PULIHKAN GAMBUT, PULIHKAN KEMANUSIAAN
PENYELENGGARA
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
HALAMAN SEBELUMNYA
Menyadap karet merupakan salah satu keseharian perempuan di Desa Mantangai Hulu, Kapuas, Kalimantan Tengah. Sembari berjalan menyusuri kebun karet, mereka biasa mengambil aneka macam tumbuhan dan hasil hutan yang mereka temukan di jalan, secukupnya untuk kebutuhan di rumah masing-masing.
Lahan gambut di sebuah desa di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Dokumentasi BRG, 5 Agustus 2016.
Dokumentasi BRG.
HALAMAN INI
MENGENAL GAMBUT
Sekitar 83% dari 27 juta hektar lahan gambut di Asia Tenggara berada di Indonesia. Area ini tersebar di Pulau Sumatera, Papua, dan Kalimantan. Salah satunya adalah ekosistem Danau Panggang di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan ini.
Gambut adalah hamparan yang terbentuk dari
timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan. Semua itu menumpuk selama ribuan tahun, hingga membentuk endapan yang tebal. Gambut umumnya berada di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir. Gambut yang terbentuk di atas tanah liat atau lempung relatif lebih kaya mineral dibanding gambut di atas pasir. Ketebalan gambut penting dipertimbangkan dalam bercocok tanam. Semakin tebal gambut, semakin jauh jarak akar untuk mencapai tanah di bawah gambut. Di gambut dangkal, dengan ketebalan antara 0,5 hingga 1 meter, tanaman bisa mengandalkan pertumbuhannya pada tanah dan air hujan untuk mineral dan zat-zat lain. Namun, di gambut yang tebalnya lebih dari tiga meter, tanaman hanya bisa bergantung pada air hujan.
Dokumentasi BRG, 11 Agustus 2016.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
Manfaat Gambut
Para petani di Desa Paminggir Seberang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, mulai menanam padi pada Agustus. Lahan telah mereka siapkan sejak Mei. Penanaman benih padi di lahan gambut biasanya dilakukan para perempuan. Sebelumnya para lelaki membuka dan membersihkan lahan. Sumber air sawah berasal dari tadah hujan dan kerokan atau teknik irigasi khas petani gambut.
Lahan gambut menjaga kestabilan iklim dunia,
khususnya guna mencegah pemanasan global. Setiap lapisan gambut, dari permukaan terluar hingga terdalam, dapat menyerap gas karbon. Meski hanya mengisi 3% dari luas daratan di muka bumi, lahan gambut dapat menyimpan 550 gigaton karbon. Jumlah ini setara dengan 75% karbon yang ada di atmosfer, atau dua kali jumlah karbon yang dikandung seluruh hutan non-gambut. Dalam skala lokal, lahan gambut berfungsi sebagai pintu air alami. Padat akan serat, lahan gambut bisa menyerap air sebanyak lima sampai lima belas kali bobot keringnya. Pada musim hujan, ekosistem gambut menghalau aliran air, sehingga tidak membanjiri daerah sekitarnya. Pada musim kemarau, gambut berfungsi sebagai cadangan air bagi lahan dan warga sekitarnya.
Dokumentasi BRG, 2 Agustus 2016.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
5
27
JUTA HEKTAR gambut tropis DI Asia Tenggara
83%
di antaranya berada di Indonesia di Pulau
RIAU
KALIMANTAN BARAT
JAMBI
KALIMANTAN TENGAH
SUMATERA SELATAN
KALIMANTAN SELATAN
RIAU LEBIH DARI 60% TERDIRI DARI EKOSISTEM GAMBUT
Kalimantan Tengah 21,98% dari 15.798 juta hektar ADALAH ekosistem gambuT
15-20 ATAU
10,8%
dari luas daratan Indonesia
JUTAAN HEKTAR Luas lahan gambut di Indonesia
2,4
JUTA HEKTAR target restorasi GAMBUT 2016-2020
Sumatera, Kalimantan, dan Papua
2.945
1.205
DESA BERADA DI AREA GAMBUT
DESA terindikasi berada di area restorasi gambut
PAPUA
1-12 METER KETEBALAN RATA-RATA GAMBUT DI BEBERAPA TEMPAT BISA MENcAPAI 20 METER
MENGELOLA GAMBUT
GAMBUT DAN AIR
Selama ini gambut lebih sering dianggap sebagai
tanah tidak produktif yang tergenang air. Banyak pihak menginginkan lahan gambut dikeringkan untuk kemudian dieksploitasi. Hal itu tentu saja bertentangan dengan sifat lahan gambut sebagai lahan basah. Akibat pandangan seperti itu, banyak pemanfaatan lahan gambut yang diawali dengan pembangunan kanal atau parit. Di daratan biasa, kanal atau parit berguna untuk membasahi tanah. Di gambut, sebaliknya. Jutaan kubik air yang tersimpan dalam gambut akan mengalir keluar, dan gambut akan mengering. Kita tidak boleh mengingkari pentingnya keberadaan air bagi ekosistem gambut. Kalau sudah kering, permukaan gambut akan menurun. Pohon dan tanaman tidak dapat berdiri tegak karena akarnya menyembul keluar dari permukaan gambut. Berbagai fauna juga akan kehilangan habitatnya, baik yang berada di permukaan seperti orangutan, maupun yang berada di dalam air seperti ikan. Gambut yang kering juga memantik berbagai bencana. Ia rentan terbakar, karena gambut terdiri dari kayu, ranting, rumput, serta sisa-sisa pohon yang mudah tersulut api. Gambut kering juga kehilangan kemampuannya mengatur kelebihan air pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau.
Tentang Kanal
Kanal merupakan salah satu cara yang banyak
digunakan untuk memanfaatkan lahan gambut yang asam dan basah. Dengan menghubungkan dua sungai, kanal mengeringkan lahan gambut. Lebar kanal beragam. Kanal primer atau kanal utama bisa mencapai 25 meter, sementara kanal lain sekitar 10 meter. Penduduk lokal membuat kanal sebagai akses transportasi ke ladang atau kebun mereka. Kanal-kanal tradisional ini biasanya tidak lebar, hanya seukuran dapat dilewati perahu kecil. Di beberapa tempat, penduduk membuat sekat atau tabat untuk mengatur tata air di lahan gambut.
Tim Badan Restorasi Gambut (BRG) melintasi kanal menuju Hutan Desa Kalawa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Setelah terbakar pada 2015, pohon-pohon di hutan ini mulai tumbuh kembali. BRG, bekerja sama dengan Pelaksana Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan, sedang merancang program yang menjadikan Hutan Desa Kalawa sebagai model percontohan restorasi dan pengelolaan hutan gambut oleh masyarakat. Dokumentasi BRG, 9 Agustus 2016.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
9
Tentang HANDEL
Berbeda dengan kanal, handel tidak merusak gambut. Handel memanfaatkan pasang surut air gambut. Handel dibangun dengan cara membuat saluran masuk secara tegak lurus, dari pinggir sungai menuju ke tengah ladang. Kedalaman handel tidak lebih dari selutut orang dewasa. Lebarnya cukup untuk masuk perahu warga. Pembangunan handel dilakukan melalui musyawarah warga. Mereka mempertimbangkan kondisi lahan gambut yang akan diolah. Tata kelola lahan gambut ini pertama kali digunakan oleh Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Handel sendiri berasal dari kata handil, yang dalam bahasa Banjar berarti gotong royong, yang aslinya merupakan serapan dari bahasa Belanda, andeel, yang artinya berbagi atau bagian.
Taliman (70), Kepala Handel Gandis dari Desa Garung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, menyusuri handel, pada 31 Juli 2016. Dalam tugasnya, dia menyusuri handel bukan hanya untuk berladang, melainkan juga memantau ladang anggota petani. Desa Garung memiliki dua belas handel. Namun, sejak kebakaran hutan gambut pada 2015, banyak ladang dan handel yang terbengkalai. Dokumentasi BRG, 31 Juli 2016.
10
Jambore Masyarakat Gambut 2016
GAMBUT DAN API
Iber Jamal (71) adalah aktivis petani yang juga Mantir Adat Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dia tengah menunjukkan sisa kebakaran di area bekas ladang para petani di desanya. Setelah mengalami kebakaran pada 2015, banyak ladang yang ditinggalkan petani.
Kebakaran di lahan gambut perlu penanganan khusus. Berbeda dengan di lahan mineral, kebakaran di lahan gambut tidak terbatas di permukaan tanah saja. Api bisa menjalar hingga bermeter-meter ke dalam tanah. Ini disebabkan lahan gambut tidak berisi tanah padat, melainkan ranting, rumput, dan sisa-sisa pohon. Karena itu, kebakaran bisa berlangsung selama bermingguminggu, bahkan berbulan-bulan. Kebakaran gambut melepaskan karbon yang tersimpan di lahan gambut. Lahan gambut di Indonesia menyimpan setidaknya 57-60 miliar metrik ton karbon, setara dengan sepertiga cadangan karbon yang ada di seluruh dunia. Hilangnya setengah lahan gambut di Indonesia akan melepaskan sekitar 100 gigaton karbon ke atmosfer. Ini akan mempercepat pemanasan global. Menjaga ekosistem gambut jelas menjadi prioritas. Lahan gambut yang basah adalah lahan gambut yang bebas kebakaran. Ini menjadi tantangan tersendiri. Bukan saja karena praktik kanalisasi yang masih marak, melainkan juga karena naiknya suhu dunia akibat pemanasan global turut mengeringkan lahan-lahan gambut.
Dokumentasi BRG, 30 Juli 2016.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
11
Membakar gambut merupakan praktik yang biasa
Gambut yang kering dan rusak mudah terbakar jika musim kemarau. Salah satu langganan kebakaran adalah Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau. Luas desa itu 10.000 hektar. Sebagian sudah jadi area permukiman. Sebagian lagi sudah dipatok-patok pemilik tanah dari luar desa, yang membiarkan lahannya menjadi semak belukar kering sehingga mudah terbakar. Dokumentasi BRG, 27 Agustus 2016.
dilakukan masyarakat untuk bercocoktanam. Abu hasil pembakaran disebar ke petak yang akan ditanami, untuk menetralisir tingkat keasaman gambut. Namun, dengan kondisi ekosistem gambut yang semakin rusak saat ini, pembakaran gambut dapat memperparah kerusakan. Semakin sering dibakar, permukaan lahan gambut akan menurun, bahkan bisa menyusut ke bawah permukaan air. Timbunan materi organik yang menunjang ekosistem gambut habis terbakar menjadi abu. Selain itu, apabila tidak atau lalai diamankan, kebakaran bisa meluas ke seluruh lahan gambut. Salah satu alternatif adalah melakukan pembakaran di tempat lain. Semak belukar dikumpulkan dalam sebuah drum tertutup lalu dibakar. Di bagian atas drum, terdapat selang yang terhubung ke dasar drum, untuk mengalirkan kembali asap hasil pembakaran ke dalam drum. Setelah dua-tiga jam, akan terbentuk arang yang bisa disebar ke lahan yang akan ditanami. Metode ini telah dicoba di Desa Basarang, Kalimantan Tengah. Dengan metode ini, keutuhan ekosistem gambut tetap terjaga. Api juga dijauhkan dari lahan gambut.
MEMULIHKAN GAMBUT
Gambut memang hanya mengisi sepuluh persen dari daratan Indonesia. Namun, setiap terjadi kebakaran, dampaknya terasa secara nasional bahkan internasional. Pada 2015, 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Asapnya singgah sampai ke Pulau Jawa, bahkan ke negara-negara tetangga. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 221 triliun. 40% dari areal terbakar itu adalah lahan gambut. Kebakaran lahan gambut terjadi karena banyak lahan gambut yang sudah kering dan terkuras. Ini adalah akibat dari pengelolaan lahan yang tidak peka terhadap kekhasan gambut. Memulihkan ekosistem gambut sama dengan menjaga kandungan airnya. Badan Restorasi Gambut mengupayakannya melalui pendekatan tiga 3R: rewetting atau pembasahan gambut, revegetasi atau penanaman ulang, serta revitalisasi sumber mata pencaharian.
Pembasahan Gambut
Masyarakat Peduli Api mengembangkan sejumlah terobosan untuk mengoptimalkan peran sumur bor. Salah satunya adalah sumur bor bermesin motor, sebagai pompa pengganti mesin robin yang berat. Model seperti ini juga untuk mendukung kemudahan mobilitas warga dalam pencegahan dan penanganan kebakaran lahan gambut.
Langkah pertama untuk memulihkan gambut adalah mengembalikan kelembabannya. Lahan gambut yang sudah telanjur kering diatur kembali tata airnya. Diupayakan agar air tidak keluar dari lahan gambut. Sasaran utama pembasahan adalah lahan-lahan gambut yang ada kanal-kanal buatannya. Kanal-kanal buatan itu dipasangi sekat yang terbuat dari kayu. Aliran air dalam kanal akan terhalau dan teralirkan kembali ke lahan gambut di sekitarnya. Selain itu, bilamana diperlukan, kanal-kanal tertentu dapat ditimbun guna mencegah mengalirnya air gambut ke luar. Untuk mendukung proses pembasahan, sumur bor bisa dimanfaatkan, terutama di tempat-tempat yang sulit sumber air. Pada saat gambut mulai mengering, sumur bor menjadi penolong pertama untuk pembasahan. Sumur bor juga dapat mencegah perluasan kebakaran pada musim kemarau.
Dokumentasi Fokker / BRG, 21 Juli 2016.
14
Jambore Masyarakat Gambut 2016
Penanaman Ulang
Idealnya, sekat kanal tidak menghilangkan hak warga. Karena itu, sebelum menyekat suatu kanal, Badan Restorasi Gambut berdiskusi dengan warga setempat, untuk menjelaskan tentang guna sekat kanal sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Sekat kanal di Desa Garug, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah ini bisa dibuka-tutup supaya tidak menutup akses warga. Di kawasan budidaya, model itu dimungkinkan. Namun, untuk kawasan kubah dalam, sekat kanal harus permanen.
Seiring melembabnya gambut, lahan bisa kembali
ditanami, dengan catatan: tanaman tidak mengganggu siklus air dalam ekosistem gambut. Penanaman ulang merupakan proses yang penting untuk menjaga keberlangsungan ekosistem gambut. Tanaman memperkokoh sekat kanal. Ia juga melindungi lahan gambut agar tidak terkikis oleh aliran air kanal. Prioritas utama penanaman adalah tanaman asli ekosistem gambut, seperti jelutung, ramin, pulai rawa, gaharu, dan meranti. Proses pembibitan dan penyemaian benih disesuaikan dengan lokasi dan ketebalan gambut. Prioritas berikutnya adalah tanaman-tanaman yang ramah gambut, seperti kopi, nanas, dan kelapa. Tanaman-tanaman ini punya nilai ekonomi, dan bisa menjadi sumber penghidupan bagi warga sekitar.
Dokumentasi Fokker / BRG, 31 Juli 2016.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
15
Pemberdayaan Ekonomi
Upaya restorasi gambut tidak berhenti pada pemulihan lingkungan hidup. Daya hidup masyarakat sekitar gambut turut menjadi perhatian. Harapannya, ketahanan ekonomi bisa berjalan selaras dengan kesehatan ekologi. Dalam setiap langkah kerjanya, Badan Restorasi Gambut senantiasa berkonsultasi dengan warga. Hakhak warga harus lebih diutamakan. Bersamaan dengan itu, BRG turut membuka ruang diskusi dengan warga terkait pengolahan lahan gambut untuk peningkatan taraf kehidupan mereka. Terpetakan sejumlah kemungkinan. Salah satunya adalah budidaya tanaman-tanaman komoditas yang ramah gambut, seperti sagu, karet, kopi, dan kelapa. Kemungkinan lainnya adalah perikanan dan pariwisata alam—yang sekarang dikenal sebagai ekowisata.
Ikan rawa khas gambut jumlahnya berlimpah. Tidak hanya bisa dikonsumsi untuk lauk, tapi juga bisa dijual, sebagai ikan segar maupun ikan asin. Ini adalah contoh yang banyak ditemukan di salah satu desa di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dokumentasi BRG, 31 Juli 2016.
16
Jambore Masyarakat Gambut 2016
WARGA DAN ALAM GAMBUT
Kadiman (40), Kepala Desa Bungai Jaya di Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah petani nanas. Nanas merupakan salah satu tanaman industri yang ramah terhadap ekosistem gambut. Beberapa wilayah gambut, seperti Rimbo Panjang di Riau dan Bungai Jaya di Kalimantan Tengah, menjadikan nanas gambut sebagai ikon daerah mereka. Dokumentasi BRG, 3 Agustus 2016.
Gambut tidak sebatas “lingkungan hidup”, tapi juga
“lingkungan untuk hidup”. Tercatat hampir tiga ribu desa berada di wilayah gambut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Beberapa warga merupakan penghuni asli, seperti orang Dayak di Kalimantan. Lainnya warga pendatang, biasanya transmigran dari Jawa dan Bali. Sinergi keduanya kerap berujung pada kearifan dan pengetahuan bersama. Orang Dayak mengolah gambut dengan tajak dan menanam padi dengan tungkal. Warga pendatang dari Jawa dan Bali mempelajari teknik menanam tersebut. Kemudian mereka padukan dengan media tanam yang biasa mereka gunakan di kampung halamannya, yakni bedeng atau baluran. Adaptasi menjadi tuntutan yang tak terelakkan untuk hidup di lahan gambut. Bak ilmuwan, masyarakat di wilayah gambut menguji berbagai cara untuk mengolah lahan gambut. Berbagai pertanda alam mereka coba pahami. Mulai dari membaca pasangsurut air gambut hingga menandai naik-turun kadar asam di lahan gambut. Perlu ratusan percobaan sampai akhirnya warga bisa membiakkan tanaman di lahan gambut yang asam.
Keseharian Warga
Masyarakat gambut identik dengan pinggiran sungai. Oleh karenanya rumah apung dan rumah panggung menjadi bentuk hunian yang tepat guna. Ini dapat kita temukan di desa-desa sekitar Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Salah satunya Desa Paminggir.
Kehidupan masyarakat desa di wilayah gambut selalu
berdekatan dengan alam. Hutan, lahan berawa, sungai, dan ladang menjadi keseharian warga setempat. Mengolah berbagai lanskap alam ini jelas penuh tantangan, terlebih lagi kekhasan ekosistem gambut sebagai lahan basah. Walau terlihat sukar diolah, alam gambut selama ini telah menjadi sumber penghidupan yang berkelimpahan bagi warga di sekitarnya. Bagi masyarakat gambut, hutan tak ubahnya pasar atau kulkas pribadi. Kebutuhan harian mereka tercukupi oleh berbagai tanaman dan hasil hutan; dari bahan pangan hingga obat-obatan. Warga bisa mendapatkan sayur asam lewat tumbuhan kalamenyan, atau obat sakit kepala dan pelepas lelah melalui pohon kayu tulang. Mereka hanya membeli apa yang tidak mereka tanam atau yang tidak tumbuh di hutan. Air di lahan gambut turut menjadi sumber penghidupan. Meski tidak selalu dekat dengan laut, gambut selalu berlimpah dengan ikan. Warga biasa menangkap ikan setelah berladang, baik untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar.
Dokumentasi BRG, 12 Agustus 2016.
18
Jambore Masyarakat Gambut 2016
Sri Eldawati (kiri), Evi A Ugus (tengah), dan Nerie Nihen (kanan) tengah mengambil rotan yang bersulur di antara pohon-pohon karet di Desa Mantangai Hulu, Kapuas, Kalimantan Tengah. Di masyarakat gambut, perempuan memegang peranan penting. Selain mengurus rumah tangga, mereka biasa berladang, menganyam rotan, menyadap karet, hingga mengendarai perahu. Dokumentasi BRG, 5 Agustus 2016.
Kebakaran hutan pada 2015 silam mengganggu kehidupan warga. Salah satunya anak-anak di Desa Talekung Punai, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Api sempat mendekati kebun di belakang rumah mereka. “Takut,” demikian kebanyakan jawaban dari mereka. Meski begitu, anak-anak ini tetap semangat bersekolah, bermain, dan membantu orangtua mereka. Dokumentasi BRG, 2 Agustus 2016.
Pasar menjadi etalase bagi hasil olahan masyarakat gambut. Salah satunya Pasar Kamis, Amuntai, Kalimantan Selatan. Berbagai anyaman rotan, purun, dan eceng gondok digelar dan dijajakan. Pasar Kamis biasanya mulai ramai sejak lepas subuh dan baru berangsur sepi pada jam sepuluh pagi. Dokumentasi BRG, 11 Agustus 2016.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
19
Para ibu sedang membuat tas yang berasal dari purun di Desa Perigi Talang Nangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Dokumentasi EPISTEMA.
Bercocok Tanam
Sebelum ditanami, lahan gambut perlu dibersihkan terlebih dahulu menggunakan tajak. Awalnya dipakai suku Dayak, tajak merupakan perkakas wajib bagi para petani gambut. Salah satunya Suharto, mantan Kepala Desa Talekung Punai, Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah, yang tengah menyiapkan lahannya untuk ditanami padi.
Bercocok tanam di lahan gambut butuh kecermatan tersendiri. Lahan gambut punya kadar asam yang tinggi, yang sejatinya kurang ideal bagi pertumbuhan tanaman. Untuk menanam padi, petani-petani di Kalimantan biasa menyiapkan lahan mereka dengan tajak, sejenis parang panjang untuk menebas gulma dan membalik tanah. Gulma-gulma yang ditebas kemudian dikumpulkan, dibentuk seperti bola, lalu dibiarkan terendam. Setelah beberapa lama, bola-bola gulma ini dicacah kemudian disebar ke permukaan ladang yang akan ditanami. Proses ini dapat menurunkan keasaman tanah, juga mencegah terbentuknya asam. Untuk tananam selain padi, petani biasanya membuat tukungan atau tongkongan, alias timbunan tanah berbentuk persegi panjang setinggi 5-10 cm dari permukaan air. Bibit ditanam di atas tukungan supaya tidak terendam atau kelebihan air. Teknik ini biasa dipakai untuk budidaya kelapa, karet, jeruk, nanas, dan tanaman tahunan lainnya.
Dokumentasi BRG, 2 Agustus 2016.
22
Jambore Masyarakat Gambut 2016
Flora dan Fauna
Kopi liberika (coffea liberica) Bentuk pohon kopi liberika serupa dengan kopi arabika. Bedanya, kopi liberika bisa tumbuh di dataran rendah seperti lahan gambut. Di Indonesia, kopi liberika banyak ditemukan di Jambi, salah satunya Desa Mekar Jaya. Desa ini merupakan desa percontohan untuk pengembangan perkebunan ramah gambut, sebagai upaya untuk menyokong hutan lindung gambut Bram Hitam.
Gambut kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Di Sumatera, lebih dari 300 jenis tumbuhan dijumpai di hutan rawa gambut. Dalam kawasan Taman Nasional Berbak di Jambi, tercatat lebih dari 160 jenis tumbuhan. Tidak sedikit dari tumbuhan-tumbuhan ini yang memiliki harga jual tinggi, seperti ramin, jelutung, dan meranti. Namun, akibat kegiatan penebangan yang tidak terkendali belakangan ini, keberadaan tanamantanaman tersebut terancam punah. Gambut juga rumah bagi berbagai jenis fauna. Tercatat 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan ditemukan di lahan gambut. Beberapa fauna kini termasuk dalam spesies yang dilindungi, seperti orangutan, harimau Sumatera, dan beruang madu.
DOkumentasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, 19 Maret 2015.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
23
Sagu (metroxylon sagu) Bagi warga Indonesia, sagu dikenal sebagai salah satu makanan pokok, selain nasi dan kentang. Bagi lahan gambut, sagu bisa berperan dalam membantu restorasi gambut. Sagu dapat tumbuh di genangan air, sehingga cocok untuk ditanam di gambut. Setelah tumbuh besar, tanaman sagu dapat berkontribusi menambah lapisan materi organik di lahan gambut, seperti sagu di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau ini.
Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) Seekor harimau Sumatera ditemukan terjerat oleh perangkap di kawasan hutan tanaman industri Dusun Sungai Medang, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Riau. Kondisinya mengenaskan. Tubuhnya lemas dan penuh luka. Harimau Sumatera merupakan salah satu satwa dilindungi. Populasinya kian langka akibat perburuan untuk perdagangan satwa ilegal serta pembabatan hutan untuk lahan perkebunan.
Dokumentasi BRG, 23 Oktober 2016. Foto: Melvinas Priananda.
Orangutan (pongo abelii dan pongo pygmaeus) Beda wilayah, beda bentuknya. Orangutan Sumatera badannya lebih kecil, dan warna kulitnya lebih cerah dibanding orangutan Kalimantan. Para ilmuwan pun memberi nama yang berbeda: pongo abelii untuk orangutan Sumatera, pongo pygmaeus untuk orangutan Kalimantan. Beberapa tahun belakangan, orangutan kehilangan habitat asli mereka akibat konversi dan kebakaran hutan gambut. Populasinya kian terancam dengan maraknya perburuan dan perdagangan satwa ilegal. Foto: Purwo Kuncoro.
Jambore Masyarakat Gambut 2016
25
Pohon Pinang (areca catechu). Dulu pohon pinang dikenal sebagai tanaman pembatas lahan. Kini pohon pinang dianggap sebagai komoditas ekonomi yang cukup bernilai. Bijinya berkhasiat sebagai obat, sementara batangnya bisa diolah untuk membuat pagar dan berbagai perkakas. Di Desa Sungai Beras, Jambi, pohon pinang kini menjadi tanaman pokok, menggeser sawit yang sebelumnya menjadi favorit petani setempat. Ini jelas perkembangan positif, mengingat pohon pinang jauh lebih ramah gambut dibanding sawit. Dokumentasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, 20 Agustus 2015
JAMBORE MASYARAKAT GAMBUT 2016 Badan Restorasi Gambut (BRG) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Jambi, Tim Restorasi Gambut Jambi, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil, menggelar Jambore Masyarakat Gambut, pada 5-7 November, di GOR Kotabaru, Kota Jambi. Jambore ini diikuti sekitar 1.000 peserta yang terdiri dari petani, perangkat desa, Masyarakat Peduli Api dan pendamping LSM dari Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua. Jambore ini merupakan tempat masyarakat saling berbagi pengetahuan, pengalaman dalam pengelolaan gambut yang ramah, berkeadilan dan mengedepankan kearifan lokal. Masyarakat mempunyai pengetahuan sistem hidrologi alami di lahan gambut. Sistem handel dan tabat/sekat di Kalimantan Tengah dan Selatan terbukti dapat menjaga gambut tetap basah. Tanaman lokal yang dibudidayakan di lahan gambut juga mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan yang baik. Jambore Masyarakat Gambut mewadahi beragam aktivitas. Di antaranya adalah dialog kebijakan, forum aksi dan panggung inovasi rakyat, pondok belajar gambut, sudut pengetahuan, nonton bareng dan diskusi, dan pameran. Buklet ini merupakan bagian dari distribusi pengetahuan mengenai gambut kepada khalayak umum.
BUKLET JAMBORE MASYARAKAT GAMBUT 2016 Kepala Penerbitan: Myrna A. Safitri Kepala Redaksi: Musfarayani Redaktur: Ardi Yunanto Penulis: Adrian Jonathan Pasaribu Desain: Ardi Yunanto & JJ Adibrata
BADAN RESTORASI GAMBUT Badan Restorasi Gambut (BRG) adalah lembaga non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Badan ini dibentuk pada 6 Januari 2016, melalui Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016. Pembentukan BRG adalah bukti keseriusan Pemerintah Indonesia dalam memulihkan ekosistem gambut yang rusak. Kerusakan gambut tidak lepas dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama hampir 18 tahun terakhir, yang berpuncak pada 2015. Fungsi dan tugas BRG adalah mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut di wilayah prioritas: Provinsi Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua. BRG ditargetkan merestorasi gambut Indonesia yang rusak seluas kurang lebih dua juta hektar.
PENDUKUNG
JARINGAN MASYARAKAT GAMBUT SUMATERA
REKANAN MEDIA
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Jambore Masyarakat Gambut 2016 PANGGUNG INOVASI DAN SENI BUDAYA, PONDOK BELAJAR, PAMERAN, BILIK KOMUNITAS, DAN BAZAR SABTU-SENIN, 5-7 NOVEMBER 2016, PUKUL 08.00-18.00 WIB G.O.R KOTABARU, KOTA JAMBI, JAMBI SUMATERA, INDONESIA
Website: www.brg.go.id Fanpage: Badan Restorasi Gambut Instagram: @BRG_Indonesia Twitter: @BRG_Indonesia Youtube: Badan Restorasi Gambut - BRG G+: Badan Restorasi Gambut-BRG