BAB II TINJAUAN UMUM 2. 1. Panti Werdha 1) Pengertian Kata ‘panti’ memiliki arti tempat, sedangkan ‘werdha’ berartikan tua. Panti werdha adalah suatu institusi hunian bersama untuk para lanjut usia, yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri, dimana kebutuhan harian para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti ( Darmadjo & Martono, 1999). Menurut yayasan Gerontologi ABIYOSO Jawa Timur (1999), panti werdha adalah wadah bagi para lanjut usia, atau suatu perkumpulan yang berada di suatu tempat atau daerah, yang anggotanya adalah para lanjut usia. Sedangkan, menurut Jhon (2008), panti werdha adalah tempat dimana para lansia berkumpul, baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga unuk diurus segala keperluannya, dimana tempat tersebut dapat dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta. 2) Sejarah Panti Werdha di Indonesia Di Indonesia, panti werdha pertama kali didirikan oleh pemerintah dengan nama Sasana Tresna Werdha, yang berarti tempat untuk mencintai dan mengasihi orang tua. Pendirian panti ini bertujuan untuk menangani masalah yang dihadapi para lansia dalam kehidupan sehari – hari. Pemerintah menjalankan panti werdha tersebut sebagai suatu sarana pelayanan kesejahteraan sosial terhadap kaum lansia yang terlantar. Panti ini membantu kaum lanjut usia untuk mempertahankan kepribadiannya, memberikan jaminan kehidupan secara wajar, baik secara fisik maupun
psikologis. Selain itu, para lansia juga mendapatkan jaminan untuk ikut menikmati hasil pembangunan tanpa merasa tertekan, terhina, dan mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Dari hasil survey pada tahun 1982, 90% lansia merasa bahagia tiinggal di panti werdha dikarenakan kebutuhan mereka yang tercukupi dan merasa seperti memiliki rumah. Dari pembangunan tersebut, panti werdha di Indonesia terus bertambah jumlahnya dan berkembang sesuai dengan kebutuhan para lansia. 3) Tujuan Panti Werdha Tujuan diadakannya panti werdha bagi lansia terlantar adalah: - Memberikan tempat tinggal bagi para lansia terlantar. - Memenuhi kebutuhan fisik dan psiologis bagi para lansia terlantar. - Meningkatkan harga diri dan menyalurkan hobi yang mungkin tidak dapat mereka lakukan sebelumnya. - Meningkatkan hubungan sosialisasi antar sesama lansia. 4) Standarisasi Panti Werdha Menurut Diane Y. Carsten dalam bukunya yang berjudul Site Planning and Design for the Elderly, ada beberapa standar karakter ruang dan lingkungan yang diperlukan oleh lansia. a. Dari segi kebutuhan ruang Sirkulasi dimengerti oleh lansia (lansia dapat merespon dengan cepat, area mana yang harus dilewati). Ruang harus mudah dikenali dan dikelola. Ruang harus dapat mendukung interaksi sosial.
Lingkungan harus dapat memberikan stimulus sensor bagi lansia sebagai latihan agar kemampuan sensorik tidak cepat menurun. b. Dari segi keamanan, kenyamanan, dan lingkungan Bangunan dalam dan lingkungan harus aman. Kemudahan akses pada transisi ruang dalam menuju keluar ruangan agar menarik minat lansia untuk beraktifitas. Pemandangan di luar ruangan dapat menarik lansia untuk keluar ruangan. Ruang terasa nyaman, dan dapat melindungi dari cuaca buruk. Ada beberapa pendekatan kriteria dalam perancangan karakteristik ruang bagi para lansia yang diajukan Carsten. - Challenge and Support Ruang yang dirancang harus dapat memberikan tantangan dan dukungan kepada para lansia. Hal ini bertujuan agar para lansia dapat merasa tertantang untuk melakukan berbagai aktivitas, namun tetap didukung oleh ruang yang didesain sesuai dengan keadaan fisik dan kebutuhan mereka. Salah satu contohnya, dengan pembuatan lingkungan hijau yang dapat menarik pandangan mereka, dan dapat digunakan sebagai sarana berolah raga. - Variety and Choices Dalam perancangan ruang untuk para lansia, sebaiknya dapat memberikan pilihan kepada mereka untuk beraktifitas (formal dan informal) sesuai dengan keinginan mereka di dalam maupun di luar ruang.
- Personalize, Chane, and Control the Environment Perancangan panti werdha diharapkan dapat memberikan kebebasan bagi lansia untuk mengatur lingkungan dan hunian sehingga mereka merasa seperti berada atau memiliki rumah sendiri. - Adaptability of Design Merupakan adaptasi desain terhadap penyediaan ruang bagi lansia. tahap penuaan pada lansia membawa dampak pada kemampuan mereka yang semakin menurun sehingga penyediaan ruang sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan hidup mereka. - Access to Community Services, Facilities, and Information Dalam perancangan bangunan untuk para lansia, jalur komunitas, servis, fasilitas, dan informasi dapat ditempuh dengan mudah. Hal ini bertujuan agar para lansia senantiasa bergerak dan memudahkan mereka untuk bersosialisasi, menggunakan fasilitas, dan mendapat informasi sehingga mereka tidak merasa terisolasi dari masyarakat. - Management policies on Use Facilities and Activity Programming Kebijakan manajemen
dalam fasilitas dan aktivitas
sebaiknya mendukung kebebasan dalam penggunaan. Kebebasan bagi lansia meningkatkan kemandirian yang menjadi kunci utama dalam perancangan panti werdha.
5) Fasilitas Pendukung Beberapa fasilitas pendukung yang dapat membantu memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis lansia adalah: - Ruang Kesehatan Ruang kesehatan berguna untuk melakukan tes kesehatan secara rutin dan sebagai ruang pengobatan bila ada lansia yang sakit. - Psikologi Ruang psikologi dapat digunakan sebagai ruang untuk konsultasi atau sharing. Konsultasi dapat dilakukan ketika para lansia merasa memiliki masalah dengan sesama lansia atau perawat mereka. - Ruang Terapi Ruang terapi berguna bagi para lansia untuk melakukan kegiatan terapi ringan bagi fisik mereka, agar kinerja otot tidak menjadi kaku. - Hobi Dengan adanya ruang hobi, para lansia dapat menyalirkan hobi mereka seperti menyulam, membaca, membuat kerajinan tangan, dan lain – lain. Dengan melakukan hobi mereka, para lansia dapat menghilangkan rasa bosan dan melatih kreatifitas dan kinerja otak mereka. - Olah Raga Area olah raga berguna bagi para lansia untuk melakukan aktifitas olah raga seperti kegiatan senam dan aktifitas olah raga ringan lainnya guna menjaga kesehatan tubuh dan kesegaran pikiran para lansia.
2. 2. Lanjut Usia 1) Pengertian Lanjut usia (lansia) merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Pudjiastuti, 2003). Lansia juga merupakan keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan
terhadap
kondisi
stres
fisiologis.
Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2001). Seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 65 tahun ke atas (Setianto, 2004). Menurut World Health Organization (WHO), batasan umur lansia dibagi menjadi empat; - Usia pertengahan (Middle age)
: 45 – 59 tahun
- Lanjut usia (Elderly)
: 60 – 74 tahun
- Lanjut usia tua (Old)
: 75 – 90 tahun
- Usia sangat tua (Very old)
: di atas 90 tahun
2) Lansia Terlantar a. Lansia Terlantar di Indonesia Lansia terlantar merupakan lansia yang hak – hak sebagai lansia tidak terpenuhi secara fisik (Salim, 2011). Menurut kepala Bidang Kesejahteraan Sosial Dinsosnaker Kota Biltar Santi Laksi, Lansia yang masuk kategori lansia terlantar adalah warga miskin berusia 60 hingga 70 tahun lebih yang bergantung hidup pada orang lain dan tidak sedang menerima bantuan sosial dari pihak lain. Menurut Badan Koordinasi
Keluarga Berencana nasional, pada tahun 2010 jumlah lansia terlantar di Indonesia mencapai 2,7 juta lansia. Badan Kementrian Sosial Republik Indonesia menyatakan bahwa lansia terlantar memerlukan perhatian dalam hal tata cara berkehidupan, pendapatan, kesehatan fisik, dan mental. Golongan penduduk ini memerlukan perhatian khusus yang berkaitan dengan pelayanan sosial dan kesehatan, terutama ketika mereka mengalami gangguan tertentu. Menurut Mentri Sosial Salim Seggaf Al Jufri, penyebab lansia menjadi terlantar pada umumnya disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang tidak mencukupi untuk perawatan. b. Ciri – ciri Lansia Terlantar Beberapa ciri – ciri utama lansia yang terlantar adalah4: - Tubuh kurus secara tidak biasa. - Tubuh mengalamani dehidrasi, kurang gizi, dan tidak terawat. - Berada di Lingkungan hidup yang buruk (kotor, bising, tidak aman, dan lain sebagainya) - Tidak tinggal bersama keluarga (ditinggal atau meninggalkan keluarga) c. Kebutuhan Lansia Terlantar Beberapa kebutuhan lansia terlantar diantaranya5: - Kebutuhan fisik, yaitu kebutuhan sandang-pangan-papan, dan lainnya. - Kebutuhan ketentraman, yaitu kebutuhan akan rasa keamanan dan ketentraman, seperti kebutuhan akan jaminan hari tua, kebebasan, privasi, kemandirian, dan sebagainya.
4
Helpful Guide, Elder Abuse and neglect, , diakses dari
http://helpguide.org/mental/elder_abuse_physical_emotional_sexual_neglect.htm
- Kebutuhan
sosial,
yaitu
kebutuhan
untuk
bersosialisasi
atau
berkomunikasi dengan manusia lainnya, yang dapat dilakukan melalui organisasi, kesenian, olah raga, hobi, dan sebagainya. - Kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan akan harga diri untuk diakui akan keberadaannya. - Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik, rohani maupun daya pikir berdasar pengalamannya masing – masing, bersemangat dan berperan dalam kehidupan. 3) Penurunan Fisik pada Lansia a. Sel Pada lansia, jumlah sel akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih besar. Cairan tubuh, cairan intraseluler, proporsi protein di otak, otot, ginjal,darah, dan hati akan berkurang. Jumlah sel otak akan menurun, mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan otak menjadi atrofi, menyebabkan daya tangkap lansia semakin berkurang dan dapat memicu depresi pada lansia.. b. Sistem Saraf Pada lansia, hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam merespon baik dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf pancaindra, serta kulit menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan, dan dapat mudah terluka.
5
E. Kaswara, Teori – Teori Kepribadian, PT Erisco, 1991, h. 115.
c. Sistem Pendengaran Gangguan pendengaran (presbiakusis) pada lansia terjadi karena membran
tipani
mengalami
atrofi,
serta
penggumpalan
dan
pengerasan serumen karena peningkatan keratin. Pendengaran akan semakin menurun pada lansia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres. Dalam hal ini, akustik pada bangunan untuk lansia harus lebih diperhatikan. Keadaan pendengaran lansia dan akustik interior bangunan dapat mempengaruhi komunikasi pada lansia. Timbulnya gangguan komunikasi dapat dikaitkan dengan hal – hal berikut: - Pembicaraan terjadi dalam interferensi karena gangguan suara lain seperti suara musik, radio, televisi, dan lain – lain. - Sumber suara mengalami distorsi, misalnya berasal dari pengeras suara yang tidak sempurna, telefon, pengucapan dari lawn bicara, atau pembicaraan yang terlalu cepat. - Kondisi akustik ruangan yang tidak sempurna, contohnya ruang pertemuan dengan dinding yang mudah memantulkan suara. d. Sistem Penglihatan Gangguan penglihatan pada lanjut usia sering disebabkan oleh katarak, glaukoma, atau degenerasi makula. Pada usia lanjut, dengan katarak yang berat, akan terjadi penurunan visus, bahkan pada stadium lanjut hanya dapat membedakakn terang dan gelap. Selain itu, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, dan menurunnya daya untuk membedakan warna juga merupakan masalah penglihatan yang umumnya terjadi pada lansia. Pada perancangan
interior bangunan untuk lansia, penerapan warna dan pencahayaan sangat mempengaruhi penglihatan lansia. e. Sistem Penciuman Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa mereka, menyebabkan lansia menjadi kurang dapat merasakan makanan dengan baik. hal ini sering menyebabkan kurangnya nafsu makan pada lansia. f. Sistem Peraba Seringnya para lansia menggunakan indera peraba mereka, menjadikan indra peraba para lansia menjadi lebih sensitif disbanding indra peraba lainnya. g. Sistem Pernapasan Fungsi paru – paru pada lansia umumnya menurun akibat berkurangnya elastisitas serabut otot yang mempertahankan pipa kecil dalam paru – paru tetap terbuka. Penurunan fungsi paru – paru pada lansia akan lebih berat bila yang bersangkutan merupakan perokok dan kurang berolah raga. Sistem pernapasan lansia juga dapat dipengaruhi oleh sirkulasi udara pada ruang yang dihuni para lansia tersebut. h. Sistem Genitourinaria pengaruh sistem genitourinaria, ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun hingga 50%, fungsi tubulus berkurang, dan nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Otot – otot kantung kemih melemah, dan menyebabkan
frekuansi untuk buang air kecil dan retensi unrine menignkat, dan menyebabkan lansia sulit menahan buang air kecil. i. Sistem Integumen Kulit lansia menjadi semakin keriput akibat kehilangan jaringan lemak. Permukaan kulit menjadi kasar dan bersisik, serta mekanisme proteksi pada kulit menurun. Kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelabu, namun rambut pada hidung dan telinga menebal. Kuku jari menjadi keras dan rapuh, sedangkan kuka kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk. Kelenjar keringatpun berkurang jumlah dan fungsinya. j. Sistem Muskuloskeletal Pada
sistem
musculoskeletal,
tulang
lansia
kehilangan
kepadatan dan semakin rapuh. Persendian akan semakin membesar dan menjadi kaku. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis dan atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, dan otot - otot sering mengalami kram. k. Sistem Pengaturan Suhu tubuh Pada masa usia lanjut, suhu tubuh akan menurun secara biologis ± 35º C. Hal ini diakibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan untuk rileks dan berkurangnya kemampuan untuk memproduksi panas yang banyak sehingga aktifitas otot menjadi rendah.
l. Memori Otak Kemampuan untuk belajar masih ada pada usia lanjut namun relatif menurun. Daya ingat pada lansia juga menurun karena proses encoding menurun, menyebabkan lansia mudah lupa akan arah dan tujuan. 4) Kebutuhan Fisik Lansia Berikut merupakan beberapa kebutuhan fisik yang dalam pola hidup lansia. - Temperatur bangunan sebaiknya seimbang antara temperatur di daerah lantai sampai ke plafond. Hal ini dikarenakan dirkulasi udara yang buruk akan menurunkan kondisi tubuh lansia. - Para lansia memerlukan pencahayaan yang baik untuk menyeimbang penglihatan yang memburuk. - Perabot hunian harus didesain dengan mengutamakan keselamatan para lansia dalam mempergunakannya. Para lansia sebaiknya tidak sering menaiki tangga, dan harus menghindari bagian yang licin dan bagian ruangan yang gelap. - Dalam aktifitas fisik sehari – hari, harus tersedia ruang yang cukup luas. Hal tersebut bertujuan agar para lansia dapat bebas bergerak tanpa rasa khawatir. - Sistem akustik pada bangunan juga harus dikontrol, terutama di malam hari, agar tidak mengganggu pendengaran para lansia. - Untuk menjaga keadaan otot lansia, sebaiknya dalam bangunan diberikan area tempat duduk yang banyak.
5) Penyakit Umum pada Lansia Menurut dr. Pirma Siburian Sp PD, penyakit
- penyakit yang
umum terjadi pada lansia berupa: a. Kurang bergerak Gangguan fisik, jiwa, dan faktor lingkungan dapat menyebbkan lansia kurang bergerak. Penyebab yang paling sering adalah gangguan tulang, sendidan otot, gangguan saraf, dan penyakit jantung dan pembuluh darah. b. Instabilitas Penyebab terjatuh pada lansia dapat berupa faktor intrinsik (hal – hal yang berkaitan dengan kondisi tubuh lansia) baik karena proses penuaan, penyakit, maupun faktor ekstrinsik (hal – hal yang berasal dari luar tubuh) seperti obat – obat tertentu dan faktor lingkungan. Akibat dari instabilitas adalah rasa sakit, patah tulang,cidera di kepala, dan menyebabkan lansia menjadi trauma. c. Beser Beser atau keluarnya air seni atau BAB tanpa disadari, dalam jumlah dan kekerapan yang cukup dapat mengakibatkan masalah kesehatan dan sosial. Akibat yang dapat timbul dari masalah ini adalah semakin buruknya kualias hidup lansia tersebut, dan para lansia akan membatasi jumlah cairan yang masuk ke tubuhnya, yang dimana dapat memperburuk kondisi fisik lansia.
d. Infeksi Merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada lansia. Beberapa faktor yang menyebabkan lansia mudah mendapat penyakit infeksi adalah kekurangan gizi, kekebalan tubuh yang menurun, berkurangnya fungsi organ tubuh, serta material dan lingkungan yang kurang higenis. e. Depresi Perubahan
status
sosial,
bertambahnya
penyakit,
dan
berkurangnya kemandirian sosial serta perubahan – perubahan akibat proses penuaan menjadi salah satu pemicu munculnya depresi pada lansia. Gejala depresi seringkali menyertai lansia dengan penyakit – penyakit gangguan fisik. Gejala - gejala depresi dapat berupa perasaan sedih, sering menangis, merasa kesepian, tidur terganggu, pikiran dan gerakan tubuh lamban, cepat lelah, dan menurunnya aktivitas, tidak selera makan, berat badan berkurang, daya ingat menurun, sulit untuk memusatkan pikiran dan perhatian, kurangnya minat, hilangnya kesenangan yang biasanya dinikmati, merasa rendah diri, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, merasa tidak berguna, tidak ingin hidup, dan lain sebagainya. f. Gangguan tidur Keluhan yang biasa dirasakan oleh para lansia pada waktu tidur berupa sulit untuk masuk ke proses tidur, mudah terbangun, mimpi buruk, terlalu banyak mimpi, bila terbangun sulit tidur kembali, terbangun dini hari, dan merasa lesu ketika bangun di pagi hari.
g. Penyakit karena obat – obatan Konsumsi obat yang terlalu banyak, dan dalam jangka waktu yang panjang tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan penyakit - penyakit baru pada fisik lansia. 6) Psikologi Lansia a. Faktor Psikologi Lansia Ada 5 faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia. Kelima faktor tersebut adalah penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat. b. Keadaan Psikologi Lansia Terlantar Lansia terlatar yang menempati panti werdha akan memasuki lingkungan baru yang menuntut mereka untuk menyesuaikan diri (santrock,2002). Selain itu, keberhasilan penyesuaian diri ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan, kecewa, sedih, dan pasrah. Sedangkan kegagalan mereka untuk beradaptasi ditandai dengan guncangan emosi, ketidakpuasan, dan keluhan terhadap lingkungan yang baru. TKGS (organisasi untuk lansia terlantar di Singapura), lansia yang terlantar lebih sering menghadapi masalah emosional seperti keras kepala dan sentimental. c. Perubahan Psikologis Lansia Secara Umum Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory,
frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan. Dalam psikologi perkembangan, lansia dan perubahan yang dialaminya akibat proses penuaan digambarkan oleh hal – hal berikut6. Keadaan fisik lemah dan tidak berdaya, sehingga harus bergantung pada orang lain. Status ekonomi sangat terancam sehingga cukup beralasan untuk melakukan bebagai perubahan besar dalam pola hidupnya. Menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahan status ekonomi dan kondisi fisik. Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal, pergi jauh atau cacat.
Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus direncanakan untuk orang dewasa.
Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk lansia, dan memiliki kemampuan untuk mengganti kegiatan lama dengan yang lebih cocok. Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang yang semakin bertambah.
6
Siti Maryan, Mengenal usia Lanjut dan Perawatannya, Salemba Medika, 2008, h. 58.
d. Gangguan Psikologi pada Lansia Terlantar Selain beberapa perubahan psikologi diatas, Salah satu gangguan psikologi lainnya yang sering dialami oleh lansia yang miskin dan terlantar adalah gangguan diogenes syndrome. Diogenes syndrome merupakan ketidakpedulian terhadap diri sendiri dan keidakmauan untuk mengurus lingkungan hidupnya. Ciri – ciri lansia yang menderita diogenes syndrome berupa; senang mengumpulkan berbagai jenis barang, tidak memiliki rasa malu, tidak peduli dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar, sifat terkadang berubah, dan tingkah laku terkadang agresif. Diogenes syndrome juga dapat diakibatkan oleh kepikunan parah, tidak adanya hubungan sosial, kemiskinan, dan stress7. e. Emosi Usia
lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis
tertentu. Efek – efek tersebut menentukan apakah lansia tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Perubahan – perubahan fisik yang terjadi pada pada usia lanjut dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Hal ini menyebabkan lansia menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah – masalah yang terkait dengan emosi lansia diantaranya: kesepian, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan perasaan untuk membutuhkan perhatian lebih. __________________________________________________________________ 7
Asghar Hossain, American Association for Geriatric Psychiatry, Melinda S. Lantz,2009.
f. Mental Ada 3 faktor yang mempengaruhi perubahan mental lansia: - Kepribadian Individu yang berambisi tinggi dan selalu dikejar – kejar waktu akan cenderung mudah stres, frustasi, dan merasa diremehkan. Sedangkan, individu yang berkepribadian tenang akan lebih mudah untuk menerima keadaan mereka dan berpikir positif ketika memasuki masa usia lanjut. - Sosial Sikap sosialisasi yang kurang baik akan berdampak negatif pada penyesuaian diri lansia. Hal ini dapat menyebabkan lansia bersikap psikopat, depresi, dan paranoid. - Budaya Budaya barat sering menggangap lansia tidak berguna dan menjadi beban keluarga atau masyrakat. Hal ini menyebabkan lansia memiliki
mental
negatif.
Sedangkan
budaya
timur
lebih
menghormati orang tua, dan menganggap mereka sebagai orang yang bijaksana dan pantas dijadikan panutan. g. Kebutuhan Psikologi Lansia Berikut merupakan beberapa kebutuhan lansia secara psikologis menurut ahli psikologi Tody Lalenoh. - Kasih sayang, termasuk tanggapan atau perhatian dari orang lain, agar para lansia merasa tentram. - Jati diri dan status yang jelas.
- Para lansia sebaiknya memiliki paling tidak satu area privasi, agar mereka dapat tetap menjaga hal – hal yang ersifat pribadi, termasuk barang – barang pribadi. - Pengaturan pola hidup yang melibatkan rekreasi dan aktivitas – aktivitas yang dapat menyenangkan para lansia dan membuat mereka merasa berguna. - Para lansia sebaiknya tinggal di lingkungan yang tenang namun tidak jauh dari keramaian, agar para lansia tidak merasa terasingkan. - Para lansia sebaiknya berda di lingkungan yang ‘hangat’ dan penuh dengan dukungan, agar semangat hidup mereka dapat meningkat. 7) Sosiologis Lansia Terdapat beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori interaksi sosial (social exchane theory), teori penarikan diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori
kesinambungan
(continuity
theory),
teori
perkembangan
(development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory)8. - Teori Interaksi Sosial Teori ini menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal – hal yang dihargai masyarakat. Mauss (1954), Homans (1961), dan Blau (1964) mengemukakan
__________________________________________________________________________________________________ 8
Siti Maryan, Mengenal usia Lanjut dan Perawatannya, Salemba Medika, 2008, h. 47.
bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan atas hukum pertukaran barang
dan
jasa.
Sedangkan
pakar
lain
Simmons
(1945),
mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar kemampuannya untuk melakukan tukar menukar. Menurut Dowd (1980), interaksi antara pribadi dan kelompok merupakan upaya untuk meraih keuntungan sebesar – besarnya. Kekuasaan akan timbul apabila seseorang atau kelompok mendapat keuntungan lebih besar dibandingkan pribadi atau kelompok lainnya. Pada masa usia lanjut, kekuasaan berkurang, sehingga menyebabkan interaksi sosial juga berkurang. Sehingga mereka hanya dapat mengikuti perintah. - Teori Penarikan Diri Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Selain hal tersebut, proses penuaan mengakibatkan interaksi sosial lansia mulai menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut teori ini, Seorang lansia dinyatakan mengalami proses penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada keadaan lingkungan yang baru. - Teori Aktivitas Teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965), yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaimana
seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut. Pokok teori aktivitas adalah moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan sepenuhnya dari lansia di masyarakat, serta peran yang mereka jalankan. - Teori Kesinambungan Teori ini mengutamakan adanya kesinambungan selama siklus kehidupan lansia. Gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang tidak akan berubah meskipun telah menjadi lansia. Dalam teori ini, dikatakan bahwa peran lansia yang hilang tidak perlu diganti, namun para lansia tersebut berkesempatan untuk memilih cara untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. - Teori Perkembangan Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh para lansia pada saat muda hingga dewasa. Ada 8 fase dalam membagi kehidupan lansia; lansia yang menerima apa adanya, lansia yang takut mati, lansia yang merasakan hidup penuh arti, lansia yang menyesali diri, lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan, lansia yang merasa kehidupannya berhasil, lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri, dan lansia yang selalu menemukan integritas diri melawan kepuasan atau ego. - Teori Sratifikasi Usia Menurut penelitian Haditono dkk. (1983), orang di masa lansia lebih senang mempunyai aktivitas dan hubungan sosial. Para
lansia juga menghendaki aktivitas, pergaulan, dan kemandirian (Martaniah, 1988). Kebanyakan lansia juga lebih menyukai kegiatan sosial atau kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.