PSK DALAM CERPEN 2000-AN1 Resti Nurfaidah Balai Bahasa Jawa Barat
[email protected] dan
[email protected] Abstrak Perempuan PSK selalu menjadi cerita dari masa ke masa. Sepakterjangnya dianggap sebagai biang dari kehidupan kelam, tetapi di satu sisi lain, ia digandang-gandang sebagai sumber penghasilan bagi pihak-pihak yang terlibat di dunia prostitusi. Kehidupan bak dua sisi mata uang yang berbeda dari para PSK banyak dituangkan ke dalam karya sastra, antara lain, puisi, drama, atau prosa (cerpen atau novel). Berlandaskan pada konsep stilistika feminis dari Sara Mills, makalah ini akan mengangkat cerpen-cerpen bertemakan kehidupan para PSK pada era 2000-an. Cerpen-cerpen tersebut memuat potret kehidupan PSK dari berbagai sudut, seperti latar belakang, keseharian, resiko, serta dampak yang dirasakan, baik oleh PSK itu sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Dari pengamatan terhadap cerpen-cerpen tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa alur kehidupan para PSK statis dan ironis. Di satu sisi dipandang hina, tetapi di satu sisi ia menjadi sasaran empuk para pemburu materi. Kata Kunci: PSK, cerpen, statis, hina Abstract: Female sex workers has always been a neverending topic from time to time. Their considered as a part of the darkness, but, on the other hand, their were moneymaker for those who got involved in prostitution. Their lifes simply like two different sides of a coin which were written into literary works, among others, poetry, drama, or prose. Based on the feminist stylistic of Sara Mills, this paper will explore short stories about their lives of the prostitutes in the era of the 2000s. They contain portraits of their lifes from various sides, such as backgrounds, daily life, the risks, and the impact, either felt by themselves and people around them. As the result, On the one hand, they have static lifes, but, on the other ironic hand, they are interesting to be an easy target for material hunters. Keywords: PSK, short stories, static, contemptible Disampaikan pada Seminar Nasional Sosiologi Sastra” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB) dan Departemen Ilmu Susastra FIB UI, di Auditorium Gedung I FIB UI, 10—11 Oktober 2016. 1
1
Pendahuluan Penulisan makalah ini diawali dengan ketertarikan saya pada film pendek Fitri yang bercerita tentang peliknya kehidupan seorang perempuan PSK. Film yang disutradarai oleh Sidi Saleh (2013) tentang seorang PSK bernama Fitri yang ingin merayakan Idulfitri di kampung bersama kedua orangtuanya. Namun, kendala profesi sebagai seorang PSK andalan sang mucikari, ia terjerat kontrak sepihak. Mami menghendaki Fitri untuk terus bekerja pada malam takbiran sekalipun. Langkah Fitri untuk menemui kedua orangtuanya lalu terhalang strategi hebat yang dirancang oleh Mami. Fitri terpaksa kehilangan barang-barangnya di terminal dan ia kembali harus bekerja melayani seorang rentenir yang menjadi tumpuan Mami selama ini. Fitri merasa jijik dengan laki-laki itu dan berusaha untuk melarikan diri. Ia pun berusaha keras menyelamatkan diri di tengah hingar bingar suasana malam takbiran, serta keremangan lorong dan gang sebuah lokalisasi di Jakarta. Film pendek yang disutradarai oleh Sidi Saleh pada tahun produksi 2013 tersebut2 menghilhami saya untuk menelusuri kehidupan para pekerja seksual terkini, pada era 2000-an, yang digambarkan dalam bentuk ekspresi lainnya, yaitu karya sastra—sesuai dengan latar pendidikan saya--berupa cerpen. Selain itu, banyaknya peristiwa naas yang menimpa para pekerja seksual, seperti kasus Holly dan Gatot, atau Tata Chubby, penutupan lokalisasi Dolly dan Kalijodo, bahkan peristiwa serupa yang pernah menimpa pelaku profesi yang sama pada masa lampau, semakin menguatkan pandangan saya bahwa dunia para penjaja cinta cukup kompleks. Dunia PSK merupakan tema yang tidak akan pernah habis untuk dibahas dan dieksplorasi. Kompleksitas dunia PSK yang cukup tinggi dengan eksistensi abadinya yang selalu mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan, menjadikan mereka sebagai tema menarik yang kerapkali dituangkan dalam berbagai tulisan—baik ilmiah maupun popular, karya visual berupa film-dramasinetron. Beberapa penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan sebelum ini, antara lain, siswa Santa Ursula Jakarta (1994) dengan hasil penelitian yang dibukukan dan diberi judul Orang-Orang Malam: Studi Tentang Pekerja Malam Jakarta. Siswa-siswa Kelas 1 SMA Santa Ursula tahun ajaran 1993—1994 tersebut secara partisipatif melakukan pengamatan dan penelitian kepada orangorang yang melakoni berbagai profesi yang pada umumnya dilakoni pada malam hari, antara lain, PSK, waria, DJ, penyiar radio, satpam, wanita pemijat, pedagang kaki lima, sopir taksi, dan pramuria. Hasil pengamatan dan penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan para pelakon berlatar pada pilihan hidup yang tersandung pada tingkat pendidikan yang rendah (kecuali pada DJ dan penyiar 2
Meraih penghargaan dalam Clermont-fd International Film Festival tahun 2013 di Perancis
2
radio), unsur keterpaksaan karena atas desakan faktor ekonomi, latar perkawinan tidak bahagia, atau terpengaruh oleh teman. Terkadang menjadi orag malam bukan merupakan profesi yang menyenangkan, terutama dalam menghadapi sitgma buruk dari masyarakat. Jujur mereka mengakui bahwa pekerjaan itu kebanyakan bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena beberapa faktor pemicu, seperti: ekonomi, pelecehan seksual, dan perkawinan yang tidak bahagia. Namun, ada pula, pada kasus satpam, yang merupakan penghasilan tambahan atas perintah atasan. Sedyaningsing-Mamahit (2010) menjadikan kehidupan PSK sebagai bahan penulisan disertasi dengan memfokuskan penelitian pada penggunaan kondom di lokalisasi Kramat Tunggak. Hasil penelitian tersebut dialihwahanakan menjadi buku yang diberi judul Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Dalam buku tersebut, Sedyaningsing-Mamahit (2010:106) menyampaikan bahwa terjerumusnya seorang perempuan ke dalam dunia pelacuran karena empat hal, yaitu terpaksa oleh keadaan, mengikuti arus, terdorong frustasi, dan sekadar mencari nafkah. Penderitaan para PSK tersebut semakin bertambah dikaitkan dengan keharusan pemakaian kondom. Kebanyakan para pelangan menolak untuk memakai benda tersebut, mau tidak mau—terlebih dalam kondisi terdesak kejar setoran, penolakan itu diiyakan. Bayangan akan ancaman bahaya penularan penyakit kelamin menyebabkan habitual action para PSK untuk menggunakan berbagai obat-obatan jenis antibiotika tanpa dosis yang benar, serta obat dan benda lain yang digunakan untuk mencuci vagina. Tanpa mereka sadari, sebagai dampak dari rendahnya latar edukasi para PSK tersebut, penggunaan obat tersebut, sebaliknya, akan menimbulkan resistensi jenis kuman tertentu. Latar belakang ekonomi masih menempati urutan utama, selain latar psikologis akibat trauma pada pernikahan yang buruk atau dampak sebagai korban pelecehan seksual. Di balik itu semua, kebanyakan PSK mengatakan bahwa profesi mereka hanyalah sementara waktu tanpa menentukan kapan akan diakhiri. Hanya segelintir PSK yang menikmati pekerjaan tersebut dan bahkan ingin meningkatkan statusnya sebagai seorang germo! Baker, salah seorang staf UNICEF (2015) menulis tentang profil seorang PSK bernama Dewi dalam sebuah artikel pendek berjudul “Kisah Dewi: Rumah Pelacuran di Papua” dalam http://indonesiaunicef.blogspot.co.id/ diunduh 1 Oktober 2016. Kisah Dewi mengungkapkan bahwa unsur sanitasi kurang dipedulikan. Namun, Dewi menjalani profesi tersebut dengan berlatarkan pada desakan ekonomi serta citacita untuk menabung persiapan masa depan. Seperti yang diungkapkan pada bagian awal, makalah ini akan mengeksplorasi kehidupan PSK melalui teks berbentuk cerpen. Melalui narasi cerpen yang pendek tersebut, para PSK cukup berbicara banyak tentang hidup mereka sehari-hari hingga tiba akhir hidupnya. Tema tentang para PSK selalu menarik dibahas dan selalu terbilang kompleks karena salah satu keunikannya,
3
sulit dibasmi dan senantiasa hadir pada setiap generasi. Bahkan, banyak kalangan yang menyebutkan bahwa profesi PSK merupakan profesi yang paling tua di dunia. Hal itu terjadi karena unsur demand terhadap pelayanan para PSK cukup besar. Dalam Sedyaningsing-Mamahit (2010:158) terdapat fakta yang menunjukkan bahwa pelanggan PSK kebanyakan dari laki-laki yang berstatus sudah menikah! PSK sulit dimusnahkan. Ketika beberapa pusat kegiatan prostitusi/lokalisasi ditutup, ia seperti kista: memencar ke tempat lain secara sporadis, lalu bermunculan embrio lokalisasi yang baru. Eksplorasi ini dilakukan dengan metodologi deskriptif analisis melalui pendekatan analisis wacana kritis pada cerpen-cerpen bertemakan pelacur yang ditulis pada interval tahun 2000-an. Langkah pertama penelitian adalah mengunduh atau mencari cerpen yang bertemakan sosok pelacur yang muncul pada tahun 2000-an pada beberapa laman resmi serta beberapa media cetak. Pencarian tersebut berbuahkan 13 cerpen dengan rincian: 1 cerpen dari media cetak—PR Minggu berjudul “Ambai-Ambai” (Damhuri Muhammad), dan 12 cerpen lainnya dari beberapa laman di dunia maya, yaitu “R.I.P. (Cerita Seorang Pelacur Tentang Kematian Seorang Pelanggannya)” (Trubus Sugiarjo), “Cerita Seorang Pelacur” (Retno Prasetiani), “Catatan Seorang Pelacur” (Lucifer), “Kamulah Seorang Pelacur Terhormat” (Fajar Sasmita), “Aku Menikahi Pelacur Perawan” (Dgreato Jogja), “Salahkah Aku Mencintai Seorang Pelacur?” (Immanuel Lubis), “Balada Pelacur dan Pria Tamak Kekasihnya” (Witoratop), “Istriku Seorang Pelacur” (Yaliati Airy), “Ssst (Ternyata) pelacur Itu Mengajariku” (Posma Ramos Simanjuntak), “Pelacur yang Mati di kali” (Bode Riswandi), “Pelacur” (Pamungkas), dan “Tiga Perempuan Pelacur” (Nyangtu). Ketigabelas cerpen itu, lalu diamati dan poin-poin penting diposisikan pada beberapa kolom (lihat pada hasil dan pembahasan). Poin-poin tersebut lalu dianalisis dengan pendekatan teori Sara Mills yang memandang teks dari sudut AWK dan feminisme. Hasil pengamatan lalu dituangkan ke dalam bentuk laporan berupa makalah seminar.
Kajian Teori Eksplorasi tentang PSK dalam cerpen tahun 2000-an tersebut dilandaskan pada konsep analisis wacana kritis (AWK) Sara Mills yang menggabungkan konsep feminisme dalam teks. Sara Mills memandang bahwa perempuan selalu didudukkan pada posisi yang salah dalam teks dan ia menyebutnya sebagai konsep feminist stylistic. Sara Mills (1995:13) mengatakan bahwa feminist stylistics bertujuan untuk membuat asumsi yang ada dalam stilistika konvensional menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya menambahkan topik gender pada daftar elemen yang dianalisis, tetapi menggunakan stilistika menjadi sebuah fase baru dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan stilistika dalam
4
analisis bahasa. Dengan demikian, bahasa dalam wacana atau sebuah teks bukan sekadar bahasa biasa, melainkan bahasa merupakan unsur utama yang harus diadakan dan dimunculkan. Melalui bahasa tersebut dapat ditelusuri bagaimana kedudukan perempuan di dalam teks, kondisi dan situasi yang mendukung kedudukan perempuan di dalam teks, serta reaksi lingkungan di sekitar terhadap sosok perempuan di dalam teks itu. Sebagai contoh, dalam penelitian Supriyadi, (2014:225—234) menunjukkan bahwa melalui bahasa maskulin dalam novel Belenggu dan Pengakuan Pariyem dapat ditelusuri bahwa perempuan di dalam kedua novel tersebut terkungkung dalam budaya patriarki. Namun, budaya patriarki tersebut memiliki pandangan yang berbeda. Novel Belenggu yang hadir pada awal abad ke-20 tidak banyak memberikan keleluasaan bagi perempuan dan keseteraan gender. Unsur stilistika cenderung menyudutkan perempuan dan membanggakan laki-laki. Dalam situasi peralihan antara kehidupan tradisional dan modern, perempuan harus berjuang keras untuk mendapatkan haknya, terutama dalam pendidikan dan pekerjaan. Sementara itu, novel Pengakuan Pariyem menunjukkan bahwa kesetaraan derajat mulai tampak meskipun dalam beberapa hal, kaum laki-laki tetap menunjukkan superioritas kepada lawan jenis. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan pun tampak lebih luas. Pada contoh lain, penelitian berbasis stiliska feminis dilakukan oleh Wardani, dkk. (2013) dalam repository.uksw.edu (diunduh 1 Oktober 2016), menunjukkan bahwa media berbasis kepedulian kepada perempuan menempatkan mereka sebagai subjek. Sosok perempuan yang ditampilkan turut dilibatkan sebagai narasumber yang menceritakan kisah sukses yang mereka alami. Pendengar juga dilibatkan sebagai subyek untuk bersikap pro kepada sosok yang ditampilkan. Program radio tersebut memunculkan citra perempuan yang positif karena keberhasilan di ranah publik mampu diimbangi dengan kemampuan mereka mengelola di ranah domestik. Dalam menganalisis sebuah teks, Sara Mills (1995:62—156) membagi sistematika analisis ke dalam tiga level berikut, yaitu (1) analisis pada level kata/frasa berupa seksisme dalam bahasa dan seksisme dan maknanya; (2) analisis pada level klausa/kalimat berupa penamaan, pelecehan pada wanita, belas kasihan/pengkerdilan, penghalusan/tabu; serta (3) analisis pada level wacana berupa karakter/peran, fragmentasi, fokalisasi, dan skemata. Sara Mills (1995:157) mengatakan bahwa stilistika feminis memudahkan peminat representasi hubungan gender. Stilistika feminis merupakan sarana bagi para ahli bahasa untuk dapat mengembangkan secara pribadi seperangkat alat yang dapat mengekspos kinerja gender pada tingkatan yang berbeda di dalam teks. Analisis feminis diperlukan untuk melihat kejelasan batas-batas sebuah teks karena di dalamnya terdapat penyusupan wacana dan ideologi. Sara Mills juga mengatakan
5
bahwa di dalam teks perbedaan antara unsur tekstual dan extratextual tidak selalu ditemukan. Teks sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial budaya, ideologi, sejarah, kekuatan ekonomi, gender, rasisme, dan sebagainya. Bukan berarti penulis tidak memiliki kontrol terhadap hal-hal yang ditulisnya, tetapi is tunduk pada interpelasi dan interaksi dengan kekuatan-kekuatan diskursif tersebut. Hasil dan Pembahasan Hasil dan pembahasan dilakukan dengan cara menguraikan poin-poin penting dalam sumber data ke dalam bentuk tabel. Hal itu dilakukan untuk menghemat ruang karena sumber data yang ditemukan cukup banyak. Pembahasan di ditulis ke dalam dua tabel. Tabel pertama merupakan tabel penguraian identitas sumber data, sementara tabel kedua merupakan pembahasan data berdasarkan konsep AWK stilistika feminis Sara Mills. Tabel bahasan dapat dilihat selengkapnya pada bagian lampiran. Analisis Pada Level Kata/Frasa Jika mendengar kata aku sebagai penanda jati diri, akan muncul kesan tinggi, percaya diri, dan angkuh. Tokoh PSK maupun pelanggan/kekasih/suami memiliki kecenderungan untuk menunjukkan eksistensi yang solid. Konsep keaku-an sangat kuat pada sosok PSK maupun orang yang berada di dekat tokoh PSK itu. Pemakaian kata aku merupakan penanda jati diri terbanyak dalam data penelitian (9 buah). Penanda jati diri lain yang terdapat di dalam data adalah gue (1), saya (1). Kata aku pada tokoh PSK menunjukkan resistensi yang ditujukan untuk melawan stigma negatif dari orang-orang di lingkungan terdekat dan masyarakat sekitar. Namun, pada tokoh non-PSK atau pelanggan/kekasih, kata aku digunakan untuk menunjukkan representasi laki-laki sebagai malaikat atau pahlawan bagi sosok PSK, seperti dalam cerpen “Salahkah Aku Mencintai Seorang Pelacur?” dan “Istriku Seorang Pelacur”. Kata pelacur sangat mendominasi pemberian gelar kepada wanita penghibur, selain istilah lain yang digunakan untuk merujuk kepada mereka, yaitu lonte, kupu-kupu malam, dan wanita hina. Penggunaan istilah tersebut menjadi penanda pengotak-kotakkan dalam masyarakat kita berdasarkan profesi yang digeluti, selain pada stigma negatif yang lama melekat pada sosok PSK. Kata Bapak sebagai sapaan tidak ditujukan kepada ayah kandung tokoh PSK, tetapi kepada seorang pelanggan tetap, yang memperlakukan perempuan itu seperti anaknya sendiri. Banyak kata/frasa yang digunakan sebagai penanda kompleksitas dunia PSK. Istilah tersebut menunjukkan siapa saja yang hadir dalam dunia malam, apa sebab dan akibat yang muncul dalam kehidupan PSK, sifat yang muncul dalam
6
kehidupan PSK, kondisi fisik seperti apa yang harus dipenuhi oleh seorang PSK, dan aktivitas apa yang dilakukan oleh PSK. Tabel 1 Kata/Frasa yang terdapat di dalam cerpen 2000-an KATA/FRASA YANG MENUNJUKKAN NOMINA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Bapak langganan mucikari pelacur pelacur kelas kakap (2) pelanggan kelas kakap selir mainan pria pelacur yang masih perawan lelaki bajingan! gigolo = pengisi waktu ambai-ambai lonte lelaki brengsek itu wanita bayaran wong cilik anjing kudisan
KATA/FRASA YANG BERKAITAN DENGAN SEBAB-AKIBAT 1. faktor ekonomi 2. tuntutan keluarga 3. masa lalu 4. dendam 5. kota besar 6. iklim kota 7. aib (2) 8. tidak perawan 9. masa lalu
KATA/FRASA YANG BERKAITAN DENGAN KONDISI FISIK 1. sisi hitam 1. persaingan 2. pekerjaan hinaku ketat 3. nakal 2. harus jadi 4. jijik cantik 5. … di tempat 3. diet merah ini 4. seindah 6. fenomena beauty gitar and the beast spanyol 7. dendam 5. sikap genit 8. najis 6. wajahku 9. genangan nasib yang cantik buruk 7. tubuhku 10. cairan amis yang sangat menjijikkan solek 11. nafsu bejatnya 8. keadaan 12. dunia kotor yang 13. pekerjaan hina berantakan 14. dunia hitam. 9. bayaran yang tinggi
KATA/FRASA YANG BERKAITAN DENGAN SIFAT
KATA/FRASA YANG BERKAITAN DENGAN AKTIVITAS 1. direnggut 2.
lantunan taubatku
Kata Bapak yang muncul di dalam teks mengacu pada seorang pelanggan tetap yang memperlakukan seorang PSK dengan sangat manusiawi. Frasa pelacur yang masih perawan mengacu pada istri yang resmi dinikahi dalam sebuah ikatan pernikahan tanpa cinta dari sudut pandang si suami. Sosok suami merasa dirinya sebagai lelaki hidung belang yang menggauli istrinya—yang dipandang sebagai seorang pelacur, sebagai buah perjodohan antarorangtua yang dipandangnya sebagai mucikari. Anjing kudisan mengacu pada perbandingan yang dilakukan pihak keluarga seorang suami demi menolak pernikahan dia dengan seorang pelacur (ambai-ambai). Lelaki bajingan dan lelaki brengsek merupakan luapan kebencian si PSK kepada pelanggannya. Terlebih, bagi PSK yang memiliki latar sebagai korban pelecehan seksual, ia akan melakoni pekerjaannya itu dengan kebencian, tanpa cinta dan hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomis. Ditambah dengan munculnya kata direnggut yang menunjukkan bahwa 7
ada bagian dari kehidupan si PSK yang hilang sebagai akibat dunia yang dilakoninya. Frasa kota besar dan iklim kota muncul sebagai faktor geografis yang menuntut pemenuhan kebutuhan tinggi yang berkonflik dengan tingkat kecakapan hidup yang rendah. Namun, ada beberapa sosok PSK di dalam data yang berasal dari kalangan menengah ke atas yang karena sesuatu sebab beralih menjadi pelacur. Dunia hitam, dunia kotor, najis, jijik, pekerjaan hinaku merujuk pada tingkat kebencian yang tinggi terhadap dunia yang dilakoninya. Kebanyakan sosok PSK di dalam data menyatakan profesi kelam mereka sebagai pilihan sesaat sambil menabung dan berikhtiar untuk profesi lain yang dianggap lebih normatif. Kata dendam muncul untuk menggambarkan beratnya kehidupan PSK yang berada dalam jeratan berbagai pihak yang berkepentingan. Penghasilan mereka tidak dapat dinikmati sendiri, tetapi harus dibagi dengan mucikari, petugas keamanan/preman, keluarga/kekasih, dan sebagainya. Kata/frasa yang menunjukkan ciri fisik yang mutlak dimiliki oleh seorang PSK menggambarkan perjuangan yang berat untuk mempertahankan eksistensi dirinya jika ingin meraup penghasilan yang besar dan mendapatkan pelanggan yang berkelas. Analisis Pada Level Klausa/Kalimat Pada level klausa/kalimat banyak bermunculan pandangan dan perasaan sang PSK terhadap aktivitas yang dijalani, reaksi orang terdekat terhadap PSK, dan reaksi masyarakat terhadap PSK. Tabel 2 Pandangan dan perasaan PSK, serta reaksi orang terdekat/orang sekitar terhadap PSK.
NO. 1.
KLAUSA/KALIMAT YANG MENUNJUKKAN KOMPLEKSITAS KEHIDUPAN PSK Bagiku tak masalah, uangnya tetap harum. Ternyata istri Bapak juga cantik. Jadi apanya yang masih kurang?
2.
Begitu banyak pria yang rela membayar mahal saya. “Yah, pengennya sih kayak gitu, Dit, tapi kan seorang pelacur tidak bisa memilih, kami ada karena kami tidak punya pilihan, kan?” Kaum yang bernama prialah yang menjadikan saya seorang pelacur. Menjadi pelacur lebih terhormat daripada menjadi kekasih seorang seorang pria. Atau mungkin itulah alasan mereka memakai saya, karena istrinya di rumah sudah berat, makanya mereka mencari saya yang ringan.
8
sama-sama harus ngangkang dan melayani nafsu mereka, bedanya saya dibayar dan dia tidak. 3.
Balutan gaun indah, menutup tubuh, yang akhirnya akan terhempas juga demi pundi-pundi rupiah yang hendak kuraih. Tak mau hidup seperti ini […] tidak akan memikirkan apa pun selain tubuhku? […] kesepianku yang dibunuh sang waktu. Aku hanya menyambung hidup, adikku butuh makan, sekolah, apakah mereka mau menanggungnya. Hidupku sudah berhenti di sini, tapi bukanlah masa depanku masih ada di sana.
4.
Adat di tempat ini adalah datang, milih, maen, bayar. “… kalo udah pelacur ya pelacur aja, gak usah disesali” “… kamu sendiri yang milih jadi kayak gini.” “Pria itu tak ubahnya seperti sampah.” “Kamulah seorang pelacur terhormat!”
5.
Aku seorang lelaki sejati dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Kami dibersarkan dalam budaya timur di mana menghormati dan berbakti kepada orang tua adalah yang utama. Kenapa kalian mucikari yang berbusana orangtua tidak pernah peduli bahwa kami juga punya hati?
6.
[…] cinta itu buta bukan hanya sekadar pepatah kuno. Sama seperti WTS-WTS lainnya, ia terjerumus ke liang prostitusi ini juga karena faktor keluarga. Hutang yang begitu besar membuat abangnya nekat menjual dia ke seorang pengusaha klub malam. Dengan berat hati, ia melakoni pekerjaan barunya. […] rela dipukuli oleh seorang germo. […] wajah cantiknya, tubuh montoknya, hingga penampilan seronoknya […]. “[…] Aku wanita jalang. Kotor. […]”
7.
Malam itu lelaki serupa dengan Marjun. Brengsek semua. […] harus merawat diri yang butuh biaya tinggi. […] menjaga bodi agar tetap aduhai. Marjun menjelma menjadi penguasa tunggal lokalisasi liar itu.
9
8.
[…] semua akan baik-baik saja.
9.
“Ah, dasar semua laki-laki sama saja. Semuanya mau enaknya sendiri dan tidak menepati yang dijanjikannya,” ujarnya agak ketus. Lalu, dia menceritakan tentang hidupnya yang telah ditinggalkan suaminya. Melampiaskan kemarahan.
10.
Kami terlahir sebagai anak-anak ayah karena seorang ambai-ambai, dan kami meninggalkan ayah, juga karena ambai-ambai…
11.
Selain orang-orang Zarkasih itu.
12.
Aku adalah seorang wanita yang hancur dari keluarga yang dibangun dengan tembok kemiskinan dan kesengsaraan. Dunia tidak pernah memberikan keindahan sedikitpun padaku. Aku menjadi seperti ini karena kebodohan dan ketololanku sewaktu aku baru saja lulus dari bangku SMA. Aku tidak percaya lagi adanya Tuhan. Belum juga satu minggu aku lalui, lelaki brengsek itu pergi meninggalkanku ke luar negeri bersama seluruh keluarganya. […] bukan untuk menikmati hidupku, tetapi untuk menikmati tubuhku. […] ya, aku tahu Tuhan tidak pernah menciptakan matahari dalam hidupku. […] mereka hanya menginginkan tubuhku, ya, hanya tubuhku. Setahuku, semua tetangga-tetanggaku di sini tidak pernah mengetahui pekerjaanku sebagai pelacur. Walau sekarang aku sudah dapat menghidupi diriku dengan pekerjaanku, tapi aku aku masih selalu merasa sengsara. Tak bisa kupungkiri memang, dalam relung bathinku selalu bergejolak dan menyeruak pesan, aku pun ingin menikah, aku pun ingin memiliki suami dan anak, untuk ku jadikan keluarga yang bahagia.
13.
Menjadi sampah masyarakat yang tidak berharga sama sekali. Namun, yang lebih menyakitkan, anakku (Asti) dan cucuku (Rina) berani mengikuti jejakku. Aku ini orang kotor, najis. Aku ini mantan pelacur.
Kalimat Bagiku tak masalah, uangnya tetap harum. menunjukkan bahwa PSK tidak memedulikan sikap orang lain kepadanya. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari jauh lebih penting dari sekadar mendengarkan reaksi masyarakat.
10
Kalimat Begitu banyak pria yang rela membayar mahal saya menunjukkan bahwa PSK sedang mencapai puncak kejayaannya dengan berhasil menjerat pria-pria berduit untuk menyentuh tubuhnya. Salah jika beranggapan bahwa para pelacur menikmati kehidupannya karena mereka melakukan hal itu dengan landasan tingkat kebencian yang tinggi kepada laki-laki yang menyentuh tubuhnya. Hal itu banyak terungkap dalam beberapa kalimat berikut, antara lain, (1) Kaum yang bernama prialah yang menjadikan saya seorang pelacur; (2) Ternyata istri Bapak juga cantik. Jadi apanya yang masih kurang?; (3) Atau mungkin itulah alasan mereka memakai saya, karena istrinya di rumah sudah berat, makanya mereka mencari saya yang ringan; (4) “Pria itu tak ubahnya seperti sampah.”; (5) Malam itu lelaki serupa dengan Marjun. Brengsek semua; (6) “Ah, dasar semua laki-laki sama saja. Semuanya mau enaknya sendiri dan tidak menepati yang dijanjikannya,” ujarnya agak ketus.; (7) Belum juga satu minggu aku lalui, lelaki brengsek itu pergi meninggalkanku ke luar negeri bersama seluruh keluarganya.; dan (8) […] bukan untuk menikmati hidupku, tetapi untuk menikmati tubuhku. PSK terkadang harus menanggung beban berat sebagai dampak dari aktivitas yang dijalaninya. Stigma negatif dari masyarakat membuatnya terkadang tidak mampu menunjukkan jatidirinya sendiri. Aditya (dalam SedianingsihMamahit, 2010:xxiv) mengatakan bahwa stigma sebagai pendosa sangat membebani mereka sehingga untuk tampil sebagai manusia pun mereka tak sanggup. Beberapa klausa atau kalimat yang menggambarkan keterpurukan mereka atas reaksi masyarakat pada eksistensi PSK berikut: (1) “Yah, pengennya sih kayak gitu, Dit, tapi kan seorang pelacur tidak bisa memilih, kami ada karena kami tidak punya pilihan, kan?”; (2) Aku hanya menyambung hidup, adikku butuh makan, sekolah, apakah mereka mau menanggungnya.; (3) Hidupku sudah berhenti di sini, tapi bukanlah masa depanku masih ada di sana.; (4) “[…] Aku wanita jalang. Kotor. […]”; (5) Kami terlahir sebagai anak-anak ayah karena seorang ambai-ambai, dan kami meninggalkan ayah, juga karena ambaiambai…; (6) Selain orang-orang Zarkasih itu.; (7) Setahuku, semua tetanggatetanggaku di sini tidak pernah mengetahui pekerjaanku sebagai pelacur.; (8) Menjadi sampah masyarakat yang tidak berharga sama sekali; (9) Aku ini orang kotor, najis.; dan (10) Aku ini mantan pelacur. Sulitnya lahan untuk “kembali” ke tengah masyarakat menjadikan mereka terpuruk dalam rutinitas sebagai seorang PSK. Kutipan nomor (3) dan (10) menunjukkan bahwa perempuan yang terjerumus menjadi PSK seolah terpenjara secara permanen di dalam dunianya. Bahkan, ketika ia sudah berhenti beraktivitas sebagai PSK. Pendapat Aditya berkorelasi dengan nomor (7) karena kebanyakan mereka menyembunyikan jatidiri ke PSK-annya dari dunia luar. Seperti dalam beberapa cerpen, hanya segelintir yang keluarganya mengetahui profesi anggotanya sebagai seorang PSK.
11
Hanya segelintir PSK yang menikmati kehidupan tersebut lalu memutuskan untuk meningkatkan statusnya menjadi mucikari. Terkadang frustasi tidak dapat dihindari ketika PSK merasa terkurung di dalam rutinitas keseharian, seperti yang terungkap dalam kutipan berikut: (1) Menjadi pelacur lebih terhormat daripada menjadi kekasih seorang seorang pria.; (2) […] ya, aku tahu Tuhan tidak pernah menciptakan matahari dalam hidupku; (3) Walau sekarang aku sudah dapat menghidupi diriku dengan pekerjaanku, tapi aku aku masih selalu merasa sengsara.; dan (4) Tak bisa kupungkiri memang, dalam relung bathinku selalu bergejolak dan menyeruak pesan, aku pun ingin menikah, aku pun ingin memiliki suami dan anak, untuk ku jadikan keluarga yang bahagia. Beratnya beban yang harus ditanggung oleh seorang PSK rentan menimbulkan frustasi. Kutipan nomor (3) dan (4) menunjukkan adanya kontradiksi antara pemenuhan kebutuhan yang mendesak, situasi lingkungan yang tidak kondusif bagi pengembangan diri, serta perlawanan hati nurani yang terpaksa kerapkali diabaikan ketika pelanggan datang atau adanya ancaman sang mucikari. Beratnya beban hidup tersebut, terkadang membuat seseorang memalingkan muka dari Tuhan-Nya. Terlebih jika ia pernah mengalami peristiwa traumatis yang menyebabkan kehilangan benda berharga, kekecewaan yang berlebihan, serta lingkungan yang kurang mendukung pemulihan trauma, memicu seseorang untuk melampiaskan kemarahannya pada Tuhan yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa traumatis itu, seperti yang terungkap dalam kutipan nomor (2). Analisis Pada Level Wacana Pada cerpen nomor satu terungkap pencetus seorang perempuan ke dalam dunia pelacuran, yaitu faktor ekonomi dan kehilangan figur orangtua, terutama ayah sebagai kepala keluarga, serta potret ibu yang tidak memiliki kecakapan hidup. Selain itu, stigma umum sang PSK kepada lawan jenisnya dianggap sama dengan menganalogikan mereka sebagai kuda liar. Konteks kuda liar bermakna siapa saja tidak dapat mengendalikannya kecuali pawang. Peranan pawang dalam pengendalian nafsu si kuda liar tersebut mengarah pada perempuan. Perempuan seolah ingin menunjukkan “giginya” sebagai penguasa kaum laki-laki. Cerpen yang ditulis oleh penulis laki-laki tersebut masih mengusung kepentingan maskulin dalam alur cerita. Tokoh perempuam dianggap tidak mampu berpikir panjang karena dalam waktu singkat ia memutuskan untuk mengubah diri menjadi PSK.
12
Tabel 3 Pandangan dan perasaan PSK, serta reaksi orang terdekat/orang sekitar terhadap PSK.
NO. 1.
KONTEKS Ayahku meninggal enam bulan sebelumnya, sedangkan ibu ku sama sekali tidak punya pekerjaan. Dua bulan kemudian aku nekat melakukan perbuatan haram ini karena aku dan ibu butuh makan, dan aku tidak mau DO dari kuliahku. Tentu saja aku tidak melakukannya di kotaku S. Ada kereta api yang bisa mengantarku ke kota Y sore hari, dan membawaku pulang ke S pagi harinya. Aku tak peduli! Lelaki memang begitu. Banyak yang membiarkan nafsunya seperti kuda liar… tak bisa mengendalikannya. Kupikir aku akan segera mencari pekerjaan halal sambil meneruskan kuliahku. Tentang transfer otomatis dari Bapak setiap bulannya, kupikir juga akan segera berhenti. Atau mereka akan mencari jejak rekamku,dari rekening tujuan transfer dan dari HP Bapak, siapa tahu?
2.
“Gatel! Nggak tahu diri! Nggak laku ya, lo, jadi cewek?” Masih banyak makian lain yang mampir di telinga saya ketika saya melewati gang kecil yang menghubungkan rumah saya dengan jalan raya yang akan mengantarkan berbagai jenis kendaraan untuk membawa saya mencari rupiah. Makianmakian yang keluar dari mulut-mulut sekumpulan ibu-ibu yang sering bergerombol menghabiskan waktu diujung gang itu memang sudah dangat familiar untuk telinga saya. Daripada saya membuang waktu untuk menjawabi mereka. Banyak orang yang bilang gampang jadi pelacur. Cuma ngangkang maka uang akan berdatangan? Buktinya saya harus mematikan hati dan perasaan saya dulu, baru saya bisa ngangkang. Dan tidak jarang saya harus dipukuli dulu oleh orang-orang yang memberi saya uang baru bisa saya ngangkang. Hanya orang bodoh yang bilang jadi pelacur itu gampang. Mereka mungkin tidak punya kaca. Lihat saja perut mereka yang nggak beda jauh sama ibu hamil. Atas nama cinta mereka menggagahi saya. Atas nama cinta mereka meninggalkan saya. Atas nama cinta mereka menggerogoti uang yang saya punya. Saya tidak mau menjadi budak seperti itu. Jadi saya memilih menjadi pelacur saja.
3. 4.
“Gak habis pikir aja. Kenapa istri yang baru aku nikahi sekarang nunjukkin kelakuan yang menurutku itu bodoh.” “Contohnya?” “Sebagai istri harusnya ia tahu bahwa kodrat dia adalah melayani suami, eh … ini malah keluyuran sama temen-temennya, yang ke mallah, arisanlah, ini lah, itulah… gatel!’
5.
Kota metropolitan sudah membentukku menjadi seorang lelaki yang angkuh, egois, dan perfeksionis. Dari kota metropolitan ini juga aku mendapatkan segalanya, pekerjaan, rumah, dan teman-teman yang bermuka dua. Ia masih memiliki harga diri seorang wanita yang wajib dibela, walau hanya secercah saja. Tak sepantasnya ia diperlakukan seperti binatang, hanya karena statusnya sebagai seorang pelacur. Rumi sih senang-senang saja apalagi Marjun kerap memberikan uang tips lebih banyak dibanding pria hidung belang yang pernah ditemuinya. Uang lebih sangatlah dibutuhkan bagi wanita berprofesi seperti dirinya. Tahu sendirilah. Uang jerih payahnya masih harus dibagi untuk kepentingan macammacam, ada untuk germolah, untuk keamanan atau premanlah, dan untuk ojek langganan. Padahal, ia juga harus menyisihkan uang untuk dikirim ke kampungnya. Orangtua tahunya Rumi atau
6. 7.
13
Ruminten bekerja di sebuah restoran. Marjun pun marah dan membawa Rumi ke taman bawah Jembatan Semanggi. Di tempat yang gelap itu, Rima dianiaya. Ditampar mukanya, dipukul perutnya, belum puas, ditendang kakinya. Setelah tak berdaya, tas milik Rumi beserta isinya dibawa kabur Marjun. Hujan kemudian mengguyur. Rumi pun tergeletak sendirian di bawah jembatan Semanggi. Salah satu kawasan ikon Jakarta yang sangat padat dan menyesakkan di siang hari, malam itu terasa begitu sunyi. 8.
Mata itu…. Masih hangat. Kehangatan yang kupikir telah lenyap semenjak video tak senonoh itu menyebar luas. Aku tidak tahu siapa pemiliknya, aku bahkan tak ingat siapa yang merekam dan seperti apa wajah pria yang tengah bergumul bersamaku. “Sekarang kau sudah tahu siapa aku, video itu…, pemberitaan di media. Itu semua memang benar…, tapi…!” kucoba untuk tidak menangis. Aku tak ingin dianggap memelas belas kasihnya, “Sungguh, Mas, video itu berasal dari masa laluku. Aku bahwak tidak ingat video itu sempat ada!” akuku. Hampir semua pemberitaan di media menjadikan kasus videoku sebagai headline. Video mesum istri dari seorang anggota MK bersama pria lain menyebar luas di dunia maya. Ibrahim Fatih Kuncoro Putra, seorang anggota MK yang beristrikan seorang pelacur. Hal itu tak dapat dipungkiri. Video itu memang nyata, itu memang aku. Tak masalah jika itu hanya akan menghancurkanku, tapi suamiku. Karirnya di kursi pemerintahan? Keluarganya? Bisa kubayangkan bagaimana tanggapan temanteman sejawatnya terhadap kasus ini. Tanggapan publik! Semua pelanggan butikku saja mulai melarikan diri. Butik yang kumulai dari sebuah kios jahit sederhana di sebuah pasar pascakuputuskan untuk berhenti menjajakan tubuhku lagi.
9.
Dari penjelasannya terlihat bahwa ketika ia dapat melakukan hal tersebut, ia menganggap bahwa dirinya menjadi pengontrol, penguasa atas para pria yang diajaknya berhubungan seks. Pelajaran buatku hanya di hari itu, aku semakin disarkan betapa bahayanya jika kita mempermainkan, melecehkan, melakukan penyiksaan terhadap batin seseorang. Apalagi orang tersebut adalah orang terdekat dengan diri kita. Dan betapa kejinya jika seorang pria melakukan halhal tersebut di atas karena dampaknya sungguh merusak jiwa seorang wanita.
10.
Dulu, kami tak sungguh-sungguh memercayai celaan keluarga ayah, begitu juga dengan gunjing yang bergerak tentang masa lalu ayah dan mendiang ibu. Sedapat-dapatnya kami berusaha menebalkan muka, menganggap semua hinaan pada ibu sebagai omong-kosong lantaran kedengkian keluarga ayah. Kini, pembenaran itu kami dengar langsung dari ayah, orang yang selama bertahuntahun bersetia pada ibu, meski namanya harus terhapus dari ranji silsilahnya.
11.
Caci maki seperti ini, biasa terjadi sini. Wong mereka senasib semua. Jika sodara berkunjung ke sana, di saat musim hujan seperti sekarang ini, sodara akan mendengar gegap gempita makian dari setiap pintu. Berulang-ulang. Selalu berulang-ulang. Meski mereka sadar bahwa makian sama halnya mencaci nasibnya sendiri. Penghuni Gg. H. Zarkasih sudah dapat ditakar berapa penghasilannya. Jika ada yang lebih, tak kurang dari lima ribu rupiah saja selisihnya. Hampir seluruh kepala keluarga di sana berprofesi sebagai kuli pasar dan bangunan. Keluar jam tiga pagi hingga rehat sore nanti. Ada satu rumah yang dihuni empat orang perempuan yang menggantungkan hidupnya sebagai lonte. Warga Gg. H. Zarkasih tidak sedikitpun mengumengusiknya. Mereka sama-sama tahu kesulitan wong cilik. Jika perlu, para kuli sering membawakan tamu baginya. Lumayan tambalan sedikit buat dapur kilahnya. Sebagian orang dalam mushola berdoa untuk kesehatan dan kenyamanan hidupnya. Di serambi mushola, tiga lonte muda berharap hujan reda seketika. Dan segera datang langganan atau tamu baru yang menjemput mereka.
14
“Pemerintah sakit! Makhluk gebleg! Saban hari saya harus nyapu bekas-bekas banjir,” foto senyum tengil walikota terpilih itu masih setia nempel di badan Kinyang. “Mayatnya ada di bantaran kali. Ada bekas cekikan di lehernya,” tutur Mis’ad. Tiga lonte muda memeluk tubuh kawannya masing-masing. Berderai matanya. “Kang Mis’ad, terus siapa yang ngurus Teh Dedeh di sana?” suaranya berat, lonte muda itu tak kuasa menahan sedih. Sebulan setelah meninggalnya Renata , kasusnya seperti sengaja dipetieskan. Dan hukum seolah tidak berbicara untuk seorang pelacur yang mati dibunuh. Beda dengan anak tuan jenderal yang mati sebab duel di diskotek tempo lalu. Dua hari kemudian ditangkaplah seseorang yang dicap pembunuh anaknya. Padahal banyak saksi berkata, anak tuan Jenderallah yang onar awalnya. 12.
Saat ini aku masih menjadi seorang pelacur, pelacur yang tidak pernah henti-hentinya dihubungi para lelaki hidung belang, lelaki-lelaki yang hidupnya hanya mengumpulkan kayu bakar untuk kemudian mereka bakar dan membakar tubuh mereka sendiri di neraka nanti, sama seperti diriku. Malam itu pun kita lewatkan dengan segala cumbu mesra penuh nafsu. Namun, sudah menjadi kewajibanku untuk tidak menikmati itu. sedikit saja aku merasakan kenikmatan, maka aku akan termasuk wanita yang tidak biasa memuaskan seorang lelaki hidung belang. Aku tahu, ternyata Tuhan telah menjemputku pagi itu untuk kembali ke haribaannya melalui suruhan-Nya, yang kulihat itu ternyata jasadku yang telah aku tinggalkan, malaikat juru pati mengajakku pergi meninggalkan semua apa-apa yang aku pernah miliki di dunia, termasuk keluargaku, dan juga Purnama.
13.
Namun, nyatanya aku melahirkan bayi perempuan. Wiryo begitu kecewa dan aku begitu merana. Suatu hari, Wiryo sedang apes di meja judi, dan untuk menyelesaikan masalah ia menjualku ke seorang germo. Di usi delapan belas aku sudah rela kehilangan keperawanan. Aku tidak tahu siapa yang melakukan. Karena pada waktu itu tiga orang bertopeng menyekapku, membawaku ke sebuah tempat yang entah berada di mana.
Cerpen-cerpen lain pun hampir sama. Kebanyakan masih mengusung keutamaan maskulinitas dalam alur cerita. Cerpen mengusung faktor pencetus perempuan terjerumus ke dalam dunia pelacuran, jika bukan faktor ekonomi tentu faktor psikologis. Tidak jarang kedua faktor tersebut muncul secara bersamaan. Terkadang, lingkungan terdekat sendiri yang menjerumuskan seorang, atau dari diri sendiri. Soedjono D. (1977:42) mengatakan bahwa pelacuran muncul dari aspek biologis manusia berupa sifat-sifat alami tertentu, baik laki-laki maupun wanita yang kadang-kadang tidak mudah tunduk pada aturan-aturan kultur masyarakat. Lebih jauh lagi ia menegaskan bahwa pelacuran muncul dari konflik seksualitas pada laki-laki yang tingkat kematangan seksnya lebih cepat, tetapi terhadang oleh aturan budaya setempat. Terlebih maraknya kasus konflik rumah tangga yang ditunjang dengan kondisi lingkungan sekitar (misalnya kota metropolitan) semakin memuluskan jalan seseorang untuk terjerumus ke dalam sarang pelacuran. Kesenjangan yang luar biasa juga menjadi beban tersendiri bagi
15
para pegiat kepentingan di dunia pelacuran, ujung-ujungnya PSK sendiri menjadi komoditi sapi perah bagi pihak-pihak tersebut (Aditya, 2010:xxxi). Aditya selanjutnya menyampaikan bahwa relasi kuasa sangat menyudutkan PSK dalam bisnis seks tersebut karena mereka kerapkali harus mengalah pada keinginan pihak terkait, seperti pelanggan atau mucikari. Kesulitan demi kesulitan bagi PSK seolah tiada henti, baik selama ia menjalani tugas sampai ia menemui ajalnya. Kasus Renata dalam cerpen nomor (11) merupakan bukti masih kuatnya kesenjangan sosial di antara peliknya kehidupan masyarakat kota. Renata mati sebagai sampah yang tidak layak dilihat banyak mata manusia. Kematiannya yang tragis dalam sebuah peristiwa pembunuhan hanya ditangani oleh aparat keamanan. Kematiannya hanya berita lokal bagi penduduk Gang H. Zarkasih. Sangat kontras dengan kematian anak seorang petinggi yang terlibat keributan di sebuah tempat hiburan ibukota. Semua mata manusia di negeri ini dapat menyaksikan dan mendengar beritanya. Dalam hal ini, media pun turut berperan untuk melebarkan kesenjangan sosial tersebut. Tidak semua data menunjukkan penistaan pada eksistensi PSK. Ada pula cerpen yang menunjukkan bahwa segelintir masyarakat pun dapat menghargai PSK. Dalam data dimunculkan tokoh orang terdekat, yaitu suami dan kekasih. Namun, dalam alur cerita, perlakuan baik tersebut harus dibayar mahal dengan konsep penyerahan diri. PSK sebagai perempuan harus tunduk pada sosok suami atau kekasih yang bertindak seolah-olah menjadi pahlawan atau malaikat bagi dirinya, seperti dalam cerpen nomor (6), (8), dan (12). Penutup Dari masa ke masa, pembahasan tentang pelacuran cenderung statis. Pembahasan senantiasa berkaitan dengan faktor pencetus yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam dunia pelacuran. Selebihnya, pembahasan akan berkaitan dengan kesulitan sang PSK dalam menjalankan aktivitasnya serta pada masa pensiunnya. Stigma negatif yang sudah mengakar—dengan munculnya berbagai istilah yang mengarah pada aktivitas PSK sebagai wanita penghibur-dalam masyarakat kita ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, masyarakat yang berperanan seolah lebih baik, memandang PSK tidak sebagai bagian dari masyarakat mainstream. Istilah sampah masyarakat pun berlaku seumur hidupnya. Namun, di sisi lain, eksistensi PSK sangat diperlukan sebagai sapi perah untuk menutup kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan dalam bisnis tersebut. Cerpen bertemakan dunia pelacuran pada era 2000-an tidak mengalami perubahan dari alur cerita dengan tema serupa pada era sebelumnya. Sama halnya dengan pembahasan tentang dunia pelacuran pada berbagai buku atau artikel lain. Pada era 2000-an pun kehidupan PSK masih berjalan statis seperti dua sisi mata uang. Satu bagian merupakan lahan bagi stigma negatif masyarakat. Sementara itu, sisi
16
yang satu menjadi lahan untuk meraup keuntungan yang banyak dalam dunia kelam itu. PSK yang digambarkan di dalam cerpen berdasarkan konsep stilistika feminis Sara Mills tersebut, masih mengalami kesenjangan yang luar biasa di dalam teks. Sebagai perempuan yang berkiprah dalam dunia berisiko tinggi tersebut, ia diposisikan pada kondisi yang tidak menguntungkan. Sekalipun ada pihak yang berusaha untuk memuliakan dirinya, ia tidak memiliki ruang gerak yang luas serta harus tunduk pada pihak yang bersangkutan, seperti suami atau kekasih. Daftar Pustaka Aditya, Baby Jim. 2010. “Pria Idaman”: Mata Rantai Penularan HIV/AIDS dari Lokalisasi ke Rumah Tangga” dalam Sedyaningsih-Mamahit, Endang R. 2010. Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Jakarta: KPG. Airy, Yaliati. 2016. “Istriku Seorang Pelacur” dalam http://fiksiana.kompasiana.com/y.airy/istriku-seorangpelacur_57b0aa4279937321190d8184, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.45 WIB. Baker, Nick. 2015. “Kisah Dewi: Rumah Pelacuran di Papua” dalam diunduh 1 Oktober 2016, pukur 12:40 WIB. Jogja, Dgreato. 2011. “Aku Menikahi Pelacur Perawan” http://www.kompasiana.com/dgreato/aku-menikahi-pelacurperawan_5509937ba33311637b2e3a85, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.17 WIB. Lubis, Immanuel. 2014. “Salahkah Aku Mencintai Seorang Pelacur?” dalam http://www.kompasiana.com/immanuelsnotes/salahkah-aku-mencintaiseorang-pelacur_54f3c0ae745513a22b6c7d7f, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.40WIB. Lucifer. 2014. “Catatan Seorang Pelacur...” http://www.kompasiana.com/zerolife/catatan-seorangpelacur_54f7b2e7a3331182208b47c3, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.30 WIB. Sedyaningsih-Mamahit, Endang R. 2010. Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Jakarta: KPG. Soedjono D. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat. Bandung: Karya Nusantara. Mills, Sara. 1995. Feminist Stylistics. London: Routledge. Muhammad, Damhuri. 2010. “Ambai-Ambai” dalam PR Minggu edisi 13 Juni 2010, hlm. 23. Bandung: Granesia. Nyangtu. 2010. “Tiga Perempuan Pelacur” http://nyangtu.blogspot.co.id/2010/11/cerpen-tiga-perempuanpelacur.html, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 15.30 WIB. Pamungkas. 2012. “Pelacur” dalam https://pamungkas29.wordpress.com/2012/07/07/pelacur-cerpen, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 15.25 WIB.
17
Prasetyani, Retno. 2012. “Cerita Seorang Pelacur” dalam http://www.kompasiana.com/nenonenoo/cerita-seorangpelacur_550e84a8813311852cbc655e, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.25 WIB. Putranda, Panji. 2014. “Sidi Saleh: Bikin Film Murah yang Tidak Murahan” dalam http://filmindonesia.or.id/article/sidi-saleh-bikin-film-murah-yangtidak-murahan#.V-uJUPQykdU diunduh 28 September 2016, pukul 17.50 WIB. Riswandi, Bode. 2010. “Pelacur yang Mati di Kali” dalam http://hminews.com/2010/03/uncategorized/pelacur-yang-mati-di-kali/, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 15.15 WIB. Saleh, Sidi. 2013. Fitri. Jakarta:. Sasmita, Fajar. 2012. “Kamulah Seorang Pelacur Terhormat” dalam http://www.kompasiana.com/fumi46/kamulah-seorang-pelacurterhormat_551a30558133112e7f9de0f7, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.30 WIB. Simanjuntak, Posma Ramos. 2011. “Ssst (Ternyata) Pelacur Itu Mengajariku” http://www.kompasiana.com/posmaramossimanjuntak/ssst-ternyatapelacur-itu-mengajariku_550a4fe2a33311d11c2e393a, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.50 WIB. Sugiarjo, Trubus. 2014. “RIP. (Cerita Seorang Pelacur tentang Kematian Seorang Pelanggannya)” dalam http://www.kompasiana.com/greentea/r-i-p-ceritaseorang-pelacur-tentang-kematian-seorangpelanggannya_54f99ba8a333110c568b4730, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.17 WIB. Supriyadi. 2014. “Masculine Language in Indonesian Novel: A Feminist Stylistic on Belenggu and Pengakuan Pariyem” dalam Humaniora, Volume 26, 2 Juni 2014, hlm. 225—234. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Wardani, Septian Widya, Purnomo, Daru, dan Lahade, John R. 2013. “Analisis Wacana Feminisme Sara Mills Program Tupperware She Can! On Radio (Studi Kasus Pada Radio Female Semarang)” dalam repository.uksw.edu diunduh 1 Oktober 2016, pukul 16:00 WIB. Witoratop. 2011. ‘Balada Pelacur dan Pria Tamak Kekasihnya” dalam http://indonesiaunicef.blogspot.co.id/2015/12/kisah-dewi-rumahpelacuran-di-papua.html diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.41 WIB.
18