PSIKOLOGI: KEMAMPUAN KOGNITIF DAN SOSIAL-EMOSIONAL PADA ANAK USIA REMAJA AKHIR Oleh: Rendra Khaldun42 Abstract Discussion about psychology is very interest because psychology talked about mental and adolescence habit. Besides that, adolescence psychologies were beginner of intelligence, creativity, logic, and smart. The aims of this study were: 1.) to know what cognitive ability had by adolescence. 2.) To know what social emotional that had by adolescence. The method that used in this study was quantitative method. Techniques of collecting data in this study were questionnaire, interview, and documentation. The data analysis based on criterion of data. After the data collecting based on group, the data directly analysis based on groups. The results of this study were: 1.) Adolescence ability to thinks was beggin developed and adolescence realize their ability to look at the problems and to looking for solution. 2.) Adolescence beggin given score in look at the problems that related their society such as politic, humanity, and social problems. 3.) adolescence beggin thinks creatively and be able to analysis problems and to looking for the solution. Key Words: Psikologi, Kemampuan, Kognitif, Sosial-Emosional.
A. Latar Belakang Pada awal abad ke-20 Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall, berpendapat masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress). Maksud dari Stanley Hall tersebut dapat diketahui bahwa masa remaja merupakan masa kritis yang memerlukan arahan, petunjuk, dan bimbingan sehingga masa remaja tersebut dapat dijadikan hal yang bersifat positif pada anak tersebut. Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang menjadi anak remaja. Remaja awal dimulai pada umur 6-11 tahun, sedangkan remaja akhir dimulai dari umur 18-22 tahun. Pada masa remaja awal diwarnai dengan tekanan pisikologis yang mengubah prilaku dan cara berpikir dan fisik yang menyebabkan perlu adanya kasih sayang orang tua, motivasi, arahan, dan lingkungan yang mendorong kreativitas anak remaja. Perkelahian, geng motor, penyemprotan menggunakan air keras, kekerasan seksual, pencurian motor, dan pembunuhan yang dilakukan oleh para remaja merupakan implikasi dari tidak adanya kontorl dari orang tua, guru, dan masyarakat. Di samping itu, kenakalan yang dilakukan oleh anak remaja tersebut hanya didasarkan pada ID dan EGO mereka. Oleh 42
Dosen Tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram
al-Tazkiah, Vol.3 No.1, 2013: 29-40
sebab itu perlu adanya tindakan-tindakan yang sifatnya penyadaran pada para remaja, sehingga kemampuan-kemampuan yang ada pada diri remaja bisa berinflikasi terhadapa pengembangan ilmu pengetahuan. Kemampuan yang ada pada diri remaja seperti yang sering kita lihat di layar televisi bahwa para remaja Indonesia bisa ke kancah internasional bahkan mengalahkan para remaja Amerika, Jerman dan lain sebagainya. Kemampuan yang ditunjukan oleh para remaja Indonesia perlu diberikan penghargaan sehingga para remaja lebih termotivasi untuk berkreasi di kancah internasional. Dengan demikian, para remaja akan memahami maksud kerja keras dan bagaimana akhirnya mendapat pengakuan dari orang lain. Seorang remaja pada umumnya mempunyai tujuh hal yang diperlukan yang menjadi rangsangan pertumbuhan psikologi dan solusi untuk menyelesaikan masalah sosiologis yang hadapi: 1. Keperluan kasih sayang. Kasih sayang sangat diperlukan oleh para remaja dari orangorang terdekat mereka seperti orang tua, keluarga, teman dekat, dan lingkungan yang kondusif. Dengan demikian, remaja tersebut tidak salah melangkah dalam hidup mereka. 2. Remaja mempunyai keperluan untuk dapat diterima dalam sebuah kelompok dan ikut serta dalam berbagai aktivitas di dalamnya. 3. Keinginan untuk mendapat kepercayaan dalam menentukan suatu pilihan. 4. Berprestasi. Remaja perlu meningkatkan prestasi kerana untuk mencapai sebuah tahap prestasi, usaha yang sungguh-sungguh diperlukan. Karena itulah mereka akan memahami maksud kerja keras dan akhirnya mendapat pengakuan dari orang lain. 5. Mendapat pengakuan dari orang lain atau institusi seperti memperoleh pujian dan penghargaan. 6. Keinginan untuk dihargai. 7. Memperoleh falsafah hidup. Keperluan falsafah hidup memberikan gambaran bahwa secara nyata remaja perlu mendapat pegangan atau panduan menuju sebuah tujuan atau falsafah hidupnya. Ada beberapa alasan kenapa penulis mengangkat tema ini. Pertama, untuk mengetahui kemampuan kognitif apa saja yang dimiliki oleh anak remaja. Kedua, untuk mengetahui kemampuan social-emosional anak usia remaja. Ketiga, untuk mengetahui upaya-uapaya apasaja yang bisa dilakukan untuk menumbuh kembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki anak remaja.
30
Psikologi: Kemampuan Kognitif dan Sosial-Emosional.... (Rendra Khaldun)
B. Kajian Teori 1. Remaja Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity43. Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun yang mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence)44. Sedangkan Anna Freud berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Menyadari hal tersebut, para orang tua harus memahami bahwa masa remaja merupakan masa kritis oleh sebab itu perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para remaja. Dengan demikian apa yang dimaksudkan oleh Anna Freud yaitu menggapai cita-ciata dapat terwujud. 2. Pisikologi Remaja Pisikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = ilmu) dalam arti bebas, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau mental.
Psikologi tidak
mempelajari jiwa atau mental secara langsung karena sifatnya yang abstrak. Pokok pembahasan psikologi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa mental yakni tingkah laku dan proses kegiatannya. Dengan demikian psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Terkait dengan remaja, Santrock menjelaskan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.45 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi remaja adalah studi tentang tingkah laku remaja dan proses mental. Terkait dengan pembatasan umur remaja awal dan remaja akhir dijelaskan oleh John W. Santrock. Menurutnya tahap perkembangan 44
F. P Rice,. The Adolescent Development, Relationship & Culture, 6th ed. (Boston: Ally & Bacon, 1990) S. W. Olds, Papalia, D E. & Ruth D. Feldman, Human Development, 8th ed. (Boston: McGraw-Hill,
45
J.W. Santrock, Adolescence (8th ed.) ( North America: McGraw-Hill, 2001), 26.
43
2001).
31
al-Tazkiah, Vol.3 No.1, 2013: 29-40
remaja (adolescence) menjelaskan perkembangan masa remaja awal dan akhir. Masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial46. Perkembangan remaja awal dimulai dari umur 6 sampai 11 tahun, sedangkan perkembangan masa remaja akhir dimulai dari 18 sampai 22 tahun. Hal tersebut dipertegas juga oleh Menururt Hurlock (1964) Remaja awal (12/13 th – 17/18 th), remaja akhir (17/18 th – 21/22 th).47 Teori di atas menjelaskan tentang dimulainya remaja awal dan remaja akhir. Ada sedikit perbedaan terkait dengan remaja awal dan remaja akhir John W. Santrock, mulainya remaja awal dari tahun 6 sampai 11 tahun sedangkan Hurlock menyatakan remaja awal dimulai dari 12/13 tahun sampai 17/18 tahun. Sedikit berbeda terkait dengan remaja akhir WHO menyatakan walaupun definisi remaja utamanya didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, namun batasan itu juga berlaku pada remaja pria, dan WHO membagi kurun usia dalam dua bagianya itu remaja awal 10 – 14 tahun dan remaja akhir 15 – 20 tahun.48 Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved.49 Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. 3. Tahap Perkembangan Remaja Pada buku John W. Santrock, Tahap Perkembangan Remaja (Adolescence), Piaget membagi tahap perkembangan kognitif meliputi empat tahapan, yaitu: a. Tahap Sensorimotorik (2 Tahun) Pada tahap ini, anak mengkonstruksikan pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensoris (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan fisik-motorik karena hal tersebut disebut dengan sensori motorik. b. Tahap Pra-operasional (2-7 Tahun) Pada tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-kata, cerita, dan gambar-gambar.
Ibid., 30 E. B. Hurlock, Adolescent Development (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, 1973), 44 48 Ibid., 49 J.W. Santrock, Adolescence., 32 46 47
32
Psikologi: Kemampuan Kognitif dan Sosial-Emosional.... (Rendra Khaldun)
c. Tahap Operasional Konkrit (7-11 Tahun) Pada tahap ini anak, anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis, mengaitkan pemikiran intuitif, sepanjang penalaran dapat diaplikasikan pada contoh khusus atau konkrit. d. Tahap Operasional Formal (11-15 Tahun) Pada tahap ini, anak mulai bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan konkrit dan berfikir lebih abstrak serta logis.50 4. Perspektif Kognitif Piaget dalam penelitiannya mengenai perkembangan anak mengemukakan bahwa perkembangan anak dibagi menjadi tiga, yaitu perkembangan kognitif, psikomotorik, dan afektif. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, jadi tingkah laku-tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan51. Lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini: a. Pendekatan kognitif memusatkan perhatiaannya tentang bagaimana manusia (bahkan hewan sekalipun) melakukan strukturisasi terhadap pengalaman, bagaimana mereka membuat
suatu
sense
terhadap
pengalaman-pengalaman
tersebut
kemudian
mentransformasi stimulus-stimulus lingkungan menjadi informasi yang siap digunakan. b. Didalamnya terdapat juga tentang bagaimana seharusnya proses-proses mental seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah, dan penggunaan bahasa dipelajari untuk memahami suatu perilaku. c. Albert Ellis mengemukakan rational-emotive theory. Menurut teori ini individu yang memiliki rational beliefes, pada saat mengalami kejadian negatif akan menunjukkan emosi negatif seperti sedih dan frustrasi. Tapi individu dengan irrational beliefes akan berubah menjadi depresi, cemas atau marah. Menurut Allbert Ellis ,manusia itu mempunyai potensi baik untuk berpikiran baik dan rasional maupun buruk dan irasional. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan berkata, mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi manusia juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan 50 51
J.W. Santrock, Adolescence.., 50 S.D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 136
33
al-Tazkiah, Vol.3 No.1, 2013: 29-40
sampai berlarut-larut, intoleransi, perfeksionis dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfunction. d. Abnormalitas terjadi karena adanya penimbunan keyakinan-keyakinan irasional yang berpengaruh pada masa kanak-kanak. Ellis mengatakan “gangguan emosi pada dasarnya merupakan terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang oleh orang terganggu diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik dan terhadapnya dia beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”.52 Ada tiga kategori utama irrational beliefes, dimana masing-masing membawa konsekuensi terhadap kekalahan diri yaitu: a. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, berprestasi dalam segala hal dan dicintai sepanjang waktu atau gagasan bahwa seseorang merasa tidak mampu dan tidak berharga. Gagasan ini bisa menyebabkan panik dan depresi. b. Gagasan bahwa semua orang harus memperlakukannya dengan baik dan jujur atau gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat dan harus dikutuk atas kejahatannya. Gagasan ini dapat mengembangkan perasaan marah dan agresif. c. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya, tidak terlalu sukar dikerjakan dan tidak membuat frustrasi atau gagasan bahwa hidup adalah mengerikan, buruk, sangat menyakitkan dan malapetaka. Gagasan ini dapat menciptakan kondisi mengasihani diri sendiri dan toleransi yang rendah terhadap frustrasi juga prokrastinasi. Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik. Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif.53 Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan54
Ibid., 137 Olds S. W. Papalia, D E. & Ruth D. Feldman, Human Development, 43 54 J.W. Santrock, Adolescence., 52 52 53
34
Psikologi: Kemampuan Kognitif dan Sosial-Emosional.... (Rendra Khaldun)
Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme. Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Elkind mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel.55 5. Kebutuahan Remaja Salah satu upaya yang dilakukan oleh para orang tua untuk membuat para remaja tidak terjebak dengan tekanan Menurut Gerald, keluarga menyediakan tiga fungsi dasar sebelum, selama dan setelah masa remaja. Tiga fungsi ini tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh peergroups / struktur sosial yang lain sepanjang hidup. Tiga fungsi tersebut adalah: a. Keluarga menyediakan ‘sense of cohesion’ Kohesi atau ikatan emosi membuat kondisi untuk identifikasi dengan kelompok dasar yang utama dan meningkat secara emosional, intelektual dan kedekatan fisik b. Keluarga menyediakan model kemampuan adaptasi. Keluarga mengilustrasikan melalui fungsi dasar bagaimana sebuah struktur kekuatan dapat berubah, bgaimana peran hubungan dapat berkembang dan begaimana peraturan hubungan dapat terbentuk. Remaja yang memiliki pengalaman tipe keluarga yang rigid (rendah tingkat adaptasinya) cenderung terinternalisasi gaya interaksi yang rigid. Sebaliknya, terlalu banyak
kemampuan adaptasi
dapat membuat
gaya
‘chaotic’.
Keseimbangan penting untuk fungsi ini, hal yang sama juga dengan kohesi. c. Keluarga menyediakan sebuah jaringan komunikasi Melalui pengalaman dimana individu belajar seni dari pembicaraan, interaksi, mendengarkan dan negosiasi. C. Pembahasan Masa remaja dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity-identity confusion sebagai persiapan ke arah kedewasaan. Hal tersebut didukung pula oleh kemampuan dan kecakapankecakapan yang dimilikinya untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Di samping itu, para remaja sering berlebihan (over) dalam menunjukkan identitas dirinya atau kemampuan yang dimilikinya. 55
Olds S. W. Papalia, D E. & Ruth D. Feldman, Human Development, 44
35
al-Tazkiah, Vol.3 No.1, 2013: 29-40
Usia remaja merupakan usia yang menyimpan kemampuan yang sangat luar biasa. Kemampuan tersebut akan dapat direalisasikan apabila lingkungan remaja seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat memberikan fasilitas dan rangsangan untuk merealisasikan dalam bentuk kegiatan atau tindakan. Ada beberapa kemampuan yang dimiliki oleh anak usia remaja antara lain: 1. Kemampuan Kognitif Anak Usia Remaja Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan
mudah
dapat
membayangkan
banyak
pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.
alternatif
Kapasitas berpikir
secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multidimensi seperti ilmuwan.
Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya,
tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan Pemikiran mereka sendiri juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan.
Dengan
kemampuan
operasional
formal
ini,
para remaja mampu
mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan
sebelumnya,
yaitu
operasional
konkrit, dimana
pola
pikir
yang
digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar yang variatif, inovatif, dan kontekstual serta kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. Penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah mampu
mencapai tahap
pemikiran abstrak
supaya
saat
mereka
lulus
sekolah
menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan 36
Psikologi: Kemampuan Kognitif dan Sosial-Emosional.... (Rendra Khaldun)
mencari solusi terbaik. Remaja sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan 2. Kemampuan Sosial-Emosional Anak Usia Remaja Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka.
Elliot Turiel menyatakan bahwa para remaja mulai membuat
penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya.
Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan
absolut yang diberikan pada mereka selama ini
tanpa
bantahan.
Remaja
mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang 37
al-Tazkiah, Vol.3 No.1, 2013: 29-40
remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut. Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orang tua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik.
Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan
dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat yang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru”
memberi jawaban yang tidak
diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara kaku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap 38
Psikologi: Kemampuan Kognitif dan Sosial-Emosional.... (Rendra Khaldun)
sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas. Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya. D. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan terkait dengan kemampuan remaja akhir diantaranya: 1. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. 2. Remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. 3. Para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalahmasalah yang kompleks dan abstrak. 4. Para Remaja mulai terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
39
al-Tazkiah, Vol.3 No.1, 2013: 29-40
Daftar Pustaka Aaro, L.E. 1997. Adolescent lifestyle. Dalam A. Baum, S. Newman J. Weinman, R. West and C. McManus (Eds). Cambridge Handbook of Psychology, Health and Medicine (65-67). Cambridge: Cambridge University Press, Beyth-Marom, R., Austin, L., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. 1993. Perceived Consequences of Risky Behaviors: Adults and Adolescents. Journal of Developmental Psychology, 29(3), Conger, J.J. 1991. Adolescence and youth (4th ed). New York: Harper Collins Deaux, K.,F.C,and Wrightman, L.S. 1993. Social psychology in the ‘90s (6th ed.). California : Brooks / Cole Publishing Company. Gunarsa, S.D. 1988. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. -------. 1990. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hurlock, E. B. (1990). Developmental Psychology: A Lifespan Approach. Boston: McGraw-Hill. -------. 1973. Adolescent Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha. Monks, F.J., Knoers, A. M. P., Haditono, S. R. (1991) Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya (cetakan ke-7). Yogya: Gajah Mada University Press. Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill Rice, F.P. 1990. The Adolescent Development, Relationship & Culture (6th ed.). Boston: Ally & Bacon Santrock, J.W. 2001. Adolescence (8th ed.). North America: McGraw-Hill.
40