PUBLIKA Jurnal Ilmiah Administrasi Negara ISSN 1412-291 X Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015 Penasehat Rektor Universitas Madura Penanggung Jawab Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Ketua Penyunting Achmad Imam, S.Sos., M.Si Wakil Ketua Penyunting Erina Syaputri, S.Sos. Penyunting Pelaksana DR. Taufiq Hidayat, S.Sos., M.Si. Dra. Hj. Titien Sulistiawaty, M.Si Fajar Surahman, S.Sos., M.Si Dra. Helda Yusita, M.Psi Rahmat Kurniadi Suroso, S.Sos., M.Si Abdurahman, S.Sos., M.PSDM Penyunting Ahli (Mitra Bestari) Drs. H. Amiril M.Si, M.Si (UNIRA) Drs. Kadarisman Sastrodiwirdjo, M.Si (UNIRA) DR. Hermawan, M.Si. (UNIBRAW) DR. Lely Indah, M.Si. (UNIBRAW) Pelaksana Tata Usaha Akhmad Kusairi, S.Sos Alamat Penyunting : P-JIAN Management Fakultas Ilmu Adminitrasi Universitas Madura Jalan Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan – Madura Telp. (0324) 322231, Fax. 0342 327418
PETUNJUK PENULISAN JURNAL ILMIAH PUBLIKA 1. Judul Naskah, maksimum 12 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa inggris tergantung bahasa yang digunakan untuk menulis naskah lengkapnya. 2. Nama Penulis, ditulis dibawah judul (disertakan pula nama jabatan, contoh: sebagai Dosen Unira dan Direktur Forum Komunikasi Intelektual Muda Muslim Madura). 3. Abstrak ditulis dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris tidak lebih dari 20 baris ketik, dibawah abstrak disertakan 3-5 kata kunci. 4. Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai. 5. Pembahasan, berisikan analisis terhadap permasalahannya. 6. Penutup, berisikan kesimpulan dan saran. 7. Daftra Pustaka, ditulis dengan mengikuti urutan secara alfabetis dan kronologis. Contoh: Abdul Wahab, Solichin, 1997, Evaluasi Kebijakan Publik, IKIP Malang. Surahman F, 2007, Mencermati Kinerja Birokrasi Publik, Jurnal Ilmiah Admnistrasi Publik “PUBLIKA”, Nomor 1, Tahun 1, Juli 2007. 8. Naskah diketik dengan mengikuti aturan penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (Depdikbud, 1987), spasi 1,5 (satu setengah) diketik pada kertas HVS ukuran A4, panjang tulisan 15-30 halaman. Naskah diserahkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum bulan penerbitan dalam bentuk CD/Flesdis ke alamat redaksi. 9. Redaksi berhak memperbaiki penulisan naskah tanpa mengubah isi naskah tersebut. Semua data, pendapat atau pernyataan yang terdapat pada naskah merupakan tanggung jawab penulis.
Alamat Redasi / Penerbit : P-JIAN Management Fakultas Ilmu Adminitrasi Universitas Madura Jalan Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan – Madura Telp. (0324) 322231, Fax. 0342 327418
JURNAL ILMIAH ADMINISTRASI NEGARA ISSN 1412-291 X Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Daftar Isi
i
Kata Pengantar
ii
Perbedaan Persepsi Tentang Keterlibatan Kia dalam Pemerintahan Antara Mahasiswa Santri Dengan Mahasiswa Non-Santri di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Madura Drs. Abdul Roziq, MH. Reformasi Politik dan Administrasi Negara dalam Birokrasi Pemerintahan Achmad Imam S.Sos., M.Si.
(1-22)
(23-34)
(35-46)
Membangun Wirausaha Dra. Hj. Titien Sulistiawaty, M.Si. Keterampilan Sosial (Social Skills) Kepala Daerah Kabupaten Sampang dalam Resolusi Konflik Antara Jama’ah Syiah dan Sunni Abdurrahman, S.Sos., M.PSDM
(47-64)
Pengembangan Model Komitmen Dalam Hubungan Kerja Tenaga Pengelola Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Pada Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo E. Priastono Herlambang, S.Sos., M.PSDM
(65-82)
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
i
KATA PENGANTAR
Kehadiran sebuah jurnal ilmiah, terutama bagi masyarakat akademik, merupakan kebutuhan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu. Kebutuhan ini berangkat dari tuntutan masyarakat ilmiah untuk senantiasa mendapat berbagai informasi ilmiah baru baik yang didapatkan dari kajian literatur ataupun berbagai hasil penelitian sebagai upaya pengayaan referensi ilmu pengetahuan. Penerbitan “Jurnal Publika” sebagai Jurnal Ilmiah Administrasi Negara yang diterbitkan Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Madura merupakan bagian dari ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui penerbitan ini berbagai perspektif teoritis maupun empiris yang berkaitan dengan berbagai dimensi persoalan Administrasi Negara disajikan baik dalam bentuk telaah teoritis maupun hasil penelitian baik yang dilakukan dosen maupun mahasiswa. Berbagai topik tersebut disajikan terutama untuk memberikan wawasan terbarukan baik dalam konteks pemahaman teoritik maupun empiris yang berkembang dalam Ilmu Administrasi Negara. Sebagai sebuah terbitan yang sifatnya sederhana, kami berharap bahwa terbitan jurnal pada edisi ini dapat memberikan kepuasan bagi khalayak pembaca. Namun kami juga sangat menyadari, bahwa mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki, sangat mungkin dalam terbitan ini didapati berbagai kekurangan dan kelemahan. Karenanya segala bentuk umpan balik dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan senantiasa kami harapkan.
Ketua Penyunting, Achmad Imam, S.Sos., M.Si ii
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
PERBEDAAN PERSEPSI TENTANG KETERLIBATAN KIAI DALAM PEMERINTAHAN ANTARA MAHASISWA SANTRI DENGAN MAHASISWA NON-SANTRI DI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MADURA Abdul Roziq*) Dosen Universitas Madura
Abstract Most of the students of the Faculty of Education University of Madura, derived from Madura community environment, which looked at religious education (Islam) as a fundamental factor in shaping the quality of their children's self. Therefore - especially rural communities - many of which incorporate their children as boarding students in educational institutions, as well as to public educational institutions. It is hoped their children would get the religious knowledge, as well as general knowledge sufficient. While in boarding awakened a deep personal relationship between students with the Kiai as educators, caregivers pesantrean institutions, and role model who appreciated as the heir of the Prophet. It affects the perception of the students of the behavioral attitude Kiai. However, the development of insight and knowledge students can influence the formation of a more critical perception of the behavior of Kiai, especially in the context of politics and government. Critical power will be more refined when the students go on to higher education. Moreover, the facts show that there is little Kiai ternytata governmental power holders are not trustworthy, and soluble in worldly temptations. Reflections from the above facts will bear two different views, namely: first, a view which still tolerate or even support Kiai to play a role in the political and governmental power; second, the views are less or even not agree Kiai role in the political and governmental power. Community, including students, have the right to build the perception of each. From the description above, the issues to be studied are: What differences in perceptions of the role of government Kiai between Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
1
students students students with non-students at the University FKIP Madura? The purpose of this study was to determine the differences in the perception of the role of government Kiai between students Pupils and students of non-students at the University FKIP Madura. The method of data collection was a questionnaire (main method), and interviews (keriterium method). Data were analyzed using qualitative techniques: inductive, comparative, and interpretive. The conclusion that the majority of students students and nonstudents looking at student involvement in governmental power Kiai (lehgislatif and executive) is not proper / ideal. But there is a difference in tolerance, namely: 1. The majority of students do not view student involvement in power pemerinta Kiai-han as the ideal thing (questionnaire option 1), but they tolerate (questionnaire option 3) because it is the right of the Kiai as a citizen, of course with some expectations that should be met by Kiai . This option is supported by 66.6% for the legislative power, and 56.0% for the executive power. It is rooted in personal relationships and respect for Kiai 2. The majority of the students of non-students looked involvement in power pemerinta Kiai-han as so not ideal / not supposed to (poll option 2). This option 84.3% support for legislative power, and 76.4%) for the executive power.
Pendahuluan Sebagian terbesar mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Madura, lahir dan berkembang di dalam lingkungan komunitas (masyarakat) Madura. Bagi masyarakat Madura pendidikan keagamaan (baca: agama Islam) merupa-kan hal penting dan fundamental dalam membentuk anak-anak mereka menjadi anak sholih/sholihah. Masyarakat Madura memandang anak sholih/sholihah merupakan asset yang terus mengalir dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, baik bagi si anak sendiri maupun bagi orang tuanya. Karena itu di samping pagi hari menuntut ilmu di 2
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Sekolah Dasar, siang harinya anak-anak mereka disekolahkan di Madarasah Ibtidaiyah atau Madrasah Diniyah, dan senja hari belajar ngaji di masjid atau surau. Jika kondisi ekonomi tidak memungkinkan mereka mencukupkan pendidikan anak-anak mereka di Madrasah dan ngaji di masjid atau surau. Selanjutnya setamat SD/Madrasah anak-anak mereka dimasukkan ke lembaga pendidikan pesantren, terutama yang memiliki lembaga pendidikan formal setingkat SMP/M.Ts. dan/ atau SMA/MA/SMK. Dengan demikian anak-anak mereka diharapkan memiliki bekal pengetahuan keagamaan sekaligus pengetahuan umum yang cukup. Pesantrean dan semua institusi yang ada di dalamnya, seperti masjid dan lembaga pendidikan formal, adalah suatu kelembagaan yang berada di bawah binaan dan kewena-ngan Kiai. Kiai-lah sosok pemimpin tertinggi dalam lingkup pesantren. Di mata para san-trinya, Kiai adalah sosok panutan yang berhasil membangun performance keagungan diri dalam relasi guru dan murid. Sebuah relasi khas yang terpatri di dalam sanubari sepan-jang hayat si santri. Bukan hanya kepada Kiai yang secara langsung menjadi gurunya, juga dalam batas-batas tertentu juga kepada para Kiai yang lain. Telah difahami oleh masyarakat Madura bahwa Kiai (baca: Ulama) adalah pewaris Nabi. Apalagi para Kiai di Madura umumnya masih ada hubungan kekerabatan. Tidak dipungkiri, hal tersebut akan mempengaruhi persepsi para santri terhadap sikap prilaku Kiai. Tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi bisa saja mempengaruhi terbentuknya persepsi yang lebih kritis terha-dap prilaku Kiai, terutama prilaku dalam konteks politik dan pemerintahan. Daya kritis akan semakin terasah ketika sang santri melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Faktanya memang menunjukkan bahwa tidak sedikit Kiai yang memang-ku kekuasaan tidak mampu mempertahankan idealismeVol. 7, Nomor 1, Januari 2015
3
religiusitas, dan larut dalam godaan-godaan duniawiyah. Refleksi dari kenyataan di atas akan melahir-kan dua pandangan yang berbeda, yaitu : pertama, pandangan yang tetap mento-lerir atau bahkan mendukung Kiai untuk berperan dalam politik dan kekuasaan pemerintahan; kedua, pandangan kurang atau bahkan tidak setuju Kiai berperan dalam politik dan kekuasaan pemerintahan, karena bagi mereka maqam Kiai adalah ditengah-tengah kehidupan ummat sebagai pencerah, tauladan, guru, pelindung, dan pengayom dalam urusan duniawi dan ukhrawi. Masyarakat ― termasuk mahasiswa ― tentu punya hak untuk membangun sebuah persepsi dalam menyikapi kenyataan di atas. Dari uraian di atas dapat dirumuskan sebuah permasalahan yang menarik, yaitu : Bagaimanakah Perbedaan Persepsi Tentang Peran Kiai dalam Peme-rintahan Antara Mahasiswa yang Santri dengan Mahasiswa Non Santri di FKIP Universitas Madura ?, dan bertujuan untuk mengetahui perbedaan persepsi tentang peran Kiai dalam pemerintahan antara mahasiswa santri dengan mahasiswa non santri di FKIP Universitas Madura. Berikut akan dibahas perbedaan persepsi mahasiswa santri dan mahasiswa non-santri terhadap keterlibatan Kiai di dalam pemerintahan baik kekuasaan legislatif maupun eksekutif berdasar data hasil angket. 1. Tentang Keterlibatan Kiai dalam kekuasaan legislatif. Data hasil angket tentang perbedaan persepsi mahasiswa santri dan maha-siswa non-santri terhadap keterlibatan Kiai di dalam pemerintahan baik kekuasaan legislative dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
4
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Tabel 1 DATA PERSEPSI MAHASISWA SANTRI DAN MAHASISWA NON-SANTRI YANG SETUJU TERHADAP KETERLIBATAN KIAI DALAM KEKUASAAN LEGISLATIF
Opsi / Alasan: 1 1. Kiai seharusnya terlibat dalam kekuasaan legislatif, karena :
Mhs.Santri ( 66 mhs) 2 20 mhs (30,3%)
a. Lebih mudah pengaruhi kebijakan pemerintah yang 8 dari 20 Islami b. Dapat berdakwah lebih efektif melalui kekuasaan 2 dari 20 legislative c. Mampu lakukan peran ganda (peng-ayom umat) 7 dari 20 dan pelaku kekuasaan d. Mampu hindari konflik politik/ kepentingan dan godaan 5 dari 20 duniawi e. Kiai tidak akan kehilangan kharisma sebagai panutan 3 dari 20 umat 2. Kiai seharusnya tidak terlibat dalam kekuasaan legislatif, 6 mhs (9,1%) karena: a. Sulit untuk tidak lakukan keberpiha-kan pada salah 5 dari 6 satu golongan b. Tidak lagi mampu berda’wah 4 dari 6 secara intensif dan efektif c. Tidak akan mampu lakukan peran ganda: sebagai 2 dari 6 pengayom umat dan pelaku kekuasaan legislatif
Mhs.NonSantri ( 89 mhs) 3 2 mhs (2,2%)
1 dari 2
0 dari 2
0 dari 2
1 dari 2
0 dari 2 75 mhs (84,3%) 17 dari 75 25 dari 75
29 dari 75
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
5
1 d. Tidak akan mampu hindari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi e. Kiai akan kehilangan kharisma sebagai pigur panutan umat 3. Boleh saja Kiai terlibat dalam kekuasaan legislatif, karena : a. Merupakan hak Kiai sebagai warga Negara Indonesia b. Asalkan Kiai tidak lakukan keberpi-hakan & tetap menganyomi umat c. Asalkan Kiai tidak melalaikan tugas berdakwah sebagai tugas utamanya d. Asal Kiai mampu lakukan peran ganda: sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan e. Asal Kiai mampu menghindar dari konflik politik dan godaan duniawi
2
3
5 dari 6
42 dari 75
5 dari 6
10 dari 75
40 mhs (60,6%)
12 mhs (13,5%)
28 dari 40
4 dari 12
13 dari 40
2 dari 12
11 dari 40
1 dari 12
31 dari 40
5 dari 12
20 dari 40
3 dari 12
Berdasar data pada Tabel 1 di atas dapat diketahui perbedaan persepsi yang signifikan antara mahasiswa santri dengan mahasiswa non-santri terhadap keterlibatan Kiai dalam kekuasaan legislatif, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Untuk opsi 1: Kiai seharusnya terlibat dalam kekuasaan legislatif: * Mahasiswa santri : 20 dari 66 mahasiswa (30,3%) setuju, alasan: > 8 dari 20 responden yakin bahwa Kiai akan lebih mudah pengaruhi kebijakan pemerintahan yang Islami (alasan a)
6
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
> 7 dari 20 responden yakin Kiai mampu melakukan peran ganda dengan baik, yaitu sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan (alasan c) > 5 dari 20 responden yakin Kiai mampu hindari konflik politik/kepenti-ngan dan godaan duniawi (alasan d) > 3 dari 20 responden yakin Kiai tidak akan kehilangan kharisma seba-gai panutan umat (alasan e) > 2 dari 20 responden yakin Kiai dapat berdakwah lebih efektif melalui kekuasaan legislatif (alasan b) * Mahasiswa non-santri: hanya 2 dari 89 mahasiswa santri (2,2%) yang setuju, dengan alasan: > 1 dari 2 responden yakin bahwa Kiai akan lebih mudah pengaruhi kebijakan pemerintahan yang Islami (alasan a) > 1 dari 2 responden yakin Kiai mampu hindari konflik politik/kepenti-ngan dan godaan duniawi (alasan d) 2. Untuk opsi 2: Kiai tidak seharusnya terlibat dalam kekuasaan legislatif: * Mahasiswa santri : 6 dari 66 mahasiswa santri (9,1%) setuju, dengan alasan: > 5 dari 6 responden yakin bahwa dengan keterlibatan dalam lembaga politik (legislatif) Kiai telah melakukan keberpihakan pada kekuatan politik tertentu. (alasan a) > 5 dari 6 responden yakin bahwa Kiai sulit menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan d) > 5 dari 6 responden yakin Kiai akan kehilangan kharisma sebagai panu-tan umat (alasan e) > 4 dari 6 responden yakin bahwa Kiai tidak mungkin lagi dapat berdak-wah secara efektif (alasan b)
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
7
> 2 dari 6 responden yakin bahwa Kiai tidak mungkin mampu melaku-kan peran ganda dengan baik, yaitu sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan (alasan c) * Mahasiswa non-santri: 75 dari 89 mahasiswa santri (84,3%) yang setuju, dengan alasan: > 42 dari 75 responden yakin bahwa Kiai sulit menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan d) > 29 dari 75 responden yakin bahwa Kiai tidak mungkin mampu mela-kukan peran ganda dengan baik, yaitu sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan (alasan c) > 25 dari 75 responden yakin bahwa Kiai tidak mungkin lagi dapat berdak-wah secara efektif (alasan b) > 17 dari 75 responden yakin bahwa dengan keterlibatan dalam lembaga politik (legislatif) Kiai telah melakukan keberpihakan pada kekuatan politik tertentu. (alasan a) > 10 dari 75 responden yakin Kiai akan kehilangan kharisma sebagai panu-tan umat (alasan e) 3. Untuk opsi 3: Boleh saja (terserah) Kiai untuk terlibat dalam kekuasaan legislatif, dengan alasan : * Mahasiswa santri : 40 dari 66 mahasiswa santri (60,6%) setuju, dengan alasan: > 31 dari 40 responden setuju asalkan Kiai mampu melakukan peran ganda sebagai pengayom umat dai satu pihak, dan sebagai pelaku kekuasaan legislatif di lain pihak (alasan d) > 28 dari 40 responden setuju karena sebagai warga negara Kiai memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan (alasan a) 8
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
> 20 dari 40 responden setuju asalkan Kiai mampu menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan e) > 13 dari 40 responden setuju asalkan Kiai mampu tidak melakukan keberpihakan pada kelompok tertentu di tengah umatnya (alasan b) > 11 dari 40 responden setuju asalkan Kiai mampu tidak mengabaikan peran utamanya yaitu berdakwah (alasan c) * Mahasiswa non-santri: 12 dari 89 mahasiswa santri (13,5%) yang setuju, dengan alasan: > 5 dari 12 responden setuju asalkan Kiai mampu melakukan peran ganda sebagai pengayom umat dai satu pihak, dan sebagai pelaku kekuasaan legislatif di lain pihak (alasan d) > 5 dari 12 responden setuju asalkan Kiai mampu menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan e) > 4 dari 12 responden setuju karena sebagai warga negara Kiai memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan (alasan a) > 2 dari 12 responden setuju asalkan Kiai mampu tidak melakukan keberpihakan pada kelompok tertentu di tengah umatnya (alasan b) > 1 dari 12 responden asalkan Kiai mampu tidak mengabaikan peran utamanya yaitu berdakwah (alasan c) Dari Tabel 1 di atas juga dapat diperbandingkan peringkat dukungan terhadap opsi yang tersedia dari mahasiswa santri dan mahasiswa non-santri, yaitu:
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
9
Tabel 2 PERBANDINGAN PERINGKAT DUKUNGAN TERHADAP SETIAP OPSI TENTANG KETERLIBATAN KIAI DALAM LEGISLATIF Peringkat Dukungan Pertama Kedua Ketiga
Mahasiswa Santri
Mahasiswa Non-Santri
Opsi 3: 40 dari 66
Opsi 2: 75 dari 89
(60,6%)
(84,3%)
Opsi 1: 20 dari 66
Opsi 3: 12 dari 89
(30,3%)
(13,5%)
Opsi 2: 6 dari 66
Opsi 1: 2 dari 89
(9,1%)
(2,2%)
Dari Tabel 2 di atas ternyata: 1. Mayoritas responden mahasiswa santri (60,6%) memandang keterlibatan Kiai dalam kekuasaan legislatif boleh-boleh saja (opsi 3), asal mampu mempertahankan citra, eksistensi, dan tugas utama Kiai sebagai pengayom dan pencerah umat. Sedang dari responden mahasiswa non-santri opsi 3 hanya memperoleh 13,5%. 2. Mayoritas
mahasiswa
non-santri
(84,3%)
memandang
keterlibatan Kiai dalam kekuasaan legislatif sebagai hal yang tidak seharusnya (Opsi 2), karena sangat berpeluang merusak citra, eksistensi, serta terlalaikannya tugas utama Kiai sebagai pengayom
dan
pencerah
umat.
Sedang
dari
kalangan
responden mahasiswa santri opsi ini hanya memperoleh dukungan 9,1%. 3. Perbedaan sangat signifikan juga persepsi bahwa keterlibatan Kiai 10
dalam
kekuasaan
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
legislatif
merupakan
hal
yang
seharusnya (Opsi 1). Dukungan responden mahasiswa santri hanya 30,3% (peringkat kedua), sedang dari mahasiswa nonsantri hanya memperoleh dukungan 2,2% (pewringkat ketiga). Paparan di atas mengindikasikan bahwa bagi kedua kelompok responden keterlibatan Kiai dalam kekuasaan legislatif dipandang sebagai hal kurang idel. Perbedaan persepsi antara kedua kelompok responden adalah: * Bagi responden mahasiswa santri keterlibatan Kiai dalam legislatif walaupun dipandang kurang ideal tetapi tetap sangat ditoreransi
(Opsi
3
=
66,6%)
tentu
dengan
beberapa
persyaratan yang mengandung harapan. Ini merupakan wujud penghormatan santri kepada Kiai * Bagi responden mahasiswa non-santri keterlibatan Kiai dalam kekuasaan legislatif sangat tidak ideal dan dipandang sebagai hal yang tidak seharusnya (Opsi 2 = 84,3%). Pandangan demikian ternyata tanpa toleransi yang terbukti dukungan pada opsi 3 hanya 13,5%. 2. Tentang Keterlibatan Kiai dalam kekuasaan eksekutif. Data hasil angket tentang perbedaan persepsi mahasiswa santri dan maha-siswa non-santri terhadap keterlibatan Kiai di dalam pemerintahan baik kekua-saan eksekutif dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
11
Tabel 3 DATA PERSEPSI MAHASISWA SANTRI DAN MAHASISWA NON-SANTRI YANG SETUJU TERHADAP KETERLIBATAN KIAI DALAM KEKUASAAN EKSEKUTIF Opsi/Alasan
Mhs. Santi ( 66 mhs)
Mhs. Santi ( 89 mhs)
[
1 2 3 1. Kiai seharusnya terlibat dalam kekuasaan eksekutif, 11 mhs (16,7%) 3 mhs (3,4%) karena : a. Lebih mudah pengaruhi pelaksa-naan 7 dari 11 0 dari 3 pemerintahan yang Islami b. Dapat berdakwah lebih efektif melalui kekuasaan 4 dari 11 0 dari 3 eksekutif c. Mampu lakukan peran ganda sebagai pengayom 1 dari 11 3 dari 3 umat dan pelaku pemerintahan d. Mampu hindari konflik politik/ kepentingan & 1 dari 11 1 dari 3 godaan duniawi e. Kiai tidak akan kehilangan kharisma sebagai 0 dari 11 0 dari 3 panutan umat 2. Kiai seharusnya tidak 68 mhs terlibat da-lam kekuasaan 18 mhs (27,3%) (76,4%) eksekutif, karena: a. Kiai sulit untuk tidak lakukan ke-berpihakan ke 7 dari 18 20 dari 68 golongan tertentu b. Tiadak lagi mampu berda’wah secara intensif 9 dari 18 24 dari 68 dan efektif c. Tidak akan mampu melakukan peran ganda 8 dari 18 35 dari 68 sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan 12
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
1 d. Tidak akan mampu menghindar-kan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi e. Kiai akan kehilangan kharisma sebagai pigur panutan umat 3. Boleh saja (terserah) Kiai terlibat dalam kekuasaan eksekutif, : a. Karena merupakan hak Kiai sebagai warga Negara Indonesia b. Asalkan Kiai tidak lakukan keberpihakan dan tetap menganyomi seluruh umat c. Asalkan Kiai tidak melalaikan tugas utamanya : berdakwah se d. Asal Kiai mampu lakukan peran ganda sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan e. Asal Kiai mampu menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi
2
3
6 dari 18
36 dari 68
8 dari 18
10 dari 68
37 (56,0%)
18 (20,2%)
26 dari 37
9 dari 18
18 dari 37
7 dari 18
10 dari 37
3 dari 18
25 dari 37
8 dari 18
19 dari 37
7 dari 18
Berdasar data pada Tabel 3 di atas dapat diketahui perbedaan persepsi yang signifikan antara mahasiswa santri dengan mahasis-wa non-santri terhadap keterlibatan Kiai dalam kekuasaan eksekutif, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Untuk opsi 1: Kiai seharusnya terlibat dalam kekuasaan eksekutif: Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
13
* Mahasiswa santri : 11 dari 66 mahasiswa santri (16,7%) setuju, dengan alasan: > 7 dari 11 responden yakin bahwa Kiai akan lebih mudah pengaruhi kebijakan pemerintahan yang Islami (alasan a) > 4 dari 11 responden yakin Kiai Dapat berdakwah lebih efektif melalui kekuasaan eksekutif (alasan b) > 1 dari 11 responden yakin Kiai mampu lakukan peran ganda sebagai pengayom umat dan pelaku pemerintahan (alasan c) > 1 dari 11 responden yakin Kiai mampu menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan d) * Mahasiswa non-santri: hanya 3 dari 89 mahasiswa santri (3,4%) yang setuju, dengan alasan: > 3 dari 3 responden yakin bahwa Kiai Mampu lakukan peran ganda sebagai pengayom umat dan pelaku pemerintahan (alasan c) > 1 dari 3 responden yakin Kiai mampu menghidarkan diri dari konflik politik/ kepentingan dan godaan duniawi (alasan d) 2. Untuk opsi 2: Kiai tidak seharusnya terlibat dalam kekuasaan legislatif: * Mahasiswa santri : 18 dari 66 mahasiswa santri (27,3%) setuju, alasan: > 9 dari 18 responden yakin bahwa Kiai tidak lagi mampu berda’wah secara intensif dan efektif (alasan b) > 8 dari 18 responden yakin bahwa Kiai tidak akan mampu melakukan peran ganda sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan eksekutif (alasan c)
14
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
> 8 dari 18 responden yakin Kiai akan kehilangan kharisma sebagai panu-tan umat (alasan e) > 7 dari 18 responden yakin bahwa Kiai sulit untuk tidak melakukan keberpihakan pada salah satu golongan mungkin lagi dapat berdak-wah secara efektif (alasan a) > 6 dari 18 responden yakin bahwa Kiai tidak akan mampu menghindar-kan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan d) * Mahasiswa non-santri: 68 mahasiswa (76,4%) yang setuju, dengan alasan: > 36 dari 68 responden yakin bahwa Kiai sulit menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan d) > 35 dari 68 responden yakin bahwa Kiai tidak mungkin mampu mela-kukan peran ganda dengan baik, yaitu sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan (alasan c) > 24 dari 68 responden yakin bahwa Kiai tidak mungkin lagi dapat berdak-wah secara efektif (alasan b) > 20 dari 68 responden yakin bahwa dengan keterlibatan dalam lembaga politik (legislatif) Kiai telah melakukan keberpihakan pada kekuatan politik tertentu. (alasan a) > 10 dari 68 responden yakin Kiai akan kehilangan kharisma sebagai panu-tan umat (alasan e) 3. Untuk opsi 3: Boleh saja (terserah) Kiai untuk terlibat dalam kekuasaan legislatif, dengan alaasan : * Mahasiswa santri : 37 dari 66 mahasiswa santri (56,0%) setuju, alasan: > 26 dari 37 responden setuju karena merupakan hak Kiai sebagai warga negara Indonesia (alasan a) Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
15
> 25 dari 37 responden setuju asalkan Kiai mampu lakukan peran ganda sebagai pengayom umat dan pelaku kekuasaan (alasan d) > 19 dari 37 responden setuju asalkan Kiai mampu menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan e) > 18 dari 37 responden setuju asalkan Kiai mampu tidak melakukan keberpihakan pada kelompok tertentu dan tetap ayomi umat (alasan b) > 10 dari 37 responden setuju asalkan Kiai mampu tidak melalaikan tugas utamanya yaitu berdakwah (alasan c) * Mahasiswa non-santri: 18 dari 89 mahasiswa santri (20,2%) yang setuju, dengan alasan: > 9 dari 18 responden setuju karena sebagai warga negara Indonesia Kiai memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan (alasan a) > 8 dari 18 responden setuju asalkan Kiai mampu melakukan peran ganda sebagai pengayom umat dai satu pihak, dan sebagai pelaku kekuasaan legislatif di lain pihak (alasan d) > 7 dari 18 responden setuju asalkan Kiai tidak lakukan keberpihakan dan tetap menganyomi seluruh umat (alasan b) > 7 dari 18 responden setuju asalkan Kiai mampu menghindarkan diri dari konflik politik/kepentingan dan godaan duniawi (alasan e) > 3 dari 18 responden setuju asalkan Kiai mampu tidak melalaikan peran utamanya yaitu berdakwah (alasan c) Dari Tabel 3 di atas juga dapat dibandingkan peringkat dukungan terhadap opsi yang tersedia dari mahasiswa santri dengan mahasiswa non-santri, yaitu: 16
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Tabel 4 PERBANDINGAN PERINGKAT DUKUNGAN PADASETIAP OPSI TENTANG KETERLIBATAN KIAI KEKUASAAN EKSEKUTIF Peringkat Dukungan Pertama Kedua Ketiga
Mahasiswa Santri
Mahasiswa Non-Santri
Opsi 3: 37 dari 66
Opsi 2: 68 dari 89
(56,0%)
(76,4%)
Opsi 2: 18 dari 66
Opsi 3: 18 dari 89
(27,3%)
(20,2%)
Opsi 1: 11 dari 66
Opsi 1: 3 dari 89
(16,7%)
( 3,4%)
Dari Tabel 4 di atas ternyata: 1. Mayoritas responden mahasiswa santri (56,0%) memandang keterlibatan Kiai dalam kekuasaan eksekutif boleh-boleh saja, asal mampu memperta-hankan citra, eksistensi, dan tugas utama Kiai sebagai pengayom dan pencerah umat (opsi 3). Sedang dari responden non-santri opsi ini hanya memperoleh dukungan 20% 2. Mayoritas responden mahasiswa non-santri (76,4%) memandang keterli-batan Kiai dalam kekuasaan eksekutif sebagai hal yang tidak seharusnya, karena sangat berpeluang merusak citra, eksistensi, serta terlalaikannya tugas utama Kiai sebagai pengayom dan pencerah umat (opsi 2). Sedang responden mahasiswa santri opsi ini hanya memperoleh dukungan 27,3%. 3. Pandangan bahwa keterlibatan Kiai dalam kekuasaan eksekutif merupakan hal yang seharusnya (opsi 1) sama-sama memperoleh dukungan paling rendah baik dari responden mahasiswa santri (16,7%) maupun dari maha-siswa non-santri (3,4%). Hal ini dapat difahami bahwa bagi kedua kelom-pok Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015 17
responden keterli-batan Kiai dalam kekuasaan eksekutif dipandang sebagai hal yang kurang ideal. Uraian di atas mengindikasikan bahwa bagi kedua kelompok responden keterlibatan Kiai dalam kekuasaan eksekutif dipandang sebagai hal kurang idel. Perbedaan persepsi antara kedua kelompok responden adalah: * Bagi responden mahasiswa santri keterlibatan Kiai dalam eksekutif walaupun dipandang kurang ideal tetapi tetap sangat ditoreransi (Opsi 3 = 56,0%) tentu dengan beberapa persyaratan yang mengandung harapan. Ini merupakan wujud penghormatan santri kepada Kiai * Bagi responden mahasiswa non-santri keterlibatan Kiai dalam kekuasaan eksekutif sangat tidak ideal dan dipandang sebagai hal yang tidak seharusnya (Opsi 2 = 76,4%). Pandangan demikian ternyata ttidak memperoleh toleransi yang signifikan yang terbukti dukungan pada opsi 3 hanya 20,2%. 3. Kajian Interpretatif Walaupun terdapat perbedaan pandangan dari dua kelompok responden seperti telah dijelaskan di atas, namun keduanya berangkat dari satu titik yang sama, yaitu: 1. Rasa sayang (ngeman: Jawa) dan hormat kepada sosok Kiai yang semesti-nya tetap mampu menunjukkan sifat dan sikap ke-zuhud-an demi proses pemurnian batiniyah sang Kiai sebagai panutan umat. 2. Rasa khawatir bahwa jika Kiai terlibat dalam kekuasaan pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif yang sarat dengan suasana kompetitif dan pragmatis, akan mengikis sifat dan sikap ke-zuhud-an berganti ketamakan dan keserakahan duniawi yang sangat potensial mengeruhkan batiniyah sang Kiai. Jika demikian ke mana lagi masyarakat/umat harus mencari pencerahan batin dan tempat bersandar. 18 Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
3. Para responden (mahasiswa santri dan non santri) berharap agar Kiai melakukan proses kontemplasi secara jernih dan seksama, sebelum mengambil keputusan untuk terjun ke dalam kekuasaan pemerintahan. Demi Islam, demi muslim, dan demi tugas kekiaian. Penutup Berdasar hasil pengolahan data dan pembahasan sebagaimana pada Bab III di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada hakikatnya baik mahasiswa santri maupun mahasiswa non-santri memandang keterlibatan Kiai dalam ke-kuasaan pemerintahan bukan hal yang semestinya (bukan hal yang ideal). Tetapi dalam hal penyikapan dan cara memandang (persepsi) terdapat perbedaan antara mahasiswa santri dengan mahasiswa non santri di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Madura, yaitu sebagai berikut : 1. Persepsi mahasiswa santri terhadap keterlibatan Kiai dalam kekuasaan eksekutif dan legislatif: Bagi responden mahasiswa santri keterlibatan Kiai dalam kekuasaan pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif walaupun dipandang kurang ideal tetapi mereka tetap sangat ditoreransi. Hal ini dibuktikan dengan dukungan terbanyak pada opsi 3 yang mencapai 66,6%) untuk keterlibatan dalam kekuasaan legislatif, dan 56,0% untuk keterlibatan dalam kekuasaan eksekutif. Pemberian toleransi yang demikian berpangkal pada rasa hormat kepada Kiai, dan kesadaran bahwa Kiai adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban sama di depan hukum dan pemerintahan. Walaupun demikian pemberian toleransi dari mahasiswa santri masih mempersyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi oleh Kiai.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
19
2. Persepsi mahasiswa non-santri terhadap keterlibatan Kiai dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif : Bagi responden mahasiswa non-santri keterlibatan Kiai dalam kekuasa-an pemerintahan baik maupun eksekutif sangat tidak ideal dan dipandang sebagai hal yang tidak seharusnya. Ini dibuktikan dengan pilihan terbanyak pada opsi 2 yang mencapai 84,3% untuk keterlibatan dalam kekuasaan legis-latif, dan 76,4%) untuk keterlibatan dalam kekuasaan ekskutif. Mahasiswa non-santri kurang memberkan toleransi terhadap keterlibatan Kiai dalam pemerintahan, yang dibuktikan dengan rendahnya jumlah responden yang memilih opsi 3, yaitu hanya 13,5% untuk keterlibatan dalam kekuasaan legislatif dan 20,2% untuk keterlibatan dalam kekuasaan eksekutif. 3. Perbedaan persepsi antara mahasiswa santri dengan mahasiswa non-santri terhadap keterlibatan Kiai dalam kekuasaan peperintahan di atas sebenarnya berangkat dari satu titik anjak yang sama, yaitu : pertama, rasa sayang (ngeman: Jawa) dan hormat kepada sosok Kiai agar tetap berdiri pada maqom kekiaian. Kedua, kekhawatiran responden bahwa Kiai menjadi semakin jauh dari maqom kekiaian. Jika demikian ke mana lagi masyarakat /umat harus mencari pencerahan batin dan tempat bersandar. Ketiga, mahasiswa berharap agar Kiai berkontemplasi secara jernih dan seksama, sebelum mengambil keputusan untuk terjun ke dalam politik dan kekuasaan.
20
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
DAFTAR PUSTAKA Alfian, Dr., Pemikiran dan Pembaharuan Politik di Indonesia, PT.Gramedia, Jakarta, 1981. Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007 Bimo Walgito,Drs., Psikologi Umum, Yayasan Penerbit Fakultas Psokologi UGM, Yogyakarta, 1990. Faturochman, Drs., MA., Pengantar Psikologi Sosial, Pustaka, Yogyakarta, 2006 Jonge, Huub de, Madura Dalam Empat Zaman : Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam, Seri Terjemahan KITLV – LIPI, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1989 Latief Wiyata, Dr.A., Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, LkiS Jogjakarta, 2002 Moleong, Dr. Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999 Mueller, Danniel J., Mengukur Sikap-sikap Sosial (Buku pegangan bagi para ahli riset dan pekerja lapangan), Alih Bahasa oleh Dr. H. Cecep Syarifuddin, dkk., FISIP Press Universitaas Pasundan Bandung, 1990. Muthmainnah, Jembatan Suramadu, Respon Ulama Terhadap Indistrialisasi, LKPSM, Jogjakarta, 1998. Philip Quarles van Ufford, editor, Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1988. Sahlan Asnawi, Dr., Kepemimpinan dan Kepengikutan Dalam Lokus Politik Indonesia Kontemporer, Studia Press, Jakarta, 2001, hal. 26 - 35) Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
21
Sukamto, Kepemimpinan dan Struktur Kekuasaan Kiyai, Prisma Nomor 4, 1997 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1990 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Wahid Zaini, SH., KH. Drs. A., Dunia Pemikiran Kaum Santri, Penerbit LKPSM NU DIY, Jogjakarta, 1995,
22
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
REFORMASI POLITIK DAN ADMINISTRASI NEGARA DALAM BIROKRASI PEMERINTAH Achmad Imam*) Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Madura
Abstract The social politic changed in indonesia has influences in our goverment bureaucracy as a country undergoing transition from authoritarian regimes to the democratic regime. There are many constraints that must be faced. The recent transformation must be understood as transition fenomene actually it has happened too in the others country although in different ways. The perceptible of bureaucracy politicization is stand out when politic reformation has done by directly election to the head of the region.the strategies position as the head of department determined based on politic affiliated in the head of region election process and it oftens professional disclaim be possessed by officials themselves . Politic reformation and public administration should be encouragedand never to stop in t half of the path. To reducing over problems necessary considered comprehensively that concerning matters as : fisrt, the relationship between executive-Legislative and their application to the bureaucracy, secondly, the boundaries of legeslative authority in policy formulation, third, the politicization reduction inauthorities bureaucracy by political officials, and fourth, the ideal reformation concept implementing namely how is management organization animate in order to everything effectively can be mastering in the field. Key
words:
Politic Reformation and Public democratization, professionalism
Administration,
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
23
Pendahuluan Membicarakan tentang Birokrasi Pemerintahan di Indonesia selalu menarik perhatian untuk dijadikan bahan kajian diskusi bagi siapapun yang mendalami politik, pemerintahan, dan administrasi negara. Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah panjang, berliku dan naik turun mengikuti kondisi perpolitikan nasional yang melingkupinya. Sebagai sebuah institusi, birokrasi terbukti sebagai instrumen pembangunan yang efektif, tetapi sekaligus sering menjadi alat politik bagi institusi-institusi lain di luarnya. Institusi birokrasi pemerintahan bekerja dalam skala besar dari tingkat pusat sampai daerah dengan cakupan tugas yang besar. Sejarah politik birokrasi di Indonesia juga mengalami proses penguatan dan pelemahan secara terus menerus. Dijaman pemerintahan Orde lama dibawah Soekarno, birokrasi berada dalam posisi yang lemah. Sebaliknya, dalam pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Soeharto, birokrasi mengalami puncak kekuasaan yang sangat kuat. Perkembangan perpolitikan birokrasi mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dan apa yang dihasilkan dari studi-studi tersebut merupakan hasil dari kondisi sistem politik yang berkembang di era Orde Baru. Padahal, sejak tahun 1998, perubahan politik berlangsung sangat luas dan pengaruhnya terhadap birokrasi sangat luar biasa. Bagaimana sesungguhnya perubahan sosial politik tersebut berpengaruh dan menciptakan sebuah wajah birokrasi? Tulisan ini mencoba menganalisis perubahan-perubahan birokrasi yang berkembang di era pasca jatuhnya Soeharto bersamaan dengan reformasi politik dan Administrasi Negara dalam birokrasi pemerintahan. Masih kuatnya peran birokrasi dimana istilah tersebut menunjuk adanya proses pengambilan keputusan yang hanya berada ditangan segelintir 24
elit
yang
mengusai
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
negara.
Masyarakat
birokratik
didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mencakup birokrat senior, teknokrat, tokoh partai politik, dan pejabat militer yang berpartisipasi Masyarakat
dalam diluar
pembuatan
birokrasi
keputusan
tidak
memiliki
yang ruang
otoritatif. partisipasi
pengambilan keputusan, kecuali hanya pada proses implementasi kebijakan. Coba kita lihat era Reformasi sekarang ini masih ada peran kewenangan pemerintah yang sangat kuat membuat dan menentukan kebijakan, contohnya kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), secara resmi pemerintah mengumumkan pada tanggal 18 Nopember 2014 menaikkan harga BBM contohnya seperti harga premium yang semula seharga Rp. 6.500, menjadi seharga Rp. 8.500, atas kebijakan pemerintah tersebut menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat, seperti mahasiswa, kalangan partai politik atau anggota parlemen dan masyarakat
luas,
kekecewaan
oleh
kalangan
tersebut
di
akumulasikan dalam bentuk protes dengan berdemonstrasi yang dimotori mahasiswa untuk menentang kebijakan kenaikan harga BBM
tersebut,
dengan
alasan
belum
waktunya
pemerintah
menaikkan harga BBM karena Harga minyak mentah International sudah turun, bahkan dari beberapa negara lain sudah banyak yang menurunkan, termasuk juga Amerika Serikat menurunkan harga BBM disesuiakan dengan turunnya harga minyak International. Dampak kebijakan tersebut dapat memberikan efek domino terhadap kenaikan harga bahan pokok, tarif jasa transportasi dan harga jasa yang
lainnya
masyarakat
juga
terbebani
berefek untuk
mengalami memenuhi
kenaikan,
sehingga
kebutuhan
hidupnya,
masyarakat sudah susah malah ditambah susah ibaratkan sudah jatuh malah masih dijatuhi tangga, ironis sekali kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah
tanpa
memikirkan
nasib
dan
kemampuan
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
25
masyarakat kecil, walaupun niat baik dari pemerintah untuk menaikkan harga BBM itu untuk alih fungsi dari Subsidi BBM dialihkan ke subsidi ke sektor lain yang lebih produktif, dengan janji untuk pembangunan irigasi, untuk alat transportasi, dan untuk perbaikan infrastruktur dan lain lain, namun masyarakat kecil sekarang ini tidak bisa menikmati langsung kecuali hanya ada suntikan dari bantuan langsung tunai dari pemerintah yang hanya bisa digunakan untuk sesaat dalam waktu terbatas, namun setelah obat itu habis maka masyarakat akan mengalami sakit lagi yang ditanggung seterusnya. Atas pengambilan kebijakan tersebut perlu menjadi perhatian bagi pemerintah kedepannya, supaya perlu mengkaji dari segala aspek pertimbangan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendekatan pengambilan keputusan dengan minta pertimbangan, masukan dan persetujuan
ke
lembaga
parlemen
sehingga
tercipta
prinsip
Demokratisasi berbangsa dan bernegara. Seiring dengan gonjang ganjing suhu politik bangsa Indonesia menjadi panas pasca kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), ditandai berbagai macam tuntutan dari kalangan masyarakat dari pusat sampai daerah menuntut supaya kebijakan tersebut dirubah seperti Negara lain yang menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), dengan pertimbangan karena Harga minyak mentah International yang sudah turun, lalu berselang tidak lama beberapa bulan kemudian, maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan kembali dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), secara resmi pemerintah mengumumkan pada tanggal 1 Januari 2015, dengan contoh pada harga premium Rp. 8.500, menjadi ke harga Rp. 7.600, dan tidak lama kemudian berselang beberapa waktu sekitar sebulan Pemerintah mengumumkan kembali penurunan harga bahan bakar 26
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
minyak (BBM), contohnya penurunan harga Premium dari Rp. 7600, berubah menjadi Rp.6.500 per liter, semoga diiringi juga dengan turunnya harga yang lainnya baik sektor barang maupun jasa terutama bahan pokok yang sudah terlanjur naik, menyimak dari dinamika perpolitikan birokrasi pemerintah yang tidak mempunyai kemampuan menganalisa kapan, dan bagaimana kebijakan itu dibuat dengan melihat situasi dan kondisi yang tepat kebijakan itu dibuat Esensi demokrasi yang seharusnya memberi ruang bagi warga untuk terlibat dalam input kebijakan, direduksi secara sistematis sehingga mereka hanya dilibatkan sebatas bagaimana sebuah kebijakan bisa dijalankan secara sukses. Mobilisasi, dan bukan partisipasi nampak sekali menonjol terutama dalam menggalang energi baik berupa sumberdaya manusia, keuangan maupun organisasi masyarakat demi suksesnya pembangunan. Crouch (1979) yang menggunakan terminologi patrimonial state dan bureaucratic polity melihat bahwa terdapat pertarungan diantara para elit untuk mendapatkan berkah dari jabatannya. Mereka pada umumnya hanya memiliki kepentingan pribadi dan tidak mempedulikan kepentingan massa. Para penguasa biasanya mempertahankan kekuasaan melalui kombinasi distribusi patronase di dalam pemerintah dan melakukan tekanan pada oposisi yang muncul dari luar (Crouch 1986;45). Secara teoritis, birokrasi sebagai pelayan publik seharusnya bersifat profesional dan netral atau non-partisipan dari campur tangan kepentingan-kepentingan politik. Di negara yang sistem politiknya sudah maju, perubahan konstelasi kekuasaan di tingkat atas tidak memiliki pengaruh signifikan dalam birokrasi. Perubahan kekuasaan politik tidak mengganggu keberlangsungan pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Sebaliknya, di Indonesia, politisasi birokrasi merupakan fenomena yang nampak menguat. Ketika Orde Baru berkuasa, birokrasi menjadi kepanjangan tangan kekuasaan Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
27
politik Partai Politiknya Penguasa. Kepemimpinan birokrasi baik pada tingkat puncak, menengah maupun bawah ditentukan oleh seberapa aktif dukungan dan loyalitas seseorang terhadap kegiatan pada partai politik penguasa. Monoloyalitas pejabat birokrasi kepada Partai Politiknya penguasa berlangsung sepanjang kekuasaan Orde Baru yang berakhir pada tahun 1998. Saat ini walaupun monoloyalitas tidak lagi mewarnai birokrasi, politisasi birokrasi masih kuat dalam berbagai aspek mulai dari Birokrasi Pemerintahan di Pusat Sampai Birokrasi Pemerintahan di Daerah. Pertama, banyak sekali calon kepala daerah yang incumbent memanfaatkan posisinya untuk menggalang Resouses birokrasi untuk pemenangan kekuasaan. Dalam proses kampanye dan mobilisasi massa incumbent bisa memanfaatkan posisinya sehingga para birokrat dibawahnya merasa sunkan. Menjelang Pilkada selalu terjadi tekanan dan gangguan pada birokrasi. Situasi seperti ini diperkuat sistem promosi kepegawian yang ada saat ini yang memang masih menempatkan para kepala daerah sebagai pembina kepegawaian sehingga penentuan jabatan masih ada ditangan mereka. Kondisi seperti ini menciptakan para kepala daerah cukup menentukan dalam jabatan-jabatan strategis seperti Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala Dinas, Kepala Badan sampai eselon dibawahnya. Didaerah penguasaan partai pemenang akan menggusur pejabat dari Sekda, kepala dinas sampai asisten sekretaris yang tidak memiliki afiliasi politik yang sejalan. Badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (Baperjakat) yang merupakan lembaga untuk memberikan masukan dalam pengangkatan jabatan dinafikan oleh kekuasaan politik yang berada ditangan Kepala Daerah. Pasca Pilkada terjadi intervensi politik dalam penempatan jabatan. Politisasi birokrasi nampak dalam penempatan sejumlah personel yang sering tidak sesuai dengan 28
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
aturan. “yang sudah memenuhi syarat justru tidak dipromosikan. Sebaiknya, yang belum memenuhi persyaratan malah dipaksakan. Kedua, para birokrat sendiri merasa serba tidak nyaman untuk memilih antara mendukung incumbent atau tidak. Walaupun netralitas birokrat sudah diatur dalam UU No 43 Tahun 1999 yang melarang seorang PNS menjadi anggota tim sukses salah satu calon dan harus netral kepada semua calon, prakteknya sendiri tidaklah mudah. Netralitas seseorang justeru sering menjadi bumerang ketika harus berhadapan dengan kelompok lain yang ikut dukungmendukung dalam pemilihan Kepala Daerah. Sementara, para birokrat yang sudah merasa tidak punya prospek untuk promosi jabatan justeru sering memanfaatkan situasi seperti ini untuk menjadi petualang politik demi meraih sebuah jabatan. Bagi birokrat tipe seperti ini, kekalahan jagonya tidak berpengaruh pada karier karena memang karirnya sudah habis, sebaliknya apabila jagonya menang maka dia akan memiliki kesempatan untuk meloncat untuk mendapatkan promosi. Ketiga, sekarang ini juga muncul fenomena menguatnya jabatanjabatan politis dalam birokrasi. Fenomena tim sukses yang masuk menjadi penasehat, staf ahli, asisten pribadi (aspri) bupati sering mempengaruhi bekerjanya birokrasi. pada satu sisi, para pejabat politik yang direkrut kepala daerah baru tidak memiliki posisi resmi, tetapi seringkali mereka menempatkan diri sebagai orang yang sangat berkuasa. Tidak jarang mereka memilih akses jauh lebih besar kepada Kepala Daerah dan ikut menentukan keputusankeputusan strategis yang seharusnya menjadi kewenangan pejabat birokrasi. Sementara, pejabat birokrasi yang posisinya sangat jelas dan mereka sudah berkarier lama dalam birokrasi justeru tidak memiliki otoritas yang kuat berhadapan dengan pejabat politiknya. Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
29
Dengan adanya politisasi birokrasi oleh para Kepala Daerah, berbagai pihak sedang memikirkan rumusan yang tepat berkaitan dengan Netralitas yang harus dikembalikan dalam ruh kehidupan birokrasi. Draft revisi peraturan yang menyangkut pembinaan kepegawaian mengkaji kembali peran yang selama ini diberikan kepada kepala daerah terlalu riskan dengan jabatan politisnya untuk menentukan jabatan strategis birokrasi. Dalam rancangan baru, kewenangan pembinaan kepegawaian di daerah akan diberikan kepada sekretaris daerah yang merupakan pejabat karir birokrasi yang paling tinggi. Sedangkan kepala daerah, berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu yang sifatnya politis dan dalam jumlah terbatas.
menurut
Thoha
(2005:153),
birokrasi
bukan
hanya
didominasi birokrat, melainkan ada jabatan tertentu yang diduduki oleh pejabat politik; dan birokrasi bukan hanya milik pimpinan politik dari partai politik pemenang, tetapi juga oleh pimpinan birokrasi karir yang profesional. Perubahan-perubahan sosial politik yang terjadi di Indonesia berjalan sangat dan mempengaruhi sistem Politik dan Administrasi Negara di birokrasi pemerintahan baik pusat sampai daerah. Sebagai sebuah negara yang sedang mengalami transisi dari rezim otoritarian menuju rezim yang demokratis, banyak kendala yang harus dihadapi. Perubahan yang terjadi belakangan harus dipahami sebgai fenomena transisi yang pasti juga dialami oleh banyak negara lain, walaupun dalam bentuknya yang berbeda. Warna birokrasi pemerintahan Orde baru menampakkan diri sebagai sosok yang sangat kuat. Sementara itu, bergulirnya reformasi menghasilkan sebuah birokrasi yang berbeda. Setidaknya, ada beberapa perubahan penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, perubahan politik dari dominasi Golkar yang didukung ABRI menjadi 30
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
sistem multipartai telah memunculkan situasi melemahnya posisi birokrasi. Menonjolnya legislative heavy dalam perpolitikan birokrasi sering diikuti dengan ketidakjelasan wilayah kebijakan antara teknokrasi dan politis. Pada gilirannya, efektifitas kinerja birokrasi dan kebijakan publik menjadi sangat menurun. Kedua, politisasi birokrasi nampak kembali menonjol ketika reformasi politik dilakukan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Jabatan-jabatan strategis sebagai kepala dinas atau badan ditentukan berdasarkan afiliasi politik dalam proses pemilihan kepala daerah dan sering menafikan profesionalisme yang dimiliki pejabat itu sendiri. Reformasi
Politik
dan
Administrasi
Negara
dalam
birokrasi
pemerintah harus terus didorong tidak berhenti ditengah jalan. Untuk mengurangi
masalah-masalah
diatas
perlu
dipikirkan
secara
komprehensif yang menyangkut berbagai hal seperti : Pertama, hubungan eksekutif-legislatif dan implikasinya pada birokrasi, Kedua, batas-batas kewenangan legislatif dalam perumusan kebijakan, Ketiga, pengurangan politisasi terhadap pejabat birokrasi oleh para pejabat politik, dan Keempat, menerapkan konsep reformasi birokrasi
ideal
yaitu
bagaimana
menggerakkan
manajemen
organisasi agar semuanya efektif yang Bisa menguasai lapangan Melihat Fenomena yang terjadi malah banyak pegawai negeri mempunyai kecenderungan hanya ingin berada di kantor dan kerja di belakang meja. Idealnya, 70 persen kegiatan pegawai negeri berada di luar kantor alias di lapangan. Misalnya Dinas Pekerjaan Umum, mesti memantau aliran air dan jalan. Padahal pada zaman Belanda manajemen seperti ini sudah dijalankan. “Sekarang semua pada pengin punya meja dan ruang tapi Urusan rakyat malah ndak tertangani.”
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
31
maka berbagai upaya perombakan untuk mereformasi birokrasi diantaranya, pergantian Kepala kantor atau Dinas dengan sistem lelang jabatan, dan transparansi anggaran mengadakan proses seleksi terbuka calon Kepala Dinas, camat dan lurah atau dikenal dengan lelang jabatan. Agar sumber daya manusia yang melayani masyarakat memang kompeten di bidangnya. Dari lelang jabatan itulah, bisa memetakan model kepemimpinan seperti apa yang nantinya diterapkan di setiap Kantor Dinas, Kecamatan dan kelurahan. Sistem transparansi informasi, lelang jabatan camat dan lurah adalah upaya agar orang-orang yang menempati posisi tersebut punya kapabilitas. “Ini memenuhi harapan. Orang tak lagi bisa sekadar titip CV atau Identitas Nama agar mendapat jabatan. Tapi benar-benar ada proses seleksi untuk memperoleh sumber daya manusia terbaik.
Penutup efektifitas kinerja birokrasi dan kebijakan publik menjadi sangat menurun akibat adanya politisasi birokrasi nampak kembali menonjol ketika reformasi politik dilakukan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Jabatan-jabatan strategis sebagai kepala dinas atau badan ditentukan berdasarkan afiliasi politik dalam proses pemilihan kepala daerah dan sering menafikan profesionalisme yang dimiliki pejabat itu sendiri. Reformasi
Politik
dan
Administrasi
Negara
dalam
birokrasi
pemerintah harus terus didorong tidak berhenti ditengah jalan dan perlu dipikirkan secara komprehensif yang menyangkut berbagai hal seperti : Pertama, hubungan eksekutif-legislatif dan implikasinya pada birokrasi, Kedua, batas-batas kewenangan legislatif dalam 32
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
perumusan kebijakan, Ketiga, pejabat
birokrasi
oleh
para
pengurangan politisasi terhadap pejabat
politik,
dan
Keempat,
menerapkan konsep reformasi birokrasi ideal yaitu bagaimana menggerakkan manajemen organisasi agar semuanya efektif yang Bisa menguasai lapangan.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
33
DAFTAR PUSTAKA
Agus Pramusinto, Birokrasi Pemerintahan Indonesia Pasca Soeharto, Graha Ilmu, Jogja 2009. Ardiyan Saptawan, Dr. M.Si, Mata Kuliah Dasar-dasar Administrasi Publik, 2009. Harbani Pasolong; Teori administrasi Publik, Penerbit Alfabeta, bandung 2010 Leo Agustino. POLITIK & PERUBAHAN antara Reformasi Politik di Indonesia dan Poitik Baru di Malaysia, Graha Ilmu, Jogja 2009. Miftah Thoha, Prof. Dr. M.Pa, Manajemen Kepegawaian sipil di Indonesia, penerbit Kencana edisi pertama, cetakan ke-4, prenada media group 2005. MR. Khairul Muluk, New Publik Service dan Pemerintahan Lokal Partisipatif (Makalah) Samodra Wibawa, ADMINISTRASI NEGARA Isu-Isu Kontemporer, Graha Ilmu, Jogja 2009. Y T. Kaban Prof. Dr.;Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Teori dan Isu; 2008.
34
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
MEMBANGUN WIRAUSAHA Titien Sulistiawaty*) Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Madura
Abstract Enterpreneur is the people who has bravery to carry out activities for generate profits, they are creative and innovative people that constantly to develop themselves for get amazing and leaps in life. A person’s ability on self-employment can be cured through education. Key words: enterpreneur, creative and innovative .
Pendahuluan Tuntutan
dan
tantangan
global
untuk
meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran suatu negara serta penunjang perekonomian bangsa dibutuhkan banyak wirausaha yang memiliki kompetensi
serta
meningkatkan
profesionalisme
menghadapi
persaingan ekonomi global yang secara resmi dimulai tahun 2015 (MEA) yang menuntut kreativitas dan motivasi tinggi, maka pengetahuan
kewirausahaan
perlu
ditanamkan
dikembangkan
dimotivasi agar jiwa dan semangat wirausaha lebih kreatif serta efisien, dengan mengubah pola untuk memperoleh kejutan-kejutan dan loncatan-loncatan dalam hidup, sebab dengan pola yang sama yang sudah biasa dilakukan bisa diperkirakan bahwa tidak akan banyak perbedaan yang akan terjadi. DEFINISI WIRAUSAHA Seringkali kita membaca atau mendengar istilah wirausaha (entrepreneur). Apa itu entrepreneur? dan siapa yang dimaksud dengan wirausaha. Bygrave mengatakan
“Entrepreneur is the
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
35
person who perceives an opportunity and creates an organization to pursue (1994:2) wirausaha orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut”. Secara
lebih
luas
Mas’ud
Machfoedz
mengatakan:”
wirausahawan adalah innovator yang mampu memanfaatkan dan mengubah kesempatan menjadi ide yang dapat dijual atau dipasarkan, memberikan nilai tambah dengan memanfaatkan upaya waktu, biaya, atau kecakapan dengan tujuan mendapat keuntungan” Maka dapat dipahami wirausaha (entrepreneur) adalah: Seseorang untuk
yang memiliki kemampuan serta kecerdasan
menciptakan
kemauannya
kegiatan/usaha/aktivitas
sendiri
serta
membangun
bisnis
atas
usaha/bisnis
dasar dengan
kemampuannya sendiri memiliki tindakan kreatif, dinamis untuk menciptakan kemakmuran keteguhan berani serta visioner Kemampuan
melihat
dengan
cermat
terhadap
kemungkinan-
kemungkinan potensial dan menjelmakan menjadi kenyataan efektif dalam merintis masa depan. KESUKSESAN WIRAUSAHA Untuk dapat mencapai kesuksesan, setiap wirausaha memiliki kiat yang berbeda-beda, untuk itu kreativitas setiap wirausaha bersaing.
sangat
diperlukan
Kesuksesan
dalam
wirausaha
menciptakan
ditentukan
oleh
keunggulan kreativitas
pengelolaannya, beberapa karakteristik umum yang wirausaha sukses, Fadel Muhammad (1992) mengatakan: 1. Kepemimpinan,
memiliki
kemampuan
kemampuan manajerial mengorganisir
36
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
untuk
dimiliki
memimpin
2. Inovasi selalu membawa perubahan yang berdaya guna kearah produktif untuk dapatkan profit
beri nilai tambah pada barang
dengan mengembangkan 3. Cara
pengambilan
keputusan
mampu
memanfaatkan
pengetahuan dan ketajaman indra, bekerja dengan intiusi serta inisiatif, 4. Sikap tanggap terhadap perubahan, perubahan dianggap peluang, masukan dan rujukan bisnis demi mendapat profit 5. Bekerja ekonomis Efektif dan efisien melakukan pekerjaan dengan cerdas, pintar, bijak, ekonomis serta efisien untuk hasil maksimal, 6. Visi masa depan visioner, komitment, kompetensi, konsistensi, perspektif berdasar strategi perencanaan 7. Sikap terhadap risiko sebagai penentu risiko bukan sebagai penanggung risiko, WIRAUSAHA DI INDONESIA Semakin maju suatu Negara semakin banyak orang yang terdidik, dan banyak pula orang yang menganggur, keadaan kondisi fenomena seperti itu
maka semakin dirasakan pentingnya dunia
wirausaha sebab Pembangunan akan lebih berhasil jika ditunjang oleh wirausaha handal dibidangnya yang dapat membuka serta memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sebab kemampuan pemerintah sangat terbatas dalam memberikan lapangan kerja. Oleh karena itu Wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha. Kebutuhan akan wirausaha sebagaimana pernyataan yang bersumber dari PBB menyatakan bahwa suatu Negara akan mampu membangun apabila memiliki wirausahawan sebanyak 2% dari Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
37
jumlah penduduknya. Katakanlah jika negara kita berpenduduk 250 juta maka harus memiliki wirausahawan sebanyak 5 juta. Demikian besar yang dapat disumbangkan oleh wirausaha terhadap pembangunan bangsa, namun masih sedikit orang yang berminat menekuni profesi pada dunia usaha. Banyak masyarakat Indonesia yang memandang profesi wirausaha sebagai profesi yang kurang menjanjikan, sebab wirausaha menghasilkan pendapatan yang tidak pasti dengan resiko kegagalan yang tinggi. Banyak orang yang mengutamakan gengsi daripada logika
dalam melakukan
pekerjaan, banyak orang gengsi memulai menjadi wirausaha sehingga terjebak pada pola pikir lama tidak mau merubah mindset dalam
mendapatkan
pekerjaan.
Padahal
banyak
contoh
menunjukkan bahwa banyak orang sukses dalam hidupnya karena berwirausaha. Sekarang ini kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah wirausaha Indonesia masih sangat sedikit, padahal pekerjaan bisnis cukup menjanjikan untuk masa depan, Ini merupakan peluang besar yang
menantang
generasi
muda
keterampilan berprofesi sebagai
untuk
berkreasi
wirausahawan.
mengadu
karena banyak
keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh seperti yang dikatakan Geoffrey & Merideth: (a) Kesempatan untuk mengontrol jalan hidup sendiri dengan imbalan kepemilikan yang diperoleh dari kemerdekaan untuk mengambil keputusan serta resiko (b) Kesempatan mengunakan kemampuan serta potensi diri secara penuh dan aktualitas diri untuk mencapai cita-cita wujudkan mimpi (c) Kesempatan untuk meraih profit tak terhingga serta masa depan yang lebih baik dengan waktu yang relatif lebih singkat 38
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
(d) Kesempatan
untuk
memberikan
sumbangan
kepada
masyarakat dengan lapangan kerja & pengabdian serta memperoleh pengakuan Keuntungan Kewirausahaan Menurut
Thomas
W.
Zimmerer
et.al,
keuntungan-
keuntungan yang bisa diperoleh pada pekerjaan bisnis : 1.
Memberi Peluang kebebasan untuk mengendalikan nasib sendiri untuk mencapai tujuan serta memiliki usaha sendiri
2.
Memberi
Peluang
untuk
melakukan
perubahan
untuk
menjalani hidup yang lebih baik 3.
Memiliki Peluang mengaktualisasikan potensi diri secara bebas dengan kreativitas, inovasi serta visi mereka mengikuti minat atau hobinya sendiri
4.
Memiliki
peluang
menyalurkan
hobi
serta
kegemaran
menjadikan pekerjaan sehingga senang melakukan Seperti kata Harvey Mc. Key: “carilah dan dirikan usaha yang anda sukai dan anda tidak akan pernah terpaksa harus bekerja seharipun dlm hidup anda Banyaknya manfaat wirausaha terhadap pembangunan bangsa, wirausaha akan mampu mengatasi kesulitan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat. Wirausaha juga merupakan pejuang bangsa dalam bidang ekonomi, karena sebagai pengusaha dapat melancarkan proses produksi, distribusi, dan konsumsi, serta mampu
meningkatkan
ketahanan
nasional,
mengurangi
ketergantungan pada bangsa asing. MEMBANGUN WIRAUSAHA Persoalan utama yang dihadapi Negara berkembang adalah menumbuh-kembangkan jiwa kewirausahaan, karena salah satunya Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
39
adalah keterbatasan jumlah peminat sebagai wirausaha, memang pada dasarnya menjadi wirausaha itu gampang-gampang susah karena hawatir serta takut terhadap risiko, sama seperti halnya orang belajar naik sepeda pertama rasanya sulit untuk mengayuh hawatir risiko jatuh takut patah tulang namun setelah duduk diatas sadel ternyata gampang serta mampu mengayuh dengan baik. Banyak orang takut risiko padahal dalam pekerjaan apapun, kemanapun lari dari risiko disanapun menemukan risiko juga, risiko merupakan bagian yang tak terpisahkan dikehidupan, tak ada hidup tanpa risiko setiap hari kita menghadapi risiko, baik sebagai perorangan atau lembaga. Maka agar terhindar dari risiko perlu dimanajemeni dengan sebaik-baiknya. Kata risiko sudah biasa dipergunakan dalam percakapan sehari-hari
oleh
kebanyakan
orang,
Vaughan
(1980)
mengekemukakan definisi risiko adalah: 1. Risk is the chance of loss 2. Risk is the possibility of loss 3. Risk is uncertainty (risiko adalah ketidakpastian) Resiko tersebut bisa timbul karena adanya factor ketidakpastian, yang bisa timbul, karena beberapa sebab, a.l: a. Jarak waktu dimulai perencanaan kegiatan sampai dengan kegiatan itu berakhir, makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya b. Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan. Keterbatasan akses Informasi cenderung menutup akses ekonomi c. Keterbatasan pengetahuan / keterampilan / teknik mengambil keputusan. Profesi wirausaha adalah profesi yang sangat dekat dengan tindakan spekulasi yang bermakna tidak pasti, resiko untung rugi pasti dirasakan oleh semua wirausaha, namun tidak berarti risiko rugi 40 Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
tidak bisa dihindari, melalui proses pembelajaran dari pengalaman sendiri dimasa yang lalu, berguru pada pengalaman orang lain, karena pengalaman adalah guru yang paling berharga dalam berwirausaha. Seperti yang dikemukakan Fadel Muhammad bahwa wirausaha sebagai penentu risiko bukan sebagai penanggung risiko, wirausaha adalah orang yang memiliki keberanian menanggung risiko dan ketidakpastian dalam rangka memperoleh keuntungan. Dalam menumbuh kembangkan minat wirausaha, yang dikemukakan Buchari Alma (2010) bisa dijadikan pedoman. Pada prinsipnya jika seseorang betul-betul ingin menekuni profesi pada dunia usaha, perlu diperhatikan beberapa langkah: a. Minat seseorang, misalnya berminat dalam bidang industry atau kerajinan dan perdagangan atau jasa putuskan dahulu ingin bergerak dalam komoditi apa, jenis usaha perdagangan atau industri apakah akan memasarkan barang atau jasa b. Modal, apakah sudah tersedia modal awal atau apa saja yang sudah dimiliki, c. Relasi, apakah ada keluarga, teman yang sudah menekuni usaha yang sama, atau usaha yang akan dikerjakan ada relevansi/saling menunjang
dengan
usaha
tersebut
masing-masing
ada
keuntungan dan kelemahannya d. Analisa bagaimana prospek lokasi dan lingkungan bisnisnya e. Apakah akan memulai murni usaha baru, atau membeli usaha yang sudah ada, franchise f. Buat planning, walaupun dalam bentuk sederhana, tujuan membuka bisnis, pasar sasaran, situasasi persaingan, kesiapan modal g. Bagaimana mencari pegawai atau tenaga yang dapat diandalkan sebagai tangan kanan Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
41
Penutup Dari gambaran-gambaran di atas, dapatlah disimpulkan bahwa setiap kegiatan–kegitan memerlukan perencanaan dan pada dasarnya perlu memperhatikan beberapa tahapan proses: Tahap pertama: Rumuskan sasaran yang ingin dicapai. Menetapkan sasaran, sasaran yang dimaksud bias berupa mimpi, niat, tujuan,harapan, target atau apapun yang ingin anda raih serta yang akan anda kerjakan harus mempunyai sasaran, karena sasaran
akan
mendasari
prinsip-prinsip
lainnya
dan
kunci
kesuksesan anda, tanpa sasaran anda akan kehilangan focus dan arah, akan bekerja dengan kemampuan marginal, tanpa sasaran, anda akan mengerjakan sesuatu tanpa hasil yang pasti. Bisa jadi yang anda dapatkan hasil yang tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Dorongan dan semangat akan datang bila kita memiliki harapan, mimpi, atau sasaran dalam hidup ini. Kekuatan usaha kita, apapun yang kita lakukan, tidak terlepas dari seberapa kuat sasaran yang ingin kita capai. Sesuatu yang dilakukan tanpa tujuan akan menghabiskan waktu dan menjadikan hidup kita sia-sia. Tahap kedua: Mulailah, sekecil apapun dan dari manapun mulailah saat ini Jika anda sudah menentukan sasaran untuk menjadi orang yang sukses,anda selanjutnya akan masuk ke tahap berikutnya, yaitu memulai sesuatu. Semua kesuksesan harus dimulai dari melakukan sesuatu. Langkah ini akan menentukan apakah sasaran anda akan tinggal impian atau akan menjadi kenyataan. Dalam tahapan ini anda akan masuk ke dunia nyata, sasaran akan memberikan dorongan, 42
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
namun ia akan kehilangan makna dan tinggal impian bila anda tidak pernah memulainya. Mulailah saat ini juga, sekecil apapun dan dari manapun. Jangan ragu dan khawatir akan hambatan dan rintangan yang akan muncul. Apa yang dibutuhkan untuk memulai?
Untuk
memulai sesuatu diperlukan kemauan, tekad, dan keberanian yang kuat. Tanpa kemauan dan tekad yang kuat, apalagi kalau hanya desakan atau dorongan orang lain dan tidak datang dari kesadaran diri sendiri maka hampir dapat dipastikan upaya yang dilakukan tidak maksimal dan hasilnya pun tidak akan optimal. Tahap ketiga: kerja keras setelah memulai Sebagian besar kesuksesan ditentukan oleh usaha atau kerja keras, nasib kita ada ditangan kita. Kita sendiri yang menentukannya. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (atau seseorang) jika kaum itu (seseorang itu) tidak mengubah nasibnya sendiri. Kesuksesan diperoleh melalui kerja keras dan kesungguhan hati tanpa mengenal lelah dan tanpa mengeluh, mereka bersedia berkorban baik dari segi waktu, tenaga, bahkan uang. Kesuksesan bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba, melainkan penuh dengan perjuangan dan kerja keras, maka jika anda ingin sukses, mulai saat ini anda harus berpikir bahwa anda mampu melakukan apapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun dengan semangat tinggi. Kerja keras memungkinkan apapun bisa tercapai. Kesulitan hanya ada pada orang-orang yang tidak mau bekerja keras. Jika anda ingin sukses, anda harus mampu menggunakan tenaga dan pikiran secara taktis, anda harus berani berkorban dalam hal waktu, tenaga, pikiran, bahkan perasaan. Yakinlah tidak ada pengorbanan yang tidak membuahkan hasil, paling tidak walaupun gagal, anda akan mendapatkan pengalaman berharga bagi langkah-langkah berikutnya Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
43
Tahap ke empat konsistensi dalam berusaha terhadap tujuan Keberhasilan akan terwujud jika ada konsistensi dalam tujuan, usaha, dan semangat. Lakukan terus apa yang telah anda mulai, tanpa memikirkan naik turunnya hasil dan rintangan yang ada, jika anda berhenti, kesuksesan akan sirna dari diri anda. Konsistensi akan menjamin anda sampai ke tujuan. Untuk dapat konsistensi diperlukan keberanian, kesabaran dan ketabahan serta keteguhan jiwa. Keteguhan jiwa ditentukan oleh seberapa besar dorongan yang ada dalam diri kita untuk mewujudkan sasaran atau impian. Jika anda mundur artinya anda tidak konsisten dalam melakukan upaya untuk sukses. Keberanian untuk menanggung risiko kegagalan merupakan factor yang dapat mengukur seberapa konsistensi kita dalam berusaha. Ketakutan pada risiko akan membuat kita berhenti. Oleh karena itu , apapun kondisinya kita harus konsisten dalam setiap upaya mewujudkan impian. Tahap kelima: belajar agar kerja keras tidak sia-sia Dalam bekerja, berusaha, atau dalam hal apapun anda perlu belajar dari apa yang anda kerjakan agar kemampuan anda dalam melakukannya semakin baik. Pelajaran dapat diambil dari diri sendiri, dari mengamati orang lain, mengamati apa yang terjadi di sekitar kita, atau dari berbagai sumber lainnya, seperti buku, pelatihan, seminar, lokakarya. Dengan belajar kita dapat melakukan sesuatu secara lebih baik, lebih terarah, dan lebih berhasil. Keberhasilan sering terjadi karena kita melakukannya lebih baik daripada orang lain. Untuk itu diperlukan ilmu dan pengetahuan tentang apa yang kita kerjakan. Yang membedakan orang sukses dari kebanyakan orang adalah kemampuannya mempelajari apa yang sedang dan akan dia lakukan. Orang sukses melakukan sesuatu berbeda dengan orang lain. 44
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Tahap keenam: hemat dan investasi Orang sukses adalah orang yang mengerti bagaimana memanfaatkan setiap uang yang diperolehnya untuk meningkatkan kesuksesannya. Dia menerapkan prinsip penggunaan uang yang berimbang, yaitu
50% dari apa yang diperoleh untuk memenuhi
kebutuhan dan 50% lainnya digunakan sebagai modal atau diinvestasikan. Intinya
berhematlah dan belanjakan uang untuk
barang yang benar-benar dibutuhkan dan jangan memaksakan diri untuk membelinya jika belum mampu. berhematlah dengan apa yang anda
peroleh
dan
investasikan
sebagian
pendapatan
untuk
mempertinggi hasil dan kesuksesan.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
45
DAFTAR PUSTAKA
Buchari Alma, 2010, Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung. ……………., 2007, Pengantar Bisnis, Alfabeta, Bandung. Fadel Muhammmad, 1992, Industrialisasi dan Wiraswasta. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Geofrey G. Meredith et al. 1992, Kewirausahaan Teori dan Praktek, PT . Pustaka Binaman Pressindo. Mas”ud Machfoedz, 2010, Kewirausahaan pendekatan Kontemporer, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta. Herman Darmawi, 2004, Manajemen Risiko, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Suparman Sumahamijaya, 1981, Membina sikap mental Wirausaha, Gunung Jati, Jakarta.
46
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
KETERAMPILAN SOSIAL (SOCIAL SKILLS) KEPALA DAERAH KABUPATEN SAMPANG DALAM RESOLUSI KONFLIK ANTARA JAMA’AH SYIAH DAN SUNNI Abdurahman*) Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Madura
Abstract This study attempts to analyze and comprehend the social of the regent head of Sampang in conflict resolution between Shia and Sunni members from the perspective of critical theory, especially on the various forms of action and policy making in accordance with the resolution made by the head of the regency of Sampang and the resistance against Shiite group given by almost all members of the community there. The study found that more than a belief issue, or as a result of community pressure or even family conflict, this conflict is actually the impact of the location being remotely isolated and the lack of the community’s education level where this conflict took place. Moreover, the interests of the political support distorting where the conflict actually came from will be parsed to find the most suitable and appropriate action to deal with this situation of social change. As a leader, the head of a regency should possess tolerance, high social sensitivity and empathy towards the people he leads and understands the concerns and aspirations of the society. A regent heads should also not distinguish religious backgrounds of his citizens so as to create a harmonious relationship between the leader and the people led to create a social integrity in a community. Unfortunately, this ability does not manifest in Sampang regent leader in relation to building conflict resolution between these two religious streams and hence .up to date, the Shiite members are still living in the relocation site in Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo. Keywords: social skills, leadership and conflict resolution.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
47
Pendahuluan Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengalami potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan. Hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik sosial. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda bahwa tingkat pendidikan dan pengetahuan di dalam masyarakat masih sangat rendah, karena jika kita amati semakin tinggi pendidikan atau pengetahuan di suatu entitas maka semakin tinggi juga rasa toleransinya, begitupun sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan dan pengetahuan maka rasa toleransi untuk menerima perbedaan semakin rendah. Paling tidak pemerintah harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia tidak hanya berpusat di kota-kota besar tapi harus merata ke setiap pelosok desa. Tidak kalah pentingnya adalah kompetensi yang harus dimiliki Kepala Daerah benar-benar teruji untuk dapat merangkul setiap kelompok atau golongan secara adil. Penyelesaian konflik yang sering berujung pada tindakan kekerasan yang terjadi selama ini di tanah air disebabkan pula ketidak mampuan pemerintah untuk bersikap secara adil dalam mendistribusikan sumber-sumber terhadap semua golongan. Lemahnya keterampilan sosial (Social Skills) yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah sehingga menyebabkan konflik terus terjadi dimana-mana dan resolusi konflik yang bersifat hegemoni. Tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama sering kali diterjemahkan oleh sebagian orang sebagai legal doctrine yang dilaksanakan. Kekerasan atas nama agama dapat diterjemahkan sebagai kekerasan yang melibatkan agama sebagai premium variant. Kekerasan adalah suatu atau keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan dan paksaan. Begitu sensitifnya persoalan agama bagi 48
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
masyarakat Madura khususnya Sampang, sehingga konflik sosial, politik, hukum dan persoalan ekonomi kemudian para pelakunya melibatkan agama untuk mendapatkan dukungan emosional dari kelompok yang sepaham (Moqoyyidin, 318-319: 2011). Hendropuspito (2000:1) mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama. Pertama. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental. Setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu, Kedua. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat, Ketiga. Perbedaan Tingkat Kebudayaan. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia, Keempat. Masalah Mayoritas dan minoritas golongan Agama. Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Setting scenario planning untuk mengaburkan konflik agama di Sampang tersebut terlihat jelas dalam berbagai rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah daerah kabupaten Sampang, tindakan diskriminatif terhadap kelompok yang berlatang belakang apapun Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
49
tidak dibenarkan dalam pandangan UUD maupun dalam konteks kehidupan beragama dan bersosial, hanya saja sebagian elit poltik yang haus terhadap keabadian kekuasaan cenderung mengukur bahwa untuk mempertahankan dan mendapatkan sebuah kekuasan halal melakukan tindakan apapun termasuk berlindung dibalik kekejaman terhadap hak dasar orang untuk menjalankan aktifitas keagamaan. Dibawah ini tabel dimana proses rekonsilasi yang dibangaun menghasilkan pengusiran terhadap kelompok syiah. Tabel 1.1.rekonsiliasi konflik konflik syiah sunni Kab. Sampang No
50
Tgl/thn
1
26 Juli 2011
2
09 September 2011
3
11 April 2011
4
07 April 2011
5
24 Oktober 2012, 04 Novemebr 2012,
6
08 Mei 2013
7
16 Maret 2013
Rekonsilisasi Pertemuan antara Kapolres Sampang Ka. Bakesbangpol Sampang Kh. Tajul Muluq dan Tokoh Masyarakat Desa Bulu’uran Kec. Karang Penang di Mapolres Sampang. Pertemuan Silaturahim dalam rangka hari Raya Idul Fitri keluarga besar K. Tajul dan K. Rois di Mapolres Sampang. Pertemuan Pejabat Pemprov Jatim, Forpimda Sampang, Pengurus IJABI Pusat serta K. Tajul Muluk di Rumah Makan Agis Jl. Letjen Sudirman Surabaya. Pertemuan Forpimda Sampang, MUI Sampang, Ketua DPRD Sampang, Muspika Omben dan Tokoh Ulama Omben di Aula Mini Pemkab Sampang. Surat pernyataan jama’ah Syiah bersedia kembali keajaran semula. Pertemuan Bupati Sampang dengan Ulama Bassra. Pertemuan Satgas penyelesaian konflik sosial.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
No
Tgl/thn
8
10 Mei 2013
9
10 Mei 2013
10
20 juni 2013
Rekonsilisasi Pertemuan Forpimda Sampang. Aksi Unras Masyarakat Desa Karang Gayam Kec. Omben dan Desa Bulu’uran Kec. Karang Penang Kab. Sampang. Kegiatan Istighozah Ulama Se-madura dan Pengusiran Pengungsi dari GOR Tenis Sampang
Sumber: diolah dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sampang. Pristiwa kekersan yang terus terjadi diberbagai tempat dinegeri ini tidak terlepas dari keterlibatan para penyelengara negara yang seharusnya menjadi negosiator malah ikut terlibat dalam memperkeruh keadaan konflik. Sebagaimana laporan The Wahid Institute kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia, sejak tahun 2005 dalam Muqoyyidin (2012: 317) misalnya, menyebutkan dua hal yang selalu menjadi aktor pelanggaran kebebasan beragama: (1) institusi negara (termasuk kementerian, badan-badan negara, polisi, kantor pengadilan, tentara, dan juga pemerintah daerah, desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi); dan (2) intoleransi atas dasar agama dan keyakinan, yang pelakunya bisa negara, tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat. Pola yang seperti inilah yang kerap melahirkan gesekan yang ujungnya lahir suasana disharmony dalam wujud konflik. Oleh karena itu Kepala Daerah Kabupaten Sampang sebagai pemimpin tertinggi secara legal formal yang diharuskan memiliki kemampuan untuk bertindak flexible sehingga ketentraman dan keamanan dari warganya dalam menjalankan segala aktifitas baik ekonomi, politik, sosial dan agama atau keyakinan bisa terjamin tanpa ada gangguan, serta kerukunan antar kelompok sosial bisa Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
51
dibina dengan baik dengan menggunakan kewenangan Kepala Daerah secara terampil. Konflik yang terjadi di Kabupaten Sampang dalam penangananya tidak terlepas dari interpensi kekuasaan, sehingga konflik tersebut tidak dipengaruhi hanya satu persoalan keyakinan yang menyebabkan permaslahan semakin sulit diurai akar permalahanya. bahwa kelompok syiah yang merupakan masyarakat minoritas di Kabupaten Sampang, dimana seharusnya pemerintah daerah bertindak dengan cara-cara yang lebih elegan untuk menjaga integritas kerukunan antara umat berkeyakinan sehingga konflik bisa dihindari apalagi kelompok minoritas membutuhkan perlindungan dan jaminan keamanan dalam menjalankan aktifitas keyakinannya dengan tenang dan nyaman tidak merasa diganggu oleh kelompok mayoritas, bukan dengan cara hegemony atau memaksakan kehendak atas kelompok mayoritas dengan memanfatkan kewenangan dan kekuasaan Kepala Daerah, sebagaimana teori hegemony yang dipopulerkan oleh Gramsci (Link internasional journal of socialist renewal, diakses pada tanggal 8 Mei 2014). Gramsci (Link internasional journal of socialist renewal, diakses pada tanggal 8 Mei 2014) menekankan bahwa etika dalam melaksanakan sebuah kekuasaan tidak bisa sertamerta bahwa kebenaran tidak dapat diterapkan begitu saja dari atas kebawah, tetapi harus melalui dialog yang konkrit dan simpatik dengan kelompok-kelompok yang sedang mengalami ketegangan, tindakan hegemony refresif yang melibatkan penerapan koersi dan penipuan maka nilai-nilai yang menjadi tuntunan dalam sistem sosial masyarakat tidak akan tersampaikan, perbedaan-perbedaan harus dipahami secara konfrehensif sehingga konsen dapat diraih dalam sistem masyarat demokratis yang terjadi dalam konflik di Kabupaten Sampang sebagaimana sikap arogansi yang ditunjukkan oleh Kepala 52 Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Daerah dengan mengatakan bahwa ada aliran sesat yang dianut dan disebarkan oleh Ust. Tajul Muluk memancing reaksi dari masyarakat dan mengakibatkan pembakaran rumah dan tempat ibadah, konflik semakin
berkembang
setahun
kemudian
yang
menyebatkan
kelompok minoritas yang dianggap sesat meninggal dunia akibat serangan dari kelompok lain yang merupakan kelompok mayoritas di Kabupaten Sampang, tidak hanya itu tindakan Kepala Daerah yang mengusir paksa kelompok Ust. Tajul Muluk tersebut merupakan tindakan tanpa nilai-nilai yang seharusnya didialogkan secara konkrit dan simpatik sebagaimana dikemukakan dalam teori hegemony Gramsci diatas. Conflict resoluion syiah-sunni Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dan dikembangkan dalam penyelesaian konflik dengan kemampuan soft skills sebagai prangkat untuk merangkul semua elit yang terlibat dalam konflik berbau SARA. Seperti halnya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh kepala daerah kabupaten Sampang antara jama’ah syiah dan sunni dengan pendekatan teori keterampilan sosial (social skills) berdasarkan 4 aspek social skills yaitu social perception (persepsi sosial), conceptual skills (keterampilan konseptual), interpersonal skills
(keterampilan
interpersonal),
dan
behavioral
flexibility
(fleksibilitas prilaku). Dari
beberapa
temuan
di
lapangan
yang
didapatkan
berdasarkan temuan empiris, observai, dan teoritis keterampilan sosial (social skills) Kepala Daerah Kabupaten Sampang dalam resolusi konflik antara jama’ah Syiah dan Sunni sebagaimana berikut:
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
53
Social perception Konflik antarmanusia terus terjadi di berbagai belahan bumi ini, terutama yang disebabkan oleh konflik intra-agama, seperti dikemukakan oleh William Uray dalam Lewicki dkk. (2013:268). Konflik dapat terus terjadi karena tiga faktor, yaitu kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi (misal, keamanan, pengakuan dan kerohanian), keterampilan yang buruk dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan, serta hubungan sosial yang lemah. Pemecahan konflik yang hanya dilakukan melalui pendekatan legal formal tanpa pendekatan persuasif akan sulit memberikan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Yulk (2007) menjelaskan bahwa social perception merupakan kemampuan pemimpin untuk memahami kebutuhan dasar dan masalah-masalah yang dihadapi oleh para pengikut atau konstituennya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kemampuan Kepala Daerah Kabupaten Sampang sebagai seorang pemimpin formal tidak mampu memahami persoalan konflik intraagama tersebut sebagai bagian dari kebutuhan dasar kerohanian yang perlu dilindungi dan dijamin sebagaimana telah diatur dalam UUD Pasal 28E, bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan nuraninya. Bahkan, hak kemerdekaan pikiran, nurani, dan hak beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, seperti ketentuan pada pasal 28I ayat 1 UUD 1945. Sejauh yang peneliti temukan selama proses wawancara dan observasi, Kepala Daerah Kabupaten Sampang kurang maksimal dalam memahami persoalan konfilk intra-agama, ditambah lagi pernyataan yang memancing tindakan perlawanan dari pihak yang merasa didiskriminasi, bahwa kegiatan keagamaan yang terjadi pada 54
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
saat itu adalah sesat dan menyesatkan. Akan tetapi, hal itu bertolak belakang dengan rekonsiliasi yang dilakukan pascakonflik terhadap aliran yang dianggap sesat tersebut. Mereka diakui dan difasilitasi untuk menjalankan kegiatan keagamaan seperti yang sehari-hari mereka lakukan, asalkan tidak di wilayah Sampang atau Madura. Itu yang berdampak bahwa pada akhirnya mereka direlokasi paksa ke Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo. Prinsip penanggulangan konflik sosial adalah melindungi hakhak dasar bagi setiap individu termasuk hak dasar berkeyakinan. Penting sekali bagi seorang pemimpin untuk memahami perbedaan dan pemikiran kritis terhadap segala bentuk gejolak yang timbul di lingkungannya. Dengan melihat kejadian konflik di Sampang pada tahun 2012, tampaklah kelemahan-kelemahan Kepala Daerah dalam mencegah konflik untuk semakin bereskalasi, yang mencegah adanya pihak yang merasa terisolir dan disudutkan dengan memanfaatkan pemaksaan kekuasaan seorang pemimpin. Berbagai propaganda membuat orang-orang sangat terpengaruh
dengan
isu
ideologi
yang
tidak
menghormati
kemanusiaan. Hal ini memunculkan kebijakan diskriminatif dan dilegitimasinya kekerasan. Dalam studi Resolusi Damai Konflik Kontemporer yang ditulis oleh Sumner, Gurr, Mitchell dalam Miall (2000),
keadaan tersebut
dikatakan sebagai kondisi “dilema
keamanan.” Hal tersebut sama dengan yang dirasakan dan dihadapi kelompok Syiah yang dipropaganda sebagai aliran sesat sehingga dibenturkan dengan aspek legal formal sebagai legitimasi dari sebuah tindakan relokasi, sehingga ruang kompromi dan akomudasi semakin sempit dan menjenuhkan.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
55
Conseptual Skills Katz dan Mann dalam Yulk (2010) memaknai keterampilan konseptual sebagai sebuah kemampuan analisis secara universal, logis dan kemampuan memformulasikan problem solving dalam mengantisipasi perubahan sosial di lingkungannya. Dalam penelitian ini diketahui bahwa kemampuan Kepala Daerah Kebupaten Sampang dalam resolusi konflik antara jama’ah Syiah dan Sunni dalam memformulasikan resolusi terhadap konflik intra agama tersebut sudah efektif. Hal ini dapat diidentifikasi dari rekonsiliasi yang dilakukan dengan berbagai pihak untuk dapat melindungi kelompok Syiah yang diserang oleh ribuan warga Sunni. Walaupun pada saat itu masih ada seorang korban dari pihak Syiah, tetapi tindakan pengamanan yang diinstruksikan oleh Kepala Daerah Kabupaten Sampang untuk segera melindungi semua jama’ah Syiah agar tidak ada korban berjatuhan lagi akibat serangan yang begitu besar dari warga di lokasi konflik. Tindakan relokasi sementara ke GOT Tenis Sampang pada saat itu di anggap tepat dan merupakan tindakan relokasi paling logis dan realistis. Formulasi relokasi terhadap jama’ah Syiah sudah dikoordinasikan dengan semua elemen masyarakat, para tokoh ulama, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Jika pada saat itu tindakan relokasi tidak segera diambil, maka otomatis akan semakin banyak korban berjatuhan dari kelompok syiah yang sudah dikepung dengan berbagai senjata tajam. Memang tugas dari seorang pemimpin sebagaimana dikatakan oleh Yulk (2013) di antaranya adalah: disturbance handler role (peran penyelesaian gangguan) dan negotiator role (peran negosiator). Dua hal tersebut harus melekat dalam diri seorang pemimpin jika dihadapkan dengan konflik sosial, yakni agar ia mampu dengan segera melakukan tindakan pencegahan dan negosiasi terhadap pihak-pihk yang berkepentingan 56
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
dalam konflik. Dengan seperti itu masyarakat merasa terjamin, aman, dan terlindungi hak-haknya dari seorang pemimpin yang memiliki kemampuan tersebut. Boleh dibilang, Kepala Daerah Kabupaten Sampang dalam konteks penanganan konflik yang terjadi antara jama’ah Syiah dan Sunni dalam memformulasikan conflict resolution secara logis, realistis dan aanlisa secara universal terhadap gangguan sosial dilingkungannya sudah maksimal dan relevan dengan keadaan sosial di lingkunganya yang mayoritas masyarakat Sunni. Relokasi tersebut dilakukan demi tercapainya kondusivitas daerah. Interpesonal Skills Keterampilan interpersonal Katz dan Mann dalam Yulk (2010) merupakan pengetahuan mengenai prilaku individual sehingga mampu memahami perasaan, sikap dan keinginan, empati, kepekaan sosial dan sikap diplomatis dari seorang pemimpin. Dalam penelitian ini informasi dan observasi yang ditemukan menunjukkan bahwa tidak ada rasa empati yang ditunjukkan oleh seorang kepala daerah terhadap para korban konflik. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Kepala Daerah Sampang yang tidak pernah mau melihat kondisi para korban konflik secara langsung, baik pada saat berada di GOR Tenis Sampang maupun setelah dipindah ke Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo. Komunikasi seharusnya dilakukan dengan pendekatanpendekatan persuasif, tidak sekdadar yang sifatnya legal formal atau berupa tindakan hukum, Miall (2000) mengatakan, seharusnya komunikasi penyelesaian konflik dilakukan dengan cara non-zerosum yaitu pendekatan yang melihatkan sebuah konflik sebagai keadaan, di mana kedua belah pihak dapat memperoleh hasil atau dua-duanya tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, dan kemudian Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
57
seoarang
pemimpin
membantu
pihak-pihak
yang
berkonflik
mengalami perubahan kehidupan sosial yang positif atau lebih baik. Hal ini bertolak belakang dengan teori-teori diatas, yang telah ditunjukan oleh Kepala Daerah Kabupaten Sampang dalam membangun komunikasi rekonsiliasi yang tidak pernah mau mengundang secara khusus para korban konflik untuk mendegarkan langsung apa yang sebenarnya mereka butuhkan sebagai masyrakat beragama. Tindakan sebaliknya dilakukan oleh Kepala Daerah Kabupaten Sampang, sebagaimana disampaikan oleh Maill (2000), penyelsaian konflik dengan membantu pihak-pihak yang merasakan situasi yang dialami sebagai sebuah situasi keuntungan bagi diri sendiri dan kerugian bagi orang lain, sehingga pihak mayoritas selalu mendominasi dan pihak lain menjadi terdiskriminasi. Pendekatan ini disebut sebagai zero-sum. Di saat semua orang mengkritik ketidakadilan yang ditunjukkan oleh Kepala Daerah Kabupaten Sampang dan sikap apatisme terhadap para korban konflik, di sisi lain pemerintah Pusat melalui Menpera dan pemerintah Daerah Sampang melalui program bedah rumah, di mana yang menikmati program tersebut merupakan orang-orang yang sebelumnya menyerang jama’ah Syiah. Program Bedah Rumah yang mencapai 502 paket di dua desa di mana konflik tersebut dianggap sebagai bonus terhadap para penyerang korban konflik. Jika dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan, sebenarnya yang jauh lebih membutuhkan adalah korban konflik. Tindakan tidak berempati, kepekaaan sosial yang tidak maksimal dan buruknya kemampuan komunikasi Kepala Daerah Sampang dalam resolusi konflik yang terjadi antara jama’ah Syiah dan Sunni berakibat terhadap tidak terselesaikanya penaganan konflik tersebut secara permanen sampai sekarang. Kondisi para 58
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
korban konflik di pengungsian sangat memprihatinkan. Mereka harus hidup dalam keterbatasan dan tekanan batin yang tinggi dan harus menghidupi semua keluarga dengan menggantungkan diri pada bantuan pemerintah dan kepedulian orang lain.
Behavioral Flexibility Kritikan keras terhadap Kepala Daerah Sampang dalam konflik Syiah dan Sunni yang disampaikan oleh berbagai pihak, baik perseorangan maupun institusi kemanusiaan, menyebutkan bahwa Kepala Daerah Kabupaten Sampang terlalu mengikuti kehendak para tokoh ulama yang secara tegas melarang aliran Syiah tersebut berkembang di Pulau Garam dan ancaman akan menghabisi kelompok tersebut jika kembali ke kampung halaman. Mereka hanya bisa kembali dengan satu syarat, yaitu kembali menjalankan ajaran masyarakat di sekitar dan berjanji di atas kertas bermaterai bahwa tidak akan menyebarkan paham Syiah tersebut. Yukl
(2007)
menyebutkan
bahwa
fleksibilitas
prilaku
merupakan kemampuan dan kemauan seseorang berkaitan dengan mengakomodasi kondisi situasional di lingkungan yang dipimpinnya. Hal ini sering disebut dengan sefl monitoring, yaitu kemampuan mewaspadai prilaku dan pengaruh bagi orang lain. Dari data yang didapat dalam penelitian ini, Kepala Daerah kabupaten Sampang berkaitan akomodasi setiap kepentingan dari kelompok yang berkonflik tidak bisa melakukan sendiri. harus bekonsolidasi dengan para tokoh masyarakat dan ulama sebagai informal leader di kalangan masyarakat Madura. Setiap tindakan dan relokasi yang dilakukan sebagai tindakan pencegahan sementara agar konflik tidak terus-menerus terjadi akibat penolakan dari para tokoh ulama Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
59
merupakan kemampuan dan tindakan yang efektif dari Kepala Daerah Kabupaten Sampang dan juga sikap yang tidak membalas pernyataan keras yang dilontarkan para penggiat kemanusiaan. Kritikan yang dilontarkan dianggap sebagai kritikan yang tidak berdasar dan tidak mengetahui karakter masyarakat Sampang baik secara kultural maupun struktural. Propaganda yang juga sering muncul dalam konflik intraagama di Kabupaten Sampang, yang menghasilkan citra negatif, memperpanjang dan memperkeras konflik sosial yang berlarut-larut, selalu ditujukan kepada pemimpin yang harus memiliki sikap waspada terhadap perubahan dan situasi di lingkunganya, kadang juga bisa berfungsi sebagai motivasi untuk melakukan tindakan pencegahan konflik yang ditafsirkan satu sama lain sebagai suatu ancaman bagi para pihak yang tidak mengerti situasi sosial yang dihadapi oleh para pemimpin. Dilihat dari segi korelasi antara data dan teori seperti dikemukakan Yukl, Kepala Daerah Kabupaten Sampang berkaitan dengan akomodasi kelompok yang berkonflik sudah menjalankan peranannya secara maksimal karena rekonsiliasi yang dilakukan sudah dikoordinasikan dengan semua kelompok yang berhubungan dengan konflik Syiah dan Sunni, misalnya relokasi dari GOR Tenis yang kurag manusiawi karena tidak ada bilik cinta yang memadai, kamar mandi yang terbatas dan air bersih yang tidak mencukupi, sehingga inisiatif untuk merelokasi ke Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo yang lebih representatif dan akomodatif merupakan tindakan yang harus diakui sebagai sebuah formulasi kebijakan yang baik.
60
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Penutup Dalam Penelitian ini menyimpulkan bahwa keterampilan sosial (social skills) Kepala Daerah Kabupaten Sampang dalam resolusi konflik antara jama’ah Syiah dan Sunni yang meliputi social perception, conseptual skills, interpersonal skills dan behavioral flexibility masih kurang efektif dan maksimal, terutama pada unsur social perception, dan interpersonal skills, sehingga perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan, terutama bagaimana melakukan analisis, komunikasi, formulasi kebijakan resolusi konflik, dan cara mengendalikan diri dalam resolusi konflik bernuansa SARA.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
61
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Referensi : Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Sampang 2014. Kebijakan dan Strategi Pembangunan/Rehabilitasi Pasca Kerusuhan Sosial Kecamatan Omben Dan Karang Penang. 2014.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang 2013. Sampang dalam angka. 2013. BAPPENAS. 2014. Strategi Penanggulangan Kemiskinan dan Kerawanan Konflik Daerah Tertinggal, (online) tersedia dalam http://www.bappenas.go.id. diakses 19 Januari 2014. Gramsci. 2014. hegemony. (online) tersedia dalam http://www. Link internasional journal of socialist renewal, diakses tanggal 8 mei 2014. Harian Kabar Madura. 2013. Kunjungan SBY di Sampang Semoga Bukan Untuk Kepentingan Politis. 5 Desember 2013. Harian Kabar Madura. 2013. Perdamaian Syiah-Sunni Terbukti Rekayasa. 27 September 2013. Hendropuspito. 2000. Sebab Konflik Masyarakat beragama., Volum 15 N0. 1. Jurnal pelita zaman, 2000. Keputusan Bupati Sampang: 2014. Tentang Penetapan Satuan Tugas Penelesaian Konflik Desa Karang Gayam Kecamatan Omben Dan Desa Blu’uran Kecamatan Karang Penang Kabupaten Sampang No.188/88/Kep/434.013/2014 Tanggal 5 Februari 2014. Labolo, Muhadam. 2011. Dinamika Demokrasi, Politik, dan Pemerintah Daerah. Jakarta: PT Indeks. 62
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
LAPORAN PUBLIK. 2014. Tim Temuan dan Rekomendasi Syiah Sampang 2014. (online) tersedia dalam http://www.komnasperempuan.or.id. diakses pada tanggal 01 maret 2014. LEMHANNAS. 2012 . Membangun Kerukunan Umat Beragama Guna Terujudnya Harmonisasi Kehidupan Masyarakat dalam Rangka Ketahanan Nasional. Jurnal SOSBUD RI Edisi ke 14 2012. Lewicki J. Roy, Barry Bruce, Saunders M. David 2013. Negotiatio (terjemahan edisis ke 6, Hamdan, Yusuf) Negosiasi. Jakata: Salemba Humanika. Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Munawar, Sofian. 2003. Politisasi Sara Dari Masa Orba Ke Masa Transisi Demokrasi. Jakarta: ISAI. Muqoyyidin, Wahyu Andik, 2012. Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia (Signifikansi Model resolusi Berbasis Teologi Transformatif). Jurnal analisis studi keislaman IAIN Raden Lampung Volum XII, Nomor 2, Dewember 2012. Naskah akademis RUU 2011. Kerukunan umat beragama. Agustus 2011. (online) tersedia dalam http://www.elsam.or.id/. diakses pada tanggal 26 februari 2014. Nindyawinona, Winny, 2008. Pengaruh Keterampilan Emosi (Emotional Skills) dan Keterampilan Sosial (Social Skills) Terhadap Efektifitas Kepemimpinan Perempuan Dilingkungan Pemerintah Surabaya. Universitas Airlangga. Soeharto, Bambang W. 2013. Menangani Konflik di Indonesia. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Soemarman. 2013. Conflict Management & Capacity Building For Profesional Development. Jakarta: Elex Media Komputindo. Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
63
Sugiono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumitro 2013. Konflik dalam Teminologi Ilmiah 2013. (online) tersedia dalam http://eprints.uny.ac.id. di akses 12 maret 2014. Sunyoto, Danang. 2013. Teori, Kuesioner, dan Analisis Data SDM. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service (CAPS). Suprapto 2013. Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal bagi Upaya Resolusi Konflik. Jurnal IAIN Walisongo Mataram. Mei 2013. Tri Yogi Fitri, Rahmantyo.2012.Upaya Peningkatan Kemampuan Resolusi Konflik Melalui Bimbingan Kelompok Bagi Siswa Kelas X-logam SMK Negeri 1 kalasan. (online) tersedia dalam http://eprints.uny.ac.id. diakses pada tanggal 12 maret 2014. Undang-Undang Otonomi Daerah. 2004. No.32 Tahun 2004. Undang-undang Republik Indonesia. 2012. Konflik sosial N0 7 tahun 2012.
Tentang Penanganan
Wikipedia. 2014. Bupati Dalam konteks Otonomi Daerah di Indonesia. 2014. (online) tersedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Bupati. di akses 13 Mei 2014. Wirawan. 2013. Kepemimpinan (Teori, Psikologi, Prilaku Organisasi, Aplikasi dan Penelitian). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Yukl, Garry. 2010. Kepemimpinan Dalam Organisasi (Edisi Ke Lima, Terjemahan Indonesia). Jakarta: PT Indeks.
64
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
PENGEMBANGAN MODEL KOMITMEN DALAM HUBUNGAN KERJA TENAGA PENGELOLA SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (SIAK) PADA KECAMATAN DI KABUPATEN SIDOARJO E. Priastono Herlambang*) PNS Di Kantor Dipenduk Capil Kabupaten Sidoarjo
Abstract This study aimed to describe the model management employee commitment of SIAK in providing maintenance services of Kartu Keluarga in Sidoarjo, in order to subsequently be able to provide input on strengthening existing commitments, with hope in general improve the quality of administrative services can be further improved population. In this study it was found that in the working relationship between SIAK management employee with the Department of Population and Civil Registration there is a commitment to work as a key to deliver a Population Administration, in accordance with the operational standards of service (SOP). Despite the fact that, structurally workers SIAK managers have an obligation to carry out other tasks given by the sub-district as a direct supervisor. So it can be said here that, their duties as a management employee in performing services SIAK Population Administration imposed by the Department of Population and Civil Registration is a side job. This study is a qualitative determination of the informants were selected based on the understanding and involvement in the service of the Population Administration informant. Where there are 9 informants. From the results of the study showed that the model work commitments owned by management personnel SIAK still low. It is found in all aspects of the factors influence to work commitments, basely identification, job involvement, and loyalty. Where these three aspects are still low and generally weak that the work commitments of the manager SIAK be good. Keywords:
Work Commitments, Management Employee of SIAK, Kartu Keluarga
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
65
Pendahuluan Berlakunya Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah
dimaksudkan
untuk
menitikberatkan
pada
pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah kabupaten atau kota. Dengan semakin luasnya wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh pemerintah daerah,
maka
diperlukannya
aparat
birokrasi
yang
semakin
professional, responsive dan bertanggung jawab. Muara dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta dapat menghasilkan birokrasi yang handal dan profesional, efisien, produktif serta mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, sehingga terjadi sinkronisasi antara masyarakat dan pemerintah yaitu saling bersentuhan, menunjang dan melengkapi dalam satu kesatuan langkah menunju tercapainya tujuan pembangunan nasional. Tugas pokok dan fungsi aparatur pemerintah semakin menjadi sorotan masyarakat karena mendapatkan pelayanan yang baik adalah
hak
masyarakat,
sedangkan
aparatur
berkewajiban
menyelenggarakan pelayanan secara prima, dengan prinsip – prinsip pelayanan yang sederhana, cepat, tepat, tertib, murah, transparan dan tidak diskriminatif. Masyarakat tidak hanya menuntut pelayanan publik yang lebih efisien, dan memuaskan, tetapi juga menginginkan perilaku Aparatur Negara yang lebih responsive dan mencerminkan kepatutan (fairness), keseimbangan etika dan kearifan atau good judgment (Kasim, 2002 dalam Sinambela). Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2013, memberikan landasan hukum yang kokoh bagi penyelenggaraan administrasi Kependudukan yang memuat tentang pengaturan dan pembentukan sistem yang mencerminkan adanya 66
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
reformasi
dibidang
penyelenggaraan
administrasi
Administrasi
kependudukan.
Kependudukan
Selanjutnya,
bertujuan
untuk
memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk untuk setiap peristiwa yang dialami oleh penduduk, memberikan perlindungan hak sipil penduduk, dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional dan terpadu. Pengelolan informasi Administrasi Kependudukan tersebut menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), dimana aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) terus dikembangkan. Dalam mengaplikasikan SIAK ada beberapa unsur yang berperan aktif didalamnya yaitu, Teknologi informasi, Sumber
Daya
Manusia
(SDM),
Pemerintah
Daerah
selaku
penanggung jawab roda pemerintahan dan penduduk sebagai obyek yang akan didata. Penelitian ini terbatasi dalam 4 (empat) Kecamatan, yaitu Kecamatan Waru, Kecamatan Taman, Kecamatan Sidoarjo dan Kecamatan Jabon tersebut, dengan kata lain mobilitas penduduk di 4 (empat) kecamatan tersebut bervariasi untuk melakukan penelitian di Kabupaten Sidoarjo khususnya pada 4 (empat) kecamatan tersebut. Logikanya,
jika
mobilitas
penduduk
tinggi,
maka
kebutuhan
masyarakat terhadap pelayanan Administrasi Kependudukan juga tinggi, khususnya Pelayanan Kartu Keluarga, sehingga hal tersebut membawa
konsekuensi
terhadap
upaya
peningkatan
kualitas
Kabupaten
Sidoarjo
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Tingkat
kesadaran
masyarakat
di
terhadap perubahan Kartu Keluarga berdasarkan peruntukannya, dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, jumlah pemohon yang mengajukan perubahan data atau pemohon baru rata-rata sebanyak 50 pemohon pada masing-masing kecamatan, dan Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
67
menurut pengamatan penulis jumlah e-mail dari 18 (delapan belas) kecamatan yang masuk ke dinas rata-rata sebanyak 750 (tujuh ratus lima puluh) pemohon,
untuk selanjutnya dilakukan pencetakan
setelah lolos verifikasi ditingkat dinas, sehingga dapat diperoleh sebuah gambaran dimana produktifitas cetak Kartu Keluarga di Kabupaten Sidoarjo cukup tinggi Dari fakta tersebut, menunjukkan bahwa meski secara struktural para tenaga pengelola SIAK tidak memiliki hubungan struktural dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, akan tetapi disisi lain terdapat trend yang cukup positif terhadap pembuatan Kartu Keluarga dari tahun ke tahun maka penulis dapat menerjemahkan, bahwa peningkatan trend tersebut tidak dapat dipisahkan dengan peran yang besar dari tenaga pengelola SIAK dimasing-masing kecamatan, dimana besarnya peran tersebut juga dilandasi oleh adanya sebuah komitmen dalam sebuah proses hubungan kerja antara Tenaga Pengelola SIAK di kecamatan dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil selaku pemangku kepentingan.
Hal tersebut, menurut penulis sejalan
dengan pendapat Steers (Malayu SP. Hasibuan, 2002), bahwa komitmen karyawan merupakan kondisi di mana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Disamping itu komitmen karyawan mengandung pengertian sebagai suatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif, melainkan menyiratkan hubungan pegawai dengan organisasi secara aktif. Karena, pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam
dalam
mendukung
kesejahteraan
dan
keberhasilan
organisasinya. Dari hasil pengamatan, masalah utama yang menyebabkan terjadinya delay waktu dalam pelayanan pembuatan Kartu Keluarga sangat bermuara pada komitmen yang dimiliki oleh masing-masing 68
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
tenaga pengelola SIAK, artinya bahwa komitmen tenaga pengelola SIAK
terhadap
tugas
pelayanan
Administrasi
Kependudukan,
merupakan kunci utama dalam meminimalisir delay waktu, walaupun dilain sisi, secara struktural para tenaga pengelola SIAK memiliki kewajiban dalam melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Camat selaku atasan mereka. Sehingga dapat dikatakan disini bahwa tugas mereka sebagai tenaga pengelola SIAK dalam melaksanakan
pelayanan
Administrasi
Kependuduan
yang
dibebankan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil merupakan pekerjaan sampingan. Dari gambaran kondisi dan hasil pengamatan tersebut, untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang bagaimana model komitmen tenaga pengelola SIAK yang sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek identifikasi, yang tercermin dalam kesamaan tujuan dari pribadi dengan tujuan organisasi dapat berupa inisiatif atau kemauan dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, keterlibatan individu tenaga pengelola SIAK dalam bentuk kepatuhan terhadap SOP yang telah ditetapkan, dan loyalitas tenaga
pengelola
SIAK
terhadap
organisasi,
dalam
konteks
hubungan kerja non struktural. Berdasarkan definisi serta pendapat beberapa ahli maupun dari hasil penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa dalam komitmen karyawan terhadap organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan dan identifikasi terhadap nilai dan tujuan organisasi. Disamping itu komitmen karyawan terhadap organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, namun menunjukkan bagaimana hubungan antara karyawan dengan organisasi.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
69
KERANGKA PEMIKIRAN Komitmen Dalam hal Identifikasi, keterlibatan dan loyalitas para tenaga pengelola SIAK terhadap tugas yang diberikah oleh Dinas, terdapat beberapa hambatan dalam hbuungan kerja fafafdas
Masalah yang ditemukan lebih mengarah pada aspek-aspek yang mempengaruhi komitmen, sehingga didapat beberapa temuan sebagai berikut: 1. Lemahnya kemampuan Identifikasi tujuan pribadi dan organisasi yang berakibat pada penyelesaian tugas; 2. Rendahnya keterlibatan tenaga pengelola SIAK, dalam melaksanakan tugas dengan mematuhi SOP yang telah ditetapkan; 3. Rendahnya Loyalitas terhadap tugas yang diberikan oleh dinas.
Berdasarkan teori komitmen yang ada, maka ditemukan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah yang muncul antara lain: 1. Identifikasi dapat dikembangkan dengan memodifikasi tujuan organisasi; 2. Keterlibatan individu dapat ditingkatkan dengan memancing partisipasi meraka dalam pengambilan keputusan; 3. Loyalitas dapat ditingkatkan
Upaya untuk meningkatkan komitmen para tenaga pengelola SIAK, melalui: 1. Diklat-diklat hard & Shoft skill 2. Penguatan garis koordinasi antar SKPD melalui pembentukan UPT Dinas di Kecamatan 3. Pemberian insentif secara proporsional
Meningkatkan Kulaitas Pelayanan Pengurusan Kartu Keluarga
Selesainya Pengurusan Kartu Keluarga Sesuai dengan SOP
70
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
Berdasarkan pada kerangka berpikir tersebut, maka masalah yang muncul terletak pada komitmen yang dimiliki Tenaga Pengelola SIAK sebagai hal yang ditemukan dalam model hubungan kerja antara tenaga pengelola SIAK dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Selanjutnya, sebuah informasi yang akan diperdalam keberadaanya dilapangan penelitian, bertujuan agar dapat mendiskripsikan model komitmen yang timbul dalam hubungan kerja tersebut. Dan untuk dapat meningkatkan kekuatan komitmen individu tenaga pengelola SIAK, dan mengembangkan kemampuan diri mereka, maka harus dilakukan beberapa upaya, yaitu sebagai berikut: a. Pengadaan pelatihan atau bimbingan teknis baik untuk meningkatkan soft skill atau hard skill para tenaga pengelola SIAK; b. Penguatan garis koordinasi antar SKPD melalui pembentukan UPT Dinas di Kecamatan, atau menempatkan personil Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di masing-masing Kecamatan, sehingga garis tanggung jawab menjadi lebih jelas; c. Pemberian insentif secara proporsional yang didasarkan pada kinerja tenaga pengelola SIAK; Penelitian ini dilakukan di 4 (empat) kecamatan yang secara kuantitas memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cuukup tinggi, dibanding dengan kecamatan lainnya, maka terdapat 3 (tiga) kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi yaitu Kecamatan Waru sebanyak 227.177 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 65.602 kepala keluarga dan yang telah memiliki Kartu Keluarga sebanyak 59.539 keluarga, kemudian Kecamatan Taman sebanyak 218.369 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 65.106 kepala keluarga dan yang telah memiliki Kartu Keluarga sebanyak 58.348 keluarga, selanjutnya Kecamatan Sidoarjo sebanyak 210.507 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 61.804 kepala keluarga dan Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
71
yang telah memiliki Kartu Keluarga sebanyak 55.586 keluarga, dan Kecamatan Jabon sebanyak 58.818 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 18.735 dan yang telah memiliki Katu Keluarga sebanyak 16.319. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian yaitu aspekaspek yang terdapat dalam komitmen individu, yang terdiri dari : • Identiifikasi, yang tercermin dalam kesamaan tujuan dari pribadi dengan tujuan organisasi dapat berupa inisiatif atau keamauan dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh Dinas; • Keterlibatan individu tenaga pengelola SIAK dalam bentuk kepatuhan terhadap SOP yang telah ditetapkan; • Loyalitas tenaga pengelola SIAK terhadap organisasi, dalam konteks hubungan kerja non structural Dalam penelitian ini informan berasal dari berbagai tempat terkait, dengan jumlah yang tidak ditentukan karena sangat dimungkinkan dalam penelitian ini jumlah informan akan mengalami perubahan atau bertambah saat penelitian berlangsung, dengan rincian sebagai berikut: 1. Kepala Bidang Penyelenggaraan Kependudukan 2. Camat Taman, Waru, Sidoarjo dan Kecamatan Jabon; 3. Tenaga Pengelola SIAK pada Kecamatan Taman, Waru, Sidoarjo dan Kecamatan Jabon Dan selanjutnya dari hasil pendalaman tersebut dapat mendeskripsikan model komitmen yang terdapat dalam hubungan kerja pada kedua pihak, serta dapat memberikan masukan baik dalam bentuk saran dan rekomendasi tentang bagaimana upayaupaya yang harus dilakukan untuk lebih menguatkan komitmen yang telah terbentuk, dengan menggunakan beberapa pandangan atau teori tentang komitmen karyawan, agar dapat diperoleh gambaran tentang model komitmen yang terjalin saat ini, dan bagaimana upaya 72
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
yang bisa dilakukan kedepan, dalam mengembangkan model komitmen tersebut. Komitmen Kerja Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dan dikembangkan dalam penyelesaian permasalahan yang ada dengan kemampuan soft skills sebagai perangkat untuk meningkatkan komitmen kerja tenaga pengelola SIAK. Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tingi menganggap bahwa hal yang penting yang harus dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi juga memiliki pandangan yang positif dan akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Hal ini membuat karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Komitmen karyawan terhadap organisasi tercakup 3 (tiga) aspek yaitu identifikasi terhadap nilai dan tujuan organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan dan loyalitas terhadap organisasi. Disamping itu komitmen karyawan terhadap organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, namun menunjukkan bagaimana hubungan antara karyawan dengan organisasi. Dari temuan di lapangan yang didapatkan berdasarkan temuan empiris, obserasi, dan teoritis komitmen kerja tenaga pengelola SIAK terhadap Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagaimana berikut: Identification (identifikasi) Komitmen Kerja antara karyawan dan organisasi yang rendah dapat mengakibatkan hasil yang buruk dalam memecahkan suatu Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
73
masalah. Menurut Steers (1985), identifikasi merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap serangkaian nilai dan tujuan organisai. Dimensi ini tercermin dalam beberapa perilaku seperti adanya kesamaan nilai dan tujuan pribadi dengan nilai dan tujuan organisasi, penerimaan terhadap kebijakan organisasi serta adanya kebanggan menjadi bagian dari organisasi. Aspek identifikasi ini dapat dikembangkan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para karyawan ataupun dengan kata lain perusahaan memasukkan pula kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasinya sehingga akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para karyawan dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa karyawan dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena karyawan menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula. Hal yang menjadi permasalahan adalah lemahnya inisiatif atau kemauan tenaga pengelola SIAK dalam memecahkan masalah yang muncul pada saat melaksanakan tugas yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Hal ini berdampak pada tertundanya penyelesaian masalah yang muncul dalam pelaksanaan tugas. Dari hasil penelitian, lemahnya inisiatif tersebut dikarenakan tenaga pengelola SIAK sebagai staf kecamatan tidak memiliki wewenang dalam mengambil keputusan dalam memecahkan masalah. Utamanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat teknis. Sejauh yang peneliti temukan selama proses wawancara, dapat dilihat bahwa identifikasi yang tercermin terhadap tujuan organisasi yaitu Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan tujuan individu yaitu Tenaga Pengelola SIAK hingga sampai saat ini belum sama. Kedua belah pihak masih menjunjung prinsip kerja 74
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
masing-masing. Akibatnya, permasalahan karena lemahnya inisiatif atau kemauan Tenaga Pengelola SIAK dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tak kunjung selesai. Hal ini sekaligus berdampak pada tugas-tugas Adminisitrasi Kependudukan contohnya, Kartu Keluarga dan juga nama baik Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten Sidoarjo. Secara teori dalam menguatkan inisiatif atau kemauan tenaga pengelola SIAK dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melalui cara yaitu dengan memodifikasi tujuan organisasi yang mencakup tujuan organisasi dan tujuan individu menjadi sama. Dengan membuat hubungan kerja yang non struktural menjadi hubungan kerja yang terstruktur agar memiliki tujuan organisasi yang sama. Job Involvement (keterlibatan) Steers (1985) memaknai bahwa keterlibatan yaitu keinginan yang kuat untuk berusaha demi kepentingan organisasi. Hal ini tercermin dari usaha karyawan untuk menerima dan melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Karyawan bukan hanya sekedar melaksanakan tugas-tugasnya melainkan selalu berusaha melebihi standar minimal yang ditentukan oleh organisasi. Karyawan akan terdorong pula untuk melakukan pekerjaan diluar tugas dan peran yang dimilikinya apabila bantuannya dibutuhkan oleh organisasi. bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan karyawan adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada karyawan bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Oleh Steers, Ongson & Mowday (1985) dikatakan bahwa Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
75
tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula. Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang keterlibatannya lebih rendah. Sesuai dengan temuan yang dilakukan pada hasil wawancara bahwa didalam aspek ini keterlibatan tenaga pengelola SIAK masih terbilang rendah. Rendahnya keterlibatan tenaga pengelola SIAK dapat diukur dari kepatuhan terhadap SOP yang telah ditentukan. Hal ini dikarenakan tenaga pengelola SIAK ini tidak memiliki ruang waktu yang cukup dalam menyelesaikan tugas-tugas yang overload dari Camat selaku atasan langsung. Sehingga dari pengamatan peneliti bahwa pengambilan Kartu Keluarga yang telah selesai di proses di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil baru diambil oleh petugas kecamatan lebih dari 3 (tiga) hari kerja. Padahal dalam SOP pembuatan Kartu Keluarga adalah 3 (tiga) hari. Secara teori dalam meningkatkan keterlibatan tenaga pengelola SIAK dalam bentuk kepatuhan terhadap SOP yang telah ditetapkan adalah memancing keterlibatan tenaga pengelola SIAK adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan yang dapat menumbuhkan keyakinan pada karyawan bahwa apa yang telah diputuskan adalah keputusan bersama. Salah satu contohnya adalah mengajak partisipasi Tenaga Pengelola SIAK dalam pembuatan SOP yang akan ditentukan supaya pada pelaksanaan di lapangan, tenaga pengelola SIAK dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan dapat mengatasi kesulitankesulitan yang ada. Loyalty (loyalitas) Loyalitas menurut Oliver dalam Utami Munandar (1990:48), juga bisa dikatakan setia pada sesuatu dengan rasa cinta, sehingga 76
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
dengan rasa loyalitas yang tinggi seseorang merasa tidak perlu untuk mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk orang lain atau organisasi tempat dia meletakkan loyalitasnya. Secara etimologis kata loyalitas selain mengandung unsur kepatuhan dan kesetiaan ternyata juga mengandung banyak unsur dimana unsurunsur tersebut saling bersinergi dalam membentuk loyalitas seseorang. Adapun proses pembentukan loyalitas menurut Oliver dalam Utami Munandar (1990:48), melalui empat tahapan yaitu: Cognitive Loyalty (Kesediaan berdasarkan kesadaran), Affective Loyalty (Kesetiaan berdasarkan pengaruh), Conative Loyalty (Kesetiaan berdasarkan komitmen), dan Action Loyalty (Kesetiaan dalam bentuk tindakan). Sesuai dengan temuan pada hasil wawancara, pada aspek loyalitas tampak terlihat dimana loyalitas tenaga pengelola SIAK terhadap Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil masih rendah. Rendahnya loyalitas tenaga pengelola SIAK terhadap Dinas Kependudukan, disebabkan selain karena secara struktur mereka tidak memiliki hubungan komando langsung, disebabkan pula karena tidak adanya reward atau insentif kepada para tenaga pengelola SIAK. Hal tersebut memunculkan rasa enggan dalam memprioritaskan tugas-tugas yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dibandingkan dengan tugas langsung dari kecamatan atau tugas yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dikerjakan jika ada waktu luang atau tugas dari kecamatan telah selesai. Secara teori dalam meningkatkan loyalitas tenaga pengelola SIAK terhadap Dinas Kependudukan Catatan Sipil adalah dengan membuat tenaga pengelola SIAK merasakan adaya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi dimana dia menyelesaikan tugasnya.
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
77
Contohnya, dengan memberikan honor tambahan kepada tenaga pengelola SIAK. Penutup Dari hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa model komitmen kerja tenaga pengelola SIAK dapat dikategorikan dalam jenis komitmen normatif yang merupakan sebuah dimensi moral yang didasarkan pada perasaan wajib dan tanggung jawab pada organisasi yang memperkerjakannya. Dengan kata lain, para tenaga pengelola SIAK tidak memiliki pilihan selain tinggal bersama dalam organisasi yang menaunginya. Sehingga timbul perasaan yang mengharuskan tenaga pengelola SIAK untuk bertahan dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab yang didasari atas pertimbangan norma, nilai, dan karyawan. Dari ketiga aspek yang mempengaruhi komitmen kerja yaitu identifikasi, keterlibatan, dan loyalitas dapat disimpulkan bahwa, akibat dari rendahnya komitmen para tenaga pengelola SIAK adalah keterlambatan waktu dalam pelayanan kartu keluarga. Dimana waktu yang digunakan untuk pengajuan kartu keluarga hingga selesainya proses pembuatan bisa dilakukan dalam 3 (tiga) hari kerja, namun kenyataannya lebih dari 3 (tiga) hari kerja. Dengan kata lain, kinerja para tenaga pengelola SIAK dalam pelayanan kartu keluarga dapat dikatakan sangat rendah, karena tidak sesuai dengan SOP yang ditentukan. Saran Bagi peneliti selanjutnya yaitu pada penelitian ini memiliki beberapa kelemahan seperti hanya berfokus pada aspek komitmen kerja, padahal banyak permasalahan di lapangan yang perlu di kaji untuk penelitian selanjutnya yaitu bisa melakukan penelitian 78
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
mengenai pengembangan terhadap hubungan kerja antar inividu yang berdasarkan pada teori OCB (Organizational Citizenship Behavior) dengan harapan agar kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga pengelola SIAK semakin meningkat. Karena, pada dasarnya para tenaga pengelola SIAK juga menyadari bahwa tugas yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan tugas tambahan, diluar tugas yang diberikan oleh Camat selaku atasan langsung para tenaga pengelola SIAK di Kecamatan. Untuk mendorong kearaah perubahan yang positif dalam meningkatkan komitmen individu para tenaga pengelola SIAK, maka dapat dilakukan beberapa cara, antara lain : Pertama, pimpinan dilingkup Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil harus mampu menghubungkan tujuan organisasi dengan tujuan individu para tenaga pengelola SIAK, dengan cara mengembangkan kemampuan hardskill dan softskill yang ada pada diri mereka, melalui pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan teknis ataupun nonteknis; kedua, untuk memberikan struktur hubungan yang lebih jelas antara tenaga penegleola SIAK dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dapat dilakukan dengan cara membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di masing-masing Kecamatan; atau bisa dilakukan dengan cara menempatkan personil Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di masing-masing Kecamatan; ketiga, untuk membangun loyalitas para tenaga pengelola SIAK, maka Saran yang ketiga, agar performa karyawan dapat tetap terjaga dengan baik dan bahkan meningkat, hendaklah membina semangat dan memotivasi mereka dalam bekerja. Ada berbagai hal untuk tetap menjaga dan mempertahankan kinerja karyawan agar tetap prima, antara lain dengan memberikan honor atau insentif Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
79
secara proporsional yang didasarkan pada kinerja tenaga pengelola SIAK, pemberian penghargaan kepada tenaga pengelola SIAK yang berprestasi, menjalin hubungan kedekatan tenaga pengelola SIAK dengan pegawai di Bidang Penyelenggaraan Kependudukan.
80
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
DAFTAR PUSTAKA Debora. E. P, Ali Nina, L. S (2004) Pengaruh kepribadian dan komitmen organisasi terhadap organisational citizenship behaviour, Makara Sosial Humaiora, 8, 3, 105-111 Dessler,Gary, 2008, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 1, EdisiKesepuluh,Indeks, Jakarta. Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit PSKK-UGM. Handayaningrat, 2002.Pengantar Studi Ilmu Manajemen. Jakarta : Haji Masagung.
Administrasi
dan
Hasibuan, Malayu. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengertian Dasar, Pengertian, danMasalah. Jakarta: PT. TokoGunungAgung, Luthans, F. (2006) Perilaku organisasi, Organizational behavior, Edisi ke 10, Yogyakarta, Andi. Malayu SP. Hasibuan, 2002, Manajamen Sumber Daya Manusia, EdisiRevisi, BumiAksara, Jakarta Mangkunegara, Anwar Prabu. 2006. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia Bandung: RefikaAditama. Robbins, Stephen P, 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Edisi Kelima,Erlangga, Jakarta Robbins, S.P. (2006). Perilaku Organisasi Edisi Lengkap. Jakarta: PT INDEKS Kelompok GRAMEDIA Robbins, S. P. (2009) Perilaku organisasi, Organizational behavior, Edisi ke 12, Jakarta, Selemba Empat. Siwi Ultima Kadarmo dkk, 2001, Koordinasi dan Hubungan Kerja, Lembaga Administrasi Negara-Republik Indonesia, Jakarta. Sugiyono, 2005, Memahami ALFABETA
Penelitian
Kualitatif,
Bandung:
Sugiyono, 2011, MetodePenelitian, Bandung: ALFABETA
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015
81
Suharsimi Arikunto, 1997, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, RinekaCipta Sutarto, 1978, Dasar-Dasar Organisasi, Yogyakarta: Gajah Mada University Pers Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi, Yogyakarta : Andi Stephen P. Robbins, 2006, Perilaku Organisasi, Edisi Kesepuluh, Indeks, Jakarta. Wibowo (2012) ManajemenKinerja, Jakarta, RajawaliPers Yuwono, I dkk (2005), Psikologi Industri dan Organisasi, Surabaya, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Zurasaka, A. ( 2008).Teori Perilaku Organisasi. Sumber Peraturan Perundangan : Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor tentangAdministrasiKependudukan;
23
Tahun
2006
Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 24Tahun 2014 tentangPerubahanUndang-UndangRepublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentangAdmnistrasiKependudukan; Sumber Online : Alternatif Merasionalisasi PNS, www. bappenas.go.id/get-fileserver/node/8486/www.bapenas.go.id Sumber Penelitian Terdahulu Ariani, D.W, (2008). PerilakuKewargaanOrganisasional. Unika & Kartika, (2010).Hubungan Organizational Citizan Behavior.
Iklim
Organisasi
dan
Toni Wijaya, (2007), Pengaruh Organizational Citizan Behavior terhadap Kinerja Personil Poltabes Yogyakarta.
82
Vol. 7, Nomor 1, Januari 2015