb berpendapat bahwa Nabi memberikan bagian tersebut untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka pembagian tersebut menjadi tidak diperlukan lagi.15 Tindakan Umar ibn alKhattâb ini sekilas tampaknya bertolak belakang dengan pernyataan al-Qur’ân. Tetapi sebenarnya dia mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti semangat perintah al-Qur’ân. Pertimbangan pribadinya membawanya pada suatu kesimpulan bahwa seandainya Nabi hidup dalam kondisi yang sama dengan yang sedang dia hadapi, tentulah Nabi akan memberikan keputusan yang sama. Umar ibn ‘Abd al-Azîz, sewaktu menjadi khalîfah, pernah memberikan bagian ini kepada orang-orang tertentu dengan tujuan yang sama seperti yang dilakukan Nabi ketika beliau hidup.16 Kedua contoh ini memperlihatkan bagaimana ra’y dipergunakan untuk memutuskan kapan dan dengan cara bagaimana suatu ayat atau hadits diterapkan. Contoh lainnya adalah keputusan Umar ibn al-Khattâb untuk tidak membagikan tanah-tanah di Iraq dan Suriah kepada para prajurit yang ikut berperang. Kaum muslimin mendesak Umar Ibn Khattâb agar membagikan tanah rampasan perang tersebut seperti praktik yang dulu dilakukan Nabi. Umar Ibn alKhattâb menjawab desakan tersebut dengan mengatakan jika tanah-tanah tersebut tetap dibagi, seperti keinginan para pendesaknya, dari mana dia mendapatkan biaya untuk membayar tentara yang akan menjaga perbatasan dan kota-kota yang baru direbut. Karena itu, pada akhirnya para sahabat menyetujui pendapat Umar ibn al-Khattâb dan mengatakan bahwa pendapat Umar ibn al-Khattâb tersebut 14
Al-Qur’ân 9: 60. Abû Bakar Ahmad ibn Ali al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-kutub, 1925), juz III, h.123-124. 16 Muhammad ibn Sa’ad, Al-Thabaqât…, h. 350. 15
54
benar (al-ra’y ra’yuka).17 Ini menunjukkan bahwa penggunaan ra’y bukan sesuatu yang asing oleh para sahabat dan generasi muslim awal. Umar
ibn
al-Khattâb
tampaknya
meninggalkan
ayat-ayat
yang
memerintahkan membagi harta rampasan perang kepada tentara yang ikut berperang. Menurut aturan dan praktik dari Nabi, tanah juga harus dibagikan seperti barang-barang lainnya yang termasuk ghanîmah. Umar ibn al-Khattâb lebih memilih keuntungan yang akan di dapat umat Islam secara umum daripada memberikan keuntungan untuk masing-masing individu. Keadilan sosial menuntut bahwa tanah yang ditaklukkan tersebut tidak dibagikan kepada tentara yang ikut berperang. Ini merupakan contoh penting dari penggunaan istihsân pada masa awal, yaitu menyimpang dari aturan yang sudah mapan demi mendapatkan keadilan dan kesejahteraan sosial.18 Menurut riwayat, sejumlah budak mencuri seekor unta, menyembelihnya dan memakannya beramai-ramai. Kasus ini disampaikan kepada Umar ibn alKhattâb dan dengan segera dia memerintahkan untuk dilakukan potong tangan terhadap para budak tersebut. Tetapi setelah berfikir sejenak, Umar ibn al-Khattâb membatalkan putusannya dan mengatakan kepada pemilik budak bahwa dia telah membuat lapar para budak tersebut dengan tidak memberi mereka makan.19 Karena itu Umar ibn al-Khattâb memerintahkan kepada pemilik budak tersebut agar mengganti unta yang telah dicuri itu dengan dua kali lipat harga unta tersebut. Riwayat lain menyatakan bahwa seorang laki-laki mencuri suatu barang dari bait al-mâl, namun Umar ibn al-Khattâb tidak menerapkan sanksi potong tangan kepadanya.20 Dalam kasus-kasus diatas terlihat bahwa Umar ibn alKhattâb tampaknya mengabaikan perintah ayat yang memerintahkan pemotongan tangan pencuri. Tetapi mesti diingat bahwa al-Qur’ân sama sekali tidak bicara 17
Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharâj, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Arabiyyah, 1920), h.13-15. Lihat juga Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1965), h.181. 18 Ahmad Hasan, The Early…, h. 120. 19 Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1951), juz II, h. 748. 20 Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharâj, h. 776. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Methodology, h. 182. Dalam teori hukum Islam (ushûl al-fiqh) ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diterapkan sanksi pidana hukum potong tangan tersebut, di antaranya tindak pidana tersebut tidak dilakukan dalam keadaan terpaksa.
55
tentang rincian potong tangan tersebut. Dalam hal ini Sunnah atau ra’y sangat berperan untuk memutuskan kapan sanksi potong tangan itu diterapkan dan kapan tidak. Semua contoh di atas memperlihatkan bahwa Umar ibn al-Khattâb tampaknya menyimpang dari perintah lahiriah al-Qur’ân atau Sunnah yang telah mapan. Tetapi sesungguhnya itu bukan suatu penyimpangan, melainkan suatu ketaatan yang sejati terhadap semangat al-Qur’ân, yang dilakukan dengan pertimbangan pribadi. Ra’y merupakan alat pokok dan alami untuk menyelesaikan persoalanpersoalan hukum oleh para ahli hukum awal. Perbedaan dalam hukum diberbagai pusat kegiatan hukum awal21 pada umumnya disebabkan oleh penggunaan ra’y. Ibn al-Muqaffa’ menyampaikan suatu gambaran tentang pertentangan pendapat yang sudah sangat memprihatinkan. Dia menceritakan bahwa perbedaan pendapat diantara para ahli hukum telah menimbulkan situasi yang kacau sehingga sesuatu yang dianggap halal di Hirah dapat dianggap haram di Kufah. Sesuatu hal tertentu diperbolehkan disatu bagian kota Kufah, sementara dibagian lain kota, hal yang sama menjadi terlarang. Madzhab-madzhab Iraq dan Hijaz bertahan dengan pendapat hukum yang ada pada mereka dan berusaha memojokkan lawanlawannya.22 Berikut ini akan ditunjukkan bagaimana ra’y dipergunakan dalam pembuatan hukum di pusat-pusat kegiatan hukum awal. Para ahli hukum Madinah pada umumnya mempergunakan ra’y dan penalaran mereka dalam menerima hadits. Cara mereka memperlakukan hadits banyak mendapat kritik dari lawan-lawan mereka. Mereka meriwayatkan hadits dari Nabi tetapi tidak mematuhinya. Ada sejumlah contoh yang dapat memberikan gambaran bagaimana cara-cara orang Madinah memperlakukan hadits. Mâlik meriwayatkan sebuah hadits bahwa Nabi pernah melaksanakan salat Zhuhur dan ‘Asar dengan cara digabungkan (jama’), dan begitu pula beliau telah menyatukan
21
Pusat kegiatan hukum awal adalah Makkah, Madinah, Suriah dan Iraq. Di kota-kota tersebut terdapat sejumlah ahli hukum yang sangat berpengaruh bahkan sampai pada masa yang kemudian. Untuk saat ini Mesir belum menjadi pusat kegiatan hukum yang diperhitungkan. Lihat Joseph Schacht, The Origins…, h. 100-118. 22 Ibn al-Muqaffa’, Risâlah fi al-Shahâbah, (Kairo: al-Bâbî al-Halabî, 1954), h.126.
56
shalat Maghrib dan ‘Isya’ dalam keadaan tidak ada kekhawatiran akan turun hujan. Mengakhiri riwayatnya, Mâlik mengatakan ”Saya pikir ( ârâ ) hal itu terjadi pada waktu hari hujan”.23 Meskipun hadits dengan jelas menyatakan bahwa Nabi menyatukan shalat tersebut tanpa suatu sebab, Mâlik tidak membolehkan hal itu kecuali jika ada suatu sebab seperti keadaan ketika hari hujan. Para ahli hukum Madinah meriwayatkan hadits dari Nabi dan praktik ke empat sahabat bahwa mereka biasanya membaca surat-surat al-Qur’ân yang panjang pada shalat subuh.24 Tetapi mereka tidak mengikuti tradisi ini karena menurut mereka hal itu dapat memberatkan. Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa Madinah sebagai tempat asal sunnah, tidak sepenuhnya akan dapat terbebas dari penggunaan ra’y. Penting untuk ditambahkan bahwa ra’y di Madinah adalah esensi dan keseluruhan kumpulan pendapat para ahli hukun Madinah sebelum Mâlik, yang mengkristal dalam bentuk praktik yang telah disepakati di Madinah (‘Amal ahl al-Madinah ). Karena itu tidak bisa dikatakan sebagai ra’y yang dilakukan secara sembarangan. Kenyataan bahwa Mâlik meriwayatkan suatu hadits tetapi kemudaian dia sendiri mengabaikannya, ini dapat dijadikan bukti betapa rumit hubungan hadits-ra’y di lingkungan para ulama’ saat itu. Sebagai seorang ahli hadits dia meriwayatkan suatu hadits, tetapi sebagai ahli hukum dia tidak mengikuti hadits itu tetapi tidak pula mengabaikannya.25 Ahli hukum Iraq lebih kurang setara dengan ahli hukum Madinah dalam menggunakan ra’y untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Mereka disebut ahl al-qiyâs karena seringnya mereka menggunakan ra’y dan qiyâs dalam penalaran hukum mereka. Kadang-kadang mereka mengkaji suatu hadits dengan dasar nalar. Cara mereka menafsirkan hadits tentang musarrât adalah salah satu contoh kerasionalan mereka dalam hukum. Nabi diriwayatkan melarang menahan air susu kambing atau unta untuk menipu calon pembeli binatang tersebut supaya diduga banyak menghasilkan susu. Jika seseorang membeli binatang musarrât dia 23
Mâlik ibn Anas, al-Muwaththa’, h. 144. Al-Syâfi’i, Kitâb al-Umm, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1924), Vol VII, h.192. 25 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994), h. 131. 24
57
mempunyai hak pilih, apabila setelah memerahnya, apakah setelah itu akan tetap memeliharanya, atau mengembalikannya jika tidak menghendakinya. Pada saat mengembalikan hewan tersebut disertai dengan satu shâ’ kurma. Menanggapi hadits ini Abû Hanîfah mengatakan bahwa pembeli tersebut harus mengembalikan binatang tersebut bersama-sama dengan nilai air susu yang telah diperahnya, bukan dengan satu shâ’ kurma. Alasan penafsiran Abû Hanîfah tersebut adalah bahwa air susu yang ditahan dalam kantung susu tersebut berbeda dalam kwalitas dan kuwantitasnya, tergantung pada jenis binatangnya. Penggantian dengan satu shâ’ kurma, seperti perintah yang tersurat dalam hadits tersebut, sebagai ganti rugi dari air susu yang telah diperah tersebut dengan kwalitas dan kwantitas manapun tidaklah dapat disamakan sebagai harga air susu tersebut. Oleh sebab itu, para ahli hukum Iraq berpendapat bahwa harga air susulah yang harus dibayar bukan dengan mengganti dengan satu shâ’ kurma.26 Al-Syâfi’î mengikuti hadits tersebut secara harfiah dan menekankan kepatuhan secara mutlak terhadap hadits tersebut. Pemberian bagian dua kali lipat dari ghanîmah bagi kuda tunggangan perang merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh ahli hukum Iraq. Abû Hanifah berpendapat bahwa penunggang kuda dan kudanya masing-masing harus diberi satu bagian. Dia berargumen bahwa gubernur Suriah pada masa Umar ibn al-Khattâb melakukan demikian dan Umar ibn al-Khattâb sendiri menyetujuinya. Abû Hanifah tidak mengakui keotentikan hadits-hadits Nabi yang menyatakan pemberian dua bagian kepada kuda tunggangan. Menurut Abû Hanîfah tidak masuk akal bagian seekor binatang dua kali lipat lebih banyak dari bagian manusia. Tetapi Abû Yûsuf dan Hasan al-Syaibâni berbeda dengan pendapat guru mereka dalam kasus ini. Abû Yûsuf berpendapat bahwa hadits tentang pembagian kuda lebih lebih banyak dari penunggangnya itu lebih otentik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa perbedaan pembagian tersebut tak ada kaitannya dengan perbedaan derajat antara binatang dengan manusia. Ia mengkritik pandangan gurunya dengan mengatakan bahwa seolah-olah Abû Hanîfah menyamakan antara
26
Al-Syâfi’î, Ikhtilîf al-Hadîts, h. 336-342,
58
manusia dengan binatang.27 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pemberian lebih banyak kepada kuda tersebut bertujuan agar orang termotivasi untuk memelihara kuda untuk keperluan jihad. Al-Syaibânî berpendapat bahwa tak ada masalah mengenai keunggulan derajat binatang atas manusia, karena bagian untuk binatang tetap akan diberikan kepada manusia.28 Kasus yang sedang dibicarakan ini adalah menyangkut masalah pasukan berkuda dan pasukan jalan kaki. Contoh ini memperlihatkan bahwa, dapat saja sebuah hadits diabaikan oleh Abû Hanifah tetapi hadits yang sama diakui oleh murid-muridnya atas dasar ra’y dan nalar. Ini menunjukkan bahwa hadits secara umum ditimbang atas dasar nalar meskipun beberapa pengecualian dapat ditemukan. Sering dan luasnya penggunaan ra’y oleh para ahli hukum awal telah menimbulkan suasana yang kurang baik di berbagai daerah atau pusat pemikiran hukum. Jika hal ini dibiarkanterus berlanjut umat Islam akan mengalami perpecahan.
Keragaman ini memaksa sejumlah madzhab hukum untuk
menyingkirkan perbedaan pendapat ini dengan menciptakan suatu kesatuan dasar dalam hukum yang disebut Ijma’.29 Meskipun pada dasarnya ijma’ juga tidak sepenuhnya dapat menyelesaikan perbedaan pendapat, namun ia telah meminimalisir perbedaan tersebut. Ra’y yang merupakan cara penalaran hukum yang paling alamiah dan tersebar luas pada madzhab hukum awal, lama-kelaman diberikan persyaratanpersyaratan dan pembatasan-pembatasan yang bertujuan untuk membatasi penggunaannya secara semau-maunya
dan agar proses penalaran menjadi
sistematis. Bentuk sistematis dari ra’y inilah yang kemudian disebut qiyâs. Dari sini penulis meyakini bahwa qiyâs yang ada dalam ushûl al-fiqh sepenuhnya produk budaya Arab.
27
Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharâj, h. 11. Abû Yûsuf, Al-Radd ‘alâ Siyâr al-Auzâ’i, (Kairo: Dâr al-kutub, t.t), h. 21. 28 Abû Hasan al-Syaibânî, al-Siyâr al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1957, juz II, h. 176. 29 Ahmad Hasan, The Early…, h. 134. Abû Muhammad ibn al-Muqaffa’, Risâlah fi alSahâbah, h. 121, 125 dan 127. Bandingkan dengan Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’, (Islamabad: Islamic Research Institute, t.t), h. 9.
59
Menurut Joseph Schacht, qiyâs diambil dari istilah tafsir Yahudi hiqqish, kata dasarnya adalah
Heqqesh, dari akar kata Aramea nqsh, yang artinya
memukuli bersama-sama. Lebih jauh Schacht menjelaskan bahwa kata hiqqish ini dipergunakan untuk arti pertama, untuk penjajaran dua masalah dalam Bibel dan menunjukkan bahwa keduanya harus diberlakukan dengan cara yang sama. Kedua, tentang kegiatan penafsir yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks yang tertulis. Ketiga, untuk membuat suatu kesimpulan dengan menggunakan analogi, berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat pada kasus patokan dan kasus baru yang akan disejajarkan. Pengertian yang ketiga ini, menurut Schacht, identik dengan qiyâs dalam hukum Islam.30 Dari fakta ini Schacht meyakini bahwa qiyâs yang ada dalam hukum Islam tersebut diambil dari tafsir Bibel. Kesimpulan Schacht tersebut tidak dapat diterima karena beberapa alasan. Pertama, tidak terdapat bukti sejarah yang memastikan telah terjadi peminjaman konsep qiyâs dari orang-orang Yahudi oleh orang Islam. Komunikasi yang intens antara ummat Islam dengan Orang-orang Yahudi terjadi pada masa-masa yang lebih belakangan, yaitu pada masa kejayaan Islam di Andalusia. Sementara qiyâs telah dipakai dalam penalaran hukum Islam pada masa-masa awal perkembangan hukum Islam. Kedua, metoda filologi memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam mengungkap asal-usul pranata-pranata fiqh. Jika dilakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam dan luas ke dalam berbagai bahasa dan budaya, dan istilah-istilah dan pranata-pranata yang umum dipakai dalam suatu bahasa dan budaya, akan ditemukan sejumlah besar persamaan kata dan pranata-pranata sosial. Namun dari kenyataan itu tidak dapat disimpulkan bahwa suatu kata atau pranata sosial dalam suatu budaya pastilah dipinjam dari budaya lain.31 Dalam kasus qiyâs ini misalnya, fakta-fakta filologi tidak dapat dijadikan bukti. Karena makna “ memukuli bersama-sama “, yang merupakan arti dasar dari kata hiqqihs, tidak memberikan pemahaman apapun dalam kaitannya dengan qiyâs. Katakanlah 30
Joseph Schacht, The origins of Muhammadan Jurisprudence, (London: Oxford University Press, 1959), h. 99. 31 Ahmad Hasan, The Early…, h. 135.
60
bahwa kata hiqqihs dalam arti teknisnya dalam bahasa Yahudi memiliki arti qiyâs seperti yang ada dalam hukum Islam, seperti yang diyakini oleh Schacht, masih tidak dapat dibuktikan bahwa qiyâs benar-benar dipinjam oleh orang Islam dari kata Yahudi tersebut. Alasannya seperti telah penulis tegaskan diatas, yaitu tidak ada kontak sosial yang memungkinkan terjadinya peminjaman konsep tersebut. Diperlukan bukti yang cukup untuk menetapkan unsur asing dalam qiyâs. Ini mengingat bahwa bahasa Arab dan bahasa Yahudi berada dalam rumpun bahasa yang sama, yaitu rumpun bahasa Semit, tampaknya kedua kata tersebut merupakan kata yang umum di dua budaya tersebut dan memiliki kedekatan arti. Ketiga, dilihat dari sudut pandang sosiologis, setiap masyarakat menciptakan prinsip-prinsip dan pranata-pranata sosialnya sendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Adalah keliru untuk menarik kesimpulan bahwa pranta-pranata tersebut mesti dipinjam dari budaya asing.32 Bagi penulis, munculnya qiyâs sesungguhnya dikondisikan secara sosial. Qiyâs tentunya telah muncul dalam budaya Arab sejak awal karena kebutuhan sosial, meskipun diakui pada masa-masa belakangan memerlukan landasan teoritis. Sesungguhnya qiyâs merupakan pengembangan lebih lanjut dari ra’y atau tepatnya ra’y yang sistematis. Sedangkan ra’y dapat dimiliki oleh semua orang dan semua bangsa. Walaupun qiyâs merupakan bentuk sistematis dari ra’y, terdapat perbedaan yang besar antara keduanya.
Ra’y memiliki sifat yang luwes dan
dinamis. Ia merupakan suatu prinsip untuk mengambil keputusan dalam sinaran kearifan yang mendalam dalam upaya mencari keadilan. Ra’y adalah pendapat yang bijaksana dan cermat dari seseorang yang berkeinginan kuat untuk mencari kebenaran dan untuk mencapai keputusan yang tepat. Menurut Ibn al-Qayyim, ra’y
merupakan keputusan yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan
pemikiran, perenungan dan pencarian yang sungguh-sungguh terhadap kebenaran, dalam-persoalan-persoalan
di
mana
dalil-dalil
yang
diperoleh
saling
bertentangan.33 Dengan ungkapan lain, ra’y dapat berarti suatu keputusan yang pasti diambil oleh wahyu seandainya wahyu masih turun, atau keputusan yang 32 33
23.
Ahmad Hasan, The Early…, h. 136. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ‘Ilâm al-Muwaqqi’în, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Vol I, h.
61
pasti diambil oleh Nabi, sekiranya beliau masih hidup. Sedangkan qiyâs adalah perbandingan antara dua hal yang sejajar karena adanya unsur kesamaan. Unsur kesamaan ini, yang secara teknis disebut ‘illat, tidak selamanya selalu dapat ditentukan secara pasti. Mujtahid dapat berbeda pendapat dalam menentukannya. Qiyâs merupakan perluasan dari suatu preseden, karena itu cakupannya lebih terbatas dari pada ra’y. Dalam ra’y lebih ditekankan pada situasi aktual, sedangkan pada qiyâs penekanan lebih diberikan pada analogi yang abstrak, apapun situasi yang ada. Berikut ini diberikan contoh yang memperlihatkan perbedaan antara qiyâs dengan ra’y. Jika seseorang datang meminta pendapat apakah dia harus berkata jujur atau tidak. Sudah tentu bahwa kita akan sarankan kepadanya untuk berkata jujur. Kemudian orang itu bertanya lagi apakah dia harus berkata jujur dalam setiap keadaan, misalnya jika ada seseorang bertanya tentang seseorang tertentu yang ingin dibunuhnya, haruskah ia berkata jujur dan memberitahukan keberadaan calon korban tersebut. Dalam kasus seperti ini qiyâs menuntut orang tersebut untuk berkata jujur tetapi ra’y justru menyarankan untuk melanggar aturan, yaitu berbohong. Dalam contoh ini memperlihatkan bahwa qiyâs gagal berfungsi karena sifatnya yang kaku dan terbatas. Namun ra’y lebih akomodatif dalam menjawab tantangan realitas faktual. Dari mulai al-Syâfi’î dan seterusnya, ra’y mulai tersingkirkan oleh qiyâs yang sarat dengan persyaratan dan pembatasan dan akibatnya ra’y dikecam dengan sangat pedasnya dan untuk selanjutnya posisi ra’y digantikan oleh qiyâs dalan penalaran.34 Pada tahap awal qiyâs sangat sederhana dan tidak pelik. Gagasan tentang premis mayor dan premis minor dan unsur kesamaan esensial yang sama belumlah ada. Pada tahap ini qiyâs hanya merupakan penjajaran dua preseden yang mirip atau sebuah kasus yang analog. Qiyâs pada tahap ini tidaklah kaku dan formal sebagaiman kemudian terlihat pada era al-Syâfi’î. Ini menegaskan bahwa qiyâs yang ada dalam ushûl al-fiqh, setidaknya untuk masa-masa awal, merupakan logika alamiah yang dapat saja dimiliki oleh setiap orang dan semua bangsa. Seiring berjalannya waktu qiyâs tersebut terus berkembang semakin sistematis. 34
Ahmad Hasan, The Early…, h. 140.
62
Qiyâs tidak identik dengan logika formal. Berikut ini diberikan sejumlah contoh yang menjelaskan karakter dan penerapan qiyâs pada masa-masa awal. Secara umum dapat dikatakan bahwa qiyâs pada tahap ini lebih dekat kepada ra’y. Di dalam al-Qur’ân dan sunnah
tidak terdapat aturan yang exsplisit
tentang ganti rugi yang ditetapkan bagi cacat pada gigi geraham karena suatu tindak pidana. Menurut satu riwayat, Ibn Abbâs ditanya mengenai masalah ini. Ia menjawab bahwa sebuah gigi geraham memiliki nilai yang sama dengan gigi yang lain sebagaimana halnya dengan dengan jari-jari, yang ganti ruginya adalah sama, dengan tidak melihat perbedaan ukurannya.35 Dalam kasus ini tampaknya Ibn Abbâs menggunakan qiyâs, tapi ini dilakukan dengan langsung, sederhana dan alamiah. Sehingga dapat dikatakan qiyâs yang seperti ini lebih dekat kepada ra’y. Contoh lain adalah tentang seorang umm al-walad. Menurut Abû Hanîfah jika seorang umm al-walad memeluk Islam di daerah musuh dan kemudian pindah ke daerah Islam, maka jika ia tidak sedang hamil, ia dapat menikah dengan siapapun yang dikehendakinya tanpa ada ‘iddah yang mengikatnya. Tetapi alAuzâ’i berbeda pendapat dengan Abû Hanîfah dalan kasus ini. Menurut al-Auzâ’i jika seorang perempuan meninggalkan negerinya karena Allah untuk melindungi agamanya, maka kasusnya sama dengan kasus perempuan yang berhijrah dari Makkah ke Madinah pada masa Nabi, ia tidak dapat menikah sampai masa ‘iddahnya selesai. Lebih jauh al-Auzâ’i merinci dasar pandangannya bahwa perempuan–perempuan yang pindah dari Makkah ke Madinah itu telah pergi menghadap Nabi sedangkan suami-suami mereka yang masih kafir tinggal di Makkah. Nabi mengembalikan istri-istri tersebut kepada suami mereka masingmasing ketika suami mereka masuk Islam dan kepada mereka diberlakukan masa ‘iddah.36 Contoh ini menunjukkan bahwa qiyâs pada masa-masa awal hanyalah merupakan suatu pensejajaran dua kasus yang serupa tanpa pembatasan35
Lihat Mâlik, al-Muwaththa’, juz II, h. 862. ‘Alî Ibn Abî Thâlib ketika menjadi khalifah, diriwayatkan telah menganjurkan penjatuhan hukuman sebanyak delapan puluh kali cambukan bagi peminum minuman keras atas dasar hukuman qazf (tuduhan palsu melakukan hubungan seks di luar nikah) sebagaimana yang ditetapkan al-Qur’ân. Ia mengemukakan bahwa jika seseorang mabuk dan akhirnya meracau. Apabila ia meracau, ia melakukan fitnah. Lihat Mâlik, alMuwaththa’, juz II, h. 842. Pernyataan ‘Alî ibn Abi Thâlib ini tampaknya menunjukkan kemiripan dengan silogisme dalam logika formal. 36 Abû Yûsuf, al-Radd ‘alâ Siyâr al-Auzâ’i, (Kairo: Dâr al-Kutub, tt), h. 99-100.
63
pembatasan spesifik apapun, seperti yang akan di berlakukan pada masa-masa terkemudian. Para ahli hukum Madinah juga menggunakan qiyâs dalam memutuskan persoalan-persoalan hukum, tetapi qiyâs mereka juga tidak kaku dan formal. Untuk menyatakan dua hal yang sejajar mereka seringkali menggunakan kata-kata mitsal, ka (seperti) dan bimanzilah. Suatu kemiripan kecil saja sudah cukup bagi mereka untuk menerapkan qiyâs dalam menetapkan hukumnya. Kata qiyâs sendiri jarang digunakan dalam penalaran hukum di Madinah, berbeda dengan di Iraq di mana kata tersebut biasa dipakai. Berikut ini adalah contoh-contoh qiyâs para ahli hukum Madinah. Kasusnya adalah masalah sanksi potong tangan bagi pencuri. Menurut Mâlik, jika seorang buruh atau seorang pegawai bekerja pada seseorang kemudian mencuri barang milik majikannya, maka tangan pencuri tersebut tidak dipotong. Menurut Mâlik, kasus ini tidak sejajar dengan pencuri melainkan sejajar dengan penggelap, dan tangan penggelap tidaklah dipotong. Contoh lain lagi yang mirip dengan kasus di atas, jika seseorang meminjam sesuatu dan menolak untuk mengembalikannya, tangan sipeminjam tersebut tidak dopotong. Kasus ini serupa dengan kasus orang yang berhutang kemudian tidak mau membayar hutangnya, dan tangan orang yang berhutang tersebut tidak dipotong.37 Contoh berikutnya adalah jika seorang pencuri mengumpulkan barang-barang disuatu tempat didalam rumah yang akan dicurinya, tetapi barang-barang tersebut tidak dibawa keluar dari rumah tersebut, maka tangan pencuri terebut juga tidak dipotong. Kasus ini sejajar dengan kasus seseorang yang menyiapkan minuman keras dihadapannya namun dia tidak meminumnya. Dari ketiga contoh diatas dapat ditunjukkan sifat kesederhanaan qiyâs orang-orang Madinah. Qiyâs mereka tidak ketat dan tidak dilengkapi dengan persyaratan apapun, cukup dengan adanya kemiripan. Karena kesederhanaanya itu, qiyâs orang orang Madinah tersebut rentan terhadap sanggahan.38
37 38
Mâlik ibn Anas, al-Muwaththa’, juz II, h. 841. Ahmad Hasan, The Early…, h. 139.
64
Beralih ke contoh lain. Menurut Mâlik, seperti dikutip oleh al-Syâfi’î, batas minimal harga barang-barang yang dicuri untuk dapat diterapkannya hukuman hadd adalah seperempat dinar. Ini dijadikan dasar bagi jumlah minimal mahar untuk seorang perempuan yang akan dinikahi. Mâlik berpendapat bahwa seorang perempuan tidak patut dinikahi dengan mahar yang jumlahnya kurang dari seperempat dinar dan ini adalah jumlah untuk dapat diterapkan hadd pencurian.39 Contoh ini menunjukkan bahwa jumlah minimal mahar menurut ahli hukum Madinah didasarkan pada qiyâs. Namun dalam pernyataannya Mâlik menggunakan istilah ra’y, bukan qiyâs. Pada para ahli hukum Iraq, qiyâs juga tampaknya lebih dekat kepada ra’y yang lebih sistematis. Kesistematisannya sangat jelas namun tidak seformal qiyâs seperti pada masa al-Syâfi’î Yang membedakan antara qiyâs orang-orang Iraq dengan orang-orang Madinah adalah bahwa qiyâs orang-orang Iraq lebih menekankan pada konsistensi logika, sedangkan qiyâs orang-orang Madinah lebih menekankan pada praktik yang telah mapan. Berikut ini akan diberikan beberapa contoh qiyâs orang-orang Iraq. Dalam suatu kontrak salam, al-Syaibânî mengatakan jika pembeli dan penjual berbeda pendapat tentang penentuan batas waktu, salah satu dari mereka mengatakan bahwa batas waktunya disebut, sedangkan pihak lain menolaknya, maka pernyataan pihak yang mengatakan bahwa batas waktu disebutkan itulah yang diterima. Pendapat ini didasarkan pada istihsân, karena pihak yang menolak secara tersirat merencanakan untuk membatalkan transaksi. Tetapi, dengan berdasarkan qiyâs, pernyataan pihak yang menolaklah yang harus diterima, dan kontrak dianggap batal (karena tidak ada kontrak salam yang sah tanpa menyebutkan atas waktu).40 Contoh lain adalah apabila seseorang mengambil dua helai pakaian dengan mengungkapkan keinginan bahwa ia akan membeli salah satunya dengan harga sepuluh dirham maka ia harus membeli salah satu dari dua pakaian tersebut dengan harga sepuluh dirham. Jika salah satu dari dua pakaian tersebut hilang atau 39 40
Al-Syâfi’î, Kitâb al-Umm, Vol VII, h. 207. Abû Hasan al-Syaibânî, al-Asl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1964), h. 23.
65
rusak, baik kerusakan disebabkan oleh pembeli sendiri atau oleh orang lain yang kepadanya kain itu diserahkan oleh pembeli, maka harus membayar harga pakain yang hilang atau rusak tersebut dan mengembalikan kain yang satu lagi. Menurut al-Syaibânî, transaksi seperti ini tidak sah berdasarkan qiyâs karena sipembeli dipaksa dipaksa untuk membeli.41 Tetapi al-Syaibânî mengabsahkan transaksi seperti itu berdasakan istihsân. Contoh berikutnya adalah dalam masalah jual beli minuman keras dan daging babi yang dilakukan oleh orang-orang non muslim yang dilindungi (ahl alzimmah). Barang-barang tersebut bagi mereka termasuk barang yang berharga. Al-Syaibânî menganggap sah transaksi tersebut.42 Dalam masalah ini dia mendasarkan pendapatnya dengan istihsân dan meninggalkan qiyâs. Dari ketiga contoh diatas dapat disimpulkan bahwa qiyâs disitu dipergunakan dengan pengertian aturan umum atau landasan rasional. Selanjutnya akan dibahas sifat qiyâs menurut orang- orang Iraq. Contoh yang dikemukakan untuk memperlihatkan sifat qiyâs ini adalah kasus muzâra’ah (menyewakan lahan pertanian). Persoalan muzâra’ah merupakan persoalan yang diperselisihkan diantara mereka. Mereka yang membolehkan musâqâh
juga
membolehkan muzâra’ah. Sebaliknya mereka yang tidak membolehkan musâaqâh juga tidak membolehkan muzâra’ah. Ibn Abî Lailâ memboehkan musâqah dan dia mendasarkan pendapatnya pada kontrak musâqâh yang terjadi antara
Nabi
dengan
orang-orang
Yahudi
penduduk
Khaibar.
Dengan
menggunakan qiyâs kepada musâqâh tersebut ia mengabsahkan muzâra’ah. Tetapi Abû Hanîfah tidak membolehkan musâqâh maupun muzâra’ah. Abû Hanîfah mendasarkan pendapatnya pada sebuah hadits yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh Rafî’ ibn Khadîj dan Jâbir ibn Abdullah yang melarang kontrak tersebut. Sedangkan Abû Yûsuf, seorang murid Abû Hanîfah, membolehkan muzâra’ah atas dasar qiyâs. Menurut Abû Yûsuf, muzâra’ah sama dengan mudhârabah ( persekutuan bagi hasil). Lebih jauh ia mengatakan bahwa didalam mudhârabah keuntungan dan jumlahnya tidak ditentukan, maka hal yang 41 42
Abû Hasan al-Syaibânî, al-Asl, h. 136. Abû Hasan al-Syaibânî, al-Asl, h. 222.
66
sama berlaku pula pada muzâra’ah. Ia menerima dan mengikuti hadits Nabi tentang kontrak musâqâh dengan orang-orang Yahudi. Perlu ditambahkan bahwa menurut Abû Yûsuf, muzâra’ah dibolehkan berdasarkan qiyâs kepada mudâhrabah dan mudhârabah itu sendiri dibolehkan berdasarkan qiyâs kepada musaqah.43 Jadi muzara’ah melibatkan qiyâs ganda, yaitu qiyâs kepada hasil dari qiyâs. Contoh qiyâs seperti ini memperlihatkan suatu fenomena penggunaan ra’y yang bebas dengan sifat yang fleksibel dan sistematis pada orang-orang Iraq. Contoh tersbut sekaligus memperlihatkan qiyâs orang-orang Iraq terkadang tanpa perlu di dasarkan pada teks. Tetapi cukup berlandaskan pada hasil qiyâs.44 Dalam beberapa kasus ditemukan qiyâs orang-orang Iraq kurang logis dan tidak cukup kuat bertahan dari kritik. Contoh berikut ini akan memperlihatkan hal tersebut. Diriwayatkan bahwa Abû Hanîfah berpendapat bahwa seorang perempuan yang berkhianat tidak boleh dibunuh. Abû Hanîfah berargumen bahwa Nabi melarang membunuh perempuan di daerah musuh. Al-Syâfi’î mengkritik qiyâs ini dengan mengatakan bahwa membunuh seorang perempuan yang berkhianat tidaklah setara dengan membunuh seorang perempuan di daerah musuh. Al-Syâfi’î melanjutkan argumennya. Nabi pernah melarang membunuh orang-orang tua dan pelayan di daerah musuh, demikian pula Abû Bakar melarang membunuh pendeta-pendeta dalam peperangan. Kemudian al-Syâfi’î mengajukan pertanyaan jika orang-orang ini berkhianat apakah mereka tetap tidak boleh dibunuh? Al-Syâfi’î melanjutkan, seperti halnya seorang perempuan boleh dibunuh karena berzina dan pembunuhan, demikian pula halnya ia boleh dibunuh dalam kasus pengkhianatan.45 Disini terlihat qiyâs Abû Hanifah tidak cukup logis dan kritik al-Syâfi’î lebih masuk akal. Dalam kasus-kasus tertentu penalaran hukum orang-orang Iraq terlihat lebih manusiawi dibandingkan dengan penalaran hukum orang-orang Madinah. 43
Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharâj, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1945), h. 50-51. Bandingkan dengan al-Syâfi’î, Kitâb al-Umm, Vol VII, h. 101-102 44 Mendasarkan qiyâs kepada hasil qiyâs merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh para ahli ushûl al-fiqh. Mayoritas ahli ushûl al-fiqh tidak membolehkan bentuk qiyâs berantai yang seperti ini.Lihat Muhammad Hasyim Kamali, The Principles…. H. 200. 45 Al-Syâfi’î, Kitâb al-Umm, Vol VII, h. 147.
67
Contoh dibawah ini akan memperlihatkan hal tersebut. Kasusnya adalah dalam pemotongan tangan dan kaki pencuri. Menurut orang-orang Iraq, jika tangan kiri si pencuri lumpuh, tangan kanannya tidak akan dipotong, jika tetap dipotong itu berakibat dia tidak memiliki tangan sama sekali. Jika kaki kanannya lumpuh, tangan kanannya tidak akan dipotong agar ia tidak menjadi cacat pada kaki dan tangan pada sisi yang sama. Jika kaki kanannya tidak cacat dan kaki kirinya yang lumpuh, maka tangan kanannya yang akan dipotong. Jika ia mengulangi pencurian, kaki kirinya yang lumpuh yang akan dipotong. Jika ia mengulangi lagi, ia akan dimasukkan kedalam penjara. Menurut penjelasan Abû Yûsuf, satu tangan dan satu kaki harus ditinggalkan agar ia tetap dapat memenuhi kebutuhan manusiawinya.46 Penalaran orang-orang Madinah tidak mempertimbangkan kondisi seperti itu. Jika seseorang melakukan pencurian empat kali berulang-ulang, kedua tangan dan kedua kakinya akan dipotong semua satu demi satu. Jika ia mengulangi pencurian untuk kali kelima, ia akan dimasukkan kedalam penjara. Lebih jauh menurut mereka, jika seorang pencuri tidak memiliki tangan kanan maka tangan kirinya yang akan dipotong.47 Dengan, penalaran orang-orang Iraq lebih humanistik dan penalaran hukum orang-orang Madinah terlalu legalistik. Dalam argumen-argumen hukum yang mereka bangun, orang-orang Iraq seringkali menyampaikan kasus-kasus yang sejajar. Kemudian mereka iringi dengan ungkapan alâ tarâ atau a raaita.48 Ungkapan-ungkapan ini sebenarnya menunjukkan pengguanan qiyâs dalam pengertiannya yang luas, yang mungkin dapat dikatakan sebagai ra’y yang lebih sistematis. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa qiyâs pada masa itu masih berada dalam tahap perkembangan. Qiyâs digunakan dalam arti kesejajaran, preseden dan penalaran secara umum. Makna ‘illah masih sangat umum dan abstrak, meliputi segala segala sifat dan bentuk kemiripan. Istilah yang dipakai untuk menunjukkan makna ’illah tersebut adalah bimanzilah dan masal atau misal 46
Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharâj, h. 106. Muhammad ibn Qasim yang lebih dikenal dengan Sahnûn, al-Mudawwanah al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1939), juz XVI, h. 82. 48 Abû Yûsuf, al-Radd…, h. 23, 43,51. 47
68
yang sekaligus menunjukkan kesederhanaan qiyâs pada waktu itu. Jenis qiyâs yang sederhana ini secara bertahap tersingkir oleh qiyâs yang logis dan ketat pada periode al-Syâfi’î dan sesudahnya yang akan dibahas pada Pembahasan selanjutnya. Pada bagian yang lalu telah ditunjukkan bahwa mazhab-mazhab hukum awal mempergunakan qiyâs dengan cara yang liberal dan lebih mendekati ra’y dari pada nass. Penggunaan ra’y yang bebas ini menimbulkan kekacauan hukum dan ini mencemaskan al-Syâfi’î Karena itu al-Syâfi’î menolak penggunan ra’y yang dilakukan secara bebas tersebut dan sebagai gantinya ia menawarkan qiyâs yang lebih sistematis dan sangat terikat dengan nashsh. Dengan pembatasan yang dilakukan oleh al-Syâfi’î terhadap qiyâs, maka qiyâs menjadi sangat terikat dengan nashsh dan menjadi kehilangan keampuhannya bagi pengembangan hukum. Dengan membatasi ruang lingkup qiyâs, ia ingin mengarahkan penalaran yang sistematis dalam hukum dan menghilangkan kekacauan, yang diakibatkan penggunaan ra’y yang bebas. Itulah sebabnya mengapa kemudian ia menjastifikasi qiyâs atas dasar al-Qur’ân untuk pertama kalinya. Dengan demikian, akan muncul anggapan bahwa menggunakan qiyâs menjadi kewajiban bagi ummat Islam. Apakah al-Syâfi’î dipengaruhi oleh logika Yunani ketika ia merumuskan tesisnya tentang teori hukum Islam, khususnya tentang qiyâs? Menurut Margoliouth, meskipun tidak banyak buku-buku Yunani yang mungkin telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab sebelum akhir abad kedua hijrah, tampaknya al-Syâfi’î cukup mengenal logika Aristoteles, dan cukup memahami istilah genus dan species.49 Dengan kata lain Syâfi’î, menurut Margoliouth, dipengaruhi oleh logika Yunani dalam penalarannya tentang qiyâs.Tampaknya Al-Syâfi’î tidaklah terpengaruh oleh logika Yunani dalam tesis-tesisnya tentang qiyâs.50 Reaksinya
49
Margoliouth, The Early Development of Muhammedanism, (London: Oxford University press, 1941), h. 97. 50 Menurut George Makdisi, tesis-tesis al-Syâfi’î ditujukan untuk membendung penggunaan ra’y yang liberal dari aliran teologi dan fiqh, karena itu sangat kecil kemungkinan Ia menggunakan logika Aristoteles untuk membangun tesis-tesisnya. Dalam buku tersebut Makdisi menyebut al-Syâfi’î sebagai pembela ortodoksi. Lihat George Makdisi, The Rise of Humanism…, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), h. 5.
69
terhadap pemikiran hukum yang liberal, khususnya pada penggunaan ra’y, pada aliran-aliran hukum awal
itulah yang menyababkan ia mempersempit ruang
gerak ra’y.51 Dalam upayanya membendung penggunaan ra’y yang bebas tersebut, al-Syâfi’î menempuh dua cara. Pertama, ia memberikan penekanan kuat pada nass dan kepatuhan kepada sunnah. Itulah sebabnya ia mengusulkan tahapan-tahapan penalaran hukum harus dimulai dengan mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi dengan merujuk pada teks lahiriah al-Qur’ân dan sunnah. Kedua, menolak ra’y dan membatasi ruang gerak qiyâs dengan cara memberikan sejumlah persyaratan. Selanjutnya akan dibahas persoalan-persoalan yang melibatkan qiyâs di dalamnya dan perbedaan antara al-Syâfi’î dan pendahulunya dalam persoalan qiyâs ini. Ini dilakukan untuk memperlihatkan perkembangan qiyâs sampai pada era al-Syâfi’î dan era sesudahnya. Menurut Mâlik, qiyâs bersifat sama dengan ra’y, oleh sebab itu tidak perlu konsisten dan ketat. Al-Syâfi’î tidak setuju dengan prisip seperti ini. Berikut ini adalah ilustrasinya. Menurut Mâlik pelaksanaan ibadah haji dengan cara diwakilkan adalah tidak sah apabila yang bersangkutan masih hidup. Pelaksanaan haji baru bisa diwakilkan jika yang bersangkutan telah meninggal atau ia meninggalkan wasiat untuk itu. Dengan logika yang sama, mereka menurunkan suatu pendapat hukum dari perkataan Ibn Umar, putra Umar ibn al-Khattâb, bahwa seseorang tidak boleh mengerjakan shalat atau puasa atas nama orang yang sudah meninggal, mereka tidak membolehkan perwakilan shalat dan puasa. Disamping itu mereka juga berpendapat jika seseorang berwasiat agar dilaksanakan shalat atas namanya sepeninggalannya, shalat tersebut juga tidak sah.52 Al-Syâfi’î mengkritik ketidak kosistenan qiyâs mereka. Seperti yang telah ditunjukkan pada bagian yang lalu bahwa qiyâs menurut ahli hukum awal hanyalah penyajian batasan-batasan sejajar yang tidak memiliki kemiripan yang sangat ketat satu sama lain, sementara al-Syâfi’î memahami qiyâs sebagai menyamakan kasus-kasus yang benar-benar identik. Dari sini dapat 51 52
Ahmad Hasan, The Early…, h. 192. Al-Syâfi’î, al-Umm, Vol VII, h. 197.
70
disimpulkan bahwa qiyâs sedang mengalami pergeseran makna sejak pada masa al- Syâfi’î dan berlanjut hingga masa yang lebih kemudian. Pada bagian yang lalu juga telah ditunjukkan bahwa menurut ahli hukum awal, qiyâs dapat dibangun dengan landasan hasil dari qiyâs yang lain. Contoh yang diberikan untuk qiyâs berantai ini adalah kasus muzâra’ah. Al-Syâfi’î keberatan dengan qiyâs yang seperti ini. Menurutnya, qiyâs harus berlandaskan pada landasan yang orisinil (aslan) dan independen, bukan berlandaskan pada kesimpulan yang diturunkan dari kesimpulan analogis pula. Al-Syâfi’î mempunyai satu jenis qiyâs yang khas
yang tidak dapat
ditemukan asal-usulnya dalam qiyâs para ahli hukum sebelum dia. Menurut alSyâfi’î jika sebagian kecil dari sekumpulan besar telah dinyatakan haram oleh Allah atau oleh Nabi, maka bagian yang lebih besar juga harus dianggap sebagai haram. Dengan logika yang sama, jika suatu perbuatan baik yang kecil telah dinyatakan sebagai perbuatan terpuji oleh Allah atau Nabi, maka perbuatan baik yang lebih besar juga selayaknya dianggap sebagai perbuatan terpuji. Ini sejajar dengan kasus jika sejumlah besar dari sesuatu diperbolehkan, maka sejumlah yang kecilnyapun seharusnya dianggap boleh pula.53 Ada perintah-perintah tertentu yang menurut al-Syâfi’î tidak boleh diperluas dengan qiyâs. Jika terdapat suatu aturan dalam al-Qur’ân dan Sunnah tentang suatu masalah, tetapi Nabi kemudian membuat pengecualian atas aturan tersebut maka pengecualian tersebut tidak dapat diperluas atau dijadika landasan qiyâs. Contoh yang diberikannya adalah masalah mengusap (mash) sepatu. Menurutnya ini merupakan pengecualian dari aturan umum membasuh kaki ketika berwudhu’. Menurut al-Syâfi’î tidak boleh melakukan pengusapan (mash) atas tutup kepala (topi dan sejenisnya) dengan meng qiyâs kan pada mengusap sepatu. Istilah yang dipergunakan al-Syâfi’î untuk tidak melakukan penalaran pada aturan pengecualian ini adalah ta’abbud.54 Ini menunjukkan bahwa kewenangan nalar untuk memahami hukum semakin dipersempit.
53 54
Al-Syâfi’î, al-Risâlah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 70-71. Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 75-76.
71
Al-Syâfi’î menetapakan sejumlah persyaratan untuk bolehnya seseorang mempergunakan qiyâs. Di antara persyaratan-persyaratan yang ditetapkannya antara lain adalah penguasaan yang mendalam terhadap perintah-perintah alQur’ân, kewajiban-kewajiban yang diperintahkannya, prinsip-prinsip moralnya, aturan-aturan umum dan spesifikasinya, ayat-ayat nâsikh dan mansûkh. Al-Syâfi’î juga menyarankan bahwa ayat-ayat yang bermakna ganda haruslah ditafsirkan dengan berpedoman pada sunnah Rasul. Apabila tidak ada sunnah Rasul tentang ayat yang ditafsirkan tersebut, maka ayat tersebut mestilah ditafsirkan dengan berdasarkan ijmâ’, dan jika dengan cara inipun tidak dapat ditemukan, maka saat itu barulah qiyâs dapat dipergunakan. Penting untuk ditambahkan bahwa alSyâfi’î mempergunakan istilah qiyâs sama dengan ijtihâd.55 Masih terkait dengan persyaratan qiyâs. Menurut al-Syâfi’î, seseorang yang akan mempergunakan qiyâs haruslah mengetahui sunnah yang telah mapan, pendapat yang disepakati dan tidak disepakati oleh para ahli hukum pendahulunya dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahasa Arab. Selain itu ia harus memiliki fikiran yang sehat, yang dapat membedakan dengan baik kasus-kasus yang memiliki persamaan yang dekat, ia tidak boleh terburu-buru menyatakan pendapat, kecuali ia telah yakin akan kebenarannya. Ini berarti, kesempurnaan penalaran saja tidaklah cukup untuk melakukan qiyâs, tanpa dilengkapi dengan persyaratan lain yang disebutkan. Alasannya adalah orang tersebut bisa jadi tidak mengetahui sunnah yang otentik yang akan dijadikan landasan qiyâs. Perbandingannya sama dengan seorang pedangang yang bijak, tidak boleh menetapkan harga emas jika tidak mengetahui harga pasaran. Seseorang yang memiliki pengetahuan hukum hanya melalui hafalan, tetapi tidak memahami apa yang dihafalnya, tidak dibenarkan mampergunakan qiyâs karena bisa jadi ia salah dalam memahami suatu kasus.56 Sebaliknya, seseorang yang memiliki daya ingat yang kuat tetapi tidak matang dalam penalaran atau kurang pengetahuan bahasa Arabnya, tidak boleh melakukan qiyâs. Kekurangan dalam dua kualitas ini menurut al-Syâfi’î 55 56
Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h.70. Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 71.
72
merupakan hal yang sangat serius. Ia menganggap kedua persyaratan ini sebagai mendasar, karena kedua hal tersebut sebagai alat utama untuk melakukan qiyâs. 57 Dengan menetapkan sejumlah syarat yang cukup berat tersebut bukan berarti orang boleh menjadi muqallid. Dengan menetapkan sejumlah persyaratan dan pembatasan bagi penerapan qiyâs, tampaknya al-Syâfi’î cenderung untuk membatasi penggunaan ra’y secara bebas dalam hukum. Implikasinya adalah bahwa ruang lingkup qiyâs yang terbatas membuat jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum menjadi terikat erat dengan teks al-Qur’ân dan sunnah. Al-Syâfi’î membagi qiyâs menjadi dua macam. Pertama, qiyâs yang tingkat kemiripan antara kasus cabang dengan kasus asal sangat identik dalam esensinya. Kedua, qiyâs yang memiliki keserupaan dengan beberapa cabang. Untuk yang disebut terakhir ini yang akan dijadikan patokan adalah yang paling banyak tingkat kemiripannya.58 Pembagian seperti ini memperlihatkan bahwa ia berusaha sedapat mungkin untuk menjaga konsistensi dalam persoalan qiyâs ini. Telah ditunjukkan pada bagian lalu bahwa menurut al-Syâfi’î istilah qiyâs dan ijtihâd mempunyai makna yang sama. Menjelaskan makna ijtihâd, ia mengatakan bahwa apabila seorang muslim dihadapkan pada satu persoalan, ia harus mengikuti petunjuk yang jelas yang bisa diperolehnya. Namun jika petunjuk tersebut gagal diperolehnya, maka ia harus berusaha untuk mencari indikasiindikasi untuk memperoleh kebenaran dengan jalan ijtihâd. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ijtihâd tidak lain adalah qiyâs.59 Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa upaya yang dilakukan seseorang dalam mencari jawaban hukum disebut ijtihâd. Sedangkan petunjuk-petunjuk yang dipakai untuk mencari jawaban tersebut adalah qiyâs. Untuk mengabsahkan ijtihâd, al-Syâfi’î menjustifikasinya dengan alQur’ân. Ia mengutip sejumlah ayat al-Qur’ân yang sama dengan yang dikutipnya ketika ia menjustifikasi qiyâs. Disamping itu ia juga menjustifikasi ijtihâd dengan 57
Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h.71. Bandingkan dengan Majid Khadduri, Islamic jurisprudence, Baltimore, 1961, h. 306. 58 Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 66. 59 Al-Syâfi’î, Kitâb al-Umm, juz VII, h.85. Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 66.
73
hadits Nabi ketika Nabi mengutus Mu’az ibn Jabal untuk menjadi hakim di Yaman. Dengan cara ini al-Syâfi’î menganggap bahwa ijtihâd dan qiyâs adalah identik. Fakta ini juga menunjukkan bahwa qiyâs pada era al-Syâfi’î masih belum mencapai tingkat perkembangan yang sempurna seperti yang terjadi pada masamasa yang lebih belakangan. Sejalan dengan perkembangan hukum Islam dengan berlalunya waktu, qiyâs menjadi doktrin yang berdiri sendiri yang penggunaanya dan karekteristiknya berbeda dengan ijtihâd. Apakah ijtihâd dan qiyâs benar-benar identik? Ini diperselisihkan oleh para ahli ushûl al-fiqh. Menurut al-Bazdawi, qiyâs tidak sama dengan ijtihâd. Menurutnya, qiyâs dapat disebut ijtihâd hanya secara metaforis (majâzan), sebab ijtihâd adalah proses (tharîq) untuk menerapkan qiyâs. Kadang-kadang qiyâs disebut juga nazhar, karena dalam proses penerapannya melibatkan penalaran yang mendalam. Menjelaskan pernyataan al-Bazdawi diatas, ‘Abd al-Azîz alBukhârî menyatakan bahwa pandangan al-Syâfi’î diatas berbeda dengan pandangan yang dijadikan pegangan oleh para ahli fiqh secara umum. Bagi ‘Abd al-Azîz al-Bukhârî, ijtihad lebih umum dari pada qiyâs. Qiyâs adalah salah satu cara ijtihâd dan hanya selalu melalui prosedurnya, tetapi tidak demikian dengan ijtihâd.60 Ijtihâd didefinisikan sebagai usaha yang sungguh- sungguh dari seorang mujtahîd untuk memperoleh keyakinan dalam hukum Syara’ melalui tanda-tanda yang dapat mengantarkan kepada keyakinan itu. Sedangkan qiyâs merupakan penyatuan antara kasus asal dengan kasus cabang berdasarkan kesamaan nilainilai antara keduanya. Karena itu ijtihâd tidak sama dengan qiyâs. Bisa jadi ada berbagai cara ijtihâd untuk mencapai kebenaran dan qiyâs adalah salah satunya. Dalam hal ini, prinsip penerapan yang umum kepada yang khusus, yang tidak terbatas kepada yang terbatas dan prisip-prisip lainnya, masuk dalam pengertian ijtihâd, bukan qiyâs. Ibn Rusyd juga membuat perbedaan antara qiyâs dengan ijtihâd. Menurutnya, ijtihâd dapat berlaku pada kasus-kasus yang dapat dikembalikan kepada asal dan juga kasus-kasus yang tidak dapat dikembalikan kepada asal 60
988.
‘Abd al-Azîz al-Bukhârî, Kasyf al-asrâr, (Beirut: Dâr al-fikr al-Hadîts, 2000), juz III, h.
74
seperti menetapkan denda luka-luka karena tindak pidana, biaya hidup istri dan sebagainya. Sedangkan qiyâs hanya berlaku pada kasus-kasus yang dapat dikembalikan kepada asal. Sesungguhnya ia merupakan salah satu cara ijtihâd.61 Dengan demikian ijtihâd bersifat umum dan qiyâs bersifat khusus. Setiap orang yang menggunakan qiyâs adalah mujtahîd tetapi tidak setiap mujtahîd menggunakan qiyâs dalam penalaran hukumnya. Sesungguhnya qiyâs adalah salah satu cara ijtihâd. Setiap qiyâs adalah ijtihâd namun tidak sebaliknya. Ijtihâd dapat dilakukan dengan penafsiran terhadap al-Qur’ân dan sunnah secara literal dan dapat pula dilakukan dengan menggunakan pendapat pribadi yang didasarkan pada penalaran yang dilakukan secara sistematis. Sesungguhnya ijtihâd merupakan usaha terbaik dalam upaya menemukan kebenaran dengan menggunakan penalaran. Sebelum berkembangnya penalaran yang sistematis dalam bentuk qiyâs, semua bentuk penalaran yang mengarah pada penemuan hukum diistilahkan dengan ijtihâd.62 Karena itu ketika memberikan argumen bagi keabsahan qiyâs, al-Jashshâsh tidak membedakan antara ra’y, qiyâs, ijtihâd dan bentuk-bentuk penalaran lainnya. Baginya ijtihâd mempunyai tiga bentuk. Pertama, ijtihâd berarti analogi dalam masalah-masalah hukum yang didasarkan pada nilai hukum (‘illat) yang diambil dari nashsh atau yang difahami dari nashsh. Berdasarkan faktor umum ini, kasus yang mirip dikembalikan ke kasus asal dan diungkap melalui alasan hukum yang sama dengan alasan hukum kasus asal karena kesamaan nilai antara keduanya. ‘Illat hanyalah merupakan penanda adanya hukum. Penentuan alasan hukum merupakan indikasi untuk mencari hukum melalui ijtihâd . Kedua, ijtihâd berarti mencari kebenaran dengan menggunakan pendapat pribadi tanpa menentukan sebab yang pada akhirnya melibatkan kasus asal dan kasus cabang. Dalam hal ini dapat diberikan beberapa contoh seperti usaha untuk mencari arah kiblat yang benar ketika ketika Ka’bah jauh dari pandangan mata, menyembelih binatang yang ukurannya sama, menentukan jumlah maskawin 61
Abû al-Wâlid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, Kitâb al-Muqaddimât, (Kairo: Dâr alMushtafâ, t.t), juz I, h. 25. 62 Ahmad Hasan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence, (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994), h. 18.
75
seorang perempuan dengan mempertimbangkan jumlah maskawin perempuan yang setara. Semua kasus ini ditentukan dengan pertimbangan dan penilaian seseorang dengan tanpa menyimpukan alasan hukum dari nashsh asal seperti yang dilakukan dalam qiyâs. Ketiga, ijtihâd juga dapat dilakukan dalam bentuk penalaran yang didasarkan pada prinsip-prinsip umum.63 Penggunaan prinsip mashlahah dan ‘uruf dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini. Bentuk lain dari ra’y pada periode awal adalah istihsân. Ia merupakan metode yang unik dari penggunaan pendapat pribadi dengan mengesampingkan analogi yang ketat dan lahiriah demi untuk mewujudkan kepentingan, persamaan dan keadilan umum. Istihsân adalah keputusan untuk menyimpang dari aturan hukum yang sudah mapan dalam suatu keadaan tertentu atau suatu keputusan yang lebih didasarkan pada penalaran murni dari pada penalaran yang bersifat analogis.64 Seorang ahli hukum seringkali dipaksa untuk melepaskan diri dari aturan umum yang mengikat karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang serius. Sesungguhnya adalah tergantung pada ketajaman pikiran seseorang dalam hukum untuk membedakan mana satu aturan dapat diterapkan dan kapan boleh ditinggalkan. Istihsân bukanlah suatu pendapat sekehendak hati dan sembarangan saja, tetapi ia merupakan salah satu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut situasi yang ada. Istilah ini sering ditemui pada para ahli hukum Iraq dalam penalaran mereka. Penyimpangan dari qiyâs dan bertindak sesuai dengan situasi yang ada bukanlah suatu metoda yang asing bagi ahli- ahli hukum Iraq. Tindakan ijtihâd Umar ibn al-Khattâb, misalnya, tidak membagikan tanah-tanah rampasan perang kepada prajurit yang ikut berperang, tidak memotong tangan pencuri pada musim paceklik, sesungguhnya merupakan gagasan dan sekaligus praktik awal dari istihsân. Tentu saja istilah istihsân belum ada pada masa Umar ibn al-Khattâb sampai para ahli hukum Iraq memperkenalkannya. Semagat dasar
63
‘Abd al-Azîz al-Bukhârî, Kasyf…, h. 990. Dalam bentuk yang lebih definitif, istihsân didefinisikan sebagai tidak menerapkan qiyâs yang nyata dan beralih pada qiyâs yang tidak nyata karena ada alasan yang kuat untuk mengabaikan qiyâs yang nyata tersebut, atau meninggalkan aturan umum dan menerapkan aturan parsial berdasarkan argumen. Lihat Hasyîm Kamâlî, Principles of Islamic Jurisprudence, (London: Cambridge, 1991), h. 251, Wael. B. Hallaq, A History of Islamic legal Theories, (London: Cambridge, 1997), h. 108-109. 64
76
istihsân adalah penyimpangan dari satu aturan yang sudah mapan atas dasar kepentingan umum atau keadilan atau karena alasan lainnya yang serupa. Diperselisihkan
oleh
para
ahli
tentang
orang
pertama
yang
memperkenalkan istilah ini. Goldziher berpendapat bahwa Abû Hanîfah adalah ahli hukum pertama yang menggunakan istilah ini. Schacht berpendapat bahwa Abû Yûsuf orang pertama yang mempergunakan istilah ini, meskipun ia mengakui bahwa gagasan tentang istihsân ini telah ada sebelum Abû Yûsuf mempergunakannya.65 Tetapi al-Syaibâni mengaitkan penggunaan istihsân kepada Abû Hanîfah dalam berbagai kasus.66 Kuat dugaan bahwa Abû Hanîfah orang pertama yang memperkenalkan istilah ini dan baik Abû Yûsuf maupun alSyaibâni menerima gagasan ini dari Abû Hanîfah. Pada umumnya para ahli hukum Iraq tidak memberikan alasan bagi penerapan prinsip istihsân. Karena itu sulit diketahui dengan pasti alasan dan sifat kelayakan yang mereka libatkan dalam penyimpangan dari aturan yang baku. Salah satu alasan yang terlacak adalah disamping kepentingan umum, mereka bahkan menyimpang dari qiyâs dan mengutamakan tradisi atau adat kebiasaan tertentu yang berlaku didaerah mereka. Ini bukan berarti bahwa mereka lebih mengutamakan tradisi daripada qiyâs, tetapi karena mereka berpendapat bahwa ada tradisi-tradisi tertentu yang lebih sesuai dengan kepentingan umum. Contoh berikut diharapkan dapat menjelaskan sifat dan fungsi istihsân menurut ahli hukum Iraq. Jika seorang hakim atau seorang imam (kepala negara) melihat seseorang mencuri atau meminum minuman keras, ia tidak dapat menghukum orang tersebut atas dasar pengetahuan pribadinya, sampai terdapat alat bukti hukum yang sah dikukuhkan. Prinsip seperti ini didasarkan pada istihsân. Tetapi qiyâs menuntut orang tersebut dihukum berdasarkan bukti pribadi hakim atau imam.67 Istihsân seperti ini logis. Sebab jika tidak demikian, maka dengan tanpa bukti-bukti hukum yang sah seorang imam akan dapat menghukum siapa saja, katakanlah lawanlawan politik yang tidak ia senangi, atas dasar pengetahuan pribadinya sendiri, 65 66 67
Joseph Schacht, The Origins…, h. 112. Abû Hasan al-Syaibânî, al-Asl, h. 298. Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharrâj, h. 109.
77
dengan menuduh lawan-lawan politiknya telah melakukan kejahatan yang layak dihukum. Beralih ke contoh lain. Kasusnya adalah jika seorang kafir masuk ke daerah Islam dengan jaminan kaum muslimin. Kemudian seorang Muslim mencuri miliknya, atau memotong tangannya. Menurut Abû Yûsuf, tangan si Muslim tidak dipotong. Dikatakannya bahwa menurut qiyâs, tangan si pencuri harus dipotong, tetapi dalam kasus ini ia menggunakan istihsân.68 Abû Yûsuf tidak memberikan alasan yang jelas bagi penyimpangannya ini yang sebenarnya membentur secara kategoris dengan ketentuan ayat al-Qur’ân. Diduga alasan yang dipergunakan Abû Yûsuf adalah karena ia menginginkan orang asing berkecil hati untuk masuk ke daerah Islam. Definisi istihsân diperdebatkan oleh fuqaha’. Dalam karya-karya klasik tentang ushûl al-fiqh terdapat berbagai definisi, yang sebagian dari definisi tersebut di kritik oleh ahli fiqh Hanafi sendiri.
Al-Karkhi (w. 340 H)
mendefinisikan istihsân sebagai keputusan yang harus diambil dalam kasus tertentu yang berbeda dengan keputusan dimana kasus-kasus yang serupa telah ditetapkan berdasarkan presedennya karena alasan yang lebih kuat ketimbang alasan yang ditemukan dalam kasus-kasus serupa karena ada petunjuk yang menghendaki
perpalingan
itu.69
sedangkan
Abû
Bakar
al-Jashshâsh
mendefinisikannya dengan berpaling dari penalaran analogis yang jelas (qiyâs jalî) dan menggunakan analogi yang tidak jelas (qiyâs khafî) karena ada faktor yang menghendaki perpalingan itu.70 Dari dua definisi di atas, definisi yang terakhir tampaknya sangat jelas namun tidak mencerminkan seluruh bentuk istihsân, seperti istihsân yang didasarkan pada kebiasaan umum (‘urf). Abû Bakar al-Sarakhsi (w. 490 H) menjelaskan bahwa istihsân merupakan salah satu jenis qiyâs. Ia berusaha membuktikan bahwa istihsân merupakan bagian dari qiyâs. Dari sini dapat disimpulkan bahwa istihsân merupakan bentuk
68 69
Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharrâj, h. 117. Abû Husain al-Bashrî, Kitâb al-Mu’tamad fi ushûl al-fiqh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1965), h.
840. 70
h. 229.
Abû Bakar al-Jashshâsh, Ushûl al-Jashshâsh, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1995),
78
perkembangan ra’y yang menjadi perantara antara ra’y murni dengan qiyâs yang sistematis. Ia mendefinisikan istihsân dengan (a) cara untuk mencari kemudahan dalam perintah- perintah hukum; (b) mengesampingkan qiyâs dan menggunakan apa yang lebih sesuai bagi masyarakat; (c ) menggunakan hukum yang relevan dan mencari keringanan; dan (d) menggunakan toleransi dan mencari apa yang menyenangkan.71 Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa istihsân bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, yang sepenuhnya terpisah dari qiyâs. Pada dasarnya istihsân adalah jenis qiyâs. Qiyâs dibagi menjadi dua jenis, jalî (jelas) dan khafî (tersembunyi). Jalî adalah qiyâs yang dengan mudah dapat dipahami oleh pikiran, sedangkan khafî adalah qiyâs yang mensyaratkan pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Sesungguhnya qiyâs khafî lebih kuat pengaruhnya dibanding dengan qiyâs jalî, bukan dari segi ketidakjelasannya. Ini sebanding dengan keutamaan yang diberikan kepada kehidupan mendatang karena keabadiannya yang tersembunyi dibandingkan dengan kehidupan dunia yang jelas.72 Qiyâs jali ditolak jika ia bertentangan dengan nashsh, ijmâ’. Dengan kata lain seorang ahli hukum mengesampingkan qiyâs dan beralih ke istihsân. Berikut ini akan diberikan contoh-contoh. Jika seseorang yang sedang menjalankan puasa makan atau minum sesuatu karena lupa, ia boleh melanjutkan puasanya. Puasa tidak batal, karena Nabi diriwayatkan berkata bahwa Tuhan menjamu orang itu dengan makan dan minum. Tetapi menurut qiyâs (aturan umum) menghendaki puasa tersebut menjadi batal karena makan dan minum, sebab puasa berarti menjaga diri dari makan dan minum dan hubungan seksual dari terbit fajar hingga matahari terbenam dengan niat puasa. Karena itu Abû Hanîfah mengatakan kalau tidak karena ada hadits niscaya ia akan memutuskan batal puasa yang demikian.73 Demikian juga kontrak salâm tidak sah menurut qiyâs, karena objek kontrak tidak ada pada saat kontrak terjadi. Tetapi qiyâs tidak dapat diterapkan di sini karena ada hadits yang membolehkan kontrak salam.
71 72 73
Abû Bakar al-Sarakhsi, Ushûl Sarakhsi, (Kairo: Dâr al-Kutub, 1982), juz X,h. 145. Al-Sarakhsi, Ushûl…, juz X, h. 145. Al-Sarakhsi, Ushûl…, juz X ,h. 202.
79
Sesekali istilah qiyâs dipergunakan dalam pengertian harfiahnya yang ketat sedangkan istihsân dipergunakan dalam pengertian yang lebih luas. Berikut ini adalah ilustrasinya. Jika penduduk sebuah kota atau benteng mencari perlindungan pada kaum Muslimin, termasuk kota atau bentengnya dengan perjanjian, maka menurut qiyâs, perlindungan hanya berlaku pada kota dan bentengnya saja, tidak kepada seluruh isinya. Tetapi al-Syaibânî berpendapat atas dasar istihsân bahwa perlindungan itu mencakup benteng atau kota beserta isinya, karena dalam penggunaan umum (‘urf) istilah qal’ah atau madinah tidak hanya berarti bangunan-bangunan saja, tetapi termasuk dengan seluruh isinya.74 Kadang-kadang terjadi bahwa hasil akhir qiyâs dan istihsân adalah sama bila dilihat dari titik tolak materinya, tetapi sesungguhnya keputusan tersebut berdasarkan landasan yang berbeda. Berikut ini adalah contohnya. Jika tentara Muslimin menyerang benteng atau perlindungan kaum kafir dan sebagian tentara musuh meminta perlindungan untuk keluarga dan harta milik mereka dengan syarat yang dinyatakan bahwa mereka akan membuka pintu gerbang bagi tentara Muslimin, maka tentara-tentara tersebut akan diberi perlindungan, disamping harta dan keluarga mereka, bagi diri mereka meskipun mereka tidak menyebutkan dengan tegas untuk diri mereka. Ketika penghuni tempat perlindungan atau benteng tersebut keluar dan orang-orang yang dijanjikan perlindungan menyatakan bahwa si fulan dan si fulan adalah keluarganya dan milik mereka, maka menurut qiyâs (aturan) pernyataan mereka tersebut tidak dapat diterima, kecuali jika ada kesaksian dari seorang muslim yang saleh. Tetapi qiyâs, menurut al-Syaibâni, tidak dapat diterapkan dalam situasi seperti ini karena mereka
sangat
sulit
menemukan
seorang
Muslim
yang
saleh
untuk
mempersaksikan pernyataan mereka sebelum membuka pintu gerbang tempat perlindungan tersebut. Karena itu prinsip istihsân harus diterapkan. Atas dasar ini al-Syaibâni berpendapat jika budak-budak yang mereka nyatakan sebagai anggota keluarga mereka, mempersaksikan pernyataan mereka, maka kesaksian mereka harus diterima dan mereka akan diberi perlindungan.75 74 75
Abû Hasan al-Syaibânî, al-Siyâr al-Kabîr, (Kairo, Dâr al- Kutub, 1945), h. 276. Abû Hasan al-Syaibânî, al-Siyâr…, h. 309.
80
Ulama’ Hanafiah umumnya menyamakan antara qiyâs khafî dengan istihsân. Jika dicermati terdapat perbedaan kecil antara keduanya. Istihsân lebih umum dari qiyâs khafî, karena yang disebut pertama berlaku juga bagi hal-hal lain selai qiyâs khafi. Shadr Syari’ah melihat bahwa jika kata qiyâs digunakan secara mutlak, ia berarti qiyâs jali, jika istihsân digunakan berarti qiyâs khafî.76 Istihsân (qiyâs khafî) dan qiyâs jali mempunyai pembagiannya masingmasing menurut tingkat kekuatan akibatnya dan menurut keabsahan dan ketidakteraturannya. Pembagian qiyâs dan istihsân dipertimbangkan jika mereka menyamai satu sama lain. Qiyâs yang tidak sama dengan istihsân dengan sendirinya tidak mempunyai pembagian. Demikian juga, istihsân yang dilakukan tidak berdasar nashsh, ijmâ’ dan dharûrah tidak dikenai pembagian seperti ini. Berikut ini adalah pembagian qiyâs atau istihsân yang saling bertentangan satu sama lain. Jika dikatakan bahwa qiyâs mempunyai akibat yang lemah, maksudnya ia berhadapan dengan istihsân dan bukan lemah dengan sendirinya. Jika dikatakan ia tidak teratur, maksudnya ia tidak beraturan dibandingkan dengan istihsân. Begitu juga, istihsân dikatakan lemah atau tidak teratur jika berhadapan dengan qiyâs, bukan dengan sendirinya.77 Fuqaha’
klasik
mempertimbangkan
kekuatan
sebab
(‘illat)
atau
keabsahannya dan bukan kejelasan (zhuhûr) dan ketidakjelasannya (khafâ’). Karena itu istihsân lebih diutamakan ketimbang qiyâs dalam kasus-kasus dimana ‘illat yang tersembunyi lebih kuat akibatnya dan lebih benar ketimbang ‘illat yang jelas. Jika ‘illat yang jelas (yakni, qiyâs jali) lebih kuat akibatnya dan lebih benar ketimbang ‘illat yang tersembunyi (yakni, qiyâs khafi), qiyâs jali harus diutamakan. Berikut ini adalah contohnya. Kasusnya adalah kebolehan menggunakan air sisa minuman burungburung pemangsa (sibâ’ al-thair). Analoginya dengan binatang pemangsa (sibâ’ al-wahsy) lemah. Sisa keduanya berbeda satu sama lain. Ketidak bolehan binatang pemangsa adalah karena cara mereka memakan dan meminum. Mereka makan dan minum dengan lidah mereka, dengan demikian, liur mereka bercampur 76 77
Shadr Syari’ah, al-Taudhîh, h. 82. ‘Abd al-‘Azîz al-Bukhâri, Kasyf…, h. 1122.
81
dengan sesuatu yang dimakan dan diminum. Terlihat bahwa liur mereka timbul dari daging mereka yang tidak boleh dimakan. Sebaliknya, burung-burung pemangsa makan atau minum dengan paruhnya dan bukan dengan lidahnya. Paruh adalah tulang kering. Tulang binatang yang mati tidaklah kotor, bagaimana ia menjadi kotor ketika masih hidup? Karena makan atau minum dengan paruh, maka tidak ada kemungkinan bercampur antara liur dengan sesuatu yang dimakan atau yang diminum oleh burung-burung tersebut. Karena itu, analogi kepada bekas binatang pemangsa tidak berlaku dalam kasus ini. Jadi istihsân lebih diutamakan daripada qiyâs.78 Istihsân yang didasarkan pada nashsh, ijma’ dan al-dharûrah tidak dapat di perluas ke kasus cabang, karena mereka tidak didasarkan pada sebab (‘illat), tetapi itu semua adalah kasus-kasus khusus yang tidak dapat dikenai qiyâs. Tetapi istihsân yang di dasarkan pada qiyâs khâfi, dapat diperluas ke kasus-kasus cabang. Contoh berikut akan memperjelas prinsip ini. Jika terjadi perdebatan antara penjual dengan pembeli mengenai harga, menurut qiyâs pernyataan pembeli harus diterima. Pembeli disyaratkan bersumpah. Alasannya adalah penjual menuntut harga yang lebih tinggi dari harga yang disepakati dengan pembeli, karena itu ia menolak harga yang dituntut penjual. Menurut kaidah hukum, pihak yang menolak klaim harus melakukan sumpah. Inilah yang dituntut qiyâs. Tetapi menurut istihsân, kedua fihak dituntut untuk bersumpah, karena masing-masing fihak, dalam pengertian tertentu, menolak klaim yang lain. Pembeli menuntut penjual menyerahkan barang kepadanya yang harganya telah dibayar kepada penjual, sementara penjual menolak memberikan barang. Dengan demikian, artinya penjual juga menolak klaim pembeli. Jika masing-masing pihak bersumpah transaksi akan terhapus. Prinsip tahâluf (melakukan sumpah oleh kedua belah pihak) dapat pula diterapkan pada kasus-kasus sewa (ijârah), pernikahan (nikâh) dan kasus dimana ada perdebatan antara ahli waris penjual dengan pembeli setelah kematian mereka berdasarkan jumlah harga, dengan syarat kepemilikan barang tidak diambil oleh pembeli.79 78 79
Abu Bakar al-Sarakhsi, Ushûl…, h. 204. Abu Bakar al-Sarakhsi, Ushûl…, h. 206-207. Al-Bazdawi, Ushûl…, h. 1131.
82
Ada tiga pandangan mengenai keabsahan qiyâs. Menurut fuqaha’ Hanafiah, istihsân adalah salah satu jenis qiyâs, atau dalil yang lebih kuat berhadapan dengan qiyâs, seperti penjelasan diatas. Menurut Malikiyyah, istihsân berarti menggunakan dalil yang lebih kuat (aqwâ al-dalîlain). Seperti ketetapan hukum tukar menukar kurma yang basah dengan yang kering yang dilarang. AlBâjî, ahli hukum Malikiyyah, membolehkan istihsân berdasarkan hadits yang memberikan dukungan bagi kebolehan ‘âriyyah sebagai ketetapan hukum pengecualian.80 Ada riwayat-riwayat yang bertentangan tentang pandangan Ibn Hambal mengenai keabsahan istihsân. Ibn al-Hâjib81 menyatakan bahwa Ibn Hambal membolehkan istihsân, sedangkan Ibn Qudâmah, ahli hukum Hambali, mengkritik prinsip ini.82 Ibn Subkî juga menolak penisbatan keabsahan istihsân kepada Ibn Hambal. Menurutnya, tidak ada yang menganggap istihsân sebagai sumber hukum yang otoritatif kecuali ahli hukum Hanafi.83 Terlihat bahwa Ibn Hambal menganggap istihsân sebagai sumber yang otoritatif, karena al-Thûfî, yang juga seorang ahli hukum Hambali, mendefinisikan istihsân sebagai berpaling dari hukum yang telah ditentukan berdasarkan otoritas hukum (dalîl al-syar’). Ia menisbatkan prinsip ini kepada Ibn Hambal. Penting untuk dicatat bahwa istihsân yang diperselisihkan oleh para ulama’ disini adalah istihsân yang oleh para fuqaha’ Hanafiyyah disebut dengan qiyâs khâfi dan tidak didasarkan pada nashsh, ijmâ’ dan darûrah. Ibn al-Hâjib membahas panjang lebar masalah keabsahan istihsân. Ia mengklasifikasinya kedalam tiga kategori, yakni yang diterima (maqbûl), ditolak (mardûd) dan tidak pasti (mutarâddah). Definisi-definisi istihsân berikut ini masuk kedalam kategori yang diterima. (1). Berpaling dari qiyâs yang lemah dengan mengutamakan qiyâs yang lebih kuat. (2). Pengkhususan qiyâs dengan qiyâs yang lebih kuat. (3). Berpaling dari ketetapan hukum tentang kasus-kasus 80
Abu al-Wâlid ibn Khallâf al-Bâjî, al-Isyârah fi Ushûl al-Fiqh, pada catatan pinggir Syarh al-Waraqât, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1951), h. 112. 81 Jamâl al-Din Abu Amar Ibn al-Hâjib, Muhtasar al-Muntahâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1920), h. 485. 82 Muwaffaq al-Din ibn Qudâmah, Raudhât al-Nazîr, (Kairo: Dâr al-Kutub, 1988), h. 8586. 83 Tâj al-din Abd al-Wahâb ibn al-Subkî, Jam’ al-Jawâmi’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 288.
83
yang serupa yang telah ditentukan berdasarkan dalil yang lebih kuat. (4). Berpaling dari hukum yang telah ditentukan dengan mengutamakan hukum kebiasaan berdasarkan kepentingan umum dan kebutuhan manusia, seperti mandi di kamar mandi tanpa kepastian waktu kontrak, jumlah air yang digunakan dan waktu untuk tinggal disitu.84 Ini semua termasuk jenis istihsân yang diterima. Sedangkan istihsân yang tidak diakui oleh sumber apapun (nashsh, ijmâ’ dan dharûrah) masuk ke dalam kategori yang ditolak. Para ahli hukum Syâfi’îyyah tidak mengakui istihsân sebagai dasar hukum. Al-Syâfi’î
sendiri
menyampaikan sejumlah keberatan yang serius
terhadap keabsahan istihsân. Ia menganggap istihsân sebagai pendapat yang sewenang-wenang dengan menyebutnya sebagai tindakan mencari kenikmatan (taladzzudz),85 pembentukan hukum dalam agama (syarra’a), yang sewenangwenang. Menurutnya, qiyâs adalah sumber asal hukum, karena ia didasarkan pada otoritas, sedangkan istihsân tidak.86 Al-Ghazali mengatakan bahwa istihsân yang didasarkan pada hadits atau pendapat sahabat dianggap sebagai dasar hukum yang valid oleh ahli hukum Syâfi’îyyah. Tetapi ia mengkritik Abû Hanîfah karena ia berpaling dari hadîtshadîts yang sahih dan menggunakan qiyâs atau istihsân dalam sejumlah kasus. Ia mengutip contoh dimana Abû Hanîfah mengikuti qiyâs dan mengabaikan hadîts. Demikian pula ia tidak mengikuti pendapat sahabat dalam kasus-kasus tertentu, sebaliknya lebih menyukai qiyâs ketimbang pendapat sahabat. Tentang istihsân yang didasarkan pada kebiasaan (‘urf), al-Ghazali menolaknya, karena praktik dan kebiasaan masyarakat bukan otoritas. Mengenai istihsân yang didasarkan pada qiyâs khafî, ia menegaskan bahwa kasus-kasus dimana qiyâs jali tidak dapat diterapkan, qiyâs khafî benar-benar sah. Tetapi disini juga ia menyalahkan Abû Hanîfah dalam beberapa kasus. Misalnya, jika seseorang melakukan perzinahan dan empat orang saksi memberikan kesaksian bahwa orang tersebut melakukan zina di empat sudut rumah, masing-masing saksi menunjuk sudut rumah yang berbeda, Hukuman hadd harus dilakukan kepada tertuduh berdasarkan istihsân, 84 85 86
Ahmad Hasan, Analogical Reasoning…, h. 419. Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 70. Al-Syâfi’î, Kitâb al-Umm, juz VI, h.207.
84
menurut Abû Hanîfah. Sebenarnya tidak harus ada hukuman karena kesaksian mereka diragukan. Al-Ghazali mengkritik ketetapan-ketetapan hukum yang didasarkan pada istihsân yang semacam itu, karena dapat meresahkan masyarakat. Ia menegaskan bahwa sebenarnya Abû Hanîfah dapat saja menafsirkan kesaksian tersebut dengan mengatakan bahwa masing-masing saksi mungkin melihat orang yang berzina tersebut pada waktu yang berbeda secara terpisah. Akibatnya, ini bukan kesaksian yang standar. Dengan begitu ia dapat menyelamatkan orang tersebut dari hukuman. Abû Hanifah sebaliknya menafsirkan bahwa perzinahan telah menarik wanita dari satu sudut kesudut yang lain. Dengan cara seperti ini ia mengakui perbedaan kesaksian.87 Al-Ghazali menolak dukungan agama dari al-Qur’ân dan Sunnah yang digunakan oleh ahli hukum Hanafiyyah untuk membenarkan istihsân. Mengikuti al-Syâfi’î, ia menyebut istihsân sebagai pendapat, nafsu yang sewenang-wenang dan imajinasi yang tidak berdasar. Ia menganggap istihsân sebagai keputusan massa tentang kebaikan atau keburukan sesuatu.88 Penting untuk ditegaskan disini bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang penggunaan kata istihsân (menganggap suatu objek sebagai enak dan bagus), karena al-Syâfi’î sendiri mempergunakan kata istishâb dan istihsân dalam berbagai kasus.89 Yang ditolak oleh fuqaha’ Syâfi’îyyah adalah istihsân yang didasarkan
pada
pendapat
seseorang
secara
sewenang-wenang,
tanpa
mendasarkan pada sumber hukum yang diakui. Al-Syaukânî menegaskan bahwa tidak ada manfaatnya membuat satu bab yang terpisah bagi istihsân. Alasannya adalah jika istihsân merupakan salah satu dari dasar-dasar hukum yang diakui, itu berarti hanya pengulangan hal yang sama. Jika ia merupakan sesuatu yang lain dari dasar-dasar tersebut, dan tidak masuk ke dalam salah satu sumber manapun, maka ia tidak mempunyai kaitan dengan Syarî’ah. Jadi ia merupakan prinsip yang bertentangan dengan Syarî’ah.90
87 88 89 90
Al-Ghazâlî, al-Mankhûl, (Beirut: Dâr al Fikr, 1970), h. 377. Al-Ghazâlî, al-Mushtasfâ, h. 137-139. Al-Syâfi’î, Kitâb al-Umm, juz VII, h. 182. Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h.212.
85
Keberatan-keberatan yang dikemukakan al-Syâfi’î, para pengikutnya dan para penentang istihsân dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, seorang Muslim harus taat kepada Tuhan dan Nabi-Nya dalam segala keadaan. Ia terikat untuk mengikuti segala perintah-perintah berdasarkan nashsh yang jelas. Sedangkan istihsân melibatkan, pendapat, keleluasaan, kecenderungan dan keinginan individu ahli hukum. Ia dapat menerima atau menolak sesuatu dengan pendapatnya yang sewenang-wenang ketika menggunakan istihsân. Ini berarti ia tidak mendasarkan pendapatnya pada otoritas yang benar. Karena itu, ketetapan hukum yang didasarkan pada pencarian kenikmatan dan kecenderungan seseorang tidak sah. Kedua, jika tidak ada perintah-perintah yang didasarkan pada nashsh, qiyâs dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus cabang. Pada prinsipnya tidak ada sumber hukum selain nashsh, yakni al-Qur’ân dan Sunnah, ijma’ dan qiyâs. Prinsip yang mengabaikan sumber-sumber ini tidak dapat menjadi dalil. Para pendukung istihsân menolak semua keberatan ini dengan rinci dan membuktikan bahwa semua keberatan-keberatan tersebut tidak berdasar.91 Menyebut istihsân dengan keinginan mencari kenikmatan, pendapat sewenangwenang, bentuk kecenderungan pribadi, keleluasaan dan menentang nass atau paling kurang lebih menyukai pendapat pribadi ketimbang nashsh semua itu tidak lain hanyalah semacam kesalahpahaman tetang definisi dan hakekat istihsân. Seperti telah ditunjukkan sebelumnya bahwa istihsân berarti mengutamakan dalil yang lebih kuat atas dalil yang lebih lemah. Para ahli hukum Syâfi’îyyah mengkritik keras prinsip ini sejak awal tanpa memahami kebenarannya. Al-Syâfi’î sendiri menggunakan prinsip semacam ini dalam penalarannya meskipun ia tidak menggunakan istilah istihsân. Abû Husain al-Bashrî menegaskan bahwa penggunaan istilah istihsân mempunyai arti yang penting. Meskipun kata istihsân menunjukkan keinginan dan usaha pencarian kesenangan oleh seseorang, ia menunjukkan pengetahuan seseorang tentang kebaikan sesuatu. Ia juga berkonotasi keyakinan dan penilaian seseorang tentang keutamaan suatu objek.
91
h. 1133.
Al-Syarakhsi, Ushûl…, h. 200, 201 dan 207. ‘Abd al-‘Azîz al-Bukhârî, Kasyf…, juz IV,
86
Jika seorang ahli hukum sampai pada suatu kesimpulan bahwa sesuatu itu bagus, secara logis ia dibolehkan untuk memutuskan bahwa ketetapan hukum ini bagus.92 Para penentang istihsân juga menegaskan bahwa ia merupakan pengkhususan ‘illat (takhsîs al-‘illat) yang tidak diakui sah dalam qiyâs. Para ahli hukum Hanafiyyah menjawab bahwa masalahnya tidaklah demikian. Istihsân adalah sejenis qiyâs. Dalam penerapan istihsân, ketetapan hukum ditentukan jika sebab (‘illat) dari ketetapan hukum itu ada. Jika sebab tidak ada, ketetapan hukum juga tidak ada. Bekas burung-burung pemangsa, dalam contoh yang lalu, dibolehkan karena sebab larangannya, yakni makan atau minum dengan lidah, tidak ada.93 Sikap yang moderat dikemukakan oleh Taftazani. Keseluruhan perbedaan pendapat tentang istihsân disebabkan karena kesalahpahaman. Para pendukung istihsân sesungguhnya ingin membuktikan bahwa ia adalah sejenis qiyâs. Mereka yang menentangnya menganggap istihsân sebagai penetapan hukum agama yang sewenang-wenang, sesungguhnya mereka ingin mengatakan jika tidak didasarkan pada otoritas, seorang ahli hukum seolah-olah memutuskan sendiri berdasarkan pendapatnya yang sewenang-wenang, padahal ia tidak dibolehkan melakukan yang demikian. Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat tentang istihsân. Jika perdebatannya adalah seputar penggunaan istilah, sebuah adagium mengatakan tidak ada perbedaan pendapat tentang penggunaan istilah dibolehkan jika maknanya sama.94 Al-Syatibî juga mendukung pendapat para pendukung istihsân. Ia menegaskan bahwa istihsân bukanlah berarti rasa dan keinginan seseorang. Seorang ahli hukum yang melakukan istihsân memahami secara mendalam tujuan pemberi hukum, kemudian membandingkan kasus baru dengan kasus sebelumnya dimana qiyâs mensyaratkan untuk menerapakan ketetapan hukum tertentu yang telah ditentukan. Tetapi dengan ketetapan hukum yang telah ditentukan pada
92
Abû Husain al-Bashrî, Kitâb al-Mu’tamad…, h. 840. Al-Syarakhsî, Ushûl…, h. 204-207. 94 Sa’ad al-Din Mas’ud ibn Umar al-Taftazânî, al-Taudhîh, h. 81. 93
87
kasus baru ini, kepentingan umum (mashlahah) hilang atau sebaliknya, membawa keburukan. Karena itu, ia mengesampingkan qiyâs dan menggunakan istihsân.95 Jika dilakukan penelitian yang mendalam tentang masalah-masalah dan hukum-hukum Syarî’ah terlihat bahwa penerapan suatu hukum yang telah ditentukan pada situasi tertentu kadang-kadang menyebabkan hilangnya kebaikan manusia dan keuntungan yang dicari darinya. Sebagai ganti untuk mencapai kebaikan, ia malah membawa bahaya bagi masyarakat. Keadilan sosial menuntut bahwa harus ada ruang bagi seorang ahli hukum dalam prinsip-prinsip penetapan hukum dimana ia dapat berpaling dari ketetapan-ketetapan hukum yang ditentukan dan menerapkan hukum dengan memelihara kepentingan umum dan kebaikan manusia. Dengan demikian istihsân merupakan prinsip yang sangat berguna untuk menetapkan hukum bagi masalah-masalah baru. Ia dapat digunakan dalam kasus-kasus yang dimana tidak ditemukan jawaban hukumnya dalam literatur hukum. Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa qiyâs pada madzhabmadzhab hukum awal masih berada dalam tahap perkembangan. Ia dipergunakan dalam pengertian kesejajaran, ra’y dan penalaran secara umum. Konsep ‘illat tampaknya mempunyai makna yang jauh lebih luas daripada yang dipahami oleh ahli hukum yang lebih terkemudian. Itulah sebabnya istilah ‘illat tidak ditemukan dalam tulisan- tulisan mereka. Kata-kata seperti bimanzilah (setara), ka (seperti) dan mitsâl (keserupaan) digunakan untuk menunjukkan sifat kesederhanaan qiyâs ini dan keluasan ruang lingkupnya. Jenis qiyâs yang sederhana ini secara bertahap tersingkir oleh qiyâs yang lebih sistematis logis dan ketat sejak masa Al-Syâfi’î Istihsân merupakan betuk lain dari qiyâs, tetapi tidak seketat qiyâs. Berikut ini akan dibahas qiyâs dalam ushûl al-nahw.
C. Qiyâs Nahw Dalam ushûl al-nahw96 ada beberapa dalil yang dipergunakan. Berturutturut dalam penggunaannya seperti berikut, al-samâ’, ijmâ’ dan qiyâs. Terdapat 95
Abû Ishaq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syari’ah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), juz IV, h. 103.
88
dalil lain dimana tidak semua literatur tentang ushûl al-Nahw mendiskusikannya, yakni istihsân dan istishâb. Ini menunjukkan bahwa dalil ini tampaknya bukanlah dalil yang disepakati atau setidaknya bukan merupakan dalil yang penting, sehingg Ibn Anbârî menyebutnya sebagai dalil yang paling lemah.97 Al-Samâ’ secara harfiah berarti mendengar. Dalam kaitannya dengan nahw, sesungguhnya ia mempunyai cakupan makna yang lebih luas dari makna harfiahnya tersebut, yaitu suatu cara penelitian bahasa yang dilakukan oleh para ahli bahasa untuk mencari informasi dari penutur aslinya untuk memastikan keotentikan suatu bahasa untuk kemudian dijadikan landasan teoritis. Ijmâ’ adalah kesepakatan pendapat ahli bahasa dari aliran Kûfah dan Bashrah tentang satu persoalan bahasa.98 Sedangkan qiyâs adalah menerapkan hukum kasus asal terhadap kasus cabang karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya.99 Definisi ini sangat jelas dipengaruhi oleh pengertian qiyâs yang ada dalam ushûl al-fiqh. Qiyâs merupakan salah satu metoda terpenting dalam studi bahasa, dimana seluruh aliran tata bahasa Arab, utamanya aliran Kûfah dan Bashrah, menerima prinsip ini meskipun dengan kadar yang berbeda. Aliran Bashrah tampaknya lebih besar kadar penggunaan qiyâs dibandingkan dengan aliran Kûfah. Urutan penggunaan dalil seperti ini mirip dengan urutan penggunaan dalil dalam ilmu ushûl al-fiqh. Hal ini tampaknya para ahli bahasa dipengaruhi oleh ahli ushûl al-fiqh dari segi metodologi. Al-samâ’ dianggap sama dengan riwâyah, meskipun sebenarnya terdapat perbedaan. Al-samâ’ adalah proses dimana periwayat mendengar secara langsung materi bahasa tersebut dari penutur aslinya untuk kemudian disampaikan kepada orang lain. Jika dalam proses ini terdapat pembatas, misalnya antara perawi dan pendengar terdapat perawi lain yang menjadi perantara atau proses ini terjadi 96
Ushûl al-Nahw sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Anbârî adalah argumentasi-argumentasi tentang nahw yang darinya akan muncul cabang-cabang dan pasal-pasalnya, sebagaimana ushûl al-fiqh merupakan argumentasi-argumentasi tentang fiqh yang akan menghasilkan hukum yang rinci. Definisi yang sama dikemukakan oleh al-Sayûthî, dengan sedikit perbedaan redaksi. Ibn Anbârî, Luma’ al-Adillah, (Beirut: Al-Jâmi’ah al-Suriyah, 1957), h.143, Sayuti, Kitâb al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushûl al- Nahw, (Beirut: Al-Jami’ah al-Suriyah, 1957), h. 21. 97 Ibn Anbârî, Luma’ al-Adillah, (Beirut: Al-Jâmi’ah al-Suriyyah, 1957), h. 142. 98 Ibn Anbârî, al-Inshâf fi Masâil al-Khilâf, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz I, h. 392. 99 Ibn Anbârî, Luma’…, h. 93.
89
lewat perantaraan buku yang dibaca, hal ini disebut riwâyat bukan al-samâ’. Dengan demikian mendengar secara langsung itulah yang membedakan antara alsamâ’ dan al-riwâyah. Jadi al-riwâyah lebih umum dari pada al-samâ’ dimana yang disebut terakhir disyaratkan mendengar secara lansung.100 Metode al-sima’, secara alamiah, lebih didahulukan dalam studi-studi bahasa yang dilakukan oleh pengkaji bahasa Arab klasik. Karena hanya dengan cara itulah mereka mendapatkan materi-materi bahasa dari penutur asli untuk kemudian dikodifikasi. Diriwayatkan bahwa al-Kisâ’i (w. 156 H/776 M) bertanya kepada al-Khalîl Ibn Ahmad (w. 175 H/795 M) dari mana ia memperoleh ilmu ini (bahasa Arab). Al-Khalîl ibn Ahmad menjawab bahwa ia memperolehnya dari lembah-lembah di Hijâz, Najd dan Tihâmah.101 Tetapi tentu saja ada pedomanpedoman di mana para ahli bahasa tunduk dengan pedoman tersebut untuk menyaring bahasa dari orang Arab mana saja yang dapat diterima dan mana yang ditolak. Kefasihan (fasâhah) berbahasa menjadi standar utama untuk seorang penutur asli dapat diterima bahasanya, ini diindikasikan dengan besar kecilnya interaksi seorang Arab dengan non Arab. Semakin banyak suatu suku Arab berinteraksi dengan bangsa non Arab semakin besar kemungkinan tercemarnya bahasa mereka. Semakin mereka terasing, semakin bersih bahasa mereka dari kerusakan. Proses pengumpulan dan kodifikasi bahasa bertolak dari kekhawatiran terjadinya kerusakan dalam bahasa karena menyebarnya dialek yang menyimpang (lahn) dalam masyarakat Arab. Penyebab terjadinya lahn tersebut karena terjadinya percampuran antara orang-orang Arab dengan non Arab (mawâli) di kota-kota besar seperti di Iraq dan Suriah, maka wajar jika bahasa Arab yang dipandang valid dicari dari orang-orang Badui khususnya dari suku-suku Arab yang masih terisolir dan masyarakatnya masih memiliki instink dan kemurnian
100
Muhammad Husain Alî Yâsîn, al-Dirâsat al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab, (Beirut: Dâr Maktabah al-Hayâh, 1980), h. 341. 101 Abû Abdillah Yâqût al-Hamâwâ, Mu’jam al-Udabâ’, (Kairo: Isa al-Bâbî al-Halabî, 1936), h.168. Bandingkan dengan, Abd al-Karim Muhammad al-As’ad, al-Wasîth Târîkh al-Nahw al-‘Arabî, (Beirut: Dâr al-Syawâf,1992), h. 68.
90
pelafalannya. Ibn Jinnî (w. 392 H)102 dalam hal ini mengatakan bahwa penyebab lahirnya pemikiran seperti itu adalah karena penduduk kota-kota dan bahasa Arab yang ada saat itu mengalami kerusakan dan kekacauan. Seandainya orang kota masih tetap menjaga kefasihan bahasa, dan dalam bahasanya tidak nampak mengalami kerusakan, niscaya dalam proses pengumpulan bahasa, mereka harus dijadikan rujukan. Sama halnya jika bahasa masyarakat Badui mengalami kekacauan dan kerusakan bahasa serta minimnya kefasihan seperti yang terjadi pada masyarakat kota, maka dalam kondisi demikian bahasa mereka harus ditolak.103 Kebenaran telah tersebarnya lahn itu dibenarkan oleh Ibn Asîr, seperti dikutip oleh Muhammad ‘Abd, yang mengatakan bahwa ketika era tâbi’în bahasa Arab telah berkurang kualitasnya, saat itu bahasa Arab telah atau hampir berubah menjadi bahasa ‘Ajam. Tidak ada yang bisa membebaskan dan melindunginya kecuali dengan mengumpulkannya.104 Suku-suku Arab, oleh para peneliti bahasa klasik, tidak ditempatkan dalam posisi yang sama dalam hal dapat dan tidaknya bahasa mereka dijadikan referensi. Bangsa Arab terdiri dari dua suku bangsa, Qahthâniyyah dan ‘Adnâniah, dinisbatkan kepada nenek moyang bangsa Arab Qahthân dan Adnân. Orang-orang Qahthân adalah orang Arab Yaman, nenek moyang mereka bernama Ya’rib ibn Qahthân. Suku-suku Arab yang berasal dari Yaman ini menyebar ketimur jazirah Arab. Sebagian mereka menetap di Yamâmah, Bahrain, Oman dan Hijaz, sebagian yang lain menetap di wilayah timur Iraq dan Suriah. Diantara suku-suku Qahthân ini adalah Hamîr, Ghassân, Azad, Kindah dan Thâ’i. Bangsa Arab keturunan Adnân menetap di daerah Tihâmah, Najd dan Hijâz. Di antara sukusuku keturunan Adnân ini adalah Anmâr, Mudhâr, Rabî’ah dan Iyâd. Suku-suku ini terpecah lagi menjadi beberapa suku. Pecahan dari suku Mudhâr adalah Kinânah, Quraisy, Tamîm, Qais, Asad, Huzail, Dhabbah dan Muzinah. Bahasa
102
Untuk biografi Ibn Jinni lihat Syauqy Dhaif, al-Mâdaris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dâr alMa’ârif, 1976), h. 265-276. 103 Ibn Jinni, al-Khashâis, h. 504. 104 Muhammad ‘Abd, al-Riwâyah wa al-Istisyhâd fi al-Lughah, (Kairo: ‘Âlam al-Kitab, 1978), h. 106.
91
Quraisy pada umumnya dianggap bahasa yang paling fasih diantara bahasa sukusuku Arab kemudian disusul oleh bahasa Tamîm, Qais, Asad dan Huzail.105 Para ahli bahasa juga menetapkan beberapa syarat bagi diterimanya sebuah bahasa sebagai bahasa standar. Ibn Anbârî mengatakan bahwa yang bisa dijadikan standar (al-naql) adalah kata-kata orang Arab yang fasih yang diterima berdasarkan standar yang valid (al-manqûl bi al-naql al-sahîh) dengan jumlah transmiter yang banyak, bukan sedikit.106 Menjelaskan pengertian banyak dan sedikit tersebut, Ibn Hisyâm mengatakan bahwa para ahli bahasa menggunakan beberapa istilah untuk menjelaskan klasifikasi transmiter sebuah bahasa. Istilah tersebut adalah ghâlib, katsîr, nâdir, qalîl dan muththarid. Istilah muththarid berarti jika semua sumber bahasa menyebutkan riwayat yang sama terhadap suatu materi bahasa, tidak satupun sumber yang menyebutkan berbeda dengan sumber lainnya. Istilah ghalib berarti sangat banyak sumber bahasa yang menyampaikan suatu materi bahasa, dimana materi yang mereka sampaikan sama. Sementara terdapat sedikit sumber yang meriwayatkan berbeda dari sumber pertama. Jika dijelaskan dengan pendekatan matematis mungkin dapat dirumuskan 80%: 30%. Adapun istilah katsir perbandingannya 60%: 40%. Istilah qalîl dan nadîr merupakan kebalikan dari katsir dan ghalib.107 Abdullah Ibn Abi Ishaq al-Hadramî (w. 117 H/737M) banyak disebutsebut oleh penulis biografi tokoh gramatika Arab sebagai orang pertama yang mempergunakan qiyâs dalam kajian bahasa.108 Adalah sulit untuk menisbatkan qiyâs kepada seseorang tertentu, karena apa yang disebut dengan qiyâs pada masa ini telah melalui tahap-tahap perkembangan seperti yang terjadi dalam qiyâs pada ushûl al-fiqh. Menurut Muna Ilyas, gagasan tentang qiyâs setidaknya telah ada sejak masa Abû al-Aswad tetapi mungkin masih dalam bentuk yang sederhana. Ketika pada masa Abdullah ibn Abî Ishaq, konsep tentang qiyâs sudah cukup jelas
105
‘Abd al-Karîm Muhammad As’ad, al-Wasîth…, h. 20. Bandingkan dengan al-Sayûthî, Kitâb al-Iqtirâh fi ‘Ilm Ushûl al-Nahw, (Beirut: al-Maktabah al-Jam’iyyah, 1936), h.19-20. Bandingkan dengan Syauqî Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1976), h. 80. 106 Ibn Anbârî, Luma’ al-Adillah, h. 81. 107 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 118. 108 Lihat Ibn Salâm al-Jumhî, Thabaqât Fuhûl al-Syu’arâ’, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1952), h. 41, Muna Ilyas, al-Qiyâs fi al-Nahw, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), h. 10-11.
92
dan teratur. Sehingga dalam penalarannya terhadap bahasa Arab, ia telah mempergunakan metoda yang sistematis, inilah yang kemudian disebut dengan qiyâs.109 Singkatnya Abdullah Ibn Abî Ishaq hanyalah orang yang menghimpun gagasan tentang qiyâs yang masih berserakan pada masa sebelumnya, bukan pencipta qiyâs itu sendiri, sehingga benar apa yang dikatakan oleh Afâf Hasanain bahwa qiyâs tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan nahw itu sendiri.110 Qiyâs adalah aturan-aturan umum (al-qânun al-muththarid) yang di deduksi (istiqrâ’) dari perkataan orang Arab. Jika dapat diterima bahwa Ibn Abî Ishaq adalah orang pertama yang mempergunakan qiyâs, menjadi penting untuk mempertanyakan dari mana ia dan mungkin juga para ahli nahw yang seangkatan dengannya memperoleh gagasan tentang qiyâs pada masa yang begitu dini. Sebagian peneliti menganggap bahwa qiyâs yang ada dalam nahw berasal dari atau paling kurang dipengaruhi oleh analogi yang ada dalam logika Yunani atau filsafat Persia.111 Pada bagian yang lalu telah ditunjukkan bahwa de Boer menyatakan, bahwa pemikiran tentang qiyâs masuk kedalam bahasa Arab masuk melalui terjemahan Ibn al-Muqaffa’ yang menterjemahkan buku-buku Persia kedalam bahasa Arab dan selanjutnya alKhalîl ibn Ahmad mengambil gagasan tentang qiyâs dari terjemahan tersebut. Tetapi Muhammad Husain ‘Alî Yâsîn meragukan kebenaran pernyataan diatas. Pertama, Ia meragukan pertemuan antara al-Khalîl ibn Ahmad dan Ibn alMuqaffa’ yang diriwayatkan terjadi berulang kali. Dengan merujuk pada alZubaidî, Muhammad Husain ‘Alî Yâsîn mengatakan pertemuan tersebut hanya terjadi satu kali,112 dan dengan demikian sulit untuk meyakini bahwa al-Khalîl ibn Ahmad terpengaruh oleh pemikiran Persia. Kedua, Menurut penelitiannya bahwa yang menterjemahkan buku-buku Persia tersebut bukan Ibn al-Muqaffa’, tetapi 109
Muna Ilyas, al-Qiyâs, h. 12. Afâf Hasanain, Fi Adillah al-Nahw, (Kairo: al-Maktabah al-Akademiah,1997), h. 143. ‘Abd Allah Jâd al-Karim, al-Dars al-nahw fi al-Qarn al-‘isyrîn, (Kairo: Maktabah al-Adab, 2004), h. 64. 111 Seperti yang dikatakan oleh De Boer dan Ibrahim al-Samrâni, lihat ‘Abd al-‘Ali Salam Mukarram, al-Halaqah al-Mafqûdah fi Tarikh al-Nahw al-‘Arabi, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1993), h. 103. 112 Lihat al-Zubaidî, Thabaqât al-Lughawiyyîn wa al Nahwiyyîn, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt), h. 45. 110
93
Muhammad Abdullah ibn Muqaffa’ (putra Ibn al-Muqaffa) dan penterjemahan itu baru selesai setelah al-Khalîl ibn Ahmad wafat.113 Menurut ‘Abd al-‘Ali Salam, qiyâs yang dipergunakan oleh Ibn Abi Ishaq dan qiyâs yang dipergunakan oleh para ahli nahw seangkatannya hingga masa Sîbawaih bukan qiyâs yang ada dalam logika Yunani itu, melainkan qiyâs yang berasal dari nalar alamiah (qiyâs fitriyyah wa thabîah) para ahli nahw. Mudah difahami bahwa manusia seringkali melakukan perbandingan antara berbagai hal, dengan cara itu ia dapat memahami sifat-sifat, persamaan-persamaan dan perbedaan dari hal-hal yang dibandingkannya tersebut, kemudian menarik kesimpulan dalam bentuk qiyâs atau prinsip-prinsip umum dari perbedaanperbedaan yang ada.114 Ini berarti qiyâs yang ada dalam ilmu nahw sesungguhnya berawal dari logika alamiah atau mungkin lebih tepat disebut ra’y. Seiring berlalunya waktu, qiyâs tersebut terus berkembang ke arah yang lebih sistematis. Dengan demikian qiyâs yang ada dalam nahw sesungguhnya murni produk pemikiran Arab meskipun pada masa yang lebih terkemudian bisa jadi dipengaruhi oleh logika Yunani. ‘Abd al-‘Alî Sâlim menarik ke masa yang lebih awal, yaitu masa Nabi, tentang asal usul qiyâs. Dengan merujuk pada sebuah buku yang ditulis oleh Nâsih al-Dîn Abd al-Rahmân al-Anshârî (w. 634 H/ 1255M) dengan judul alaqyîsah al-Nabî al-Mushthafâ, yang menjelaskan sejumlah praktik qiyâs yang dilakukan oleh Nabi dalam memutus persoalan hukum. Buku tersebut menyimpulkan bahwa qiyâs memiliki dasarnya dalam bahasa Arab sendiri (ashîl fî Kalâm al-‘Arab) tidak melalui terjemahan dan berasal dari budaya asing seperti yang banyak dikemukakan oleh para peneliti.115 Pada masa ini pengaruh logika Yunani sama sekali belum ada. Dengan demikian dapat diyakini bahwa qiyâs dalam nahw sesungguhnya mempunyai akarnya dalam tradisi dan budaya Arab
113
Muhammad Husain ‘Alî Yâsîn, al-Dirâsat al-Lughawiyyah Inda al-‘Arab, (Beirut: Maktabah al-Hayâh, 1980), h. 93. 114 ‘Abd al-‘Alî Salâm Mukarram, al-Halaqah al-Mafqûdah fî Târîkh al-Nahw al-‘Arabî, (Beirut: Mua’ssasah al-Risâlah, 1993), h. 105. 115 ‘Abd al-‘Alî Salâm Mukarram, al-Halaqah…, h. 106.
94
sendiri. Kesimpulan ini berbeda secara kategoris dari kesimpulan yang diberikan oleh de Boer dan sarjana lainnya yang sependapat dengan pandangannya. Tokoh generasi awal yang lain yang banyak disebut memiliki peran dalam pengembangan qiyâs adalah Yûnus ibn Habîb.116 Menurut Brockelman, Yûnus ibn Habîb menulis sebuah buku khusus tentang qiyâs dengan judul al-Qiyâs fî alNahw.117 Boleh jadi Brockelman benar dengan pernyataannya itu. Sayang buku tersebut tidak ditemukan. Tetapi informasi tentang penggunaan qiyâs oleh Yûnus ibn Habîb diriwayatkan dan tersebar dalam al-Kitâb karya Sîbawaih. Dengan ini diyakini bahwa qiyâs memang telah ada sejak masa awal Islam dan merupakan salah satu metoda pengembangan bahasa dalam ilmu nahw. Beberapa peneliti menyatakan bahwa qiyâs dalam nahw berikut metodemetodenya berasal dari keterpengaruhannya dengan qiyâs yang ada dalam ilmu ushûl al-fiqh.118 Pandangan seperti itu wajar muncul karena melihat cara-cara ahli nahw dalam menjelaskan ‘illat-‘illat terhadap gejala-gejala bahasa serta klasifikasi yang dilakukan oleh ulama nahw belakangan terhadap ‘illat menjadi ‘illat lafzhî dan ‘illat ma’nawî, dimana pembagian seperti ini lazim dalam ushûl al-fiqh. Sebenarnya keselarasan antara postulat-postulat ilmu nahw dan konsepkonsepnya dengan postulat-postulat ilmu ushûl al-fiqh dan konsep-konsepnya merupakan hal yang wajar karena kedua cabang ilmu tersebut memiliki sumber yang sama, yaitu bayân Arab, sebagaimana telah ditunjukkan pada bab yang lalu. Tetapi bisa jadi qiyâs dalam fiqh tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya qiyâs dalam nahw. Masing-masing saling mengambil manfaat dari yang lainnya. Riwayat
berikut
ini
tampaknya
mendukung
pernyataan
diatas.
Diriwayatkan bahwa Bisyir al-Marisi (seorang ahli fiqh) bertanya kepada al-Farra’ (seorang ahli nahw): “saya ingin bertanya kepada anda tentang suatu masalah fiqh, apa pendapat anda mengenai seseorang yang lupa melakukan dua sujud 116
Untuk biografinya lihat Zubaidî, Thabaqât…, h. 51-53. Brockelman, Târikh al-Adab al-‘Arabi, diarabkan oleh Abdul Halim al-Najjâr, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt), juz II, h.130. 118 Lihat Muhammad ‘Id, Ushûl al-Nahw al-‘Arabî, (Kairo: Âlam al-Kutub, 1989), h. 133. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Muhammad Mahmûd Nahlah, Ushûl al-Nahw al ‘Arabi, (Mesir: Dâr al-Ma’rifah al-Jam’iyyah, 2002), h. 7. 117
95
sahwi? Tidak menjadi soal, jawab al-Farra’. Al-Marisi mengejar dengan pertanyaan lanjutan, mengapa demikian? Saya mengqiyaskan pada pendapat kami dalam bahasa Arab bahwa yang sudah ditashghîr (dibentuk makna kecil) tidak bisa lagi ditasghîr. Demikian pula dalam masalah ini, lupa dalam sujud sahwi tidak menimbulkan pengaruh apapun jawab al-Farra’.119 Artinya lupa melakukan dua sujud sahwi tidak boleh diganti dengan dua sujud sahwi lagi. Ini memperlihatkan logika nahw (qiyâs) telah dipergunakan dalam menyelesaikan persoalan fiqh. Menurut al-Jâbirî, bayân Arab sebagai sistem pengetahuan, sesungguhnya telah ada sejak permulaan masa kodifikasi pengetahuan sekitar abad kedua hijrah. Proses itu dicirikan dengan budaya lisan dan riwayat menuju budaya penulisan dan penalaran. Dalam tahap berikutnya budaya tersebut berkembang menjadi budaya ilmiah. Secara sederhana kajian bayan terbagi menjadi dua. Pertama, tentang aturan-aturan penafsiran wacana dan, kedua, syarat-syarat menghasilkan wacana.120 Mengenai yang disebut pertama, yaitu tentang aturan-aturan penafsiran wacana bayânî dalam bentuknya yang baku, telah dilakukan oleh al-Syâfi’î. Ia menempatkan hukum-bahasa Arab sebagai sebagai acuan utama untuk menafsirkan teks-teks suci, termasuk aturan untuk melakukan qiyâs. Dalam penerapannya, al-Syâfi’î menjadikan teks suci sebagai sebagai acuan utama. Singkatnya berfikir dan bernalar menurut al-Syâfi’î hanya boleh dalam kerangka nashsh. Ada beberapa ciri pokok bayân Arab tersebut. Antara lain selalu berpijak pada ashl (pokok) yang berupa nashsh atau teks dan selalu berpijak pada riwâyat.121 Karena menjadikan nashsh sebagai sebagai sumber pengetahuan, maka sifat yang menonjol dalam bayân Arab tersebut adalah tradisi memahami dan menjelaskan teks, yang ditandai dengan kuatnya berpegang pada makna lahiriah teks (nashsh zhahîr). Disamping itu bayân Arab juga selalu berpegang kepada maksud teks dengan menaruh perhatian yang sangat kuat pada proses transmisi 119
Ibn Anbari, Nuzhah…, h. 134. Muhammad Âbid al-Jâbirî, takwîn…, h. 15 121 Lihat S. H. Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philoshofy, (New York: RoutLedge, 1996), h. 826. 120
96
(riwâyat) dari generasi ke generasi. Kebenaran pengetahuan sangat tergantung pada validitas transmisi yang bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Pada akhirnya harus ditegaskan bahwa bayân Arab tersebut, menurut al-Jâbirî, akan ditentukan oleh unsur-unsur yang membentuk bayan Arab tersebut, yaitu: pasangan lafazh-makna, al-khabar-al-qiyâs dan al-ashl-al-far’.122 Al-ashl-al-far’’ merupakan prinsip fundamental yang dengan itu, qiyâs dibangun. Al-ahsl merupakan suatu kasus yang ketentuan hukum bagi kasus tersebut telah diketahui, baik berdasarkan petunjuk teks atau berdasarkan penelitian para ahli. Dengan demikian ashl merupakan sesuatu yang telah diketahui (ma’lûm). Jika ditemukan kasus baru yang mempunyai kesamaan dengan kasus yang telah diketahui tersebut, maka ketentuan bagi kasus yang telah diketahui tersebut dapat pula diterapkan untuk kasus yang belum diketahui ketetapan hukumnya (majhûl). Kasus yang belum diketahui ini dalam istilah teknisnya disebut far’. Singkatnya gerak nalar dalam qiyâs hanya sekedar usaha menghubungkan far’ kepada ashl. Qiyâs, seperti yang dijelaskan oleh para ahli bahasa, adalah upaya untuk menghasilkan sesuatu yang tidak diketahui dari yang diketahui. Dalam konteks bahasa, seorang ahli bahasa harus mengikuti suatu pola dari materi bahasa menurut sistem pola yang sudah diketahui pada materi lain. Dengan kata lain, seorang ahli bahasa harus menghasilkan bentuk yang tidak diketahui dengan bersandar pada bentuk yang sudah diketahui. Bentuk tersebut bisa berupa bentuk kata, ungkapan maupun cara penggunaan (i’râb). Tujuan dari penggunaan qiyâs adalah perluasan bahasa. Para ahli nahw aliran Basrah lebih tinggi intensitas penggunaan qiyâs dibanding dengan aliran Kufah yang lebih tinggi intensitas penggunaan riwâyah. Alasannya adalah, seperti yang dikatakan oleh Ibrahim Anis, para ahli bahasa aliran Basrah ahli mantik (penalaran), filsafat bahasa, atau peneliti
bahasa.
Mereka
meneliti,
menginterpretasi,
menyimpulkan
dan
memberikan penjelasan tentang sebab-sebabnya. Mereka membuat aturan yang kadang-kadang atas dasar ijtihad mereka sendiri. Sementara aliran Kufah tampak bahwa mereka sangat membanggakan teks-teks yang sampai pada mereka dari orang-orang Arab. Mereka tidak ingin gegabah terhadap teks apapun. Bahkan 122
Muhammad Âbid al-Jâbirî, Takwîn…, h. 25.
97
sekalipun teks itu satu-satunya.123 Ini memperlihatkan kecenderungan orang Basrah pada penalaran dan kecenderungan orang Kufah pada riwayat. Tujuan lain dari qiyâs adalah membuat aturan-aturan umum bagi bahasa, atau membuat kaidah-kaidah bagi teks yang sampai kepada ahli bahasa. Ketika kehidupan meluas dan semakin kompleks, muncul pola-pola kehidupan baru yang tidak dikenal pada masa sebelumnya, muncul pula kebutuhan terhadap kosa katakosa kata baru yang dapat dipergunakan untuk mengekspresikan perkembangan baru tersebut. Tetapi kebutuhan tersebut sulit untuk dipenuhi oleh teks-teks bahasa yang ada. Karena itu diperlukan qiyâs untuk menghasilkan bentuk-bentuk, maknamakna atau struktur-struktur baru. Qiyâs nampaknya mengalami perkembangan yang luar biasa ketika berada di tangan Abu ‘Ali al-Fârisi. Bahkan Ia dipandang sebagai bapak aliran qiyâs di abad
ke
empat
Hijrah.124
Pernyataannya
berikut
ini
menggambarakan
kesungguhannya dalam penggunan qiyâs. Bagi saya, lebih baik saya salah dalam lima puluh masalah yang terkait dengan persoalan riwayat dari pada saya salah dalam satu masalah yang terkait dengan qiyâs.125 Demikianlah, qiyâs berkembang dari fakta bahwa ia mendasari apa saja yang diriwayatkan dalam kaidah-kaidah umum, sehingga qiyâs dapat menjadi alat untuk menghasilkan kondisi-kondisi baru dan kaidah-kaidah baru. Riwayat berikut ini menggambarkan dengan baik sikap aliran Basrah mengenai qiyâs. Abu Amr ibn al-Ala’ ditanya tentang apa yang ia ciptakan (qiyâs) yang ia sebut sebagai bahasa Arab, apakah seluruh ujaran orang Arab telah telah termasuk di dalamnya. Ia menjawab bahwa tidak seluruh ujaran orang Arab masuk kedalam kaidah yang Ia buat. Selanjutnya Ia ditanya, apa yang akan anda lakukan terkait dengan ujaran orang Arab yang menyalahi aturan yang anda buat, sementara orang Arab sendiri merupakan argument (hujjah) dalam bahasa mereka. Atas pertanyaaan ini Abu Amr ibn al-Ala’ menjawab, saya menggunakan prinsip mayoritas, dan saya menyebut ujaran yang menyalahi aturan saya sebagai 123
Ibrahim Anis, Min Asrâr al-Lughah, (Kairo: al-Matba’ah al-Faniyyah, 1966), h. 24. Ibrahim Anis, Min Asrâr…, h. 19. 125 Ibn Anbari, Nuzhah al-Albâ’ fi Thabaqât al-Udabâ, (Kairo: Maktabah al-Manâr, 1985), h. 389, bandingkan dengan, Ibrahim Anis, Min Asrâr…, h. 19. 124
98
lahjah (lughat).126 Artinya, Abu Amr membuat kaidah berdasarkan data-data yang banyak, atau menurut kondisi dimana contoh-contohnya itulah yang paling banyak. Sementara qiyâs Abu Ali al-Farisi berupaya menghasilkan kata-kata baru yang belum pernah terdengar dan belum pernah diriwayatkan dari orang Arab, namun upaya tersebut berlangsung secara analogis (qiyâs) terhadap fakta yang telah didengar dan diriwayatkan dari orang Arab. Ibn Jinni tampaknya membolehkan qiyâs ini (berdasarkan riwayat yang sedikit). Ia menyatakan dalam Khasâis nya bahwa tidak disyaratkan harus banyak bagi yang dijadikan al- maqîs alaih, landasan qiyâs. Bisa saja yang sedikit dijadikan landasan qiyâs karena keselarasannya dengan prisip qiyâs. Sebaliknya, yang banyak terkadang tidak dapat dijadikan landasan qiyâs karena menyimpang dari prisip qiyâs.127 Ini merujuk pada salah satu jenis qiyâs yang sering disebut dengan “berlaku secara qiyâs namun tidak secara simâ’i (al-muththarid qiyâsan la simâ’an).128 Dengan demikian, kajian tentang bahasa mengenal dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan naqli atau samâ’i yang dianut oleh aliran Kufah yang sangat kuat berpegang pada teks. Kedua,kecenderungan analogis-ijtihadi atau rasional yang dianut oleh aliran Basrah yang memandang teks-teks yang berbeda dengan kaidah mereka sebagai menyimpang (syadz). Kecenderungan ini menjadi lebih berkembang dan pada akhirnya lebih berpegang pada ijtihad dan nalar ketika berada di tangan Abu Ali al-Farisi dan Ibn Jinni. Oleh karena itu bahasa bukanlah sesuatu yang diwariskan, tetapi diperoleh melalui belajar. Maka bahasa menjadi milik siapa saja yang mempelajarinya. Tidak ada kaitannya dengan warisan atau etnis tertentu. Siapapun dapat memperoleh bahasa dengan mempelajarinya. Definisi tentang qiyâs tidak ditemukan dalam buku al-Kitab, karya Sîbawaih. Ini menunjukkan bahwa definisi tentang qiyâs baru muncul belakangan. Akan tetapi penggunaan kata qiyâs dan sejumlah istilah yang terkait dengan qiyâs, seperti ashl, far’ dan manzilah (‘illah) tersebar di berbagai tempat dalam buku tersebut. Ini menunjukkan bahwa qiyâs telah menjadi sebuah metode bahasa yang otonom dalam ilmu nahw pada masa Sîbawaih. Berikut ini akan dibahas bentuk 126 127 128
Al-Zubaidi, Thabaqât…, h. 20. Ibn Jinni, al-Khasâis, (Kairo: Dâr al-kutub al-Misriyyah, 1952), h. 25 Ibn Jinni, al-Khasâis, h. 392.
99
qiyâs yang dengan mengambil contoh qiyâs kata kerja (fi’il) dengan kata benda (ism) dalam persoalan ‘amal ( mempengaruhi i’rab) dalam fi’il mudhâri’, dan dalam kasus mengqiyâskan kata sifat kepada kata kerja juga dalam masalah ‘amal (mempengaruhi fungsi i’rab). Penting untuk dicatat bahwa pada waktu ini, aliranaliran (madzhab, jamaknya madzâhib) dalam ilmu nahw belumlah ada. Alirantersebut baru muncul pada masa yang lebih terkemudian.129 Menurut Sîbawaih, ism (kata benda) memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh fi’il (kata kerja). Sebuah kalimat bisa dibuat dari dua buah ism tetapi tidak bisa dibangun dari dua fi’il. Sebab ism tidak membutuhkan fi’il, sedangkan fi’il membutuhkan ism. Ini merupakan fakta yang menegaskan bahwa ism memang berbeda dengan fi’il, atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa tidak ada persamaan secara total antara ism dengan fi’il. Dalam hal ini Sîbawaih menegaskan bahwa fi’il-fi’il itu bukan ism-ism. Maksudnya, dengan ism.
130
fi’il tidak sama
Dalam pandangan Sîbawaih, ism memiliki kekhususan yang tidak
dimiliki oleh fi’il. Jika fi’il mudhâri’ mengalami i’rab seperti yang juga dialami oleh ism, kemiripan itu tidak menjadikan fi’il sebagai ism. Hal itu karena fi’il di jazamkan sedangkan ism dijarkan. Pada sisi lain, ism dapat di idhafatkan kepada yang lain, sedangkan fi’il tidak demikian. Jika idhafat membuang tanwîn pada ism yang di idhafatkan, sebenarnya tanwîn berada dalam posisi setara dengan jazam dalam fi’il. Dalam konteks ini Sîbawaih menegaskan bahwa dalam fi’il tidak ada jar sebagaimana tidak ada jazam dalam ism, karena ism dimungkinkan dikenai tanwin. Ketika tanwin hilang, para ulama’ nahw tidak menyamakan antara lenyapnya tanwîn dengan lenyapnya harakat (yakni jazam) sebagai ism.131 Qiyâs di sini adalah menangkap persamaan dan perbedaan. Dari sisi i’rab, fi’il mempunyai kemiripan dengan ism. Ia dapat dirafa’kan dan di nasabkan, akan 129
Pada masa kemudian muncul aliran-aliran dalam ilmu nahw, seperti aliran Kufah, Bashrah, Baghdad, Andalusia. Makdisi membandingkan antara madzhab dalam nahw dengan madzhab dalam fiqh, dalam nahw madzhab dinisbatkan kepada daerah sedangkan dalam fiqh madzhab dinisbatkan kepada tokoh pembangun madzhab Lihat Muhammad al-Thanthâwi, Nasy’ah al-Nahw, (Kairo: Dâr al-Mânar, 1992), h. 73-81, 108-116, bandingkan dengan George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), 124-125 130 Umar ibn Utsman ibn Qunbur yang lebih dikenal dengan Sîbawaih, al-Kitâb, juz I, h. 14. 131 Sîbawaih, al-Kitâb, h.218.
100
tetapi ism berbeda dari fi’il dalam hal bahwa ism tidak dapat dijazamkan. Sebagai imbangannya, ism dapat dijarrkan. Perbandingan di sini antara jazm dalam fi’il dan tanwîn dalam ism didasarkan pada ketidakmunkinan membaca tanwin ketika diidhafatkan, idhafat yang merupakan salah satu fungsi ism yang membedakannya dari fi’il. Kesamaan lainya antara ism dengan fi’il terwujud pada kesamaan antara antara fi’il dengan sifat, yang dalam pandangan Sîbawaih merupakan cabang dari ism dari sisi fungsi. Hal tersebut karena fi’il terkadang menempati posisi ism dan menjalankan fungsi ism dalam kalimat, seperti menjadi khabar dan hal. Setelah menganalisa sisi-sisi kesamaan dan sisi-sisi perbedaan antara ism dengan fi’il, seperti dalam penjelasan di atas, Sîbawaih dan ahli nahw lainnya merumuskan konsep mudhârah. Istilah mudhâri’ dipakai oleh ahli nahw, termasuk Sîbawaih, dalam pengertian “serupa” dalam banyak aspek. Konsep mudhara’ah ini sesungguhnya sama dengan qiyâs, disamping kata qiyâs itu sendiri telah dipergunakan oleh ahli nahw. Dalam hubungannya antara fi’il dengan ism dalam analisa perbandingan diatas, para ahli nahw mengqiyaskan fi’il mudhari’ kepada ism dalam hal menerima i’rab. Alasannya adalah, seperti dikemukakan oleh Ibn Sarrâj (w. 316), pada prinsipnya (al-asl) yang dii’rabkan tersebut adalah ism,sedangkan fi’il pada prinsipnya adalah mabni.132 Ini berarti ism adalah asal (maqîs alaih), sedangkan fi’il mudhari’ adalah cabang (far’, maqîs). Dengan demikian fi’il mudhari juga dii’rabkan karena sama dengan ism. Qiyâs dalam nahw seperti terlihat dalam contoh diatas, berbeda dengan qiyâs dalam fiqh. Ahli nahw tidak mengambil hukum dari teks, tetapi menyimpulkan hukum, melalui perbandingan, sisi-sisi persamaan dan juga sisisisi perbedaan antara gejala bahasa, dalam hal ini antara ism dan fi’il. Proses seperti ini pada dasarnya merupakan proses interpretasi. Dengan cara ini memungkinkan kaidah-kaidah bahasa dibuat, dan tanpa proses seperti ini tidak mungkin system bahasa dapat dipahami. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa qiyâs dalam bahasa tidak kalah rumitnya dibanding qiyâs dalam fiqh.
132
Abû Bakar ibn al-Sarrî yang lebih dikenal dengan Ibn Sarrâj, al-Ushûl fî al-Nahw, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1997), Vol I, h. 123.
101
Pada saat yang sama para ahli nahw mengqiyaskan kata sifat (ism fâ’il) kepada fi’il mudhari’. Ibn Sarrâj memberikan alasan bagi qiyâs tersebut dengan mengatakan bahwa karena ada kesamaan dalam beramal antara ism fâ’il dengan fi’il mudhâri.133 Titik kesamaan (‘illat) tersebut adalah bahwa fi’il mudhâri’ dapat merafa’kan fâ’il, demikian pula ism fâ’il ini, juga dapat merafa’kan fâ’il. Ini berarti bahwa fi’il mudhari’ telah berubah menjadi landasan bagi qiyâs yang baru (maqîs ‘alaih) bagi ism fâ’il. Padahal pada saat ia diqiyaskan pada ism, ia hanya berkedudukan sebagai cabang (far’) dari ism. Dengan demikian telah terjadi qiyâs atas hasil qiyâs atau qiyâs berganda, suatu praktik qiyâs yang tidak dapat diterima oleh ahli ushûl al-fiqh, namun tampaknya diterima oleh ahli nahw. Jika dicermati secara seksama, yang terjadi sesungguhnya bukanlah qiyâs ganda. Qiyâs fi’il mudhari kepada ism merupakan qiyâs dalam hukum. Pada tahap ini hukum yang ada pada ism diterapkan pada fi’il mudhari, sehingga fi’il mudhari menjadi mu’rab setelah sebelumnya mabni. Karena yang mu’rab pada dasarnya milik ism. Sementara itu, mengqiyaskan ism fâ’il kepada fi’il mudhari merupakan qiyâs terhadap hukum lain yang bukan hukum i’rab. Tetapi, hukum yang dijadikan dasar qiyâs dalam konteks yang kedua adalah “amal” atau “ pengaruh”. Oleh karena itu dua sisi hukum tersebut pada dasarnya berbeda, dan keduanya menjadi dua qiyâs, bukan satu qiyâs yang masing-masingnya berdiri sendiri. Secara umum, menurut Tammâm Hassân, qiyâs dapat diklasifikasi menjadi dua. Pertama, qiyâs al-isti’mâli (analogi terapan). Qiyâs dalam bentuk ini hanyalah upaya mengikuti perkataan orang Arab dan ini bukan bagian dari ilmu nahw dalam arti teknis. Kedua, al-qiyas al-nahw (qiyâs nahw). Menerapkan hukum kasus baru kepada kasus yang telah ada ketepan hukumnya karena ada titik kesamaan antara kedunya. Adapun qiyâs tathbîqî adalah sarana perolehan bahasa pada anak-anak.134 Qiyâs dalan arti yang kedua inilah yang telah dibicarakan dalam pembahasan di atas.
133 134
Ibn Sarrâj, al-Ushûl…, h. 122-123. Tammâm Hassân, al-Ushul, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000), h. 151-153.
BAB IV STRUKTUR QIYÂS
A. Ushûl al-Fiqh Unsur utama pembentuk qiyâs dalam ushûl al-fiqh atau struktur pembentuknya ada empat, yaitu, Hukum asal, cabang (far’), asal (ashl) dan ‘illat. Dalam membahas struktur qiyâs dalam ushûl al-fiqh ini, hukum asal tidak dibahas secara khusus, cukup disertakan dengan pembahasan ketiga unsur lainnya, karena tidak terlalu signifikan. 1. Kasus Asal Kasus asal merupakan salah satu dari empat unsur pembentuk qiyâs. Dalam bab ini akan dibahas secara lebih rinci syarat-syarat hukum kasus asal. Hukum klasik sangat dipengaruhi oleh pemikiran al-Syâfi’î, seperti telah ditunjukkan pada bab yang lalu. Al-Syâfi’î mengecam semua bentuk penalaran yang tidak bersumber pada al-Qur’ân, sunnah dan ijmâ’. Karena itu, ia menentang pengguanaan ra’y dan Istihsân dalam penalaran hukum, karena keduanya tidak asli didasarkan pada landasan-landasan wahyu. Al-Syâfi’i hanya membolehkan penggunaan qiyâs, karena ia bersandar pada nashsh dan ijmâ’. Qiyâs yang memiliki dasar nashsh atau ijmâ’, membawa hukum tentang kasus serupa (cabang) mendekati hukum kasus asal karena ia diambil dari sumber asal. Kasus asal karenanya memegang peranan penting, meskipun bukan fundamental, seperti sebab hukum (‘illat) dalam proses qiyâs. Alasannya adalah bahwa hukum kasus asal (hukm ashl) berlaku bagi kasus serupa berdasarkan adanya kesamaan antara keduanya, karena kasus asal merupakan dasar qiyâs. Seseorang bisa salah dalam menentukan kesamaan, dan ketetapan yang diterapkan pada kasus serupa juga bisa salah. Karena itu ahli fiqh klasik banyak memperhatikan pada penetapan hukum kasus asal. Namun terdapat perbedaan pendapat diantara mereka tentang definisi kasus asal dan syarat-syarat hukumnya. Sulit untuk memastikan kapan istilah ashl digunakan oleh ahli fiqh klasik. Hal ini disebabkan kurangnya literatur awal tentang fiqh. Tetapi ada hal penting yang patut dicatat bahwa al-Syâfi’î kadang-kadang menggunakan kata ashl dalam
102
103
pengertian ratio logis (alasan hukum) atau sebab hukum (‘illat).1 Dalam tulisantulisan al-Syâfi’î ditemukan penggunaan kata ashl di berbagai tempat dalam pengertian kasus asal, yakni dasar qiyâs. Ia membagi qiyâs kedalam dua jenis. Jenis pertama yaitu qiyâs (qiyâs ‘illat) dimana kasus serupa (cabang), yang ketetapan hukumnya akan dicari, secara literal mengandung arti kasus asal. Tidak terdapat perbedaan pendapat tentang jenis yang pertama ini. Jenis yang kedua adalah qiyâs dimana kasus cabang bisa jadi mempunyai sejumlah kasus yang sama dengannya. Jenis qiyâs yang seperti ini diperdebatkan oleh para ulama yang mempergunakan qiyâs.2 Al-Syâfi’î menekankan bahwa qiyâs harus diambil berdasarkan al-Qur’ân, Sunnah dan ijmâ’. Ia menyebut ketiga sumber ini sebagai ushûl atau sumber yang berfungsi sebagai dasar bagi qiyâs.3 Namun tidak ditemukan tulisan al-Syâfi’î tentang definisi ashl. Istilah yang dipakai oleh al-Syâfi’î adalah maqîs ‘alaih. Abû Bakr al-Jashshâsh (w. 950 M) menggunakan istilah ashl untuk kasus asal dan menunjukkannya sebagai salah satu unsur pembentuk qiyâs.4 Tetapi ia tidak mendefinisikannya. Masalah definisi mungkin baru muncul setelah itu. Ia membahas secara rinci apa yang menjadi kasus asal untuk melakukan qiyâs dan apa yang tidak. Pandangannya tentang keabsahan kasus ashl akan dikemukakan pada paragrap berikut ini secara singkat. Setiap hukum yang memenuhi standar yang memenuhi persyaratan bagi penetapan hukum Syarî’ah dapat menjadi kasus asal (ashl) bagi qiyâs, karena adanya bukti yang menunjukkan adanya sebab (‘illat) disitu. Qiyâs dapat dilakukan berdasarkan nashsh al-Qur’ân, sunnah dan ijmâ’ dan ketetapan hukum yang didasarkan pada hadîts âhad. Ketetapan yang diambil melalui qiyâs juga dapat dijadikan dasar bagi qiyâs, meskipun hal tersebut diperdebatkan oleh para
1
Al-Syâfi’î, Ikhtilâf al-Hadits, dalam catatan pinggir Kitab al-Umm, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Arabiyyah), Vol VII, h.320. 2 Al-Syâfi’î, al-Risalâh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1939), h. 66. 3 Al-Syâfi’î, Ikhtilâf…, h. 148. Bandingkan dengan Syâfi’i, Al-Risâlah, h. 479. 4 Abû Bakar al-Jashshâsh, Ushûl al-Jashshâsh, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), h. 247.
104
ahli fiqh. Ia memberikan contoh nikah bersyarat yang sah berdasarkan qiyâs atas keabsahan penjualan bersyarat.5 Terlepas dari penggunaannya dalam kontek qiyâs, Qâdhî Abd al-Jabbâr memberikan empat makna bagi ashl. Pertama, jalan atau saluran menuju sesuatu, seperti al-Qur’ân sebagai sumber asal bagi semua perintah (ashl al-ahkâm). Kedua, hukum yang dengannya kasus baru diungkap (maqîs ‘alaih), dan ini merupakan kasus asal bagi pengambilan qiyâs (ashl al-qiyâs). Ketiga, sesuatu yang pengetahuan tentangnya bergantung pada pengetahuan pada yang lain. AlÂmidî memberikan contoh untuk ini dengan pengetahuan tentang Tuhan dan Nabi, karena pengetahuan tentang yang disebut terakhir bergantung pada pengetahuan tentang yang pertama. Pengetahuan tentang Tuhan merupakan ashl bagi pengetahuan tentang Nabi. Keempat, sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak ada sesuatu yang lain yang bergantung padanya melalui qiyâs. Pada bagian ini alÂmidî memberikan contoh berupa emas dan perak yang menjadi kasus asal bagi pelarangan riba, meskipun tidak ada sesuatupun yang tergantung pada keduanya.6 Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang definisi kasus asal. Menurut para teolog, ashl berarti nashsh. Misalnya, ayat al-Qur’ân
yang melarang
minuman khamr atau hadîts yang melarang tukar menukar gandum dengan ukuran berat yang tidak sama, merupakan kasus asal (ashl). Al-Syaukânî mendefinisikan ashl sebagai nashsh yang menunjukkan penentuan ketetapan hukum dalam objek kesepakatan. Pendapat ini dipegang oleh Qâdhi Abû Bakar al-Bâqilâni dan Mu’tazilah. Alasannya adalah karena nashsh menjadi sandaran bagi yang lain dan yang lain menyandar pada nashsh, karean itu nashsh disebut ashl.7 Pendapat lain mengatakan kasus asal berarti ketetapan hukum yang ditunjuk oleh nashsh. Seperti tidak bolehnya minum khamr dan larangan tukarmenukar jenis barang yang sama dengan ukuran yang tidak sama, yang ditunjukkan oleh nashsh masing-masing. Pendapat ini dipegang oleh Abû Husain
5
Abû Bakar al-Jashshâsh, Ushûl…, h. 248-250. Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm fi ushûl al Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), juz II, h.240. 7 Muhammad al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ila Tahqîq al-Haq min ‘ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 14-15. Bandingkan dengan Wahbah Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Dâr alFikr al-Mu’âsir, 1986), h. 16-17. 6
105
al-Bashri dan Fakhruddîn al-Râzi. Untuk mendukung pandangan ini ditegaskan bahwa ashl adalah sesuatu dimana sesuatu yang lain bergantung kepadanya, dan pengetahuan tentang hal tersebut sangat penting untuk mengetahui yang lainnya. Sifat seperti ini dapat ditemukan dalam hukum yang ditunjuk oleh nashsh, seperti larangan minum khamr diatas. Karena itu ia harus disebut ashl. Menurut al-Âmidî perbedaan pendapat seputar masalah ini
hanyalah
perdebatan soal kata-kata (khilâf lafdzi). Sesungguhnya, hal itu sangat terkait dengan makna kata ashl itu sendiri. Ashl berarti sesuatu yang menjadi landasan bagi yang lain. Karena itu, Ketetapan hukum dapat menjadi ashl, karena hukum dalam kasus cabang didasarkan padanya. Jika hukum merupakan ashl dalam kasus pelarangan minum khamr, maka nashsh yang dengannya hukum diketahui merupakan ashl bagi ashl yang lain (ketetapan hukum). Atas dasar ini, dengan cara apapun hukum tentang minum khamr diketahui, baik melalui Ijmâ’ atau lainnya, ia dapat menjadi ashl.8 Lebih jauh al-Âmidî berpendapat bahwa objek hukum lebih tepat dianggap ashl, Karena baik ketetapan hukum maupun nashsh menuntut keberadaannya, namun tidak sebaliknya, karena objek tidak selalu memerlukan nashsh atau hukum.9 Setelah mengemukakan pandangan ahli fiqh tentang definisi ashl berikut ini pembahasan diarahkan pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ahli fiqh bagi keabsahan ketetapan hukum yang terkandung dalam kasus asal. Abû Ishaq al-Syirâzî (w. 476 H/ 1076 M) menyebutkan enam syarat, al-Ghazâlî (w.505 H/ 1111 M) dan al-Âmidî (w. 631 H/ 1231 M) memberikan delapan syarat, sedangkan Ibn Qudâmah (w. 620 H/ 1220 M) menyebutkan hanya dua syarat. AlRâzî (w. 606 H/ 1200 M) dan Ibn al-Hâjib (w. 626 H/ 1226 M) memberikan enam syarat dan al-Baidhâwî (w.685 H/ 1285 M) memberikan lima syarat. Dengan berlalunya waktu, jumlah syarat ini menjadi dua belas, seperti diuraikan oleh alSyaukânî (w.1250 h/1850 M). Terlihat bahwa para ahli fiqh tidak sepakat tentang jumlah yang pasti mengenai syarat-syarat ini, karena sebagian syarat itu dianggap primer sedangkan lainnya dianggap sekunder. Karena itu perbedaan tersebut akan 8 9
Saifuddin al-Âmidî, Al-Ihkâm…, h.10. Saifuddin al-Âmidî, Al-Ihkâm…, h.11.
106
terus terjadi dalam keseluruhan proses ini. Sulit untuk dicapai kesepakatan dalam penalaran spekulatif seperti ini. Dalam mendiskusikan syarat-syarat hukum kasus asal ini, yang akan di jadikan acuan adalah syarat-syarat yang dikemukakan oleh al-Âmidî. Karena syarat yang dikemukakannya telah mencakup syarat yang dikemukakan oleh ulama’ lainnya. Hanya perlu di sampaikan keberatan-keberatan ulama’ lain atas syarat-syarat yang disampaikan oleh al-Âmidî. Pertama, ketetapan hukum, yang dapat diperluas ke kasus cabang, harus berupa hukum Syarî’ah. Karena tujuan qiyâs syar’î adalah menerapkan ketetapan hukum syara’ kepada kasus cabang baik secara positif (itsbât) maupun negatif (nâfî). Jika hukum kasus asal tidak berkaitan dengan hukum Syarî’ah, maka tujuan qiyâs tidak dapat terlaksana. Jika hukum kasus asal bukan syar’î, tetapi inderawi (hissi) atau rasional (‘aqli ) atau bersifat kebahasaan, maka qiyâs tidak berlaku dalam persoalan-persoalan tersebut. Menurut para fuqaha’, qiyâs tidak berlaku dalam masalah-masalah rasional dan inderawi.10 Selanjutnya, salah satu syarat perintah hukum yang mesti ada adalah sebab hukum bagi keberadaan hukum dalam Syarî’ah. Jika praktek tertentu ada sebelum datangnya Islam dan ia terus ada, tetapi Islam tidak menggunakannya dalam bentuknya yang asli atau telah dimodifikasi, praktek tersebut tidak dapat dianggap sebagai perintah hukum syara’ yang sah. Secara teknis ia disebut nafy al-ashl, yakni praktik yang ditiadakan sejak awal oleh Syari’ah. Kebiasaan atau hukum pra Islam tersebut tidak dapat dijadikan ashl bagi qiyâs menurut mayoritas ahli fiqh. Kedua, hukum kasus asal haruslah hukum yang telah tetap, tidak dinasakh oleh hukum lain, sehingga ia dapat diperluas ke kasus yang lain.11 Jika hukum tersebut belum tetap, atau telah dinasakh, ia tidak dapat diperluas kepada kasus yang lain. Suatu hukum diperluas dari kasus asal ke kasus cabang berdasarkan
10
Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 278. Sebenarnya qiyâs juga terjadi dalam persoalanpersoalan rasional seperti yang dilakukan oleh para teolog dan filosof. 11 Muhammad Hasyîm Kamâlî, Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: Islamic texts Society, 1991), h. 202-203, bandingkan dengan Imran Ahsan Khan Nyazee, Islamic Jurisprudence, (Islamabad: The International Institute of Islamic Thought, 2000), h. 218.
107
kualitas yang berperan sebagai penghubung dan ini bergantung pada pemberi hukum (law giver). Ketika hukum ditetapkan tidak berdasarkan kualitas yang diakui oleh Syarî’ah, ia tidak dapat dipertimbangkan. Al-Ghazâlî mengakui syarat ini dengan mengatakan bahwa hukum yang diterapkan dalam kasus cabang merupakan tambahan bagi hukum yang diakui dan diterapkan dalam kasus asal. Ini bergantung pada pengakuan kasus asal oleh pemberi hukum. Jika ia dinasakh, berarti pemberi hukum tidak mempertimbangkan kualitas penghubung (wasf jâmi’). Jika sebab perintah tidak diakui oleh pemberi hukum karena di nasakh, bagaimana ia dapat diperluas ke kasus cabang?12 Ketiga, hukum kasus asal harus didukung oleh otoritas hukum (dalîl syara’) yang sah. Yang demikian itu karena ketetapan hukum yang tidak didasarkan atau dibangun oleh otoritas hukum yang diakui, tidak dapat menjadi perintah hukum yang sah.13 Jika perintah ditetapkan oleh otoritas akal atau bahasa, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar perintah hukum. Sumber perintah harus otoritas hukum atau wahyu.14 Hukum yang diakui dan otoritas yang diwahyukan bagi penetapan perintah hukum bisa jadi berupa teks al-Qur’ân atau Sunnah atau ijmâ’. Ketetapan hukum yang didasarkan pada teks ada dua macam. Pertama, ketetapan-ketetapan hukum yang sebab-sebabnya dapat dipikirkan, seperti larangan minum khamar. Kedua, ketetapan-ketetapan hukum yang sebab-sebabnya tidak dapat dipikirkan, seperti jumlah bilangan raka’at dalam shalat dan jumlah hari puasa Ramadhân. Qiyâs tidak berlaku pada bagian yang disebut terakhir. Sedangkan untuk bagian yang disebut pertama, dibagi ke dalam dua jenis. Pertama, ketetapan-ketetapan hukum yang sebab-sebabnya juga ditemukan pada kasus cabang. Kedua, ketetapanketetapan hukum yang sebab-sebabnya tidak ditemukan pada kasus cabang. Qiyâs tidak berlaku pada kategori terakhir, hanya berlaku untuk kategori yang disebut
12
Al-Ghazâli, Syifa’ al-Ghalîl, (Beirut: Dâr al Fikr, 2003), h. 636. Bandingkan dengan Saifuddin al-Âmidî, Al-Ihkâm, h. 278. 13 Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 278. 14 Al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h.87. Al-Ghazâli, Syifâ’ al-Ghalîl, h.278.
108
pertama.15Sebenarnya kategori yang kedua ini merupakan persoalan yang diperselisihkan diantara ahli fiqh. Mengenai ijmâ’, ia sama sahnya dengan teks (nashsh) untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum. Ketetapan yang ditentukan melalui ijmâ’ dibagi lagi seperti pembagian teks, sebagaimana telah ditunjukkan di atas. Sebagian ahli fiqh madzhab al-Syâfi’î berpendapat bahwa qiyâs tidak berlaku pada ketetapan yang didasarkan pada ijmâ’ kecuali ada otoritas teks yang menjadi dasar ijmâ’ tersebut diketahui. Tetapi al-Syirâzî (ahli fiqh Syâfi’iyah) dan al-Sam’âni tidak sependapat dengan pandangan ini. Keduanya berpendapat bahwa ijmâ’ merupakan otoritas yang sah untuk menentukan perintah hukum, sama sepert teks (nashsh). Karena itu, jika qiyâs berlaku pada perintah yang didasarkan pada teks, ia juga berlaku pada perintah yang didasarkan pada ijmâ’.16 Keempat, kasus asal tidak boleh merupakan turunan dari kasus asal yang lain. Perintah yang menjadi kasus asal bagi kasus cabang harus mandiri dan memiliki sebab hukumnya sendiri. Ini merupakan pendapat yang dianut oleh mayoritas ahli fiqh. Tetapi para ahli fiqh Hambali mengakui keabsahan kasus asal yang didasarkan pada kasus asal yang lain. Alasannya adalah bahwa sebab kasus asal dengan kasus cabang sama seperti yang ditemukan dalan kasus asal yang telah diambil dari kasus asal yang lain. Dengan demikian qiyâs atas kasus asal menengah yang didasarkan yang sudah didasarkan pada kasus lain dimaksudkan untuk memperluas proses qiyâs.17 Al-Ghazâlî tidak membolehkan qiyâs berantai ini. Menurut al-Ghazâlî, suatu ketetapan hukum, tegasnya, yang tidak didasarkan pada teks atau ijmâ’ tidak dapat diterima sebagai dasar bagi qiyâs, karena hal tersebut akan mengarah pada qiyâs karena keserupaan saja. Ketetapan hukum yang diambil dari kasus asal bisa jadi menyerupai kasus cabang yang ketiga, dan yang ketiga menyerupai yang keempat dan yang keempat menyerupai yang kelima. Hasilnya adalah bahwa kasus yang terakhir tidak lagi menyerupai kasus asal pertama. Perbandingannya, menurut al-Ghazâlî, sama dengan seseorang yang mengambil batu kerikil yang 15 16 17
Abû Ishaq al-Syirâzî, Al-Lumâ’, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1925), h. 42. Abu Ishaq al-Syirâzi, al-Lumâ’, h. 44. Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h. 179. Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 279.
109
mencari yang kedua sama dengan yang pertama, kemudian mencari yang ketiga sama dengan yang kedua, begitu seterusnya hingga yang kesepuluh. Tetapi akhirnya yang kesepuluh tidak lagi sama dengan yang pertama dalam keseluruhan aspeknya. Ini disebabkan karena peningkatan perbedaan yang kecil pada akhirnya menjadi perbedaan yang besar antara yang pertama dengan yang terakhir.18 Kelima, hukum kasus asal tidak boleh menyimpang dari aturan umum qiyâs. Hukum yang menyimpang dari aturan umum qiyâs ada dua macam. Pertama, ketetapan hukum yang sebabnya dapat dipahami. Kedua, ketetapan hukum yang sejak awal dikembangkan oleh Syarî’ah dan tidak mempunyai kemiripan dengan apapun. Untuk yang disebut terakhir ini tidak dapat dijadikan landasan qiyâs. Tidak penting apakah sebabnya dapat dipahami, seperti mengqasar shalat selama perjalanan dan mengusap sepatu (mash al-khuff), ataukah sebabnya tidak dapat dipahami, seperti adanya denda (diat) yang harus dibayar sebagai sanksi pembunuhan. Untuk yang disebut pertama terbagi menjadi dua bagian. Pertama, pengecualian dari ketetapan umum, seperti keabsahan kesaksian seorang saksi tunggal. Nabi membolehkan, sebagai kasus khusus, menerima kesaksian Ibn Khuzaimah sebagai saksi standar, meskipun kesaksian standar mensyaratkan dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang wanita. Kedua, ketetapan hukum yang sebabnya tidak dapat diketahui sejak awal. Ini dapat dicontohkan dengan jumlah raka’at dalam shalat dan standar jumlah emas dan perak yang wajib dizakati. Ini bukan kasus pengecualian, tetapi melakukan qiyâs dengan kasus-kasus tersebut adalah tidak sah.19 Al-Ghazâlî membahas syarat kasus asal ini secara rinci. Aturan umum tentang qiyâs mengatakan bahwa ketetapan hukum yang dikecualikan atau dikeluarkan dari aturan umum qiyâs tidak dapat diperluas secara analogis. Prinsip ini dibagi kedalam empat sub bagian sebagai berikut: (a). Kasus khusus yang sebab pengecualiannya tidak dapat dipahami, tidak dapat menjadi kasus asal bagi qiyâs. Alasannya adalah hakekat pengecualian hukum bagi situasi tertentu ditetapkan oleh nashsh. Qiyâs, disisi lain, 18
Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h.187. Syifâ al-Ghalîl, h. 636. Bandingkan dengan Muhammad Hasyim Kamali, Principles…, h. 201. 19 Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 282.
110
menghapus ketetapan hukum pengecualian yang ditetapkan oleh nashsh. Padahal qiyâs tidak dapat menghapus nashsh, karena nashsh menunjukkan kekhususan, sedangkan qiyâs menunjukkan keumuman. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini untuk menjelaskan pernyataan diatas. Nabi dibolehkan memiliki sembilan istri, sedangkan ketetapan umum, menurut ketentuan al-Qur’ân, hanya empat istri yang diperbolehkan sekaligus. Beliau dibolehkan menikahi wanita tanpa menentukan maharnya jika wanita tersebut menawarkan diri kepadanya secara suka rela. Nabi membenarkan,
sebagai kasus khusus sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, kesaksian Ibn Khuzaimah sendiri sebagai ganti dua orang saksi laki-laki. Kasus-kasus ini tidak dapat menjadi asal bagi qiyâs karena ketetapan umum tidak hilang dari kasus-kasus pengecualian tersebut. Ketetapan-ketetapan umum tetap ada. Ketetapan pengecualian yang diberikan bagi situasi tertentu atau orang tertentu dan tidak bersifat umum kadangkadang diketahui alasannya dan kadang-kadang hanya spekulatif. Contoh lainnya adalah kasus orang-orang yang terbunuh pada perang Uhud. Nabi diriwayatkan mengatakan: Kuburkanlah mereka dengan luka dan bekas darah mereka. Abû Hanîfah berpendapat bahwa kasus tersebut merupakan pengecualian dan tidak dapat digeneralisasi. Karena itu, ketetapan umum memandikan jenazah juga berlaku bagi para syuhadâ’ yang lainnya. Alasannya adalah ungkapan Nabi di atas merupakan pengecualian, dan ketetapannya bisa jadi khusus buat mereka, dan Nabi mungkin telah mengenal betul keikhlasan mereka, tetapi selain mereka tidak tidak ada yang dapat diketahui.20 Contoh lain lagi, yaitu seorang Badui yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhân. Nabi dibawakan sekeranjang kurma untuk dibagikan kepada fakir miskin sebagai pembayar kaffârat. Tetapi karena orang itu sendiri miskin, Nabi membolehkan kurma itu digunakan untuk menafkahi keluarganya. Lebih jauh Nabi membebaskan 20
Ahmad Hasan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence, (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994), h. 300, Yassin Dutton, The Origins of Islamic Law, (Great Britain: Curzon Press, 1999), h. 174.
111
orang tersebut dari denda puasa karena pelanggarannya dan membebaskan orang tersebut dari denda memberi makan orang miskin, karena dirinya sendiri miskin. Tentang kasus ini, mayoritas ahli fiqh berpendapat bahwa kasus ini merupakan kasus pengecualian dan tidak dapat digeneralisir melalui qiyâs. Jika digeneralisasi, ini dapat diterapkan pada kasus zhihâr, dan sejumlah denda lainnya. Karena itu, lebih tepat menganggapnya sebagai kasus khusus ketimbang menjadikannya sebagai kasus umum. Namun sebagian ulamâ’ menegaskan bahwa kasus orang Badui tersebut dapat dijadikan contoh bagi orang yang sama keadaannya dengan orang Badui tersebut, yaitu dalan hal kemiskinan dan dalan hal tidak kuasa menahan nafsu.21 (b). Ketetapan hukum pengecualian yang sebab pengecualiannya dapat difahami dapat dipeluas ke kasus-kasus serupa. Misalnya pertukaran kurma kering dengan dengan kurma yang masih dipohon diperbolehkan menurut suatu hadîts Nabi. Tapi ini merupakan kasus khusus yang diperbolehkan bagi kepentingan umum. Sebagai ketetapan umum, pertukaran buah yang kering dengan buah yang masih dipohon tidaklah diperbolehkan. Transaksi semacam ini dianggap sebagai riba. Ketentuan pertukaran buah kering dengan buah basah ini dapat pula diterapkan pada pertukaran anggur yang masih segar dengan anggur kering karena sebabnya sama. Jika sebabnya tidak sama, tidak boleh ada qiyâs antara keduanya. Misalnya sebuah hadîts mengatakan jika air kencing bayi laki-laki mengenai pakaian, ia harus dibersihkan cukup dengan percikan air. Sebaliknya, jika pakaian dikenai kencing bayi perempuan, ia harus dicuci dengan air. Karena sebab yang tidak sama, ketetapan ini tidak dapat diterapkan pada bayi binatang jantan dan betina.22 Menurut sebuah hadîts, jika seseorang makan atau minum karena lupa ketika berpuasa, puasanya tidak batal. Menurut Abû Hanîfah, hadîts ini mengandung ketetapan hukum pengecualian yang tidak dapat menjadi dasar bagi qiyâs atas kasus-kasus berikut. Seseorang yang berbicara ketika shalat 21
Hasyîm Kamâlî, Priciples of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: Islamic texts society, 1991), h. 150. 22 Ahmad Hasan, Analogical…, h. 310.
112
karena lupa, orang yang dipaksa, atau orang yang meminum air karena lupa ketika membersihkan mulut ketika puasa. Kondisi lupa ketika melakukan tindakan-tindakan ini tidak dapat disamakan dengan kelupaan orang yang berpuasa. Tetapi jika seseorang melakukan hubungan seksual karena lupa pada saat berpuasa, ia dapat disamakan dengan kelupaan orang yang berpuasa dengan makan melalui qiyâs. Menurut al-Syâfi’î, analogi lupa saat berpuasa dapat diperluas ke seseorang yang berbicara ketika salat kurang hati-hati, atau ke seseorang yang dipaksa makan saat berpuasa, atau ke seseorang yang minum air karena alpa ketika membersihkan mulut. Alasannya adalah puasa merupakan salah satu perintah yang mempunyai sebab-sebab yang berdiri sendiri.23 (c). Ketetapan hukum yang sebabnya tidak dapat dipahami, tidak dapat menjadi dasar bagi qiyâs. Jika seseorang tidak memahami sebab hukum, bagaimana ia dapat memperluasnya ke kasus cabang? Mengenai jumlah bilangan raka’at salat dan ukuran-ukuran jumlah zakat yang telah ditetapkan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dapat dijadikan contoh kembali untuk poin ini. (d). Ketetapan hukum yang tidak mempunyai kasus cabang, meskipun sebabnya dapat dipahami, tidak dapat menjadi kasus asal. Alasannya adalah bahwa kasus cabang tidak ditemukan diluar kasus yang ada dalam teks atau ijmâ’. Lebih lanjut yang menghalangi kasus-kasus itu untuk di analogikan adalah ketidaan sebab dalam kasus-kasus yang tidak diungkap oleh teks. Ketetapanketetapan dalam teks tersebut mempunyai sebab yang tidak dapat diungkap (‘illat qâshirah). Sebagai contoh mengqasar salat ketika dalam perjalanan, mengusap sepatu (mash khuff), dibolehkannya makan bangkai dalam kondisi seseorang akan mati kerena lapar. Semua hukum ini mempunyai sumber yang berbeda. Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa sebagian hukum-hukum tersebut adalah pengecualian. Sebenarnya, masing-masing hukum ini mempunyai sebabnya sendiri yang tidak ditemukan dalan kasus-kasus lain. Al-Ghazâlî memberikan penjelasan untuk kasus-kasus ini. Mengusap sepatu diizinkan, karena kesulitan melepas sepatu. Sementara ada kebutuhan untuk 23
Yassin Dutton, h. The Origins…, h. 172, Ahmad Hasan, Analogical…, 302.
113
terus menerus memakai sepatu tersebut. Karena itu sorban dan kaus kaki tidak dapat disamakan dengan sepatu melalui qiyâs. Demikian pula, tidak ada jenis kesulitan yang secara analogis dapat diqiyâskan dengan kesulitan yang dialami ketika melakukan perjalanan. Alasannya adalah bahwa kesulitan itu tidak sama dalam hal sebabnya. Sakit misalnya, masih mengharuskan pelaksanaan salat secara sempurna dan bukan dengan mengqasar salat seperti yang terjadi dalam perjalanan. Seseorang yang sakit boleh melaksanakan salat dengan cara duduk, sebagai ganti berdiri. Semua itu tidak dapat dijadikan sebagai kasus asal untuk menjadi landasan qiyâs karena kasus-kasus tersebut tidak mempunyai sebab yang sama pada kasus cabangnya.24 Menurut al-Syaukânî, syarat-syarat ini telah dikemukakan oleh Fakhruddîn al-Râzî, al-Âmidî dan Ibn al-Hâjib. Tetapi menurut Ibn Burhân, bahwa sebagian fuqahâ’ Syâi’iyyah membolehkan penggunaan qiyâs bagi kasus-kasus yang menyimpang dari aturan umum qiyâs. Fuqahâ’ Hanafiyyah secara umum tidak membolehkan generalisasi hukum-hukum seperti itu karena menyimpang dari aturan umum qiyâs, yakni kasus-kasus hukum pengecualian.25 Keenam, ketetapan hukum kasus asal harus didukung oleh ijmâ’. Karena jika kasus asal dalam dirinya diperdebatkan, maka ia pertama-tama harus ditetapkan, baru kemudian dapat diperluas ke kasus-kasus lain. Menurut sebagian fuqahâ’, kasus asal yang diperdebatkan boleh untuk diqiyâskan, karena qiyâs sendiri tidak mensyaratkan kesepakatan menyeluruh atas kesimpulannya, dan itu berarti juga tidak mensyaratkan kesepakatan dalam unsur-unsurnya Ketujuh, Jika kasus asal mengandung qiyâs majemuk (qiyâs murakkab), maka qiyâs tidak sah. Qiyâs murakkab berarti dimana ketetapan hukum kasus asal tidak ditetapkan oleh nashsh atau ijmâ’ masyarakat. Qiyâs murakkab ini dapat dibagi kedalam dua kategori: majemuk dalam kasus asal (murakkab al-ashl) dan majemuk dalam kualitas (murakkab al-wasf). Kemajemukan kasus asal berarti penentang menolak ‘illat yang dipergunakan oleh pengguna qiyâs. Penentang mungkin keberatan dengan keabsahan ‘illat dan menegaskan ‘illat yang lain yang 24 25
Al-Ghazâlî, al-Musthasfâ, h. 88-89. Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl…, h. 181.
114
dianggap sebagai sebab yang sebenarnya yang mendasari ketetapan hukum. Misalnya, pengguna qiyâs menegaskan bahwa orang yang merdeka harus dihukum qishâs jika ia membunuh seorang budak, sebagaimana ia juga dibunuh jika membunuh mukâtab (budak yang membayar kemerdekaannya). Dalam contoh ini, mukâtab adalah kasus asal yang hukumnya diperluas ke budak oleh pengguna qiyâs. Tetapi penting untuk diingatkan bahwa kasus asal, dalam hal ini mukâtab, persoalan yang diperdebatkan oleh ahli fiqh. Contoh hukum tentang mukâtab yang diberikan oleh pendukung qiyâs tersebut tidak ditetapkan oleh nashsh maupun ijmâ’. Analogi antara budak dan mukâtab sebagaimana dipahami oleh pendukung qiyâs ditolak oleh penentangnya. Penentang berpendapat bahwa mukâtab bukanlah budak sepenuhnya, seperti budak-budak yang dimiliki oleh tuannya. Yang diperdebatkan adalah apakah mukâtab milik tuannya karena kegagalannya memenuhi kontraknya ataukah milik pewarisnya setelah membayar harga kontrak. Ketidakpastian pemilik (jahâlah al-mustahiq) untuk menuntut hukum qishâs bagi pembunuh mukâtab merupakan sebab yang menghalanginya dianggap sebagai kasus asal bagi budak. Tetapi dalam kasus pembunuhan budak, tidak ada kepastian pemilikan. Singkatnya, dalam pandangan penentang qiyâs, sebab yang dikemukakan pendukung qiyâs tidak ditemukan dalam kasus cabang. Karena itu qiyâs tidak sah karena tertolaknya hukum kasus asal maupun karena ketiadaan kesamaan antara sebab kasus asal dengan kasus cabang.26 Sebagai tanda bahwa suatu qiyâs adalah majemuk( murakkab) adalah bahwa sebab asal diperdebatkan oleh pengguna qiyâs. Sebagian mereka berpendapat bahwa sebab yang mereka tegaskan diambil dari hukum kasus asal. Sementara penentangnya beranggapan bahwa hukum kasus asal telah ditetapkan oleh sebab lain yang berbeda dari yang dikemukakan oleh pengguna qiyâs. Karena masing-masing kelompok yang berpendapat mempunyai pandangannya sendiri tentang sebab kasus asal, karena itu ia menjadi majemuk.27 Qiyâs murakkab dalam hal kulitas (wasf) berarti qiyâs dimana kualitas hukum kasus asal diperdebatkan. Dengan kata lain, yang diperdebatkan adalah 26 27
Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h. 183. Ahmad Hasan, Analogical…, h. 270.
115
apakah sebab hukum kasus asal yang ditegaskan oleh pengguna qiyâs ditemukan atau tidak. Misalnya, pengguna qiyâs mengatakan bahwa seseorang menceraikan wanita, katakanlah Aminah, dengan mengatakan: Saya akan menceraikan Aminah jika saya menikahinya. Menurut Ulama’ Hanafiyyah, jenis perceraian seperti ini sah karena ia merupakan perceraian bersyarat atau tertunda. Penentang berpendapat bahwa sebab dalam kasus asal tidak ada karena adanya persyaratan dan penundaan. Aminah yang ia ceraikan belum menjadi istrinya. Bagaimana perceraian bisa sah? Perceraian merupakan realisasi langsung jika Aminah adalah istrinya. Dalam kasus ini, hal tersebut tidak terjadi. Lebih jauh para penentang mengatakan bahwa andaikata perceraian bersyarat diakui, qiyâs tetap tidak sah, karena perceraian bersyarat seperti itu tidak ditetapkan oleh nashsh atau ijmâ’. Ini disebut qiyâs murakkab dari kualitasnya, karena kualitasnya yang diperdebatkan. Jika pengguna qiyâs adalah seorang mujtahîd dan ia mempunyai dalil yang otoritatif untuk mendukung kasus asal selain nashsh dan ijmâ’, maka qiyâs tersebut sah, karena bisa jadi kasus asal ditetapkan berdasarkan ijtihâdnya. Jika ia tidak mempunyai dalil seperti itu, maka qiyâs tidak sah. Demikian pula jika penentang qiyâs tersebut seorang mujtahid dan kesalahan dalil yang menjadi dasar penetapan kasur asal adalah pendapatnya, maka ia dapat menentang keabsahan kasus asal tersebut. Tetapi jika tidak sampai derajat mujtahid ia tidak diprbolehkan membatalkan kasus asal, Karena kapasitasnya tidak cukup untuk itu.28 Kedelapan, dalil yang menjadi dasar penetapan kasus asal tidak boleh mengandung atau menunjukkan kasus cabang. Jika kasus cabang juga ditetapkan oleh otoritas yang sama dengan kasus asal, kasus cabang tidak lagi dapat disebut kasus cabang, tetapi menjadi kasus asal. Dengan demikian menunjukkan kesamaan antara keduanya menjadi tidak bermakna. Atau menjadikan salah satu dari keduanya sebagai asal bagi yang lain, ini membuat tidak ada perbedaan antara keduanya.29
28
Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h. 180. Adhuddin al-îji, Syarh…, h. 357-358. Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkam…, h. 276. 29 Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkam…, h. 286-287.
116
Contoh untuk ini misalnya, sebuah hadîts Nabi mengatakan: Janganlah kamu menjual tepung dengan tepung kecuali pembayarannya dilakukan dengan tunai, dan juallah berat yang sama, dengan yang sama. Tepung meliputi tepung gandum dan tepung jagung. Menerapkan hukum barter terhadap keduanya berdasarkan kesamaan antara keduanya, tidaklah sah. Kedua kasus tersebut telah diungkap oleh nashsh secara langsung. Ini berarti menggunakan qiyâs dengan perintah yang didasarkan pada nashsh dan memperluasnya juga pada kasus yang ditunjuk oleh nashsh. 30 Kesembilan, sebab ketetapan hukum kasus asal harus pasti dan tidak ambigu. Alasannya adalah bahwa kasus cabang yang diungkap oleh hukum kasus asal berdasarkan sebab yang sama antara kedua kasus tersebut. Karena itu seseorang harus mengetahui dengan pasti bahwa hukum kasus asal berdasarkan sebab akibat. Dalam hal hukum yang tidak berdasar pada sebab-akibat, qiyâs dianggap tidak sah. Karena itu menjadi keharusan bahwa sebab yang menjadi dasar bagi qiyâs harus jelas, pasti dan tidak ambigu.31 Terjadi perbedaan pendapat diantara ahli fiqh tentang ketentuan dalil yang menunjukkan sebab-akibat hukum kasus asal, dan tentang dasar bagi pelaksanaan qiyâs. Jika yang dimaksud dengan dalil adalah dalil yang didasarkan pada alQur’ân , sunnah dan ijmâ’ yang secara khusus dapat diterapkan pada kasus asal tersebut, maka syarat tersebut sah. Jika yang dimaksud dengan dalil berarti keumuman dan pemahaman, maka syarat tersebut dibenarkan. Alasannya adalah bahwa menentukan sebab-akibat setiap kasus asal sangat diperlukan selama itu mungkin dan dapat dilakukan. Qiyâs hanya berlaku dalam kasus-kasus jika kasus asalnya mempunyai sebab akibat. Merupakan suatu hal yang luar biasa dukungan keagamaan bagi qiyâs adalah ijmâ’ dan pendapat para sahabat. Dengan menyelidiki proses penalaran hukum dan penafsiran mereka dikatakan, bahwa mereka menerapkan kasus yang mungkin ada dalam kasus cabang dan kasus asal. Ada dalil khusus yang menunjukkan secara pasti sebab akibat kasus asal yang bisa membuktikan keabsahan qiyâs. Karena itu, diriwayatkan bahwa Umar ibn al30
Adhuddin al-Iji, Syarh…, h. 360. Jamâl al-Din Abd al-Rahmân al-Isnawi, Nihîyat al-Sûl Fi Syarh Minhâj al-Ushûl, (Kairo; Dâr al-Kutub al-Arabiyyah, tt), h. 103. 31
117
Khattâb berkata kepada Abû Mûsâ al-Asy’arî: Kenalilah kasus-kasus dan preseden-preseden yang serupa, lalu bandingkan masalah-masalah tersebut melalui qiyâs dengan pendapatmu. Penting untuk dicatat bahwa Umar ibn alKhattâb tidak menegaskan rincian proses ini. Masih dalam konteks ini, misalnya seseorang mengatakan kepada istrinya, “Kamu haram bagi saya”. Berbagai penafsiran bisa muncul dalam memahami ungkapan ini. Sebagian menganggapnya sebagai thalaq dan sebagian lain menganggapnya sebagai zhihar dan bisa jadi kelompok yang lain lagi menganggapnya sebagai sumpah. Lebih jauh tidak ada nashsh atau ijmâ’ langsung yang diriwayatkan tentang metode qiyâs dari kasuskasus asal dan keabsahan kualitas mereka. 32 Kasus cabang tidak boleh mendahului kasus asal, karena hukum turunan harus datang belakangan dari kasus asalnya. Jika kasus cabang mendahului kasus asal, ini mengandaikan kontradiksi atau pertentangan antara keduanya.33 Mengomentari syarat ini, al-Isnawî mengatakan, suatu keharusan bahwa hukum kasus asal tidak boleh datang lebih belakangan ketimbang hukum kasus cabang. Tetapi syarat ini sah jika tidak ada dalil bagi penetapan kasus cabang kecuali melalui qiyâs. Jika hal ini dibolehkan, maka hukum kasus cabang ada sebelum adanya hukum kasus asal, tanpa dalil apapun. Tetapi jika ada dalil lain selain qiyâs bagi hukum kasus cabang, maka syarat mesti terdahulu ini tidaklah perlu, karena hukum kasus cabang akan ditetapkan dengan otoritas independen sebelum diambil dari hukum kasus asal. Kemudian jika hukum kasus asal sudah ditetapkan, hukum kasus cabang akan ditetapkan dengannya dan dengan melalui qiyâs. Paling-paling hal ini akan mengakibatkan adanya sejumlah otoritas untuk mendukung hukum tunggal dan ini tidaklah mustahil. Berikut ini adalah contohnya. Al-Syâfi’î berpendapat bahwa niat berwudhu’ adalah wajib berdasarkan qiyâs kepada wajibnya niat pada tayammum. Tetapi hukum tayammum datang belakangan sesudah hukum wudhu’, karena ayat-ayat al-Qur’ân tentang tayammum diwahyukan di Madinah sesudah hijrah, sedangkan ayat tentang wudhu’ turun lebih dulu. Namun demikian, dalam kasus 32 33
Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 287. Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h.181.
118
ini qiyâs sah karena hukum niat dalam wudhu’ ditetapkan oleh hadîts Nabi yang mengatakan: “Perbuatan-perbuatan itu hanya ditentukan oleh niat”. Tetapi ini benar jika hadîts ini datang sebelum hukum wudhu’. Tetapi jika hadîts tersebut datang setelah hukum wudhu’, maka qiyâs menjadi tidak sah.34 Kesepuluh, dengan menetapkan sebab hukum kasus asal, ketetapan hukum tidak boleh diubah ketika diterapkan pada kasus cabang. Misalnya, menurut sebuah hadîts, jika seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, ia harus memberikan seekor kambing sebagai pembayar zakatnya. Menurut al-Syâfi’î, karena perintah tersebut supra rasional, seseorang harus mengeluarkan seekor kambing dan bukan harganya. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa tidak ada pilihan antara kambing dengan harganya dalam hadîts tersebut. Tetapi menurut Abû Hanîfah, orang tersebut dapat memberikan kambing atau harganya, karena tujuan memberikan kambing adalah memenuhi kebutuhan orang miskin dan bukan kebutuhan pada kambing itu sendiri. Tujuan ini dapat tercapai dengan memberikan harganya. Al-Syâfi’î menyanggah dengan dua cara: Pertama, diakui bahwa sasaran memberikan kambing adalah untuk memenuhi kebutuhan orang miskin. Tetapi sasaran ini hanyalah sebagian, bukan segala-galanya. Dengan menyebutkan kambing Nabi mungkin bermaksud bahwa orang miskin bisa memiliki jenis kekayaan orang yang kaya. Karena itu dengan memberikan kambing sebagai zakat kita dapat mengikuti makna teks secara harfiah dan jelas itu, disamping sifat supra rasionalnya. Kedua, sebab perintah ini adalah untuk memenuhi keinginan orang miskin, dan ini diambil dari hadîts. Jika pandangan Abû Hanîfah diikuti, itu berarti menghilangkan perintah nashsh nya. Nashsh tersebut jelas-jelas mengkhususkan kambing dan bukan harganya. Penafsiran tentang harganya dibolehkan dengan syarat ia didukung ole makna yang benarbenar dapat dipahami dari bahasa hadîts tersebut.35 Disamping syarat-syarat hukum kasus asal yang telah ditetapkan oleh ahli fiqh secara umum ini, ada sebagian ahli fiqh yang menetapkan beberapa syarat lagi, yang umumnya tidak dianggap relevan dengan keabsahan kasus asal. 34 35
Jamâl al-Din Abd al-Rahmân al-Isnawî, Syarh…, h.103. Al-Ghazâlî, al-Musthashfâ, h. 88.
119
Sebagian ahli fiqh misalnya mengangkat masalah apakah ketetapan hukum yang bertentangan dengan prinsip dan hukum-hukum umum yang ditentukan oleh syari’ah, seperti ‘ariyyah, dapat dijadikan dasar bagi qiyâs. Masalah ini diperdebatkan oleh ahli fiqh. Sebagian ahli fiqh Hanafiyyah dan Syâfi’iyyah membolehkannya tanpa syarat jika dasarnya dapat dipahami. Al-Kharkhi berpendapat bahwa hal seperti itu tidak diperbolehkan kecuali memenuhi salah satu dari tiga syarat berikut: a. Pemberi hukum dengan jelas menunjukkan sebab ketetapan hukumnya, karena penunjukannya secara langsung tentang sebab sama dengan izinnya bagi qiyâs. b. Masyarakat secara umum sepakat tentang sebab-akibatnya, sehingga perintah tersebut tidak termasuk kedalam kategori perintah yang tidak berdasarkan sebab-akibat dan sebab akibatnya diperdebatkan, seperti bersuci dengan air, sebab itu sendiri diperdebatkan. c. Qiyâs terhadap kasus asal tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prisip umum hukum. Jika bertentangan para ahli fiqh mempunyai pilihan untuk mengambil satu dan tidak lainnya. Prinsip seperti ini dipegang oleh al-Razi. Lebih jauh ia melihat jika kasus asal yang bertentangan dengan prinsipprinsip umum lain yang merupakan otoritas yang pasti, maka ia akan menjadi kasus asal yang berdiri sendiri, dan qiyâs berdasarkan kasus asal ini sama dengan qiyâs berdasarkan lainnya. Dengan demikian seorang ahli fiqh dapat memilih salah satu dari dasar tersebut dengan meninggalkan lainnya. Jika ia bukan otoritas yang berdiri sendiri, tetapi sebabnya dengan jelas disebutkan dalam nashsh, maka perlu untuk memilih salah satu dengan mengabaikan lainnya. Jika sebab kasus asal tidak disebutkan secara jelas dalam nashsh, maka memelih qiyâs yang berdasarkan prinsip-prinsip lain, ini lebih baik.36 Utsman al-Battî berpendapat bahwa syarat yang pasti bagi keabsahan kasus asal adalah adanya otoritas yang menunjukkan secara jelas dibolehkannya qiyâs. Menjelaskan syarat ini al-Qarafi menegaskan bahwa otoritas seperti yang ditegaskan oleh al-Batti tersebut harus menunjukkan subjeknya secara umum dan 36
Jamâl al-Din Abd al-Rahmân al-Isnawi, Nihâyat…, h.105. Abû Bakar al-Râzî, Al-Mahsûl min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 250.
120
bukan masalah yang diperluas dengan qiyâs itu sendiri. Misalnya jika masalah tersebut berkaitan dengan masalah perkawinan, maka harus ada otoritas yang menunjukkan dibolehkannya qiyâs dalam masalah perkawinan, atau jika berkaitan dengan masalah perceraian, maka otoritas tersebut harus menunjukkan keabsahan qiyâs dalam perceraian.37 Syarat lain bagi keabsahan kasus asal yang dikemukakan oleh Bisyr alMârisi, pemikir Mu’tazilah, adalah bahwa sebab ketetapan hukum harus didukung oleh ijmâ’. Pendapat ini disetujui oleh Syarîf al-Murtadha, seorang pemikir Syiah.38 Syarat yang ditetapkan oleh al-Battî dan Al-Mârisi ditolak oleh kebanyakan ahli fiqh, Karena ayat yang memberi dukungan keagamaan bagi qiyâs, tidak membolehkan syarat semacam itu. Lebih jauh, praktek para sahabat juga bertentangan dengan syarat tersebut. Mereka tidak pernah menegaskan bahwa sebab perintah harus ditunjukkan secara jelas oleh teks atau didukung oleh ijmâ’. Mereka melakukan qiyâs berdasarkan keberadaan sebab hukum secara umum. Karena itu syarat yang ditetapkan oleh al-Battî dan al-Mârisi tidak perlu diperhitungkan.
2. Kasus Cabang Kehidupan selalu dinamis, kondisi selalu berubah, situasi bervariasi dan masalah berubah sejalan dengan perubahan sosial. Perintah-perintah tekstual yang ada dalam al-Qur’ân atau sunnah secara teknis dikenal dengan nushûs, bentuk tunggalnya nashsh. Keputusan hukum yang didasarkan pada kesepakatan ummat Islam masa lalu, yang juga merupakan sumber hukum otoritatif yang nilainya sama dengan nashsh, tidaklah cukup untuk menjawab masalah-masalah dan perubahan-perubahan yang muncul dalam masyarakat yang selalu berubah. Masalah- masalah kehidupan yang selalu berubah sesungguhnya tak terbatas, sedangkan hukum-hukum tekstual tetap dan terbatas jumlahnya. Adalah tidak
37 38
Jamâl al-Din Abd al-Rahmân al-Isnawi, Nihâyât…, h. 105. Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h 181. Al-Isnawi, Nihâyât…, h. 105.
121
mungkin menyelesaikan yang tidak terbatas oleh yang terbatas.39 Karena itu, penggunaan ra’y dan qiyâs dimaksudkan untuk mencari jawaban bagi masalahmasalah yang tidak diungkap oleh hukum-hukum tekstual tersebut. Kasus-kasus, situasi dan masalah-masalah baru yang tidak dijawab secara langsung oleh hukum nashsh secara teknis disebut far’ (cabang) atau maqîs (kasus yang diungkap melalui qiyâs). Adalah sulit untuk melacak asal-usul far’ atau maqîs dalam literatur hukum klasik. Tidak ditemukan kata far’ yang digunakan Al-Syâfi’î dalam pengertian kasus baru yang selaras dengan kasus yang diungkap oleh hukum nashsh. Untuk kasus yang serupa dengan kasus asal ia menggunakan kata syay’ (sesuatu atau objek).40 Tentu saja ia menggunakan istilah maqîs ‘alaih (kasus asal). Kemungkinan besar ia memahami dan menyadari penggunaan istilah maqîs (kasus cabang). Namun Abû Bakar al-Jashshâsh (w.270 H) sering menggunakan istilah far’ untuk arti kasus cabang.41 Ini menunjukkan bahwa istilah far’ telah digunakan oleh para ahli fiqh pada abad ke-3 dan ke-4 Hijrah. Tetapi tidak diketahui dengan pasti siapa orang pertama yang menggunakan istilah ini. Definisi far’, seperti juga definisi ashl, diperdebatkan oleh ahli fiqh. Mereka yang berpendapat bahwa hukum kasus asal disebut ashl menegaskan bahwa hukum kasus cabang adalah far’. Misalnya jika hukum minum khamr disebut ashl, hukum minum nabiz (minuman yang terbuat dari kurma) disebut far’. Kelompok lain mengatakan bahwa objek ( mahall) adalah ashl dan far’, dan bukan hukum. Dalam contoh di atas, nabiz adalah far’ dan bukan hukum tentangnya. Al-Âmidî berpendapat lebih baik menyebut hukum turunan tentang objek dengan far’ dan objeknya sendiri dengan ashl. Lebih baik menyebut khamr dengan ashl ketimbang menyebut nabiz dengan far’, karena khamr adalah kasus asal. Sebaliknya nabiz adalah objek asal yang berlaku baginya hukum turunan, dan bukan hukum turunan itu sendiri.42
39
Abû al-Walîd ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 3. Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1921), h. 66. 41 Abû Bakar al-Jashshâsh, Ushûl al-Jashshâsh, (Kairo: Dâr al-Kutub, tt), h. 267. 42 Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 276. 40
122
Al-Bashri memberikan definisi far’ menurut dan fuqaha’. Para teolog memberi definisi tentang far’ sebagai ketetapan hukum yang harus ditetapkan melalui sebab-akibat, seperti keburukan melakukan perbuatan zina. Fuqahâ’ mendefinisikan far’ sebagai kasus atau objek yang hukumnya dicari melalu qiyâs. Far’ juga didefinisikan sebagai kasus yang hukumnya diperluas dari dari kasus lain, atau objek yang hukumnya diketahui ditingkat sekunder. Ia disebut far’ karena ketetapan hukumnya diambil dari hukum kasus lain. Tetapi al-Bashri sendiri lebih menyukai pendapat para teolog yang menganggap ketetapan hukum atau hukum turunan sebagai far’, dan bukan objeknya itu sendiri seperti diakui oleh fuqaha’. 43 Pada abad-abad kemudian, definisi baru tentang ashl dan far’ muncul sebagai akibat kontroversi masalah itu sebelumnya. Fuqahâ’ menyebut titik kesepakatan (mahall al-wifâq) dengan ashl dan titik perbedaan (mahall al-khilâf) dengan far’.44 Namun demikian, tetap tidak jelas apakah objek benar-benar far’ atau hukum tentangnya. Titik kesepakatan (mahall al-ittifâq) berarti objek atau kasus yang tidak diketahui atau diperdebatkan. Ini menunjukkan bahwa objek adalah far’ dan bukan hukum tentangnya. Syarat-syarat keabsahan far’ yang ditetapkan fuqahâ’ secara umum ada lima. Tetapi ada perbedaan pendapat diantara ahli fiqh tentang rinciannya. Dalam paragrapf-paragraf berikut akan dibahas mengenai syarat-syarat ini. Pertama, sebab kasus asal harus ditemukan dalam kasus cabang, karena perluasan ketetapan hukum kasus asal ke kasus cabang justru karena adanya kesamaan sebab dalam kedua kasus tersebut. Tetapi kesamaan ini diungkap oleh ahli fiqh dengan cara yang berbeda, misalnya al-Ghazâlî berpendapat bahwa sebab kasus asal yang itu juga harus ditemukan pada kasus cabang.45 Sedangkan alÂmidî menggunakan ungkapan “sebab kasus cabang harus sama dengan sebab
43
Abû Husain al-Bashrî, Kitâb al-Mu’tamad fî ‘Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dâr al-kutub alIlmiyyah, 1982), h. 50. 44 Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h. 179. 45 Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h. 89.
123
kasus asal”.46 Sementara al-Baidhâwi menggunakan ungkapan “adanya sebab tanpa keragaman” (wujûd al-‘illah bila tafâwût). Al-Isnawî mengomentari ungkapan al-Baidhâwî tersebut dengan “sebab yang serupa” (‘illat mumâsilah). Al-Ijî menggambarkannya sebagai kesamaan sebab (musâwi fi al-‘illat).47 Ini berarti sebab kasus cabang harus sama dengan sebab kasus asal. Ketidak sepakatan terjadi akibat perbedaan seputar definisi qiyâs. Menurut sebagian ahli fiqh, qiyâs merupakan perluasan hukum kasus asal kepada kasus cabang, sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa qiyâs merupakan perluasan hukum kasus cabang ke kasus cabang. Perluasan dilakukan berdasarkan adanya kesamaan sebab antara kedua kasus tersebut. Perbedaan selanjutnya terjadi mengenai apakah kesamaan tersebut harus dalam substansi sebab ataukah dalam jenisnya. Contoh kesamaan dalam substansinya adalah efek memabukkan yang ada pada nabîz sama seperti yang ditemukan pada khamr. Kesamaan dalam jenis dapat dicontohkan dengan hukuman qisâs kasus melukai anggota badan dengan hukuman qisâs karena pembunuhan. Jika tidak ada kesamaan antara sebab kasus cabang dengan sebab kasus asal, baik pada substansinya maupun dalam jenisnya, maka tidak ada perluasan hukum kasus asal.48 Al-Ghazâlî mengangkat masalah kepastian dan ketidakpastian sebab kasus cabang. Menurunya, jika sebab kasus cabang tidak pasti, tetapi hanya dugaan, maka hukum kasus asal sah untuk diterapkan pada kasus cabang. Tetapi in hanya pendapat al-Ghazâlî. Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa penerapan hukum kepada kasus cabang sama sekali tidak ada kepastian maupun dugaan kuat. Hukum tersebut diterapkan ke kasus cabang hanya semata-mata karena adanya kesamaan sebab. Al-Ghazâlî menolak argumen ini dengan mengemukakan contoh. Penjualan kulit bangkai binatang yang tidak disembelih secara syar’i adalah tidak sah. Sebab batalnya atau sebab larangan penjualan tersebut adalah ketidak sucian kulit tersebut. Berdasarkan qiyâs atas kasus ini, penjualan kulit anjing adalah dilarang karena alasan yang sama, yaitu ketidaksucian. Tetapi perlu 46
Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 359. Adhuddin al-îjî, Syarh…, h. 384. 48 Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 359. 47
124
ditegaskan bahwa ketidaksucian kulit anjing tidaklah pasti. Ia hanyalah dugaan (maznûn).49 Kedua, kasus cabang tidak boleh mendahului kasus asal. Melakukan qiyâs wudhu’ dengan tayammum dari segi niatnya merupakan contoh qiyâs semacam ini. Menurut al-Syâfi’î, niat diperlukan bagi keabsahan wudhu’ berdasarkan qiyâs kepada tayammum. Tetapi perlu dicatat bahwa perintah tayammum diwahyukan setelah perintah wudhu’. Dalam contoh ini, kasus cabang, yaitu wudhu’, mendahului kasus asal, yaitu tayammum. Karena itu, qiyâs tersebut tidak sah. Tetapi al-Ghazâlî mengakui qiyâs semacam ini dengan syarat, bukan tanpa syarat. Ia mengatakan jika suatu preseden berdasarkan suatu petunjuk (dalîl), ia bisa mendahului yang ditunjuk (madlûl). Penciptaan alam semesta menunjukkan keberadaan penciptanya. Tetapi preseden semacam ini tidak dibolehkan dalam hubungan sebab-akibat, karena hukum ada dengan keberadaan sebabnya. Bagaimana mungkin suatu sebab datang lebih belakangan dari akibatnya. Ini hanya dibolehkan dalan kasus seseorang menggunakan argumen balik terhadap penentangnya. Selanjutnya al-Ghazâlî mengemukakan jalan keluar untuk membenarkan qiyâs wudhu’ dengan tayammum. Ia mengatakan jika ada otoritas lain selain tayammum untuk mendukung kewajiban niat dalam wudhu’, maka qiyâs tersebut sah. Dalam hal ini tayammum bukan satu-satunya otoritas yang mendukung bagi kewajiban tayammum.50 Ketiga, syarat yang mesti bagi keabsahan far’ (kasus cabang) adalah hukumnya harus sama dengan hukum kasus asal, baik dalam hal substansinya maupun dalam jenisnya. Kesamaan dalam substansi hukum dapat dijelaskan dengan contoh hukuman qishâs jika seseorang membunuh dengan sarana yang mematikan. Hukum kasus cabang adalah sama dengan hukum kasus asal, yaitu pembunuhan. Kesamaaan dalam hal jenis hukum dapat dijelaskan dengan contoh kewalian anak perempuan kecil dalam perkawinan berdasarkan qiyâs atas kewalian dalam pengurusan harta. Kewalian dalam perkawinan masuk dalam jenis kewalian dalam pengurusan harta, karena keduanya merupakan sebab-sebab 49 50
Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h. 90. Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h. 70. Al-Ghazâlî, Syifâ’ al-Ghalîl, h. 673-674.
125
pengaturan (tasharruf), tetapi keduanya tidak sama karena berbeda watak kepengurusannya. Jika hukum dalam kedua kasus tersebut berbeda dalam substansi atau jenisnya, maka qiyâs menjadi tidak sah. Jika seorang non muslim misalnya, mengatakan kepada istrinya bahwa ia seperti ibunya, maka suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, menurut al-Syâfi’î. Ia menerapkan hukum muslim kepada non muslim dengan cara qiyâs. Tetapi ulama’ Hanafiah menganggap qiyâs yang seperti ini tidak sah. Dua hukum ini berbeda dan hukum muslim tentang zihâr tidak dapat diterapkan pada non muslim.51 Keempat, hukum kasus cabang tidak boleh merupakan perintah yang didasarkan pada nassh (manshûs ‘alaih). Jika ia perintah tekstual, maka akan terjadi qiyâs atas perintah tekstual dengan perintah tekstual lainnya. Tetapi qiyâs berlaku jika suatu kasus diungkap oleh nashsh, dan hukum kasus lain tidak diketahui. Jika hukum kasus asal dan kasus cabang diungkap oleh nashsh, seseorang tidak dapat menerapkan hukum satu kasus untuk yang lainnya. Lebih jauh, sulit menentukan mana diantara keduanya yang menjadi kasus asal dan mana yang kasus cabang. Syarat ini secara bulat disepakati oleh ahli hukum klasik.52 Keberatan muncul berkaitan dengan pembebasan budak Muslim sebagai denda zihâr berdasarkan qiyâs kepada denda bagi pembunuhan, karena kedua kasus tersebut diungkap oleh nashsh al-Qur’ân . Karena itu qiyâs tidak sah. AlQur’ân surat 4:92 menunjukkan bahwa budak Muslim harus dibebaskan jika seseorang membunuh Muslim secara tidak sengaja.
Al-Qur’ân
surat 58: 3
menunjukkan bahwa seseorang harus membebaskan seorang budak jika ia menyerupakan istrinya dengan ibunya (zihâr). Tetapi ayat ini tidak menyebutkan bahwa budak tersebut harus beriman. Menurut Al-Syâfi’î, sudah seharusnya budak yang dibebaskan adalah budak yang beriman dalam kasus zihâr, seperti juga dalam kasus pembunuhan. Tetapi qiyâs yang ia gunakan tidak sah karena kedua kasus tersebut diungkap oleh al-Qur’ân . Al-Ghazâlî menjawab bahwa hal tersebut bukanlah masalah qiyâs, tetapi pengkhususan (takhsîs). Hukum zihâr 51 52
Adhuddin al-îjî, Syarh…, h. 384-385. Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 363.
126
adalah umum atau tidak terikat (muthlaq), sedangkan hukum pembunuhan adalah khusus atau terikat (muqayyad). Dalam hal ini, yang umum dapat dikhususkan atau dikualifikasi dengan pembatasan. Hukum zihar dalam al-Qur’ân
tidak
terikat, karena itu tidak cukup dijadikan alasan untuk denda kecuali rinciannya didukung dan dikualifikasi bahwa budak tersebut harus beriman telah diketahui dari al-Qur’ân surat 4:92.53 Karena itu qiyâs tersebut tetap sah jika ia disebut qiyâs. Kelima, Abû Hasyîm, seorang pemikir Mu’tazilah, menegaskan bahwa kasus cabang harus diungkap oleh perintah nashsh secara umum, meskipun tidak rinci. Hukuman bagi peminum khamr, menurutnya ditetapkan secara umum oleh nashsh, tetapi jumlah cambukan yang pasti, yaitu delapan puluh kali, ditetapkan dengan mengguakan qiyâs atas hukuman qazâf yang ditentukan oleh al-Qur’ân . Argumen Abû Hasyîm ini ditolak oleh ahli fiqh. Mereka berpendapat bahwa para sahabat Nabi menafsirkan sejumlah masalah hukum dengan cara yang berbedabeda yang menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Misalnya ungkapan seorang suami kepada istrinya “ kamu haram bagiku” ditafsirkan oleh sebagian sebagai perceraian, dan lainnya menganggapnya sebagai zihâr dan kelompok lain lagi menganggapnya sebagai sumpah.54 Dalam kasus perceraian , istri menjadi haram bagi suami; dalam kasus zihâr, denda menjadi mengikat bagi suami; dan dalam kasus sumpah hal tersebut dianggap sebagai ilâ’ yang mengakibatkan bubarnya pernikan jika pisah terus berlangsung selama empat bulan. Tidak ditemukan adanya perintah tekstual tentang kasus cabang yang ditafsirkan oleh para sahabat.55 Sejumlah contoh dapat dikemukakan disini untuk mendukung pendapat bahwa tidak ada perintah tekstual, baik secara umum maupun khusus, bagi kasus cabang yang diperdebatkan. Jika hukum kasus asal ditetapkan oleh sebabnya, ia dapat diperluas ke kasus-kasus lain yang terkait dan memiliki kesamaan berdasarkan sebabnya, apapun kasus tersebut.
53 54 55
Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h.90. Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 363. Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h. 363. Adhuddin al-îjî, Syarh…, h. 385.
127
3. ’Illat Unsur pembentuk qiyâs berikutnya adalah ‘illat. Al-Bazdâwî dan alSyarakhsi menyebut ‘illat dengan unsur esensial qiyâs (rukn al-qiyâs). Dengan memberi judul bab “Fashl fi al-Rukn” atau “Bab al-Rukn” (bab tentang unsur esensial), yang mereka maksudkan mungkin adalah bahwa ‘illat itu sendiri adalah qiyâs, sedangkan unsur-unsur lain berperan sebagai syarat-syarat untuk menentukan ketetapan hukum. Al-Bazdâwî mengatakan unsur yang mendasar (rukn al-qiyâs) adalah kualitas yang ditunjuk sebagai penanda bagi ketetapan hukum nashsh, diantara kualitas-kualitas yang dikandung oleh nashsh, dan yang menjadi dasar bagi ketetapan hukum tersebut berlaku bagi kasus cabang karena adanya kualitas yang sama di dalamnya.56
Ketika Syarakhsî menjelaskan hal
ini, ia melihat bahwa unsur mendasar (rukn) sesuatu itu adalah dasar bagi tegaknya sesuatu dan qiyâs dibangun di atas kualitas ini (yakni, ‘illat dan sebab).57 Menurut ulama’ Hanafiah, unsur-unsur qiyâs yang lain adalah syaratsyaratnya dan bukan unsur-unsur pembentuknya (al-arkân). Alasanya adalah ketetapan hukum yang dinisbatkan kepada unsur yang mendasar (rukn) jika syarat-syarat terpenuhi, dan tidak dinisbatkan kepada syarat itu sendiri. Pernikahan misalnya, terjadi dengan ijâb dan qabûl ketika syarat-syaratnya, yakni kemampuan, saksi dan lainnya terpenuhi. Penentuan ketetapan hukum dinisbatkan kepada ijâb dan qabûl, dan bukan kepada syarat-syaratnya.58 Perlu dicatat bahwa qiyâs banyak bersandar pada ketiga unsur lainnya, sebagaimana ia bersandar pada ‘illat. Ia tidak banyak terkait dengan apakah yang satu disebut rukun dan ketiga lainnya disebut syarat. Unsur-unsur tersebut sangat penting bagi qiyâs, sebagaiman ‘illat, karena qiyâs bergantung pada unsur-unsur tersebut. Secara literal ‘illat berarti aksiden (‘âridh) yang dengannya kualitas suatu objek berobah dari suatu kondisi ke kondisi lain ketika ia diterapkan, seperti 56
Abû Bakar al-Syarakhsi, Ushûl al-Syarakhsî, (Kairo: Dâr al-Kitab al-Arabi, 1954), h. 172. Lihat juga komentar Abd al-Azîz al-Bukhari, Kasyf al-Asrâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1927), h. 1064. Bandingkan dengan Al-Bazdawi, Ushûl al-Bazdawî, dalam catatan pinggir Kasyf al-Asrâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1927), h.1064. 57 Abû Bakar al-Syarakhsî, Ushûl…, h. 174. 58 ‘Abd al-‘Azîz al-Bukhârî, Kasyf…, h. 1065. Al-Syarakhsî, Ushûl…, h. 198.
128
perubahan dari sehat ke sakit dan dari kuat ke lemah. Dengan kata lain, ‘illat merujuk pada sebab perubahan pada kondisi sesuatu. Karena itu aksiden (‘âridh) disebut ‘illat. Pendapat lain menegaskan bahwa ‘illat berasal dari kata ‘alal yang berarti minum air kedua kalinya yang dilakukan oleh binatang setelah sebelumnya ia minum. Jelasnya, ‘illat berarti minum air berulang-ulang. Pandangan berikutnya menyatakan bahwa ‘illat adalah sesuatu yang mempengaruhi sesuatu yang lain, apakah yang dipengaruhi itu kualitas atau esensi dan apakah ia mempengaruhi perbuatan atau diamnya sesuatu. Misalnya, sifat memabukkan merupakan ‘illat datangnya hukum haram bagi khamar. Penyakit disebut ‘illat karena ia mempengaruhi kesehatan seseorang yang menjadikannya lemah dan menghalangi seseorang melakukan berbagai kegiatan. Berikut ini akan diterapkan makna-mana ‘illat diatas pada definisi ‘illat yang diterapkan dalam kontek hukum. Menurut makna yang pertama, kualitas yang mempengaruhi ketetapan hukum disebut ‘illat, karena kondisi hukum tekstual berubah olehnya dari yang khusus ke umum. Sebelum menentukan ‘illat, ketetapan hukum terbatas hanya pada kasus yang disebutka dalam nashsh. Tetapi setelah ditemukan kualitas yang mempengaruhi ini, ketetapan hukum yang terkandung dalam nashsh secara eksternal berubah dari yang khusus ke umum. Sekarang ketetapan hukum yang sama akan berlaku pada kasus lain jika ‘illat yang sama ditemukan pada kasus lain itu. Menurut makna yang kedua, kualitas ini disebut ‘illat karena ketetapan hukum ditentukan secara eksternal oleh makna ini, dan ketetapan hukum berulang dengan perulangan kualitas ini. Karena seorang ahli hukum memikirkan secara berulang-ulang masalah yang berkaitan dengan qiyâs, tindakan berfikirnya tentang alasan logis penetapan hukum itu disebut ‘illat. Menurut makna yang ketiga, kualitas ini disebut ‘illat, ia berpengaruh dalam penetapan hukum apakah dalam kasus asal atau dalam kasus cabang.59 Istilah ‘illat secara teknis telah didefinisikan secara beragam seperti berikut ini:(1) Ide atau dasar (ma’nâ) yang menuntut (yaqtadhî) atau menentukan ketetapan hukum; (2) Sesuatu yang berperan sebagai tanda (‘âlam) bagi ketetapan 59
Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h. 181. Bandingkan dengan, ‘Abd ‘Azîz al-Bukhâri, kasyf…, h. 1290.
129
hukum nashsh; (3) Sesuatu yang menunjukkan (mu’arrif) ketetapan hukum, yakni indikator (dalîl) bagi adanya perintah; (4) Sesuatu yang mempengaruhi (mu’atsir) dalam ketetapan hukum, yakni yang mempengaruhi adanya ketetapan hukum; (5) Sesuatu yang berperan sebagai motif (bâits) bagi ketetapan hukum, bukan dengan jalan mewajibkan (ijâb), tetapi sebagai kebijakan (hikmah) atau kebaikan umum (mashlahah) yang ditunjukkan oleh pemberi hukum ketika memberikan ketetapan hukum; (6) Sesuatu yang meniscayakan ketetapan hukum dengan sendirinya (mujiîb li al-hukm), pendapat ini dianut oleh Mu’tazilah; (7) Sesuatu yang mengharuskan ketetapan hukum, bukan dengan sendirinya, tetapi berdasarkan otoritas pemberi hukum; (8) Sesuatu yang meniscayakan ketetapan hukum, karena watak atau kebiasaannya. Pendapat ini dianut oleh Fakhruddin al-Râzi. Karena ketidaksepakatan tentang definisi ‘illat, berbagai nama telah digunakan untuk menyebutnya. Mazhab-mazhab fiqh awal, Iraq maupun Madinah, mengguakan sebutan mencari penghubung atau perantara umum antara kasus asal dengan kasus cabang yang membenarkan penggunaan qiyâs, tetapi mereka tidak menggunakan kata ‘illat, istilah yang belakangan digunakan oleh ahli fiqh. Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, unsur umum bagi kasus asal dan kasus cabang yang menjadi dasar bagi qiyâs disebut ma’na oleh al-Syâfi’î.60 Ia juga menggunakan kata lain, ashl (dasar) untuk menunjuk pada makna umum, tetapi tidak menggunakn kata ‘illat. Tampaknya ini merupakan istilah yang lebih awal dari pada ‘illat.61 Belakangan kata ashl menjadi istilah dalam arti kasus asal atau maqîs ‘alaih, dasar qiyâs. Istilah ‘illat digunakan pada abad ke empat Hijrah dalam pengertian penghubung umum dan sebab qiyâs yang berpengaruh. Abû Bakr alJashshâsh (w. 370 H) sering menggunakan istilah ini dalam kitabnya Ushûl.62 Istilah-istilah lain untuk ‘illat pada periode pertengahan adalah: ma’nâ (ide, dasar), sabab (sebab), amârah (tanda), dâ’i (motif), mustad’î (faktor yang menuntut), bâ’its (pendorong, motif), hâmil (pembawa pesan), manât (dasar), dalîl (indikasi), muqtadhî (yang menuntut), mujîb (yang meniscayakan, yang 60 61 62
Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 36. Al-Syâfi’î, Ikhtilâf al-Hadîts, pada catatan pinggir kitab Al-Umm, h. 320. Abû Bakar al-Jashshâsh, Ushûl…, h.229.
130
mewajibkan), dan mu’atsir (yang mempengaruhi). ‘Illat juga disebut dengan jâmi’ (penghubung), mu’arrif (penanda) dan jalîb (yang menarik hukum).63 Para pendukung qiyâs terbagi menjadi tiga kelompok dalam menyikapi sebab-akibat (ta’lîl) perintah hukum. Kelompok pertama berpendapat bahwa perintah-perintah hukum diberikan oleh pemberi hukum untuk tujuan tertentu. Ia adalah motif atau sebab yang meniscayakan pemberian ketetapan hukum, karena perbuatan-perbuatan Tuhan bukanlah tak bertujuan. Pandangan ini dinisbatkan kepada kaum Mu’tazilah. Kelompok kedua memandang bahwa Tuhanlah yang mewajibkan hukum dan bukan sebab itu sendiri, karena sebab-sebab hukum telah lama ada, tetapi hal itu tidak dapat mewajibkan hukum. Sebab-sebab tidak mempunyai peran dalam mewajibkan hukum. Hukum menjadi efektif karena otoritas pemberi hukum. Ketetapan-ketetapan hukum diwajibkan oleh pemberi hukum dan bukan oleh sebab-sebabnya. Pandangan seperti ini dianut oleh Asy’ariyyah. Kelompok terakhir berpendapat bahwa perintah-perintah hukum diberikan Tuhan untuk tujuan tertentu dan mereka mempunyai sebab juga. Tetapi Tuhan tidak mewajibkan ketetapan-ketetapan hukum berdasarkan sebab-sebab dan tujuan-tujuannya, tetapi sebagai rahmat bagi manusia. Sebab-sebab ketetapan hukum tidak menjadikan ketetapan-ketetapan itu menjadi wajib dengan sendirinya, tetapi karena otoritas Tuhan. Perintah-perintah hukum dinisbatkan kepada sebab-sebabnya hanya secara kiasan. Pandangan seperti ini dianut oleh Maturidiah. Kaum
Sunni,
bertolak
belakang
dengan
Mu’tazilah,
menyebut
rasionalisasi ketetapan hukum (ta’lîl) dengan istilah ‘illat mu’atsirah (sebab yang mempengaruhi). Dalam pandangan mereka, tidak ada hubungan sebab-akibat antara ‘illat dengan hukum. Kadang-kadang ‘illat ada, tetapi hukum tidak ada, demikian pula sebaliknya. Yang diperdebatkan adalah apakah hukum harus dinisbatkan kepada ‘illat (sebab) atau ke nashsh. Satu pendapat mengatakan bahwa hukum dinisbatkan kepada nashsh dalam kasus asal dan kepada ‘illat dalam kasus cabang. Nashsh-lah yang mewajibkan hukum kasus asal melalui kata-katanya dan bukan ‘illat. Nashsh menyingkap hukum dan ‘illat 63
Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd…, h. 181.
131
memotivasinya. Pendapat seperti ini dianut oleh ahli fiqh Iraq abad pertengahan. Pendapat lain mengatakan bahwa hukum dinisbatkan kepada ‘illat dan bukan kepada nashsh baik dalam kasus asal maupun dalam kasus cabang. ‘Illat, dalam pandangan ini merupakan tanda (‘âlam atau amârah) bagi adanya hukum (tsubût al-hukm) dalam kasus asal dan kasus cabang. Pendapat seperti ini dianut oleh mayoritas ahli fiqh. Berbagai pandangan tentang baik dan buruknya perbuatan manusia, menurut pandangan teologi, juga mempengaruhi hukum. Berbagai definisi ‘illat yang telah dikemukakan diatas mencerminkan ketidaksepakatan tersebut. Definisi-definisi tentang ‘illat di atas dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, sesuatu yang mempengaruhi hukum dengan sendirinya (al-mu’atsir bi zâtih fi al-hukm). Kedua, sesuatu yang menandakan hukum (al-mu’arrif li alhukm). Ketiga, sesuatu yang menjadikan hukum wajib bukan dengan sendirinya, tetapi berdasarkan otoritas Tuhan (al-mujîb bi ajlillah). Keempat, sesuatu yang memotivasi pemberi hukum untuk memberikan hukum (al-bâ’its li al-syâri’ ‘ala syar’ al-hukm). Pandangan
pertama
menyatakan
bahwa
‘illat
ketetapan
hukum
mempengaruhi (mu’atsir) hukum dengan sendirinya. Dengan kata lain, ‘illat suatu perintah yang menjadikan perintah itu menjadi wajib, bukan Tuhan. Pandangan ini dinisbatkan kepada Mu’tazilah karena mereka berpendapat baik dan buruknya perbuatan manusia, bersifat rasional dan menjadi kewajiban Tuhan untuk melakukan dan memerintah apa yang terbaik. Karena itu, mereka mendefinisikan ‘illat sebagai sesuatu yang mempengaruhi ketetapan hukum dengan sendirinya (mu’atsir bi zâtih).64 Ketika menjelaskan pandangan ini Shadr al-Syari’ah mengatakan bahwa mereka yang berpendapat bahwa sebab-sebab rasional (‘ilal ‘aqliyyah) yang berpengaruh dengan sendirinya juga berpendapat bahwa sebab-sebab hukum (‘ilal al-syar’iyyah) juga sama. Dalam pendapat mereka, api merupakan sebab
64
Al-Isnâwî, Nihâyat…, h. 4.
132
kebakaran dengan sendirinya, tanpa penciptaan kebakaran oleh Tuhan, seperti juga pembunuhan yang disengaja secara logis adalah sebab hukum qishâs.65 Ada keberatan terhadap pandangan ini yang dapat diangkat, yaitu orang yang sehat tidak dapat memikirkan bahwa waktu dapat menjadi sebab adanya kewajiban salat, pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qishâs, dan kasuskasus lain yang serupa, karena mereka merupakan aksiden dan tindakan. Penciptaan dan menjadi ada tidak dapat dipahami. Terhadap keberatan ini alTaftazani menjawab bahwa pengaruh (ta’sir), dengan sendirinya berarti bahwa intelek memberikan pembenarannya bagi kewajiban hukuman qisas semata-mata berdasarkan pembunuhan yang disengaja, tanpa bersandar pada tindakan orang yang mewajibkan (mujîb). Dan ini juga berlaku bagi sesuatu yang oleh Mu’tazilah disebut ‘illat.66 Ini bukan penggambaran yang benar tentang pandangan Mu’tazilah. Yang mereka maksudkan dengan keputusan akal (hukm al-‘aql) adalah akal memahami bahwa ada perintah Tuhan untuk kasus tertentu, karena ada petunjuk atau hubungan yang mesti (talâzum) antara keputusan akal dan keputusan Syari’ah. Ini dijelaskan oleh Kamal ibn Humâm.67 Ia menjelaskan bahwa pandangan Mu’tazilah yang sebenarnya adalah, bahwa akal pertama-tama memahami ada perintah Tuhan tentang perbuatan yang sesuai dengan pemahaman akal. Mereka tidak berpendapat bahwa akal menentukan keputusannya pada Tuhan. ‘Illat menurut orang Mu’tazilah berarti motif (bâ’its) bagi ketetapan hukum dan bukan sesuatu yang mewajibkan dengan sendirinya. ‘Abd al-Jabbâr sendiri menjelaskan pandangannya tentang ‘illat. Tujuan qiyâs dalam hukum adalah mengetahui ketetapan hukum tentang perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kewajiban dan pengetahuan tentang hal-hal lain yang terkait. Jika suatu ketetapan hukum didasarkan pada ‘illat, tidak mungkin ‘illat harus berperan sebagai sebab yang meniscayakan hukum, karena ia bertentangan
65
Ubaidillah ibn Mas’ud Shadr al-Syariah, al-Taudhîh, (Kairo: Dâr al-‘ahd al-Jadid li alThiba’ah, 1957), h. 62. 66 Sa’ad al-Din Mas’ud ibn Umar al-Taftazâni, al-Talwîh Syarh al-Taudhîh, (Kairo: Dâr al‘Ahd al-Jadid li al-Thiba’ah, 1957), h. 62. 67 Kamal ibn Humâm, al-Musyârah, (Bulaq: al-Mathbâ’ah al-Amiriyyah, 1917), h. 159.
133
dengan tujuan yang disebutkan. Jika efek khamr yang memabukkan itu yang meniscayakan dilarangnya minum khamr tersebut, perintah hukum (taklîf) dan ketaatan kepada Tuhan (ta’abbud) akan terhapus.68 Abu Husain al-Bashrî membahas ‘illat lebih rinci. Ia mengatakan bahwa ‘illat berarti sesuatu yang mempengaruhi ketetapan Syari’ah, dan suatu ketetapan menjadi syar’i ketika ia diambil dari syar’. Dalam teologi,’illat digunakan dalam pengertian haqiqi dan majâzi (kiasan). Dalam pengertian haqiqi, ia berlaku bagi setiap esensi yang meniscayakan kondisi (hâl) bagi sesuatu yang lain. Misalnya, jika dikatakan: Gerak adalah sebab yang meniscayakan (‘illat mujîbah) sesuatu yang bergerak menjadi bergerak. Ini berarti ‘illat mempengaruhi sebuah nama, jika dikatan warna hitam adalah sebab (‘illat) sesuatu menjadi hitam. Dengan kata lain, ia adalah sebab (‘illat) yang menjadikannya disebut hitam. Penggunaan ‘illat secara kiasan diterapkan pada sejumlah
kasus berikut. Sesuatu
yang
mempengaruhi makna (ma’nâ), sesuatu yang mempengaruhi ketiadaan (nafy), seperti ketiadaan hitam karena pengaruh putih, sesuatu yang mempengaruhi ketetapan hukum (itsbât) sesuatu, pengaruh sebab terhadap akibat (musabbab) dan kualitas yang mensyaratkan kualitas yang lain. Masing-masing ini disebut ‘illat, karena mereka mempunyai pengaruh (ta’sir) yang meniscayakan sesuatu.’Illat metaforis yang digunakan dalam berbagai bentuk juga disebut ‘illat. Tetapi ‘illat yang dipergunakan dalam arti hakiki disebut ‘illat karena ia merupakan sebab yang meniscayakan (mujîbah) dalam semua kondisi tanpa syarat, tetapi tidak demikian dengan jenis yang lain. Al-Bashri juga membedakan antara mu’allal (ketetapan hukum asal yang tunduk pada sebab akibat) dengan ma’lûl (akibat). Mu’allal berarti ketetapan hukum yang sebabnya dicari, kemudian hukum itu disebabkan oleh sebab tersebut. Tampaknya ini menunjuk pada ketetapan hukum yang ditetapkan pada kasus asal, karena ketetapan hukum diketahui pertama kali, lalu sebabnya dicari dan disebabkan olehnya. Ma’lul adalah sesuatu yang dipengaruhi dan diciptakan
68
Mustafâ Jamaluddin, al-Qiyâs, (Najaf: Mathba’ah Nu’mân, 1972), h. 185.
134
oleh ‘illat. Ini merujuk pada ketetapan hukum yang ditetapkan pada kasus cabang, dan tidak seperti yang ditetapkan pada kasus asal.69 Ketika menjelaskan ‘illat syar’iyyah (sebab hukum), al-Bashri mengatakan bahwa ‘illat syar’iyyah itu berbeda dengan ‘illat ‘aqliyyah (sebab rasional) dalam dua hal. Pertama, sebab hukum dipersyaratkan oleh waktu, karena sebab hukum tidak berpengaruh dalam semua waktu. Ia tidak berpengaruh sebelum datangnya Syari’ah. Kedua, ia bergantung pada perintah Tuhan dan tidak bergantung pada ‘illat syar’iyyah itu sendiri. Dengan kata lain ‘illat syar’iyyah meniscayakan ketetapan hukum dengan perintah Tuhan. ‘Illat syar’iyyah tidak meniscayakan hukum dengan sendirinya. Sebaliknya ‘illat rasional (‘illat ‘aqliyyah) tidak dipersyaratkan masa waktu tertentu, juga tidak bergantung pada faktor yang mewajibkan yang lain selain oleh akal.70 Ini adalah pandangan yang sama dengan yang dianut oleh ulama’ Hanafiah. Dari uraian diatas terlihat bahwa ‘Abd al-Jabbâr menyebut sebab hukum dengan faktor pendorong (dâi) dan motif (bâits), sedangkan Abû Husain al-Bashri mendefinisikannya sebagai sebab yang mewajibkan berdasarkan otoritas Tuhan. Penjelasan diatas bertolak belakang dengan pandangan tentang ‘illat yang dinisbatkan oleh ortodoksi kepada Mu’tazilah secara umum. Pandangan kedua tentang ‘illat adalah ia sebagai penanda ketetapan hukum (mu’arrif li al-hukm), yang berarti tanda (âlam atau ‘alâmah) bagi ketetapan hukum. Definisi ini dipakai oleh al-Baidhâwî, al-Isnâwî, Tajuddin alSubkî dan sejumlah ahli fiqh Syafi’iyyah. Definisi ini semula diberikan oleh Fakhruddin al-Râzî dan diikuti oleh ahli fiqh terkemudian.71 Ulama’ Hanâbilah juga menganggap juga mengangap ‘illat sebagai tanda (‘alâmah) ketetapan hukum. Ibn Qudamah menegaskan bahwa intensitas efek memabukkan yang dianggap sebagai tanda keharaman khamr dapat dianggap
69
Abu Husain al-Bashrî, Kitâb al-Mu’tamâd…, h. 704-705. Abû Husain al-Bashri , Kitâb al-Mu’tamâd…, h. 714-715. 71 Tajuddin Abd al-Wahâb ibn Subkî, Jam’ al-Jawâmi’, (Kairo: Mathba’ah al-Khairiyyah, 1916), h. 84. Bandingkan dengan al-Isnawî, Nihâyat…, h.28-29. 70
135
sebagai tanda mubahnya anggur, karena ia tidak meniscayakan ketetapan hukum dengan sendirinya.72 ‘Alâmah secara harfiah berarti tanda (‘amârah) atau sesuatu yang menandakan sesuatu yang lain, seperti asap menandakan adanya api. Secara teknis ‘alâmah berarti sesuatu yang dengannya ketetapan hukum dapat diketahui. Dengan demikian, ‘alâmah adalah petunjuk (dalîl) bagi adanya ketetapan hukum, seperti azan merupakan tanda shalat. ‘Illat melambangkan ketetapan hukum nashsh. Ia berperan sebagai tanda bagi adanya ketetapan hukum yang sebenarnya ditentukan oleh nashsh. ‘Illat dalam pengertian ini menunjukkan bahwa ada ketetapan hukum bagi kasus tertentu, tetapi ia tidak menyebabkan adanya hukum. Otoritas yang menyebabkan ketetapan hukum, yang secara teknis disebut mu’atsir, hanyalah Tuhan. Jelasnya ‘illat tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan ketetapan hukum. ‘Illat yang berperan sebagai tanda bagi ketetapan hukum ini kadang-kadang ada kadangkadang tidak, meskipun disitu ada hukum. Ini dapat dicontohkan dengan mendung yang menjadi pertanda akan turun hujan, tetapi hujan tidak harus turun ketika ada mendung. Demikian juga, ketetapan hukum tetap terpisah atau tidak bercampur dengan ‘illat yang merupakan penanda keberadaan hukum itu.73 Definisi ‘illat ini dikritik karena ia tidak menyeluruh (jâmi’) juga tidak spesifik (mâni’). Tentang definisi yang menyeluruh, dapat dikatakan bahwa ia tidak meliputi ‘illat yang diambil dari nashsh (mustanbathah), Karena ‘illat yang semacam itu diketahui melalui ketetapan hukum. Kualitas (wasf) yang membentuk ‘illat ketetapan tidak dapat tidak bergantung pada pengetahuan tentang ketetapan hukum. Sekarang, jika ketetapan hukum diketahui melalui ‘illat ini, dan pengetahuan tentang ‘illat bergantung pada pengetahuan tentang ketetapan
hukum,
hal
ini
membuat
persoalan
tersebut
menjadi
tidak
terselesaikan.74 Terhadap keberatan ini dijawab bahwa ketetapan hukum menandakan ‘illat dalam kasus asal dan ’illat menandakan ketetapan hukum dalam kasus 72 73 74
Ibn Qudamâh, Raudhât al-Nadzîr, (Kairo: Mathba’ah al-Syalafiah, 1976), h. 155. Abû Husain al-Bashrî, kitâb al-Mu’tamad…, h. 748. Al-Isnâwî, Nihâyat…, h. 30.
136
cabang. Ketetapan hukum kasus asal mendahului ketetapan hukum kasus cabang. Karena itu ia tidak mengandung kerumitan yang tak terselesaikan. Al-Isnâwî menambahkan bahwa kualifikasi untuk akibat ini harus ditambahkan pada definisi, sehingga lengkapnya berbunyi: “’illat adalah sesuatu yang menandakan ketetapan hukum kasus cabang”.75 Al-Taftazânî tidak puas dengan jawaban tersebut. Ia terus mengkritik jawaban tersebut dengan mengatakan bahwa dalam definisi pertama, jika kualitas (wasf) yang merupakan ‘illat adalah tanda bagi ketetapan hukum kasus asal, tentunya ia juga menjadi penanda bagi ketetapan hukum kasus cabang. Disamping itu, jika ia menjadi penanda bagi ketetapan hukum kasus asal, namun tidak menjadi penanda bagi kasus cabang, dalam arti ia bukan motif bagi ketetapan kasus asal, itu berarti kasus asal tidak mempunyai hubungan dengan kasus cabang. Padahal sudah disepakati bahwa ketetapan hukum kasus asal dapat diperluas ke kasus cabang karena adanya kesamaan ‘illat. Ini menunjukkan bahwa kasus asal tidak mempunyai hubungan dengan kasus cabang, berarti qiyâs gagal dibangun. 76 Al-Taftazânî berusaha menyelesaikan problem ini. Kenyataan bahwa ‘illat (wasf, kualitas) menandakan ketetapan hukum tidak berarti bahwa ketetapan hukum ditentukan oleh ‘illat semata. Karena ketetapan hukum merupakan perintah Syarî’ah yang harus didasarkan pada dalil Syarî’ah, yakni nassh dan ijmâ’. Ini berarti ketetapan hukum harus dibuktikan oleh nashsh Syarî’ah, dan kualitas merupakan tanda baginya. Dengan tanda ini dapat diketahui bahwa ketetapan hukum telah ditentukan atau terbukti ada dalam keseluruhan substansinya. Misalnya, larangan minum khamr telah ditentukan oleh nashsh, karena adanya sifat memabukkan pada khamr tersebut. Kualitas ini merupakan sebab pelarangan khamar. Sebab (‘illat) merupakan tanda bagi pelarangan semua item (afrâd) yang masuk dalam kategori khamr. Jawaban ini menolak argumen bahwa definisi ini menjadi berputar tanpa akhir (daur). Singkatnya, ‘illat bergantung pada pengetahuan tentang ketetapan hukum sebagai perintah Syarî’ah
75
Al-Isnâwî, Nihâyat…, H. 30. Sa’ad al-Din Mas’ud ibn Umar al-Taftazânî, Hasyiyah Syarh Muhtasar al-Muntahâ, (Kairo: al-Mathba’ah al-Kubrâ al-Amiriyyah, 1927), h. 214. 76
137
yang ditunjukkan dengan dalil. Dan yang bergantung pada ‘illat adalah pengetahuan tentang adanya ketetapan hukum dalam kasus-kasus individual.77 Keberatan lain adalah bahwa definisi ‘illat sebagai penanda (mu’arrif) juga tidak spesifik (mâni’), karena ia meliputi tanda (‘alâmah) juga. Dengan demikian tidak ada perbedaan yang tegas antara ‘illat dengan ‘allâmah, padahal keduanya jelas berbeda. Perintah-perintah hukum tentang transaksi (‘akad) dan hukuman (‘uqûbah) dinisbatkan kepada sebab-sebabnya. Misalnya, kepemilikan dinisbatkan kepada pembelian, dan ganti rugi (diat) dinisbatkan kepada pembunuhan. Tetapi perlu dicatat bahwa perintah-perintah hukum tidak dinisbatkan kepada tanda-tanda (‘alâmat), sebagaiman hukum rajam tidak dinisbatkan kepada ihshân (kualitas merdeka dan sudah menikah dalam kasus pelanggaran perzinahan dengan orang yang sudah menikah). Alasannya adalah ihshân adalah tanda (‘alâmah) dan bukan sebab (‘illat). Karena itu seseorang harus membedakan antara ‘illat dan ‘alâmah. Keberatan ini dimajukan oleh Shadr Syari’ah.78 Definisi yang ketiga mengatakan ‘illat adalah sesuatu yang meniscayakan atau mewajibkan ketetapan hukum bukan dengan sendirinya tetapi berdasarkan otoritas Tuhan (mujîb bi ja’l Allah). Dengan kata lain, ‘illat tidak menjadikan sesuatu menjadi wajib dengan sendirinya. Tuhanlah yang mewajibkannya, dan kewajiban itu dinisbatkan kepada ‘illat hanya dalam arti kiasan (majâzi). Definisi ini diberikan oleh ulamâ’ Hanafiah. Ini merupakan jalan tengah antara dua pandangan yang berbeda antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyyah. Asy’ariyyah berpendapat ‘illat tidak menimbulkan akibat terhadap ketetapan hukum sama sekali. Ia tidak memainkan peran sama sekali dalam dalam kewajiban hukum. Mereka tidak menisbatkan kewajiban perintah kepada ‘illat. Ulama’ Hanafiah berpendapat bahwa ‘illat mewajibkan ketetapan hukum bukan dengan sendirinya, tetapi dibuat wajib oleh Tuhan. Ketika mendefinisikan ‘illat dalam fiqh, al-Bazdâwî menyatakan ‘illat adalah sesuatu yang kepadanya mula-mula ketetapan hukum dinisbatkan, seperti 77 78
Sa’ad al-Din Mas’ud ibn Umar al-Taftazânî, Hasyiyah…, h. 214. Ubaidillah ibn Ma’ud Shadr Syarî’ah, al-Taudhîh, h. 62.
138
penjualan merupakan ‘illat pemilikan, nikah sebagai ‘illat halalnya wanita, pembunuhan sebagai ‘illat hukuman qisâs dan lain sebagainya. Tetapi sebabsebab hukum (‘ilal al-syar’) tidak mewajibkan ketetapan hukum dengan sendirinya. Tuhanlah yang mewajibkannya. Karena tindakan-Nya mewajibkan dinisbatkan kepada sebab-sebab (‘ilal), sebab-sebab itu menjadu mewajibkan (mujîbah) bagi orang-orang karena dilakukan oleh pemberi hukum.79 Al-Bazdâwî menolak pandangan-pandangan ekstrim. Ia mengatakan bahwa jika sebab-sebab (‘ilal) dianggap sebagai faktor-faktor yang mewajibkan (mujîbah) dengan sendirinya, hal itu akan mengantar pada politeisme, karena sesungguhnya yang mewajibkan hanyalah Tuhan. Juga tidak mungkin menganggap sebab-sebab (‘ilal) sebagai tanda-tanda (a’lâm) semata, karena dalam hal ini perbuatan-perbuatan manusia akan menjadi kosong dari kehendak, dan dengan demikian semua ketetapan hukum hanya ditetapkan tanpa sebab. Hukuman qisas misalnya, dilembagakan sebagai ganjaran bagi tindakan penyerangan, demikian pula dengan hukuman-hukuman yang telah ditentukan (hudûd). Jika kita menganggap sebab-sebabnya
hanya sebagai tanda, seperti
pandangan Asy’ariyyah, hukuman- hukuman tersebut tidak lagi sebagai ganjaran (ajziyah). Abu Mansur al-Mâturidi mengatakan bahwa ‘illat adalah ide atau alasan (ma’nâ) ketetapan hukum dan ketetapan hukum ada dengan keberadaan ma’na secara bersamaan. Dengan pernyataan ini ia menolak pandangan sebagian kaum Qadariah yang mengatakan bahwa ‘illat adalah materi, dan ketika ia ada ketetapan hukum ada menyertainya tanpa pemisahan (bila fashl). Ketika menjelaskan hal ini, ‘Abd al-‘Azîz al-Bukhârî mengatakan bahwa menurut ulama’ Hanafiyah keberadaan ketetapan hukum bersamaan dengan keberadaan ‘illat secara langsung (bi thariqah al- muqâranah) dan bukan secara berurutan (bi tharîq al-taakhkhur). Dengan kata lain, meskipun ‘illat merupakan bagian dalam ketetapan hukum secara berurutan, yang pertama ada secara bersama-sama (muqârinah) dengan yang kedua. Ini seperti gerak jari yang menjadi gerakan cincin, dan gerakan itu ada bersamaan dengan gerakan cincin. Dengan demikian, gerak merupakan sebab 79
Al-Bazdâwî, Ushûl…, pada catatan pinggir Kasyf al-Asrâr, h. 1291.
139
seseorang bergerak dan warna hitam merupakan sebab sesuatu menjadi hitam. Keduanya ada secara bersamaan. Karena itu ulama’ Hanafiah berpendapat bahwa kemampuan untuk berbuat (istithâah) ada bersamaan dengan perbuatan (muqârinah bi al-fi’l) dan tidak mendahuluinya. Demikian juga tindakan-tindakan merusak, menghancurkan dan memotong adalah sebab-sebab sesuatu menjadi rusak, hancur dan terpotong. Mereka ada bersamaan dengan akibat-akibatnya.80 Dengan demikian, definisi ‘illat yang diberikan oleh ulama’ Hanafiah sejalan dengan pandangan mereka tentang kemampuan dan perbuatan manusia. Penting untuk ditambahkan bahwa dalam pandangan ulama’ Hanafiah, kata-kata
mu’atsir
(mempengaruhi),
mujîb
(mewajibkan)
dan
mu’arrif
(menandakan) mempunyai makna yang sama, dalam arti ‘illat tidak mewajibkan ketetapan hukum secara langsung dengan sendirinya, tetapi berdasarkan otoritas pemberi hukum. Sebagian ulama’ keberatan dengan kata mu’atsir yang mereka gunakan dalam arti ‘illat. Mereka berpendapat bahwa semua seba hukum adalah penanda atau indikator (mu’arrifât), karena perintah Tuhan abadi dan tidak ada sesuatu yang diciptakan dapat mempengaruhinya. Terhadap keberatan ini Shadr Syari’ah menjawab bahwa ketetapan hukum dalam pengertiannya yang teknis adalah bayang-bayang atau akibat perintah Tuhan yang abadi (atsar hukm Allah al-Qadîm). Tindakan Tuhan mewajibkan suatu ketetapan hukum adalah abadi, sedangkan akibatnya, yakni kewajiban (wujûb), diciptakan (hudûts). Jika ‘illat menjadi berpengaruh dalam hukum (mu’atsir fi al-hukm), itu tidak berarti ia mempengaruhi tindakan Tuhan mewajibkan perintah dalam keabadian (ijâb qadîm), tetapi berpengaruh dalam kewajiban-kewajiban yang diciptakan (wujûd hadîts). Perintah suatu ketetapan hukum yang diciptakan merupakan konsekwensi dari perbuatan Tuhan mewajibkan perintah secara abadi. Tergelincirnya matahari adalah ‘illat untuk shalat zuhur, tetapi shalat zuhur sebenarnya diwajibkan Tuhan dalam keabadian dan ditetapkan bahwa shalat zuhur menjadi wajib dengan tergelincirnya matahari.81
80 81
‘Abd al-‘Azîz al-Bukhârî, Kasyf…, h. 1291. ‘Abd al-‘Azîz al-Bukhârî, Kasyf…, h. 1290.
140
‘Illat yang berpengaruh (mu’atsir) berarti ia telah ditetapkan oleh Tuhan sepanjang kualitas yang cocok sebagai sebab, sedangkan akibatnya juga akan mengikutinya, seperti hukuman qishâs dalam kasus pembunuhan dan membakar dalam kasus api. Dalam pengertian ini tidak ada perbedaan antara sebab rasional dengan sebab hukum. Mu’tazilah menjadikan keduanya, yakni sebab rasional dan sebab hukum berpengaruh dengan sendirinya. Ortodoksi, sebaliknya menjadikan keduanya berpengaruh karena perintah Tuhan. Tentang sebab-sebab rasional, ortodoksi berpendapat hal itu merupakan kebiasaan atau hukum alam (‘âdah) untuk menciptakan akibat atau reaksi (atsar) sebagai akibat perbuatan sesuatu. Tuhan misalnya, menciptakan kebakaran berdasarkan sentuhan api, tetapi bukan api itu yang mempengaruhi atau membakar sesuatu dengan sendirinya. Hal yang sama terjadi pada sebab-sebab hukum. Tuhan telah menetapkan bahwa kapanpun sesuatu (yakni, sebab-sebab hukum atau ketetapan) ada, kewajiban ketetapan hukum (wujûb) juga ada sejalan dengan adanya sebab, seperti adanya kebakaran akibat sentuhan api. Penciptaan-penciptaan (mutawallidât), menurut ortodoksi, menjadi ada karena ciptaan Tuhan sebagaimana telah ditentukan dalam teologi.82 Ketika menjelaskan pandangan ini al-Taftazânî mengatakan bahwa jika pemberi hukum (Tuhan) menunjuk sesuatu sebagai sebab hukum, itu berarti ia telah
menetapkan
bahwa kapanpun
sesuatu
ditemukan,
dengan
segala
konsekwensinya, ketetapan hukum tersebut harus mengikutinya karena perintah atau kemestian Tuhan. Dengan demikian, sebelum datangnya Syari’ah sebabsebab hukum tidak mewajibkan ketetapan-ketetapan hukum itu.83 Lebih jauh, Shadr al-Syari’ah menegaskan bahwa ketetapan-ketetapan Syari’ah dinisbatkan kepada sebab-sebabnya demi manfaat bagi masyarakat. Hukuman qishâs dinisbatkan kepada pembunuhan meskipun korbannya meninggal karena takdir
82
Ubaidillah ibn Ma’ud Shadr al-Syari’ah, Nihâyat…, h. 62. Ia telah membuktikan hubungan sebab-akibat dalam sebab-sebab ketetapan hukum. Disepakati bahwa sebab-sebab hukum hanyalah tanda-tanda ketetapan hukum. Lebih jauh, tidak ada hubungan yang pasti (talâzum) antara ketetapan hukum dengan sebabnya. Suatu ketetapan hukum kadang-kadang ada dan sebabnya tidak ada, demikian pula sebaliknya. Karena itu pernyataan Shadr al-Syarî’ah jika sesuatu (yakni, sebab hukum) ada, maka kewajiban hukum ada, tidak dapat dipertahankan. 83 Sa’ad al-Din Mas’ud ibn Umar al-Taftazânî, al-Talwîh…, h. 62-63.
141
Tuhan tentang kematiannya pada saat tertentu. Karena itu, ketetapan-ketetapan Syari’ah secara eksternal dinisbatkan kepada sebab-sebabnya. Inilah makna sebab-sebab itu berpengaruh (mu’atsirah).84 Dengan kata lain, yang mewajibkan ketetapan-ketetapan Syari’ah Tuhan semata. Karena tindakannya mewajibkan tidak diketahui oleh masyarakat, dan mereka juga tidak dapat memahami, maka sebab-sebab (‘illat) ditunjuk sebagai faktor yang mewajibkan (mujîb) dan kewajiban itu dinisbatkan kepadanya dari sudut pandang masyarakat. Definisi keempat tentang ‘illat menyatakan bahwa ia adalah motif (bâ’its) yang menggerakakn pemberi hukum untuk memberikan hukum. Definisi ini dikemukakan oleh al-Âmidî, Ibn al-Hâjib dan Kamâl ibn Humâm. Al-Âmidî mengatakan bahwa diantara ahli fiqh terjadi perbedaan pendapat tentang ‘illat dalam kasus asal yang dipergunakan dalam pengertian tanda yang abstrak atau murni (amârah mujarradah). Pendapat yang umum diterima adalah bahwa ‘illat harus mempunyai pengertian motif (bâ’its) dalam kasus asal. Dengan kata lain, ‘illat mengandung kebijakan atau alasan batin (hikmah) yang menjadi tujuan pemberi hukum, jika tidak ia hanya merupakan kualitas umum (wasf thard) yang tidak mempunyai hikmah didalamnya, hanya semata-mata tanda, dan dengan demikian tidak menimbulkan hubungan sebab-akibat karena dua alasan. Pertama, tidak ada gunanya menjadi tanda kecuali ia melambangkan ketetapan hukum. Ketetapan hukum dalam kasus asal diketahui melalui komunikasi Tuhan (khitâb) dan bukan oleh sebab (‘illat) yang diambil darinya. Kedua, sebab kasus asal diambil dari ketetapan hukum kasus asal, ini berarti ia sekunder. Sekarang, jika sebab kasus asal menentukan ketetapan hukum kasus asal, ia akan bergantung pada ketetapan hukum dan menjadi sekunder. Ini menjadi problem yang tidak terselesaikan.85 Ibn al-Hâjib juga mengajukan keberatan yang sama atas penggunaan ‘illat dalam pengertian tanda murni bagi ketetapan hukum. Ketika menjelaskan tujuan pemberi hukum, komentatornya, Adhuddin al-Ijî mengatakan bahwa tujuan pemberi hukum adalah tercapainya kebaikan umum (tahsîl al-mashlahah) atau 84 85
Ubaidillah ibn Mas’ud Shadr al-Syarî’ah, Nihâyât…, h. 63. Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm…, h. 289.
142
penyempurnaannya (takmîl), atau mencegah keburukan atau menguranginya. Lebih lanjut ia menjelaskan dengan mengambil contoh larangan minum khamr. Menurutnya, sebab pelarangan tidak disebutkan dalam ayat al-Qur’ân
yang
memberikan ketetapan hukum. Sebab larangan, yakni memabukkan, diambil darinya. Jika ‘illat hanya menandakan hukum dan hukum ditentukan olehnya, ini tetap menjadi problem yang tidak terselesaikan.86 Ibn
Humâm
tidak
menyebut
‘illat
dengan
motif (bâits)
yang
menggerakkan pemberi hukum untuk membuat hukum. Namun definisi yang ia berikan mengandung makna yang sama. Ia mendefinisikan ‘illat sebagai kualitas yang karenanya ketetapan hukum ditentukan demi tercapainya hikmah, baik berupa kebaikan umum atau penyempurnaanya, atau mencegah keburukan atau menguranginya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa hikmah ini merupakan sasaran pemberi hukum ketika menetapkan hukum, dan kualitas yang menjadi ‘illat mempunyai kemungkinan (mazinnah) mengandung hikmah ini.87 Kata bâ’its ditafsirkan oleh kebanyakan ulama’ sebagai motif atau pendorong yang menyebabkan pemberi hukum menetapkan hukum. Misalnya, pembunuhan yang disengaja dengan sarana yang mematikan merupakan motif (bâ’its) yang menggerakkan pemberi hukum memberikan ketetapan hukuman qisâs untuk menjaga kehidupan manusia dari pembunuhan. Tetapi menurut pandangan ortodoks, motif ini tidak semestinya mengikat Tuhan atau memaksaNya memerintah atau melarang sesuatu. Mu’tazilah sebaliknya, berpendapat bahwa ‘illat mengikat Tuhan untuk memerintah atau melarang, karena menurut teori mereka memerintah apa yang terbaik bagi manusia merupakan pengikat bagi-Nya. Pandangan ortodoks adalah tidak ada yang mengikat Tuhan. Perbuatanperbuatan Tuhan atau perintah-perintah Tuhan didorong oleh kebaikan dan kesejahteraan masyarakat, meskipun memerintah yang terbaik tidak mengikatNya. ‘Illat dalam pengertian ini menunjukkan bahwa perintah Tuhan mengandung hikmah atau alasan batin yang menjadi tujuan pemberi hukum dalam pemberian hukum. Tujuan ini bisa jadi tercapainya manfaat atau menolak bahaya dari 86 87
Adhuddin al-Ijî, Syarh Muhtashar al-Muntahâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1960), h. 360. Amir Badsyah, Taisîr al-Tahrîr, (Kairo: Musthafâ al-Babî al-Halabî, 1951), h. 302.
143
masyarakat. Dengan demikian, perbuatan Tuhan disebabkan (mu’allal) oleh kepentingan masyarakat.88 Ada penjelasan yang berbeda tentang bâ’its dari yang baru saja disebutkan. Tâjuddin al-Subkî mengatakan bahwa ‘illat bepergian (safar) sebagai motif (bâ’its) bagi seseorang yang berada dibawah kewajiban hukum, bukan bagi Tuhan. Al-Subkî mengkritik pandangan yang mengatakan bahwa setiap perintah Tuhan mempunyai motif yang menggerakkan pemberi hukum untuk memberikan hukum. Menurutnya, hal itu tidak mungkin bagi Tuhan. Jika Tuhan melakukan perbuatan untuk mencapai objek bagi diri-Nya sendiri, hal itu bergantung pada pemberian hukum kepada seseorang yang menjadi makhluk-Nya. Dengan demikian, sifat-sifat-Nya yang sempurna, mesti dan abadi, menjadi diciptakan dan tunduk pada ketidak sempurnaan. Karena itu, menurut al-Subkî, penjelasan diatas lemah. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa penjelasannya tentang bâ’its, didukung oleh ayahnya, Taqiuddin al-Subkî. Tâjuddin ibn al-Subkî menjelaskan bagaimana ‘illat hukum berperan sebagai motif bagi perbuatan manusia. Kembali ia mengambil hukuman qishâs sebagai contoh. Pemeliharaan kehidupan merupakan motif bagi hukuman qishas dan hukuman qisas merupakan perbuatan manusia yang berada dalam hukum kewajiban (mukallaf) yang ditentukan oleh Syarî’ah. Ini menunjukkan bahwa disitu tidak ada ‘illat ketetapan Syarî’ah, juga tidak ada sesuatu yang mendorong pemberi hukum memberikan hukum-Nya, karena Tuhan maha kuasa memelihara kehidupan meskipun tanpa ketetapan hukum ini. Perintah-Nya dihubungkan dengan pemeliharaan kehidupan yang menjadi tujuan kehidupan itu sendiri. Dengan perintah hukum qishâs sebagai sarana pemeliharaannya. Baik sarana maupun tujuannya adalah objek pemberi hukum. Tuhan secara kebiasaan menjadikan hukum qishâs sebagai sebab-akibat pemeliharaan kehidupan. Sekarang, ketika perintah hukum qishâs dari Tuhan diimplementasikan, hakim atau wali dari orang yang terbunuh dan pembunuh tunduk kepada-Nya karena menaati perintah-Nya dan sebagai sarana untuk memelihara kehidupan, ia akan memperolah dua pahala: pertama, karena menaati 88
Ubaidillah ibn mas’ud Shadr al-Syarî’ah, al-Taudhîh, h. 63.
144
hukuman qishâs dan kedua, karena memelihara kehidupan. Tuhan telah memerintahkan keduanya itu. Dari sini terlihat bahwa pemberi hukum mempunyai dua sasaran ketika memberikan ketetapan hukum dimana alasan atau ide dapat dipahami (ma’qûl ma’nâ). Kedua sasaran tersebut adalah ide atau alasan (ma’nâ) itu sendiri. Disamping perbuatan yang mengarah kepada alasan itu dan perintah bagi manusia yang berada dalam kewajiban hukum (mukallaf) untuk melaksanakan perbuatan yang bertujuan pada ide (ma’nâ) yang terkandung dalam ketetapan hukum tersebut. Dengan demikian, ide atau alasan (ma’nâ) motif bagi agen dan bukan bagi pemberi hukum. Penjelasan ini juga menunjukkan ketetapan hukum dimana alasan atau ide yang dapat dipahami mengandung lebih banyak pahala ketimbang alasan yang supra rasional (ta’abbud). Karena itu pembedaan harus dilakukan dalam tiga tahap: perintah Tuhan tentang hukum qishâs, hukum qishâs itu sendiri dan pemeliharaan kehidupan. Pemeliharaan kehidupan merupakan motif bagi yang kedua dan bukan bagi yang pertama. Demikian juga dengan pemeliharaan hak milik dimaksudkan dengan hukuman potong tangan dan pemeliharaan akal dengan menjaganya dari kondisi mabuk.89 Penjelasan tentang bâ’its yang diberikan Ibn al-Subkî ini tidak banyak diapresiasi. Kebanyakan ahli fiqh menganggapnya sebagai motif pemberian hukum oleh pemberi hukum dan bukan bagi seseorang yang tunduk pada perintah hukum. Asy’ariyyah mengkritik penafsiran ‘illat sebagai bâ’its. Dalam pendekatan mereka terhadap perintah-perintah hukum, sangat dipengaruhi oleh Fakhruddin alRâzi. Mereka berpendapat bahwa ketetapan Syarî’ah tidak tunduk pada sebabakibat dan dan tidak didasarkan pada kepentingan umum dan kebaikan manusia. Ketetapan-ketetapan itu ada karena diciptakan Tuhan dan kehendak-Nya. Ketika mengkritik definisi ‘illat dengan bâ’its (motif), Ibn al-Subkî mengatakan, kami menafsirkan ‘illat sebagai mu’arrif (penanda) dan tidak menafsirkannya sebagai bâ’its (motif), karena tidak ada yang menggerakkan Tuhan melakukan suatu perbuatan. 89
Taqiuddin dan Tâjuddin al-Subkî, al-Ibhâj Syarh Minhâj al-Ushûl, (Kairo: Mathba’ah al-Taufîq al- Adabiyyah, tt), Vol III, h. 29-30.
145
Sebaliknya, mereka yang mendefinisikan ‘illat sebagai bâ’its mengkritik para penentangnya, yakni mereka yang menolak sebab-akibat perintah-perintah hukum dan mereka yang berpendapat bahwa ‘illat hanyalah tanda bukan sebab. Shadr Syarî’ah menegaskan alangkah jauh dari kebenaran pandangan mereka yang mengatakan bahwa perintah-perintah hukum tidak tunduk pada sebab-akibat. Para Nabi diutus oleh Tuhan agar makhluk memahami petunjuk bagi mereka dan tujuan menyuguhkan mu’jizat oleh para Nabi tersebut adalah agar masyarakat puas dengan mereka. Mereka yang menolak sebab-akibat, sesungguhnya menolak kenabian. Jika perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan sama sekali, hal itu menunjukkan bahwa perbuatan-Nya sia-sia. Al-Ghazâlî tampaknya ragu dalam mendefinisikan ‘illat. Alasan keraguannya sama dengan yang dialami oleh ulamâ’ Asy’ariyyah lainnya. Ia menghadapi dilema karena dalam teologi Asy’ariyyah menolak kausalitas, sebabakibat, dalam ketetapan-ketetapan Syarî’ah, tetapi fiqh mengakuinya, terutama dalam kasus qiyâs.90 Al-Râzi, Yang juga ulamâ’ Asy’ariyyah, jatuh ke dalam paradoks ini ini. Ia mengkritik para pendukung kausalitas dalam perintah hukum. Karena itu alRâzi dan ulamâ’ Syafi’iyyah lainnya mendefinisikan ‘illat hanya sebagai penanda (mu’arrif) atau tanda (‘alâmah). Al-Ghazâlî juga memberikan berbagai definisi tentang ‘illat sebagai berikut: a. Tanda (‘alâmah). Dalam fiqh makna ‘illat adalah tanda (‘alâmah) dan merupakan suatu kemungkinan bahwa pemberi hukum menentukan semua jenis ‘illat yang disebut sebagai tanda (‘alâmah). Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ada dua sebab bagi satu ketetapan hukum. Yang benar, menurut al-Ghazâlî, hal itu adalah mungkin, karena ‘illat suatu ketetapan hukum Syarî’ah adalah tanda (‘alâmah) dan bukan tidak mungkin untuk menentukan dua tanda bagi sesuatu.91 90
Taqiuddin al-Subkî dan Tâjuddin al-Subkî menyadari kontradiksi ini dan berusaha menyelesaikan problem tersebut. Lihat al-Ibhâj…, juz III, h.63. Bandingkan dengan al-Ghazâlî, al Mustashfâ, h. 281. 91 Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h. 282-283.
146
b. ‘Illat dengan arti motif (bâ’its) Yang dimaksud dengan ‘illat hanyalah motif (bâits) yang menggerakkan pemberi hukum memberikan ketetapan hukum: jika seseorang menyebutkan semua yang memabukkan dengan namanya satu persatu. Misalnya, jangan minum khamar, nabîz dan lainnya. Kemudian ia jelas-jelas mengungkapkan semua objek yang ketetapan hukum berlaku baginya. Penyebutan yang menyeluruh tentang objek-objek yang ketetapan hukum berlaku baginya tidak menghalangi untuk berpendapat bahwa motif yang menggerakkannya pada larangan adalah karena efek memabukkan itu.92 c. ‘Illat berarti mewajibkan hukum karena otoritas Syarî’ah (mujîb bi ja’l alsyar’) ‘Illat tentunya mewajibkan (mujîbah). Tentang sebab rasional (‘illat ‘aqliyyah), ia mewajibkan dengan sendirinya. Adapun tentang sebab hukum (‘illat syar’iyyah), Syarî’ahlah yang menjadikan sebab itu mewajibkan (mujîbah) atau memastikan, dalam arti bahwa kewajiban (wujûb) dinisbatkan kepadanya, seperti kewajiban potong tangan dinisbatkan kepada pencurian, meskipun diketahui bahwa hal itu menjadi wajib karena otoritas Tuhan.93 Pandangan bahwa sebab-sebab hukum (‘ilal syar’iyyah) dan sebab-sebab rasional (‘ilal ‘aqliyyah) sama adalah salah, karena ada sebab-sebab yang tidak sesuai bagi ketetapan hukum, dan ada pula yang sesuai dengan ketetapan hukum tetapi tidak menetapkan hukum dengan sendirinya, bahkan ketetapan hukum menjauh dari sebabnya. Karena itu merupakan suatu kemungkinan bahwa hal-hal yang memabukkan tidak mesti melarang khamr dan bahwa hukuman hadd tidak mesti ditimbulkan karena zina dan pencurian. Ini berlaku bagi sebab-sebab, baik yang langsung (‘illat) maupun tidak. d. ‘Illat dapat berarti tanda, motif dan kewajiban karena otoritas Syarî’ah 1) Dalam bahasa hukum, ‘illat terkadang didefinisikan sebagai aksiden (‘âridh) yang meniscayakan penciptaan ketetapan hukum, kadang-kadang
92 93
Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h. 284. Al-Ghazâlî, Syifâ’…, h. 21.
147
sebagai motif, seperti kepentingan umum dan kadang-kadang sebagai tanda (‘alâmah) yang menunjukkan ketetapan hukum.94 2) Orang-orang menetapkan ‘illat karena karena beberapa pertimbangan. Mereka tidak memahami dengan baik dan berbeda pendapat tentang jenis ‘illat yang seperti ini. ‘Illat adalah istilah pinjaman yang digunakan sebagai tanda Syarî’ah. Mereka meminjam istilah ini dari tiga tempat karena berbagai pertimbangan. Pertama, ia dipinjam dari sebab rasional yang berarti sebab yang meniscayakan ketetapan hukum dengan sendirinya. Kedua, ia dipinjam dari motif (bâ’its), karena motif perbuatan disebut sebab perbuatan. Jika seseorang misalnya, memberikan sesuatu kepada orang miskin, hal itu diduga bahwa ia memberi karena kemiskinannya. Ketiga, ia dipinjam dari arti “ rasa sakit “ (‘illat al-marîdh). Apa yang ia anggap sebagai penyakit adalah sebab sakit. Dengan mempertimbangkan hal ini para fuqahâ’ memberikan nama yang berbeda bagi sebab menjadi ‘illat (sebab langsung) dan sabab ( sebab tak langsung). Karena itu mereka percaya bahwa sebab (‘illat) hukuman qishâs adalah pembunuhan dan sebab potong tangan adalah pencurian.95 Perbedaan pendapat dalam mendefinisikan ‘illat sebenarnya akibat perbedaan pendekatan terhadap sebab-akibat ketetapan Syarîah. Namun sudah pasti bahwa ketetapan-ketetapan hukum Syarî’ah mempunyai sebab-sebab dan sebab-sebab dapat dinisbatkan kepada pemberi hukum, juga kepada fuqahâ’. Penisbatan
sebab
hukum
kepada
pemberi
hukum
berarti
sebab
itu
menggerakkannya untuk memberi hukum. Penisbatannya kepada fuqaha’ berarti ahli hukum tersebut berpendapat bahwa ketetapan hukum dalam kasus tertentu adalah begini dan begitu menurut pendapatnya ketika ia menegaskan sebabnya. Singkatnya, ‘illat dapat didefinisikan sebagai kualitas yang meniscayakan pengetahuan tentang ketetapan hukum Syarî’ah dalam kasus-kasus yang tidak diungkap oleh nashsh.
94 95
Al-Ghazâlî, Syifâ’…, h. 550. Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, h. 58.
148
‘Illat kadang-kadang dicampuradukkan dengan sabab, ‘alâmah, syarth dan hikmah. ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhârî melihat bahwa ‘illat, sabab dan ‘alâmah serupa satu sama lain. Sabab kadang-kadang menggambarkan makna ‘illat dan kadang-kadang ‘illat menggambarkan pengertian ‘alâmah, demikian juga syarat kadang-kadang digunakan dalam pengertian ‘illat dan keduanya menggambarkan ‘alâmah. Ketiganya hampir tidak dapat dibedakan satu dengan yang lainnya kecuali dengan pemikiran yang sangat mendalam.96
B. Ushûl al-Nahw Seperti pada pembahasan tentang struktur qiyâs dalam ushûl al-fiqh, pada pembahasan tentang struktur qiyâs dalam ushûl al-nahw inipun terdapat salah satu dari unsur qiyâs ini tidak dibahas secara khusus, yaitu kasus cabang dengan alasan yang sama seperti pada qiyâs ushûl al-fiqh.
1. Asal (ashl) Tidak ada perbedaan pendapat diantara ahli nahw bahwa yang dimaksud dengan asal (ashl), yang kepadanya didasarkan qiyâs, adalah kalam Arab. Istilah lain yang dipakai oleh ahli nahw untuk asal ini adalah maqîs alaih.Tetapi penting untuk dicatat bahwa tidak semua kalam Arab dapat dijadikan landasan bagi qiyâs. Jadi perbedaan pendapat terjadi dalam hal menentukan kalam Arab yang akan dijadikan rujukan bagi qiyâs. Untuk ini perlu dibahas mengenai dalil al-Samâ’ dalan bahasa Arab, karena ia terkait dengan asal bagi qiyâs. Secara umum dalil-dalil dalam ilmu nahw ada dua: tekstual (lafzîah) dan tidak tekstual (maknawi). Pembagian lain, namun masih mengandung pengertian yang sama dengan di atas, bahwa dalil dibagi menjadi dalil naql dan dalil ‘aql. Dengan dalil naql meliputi dalil tekstual . Dengan dalil aql yang dimaksud adalah dalil bukan tekstual (maknawi), dan inilah yang dimaksud dengan qiyâs. Dalil al-naql dapat berupa al-Qur’ân , sunnah dan syi’ir-syi’ir Arab dan kalam Arab (natsar). Ibn Anbarî menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan alnaql adalah kalam Arab yang fasih 96
dan dinukilkan dengan cara yang valid
‘Abd al-‘Azîz al- Bukhârî, Kasyf…, h. 1294.
149
(sahîh).97 Penjelasan Ibn Anbarî tersebut memuat dua prisip penting dalam mengutip bahasa Arab yang akan dijadikan dalil, yaitu kefasihan (fasâhah) dan sistim transmisi sanad seperti yang ada dalam kajian tentang hadîts. Ini mengingatkan pada keterpengaruhan ilmu bahasa Arab ini denga ilmu hadîts. AlQur’ân dalam keyakinan para ahli nahw merupakan kalam Arab yang paling fasih, dengan demikian ditempatkan pada posisi teratas dari urutan dalil al-naql ini. Kemudian diikuti oleh hadîts Nabi, karena Nabi adalah orang yang paling fasih dalam bahasa Arab, kemudian ucapan para penyair-penyair kuno dan terakhir ucapan dari seorang Arab yang fasih.98 Mengeni transmisi yang valid (alnaql al-sahîh) sesungguhnya ini berkaitan dengan syarat diterimanya sebuah riwayat, dan difokuskan pada kajian tentang sanad (dirâsah al-sanad) dan kajian tentang teks (dirâsah al-matn). Mengenai yang disebut pertama, diperlukan keyakinan apakah periwayat bahasa adalah orang yang dapat dipercaya (‘adalah al-ruwât), sehingga kata-katanya dapat dijadikan pedoman, dan apakah antara mata rantai periwayat tersebut pernah saling bertemu (ittishâl al-sanad).99 Persyaratan ini diperlukan untuk menjamin akurasi sumber periwayatan, dengan kata lain bahwa sumber dapat diyakini kredibilitasnya. Ibn Anbarî menggunakan istilah Mutawâtir untuk sebuah kalam Arab yang diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.100 Maksudnya adalah sejumlah orang yang tidak memungkinkan mereka sepakat untuk melakukan dusta dalam kaitannya dengan apa yang mereka riwayatkan. Pentingnya kajian tentang sanad ini menjadi perhatian serius oleh para ahli bahasa. Ini terlihat jelas dalam buku alKitâb karya Sîbawaih dan al-Kâmil karya al-Mubarrad. Dalam kedua buku tersebut para perawi (transmitter) seringkali disebutkan secara lengkap. Nampaknya diskursus tentang sanad ini lebih dekat kepada kajian hadîts daripada kajian bahasa. Bagi penulis, ini memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara kajian bahasa dan kajian Hadîts. 97
Ibn Anbarî, Luma’ al-Adillah, (Kairo: Dâr al-Ma’arif al-Nizamiyyah, tt), h. 81, dan alIghrâb fî jadal al-‘Irâb, h. 45. 98 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahw inda ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah alAdâb, 2006), h. 18, al-Suyûthî, al-Iqtirâh…, h. 14. 99 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl…, h,19. 100 IbnAnbarî, Luma’ al-Adillah, h. 84-85.
150
Beralih pada persoalan al-Qur’ân
sebagai dalil. Tidak ada perbedaan
pendapat diantara ahli bahasa tentang otoritas teks al-Qur’ân sebagai argumen kebahasaan. Mereka juga sepakat bahwa al-Qur’ân adalah kalam Arab yang paling fasih yang pernah diucapkan oleh orang Arab, mempunyai jalur transmisi yang valid (naql sahîh), terbebas dari segala bentuk distorsi (tahrîf). Para ahli nahw mengakui bahwa al-Qur’ân adalah kalam Allah, dalam pemberlakuannya dipergunakan instrumen-insrumen bahasa manusia seperti menggunakan huruf dan sistim suara.101 Dengan demikian wajar jika ditemukan dalam al-Kitâb karya Sîbawaih dan buku-buku nahw lainnya digunakan ayat-ayat al-Qur’ân sebagai bukti kebahasaan (syâhid). Persoalan yang krusial tentang al-Qur’ân
dalam kaitannya sebagai
argumen kebahasaan adalah, persoalan cara baca al-Qur’ân (qirâat) yang beragam itu. Sîbawaih dan ahli nahw setelahnya, dalam menjadikan al-Qur’ân sebagai bukti kebahasaan (al-istisyhâd) tidak hanya terbatas pada teks al-Qur’ân semata, tetapi juga cara baca al-Qur’ân yang beragam tersebut. Teks al-Qur’ân dan cara baca al-Qur’ân (qirâat) adalah dua hal yang berbeda. Qirâat adalah perbedaan pelafalan al-Qur’ân , dengan ini membuka bagi kebolehan beragam segi ‘irâb 102. Dengan demikian terbuka ruang bagi ahli nahw untuk menjadikan bacaan yang beragam tersebut sebagai bukti bagi kaidah- kaidah nahw yang akan dibangunnya dan sekaligus menjadikan al-Qur’ân sebagai objek kajian. Berikut ini ringkasan dari pandangan para ahli nahw tentang ragam cara baca al-Qur’ân (qirâat) dalam kaitannya dengan ilmu nahw. Secara umum mereka mengakui bahwa bahasa al-Qur’ân adalah bahasa yang paling fasih walaupun dengan keragaman bacaannya, dan kaitannya dengan qiyâs, ia dapat dibangun berdasarkan bacaan yang beragam tersebut. Sîbawaih berpendapat bahwa bacaan al-Qur’ân yang beragam itu tidak bertentangan dengan ilmu nahw karena bacaan tersebut hukumnya hanya sunnah.103 Tampaknya Sîbawaih dalam hal ini lebih mengedepankan bacaan yang sejalan dengan kaidah nahw. Menurut al-Farrâ’ (w. 101 102
Sîbawaih, al-Kitâb, (Kairo: Maktabah al-Khanjî, 1988), juz I, h. 133. Badruddin al-Zarkasyî, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Kutub, 1958),juz I,
h. 158. 103
Sîbawaih, al-Kitâb, juz I, h. 148.
151
207 H/ 628 M), al-Qur’ân lebih kuat untuk dijadikan argumen dibanding dengan bahasa Arab biasa.104 Menurut Ibn Fâris bahwa bahasa al-Qur’ân adalah bahasa yang paling fasih.105 Menurut al-Zajjâj (w. 310H/ 631M) al-Qur’ân, seluruh bacaannya otoritatif (muhkam), tidak ada kerancuan bahasa (lahn) padanya, itu adalah kalam terbaik dari segi i’rabnya yang pernah diucapkan oleh orang Arab.106 Tentu yang dimaksud di sini adalah bacaan yang mutawatir itu. Dalil berikutnya adalah hadîts Nabi. Dapat dipastikan bahwa ahli bahasa menjadikan hadîts Nabi sebagai salah satu bukti kebahasaan. Ini terlihat begitu banyak hadîts-hadîts Nabi banyak dikutip oleh ahli bahasa disamping tidak ditemukan perbedaan pendapat ahli nahw dalam hal kebolehan berargumen dengan hadîts. Alasannya adalah, pertama, perintah al-Qur’ân
sendiri untuk
mengamalkan sunnah dan memetik hukum dari sunnah Nabi. Kedua, karena peran sunnah sebagai penjelas bagi al-Qur’ân .107 Akan tetapi para ahli nahw tidak menjadikan hadîts Nabi sebagai sumber yang berdiri sendiri, melainkan hanya sebagai penguat apa yang terdapat pada al-Qur’ân
atau kalam Arab tanpa
menjadikannya sebagai sumber kaidah nahw. Di dalam al-Kitab, Sîbawaih hanya mempergunakan hadîts Nabi dalam jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan penggunaannya terhadap al-Qur’ân .108 Terjadi perbedaan pendapat ahli nahw tentang kebolehan menjadikan hadîts sebagai bukti (istisyhâd) kebahasaan. Sebagian melarang secara mutlak. Padangan ini merupakan pandangan mayoritas ahli nahw, setidaknya oleh para ahli nahw generasi awal hingga abad ke tujuh hijrah. Tapi dimulai pada abad ke tujuh hijrah tersebut terjadi pergeseran pandangan ketika Ibn Mâlik, seorang pakar garamatika Arab dari Spanyol, menyatakan pendapatnya tentang kebolehan 104
Al-Farrâ’, Ma’ani al-Qur’ân, (Kairo: al-Dâr al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al- Turjumah, tt), Vol I, h. 14. 105 Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris, al-Shâhibî fi Fiqh al-Lughah, (Beirut: Badrân li alThaba’ah, tt), h. 26. 106 Abu Ishâq Ibrahim ibn al-Sarî al-Zajjâj’, Ma’âni al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Hadîts, 1994), h. 81. 107 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw al-‘Arabî, h. 47. 108 Lihat misalnya dalam daftar indeks penggunaan hadîts yang dibuat oleh Abd al-Salâm Harun atas penggunaan hadîts yang ada dalam kitab Sîbawaih. Ia hanya mendaftar delapan hadîts yang ada dalam kitab tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa hadîts tidaklah menjadi sumber utama bagi pembuatan kaidah nahw pada masa-masa awal. Lihat Abd al-Salâm Muhammad Harun, Al-Kitâb, (Kairo: Maktabah al-Khanjî, 1983), juz V, h. 29.
152
menggunakan hadîts Nabi sebagai argumen kebahasaan. Pandangan Ibn Mâlik terebut di ikuti oleh Ibn Hisyâm, yang juga seorang pakar gramatika Arab terkemuka. Alasan mereka yang melarang tersebut
menurut Abû Hayyân
setidaknya didasarkan pada dua alasan. Pertama, dibolehkannya dalam periwayatan hadîts dengan makna. Bagi ahli bahasa ini merupakan masalah otentisitas lafal. Mereka memerlukan lafal asli dari Nabi untuk dijadikan pedoman kebahasaan, dalam riwayat dengan makna hal yang dimaksud itu tidak terjadi. Kedua, para periwayat hadîts tidak sedikit yang berasal dari non Arab. Ini bisa mengakibatkan ketika mereka meriwayatkan hadîts, terjadi pengucapan yang salah (lahn). Dengan demikian sulit untuk meyakini bahwa sebuah hadîts betulbetul ucapan Nabi.109 Pandangan lain menyatakan bahwa hadîts Nabi dapat dijadikan sebagai argumen kebahasaan secara mutlak. Ini merupakan pandangan umum ahli bahasa dan leksikografi dan sebagian kecil ahli tata bahasa seperti Ibn Mâlik, seorah ahli tata bahasa Arab yang berasal dari Andalusia, dan Ibn Hisyâm. Argumen kelompok ini adalah bahwa telah ada kesepakatan bahwa Nabi adalah orang Arab yang paling fasih, sanad-sanad hadîts tersebut lebih valid dibanding sanad pada syi’ir-syi’ir Arab yang selama ini dijadikan hujjah kebahasaan dan tidak perlu menjadi persoalan jika dalam beberapa periwayat hadîts terdapat orang-orang non Arab. Karena kasus yang sama juga terjadi pada periwayat syi’ir.110 Dengan demikian bahwa yang perlu dijadikan prisip adalah bagaimana sebuah hadîts diriwayatkan bukan pada siapa yang meriwayatkan. Pandangan ketiga merupakan pandangan jalan tengah antara dua pandangan sebelumnya. Artinya hadîts tetap dapat dijadikan argumen kebahasaan, namun harus ada kriteria hadîts yang dapat dijadikan hujjah. Tokoh utama pandangan ini adalah Abû Hasan al-Syâtibi (w. 790H/ 1411M). Menurutnya, sebuah hadîts diriwayatkan dengan dua cara. Pertama, ada hadîts yang diriwayatkan hanya maknanya saja, untuk yang seperti ini tidak ada ahli bahasa yang menjadikannya sebagai bukti kebahasaan (al-istisyhâd). Kedua, ada hadîts 109
Jalâl al-Din Abdurrahman ibn Abi Bakar al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 17, Bandingkan dengan Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 50. 110 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 52.
153
yang diriwayatkan berdasarkan teksnya, untuk jenis yang disebut terakhir ini dapat dijadikan argumen kebahasaan.111 Tampaknya Ibn Anbarî sepakat dengan pandangan ini. Mengenai periwayatan hadîts Ia mengatakan, setelah membagi hadîts menjadi dua bagian: mutawâtir dan ahâd, bahwa hadîts yang mutawatir merupakan argumen yang meyakinkan (dalîl qat’î) dalam ilmu nahw.112 Sedangkan al-Sayûthî mengatakan bahwa penggunaan hadîts Nabi sebagai argumen kebahasaan adalah jarang.113 Dengan melihat urutan dalil dalam bahasa Arab seperti yang telah dikemukakan diatas, ini memperlihatkan ada kesamaan dengan urutan dalil dalam ushûl al-fiqh. Ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi ini menunjukkan adanya keterpengaruhan ushûl al-nahw pada ushûl al-fiqh. Seperti telah ditunjukkan pada bagian yang lalu bahwa para ahli ushûl al-fiqh dalam membangun ilmu ini memang mengambil manfaat dari para ahli bahasa.Tetapi setelah ilmu ushûl alfiqh telah menjadi ilmu yang mandiri, sejumlah cabang ilmu lain justru meminjam kembali metode ushûl al-fiqh tersebut, termasuk dalam hal ini ilmu bahasa. Inilah alasan kenapa dikatakan bahwa ahli bahasa terpengaruh oleh ahli ushûl al-fiqh, bukan sebaliknya. Argumen kebahasaan berikutnya adalah kalam Arab. Yaitu materi bahasa yang didengar langsung dari penutur Arab yang dipandang masih murni kearabannya, baik berupa syi’ir maupun natsar. Ada kesepakatan diantara ahli bahasa Arab bahwa narasumber bahasa Arab yang dari mereka boleh diambil bahasanya, berakhir pada abad ke dua hijrah. Alasannya adalah bahwa setelah masa tersebut bahasa Arab telah mengalami kerusakan bahasa (lahn) disebabkan terjadinya akulturasi antara penutur asli Arab dengan non Arab.114 Ini berkaitan dengan batas waktu. Adapaun yang terkait dengan tempat, para ahli bahasa dalam mengambil materi bahasa Arab, juga menetapakan suku-suku Arab tertentu yang
111
Lihat Thaha al-Rawi, Nazharât fi al-Nahw, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1962), h. 13, Bandingkan dengan Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 53. 112 Ibn Anbarî, Luma’…, h. 32. 113 Jalâl al- Din Abdurrahmân ibn Abi Bakar al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 16. 114 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 59-60, Afâf Hasanain, fi Adillah al-Nahw, (Kairo: al-Maktabah al-Akademiyyah, 1996), h. 17.
154
dari mereka bahasa dapat diambil, seperti yang telah ditunjukkan pada bab sebelumnya. Untuk menjamin kualitas sebuah riwayat tentang materi bahasa, para ahli bahasa menetapkan beberapa syarat. Mereka membagi kuantitas perawi bahasa menjadi dua, mutawâtir dan ahâd. Mutawâtir adalah kuantitas perawi bahasa yang diperkirakan dengan jumlah tersebut diyakini tidak memungkinkan terjadinya kesepakatan pemalsuan informasi. Ini merupakan dalil yang bernilai meyakinkan (qat’î). Sedangkan ahâd adalah perawi individual, tetapi tetap bisa dijadikan dalil meskipun nilainya tidak setinggi yang disebut pertama. Para ahli bahasa juga menetapkan syarat bagi periwayat yang dapat dipercaya tersebut dengan bahwa ia harus âdil, baik ia seorang pria, wanita atau seorang budak.115 Tetapi tidak terlalu jelas apa yang dimaksud dengan âdil dalam konteks ini. Dugaan penulis konsep ini sangat dekat dengan konsep âdil dalam ilmu hadîts. Ketiga dalil bahasa tersebut merupakan dasar bagi qiyâs atau maqîs alaih atau asl. Dari ketiga sumber bahasa tersebut diatas para ahli bahasa menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang berfungsi untuk menempatkan bahasa kedalam sebuah sistim
bahasa.
Adapun
sarana
untuk
memperluas
bahasa
agar
dapat
mengakomodir kebutuhan sosial pengguna bahasa, para ahli bahasa Arab mengembangkan metode qiyâs. Dengan demikian maka qiyâs dalan nahw merupakan perangkat yang sistemik untuk mengubah ujaran menjadi menjadi bahasa dan mengembalikan perubahan dan keanekaragaman gejala bahasa kedalam sebuah sistem. Kenyataannya, kehidupan selalu berkembang dan berubah menuju kearah yang semakin kompleks. Ini menuntut adanya kosa kata-kosa kata atau kalimat baru untuk menjelaskan dan mengakomodir perkembangan tersebut. Dari sini kemudian lahir prinsip-prinsip qiyas.
Prinsip kerja qiyâs adalah
menerapkan hukum asal kepada kasus cabang, karena keduanya memiliki ‘illat yang sama (‘illat jâmi).
115
Ali Abû al-Makarim, Ushûl al-Tafkîr al-Nahw, (Beirut: Dâr al-Hadîts, 1978), h. 67, bandingkan dengan Mahmud Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 60.
155
2. Hukum Pengertian hukum dalam ilmu ushûl al-nahw hampir sama dengan pegertaian hukum dalam pengertian ushûl al-fiqh. Dalam ushûl al-fiqh dikenal ada lima nilai hukum, yaitu wajib, sunnah, jâiz (boleh), makruh dan haram. Sedangkan dalam ushul al-nahw hukum dapat berbentuk: (1). wajib (al-wâjib), seperti bahwa fâ’il wajib rafa’ dan posisinya wajib terkemudian dari fi’il. (2). Terlarang (al-mamnû’), seperti mubtada’ terlarang mansûb. (3). Baik (al-hasan), seperti merafa’kan fi’il mudhâri’ yang berkedudukan sebagai jawab syarat dari fi’il mâdhi. (4). Buruk (al-qabîh), seperti merafa’kan fi’il mudhâri’ yang berfungsi sebagai jawab syarat dari fi’il mudhâri’. (5). Khilâf aulâ,
seperti
mendahulukan fâ’il dalam contoh kalimat dharaba ghulâmuh Zaidan. (6). Boleh (al-jâiz), seperti boleh menghazafkan atau tidak menghazafkan mubtada’.116 Dengan pembagian seperti ini jelas bahwa para ahli nahw sangat dipengaruhi oleh ahli ushûl al-fiqh. Al-Sayuthî mengemukakan tambahan hukum dalam ushûl al-nahw ini, yaitu rukhsah dan ghair rukhsah. Penambahan ini semakin mengukuhkan keterpengaruhan ushûl al-nahw dengan ushûl al-fiqh disamping al-Sayûthî sendiri adalah seorang ahli fiqh. Yang dimaksud dengan rukhsah menurut al-Sayûthî adalah sesuatu yang dibolehkan penggunaannya dalam darûrat al-syi’ir.117 Namun pengertian darûrat al-syi’ir ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli nahw. Menurut Ibn Mâlik118 dianggap darûrat al-syi’ir jika seorang penyair tidak lagi bisa menghindari pengucapan yang demikian karena tuntutan timbangan (wazân) syi’ir. Menurut Ibn Usfûr,119 syi’ir itu sendiri secara keseluruhan adalah darûrat. Dengan demikian ada kebebasan bagi seorang penya’ir untuk menggunakan ungkapan yang mungkin melanggar aturan gramatika, meskipun hal itu bisa dihindari dengan ungkapan lain. Pendapat lain yang mengatakan bahwa 116
Al-Sayuthî, Kitab al-Iqtirâh fi ‘Ilm Ushûl al-Nahw, (Kairo: Dâr al-Ma’arif alNizhamiyyah, tt), h. 10. Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw al-‘Arabi, (Kairo: Dâr alMa’rifah al-Jâmi’iyyah, 2002), h. 136. Khalid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahw Inda Ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah al-Adâb, 2006), H. 204 117 Al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 12. 118 Untuk biobgrafi Ibn Mâlik lihat Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1976), h. 309-317. 119 Untuk biografi Ibn Usfûr, lihat Syauqi Dhaif, al-Madâris…, h. 106-108.
156
tidak ada darûrat dalam bahasa Arab, karena sangat mungkin untuk menempatkan kalimat pengganti untuk menghindari darûrat tersebut.120 Hukum dalam ilmu nahw berasal dari dua sumber. Pertama, hukum yang sejak semula telah ditetapkan pemakaiannya dalam bahasa Arab. Seperti wajib bagi mubtada’ dan fâ’il dirafa’kan. Untuk hukum yang seperti ini tidak ada perbedaan pendapat oleh ahli nahw tentang kebolehannya untuk menjadi dasar bagi qiyâs. Kedua, hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyâs. Untuk yang disebut terkhir ini terjadi perbedaan pendapat diantara ahli nahw tentang kebolehannya untuk dijadikan landasan qiyâs. Mayoritas ahli nahw tampaknya membolehkan hal tersebut.121 Ibn Anbarî meriwayatkan adanya perbedaan pendapat ahli nahw tentang apakah hukum ditetapkan berdasarkan nashsh atau berdasarkan ‘illat. Pendapat Mayoritas ahli nahw adalah bahwa hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat bukan berdasarkan nashsh. Alasannya adalah apabila hukum ditetapkan berdasarkan nashsh, bukan berdasarkan ‘illat, hal itu akan berakibat batalnya proses qiyâs. Karena pengertian qiyâs menurut kelompok ini, membawa cabang kepada asal karena ada ‘illat (haml far’ ‘alâ ashl bi ‘illah jâmiah). Dengan kata lain, menerapkan hukum yang ada pada kasus asal (ashl), untuk diterapkan pada kasus cabang (far’) karena ada titik kesamaan antara kedunya (‘illat). Seandainya ‘illat ini tidak ada, dengan sendirinya qiyâs menjadi batal, berarti hukumpun tidak ada, dan cabang diqiyâskan kepada sesuatu yang tidak ada asalnya.122 Sebagian ahli nahw berpendapat bahwa untuk kasus dimana terdapat nashsh, hukum ditetapkan berdasarkan nashsh, namun apabila tidak terdapat nashsh, hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat. Penting untuk ditambahkan bahwa prinsip qiyâs dalam ushûl al-nahw sama dengan prinsip qiyâs dalam ushûl al-fiqh, yaitu sama-sama bertumpu pada prinsip asl dan far’ yang merupakan salah satu ciri epistemologi bayâni. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa ushûl al-nahw dengan ushûl al-fiqh berasal dari epistemologi yang sama. 120
Al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 12. Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 134, al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 73-76122 Ibn Anbarî, Luma’ al-Adillah, (Kairo: Dâr al-Ma’arif al-Nizhamiyyah, tt), h. 121. Bandingkan dengan al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 81, Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 135. 121
157
3.’Illat Al-Khalîl ibn Ahmad pernah ditanya tentang alasan-alasan (‘ilal) yang dipergunakan oleh para ahli nahw untuk menafsirkan gejala-gejala bahasa. Ia ditanya “ Apakah dari orang Arab Anda mengambil alasan-alasan kebahasaan tersebut atau Anda membuatnya sendiri”. Ia menjawab bahawa orang Arab berbicara menurut naluri dan wataknya. Mereka mengenali posisi-posisi ujaran dan dalam pikiran mereka tentunya telah ada alasan-alasannya meskipun tidak diriwayatkan dari mereka. Al-Khalîl ibn Ahmad mengakui bahwa Ia mencari sendiri alasan-alasan yang mungkin seperti itu yang ada dalam pemikiran orang Arab. Jika ia benar dalam pencariannya, itulah yang ia harapkan. Al-Khalîl ibn Ahmad menganalogikan proses pencarian alasan-alasan itu dengan orang seorang bijak yang masuk ke sebuah rumah atau bangunan yang kokoh, struktur dan bagian-bagiannya menakjubkan. Melalui berita yang dapat dipercaya atau melalui bukti-bukti yang jelas dan argumen-argumen yang nyata, memang harus diakui keahlian orang yang membagun rumah atau bangunan tersebut. Ketika orang yang masuk kedalam rumah tersebut dan memperhatikan salah satu bagian dari bangunan tersebut, ia mengatakan bahwa orang yang membangun rumah ini, dalam membangun bagian yang dilihatnya tersebut dengan alasan ini dan itu, karena sebab ini dan itu, yang ada dalam pikirannya. Bisa saja orang yang membuat rumah tersebut melakukan pembuatan rumah tersebut mempunyai alasan yang sama persis dengan alasan orang yang memperhatikan tadi, namun bisa jadi karena alasan lain. Hanya saja apa yang dilakukan oleh orang yang memperhatikan
bangunan
tersebut
dimungkinkan
untuk
menjadi
alasan
pembangunannya. Selanjutnya al-Khalîl ibn Ahmad menegaskan pandangannya, jika ada orang lain lebih benar dalam memberikan alasan-alasan dalam nahw, biarkanlah ia menayatakannya.123 Dengan pengertian bahwa Ia juga akan mengakui hasil ijtihad mereka. Karena kebenaran dapat berada pada setiap orang. Dari riwayat diatas dapat dipahami beberapa fakta. Pertama, pencarian alasan-alasan (‘illat) kebahasaan telah dilakukan, setidaknya pada masa al-Khalîl 123
Teks lengkap mengenai jawaban al-Khalîl ibn Ahmad ini dapat dilihat dalam al-Zajjâjî, al-îdhâh fi ‘Ilal al-Nahw, diedit oleh Mâzin Mubârak, (Kairo: Dâr al-Urûbah, 1959), h. 85.
158
ibn Ahmad, dan sifatnya hanyalah sebuah ijtihâd. Dengan demikian, hasilnya bukanlah sebuah kebenaran yang pasti. Kedua, sistim bahasa yang ingin diungkapkan oleh peneliti disini adalah sistim bahasa yang diungkapkan oleh kelompok, yaitu yang diungkapkan oleh al-Khalîl ibn Ahmad, bahwa orang Arab berbicara dengan naluri dan wataknya. Mereka mengenali posisi-posisi ujaran mereka dan mengetahui pula alasan-alasannya.124 Ketiga, adanya kesadaran pada diri ahli nahw bahwa penjelasan dan interpretasi-interpretasi mereka mengenai alasan-alasan (‘ilal), hanyalah sebuah ijtihad yang kadang kadang mendekati atau bahkan mencapai kebenaran dan kadang-kadang jauh dari kebenaran. Ini mengasumsikan ada jarak epistemologis antara peneliti dan objek penelitiannya. Ringkasnya kebenaran hasil penelitian adalah kebenaran relatif, karena seorang peneliti tidak mungkin mengetahui seluruh objek penelitiannya. Dengan demikian, upaya menjelaskan alasan-alasan (‘ilal) oleh para ahli nahw hanyalah interpretasi-interpretasi dan penafsiran-penafsiran untuk menjelaskan gejala-gejala bahasa sebagai pengantar untuk mengklasifikasikannya ke dalam bagan-bagan khusus bersama hal-hal yang mirip dengannya dengan tujuan untuk menyingkap sistim bahasa sehingga menyentuh pada persoalan kebijakan pembuatnya.125 Sebagian ahli nahw menganggap ‘illat sebagai prinsip yang berdiri sendiri (aslan mustaqil) dalam ushûl al-nahw, sebagian lain menganggapnya sebagai bagian fundamental dari qiyâs. Qiyâs tidak sempurna tanpa ‘illat. ‘Illat merupakan penyatu antara maqîs (asal) dan maqîs alaih (cabang), dan dengan adanya ‘illat, kepada cabang diterapkan hukum yang ada pada asl.126 Sedangkan yang dimaksud dengan ‘illat adalah penjelasan terhadap gejala-gejala lahiriah kebahasaan untuk sampai pada apa yang ada dibalik gejala lahiriah tersebut, dan menjelaskan apa yang menyebabkan demikian.127 Tampaknya para ahli nahw memandang ‘illat sama seperti pandangan ahli ushûl al-fiqh bahwa ia merupakan sifat yang mewajibkan (mujîb) adanya hukum pada cabang. 124
Muhammad ‘Id, Ushûl al-Nahw al-‘Arabi, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1973), h. 174. Muhammad ‘Id, Ushûl…, h. 165-167. 126 Khâlid Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahw Inda ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2006), h. 210. 127 Muhammad Khair al-Halwâni, Ushul al-Nahw al-Arabi, (Kairo: al-Athlâsî, 1983), h. 108-110. 125
159
Para ahli nahw membagi ‘illat menjadi tiga tingkat atau tiga lapis. Masingmasing disebut dengan ‘illat pertama, kedua dan ketiga.128 Suatu pembagian yang tidak ada padanannya dalam ushûl al-fiqh. “Illat lapis pertama dapat dijelaskan dengan gambaran berikut. Jika ditanyakan alasan merafa’kan fa’il, para ahli nahw menjawab karena ia sebagai fa’il, sedangkan hukum fa’il itu rafa’. Ketika pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan, kenapa fa’il dirafa’kan sedangkan maf’ul dinasabkan. Para ahli nahw menjawab, fa’il dirafa’kan dan maf’ul dinasabkan, itu untuk membedakan antara fa’il dan maf’ul sehingga jelas perbedaan antara pelaku dan objek. Jawaban ini merupakan ‘illat lapis kedua. Jika pertanyaan tersebut dilanjutkan jika fungsi merafa’kan fa’il dan menasabkan maf’ul hanya untuk membedakan antara fa’il dan maf’ul kenapa tidak dibuat sebaliknya, yakni maf’ul dirafa’kan sedangkan fa’il dinasabkan, bukankah dengan cara tersebut perbedaan juga terjadi. Para ahli nahw menjawab bahwa harkat fathah merupakan harkat yang paling ringan, sedangkan harkat dhammah adalah berat dalam penuturan Arab. Pada sisi lain, maf’ul lebih banyak jika dibandingkan dengan fa’il. Dengan menggunakan prinsip keseimbangan, para ahli nahw menerapkan kepada yang banyak (maf’ul) harkat yang berat, sedangkan kepada fa’il diterapkan harkat yang paling ringan. Ini merupakan ‘illat lapis yang ketiga. Al-Zajjâji membagi ‘illat menjadi tiga bagian, ‘illat ta’lîmiyah, qiyâsiyah dan ‘illat jadaliyah nadzariyah.129 Pembagian seperti ini pada prinsipnya hampir sama dengan pembagian diatas. Yang dimaksud dengan ‘illat ta’limiyah adalah ‘illat yang menjadi dasar untuk memahami kalam Arab. Misalnya ketika sebuah kalam Arab dibacakan inna Zaidan qâ’imun, pertanyaan yang diajukan adalah dengan apa dinasabkan kata Zaidan tersebut?. Jawaban ahli nahw adalah karena kata Inna berfungsi menasabkan ism. Jika pertanyaan tentang kalimat diatas dilanjutkan, kenapa Inna wajib menasabkan ism? Pertanyaan ini dijawaoleh ahli nahw, karena Inna dan saudara-saudaranya mirip (syibh) dengan kata kerja yang menasabkan dua maf’ûl. Ini menurut al-Zajjâji merupakan ‘illat qiyâsiyah. Jika pertanyaan tentang kalimat diatas dilanjutkan, misalnya dengan pertanyaan dari 128
Khâlid Muhammad Sya’bân, Ushul…, h. 210-211. Al-Zajjâjî, al-Idhah Fi ‘Ilal al-Nahw, (Kairo: Dâr al-Arûbah, 1959), h. 64-65. AlSayûthi, al-Iqtirâh…, h. 56-57. Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 128. 129
160
segi apa kesamaan antara Inna dengan kata kerja (fi’il) yang menasabkan dua maf’ûl tersebut?, fi’il-fi’il apa saja itu?. Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut menurut al-Zajjâji merupakan ‘illat al-nadzariyah al-jadaliyah. Alasannya adalah, dalam memberikan jawaban tersebut akan muncul perdebatan-perdebatan, dan bentuk jawaban tersebut hanyalah spekulatif. Karena sifatnya yang spekulatif inilah ia disebut dengan ‘illat jadaliyah. Tammâm Hassân, berusaha membedakan antara ‘illat dalam filsafatkalam,‘illat dalam fiqh dan ‘illat dalam nahw.130 ‘Illat Filsafat-kalam sangat ditentukan oleh kemestian rasional (talâzum ‘aqli) mengenai hubungan antara sebab dan akibat. Ketika akal menyatakan ada sebab, secara otomatis akan ada akibat (mu’allal), karena hubungan itu wujud secara serentak. Sementara ‘illat dalam fiqh bersifat ta’abbudiah, dimana dalam memahami hakikat ‘illat tersebut tidak sepenuhnya dapat dicerna oleh nalar. ‘Illat dalam fiqh ini bertujuan untuk menyingkap kemaslahatan dan keberadaanya mendahului akibat (ma’lul), dengan kata lain, keberadaan ‘illat mendorong keberadaan hukum. Hukum ada setelah adanya ‘illat. Tetapi penting untuk dicatat bahwa persoalan ‘illat dalam ushûl alfiqh merupakan masalah yang diperdebatkan, seperti terlihat pada pembahasan ‘illat dalam ushûl al-fiqh. Apa yang disebutkan oleh Tammâm Hassân disini termasuk yang dipersoalkan oleh ahli fiqh, yaitu apakah ‘illat itu yang menyebabkan adanya hukum. “illat nahw dalam penentuanya berdasarkan inderawi (hissîah). Para ahli nahw mencari dan menemukan ‘illat tersebut setelah melakukan penelitian terhadap bahasa Arab dan menyimpulkan (istiqra’) ‘illat dari hasil penelitian tersebut. “illat tersebut terkadang mudah dapat diketahui, tetapi ada yang sulit untuk diketahui ‘illatnya. Menjadi tugas para ahli bahasa untuk menjelaskan ‘illat tersebut. Ibn Jinni menegaskan bahwa ‘illat nahw lebih dekat kepada ‘illat para teolog dibandingkan dengan ‘illat ahli fiqh.131 Alasannya, menurut Ibn Jinni, karena dalam pencarian ‘illat tersebut para teolog dan ahli nahw sama-sama bertolak dari hal-hal yang tertangkap panca indera (hissi). Dalam Khasâisnya Ibn 130 131
Tammâm Hassân, al-Ushûl, h. 164. Ibn Jinni, al-Khasâis, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1952), Vol. I, h. 48.
161
Jinni membuat satu sub-bab yang berjudul mediskusikan ‘illat-‘illat dalam bahasa Arab apakah ia ‘illat kalam atau ‘illat fiqh (dzikr ‘ilal al-arabiah a kalamiah hiya am fiqhiah). Dengan tegas ia mengatakan bahwa ‘illat para ahli nahw lebih dekat kepada ‘illat para teolog dari pada ‘illat ahli fiqh. Ibn Jinni juga menegaskan alasan adanya perbedaan antara ‘illat dalam bahasa dengan ‘illat dalam fiqh.132 Ia menagatakan bahwa ‘ illat fiqh merupakan penanda (amârat) bagi ketetapan hukum, sementara segi hikmah dari adanya ‘illat tersebut tidak dapat kita fahami. Lebih jauh ia menjelaskan, jika kita memperhatikan tata cara pelaksanaan ibadah haji, kewajiban-kewajiban bersuci, tata cara shalat, semua itu baru dapat diketahui setelah ada perintah untuk itu. Masih menurut Ibn Jinni, kita tidak tahu alasan menjadikan shalat lima kali sehari semalam, kita juga tidak tahu kemaslahatan yang tersembunyi dalam bilangan rakaat-rakaat shalat. Akal kita mengalami kesulitan untuk memahami itu semua, tetapi hal yang demikian tidak terjadi ketika kita memahami ‘illat dalam nahw.133 Tegasnya menurut Ibn Jinni , ‘illat nahw berada dalam wilayah rasional dan inderawi sepenuhnya, sedangkan ‘illat fiqh tidak demikian, ada yang rasional dan ada yang tidak. Ini mengantarkan Ibn Jini untuk mengatakan bahwa ‘illat dalam bahasa lebih dekat kepada ‘illat dalam teologi.
132 133
Ibn Jinni, Khasâis, Vol I, h. 48. Ibn Jinni, Khasâis, h. 48.
BAB V PENUTUP DAN KESIMPULAN
A. Kesimpulan. Dari pembahasan-pembahasan pada bab-bab yang lalu dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan berikut ini. Pertama, tesis ini menolak pendapat Joseph Schacht dan de Boer yang mengatakan bahwa qiyas berasal dari produk pemikiran Yunani, dan mendukung pendapat Ahmad Hasan dan Muhammad Ali Yâsin yang mengatakan bahwa qiyas berasal dari produk pemikiran Arab. Penggunaan kata qiyâs dengan beragam maknanya bukan merupakan sesuatu yang asing dalam bahasa dan budaya Arab. Setidaknya kata tersebut merupakan kata yang umum dipergunakan dalam aktifitas sosial mereka. Didalam al-Qur’ân memang tidak ditemukan materi kata qiyâs. Tetapi sejumlah kata yang mempunyai makna atau gagasan yang kurang lebih sama dengan kata qiyâs dapat ditemukan . Kata i’tibâr misalnya, dapat dijadikan contoh yang menunjukkan kesamaan gagasan dengan kata qiyâs dalam bahasa Arab. Kadua, Qiyâs, baik yang ada pada ushûl al-fiqh, pada dasarnya hanyalah merupakan bentuk penalaran alamiah atau lebih tepat dapat disebut ra’y, yang dapat dimiliki oleh semua orang dan semua bangsa. Akan tetapi kemudian berkembang menjadi lebih sistematis seiring perkembangan masyarakat dan karena tuntutan kebutuhan sosial. Istihsân tampaknya merupakan bentuk penalaran perantara, dalam hal kesistematisannya, antara ra’y dan qiyâs. Terdapat perbedaan antara qiyâs dan istihsân, dimana yang disebut terakhir dalam penerapannya lebih melihat pada situasi nyata atau realitas kongkrit, sedangkan yang disebut pertama lebih abstrak tanpa terikat dengan kondisi situasional. Dengan demikian istihsân lebih akomodatif dalam manjawab persoalan. Ketiga, konsep ‘illat mempunyai makna yang sama, baik pada qiyâs ushûl al-fiqh maupun qiyâs nahw. Ia merupakan sebuah konsep mental (ide) tentang adanya sebuah titik temu untuk menyatukan antara kasus baru (cabang) dengan kasus yang telah ada ketetapan statusnya (asal). Kesamaan juga terlihat pada jenis-jenis qiyâs pada kedua cabang ilmu tersebut, dan ini menunjukkan bahwa
162
163
kedua qiyâs tersebut berasal dari epistemologi yang sama, yaitu epistemologi bayâni. Sebuah epistemology yang asal usulnya ada dalam kebudayaan Arab. Para ahli bahasa mengambil manfaat dari penjelasan-penjelasan ahli fiqh tentang sebab-sebab (ilal), kemudian sebagian dari ‘illat-‘illat tesebut disatukan dengan yang lainnya secara selektif. Tetapi juga ada bukti bahwa pemikiran tentang ‘illat tersebut talah ada pada salah satu tokoh dalam bahasa Arab, yaitu al-Khalîl Ibn Ahmad. Keempat, tujuan utama qiyâs dalam bahasa Arab adalah membuat aturanaturan umum bagi bahasa, atau membuat kaidah-kaiadah bagi teks-teks bahasa yang diterima oleh para ahli bahasa. Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadrami atau yang sering disebut Ibn Abi Ishaq dapat disebut tokoh pertama yang mengumpulkan gagasan tentang qiyâs dalam bahasa ini. Ketika perubahan dalam masyarakat semakin meluas pada semua sektor kehidupan, muncul kebutuhan terhadap kosa kata-kosa kata baru yang dapat mengeksperesikan dan mengakomodir perkembangan tersebut. Karena kebutuhan tersebut tidak lagi dapat dipenuhi oleh kosa kata-kosa kata lama, maka diperlukan suatu metode untuk menghasilkan bentuk-bentuk, makna-makna atau struktur-struktur baru bahasa. Pada poin inilah qiyâs menjadi salah satu solusi untuk menjawab kebutuhan sosial tersebut. Posisi yang sama terjadi pada qiyâs dalam ushûl al-fiqh, meskipun dengan objek yang berbeda dengan objek bahasa. Ketika masayarakat berkembang, diperlukan jawaban-jawaban
atas
persoalan-persoalan
hukum
yang
muncul
akibat
perkembangan tersebut. Jawaban- jawaban tersebut tidak sepenuhnya tersedia secara tekstual dalam sumber pokok hukum Islam, al-Qur’ân dan sunnah. Maka pengembangan semangat hukum al-Qur’ân dan sunnah tersebut dilakukan dengan qiyâs, untuk dapat merespon kebutuhan sosial dalam memberikan kepastian hukum. B. Saran Penelitian tentang qiyâs masih sangat diperlukan untuk mengetahui lebih mendalam tentang prinsip dan tata kerja qiyâs. Penelitian yang bersifat perbandingan dengan analogi dalam filsafat masih merupakan objek penelitian
164
yang belum banyak dilakukan. Demikian pula dengan peran qiyâs dalam pemikiran Islam dan kaitannya dengan politik. Meskipun qiyâs pada saat ini mulai mendapat banyak kritik, tetapi belum ditemukan alternatif pengganti qiyâs dalam menyelesaikan banyak promlem sosial keagamaan. Menjadi tugas para peneliti selanjutnya untuk mengambil tanggung jawab tersebut.
165
DAFTAR PUSTAKA A. Fyzee, Asaf A, Outlines Of Muhammadan Law, London: Oxford University Press, 1955. Abbot, Nabia, Studies in Arabic literary Papyri, Chicago: Chicago University of Chicago, 1972 Abd al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Markaz al-Saqâfi al-‘Arabî, 1991) Abû Husain al-Bashrî, Kitâb al-Mu’tamad fî ‘Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, 1982 Abû Yûsuf, Al-Radd ‘alâ Siyâr al-Auzâ’i, Kairo: Dâr al-kutub, t.t Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharâj, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1945 Ahsan, Khan Imran, Theories of Islamic Law, Pakistan: Islamic Research Institute, 1945. Al Afghâni, Said, Fî Ushûl al Nahwȋ, Beirut: Al Maktab Al Islâmi, 1987. Ali, Muhammad ‘Abd al-‘Ali Muhammad, Mabâhits Ushûliyyah fî Taqsîmât alAlfâz, Kairo: Dar al-Hadits, 2007 Al Aziz, Muhammad Hasan Abd, Al Qiyâs fî al Lughah al Arabiyyah, Beirut: Dâr al Fikr al Arabî, 1995. Al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 2003 Anis, Ibrahim, Min Asrâr al-Lughah, Kairo: al-Matba’ah al-Faniyyah, 1966 Al-As’ad, Abd al-Karîm Muhammad, al-Wasît fî Târîkh al-Nahw al-‘Arabî, Riyadh: Dâr: al Syawaf, 1992 Badsyah, Amir, Taisîr al-Tahrîr, Kairo: Musthafâ al-Babî al-Halabî, 1951 Al-Bâjî, al-Isyârah fi Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al- Fikr, 1951 Al-Bazdawi, Ushûl al-Bazdawî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1927 Bek, Khudari, Ushûl al-Fiqh, Kairo: Mathba’ah al-Istiqâmah, 1979 Bhatia, H.S, Studies in Islamic Law, Religion and Society, New Delhi: Deep and Deep Publications, 1998. Brockelmann, Târikh al-Adab al-‘Arabi, diarabkan oleh Abdul Halim al-Najjâr, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt
166
Al-Bukhari, Abd al-Azîz, Kasyf al-Asrâr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1927 Coulson, N. J., A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964 Cowan, David, An Introduction to Modern Literary Arabic, London: Cambridge University Press, 1958. Al-Dawâlibi, Muhammad Ma’rûf, al-Wajîz fî al-Huqûq al-Rumâniah wa Târîkhuhâ, Damaskus: Matba’ah Jâmi’ah, 1959 De Boer, Târȋkh al Falsafah fî al Islâm, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abu Ridah, Kairo: Lajnah al Ta’lîf wa al Turjumah, 1938. Dhaif, Syauqi, Al Madâris al Nahwiyyah, Mesir: Dâr al Ma’ârif, 1976. Dutton, Yassin, The Origins of Islamic Law, Great Britain: Curzon Press, 1999 Al-Farrâ’, Ma’ani al-Qur’ân, Kairo: al-Dâr al-Misriyyah li al-Ta’lif wa alTurjumah, tt Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic Research Institute, 1965 Fitzgerald, S.Vesey, Nature and Sources of the Syari’a, Dalam Law in the Midle East, Washington, 1955 Forte, David, Studies in Islamic Law, Boston: Austin and Winfiel Publisher, 1999. Forte, David, Islamic Law: The Impact of Joseph Schacht, Los Angeles: International and Comparative Law Annual, 1978 Al-Ghazâlî, al-Mankhûl, Beirut: Dâr al Fikr, 1970 Al-Ghazali, al-Mustasfa, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993 Al-Ghazâli, Syifa’ al-Ghalîl, Beirut: Dâr al Fikr, 2003 Golziher, Ignaz, A Short History of Classical Arabic Literature, Germany: Georg Olms Hildesheim, 1966. H. A. R. Gibb, Dirâsât fî Hadhârât al-Islâmî, di Arabkan oleh Ihsan Abbas, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1964 Hadi, Hardono, Epistemologi, Jakarta: Kanisius, 1994. Al-Halwâni, Muhammad Khair, Ushul al-Nahw al-Arabi, Kairo: al-Athlâsî, 1983
167
Hallaq, Wael B., The Origins and Evolutions of Islamic Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2005 Hallaq, Wael, A History of Islamic Legal Theories, United Kingdom: Cambridge University Press, 1997. Al-Hamâwî, Yaqut, Mu’jam al-Udabâ’, Kairo: Isa al-Bâbî al-Halabî, 1936 Hasan, Ahmad, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence, Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994 -------, Ahmad, The Doctrine of Ijma’, Islamabad: Islamic Research Institute, t.t -------, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994 Hasanain, Afâf, Fi Adillah al-Nahw, Kairo: al-Maktabah al-Akademiah,1997 Hassan, Abbas, Al Lughah wa al Nahwu Baina al Qadȋm wa al Hadîs, Mesir: Dâr al Ma’ârif, 1971. Hassân, Tammâm, al- Ushul, Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000 Hasyim, Kamali, The Principle of Islamic Jurisprudence, Cambridge: The Islamic texts society, 1991, Hazm, Ibn, Al-Ihkâm fî Ushȗl al-Ahkâm, Kairo: Matba’ah al Sa’âdah, 1347 H. Ibn Anbari, Al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, Kairo: Al Istiqâmah, 1364 H. -------, Nuzhah al-Albâ’ fi Thabaqât al-Udabâ, Kairo: Maktabah al-Manâr, 1985 -------, al-Inshâf fi Masâil al-Khilâf, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998 -------, Luma’ al-Adillah, Beirut: Al-Jâmi’ah al-Suriyah, 1957 Ibn al-Hâjib, Muhtasar al-Muntahâ, Beirut: Dâr al-Fikr, 1920 Ibn al-Muqaffa’, Risâlah fi al-Shahâbah, Kairo: al-Bâbî al-Halabî, 1954 Ibn Fâris, al-Shâhibî fi Fiqh al-Lughah, Beirut: Badrân li al-Thaba’ah, tt Ibn Hazm, al Taqrîb li Hadd al Mantiq, Beirut: Dâr al Fikr, t.t. Ibn Hisyâm, Sîrah al-Nabawî, Kairo: Dâr al-Kutub, 1929 Ibn Humâm, al-Tahrîr, Kairo: Dâr al Kutub, 1951 -------, al-Musyârah, Bulaq: al-Mathbâ’ah al-Amiriyyah, 1917
168
Ibn Jinni, al-Khasâis, Kairo: Dâr al-kutub al-Misriyyah, 1952 Ibn Madha’, Al Radd ‘alâ al Nuhât, Kairo: Dâr al Fikr Al Arabȋ, 1949. Ibn Manzur, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Fikr, tt Ibn Qudâmah, Raudhât al-Nazîr, Kairo: Dâr al-Kutub, 1988 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997 -------, Kitâb al-Muqaddimât, Kairo: Dâr al-Mushtafâ, t.t Ibn Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Fikr, 1975 Ibn Sarrâj, al-Ushûl fî al-Nahw, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1997 Ibn Subkî, Jam’ al-Jawâmi’, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997 Al-Ijî, Adhuddin, Syarh Muhtashar al-Muntahâ, Beirut: Dâr al-Fikr, 1960 Ilyas, Muna, Al Qiyâs fî al Nahwî, Beirut: Dâr al Fikr, 1985. Al-Isnawi, Nihîyat al-Sûl, Kairo; Dâr al-Kutub al-Arabiyyah, tt Al-Jâbiri, Muhammad ‘Âbid, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Markaz al-Tsaqâfi al- ‘Arabî, 1991 Al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr al-kutub, 1925 -------, Ushûl al-Jashshâsh, Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1995 Al-Jauharî, al-Shihâh, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1977 Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, ‘Ilâm al-Muwaqqi’în, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985 Joseph Schacht, A Revaluation of Islamic Traditions. Dalam Journal of the Royal Asiatic Society, 1949, h.144. -------, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, London: Oxford, 1959. Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, 1983 Juynboll, G.H.A, The Date of the Great Fitna, Cambridge: Cambridge University Press, 1973 Al-Jumhî, Ibn Salâm, Thabaqât Fuhûl al-Syu’arâ’, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1952 Kamâlî, Hasyîm, Principles of Islamic Jurisprudence, London: Cambridge, 1991
169
Al Karîm, Abd Allah Jâd, Al Dars al Nahw fî al Qarn al ‘Isyrîn, Kairo: Maktabah al Adab, 2004. Al Karîm, Abd, Al Wasîth fî Târîkh al Nahwî al Arabî, Riyâdh: Dâr al Syawaf, 1992 Khadduri, Majid, Islamic jurisprudence, Baltimore, 1961 Khan Nyazee, Imran Ahsan, Islamic Jurisprudence, Islamabad: The International Institute of Islamic Thought, 2000 Kraemer, Joel L, Philosophy in the Renaissance of Islam, Leiden: E. J. Brill, 1986 Al-Makarim, Ali Abû, Ushûl al-Tafkîr al-Nahw, Beirut: Dâr al-Hadîts, 1978 M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, Beirut: al Maktabah al Islâmî, 1968 On Schacht’s Origin of Muhammad Jurisprudence, New York: John Wiley, 1986 Mahmud, Asyraf Mahir, Mustalahât ‘Ilm Ushûl al-Nahw, Kairo: Dâr Gharȋb, 2001. Makdisi, George A., The Rise of Humanism in Classical Islam and Christian West, Edinburg: Edinburgh University Press, 2000 Mâlik, Al-Muwaththa’, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1951 Margoliouth, The Early Development of Muhammedanism, London: Oxford University press, 1941 Muhammad ‘Abd, al-Riwâyah wa al-Istisyhâd fi al-Lughah, Kairo: ‘Âlam alKitab, 1978 Muhammad al-Thanthâwi, Nasy’ah al-Nahw, Kairo: Dar al-Mânar, 1992 Muhammad Ied, Ushûl al-Nahw al-‘Arabî, Kairo: Âlam al-Kutub, 1989 Mukarram, ‘Abd al-‘Ali Salam, al-Halaqah al-Mafqûdah fi Tarikh al-Nahw al‘Arabi, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1993 Mustafâ Jamaluddin, al-Qiyâs, Najaf: Mathba’ah Nu’mân, 1972 Nahlah, Muhammad Mahmûd, Ushûl al-Nahw al ‘Arabi, Mesir: Dâr al-Ma’rifah al-Jam’iyyah, 2002 Al-Nassyâr, ‘Ali Syâmi, Manâhij al-Bahts ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1947
170
Owens, Jonathan, The Foundations of Grammar: An Introductions to Medievel Arabic Grammatical Theory, Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 1996. Powers, David, Studies in al Qur’an and Hadith: The Formation of Islamic Law of Inheritance, California: University of California, 1978 Al-Qattân Mannâ’ Khalîl, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-fikr, 1995 Al-Rawi, Thaha, Nazharât fi al-Nahw, Beirut: Dâr al-Fikr, 1962 Al-Râzî, Al-Mahsûl min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986 Al-Sarakhsi, Ushûl Sarakhsi, Kairo: Dâr al-Kutub, 1982 Al-Sayuti, Kitâb al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushûl al- Nahw, Beirut: Al-Jami’ah al-Suriyah, 1957 Al-Shâlih Subhî, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalahuh, Birut: Dâr al-Kutub alHadîtsah, 1980 Al-Syâfi’i, al-Risâlah, Beirut: Dâr al Fikr, 1980 -------, Kitâb al-Umm, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1924 Al-Syaibânî, al-Siyâr al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1957 -------, al-Asl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1964 Al-Syarakhsi, Ushûl al-Syarakhsî, Kairo: Dâr al-Kitab al-Arabi, 1954 Al-Syariah, Shadr, al-Taudhîh, Kairo: Dâr al-‘ahd al-Jadid li al-Thiba’ah, 1957 Al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syari’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000 Al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ilâ tahqîq al-haq min ‘Ilm al-ushûl, Beirut: Dâr alFikr, 2000 Al-Syirâzî, Abû Ishaq, Al-Lumâ’, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1925 S. H. Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, New York: RoutLedge, 1996 Sahnûn, al-Mudawwanah al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Fikr, 1939 Santillana, Turâts al-Islâmî, diedit dan diarabkan oleh Thomas Arnold, Beirut: Dâr al-Talî’ah, 1972
171
Schacht, Joseph, An Introduction of Islamic Law, London: Oxford University Press, 1964. -------, Joseph, Law and Justice, Cambridge: Cambridge University Press, 1970 -------, Joseph, The origins of Muhammadan Jurisprudence, London: Oxford University Press, 1959 Stetkevych, Jaroslav, The Modern Arabic Literature London, The Unuversity of Chicago, 1970. Sya’bân, Khâlid Muhammad, Ushûl al-Nahw Inda ibn Mâlik, Kairo: Maktabah alÂdâb, 2006 Syami, Al-Nassyâr Ali, Manâhij al-Baht ‘Inda Mufakkir al Islâm, Iskandariah: Dâr al Fikr al Arabȋ, 1947. Al-Taftazâni, al-Talwîh Syarh al-Taudhîh, Kairo: Dâr al-‘Ahd al-Jadid li alThiba’ah, 1957 Taimiyyah, Ibn, Al-Qiyâs fî al-Syar’ al Islâmî, Kairo: Matba’ah al Salafiah, 1375 H. Taqiuddin dan Tâjuddin al-Subkî, al-Ibhâj Syarh Minhâj al-Ushûl, Kairo: Mathba’ah al-Taufîq al- Adabiyyah, tt Al-Tauhîdi, Abû Hayyan, al-Imtâ’ wa al- Mu’ânasah, Kairo: Lajnah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, 1993 Thantâwi, Nasy’ah al Nahwî, Mesir: Dâr al Manâr, 1991. Al-Thawil, Razak, Al Khilâf Bain al Nahwiyyîn, Makkah: Al Faishaliyyah, 1984. Weiss, Bernard G, The Spirit Of Islamic Law, United State Of America: University of Georgia Press, 1998. Yâsîn, Muhammad Husain ‘Alî, al-Dirâsat al-Lughawiyyah Inda al-‘Arab, Beirut: Maktabah al-Hayâh, 1980 Al Zubaidi, Tabaqât al Nahwiyyîn wa al Lughawiyyîn, Kairo: Muhammad Sami al Khaniji, 1954. Zahrah, Abu, al-Imâm al-Syâfi’i, Mesir: al-Maktab al-Islami, 1976 Al-Zajjâj, al-Idhâh fi ‘Ilal al-Nahw, Kairo: Dâr al-Urûbah, 1959 -------, Ma’âni al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Hadîts, 1994
172
Al-Zamakhsyari, Asas al-Balâghah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980 Zarqa, Mushtafa, al-Madkhal li al-Fiqh al-‘Âmm, Damaskus: Mathba’ah Jâmi’ah, 1957 Al-Zarkasyî, al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kutub, 1958 Zuhailî, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Asriyyah
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Pribadi Nama : Abdul Hamid Tempat Tanggal Lahir : Sungai Selan 30 Oktober 1968. Pekerjaan : Pengajar Pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) TembilahanRiau. Alamat: Jalan H. Arif, Tembilahan, Riau. Pendidikan Terakhir : Universitas Cokroaminoto Yogjakarta, 2000. B. Identitas Keluarga Ayah : H. Jamaluddin Siddiq (alm.) Ibu : Hamisah Istri : Dewiana. S,Ag. Anak : Mawaddah, Muhammad Najatullah al-Shiddiqi, Najwa ‘Izzati. C. Riwayat Pendidikan 1. SD Negeri di Sungai Selan, tamat tahun 1982 2. SMP Pancayasa di Sungai Selan, tamat tahun, 1985 3. Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, Bukit Tinggi, Sumatra Barat, tamat tahun 1992 4. S1 Universitas Cokroaminoto Yogjakarta, tamat tahun 2002 .
D. Riwayat pekerjaan 1.Guru pada Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan, Riau