PROSPEK PENERAPAN TRACEABILITY PERIKANAN TUNA DAN CAKALANG DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) SADENG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA
GILANG ADITYA PRANADI
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Prospek Penerapan Traceability Perikanan Tuna dan Cakalang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2016
Gilang Aditya Pranadi NIM C44120086
ABSTRAK GILANG ADITYA PRANADI. Prospek Penerapan Traceability Perikanan Tuna dan Cakalang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM. Konsep traceability sekarang pada awalnya merupakan salah satu sistem manajemen risiko dalam menjamin mutu dan keamanan pangan global dengan fokus dalam memudahkan pelacakan produk. Saat penerapan traceability dikembangkan untuk menambah nilai ekonomis hasil tangkapan sehingga nelayan lebih sejahtera. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kesiapan penerapan traceability untuk perikanan tuna dan cakalang di Sadeng berdasarkan faktor internal dan eksternal serta merumuskan strategi yang tepat dalam mendukung penerapan traceability. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dan menggunakan analisis deskriptif dan analisis SWOT. Hasil analisis menunjukkan faktor internal yang digunakan sebagai kekuatan yang mendukung penerapan traceability yaitu 1) ikan tuna dan cakalang memiliki nilai ekonomis tinggi, 2) nelayan menggunakan Global Positioning System (GPS), 3) penyimpanan ikan didominasi menggunakan es, 4) nelayan pancing ulur yang dominan, 5) bycatch yang ditangkap sedikit. Faktor eksternal yang digunakan sebagai kekuatan mendukung penerapan traceability yaitu 1) nilai ekspor tuna dan cakalang masih tinggi, 2) dukungan pemerintah dalam pengelolaan perikanan tuna dan cakalang, 3) potensi sumberdaya perikanan tuna dan cakalang, 4) kesempatan kerja dibidang perikanan tinggi, 5) jumlah rumpon diperairan semakin bertambah. Terkait strategi yang dapat dipilih untuk mendukung penerapan traceability perikanan tuna dan cakalang di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng adalah 1) mengoptimalkan pemanfaatan SDI tuna dan cakalang, 2) melakukan pengembangan perikanan tuna dan cakalang, 3) peningkatan pendidikan sumberdaya manusia, 4) peningkatan pemahaman mengenai ukuran tuna layak tangkap dan traceability 5) membangun kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam penerapan traceability, 6) membuka investasi dalam penerapan traceability, 7) memperkuat peraturan traceability untuk nelayan pancing ulur, 8) meningkatkan pengawasan dalam kegiatan penangkapan ikan, 9) perbaikan pengembangan fasilitas pelabuhan, 10) meningkatkan sosialisasi perikanan rumpon dan traceability, dan mengadakan 11) pelatihan sertifikasi traceability. Kata kunci: cakalang, perikanan, SWOT, traceability, tuna
ABSTRACT GILANG ADITYA PRANADI. The Prospect of Traceability Implementation for Tuna and Skipjack Fisheries in Sadeng Coastal Fishing Port, Gunung Kidul, Yogyakarta. Supervised by BUDY WIRYAWAN and PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM. The previous concept of traceability is one of the risk management system ensuring the quality and global food security that focusing on easeness of products tracking. Currently implementation of traceability could increase the economic value of fish product that will lead to the increase of fishermen prosperous. This research aimed to describe the readiness of traceability implementation for tuna and skipjack fisheries in Sadeng based on internal and external factors, and to formulate strategies to support the implementation of traceability. The methodologies used were survey by using descriptive analysis and SWOT analysis. The results showed that the internal factors used as strength to support the implementation of traceability are namely: 1) high economic value of tuna and skipjack tuna, 2) Global Positioning System (GPS) was used by fishermen, 3) ice was used in fish handling activity, 4) fishing gear was dominated by handline, and 5) small number of bycatch. The external factors used as opportunity to support the implementation of traceability are: 1) the high demand of tuna and skipjack for export activity, 2) government support in the management of tuna and skipjack tuna fisheries, 3) high potential of tuna and skipjack tuna fisheries resources, 4) high availability of job opportunities in fisheries, and 5) the increasing of number Fish Aggregating Device (FADs) in Sadeng water area. Strategies that can be considered some to support the implementation of traceability for tuna and skipjack tuna fishery in Sadeng are: 1) Optimizing tuna and skipjack resources utilization, 2) developing tuna and skipjack tuna fishery, 3) opening the investment in the implementation of traceability, 4) increasing the understand about length maturity and traceability, 5) establishing cooperation with NGOs in the implementation of traceability, 6) strengthening the regulation related to traceability for handline fishery to improve supervision in fishing operation, 7) training the human resources, 8) sosializing the Fish Agregating Device (FADs) and traceability to fishermen, 9) assigning the regulation related to traceability, and 10) improving port facilities, and 11) performing traceability certification training for fishermen. Keywords: skipjack, fisheries, SWOT, traceability, tuna
PROSPEK PENERAPAN TRACEABILITY PERIKANAN TUNA DAN CAKALANG DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) SADENG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA
GILANG ADITYA PRANADI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Gusti Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Prospek Penerapan Traceability Perikanan Tuna dan Cakalang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta” ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi disusun berdasarkan hasil penelitian yang proses pengambilan datanya dilaksanakan pada bulan Februari 2016 di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1) Dr Ir Budy Wiryawan, MSc dan Prihatin Ika Wahyuningrum SPi, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan; 2) Dr Roza Yusfiandayani, SPi atas kesediaannya selaku dosen penguji tamu atas saran, nasehat serta kritik yang membangun dalam memperbaiki skripsi ini; 3) Dr Mochammad Riyanto, SPi MSi selaku Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan atas saran dan arahannya; 4) Prof Dr Ir Ari Purbayanto, MSc, Ir Beni Pramono, MSi dan Keluarga Eyang Harjosuparno di Bogor yang telah banyak memberi nasehat dan arahan; 5) Keluarga; Ayah (Drs Joko Kiswoyo), Ibu (Dra Sri Hartati), Kakak (Enggar Pradipta Widyaresti, SE dan Alfian Prihanadi, SE) dan Adik (Mahatma Widhy Nararya); 6) DKP Yogyakarta, Kepala dan Staf Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng terutama Bapak Ngatno dan Bapak Sunardi yang telah banyak membantu dalam pengambilan data; 7) Staf Tata Usaha Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Bapak Zulfa, Ibu Fina; 8) Riska, Natasya, Jali, Trezar, Bang Ryo Caesario, Kak Ike, Bang Dedy, dan seluruh PSP 49, 48, 47 yang telah banyak memberi masukan dan dukungan; 9) Teman-teman kosan Pondok Sahabat Kresna, Harun, Kakam, Muslim, Gamal, Gempur, Dio, Bang Alam, Bang Teguh, Bang Angga, Bang Awil, Bang Reza, dan Bang Mameng yang selalu memberikan dukungan. 10) Teman-teman HMI Komisariat Perikanan Cabang Bogor, Bageur, Pokraw, Warung Ando, Kosan Mughnii dan Ruang Coffee yang selalu memberikan semangat. Atas segala kekurangan yang ada, penulis menerima segala masukan dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016
Gilang Aditya Pranadi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
DAFTAR ISTILAH
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian METODE Waktu dan Tempat Alat dan bahan Jenis dan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis SWOT HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi perikanan handline Kesiapan nelayan dalam penerapan traceability di PPP Sadeng Kesiapan dinas dalam penerapan traceability di PPP Sadeng Faktor Internal yang mendukung penerapan traceability Faktor Eksternal yang mendukung penerapan traceability Perumusan Strategi SWOT yang mendukung penerapan traceability SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
1 2 2 3 3 3 4 4 5 5 5 7 7 16 17 18 21 23 28 28 28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
39
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Format penilaian kuesioner menggunakan pola skala Guttman Kriteria tingkat presentase skor Pembobotan setiap faktor-faktor SWOT Diagram matriks SWOT dan kemungkinan strategi yang sesuai Jumlah kapal yang menggunakan handline di PPP Sadeng Produksi tuna dan cakalang di PPP Sadeng 2011-2015 Skor tingkat kesiapan nelayan dalam penerapan traceability Skor tingkat kesiapan dinas dalam penerapan traceability Faktor strategi internal (IFAS) Faktor strategi eksternal (EFAS) Perumusan strategi SWOT yang menndukung penerapan tracebility perikanan tuna dan cakalang di PPP Sadeng
4 5 6 6 14 15 16 17 20 22 24
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peta PPP Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta Desain alat tangkap pancing rentakan Desain alat tangkap pancing ancet Desain alat tangkap pancing copingan Desain pancing layang-layang Gambar peta lokasi rumpon di PPP Sadeng Gambar kapal sekoci Tren produksi tuna dan cakalang di PPP Sadeng 2011-2015 Lampiran dokumentasi di PPP Sadeng
3 8 10 11 12 13 14 15 32
DAFTAR LAMPIRAN Hasil Data
34
DAFTAR ISTILAH Analisis SWOT (Strength Suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor Weaknesses Opportunities secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi Threat) : perusahaan Barcode : Susunan garis cetak vertikal hitam putih dengan lebar berbeda untuk menyimpan data-data spesifik seperti kode produksi, nomor identitas, dll Docking : Memasuki galangan kapal EFAS : Matriks faktor strategi eksternal dalam analisis SWOT Embargo : Larangan lalu lintas barang Fair Trade : Suatu skema pelabelan yang sudah diakui secara internasional yang memberi informasi ke konsumen Line Fishing : Klasifikasi pancing Food Safety : Jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atu dimakan menurut penggunaannya Handline : Alat tangkap dengan bentuk yang paling sederhana yang terdiri dari tali dengan panjang tertentu, pemberat dan sekurangnya satu mata pancing serta ditambahkan juga kili-kili dan pelampung jika diperlukan IFAS : Matriks faktor strategi internal dalam analisis SWOT Ilegal : Tidak menurut hukum IUU (Illegal Unreported Penangkapan ikan yang dilakukan secara ilegal, tidak Unregulated) Fishing : dilaporkan atau yang belum dan tidak diatur di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Legal : Sesuai dengan hukum length at first maturity : Panjang ikan saat pertama kali matang gonad Logbook : Buku catatan kegiatan Overfishing : Penangkapan yang berlebihan sehingga mengganggu keseimbangan ekologi laut PPP : Pelabuhan Perikanan Pantai. Tempat berlabuh atau bertambahnya perahu/kapal guna mendaratkan hasil tangkapannya, memuat perbekalan kapal serta sebagai basis kegiatan produksi, pengolahan, pemasaran ikan dan pembinaan masyarakat perikanan. Prospek : Kemungkinan; harapan Purposive sampling : Teknik pengambilan sampel secara sengaja, sampel tidak diambil secara acak, peneliti sudah menentukan sendiri. Rating : Penilaian Recall Procedure : Prosedur menarik kembali produk yang sudah dipasarkan Risiko : Ketidakpastian yang dapat diperkirakan atau diukur, ketidakpastian yang diketahui tingkat kemungkinan kejadiannya, ketidakpastian besaran kerugiannya dapat diukur. Scalogram : Analisis skala
Sertifikasi Sosialisasi Sustainability Skala Guttman Traceability Transparansi
: Cara mendapatkan sertifikat : Proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat : Keberlanjutan : Analisis skala yang sangat baik untuk meyakinkan peneliti tentang kesatuan dimensi dari sikap atau sifat yang diteliti : Ketelusuran asal usul : Kejelasan
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Traceability merupakan kemampuan melacak dan mengikuti seluruh tahapan produksi, pengolahan dan distribusi mulai dari bahan baku sampai menjadi produk makanan (EC 178/2002). Traceability merupakan salah satu cara untuk menjamin mutu makanan dengan melacak informasi mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi (Raspor 2005). Perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk pangan dari pasar (recall procedures), terutama terhadap produk yang diduga memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia (McMeekin 2006). Traceability dianggap sebagai alat manajemen risiko bagi suatu organisasi bisnis pangan untuk menarik kembali suatu produk yang diidentifikasi tidak aman (Thakur dan Donnelly 2010). Traceability disempurnakan definisinya sebagai kemampuan mengakses setiap atau seluruh informasi sepanjang siklus hidup melalui pertimbangan dalam pencatatan identifikasi (Bailey 2016). Traceability merupakan salah satu cara alternatif dan efisien dalam menjaga keamanan pangan terutama pada produk perikanan tuna dan cakalang. Traceability untuk perikanan menjadi ketelusuran asal-usul ikan. Keamanan pangan terutama produk perikanan tuna dan cakalang saat ini menjadi sorotan dunia. Beberapa produk perikanan Indonesia yang masuk ke pasar dunia terutama Eropa dan Amerika pernah mengalami embargo. Embargo produk perikanan Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor terutama keamanan pangan. Ekspor tuna segar Indonesia banyak mengalami hambatan, khususnya terkait dengan permasalahan kualitas yaitu tingginya kandungan histamin dan logam berat (Widiastuti dan Putro 2010). Sistem traceability membantu identifikasi dengan cepat bahan yang berbahaya sehingga perusahaan dapat segera menarik kembali produknya, mempermudah pengawasan residu yang terkandung dalam produk, risiko dari pengaruh makanan (Derrick 2004). Traceability juga berguna untuk memerangi Illegal Unregulated Unreported (IUU) Fishing dengan dimasukkan ke dalam rantai pasok (FAO 2014). Selain itu, traceability dapat membantu pemerintah dalam tersedianya data perikanan Indonesia (Duggan 2016). Traceability dinilai sangat penting terkait keamanan pangan dan lingkungan karena sangat menyangkut dengan kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan, sehingga tidak bisa menjadi bahan tawar menawar. Penerapan traceability di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dengan adanya Permen No.01/MEN/2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil tangkapan dan Permen No.13/PERMEN-KP/2012 tentang sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI). SHTI berguna untuk memerangi Illegal Unregulated Unreported (IUU) Fishing, menjamin ketelusuran (traceability) hasil tangkapan ikan serta mendukung pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Pemerintah selanjutnya membuat Permen No.48/PERMEN-KP/2014 tentang logbook penangkapan ikan. Logbook penangkapan ikan merupakan salah satu informasi hasil tangkapan ikan dalam sistem manajeman penangkapan ikan. Beberapa kriteria sistem traceability terdapat dalam logbook seperti informasi kapal, lokasi penangkapan ikan, waktu
2 penangkapan ikan, identifikasi ikan hasil tangkapan, dan berat ikan tangkapan. Penerapan tersebut menemui kendala karena sebagian besar kualitas sumber daya manusia (SDM) nelayan masih rendah sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mengisi logbook. Nelayan masih belum memahami kegunaan dan manfaat logbook. Penerapan traceability secara swadaya di Indonesia dilakukan di Maluku yang bekerjasama dengan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI). Perikanan tuna di Ambon, Seram, Buru Selatan, Buru Utara dan Toli-toli sudah bersertifikat Fair Trade yang sudah menerangkan mengenai traceability (MDPI 2015). Tuna dan cakalang merupakan salah satu sumber protein yang berasal dari hewan yang menjadi komoditas ekspor terbesar di Indonesia. Permintaan pasar akan komoditas ini semakin meningkat. Hal ini terlihat dari peningkatan ekspor ikan tuna dan cakalang dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 sebesar 1,75% (484 ribu ton) (KKP 2014). Salah satu provinsi penghasil tuna dan cakalang di Indonesia diantaranya adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Produksi tuna dan cakalang di Provinsi Yogyakarta pada tahun 2014 sebesar 897 ton sedangkan tahun 2015 sebesar 1138 ton yang artinya mengalami peningkatan produksi sebesar 241 ton. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki satu Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta yaitu PPP Sadeng yang memiliki potensi perikanan tuna dan cakalang yang besar namun belum ada kajian dan sertifikasi mengenai traceability. Mengetahui permasalahan diatas, maka kajian mengenai kemungkinan penerapan traceability perikanan tuna dan cakalang di PPP Sadeng, Yogyakarta sangat penting untuk dilakukan. Kajian tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi titik awal pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang lebih baik. Perumusan Masalah Transparansi mengenai traceability perikanan tuna dan cakalang menjadi isu yang penting untuk konsumen. Konsumen semakin khawatir mengenai kejelasan dan kepercayaan bahan pangan, khususnya keamanan, kualitas dan asal usul produk pangan (Ringsberg 2014). Penerapan traceability perikanan tuna dan cakalang di Indonesia diharapkan bisa mencegah Illegal Unregulated Unreported (IUU) Fishing dengan melacak asal-usul ikan mulai dari penangkapan sampai ke tangan konsumen. Konsep ini sekaligus melindungi konsumen dengan menjamin ikan yang dikonsumsi tidak berbahaya karena sudah terlacak asal-usulnya dan diperoleh dengan cara legal sehingga tidak menyebabkan overfishing. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengetahui kesiapan penerapan traceability dan menyusun strategi yang tepat dalam mendukung penerapan traceability di PPP Sadeng, Yogyakarta. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Mendeskripsikan kesiapan penerapan traceability untuk perikanan tuna dan cakalang di Sadeng. 2) Menyusun strategi yang tepat dalam mendukung penerapan traceability.
3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1) Memberi informasi kepada nelayan tentang penambahan nilai ekonomis hasil tangkapan dengan menerapkan traceability di PPP Sadeng, 2) Memberi masukan yang menjadi pertimbangan untuk pemerintah dalam pembangunan sistem traceability di Pelabuhan Perikanan,
METODE Waktu dan Tempat Penelitian di lapangan dilakukan pada bulan Februari 2016. Lokasi penelitian bertempat di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta. Pelabuhan ini terletak disebelah tenggara pusat ibukota provinsi Yogyakarta. Jarak tempuh sekitar ± 84 km dari ibukota Provinsi Yogyakarta. Pelabuhan ini terletak pada koordinat 110o52’32” BT dan 8o12’30”LS. PPP Sadeng dibangun diatas tanah milik Kesultanan Yogyakarta seluas 50.000m2. PPP Sadeng dibangun pada tahun 1991 dengan dana APBN Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian yang masih berstatus Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Peningkatan status dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) ditetapkan dengan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: KEP.10/MEN/2005 pada tanggal 13 Mei 2005. PPP Sadeng memiliki potensi perikanan tuna dan cakalang yang besar namun belum ada kajian dan sertifikasi mengenai traceability. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah studi literatur dan pembuatan usulan penelitian. Tahap kedua adalah pelaksanaan penelitian dan pengambilan data di lokasi penelitian. Tahap ketiga adalah pengolahan data dan penulisan hasil penelitian.
Gambar 1. Peta PPP Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta
4 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat tulis, daftar pertanyaan (kuesioner), komputer untuk pengolahan data dan alat dokumentasi (kamera digital). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner serta data sekunder. Data sekunder terdiri dari statistik perikanan, koordinat rumpon Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode survei merupakan metode yang umum digunakan dalam penelitian lapang, dimana peneliti memiliki derajat kendali yang dibuat, hasil atau dampak yang diperoleh biasanya terjadi dalam selang waktu yang lama (Fauzi 1999). Lokasi penelitian ini memilih PPP Sadeng secara sengaja (purposive) karena mempertimbangkan potensi perikanan tuna dan cakalang serta penunjang pengembangan perikanan laut. Metode Pengumpulan Data Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu cara mengambil sampel secara tidak acak atau peneliti menganggap sampel yang diambil memiliki informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Teknik purposive sampling merupakan teknik yang digunakan pada penelitian yang lebih mengutamakan tujuan penelitian daripada sifat populasi dalam menentukan sampel penelitian (Bungin 2011). Lokasi wawancara dipilih secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan dominasi nelayan handline yang tinggal di sebuah kampungan yang berdekatan dengan PPP Sadeng. Lokasi yang dipilih yaitu Kampung Nelayan Baru. Penentuan ukuran sampel untuk penelitian deskriptif, jumlah sampel minimal yang harus diambil adalah 10% dari populasi (Silalahi 2012). Populasi nelayan handline di PPP Sadeng sebanyak 159 orang, sampel yang diambil 30 orang. Populasi dinas pelabuhan PPP Sadeng sebanyak 30 orang, sampel yang diambil 10 orang. Pertanyaan-pertanyaan ketika survei dilakukan secara closed questions (pertanyaan tertutup). Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya (Riduwan 2011). Penelitian ini menggunakan skala Guttman yaitu metode scalogram atau analisis skala (scale analysis) sangat baik untuk meyakinkan peneliti tentang kesatuan dimensi dari sikap atau sifat yang diteliti. Menurut Sugiyono (2010), skala Guttman digunakan apabila ingin mendapatkan jawaban yang jelas terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. Format kuisioner dibuat dalam satu format matriks menggunakan pola skala Guttman seperti pada Tabel 1 dan lampiran 3 dan 4. Tabel 1. Kuisioner menggunakan Pola Skala Guttman PERILAKU PERTANYAAN YA TIDAK
5 YA TIDAK
= Jika dilaksanakan, bernilai 1 = Jika tidak dilaksanakan, bernilai 0
Pengolahan Data Pengolahan data yang digunakan untuk menghitung presentase skor merupakan total skor dibagi dengan jumlah responden yang selanjutnya dikalikan dengan total presentase (100%). Rumus presentase skor (%) =
Total Skor ×100% Jumlah Responden
Tabel 2 Kriteria tingkat presentase skor Kriteria Skor Presentase Sangat tidak siap 0%-20% Tidak siap 21%-40% Cukup siap 41%-60% Siap 61%-80% Sangat siap 81%-100% Sumber: Riduwan (2011) Analisis Data Analisis data dimaksudkan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang dapat diinterpretasikan, yaitu tabel dan gambar. Data dan informasi yang diperoleh kemudian dianalisis secara terpisah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis SWOT. Analisis deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk mengubah kumpulan data menjadi bentuk yang mudah dipahami dalam bentuk informasi yang lebih ringkas. Analisis ini dilakukan dengan cara pengumpulan data melalui wawancara kepada nelayan dan dinas kelautan dan perikanan setempat dengan berpedoman pada kuisioner yang telah dibuat. Kemudian dari wawancara tersebut dapat diketahui kesiapan, faktor internal, dan faktor eksternal dalam penerapan sistem traceability. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2000). Analisis SWOT pada penelitian ini digunakan untuk menyusun strategistrategi dalam mendukung penerapan traceability dengan memperhitungkan faktor internal yaitu kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesess) serta faktor eksternal yaitu peluang (opportunities) dan ancaman (threat). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (trhreats) dengan faktor internal kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesess). Analisis SWOT dimulai dengan identifikasi faktor-faktor melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu
6 melalui berbagai tahapan sebagai berikut: Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal, Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT, dan Tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan data ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam penerapan traceability dapat dilakukan dengan wawancara terhadap nelayan handline dan pihak dinas pelabuhan yang bersangkutan. Tahap selanjutnya adalah membuat matriks internal dan eksternal jika sudah mengetahui berbagai faktor dan mengidentifikasi faktorfaktor strategi internal dan eksternal. Penyusunan matrik analisis SWOT terlebih dahulu dilakukan identifikasi faktor-faktor strategi eksternal dan internal dengan pembobotan. Tahapan pembobotan adalah sebagai berikut: menyusun faktorfaktor strategi internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor strategi eksternal (peluang dan ancaman) sebanyak 5 sampai dengan 10 strategi, dan memberikan bobot masing-masing faktor strategi internal dan eksternal, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), (Tabel 3). Tabel 3 Pembobotan setiap faktor-faktor SWOT Faktor-Faktor Internal Faktor-Faktor Eksternal Kekuatan Bobot Kelemahan Bobot Peluang Bobot Ancaman Bobot S1 W1 O1 T1 S2 W2 O2 T2 S3 W3 O3 T3 Sn Wn On Tn Pembobotan masing-masing faktor strategi dapat ditentukan rating berdasarkan pengaruhnya terhadap setiap permasalahan. Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor). Pemberian nilai rating untuk kekuatan dan peluang bersifat positif (semakin besar kekuatan dan peluang maka semakin besar nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk kelemahan dan ancaman dilakukan sebaliknya. Selanjutnya dilakukan perkalian bobot dan rating untuk menentukan skor terbobot untuk masing-masing faktor. Faktor-faktor dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi dengan menggunakan matrik analisis SWOT (Tabel 4). Tabel 4 Diagram matriks SWOT dan kemungkinan strategi yang sesuai IFAS / EFAS STRENGTH (S) WEAKNESSES (W) Strategi WO Strategi SO OPPORTUNITIES (O) Menciptakan strategi Menciptakan strategi yang menggunakan yang meminimalkan kekuatan untuk kelemahan untuk memanfaatkan peluang. memanfaatkan peluang. Strategi ST Strategi WT TREATHS (T) Menciptakan strategi Menciptakan strategi yang menggunakan yang meminimalkan kekuatan untuk kelemahan dan mengatasi ancaman. menghindari ancaman.. Sumber: Rangkuti (2000)
7 Matrik analisis ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki. Strategi yang dihasilkan yaitu: strategi (S-O) menggunakan unsur kekuatan untuk memanfaatkan peluang; strategi (S-T), menggunakan unsur kekuatan untuk menghadapi ancaman; strategi (W-O) memanfaatkan peluang dengan meminimalkan unsur kelemahan dan strategi (WT) meminimalkan unsur kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi penerapan traceability ini merupakan pertimbangan antara berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman sehingga didapat penyusunan strategi yang tepat dalam penerapan traceability di PPP Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Perikanan Handline Menurut Kepmen KP No.45/Men/2011, PPP Sadeng termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia 573 dengan potensi ikan pelagis besar yaitu sebesar 201,4 ribu ton/tahun. Menurut data Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta produksi perikanan pada tahun 2015 sebesar 2.182 ton dengan nilai produksi sebesar 32,104 milyar rupiah yang didominasi oleh hasil tangkapan ikan tuna dan cakalang. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna dan cakalang di PPP Sadeng didominasi oleh pancing ulur (handline). Pancing ulur (handline) termasuk dalam klasifikasi line fishing (von brandt 2005). Handline merupakan alat tangkap dengan bentuk yang paling sederhana dari kategori line fishing yang terdiri dari tali dengan panjang tertentu, pemberat dan sekurangnya satu mata pancing serta ditambahkan juga swivel dan pelampung jika diperlukan. Handline biasanya mempunyai satu buah mata pancing, namun dapat juga dipasang beberapa. Handline yang menggunakan beberapa mata pancing menggunakan beberapa tali cabang (branchline) untuk mengikat mata pancing yang dirangkai pada satu tali utama (mainline). Jenis handline yang seperti ini disebut rawai vertikal (vertical longline). Pengoperasian handline sangat mudah, umumnya nelayan memegang ujung dari tali pancing (biasanya digulung dengan penggulung), merasakan dengan jari apabila ikan menggigit umpan, kemudian memposisikan mata pancing agar ikan tidak lolos dan mengangkat tali pancing apabila ikan telah terkait mata pancing (von brandt 2005) Alat tangkap pancing ulur (handline) yang digunakan terdiri dari empat jenis yaitu: pancing rentakan, pancing ancet, pancing copingan dan pancing layang-layang. 1) Pancing rentakan Pancing rentakan terdiri dari tiga bagian utama yaitu tali pancing, mata pancing dan pemberat. Jumlah pancing rentakan yang dioperasikan dalam satu kapal sebanyak satu sampai dua buah pancing. Desain pancing rentakan dapat dilihat pada Gambar 2.
8 Bagian-bagian pancing rentakan terdiri dari: (1) Penggulung (reel), terbuat dari bahan kayu atau plastik berbentuk bulat atau persegi panjang. Penggulung berfungsi untuk menggulung tali pancing saat selesai pengoperasian. (2) Tali utama (main line), terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 150 dan panjang 58 meter. (3) Pemberat (sinker), terbuat dari timah dengan berat 1,5 kilogram. Pemberat berfungsi agar alat tangkap dapat tenggelam pada saat pengoperasian. (4) Kili-kili (swivel), terbuat bahan steinless steel berjumlah tiga buah. Kili-kili berfungsi agar tali pancing tidak berbelit pada saat pengoperasian. (5) Tali cabang (branch line), terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 90, panjang 50 cm dan berjumlah 30 cabang. (6) Mata pancing (hook), terbuat dari aluminium dengan nomor 7 berjumlah 30 buah. (7) Umpan, berupa umpan buatan yang terbuat dari serat-serat kain sutera berwarna mencolok sehingga menarik ikan untuk mendekat. A B
C
D E
F
Keterangan A. Penggulung senar dari bahan plastik B. Tali utama PA monofilament no. 150 panjang 58 meter C. Pemberat timah 1,5 kg D. Kili-kili E. Tali cabang PA monofilament no. 90 panjang 50 cm berjumlah 30 buah F. Umpan serat kain sutera G. Mata pancing no.7 berjumlah 30 buah
G
Gambar 3 Desain Alat tangkap pancing rentakan Sumber: Wahyuningrum et al 2012 (modifikasi dan non skala)
9 2) Pancing ancet Pancing ancet memiliki desain yang hampir sama dengan pancing rentakan yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu tali pancing, mata pancing dan pemberat. Perbedaan pancing ancet dengan pancing rentakan adalah jumlah tali cabang pancing ancet lebih sedikit dibandingkan pancing rentakan. Jumlah pancing ancet yang dioperasikan dalam satu kapal sebanyak lima sampai enam buah pancing. Desain pancing ancet dapat dilihat pada Gambar 3. Bagian-bagian pancing ancet terdiri dari (1) Penggulung (reel), terbuat dari bahan kayu atau plastik berbentuk bulat atau persegi panjang. Penggulung berfungsi untuk menggulung tali pancing saat selesai pengoperasian. (2) Tali utama (main line), terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 150 dengan panjang 22,5 meter. (3) Kili-kili (swivel), terbuat bahan stainless steel berjumlah dua buah. Kili-kili berfungsi agar tali pancing tidak berbelit pada saat pengoperasian. (4) Tali cabang (branch line), terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 90, panjang 50 cm dan berjumlah 8 cabang. (5) Mata pancing (hook), terbuat dari aluminium dengan nomor 7 dan 8 berjumlah 8 buah (6) Umpan, berupa umpan buatan yang terbuat dari serat-serat kain sutera berwarna mencolok sehingga menarik ikan untuk mendekat. (7) Pemberat (sinker), terbuat dari timah dengan berat 2 kilogram. Pemberat berfungsi agar alat tangkap dapat tenggelam pada saat pengoperasian.
10
A B Keterangan C A. Penggulung senar dari bahan plastik B. Tali utama PA monofilament no. 150 panjang 22,5 meter C. Kili-kili D. Tali cabang PA monofilament no. 90 panjang 50 cm berjumlah 8 buah E. Umpan serat kain sutera F. Mata pancing no.7 dan 8 berjumlah 8 buah G. Pemberat timah 2kg
D
E
F
G Gambar 4 Desain alat tangkap pancing ancet Sumber: Wahyuningrum 2012 et al (modifikasi dan non skala) 3) Pancing copingan Pancing copingan memiliki desain yang berbeda dengan pancing rentakan dan pancing ancet, tetapi komponen pancing ini sama dengan pancing rentakan dan pancing ancet yaitu tali pancing, mata pancing dan pemberat. Jumlah pancing copingan yang dioperasikan dalam satu kapal sebanyak lima sampai enam buah pancing. Desain pancing copingan dapat dilihat pada Gambar 4.
11 A Keterangan
B
A. Penggulung senar dari bahan plastik B. Tali utama PA monofilament no. 150 panjang 22,5 meter C. Kili-kili D. Pemberat timah 2kg E. Tali cabang PA monofilament no. 90 panjang 50 cm F. Umpan dari plastik atau CD yang dipotong G. Mata pancing no.7 dan 8
C D
E
F
G
Gambar 5 Desain alat tangkap pancing copingan Sumber: Wahyuningrum 2012 (modifikasi dan non skala) 4) Pancing layang-layang Pancing layang-layang digunakan untuk menangkap ikan tuna berukuran besar. Pancing ini termasuk dalam klasifikasi pancing ulur karena pengoperasiannya dengan cara menarik dan mengulur tali layangan. Hal ini dilakukan agar umpan menyerupai ikan asli. Layang-layang akan tenggelam apabila umpan telah dimakan oleh ikan. Jumlah pancing layang-layang yang dioperasikan dalam satu kapal sebanyak dua sampai tiga buah pancing. Desain pancing layang-layang dapat dilihat pada Gambar 5.
12 A
E
B C D
F
Keterangan A. Layangan berbahan plastik B. Tali pancing PA monofilament no.150 panjang 12 meter C. Umpan berbentuk mirip ikan D. Mata pancing no.3 E. Tali layangan PA monofilament no.50 panjang 30 meter F. Penggulung berbahan plastik Gambar 6 Desain alat tangkap pancing layang-layang Sumber: Wahyuningrum et al 2012 (modifikasi dan non skala) Bagian-bagian dari pancing layang-layang terdiri dari: (1) Tali layangan, terbuat dari monofilament nomor 50 dengan panjang 30 meter. Tali ini berfungsi sebagai pengendali layangan yang dikendalikan oleh nelayan. (2) Tali pancing, terbuat dari monofilament nomor 150 dengan panjang 12 meter. (3) Layangan, terbuat dari bahan kertas plastik. (4) Umpan, berbentuk ikan palsu dengan warna mengkilat sehingga menarik ikan untuk mendekat. (5) Mata pancing (hook), terbuat dari aluminium dengan nomor 3. Mata pancing yang digunakan merupakan rangkaian 3 buah pancing yang membentuk mata pancing segitiga. Metode Pengoperasian alat tangkap handline Metode pengoperasian alat tangkap pancing ancet, pancing copingan dan pancing layang-layang dilakukan dengan metode handline. Umpan ikan dipasang pada mata kail dengan kuat, selanjutnya nelayan menurunkan alat tangkap ke daerah penangkapan ikan. Nelayan cukup menunggu ikan memangsa umpan yang telah disediakan. Nelayan dapat merasakan ikan yang memakan umpan dari getaran dan tarikan tali pancing. Pengoperasian pancing dilakukan pada pagi
13 sampai sore secara bergantian. Pengoperasian alat tangkap pancing ulur dilakukan di rumpon yang telah ditanam nelayan PPP Sadeng. Pancing rentakan dioperasikan dengan menggunakan metode trolling yang dimulai dengan pemasangan umpan pada kail kemudian pancing diturunkan ke daerah penangkapan ikan dan ditarik mengelilingi rumpon. Tali pancing dipegang oleh nelayan atau diikat tersambung pada buritan sebelah kiri dan kanan kapal. Kegiatan ini dilakukan secara berulang-ulang selama setting. Daerah penangkapan ikan memiliki kedalaman sekitar 1500-5000 meter. Nelayan juga menggunakan umpan buatan yang terbuat dari plastik, Compact Disk (CD) yang dipotongpotong atau kain sutera yang berwarna mencolok untuk menarik perhatian ikan agar mendekati umpan. Alat Bantu Penangkapan Alat bantu penangkapan ikan tuna dan cakalang yang digunakan nelayan handline di PPP Sadeng yaitu rumpon. Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang terdiri dari empat bagian utama yaitu pelampung tanda, tali, atraktor dan pemberat. Pemasangan rumpon bertujuan untuk mengumpulkan ikan yang berekonomis tinggi terutama tuna dan cakalang agar lebih mudah ditangkap dengan menggunakan pancing. Rumpon yang digunakan di Sadeng termasuk kedalam rumpon laut dalam karena pemasangan rumpon dilakukan pada kedalaman antara 1000-5000 meter. Rumpon milik nelayan di PPP Sadeng umumnya dipasang dengan jarak antara 39-60 mil dari garis pantai. Berikut merupakan koordinat rumpon yang dilaporkan di PPP Sadeng.
Gambar 7 Peta lokasi rumpon di PPP Sadeng
14 Kapal Perikanan handline di PPP Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta umumnya menggunakan perahu motor tempel (Outboard Engine) dan kapal sekoci. Menurut data Pelabuhan Perikanan Sadeng (2014), jumlah kapal Perahu Motor Tempel (PMT) sebanyak 50 buah, kapal sekoci 5-30 GT dan kapal Inka Mina berjumlah 52 buah. Tabel 5 Jumlah Kapal yang menggunakan handline di PPP Sadeng Ukuran Jenis Kapal Jumlah <5GT 5-10 GT 11-23GT >30GT Perahu Motor Tempel (PMT) 50 50 Kapal Sekoci 29 15 44 Kapal Slerek (Inka Mina) 8 8 Total 102 Sumber: PPP Sadeng 2014 Pancing ulur merupakan alat tangkap yang paling dominan dioperasikan oleh nelayan PPP Sadeng. Alat tersebut umumnya menggunakan perahu motor tempel yang berukuran hanya <5GT dan kapal Sekoci yang berukuran 5-23 GT. Kapal motor yang digunakan oleh nelayan PPP Sadeng dalam operasi penangkapan ikan yaitu kapal motor sekoci berbahan kayu dengan dimensi panjang antara 16-18 meter, lebar antara 2,5-3 meter dan tinggi 2-2,5 meter. Ratarata kapal sekoci milik nelayan di PPP Sadeng menggunakan sebuah mesin utama inboard dan sebuah mesin bantu. Mesin utama bermerek Yanmar Marine Engine dan mesin bantu Yandong. Penggunaan mesin ganda bertujuan agar kekuatan kapal dapat bertambah dalam mendukung operasi penangkapan ikan.
Gambar 8 Kapal Sekoci Kapal motor di Sadeng memiliki alat bantu berupa lampu yang terletak di sebelah kanan dan kiri kapal. Lampu berfungsi membantu mengumpulkan ikan pada malam hari. Jumlah lampu yang digunakan sebanyak lima buah dengan mesin menggunakan mesin dinamo sebagai pembangkit lisriknya. Nelayan kapal sekoci menggunakan GPS untuk menentukan posisi ikan.
15 Produksi Produksi ikan tuna di PPP Sadeng pada tahun 2011 sampai 2015. Pada tahun 2011 sampai 2013 produksi tuna mengalami peningkatan sedangkan produksi cakalang mengalami penurunan. Pada tahun 2013 sampai 2015 produksi tuna mengalami penurunan sedangkan produksi ikan cakalang mengalami peningkatan. Tabel 6 Produksi ikan tuna dan cakalang di PPP Sadeng tahun 2011-2015 Tuna Cakalang Tahun Berat (kg) Nilai (Rp) Berat (kg) Nilai (Rp) 2011 316.568 3.813.193.000 401.522 4.030.781.000 2012 393.040 6.427.128.000 320.818 3.920.796.000 2013 500.632 7.624.247.161 204.273 2.274.378.000 2014 444.394 7.554.698.000 433.372 5.700.394.000 2015 395.566 6.724.622.000 742.465 10.031.898.000 Sumber: PPP Sadeng (2016) 800,000 700,000
Produksi (kg)
600,000 500,000 400,000
Tuna
300,000
Cakalang
200,000 100,000 0 2011
2012
2013 Tahun
2014
2015
Gambar 9 Tren produksi tuna dan cakalang di PPP Sadeng tahun 2011-2015
16 Kesiapan nelayan dalam penerapan traceability di PPP Sadeng, Yogyakarta Kesiapan nelayan dalam penerapan traceability dapat diuraikan dari beberapa poin mulai dari pengetahuan nelayan mengenai traceability tuna dan cakalang sampai penanganan ikan diatas kapal (Tabel 6). Tabel 7 Skor tingkat kesiapan nelayan dalam penerapan traceability Total Presentase No. Variabel Pertanyaan Skor Skor (%) 1. Pengetahuan mengenai traceability 7 23,33% 2. Pengelolaan hasil tangkapan memakai es 16 53,33% balok 3. Menangkap bycatch yang dilindungi 30 100,00% (penyu, lumba-lumba, hiu martil, hiu putih) Pemberian Informasi koordinat 15 50,00% 4. penangkapan ke konsumen atau pengepul Pengisian logbook 19 63,33% 5. Pengetahuan rumpon berlisensi 18 60,00% 6. Pengetahuan Sertifikat Hasil Tangkapan 7 23,33% 7. Ikan (SHTI) Rata-rata
53,33%
Kriteria Tidak siap Cukup siap Sangat siap Cukup siap Siap Cukup siap Tidak siap Cukup Siap
Sumber: Data olahan (2016) Tingkat kesiapan nelayan di PPP Sadeng terhadap penerapan traceability terdiri dari tujuh indikator pertanyaan, dengan responden nelayan sebanyak 30 nelayan dikelompokkan dalam kategori sangat siap, siap, cukup siap dan tidak siap (Tabel 6). Penangkapan bycatch yang dilindungi (penyu, lumba-lumba, hiu martil, hiu putih, dan sejenisnya) memiliki jumlah skor sebesar 30 (100,00%) dikategorikan sangat siap, pengisian logbook memiliki jumlah skor sebesar 19 (63,33%) dikategorikan siap, penyimpanan ikan hasil tangkapan dengan es memiliki skor sebesar 16 (53,33%) dikategorikan cukup siap, pemberian informasi koordinat penangkapan ke konsumen atau pengepul memiliki jumlah skor 15 (50,00%) dikategorikan cukup siap, pengetahuan rumpon berlisensi memiliki jumlah skor sebesar 18 (60%) dikategorikan cukup siap, pengetahuan mengenai traceability memiliki jumlah skor sebesar 7 (23,33%) dikategorikan tidak siap, Pengetahuan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) memiliki jumlah skor sebesar 7 (23,33%) dikategorikan tidak siap. Semakin tinggi jumlah skor maka presentase skor semakin tinggi (Riduwan 2011). Hasil ketujuh indikator tersebut memperlihatkan bahwa tingkat kesiapan nelayan dalam penerapan traceability yang sudah sangat siap adalah dari segi penangkapan bycatch yang dilindungi (penyu, lumba-lumba, hiu martil, hiu putih, dan sejenisnya). Nelayan patuh terhadap pelarangan penangkapan bycatch yang dilindungi (penyu, lumba-lumba, hiu martil, hiu putih, dan sejenisnya) karena akan ditangkap oleh pihak polisi air jika saat bongkar hasil tangkapan terdapat bycatch yang dilindungi. Poin pengisian logbook dan memberi informasi koordinat penangkapan ke konsumen atau pengepul dikategorikan siap karena masih sebagian nelayan mengisi logbook dengan dibantu oleh pihak pelabuhan dan banyak nelayan memiliki latar belakang pendidikan yang rendah sehingga kesulitan dalam pengisian logbook. Pengetahuan rumpon berlisensi dikategorikan
17 siap karena nelayan mengetahui bahwa rumpon seharusnya memiliki ijin dari KKP pusat, tetapi memang banyak nelayan yang hanya melaporkan rumpon ke syahbandar karena perizinan susah. Pengelolaan hasil tangkapan ikan dengan menggunakan es dikategorikan cukup siap karena masih ada sebagian nelayan yang menyimpan hasil tangkapan diatas kapal dengan hanyak menggunakan keranjang tanpa es disebabkan kesulitan dalam mendapatkan es. Pengetahuan mengenai traceability dan pengetahuan SHTI dikategorikan tidak siap karena sosialisasi sudah diadakan tetapi banyak nelayan yang tidak ikut karena malas, hanya 7 nelayan yang sudah tahu karena pernah bekerja dengan kapal besar milik Korea di Jakarta. Kesiapan dinas dalam penerapan traceability di PPP Sadeng Kesiapan dinas dalam penerapan traceability diuraikan dari beberapa poin mulai pengetahuan dinas mengenai traceability tuna dan cakalang sampai pengawasan ikan. Tabel 8 Skor tingkat kesiapan dinas dalam penerapan traceability Total Presentase No. Variabel Pertanyaan Skor Skor (%) 1. Pengetahuan mengenai traceability 10 100,00% 2. Pengetahuan rumpon berlisensi 10 100,00% 3. Fasilitas pelabuhan 5 50,00% 4. Membantu nelayan dalam 6 60,00% pengisian logbook 5. Pemberian informasi kondisi 7 70,00% oseanografi dan meteorologi, kelimpahan stok ikan 6. Pengetahuan ekspor ikan hasil 8 80,00% tangkapan Rata-rata
76,67%
Kriteria
Sangat siap Sangat siap Cukup siap Cukup siap Siap Siap Siap
Sumber: Data olahan (2016) Tingkat kesiapan dinas di PPP Sadeng terhadap penerapan traceability yang terdiri dari enam indikator pertanyaan, dengan responden sebanyak 10 pegawai dinas pelabuhan dikelompokkan dalam kategori sangat siap, siap, cukup siap dan tidak siap (Tabel 7). Pengetahuan mengenai traceability memiliki jumlah skor sebesar 10 (100,00%) dikategorikan sangat siap, pengetahuan rumpon berlisensi memiliki skor sebesar 10 (100,00%) dikategorikan sangat siap, pengetahuan ekspor ikan hasil tangkapan memiliki skor sebesar 8 (80,00%) dikategorikan siap, Pemberian informasi kondisi oseanografi, meteorologi dan kelimpahan stok ikan memiliki jumlah skor sebesar 7 (70,00%) dikategorikan siap, membantu nelayan dalam pengisian logbook memiliki jumlah skor sebesar 6 (60,00%) dikategorikan cukup siap, fasilitas pelabuhan memiliki jumlah skor sebesar 5 (50,00%) dikategorikan cukup siap. Semakin tinggi jumlah skor maka presentase skor semakin tinggi (Riduwan 2011). Hasil keenam indikator tersebut bahwa dinas menunjukkan sudah sangat siap dalam penerapan traceability dari segi pengetahuan mengenai traceability dan pengetahuan rumpon berlisensi. Hal ini dikarenakan sudah ada sosialisasi mengenai logbook, traceability dan mengenai rumpon berlisensi yang diadakan
18 oleh KKP. Dari segi pemanfaatan fasilitas pelabuhan dikategorikan cukup siap karena masih ada beberapa fasilitas pelabuhan seperti docking dan SPBU perlu diperbaiki, ketiadaan pabrik es sehingga nelayan masih mengambil es dari Klaten dan Solo. Nelayan dalam pengisian logbook dikategorikan cukup siap karena penerapan logbook baru dilakukan awal tahun sehingga pengisian logbook dibantu oleh pihak syahbandar untuk mempermudah nelayan dalam mengisi logbook serta latar pendidikan nelayan yang masih rendah. Pada indikator pemberian informasi kondisi oseanografi, meteorologi dan kelimpahan stok ikan dikategorikan siap, hal ini dikarenakan pihak dinas sudah menyediakan informasi di sebelah TPI yang bekerjasama dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengetahuan ekspor ikan hasil tangkapan dikategorikan siap karena beberapa responden pihak pelabuhan masih belum tahu mengenai pasar ekspor ikan tuna dan cakalang hasil tangkapan, karena hampir seluruh dinas hanya mengetahui ikan tuna dan cakalang hasil tangkapan didistribusikan ke Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN) yang terletak di kota Surabaya. Faktor Internal yang mendukung traceability Kegiatan perikanan tangkap di PPP Sadeng memiliki prospek untuk menerapkan traceability terutama perikanan tuna dan cakalang. Penerapan traceability salah satunya ditentukan oleh faktor internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan. Faktor tersebut digunakan dalam analisis SWOT. Faktor internal tersebut digunakan untuk menentukan strategi yang tepat. Faktor internal berupa kekuatan, antara lain: 1) Ikan tuna dan cakalang memiliki nilai ekonomis yang tinggi Ikan tuna jika dijual mencapai harga yaitu Rp18.000 sedangkan ikan cakalang yaitu Rp14.000. Harga ikan cakalang di pasar internasional mencapai U$ 1450 per ton pada akhir tahun 2015 (FAO 2015). Pada tahun 2015 jumlah produksi tuna di PPP Sadeng mencapai 395 ton dengan nilai produksi 6,7 milyar rupiah dan jumlah produksi cakalang 743 ton dengan nilai produksi 10,1 milyar rupiah. 2) Nelayan menggunakan GPS Hampir seluruh unit penangkapan melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan GPS untuk melaporkan hasil tangkapannya. Letak koordinat penangkapan dapat diketahui secara tepat dengan GPS. Koordinat lokasi penangkapan merupakan informasi yang harus dicantumkan dalam sistem traceability pada saat penangkapan ikan di laut (Derrick 2004). 3) Penyimpanan ikan didominasi menggunakan es Hampir seluruh nelayan di Sadeng menyimpan hasil tangkapan dengan menggunakan es. Jika nelayan penyimpanan hasil tangkapan tidak menggunakan es maka ikan akan cepat busuk yang membuat harga ikan menjadi turun atau tidak layak dijual. Penyimpanan menggunakan es merupakan upaya menjamin mutu ikan hasil tangkapan. Kelebihan es sebagai media penyimpanan yaitu: es tidak merusak dan tidak membahayakan yang memakan serta mudah dibawa dan harga murah. Sentuhan dengan es menyebabkan ikan dingin, basah dan cemerlang (Ilyas 1983 dikutip dalam Mudjari 2010).
19 4) Pancing ulur merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan. Menurut FAO 2009, handline dan troll line alat tangkap yang ramah lingkungan dan menghasilkan tangkapan ikan yang berkualitas tinggi. Nelayan kapal sekoci pada umumnya menggunakan pancing ulur. Menurut PPP Sadeng, jumlah nelayan pancing ulur hampir mencapai 159 nelayan hampir sebagian tidak menetap di wilayah Sadeng. 5) Bycatch yang ditangkap sedikit Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, jika nelayan mendapatkan hasil sampingan seperti ikan layang dan tenggiri akan dimasukkan ke palka jika hasil tangkapan sampingan berukuran besar sedangkan jika nelayan mendapatkan ikan tuna kecil maka akan dilepas karena harga ikan baby tuna di PPP Sadeng menjadi turun drastis. Handline merupakan metode penangkapan ikan tuna dan cakalang secara tradisional yang sangat selektif sehingga bycatch dan juvenil tuna yang tertangkap (WWF 2013). 6) Pengetahuan pegawai PPP tentang traceability Pengetahuan pegawai PPP tentang traceability terlihat dalam data kuesioner tentang kesiapan pihak dinas dalam penerapan traceability. Kesiapan pihak dinas penting karena membantu nelayan dalam sistem traceability. 7) Rumpon sebagai alat bantu penangkapan Nelayan di PPP Sadeng yang menggunakan kapal sekoci keseluruhan menangkap ikan di daerah rumpon. Pemasangan rumpon di perairan Sadeng masih dekat dengan pelabuhan. Salah satu kelebihan penggunaan rumpon adalah meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (Imron dan Baskoro 2006 dikutip dalam Besweni 2009). Adapun faktor internal berupa kelemahan, antara lain: 1) Pemahaman nelayan tentang traceability Nelayan dalam memahami sistem traceability tergolong masih sangat sedikit. Adapun nelayan yang mengetahui traceability merupakan nelayan yang pernah melaut dengan kapal ikan besar di Jakarta. 2) Presentase tuna yang memenuhi kriteria eksport masih sedikit Ikan tuna kriteria ekspor di PPP Sadeng masih sedikit. Ukuran hasil tangkapan ikan tuna di PPP Sadeng hanya 31% yang layak tangkap atau lebih besar dari length at first maturity (LM) (Nurani et al 2016). Ukuran ikan ekspor yang ditetapkan negara Jepang yaitu diatas 15 kg dengan panjang ikan sekitar ±100cm (Wiratama 2011). Benua Eropa menerapkan ukuran layak tangkap yaitu diatas 20 kg. Menurut wawancara, nelayan di PPP Sadeng mendapatkan ikan tuna ukuran diatas 15 kg pada bulan april sampai september. 3) Pendidikan nelayan masih rendah Nelayan sebagian besar latar belakang pendidikan hanya mencapai pendidikan SD. Nelayan berpendapat bahwa pendidikan bukan hal yang utama dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut, namun yang diutamakan adalah keterampilan dan pengalaman yang dimiliki nelayan pancing ulur untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksimal. 4) Nelayan kurang memberi informasi daerah penangkapan Nelayan kurang memberi informasi mengenai daerah penangkapan ke konsumen atau tengkulak. Nelayan akan memberi informasi daerah penangkapan dan koordinatnya jika konsumen dan tengkulak ada yang bertanya. Transparansi informasi mengenai aktivitas nelayan termasuk
20 informasi daerah penangkapan merupakan komponen penting dalam sistem traceability (WWF 2015). 5) Fasilitas kepelabuhanan masih minim Fasilitas di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng masih minim. Pihak pelabuhan belum bisa menyediakan pabrik es sehingga nelayan harus mendatangkan es balok dari Klaten atau Solo. Fasilitas SPBU butuh perbaikan karena kondisinya banyak karat pada atap dan mesin pompa sehingga ditutup dengan terpal. Fasilitas docking juga butuh perbaikan karena nelayan memperbaiki kapal >15 GT harus ke Cilacap. 6) Informasi keberadaan rumpon tidak dilaporkan sepenuhnya Rumpon milik nelayan di perairan selatan Sadeng tidak dilaporkan sepenuhnya ke pihak pelabuhan. Menurut wawancara dengan pihak pelabuhan, masih banyak nelayan yang memiliki rumpon yang belum melaporkan koordinat rumpon. Pemasangan rumpon sudah diatur pemerintah dalam peraturan Menteri No.26/Permen-KP/2014 yang bertujuan untuk pengelolaan rumpon secara lestari dan berkelanjutan. 7) Akses transportasi yang minim Akses transportasi menuju PPP Sadeng cukup bagus namun keadaan jalan naik turun pegunungan dan sepi. Fasilitas lampu jalan juga masih minim sehingga jika melakukan perjalanan malam harus berhati-hati. Tabel 9 Faktor strategi internal (IFAS) No
Kekuatan
Bobot
Rating
1
0,11
4
0,08 0,06 0,09
4 3 3
0,32 0,18 0,27
5 6 7
Ikan tuna dan cakalang memiliki nilai ekonomis tinggi Nelayan menggunakan GPS Penyimpanan ikan didominasi menggunakan es Pancing ulur merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan Bycatch yang ditangkap sedikit Pengetahuan pegawai PPP tentang traceability Rumpon sebagai alat bantu penangkapan
Bobot x Rating 0,44
0,06 0,08 0,05
3 4 3
No.
Kelemahan
Bobot
2 3 4
1 2
Pemahaman nelayan tentang traceability Presentase tuna yang memenuhi kriteria eksport masih sedikit 3 Pendidikan nelayan masih rendah 4 Nelayan kurang memberi informasi daerah penangkapan ikan 5 Fasilitas kepelabuhanan masih minim 6 Informasi keberadaan rumpon tidak dilaporkan sepenuhnya 7 Akses transportasi yang minim Jumlah Sumber: Data olahan (2016)
0,09 0,08
0,18 0,32 0,15 Bobot Rating x Rating 2 0,18 2 0,16
0,08 0,07
2 1
0,16 0,07
0,05 0,06
1 1
0,05 0,06
0,05 1
2
0,10 2,63
21 Total skor yang diperoleh antara kekuatan dan kelemahan sebesar 2,63, hal ini menunjukkan bahwa strategi pengembangan traceability perikanan tuna dan cakalang dapat ditingkatkan. Menurut Rangkuti (2000), jika nilai total skor ≥ 2,5 maka kondisi internal sistem mampu mengatasi situasi. Faktor eksternal yang mendukung traceability Kegiatan perikanan tangkap di PPP Sadeng memiliki prospek untuk menerapkan traceability terutama perikanan tuna dan cakalang. Penerapan traceability salah satunya ditentukan oleh faktor eksternal yang meliputi peluang dan ancaman. Faktor tersebut digunakan dalam analisis SWOT. Faktor eksternal berupa peluang, antara lain: 1) Ekspor tuna dan cakalang masih tinggi Hal ini dilihat dari laju ekspor komoditi Indonesia ke pasar global. Menurut data UN Comtrade tahun 2014 menunjukkan volume ekspor tuna pada tahun 2012 sebesar 141.821 ton sedangkan pada tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 209.072 ton. 2) Sosialisasi traceability dari KKP KKP sudah melakukan sosialisasi mengenai sistem traceability di PPP Sadeng yang dilakukan pada bulan desember 2015. Sosialisasi ini diikuti sedikit nelayan karena nelayan menganggap sosialisasi ini tidak memberikan efek langsung untuk kehidupan nelayan. 3) Potensi sumberdaya perikanan tuna dan cakalang Potensi sumberdaya ini cukup besar. Hal ini terlihat dari jumlah produksi perikanan di PPP Sadeng pada tahun 2015 yaitu 2.181.924 kg dengan nilai produksi mencapai Rp 32.103.577.000 dengan puncak produksi pada bulan Agustus 2015. 4) Kesempatan kerja dibidang perikanan tinggi Menurut wawancara, paguyuban nelayan di PPP Sadeng sering mengadakan pelatihan melaut untuk warga desa Songbanyu yang berprofesi sebagai petani. Perikanan Sadeng mengalami perkembangan ke arah positif dari tahun ke tahun, baik dari jumlah armada penangkapan, jumlah nelayan, jumlah produksi hasil tangkapan sampai jumlah nilai produksi (Rahmi 2010). 5) Peraturan perundang-undangan tentang adopsi traceability Pemerintah mendukung sistem traceability dengan terbitnya PERMEN No.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang harus menerapkan prinsip ketelusuran. Selanjutnya dikembangkan PERMEN No.13/MEN/2014 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan. Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) memiliki salah satu tujuan memastikan penelusuran (traceability) hasil tangkapan ikan pada tahapan penangkapan, pengolahan, pengangkutan dan pemasaran. Adapun faktor eksternal berupa kelemahan, antara lain: 1) Nelayan luar daerah yang memanfaatkan potensi sumberdaya ikan Perairan Sadeng mempunyai potensi sumberdaya ikan yang melimpah namun belum bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Nelayan dari Cilacap dan Jawa Timur sering melakukan penangkapan di perairan Sadeng.
22 2) Keadaan lingkungan Sadeng yang rawan bencana alam PPP Sadeng terletak didaerah setelah perbukitan yang kurang strategis yang rawan longsor. Sadeng juga mempunyai potensi terendam lumpur yang berasal dari sungai bengawan solo purba. Daerah Sadeng rawan terjadi gempa karena perairan selatan Sadeng terdapat pertemuan lempeng tektonik yang aktif. 3) Konflik antar nelayan terkait pemanfaatan DPI ditengah laut Konflik dalam kegiatan penangkapan ikan terjadi antara nelayan Sadeng dengan nelayan luar daerah merupakan konflik pengelolaan sumberdaya. Nelayan luar daerah sering menangkap ikan di wilayah rumpon milik nelayan Sadeng. Nelayan Sadeng merasa dirugikan akibat aktifitas nelayan luar tersebut. Menurut Satria (2006), Konflik pengelolaan sumberdaya adalah konflik yang terjadi akibat “pelanggaran aturan pengelolaan” serta adanya isu-isu tentang siapa yang berhak mengelola sumberdaya perikanan atau sumberdaya laut. Konflik bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan. 4) Embargo penjualan tuna dan cakalang didunia jika tidak di-traceability Faktor ancaman ini merupakan faktor yang menentukan keberhasilan produk perikanan indonesia terutama tuna dan cakalang dapat diterima di pasar global. Hal ini karena isu dunia mengenai kualitas dan keamanan produk pangan, salah satu cara untuk mengetahui dengan cara traceability. Transparansi dalam traceability menjadi penting karena konsumen semakin khawatir tentang keamanan, kualitas, dan asal produk pangan (Ringsberg 2014). Tabel 10 Faktor strategi eksternal (EFAS) Bobot x Rating 0,56 0,30 0,60 0,33 0,33
No
Peluang
Bobot
Rating
1 2 3 4 5
Ekspor tuna dan cakalang masih tinggi Sosialisasi traceability dari KKP Potensi sumberdaya perikanan tuna dan cakalang Kesempatan kerja dibidang perikanan tinggi Peraturan perundang-undangan tentang adopsi traceability (Permen No.01/MEN/2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dan No.13/PERMENKP/2012 tentang sertifikat hasil tangkapan ikan)
0,14 0,10 0,15 0,11 0,11
4 3 4 3 3
No.
Ancaman
Bobot
Rating
0,10
2
Bobot x Rating 0,20
0,09
1
0,09
0,07
1
0,07
0,13
2
0,26
1
Nelayan luar daerah yang memanfaatkan potensi sumberdaya ikan di Sadeng 2 Keadaan lingkungan Sadeng yang rawan bencana alam 3 Konflik antar nelayan terkait pemanfaatan DPI ditengah laut 4 Embargo penjualan tuna dan cakalang dipasar global jika tidak di-traceability Jumlah Sumber: Data olahan (2016)
1
2,74
23 Berdasarkan faktor eksternal peluang dan ancaman yang telah memiliki penilaian yang berbeda maka total skor yang diperoleh sebesar 2,74. Menurut Rangkuti (2000) apabila suatu sistem analisis faktor eksternal antara peluang dan ancaman memiliki total skor ≥2,5, maka strategi pengembangan traceability perikanan tuna dan cakalang dapat ditingkatkan sehingga kondisi eksternal sistem mampu mengatasi situasi. Perumusan Strategi SWOT yang mendukung penerapan traceability Perumusan strategi ini bertujuan untuk menggabungkan faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) dengan faktor eksternal (Peluang dan Ancaman) yang mendukung penerapan traceability di PPP Sadeng, Gunungkidul, Yogyakarta. Strategi yang mendukung penerapan traceability dapat dirumuskan dengan menggunakan kekuatan yang ada untuk menciptakan peluang (strategi SO), menggunakan kekuatan untuk mencegah ancaman yang timbul (strategi ST), meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang (strategi WO) dan meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman (strategi WT) Berdasarkan Tabel 10 mengenai hasil rumusan strategi SWOT, terdapat alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam mendukung traceability di PPP Sadeng, Gunungkidul, Yogyakarta. Strategi tersebut diperoleh dengan menggabungkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Perumusan strategi yang mendukung penerapan traceability perikanan tuna dan cakalang di PPP Sadeng (Tabel 11).
24 Tabel 11 Perumusan strategi SWOT yang mendukung penerapan tracebility perikanan tuna dan cakalang di PPP Sadeng EFAS/IFAS
Peluang (O) 1. Potensi sumberdaya perikanan tuna dan cakalang (O1) 2. Ekspor traceablity tuna dan cakalang masih tinggi (O2) 3. Peraturan perundang-undangan tentang adopsi traceability (Permen No.01/MEN/2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dan No.13/PERMEN-KP/2012 tentang sertifikat hasil tangkapan ikan) (O3) 4. Sosialisasi traceability dari KKP (O4) 5. Kesempatan kerja dibidang perikanan tinggi (O5)
Kekuatan (S) 1. Ikan tuna dan cakalang memiliki nilai ekonomis tinggi (S1) 2. Nelayan menggunakan GPS (S2) 3. Penyimpanan ikan dominan menggunakan es (S3) 4. Pancing ulur merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan (S4) 5. Bycatch yang tertangkap sedikit (S5) 6. Pengetahuan pegawai PPP tentang traceability (S6) 7. Rumpon sebagai alat bantu penangkapan (S7)
Kelemahan (W) 1. Pemahaman nelayan mengenai traceability (W1) 2. Presentase tuna yang memenuhi kriteria eksport masih sedikit (W2) 3. Pendidikan nelayan masih rendah (W3) 4. Nelayan kurang memberi informasi daerah penangkapan ikan (W4) 5. Fasilitas kepelabuhanan masih minim (W5) 6. Informasi keberadaan rumpon tidak dilaporkan sepenuhnya (W6) 7. Akses transportasi yang minim (W7) Strategi SO Strategi WO 1. Peningkatan pendidikan 1. Mengoptimalkan sumberdaya manusia (W1, pemanfaatan SDI tuna dan W3, O3, O5) cakalang (S1, S3, S7,O1,O5) 2. Peningkatan pemahaman 2. Melakukan pengembangan mengenai ukuran layak perikanan tuna dan cakalang tangkap tuna dan dengan sistem traceability traceability (W1, W2, (S2,S3,S4,S5,S6,O2,O3,O4) O1,O2) 3. Membangun kerjasama dengan LSM dalam membantu menerapkan traceability (W1, W3, W4, W6, O1, O3, O4) 4. Membuka investasi dalam penerapan traceability (W4, W6, O2,O5)
Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT 1. Memperkuat peraturan 1. Perbaikan pengembangan 1. Nelayan luar daerah yang fasilitas pelabuhan (W5, W7, memanfaatkan potensi traceability untuk nelayan T2) sumberdaya ikan di Sadeng (T1) pancing ulur (S1, S3, S4, S5, 2. Meningkatkan sosialisai 2. Keadaan lingkungan Sadeng S6, T4) perikanan rumpon dan yang rawan bencana alam (T2) 2. Meningkatkan pengawasan traceability (W1, W2, W3, 3. Konflik antar nelayan terkait dalam kegiatan penangkapan W5, T1, T3, T4) pemanfaatan DPI ditengah laut ikan (S5, S7, T1, T2, T3) 3. Mengadakan pelatihan (T3) sertifikasi traceability (W1, 4. Embargo penjualan tuna dan W3, W4, W5, T1, T3, T4) cakalang didunia jika tidak ditraceability (T4)
Sumber: Data olahan (2016)
25 Strategi SO yaitu faktor kekuatan (S) digabungkan dengan peluang (O) yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang sehingga diperoleh dua alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mendukung penerapan traceability yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna dan cakalang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambah jumlah armada penangkapan ikan dan menambah jumlah trip armada penangkapan ikan. Strategi selanjutnya, melakukan pengembangan perikanan tuna dan cakalang dengan sistem traceability. Hal tersebut diperoleh dengan cara menerapkan sistem traceability dalam pengelolaan hasil tangkapan yang didukung teknologi yang canggih. Strategi WO ini bertujuan meminimalkan kelemahan untuk menciptakan peluang. Terdapat dua alternatif strategi WO yaitu peningkatan pendidikan sumberdaya manusia dan membangun kerjasama LSM dalam penerapan traceability. Strategi peningkatan pendidikan sumberdaya manusia dilakukan dengan cara pelatihan pengisian logbook dan penanganan ikan diatas kapal sehingga kualitas ikan dapat terjaga serta program pengisian logbook bisa berjalan optimal. Selanjutnya strategi membangun kerjasama dengan LSM dalam penerapan traceability dilakukan guna membantu dalam mengembangkan teknologi traceability yang bisa diadopsi nelayan pancing ulur skala kecil. Strategi selanjutnya yaitu melakukan investasi dalam penerapan traceability. Hal tersebut menjadi strategi penting karena fasilitas pendukung pelabuhan seperti pabrik es masih belum memadai, nelayan biasanya membeli es di Klaten dan Solo. Selain itu, penyediaan alat pemantau kapal untuk memantau keberadaan lokasi/posisi penangkapan ikan sehingga mempermudah pihak pelabuhan dalam pencatatan di logbook. Investasi teknologi dalam pengembangan traceability juga sangat dibutuhkan seperti teknologi barcode yang penting dalam traceability. Alternatif strategi peningkatan pemahaman mengenai ukuran tuna layak tangkap dan traceability dapat dilakukan dengan sosialisasi secara berkelanjutan mengenai ukuran tuna layak tangkap dan traceability kepada nelayan agar nelayan menyadari pentingnya nilai ekonomis dan biologis jika menangkap ikan tuna dengan ukuran layak tangkap. Alternatif strategi ST (kekuatan dan ancaman) dalam mendukung penerapan traceability menggunakan kekuatan yang ada untuk mencegah ancaman yang akan terjadi. Strategi ST yaitu memperkuat peraturan traceability untuk nelayan pancing ulur. Strategi ini memperkuat untuk nelayan pancing ulur sehingga bisa menerapkan traceability. Sebuah sistem traceability yang kokoh dan kredibel dapat dikembangkan melalui kerjasama antara industri dan LSM sehingga peraturan negara tentang traceability akan menjadi kuat (Wiryawan et al 2015). Pemerintah sudah menyediakan program SHTI (Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan) maka dari itu perlu ada sosialisasi SHTI ke nelayan pancing ulur. Meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan. Hal ini untuk mencegah nelayan luar daerah yang memanfaatkan sumberdaya ikan di Sadeng dan mencegah konflik antar nelayan terkait pemanfaatan DPI. Alternatif strategi WT (kelemahan dan ancaman) dalam mendukung penerapan traceability dengan meminimalkan faktor kelemahan untuk menghindari faktor ancaman yang senantiasa terjadi. Strategi WT ini yaitu perbaikan dan pengembangan fasilitas pelabuhan yang perlu dukungan pemerintah supaya fasilitas pelabuhan seperti docking dan SPBU dikembangkan. Jika fasilitas pelabuhan dikembangkan maka berdampak positif bagi
26 pengembangan perikanan di PPP Sadeng, Gunungkidul, Yogyakarta. Strategi selanjutnya yaitu meningkatkan sosialisasi perikanan rumpon dan traceability. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan intensitas sosialisasi traceability dan rumpon yang merangkul keseluruhan nelayan sehingga nelayan paham mengenai traceability. Strategi selanjutnya mengadakan pelatihan sertifikasi traceability. Pelatihan sertifikasi traceability ini ditujukan untuk nelayan guna meningkatan kualitas daya saing nelayan dan harga ikan yang dipasarkan akan lebih tinggi. Penerapan traceability dapat membantu menjaga keamanan pangan dunia dan memenuhi permintaan pasar. Traceability juga dapat meningkatkan produksi secara berkelanjutan sehingga dapat menjaga konsumsi ikan di masa depan (Sampson 2015). Indonesia merupakan negara berkembang sebagai salah satu produsen perikanan tuna terbesar harus menerapkan sistem traceability untuk pengembangan mutu perikanan yang berkelanjutan, memerangi IUU Fishing dan memperbaiki kekurangan data perikanan (Duggan 2016). Pemerintah membuat PERMEN KP No.13/MEN/2012 mengenai SHTI berguna untuk memperlancar perdagangan ikan yang dipasarkan di Uni Eropa, memerangi IUU Fishing, memastikan penelusuran (traceability), dan melaksanakan ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Pemerintah juga berusaha memperbaiki data perikanan Indonesia dengan membuat logbook penangkapan ikan yang disahkan melalui PERMEN No.48/ PERMEN-KP/2014 mengenai logbook penangkapan ikan. Logbook penangkapan ikan diharapkan diisi nelayan guna memperkaya data perikanan. Logbook penangkapan ikan berisi informasi kapal, lokasi penangkapan ikan, waktu penangkapaan ikan, identifikasi ikan hasil tangkapan, berat ikan tangkapan yang merupakan beberapa kriteria sistem traceability. Namun, kenyataan di lapang nelayan belum sepenuhnya bisa mengisi logbook penangkapan ikan. Faktor kualitas sumberdaya nelayan yang menjadi tantangan berat dalam mengisi logbook karena hampir sebagian nelayan masih buta aksara. Traceability merupakan suatu sistem yang penting diterapkan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan meningkatnya permintaan produk yang memenuhi kriteria food safety, traceability, dan sustainability (KKP 2015). Nelayan di Indonesia masih mempunyai prinsip belum berorientasi mutu sehingga dapat menjadi hambatan dalam pemasaran produk perikanan di luar negeri (Rachman 2013). Suatu saat akan berkembang permintaan produk yang lebih khusus seperti bukan berasal dari IUU Fishing serta kewajiban garansi produk dan produk bebas rumpon (KKP 2015). Indonesia dapat mempersiapkan diri dengan melakukan pengembangan traceability dengan evaluasi peraturan yang dibuat pemerintah dan kerja sama dengan LSM yang membantu pengembangan traceability di Indonesia. Fair trade adalah suatu skema pelabelan yang sudah diakui secara internasional yang memberi informasi ke konsumen. Informasi tersebut mengenai suatu komoditas tertentu yang sudah diproduksi dengan sumber bahan baku yang jelas, adil, beretika, berwawasan lingungan dan berkelanjutan. Kesenjangan ekonomi dunia, produksi dan pasokan pangan menjadi latar belakang skema pelabelan fair trade (Naylor 2014). Fair trade didefinisikan sebagai mitra dalam perdagangan berdasarkan percakapan, kejelasan dan menghargai suatu usaha, untuk lebih adil dalam melakukan perdagangan internasional. Fair trade berkontibusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan dengan menawarkan perdagangan yang lebih baik guna melindungi hak produsen dan pekerja yang
27 terpinggirkan (Bowen 2001). Produsen yang memiliki sertifikat fair trade akan mendapatkan dana yang lebih tinggi. Dana ini, digunakan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, sistem produksi yang lebih efisien, dan melaksakan program lingkungan hijau (Duggan 2016). Fair Trade USA sedang mengembangkan standar perikanan tangkap agar fair trade bisa diterapkan di Indonesia. Standar ini, menggabungkan antara standar perikanan tangkap dan prinsip fair trade USA yang berkaitan dengan pemberdayaan, pembangunan ekonomi, tanggung jawab sosial dan kepedulian lingkungan (Fair Trade 2014). Transparansi mengenai traceability pangan menjadi isu yang penting untuk konsumen. Konsumen semakin khawatir mengenai kejelasan dan kepercayaan bahan pangan, khususnya keamanan, kualitas dan asal usul produk pangan (Ringsberg 2014). Traceability didefinisikan sebagai kemampuan mengakses setiap atau seluruh informasi sepanjang siklus hidup melalui pertimbangan dalam pencatatan identifikasi (Bailey et al 2016). Sistem traceability merupakan salah satu variabel yang dimasukkan dalam skema Fair Trade. Persyaratan traceability umumnya berasal dari Uni Eropa dan Amerika. Informasi mengenai kasus pangan biasanya terjadi di Eropa dan Amerika karena konsumen sangat menghargai dan memahami konsep traceability dan keamanan pangan. Sedangkan, pelaku rantai pasok di Indonesia belum mengutamakan sistem traceability sehingga harus didorong untuk dapat berpartisipasi dan menerapkan sistem ini dalam rantai pasok. Mekanisme traceability meningkatkan nilai produksi yaitu konsumen membayar ikan harga tinggi dengan diberi informasi mengenai asal usul ikan mulai ditangkap sampai ke tangan konsumen dalam bentuk suatu barcode. Barcode tersebut berisi semua informasi mengenai kegiatan dan alur rantai pasok ikan dicatat secara rinci baik menyangkut mutu maupun cara penangkapan dan asal usul ikan yang ditangkap mulai pada aktifitas kapal penangkap, unit pengolahan ikan (UPI), transportasi, penyimpanan dan distribusi (KKP 2015). Kegiatan penangkapan ikan harus dilakukan secara tidak merusak atau illegal sesuai dengan peraturan dan kebijakan. Pengenalan sistem traceability di Norwegia merupakan salah satu kesuksesan penerapan traceability yang menghasilkan banyak manfaat seperti yang dirasakan pelaku perikanan dengan meningkatkan dokumentasi produk yang lebih baik. Pelaku perikanan memiliki pandangan positif mengenai traceability yaitu sebagai metode pengamanan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan (Donelly 2012).
28
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesiapan nelayan dalam penerapan traceability di PPP Sadeng secara keseluruhan dikategorikan cukup siap. Sedangkan kesiapan dinas dalam penerapan traceability secara keseluruhan dikategorikan siap. Strategi yang dapat dipilih untuk mendukung penerapan traceability perikanan tuna dan cakalang di PPP Sadeng adalah mengoptimalkan pemanfaatan SDI tuna dan cakalang, melakukan pengembangan perikanan tuna dan cakalang, peningkatan pendidikan sumberdaya manusia, peningkatan pemahaman mengenai ukuran tuna layak tangkap dan traceability, membangun kerjasama dengan LSM dalam penerapan traceability, membuka investasi dalam penerapan traceability, memperkuat peraturan traceability untuk nelayan pancing ulur, meningkatkan pengawasan dalam kegiatan penangkapan ikan, perbaikan pengembangan fasilitas pelabuhan, meningkatkan sosialisasi perikanan rumpon dan traceability, dan mengadakan pelatihan sertifikasi traceability. Saran Strategi pengembangan traceability harus didukung tidak hanya dari nelayan dan pemerintah tetapi juga dari pihak swasta dan LSM sehingga akan memberi dampak yang baik untuk kelangsungan ekonomi nelayan. Pihak pemerintah dan swasta perlu menyediakan investasi dalam mendukung traceability dalam pengembangan fasilitas pelabuhan. Sosialisasi dan penyuluhan mengenai traceability kepada nelayan harus diadakan secara berkelanjutan di PPP Sadeng, Gunungkidul, Yogyakarta. Penelitian lanjutan, bukan hanya berdasarkan pada persepsi, namun disarankan untuk melakukan observasi lanjutan untuk pendalaman terhadap sistem perikanan termasuk fasilitas dan kelembagaan tangkap.
29
DAFTAR PUSTAKA Bailey M, SR Bush, PJM Oosterveer. 2016. Fishers, Fair Trade, and finding middle ground. Fisheries Research 182: 1-10 Bailey M, Duggan D, A Miller, B Wiryawan. 2015. Closing the incentive gap: the role of public and private actors in governing Indonesia’s tuna fisheries. Journal Environmental Policy & Planning 18: 141-160 Besweni. 2009. Kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan dibarat daya perairan Pelabuhan Ratu [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Bowen B. 2001. “Let’s go fair!” Fair Trade Yearbook. EFTA: 21-41 Bungin B. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta (ID): Prenada Media. Dinas Kelautan dan Perikanan Yogyakarta. 2012. Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yogyakarta (ID): Dinas Kelautan dan Perikanan Yogyakarta Donnelly KAM, P Olsen. 2012. Catch to landing traceability and effect of implementation – A case study from the Norwegian white fish sector. Journal Food Control 27: 228-233 Duggan D, M Kochen. 2016. Small in scale but big in potential: Opportunities and challenges for fisheries certification of Indonesian small-scale tuna fisheries. Journal Marine Policy 67: 30-39 Derrick S dan M Dillon. 2004. A Guide to Traceability within the Fish Industry. Denmark (DK): EuroFish. 1-86 European Union. 2002. Regulation (EC) No.178/2002 of the European Parliament and of the Council of 28 January 2002 laying down the general principles and requirement of food law, establishing the European Food Safety Authority and laying down producers in matters of food safety. Official Journal of the European Communities 31: 1-24 Fauzi A. 1999. Psikologi Umum. Bandung (ID): CV. Pustaka Setia. Fair Trade. 2014. Fair Trade USA Capture Fisheries Standard. US: Fair Trade (1): 1-20 Food of Agriculture Organization of the United Nations. 2009. A fishery manager’s guidebook – Menegement measure and their apllication. Roma (IT): FAO Food of Agriculture Organization of the United Nations. 2014. The State of World Fisheries and Aquaculture. Roma (IT): FAO Food of Agriculture Organization of the United Nations. 2015. Tuna – Desember 2015, US [Internet]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Data Statistik Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014. Jakarta (ID) : Kementrian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan, Marine Protected Areas Governance. 2015. Buku putih pengelolaan perikanan tuna-tongkolcakalang di Indonesia [Paper]. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. [Internet]. [Diunduh pada 2016 April 25]. Tersedia pada: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/dokumen/viewdownload/57-2-pendek atan-ekosistem-pengelolaan-perikanan/724-7-buku-putih-pengelolaanperikanan-tuna-tongkol-cakalang-di-indonesia
30 [KEPMEN] Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan RI No.10/Men/2005 tentang: Peningkatan Status Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Bacan, Tobelo, Kwandang, Sadeng, Dan Tumumpa Menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP). Jakarta (ID): Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Hal lampiran Masyarakat dan Perikanan Indonesia. 2015. Laporan Tahunan MDPI 2015. Denpasar (ID): Masyarakat dan Perikanan Indonesia [Internet]. [Diunduh pada 2016 Agustus 09]. Tersedia pada: http://mdpi.or.id/images/ pdf_list/annualreport/MDPI_Annual_Report_2015_INDONESIAN_ONLIN E.pdf McMeekin TA, Baranyi J, Bowman J, Dalgaard P, Kirk M, Ross T, Schmid S, Zwietering M.H. 2006. Information system in food safety management. International Journal of Food Microbiology 112: 181-194 Menteri Kelautan dan Perikanan RI. 2007. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.01/MEN/2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Hal lampiran Menteri Kelautan dan Perikanan RI. 2011. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.45/MEN/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Hal lampiran Menteri Kelautan dan Perikanan RI. 2012. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.13/PERMEN-KP/2012 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Hal lampiran Menteri Kelautan dan Perikanan RI. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.26/PERMEN-KP/2014 tentang Rumpon. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Hal lampiran Menteri Kelautan dan Perikanan RI. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.48/PERMEN-KP/2014 tentang Logbook Penangkapan Ikan. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Hal lampiran Mudjari FK. 2010. Tingkat Kebutuhan dan Penyediaan es untuk Keperluan Operasi Penangkapan Ikan di PPS Cilacap [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Naylor L. 2014. “Some are more fair than others”: fair trade certification, development, and North-South subjects. Journal Agriculture and human Values 31:273-284 Nurani TW, PI Wahyuningrum, SH Wisudo, RE Arhatin, S Gigentika. 2016. The Dynamics of Fishing Season and Tuna Fishing in the Indian Ocean Waters (FMA) 573. International Journal of Development Research 6:1-7 Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng. 2014. Data Kapal Nelayan PPP Sadeng Tahun 2014. Gunungkidul (ID): Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunungkidul, Yogyakarta.
31 Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng. 2015. Data Produksi Perikanan di PPP Sadeng Tahun 2015. Gunungkidul (ID): Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunungkidul, Yogyakarta Rachman A 2013. Perilaku ekonomi nelayan ikan tuna dalam kerangka industrialisasi perikanan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Rahmi TA. 2010. Analisis Usaha Perikanan Tangkap dan Kemungkinan Pengembangannya Di Sadeng, Kabupaten GunungKidul, Daerah Istimewa Yogyakarta [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rangkuti F. 2000. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Raspor P. 2005. Bio-markers: Traceability in food safety issues. Acta Biochimica Polonica 52: 659-664. Riduwan. 2011. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung (ID): Alfabeta. Ringsberg H. 2014. Perspectives on Food Traceability: A Systematic Literature Review. International Journal: Supply Chain Management 19: 558-576 Sampson GS, JN Sanchirico, CA Roheim, SR Bush, JE Taylor, EH Allison. 2015. Sustainability. Secure sustainable seafood from developing countries. Journal Science 348: 504-506 Satria A. 2006. Konflik Nelayan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan [Paper]. Disampaikan pada Forum Koordinasi Pemanfaatan Sumberdaya ikan, DKP, Manado, 7-9 Desember 2006 Silalahi U. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung (ID): PT Refika Aditama. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Administrasi dilengkapi Metode R dan D. Banding (ID): CV.Alfabeta. Thakur M, Donnelly. 2010. Modelling traceability information in soybean value chain. Journal of Food Engineering 99: 98-105. UN Comtrade, 2016. UN Comtrade Database, US [Internet]. [Diunduh pada 2015 Maret 02]. Tersedia pada: http://comtrade.un.org/data/ Von Brandt A. 2005. Fish Catching Methods of the World. Fourth Edition. England (GBR): Black Well Publishing Ltd. Wahyuningrum PI, TW Nurani, TA Rahmi.2012. Usaha Perikanan Tangkap Multi Purpose di Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Maspari Journal 4: 10-22. Widiastuti I, S Putro. 2010. Analisis Mutu Ikan Tuna Selama Lepas Tangkap. Maspari Journal. 1: 58-65 Wiratama B. 2011. Kelayakan Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor World Wildlife Fund. 2013. A future for tuna – WWF Partnership Project Towards Sustainable Tuna Fisheries [Paper]. Germany : WWF 1-5 World Wildlife Fund. 2015. Traceability principle for wild-caught fish products [Paper]. Germany: WWF. 1-8
32
LAMPIRAN
33 Lampiran 1 Gambar fasilitas pelabuhan perikanan pantai Sadeng
Pintu Gerbang
Kantor UPTD
Docking
Tempat Penyimpanan
Kolam pelabuhan
SPBU
TPI
Kantor Syahbandar
34
Kapal Sekoci Penimbangan Hasil Tangkapan
Penyortiran ikan tuna
Penyortiran cakalang
Lampiran 3 Kuisioner untuk nelayan Pertanyaan kepada nelayan dengan jumlah responden 30 orang 1. Apakah anda mengerti tentang Traceability ? 2. Apakah anda menyimpan ikan dengan menggunakan es? 3. Apakah anda menangkap ikan yang dilindungi (hiu martil, lumba-lumba, penyu)? 4. Apakah anda memberitahu lokasi penangkapan ikan kepada pengepul atau konsumen? 5. Apakah anda selalu mengisi logbook ? 6. Apakah anda mengetahui rumpon berlisensi? 7. Apakah anda mengetahui mengenai adanya SHTI (Surat Hasil Tangkapan Ikan) ?
35 Lampiran 4 Data persepsi nelayan Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 total skor
1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 7 23.33
2 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 16 53.33
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 30 100
Pertanyaan 4 5 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 15 19 50 63.33
6
7 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 18 60
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 7 23.33
36 Lampiran 5 Kuisioner untuk pegawai pelabuhan Pertanyaan kepada pegawai pelabuhan dengan jumlah responden 10 orang 1. Apakah anda mengetahui Traceability? 2. Apakah anda mengetahui rumpon berlisensi? 3. Apakah fasilitas pelabuhan siap jika diterapkan traceability? 4. Apakah nelayan mengisi logbook? 5. Apakah dinas memberi informasi kondisi gelombang laut, cuaca, kelimpahan stok ikan? 6. Apakah anda mengetahui dimana ekspor ikan hasil tangkapan? Lampiran 6 Data persepsi dinas Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 total skor
1
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 100
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 100
Pertanyaan 3 4 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 1 5 6 50 60
5
6 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 7 70
1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 8 80
Faktor Strategis Internal A Kekuatan A. Ikan tuna dan cakalang memiliki nilai ekonomis tinggi X B. Nelayan menggunakan GPS 2 C. Penanganan ikan didominasi menggunakan es 1 D. Nelayan pancing ulur yang dominan 2 E. Bycatch yang ditangkap sedikit 2 F. Pengetahuan pegawai PPP tentang traceability 2 G. Rumpon sebagai alat bantu penangkapan 1 Kelemahan H. Pemahaman nelayan mengenai traceability 3 I. Ukuran tuna layak tangkap masih sedikit 2 J. Pendidikan nelayan masih rendah 2 K. Nelayan kurang memberi informasi daerah penangkapan 1 L. Fasilitas pelabuhan masih minim 2 M. Informasi keberadaan rumpon tidak dilaporkan sepenuhnya 2 N. Akses transportasi yang minim 1 TOTAL
Lampiran 7 Penilaian bobot faktor strategi internal C 3 3 X 3 2 3 2 3 2 3 1 2 1 2
B 3 X 2 3 1 2 1 2 3 3 2 1 2 2
1 1 2 2 1 2 1
3 2 2 X 1 1 1
D
3 2 2 2 2 2 1
3 3 1 3 X 2 1
E
3 3 3 3 1 1 1
3 2 2 2 1 X 2
F
2 2 1 2 2 1 1
3 2 2 2 1 2 X
G
X 3 2 2 1 2 1
3 3 1 3 2 3 1
H
3 X 3 2 2 1 1
2 1 2 3 1 2 1
I
3 2 X 2 X 2 1
3 3 2 3 3 2 1
J
2 3 2 X 1 2 2
3 2 2 3 1 2 1
K
2 2 2 1 X 1 2
3 2 1 2 3 2 2
L
3 2 2 3 2 X 1
3 2 3 1 1 2 2
1 3 2 1 2 3 X
3 2 1 2 2 3 3
M N
31 30 29 24 19 22 17 361
38 29 22 32 21 28 19
Total
0,09 0,08 0,08 0,06 0,05 0,06 0,05 1,00
0,11 0,08 0,06 0,09 0,06 0,08 0,05
Bobot
37
Faktor Strategis Internal Peluang A. Ekspor tuna dan cakalang masih tinggi B. Sosialisasi traceability dari KKP C. Potensi perikanan tuna dan cakalang D. Kesempatankerja dibidang perikanan tinggi E. Peraturan perundangan-undangan tentang adopsi traceability Ancaman F. Nelayan luar daerah yang memanfaatkan potensi sumberdaya ikan G. Keadaan rawan bencana alam H. Konflik antar nelayan terkait pemanfaatan DPI ditengah laut I. Embargo penjualan tuna dan cakalang dipasar global jika tidak ditraceability TOTAL
Lampiran 8 Penilaian bobot faktor strategi eksternal
2 1 X 1 2 1 1 1 3
X 3 2 X 2 3 1 2 2 2 2 1 1 3
2 1 1 2
C
A B
1 2 2 2
2 1 3 X 1
D
2 1 1 2
3 2 3 3 X
E
X 3 2 3
2 3 2 1 3
F
3 X 1 3
3 3 3 3 2 2 2 X 2
3 2 3 3 3
G H
2 2 2 X
3 1 3 2 1
I
0,10 0,09 0,07 0,13 1,00
149
0,14 0,10 0,15 0,11 0,11
Bobot
15 13 11 20
21 15 22 16 16
Total
38
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 11 September 1994 dari Ayah Drs Joko Kiswoyo dan Ibu Dra Sri Hartati. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Karanganom, Klaten pada tahun 2012 dan pada tahun 2012 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB periode 2013-2015 sebagai staff Departemen Badan Internal dan Kesekretariatan, Keluarga Mahasiswa Klaten periode 2012-2016 sebagai anggota, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor Komisariat Perikanan periode 2014-2016 sebagai Ketua Umum. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Prospek Penerapan Traceability Perikanan Tuna dan Cakalang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta” untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.