perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI TIPE COPING STRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA
Skripsi
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi
Disusun Oleh : Alvian Pribadi G0104006
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal dengan judul
: PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI TIPE COPING STRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA
Nama Peneliti
: Alvian Pribadi
NIM
: G0104006
Tahun
: 2010
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada: Hari
: _______________
Tanggal
: _______________
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Salmah Lilik, M.Si. NIP. 194904151981032001
Rin Widya Agustin, M.Psi NIP. 197698172005012002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi NIP. 197698172005012002
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan judul: PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI TIPE COPING STRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA Alvian Pribadi, G0104006, Tahun 2010
Telah diuji dan disahkan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
1.
Hari
: _______________
Tanggal
: _______________
Pembimbing I Dra. Salmah Lilik, M.Si.
( ______________ )
2. Pembimbing II ( ______________ )
Rin Widya Agustin, M.Psi.
3. Penguji I Drs. Thulus Hidayat, S.U., M.A.
( ______________ )
4. Penguji II Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si.
( ______________ )
Surakarta, ______________
Koordinator Skripsi
Ketua Program Studi Psikologi
Rin Widya Agustin, M.Psi NIP. 197698172005012002
Drs Hardjono, M.Si NIP. 195901191989031002
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, November 2010
Alvian Pribadi
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan penuh hormat serta cinta, kasih, dan sayang, karya ini kupersembahkan kepada: 1. Ibu dan Bapak tercinta, 2. Staf pengajar Program Studi Psikologi UNS, 3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ini, 4. Almamaterku
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Perbedaan Psychological Well Being Ditinjau dari Tipe Coping Stress, sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari akan kekurangan, kelemahan, dan hambatan yang penulis hadapi, sehingga tanpa dorongan, bantuan, bimbingan, serta doa dari beberapa pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik, oleh karena itu penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi ijin penelitian pada penulis. 2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan dosen pembimbing I, yang telah memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang bermanfaat bagi kelancaran skripsi penulis. 3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang bermanfaat bagi kelancaran skripsi penulis
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II, yang dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, masukan, serta memberi semangat, dan motivasi untuk terus berusaha hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Bapak Drs. Thulus Hidayat, S.U., M.A., selaku penguji I, yang memberi masukan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si., selaku penguji II, yang memberi kemudahan bagi penyelesaian skripsi ini. 7. Ibu Suci Murti Karini, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus berjuang menyelesaikan skripsi. 8. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu dan pengalaman kepada penulis. 9. Seluruh staf tata usaha dan perpustakaan Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu kelancaran studi penulis. 10. Bapak Kusmanto selaku Kepala Program Akselerasi yang telah membantu dalam persiapan pelaksanaan penelitian Program Akselerasi di SMA Negeri 3 Surakarta. 11. Adik-adik siswa kelas akselerari X SMA N 3 Surakarta yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12. Ibuku tersayang, Ibu Suprapti Ningsih, yang telah memberikan kesabaran, nasihat, pengertian, semangat, motivasi, serta kasih sayang, dan doa yang selalu beliau panjatkan demi kesuksesan saya. 13. Ayahku tersayang, Bapak Djoko Muljono, BA. yang telah memberikan kesabaran, nasihat, pengertian, semangat, motivasi, dana kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi, serta kasih sayang, dan doa yang selalu beliau panjatkan demi kesuksesan saya. 14. Ullum, Raihana, Wahyu Pratomo, Ratih, Rini, Dewi, Femi, Erwin, Putri, Nita, Dian, Agung B/N/W, Dani M, Candra, Sindhu, Irwan, dan temanteman Psikologi FK UNS dari semua angkatan. Terima kasih atas semua dukungan dan bantuan yang telah kalian berikan. 15. dr. Mudzakkir Sp. An dan mamah, dr. Guntur dan mbak Fida, dr. Zen Ahyar, dr. Iwing, dr. Andi, dr. Sandi, dan mr. Lilik. Terima kasih banyak atas kasih sayang, perhatian, bantuan dan semangat yang telah saya terima. 16. Tegar, Lala, Agung, Icha, Iput, Tita, Ryan, Erika, Adiya, Viska, 17. dan seluruh teman-teman MAPALA VAGUS FK UNS, terima kasih untuk rasa kebersamaan yang tidak akan pernah terlupakan. 18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada kita semua.
Surakarta, November 2010
Penulis
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI TIPE COPING STRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA Alvian Pribadi G0104006
Program akselerasi merupakan suatu jawaban atas dibutuhkannya pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa. Dalam program akselerasi, siswa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya, sehingga dapat menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang lebih ditentukan. Dalam pelaksanaannya, program akselerasi selain memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang dapat timbul dalam pelaksaaan program akselerasi adalah terciptanya kondisi stres. Upaya untuk mengatasi stres tersebut dinamakan coping, dan bertujuan bertujuan mempertahankan wellbeingnya Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan psychological well-being (PWB) ditinjau dari tipe coping stres yang berupa problem focused coping (PFC) dan emotion focused coping (EFC) pada siswa program akselerasi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX pada program akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA. Teknik pengambilan sampel dengan studi populasi. Alat pengumpulan data menggunakan modifikasi COPE Inventory dan modifikasi skala psychological well-being dari WLS Survey. Analisis hipotesis dengan Uji Mann-Whitney. Dari perhitungan dengan menggunakan Uji Mann-Whitney diperoleh hasil p-value , maka diperoleh kesimpulan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan psychological well-being ditinjau dari tipe coping stres. Hasil analisis deskriptif memberikan gambaran bahwa siswa program akselerasi cenderung memakai tipe coping berupa EFC (74%). Siswa program akselerasi yang menggunakan tipe PFC paling banyak berada dalam kategori sedang (69,2%), sama halnya dengan siswa yang menggunakan tipe EFC yaitu paling banyak berada dalam kategori sedang (69,2%). PWB siswa yang menggunakan tipe PFC lebih tinggi dari siswa yang menggunakan tipe EFC dengan selisih mean statistik yang tidak signifikan.
Kata kunci: psychological well-being, tipe coping, stres, problem focused coping, emotion focused coping, program akselerasi.
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT PSYCHOLOGICAL WELL-BEING VIEWED FROM THE TYPE OF COPING AT SMA NEGERI 3 SURAKARTA ACCELERATED PROGRAM STUDENT
Alvian Pribadi G0104006
Accelerated program is an answer to the need for educational services for students who have special talents and extraordinary intelligence. In the accelerated program, students receive special attention and more lessons can be driven for achievement and talent development, so as to complete the program earlier than the time to learn more determined. In practice, the acceleration program in addition to having a positive impact also has a negative impact. Negative impacts that may arise in the conduct of accelerated program is the creation of conditions of stress. Efforts to cope with stress is called coping, and aims to maintain their pschological well being. This study aimed to determine whether there is difference in psychological well-being (PWB) in terms the type of stress coping in the form of problem focused coping (PFC) and emotion focused coping (EFC) on an accelerated program students. The subject of this research is a class IX student at the SMA NEGERI 3 SURAKARTA accelerated program. Sampling techniques with the study population. Tools of data collection using a modified scale modification COPE Inventory and psychological well-being of WLS Survey. Analysis of the hypothesis with the Mann-Whitney test. From the calculation using the Mann-Whitney test result p-value = 0 no difference in psychological well-being in terms of type of stress coping. Results of descriptive analysis suggests that the accelerated program students tend to use coping type of EFC (74%). Students acceleration program that uses a type of PFC's most lots are in the moderate category (69.2%), as well as students who use the type that is most widely EFC is in the moderate category (69.2%). PWB students who use type of PFC is higher than students who use type of EFC with the mean difference was not statistically significant. ….
Key words: psychological well-being, type of coping, stress, problem focused coping, emotion focused coping, accelerated program.
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN .................................................
iv
MOTTO ............................................................................................................ v HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
ABSTRAK .......................................................................................................
x
ABSTRACT………………………………………………………………….
xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xvii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................................
1
B. Perumusan Masalah ........................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
9
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................
9
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tipe Coping Stres 1. Pengertian Tipe Coping Stres.......................................................
11
2. Dimensi-Dimensi Tipe Coping Stres ......................... …………
14
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stres .....................
20
B. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being……………………………..
22
2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being……………………...
24
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
25
C. Program Akselerasi 1. Pengertian Program Akselerasi …………………………………….
28
2. Ciri-Ciri Program Akselerasi…………………………………...
29
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.
Kelebihan Program Akselerasi………………………………
33
4.
Kekurangan Program Akselerasi……………………………
34
D. Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe Coping Stres Pada Siswa Program Akselerasi…………………………………………
36
E. Kerangka Pikir……………………………………………………..
39
F. Hipotesis……………………………………………………………
39
BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian …………………………………...
40
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Tipe Coping Stres………………………………………………. 40 2. Psychological Well Being……………………………………………
41
C. Populasi, Sampel, dan Sampling ………………………………….
42
D. Metode Pengumpulan Data………………………………………..
42
E. Analisis Data 1. Uji Validitas Dan Daya Beda Aitem Alat Ukur………………... 45 2. Uji Reliabilitas Aitem Alat Ukur……………………………….
45
3. Uji Hipotesis……………………………………………………
45
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi Kancah Penelitian ……………………………………
46
2. Persiapan Penelitian…………………………………………….
49
B. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Subjek Penelitian……………………………………
50
2. Pengumpulan Data……………………………………………...
50
3. Pelaksanaan Skoring………………………………………........
51
C. Hasil Analisis Data 1. Analisis Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Alat Ukur…………
52
2. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Data…………………………………………
54
b. Uji Homogenitas…………………………………………….
55
3. Uji Hipotesis……………………………………………………
56
4. Analisis Deskriptif……………………………………………...
57
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Pembahasan……………………………………………………….
60
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……………………………………………………….. 63 B. Saran ……………………………………………………………...
64
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...
66
LAMPIRAN…………………………………………………………………..
70
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Variabel Dummy Untuk Skala Coping Stres…………………...
43
Tabel 2.
Skala Tipe Coping Stres Problem Focused Coping………………
44
Tabel 3.
Skala Tipe Coping Stres Emotion Focused Coping……………....
44
Tabel 4.
Skala Psychological Well-Being ……………………………......
44
Tabel 5.
Jumlah Siswa Untuk Penelitian........…………………………..
50
Tabel 6.
Indeks Daya Beda Aitem Skala Coping Stres…………………..
53
Tabel 7.
Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Coping Stres…...
53
Tabel 8.
Indeks Daya Beda Aitem Skala Psychological Well Being……...
54
Tabel 9.
Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Psychological Well Being……………………………………………………………...
54
Tabel 10.
Hasil Uji Normalitas………………………………………….....
55
Tabel 11.
Hasil Uji Homogenitas……………………………………….....
56
Tabel 12.
Hasil Uji Hipotesis Mann-Whitney………………………………...
57
Tabel 13.
Kondisi Empiris Tipe Coping Stres pada Siswa Program Akselerasi .................................................................................
58
Tabel 14.
Kategorisasi Subjek Berdasar Skor Alat Ukur Penelitian ……
58
Tabel 15.
Mean Psychological Well Being Ditinjau dari Tipe Coping Stres…………………………………………………………….. .
commit to user xv
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.
Dinamika Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe
.
Coping Stres …………………………………………………
commit to user xvi
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A.
Alat Ukur Penelitian…………………………………………
70
Lampiran B.
Tabulasi Data Hasil Penelitian………………………………
79
Lampiran C.
Uji Reliabilitas dan Daya Beda Aitem………………………
94
Lampiran D.
Tabulasi Data Hasil Try Out Terpakai………………………
107
Lampiran E.
Hasil Uji Asumsi……………………………….....................
122
Lampiran F.
Hasil Uji Hipotesis……………………………......................
125
Lampiran G.
Surat Ijin dan Surat Tanda Bukti Penelitian…………………
127
.
commit to user xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan sumber daya manusia yang unggul dan profesional mutlak adanya pada segala bidang. Sekolah sebagai media pembelajaran yang diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan globalisasi. Keberhasilan siswa di dalam kelas ditentukan oleh berbagai aspek, yang diantaranya adalah daya tangkap dan kecepatan dalam memproses informasi. Namun demikian, adanya perbedaan daya tangkap dan kecepatan dalam memproses informasi yang dilakukan oleh siswa menimbulkan masalah tersendiri dalam proses belajar-mengajar di sekolah, utamanya bagi siswa yang daya tangkap dan kecepatan belajarnya melebihi teman-teman sebayanya. Dalam studi kasus yang dilakukan Dharnoto (2006), dibahas tentang siswa yang bernama Riana dan Adrian, keduanya mulai duduk di bangku SD pada umur empat tahun, bahkan Adrian sejak usia dua tahun sudah bisa membaca koran, merasa kesal karena dikelas reguler mereka merasa pelajarannya diulang ulang. Kemampuan Riana dan Adrian dapat dimasukkan dalam tanda-tanda umum anak berbakat, yang perlu dipahami adalah
bahwa anak berbakat umumnya tidak
hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dengan temannya, disamping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menyerap informasi sebanyak mungkian dengan mudah dan cepat (Jaya, 2009). Fenomena di atas juga sesuai dengan ciri-ciri anak cerdas istimewa
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
yang dikemukakan oleh Monks dan Ypenburg yang dikutip oleh Van Tiel (2007) bahwa sejak dini anak cerdas istimewa sudah belajar membaca dan menulis dengan caranya sendiri tanpa diajari. Pemerintah menaruh perhatian tentang masalah anak berbakat dan cerdas istimewa, berupaya memberikan pelayanan pendidikan yang dinilai sesuai bagi mereka. Perhatian tersebut berupa beasiswa, perintisan sekolah anak berbakat sampai pada akhirnya pada tahun 1998 Depdiknas memberikan Surat Keputusan Penetapan Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar (Akbar, 2004). Program percepatan belajar atau disebut juga program akselerasi diidentifikasi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan (Depdiknas, 2003). Hawadi (2004) mengemukakan bahwa program akselerasi adalah pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa yang berbakat, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan teman-temannya. Pelayanan pendidikan bagi anak berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa dalam program akselerasi ditunjang dengan fasilitas yang berbeda dibanding dengan program reguler atau kelas biasa demi mengoptimalkan proses belajar siswa kelas akselerasi. Fasilitas tersebut diantaranya adalah disediakannya kelas khusus yang ber-AC dengan sistem pengaturan suhu yang baik, multimedia dan dilengkapi dengan internet serta pembatasan jumlah siswa agar proses pembelajaran lebih efektif (Kwartolo, 2005).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Percepatan masa belajar yang semula tiga tahun menjadi dua tahun menjadikan para siswa program akselerasi belajar “ekstra” keras. Porsi belajar siswa program akselerasi ditambah, pukul 07.00 sampai dengan 14.00, bahkan ada yang sampai sore, ditambah les untuk mata pelajaran tertentu, bisa dikatakan bahwa sudah pulang lebih larut dari pada program reguler dirumah mereka harus mengerjakan PR yang lebih banyak dari pada kelas reguler. Kerja mereka hanya belajar, mandi, makan, dan belajar (Dharnoto, 2006). Program akselerasi memiliki jadwal yang sedemikian ketat, sehingga sering timbul pertanyaan apakah para siswa kelas akselerasi menjalani kehidupan secara normal, walaupun dalam kelas mereka mendapat fasilitas yang khusus. Mutiara, seorang pelajar SMA Negeri 8 Jakarta yang mengikuti program akselerasi, merasakan pergaulannya menjadi terbatas, dikarenakan setiap hari jadual belajarnya sangat padat. Senin hingga Jumat belajar sekitar pukul tujuh pagi hingga pukul empat sore. Pada hari Sabtu ketika pelajar lain libur dari kegiatan akademis dan menjalani aktivitas ekstrakurikuler, Mutiara dan 19 teman sekelasnya justru disibukkan dengan berbagai praktikum (Permanasari, 2004). Permasalahan sosialisasi antara program reguler dan akselerasi sulit dihindari. Seperti yang dikemukakan oleh orang tua siswa akselerasi-Sigit Sigalayan dari Samarinda yang sempat kaget ketika putranya Bhima bercerita kalau teman-temannya di kelas reguler (saat SMP) mengatakan bahwa kelas akselerasinya tidak diakui sebagai satu angkatan dengan murid yang masuk bersamaan ke sekolah itu hanya karena waktu lulusnya berbeda, atau sebaliknya siswa kelas 3 masih menganggap mereka baru kelas 2 (Sigalayan, 2008). Hal itu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
karena waktu belajar yang umumnya ditempuh tiga tahun, diprogram akselerasi dengan pemadatan materi menjadi dipercepat dan hanya berlangsung dua tahun. Belajar tentunya adalah hal yang utama bagi siswa, terutama bagi siswa kelas akselerasi dalam mempertahankan prestasi dan keberadaan mereka dalam kelas akselerasi. Kepala SMPN 1 Sukatminanto (dalam Anwar, 2007) mengatakan ada syarat khusus yang harus dipenuhi siswa agar bisa masuk kelas akselerasi dan memperoleh kompensasi pemangkasan waktu studi. Syarat tersebut diantaranya adalah siswa harus ber-IQ minimal 125, nilai akademik untuk pelajaran MIPA dan bahasa Inggris rata-rata minimal 7,5, lolos tes psikologi dan tes komitmen serta sudah melewati pengamatan guru dan wali kelas setelah 1,5 bulan jadi siswa. Kalau siswa lolos tes dan dinyatakan diterima, masih ada dua syarat tambahan lain, syarat tersebut, dites kesehatannya dan siswa dan orang tua harus mau meneken surat pernyataan yakni sanggup jadi peserta kelas akselerasi. Jika di tengah jalan tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada harus mau diturunkan di kelas reguler. Siswa program akselerasi adalah individu yang berada pada masa remaja, pada masa remaja kondisi perkembangan karakteristiknya sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik, mental dan sosial. Hurlock (2004) menyebutkan bahwa masa remaja berada dalam rentang umur tiga belas tahun sampai delapan belas tahun, dianggap sebagai periode "badai dan
tekanan", suatu masa ketegangan emosi yang
meninggi akibat perubahan fisik dan kelenjar. Fisik remaja yang berkembang adalah tinggi, berat, proporsi tubuh, organ seks primer dan sekunder. Retnowati (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan fisik yang terjadi pada masa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan terjadi pada sistem reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan mempengaruhi organ reproduksi untuk memulai siklus reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organorgan reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri ditandai dengan
(menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut
pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya. Tidak semua remaja dapat menerima perubahan dan menunjukkan kepuasan pada perubahan tersebut sehingga membuat remaja mudah mengalami perubahan suasana hati, sedih, gelisah, dan menangis tanpa sebab. Levine & Smolak (dalam Asrori, 2009) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Hurlock (2004) menyebutkan pula bahwa tubuh anak perempuan yang terlalu tinggi ataupun anak laki-laki yang terlalu kurus, menimbukan penilaian sosial yang kurang baik. Shaw, Stice, dan Whitenton (dalam Asrori, 2009) menyebutkan bahwa ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptif Elkind dan Postman (dalam Retnowati, 2008) menyebutkan tentang fenomena akhir abad duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan perlakuan dan harapan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masa kini mengalami banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan membingungkan serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka melakukan peran dewasa sebelum mereka masak secara psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan obatobatan, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang kronis. Masyarakat pada era teknologi maju dewasa ini membutuhkan orang yang sangat
kompeten
dan
terampil
untuk
mengelola
teknologi
tersebut,
ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan teknologi yang demikian cepat dapat membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan mengalami gangguan emosional. Bellak (dalam Retnowati, 2008) menyebutkan bahwa remaja masa kini dihadapkan pada lingkungan yang segala sesuatunya berubah sangat cepat. Mereka dibanjiri oleh informasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk diserap dan dimengerti. Semuanya terus bertumpuk hingga mencapai apa yang disebut information overload. Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan, absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan benturan budaya. Gambaran diatas menunjukkan bahwa siswa program akselerasi berada dalam kondisi yang serba sulit, mereka harus memenuhi kebutuhan diri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
sendiri dan lingkungan sekaligus memenuhi tuntutan yang besar dari program akselerasi itu sendiri. Psikolog UI, Reni Akbar Hawadi (dalam Majidi, 2009) mengemukakan bahwa siswa akselerasi cenderung akan mengalami stres pada awal program dan stres tersebut akan muncul lagi saat ujian. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Hajar Pamadhi (dalam Fenizar, 2005) memberikan tambahan informasi bahwa banyaknya sekolah yang menerapkan program percepatan (akselerasi) studi, mengakibatkan rata-rata 11 orang pelajar per tahun menderita depresi karena beban mental dan kelelahan belajar. Feldhusen (dalam Indriasari, 2007) menyatakan bahwa jika seorang anak diketahui memiliki bakat intelektual, banyak orang yang mengharapkan anak tersebut dapat menunjukkan kemampuannya pada tingkatan yang lebih tinggi. Jika tuntutan tersebut dinilai melebihi batas kemampuan yang dimiliki siswa untuk berespon, maka mereka akan mengalami stress. Rathi (2007) menyebutkan bahwa stres, kesehatan fisik serta popularitas dan keintiman dalam hubungan dengan teman sebaya adalah beberapa faktor penting yang memberi kontribusi pada tinggi atau rendahnya psychological wellbeing pada remaja. Menurut Ryff (dalam Trankle, 2008) psychological well-being adalah ukuran yang multidimensi dari perkembangan psikologis dan kesehatan mental, termasuk skala tingkatan kemandirian dan hubungan yang positif dengan orang lain. Kondisi ketertekanan yang dialami siswa akselerasi sudah tentu akan mengganggu psychological well-being mereka sebagai remaja. Dalam kondisi tersebut tentunya agar tidak mengganggu psychological well-being, mereka harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
mempunyai coping stres yang baik. Coping stres mencerminkan upaya seseorang dalam menghadapi stres. Lazzarus dan Folkman (dalam Compas, 2001) mengemukakan bahwa coping adalah suatu perubahan konstan dari kognitif dan tingkah laku yang berusaha untuk mengatur tuntutan spesifik, luar maupun dalam yang dinilai membebani atau melampaui kapasitas dari seseorang. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007), coping stres mempunyai dua tipe yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Andrews dkk., 2004) problem focused coping termasuk usaha untuk mengendalikan atau mengubah sumber stres, sedangkan emotion focused coping adalah usaha untuk mengelola respon emosional terhadap stres. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua tipe coping stres yang berupa problem focused coping dan emotion focused coping memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dimungkinkan memiliki efektivitas yang berbeda pula dalam keberhasilan menghadapi stres. Menurut Carver dkk. (dalam Moore, 2007)
problem focused coping dikatakan potensial bermanfaat
karena dalam beberapa penelitian ternyata berhubungan secara negatif terhadap simtom gangguan mental, sedangkan emotion focused coping menunjukkan hubungan positif yang lebih konsisten dengan simtomatologi psikiatri dan masalah kesehatan fisik. Hal tersebut mendorong
peneliti
untuk melihat
psychological well-being siswa kelas akselerasi ditinjau dari tipe coping stress yang berupa problem focused coping dan emotion focused coping.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
B. Perumusan Masalah Masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah “Apakah ada perbedaan psychological well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa program akselerasi?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan psychological well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa program akselerasi.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmiah pada Psikologi Klinis serta Psikologi Pendidikan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa Memberikan informasi tentang coping stres yang dapat dilakukan untuk meningkatkan psychological well-being mereka. b. Bagi Praktisi Psikologi, Guru dan Orang Tua Memberikan informasi bahwa terdapat adanya situasi dan kondisi yang menekan pada program akselerasi sehingga praktisi Psikologi, guru dan orang tua siswa program akselerasi mengetahui bahwa coping stres
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
adalah salah satu faktor yang berperan membantu siswa program akselerasi dalam mempertahankan psychological well-being mereka. c. Bagi Sekolah Memberikan informasi mengenai kaitan coping psychological
well-being
dan
selanjutnya
dapat
stres dengan
digunakan
untuk
meningkatkan pelayanan belajar-mengajar dengan menyeimbangkan aspek fisik dan mental.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tipe Coping Stres 1. Pengertian Tipe Coping Stres Setiap orang
dalam hidupnya mengalami stres, karena stres adalah
bagian dari hidup seseorang. Lazarus (dalam Kovacs, 2007) mengemukakan bahwa merasa stres adalah sebagai kondisi secara subyektif dialami oleh responden yang merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang ditujukan pada dirinya dengan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan tersebut. Stres sendiri ada yang bermanfaat, ada pula yang merugikan. Selye (dalam Kovacs, 2007) mengemukakan bahwa stres yang baik dan berhubungan dengan perasaan yang positif dan respon psikologis yang sehat disebut Eustress, sedangkan stres yang berhubungan erat dengan perasaan negatif dan tergangguanya keadan jasmaniah disebut Distress. Lazarus (dalam Kovacs, 2007) juga membuat perbedaan antara stres, beliau membedakan stres menjadi: a.
Harm (gangguan), yaitu kerusakan psikologis yang telah terjadi semisal gagal bertemu klien sehingga kehilangan proyek bernilai jutaan.
b. Threat (ancaman), yaitu gangguan yang telah diperkirakan, belum datang akan tetapi mungkin gangguan itu akan segera terjadi.
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
c. Challenge (tantangan), yaitu hasil dari tuntutan yang sulit, yang kita rasakan percaya diri untuk memenuhinya dengan tindakan efektif dan mengatur sumberdaya coping kita. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Compas dkk, 2001), coping stres adalah suatu usaha konstan dari pikiran dan perilaku untuk mengatur tuntutan yang spesifik baik dari dalam maupun luar diri individu yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya individu tersebut. Chaplin (2004) mengartikan coping sebagai suatu tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah. Mutadin (2002) menyatakan bahwa strategi coping menunjuk pada berbagai upaya baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh dengan tekanan, sedangkan Cheng (2001) menyatakan bahwa coping itu adalah proses yang dinamis, individu mengubah secara konstan pikiran dan perilaku mereka dalam merespon perubahan dalam penelitian terhadap kondisi stres dan tuntutan-tuntutan dalam situasi tersebut. Rudolph dan Weisz (dalam Compas, 2001) membedakan dua orientasi coping. Orientasi tersebut adalah Primary Control yang berarti coping secara langsung terhadap hal atau kondisi yang mempengaruhi atau pengaturan langsung ekspersi emosi seseorang, dan yang berikutnya Secondary Control berarti suatu usaha untuk menyesuaikan diri atau beradatasi dengan lingkungan dan biasanya termasuk penerimaan dan pengorganisasian pikiran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
Ebata dan Moss (dalam Compass, 2001) berpendapat adanya tipe coping Enggagement dan Disenggagement. Tipe Enggagement Coping biasanya merupakan respon yang berorientasi langsung terhadap sumber stres, emosi atau pikiran seseorang, sedangkan Disenggagement Coping berarti respon yang menjauhi dari sumber stres emosi atau pikiran seseorang. Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007) mengemukakan ada dua tipe coping stres yaitu tipe Problem Focused Coping dan tipe Emotion Focused Coping. Tipe Problem Focused Coping yaitu ketika coping cenderung digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan, ancaman, atau situasi yang menantang, dapat berubah, sedangkan tipe Emotion Focused Coping adalah ketika coping yang digunakan saat seseorang yang mengalami stres, menganggap situasi yang menekan tersebut di luar kendalinya, atau tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan tersebut. Dalam jurnal sebelumnya, disebut Problem Focused Coping apabila merupakan suatu usaha memecahkan masalah atau melakukan sesuatu hal untuk mengubah sumber dari stres, sedangkan disebut Emotion Focused Coping apabila merupakan suatu usaha untuk mengurangi atau mengatur emotional distress yang berhubungan (atau disebabkan) keadaan seseorang (Carver dkk.,1989). Menurut Lazzarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989) walaupun stressor dikenai baik Problem Focused Coping maupun Emotion Focused Coping, Problem Focused Coping cenderung menonjol ketika seseorang merasa bahwa suatu gagasan (tentang masalah) tersebut dapat diselesaikan, sedangkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Emotion Focused Coping, cenderung menonjol ketika seseorang merasa bahwa harus bertahan dengan penyebab stress. Penelitian ini menggunakan tipe coping dari Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007) yang berupa tipe Problem Focused Coping yaitu ketika coping cenderung digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan, ancaman, atau situasi yang menantang, dapat berubah, dan tipe Emotion Focused Coping yaitu ketika coping yang digunakan saat seseorang yang mengalami stres, menganggap situasi yang menekan tersebut di luar kendalinya, atau tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan tersebut.
2. Dimensi-Dimensi Tipe Coping Stres Penelitian yang dilakukan oleh Carver dkk. (1989) memunculkan suatu konsep-konsep teoritis baru sebagai pembentukan dimensi-dimensi coping stres
yang
bertujuan
untuk
menyempurnakan
konsep-konsep
yang
dikemukakan oleh Lazarus (dalam Carver dkk., 1989). Penyempurnaan itu dirasa perlu karena: a. Tidak ada pengukuran sebelumnya yang dapat digunakan pada sampel yang berbeda-beda dalam bidang dan daerah. b. Skala terdahulu kurang menunjukkan fokus pada beberapa aitem yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang ambigu pada beberapa aitem tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
c. Terdapat masalah yang fundamental, yaitu bagaimana skala tersebut secara tipikal dikembangkan. Skala yang terdahulu lebih berkembang utamanya berbasis pada jalur kenyataan yang kemudian skala tersebut kehilangan prinsip-prinsip teoritisnya. Konsep-konsep yang telah disempurnakan tersebut kemudian digunakan untuk menyusun suatu alat ukur coping stres yang disebut dengan COPE. COPE terdiri dari lima skala yang konsepnya menjelaskan aspek dari problem focused coping (active coping, planning, suppression of competiting activities, restrain coping, seeking social support for instumental reason), lima skala yang dapat dilihat sebagai emotion focused coping (Seeking social support for emotional reason, positive reinterpretation, acceptance, denial, turning to religion), serta tiga skala yang mengukur respon coping yang diperdebatkan kurang berguna (focus on and venting emotion, behavioral disenggagement, mental disenggagement). Konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Active coping, maksudnya mengambil tindakan aktif untuk mencoba menghilangkan atau mengelak dari stressor atau untuk memperbaiki akibat dari stressor tersebut. Active coping dapat berupa tindakan untuk memulai aksi coping secara langsung, meningkatkan suatu upaya, dan mencoba untuk melaksanakan usaha coping dengan cara yang lazim. Istilah active coping hampir sama dengan inti dari pernyataan dan istilah lain tentang problem-focused coping yang dikemukakan Lazarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
b. Planning, maksudnya merencanakan tentang cara menanggulangi stressor. Planning didalamnya termasuk cara merencanakan strategi tindakan, memikirkan tentang langkah yang harus diambil dan cara terbaik dalam mengendalikan masalah. Menurut Carver dkk. (1989) planning jelas adalah problem focused, tetapi secara konseptual berbeda dengan pelaksaaan aksi problem focused tersebut. Planning terjadi selama penilaian kedua, dimana active coping terjadi selama fase coping berlangsung. c. Suppression of competiting activities, maksudnya mengesampingkan aktivitas lain dan menekankan pada penanganan stressor. Seseorang melakukan suppression of competiting activities dalam rangka meningkatkan konsentrasi pada dirinya dalam menangani masalah yang dihadapi. d. Restraint coping, maksudnya secara pasif menunda pelaksanaan kegiatan sampai saat yang tepat, sampai situai memungkinkan untuk bertindak dan tidak tergesa-gesa. Restraint coping kadang diperlukan dan fungsional dalam respon terhadap stres, walaupun sering dilupakan sebagai suatu strategi coping yang potensial. Restrain coping adalah strategi active coping yang selain memfokuskan diri pada bagaimana cara mengatasi stres, juga sebagai passive strategy yang berarti tidak bertindak apapun. e. Seeking social support for instrumental reason, maksudnya berusaha mendapatkan bantuan informasi, bimbingan atau saran dari orang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
lain. Seeking social support for instrumental reason termasuk kategori problem focused coping. f. Seeking social support for emotional reason, maksudnya berusaha mendapatkan simpati, dukungan emosional, dan pengertian orang lain. Seeking social support for emotional reason termasuk kategori emotion focused coping. Terjadinya perbedaan antara seeking social support for instrumental reason dan seeking social support for emotional reason adalah karena perbedaan penerapan
konsep
problem focus individu tersebut. g. Positif reinterpretation and growth, maksudnya berusaha mengatur emosi akibat keadaan yang menyusahkan daripada berhadapan dengan stressor pada dirinya. Lazarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989) memasukkan tendensi ini dalam emotion focused coping, akan
tetapi,
ditegaskan
oleh
Carver
dkk.
(1989)
bahwa
bagaimanapun, nilai dari tendensi ini tidak terbatas hanya untuk mengurangi distres, tetapi juga menerangkan transaksi yang penuh tekanan dalam makna positif, yang hakekatnya dapat membimbing seseorang untuk melanjutkan atau meneruskan dengan aktif-perilaku problem focused coping. h. Acceptance, maksudnya menerima kenyataan bahwa situasi stres telah terjadi. Seseorang dapat saja mengira acceptance menjadi penting dalam keadaan dimana penyebab stres adalah sesuatu yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
harus disesuaikan, atau kebalikannya, yaitu seseorang dapat mengira bahwa penyebab stres dapat mudah diubah atau diatasi. i. Turning
to
religion,
maksudnya
memperbanyak
aktifitas
keagaamaan, meliputi tindakan berdoa dan memperbanyak ibadah untuk meminta bantuan kepada tuhan. McCrae dan Costa (dalam Carver dkk., 1989) menyatakan bahwa turning to religion adalah taktik yang cukup penting untuk banyak orang. Seseorang dapat memilih turning to religion karena berbagai alasan seperti misalnya agama mungkin tersaji sebagai sumber dukungan emosional, sebagai media untuk positif reinterpretation and growth, atau sebagai taktik dari active coping terhadap penyebab stres. j. Denial, maksudnya menolak mempercayai stresor itu ada dan bertindak seolah-olah stresor itu tidak nyata dan tidak terjadi pada dirinya. Lazarus dkk. (dalam Carver dkk., 1989) menyatakan bahwa denial adalah respon yang berguna, meminimalisasi distres dan dengan cara demikian akan memfasilitasi coping. Levine dkk. (dalam Carver dkk., 1989) mengungkapkan bahwa denial berguna pada
masa
awal
yang
penuh
tekanan
walaupun
nantinya
mengganggu coping itu sendiri. k. Focus on and venting of emotions, maksudnya kecenderungan untuk fokus pada distres apapun, atau kekecewaan seseorang yang mengalami stres tersebut dan ia melontarkan perasaan tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
l. Behavioral disengagement, maksudnya mengurangi upaya yang berurusan dengan penyebab stres, sama halnya mengira usaha mencapai tujuan bersama penyebab stres adalah suatu hal yang bertentangan. Fenomena ini juga diidentifikasikan sebagai keadaan tidak berdaya. Behavioral disengagement dalam teorinya sering terjadi
ketika
seseorang
mengira
kemungkinan
keberhasilan
copingnya itu kecil. m. Mental disengagement,
maksudnya aktivitas
bervariasi
yang
dilakukan untuk mengalihkan seseorang dari berpikir tentang dimensi perilaku atau tujuan yang berhubungan dengan penyebab stres. Seseorang yang memilih untuk mengalihkan pikiran dari masalah adalah contoh dari mental disengagement. Penelitian ini menggunakan skala yang konsepnya serupa dengan yang dikemukakan Lazarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989) yang disempurnakan dalam COPE oleh Carver dkk. (1989) yang memuat dimensi dari problem focused coping dan emotion focused coping serta dimensi untuk mengukur respon koping. Namun sesuai dengan judul penelitian, peneliti hanya memfokuskan pada problem focused coping dan emotion focused coping sehingga dimensi-dimensi coping stres yang dipakai adalah active coping, planning, suppression of competiting activities, restraint coping, seeking social support for instrumental reason, seeking social support for emotional reason, positif reinterpretation, acceptance, denial, turning to religion.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stres Menurut Lazzarus dan Mozkowitz (dalam Kilburn, 2002), coping stres dipengaruhi oleh: 1. Disposisi kepribadian seperti optimism, neuroticism, dan extraversion. 2. Penerimaan
karakteristik
dari
situasi
stres
termasuk
kendali
terhadapnya 3. Sumber daya sosial Menurut Mutadin (2002), faktor-faktor yang berpengaruh dalam perilaku coping stres terdiri dari: 1. Kesehatan fisik. Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut mengeluarkan energi yang besar. 2. Keyakinan atau pandangan positif. Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib, mengarahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan dan akan menurunkan kemampuan coping tipe problem focused coping. 3. Keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, identifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
4. Keterampilan sosial. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. 5. Dukungan sosial. Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan orangtu, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat sekitar. 6. Materi. Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barangbarang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli. Menurut Lazarus (1976) perilaku coping yang dilakukan individu akan dipengaruhi oleh: a. Jenis kelamin. Menurut penelitian yang dilakukan Lazarus ditemukan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan tipe coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) maupun tipe coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping). b. Konteks lingkungan dan dan sumber individu, karena sumber-sumber individu yang dimiliki seseorang seperti pengalaman, persepsi, kemampuan intelektual, kesehatan kepribadian, pendidikan, dan situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai ancaman atau tekanan. Ditambahkan oleh Garmezy dan Rutter (Hapsari dkk., 2002) bahwa perilaku coping akan bebeda pada setiap usia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
Berdasarkan uraian diatas dapat penulis menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi coping antara lain kepribadian, jenis kelamin, usia, dukungan sosial, dan sumber daya individu.
B. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Konsep tentang psychological well-being merupakan konsep banyak ditemukan dalam berbagai sumber dan literatur, sehingga konsep tersebut mempunyai banyak definisi dengan berbagai pengertian. Ryff (dalam Min Ma, 2008) mengadakan pendekatan terhadap psychological well-being melalui perkembangan dan realisasi diri dari individu, lebih lanjut lagi Ryff mengemukakan bahwa konsep psychological well-being adalah suatu eudaimonia (kebahagiaan) yang dapat dialami dari aktivitas pribadi yang penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan potensi diri, pengalaman dari hidup, dan kemajuan dari tujuan seseorang dalam hidup. Min Ma (2008) menyebutkan bahwa Buhler, Erikson dan Neugarten berpendapat bahwa psychological well-being adalah identifikasi dari fungsi positif psikologis yang dijelaskan dalam gambaran dari perkembangan sepanjang hidup, sedangkan Allport mengartikan psychological well-being sebagai kedewasaan, oleh Jung diartikan individuasi, oleh Rogers dimaknai orang yang berfungsi penuh, oleh Maslow diartikan aktualisasi diri, dan oleh Jahoda psychological well-being diartikan sebagai kesehatan mental yang positif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Ryff (dalam Pudrovska, 2005) memandang psychological well-being sebagai aspek fundamental dari perkembangan dan komponen yang sangat diperlukan
dalam
proses
perkembangan kehidupan serta kemampuan
beradaptasi. Psychological
well-being
oleh
Maslow
(dalam
Schultz,
1991)
dikemukakan sebagai kesehatan psikologis pada diri individu. Kesehatan psikologis terwujud dalam sifat-sifat pengaktualisasian diri, yang sifat-sifat tersebut telah cukup memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah secara teratur berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, serta penghargaan. Individu tersebut bebas dari psikosis, neurosis, atau gangguan patologis lain. Selain itu, individu tersebut juga memperhatikan kebutuhankebutuhan yang lebih tinggi dengan cara memenuhi potensi-potensi dan mengetahui serta memahami dunia sekitar. Penelitian ini mendasarkan pada pengertian psychological well-being dari Ryff (dalam Min Ma, 2008) dengan pertimbangan bahwa pengertian psychological well-being dari Ryff (dalam Min Ma, 2008) telah mencakup berbagai pengertian psychological well-being dari beberapa ahli lain dalam landasan teori ini. Pengertian psychological well-being tersebut menurut Ryff (dalam Min Ma, 2008) adalah kebahagiaan yang dapat dialami dari aktivitas pribadi yang penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan potensi diri, pengalaman dari hidup, dan kemajuan dari tujuan seseorang dalam hidup.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being Ryff (dalam Christopher, 1999) memformulasikan enam dimensi psychological well-being yang disusunnya berdasarkan teori psikologi perkembangan, teori psikologi klinis, maupun teori kesehatan sebagai berikut: a. Penerimaan diri Penerimaan diri merupakan kriteria psychological well-being paling penting. Penerimaan diri merupakan sikap positif seseorang terhadap dirinya terkait dengan masa kini maupun masa lalu hidupnya. b. Hubungan positif dengan orang lain Hubungan positif dengan orang lain maksudnya terkait dengan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan antar pribadi yang hangat, memuaskan, saling mempercayai, serta terdapat hubungan saling memberi dan menerima. c. Kemandirian Kemandirian maksudnya individu memiliki kebebasan menentukan hidupnya sendiri dan kemandirian dalam menjalani hidupnya serta berperilaku sesuai dengan standar nilai itu sendiri. d. Penguasaan lingkungan Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memilih maupun menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
e. Tujuan hidup Tujuan hidup maksudnya memiliki suatu perasaan bahwa hidupnya memiliki tujuan dan makna baik masa lalu maupun yang sedang dijalaninya kini. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, intensi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna. f. Pertumbuhan pribadi Pertumbuhan pribadi yaitu terus mengembangkan potensinya secara berkesinambungan untuk tumbuh dan berkembang secara pribadi. Melengkapi
enam
dimensi
kesejahteraan
diatas,
Rathi
(2007)
menambahkan bahwa remaja yang menunjukkan kekuatan pada setiap dan semua area dimensi tersebut akan berada dalam keadaan psychological wellbeing yang tinggi, sedangkan remaja yang lemah dalam area dimensi-dimensi tersebut akan berada dalam keadaan psychological well-being yang rendah.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Ryff (1995) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being adalah: a. Status pernikahan Individu yang telah menikah lebih banyak memiliki emosi positif daripada individu yang tidak menikah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
b. Latar belakang budaya Individu yang berasal dari negara timur mempunyai hubungan dengan orang lain yang lebih tinggi, akan tetapi, mempunyai penerimaan diri, kemandirian, dan pengembangan pribadi yang rendah daripada individu dari negara barat. Selain itu individu dari negara timur lebih mementingkan kesejahteraan psikologis orang lain (misal anaknya) untuk menentukan kesejahteraannya sendiri. c. Pengalaman hidup dan interpretasinya Individu akan mengiterpretasikan pengalaman hidupnya dengan bervariasi. Interpretasi tersebut berupa membandingkan dirinya dengan orang lain, mengevaluasi umpan balik yang mereka terima dari
orang
orang
terdekatnya,
mencoba
mengerti
penyebab
pengalaman mereka, dan mengambil makna yang relatif penting dari beberapa pengalaman hidup yang dialaminya. Kemudian Ryff (Papalia dkk, 2001) menambahkan faktor faktor yang mempengaruhi well-being individu antara lain: a.
Usia Individu usia dewasa madya memiliki psychological well-being yang lebih tinggi pada beberapa dimensi daripada individu dewasa akhir dan dewasa awal. Individu dewasa madya lebih mandiri dan memiliki penguasaan lingkungan yang lebih tinggi daripada dewasa awal tetapi kurang memiliki tujuan hidup dan kurang terfokus pada pertumbuhan pribadi daripada individu dewasa akhir.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
b. Jenis kelamin Pada umumnya antara laki-laki dan perempuan mempunyai psychological well-being yang sama, tetapi perempuan lebih memiliki hubungan sosial yang positif dengan orang lain. c. Pendapatan atau status sosial ekonomi Individu yang memiliki pekerjaan yang bagus dengan pendapatan yang tinggi atau status sosial ekonominya tinggi akan memiliki psychological well-being yang tinggi daripada individu yang mempunyai pendapatan yang rendah atau tidak bekerja. d. Pendidikan Individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki psychological well-being yang tinggi daripada individu yang berpendidikan rendah. Faktor lain yang juga mempengaruhi psychological well-being menurut Schumutte dan Ryff (1997) adalah temperamen dan kepribadian. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being adalah usia, jenis kelamin, pendapatan atau status sosial ekonomi, pendidikan, temperamen dan kepribadian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
C. Program Akselerasi 1. Pengertian Program Akselerasi Menurut Kamdi (2004) akselerasi adalah program percepatan belajar untuk peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya. Menurut Pressey (dalam Hawadi, 2004) akselerasi adalah sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran yang lebih cepat atau usia yang lebih muda yang konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa
akselerasi
meliputi
persyaratan
untuk
menghindari
hambatan
pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan proses-proses yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi yang lebih cepat dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa. Program akselerasi bertujuan bagi siswa yang berbakat istimewa di bidang kecerdasan akademik dapat menyelesaikan studinya dengan lebih cepat dari waktu yang ditentukan (Widyorini, 2002). Hawadi (2004) mengemukakan bahwa program akselerasi adalah pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa yang berbakat, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan teman-temannya. Akselerasi juga diidentifikasi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan (Depdiknas, 2003). Pelayanan pendidikan yang kurang memperhatikan potensi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
anak, bukan saja hanya merugikan anak itu sendiri, melainkan akan membawa kerugian yang lebih besar bagi perkembangan pendidikan dan percepatan pembangunan di Indonesia, dan jika potensi mereka tidak dimanfaatkan, mereka akan mengalami kesulitan walau potensial (Hawadi, 2004). Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil kesimpulan bedasarkan
pendapat Kamdi (2004)
bahwa program akselerasi adalah
program percepatan belajar untuk peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya.
2. Ciri-Ciri Program Akselerasi Menurut Depdiknas (2003), program akselerasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Masukan (Input) Masukan siswa diseleksi ketat dengan menggunakan kriteria dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan, kriteria yang digunakan adalah: 1) Informasi Data Objek Informasi data objek yang diperoleh dari pohak sekolah berupa skor akademis (nilai UAN dari sekolah sebelumnya rata-rata delapan, oleh tes kemampuan akademik, rapor seluruh mata pelajaran minimal delapan) dan pihak psikolog berupa skor
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
pemeriksaan psikologis berdasarkan hasil tes intelektual umum dengan tes IQ. 2) Kesehatan Fisik 3) Informasi Data Subyektif Yaitu nominasi yang diperoleh dari diri sendiri, teman sebaya, orang tua, dan guru sebagai hasil dari pengamatan sejumlah ciriciri keberbakatan. 4) Kesediaan Calon Siswa Kesediaan calon siswa dan persetujuan dari orang tua secara tertulis mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal yang dianggap perlu untuk menjadi peserta program akselerasi. b. Tenaga Kependidikan. Guru yang dipilih untuk mengajar program akselerasi adalah guru yang memiliki kemampuan sikap dan ketrampilan terbaik diantara guru yang ada dan setidaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Memiliki tingkat pendidikan yang dipersyaratkan sesuai dengan jenjang sekolah yang diajarkan minimal lulusan S1. 2) Mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya 3) Memiliki pengalaman mengakar di kelas reguler minimal 3 tahun dengan prestasi baik. 4) Memiliki pengetahuan tentang karateristik siswa berpotensi, kecerdasan dan bakat istimewa secara umum dan program akselerasi secaara khusus.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
5) Memiliki karakterisitik umum yang dipersyaratkan seperti: adil dan tidak memihak, sikap kooperatif demokratis, fleksibilitas, rasa humor, menggunakan penghargaan dan pujian, minat yang luas, memberi perhatian terhadap masalah anak, dan penampilan sikap menarik. 6) Memenuhi persyaratan sebagai berikut: memiliki pengetahuan tentang sifat dan kebutuhan anak berbakat, memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi. Memiliki pengetahuan tentang kebutuhan afektif dan kognitif anak bebakat, memiliki kemampuan untuk menunjuk teknik mengajar yang sesuai, memiliki kemampuan untuk membimbing dan memberi konseling kepada siswa berbakat dan orangtuanya dan memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian. c. Kurikulum. Kurikulum program akselerasi adalah kurikulum nasional dan muatan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan spiritual, logika, etika dan estetika, serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir holistic, kreatif, sistematis, linear, dan konvergen, untuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa mendatang. d. Sarana dan Prasarana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Sarana belajar yang harus dipenuhi adalah: 1) Sumber belajar seperti buku paket, buku pelengkap, buku referensi, buku bacaan, majalah, koran, modul, lembar kerja, kaset video, VCD, CD ROM, dan sebagainya. 2) Media pembelajaran seperti radio, casette recorder, TV, OHP, wireless, slide projector, LD/LCD/VCD/DVD player, komputer, dan sebagainya 3) Adanya sarana Information Technology (IT), jaringan internet, dan lain-lain. Sedangkan prasarana belajar yang harus dipenuhi adalah: 1) Ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, ruang TU, dan ruang OSIS. 2) Ruang kelas, dengan formasi tempat duduk yang mudah dipindah-pindah sesuai dengan keperluan. 3) Ruang laboratorium IPA, laboratorium IPS, laboratorium bahasa, laboratorium komputer dan ruang perpustakaan. 4) Kantin sekolah, koperasi sekolah, mushola atau tempat ibadah dan poliklinik. 5) Aula pertemuan 6) Lapangan olah raga 7) Kamar mandi/WC 8) Proses belajar mengajar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
Pengembangan sistem proses belajar mengajar siswa program akselerasi, diarahkan pada terwujudnya proses
belajar
mengajar tuntas
dengan
memperhatikan keselarasan dan keseimbangan antara: a) dimensi tujuan pembelajaran, b) dimensi pengembangan persaingan dan kerjasama, d) dimensi penegembangan kemampuan holistik dan kemampuan berfikir elaborasi, e) dimensi pelatihan berfikir induktif dan deduktif, dan f) pengembangan IPTEK dan IMTAQ secara terpadu, serta g) lingkungan.
3. Kelebihan Program Akselerasi. Menurut Southerm dan Jones (dalam Akbar, 2004) keuntungan program akselerasi bagi anak berbakat: a. Meningkatkan efesiensi Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih efisien b. Meningkatkan efektivitas Siswa yang terkait belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang paling efektif. c. Penghargaan Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya d. Meningkatkan waktu untuk karier
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain e. Membuka siswa pada kelompok barunya Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektial dan akademis yang sama f. Ekonomis Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat.
4. Kekurangan Program Akselerasi Akan tetapi dibalik semua itu program akselerasi menurut Southerm dan Jones (dalam Akbar, 2004) masih banyak mempunyai kelemahan antara lain: a. Segi akademik 1) Bahan ajar terlalu tinggi bagi siswa akselerasi. 2) Kemampuan siswa melebihi teman sebayanya sementara siswa akseleran kemungkinan imatur secara sosial, fisik dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu 3) Siswa akseleran terikat pada keputusan karier lebih dini tidak efisien sehingga mahal. 4) Siswa akseleran mengembangkan kedewasaan yang luar biasa tanpa adanya pengalaman yang dimiliki sebelumnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
5) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami karena tidak merupakan bagian dari kurikulum 6) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik konvergen sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan divergen. b. Segi penyesuaian sosial 1) Kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebayanya 2) Siswa akan kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya dan kehilangan waktu bermain. c. Berkurangnya kesempatan kegiatan ekstrakurikuler d. Penyesuaian emosional 1) Siswa akseleran pada akhirnya akan mengalami burn out di bawah rekanan yang ada dan kemungkinan menjadi underachiever 2) Siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi. e. Adanya
tekanan untuk
berprestasi membuat siswa akseleran
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi. Kelas dengan program akselerasi adalah salah satu dari beberapa program belajar bagi siswa berbakat, program ini mungkin sesuai pada beberapa siswa berbakat tetapi belum tentu sesuai dengan siswa berbakat lainnya. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah data seleksi untuk memutuskan siswa berbakat sesuai dengan program ini atau tidak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
D. Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe Coping Stres Pada Siswa Program Akselerasi Program akselerasi merupakan suatu jawaban atas dibutuhkannya pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa. Dalam program akselerasi, siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya, yang
nantinya mereka dapat
menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang lebih ditentukan. Dalam pelaksanaannya, program akselerasi selain memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif bagi siswanya. Dampak negatif dari pelaksanaan program akselerasi menurut Southern dan Jones (dalam Indriasari, 2007) diantaranya pada bidang akademis, penyesuaian sosial, dan penyesuaian emosi. Pada bidang akademis, dampak negatif yang mungkin muncul adalah ketidakmampuan siswa menyesuaikan diri dengan tingginya tuntutan berprestasi, padatnya materi, banyaknya pekerjaan rumah sehingga membuat kreativitas mereka terbelenggu dan berkurangnya kemampuan mereka untuk berpikir divergen. Pada bidang penyesuaian sosial, dampak negatif yang mungkin muncul adalah berkurangnya waktu beraktivitas dengan teman sebaya, juga kemungkinan penolakan oleh teman-teman yang lebih dewasa atau teman-teman di luar program akselerasi. Pada bidang penyesuaian emosi, dampak negatif yang muncul menurut Southern dan Jones (dalam Indriasari, 2007) adalah munculnya rasa frustrasi akibat tekananan tuntutan akademis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Berbagai hal diatas berpotensi menimbulkan stres pada siswa program akselerasi. Stres adalah keadaan dimana tuntutan melampaui kemampuan dan sumberdaya individu untuk mengatur tuntutan tersebut (Strens, 2007). Sebagai manusia, saat remaja mengalami situasi dan kondisi yang menimbulkan stres, secara alamiah mereka akan berusaha mengatasi stres tersebut dengan menggunakan sejumlah perilaku. Usaha untuk mengatasi stres tersebut disebut coping stres. Menurut Lazarus (dalam Compas dkk, 2001) coping adalah respon penuh arti yang ditujukan langsung untuk memecahkan hubungan penuh stres antara diri dengan lingkungan atau diri dengan emosi negatif yang muncul akibat stres itu sendiri. Coping mempunyai dua tipe, yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Menurut Lazarus dan Folkman ( dalam Andrews, Ainley, Frydenberg, 2004) problem focused coping termasuk usaha untuk mengendalikan atau mengubah sumber stres, sedangkan emotion focused coping adalah usaha untuk mengelola respon emosional terhadap stres.Penelitian Oleh Compas dkk (Dalam Kephart, 2001) menemukan bahwa problem focused coping berhubungan negatif dengan masalah emosi dan perilaku, sedangkan emotion focused coping berhubungan positif dengan masalah tersebut. Pada
remaja,
problem
focused
coping lebih
menyelesaikan masalah, sedangkan emotion
fungsional
dalam
focused coping menunjukkan
disfungsinya dalam menyelesaikan masalah dan dapat menuntun pada penarikan diri, tingkah laku merusak dan penghindaran masalah (Kilburn dan Whitlock, 2008). Problem focused coping berhubungan dengan rendahnya tingkat simtom depresi, sedangkan emotion focused coping dihubungkan dengan simtom deresi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
dengan derajat yang tinggi (Compas dkk dalam Ellen, DiGuissepe, Froh, 2006). Causey (dalam Compas, B. E., Smith, J. K. C., Saltzman, H., Thomsen, A. H., Wadsworth, M. E., 2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara problem focused coping dengan kompetensi akademik dan sosial. Remaja yang kurang dalam membiasakan menggunakan problem focused coping mengalami lebih banyak masalah penyesuaian (Kilburn dan Whitlock, 2008). Feldman (dalam Indriasari, 2007) mengungkapkan bahwa stres yang berlebihan tanpa adanya kemampuan coping efektif akan mempunyai implikasi jangka panjang pada kesehatan psikologis dan fisiologis. Rathi (2007) menyebutkan bahwa stres, kesehatan fisik serta popularitas dan keintiman dalam hubungan dengan teman sebaya adalah beberapa faktor penting yang memberi kontribusi pada tinggi atau rendahnya psychological well-being pada remaja. Psychological well-being menurut Ryan dan Deci (dalam Strens, 2007) adalah konsep mencapai kesenangan dan menghindari rasa sakit, serta menjadi berfungsi sepenuhnya termasuk kesehatan fisik dan pikiran yang bagus. Gambaran diatas, menunjukkan bahwa coping stres dalam tipe problem focused coping maupun emotion focused coping memiliki karakteristik yang berbeda dalam membantu siswa program akselerasi untuk mempertahankan psychological well-being mereka dalam kondisi tertekan akibat berbagai tuntutan akademis dari program akselerasi maupun akibat perubahan karakteristik perkembangan masa remaja. Dinamika hubungan antara tipe coping stres dengan psychological wellbeing dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
E. Kerangka Pikir
problem focused
tinggi Psychological Well-Being
Coping Stres
emotion focused
rendah
Gambar 1 Dinamika Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe Coping Stres Coping stres mempunyai dua tipe yaitu problem focused coping dan emotion focused coping, yang keduanya mempengaruhi tinggi rendahnya psychological well being.
F. Hipotesis Hipotesis yang melandasi penelitian ini adalah ada perbedaan psychological well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa program akselerasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian Identifikasi variabel penelitian perlu ditentukan agar dapat menentukan metode pengumpulan data yang akan dilakukan serta menentukan jenis-jenis analisis data yang sesuai dengan penelitian. Variabel-variabel yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas
: Tipe Coping Stres
2. Variabel Tergantung : Psychological Well-Being
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Definisi operasional dari variabel penelitian ini adalah: 1. Tipe Coping Stres Tipe coping stres menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007) yaitu berupa tipe Problem Focused Coping yaitu ketika coping cenderung digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan, ancaman, atau situasi yang menantang, dapat berubah, dan tipe Emotion Focused Coping yaitu ketika coping yang digunakan saat seseorang yang mengalami stres, menganggap situasi yang menekan tersebut di luar kendalinya, atau tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan tersebut Tipe coping stres tersebut akan dilihat dengan menggunakan skala yang konsepnya serupa dengan yang dikemukakan Lazarus dan Folkman (dalam
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Carver dkk., 1989) yang disempurnakan dalam COPE oleh Carver dkk. (1989) yang memuat dimensi dari problem focused coping dan emotion focused coping serta dimensi untuk mengukur respon coping. Namun sesuai dengan judul penelitian, peneliti hanya memfokuskan pada problem focused coping dan emotion focused coping sehingga dimensi-dimensi coping stres yang dipakai adalah active coping, planning, suppression of competiting activities, restraint coping, seeking social support for instrumental reason, seeking social support for emotional reason, positif reinterpretation, acceptance, denial, turning to religion. Penentuan tipe coping stres dilakukan dengan melihat ratarata nilai hasil dari pengukuran kedua dimensi tipe coping stres. 2. Psychological Well-Being Psychological well-being adalah kebahagiaan yang dapat dialami dari aktivitas pribadi yang penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan potensi diri, pengalaman dari hidup, dan kemajuan dari tujuan seseorang dalam hidup. Psychological well-being tersebut akan diukur dengan menggunakan Skala Psychological Well-Being yang disusun berdasarkan modifikasi Skala Psychological Well-Being dari WLS Surveys 1992-1993 (Pudrovska, 2005) yang memuat dimensi-dimensi psychological well-being dari Ryff (dalam Papalia dkk, 2001) berupa penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya, begitu pula sebaliknya jika semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah psychological well-beingnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
C. Populasi, Sampel, dan Sampling Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah siswa program akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X pada program akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi populasi dikarenakan terbatasnya jumlah siswa program akselerasi di SMA NEGERI 3 SURAKARTA. Populasi program akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA pada kelas X seluruhnya berjumlah 50 siswa, terdiri dari 2 kategori kelas yaitu kelas A dan kelas B dengan tiap-tiap kelas berisi 25 siswa. Penelitian ini menggunakan seluruh siswa dari kelas A dan kelas B tersebut.
D. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan dua alat pengumpulan data, yaitu skala Coping Stres untuk menentukan tipe coping stres yang sering dipakai serta skala Psychological Well-Being untuk mengukur psychological well-being. Skala Coping Stres yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi COPE Inventory (Carver dkk, 1989) dengan empat pilihan jawaban yaitu sangat jarang, kadang, sering, dan selalu. COPE Inventory yang memuat dimensi dari problem focused coping dan emotion focused coping serta dimensi untuk mengukur respon coping. Namun sesuai dengan judul penelitian , peneliti hanya memfokuskan pada problem focused coping dan emotion focused coping sehingga dimensi-dimensi coping stres yang dipakai adalah active coping,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
planning, suppression of competiting activities, restraint coping, seeking social support for instrumental reason, seeking social support for emotional reason, positif reinterpretation, acceptance, denial, turning to religion. Skala Coping Stres tersebut jumlahnya 70 item, terdiri dari 35 item dari dimensi problem focused coping dan 35 item dari dimensi
emotion focused coping. Semakin
banyak skor yang dikumpulkan dari dimensi-dimensi dari tipe coping stres tersebut maka semakin kuatlah kecenderungan penggunaan tipe coping stres tersebut, begitu juga sebaliknya, semakin sedikit skor yang dikumpulkan dari dimensi-dimensi dari tipe coping stres
tersebut
maka semakin
lemah
kecenderungan penggunaan tipe coping stres tersebut. Selanjutnya hasil skor tersebut dirubah dalam model data dummy dengan kode yang telah ditentukan sebagai berikut: Tabel 1 Variabel Dummy Untuk Skala Coping Stres Kode
Tipe Coping
1 2
Problem Focused Coping Emotion Focused Coping
Skala Psychological Well-Being yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi Skala Psychological Well-Being dari WLS Surveys 19921993 (Pudrovska, 2005) dengan empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Skala Psychological Well-Being memuat dimensidimensi psychological well-being dari Ryff (dalam Papalia dkk, 2001) yang berupa penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Skala
Psychological Well-Being terdiri dari 42 item. Semakin tinggi skor yang diperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya, begitu pula sebaliknya jika semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah psychological well-beingnya. Tabel 2 Skala Tipe Coping Stres Problem Focused Coping No.
Dimensi
Nomor Item
1
Active coping
1, 6, 11, 16, 21, 26, 31
2
Planning
2, 7, 12, 17, 22, 27, 32
3
Suppression of competiting activities
3, 8, 13, 18, 23, 28, 33
4
Restraint coping
4, 9, 14, 19, 24, 29, 34
5
Seeking social support for instrumental reason
5, 10, 15, 20, 25, 30, 35
Tabel 3 Skala Tipe Coping Stres Emotion Focused Coping No.
Dimensi
Nomor Aitem
1
Seeking social support for emotional reason
1, 6, 11, 16, 21, 26, 31
2
Positif reinterpretation
2, 7, 12, 17, 22, 27, 32
3
Acceptance
3, 8, 13, 18, 23, 28, 33
4 5
Denial
4, 9, 14, 19, 24, 29, 34
Turning to religion
5, 10, 15, 20, 25, 30, 35
Tabel 4 Skala Psychological Well-Being No.
Dimensi
Nomor Aitem
1
Penerimaan diri
1, 7, 13, 19, 25, 31, 37
2
Hubungan positif dengan orang lain
2, 8, 14, 20, 26, 32, 38
3
Kemandirian
3, 9, 15, 21, 27, 33, 39
4
Penguasaan lingkungan
4, 10, 16, 22, 28, 34, 40
5
Tujuan hidup
5, 11, 17, 23, 29, 35, 41
6
Pertumbuhan pribadi
6, 12, 18, 24, 30, 36, 42
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
E. Analisis Data 1. Uji Validitas Dan Daya Beda Aitem Alat Ukur Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (dalam Azwar, 2005). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini diuji validitasnya dengan uji validitas isi yang
dilakukan secara rasional oleh professional judgement, yaitu
pembimbing. Pengujian daya beda yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik product moment dari Pearson dengan bantuan program SPSS versi 13.0. 2. Uji Reliabilitas Aitem Alat Ukur Uji reliabilitas bertujuan untuk mengetahui konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran(dalam Azwar, 2005). Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dengan menggunakan realibilitas alpha Cronbach. Pengujian reliabilitas yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan realibilitas alpha Cronbach dengan bantuan program SPSS versi 13.0. 3. Uji Hipotesis Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analiais kuantitaif. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah dengan menggunakan Uji Mann-Whitney dengan bantuan program SPSS versi 13.0.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi Kancah Penelitian Orientasi kancah penelitian dilakukan untuk mengetahui letak dan wilayah penelitian. Penelitian mengenai psychological well being ditinjau dari tipe coping stres dilaksanakan pada program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta di jalan RE. Martadinata 13 Surakarta. Program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta berjalan atas Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah No. 421.7/002589 Tertanggal 24 Oktober 2002. Langkah yang kemudian diambil oleh pihak SMA Negeri 3 Surakarta adalah membentuk tim untuk melakukan persiapan pembukaan program akselerasi dan kemudian melakukan studi banding ke sekolah yang telah melaksanakan program akselerasi, selanjutnya mempersiapkan sarana prasarana dalam pelaksanaan program, penyusunan program, rekrutmen guru dan yang terakhir adalah penjaringan siswa. Penjaringan siswa program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta dilaksanakan sebelum pendaftaran program
reguler, dimaksudkan supaya
jangkauan layanan lebih luas artinya program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta tidak hanya melayani siswa kota Surakarta, tetapi juga dibuka untuk daerah diluar kota Surakarta. Mekanisme penjaringan siswa program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta secara garis besar adalah:
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
1. Pendataan Akademik. a. Nilai raport SMP/MTs program 1 s.d program 3 smt 1( 8,0) b. Tes Akademik c. Nilai UAN
8,0 ( Matematika, IPA, Bahasa Inggris)
8,0 (Dijumlah kemudian diperingkat).
2. Tes Psikologi. a. Tes IQ (Intellegent Questionnaire) b. Tes CQ (College Questionnaire) c. Tes TC (Tests of Creative) d. Tes SQ (Spiritual Questionnaire) dan Kestabilan Emosi e. Tes Minat Bakat (Rekomendasi Psikolog : disarankan, disarankan dengan pertimbangan, tidak disarankan). 3. Tes Wawancara. Program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta mengembangkan kurikulum yang berupa Kurikulum Nasional (Kurikulum 2004/KTSP) dengan pengaturan alokasi waktunya: 2/3 dari waktu yang dialokasikan untuk program reguler dan diserahkan pada masing-masing guru mata pelajaran. Waktu Belajar : 06.30 – 13.00 (Senin – Kamis dan Sabtu), 07.15 – 11.15 untuk Jumat. Untuk dukungan keberhasilan Guru dalam melakukan KBM sehingga tercapai target kurikulum dan hasil yang optimal di tiap kelas disediakan multi media. 1. Komputer yang tersambung internet 2. DVD , TV 3. Tape
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
4. OHP 5. Buku Referensi. Standar ketuntasan belajar mengajar (SKBM ) /KKM ditentukan oleh masing-masing guru mata pelajaran (
75,0 ). Pembinaan siswa yang berkaitan
dengan perkembangan psikologi siswa dilakukan oleh guru BP dan psikolog. Rutin diadakan kegiatan sharing antara guru,siswa, kepala sekolah dan komite sekolah serta kegiatan outbond pada siswa. Untuk memenuhi dimensi diferensiasi, non akademis, situasi belajar,serta eskalasi
disusun
Program
Pengembangan
wawasan
Keilmuan
Pendampingan Psikologi yang meliputi : 1. Program Eksplorasi Pustaka 2. Program Studi Outdoor. 3. Program Ceramah Ilmiah 4. Program Pendalaman Materi 5. Program Riset sederhana bidang Sain dan bidang sosial 6. Program Pelatihan Web Desain dan AVE 7. Program Karya wisata. 8. Program Outbond 9. Program Pendampingan Psikologi 10.Program Bilingual (Matematika dan Fisika) Kemitraan SMA Negeri 3 Surakarta dibangun bersama: 1. Universitas Sebelas Maret (UNS) Fakultas MIPA dan PMIPA 2. Lembaga Psikologi ANAVA.
commit to user
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
3. Lembaga Toefl Indonesia (LTI) 4. Lembaga Outbond ANAVA 5. Fakultas Psikologi Undip 6. Fakultas MIPA Undip (Biologi). 2. Persiapan Penelitian Sebelum melakukan penelitian, pada tanggal 26 Februari 2010 terlebih dahulu dilakukan survey pendahuluan ke program akselerasi SMA Negeri 3. Survey tersebut dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan data mengenai jumlah siswa program akselerasi seluruhnya serta untuk mengetahui berapa jumlah siswa yang dapat ikut dalam penelitian. Pada saat survey, peneliti menemui Kepala Tata Usaha dan Kepala Program Akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta dan mendapatkan informasi sehubungan penelitian yang akan dilakukan. Hasil survey menyebutkan bahwa lokasi program akselerasi terpisah dari program reguler SMA Negeri 3 Surakarta. Program akselerasi memiliki dua tingkatan kelas yaitu kelas X yang terdiri dari kelas X A dan kelas X B serta kelas XI yang terdiri dari kelas XI A dan kelas XI B. Penelitian ini menggunakan dua alat ukur, yaitu Skala Coping Stres dan skala Psychological Well Being. Diperlukan persiapan yang matang agar kedua alat ukur tersebut layak dan siap untuk digunakan. Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini telah melalui prosedur validitas alat ukur melalui pengujian validitas isi. Validitas isi dilakukan dengan melihat kesesuaian antara butir-butir aitem dalam alat ukur dengan blue-print yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
telah ditentukan sebelumnya. Selain itu validitas isi juga melihat kesesuaian atem-aitem dengan indikator perilaku yang hendak diungkap. Validitas isi ini dilakukan secara rasional oleh professional judgement, yaitu pembimbing.
B. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Subjek Penelitian Subjek yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan studi populasi yaitu seluruh siswa program akselerasi kelas XA dan kelas XB IPA yang berjumlah 50 siswa. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 Maret 2010 dengan menggunakan Try Out terpakai. Try Out terpakai digunakan karena waktu dan subjek penelitian yang terbatas. Tabel 5 Jumlah Siswa Untuk Penelitian Kelas
Jumlah Siswa
XII IPA A XII IPA B Jumlah
25 25 50
2. Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan pada hari Senin tanggal 8 Maret 2010 pada pukul 09.00 WIB, dengan waktu 1 jam pelajaran yaitu 45 menit. Sebelum siswa mengerjakan tes dan skala yang diberikan, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan serta tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Peneliti kemudian menjelaskan tentang cara dan contoh pengerjaan. Selama subjek mengerjakan skala penelitian, peneliti tetap berada di
dalam
program
sampai
subjek
commit to user
selesai
mengerjakan
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
mengumpulkan skala kembali pada peneliti. Setelah kuisioner terkumpul lalu dilakukan skoring, kemudian dilakukan analisis daya beda dan reliabilitasnya. 3. Pelaksanaan Skoring Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memberikan skor pada hasil pengisian skala untuk keperluan analisis data. Pada skala Coping Stres skor untuk masing-masing aitem bergerak dari 1- 4 dengan sifat aitem favorabel (mendukung). Skor 1 untuk jawaban sangat jarang (SJ), skor 2 untuk kadang (KD), skor 3 untuk sering (SR), dan skor 4 untuk selalu (SL). Pada skala Psychological Well Being dengan sifat aitem favorabel (mendukung) skor 1 untuk jawaban tidak setuju (TS), skor 2 untuk kurang setuju (KS), skor 3 untuk setuju (S), dan skor 4 untuk sangat setuju (SS), sedangkan untuk aitem unfavorabel (tidak mendukung) skor 4 untuk jawaban tidak setuju (TS), skor 3 untuk kurang setuju (KS), skor 2 untuk setuju (S), dan skor 1 untuk sangat setuju (SS). Kemudian skor yang diperoleh dari subjek penelitian dijumlahkan untuk masing-masing skala. Total skor skala yang diperoleh akan dipakai dalam analisis data. Pada skala Coping Stres skor yang diperoleh dijumlahkan tiap aspek dan dicari mean rata-rata tertinggi tiap aspek untuk menentukan tipe coping stres yang digunakan oleh siswa program akselerasi, kemudian data tersebut dirubah dalam model data dummy. Untuk skala Psychological Well Being skor yang diperoleh dari subjek penelitian dijumlahkan seluruhnya dan hasilnya digunakan dalam analisis data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
C. Hasil Analisis Data 1. Analisis Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Alat Ukur. Data yang diperoleh setelah uji-coba ditabulasikan dan dianalisis untuk mengetahui daya beda aitem dan reliabilitas alat ukur. Hasil uji daya beda dan reliabilitas tiap-tiap alat ukur tersebut adalah sebagai berikut: a. Skala Coping Stres Skala Coping Stres yang diberikan pada siswa program akselerasi sebanyak 50 siswa. Skala tipe kepribadian ini berjumlah 70 aitem yang terdiri dari 35 aitem untuk mengukur tipe Problem Focused Coping dan 35 aitem untuk mengukur tipe Emotion Focused Coping. Hasil analisis daya beda butir skala Coping Stres yang tipenya berupa Problem Focused Coping menghasilkan indeks daya beda skala yang berkisar antara 0,223 sampai 0,645. Dari 35 aitem ada 2 aitem dinyatakan gugur berdasarkan ada tidaknya tanda bintang pada perhitungan daya beda dengan menggunakan program SPSS. Perhitungan reliabilitas menunjukkan bahwa Skala Coping Stres mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,884. Hasil analisis daya beda butir skala Coping Stres yang tipenya berupa Emotion Focused Coping menghasilkan indeks daya beda skala yang berkisar antara 0,011 sampai 0,649. Dari 35 aitem ada 7 aitem dinyatakan gugur berdasarkan ada tidaknya tanda bintang pada perhitungan daya beda dengan menggunakan program SPSS. Perhitungan reliabilitas menunjukkan bahwa Skala Coping Stres mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,856.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Tabel 6 Indeks Daya Beda dan Reliabilitas Aitem Skala Coping Stres Bentuk Skala Problem Focused Coping Emotion Focused Coping
rix minimal 0,223 0,011
r ix maksimal 0,645 0,649
Cronbach’s Alpha 0,884 0,856
Tabel 7 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Coping Stres
No
Problem Focused Coping Komponen Valid Gugur
1
Active coping
1,6,11,21 ,26,31
2
Planning
2,7,12,17 ,22,27,32
3
4
5
Suppression of competiting activities Restraint coping Seeking social support for instrumental reason Jumlah
16
2,8,13,18 ,23,28,33
Emotion Focused Coping Komponen Valid Gugur Seeking social support for 1,11,16,21, 6,31 emotional 26 reason Positif 2,7,12,17,2 reinterpretatio 2,27,32 n Acceptance
4,9,14,19 ,24,29,34
Denial
2,8,13,18,2 3,28,33 4,9,14,19,2 4,29,34
5,10,15,2 0,25,30
35
Turning to religion
10,20
5,15,25,3 0,35
33
2
Jumlah
28
7
b. Skala Psychological Well Being Skala Psychological Well Being yang diberikan pada siswa program akselerasi sebanyak 50 siswa. Hasil analisis daya beda butir skala Psychological Well Being yang menghasilkan indeks daya beda skala yang berkisar antara 0,002 sampai 0,701. Dari 42 aitem ada 11 aitem dinyatakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
gugur berdasarkan ada tidaknya tanda bintang pada perhitungan daya beda dengan menggunakan program SPSS. Perhitungan reliabilitas menunjukkan bahwa Skala Coping Stres mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,896. Tabel 8 Indeks Daya Beda dan Reliabilitas Aitem Skala Psychological Well Being Skala
r ix minimal
r ix maksimal
Cronbach’s Alpha
Psychological Well Being
0,002
0,701
0,896
Tabel 9 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Psychological Well Being No
Dimensi
1
Penerimaan diri
No. Aitem Valid Gugur 1,13,25,31,37 7,19
2
Hubungan positif dengan orang lain
2,8,14,20,32,38
26
3
Kemandirian
21,27,33,39
3,9,15
4
Penguasaan lingkungan
4,10,16,22,34,40
28
5
Tujuan hidup
5,11,17,29,35,41
23
6
Pertumbuhan pribadi
6,24,36,42
12,18,30
Jumlah
31
11
2. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Data Penelitian ini menggunakan uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13.0 for windows dapat dilihat pada tabel berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Tabel 10 Hasil Uji Normalitas Psychological Well-Being berdasarkan bentuk Coping Stres Tests of Normality psychological well being type coping problem focused coping emotion focused coping Kolmogorov-Smirnova Statistic 0.136738 0.21439 df 13 37 Sig. 0.2* 0.000169 Shapiro-Wilk Statistic 0.944556 0.931617 df 13 37 Sig. 0.518526 0.025142 *This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
Hasil
uji
normalitas
Kolmogorof
–Smirnov
pada
variabel
psychological well being untuk tipe problem focused coping menunjukkan p-value yang lebih besar dari 0,05 (0,200 > 0,05). Hasil dari uji ShapiroWilk juga menunjukkan p-value yang lebih besar dari 0,05 (0,518 > 0,05), sedangkan hasil uji normalitas Kolmogorof –Smirnov pada variabel psychological well being untuk tipe emotion focused coping menunjukkan p-value yang kurang dari 0,05 (0.000169 < 0,05). Hasil dari uji ShapiroWilk juga menunjukkan p-value yang kurang dari 0,05 (0.025 < 0,05). Berdasar hasil uji normalitas tersebut, dapat dapat diambil kesimpulan data tersebut tidak berdistribusi normal. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah varians populasi sama atau tidak. Hasil uji homogenitas dapat dilihat ada tabel berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Tabel 11 Hasil Uji Homogenitas
Based on Mean psychological Based on Median well being Based on Median and with adjusted df Based on trimmed mean
Levene Statistic
df1
df2
Sig.
.917 .357
1 1
48 48
.343 .553
.357
1
45.028
.553
.858
1
48
.359
Hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa nilai p-value mean menunjukkan nilai diatas 0,05 (0,343 > 0,05). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa sampel tipe problem focused coping dan tipe emotion focused coping diambil dari populasi tipe coping yang mempunyai varians psychological well being yang sama (homogen).
3. Uji Hipotesis Uji hipotesis penelitian ini adalah Uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney merupakan alternatif dari uji T Dua Sampel Independen. Uji Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan dua sampel independen dengan skala ordinal atau skala interval tapi tidak berdistribusi normal (Uyanto, 2009). Pengujian hipotesis yang dilakukan dengan Uji Mann-Whitney menunjukkan hasil sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
Tabel 12 Hasil Uji Hipotesis Mann-Whitney Test Statisticsa psychological well being 238.5 Mann-Whitney U 329.5 Wilcoxon W -0.04429 Z 0.964671 Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: tipe coping
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Uji Mann-Whitney yang memberikan nilai Z = -0.04429 dengan p-value = 0.964671. Karena p-value = 0.964671 lebih besar daripada
maka hipotesis penelitian yang
berbunyi: “ada perbedaan psychological well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa program akselerasi” ditolak.
4. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum mengenai data psychological well-being ditinjau dari tipe coping stres. Berdasarkan tabulasi data skala tipe coping, didapatkan gambaran umum mengenai tipe coping yang dipilih dan digunakan siswa program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta. Kategorisasi yang digunakan dalam skala tipe coping dilakukan berdasarkan kategori dummy. Skor aitem dijumlahkan dalam tiap-tiap komponen, kemudian dihitung mean atau rata-rata dalam tiap komponennya. Subjek dikategorikan berdasarkan mean terbesar yang diperoleh. Kondisi empiris tipe coping yang terbentuk diantara siswa program
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta sebagai subjek penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 13 Kondisi Empiris Tipe Coping Stres pada Siswa Program Akselerasi di SMA Negeri 3 Surakarta No 1 2
Tipe Coping
Komposisi Jumlah Persentase 13 26% 37 74%
Kelompok Problem Focused Coping Kelompok Emotional Focused Coping
Kemudian dapat dilakukan kategorisasi subjek secara normatif guna memberi interpretasi terhadap skor skala. Kategorisasi yang digunakan adalah kategorisasi jenjang yang berdasarkan pada model distribusi normal Tabel 14 Kategorisasi Subjek Berdasar Skor Alat Ukur Penelitian Variabel PFC 13
EFC 37
PWB 50
Kategorisasi Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Skor X < 96,69 96,69 X < 111,77 111,77 X X < 79,22 79,22 X < 97,92 97,92 X X < 85,7 85,7 X < 106,7 106,7 X
Komposisi Jumlah 2 9 2 3 28 6 8 36 6
Prosentase 15,4 % 69, 2 % 15,4 % 8,1 % 75,6 % 16,2 % 16 % 72 % 12 %
Tabel 15 Mean Psychological Well Being Ditinjau dari Tipe Coping Stres
Psychological Well Being
Descriptives Coping N Mean 1 13 96.69 2 37 96.05
commit to user
Std. Deviation 9.357 10.977
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Berdasarkan tabel diatas tersebut dapat dibuat gambaran beberapa hal sebagai berikut: 1. Prosentase siswa program akselerasi yang menggunakan tipe problem focused coping (26%), lebih kecil dari pada siswa program akselerasi yang menggunakan tipe emotion focused coping (74%). Berdasarkan hasil tersebut didapatkan gambaran bahwa siswa program akselerasi cenderung menggunakan tipe emotion focused coping. 2. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi yang menggunakan tipe problem focused coping paling banyak berada dalam kategori sedang yaitu 9 dari 13 siswa (69,2%). 3. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi yang menggunakan tipe emotion focused coping paling banyak berada dalam kategori sedang yaitu 28 dari 37 siswa (75,6%). 4. Berdasarkan kategorisasi, psychological well being yang dimiliki oleh siswa program akselerasi cenderung berada dalam kategori sedang yaitu 36 dari 50 siswa (72%). 5. Mean psychological well being pada siswa program akselerasi yang menggunakan tipe problem focused coping (96,69) lebih besar daripada mean psychological well being pada siswa yang menggunakan tipe emotion focused coping (96,05) dengan selisih yang tidak signifikan (0,64).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
D. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kondisi psychological well-being pada siswa program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta ditinjau dari tipe coping stres yang cenderung dipilih dalam mengatasi ketertekanan. Program akselerasi adalah program khusus, dimana siswa dituntut untuk dapat menyelesaikan masa sekolahnya lebih cepat daripada masa sekolah siswa program reguler. Siswa program akselerasi juga dituntut untuk belajar lebih keras, masuk sekolah pagi hingga sore, les tambahan serta mengerjakan tugas sekolah dirumah.
Karakteristik
program
akselerasi
dengan
berbagai
tuntutannya
mengarahkan pada kondisi ketertekanan bagi siswa kelas akselerasi. Kondisi ketertekanan tersebut ditambah dengan berbagai problematika remaja yang digambarkan oleh oleh Hurlock (2004) sebagai masa “badai dan tekanan” seperti masalah yang menyangkut harga diri, komitmen pribadi, serta nilai individu (Haber dan Runyon dalam Indriasari, 2007). Kondisi ketertekanan tersebut menghasilkan respon pikiran atau tindakan yang disebut dengan coping (Carver dkk., 1989). Secara teoritis, pemilihan penggunaan tipe coping stres akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian psychological well-being yang diharapkan (Aldwin dan Revenson, 1987). Dalam penelitian ini siswa program akselerasi dalam mempertahankan psychological well-beingnya cenderung menggunakan tipe emotion focused coping, Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock (dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
Indriasari, 2007) bahwa remaja dalam
menghadapi masalah cenderung
menggunakan emotion focused coping. Coping dimoderasi oleh faktor lingkungan dan faktor pribadi, faktor tersebut mempengaruhi peluang dan kendala dalam penggunaan coping (Mattlin dkk. dalam Edwards, 1998). Kecenderungan pengggunaan tipe emotion focused coping juga disebabkan oleh ketidakmampuan siswa dalam mengubah langsung kondisi ketertekanan di sekolah seperti jam pelajaran yang padat, berbagai peraturan yang mengikat, adanya keharusan mengikuti bimbingan belajar untuk menjaga prestasi mereka. gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Compas dkk (dalam Hernandez, 2008) yang menyatakan bahwa emotion focused coping sesungguhnya lebih cocok untuk keadaan yang tidak dapat dikontrol dimana seseorang tersebut tidak mampu mengubah keadaan tersebut hanya dengan kemampuannya sendiri. Kesesuaian penggunaan tipe emotion focused coping, ditunjukkan dengan kondisi psychological well being siswa program akselerasi tersebut, dimana dari hasil analisis deskriptif, siswa program akselerasi psychological well beingnya lebih banyak pada tingkat sedang dan tinggi daripada yang berada pada tingkat psychological well being rendah. Kondisi psychological well being siswa program akselerasi yang lebih banyak pada pada tingkat sedang dan tinggi juga dimungkinkan karena kesiapan awal mereka dalam memasuki program akselerasi hal ini ditunjukkan dengan lolosnya mereka dari mekanisme penjaringan yang berupa tes Psikologi dan rekomendasi Psikolog yang diadakan oleh sekolah, motivasi menempuh program akselerasi yang tinggi. Motivasi diri dalam mengikuti program percepatan belajar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
memegang peranan yang sangat penting (Indriasari, 2007), serta situasi dan kondisi yang tercipta dalam lingkungan program akselerasi di SMA Negeri 3 Surakarta yang cukup kondusif antara lain tenaga pendidik di SMA Negeri 3 Surakarta cukup kooperatif, ramah, dan simpatik serta, lingkungan sekolah yang cukup tenang dan nyaman. Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan kepada siswa ataupun remaja pada umumnya. Populasi yang lebih luas dengan karakteristik berbeda perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan atau menambah variabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini, ataupun dengan menambah dan memperluas ruang lingkup penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan rata-rata, siswa program akselerasi cenderung menggunakan tipe emotion focused coping. 2. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi yang menggunakan tipe problem focused coping paling banyak berada dalam kategori sedang. 3. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi yang menggunakan tipe emotion focused coping paling banyak berada dalam kategori sedang. 4. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi cenderung memiliki psychological well-being yang sedang. 5. Hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan psychological wellbeing ditinjau dari tipe coping stres yang digunakan siswa program akselerasi ditolak, walaupun ada selisih mean psychological well-being siswa program akselerasi yang menggunakan tipe problem focused coping dengan tipe emotion focused coping, akan tetapi selisih tersebut sangatlah kecil.
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
B.Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi siswa program akselerasi a. Diharapkan untuk terus berusaha mempertahankan taraf psychological well-being mereka, dan dapat mengusahakannya menuju tingkatan yang lebih tinggi b. Diharapkan pula untuk dapat membiasakan problem focused coping guna menyeimbangkannya dengan emotion focused coping agar masalah/stressor dapat teratasi dengan baik. c. Apabila memang tidak mampu untuk mengusahakan problem focused coping maka sebaiknya diusahakan emotion focused coping dengan positif
misal
acceptance
(ihlas)
dan
turning
to
religion
(memperbanyak aktivitas keagamaan). 2. Bagi pihak yang terkait dengan siswa program akselerasi Orang tua dan guru diharapkan memahami kebutuhan-kebutuhan siswa terlebih bagi siswa yang memiliki psychological well-being rendah, mampu memberikan motivasi dan penghargaan atas prestasi yang telah dicapai selama berada dalam program akselerasi, mampu menjadi sahabat yang dapat menjadi tempat keluh kesah sekaligus menjadi pengasuh yang dapat memberikan alternatif pemecahan masalah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
3. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, khususnya ilmuwan psikologi yang tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tema yang sama, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan acuan dalam penelitian. Peneliti menyarankan untuk meningkatkan kualitas penelitian lebih lanjut dengan lebih memperluas ruang lingkup, misalnya dengan memperluas jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian, membandingkannya dengan program reguler dilakukan bersama penelitian kualitatif, dan mencermati faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being yang belum diungkap dalam penelitian ini, misalnya dukungan sosial, jenis kelamin, tempat tinggal selama mengikuti program akselerasi, dan status perkawinan orang tua.
commit to user