PUSTAKAWAN, PENANGKAL INFORMASI HOAX DI MASYARAKAT Wahid Nashihuddin Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – LIPI Artikel tidak dipublikasikan, 21 Februari 2017
Email:
[email protected]
Pengantar Beredarnya informasi atau berita hoax di media sosial online menyebabkan keresahan sosial bagi masyarakat. Terlebih lagi, informasi hoax ini muncul bersamaan dengan isu-isu politik dan pilkada serentak di Indonesia tahun 2017. Informasi hoax dapat mengancam popularitas seseorang (public figure) yang akan maju dikancah perpolitikan Indonesia. Gara-gara hoax, nama baik dan harga diri seseorang dapat tercemar di masyarakat dan walhasil akan memicu konflik kepentingan antar-pejabat elit dan meresahkan kehidupan masyarakat. Di era internet ini, masyarakat bebas menyampaikan pendapat atau opininya, baik melalui lisan, media cetak, maupun media elektronik/online. Namun, hal yang perlu diingat bahwa kebebasan kalau tidak berbudaya dan beretika akan membawa konsekuensi hukum, untuk itu harus berhatihati. Itulah sekilas gambaran adanya kebebasan berpendapat bagi setiap orang di negeri ini untuk berekspresi dan bereksperimen di depan publik, urusan benar atau salah, jujur atau bohong menjadi hal yang kurang perhatikan oleh sipenyebar berita, yang penting dapat dibaca dan diketahui oleh publik secara cepat dan luas. Menanggapi kondisi di atas, bagaimana upaya dan tindakan pustakawan untuk menangkal hoax yang telah beredar di masyarakat? Untuk menjawab hal tersebut, tulisan ini akan sedikit menjelaskan tentang makna dan konsekuensi dari hoax; analisis hoax di masyarakat; dan peran aktif pustakawan dalam menangkal hoax. Melalui ketiga bahasan tersebut diharapkan pustakawan menyadari bahwa hoax ini menjadi tanggung jawabnya dan masyarakat lebih menyadari atas bahaya dari informasi hoax.
Makna dan Konsekuensi
(2016), hoax berarti “bohong”; tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang
Page
konsekuensi dari hoax itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI
1
Untuk mengenal hoax, pustakawan harus memahami tentang makna dan
sebenarnya; dusta. Makna dari kata “bohong” yaitu perkataan dan perbuatan yang tidak sesuai kenyataan. Sedangkan konsekuensi dari “bohong” adalah pelaku tidak lagi dipercaya oleh orang lain atau masyarakat, atau akan mendapat julukan sang “pembohong atau pendusta”. Apabila hal tersebut terjadi maka, perkataan dan perbuatan seseorang yang berbuat bohong tidak akan lagi dipercaya oleh masyarakat. Dalam konteks hoax, bagi penyebar kebohongan melalui media tertentu serta telah merusak dan mencemarkan nama baik dan harga diri seseorang maka akan berurusan dengan hukum pidana. Setelah mengetahui makna dan konsekuensi dari hoax, tugas pustakawan selanjutnya adalah menyediakan informasi yang sehat dan berkualitas kepada masyarakat melalui jasa perpustakaan atau kegiatan literasi informasi. Dalam tugas ini, pustakawan harus mengevaluasi dirinya sendiri bahwa ia sudah mampu atau belum untuk melaksanakan program literasi masyarakat dalam melawan dan mengantisipasi bahaya hoax. Jika sudah mampu, pustakawan dapat melaksanakan program literasinya sesuai dengan pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman profesionalnya untuk mencerdaskan masyarakat. Sebagai preferensi dalam menangkal hoax yang telah beredar di masyarakat, pustakawan dapat mereview berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkoinfo) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Kemenkoinfo (2016) telah berupaya keras untuk menangkal hoax melalui: (a) kegiatan sosialiasi ke masyarakat atas bahaya hoax melalui media masa (cetak dan elektronik/online); (2) pemblokiran terhadap situs online yang terindikasi hoax, seperti situs pos-metro.com; nusanews.com; Voa-islam.com; Nahimunkar.com; Kiblat.net; Bisyarah.com; Dakwahtangerang.com; Islampos.com; Suaranews.com; Izzamedia.com; dan Gensyiah.com; (3) pemblokiran terhadap situs yang berbau pornografi dan mengandung sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan); dan (4) merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No.11/2008 menjadi UU No.19/2016 tentang ITE), di mana kejahatan hoax merupakan kategori cyber crime. Cyber crime adalah tindak kejahatan yang dilakukan
atau bahkan cuma sekadar iseng mendistribusikan (forward) akan diancam hukuman
Page
tersebut ditegaskan bahwa bagi siapa saja yang suka mengirimkan kabar bohong (hoax)
2
dengan menggunakan teknologi komputer khususnya melalui internet. Dalam UU
penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar (Tempo, 2016). Terkait dengan berita hoax ini, Kemenkoinfo juga telah menyediakan sarana pengaduan bagi masyarakat yang merasa
dicemarkan
nama
baiknya
melalui
media
masa,
melalui
situs
https://dumas.kominfo.go.id/. Upaya-upaya pemerintah dalam menangkal informasi hoax yang beredar ke masyarakat, informasinya dapat diakses melalui situs online berikut ini.
Kominfo
Dorong
Penggunaan
Media
Sosial
untuk
Pustakawan
(https://kominfo.go.id, 12 Oktober 2016);
Menkominfo:
Pemblokiran
Situs
Jalan
Terakhir
Melawan
Hoax
(http://www.beritasatu.com, 8 Januari 2017);
Menkominfo Ajak Facebook dan Twitter Perangi "Hoax" di Indonesia (http://tekno.kompas.com, 9 Januari 2017);
Menkominfo: Menghadang Hoax, Bisa Saja Indonesia Meniru Jerman (http://kbr.id/berita, 13 Januari 2017);
Menkominfo Gandeng Facebook dan Twitter Perangi Hoax di Indonesia! (https://www.kreasitekno.com/, 14 Januari 2017);
Mabes
Polri:
Penyebar
Hoax
Diancam
Hukuman
6
Tahun
Penjara
dan
Twitter
untuk
Hoax
(https://kompolnas.go.id/?p=2045, 18 Januari 2017);
Tumpas
Hoax,
Menkominfo
Akan
Bertemu
Facebook
(http://teknologi.news.viva.co.id, 31 Januari 2017);
Menkominfo
Nilai
UU
ITE
Sudah
Cukup
(http://tekno.liputan6.com, 2 Februari 2017);
Menkominfo: Media Cetak untuk Tangkal Hoax (http://nasional.republika.co.id, 3 Februari 2017);
Menkominfo
Ajak
Mahasiswa
Menangkal
Berita
Hoax
(http://nasional.republika.co.id, 6 Februari 2017). Meninjau dari berbagai upaya pemerintah di atas, pustakawan dapat menyikapinya dengan dua cara, yaitu evaluasi dan pembuktian. Pertama, bahan evaluasi, pustakawan harus mampu melihat dan mengalisis permasalahan lingkungan
(TIK) maka tentunya masyarakatnya akan “gaptek teknologi”. Apabila gaptek teknologi
Page
bekerja pustakawan masih jauh dari jangkauan teknologi informasi dan komunikasi
3
sekitar dan kondisi literasi masyarakat. Apabila lingkungan sekitar tempat tinggal atau
maka tingkat literasi masyarakat juga rendah, karena budaya bacanya rendah. Dikutip dari Kompas cetak (Selasa, 7/2/2017], tentang “Literasi Rendah Ladang Hoax: Warga Membaca Berita Tak Sampai 1 Menit“, dijelaskan bahwa rendahnya kesadaran literasi di masyarakat menjadi salah satu faktor pendorong masifnya peredaran kabar bohong atau hoax. Budaya baca yang rendah, masyarakat menelan informasi secara instan tanpa berupaya mencerna secara utuh (DuniaPerpustakaan, 2017). Kedua, bahan pembuktian, pustakawan
harus
mampu
menunjukkan
kebenaran
dan
keakuratan
suatu
informasi/berita yang diangggap hoax. Pustakawan tidak dapat mengatakan berita itu benar atau hoax jika belum ada bukti-bukti yang menguatkannya. Untuk kasus pembuktian ini, pustakawan harus mengajak pimpinan lembaga atau berkoordinasi dengan pihak berwajib (kepolisian) untuk menindaklanjuti atas berita hoax yang telah menyebar di masyarakat. Mengacu kondisi tersebut, maka pustakawan harus segera melakukan evaluasi terhadap kondisi literasi masyarakat di sekitarnya serta melakukan pembuktian yang benar atas adanya berita hoax yang telah menyebar di masyarakat.
Analisis Hoax di Masyarakat Mengapa hoax perlu dianalisis oleh pustakawan? karena hoax itu masalah (problem) yang membuat keresahan sosial di masyarakat dan pustakawan memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyediakan informasi yang sehat bagi masyarakat. Analisis ini muncul karena hoax ini sudah menyebar ke masyarakat khususnya melalui media sosial, seperti facebook dan twitter. Ketika hoax ini sudah menyebar di masyarakat,
apa
yang
harus
dianalisis
dan
dengan
cara
apa
pustakawan
menganalisisnya? Hal tersebut dapat dicoba pustakawan dengan menggunakan pendekatan analisis pohon masalah (problem tree analysis). Menurut Vesely (2008), analisis pohon masalah merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi permasalahan suatu objek atau fenomena yang terjadi dengan melihat tiga hal, yaitu aspek penyebab (impact), masalah pokok (main problem), dan akibat (causes). Ada beberapa tahapan dalam proses analisis pohon masalah dalam suatu penelitian, yaitu: (a) mengidentifikasi dan membuat daftar beberapa permasalahan; (b) mengidentifikasi hal-hal yang menjadi
pohon masalah ini digambarkan sebagai berikut.
Page
dan (d) merumuskan draft tersebut ke dalam diagram problem tree analysis. Analisis
4
masalah pokok; (c) mengidentifikasi sebab dan akibat yang timbul dari masalah pokok;
Gambar 1. Problem Tree Analysis (Veseley, 2008)
Sumber: http://www.vethelplineindia.co.in
Apabila pustakawan akan mangalisis masalah hoax ini, maka dapat digambarkan melalui stuktur problem tree analysis sebagai berikut.
Akibat (effects)
Masalah Utama (main problem) Penyebab (causes)
Masalah Spesifik (Konteks Kepustakawanan)
Pemblokiran situs hoax oleh pemerintah
Pencemaran nama baik dan harga diri seseorang (public figur)
Meningkatnya konflik SARA di masyarakat
Hoax penyebab keresahan sosial di masyarakat
Rendahnya literasi informasi masyarakat (minat baca rendah)
Kebencian oknum terhadap popularitas public figur
Mudahnya membuat situs dan akun di media sosial (dapat dipalsukan/anonim)
Pemerintah belum melibatkan pustakawan secara langsung dalam menangani kasus hoax
Masyarakat belum mengoptimalkan perpustakaan sebagai tempat mendapatkan informasi sehat
Pustakawan belum mensosialisasikan bahaya hoax di masyarakat
Pustakawan aktif melakukan sosialisasi literasi informasi ke pemustaka/masyarakat sesuai dengan tupoksinya masingmasing
Gambar 2. Konsep Analitis Pustakawan untuk Menangani Kasus Hoax
Page
Pemerintah melibatkan pustakawan untuk melakukan sosialisasi penanganan kasus hoax dan pemanfaatan informasi sehat bagi masyarakat
5
Solusi (upada+tindakan)
Problem tree analysis di atas dapat menjadi acuan berpikir pustakawan untuk mencari solusi atas permasalahan hoax yang sudah menyebar di masyarakat. Sebagai solusi atas permasalahan hoax di atas, pustakawan dapat melakukan sosialisasi literasi informasi ke pemustaka/masyarakat melalui aktivitas berikut ini. 1) Menggalakkan budaya gemar membaca ke masyarakat. Dengan gemar membaca, masyarakat akan melek informasi dan teknologi. Penyebab berita hoax marak beredar di media sosial karena masyarakat kurang banyak baca (Tempo, 2017). Dalam mendukung gemar membaca, pustakawan harus menyediakan bahan bacaan atau literatur yang edukatif dan menghibur, serta tidak mengandung unsur pornografi dan SARA. 2) Bimbingan atau pelatihan penelusuran informasi ilmiah secara global. Terkait dengan kegiatan literasi ini, pustakawan dapat menjelaskan tentang bagaimana menelusur, mencari, memilih, dan mengindentifikasi suatu informasi/berita yang benar khususnya yang bersumber dari situs internet, yaitu kita harus mencermati: (a) sumber berita (pers/media sosial); (b) identitas pengelola/pemilik situs (tercantum/anonim); (c) kredibilitas penulis (minimal pekerjaan/keahlian); (d) sumber data (ilmiah/opini/fakta); (e) bahasa tulisan (baku/non-baku); dan (f) penyajian informasi/berita (positif/negatif). 3) Bimbingan penulisan berita atau karya tulis ilmiah bagi pemustaka yang akan membuat kajian ilmiah atau penelitian. Dalam hal ini pustakawan sebagai fasilitator dan plagiarism checker dalam kegiatan penulisan karya tulis yang dilakukan pemustaka. Dalam kegiatan penulisan ini, pustakawan dapat mengajari tentang bagaimana menelusur informasi/literature dengan benar dan tepat atau mengutip atau menyitir tulisan untuk referensi. Hal tersebut agar pemustaka yang menulis atau meneliti terhindar dari plagiat.
Peran Aktif Pustakawan Dalam konteks tulisan ini, pustakawan membantu
pemerintah dalam
ia lakukan. Menyadarkan berasal dari kata sadar, yang berarti insaf; merasa; tahu dan
Page
bahaya hoax. Menyadarkan berarti membuat orang lain insyaf dan mengetahui apa yang
6
mengantisipasi bahaya dari informasi/berita hoax serta menyadarkan masyarakat dari
mengerti; atau ingat kembali (dari pingsan dan sebagainya); siuman (KBBI, 2016). Sebagai pejuang literasi yang bertanggung jawab terhadap suatu kebenaran dan keakuratan informasi, baik itu informasi populer, semi-ilmiah, maupun ilmiah, pustakawan menjadi harapan pemerintah (dalam hal ini Kemenkoinfo dan Perpustakaan Nasional RI) untuk menjadi penyaring (filter) setiap informasi yang beredar di masyarakat. Menkoinfo mengatakan bahwa pustakawan perlu menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi yang sehat kepada masyarakat. Untuk menyediakan informasi yang sehat, pustakawan harus melek IT dan mengetahui cara menggunakan media sosial untuk memerangi hoax (Tribunnews, 2016). Penulis mengajak pembaca dan pustakawan untuk berperan aktif melawan dan mengantisipasi bahaya hoax.
Kenapa pustakawan harus berperan aktif dalam
menangani kasus hoax? Jawabannya karena pustakawan memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang sangat besar untuk menyediakan informasi yang sehat kepada masyarakat. Meskipun tidak semuanya ditanggung/dibebankan ke pustakawan, namun pustakawan memiliki peran yang strategis dalam mencerdaskan masyarakat melalui program-program literasi perpustakaan. Beberapa peran yang dapat dilakukan pustakawan untuk menangkal informasi hoax yang menyebar ke masyarakat, dijelaskan sebagai berikut. 1) Berperan sebagai reference librarian Pelayanan merupakan “roh” kehidupan bagi seorang pustakawan. Tanpa pelayanan, pustakawan tidak dapat eksis di masyarakat. Wujud roh pelayanan bagi seorang pustakawan adalah memberikan pelayanan informasi atau bahan bacaan kepada pemustaka. Dalam memberikan pelayanan, pustakawan dituntut untuk memberikan pelayanan prima agar setiap pemustaka yang dilayani merasa puas. Agar kepuasan pemustaka terpenuhi maka pustakawan harus memiliki sifat dan sikap sebagai seorang pustakawan referensi (reference librarian). Pustakawan referensi tidak hanya mampu membantu pemustaka dalam mendapatkan sumber-sumber informasi yang dibutuhkan pemustaka, tetapi juga menjadi mitra dan partner bagi pemustaka. Mitra diartikan sebagai teman atau sahabat, sedangkan partner diartikan sebagai
dan sebagainya); mitra; pasangan (KBBI, 2016). Ketika menjadi mitra dan partner
Page
karena saling membutuhkan atau melengkapi (dalam suatu kegiatan, usaha dagang,
7
orang (badan usaha dan sebagainya) dari dua pihak yang berbeda yang bekerja sama
bagi pemustaka, pustakawan harus memberikan rasa simpati penuh dan solusi bagi permasalahan yang dihadapi pemustaka, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi atau literatur untuk pendidikan dan penelitian. Solusi yang dimaksud adalah pustakawan tidak hanya menyediakan literatur yang ada, tetapi juga mampu menjelaskan tentang bagaimana membaca, menyeleksi, dan menggunakan setiap jenis bahan bacaan referensi dengan tepat dan efisien. Dalam konteks hoax ini, pustakawan referensi menyediakan bahan bacaan/literatur yang jelas sumbernya, berkualitas, dan mutakhir, serta menjadi penyaring informasi yang tidak jelas sumbernya dari internet untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. 2) Berperan sebagai information consultant Peran ini tidak hanya sekedar sebagai pustakawan referensi, tetapi juga sebagai penasihat (consultant) dan pemberi solusi (solution maker). Sebagai konsultan informasi, pustakawan seolah-olah berprofesi sebagai psikolog bagi pemustakanya. Sebagai seorang psikolog, pustakawan diharapkan mampu memahami sifat, perilaku, dan karakteristik pemustaka ketika meminta informasi kepada pustakawan. Dalam konteks hoax ini, pustakawan dapat menjadi mediator yang solutif dalam memberikan penjelasan terhadap isu-isu hoax yang sedang dialami oleh pemustaka dan masyarakat. 3) Berperan sebagai plagiarism checker Informasi hoax ini tidak hanya berupa berita bohong atau fitnah yang berada di internet dan media sosial, tetapi juga terkait dengan plagiarism dalam hal penulisan atau publikasi ilmiah. Sebagai plagiarism checker, pustakawan diharapkan dapat menunjukkan kepada pemustaka tentang bagaimana penulisan atau pembuatan karya tulis yang tidak melanggar plagiarisme. Dalam hal ini, pustakawan dapat mengajari tentang pengutipan tulisan (langsung atau tidak langsung) dan penggunaan daftar pustaka, baik secara manual maupun otomatis. Cara otomatis misalnya dengan memanfaatkan aplikasi reference manager Mendeley (https://www.mendeley.com) untuk mengutip dan menyusun daftar pustaka; dan memanfaatkan WriteCheck (http://en.writecheck.com/),
Turnitin
(http://turnitin.com/),
Ithenticate
informasi hoax yang terkait dengan penerbitan publikasi ilmiah.
Page
plagiarism checker, pustakawan diharapkan mampu menjadi mencegah adanya
8
(http://www.ithenticate.com/), dan Plagiarisma (http://plagiarisma.net/ ). Sebagai
4) Berperan sebagai PPID lembaga Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) merupakan penghubung masyarakat (humas). Adapun tugas PPID yaitu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pelayanan informasi publik di suatu lembaga. Sebagaimana yang dilakukan penulis, selain menjadi pustakawan referensi juga menjadi PPID suatu lembaga. Ketika menjalankan perannya sebagai PPID, tugas pustakawan adalah sebagai penerima dan penjawab aduan/komplain pemustaka dan masyarakat. Aduan masyarakat ini bersifat bebas, artinya selain pemustaka/masyarakat komplain tentang jasa perpustakaan, dokumentasi, dan informasi yang dikelola lembaga, mereka dapat mengajukan komplain tentang masalah pribadi atau informasi lain yang dianggap hoax dan terkait dengan lembaga induk, misalnya tentang masalah hutang-pihutang yang terkait dengan pegawai internal lembaga atau beredarnya surat palsu tentang kegiatan akreditasi jurnal online yang mengatasnamakan LIPI. Dalam konteks hoax ini, pustakawan diharapkan mampu menjadi humas lembaga yang handal dan professional
dalam
menangani
aduan/komplain
masyarakat,
serta
mampu
memberikan penjelasan/penerangan yang benar bagi masyarakat.
Penutup Peran aktif pustakawan dalam menangkal hoax di masyarakat ini sangat diperlukan dalam mewujudkan masyarakat yang bebas hoax. Untuk itu, pemerintah perlu melibatkan pustakawan dalam mensosialisasikan internet sehat dan pemanfaatan informasi sehat dalam mengantisipasi bahaya hoax yang kini telah menyebar di masyarakat. Terkait dengan kasus hoax ini, tugas pustakawan bukanlah mengajak masyarakat untuk “anti hoax” tetapi mengajak masyarakat untuk “sadar hoax” dengan menggunakan informasi yang sehat, berkualitas, dan mutakhir. Semoga dengan peran aktif pustakawan dalam menangkal kasus hoax di masyarakat, pemerintah lebih
Page
9
perhatian kepada pustakawan Indonesia, terima kasih.
Daftar Pustaka Dunia Perpustakaan. 2017. Literasi Rendah Ladang Hoax: Warga Membaca Berita Tak Sampai 1 Menit! Di http://duniaperpustakaan.com/literasi-rendah-ladang-hoaxwarga-membaca-berita-tak-sampai-1-menit/ (14 Februari 2017). KBBI. 2016. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud. Di http://kbbi.web.id/bohong (Akses 14 Februari 2017). Kemenkoinfo. 2016. Kominfo Dorong Penggunaan Media Sosial untuk Pustakawan. Di https://kominfo.go.id, 12 Oktober 2016 (Akses 14 Februari 2017). Tempo. 2016. Mabes Polri: Penyebar Hoax Diancam Hukuman 6 Tahun Penjara. Minggu, 20 November 2016, 11:00 WIB. Di https://m.tempo.co/read/news/2016/11/20/063821644/mabes-polri-penyebarhoax-diancam-hukuman-6-tahun-penjara (Akses 14 Februari 2017). Tempo. 2017. Penyebab Berita Hoax Beredar: Masyarakat Kurang Banyak Baca. Di https://m.tempo.co, 4 Januari 2017 (Akses 13 Februari 2017). Tribunnews. 2016. Pustakawan Indonesia Harus Melek IT dan Medsos. Di http://jabar.tribunnews.com, 7 Oktober 2016 (Akses 14 Februari 2017).
Page
10
Vesely, Arnost. 2008. Problem Tree: a Problem Structuring Heuristic. Central European Journal of Public Policy, 2, 68-81.