Jurnal Ilmiah Administrasi Negara ISSN 1412-291 X Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Model Penguatan Lembaga Kemasyarakatan Dalam Memeperkuat Kemandirian Desa Fajar Surahman, S.Sos.,M.Si (Universitas Madura)
(Bag. 1)
Desentralisai, Pilkada Langsung dan Efektifitas Pemerintahan Daerah Drs. Abubakar Basyarahil (Universitas Madura)
(Bag. 2)
Membangunan Dengan “Kepercayaan” Menuju Masa Depan Madura Yang Lebih sejantera Drs. H. Amiril, M.Si (Universitas Madura)
(Bag. 3)
Kebijakan tentang Pedagang Kaki Lima (PKL) : Dominasi Struktural Dalam Pembangunan Nasional Ainul Hayat, S.Pd.,M.Si (Universitas Brawijaya)
(Bag. 4)
Memformat Equity And Equality Antara DPR Dan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Nadir, SH.,MH (Universitas Madura)
(Bag. 5)
Dampak Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Masyarakat Madura : Tinjauan dari Sisi Perekonomian Dan Kesejateraan Taufiq Hidayat, S.Sos.,M.Si (Universitas Madura)
i
(Bag. 6)
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara ISSN 1412-291 X Tahun I, Nomor 1 Januari 2010 Penasehat Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Penanggung Jawab Ketua Prog. Studi Ketua Penyunting Fajar Surahman, S.Sos., M.Si Wakil Ketua Penyunting Taufiq Hidayat, S.Sos., M.Si Penyunting Pelaksana Dra. Hj. Titien Sulistiawaty, M.Si Drs. Hamdan Nasution, M.Si Dra. Helda Yusita, M.Psi Hamzah, S.Sos., M.Si Penyunting Ahli (Mitra Bestari) Drs. H. Amiril M.Si, M.Si Drs. Kadarisman Sastrodiwirdjo, M.Si DR. A. Djamaludin Karim, M.Si Drs. H. Zainal Alim, MM Pelaksana Tata Usaha Huzaimah Kusairi, S.Sos Alamat Penyunting : P-JIAN Management Fakultas Ilmu Adminitrasi Universitas Madura Jalan Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan – Madura Telp. (0324) 322231, Fax. 0342 327418
ii
PETUNJUK PENULISAN JURNAL ILMIAH
PUBLIKA 1. Judul Naskah, maksimum 12 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa inggris tergantung bahasa yang digunakan untuk menulis naskah lengkapnya. 2. Nama Penulis, ditulis dibawah judul (disertakan pula nama jabatan, contoh: sebagai Dosen Unira dan Direktur Forum Komunikasi Intelektual Muda Muslim Madura). 3. Abstrak ditulis dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris tidak lebih dari 20 baris ketik, dibawah abstrak disertakan 3-5 kata kunci. 4. Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai. 5. Pembahasan, berisikan analisis terhadap permasalahannya. 6. Penutup, berisikan kesimpulan dan saran. 7. Daftra Pustaka, ditulis dengan mengikuti urutan secara alfabetis dan kronologis. Contoh: Abdul Wahab, Solichin, 1997, Evaluasi Kebijakan Publik, IKIP Malang. Surahman F, 2007, Mencermati Kinerja Birokrasi Publik, Jurnal Ilmiah Admnistrasi Publik “PUBLIKA”, Nomor 1, Tahun 1, Juli 2007. 8. Naskah diketik dengan mengikuti aturan penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (Depdikbud, 1987), spasi 1,5 (satu setengah) diketik pada kertas HVS ukuran A4, panjang tulisan 15-30 halaman. Naskah diserahkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum bulan penerbitan dalam bentuk CD/Flesdis ke alamat redaksi. 9. Redaksi berhak memperbaiki penulisan naskah tanpa mengubah isi naskah tersebut. Semua data, pendapat atau pernyataan yang terdapat pada naskah merupakan tanggung jawab penulis.
Alamat Redasi / Penerbit : P-JIAN Management Fakultas Ilmu Adminitrasi Universitas Madura Jalan Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan – Madura Telp. (0324) 322231, Fax. 0342 327418.
iii
MODEL PENGUATAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DALAM MEMPERKUAT KEMANDIRIAN DESA Fajar Surahman*) Abstraction : The Village government is service nature front unit to society with is principal pillar for success all programs. Therefore, brace village be a necessity can not be postponed in the effort to speed up materialized society welfare as region autonomy aim. Keyword : Society institute urgency, enable ness, village original autonomy Pendahuluan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Desa atau yang disebut nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam Undang-undang tersebut mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa. Artinya Otonomi Desa diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari masyarakatnya itu sendiri, dengan demikian Desa memiliki posisi sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena dengan kuat dan mantapnya Desa akan mempengaruhi secara langsung perwujudan otonomi daerah. Dengan pengertian semacam itu, maka pemikiran yang menjadi landasan dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan empowering, dalam konteks demikian maka pengembangan Otonomi Asli Desa memiliki landasan, visi dan misi yang kuat dalam rangka menjaga eventifitas, efisiensi, dan optimalisasi otonomi daerah. Pemerintahan Desa merupakan unit terdepan pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak utama untuk keberhasilan semua program. Karena itu, memperkuat Desa merupakan suatu keharusan yang tiak dapat ditunda dalam upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah. Kemandirian desa dalam rangka otonomi daerah memerlukan kesiapan lembaga sosial, politik dan ekonomi desa itu sendiri. Oleh karenanya peningkatan fungsi dan peran kelembagaan desa memiliki arti yang strategi. Salah satu kegagalan peningkatan parsipasi yang terjadi selama ini diebabkan oleh : (1) ketidakmandirian pemerintahan desa dari struktur pemerintah diatasnya, (ii) praktik pemerintahan desa yang belum sepenuhnya bersih dan efisien oleh karena matinya kemampuan control masyarakat sehingga 1
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang, (iii) ketidak berdayaan masyarakat menyelesaikan problem sosial, politik dan ekonominya sendiri oleh karena rancunya struktur dan mandulnya fungsi-fungsi kelembagaan desa. Pemantapan implementasi pengelolaan pembangunan parisipatif yang berbasis pada kemampuan lokal memerlukan penguatan kelembagaan local, yang berarti peningkatan kapasitas fungsi dan peran kelembagaan local dalam konteks pengelolaan pembangunan. Tulisan sederhana ini mencoba untuk mengkaji kondisi lembaga local dengan berbagai dinamika faktor yang mempengaruhi perubahannya, ciri-ciri lembaga local yang berdaya, dan kelembagaan. Bagian pentingnya merupakan uraian strategi dan teknik penguatan kelembagaan lokal. Urgensi kelembagaan masyarakat dalam pemberdayaan Korten (1993), menyatakan bahwa pembangunan adalah proses di mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas peroranan dan institusi mereka untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. Dalam konteks penguatan kelembagaan, diperlukan perubahan structural terhadap kelembagaan local menuju peningkatan taraf hidup, produktifitas, kreatifitas, pengetahuan dan keterampilan maupun kapasitas kelembagaan agar senantiasa survival dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang melingkiupinya. Transformasi yang demikian, sedapat mungkin dilakukan secara mandiri dan atas kebutuhan masyarakat sendiri. Kalaupun ada intervensi dari pihak lain hanya bersifat memfasilitasi. Dalam perspektif pembangunan yang berbasis pada kemampuan lokal, sebagaimana dikemukakan Caventa dan Valderama dalam Suhirman (2003) bahwa keberhasilan pembangunan diukur dari seberapa besar masyarakat mampu mendayagunakan sumber-sumber local yang mereka miliki yang secara kategoris terdiri dari : Modal Manusia (human resourches), yang meliputi jumlah penduduk, skala rumah tangga, kondisi pendidikan dan keahlian serta kondisi kesehatan warga. Modal Alam (natural resourches), meliputi sumber daya tanah, air, hutan, tambang, sumberaya hayati dan sumber lingkungan hidup. Modal Finansial (financial Resourches), meliputi sumbers-umber keuangan yang ada seperti tabungan, pinjaman, subsidi, dan sebagainya. Modal Fisik (Phisichal Resourches), meliputi infrastruktur dasar yaitu transportasi, perumahan, air bersih, sumber energi, komunikasi, peralatan produksi maupun sarana yang membantu manusia untuk memperoleh mata pencaharian. Modal Social (Social Captal Resourches), yakni jaringan kekerabatan dan budaya, serta keanggotaan dalam kelompok, rasa saling percaya, lembaga 2
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
kemasyarakatan, pranata sosial dan tradisi yang mendukung, serta akses kepada kelembagaan sosial yang sifatnya lebih luas. Ada berbagai macam kendala yang selama ini dihadapi oleh masyarakat pedesaan dalam melaksanakan pembangunan antara lain : Keterbatasan kemampuan untuk mengolah dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang tersedia. Keterisolasian dan keterbatasan sarana dan prasarana fisik. Lemahnya kemampuan kelembagaan terhadap peluang-peluang bisnis yang ada jasa dan perdagangan. Terbatasnya akses masyarakat kepada sumber-sumber kemajuan ekonomi yang antara lain meliputi : akses permodalah, akses teknologi produksi, akses manajemen usaha, pengetahuan dan keterampilan SDM yang ada, akses informasi pasar dan keberlanjutan usaha-usaha produksi. Esensi pemberdayaan masyarakat pada dasarnya menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian sekaligus dipandang dan diposisikan sebagai subyek bagi dirinya sendiri dalam proses pembangunan. Mereka adalah sosok manusia utuh yang aktif, memiliki kemampuan berfikir, berkehendak dan berusaha. Dalam kerangka pikir (mean sheet) demikian, maka sebagaimana Jim Ife seperti dikutip Suharto (1997: 299) mengatakan bahwa upaya pemberdayaan harus diarahkan pada tiga hal, yakni : ENABLING, yakni membantu masyarakat desa agar mampu mengenal potensi dan kemampuan yang mereka miliki, mampu merumuskan secara baik masalah-masalah yang mereka hadapi, sekaligus mendorong mereka agar memiliki kemampuan merumuskan agenda-agenda penting dan melaksanakannya demi mengembangkan potensi dan menanggulangi permasalahan yang mereka hadapi. EMPOWERING, yakni memperkuat dan daya yang dimiliki oleh masyarakat desa dengan berbagai macam masukan (input) maupun pembukaan akses menuju ke berbagai peluang. Penguatan disini meliputi penguatan pada modal manusia, modal alam, modal financial, modal fisik, maupun modal sosial yang mereka miliki. PROTECTING, yakni mendorong terwujudnya tatanan structural yang mampu melindungi dan mencegah yang lemah agar tidak semakin lemah. Melindungai tak berarti mengisolasi dan menutupi dari interaksi. Karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil, dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah adanya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Dalam beberapa kajian menunjukkan bahwa lembaga local kemasyarakatan sebenarnya menjadi pilihan yang cukup kredibel sebagai agen pembangunan. Hanya saja, ada persoalan umum dimana keberadaannya selama ini masih memerlukan pembenahan, terutama dari segi kapasitas sumber daya, organisasional maupun kapasitas manajerialnya. Arah baru yang diharapkan adalah, bagaimana lembaga kemasyarakatan itu berperan efektif 3
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
dan optimal dalam pengelolaan pembangunan desa dengan visi pemberdayaan. Urgensi keberadaan lembaga kemasyarakatan disini diharapkan akan menjadi wadah sekaligus agen penggerak dalam memfasilitasi, memediasi, mengokunikasikan sekaligus sebagai aktor dalam mengembangkan partisipasi, mendayagunakan keswadayaan gotong royong demi mewujudkan kemajuan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa. Optimalisasi pengembangan inisiatif lokal dalam rangka peningkatan pendapatan, keswadayaan, dan kesejahteraan, akan mudah dicapai apabila dikembangkan kerja sama kewilayahan antar lembaga kemasyarakatan local sebagai agensi pembangunan. Hal ini penting karena : pertama, adanya kendala maupun potensi SDM, SDA dan karakteristik kondisi wilayah yang tidak sama. Kerjasama antara lembaga local akan menumbuhkan pendekatan pembangunan yang sinegis. Kedua, sebagai forum kordinasi perencanaan pembangunan kewilayahan agar berjalan tanpa menimbulkan akses yang merugikan bagi masyarakat maupun daerah lain. Strategi Penguatan Lembaga Kemasyarakatan Dalam konteks pemberdayaan, beberapa prioritas terpenting yang bisa dilaksanakan oleh lembaga kemasyarakatan desa antara lain (i) Pengembangan usaha ekonomi prodktif UEP, (ii) Pemenuhan kebutuhan dasar terutama di bidang pendidikan kualitas SDM yang produktif dan berdaya saing, kebutuhan gizi, maupun sarana dan prasarana fisik sesuai kebutuhan, (iii) Pelestarian pranata dan kearifan local, (iv) Parisipasi lembaga kemasyarakatan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Kelembagaan masyarakat dalam pengembangan UEP Lembaga local yang bergerak di bidang ekonomi, memiliki kontribusi strategi sebagai wahana dalam menggerakkan potensi ekonomi local. Kerapuhan usaha ekonomi rakyat selamat ini, disebabkan belum adanya kolaborasi efektif dari berbagai usaha ekonomi yang ada, agar efisien dalam mengelola, efektif dalam mengembangkan usaha, dan optimal dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu dalam rangka penguatan kelembagaan ekonomi local perlu dikembangkan berbagai kerjasama efektif antar pelaku usaha ekonomi di desa. Peran koperasi dan usaha bersama yang telah dirintis perlu dikembangkan lebih optimal. Adapun beberapa prioritas yang dapat diagendakan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif di desa antara lain meliputi : Pertama, penumbuhan usaha ekonomi sesuai karakteristik kemampuan, peluang pasar dan prospektif, melalui : (1) menemukenali, menggali dan mengaktualkan potensi ekonomo local guna merangsang tumbuhnya peluang kerja, kesempatan kerja dan berusaha, (2) Peningkatan akses permoalan yang diarahkan ke pengembangan lembaga keuangan 4
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
pedesaan yang sustainable. (3) Peningkatan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan teknis produksi, budidaya, serta keterampilan usaha bagi SDM desa, (4) peningkatan akses teknologi melalui upaya pengenalan, proses transformasi dan pelatihan dengan tujuan meningkatkan keterampilan dan nilai tambah produk (5) pembinaan kemampuan manajemen usaha (6) pengembangan akses informasi pasar agar pemasaran hasil usaha berjalan lancar dengan harga yang menarik (7) pendampingan guna menjamin keberlanjutan usaha, sampai titik dimana masyarakat lebih dapat mandiri (8) Pembinaan agar masyarakat mampu mengelola surplus usaha secara proporsional dan tidak terjebak pada orientasi konsumtif yang berlebihan. Kedua, penguatan transaksi usaha ekonomi rakyat. Pada umumnya usaha ekonomi masyarakat desa memiliki nilai transaksi ekonomi yang rendah dan potensial memperoleh ancaman dari usaha industri dan bisnis skala besar. Hal ini terjadi karena : (1) Usaha rakyat pedesaan umumnya termasuk ”usaha pasaran” yang mudah dimasuki semua orang, (2) Produsen tidak memiliki akses informasi pasar yang memadai, (3) sering terjadi fluktuasi harga, karena panen yang melimpah, (4) ancaman dari produk subsitusi pabrikan yang relative bermutu dan lebih murah, (5) daya saing produk rendah, karena keterbatasan modal, teknis produksi, manajemen dan promosi. Untuk menguatkan transaksi usaha rakyat, maka diperlukan beberapa langkah, diantaranya : (a) peningkatan kualitas produk, harga yang bersaing, efisiensi biaya produksi dan pembenahan distribusi dan promosi, (b) diversifikasi produk dengan pengaturan sentra produksi unggulan, (c) memfokuskan pada segmen pasar tertentu sehingga terhindar dari persaingan frontal (d) perlindungan pemerintah dalam bentuk subsidi, pembinaan, regulasi dan penetapan harga pasar, (e) adanya jaringan informasi pasar untuk produk-produk usaha rakyat, (f) kemitraan usaha dengan sector usaha besar atas dasar saling menguntungkan. Ketiga, mengembangkan industri pedesaan dalam bentuk industri pengelolaan hasil pertanian (agro-Industri) hal ini dirasa penting untuk mengkaitkan antara sektor pertanian dengan sektor industri dan untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Untuk itu perlu kiranya dikembangkan adopsi. Tehnologi Tepat Guna (TTP) guna mendukung : (1) pengelolaan produksi agar memiliki nilai tambah tinggi, (2) peningkatan jumlah produksi, efisiensi, produktivitas, mutu dan keanekaragaman, (3) penggunaan tenaga kerja lokal secara optimal, (4) tersedianya teknologi murah, mudah perawatannya dan menjanjikan keuntungan. Keempat, mengembangkan kemitraan usaha atas dasar saling menguntungkan saling memperkuat dan saling membutuhkan. Adapun model kemitraan yang dikembangkan bisa berupa : (1) model kemitraan produk, yakni inti- plasma , sub-kontak, vendor, (2) model kemitraan permodalan, (3) modal kemitraan manajerial. Kelembagaan Kemasyarakatan dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar
5
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara mendasar terkait dengan peningkatan kualitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan maupun infrastruktur lingkungan, strategi pengelolaan pembangunan di masing-masing desa diharapkan mampu menyentuh prioritas-prioritas penting pada bidang-bidang pokok diatas sesuai dengan kebutuhan, peluang dan kemampuan yang asa. Apabila bidang-bidang kebutuhan dasar diatas terpenuhi hal itu akan menjadi kunci bagi peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan kemajuan dari masyarakat desa secara keseluruhan. Kelembagaan lokal diharapkan dapat mengembangkan peran dan fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu dapat dilakukan dalam bentuk santunan maupun perguliran modal. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik sasaran. Pada kelompok marginal dan rentan, dimana tidak dimungkinkan maupun berkembang dengan diberikan modal bergulir, maka kepada mereka diberikan santunan secara hibah. Namun kepada kelompok masyarakat yang berpotensi dan berkemampuan mengembangkan usaha, maka bantuan itu pemenuhan kebutuhan dasar selayaknya dilaksanakan melalui stimulant modal secara bergulir. Demikian pula dalam pengadaan infrastruktur perlu dipertimbangkan kemanfaatan sosial-ekonomi bagi pengembangan fasilitas umum maupun pengembangan akses ekonomi desa. Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar ini dapat di kembangkan institusi – institusi lokal semacam lumbung pedesaan, koperasi primer yang telah ada, yayasan sosial, yayasan pendidikan maupun usaha untuk mengembangkan lembaga keuangan pedesaan. Penguatan kelembagaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar bisa dilaksanakan secara terpadu, misalkan melalui pengembangan usaha ekonomi rakyat melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes dirancang tidak sekedar tidak sekedar sebagai instrumen penguatan ekonomi, namun secara terpadu juga menyalurkan sebagian keuntungannya untuk keterjaminan sosial warga dan pembangunan infrastruktur di desa. Kelembagaan Masyarakata dalam Pelestarian Tradisi dan Kearifan Lokal Tradisi merupakan nilai atau norma, kaidah atau keyakinan-keyakinan yang masih dihayati dan dipelihara, bahkan dipatuhi oleh masyarakat desa atau satuan masyarakat lainnya dalam rangka mewujudkan tertib sosial dan kesejahteraannya. Tradisi itu sering kali terwujud secara lestari dan berkembang berdasarkan ikatan keyakinan komunitas lokal. Pelestarian tradisi penting dilakukan sebagai filter terdepan dalam menghadapi budaya asing, khusunya sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat lajunya. Disamping itu, tradisi yang tumbuh pada suatu masyarakat pada dasarnya juga menjadi asset atau modal sosial yang penting dalam rangka memberdayakan (empowering) masyarakat demi mewujudkan kualitas hidup dan kesejahteraan.
6
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Selama ini masih berkembang pandangan sederhana mengenai pengelolaan pembangunan yang beredar luas pada khalayak umum. Proses pembangunan dimaknai secara sederhana sebagai perubahan kehidupan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Modernitas dilakukan dengan memperkenalkan lembaga dan nilai-nilai baru dengan menghancurkan tatanan nilai atau kelembagaan tradisional, yang dipandang sebagai kendala terhadap jalannya proses modernisasi Dengan demikian, tolok ukur sukses pengelolaan pembangunan adalah seberapa pesat nilai yang berlaku di masyarakat meninggalkan ikatan nilai tradisi seperti kekeluargaan, kegotong-royongan, nilai-nilai keagamaan, adat-kebiasaan lokal, maupun pranata budaya yang sebenarnya telah berurat dan berakar dalam formasi kehidupan sosial. Pandangan semacam ini jelas mengandung kelemahan mendasar, karena mengabaikan asas kerakyatan serta mengabaikan nilai-nilai dan lembaga-lembaga yang dirujuk secara pekat dan terbukti unggul sebagai kerangka acuan dalam membina kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup juga kesejahteraan masyarakat lokal. Dampak lebih lanjut implementasi kerangka modernisasi dalam pengelolaan pembangunan adalah masyarakat diberlakukan sebagai kesatuan yang homogen. Terjadi keseragaman pola perubahan yang didesiminasikan kepada seluruh sasaran pembangunan. Padahal, masyarakat sebenarnya merupakan kesatuan komunitas yang cukup memiliki keragaman nilai dan kelembagaan. Akibatnya bantuan teknis atau fasilitasi yang diberikan sering tidak sesuai dengan karakteristik kondisi dan kebutuhan masyarakat yang memang berbeda-beda sesuai dengan lokalitasnya. Sementara itu banyak ”aktifitas pembangunan” yang didasarkan pada nilai tradisi dan kearifan lokal justru menunjukkan efektifitas dan efisiensi dalam prosesnya dan optimal dalam mewujudkan hasil yang diharapkan. Nilai kearifan lokal dibidang pengembangan partisipasi dan keswadayaan, pembangunan yang berwawasan kelestarian lingkungan, pemanfaatan aset adat-budaya sebagai modal sosial dalam mewujudkan kesejahteraan adalah serangkaian tema-tema yang menunjukkan optimalitas pola pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan pembangunan yang berdasarkan penghormatan pada tradisi lokal. Penguatan kelembagaan dalam hal ini berarti mengoptimalkan fungsi lokal yang berfungsi sebagai wadah penerapan, pelestarian, sekaligus pengembangan tradisi yang ada. Dalam hal ini masyarakat diberikan wewenang untuk menggali sistem pengetahuan dan nilai-nilai fungsional yang dibutuhkan agar mereka mampu berpartisipasi dengan tetap berlandaskan pada jati diri dan akar budaya yang dimilikinya. Seringkali pengembangan kelestarian dan kearifan lokal ini tidak semata berorientasi sosial-kultural, namun juga ekonomi, semacam pengembangan pariwisata lokal.
7
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Kelembagaan masyarakat dalam pengambilan keputusan pengelolaan pembangunan Pada jalur ini, agar kelebagaan lokal memiliki fungsi dan peran yang optimal, maka seharusnya lebih meningkatkan kontribusi dan perannya dalam pengelolaan pembangunan. Pengelolaan pembangunan partisipatif memberikan peluang besar bagi masyarakat termasuk kelembangaan lokal dalam pengambilan keputusan dan mendayagunakan keswadayaan guna mengembangkan potensi dan menangulangi permasalahan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan mutu kehidupan masyarakat yang lebih baik secara transformatif. Berbagai bentuk tindakan pengelolaan pembangunan desa bisa meliputi kegiatan: (i) perumusan visi dan misi bersama tentang makna, urgensi dan perioritas-perioritas pembangunan, (ii) pengkajian potensi dan modal sosial yang dimiliki bersama dalam mendukung harapan-harapan perubahan yang diinginkan, (iii) melaksanakan dan mengendalikan program, (iv) melakukan evaluasi dan refleksi bersama terhadap pelaksanaan program, dan (v) menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) program. Penyusuna RTL program ini menandai siklus baru dalam upaya pencapaian mutu kehidupan masyarakat yang lebih baik, lebih meningkat, lebih manusiawi, merupakan langkah transformatif yang dilakukan secara terus menerus melalui aksi-refleksi dari semua pihak tanpa terputus-putus. Rangkain diatas merupakan mekanisme manajemen yang partisipatif yang dimmplementasikan dalam pembangunan dengan visi pemberdayaan.
8
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
DARTAR PUSTAKA
Azis, H. Moh. Ali, 2005, Pendekatan Sosio-Kultural dalam Pemberdayaan Masyarakat, dalam Rr. Suhartini, dkk. (eds). Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pesantren. Billah, M.M, 1997, Alternatif Pola Pembangunan Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan, dalam Elza Peldi Taher (ed), Menatap Masalah Pembangunan Indonesia, Jakarta, Lembaga Kajian Masyarakat Indonesia. Budiman Arif, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Handono Eddie B. Dkk, 2005, Kumpulan Modul APBDes: Membangun Tanggung-gugat Tata Pemerintahan Desa, Forum Pengembangan Pebaruan Desa (FPPD), Yogyakarta dan Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Bandung. Kartasasmita, 1996, Pemberdayaan Masyarakat: konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat, Jakarta, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Surahman F, 2004, Administrasi Pemerintahan Desa, Diktat Kuliah, Tidak Dipublikasikan.
9
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
DESENTRALISASI, PILKADA LANGSUNG DAN EFEKTIFITAS PEMERINTAHAN DAERAH Abubakar Basyarahil*)
Abstraction : Decentralization that appear along with Indonesia policies reformation make growth local democracy development efforts as democratization integral part according to national. one of manifests local democracy bring about mechanism recruitment region leadership according to more populist shaped execution Pilkada according to direct. Pilkada run as mechanism gives region government legitimate and responsive for happen order kelola government local good (good local governance). in perspective decentralization theory, good local governance as effective manifests region government blooms to pass 3 (three) evolution stages: government order local responsive, government order local network and government order local partnership. hence, Pilkada mechanism direct believed as preconditions for materialized good local governance as reflection effective region government Keyword : Decentralization, Pilkada direct, effective’s region government.
Pendahuluan Gerakan reformasi yang berujung pada kejatuhan pemerintahan Orde Baru di akhir dekade 1980an telah melahirkan terjadinya perubahan yang amat fundamental dalam tatanan politik Indonesia. Perubahan dimaksud berkaitan dengan implementasi nilai-nilai politik demokrasi dalam keseluruhan tataran praktek kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang dilakukan melalui serangkaian perancangan ulang mekanisme bekerjanya struktur, pola hubungan dan proses politik sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Karenanya .gerakan reformasi tersebut dipandang sebagai pintu gerbang terjadinya demokratisasi dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Sebagai manifestasi implementasi nilai-nilai demokrasi, berbagai perubahan penting dilakukan pada berbagai tataran.. Pada tataran yang sifatnya fondamental, serangkaian perubahan konstitusi dilakukan melalui langkah-langkah amandemen konstitusi UUD 1945 dengan semangat yang makin menumpukan kekuasaan pada kedaulatan rakyat melalui perlindungan serta jaminan hak-hak rakyat dalam proses politik sebagai "lanskape politik" bagi penyelenggaraan tatanan demokrasi tersebut.. Pada tataran struktur politik berbagai mekanisme formasi dan fungsi kelembagaan politik dirancang ulang untuk menjamin bekerjanya mekanisme checks and balances yang 10
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
menghindarkan adanya akumulasi kekuasaan di satu struktur poltik tertentu yang bertentangan dengan prinsip dan praktek demokrasi. Salah satu perubahan fondamental yang berkaitan dengan upaya membangun pola kekuasaan demokratis adalah semakin diakuinya prinsipprinsip otonomi pada berbagai levelitas hubungan kekuasaan pemerintahan. Diyakini bahwa praktek demokrasi dengan pemberian otoritas politik yang lebih besar kepada rakyat hanya akan efektif terjadi jika pusaran mekanisme pengelolaan pemerintahan didesentralisaikan kepada otoritas yang makin dekat dengan rakyat. Karenanya pemberian kewenangan kepada satuan kekuasaan pemerintahan yang lebih kecil dan lebih dekat dengan rakyat merupakan suatu kebutuhan yang mutlak dan tak dapat dihindari (Syaukani,2002:31). Atas dasar pemikiran diatas, wacana desentralisasi tumbuh berkembang mengiringi berbagai perubahan kearah demokratisasi politik tersebut. Secara konsepsional, desentralisasi dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif: administratif dan politik. Berdasarkan perspektif administratif, desentralisasi didefinisikan sebagai the transfer of administrative responsibility from central to local government. Dalam konotasi ini, menurut Harold F. Alderfer , desentralisasi menampilkan dirinya dalam bentuk dekonsentrasi berupa pelimpahan wewenang administrative dari pusat ke daerah, dimana daerah semata dipandang sebagai unit-unit administrasi yang menjalankan perintah pusat. Dalam konteks ini, tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang dapat diambil di tingkat lokal karena badanbadan pusat memiliki semua kekuasaan sementara pemerintah lokal sepenuhnya berkedudukan sebagai bawahan . (Muluk, 2007 :5). Sedangkan dalam perspektif politik, desentralisasi dipahami sebagai the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of governments within a state, or office within a large organization. Dalam perspektif ini, sebagaimana dinyatakan Conyers. D, desentralisasi dapat dipahami sebagai devolution of power from central government to local government ( Muluk, 2007 : 6). Dengan pemahaman desentralisasi sebagai devolusi, desentralisasi memberikan derajat kewenangan dan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat dan menjalankan keputusan sendiri ( freedom which is assumed by local government in both making and implementing its own decision (Pusat Studi Hukum dan HAM, 2007: 2) Berdasarkan berbagai perspektif diatas, Desentralisasi pada hakekatnya amat berkaitan dengan pengalihan kewenangan dan tanggung jawab (delegation of power and responsibility) yang dapat diukur dari sejauhmana unit bawahan memiliki wewenang dan tanggung jawab didalam proses pengambilan keputusan (Widodo, 2003:51) Implikasi dari desentralisasi tersebut adalah dibentuknya daerah otonom dimana daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat atas prakarsa sendiri menurut aspirasi masyarakat disebut otonomi daerah. (Widodo,2003:5). Dalam konteks seperti 11
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
ini, otonomi daerah dipandang sebagai manifestasi nyata dari implementasi konsepsi desentralisasi. Berangkat dari pemahaman bahwa otonomi daerah merupakan perwujudan prinsip-prinsip desentralisasi sebagai tata hubungan pusat – daerah yang tumbuh dalam bingkai demokratisasi, maka dapat dinyatakan bahwa otonomi daerah memiliki kaitan yang amat erat dengan proses demokrasi. Ada sejumlah alasan yang melandasi munculnya wacana otonomi daerah dalam konteks demokrasi : Pertama , Pemberian kewenangan bagi pemerintahan di daerah diyakini dapat lebih memungkinkan penyelenggaraan fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien karena pemerintah daerah memiliki political proximity dengan rakyat sehingga memungkinkan pengelolaan pemerintahan makin lebih sejalan dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Melalui pemberlakuan desentralisasi, lokus pengambilan keputusan dan kebijakan politik pemerintahan semakin dekat kepada rakyat sehingga rakyat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat secara aktif dalam keseluruhan proses kebijakan pemerintah. Kedua, Pendidikan politik . Berbagai ahli poltik menyatakan bahwa pemerintah daerah merupakan ajang pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi suatu negara. Dengan adanya pemerintahan daerah akan membuka kesempatan bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam formasi dan pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. . Warga yang tidak memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional, akan memiliki peluang yang lebih terbuka untuk ikut serta dalam politik lokal baik dalam pemilihan umum lokal maupun dalam pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal. Ketiga, Pemerintah Daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Keterlibatan dalam proses politik lokal dapat menjadi modal untuk memasuki wilayah politik nasional .Karenya ,pemerintah daerah dapat menjadi ajang pembentukan jati diri, pencarian pengalaman, serta pemahaman awal tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana dinyatakan B.C. Smith " Local governmet may provide experience of party systems, legislative roles, methods of policy formulation, legislative – executive – administrative relationships accountability that are vastly different from what obtain at the national level (Syaukani, 2003: 26) Keempat, Stabilitas Politik : Pemberian kewenangan pada pemerintah daerah akan menjamin terciptanya stabilitas politik karena stabilitas nasional berawal dari stabilitas pada tingkatan lokal. Kelima , Kesetaraan politik (political Equity). Desentralisasi akan membuka tersedianya peluangterjelmanya kesetaraan politik diantara komponen masyarakat. Dalam lingkup hubungan kewenangan yang main terbatas, akan terbuka kesempatan partisipasi secara lebih luas dan merata. Robert Dahl menyatakan bahwa " dengan adanya demokrasi local, mendorong masyarakat di sekitar pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara rasional terlibat dalam kehidupan politik". Keenam, Akuntabilitas politik; Desentralilasi akan memungkinkan mengikat terselenggaranya akuntabilitas politik secara lebih kuat. Dalam konteks dimana desentralisasi dijalankan melalui pemberlakuan demokrasi local, para 12
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
pemegang jabatan politik pemerintah daerah secara langsung dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap proses kebijakan pemerintahannya secara lebih langsung kepada rakyat. Dari berbagai uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa desentralisasi yang diwujudkan melalui otonomi daerah merupakan aspek yang amat penting dalam proses demokrasi. Betapapun dikalangan sejumlah ahli terdapat sejumlah pandangan yang menyatakan bahwa desentralisasi dan demokrasi merupakan dua hal yang berbeda dan dalam prakteknya tidak selalu mengkait satu sama lain, namun kebanyakan ahli politik maupun administrasi memiliki keyakinan yang sama bahwa desentralisasi maupun demokrasi secara timbal balik saling memperkuat.. Alexis de Tocqueville bahkan menyatakan bahwa desentralisasi adalah prasyarat demokratisasi, (Marijan, 2006: 27). Karenanya efektifitas demokrasi akan semakin kuat, jika dalam proses demokrasi diikuti dengan desentralisasi, begitu pula efektifitas desentralisasi akan semakin kuat jika ia ditopang dengan pemberlakuan sistem demokrasi. Secara politis, desentralisasi dianggap memperkuat akuntabilitas, keterampilan dan integrasi nasional. Tiga hal tersebut yang hendak dicapai pula oleh demokrasi. Desentralisasi membawa pemerintah untuk lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu meningkatkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan landasan bagi partisipasi warga dan kepemimpinan politik baik untuk tingkat lokal maupun nasional (Muluk, 2007: 14) Dalam konteks dimana desentralisasi merupakan aspek yang amat penting bagi demokrasi, pelaksanaan desentralisasi pada dasarnya dapat memberikan landasan yang amat penting untuk mewujudkan democratic governance baik di tingkat nasional maupun lokal. Dimensi democratic governance memiliki peranan penting bagi terbentuknya good governance , karena good governance hanya akan terjadi jika diikuti oleh terjadinya proses yang sifatnya partisipatif. Karenanya berdasar perspektif ini, secara politik dan administratif substansi desentralisasi tidaklah semata menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, namun lebih dari itu juga harus diikuti oleh pengalihan kewenangan dari pemerintah daerah ke masyarakat sehingga desentralisasi pada akhirnya bermuara pada participatory democracy yang dibangun diatas dasar prinsip-prinsip political equity, political accountability dan local political responsiveness dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ( Prasojo,2007: 1) Konsepsi desentralisasi dengan demokrasi partisipatif yang dibangun diatas prinsip-prinsip persamaan politik, akuntabilitas politik dan reponsivitas politik local dapat dipandang merupakan elemen yang yang amat penting bagi terselenggaranya Good local governance. Good Local Governance dipahami sebagai penyelenggaraan pemerintahan local yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga "kesinergisan" interaksi yang konstruktif di antara domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). 13
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Dalam konteks membangun sinergi, UNDP mengembangkan pengertian bahwa "good governance system are participatory, implying that all members of governance institution have a voice in influencing decision making " (Widodo, 2003: 130). Didalam tulisannya "review of literature on indicators of good local governance", Esterella M menyatakan bahwa setidaknya terdapat 5 indikator yang dapat digunakan untuk mengukur 'good local governance" yaitu: 1. Partisipasi 2. Gaya kepemimpinan yang baru 3. Akuntabilitas dan transparansi 4. Pengelolaan public yang kapabel 5. Respek kepada hukum dan HAM ( Suhirman,2007:9). United Nations Developmen Program (UNDP) merekomendasikan sejumlah karakteristik good governance yang didalamnya mencakup legitimasi politik, kerjasama denan institusi masyarakat sipil, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial) , manajemen sector public yang efisien, kebebasan informasi dan ekspressi,system yudisial yang adil dan dapat dipercaya ( Krina, 2003: 7). Bertolak dari perspektif diatas, dapat dinyatakan bahwa penerapan desentralisasi merupakan proses pemberian wewenang dalam pengelolaan kekuasaan daerah yang diharapkan dapat bermuara pada terselenggaranya good local governance. Namun sebagai proses, good local governance yang ditempuh melalui desentralisasi tidaklah secara serta merta dapat terjadi, namun ia memerlukan rangkaian tahapan yang amat panjang. Menurut Nikawa, terbentuknya good local governance pada dasarnya merupakan proses evolutif yang bergerak pada 3 (tiga) tingkatan tata pemerintahan yaitu tata pemerintahan local responsive , tata pemerintahan local network dan berujung pada tata pemerintahan local kemitraan. The responsive local governance means the good governance of local government. Responsive local government ought to carry out its duty of responsibility and accountability for local people , and provide the chance of citizen participation. While citizen participation is increasing local government begin to change to the the network governance. The network governance is composed of the cooperation and responsiveness of local actor. Local actor are actually networked and exchange their information among them. The community action group, private company, and NGOs are the actors. Also thereis networking amount local government and many local actor, which operate to organize the network issues and then policy network in specialized area. This network functions in the participative decision making process of local government, which attain more effective and efficient policy outcome. In the network governance, the actors learn and grow in the governance partnership, providing that the local people acquire maturity as an owner and user of power and control in locality, is characterized by the equal partnership between local actors and government, the cooperation of provision of public service among them, and effective and efficien use of local resources though this cooperation.. The governance partnership will keep and secure the sustainability of community.( Nikawa,2007: 4)
14
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Implementasi konsepsi desentralisasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di masa reformasi dijalankan melalui penerbitan UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Penerbitan Undang-Undang ini , menampilkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah karena UU tersebut mengintroduksi cara pandang yang baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah , terutama jika dibandingkan dengan UU yang berlaku sebelumnya yaitu UU No. 5 tahun 1974 tentang "pokok-pokok Pemerintahan di Daerah". Refleksi paradigma baru UU tercermin dalam berbagai perubahan ciri yang secara menonjol diformulasikan didalam UU tersebut : Pertama, Demokrasi dan demokratisasi. Ciri menonjol dalam UU ini berkaitan dengan demokrasi dan demokratisasi tercermin dalam 2 hal yaitu rekruitmen pejabat pemerintah daerah dan proses legislasi di daerah. Proses rekruitmen pejabat di daerah tercermin dalam pemberian kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat di daerah, melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memilih pimpinan daerah tanpa campur tangan pusat. Sedang pada aspek legislasi tercermin pada pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyusun peraturan daerah maupun regulasi lainnya tanpa membutuhkan pengesahan pusat. Kedua, Mendekatkan Pemerintah dengan Rakyat. Ciri yang sangat menonjol dari UU No. 22 tahun 1999 adalah titik berat otonomi daerah pada daerah kabupaten/kota Dengan meletakkan otomi di kabupaten /kota, spektrum politik kewenangan menjadi amat dekat sehingga memungkinkan penyelenggaraan fungsi pemerintahan dilakukan secara cepat dan tepat. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. UU ini menegaskan menganut prinsip otonomi yang luas dan nyata, tidak sebagaiamana UU sebelumnya yang lebih menekankan pada prinsip otonomi Nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Dengan prinsip ini memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, terkecuali bidangbidang kebijakan yang menjadi wilayah kewenangan pusat Keempat, Tidak menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam UU ini tidak diberlakukan sistem otonomi bertingkat dan residual. Berbeda dengan UU sebelumnya, kedudukan pemerintahan diatur berdasarkan jenjang tingkatan sehingga dikenal Daerah Tingkat I untuk tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II untuk tingkatan kabupaten dengan pembagian urusan yang sifatnya residual dimana daerah-daerah yang tingkatannya lebih rendah tidak menyelenggarakan kewenangan yang dimiliki daerah yang lebih tinggi yang sekaligus bertindak sebagai atasan daerah yang lebih rendah. Kelima, No mandate without funding . UU ini meninggalkan cara pandang lama yang dianut sebelumnya bahwa pemberian kewenangan selalu dikaitkan dengan kapasitas keuangan daerah. . Otonomi sebagai konsekwensinya selalu diidentikkan dengan "oto-money". Makin besar kemampuan financial daerah, makin banyak diberi kepercayaan menyelenggarakan pemerintahan daerah.(function follows money) . Berbeda dengan UU sebelumnya, UU ini justru menganut prinsip money follows function. Daerah di beri kewenangan seluasluasnya tanpa melihat kemampuan finansialnya, dan dengan kewenangan itu 15
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
daerah dapat menggunakannya untuk menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh segenap lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat melalui DPRD. UU No.22 tahun 199 membuka peluang yang sangat besar bagi penguatan masyarakat di Daerah melalui penguatan DPRD baik dalam proses rekruitmen politik lokal ataupun dalam pembuatan kebijaksanaan publik di daerah (Syaukani, 2003: 190). Berbagai ciri yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa desentralisasi Indonesia yang diberlakukan melalui otonomi daerah sesungguhnya merupakan upaya transformasi pemerintahan untuk menumbuhkembangkan demokrasi lokal sebagai upaya membangun good local governance. Salah satu elemen penting didalam konteks pembangunan demokrasi lokal adalah formasi dan rekruitmen kepemimpinan lokal. Model formasi dan rekruitmen kepemimpinan daerah yang diterapkan akan menjadi mekanisme yang secara langsung akan sangat menentukan tercapainya tujuantujuan desentralisasi berupa bekerjanya fungsi-fungsi pemerintahan daerah berdasarkan prinsip-prinsip good local governance. Formasi dan rekruitmen kepemimpinan lokal dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia semenjak masa kemerdekaan mengalami evolusi perubahan yang sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Pertama, Berdasarkan UU No. 1 tahun 1945, Kepala Daerah dipilih oleh suatu Komite Nasional Daerah yang kemudian menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Tugas BPRD adalah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat atau Peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. . Komite Nasional Daerah memiliki anggota sebanyak 5 (lima) orang sebagai badan eksekutif yang bersama-sama dan dipimpin oleh kepala daerah melaksanakan pemerintahan daerah. Ketua Badan Perwakilan Rakyat Daearah dijabat rangkap oleh kepala daerah sebagai kepala badan eksekutif.. Kedua, Berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 dinyakatakn bahwa Kepala Daerah dipilih oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. . Dewan pemerintah Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah . Ketiga, UU No. 1 tahun 1957 menegaskan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Keapala Daerah dipilih oleh DPRD. Kepala Daerah Tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedang Kepala Daerah TK. II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan. Keempat, UU No. 18 Tahun 1965 menegaskan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. . Kepala Daerah Tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sedang Kepala Daerah Tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang 16
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
bersangkutan. Dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah bertangung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hirarki yang ada. Dalam menjalankan tugas Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian. Kelima, UU No. 5 tahun 1974 menegaskan bahwa bentuk dan susunan pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan memiliki otonomi nyata dan bertanggung jawab. Kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kepala Daerah TK. I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan Kepala Daerah TK II diangkat dan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan DPRD yang bersangkutan setelah mendapat "restu" dari pemerintah tingkatan diatasnya. Keenam, UU No. 22 tahun 1999 sebagai undang-undang produk pemerintahan reformasi dengan semangat "devolusi kewenangan" kepada Pemerintah Daerah yang menyusun jenjang pemerintahan secara tidak hierarkis. Lingkup Pemerintahan Daerah menjadi Daerah Otonom Propinsi, dan Kabupaten / Kota. Daerah Otonom Propinsi bersifat administratif, sementara Daerah Otonom Kabupaten/ Kota bersifat politik. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan, di daerah dibentuk DPRD melalui pemilihan umum legislatif sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Didalam UU ini ditegaskan bahwa Permerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya. DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah. Kepala Daerah dipilih dan bertangungjawab kepada DPRD. Gubernur bertangungjawab kepada DPRD Proponsi dan Bupati/Wali Kota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten . Dalam posisi semacam itu, sebagai representasi politik masyarakat di daerah, kedudukan DPRD menjadi sangat kuat. Implementasi UU No.22 tahun 1999 sebagai UU yang mencerminkan semangat "desentralisasi dalam konteks demokrasi dan demokratisasi" dengan memberikan kewenangan yang amat besar dan menentukan kepada DPRD sebagai representasi masyarakat di daerah, ternyata dalam prakteknya menimbulkan berbagai persoalan yang amat mengganggu substansi pelaksanaan otonomi daerah bagi terbentuknya good local governance. Salah satu masalah elementer yang secara luas berkembang adalah menyangkut praktek-praktek penyimpangan kewenangan oleh DPRD khususnya berkaitan dengan pemilihan eksekutif daerah hubungan kelembagaan legislatif – eksekutif. "Otoritas untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah acapkali disalahgunakan. Tidak sedikit para anggota DPRD itu yang memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi politik para konstituennya. Didalam proses ini, para anggota DPRD itu lebih suka melakukan deal-deal dengan para calon Kepala Daerah dibandingkan melakukan dialog dan penjaringan aspirasi dengan para konstituen. Terdapat dugaan, otoritas yang dimilikinya itu justru diperjual belikan... 17
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Tidak hanya otoritas didalam memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah saja yang acapkali disalahgunakan. Otoritas didalam meminta pertanggungjawaban (LPJ) juga tidak jarang disalahgunakan. Untuk ini ada dua kecenderungan kontras. Pertama adalah adanya 'kong kalikong' antara DPRD dengan Kepala Daerah yang terlihat dari kecenderungan untuk menerima begitu saja LPJ yang dibuat oleh Kepala Daerah, meskipun didalamnya terdapat kelemahankelemahan yang cukup mendasar. Kedua, forum LPJ dipakai untuk menjatuhkan Kepala Daerah... (Marijan, 2006: 16-17). Terjadinya berbagai penyimpangan akibat penyalahgunaan wewenang diatas, secara langsung telah mendeligitimasi kepercayaan terhadap DPRD sehingga memunculkan berbagai tuntutan perubahan atas UU No, 22 tahun 1999. Sebagai respon terhadap tuntutan tersebut, perubahan atas UU Otonomi Daerah kemudian diterbitkan melalui pengesahan UU. No. 32 tahun 2004 sebagai landasan baru dalam pelaksanaan otonomi daerah. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang diterbitkan sebagai perubahan atas UU No. 22 tahun 1999 memuat berbagai perubahan fondamental yang terlahir dari berbagai kelemahan dan kecenderungan penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999. Salah satu perubahan yang sangat elementer adalah berkaitan dengan mekanisme formasi dan rekruitmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.. Perubahan dimaksud menyangkut diberlakukannya mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung sehingga penentuan kepemimpinan daerah tidak lagi berada di tangan legislatif namun menjadi otoritas masyarakat daerah itu sendiri. Perubahan tersebut mencerminkan pergeseran dalam penentuan kepemimpinan daerah dari model yang sifatnya elitis ke ke model yang sifatnya populis. Dalam perspektif desentralisasi, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan inovasi yang bermakna strategis bagi proses demokrasi lokal khususnya jika dikaitkan dengan upaya mewujudkan good local governance sebagai tujuan dari dijalankannya kebijakan desentralisasi. Setidaknya , sistem pilkada langsung memiliki sejumlah keuanggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen kepemimpinan yang lahir dari berbagai Undang-Undang sebelumnya.. Secara normatif, pilkada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Pertama, Sistem Demokrasi langsung melalui pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kekuasaan untuk menentukan kepemimpinan di tangan segelintir orang anggota DPRD. Kedua ,dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat yang bersaing serta memungkinan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang publik yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan bingkai politik yang terjadi dalam sistem perwakilan. Pilkada langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada 18
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
upaya pembalikan "sindroma" dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan kompetisi yang tidak fair. Ketiga , Sistem pemilihan Kepada Daerah Langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, mlalui demokrasi langsung warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik, training kepemimpinan politik, dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Keempat , Pilkada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui pilkada langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga ketimbang pada segelintir elite di DPRD. Dengan demikian, pilkada mempunyai sejumlah manfaat berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada muaranya akan mendekatkan keapala daerah dengan masyarakat-warganya. Kelima , Kepala Daerah yang terpilih mealalui pilkada akan memiliki legitimasi yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (checks and balances) di daerah antara kepala daerah dan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik. (Dwipayana, 2006: 1). Berangkat dari pemikiran diatas, secara konsepsional pilkada langsung dapat memberikan implikasi politis yang amat luas bagi terbentuknya jalinan harmonis pemerintah daerah dan rakyat. Tuntutan –tuntutan yang secara inherent melekat didalam mekanisme yang sifatnya populis tersebut, merujuk pada pendapat Nikawa, menempatkan pilkada sebagai pintu masuk bagi terjalinnya good local governance, karena otoritas yang dimiliki rakyat sebagai pemilih dalam menentukan kepemimpinan daerah secara langsung ataupun tidak langsung akan mengharuskan pimpinan daerah bersikap responsif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat daerah. Secara ideal , melalui pilkadal , rakyat di daerah secara independen dapat menentukan pemimpin-pemimpin yang diinginkannya. Konsekwensinya, para pemimpin itu diharapkan dapat merumuskan, membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan daerah yang sesuai dengan kebutuhan dan selera masyarakat daerah. (Marijan, 2005: 2) Disamping mekanisme pemilihan langsung akan mendorong lahirnya pemerintahan yang responsif, pilkada langsung menjamin pemerintahan yang terbentuk dan dihasilkan lewat mekanisme tersebut memiliki tingkat legitimasi yang tinggi. Karenanya kualitas pemilihan kepala daerah akan sangat menentukan kualitas legitimasi pemerintahan yang dihasilkan. Makin tinggi kualitas pemilu itu dijalankan, makin tinggi pula legitimasi pemerintahan yang dihasilkan. Makin tinggi legitimasi pemerintahan akan semakin kuat pula kedudukan kepala daerah , sehingga makin memungkinkan pemerintah 19
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
daerah menjalankan fungsi-fuingsi pemerintahan secara lebih efektif. "Indeed democracy is not only a type of political regime, but also a form of state governance. Democracy differs from other forms of regimes in its distinctive way of governance. Every political system must gain authority and then use authority. Without an effective government, no democracy is meaningful. The presence of an effective government is a prerequisite for high quality of democracy ( Wong, 2005: 2-3). Efektifitas pemerintahan lokal sebagai manifestasi good local governance , amat bertumpu pada mekanisme pengelolaan dan penggunanaan kekuasaan yang sifatnya sah yang berada dalam jangkauan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah. Dalam perspektif Weberian, kekuasaan pemerintah secara fondamental dapat dibedakan kedalam 2 (dua) kategori : despotik dan infrastruktural. Kekuasaan despotik dijalankan pemerintah tanpa perlu "negosiasi dengan kelompok-kelompok civil society". Tingkat penggunaan kekuasaan ini diukur dari derajat intrusivitas dan ekstensifitas intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat secara luas. . Dalam sistem yang tidak demokratis, kekuasaan ini sangat luas dan cenderung tidak terbatas, sedang pada sistem yang demokratis ia memiliki batasan-batasan dalam berbagai aspek dan tingkatan yang berbeda. Sedang kekuasaan infrastruktural menunjuk pada kemampuan aktual pemerintah untuk melakukan penetrasi terhadap civil society dan menerapkan keputusan-keputusan politik secara efektif pada seluruh aspek kehidupan. Dalam perspektif kekuasaan infrastruktural, efektifitas pemerintahan sangat ditentukan oleh kapasitas pemerintah untuk menjalankan fungsi-fungsi utama sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Fungsi-fungsi utama tersebut amat luas dengan jangkauan yang selalu berubah, sehingga efektifitas pemerintahan dipandang sebagai gejala yang sifatnya kompleks dan multidimensional. Berbagai dimensi kapasitas fungsi sebagai parameter efektifitas pemerintahan , menurut Shaoguang Wang mencakup: Pertama, Kapasitas koersief: berupa kapasitas pemerintah untuk memonopoli penggunaan kekerasan secara sah sebagai instrument pengendalian pemerintah dalam menjamin terwujudnya tertib sosial. Kedua, Kapasitas ekstraktif berupa kemampuan pemerintah untuk menyerap sumber daya baik manusia maupun alam yang berasal dari lingkungannya. Ketiga, Kapasitas Assimilatif mencakup kemampuan pemerintah untuk membentuk, menanamkan dan memelihara nillai , identitas dan jati diri masyarakat sebagai elemen fundamental dalan membentuk kemampuan adaptasi masyarakat. Keempat, Kapasitas Regulatif, yang mencakup kemampuan pemerintah untuk mengatur, mengendalikan dan bahkan merubah prilaku individu ataupun kelompok masyarakat. Kelima, Kapasitas Steering berupa kemampuan pemerintah untuk mempertahankan keutuhan internal lembaga-lembaga pemerintahan.
20
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Keenam.
Kapasitas redistributif berupa kemampuan mendistrusikan sumber daya yang dimiliki.
pemerintah
untuk
Dalam konteks good local governance, berbagai kapasitas fungsional pemerintah harus dijalankan pemeritah daerah didalam 3 (tiga ) tataran pemerintahan yang responsive, pemerintahan network dan pemerintahan kemitraan. Berbagai tataran pemerintahan local yang baik tersebut dapat dilakukan pemerintah daerah melalui pengembangan 3 (tiga) strategi : reorientasi, restrukturisasi dan aliansi. Reorientasi menunjuk pada tuntutan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perubahan pada arah (direction) pengelolaan kekuasaan yang dimilikinya . Salah satu aspek penting dalam perubahan arah pengelolaan kekuasaan adala perubahan “orientasi government ke governance” . “Government oriented“ menempatkan pemerintah pada posisi sentral sebagai pemegang otoritas tunggal dalam penyelenggaraan pemerintahan, sedang ”governance”sebagaimana dinyatakan Myungsuk Lee, lebih menempatkan pemerintah tidak lebih dari sebagai institusi mekanisme koordinasi sosial (institution of social coordination mechanism), yang didalamnya melibatkan aktor-aktor lain di luar pemerintah dalam menjalankan fungsifungsi yang selama ini dijalankan pemerintah. Strategi restrukturisasi merupakan konsekwensi logis dari dilakukannya reorientasi fungsi pemerintah. Esensi dari restukturisasi adalah terbentuknya apa yang disebut dengan “citizen governance” dimana pemerintah daerah membuka diri seluasluasnya baga partisipasi bagi berbagai kekuatan di luar pemerintah dalam proses pemerintahan. Penjabaran dari langkah ini, secara melembaga dapat dilakukan pemerintah melalui strategi aliansi dimana pemerintah menyatukan berbagai kekuatan partisipatif untuk menghasilkan sebuah sinergi dalam rangka efektifitas pemerintahan. ( Myungsuuk, 2003, 5). Reorientasi, restrukturisasi dan aliansi sebagai penjabaran tuntutan terwujudnya tata kelola pemerintahan daerah yang baik membutuhkan modal politik yang amat kuat sebagai kekuatan fundamental bagi terjadinya rangkaian perubahan tersebut. Modal politik yang amat elementer adalah terjalinnya political linkages antara pemerintah dan rakyat sebagai basis dukungan pemerintah. Dalam konteks semacam ini, logika pengembangan demokrasi local melalui pemilihan kepala daerah secara langsung dan efektifitas fungsi pemerintahan dalam rangka good local governance merupakan proses yang memberikan efek cyclical dan secara timbal balik saling menyangga bagi efektifitas pelaksanaan politik desentralisasi .
21
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Karim, Abdul Gaffar , Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Lee Myungsuk, Conseptualizing the New Governance: A New Institution of Social Coordination, Indiana University, Bloomington Indiana, 2003. Marijan , Kacung, Demokratisasi di Daerah, Pustaka Eureka & PusDeHAM , Surabaya, 2006. Marijan, Kacung, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Demokratisasi di Daerah, Airlangga University Oress, Surabaya, 2005 Muluk, Khairul M.R., Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayu Publishing, Malang, 2007. Nugroho, Riant, Otonomi Daerah : Desentralisasi Tanpa Revolusi, Media Komputindo, Jakarta, 2000. Putera , Fadillah, Devolusi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. Syaukani, HR, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2003 Widodo, Joko, Teori Administrasi Negara, Program Paska Sarjana UNTAG, Surabaya, 2003. Artikel : Arif, Sayaiful & Utomo, Paring W, Good Governance Dalam Perspektif Otonomi Daerah, 2004. Dwipayana, Arim.GN.AA, Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah, 2005. Marijan, Kacung, Pilkada Langsung: Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Ekonomi dan Demokrasi Lokal, 2007. Prasojo, Eko, Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pratikno, Hal-Hal Krusial Dalam RevisiTentang Pilkada, 2007.
22
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Pratikno, Masukan Untuk Revisi No. 32 /2004 Bab PILKADA, 2006. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Pemilihan Kepala Daerah, 2005. Suhirman, Partisipasi Warga dan Pemerintahan Daerah, 2007. Wang, Shaoguang, Democracy and State Effectiveness, 2006.
23
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
MEMBANGUN DENGAN “KEPERCAYAAN” MENUJU MASA DEPAN MADURA YANG LEBIH SEJAHTERA H. Amiril*)
Abstraction: Belief is something that according to fundamental is on human self. Belief or ”feel mutual belief” will not appear and showed according to suddenly but ”beliefe only will born when society will begin from taste mutual will realize, love and make into taste with accomplishments with, when believe born, task with to care with communication and togetherness. To give birth to belief is need time. belief easier if there one sameness, although meaningless there will be no belief in society / heterogeneous nation and belief wants leadership that give model and spirit that is trust (belief) that can has.
Pendahuluan Gaung pembangunan jembatan SURAMADU yang akan menghubungkan Madura dengan Kultur ”Desa besar” dengan Surabaya dengan kultur Metropolitan itu, tak ubahnya seperti pasang surutnya air laut, yang mengikuti besar kecilnya bulan diatas kepala kita. Pada suatu diperkenalkan konsep pembangunan itu, seolah-olah akan secepatnya terealisir, namun bersamaan berlalunya purnama berakhir pula pasang air lautnya, dan hilang pula kabar dan kegiatan pembangunan jembatan prestisius itu. Pada saat berikutnya muncul kembali suara dan gairah melanjutkan keinginan menghubungkan Madura dengan Surabaya, dengan membagi kewajiban antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah di daerah yang kemudian sempat terhenti dan alhamdulillah tidak terlalu lama kabar hangat yang sempat redup itu kini muncul kembali. Berbagai alasan pembenaran yang sempat tersebar, bahwa kegagalan itu disebabkan tokoh-tokoh masyarakat Madura – Ulama – menolak karena khwatir Madura akan dijadikan sebagai ”Batam kedua”. Kekhawatiran akan merebaknya kemaksiatan di tanah madura yang dinyatakan sebagai wilayah islam.tentu pertanyaan kegagalan ini akan sangat mengusik sebagian besar masyarakat madura, termasuk tokoh-tokoh yang ”dikambinghitamkan” itu karena sesungguhnya mereka sangat mengharapkan terwujudnya pembangunan jembatan tersebut. Apa sesungguhnya yang terjadi ? benarkah ada penolakan yang menjadi penyebab gagalnya pembangunan tersebut ? benarkah masyarakat Madura tidak menghendaki terbukanya Madura terhadap arus kemajuan ke depan ? apakah bukan karena ketiadaan dana pembangunan itu penyebabnya ? kalau demikian halnya, seberapa besar ”kita” memandang pentingnya nilai 24
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
pembangunan itu penyebabnya ? kalau demikian halnya, seberapa besar ”kita” memandang pentingnya nilai pembangunan jembatan Suramadu itu, baik dilihat dari kepentingan Nasional maupun kepentingan Regional dan Daerah ?. Mengembangkan sebuah pertanyaan dengan jawaban yang tidak jelas, cenderung mengiring seseorang pada pemikiran buruk yang saling menyalahkan, saling menuding dan menuduh dan tidak akan pernah mencapai penyelrsaian yang saling menguntungkan. Menurut para bijak bestari, ’’ berpikir negatif senantiasa mengiring pada penumbuhan masalah dan hanya dengan berpikir ositif, masalah dapat di selesaikan’’. Berangkat dari tauziah para bijak tersebut, ada baiknya dalam ’’ kasus alotnya pembangunan jembatan suramadu’’ itu. Bahwa tidak ada satu pihakpun yang menolak karena memang tidak pernah ada penolakan yang sesungguhnya, yang ragu-ragu atas manfaatnya atau kurangnya kepedulian terhadap upaya-upaya pengembangan madura. Untuk mengurangi benang kusut itu, disini perlu kita akhiri kesalahpahaman/kukurangfahaman yang dapat menimbulkan kecurigaan dan keragu-raguan. Secara berturut-turut akan kami coba jelaskan : a. Upaya menimbulkan rasa saling percaya dalam rangka mengembangkan sikap partisipstif masyarakat Madura terhadap rencana dan pelaksanaan pembangunan jembatan Suramadu dan industrialisai di Madura. b. Sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh masyarakat memasuki era industrialisasi di Magura.
Pembangunan Bukan Sekedar Sarana dan Prasarana Pembangunan senantiasa menyangkut kehidupan perseorangan dan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi, dan politik secara utuh. Pembangunan tidak hanya menyangkut tentang sarana dan prasarana yang tak dikaitkan dengan kepentingan secara utuh tersebut. Sikap menerima atau menolak terhadap sesuatu konsep pembangunan – terutama yang bermuatan teknologi yang masih asing – akan sangat mungkin terjadi, hal itu tidaklah berarti mereka tidak menghendaki adanya perubahan yang diharapkan memajukan kehidupan mereka, akan tetapi keadaan hidup yang pas-pasan – secara ekonomi – akan membuat mereka sangat hati-hati untuk menerima sesuatu yang baru karena adanya kekhawatiran atas resiko yang harus dihadapi. ”Karena kemiskinan yamg terlalu mencekam secara teratur dan kontinyu, akhirnya pada diri petani miskin timbullah sikap anti resiko, mengingat bahwa apa yang dipertaruhkan dalam mencoba suatu inovasi / usulan baru dari luar kadang-kadang masih dinilai sebagai masih terlalu mahal. Sikap ini menjelaskan bahwa apa yang masih dapat diperoleh sebenarnya merupakan hasil yang terakhir yang masih dapat dijamin pengadaannya”. Kesulitan dan kekecewaan yang sering dihadapi oleh masyarakat dan keinginan untuk bertahan hidup membuat mereka sangat berhati-hati dan 25
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
curiga menghadapi sesuatu yang baru, yang asing, yang belum diketahui dengan jelas sampai mereka melihat keberhasilan tetangganya. Kekhawatiran, ketidakpercayaan inilah yang menimbulkan kesan hidup tanpa dinamika – statis – dan senantiasa menunjukkan sikap curiga terhadap sesuatu yang baru, termasuk akan adanya jembatan yang menghubungkan Madura dengan Surabaya serta rencana pengembangan industrialisasi di Madura yang dianggapnya dapat mengancam segala sesuatu yang sangat dihargai bagi mereka, bukan saja dalam bidang / kepentinganekonomi tetapi juga menyangkut nilai budaya dan agama yang sangat dihargai. Pengalaman yang diperolehnya dari tempat lain, tentang dampak negatif daripada industrialisasi. Memang sudut peningkatan mutu ekonomi rata-rata masyarakat industrial mampu memiliki pendapatan tinggi, namun dalam aspek kehidupan yang lain industrialisasi menaikkan mutu masyarakat itu. Keadaan ini sering dijumpai bahwa seiring kemajuan yang dicapai di bidang ekonomi lewat industrialisasi seperti naiknya tingkat kejahatan, kenakalan remaja, munculnya tempat-tempat hiburan yang bernilai maksiat dan sebagainya, yang semua itu dirasakannya sebagai ancaman serius terhadap sistem tata nilai yang sangat dihormati. Kekhawatiran, rasa takut tersebut diatas bukan sesuatu yang diadaadakan, tetapi adalah suatu keadaan yang benar-benar harus disikapi secara sungguh-sungguh agar tidak menjadi penghalang dikemudian hari, harus diusahakan secara sistematis untuk menggantikan kekhawatiran dan keraguraguan dengan keyakinan yang dapat mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, dan bahkan adanya langkah-langkah yang dapat memberi jaminan atas resiko yang mereka hadapi. Kekhawatiran masyarakat petani terhadap penggunaan pupuk kimiawi dan pestisida ternyata dapat dihilangkan ketika penyuluh pertanian berhasil mengujicobakan di lahan-lahan demoplat mereka, yang saat ini justru pemerintah kewalahan untuk menyediakan kebutuhan mereka yang terus meningkat – mungkin sebagai akibat pemakaian yang kurang hati-hati dan teliti – demikian juga dengan upaya pengenalan mesinisasi dan penggunaan alat tangkap lainnya pada lingkungan masyarakat nelayan di Madura, ketakutan dan keragu-raguan mereka hilang setelah mereka melihat keberhasilan nelayan lain yang berhasil yang sekarang telag mengarah pada padatnya armada yang justru mengancam turunnya pendapatan mereka dan bahkan mengancam lingkungan / habitat kehidupan ikan itu sendiri.
”Kepercayaan” Sebagai Modal Sosial Dasar Pembangunan Tidak jarang kita jumpai – termasuk dalam pelaksanaan rencana industrialisasi di Madura atau istilah yang paling disukai, pembangunan Madura bukan pembangunan di Madura – kerasnya keluhan penolakan gagasan pembangunan oleh masyarakat yang akan dan terlibat didalamnya. Demikian juga keluhan yang sama sering diperdengarkan oleh masyarakat 26
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
bahwa merasa di dholimi dengan rencana pembangunan yang ditawarkan, yang dirasakannya akan mengusik mengamcam dan merugikan kehidupan masa depan mereka, dan tidak jarang mengarah pada timbulnya ketegangan yang dapat mengancam kegagalan pembangunan. Sedemikian pentingnya rasa saling percaya ini sehingga seorang filusuf asal Jepang, Francis Fukuyama dalam sebuah dialog dengan kompas pada 10 Agustus 1997 mengatakan bahwa ”di tengah zaman pertarungan untuk mencapai kejayaan ekonomi yang ada di depan kita sekarang, ketika perbedaan kultural akan menjadi penentu utama keberhasilan bangsa, modal sosial yang diwujudkan dalam bentuk kepercayaan akan menjadi sama pentingnya dengan modal fisik. Hanya masyarakat dengan kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi bisnis skala besar yang fleksibel dan diperlukan untuk berhasil dalam kompetisi perekonomian global yang berkembang sekarang ini. Ketiadaan kepercayaan yang bukan hanya akan menghambat pelaksanaan rencana pembangunan, bahkan bisa lebih parah lagi, hasil-hasil pembangunan yang dibiayai sangat mahal – baik ongkos ekonomi maupun ongkos sosialnya – hilang dalam waktu singkat, karena adanya ”amuk massa” sebagai efek tidak adanya kepercayaan. Kepercayaan berbeda dengan sekedar kepatuhan. Kepercayaan adalah sesuatu yang secara azali ada pada diri manusia. Kepercayaan atau ”rasa saling percaya” tidak akan muncul dan dimunculkan secara tiba-tiba tetapi ”kepercayaan hanya akan lahir ketika masyarakat memulai dari rasa saling memahami, menyayangi dan membuahi rasa tersebut dengan prestasi-prestasi bersama, tatkala percaya lahir, tugas bersama untuk merawat dengan komunikasi dan kebersamaan . untuk melahirkan kepercayaan diperlukan waktu. Kepercayaan akan lebih gampang jika ada satu kesamaan, walaupun tidak berarti tidak akan ada kepercayaan dalam masyarakat / bangsa yang heterogen dan kepercayaan membutuhkan kepemimpinan yang memberi teladan dan semangat bahwa trust (kepercayaan) itu bisa dimiliki. Kepatuhan bisa timbul bukan hanya karena kepercayaan, kepatuhan akibat adanya tekanan dari atas sebagaimana terjadi dalam sistem politik yang otoriter, akan tetapi yang demikian itu akan sering menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti munculnya sifat opputunisme, macetnya kreatifitas berpikir, tidak berkembangnya prilaku profesional. Mandegnya demokratisasi dan sebagainya. Dengan demikian yang diperlukan dalam mengatasi kesulitan atau hambatan industrialisasi sebagai salah stau bagian dari pembangunan Madura pasca jembatan Suramadu adalah, bagaimana melakukan perubahan bukan hanya di lingkungan masyarakat atau rakyat yang diatas – pemerintah – mau berusaha dengan sungguh memahami keadaan dan kemauan serta permasalahan yang dihadapi rakyatnya dan mau menindaklanjutinya dalam bentuk kebijakan yang sesuai harapan rakyat, tidak menutupi sesuatu yang dikhawatirkan dapat merugikan rakyat serta tidak alergi lagi dengan kritikan rakyatnya. Demikian pula di lingkungan masyarakat mau duduk satu meja dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan senantiasa 27
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
memelihara norma yang berlaku – tidak anarkhis – yang dapat membuat banyak orang menjadi panik.
Transformasi Sosial Budaya Menghadapi Era Industrialisasi Salah satu nilai sosial budaya yang dituntut dalam era industrialisasi adalah Etos Kerja. Seringkali etos kerja dikaitkan dengan tinggi rendahnya pendidikan yang kalau diperhatikan justru sering terjadi sebaliknya. Seorang petani, nelayan, pedagang kecil dengan pendidikan relatif rendah, justru memiliki etos kerja lebih baik daripada seorang sarjana yang PNS yang sering dijuluki sebagai laskar 702. jam 07 datang absen, setelah itu nganggur dan jam 2 pulang. Sebagian orang mengkaitkan etos kerja dengan nilai budaya yang berkembang sebagaimana bangsa Cina, Korea, Taiwan dan Jepang maju karena budaya Konfusionisme. Dalam hal ini masyarakat Madura dapat menggali kembali nilai-nilai budaya dan mentrasformasikan sesuai tuntutan era industrialisasi. Dalam lingkungan masyarakat Madura sering didengar ungkapan ”Ola’ é dalem bato’ odi’” pernyataan ini tidak seharusnya dimaknai kepasrahan kepada sang pencipta yang bersifat maha pemurah, maha memelihara makhluknya, tetapi harus dimaknai sebagai kesanggupan hidup di dalam alam yang sekeras batu sekalipun. Ungkapan ”aburu buter adina tompeng” mengisyaratkan pada kita untuk bijak dan tidak grusa grusu dalam bertindak, sehingga gampang tergoda meninggalkan keuntungan besar yang di dapat justru lebih kecil. Long polong rombuh ollena sakembuh. Ini mengisyaratkan sesuatu yang sangat membanggakan dan masih banyak lagi nilai budaya yang sekarang hampir di lupakan masyarakat Madura yang sesungguhnya akan sangat membantu dalam era industrialisasi. Nilai sosial budaya yang sangat mengganggu yang sering dijumpai dalam masyarakat transisi adalah yang disebut dengan ”kebancian budaya’. Kalau dalam ekonomi kita mengalami dualisme fungsi antara ekonomi modern dan ekonomi tradisional, dalam budaya kita menderita. Budaya banci modern tidak, tradisionalpun bukan. Budaya banci ini bisa terjadi di mana-mana. Sementara kita mendengar ekonomi berdasarkan kekeluargaan, tetapi kita tak mampu melindungi petani, pengrajin dan pekerja dari eksploitasi pemodal besan. Kita perhatikan bahwa banyak orang mampu membeli mobil mewah tetapi tak mau perhatikan norma lalu lintas. Kitapun sering mendengar bahwa kita mampu memasuki pasar modern tetapi memalsu merek, kualitas dan image masih sering terjadi nilai budaya banci ini akan sangat mempengaruhi bagi pembentukan masyarakat industrial.
28
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
DAFTAR PUSTAKA Nugroho, Riant, 2003. Reinventing Pembangunan, Menata Ulang Paradigma Pembangunan Untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. PT. Elek Media Komputindo. Jakarta. Sutrisno Lukman. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Penerbit Kanisius. Jakarta. Susanto Astrid S. 1984. Sosiologi Pembangunan. Bina Cipta
29
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
KEBIJAKAN TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) : DOMINASI STRUKTURAL DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Ainul Hayat*)
Abstraction : Has strategic location location in trade centres. this as cloister tradesman activity the fertile indicator so that accesses to location then be defended to whatever the sanction from orderliness apparatus. the problem, not orderly. this can show different importance dualism. one government side and a large part society wishes for publisher existence and in other side, cloister tradesman wishes for existence chances relatively free in use place at downtown to do the effort activity. the importance lays in structure and economy system. the economy system stills to go on in dualistic, between sector modern that can grow and traditional sector permanent in a state of subsistent. opinion formal hit economy dualism reflects traditional sector and modern, be two systems apart with has the history self. hence, economy system dualistic, contain dichotomy between modern-traditional, between village and town, between sector formal-informal, bations is blooming, so that such matter that be obstacle. in conventional economy development theory, the obstacle is said formed “devil circle”. the base, in poverty later on can evoke productivity and low society income. the theory, end in simple conclusion; poor bations can not bloom the economy for want of capital. Theory conclusion that's, be policies elite group thinking existence base and intellectual, with the history new stage that concentrates self in development efforts economy. All the national effort area subordination to economy development. Keyword : system, democratization, capital employed
Pendahuluan Perebutan ruang kota yang memiliki letak lokasi strategis pada pusatpusat perdagangan di kawasan kota, merupakan salah satu indikator penyebab tumbuh suburnya kegiatan bagi pedagang kaki lima. Jika dilihat, penggunaan ruang kota bagi sebagian pedagang kaki lima yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kota, dapat merugikan pihak-pihak lain. Namun kesalahan yang terjadi tidak dapat dilimpahkan hanya kepada pedagang kaki lima semata, mengingat tampat-tempat keramaian yang senantiasa dikunjungi dan dilalui oleh banyak orang sedemikian pentingnya bagi usaha informal khususnya
30
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
pedagang kaki lima, sehingga akses-akses ke lokasi tersebut akan terus dipertahankan apapun sanksinya dari aparat ketertiban. Saat ini, banyak kota di Indonesia yang belum mampu “menangani” masalah-masalah umum yang sering ditimbulkan oleh pedagang kaki lima. Mereka masih sering dibingungkan oleh semakin banyaknya dan tidak tertibnya pedagang kaki lima. Keberadaan pedagang kaki lima di lapangan selalu berhadapan dengan penggunaan fasilitas umum yang “terganggu” secara fungsional dan estetika, disamping masih banyak hal implikasi keberadaan pedagang kaki lima seperti kemacetan, keindahan dan kebersihan di sekitar lokasi tempat mereka berjualan. Dengan melihat kondisi yang demikian, seringkali muncul dualisme kepentingan yang berbeda, dimana pada satu sisi pemerintah dan sebagian besar masyarakat menghendaki adanya penertiban dalam penggunaan ruang bagi pedagang kaki lima. Sementara pada sisi yang lain, para pedagang kaki lima menghendaki adanya kesempatan secara relatif bebas dalam menggunakan tempat di pusat kota untuk melakukan kegiatan usahanya. Dalam hal ini, seringkali pemerintah kota/kabupaten mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan pedagang kaki lima seperti menertibkan dengan tindakan represif atau memindahkan lokasi pedagang kaki lima ke tempat-tempat tertentu yang dianggap tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota sehingga kesan kotor dan semrawut dapat dikurangi. Tetapi hal ini sering ditentang oleh para pedagang kaki lima karena tempat-tempat yang disediakan oleh pemerintah daerah tersebut dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat keramaian. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang kaki lima meninggalkan tempat tersebut dan kembali berjualan secara liar di pusat keramaian kota. Memang dalam satu sisi, pemerintah ingin mengurangi tingkat pengangguran warganya, tapi di sisi lain kota yang biasanya indah dan rapi, akan menjadi kotor dan kumuh dengan tidak mau “diaturnya” pedagang kaki lima. Kenapa ini bisa terjadi ? Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia masih mengalami kejadian yang serba sulit dalam menata perekonomian ke depan. Pada masa sebelum kemerdekaan, ekonomi Indonesia telah dibentuk menjadi sistem ekonomi kolonial yang sangat disploitatif. Persoalannya adalah, apakah sesudah mencapai kemerdekaan, politik Indonesia telah berhasil membongkar struktur ekonomi kolonial yang kapitalis itu?. Usaha-usaha untuk membentuk ekonomi nasional, sudah tentu telah dilakukan, setidak-tidaknya secara formal, misalnya dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Meskipun kekuatan ekonomi asing memang telah dicabut dari bumi Indonesia pada saat nasionalisasi dilakukan, namun struktur dan sistem ekonomi kolonial masih tetap berlanjut, misalnya masih berlangsungnya sistem ekonomi yang dualistis, antara sektor modern yang bisa tumbuh dan sektor tradisional yang tetap dalam keadaan subsisten. Mengenai dualisme ekonomi ini terdapat perbedaan antara pandangan Boeke dengan pandangan kaum Marxist yang mengembangkan teori dominasi dependensi. Pandangan formal mengenai 31
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
dualisme ekonomi mengatakan bahwa sektor tradisional dan modern itu merupakan dua sistem yang terpisah serta mempunyai sejarahnya sendiri. Untuk bisa maju, maka sistem ekonomi subsisten harus dirubah dan berintegrasi dengan sistem ekonomi modern. Penganut teori dominasidependensi berpandangan lain dan mengatakan bahwa justru keterbelakangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat kolonial disebabkan karena penetrasi sistem ekonomi kapitalis dunia yang memasuki bagian-bagian yang paling terpencilpun juga di negara-negara jajahan yang kini disebut dunia terbelakang (Hettne dan Blomstrom, 1984:18) dan (Sukirno,1990:162-163). Selanjutnya, Rahardjo (1990:198) menambahkan bahwa selain mewarisi sistem ekonomi yang dualistis, yaitu mengandung dikotomi antara moderntradisional, antara desa-kota, antara sektor formal-informal, negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, mengalami hambatan struktural ketika akan membangun ekonominya secara independen. Dalam teori pembangunan ekonomi yang konvensional, dikatakan bahwa hambatanhambatan pembangunan itu berbentuk “lingkaran setan”, berpangkal pada kemiskinan selanjutnya menimbulkan produktivitas yang rendah dan pendapatan masyarakat yang rendah. Teori itu berakhir pada kesimpulan yang sederhana; negara-negara miskin tidak bisa berkembang ekonominya karena kekurangan modal. Kesimpulan teori itulah yang menjadi pangkal pemikiran kelompok elit politik dan intelektual pada tahun 1966, ketika Indonesia memulai tahap baru sejarahnya memusatkan diri pada upaya pembangunan ekonomi. Segala usaha nasional di semua bidang disubordinasikan kepada pembangunan ekonomi. Garis besar haluan politik negara itu masih tetap berlangsung hingga sekarang. Cara berpikir yang dianut selama lebih dari tigapuluh tahun terakhir di Indonesia, sebenarnya cukup rasional dan sederhana. Setelah mengalami masa yang penuh dengan kegoncangan politik selama dua dasawarsa lebih, maka pemerintah Orde Baru yang muncul pada tahun 1966, menginginkan terbentuknya suatu pemerintahan yang stabil sehingga bisa melaksanakan pembangunan nasional secara berencana, terutama memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat. Pemerintahan baru itu yakin, bahwa pembangunan ekonomilah yang harus diutamakan, karena dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan negara, maka berbagai bidang kehidupan lainnya akan bisa diperbaiki. Kehidupan politik juga akan bisa diarahkan menuju ke proses demokratisasi apabila pendapatan masyarakat meningkat sehingga bisa memecahkan persoalan ekonomi sehari-hari, taraf pendidikan masyarakat berkembang secara kualitatif maupun kuantitatif dan komunikasi antara kelompok-kelompok masyarakat meluas sehingga menciptakan saling pengertian dan saling menghargai. Kesemuanya itu merupakan dasar dan prasyarat bagi kehidupan yang lebih demokratis (Djojohadikusumo, 1994:160). Akan tetapi untuk bisa membangun ekonomi yang bisa mencapai beberapa target utama dalam skala prioritas, yaitu mengendalikan inflasi, memenuhi kebutuhan pangan dan sandang, meningkatkan penghasilan devisa, memperbaiki prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan produksi serta 32
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
pengembangan perangkat kelembagaan, diperlukan tiga faktor utama; modal dan teknologi beserta sistem perangkat lunaknya. Ketiga faktor itu langka di Indonesia dan negara-negara miskin. Faktor yang ada dan melimpah di Indonesia adalah sumber kekayaan alam serta tenaga kerja yang murah namun berpendidikan rendah. Sejak tahun 1967, pemerintah Indonesia mengundang modal asing dan mencari kredit luar negeri dengan “menjual” dan “mempertaruhkan” kekayaan alam dan buruh murahnya. Dengan kredit luar negeri dan modal asing tersebut, pemerintah memberi kesempatan untuk mengembangkan sektor industri pertanian, kehutanan, perkebunan dan sebagainya. Sebagaimana telah diungkapkan Rostow (dalam Budiman, 2000:26-27), negara-negara yang kini tergolong maju, sebenarnya telah terlebih dahulu mengalami proses perkembangan yang cukup lama sebelum sampai ke tahap siap lepas landas. Negara-negara yang baru merdeka, termasuk Indonesia, umumnya ingin mencapai tahap itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apabila negara-negara maju terlebih dahulu menempuh perkembangan bisnis yang lama untuk melakukan akumulasi kapital, sebagai dasar dari pertumbuhan jangka panjang yang mantap, maka Indonesia pada tahun 1967 mengambil keputusan untuk melakukan jalan pintas, yaitu dengan mengundang modal asing dan memperoleh kredit luar negeri. Sedangkan negara sosialis semacam RRC menempuh jalan yang berbeda, yaitu mengumpulkan modal sedikit demi sedikit dan membentuk prasarana sosial dengan memobilisasikan tenaga kerja secara besar-besaran, sambil memenuhi kebutuhan pokok rakyat terlebih dahulu. Di Indonesia, melalui jalan pintas itu, peningkatan produksi dengan cepat dapat dimulai. Produksi beras dengan cepat dapat ditingkatkan dengan Revolusi Hijau. Industri-industri besar dapat segera dibangun oleh sektor bisnis modern. Prasarana dapat segera diadakan di mana-mana dengan dana yang melimpah, terutama berkat hasil eksploitasi minyak yang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan asing serta hasil pinjaman dan bantuan luar negeri. Angka GNP sudah tentu meningkat cepat dan tinggi. Secara sepintas dapat ditangkap kesan bahwa usaha-usaha pembangunan di Indonesia bukannya tidak menghasilkan sesuatu. Bahkan berbagai angka statistik menimbulkan kesan yang meyakinkan. Apalagi apabila angka-angka itu dibandingkan dengan angka-angka dari sesama negara sedang berkembang lainnya. Tapi kesan itu memang perlu diuji lebih lanjut dalam perspektif lain dengan pertanyaan sebagai berikut: (a) dengan cara bagaimana pembangunan dilaksanakan; (b) apa sebenarnya hasil pembangunan, dan akhirnya (c) bagaimana dampaknya terhadap struktur masyarakat ?. Pembangunan di Indonesia nampaknya sangat dipengaruhi oleh pemilik dana internasional. Rencana pembangunan, kebijaksanaan ekonomi-keuangan dan proyek-proyek, walaupun disusun oleh badan perencana pusat bersama dengan departemen pelaksanaan dan pemerintah daerah, namun polanya cukup banyak dipengaruhi oleh badan-badan pemilik dana internasional 33
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
maupun agen-agen pembangunan negara kapitalis seperti IMF, World Bank, ADB dan sebagainya. Sudah tentu rencana-rencana pembangunan itu disusun berdasarkan teori-teori ekonomi dan pembangunan yang konvensional yang pada dasarnya bercorak kapitalis, dalam arti memberi jalan pada ekspansi TNC dan penanaman modal asing, mendorong perdagangan bebas agar suplai bahan mentah dan energi ke negara-negara industri serta pemasaran barangbarang konsumsi maupun bahan baku industri substitusi impor dan barangbarang modal ke negara-negara sedang berkembang tidak terhambat kelancarannya. Apabila ternyata, suatu kebijakan pemerintah negara sedang berkembang bertentangan dengan kepentingan negara-negara maju, maka pasti akan muncul laporan-laporan yang negatif, serta kritik-kritik dari pers, lembaga-lembaga ilmiah, konsultan maupun sarjana-sarjana yang membawa kepentingan-kepentingan negara-negara maju. Todaro 1999:96-97) menambahkan, rencana-rencana, kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang penerima kredit atau bantuan teknis, tentunya diarahkan untuk memberi kemungkinan pada perkembangan kapitalisme modern yang lebih maju dan lebih “sophisticated”. Bentuk-bentuk kapitalisme yang lebih maju itu antara lain adalah: pendirian industri di tempat bahan mentah dan energi; ekspor teknologi melalui impor industri keluarga (anak perusahaan) yang didirikan di negara-negara sedang berkembang; menjual modal ke negara-negara sedang berkembang, tapi kalau bisa dananya ditarik dari pasar uang dan modal negeri dimana bank atau lembaga keuangan itu beroperasi; melemparkan industriindustri yang sarat polusi atau industri yang membutuhkan tenaga kerja murah; mendirikan industri di wilayah export processing zone atau di daerah pemasarannya; ekspor jasa atau pendirian industri jasa yang padat keahlian; melakukan pekerjaan-pekerjaan pemborongan di negara-negara kaya minyak dengan mempergunakan tenaga-tenaga murah dari negara-negara sedang berkembang, dan sebagainya. Apakah sebenarnya yang dihasilkan oleh pembangunan yang terjadi di Indonesia di balik angka pertumbuhan GNP yang tinggi itu?. Di sini dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memang tinggi, tapi sifatnya tidak merata dan dikelabui oleh angka pertumbuhan sektor modern. Industri memang berkembang pesat, namun yang besar-besar itu dimiliki oleh orang yang dekat dengan pusat kekuasaan dan orang asing atau kelompok-kelompok etnis tertentu yang sejak masa penjajahan memang telah memiliki hak-hak dan kesempatan istimewa. Produksi pangan secara total memang naik; tapi hasilnya terutama hanya dinikmati oleh petani kaya dan elite desa. Sebagian besar penduduk pedesaan masih hidup dibawah garis kemiskinan. Sumbersumber alam memang dapat digali, tapi itu semua tidak dapat diekspor dalam bentuk olahan sehingga dapat memberi lapangan pekerjaan; yang memperoleh keuntungan adalah negara asing serta kalangan elit yang memperoleh fasilitas. Lagi pula sumber-sumber alam itu kini telah rusak dan terancam kelestariannya. Anggaran pemerintah memang terus naik, tapi sumbernya masih bergantung pada dana kredit luar negeri serta hasil eksplorasi minyak 34
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
yang dalam waktu singkat akan habis. Modal luar negeri memang masuk, tapi aliran kapital yang keluar juga besar. Setiap dollar yang ditanamkan telah menghasilkan 2- 3 kali lebih besar penghasilan yang dikirim ke luar negeri. Tingkat pendidikan juga maju, tapi sarjana-sarjana yang dihasilkan, sebagian masuk birokrasi yang melayani pertumbuhan kapitalis serta masuk ke dunia bisnis modern. Kemampuan administrasi pembangunan memang makin meningkat secara formal, tapi kebocoran, manipulasi dan korupsi yang membudaya juga makin berkembang (Djojohadikusumo,1994:166-167). Gambaran mengenai hasil dan dampak pembangunan tersebut di atas memberi kesimpulan kepada kita, bahwa pembangunan yang berlangsung di Asia Tenggara khususnya Indonesia mendapat dorongan dari luar, sedangkan kegiatan yang efisien dan produktif terutama dilakukan oleh orang asing yang didukung lapisan elit dan kelompok-kelompok tertentu (seperti keturunan China) yang mendapatkan fasilitas dan hak-hak serta kesempatan-kesempatan yang istimewa dibandingkan dengan etnis pribumi yang lain Demikian juga yang terjadi dalam bidang sektor informal, proses yang terjadi bukanlah ecodevelopment, melainkan pembangunan yang merupakan bagian dari sistem kapitalisme dan ekonomi dunia, yang dipimpin dan didominasi oleh elite modern yang terdiri dari elite metropolitan, elite primer di tingkat nasional dan elite sekunder di tingkat daerah (Evers dan Heiko Schrader, 1994:9-10). Karena ekonomi Indonesia telah bergabung dengan ekonomi kapitalis dunia, maka proses pembangunan di Indonesia juga tergantung pada bekerjanya ekonomi dunia. Inflasi, resesi atau krisis yang dialami oleh negara-negara maju, akan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi di Indonesia. Bagaimana sebenarnya persepsi, kesadaran, dan sikap elit Indonesia dewasa ini terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya? Sebagian dari mereka sadar akan proses yang terjadi dan menganggap kesemuanya itu sebagai sesuatu yang wajar saja. Prinsip yang mereka anut adalah bahwa setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama. Mereka yang bekerja keras dan berhasil, memiliki hak untuk menikmati apa yang dapat mereka capai dan miliki. Sebagian dari mereka tentu sadar akan kewajiban-kewajiban sosial dan juga melaksanakannya. Sebagian dari mereka ternyata tidak atau kurang sadar akan apa yang terjadi. Mereka tidak mengetahui bahwa kemiskinan tidak saja terjadi karena faktor inertia, melainkan juga karena struktur sosial yang tidak memungkinkan golongan miskin bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki nasibnya. Mereka juga tidak sadar, betapa sistem kapitalisme internasional itu telah menguasai perkembangan ekonomi di Indonesia dan mengeruk keuntungan dari daerah-daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis. Mereka juga tidak sadar bahwa operasi kapitalisme internasional itu telah merusak dan mengancam kelestarian sumber-sumber alam. Mereka juga tidak begitu menyadari pengaruh pola pembangunan ini terhadap struktur nilai dan kelangsungan hidup kebudayaan tradisional (Wilber and Jameson, 1992:117). Penghargaan pada materi sudah makin menjadi kewajaran. Pengabdian sosial bahkan bisa merupakan “bisnis” yang menguntungkan. Pembicaraan 35
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
mengenai kemiskinan dan kesengsaraan rakyat dapat dilakukan secara santai di hotel-hotel mewah. Patriotisme, pengorbanan, atau perjuangan yang fanatik apalagi berdasarkan agama, sudah bisa menjadi bahan tertawaan. Imbangan dalam penghargaan antara nilai-nilai kebendaan dan rohaniah sudah goyah dan mengalami pergeseran. Bahkan perbuatan korupsi sudah dianggap wajar. Sementara itu kenyataan struktural yang ada, sudah terjalin dengan kekuasaaan. Atau kekuasaan sudah menjadi bagian dari sistem ekonomi. Kekuasaan sudah menjadi komoditi yang diperdagangkan. Siapa yang bisa membeli, merekalah yang memiliki kekuasaan. Setiap gagasan untuk melakukan perubahan akan berhadapan dengan kekuasaan. Sementara itu, sebagian dari kaum elit sudah tidak lagi sensitif dengan penggunaan kekuasaan, karena kekuasaan itu juga telah membela kepentingannya. Sebab itu perlawanan moral sudah ditaklukkan oleh perubahan pola dan sikap hidup orang yang bersangkutan sendiri. Setiap gagasan perubahan pada tingkat pimpinan nasional juga harus berhadapan dengan kekuasaan yang terbentuk dalam sistem kapitalisme internasional yang sering tidak nampak, tapi selalu terasakan. Rezim politik yang represif, bisa mendapatkan dukungan dari negara-negara maju, asal rezim itu melindungi kepentingan dunia kapitalis. Karena itu gagasan pembangunan alternatif di Indonesia atau di manapun juga, selalu berhadapan dengan kekuatan sistem kapitalis internasional. Struktur dominasi, termasuk dominasi ekonomi, seringkali sulit dibuktikan berdasarkan suatu kerangka dan metodologi ilmiah. Namun dominasi itu dapat sangat dirasakan apabila kita secara langsung ingin berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Apabila kita sekarang ini mendiskusikan sesuatu pola alternatif dan menjumpai betapa sulitnya menyusun suatu konsep yang fisibel dan realistis, maka kita akan merasakan adanya kehadiran struktur yang dominan itu. Untuk mengawali sebuah langkah perubahan, Abdul Wahab (2002:159) mengatakan bahwa negara harus rela berbagi peran, berbagi kekuasaan (sharing of power), dan bekerjasama (yang saling menguntungkan) dengan kekuatankekuatan sosial otonom dalam masyarakat. Dengan demikian negara dipandang bukan sebagai institusi penyerimpung olah krida masyarakat, melainkan sebagai institusi pemberdaya masyarakat (enabling institution). Dari basis pemikiran seperti ini muncullah konsep sinergi dalam kebijakan publik. Sebagai sebuah cara pandang dalam melihat negara, maka sejauh mengenai posisi dan peran negara, makna dari semua itu ialah bahwa negara tak lagi memainkan peran yang dominan. Berbeda dengan kondisi di masa lampau, kini negara semakin tipis pengaruh kekuasaannya, meski tidak lantas dengan sendirinya kehilangan berbagai simbol eksistensi dan peran sentralnya. Pada derajat tertentu konsep sinergi dalam kebijakan publik boleh disebut sebagai reaksi terhadap pemikiran yang berhasrat menafikan peran pihak lain atau saling meniadakan keberadaan pihak lain dan dikembangkan atas dasar pendekatan Zero–Sum ame yang cenderung anarkis. Konsep sinergi justru muncul dari adanya kebutuhan untuk membangun masyarakat atas 36
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
dasar kerjasama yang saling menguntungkan dan kesejajaran serta dilandasi oleh pemikiran yang rasional, terbuka dan demokratis (Gaffar, 1999: 193-195). Segala aktifitas pembangunan dan kebijakan publik yang melahirkannya, dianggap sebagai langkah sosial kolektif. Oleh karena itu, pembangunan merupakan suatu proses yang harus bersifat diskursif dan dialogis, bukan direduksi sebagai persoalan teknokratis yang mau tak mau, lantas menjadi sekedar dianggap sebagai domain dan urusan para birokrat dan politisi semata Adanya otonomi daerah- terlebih yang mencita-citakan terciptanya sebuah pemerintahan daerah yang demokratis- akan mengharuskan berubahnya paradigma yang dipakai dalam menjalankan birokrasi dan administrasi publiknya. Perubahan paradigma yang dimaksud juga dalam proses pembuatan kebijakan publiknya, terutama yang terkait langsung dengan penyusunan perencanaan pembangunan daerah tersebut. Secara kongkrit, itu berarti bahwa dalam sebuah konteks sosial politik yang makin demokratis, pembangunan daerah dan hasil-hasilnya harus bisa bersifat inklusif dalam artian mampu menjadikan dirinya “milik” semua segmen masyarakat, tanpa kecuali. Agar bisa memenuhi tuntutan seperti itu, pemerintah daerah dituntut menjadi institusi pemerintahan modern yang terbuka, yaitu dengan kesediaan membuka dirinya bagi partisipasi pihak lain di luar pemerintahan dalam proses pembuatan kebijakan demi meningkatkan kualitas kebijakan publiknya. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi daerah yang landasan berpikirnya mengacu pada good governance, maka pembangunan daerah dan strategi apapun yang ingin ditempuh daerah untuk mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab elit politik, elit birokrasi dan eksponen penting dari masyarakat daerah itu sendiri. Oleh karena itu, istilah “menertibkan” dengan cara menghapus sektor informal (PKL) berarti mematikan nafkah sejumlah besar masyarakat yang bergerak di sektor informal di tengah situasi pengangguran yang terus meningkat. Selayaknya kebijakan yang ada sekarang ini diimbangi dengan kebijakan ekonomi yang berpihak pada ekonomi rakyat yang mana menyangkut kepentingan masyarakat banyak yang pemilikan asetnya kecil, pendidikannya rendah, aksesnya terhadap berbagai sumber kapital, informasi dan teknologi kecil. Dan idealnya ada keterpaduan antara kepentingan dari berbagai pihak yang dapat terakomodasikan guna mewujudkan implementasi suatu kebijakan yang saling menguntungkan.
37
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin, 1999, Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan Di Tengah Krisis Moneter, Malang: Danar Wijaya. Abdul Wahab, Solichin, Fadillah P & Saiful A., 2002, Masa Depan Otonomi Daerah (kajian sosial, ekonomi, dan politik untuk menciptakan sinergi dalam pembangunan daerah), Surabaya:Penerbit SIC Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta:
Djojohadikusumo, Sumitro, 1994, Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta: LP3ES Evers, Hans Dieter and Schrader, Heiko, 1994, The Moral Economy Of Trade; Ethnicity And Developing Markets, First Published 1994 by Routledge 11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta:Pustaka pelajar Hettne, Bjorn and Blomstrom, Magnus, 1984, Development Theory In Transition (The Dependency Debate and Beyond: Third World Responses), Zed Books Ltd., 57 Caledonian Road, London NI 9 BU Rahardja, M. Dawam, 1990, Esei - Esei Ekonomi Politik, Jakarta:LP3ES Sukirno, Sadono, 1990, Ekonomi Pembangunan (proses, masalah, dan dasar kebijaksanaan), Jakarta:Bima Grafika Todaro, Michael P., 1999, 6)Jakarta:Erlangga
Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi
Wilber, Charles K. and P. Jameson, Kenneth, 1992, The Political Economy Of Development and Under-Development (fifth edition), McGrawHill, Inc.
38
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
MEMFORMAT EQUITY AND EQUALITY ANTARA DPR DAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Nadir*)
Abstraction: In development modern state these days, constitution or in our Indonesia mentions republic of Indonesia country constitution year 1945 occupied position very essential. explanation and constitution load matter always developed and correspond to human civilization development and political organization these days. Amendment towards republic of Indonesia country constitution (constitution 1945) gives institution format new in system of constitutional state exactly before constitution amendment 1945 institutions that is unknown, that is region representation council (DPD). Authority and region representation council power (DPD) is problem because uneven with authority and power DPR. therefore, in this article presents format justice and balance (equity and equality) authority between DPD with DPR like with in reason senate or upper house given big authority to balances position DPR (house of representative). Keyword: DPD, DPR, Constitution amendment 1945.
Pendahuluan Mulai dari awal para pendiri Negara Republik Indonesia secara eksplisit sudah menyatakan bahwa UUD 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara. Bahkan Soekarno menyebutnya sebagai UUD atau revolutiegrondwet. Kondisi objektif ini sudah diantisipasi oleh the founding fathers dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai sarana atau dasar hukum untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Akan tetapi, karena kelalaian menjalankan amanat itu, maka sejak awal kemerdekaan proses penyelenggaraan Negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara. Kalau kita menelusuri sejarah ketatanegraan Republik Indonesia yang sudah melebihi setengah abad ini di bawa naungan UUD 1945-27 Desember 1949, UUD RIS 1949-17 Agustus 1950, UUDS 1950-5 Juli 1959, 5 Juli 1959 kembali ke- UUD 1945 yang sekarang sudah diamandemen sebanyak empat kali mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Persoalan yang mendasar di dalam perubahan terhadap UUD 1945 tidak hanya terletak pada sifat kesementaraan UUD 1945. Akan tetapi, lebih mengedepankan sifat kelemahan yang ada di dalam konstitusi itu sendiri yang terdapat di dalam UUD 1945 sebagai contoh misalnya menurut Bambang 39
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Widjojanto dan kawan-kawannya mengemukakan bahwa UUD 1945 sangat fleksibel untuk diterjemahkan sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan, terperangkap dalam design ketatanegaraan yang rancu, sehingga tidak membuka ruang untuk melaksanakan paradigma checks and balances atau akuntability horonzontal dalam menciptakan good governance. Kedua kelemahan itu sangat mewarnai perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia di bawah UUD 1945 yang pada akhirnya kemudian bermuara pada multi krisis yang terjadi pada penghujung abad XX dan sampai 2 (dua) tahun pertama awal abad XXI belum menujukkan tanda-tanda akan berakhir. Misalnya dalam hal penafsiran, pergantian sistem Presidensil kepda sistem Parlementer pada tanggal 14 November 1945. Di dalam 2 (dua) era yang berbeda Soekarno sebagai Presiden Pertama di Negara Republik Indonesia menafsirkan (memahami) demokrasi dalam UUD 1945 sebagai demokrasi terpimpin, sementara Soeharto sebagai Presiden kedua Negara Republik Indonesia menafsirkan sebagai demokrasi Pancasila dan kedua-keduanya melahirkan rezim otoriter. Pada awal pemerintahannya Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan membuat undang-undang, kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan berjalan dengan mulus dalam memimpin Negara ini. Namun pada akhirnya seiring dengan kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas, maka timbullah keinginan otoriter, tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang menyebabkan kehancuran terhadap Negara Republik Indonesia baik dari segi ekonomi, sosial, hukum, politik, dan budaya, sehingga menurut hemat penulis bahwa “hukum itu kekuasaan dan kekuasaan itu adalah hukum. Hukum dapat menciptakan kekuasaan dan kekuasaan dapat menciptakan hukum”.
Hasil Amandemen UUD 1945 dengan Sebutan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Krisis ketatanegaraan Republik Indonesia pada dasarnya sudah ada sejak era kepemimpinan Soekarno hingga era kepemimpinan Soeharto. Akan tetapi, baru diawali dan diketahui pada era kemimpinan Soeharto yang turun sejak tanggal 21 Mei 1999. Pada tahun 1999 ini merupakan titik awal perubahan dari segala sistem baik sistem ekonomi, sistem hukum, sistem sosial, dan sistem perpolitikan dan sistem ketatanegaraan Republik di Indonesia. Perubahan dari segala sistem yang ada hanya dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap dasar-dasar hukum yang menjadi sumbernya dalam hal ini konstitusi Negara. Kelemahan yang ada di dalam konstitusi Republik Indonesia pada dasarnya sudah diketahui oleh oleh rezim Soeharto. Namun, untuk melanggengkan kekuasaannya selama 32 (tiga puluh dua) tahun mereka sengaja tidak melakukan perubahan atau amandemen terhadap konstitusi yang ada. Oleh karena itu, kekuatan yang ada di dalam rezim orde baru pada dasarnya terletak pada keberadaan konstitusi yang memusatkan kekuatan untuk membuat undang-undang pada satu tangan 40
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
yakni di tangan Presiden. Tentunya rumusan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut kerana akan menyebabkan kepincangan terhadap lembagalembaga Negara lainnya. Agenda perubahan kontitusi memang marak disuarakan oleh beberapa kalangan atau para ahli hukum sejak turunnya Soeharto. Alhasil keinginan tersebut dapat diwujudkan sejak tahun 1999 yang telah menghasilkan beberapa pasal yang pada waktu itu dianggap urgen untuk dilakukan perubahan. Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan pada Negara modern dewasa ini, maka perubahan pertama pada tahun 1999 tersebut dianggap kurang memadahi karena belum memberikan ruang terhadap para utusan daerah yang sebelumnya sempat ada. Pada amandemen ketiga muncullah lembaga perewakilan daerah atau yang dikenal dengan sebutan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memiliki sejumlah kewenangan dengan kesempitan yang ada. Pada amandemen pertama yang dilakukan pada sidang umum MPR tahun 1999 telah menghasilkan perubahan terhadap 9 (sembilan) Pasal yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 21. Sedangkan amandemen kedua telah menghasilkan perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak 7 Bab dan 25 Pasal yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C. Sementara amandemen ke-tiga telah menghasilkan perubahan yang meliputi Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1),(2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA; Pasal 22C ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB; Pasal 22E ayat (1),(2), (3), (4), (5), (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA; Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1), (2); Pasal 23G ayat (1), (2); Pasal 24 ayat (1), dan (2); Pasal 24A ayat (1),(2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6). Kemudian disusul dengan amandemen ke-empat yang menghasilkan beberapa poin yang meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 3 ayat (2), dan (3); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16 ayat (1); Bab IV dihapus; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII; Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 32 yat (1), (2); Bab XIV; Pasal 33 ayat (4), (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Aturan peralihan Pasal 1, 2 dan 3; Aturan tambahan Pasal 1, dan 2. Secara umum berdasarkan 4 (empat) kali perubahan terhadap UUD 1945 dengan sebutan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menghasilkan beberapa lembaga Negara yang sebelumnya belum ada, dan meniadakan lembaga yang sebelumnya sempat ada serta mengurangi 41
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
kewenangan lembaga Negara, bahkan beralihnya kekuasaan membuat undangundang yang semula berada di tangan Presiden sekarang beralih ke tangan DPR peralihan ini sering dikenal dengan sebutan legislative heavy yang sebelumnya dikenal dengan sebutan eksekutif heavy. Perubahan terhadap konstitusi pada dasarnya bukan semata-mata karena muatan politik. Akan tetapi, juga karena tuntutan zaman, dengan alasan yang sangat sederhana yaitu agar supaya kekuatan tidak bertumpu dalam satu tangan, satu kekuasaan. Jika kekuasaan atau kekuatan bertumpu dalam satu tangan, maka sudah pasti penindasan akan terjadi, sehingga tidak akan mungkin adanya saling kontrol antara lemba yang satu dengan lembagalembaga lainnya (cheks and balance).
Amandemen Ke-Tiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dengan Hasil Format Lembaga Perwakilan Daerah Berpegang kepada amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai dasar hukum konstitusional, khususnya mengenai keanggotaan MPR yang dulunya ada utusan golongan dan utusan daerah, di mana melalui amandemen ketiga ini utusan golongan dan utusan daerah ditiadakan dan dilahirkan komponen baru dalam hal ini Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai partnership lembaga legislatif selain dari unsur DPR di mana hanya Pasal 22C dan 22D yang mengatur masalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan unsur kebaharuan ditubuh legislative, di mana Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4) berbunyi: “Bahwa anggota Dewan Perwakilan Dareah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” “Angota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh Dewan Perwakilan Daerah itu tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat” “Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun” “Susuan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang” Sedangkan Pasal 22D mulai ayat (1) sampai dengan ayat (3) pada dasarnya mengatur kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga Negara, kecuali ayat (4) Pasal tersebut, di mana Pasal 4 ini hanya mengatur tentang pemberhentian keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari jabatannya:
42
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
“Pasal 22D ayat (4) berbunyi bahwa Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang” Untuk mengetahui bagaimana tentang kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga Negara, maka dapat dilihat dasar hukumnya yang tertuang di dalam Pasal 22D mulai ayat (1) sampai dengan ayat (3). Sebagaimana tugas dan kewenagan serta fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga mempunyai kewenangan di dalam kegiatan legislative (proses pembuatan undang-undang, serta pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu dapat kita lihat perinciannya sebagai berikut: 1. Dalam hal Prakarsa Rancangan Undang-Undang (RUU) Menurut Pasal 22D ayat (1) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan: a. Otonomi daerah; b. Hubungan pusat dan daerah; c. Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; e. Serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Dalam hal Pembahasan Undang-Undang Menurut Pasal 22D ayat (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan: a. Otonomi daerah; b. Hubungan pusat dan daerah; c. Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; e. Serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; f. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undangundang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. 3. Dalam hal Pengawasan Menurut Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan atas pelaksaaan undang-undang mengenai: a. Otonomi daerah; b. Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; c. Hubungan pusat dan daerah; d. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; 43
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
e. Pelaksaaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan f. Agama; g. Serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Ketika kita cermati sejumlah kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana yang dirumuskan di dalam Pasal 22D UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka terlihat disitu dengan jelas terjadi kepincangan sebelah antara kewenangan yang dimiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan kewenangan yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kedua lembaga tersebut sama-sama lembaga Negara. Namun, kewenagannya sangatlah jauh berbeda. Untuk membuktikan kepincangan sejumlah kewenangan antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) marilah kita lihat Pasal 20 ayat (1) di dalam Pasal ini dirumuskan dengan jelas bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai kekuasaan yang tidak dimiliki oleh oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). “Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 amandemen ke-satu berbunyi “bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk membuat undang-undang” Ayat (2) Pasal yang sama berbunyi bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” Rumusan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 amandemen ke-satu ini sangat menafikkan keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga Negara dengan tidak mencantumkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk melakukan pembahasan terhadap setiap produk undang-undang. Ketiadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di dalam pembahasan untuk setiap produk undangundang memang dimungkinkan, hal ini dikarenakan Pasal 22C dan Pasal 22D merupakan produk amandemen ke-tiga. Penetapan semua rumusan pasalpasal yang berada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tidak lepas dari tarik-manarik kekuatan politik yang ada di dalamnya, sehingga besar kemungkinan muatan yang ada di dalamnya seringkali menyangesampingkan sebagian kewenangan lembaga-lembaga Negara lainnya.
44
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Harapan Kedepan Format Equity And Equality Antara DPR Dan DPD Dalam Amandemen Berikutnya Sebagaimana penulis uraikan di atas, bahwa kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sangat didominasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hal itu memang keadaan konstitusi yang menyatakan demikian, sehingga sangat sulit untuk dibantah oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka teriakan akhir-akhir ini yang muncul dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk melakukan amandemen terhadap UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dianggap mengurangi sejumlah kewenangan yang ada (inequel and equality). Namun yang menjadi permasalahan sekarang kenapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mau menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan baru sekarang berteriak untuk melakukan amandemen terhadap UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berkaitan dengan fungsi dan kewenangannya. Pada hal ketidak berdayaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada dasarnya sudah tergambar di dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) di mana Pasal 20 (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 berbunyi: “Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 amandemen ke-satu berbunyi “bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk membuat undang-undang” “Ayat (2) Pasal yang sama berbunyi bahwa setiap rancangan undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” Dari rumusan pasal tersebut, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kehilangan kekuatannya untuk melebarkan sayap kekuasaannya. Maka untuk amandemen ke-lima rumusan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) untuk memenuhi kearifan equity and equality seyogianya berbunyi: “bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan untuk membuat undang-undang”
“setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah”
Dewan
Setelah Pembahasan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh DPR dan DPD diajukan ke Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” 45
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
“Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR” “Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden” “Kopsurat undang-undang di dalam pengundangan undangundang semestinya berbunyi “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan persetujuan bersama Presiden Memutuskan………,” selanjutnya masalah keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kalau kita cermati di dalam Pasal 22C ayat (2) “Angota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)” Sekarang kita lihat rumusan Pasal 33 ayat (1), dan (2) Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari setiap Provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang” “Jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)” Kalau kita cermati dengan seksama dari rumusan Pasal di atas, dari segi jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saja sudah dibatasi dengan sedemikian rupa, kita dapat membayangkan jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pertiap provinsi hanya 4 (empat) orang. Negara Republik Indonesia saat ini hanya memiliki 33 (tiga puluh tiga) provinsi berarti jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ada hanya 132 (sertaus tiga puluh dua) orang. Sedangkan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum tahun 2004 berjumlah 550 (lima ratus lima puluh) orang, jadi sangat jauh dari keseimbangan yang dibayangkan. Sedangakan di dalam rancangan Undang-undang tentang susuan dan kedudukan MPRR DPR DPD dan DPRD para anggota DPR dalam sidang paripurna menyepakati
46
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
bahwa anggota DPR akan ditambah menjadi 560 (lima ratus enam puluh) orang. Kemudian dalam hal pengawasan, dalam hal Prakarsa Rancangan Undang-Undang (RUU), dalam hal pembahasan undang-undang, dalam hal pengawasan tentunya tidak hanya masalah yang berkaitan dengan Otonomi Daerah; Hubungan pusat dan daerah; Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, Serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksaaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan Agama, melainkan harus memiliki sejumlah kewenangan sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh DPR yang keduanya sama-sama berkedudukan sebagai lembaga Negara, bukan harus dimonopoli oleh satu lembaga. Dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga Negara ini lebih merupakan “sub-ordinated” bukan “koordinated” dari DPR, sehingga tidak ayal lagi jika posisinya memang sangat di bawahnya bukan sejajar, pada hal dalam struktur ketatanegaraan yang ada di dunia ini, apapun namanya karena tujuan utama adalah untuk mewujudkan sistem bikameral bukan unicameral. Namun keinginan itu sangat semu mengingat posisinya tidak berimbang. Keterbatasan itu memberi makna, bahwa gagasan untuk meciptakan 2 (dua) kamar dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sangat bias kepentingan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap pembuatan keputusan ditingkat nasional. Pada hal sistem bikameral semestinya masing-masing kamar memiliki kewenangan yang relative berimbang dalam rangka menciptakan mekanisme cheks and balances system, sehingga menurut Ramlan Surbakti. Menilai bahwa keterwakilan daerah dalam MPR sangat tidak efektif dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan daerah. Sejak awal para pakar hukum, tokoh masyarakat serta pihak-pihak LSM sangat berharap kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mampu memberikan sejumlah alternatif solusi atas pola penataan sistem politik yang selama Orde Lama dan Orde Baru sempat compang-camping yang berada dalam satu tangan kekuasaan. Menurut Agus Haryadi. Mengemukakan bahwa kalau penataan itu dilakukan dengan benar, babak baru perjalanan sistem ketatanegaraan akan jauh lebih bermakna ketika devolusi dan dekonsentrasi menjadi ciri inheren dalam melahirkan kebijakan publik karena berkorelasi positif dengan perluasan partisipasi melalui keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini hanya mungkin terjadi kalau sistem bicameral.1 dapat
47
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
menciptakan keseimbangan antara lembaga Negara, sehingga mekanisme cheks and balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari yang lainnya atau monopoli kekuasaan dan kewenangan. Menurut Azumlia Rifai. di banyak Negara yang memakai sistem bikameral, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) (senate atau upper house) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi DPR (house of representative) sebagai contoh misalnya di Autralia, paling tidak senat mempunyai dua fungsi utama. Pertama, meneliti ulang setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh majelis rendah yaitu house of representative (DPR), dan kedua melalui three-fold commite sistem mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan Rancangan undang-undang. Bahkan setiap anggota senat berhak mengajukan suatu rancangan undangundang. Gambaran tentang keseimbangan kekuasaan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana yang di jelaskan di atas, di dalam Negara Indoneisa keseimbangan semacam itu tidak ditemukan, hanya kepincangan yang ada. Oleh karena itu, amandemen kelima terhadap UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sangat diperlukan dengan melihat konsep dan perbandingan yang ada di Negara-negara yang sama-sama menyelenggarakan sistem bikameral seperti Amerika dan Australia, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Indonesia perlu melakukan studi banding untuk merumuskan sejumlah kewenangan, fungsi dalam menata ketatanegaraan ini untuk mewujudkan cheks and balance. Namun untuk melakukan amandemen terhadap UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 tentunya tidak perlu diserahkan kepada MPR yang sangat bias politik. Menurut hemat penulis perlu dibentuk komisi konstitusi baru bukan komisi konstitusi yang lama yang benar-benar independen dan kompeten dalam mengamandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bukankah Negara Republik Indonesia ini banyak memiliki para sarjana yang berkompeten dibidang hukum ketatanegaraan, itulah difungsikan agar hasil yang dicapai tidak sarat bermuatan politik.
Penutup Uraian ini menyimpulkan bahwa untuk mewujudkan keseimbangan (equity and equality) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di dalam Negara yang sedang menjalankan sistem bikameral ini2, maka tentunya adanya amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sangat esensial dibutuhkan mengingat
48
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
ketidakseimbangan kewenangan dan fungsi antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam amandemen berikutnya menginginkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama memegang kekuasaan yang sama untuk membuat undang-undang dan membahas3 setiap rancangan undang-undang yang tidak hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, melainkan rancangan undang-undang lain lebih-lebih jika menyangkut undang-undang yang berkaitan dengan politik luar negeri. Oleh karena itu, kemungkinan jika rumusan demikian, maka (equity and equality) di dalam mewujudkan cheks and balance segera terlaksana.
49
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
DAFTAR PUSTAKA
Haryadi, Agus. 2002. Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (ed), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta. Rifai, Azumlia. 1994. Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. dalam Saldi Isra, 2004. Lembaga Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945. Surbakti, Ramlan. 2002. Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (ed), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, LP3ES Jakarta.
50
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
DAMPAK PEMBANGUNAN JEMBATAN SURAMADU TERHADAP MASYARAKAT MADURA: TINJAUAN DARI SISI PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN Taufiq Hidayat*) Abstraction: Access ease from bridge Suramadu affect in area development industrial. Industrial by class pluralism looked at has Indonesia point of view as modern industrial state. In social thinking – Indonesia policies, industrial as city intellectual reflection. Turned that, industry can be looked at as important reflection impact to be supervised because can make at one particular character reshuffle. one of the character that make possible can be felled or it to society that be shifted culture. There two sides from explanation prestige local culture and potential that is external side and the internal side. The external side, the materialized existence acknowledgement a custom or skill or ability planted in life society and the culture. The internal side extant harmony existence, coalitions, and unitary from a class with alive standard height, welfare, and peacefulness entire members. Hence, industrialization insight, must have base democracy economy. The fundamental reason : first, as maintenance justice principle and economy democracy. Second, the siding of, enable ness, and protection towards weak by all potential nation, especially government as according to the ability. Third, effort rivalry climate creation that well and market friendly intervention with generalization efforts walks along with efforts create competitive market to achieves optimal efficiency. Fourth, efforts moves rural district economy. Fifth, utilization and soil use and natural resources. Sixth, people economy development, in estate, husbandry, fishery, mining, industrial and goods trade and service of scale micro as the kernel. Keyword : impact, culture, system Pendahuluan Jembatan Suramadu yang melintasi Selat Madura mempermudah akses Surabaya-Madura atau Madura-Surabaya. Kemudahan akses dari jembatan Suramadu berdampak pada pembangunan wilayah Madura sebagai pengembangan rencana program industrialisasi (disebutnya Madura sebagai Batam ke dua). Industri oleh Kaum pluralis yang dipandang memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Kelompok ini – seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003) – meliputi intelektual kota. Sebagai intelektual kota dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kita teringat pada salah satu lirik lagu dari Ebit G. Ade “tengoklah kedalam sebelum bicara – singkirkan debu yang 51
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
masih melekat ”. Inspirasi dari lirik lagu itu, yang jika dikaitkan dengan demokrasi dapat dimaknai sebagai konsekuensi adanya control dan pertentangan yang diharapkan dan yang tidak diharapkan oleh kekuatan kekuasan untuk kemudian bisa disingkirkan. Sebagai kelompok yang bertentangan, pada awal Soeharto berkuasa banyak bergelimpangan, tetapi kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan dalam wadah dan nuansa baru dengan modifikasi visi misi. Salah satu contoh modifikasi visi misi adalah kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi (misalnya, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru. Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Semangat yang tidak berubah itu (yang dipandang menguntungkan rakyat) akan tetap dipertahankan sebagai dampak yang diharapkan masarakat dalam proses perjalanan bangsa dan pembangunannya. Di era yang disebut reformasi juga masih banyak pelaku intelektual yang bertentangan tersingkirkan (seperti, Aktivis HAM – Munir, Mahasiswa atau orang-orang hilang karena memperjuangkan kepentingan rakyat, dan yang terbaru kriminalisasi KPK terhadap Bibit dan Chandra untuk dilemahkan keberadaannya). Fenomena semacam itu (tengoklah ke dalam sebelum bicara – singkirkan debu yang masih melekat) juga terjadi pada fenomena industrialisasi dengan meminjam bahasa jurnalis dari koran ternama Kompas yang menyebutnya “Awas Deindustrialisasi. Dimana, deindustrialisasi diungkapkan kepada public karena adanya pergeseran peran. Peran yang tergeser terjadi dalam perekonomian yang sebelum krisis 1997/1998 ditopang industry, kini bergeser ke sector jasa terutama jasa modern yang kurang menyerap tenaga kerja, akibatnya jumlah penganggur semakin besar. Pengamat ekonomi Faisal Basri mengemukakan gejala deindustrilalisasi itu dalam vinalisasi visi 2030 dan peta jalan (roadmap) 2015 pembangunan industri pengolahan di Jakarta, selasa (6/10). Faisal mengatakan, salah satu pemicu deindustrialisasi adalah rendahnya dukungan perbankan. Kredit ke sector industry secara nominal tetap tumbuh tetapi presentasenya makin rendah. Menurut Faisal, Tahun 1985 hampir 40% kredit perbankan ke sector industry pengolahan. Tahun 2008, industry manufaktur hanya memperoleh 15% kredit perbankan. Jadi “perbankan lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan property. Penurunan volume kredit perbankan berarti kelangkaan pembiayaan investasi dan modal kerja bagi sektor industry”. Ditambahkan oleh Amir Sambodo (Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia bahwa perbankan lebih berkonsentrasi pada penyaluran kredit ke sector konsumsi dibandingkan industry. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah dalam harmonisasi tarif dan kebijakan infrastruktur pendukung pertumbuhan industri. (Kompas, Rabu, 7 Oktober 2009). Hampir senada dengan pendapat tersebut, Ambar mengatakan, penguatan rupiah berpotensi menggerakkan importer produk yang sesungguhnya 52
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
sudah diproduksi di dalam negeri. Ini akan menghancurkan isdustri domistik “Padahal, industry kita masih rendah daya saingnya. Produk impor yang lebih murah cepat atau lambat akan menghancurkan industri domestic (dalam Kompas,14 Oktober 2009). Jika melihat sembilan tahun yang lalu, sektor industri pengolahan pada tahun 2000 mencatat pertumbuhan sebesar 6,2%. Walaupun pertumbuhan sektor ini lebih kecil dibandingkan sektor pengangkutan, listrik, dan bangunan, namun mengingat pangsa sektor industri pengolahan yang sangat besar dalam pembentukan PDB, maka dengan pertumbuhan tersebut menyebabkan kontribusi sektor ini menjadi yang terbesar. Berkembangnya industri pengolahan di Indonesia tentunya memiliki dampak yang positif terhadap sektor-sektor lain diantaranya sektor tenaga kerja dan ekspor. Contoh lainnya, perkembangan ekspor industri pengolahan untuk produk tekstil dari tahun 1992-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 1,60 % dan total pertumbuhan produk tekstil sebesar 8,82% pada tahun 1996-1997. Hal ini mencerminkan adanya perkembangan yang menggembirakan pada volume ekspor di pasar dunia. Karenanya, industri pemintalan, tekstil, pakaian, dan kulit merupakan produk unggulan yang menggunakan kandungan bahan baku dalam negeri sebesar 89,6%. Namun disadari atau tidak disadari, ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi, sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Hal yang demikian itu, dalam proses perkembangannya hingga tahun 2009, industrialisasi oleh sector perbankan dipandang lebih berpotensi kearah kemodorotan dari pada kemanfaatannya untuk masarakat yang masih rendah tingkat pendidikan, pengetahuan dan kemampuan dalam daya saing produktivitas, sehingga penyaluran kreditnya sebagai paparan Faisal, Sambodo dan Ambar lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan property. Lepas dari pandangan tersebut di atas, bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sangat minim dalam mengembangkan cara berpikir kritis. Lemahnya cara berpikir kritis menjadikan perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.
53
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Memperhatikan pandangan diatas, tentang industrialisasi dari sisi dampak yang diharapkan dan yang tidak diharapkan, serta berbagai macam fenomena masalah yang berkembang, maka industrilalisasi dapat dikatakan mempunyai peranan penting. Pentingnya peranan industrialisasi, menjadikan masarakat di wilayah Jawa Timur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peranan industry dan bisnis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal itu tercermin dari ajakan Gubernur pada masarakatnya melalui penyebaran bender yang di pasang di kantor-kantor pemerintah, yang bertuliskan “Ayo Jadikan Industri dan Bisnis Pertanian Sebagai Jembatan Emas Menuju Jatim Yang Makmur dan Berahlak Mulia”. Ajakan itu memberikan inspirasi dan arti strategis dalam menunjang pembangunan di wilayah Jawa Timur. Nilai inspirasinya adalah bahwa dengan pemberdayaan sector insdustri dan bisnis pertanian menjadikan masarakat lebih akomodatif mencapai cita dan harapan kemakmuran dalam kemuliaan. Sedangkan arti strategisnya adalah, dengan industry dan bisnis pertanian dapat memberikan capaian hasil kerja dan kinerja masarakat yang kreatif dan inovatif dalam daya saing produktivitas pemanfaatan sumber daya potensial alam yang dimiliki dan usaha ekonomi yang ditekuninya. Oleh karena itu, industrialisasi menjadi salah satu kebijakan program yang akan dijalankan dalam pengembangan pasca Suramadu. Pengembangan kebijakan program industrialiasi yang akan dilaksanakan di wilayah pengembangan Suramadu, tentu tidak akan terlepas dari pada kebijakan organisasi yang dibentuk dengan nama Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS). Bentukan BPWS dari pusat dengan komposisi personalinya yang telah dilantik oleh Presiden pada hari Jum’at (3/7). Keberadaan BPWS dalam perjalannya, juga tidak lepas dari masalah. Sumber masalah yang berkembang di wilayah Madura adalah (1) belum bekerjanya BPWS; (2) pembentukannya yang tidak melibatkan Ulama/Rakyat Madura; (3) BPWS sebagai sumber masalah baru karena belum tahu jalan keluarnya/kebijakan program untuk pengembangannya; (4) Tidak ada jaminan BPWS dan orang-orang yang ada di dalamnya, siap memperjuangkan budaya Islami Madura;(5) janji-janji pemerintah pusat dan provinsi kepada kalangan ulama Madura … dalam setiap kebijakan yang diterapkan di Madura pasca pembangunan Jembatan Suramadu; (6) kajian dari pakar hukum dan tata ruang kota bahwa BPWS menyalahi aturan yang ada dan terus menuai kritik. Pengkritiknya adalah Bupati Bangkalan Fuad Amin dan LSM, Forum Ulama Bangkalan (FUB) dengan KH Badrus Sholeh sebagai juru bicara FUB; Pengasuh Ponpes Miftahud Tholibin, Kwanyar. Ancamannya, akan menutup paksa Jembatan Suramadu jika kebijakan BPWS tidak segera direvisi dan siap kehilangan Suramadu jika berdampak pada tatanan sosial budaya Madura yang Islami hilang. Bertitik tolak dari keberadaan BPWS yang dipermasalahkan adanya oleh sebagian tokoh atau ulama di Madura, maka penting juga kita pahami bahwa kemiskinan dari jutaan warga negara Indonesia masih hidup dalam kemelaratan (termasuk sebagian besar warga di Madura). Kalau kita menggunakan ukuran US$-PPP (purchasing power parity/keseimbangan 54
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
kemampuan daya beli)/kapita/hari yakni ukuran yang digunakan Bank Dunia, pada 2007 angka kemelaratan mencapai 105,3 juta jiwa (45,2%) atau lebih rendah dari angka pada 2006 yang mencapai 113,8 juta jiwa (49,6%). Yang menyedihkan, suara 105,3 juta jiwa itu tidak terartikulasikan di ruang publik, terutama di media massa, yang umumnya didominasi oleh artikulasi elite negara, pengusaha, politisi dan kelas menengah yang pongah. Kaum miskin itu, dalam kata-kata Gabriel Marquez, adalah kekuatan yang membisu. Di sisi lain, masyarakat diasumsikan memiliki sifat rasional dan selalu bereaksi terhadap insentif material setiap saat. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah dampak social ekonomi bagi masarakat lokal dalam kesejahteraan dengan adanya kebijakan industrialisasi pasca Suramadu? Atau dapatkah industrialisasi dan potensi sumbernya yang ada dapat dimanfaatkan oleh masarakat Madura? Apakah industrialisasi dapat bersinergi dengan budaya local dan karateristik potensinya? Atau dapatkah kebijakan industrialisasi pasca Suramadu mencapai yang diharapkan dalam kearifan lokal perekonomian dan kesejahteraan masarakat Madura? Pertanyaan ini sebagai paradigmatic kritis terhadap dampak ekonomi social dari kebijakan industrialisasi dalam pengembangan wilayah Suramadu. George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Secara sederhana paradigma diartikan sebagai “How to see the word” yakni semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Paradigma kritis penting dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Karena, paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain. Jadi paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial, ekonomi atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada: (a). Analisis struktural : membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegemoni, dominatif, dan eksploitatif. (b). Analisis ekonomi untuk menemukan variabel ekonomi politik baik pada level nasional maupun internasional. (c). Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana. (d). Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat. (e). Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
55
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Untuk kepentingan pokok bahasan dalam makalah ini, maka penulis focuskan pada analisis dampak kebijakan industrialisasi pasca jembatan Suramadu dalam structur format budaya, format ekonomi dan politik hukum suatu masarakat mencapai kemajuan dan kemunduran dalam kesejahteraan. Dampak Kebijakan Industrialisasi dalam Format Budaya, Ekonomi dan Politik Hukum Masyarakat Mencapai Kesejateraan Penulis sebagai pribadi setuju dengan kebijakan industrialisasi pasca Suramadu. Mengingat, untuk perkembangan industri ini modal domestik sudah memadai, salah satu kepemilikan yang disebut modal yang memadai adalah budaya yang dominan berdasarkan semangat Puritanisme (sejumlah ajaran yang dipakai oleh kaum puritan yang senantiasa berpegang teguh pada kemurnian perangkat norma/kaidah/nilai). Dimana semangat Puritanisme itu ada, dan dimiliki oleh masarakat Madura (seperti semangat gotong royong, sopan santun, harga diri/prinsip diri yang dikenal dengan slogan “lebih baik putih tulang dari pada putih mata”), serta kepatutan dan kepatuhan kepada “Bepak-Bebuh-Guruh-Ratoh (artinya, bapak-ibu-guru-raja/penguasa” telah membentuk, menjadikan dan menghasilkan masarakat Madura memiliki kearifan dalam bertindak atau mengambil keputusan dan semangat jiwa wiraswasta (misalnya, bekerja keras, merantau, produktif, hemat, dan hidup sederhana) dengan memegang teguh petuah dari orang yang dihormati, yang pada gilirannya telah menghasilkan semangat kapitalis. Karenanya, seruan budaya lokal dan potensinya yang dirasakan atau sesuai harapan masarakat, “ada dan tidak tergeserkan” oleh kebijakan industrialisasi pasca Suramadu, sehingga eksistensinya menjadi bermartabat. Setidaknya ada dua sisi dari pengertian ‘memartabatkan budaya lokal dan potensinya’ bagi masarakat Madura, yakni sisi eksternal dan sisi internalnya. Sisi eksternal dari upaya memartabatkan budaya dan potensinya bagi masarakat Madura sebagai bagian yang akan berwujud diakuinya keberadaan (eksistensi suatu adat atau skill) dari nilai budaya atau kemampuan yang tertanam dalam kehidupan masarakat dan kebudayaannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sedangkan sisi internalnya akan berwujud adanya kekompakan, persatuan, dan kesatuan dari suatu kaum serta tingginya taraf hidup, kesejahteraan, dan kedamaian seluruh warga Madura. Sebab sungguh tidak akan ada martabat suatu budaya Madura yang warganya hidup dalam keadaan terpecah belah, serta dalam kemiskinan, kebodohan, serta keterbelakangan. Bagaimanapun juga, pelaksanaan instrumen budaya nasional sebagai hak asasi manusia masih tetap tergantung pada komitmen serta kondisi lokal setiap warga dalam suatu negara, walaupun secara formal diakui bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, tidak dapat dibagi, dan tidak terpisahkan satu sama lain. Kata lain, prinsip pensakralan dan penyesuaian antara adat dengan Islam dalam masyarakat Madura, memiliki kaitan langsung dengan pelbagai amalan sistem kehidupan masarakat Madura dan juga perkembangan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat industrialisasi kini – pasca Suramadu. Seluruh masyarakat hukum adat di Indonesia beserta identitas kultural dan hak tradisionalnya, sejak tahun 56
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
2000 yang lalu telah mendapat perlindungan konstitusional yang sama berdasar Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) amandemen kedua UndangUndang Dasar 1945. Hal yang demikian itu, sungguh amatlah arif untuk mengkaitkan upaya pemartabatan adat istiadat sebagai budaya khas lokal dengan konteks kenegaraan yang berwawasan industrialisasi. Dengan wawasan industrialisasi, mereka berusaha menangkap setiap kesempatan yang datang. Semua kesempatan yang datang dapat ditangkap dari kebijakan industrialisasi pasca Suramadu yang diharapkan telah dirancang dan harus memiliki/mempunyai basis/bercirikan ekonomi kerakyatan. Alasan mendasar: Pertama, ciri utama sistem ekonomi kerakyatan adalah penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi, disertai kepedulian terhadap yang lemah. Sistem ekonomi tersebut harus memungkinkan seluruh potensi bangsa, baik sebagai konsumen, sebagai pengusaha maupun sebagai tenaga kerja, tanpa membedakan suku, agama, dan gender, mendapatkan kesempatan, perlindungan dan hak untuk memajukan kemampuannya dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya dan partisipasinya secara aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara kekayaan alam dan lingkungan hidup. Di dalam melaksanakan kegiatan tersebut, semua pihak harus mengacu kepada peraturan yang berlaku. Kedua, sejalan dengan ciri pertama, adalah pemihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap yang lemah oleh semua potensi bangsa, terutama pemerintah sesuai dengan kemampuannya. Pemerintah melaksanakannya melalui langkah-langkah yang ramah pasar. Sedangkan, penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK) termasuk petani dan nelayan kecil, merupakan prioritas utama dalam pengembangan sistem ekonomi kerakyatan. Ketiga, Penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat dan intervensi yang ramah pasar serta upaya pemerataan berjalan seiring dengan upaya menciptakan pasar yang kompetitif untuk mencapai efisiensi optimal. Misalnya, hubungan kemitraan antara usaha besar UKMK harus berlandaskan kompetensi bukan belas kasihan. Untuk itu, prioritas dilakukan bagi penghapusan praktek-praktek dan perilaku-perilaku ekonomi diluar aturan permainan yang dianggap wajar dan adil oleh masyarakat seperti praktek monopoli, pengembangan sistem perpajakan progresif yang efektif dan deregulasi yang diarahkan untuk menghilangkan ekonomi beaya tinggi. Keempat, pemberdayaan ekonomi rakyat sangat terkait dengan upaya menggerakkan ekonomi pedesaan. Oleh karena itu, upaya mempercepat pembangunan pedesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya harus merupakan prioritas, antara lain, dengan meningkatkan pembangunan prasarana pedesaan dalam mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota sebagai bentuk jaringan produksi dan distribusi yang saling menguntungkan. Kelima, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara dan mineral secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak masyarakat 57
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Keenam, pembangunan ekonomi rakyat, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan/pertambakan, pertambangan, industri dan perdagangan barang dan jasa yang berskala mikro dan kecil, merupakan inti dari pembangunan sistem ekonomi kerakyatan. Memperhatikan pandangan sistem ekonomi kerakyatan itu, penting kita renungkan dan pikirkan pertanyaan ini “apakah reformasi ekonomi berbasis kepentingan rakyat kecil berjalan sesuai harapan mensejahterakan, terutama kesejahteraan bagi rakyat yang termajinalisasi atau penyandang masalah ekonomi-sosial?” Sistem ekonomi kerakyatan menurut MPR RI Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 (Bab IV, B. Ekonomi), adalah sebagai berikut: 1. Sistem ekonomi kerakyatan dalam sistem ekonomi pasar: “Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat …”. 2. Mengakui ketidaksempurnaan pasar: “Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif, yang merugikan masyarakat”. Berpijak pada pandangan teori system eknomi kerakyatan dan yang disemangati dengan keputusan MPR RI tersebut di atas, maka penting dipersiapkan dan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, guna memenuhi berjalannya system dimaksud sesuai harapan. Dalam konteks dan kepentingan ini, maka pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin atau PKH yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga Madura. Pengecualian hanya berlaku bagi warga Madura yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara. Selain itu, penting juga memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah melalui pengembangan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar yang akomodatif. Kemudian, penting memantapkan kinerja dampak dari strategi pembangunan pertanian yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang semata tanpa didukung oleh tujuan pemerataan melalui pendistribusian yang baik mengakibatkan kesenjangan dalam masyarakat. Keadaan tersebut juga ditengarai menjadi penyebab utama tingginya jumlah masyarakat miskin. Dengan memberdayakan asset ekonomi yang dimiliki masyarakat miskin merupakan bentuk pendistribusian yang bijaksana, dimana selama ini masyarakat miskin hanya mendapat pembagian (share) keuntungan terkecil dari kegiatan ekonomi yang ada. Campur tangan dan penetrasi pemerintah menjadi terlalu jauh dalam proses globalisasi yang hegemoni dalam memudahkan pelaksanaan kontrol global seringkali menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal. Milton Friedman, ekonom 58
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
pemegang nobel, mengatakan bahwa globalisasi telah menjadi mungkin untuk menghasilkan produk dimanapun, menggunakan sumber daya dimanapun, oleh perusahaan yang berada dimanapun, dan untuk dijual dimanapun (dalam Yanuar Ikbar, 2006). Namun dibalik pandangan itu, para analis yang mengkritik pandangan globalisasi menggambarkan bahwa globalisasi perdagangan dan keuangan kontemporer sebagai penyebab utama dari tingginya pengangguran, penurunan dalam standar kerja, ketidakseimbangan, kemiskinan, krisis keuangan dan degradasi lingkungan dalam skala besar. Ini terjadi paling akhir dalam penghujung tahun 2005 di Hongkong dalam konfrensi WTO, sehingga sejumlah aksi menentang idea globalisasi ekonomi dan memberikan tekanan bagi Negara maju menghilangkan proteksi produkasi pertanian (idem). Hal ini ada kesamaan dengan strategi pemerataan pembangunan melalui trickle down effect yang dipandanag terbukti sulit diimplementasikan, dimana di satu sisi sumberdaya terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat yang berkualitas dan berkuantitas ekonomi yang relatif mapan. Paham neoklasik yang dianut paradigma pembangunan pertanian, kurang berhasil mencapai pertumbuhan yang adil, bahkan menciptakan ketergantungan baik di tingkat lokal maupun nasional (dalam Korten dan Sjahrir ,1984). Di Indonesia pelaksanaan pemikiran neo-klasik telah baik penerapannya, namun karena model ini bersifat kontradiktif dan kurang memberikan ruang bagi proses demokrasi bagi tipe masyarakat yang bersifat demokratis, maka justru menghasilkan pemaksaan dan kesenjangan (dalam Budiman, 1991). Hal ini memunculkan maraknya isu reformasi, sehingga berkembang iklim politik yang kondusif maupun yang kurang kondusif terkait dengan makin maraknya isu reformasi dengan jargon-jargon kebebasan berpendapat, hak asasi manusia (HAM), dan perubahan struktur kekuasaan negara. Kondisi adanya seperti tersebut diatas, merupakan sebagai cerminan kepemilikan peran penting dalam membentuk kesadaran kaum petani terhadap hasil produksi dan memberikan pengaruh kuat terhadap gagasan partisipasi. Hal ini sebagaimana yang dialami Suroso. Suroso mewakili gambaran sebagian besar petani Indonesia, yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Petani seperti Suroso itulah yang kini harus berhadapan dengan isu-isu global. Seperti perdagangan bebas lengkap dengan beragam “muslihat” yang dikembangkan negara-negara maju melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menghadapi”muslihat” itu Suroso hanya bisa menerima.”Yo…sing penting nandur sing apik. Payu kono ora payu kono. (Ya penting menanam dengan baik, laku dijual syukur, tidak laku dijual syukur, tidak laku ya tidak apa-apa),” kata Suroso, yang memiliki 1.500 rumpun salak. Bagi Suroso, dan petani lainnya hidup urusan Tuhan. Mereka menyakini kepasrahan akan mendatangkan berkah, termasuk keberhasilan berproduksi (dalam Kompas,14 Oktober2009). Dengan kata lain “You may not abandon yourself to despair”. Keadaan ini juga mempengaruhi proses terbentuknya kelembagaan (organisasi) kaum petani sebagai wacana dan wadah penyampaian aspirasi mereka terhadap pemerintah untuk menyuarakan ketidakadilan dan 59
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
kemarjinalan yang dialami kaum petani. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berkelanjutan dapat dikaji melalui giatnya pelaksanaan Otonomi Daerah dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahyang diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, yang menegaskan daerah Kabupaten dan Kota yang berwenang mengatur dan berdasarkan “aspirasi masyarakat” guna makin terwujud dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dan masyarakat dituntut agar mampu membina hubungan harmonis dan menjadikan pembangunan sebagai bagian yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta mampu memberi ruang dan waktu untuk terciptanya masyarakat yang sejahtera dan maju. Hubungan harmonis tersebut dimaksudkan jika pemerintah dan masyarakat dapat berperan, baik sebagai pemerakarsa maupun sebagai partisipan. Pemerakarsa dan partisipasi pemerintah dan masyarakat petani sebagai bentuk perwujudan pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan. Perwujudannya sangat diharapkan demi terlaksana dan tercapainya tujuan dari program pemberdayaan bagi masarakat miskin di pedesaan. Fokus utama program pemberdayaan bagi masarakat miskin yang memungkinkan dapat dikembangkan adalah integrasi jagung-ternak, agar mampu memanfaatkan kotoran ternak sapi sebagai pupuk untuk memacu peningkatan unsur hara tanah sebagai sumber utama kesuburan lahan usaha tani, terutama untuk dapat meningkatkan produksi jagung mereka (jagung merupakan produk unggulan masarakat Madura). Aspek tujuan integrasi jagung–ternak lainnya adalah pemanfaatan limbah hijauan tanaman jagung sebagai sumber pakan ternak yang utama, di samping penggunaan pakan konsentrat yang dianjurkan, sebagai hasil sampingan dari produksi jagung yang dapat dimakan dan dijual. Selain itu, nilai tambah lain yang diperoleh petani adalah bertambahnya pendapatan petani yang diperoleh dari hasil penjualan kelebihan kotoran ternak tersebut kepada petani lain yang membutuhkannya sebagai pupuk tanaman mereka. Ini bertujuan untuk mengemukakan dengan lebih komprehensif pentingnya peran partisipasi masyarakat petani dalam pelaksanaan program integrasi jagung-ternak yang dapat dijadikan sebagai salah satu strategi pemberdayaan masarakat petani terhadap cengkeraman kemiskinan. Partisipasi mereka dalam program tersebut sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ternak dan usaha tani jagung mereka melalui pemanfaatan limbah hijauan dan kotoran ternak, dalam rangka meningkatkan pendapatan rumah tangga petani di pedesaan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasi mencerminkan upaya mewujudkan kemandirian daerah yang transparan dan akuntukabel antara komponen pemerintah, masyarakat, dan swasta, yang dilandasi aturan kebijakan untuk berpartisipasi sesuai proporsi dan kompetensi yang dimiliki secara terukur dan berkelanjutan. Kondisi ini dapat berlangsung dengan mengedepankan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), yaitu: 1) partisipatif; 2) tranparansi; 3) akuntabilitas. Partisipatif 60
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
dalam proses pembangunan diantaranya melalui berbagai program kebijakan pembangunan pertanian dimaksudkan agar dapat menjembatani antara aspirasi dan kebutuhan masyarakat petani di pedesaan. Sisi lain, makna partisipatif juga diharapkan dapat menggugah kesadaran publik bahwa terjadinya keberhasilan maupun kegagalan proses pembangunan pertanian di pedesaan bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sangat bergantung pada keberhasilan keterlibatan masyarakat petani dalam penyelenggaraan pembangunan tersebut, dari awal hingga akhir, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Karenanya, sifat dan naluri partisipasi masyarakat dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani, paguyuban, dan lainnya sebagai lembaga tradisional yang masih hidup dan bertahan terus diberdayakan, serta dimanfaatkan sebagai asset pembangunan yang perlu ditingkatkan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya. Di samping itu, dapat menjadi salah satu potensi yang bisa dikembangkan menjadi lembaga, baik yang adopsi teknologi maupun yang berorientasi pasar, serta yang bermanfaat bagi wadah untuk menampung dan mengembangkan diri petani di pedesaan. Kelembagaan ini merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati sebagai bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan material dan non-material. Dengan demikian, masyarakat selanjutnya jadi semakin dapat memposisikan diri pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis. Dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan semata, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata. Jika masarakat tidak dapat mampu memposisikan diri pada nilai dan kekuatan luar, maka masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Implikasi lain adalah keterjaminan kehidupan social yang dapat diarahkan kepada peningkatan daya tahan, daya tarik dan daya saing yang berbasis market driven (memandu pasar) dan market driving (yang mengemudikan pasar) baik melalui inovasi teknologi tepat guna dan penyediaan, serta pengembangan infrastruktur yang terkait dan bantuan kredit lunak dengan prosedur yang disesuaikan dengan kondisi petani di lahan marginal tersebut. Hal yang demikian ini dapat terlaksana dengan dukungan aparat pemerintahan yang baik (good governance), demi tercapainya tujuan pembangunan pertanian di pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani yang umumnya miskin (secara ekonomi). Kemiskinan merupakan suatu kenyataan yang melekat pada mayoritas masyarakat petani di pedesaan, dan merupakan salah satu perwujudan dari keberagaman. Seperti diketahui bahwa diantara kesamaan yang dimiliki masyarakat, terdapat pula ketidaksamaan satu sama lain. Sebagian masyarakat mampu melakukan dan memperoleh penghasilan untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Di sisi lain sebagian masyarakat secara ekonomi tidak mampu melakukannya tanpa bantuan orang lain.
61
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010
Kesimpulan 1. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi dengan sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis penegakan prinsip keadilan; demokrasi ekonomi yang disertai kepedulian terhadap yang lemah; pemihakan; pemberdayaan; perlindungan; penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat; intervensi yang ramah pasar; upaya pemerataan dalam menciptakan pencitraan hubungan kemitraan antara usaha besar dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK); pemberdayaan ekonomi rakyat dengan upaya mempercepat pembangunan pedesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya sebagai prioritas (seperti, pembangunan prasarana pedesaan dalam mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota dengan jejaringan produksi dan distribusi yang saling menguntungkan); pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; serta pembangunan ekonomi rakyat berbasis pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan/pertambakan, pertambangan, industri dan perdagangan barang dan jasa yang berskala mikro dan kecil. 2. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi dengan pendistribusian asset ekonomi kepada masyarakat miskin yang berbasis campur tangan dan penetrasi pemerintah untuk memudahkan pelaksanaan kontrol global yang seringkali menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal. Selain, itu juga adanya program industrialisasi penting memartabatkan nilai-nilai budaya local yang agamis. 3. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi bersama pemerintah dan masyarakat dalam membina hubungan peranan harmonis sebagai pemerakarsa dan partisipasi yang berfokus pada program pemberdayaan pengembangan integrasi jagung-ternak. Selain itu, adanya industrialisasi di Madura, penting memberdayakan pola pengolahan industry dalam pemanfaatan potensi sumber alam.
62
Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun I, Nomor 1 Januari 2010