PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Sumberdaya hutan memiliki peranan yang sangat potensial bagi perekonomian nasional. Sektor kehutanan melalui usaha pemanfaatan hutan produksi telah memberikan investasi ekonomi berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 2,565 Trilyun pada tahun 2014 dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Ditjen PHPL) menargetkan terjadinya peningkatan 15% selama kurun waktu 5 tahun sebagai bagian dari Indikator Kinerja Kegiatan (IKK).
Peran sektor ekonomi ini semakin signifikan
karena kemampuannya dalam mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pedalaman dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini bahkan menjelma menjadi salah satu sektor yang mampu mendukung terwujudnya integrasi sosial budaya masyarakat. Namun pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan utamanya hutan tropis juga menyisakan suatu persoalan besar, yaitu semakin menurunnya kuantitas dan kualitas hutan, sehingga upaya pemanfaatan hutan produksi harus dibarengi dengan komitmen pelaksanaan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). PHPL merupakan pengejawantahan dari konsep pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan. Untuk mencapai tujuan PHPL diperlukan sistem pengelolaan hutan produksi yang menjamin kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi, dan fungsi sosial hutan. Penerapan PHPL kini sudah menjadi keharusan dan telah menjadi sasaran program Ditjen PHPL 2015-2019 yang harus dicapai, yaitu meningkatnya pengelolaan hutan produksi di tingkat tapak secara lestari dengan indikator kinerja kegiatan 20 KPHP
dengan menerapkan prinsip pengelolaan hutan produksi lestari. Penerapan PHPL tidak hanya untuk kepentingan domestik namun juga berkaitan dengan tuntutan global (ecolabelling) yang memiliki implikasi ekonomi, sosial dan politis. Keberadaan Hutan Produksi yang dikelola secara lestari mempunyai peran yang cukup signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Data Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 menunjukkan bahwa kurang lebih 34 juta hektar hutan Indonesia berada dibawah pengelolaan pemegang ijin IUPHHK Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan baik melalui Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)/Sustainable Forest Management atau Improved Forest
Management (IFM), rehabilitasi, peningkatan serapan karbon dan upaya-upaya lain dalam pengelolaan hutan produksi lestari menjadi sangat penting. Pengelolaan hutan produksi lestari sendiri sudah berjalan cukup lama di Indonesia. Namun demikian, upaya untuk terus mendorong pengelolaan hutan lestari tetap diperlukan baik pada tingkat lapangan maupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor P.14/PHPL/SET/4/2016, sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin, atau pada Hutan Hak. Dalam peraturan tersebut diatur tentang salah satu indikator Pengelolaan Hutan Produksi Lestari adalah tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem. Untuk mempertahankan kelestarian hutan, pengaturan pemanenan harus sesuai dengan riap tegakan atau sesuai dengan daur tanaman yang telah ditetapkan berdasarkan data pengukuran riap tegakan/ PUP untuk semua tipe ekosistem yang ada. Data riap/pertumbuhan yang tepat dan akurat hanya dapat diperoleh dari pengukuran secara terus menerus (kontinyu) yang dilakukan di dalam Petak Ukur Permanen (PUP). Selain tercantum dalam standar yang telah ditetapkan secara nasional tersebut diatas, mengacu pada Standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) 5000–1: Sertifikasi
Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari juga mensyaratkan adanya aplikasi hasil PUP dalam praktek pengelolaan hutan (annual allowable cut (AAC) dan riap rata-rata tahunan) sebagai Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) nomor P2.3: Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan. Kebijakan yang mendorong dibangunnya PUP sebagai perangkat dalam perencanaan hutan telah ditetapkan sejak lama yaitu sejak dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 183/Kpts/IV-BPHH/1992 dimana dalam pengajuan permohonan penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Karya Tahunan (URKT) pemegang HPH harus melampirkan bukti telah membuat Petak Ukur Permanen dan atau inventarisasi hutan secara periodik untuk mengetahui riap (growth & yield). Ketentuan ini juga masih tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.40/Menhut-II/2007,
tentang
Perubahan
Peraturan
Menteri
Kehutanan
No.
P.6/Menhut-II/2007 dimana salah satu pasal menyebutkan Petak Ukur Permanen (PUP) merupakan salah satu syarat dalam Berita Acara Pemeriksaan sebagai bahan pertimbangan teknis penilaian dan pengesahan usulan RKT. Pada tahun 1993, telah disusun
Pedoman
Pembuatan
dan
Pengukuran
Petak
Ukur
Permanen
untuk
Pemantauan Pertumbuhan dan Riap Hutan Alam Tanah Kering, Rawa dan Payau Bekas Tebangan, yang dituangkan dalam Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Nomor 38/Kpts/VIII-HM.3/93 sebagai panduan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan pembangunan PUP tersebut dikuatkan melalui Keputusan No. 237/KptsII/1995 Menteri Kehutanan yang mewajibkan setiap pengelola hutan alam produksi (unit menajemen) untuk membuat Petak Ukur Permanen (PUP) guna pemantauan riap tegakan di areal hutan yang dikelolanya sebagai dasar perencanaan PHPL. Manajemen unit HPH/IUPHHK wajib melaporkan hasil pemantauan pertumbuhan dan riap tegakan hutan kepada Dirjen Bina Produksi Kehutanan (sekarang, Dirjen PHPL) dan Kepala Badan Litbang Kehutanan (sekarang, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi) dengan tembusan Kepala Dinas Kehutanan setempat. Selanjutnya Badan Litbang Kehutanan akan melakukan penilaian dan analisis terhadap laporan dan hasil
pengukuran PUP. Apabila pemegang hak/pengelola IUPHHK tidak membuat PUP dan tidak melaksanakan pengukuran pertumbuhan dan riap tegakan hutan dalam areal kerjanya, dikenakan sanksi berupa denda administratif sebesar 10 kali biaya pembuatan PUP dan pelaksanaan pemantauan yang bersangkutan. Selain itu, pembangunan PUP di hutan produksi tidak terlepas dengan kegiatan inventarisasi. Kewajiban pembangunan PUP juga diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.10/Menhut-II/2006 tentang Inventarisasi Hutan Produksi Tingkat Unit Pengelolaan Hutan. Secara khusus dalam pasal 10 (ayat 1 sampai dengan 4) disebutkan bahwa setiap pengelola KPHP atau IUPHHK wajib membangun Petak Ukur Permanen (PUP). Pengukuran pada PUP dilakukan secara berkala, dan hasilnya dievaluasi tiap 5 tahun. Hasil evaluasi PUP digunakan sebagai dasar penentuan riap tegakan. Dalam pelaksanaannya, pembinaan dan evaluasi pelaksanaan PUP dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan, sedangkan pengawasan pelaksanaan dilakukan oleh Menteri Kehutanan. Pada dasarnya terdapat tiga manfaat (berupa data dan informasi) yang diperoleh dari hasil pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP), yaitu riap diameter tegakan, riap volume tegakan dan dinamika struktur tegakan. Data riap diameter tegakan dapat digunakan untuk menentukan rotasi tebang, limit diameter tebang, limit diameter pohon inti, memprediksi dinamika struktur tegakan (sampai akhir rotasi) serta menentukan tindakan silvikultur. Sementara data riap volume tegakan dapat digunakan untuk memprediksi potensi tegakan pada akhir rotasi dan menetapkan jatah produksi tahunan (JPT) yang lestari. Untuk menjamin kontinuitas produksi maka penetapan JPT perlu dikaji secara seksama berdasarkan kondisi dan dinamika tegakan hutan yang ada dengan filosofi hasil yang dipanen adalah riap tegakan; apabila besarnya panenan melebihi riap tegakan, akan timbul ancaman terhadap kelestarian sumber daya hutan. Dalam hal penetapan JPT, data hasil inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB) mutlak diperlukan, sementara data hasil pengamatan/ pengukuran PUP dijadikan alat bantu dalam pengaturan hasilnya. Dengan demikian, data IHMB dan data PUP perlu
dikelola secara baik. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi PUP dalam pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), lebih jelas dapat dilihat pada skema Gambar 1.
IHMB
PUP
Riap Diameter dan Volume
Data Potensi Hutan
Simulasi
Growth &Yield
Proyeksi Potensi
Strategi Pengaturan Hasil (Penetapan Jatah Produksi Tahunan)
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang
Gambar 1. Skema Kedudukan dan Fungsi PUP Kondisi saat ini, hanya terdapat beberapa IUPHHK yang tetap menjalankan mekanisme yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 237/Kpts-II/1995, seperti pengiriman laporan perkembangan PUP, pengiriman data hasil pengukuran PUP, permohonan analisa data PUP atau permohonan rekomendasi angka riap. Meskipun demikian, berdasarkan uraian tersebut diatas, keberadaan PUP dipandang penting sebagai perangkat pengelolaan hutan produksi lestari. Oleh karena itu, upaya revitalisasi PUP perlu dilakukan dalam rangka melakukan penyelarasan dengan
kebijakan-kebijakan baru dalam pengelolaan hutan, pengoptimalan data-data hasil pengukuran dan analisa PUP sebagai input dalam pengaturan rencana pengelolaan hutan serta mendorong komitmen pemegang IUPHHK untuk melaksanakan pengelolaan hutan produksi lestari dimana PUP adalah salah satu perangkat yang diperlukan. Kebijakan Menteri Kehutanan yang mewajibkan setiap IUPHHK membuat PUP untuk memantau riap dan pertumbuhan sebagai dasar pengelolaan hutan, perlu didukung dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar harapan untuk mewujudkan suatu pengelolaan hutan yang lestari dapat terwujud. Untuk itu sesuai dengan tugas yang diamanatkan dalam surat keputusan tersebut kepada Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi KLHK, data hasil pengukuran PUP yang telah dibuat perlu dilakukan evaluasi, verifikasi, analisa dan selanjutnya dikelola menjadi informasi yang berguna bagi perencanaan pengelolaan hutan. Hasil kegiatan ini diharapkan akan membawa dampak nyata terhadap peningkatan mutu perencanaan pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Dengan tersedianya data riap dan hasil (dari hasil pengukuran dan analisa data pengukuran PUP) penentuan kebijakan pengelolaan hutan produksi seperti panjang daur atau rotasi tebang, jatah tebangan tahunan, limit diameter tebang, dan limit diameter pohon inti akan lebih akurat dan memiliki dasar ilmiah, sehingga mengarah kepada terwujudnya pengelolaan hutan berkelanjutan.