QIRA’AT DALAM AL-QUR’AN Oleh : A. Murad A. Rauf
ABSTRAK
Qira’ah adalah salah satu disiplin ilmu abad ke II Hijriyah tentang metode pelafalan bacaan al-Qur’an yang dinisbahkan kepada imam qira’at. Munculnya berbagai cara melafalkan ayat al-Qur’an ini disebabkan oleh lahjah (dialek) yang merupakan bagian dari interpretasi al-Qur’an. Bahkan hadis Nabi sendiri menjelaskan betapa pentingnya pengaruh lahjah tersebut. Ilmu ini melahirkan tipe-tipe qira’ah yang terkenal seperti qira’ah tujuh, qira’ah sepuluh dan qira’ah empat belas. Akibat dari adanya perbedaan qira’ah membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dalam merespon persoalan-persoalan umat yang muncul saat ini. Qira'ah is one of the disciplines of the second century Hijriyah on the method of chanting the Quran attributed to the priest qira'at. The variety of ways reciting verses of the Qur’an caused by dialect, which is part of the interpretation of the Qur'an. Even the traditions of the Prophet explained how important the influence dialect. This gave rise to the science of the types known as qira'ah seven, qira'ah qira'ah ten and fourteen. As a result of the difference qira'ah affected the interpretation of the verses of the Qur’an in response to the problems of the people who appeared at this time. Kata Kunci: Qira’ah, al-Qur’an.
A. Pendahuluan Al-Qur’an sebagai mu’jizat abadi yang diturunkan kepada Muhammad Saw melalui malaikat Jibril akan senantiasa memberikan petunjuk dan penjelasan bagi manusia serta pembela antara yang haqq dan yang bāţil. Al-Qur’an diturunkan Allah Swt dalam bahasa Arab yang memiliki susunan bahasa yang sangat tinggi1 dan beragam lahjah (dialek) antara satu qabilah dengan qabilah lainnya, baik dari segi intonasi bunyi maupun hurufnya.2 1
Lihat surat Yusuf ayat 2 dan surat Fushilat ayat 44.
2
Lahjah adalah bentuk pelafalan yang dipakai suku-suku bangsa Arab, seperti Quraisy, Huzail, Saqifr, Hawazin, Kinanah, Tamin dan Yaman.
Bangsa Arab adalah bangsa yang kaya dengan susunan bahasa dan beragam lahjah, ia memiliki kelebihan dan keistimewaan tersendiri dari bahasa dan dialek bahasa lain. Karena itu pulalah al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy kepada orang Quraiys. Dengan tujuan untuk dapat menjinakkan dan mempersatukan orang Arab sekaligus mewujudkan kemukjizatan al-Qur’an sebagai antisipasi bagi mereka yang ingin mencoba menandingi ayat al-Qur’an.3 Sebagai konsekuensi dari beragam lahjah yang ada, menyebabkan timbulnya pelafalan yang berbeda dalam membaca al-Qur’an -yang pada akhirnya- menimbulkan model atau cara bacaan al-Qur’an, yang dalam disiplin ‘ulūm al-Qur’ān dikenal dengan istilah qirā’ah. Terkait dengan persoalan qirā’ah, di kalangan tokoh qirā’ah berbeda dalam menafsirkan konteks ayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an terdiri dari tujuh huruf. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan konteks ayat dan ĥadīth disebabkan pengertian dari sab‘ah dan aĥruf yang memiliki banyak arti, sehingga dapat menimbulkan penafsiran berbeda dan sulit untuk dikombinasikan. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas beberapa qira’at al-Qur’an yang pernah ada dalam lintasan sejarah al-Qur’an. Untuk memperoleh hasil maksimal terkait dengan penulisan ini, pembahasan akan difokuskan pada konsep dan tipologi qirā’ah, sejarah munculnya, bentuk-bentuk qirā’ah dan penafsiran alQur’an yang terdiri dari tujuh huruf serta pengaruhnya terhadap penafsiran ayatayat yang terdapat dalam al-Qur’an. B. Konsep dan Tipologi Qirā’ah Secara etimologi kata qirā’āt ( ) ﻗﺮآءاتmerupakan bentuk jamak dari kata qirā’ah ( ) ﻗﺮاءةyang berarti metode membaca.4 Berdasarkan kaedah bahasa Arab, bentuk kata seperti ini dinamakan dengan maşdar al-simā‘ī yang berasal dari akar kata qara’a( ) ﻗﺮءartinya bacaan.5 3
Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥith fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Saudi Arabia: Mansyūrāt al-‘Aşr alĤadīth, 1973), hal. 156. 4
Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥ ith fī ‘Ulūm,..., hal.
5
Muĥammad ‘Abd al-‘Azīz al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), hal. 410.
Sedangkan secara terminologis, dikalangan ulama ‘ūlūm al-Qur’ān dalam memberikan pengertian terhadap qirā’ah terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan, antara lain: 1. Muĥammad ‘Abd al-‘Azīz al-Zarqānī6 واﻟﻄﺮﯾﻖ ﻋﻨﮫ ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ ھﺬه اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺔ ﻓﻰ ﻧﻄﻖ اﻟﺤﺮوف ام ﻓﻰ ﻧﻄﻖ ھﯿﺌﺎﺗﮭﺎ Artinya: Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qirā’ah yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan
ini
dalam
pengucapan
huruf-huruf
maupun
pengucapan kaedah-kaedahnya. 2. Şubĥī al-Şāliĥ7 اﻟﻘﺮاءات ھﻰ اﺧﺘﻼ ف اﻻ ﻟﻔﺎظ اﻟﻮﺣﻰ اﻟﻤﺬ ﻛﻮر ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﺔ اﻟﺤﺮوف او ﻛﯿﻔﯿﺘﮭﺎ ﻣﻦ ﺗﺨﻔﯿﻒ او ﺗﺜﻘﯿﻞ او ﻏﯿﺮھﺎ Artinya: Qirā’ah adalah perbedaan lafadz-lafadz al-Qur’an yang terdapat dalam al-Qur’an (kitab) baik menyengkut hurufhurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfīf, tathqīl dan lain-lain. 3. Mannā‘ al-Qaţţān8
Artinya: Qirā’ah ialah salah satu mazhab (aliran) pengucapan al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurrā’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
6
Ibid.
7
Şubĥī al-Şāliĥ Mabāĥith fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1988),
hal. 108. 8
Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥ ith fī ‘Ulūm..., hal. 170.
4. Muĥammad Salīm Muhaysīn9 ﻋﻠﻢ ﯾﻌﺮف ﺑﮫ ﻛﯿﻔﯿﺔ اﻟﻨﻄﻖ ﺑﺎﻟﻜﻠﻤﺎت اﻟﻘﺮاﺋﯿﺔ وطﺮﯾﻖ اداﺋﮭﺎ اﺗﻔﺎﻗﺎ واﺧﺘﻼ ﻓﺎ ﻣﻊ ﻋﺰر ﻛﻞ وﺟﮫ اﻟﻨﺎ ﻗﻠﺔ Artinya: Qirā’ah ialah ilmu yang mempelajari tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-qur’an dengan kata-kata yang harus diucapkan (qirā’ah), metode penyampaiannya, baik yang disepakati maupun yang diikhtilafkan oleh para ahli qirā’ah serta disandarkan
kepada
cara
yang
diperoleh
melalui
periwayatannya. 5. Ensiklopedi Islam10 Qirā’ah adalah cara yang digunakan oleh seorang imam qirā’ah yang berbeda dengan imam-imam lainnya dalam membaca al-Qur’an yang dinisbahkan kepada salah satu imam Qirā’ah yang dipandang baik sanadnya sampai kepada Rasulullah. Dari konsep yang dikemukakan mengenai qirā’ah dapat dipahami bahwa konsep qirā’ah yang dikemukakan al-Zarqānī terlihat lebih luas, yang mencakup tiga elemen pokok. Pertama, qirā’ah yang dimaksudkan hanya berkenaan dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian metode yang digunakan oleh imam qirā’ah dalam membaca al-Qur’an adalah beragam. Kedua, metode dalam membaca alQur’an yang dianut oleh suatu mazhab qirā’ah berlandaskan kepada suatu riwayat, baik mutawatir, ahad dan bukan didasari atas qiyas dan ijtihad. Ketiga, perbedaan-perbedaan qirā’ah yang muncul hanya dapat terjadi pada pengucapan huruf-huruf dalam berbagai keadaan.11 Sedangkan konsep yang dikemukakan oleh imam qirā’ah lain, secara umum hanya terfokus pada pelafalan ataupun periwayatan al-Qur’an. Dengan demikian secara esensial dapat dipahami bahwa qirā’ah adalah salah satu ilmu 9
Muĥammad Salīm Muhaysīn, al-Irsyādāt al-Jaliyyah fi al-Qirā’ah al-Sab‘ min Ţāriq al-Syāţībiyyah, (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhār, tt.), hal. 5. 10
Ensiklopedi Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1994), hal. 966.
11
Muĥammad ‘Abd al-‘Azīz al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī..., hal. 115-116.
yang merupakan cabang ilmu dari al-Qur’an yang objek kajiannya menekankan pada bagaimana metode pelafalan dalam membaca al-Qur’an. Dalam melafalkan metode tersebut terjadi perbedaan “cara baca” sehingga melahirkan tipe-tipe qirā’ah yang digunakan imam qirā’ah. C. Sejarah Munculnya Qirā’ah Pada mulanya qirā’ah telah ada pada masa Rasulullah Saw. Beliau mengajarkannya kepada para sahabat sebagaimana bacaan yang diterima dari malaikat Jibril. Selanjutnya di kalangan sahabat muncul beberapa ahli bacaan alQur’an yang menjadi panutan dalam masyarakat. Mereka yang termasyhur antara lain; Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari serta imam-imam lainnya.12 Mereka menjadi sumber bacaan qirā’ah yang diambil para sahabat dan tabi’in berikutnya setelah Rasulullah wafat. Munculnya qirā’ah yang beragam tersebut sebagaimana yang telah disinyalir oleh Rasulullah dalam ĥadīthnya yang diriwayatkan oleh imam Bukhārī, Muslim, Abū
Dāwud, Nasā’ī, Tirmižī, Aĥmad dan Ibnu Jarīr.13 Riwayat
mengungkapkan bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qirā’ah alQur’an ada tujuh orang yaitu; Usman, Ali, Ubay, Zaid bin Thabit, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari. Sebagian besar sahabat mempelajari qirā’ah dari Ubay, diantaranya Abu Hurairah, Ibnu Abbas serta Abdullah bin Sa’ib, kemudian Ibnu Abbas belajar kepada Zaid bin Thabit.14 Para sahabat ini menjadi tempat sebahagian besar tabi’in dari berbagai negeri mempelajari qirā’ah. Di antara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah, seperti Ibnu Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, ‘Atha’ dan Sulaiman, Mu‘adh bin Harith, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam. Sedangkan yang tinggal di Makkah ‘Unad bin Umar, ‘Atha’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan 12
Muĥammad Ali al-Şābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: ‘Alām al-Kutub, 1985), hal. 230. 13
Hadith ini berasal dari Umar bin Khatab ketika mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan di masa Rasul yang berbeda dengan apa yang pernah didengar. Kemudian diajukan masalah tersebut kepada Rasul dan Rasul mengakuinya. 14
Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥith fī ‘Ulūm..., hal. 171.
Ibnu Malikah. Di Kufah ‘Alqamah, al-Aswad, Masruq, ‘Ubaidah. ‘Amr bin Syurahbil al-Harith bin Qais, ‘Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman bin alSulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya’bi. Sementara yang tinggal di Basrah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mart, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Qatadah. Dan yang tinggal di Syam al-Mughirah bin Abu Syihab al-Makhzumi, dan Khalifah bin Sa’ad (sahabat Abu Darda’).15Pada saat ini qirā’ah muncul sebagai ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana ilmu syari’at lainnya. Mereka menjadi imam dan ahli qirā’ah yang diikuti dan dipercaya. Sebagai konsekuensi meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan al-Qur’an di berbagai kota, muncullah berbagai
macam
qirā’ah.
Sebagian
riwayatnya
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan lagi. Semakin hari banyak muncul para qurra’ yang semuanya mengaku bersumber dari Rasulullah Saw. Hal ini terjadi pada masa Usman ketika Ibnu al-Yaman datang kepada Usman setelah memerangi penduduk Syam dalam peperangan mengalahkan Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak. Huzaifah melihat pertentangan yang terjadi mengenai qira’at. Ia meminta Usman mengatasi masalah tersebut agar jangan sampai terjadi perselisihan di kalangan umat Islam mengenai Kitab sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani. Maka Usman meminta Hafsah agar memberikan suhuf-suhuf yang ada padanya untuk disalin ke beberapa mushaf yang dipelopori oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibnu Zubair, Zaid bin Ash, Abdurrahman Ibnu Haris Ibn Hisyam untuk dikirim ke kota besar serta memerintahkan agar membakar mushaf-mushaf selain yang ditulis oleh tim yang ditunjuk Usman.16 Sebagai upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an karena banyaknya bacaan yang sanad dan silsilahnya tidak sampai kepada Rasulullah, pada akhir abad ke-2 Hijriyah, para ahli al-Qur’an mulai meneliti, menyeleksi dan menguji
15
Ibid. Lihat juga Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur’an, cet. III. terj. Sa’ad Abdul Wahid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 107. 16
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar al-Qur’an da Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 88.
kebenaran qira’at sebagai bacaan dari al-Qur’an. Penelitian tersebut dengan memakai kaedah dan kriteria yang disepakati oleh ahli qira’at. Suatu qira’at kaedahnya baru dianggap sahih apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu: 1. Kaedah qira’at sesuai dengan kaedah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih sebab merupakan sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan isnad bukan ra’y (penalaran). 2. Sesuai dengan rasm Usmani. Ini dikarenakan para sahabat dalam penulisan mushaf tersebut sesuai dengan berbagai lahjah yang mereka ketahui. Misalnya, penulisan ( )اﻟﺼﺮاطdalam ayat ( )اھﺪﻧﺎاﻟﺼﺮاط اﻟﻤﺴﺘﻘﯿﻢdengan şad sebagai ganti dari sin, sehingga bacaannya yaitu ()اﻟﺴﺮاط, atau sesuai dengan rasm Usmani walaupun sekedarnya saja (muwafaqah ihtimaliyah), misalnya ()ﻣﺎﻟﻚ ﯾﻮم اﻟﺪﯾﻦ. Lafadz ()ﻣﺎﻟﻚ
ditulis dengan membuang alif,
sehingga dibaca ( )ﻣﻠﻚsesuai dengan rasm ihtimal/kemungkinan. 3. Mempunyai sanad yang mutawatir, yaitu bacaan tersebut diteirma dari guru-guru yang dipercaya, tidak ada cacat dan bersambung sampai kepada Rasulullah Saw.17 Apabila telah terpenuhi keseluruhan syarat-syarat di atas, maka qira’at tersebut mempunyai tingkatan yang sahih. Sedangkan salah satu dari persyaratan atau lebih tidak terpenuhi, maka digolongkan kepada qira’at lemah, syaz atau batil tingkatannya. D. Macam-macam Qira’at Bertitik tolak dari penelitian dan pengujian yang dilakukan oleh pakar qirā’ah dengan menggunakan kaedah dan kriteria tersebut, dapat dikemukakan bahwa qirā’ah bila ditinjau dari nilai sanadnya terbagi ke dalam enam tingkatan, yaitu: 1. Mutawatir, qirā’ah yang diriwayatkan oleh periwayat yang jumlah perawinya banyak sehingga mereka tidak mungkin sepakat berbuat dusta.
17
Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥith fī ‘Ulūm..., hal. 176.
Menurut Jumhur Ulama, qirā’ah tujuh adalah tergolong mutawatir. Para ulama sepakat bahwa qirā’ah mutawatir dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum serta sah dibaca di dalam dan di luar shalat.18 2. Masyhur, qirā’ah yang sanadnya sahih tetapi jumlah periwayatannya tidak mencapai tingkatan mutawatir, sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan tulisan yang tercantum dalam mushaf Usmani. Ulama memasukkan qirā’ah sepuluh dan empat belas ke dalam kelompok masyhur.19 Qirā’ah ini juga populer dikalangan ahli qirā’ah dan tidak dianggap aneh atau salah. Seperti yang jalur periwayatannya berbeda dengan qirā’ah tujuh. Menurut al-Zarqani dan Subhi Salih, qirā’ah tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan diwajibkan meyakininya serta tidak dibenarkan sedikitpun untuk mengingkarinya.20 3. Ahad, qirā’ah yang sanadnya sahih tetapi tulisannya menyalahi menyalahai mushaf Usmani dan kaedah bahasa Arab atau tidak dikenal sebagaimana qirā’ah mutawatir dan masyhur. Qirā’ah ini tidal sah sebagai al-Qur’an, dan tidak wajib meyakininya. Seperti diriwatakan oleh alHakim dari Ashim al-Jahdari dari Abi Bakrah, bahwa Nabi Saw membaca ()ﻣﺘﻜﺌﯿﻦ ﻋﻠﻰ رﻓﺎرف ﺧﻀﺮ وﻋﺒﺎﻗﺮي ﺣﺴﺎن. Dan qirā’ah )ﻣﺘﻜﺌﯿﻦ ﻋﻠﻰ رﻓﺮف )ﺧﻀﺮ وﻋﺒﻘﺮي ﺣﺴﺎنdengan fatah fā’ menurut qirā’ah Hafsah )ﻟﻘﺪ ﺟﺎءﻛﻢ رﺳﻮل )ﻣﻦ اﻧﻔﺴﻜﻢdan ()ﻣﻦ اﻧﻔﺴَﻜﻢ.21 4. Syādh, qirā’ah yang tidak sahih sanadnya, seperti qirā’ah ()ﻓﺎﻟﯿﻢ ﻧﻨﺤﯿﻚ ﺑﺒﺪﻧﻚ dengan ĥā bukan jīm, qirā’ah ( )ﻣﺎﻟﻚ ﯾﻮ َم اﻟﺪﯾﻦdengan bentuk fi’il mađi dan menasabkan ()ﯾﻮم.22
18
Şubĥī al-Şāliĥ Mabāĥ ith fī ‘Ulūm..., hal. 256. Abdul Hamid Muhammad Mutawalli, alAsās fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Mesir: t.tp, 1995), hal. 66. 19
Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥith fī ‘Ulūm..., hal. 176.
20 Muĥammad ‘Abd al-‘Azīz al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī..., hal. 430. Şubĥī al-Şāliĥ ĥ Mabā ith fī ‘Ulūm..., hal. 258. 21
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyūţī , al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Iĥyā al-‘Ulūm, 1987), hal. 79. 22
Şubĥī al-Şāliĥ Mabāĥith fī ‘Ulūm..., hal. 285.
5. Mauđū‘, qirā’ah yang didasarkan kepada seseorang tanpa dasar, seperti yang dihimpun Muhammad Ibn Ja’far al-Khuza‘i dan disandarkannya kepada Abu Hanifah ( )اﻧﻤﺎ ﯾﺨﺸﻰ ﷲ ﻣﻦ ﻋﺒﺎ ده اﻟﻌﻠﻤﺎءdengan rafa’ (đammah) kata ( )ﷲdan nasab (fatah) kata ( )اﻟﻌﻠﻤﺎء.23 6. Mudraj, qirā’ah yang mengandung tambahan. Biasanya dijadikan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an. Seperti qirā’ah Sa’ad Ibn Abi Waqqaş ( )وﻟﮫ واﺟﺖ ﻣﻦ امdengan menambahkan kata ()ﻣﻦ ام.24 Qirā’ah macam ini tidak tergolong al-Qur’an dan tidak dapat dijadikan pedoman dalam bacaan. Dengan mengetahui tipologi qirā’ah yang dikelompokkan oleh para ahli qirā’ah, maka dapat dipahami bahwasannya agar tidak menyalahi qirā’ah yang berbeda dengan apa yang diketahui atau terlalu meyakini kebenaran segala qirā’ah yang berkembang. Dengan demikan akan lebih tepat bila terlebih dahulu diklarifikasikan mana qirā’ah yang benar dan mana yang salah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh para imam qirā’ah. E. Korelasi Tujuh Huruf terhadap Qirā’ah Berdasarkan ĥadith Nabi Saw yang berbunyi: ...ﻧﺰل اﻟﻘﺮآن ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻌﺔ أﺣﺮف Artinya: “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf” Ĥadīth di atas diriwayatkan dari sejumlah sahabat lebih dari dua puluh sahabat, sehingga hampir mencapai tingkatan mutawatir. Pada dasarnya ulama tidak mempersoalkan mengenai kredibilitas ĥadīth ini, akan etapi mereka mempersoalkan makna “tujuh huruf” dan kaitannya dengan qirā’ah tujuh. Apakah tujuh yang dimaksud berarti bahasa, bentuk, qirā’ah dan tujuh huruf identik dengan tujuh qirā’ah. Semua permasalahan di atas akan dibahas secara global. Sebagian ulama memahami kata “tujuh” bukan berarti bilangan tujuh yang sebenarnya, akan tetapi hanya menunjukkan banyaknya kemungkinan cara membaca al-Qur’an agar memudahkan kaum muslimin karena hal tersebut merupakan perbedaan lahjah orang Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Dapat juga 23
Ibid. Ibid.
24
dipahami kata tujuh dimaksdukan tujuh dalam arti bilangan yang dikenal, yang merupakan batasan maksimal terhadap bacaan yang dibolehkan. Karena Rasulullah terus menerus meminta agar Jibril membacakan dengan cara yang lain, sehingga memudahkan umat membacanya akan tetapi Jibril hanya menyampaikan hingga yang ketujuh. Sedangkan kata “ahruf” adalah lafaz yang musytarak berarti tepi sesuatu, puncak, satu huruf ejaan, unta kurus, aliran air, bahasa, wajah (bentuk) dan sebagainya.25 Dalam hal ini arti yang lebih tepat adalah bentuk (wajah) perbedaan yang mungkin terjadi dalam bacaan al-Qur’an. Bukan berarti setiap huruf dari alQur’an harus dibaca menjadi tuju bentuk. Dengan kata lain kemungkinan perbedaan bacaan dalam satu kata atau ayat tidak lebih dari tujuh bentuk. Contohnya dalam membaca ayat ( )ﻣﺎ ﻟﻚ ﯾﻮم اﻟﺪﯾﻦ. Secara eksplisit akan dikemukakan uraian Abu Fađl al-Razi dalam kitab al-Lawaih sebagaimana dikutip oleh al-Zarqānī dalam bukunya Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, bahwa bentuk-bentuk perbedaan itu tidak terlepas dari tujuh hal berikut: 1. Perbedaan dala bentuk isim (mufrad, muthanna, jamak, laki-laki, perempuan), seperti dalam ayat ( )واﻟﺬﯾﻦ ھﻢ ﻻﻣﻨﺘﮭﻢ وﻋﺪھﻢ راﻋﻮن. Menurut satu qirā’ah, kata ( )ﻻﻣﻨﺘﮭﻢdibaca dalam bentuk jamak ( )ﻻﻣﻨﺘﮭﻢdan menurut qirā’ah lain dalam bentuk tunggal ()ﻻﻣﻨﺘﮭﻢ. 2. Perbedaan konjugasi fi’il (mađī, muđari‘ atau amar) seperti dalam ayat ( )ﻓﻘﺎﻟﻮا رﺑﻨﺎ ﺑﺎﻋﺪ ﺑﯿﻦ اﺳﻔﺎرﻧﺎ. Menurut satu qirā’ah, kata ( )رﺑﻨﺎdibaca dengan nasab, karena statusnya munādā dan kata ( )ﺑﺎﻋﺪdibaca dalam bentuk amar. Menurut qirā’ah lain, kata ()رﺑﻨﺎ
dibaca rafa’ karena statusnya munādā
dan kata ( )ﺑﺎﻋﺪdalam bentuk fi’il māđi. 3. Perbedaan bentuk i’rab (rafa’, nasab jar atau jazam), seperti dalam ayat ( )وارﺟﻠِﻜﻢdan ( )وارﺟﻠَﻜﻢ, ( )وﻻ ﯾﻀﺎر ﻛﺎ ﺗﺐ وﻻﺷﮭﯿﺪ. Kata ( )ﯾﻀﺎرdibaca fatah rā’ dan đammah rā’. 4. Perbedaan bentuk naqis atau ziyadah, seperti dalam ayat ( )وﻗﺎﻟﻮااﺗﺨﺬdan ( )ﻗﺎﻟﻮااﺗﺨﺬ, ada juga yang membaca dengan tanpa ()ﻣﺎﺧﻠﻖ. 25
Muĥammad ‘Abd al-‘Azīz al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī..., hal. 155.
5. Perbedaan bentuk taqdim dan ta’khir, seperti dalam ayat()ﻓﯿﻘﺘَﻠﻮن
,
()وﯾَﻘﺘُﻠﻮنdan ( )ﻓﯿﻘﺘُﻠﻮن وﯾَﻘﺘﻠﻮن, ( )وﺟﺎﺋﺖ ﺳﻜﺮة اﻟﺤﻖ ﺑﺎﻟﻤﻮتdibaca )وﺟﺎﺋﺖ ﺳﻜﺮةاﻟﻤﻮت ( ﺑﺎﻟﺤﻖ. 6. Perbedaan dalam bentuk tabdil, seperti dalam ayat ( )ﻧﻨﺸﺰھﺎdan ( )ﻧﻨﺸﺰھﺎ, ( )وﺻﻠﺢ ﻣﻤﺪودdan ( )وطﻠﻊ ﻣﻤﺪودdibaca 7. Perbedaan lahjah, seperti fatah, imalah, tarqiq (tipis) dan tafkim (tebal), izhar (nyata), idgham (memasukkan bunyi suatu huruf kepada bunyi huruf sesudahnya dan lainnya. Seperti dalam ayat ( )وھﻞ اﺗﺎك ﺣﺪﯾﺚ ﻣﻮﺳﻰ. Kata ( )اﺗﻰdan kata ( )ﻣﻮﺳﻰdibaca dengan fatah dan imalah.26 Pendapat yang dikemukakan di atas, didukung oleh Ibnu Qutaibah dan sebagian ahli al-Qur’an lainnya. Sekalipun terdapat penafsiran-penafsiran yang berbeda, yang mengemukakan hasil ijtihad dan nalar, sebagai konsekuensi dari keumuman ĥadīth mengenai tujuh huruf. Secara garis besar dapat dipahami bahwa pada hakikatnya pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ulama al-Qur’an tidak memiliki sandaran dan riwayat. Apabila dikaitkan dengan qirā’ah tujuh yang populer dan qirā’ah lainnya, maka di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Untuk itu akan dikemukakan bentuk-bentuk qirā’ah yang ditetapkan para ahli qirā’ah yang disandarkan kepada imam-imam qirā’ah, antara lain: a. Qirā’ah Tujuh 1.
Nafi’ al-Madani, Ibnu Abd al-Rahman bin Abi Na’im, Abu Ruwain alLiatsi (70-169 H). Dikenal qirā’ah Nafi’. Ia berasal dari Asfahan (Mekkah) mempunyai guru sebanyak 70 orang. Qirā’ah bersumber dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah. Diantara orang yang telah meriwayatkan darinya adalah Qalun dan Warash. Qirā’ah ini berkembang di Madinah.
2.
Ibnu Kathir al-Makky, Abdullah bin Kathir al-Dary dikenal dengan qirā’ah Ibnu Kathir yang berasal dari Mekkah dan mengambil riwayat
26
Ibid., Bandingkan dengan Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 134-136. Mannā‘ al-Qaţţān, Nuzūl al-Qur’ān ‘Ala Sab’ah Aĥruf, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), hal. 18-21.
dari Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub al-Anshari, Anas bin Malik dan sahabat lainnya. Qirā’ah ini berkembang di Mekkah dan yang telah meriwayatkan darinya yaitu al-Bazzy dan Qunbul. 3.
Abu Amir bin al-A’la, Ziban bin A’la al-Tamimi al-Mazini, berasal dari Basrah dan mengajarkannya ke Mekkah, Madinah, Kufah dan Basrah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik dan belajar qirā’ah dari Hasan al-Basri Abu al-Aliyah, Syara’id bin Jubair, Ashim bin Abi Najud dan lainnya. Yang telah meriwayatkan darinya adalah Hafsah Daury dan al-Susi.
4.
Ibnu ‘Amir al-Dimasyq, Abdullah bin Amir bin Yazid Abu Imran alYashuby (w. 118 H). Dikenal dengan sebutan Ibnu Amir, bersumber dari al-Mughirah, Nu’man bin Basyir, Wasilah bin al-Asqa’ dan Usman bin Affan. Orang yang telah meriwayatkan darinya adalah Hasyim bin Ammar dan Ibnu Dzakwan.
5.
Al-Kisa’i, Abu al-Hasan Ali bin Hamzah berasal dari Persia (119-189 H). Qirā’ahnya bersumber dari Imam Hamzah, Muhammad bin Abu Laili, Isa bin Umar dan ‘Asyim yang telah meriwayatkan darinya adalah Abu alHarith dan al-Daury.
6.
‘Ashim bin Abi al-Judud al-Kufi, Abu Bakar bin al-Bahdalah al-Hannath (127 H), bersumber dari Zar bin Hubaisy dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Syu’bah dan Hafsah bin Sulaiman.
7.
Hamzah bin Habib al-Zayyat, Abu Imarah al-Kufi al-Taimi (80-156 H), qirā’ahnya bersumber dari Ali, Usman dan Ibnu Mas’ud yang berasal dari Kufah. Orang yang meriwayatkan darinya adalah Khalaf bin Hisyam dan Khalad.27
b. Qirā’ah Sepuluh 8.
Abu Ja’far, Yazid al-Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani al-Qari’ (130 H), mengambil riwayat dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah serta lainnya. Yang meriwayatkan darinya adalah Isa bin Wardan dan Ibnu Jimaz.
27
Aufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001), hal.
309-315.
9.
Ya’qub al-Hadrami, Ibnu Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq (117-205 H), mengigat qirā’ah Salam bin Sulaiman al-Tawil dari Ashim dan Abi Amr.
10. Khalaf bin Hisyam al-Bazzar, Abu Muhammad al-Asadi al-Bazzar alBahgdadi (150-229 H) perawi Hamzah bin Habib al-Zayyad. Yang meriwayatkan darinya adalah Ishaq al-Warraq dan Harith. c. Qirā’ah Empat Belas 11. Ibnu Muhaisin, Muhammad bin Abd al-Rahman al-Sahmi (123 H), muqri’ penduduk Mekkah bersama Ibnu Kathir menerima dari mujahid dan Darbas. 12. Al-Yazidi, Yahya bin Mubarak, al-Imam Abu Muhammad al-Adawi alBasyri (202 H), berasal dari Baghdad dan qirā’ahnya diterima dari ‘Amr bin Hamzah. 13. Al-Hasan al-Basri, Abu Syarat’ad bin Yasar (110 H) dari Basrah. 14. Al-A’masy, Sulaiman bin Muhran, Abu Muhammad al-Kufi (148 H).28 Ada satu anggapan bahwa al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf sangat berkaitan dengan qirā’ah tujuh, padahal tidaklah demikian. Angapan seperti ini adalah kurang tepat, sebagaimana dijelaskan Abu Syamah dalam kitabnya alMursyid al-Wajiz ila ‘Ulum Tata’allaq bi al-Qur’an al-Aziz. Alasan yang mendukung pendapat bahwa al-Qur’an diturunkan tujuh huruf bukanlah ditujukan pada tujuh qirā’ah, setidaknya karena dua alasan. Pertama, kata “ahruf” cenderung berarti bahasa bukan lahjah atau pelafalan. Kedua, sandainya kata “sab’ah ahruf” identik dengan qirā’ah tujuh, bagaimana eksis dan kredibilitas qirā’ah-qirā’ah lainnya. Sedangkan pendapat yang mendukung tujuh huruf identik dengan qirā’ah tujuh bahwa hadith tersebut disampaikan ketika menanggapi laporan Umar mengenai perbedaan pelafalan seorang imam dan ditanggapi Nabi dengan baik dan kata “sab’ah” lebih dominan menunjukkan simbol jumlah dari tujuh.
28
Şubĥī al-Şā liĥ Mabāĥ ith fī ‘Ulūm..., hal. 248-250; Mannā‘ al-Qaţţān, Nuzūl al-Qur’ān ‘Ala..., hal. 171-172.
Dari kedua pendapat di atas, yang lebih valid dan disepakati adalah pendapat yang pertama, sekalipun keduanya memiliki kata yang sama, yaitu tujuh. Akan tetapi tidak harus identik dan bermakna sama. Qirā’ah tujuh adalah merupakan suatu alternatif, karena terdapat qirā’ah yang lain yang lebih tinggi tingkatannya dan pengertian yang sebenarnya adalah tidak baku, artinya bersifat alternatif serta dapat berkembang. F. Pengaruh Qirā’ah terhadap Tafsir Perbedaan qirā’ah antara satu dengan yang lainnya, sudah tentu berpengaruh pada penafsiran hukum yang diistinbatkan darinya. Sebagaimana yang dikemukakan al-Zarkasyī, adanya perbedaan qirā’ah akan memunculkan perbedaan dalam hukum. Ulama fiqh menetapkan hukum batalnya wudhu’ berbeda karena perbedaan qirā’ah pada “kamu sentuh”
dan “kamu saling
menyentuh”. Begitu juga mengenai kebolehan mencampuri perempuan yang sedang haiđ tatkala terputusnya haid. Perbedaan ini didasari atas bacaan “hingga mereka suci”.29 Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa perbedaan qirā’ah tidaklah berpengaruh terhadap penafsiran ayat al-Qur’an. Karena hanya menyangkut pelafalan huruf-huruf al-Qur’an tanpa harus memperoleh makna yang terkandung. Selanjutnya ada juga yang beranggapan bahwa berbeda qirā’ah berdampak positif terhadap penafsiran. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, antara lain: 1. Memberikan kebebasan dalam menetapkan hukum syara’, seperti penafsiran mengenai ayat wudhu’. 2. Menghilangkan keraguan terhadap sesuatu yang dimaksud, seperti mengenai perintah bersegera pergi ke mesjid untuk melaksanakan shalat juma’at. 29
Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulum al-Qur’ān, Juz I, (Kairo: al-Babi al-Halabi, 1957), hal. 212; Muhammad Jalaluddin al-Qāsimi, Mahāsīn al-Ta’wīl, Cet. I, juz. III, (Mesir: Isa al-Bani al-Halabi, 1975), hal. 562; Hasanuddin Af, Anatomi al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1995, hal. 204-205; Al-Qurţubī, al-Jāmi’ li Aĥkām al-Qur’ān, Juz. III, t.tp., tt., hal. 88. 29
Şubĥī al-Şā liĥ Mabāĥ ith fī ‘Ulūm..., hal. 248-250; Mannā‘ al-Qaţţān, Nuzūl al-Qur’ān
‘Ala..., h
3. Menjelaskan lafadz yang berarti ganda, seperti lafadz اﻟﻌﮭﻦdibaca shauf sehingga jelas berarti bulu.30 Dari urian yang telah dikemukakan dapatlah dipahami bahwa perbedaan qirā’ah yang benar (sahih) akan menimbulkan pengaruh positif terhadap khazanah penafsiran hukum Islam. Sebaliknya apabila perbedaan qirā’ah yang salah (syaz), maka akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap penafsiran. G. Penutup Qirā’ah merupakan ilmu yang telah berkembang pada masa Rasulullah Saw, akan tetapi hanya sebatas pelafalan dan bukan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Qirā’ah ini muncul sebagai implikasi dari beragamnya dialek di kalangan masyarakat Arab saat itu. Kaitannya dengan tujuh huruf hanya sebatas penafsiran alternatif yang dikembangkan oleh para ulama. Di samping itu juga perbedaan qirā’ah akan memberi warna baru terhadap penafsiran al-Qur’an yang konstruktif. Wa Allāh A’lām bi al-Şawāb.
30
Muĥammad ‘Abd al-‘Azīz al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī..., hal. 148-150.
Daptar Pustaka
Al-Qurţubī, al-Jāmi’ li Aĥkām al-Qur’ān, Juz. III, t.t Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulum al-Qur’ān, Juz I, (Kairo: al-Babi al-Halabi, 1957) Muhammad Jalaluddin al-Qāsimi, Mahāsīn al-Ta’wīl, Cet. I, juz. III, (Mesir: Isa al-Bani al-Halabi, 1975) Hasanuddin Af, Anatomi al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1995 Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar al-Qur’an da Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah al-Qur’an, cet. III. terj. Sa’ad Abdul Wahid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyūţī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Iĥyā al-‘Ulūm, 1987). Mannā‘ al-Qaţţān, Nuzūl al-Qur’ān ‘Ala Sab’ah Aĥruf, (Kairo: Maktabah Wahbah) Muĥammad ‘Abd al-‘Azīz al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) Şubĥī al-Şāliĥ Mabāĥith fī ‘Ulūm.... Abdul Hamid Muhammad Mutawalli, alAsās fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Mesir) Taufik Adnan Kamal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001)