22
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
22
Kewarisan Dalam Perspektif Hazairin Abdul Ghoni Hamid IAIN Antasari Banjarmasin
[email protected] Abstrak Hazairin adalah salah seorang ulama Indonesia yang hidup di abad ke-20 Masehi, ia sangat mengkritik sikap taqlid ulama. Di antara pemikiran Hazairin yang paling banyak disoroti adalah mengenai sistem kewarisan bilateral, yang ia tuangkan dalam karyanya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur‟an dan Hadith, yang ditulisnya ketika berusia 52 tahun atau sekitar tahun 1958 M. Buku ini membicarakan tentang kritikan terhadap sistem patrilineal yang telah melekat pada masyarakat Arab, atau dengan kata lain juga mengkritik mazhab Sunni yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia. Metode penelitian dalam karya ini adalah Studi Kepustakaan/library research. Dalam penelitian ini disajikan perspektif Hazairin tentang konsep-konsep kewarisan Islam yang bertolak belakang dengan Ulama pada umumnya. Kemudian isi dari pemikiran Hazairin tersebut dianalisis. Di samping itu, karena masalah pokok yang akan dipecahkan adalah masalah pemikiran, yang berupa konsep dan metode ijtihad, maka penulis menggunakan pendekatan ushul fiqh, yakni pemikiran Hazairin dilihat dari perspektif ushul fiqh. Hasil dari penelitian ini: (1) bahwa sistem kewarisan yang terkandung dalam Alquran adalah sistem kewarisan bilateral; (2) menetapkan ahli waris pengganti dalam kewarisan; (3) menetapkan golongan ahli waris kepada 3 (tiga) kelompok, yaitu: dzawil furûdh, dzawil qarâbah dan mawâli; (4) dalam hal kalâlah ialah orang yang tidak berketurunan tanpa syarat tidak ada ayah. Kata kunci : Waris, Hukum Islam, Bilateral A. Pendahuluan
Hukum waris merupakan bagian dari hukum yang memegang peranan sangat penting, dan merupakan salah satu peraturan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan hukum waris sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dan setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa hukum, yaitu meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa meninggalnya seseorang maka sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana mengurus dan melanjutkan hak-hak serta kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian terhadap masalah itu diperlukan adanya hukum waris yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pihak. Hukum kewarisan yang merupakan bagian dari hukum keluarga memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
23
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
23
hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.1 Selain itu, hukum kewarisan yang dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum keluarga mengalami pelbagai pembaharuan dalam implementasinya. Dalam pelbagai variasinya, pembaharuan hukum waris Islam di pelbagai negara muslim berbeda-beda tingkat dan bobotnya sejalan dengan tantangan perubahan yang terjadi di dalam tata nilai maupun struktur masyarakat. 2 Pada pertengahan abad XX M, di kalangan Islam terjadi gerakan-gerakan pembaharuan di beberapa negara Islam untuk menghidupkan kembali ijtihad dengan menyerukan kembali kepada Alquran dan Sunnah. Gerakan ini dipelopori oleh pemimpin-pemimpin terkenal seperti: Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Ahmad Dahlan dan lain-lain.3 Kemudian muncullah ulama-ulama yang menyusun kitab-kitab fiqh mawaris dan kitab-kitab tafsir (yang memuat juga penafsiran ayatayat kewarisan). Di Indonesia pun muncul beberapa ulama penyusun ilmu faraidh atau hukum kewarisan. Kitab-kitab farâidh tersebut banyak menyebar dan dipelajari di Indonesia. Namun jika dilihat isi dari kitab-kitab tersebut, terlihat bahwa dalam kitab-kitab tersebut kebanyakan para pengarangnya masih menampilkan penafsiran sebagaimana penafsiran ahli-ahli fiqh abad II H dahulu, bahkan kadang-kadang hanya menyuguhkan hasil penafsiran yang sudah jadi. Karena itu, fiqh mawaris yang berkembang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan fiqh-fiqh mawaris yang dihasilkan berabad-abad yang lalu, yang masih banyak diwarnai adat budaya Arab. Melihat kenyataan ini, di Indonesia muncul seorang mujtahid yang mencoba merambah jalan memunculkan pemikiran lahirnya mazhab fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, yaitu seorang ahli hukum adat yang bernama Hazairin. Beberapa konsep pemikirannya masih dianggap sebagai hal yang asing bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
1
M. Idrus Ramulya, Hukum Waris Islam, Jakarta: Ind. Hill, 1987, h. 1. Kusniati Rofiah, “Pembaharuan Hukum Waris di Indonesia”, Dialogia, Vol. 3 No. I, Januari-Juni 2005, h. 42. 3 Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam, Jakarta: Widjaya, 1984, h. 11-12. 2
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
24
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
24
Menurutnya, umat Islam Indonesia sudah waktunya melakukan ijtihad menuju pembentukan fiqh mazhab Indonesia sebagaimana orang Mesir menyusun fiqh sesuai dengan ke-Mesirannya, orang Irak dengan ke-Irakannya dan orang Arab dengan ke-Arabannya.4 Hazairin berpendapat bahwa negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945 hanya akan mencapai kebahagiaan, adil dan makmur apabila mendapat keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Dan itu akan bisa terwujud jika hukum yang berlaku dan yang diberlakukan di Indonesia adalah syari‟at agama atau sekurang-kurangnya hukum yang tidak bertentangan dengan syari‟at agama Islam.5 Kesan inilah yang mendorong Hazairin untuk tampil menjadi seorang mujtahid, dengan bekal kemampuan dan pengetahuannya di bidang hukum adat dan hukum Islam. Ia mencoba mengerahkan segala kemampuannya (berijtihad) untuk merumuskan fiqh yang sesuai dengan masyarakat Indonesia, khususnya mengenai hukum kewarisan Islam. Sangat menarik bahwa konsep-konsep hasil ijtihad Hazairin mengenai kewarisan ini ternyata merupakan hal yang baru yang berbeda dengan konsep-konsep mayoritas ulama fiqh lainnya. Konsep-konsep Hazairin tersebut misalnya mengenai konsep ahli waris pengganti, selain itu juga mengenai golongan ahli waris, di mana mayoritas ulama Sunni membagi golongan ahli waris kepada tiga kelompok, yaitu: dzawil furûdh, ashabah dan dzawil arhâm. Akan tetapi sekalipun Hazairin membaginya juga menjadi tiga kelompok, namun konsep Hazairin berbeda, yaitu dzawil furûdh, dzawil qarâbah dan mawâli.6 Berikutnya Konsep yang juga berbeda dengan mayoritas ulama adalah mengenai penafsiran ayat 176 surat an-Nisâ (4) yaitu tentang kalâlah.
B. Kajian Pustaka Beberapa kajian sudah dilakukan untuk membahas pemikiran dan kiprah Hazairin ulama kelahiran Bukit Tinggi, 26 Nopember 1906 ini: Mahsun Fuad,
4
Ibid. Ibid., h. 314-315. 6 A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, h. 42. 5
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
25
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
25
dalam Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris mengkaji pemikiran tokoh-tokoh pemikir hukum Islam Indonesia pada rentang waktu 1970-2000, termasuk di dalamnya Hazairin. Fokus pengamatan adalah pada fenomena munculnya pemikiran-pemikiran Hazairin, serta memetakan dalam perspektif tipologi.7 Dalam penelitian ini disebutkan bahwa tema pemikiran Fiqh Mazhab Nasional yang digagas oleh Hazairin cenderung mengarah pada pola rekonstruksi-interpretatif responsi-simpatis partisipatoris. Selain itu penelitian ini juga mengungkapkan setting sejarah sosial yang mempengaruhi konsep pemikiran Hazairin serta pemaparan asas bilateral yang dianut Hazairin. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa asas bilateral yang digagas oleh Hazairin merupakan sebuah metode hasil-hasil keilmuan kontemporer (khususnya antropologi) dalam menetapkan hukum-hukum fiqh (kewarisan).8 Abdul Halim dalam Jurnal Penelitian Agama, Hazairin dan Pemikirannya tentang Pembaharuan Hukum Kekeluargaan dalam Islam, memfokuskan penelitian terhadap pandangan Hazairin tentang hukum kekeluargaan dalam Islam. Dalam penelitian ini diungkapkan mengenai konsep Bilateral Hazairin mengenai kewarisan secara garis besar saja, serta aplikasi pemikiran Hazairin dalam hukum kekeluargaan nasional.9 Penelitian lain tentang Hazairin adalah oleh Mohd. Idris Ramulyo dalam Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, yang lebih menitik beratkan pada perbandingan antara konsep pemikiran Hazairin dengan ajaran Mazhab Syafi‟i, sebagai mazhab yang telah lama dianut dan berkembang di Indonesia. Dalam penelitian ini terungkap bahwa menurutnya ijtihad Hazairin akan dapat diterima sebagai suatu hal yang mendekati rasa keadilan hukum menurut Alquran dan umat Islam di Indonesia, lebih jauh akan
7
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005, Cet. I, h. 10. 8 Ibid., h. 246. 9 Abdul Halim, “Hazairin dan Pemikirannya tentang Pembaharuan Hukum Kekeluargaan dalam Islam”, Penelitian Jurnal Agama, No. 18 Th. VII, 1998, h. 129.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
26
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
26
dapat diterima sebagai suatu sumbangsih dalam menetapkan hukum kewarisan Nasional Indonesia, setidak-tidaknya khusus umat Islam.10 Karya-karya lain tentang Hazairin, adalah tulisan Iskandar Ritonga dalam Mimbar Hukum, Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap: Pembela Hukum Islam Yang Gigih, kajian ini lebih menekankan pada latar kehidupan Hazairin sehingga mempengaruhi corak pemikirannya. Konsep pemikiran Hazairin terutama dalam bidang kewarisan, memang terdapat perbedaan dengan ulama pada umumnya, namun ijtihad tersebut dilakukan setelah ia mengumpulkan sumber-sumber kewarisan dari Alquran dan Hadis. Selain itu terungkap bahwa Hazairin belajar Islam, di mana ayah dan datuknya merupakan guru langsung baginya. Demikian pula peranan ibunya sangat dominan dalam membentuk watak dan karakter dirinya.11 Di samping itu Damrah Khair dalam Analisis, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Suatu Kajian Pemikiran Hazairin, memfokuskan penelitiannya pada pendekatan yang dipergunakan Hazairin dalam mewujudkan hukum kewarisan Islam di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhi Hazairin menggunakan pendekatan (metode) bilateral dalam mewujudkan hukum kewarisan Islam di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga untuk membuat estimasi kemungkinan penelitian Hazairin dapat diberlakukan bagi masyarakat Islam di Indonesia.12 Dari penelitian-penelitian di atas, penulis mengambil sudut lain dalam penelitian terhadap konsep pemikiran Hazairin ini, yaitu lebih menitik beratkan pada konsep-konsep pemikiran Hazairin dalam bidang kewarisan Islam. Di mana penelitian ini mendeskripsikan mengenai konsep sistem kewarisan bilateral, ahli waris pengganti, penggunaan istilah dzawil furûdh, dzawil qarâbah dan mawâli sebagai kelompok ahli waris, serta pemaknaan istilah kalâlah. Di mana konsepkonsep tersebut terdapat perbedaan dengan ulama pada umumnya. Selain itu penulis juga memfokuskan pada relevansi pemikiran Hazairin terhadap kondisi saat ini. C. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode library research, yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan pustaka atau literatur-literatur kepustakaan sebagai sumber tertulis, dengan teknik pengumpulan data mengadakan penelaahan terhadap referensi-referensi yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.13
10
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, Cet. III, h. 108. 11 Iskandar Ritonga, “Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap: Pembela Hukum Islam Yang Gigih”, Mimbar Hukum, Vol. 2 No. 1, Juli 1999, h. 66. 12 Damrah Khair, “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Suatu Kajian Pemikiran Hazairin”, dalam Analisis, No. 44 Th. X, 2002, h. 87. 13 Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, h. 114-117. Lihat juga Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 81-84.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
27
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
27
Referensi-referensi kepustakaan di atas dibagi menjadi tiga bagian yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 14 Bahan hukum primer meliputi karya yang lahir dari pemikiran Hazairin, yaitu Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur‟an dan Hadith. Selain bahan hukum primer tersebut, sebagai bahan pendukung, penulis menggunakan bahan hukum sekunder dan tertier. Bahan hukum sekunder yaitu karya-karya atau teori-teori yang membahas bahan hukum primer, Alquran, buku fiqh, tafsir dan pemikiran para cendekiawan dan agamawan. Sedangkan bahan hukum tertier yaitu hal-hal yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti, kamus-kamus, ensiklopedi dan sebagainya.15 D. Pembahasan 1. Riwayat Hidup Hazairin a. Latar Belakang Keluarga dan Sosial Di kalangan sarjana hukum di Indonesia, Hazairin, bukanlah tokoh yang asing. Ia seorang tokoh pembangun semangat baru bagi pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya hukum Islam.16 Dia termasuk salah seorang pakar yang mempunyai kelebihan yang luar biasa. Pada dirinya melekat dua keahlian, yaitu pakar Hukum Adat sekaligus pakar Hukum Islam. Kedua keahlian ini berjalan seiring dan sama-sama menonjol.17 Hazairin dilahirkan di Bukittinggi, 28 Nopember 1906, dan meninggal pada tanggal 12 Desember 1975. Nama lengkapnya adalah Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap.18 Ayahnya, Zakaria Bahari, adalah seorang guru yang berasal dari Bengkulu, sedangkan ibunya berdarah Minang. Kakeknya, Ahmad Bakar, seorang muballigh terkenal di masa itu. Hazairin adalah putra semata wayang di tengah-tengah kehidupan keluarga orang tuanya. Sebagai putra satu-satunya, tentunya Hazairin sangat disayang dan dimanja. Meskipun demikian, dia tetap digembleng sedemikian rupa. Ayah dan kakeknya merupakan guru langsung baginya, demikian pula peranan ibunya sangat dominan dalam membentuk watak dan karakter dirinya.19 Hazairin adalah suami dari Aminah,20 dari perkawinannya dengan Aminah itu, mereka memperoleh 13 orang anak, yaitu Asmara Dewi, Nurlela Cindarwati, Abdul Hakim, Saladin, Chaerati, Chaerani, Zulkarnain, Hermaini, Zulkifli (alm.), Zulfikar, Puspa Juwita, Zainul Harmain dan Soraya Farida.
14
Ibid. Ibid. Lihat juga Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: CV. Rajawali, 1990, h. 14-15. 16 Abdul Halim, “Hazairin dan, h. 128. 17 Iskandar Ritonga, “Hukum Kewarisan, h. 65. 18 TIM, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Delta pamungkas, 1997, Jilid VI, h. 374. 19 Iskandar Ritonga, “Hukum Kewarisan”, h. 66. 20 Aminah adalah gadis yang masih punya hubungan darah dengan Hazairin, yaitu anak A. Gafur. Sedangkan ibunya adalah Rasida adalah wanita asal Minangkabau, anak dari Mukmin. Ibid., h. 66. 15
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
28
28
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
Seperti halnya Hasbi ash-Shiddieqy (1904-1975)21 salah seorang pakar hukum Islam lainnya yang hidup semasa dengannya, Hazairin juga tampil menyuarakan perlunya dibentuk Mazhab Nasional bagi umat Islam Indonesia. Mazhab ini kemudian, setelah mengalami beberapa pertimbangan, ia menyebutnya menjadi Mazhab Indonesia.22 Munculnya ide akan fiqh mazhab Nasional tersebut, di antaranya dilatarbelakangi adanya fenomena saat itu oleh Belanda untuk mengeliminasi perkembangan legislasi dan legilisasi hukum di Indonesia. Melalui ide yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht dengan tokoh intelektualnya van Vollenhoven (1874-1933) dan Snouck Hurgronje (1857-1936), yang kemudian dikenal dengan teori Receptie23, pemerintah kemudian melakukan upaya penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam. Teori Receptie menyatakan, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat, jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.24 Snouck Hurgronje yang merupakan seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda berpendapat bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai (hukum) agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Namun, mereka tidak rela jika di bidang hukum masyarakat pribumi diberi kebebasan untuk menjalankan hukum (Islam)nya. Karena itu, ia ingin mempertentangkan antara hukum Islam disatu pihak dengan hukum adat di pihak yang lain.25 Sejak dilancarkannya teori Receptie tersebut oleh pemerintah Belanda, sejak itu pulalah masyarakat Indonesia yang mempunyai hubungan dengan masalah-masalah hukum mulai merasakan pengaruh teori Receptie yang kuat tersebut. Seakan-akan, masyarakat Indonesia telah merasakan sesuatu yang benar dan biasa bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia. Telah tertanam pada pikiran orang bahwa yang berlaku adalah hukum adat dan hukum Islam baru menjadi hukum, apabila telah menjadi hukum adat.26 Klaim provokatif dan distorsif teori tersebut sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, bahkan hingga sekarang ini, sehingga oleh
21
Hasbi ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakr al-Shiddiq. Ia adalah salah seorang mujtahid Indonesia yang melontarkan gagasan fiqh berkepribadian Indonesia. Lihat Moh. Hefni, “Menggagas Fiqh Indonesia (meretas Pemikiran Muhammad hasbi Ash Shiddiqi)”, dalam Jurnal Studi Keislaman, STAIN Pamekasan, h. 56. 22 Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi ide fiqh Indonesia sebagaimana yang ditawarkan oleh Hasbi ash-Shiddiqi. Perbedaan antara pandangan Hasbi dan Hazairin adalah, Hasbi menginginkan membentuk fiqh Indonesia dengan menggunakan semua mazhab hukum yang ada sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya. Sedangkan Hazairin justru menginginkan pembentukan fiqh mazhab nasional dengan titik berangkat hanya dari pengembangan mazhab Syafi‟i. Lihat Mahsun Fuad, Hukum Islam, h. 76-78. 23 Lihat Ibid., h. 10. 24 Ibid., h. 52. 25 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, Malang: Bayumedia, 2005, Cet. I, h. 41. 26 Ibid., h. 53.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
29
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
29
Hazairin diintroduksi dengan nama teori Iblis,27 yang secara konstitusional tidak berlaku lagi di dalam tata hukum di Indonesia. 28 Sebagai counter theory terhadap teori ini, paling tidak ada tiga teori yang muncul, salah satunya teori Receptie Exit oleh Hazairin. Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus exit (keluar) dari teori hukum Islam Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 serta Alquran dan Hadis.29 Teori kedua adalah teori Receptio a Contrario yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib, menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum agama. Dan teori ketiga adalah teori Existensi yang dikemukakan oleh Ictijanto, yang mana teori ini sebenarnya hanya mempertegas teori Receptio a Contrario dalam hubungannya dengan hukum nasional. Menurut teori Existensi ini, hukum Islam mempunyai spesifikasi: (a) telah ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional; (b) telah ada dalam arti dengan kemandirian dan kekuatan wibawanya, ia diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional; (c) telah ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional; dan (d) telah ada dalam arti sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional.30 b. Latar Belakang Pendidikan Pendidikan formal Hazairin tidaklah diawali di kota Bukittinggi tempat kelahirannya, melainkan di Bengkulu. Pendidikan formalnya adalah HIS (Hollands Inlandsche School, di Bengkulu, tamat tahun 1920).31 Setamat dari HIS, Hazairin kemudian melanjutkan pelajarannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang, dan tamat tahun 1924. Dalam usia 18 tahun, dia meneruskan pendidikannya ke AMS (Algemene Middelbare School)32 di Bandung, dan berhasil lulus tahun 1927. Berikutnya, atas inisiatif sendiri, ia meninggalkan kota Bandung menuju Batavia (Jakarta) dan meneruskan studinya di RSH (Rerchtkundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi Hukum, jurusan Hukum Adat.33 Selama delapan tahun dia berkutat mendalami bidang ini, dan berkat kegigihannya, dia berhasil meraih gelar Messter ini de Rechten (Mr.) tahun 1935. Di samping belajar pendidikan umum, ia juga belajar pendidikan agama dan bahasa Arab dari ayahnya, terutama dari kakeknya. Untuk memahami lebih 27
Disebut teori Iblis, karena menurut Hazairin teori ini yang menghalang-halangi berlakunya Hukum Islam di Indonesia ini serta mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya. 28 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum, h. 188. 29 Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h. 41. 30 Mahsun Fuad, Hukum Islam, h. 56. 31 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002, h. 189. 32 Tamat dari MULO Hazairin untuk kedua kalinya mendapat beasiswa dari pemerintahan Belanda untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat AMS. Lihat Abdul Halim, “Hazairin dan, h. 132. 33 Lihat Iskandar Ritonga, “Hukum Kewarisan, h. 66.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
30
30
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
lanjut ajaran Islam ia belajar sendiri. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Perancis secara aktif, dan bahasa Arab, Jerman dan Latin secara pasif. Hazairin bukanlah tipe orang yang mudah merasa puas, Sarjana Hukum yang telah diraih baginya belum berarti apa-apa. Dia ingin meraih gelar yang lebih tinggi lagi. Begitu ada kesempatan, dia pun memanfaatkannya sebaik mungkin. Dia mendapat tugas mengadakan penelitian lapangan mengenai Adat Redjang.34 Penelitian ini dilakukannya sebagai syarat untuk meraih gelar doktor dalam bidang Hukum Adat. Penelitian ini dilakukannya di bawah bimbingan promotor Mr. B. Ter Haar, pakar Hukum Adat terkenal masa itu. Berkat kegigihan dan keuletannya, hanya dalam waktu yang sangat singkat, yaitu hanya dalam waktu tiga bulan, penelitian itu telah berhasil dirampungkannya. Hasil penelitian itu, yang merupakan disertasinya berjudul De Redjang berhasil dipertahankannya pada tanggal 29 Mei 1936.35 c. Karya-karya Hazairin Hazairin termasuk penulis yang produktif, dia setidaknya mewariskan 17 buah buku. Karyanya yang paling penting antara lain di bidang hukum yaitu: a. De Redjang (disertasi doktornya, 1936); b. De Gevolgen van de Huwelijksontbinding in Zuid Tapanuli (Akibat Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan, 1941); c. Le Droit Sur Le Sol en Indonesia (Hukum tentang Pertanahan Indonesia, 1952); d. Reorganisatie van het Rechtwesen in Zuit Tapanuli (Reorganisasi Hukum di Tapanuli Selatan).36 Dalam kaitan hukum adat dan hukum Islam, ia juga menulis beberapa karya, di antaranya: a. Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam (1952); b. Bahasannya tentang Hukum Perkawinan Nasional dapat dilihat dalam karyanya Hukum Kekeluargaan Nasional (1962). Di dalam buku ini dapat ditemukan lembaran kerja untuk RUU Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Nasional; c. Hukum Islam dan Masyarakat; d. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‟an dan Hadis Kewarisan Sistem Bilateral. Kedua karya ini telah disatukan menjadi Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an dan Hadis (1958); e. Hendak ke Mana Hukum Islam (1960); f. Hukum Kekeluargaan Nasional (1962); g. Perdebatan Dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraidl (1963); h. Indonesia Satu Mesjid; i. Isa al-Masih dan Roh.37 34
Redjang adalah salah satu suku yang terdapat di Keresidenan Bengkulu (sekarang Propinsi Bengkulu). 35 Lihat Iskandar Ritonga, “Hukum Kewarisan, h. 66. 36 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, h. 189. 37 Iskandar Ritonga, “Hukum Kewarisan”, h. 69.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
31
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
31
Gagasannya dalam bidang pidana Islam serta keinginannya untuk memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia dapat dilacak dalam karyanya: a. Hukum Pidana Islam Ditinjau dari segi-segi, dan Asas-asas Tata Hukum Nasional; b. Demokrasi Pancasila (1970). Dalam buku ini dia menguraikan tentang pengertian Demokrasi Pancasila, kedudukan Piagam Jakarta dalam tata hukum Indonesia, serta kedudukan kedaulatan Allah SWT. dalam negara. c. Negara Tanpa Penjara. Tak luput pula dari analisanya mengenai bagaimana mekanisme pelaksanaan Demokrasi Pancasila hingga tegaknya negara hukum. d. Tujuh Serangkai tentang Hukum (1973), merupakan kumpulan karyakaryanya, yaitu: Negara Tanpa Penjara; Sekelumit Persangkutpautan Hukum Adat; Fungsi dan Tujuan Pembinaan Hukum dalam Negara RI yang Demokratis dan Berdasarkan Hukum; Hukum Baru di Indonesia; dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat, karyanya yang terakhir adalah Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.38
2. Kewarisan Dalam Perspektif Hazairin a. Kewarisan Bilateral Dalam literatur hukum adat Indonesia, pada dasarnya sistem atau bentuk kekerabatan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia terdiri atas sistem patrilineal (garis ayah), matrilineal (garis ibu), dan parental atau bilateral (garis ayah-ibu seimbang) yang oleh Hazairin dapat dibangsakan kepada orang Batak, orang Minangkabau dan orang Jawa. Ketiga sistem tersebut memiliki ciri yang berbeda. Dalam masyarakat patrilineal, setiap orang baik laki-laki atau perempuan menarik garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung yang laki-laki sebagai penentu garis keturunan. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam kekerabatan ini setiap orang hanya menarik garis keturunannya kepada ayahnya saja, kemudian garis itu ditarik lagi dari ayah kepada ayah atau datuknya. Masyarakat Indonesia yang menganut sistem bentuk kekerabatan patrilineal adalah masyarakat Batak, Tanah Gayo, Alas, Ambon, Irian Barat, Timor dan Bali.39 Berbeda dengan sistem patrilineal, pada masyarakat matrilineal, seorang senantiasa menghubungkan dirinya kepada ibunya atau ke dalam klan ibunya. Pada dasarnya, prinsip matrilineal adalah memperhitungkan suatu hubungan kekerabatan melalui perempuan saja; karena itu setiap individu dalam masyarakat adalah semua kerabat ibunya masuk ke dalam batas hubungan kekerabatan, sedangkan kaum laki-laki (kerabat ayahnya) jatuh di luar batas itu. Masyarakat
38
Ibid., h. 70. Damrah Khair, “Hukum Kewarisan, h. 89.
39
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
32
32
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
yang menganut sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau dan Tenggano Timor.40 Sistem yang ketiga adalah sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu) di mana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam kewarisan. Contoh masyarakat ini terdapat di Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok.41 Sistem ketiga inilah yang merupakan isu sentral pemikiran Hazairin. Bilateral menurut Hazairin adalah setiap orang dapat menarik garis keturunannya ke atas melalui ayahnya ataupun melalui ibunya; demikian pula yang dilakukan oleh ayahnya dan ibunya, itu terus terjadi terus menerus. Lebih lanjut, pokok dasar pemikiran Hazairin adalah Konsepnya mengenai kewarisan bilateral. Yaitu hak kewarisan yang berlaku dalam dua garis keturunan atau kekerabatan, baik dari garis ayah atau ibu. 42 Masyarakat bilateral inilah yang paling dominan di Indonesia.43 Hazairin menyatakan bahwa sistem kemasyarakatan yang terkandung dalam Alquran adalah sistem kemasyarakatan bilateral, dan karenanya sistem kewarisannya pun bercorak bilateral juga. Ia merujuk dan menyimpulkan ini, dengan mendasarkan pada surat an-Nisâ (4) ayat 23 dan 24.44 Teorinya ini berbeda dengan pendapat ulama yang terdapat dalam kitabkitab fiqh klasik yang telah dikenal luas oleh masyarakat Islam Indonesia, yang merumuskannya dengan sistem kewarisan bercorak patrilineal. Menurutnya, Alquran anti terhadap masyarakat yang unilateral (berklan-klan) seperti patrilineal atau matrilineal.45 Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap hukum adat yang berlaku di beberapa daerah Indonesia, ia menyatakan bahwa hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal itu, bukannya tidak ada masalah (konflik) dengan hukum patrilineal yang ada di Indonesia, dan konflik-konflik itu sendiri bukan disebabkan oleh kitab suci Alquran, tetapi oleh ikhtilaf manusia itu sendiri.46 Teori Hazairin tersebut didasarkan pada penyelidikannya terhadap hukum Islam yang memberikan perhatian istimewa kepada bagian hukum kekeluargaan, yang telah berhasil mendapatkan pengertian yang jenial tentang ayat 23 dan 24 surat an-Nisâ, dengan pendekatan ilmu antropologi sosial. Menurut Hazairin, sistem kewarisan berpatok pada sistem keluarga, sedangkan keluarga berpatok pada sistem perkawinan dan kedua patokan itu menentukan bentuk sistem 40 41
h. 23.
42 43
174.
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, h. 95. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, Cet. VII, Damrah Khair, “Hukum Kewarisan”, h. 90. Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, Cet. II, h.
44
Secara garis besar ayat 23 dan 24 surat an-Nisa ini berbicara tentang larangan-larangan perkawinan. Dalam ayat tersebut, Allah secara jelas menyatakan selain yang termasuk ke dalam larangan-larangan itu, perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita adalah halal dilangsungkan. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‟an dan Hadith,. Jakarta: Tintamas, 1982, Cet. VI, h. 1-2. 45 Ibid. 46 Ibid., h. 2.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
33
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
33
kemasyarakatan dari suatu bangsa itu yang kembali mempengaruhi sistem perkawinan dan kewarisannya.47 Mengenai segi batas larangan perkawinan dalam hukum Islam didasarkan pada surat an-Nisâ (4) ayat 23-24. Hazairin meninjau dan mengupas hubungan ayat 23-24 tersebut dari segi ilmu social anthropologi. Menurut Hazairin ayatayat tersebut secara jelas memperinci perempuan-perempuan yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki, maka jelaslah bahwa Alquran tidak mengenal larangan perkawinan di antara orang-orang yang dalam istilah antropologi sosial disebut cross cousins dan paralell cousins.48 Pemikiran di atas didasari oleh perkawinan sahabat Ali bin Abi Thalib dan puteri Nabi Muhammad, Fatimah al-Zahra, yang sama-sama berasal dari satu klan, yang dibenarkan oleh Alquran.49 Dalam pandangan masyarakat ber-klan, sebagaimana terjadi di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan seperti ini, yang juga disebut eksogami jarang sekali dilakukan, dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan. Dengan adanya restu dari Alquran yang terwujud dalam pernikahan antara Ali dan Fatimah, Hazairin menarik pemahaman bahwa sistem kekeluargaan dalam Alquran adalah sistem bilateral, bukan patrilinial. Pengandaian sistem kekeluargaan seperti itu berimplikasi pada sistem kewarisannya. Harta yang ditinggalkan oleh orang yang masih hidup juga harus diatur menurut hukum kewarisan bilateral. Dalam ranah antropologi, hukum kewarisan itu adalah kelanjutan dari hukum perkawinan, dan hukum perkawinan tidak boleh berbeda dengan hukum kewarisan.50 b. Ahli Waris Pengganti Dalam konsep ahli waris pengganti atau mawâli, Hazairin sebenarnya mengatakan bahwa pemakaian kata “ahli waris pengganti” sebagai padanan mawâli, sesungguhnya tidak begitu tepat. Namun, istilah itu digunakan juga karena perkataan “ahli waris pengganti” terdapat dalam hukum adat.51 Konsep ahli waris pengganti ini beranjak dari ayat 33 dari surat an-Nisâ (4), di mana tafsiran Hazairin terhadap ayat ini mengenai mawâli dipahami sebagai waris pengganti atau Plaatsvervulling dalam Burgerlijk Weetboek. Mawâli adalah orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, dan menurutnya ia juga termasuk dalam pengertian aqrabûn.52 Firman Allah tersebut adalah:
ّّكلو ّّاللهّّنإّّمهبيصنّّمهوتافّّمكنامياّّتدقعّّنيذلاوّّىلقّّنوبرقلااو ّّنادلاولاّّكرتاممّّيلاومانلعج }ّّ٣٣:{ءاسنلا اديهشّّئيشّّلكّّىلعّّناك Abdul Halim, “Hazairin, h. 134-135. Ibid., h. 135. 49 Lihat Mahsun Fuad, Hukum Islam, h. 82. 50 Ibid., h. 82-83. 51 Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 19-25. 52 Ibid., h. 32. 47 48
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
34
34
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. An-Nisâ (4): 33).53 Hazairin menterjemahkan surat an-Nisâ (4) ayat 33 adalah: Dan untuk setiap orang itu Allah telah mengadakan mawâli bagi harta peninggalan ayah dan mak (ibu) dan bagi harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan bagi tolan seperjanjianmu, karena itu berikanlah bagian-bagian kewarisannya. Dan Allah menyaksikan segala sesuatu.54 Menurut tafsiran Hazairin kata mawâli atau Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan. Mengenai mawâli ini, Hazairin berprinsip bahwa Alquran meletakkan hubungan kewarisan atas dasar pertalian darah antara yang mati dengan anggota keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu pengganti oleh waris yang sebenarnya harus mempunyai penghubung dengan orang yang digantikan itu, di mana ia adalah seorang yang seharusnya menerima warisan ketika ia masih hidup, tetapi dalam kasus yang bersangkutan telah meninggal lebih dahulu dari si pewaris. Mereka yang menjadi mawâli inilah keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mawaris. 55 Hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan mawâli berupa hubungan darah ke garis bawah atau ke garis sisi, atau ke garis atas.56 Mengenai masalah ahli waris pengganti ini muncul, karena Hazairin merasakan adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang selama ini terjadi, yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu tidak mendapat harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan kakeknya. Dalam masalah ini, ulama Ahlusunnah dan juga Syi‟ah, sepakat bahwa anak lakilaki menghijab (menutup) cucu laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, cucu yang ayahnya meninggal terlebih dahulu, meskipun sangat berjasa dalam mengurus kakeknya, karena ada anak kakek (saudara ayah-anak laki-laki) yang masih hidup yang menghijabnya, meskipun ia (paman) tidak pernah berbuat jasa mengurus ayahnya.57 Khusniati Rofiah menyatakan, penafsiran terhadap kata mawâli yang dilakukan Hazairin adalah dengan suatu pendekatan gramatikal yang berbeda dengan fuqahâ dan mufassir awal. Konsep ahli waris pengganti dalam pandangan 53
Al-Nisâ [4]: 33. Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 27. 55 Abdul Halim, “Hazairin”, h. 137. 56 Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 36. 57 Iskandar Ritonga, “Hazairin Gelar, h. 75. 54
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
35
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
35
Hazairin bukan sekedar ketidaksesuaian dengan landasan sosio historis, melainkan karena kesalahan interpretasi terhadap kata mawâli itu sendiri. Menurut Hazairin makna mawâli dalam Alquran semestinya diartikan ahli waris yang menggantikan seseorang dalam memperoleh bagian peninggalan orang tua dan kerabatnya.58 c. Dzawil Furûdh, Dzawil Qarâbah dan Mawâli Dari segi hak kewarisan, Hazairin membagi tiga golongan ahli waris menurut ajaran yang ia sebut sebagai ajaran kewarisan bilateral. Tiga golongan tersebut adalah dzawil furûdh, dzawil qarâbah dan mawâli. Hal ini berbeda dengan konsep ulama Sunni pada umumnya, di mana mereka membagi golongan yang menerima ahli waris yaitu: dzawil furûdh, ashabah dan dzawil arham. Menurut Damrah Khair, Perbedaan di atas berpangkal dari pendapat Hazairin yang tidak menerima konsep ushbah atau ashabah. Menurut Hazairin konsep ashabah terdapat dalam masyarakat unilateral (patrilineal atau matrilineal), sedangkan dalam masyarakat bilateral (parental) tidak mengenal istilah tersebut. Kalau dalam masyarakat patrilineal (seperti Arab dan Batak) hanya mengenal garis keturunan (klan atau ashabah) laki-laki (bapak) saja. Begitu pula dalam masyarakat matrilineal (seperti Minangkabau) hanya mengenal garis keturunan perempuan (ibu). Sedangkan dalam masyarakat bilateral tidak mengenal garis keturunan tersebut.59 Dalil utama tentang ashabah yang digunakan oleh ulama Sunni adalah Hadis Ibnu Abbas yang berbunyi:
ّّاللهّّيضرّّسابعّّنباّّنعّّهيباّّنعّّسواطّنباّّانثدحّّبيه وّّانثدحّّليعمساّّّّنباّّّّىسومّّانثدح لاّّلاقّّملسوّّهيلعّّاللهّّىلصّّي ّّىلولاّّوهفّّيقبّّامفّّاهلهأ بّّضئارفلاّّّّاوق بنلاّّّّنعّّامهنع }{ىراخبلاّّهاور. ركذّّلجر Artinya: “Diriwayatkan dari Musa bin „Ismail dari Wuhaib dari Ibn Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas ra. Dari Rasulullah SAW. beliau bersabda: berikan warisan kepada orang yang berhak dan sisanya serahkan kepada lelaki yang terdekat. “60 Hazairin sendiri memaknai Hadis tersebut dengan: bayarkanlah faraidh kepada yang berhak atasnya, maka sisanya (yaitu apa yang masih tinggal sesudah pengeluaran faraidh) untuk orang laki-laki yang terdekat (terutama). Disimpulkannya, bahwa Hadis tersebut adalah mengenai suatu kasus tertentu, sehingga garis hukumnya tidak dapat diberlakukan secara menyeluruh.61 Dari pemahaman inilah bahwa Hazairin menolak konsep ashabah ulama Sunni yang menggunakan Hadis Ibnu Abbas tersebut. Lihat Kusniati Rofiah, “Pembaharuan Hukum, h. 43-44. Damrah Khair, “Hukum Kewarisan”, h. 85.
58 59
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
36
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
36 60
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Qahirah: Dar as-Sya‟bi, Juz VI,
t.th., h. 5.
61
Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 94-95.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
37
37
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
Penolakan Hazairin tidak menerima konsep ushbah atau ashabah tersebut, merupakan hasil ijtihadnya dengan melihat kepada aspek bahwa dalam masyarakat bilateral (parental) tidak mengenal istilah garis keturunan (klan atau ashabah) dari pihak laki-laki (bapak) saja atau pihak perempuan (ibu) saja. Melainkan dalam istilah Hazairin adalah dzawil qarâbah, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan-hubungan kekeluargaan dengan si pewaris melalui dua garis keturunan, yang mendapat bagian warisan yang tidak tertentu jumlahnya (bagian terbuka atau bagian sisa). Dalam konsep Hazairin dzawil furûdh adalah ahli waris yang mendapat bagian warisan tertentu dalam keadaan tertentu, seperti anak perempuan, ayah, saudara laki-laki atau perempuan.62 Adapun dzawil furûdh itu sendiri, terdiri atas: a. Anak perempuan yang tidak bersama-sama dengan anak laki-laki atau mawâli bagi mendiang anak laki-laki, maka anak perempuan tersebut bagiannya (fard)nya adalah 1/2 dan 2/3 jika dua orang atau lebih; b. Ayah mendapat fard 1/6 jika pewaris berketurunan; c. Ibu mendapat fard 1/3 jika pewaris tidak berketurunan dan 1/6 jika pewaris berketurunan; d. Seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan, maka bagi saudara tersebut masing-masing 1/6 bagian harta jika pewaris mati punah, dan jika saudaranya adalah berbilang beberapa saudara, semuanya saudara laki-laki atau semuanya perempuan atau semuanya campur antara laki-laki dan perempuan, maka harta tersebut bagi semua saudara pelbagai sama atas 1/3 bagian dari harta peninggalan; e. Jika orang mati kalâlah itu mempunyai seorang saja saudara perempuan, maka ia memperoleh 1/2 dari harta peninggalan dan jika orang mati kalâlah/punah mempunyai dua orang saudara perempuan (atau lebih) maka bagiannya 2/3 dari harta peninggalan bersama-sama. Penjelasan mengenai kalâlah ini akan diuraikan dalam bahasan berikutnya; f. Suami mendapat 1/2 jika isteri meninggal tanpa keturunan dan 1/4 fard jika isteri berketurunan; g. Isteri mendapat 1/4 jika suaminya yang meninggal tidak berketurunan dan 1/8 fard suaminya meninggal berketurunan; h. Mawâli dengan bagian masing-masing sebagai pengganti.63 Golongan ahli waris kedua adalah dzawil qarâbah, yaitu ahli waris golongan kedua yang dipahami oleh Hazairin berdasarkan pada sebutan-sebutan ahli waris dalam Alquran. Menurut Hazairin berulang-ulang dalam Alquran disebut hubungan kewarisan dengan penyebutan aqrabûn, seperti dalam surat al-Baqarah (1) ayat 180 dan surat an-Nisâ ayat 7 dan 30, ayat-ayat ini diartikan oleh Hazairin dengan ibu bapak dan keluarga terdekat. Ibu bapak padanannya adalah anak, sedangkan aqrabûn padanannya adalah aqrabûn yang lain (keluarga terdekat satu sama lainnya).64 Lihat Abdul Halim, “Hazairin”, h. 136. A. Sukris Sarmadi, 1997, Hukum Waris, h. 45-46. 64 Abdul Halim, “Hazairin”, h. 136. 62 63
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
38
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
38
Dari aqrabûn tersebut di ataslah diambil kata-kata kerabat zûl qarâbah atau dzawil qarâbah yang berarti mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan, yang mendapat bagian warisan yang tidak tertentu jumlahnya (bagian terbuka atau bagian sisa).65 Hal tersebut apabila dilihat baik dari segi jumlah bagian dalam warisan maupun dari segi hubungan si pewaris, maka dzawil qarâbah adalah orang-orang yang mempunyai hubungan-hubungan kekeluargaan dengan si pewaris dapat melalui garis wanita serentak tidak terpisah. Hubungan garis keturunan yang demikian inilah oleh Hazairin disebut dengan hubungan garis keturunan bilateral. Dzawil qarâbah dikelompokkan Hazairin atas: a. Anak laki-laki dan perempuan yang bersamanya anak laki-laki atau keturunannya. Mereka mengambil bagian menurut ketentuan nilai bagian yang telah ditentukan sebagai dzawil furûdh sekaligus akan mengambil sisa harta jika ada sisa di mana ia sekaligus sebagai dzawil qarâbah; b. Ayah, apabila pewaris mati punah; c. Saudara laki-laki dan saudara perempuan yang bersamanya saudara lakilaki atau keturunannya jika pewaris mati punah (kalâlah); d. Kakek dan nenek.66 Dalam dzawil qarâbah hijab dan mahjub antara para ahli waris akan mempengaruhi sistem ini, di mana apabila bertemu masing-masing orang yang berhak sebagai dzawil qarâbah maka akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, masing-masing dzawil qarâbah akan memperoleh radd secara berimbang menurut bagian masing-masing. Kemungkinan kedua, akan ditentukan bagiannya karena begitu dekatnya derajat salah satu ahli waris. Seperti, apabila berkumpul ayah, ibu dan anak laki-laki, maka anak laki-laki lah sebagai dzawil qarâbah. Hal ini terjadi karena kemampuan anak mampu mempengaruhi perolehan ayah dan ibu sehingga mereka hanya memperoleh apa yang ditentukan saja tidak boleh yang lain. 67 Ahli waris golongan ketiga adalah mawâli, sebagaimana telah diuraikan dalam bahasan sebelumnya bahwa mawâli atau ahli waris pengganti ini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan. Baik berupa hubungan darah ke garis bawah atau ke garis sisi, atau ke garis atas. Sebagai contoh tentang adanya kemungkinan bagi orang tua pihak ayah atau pihak ibu untuk menjadi mawâli bagi ayah atau ibu si-mati, jika ayah dan ibu itu telah mati pula terdahulu dari anaknya yang meniggalkan harta itu. Contoh lain adalah tentang seorang pewaris diwarisi oleh mawâli saudaranya yang mati terlebih dahulu; seorang pewaris diwarisi oleh keturunan mendiang anaknya.68
65
Ibid., h. 136-137. A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris, h. 46. Lihat juga A. Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, Cet. Ke-I, h. 21-22. 67 Ibid., h. 163. 68 Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 36. 66
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
39
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
39
d. Kalâlah Dalam Alquran masalah kalâlah hanya disebut dalam dua ayat yaitu dalam surat an-Nisâ (4) ayat 12 dan ayat 176, demikian juga Rasulullah saw sendiri tidak pernah menjelaskan pengertian kalâlah tersebut, sehingga para Ulama bahkan sahabat pernah berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran surat an-Nisâ (4) ayat 12: }٢١ : ءآسنلا... Artinya:
ج
ّ ُ ُ ُ ُ ُاُةُأرُمُ ُهُلوُ ُأخُوُُأ ُأخُتُ لُفكُلُ اوُح د ُنم هُ امُ لاسُدُس ُإوُنُ اكُنُ رُجُلُرُو ُُيثُ ُةُلُالكُو ُُأ...
“…Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta…” (QS. An-Nisâ (4): 12).69 Dan firman Allah swt ayat 176 surat an-Nisâ (4): }۷۱٦ : ءآسنلا...ُفُ ُلاةُُلُلاكُ ج ُإنُ ااؤُرمُ ُلهُكُ سُيُل ُهُل ُلوُدُ ُهُلوُ ُأخُتُ ُلُف اهُ ُنصُ امُكُر ُُت ج ُ ُف ُُي ُتسُُتفُُُنوُكُل ُُق ُاهلل ُي تف ُُيكُم ُ Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya…(QS. An-Nisâ (4): 12).70 Pembicaraan mengenai istilah kalâlah dan proses pembentukannya telah dikemukakan. Kalâlah berasal dari kata al-iklil yang berarti „mahkota yang membelit kepala semua sisi‟. Oleh karena itu, kebanyakan ulama menafsirkannya dengan „orang yang meninggal tanpa anak dan ayah‟. Adapula Ulama yang mengatakan bahwa kalâlah berarti orang yang tidak memiliki anak. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq Ra bahwa kalâlah ialah seorang yang meninggal dunia tidak ada ayah dan tidak ada anak lagi, sedangkan Umar Ra. berpendapat bahwa kalâlah ialah orang yang tidak mempunyai anak lagi, walaupun pendapat tersebut ditarik kembali karena beliau malu pendapatnya bertentangan dengan pendapat Abu Bakar.71 Berbeda dengan pendapat jumhur, Hazairin berpendapat bahwa kalâlah adalah seorang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (walad), tanpa disyaratkan ayah harus meninggal dahulu (tidak ada ayah). Adapun yang 69
Al-Nisa [4]: 12. Al-Nisâ [4]: 176.
70
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
40
40
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
71
Lihat Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Darul Fikr, 1986, Jilid II, h. 464. Lihat juga R. Lubis Zamakhsari, Tafsir Ayat-ayat Hukum, Bandung: Al Ma‟rif, 1980, Cet. I, Jilid II, h. 86. Bandingkan dengan Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. I, h. 330.
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
41
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
41
dimaksud walad di sini adalah anak secara umum baik laki-laki maupun perempuan. Pengertian anak di sini masih diperluas lagi dengan dengan keturunan, yakni setiap orang digaris bawah baik melalui laki-laki maupun perempuan.72 Dengan demikian menurut Hazairin kalâlah adalah seorang mati punah tidak berketurunan. Perbedaan pengertian tersebut berakibat perbedaan pula dalam mendudukkan kewarisan saudara. Menurut Jumhur ulama saudara dapat mewaris bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki asal tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki atau cucu laki-laki pancar laki-laki walaupun jauh ke bawah dan tidak ada ayah, atau dengan istilah lain dalam ilmu faraidh saudara hanya terhijab oleh anak/cucu pancar laki-laki dan ayah, bahkan cucu-cucu (baik laki-laki atau perempuan) pancar perempuan tidak akan dapat mewaris selama masih ada saudara.73 Sedangkan menurut Hazairin saudara selamanya tidak dapat mewaris bersama-sama dengan anak laki-laki ataupun perempuan atau bersama-sama cucucucu baik laki-laki maupun perempuan pancar laki-laki maupun pancar perempuan walaupun jauh ke bawah, tanpa disyaratkan tidak ada ayah. 74 Dalam menafsirkan lafadz walad pada ayat-ayat mawaris khususnya tentang kalâlah jumhur fuqaha membatasi pada anak laki-laki atau cucu laki-laki pancar laki-laki, di samping itu disyaratkan tidak ada bapak karena dalam sistem ashabah jihat ubuwwah harus didahulukan daripada jihat ukhuwwah. Sedangkan Hazairin mengartikan walad memasukkan anak perempuan di samping anak lakilaki, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas bahwa walad di sini mencakup anak lakilaki dan perempuan.75 Perbedaan lain disebabkan juga terhadap klasifikasi saudara dalam ilmu mawaris. Menurut Jumhur Ulama saudara dibedakan menjadi saudara sekandung, seayah dan seibu.76 Sedangkan menurut Hazairin saudara tidak dibedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu, mereka dapat mewaris selama tidak ada anak (keturunan), dalam hal ada ayah diberikan bagian berdasarkan QS. an-Nisâ (4) ayat 12 dan dalam hal tidak ada ayah dengan dasar QS. an-Nisâ (4) ayat 476 dengan diperluas QS. an-Nisâ (4) ayat 33, cara pembagiannya 1:1 dalam hal ada ayah (sebagai dzawil furûdh) dan 2:1 dalam hal tidak ada ayah (dzawil qarâbah) antara laki-laki dan perempuan tanpa dibedakan sekandung, seayah dan seibu.77 Hal tersebut di atas juga berakibat pada anak-anak mereka yang selalu dapat menggantikan orang tuanya yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Bahkan mereka (mawâlinya) lebih diutamakan daripada kakek/nenek, sehingga kakek/nenek tidak dapat mewaris selama masih ada saudara/ mawâlinya. Juga dalam hal mewaris bersama ayah ada kemungkinan ayah tidak mendapat bagian 72
Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 50. Kasrori, “Kalalah”, h. 41. 74 Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 55. 75 Kasrori, “Kalalah”, h. 44. 76 Dalam sistem ashabah ahli waris yang memiliki dua jalur kekerabatan (jalur ayah dan ibu) lebih didahulukan dari kerabat yang memiliki hanya satu jalur kekerabatan saja. Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur AB dkk., Jakarta: Lentera, 2005, Cet. XIII, h. 554. 77 Damrah Khair, “Hukum Kewarisan”, h. 86. 73
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
42
42
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
harta peninggalan dikarenakan telah habis dibagikan kepada dzawil furûdh sedangkan ayah termasuk dzawil qarâbah.78
e. Pendekatan Pemikiran Kewarisan Hazairin Mahsun Fuad menyatakan, pendekatan yang digunakan Hazairin dalam upaya merumuskan hukum Islam adalah pendekatan sosio-kultural-historis, tentunya dengan tetap mengacu pada dalil-dalil nash.79 Upaya untuk membangun dan merumuskan ijtihad atas berbagai ketetapan hukum Islam selalu berhadapan dengan kondisi dan situasi tertentu sehingga nuansa rekayasa dan sublimasi akan selalu tampak di dalamnya. Secara umum, sebagaimana diungkapkan oleh Joachim Wach yang dikutip Mahsun Fuad, pengalaman dan pemikiran keagamaan yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupinya, yang meliputi: konteks waktu, konteks ruang, konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, konteks psikologi, dan konteks agama.80 Usaha penafsiran yang dilakukan Hazairin terbilang baru untuk konteks zamannya, bahkan hingga sekarang. Sebagai bagian dari usaha merekonstruksi format fiqh yang ada, dia menawarkan upaya penafsiran otentitik atas Alquran, yaitu suatu usaha penafsiran yang akan menghasilkan kebenaran hakiki (suatu kebenaran yang tidak akan diperselisihkan lagi tingkat akurasinya, karena sudah final).81 Karena konsentrasi kajian Hazairin adalah masalah kewarisan, maka operasionalisasi dari pola penafsiran ini bisa dilakukan dengan menghimpun semua ayat dan Hadis yang berhubungan dengan kewarisan, dan lalu menafsirkannya sebagai suatu kesatuan yang saling menerangkan. Untuk membantu menjelaskan pengertian dan konsep-konsep yang ada dalam ayat yang dimaksud, Hazairin menyarankan perlunya pemakaian kerangka acu (frame of reference) ilmu antropologi. Dengan memanfaatkan hasil-hasil keilmuan kontemporer (dalam hal ini ilmu antropologi), sebagai pertimbangan utama dalam memahami nash, bisa dikatakan bahwa Hazairin telah memperkenalkan pola penafsiran baru atas Alquran. Dalam pandangannya, kelahiran dan perkembangan ilmu antropologi telah membuka peluang untuk melihat ayat-ayat kewarisan dalam kerangka lebih luas, yaitu sistem kekeluargaan dalam pelbagai masyarakat dunia. Oleh karena itu, ayat-ayat Alquran haruslah dipahami secara kontekstual. Alquran tidak boleh dipahami hanya dalam konteks adat dan budaya Timur Tengah saja, karena hal itu akan membawa implikasi pada terjadinya benturan dan perasaan asing bagi sebagian masyarakat muslim yang mempunyai adat dan budaya yang berbeda.82 Metode Hazairin dalam penafsirannya, ialah membandingkan secara langsung segala ayat yang ada sangkut pautnya dengan pokok persoalan, Kasrori, “Kalalah”, h. 43. Mahsun Fuad, Hukum Islam, h. 83. 80 Ibid., h. 15-16. 81 Eddi Rudiana dkk., (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991, h. 29. 82 Mahsun Fuad, Hukum Islam, h. 222. 78 79
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
43
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
43
meskipun persangkutannya itu dalam jarak yang jauh. Ayat-ayat yang ada persinggungannya dengan sesuatu hal dihimpunkan menjadi kebulatan sebagai keseluruhan yang menentukan arti bagi setiap bagian dari keseluruhan itu, dengan demikian menurut sistem tafsir ini tidak diperbolehkan mengartikan suatu ayat terlepas dari makna dan maksud keseluruhannya.83 Dengan demikian tidak ada kemungkinan lagi pengertian tentang sesuatu ayat yang menasakhkan ayat yang lain. Semua ayat Alquran berlaku sepenuhnya, masing-masing dengan pengertiannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari satu totalitas yang penuh. f. Analisis Kewarisan Hazairin Sistem bilateral yang ditawarkan Hazairin dalam konsep kewarisannya telah memberikan warna baru dalam sistem penafsiran yang telah ada. Dapat dikatakan bahwa sistem pemikiran baru (nizham al-ma‟rifi) yang dilakukan Hazairin adalah sebagai rekonstruksi penafsiran. Selain itu mengutip pendapat Mahsun Fuad, bahwa hasil ijtihad Hazairin cenderung menampakkan kesejajarannya dengan modernisasi-pembangunan, terutama ketika teori ini diambil menjadi pola kebijakan dan pembangunan resmi negara.84 Hal tersebut di atas menurut penulis terlihat yaitu dimasukkannya beberapa konsep Hazairin mengenai kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam. Di antaranya ahli waris pengganti, kalâlah dan konsep radd, sekalipun ada sisisisi yang berbeda. Sehingga sangatlah relevan asas bilateral dalam kewarisan diterapkan saat ini, karena asas bilateral ini lebih mencerminkan aspek keadilan. Karena tidak hanya berpihak pada satu garis keturunan, tetapi kepada dua garis keturunan (ayah dan ibu). Konsep bilateral menurut Hazairin di atas sudah diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu Pasal 174 ayat (1). Di mana dalam pasal tersebut kedudukan ahli waris laki-laki sejajar dengan ahli waris perempuan, yang membedakan hanyalah hubungan darah dan perkawinan. Pasal 174: (1) Kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah: - golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek; - golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda. Salah satu pemikiran Hazairin yang banyak mendapat tantangan dari para pakar hukum Islam di jamannya, adalah mengenai ahli waris pengganti. Mahmud Yunus dan Thaha Umar Yahya adalah beberapa fuqaha yang menentang keras konsep Hazairin tersebut. Dasar penolakan tersebut adalah karena mereka menganut sistem ashabah dalam kewarisan sebagaimana kewarisan Sunni pada 83
Hazairin, Hukum Kewarisan, h. 3. Mahsun Fuad, Hukum Islam, h. 247.
84
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
44
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
44
umumnya. Sementara Hazairin tidak mengenal sistem ashabah dalam konsep kewarisannya. Berdasarkan penafsiran Hazairin atas kata mawali yang berarti ahli waris pengganti, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, dan menurutnya ia juga termasuk dalam pengertian aqrabûn. Oleh karena itu pengganti oleh waris yang sebenarnya harus mempunyai penghubung dengan orang yang digantikan itu, di mana ia adalah seorang yang seharusnya menerima warisan ketika ia masih hidup, tetapi dalam kasus yang bersangkutan telah meninggal lebih dahulu dari si pewaris. Hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan mawâli berupa hubungan darah ke garis bawah atau ke garis sisi, atau ke garis atas. Dalam hal mengenai ahli waris pengganti, pendapat Hazairin dirasa relevan namun dalam konteks kasus cucu menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal terlebih dahulu. Hal ini didasarkan atas rasa keadilan dan kemanusiaan, karena tidak layak dan tidak adil serta tidak manusiawi menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya hanya karena faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dulu dari kakeknya. Hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek meninggal anakanaknya semua sudah kaya dan mapan. Sebaliknya si cucu karena ditinggal yatim, melarat dan miskin. Hal ini selaras dengan kaidah ushul: ُُ ُكُمُ ُيدُرُوُ مُعُة ُل عُلا وُجُ ادُوُ وُعُدُ ام ُلحُا
“Hukum itu mengikuti (berkisar) pada ada dan tiadanya illat” Lebih dari itu pendapat Hazairin mengenai ahli waris pengganti, melalui hubungan darah ke garis bawah atau ke garis sisi, atau ke garis atas tidak terbatas penulis tidak sepakat. Penulis hanya sependapat bahwa ahli waris pengganti hanya sebatas anak menggantikan kedudukan orang tuanya. Menurut Penulis hal ini dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kerancuan dalam penetapan hukum serta tidak akan memberikan keadilan. Mengenai siapa yang dimaksud dengan ahli waris pengganti, apakah hanya sebatas anak laki-laki saja atau juga anak perempuan. Bahwa yang dimaksud adalah anak laki-laki dan perempuan. Merujuk kepada pengertian dalam bahasa Indonesia mengenai pengertian anak, bahwa anak diartikan sebagai keturunan yang kedua.85 Juga kata anak merupakan padanan kata walad yang dalam bahasa Arab artinya mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.86 Adapun pendapat penulis mengenai banyaknya bagian yang digantikan oleh ahli waris pengganti, adalah tidak melebihi banyaknya bagian waris yang satu derajat dengan yang digantikan. Dengan konsekuensi ketika ahli waris pengganti bersama dengan ahli waris yang sederajat, maka harta sisa harus diraddkan kepada semua ahli waris. 85
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
45
45
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
Bahasa Indonesia, artikel “anak”, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, h. 30. 86 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-„Ashri, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996, h. 2039.
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
46
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
46
Secara umum pendapat Hazairin mengenai ahli waris pengganti bersesuaian pula dengan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, yaitu: (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Berikutnya, dalam hal Dzawil Furûdh, Dzawil Qarâbah dan Mawâli. Hazairin menyatakan bahwa golongan orang-orang yang menerima warisan ada tiga, yaitu: dzawil furûdh, dzawil qarâbah dan mawâli. Selain itu juga ia tidak sepakat dengan konsep ashabah sebagaimana yang terdapat pada masyarakat unilateral (patrilineal atau matrilineal). Konsep dzawil furûdh yang dikemukakan Hazairin hampir sama dengan konsep Sunni pada umumnya, perbedaan hanya terletak ketika ia memasukkan mawâli sebagai dzawil furûdh, karena mawâli tersebut menggantikan kedudukan dzawil furûdh. adapun konsep dzawil qarâbah Hazairin berbeda dengan konsep ashabah pada Sunni, yaitu terletak pada klasifikasi ahli warisnya. Hazairin menetapkan ada 4 (empat) ahli waris yang termasuk dzawil qarâbah. Sementara dalam konsep ashabah Sunni ada 3 (tiga) golongan yang termasuk ke dalamnya, yaitu ashabah bi nafsih, ashabah bi al-ghair dan ashabah ma‟a al-ghair. Satu hal yang sejalan, bahwa konsep dzawil qarâbah dan ashobah memiliki kesamaan dalam hal konsep, yaitu orang-orang yang menerima sisa harta dalam situasi tertentu, namun berbeda dalam penggolongannya. Selanjutnya, mengenai konsep mawâli, sebagaimana analisis sebelumnya bahwa hal dimaksudkan untuk dapat memberikan aspek keadilan kepada semua pihak dan menghindarkan adanya mudharat. Misalnya, ketika cucu yang terhalang mendapatkan harta warisan dari kakeknya, padahal kondisi ekonomi si cucu yang yatim itu sendiri lemah (miskin), maka dikhawatirkan akan berpengaruh atas kehidupan si cucu, baik dalam hal pendidikan atau pemenuhan kebutuhan sehariharinya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan:
ً ً ًً ًيدًرًوًمًعً ًلاة ًعل وًجً اد ًًوً وًعًدً ام ًًلحًاكًم “Hukum itu mengikuti (berkisar) pada ada dan tiadanya illat” Dalam hal Kalâlah, jumhur berpendapat bahwa kalâlah orang yang meninggal tanpa anak dan ayah, sementara Hazairin menyatakan bahwa kalâlah adalah seorang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (walad), tanpa disyaratkan ayah harus meninggal dahulu (tidak ada ayah). Pangkal perbedaan antara jumhur ulama (Sunni) tersebut dengan pemikiran Hazairin tentang kalâlah terletak kepada dua aspek, yaitu penafsiran lafadz walad dalam surat an-Nisâ (4) 176 dan adanya klasifikasi atas saudara.
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
47
47
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
Pendapat Hazairin yang mengartikan walad sebagai keturunan, yaitu anak laki-laki dan perempuan, menurut penulis adalah tepat. Sebab dikaitkan dengan
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
48
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
48
pendapat Ibnu Abbas bahwa walad di sini mencakup laki-laki dan perempuan, dan ini berarti memberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz tersebut, hal ini adalah sejalan dengan pendapat sekelompok ahli ushul termasuk juga Ulama Hanafiyah yang menyebutkan bahw al-„am yang tidak ditakshish itu pasti dalam keumumannya, jadi bersifat pasti dalalahnya atau semua satuan-satuannya. Sebagaimana kaidah ushul yang berbunyi:
ًع م م و مًن او رًضً ًلاًا اف ًًلظ ً ً ً ًً ً ًًلًا ع
“Keumuman itu yang dimaksud dari sudut lafadznya” Keumuman lafadz walad juga dikuatkan dengan ayat 233 surat alBaqarah (1), ayat 77 surat Maryam (19), ayat 33 surat Lûqman (31) dan ayat 21 surat Nûh (71) yang menghendaki arti walad mencakup anak laki-laki dan perempuan.87 Pendapat Hazairin berikutnya, bahwa ia tidak membedabedakan saudara kandung, seayah atau seibu, penulis sepakat akan hal tersebut. Dasar penulis adalah apabila ada klasifikasi atas saudara (saudara kandung, seayah atau seibu), maka dikhawatirkan akan timbul diskriminasi yang akan merugikan atau bahkan merusak hubungan persaudaraan tersebut. Sehingga dalam hal ini haruslah melihat aspek mana yang lebih mengandung maslahat, sebagaimana kaidah berikut:
ً ًحلًكًمً ًبًتًيعً ًلامً ًل ًصً ًةحً ارً ً لاج ًةح ًا
“Hukum itu mengikuti maslahat yang lebih kuat/banyak”
Konsekuensi pendapat Hazairin mengenai mawâli dalam hal kalâlah adalah terhijabnya/terhalangnya saudara menerima warisan dikarenakan ada anak laki-laki atau perempuan atau bersama-sama cucu-cucu baik laki-laki atau perempuan, tanpa disyaratkan adanya ayah. Dalam hal ini penulis sepakat dengan pendapat Hazairin, yang menyatakan bahwa saudara baru dapat mewaris kalau tidak ada anak dalam arti keturunan, baik laki-laki maupun perempuan ataupun cucu (laki-laki/perempuan) tanpa syarat tidak ada ayah. Pendapat di atas, didasarkan penulis karena kedudukan anak baik laki-laki atau perempuan lebih dekat dari saudara. Adapun mengenai pernyataan “tanpa syarat tidak ada ayah”, karena tidak ada nash yang menyebutkan terhijabnya saudara oleh ayah, sekalipun didapatkan bahwa ayah sejajar dengan anak akan tetapi kesejajaran ayah dengan anak ini bukanlah sepenuhnya. Hal ini terbukti dalam hal ada anak dan ayah, bagian ayah hanya seperenam sedang anak mendapat seluruh sisa.
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
49
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
49
Sebagaimana kaidah ushul fiqh, yang menyatakan: 87
Ibid., h. 2039.
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
50
50
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
ًًقًلأًار ب ىًلع بًلأًاع د ًً ً ً ً ًًًيقًًمد
“Keluarga yang lebih dekat harus didahulukan, daripada keluarga yang lebih jauh” Maksud dari kaidah di atas, adalah apabila anak laki-laki atau perempuan mewarisi bersama-sama dengan saudara maka mereka menjadi terhijab. Sebab dilihat dari hubungan dengan pewaris, jelas bahwa anak laki-laki maupun perempuan hubungannya lebih dekat dibanding dengan saudara baik dari segi jihat, kerabat atau kekuatan. Dari analisis di atas beberapa hal, menurut penulis terdapat kelemahan atas pendapat jumhur, yaitu: a. Kebolehan saudara mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki betapapun jauh ke bawah; b. Ketidakbolehan cucu pancar perempuan mewaris selama masih ada saudara atau anak laki-laki saudara betapapun jauh; c. Ketidakbolehan saudara mewaris bersama ayah. Bahwa Konsep kalâlah diartikan sebagai orang yang tidak berketurunan tanpa syarat tidak ada ayah, mempunyai implikasi mengakibatkan terhijabnya saudara jika bersama anak (laki-laki/perempuan) atau anak dari anak laki-laki/perempuan, sekalipun ada ayah. Hal ini dirasa lebih mengandung aspek keadilan, karena kedudukan anak lebih dekat daripada saudara. E. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya tentang perspektif Hazairin mengenai kewarisan Islam maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tentang konsep utama Hazairin, bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia memiliki produk hukum (fiqh) yang berkepribadian Indonesia. Hal tersebut diyakini akan dapat mencapai kebahagiaan, adil dan makmur bagi masyarakat Indonesia yang menjalaninya. 2. Perspektif Hazairin tentang kewarisan: (a) menurut Hazairin bahwa sistem kemasyarakatan yang terkandung dalam Alquran adalah sistem kemasyarakatan bilateral, dan karenanya sistem kewarisannya pun bercorak bilateral juga; (b) dalam hal ayah meninggal terlebih dahulu daripada kakek, maka cucu (laki-laki atau perempuan) dapat menggantikan kedudukan ayah sebagai ahli waris, yang dalam istilahnya disebut ahli waris pengganti; (c) Hazairin mengklasifikasikan golongan ahli waris kepada 3 (tiga) kelompok, yaitu: dzawil furûdh, dzawil qarâbah dan mawâli; (d) dalam hal kalâlah, Hazairin menyatakan bahwa kalâlah ialah orang yang tidak berketurunan tanpa syarat tidak ada ayah. 3. Relevansi pemikiran Hazairin tentang kewarisan Islam: (a) konsep kewarisan bilateral yang dikemukakan Hazairin sangatlah relevan diterapkan pada masyarakat Indonesia, karena asas bilateral ini lebih mencerminkan aspek keadilan dan juga asas ini tidak hanya berpihak pada satu garis keturunan,
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
51
51
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
tetapi kepada dua garis keturunan (ayah dan ibu). (b) bahwa penerapan ahli waris pengganti di Indonesia adalah relevan; tetapi dengan batasan, hanya
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
52
52
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
sebatas pada cucu (laki-laki/perempuan) yang menggantikan kedudukan ayahnya serta bagiannya dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat. Hal ini didasarkan atas rasa keadilan dan kemanusiaan, karena tidak layak dan tidak adil serta tidak manusiawi menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya hanya karena faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dulu dari kakeknya; (c) adapun konsep Hazairin mengenai golongan ahli waris, yaitu: dzawil furûdh, dzawil qarâbah dan mawâli mengandung relevansi terutama dalam masyarakat Indonesia yang demokratis saat ini; (d) dalam hal kalâlah yang diartikan sebagai orang yang tidak berketurunan tanpa syarat tidak ada ayah, adalah relevan juga bila diterapkan di Indonesia. Karena dengan terhijabnya saudara jika bersama anak (laki-laki/perempuan) atau anak dari anak lakilaki/perempuan, sekalipun ada ayah, hal ini dirasa lebih mengandung aspek keadilan, karena kedudukan anak lebih dekat daripada saudara. 4. Pendekatan yang digunakan Hazairin dalam upaya merumuskan hukum Islam adalah pendekatan sosio-kultural-historis, yang tentunya dengan tetap mengacu pada dalil-dalil nash. Hal tersebut didasari bahwa hukum Islam/fiqh bisa berubah menurut situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
53
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
53
DAFTAR PUSTAKA Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-„Ashri, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996. Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Budiono, A. Rahmad, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. Ke-I, 1996. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Qahirah: Dar as-Sya‟bi, Juz VI, t.th. Depag. RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Surabaya: Jaya Sakti, 1990. ----------, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001. Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, Cet. I, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. VII, 2003. Halim, Abdul, “Hazairin dan Pemikirannya tentang Pembaharuan Hukum Kekeluargaan dalam Islam”, dalam Penelitian Jurnal Agama, No. 18 Th. VII, 1998. Harahap, Syahrin, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Cet. I, Jakarta: Istiqamah Mulya Press, 2006. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‟an dan Hadith, Jakarta: Tintamas, Cet. VI, 1982. Hefni, Moh, “Menggagas Fiqh Indonesia (meretas Pemikiran Muhammad asbi Ash Shiddiqi)”, dalam Jurnal Studi Keislaman, STAIN Pamekasan. IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002. Katsir, Ismail Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Darul Fikr, Jilid II, 1986. Khair, Damrah, “Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap: Pembela Hukum Islam Yang Gigih”, dalam Mimbar Hukum, Vol. 2, No. 1, Juli 1999. Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002. Masykur, dkk., Terjemah Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. XIII, 2005. Qal‟ahji, Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqh Umar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1999. Ramulya, M. Idris, Hukum Waris Islam, Jakarta: Ind. Hill, 1987. ----------, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III, 2004. ----------, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Ritonga, Iskandar, “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Suatu Kajian Pemikiran Hazairin”, dalam Analisis, No. 44 Th. X, 2002. Rofiah, Kusniati, “Pembaharuan Hukum Waris di Indonesia”, dalam Jurnal Dialogia, Vol. 3 No. I, Januari-Juni 2005. Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007
54
54
ISSN : 1829-8257 STAIN Palangka Raya
Rudiana, Eddi dkk, (ed)., Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991. Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997. Siddiq, Abdullah, Hukum Waris Islam, Jakarta: Widjaya, 1984. Soekanto Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: CV. Rajawali,1990. Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. II, 1991. Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, Malang: Bayumedia, Cet. I, 2005. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. TIM, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Delta pamungkas, 1997. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Zamakhsari, R. Lubis, Tafsir Ayat-ayat Hukum, Bandung: Al Ma‟rif, Cet. I, Jilid II, 1980.
Jurnal Jurnal Studi Agama Studi Agama dan Masyarakat dan Masyarakat
Volume Volume 1, Nomor 1, Nomor 1, Juni1,2007 Juni 2007