ISSN 0216-9959
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34
Nomor 1
Akreditasi: 448/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
2015
Potensi Hasil Padi Sawah Ultra Genjah dan Sangat Genjah Pramudyawardani et al. Galur Padi Berumur Genjah dan Produktivitas Tinggi Prasetiyono et al. Agen Pengendali Hayati Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi Wartono et al. Ketahanan Galur-galur Padi Pup1 terhadap Penyakit Blas Tasliah et al. Umur Panen Hasil Persilangan Tiga Varietas Kedelai Wahyu et al. Jagung Inbrida Toleran Kekeringan dan Nitrogen Rendah Efendi et al. Hibrida Jagung pada Dua Tingkat Pumupukan N Sutoro dan Setyowati Mikoriza Vesikular Arbuskular dan 5-aminolevulinic Acid pada Jagung Lokal Madura Hamida dan Dewi Sifat Fisik, Kimia, dan Sensoris Ubijalar Kaya Antosianin Ginting et al.
J. Pen. Pert. Tan. Pangan
Vol. 34
No. 1
Hlm 1-78
Bogor April 2015
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
ISSN 0216-9959
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Akreditasi: 448/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 Penanggung Jawab Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Dr. Made Jana Mejaya Dewan Redaksi Zulkifli Zaini (Agronomi) A.K. Makarim (Eko Fisiologi) Sumarno (Pemuliaan) Djoko Said Damardjati (Pascapanen) Bambang Suprihatno (Pemuliaan) I Wayan Rusastra (Sosial-Ekonomi) M. Machmud (Hama Penyakit) Made Oka Adnyana I Nyoman Widiarta
Mitra Bestari Aunu Rauf (Hama Penyakit) Bonar Sinaga (Sosial-Ekonomi) Didy Sopandie (Agronomi) Subandriyo (Pemuliaan)
Redaksi Pelaksana R. Heru Praptana Hermanto
Alamat Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka 147, Bogor 16111 Telp.: (0251) 8334089, 8332537, 8311432 Fax: (0251) 8312755 E-mail:
[email protected] www.pangan.litbang.deptan.go.id
Akreditasi: 448/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Pengantar Di awal tahun 2015, Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (PP) terbit dengan sembilan tulisan hasil penelitian, empat diantaranya padi, satu kedelai, tiga jagung, dan satu ubijalar. Tulisan hasil penelitian padi membahas potensi hasil padi sawah ultra genjah dan sangat genjah, galur padi berumur genjah dan produktivitas tinggi, agen pengendali penyakit hawar daun bakteri, dan galur padi tahan blas. Tulisan tentang kedelai membahas analisis umur panen hasil persilangan tiga varietas. Tulisan hasil penelitian jagung membahas jagung hibrida toleran kekeringan dan nitrogen rendah, pemupukan N pada jagung hibrida, dan efektivitas mikoriza meningkatkan pertumbuhan jagung lokal. Tulisan penting lainnya mengungkap sifat fisik, kimia, dan sensoris beberapa klon ubijalar kaya antosianin.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Volume 34
ISSN 0216-9959 Nomor 1
DAFTAR ISI Potensi Hasil Galur Harapan Padi Sawah Ultra Genjah dan Sangat Genjah ...................................................................................................... E.F. Pramudyawardani, B. Suprihatno, dan Made J. Mejaya Evaluasi Molekuler dan Lapangan terhadap Galur-galur Padi Berumur Genjah dan Produktivitas Tinggi Turunan Ciherang ........... Joko Prasetiyono, Ahmad Dadang, Ma’sumah, Tasliah, Fatimah, dan Tiur Sudiaty Silitonga Efektivitas Formulasi Spora Bacillus subtilis B12 sebagai Agen Pengendali Hayati Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tanaman Padi ........................................................................................... Wartono, Giyanto, dan Kikin H. Mutaqin
Beberapa tulisan hasil penelitian sedang disiapkan untuk diterbitkan pada nomor berikutnya.
Ketahanan Galur-galur Padi Pup1 terhadap Penyakit Blas ................. Tasliah, Joko Prasetiyono, Tintin Suhartini, dan Ida Hanarida Soemantri
Redaksi
Analisis Nilai Tengah Generasi untuk Umur Panen Keturunan Persilangan Tiga Varietas Kedelai .......................................................... Gatut Wahyu, A.S, W. Mangoendidjojo, P. Yudono, dan A. Kasno Seleksi Jagung Inbrida dengan Marka Molekuler dan Toleransinya terhadap Kekeringan dan Nitrogen Rendah ........................................ Roy Efendi, Yunus Musa, M. Farid Bdr, M. Danial Rahim, M. Azrai, dan Marcia Pabendon Daya Gabung Umum, Daya Gabung Khusus dan Keragaan Hasil Hibrida Jagung pada Dua Tingkat Pumupukan N ................................ Sutoro dan Mamik Setyowati
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah ilmiah primer hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija).
2015
Efektivitas Mikoriza Vesikular Arbuskular dan 5-aminolevulinic Acid terhadap Pertumbuhan Jagung Varietas Lokal Madura pada Cekaman Kekeringan ............................................................................. Ruly Hamida dan Kumala Dewi Identifikasi Sifat Fisik, Kimia, dan Sensoris Klon-klon Harapan Ubijalar Kaya Antosianin ......................................................................... Erliana Ginting, Rahmi Yulifianti, M. Jusuf, dan Made J. Mejaya
1
13
21 29
37
43
55
61
69
Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI dan BATAN. Makalah yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di jurnal ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BOGOR, INDONESIA
PRAMUDYAWARDANI ET AL.: POTENSI HASIL PADI SAWAH ULTRA GENJAH DAN SANGAT GENJAH
Potensi Hasil Galur Harapan Padi Sawah Ultra Genjah dan Sangat Genjah E.F. Pramudyawardani, B. Suprihatno, dan Made J. Mejaya Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat Email:
[email protected]
Naskah diterima 19 Desember 2013 dan disetujui diterbitkan 12 Desember 2014
ABSTRACT. Yield Potential of Promising Very-very Early (VVEM) and Very Early Maturing (VEM) Rice Lines. Breeding for high yielding rice varieties with VVEM (<90 days after sowing/ das) is considered important to increase cropping indexes in the fully irrigated farm lands. This research was aimed to evaluate the yield potential of 200 promising VVE and VE maturing rice lines. A total of 200 VVE and VE maturing rice lines and five check varieties (Ciherang, Dodokan, Inpari 1, Inpari 13, Silugonggo) were evaluated in Preliminary Yield Trial (PYT) at Sukamandi Experimental Farm using augmented design, during the dry season of 2012. The 17 lines selected from PYT along with three check varieties (Silugonggo, Inpari 13, Ciherang) were further evaluated in Advanced Yield Trial (AYT) using randomized complete block design at Sukamandi, Kuningan, Magelang and Klaten, during wet season of 2012. Of the 200 lines tested in PYT, three lines yielded significantly higher than the best check variety (Inpari 1) and 2 lines did equal to Inpari 1. A total of 155 lines were VVE (<90 das), and 45 lines were VE maturing (91-104 das). Based on yield per day, 17 lines were selected to be evaluated in AYT in WS 2012. Based on combined analyses from four locations of AYT, seven lines produced grain yield/ha and grain yield/day higher than did the best check Silugonggo (5.51 t/ha and 51.7 kg/day); there were14 lines did better than Ciherang (5.07 t/ha; 41.9 kg/day), and 13 lines yielded better than did Inpari 13 (5.27 t/ha; 46.7 kg/day). The best seven lines and lines with higher productivity per day than that of the best check, with an average yield of 5.62 t/ha up to 6.12 t/ha, with days to maturity from 87 up to 94 das, were ready to be evaluated in Multi Locational Yield Trial to meet the requirement for the release of new variety. Keywords: Rice, very-very early, very early, yield per day. ABSTRAK. Ketersediaan varietas unggul padi sawah ultra genjah dengan mutu sesuai dengan preferensi konsumen akan mendorong pergiliran varietas pada wilayah yang memungkinkan bagi peningkatan IP menjadi 300-400 per tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil 200 galur generasi lanjut padi sawah ultra genjah dan sangat genjah pada uji daya hasil pendahuluan (UDHP) dan uji daya hasil lanjutan (UDHL). UDHP di Sukamandi dilakukan pada MT I 2012 menggunakan 200 galur hasil seleksi padi ultra genjah dengan lima varietas pembanding (Ciherang, Dodokan, Silugonggo, Inpari 1, Inpari 13) dalam rancangan augmented. UDHL dilakukan di Sukamandi, Kuningan, Magelang, dan Klaten pada MT II 2012 menggunakan 17 galur terpilih dan tiga pembanding (Silugonggo, Inpari 13, dan Ciherang) dalam rancangan acak kelompok tiga ulangan. Dari 200 galur ultra genjah yang digunakan pada UDHP diperoleh tiga galur yang memberikan hasil di atas varietas pembanding terbaik (Inpari 1) dan dua galur setara dengan Inpari 1. Sebanyak 155 galur tergolong ultra genjah, kurang dari 90 HSS dan 45 galur tergolong sangat genjah (91-104 HSS).
Berdasarkan kriteria hasil per hari terpilih 17 galur untuk diuji pada UDHL. Dari analisis gabungan ke-4 lokasi pengujian, tujuh galur memberikan hasil per satuan luas dan waktu lebih tinggi dari varietas pembanding terbaik Silugonggo (5,51 t/ha, 51,7 kg/hr), dan 14 galur lebih baik dari Ciherang (5,07 t/ha, 41,9 kg/hr), 13 galur lebih baik dari Inpari 13 (5,27 t/ha, 46,7 kg/hr). Melalui penelitian ini diperoleh tujuh galur terbaik dengan hasil berkisar antara 5,62-6,12 t/ha, dengan umur matang fisiologis 87-94 HSS. Galur-galur tersebut dan galur-galur dengan hasil per hari lebih baik dari varietas pembanding terbaik siap diuji multilokasi untuk memenuhi persyaratan pelepasan varietas. Kata kunci: Padi, ultra genjah, hasil per hari.
P
erakitan varietas unggul padi sawah umur ultra genjah (<90 HSS) semakin penting dengan adanya upaya peningkatan indeks pertanaman (IP) dan ancaman perubahan iklim, yang diperkirakan akan mengakibatkan wilayah kekeringan dan banjir yang semakin luas. Analisis iklim dalam 30 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah pada perubahan iklim. Pada tahun 2007 perubahan iklim antara lain dicirikan oleh adanya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun, sehingga pola curah hujan berubah dari monomodal menjadi bimodal. Dampak negatif perubahan iklim yang paling signifikan terhadap sektor pertanian adalah banjir dan kekeringan akibat pergeseran awal musim hujan dan musim kemarau, yang berimplikasi pada kacaunya pola tanam dan perubahan durasi serta intensitas musim (Deptan 2009). Kerusakan pertanian akibat cekaman kekeringan telah banyak ditelaah (Kurukulasuriya and Rosenthal 2003, Ding et al. 2010, Mishra and Singh 2010, Hatfield et al. 2011, Gosling et al. 2011). Kekeringan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan air untuk mendukung proses produksi pertanian secara optimal. Kondisi ini mengindikasikan pentingnya pengembangan varietas padi toleran kekeringan. Toleransi tanaman terhadap kekeringan dibagi menjadi tiga tipe, yaitu escape (lolos), avoidance (menghindar), dan tolerance (toleran). Escape artinya tanaman dapat menyempurnakan siklus hidupnya tanpa terkena cekaman, sedangkan
1
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
avoidance dan tolerance adalah reaksi secara fisiologis. Avoidance artinya dapat menyeimbangkan kandungan tertentu yang berbahaya secara fisiologis, sedangkan tolerance artinya seberapa jauh tanaman mampu menghadapi cekaman tersebut (Loomis and Connor 1992 dalam Connor and Fereres 2005). Perakitan varietas padi sawah berumur ultra genjah (<90 HSS) merupakan pendekatan antisipasi kekeringan dengan menggunakan mekanisme toleransi escape. Perakitan varietas padi ultra genjah dan sangat genjah dapat meningkatkan IP di daerah yang mendapat cekaman kekeringan. Peningkatan IP diharapkan dapat meningkatkan indeks matang fisiologis padi. Varietas unggul padi paling genjah yang telah dilepas Badan Litbang Pertanian adalah Dodokan dan Silugonggo, yang berumur 95-105 HSS dengan hasil kurang dari 5 t/ha (Suprihatno et al. 2009). Umur tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi padi. Dalam kurun waktu yang sama, tanaman padi berumur pendek (genjah) memiliki potensi hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman padi berumur panjang (Hadiarto 2009). Umur berbunga berkorelasi dengan karakter umur genjah. Umur berbunga yang lebih awal akan mempercepat umur matang fisiologis. K arakter umur genjah dikendalikan secara poligenik, sehingga segregasi transgresif masih dapat diperoleh untuk karakter umur dalam maupun umur genjah (Briggs and Knowles 1967). Hasil penelitian Pramudyawardani et al. (2011) menyimpulkan bahwa aksi gen yang mempengaruhi awal berbunga adalah aditif dominan. Semakin banyak gen dominan berkumpul dalam satu individu semakin lama umur berbunga, sehingga umur matang fisiologis lebih panjang. Karakter umur berbunga mempunyai nilai heritabilitas sedang sampai tinggi, yang memungkinkan seleksi karakter umur dilaksanakan dari generasi awal. Padi merupakan tanaman hari pendek (Vergara and Chang 1985, Yano et al. 2000, Yano et al. 2001, Kojima et al. 2002, Komiya et al. 2008). Beberapa gen pengendali umur berbunga pada padi telah banyak diketahui. Nishida et al. (2001) menyatakan gen-gen yang paling berperan dalam pembungaan padi berada pada lokus Ef1, E, dan Se1. Penelitian lain menunjukkan QTL Hd1 merupakan turunan (downstream) dari QTL Hd3a yang menyebabkan padi lebih cepat berbunga pada kondisi hari pendek (Yano et al. 2000, Yano et al. 2001, Imaizumi and Kay 2006, Tamaki et al. 2007, Izawa 2007, Komiya et al. 2008, Luan et al. 2009, Itoh et al. 2010). Perakitan varietas padi ultra genjah dapat menyebabkan penurunan potensi hasil. Gen DTH8
2
merupakan gen yang mengontrol tiga karakter penting tanaman padi, yaitu hasil gabah, tinggi tanaman, dan waktu berbunga (Wei et al. 2010; Yan et al. 2011; Chao et al. 2013). Wei et al. (2010) berhasil mengidentifikasi gen DTH8 yang berfungsi sebagai novel suppressor pada tanaman fotoperiodik yang ditanam pada hari panjang (> 14 jam/hari) yang menyebabkan pembungaan lebih cepat, namun secara bersamaan mengurangi tinggi tanaman dan hasil gabah. Yan et al. (2011) menyatakan QTL Ghd8/DTH8 menyebabkan penundaan waktu berbunga pada kondisi hari panjang, dan meningkatkan pembentukan gabah yang berkorelasi dengan peningkatan hasil. Dai et al. (2012) mengungkapkan bahwa alel LDH1 yang merupakan alel dari DTH8/Ghd8 dapat menekan regulasi gen aktivator berbunga, seperti Ehd1, Hd3a, dan RFT1 pada kondisi hari panjang, yang menyebabkan lambatnya pembungaan. Perakitan varietas padi sawah berumur ultra genjah dimulai oleh BB Padi pada tahun 2009. Pembentukan populasi dasar menggunakan metode seleksi silang berulang (reccurrent selection). Setelah berjalan selama tiga tahun diperoleh galur-galur harapan ultra genjah (< 90 HSS) dengan morfologi tanaman yang mendukung hasil tinggi. Selain itu juga telah diperoleh galur-galur harapan sangat genjah (91-104 HSS) dengan keragaan morfologi yang lebih baik dari varietas Silugonggo dan Dodokan, dan diperkirakan hasil per hari (yield per day) setara dengan Ciherang. Hasil penelitian pada tahun 2011 memperoleh sekitar 200 galur harapan padi sawah generasi menengah dan lanjut berumur ultra genjah sampai sangat genjah, yang layak dilanjutkan pada uji daya hasil. Penelitian daya hasil dan daya adaptasi adalah kegiatan tahap lanjut yang bertujuan untuk mengevaluasi galur-galur terpilih dari pertanaman observasi. Penelitian daya hasil dimaksudkan untuk menguji kemantapan potensi hasil galur-galur unggulan yang terseleksi dari pertanaman observasi menggunakan rancangan percobaan berulangan. Uji daya hasil bertujuan untuk mempercepat identifikasi galur-galur terpilih dari observasi, dan menetapkan galur-galur lanjut yang berpotensi sebagai calon varietas baru. Yuan et al. (2011) menyatakan seleksi berdasarkan uji daya hasil pada galur-galur generasi lanjut lebih tepat untuk memperoleh galur dengan daya hasil tinggi, dibandingkan seleksi berdasarkan karakter komponen hasil. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil 200 galur generasi lanjut padi sawah ultra genjah (<90 HSS) dan sangat genjah (<104 HSS) pada uji daya hasil pendahuluan (UDHP) dan 17 galur harapan pada uji daya hasil lanjutan (UDHL).
PRAMUDYAWARDANI ET AL.: POTENSI HASIL PADI SAWAH ULTRA GENJAH DAN SANGAT GENJAH
BAHAN DAN METODE
Tabel 1. Galur ultra genjah dan sangat genjah pada UDHL, MT II 2012.
Uji Daya Hasil Pendahuluan
Galur/varietas
Persilangan
Sebanyak 200 galur padi sawah ultra genjah dan sangat genjah dan lima varietas pembanding diuji potensi hasilnya pada percobaan UDHP di Sukamandi pada MT I 2012 (April-Juli 2012). Lima varietas pembanding yang digunakan adalah Ciherang, Silugonggo, Dodokan, Inpari 1, dan Inpari 13, memiliki latar belakang genetik umur sangat genjah, daya hasil tinggi, dan mutu beras baik. Petak perlakuan berukuran 2 m x 5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm, jumlah bibit 2-3 bibit/rumpun, dan umur bibit 15 hari setelah sebar (HSS). Pupuk 150 kg urea dan 300 kg Phonska/ha, diberikan dua kali masing-masing 75 kg urea dan 200 kg Phonska pada 1 minggu setelah tanam (MST) dan 75 kg urea dan 100 kg Phonska/ha pada 30 HST. Tabur benih dilakukan 16 April 2012 dan tanam pada 1 Mei 2012. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan kaidah PHT. Uji daya hasil pendahuluan menggunakan rancangan augmented, pengulangan dilakukan pada varietas pembanding yang dibagi pada lima blok. Galurgalur yang berada dalam blok tertentu dibandingkan dengan rata-rata pembanding yang ada pada blok tersebut. Data UDHP dianalisis korelasi dan sidik lintas menggunakan data enam karakter dikorelasikan terhadap hasil gabah, yaitu umur matang fisiologis, hasil/ hari, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi/rumpun, dan bobot 1.000 butir. Untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung dari keenam karakter yang diamati terhadap hasil gabah dilakukan analisis sidik lintas (Singh and Chaudhary 1979) menggunakan SAS 9.0.
BP15618-1b-11
OM4498/TNAU6484//TNAU6484/ TNAU6543 Inpari 1/TNAU6484//OM5240/ TNAU6543 IR71146/OM4495 IR71146/OM4495 TNAU6543/Inpari 1//OM5240/ TNAU6484 Inpari 1/TNAU6543//TNAU6543/ Inpari 1 OM4495/Silugonggo IR65633/Inpari 1 OM1490/Silugonggo IR65633/Inpari 1 Ciliwung/Mekongga//Ciherang TNAU6484/OM4498 OM4495/Inpari 1 Membramo/Celebes//Ciherang IR71146/OM1490 OM5240/Silugonggo IR71146/IR65633 Pembanding Pembanding Pembanding
Uji Daya Hasil Lanjutan Percobaan uji daya hasil lanjutan mengevaluasi 17 galur harapan ultra genjah dan sangat genjah yang terpilih dari hasil seleksi UDHP (Tabel 1). UDHL dilaksanakan pada MT II 2012 (Agustus-November 2012) di Sukamandi (16 m dpl), Kuningan (550 m dpl), Magelang (300 m dpl), dan Klaten (133 m dpl). Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), dengan tiga varietas pembanding, yaitu Silugonggo, Inpari 13, dan Ciherang dengan tiga ulangan. Petak perlakuan berukuran 3 m x 5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm, jumlah bibit 2-3 bibit/ rumpun, umur bibit 15 HSS. Pupuk 150 kg urea dan 300 kg Phonska/ha diberikan dua kali masing-masing 75 kg urea dan 200 kg Phonska pada 1 MST dan 75 kg urea dan 100 kg Phonska/ha pada 30 HST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan kaidah PHT. Analisis sidik ragam mengikuti rancangan RAK, diikuti dengan uji perbandingan berganda Duncan (DMRT) jika
BP15678-6b-3 BP14562-RS2-1b-1 BP14562-RS2-1b-14 BP15748-2b-2 BP15692-3b-4 BP14592-RS2-3b-7 BP14574b-26-1-IM-1-2*B BP14586-RS2-7b-1 BP14574b-27-3-IM-3-2*B BP13074-1f-Kn-9-1 BP14654b-23-3-IM-2-2*B BP14588-RS2-2b-6 BP12372-2f-3-Kn-2-1*B BP14560-RS2-5b-10 BP14630b-43-2-IM-2-2*B BP14558b-51-1-IM-1-2*B Silugonggo Inpari 13 Ciherang
terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan galur (Mattjik and Sumertajaya 2006). Pengamatan mengikuti SES padi (IRRI 2002) untuk karakter umur 50% berbunga, tinggi tanaman, jumlah malai/rumpun, umur matang fisiologis, jumlah gabah isi dan gabah hampa, bobot 1.000 butir gabah isi, hasil gabah, dan hasil/hari (yield per day).
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Daya Hasil Pendahuluan Keragaan morfologis kelima varietas pembanding dan 200 galur yang diuji di UDHP ditampilkan pada Tabel 2 dan 3. Berdasarkan data antarvarietas pembanding, Silugonggo mempunyai umur matang fisiologis paling genjah (92 HSS), diikuti oleh Inpari13 (93 HSS), Dodokan (94 HSS), Inpari 1 (97 HSS), dan Ciherang (100 HSS). Umur matang fisiologis 200 galur yang diuji berkisar antara 77- 95 HSS. Terdapat 155 galur yang tergolong ultra genjah, kurang dari 90 HSS dan 45 galur tergolong sangat genjah (91-104 HSS). Pemilihan galur-galur terbaik ditentukan berdasarkan hasil analisis statistik. Hasil varietas Inpari 1 paling tinggi (4.629 kg/ha), diikuti oleh Ciherang (4.434 kg/ha), Inpari 13 (4.361 kg/ha), Dodokan (4.115 kg/ha), dan Silugonggo (3.982 kg/ha). Hasil galur berkisar antara 3.238- 6.006 kg/ 3
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
ha. Inpari 1 sebagai varietas pembanding terbaik dijadikan patokan dalam pemilihan galur terbaik. Berdasarkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT 5%), diperoleh tiga galur dengan hasil yang nyata lebih tinggi dan hasil dua galur setara dengan Inpari 1 (Tabel 4). Galur-galur tersebut adalah BP14562-RS2-1b-14 (6.006 kg/ha), BP12372-2f-3-Kn-2-1*B (5.802 kg/ha), BP12600f-Kn-4-1-1*B (5.792 kg/ha),
BP14592-RS2-3b-7 (5.495 kg/ha), dan BP14592-RS2-2b-1 (5.463 kg/ha), dengan umur matang fisiologis masingmasing 94 HSS, 87 HSS, 91 HSS, 94 HSS, dan 88 HSS. Varietas pembanding Inpari 1 memberikan hasil per hari tertinggi (47,3 kg/hr), diikuti oleh Inpari 13 (46,6 kg/ hr), Ciherang (44,3 kg/hr), Dodokan (43,7 kg/hr), dan terendah Silugonggo (43,4 kg/hr). Hasil per hari galurgalur yang diuji berkisar antara 37,6-66,1 kg/hr. Berdasarkan karakter hasil per hari diperoleh 35 galur yang secara statistik nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 1, dengan kisaran 56,1 kg/hr (galur No. 313) sampai 69,6 kg/hr (galur No. 209). Tingkat kenaikan hasil ke-35 galur tersebut dibandingkan Inpari 1 berkisar antara 18,6-47,1% (Tabel 5). Berdasarkan umur matang fisiologis dan hasil per hari terlihat potensi beberapa galur menyamai atau melampaui kemampuan varietas pembanding terbaik. Pemilihan galur-galur terbaik dilakukan berdasarkan pertimbangan hasil gabah, hasil per hari, dan umur matang fisiologis. Sebanyak 17 galur dengan hasil per hari tertinggi berumur ultra genjah/sangat genjah dipilih untuk dilanjutkan pada UDHL.
Tabel 2. Analisis sidik ragam antarvarietas pembanding untuk tujuh karakter utama. Karakter
KT
Umur matang fisiologis Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif/rumpun Hasil gabah Hasil per hari Jumlah gabah isi/rumpun Bobot 1.000 butir
KK (%)
52,16** 83,92** 23,60* 33.1375tn 16,15tn 56.386tn 1,69**
3,84 2,91 16,98 16,2 13,77 20,18 2,46
**: berbeda nyata pada taraf 1%; *: berbeda nyata pada taraf 5%; tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5%; KT: kuadrat tengah; KK: koefisien keragaman.
Tabel 3. Kisaran hasil dan komponen hasil varietas pembanding dan galur. Karakter Umur matang fisiologis (HSS) Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif/rumpun (malai) Hasil gabah (kg/ha) Hasil/hari (kg/hr) Jumlah gabah isi/rumpun (butir) Bobot 1.000 butir (g)
Ciherang
Dodokan
Inpari 1
Inpari 13
Silugonggo
Kisaran galur
99,8 105,5 14,8 4.434 44,3 1.346 26,5
94,2 105,7 14,5 4.115 43,7 1.539 26,2
97,4 96,2 19,8 4.629 47,3 1.582 26,2
93,4 102,9 15,6 4.361 46,6 1.534 25,7
91,8 99,3 17,2 3.982 43,4 1.378 25,0
78,7-94,5 79,2-113,8 8,7-28,3 3.223-6.006 36,9-69,6 696,4-2.489,0 19,4-30,7
Tabel 4. Hasil dan komponen hasil lima galur UDHP terbaik. Sukamandi, MT I 2012.
No. galur
Hasil (kg/ha)
Hasil/hari (kg/hr)
% kenaikan
Umur (HSS)
Anakan produktif/ rumpun
Tinggi (cm)
Jumlah gabah isi/ rumpun
Bobot 1.000 butir (g)
207 209 217 234 342 Ciherang Dodokan Inpari 1 Inpari 13 Silugonggo
5.802 * 6.006 * 5.463 tn 5.792 * 5.495 tn 4.434 4.115 4.629 4.361 3.982
62,2 * 69,6 * 60,4 * 62,1 * 62,8 * 44,3 43,7 47,3 46,6 43,4
25,3 29,7 18,0 25,1 18,7
93,7 tn 86,7 * 90,7 tn 93,7 tn 87,5 tn 99,8 94,2 97,4 93,4 91,8
20,9 tn 16,9 tn 17,2 tn 15,6 15,4 tn 13,3 14,6 14,9 13,4 15,4
99,9 102,7 tn 105,1 tn 107,7 tn 91,1 105,5 105,7 96,2 102,9 99,3
1.662,0 tn 1.266,0 tn 1.508,0 tn 1.790,0 tn 1.630,0 tn 1.346 1.539 1.582 1.534 1.378
27,3 * 25,5 26,2 tn 25,5 23,8 26,5 26,2 26,2 25,7 25,0
LSD (5%)
935
8,3
4,9
2,5
4,0
399,3
0,9
*: berbeda nyata berdasarkan LSD 5%, dibandingkan dengan pembanding terbaik; tn: tidak berbeda nyata berdasarkan LSD 5%, dibandingkan dengan pembanding terbaik.
4
PRAMUDYAWARDANI ET AL.: POTENSI HASIL PADI SAWAH ULTRA GENJAH DAN SANGAT GENJAH
Hubungan Sifat Agronomis Penting
Tabel 5. Galur-galur UDHP dengan hasil per hari tinggi. Sukamandi MTI 2012. No. galur
Hasil/hari (kg/hr)
%
102 109 132 136 139 144 203 207 209 214 216 217 218 234 238 239 241 242 306 312 313
58* 58* 60* 58* 58* 61* 57* 62* 70* 58* 57* 60* 62* 62* 58* 56* 57* 62* 63* 59* 56*
23,0 21,9 26,0 23,0 21,5 29,6 21,3 31,5 47,1 22,6 19,5 27,7 30,6 31,3 22,8 19,2 20,7 31,5 33,6 24,7 18,6
No. galur 325 329 333 339 342 407 412 418 423 430 435 436 443 512 Ciherang Dodokan Inpari 1 Inpari 13 Silugonggo LSD (5%)
Hasil/hari (kg/hr)
%
57* 59* 58* 59* 63* 60* 57* 58* 59* 56* 60* 59* 56* 56* 44 44 47 47 43 8.3
19,9 23,9 23,3 23,6 32,7 26,4 19,8 23,4 24,5 18,8 26,6 24,3 19,0 19,0
* nyata lebih tinggi dibandingkan Inpari 1; %: persentase kenaikan hasil per hari dibandingkan dengan Inpari 1
Berdasarkan korelasi Pearson, empat dari enam karakter yang diamati memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan hasil gabah (Gambar 1). Karakter yang paling tinggi berkorelasi dengan hasil gabah adalah hasil per hari/YD (C=0,88), diikuti oleh jumlah gabah isi per rumpun (C=0,24), umur matang fisiologis (C= 0,22), dan jumlah anakan produktif per rumpun (C=0,14). Hasil analisis sidik lintas menunjukkan bahwa karakter yang secara langsung paling berpengaruh terhadap peningkatan hasil gabah adalah hasil per hari (r31=1,004) dan umur matang fisiologis (r21=0,472) (Gambar 1). Pengaruh langsung dari keempat karakter lainnya terhadap hasil sangat kecil, berkisar antara 0,0000,012. Hasil analisis tersebut menggambarkan bahwa hasil gabah pada populasi yang diamati sangat dipengaruhi oleh karakter hasil per hari, jumlah gabah isi per malai, umur matang fisiologis, dan jumlah anakan produktif per rumpun, dengan pengaruh langsung paling besar adalah hasil per hari dan umur matang fisiologis. Kedua karakter tersebut dapat dijadikan kriteria seleksi utama dalam memilih galur ultra genjah/ sangat genjah dengan hasil tinggi.
2. Umur C = 0,22* r21=0,472
r23=-0,262 r32=-0,123
3. Y/D C = 0,88*
1. Has il gabah
r31 =1,004
r24=0,006 r42=0,228
r 35 =0,000 r53=0,071
4. Tinggi tan. C = 0,10 r41=0,012
r45= 0, 000 r54= -0,001
5. Anprod C = 0,14 r51 =0,000
R= 0,097
r 26 =0,003 r 62 =0,170 r 36 =0,000 r 63 =0,058
r46=0,002 r64=0,002 r 56 =0, 005 r 63 =0, 000
6. GabsiR C = 0,24* r61=0,008
r25=0,000 r52=0,067
r 34 =-0,002 r 43 =-0,137
r 27 =0,001 r 72 =0,119 r 37=0,000 r 73=0,008
r47=0,000 r74=0,001 r57=0,000 r73=0,000
r 67=0,000 r 76=-0, 002
7. 1000btr C = 0,13 r71 =0,002
Gambar 1. Sidik lintas fenotipik antar enam komponen hasil dengan hasil gabah dari UDHP. Sukamandi, MT I 2012. C: koefisien korelasi; *: berbeda nyata pada taraf 5%.
5
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Hal yang menarik dibahas adalah pengaruh dari karakter jumlah gabah isi per malai terhadap hasil gabah. Analisis korelasi menunjukkan nilai korelasi karakter jumlah gabah isi per malai lebih besar dibandingkan dengan umur matang fisiologis, namun setelah dilakukan analisis sidik lintas ternyata pengaruh langsung dari karakter jumlah gabah isi per malai justru sangat kecil terhadap hasil gabah (r 61 = 0,008). Berdasarkan pengaruh tidak langsung karakter gabah isi, ternyata karakter umur matang fisiologis berperan paling besar terhadap pembentukan gabah isi dengan nilai positif (r62 = 0,170) (Gambar 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa karakter umur pada penelitian ini merupakan karakter utama yang berpengaruh terhadap proses pengisian gabah. Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa padi dengan umur yang lebih dalam umumnya menghasilkan gabah isi lebih banyak (Ying et al. 1998, Peng et al. 1999, Takai et al. 2006). Hasil analisis sidik lintas ini menghasilkan nilai residual (R) 0,097. Angka ini menunjukkan terdapat beberapa karakter yang tidak teramati yang berpengaruh terhadap perolehan hasil gabah, yang tidak dapat dijelaskan pada penelitian ini. Uji Daya Hasil Lanjutan Kondisi pertanaman di Magelang dan Kuningan relatif normal, tidak ada serangan hama dan penyakit. Di Klaten, tanaman terserang penyakit HDB pada fase vegetatif, sedangkan pertanaman di Sukamandi terserang hama penggerek batang pada fase vegetatif dan serangan burung pada fase pengisian gabah, namun data yang diperoleh masih layak untuk dianalisis. Hasil analisis sidik ragam hasil gabah, umur matang fisiologis, dan hasil gabah per hari di masing-masing lokasi pengujian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Analisis sidik ragam galur-galur UDHL di empat lokasi pengujian, MT II 2012. Klaten
Magelang
Karakter KT Hasil Umur Hasil/hari
KK (%)
20,99** 168,06** 88,0**
9,2 2,3 9,9
KT
KK (%)
35,92** 130,00** 151,8**
Sukamandi
13,3 1,02 13,3
Kuningan
Karakter KT Hasil Umur Hasil/hari
30,34** 110,37** 161,28**
KK (%) 10,3 2,1 9,9
KT
KK (%)
0,94** 205,62** 59,24**
9,9 0,6 9,8
**: berbeda nyata berdasarkan taraf kepercayaan 99%; KT, kuadrat tengah; KK, koefisien keragaman.
6
Pada karakter hasil gabah dan hasil per hari terdapat perbedaan yang nyata antara galur yang diuji dengan koefisien keragaman (KK) yang cukup tinggi, sedangkan KK untuk karakter umur di setiap lokasi termasuk kecil. Hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan hasil gabah dan hasil per hari yang cukup besar di antara galur-galur yang diuji, sedangkan perbedaan umur setiap galur relatif tidak berbeda. Berdasarkan analisis sidik ragam dari ketiga karakter tersebut maka peluang untuk mendapatkan galur-galur dengan hasil tinggi dan umur ultra genjah/sangat genjah cukup besar. Berdasarkan hasil analisis sidik lintas (data UDHP) dan analisis sidik ragam di masing-masing lokasi tersebut, seleksi di setiap lokasi dititikberatkan pada karakter hasil gabah, hasil per hari, dan umur matang fisiologis. Untuk karakter hasil gabah, di Klaten diperoleh tiga galur yang hasil gabahnya nyata lebih tinggi dibanding Silugonggo (4,99 t/ha) maupun Ciherang (4,99 t/ha), satu galur di antaranya memberikan hasil nyata lebih tinggi dibanding varietas pembanding terbaik Inpari 13 (5,14 t/ha). Galur-galur tersebut adalah BP14630b-43-2-IM-2-2*B (6,08 t/ha), BP14654b-23-3-IM2-2*B (6,01 t/ha), dan BP12372-2f-3-Kn-2-1*B (5,99 t/ha). Di Magelang tidak ada galur yang memberikan hasil yang nyata lebih tinggi dari varietas pembanding terbaik Inpari 13 (5,88 t/ha), namun 10 galur nyata lebih tinggi dibanding Ciherang (4,24 t/ha). Hasil dari ke-10 galur tersebut berkisar antara 5,73-6,71 t/ha. Semua galur ini berumur 4-15 hari lebih genjah dibanding Inpari 13 atau 12-25 hari lebih genjah dari Ciherang. Di Sukamandi diperoleh 14 galur yang memberikan hasil setara dengan Silugonggo dan Ciherang, namun dibandingkan dengan Inpari 13 terdapat sembilan galur yang nyata lebih baik. Di Kuningan terdapat enam galur yang memberikan hasil setara dengan Inpari 13 (5,44 t/ha) (Tabel 7). Semua galur dan varietas pembanding pada UDHL mengalami penambahan umur matang fisiologis sekitar 10-15 hari dibandingkan dengan pertanaman UDHP. Data umur matang fisiologis setiap galur yang diuji di empat lokasi ditampilkan pada Tabel 8. Silugonggo sebagai varietas pembanding mempunyai umur matang fisiologis yang stabil lebih genjah dibandingkan dengan Ciherang dan Inpari 13 di empat lokasi pengujian, dengan rata-rata 108 HSS. Di Klaten, umur matang fisiologis 17 galur yang diuji berkisar antara 84-107 HSS, dan umur matang fisiologis varietas Silugonggo 103 HSS. Di Magelang, umur matang fisiologis galur berkisar antara 90-111 HSS, dan umur matang fisiologis varietas Silugonggo 109 HSS. Di Sukamandi, umur matang fisiologis galur berkisar antara 89-104 HSS, dan umur matang fisiologis varietas Silugonggo 109 HSS. Di Kuningan, umur matang fisiologis galur berkisar antara 108-123 HSS, dan umur matang fisiologis varietas
PRAMUDYAWARDANI ET AL.: POTENSI HASIL PADI SAWAH ULTRA GENJAH DAN SANGAT GENJAH
Tabel 7. Hasil gabah galur padi umur ultra/sangat genjah di empat lokasi. UDHL, MT II 2012. Hasil gabah kering (t/ha) Galur Klaten BP15618-1b-11 BP15678-6b-3 BP14562-RS2-1b-1 BP14562-RS2-1b-14 BP15748-2b-2 BP15692-3b-4 BP14592-RS2-3b-7 BP14574b-26-1-IM-1-2*B BP14586-RS2-7b-1 BP14574b-27-3-IM-3-2*B BP13074-1f-Kn-9-1 BP14654b-23-3-IM-2-2*B BP14588-RS2-2b-6 BP12372-2f-3-Kn-2-1*B BP14560-RS2-5b-10 BP14630b-43-2-IM-2-2*B BP14558b-51-1-IM-1-2*B Silugonggo Inpari 13 Ciherang
3,86 4,74 4,18 4,60 5,39 4,60 4,61 4,25 5,05 5,48 5,22 6,01 5,41 5,99 5,30 6,08 5,38 4,99 5,13 4,99
Rata-rata KK (5%)
5,06 9,20
f cde ef c-f abc c-f c-f def cde abc abc ab abc ab abc a abc cde bcd cde
Magelang 3,82 5,16 5,30 6,16 6,52 5,73 5,42 5,93 5,36 5,94 4,36 6,64 6,15 6,49 5,48 6,07 6,71 5,69 5,88 4,24 5,65 13,32
e b-e a-d ab ab abc a-d ab a-d ab cde ab ab ab a-d ab a abc ab de
Sukamandi 3,24 5,68 5,07 5,50 6,15 4,89 6,33 6,43 5,72 5,96 5,52 5,90 5,79 6,03 5,35 5,43 5,89 6,16 4,60 6,11
e a-d bcd a-d ab cd a a abc abc a-d abc abc ab a-d a-d abc ab d ab
5,59 10,31
Kuningan 4,35 4,94 4,71 4,99 5,97 4,17 4,83 4,81 4,95 5,82 4,44 5,93 5,12 5,73 5,63 6,03 4,77 5,19 5,44 4,93
gh d-h fgh b-h ab h d-h e-h c-h a-d gh abc a-h a-e a-f a e-h a-g a-f d-h
5,14 9,88
Rata-rata gabungan 3,82 5,13 4,82 5,31 6,01 4,85 5,30 5,35 5,27 5,80 4,89 6,12 5,62 6,06 5,44 5,90 5,69 5,51 5,27 5,07
i e-h h d-h ab h d-h d-h d-h a-d gh a a-f a c-g abc a-e b-f d-h fgh
5,36 10,93
Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 5%
Silugonggo 122 HSS. Terlihat perbedaan umur matang fisiologis di antara galur yang sama di keempat lokasi pengujian, begitu juga varietas pembanding. Hasil penelitian Vergara (1976) di Thailand, Burma, dan Bangladesh menunjukkan ketinggian tempat dapat mempengaruhi panjang hari, yang mengakibatkan variasi waktu berbunga varietas yang sama. Tsuji et al. (2011) menyatakan aktivitas gen Ghd7 yang mengendalikan karakter jumlah gabah, tinggi tanaman, dan waktu berbunga dipengaruhi oleh ketinggian tempat pertanaman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan, dimana umur tanaman tergenjah diperoleh di lokasi yang paling rendah (Sukamandi) dan yang paling dalam di lokasi paling tinggi (Kuningan). Yuan-li dan Wei-jiang (2012) menyatakan bahwa temperatur yang lebih rendah dapat memperlambat waktu pembungaan, namun pengaruh regulasi pembungaan terhadap perbedaan temperatur masih belum jelas dan perlu dipelajari. Hasil per hari dapat menggambarkan efektivitas pengumpulan fotosintat menjadi gabah, semakin besar nilainya semakin baik efektivitas pengisian gabah. Di empat lokasi pengujian, Sukamandi memperoleh nilai rata-rata hasil gabah per hari paling tinggi (57,5 kg/hr) dibandingkan lokasi lainnya, sedangkan Kuningan (45,0 kg/hr) paling kecil. Apabila dihubungkan dengan umur
matang fisiologis, semakin genjah umur padi semakin besar hasil per hari, dan sebaliknya (Tabel 9). Hal tersebut juga diperkuat oleh hasil analisis sidik lintas, di mana nilai korelasi antara umur dan hasil per hari adalah negatif (Gambar 1). Analisis Gabungan Untuk mengetahui pengaruh perbedaan lingkungan tumbuh terhadap hasil gabah dan umur panen, dilakukan analisis gabungan terhadap seluruh data dari empat lokasi pengujian. Hasil analisis gabungan menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata di antara keempat lingkungan tumbuh dan galur-galur yang diuji. Hasil analisis sidik ragam gabungan hasil dan komponen hasil untuk interaksi lokasi x galur (GxE) ditampilkan pada Tabel 10. Hasil analisis sidik ragam gabungan memperlihatkan sembilan karakter berbeda nyata sampai sangat nyata, dan dua karakter tidak berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan keragaman pada karakter tinggi tanaman, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, gabah total per malai, persentase gabah hampa, bobot 1.000 butir, umur, hasil gabah, dan hasil per hari dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh. Dengan kata lain terdapat interaksi yang nyata antara galur dan lingkungan. Karakter jumlah
7
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 8. Keragaan umur matang galur padi umur ultra/sangat genjah di empat lokasi. UDHL, MT II 2012. Umur matang fisiologis (HSS) Galur Klaten (139 m dpl) BP15618-1b-11 BP15678-6b-3 BP14562-RS2-1b-1 BP14562-RS2-1b-14 BP15748-2b-2 BP15692-3b-4 BP14592-RS2-3b-7 BP14574b-26-1-IM-1-2*B BP14586-RS2-7b-1 BP14574b-27-3-IM-3-2*B BP13074-1f-Kn-9-1 BP14654b-23-3-IM-2-2*B BP14588-RS2-2b-6 BP12372-2f-3-Kn-2-1*B BP14560-RS2-5b-10 BP14630b-43-2-IM-2-2*B BP14558b-51-1-IM-1-2*B Silugonggo Inpari 13 Ciherang
84 95 95 95 103 95 98 95 98 95 98 102 93 100 95 107 103 103 110 120
Rata-rata KK (5%)
99,2 2,25
Magelang (308 m dpl)
h fg fg fg cd fg ef fg ef fg ef de g de fg bc cd cd b a
90 100 101 100 110 101 106 103 106 101 104 111 104 111 101 111 106 109 115 120
h g g g cd g e f e g f c f c g c e d b a
105,5 1,02
Sukamandi (16 m dpl) 89 93 90 93 95 94 95 96 94 95 93 102 96 104 93 103 103 97 103 115 97,2 2,10
f cde ef cde cd cd cd cd cd cd cde b cd b de b b c b a
Kuningan (550 m dpl) 108 109 108 107 117 109 115 109 115 109 111 121 109 121 109 123 121 122 123 132 114,9 4,51
c c c c bc c bc c bc c c b c b c b b b b a
Rata-rata gabungan
93 99 99 99 106 100 104 101 103 100 102 109 100 109 100 111 108 108 113 122
i gh h gh e gh f gh f gh fg cde gh cd gh bc cde de b a
104,2 2,93
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 5%; HSS: hari setelah sebar; m dpl: meter di atas permukaan laut.
anakan produktif per rumpun dan jumlah gabah hampa per malai tidak banyak terpengaruh oleh lingkungan, sehingga nilai rata-rata setiap galur untuk kedua karakter tersebut relatif sama di keempat lokasi pengujian. Berdasarkan hasil per satuan luas, Inpari 13 unggul di tiga lokasi pengujian, sedangkan Silugonggo unggul di satu lokasi yaitu Sukamandi. Namun berdasarkan analisis gabungan ternyata hasil Silugonggo melampaui Inpari 13. Dari empat lokasi pengujian diperoleh dua galur dengan hasil yang konsisten lebih tinggi atau setara dengan Inpari 13 maupun Ciherang di tiga lokasi pengujian, yaitu galur BP14654b-23-3-IM-2-2*B dan BP14630b-43-2-IM-2-2*B dengan rata-rata hasil masingmasing 6,12 t/ha dan 5,90 t/ha. Hasil galur BP14630b-432-IM-2-2*B konsisten lebih tinggi atau setara dengan Inpari 13 dan Ciherang di dua lokasi pengujian, dengan rata-rata hasil 5,90 t/ha. Dari analisis gabungan diperoleh dua galur dengan hasil yang nyata lebih baik dari varietas pembanding terbaik Silugonggo (5,51 t/ha), yaitu BP14654b-23-3-IM-2-2*B (6,12 t/ha) dan BP12372-2f-3Kn-2-1*B (6,06 t/ha). Selain itu terdapat lima galur dengan hasil setara dengan Silugonggo, yaitu BP15748-2b-2, BP14574b-27-3-IM-3-2*B, BP14588-RS2-2b-6, BP14630b43-2-IM-2-2*B, dan BP14558b-51-1-IM-1-2*B (Tabel 7).
8
Sebanyak tiga galur menunjukkan kestabilan umur yang nyata lebih genjah dibanding Silugonggo di empat lokasi pengujian, yaitu BP15618-1b-11, BP14562-RS2-1b1, dan BP14560-RS2-5b-10, dengan rata-rata umur masing-masing 93 HSS, 99 HSS, dan 100 HSS (Tabel 8). Berdasarkan analisis gabungan diperoleh 12 galur dengan umur matang fisiologis nyata lebih genjah dibandingkan dengan Silugonggo. Dua dari tujuh galur dengan hasil gabah terbaik mempunyai umur matang yang nyata lebih genjah dari Silugonggo, empat galur setara, dan satu galur nyata lebih dalam dari Silugonggo, namun masih setara dengan Inpari 13. Varietas Silugonggo (51,7 kg/hr) mempunyai hasil gabah per hari paling tinggi di antara varietas pembanding lainnya dan Ciherang paling rendah (41,9 kg/hr). Galur BP14574b-27-3-IM-3-2*B (58,2 kg/hr) menghasilkan gabah per hari paling tinggi dan nyata dibandingkan dengan Silugonggo. Dibandingkan dengan Ciherang, terdapat enam belas galur dengan hasil yang nyata lebih tinggi, dan satu galur (BP156181b-11) setara dengan Ciherang. Hasil analisis gabungan menunjukkan hasil per hari tujuh galur setara dengan Silugonggo (Tabel 9).
PRAMUDYAWARDANI ET AL.: POTENSI HASIL PADI SAWAH ULTRA GENJAH DAN SANGAT GENJAH
Tabel 9. Hasil gabah per hari galur padi umur ultra/sangat genjah di empat lokasi. UDHL, MT II 2012. Hasil gabah per hari (kg/hr) Galur Klaten BP15618-1b-11 BP15678-6b-3 BP14562-RS2-1b-1 BP14562-RS2-1b-14 BP15748-2b-2 BP15692-3b-4 BP14592-RS2-3b-7 BP14574b-26-1-IM-1-2*B BP14586-RS2-7b-1 BP14574b-27-3-IM-3-2*B BP13074-1f-Kn-9-1 BP14654b-23-3-IM-2-2*B BP14588-RS2-2b-6 BP12372-2f-3-Kn-2-1*B BP14560-RS2-5b-10 BP14630b-43-2-IM-2-2*B BP14558b-51-1-IM-1-2*B Silugonggo Inpari 13 Ciherang
46,2 49,9 44,0 48,4 52,2 48,5 47,1 44,8 51,5 57,7 53,2 59,3 57,9 59,9 55,8 57,0 52,1 48,3 46,8 41,6
Rata-rata KK (5%)
51,1 9,93
Magelang
def
42,5 51,6 52,5 61,5 59,5 56,8 51,1 57,6 50,8 59,0 42,0 60,0 59,3 58,3 54,2 54,7 63,2 52,4 51,1 35,3
b-f ef cdef a-e c-f def ef a-f abc a-e ab abc a a-d abc a-e c-f def f
bc ab ab a a a ab a ab a bc a a a ab ab a ab ab c
53,7 13,27
Sukamandi 36,2 60,8 56,3 58,8 64,7 51,9 66,7 66,9 60,8 62,9 59,2 57,6 60,5 58,1 57,6 52,9 57,4 63,6 44,5 53,2 57,5 9,95
e abc abc abc ab cd a a abc abc abc abc abc abc abc bcd abc ab de bcd
Kuningan 41,2 45,4 43,5 46,5 50,9 38,4 42,0 44,2 43,0 53,4 40,0 48,9 46,9 47,3 51,7 49,2 39,5 42,5 44,3 37,3 44,8 10,59
c-g a-g b-g a-g abc fg c-g a-g b-g a d-g a-e a-f a-f ab a-d efg b-g a-g g
Rata-rata gabungan 41,5 52,0 49,1 53,8 56,8 48,9 51,7 53,4 51,5 58,2 48,6 56,4 56,2 55,9 54,8 53,5 53,0 51,7 46,7 41,9
e bcd cd abc ab cd bcd abc bcd a cd ab ab ab ab abc abc bcd d e
51,8 11,09
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 5%.
Tabel 10. Analisis sidik ragam gabungan untuk sumber ragam galur x lokasi (GxE). UDHL, MT II 2012. Karakter
KTGxE
Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif/rumpun Panjang malai Jumlah gabah total/malai Jumlah gabah isi/malai Jumlah gabah hampa/malai Persentase gabah hampa Bobot 1.000 butir Umur Hasil gabah Hasil/hari
61,3* 3,1tn 1,6** 270,1* 313,2** 103,5tn 41,0** 1,7** 15,21** 0,69** 73,72**
KK (%) 6,51 7,60 3,35 8,57 8,88 23,10 19,50 2,49 1,58 10,93 10,95
**: berbeda nyata berdasarkan taraf kepercayaan 99%; *: berbeda nyata berdasarkan taraf kepercayaan 95%; tn: tidak berbeda nyata.
Analisis Stabilitas Hasil analisis stabilitas ketiga karakter utama ditampilkan pada Tabel 11. Pada karakter hasil gabah dan hasil per hari terdapat koefisien regresi yang bernilai negatif. Hal tersebut diduga karena jumlah lokasi pengujian yang kurang memadai. Diperlukan penambahan lokasi pengujian untuk mengetahui nilai stabilitas yang
menggambarkan setiap galur yang diuji. Menurut Eberhart dan Russel (1966), suatu genotipe dikatakan stabil apabila mempunyai nilai koefisien regresi tidak berbeda nyata dengan satu (βi=1). Untuk karakter hasil gabah, dari 20 galur/varietas yang diuji tidak ada yang nilai koefisien regresinya berbeda nyata dengan 1. Hal ini menunjukkan semua galur memberikan hasil yang stabil pada semua lokasi. Untuk karakter umur matang terdapat dua galur yang tidak stabil, yaitu BP14562-RS2-1b-14 dan BP14560-RS25b-10 (Tabel 11). Dilihat dari Tabel 8, kedua galur tersebut konsisten mempunyai umur yang lebih genjah dari Silugonggo, baik di keempat lokasi pengujian maupun data analisis gabungan. Kedua galur tersebut sangat baik dalam hal konsistensi umur. Untuk karakter hasil gabah per hari hanya ada satu galur yang dinyatakan tidak stabil, yaitu BP15618-1b-11. Galur tersebut menghasilkan hasil gabah per hari konsisten rendah di keempat lokasi pengujian (Tabel 9). Tiga varietas pembanding dan tujuh galur terbaik menunjukkan nilai koefisien regresi (β) sama dengan satu untuk ketiga karakter utama (Tabel 11). Hal tersebut menunjukkan tiga varietas pembanding dan tujuh galur terpilih mempunyai stabilitas yang tinggi untuk ketiga karakter utama, dan galur-galur terpilih tersebut layak dilanjutkan pada uji multilokasi.
9
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 11. Nilai koefisien regresi (β) untuk ketiga karakter utama. UDHL, MT II 2012.
β Hasil
Nama galur BP15618-1b-11 BP15678-6b-3 BP14562-RS2-1b-1 BP14562-RS2-1b-14 BP15748-2b-2 BP15692-3b-4 BP14592-RS2-3b-7 BP14574b-26-1-IM-1-2*B BP14586-RS2-7b-1 BP14574b-27-3-IM-3-2*B BP13074-1f-Kn-9-1 BP14654b-23-3-IM-2-2*B BP14588-RS2-2b-6 BP12372-2f-3-Kn-2-1*B BP14560-RS2-5b-10 BP14630b-43-2-IM-2-2*B BP14558b-51-1-IM-1-2*B Silugonggo Inpari 13 Ciherang
-0,948 1,069 1,494 2,088 1,374 1,784 2,101 3,131 0,962 0,613 -0,035 0,640 1,341 0,776 -0,037 -0,508 2,324 1,551 0,109 0,171
β Umur
β Hasil/hari
0,506 0,896 1,014 0,821* 1,185 0,878 1,155 0,816 1,211 0,869 0,970 1,184 0,898 1,183 0,936* 1,116 1,051 1,389 1,032 0,892
-0,722* 1,161 1,078 1,161 1,131 1,253 1,856 1,855 1,326 0,746 1,248 0,759 1,114 0,882 0,425 0,308 1,642 1,628 0,142 1,007
β = koefisien regresi; *: β =1.
Pengujian galur-galur ultra genjah/sangat genjah telah menghasilkan beberapa galur harapan yang dapat bersaing dengan varietas pembanding, baik berdasarkan karakter hasil gabah maupun hasil gabah per hari. Hasil penelitian ini membuktikan varietas padi berumur ultra genjah/sangat genjah masih mampu menghasilkan gabah yang menyamai produktivitas varietas berumur genjah (Ciherang), dan sekaligus memberikan justifikasi bagi penelitian varietas ultra genjah/sangat genjah dengan produktivitas yang lebih tinggi.
KESIMPULAN Pengujian daya hasil pendahuluan (UDHP) terhadap 200 galur ultra genjah/sangat genjah telah menghasilkan 17 galur terbaik dalam hal hasil gabah dan hasil gabah per hari. Berdasarkan hasil analisis sidik lintas diperoleh kriteria seleksi yang paling baik dalam melakukan seleksi tanaman padi ultra genjah/sangat genjah dengan produksi tinggi, yaitu umur matang dan hasil gabah per hari. Meskipun demikian hasil gabah tetap menjadi kriteria penting dalam seleksi untuk memilih genotipe dengan hasil tinggi. Berdasarkan ketiga kriteria seleksi tersebut, pada pertanaman UDHL terpilih tujuh galur harapan terbaik berumur ultra/sangat genjah dengan nilai stabilitas yang baik. Pengujian ketujuh galur harapan tersebut layak untuk dilanjutkan pada uji multilokasi.
10
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah membiayai penelitian ini melalui program Research Grant 2011.
DAFTAR PUSTAKA [IRRI] International Rice Research Institute. 2002. Standard evaluation system for rice (SES). Los Banos, Phillippines. Briggs, F.N. and P.F. Knowles. 1967. Introduction to plant breeding. University of California, USA. Chao, X., Q. Li-jun, G. Yong-ming, and S. Ying-yao. 2013. Flower development and photoperiodic control of flowering in rice. Rice Science 20(2): 79-87. doi: 10.1016/S1672-6308(13) 60112-2. Connor, D.J. and E. Fereres. 2005. The physiology of adaptation and yield expression in Olive dalam Horticultural Reviews 31 (ed. Jules Janick). John Wiley & Sons, Inc. Dai, X., Y. Ding, L. Tan, Y. Fu, F. Liu, Z. Zhu, X. Sun, X. Xun, P. Gu, H. Cai, and C. Sun. 2012. LDH1, an allele of DTH8/Ghd8, controls late heading date in common wild rice (Oryza rufipogon). J. Integr. Plant Biol. 54(10): 790-799. http:// www.jipb.net. Departemen Pertanian. 2009. Pengelolaan banjir dan kekeringan. http//pla.deptan.co.id/rbk/main.html. Diakses pada 9 Oktober 2009. Ding, Y., M.J. Hayes, and M. Widhalm. 2010. Measuring economic impacts of drought: A review and discussion. Papers in Natural Resources. Paper 196. http://digitalcommons.unl.edu/ natrespapers/196. Eberhart, A. and W. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Science (6):36-40. Gosling, S.N., R. Warren, N.W. Arnell, P. Good, J. Caesar, D. Bernie, J.A. Lowe, P.V.D. Linden, J.R. O’Hanley, and S.M. Smith. 2011. A review of recent developments in climate change science. Part II: the global-scale impacts of climate change. Progress in Physiol Geography 15(4): 443-464. DOI: 10.1177/ 0309133311407650. Hadiarto, T. 2009. Genetika molekuler untuk sifat hasil tinggi pada padi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. BB Biogen online. 06 April 2009. Hatfield, J.L., K.J. Boote, B.A. Kimball, L.H. Ziska, and R.C. Izaurralde. 2011. Climate impacts on agriculture: implications for crop production. Agronomy Journal 103(2): 351-370. doi:10.2134/agronj2010.0303. Imaizumi, T. and S.A. Kay. 2006. Photoperiodic control of flowering: not only by coincidence. TRENDS in Plant Science 11(11): 550-557. Doi: 10.1016/j.tplants.2006.09.004. Itoh, H., Y. Nonoue, M. Yano, and T. Izawa. 2010. A pair of floral regulators sets critical day length for Hd3a florigen expression in rice. Nature Genetics 42(7): 635-606. Doi: 10.1038/ng.606. Izawa, T. 2007. Daylength measurements by rice plants in photoperiodic short-day flowering. International Review of Cytology 256: 191-222.doi: 10.1016/S0074-7696(07)56006-7. Kojima, S., Y. Takahashi, Y. Kobayashi, L. Monna, T. Sasaki, T. Araki, and M. Yano. 2002. Hd3a, a rice ortholog of the Arabidopsis FT gene, promote transition to flowering
PRAMUDYAWARDANI ET AL.: POTENSI HASIL PADI SAWAH ULTRA GENJAH DAN SANGAT GENJAH
downstream of Hd1 under shord-day conditions. Plant Cell Physiol. 43(10): 1096-1105. Komiya, R., A. Ikegami, S. Tamaki, S. Yokoi, and K. Shimamoto. 2008. Hd3a and RFT1 are essential for flowering in rice. Development 135: 767-774. Doi: 10.1242/dev.008631. Kurukulasuriya, P. and S. Rosenthal. 2003. Climate change and agriculture: a review of impacts and adaptations. The world Bank Environment Department, Paper 91. Luan, W., H. Chen, Y. Fu, H. Si, W. Peng, S. Song, W. Liu, G. Hu. Z. Sun, D. Xie, and C. Sun. 2009. The effect of the crosstalk between photoperiod and temperature on the heading-date in rice. PloS ONE, 4(6):e5891. Doi: 10.1371/ journal.pone.0005891. Mattjik, A.A. and I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan, Dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. IPB Press. Bogor. Mishra, A.K. and V.P. Singh. 2010. A review of drought concepts. Journal of Hydrology 391: 202-216. doi:10.1016/ j.jhydrol.2010.07.012. Nishida, H., O. Yutaka, N. Hiroshi, I. Katsuyuki, I. Hiromo, and T. Takatoshi. 2001. Analysis of tester lines for rice (Oryza sativa L.) heading-time genes using reciprocal photoperiodic transfer treatments. Annals of Botany 88: 527-536. Peng, S., K.G. Cassman, S.S. Virmani, J. Sheeshy, and G.S. Kush. 1999. Yield potential trends of tropical rice since the release of IR8 and the challenge of increasing rice yield potential. Agronomy & Horticulture – Faculty Publications. DigitalCommons@University of Nebraska – Lincoln. Published in Crop Sci. 39: 1552-1559. Pramudyawardani, E.F., H. Aswidinoor, and A. Junaedi. 2011. Analisis silang dialel karakter umur genjah berdaya hasil tinggi pada padi sawah (Oryza sativa L.). Tesis. Tidak dipublikasikan. Singh, R.K. and B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Publisher. India. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki SE., I.N. Widiarta, A. Setyono, S.D. Indrasari, O.S. Lesmana, and H. Sembiring. 2009. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Takai, T., S. Matsuura, T. Nishio, A. Ohsumi, T. Shiraiwa, and T. Horie. 2006. Rice yield potential is closely related to crop growth rate during late reproductive period. Field Crops Research 96: 328-335. Doi: 10.1016/j.fcr2005.08.001.
Tamaki, S., S. Matsuo, H. Ling, S. Yokoi, and K. Shimamoto. 2007. Hd3a protein is a mobile flowering signal in rice. Science 316: 1033-1036. Tsuji, H., K. Taoka, and K. Shimamoto. 2011. Regulation of flowering in rice: two florigen genes, a complex gene network, and natural variation. Current Opinion in Plant Biology 14: 45-52. doi: 10.1016/j.pbi.2010.08.016. Vergara, B.S. and T.T. Chang. 1985. The flowering response of the rice plant to photoperiod: a review of the literature, fourth edition. IRRI. Vergara, B.S. 1976. Physiological and morphological adaptability of rice varieties to climate. Proceedings of The Symposium on Climate and Rice IRRI: 67-83. Wei, X., J. Xu, H. Guo, L. Jiang, S. Chen, C. Yu, and J. Wan. 2010. DTH8 suppresses flowering in rice, influencing plant height and yield potential simultaneously. Plant Physiology 153(4): 1747-1758. doi:10.1104/pp.110.156943. Yan, W., P. Wang, H. Chen, H. Zhou, Q. Li, C. Wang, Z. Ding, Y. Zhang, S. Yu, Y. Xing, and Q. Zhang. 2011. A major QTL, Ghd8, plays pleiotropic roles in regulating grain productivity, plant height, and heading date in rice. Molecular Plant 4(2): 319-330. doi:10.1093/mp/ssq070 Yano, M., S. Kojima, Y. Takahashi, H. Lin, and T. Sasaki. 2001. Genetic control of flowering time in rice, a short-day plant. Plant Physiology 127: 1425-1429. www.plantphysiol.org/cgi/ doi/10.1104/pp.010710. Yano, M., Y. Katayose, M. Ashikari, U. Yamanouchi, L. Monna, T. Fuse, T. Baba, K. Yamamoto, Y. Umehara, Y. Nagamura, and T. Sasaki. 2000. Hd1, a major photoperiod sensitivity quantitative trait locus in rice, is closely related to the Arabidopsis flowering time gene CONSTANS. The Plant Cell 12: 2473-2483. www.plantcell.org. Ying, J., S. Peng, Q. He, H. Yang, C. Yang, R.M. Visperas, and K.G. Cassman. 1998. Comparison of high-yield rice in tropical and subtropical environments. Field Crops Research 57: 7184. Yuan, W., S. Peng, C. Cao, P. Virk, D. Xing, Y. Zhang, R.M. Visperas, and R.C. Laza. 2011. Agronomic performance of rice breeding lines selected based on plant traits or grain yield. Field Crops Research 121 (2011): 168-174. doi: 10.1016/j.fcr.2010.12.014. Yuan-li, S. and L. Wei-jiang. 2012. Molecular regulatory network of flowering by photoperiod and temperature in rice. Rice Science 19(3): 169-176.
11
PRASETIYONO ET AL.: GALUR PADI BERUMUR GENJAH DAN PRODUKTIVITAS TINGGI
Evaluasi Molekuler dan Lapangan terhadap Galur-galur Padi Berumur Genjah dan Produktivitas Tinggi Turunan Ciherang Joko Prasetiyono, Ahmad Dadang, Ma’sumah, Tasliah, Fatimah, dan Tiur Sudiaty Silitonga Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 Email:
[email protected]
Naskah diterima 14 Maret 2014 dan disetujui diterbitkan 19 September 2014
ABSTRACT. Molecular and Morphological Field Evaluation of Early Maturing and High Productivity of Rice Lines Derivative of Ciherang. Improving Ciherang rice variety for earliness and higher productivity was obtained using Marker Assisted Backcrossing (MAB). Among 78 lines of BC2F4 generation of Ciherang x Nipponbare were obtained from greenhouse and molekuler analysis selection. Field evaluations were conducted at two locations, namely field station of Sukamandi (Indonesian Center for Rice Research, West Java), and field station of Maros (Indonesian Cereals Research Institute, South Sulawesi). Molecular analysis was performed using markers RM1362 and RM7601 which are flanking markers for the QTL region for Hd2 gene, located on chromosome 7. Flowering time and grain yield were evaluated among BC2F4 lines. Five lines flowered earlier and yielded higher than Ciherang were selected for background analysis using microsatellites covering the rice chromosomes. The earliest flowering line was BC2F 4CihNip-60 (at 74 days, 4 days earlier than that of Ciherang), and the highest yield (which flowered earlier than Ciherang) was BC2F4CihNip-23, namely (2.20 t/ha higher than Ciherang). A total of 74 (95%) BC2F4 lines showed QTL region of Hd2 gene in homozygous condition. This showed that molecular selection from F1 generation of BC2F4 was able to identify homozygous gens and almost free of contaminant plant. Genetic backgrounds of the five BC2F2 selected lines were similar to that of Ciherang. Based on the agronomic and molecular marker, twenty five lines of BC2F4 flowered earlier than did Ciherang and yielded higher than did Ciherang. These lines should be further evaluated for their stability. Keywords: Rice, Ciherang, MAB, early maturity, high productivity. ABSTRAK. Perbaikan padi varietas Ciherang agar berumur genjah dengan produksi tinggi telah dilakukan menggunakan metode Marker Assisted Backcrossing (MAB), dimana Nipponbare yang mengandung lokus gen Hd2 dijadikan sebagai tetua sumber gen umur genjah. Lokus ini mengatur waktu pembungaan Nipponbare, yang sensitif terhadap panjang penyinaran di daerah tropis. Ketika disisipkan ke dalam genom Ciherang, diharapkan akan merangsang pembungaan lebih cepat, namun potensi hasil tidak berubah. Berdasarkan penelitian sebelumnya telah diperoleh sebanyak 78 galur BC2F4 turunan dari Ciherang x Nipponbare melalui metode MAB, namun masih skala laboratorium dan rumah kaca. Oleh karena itulah dilakukan penelitian ini yang bertujuan mengevaluasi baik secara molekuler ataupun di lapang tanaman BC2F4 agar diperoleh tanaman yang memiliki umur genjah dengan hasil minimal sama dengan Ciherang. Evaluasi lapang dilakukan di dua lokasi, yakni di KP Sukamandi (BB Padi, Jawa Barat), dan KP Maros (Balitsereal, Sulawesi Selatan) pada bulan
April s.d. Juli 2012.. Analisis molekuler dilakukan di Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika, Bogor (Juni s.d. Desember 2012), dengan menggunakan marka RM1362 dan RM7601 yang merupakan marka pengapit daerah QTL untuk gen Hd2 yang terletak di kromosom tujuh. Pengamatan umur berbunga dan hasil gabah dijadikan dasar evaluasi pemilihan galur-galur BC2F4. Lima dari galur tersebut yang berbunga lebih genjah dari Ciherang dan hasil lebih tinggi dipilih untuk dilakukan analisis background dengan menggunakan marka mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom. Galur yang memiliki umur berbunga paling genjah adalah galur BC2F4CihNip-60 yang berbunga pada 74 hari setelah sebar (hss), lebih genjah 4 hari dibandingkan dengan Ciherang, sedangkan galur yang memiliki hasil tertinggi dengan umur berbunga lebih genjah dari Ciherang adalah galur BC2F 4CihNip-23 (2,20 t/ha lebih banyak dibandingkan Ciherang). Sebanyak 74 galur BC2F4 (95%) mengandung segmen daerah QTL gen Hd2 dalam kondisi homozigot, menunjukkan keberhasilan seleksi secara molekuler dari generasi F1 sampai tanaman BC2F4. Background genetik dari lima galur BC2F4 terpilih sebagian besar sudah kembali kepada tetua Ciherang. Terpilih dua puluh lima nomor BC2F4 turunan Ciherang memiliki umur berbunga lebih genjah, dan hasil gabah lebih banyak dibanding Ciherang. Galurgalur tersebut perlu diuji lebih lanjut pada beberapa lokasi. Kata kunci: Padi, Ciherang, MAB, umur genjah, produktivitas tinggi.
V
arietas padi berumur genjah diperlukan dalam program peningkatan produksi. Petani yang memiliki sawah dengan sistem pengairan yang baik umumnya dapat menanam padi dua kali setahun. Apabila tersedia varietas padi berumur genjah (kurang dari 100 hari), petani diharapkan dapat menanam padi tiga kali setahun, sehingga produksi dapat ditingkatkan. Padi gogo umumnya berumur genjah pada (80-90 hari), tetapi hasilnya tidak tinggi. Varietas padi sawah yang telah dilepas umumnya berumur 115-120 hari (Suprihatno et al. 2009). Varietas Ciherang berumur 116-125 hari dan telah menyebar luas menggantikan IR64. Varietas Ciherang yang diperpendek umurnya diharapkan memberi peluang bagi petani untuk menanam padi lebih dari dua kali setahun. Varietas Nipponbare adalah padi tipe japonica yang berasal dari daerah subtropis (Jepang), dan memiliki sensitivitas tinggi terhadap panjang hari pada saat ditanam di 13
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
daerah tropis yang memiliki periode penyinaran matahari lebih pendek. Jika ditanam di daerah tropis, umur padi ini menjadi 90 hari. Mekanisme pembungaan padi yang bersifat short day plant (tanaman hari pendek) merupakan hal yang sangat penting (Naeem et al. 2013), namun masih merupakan misteri dan melibatkan banyak gen (Jarillo et al. 2008, Yano et al. 2001). Pengetahuan tentang mekanisme pembungaan ini dapat digunakan untuk memodifikasi tanaman, sehingga tanaman berbunga lebih cepat. Lokus yang berisi gen-gen yang berhubungan dengan pembungaan padi sebagian sudah dipetakan lebih dari 10 daerah QTL, dan marka-marka pengapit juga sudah diperoleh (Fujino and Sekiguchi 2005, 2008, Nonoue et al. 2008, Yamamoto et al. 1998). Marka-marka ini dapat dimanfaatkan oleh pemulia untuk menyeleksi galur-galur hasil persilangan. Sebagian besar pemetaan QTL tersebut dilakukan menggunakan persilangan antara padi tipe indica dan japonica, karena perbedaan umur berbunganya nyata. Umur berbunga padi japonica umumnya sangat genjah jika ditanam di daerah tropis yang memiliki panjang penyinaran sekitar 12 jam, walaupun di daerah subtropis memiliki umur dan hasil normal, padahal terpapar sinar matahari yang panjangnya lebih dari 12 jam. Fenomena tersebut dimanfaatkan untuk mendapatkan padi-padi indica yang berumur lebih genjah tanpa mengurangi potensi hasil. Pemetaan QTL yang telah dilakukan sangat membantu dalam program Marker Assisted Backcrossing (MAB). Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat seleksi telah berkembang di bidang pemuliaan tanaman. Salah satu cara penerapan seleksi marka molekuler pada individu hasil persilangan adalah melakukan silang balik yang dipadukan dengan pemanfaatan marka foreground, recombinant, dan background untuk menyeleksi individu pada setiap generasi (Semagn et al. 2006). Dengan teknik ini, untuk mengembalikan genom tanaman 98% seperti tetua pemulih membutuhkan dua kali silang balik, sedangkan dengan cara konvensional memerlukan 4-5 kali silang balik, bahkan sampai BC6 (Ribaut and Hoisington 1998). Persilangan padi varietas Ciherang dengan Nipponbare telah dilakukaan di BB Biogen menggunakan metode MAB dan telah diperoleh galur-galur hasil seleksi. Pengujian di rumah kaca menunjukkan galur-galur tersebut memiliki umur berbunga lebih genjah dengan hasil yang sama dengan Ciherang (Prasetiyono et al. 2011, 2013). Galur-galur ini perlu ditanam di lapangan untuk mengetahui stabilitas dan daya hasilnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tanaman BC2F4 hasil persilangan Ciherang x Nipponbare yang hasilnya tinggi (minimal sama dengan Ciherang) dan berumur genjah. 14
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada tahun 2012 di rumah kaca dan laboratorium Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Bogor, Jawa Barat), Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Padi (Sukamandi, Jawa Barat), dan Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Serealia (Maros, Sulawesi Selatan). Materi yang diuji adalah 78 galur padi silang balik BC2F4 Ciherang x Nipponbare, tetua Ciherang, dan Nipponbare. Sebagai donor gen umur genjah adalah Nipponbare. Marka molekuler yang digunakan sebagai marka seleksi adalah dua marka yang menunjukkan daerah QTL untuk gen Hd2 di kromosom 7, yakni RM1362 (F-TGATCTAAACAGGCCCTTAG dan RCATCATCA-AGACCACACATC) dan RM 7601 (FGCCTCGCTGTCGCTAATATC dan R-CAGCCTCTCCTTGTGTTGTG) (Fujino and Sekiguchi 2008). Lima galur yang memiliki umur berbunga lebih genjah dan hasil gabah lebih tinggi dibanding Ciherang, serta memiliki pita homozigot untuk lokus gen Hd2 dipilih untuk dianalisis background genetiknya. Marka mikrosatelit yang digunakan untuk analisis background dapat dilihat pada Tabel 1. Seleksi Galur di Lapangan Penanaman galur uji di lapang dilakukan pada bulan Maret 2012 dan panen pada Juli 2012 (Musim Tanam 1), masing-masing galur ditanam pada petak berukuran 1,5 m x 2 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 78 galur sebagai perlakuan dengan tiga ulangan. Benih disemai terlebih dahulu dan setelah berumur dua minggu bibit dipindahtanamkan ke sawah, masingmasing rumpun berisi satu tanaman. Tanaman percobaan dipupuk 115 kg N + 38 kg P2O5 + 50 kg K2O/ ha dan dipelihara sesuai dengan teknis budi daya baku. Masing-masing galur dipilih lima tanaman contoh untuk diamati beberapa peubah agronomis, meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, dan hasil pada luasan 1 m x 1 m (16 rumpun). Untuk data agronomi dilakukan analisis ragam menggunakan program SAS versi 9 untuk mengetahui keragaman galur yang diuji. Data dari dua lokasi percobaan digunakan sebagai kriteria seleksi galur yang diuji. Galur yang memiliki umur lebih genjah dan hasil gabah minimal sama dengan varietas Ciherang dipilih dan diberi tanda. Hasil gabah dari petak ubinan dikonversikan menjadi t/ha pada kadar air 14%.
PRASETIYONO ET AL.: GALUR PADI BERUMUR GENJAH DAN PRODUKTIVITAS TINGGI
Tabel 1. Marka-marka mikrosatelit yang digunakan untuk analisis background genetik tanaman padi. No
Primer
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
RM84 RM490 RM581 RM493 RM9 RM488 RM246 RM443 RM486 RM472 RM104 RM110 RM223A RM555 RM492 RM300 RM262 RM475 RM263 RM450 RM425 RM208 RM138 RM523 RM489 RM517 RM36 RM251 RM282 RM156 RM504 RM55 RM448 RM293 RM143 RM514 RM442 RM85
Krom
cM
No
Primer
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
26,2 51 66,4 79,7 92,4 101,4 115,2 122,7 153,5 171,6 186,6 6,8 16,3 34,7 53 66 78,4 92,5 127,5 150,8 168,1 186,4 196,8 11 29,2 42,9 58,55 79,1 100,6 125,7 158,8 168,2 181,4 193,4 207,3 216,4 224,2 231
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76
RM307 RM551 RM1155 RM564A RM273 RM255 RM303 RM131 RM159 RM548 RM289 RM430 RM440 RM161 RM26 RM480 RM334 RM508 RM588 RM314 RM235 RM276 RM3 RM454 RM528 RM340 RM436 RM125 RM2 RM11 RM1135 RM351 RM473C RM172 RM506 RM38 RM25 RM331
Krom
cM
No
Primer
4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 8 8
0 20 58,9 73,1 94,4 109,2 116,9 148,8 2,3 28,6 56,7 76,7 92,7 96,9 122,7 130,6 141,8 0 7,4 33,6 37 40,3 75 99,3 121,6 133,5 0 24,8 36,1 11 57,5 75 86,2 115,3 0 26 52,2 69
77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113
RM223 RM210 RM256 RM264 RM285 RM524 RM321 RM3700 RM242 RM3249 RM245 RM222 RM216 RM1375 RM271 RM258 RM294A RM147 RM590 RM181 RM332 RM167 RM202 RM287 RM229 RM21 RM254 RM224 RM20A RM7619 RM247 RM83 RM28067 RM28102 RM519 RM235 RM17
Krom
cM
8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 10 10 10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12
80,5 90,3 101,5 128,6 1,8 13,2 32,1 55,3 73,3 88,9 112,3 11,3 17,6 42,7 59,4 70,8 87,1 99,8 117,2 0 27,9 37,5 54 68,6 77,8 85,7 110 120,1 3,2 19,32 32,3 46,8 58,76 63,64 79,84 102,6 109,1
Krom = kromosom, cM = centi Morgan
Analisis Molekuler Isolasi DNA dari semua galur yang diuji mengacu pada metode Dellaporta et al. (1983) yang dimodifikasi dengan mengganti potasium asetat dengan chloroform isoamilalkohol. Daun diambil dari tanaman berumur 4 minggu yang ditumbuhkan di rumah kaca BB Biogen. Daun dari tiga tanaman diambil dan dicampur untuk diisolasi DNAnya. Reaksi PCR dilakukan pada volume 20 μl. Hasil PCR kemudian dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 8%. Pewarnaan DNA menggunakan ethidium bromida (EtBr) atau silver nitrat (AgNO3). Tanaman BC2F4 dianalisis secara molekuler di daerah QTL gen Hd2 untuk melihat kondisi pita masing-masing tanaman, heterozigot atau homozigot untuk alel Hd2. Tanaman heterozigot tidak dipilih, dan sebaliknya.
Analisis data background genetik dilakukan menggunakan program GGT2 (Berloo 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Galur di Lapangan Umur berbunga tanaman di dua lokasi (Sukamandi dan Maros) tidak berbeda nyata, baik dalam maupun antargenotipe (Tabel 2). Jumlah anakan dan tinggi tanaman nyata dipengaruhi oleh lokasi pengujian, tetapi pengaruh lokasi terhadap hasil gabah antargenotipe tidak nyata. Terdapat pengaruh nyata interaksi genotipe x lokasi. Data peubah yang diamati tertera pada Tabel 3.
15
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 2. Kuadrat tengah analisis sidik ragam data percobaan lapang di Sukamandi dan Maros, 2012. Kuadrat tengah Sumber
Lokasi Genotipe Lokasi*Genotipe Ulangan Koefisien keragaman
db
1 80 80 2 39,03
Umur berbunga
Jumlah anakan
Tinggi tanaman
Hasil gabah
0,26 960,83 1018,99 3747,36*
1360,97** 32,32** 25,11 348,9**
5968,6** 176,79** 58,85 27,23
26,94 48368,69** 40872,67* 27011,65
21,61
7,55
31,98
* = nyata pada taraf 5% **= nyata pada taraf 1%
Sebanyak 45 galur (57,7%) BC2F4 memiliki umur berbunga lebih genjah dibandingkan dengan Ciherang. Umur berbunga paling genjah ditunjukkan oleh galur BC2F4CihNip-60, yakni 74 HSS. Ciherang pada uji lapang ini memiliki umur berbunga 78 HSS, sedangkan umur berbunga galur-galur yang diuji berkisar antara 74-83 hari. Di antara galur-galur yang diuji jumlah anakan tidak ada yang melebihi tetua Ciherang, kemungkinan disebabkan oleh pemendekan umur berbunga. Jumlah anakan berkisar antara 16-33 batang, sedangkan jumlah anakan Ciherang rata-rata 36 batang. Jumlah anakan berkurang seiring dengan pengurangan waktu berbunga. Walaupun ada beberapa galur yang umur berbunganya melebihi Ciherang, namun jumlah anakannya tetap tidak melebihi. Tinggi tanaman galur uji sama dengan Ciherang. Peubah hasil gabah sebagai indikator penting keberhasilan penelitian ini. Beberapa galur hasil gabahnya lebih tinggi dibandingkan dengan Ciherang. Sebanyak 46 galur BC2F4 (59%) hasil gabahnya nyata lebih tinggi dibanding Ciherang. Galur BC 2F 4CihNip-23 memiliki hasil gabah 7,82 t/ha, lebih tinggi 139% dari Ciherang. Peningkatan hasil ini kemungkinan disebabkan oleh efek segregasi transgresif, bukan heterosis oleh perbedaan genom indica dan japonica, karena efek heterosis terjadi pada F1 (Jihai and Zaongton 1988, Vaithiyalingan and Nadarajan 2010). Galur yang memiliki hasil gabah tertinggi tersebut memiliki umur berbunga 77 HSS (lebih genjah dari Ciherang). Analisis Molekuler Analisis molekuler menunjukkan semua galur mengandung segmen Nipponbare untuk daerah QTL gen Hd2, kecuali galur BC2F4CihNip-6 yang memiliki pita Ciherang, galur BC 2 F 4 CihNip-28 memiliki pita heterozigot, sedangkan galur BC2F 4CihNip-29 dan BC2F4CihNip-84 tidak muncul (Tabel 3 dan Gambar 1). Sebanyak 74 galur (94,9%) dari galur-galur BC2F 4 mengandung pita homozigot untuk lokus gen Hd2,
16
bertanggung jawab untuk mengeskpresikan sifat percepatan pembungaan. Pada generasi BC2F4, galurgalur yang diuji sudah memiliki genotipe dalam kondisi homozigot untuk lokus gen Hd2, sedangkan lokus di luar itu akan bersegregasi secara bebas. Namun berdasarkan seleksi background pada generasi BC1F1 dan BC2F1 (Prasetiyono et al. 2013), lokus-lokus di luar lokus gen Hd2 diharapkan telah kembali ke genom Ciherang dalam kondisi homozigot. Satu galur menunjukkan pita homozigot untuk Ciherang pada marka RM1362 dan RM7601. Oleh karena itu fungsi seleksi menggunakan marka molekuler dapat menjaga kemurnian benih akibat salah pengambilan sampel atau drop seed. Pada galur BC2F4CihNip-28, untuk mendapatkan pita yang homozigot masih memerlukan penanaman minimal dua generasi, dan galur tersebut perlu dibuang pada seleksi selanjutnya. Galur BC 2 F 4 CihNip-29 dan BC2F4CihNip-84 juga tidak memberikan pita, walaupun sudah diamplifikasi menggunakan dua primer. Kedua galur ini juga dapat dibuang dalam seleksi selanjutnya. Berdasarkan data molekuler untuk lokus gen Hd2, data umur berbunga, dan hasil gabah, dari 78 galur terpilih 25 galur (32,1%). Galur-galur yang dapat digunakan untuk diuiji lebih lanjut adalah BC2F4CihNip23, BC2F4CihNip-24, BC2F4CihNip-25, BC2F4CihNip-26, BC 2F 4CihNip-27, BC 2 F 4CihNip-39, BC 2F 4 CihNip-41, BC 2F 4CihNip-42, BC 2 F 4CihNip-43, BC 2F 4 CihNip-44, BC 2F 4CihNip-45, BC 2 F 4CihNip-48, BC 2F 4 CihNip-50, BC 2F 4CihNip-51, BC 2 F 4CihNip-54, BC 2F 4 CihNip-55, BC 2F 4CihNip-58, BC 2 F 4CihNip-60, BC 2F 4 CihNip-61, BC 2F 4CihNip-62, BC 2 F 4CihNip-63, BC 2F 4 CihNip-68, BC2F4CihNip-69, BC2F4CihNip-70, dan BC2F4CihNip-72. Galur-galur tersebut memiliki pita yang homozigot, umur berbunga lebih genjah, dan hasil gabah lebih tinggi dibandingkan dengan Ciherang. Untuk melihat konstitusi background genetik genom Ciherang dipilih lima tanaman yang umur berbunganya paling genjah dengan hasil gabah lebih tinggi dibanding Ciherang. Dari hasil pengamatan terpilih lima galur (BC 2F 4CihNip-44, BC 2F 4CihNip-48, BC2F 4CihNip-60,
PRASETIYONO ET AL.: GALUR PADI BERUMUR GENJAH DAN PRODUKTIVITAS TINGGI
Tabel 3. Data rata-rata beberapa karakter agronomis di dua lokasi (Sukamandi dan Maros)* No
Galur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
BC2F4CihNip-23**** BC2F4CihNip-24**** BC2F4CihNip-25**** BC2F4CihNip-26**** BC2F4CihNip-27**** BC2F4CihNip-28 BC2F4CihNip-29 BC2F4CihNip-30 BC2F4CihNip-31 BC2F4CihNip-32 BC2F4CihNip-33 BC2F4CihNip-34 BC2F4CihNip-39**** BC2F4CihNip-40 BC2F4CihNip-41**** BC2F4CihNip-42**** BC2F4CihNip-43**** BC2F4CihNip-44*** BC2F4CihNip-45**** BC2F4CihNip-46 BC2F4CihNip-47 BC2F4CihNip-48*** BC2F4CihNip-50**** BC2F4CihNip-51**** BC2F4CihNip-52 BC2F4CihNip-54**** BC2F4CihNip-55**** BC2F4CihNip-56 BC2F4CihNip-57 BC2F4CihNip-58**** BC2F4CihNip-59 BC2F4CihNip-60*** BC2F4CihNip-61**** BC2F4CihNip-62**** BC2F4CihNip-63*** BC2F4CihNip-64 BC2F4CihNip-67 BC2F4CihNip-68**** BC2F4CihNip-69**** BC2F4CihNip-70**** BC2F4CihNip-72*** BC2F4CihNip-73 BC2F4CihNip-74 BC2F4CihNip-85 BC2F4CihNip-97
Rata-rata BC2F4 Nilai kisaran Tetua Inpari 13 Tetua Ciherang
Data molekuler
Umur berbunga (HSS)
Jumlah anakan
Tinggi tanaman (cm)
Hasil gabah (t/ha gkg)
N N N N N H N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
77 78 77 77 77 76 77 75 76 77 75 75 77 78 77 78 77 74 76 76 77 75 77 78 78 77 77 75 77 78 76 74 78 76 76 76 78 78 78 78 76 77 77 78 75
21 22 22 22 22 24 23 21 27 26 26 25 26 26 25 24 25 24 24 25 24 25 26 31 28 28 30 31 29 27 26 26 27 27 27 26 29 28 26 28 27 26 24 28 31
102 99 99 97 102 99 93 86 89 92 91 85 98 101 100 100 99 100 98 100 98 99 95 92 89 91 91 91 87 98 96 94 96 97 97 96 96 98 99 97 102 103 100 102 104
7,82** 6,56** 6,57** 6,94** 6,51** 7,08** 5,51 4,69 3,29 4,10 4,50 4,47 6,10** 6,00** 7,25** 6,42** 5,68** 5,78** 5,98** 5,27 4,42 5,84** 5,63** 5,95** 4,77 6,36** 5,68** 4,52 4,66 5,76** 5,57 6,08** 6,45** 6,40** 6,08** 5,51 5,31 6,03** 5,89** 6,15** 5,72** 5,47 5,43 5,51 5,55
78 74-83 76 78
26 16-33 30 36
98 85-107 111 97
5,79 3,29-7,82 5,16 5,62
*= data yang ditampilkan hanya galur-galur BC2F4 yang berbunga lebih genjah dibandingkan Ciherang. **= galur BC2F4 yang memiliki hasil gabah lebih tinggi dibandingkan Ciherang. ***= galur BC2F4 yang dipilih untuk analisis background. ****= galur-galur BC2F4 yang bisa dipilih untuk pengujian lebih lanjut (berbunga lebih genjah dan hasil gabah lebih tinggi), selain yang bertanda ***. HSS = hari setelah sebar benih, N = alel Nipponbare , C = alel Ciherang, dan H = Heterozigot (alel C dan N).
17
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
BC2F4CihNip-63, dan BC2F4CihNip-72) untuk analisis background genetik (Tabel 3). Pada penelitian ini seharusnya seluruh galur yang memenuhi syarat (25 nomor) untuk ditanam selanjutnya digunakan sebagai material analisis background genetik menggunakan marka mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom padi, namun karena keterbatasan dana hanya lima galur yang dipilih. Hasil analisis molekuler menggunakan marka background genetik (Gambar 2) menunjukkan bahwa seluruh galur pada kromosom 1, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 memberikan penampilan background genetik yang bersih, mirip dengan tetua Ciherang pada lokus-lokus
M A B
1
2
3
4 5
6
7
8
yang dideteksi dengan marka mikrosatelit. Pada kromosom 12 hanya galur nomor 5 (BC2F4-72) yang masih memiliki segmen Nipponbare. Pada kromosom 7, daerah QTL gen Hd2 bisa dilihat dalam kondisi homozigot untuk segmen Nipponbare. Pada kromosom 3 dan 5 juga masih ada beberapa galur yang mengandung segmen Nipponbare. Pada individu galur BC2F4CihNip-48, segmen Nipponbarenya hanya sepotong kecil, sedangkan pada kromosom 5 ada marka yang menunjukkan kondisi genom yang heterozigot. Penelitian analisis background genetik ini sebaiknya dilanjutkan pada individu lain yang terpilih untuk ditanam pada generasi selanjutnya, untuk
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
RM1362
M A
B
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
RM7601 Gambar 1. Hasil analisis molekuler galur-galur BC2F4 Ciherang x Nipponbare menggunakan marka RM1362 dan RM7601. M = 100 bp DNA ladder, A = Ciherang, B = Nipponbare, 1-22 = BC2F4 seperti pada Tabel 3
1 2 3 4 5
krom 1
krom 7 1 2 3 4 5
krom 2
krom 8
krom 3
krom 9
krom 4
krom 10
krom 5
krom 11
krom 6
krom 12
Daerah QTL gen Hd2
= Ciherang
= Nipponbare
= Heterozigot (Ciherang dan Niponbare)
1 = BC2F4CihNip-44; 2 = BC2F4CihNip-48; 3 = BC2F4CihNip-60; 4 = BC2F4CihNip-63; 5 = BC2F4CihNip-72. Gambar 2. Kondisi genom lima terbaik berdasarkan data lapang individu BC2F4 Ciherang x Nipponbare menggunakan 113 marka mikrosatelit.
18
PRASETIYONO ET AL.: GALUR PADI BERUMUR GENJAH DAN PRODUKTIVITAS TINGGI
Jumlah
Jumlah lokus homozigot
Galur BC2F4
Hari
Umur berbunga
Data molekuler yang disandingkan dengan data agronomis dari lima galur terpilih dapat dilihat pada Gambar 3, yang menunjukkan jumlah lokus yang homozigot hanya terpaut pada satu marka. Dari 113 marka yang digunakan, 110 marka di antaranya memberikan hasil homozigot Ciherang, sedangkan tiga marka lainnya memberikan hasil homozigot Nipponbare dan heterozigot. Konstitusi genotipe dari galur-galur BC2F4 sudah cukup bagus. Hal ini juga terlihat pada penampilan agronomis di lapangan, galur-galur BC2F4 sebagian besar memiliki penampilan yang sama dengan tetuanya (Ciherang). Lima galur terpilih tersebut juga menunjukkan umur berbunga yang lebih genjah dibanding Ciherang, dengan pemendekan umur 3-5 hari. Hasil gabah seluruh galur terpilih tersebut melebihi Ciherang. Hal ini menunjukkan meskipun terjadi penurunan umur berbunga tetapi galur-galur BC2F4 masih mampu memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan Ciherang. Pengujian di lapangan masih diperlukan untuk melihat konsistensi hasil dan umur.
KESIMPULAN DAN SARAN
Galur BC2F4
Hasil gabah
1. Galur BC2F4CihNip-60 memiliki umur berbunga paling genjah, dan galur BC2F4CihNip-23 hasil gabah lebih tinggi. 2. Sebanyak 74 galur BC2F4 (94,9%) telah memiliki segmen daerah QTL gen Hd2 dalam kondisi homozigot.
Ton/ha
3. Background genetik dari lima nomor galur BC2F4 sebagian besar sudah kembali kepada tetua Ciherang. 4. Dua puluh lima galur BC2F4 yang memiliki umur berbunga lebih genjah dan hasil gabah lebih banyak dari Ciherang dapat diuji lebih lanjut.
Galur BC2F4
Gambar 3. Keragaan molekuler dan agronomis lima galur terbaik BC2F4 Ciherang/Nipponbare. (Angka di dalam kurung menunjukkan nomor galur BC2F4).
memberikan peluang dalam memilih individu yang memiliki background genetik lebih bersih (Gambar 2). Namun, analisis molekuler ini harus dikombinasikan dengan data agronomis di lapangan, karena individu yang memiliki background genetik paling bersih tidak selalu menunjukkan penampilan agronomis yang paling baik (Prasetiyono et al. 2012).
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Program Peningkatan Kapasitas Peneliti dan Perekayasa Tahun Anggaran 2012 yang telah mendanai penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Mahrup yang telah membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Berloo, R.V. 2008. GGT 2.0: Versatile software for vizualization and analysis of genetic data. Journal of Heredity 99(2):232-236. Dellaporta S.L., J. Wood, and J.B. Hicks. 1983. A plant DNA minipreparation: version II. Plant. Mol. Biol. Rep 1(4):19-21.
19
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Fujino, K. and H. Sekiguchi. 2005. Mapping of QTLs conferring extremely early heading in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 111:393-398.
Bustamam. 2012. Evaluasi beberapa galur-Pup1 tanaman padi (Oryza sativa L.) pada larutan hara dan lapangan. J. Agron. Indonesia 40(2):83-90.
Fujino, K, and H. Sekiguchi. 2008. Mapping of quantitative trait loci controlling heading date among rice cultivars in the northernmost region fo Japan. Breeding Science 58:367-373.
Prasetiyono, J., Tasliah, A. Dadang, dan Fatimah. 2013. Perbaikan padi (Oryza sativa L.) varietas Ciherang untuk sifat umur genjah dan produksi tinggi menggunakan marka molekuler. Berita Biologi 12(1):61-71.
Jarillo, J.A., I. del Olmo, A. GAmez-Zambrano, A. L£zaro, L. LApesGonzales, E. Miguel, L. Narro-Diego, D. S£ez, and M. Piòeiro. 2008. Review, photoperiodic control of flowering time. Spanish Journal of Agrocultural Research 6:221-244. Jihai, Z. and S. Zongtan. 1988. Compatibility and heterosis between indica and japonica rice. Journal of Rice Science 2(1):23-28. Naeem, M., M. Iqbal, M.A. Khan, W. Nazeer, M. Rizwan, and M. Ijaz. 2013. Importance of QTL Mapping for Heading Date in Rice. World Applied Sciences Journal 22 (7):1001-1006. Nonoue, Y., K. Fujino, Y. Hirayama, U. Yamanouchi, S.Y. Lin, and M. Yano. 2008. Detection of quantitative trait loci controlling extremely early heading in rice. Theor. Appl. Genet. 116:715722.
Ribaut, J.M. and D. Hoisington. 1998. Marker-assisted selection : new tools and strategies. Trends in Plant Science 3:236-239. Semagn, K., A. Bjornstad, and M.N. Ndjiondjop. 2006. Progress and prospects of marker assisted backcrossing as a tool in crop breeding programs. African J. Bio. 5(25): 588-2603. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki S.E., I.N. Widiarta, A. Setyono, S.D. Indrasari, O.S. Lesmana, dan H. Sembiring. 2009. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. 105p. Vaithiyalingan, M. and N. Nadarajan. 2010. Heterosis for yield contributing characters in inter sub-specific crosses of rice. Journal of Plant Breeding 1(3):305-310.
Prasetiyono, J., S. Moeljopawiro, M. Bustamam, Tasliah, A. Dadang, dan Fatimah. 2011. Aplikasi marka molekuler terkait dengan umur genjah 90 hari dan produktivitas 7 t/ha pada padi. Laporan Akhir Program Riset Insentif 2011. 54p.
Yamamoto, T., Y. Kuboki, S.Y. Lin, T. Sasaki, and M. Yano. 1998. Fine mapping of quantitative trait loci Hd-1, Hd-2, and Hd-3, controlling heading date of rice, as single mendelian factors. Theor. Appl. Genet. 97:37-44.
Prasetiyono, J., T. Suhartini, I.H. Soemantri, Tasliah, S. Moeljopawiro, H. Aswidinnoor, D. Sopandie, dan M.
Yano, M., S. Kojima, Y. Takahashi, H. Lin, and T. Sasaki. 2001. Genetic control of flowering time in rice, a short-day plant. Plant Physiology 127:1425-1429.
20
WARTONO ET AL.: AGEN PENGENDALI HAYATI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
Efektivitas Formulasi Spora Bacillus subtilis B12 sebagai Agen Pengendali Hayati Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tanaman Padi Wartono1, Giyanto2, dan Kikin H. Mutaqin2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor 16111 Email:
[email protected] 2 Institut Pertanian Bogor Jl. Dramaga Bogor
1
Naskah diterima 13 Januari 2014 dan disetujui diterbitkan 1 September 2014
ABSTRACT. Effectiveness of Bacillus subtilis B12 Spore Formulation as Biocontrol Agent for Bacterial Leaf Blight on Rice. Bacterial leaf blight control in rice (Oryza sativa Lin.) using bactericide is prohibitive, due to its high cost and its negative effect on the environment. Biocontrol when avaible, therefore is the best alternative solution. Bacillus subtilis is a perspective of biocontrol agent to control several plant diseases, because of its ability to produce antimicrobial and produce plant growth promoting substances. This research was aimed to examine the effectiveness of B. subtilis spore formulation by way of seed treatments and foliar sprays, using different frequencies and concentrations, to control bacterial leaf blight disease (BLB) on rice, caused by Xanthomonas oryzae pv. oryzae, and to evaluate its function as plant growth promoter. The experiments were conducted at greenhouse and in the field using factorial design. At the greenhouse experiment, seed treatment and foliar spray, using concentration of 2% produced better result in controlling BLB, and better result on promoting rice plant growth. In the field experiment, application at 2 week interval showed better effect on suppressing the the disease and on increasing yield. Applications of the formulation of B. subtilis B12 spore reduced BLB disease by 21% and potentially increased yield up to 50%. Keywords: Rice, B. subtilis, Xanthomonas oryzae, formulation. ABSTRAK. Pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada padi, tidak layak untuk dikendalikan menggunakan bakterisida, karena harganya yang mahal dan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu alternatif pengganti adalah pengendalian secara hayati. Bacillus subtilis adalah salah satu agen biokontrol untuk mengendalikan penyakit karena kemampuannya dalam menghasilkan antimikroba dan memacu pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keefektifan formulasi spora B. subtilis isolat Indonesia melalui perlakuan benih dan semprot tanaman pada konsentrasi dan frekuensi yang berbeda untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). Pengaruh lain dari aplikasi formulasi spora B. subtilis dilihat dari pertumbuhan tanaman. Penelitian dilakukan di rumah kaca dan lapangan dengan rancangan faktorial. Pada pengujian rumah kaca, perlakuan benih dan aplikasi/ penyemprotan tanaman dengan konsentrasi 2% memberikan hasil yang lebih baik dalam menekan penyakit HDB dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi, sehingga dapat direkomendasikan pada pengujian lapang. Pada pengujian lapang, interval aplikasi 2 minggu sekali memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan penyakit dan meningkatkan
hasil panen. Aplikasi formulasi spora B. subtilis dapat menekan penyakit HDB hingga 21% dan berpotensi meningkatkan hasil panen hingga 50%. Kata kunci: Padi, B. subtilis, Xanthomonas oryzae, formulasi.
H
awar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu penyakit penting tanaman padi yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Xoo menyerang semua fase tumbuh tanaman padi, mulai persemaian hingga malai dan biji. Gejala penyakit yang terjadi pada daun muda disebut kresek, sedangkan gejala yang timbul pada tanaman mencapai stadia anakan sampai pemasakan disebut hawar. Kresek merupakan gejala yang paling merusak dari penyakit HDB, sementara gejala yang paling umum dijumpai adalah gejala hawar (IRRI 2008). Xoo tersebar di Asia, Afrika, Australia, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Karibia, Amerika Selatan, serta Oseania. Namun bakteri ini paling banyak terdapat di Asia dan sebagian Afrika Barat, terutama di India, Cina, dan Indonesia, dimana populasinya telah tersebar luas hingga mewabah (Nino-Liu et al. 2006). Bakteri Xoo memiliki beberapa ras berdasarkan virulensinya. Di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY, ras yang paling dominan adalah ras VIII, diikuti oleh ras IV dan III (Suparyono et al. 2004). Di Indonesia, penyebaran penyakit ini meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, pertanaman padi yang terinfeksi HDB mencapai 37.229 ha, meningkat 31,8% dari tahun sebelumnya yang hanya 25.403 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2005). Penyakit HDB dapat menurunkan hasil 7,5-23,8% pada musim kemarau dan 20,6-35,6% pada musim hujan (BBPOPT 2007). Pada kondisi ambang penyakit mencapai 20%, setiap peningkatan keparahan penyakit 10% akan meningkatkan kehilangan hasil 4-6% (Suparyono et al. 2003).
21
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Saat ini pengendalian HDB dilakukan menggunakan varietas tahan, bakterisida, serta menghindari irigasi dan penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan. Bakterisida yang sering digunakan untuk mengendalikan penyakit HDB diantaranya adalah tembaga (Champ, Cuproxide, Kocide, dan NuCop) (Schwartz and Gent 2007), bordeaux, copper oxychloride, Vitigran Blue, dan Cupravit. Peluang pengendalian lain adalah melalui perlakuan benih dengan conditioning menggunakan biopestisida (bakteri antagonis) (Ilyas 2006). Biopestisdia merupakan salah satu alternatif pengendalian yang lebih aman dalam mengendalikan penyakit HDB (Habazar dan Rivai 2004). Perlakuan benih pra tanam atau conditioning bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi benih dari patogen tular benih, melindungi bibit ketika muncul di permukaan tanah, dan meningkatkan perkecambahan atau melindungi benih dari patogen. Perlakuan benih (conditioning) dilaporakan mampu meningkatkan daya berkecambah benih hortikultura hingga 90%, meningkatkan keserempakan tumbuh dan meningkatkan indeks vigor benih (Ilyas 2006). Mikroba agens hayati yang telah digunakan di antaranya adalah golongan B. subtilis. Spesies bakteri ini sudah banyak dikembangkan menjadi produk komersial, di antaranya sudah memiliki merk dagang seperti Campanion, KodiakTM, EpicTM, Quantum 4000 dan System 3TM, Prima-BAPF (Nakkeeran et al. 2006, Hanudin et al. 2011). Keunggulan B. subtilis dibanding bakteri jenis lainnya adalah sifatnya yang mampu menekan berbagai jenis patogen tanaman, bersifat plant growth promoting rhizobacter (PGPR), dan mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang ekstrim (Szczech and Shoda 2006; Vasudevan et al. 2002). B. subtilis B12 adalah isolat bakteri yang berasal dari rizosfer bambu. Bakteri ini telah teruji secara in vitro mampu menekan perkembangan Xoo dan Rhizoctonia solani (Sulistiani 2009). Potensi yang dimiliki B. subtilis B12 dalam menekan patogen penyebab penyakit tanaman padi tersebut kemudaian dikembangkan pada pengujian lebih lanjut di rumah kaca dan lapang. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formulasi spora B. subtilis B12 dengan mengetahui konsentrasi dan frekuensi aplikasi yang tepat untuk mengendalian penyakit HDB dan pengaruhnya terhadap tanaman padi.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada April 2009 sampai Februari 2010 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Mikrobiologi dan Rumah Kaca Balai 22
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor, dan lahan sawah petani Situgede, Bogor. Formulasi Spora Bacillus subtilis B12 di Rumah Kaca Bahan penelitian yang digunakan adalah isolat Bacillus subtilis B12, Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo), dan benih padi varietas Ciherang. Formulasi spora B. subtilis B12 yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk tepung yang diperkaya dengan bahan aditif lain hasil pengembangan di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (Sulistiani 2009). Isolat Xoo yang digunakan berasal dari koleksi Biogen Culture Collection dengan nomor aksesi 93-107. Varietas padi Ciherang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Pengujian menggunakan rancangan faktorial acak lengkap dengan lima ulangan. Faktor yang diuji terdiri atas tiga faktor, yaitu perlakuan benih, konsentrasi formula, dan frekuensi aplikasi (penyemprotan). Faktor pertama adalah S0 (tanpa perlakuan benih) dan S1 (perlakuan benih). Faktor kedua adalah A0 (tanpa penyemprotan), A1 (aplikasi setiap satu minggu), A2 (aplikasi setiap dua minggu), A3 aplikasi (setiap tiga minggu), dan A4 (aplikasi setiap empat minggu). Faktor ketiga adalah K0 (konsentrasi formulasi 0%), K1 (konsentrasi formulasi 1%), K2 (konsentrasi formulasi 2%), dan K5 (konsentrasi formulasi 5%). Pengujian dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah perlakuan benih. Benih varietas Ciherang dikecambahkan dengan cara dibungkus kain kasa basah semalaman dan disimpan di tempat lembab sehingga berkecambah. Selanjutnya pada setiap 10 g benih berkecambah ditaburkan 1 g formulasi. Formulasi diberikan 30 menit sebelum tanam. Sementara untuk yang tanpa perlakuan benih, benih yang berkecambah tidak diberi formulasi. Tahap kedua, benih ditanam dalam ember-ember plastik berdiameter 30 cm berisi tanah lumpur dengan bobot 10 kg/pot, secara terpisah sehingga tumbuh menjadi tiga rumpun/tanaman. Pada saat berumur 21 hari, tanaman diamati panjang akarnya dengan cara mengambil dua rumpun/tanaman per pot. Selanjutnya, satu rumpun/tanaman sisanya dipelihara untuk pengujian berikutnya. Pemupukan dilakukan pada 15 hari setelah pengukuran akar dengan diberi pupuk urea + TSP (2 : 2 g/petak) dan 25 hari kemudian diberi pupuk KCl dengan takaran 5 g/pot. Tahap ketiga adalah inokulasi tanaman dengan patogen Xoo yang sebelumnya dibiakkan dalam media nutrient broth. Inokulasi dilakukan dengan cara menyemprotkan suspense biakan Xoo pada permukaan tanaman, masing-masing pada 40 dan 45 hari setelah tanam (HST).
WARTONO ET AL.: AGEN PENGENDALI HAYATI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
Selanjutnya, tanaman disungkup selama tiga hari dengan plastik milar yang bagian atasnya ditutup dengan kain kasa untuk menjaga kelembaban di sekitar tanaman, sehingga patogen dapat berkembang biak. Tahap keempat adalah aplikasi (penyemprotan) formulasi dengan cara melarutkan formulasi spora B. subtilis dalam air (108 cfu/ml), kemudian disemprotkan pada permukaan tanaman secara merata (15 ml/tanaman) pada sore dan pagi hari. Pengamatan meliputi panjang akar pada 21 HST, tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif pada 60 HST, keparahan penyakit HDB seminggu setelah aplikasi pertama diulang dengan interval seminggu sekali, dan bobot kering gabah pada saat panen. Sampel tanaman yang diamati adalah lima pot per ulangan. Pengamatan penyakit dilakukan dengan cara menghitung jumlah anakan/daun yang sakit dibagi dengan total jumlah anakan/daun, dikali dengan ratarata luas gejala per rumpun. Tingkat keparahan penyakit (KP) dihitung berdasarkan persamaan Towsend dan Heüberger (Agrios 2005): KP =
Σ (ni x vi) ZxN
x 100%
KP = keparahan penyakit; ni = tanaman terinfeksi ke-I; vi = skor dengan kategori penularan ke-I; Z = nilai skala dari kategori penularan tertinggi (skor 9); N = jumlah tanaman yang diamati. Skor keparahan penyakit diadopsi dari KNPN (2003), yaitu: 1 = penularan > 0-3%; 2 = penularan > 3-6%; 3 = penularan > 6-12%; 4 = penularan > 12-25%; 5 = penularan > 25-50%; 6 = penularan > 50-75%; 7 = penularan > 75-87%; 8 = penularan > 87-94%; 9 = penularan > 94-100%. Penularan penyakit kumulatif dihitung berdasarkan area di bawah kurva perkembangan penyakit (ADKPP) dengan persamaan ADKPP = [(Yi/100+Yi+1/100)/2] [(ti+1 -ti)] (Katherine et al. 1997); Yi = keparahan penyakit pada pengamatan ke-i; dan ti = waktu pengamatan ke-i. Data yang diperoleh dianalisis keragamannya dengan prosedur GLM (General Linear Model) dengan selang kepercayaan 5%. Pengolahan data menggunakan program SAS Ver. 6.12 (SAS Institute, Cary, NC). Formulasi Spora B. subtilis B12 di Lapangan Uji efektivitas formulasi spora B. subtilis terhadap pertumbuhan tanaman dan penekanan penyakit HDB dilakukan di lahan petani Situ Gede, Bogor,
menggunakan rancangan faktorial acak kelompok dengan tiga ulangan. Faktor yang diuji terdiri atas dua faktor, yaitu: 1) frekuensi aplikasi (penyemprotan) formula ke tanaman, dan 2) varietas padi. Setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan. Faktor pertama adalah waktu aplikasi formula spora B. subtilis B12 ke tanaman yang terdiri atas empat waktu aplikasi, yaitu: A0 (tanpa aplikasi), A1 (setiap 1 minggu), A2 (setiap 2 minggu), dan A4 (setiap 4 minggu). Faktor kedua adalah varietas padi yang terdiri atas tiga varietas, yaitu Vs (Sintanur), Vcs (Cisantana), dan Vch (Ciherang). Tiga puluh menit sebelum sebar, benih diberi perlakuan dengan cara mencampur 1 g formulasi spora B. subtilis B12 dengan 10 g benih yang sebelumnya telah dikecambahkan. Selanjutnya benih ditebar pada petak persemaian. Ukuran petak terkecil adalah 2 m x 5 m. Kemudian, bibit padi umur 21 hari dipindah tanam ke sawah, tiga tanaman per lubang dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Pemupukan dilakukan pada umur 15 dan 14 HST menggunakan urea dan NPK Ponska (30 kg/ha). Aplikasi formulasi spora B. subtilis dilakukan dengan melarutkan 2% formulasi spora B. subtilis B12 dalam air, kemudian disemprotkan ke permukaan tanaman secara merata. Pengambilan sampel dilakukan secara sistematis, yaitu 20 rumpun arah diagonal. Jumlah anakan produktif diamati pada 60 HST, sedangkan bobot kering gabah per 25 rumpun diamati pada saat panen. Pengamatan penyakit dilakukan dengan menghitung jumlah anakan/daun yang sakit dibagi dengan total jumlah anakan/daun, dikali dengan rata-rata luas gejala per rumpun. Tingkat keparahan penyakit dan kumulatif dihitung berdasarkan persamaan yang sama dengan pengujian di rumah kaca. Data yang diperoleh kemudian dianalisis keragamannya dengan prosedur GLM (General Linear Model) dan rata-rata perlakuan dibedakan dengan uji Tukey (P = 0.05). Pengolahan data menggunakan program SAS Ver. 6.12 (SAS Institute, Cary, NC).
HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Spora Bacillus subtilis B12 di Rumah Kaca Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan benih dengan formulasi spora B. subtilis berpengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Tabel 1). Pada perlakuan benih dengan formulasi spora B. subtilis B12, panjang akar mencapai 18,9 cm, atau lebih panjang dibanding tanaman tanpa perlakuan yang hanya mencapai 9,9 cm. Demikian juga pengaruhnya terhadap tinggi tanaman dan jumlah 23
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
anakan produktif. Tinggi tanaman yang diberi perlakuan mencapai 99,1 cm, sedangkan yang tidak diberi perlakuan hanya 94,8 cm. Jumlah anakan produktif pada tanaman yang diberi perlakuan mencapai 25,3 batang, sedangkan yang tidak diberi perlakuan hanya 23,1 batang. Kondisi ini diduga karena B. subtilis B12 dalam formulasi yang digunakan menghasilkan zat pengatur tumbuh yang mampu menginduksi pertumbuhan perakaran. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang menemukan adanya kemampuan B. subtilis B12 dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh (Swain et al. 2006, Yan et al. 2011). Perlakuan benih dan penyemprotan formulasi spora B. subtilis B12 pada konsentrasi dan frekuensi aplikasi mampu meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif (Tabel 2 dan Gambar 1). Peningkatan jumlah anakan produktif pada konsentrasi 2% lebih tinggi dari konsentrasi lainnya (Tabel 2). Sementara penyemprotan setiap 2, 3, dan 4 minggu sekali tidak nyata meningkatkan jumlah anakan produktif (Tabel 2).
Tinggi tanaman juga dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan benih dan konsentrasi formulasi (Gambar 1). Kombinasi perlakuan benih dengan penyemprotan pada konsentrasi 2% dan 5% menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding kombinasi dengan konsentrasi 1%. Pengaruh aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 dalam menekan penyakit HDB terlihat dari nilai ADKPP. Semakin kecil nilai ADKPP, semakin baik penekanan penyakit. Secara terpisah perlakuan benih memberi pengaruh nyata dalam menekan penyakit HDB dengan nilai ADKPP yang lebih rendah dibanding tanpa perlakuan benih (Tabel 3). Pada perlakuan frekuensi aplikasi, penyemprotan formulasi pada setiap 1, 2, 3, dan 4 minggu sekali tidak berbeda nyata dalam menekan HDB, namun lebih besar dibanding kontrol (tanpa aplikasi) (Tabel 3). Penekanan penyakit HDB dipengaruhi oleh interaksi antarperlakuan benih dan konsentrasi penyemprotan formulasi. Kombinasi perlakuan benih dan
Tabel 1. Pengaruh perlakuan benih dengan formulasi spora B. subtilis B12 terhadap panjang akar, tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif tanaman padi varietas Ciherang. Rumah kaca, BB Biogen, Bogor.
Tabel 2. Pengaruh frekuensi aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif tanaman padi varietas Ciherang. Rumah kaca, BB Biogen, Bogor. Frekuensi aplikasi
Perlakuan benih
Perlakuan benih Tanpa perlakuan benih
Panjang akar 21 HST (cm)
Tinggi tanaman 60 HST (cm)
Jumlah anakan produktif per rumpun 60 HST
18,9a 9,9b
99,1a 94,8b
25,3a 23,1b
Tanpa aplikasi Aplikasi setiap Aplikasi setiap Aplikasi setiap Aplikasi setiap
1 2 3 4
minggu minggu minggu minggu
Jumlah anakanproduktif per rumpun 60 HST 21,1b 24,1ab 25,3a 25,0a 25,4a
Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%
Formulasi awal = 108 cfu/ml, volume semprot = 15 ml/tanaman. Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
Gambar 1. Interaksi perlakuan benih dengan konsentrasi formulasi spora B. subtilis B12 terhadap tinggi tanaman pada 60 HST. Rumah kaca, BB Biogen, Bogor. tp = tanpa perlakuan benih; p = dengan perlakuan benih 0-5%. Angka-angka di atas bar yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
Gambar 2. Interaksi perlakuan benih dan konsentrasi formulasi spora B. subtilis B12 terhadap perkembangan penyakit (ADKPP) HDB. Rumah kaca, BB Biogen, Bogor. tp = tanpa perlakuan benih; p = dengan perlakuan benih 0-5%. Angka-angka di atas bar yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
24
WARTONO ET AL.: AGEN PENGENDALI HAYATI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
Tabel 3. Pengaruh frekuensi aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 terhadap perkembangan penyakit HDB pada varietas Ciherang. Rumah kaca, BB Biogen, Bogor.
Frekuensi aplikasi
Tanpa aplikasi Aplikasi setiap Aplikasi setiap Aplikasi setiap Aplikasi setiap
1 2 3 4
minggu minggu minggu minggu
Area di bawah kurva perkembangan penyakit HDB 11,8a 10,9b 10,8b 10,7b 10,7b
Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
penyemprotan formulasi spora B. subtilis B12 pada konsentrasi 1%, 2%, dan 5% berinteraksi positif dalam menekan perkembangan penyakit HDB (Gambar 2). Bobot kering gabah dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan benih dan konsentrasi formulasi spora B. subtilis B12. Bobot kering gabah pada interaksi kedua komponen tersebut lebih besar dibanding tanaman tanpa perlakuan benih dan tanpa aplikasi formulasi spora. Penyemprotan formulasi spora B. subtilis B12 pada konsentrasi 2% menghasilkan bobot kering gabah yang lebih besar dibanding kombinasi lainnya (Gambar 3). Frekuensi aplikasi spora berpengaruh nyata terhadap bobot kering gabah. Penyemprotan formulasi spora B. subtilis B12 dengan interval 2 minggu sekali menghasilkan bobot kering gabah lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh frekuensi aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 terhadap bobot kering gabah. Rumah kaca, BB Biogen, Bogor. Frekuensi aplikasi
Tanpa aplikasi Aplikasi setiap Aplikasi setiap Aplikasi setiap Aplikasi setiap
1 2 3 4
minggu minggu minggu minggu
Bobot kering gabah (g/rumpun) 45,6b 54,4a 56,0a 54,1a 52,2ab
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
Gambar 3. Interaksi perlakuan benih dan konsentrasi formulasi spora B. subtilis B12 terhadap bobot kering gabah. Rumah kaca, BB Biogen, Bogor. tp = tanpa perlakuan benih; p = dengan perlakuan benih 0-5%. Angka-angka di atas bar yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
Formulasi Spora B. subtilis di Lapangan Aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 memberikan respon positif terhadap jumlah anakan produktif ketiga varietas padi yang digunakan (Tabel 5). Jumlah anakan varietas Cisantana, Ciherang, dan Sintanur yang diaplikasi formulasi spora B. subtilis B12 masing-masing 21,1; 21,6; dan 21,7 batang/rumpun, sementara pada kontrol (tanpa aplikasi) masing-masing hanya 13,6; 13,4; dan 14,1 batang/rumpun. Pengaruh aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 juga terlihat pada gabah kering panen ketiga varietas dibandingkan dengan kontrol (tanpa aplikasi). Peningkatan gabah kering panen varietas Cisantana, Ciherang, dan Sintanur yang diaplikasi formulasi spora B. subtilis B12 masing-masing 37,5%; 50,5%; dan 34,4%. Pada perlakuan aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 setiap 1, 2, dan 4 minggu memberikan respon positif terhadap jumlah anakan produktif, masing-masing 20,8, 21,5, dan 22,1 batang/ rumpun, sementara pada kontrol hanya 13,7 batang/ rumpun. Frekuensi aplikasi formulasi spora juga berpengaruh terhadap gabah kering panen. Hasil
pengujian menunjukkan tanaman padi yang aplikasi spora B. subtilis B12 setiap 1, 2, dan 4 minggu sekali menghasilkan gabah kering panen yang lebih tinggi dibanding kontrol (tanpa aplikasi), masing-masing 14,8%; 55,6%; dan 14,8%. Pengaruh aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 dalam menekan penyakit HDB terlihat dari nilai area di bawah kurva perkembangan penyakit (ADKPP). Penekanan penyakit semakin baik bila nilai ADKPP semakin kecil. Aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 menyebabkan nilai ADKPP pada semua varietas lebih kecil. Nilai ADKPP pada varietas Cisantana, Ciherang, dan Sintanur yang diaplikasi formulasi spora B. subtilis B12 masing-masing 6,6; 5,9; dan 6,5 atau terjadi penekanan 10,8%; 19,2%; dan 9,7%, dibandingkan dengan kontrol (tanpa aplikasi) (Tabel 6). Hal ini menunjukkan aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 berpengaruh positif dalam mengendalikan penyakit HDB pada ketiga varietas padi. Pada perlakuan frekuensi aplikasi, penyemprotan setiap 25
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 5. Pengaruh aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 terhadap jumlah anakan produktif dan hasil gabah varietas Ciherang di lapang.
Perlakuan
Jumlah anakan produktif per rumpun 60 HST
Gabah kering panen (kg/25 rumpun)
% peningkatan
Varietas Cisantana (TA) Ciherang (TA) Sintanur (TA) Cisantana (A) Ciherang (A) Sintanur (A)
13,6b 13,4b 14,1b 21,1a 21,6a 21,7a
0,24c 0,26c 0,32bc 0,33abc 0,39ab 0,43a
0,0 0,0 0,0 37,5 50,0 34,4
Frekuensi aplikasi Tanpa aplikasi Aplikasi per 1 minggu Aplikasi per 2 minggu Aplikasi per 4 minggu
13,7c 20,8b 21,5ab 22,1a
0,27b 0,43a 0,42a 0,31b
0,0 14,8 55,6 14,8
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata Duncan pada taraf nyata 5%; TA = tanpa diaplikasi (semprot); A = diaplikasi (semprot)
1, 2, dan 4 minggu sekali mampu menekan perkembangan penyakit HDB. Hal ini ditunjukkan oleh nilai ADKPP yang lebih rendah. Nilai ADKPP pada tanaman padi yang aplikasi setiap 1, 2, dan 4 minggu masing-masing 6,0; 6,4; dan 6,6 atau terjadi penekanan 21,7%; 14,1%; dan 10,6% dibandingkan dengan kontrol (tanpa aplikasi). Hasil pengujian menunjukkan aplikasi yang dilakukan setiap 1 minggu sekali memberikan hasil yang lebih baik dalam mengendalikan penyakit HDB. Pertumbuhan tanaman secara alami dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh yang terdapat pada jaringan tanaman yang berfungsi mengatur proses fisiologi tanaman seperti pembesaran sel, diferensiasi jaringan, respon terhadap cahaya dan gravitasi (Teale et al. 2006). Selain diproduksi oleh tanaman, zat pengatur tumbuh juga diproduksi oleh beberapa bakteri penghuni tanah, seperti B. subtilis yang menghasilkan senyawa indole-3acetic acid (IAA) (Swain et al. 2006). Dalam penelitian ini, aplikasi formulasi spora B. subtilis secara umum mampu meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Hal ini diduga karena B. subtilis yang diaplikasikan dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh yang mampu memicu pertumbuhan tanaman. Aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 melalui perlakuan benih nyata meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi sejak fase pembibitan (vegetatif) hingga fase generatif. Meningkatnya pertumbuhan tanaman tidak terlepas dari interaksi yang saling menguntungkan antara B. subtilis B12 dengan tanaman. B. subtilis B12 mengkoloni perakaran karena
26
Tabel 6. Pengaruh aplikasi formulasi spora B. Subtilis B12 terhadap perkembangan penyakit HDB di lapang. Area di bawah kurva perkembangan penyakit HDB
% penekanan penyakit
Varietas Cisantana (TA) Ciherang (TA) Sintanur (TA) Cisantana (A) Ciherang (A) Sintanur (A)
7,4a 7,3ab 7,2ab 6,6abc 5,9c 6,5c
0,0 0,0 0,0 10,8 19,2 9,7
Frekuensi aplikasi Tanpa aplikasi Aplikasi setiap 1 minggu Aplikasi setiap 2 minggu Aplikasi setiap 4 minggu
7,3a 6,0c 6,4bc 6,6b
0,0 21,7 14,1 10,6
Perlakuan
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. TA = tanpa diaplikasi (semprot); A = diaplikasi (semprot).
memerlukan senyawa metabolit yang dihasilkan tanaman sebagai nutrisinya. Setelah terakumulasi pada perakaran tanaman, bakteri tersebut akan menghasilkan zat pengatur tumbuh, yang mampu menginduksi perakaran tanaman untuk tumbuh dengan baik. Dengan perakaran yang baik maka daya tembus dan daya serap akar terhadap nutrisi akan menjadi lebih baik. Kemampuan ini diduga penyebab postur tanaman, jumlah anakan produktif, dan hasil padi lebih tinggi. Kemampuan B. subtilis B12 dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan hasil panen melalui perlakuan benih sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana B. subtilis yang digunakan dalam perlakuan benih mampu memperbaiki sistem perakaran (Kilian et al. 2000). Selain itu, pencelupan akar pada suspensi B. subtilis dapat meningkatkan panjang akar dan pucuk serta bobot basah dan bobot kering tanaman (Swain et al. 2006). Vasudevan et al. (2002) melaporkan bahwa aplikasi B. subtilis pada media pembibitan padi varietas IR24, IP50, dan Jyothi dengan perbandingan 1:40 (formulasi B. subtilis: media pembibitan) meningkatkan panjang akar, tunas, dan hasil panen dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh kemampuan formulasi B. subtilis dalam mengendalikan penyakit HDB. Aplikasi formulasi spora B. subtilis melalui perlakuan benih dan penyemprotan tanaman pada berbagai konsentrasi dan frekuensi aplikasi mampu menekan penyakit HDB. Perlakuan benih merupakan
WARTONO ET AL.: AGEN PENGENDALI HAYATI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI
strategi awal yang perlu direkomendasikan dalam penggunaan formulasi spora B. subtilis, karena terbukti mampu menekan penyakit HDB dan memicu pertumbuhan tanaman. Kemampuan B. subtilis dalam menekan perkembangan patogen melalui perlakuan benih disebabkan karena B. subtilis dapat bertahan, berasosiasi, dan terus berkembang pada perakaran tanaman, dan mampu berkompetisi dan menekan patogen (EPA 2003, Kilian et al. 2000). Aplikasi formulasi B. subtilis B12 melalui perlakuan benih diduga mampu menginduksi ketahanan tanaman padi terhadap HDB. Kemampuan B. subtilis dalam menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit telah diteliti oleh Ongena et al. (2007). Kondisi lingkungan biotik dan abiotik selalu berubahubah, sehingga mempengaruhi perkembangan penyakit di lapang. Pada fase pertumbuhan tertentu, penularan penyakit relatif tidak tinggi, namun pada fase berikutnya bisa jadi lebih tinggi. Oleh karena itu, pengendalian penyakit tidak cukup dilakukan melalui perlakuan benih, tetapi perlu dilakukan aplikasi melalui penyemprotan. Aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 mampu menekan penyakit HDB karena B. subtilis B12 yang digunakan dalam penelitian ini diduga menghasilkan senyawa antibiotik. Lin et al. (2001) juga melaporkan bahwa antibakteri yang dihasilkan B. subtilis bersifat antagonistik terhadap Xoo. Pengendalian HDB akan efektif jika konsentrasi dan waktu aplikasi dilakukan secara tepat. Selain efektif, ketepatan konsentrasi dan waktu aplikasi juga dapat menghemat waktu, biaya, dan tenaga. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keefektifan formulasi spora B. subtilis B12 tidak bergantung pada tingginya konsentrasi formulasi dan jarak aplikasi yang rapat. Dilihat dari peningkatan bobot kering gabah dan kemampuan dalam menekan penyakit HDB, konsentrasi 2% aplikasi formulasi spora B. Subtilis B12 cenderung lebih baik. Sementara aplikasi setiap 1, 2, 3, dan 4 minggu sekali tidak berbeda dalam meningkatkan hasil dan menekan penyakit HDB di rumah kaca. Di lapang, aplikasi formulasi spora B. subtilis B12 mampu menekan penyakit HDB, sehingga berpengaruh positif terhadap jumlah anakan dan gabah kering panen padi varietas Cisantana, Ciherang, dan Sintanur. Aplikasi setiap 1, 2, dan 4 minggu sekali juga mampu menekan penyakit HDB dan meningkatkan hasil panen. Aplikasi setiap 1 dan 2 minggu sekali lebih baik dibanding 4 minggu sekali. Aplikasi setiap 2 minggu sekali lebih ideal digunakan sebagai interval aplikasi anjuran formulasi spora B. subtilis B12. Konsentrasi dan waktu aplikasi formulasi yang berlebihan, selain tidak efisien, dikhawatirkan dapat memberikan efek yang berlawanan terhadap pertumbuhan tanaman dan perkembangan bakteri.
Konsentrasi formulasi yang tinggi dan jarak aplikasi yang rapat mengakibatkan populasi bakteri yang diaplikasikan semakin banyak, sehingga terjadi persaingan di antara individu bakteri dan meningkatnya zat pengatur tumbuh. Penggunaan bakteri dalam jumlah yang padat, konsentrasi IAA yang diproduksi semakin tinggi, sehingga menghambat pemanjangan pucuk dan akar tanaman (Hansen dan Grossmann 2000). Selain itu, penyemprotan formulasi dengan bahan pembawa tepung yang berlebihan dikhawatirkan akan menutup permukaan tanaman, sehingga proses fotosintesis terganggu.
KESIMPULAN 1. Penyemprotan tanaman padi dengan formulasi spora B. subtilis B12 dapat menekan perkembangan penyakit HDB hingga 21,7% dan berpotensi meningkatkan hasil panen varietas Ciherang hingga 55,6%. 2. Pada pengujian di rumah kaca, perlakuan terbaik adalah konsentrasi formulasi 2% dengan interval aplikasi dua minggu sekali. 3. Pada pengujian di lapangan, aplikasi formulasi dengan interval satu dan dua minggu memberikan hasil terbaik terhadap penekanan penyakit HDB dan hasil panen padi varietas Ciherang.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan dana penelitian ini melalui Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T).
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 2005. Plant pathology, 5th edn, Elsevier Academic Press, Burlington, Mass. 922p. [BBPOPT] Balai Besar Peramalan Organisme Penggangu Tumbuhan. 2007. Efektivitas bakteri antagonis Cor ynebacterium terhadap HDB/kresek. www.bbpoptjatisari.com. Akses 21 Oktober 2010. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2005. Evaluasi kerusakan tanaman padi akibat serangan organisme pengganggu tanaman tahun 2004, tahun 2003, dan rerata lima tahun (1988-2002). Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan. Jakarta.
27
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
EPA (U.S. Environmental Protection Agency). 2003. Bacillus subtilis GBO3 (129068). http://www.epa.gov. Akses 10 Nopember 2009. Habazar, T. dan F. Rivai. 2004. Bakteri patogenik tumbuhan. Andalas University Press: Padang. Hansen, H. and K. Grossmann. 2000. Auxin-induced ethylene triggers abscisic acid biosynthesis and growth inhibition. Plant Physiology 124: 1437-1448. Hanudin, W. Nuryani, E. Silvia, dan B. Marwoto. 2011. Biopestisida organik berbahan aktif Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium pada Anyelir. J. Hort. 21(2):152-163. Ilyas. 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed quality. Bul. Agron. 34(2): 124-132. IRRI. 2008. Bacterial leaf blight. (http://www.Knowledgebank. irri.org/RiceDoctor/fact-Sheets/Diseases). Katherine, L., Reynold, and Barry, M.C. 1997. Components of partial host resistance and eoidemic progress. In: Leonard, J.P., Deborah, AN (editor). Exercises in plant diseases epidemiology. APS Press, St. Paul,. Minnesota. pp 111-114. Kilian, U., B. Steiner, H. Krebs, G. Junge, Schmiedeknecht, and R. Hain. 2000. FZB24 Bacillus subtilis – mode of action of a microbial agent enhancing plant vitality. PflSchutz-Nachr, Bayer 111: 583-597. Lin, D., L.J. Qu, H. Gu, and Z. Chen. 2001. A 3.1-kb genomic fragment of Bacillus subtilis encodes the protein inhibiting growth of Xanthomonas oryzae pv. oryzae. J. Appl. Microbiol. 91: 1044-1050. Nakkeeran, S., W.G.G. Fernando, and A.S. Zaki. 2006. Plant growth promoting rhizobacteria formulation and its scope in commercialization for the management of pest and diseases. Editor ZA siddiqui. PGPR: Biocontrol and biofertilization, Netherlands: Springer, p.257-296. Nino-Liu, D.O., P.C. Ronald, and A .J. Bogdanove. 2006. Xanthomonas oryzae pathovars: model pathogens of a model crop. Molecular Plant Pathology 7: 303-324.
28
Ongena, M., E. Jourdan, A. Adam, M. Paquot, A. Brans, B. Joris, J.L. Arpigny , and P. Thonart. 2007. Surfactin and fengycin lipopeptides of Bacillus subtilis as elicitors of induced systemic resistance in plants. Environ. Microbiol. 9:1084-1090. Schwartz, H. and D.H. Gent. 2007. Xanthomonas leaf blight of onion. Gardening Series. No. 2. p951. Sulistiani. 2009. Formulasi spora Bacillus subtilis sebagai agens hayati dan PGPR (plant growth promoting rhizobacteria). Skripsi. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 22(1):45-50. Suparyono, Sudir, and Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas or yzae pv. oryzae isolate from the rice ecosystem in Java. Indonesian J. Agric. Sci., 5: 63-69. Swain, M.R., S.K. Naskar, and R.C. Ray. 2006. Indole-3-acetic acid production and effect on sprouting of yam (Dioscorea rotundata L.) minisetts by Bacillus subtilis isolated from culturable cowdung microflora. Polish J. Microbio. 56(2): 103-110. Szczech, M. and M. Shoda. 2006. The effect of mode of application of Bacillus subtilis RB14-C on its efficacy as a biocontrol agents against Rhizoctonia solani. J. Phytopathol. 154: 370-377. Teale, W.D., I.A. Paponov, and K. Palme. 2006. Auxin in action: signalling, transport and the control of plant growth and development. Nat. Rev. Mol. Cell Biol. 7: 847-859. Vasudevan, P., S. Kavitha, V.B. Priyadarisini, L. Babujee, and S.S. Gnanamanickam. 2002. Biological control of rice diseases, pp. 11-32. In S.S. Gnanamanickam (Eds.). Biological Control of Crop Diseases. Marcel Dekker, New York. Yan, L., T. Jing, Y. Yujun, L. Bin, L. Hui, and L. Chun. 2011. Biocontrol efficiency of Bacillus subtilis SL-13 and characterization of an antifungal chitinase. Chinese Journal of Chemical Engineering 19(1) 128-134.
TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Ketahanan Galur-Galur Padi Pup1 terhadap Penyakit Blas Tasliah, Joko Prasetiyono, Tintin Suhartini, dan Ida Hanarida Soemantri Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jln. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 Email:
[email protected]
Naskah diterima 14 Maret 2014 dan disetujui diterbitkan 19 September 2014
ABSTRACT. Resistance of Pup1 Rice (Oryza sativa Lin.) Lines to Blast Disease. Blast is one of major disease on the upland rice in Indonesia. Upland rice lines derived from Kasalath and NILC443 crosses, containing Pup1 gen locus had been developed and evaluated for P fertilizer efficiency. Those lines would be evaluated for blast resistance, due to the fact that Pup1 locus contains genes involved in plant defend mechanism to disease, including blast disease. The BC2F5 plants derived from six crosses (DK, DN, SK, SN, BK, BN) were used in this research. Responses to blast disease in the green house were evaluated at ICABIOGRAD Bogor from March to April 2011, using combination of three blast races (race 173, 033, and 133). The response to blast disease in the field was evaluated at Taman Bogo Research Station, Lampung, and at farmer’s field in Cikeusal Village, Banten, from January to April 2011. Molecular analysis to trace Pup1 gene locus was conducted at the Molecular Biology Laboratory, using specific primer K20-2, from January to August 2013. Based on the molecular analysis all Pup1 lines showed homozygoes alleles, except the heterozygoes alleles on SK7, SK8, SK15, SK16, BN8 line, which were then not included in the next planting. The responses to blast at greenhouse among lines varied, but the Pup1 lines were mostly at level of moderate resistan (AT). Based on the result from the field experiment, most of Pup1 lines were resistance, however the susceptible check plant (Kencana Bali) did not show blast fungus infection. Differences of the result might be due to the blast testing at the green house which was more favorable for blast fungal growth. The effect of Pup1 gene locus showed clearly on resistance of plants obtained from Situ Bagendit cross, where Situ Bagendit was susceptible and does not contain the Pup1 locus. Additional of Pup1 locus in Situ Bagendit genome had increased the degree of resistant to blast. Keywords: Rice, BC2F5, Pup1, blast disease. ABSTRAK. Penyakit blas merupakan penyakit utama padi gogo di Indonesia. Galur-galur padi gogo hasil persilangan dengan Kasalath dan NIL-C443 yang mengandung lokus Pup1 telah dihasilkan dan telah diteliti pengaruhnya terhadap pemupukan P. Galur tersebut perlu diteliti ketahanannya terhadap serangan blas, karena di dalam lokus Pup1 diketahui mengandung gen-gen yang terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap penyakit termasuk blas. Tanaman BC2F5 dari enam persilangan (DK, DN, SK, SN, BK, BN) digunakan dalam penelitian ini. Evaluasi penyakit blas di rumah kaca dilakukan di BB Biogen pada Maret-April 2011 menggunakan campuran tiga ras blas (ras 173, 033, and 133). Evaluasi penyakit blas di lapangan dilakukan di KP Taman Bogo, Lampung, dan di lahan petani di Desa Cikeusal, Banten, pada Januari-April 2011. Analisis molekuler untuk mengetahui keberadaan lokus Pup1 dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler BB Biogen, menggunakan primer spesifik K20-2 pada Januari-Agustus 2013. Hasil analisis molekuler menunjukkan semua galur Pup1 memiliki alel homozigot, kecuali alel heterozigot pada SK7, SK8, SK15, SK16,
BN8. Galur-galur tersebut tidak dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya. Pengujian blas di rumah kaca memberikan hasil yang beragam, namun sebagian besar galur yang mengandung Pup1 bereaksi agak tahan. Hasil penelitian di lapangan, menunjukkan sebagian besar galur Pup1 bereaksi tahan terhadap blas, namun tanaman pembanding rentan (Kencana Bali) tidak menunjukkan gejala infeksi jamur blas. Percobaan di rumah kaca dinilai dalam kondisi optimal untuk pertumbuhan jamur blas. Pengaruh lokus Pup1 terlihat jelas terhadap ketahanan blas pada persilangan dengan tetua Situ Bagendit yang tidak mengandung lokus Pup1. Penambahan lokus Pup1 pada genom Situ Bagendit meningkatkan ketahanan terhadap penyakit blas. Kata kunci: Padi, BC2F5, Pup1, penyakit blas.
B
las yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae merupakan salah satu penyakit penting tanaman padi, baik padi gogo maupun padi sawah. Penyakit blas sudah banyak dilaporkan, baik di Indonesia ataupun di negara lain di areal pertanaman padi. Kerugian yang disebabkan oleh penyakit blas cukup tinggi apabila tanaman padi terinfeksi blas leher (neck blast). Data Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan (2010) menunjukkan penularan blas di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 19.629 ha (0,15%) dari total 12,88 juta ha area pertanaman padi. Intensitas penularan blas di lapangan dipengaruhi oleh faktor cuaca dan kondisi tanaman. Tanaman yang lemah, misalnya dengan aplikasi pupuk N yang berlebihan, mudah terinfeksi blas (Dordas 2008). Tanaman yang memiliki figur kuat akan tahan terhadap blas. Salah satu unsur hara yang mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap penyakit (termasuk blas) adalah silikat (Romero et al. 2011). Lignin juga dapat mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap penyakit dengan mempengaruhi perekatan penyusun komponen lain dalam batang tumbuhan. Protein atau enzim yang terlibat dalam biosintesis lignin adalah dirigent protein, yang berperan penting dalam salah satu jalur biosintesis lignin (Bhuiyan et al. 2009, Davin and Lewis 2000). Lokus Pup1 (P uptake 1) adalah salah satu lokus di dalam kromosom padi varietas lokal kelompok aus, yakni varietas Kasalath yang terletak pada kromosom 12. Posisi
29
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
lokus tersebut telah dipetakan dan mengandung gengen yang terlibat dalam penangkapan unsur fosfor (P) (Wissuwa et al. 1998). Menurut Gamuyao et al. (2012), di dalam lokus tersebut terdapat gen yang berperan penting dalam pembentukan akar secara eksponensial, yaitu gen Phosphorus-starvation tolerance 1/PSTOL1, sehingga penangkapan P menjadi lebih cepat dibandingkan dengan tanaman yang tidak memiliki gen tersebut. Berdasarkan analisis sekuen diketahui pula bahwa pada lokus Pup1 juga terdapat gen-gen dirigent-like, fatty acid α-dioxygenase, dan aspartic proteinase. Gen-gen ini berperan penting dalam peningkatan mekanisme ketahanan tanaman terhadap cekaman abiotik (kekeringan, aluminium) dan biotik (penyakit blas, hawar daun bakteri, dan hama penggerek batang). Gen dirigentlike menghasilkan protein yang terlibat dalam biosintesis lignin yang berpengaruh terhadap kekerasan dinding sel tanaman (Heuer et al. 2009). Introgresi lokus Pup1 ke padi Indonesia (Dodokan, Situ Bagendit dan Batur) menggunakan metode Marker Assisted Backcrossing (MAB) telah dilakukan, dan pengujian populasi tanaman silang balik BC2F3 terhadap dosis pupuk P di lapangan juga telah dilakukan (Prasetiyono et al. 2012). Hasilnya menunjukkan bahwa tanaman yang mengandung lokus Pup1 memiliki figur yang lebih besar dibanding tetuanya. Galur-galur silang balik yang mengandung lokus Pup1 tersebut juga perlu diuji ketahanannya terhadap penyakit blas, mengingat dalam lokus Pup1 juga terdapat gen-gen yang mengatur ketahanan penyakit. Lokus Pup1 yang terintegrasi ke dalam varietas padi Indonesia diharapkan dapat meningkatkan ketahanan terhadap blas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan lokus Pup1 dan ketahanan galur-galur BC2F5 Pup1 terhadap penyakit blas.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di rumah kaca, lapangan, dan laboratorium. Percobaan rumah kaca (Maret-April 2011) dilakukan di BB Biogen, Bogor. Percobaan lapangan (Januari-Mei 2011) dilakukan di Kebun Percobaan Taman Bogo, Lampung, dan lahan petani di Desa Cikeusal, Banten. Percobaan laboratorium (JanuariAgustus 2013) dilakukan di BB Biogen, Bogor. Bahan percobaan adalah galur-galur silang balik (BC2F5) dari enam kombinasi persilangan genotipe padi yang merupakan hasil seleksi dari generasi sebelumnya. Galur-galur tersebut terdiri atas 12 galur hasil persilangan Dodokan x Kasalath (DK), 19 galur dari persilangan Dodokan x NIL-C443 (DN), 24 galur dari persilangan Situ Bagendit x Kasalath (SK), 22 galur dari persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 (SN), 2 galur dari persilangan Batur
30
x Kasalath (BK), dan 23 galur dari persilangan Batur x NIL-C443 (BN). Varietas padi yang digunakan sebagai pembanding tetua persilangan adalah Nipponbare dan sebagai pembanding rentan blas adalah Kencana Bali. Pengujian di Rumah Kaca Pada pengujian blas di rumah kaca, benih masing-masing varietas/galur ditumbuhkan pada bak percobaan yang berisi media tanah dengan perbandingan 6,5 kg tanah: 0,5 kg pupuk kandang. Satu bak berisi 10 galur ditambah satu tanaman pembanding rentan. Masing-masing galur ditanam dalam baris berisi 10 benih dan diulang dalam tiga bak. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok. Isolat patogen blas yang digunakan sebagai inokulum adalah campuran dari tiga ras (173, 033 dan 133) yang diketahui memiliki virulensi tinggi. Isolat diperbanyak dengan menumbuhkan pada cawan petri berisi media Prune Agar dan dibiarkan tumbuh pada suhu 28°C selama 7 hari. Untuk merangsang terbentuknya spora, jamur yang telah tumbuh pada media diinkubasi secara terbuka di bawah lampu neon selama 4 hari. Spora yang terbentuk kemudian dipanen dan diinokulasikan ke tanaman. Proses inokulasi dilakukan mengikuti prosedur Valent dan Chumley (1994). Tanaman uji yang berumur 16 hari diinokulasi dengan cara menyemprotkan 50 ml (± 308.000 spora/ml) suspensi inokulum menggunakan pompa vakum (vacuum pump). Tanaman yang telah diinokulasi disimpan selama 24 jam di dalam ruang lembab (moist room), dan kelembaban dipertahankan >90%. Keesokan harinya tanaman dipindahkan ke dalam ruang inkubasi dengan suhu 25°C selama satu minggu. Pengamatan dilakukan pada semua tanaman (10 tanaman), satu minggu setelah inokulasi. Untuk mengetahui tingkat penularan blas pada tanaman yang diuji, pengamatan gejala penyakit dilakukan menurut sistem penilaian IRRI (1996) berdasar luas penularan pada daun tanaman dengan skala 0-9. Skor 0-3 berarti tanaman bersifat tahan (T), skor 4-5 agak tahan (AT), skor 6-7 rentan (R), dan skor 8-9 sangat rentan (SR). Intensitas penularan penyakit blas dihitung dengan rumus: I=Σ
nv NV
x 100%
I = Intensitas penyakit blas (%) n = Jumlah sampel dengan nilai skor tertentu v = Nilai skor masing-masing sampel N = Jumlah sampel yang diamati V = Skala tertinggi penularan blas
TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Tingkat ketahanan tanaman dinilai berdasarkan intensitas penularan blas dengan kriteria: <25% = tahan (T), 25-50% = agak tahan (AT), 50-90% = rentan (R), dan >90% = sangat rentan (SR). Pengujian di Lapangan Pada pengujian di lapangan, masing-masing galur ditanam pada petak 1 m x 2 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, lima baris setiap galur, dan dua benih per lubang tanam. Tanaman yang tumbuh kemudian disisakan satu tanaman per rumpun. Tanaman dipupuk dengan 200 kg urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pengamatan terhadap blas dilakukan setelah tanaman pembanding rentan menunjukkan intensitas penularan dengan skor 7-9. Tanaman yang diamati adalah lima rumpun per galur/ varietas. Kriteria penularan blas dinilai seperti pada percobaan di rumah kaca.
disimpan di dalam freezer untuk digunakan dalam pengujian di laboratorium. Isolasi DNA mengikuti prosedur Dellaporta et al. (1983). Analisis molekuler menggunakan primer spesifik Pup1, yakni Kas20-2 dengan enzim restriksi BspI. Sekuen primer yang digunakan adalah F (TCAAAAATTTCTTCAGGTATGTA CTCC) dan R (TTGGGTGATCAGCTTTCAGA) (Chin et al. 2011). Proses PCR berlangsung 7 menit 94°C, 35 siklus dengan 1 menit 94°C, 1 menit 58°C, dan 2 menit 72°C. Perpanjangan akhir selama 10 menit 72°C. Seluruh sampel DNA dicek dengan elektroforesis pada gel 1% untuk melihat sebaran pita. Sampel yang menghasilkan pita kemudian dipotong dengan enzim Bsp1, dan dielektroforesis pada gel agarose 1,5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian di Rumah Kaca dan Lapangan
Analisis Molekuler Integrasi lokus Pup1 DNA untuk analisis molekuler diambil dari daun tanaman setelah pengujian penyakit blas di rumah kaca. Daun dari setiap galur uji yang tidak terinfeksi blas diambil dan dimasukkan ke dalam tabung mikro,
Intensitas penularan blas di lapangan (Lampung dan Banten) tidak optimal, yang ditandai oleh varietas Kencana Bali sebagai pembanding rentan masih dapat bertahan (Tabel 1-3). Varietas Kencana Bali di kedua lokasi tersebut hanya terinfeksi blas dengan reaksi
Tabel 1. Reaksi ketahanan galur padi terhadap penyakit blas dan hasil analisis molekuler tanaman BC2F5 Dodokan x Kasalath (DK) dan Dodokan x NIL-C443 (DN). Ketahanan terhadap blas
Ketahanan terhadap blas
Galur/tetua
Galur/tetua Rumah kaca
DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 DK9 DK10 DK11 DK12 Dodokan Kasalath Kencana Bali
AT AT AT AT AT AT AT T AT AT AT AT AT R SR
Lapangan
Analisis molekuler
Banten
Lampung
T T T AT T AT T T T T T T T AT T
T T T T AT AT T AT AT AT AT AT T T AT
K K K K K K K K K K K K
Rumah kaca
DN1 DN2 DN3 DN4 DN5 DN6 DN7 DN8 DN9 DN10 DN12 DN13 DN14 DN15 DN16 DN17 DN18 DN19 DN20 Dodokan NIL- C443 Nipponbare Kencana Bali
AT AT AT AT AT AT R AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT T T AT T T SR
Lapangan
Analisis molekuler
Banten
Lampung
T T T AT T AT AT T T T AT T T T T T T T T T T T T
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
T = tahan; AT = agak tahan; R = rentan; SR = sangat rentan. K = Kasalath dan N = NIL-C443.
31
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 2. Reaksi ketahanan galur terhadap penyakit blas dan hasil analisis molekuler tanaman BC 2F5 Situ Bagendit x Kasalath (BK) dan Situ Bagendit x NIL-C443 (BN). Ketahanan terhadap blas
Ketahanan terhadap blas
Galur/tetua
Galur/tetua Rumah kaca
SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 Situ Bagendit Kasalath Kencana Bali
AT T T AT T T AT T T AT AT T T T T T T AT T T T T T T T R SR
Lapangan
Analisis molekuler
Banten
Lampung
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT AT
K K K K K K H H K K K K K K H H K K K K K K K K
Rumah kaca
SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Situ Bagendit NIL- C443 Nipponbare Kencana Bali
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT T T SR
Lapangan
Analisis molekuler
Banten
Lampung
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T R
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
T = tahan; AT = agak tahan; R = rentan; SR = sangat rentan; K = Kasalath; H = Kasalath dan Situ Bagendit, N = NIL-C443.
maksimal rentan (Banten) dan agak tahan (Lampung). Hal ini disebabkan karena penularan blas di lapangan bergantung kepada ketersediaan inokulum alami pada saat pengujian, sedangkan ketersediaan inokulum bergantung pada faktor cuaca. Pada saat percobaan, kelembaban udara rendah, karena curah hujan tidak tinggi. Dodokan yang dilepas pada tahun 1987 termasuk cukup tahan terhadap penyakit blas, sedangkan Situ Bagendit yang dilepas pada tahun 2003 termasuk agak tahan (Suprihatno et al. 2010). Varietas Batur yang dilepas pada tahun 1988 termasuk tahan blas (Balittan, 1993). Pada percobaan di rumah kaca, varietas Dodokan dan Batur termasuk agak tahan, sedangkan Situ Bagendit termasuk agak tahan sampai tahan, dan tidak ada yang rentan. Walaupun varietas tersebut sudah lebih dari 10 tahun dilepas tetapi masih tahan terhadap tiga isolat blas yang virulen. Pengaruh lokus Pup1 terhadap peningkatan ketahanan penyakit blas belum pernah dipublikasi. Asumsi yang dipakai adalah di dalam lokus Pup1 selain 32
terdapat gen yang mengatur pertumbuhan jaringan (PSTOL1) juga terdapat gen-gen yang berkaitan dengan mekanisme ketahanan terhadap penyakit. Sejauh mana gen-gen tersebut mempengaruhi mekanisme ketahanan belum dilakukan penelitian yang mendalam (Heuer et al. 2009). Penelitian efek lokus Pup1 ini masih difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan penangkapan P (Chin et al. 2010, 2011, Gamuyao et al. 2012). Secara khusus, efek dari introgresi lokus tersebut pada tetua Dodokan, Situ Bagendit, dan Batur terlihat jelas pada peningkatan bobot kering tajuk pada saat diuji dalam larutan hara Yoshida atau di lapangan (Prasetiyono et al. 2012). Hal ini menunjukkan lokus Pup1 memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan vegetatif tanaman padi. Tambahan lokus Pup1 berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan terhadap penyakit blas pada Situ Bagendit karena varietas tersebut sama sekali tidak mengandung lokus Pup1. Hal ini terlihat pada persentase galur BC2F5 yang tahan (T) dibandingkan dengan total dari seluruh galur untuk masing-masing persilangan (Gambar 1). Dibandingkan dengan persilangan
TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Tabel 3. Reaksi ketahanan galur terhadap penyakit blas dan hasil analisis molekuler tanaman BC2F5 Batur x Kasalath (BK) dan Batur x NILC443 (BN). Ketahanan terhadap blas
Ketahanan terhadap blas
Galur/tetua
Galur/tetua Rumah kaca
BK1 BK2 BK3 BK4 BK5 BK6 BK7 BK8 BK9 BK10 BK11 BK12 BK13 BK14 BK15 BK16 BK17 BK18 BK19 BK20 BK21 Batur Kasalath Kencana Bali
Lapangan
Analisis molekuler
Banten
Lampung
T T T T T T T T T T T AT T T T T T T T T T T T AT
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT
T T T T AT AT T T T AT AT AT AT AT AT AT T AT AT AT AT AT R SR
K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K
Rumah kaca
BN1 BN2 BN3 BN4 BN5 BN6 BN7 BN8 BN9 BN10 BN11 BN12 BN13 BN14 BN15 BN16 BN17 BN18 BN19 BN20 BN21 BN22 BN23 Batur NIL-C443 Nipponbare Kencana Bali
AT AT AT T AT AT AT AT AT AT T AT AT AT AT AT AT T AT T T T T AT T AT SR
Lapangan
Analisis molekuler
Banten
Lampung
T T T T T AT T T AT T T T T T T T T T T T T T T T T T T
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT
N N N N N N N H N N N N N N N N N N N N N N N
T = tahan; AT = agak tahan; R = rentan; SR = sangat rentan; K = Kasalath dan N = NIL-C443; H = Kasalath dan Situ Bagendit.
Persentase jumlah galur tahan
120
100 80 60 40 20 0 DK
DN
SK
SN
BK
BN
Gambar 1. Histogram persentase jumlah galur padi Pup1 yang tahan terhadap serangan blas di rumah kaca. DK = BC2F5 Dodokan x Kasalath, DN = BC2F5 Dodokan x NIL-C443, SK = BC2F5 Situ Bagendit x Kasalath, SN = BC2F5 Situ Bagendit x NIL-C443, BK = BC2F5 Batur x Kasalath, BN = BC2F5 Batur x NIL-C443
Dodokan dan Batur, galur-galur BC2F5 turunan Situ Bagendit menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan turunan Dodokan dan Batur. Sumbangan lokus Pup1 secara penuh pada Situ Bagendit menunjukkan peningkatan ketahanan terhadap blas. Batur memiliki lokus Pup1 secara parsial (tidak utuh) sehingga efek dari introgresi lokus tersebut tidak terlalu besar, bahkan Dodokan yang punya lokus Pup1 secara penuh tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan ketahanannya terhadap blas. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk membuktikan pengaruh lokus Pup1 terhadap kadar lignin, perubahan ketebalan dinding sel dan sebagainya. Namun, hasil penelitian ini mendukung dugaan bahwa lokus Pup1 selain mengandung gen-gen yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif juga mengandung gen-gen yang secara tidak langsung dapat meningkatkan ketahanan terhadap penyakit blas. Hal yang kontradiktif pada penelitian ini adalah tetua Kasalath dan NIL-C443 sebagai tetua donor memiliki karakter yang kontras. Kasalath ternyata tidak tahan blas
33
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
walaupun sebagai donor utama lokus Pup1 (Takehisa et al. 2009), sedangkan Nipponbare sebagai tetua dari NIL-C443 tahan blas (sesuai dengan penelitian Hayashi et al., 2006). Dari hasil analisis QTL terhadap persilangan Kasalath dengan Nipponbare (mengandung gen pia dan pish) diketahui bahwa Kasalath memiliki gen ketahanan yang terletak di daerah yang berdekatan dengan alel gen pia pada kromosom 11 dan mengindikasikan bukan sebagai alel pia, tetapi merupakan gen tahan yang baru. Namun, gen ketahanan tersebut tidak mampu juga menahan campuran tiga isolat yang ada di Indonesia. Nipponbare memiliki gen-gen yang cukup efektif sebagai sumber gen ketahanan untuk menghadapi isolat blas dari Indonesia. Pada galur-galur SK dan SN terlihat galur SN memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan
M
(b) Persilangan Dodokan x NIL-C443 M
Air Dodok Kasalath DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 DK9 DK10 DK11 DK12
(c) Persilangan SituBagendit x Kasalath M
M SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24
M
Hasil amplifikasi galur-galur Pup1 menggunakan primer K20-2 dan enzim restriksi Bsp1 menunjukkan seluruh galur DK, DN, SN, dan BK memiliki pita yang mirip dengan Kasalath dan NIL-C443, berarti lokus Pup1 masih terintegrasi dalam genom galur-galur tersebut (Gambar 2), sedangkan skor masing-masing galur dapat dilihat pada Tabel 1-3.
Air Situ Bgdt Kasalath SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12
M
Analisis Molekuler Integrasi Lokus Pup1
Air Dodok NIL-C443 Nipponb DN1 DN2 DN3 DN4 DN5 DN6 DN7 DN8 DN9 DN10 DN12 DN13 DN14 DN15 DN16 DN17 DN18 DN19
(a) Persilangan Dodokan x Kasalath
dengan SK, diduga gen karena dari NIL-C443 turut meningkatkan ketahanan, selain lokus Pup1. Namun, penggunaan NIL-C443 sebagai tetua donor umumnya akan menurunkan hasil, karena background Nipponbare yang terdapat pada NIL-C443 akan memperpendek waktu berbunga dan meningkatkan gabah hampa.
M
M SN12 SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22
M
Air Situ Bgdt NIL-C443 NIpp SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11
(d) Persilangan SituBagendit x NIL
M
M BK13 BK14 BK15 BK16 BK17 BK18 BK19 BK20 BK21
M
Air Batur Kasalath BK1 BK2 BK3 BK4 BK5 BK6 BK7 BK8 BK9 BK10 BK11 BK12
(e) Persilangan Batur x Kasalath
M
M BN11 BN12 BN13 BN14 BN15 BN16 BN17 Bn18 BN19 BN20 BN21 BN22 BN23
M
Air Batur NIL-C443 Nipp BN1 BN2 BN3 BN4 BN5 BN6 BN7 BN8 BN9 BN10
(f) Persilangan Batur x NIL-C443
Gambar 2. Hasil amplifikasi galur-galur Pup1 menggunakan primer K20-2 yang dipotong dengan enzim Bsp1.M=100 bp DNA marker.
34
TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Dari persilangan SK dan BN terdapat beberapa galur seperti SK7, SK8, SK15, SK16, dan BN8 yang masih memiliki pita heterozigot. Artinya, galur-galur tersebut mengandung lokus Pup1, tetapi hanya terdapat pada satu lengan kromosom. Kromosom yang lain sebagai komplemennya masih membawa lokus tetua penerima. Galur-galur heterozigot tersebut memiliki peluang sebesar 50% untuk mengekspresikan lokus Pup1. Primer K20-2 ini merupakan salah satu primer spesifik yang dapat menunjukkan keberadaan lokus Pup1. Pada generasi BC2F3 sebetulnya galur-galur Pup1 yang dianalisis molekuler menunjukkan homozigot untuk lokus Pup1 (Prasetiyono et al., 2012), Pada generasi BC2F5 beberapa tanaman menunjukkan lokus yang heterozigot. Walaupun primer yang digunakan pada generasi BC2F2/BC2F3 berbeda dengan yang digunakan dalam penelitian ini (BC2F5), namun posisi primer berdekatan dengan primer K20-2, dan masih berada dalam lingkungan Pup1. Pada pengembangan populasi dari BC2F3 ke BC2F5 seluruh sampel ditanam di lapangan dan dipilih berdasarkan penampilan tanaman di lapangan. Masih terdapat lokus yang heterozigot kemungkinan disebabkan oleh peristiwa pindah silang kromosom yang tidak biasa (non homologus crossing over). Fenomena ini jarang terjadi, dan biasanya akan menimbulkan peristiwa duplikasi gen (Magadum et al. 2013). Pada padi, fenomena pindah silang yang bukan kromosom homolognya juga telah dibuktikan oleh Gong et al. (2011). Hal ini membuktikan pada genom padi hasil persilangan yang belum stabil dapat terjadi peristiwa yang tidak biasa untuk menuju genom yang stabil. Seleksi secara molekuler dapat menyaring individu/galur yang tidak diharapkan tersebut untuk tidak diikutsertakan dalam pertanaman berikutnya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pada kegiatan MAB sebaiknya setiap generasi dilakukan evaluasi homozigositas gen lokus secara molekuler, selain seleksi di lapangan berdasarkan penampilan tanaman. Hambatan yang biasa dihadapi adalah saat seleksi di lapangan, tanaman yang jumlahnya mencapai ribuan, sehingga untuk seleksi molekuler diperlukan biaya besar. Analisis molekuler biasanya dilakukan lagi pada saat jumlah tanaman yang terseleksi tinggal sedikit. Analisis molekuler juga dapat menyaring tanaman yang tercampur karena kesalahan seleksi di lapangan. Tanaman pada generasi BC2F5 kemungkinan masih terjadi segregasi menuju kestabilan genom yang biasanya dicapai pada generasi F7 (BC2F7). Berdasarkan penelitian Chin et al. (2011), tetua Dodokan mengandung lokus Pup1 secara penuh, Situ Bagendit tidak mengandung lokus Pup1, sedangkan Batur ternyata sudah mengandung sebagian lokus Pup1.
Perbedaan kondisi lokus Pup1 ini diprediksi akan membawa pengaruh yang besar pada turunan Situ Bagendit, disusul Batur, dan efek yang kecil pada turunan Dodokan. Pita Kasalath atau NIL-C443 sejajar dengan tetua Dodokan (Gambar 1a dan 1b). Hal ini menunjukkan bahwa pada lokus tersebut tetua Dodokan memiliki lokus Pup1 yang sama persis dengan Kasalath atau NILC443. Namun, uji sekuensing belum dilakukan untuk membuktikan apakah seluruh gen di daerah lokus Pup1 pada Dodokan sama persis dengan daerah Pup1 pada Kasalath atau NIL-C443.
KESIMPULAN Galur-galur BC2F5 yang berasal dari persilangan varietas Dodokan x Kasalath, Dodokan x NIL-C443, Situ Bagendit x Kasalath, Situ Bagendit x NIL-C443, Batur x Kasalath, dan Batur x NIL-C443 mengandung lokus Pup1. Peningkatan ketahanan terhadap penyakit blas pada galur-galur padi yang memiliki lokus Pup1 terlihat jelas pada persilangan dengan tetua Situ Bagendit. Pada persilangan dengan tetua Batur dan Dodokan, pengaruh lokus Pup1 terhadap penyakit blas tidak terlalu besar.
UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan terima kasih kepada Proyek Generation Challenge Programme yang telah membiayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Bhuiyan, N.H., G. Selvaraj, Y. Wei, and J. King. 2009. Role of lignification in plant defense. Plant Signaling and Behavior 4(2): 158-159. Balittan. 1993. Deskripsi Varietas unggul padi 1943-1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. 123p. Chin, J.H., X. Lu, S.M. Haefele, R. Gamuyao, A.M. Ismail, M. Wissuwa, and S. Heuer. 2010. Development and application of gene-based markers for the major rice QTL Phosphorus uptake 1. Theor. Appl. Genet. 120:1073-1086. Chin, J.H., R. Gamuyao, C. Dalid, M. Bustamam, J. Prasetiyono, S. Moeljopawiro, M. Wissuwa, and S. Heuer. 2011. Developing rice with high yield under phosphorus deficiency: Pup1 sequence to application. Plant Physiology 156:1202-1216. Davin, L.B. and N.G. Lewis. 2000. Dirigent proteins and dirigent sites explain the mystery of specificity of radial precursor coupling in lignan and lignin biosynthesis. Plant Physiology 123:453-461. Dellaporta, S.L., J. Wood, and J.B. Hicks. 1983. A plant DNA minipreparation: version II. Plant. Mol. Biol. Rep. 1(4):19-21.
35
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan. 2010. Serangan penyakit blas pada padi di Indonesia masa tanam 2002-2009. Unpublished.
Magadum, S., U. Banerjee, P. Murugan, D. Gangapur, and R. Ravikesava. 2013. Gene duplication as a major force in evolution. Journal of Genetics 92:155-161.
Dordas, S. 2008. Role of nutrients in controlling plant diseases in sustainable agriculture: a review. p. 443-460. In Lichtfouse, C., M. Navarrete, P. Debacke, V. Sourchere, and C. Alberola (eds). Sustainable Agriculture, Volume 1. Springer Science+Business Media B.V.-EDP Sciences 2009. DOI 10.1007/978-90-481-2666-8_280.
Prasetiyono, J., T. Suhartini, I.H. Soemantri, Tasliah, S. Moeljopawiro, H. Aswidinnoor, D. Sopandie , dan M. Bustaman. 2012. Evaluasi beberapa galur-Pup1 tanaman Padi (Oryza sativa l.) pada larutan hara dan lapangan. J. Agron. Indonesia 40(2):83-90.
Gamuyao R., J.H. Chin, J.P Tanaka, P. Pesaresi, S. Catausan, C. Dalid, I.S. Loedin, E.M.T. Mendoza, M.Wissuwa, and S. Heuer 2012. The protein kinase Pstol1 from traditional rice confers tolerance of phosphorus deficiency. Nature 488:535-541. Gong, Z., X. Liu, D. Tang, H. Yu, C. Yi, Z. Cheng, and M. Gu. 2011. Non-homologous chromosome pairing and crossover formation in haploid rice meiosis. Chromosome 120:47-60.
Romero, A., F. Munévar, and G. Cayon. 2011. Silicon and plant diseases. A review. Agronomia Colombiana 29(3):473-480. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki S.E., Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari. I.P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 109p.
Hayashi, K., H. Yoshida, and I. Ashikawa.2006. Development of PCR-based allele specific and InDel marker sets for nine rice blast resistance genes. Theor. App. Gen. 113:251-260.
Takehisa. H, M. Yosuda, Y. Fukuta, N. Kobayashi, N. Hayashi, H. Nakashita, T. Abe, and T. Sato. 2009. Genetic analysis of resistance genes in Indica-type rice (Oryza sativa L.) Kasalath, using DNA markers. Bred. Sci. 59:253-260.
Heuer, S., X. Lu, J.H. Chin, J.P. Tanaka, H. Kanamon, T. Matsumoto, T.D. Leon, V.J. Ulat, A.M. Ismail, M. Yano, and M. Wissuwa. 2009. Comparative sequence analyses of the major quantitative trait locus phosphorus uptake 1 (Pup1) reveal a complex genetic structure. Plant Biotech. J. 7:456-471.
Valent, B and Chumley, F.G. 1994. Avirulence genes and mechanisms of genetic instability in rice blast fungus. di dalam: R.S. Zeigler, S.A. Leong, and P.S. Teng (eds). Rice blast disease. Wallingford (UK): CAB International. hlm. 111134.
IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. International Rice Research Institute. Fourth Edition. Philippines. 52p.
Wissuwa M., M. Yano, and N. Ae. 1998. Mapping of QTLs for phosphorus-deficiency tolerance in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 97: 777-783.
36
WAHYU ET AL.: UMUR PANEN HASIL PERSILANGAN TIGA VARIETAS KEDELAI
Analisis Nilai Tengah Generasi untuk Umur Panen Keturunan Persilangan Tiga Varietas Kedelai Gatut Wahyu, A.S1, W. Mangoendidjojo2, P. Yudono2, dan A Kasno1 1
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Kendalpayak km 8, Malang, Jawa Timur Email:
[email protected] 2 Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jl. Bulak Sumur, Yogyakarta
Naskah diterima 13 Januari 2014 dan disetujui diterbitkan 20 Agustus 2014
ABSTRACT. Generation Mean Analysis of Days to Maturity from Three Soybean Crosses. Genetic parameters of a character, which is estimated using genetic analysis approach, is important in a character improvement. The aim of this research was to examine the gene action of days to maturity character on soybean using generation mean analysis. The research consisted two steps, first was preparing four populations (F1, BC1.1, BC1.2 and F2) of three single crosses, i.e. Nanti × Grobogan, Grobogan × Malabar, and Nanti × Malabar. The second step was testing those populations consisting of P1, P2, F1, F2, BC1.1 and BC1.2 in the field at Jambegede Experimental Station, Malang, East Java, from July to September 2009. The results showed that there were interaction between the gene loci on the inheritance of days to maturity, from the three cross combinations under study. The role of additive gene action and the influence of dominant inheritance contributed jointly, affecting days to maturity of early maturity (Grobogan) and early maturity (Malabar) cross. The crossing of very late maturity (Nanti) with early maturity (Grobogan or Malabar) showed that early maturity was probably controlled by additive recessive genes. Keywords: Soybean, gene action, additive, non-additive, generation mean analysis. ABSTRAK. Perbaikan karakter tanaman memerlukan informasi tentang parameter genetik, dan pendugaannya dilakukan dengan pendekatan analisis genetik yaitu melalui aksi gen. Penelitian bertujuan untuk mempelajari aksi gen karakter umur panen kedelai melalui analisis rata-rata generasi. Tetua-tetua yang digunakan adalah varietas Nanti, Grobogan dan Malabar. Penelitian terdiri atas dua tahapan. Tahap pertama, menyilangkan dua tetua untuk membentuk populasi tanaman yang meliputi F1, F2, silang balik atau backcross (BC1.1) dan BC1.2. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang, Jawa Timur, pada bulan Maret 2007 hingga Juni 2009. Tahap kedua, penelitian lapang untuk mempelajari genetik karakter umur panen kedelai yang melibatkan tetua P1, tetua P2, F1, BC1.1, BC1.2, dan F2 masing-masing kombinasi persilangan. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Jambegede, Jawa Timur, pada awal musim kemarau ke-2 (MK II) Juli 2009. Pola pewarisan karakter umur panen ketiga kombinasi persilangan dikendalikan oleh interaksi gen dalam lokus. Aksi gen pengaruh aditif dan dominan berkontribusi mempengaruhi pewarisan umur panen pada persilangan varietas umur genjah (Grobogan) dengan umur genjah (Malabar). Persilangan antara varietas umur sangat dalam (Nanti) dengan umur genjah (Grobogan atau Malabar) menunjukkan karakter umur panen genjah dimungkinkan dikendalikan oleh gen resesif bersifat aditif. Kata kunci: Kedelai, aksi gen, aditif, nonaditif, analisis nilai tengah generasi.
D
alam budi daya kedelai umur tanaman perlu dipertimbangkan dalam usahataninya, karena berkaitan dengan pola tanam setahun. Masalah budi daya kedelai di lahan sawah pada musim kemarau 1 (MK I) atau pada MK II, antara lain kekurangan air pada saat tanaman memasuki fase generatif, yaitu fase mulai berbunga hingga polong masak. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini dengan menanam varietas kedelai berumur genjah yang disertai produktivitas tinggi. Umur panen tanaman kedelai dicirikan oleh 90% polong telah masak atau kulit polong berwarna cokelat yang tidak terkena serangan hama dan penyakit. Untuk mendapatkan varietas kedelai yang sesuai dengan keinginan dapat diupayakan melalui pendekatan pemuliaan. Perbaikan karakter tanaman memerlukan pemahaman parameter genetik, yang pendugaannya dapat dilakukan dengan pendekatan analisis genetik, yaitu melalui aksi gen. Hasil penelitian pada kacang tanah (Jogloy et al. 2012) dan kacang panjang (Kabeta 2006) menunjukkan faktor genetik berkontribusi besar pada fenotipenya. Pola pewarisan suatu sifat tanaman dapat dikaji melalui pendugaan aksi gen guna mengetahui sifat aditifdominan, demikian juga jika terjadi interaksi antargen pengendali karakter dalam satu lokus atau karena adanya epistasis (Tenaya et al. 2003, Patil 2011). Sher et al. (2012) mengemukakan bahwa model aditif-dominan tidak cukup untuk menjelaskan model pola pewarisan karakter jika terdapat interaksi antarlokus yang banyak. Penelitian pada tanaman gandum (Triticum aestivum L.) menunjukkan pengaruh genetik berperan besar terhadap umur tanaman, hal ini mencerminkan adanya pengaruh gen aditif (Iqbal et al. 2007). Berbeda dengan penelitian Khaghani (2012) maupun Refaey dan Razek (2013) pada tanaman kapas yang menunjukkan adanya efek dominan gen yang merupakan parameter genetik
37
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
dalam mengendalikan karakter umur panen genjah. Efek dominansi pada karakter dan adanya interaksi dominan x dominan dapat mengurangi pengaruh efek dari gen dominan (Zdravkoviæ et al. 2011). Perbedaan hasil penelitian tersebut karena adanya perbedaan jenis tanaman maupun gen pengendali umur tanaman yang berlainan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aksi gen karakter umur panen tanaman kedelai melalui analisis skala gabungan. Analisis skala gabungan digunakan untuk menguji kesesuaian model genetik, menduga model genetik yang mengendalikan karakter umur panen dan menduga besarnya komponen aditif, dominan dan interaksi terhadap nilai rata-rata generasi (generation means).
BAHAN DAN METODE Penelitian menggunakan varietas Nanti, Grobogan dan Malabar untuk saling disilangkan sehingga terbentuk tiga kombinasi persilangan yaitu Nanti×Grobogan, Nanti×Malabar, dan Grobogan×Malabar. Penelitian terdiri atas dua tahapan. Penelitian tahap pertama adalah pembentukan populasi yang terdiri atas F1 (persilangan P1 dengan P2), populasi F2 (selfing dari F1), silang balik atau backcross (BC1.1) (persilangan F1 dengan tetua P1), dan silang balik atau backcross (BC1.2) (persilangan F1 dengan tetua P2). Pembentukan populasi dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang, Jawa Timur, pada bulan Maret 2007 hingga Juni 2009. Penelitian tahap kedua dilaksanakan untuk mempelajari aksi gen karakter umur panen (hari setelah tanam/HST) tanaman kedelai, melibatkan tetua P1, tetua P2, F1 F1r, BC1.1, BC1.2 dan F2. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Jambegede, Jawa Timur, pada awal MK II Juli 2009 hingga Juni 2010. Analisis uji skala gabungan menggunakan metode Mather dan Jinks (1974). Prosedur uji skala gabungan merupakan analisis regresi tertimbang karena tidak ada kehomogenan varian, sehingga masing-masing populasi ditentukan untuk digunakan sebagai pembobot dengan persamaan: W=ni/s2, W : nilai pembobot generasi ni : jumlah data, dan s2 varian populasi (Mather dan Jinks 1974)
38
Analisis uji skala gabungan mengikuti cara Singh dan Chaudhary (1979) sebagai berikut: 1. Menghitung penduga parameter genetik (β) dengan persamaan: ^
β = ( X 'WX ) −1 ( X 'WY ) Keterangan: X : matrik nilai penduga yang merupakan koefisien komponen genetik dalam uji skala gabungan (Tabel 1) X’ : matrik nilai penduga yang merupakan koefisien komponen genetik dalam uji skala gabungan W : matrik dengan elemen pada diagonal yang merupakan hasil pembobotan Y : Vektor rata-rata genetik hasil pengamatan ( )-1 : matrik invers 2. Menghitung simpangan galat (standard error) dari setiap generasi yang didapat dari akar ciri dari elemen diagonal pada matrik (X’WX)-1 3. Menentukan nilai t hitung dengan rumus = β/SE, β: parameter genetik untuk masing-masing nilai m, d, h, SE: standard error. 4. Pengujian nilai harapan dan rata-rata pengamatan masing-masing populasi dengan Chi-kuadrat (x2) dengan derajat bebas sebanyak nilai tengah generasi yang tersedia, dikurangi banyaknya parameter yang diduga. Jika x2hitung>x2tabel (0,05;3), maka model aditif dominan tidak dapat diterima dan sebaliknya. Pendugaan genetik modelnya mengikuti Hill (1966) dalam Mather dan Jinks (1974) yang disajikan pada Tabel 1. Tingkat signifikansi yang digunakan pada setiap pengujian data adalah 95%.
Tabel 1. Pendugaan komponen genetik model enam parameter. Generasi P1 P2 F1 F2 BC1.1 BC1.2
Rata-rata
m
[d]
[h]
[i]
[j]
[l]
P1 P2 F1 F2 BC1.1 BC1.2
1 1 1 1 1 1
-1 1 0 0 -1/2 1/2
0 0 1 1/2 1/2 1/2
1 1 0 0 1/4 1/4
0 0 0 0 -1/4 1/4
0 0 1 1/4 1/4 1/4
m : nilai tengah, [d] : nilai genotipe pengaruh aditif; [h] : nilai genotipe pengaruh dominan, [i] : interaksi homosigot x homosigot; [j] : interaksi homosigot x heterosigot dan [l] : intekasi heterosigot x heterosigot
WAHYU ET AL.: UMUR PANEN HASIL PERSILANGAN TIGA VARIETAS KEDELAI
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Grobogan dan Malabar termasuk kelompok umur genjah (<80 HST), sedangkan varietas Nanti termasuk kelompok umur sangat dalam (>90 HST). Varietas Grobogan dan Malabar memiliki umur relatif sama, yaitu 78-79 HST, tetapi dibandingkan dengan varietas Nanti, umur kedua varietas sangat berbeda (Tabel 2). Hasil persilangan dari varietas umur panen genjah (Grobogan atau Malabar) dengan umur sangat dalam (Nanti) menghasilkan keturunan F1 yang berumur panen berada pada kisaran di antara kedua induknya. Hal ini memungkinkan bagi pasangan persilangan tersebut tidak terdapat pengaruh dominan pada salah satu induknya. Umur panen keturunan F2 maupun silang balik juga berada pada kisaran kedua induknya. Persilangan antara varietas Grobogan dengan Malabar menghasilkan keturunan F1 yang berumur relatif sama dengan kedua induknya, yaitu sekitar 78 HST (Tabel 2). Meskipun demikian, varian populasi F2 lebih besar daripada kedua tetua dan F1. Hasil ini menunjukkan populasi F2 bersegregasi, sehingga diduga gen pengendali umur panen pada kedua varietas tersebut berlainan. Analisis uji skala gabungan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model genetik pewarisan karakter umur panen. Hasil analisis menunjukkan bahwa pewarisan karakter umur panen ketiga persilangan mengikuti model aditif-dominan (Tabel 3), berarti terdapat interaksi antargen dalam satu lokus yang mempengaruhi pewarisan umur panen. Menurut Sharmila et al. (2006), Kunkaew et al. (2010), dan Kumar dan Prakash (2010), model pewarisan demikian menunjukkan aksi gen aditif dan dominan terlibat dalam pewarisannya. Peneliti lainnya mengemukakan bahwa karakter umur genjah tanaman kedelai dikendalikan
oleh gen dominan sempurna (Bernard and Weiss 1973, Mc Blain and Bernard 1987), gen resesif (Tasma et al. 2004), dan pengaruh aditif (Singh et al. 2014). Hal ini memberi petunjuk bahwa setiap pasangan persilangan menunjukkan aksi gen yang berbeda. Hasil pengujian komponen parameter genetik persilangan varietas Nanti dengan Grobogan atau Malabar menunjukkan pengaruh aditif [d] yang memberi kontribusi nyata, artinya alel-alel yang saling menjumlah tersebut mengarah ke varietas yang berumur lebih dalam. Pengaruh dominan tidak nyata berarti tidak terdapat pengaruh dominasi karakter umur panen pada pewarisannya, yang menunjukkan pengaruh aksi gen bersifat aditif. Hasil penelitian pada tanaman gandum (Triticum aestivum L.) (Iqbal et al. 2007), jagung (Sher et al. 2012), dan oats (Rosielle and Frey 2013) menunjukkan karakter umur panen dikendalikan oleh adanya pengaruh aditif dan keturunan yang diperoleh berada pada kisaran kedua induknya. Persilangan varietas Nanti dengan Grobogan atau Malabar memiliki nilai derajat dominasi <1 (negatif). Artinya, umur panen dikendalikan oleh aksi dominan tidak sempurna yang mengarah kepada induk tetua umur genjah (Tabel 3). Hal ini menjadi fakta bahwa keturunan kedua persilangan tersebut berada pada kisaran kedua induknya, meskipun pengaruh dominasi tidak berkontribusi nyata (Tabel 2). Aksi gen dominan tidak sempurna pada penelitian ini menunjukkan sulitnya mendapatkan keturunan berumur lebih genjah dari varietas genjah. Jika suatu karakter tanaman dipengaruhi oleh gen dominan dalam keadaan heterosigot, maka setelah selfing secara terus-menerus, proporsinya semakin berkurang (Malhotra and Singh 1991). Umur panen tanaman cabai dipengaruhi oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna (Arif et al. 2012), adapun pada tanaman kapas, terdapat dominasi gen-
Tabel 2. Rata-rata dan varian karakter umur panen pada enam populasi hasil persilangan kedelai. Populasi
P1
P2
F1
F2
BC1.1
BC1.2
Nanti (P1) x Grobogan (P2) Rata-rata (HST) Varian Jumlah tanaman
95 3,03 36
78 2,41 25
82 5,44 19
86 9,14 241
83 5,34 23
84 11,36 24
Nanti (P1) x Malabar (P2) Rata-rata (HST) Varian Jumlah tanaman
95 3,03 36
79 2,48 28
84 2,94 9
84 3,84 117
87 2,16 11
86 3,29 11
Grobogan (P1) x Malabar (P2) Rata-rata (HST) Varian Jumlah tanaman
78 2,41 25
79 2,48 28
78 8,47 19
80 10,77 348
78 8,97 18
79 11,67 18
BC1.1 : Silang balik ke tetua P1, BC1.2 Silang balik ke tetua P2, F1 : turunan pertama; F2 : turunan dari F1, P1 : tetua 1 dan P2 : tetua 2
39
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 3 Nilai duga tiga parameter genetik hasil uji skala gabungan untuk karakter umur panen kedelai. Model aditif-dominan Model genetik Nanti×Grobogan m [d] [h]
Nanti×Malabar m [d] [h]
Grobogan×Malabar m [d] [h]
Nilai duga
Simpangan baku
Peluang
Uji χ2 (0,05;3)
86,56 ± 7,58 ± -3,68 ± Derajat dominansi [h]/[d] = -0,49
1,67 1,70 3,73
0,01 * 0,80 tn
0,52 tn
86,59 ± 7,35 ± -4,62 ± Derajat dominansi [h]/[d] = -0,63
1,33 1,34 3,00
0,01 * 0,89 tn
0,42 tn
78,69 ± -0,47 ± 1,30 ± Derajat dominansi [h]/[d] = -2,77
0,50 0,51 1,16
0,79 tn 0,17 tn
0,08tn
m = nilai tengah tetua homosigot [d] = nilai genotipe pengaruh aditif [h] = nilai genotipe pengaruh dominan tn= tidak nyata pada α= 0,05; * nyata pada α= 0,05; dan ** nyata pada α= 0,01
gen yang lemah sehingga pewarisan karakternya dikendalikan oleh gen resesif (Machfud dan Sulistyowati 2009). Persilangan varietas Grobogan dengan Malabar memiliki nilai derajat dominasi -2,77, artinya terdapat dominasi umur panen yang mengarah ke tetua varietas Grobogan. Peran pengaruh dominasi lebih besar dibandingkan dengan pengaruh aditif gen. Pengaruh dominan adalah gen yang mengendalikan suatu karakter secara tunggal, dan nilai karakter yang dihasilkan akan sama dengan salah satu tetua atau lebih baik dari kedua tetua. Pengaruh dominan mengarah ke tetua Grobogan yang memiliki umur lebih genjah, meskipun kedua tetua memiliki umur panen yang sama (Tabel 2). Jika terjadi pengaruh dominansi dan epistasis dalam beberapa kasus maka kedua jenis efek gen bisa disebabkan oleh aksi gen yang sama (Sundari et al. 2012). Pengaruh aksi gen dominan menyebabkan adanya heterosis yang dapat muncul dalam model aditifdominan (Mather and Jinks 1974). Selanjutnya dikemukakan bahwa heterosis yang muncul dalam model pewarisan sifat aditif-dominan dapat dideteksi melalui pengurangan parameter genetik [h] terhadap [d], dengan [h] bernilai positif dan lebih besar daripada [d]. Dalam kaitan ini, varietas Grobogan atau Malabar dapat dimanfaatkan untuk perbaikan umur tanaman. Selain itu, jika kedua tetua dipasangkan memungkinkan keturunannya mendekati rata-rata kedua tetuanya, yaitu berumur genjah. 40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Model pewarisan karakter umur panen ketiga kombinasi persilangan mengikuti model genetik aditif-dominan, dikendalikan oleh lokus tunggal dengan dua alel per lokus. 2. Persilangan varietas Nanti dengan Grobogan atau Malabar dimungkinkan karakter umur genjah dikendalikan oleh gen resesif bersifat aditif. 3. Pewarisan umur panen pada persilangan Grobogan×Malabar dipengaruhi oleh aksi gen pengaruh aditif dan dominan. Saran Persilangan antara varietas Nanti dengan Grobogan atau Malabar memerlukan populasi keturunan yang lebih banyak untuk mendapatkan galur berumur genjah. Bagi populasi keturunan hasil persilangan varietas Grobogan×Malabar dapat dilakukan seleksi antarpopulasi, adapun pada persilangan Nanti dengan Grobogan atau Malabar, seleksi dalam populasi akan efektif mengakumulasi gen-gen aditif yang diinginkan untuk menghasilkan galur murni.
WAHYU ET AL.: UMUR PANEN HASIL PERSILANGAN TIGA VARIETAS KEDELAI
UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian yang telah membiayai penelitian ini. Kepada Bapak Sumardi (Koordinator Teknis Kebun Percobaan Jambegede), dan Saudara Toni (Teknisi Pemuliaan Balitkabi) yang membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian juga diucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA Arif, A.B., S. Sujiprihati, dan M. Syukur. 2012. Pendugaan Parameter Genetik pada Beberapa Karakter Kuantitatif pada Persilangan antara Cabai Besar dengan Cabai Keriting (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 40(2):119-124. Bernard, R.L. and M.G. Weiss. 1973. Qualitative genetic. p. 117146. In: Soybean: Improvement, Production and Uses. B.E. Caldwell (Ed.). Amer. Soc. of Agron. Wisconsin. Iqbal, M, A. Navabi, D.F. Salmon, Rong-Cai Yang, B.M. Murdoch, S.S. Moore, and D. Spaner. 2007. Genetic analysis of flowering and maturity time in high latitude spring wheat. Euphytica. 154 (1-2): 207-218. http://www. springerlink.com/content/ tr68vu6g5167vr1n/?........ (Diakses 05-03-2008). Jogloy, C., P. Jaisil, C. Akkasaeng, T. Kesmala, and S. Jogloy. 2012. Heritability and correlation for maturity and pod yield in peanut. J. Appl. Sci. Res. 7(2):134-140. Kabeta, Y.A. 2006. Genetic analysis of earliness traits in chickpea (Cicer arietinum L.). Thesis. (Tidak dipublikasikan). Khaghani, S., M.R. Bihamta, S.D. Hosseini, S.A. Mohammadi, and F. Darvish. 2012. Genetic analysis of common bean agronomic traits in stress and non-stress conditions. African J. of Agric. Res.7: 892-901. Kumar, S.B. and M. Prakash. 2010. Generation mean analysis of seed protein architect in mungbean (Vigna radiata (L.) Wilczek). International Journal of Current Research 3 : 017019. Kunkaew, W,S. Julsrigival, C. Senthong, and D. Karladee. 2010. Generation mean analysis of seed yield and pod per plant in azuki bean growing on highland areas. CMU. J. Nat. Sci.9(1): 125-132. Machfud dan E. Sulistyowati. 2009. Pendugaan aksi gen dan daya waris ketahanan kapas terhadap Amrasca biguttula. Jurnal Littri 15(3): 131-138. Malhotra, R.S. and K.B. Singh. 1991. Gene action for cold tolerance in chickpea. Theor. Appl. Genet. 82: 598-601.
Mather, S.K., and J.L. Jinks. 1974. Biometrical genetiks. The Study of Continuous Variation. Chapman and Hall. Ltd. London. 377 p. Mc. Blain, B.A. and R.L. Bernard. 1987. A new gene affecting the time of flowering and maturity in soybeans. J. of Heredity. 78(3):160-162. http:// jhered. oxfordjournals.org/cgi/content/ abstract/78/3/160. (Diakses 25-03-2008). Patil, B.T. 2011. Generation mean analysis in chilli (Capsicum annuum). Vegetable Science. 38(2): 180-183. Refaey, R.A.E. and U.A.A.E. Razek. 2013. Generation mean analysis for yield, its components and quality characteritics in four crosses of Egyptian cotton (Gossypium barbadense L.). Asian J. Crop Sci. 5:153-166. Rosielle, A.A. and K.J. Frey. 2013. Inheritance of harvest index and related traits in oats. https://www.crops.org/publications/ cs/abstracts/17/1/ CS01700 10023?access=0&view=pdf. (Diakses 25 Desember 2013). Sharmila, V., S.K. Ganesh, and M. Gunasekaran. 2007. Generation mean analysis for quantitative traits in sesame (Sesamum indicum L.) crosses. Genetics and Molecular Biology 30(1): 80-84. Sher, H., M. Iqbal, K. Khan, M. Yasir, and H. Rahman. 2012. Genetic analysis of maturity and flowering characteristics in maize (Zea mays L.). Asian Pac. J. Trop. Biomed. 2(8): 621-626. Singh, I.D. and B.D Chaudhary. 1979. Biometrical methods in quantitative genetics analysis. Kalyani Pub. New Delhi. 301p. Singh, R.K., Pushpendra, K. Singh, and P.M. Bhardwaj. 2014. Gene effects for major quantitative traits in soybean [Glycine max (L.) Merrill]. http://soygenetics. org/articleFiles/67Rajneesh% 20Kumar%20Singh%20-%20FINAL%20-%202-16-10.pdf (Diakses 21 Juni 2014). Sundari, M.P., T. Kamala, and Y.V. Rao. 2012. Generation mean analysis in Sesamum indicum L. Asian J. Agric. Sci. 4(4): 280-286. Tasma, I.M., L.L. Lorenzen, D.E. Green, and R.C. Shoemaker. 2004. Mapping genetik loci for flowering time, maturity, and photoperiod insensitivity in soybean. 8 (1): 25-35, http:// www.springerlink. Com /content/l7x732 1k727 w28p1/. (Diakses 05-03-2008). Tenaya, I.M.N., R. Setiamihardja, A. Baihaki, dan S. Natasasmita. 2003. Heritabilitas dan aksi gen kandungan fruktosa, kandungan kapsaisin dan aktivitas enzim peroksidase pada hasil persilangan antar spesies cabai rawit x cabai merah. Zuriat 14(1): 26-34. Zdravkoviæ, J., N. Pavloviæ, Z. Girek, M. Brdar-Jokanoviæ, D. Saviæ, M. Zdravkoviæ, and D. Cvikiæ. 2011. Generation mean analysis of yield components and yield in tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). Pak. J. Bot. 43(3):1575-1580.
41
EFENDI ET AL.: JAGUNG INBRIDA TOLERAN KEKERINGAN DAN NITROGEN RENDAH
Seleksi Jagung Inbrida dengan Marka Molekuler dan Toleransinya terhadap Kekeringan dan Nitrogen Rendah Roy Efendi1, Yunus Musa2, M. Farid Bdr2, M. Danial Rahim2, M. Azrai1, dan Marcia Pabendon1 Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi 274, Maros, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected] 2 Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Jurusan Agronomi Jl. Perintis Kemerdekaan km 10, Makassar, Sulawesi Selatan 1
Naskah diterima 7 Mei 2014 dan disetujui diterbitkan 23 September 2014
ABSTRAC. Maize Inbred Line Selection Using Molecular Marker and Its Tolerance to Drought and Low Nitrogen Stress. Information on genetic diversity, homozygosity, drought stress and low N tolerance of maize inbred line are useful for parental selection in developing maize varieties tolerant to drought and low N. The objectives of this study were (a) selection for homozygoes lines and analysis of genetic diversity among 51 maize inbred lines applying simple sequence repeats (SSRs) using thirty six markers (b) selection for inbred lines (homozygosity over 80%) for drought and low nitrogen (N) tolerance. Experiment was conducted using split-split plots design with three replications. Water treatments were as the main plots (well-watered and drought stress conditions), subplots were nitrogen fertilization at rate of 75 and 150 kg N/ha and the sub-sub plots were 51 inbred lines. The results showed that there were broad ranges of genetic variability among inbred lines with genetic similarity coefficient values ranging from 0.22 to 0.87 and polymorphism information content average was 0.57. Thirty inbreds having homozygosity over 80% were spread into six heterotic groups. Drought tolerance inbreds were in heterotic groups C and F, namely DTPYC9-F46-3-9-1-1-B and 1044-30, the drought medium tolerance in heterotic group A and B, namely CML 161/NEI 9008 and MR 14. Inbred for low-N fertility tolerance was in the heterotic group D namely G20133077, while medium tolerance to low-N fertility inbreds were in heterotic group A, B, C, D, and F, and they were CML 161/NEI 9008, CY 11, CY 15, CY 6, CLRCY039, Nei9008, DTPYC9-F46-1-2-1-2-B, G2013627, G2013649, 1044-30. Inbreds tolerance to both medium drought and to low-N fertility were in heterotic group C and F they were DTPYC9-F46-1-2-1-2-B and 1044-30. Inbred lines of maize tolerant to drought and to low-N fertility can be used as parent to develop hybrid or synthetic varieties, posessing stress tolerances, by cross recombination between heterotic groups. Keywords: Maize inbred, homozygosity, SSR, drought, low nitrogen fertility. ABSTRAK. Informasi keragaman genetik, tingkat homozigositas, dan toleransi cekaman kekeringan dan N rendah dari jagung inbrida sangat bermanfaat untuk pemilihan tetua dalam merakit varietas jagung yang toleran cekaman kekeringan dan N rendah. Penelitian bertujuan untuk (a) menyeleksi homosigositas dan analisis keragaman genetik dari 51 jagung inbrida menggunakan 36 marka simple sequence repeats (SSRs) dan (b) menyeleksi inbrida (homosigositas >80%) yang toleran kekeringan dan pemupukan N rendah. Percobaan menggunakan rancangan petak-petak terbagi dengan tiga ulangan. Sebagai petak utama adalah cekaman kekeringan (pemberian air normal dan cekaman kekeringan), anak petak adalah tingkat pemupukan N yaitu 75 dan 150 kg N/ha dan
anak-anak petak adalah 51 inbrida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik jagung inbrida tergolong cukup besar dengan kisaran nilai koefisien kemiripan genetik 0,22-0,87 dengan rata-rata nilai polimorfis 0,57. Jagung inbrida dengan tingkat homosigositas >80% sebanyak 30 inbrida yang terbagi ke dalam enam kelompok heterotik. Inbrida yang toleran kekeringan terdapat pada kelompok heterotik C dan F yaitu DTPYC9-F46-3-9-1-1-B dan 1044-30, sedangkan yang medium toleran kekeringan terdapat pada kelompok heterotik A dan B yaitu CML 161/NEI 9008 dan MR 14. Inbrida yang toleran pemupukan N rendah terdapat pada kelompok heterotik D yaitu G20133077, sedangkan inbrida yang medium toleran pemupukan N rendah terdapat pada kelompok heterotik A, B, C, D, dan F yaitu CML 161/NEI 9008, CY 11, CY 15, CY 6, CLRCY039, Nei9008, DTPYC9-F46-1-2-1-2-B, G 2013627, G2013649, 104430. Inbrida yang medium toleran kekeringan dan pemupukan N rendah terdapat pada kelompok C dan F yaitu DTPYC9-F46-1-2-12-B dan 1044-30. Jagung inbrida dengan tingkat toleransi kekeringan dan pemupukan N medium-toleran dapat digunakan sebagai tetua dalam pembentukan jagung hibrida atau sintetik unggul yang toleran pada kondisi cekaman tersebut dengan melakukan rekombinasi persilangan antarkelompok heterotik. Kata kunci: Jagung inbrida, homosigositas, SSR, kekeringan, nitrogen rendah.
G
alur jagung inbrida merupakan materi genetik yang berasal dari populasi atau varietas melalui penyerbukan atau silang dalam (selfing) selama 5-6 generasi, sehingga menghasilkan tanaman yang seragam. Silang dalam pada tanaman jagung mengakibatkan terjadinya segregasi pada lokus yang heterozigot, sehingga frekuensi gen homozigot meningkat dan heterozigot berkurang (Singh et al. 1987). Hal tersebut mengakibatkan penurunan vigor dan produktivitas tanaman akibat terjadinya depresi silang dalam (inbreeding depression). Pembentukan jagung inbrida ditujukan sebagai tetua dalam perakitan varietas unggul jagung hibrida atau jagung sintetik (bersari bebas). Dalam proses pembentukan tersebut dibutuhkan inbrida dengan tingkat homosigositas yang tinggi dan keragaman genetik yang luas. Menurut Liu et al. (2003), keragaman genetik yang luas dari sejumlah inbrida dan membagi43
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
baginya ke dalam kelompok-kelompok heterotik bermanfaat untuk memandu para pemulia dalam menyeleksi kandidat tetua dalam program persilangan. Informasi tersebut memungkinkan pemulia memilih inbrida sebagai calon tetua dalam pembentukan varietas unggul jagung hibrida atau jagung sintetik (Legesse et al. 2007, Pabendon et al. 2008). Mendeteksi tingkat homosigositas dan keragaman genetik dapat dilakukan secara konvensional berdasarkan keseragaman morfologi atau warna dari bagian tanaman. Data morfologi yang mengacu pada Union Pour la Protection des Obtention Vegetales (UPOV) telah lama digunakan sebagai parameter deskripsi untuk identifikasi dan membedakan varietas atau inbrida (Gunjaca et al. 2007). Namun karakter-karakter morfologi sering tidak menggambarkan hubungan genetik, karena adanya interaksi lingkungan dan sejumlah kontrol genetik yang tidak diketahui, sehingga seleksi homosigositas dan keragaman genetik berdasarkan morfologi menjadi kurang akurat. Pemanfaatan markah molekuler sebagai alat bantu seleksi tanaman telah banyak dilakukan dengan tingkat akurasi yang lebih baik. Seleksi dengan markah molekuler hanya didasarkan pada sifat genetik tanaman dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga hasilnya lebih akurat dibanding seleksi berdasarkan morfologi. Markah molekuler yang banyak digunakan pada tanaman jagung adalah Simple Sequence Repeats (SSRs). SSRs merupakan markah berdasarkan reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer (Gupta et al. 1996). Beberapa pertimbangan untuk menggunakan markah SSRs di antaranya adalah primer terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom serta variabilitasnya sangat tinggi (Powell et al. 1996), memiliki reproduksibilitas yang tinggi (Smith et al. 1997a, Mingsheng et al. 2010), sebagai studi keragaman genetik (Li et al. 2002, Legesse et al. 2007, Shehata et al. 2009, Yang et al. 2011) serta mendeteksi tingkat homosigositas dan kemurnian genetik inbrida dengan akurat (Mingsheng et al. 2010, Daniel et al. 2012, Hipi et al. 2012, Semagn et al. 2012, Mulsanti et al. 2013). Tingkat homosigositas dan kemurnian genetik yang tinggi pada jagung inbrida merupakan syarat penting dalam mengajukan permohonan hak paten atas materi genetik inbrida sebagai tetua persilangan (Gunjaca et al. 2008, Heckenberger et al. 2002). Informasi keragaman dan tingkat homosigositas inbrida juga perlu didukung informasi karakter penting lainnya, seperti toleransi terhadap cekaman kekeringan dan pemupukan nitrogen takaran rendah. Hal tersebut untuk mendukung perakitan varietas unggul yang toleran cekaman kekeringan sebagai antisipasi ketersediaan air
44
pada lahan pertanian yang semakin terbatas, karena bersaing dengan kebutuhan air di sektor industri, pemukiman, dan anomali iklim yang mempengaruhi ketidakpastian suplai air pada lahan pertanian. Pada daerah tropis, cekaman kekeringan mengakibatkan penurunan hasil jagung 15-61% (Monneveux et al. 2006, Iriany et al. 2007, Suwardi dan Azrai 2013). Pada musim hujan, area pertanaman pangan menjadi luas, dan sekitar 57% produksi jagung diperoleh pada akhir musim hujan (Kasryno 2002). Kondisi tersebut mengakibatkan permintaan pupuk N meningkat tajam, sehingga sering terjadi kelangkaan pupuk N. Kelangkaan pupuk N menjadi masalah besar karena kandungan N dalam tanah umumnya rendah akibat mobilitasnya yang sangat tinggi. Menurut Ladha et al. (2005), kandungan N dalam tanah sangat rendah, hanya berkisar antara 0,02-0,4%. Lahan-lahan subur dengan sistem budi daya yang intensif telah mengalami degradasi akibat terkurasnya kandungan N tanah secara terus-menerus dan tidak diimbangi oleh pengembalian N yang berasal dari biomas tanaman ke dalam tanah. Kondisi tersebut mengharuskan tanaman jagung dipupuk N. Kendala modal dan kelangkaan pupuk N (urea) bersubsidi sering dialami sehingga jumlah pemberian pupuk N pada tanaman kurang optimal, dan hasil jagung tidak sesuai dengan potensi hasil. Salah satu upaya untuk mengantisipasi kondisi tersebut adalah merakit varietas unggul jagung yang toleran kekeringan dan pemupukan N takaran rendah. Menurut Banziger et al. (2000), indikator tanaman jagung yang toleran cekaman kekeringan dan pemupukan N takaran rendah dapat ditentukan berdasarkan tingkat penurunan hasil biji yang relatif lebih kecil pada kondisi cekaman tersebut dibanding pada kondisi optimum. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menyeleksi 51 genotipe jagung inbrida yang memiliki tingkat homosigositas tinggi, toleran terhadap cekaman kekeringan dan pemupukan N takaran rendah, dan (2) mengetahui keragaman genetiknya.
BAHAN DAN METODE Penelitian terdiri atas dua tahapan. Tahap pertama adalah menyeleksi 51 genotipe jagung inbrida dengan marka SSRs. Tahap kedua, genotipe hasil seleksi pada tahap I diseleksi kembali toleransinya terhadap cekaman kekeringan dan pemupukan N takaran rendah. Seleksi dengan Marka SSR Seleksi 51 genotipe jagung inbrida dengan marka SSR dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Balai
EFENDI ET AL.: JAGUNG INBRIDA TOLERAN KEKERINGAN DAN NITROGEN RENDAH
Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi Selatan, pada bulan April-Juni 2013. Seleksi bertujuan untuk menyaring 51 genotipe jagung inbrida yang memiliki tingkat homosigositas >80% dan mengetahui tingkat keragaman genetiknya. Genotipe yang diseleksi terdiri atas 20 genotipe inbrida toleran pemupukan N takaran rendah yang diintroduksi dari CIMMYT dan 31 genotipe inbrida yang berasal dari Balitsereal yang digunakan untuk program perakitan jagung hibrida dengan hasil tinggi dan toleran kekeringan (Tabel 3). Benih inbrida ditanam 15 benih/pot pada pot berdiameter 17 cm dan tinggi 14 cm yang berisi ± 625 g campuran tanah dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1 (v/v). Tanaman dipelihara sampai umur 10 hari setelah tanam (HST). Kemudian dilakukan pengambilan sampel daun yang telah membuka sempurna dari 10 individu tanaman per inbrida, dipotong kecil, dicampur, dan ditimbang 0,4 g/sampel.
Ekstraksi DNA mengikuti prosedur George et al. (2004). Pelet DNA dihasilkan melalui sentrifuse, kemudian dicuci, dikeringkan dan dilarutkan kembali dalam larutan TE Buffer serta diinkubasi pada suhu 60oC selama 15 menit. Amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR yang bertujuan untuk menggandakan DNA pada masingmasing primer. Primer yang digunakan sebanyak 36 yang menyebar secara merata pada seluruh genom jagung (Tabel 1). Primer-primer tersebut diseleksi berdasarkan sebaran yang merata pada ke-10 kromosom jagung dan sudah banyak digunakan sebagai marker SSR jagung (Warburton et al. 2002, George et al. 2004, Pabendon et al. 2007). Untuk setiap reaksi PCR diambil 8 μl dari hasil pencampuran 1 μl DNA, 6,25 μl TaqDNA polymerase, 0,5 μl primer, 2,25 μl ddH2O. Larutan tersebut masing-masing ditutup dengan satu tetes mineral oil. Proses amplifikasi terdiri atas tahap denaturasi 1 menit pada 94oC yang
Tabel 1. Primer yang digunakan dalam seleksi homozigositas dan analisis keragaman genetik jagung inbrida. No. Primer
Bin No.
Repeat type
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
1.00 1.02 1.03 1.07 1.12 2.04 2.07 2.09 3.00 3.03 3.04 3.05 4.01 4.05 4.08 5.00 5.04 5.07 5.09 6.02 6.05 6.06 6.08 6.09 7.00 7.02 7.04 8.02 8.03 8.04 9.00 9.01 9.04 9.05 10.00 10.02
AGCT AG(15) CACACG ACC AGATG AG(18) AGCT AGATG ACC ACC AAGC ATAC AAAC AGATG AGCT AAAG ATCG AAGC (TCA)4 AGATG GAT-TAC AGCC (CAG)8 AGC CCT CCT AGG CCG (TA)8 (TCGA)4 AGCC CCG (CCT)6 AAAG AAGC
phi109275 bnlg1614 bnlg439 umc1196 phi227562 phi083 bnl1621 phi101049 umc1504 phi374118 phi102228 phi053 phi072 phi079 phi093 phi109188 phi331888 phi048 umc1153 phi423796 phi081 phi452693 phi299852 umc2059 umc1545 phi034 phi328175 umc1304 phi233376 umc1858 umc1279 umc1506 phi032 phi448880 phi041 phi96342
Susunan basa
Temperatur anaeling
CGGTTCATGCTAGCTCTGC // GTTGTGGCTGTGGTGGTG CCAACCCACCCAGAGGAGA // AGCGGGCGAGATCTTCAT TTGACATCGCCATCTTGGTGACCA//CTTAATGCGATCGTACGAAGTTGTGGAA CGTGCTACTACTGCTACAAAGCGA // AGTCGTTCGTGTCTTCCGAAACT TGATAAAGCTCAGCCACAAGG // ATCTCGGCTACGGCCAGA AGGAGGACCCCAACTCCTG // TTGCACGAGCCATCGTAT CAAGTGCTCCGAGATCTTCCA // CGCGAACATATTCAGAAGTTTG CCGGGAACTTGTTCATCG // CCACGTCCATGATCACACC CCGGGAACTTGTTCATCG // CCACGTCCATGATCACACC TACCCGGACATGGTTGAGC // TGAAGGGTGTCCTTCCGAT TACCCGGACATGGTTGAGC // TGAAGGGTGTCCTTCCGAT ATTCCGACGCAATCAACA // TTCATCTCCTCCAGGAGCCTT ACCGTGCATGATTAATTTCTCCAGCCTT // GACAGCGCGCAAATGGATTGAACT TGGTGCTCGTTGCCAAATCTACGA // GCAGTGGTGGTTTCGAACAGACAA TGGTGCTCGTTGCCAAATCTACGA // GCAGTGGTGGTTTCGAACAGACAA AGTGCGTCAGCTTCATCGCCTACAAG // AGGCCATGCATGCTTGCAACAATGGATACA AAGCTCAGAAGCCGGAGC // GGTCATCAAGCTCTCTGATCG GCAAACCTTGCATGAACCCGATTGT // CAAGCGTCCAGCTCGATGATTTC TTGCGCAAGTTTGTAGCTG//ACTGAACCGCATGCCAAC CAGCATCTATAGCTTGCTTGCATT // TGGGTTTTGTTTGTTTGTTTGTTG CACTACTCGATCTGAACCACCA // CGCTCTGTGAATTTGCTAGCTC CAAGTGCTCCGAGATCTTCCA // CGCGAACATATTCAGAAGTTTG CAAGTGCTCCGAGATCTTCCA//CGCGAACATATTCAGAAGTTTG GGAAAAGGAGGAACAGTGTAAGCA // AGCGTGATCAGACGTACAATGCTA GATGTGGGTGCTACGAGCC // AGATCTCGGAGCTCGGCTA TAGCGACAGGATGGCCTCTTCT // GGGGAGCACGCCTTCGTTCT TAGCGACAGGATGGCCTCTTCT//GGGGAGCACGCCTTCGTTCT GGGAAGTGCTCCTTGCAG//CGGTAGGTGAACGCGGTA GGGAAGTGCTCCTTGCAG // CGGTAGGTGAACGCGGTA GTTGTTCTCCTTGCTGACCAGTTT // ATCAGCAAATTAAAGCAAAGGCAG GATGAGCTTGACGACGCCTG // CAATCCAATCCGTTGCAGGTC TTGGCTCCCAGCGCCGCAAA//GATCCAGAGCGATTTGACGGCA CCGGCAGTCGATTACTCC // CGAGACCAAGAGAACCCTCA GATGAGCTTGACGACGCCTG//CAATCCAATCCGTTGCAGGTC CTCCAGCAAGTGATGCGTGAC//GACACCCGGATCAATGATGGAAC CGATCCGGAGGAGTTCCTTA // CCATGAACATGCCAATGC
54 58 54 54 54 54 54 52 54 56 54 54 56 52 60 60 54 56 58 54 54 56 52 56 58 54 56 54 58 56 54 56 54 54 56 54
Sumber: http://www.maizegdb.org/ssr.php
45
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
diikuti oleh touch down profil. Profil ini dimulai dengan dua siklus selama 1 menit pada 94oC, 1 menit pada 65oC, dan 2 menit pada 72 o C. Temperatur annealing kemudian diturunkan dari 1oC setiap dua siklus hingga berakhir pada saat temperatur annealing tercapai. Siklus diulang 29 kali. Elektroforesis produk PCR menggunakan gel akrilamid yang dibuat dengan campuran akrilamid 8% sebanyak 100 ml, Temed 100 μl, dan APS 10% 1.000 μl. Proses elektroforesis menggunakan alat Dual Triple Minivertical Electrophoresis System, CE, 2-place, 33 cm (w) x 10 cm (h) dan buffer TBE 1x dengan voltase 100 volt selama 45-60 menit. Visualisasi pola pita DNA melalui proses silver staining menggunakan protokol Promega Silver Sequence. Gel direndam selama 5 menit dalam larutan silver (1 g silver/l), kemudian dibilas dengan aquades selama 30 detik dan direndam kembali kedalam campuran larutan NaOH (20 g/l) dan formaldehid 3000 ìl sampai muncul pita DNA. Pita-pita yang muncul diberi label berdasarkan posisi relatif pasang basa (bp) dari pita-pita terhadap fragmen marker yaitu öX174/Hin f I. Pita-pita DNA yang muncul dari produk amplikasi DNA dengan gel akrilamid diskor berdasarkan kode data biner dengan kriteria: skor 1 = terbentuk pita; skor 0 = tidak terbentuk pita; skor 9 = pita yang terbentuk tidak sempurna atau kabur. Tingkat polimorfisme DNA dianalisis berdasarkan nilai polimorphic information content (PIC) yang merupakan gambaran tingkat keragaman genetik (Weir 1996). Lokus dengan jumlah alel yang banyak memiliki nilai PIC yang tinggi (Smith et al. 1997b). Nilai PIC dihitung dengan formula: n
PIC = 1 – Σ 1 fi2
i = 1, 2, 3, ........ n;
dimana adalah frekuensi alel ke-i. Koefisien korelasi kofenetik (r) dihitung dengan program NTSYS. Tingkat heterosigositas inbrida dianalisis berdasarkan jumlah pita DNA yang muncul lebih dari satu pita/lokus. Analisis ini bertujuan untuk menghindari terseleksinya genotipe-genotipe dengan tingkat heterosigositas tinggi, yang pada pengamatan secara fenotipik tidak terdeteksi. Tingkat heterosigositas masing-masing inbrida dapat diketahui dengan formula: Heterozigositas =
Jumlah lokus heterozigot Total lokus SSRs yang digunakan
x 100%
Untuk memperoleh hasil analisis data yang lebih akurat, inbrida yang memiliki heterosigositas >20% dieliminasi lebih awal, sehingga inbrida yang digunakan sebagai calon tetua memiliki tingkat homosigositas >80%. 46
Tingkat kemiripan genetik (genetik similarity, GS) diestimasi dengan koefisien Jaccard (Rohlf 2000) menggunakan formula
di mana m =
jumlah pita (alel) DNA yang sama posisinya, n = total pita (alel) DNA, dan u = jumlah pita (alel) DNA yang tidak sama posisinya. Kemiripan genetik dianalisis berdasarkan Unweighted Pair Kelompok Method Using Arithmetic Averages (UPGMA) menggunakan software NTSYS versi 2.1. Analisis matriks jarak genetik diperoleh dari hasil analisis kemiripan genetik dengan formula: S = 1 – GS, dimana S adalah jarak genetik dan GS adalah kemiripan genetik. Analisis Boot-Strapping dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan pengelompokan menggunakan program WinBoot. Seleksi terhadap Cekaman Kekeringan dan Pemupukan Nitrogen Rendah Hasil seleksi tingkat homosigositas dari 51 genotipe jagung inbrida berdasarkan marka SSRs pada percobaan tahap pertama hanya 30 inbrida yang memiliki tingkat homosigositas >80%, yang layak digunakan sebagai tetua untuk membentuk jagung unggul hibrida atau sintetik. Inbrida tersebut diseleksi tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan dan pemupukan N takaran rendah di dua lokasi, yaitu di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Serealia di Maros dan Gowa, Sulawesi Selatan, pada bulan Juni-November 2013. Percobaan menggunakan rancangan petak-petak terbagi dengan tiga ulangan. Petak utama adalah cekaman kekeringan (kondisi cekaman kekeringan dan pemberian air normal), anak petak adalah tingkat takaran pupuk N. Takaran pupuk N rendah adalah 75 kg/ha dan pupuk N rekomendasi 150 kg N/ha sebagai kontrol. Anak-anak petak adalah 30 genotipe jagung inbrida. Metode cekaman kekeringan yang digunakan merujuk kepada metode CIMMYT (Bänzinger et al. 2000, Messmer et al. 2009). Perlakuan cekaman kekeringan diberikan pada saat tanaman menjelang berbunga sampai 2 minggu setelah berbunga. Pada perlakuan cekaman kekeringan, pemberian air dihentikan pada saat tanaman berumur 40-70 HST. Perlakuan kontrol adalah pemberian air secara normal dengan frekuensi 10 hari sekali sampai umur 80 HST. Sebelum ditanam, benih diberi perlakuan fungisida dengan dosis 2,5 g/kg benih untuk mencegah penyakit bulai, kemudian ditanam pada lubang tanam yang diberi insektisida carbofuran 30% dengan dosis 15 kg/ha untuk menghindari serangan hama. Setiap inbrida ditanam dalam subpetak satu baris dengan panjang 5 m, jarak tanam 75 cm x 20 cm. Pupuk 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha dasar diberikan pada saat tanaman berumur 14
EFENDI ET AL.: JAGUNG INBRIDA TOLERAN KEKERINGAN DAN NITROGEN RENDAH
HST. Pupuk N diberikan ½ takaran perlakuan pada 14 HST dan sisanya pada 30 HST. Parameter yang diamati adalah hasil biji yang juga digunakan untuk menganalisis tingkat toleransi inbrida pada kondisi cekaman kekeringan, pemupukan N takaran rendah serta kombinasi cekaman kekeringan dan nitrogen dihitung menggunakan rumus indeks sensitivitas cekaman (ISC) yang dikemukakan Fischer dan Maurer (1978):
ISC =
1 − (Yp / Y ) 1 − ( Xp / X )
Yp = Rata-rata hasil suatu genotipe yang mendapat cekaman kekeringan atau pemupukan N rendah Y = Rata-rata hasil suatu genotipe yang tidak mendapat cekaman kekeringan atau pemupukan N rendah Xp = Rata-rata hasil dari seluruh genotipe yang mendapat cekaman kekeringan atau pemupukan N rendah X = Rata-rata hasil dari seluruh genotipe yang tidak mendapat cekaman kekeringan atau pemupukan N rendah Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi genotipe atau inbrida terhadap cekaman kekeringan adalah sebagai berikut: nilai ISC <0,50 = toleran; 0,50
1,00 = sangat peka. Tingkat toleransi genotipe jagung inbrida terhadap cekaman kekeringan dinilai berdasarkan ISC dari parameter hasil yang diperoleh pada perlakuan cekaman kekeringan dan dosis pemupukan N 150 kg/ ha. Tingkat toleransi genotipe jagung inbrida terhadap cekaman pemupukan N rendah dinilai berdasarkan ISC dari parameter hasil yang diperoleh pada kondisi pemberian air normal dan pemupukan N 75 kg/ha. Tingkat toleransi genotipe jagung inbrida terhadap kombinasi cekaman kekeringan dan pemupukan N rendah dinilai berdasarkan ISC dari parameter hasil yang diperoleh pada kondisi cekaman kekeringan dengan pemupukan N 75 kg/ha.
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi dengan Marka SSR Berdasarkan skoring visualisasi pita DNA dari tiap primer diperoleh nilai skoring 0 dan 9 yang berarti tidak munculnya pita atau data hilang. Persentase data hilang
yang ditolerir adalah <15% (CIMMYT 2005). Dari 36 primer yang digunakan, dua primer yang data hilangnya >15% yaitu phi041 dan phi45269 masing-masing sebesar 25,49% dan 31,37% (Tabel 2). Primer dengan data hilang >15% tidak dieliminasi sehingga tidak diikutkan dalam analisis data, hanya 34 primer yang diikutkan untuk analisis lebih lanjut. Jumlah alel yang teridentifikasi dari 30 inbrida yang dianalisis dengan 34 marka SSRs adalah 152 alel, dimana variasi jumlah alel/inbrida/marka yang terdeteksi berkisar 2-8 alel dengan rata-rata 4,28 alel. Menurut Wu et al. (2010), jumlah alel tersebut masih perlu ditambah dengan menambah jumlah primer yang diikutkan karena jumlah alel berkorelasi nyata dengan tingkat kestabilan pengelompokan heterotik sejumlah genotipe jagung. Jika ingin menganalisis pengelompokan heterotik dari 30 inbrida sebaiknya menggunakan 350 alel. Nilai polimorfisme marka bervariasi antara 0,11-0,85. Nilai polimorfisme terendah terdapat pada primer phi448880 dan phi081 dengan nilai masing-masing 0,11 dan 0,26. Total primer yang diikutkan untuk analisis data lebih lanjut menjadi 32 primer dengan rata-rata polimorfisme cukup tinggi yaitu 0,57. Tingkat polimorfisme yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa keragaman genetik di antara inbrida cukup besar. Menurut Buckler et al. (2006), semua variasi fenotipik dalam suatu spesies dikontrol oleh polimorfisme sejumlah gen. Heterosigositas dari inbrida dapat diindentifikasi dengan marka SSR dimana jumlah pita DNA yang terdeteksi lebih dari satu. Tingkat heterosigositas dari 51 inbrida yang dianalisis menunjukkan persentase heterosigositas berkisar antara 5,41-59,46% (Tabel 3). Dari 51 genotipe inbrida yang diseleksi hanya 30 genotipe yang persentase heterosigositasnya <20% dengan ansumsi tingkat persentase homosigositas untuk satu lebih dari 80%, yaitu CML 161/NEI 9008, CY 11, CY 12, CY 14, CY 15, CY 7, G2013631, G2013645, MR 14, Nei9008, CLRCY017, CLRCY034, CLRCY039, CLYN249, CLYN253, CLYN257, CLYN260, CLYN261, DTPYC9-F13-2-3-1-2-B, DTPYC9-F46-1-2-1-2-B, DTPYC9-F65-2-2-1-1-B, DTPYC9F46-3-9-1-1-B, G2013649, G2013627, G20133077, G20133036, AMB 20, 1044-30, 1042-69, dan AMB0, sedangkan sisanya sebanyak 21 inbrida memiliki persentase heterosigositas >20% (Tabel 3). Diperkirakan genotipe dengan tingkat heterosigositas tinggi mengalami kontaminasi polen pada saat persilangan atau tercampurnya benih lain pada saat prosesing benih. Inbrida dengan persentase homosigositas <80% akan dieliminasi dan tidak digunakan dalam program pembentukan jagung hibrida dan sintetik.
47
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 2. Persentase missing, jumlah alel, polimorfis, dan kisaran relatif lokus yang ditemukan dari 51 inbrida. No.
Primer
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 * *
phi109275 bnlg1614 bnlg439 phi227562 phi083 bnlg1621 phi101049 umc1504 phi374118 phi102228 phi053 phi072 phi079 phi093 phi109188 phi331888 phi048 umc1153 phi423796 phi299852 umc2059 umc1545 phi034 phi328175 umc1304 phi233376 umc1858 umc1279 umc1506 phi032 phi96342 umc1196 phi448880 phi081 phi452693 phi041
Kromosom No.
Data hilang (%)
Jumlah allel
Polimorfisme (%)
Kisaran relatif lokus SSRs (bp)
1,00 1,02 1,03 1,12 2,04 2,07 2,09 3,00 3,02 3,04 3,05 4,01 4,05 4,08 5,00 5,04 5,07 5,09 6,01 6,08 6,09 7,00 7,02 7,04 8,02 8,03 8,04 9,00 9,01 9,04 10,02 10,07 9,05 6,05 6,06 10
7,84 0,00 3,92 3,92 0,00 1,96 0,00 0,00 0,00 0,00 5,88 0,00 9,80 1,96 3,92 0,00 0,00 1,96 1,96 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7,84 0,00 0,00 9,80 5,88 0,00 0,00 7,84 0,00 0,00 25,49 31,37
5 6 4 4 5 5 4 4 4 4 6 4 3 3 5 5 4 5 4 8 5 3 5 4 4 3 4 3 4 6 4 5 2 3 -
0,71 0,73 0,52 0,67 0,57 0,71 0,51 0,49 0,53 0,40 0,70 0,42 0,59 0,33 0,60 0,51 0,37 0,71 0,50 0,72 0,65 0,56 0,66 0,55 0,59 0,54 0,68 0,43 0,62 0,66 0,31 0,65 0,11 0,26 -
104,73-124,11 168,15-294,09 195,54-306,23 276,55-297,22 122,4-179,58 91,03-140,05 261,4-377,28 145,5-206,53 204,45-246,77 121,14-149,16 155,92-185,31 130,57-166,31 179,95-195,54 276,55-304,11 156,65-210,88 127,77-169,14 153,45-311,09 100,12-111,36 107,99-119,22 106,75-200,00 125,33-170,60 68,91-83,89 118,00-135,61 98,21-129,02 122,41-130,11 140,01-181,15 111,99-380,6 91,02-110,49 104,73-124,11 96,72-149,16 233,92-271,54 137,25-155,90 151,00-231,70 138,53-156,16 -
152 4
0,57
Total Rata-Rata *Primer yang tidak diikutkan dalam analisis lanjut
Analisis Kemiripan Genetik dan Kelompok Heterotik Analisis kemiripan genetik digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan secara genetik di antara 30 inbrida yang diuji. Berdasarkan kekerabatan tersebut diperoleh nilai jarak genetik antarinbrida yang dapat dibagi ke dalam kelompok heterotik (Senior et al. 1998) dalam bentuk visualisasi dendrogram (Gambar 1). Dari analisis bootstrapping diperoleh nilai koefisien kofenetik dari pengelompokan 30 inbrida sebesar 0,78 dengan tingkat kestabilan pengelompokan mendekati good fit. Nilai koefisien kofenetik menggambarkan tingkat kestabilan pengelompokan inbrida secara genotipik yang dikarakterisasi dari sejumlah primer. Menurut Wu
48
et al. (2010), untuk meningkatkan kestabilan pengelompokan heterotik dari 30 genotipe inbrida, sebaiknya menambah jumlah primer dengan jumlah alel mencapai 350 alel. Pada percobaan ini jumlah alel yang digunakan adalah 152 alel, sehingga perlu penambahan jumlah primer yang diikutkan agar tingkat stabilitas pengelompokan inbrida menjadi lebih baik. Tingkat koefisien kemiripan genetik (genetic similarity) dari 30 inbrida berkisar antara 0,28-0,79. Kisaran nilai tersebut menggambarkan keragaman genetik dari 30 genotipe inbrida yang cukup besar. Semakin besar nilai koefisien kemiripan genetik semakin besar peluang kekerabatan. Sebaliknya, semakin kecil nilai koefisien kemiripan genetik semakin kecil pula peluang tingkat kekerabatannya.
EFENDI ET AL.: JAGUNG INBRIDA TOLERAN KEKERINGAN DAN NITROGEN RENDAH
Tabel 3. Jumlah lokus heterosigot dan persentase heterosigositas dari 51 inbrida. No.
Nama inbrida
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
CML 161/NEI 9008 CY 10 CY 11 CY 12 CY 14 CY 15 CY 16 CY 4 CY 6 CY 7 DTPY C9-F47-1-7-1-B G180 G2013619 G2013620 G2013621 G2013623 G2013631 G2013632 G2013634 G2013645 MR 14 Nei9008 CLRCY017 CLRCY031 CLRCY034 CLRCY039
Lokus heterosigot
Heterosigot (%)
No,
Nama inbrida
7 9 6 5 6 7 18 8 6 8 8 8 12 17 13 22 2 12 8 6 6 5 3 9 5 5
18,92 24,32 16,22 13,51 16,22 18,92 48,65 21,62 16,22 21,62 21,62 21,62 32,43 45,95 35,14 59,46 5,41 32,43 21,62 16,22 16,22 13,51 8,11 24,32 13,51 13,51
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
CLYN226 CLYN231 CLYN248 CLYN249 CLYN253 CLYN257 CLYN260 CLYN261 CLYN262 DTPYC9-F114-2-4-1-1-B DTPYC9-F13-2-3-1-2-B DTPYC9-F143-5-4-1-2-B DTPYC9-F46-1-2-1-2-B DTPYC9-F46-3-9-1-1-B DTPYC9-F65-2-2-1-1-B G2013649 G 2013627 G20133077 G20133036 G2013640 AMB 20 1044-30 AMB-36 1042-69 AMB07
Lokus heterosigot
Heterosigot (%)
18 14 8 7 4 5 5 3 9 8 3 9 7 5 7 6 7 5 2 10 5 2 9 3 3
48,65 37,84 21,62 18,92 10,81 13,51 13,51 8,11 24,32 21,62 8,11 24,32 18,92 13,51 18,92 16,22 18,92 13,51 5,41 27,03 13,51 5,41 24,32 8,11 8,11
CML 161/NEI 9008 CY 12 CY 14 AMB20 CY 11 CLYN261 CY 15 CLYN249 CY 6 CLRCY034 CLRCY039 G2013645 MR14 CLRCY017 CLYN253 CLYN257 CLYN260 Nei9008 DTPYC9-F65-2-2-1 DTPYC9-F13-2-3-1 DTPYC9-F46-1-2-1 DTPYC9-F46-3-9-1 G2013631 G2013627 G20133077 G20133036 G2013649 1042-69 AMB07 1004430 F
A
B
C E
D
Koefisien kemiripan genetik Gambar 1. Hubungan kekerabatan genetik 30 inbrida jagung berdasarkan analisis klaster UPGMA.
49
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Berdasarkan hasil pemotongan dendrogram dengan tingkat koefisien kemiripan sebesar 0,35 terbentuk enam kelompok yaitu kelompok A-F. Kelompok A terdiri atas delapan inbrida, yaitu CML161-NEI9008, CY12, CY14, AMB20, CY11, CLYN261, CY15, dan CLYN249. Kelompok B terdiri atas sembilan inbrida, yaitu CY6, CLRCY034, CLRCY039, G2013645, MR14, CLRCY017, CLYN235, CLYN257, dan CLYN260. Kelompok C terdiri atas lima inbrida, yaitu DTPYC9- F65-2-2-1, DTPYC9-F13-2-3-1, DTPYC9-F46-1-2-1, DTPYC9-F46-3-9-1, dan Nei9008. Kelompok D terdiri atas enam inbrida, yaitu G2013627, G20133077, G20133036, G2013649, 104269, dan AMB07. Kelompok E dan F masing-masing hanya terdiri dari satu inbrida yaitu G2013627 dan 104430 (Gambar 1). Sejumlah inbrida yang tergabung dalam satu kelompok heterotik diindikasikan memiliki kemiripan genetik yang dekat, sehingga dihindari rekombinasi persilangan antarinbrida
karena peluang terjadinya inbreeding akan semakin besar. Untuk mendapatkan peluang heterosis yang besar adalah melakukan rekombinasi persilangan inbrida antarkelompok heterotik. Inbrida G2013627 dan 104430 berdiri sendiri atau tunggal yang masing-masing masuk ke dalam heterotik E dan F. Inbrida tersebut berpeluang besar direkombinasikan dengan seluruh inbrida pada semua kelompok heterotik untuk mendapatkan heterosis yang besar. Hasil penelitian Pabendon et al. (2008) menunjukkan bahwa persilangan inbrida antarkelompok heterotik yang berbeda berpeluang besar memperoleh hasil biji yang lebih tinggi dibandingkan dengan persilangan inbrida dalam satu kelompok heterotik. Dengan demikian pengelompokan inbrida berbasis marka molekuler SSR sangat membantu pemulia dalam memilih inbrida sebagai calon tetua untuk membentuk
Tabel 4. Rata-rata hasil beberapa inbrida dari dua lokasi (Maros dan Gowa) pada kondisi cekaman kekeringan dan tingkat takaran pemupukan nitrogen. Hasil (t/ha) Inbrida
Pemberian air optimum dengan pemupukan N (kg/ha)
Cekaman kekeringan dengan pemupukan N (kg/ha)
75
150
75
150
1042-69 1044-30 AMB07 AMB20 CLRCY017 CLRCY034 CLRCY039 CLYN249 CLYN253 CLYN257 CLYN260 CLYN261 CML161NEI9008 CY11 CY12 CY14 CY15 CY6 DTPYC9-F13-2-3-1-2-B DTPYC9-F46-1-2-1-2-B DTPYC9-F46-3-9-1-1-B DTPYC9-F65-2-2-1-1-B G-180 G20133036 G20133077 G2013627 G2013631 G2013645 G2013649 MR14 Nei9008
1,53 1,94 1,43 2,12 0,42 1,07 1,51 1,07 1,66 1,81 1,80 2,11 1,80 2,13 1,82 1,71 1,68 1,46 1,68 1,45 1,73 1,41 1,18 1,40 2,04 1,79 2,19 1,92 2,42 1,20 2,87
2,12 2,51 2,34 2,99 0,95 1,43 1,83 2,33 2,68 2,39 2,70 2,88 2,30 2,59 3,57 3,29 1,99 1,82 2,34 2,48 2,37 1,94 2,13 1,87 2,32 2,31 2,96 2,92 3,07 1,94 3,42
0,31 1,42 0,43 1,10 0,21 0,61 0,32 0,68 1,00 0,57 1,29 0,83 0,86 0,70 0,70 0,92 0,95 0,45 0,69 1,48 0,96 0,71 0,58 0,48 0,57 0,50 1,25 0,77 1,36 0,92 0,69
0,71 2,08 0,75 1,16 0,25 0,72 0,58 1,08 0,91 0,86 1,54 1,35 1,60 1,27 0,85 0,98 0,97 0,76 1,17 1,53 1,83 0,98 0,84 0,87 1,23 0,98 1,63 0,89 1,73 1,29 1,17
Rata-rata
1,69
2,41
0,78
1,11
50
EFENDI ET AL.: JAGUNG INBRIDA TOLERAN KEKERINGAN DAN NITROGEN RENDAH
jagung unggul hibrida. Semakin jauh jarak genetik antar inbrida untuk disilangkan semakin besar peluang mendapatkan efek heterosis yang tinggi. Seleksi terhadap Cekaman Kekeringan dan Pemupukan Nitrogen Rendah Cekaman kekeringan dan pemupukan N rendah berdampak negatif terhadap hasil biji. Hasil biji jagung dari 30 genotipe inbrida yang diuji pada kondisi optimum (pemberian air normal dan takaran N sebanyak 150 kg/ ha) rata-rata 2,41 t/ha. Angka ini menurun 30% menjadi 1,69 t/ha bila tanaman mengalami cekaman pemupukan N rendah dan penurunan lebih besar (53%) menjadi 1,11 t/ha bila tanaman mengalami cekaman kekeringan. Penurunan hasil biji semakin tajam (68-88%) bila tanaman mengalami kombinasi cekaman kekeringan dan pemupukan N rendah dengan rata-rata hasil hanya 0,78 t/ha (Tabel 4).
Indikator jagung inbrida yang toleran cekaman kekeringan dan pemupukan N rendah dapat ditentukan berdasarkan tingkat penurunan hasil biji yang lebih kecil pada kondisi cekaman dibanding kondisi optimum (Banziger et al. 2000) dan tingkat toleransinya dapat digolongkan berdasarkan nilai indeks sensitivitas cekaman (ISC) (Fischer and Maurer 1978). Semakin kecil penurunan hasil biji pada kondisi cekaman maka nilai ISC akan semakin kecil pula sehingga berpeluang digolongkan sebagai inbrida toleran. Berdasarkan nilai ISC diketahui inbrida yang tergolong toleran kekeringan adalah 1044-30 dan DTPYC9-F46-3-9-1-1-B dengan nilai ISC kekeringan masing-masing 0,32 dan 0,42 yang masuk ke dalam kelompok heterotik F dan C (Tabel 5). Inbrida tersebut mengalami penurunan hasil yang paling kecil masingmasing 17% dan 22%. Inbrida yang tergolong medium toleran kekeringan adalah CML161/NEI9008, DTPYC9F46-1-2-1-2-B, dan MR14 dengan nilai ISC kekeringan
Tabel 5. Rata-rata nilai indeks sensitivitas cekaman beberapa inbrida terhadap cekaman kekeringan dan pemupukan nitrogen rendah dari dua lokasi (Maros dan Gowa). Nilai indeks sensitivitas cekaman Kelompok heterotik
Inbrida
A
CML 161/NEI 9008 CY 12 CY 14 AMB 20 CY 11 CLYN261 CY 15 CLYN249 CY 6 CLRCY034 CLRCY039 G2013645 MR 14 CLRCY017 CLYN253 CLYN257 CLYN260 Nei9008 DTPYC9-F13-2-3-1-2-B DTPYC9-F65-2-2-1-1-B DTPYC9-F46-1-2-1-2-B DTPYC9-F46-3-9-1-1-B G 2013627 G20133036 G20133077 G2013649 1042-69 AMB07 G2013631 1044-30
B
C
D
E F
Kekeringan£ (K) 0,57 1,42 1,31 1,26 0,95 0,99 0,96 0,99 1,09 0,93 1,27 1,29 0,62 1,36 1,23 1,19 0,80 1,22 0,94 0,92 0,71 0,42 0,99 1,07 0,87 0,81 1,24 1,14 0,83 0,32
(MT) (SP) (SP) (SP) (P) (P) (P) (P) (SP) (P) (SP) (SP) (MT) (SP) (SP) (SP) (P) (SP) (P) (P) (MT) (T) (P) (SP) (P) (P) (SP) (SP) (P) (T)
Pemupukan nitrogen rendah* (PNR) 0,72 1,64 1,60 1,30 0,59 0,89 0,53 1,80 0,67 0,84 0,58 1,14 1,27 1,86 1,27 0,81 1,11 0,53 0,95 0,90 1,39 0,90 0,84 0,75 0,40 0,71 0,93 0,97 0,87 0,75
(MT) (SP) (SP) (SP) (MT) (P) (MT) (SP) (MT) (P) (MT) (SP) (SP) (SP) (SP) (P) (SP) (MT) (P) (P) (SP) (P) (P) (MT) (T) (MT) (P) (P) (P) (MT)
Kombinasi cekamanâ (K dan PNR) 0,93 1,19 1,07 1,21 1,08 1,06 0,78 1,05 1,11 0,86 1,22 1,09 0,78 1,15 0,93 1,13 0,77 1,18 1,05 0,94 0,60 0,88 1,10 1,16 1,12 0,83 1,27 0,94 0,86 0,64
(P) (SP) (SP) (SP) (SP) (SP) (P) (SP) (SP) (P) (SP) (SP) (P) (SP) (P) (SP) (P) (SP) (SP) (P) (MT) (P) (SP) (SP) (SP) (P) (SP) (P) (P) (MT)
*Pemupukan nitrogen 75 kg/ha, £cekaman kekeringan dengan pemupukan 150 kg N/ha, âkombinasi cekaman kekeringan dan pemupukan N 75 kg/ha, MT = medium toleran, P = peka, SP = sangat peka, dan T = toleran
51
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
0,57-0,71 dan tingkat penurunan hasil 30,6-38,3% dan masuk ke dalam kelompok heterotik B dan C (Tabel 5). Inbrida yang tergolong toleran pemupukan N rendah hanya G20133036 dengan nilai ISC 0,40 dan penurunan hasilnya hanya 11,95%. Inbrida yang tergolong medium toleran pemupukan N rendah adalah CML 161/NEI 9008, CY 11, CY 15, CY 6, CLRCY039, Nei9008, DTPYC9-F46-1-2-1-2-B, G2013627, G2013649, dan 1044-30 dengan nilai ISC 0,53-0,75 dan penurunan hasil 15,9-24,3%. Genotipe inbrida tersebut masuk ke dalam kelompok heterotik A, B, C dan D. Inbrida yang tergolong medium toleran kekeringan dan pemupukan N rendah adalah DTPYC9- F46-1-2-1-2B dan 1044-30 dengan nilai ISC masing-masing 0,60 dan 0,64 (Tabel 5) dan tingkat penurunan hasil 40-43%. Genotipe inbrida tersebut masuk ke dalam kelompok heterotik C dan F. Tersedianya keragaman genetik inbrida yang luas dan toleran terhadap cekaman kekeringan dan pemupukan N rendah berperan penting dalam membentuk jagung hibrida atau sintetik unggul yang toleran cekaman tersebut. Tetua yang toleran cekaman kekeringan dalam kelompok heterotik berbeda dapat disalingsilangkan dalam perakitan jagung hibrida toleran cekaman kekeringan atau pemupukan N rendah. Hasil penelitian Silvestro et al. (2013) menunjukkan bahwa hasil persilangan dari tetua yang toleran kekeringan menghasilkan jagung hibrida yang toleran. Sebaliknya, hasil persilangan tetua yang peka cekaman kekeringan menghasilkan hibrida yang peka kekeringan.
KESIMPULAN 1. Dari 51 genotipe jagung inbrida yang diseleksi berdasarkan markah SSR terdapat 30 genotipe yang memiliki tingkat homosigositas yang tinggi dengan tingkat keragaman genetik cukup besar, di mana nilai koefisien kemiripan genetiknya berkisar antara 0,22-0,87 yang terbagi dalam enam kelompok heterotik. 2. Inbrida yang toleran kekeringan adalah DTPYC9F46-3-9-1-1-B dan 1044-30, masing-masing masuk ke dalam kelompok heterotik C dan F. Inbrida yang tergolong medium toleran kekeringan adalah CML 161/NEI 9008 dan MR 14, masing-masing masuk ke dalam kelompok heterotik A dan B. 3. Inbrida yang toleran pemupukan N rendah adalah G20133077 yang masuk dalam kelompok heterotik D. Inbrida yang medium toleran pemupukan N rendah adalah CML 161/NEI 9008, CY 11, CY 15, CY
52
6, CLRCY039, Nei9008, DTPYC9-F46-1-2-1-2-B, G 2013627, G2013649, dan 1044-30. 4. Inbrida yang medium toleran kekeringan dan pemupukan N rendah adalah DTPYC9-F46-1-2-1-2B dan 1044-30, masing-masing tergolong kelompok heterotik C dan F.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Proyek Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KKP3N) tahun 2013 atas bantuan dana penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Bänzinger, M., G.O. Edmeades, D. Beck, and M. Bellon. 2000. Breeding for drought and nitrogen stress tolerance in maize: From Theory to Practice. Page 68. CIMMYT, Mexico, D.F. Buckler, E.S., B.S. Gaut, and M.D. McMullen. 2006. Molecular and functional diversity of maize. Curr. Opin. Plant Biol. 9:172176. CIMMYT. 2005. Laboratory protocols: CIMMYT applied molecular genetics laboratory. Page 102. CIMMYT, Mexico, D.F. Daniel, I.O., J.A. Adetumbi, O.O. Oyelakin, S.A. Olakojo, M.O. Ajala, and S.O. Onagbesan. 2012. Application of SSR markers for genetic purity analysis of parental inbred lines and some commercial hybrid maize (Zea mays L.). Amer. J. of Expt. Agric. 2:597-605. Fischer, R. and R. Maurer. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivars. I. Grain yield responses. Austral. J. Agric. Res. 29:897-912. George, M.L., E. Regalado, M. Warburton, S. Vasal, and D. Hoisington. 2004. Genetic diversity of maize inbred lines in relation to downy mildew. Euphytica 135:145-155. Gunjaca, J., I. Buhinicek, M. Jukic, H. Sarcevic, A. Vragolovic, Z. Kozic, A. Jambrovic, and I. Pejic. 2007. Discriminating maize inbred lines using molecular and DUS data. Euphytica 161:165-172. Gunjaca, J., I. Buhinicek, M. Jukic, H. Sarcevic, A. Vragolovic, Z. Kozic, A. Jambrovic, and I. Pejic. 2008. Discriminating maize inbred lines using molecular and DUS data. Euphytica 161:165-172. Gupta, P.K., H.S. Balyan, P.C. Sharma, and B. Ramesh. 1996. Microsatellites in plants: A new class of molecular markers. Current Science 7(1):45-54. Heckenberger, M., M. Bohn, J.S. Ziegle, L.K. Joe, J.D. Hauser, M. Hutton, and A .E. Melchinger. 2002. Variation of DNA fingerprints among accessions within maize inbred lines and implications for identification of essentially derived varieties. I. Genetic and technical sources of variation in SSR data. Molecular Breeding 10:181-191. Hipi, A., M. Surahman, S. Ilyas, and Giyanto. 2012. Seed genetic purity assessment of hybrid maize using microsatellite markers (SSR). In: Proceeding of an International Maize Conference, Gorontalo.
EFENDI ET AL.: JAGUNG INBRIDA TOLERAN KEKERINGAN DAN NITROGEN RENDAH
Iriany, R.N., A.M. Takdir, M. Yasin, HG. and M.J. Mejaya. 2007. Maize genotypes tolerance to drought stress. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(3):156-160. Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan komsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada diskusi nasional agribisnis jagung. Badan Litbang Pertanian, Bogor. Ladha, J.K., H. Pathak, J.T. Krupnik, J. Six, and V.C. Kessel. 2005. Efficiency of fertilizer nitrogen in cereal production: Retrospects and prospects. Pages 85-156 in L.S. Donald, Advances in Agronomy, Academic Press.
Rohlf, F.J. 2000. NTSYSpc numerical taxonomy and multivariate analysissystemversion 2.1. Applied Biostatistics Inc. Semagn, K., Y. Beyene, D. Makumbi, S. Mugo, B.M. Prasanna, C. Magorokosho, and G. Atlin. 2012. Quality control genotyping for assessment of genetic identity and purity in diverse tropical maize inbred lines. Theoret. Appl. Genet. 125:1487-1501. Senior, M.L., J.P. Murphy, M.M. Goodman, and C.W. Stuber. 1998. Utility of SSRs for determining genetic similarities an relationships in maize using an agarose gel system. Crop Sci. 38:1088-1098.
Legesse, B.W., A.A. Myburg, K.V. Pixley, and A.M. Botha. 2007. Genetic diversity of African maize inbred lines revealed by SSR markers. Hereditas 144:10-17.
Shehata, A.I., H.A. Al-Ghethar, and A.A. Al-Homaidan. 2009. Application of simple sequence repeat (SSR) markers for molecular diversity and heterozygosity analysis in maize inbred lines. Saudi J. Biol. Sci. 16:57-62.
Li, Y., J. Du, T. Wang, Y. Shi, Y. Song, and J. Jia. 2002. Genetic diversity and relationships among chinese maize inbred lines revelaled by SSR markers. Maydica 47:93-101.
Silvestro, K., Meseka, A. Menkir, A.S. Elhassan, Ibrahim, and S.O. Ajala. 2013. Genetic analysis of maize inbred lines for tolerance to drought and low nitrogen. Jonares 1:29-36.
Liu, K., M. Goodman, S. Muse, J.S. Smith, E. Buckler, and J. Doebley. 2003. Genetic structure and diversity among maize inbred lines as inferred from DNA microsatellites. Genetics 165:2117-2128.
Singh, J., M.Y. Chaudhri, and W.M. Tahir. 1987. Field manual of maize breeding procedures. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
Messmer, R., Y. Fracheboud, M. Bänziger, M. Vargas, P. Stamp, and J.M. Ribaut. 2009. Drought stress and tropical maize: QTLby-environment interactions and stability of QTLs across environments for yield components and secondary traits. Theoret. Appli. Genet. 119:913-930. Mingsheng, W., X. Jia, L. Tian, and L. Baochun. 2010. Rapid and reliable purity identification of F1 hybrids of maize (Zea may L.) using SSR markers. Maize Genomics and Genetics 1(1):1-4. Monneveux, P., C. Sa¡nchez, D. Beck, and G.O. Edmeades. 2006. Drought Tolerance improvement in tropical maize source populations: Evidence of progress. Crop Science 46:180-191. Mulsanti, I.W., M. Surahman, S. Wahyuni, and D.W. Utami. 2013. Identifikasi galur tetua padi hibrida dengan marka SSR spesifik dan pemanfaatannya dalam uji kemurnian benih. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(1):1-8. Pabendon, M.B., M. Azrai, M.J. Mejaya, dan Sutrisno. 2008. Keragaman genetik inbrida jagung QPM dan normal berbasis marka mikrosatelit dan hubungannya dengan penampilan hibrida. Jurnal AgroBiogen 4(2):77-82. Pabendon, M.B., M.J. Mejaya, J. Koswara, dan H. Aswidinnoor. 2007. Analisis keragaman genetik inbrida jagung berdasarkan marka SSR dan korelasinya dengan data fenotipik F1 hasil silang uji. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(2):69-77. Powell, W., G.C. Machray, and J. Provan. 1996. Polymorphism revealed by simple sequence repeats. Trends in Plant Science 1:215-222.
Smith, J.S.C., E.C.L. Chin, H. Shu, O.S. Smith, S.J. Wall, M.L. Senior, S.E. Mitchell, S. Kresovich, and J. Ziegle. 1997a. An evaluation of the utility of SSR loci as molecular markers in maize (Zea mays L.): comparisons with data from RFLPS and pedigree. Theoretical and Applied Genetics 95:163-173. Smith, J.S.C., E.C.L. Chin, H. Shu, O.S. Smith, S.J. Wall, M.L. Senior, S.E. Mitchell, S. Kresovich, and J. Ziegle. 1997b. An evaluation of the utility of SSR loci as molecular markers in maize (Zea mays L.): comparisons with data from RFLPS and pedigree. Theoret. Appl. Genet. 95: 163-173. Suwardi dan M. Azrai. 2013. Pengaruh cekaman kekeringan genotipe jagung terhadap karakter hasil dan komponen hasil.in Seminar Nasional Serealia. Meningkatkan Peran Peneliti Serealia Menuju Pertanian Berkelanjutan. Maros, 18 Juni 2013. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Warburton, M.L., X. Xia, J. Crossa, and J. Franco. 2002. Genetic characterization of CIMMYT inbred maize lines and open pollinated populations using large scale fingerprinting methods. Crop Science 42:1832-1840. Weir, B.S. 1996. Genetic data Analysis II. 2nd ed. edition. Sinauer Associates. Sunderland. Wu, C., S. Li, B. Dong, Q. Zhang, and C. Zhang. 2010. Determination of the number of SSR alleles necessary for the analysis of genetic relationships between maize inbred lines. Agricultural Sciences in China 9:1713-1725. Yang, X., Y. Xu, T. Shah, H. Li, Z. Han, J. Li, and J. Yan. 2011. Comparison of SSRs and SNPs in assessment of genetic relatedness in maize. Genetica 139:1045-1054.
53
SUTORO DAN SETYOWATI: HIBRIDA JAGUNG PADA DUA TINGKAT PEMUPUKAN N
Daya Gabung Umum, Daya Gabung Khusus dan Keragaan Hasil Hibrida Jagung pada Dua Tingkat Pumupukan N Sutoro dan Mamik Setyowati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 3A. Bogor 16111 Email: [email protected]
Naskah diterima 4 Desember 2013 dan disetujui diterbitkan 10 September 2014
ABSTRACT. General Combining Ability, Spesific Combining Ability and Yield Performances of Maize Hybrids on Two Levels of N Fertilization. Maize grain production may be increased by growing varieties that utilize the available nutrients in the soil efficiently. High grain yield of maize could be achieved when hybrid variety was planted under the optimal rate of fertilization. However, application of fertilizer on agricultural land in large quantities have a negative impact on the environment. Therefore, maize variety that is able to use fertilizer efficiently is needed, which would be reducing the environmental impact from a high fertilization and also helping farmers who are less able to provide optimal fertilizer rate or those who are growing maize under the marginal land. Maize genotypes developed by diallel mating and their parents were tested under nested design, three replications on two levels of nitrogen fertilization (low and optimal N level, as nested factor). The full diallel crosses (hybrids and reciprocals) derived from five inbred lines were tested using Griffing method I. Result indicated that H3, H7 and H9 hybrids were adaptable to low N. Inbred G2 and G5 were suitable for optimal N fertilization condition, and their single cross hybrids using H7 as parent was suitable for the low N fertilization condition. Inbred G4 was suitable for low N condition and inbred G5 was suitable for the optimal N condition. Single cross hybrids of H10 was as parent suitable for N optimal condition. It was shown that maize hybrids suitable for low or optimal N fertilizations could be generated from either pairs of inbreds adaptif under low N or optimal N conditions. Inbred lines adapted to certain N fertilization may not necessarily produced hybrid adapted to the same N level of environment. Keywords: Maize, nitrogen, GCA, SCA. ABSTRAK. Produksi jagung dapat ditingkatkan melalui penanaman varietas unggul yang efisien dalam memanfaatkan pupuk atau hara yang tersedia dalam tanah. Pertanaman jagung dapat memberikan hasil tinggi apabila dipupuk secara optimal, tetapi pemberian pupuk dalam jumlah banyak menurunkan efisiensi agronomis pupuk. Penanaman jagung dengan pupuk takaran tinggi berdampak negatif terhadap lingkungan. Banyak petani yang tidak mampu memberikan pupuk secara optimal, terutama petani pada lahan marjinal. Oleh karena itu, varietas jagung yang efisien dalam memanfaatkan pupuk sangat diperlukan. Genotipe persilangan diallel dan tetuanya diuji dalam rancangan tersarang dengan tiga ulangan pada dua tingkat pemupukan (N rendah dan optimal sebagai faktor tersarang). Genotipe sebagai perlakuan yang diuji adalah hibrida full diallel dan resiprokal yang berasal dari lima inbrida (tetua) adaptif pupuk rendah dan tetua inbridanya berdasarkan model Griffing metode I. Hibrida H3, H7, dan H9 cocok pada kondisi pupuk N rendah. Inbrida jagung G2 dan G5 cocok pada kondisi N optimal, dan hasil silang
tunggalnya (hibrida H7) cocok pada kondisi N rendah. Inbrida G4 yang cocok pada kondisi N rendah dan inbrida G5 yang cocok pada kondisi optimal, silang tunggalnya menghasilkan hibrida H10 yang cocok pada kondisi N optimal. Nampaknya hibrida jagung yang cocok pada kondisi N rendah atau optimal dapat dihasilkan dari pasangan inbrida yang cocok pada kondisi N rendah dan atau optimal. Inbrida yang cocok pada lingkungan target belum tentu menghasilkan hibrida yang cocok pada lingkungan target tersebut. Kata kunci: Jagung, nitrogen, DGU, DGK.
D
ari program seleksi untuk membentuk varietas unggul hibrida pada jagung (Zea mays L.) dihasilkan banyak inbrida yang berpotensi untuk dijadikan tetua hibrida. Akan tetapi, untuk menguji pasangan inbrida yang paling sesuai (unggul) dalam pembentukan hibrida diperlukan uji hibrida percobaan (experimental hybrid) yang jumlahnya cukup banyak, karena dari n inbrida dapat dibentuk sebanyak n(n-1) hibrida percobaan. Dalam praktek di lapangan, menguji semua kombinasi persilangan yang mungkin dapat dibentuk dari inbrida terpilih tidak praktis karena entri percobaan cukup banyak. Pada sisi lain, menguji inbrida dalam jumlah kecil (kurang dari 10) untuk membentuk hibrida juga memiliki kelemahan, karena pilihan hibrida yang terbentuk sangat terbatas. Guna menguji potensi hibrida, secara umum dan khusus, telah diperkenalkan konsep Daya Gabung Umum (DGU) dari sejumlah inbrida dan Daya Gabung Khusus (DGK) pasangan dua inbrida, yang mampu memprediksi potensi inbrida pada bentuk varietas hibrida. Akan tetapi, penampilan DGU dan DGK juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, termasuk dosis pupuk N yang diaplikasikan. Pupuk nitrogen merupakan unsur esensial bagi pertumbuhan jagung. Varietas jagung hibrida umumnya dihasilkan melalui seleksi pada kondisi pemupukan N optimal. Namun dalam pembudidayaannya oleh petani, pupuk N seringkali tidak diberikan dalam jumlah optimum, sehingga hasil jagung hibrida rendah. Dalam
55
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
pemuliaan jagung pada kondisi pupuk N optimal, varietas yang dihasilkan dinilai tidak cocok ditanam pada kondisi N rendah (Worku et al. 2008). Varietas jagung yang cocok pada lingkungan target harus diseleksi langsung pada lingkungan tersebut atau mendekati lingkungan target (Banziger et al. 2000). Varietas jagung yang adaptif pada lingkungan N rendah diperlukan mengingat keterbatasan petani dalam menyediakan pupuk untuk pertanaman jagung. Penanaman varietas jagung adaptif pupuk N rendah selain dapat membantu petani yang kurang mampu menyediakan pupuk N secara optimal juga bertujuan mengurangi dampak negatif pemupukan N yang tinggi terhadap lingkungan. Jagung hibrida memiliki potensi hasil lebih tinggi daripada varietas bersari bebas, karena jagung hibrida memiliki gen-gen dominan yang dapat mengekspresikan hasil tinggi berdasarkan gejala heterosis. Identifikasi inbrida adaptif N rendah perlu dilakukan untuk menghasilkan hibrida adaptif N rendah. Apraku et al. (2011) menguji 36 hibrida, mengidentifikasi empat hibrida yang cocok pada kondisi N rendah. Penelitian Chen et al. (2013) mendapatkan empat kelompok genotipe yang efisien N, yaitu efisien pada dua kondisi N rendah dan tinggi, hanya efisien pada kondisi N tinggi, hanya efisien pada kondisi N rendah, dan tidak efisien pada N rendah atau N tinggi. Genotipe jagung ternyata mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap kondisi defisiensi hara berdasarkan sistem perakaran dan pertumbuhan tajuk (Syafrudin 2004, Hayati et al. 2008). Genotipe jagung yang cocok pada kondisi N rendah umumnya memiliki rasio akar-tajuk yang tinggi (Liang et al. 2005). Tanaman jagung yang memiliki karakter perakaran kuat dan daun tetap hijau pada saat panen (stay green) lebih adaptif terhadap pemupukan takaran rendah (Made et al. 2007). Untuk menghasilkan hibrida yang adaptif pada kondisi dosis pupuk N rendah diperlukan sumber genetik yang memiliki gen nonaditif yang banyak. Worku et al. (2008) menyatakan kontribusi gen nonaditif pada kondisi N rendah lebih besar daripada gen nonaditif pada kondisi N optimal. Penampilan inbrida pada pembentukan hibrida dimanifestasikan dalam bentuk DGU, DGK, dan heterosis. Inbrida yang memiliki DGU dan DGK positif besar untuk hasil biji diperlukan dalam pembentukan hibrida (Viana dan Matta 2003). Penggunaan inbrida jagung yang adaptif pada kondisi pupuk N rendah dalam pemuliaan tanaman diharapkan menghasilkan hibrida yang adaptif pula pada kondisi yang sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penampilan jagung hibrida dan inbrida tetuanya dari parameter DGU, DGK, dan tingkat heterosis pada kondisi pupuk N rendah. 56
BAHAN DAN METODE Percobaan dilakukan bulan Maret 2011 di Sukabumi, Jawa Barat, pada lahan dengan kandungan nitrogen total dalam tanah 0,15%. Materi genetik yang diuji sebanyak 25 genotipe yang merupakan hibrida diallel penuh dan resiprokal yang berasal dari lima inbrida sebagai tetua, sesuai dengan metode I Griffing, yang menguji tetua, hibrida F1, dan resiprokal (Singh dan Chaudhary 1977). Lima inbrida yang digunakan dalam pembentukan hibrida silang tunggal adalah Arc1-27-66-1-3-2-xb3, P4G12-19-2-2-3-xb3, P4G19(5)C2-59-3-3-13, P4S3-29-4-4-1, dan Arc1-178-1-3-1-1-4-1-1, selanjutnya berturut-turut disebut G1, G2, G3, G4 dan G5. Inbrida G1 dan G5 kurang adaptif N rendah, dan sebaliknya Inbrida G2, G3, dan G4 (Sutoro et al. 2010). Latar belakang genetik inbrida dengan kode awal Arc berasal dari varietas Arjuna yang diseleksi berdasarkan tongkol rendah, yaitu yang berada di tengah-tengah atau sedikit di bawah tengah batang. Galur-galur Arc yang digunakan berasal dari hasil selfing 6-7 kali (S6-S7). Galur-galur P4 (Pool 4) adalah galur hasil selfing yang berasal dari populasi kombinasi persilangan dari varietas lokal yang berbiji warna kuning (sebagai induk), sedangkan sebagai pejantan adalah Suwan-1 (Subandi 1984). Sebanyak 25 hibrida yang berasal dari persilangan dialel diuji dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan pada dua tingkat pemupukan N. Percobaan diterapkan dalam rancangan tersarang (nested design), dimana ulangan/kelompok tersarang pada perlakuan tingkat pemupukan N. Tingkat pemupukan N yang diuji yaitu N optimal (135 kg N/ha) dan N rendah (setengah dari pupuk N optimal: 67,5 kg N/ha). Semua petak percobaan dipupuk 30 kg P2O5/ha dan 25 kg K2O/ha. Benih jagung dari setiap genotipe ditanam dua baris sepanjang 5 m dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm dengan satu tanaman tiap lubang. Data hasil biji jagung dianalisis setelah dikonversi pada kandungan kadar air biji 15%. DGU dan DGK ditentukan sebagai berikut (Singh dan Chaudary 1977): DGU bagi inbrida Gi = 1/2n (Yi. + Y.i) – 1/n2 Y.. , dan DGK inbrida Gi dan Gj = ½ (Yij + Yji) – ½ n (Yi. + Y.i+ Yj. + Y.j) + 1/n2 Y.., sedangkan Y..= ΣΣ Yij, Yij = bobot biji hibrida persilangan Gi dan Gj, Yi. dan Y.j berturut-turut total hasil biji tetua jantan ke-i dan betina ke-j. Nilai heterosis (H) dihitung berdasarkan rata-rata tetua (mid parent) dengan persamaan H = (F1-MP)/MP, F1= hasil hibrida, MP = rata-rata hasil kedua tetua inbrida. Adaptabilitas genotipe hibrida maupun inbrida tetuanya diduga berdasarkan indeks respon. Indeks respon setiap genotipe pada kondisi pupuk N rendah dinyatakan dalam bentuk persamaan:
SUTORO DAN SETYOWATI: HIBRIDA JAGUNG PADA DUA TINGKAT PEMUPUKAN N
Indeks = (Oi – Ri)/(O-R), Oi = hasil biji genotipe ke-i pada kondisi pupuk N optimal, Ri=hasil biji genotipe kei pada kondisi N rendah, O = rata-rata hasil seluruh genotipe pada kondisi pupuk N optimal, R = rata-rata hasil seluruh genotipe pada kondisi pupuk N rendah. Indeks = 0 berarti hasil pada kondisi optimal sama dengan kondisi N rendah. Indek<0 berarti hasil biji pada kondisi N optimal lebih rendah daripada kondisi N rendah. Indeks>0 berarti hasil pada kondisi N optimum lebih tinggi daripada kondisi N rendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Gabung Umum, Daya Gabung Khusus dan Komponen Ragam Hasil analisis DGU dan DGK serta resiprokalnya menunjukkan di antara inbrida yang diuji terdapat perbedaan DGU dan DGK, tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata persilangan resiprokalnya, baik pada kondisi pemupukan N optimal maupun rendah (Tabel 1). Tidak terdapat keragaman di antara persilangan resiprokalnya, dengan kata lain hasil biji jagung pasangan dua inbrida (hibrida) tidak dipengaruhi oleh peran inbrida sebagai tetua jantan atau tetua betina (tidak ada pengaruh maternal). DGU suatu inbrida merupakan rata-rata daya kemampuan tingkat kesesuaian inbrida tersebut dalam persilangan dengan sekelompok inbrida yang lain. Inbrida dengan nilai dugaan DGU terbaik pada kondisi pemupukan N optimal adalah inbrida G-2 sebesar 444,57. Hasil uji beda DGU antarinbrida (disajikan di bawah diagonal Tabel 3) menunjukkan DGU inbrida G-2 berbeda nyata dibandingkan dengan DGU inbrida G-3, G-4, dan G-5, tetapi tidak berbeda nyata dengan inbrida G-1. DGU inbrida G-5 tidak berbeda nyata dengan inbrida G-1, G-3 dan G-4, tetapi berbeda dengan G-2. Pada kondisi pemupukan N rendah, inbrida G-2 tidak memiliki DGU terbaik di antara inbrida yang diuji. DGU inbrida G-1 terbaik tidak berbeda nyata dengan inbrida G-3. Namun
Tabel 1. Analisis keragaman DGU dan DGK pada pemupukan jagung dengan takaran N optimal dan rendah, Sukabumi MT 2011. Kuadrat tengah Sumber keragaman
Derajat bebas
N optimal
N rendah
DGU DGK Resiprokal Galat
4 10 10 48
859954,2* 1534141,9* 212546,1tn 193262,6
945882,2* 1086780,2* 117848,1tn 73520,5
inbrida G-1 memiliki DGU positif, baik pada kondisi N optimal maupun N rendah. Inbrida yang memiliki DGU terbaik dapat dijadikan sebagai pembentuk varietas jagung bersari bebas atau sintetik. Pasangan inbrida yang cocok untuk hibrida adalah pasangan inbrida yang turunannya memiliki DGK yang tinggi (Legesse et al. 2009). Pasangan inbrida jagung (silang tunggal) yang menghasilkan DGK terbaik pada kondisi N optimal adalah inbrida G-4 x G-5 dan tidak berbeda nyata dengan hibrida pasangan G-1 x G-5. Pada kondisi pupuk N rendah, DGK dari G-1 x G-3, G-1 x G-5, G-2 x G-3, G-2 x G-4 dan G-4 x G-5 tidak berbeda nyata. Hibrida yang terbaik pada kondisi N optimal tidak selalu beradaptasi baik pada kondisi N rendah. Namun hibrida G-1 x G-5 dan G-4 x G-5 memiliki DGK yang positif terbesar dibandingkan dengan pasangan lain, baik pada kondisi N optimal maupun rendah (Tabel 2). Besaran DGU dan DGK inbrida dapat diketahui dengan menyusun pengelempokan heterotik (Fan et al. 2009), namun pengelompokan inbrida jagung tropis kurang berhasil karena struktur populasinya yang kompleks (Reif et al. 2005) dan disarankan dengan analisis molekuler SSR (Aguiar et al. 2008). Analisis komponen ragam aditif dan dominan dihitung di bawah asumsi tanaman diploid bersegregasi normal. Jika tidak ada pengaruh maternal (tidak ada pengaruh resiprokal), tidak ada allel ganda, tetua homosigot, gen bebas di antara kedua tetua dan koefisien inbreeding = 1, maka ragam aditif dan dominan dapat diduga (Singh dan Chaudary 1977). Nilai dugaan ragam aditif (σ2A) dan dominan (σ2D) pada kondisi N optimal berturut-turut adalah σ2A= -122067 dan σ2D= 798142, sedangkan pada kondisi N rendah masing-masing σ2A= -18529 dan σ2D= 603130.
Tabel 2. Nilai dugaan DGU (diagonal) dan DGK (atas diagonal) serta hasil uji beda DGU antarinbrida (bawah diagonal) pada pemupukan jagung dengan takaran N optimal dan rendah. Inbrida
G-1
G-2
G-3
G-4
G-5
Pupuk N optimal G-1 132,72 G-2 tn G-3 tn G-4 * G-5 tn
-16,55 444,57 * * *
371,26 22,63 -187,77 tn tn
-329,29 415,59 428,56 -288,59 tn
1154,82 -642,81 -410,07 1304,59 -100,93
Pupuk N rendah G-1 375,83 G-2 * G-3 tn G-4 * G-5 *
-72,75 -94,00 tn tn *
471,99 536,72 146,88 tn *
273,63 437,64 212,03 25,23 *
690,97 216,33 -505,01 598,27 -453,94
*: DGU antara inbrida berbeda nyata pada taraf 5%, tn: tidak nyata *: nyata pada taraf 5%, tn: tidak nyata
57
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Ragam aditif bernilai negatif dapat dianggap bernilai kecil atau nol. Dengan demikian, baik pada kondisi N optimal maupun N rendah, ragam dominan berkontribusi besar dalam memberikan hasil biji jagung. Ragam dominan antara N optimal sedikit lebih besar daripada kondisi N rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang menyatakan kontribusi gen nonaditif pada N rendah lebih besar daripada kondisi optimal (Betran et al. 2003, Worku et al. 2008) dan kondisi P rendah, kontribusi gen nonaditif lebih besar (Villareal et al. 2008). Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh perbedaan genotipe yang digunakan dan lingkungan. Keragaan hibrida Analisis data hasil biji jagung menunjukkan tingkat pemupukan N, genotipe, dan interaksinya berpengaruh nyata. Uji beda rata-rata antar entri (genotipe) selanjutnya menunjukkan hasil biji jagung hibrida H3 pada kondisi pupuk N rendah nyata lebih tinggi daripada N optimal (Tabel 3). Hibrida H1, H4, dan H10 cenderung lebih cocok pada kondisi N optimal, sedangkan hibrida H9 cenderung lebih cocok pada kondisi N rendah. Dari 10 hibrida yang diuji terdapat lima hibrida yang cocok pada kondisi N optimal maupun N rendah. Heterosis yang dihitung berdasarkan rata-rata dari kedua tetua (mid parent) menunjukkan pasangan inbrida G4 x G5 (hibrida H 10) memiliki nilai heterosis cukup tinggi pada kondisi pupuk N optimal (87%)
Tabel 3. Rata-rata hasil biji jagung dari hibrida dan inbrida pada kondisi pupuk N optimal dan N rendah.
maupun N rendah (75%). Pasangan inbrida G2 x G3 (hibrida H5) pada kondisi N optimal menghasilkan heterosis 50%, sedangkan pada kondisi N rendah relatif tinggi sebesar 86% (Tabel 1). Inbrida yang dihasilkan dari populasi varietas Arjuna (G1 dan G5) apabila disilangkan dengan inbrida yang berasal dari populasi Pool 4 (G2, G3 dan G4) tidak selalu menghasilkan heterosis yang tinggi. Jarak genetik antarkedua inbrida tidak selalu berkorelasi positif dengan heterosis (Reif et al. 2003). Jarak genetik berdasarkan molekuler dapat merefleksikan hubungan antarinbrida, tetapi tidak berhubungan dengan tingkat heterotik (Reif et al. 2010). Titik indeks respon genotipe pada kondisi pupuk N rendah disajikan pada Gambar 1. Hasil inbrida lebih rendah dari hibridanya karena adanya depresi inbreeding. Hibrida H3, H7, dan H9 merupakan hibrida jagung yang cocok pada kondisi N rendah, sedangkan hibrida H4 dan H10 cocok pada kondisi N optimal. Hibrida H2, H5, dan H6 cocok pada kondisi pupuk N optimal dan N rendah. Inbrida jagung G2 dan G5 cocok pada kondisi N optimal, dan hasil silang tunggalnya menghasilkan hibrida H7 yang cocok pada kondisi N rendah. Inbrida G4 cocok pada kondisi N rendah dan inbrida G5 cocok pada kondisi optimal, silang tunggalnya menghasilkan hibrida H10 yang cocok untuk kondisi N optimal. Nampaknya hibrida jagung yang cocok pada kondisi N rendah atau optimal dapat dihasilkan dari pasangan inbrida yang cocok pada kondisi N rendah dan atau optimal. Inbrida yang cocok pada lingkungan target belum tentu dapat menghasilkan hibrida yang cocok pada lingkungan target tersebut.
G-2 G-3 G-4 G-5 G-3 G-4 G-5 G-4 G-5 G-5
G-1 G-1 G-1 G-1 G-2 G-2 G-2 G-3 G-3 G-4
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 G-1 G-2 G-3 G-4 G-5
5907 5662 4861 6533 5625 5918 5047 5298 4647 6261 4432 4457 4559 2950 3738
BISI-16 LSD 5%
6346 858
32,9 26,0 31,7 59,9 50,2 59,8 23,2 41,1 12,0 87,2
5070* 5431 5855* 5739* 5535 5621 5473 5151 5450* 5546* 4249 3555* 4439 3390 2953*
29,9 25,0 53,3 59,4 86,6 61,9 68,2 31,6 47,5 74,9
Hasil biji (kg/ha) pada pupuk N rendah
Tetua inbrida Hibrida/ N optimal Heterosis N rendah Heterosis Inbrida (kg/ha) (%) (kg/ha) (%) 6000
H3
H4 H10
H6 H2 H8
H5
H7
H9
H1
5000 G3 G1 4000 G2
G4 G5
3000 -4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
Indeks Pembanding LSD 5%
LSD 10%
5409* 666
* Hasil biji berbeda nyata pada taraf 10% antara dipupuk N optimal dan N rendah
58
Gambar 1. Titik indeks respon hasil biji genotipe (hibrida dan inbrida) pada pupuk N rendah.
SUTORO DAN SETYOWATI: HIBRIDA JAGUNG PADA DUA TINGKAT PEMUPUKAN N
KESIMPULAN DAN SARAN
Subandi. 1984. Performance of corn gene pools and selected half sib families. Contribution 72:1-11.
Hasil analisis DGU dan DGK menunjukkan bahwa di antara inbrida yang diuji terdapat perbedaan DGU dan DGK , tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata persilangan resiprokalnya, baik pada kondisi pupuk N optimal maupun rendah. Potensi hibrida yang dihasilkan dari dua persilangan tidak ada pengaruh maternal. Hibrida jagung yang cocok pada kondisi N rendah dapat dihasilkan dari pasangan inbrida yang cocok pada kondisi N rendah dan atau optimal. Hibrida H3, H7, dan H9 merupakan hibrida yang cocok pada kondisi pupuk N rendah. Hibrida yang cocok pada kondisi N rendah perlu diuji adaptabilitasnya pada lingkungan yang lebih luas.
Sutoro, Sustiprijatno, Hadiatmi, Dinar Ambarwati, Sri Gajatri Budiarti, Mamik Setyowati dan Edy Listanto. 2010. Perakitan 30 hibrida jagung dan 5 Tanaman Transforman Jagung Regenerasi Awal (R0) untuk peningkatan efisiensi penggunaan pupuk N < 50%, umur genjah < 85 hari dan produktivitas 10 ton/ha. Laporan Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Aguiar, C. G., I. Schuster, A.T. Amaral, C.A. Scapim, E.S. Vieira. 2008. Heterotic groups in tropical maize germplasm by test crosses and simple sequence repeat markers. Genet. Mol. Res. 2008;7(4):1233-1244. Apraku, B.B. and R.O. Akinwale. 2011. Identification of earlymaturing maize inbred lines based on multiple traits under drought and low N environments for hybrid development and population improvement. Can. J. Plant Sci. 91: 931-942. Banziger, M., G.O. Edmeades, D. Beck, and M. Belon. 2000. Breeding for drought and nitrogen stress tolerance in maize: From theory to practice. Mexico, D.F.:CIMMYT. Betran, F.J., D. Beck, M. Banziger, and G.O. Edmeades. 2003. Genetic analysis of inbred and hybrid grain yield under stress and nonstress environments in tropical maize. Crop Sci. 43:807-817. Chen, F.J., Z.G. Fang, Q. Gao, Y.L. Ye, L.L.Jia, L.X. Yuan, G.H. Mi and F.S. Zhang. 2013. Evaluation of the yield and nitrogen use efficiency of the dominant maize hybrids grown in north and northeast China. Sci. China Life Sci. 56(6):552-560 doi:10.1007/s11427-013-4462-8. Fan, X.M., Y.M. Zhang, W.H. Yao, H.M. Chen, J. Tan, C.X. Xu, X.L. Han, L.M. Lua and M.S. Kang. 2009. Classifying Maize Inbred Lines into Heterotic Groups using a Factorial Mating Design. Agron. J. 101(1):106-112. Hayati, R., Munandar, dan Irmawati. 2008. Pertumbuhan akar dan tajuk serta hasil beberapa varietas/galur jagung pada kondisi defisiensi hara. Zuriat 19(1):86-94.
Syafruddin. 2004. Genotipe jagung efisien hara P. Buletin Plasma Nutfah 10(1): 17-22. Legesse, B.W., K.V. Pixley dan A.M. Botha. 2009. Combining ability and heterotic grouping of highland transition inbred lines. Maydica 54:1-9. Liang, C., Guohua Mi, Jiansheng Li, Fanjun Chen, Fusuo Zhang. 2005. Genetic analysis of maize root characteristics in response to low nitrogen stress. Plant and Soil 276(1-2): 369382. Made, J.M., M. Azrai dan R.N. Iriany. 2007. Pembentukan varietas unggul jagung bersari bebas. Dalam Sumarno et al. (Eds) Jagung:Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p.42-54. Reif, J.C., A.E. Melchinger, X.C. Xia, M.L. Warburton, D.A . Hoisington, S.K. Vasal, G. Srinivasan, M. Bohn, and M. Frisch. 2003. Genetic distance based on simple sequence repeats and heterosis in tropical maize populations. Crop Sci. 43:1275-1282. Reif, J.C., A.R. Hallauer, A.E. Melchinger. 2005. Heterosis and heterotic patterns in maize. Maydica 50:215-223. Reif, J.C., S. Fischer, T.A. Schrag, K.R. Lamkey, D. Klein , B.S. Dhillon, H.F. Utz, A.E. Melchinger. 2010. Broadening the genetic base of European maize heterotic pools with US Cornbelt germplasm using field and molecular marker data. Theor. Appl. Genet. 120(2):301-10. doi: 10.1007/s00122-0091055-9. Singh, R.K. dan B.D. Chaudhary. 1977. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Publisher. New Delhi. 304p. Viana, J.M.S. and F.P. Matta. 2003. Analysis of general and specific combining abilities of popcorn populations, including selfed parents. Genetics and Molecular Biology 26(4): 465-471. Villarreal, S., F. Antonio, N. Leon, L. Alberto, V. Cabrera, F. Alirio. 2008. General and specific combining ability of efficient corn inbreeds to low phosphorus. Acta Agronomica Palmira 57(3): 155-160. Worku, M., M. Banziger, D. Friesen, E.G. Schulte, W.J. Horst, B.S. Vivek. 2008. Relative importance of general combining ability and specific combining ability among tropical maize (Zea mays L.) inbreds under contrasting nitrogen environments. Maydica 53: 279-288.
59
HAMIDA DAN DEWI: MIKORIZA VESIKULAR ARBUSKULAR DAN 5-AMINOLEVULINIC ACID PADA JAGUNG LOKAL MADURA
Efektivitas Mikoriza Vesikular Arbuskular dan 5-aminolevulinic Acid terhadap Pertumbuhan Jagung Varietas Lokal Madura pada Cekaman Kekeringan Ruly Hamida1 dan Kumala Dewi2 Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jalan Raya Karangploso 199 Malang, Jawa Timur Email: [email protected] 2 Fakultas Biologi, Universitas Gajahmada Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 1
Naskah diterima 21 November 2013 dan disetujui diterbitkan 4 Agustus 2014
ABSTRACT. Effectiveness of Vesicular Arbuscular Mycorrhiza and 5-Aminolevulinic Acid on the Growth of Local Madura Variety Maize to Drought Stress. The local Madura maize variety planted on drought stress area suffered retarded plant growth and reduced grain yield. Research was conducted to alleviate the stress on crop plants, to survive under drought condition. The aim of this study was to investigate the effects of MVA and ALA on the growth of Guluk-guluk local maize variety planted under difference drought stresess. The experiment was conducted using split-split plot design with three factors in six replications. The first factor was variation of MVA application, i.e., without inoculation (M0) and with inoculation of mycorrhiza (M1). The second factor was ALA treatment which consisted of 3 levels, namely 0% (P0), 0.05% (P1) and 0.1% (P2). Third factor was plant watering intensity, i.e., watered once every 2 days (K0), watered once every 4 days (K1) and watered once every 6 days (K2) reaching field capacity, respectively. Data were analyzed by two-way ANOVA and Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The results suggested that MVA and ALA treatments gave significant effects in increasing the percentage of mycorrhiza infection, total leaf P content, total chlorophyll content, plant height, fresh and dry weight of shoot and root and shoot/root ratio. It showed a significant effect in decreasing ABA content in maize plant subjected to drought stress. The ABA content was 1.7 ppm in plants watered once every 2 days, where control plant had ABA content of 5.8 ppm. The best treatment was found on plants treated with mycorrhiza inoculation and 0.05% ALA and watered once every 4 days. Keywords: MVA, 5-ALA, local maize variety, drought stress. ABSTRAK. Pertumbuhan jagung lokal pada daerah yang tercekam kekeringan terhambat dan hasil menurun. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengadaptasikan tanaman jagung agar dapat bertahan pada kondisi cekaman kekeringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi mikoriza vesikular arbuskular (MVA) dan 5-aminolevulinic acid (ALA) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung lokal madura varietas Gulukguluk pada kondisi cekaman kekeringan berbeda. Penelitian menggunakan rancangan acak-acak terpisah dengan tiga faktor perlakuan dan enam ulangan. Faktor pertama adalah variasi inokulasi mikoriza, yaitu tanpa inokulasi (M0) dan dengan inokulasi mikoriza (M1). Faktor kedua adalah aplikasi ALA dengan konsentrasi 0% (P0), 0,05% (P1) dan 0,1% (P2). Faktor ketiga adalah intensitas penyiraman, yaitu setiap dua hari sekali (K0), empat hari sekali
(K1), dan enam hari sekali (K2) sampai kapasitas lapang. Inokulasi mikoriza dilakukan pada saat penanaman benih, sedangkan penyemprotan ALA pada saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam. Pengukuran parameter dilakukan pada umur 45 HST. Data dianalisis dengan ANOVA dua arah dan dilanjutkan dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan MVA dan ALA berpengaruh nyata terhadap peningkatan infeksi mikoriza, kadar P total daun, kadar klorofil total, tinggi tanaman, bobot basah dan bobot kering pucuk-akar dan rasio pucuk/akar serta penurunan kadar hormon asam absisat (ABA). Kadar ABA tanaman jagung yang mendapat perlakuan penyiraman dua hari sekali turun hingga 1,7 ppm, lebih rendah dari perlakuan kontrol (5,8 ppm). Perlakuan terbaik ditunjukkan oleh kombinasi inokulasi mikoriza dan penyemprotan ALA 0,05% pada intensitas penyiraman setiap empat hari sekali (K1M1P1). Kata kunci: Mikoriza Vesikular Arbuskular, 5-aminolevulinic acid, jagung lokal madura, cekaman kekeringan.
P
roduksi jagung nasional sebagian berasal dari Kabupaten Madura. Jagung lokal Madura varietas Guluk-guluk berumur 65-75 hari, lebih genjah dibandingkan dengan jagung varietas unggul nasional (85 hari). Umur panen jagung menjadi pertimbangan utama bagi petani Madura, karena berhubungan dengan pergiliran tanaman dan ketersediaan air tanah dan curah hujan (Roesmarkam et al. 2006). Jagung lokal Madura memiliki kandungan lemak dan protein cukup tinggi, masing-masing 7,68% dan 19,04%, sementara kandungan lemak dan protein jagung hibrida masingmasing hanya 4,55% dan 14,12%. Jagung lokal Madura juga tahan terhadap virus mosaik (BPTP Jatim 2007). Kekeringan merupakan kendala bagi petani dalam budi daya jagung di lahan kering. Cekaman kekeringan pada tanaman mengakibatkan dehidrasi dan menurunkan tekanan turgor sel, sehingga merangsang penutupan stomata, menghambat difusi CO 2 dan fotosintesis (Mafakheri et al. 2010). Akar tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan membentuk
61
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
asam absisat lebih banyak dan menutup stomata dengan cara menghambat pompa proton yang bergantung pada ATP dan membran plasma sel penjaga (Yordanov et al. 2003, Ren et al. 2007). Ancaman kekeringan umumnya diatasi dengan menanam jagung pada awal musim hujan, tanpa memperhitungkan kemungkinan kekurangan air pada pertumbuhan selanjutnya. Kenyataannya, tanaman sering mengalami kekurangan air pada fase pertumbuhan akhir, yang menyebabkan hasil jagung rendah. Salah satu usaha agar tanaman jagung dapat bertahan dari cekaman kekeringan adalah memacu simbiosis perakaran tanaman dengan mikoriza vesikular arbuskular (MVA) seperti Glomus etunicatum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan mikoriza arbuskular dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman jagung, antara lain meningkatkan efisiensi penggunaan air dan toleransi tanaman terhadap kekeringan (Boomsma and Vyn 2008). Simbiosis mikoriza arbuskular dengan bakteri tanah sangat penting bagi tanaman dalam meningkatkan pertumbuhan (Miransari 2010). Akhir-akhir ini telah dilakukan penelitian senyawa sintetik, terutama 5-aminolevulinic acid (ALA) yang berkaitan dengan pemacuan biosintesis klorofil tanaman. Jika diberikan dalam jumlah kecil, senyawa ini dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan, tetapi jika diaplikasikan lebih dari 40 mM (pada barley) akan berfungsi sebagai herbisida (Nishikawa and Murooka 2011). Hasil penelitian pada tanaman mentimun dengan perlakuan 10% polyethylene glycol (PEG) 6000 menunjukkan bahwa aktivitas ALA 3 µM meningkatkan aktivitas antioksidan glutation reduktase (GR), dehydroaskorbat reduktase (DHAR), dan glutation peroksidase (GSH-Px) sebesar 83,3% (Dong-Mei Li et al. 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi MVA dan penyemprotan ALA pada tanaman jagung varietas Guluk-guluk yang mengalami cekaman kekeringan terhadap infeksi mikoriza pada akar, kandungan P klorofil, dan kadar asam absisat pada daun, dan pertumbuhan tanaman.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, pada Oktober 2009-Pebruari 2010. Bahan yang digunakan adalah benih jagung lokal
62
Madura varietas Guluk-guluk, jamur MVA spesies Glomus etunicatum (berasal dari bank inokulum Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian, UGM), larutan 5aminolevulinic acid (ALA), formaldehid 2%, fungisida (mankozeb 64%), kompos, dan tanah kebun (regosol). Bahan yang digunakan untuk clearing dan pewarnaan jaringan tanaman antara lain akuades, larutan KOH 10%, HCl 1N, tryphan blue laktofenol 0,05% dan laktofenol. Bahan untuk analisis kadar hormon asam absisat (ABA) antara lain larutan standar ABA, methanol 80%, etil asetat, NaHCO3, aceto nitril 26%, NaOH dan HCl pekat. Penelitian menggunakan rancangan acak-acak terpisah. Sebagai petak utama adalah inokulasi mikoriza dengan dua perlakuan, yaitu tanpa inokulasi (M0) dan dengan inokulasi mikoriza (M1). Sebagai anak petak adalah perlakuan ALA dengan tiga konsentrasi, yaitu 0% (P0), 0,05% (P1), dan 0,1% (P2). Anak-anak petak adalah intensitas penyiraman tanaman, yaitu setiap dua hari sekali (K0), empat hari sekali (K1), dan enam hari sekali (K2) sampai kapasitas lapang. Benih jagung ditanam pada polybag berisi 10 kg campuran tanah regosol dan kompos (perbandingan 3:1) yang telah disterilisasi selama 5 hari menggunakan formaldehid 2% (300ml/polybag) dan fungstop (100 g/ 50 kg kompos). Kemudian diinokulasi mikoriza sebanyak 10 g (jumlah spora 110-200 tiap polybag), yaitu inokulum mikoriza berupa granul langsung dibenamkan ke dalam tanah (± 3cm) dan di atasnya diberi benih jagung. ALA disemprotkan pada daun, masing-masing 15 ml/tanaman, saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam dan dilakukan pada pagi hari saat stomata masih membuka. Pengamatan tanaman dilakukan setelah masa vegetatif maksimal (45 HST) dengan cara mendestruksi seluruh bagian tanaman. Parameter yang diamati meliputi 1) infeksi mikoriza (%)dengan prosedur pengecatan Clearing dan Staining pada jaringan akar tanaman (Brundrett 2008), 2) kadar P total daun (mg/g bobot kering) dengan metode Molibdat-vanadat (Sulaeman et al. 2005), 3) kadar klorofil daun (mg/g bobot basah) dengan spektrofotometer Spectronic 21 (Mafakheri et al. 2010), 4) kadar ABA (ppm) dengan metode HPLC yang dimodifikasi (Kelen et al. 2004), dan 5) pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi tanaman, biomassa tajuk, biomassa akar, dan rasio tajuk/akar. Data dianalisis menggunakan Anova dua arah untuk mengetahui pengaruh mikoriza dan penambahan ALA dengan intensitas penyiraman yang berbeda, kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT dengan taraf nyata 5%.
HAMIDA DAN DEWI: MIKORIZA VESIKULAR ARBUSKULAR DAN 5-AMINOLEVULINIC ACID PADA JAGUNG LOKAL MADURA
HASIL DAN PEMBAHASAN Infeksi Mikoriza dan Kadar P Total Daun Data infeksi mikoriza pada akar dan kadar P total daun tanaman jagung disajikan pada Tabel 1. Tingkat kolonisasi yang tinggi menunjukkan Glomus etunicatum mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi tanah dengan berbagai intensitas kekeringan. Dengan penambahan mikoriza dan penyiraman dua hari sekali, tingkat infeksi tertinggi mencapai 88% (Tabel 1). Pada perlakuan yang tidak diinokulasi mikoriza masih terdapat infeksi pada akar tanaman jagung, walaupun relatif kecil dan tidak nyata. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sterilisasi tanah yang dipakai pada penelitian ini, yaitu menggunakan formaldehid 2% dan penambahan fungstop, masih memungkinkan terjadinya infeksi mikoriza pada akar tanaman jagung. Kombinasi ketiga perlakuan yang menyebabkan tingkat infeksi mikoriza tertinggi terdapat pada tanaman yang diinokulasi mikoriza dengan penyemprotan ALA 0,05% dan penyiraman empat hari sekali. Kapasitas air tanah dengan waktu penyiraman, empat hari sekali cukup efektif terjadinya infeksi pada akar tanaman dan hifa mikoriza beradaptasi dengan tanaman inang. Pada kombinasi perlakuan tersebut, tampak yang lebih berpengaruh adalah perlakuan intensitas penyiraman, karena tanpa maupun dengan aplikasi ALA tidak berpengaruh terhadap peningkatan infeksi mikoriza. Hal ini menunjukkan terbatasnya ketersediaan air
Tabel 1. Pengaruh MVA dan ALA terhadap infeksi mikoriza dan kadar fosfat total daun tanaman jagung pada umur 45 HST. Parameter
Perlakuan
Infeksi mikoriza (%)
M0 M1
Kadar P total daun (mg/g berat kering)
M0 M1
K0
K1
K2
P0 P1 P2 P0 P1 P2
10,0 a 13,0 a 8,0 a 58,0 b 86,0 cd 65,0 b
P0 P1 P2 P0 P1 P2
2,65 abc 3,47 abc 3,18 abc 3,74 cd 3,44 abc 3,64 bcd 6,86 g 8,33 h 7,19 g 11,29 i 6,28 fg 8,47 h
12,0 16,0 15,0 82,0 88,0 76,0
a a a cd d c
7,0 a 9,0 a 6,0 a 57,0 b 64,0 b 60,0 b 2,47 a 2,65 abc 2,59 ab 4,61 de 5,45 ef 5,01 e
M0 (tanpa inokulasi mikoriza), M1 (dengan inokulasi mikoriza); P0 (tanpa pemberian ALA), P1 (ALA 0,05%), P2 (ALA 0,1%); K0 (penyiraman 2 hari sekali), K 1 (penyiraman 4 hari sekali), K2 (penyiraman 6 hari sekali). Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, baik dalam baris maupun kolom, pada masing-masing kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α=0,05).
membatasi proses fotosintesis sehingga suplai karbon ke akar terbatas dan tidak mampu memacu perkembangan spora mikoriza indigenous. Dengan meningkatnya infeksi mikoriza pada akar, kadar P total daun juga meningkat. Diduga terjadi peningkatan serapan fosfat oleh tanaman bermikoriza, karena hifa eksternal mikoriza mempermudah hara terserap oleh akar tanaman. Meningkatnya fosfat pada hifa mikoriza adalah akibat meningkatnya ketersediaan ion fosfat dan turunnya batas ambang konsentrasi fosfat yang mudah diserap. Adanya mikoriza, walaupun ketersedian fosfat dalam tanah rendah, P masih dapat diserap tanaman. Hal ini didukung oleh Song (2005) bahwa mikoriza mampu meningkatkan serapan fosfat, karena hifa mikoriza mampu mengubah sifat-sifat hara secara enzimatis sehingga penyerapan hara ke dalam akar tanaman lebih mudah, yaitu dengan cara membebaskan senyawa organik, seperti asam sitrat, asam oksalat, dan enzim-enzim fosfatase yang melarutkan fosfat dalam tanah. Kadar Klorofil Total Daun Kadar klorofil daun jagung pada saat tanaman berumur 40 HST yang diberi perlakuan kombinasi mikoriza, penyemprotan ALA, dan penyiraman disajikan pada Tabel 2. Peningkatan kadar klorofil daun disebabkan oleh adanya mikoriza yang mampu meningkatkan serapan air dan hara, tidak hanya P tetapi juga N dan Mg. Hara tersebut dibutuhkan untuk biosintesis klorofil. Besarnya N dan Mg yang terserap akar dapat menyebabkan terpacunya pembentukan klorofil, yang berarti proses fotosintesis akan meningkat dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Mafakheri et al. (2010) menyebutkan pula bahwa pemberian mikoriza dapat meningkatkan Tabel 2. Pengaruh mikoriza dan ALA terhadap kadar klorofil total (mg/g bobot segar) daun tanaman jagung yang mendapat penyiraman pada umur 40 HST. Perlakuan
K0
K1
K2
M0
P0 P1 P2
7,5 ab 10,8 cd 12,5 d
8,4 abc 12,5 d 15,2 e
6,5 a 9,6 bc 12,1 d
M1
P0 P1 P2
8,6 abc 17,6 efg 18,7 fg
10,9 19,6 16,1
cd
9,7 bc 16,6 ef 16,5 ef
g e
M0 (tanpa inokulasi mikoriza), M1 (dengan inokulasi mikoriza); P0 (tanpa pemberian ALA), P1 (ALA 0,05%), P2 (ALA 0,1%); K0 (penyiraman 2 hari sekali), K 1 (penyiraman 4 hari sekali), K2 (penyiraman 6 hari sekali). Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama baik dalam baris maupun kolom pada masing-masing kombinasi perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α=0,05).
63
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
kadar klorofil pada tiga kultivar chickpea yang mengalami kekeringan hingga 63% dibanding kontrol. Perlakuan aplikasi ALA (0,05% dan 0,1%) dengan kombinasi inokulasi mikoriza tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar klorofil total daun. Hasil ini sesuai dengan pendapat Dong-Mei Li et al. (2011) dimana ALA hanya dibutuhkan dalam jumlah kecil dan pada konsentrasi tinggi justru akan menghambat pertumbuhan dan berfungsi sebagai herbisida. Tanaman jagung dengan intensitas penyiraman setiap empat hari sekali (K1) memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi, karena suplai air cukup bagi tanaman. Sebaliknya, pada tanaman yang mendapat penyiraman setiap enam hari sekali, kadar klorofil terendah karena ketersediaan air pada daerah perakaran sangat rendah, sehingga mengganggu proses pengangkutan hara yang dibutuhkan tanaman. Selain itu, kekurangan air juga menyebabkan kenaikan temperatur dan transpirasi yang menyebabkan disintegrasi klorofil. Tanaman dengan intensitas penyiraman dua hari sekali terpapar oleh kadar air yang tinggi dalam media tanam. Kondisi tersebut tidak sesuai bagi tanaman karena aerasi tidak optimal. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan hara utama (N, Mg, Fe) yang terangkut ke daun, yang dibutuhkan untuk biosintesis sehingga klorofil yang terbentuk pada daun menjadi berkurang.
Kadar Hormon Asam Absisat (ABA) Kandungan hormon ABA pada daun jagung umur 45 HST yang diberi perlakuan kombinasi mikoriza, penyemprotan ALA dan penyiraman disajikan pada Gambar 1. Puncak (peak area) tertinggi kandungan ABA terdapat pada daun jagung dengan perlakuan penyiraman enam hari sekali, tanpa pemberian mikoriza dan tanpa penyemprotan ALA (K2M0P0), Intensitas penyiraman setiap enam hari sekali mengakibatkan kondisi tanaman sangat kekurangan air. Hal ini merangsang peningkatan sintesis ABA, di mana hormon ini membantu mempertahankan stomata tetap tertutup dengan cara bekerja pada membran sel penjaga. ABA membatasi masuknya ion-ion K+ ke dalam sel penutup dan menyebabkan pembukaan saluran (channel) ion K+, sehingga memungkinkan pengeluaran ion K+ dari sel penutup. Akibatnya, stomata kehilangan turgor dan menutup (Schachtman and Goodger 2008). Namun inokulasi mikoriza menyebabkan kadar ABA menurun drastis. Sampel daun tanaman dari perlakuan kombinasi MVA dan ALA 0,05% pada penyiraman setiap empat hari sekali (K1M1P1) tidak menunjukkan adanya hormon ABA. Pada kombinasi perlakuan tersebut, infeksi mikoriza pada akar paling besar sehingga penyerapan air akan lebih banyak dan sintesis hormon ABA sangat sedikit atau tidak terjadi. Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman Data tinggi tanaman jagung pada umur 45 hari dengan perlakuan kombinasi mikoriza, penyemprotan ALA, dan penyiraman disajikan pada Gambar 2.
Gambar 1. Histogram kandungan ABA pada daun tanaman jagung varietas Guluk-guluk yang tercekam kekeringan umur 45 HST. K0M0P0 (penyiraman 2 hari, tanpa inokulasi mikoriza, tanpa ALA), K0M1P0 (penyiraman 2 hari, dengan mikoriza, tanpa ALA); K1M0P1 (penyiraman 4 hari, tanpa mikoriza, dengan ALA), K1M1P1 (penyiraman 4 hari, dengan mikoriza dan ALA), K2M0P0 (penyiraman 6 hari, tanpa mikoriza, tanpa ALA); K2M1P0 (penyiraman 6 hari, dengan mikoriza, tanpa ALA).
64
Gambar 2. Pengaruh mikoriza dan ALA terhadap tinggi tanaman jagung var. Guluk-guluk yang mendapat penyiraman dengan interval waktu berbeda. K0 (penyiraman 2 hari sekali), K1 (penyiraman 4 hari sekali), K2 (penyiraman 6 hari sekali).
HAMIDA DAN DEWI: MIKORIZA VESIKULAR ARBUSKULAR DAN 5-AMINOLEVULINIC ACID PADA JAGUNG LOKAL MADURA
Inokulasi mikoriza nyata meningkatkan tinggi tanaman jagung. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian mikoriza dapat membantu penyediaan hara maupun air bagi tanaman. Selain itu, mikoriza mampu meningkatkan kandungan giberelin, yang memacu pemanjangan batang melalui peningkatan pembelahan sel (Gosling et al. 2006). Peningkatan jumlah sel menyebabkan pertumbuhan batang lebih cepat, sehingga postur tanaman yang diinokulasi mikoriza lebih tinggi dibanding kontrol. Interaksi ketiga perlakuan ditunjukkan oleh kombinasi penambahan mikoriza dan aplikasi ALA 0,05% pada intensitas penyiraman setiap empat hari sekali (K1M1P1), rata-rata 336 cm. Perlakuan inokulasi mikoriza nyata meningkatkan pertumbuhan jagung. Dalam hal ini mikoriza kemungkinan besar berperan dalam penyediaan air dan hara terutama N dan P bagi tanaman, ditunjang oleh kondisi tanah yang memberikan aerasi optimal untuk suplai dan penyerapan hara. Kandowangko et al. (2009) melaporkan bahwa tanaman jagung yang mendapat inokulasi mikoriza memiliki postur yang lebih tinggi dibandingkan tanpa inokulasi. Selain itu, aplikasi ALA sebagai senyawa prekursor klorofil mampu meningkatkan proses fotosintesis.
Bobot tajuk dan bobot akar tanaman jagung pada umur 45 hari yang diberi perlakuan kombinasi mikoriza, penyemprotan ALA, dan penyiraman disajikan pada Tabel 3 dan 4. Bobot kering pucuk tanaman jagung yang mendapat perlakuan inokulasi mikoriza nyata meningkat dibanding
perlakuan tanpa inokulasi. Hal ini membuktikan mikoriza mampu meningkatkan penyerapan hara tanaman melalui kemampuannya mengubah secara kimia dan enzimatis kandungan hara di tanah, yaitu dengan meningkatkan produksi asam organik seperti asam sitrat dan asam oksalat serta adanya enzim fosfatase yang berperan melarutkan P terikat menjadi P tersedia yang memudahkan penyerapan unsur hara tersebut (Harrison 2005). Semakin besar hara yang terserap tanaman semakin besar kemungkinan metabolisme meningkat, sehingga bahan organik yang terkandung dalam tanaman juga semakin besar. Pada perlakuan penyiraman dengan intensitas enam hari sekali, bobot kering tanaman lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang mendapat suplai air cukup, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan penyiraman dua hari sekali (K0). Hal ini disebabkan oleh rendahnya kandungan air dan O 2 di sekitar akar, sehingga terbatasnya air yang masuk menuju akar, batang, dan daun. Rendahnya ketersediaan air menyebabkan penutupan stomata, sehingga masuknya CO2 juga terhambat. Terhambatnya CO2 dan kuranya suplai air pada daun menyebabkan fotosintesis terhambat, karena kedua unsur ini berperan penting bagi berlangsungnya proses fotosintesis. Akibatnya, akumulasi fotosintat yang terbentuk pada organ-organ tanaman menjadi rendah. Untuk tanaman yang diberi dan tidak diberi inokulasi mikoriza, bobot kering pucuk tertinggi terdapat pada perlakuan 0,05% ALA dengan intensitas penyiraman empat hari sekali. Semakin tinggi konsentrasi ALA (0,1%) dan semakin lama intensitas penyiraman (enam hari sekali) cenderung menghasilkan bobot kering pucuk yang tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Tabel 3. Pengaruh mikoriza dan ALA terhadap bobot kering (g) tajuk tanaman jagung varietas Guluk-guluk yang mendapat penyiraman dengan interval waktu berbeda pada umur 45 HST.
Tabel 4. Pengaruh mikoriza dan ALA terhadap bobot kering (g) akar tanaman jagung varietas Guluk-guluk yang mendapat penyiraman dengan interval waktu berbeda pada umur 45 HST.
Bobot Tajuk dan Bobot Akar
Perlakuan
K0
K1
K2
Perlakuan
K0
K1
K2
M0
P0 P1 P2
25,6 abc 28,7 abcd 25,7 abc
28,8 abcd 33,4 bcd 30,2 bcd
16,1 a 26,2 abc 22,2 ab
M0
P0 P1 P2
6,8 a 13,4 abc 14,1 abcd
10,4 ab 11,4 abc 13,4 abc
13,1 abc 9,3 ab 12,2 abc
M1
P0 P1 P2
24,9 abc 47,8 ef 33,7 bcd
41,0 def 63,4 g 52,4 fg
36,8 cde 33,9 bcd 29,6 bcd
M1
P0 P1 P2
16,7 bcde 15,6 bcde 14,6 abcd
27,3 f 21,4 def 18,5 cde
15,5 bcde 17,4 bcde 22,8 ef
M0 (tanpa inokulasi mikoriza), M1 (dengan inokulasi mikoriza); P0 (tanpa pemberian ALA), P1 (ALA 0,05%), P2 (ALA 0,1%); K0 (penyiraman 2 hari sekali), K1 (penyiraman 4 hari sekali), K2 (penyiraman 6 hari sekali). Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama baik dalam baris maupun kolom pada masing-masing kombinasi perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α=0,05).
M0 (tanpa inokulasi mikoriza), M1 (dengan inokulasi mikoriza); P0 (tanpa pemberian ALA), P1 (ALA 0,05%), P2 (ALA 0,1%); K0 (penyiraman 2 hari sekali), K 1 (penyiraman 4 hari sekali), K2 (penyiraman 6 hari sekali). Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama baik dalam baris maupun kolom pada masing-masing kombinasi perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α=0,05).
65
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Interval penyiramanan 2 hari
Interval penyiramanan 4 hari
Interval penyiramanan 6 hari
Gambar 3. Penampilan morfologi akar tanaman jagung varietas Guluk-guluk dengan (M) dan tanpa (M0) penambahan mikoriza pada tiga interval waktu penyiraman.
Bobot kering akar tanaman jagung nyata meningkat dengan inokulasi mikoriza. Pemberian mikoriza mampu membentuk cabang akar lebih banyak untuk mengimbangi peningkatan pertumbuhan pucuk (Gambar 3). Berdasarkan analisis varian, aplikasi ALA pada tanaman jagung yang mendapatkan intensitas penyiraman berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar, terutama pada tanaman yang tidak mendapat inokulasi mikoriza. Hal ini sesuai dengan pendapat Yordanov et al. (2003), bahwa penurunan kadar air tanah lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan pucuk dibanding pertumbuhan akar. Bobot kering akar tertinggi (27,3 g) terdapat pada kombinasi perlakuan mikoriza, tanpa penyemprotan ALA, dan intensitas penyiraman dua hari sekali (K1M1P0). Perlakuan ini juga tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan yang sama tetapi dengan aplikasi 0,05% ALA (K1M1P1). Bobot kering akar untuk kombinasi perlakuan yang lain juga tidak berbeda nyata antara tanaman yang tidak diinokulasi dengan tanaman yang diinokulasi mikoriza. Hal ini diduga karena adanya kompetisi untuk mendapatkan fotosintat antara MVA dan akar tanaman. Marschner (1995) menyatakan bahwa 15-30% karbohidrat yang dialokasikan ke akar digunakan oleh mikoriza. Dalam proporsi yang sama, karbohidrat juga digunakan untuk pertumbuhan mikrobia lain yang ada dalam tanah. Rasio Bobot Tajuk/Akar Data rasio bobot tajuk/akar tanaman jagung umur 45 hari yang diberi perlakuan kombinasi mikoriza, 66
Gambar 4. Pengaruh perlakuan mikoriza dan ALA terhadap rasio bobot tajuk/akar tanaman jagung var. Guluk-guluk yang mendapat variasi penyiraman dengan interval waktu berbeda. K0 (penyiraman 2 hari sekali), K1 (penyiraman 4 hari sekali), K2 (penyiraman 6 hari sekali).
penyemprotan ALA, dan penyiraman disajikan pada Gambar 4. Perlakuan inokulasi mikoriza berpengaruh nyata terhadap penurunan rasio bobot kering tajuk/akar dibanding perlakuan tanpa inokulasi mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan akar dengan inokulasi mikoriza lebih tinggi dibanding perlakuan tanpa inokulasi. Marschner (1995) menjelaskan bahwa pemanjangan akar pada kondisi cekaman kekeringan dimungkinkan karena tanaman memiliki mekanisme
HAMIDA DAN DEWI: MIKORIZA VESIKULAR ARBUSKULAR DAN 5-AMINOLEVULINIC ACID PADA JAGUNG LOKAL MADURA
pengaturan pertumbuhan tajuk akar (root and shoot ratio). Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman akan menahan laju pertumbuhan tajuk sehingga memperbesar laju pertumbuhan akar. Mekanisme ini bertujuan untuk mencegah kehilangan air dari tanaman, karena perpanjangan akar memerlukan lebih sedikit air dibandingkan dengan pemanjangan pucuk yang akan memperbesar proses respirasi dengan pembentukan daun. Pemanjangan akar juga dapat menjangkau lapisan tanah yang lebih dalam sehingga banyak menyerap air. Aplikasi ALA tidak nyata mempengaruhi rasio tajuk/ akar, kemungkinan karena fotosintat lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan bagian tajuk. Begitu juga perlakuan variasi tingkat kekeringan, yang tidak nyata mempengaruhi rasio tajuk/akar. Rasio tajuk dan akar meningkat pada tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza dan semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya lama waktu penyiraman.
KESIMPULAN 1. Pemberian MVA pada tanaman jagung varietas Guluk-guluk meningkatkan infeksi mikoriza 70%, kadar P total daun sebesar 87%, kadar klorofil 42%, dan tinggi tanaman tanaman jagung 83%. 2. Pemberian MVA nyata menurunkan kadar hormon ABA pada daun tanaman jagung hingga 100% . 3. Penambahan ALA meningkatkan kadar klorofil daun hingga 75% sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. 4. Kombinasi mikoriza dan penyemprotan ALA 0,05% pada interval penyiraman empat hari sekali (K1M1P1) merupakan perlakuan terbaik untuk meningkatkan infeksi mikoriza pada akar, kadar fosfat tanaman, dan menurunkan hormon asam absisat pada daun luar jagung.
DAFTAR PUSTAKA Boomsma, C.R. and T.J. Vyn. 2008. Maize drought tolerance: Potential improvements through arbuscular mycorrhizal symbiosis? Field Crops Research 108(1):14-31. BPTP Jatim. 2007. Keragaman hayati plasma nutfah jagung Jawa Timur. Malang, Jawa Timur. http://bptpjatim.go.id/2007/ plasmanutfah/jagung.
Brundrett, M. 2008. Mycorrhizal associations: the web resource, methods for identifying mycorrhizas. http://mycorrhizas.info/ method.html. Dong-Mei, Li, Jing Zhang, Wei-Juan Sun, Qian Li, Ai-Hua Dai, and Ji-Gang Bai. 2011. 5-Aminolevulinic acid pretreatment mitigates drought stress of cucumber leaves through altering antioxidant enzyme activity. Scientia Horti. 130(4):820-828. Gosling, P., A. Hodge, G. Goodlass, and G.D. Bending. 2006. Arbuscular mycorrhizal fungi and organic farming. J. Agric. Ecosyst. Environ. 113(4):17-35. Harrison, M.J. 2005. Signaling in the Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis. Annu Rev. Microbiol. 59:19-42. Kandowangko, N.Y., G. Sur yatmana, N. Nurlaeny, and R.D.M. Simanungkalit. 2009. Proline and abscisic acid content in droughted corn plant inoculated with Azospirillum sp. and arbuscular mycorrhizae fungi. Hayati J. Biosci. 16(1):15-20. Kelen, M., E.C. Demiralay, S. Sen, and G. Oskan. 2004. Separation of abscisic acid, indole-3-acetic acid, gibberellic acid in 99 R (Vitis berlandieri x Vitis rupestris) and rose oil (Rosa damascena Mill.) by reversed phase liquid chromatography. Turk. J. Chem. 28(5): 603-610. Mafakheri, A., A. Siosemardeh, B. Bahramnejad, P.C. Struik, and Y. Sohrabi. 2010. Effect of drought stress on yield, proline and chlorophyll contents in three chickpea cultivars. AJCS 4(8):580-585. Marschner. H. 1995. Mineral nutrition of higher plants. Academic Press. Toronto. Miransari, M. 2010. Arbuscular mycorrhiza dan soil microbes: In: Biotechnology Mycorrhizal. Science Publishers. An Imprint of Edenbridge Ltd., British Channel Islands Enfield, New Hampshire, USA. Nishikawa, S. and Y. Murooka. 2001. 5-Aminolevulinic acid: production by fermentation and agricultural and biomedical applications. Biotech. and Genet. Eng. Rev. 18(7):149-170. Ren, H., Z. Gao, L. Chen, K. Wei, J. Liu, Y. Fan, W.J. Davies, W. Jia, and J. Zhang. 2007. Dynamic analysis of ABA accumulation in relation to the rate of ABA catabolism in maize tissues under water deficit. jeb(Online). 58(2):211-219. (http:// jxb.oxfordjournals.org). Roesmarkam, S., F. Arifin, S.Z. Sa’adah, Abu, dan Robi’in. 2006. Usulan pemuliaan varietas lokal jagung Madura Manding, Talango, dan Guluk-guluk. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Malang. Schachtman, D.P. and J.Q.D. Goodger. 2008. Chemical root to shoot signaling under drought. Trends in Plant Sci. 13(6):281287. Song, H. 2005. Effects of VAM on host plant in the condition of drought stress and its Mechanisms. Electr. J. Biol. 1(3):4448. Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Edisi Pertama. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. pp.47-55. Yordanov, I., V. Velikova, and T. Tsonev. 2003. Plant responses to drought and stress tolerance. Bulg. J. plant physiol. Special issue. 187-206. (www.bio21.bas.bg/ipp/gapbfiles/essa-03/ 03_essa_187-206).
67
GINTING ET AL.: SIFAT FISIK, KIMIA, DAN SENSORIS UBIJALAR KAYA ANTOSIANIN
Identifikasi Sifat Fisik, Kimia, dan Sensoris Klon-klon Harapan Ubijalar Kaya Antosianin Erliana Ginting, Rahmi Yulifianti, M. Jusuf, dan Made J. Mejaya Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak km 8, Malang, Jawa Timur Email: [email protected]
Naskah diterima 5 Maret 2014 dan disetujui diterbitkan 16 September 2014
ABSTRACT. Identification of Physical, Chemical, and Sensorial Characteristics of Rich-anthocyanins Promising Clones of Sweet Potato. Breeding for sweet potato varieties rich in anthocyanins is essential to promote the use of sweet potato as functional food as well as to support food diversification program. This study was performed to identify physical, chemical, and sensorial characteristics of 10 promising clones of purple-fleshed sweet potato and two varieties (Ayamurasaki and Antin 1) as checks, at the Food Chemistry and Processing Laboratory of ILETRI, Malang from November until December 2012. The trial was arranged in a completely randomized design with three replicates. Observations included physical and chemical characteristics of the fresh roots and sensory attributes of the steamed roots using hedonic test of 20 panelists. The flesh colour varied from white/yellow purplish, purple up to dark purple. The lightness colour (L*) of root flesh was negatively correlated with total anthocyanins (R2 = 0.81), which varied from 1.86 mg (MSU 06044-05) up to 123.92 mg equivalent to cyanidin 3-glycoside/100 g fw (MSU 06046-48). Three clones, namely MSU 06046-48, MSU 06028-71, and MIS 0601-179 had higher total anthocyanins than that of Ayamurasaki (70.41mg/100 g fw) as a check. Moisture, ash, crude fiber, reducing sugar, amylose, and starch contents also varied among clones, ranged from 67.7 to 75.8%; 2.8 to 3.9% dw; 2.5 to 4.8%; 0.9 to 4.4% dw; 20.0 to 27.4% dw and 50.3 to 66.6% dw, respectively. MIS 0601-179 clone had the highest dry matter and starch contents (40.05% dw and 66.64% dw) which were suitable for flour ingredient. The steamed roots of MSU 06044-05 (yellow purplish) gave the highest scores of panelist preferences on colour, texture and taste attributes, followed by MIS 0601-179, Ayamurasaki, and MSU 06028-71 (purple). The bitter taste of MSU 06046-48 steamed roots associated with the highest anthocyanins content was slightly disliked, suggesting that this clone needs an alternative preparation method other than steaming. Keywords: Sweet potato, anthocyanins, physical, chemical, sensory properties. ABSTRAK. Perakitan varietas unggul ubijalar kaya antosianin mendukung pemanfaatannya sebagai pangan fungsional sekaligus diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal. Untuk itu dilakukan penelitian sifat fisik, kimia, dan sensoris 10 klon harapan ubijalar ungu dan dua varietas pembanding (Antin 1 dan Ayamurasaki) di Laboratorium Kimia dan Teknologi Pangan Balitkabi, Malang, pada bulan November-Desember 2012. Klon/varietas tersebut ditanam pada MK II 2012 di Tumpang, Malang, dan dipanen pada umur 4,5 bulan. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, tiga ulangan. Pengamatan meliputi warna dan komposisi kimia umbi segar serta sifat sensoris umbi kukus dengan uji Hedonik melibatkan 20 panelis. Warna daging umbi bervariasi dari putih/orange sembur
ungu, ungu hingga ungu tua. Tingkat kecerahan warna (L*) umbi berkorelasi negatif dengan total antosianin (R2 = 0,81) yang nilainya berkisar dari 1,86 mg (MSU 06044-05) hingga 123,92 mg, setara sianidin 3-glukosida/100 g bb (MSU 06046-48). Klon MSU 0604648, MSU 06028-71, dan MIS 0601-179 memiliki total antosianin lebih tinggi daripada varietas pembanding Ayamurasaki (70,41mg/100 g bb). Kadar air, abu, serat, gula reduksi, amilosa, dan pati umbi juga bervariasi antarklon/varietas dengan kisaran 67,7-75,8%; 2,8-3,9% bk; 2,5-4,8% bk; 0,9-4,4% bk; 20,0-27,4% bk dan 50,3-66,6% bk. Klon MIS 0601-179 memiliki kadar bahan kering dan pati tertinggi (40,1% dan 66,6% bk), sesuai untuk bahan baku tepung. Warna, rasa, dan tekstur umbi kukus klon MSU 06044-05 (kuning keunguan) paling disukai, diikuti oleh MIS 0601-179, Ayamurasaki, dan MSU 06028-71 (ketiganya berwarna ungu). Rasa umbi kukus klon MSU 06046-48 (kadar antosianin tertinggi) kurang disukai karena agak pahit/sepat sehingga memerlukan alternatif pengolahan selain dikukus. Kata kunci: Ubijalar, antosianin, fisik, kimia, sensoris.
A
ntosianin pada ubijalar memiliki kemampuan yang tinggi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas (Oki et al. 2002, Philpott et al. 2004, Teow et al. 2007, Mei and Meng 2009, Rumbaoa et al. 2009), lebih tinggi dibandingkan dengan biji kedelai hitam, beras hitam, dan terong ungu (Suda et al. 2003) serta kubis merah, kulit anggur, elderberry, jagung ungu, dan vitamin C (Kano et al. 2005). Kemampuan ini berperan dalam mencegah terjadinya penuaan dini (Jang et al. 2005) dan penyakit degeneratif, seperti aterosklerosis (Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos 2002, Suda et al. 2003, Miyazaki et al. 2008, Steed and Truong 2008), dan kanker (Soyoung 2012, Lim et al. 2013). Antosianin pada ubijalar juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik (Yamakawa and Yoshimoto 2002, Saigusa et al. 2005), mencegah gangguan pada fungsi hati (Suda et al. 2003, Suda et al. 2008, Choi et al. 2009, Hwang et al. 2011), antihipertensi (Suda et al. 2003, Kobayashi et al. 2005), menurunkan kadar gula (antihiperglisemik) (Matsui et al. 2002, Suda et al. 2003) dan total kolesterol darah (Jawi dan Budiasa 2011), memperbaiki daya ingat (Cho et al. 2003, Wu et al. 2008, Kwak et al. 2010), antiperadangan
69
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
(Zhang et al. 2009, Wang et al. 2010), dan antimikrobia (Noda and Horiuchi 2008, Boo et al. 2012). Ubijalar ungu varietas Ayamurasaki asal Jepang mengandung 60 mg antosianin, setara dengan peonidin 3-caffeoilsoforosida-5-glikosida/100 g bb (Furuta et al. 1998 dalam Suda et al. 2003). Delapan komponen utama antosianin dalam bentuk asil peonidin dan sianidin telah diidentifikasi keberadaannya pada varietas tersebut. Kandungan antosianin yang lebih tinggi (200 mg/100 g bb) dilaporkan oleh Woolfe (1992), Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos (2002), serta Cisneros-Zevallos and Cevallos-Casals (2003) pada ubijalar ungu dan merah asal Andean, Peru (211-243 mg, setara dengan sianidin3-glikosida/100 g bb dan 182 mg/100 g bb) dan Wang et al. (2011) pada ubijalar ungu asal Korea (101,83 mg/100 g bb). Ubijalar ungu asal Amerika Serikat memiliki kadar antosianin yang lebih bervariasi, berkisar antara 24,645,1 mg/100 g bb (Teow et al. 2007), 33,7-96,8 mg/100 g bb (Truong et al. 2010), 80,2-107,8 mg/100 g bb (Steed 2007), 174,7 mg/100 g bb (Steed and Truong 2008) hingga 210 mg/100 g bb (Truong et al. 2012). Kandungan antosianin ubijalar ungu tidak kalah dibandingkan dengan blueberry yang nilainya 185-396 mg, setara sianidin 3-glikosida/100 g bb (Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos 2002) dan 249 mg /100 g bb (Howard et al. 2003), blackberry 83-765 mg/100 g bb (Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos 2002), blackcurrant 156-1.064 mg/100 g bb (Iversen 1999), dan buah-buahan serta sayuran berwarna merah/ungu 2600 mg/100 g bb (Worldstat 2000 dalam Teow et al. 2007). Antosianin ubijalar ungu juga lebih stabil terhadap panas dan radiasi ultraviolet dibandingkan dengan antosianin yang berasal dari strawberi, raspberry, apel, dan kedelai hitam karena struktur kimianya (peonidin dan sianidin) dominan dalam bentuk asil (Suda et al. 2003). Hal ini menyebabkan retensi antosianin ubijalar ungu relatif tinggi pada proses pengolahan dan potensial digunakan sebagai bahan pewarna alami (Wrolstad 2004, CevallosCasals and Cisneros-Zevallos 2004). Ubijalar ungu di Indonesia terdiri atas varietas lokal, introduksi, unggul, dan klon-klon harapan hasil persilangan yang berbeda intensitas warna ungu daging umbinya. Yamagawamurasaki dan Ayamurasaki merupakan varietas ubijalar ungu yang populer dan intensif dibudidayakan di Jepang (Suda et al. 2003). Kedua varietas tersebut telah dikembangkan secara komersial di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jawa Timur dengan potensi hasil 15-20 t/ha. Beberapa varietas lokal juga memiliki daging umbi berwarna ungu, hanya intensitas warnanya masih di bawah Ayamurasaki. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melepas varietas Antin 1 dengan warna daging umbi putih keunguan (putih sembur ungu) yang
70
sesuai untuk bahan baku keripik (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2012). Di samping itu, tersedia sejumlah klon harapan yang berpotensi dilepas sebagai varietas ubijalar kaya antosianin dengan potensi hasil >25 t/ha dan kadar bahan kering tinggi (> 30%) (Jusuf et al. 2004). Informasi nilai gizi dan kesesuaian pemanfaatan klon-klon harapan ubijalar ungu tersebut sebagai bahan pangan diperlukan dalam pelepasannya sebagai varietas unggul dan pemanfaatannya sebagai pangan fungsional yang fleksibel untuk diolah menjadi beragam produk yang menarik (Ginting et al. 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik, kimia (termasuk kandungan antosianin), dan sensoris 10 klon harapan ubijalar ungu. Hasil penelitian diharapkan berguna bagi pemulia tanaman dan pengguna, terutama industri makanan berbasis ubijalar untuk pengembangan dan pemanfaatannya sebagai pangan sehat.
BAHAN DAN METODE Bahan berupa umbi segar diperoleh dari percobaan multilokasi 10 klon harapan ubijalar ungu yang potensi hasilnya tinggi (> 35 t/ha) dan varietas pembanding Ayamurasaki (ungu) dan Antin 1 (putih keunguan). Klon/ varietas tersebut ditanam pada MK II 2012 di Tumpang, Malang, dan dipanen pada umur optimum (4-4,5 bulan). Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Teknologi Pangan Balitkabi, Malang, dari bulan November hingga Desember 2012. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan dan 12 klon/varietas ubijalar ungu sebagai perlakuan. Warna daging umbi diamati pada potongan melintang bagian tengah umbi (tebal 1 cm) secara visual dan menggunakan colour reader Minolta CR-200b (L*, a*, dan b*). Pengamatan terhadap komposisi kimia umbi segar meliputi (1) kadar bahan kering (diambil pada bagian tengah umbi, dipotong-potong kecil, sebanyak 100 g dikeringkan dalam oven suhu 55-60oC selama 24 jam dan ditimbang), (2) kadar air (metode gravimetri) menurut SNI 01-2891-1992 (Badan Standarisasi Nasional 1992), (3) gula reduksi (metode Nelson-Somogy), (4) pati (hidrolisis asam dilanjutkan dengan metode Nelson-Somogy), dan (5) serat kasar (metode hidrolisis asam basa), ketiganya mengikuti prosedur Sudarmadji et al. (1997) dalam Ginting et al. (2005), (6) amilosa (Juliano 1979 dalam Ginting et al. 2005), (7) kadar antosianin dengan cara ekstraksi mengikuti Lestario et al. (2005) dan deteksi mengikuti metode perbedaan pH dengan spektrofotometer pada λ = 520 nm (pH 1,0) dan λ = 700 nm (pH 4,5) (Lee et al.
GINTING ET AL.: SIFAT FISIK, KIMIA, DAN SENSORIS UBIJALAR KAYA ANTOSIANIN
2005). Total antosianin (mg/100 g) dihitung setara dengan sianidin 3-glikosida (BM = 449,2 g/mol). Data dianalisis secara statistik menggunakan metode varian (Anova) dan dilanjutkan dengan uji BNT untuk melihat perbedaan antarperlakuan. Sifat sensoris umbi kukus (warna, tekstur, rasa dan kesan berserat) dianalisis dengan uji Hedonik yang melibatkan 20 panelis dengan skor kesukaan 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka).
HASIL DAN PEMBAHASAN Warna Daging Umbi Warna daging umbi 12 klon/varietas ubijalar bervariasi dari putih dan kuning keunguan (kuning sembur ungu) hingga ungu tua. Klon MSU 06028-71 dan MSU 06014-51 memiliki warna daging umbi ungu tua/gelap yang ditunjukkan oleh nilai L* (tingkat kecerahan) terendah (Tabel 1). Warna ungu daging umbi kedua klon tersebut lebih gelap dibandingkan dengan varietas Ayamurasaki sebagai pembanding dan klon JP-23 yang memiliki nilai L* 38,7 (Ginting dan Utomo 2011). Sebaliknya, klon MSU 06044-05 dan MSU 06046-74 dengan warna daging umbi kuning muda keunguan memiliki nilai L* tertinggi atau paling cerah, bahkan lebih cerah dari varietas pembanding Antin 1. Enam klon lainnya memiliki warna daging umbi di antara keempat klon tersebut dengan kisaran nilai L* 38,57-54,80. Nilai L* ini sedikit lebih sempit
kisarannya dibandingkan dengan 23 kultivar ubijalar ungu asal Amerika Serikat yang berkisar antara 36,3177,64 dengan kadar antosianin 2-210 mg/100 g bb (Truong et al. 2012). Nilai kemerahan warna daging umbi (a*) tertinggi tampak pada klon MIS 0612-73 dan MIS 0601-22 dan nilai kekuningan (b*) pada klon MSU 06046-74, diikuti oleh klon MSU 06044-05 (Tabel 1). Dua klon terakhir ini memiliki warna daging umbi kuning keunguan, sehingga nilai b* juga tinggi. Perbedaan warna masing-masing klon/varietas tersebut ditentukan oleh perbandingan antara peonidin dan sianidin sebagai komponen utama antosianin ubijalar ungu (Suda et al. 2003, Montilla et al. 2010). Yoshinaga et al. (2000) dan Montilla et al. (2011) melaporkan bahwa umbi dengan proporsi peonidin lebih besar (>1,0) berwarna ungu kemerahan, dan berwarna ungu kebiruan jika sianidin lebih dominan. Warna daging umbi berpengaruh terhadap kesesuaiannya untuk diolah menjadi produk pangan. Varietas Antin 1 yang memiliki daging umbi putih keunguan sesuai untuk bahan baku keripik karena kenampakannya cukup disukai panelis (Ginting et al. 2011). Klon MSU 06046-74 dan MSU 06044-05 dengan warna daging umbi kuning keunguan tampaknya juga memiliki peluang yang sama untuk dijadikan bahan baku keripik. Umbi dengan warna ungu kemerahan sesuai untuk produk kue basah, mie, dan jus. Umbi yang berwarna ungu tua sesuai untuk bahan baku tepung dan pewarna alami (Ginting et al. 2011).
Tabel 1. Warna daging umbi 12 klon/varietas ubijalar ungu. Laboratorium Pangan Balitkabi, Malang, 2012. Warna daging umbi Klon/varietas
Visual L*
MSU 06014-51 MSU 06028-71 MSU 06044-05 MSU 06046-48 MSU 06046-74 MIS 0601-22 MIS 0601-179 MIS 0612-73 MIS 0614-02 MIS 0656-220 Ayamurasaki Antin 1
ungu ++++ ungu +++ kuning muda keunguan ungu +++ kuning muda keunguan ungu ++ ungu++++ ungu ++ ungu +++ ungu++ ungu ++ putih keunguan
BNT 5% KK (%)
-
37,37 37,10 77,07 38,57 77,47 54,80 44,30 50,57 44,57 43,27 43,27 63,73
a* h h a g a c ef d e f f b
1,14 1,32
29,30 30,27 26,93 31,03 27,17 40,80 32,53 40,77 35,80 37,07 35,00 33,20 2,34 4,15
b* fg ef h def gh a de a b b bc cd
8,64 11,23 38,80 11,60 41,53 18,87 13,43 15,77 11,83 12,80 11,70 23,37
h g b fg a d f e fg fg fg c
1,87 6,04
Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Keterangan: L * : tingkat kecerahan dengan kisaran gelap (0) sampai terang (100) a *: warna kehijauan (–100) sampai kemerahan (+100) b *: warna kebiruan (–100) sampai kekuningan (+100)
71
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Komposisi Kimia Umbi Kadar Air dan Bahan Kering Kadar air umbi segar berbeda nyata antarklon/varietas ubijalar ungu dengan nilai tertinggi pada klon MIS 061273 dan MIS 0601-22 dan terendah pada klon MIS 0601179 (Tabel 2). Perbedaan kadar air terutama disebabkan oleh perbedaan klon/varietas karena semuanya ditanam pada musim dan lokasi yang sama dengan cara budidaya yang sama pula. Kadar air umbi pada penelitian ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan delapan klon/ varietas ubijalar ungu pada uji multilokasi sebelumnya yang memiliki kadar air 62,6-77,7% (Ginting et al. 2006a). Klon MIS 0601-22 dan MIS 0612-73 memiliki kadar air tertinggi pada penelitian ini (75,8-75,9%), lebih rendah dibandingkan dengan klon JP 46 (77,7%) pada penelitian Ginting et al. (2006a). Ubijalar memiliki kadar air tinggi apabila nilainya > 73,5% dan tergolong rendah apabila nilainya < 65,5% (Antarlina 1997). Dari 12 klon/varietas yang diamati, empat klon di antaranya memiliki kadar air tinggi, tujuh klon sedang (termasuk Ayamurasaki dan Antin sebagai varietas pembanding), dan satu klon rendah. Umbi dengan kadar air >70% memiliki tekstur basah dan lunak setelah direbus/dimasak dan bertekstur kering/bertepung bila kadar airnya < 60% (Onwueme 1978 dalam Ginting et al. 2006b). Klon MIS 0601-179 memiliki kadar bahan kering tertinggi (40,1%) dan terendah (25,7 %) pada klon MIS 0614-02. Kadar bahan kering berkorelasi negatif dengan kadar air umbi segar (R2 = 0,88) (Gambar 1). Delapan klon/varietas ubijalar ungu dari penelitian sebelumnya (Ginting et al. 2006a) memiliki kadar bahan kering lebih rendah dengan kisaran 24,7-36,4% dan juga berkorelasi
negatif dengan kadar air umbi (R2 = 0,95). Meski lebih rendah nilainya, kisaran kadar bahan kering ubijalar ungu asal Amerika Serikat relatif lebih sempit, yakni 3038% (Steed and Truong 2008). Selain faktor genetis, perbedaan ini juga disebabkan oleh perbedaan kadar air umbi yang dipengaruhi oleh musim (hujan/kemarau) pada saat panen, lingkungan tumbuh, dan umur panen. Sekitar 80-90% penyusun bahan kering adalah karbohidrat, terutama pati, sedangkan sisanya serat (Benesi et al. 2004). Kadar serat umbi meningkat dengan meningkatnya umur panen. Ubijalar memiliki kadar bahan kering yang tinggi bila nilainya > 34,5% dan sesuai untuk bahan baku tepung dan pati karena akan menghasilkan rendemen yang tinggi (Antarlina 1997). Klon MIS 0601-179 yang daging
Gambar 1. Hubungan antara kadar air dengan kadar bahan kering umbi segar 12 klon/varietas ubijalar ungu. Laboratorium Pangan Balitkabi, Malang, 2012.
Tabel 2. Kadar air, bahan kering, abu dan serat 12 klon/varietas ubijalar ungu. Laboratorium Pangan Balitkabi, Malang, 2012. Klon/varietas
Kadar air (%)
MSU 06014-51 MSU 06028-71 MSU 06044-05 MSU 06046-48 MSU 06046-74 MIS 0601-22 MIS 0601-179 MIS 0612-73 MIS 0614-02 MIS 0656-220 Ayamurasaki Antin 1
67,5 g 69,3 cd 73,7 b 68,9 de 67,7 fg 75,8 a 60,1 h 75,9 a 74,4 b 70,1 c 68,4 ef 68,9 de
BNT 5% KK (%)
0,8 0,7
Kadar bahan kering (%) 31,9 30,5 28,8 34,0 32,6 27,0 40,1 28,2 25,7 32,6 30,5 33,1
d e f b c g a f h cd e c
0,7 1,4
Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. bk = basis kering
72
Kadar abu (% bk)
Kadar serat (% bk)
3,5 bc 3,4 d 3,4 cd 3,2 e 3,4 bcd 3,5 bcd 2,8 f 3,1 e 3,9 a 3,5 b 3,2 e 3,1 e
3,4 cde 3,6 b 3,4 cde 3,4 bcd 2,8 f 3,6 bc 2,7 fg 3,6 b 4,8 a 3,1 e 3,2 de 2,5 g
0,1 2,0
0,2 4,3
GINTING ET AL.: SIFAT FISIK, KIMIA, DAN SENSORIS UBIJALAR KAYA ANTOSIANIN
umbinya berwarna ungu tua (Tabel 1) memiliki kadar bahan kering cukup tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Ayamurasaki dan Antin 1 (Tabel 2), sehingga potensial untuk bahan baku tepung. Tepung ubijalar ungu dapat mensubstitusi terigu sampai 50% pada beragam kue kering, cake, dan jajanan basah, demikian pula untuk produk rerotian dan mie (10-20%), dodol/jenang sebagai pengganti 50% tepung ketan dan 15% bahan es krim komersial (Ginting et al. 2011). Kadar Abu dan Serat Kadar abu yang merepresentasikan kadar mineral umbi berbeda nyata antarklon/varietas, meskipun variasinya kecil, yakni 2,8-3,9% bk (Tabel 2). Angka ini relatif sama dengan kadar abu delapan klon ubijalar ungu dari penelitian sebelumnya (3,1-3,8% bk) (Ginting et al. 2006a). Kadar abu ubijalar umumnya 3-4% bk (Woolfe 1992) dengan unsur kalium (K) dominan, diikuti P, Ca, Na, dan Mg (Bradbury and Halloway 1988 dalam Utomo dan Ginting 2012). Ubijalar memiliki kadar abu tinggi apabila nilainya > 3,8% bk dan tergolong rendah apabila nilainya < 2,9% bk (Antarlina 1997). Berdasarkan kriteria tersebut, satu klon memiliki kadar abu rendah, sedangkan sisanya tergolong sedang. Kadar abu tinggi berpengaruh terhadap warna/kenampakan produk yang dihasilkan (Mudjisihono 1988 dalam Ginting et al. 2005). Kadar serat umbi juga berbeda nyata antarklon/ varietas, meskipun kisarannya relatif sempit (2,5-4,8 % bk) dengan nilai tertinggi pada klon MIS 0614-02 dan terendah pada varietas Antin 1 (Tabel 2). Selain dipengaruhi oleh sifat genetik, kadar serat umbi juga dipengaruhi oleh umur panen dan lingkungan tumbuh (Antarlina 1997). Semakin lama ubijalar dipanen dari umur optimumnya, semakin meningkat kadar seratnya. Semua umbi dipanen pada umur optimum (4-4,5 bulan), sehingga faktor klon/varietas tampak lebih dominan. Menurut Antarlina (1997), ubijalar memiliki kadar serat tinggi apabila nilainya > 4,0% bk dan tergolong rendah apabila nilainya <3,0% bk. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat satu klon yang berkadar serat tinggi, tiga klon rendah, dan sisanya sedang. Ubijalar pada penelitian ini memiliki kadar serat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan delapan klon/varietas ubijalar ungu hasil penelitian sebelumnya, yakni 1,9-3,1% bk (Ginting et al. 2006a). Kadar Gula Reduksi, Pati, dan Amilosa Kadar gula reduksi berkisar antara 0,9-4,4% bk dengan nilai tertinggi pada klon MIS 0612-73 (Tabel 3). Keragaman ini terutama disebabkan oleh perbedaan sifat genetis. Ubijalar memiliki kadar gula reduksi tinggi
apabila nilainya > 6,8% bk dan rendah apabila nilainya < 3,9% bk (Antarlina 1997). Hanya satu klon yang kadar gula reduksinya sedang (MIS 0612-73), sedangkan sisanya tergolong rendah. Hal ini menunjukkan ubijalar ungu mengandung gula lebih rendah (kurang manis) dibandingkan dengan ubijalar orange yang nilainya dapat mencapai 8,2% bk pada varietas Beta 1 (Ginting et al. 2008). Di antara 10 klon yang diamati, empat klon memiliki kadar gula reduksi cukup rendah dan relatif sama dengan Antin 1, tiga klon lebih tinggi daripada Antin 1, dua klon relatif sama dan satu klon lebih tinggi daripada Ayamurasaki. Kadar gula reduksi pada penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya pada delapan klon/varietas ubijalar ungu yang berkisar antara 1,5-5,3% bk (Ginting et al. 2006a). Kadar pati umbi berbeda nyata antar klon/varietas ubijalar, berkisar antara 50,3-66,6% bk dengan nilai tertinggi pada klon MIS 0601-179, MSU 06046-74, MSU 06044-05, dan terendah pada MIS 0612-73, Ayamurasaki, MIS 0614-02, dan MSU 06028-71 (Tabel 3). Perbedaan ini berkaitan dengan kadar bahan kering umbi yang dipengaruhi oleh kadar air dan serat. Tiga klon memiliki kadar pati relatif sama dengan Antin 1, termasuk dua klon yang warna dagingnya kuning keunguan, mirip dengan Antin 1. Klon MIS 0601-179 dengan daging umbi berwarna ungu justru memiliki kadar pati lebih tinggi daripada Antin 1, sehingga sesuai untuk diolah menjadi tepung. Kadar pati klon MIS 0601-179 sesuai dengan kadar bahan keringnya yang juga tertinggi nilainya (Tabel 2).
Tabel 3. Kadar gula reduksi, pati, amilosa, dan antosianin 12 klon/ varietas ubijalar ungu. Laboratorium Pangan Balitkabi, Malang, 2012. Klon/varietas
MSU 06014-51 MSU 06028-71 MSU 06044-05 MSU 06046-48 MSU 06046-74 MIS 0601-22 MIS 0601-179 MIS 0612-73 MIS 0614-02 MIS 0656-220 Ayamurasaki Antin 1 BNT 5% KK (%)
Gula reduksi (% bk)
Pati (% bk)
Amilosa Antosianina (% bk) (mg/100 g bb)
0,9 f 1,3 ef 1,2 ef 1,2 ef 2,0 d 3,5 b 1,5 e 4,4 a 3,1 c 2,3 d 3,2 bc 1,0 f
62,4 b 53,9 de 63,1 ab 57,6 c 64,9 ab 56,5 cd 66,6 a 50,3 e 50,6 e 56,4 cd 50,4 e 62,0 b
25,2 22,1 25,0 22,0 25,3 20,8 24,7 21,1 20,0 21,0 20,9 27,4
0,4 10,8
3,7 3,8
1,0 2,5
b c b cd b ef b de f de ef a
74,97 d 110,26 b 1,86 i 123,92 a 4,29 hi 48,76 g 82,04 c 61,86 f 65,21 ef 53,53 g 70,41 de 7,96 h 6,0 16,04
Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5% a setara sianidin-3 glikosida; bb = basis basah; bk = basis kering
73
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Kadar amilosa umbi berkisar antara 20,0-27,4% bk dengan nilai tertinggi pada varietas Antin 1 (Tabel 3). Ubijalar memiliki kadar amilosa tinggi apabila nilainya >25% bk dan rendah apabila nilainya <19% bk (Utomo 2009). Kadar amilosa tiga klon tergolong tinggi, termasuk Antin 1, sedangkan sisanya tergolong sedang. Empat klon memiliki kadar amilosa relatif sama dengan varietas Ayamurasaki, namun tidak diperoleh klon yang nilainya sama dengan varietas Antin 1. Amilosa merupakan komponen penyusun pati, sehingga perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kadar pati masing-masing klon/ varietas dan perbandingan kadar amilosa/amilopektin. Kadar amilosa ubijalar pada penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan delapan klon/varietas ubijalar pada penelitian sebelumnya, berkisar antara 18,4-25,2% bk (Ginting et al. 2006a). Amilosa berperan dalam meningkatkan kemampuan pati untuk menyerap air, terutama saat dipanaskan sehingga turut menentukan pola gelatinisasi pati (suhu gelatinisasi, viskositas puncak dan viskositas balik). Makin tinggi kadar amilosa, makin tinggi pula kemampuannya menyerap air (Widowati et al. 1997 dalam Ginting et al. 2005). Total Antosianin Total antosianin berbeda nyata antarklon/varietas dari terendah 1,86 mg/100 g bb pada klon MSU 06044-05 hingga tertinggi 123,92 mg/100 g bb pada klon MSU 06046-48 (Tabel 3). Hal ini erat kaitannya dengan intensitas warna ungu daging umbi. Tingkat kecerahan warna daging umbi (nilai L*) berkorelasi negatif dengan kadar antosianin (R2 = 0,81) (Gambar 2). Semakin kecil nilai L* (umbi berwarna ungu tua/gelap), semakin tinggi kadar antosianin. Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Fan et al. (2008) dengan r = -0,961. Dibandingkan dengan varietas Ayamurasaki, terdapat tiga klon yang
total antosianinnya lebih tinggi, yakni MSU 06046-48, MSU 06028-71, dan MIS 0601-179 yang berpeluang sebagai calon varietas kaya antosianin dan dua klon yang nilainya relatif sama, yakni MSU 06014-51 dan MIS 0614-02. Dua klon ungu lainnya memiliki total antosianin di bawah Ayamurasaki, yakni 48-62 mg/100 g bb) (Tabel 3). Klon MSU 06046-74 dengan warna daging umbi kuning keunguan relatif sama total antosianinnya dengan Antin 1. Namun klon MSU 06044-05 yang warna daging umbinya juga kuning keunguan memiliki total antosianin lebih rendah, bahkan terendah dari semua klon pada penelitian ini. Total antosianin Ayamurasaki dan Antin 1 (klon MSU 01022-12) pada penelitian ini relatif konsisten dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang masing-masing 71,89 mg/100 g bb dan 8,64 mg/100 g bb, setara sianidin-3 glikosida (Ginting et al. 2006a). Kadar antosianin tertinggi (123,92 mg/100 g bb) pada penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan ubijalar ungu asal Peru yang nilainya 211-243 mg setara sianidin 3- glikosida/100 g bb (Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos 2002), namun lebih tinggi daripada ubijalar ungu asal Bali, Aceh, dan Taiwan (varietas TNG 73), masing-masing 110,51 mg/100 g bb (Suprapta et al. 2004), 61,85 mg/100 g bb (Husna et al. 2013), dan 90 mg/100 g bb (Huang et al. 2010). Perbedaan klon, musim, dan lingkungan tumbuh dapat menyebabkan perbedaan tersebut. Selain faktor genetik, kandungan antosianin umbi juga dipengaruhi oleh lingkungan, diantaranya cahaya, suhu, sumber N, dan serangan patogen serta zat pengatur tumbuh seperti sitokinin, GA, dan etilen (Kim and Kim 2003) serta tahap perkembangan umbi (Woolfe 1992). Perbedaan pelarut dalam ekstraksi antosianin (Castaneda-Ovando et al. 2009), standar yang digunakan (setara sianidin atau peonidin) dan metode analisis (Montilla et al. 2011) juga berpengaruh terhadap kadar antosianin. Hal ini tampak dari hasil analisis total antosianin varietas Ayamurasaki dengan metode HPLC sebesar 60 mg, setara dengan peonidin 3-caffeoylsophorosida-5-glykosida/100 g bb (Suda et al. 2003), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan Ayamurasaki pada penelitian ini (70,41 mg, setara dengan sianidin 3glikosida/100 g bb) yang menggunakan metode perbedaan pH dan deteksi dengan spektrofotometer. Sifat Sensoris Umbi Kukus Warna
Gambar 2. Hubungan antara kadar antosianin dengan tingkat kecerahan warna (L*) umbi segar 12 klon/varietas ubijalar ungu. Laboratorium Pangan Balitkabi, Malang, 2012.
74
Warna umbi kukus lima klon/varietas ubijalar agak disukai, sedangkan sisanya cukup disukai, termasuk varietas Ayamurasaki dan Antin 1 (Tabel 4). Klon MSU 06044-05 dan MSU 06046-74 yang daging umbinya berwarna kuning keunguan relatif kurang disukai
GINTING ET AL.: SIFAT FISIK, KIMIA, DAN SENSORIS UBIJALAR KAYA ANTOSIANIN
dibandingkan dengan Antin 1 (putih keunguan). Tingkat kesukaan panelis terhadap warna umbi kukus klon MSU 06046-48 (kadar antosianin tertinggi) relatif sama dengan Ayamurasaki dan keduanya memiliki skor tertinggi. Tekstur Tekstur umbi kukus berkisar antara lunak hingga agak keras (Tabel 4). Lima klon/varietas memiliki tekstur lunak dan cukup disukai. Klon MSU 06044-05 (kuning keunguan) dan MIS 0601-179 (ungu) paling disukai teksturnya, diikuti oleh Antin 1, MSU 06014-51, dan MSU 06028-71. Klon MIS 0612-73, MIS 0601-22, dan MIS 061402 kurang disukai teksturnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kadar air umbi segar yang relatif tinggi (Tabel 2), sehingga setelah dikukus teksturnya menjadi kurang kesat. Umbi dengan kadar air >70% umumnya memiliki tekstur lunak dan cenderung basah setelah dimasak (Onwueme 1978 dalam Ginting et al. 2006b). Rasa Rasa umbi kukus berkisar antara tidak disukai hingga disukai (Tabel 4). Klon MSU 06044-05 dan MSU 06046-74 (kuning keunguan) cukup disukai. Tampaknya panelis lebih menyukai rasa umbi kukus yang berasal dari klon/ varietas ubijalar dengan kandungan antosianin rendah hingga sedang (< 70 mg/100 g bb). Klon MSU 06046-48 yang kandungan antosianinnya tertinggi kurang disukai.
Tabel 4. Tingkat kesukaan terhadap sifat sensoris umbi kukus 12 klon/varietas ubijalar ungu. Laboratorium Pangan Balitkabi, Malang, 2012.
Klon/varietas
MSU 06014-51 MSU 06028-71 MSU 06044-05 MSU 06046-48 MSU 06046-74 MIS 0601-22 MIS 0601-179 MIS 0612-73 MIS 0614-02 MIS 0656-220 Ayamurasaki Antin 1
Warna
Rasa
3,3 3,6 3,0 3,9 2,5 3,5 3,5 3,6 3,4 3,4 3,8 3,6
3,3 3,2 4,0 2,4 3,6 2,8 3,4 3,6 3,0 3,6 3,6 3,1
Kesukaan Tekstur terhadap Kesan tekstur berserat 3,9 3,6 4,0 2,9 3,4 2,9 4,0 2,7 3,0 2,9 3,4 3,5
3,6 3,6 4,0 2,9 3,4 2,9 3,8 2,9 2,9 3,4 3,4 3,7
Skor kesukaan terhadap warna, rasa dan tekstur: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Agak suka 4. Suka 5. Sangat suka Skor tekstur: 1. Sangat keras 2. Keras 3. Agak keras 4. Lunak/mempur 5. Sangat lunak/mempur Skor kesan berserat: 1. Sangat berserat 2. Berserat 3. Agak berserat 4. Tidak berserat 5. Sangat tidak berserat
3,9 3,7 3,7 2,7 3,8 3,3 3,8 2,8 3,1 3,3 3,3 3,6
Hal ini berkaitan dengan rasa pahit/sepat yang berasosiasi dengan kandungan antosianin dan senyawa fenol pada ubijalar tersebut (Woolfe 1992). Fenomena yang sama juga diamati pada delapan klon/varietas ubijalar ungu pada penelitian sebelumnya (Ginting et al. 2006a). Tiga klon ungu yang disukai rasanya (MIS 061273, MIS 0656-220, dan Ayamurasaki) ternyata memiliki kadar gula reduksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan klon-klon yang kandungan antosianinnya lebih tinggi sehingga kemungkinan dapat menetralisir rasa pahit/sepat tersebut. Tampaknya klon-klon kaya antosianin dan fenol kurang sesuai untuk produk umbi kukus/konsumsi langsung, sehingga perlu alternatif penyajian, seperti dalam bentuk pasta yang dapat diolah menjadi saos, selai, mie, jus, cake, dan jajanan basah (Ginting et al. 2011). Kesan Berserat Menurut panelis, umbi kukus dari 12 klon/varietas ubijalar agak berserat hingga tidak berserat saat dikonsumsi. Beberapa klon yang kadar seratnya relatif tinggi, seperti MIS 0614-02, MIS 0612-73, dan MIS 060122, dinilai agak berserat oleh panelis. Klon MSU 0601451 memiliki skor tidak berserat tertinggi, diikuti oleh MSU 06046-74 dan MIS 0601-179. Klon MSU 06044-05 memiliki total skor tertinggi untuk tingkat kesukaan terhadap warna, rasa dan tekstur, diikuti oleh klon MIS 0601-179 yang sama skornya dengan Ayamurasaki, dan MSU 06028-71.
KESIMPULAN 1. Tingkat kecerahan warna daging umbi (L*) berkorelasi negatif dengan total antosianin (R2 = 0,81) yang berkisar antara 1,86-123,92 mg, setara sianidin 3-glukosida/100 g bb. Tiga klon memiliki total antosianin lebih tinggi daripada varietas Ayamurasaki (70,41mg/100 g bb), yakni MSU 0604648, MSU 06028-71, dan MIS 0601-179 sehingga berpeluang untuk diusulkan sebagai calon varietas kaya antosianin. Klon MIS 0601-179 memiliki kadar bahan kering dan pati tertinggi (40,1% dan 66,6% bk), sehingga sesuai untuk bahan baku tepung. 2. Klon MSU 06044-05 (kuning keunguan) paling disukai warna, tekstur dan rasa umbi kukusnya, diikuti oleh klon MIS 0601-179, varietas Ayamurasaki, dan klon MSU 06028-71 (ketiganya berwarna ungu). Rasa umbi kukus klon MSU 06046-48 (kadar antosianin tertinggi) kurang disukai karena agak pahit/sepat, sehingga perlu alternatif pengolahan selain dikukus.
75
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
DAFTAR PUSTAKA Antarlina, S.S. 1997. Karakteristik ubijalar sebagai bahan tepung dalam pembuatan kue cake. hlm. 188-204. Dalam Budijanto, S., F. Zakaria, R. Dewanti-Hariyadi, B. Satiawiharja (Ed). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan Denpasar 1617 Juli 1997. PATPI-Menpangan RI. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara uji makanan dan minuman (SNI 01-2891-1992). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 35p. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2012. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbiumbian. Balitkabi Malang. 179p. Benesi, I.R.M., M.T. L abuschagne, A.G.O. Dixon, and N.M. Mahungu. 2004. Stability of native starch quality parameters, strach extraction and root dry matter of cassava genotypes in different environments. J. Sci. Food Agric. 84:1381-1388.
Ginting, E., M. Jusuf, dan St. A. Rahayuningsih. 2008. Sifat fisik, kimia dan sensoris delapan klon ubijalar kuning/orange kaya beta karoten. hlm 392-405. Dalam N. Saleh, A.A. Rahmianna, Pardono, Samanhudi, C. Anam, dan Yulianto (Ed). Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian: Prospek Pengembangan Agro Industri Berbasis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Fak. Pertanian UNS, Solo-Balitkabi-BPTP Jawa Tengah. Ginting, E. and J.S. Utomo. 2011. Anthocyanins and total phenolic contents of purple-fleshed sweet potato cultivars and their antioxidant activity. p.101-114. In B. Kusbiantoro, L.K. Darusman, S. Budianto and N. Bermawie (Eds). Proceedings of the International Conference on Nutraceuticals and Functional Foods in Denpasar, Bali on 12-15 October 2010. Indonesian Centre for Rice Research, AARD. Jakarta. Ginting, E., J.S. Utomo, R. Yulifianti, dan M. Jusuf. 2011. Potensi ubijalar ungu sebagai pangan fungsional. Iptek Tanaman Pangan 6(1) :116-138.
Boo, H.O., S.J. Hwang, C.S. Bae. S.H. Park, B.G Heo and S. Gorinstein. 2012. Extraction and characterization of some natural plant pigments. Industrial Crops and Products 40:129135.
Howard, L.R., J.R. Clark, and C. Brownmiller. 2003. Antioxidant capacity and phenolic content in blueberries as affected by genotype and growing season. J Sci. Food. Agric. 83(12):12381247.
Castaneda-Ovando, A., M.L. Pacheco-Hernandez, M.E. PaezHernandez, J.A. Rodriguez, and A. Galan-Vidal. 2009. Chemical studies of anthocyanins: A Review. Food Chem. 113:859-871.
Huang, C.L., W.C. Liao, C.F. Chan, and Y.C. Lai. 2010. Optimization for the anthocyanin extraction from purple sweet potato roots using response surface methodology. J. Taiwan Agric. Res. 59(3):143-150.
Cevallos-Casals, B.A. and L. Cisneros-Zevallos. 2002. Bioactive and functional properties of purple sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam). Acta Hort. 583:195-203.
Husna, N.E., M. Novita, dan S. Rohaya. 2013. Kandungan antosianin dan aktivitas antioksidan ubijalar ungu segar dan produk olahannya. Agritech. 33(3):296-302.
Cevallos-Casals, B.A. and L. Cisneros-Zevallos. 2004. Stability of anthocyanins based aqueous extracts of Andean purple corn and red-flesh sweet potato compared to synthetic and natural colorants. Food Chem. 86:69-77.
Hwang, Y.P., J.H. Choi, H.J. Yun, E.H. Han, H.G. Kim, H.H. Park, T. Khanal, J.M. Choi, Y.C. Chung, and H.G. Jeong. 2011. Anthocyanins from purple sweet potato attenuate dimethylnitrosamine-induced liver injury in rats by inducing Nrf2-mediated antioxidant enzymes and reducing COX-2 and iNOS expression. Food Chem. Toxicol. 48(1):93-99.
Cho, J., J.S. Kary, P.H. Long, J. Jing, Y. Back, and K.S. Chung. 2003. Antioxidant and memory enhancing effects of purple sweet potato anthocyanin and cardyceps mushroom extract. Arch. Pharm. Res. 26(10):821-825. Choi, J.H., C.Y. Choi, and K.J. Lee. 2009. Hepatoprotective effects of an anthocyanin fraction from purple-fleshed sweet potato against acetaminophen-induced liver damage in mice. J. Med. Food 12(2):320-326. Cisneros-Zevallos, L. and B.A. Cevallos-Casals. 2003. Stioichimetric and kinetic studies of phenolic antioxidants from Andean purple corn nad red-fleshed sweet potato. J. Agric. Food Chem. 51:3313-3319.
Iversen, C.K. 1999. Black currant nectar: Effect of processing and storage on anthocyanin and ascorbic acid content. J. Food Sci. 64:37-41. Jang, Y.P., J. Zhou, K. Nakanishi, and J.R. Sparrow. 2005. Anthocyanins protect againts A2E photooxidation and membrane permeabilization in retinal pigment epithelial cells. Photochem. Photobiol. 81:529-536. Jawi, I.M. dan K. Budiasa. 2011. Ekstrak air umbi ubijalar ungu menurunkan total kolesterol serta meningkatkan total antioksidan darah kelinci. Jurnal Veteriner 12(2):120-125.
Fan, G., Y. Han, Z. Gu, and D. Chen. 2008. Optimizing conditions for anthocyanins extraction from purple sweet potato using response surface methodology (RSM). LWT-Food Sci. Technol. 41(1): 155-160.
Jusuf, M. S.A. Rahayuningsih T.S. Wahyuni, dan S. Pambudi. 2004. Analisis interaksi genotipe x lingkungan klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin dan beta karoten tinggi. Laporan Teknis Penelitian Balitkabi Malang Tahun 2004. 27p.
Ginting, E., Y. Widodo, S.A. Rahayuningsih, dan M. Jusuf. 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubijalar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24 (1):9-18.
Kano, M., T. Takayanagi, and K. Harada. 2005. Antioxidative activity of anthocyanins from purple sweet potato, Ipomoea batatas cultivar Ayamurasaki. Biosci. Biotechnol. Biochem. 69(5):979-988.
Ginting, E. , M. Jusuf, St. A. Rahayuningsih, Y. Widodo, Ratnaningsih, A. Krisnawati, dan Suprapto. 2006a. Pemanfaatan ubijalar kaya antosianin dan beta karoten. Laporan Teknis Penelitian APBN No: E.5 /ROPP/APBN/2006. Balitkabi Malang. 38p. Ginting, E., S.S. Antarlina, J.S. Utomo, dan Ratnaningsih. 2006b. Teknologi pasca panen ubijalar mendukung diversifikasi pangan dan pengembangan agroindustri. Buletin Palawija (11):15-28.
76
Kim, S.H. and S.K. Kim. 2003. Effect of nitrogen on cell growth and anthocyanin production in callus and cell suspension culture of ‘Sheridan’ grapes. J. Plant Biotechnol. 4(2):83-89. Kobayashi, M., T. Oki, M. Masuda, S. Nagai, K. Fukui, K. Matsugano, and I. Suda. 2005. Hypotensive effect of anthocyanin-rich extract from purple-fleshed sweet potato cultivar ‘Ayamurasaki’ in spontaneously hypertensive rats. J. Japanese Society Food Sci. Technol. 52:41-44.
GINTING ET AL.: SIFAT FISIK, KIMIA, DAN SENSORIS UBIJALAR KAYA ANTOSIANIN
Kwak, J.H., G.N. Choi, J.H. Park. J.H. Kim, H.R. Jeong, C.h. Jeong, and H.J. Heo. 2010. Antioxidant and neuronal cell protective effect of purple sweet potato extract. J. Agric. Life Sci. 44:5766. Lee, J., R.W. Durst, and R.E. Wrolstad. 2005. Determination of total monomeric anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and wines by the pH differential method: Collaborative Study. J. AOAC Int. 88(5):1269-1278. Lestario, L.N., P. Hastuti, S. Rahardjo, dan Tranggono. 2005. Sifat antioksidatif ekstrak buah duwet (Syzygium cumini). Agritech. 25(1):24-31. Lim, S., J. Xu, J. Kim, T. Chen. X. Su, J. Standard, E. Carey, J. Griffin, B. Herndon, B. Katz, J. Tomich, and W. Wang. 2013. Role of anthocyanin-enriched purple-fleshed sweet potato P40 in colorectal cancer prevention. Molecular Nutrition and Food Research on line 19 June 2013. http://onlinelibrary-wileycom/doi/10.1002/mnfr201300040/abstract (accessed on 17 November 2013). Matsui, T., S. Ebuchi, , M. Kabayashi, K. Fukui, K. Sugita, N. Terahara, and K. Matsumoto. 2002. Anti-hyperglycemic effect of dyacylated anthocyanin derived from Ipomoea batatas cultivar Ayamurasaki can be achieved through the á-glucosidase inhibitory action. J. Agric. Food Chem. 50:7244-7248. Mei, Z.H. and Z. Meng. 2009. Study on chemical constituents and antioxidant activity of anthocyanins from Ipomoea batatas L. (purple sweet potato). Chem. Industry Forest Prod. 29(1):3945. Miyazaki, K., K. Makino, E. Iwadate, Y. Deguchi, and F. Ishikawa. 2008. Anthocyanins from purple sweet potato Ipomoea batatas cultivar Ayamurasaki suppress the development of atherosclerotic lesions and both enhancements of oxidative stress and soluble vascular cell adhesion molecule-1 in apolipoprotein E-deficient mice. J. Agric. Food Chem. 56 (23):11485-11492. Montilla, E.C., S. Hillebrand, D. Butschbach, S. Baldermann, N. Watanabe, and P. Winterhalter. 2010. Preparative isolation of anthocyanins from Japanese purple sweet potato (Ipomoea batatas L.) varieties by high-speed countercurrent chromatography. J. Agric. Food Chem. 58 (18): 9899-9904. Montilla, E.C., S. Hillebrand, and P. Winterhalter. 2011. Anthocyanins in purple sweet potato (Ipomoea batatas L.) varieties. Fruit Veg. Cereal Sci. Biotechnol. 5(2):19-24. Noda, N. and Y. Horiuchi. 2008. The resin glycosides from sweet potato (Ipomoea batatas L. LAM.). Chem. Pharm. Bull. (Tokyo) 56(11):1607-1610. Oki, S., M. Masuda, S. Furuta, Y. Nishiba, N. Terahara, and I. Suda. 2002. Involvement of anthocyanins and other phenolic compounds in radical-scavenging activity of purple- fleshed sweet potato cultivars. J. Food Sci. 67 (5):1752-1756. Philpott, M., K.S. Gould, C. Lim, and L.R. Ferguson. 2004. In situ and in vitro antioxidant activity of sweetpotato anthocyanins. J. Agric. Food Chem. 52 (6): 1511-1513. Rumbaoa, R.G.O., D.F. Cornago, and I.M. Geronimo. 2009. Phenolic content and antioxidant capacity of Philippine sweet potato (Ipomoea batatas) varieties. Food Chem. 113:1133-1138. Saigusa, N., N. Terahara, and R. Ohba. 2005. Evaluation of DPPHradical-scavenging activity and antimutagenicity and analysis of anthocyanins in an alcoholic fermented beverage produced from cooked or raw purple-fleshed sweet potato (Ipomoea batatas cv. Ayamurasaki) roots. Food Sci. Technol. Res. 11(4):390-394.
Soyoung, L. 2012. Anthocyanin-enriched purple sweet potato for colon cancer prevention. PhD Dissertation. K-RE-x State Electronic Thesis, Dissertations, and Reports of Kansas State University, USA. http://krex.k-state.edu/dspace/handle/2097/ 13719 (accessed on 17 October 2013). Steed, L.E. 2007. Nutraceutical and rheological properties of purplefleshed sweetpotato purees as affected by continuous flow microwave-assisted aseptic processing. Master ’s Thesis. North Carolina State University Raleigh, NC. 133 pp. Steed, L.E., and V. Truong. 2008. Anthocyanin content, antioxidant activity and selected physical properties of flowable purplefleshed sweetpotato purees. J. Food Sci. 73(5):S215-S221. Suda, I., T. Oki, M. Masuda, M. Kobayashi, Y. Nishiba, and S. Furuta. 2003. Physiological functionality of purple-fleshed sweet potatoes containing anthocyanins and their utilization in foods. JARQ 37(3):167-173. Suda, I., F. Ishikawa, M. Hatakeyama, M. Miyawaki, T. Kudo, K. Hirano, A. Ito, O. Yamakawa, and S. Horiuchi. 2008. Intake of purple sweet potato beverage affects on serum hepatic biomarker levels of healthy adult men with borderline hepatitis. Euro. J. Clinic. Nutr. 62: 60-67. Suprapta, D.N., M. Antara, N. Arya, M. Sudana, A.S. Duniaji, dan M. Sudarma. 2004. Kajian aspek pembibitan, budidaya dan pemanfaatan umbi-umbian sebagai sumber pangan alternatif. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Bapeda Propinsi BaliUniversitas Udayana, Denpasar. Teow, C.C., V.D. Truong, R.F. McFeeters, R.L. Thompson, K.V. Pecota, and G.C. Yencho. 2007. Antioxidant activities, phenolic and carotene contents of sweet potato genotypes with varying flesh colours. Food Chem. 103:829-838. Truong, V.D., N. Deighton, R.T. Thompson, R.F. McFeeters, L.O. Dean, K.V. Pecota, and G.C. Yencho. 2010. Characterization of anthocyanins and anthocyanidins in purple-fleshed sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS. J. Agric. Food Chem. 58:404-410. Truong, V.D., Z. Hu, R.L. Thompson, G.C. Yencho, and K.V. Pecota. 2012. Pressurized liquid extraction and quantification of anthocyanins in purple-fleshed sweet potato genotypes. J. Food Comp. Anal. 26:96-103. Utomo, J.S. 2009. Development of Restructured Sweetpotato French-Fr y-Type Product. Thesis Doctor of Philosophy. Universiti Putra Malaysia. Kuala Lumpur. 229 pp. Utomo, J.S. dan E. Ginting. 2012. Komposisi kimia. hlm. 271-301. Dalam J. Wargiono dan Hermanto (Ed). Ubijalar: Inovasi Teknologi dan Prospek Pengembangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Wang, Y.J., Y.L. Zheng, and J. Lu. 2010. Purple sweet potato color suppresses lipopolysaccharide-induced acute inflammatory response in mouse brain. Neurochem Int. 56(3):424-30. Wang, S.M., D.J. Yu, and K.B. Song. 2011. Quality characteristics of purple sweet potato (Ipomoea batatas) slices dehydrated by the addition of maltodextrin. Hort. Environ. Biotechnol. 52(4):435-441. Woolfe, J.A. 1992. Sweet potato an untapped food resource. Cambridge University Press. 643 pp. Wrolstad, R.E. 2004. Anthocyanin pigments—Bioactivity and coloring properties. J. Food Sci. 69(5):C419-C425. Wu, D., J. Lu, Y. Zheng, Z. Zhou, Q. Shan, and D. Ma. 2008. Purple sweetpotato color repairs D-galactose-induced spatial learning and memory impairment by regulating the expression of synaptic proteins. Neurobiology of Learning and Memory 90:19-27.
77
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Yamakawa, O and M. Yashimoto. 2002. Sweetpotato as food material with physiological functions. Acta Hort. 583:179185. Yoshinaga, M., M. Tanaka and M. Nakatani. 2000. Changes in anthocyanin content and composition of developing storage
78
root of purple-fleshed sweet potato (Ipomoae batatas (L.) Lam). Breeding Sci. 50:59-64. Zhang, Z.F., S.H. Fan, and Y.L. Zheng. 2009. Purple sweet potato color attenuates oxidative stress and inflammatory response induced by d-galactose in mouse liver. Food Chem Toxicol. 47(2):496-501.