PROSIDING SEMINAR NASIONAL VII MASYARAKAT KONSERVASI TANAH INDONESIA Palembang, 6-8 November 2013
ISBN: 978-602-70116-0-1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL VII MASYARAKAT KONSERVASI TANAH INDONESIA Palembang, 6-8 November 2013
Meningkatkan Ketahanan Pangan serta Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air
Penyunting: Satria Jaya Priatna Midranisiah Hilda Agustina Jaya Darmawan
MASYARAKAT KONSERVASI TANAH INDONESIA CABANG SUMATERA SELATAN 2013
PROSIDING SEMINAR NASIONAL VII Meningkatkan Ketahanan Pangan serta Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air Copyright © MKTI Cabang SUMSEL, 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Penyunting: Satria Jaya Priatna Midranisiah Hilda Agustina Jaya Darmawan Desain sampul & tata letak: A. A. Bama Diterbitkan oleh: MKTI Cabang Sumatera Selatan BPDAS Musi Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Punti Kayu Palembang, Kotak Pos 1202 Telp. 0711-411378 Fax 0711-413329 e-mail:
[email protected] xx + 388 hlm.; A4 ISBN: 978-602-70116-0-1
Dicetak oleh Percetakan & Penerbitan SIMETRI Palembang Isi di luar tanggung jawab percetakan
KATA PENGANTAR
P
uji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Prosiding Seminar Nasional VII Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia yang bertemakan “Meningkatkan Ketahanan Pangan serta Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air” dapat kami selesaikan. Prosiding ini merupakan kumpulan makalah seminar yang diaadakan oleh MKTI Cabang Sumatera Selatan pada tanggal 6-8 November 2013 di Palembang. Penyusunan Prosiding ini dimaksudkan agar masyarakat luas dapat mengetahui berbagai informasi terkait isi makalah yang telah dipresentasikan dan mendokumentasikan hasil seminar nasional yang terangkum dalam makalah-makalah yang disajikan dalam seminar. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada para penyaji dan penulis makalah, penyunting serta redaksi pelaksana yang telah berkerja keras sehingga Prosiding ini dapat diterbitkan. Kami sampaikan terima kasih juga kepada Tim Penyelia yang telah mereview semua makalah sehingga kualitas isi makalah dapat terjaga dan dipertanggungjawabkan. Tak lupa kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan bagi terselenggaranya seminar nasional ini dan atas tersusunnya prosiding ini kami ucapan terima kasih. Akhir kata, semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Palembang, November 2013
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
v
DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................................................
v
Daftar Isi .........................................................................................................................................
vii
Kata Sambutan Ketua Panitia .........................................................................................................
xi
Sambutan Gubernur Sumatera Selatan ...........................................................................................
xiii
Rumusan Seminar Nasional VII Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia ...................................
xv
Susunan Panitia Seminar Nasional VII dan Kongres VIII MKTI ...................................................
xix
MAKALAH UTAMA Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk Menjamin Kehidupan Lestari. Naik Sinukaban .........................................................................................
3
Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis AGRO-EKOSISTEM Lahan Pangan. Fachrurrozie Sjarkowi ................................................................................................
11
MAKALAH PENUNJANG Bagian 1: Hubungan Konservasi Tanah dan Air (KTA) dengan Peningkatan Produktivitas dan Biomassa Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa Sifat di Lokasi Penimbunan Tambang Batubara Bukit Asam Tanjung Enim Yang Telah Direvegetasi. Alamsyah Pohan dan Satria Jaya Priatna ................................................................................................
29
Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) dan Mulsa Alang-alang (Imperata cylindrica L.) terhadap Kebutuhan Air Tanaman pada Pertumbuhan Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) dengan Sistem Irigasi Tetes. Alex Chandra Sipahutar, Hilda Agustina, Arjuna Neni Triana .......................................................................................
36
Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi Zn Lysinat dengan Berbagai Macam Hijauan. Fariani, A., Abrar, Muslim G. dan E. Satriawan ..................................................................................................................................
46
Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa Rumput Rawa. Fariani, A., A.I.M. Ali dan Tasmawati .........................................................................
58
Artropoda sebagai Bioindikator Kesehatan Lahan Pertanian. Dewi Meidalima dan Meihana ....................................................................................................................................
69
Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap Lju Resapan Air pada Lubang Biopori. Dwi Probowati Sulistiyani, Dwi Setyawan, dan Arvin Rahmatullah ........................
74
Pemanfatan Biomassa Akasia (Acacia mangium) sebagai Bahan Bakar Alat Pengering Gabah Tipe Flat Be menggunakan Panas Uap Jenuh melalui Heat Exhanger. Endo Argo Kuncoro, Rahmad Hari Purnomo,Wahyu Adi Putra ..............................................................
82
Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) pada Beberapa Sistem Bertanam (Cropping System) dan Dosis Pupuk NPK Majemuk di Lahan Kering. Hermanto, Dwi Putro Priadi, Yakup Parto ..............................................................................
89
Dinamika dan Konservasi Karbon di Lahan Sub Optimal Sumatera Selatan. Muh. Bambang Prayitno dan Bakri ................................................................................................... 100 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
vii
Daftar Isi
Prediksi Erosi dari Lahan Kebun Teh di Gunung Dempo Kota Pagaralam, Napoleon A., S. M. Bernas, A. Pratama ......................................................................................................... 106 Pemberian Pupuk Hayati dengan Jarak Tanam Berbeda terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Serapan Hara Jagung (Zea mays L) pada Lahan Pasang Surut. R. Iin Siti Aminah, Erni Hawayani, Idwar .............................................................................................................. 112 Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak), Serta Upaya Penangulanganya. Satria Jaya Priatna ......................................................................... 119 Pertumbuhan dan Hasil Jagung pada Berbagai Sistem Olah Tanah dan Jarak Tanam. Rismiyanto, Soni Isnaini, Rakhmiati, Yatmin, dan Maryati ................................................... 129 Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP. Sri Ratmini ...................................................................................................................................... 134 Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang sebagai Upaya Pengurangan Dampak Emisi Gas Rumah Kaca di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Yuli Rosianty, K.A. Hanafiah, I. Yustian ................................................... 142
Bagian 2:
Perencanaan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Konservasi Tanah dan Air Peranan Konservasi Tanah dan Air Tanah untuk Meningkatkan Fungsi Hidrologis DAS
Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi Untuk Ketahanan Pangan di Pedesaan di Daerah Tangkapan Air Singkarak. Aprisal, Bujang Rusman dan Refdinal ..................................................................................................................................... 155 Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.). Arjuna Neni Triana, Hilda Agustina, Sri Anita Agustina ....................................................... 165 Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) Pada Bagian Atas, Tengah dan Bawah Lereng di Perkebunan Karet Rakyat Desa Gunung Meraksa. Bakri, Alamsyah Pohan, dan Ade Hafitriyan .......................................................... 174 Interaksi Wortel dan Ubi Ungu sebagai Pakan Tambahan terhadap Pertumbuhan Lobster Red Claw (Cherax quadricarinatus) yang Dipelihara dari Peraiaran Umum. Boby Muslimin, Khusnul Khotimah .................................................................................................. 183 Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pasaman, Sumatera Barat. Bujang Rusman .............................................................................................. 187 Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lahan Datar dan Landai di Perkebunan Kelapa Sawit Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. Djak Rahman .................................. 195 Evaluasi Perbaikan Tapak pada Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan Batubara di PT. Berau Coal Kalimantan Timur. Endang Sosilawati .................................................................. 201 Mengurangi Genangan Air dengan Menggunakan BIOSWALES. Faradiah Hildy Putri ........ 208 Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB. Gusmiatun, Rujito A. Suwignyo, Andi Wijaya dan Mery Hasmeda ........................................................... 214 Respon Pertumbuhan Lrva Ikan Betok (Anabas testudineus) terhadap Variasi Pakan dalam Akuarium. Helmizuryani dan Boby Muslimin ............................................................. 222 Potensi Penggunaan Lahan Pekarangan Masyarakat Transmigrasi Daerah Pasang Surut Untuk Budidaya Perikanan, Penggunaan Lahan Pekarangan Masyarakat Transmigrasi Daerah Pasang Surut untuk Budidaya Perikanan, (The Potential Use of Transmigration Community’s Yard in Tidal Area for Aquacultere). Mirna ....................................................... 229 viii
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Daftar Isi
Analisis Berbagai Perangkat Pengendalian Muka Air Tanah dan Kajian Inovasi Teknologi Pipa Berlubang dalam Upaya Pengurangan Banjir di Kota Palembang. Momon Sodik Imanudin, Masreah Bernas dan NP. Sri Ratmini ....................................................... 235 Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa sebagai Lapis Tanah Dasar Jalan (Subgrade) (Studi Kasus: Kota Palembang). R. S. Ilmiaty, S. I. Pertiwi, Y. Hamdani, I. Yunus ................................................................................................. 240 Analisis Faktor-Faktor Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan. Hanapi .............................................................................................. 250 Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan di Kota Palembang. Sitti Sarifah ............................................................................................................ 257 Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif. Sri Tejowulan .................................................................................................................................. 267 Transformasi Hutan Menjadi Tanaman Perkebunan dan Dampaknya terhadap Hidrologi DAS (Impact of forest transformation and oil palm expansion on catchment hydrology). Suria Darma Tarigan dan Sunarti ........................................................................................... 279
Bagian 3: Peranan KTA dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan Penguatan Kelembagaan untuk Mendukung KTA Membangun Industri Kayu Pertukangan Melalui Pola Kemitraan Kelembagaan Klaster Agribisnis Perkayuan. Agoes Thony AK. .................................................................................. 289 Penghematan Sumberdaya Melalui Penerapan Budidaya Padi Secara Ratoon Di Lahan Pasang Surut. Andi Wijaya ....................................................................................................... 295 Peningkatan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Mengenai Konservasi Tanah dan Air Melalui Pendidikan Lingkungan. Azizah Husin ....................................................................... 301 Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek Ekologi dan Sosek. Delfy Lensari ........................................................................................................... 307 Kajian Kualitas Perairan Lebak Deling dalam Upaya Menjaga Kelestarian Sumberdaya Perairan. Khusnul Khotimah .................................................................................................... 315 Perbaikan Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa L.) Lebak dengan Pemberian Komposisi Pupuk Organik Hayati dan Anorganik. Neni Marlina, Nuni Gofar, Nurbaiti Amir, dan Bermi Arya Putra ................................................................ 320 Tanah dan perkembangan Patogent Ular Tanah. Nurhayati .................................................... 326 Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna Lahan Pada Sub Das Ogan Das Musi Sumatera Selatan. Puspitahati dan Edward Saleh .................................................. 331 Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Padi. Syafrullah .......................................................................................... 341 Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan. Yakup ......................................................................................................................................... 352 Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan Sungsang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Yudhi Zuriah WP ...................................... 361 Respon Tanaman Sawi (Brasssica juncea L ) terhadap Berbagai Konsentrasi dan Interval Pemberian Nano Bio. Yursida, Karlin Agustina dan Edy Romza ........................................... 369 Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah Pabrik Pupuk Urea. Marhaini, Faizal, Hatta Dahlan, Arinafril, dan Marsi ........................................................... 376 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
ix
Daftar Isi
Purifikasi Biogas untuk Meningkatkan Persentase Metana sebagai Bahan Bakar Alternatif dengan Menggunakan Zeolit dan Karbon Aktif. Abdullah Saleh ........................................... 384
x
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA ACARA SEMINAR NASIONAL VII DAN KONGRES VIII MASYARAKAT KONSERVASI TANAH DAN AIR INDONESIA (Palembang, 6 November 2013) Kepada Yth.: 1. Menteri Kehutanan Republik Indonesia atau yang mewakili 2. Gubernur Provinsi Sumatera Selatan atau yang mewakili 3. Pengurus Pusat dan Cabang MKTI seluruh Indonesia 4. Narasumber (Prof. Dr. Naik Sinukaban dan Prof H. Fachrurrozi Syarkowie. PhD) 5. Kepala Dinas dan Institusi Terkait dalam lingkup Provinsi dan Kabupaten Kota Se Sumatera Selatan 6. Pimpinan Perguruan Tinggi di wilayah Palembang dan sekitarnya 7. Para hadirin, peserta Seminar dan peserta Kongres MKTI yang berbahagia Assalamu Alaikum wa Rohmatullahi wa Barokatuh,
P
ertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNya kita masih diberi kesempatan untuk hadir dan menyelenggarakan Seminar Nasional VII dan Kongres Masyarakat konservasi Tanah dan Air (MKTI) VIII yang dilaksanakan di Bumi Sriwijaya yang kita cintai ini. Kegiatan ini bertujuan untuk :1) menggalang tali silaturahmi antar sesama anggota MKTI dan para pemerhati Konservasi Tanah dan Air dari seluruh Indonesia, 2) menggali berbagai informasi baik dari hasil penelitian, pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program -kegiatan yang berkaitan dengan Konservasi Tanah dan Air, serta 3) memilih dan menetapkan ke[engurusan pusat MKTI periode berikutnya. Hadirin yang Berbahagia Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkanlah saya mewakili Panitia Pelaksana kegiatan yang telah diberikan mandat oleh Pengurus Pusat MKTI, untuk menyampaikan beberapa hal, terkait dengan Pelaksanaan Kegiatan Seminar VII dan Kongres VIII MKTI, yang dimulai mulai dari tanggal 5 hingga 7 November 2013 yad. Adapun rangkaian kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini meliputi: 1. Seminar Nasional, dengan tema kegiatan "Meningkatkan Ketahanan Pangan Serta Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air" Seminar diikuti oleh sekitar 300 orang peserta dengan jumlah pemakalah sebanyak 55 orang yang berasal antara lain dari Provinsi Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Palembang, Lampung, Jawa Barat, Bogor, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
xi
Sambutan Ketua Panitia Seminar Nasional VII & Kongres VIII MKTI
Peserta seminar dan kongres merupakan anggota MKTI, Pemerhati, Akademisi, Peneliti, Praktisi dan Mahasiswa. 2. Kongres Nasional VIII MKTI, yang diikuti oleh Pengurus Pusat dan 14 pengurus cabang MKTI dari seluruh Indonesia. 3. Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air, diikuti oleh unsur Dinas terkait, serta para pemerhati dan akademisi dalam lingkup Provinsi Sumatera Selatan. 4. Fieldtrip, menyelusuri kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Musi sekitar kota Palembang, dengan menggunakan Kapal wisata Putri Kembang Dadar. Hadirin yang Kami Hormati Pelaksanaan Seminar Nasional Tahunan dan Konggres ini merupakan kontribusi dari MASYARAKAT KONSERVASI TANAH DAN AIR INDONESIA sebagai satu organisasi profesi yang mempunyai bidang kekaryaan konservasi tanah dan air. Karena itu MKTI harus berperan dalam berbagai kegiatan yang bersifat langsung ataupun tidak langsung kepada pemerintah dalam hal membantu menetapkan kebijakan untuk pelestarian tanah dan air. Sementara Kongres Nasional MKTI merupakan agenda 3 tahunan sebagai salah satu amanat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga MKTI untuk melaksanakan penyegaran dalam kepengurusan MKTI dengan memilih kepengurusan MKTI Periode 2013-2015. Sebagai panitia seminar kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua anggota panitia serta semua pihak yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang sudah bekerja dengan baik untuk menjadikan seminar ini dapat terlaksana. Ucapan yang sama disampaikan juga Kepada Masyarakat Konservasi Tanah dan Air (MKTI) Pusat dan BPDAS Sumatera Selatan yang telah memberi dukungan dan menjadi sponsor sehingga seminar dan kongres ini dapat dilaksanakan di Kota Palembang. Para Undangan dan Seluruh Peserta yang Kami Muliakan Pada even Seminar dan Kongres VIII kali ini, Insya Allah, panitia pelaksana akan mempersembahkan sebuah karya cipta dalam bentuk lagu MARS MKTI yang akan di kumandangkan oleh Group Paduan Suara Universitas Sriwijaya. Lagu ini diciptakan oleh Ketua MKTI cabang Sumatera Selatan (Dr.Ir.Satria Jaya Priatna, MS) dan di arransemen oleh Ir. Bambang Gunawan, M.Si. Semoga karya cipta ini akan menjadi lagu wajib dan dikumdangkan setiap pelaksanaan kongres dan Seminar Nasional MKTI. Demikianlah semoga Allah akan selalu memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga kita mencapai tujuan dan manfaat yang diinginkan dari pelaksanaan Seminar dan Kongres VIII MKTI ini. Aamiin YRA SALAM MKTI Wabillah hi taufik wal hidayah Wassallamualaikum wr.wb. Dr.Ir. Siti Masreah Bernas, M.Sc. Ketua Panitia Semnas
xii Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
SAMBUTAN GUBERNUR SUMATERA SELATAN PADA ACARA KONGRESS VIII, SEMINAR NASIONAL VII MASYARAKAT KONSERVASI TANAH DAN AIR INDONESIA (MKTI) DAN KONSULTASI PUBLIK RUU KONSERVASI TANAH DAN AIR (Palembang, 6 November 2013) Yang saya hormati:
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Direktur Jenderal BPDAS PS Kementerian Kehutanan, DR. Ir. Hilman Nugroho, MP Direktur PEPDAS Kementerian Kehutanan , DR. Ir. Eko Widodo Soegiri, MM. Kepala Bappeda se Provinsi Sumatera Selatan Kepala Dinas yang menangani bidang kehutanan se Provinsi Sumatera Selatan Para Kepala BPDAS di seluruh Indonesia Kepala UPT Kementerian Kehutanan Ketua Dewan Pembina MKTI Pusat, Prof. Dr. Naik Sinukaban, M.Sc Para pengurus MKTI Cabang di seluruh Indonesia Hadirin dan undangan yang berbahagia,
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera Bagi Kita Semua
M
engawali sambutan ini, perkenankanlah saya mengajak hadirin semua untuk bersama-sama memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga pada hari ini kita dalam keadaan sehal wal’afiat untuk bersama-sama menghadiri Kongres VIII, Seminar Nasional VII Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) dan Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air. Hadirin yang berbahagia, Sebagaimana kita ketahui bahwa tanah merupakan sumber penghidupan manusia, sumber air, sumber energi, dan benteng terakhir perubahan iklim. Tanah dan air adalah penyangga keberlangsungan manusia. Dua hal itu mesti dikelola dan dijaga agar fungsi-fungsi yang dimilikinya tidak terganggu. Namun demikian, sampai saat ini masih terjadi degradasi lahan setiap tahun seluas 12 juta hektar di seluruh dunia yang menyebabkan lahan tidak produktif dan menimbulkan kerugian bagi 1,5 miliar manusia di dunia. Oleh karena itu masyarakat internasional perlu mengambil langkah-langkah penting dalam rangka menghindari hilangnya lahan produktif tersebut. Di tingkat dunia, laju degradasi lahan menunjukkan angka yang cukup tinggi, namun alhamdulillah di wilayah Indonesia, trend degradasi lahan semakin lama-semakin menurun. Hal itu ditandai dengan semakin menurunnya angka deforestasi di Indonesia, dari angka tertinggi 3,5 juta hektar pada kurun 1996- 2000, terus menurun hingga periode 2009-2011 angka deforestasi sekitar 0,45 juta hektar. Hadirin yang saya muliakan, Provinsi Sumatera Selatan saat ini tidak luput oleh masalah degradasi hutan dan lahan yang berakibat kepada menurunnya daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). Tercatat luas lahan kritis di Sumatera Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
xiii
Sambutan Gubernur Sumatera Selatan
Selatan adalah 1.150.468,378 Ha, meliputi kategori kritis seluas 910.295,730 Ha dan Kategori Sangat Kritis seluas 240.172,648 Ha (Review Data Lahan Kritis BPDAS Musi, Tahun 2011). Hal ini berakibat semakin sering terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor maupun kekeringan. Peristiwa bencana alam tersebut merupakan indikator kerusakan DAS yang nyata yang telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Para Undangan yang terhormat, Upaya perbaikan lingkungan melalui berbagai teknik konservasi tanah dan air sangat perlu dilakukan. Upaya yang melibatkan seluruh masyarakat serta pihak terkait pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan daya dukung DAS secara menyeluruh. Pengertian konservasi tanah dan air adalah upaya penempatan setiap bidang lahan pada penggunaan yang sesuai dengan kemampuan lahan tersebut dan memperlakukannya sesuai syarat untuk menghindari kerusakan sekaligus mendukung kelestarian. Mengingat makin luas dan cepatnya laju degradasi lahan dan masih lemahnya implementasi konservasi tanah di Indonesia, maka perlu segera dilakukan upaya terobosan yang efektif . Peran dan kebijakan pemerintah sangat penting dan menentukan keberhasilan upaya konservasi tanah. Saat ini RUU Konservasi Tanah masih dalam proses ke arah pengesahan menjadi undang-undang. Namun sebenarnya berbagai peraturan/perundangan yang berkaitan dengan masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan ke nonpertanian, sudah banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah. Masalah yang mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum terutama karena penerapan law-enforcement yang kurang tegas. Melalui kesempatan hari ini marilah kita ikuti bersama konsultasi publik RUU Konservasi Tanah dan Air, sehingga nantinya RUU yang akan disahkan dapat mengakomodir semua kepentingan terkait pelestraian konservasi tanah dan air. Hadirin yang berbahagia, Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) merupakan organisasi profesi yang mempunyai bidang kekaryaan konservasi tanah dan air (KTA). Dalam hal ini MKTI harus dapat berperan dalam berbagai kegiatan dan program yang berkaitan dengan KTA. Peran MKTI dapat bersifat langsung (rencana aksi) maupun memberikan masukan kepada pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan upaya pelestarian tanah dan air. Kongres Nasional MKTI merupakan salah satu amanat AD/ART MKTI untuk melaksanakan penyegaran dalam kepengurusan MKTI. Selain itu Seminar Nasional juga merupakan salah satu program pengurus MKTI yang bertujuan untuk menggali berbagai informasi baik dari hasil penelitian, perkembangan kebijakan dan pelaksanaan program dan kegiatan yang berkaitan dengan Konservasi Tanah dan Air (KTA). Para hadirin berbahagia, Demikianlah beberapa arahan yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga apa yang telah saya sampaikan ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan. Terimakasih atas perhatian saudara-saudara. Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Palembang, 6 Nopember 2013 GUBERNUR SUMATERA SELATAN Ttd, H. ALEX NOERDIN
xiv Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
RUMUSAN SEMINAR NASIONAL VII DAN KONGRES VIII
MASYARAKAT KONSERVASI TANAH DAN AIR INDONESIA (MKTI) Palembang, 6 – 8 November 2013
M
emperhatikan Sambutan Menteri Kehutanan RI, Gubernur Sumatera Selatan dan paparan narasumber, serta diskusi Seminar Nasional VII dan Kongres VIII Masyarakat Konservasi Tanah Dan Air Indonesia (MKTI) telah disepakati beberapa hasil rumusan sebagai berikut:
A Rumusan dari Pembicara Kunci (Key Note speaker): 1. Upaya pencapaian pembangunan yang berkelanjutan khususnya dibidang pembangunan pengembangan sumberdaya lahan salah satunya memerlukan pengolahan dan pengelolaan tanah secara konservasi yang melibatkan teknologi: vegetatif, mekanik, kimia dan manajemen. 2. Kebijakan merubahan penggunaan lahan (tata guna lahan) harus mengacu pada 4 (empat) pilar konservasi tanah air, meliputi: KTA secara agronomis,KTA secara vegetatif, KTA secara struktur, KTA secara manajemen. 3. Untuk mendukung pengembangan dan pembangunan sumberdaya lahan perlu dikembangkan pola-pola riset dan teknologi KTA yang terintegrasi dan interdisipliner. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan bahwa pemilihan teknik konservasi tanah, harus bersifat: spesifik, mudah dan murah, serta langsung dapat diterapkan. 4. Hal utama yang perlu diperhatiakn adalah jangan memaksa petani dan masyarakat dengan pola/model dan teknik yang kita berikan. Tetapi dengan memberikan alternatif pilihan “planing” yg coba kita tawarkan. 5. Perlunya pola kemitraan yang harus dibangun oleh 4 komponen sosial, yaitu: a. sosial psikologis b. sosial ekologis c. sosial struktur d. sosial manajemen 6. Untuk memperkuat pola kemitraan adalah dengan membangun Koordinasi antara stakeholkder pada tataran konsep dan planning. Koordinasi yang terbangun hendaknya bersifat: komprehensif, terpadu, holistik dan sistemik (bergulir). 7. Persoalan kekritisan lahan semakin kompleks, untuk itu diperlukan Undang Undang yang mengatur tentang Konservasi Tanah dan Air. Saat ini kondisi ekosistem menunjukkan kecenderungan akan adanya hubungan yang signifikan antara laju degradasi lahan dengan laju alih fungsi lahan. 8. Upaya Perancangan dan Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Konservasi Tanah dan Air terus dilakukan dan digiatkan, sampai saat ini kegiatan Konsultasi Publik intens dilakukan, baik dari aspek legal maupun content/subtsansi UU tentang Konservasi Tanah Air. 9. Hasil kajian dan diskusi ahli mengungkapkan bahwa RUU tentang Konservasi Tanah dan Air tidak overlap dengan Undang-undangan sebelumnya.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
xv
Rumusan Seminar Nasional VII & Kongres VIII MKTI
10. MKTI diperlukan sebagai organisasi Independent yang akan memperkuat dan memantapkan penyusunan UU tentang Konservasi tanah dan air, baik dari dimensi substansi maupun dari kapasitasnya sebagai “presure”.
B Rumusan dari Hasil Diskusi Panel Keynote Speaker dan Diskusi Paralel: 1. Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi memiliki luas 7.787.479,29 Ha yang merupakan
DAS lintas provinsi yang mencakup 4 (empat) provinsi) yaitu Provinsi Sumatera Selatan seluas 7.285.301,70 ha (93,55%), Provinsi Jambi seluas 258.268,52 ha (3,32 %), Provinsi Bengkulu seluas 216.652,64 ha (2,78%) dan Provinsi Lampung seluas 27.256,43 ha (0,35%).
2. DAS merupakan sistem hidrologi, sistem ekologi, sistem sumberdaya, sistem sosial
ekonomi, dan sistem tata ruang pembangunan atau DAS sebagai suatu ekosistem. DAS juga merupakan suatu bioregion yang memiliki keterkaitan antara wilayah hulu, tengah dan hilir, atau wilayah DAS terdapat interdependensi antar wilayah tersebut. Di dalam wilayah DAS terdapat interaksi antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders).
3. Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu
penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, akademisi, peneliti, praktisis, swasta, dan lainnya. Perubahan alih fungsi lahan (konversi lahan) dari kawasan resapan air menjadi kawasan pertambangan, industri, perkebunan, dan permukiman, juga memberi dampak langsung terhadap perubahan keseimbangan ekosistem, antaranya degradasi komponen tanah dan air pada kawasan DAS, yang pada akhirnya menimbulkan bencana bagi masyarakat setempat. Beberapa hal yang menjadi pemicu penyebab rusaknya hutan dan meluasnya lahan kritis diantaranya disebabkan oleh adanya aktivitas pembalakan liar, kebakaran hutan, ataupun alih fungsi lahan sebagai akibat dari desakan ekonomi masyarakat terutama di sekitar hutan.
4. Konservasi Tanah dan Air adalah upaya penempatan setiap bidang Lahan pada
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan Lahan tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga dapat mendukung kehidupan secara lestari.
5.
Ada 3 teknik Konservasi Tanah dan Air (KTA) menurut Wocat (WASWC, 1998) antara lain KTA secara agronomis, secara vegetatif, secara struktur, dan secara manajemen. Namun teknik KTA ini dapat dikombinasikan (agronomis, vegetatif, struktur dan manajemen) pada kondisi dimana satu tindakan tidak berfungsi tanpa tindakan lainnya.
6. Pendayagunaan suatu bentang ekosistem menjadi area agrosistem, secara teknis harus
memperhatikan arti penting keserasian antar mata rantai ekosistem hulu-hilir, dan juga keseimbangan antara agroekosistem dan ekosistem sisa pasca konvensi sebagian bentang ekosistem
7. Pengembangan usahatani atau satuan agribisnis tanaman pangan dan perkebunan
seyogyanya didahului rekayasa teknis berdasarkan iptek bio-geofisik dan rekayasa sosial berdasarkan iptek sosio antropologis agar terbina pola kemitraan usaha yang andal secara teknis maupun non teknis.
8. Persoalan pangan nasional harus dijawab dengan suatu strategi pembangunan
kedaulatan pangan yang secara simultan harus dicapai melalui 5 siasat yaitu 1.
xvi
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Rumusan Seminar Nasional VII & Kongres VIII MKTI
Kewaspadaan pangan 2. Keamamanan pangan, keanekaragaman pangan 4. Kesiagaan pangan dan 5. Keandalan lahan pangan. 9. UU Konservasi Tanah dan Air bertujuan untuk mewujudkan sebesar-besar
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin lahan yang mampu mendukung kehidupan masyarakat, mengoptimalkan aneka fungsi lahan untuk mencapai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang dan lestari, meningkatkan daya dukung DAS, dan menjamin distribusi manfaat secara merata.
10. Materi muatan RUU Konservasi Tanah dan Air telah menggambarkan tingkat
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisinya untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan, mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum.
TIM PERUMUS: Palembang, 6 November 2013 1. Dr. Yetty Hastiana, M.Si. 2. Ir. Arifin, MP. 3. Dr. Nur Ahmadi, M.Si.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
xvii
Lampiran Surat Keputusan Kepala BPDAS Musi Nomor : SK. /BPDAS.M-3/2013 Tanggal : 30 September 2013
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL DAN KONGRES VIII MASYARAKAT KONSERVASI TANAH DAN AIR (Palembang, 6-8 Novemmber 2013) Pengarah
: Ketua MKTI Pusat Kepala Dinas Kehutanan Prov. Sumsel Kepala BPDAS Musi
Penanggung Jawab
: Ketua MKTI Cabang Sumatera Selatan (Dr.Ir.Satria Jaya Priatna, M.S) Ketua Forum DAS Sumsel (Dr.Ir. Edward Saleh, M.S)
Pelaksana Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Kesekretariatan
: : : : :
Dr. Ir. Siti Masreah Bernas, M.Sc. Ir. Ruli Joko Purwanto, M.P. Puspitahati, STP, M.P Yunita Dwi Hastuti, S.Hut Merynda Indriyani Syafitri, STP, M.Si Leoza Felicia Ismi Nuryanti Ayu Wulandari Fajar P.A Rida Apriana Winda Putriana Hendra Saputra
Seksi Acara/Persidangan Seminar Nasional/Kongres: Dr. Karlin Agustina Mirna Fitrani, SPi, M.Si Ir. Yursida, M.Si Dr. Sumi Amariena Hamim Dr. Yetty Hastiana, M.Si Shabiliani Mareti, SHut., M.Si Ririn, SP Seksi Makalah/Prosiding:
Ir. MidranIsiah Hamid, M.Si Dr. Yuanita Windusari, S.Si. Citra Kori Utami Tiara Dwi Sulistyani Jaya Darmawan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
xix
Susunan Panitia Seminar Nasional VII & Kongres VIII MKTI
Dwi Santri Seksi Konsumsi dan Akomodasi: Dra. Nurhidayati, M.M Subakir Nurdillah, SP Seksi Kunjungan Lapangan/Transportasi: Dr.Ir. Nur Ahmadi, M.S. Budi Raharjo, STP, M.Si. Drs. Taufik Anwar Ir. Arifin, M.P Eko Suroso, S.Hut., M.Si Ir. Bakri, M.S Seksi Penerima Tamu:
Ir. H. Djak Rahman,M.Sc Ir. Alamsyah Pohan, M.S. Dr. Ir. Marwan Sufri, M.S. Hariyadi Ananto, BSc.F Diana Lestari Netri Meriyanti Noveansyah Ilham Nurzaman Sastro
Seksi Publikasi/Dokumentasi: Ir. Muh Bambang Prayitno, M.Agr Sc Yeni Putriana, S.Si M.Ardi Sodik, SP Samat, S,Si Fransinarta
xx
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
MAKALAH UTAMA 1. Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk Menjamin Kehidupan Lestari 2. Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis AGRO-EKOSISTEM Lahan Pangan
Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk Menjamin Kehidupan Lestari Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban M.Sc.
Definisi: Konservasi tanah dan air adalah upaya penempatan setiap bidang Lahan pada penggunaan yang sesuai dengan kemampuan Lahan tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga dapat mendukung kehidupan secara lestari. Konservasi air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup secara lestari. Metoda Konservasi Tanah dan Air Sampai 1998 •
Metoda Vegetatif
•
Metoda Mekanik
•
Metoda Kimia
Metoda Vegetatif A. Penggunaan tanaman/ tumbuhan dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan dan aliran permukaan terhadap tanah dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah. 1. 2. 3. 4. 5.
Penanaman Vegetasi permanen. Pen. Padang rumput permanen. Pen. Serealia berbiji kecil. Pen. Leguminosa kecil atau besar. Pen. Tanaman semusim secara berbaris.
B. Penanaman dalam strip C. Pemanfaatan sisa tanaman/tumbuhan dalam bentuk mulsa atau pupuk hijau. Metoda Mekanik Pengolahan tanah bertujuan untuk menggemburkan tanah dan pemberantasan gulma 1.
Pengolahan tanah konservasi (pengolahan tanah seperlunya/minimum, dan/atau penanaman tanpa olah tanah) 2. Pengolahan tanah mengikuti kontur 3. Pemb Guludan 4. Guludan bersaluran 5. Parit pengelak 6. Rorak 7. Sengkedan 8. Teras berlereng, berdasar lebar, bangku/datar 9. Embung, Kolam retensi, balong 10. Tanggul 11. Dam 12. Saluran drainase dan irigasi. Metode Kimia
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
3
Naik Sinukaban/Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah ...
Metoda kimia digunakan untuk pembentukan agregat tanah dan pemantapan struktur tanah. Bahan kimia pembenah struktur tanah sering disebut sebagai soil conditioner (pembenah tanah): 1. Polyvinyl alkohol (PVA) 2. Polyvinyl acetat (PVa) 3. Polyacrylic acid (PAA) 4. Vinylacetat malcic acid copolymer (VAMA) 5. Polyacrylamide (PAM) 6. Emulsi bitumen. Metoda Konservasi Tanah dan AIR Sejak 1998 World Association of Soil and Water Conservation (WASWC) dalam International Soil and Water Conservation Organisation (ISCO) conference in 1996 , Bonn Germany secara resmi menerima WOCAT (World Overview of Soil and Water Conservation Approaches and Technologies) sebagai program Global. Pada 1998, WOCAT mengeluarkan publikasi sistim DATA BASE tentang Konservasi Tanah dan Air seluruh dunia. Tehnik Konservasi Tanah dan Air WASWC (1998) • Agronomis • Vegetatif • Struktur • Manajemen • Kombinasi Teknik KTA menurut WOCAT (WASWC, 1998) 1.
KTA secara Agronomis Penggunaan mulsa, sisa tanaman, pupuk hijau, pupuk kandang, pupuk buatan, biochar, pengolahan tanah konservasi, penanaman dan pengolahan tanah menurut kontur, pengaturan jarak tanam, pengaturan pola tanam Biasanya berasosiasi dengan tanaman setahun Teknologi diulang secara rutin di setiap musim tanam Periodenya singkat, tidak permanen Cenderung tidak berubah dalam profil lereng Normalnya tidak di zonasi dan tidak dipengaruhi lereng
2.
KTA secara Vegetatif Penanaman tanaman penutup tanah/lahan, penanaman dalam strip, penanaman tanaman pagar, penanaman pohon, penghijauan dan reboisasi. Melibatkan rumput tahunan, semak atau pohon Periode penggunaan lama Cenderung berubah dalam profil lereng Normalnya di zonasikan dengan kontur; sering tegak lurus dengan arah angin atau kemiringan lereng
3.
4
KTA secara struktur
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Naik Sinukaban/Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah ...
Pembuatan guludan, rorak, sengkedan, teras guludan, teras berlereng, teras bangku, saluran berumput, saluran diversi, saluran drainase, saluran, irigasi, check dam / embung, kolam retensi, sumur resapan, tanggul, dan sipil tehnis lainnya Cenderung berubah dalam profil lereng Periode penggunaan lama, atau permanen Tujuan utama mencegah erosi dan aliran permukaan Pada pembangunan awal, butuh uang dan tenaga yang banyak Di zonasikan mengikuti kontur Jaraknya mengikuti kemiringan lereng 4.
KTA secara Manajemen
Perubahan penggunaan dan/atau pengelolaan lahan, seperti, rotasi, Penataan daerah rekreasi, perumahan , pertambangan, dst.
Melibatkan perubahan mendasar dalam penggunaan lahan
Menghasilkan penutupan vegetasi yang disempurnakan
Tidak melibatkan tindakan agronomis dan struktur/mekanis
Sering mengurangi intensitas penggunaan
Kombinasi Kombinasi teknik KTA (agronomis, vegetatif, struktur dan/atau manajemen) pada kondisi dimana satu tindakan tidak berfungsi tanpa tindakan lainnya. Kombinasi Struktur, Vegetatif, Agronomis: penanaman rumput dan pohon pada guludan atau teras Perkembangan Riset dan Tehnologi Konservasi Tanah dan Air • Penekanan aspek Fisik di petak kecil • Berkembang melibatkan aspek ekonomi • Berkembang melibatkan aspek Fisik, ekonomi, dan Sosial dalam sekala DAS • Berkembang melibatkan aspek Biologi/ biodiversity dalam sekala DAS • Berkembang milibatkan global concern, carbon sequestration dengan soil conditioner Biochar Tabel 1. Pengaruh sistem pengelolaan sisa tanaman terhadap aliran permukaan dan erosi pada musim tanam kacang tanah dan jagung (Sinukaban dan Adnyana, 1992) Aliran Permukaan
Perlakuan
m3/ha
% hujan
Erosi Ton/ha
Efektivitas (%)
Musim Tanam Kacang Tanah Tanpa Mulsa
763.6 a*)
7.1
46.6 a
Mulsa Jerami
191.4 b
1,8
1,8 b
96,1
Musim Tanam Jagung Jerami disertai dgn pengolahan tanah dicangkul satu kali
760,8 a
9,2
30,2 a
Jerami sebagai mulsa dgn pengolahan tanah dlm baris tanaman
464, 6 b
5,6
1,1 b
96,3
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
5
Naik Sinukaban/Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah ... Table 2. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap aliran sungai (Sihite dan Sinukaban, 2004) Periode
Run Off Coeficient (%)
1975 – 1981 1983 – 1989 1990 – 1995 1996 – 1998
9,5 – 9.5 12.31a 15.65b 24.51c
Aliran sungai m3/det Musim hujan
Musim kemarau
Rasio Qmax/Qmin
25.4a 29.2b 31.5c 35.9d
11.2a 12.4a 8.9b 7.7b
7 – 12a 7 – 17a 17 – 37b 25 – 41b
Gambar 1. Pengaruh Teknik Konservasi terhadap Hidrograf Aliran Sungai
6
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Naik Sinukaban/Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah ...
Gambar 2. Debit Puncak di Sungai Ciliwung
Gambar 3. Koefisien Aliran Permukaan Tabel 3. Hasil Simulasi Karakteristik Hidrologi DAS Ciliwung
1. Simulasi perubahan penggunaan lahan Penggunaan lahan
Stasiun Katulampa Qp Tp (m3/dt) (jam)
Stasiun Ratujaya
Stasiun Manggarai
Vo (m3)
Pe/P (%)
Qp (m3/dt)
Tp (jam)
Vo (m3)
Pe/P (%)
Qp (m3/dt)
Tp (jam)
Vo (m3)
Pe/P (%)
1990
100,33
6
3058264
23
167,67
7
6504960
30
191,29
9
10321344
36
1996
205,37
5
5052784
38
320,81
6,5
10407936
48
383,11
8,5
15482016
54
280,1
5,5
6382464
48
487,00
6
13009920
60
576,50
8,5
18635760
65
Proyeksi 2012
Sumber: Hasil Perhitungan
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
7
Naik Sinukaban/Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah ...
2. Simulasi dengan berbagai skenario curah hujan Stasiun Katulampa Hujan
Qp Tp (m3/dt) (jam)
Stasiun Ratujaya
Stasiun Manggarai
Vo (m3)
Pe/P (%)
Qp (m3/dt)
Tp (jam)
Vo (m3)
Pe/P (%)
Qp (m3/dt)
Tp (jam)
Vo (m3)
Pe/P (%)
88 mm
205,37
5
5052784
38
320,8
6,5
10407936
48
383,11
8,5
15482016
54
133 mm (5 thn)
584,91
5
8239483
41
864,96
6
16385600
50
994,04
8,5
24698898
57
171 mm (25 thn)
993,82
5
13177431
51
1389,86
6
24437952
58
1565,18
8,5
33984198
61
Sumber: Hasil Perhitungan
Role of ASP in Increasing Income and Food Security Tabel 4. Income from food crop production/year
Crop component of ASP
Yield (ton/ha/yr)
Net Income (US $)
Rp
Corn
3.0
167*
1 500 000
Upland rice
2.5
189
1 700 000
String bean
1.1
100
900 000
Chili
0.4
167
1 500 000
Tomatoes
1.3
111
1 000 000
-
178
1 600 000
-
912
8 200 000
Others Total
* 1 US $ = Rp. 9000,Table 5. Income from livestock after 1 – 2 years Livestock
Existing No. Livestock
Income (US $)
Potential for development Rp
No. Livestock
Income (US $)
Rp
…………..Livestock Reproduction……….. Goats
7
267
2450000
15
583
5 250 000
Sheep
7
267
2450000
15
583
5 250 000
Cow
2
111
1000000
3
389
3 500 000
……………..Livestock fattening…………. Goats
4
89
800 000
25
556
5 000 000
Sheep
4
89
800 000
25
556
5 000 000
Cow Total
2
444
4000 000
5
1111 3778
10 000 000
8
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Naik Sinukaban/Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah ... Table 4. Pendapatan tambahan tahunan dari tanaman pangan setelah 2 tahun
Pendapatan
Produksi kg/ha/thn
US $
Rp
Jagung
400
31
280 000
Kacang Panjang
180
20
180 000
Cabai
80
27
240 000
Kacang tanah
50
16
140 000
Kedele
40
11
100 000
105
940 000
Jenis Tanaman
Total Pendapatan dari Pohon Turi Setelah 2.5 Tahun •
Jarak tanam Turi adalah 2 x 0.8 m sehingga populasi Turi adalah 6 000 pohon per ha.
•
Diperkirakan pohoh yang hidup berkisar dari 5 000- 6 000 pohon/ha tergantung kesungguhan/kerajinan petani
•
Setelah berumur 2.5 tahun, diameter pohon sudah mencapai 10-15 cm dapat dijual dengan harga Rp 10 000 per pohon
•
Pendapatan petani dari pohon Turi setelah 2.5 tahun berkisar dari Rp 50 000 000 – 60 000 000 per 2.5 tahun atau Rp 20 000 000 – 24 000 000 pertahun
Pengaruh Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Secara Sistematis dan Holistik •
Meningkatkan debit aliran sungai dimusim kemarau dan mencegah banjir dimusim hujan (Citere)
•
Sistim agrosilvopasture (Leuser dan NTB) tingkatkan pendapatan petani jadi Rp 12 jt/tahun, tambatan karbon 37-85 ton /ha
•
Reklamasi lahan tambang (Sulsel) tingkatkan indeks kekayaan hayati jadi 2.3 dekati hutan alam 2.4 serta indeks keragaman hayati jadi 1.99 > hutan alam 1.7 setelah umur 8 th
PEMBUATAN SOIL CONDITIONER Kompos disaring lolos ayakan 2 mm dan 4 mm Biochar 5 dan 10% Cairan ekstraksi kotoran kambing Pupuk Mikro Cu (CuSO4) 5 ppm Dibentuk curah dan briket
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
9
Naik Sinukaban/Perkembangan Ilmu dan Teknologi Konservasi Tanah ...
BIOCHAR
BRIKET
CURAH
10
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio-Antropologis Agro-Ekosistem Lahan Pangan (Titah Inovasi Kedaulatan Pangan & Kesejahteraan Masyarakat Agraris) Fachrurrozie Sjarkowi, Ph.D. A.
SIASAT UMUM1
A.1. Siasat Kewaspadaan Tuntutan kehidupan dan kemajuan penduduk berupa kebutuhan ruang dan uang maupun prasarana dan sarana, bahan pangan (food), pakaian (fashion) serta papan (fiber) tentu terus tumbuh sejalan waktu. Hitungan kasarnya, dengan tingkat pertumbuhan 2.5% tiap tahun maka jumlah penduduk berubah jadi lipat dua (naik 100%) dalam rentang waktu kurang dari 40 tahunan ke depan. Jawaban atas aneka tantangan kebutuhan penduduk nusantara tentu harus memuaskan, sehingga tidak dapat dielakkan upaya untuk memenuhinya kian mengarah pada kawasan lahan basah, apalagi banyak lahan beririgasi yang dewasa ini sudah beralih fungsi untuk non-pertanian. Sasaran pembangunan adalah membuka kawasan lahan bergambut (untuk pertanian pangan) dan lahan gambut agak dalam (untuk usaha perkebunan). Sementara lahan pasang surut, lahan rawa lebak dangkal dan lebak tengahan sudah sejak lama banyak diusahakan, potensi pesawahan tadah hujan kian banyak sekedar diusahakan secara tradisional sebelum datang prasarana pengairan. Akan tetapi kemanfaatan lahan kering harus juga diarahkan untuk peduli pertanaman pangan. Untuk semua itu maka diperlukan pola dan metode pembangunan pertanian ‘holistik-terpadu-sistemik’ dikelola di setiap daerah. A.2. Siasat Kepiawaian Upaya konversi suatu kawasan ekosistem lahan basah ataupun lahan kering menjadi agro-ekosistem perlu strategi kelola di tingkat wilayah, tingkat proyek dan tingkat satuan usaha harus bersifat ‘holistik-terpadu-sistemik’. Disini holistik (=menyeluruh pada tataran suatu wilayah ekosistem) artinya bertolak dari dasar pemahaman terhadap informasi yang lengkap di tingkat kesatuan wilayah ekosistem, baik tentang potensi, tantangan teknis bio-geofisik juga gesekan sosio-antropologis, yang kesemuanya harus dimengerti dan dimaknai dengan seksama. Terpadu (= saling dukung pada tataran proyek pembangunan di suatu wilayah), disini dimaksudkan sebagai tindak lanjut upaya rekayasa teknis dan rekayasa sosial (bertolak dari informasi apapun yang tercermin dari tantangan bio-geofisik dan tuntutan sosio-antropologis lapangan). Sudah seyogianya semua proyek dipadukan ke dalam suatu cetak-biru yang dirancang saling topang dengan sebaik-baiknya supaya bisa dibahas untuk didukung oleh semua pihak secara terbuka transparan. Isyarat sistemik (=menggugah gerakan bersistem) haruskan terbina jejaring upaya mata-pencarian yang mendatangkan manfaat Rp terus menerus, baik langsung dan tak-langsung pada tataran satuan usaha. Ini tentunya menuntut agar ada strategi tepat-usaha yang sengaja dibuat berantai saling membutuhkan---karena jelas ada agroindustri dan aneka industri hilir & hulu serta agen penguhubung---sehingga memancik gerakan semua pihak berjalan sukacita tanpa paksa dan tidak juga sekedar ikut-ikutan.
Keseluruhan isi makalah ini adalah cuplikan ringkas dari buku penulis “Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio-antropologis Agro-ekosistem Lahan Basah: Titah inovasi kedaulatan pangan & kesejahteraan masyarakat agraris”. 2013. Baldad Grafiti Press; 425 halaman. Palembang. 1
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
11
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
Agar isyarat ideal itu benar-benar jadi kenyataan operasional maka dimensi bio-geofisik dan sosioentropologis dari suatu wilayah sasaran harus dimengerti benar. Di dalam makalah ini pendekatan dimensional itu dibahas secara sistematik dan skematik. B.
EKOLOGIKA PEMBANGUNAN
B.1. Mendinamiskan Tiga Fungsi Lahan Basah Secara biogeofisik ekosistem-LB (lahan basah) amat kaya akan BENDA alami, ATRIBUT, serta LAYANAN perlindungan alami (Gambar Skematik-1; Safford, L & Maltby, E; 1998; Maltby, E. 1999). Tidak aneh jika ilmuan seperti Barbier, E.B; Acreman, M; Knowler, D. (1997) menyebutnya ekosistem yang punya 2-fungsi dimensional, yakni: (1) Sebagai ginjalnya bentang alam (kidneys of the landscape), dan; (2) Sebagai satuan super-market biologis atau Toserba Alami (biological supermarkets). Fungsi dimensional #1 memotret betapa pentingnya aneka-proses fisik-kimia air dan tanah dalam mengatur keseimbangan internal2 yang berlangsung alami di ekosistem-LB. Sedangkan fungsi dimensional #2 menekankan betapa ramai dan penting lintasan proses biologi lingkungan dan kait berkait rantai makanan (food chain) menjadi jejaring makanan (food web) pada ekosistem-LB. Namun dalam konteks manajemen ekosistem lahan basah nusantara, justru masih dirasa perlu oleh penulis menambahkan disini satu fungsi penting, yaitu: (3) Sebagai ATM alami bagi penduduk sekitar (natural ATM to surrounding communities). Maka jelas, sasaran kelestarian fungsi #(1) mengharuskan dasar pertimbangan kelola yang holistik, sedangkan ciri #(2) menghendaki dasar pertimbangan kelola terpadu. Ciri #(3) menuntut siasat pertimbangan yang sistemik, karena upaya penafkahan apapun harus bermakna usaha yang menguntungkan setiap pihak terkait. Dari itu ketiga wujud dan strategi pelestarian ini perlu dikelola se-utuhnya secara melembaga, langsung maupun tak-langsung; agar fungsi ekosistem sisa dan agroekosistem-LB lestari.
Faktor-J sesungguhnya tak-diperlukan jikalau: (1) Tidak ada tekanan pembangunan pertanian terhadap ekosistem-LB; (2) Tegak hukum berlaku tegas menjaga fungsi kawasan lindung. B.2. Mendinamiskan Tiga Fungsi Lahan Kering 2
Diistilahkan sebagai Homeostasis dalam disiplin Ekologi (Greenwood, N.J. & Edwards, J.M.B. (1979)
12 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
Tersimpul dari pendapat ilmuan kenamaan Arnon (1972), bahwa pendayagunaan kawasan lahan kering di zona ‘arid’ bisa berfungsi 2 (dua), yakni: (1) Mempertahankan mikroklimat agar tidak panas berlebihan; (2) Menjadi pemecah angin agar tidak merusak bio-geofisik agro-ekosistem. Kedua fungsi dimensional ini selalu diperankan oleh kawasan hutan alami Tetapi bagi kawasan lahan kering tropika nusantara yang kebanyakan berkemiringan & bergelombang, maka harus ditegaskan fungsi ke-3 (sekalipun ada terselubung di dalam ciri #1), yaitu: (3) Memerankan fungsi hidro-orologis, walau tak sebaik peran kawasan hutan alami. Istilah pembangunan berwawasan lingkungan, jumlah luasan kawasan hutan boleh berkurang; tapi mutu dan fungsi hutannya harus tetap dipertahankan.
B.3 Mengedepankan Keseimbangan Kawasan Kata ‘mengedepankan’ memberi isyarat perlunya kehati-hatian dan kecermatan dalam mengatur keseimbangan peran dan fungsi antara 2-sistem secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal keseimbangan harus dijaga antara luas bentangan agro-ekosistem dan bentangan ekosistem-sisa. Secara vertikal harus dijaga selalu keseimbangan luas bentang agro-ekosistem hilir dan hulu. Pada kawasan lahan basah, sifat keseimbangan horizontal itu amat krusial antara zona kubahgambut (sebagai ekosistem-sisa yang sangat rentan) dan zona konversi (kawasan budidaya sangat peka, G-Skematik-3); atau antara zona pasu-dangkal dan zona reservat. Pada kawasan lahan kering, ada keseimbangan fungsional antara zona inti yang lindung dan zona penyangga yang mudah dirambah. Sementara antara hulu & hilir peran pengatur sistem hidro-orologis harus memacu keduanya selalu saling isi mengisi.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
13
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
G-Skematik-3 sebelah atas adalah gambaran rinci Ekosistem Lahan Gambut; Sebelah bawah, ilustrasi pasca konversi 50% menjadi agro-ekosistem. (Diilhami Odum, H.T, 1983)
C. REKAYASA SOSIO-ANTROPOLOGIS C.1. Prinsip Benah Socio-Entropi Kerumpilan ekologika pembangunan agro-ekosistem tadi mengisyaratkan perlunya strategi pembinaan pertanian bergaya antisipatif. Alasannya: (1) Keseimbangan ekosistem dan keserasian lingkungan tidak mungkin dicapai tanpa kerjasama kemitraan; (2) Kewaspadaan dan kecermatan manusia pembangunan mutlak perlu dan dimeratakan di kalangan warga. 14
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
Peran kemitraan sosial mendukung program pembangunan adalah suatu keniscayaan zaman. Situasi yang merugikan semua pihak oleh tindakan sesama (tragedy of the common; Hardin,G.1970) kian disadari banyak orang sebagai sesuatu yang harus diantisipasi dengan cara membangun kemitraan sejati. Menurut hemat penulis, istilah kemitraan produktif mengandung lima isyarat makna, yakni: (1) Ada dua atau lebih pihak yang fokus pada suatu kepentingan pengorbanan yang sama dengan niat dan tekad membina sinergi yang dapat meringankan energi tapi juga melambungkan prestasi; (2) Adapun kepentingan bersama itu pasti bersifat produktif alias men-ciptakan gufaat (gunamanfaat = ’utility’) bukan sebaliknya konsumtif alias merusak gufaat semisal merugi, besar pasak dari pada tiang; (3) Gufaat yang kemudian berujud dan dapat diberi nilai ekonomi finansial harus diterima secara proporsional oleh setiap unsur pelaku dari masing-masing pihak sesuai sumbangsih yang diberikannya; (4)
Keterbagian gufaat atau nilai manfaat secara adil dan merata harus ditopang oleh adanya etika dan aturan main yang disepakati bersama, dan;
(5) Keberlakuan etika dan aturan main itu di kalangan semua unsur yang bermitra seyogianya dihela dan dikelola secara konsisten dan konsekwen oleh semacam lembaga.3 Upaya membangun kemitraan sejati tidak cukup hanya melalui kajian sosek & sosbud saja. Masalah perseteruan sosial yang terjadi dimana-mana selama ini disebabkan kealpaan mengendalikan isu sosio-entopik yang membayangi setiap perubahan sosio-antro-pologis. Sosio-entropik didefinisikan sebagai: ‘suatu penyimpangan sosial yang cenderung jadi penghambat jalannya perubahan sosial yang sedang mewujud menjadi kerjasama usaha kemitraan antara pihak warga dan suatu pihak lain (calon investor, Pemda). Wujud sosio-entropi boleh jadi mengekori kemunculan Socio-paradox4 pada suatu periode rancangan usaha kemitraan, dan itu bisa bersifat entropi sosio-psikologis, entropi sosio-ekologis, entropi sosio- ekonomis, dan entropi sosio-budaya. Dari itu upaya melacak kebernasan gejala Sparadox patut dilakukan dari dua arah pen-cermatan, yaitu: (1) Cermat terhadap variabel dasar pembentuk S-paradoks; (2) Cermat terhadap respon sosial apa-adanya dan yang ideal-seyogianya. Menurut Fachsyar-Lemma (2013), diantara metode lacaknya Tabel Matriks-5&6.
3
Isyarat #1 adalah niscaya; dan isyarat #2 sesungguhnya selaras dengan niat baik untuk tidak
menyiasiakan waktu dan sumberdaya; sedangkan isyarat #3 terkait dengan prospek dan kepastian hasil, tanpa hal ini maka kemitraan sama-sekali tak-menarik untuk direalisasikan. Isyarat #4 &5 hanya bersifat mengokohkan #1,2 &3. 4 Contoh kemunculan paradoks sosial (‘maunya positif tapi koq aksinya negatif’; kasarnya “padahal komunitas pengen maju walau terbatas kekuatan, tapi nyatanya ketika ada pihak lain yang berkekuatan modal & berkemampuan manajemen dan datang mengajak bekerjasama, justru benih perseteruan yang tumbuh. Ini cenderung jadi kendala kemajuan dan malah merugikan komunitas itu sendiri: Sjarkowi, F. 2013). Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
15
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
C.2. Prinsip Bagi Hasil Berkeadilan Suatu kemitraan bisnis yang sempat berjalan sejak waktu t= -T hingga kini ketika panen yaitu to ,masalah bagi perolehan kedua pihak mitra sebelum berbagi bisa dihitung melalui rumus umum yang bisa menangkap perubahan nilai akibat adanya inflasi sejalan waktu (compounding factor) (𝟏 + 𝒓)𝒕 ; lengkapnya diringkas berikut ini: NPVπ = [
𝐭𝐨 𝐭=−𝐓
𝐲. 𝐇𝐲 − 𝑪𝒐 −
𝒕𝒐 −𝐓
𝒏 𝒊=𝟏(𝒘𝒊 𝑿𝒊 )
] (𝟏 + 𝒓)𝒕
Begitupun bila akan dihitung target capaian bisnis kemitraan sejak saat tertentu (kini) to hingga suatu batas waktu ke depan ketika panen terakhir dilakukan yaitu t=T, maka ada faktor pengetat atau penyutat (discounting factor) yaitu (1+r)-t harus jadi pengali bagi setiap nilai transaksi yang terjadi di setiap saat ke depan. Maka dari itu hitungan umum pra-bagi hasil adalah: NPVπ = [
𝐭=𝐓 𝐭𝐨
𝐲. 𝐇𝐲 − 𝑪𝒐 −
𝒕𝒐 −𝐓
𝒏 𝒊=𝟏(𝒘𝒊 𝑿𝒊 )
] (𝟏 + 𝒓)− 𝒕
16 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
(2.1) Asumsi adil (50:50) dengan potongan talangan: Ini bagi hasil dari kinerja kemitraan dimana semua fasal biaya sebelumnya telah ditalangi (oleh pihak mitra pengusaha), untuk dibayar peserta pada saat hasil tebangan diberi nilai sesuai harga transaksi kini. Semua biaya yang telah dikeluarkan dihitung dengan rumus koreksi ke saat kini oleh faktor komponding (bukan diskonting, seperti dilakukan pada Parwa-4-B)5. Disini pihak peserta (terdiri dari n orang peserta) mendapat setengah bagian, sama besarnya dengan pihak pengusaha mitra senilai B rupiah, yaitu: 1
1
B = 2 NPVπ
𝐭𝐨 𝐭=−𝐓 𝐲. 𝐇 𝐲
= 2[
− 𝑪𝒐 −
𝒕𝒐 −𝐓
𝒏 𝒊=𝟏(𝒘𝒊 𝑿𝒊 )
] (𝟏 + 𝒓)𝒕
Ini berarti setiap orang (indipidu) peserta kemitraan memperoleh sebesar Bn: 𝐭𝐨
1 = [ 2n
1 NPVπ Bn = 2n
𝐭=−𝐓
𝒕𝒐
𝒏
(𝒘𝒊 𝑿𝒊 ) ] (𝟏 + 𝒓)𝒕
𝐲. 𝐇𝐲 − 𝑪𝒐 − −𝐓 𝒊=𝟏
(2.2) Asumsi adil atas patungan penuh; Disini petani peserta meng-gunakan tenaga kerja sendiri di lahan sendiri, membayar langsung biaya pupuk, pestisida, bibit disediakan pengusaha mitra, kecuali manajemen dan SOP untuk semua kegiatan teknis dan ekonomi diarahkan perusahaan; maka berlaku hubungan berikut ini:
B=
1 [ 2
Bn =
𝒕=𝑻 𝒏
𝐭=𝐓
1 B= [ 2
𝐭𝐨 𝐭=𝐓 𝐭𝐨
1 [ 2n
𝐲. 𝐇𝐲 − 𝑪𝒐 − 𝒕𝒐 𝒊=𝟏
𝐲. 𝐇𝐲
𝒕=𝑻 𝒏 𝒕𝒐 𝒊=𝟏(𝒘𝒊 𝑿𝒊 ) ] (𝟏 + 𝒕=𝑻 𝒏
−
𝐭=𝐓 𝐭𝐨
𝐲. 𝐇𝐲
𝟏 (𝒘𝒊 𝑿𝒊 ) ] (𝟏 + 𝒓)−𝒕 ] − [𝑭𝒎 − 𝑪𝒐(𝟏 − 𝒓)−𝒕 ] 𝟐 𝒓)− 𝒕 − [𝑭𝒎]
(𝒘𝒊 𝑿𝒊 ) ] (𝟏 + 𝒓)− 𝒕 − [𝑭𝒎]
− 𝒕𝒐 𝒊=𝟏
Dimana komponen Fm (atau management fee) seyogianya diterima kembali oleh pihak perusahaan mitra yang telah berkorban memberdayakan petani mitra lewat siasat komunikasi penyuluhan (baik langsung maupun tidak langsung). Begitulah isi ungkapan dan definisi persamaan (dengan semua keterangan dan catatan kaki, khususnya tentang ‘tingkat bunga’ yang disepakati). Sebagai persamaan umum rumus bagi hasil itu dapat dijadikan patokan atau tolok ukur atas tingkat keadilan yang sesungguhnya terjadi ketika proses bagi hasil jadi kenyataan. Dengan tolok ukur baku tersebut, maka tingkat keadilan pada setiap proses bagi hasil dari suatu usaha bersama yang dijalankan dengan sistem kemitraan akan dapat diketahui. Dalam hal perselisihan terjadi diantara kedua pihak yang bermitra ataupun diantara sesama pelaku (petani) peserta kemitraan, maka dari perspektif kadar pembagian yang adil kiranya rumus hitung tadi bisa digunakan untuk menelusuri sebab-sebab ketidak-puasan suatu pihak. C3. Prinsip Bina Kelembagaan Aneka penyimpangan bisa saja terjadi, tapi lewat peran kelembagaan hal itu hendak dikendalikan. Peran kelembagaan ini terutama tertuju pada 3-sasaran umum, yaitu: (1) Pengendali tata-ruang agar dipatuhi & ditopang oleh semua pihak berkepentingan; (2) Pengendali kesulitan teknis pembangunan dalam menaikkan produktivitas suatu kawasan agro-ekosistem lahan basah; (3) Penelusur antisipatif dan pengendali pro-aktif aneka ancaman keresahan sosial yang bisa menjurus pada keos-sosial. Kendali kelembagaan ini pun bisa dibuat terjadi pada setiap tingkatan otoritas pengambilan keputusan, yakni sejak dari pusat hingga daerah. Oleh sebab itu maka bentuk kelembagaan dimaksud harus dibagi 2-kategori (yang kedua-duanya harus jadi pemicu produktivitas fisik maupun ekonomi yang seyogianya tersaji di atas harmoni kehidupan di suatu bentangan lahan basah sasaran 5
Dalam penggunaan rumus hitung faktor komponding, pemakaian tingkat bunga ‘r’ seyogianya bersifat luwes mengikuti kesepakatan hasil musyawarah tanpa tekanan; tidak sepatutnya ditetapkan sepihak oleh pihak perusahaan mitra. Penetapannya seyogianya sudah dimusyawarahkan pada saat menjelang kesepakatan ditanda-tangani, t=-T ataupun t= t0. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
17
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
pembangunan), yaitu: (a) Kelembagaan Tingkat Makro Wilayah; (2) Kelembagaan Tingkat Mikro usaha. Secara terpisah kedua kategori dimaksud akan dibahas selanjutnya di bawah sub-judul berikut ini. Semacam kebijakan kelola yang melembaga, khususnya perlu diperankan dan berfungsi menghela SECI yang akan memacu kesejatian bermitra secara langgeng berkelanjutan. Dari perspektif struktural kelembagaan Tupoksi-nya harus tertuju pada sasaran makro wilayah dan juga mikro usaha, 3-sasaran utamanya, yaitu: Lembaga Makro-Wilayah: (1) Sebagai penata keterbagian ruang biogeofisik agar terpelihara daya tepa-selira-nya terhadap upaya konversi ekosistem. (2) Sebagai pintu penuntas ketersaluran paket dana penopang dan dana talangan dari sumber asing untuk eksekusi aneka program. (3) Sebagai pihak penjinak ancaman potensial perseteruan para pihak bila beda kepentingan mereka tumpang tindih lahan konversi. Lembaga Mikro-Usaha: (1) Selaku motor kesetaraan tripartit pelaku usaha sehingga mendorong penguatan ekonomi desa (Peran Kooperatif) (2) Selaku motor kehimpunan usaha mikro agribisnis yang lebih bijak dan aktif, produktif dan inovatip (Peran Koordinatif) (3) Selaku motor kepaduan pembangunan lintas sektoral & pacu tumbuh aneka usaha di suatu desa (Peran Kontributif). Dari perspektif kefungsiannya, entitas kelembagaan makro-wilayah harus menularkan etika pemanfaatan dan metoda pem-bangunan tepat Iptek untuk suatu ekosistem, yakni kepada para pihak khususnya kepada lembaga mikro-usaha. Lembaga makro-wilayah seyogianya jadi pelacak informasi Iptek dan pemberi arah terapan bagi pengguna (mikro-usaha). Lembaga makro-wilayah sepatutnya juga berperan sebagai lembaga penerima dan penyalur dana hibah maupun pinjaman lunak dari donatur (asing maupun domestik) bagi pendanaan program revitalisasi agro-ekosistem dan ekosistem-sisanya. Dapatlah diperhatikan Gambar Skematik-6 s/d 9 berikut ini. Tentunya strategi pembentukan lembaga mikro-usaha itu punya metode tersendiri untuk tidak mengulangi kesalahan pembentukan koperasi, yag tidak dijelaskan disini.
18
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
19
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
Gambar Skematik-8. Skenario Transformasi dari Warga-santai ke Pebisnis & dari Entitas KUBE ke BUKD “meminta kasian” [ No ];“meminta Iptek” [ yes ] “memberi ikan” [ No ]; “memberi pancing ” [ Yes ]
2 Org SDM Sarjana/desa Bermodal IPTEK & IMTAQ
D.
Pengabdi keberdayaan nafkah
Peluang Musyawarah membela nasib via arisan & yasinan
Bisnis Kemitraan (KUBE) & Lembaga Kemitraan (BUKD)
Peluang niaga Peluang produk agrotrisula modal kerja &lainnya untuk UMK
Peluang kemitraan bisnis 2-arah dBUMS/N
Perintis kemandirian nafkah
Peluang pendapatan setiap waktu & sepjng masa
Warga prasjahtra terbatas IPTEK & IMTAQ
(F. Sjarkowi, 2012)
STRATEGI KEDAULATAN PANGAN
Dengan kecepatan pertumbuhan penduduk yang jumlahnya fantastik besar itu ada aneka masalah kecukupan pangan , dan jika salah langkah mengatasinya bisa terjadi eskalasi sejalan dengan perputaran waktu ke depan. Ada 5-kategori masalah perlu dipikirkan jalan keluarnya, yakni: • Kealpaan mengantisipasi cara produksi pangan, sehingga melemahkan kadar keswadayaan pangan (food self-sufficiency). • Kemandulan instrumen harga dasar padi dan harga pupuk, sehingga mele-mahkan keamanan pangan (food scurity) • Kesalahan membaca tekanan produksi pangan atas keterbatasan SDA, sehingga tak-memacu keaneka-ragaman pangan (food diversity). • Ketiadaan strategi umum emergensi pangan sehingga melemahkan sistem penyangga siaga-pangan (food adequacy). • Kerapuhan rantai ekosistem dibarengi gejala alih-fungsi persil agro-ekosistem, dan melemahkan keandalan pangan (food dependability) 20 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
Oleh sebab itu Gambar Skematik-4 menuturkan hubungan fungsional tersebut. Disini induk persoalan adalah bagaimana membangun kedaulatan pangan, dimana ada 4-faktor penentu langsung dan 1faktor penentu tidak langsung digambarkan berikut ini. Gambar Skematik 10. DETERMINAN KEDAULATAN PANGAN NASIONAL [Dari Daerah Menuju Kedaulatan Pangan Nasional] KEDAULATAN PANGAN (Food Sovereignty)
KETAHANAN PANGAN (Food Resilience ) 1.KeswadayaanPangan (Foodselfsufficiency)
2.KeamananPangan (Foodscurity)
Keunggulan Pangan (Food Excellence) 3.Keanekaan Pangan (Fooddiversity)
4.KesiagaanPangan (Food adequacy)
5.Keandalan Pangan (Food Dependability) Berkat SUPK (Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan ) sebagai dukungan ekologi produksi & jaringan pasar
Sjarkowi, F.2013
1) Tantangan Keswadayaan Pangan Skema swasembada pangan melalui perluasan kapasitas produksi dan peningkatan produktifitas untuk keswadayaan pangan memang merupakan pilihan utama dalam rangka membina ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan. Akan tetapi pengembangan kapasitas itu dikendalai oleh ketidaksiapan potensi lahan untuk segera mapan produktif, sedangkan peningkatan upaya menaikkan produktivitas amat tergantung pada ketepatan manajemen produksi dengan dukungan saprosi (atau sarana produksi) yang tepat. Dari sebab itu pula kemampuan dan komitmen SDM pembangunan harus benar-benar mengerti tuntutan teknis di lapangan, yang punya kekhasan berbeda-beda dari pulau ke pulau seputar nusantara, juga beragam dari suatu satuan ekosistem ke satuan kosistem atau agro-ekosistem lainnya. Gambar Kurva-1. Ilustrasi Pengaruh Euforia Harga Karet Terhadap Harga Lahan & Respon Petani Produsen Pangan
[Sikon-1]
Teknologi
TK. Manusia
B
B
T2 A
T1
[Sikon-2]
Isoquant prod. pangan
HOK2 A
HO K1
Garis Harga (g1) Garis Harga (g2)
L2
HOK2
Tanah (L)
Garis Harga (g1) Garis Harga (g2)
L2
T2 T1
L1
Tanah (L)
Teknologi (T)
TK Manusia
HOK1
L1
Isoquant prod. pangan
Sikon-1: Harga relatif lahan pangan meroket karena eforia harga karet kini (g1 ke g2) lalu L2
T1 dan HOK2HOK1, dan T2 < T1 (ini tak-rentan pangan asalkan kebun karet tidak terlalu jauh dari sawah). F. Sjarkowi, 2013
Gambar Kurvatur-1 memberikan informasi deduktif sebagai berikut ini: (1) Persaingan dua jenis pertanaman (tan-pangan dan tan-kebun) lewat peran petani-pemilik yang sama adalah terhubungkan oleh mekanisme harga komoditi. Kenaikan harga komoditi yang sempat membuat sejahtera para pemilik pertanaman itu akan terpacu memperluas usahatani mereka, dan hal itu akan menaikkan harga sumberdaya lahan; sehingga membawa pengaruh
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
21
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
turunan pada penggunaan inputnya dan akhirnya mempengaruhi penggunaan input untuk pertanaman saingan. (2) Petani yang rasional (atau mungkin setengah rasional) akan mengatur alokasi luas lahan dan saprosi (Hari-Orang-Kerja atau HOK-pria; tenaga mesin bersama energi bahan bakarnya, atau tenaga ternak dan jumlah input lain) yang dibutuhkan untuk proporsi luas lahan tanaman pangan yang sudah disesuaikan itu untuk mempertahankan capaian produksi yang sama dengan keadaan sebelumnya. (3) Terkait dengan butir (1) dan (2) itu prilaku egois bisa muncul jika status petani sebagai pelaku pemilik adalah selaku plasma dari suatu kerjasama produksi dengan pihak inti; hanya karena kepentingan untuk merespon peluang pada lahan pertanaman kebun pribadi maka terkadang kepen-tingan memenuhi SOP manajemen produksi yang digariskan oleh pihak inti untuk lahan pertanaman kerjasama akan cenderung dihianati. Demikian ilustrasi deduktif tentang upaya pendayagunaan lahan hasil konversi ekosistem lahan basah maupun ekosistem lahan kering. Selain disitu ada isu tersedia atau tidak bentangan ekosistem yang bisa dikonversi menjadi agro-ekosistem (khususnya untuk pertanaman pangan), juga terdapat masalah persaingan kepentingan usaha pertanaman antara perkebunan dan pertanian pangan. Kadar kompetisi kedua kepentingan ini dipertalikan oleh perubahan harga relatif komoditi perkebunan semisal karet terhadap harga beras. Ketika harga komoditi perkebunan lebih menguntungkan, maka ada beraneka akibat bisa terjadi terhadap lahan tanaman pangan. Ini harus disikapi secara bijak. 2) Tantangan Keamanan Pangan Pangan warga bangsa secara harfiah boleh dikatakan tidak aman apabila keberadaannya terancam rusak mutu dan jumlah, tercecer-susut, ditimbun-simpan, digererogoti hama dan dicuri maling. Tetapi secara konseptual, semua ancaman itu ada kaitannya dengan tingkat harga komoditi pangan pokok itu sendiri. Karena kedudukan komoditi beras yang sedemikian vitalnya, maka laju pergerakan harganya harus dijaga pemerintah agar tidak berada di bawah tingkat harga minimum (floor price) dan tidak juga sampai melebihi tingkat harga maksimum (ceiling price). Selisih kedua harga atas dan bawah itu se-nyatanya di lapangan disebut marjin pemasaran, suatu besaran yang mencer-minkan seberapa besar porsi laba dan porsi biaya layanan niaga yang biasa diperankan oleh berbagai agen tataniaga (Gambar Kurva-2 & 3). Gambar Kurvatur-2. Tingkat Harga Komoditi Pangan Berlangsung Terkendali Lewat Mekanisme Pasar Harga
Pemerintah berkepentingan menata marjin pemasaran yang rasional.
Harga
Sc
P2 Sp
MARKETING MARGIN
P1
Dc Dp Quantitas ZONA PRODUSEN Sjarkowi, F.2012 (RURAL)
22
Quantitas ZONA KONSUMER (URBAN)
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ... Gambar Kurvatur-3. Tingkat Harga Beras Melalui Pengamanan Kepentingan Konsumen & Produsen TINGKAT PRODUSEN (RURAL)
Harga
TINGKAT KONSUMEN (URBAN) Harga Sc
Pc >≥ Pp Pc – Pp = Marketing Margin
Pc
Ceiling Price / Harga Maximum
Sp
M.M
m.m
Floor Price / harga Minimum
Pp
Dc Dp P
Quantitas P
C
≥
Quantitas
C
Perubahan dari M.M ke m.m bisa leluasa dilakukan BULOG, tapi tidak bisa banyak merangsang peningkatan produktivitas lahan pangan lewat peningkatan saprodi .
Pokok pikiran yang harus digaris-bawahi disisni adalah: (1) Bahwa untuk kondisi petani dan prasarana angkutan nusantara yang masih kurang kondusif, isu keamanan pangan sesungguhnya amat terkait dengan tingkat harga padi atau beras yang sulit memuaskan dan menyejahterakan para petani; (2) Bahwa pengaturan harga yang semata-mata langsung mengatur suplay-deman lewat impor dan ekspor pangan tidak akan banyak menolong, melainkan diperlukan pembinaan secara tak-langsung yang memacu kelancaran perdagangan pangan antar-pulau sebagai penyetabil harga; (3) Bahwa tugas mengelola kekuatan suplai dan deman pangan pokok itu dapat diberdayakan melalui rekayasa kehadiran transaksi aneka komoditi turunan dari komoditi pangan pokok, sehingga kekuatan suplai deman aneka komoditi baru itu berfungsi mengurangi kebutuhan terhadap jumlah konsumsi bahan pangan selaku komoditi induknya. Terakhir ini erat kaitannya dengan isu keaneka-ragaman pangan yang juga penting dan dapat diangkat melalui teknik kuliner. 3) Tantangan Keaneka-ragaman Pangan Keaneka-ragaman pangan (KRP) adalah isu dan instrumen penting yang harus mendapat pertimbangan dan perhatian banyak. Penting karena 5-alasan: (1) KRP bisa mengurangi jumlah konsumsi beras per-kapita dalam keluarga; (2) KRP bisa memacu kecenderungan konsumsi beras yang bermutu tinggi saja lalu menaikkan harga jualnya dan merangsang produksi beras mutu baik termasuk beras organik; (3) KRP memacu kecukupan gizi, sebab beras mutu rendah harus dikonsumsi dengan tambahan bahan lain sebagai sumber gizi atau diolah untuk menaikkan nilai gizi dan daya tarik selera konsumennya tanpa B3; (4) KRP akan memacu tumbuh lapangan kerja baru, dan; (5) KRP tentu meningkatkan lapangan usaha agroindustri rumahan dan usaha wisata kuliner sebagai sumber mata pencarian warga khususnya UMKM.
4) Tantangan Kesiagaan Pangan Kenyataan empirik menunjukkan, bahan pangan segar hasil pertanian adalah produk yang tergantung musim, gampang rusak, dan makan tempat saat distok & diangkut. Secara alami musim tanam dan panen memang bervariasi sejak dari wilayah Sabang sampai Merauke, tapi volume produksi dari Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
23
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
wilayah yang berbeda ternyata juga amat beragam, dan tidak banyak wilayah yang surplus melainkan banyak yang defisit6. Oleh sebab itu isu kesiagaan pangan amat relevan, bukan cuma ketika keadaan darurat wilayah; bahkan saat keadaan sedang normal tanpa gangguan sekalipun soal kesiagaan pangan ini perlu diupayakan oleh daerah defisit maupun surplus. Membangun stok kesiagaan pangan hanya dengan topangan beras impor justru selain kurang efisien, juga tidak memberdayakan kaum petani daerah dan berpotensi penyimpangan. Padahal kesiagaan pangan harus secara cermat dibina terutama setelah memperhitungkan dinamika pencapaian stok pangan melalui upaya daerah; dalam rangka menjawab 3-tantangan pertama tadi. Setiap daerah (kabupaten) harus dipaksa melakukan ini, agar informasi kesiagaan pangan ditingkat provinsi semakin absah (valid) dan benar-benar cermat tepercaya (reliable). Lalu atas dasar itu maka langkah bijak jangka menengah dan jangka panjang dapat dirancang setingkat nasional; tidak hanya dalam urusan pangan pokok saja, melainkan juga aneka jenis pangan nabati dan hewani bisa terprediksi lebih akurat. Dengan begini maka tinggal satu langkah besar yang perlu diadakan, yaitu terkait dengan mengubah ancaman ketidak-pastian bencana alam yang bisa mengganggu produksi pangan untuk diubah jadi keter-kendalian bencana pangan (food savety net). Dalam kaitan ini siasat keandalan pangan harus jadi pelengkap kemapanan pangan. 5) Tantangan Keandalan Pangan Berhasil menjawab 4-tantangan tadi tidak serta-merta menjamin ke-andalan pangan negeri. Penduduk dan wilayah nusantara sebagai negeri yang kaya sumberdaya alami utamanya berupa kawasan agroekosistem yang subur, harus bijak lingkungan dalam membangun negeri, tak terkecuali keandalan pangan di negeri ini. Di Bagian-B dikemukakan arti penting strategi holistik-terpadu-sistemik yang sangat esensial bagi kemapanan agro-ekosistem, yang dalam hal ini menjadi tumpuan ketersediaan hasil pertanaman pangan dari waktu ke waktu berkelanjutan. Di lapangan argumentasi itu dapat dirajut dan diimplementasikan dengan pola pendekatan sosio-mikro-ekonomi yakni SUPK (Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan; baca Sjarkowi, F. 2013). Ketika pendekatan simultan itu kemudian dijabarkan lebih rinci dalam rangka implementasi, maka akan tampak Gambar Skematik-10 di bawah ini. Ada 4-tantangan program utama dan langsung menyentuh bahan pangan yang harus tersedia, ada 1-tantangan #5 yang secara tak-langsung mempengaruhi keandalan produksi bahan pangan dengan jumlah dan kualitas yang sudah seharusnya dipacu oleh suatu daerah. Jadi terdapat 8-sasaran kebijakan yang harus dicapai melalui 16 pokok kegiatan penting yang harus dirancang dengan baik sehingga lebih operasional.
Apalagi jika dilihat potensi lahan basah yang dimiliki masing-masing daerah sangat tampak ketimpangan distribusinya, belum lagi jika dipertimbangkan bahwa tidak semua kawasan lahan basah bisa ditransformasi langsung menjadi agro-ekosistem persawahan penghasil padi dan bahan pangan nabati lainnya.
6
24
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ...
Gambar-Skematik-11. MENUJU KEDAULATAN PANGAN NASIONAL FOOD SOVEREIGNTY (KEDAULATAN PANGAN)
Food Resilience (Ketahanan Pangan) 1.Food Selfsufficiency
2. Food Security
Food Excellence (Keunggulan Pangan) 2.Food Diversity
Socio-Economic Policy Instr’nt To inhibit food-land conversion
Investment policy insen’ve to encourage Various food Crops prodn
More Effective Floor & Ceiling Food (rice) Price Policy
Inhibiting conversion F-crop land to oil palm crop is related to price differencial policy
Need to invest on irrigation System & infrastructure To encourage Mixed (food) farming
Appropriate Institution Ready to manage productivity improvemt &Local surplus (i.e. Coops)
Appropriate storage Facilities (standardized against Rh and Pest)
Acceptable species of good quality of new food crops
Seasonal conversion to non rice crop is also Tricky issues of Price incentive Policy
Need to invest on food crop Estate such as Rice Estate & Corn Estate corporation
Appropriate surplus stock needs suffcient service capital to be ready for use
Appropriate schedule on buying & selling local Food prodtn surplus
Various style of Cullinary Preparration, Food Serving or packing
Sjarkowi, F.2012/13
Logistic Policy (Stockpiling & Selling)
Promotion Strategy on Various food As Nutrient Sources
Incentive Policy towards Save substance of food preservation Tech&busines effortS to control the use of dangerous /poisonous chemical substance Technical effort to Find herbal substitute of poisonous chemical Preservation substance
4. Food Adequacy Trade Policy (regional / local selling need)
Appropriate Transport & Distribution Facilities To support food traffic /dynamic
Appropriate Time for for food importing & delivery with inter-island trading
Emergency Policy (ex-ante & ex-post incident)
Environmental strategy to secure main food producing area from natural dissaster Need to find methods to bring any destroyed food producing areas back into production
5. Food Dependability;
Due to SFMU (Socio-Agroforestry Management-Unit) as: (a) ECOLOGICAL-SUPPORT & (b) MARKET-LINK STRATEGY
Satu yang unik dari skema di atas yaitu kotak hijau muda tentang SUPK. Perannya tidak dapat diremehkan, dan setiap daerah dapat menjalankan strategi kedaulatan pangan ini serentak, sejak dari Sabang hingga ke Merauke E.
CATATAN PENUTUP
Ada 3-catatan penutup perlu digaris-bawahi disini, yaitu sebagai berikut: (1)
Pendayagunaan suatu bentang ekosistem untuk jadi agro-ekosistem, secara teknis harus memperhatikan arti penting keserasian antar mata rantai ekosistem hulu-hilir, dan juga keseimbangan antara agro-ekosistem dan ekosistem-sisa pasca konversi sebagian bentangan ekosistem.
(2) Pengembangan usahatani dan atau satuan agribisnis tanaman pangan dan perkebunan seyogianya didahului rekayasa teknis berdasarkan iptek bio-geofisik & rekayasa sosial berdasarkan iptek sosio-antropologis agar terbina pola kemitraan usaha yang andal secara teknis maupun nir-teknis. (3) Persoalan pangan nasional harus dijawab dengan suatu strategi pembangunan Kedaulatan Pangan, yang secara simultan harus dicapai melalui 5-siasat, yakni: 1) S-Keswadayaan pangan; 2) S-Keamanan pangan; 3) S-Keanekaragaman pangan; 4) S-Kesiagaan pangan; 5) S-Keandalan lahan pangan (SUPK). DAFTAR PUSTAKA Asmani, N. 2012. Analisis Nilai Pendaman Karbon dan Manfaat Reforestasi Agro-Ekosistem Rawa Gambut Berbasis Hutan Tanaman Industri Berpola Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan. Disertasi tak-dipublikasi, Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya; Palembang. Barbier, E. B, M. Acreman and D. Knowler. 1997. Economic Valuation of Wetlands, A Guide for Policy Makers and Planners. Ramsar Conven-tion Bureau. Gland, Switzerland. Hardin, G. 1976. The Tragedy of The Commons Clarke, R. 1976. Notes for The Future; An Alternative History of The Past Decade. Universe Books: NY. Burbridge, P.R; Koesoebiono & Dahuri, R. 1985; Coastal Zone Management in The Strait of Malacca (ed.) DESC/EMDI. World Bank Project INS/82/009. Haidir. 2006; Strategy Konsepsional Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Zona Pemanfaatan Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Tesis, tak- terpublikasi. Pasca Sarjana Unsri, Palembang. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
25
Fachrurrozie Sjarkowi/Ekologika Pembangunan dan Rekayasa Sosio Antropologis ... Hastiana, Yetti. 2013. Manajemen Kesesuaian Ekosistem Mangrove Taman Nasional Sem-bilang Berdasarkan Kondisi Lingkungan (Biotik, Abiotik & Sosekbud) Kawasan Pantai Timur Sumatera Selatan. Disertasi takdipublikasi; Pasca Sarjana Unsri, Palembang. Kuwatno. 2011. Input Pragmatik dan Kriteria Pengambilan Keputusan Investasi untuk Agribisnis Tanaman Acacia (Bandingan Finansial pada Ekosistem Lahan Gambut di Kalteng dan Agro-Ekosistem Lahan Kering di Sumsel). Disertasi tak-dipublikasi; Pasca Sarjana, Unsri, Palembang. Ostergaard, L. 1990. The New Rice and Agricultural Change in Lowland Sumatra; A case study from Kuantan, Riau Province. Research in Economic Anthro-pology, Vol.12 (pp.53-86). ISBN: 1-55938-118-3 Rieley, J.O. et.al. 2008. Tropical Peatlands: Carbon Stores, Carbon Gas Emissions and Contribution to Climate Change Processes; in Maria Starck (ed.) Peatland and Climate Change. International Peat Society. Findland. Safford, L & Maltby, E.dward et al. 1997. Guidelines for Integrated Planning and Management Tropical Peatland Expert Group. IUCN,1998. Sjarkowi, F. et al. 2002; Soci-Entropy System Approach. Final Report on Socio-anthro-pological Aspect of Peatland Management in Central Kalimantan. CIMTROP, 2002. Sjarkowi, F. & Alex Noerdin. 1997. Potensi, Tantangan, dan Gagasan Pemba-ngunan Berwawasan Lingkungan di Kawasan Pantai Timur Sumsel. Sjarkowi, F. 2008. Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan. Jurnal SUPK; Jaringan Komunikasi Pasak Bumi, Sumatera Selatan. ISSN 1978 8932 Sjarkowi, F. & Alimin Nurdin. 2010. Dimensi Biogeofisik dan Sosekbud Peman-faatan Galian Pasir Sungai Musi. Kajian Empirik Konsultan. Sjarkowi, F. 2013. Faktor Penyebab Perubahan Hidro-Dinamika Genangan Pada Kawasan Rawa Lebak dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Wilayah dan Ekonomi Warga Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel. Susanto, R. H. 2010. Strategi Pengelolaan Rawa Untuk Pembangunan Pertanian Berke-lanjutan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya: Inderalaya, OI. Sumatera Selatan. Suwido, Limin et al. 2005. The Key to Successful Management of Peatland in Central Kalimantan is Correct Government Policy. In Proceedings of International Sym-posium on „Restoration and Wise Use of Tropical Peatland : Problems of Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management‟. CIMTROP, 2007.
26
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
MAKALAH PENUNJANG Bagian 1 Hubungan Konservasi Tanah dan Air (KTA) dengan Peningkatan Produktivitas dan Biomassa
Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa Sifat di Lokasi Penimbunan Tambang Batubara Bukit Asam Tanjung Enim Yang Telah Direvegetasi1) Alamsyah Pohan2) dan Satria Jaya Priatna2) Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat bahaya erosi, menilai keragaman kualitas fisik tanah, dan keragaman tanaman di areal lokasi revegetasi kawasan pasca penambangan batubara PTBA. Penilaian kegiatan revegetasi dilakukan di kawasan tambang (KT) Air Laya, KT Muara Tiga Besar (MTB) dan KT Bangko Barat merupakan studi evaluatif, menggunakan gabungan metode deskriptif (descriptive method), metode pembandingan (matching method), dan studi kasus (case study). Hasil penelitian memperlihatkan keragaman kondisi sifat fisik tanah pada areal pasca tambang batubara adalah sebagai berikut: 1) memiliki tekstur liat hingga lempung berliat, 2) struktur gumpal hingga gumpal bersudut, 3) ruang pori total bervariasi dari 45,01 hingga 66,02 %, 4) bobot isi cukup besar, yaitu 1,11 sampai 1,42 g cm-3, dan 5) nilai permeabilitas bervariasi mulai dari sangat lambat (di Bangko Barat dan Air Laya) sampai sangat cepat (di Muara Tiga Besar). Sedangkan C–organik tanah bervariasi tergolong rendah sampai tinggi, Secara alami tanah timbunan masih menunjukkan kesuburan yang rendah, erosi tanah merupakan persoalan yang dihadapi di daerah eks tambang PTBA, meskipun telah ada upaya tindakan pencegahan. Secara rata-rata indikasi tingkat bahaya erosi tergolong cukup berat dengan nilai prediksi erosi berkisar antara 9,62 ton/ha/th hingga 126,34 ton/ha/th. Laju erosi yang tinggi hingga sangat tinggi dijumpai pada areal-areal yang baru direvegetasi (kurang dari 5 tahun). Jenis tanaman yang ditanam beragam antar lokasi dan di dalam setiap lokasi. Jenis tumbuhan pionir yang dijumpai di semua lokasi tambang adalah Euphathorium sp dan Mimosa invisa. Tumbuhan Cyperus sp meskipun tidak dijumpai di lokasi tambang Air Laya namun banyak dijumpai di Muara Tiga Besar dan Banko Barat. Untuk lokasi tambang Banko Barat juga ditemukan Pakis atau Paku Resam (Gleyhenia sp). Tanaman yang ditanam di areal revegetasi terdiri dari 2 jenis, yaitu jenis legum dan non-legum. Pada areal yang telah direvegetasi sejak 10 tahun yang lalu telah banyak ditumbuhi oleh sejumlah vegetasi lain yang merupakan strata ikutan. Kata Kunci: Erosi, Sifat Fisika, Tambang batubara 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Fakultas Pertanian Unsri
A Latar Belakang Penambangan batubara di PTBA merupakan penambangan dengan sistem terbuka (open mining) dengan menggunakan berbagai peralatan berat seperti Bukcet Whell Exavator (BWE), Spreader, Stacker / reclaimer, Bulldozer, Compactor, shovel dan truck. Penambangan dengan sistem itu meliputi kegiatan pengupasan, penggalian, pengambilan batu bara, penumpukan bahan non-batubara dan penimbunan. Kegiatan ini selanjutnya akan menghasilkan banyak lobang besar dan lahan timbunan. Lahan timbunan tidak dengan serta-merta bisa dikelola untuk dilakukan revegetasi karena sejumlah persoalan harus dipecahkan terlebih dahulu. Secara fisik, tanah bekas tambang tidak menguntungkan pertumbuhan tanaman karena mempunyai bobot isi yng cukup tinggi antara 1,2 – 1,4 g cm-3. Bobot isi yang tinggi ini tercipta karena lahan timbunan diratakan dengan alat-alat berat sehingga lahan yang dihasilkan merupakan hamparan tanah dengan lapisan yang padat dan kompak. Selain itu, terungkapnya lapisan liat ke permukaan dan rendahnya bahan organik tanah timbunan merupakan faktor penyebab tanah timbunan menjadi padat. Kondisi ini menyebabkan sulitnya penetrasi air (dimana permeabilitas tanah rendah) dan penetrasi akar tanaman, serta terganggunya tata udara dalam tanah tersebut. Aktivitas penambangan juga menimbulkan perubahan pola drainase. Perubahan ini juga akan mengganggu air bawah tanah, bahkan pada kondisi tertentu dapat menyebakan pengurasan air bawah tanah. Kolam-kolam yang terbentuk pasca penambangan juga dapat menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk. Pemindahan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
29
Alamsyah Pohan dan Satria Jaya Priatn/Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa ...
lapisan bawah ke lapisan atas atau pencampuran tanah lapisan bawah dan lapisan atas juga menimbulkan perbahan karakteristik kimia tanah. Bahan timbunan tersebut merupakan campuran tanah, bahan induk (batuan liat, batuan lanau, batuan pasir, dan tufa vulkan), dan sisa batubara itu sendiri.
B Tujuan Tujuan dari studi (penelitian) ini adalah untuk mengkaji tingkat bahaya erosi, menilai keragaman kualitas fisik tanah, dan keragaman tanaman di areal lokasi revegetasi kawasan pasca penambangan batubara PTBA Tanjung Enim.
C Metodologi Studi ini dilakukan dilakukan di kawasan pasca penambangan batubara pada lokasi (KT) Air Laya, KT Muara Tiga Besar (MTB) dan KT Banko Barat. Penelitian ini menggunakan metode survai tingkat semi detil dan detil dengan skala peta kerja 1:10.000 untuk lokasi Air Laya dan Bangko serta skala peta kerja 1:5.000 untuk lokasi Muara Tiga Besar (MTB). Keseluruhan luas wilayah studi yang diteliti adalah sekitar ± 500 hektar. Lokasi pengamatan ditentukan secara sengaja berdasarkan perbedaan lokasi, tahun timbunan, dan teknik revegetasi yang dilakukan. Titik pengeboran dan pengambilan ring sampel tidak dilakukan pada semua titik pengamatan, tetapi mewakili tiga lokasi kawasan tambang yang ditujukan untuk mengamati kondisi beberapa sifat fisik tanah penting, antara lain tekstur, struktur, bulk density, ruang pori total, permeabilitas, ketebalan lapisan, dan warna tanah. Sedangkan keragaman vegetasi dinilai dan dievaluasi melalui pengamatan langsung di lapangan pada tiga lokasi studi. Penilaian kegiatan revegetasi merupakan studi evaluatif, gabungan dari sejumlah metode yakni metode deskriptif (descriptive methods), metode pembandingan (matching methods) dan studi kasus (case study).
D Hasil dan Pembahasan Keragaman Kualitas Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis di laboratorium (Tabel 1 dan Tabel 2) menunjukkan persamaan dalam kelas tekstur yakni liat hingga lempung berliat. Selain itu tanah di tiga lokasi tambang mempunyai struktur yang sama yakni gumpal hingga gumpal bersudut, ruang pori total berkisar antara 45,21% hingga 66,02%. Dimana kisaran RPT tertinggi didapatkan pada lokasi tambang TAL. Nilai bobot isi bervariasi dari 1,11 hingga 1,42 g/cm3 , keragaman bobot isi tidak terlihat begitu jelas, sedangkan permeabilitasnya nilainya umumnya sama hanya antar dua lokasi KT yakni Air Laya dan MTBU, dengan kisaran sangat lambat hingga sangat cepat. Permeabilitas tanah pada lokasi Banko Barat (BB) mempunyai kisaran sama yakni sangat lambat. Secara detil keragaman kondisi beberapa sifat fisik tanah pada tiga lokasi studi dijabarkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Hasil analisis laboratorium terhadap komponen beberapa sifat Fisika tanah di lokasi studi: Banko Barat (BB); MTBU, dan TAL, PTBA
30
No.
Lokasi
A. 1. 2. 3. B. 4. 5.
BANKO BARAT (BB) P1T1-Barat P1T1-Timur P1T3-Barat MTBU P1T1-Utara P1T1- Selatan
Tekstur (%) Pasir Debu Liat
Jenis Analisis Kelas Tekstur
Struktur
36,07 18,58 45,35 Liat Gumpal bersudut 28,22 23,52 48,26 Liat Gumpal bersudut 31,02 30,64 38,34 Lempung Berliat Gumpal 23,50 38,77 37,73 Lempung Berliat 29,60 30,31 40,09 Lempung Berliat
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Gumpal Gumpal
Alamsyah Pohan dan Satria Jaya Priatn/Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa ...
6. C. 7. 8. 9.
BF-MTBS TAL KTU Mahayung I SP 701
33,41 22,56 44,03
Liat
Gumpal bersudut
24,21 29,39 46,40 Liat Gumpal bersudut 49,21 29,00 21,79 Lempung granular 38,06 31,51 30,43 Lempung Berliat Gumpal
Tabel 2. Hasil analisis laboratorium terhadap komponen beberapa sifat Fisika tanah di lokasi studi: Banko Barat (BB); MTBU, dan TAL, PTBA (Lanjutan)
No
Lokasi
A. 1. 2. 3. B. 4. 5. 6. C. 7. 8. 9.
BANKO BARAT (BB) P1T1-Barat P1T1-Timur P1T3-Barat MTBU P1T1-Utara P1T1- Selatan BF-MTBS TAL KTU Mahayung I SP-701
Jenis Analisis Permeabilitas RPT Warna Tanah (cm/jam) (%)
Bobot Isi (g/cm3)
5YR4/6 5YR5/8 7,5YR5/6
1,201 al 0,059 sl 28,638 c
53,98 47,41 56,93
1,23 t 1,11 s 1,33t
5YR4/4 5YR5/6 7,5YR4/4
0,315 l 1,45 al 1,67 al
49,87 52,93 53,18
1,15 s 1,32 t 1,36 t
7,5YR4/4 7,5YR3/3 7,5YR3/2
0,100 l 8,806 c 0,521 al
45,21 66,02 54,76
1,17 s 1,42 t 1,21 t
Kriteria: al : agak lambat, l: lambat, ac : agak cepat; c: cepat; r: rendah; t: tinggi
Tekstur dan Struktur Tanah Berdasarkan hasil pengamatan lapang dan laboratorium, secara umum tanah di tiga lokasi studi (lokasi TAL; MTBU dan Banko barat), masuk dalam kelas tekstur liat hingga lempung berliat, dimana persentase fraksi liatnya secara rata-rata berada di atas 35% (lihat Tabel 2). Demikian juga dengan kondisi strukturnya, pada umumnya memililiki bentuk gumpal hingga gumpal berasudut. Tingginya kandungan liat pada lokasi studi dikarenakan oleh masih terdapatnya campuran lapisan subsoil pada lapisan atas tanah, sementara itu suksesi revegetasi yang telah dilakukan belum memperlihatkan hasil yang baik, karena adanya upaya penimbunan yang dilakukan secara berulang pada lokasi yang sama, seperti terlihat pada lokasi timbunan Tambang Air Laya (TAL). Warna Tanah Pengamatan terhadap warna tanah pada tiga lokasi studi (lokasi TAL; MTBU dan Banko barat), memperlihatkan matriks warna yang didominasi oleh warna cerah (merah kekuningan), Berdasarkan pendekatan pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan Munsell Soil Colour Chart, diperlihatkan numerik warna tanah dominan (7,5YR x/x hingga 5YR x/x) (Lihat Tabel 2). Kenampakan warna dengan nilai Hue dan chroma seperti ini, mengindikasikan bahwa tanah dilokasi studi biasanya didominasi oleh kandungan liat yang cukup tinggi (>35%). Indikasi adanya lapisan organik yang biasanya dicerminkan oleh nilai warna yang kegelapan tidak terlihat jelas di lokasi studi. Bobot Isi Tanah Hasil analisis terhadap Nilai bobot isi tanah (g/cm3) pada tiga tiga lokasi area pasca penambangan batubara PTBA (Lokasi TAL; MTBU, dan Banko Barat) (Tabel 2) tidak terlihat adanya perbedaan nilai bobot isi yang significant pada ketiga lokasi studi (TAL; MTBU dan BB). Rata-arata nilai bobot isi berkisar antara 1,11 hingga 1,42 g/cm3, berdasarkan kriteria baku mutu tanah kisaran nilai tersebut tergolong sedang hingga tinggi. Nilai bobot isi tanah mencerminkan tingkat kekerasan suatu tanah pada kondisi tertentu, dan sangat terkait dengan upaya pengelolaan tanah yang akan dilakukan. Semakin tinggi nilai bobot isi suatu tanah biasanya menunjukkan akan semakin sulitnya tanah tersebut untuk diolah. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
31
Alamsyah Pohan dan Satria Jaya Priatn/Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa ...
Ruang Pori Total Hasil analisis terhadap Nilai RPT tanah (%) pada tiga tiga lokasi area penambangan batubara PTBA (Lokasi TAL; MTBU, dan Banko Barat), memperlihatkan hasil analisis fisik tanah terhadap ruang pori total (RPT) relatif stabil, secara kuantitatif nilai RPT tanah di semua lokasi studi tergolong rendah hingga sedang, dengan nilai berkisar antara 45,21% hingga 66,02%. Dimana kisaran RPT tertinggi didapatkan pada lokasi tambang TAL. Rendahnya nilai RPT tanah juga dipengaruhi oleh kondisi tekstur lapang yang didominasi oleh komponen fraksi liat dimana kelas tekstur umumnya berada pada kelas lempung hingga lempung liat berpasir. Nilai porositas tanah yang baik sangat penting dalam hubungannya dengan sirkulasi air dan udara dalam lapisan tanah dan besar pengaruhnya dalam menunjang perkembangan akar tanaman. Permeabilitas Tanah Secara umum hasil analisis sifat fisika tanah untuk paramter Permeabilitas Tanah pada tiga lokasi area penambangan batubara PTBA (Lokasi TAL; MTBU, dan Banko Barat) tergolong agak lambat, dengan nilai berkisar antara 0,059 s/d 1,67 cm/jam yang terdapat di lokasi Banko barat dan sebagian di lokasi MTBU dan TAL. Namun demikian, terdapat 2 titik sampling yaitu: pada lokasi Mahayung I dan lokasi P1B3-barat, ternyata memiliki nilai permeabiltas yang tinggi (tergolong cepat) dengan kisaran nilai antara 8,806 hingga 28,638 cm/jam. Nilai Permeabilitas yang rendah sangat erat kaitannya dengan kondisi tekstur yang didominasi oleh komponen fraksi lia, dimana mencerminkan kondisi tanahnya yang padat dan keras. Kondisi ini semakin terpengaruh oleh faktor penutup tanah yang tidak begitu rapat, karena lokasi studi lebih dominan ditutupi semak belukar dan alang-alang yang miskin kandungan bahan organik. Potensi Erosi Tanah Erosi tanah timbunan yang berbentuk bukit merupakan persoalan yang dihadapi di lokasi studi tambang batubara di Tanjung Enim, meskipun telah ada upaya tindakan pencegahan yang dilakukan. Potensi Erosi yang terjadi di lokasi studi berkisar dari ringan hingga berat. Bentuk dan jenis erosi yang terlihat dan telah, sedang serta akan terjadi di areal revegetasi kawasan tambang. PT.BA adalah mulai dari jenis erosi percikan (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion) sampai dengan erosi parit (gully erosion). Namun di lapangan bentuk erosi yang paling dominan dijumpai adalah erosi alur dan erosi parit. Potensi erosi tanah relatif rendah pada lahan yang sudah mengalami penutupan oleh vegetasi yang lebat. Prediksi laju erosi yang tinggi dijumpai pada areal-areal yang baru direvegetasi atau areal yang baru mengalami penimbunan kembali setelah direvegetasi dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun yang lalu. Dalam kenyataannya erosi alur dan erosi parit terus terjadi dengan laju yang cukup tinggi pada areal yang sudah direvegetasi hingga 5 sampai 10 tahun. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari kenyataan belum adanya pengendalian erosi tanah pada lahan yang telah direvegetasi, terutama areal yang relatif baru ditanami. Fenomena ini menunjukkan bahwa tindakan pencegahan yang telah dilakukan baik secara vegetatif dan mekanis belum mampu mengatasi persoalan erosi di lokasi bekas tambang. Hal Ini dapat dipahami karena tingkat kepekaan tanah terhadap erosi juga sangat dipengaruhi stabilitas agregat tanah. Karena bahan timbunan merupakan bahan campuran yang didominasi oleh bahan non-tanah, dimana bahan tersebut masih mempunyai stabilitas yang rendah. Ini juga ada kaitannya dengan rendahnya bahan organik aktif pada bahan timbunan dan terhambatnya infiltrasi air ke dalam tanah. Hasil Pendugaan terhadap potensi erosi (USLE) dan nilai Tolerable erosion disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Hasil perhitungan (prediksi) erosi dengan Metode USLE dan nilai toleransi Erosi (ton/ha/thn).
32
No
Lokasi
A. 1. 2. 3.
BANKO BARAT (BB) P1T1-Barat P1T1-Timur P1T3-Barat
Erosi Toleransi Erosi Tingkat Skala Erosi (Ton/Ha/Th) (Ton/Ha/Th) Bahaya Erosi 44,21 126,34 26,73
17,37 26,95 8,77
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
B SB B
2 1 2
Alamsyah Pohan dan Satria Jaya Priatn/Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa ...
B. MTBU 4. P1T1-Utara 5. P1T1- Selatan 6. BF-MTBS C. TAL 7. KTU 8. Mahayung I 12 SP-701 Keterangan: TBE : SR : Sgt Ringan R : Ringan B : Berat SB : Sangat Bersat
43,73 34,66 22,41
17,30 20.10 36,40
B B B
2 2 2
31,43 9,62 38,74
39,87 24,47 17,47
B R B
2 4 2
1 2 4 5
Kelas Erosi : : Sangat Jelek : Jelek : Baik : Sangat Baik
Erosi tanah merupakan salah satu indikator kunci yang dapat mencerminkan kondisi beberapa sifat fisik dan kimia tanah lainnya dari suatu kegiatan yang menimbulkan dampak. Berdasarkan hasil studi, potensi erosi yang terukur dilokasi berdasarkan metode USLE bervariasi dari mulai ringan sampai sangat berat, dengan nilai erosi berkisar antara 9,62 s/d 126,34 ton/ha/th. Berdasarkan perbedaan lokasi studi, nilai erosi yang lebih rendah dijumpai pada lokasi tambang TAL, dengan nilai potensi berkisar antara 9,62 s/d 38,74 ton/ha/th. Lebih rendahnya laju erosi pada lokasi tambang TAL, diduga karena sebagian besar lokasi sudah tertutupi oleh rerumputan dan semak belukar, sehingga kondisi fisik tanah pada kondisi lapangan relatif lebih baik dibandingkan lokasi Banko Barat dan MTBU. Salah satu indikator kunci dalam memprediksi nilai erosi ini ditunjukkan oleh nilai indeks erodibilitas yang juga rendah, dimana nilai indeks erodibilitas sangat tergantung pada kondisi permeabilitas, tekstur, struktur dan kandungan bahan organik tanah. Faktor lain yang juga menjadi penyebab tinggi rendahnya laju erosi pada lokasi studi antara lain adalah faktor kemiringan lereng, intensitas hujan lokal, dan tindakan pengelolaan lahan yang diterapkan. Bentuk erosi yang umumnya terlihat di semua lokasi studi antara lain adalah dalam bentuk erosi alur (rill erosion) dan erosi parit (gully erosion). Sedangkan bentuk erosi parit dan gejala longsor tidak dijumpai pada lokasi studi. Berdasarkan gambaran data erosi yang tercermin pada Tabel 3 di atas, maka perlu penanganan lebih intensif terutama pada lokasi erosi yg tergolong berat, seperti di P1T1-Timur, P1T1-Barat , P1T1Utara, P1T1-Selatan, dan SP-701. Tabel 4. Keragaman jenis dan laju erosi tanah serta tindakan konservasi yang diterapkan. Lokasi
Tahun Revegetasi > 10 th
Tambang Air laya
< 5 th
> 10 th Muara Tiga Besar
< 5 th > 10 th
Banko Barat
< 5 th
Jenis dan Intensitas Erosi
Tindakan Konservasi
- erosi alur-sedang - Tindakan agronomi-baik - erosi parit-sedang s/d - Tindakan pengelolaan tanah-sedang tinggi - Tindakan mekanik-sedang - erosi percikan-tinggi - Tindakan agronomi-buruk - erosi lembar-tinggi - Tindakan pengelolaan tanah-buruk - erosi alur-tinggi s/d sedang - erosi parit-sangat tinggi - Tindakan mekanik-sedang - erosi alur-sedang - Tindakan agronomi-baik - erosi parit-sedang s/d - Tindakan pengelolaan tanah-sedang sangat tinggi - Tindakan mekanik-baik - erosi percikan-tinggi - Tindakan agronomi-buruk - erosi lembar-tinggi - Tindakan pengelolaan tanah-buruk - erosi alur-tinggi s/d sedang - erosi parit-sangat tinggi - Tindakan mekanik-sedang Tidak ada revegetasi - erosi percikan-tinggi - Tindakan agronomi buruk - erosi lembar-sedang - Tindakan pengelolaan tanah-buruk - erosi alur-tinggi s/d sedang - erosi parit-sangat tinggi - Tindakan mekanik-sedang
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
33
Alamsyah Pohan dan Satria Jaya Priatn/Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa ...
Di sisi lain, bahan organik merupakan salah satu bahan yang penting dalam stabilisasi bahan timbunan, dalam menurunkan kepekaan tanah terhadap erosi, dan dalam meningkatkan infiltrasi air. Selain itu, bentuk timbunan yang berstrata dengan tingkat kemiringan yang tinggi dan bervariasi, curah hujan yang tinggi (2500 s/d 3000 mm pertahun) dan belum optimalnya strategi revegetasi di setiap kawasan tambang semakin memperbesar peluang untuk terjadinya erosi. Oleh karena itu selain upaya konservasi, langkah perencanaan bentuk timbunan, pengaturan kecuraman lereng, dan arah kemiringan, dan pembuatan alur aliran air merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam mencari upaya menekan laju erosi. Tindakan mekanik yang dianut di kawasan PT. BA Tanjung Enim merupakan kelanjutan dari sistem penimbunan tanah dari areal tambang. Penimbunan yang sedang dan akan dilanjutkan adalah penimbunan sistem berjenjang membentuk sebuah bukit. Pembuatan jenjang juga bertindak sebagai jalan untuk menuju ke areal penimbunan di bagian atas. Karena faktor kemiringan merupakan faktor yang menentukan dalam proses erosi, maka pengaturan kemiringan timbunan merupakan upaya yang sangat penting dalam perencanaan program revegetasi tanah tambang. Beragamnya jenis dan tingginya laju untuk setiap jenis erosi yang sedang dan akan erat kaitannya dengan banyak faktor. Di antara faktor – faktor itu adalah luasnya areal timbunan, sulitnya medan, curah hujan yang tinggi (2500 s/d 3000 mm pertahun) dan belum optimalnya strategi revegetasi di setiap kawasan tambang.
E KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil studi, observasi lapangan dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut : Kesimpulan 1. Kondisi sifat fisik tanah memperlihatkan persamaan dalam kelas tekstur yakni liat hingga lempung berliat, struktur gumpal hingga gumpal bersudut, ruang pori total berkisar antara 45,21% hingga 66,02%, nilai bobot isi bervariasi dari 1,11 hingga 1,42 g/cm3, dan permeabilitas tergolong agak lambat hingga cepat. 2. Erosi tanah merupakan persoalan yang dihadapi di daerah eks tambang di Tanjung Enim, meskipun telah ada upaya tindakan pencegahan. Potensi laju erosi, yang didasarkan pada kondisi curah hujan (erosivitas), faktor erodibilitas, faktor topografi, faktor vegetasi, dan faktor pengelolaan lahan yang ada, secara rata-rata mengindikasikan tingkat bahaya yang cukup berat dengan nilai prediksi erosi berkisar antara 9,62 ton/ha/th hingga 126,34 ton/ha/th. Erosi tanah relatif rendah pada lahan yang sudah mengalami penutupan oleh vegetasi yang lebat. Laju erosi yang tinggi hingga sangat tinggi dijumpai pada areal-areal yang baru direvegetasi (kurang dari 5 tahun). Dalam kenyataannya erosi alur dan erosi parit terus terjadi dengan laju yang tinggi pada areal yang sudah direvegetasi hingga 5 sampai 10 tahun 3. Tanaman yang ditanam di areal revegetasi relatif beragam, yakni jenis leguminosae dan non leguminosae. Pemilihan jenis tanaman dan pengaturan di lapangan bisa lebih mempertimbangkan aspek ekologis, estetika dan ekonomis. Jenis-jenis tanaman yang tergolong adaptif di areal revegetasi PTBA adalah Acacia auriculaiformis (akasia brdaun sempit), Acacia mangium (akasia berdaun lebar), Eucalyptus sp (kayu putih), Glyricidia mucronata (gamal), Leucaena glauca (petai cina), albizia falcata (sengon), Hibiscus tiliaceus (waru), Gmelina arborea (jati putih), Bambussa sp (bambu), Peronema canescens (sungkai), Pterocarpus indicus (angsana) dan Cassia siamea (ki hujan) Saran
34
Diperlukan upaya penyehatan tanah yang lebih intensif dalam bentuk bahan ameloriasi (seperti: pemberian pupuk, bahan organik, maupun kapur) untuk memacu peningkatan kesuburan tanah sebagai dapat menunjang pertumbuhan tanaman lebih cepat.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Alamsyah Pohan dan Satria Jaya Priatn/Analisis Tingkat Bahaya Erosi dan Kondisi Beberapa ...
Melakukan perawatan dan pemeliharaan terhadap Kolam Pengendap Lumpur yang ada saat ini secara berkesinambungan sehingga tetap terus berfungsi sebagai kolam penyangga jika terjadi permasalahan pada areal penambangan.
Dalam pelaksanaan penimbunan, top soil (tanah pucuk) diupayakan agar tetap berada di atas dan karena itu diberikan terakhir kali dari proses penimbunan.
Melakukan program revegetasi secara kontinu dan berkesinambungan dengan terus berupaya mengurangi kemungkinan adanya penimbunan baru pada lahan yang sudah direvegatasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Daniels, W.L. & C.E. Zipper. 1997. Creation and management of productive mine soils. Powell River Project “Reclamation Guidelines” Department of Mineral and Energy Western Australia, 1996 dalam Department of The Environment, 1998. Pusat Penelitian Tanah. 1982. Term of Reference Type-A Survey Kapabilitas Tanah. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. Bogor. Rahim, S.E. 1995. Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian Erosi Tanah. Universitas Sriwijaya. Palembang. Soil Survey Staff. 1975. Keys to Soil Taxonomy, Agency for International Development USDA. Virginia Polytechnic Institute and State University. Virginia.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
35
PENGARUH PENGGUNAAN MULSA PLASTIK HITAM PERAK(POLIMER) DAN MULSA ALANG-ALANG (Imperata cylindrica L.)TERHADAP KEBUTUHAN AIR TANAMAN PADA PERTUMBUHAN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DENGAN SISTEM IRIGASI TETES 1) Alex Chandra Sipahutar2, Hilda Agustina3, Arjuna Neni Triana3 Abstract: The objective of this research was to determine influence of using mulch types and watering frequency with the chili growth (Capsicum frutescens L.). The research was done in Banyuasin regency KM 18, Pasir Putih from October 2012 to July 2013. The research method was randomized complete block design (RAK) arranging in factorial with two factors, (A) as the mulch type and (B) watering frequency. Each combination treatment was repeated for four times. Parameters observed were the plant height, number of leaves, number of flowers and the harvest production. The result of this research showed that mulch type and watering frequency had significant impact toward the plant height, number of leaves and number of flowers. For the longest plant height was on A2B1 treatment (reed mulch, daily watering frequency) with the plant height 41.0 cm. The best treatment for number of leaves was on A2B2 combination treatment (reed mulch with three days watering frequency) with number of leaves 58.3. For the highest number of flowers were on A 1B2 and A2B2 with each number of flowers is 28.8. The highest result of harvest production was on A 2B2 (reed mulch with three days watering frequency) with production result is 1260 g, and lowest result of production was on A 3B1 (control with daily watering frequency) with production result is 434g. Keywords: mulch, drip irrigation, water supply frequency 1)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Mahasiswa jurusan teknologi pertanian 3) Dosen pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Fakultas Pertanian Unsri 2)
PENDAHULUAN A Latar Belakang
I
rigasi tetes adalah metode pemberian air dengan meneteskan air menggunakan penetes (emitter) pada sekitar zone perakaran tanaman. Dengan penggunaan irigasi tetes pemberian air dapat dilakukan secara berkelanjutan atau terputus dengan laju pemberian air yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penggunaan irigasi tetes sangat efisien karena efisiensi yang dimiliki oleh irigasi tetes dapat mencapai 75 sampai 85% penggunaan irigasi tetes dapat menekan kehilangan air melalui perkolasi, aliran permukaan (run off) dan evaporasi (Michael, 1978). Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) tergolong dalam jenis sayuran atau rempah – rempah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta penting di dunia. Genus capsicum berasal dari Meksiko dan Amerika Selatan, masuknya cabai ke Asia berasal dari perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Portugis pada abad 16, dan perkembangan cabai pedas ini sangat meningkat di Asia Tenggara karena kontur dari geografis Asia Tenggara sangat cocok untuk pertumbuhan cabai mudah dibudidayakan (Sanjaya et al., 2002). Mulsa adalah lapisan penutup yang digunakan untuk menutup permukaan tanah pada guludan, penggunaan mulsa bertujuan untuk mengurangi penguapan pada tanah serta mengurangi erosi yang diakibatkan oleh air hujan. Selain penggunaan mulsa merupakan alternatif yang sangat baik untuk mengendalikan gulma dan meningkatkan hasil produksi dari tanaman, mulsa pada guludan sangat bermanfaat dalam hal mempertahankan kondisi lingkugan tanah yang dapat menjamin pertumbuhan dan produksi tanaman, selain itu mulsa juga dapat mempengaruhi iklim mikroklimat yang dapat mempengaruhi tanaman pokok, serta menjaga persediaan air untuk tanaman (Wardjito, 2001).
36
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
Penggunaan mulsa sebagai penutup tanah dapat mengurangi penguapan suhu tanah, yang menyebabkan kadar air tetap tercukupi. Pemanfaatan mulsa juga dapat memperkecil evapotranspirasi sehingga kehilangan air tanah dapat diperkecil. Semakin kecilnya kehilangan air yang disebabkan oleh evapotranspirasi menyebabkan pemberian air dengan irigasi tetes. semakin efisien dan mencukupi kebutuhan air tanaman (Damanik, et all., 1997). B Tujuan Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis mulsa terhadap pertumbuhan cabai rawit ( Capsicum frutescens L.).
PELAKSANAAN PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Banyuasin KM 18, Desa Pasir Putih pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Juli 2013. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Alat tulis, 2) Gelas ukur, 3) Infiltrometer, 4) Jaringan irigasi tetes, 5) Kalkulator, 6) Kamera, 7) Lem pipa, 8) Mistar, 9) Neraca analitik, 10) Plastik, 11) Pipa PVC 10 ½ inci, 12) RH meter, 13) Stopwatch, 14) Selang dan emitter (dalam penelitian ini yang digunakan selang infus), 15) Tong plastik. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah : 1) Benih Cabai Rawit Varietas GENIE, 2) Herbisida Cair, 3) Insektisida WINDER 25 WP, 4) Kain Kasa, 5) Mulsa Plastik, 6) Mulsa AlangAlang, 7) Polybag Diameter 5 Cm, 8) Pupuk UREA, 9) Pupuk NPK, 10) Pupuk TSP. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) disusun secara faktorial dengan 2 faktor perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan-perlakuan adalah sebagai berikut: Faktor A: jenis mulsa A1 = mulsa plastik A2 = mulsa alang-alang A3 = kontrol (tanpa mulsa) Faktor B: frekuensi pemberian air B1 = frekuensi penyiraman setiap hari B2 = frekuensi penyiraman rutin 3 hari dan tanpa penyiraman 1 hari Adapun interaksi antara dua faktor perlakuan jenis mulsa (A) dan frekuensi pemberian air (B) adalah A1B1, A1B2, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2. Pelaksanaan Penelitian 1. Pemilihan Benih Benih cabai rawit direndam dengan air, yang bertujuan untuk memisahkan benih yang baik dengan benih yang tidak baik serta untuk memecah dormasi biji. Benih yang baik untuk ditanam adalah benih yang tenggelam. 2. Persiapan Areal Penanaman Areal penanaman dibersihkan dari sisa gulma, sisa-sisa perakaran dan batu kemudian diratakan dengan cangkul 3. Pembuatan Guludan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
37
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
Guludan dibuat sebanyak 24 guludan dengan lebar guludan 70 cm dan panjang guludan 2 meter. Jarak antar guludan 60 cm. Setiap guludan terdiri dari 4 tanaman dengan jarak tanam 50 cm. 4. Pembuatan Sarana Irigasi Tetes Pemasangan sarana irigasi terdiri dari pemasangan pipa, selang, emitter, kran, dan penampung air yang dirangkai dengan benar. 5. Pemasangan Mulsa Plastik Dan Alang–Alang Pemasangan mulsa plastik dilakukan setelah guludan terbentuk. Jenis mulsa yang digunakan adalah mulsa hitam perak. Cara pemasangan mulsa plastik dilakukan dari ujung ke ujung dengan cara ditarik sampai menutupi guludan kemudian mulsa plastik diberi lubang – lubang yang berdiameter 6 sampai 8 cm sebagai lubang yang nanti digunakan untuk penanam benih. Parameter yang Diamati 1. 2. 3. 4.
Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun (helai) Jumlah bunga (buah) Hasil panen (g)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman Hasil analisis keragaman atau biasa dikenal dengan hasil uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh penggunaan mulsa terhadap tinggi tanaman cabai rawit dapat dilihat pada Tabel 1. 1. Tinggi Tanaman Tabel 1. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh mulsa terhadap tinggi tanaman cabai rawit.
Perlakuan A3 A1 A2
RerataTinggi Batang 36,1 39,9 40,8
BNJ 0,05 = 0,65 a b c
Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Hasil uji BNJ 5 % menunjukkan bahwa perlakuan A3 (kontrol tanpa mulsa) berbeda nyata dengan perlakuan A1 (mulsa plastik) dan A2 (mulsa alang-alang). Perlakuan A3 (kontrol) menjadi perlakuan yang kurang baik dengan tinggi tanaman cabai rawit terendah yaitu 36,1 cm. Perlakuan A2 (mulsa alang-alang) pada tabel 2 menghasilkan pertumbuhan tanaman lebih tinggi bila dibandingkan perlakuan A1 (mulsa plastik) dan perlakuan A3 (kontrol tanpa mulsa), dengan tinggi tanaman 40,8 cm. Perbedaan tinggi tanaman cabai rawit dari semua perlakuan disebabkan karena perlakuan A1 (mulsa plastik) yang digunakan dapat menyerap panas, sehingga suhu tanah dapat meningkat dan menyebabkan terjadinya evaporasi yang tidak terlalu besar. Peningkatan suhu tanah dapat menyebabkan mikroorganisme dalam tanah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman terganggu sehingga pertumbuhan tanaman juga terganggu. Tabel 2. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Pengaruh Frekuensi Pemberian Air Terhadap Tinggi Batang Tanaman Cabai Rawit.
Perlakuan B1 B2
Rerata Tinggi Batang 38,63 39,20
BNJ 0,05 = 0,53 a b
Keterangan: Angka-angka yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
38
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
Hasil uji BNJ 5 % menunjukkan perbedaan frekuensi pemberian air B1(frekuensi setiap hari) dengan tinggi tanaman 38,63 cm berbeda nyata dengan perlakuan B2 (frekuensi 3 hari) dengan tinggi tanaman 39,20 cm. Perbedaan tinggi tanaman disebabkan karena adanya pengaruh frekuensi pemberian air, perlakuan B1 pemberian air secara terus menerus akan menyebabkan tingginya kadar air dalam tanah yang diakibatkan oleh kecilnya evaporasi yang terjadi pada permukaan tanah. Dari hasil kombinasi perlakuan jenis mulsa yang berbeda serta frekuensi pemberian air, perlakuan terbaik dimiliki oleh kombinasi perlakuan A2B1(mulsa alang-alang dengan frekuensi pemberian air setiap hari) dengan tinggi 41,0 cm. Perbedaan tinggi tanaman cabai rawit dapat diketahui dari tinggi tanaman yang dihasilkan yaitu 34,9 cm sampai 41,0 cm. Tinggi tanaman cabai rawit disajikan pada Gambar 1.
Keterangan: Perlakuan jenis mulsa Perlakuan pemberian air: = mulsa plastik A1 = mulsa alang-alang A2 = kontrol A3 = frekuensi pemberian air tiap hari B1 = frekuensi pemberian air 3 hari B2 Gambar 1. Grafik tinggi tanaman cabe rawit
Tinggi tanaman terendah pada gambar 1, terdapat pada perlakuan A3B1 (kontrol dengan pemberian air tiap hari) dengan tinggi tanaman 34,9 cm. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan A 3B1 tanpa menggunakan mulsa sebagai lapisan penutup tanah menyebabkan terjadinya evaporasi yang tinggi tanah, sehingga kadar air tanah serta air yang diberikan kepada tanaman akan dengan mudah menguap. Penguapan kadar air tanah akan mengakibatkan pemberian air tidak efektif sehingga tanaman akan kekurangan air. Selain tingginya evaporasi, gangguan gulma pada tanaman juga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut Purwowidodo (1983) pemanfaatan mulsa sebagai penutup tanah dapat memperkecil penguapan evaporasi sehingga kadar air tanah tetap terjaga, mengendalikan gulma serta meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan A2B1 (mulsa alang-alang dengan pemberian air setiap hari) yaitu 41,0 cm, ini disebabkan karena pada perlakuan A2B1 memberikan kondisi yang baik untuk pertumbuhan tanaman, dimana penggunaan mulsa alang-alang sebagai penutup permukaan tanah dapat menjaga kelembaban tanah, terkendalinya suhu tanah, serta menambah unsur hara bagi tanama dari hasil pembusukan alang-alang. Pemberian air juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, pemberian air setiap hari pada penggunaan mulsa alang-alang menyebabkan kebutuhan air tanaman tercukupi. Pertumbuhan tanaman tertinggi ke dua terdapat pada perlakuan A1B1 dengan tinggi tanaman 40,1 cm lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A2B1 dengan tinggi tanaman 41,0 cm, disebabkan karena pada perlakuan A1B1 panas yang ditangkap oleh mulsa plastik akan diserap dan tersimpan di antara permukaan tanah yang ditutupi dengan mulsa plastik sehingga menyebabkan suhu tanah akan meningkat, serta menyebabkan terjadinya evaporasi dalam skala yang lebih kecil dari pada perlakuan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
39
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
A3B1, meningkatnya suhu pada permukaan tanah dapat menyebabkan pemberian air kurang optimal karena sebagian air telah menguap keudara sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman karena kekurangan air. Perbedaan suhu udara pada saat penelitian dengan data yang didapatkan dari BMKG, mempengaruhi kebutuhan air yang diberikan karena suhu pada saat penelitian lebih tinggi, serta peningkatan suhu yang tidak menentu. Meningkatnya suhu pada permukaan tanah dapat mengganggu perkembangan mikroorganisme yang dapat mengurangi unsur hara pada tanah. Peningkatan suhu yang diakibatkan karena terlalu panasnya suhu matahari yang diterima oleh mulsa plastik sehingga perkembangan mikroorganisme yang menadi musuh tanaman dapat berkembang dengan baik misalnya patogen penyebab dampingoff dan busuk akar yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Yunianti, 2011). 2. Jumlah daun Tabel 3. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh mulsa terhadap jumlah daun tanaman cabai rawit.
Perlakuan A1 A3 A2
Rerata Jumlah daun 49,50 49,50 57,75
BNJ 0,05 = 2,04 a a b
Keterangan: angka-angka yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Hasil uji BNJ 5% untuk perlakuan A2 (mulsa alang-alang) dengan rata-rata jumlah daun 57,75 helai, berbeda nyata dengan perlakuan A1(mulsa plastik) dengan rata-rata jumlah daun 49,50 helai dan A3 (kontrol) dengan rata-rata jumlah daun 49,50 helai. Adanya perbedaan antara perlakuan A2 dengan perlakuan A1 dan A3 disebabkan karena pengaruh penggunaan mulsa alang-alang yang tidak menyerap panas, sehingga dapat menjaga kelembaban tanah, serta menjaga tanah dari erosi yang disebabkan oleh air hujan, mulsa alang-alang juga berfungsi sebagai pengganti pupuk organik bagi tanaman, dimana alang-alang yang mengalami dekomposisi oleh mikoorganisme akan memperkaya unsur hara tanah bagi tanaman. Tabel 4. Uji beda nyata jujur (BNJ) pengaruh frekuensi pemberian air terhadap jumlah daun tanaman cabai rawit
Perlakuan B1 B2
Rerat Jumlah daun 51,08 53,42
BNJ 0,05 = 1,66 a b
Keterangan: angka yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi pemberian air B2 (frekuensi 3 hari) dengan rata-rata jumlah daun 53,42 helai berbeda nyata dengan perlakuan B1 (frekuensi setiap hari) dengan jumlah daun 51,08 helai. Hal ini disebabkan pada perlakuan B1 pemberian air irigasi yang diberikan secara terus menerus, akan mengakibatkan kadar air dalam tanah akan melebihi kondisi kadar air yang dibutuhkan tanaman sehingga akar tanaman aakan terganggu. Hasil penelitian jumlah daun menunjukkan bahwa jumlah daun pada kedua perlakuan berbeda. Hal ini dapat diketahui dari rerata jumlah daun yang dihasilkan yaitu 48,0 sampai 58,3 jumlah daun tanaman cabai rawit disajikan pada Gambar 2
40
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
Keterangan: Perlakuan jenis mulsa A1 = mulsa plastik A2 = mulsa alang-alang A3 = kontrol B1 = frekuensi pemberian air tiap hari B2 = frekuensi pemberian air 3 hari Gambar 2. Grafik Jumlah daun tanaman cabai rawit
Hasil kombinasi perlakuan , Pertumbuhan jumlah daun terbaik terdapat pada perlakuan A2B2 (mulsa alang-alang dengan frekuensi pemberian air 3 hari) dengan jumlah daun 58,3 helai. Hal ni disebabkan oleh kondisi lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai rawit, perlakuan A2B2 menggunakan mulsa alang-alang sebagai penutup tanah yang berfungsi sebagai pengatur suhu tanah, menjaga kelembapan tanah, memberikan tambahan unsur hara dari hasil rekomposisi mulsa alangalang, mengurangi evaporasi sehingga pemberian air lebih efektif sehingga hasil yang didapat lebih baik. Tingginya suhu yang terjadi selama penelitian dapat meningkatkan suhu diatas permukaan tanah hal ini disebabkan oleh panas yang diterima oleh mulsa pelastik sebagian besar akan diserap dan tertahan didalam plastik, sehingga suhu di permukaan tanah akan meningkat. pemanfaatan mulsa plastik memang baik untuk melindungi tanaman dari gulma karena tidak adanya matahari yang diterima oleh gulma untuk proses pertumbuhan. Tetapi tingginya suhu juga tidak baik untuk pertumbuhan tanaman, karena dapat menggagu keberadaan mikroorganisme sehingga mengganggu penerimaan unsur hara dan mempengaruhi hasil jumlah daun tanaman. Menurut Sudjarwadi (1990) penggunaan mulsa plastik sebagai penutup tanah menyebabkan meningkatnya suhu di permukaan tanah sehingga pemberian air kurang maksimal, dan mulsa pastik tidak dapat diuraikan menjadi bahan organik tambahan pada tanaman hal ini lah yang menyebabkan perlakuan A1(mulsa plastik) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A2. Perlakuan terendah terdapat pada perlakuan A3B1 (kontrol dengan pemberian air tiap hari) dengan jumlah daun 48,0 helai daun. Hal ini karena meningkatnya evaporasi yang disebabkan oleh tingginya suhu lingkungan sehingga pemberian air irigasi kurang efektif yang disebabkan oleh besarnya penguapan air irigasi ke permukaan dan sedikitnya air yang diserap tanaman, serta terjadinya persaingan perebutan unsur hara oleh gulma yang menyebabkan tanaman akan mengalami kekurangan air dan menghambat pertumbuhan tanaman. 3. Jumlah bunga Tabel 5. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh mulsa terhadap jumlah bunga tanaman cabai rawit.
Perlakun A3 A1 A2
Rerata Jumlah Bunga 25,50 27,25 27,88
BNJ 0,05 = 0,87 a b b
Keterangan: angka yang di ikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
41
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
Hasil uji BNJ 5% untuk perlakuan A1 (mulsa plastik) dengan rerata jumah bunga 27,3 dan A2 (mulsa alang-alang) dengan rerata jumah bunga 27,9 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan A3 (kontrol) dengan rerata jumah bunga 25,5. Tabel 6. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh frekuensi pemberian air terhadap jumlah bunga tanaman cabai rawit
Perlakuan B1 B2
Rerata Jumlah Bunga 25,67 28,08
BNJ 0,05 = 0,71 a b
Keterangan: angka-angka yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi pemberian air B1 (frekuensi setiap hari), berbeda nyata dengan perlakuan B2 (frekuensi 3 hari). Perlakuan B2 (frekuensi 3 hari) memiliki nilai lebih besar yaitu 28,08 dan perlakuan B1(frekuensi setiap hari) dengan nilai 25,67. Hasil kombinasi perlakuan jumlah bunga tanaman cabai rawit yang dihasilkan disajikan pada Gambar 3.
Keterangan: Perlakuan jenis mulsa A1 = mulsa plastik A2 = mulsa alang-alang A3 = kontrol B1 = frekuensi pemberian air tiap hari B2 = frekuensi pemberian air 3 hari Gambar 3. Grafik Jumlah bunga cabai rawit
Jumlah bunga tertinggi terdapat pada perlakuan A1B2 (mulsa plastik dengan frekuensi pemberian air setiap hari) A2B2 (mulsa alang-alang dengan frekuensi pemberian air 3 hari) kedua perlakuan ini memiliki jumlah bunga yang sama yaitu 28,8 bunga. Hal ini disebabkan oleh efisiensi pemberian air, pada perlakuan penggunaan mulsa, evaporasi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tanpa menggunakan mulsa, sehingga air yang diberikan dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh tanaman, selain itu pemanfaatan mulsa juga dapat menekan pertumbuhan gulma yang dapat mengganggu mikroorganisme yang dapat membantu pertumbuhan tanaman. Menurut Hazil (1978), semakin kecil gangguan faktor luar seperti gulma serta semakin kecilnya evaporasi yang terjadi menyebabkan pemberian air lebih efisien. Perlakuan terendah terdapat pada A3B1 (kontrol dengan pemberian air tiap hari) yaitu 24,3. Hal ini disebabkan oleh pemberian air yang kurang maksimal akibat tingginya evaporasi, serta adanya pengaruh faktor lingkungan seperti gangguan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman sehingga air yang diberikan tidak diserap oleh tanah sepenuhnya. Frekuensi pemberian air juga mempengaruhi 42
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
jumlah bunga yang dihasilkan, pada setiap pemberian air B1 lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian air B2. Perbedaan jumlah bunga disebabkan pada pemberian air B1, pemberian air dilakukan setiap hari, sehingga menyebabkan kadar air dalam tanah akan semakin meningkat akibat rendahnya evaporasi yang terjadi pada perlakuan yang menggunakan mulsa sehingga kadar air tanah meningkat dari kadar air yang dibutuhkan oleh tanaman dan dapat menyebabkan akar akan sulit berkembang dan akan mati bila terlalu banyak air dalam tanah (Sapei, 2000). 4. Hasil panen Hasil keseluruhan produksi tanaman cabai dari dua kali proses pemanenan, didapat jumlah produksi tanaman cabai tertinggi terdapat pada perlakuan A2B2 dengan berat hasil produksi 1.260 g, dan hasil panen tertinggi kedua terdapat pada perlakuan A1B2 dengan berat hasil produksi 1.191 g, dan hasil produksi terendah terdapat pada perlakuan A3B1 dengan berat hasil produksi 434 g. Hasil produksi pada setiap perlakuan ditunjukkan pada Gambar 4. .
Keterangan: Perlakuan jenis mulsa A1 = mulsa plastik A2 = mulsa alang-alang A3 = kontrol B1 = frekuensi pemberian air tiap hari B2 = frekuensi pemberian air 3 hari Gambar 4. Grafik hasil produksi dari panen pertama dan panen kedua
Hasil produksi tertinggi terdapat pada perlakuan A2B2 (mulsa alang-alang frekuensi penyiraman 3 hari) dengan hasil produksi 1.260 g merupakan perlakuan terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini disebabkan karena penggunaan mulsa alang-alang sebagai penutup tanah dapat mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi penguapan yang disebabkan oleh evaporasi, serta menekan pertumbuhan gulma, memberikan tambahan unsur hara pada tanaman (Asnawi dan Dwiwarni. 2000). Penggunaan mulsa dapat mengurangi kompetisi tanaman terhadap gulma, meningkatkan kelembaban tanah, menyeimbangkan kadar keasaman (pH) tanah, mengurangi evaporasi tanah, sehingga kelembaban tanah dapat dipertahankan, mengurangi kerusakan (erosi) tanah karena air hujan, mengurangi pencucian hara dan meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah, serta mengurangi serangan hama pengisap (Thrips, tungau dan kutu daun), dan meningkatkan hasil produksi serta memberikan tambahan unsur hara yang dihasilkan dari pembusukan alang-alang sehingga hasil yang didapat lebih baik (Sukman danYakup, 2002). Pemberian air dengan frekuensi tiga hari merupakan perlakuan terbaik, karena dengan frekuensi pemberian air tersebut maka kadar air tidak mengalami kekurangan. Air yang diberikan dengan frekuensi tiga hari akan diserap oleh tanaman dan evaporasi yang terjadi sangat kecil sehingga tidak banyak air yang terbuang akibat evaporasi (Sapei, 2000). Hasil produksi terbaik kedua terdapat pada perlakuan A1B2 (mulsa plastik dengan frekuensi pemberian air tiga hari) dengan hasil produksi 1.191 g. Hasil produksi A1B2 lebih rendah dibanding dengan perlakuan A2B2, terjadinya perbedaan hasil produksi dari kedua perlakuan yang sama-sama Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
43
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ...
menggunakan mulsa disebabkan pada mulsa alang-alang, tanah akan mendapatkan tambahan unsur hara dari hasil pembusukan alang-alang, berbeda dengan mulsa plastik yang tidak dapat diuraikan oleh tanah. Penggunaan mulsa plastik pada kondisi suhu yang tinggi akan memberikan efek yang kurang baik bagi tanaman karena suhu panas yang diterima oleh mulsa akan diserap dan tertahan di dalam lapisan mulsa. Peningkatan suhu yang terdapat pada mulsa plastik akan mengganggu mikroorganisme dan akan mengakibatkan evaporasi yang tinggi dari perlakuan mulsa alang-alang. Menurut Soekotjo (1976), tingginya suhu udara akan meningkatkan penguapan evaporasi sehingga menyebabkan turunnya kelembaban tanah, serta mengurangi air yang diberikan akibat adanya penguapan. Apabila hal seperti ini cukup lama berlangsung maka, dapat menyebabkan keseimbangan air tanaman terganggu dan dapat menurunkan pertumbuhan tanaman termasuk diameter tanaman. Hasil produksi terrendah terdapat pada perlakuan A3B1 (kontrol dengan frekuensi pemberian air setiap hari) dengan hasil produksi 434 g. Perlakuan A3B1 menjadi perlakuan yang kurang baik, hal ini disebabkan karena perlakuan A3B1 tanpa menggunakan mulsa, sehingga evaporasi yang terjadi lebih tinggi, serta banyaknya faktor gangguan dari lingkungan seperti gangguan gulma yang dapat bersaing mendapatkan air, serta unsur hara, selain itu unsur hara pada tanah dapat tercuci oleh air hujan, terganggunya mikroorganisme tanah akibat panas yang diterima langsung mengenai tanah (Purwowidodo, 1983).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian adalah: 1. Pertumbuhan tinggi tanaman dari kombinasi perlakuan jenis mulsa dan frekuensi pemberian air, didapat perlakuan terbaik pada A2B1 yaitu 41,0 cm, dan terendah terdapat pada perlakuanA3B1 yaitu 34,9 cm 2. Perlakuan untuk jumlah daun terdapat pada perlakuan A2B2 yaitu 58,3 daun dan terendah pada perlakuan A1B1 dan A3B1 yaitu 48,0 daun. 3. Perlakuan terbaik untuk jumlah bunga terdapat pada perlakuan A1B2 dan A2B2 dengan jumlah bunga yang sama yaitu 28,8 bunga, dan terendah terdapat pada A3B1 yaitu 24,3 bunga. 4. Hasil produksi cabai rawit tertinggi terdapat pada perlakuan A2B2 dengan hasil produksi 1.260 g, dan hasil produksi terendah terdapat pada perlakuan A3B1 dengan hasil produksi 434 g. Saran Penggunaan mulsa plastik pada suhu lingkungan yang tinggiurang baik, sebaiknya pada suhu lingkungan yang tinggi lebih baik menggunakan mulsa alang-alang dengan frekuensi pemberian air tiga hari. Perlu dilakukan pengamatan yang lebih lanjut terhadap setiap perlakuan serta pengambilan data i harus dilakukan pada setiap perlakuan guludan. DAFTAR PUSTAKA Asnawi, R. Dan Dwiwarni, I. 2000. Pengaruh Mulsa Alang-Alang terhadap Pertumbuhan dan Produksi Enam Varietas Cabai (Capsicum annum). Jurnal agrotropika 5(1) : 5-8. Damanik,M.M.B. ,Fauzi, L. H., dan Syahriman, R. 1997. Pertumbuhan dan Produksi Cabe Merah (Capsicum annum L.) Pada Berbagai Jenis Mulsa dan Zat Pengatur Tumbuh.. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Kultura (40) : 30-36. Hazil, L. 1978. Pengaruh Mulsa terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Departemen Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Michael A.M.1978. irrigation theory and practices. Vikas publishing house PVT LTD. New delhi. Purwowidodo. 1983. Teknologi Mulsa. Dwaruci Press. Jakarta Sanjaya, L. Wattimena, G.A, Guharja, E, Yusup, M, Aswidinnoor,H. Dan Stam, P. 2002. Keragaman ketahanan aksesi capsicum terhadap antraknosa (Colletotrichum capsici ) berdasarkan penandaan RAPD. Jurnal Biotecnologi pertanian. Yogyakarta.
44
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Alex Chandra dkk./Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak (Polimer) ... Sapei A., 2000. Irigasi Tetes (Drip/ Trickle Irrigation), Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekotjo, W. 1976. Silvika. Proyek Peningkatan/Pengembangan PerguruanTinggi. Fakultas Kaehutanan IPB. Bogor. Sudjarwadi. 1990. Teori dan Praktek irigasi. Yogyakarta. PAU Ilmu Teknik.UGM. Sukman, Y.S., dan Yakub. 2002. Gulma dan teknik pengendaliannya. Raja wali pers. Jakarta Wardjito. 2001. Pengaruh Penggunaan Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Produksi cabai (Capsicum spp) jurnal Holtikultura 11(4) : 244. Yunianti, P. 2011. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Cabai Rawit. Skripsi S1. FPUB: Malang.
Lampiran 1. Diagram alir cara kerja penelitian.
Mulai
Persiapan lahan Penyemaian Penanaman Perawatan tanaman Pengamatan Pengambilan Data Pengolahan Data Pembuatan Laporan selesai
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
45
PRODUKSI N-NH3, VFA TOTAL DAN POPULASI MIKROBA RUMEN YANG DISUPLEMENTASI Zn LYSINAT DENGAN BERBAGAI MACAM HIJAUAN 1) Fariani, A., Abrar, Muslim G. dan E. Satriawan2) Abstract: The objective of this experiment was to know N-NH3 production, total VFA and population of rumen microbes which suplementation Zn lysinate given many kind of forages. The experimental used the Completely Randomized Design (CRD) with 3 treatments and 5 replications. The treatments were used in this experiment such as Legume + 15% Zn lysinate with 1% dosis (P1); Forages + 15% Zn lysinate with 1% dosis (P2), Pennisetum Purpureum + 15% Zn lysinat with 1% dosis (P3). The result showed that suplementation of Zn Lysinate 15% with 1% dosis to legume, increased the value of KCBK and KCBO, and suplementation of Zn lysinate with the same doses to legume, Forages and pennisetum purpureum significantly influenced the value of KCBK and KCBO (p<0,05), but non significantly influenced on N-NH3 concentrate, total of VFA and population of rumen microbes. Keywords: N-NH3, VFA Total, Populasi Mikroba, Zn Lysinat 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN
H
ijauan unggul memiliki nilai nutrisi yang baik dan memiliki tingkat kecernaan yang tinggi sehingga dapat diabsorbsi dalam tubuh ternak. Setiap bahan pakan yang masuk akan dicerna dan difermentasi menjadi bentuk yang sederhana sehingga bisa dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Proses pencernaan pada ternak ruminansia dibantu oleh mikroba rumen seperti bakteri, fungi protozoa, dan virus. Mikroba rumen tersebut membutuhkan bahan pakan tambahan yang tidak hanya dari hijauan saja melainkan sumber bahan pakan lain seperti Zn Lysinat. Sistem pencernaan dipengaruhi oleh aktivitas enzim yang dibentuk oleh mineral. Seng merupakan komponen dalam metaloenzim seperti Zn, Cu distunase superoksida, anhidrase karbonat, dehidrogenase alkohol, karbonpeptidase, fosfatase alkalin dan RNA polymerase, yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat (NRC, 2001). Seng berasosiasi dengan enzim sebagai bagian dari molekulnya maaupun sebagai aktivator, metabolisme protein, menstabilkan struktur RNA, DNA dan ribosom. Zn merupakan salah satu unsur mikro yang paling defesien dalam pakan ruminan umumnya kandungan Zn hijauan pakan ternak ruminansia sangat rendah yaitu berkisar antara 20-38 mg/kg BK ransum (Little, 1986), nilai ini jauh dibawah kebutuhan ternak ruminansia yaitu 40-50 mg/kg BK ransum sehingga sering kali terjadi defesiensi Zn pada ternak apabila kandungan Zn dalam ransum kurang dari 40 mg/kg BK ransum, tetapi toksik bilamana Zn yang terkandung dalam ransum lebih dari 1000 mg/kg BK (NRC, 2001). Ketersediaan Zn yang berikatan dengan serat serat menjadi berkurang. Serat mempunyai kapasitas tukar kation, sehingga berpotensi mengurangi bioavailabilitas mineral (Weber et al., 1999). Serat yang tidak tercerna dapat mengikat Zn di dalam usus, kemudian mendorong peningkatan ekskresinya bersama feses. Penambahan Zn telah dilakukan, kandungan serat ransum yang tinggi mampu mengikat kembali mineral tersebut, sehingga ketersediaan Zn yang ditambahkan akan berkurang. Tingginya konsumsi serat mengakibatkan keseimbangan Zn menjadi negatif (Kelsay, 1982). Mikroba rumen membutuhkan mineral untuk pertumbuhannya. Seng (Zn) dibutuhkan dalam jumlah yang cukup tinggi sekitar 130 sampai 220 ppm (Hungate, 1966). Kebutuhan Zn pada sapi perah 40 ppm, dan domba 35 sampai 50 ppm (NRC, 1980). Little (1986) melaporkan bahwa kandungan Zn pada pakan ruminansia berkisar antara 20 hingga 38 mg/kg bahan kering. Hal ini 46
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
menunjukan bahwa sumber Zn dari pakan belum dapat memenuhi kebutuhan mineral seng ternak maupun mikroba rumen. Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (VFA yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat). VFA diserap melalui dinding rumen dan dimanfaatkan sumber energi oleh ternak, sedangkan produk metabolis yang tidak dimanfaatkan oleh ternak pada umumnya berupa gas akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry et al., 1977). Namun, yang lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomassa mikroba yang meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant et al., (1995) menyebutkan bahwa 2/3 –3/4 bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba. Sutardi (1977) menyatakan produksi VFA total dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan rumen dan frekuensi pemberian makan. Asetat, propionat dan butirat merupakan tiga asam lemak terbang utama yang dihasilkan dalam perombakan karbohidrat.VFA diabsorbsi melalui dinding rumen dan diangkut dalam darah ke hati yang akan diubah menjadi sumber energi lain. Energi yang dihasilkan digunakan. Rasio VFA yang dihasilkan tergantung pada tipe bahan pakan yang diberikan dan dicerna. Energi yang digunakan untuk berbagai fungsi seperti produksi susu, hidup pokok, kebuntingan dan pertumbuhan. Peningkatan produksi VFA total juga dipengaruhi oleh suplementasi Zn organik 0,003 gr yaitu 5.79 mM. Mineral (Zn) salah satu mineral yang berperan untuk mengaktivasi enzim dan hormon yang berhubungan dengan metabolisme dan fungsi reproduksi ternak. Mineral Zn sangat esensial sebagai komponen (activator) beberapa enzim seperti karbonat anhidrase, karboksil peptidase, dan laktat dehidrogenase (Tillman et al., 1998), dimana dengan aktifnya enzim-enzim tersebut maka proses fermentasi rumen lebih efisien sehingga produk metabolisme rumen (VFA) akan meningkat ketersediaan nutrient bagi mikroba rumen.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produksi N-NH3, VFA total dan populasi mikroba rumen yang di suplementasi Zn lyzinat dengan berbagai macam hijauan.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya pada bulan Januari sampai dengan Juli 2012. Alat-alat yang digunakan pada penelitian kali ini adalah kantong plastik, oven, mortal, water bath, tabung Hungate, optiLab, cawan petri, tabung reaksi, laminar air flow, neraca analitik, corong, kertas saring, Bunsen, alumium foil, pipet tetes, Erlenmeyer, sentrifuge, tanur listrik, seperangkat alat destilasi, isolasi, gunting, timbangan analitik, nampan plastik. Bahan-bahan yang digunakan antara lain, Leucaena leucocephala (Lamtoro), Rumput Budidaya (Pennisetum purpureum/Rumput gajah), Rumput lapangan, Zn Lysinat, air, larutan Mc.Dougall, cairan rumen segar, gas Co2, HgCl2, larutan pepsin-HCl 0,2%, larutan Na2CO3 jenuh, H2SO4 0,005N, asam borat berindikator (BB), vaselin, dan aquadest. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 x 5, dengan 3 kali perlakuan dan 5 kali ulangan sehingga terdapat 15 sampel percobaan, adapun perlakuan yang di teliti adalah sebagai berikut: P1 = Leucaena L\leucocephala (lamtoro) + Biomineral Zn Lysinat 15 % dengan dosis 1 % P2 = Rumput Lapangan + Biomineral Zn Lysinat 15 % dengan dosis 1% P3 = Rumput Budidaya (Pennisetum purpureum/R. Gajah) + Biomineral Zn Lysinat 15 % dengan dosis 1 % Model matematika rancangan penelitian adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991): Yij
= µ + τ ij + ε ij
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
47
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
Keterangan: Yij = Nilai pengamatan µ
= Nilai tengah
τ ij = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i ulangan ke-j ε ij = Galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j i
= Jumlah perlakuan
j
= Jumlah ulangan
Pelaksaan secara in vitro 1. Fermentasi Tabung fermentor yang telah diisi dengan 1 gram sampel ditambahkan 8 ml cairan rumen, 12 ml larutan Mc Dougall dan ditambahkan biomineral Zn lysinat . Tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dengan suhu 39 oC, lalu tabung dikocok dengan dialiri Co2 selama 30 detik, periksa pH (6,5-6,9) kemudian ditutup dengan karet berventilasi, lalu fermentasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, buka tutup fermentor, teteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba. Masukkan tabung fermentor dalam sentrifuse, lakukan sentrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatant yang bening berada dibagian atas. Ambil supernatant untuk analisa berikutnya (N-NH3). Substrat yang tersisa digunakan untuk analisa kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik. 2. Pengukuran KCBK dan KCBO Residu hasil sentrifuge pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit ditambahkan 20 ml larutan pepsinHCl 0,2%. Campuran ini lalu diinkubasi selama 24 jam tanpa tutup karet. Sisa pencernaan disaring dengan kertas saring Whatman no.41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Bahan kering didapat dengan cara dikeringkan dalam oven selam 24 jam. Selanjutnya bahan dalam cawan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450-600 oC. Sebagai blanko dipakai residu hasil fermentasi tanpa sampel bahan pakan. 3. Penentuan Konsentrasi N-Amonia (N-NH3) Pengukuran N-NH3 dilakukan dengan teknik mikro difusi Conway. Cawan Conway terlebih dahulu diberi vaselin pada permukaan bibirnya dan 1 ml supernatant ditempatkan pada salah satu sisi sekat. Pada sisi sekat lain ditempatkan 1 ml larutan Na2Co3 jenuh. Sedangkan di bagian tengah cawan ditempatkan 1 ml asam borat berindikator, kemudian cawan ditutup rapat sehingga kedap udara. Cawan yang telah tertutup rapat kemudian digoyang-goyangkan agar supernatan dan Na2Co3 jenuh bercampur akan terjadi perubahan warna, didiamkan selama 24 jam, pada suhu kamar. Amonia yang terikat dengan asam borat kemudian dititrasi dengam H2SO4 0,0057 N sampai titik awal perubahan warna biru menjadi kemerah-merahan. 4. Analisis VFA total Pada analisis ini digunakan metode “Steam destilation” 5 ml cairan supernatan dan dimasukan kedalam tabung destilasi. H2SO4 15% ditambahkan sebanyak 1 ml kemudian tabung langsung ditutup dengan tutupnya sehingga kedap udara dan dihubungkan dengan labu pendingin (Leibiq). Segera setelah penambahan H2SO4 15% ke dalam supernatan, tabung langsung dimasukan ke dalam labu penyuling yang berisi air mendidih (dipanaskan selama destilasi). Uap air panas yang akan mendesak VFA akan terkondensasi dalam pendingin. Air yang terbentuk ditampung dalam Elenmeyer yang berisi 5 ml larutan NaOH 0,5 N sampai menjadi 300 ml, kedalam destilat yang tertampung ditambahkan indikataor phenopthalen (PP) sebanyak 2 tetes lalu dititrasi sampai perubahan warna dari merah jambu menjadi tak berwarna.
48 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
5. Cara Menghitung Koloni a. Pengayaan Larutan Ambil 4 ml Cairan rumen in vitro 6 ml McDougall steril, masukkan ke dalam tabung reaksi, masukkan dalam waterbath selama 24 jam untuk pengayaan. b. Pembuatan media 1. Siapkan 2 g nutrient agar untuk masing-masing media, pati 0,5 g, selulosa 0,5 g dan pepton 0,5 g. 2. Pati 0,5 g dan 2 g nutrient agar masukkan dalam beker gelas, tambahkan 50 ml aquadest. 3. Selluosa 0,5 g dan 2 g nutrient agar masukkan dalam Beaker gelas, tambahkan 50 ml aquadest 4. Pepton 0,5 g dan 2 g nutrient agar masukkan dalam Beaker gelas, tambahkan 50 ml aquadest. 5. Selanjutnya ambil 1 ml cairan dari dalam beker gelas masukkan dalam tabung Hunggate, tutup dengan karet. 6. Setelah dimasukan dalam tabung reaksi ditutup dengan karet dan diisolasi dengan isolasi panpix, kemudian autoclav dengan suhu 1210C selama 20 menit. 7. Selanjutnya setelah diautoclav tunggu sampai dingin. 8. Ambil 0,5 ml cairan rumen dari pengayaan , masukkan dalam tabung Hunggate. 9. Kemudian digulingkan di atas baki yang sudah berisi air dan es batu. 10. Setelah semua media beku, masukkan dalam inkubasi dengan suhu 300C. 11. Inkubasi selama 24 jam kemudian lihat dan hitung pertumbuhan bakteri setiap 2 jam sekali sebanyak 6 kali.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Koefesien Cerna Bahan Kering (KCBK) Hasil uji Kecernaan Bahan Kering (KCBK) lamtoro, rumput gajah dan rumput lapangan yang disuplementasi dengan penambahan Zn Lysinat secara statistik berpengaruh nyata (p<0,05). Rataan koefisien cerna bahan kering (KCBK) tiga jenis hijauan yaitu Leucaena leucochepala/lamtoro, rumput lapangan dan Pennisetum purpureum/rumput gajah yang disuplementasi dengan penambahan Zn Lysinat dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini Tabel 1. Rataan Nilai KCBK (%) Perlakuan Hijauan yang Disuplementasi dengan Penambahan Zn Lysinat Secara In vitro.
Perlakuan Rata-rata (%) P1 Lamtoro 56,60b P2 Rumput lapangan 34,35a P3 Rumput gajah 37,12a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% (DMRT). Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan pada tiga jenis hijauan yaitu lamtoro, rumput lapangan dan rumput gajah yang disuplementasi dengan penambahan Zn Lysinat secara in vitro terhadap koefisien cerna bahan kering bervariasi pada tiap perlakuan. Nilai KCBK yang tertinggi adalah pada perlakuan daun lamtoro dengan penambahan Biomineral Zn Lysinat 15 % dengan dosis 1 % (P1) yaitu sebesar 56,60 %. dan nilai KCBK yang terendah adalah pada perlakuan rumput lapangan dengan penambahan Zn Lysinat 15 % dengan dosis 1 % (P2) yaitu sebesar 34,35%. Tingkat kecernaan bahan kering dapat dipengaruhi oleh kualitas nutrisi yang terkandung didalam bahan pakan. Pada penelitian ini faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah dari struktur bahan pakan.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
49
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
Rumput lapangan memiliki bentuk dan struktur yang baik dan tahan rengutan sehingga mempengaruhi tingkat palatabilitas ternak. Rumput lapangan mengandung kadar air 35,64%, serat kasar 36,12%, kadar abu 7,25%, protein 4,24% (Anonim, 2010). Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan salah satu leguminosa pohon yang mengandung protein tinggi dan karotenoid yang sangat potensial sebagai pakan ternak non ruminansia. Lamtoro mengandung senyawa fenolik mimosin dan tanin dengan konsentrasi tinggi. Menurut Helena (1992) yang dikutip oleh Susanti (2002), kandungan nutrisi daun lamtoro cukup tinggi yaitu 24.77% protein, 1.7% abu, 3.86% lemak, 14.26% SK, 39.53% BETN, 1.57% Ca, dan 0.285% P. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan tanaman parennial yang dapat tumbuh sampai tinggi 180 – 300 cm. Rumput gajah tumbuh baik di daerah pegunungan dengan curah hujan 2500 mm/th. Pemotongan dapat dilakukan pada umur 30 – 50 hari dengan produksi sekitar 150 – 200 ton/ha (McIlroy, 1976). Menurut Hartadi et al. (1993), kandungan nutrisi rumput gajah berdasar 100 % Bahan Kering (BK) yaitu Protein Kasar (PK) 10,1%; Lemak Kasar (LK) 2,5%; Serat Kasar (SK) 31,2%; Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 46,1%; TDN 59% dan abu 10,1%. Kecernaan pakan berhubungan dengan komposisi kimiawinya dan serat kasar mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap kecernaan, baik susunan kimia maupun proporsi serat kasar dalam pakan perlu dipertimbangkan. Dinding sel tanaman terutama terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terutama bila mengandung lignin. Bahan pakan yang rendah serat kasarnya, daya cernanya hampir sama untuk ruminansia dan non ruminansia. Tetapi dalam pakan yang seratnya tinggi lebih baik dicerna oleh ruminansia (Tillman et al., 1991). 2. Koefesien Cerna Bahan Organik (KCBO) Hasil uji Kecernaan Bahan Organik (KCBO) lamtoro, rumput gajah dan rumput lapangan yang disuplementasi dengan penambahan Zn Lysinat pada penelitian ini, secara statistik berpengaruh nyata (p<0,05). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Rataan Nilai KCBO (%) Perlakuan Hijauan yang Disuplementasi dengan Penambahan Zn Lysinat Secara In vitro.
Perlakuan P1 Lamtoro P2 Rumput lapangan P3 Rumput gajah
Rata-rata (%) 94,29b 84,09a 91,22b
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% (DMRT). Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan terhadap tiga jenis hijauan yaitu lamtoro, rumput lapangan dan rumput gajah yang disuplementasi dengan penambahan Zn Lysinat secara In vitro terhadap koefisien cerna bahan organik (KCBO) bervariasi pada tiap perlakuan. Nilai KCBO yang tertinggi adalah pada perlakuan daun lamtoro dengan penambahan Biomineral Zn Lysinat 15 % dengan dosis 1 % (P1) yaitu sebesar 94,29% dan nilai KCBO yang terendah adalah pada perlakuan rumput lapangan dengan penambahan Biomineral Zn Lysinat 15 % dengan dosis 1% (P3) yaitu sebesar 84,09%. Nilai Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) adalah salah satu faktor utama yang menentukan nilai nutrisi dari bahan pakan dan dasar penentuan kecernaan (Mc Donald et al., 1988). Kamal (1999) bahwa konsumsi bahan organik dipengaruhi oleh konsumsi bahan keringnya. Konsumsi bahan kering mempunyai korelasi yang positif terhadap konsumsi bahan organik karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Konsumsi bahan-bahan organik ini saling berkaitan karena berdasarkan komposisi kimianya, suatu bahan pakan dibedakan menjadi bahan organik dan bahan anorganik (abu). Biomineral Zn Lysinat di dalam rumen akan meningkatkan jumlah dan aktifitas mikroba rumen, sehingga kerja rumen akan lebih efektif untuk mendegradasi secara fermentatif komponen serat 50 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
hijauan yang masuk sehingga meningkatkan kecernaan bahan kering dan dapat memacu metabolisme pascarumen. Mineral Zn terdapat pada jaringan tubuh dan essensial bagi ternak. Seng di rumen dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen (Putra, 1999). Zn mampu meningkatkan penampilan ternak (Hartati, 1998), serta sistem imunitas pada sapi perah dengan menurunkan kejadian mastitis (Harmon dan Torre, 1997). Peran Zn biologis diantaranya sebagai komponen metaloenzim seperti polimerase DNA, peptidase karboksi A dan B dan fosfatase alkalis (Larvor, 1983). Enzim tersebut masing-masing berperan dalam proliferasi DNA yang selanjutnya berpengaruh pada sintesis protein, proses pencernaan protein dan absorbsi asam amino serta metabolisme energi (Church dan Pond, 1976). Aktivitas enzim tersebut akan terganggu apabila terjadi defisiensi seng. Defisiensi seng juga dapat menurunkan hormon thymic yang berperan dalam sistem immunitas (Kincaid et al., 1997). Little (1986) melaporkan bahwa kandungan Zn pada pakan ruminansia berkisar antara 20 hingga 38 mg kg-1 bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa sumber Zn dari pakan belum dapat memenuhi kebutuhan mineral seng ternak maupun mikroba rumen. Kandungan Biomineral Zn Lysinat yang dapat diikat kembali oleh serat yang tidak dicerna dalam saluran pasca rumen relalif lebih rendah, akibatnya ketersediaan biomineral Zn Lysinat dalam saluran pascarumen untuk diabsorpsi lebih tinggi. Ternak ruminansia mampu mencerna serat, tetapi tidak semua serat di dalam rumen dapat dicerna. Keadaan ini menjadikan ketersediaan biomineral Zn Lysinat yang berikatan dengan serat menjadi berkurang. Serat mempunyai kapasitas tukar kation, sehingga berpotensi mengurangi bioavaitabilitas mineral (Weber et al., 1993). 3. Konsentrasi N-Amonia (N-NH3) Rataan konsentrasi N-Amonia (N-NH3) lamtoro, rumput lapangan, rumput gajah yang disuplementasi dengan penambahan Zn Lysinat pada penelitian ini secara statistik tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Rataan konsentrasi N-Amonia (N-NH3) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rataan nilai Konsentrasi N-Amonia (N-NH3) (mM) Hijauan (lamtoro, rumput lapangan, rumput gajah) yang Disuplementasi dengan Penambahan Zn Lysinat Secara In vitro.
Perlakuan P1 Lamtoro P2 Rumput lapangan P3 Rumput gajah
Rataan (mM) 2,40a 1,60a 1,80a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji5%(DMRT) Berdasarkan Tabel 3 terlihat Perlakuan tiga jenis hijauan yang Disuplementasi dengan Penambahan Zn Lysinat Secara In vitro terhadap konsentrasi N-Amonia (N-NH3) bervariasi pada tiap perlakuan. Nilai konsentrasi N-NH3 yang tertinggi adalah pada perlakuan daun lamtoro dengan penambahan biomineral Zn Lysinat 15 % dosis 1% (P1) yaitu sebesar 2,40 mM. Peningkatan konsentrasi NH3 cairan rumen terjadi apabila tingkat kandungan protein kasar di atas 13 % (Orskov, 1982). Pengukuran N-NH3 digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Protein pada ternak ruminansia sebagian masuk ke dalam rumen akan mengalami perombakan atau degradasi menjadi amonia oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Produksi amonia tergantung pada kelarutan protein ransum, jumlah protein ransum, lamanya makanan berada dalam rumen dan pH rumen (Orskov, 1998). Sutardi (1980), menyatakan sebagian besar mikroba rumen (82%) mengandung NH3 (amonia) untuk perbanyakan dirinya, terutama dalam sintesis selnya. Menurut Preston dan Leng (1987), untuk pertumbuhan mikroba rumen yang optimal konsentrasi amonia dalam rumen berkisar 3,4-11 mM. Kecernaan pakan berjalan dengan baik dan diharapkan mikroba rumen mampu mencerna pakan sampai inkubasi 24 jam. Kebanyakan mikroba rumen tidak dapat memanfaatkan asam amino secara langsung karena mikroba terutama bakteri rumen tidak mempunyai sistem transport untuk mengangkut asam amino ke Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
51
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
dalam tubuhnya. Lebih kurang 82% mikroba rumen membutuhkan N-NH3 untuk mensintesis protein tubuhnya, oleh karena itu mereka lebih suka merombak asam amino tersebut menjadi NH3 (Sutardi, 1977). Pada penelitian ini hubungan antara biomineral Zn lysinat dengan N-amonia yaitu Zn lysinat berperan dalam pendegradasian kandungan protein yang terdapat didalam hijauan sehingga dapat meningkatkan populasi mikroba yang terkandung didalam rumen. Hal ini juga didukung berdasarkan hasil penelitian Arora (1989). Zn (seng) merupakan mineral yang berperan pendegradasian protein dan pembentukan protein mikroba, sehingga sumplementasi mineral seng organik akan dapat meningkatkan populasi mikroba dalam cairan rumen. 4. Analisa Asam Lemak Volatile (VFA Total) Hasil uji tiga jenis hijauan yaitu lamtoro, rumput lapangan, dan rumput gajah yang disuplementasi dengan Biomineral Zn lysinat terhadap VFA pada penelitian ini secara statistik tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Rataan VFA pada tiga jenis hijauan yang disuplementasi Zn lysinat dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Rataan VFA pada tiga jenis hijauan yang disuplementasi Zn lysinat.
Perlakuan Rata-rata (mM) P1 Lamtoro 2,30a P2 Rumput lapangan 2,70a P3 Rumput gajah 2,42a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji5%(DMRT). Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa nilai VFA pada tiga jenis hijauan yang disuplementasi Zn lysinat 15 % dosis 1 % yang tertinggi adalah pada perlakuan cairan rumen yang ditambah rumput lapangan (P2) yaitu 2,70 mM, Hal ini dikarenakan populasi mikroba rumen yang semakin meningkat seiring peningkatan disuplementasi Zn organik dalam mencerna serat yang tinggi dari rumput lapangan. Meningkatnya jumlah mikroba rumen mengakibatkan sintesis protein yang semakin tinggi yang diikuti dengan pembentukan senyawa asam lemak atsiri (volatile fatty acid, (VFA) yang merupakan hasil fermentasi mikroba rumen. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukan mudah tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Komposisi VFA didalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf, dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahannya. Produksi VFA yang tertinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Nilai VFA terendah adalah pada perlakuan cairan rumen yang ditambah daun lamtoro yang disuplementasi Zn lysinat 15 % dosis 1% (P1) yaitu 2,30 mM. Hal ini dikarenakan sampel hasil fermentasi In vitro yang digunakan pada penelitian untuk pengukuran VFA lebih dari 24 jam setelah fermentasi sehingga menyebabkan penurunan produksi VFA total pada rumen. Produksi VFA didalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Penurunan VFA diduga berhubungan dengan kecernaan terhadap bahan pakan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya. Berdasarkan penelitian ini penurunan VFA dapat disebabkan karena sampel yang digunakan untuk analisa VFA adalah hasil fermentasi analisa in vitro yang lebih dari 24 jam setelah fermentasi dilakukan, sehingga dapat menyebabkan penurunan produksi VFA total pada rumen. 5. Analisa Perhitungan Jumlah Koloni a. Populasi Bakteri Selulolitik
52 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
Hasil uji statistik populasi mikroba rumen yang disuplementasi dengan Biomineral Zn Lysinat terhadap populasi bakteri selulolitik pada penelitian ini secara statistik tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Rataan aktivitas dan populasi mikroba rumen yang disuplementasi dengan Biomineral Zn Lysinat terhadap populasi bakteri selulolitik dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini : Tabel 5. Rataan Aktivitas dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi dengan Biomineral Zn Lysinat Terhadap Populasi Bakteri Selulolitik ( x 106cfu) pada Media Selulosa.
Perlakuan P1 Lamtoro P2 Rumput lapangan P3 Rumput gajah
Rata-rata 4,90a 4,25a 8,10a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% (DMRT). cfu:ColonyFormingUnit. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa aktivitas dan populasi mikroba rumen yang disuplementasi dengan Biomineral Zn lysinat terhadap populasi bakteri selulolitik bervariasi pada tiap perlakuan. Nilai perhitungan jumlah populasi bakteri selulolitik yang tertinggi adalah pada perlakuan P 3 rumput gajah yang disuplementasi Zn lysinat 15% dengan dosis 1% yaitu 8,10 x 106 cfu. Karena pada umumnya kelompok bakteri selulolitik dominan pada rumen bila ternak mengkonsumsi hijauan komponen berserat seperti penggunaan rumput gajah yang digunakan pada penelitian ini, sehingga kerja rumen akan lebih efektif untuk mendegradasi secara fermentatif komponen serat kasar rumput gajah yang masuk sehingga meningkatkan jumlah populasi bakteri selulolitik. Produksi enzim selulolitik dipengaruhi oleh ketersediaan N rumen dan NH3 yang dikonsumsi oleh mikroba (Richard et al., 2006). Tiga spesies bakteri selulolitik bekerja berkompetisi mendegradasi selulosa di dalam rumen. Dalam kondisi jumlah substrat cukup tersedia, ketiga spesies tersebut terdapat dalam jumlah hampir seimbang tetapi bila jumlah substrat terbatas populasi Ruminococcus flavifaciens akan lebih tinggi dibandingkan Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus albus (Chen dan Weimer, 2001). Produksi enzim selulolitik dipengaruhi oleh ketersediaan N rumen dan NH3 yang dikonsumsi oleh mikroba (Richard et al., 2006). Nilai perhitungan jumlah populasi bakteri selulolitik yang terendah adalah pada perlakuan P2 yaitu rumput lapangan yang disuplementasi Zn lysinat 15% dengan dosis 1% yaitu 4,25 x 10 6 cfu. Hal ini dikarenakan pada perlakuan ini, sampel memiliki enzim selulase yang kurang potensial untuk jenis substrat tersebut. Hal yang menghambat aktivitas selulase oleh bakteri selulolitik pada substrat rumput lapangan, adalah komponen lignin. Lignin membungkus dan mengikat selulosa secara fisik sehingga menghalangi enzim selulase bekerja maksimal pada substrat. Selulosa terbungkus dan terikat secara ikatan kovalen maupun non-kovalen pada lignin dan hemiselulosa. Hemiselulosa maupun lignin akan mengganggu aktivitas enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri selulolitik yang hanya spesifik memotong ikatan β-1,4-glikosidik pada selulosa. Zn merupakan mineral esensial yang berfungsi sebagai aktivator dan komponen berbagai enzim dehidrogenase, peptidase, dan fosfatase yang terlibat dalam metabolisme asam nukleat, karbohidrat, dan protein (Parakkasi, 1999). Zn juga berfungsi mempercepat sintesis protein mikroba dengan melalui pengaktifan enzim mikroba rumen (Arora, 1995). Menurut Pearce (1983) suplementasi mineral mengakibatkan lignin pada pakan berserat akan terdegradasi, sehingga kecernaan bahan organik meningkat. b. Populasi Bakteri Amilolitik Hasil uji statistik aktivitas dan populasi mikroba rumen yang disuplementasi dengan Biomineral Zn Lysinat terhadap populasi bakteri amilolitik pada penelitian ini secara statistik tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Rataan aktivitas dan populasi mikroba rumen yang disuplemtasi dengan Biomineral Zn Lysinat terhadap populasi bakteri amilolitik dapat dilihat pada Tabel 6.berikut:
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
53
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ... Tabel 6. Rataan Aktivitas dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi dengan Biomineral Zn lysinat Terhadap Populasi Bakteri Amilolitik ( x 106 cfu) Pada Media Pati.
Perlakuan P1 Lamtoro P2 Rumput lapangan P3 Rumput gajah
Rata-rata 13,55a 25,55a 26,75a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% (DMRT). cfu:ColonyFormingUnit Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa aktivitas dan populasi mikroba rumen yang disuplementasi dengan biomineral Zn lysinat terhadap populasi bakteri amilolitik bervariasi pada tiap perlakuan. Nilai perhitungan jumlah populasi bakteri amilolitik yang tertinggi adalah pada cairan rumen yang ditambahkan rumput gajah (P3) yaitu sebesar 26,75 x 106 cfu. Hal ini dikarenakan pati yang berasal dari pakan rumput gajah telah dihidrolisis oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh bakteri amilolitik. Amilase merupakan enzim yang bekerja menghidrolisis pati yang dapat dihasilkan oleh bakteri amilolitik (Frazier dan Westhoff, 1988). Sedangkan nilai perhitungan jumlah populasi bakteri amilolitik yang terendah adalah pada perlakuan cairan rumen yang ditambah daun lamtoro yang disuplementasi Zn lysinat 15% dengan dosis 1% (P1) yaitu 13,55 x 106 cfu. Hal ini dikarenakan aktivitas enzim amilase yang dihasilkan oleh bakteri amilolitik tidak optimum di dalam rumen sehingga jumlah populasi bakteri amilolitik rendah. Proses pencernaan di dalam rumen melibatkan beberapa peran jenis bakteri salah satunya adalah bakteri amilolitik yang dapat mencerna pati dan gula (Hungate, 1966). Amilase merupakan enzim yang dihasilkan oleh bakteri amilolitik yang bekerja menghidrolisis pati yang dapat dihasilkan oleh bakteri, fungi, tumbuhan dan hewan. Amilase yang dihasilkan oleh bakteri banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama industri makanan, minuman, tekstil, farmasi, dan detergen. Hal ini karena umumnya amilase asal bakteri mempunyai aktivitas yang tinggi dan bersifat lebih stabil dibandingkan yang berasal dari tumbuhan dan hewan. c. Populasi Bakteri Proteolitik Hasil uji statistik aktivitas dan populasi mikroba rumen yang disuplementasi dengan Biomineral Zn Lysinat terhadap populasi bakteri proteolitik pada penelitian ini secara statistik tidak berpengaruh nyata (p>0,05), dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini : Tabel 7. Rataan Aktivitas dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi dengan Biomineral Zn lysinat Terhadap Populasi Bakteri Proteolitik ( x 106 cfu) Pada Media Pepton.
Perlakuan P1 Lamtoro P2 Rumput lapangan P3 Rumput gajah
Rata-rata 41,65a 20,50a 32,95a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% (DMRT). cfu : Colony Forming Unit Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa aktivitas dan populasi mikroba rumen yang disuplementasi dengan biomineral Zn lysinat terhadap populasi bakteri proteolitik bervariasi pada tiap perlakuan. Nilai perhitungan jumlah populasi bakteri proteolitik yang tertinggi adalah pada perlakuan cairan rumen yang ditambahkan daun lamtoro (P1) yang disuplementasi Zn lysinat 15% dengan dosis 1% yaitu 41,65 x 106 cfu. Hal ini dikarenakan komposisi nutrisi hijauan yang difermentasi dengan menggunakan cairan rumen dan suplementasi biomineral Zn lysinat sehingga meningkatkan populasi bakteri proteolitik di dalam rumen. Hal ini memberikan indikasi bahwa mikroba proteolitik menghasilkan enzim protease yang dapat merombak protein menjadi polipeptida yang selanjutnya menjadi peptida sederhana. Suplementasi Zn dapat memenuhi kebutuhan Zn pada mikroba rumen 54 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ...
yang cukup tinggi yaitu 100-120 mg/kg (Hungate, 1966) sehingga dapat mengoptimalkan bakteri dalam menghasilkan enzim pencernaan. Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Erwanto (1995) bahwa semakin meningkat populasi bakteri dalam rumen cenderung dapat meningkatkan sintesis protein mikroba dengan semakin banyaknya terbentuk alantoin dalam urin. Nilai perhitungan jumlah populasi bakteri proteolitik yang terendah adalah pada perlakuan cairan rumen yang ditambahkan rumput lapangan (P2) yang disuplementasi Zn lysinat 15% dengan dosis 1%, yaitu 20,50 x 106 cfu. Hal ini dikarenakan konsentarsi amonia di dalam rumen yang rendah sehingga menyebabkan jumlah populasi bakteri proteolitik menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Satter dan Slyter, (1974) bahwa jika pakan memiliki kandugan protein yang rendah, maka protein akan cepat terdegradasi oleh mikroba rumen, sehingga menyebabkan konsentrasi amonia di dalam rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM) dan menyebabkan pertumbuhan organisme rumen akan lambat terutama bakteri proteolitik. Suplementasi Zn meningkatkan konsumsi pakan dan pemanfaatan protein (Tilman et al., 1991).
KESIMPULAN Suplementasi Zn lysinat 15 % dengan dosis 1% pada daun lamtoro, dapat meningkatkan nilai KCBK dan KCBO dan suplementasi Zn lysinat dengan dosis yang sama terhadap daun lamtoro rumput lapangan, dan rumput gajah berpengaruh nyata terhadap nilai KCBK dan KCBO (p<0,05), akan tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap konsentrasi N-NH3, VFA total dan Populasi mikroba rumen. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua anggota termasuk tim teknis baik di laboratorium dan lapangan serta seluruh mahasiswa khususnya Edo Satriawan yang terlibat dalam pelaksanaan Penelitian Unggulan Stranas (PUSNAS) yang dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (Dit.Litabmas) Dikti dengan Kontrak No. 381.c/UN9.3.1/PL/2012, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Kandungan Nutrisi Rumput Lapangan dan Silase Rumput Lapangan. Analisa Laboratorium BPTP Kalimantan Timur. Anonim. 2005. Luas lahan menurut penggunaan di Provinsi Sumatra Selatan 2004. Biro Pusat Statistik Sumatra Selatan. Palembang. Anonim. 1997. Kandungan Nutrisi pada Daun Lamtoro. Analisa Laboratorium BPTP Kaltim. Kalimantan Timur. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Arora, S. P. 1998. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Cetakan Kedua. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Berra-Maillet, C., Y. Ribot, and E. Forano. 2004. Fiber-degrading system of different strains of the genus fibrobacter, Appl Enviro.l Microbiol. Apr. : p. 2172-2179 Barry, T.H. Thompson, A. And Amstrong, D. G. 1977. Rumen fermentation studies and two contrasing of the invitro fermentation with special reference to the composition of the gas phase, oxdation/reduction stage and VFS proportion J. Agri sci. Camb. 89 (183-195). Chen, J. and P. J. Weimer. 2001. Competition among three predominant ruminal cellulolytic bacteria in the absence or presence of non-cellulolytic bacteria. J. Environ. Microbiol. 147: 21-30. Church, D.C. 1988. Livestock Feeds and Feeding. Third Edition. Prentice Hall. International Ed. New Jersey. Church, D. C. and W. G. Pond. 1982. Basic Animal Nutrition and Feeding. 2nd Ed. John Wiley and Son. New York – Singapore. Czerkawski. 1986. An Introduction to Rumen Studies 1 st ed. Pergamon Press. New York. Erwanto. 1995. Optimalisasi system Fermentasi Rumen melalui Suplementasi Sulfur, Defaunasi, Reduksi Emisi Metan dan Stimulasi Pertumbuhan Mikroba pada Ternak Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
55
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ... France, J. And R. C. Siddon. 1993. VFA Production, in Quantitative Aspect of Ruminant Degistion and Metabolism,. Forbes J. M. And France, J. Ed. CAB. International. Frazier WC, Westhoff. 1988. Food Microbiology. New York: McGraw-Hill. Georgievskii, V., B. N. Annenkov, and V. T. Samokhin. 1981. Mineral Nutrition of Animal. Butter Worth, London. Hartadi. 1993. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hartati, E. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru dan Seng ke dalam Ransum yang Mengandung Silase Pod Kakao dan Urea untuk Memacu Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Disertasi). Harmon, R.J. and P.M. Torre. 1997. Ekonomic Implications of Copper and Zn Proteinates Role and Mastiits Control. In: Biotechnology in Feed Industry, Proc. Alltech 13 th Annual Symposium. T.P. Lyons and K.A. Jaqgues Eds. Notingham University Press. Notingham. Hougland, J.l., A.V. Kravchuk, D. Hershlag, and J.A. piccirilli. 2005. Fungtional identifikation of catalytic metal ion binding sites within RNA. PLOS Biol. 3(9):277. Hungate, R.E. 1996. The Rumen and Its Microbes. Academi Press. New York. Kamal, M., 1999. Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kincaid. R.L, Blauwiekel .R.M, Cronrath J.D. 1986. Supplementation of copper sulfate or copper proteinate for growing calves fed forages containing molybdenum. J Dairy Sci 69:160. Laconi, E. B. 1998. Peningkatan mutu pod kakao melalui amoniasi dengan urea dan biofermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium serta penjabarannya ke dalam formulasi ransum ruminansia. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lehninger, W. W. 1991. Dasar-Dasar Biokimia 1. Erlangga. Jakarta. Lieberman, S. and N. Bruning. 1990. The Real Vitamin and Mineral Book. A very Publishing Group Inc. Garden City Park, New York. Lin LL, Chyau CC, Hsu WH. 1998. Production and properties of a raw-starch- degrading amylase from the thermophilic and alkaliphilic Bacillus sp. ST- 23. Biotechnol Appl Biochem 28: 61-68. Linder, M. C. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Karbohidrat (Terjemahan). Linder (ed) Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas Indonesia Press. Little, D. A. 1986. The Mineral Contet of Ruminant feeds and Potential for Mineral Suplementation in SoutEast Asia with Particular Reference to Indonesia. In. R.M. Dixion (Ed). Ruminant Feeding Systems utilizing fibrous Agricultural Residus 1986. IDP. Canberra. Lioyd, L. E., B. E. McDonald, and E. W. Crampton. 1998. Fundamentals of Nutrition 2nd Ed. W. H. Freeman and Co. San Fransisco. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6 th Ed. Pretice all. London. Mc Donald, P., R.A. Edwards and J.F.D. Greenhalgh. 1995. Animal Nutrition. 5th Ed. Longman Statistics and Technical. John Willey and Sons, Inc. New York. McDowell, L. R., J. H. Conrad, G. L. Ellis and J. K. Loosli. 1983. Mineral for Grazing Ruminant in Tropical Region. Depr. of Anim. Sci. Centre for Tropical Agric. University of Florida, Gaeinesville and The US Agency for International Development. McIlroy, R.J. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita. Jakarta. National Reserch Council. 2001. Nutrient Reguirements of Dairy Cattle. 17th Ed. The National Academies Press. Washington DC. Orskov, E.R. 1998. The Feeding of Ruminant. Principal and Practice 2nd. Edition. Cholombe. Publication. UK. Parakkasi. A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Jakarta. Pandey A et al. 2000. Advances in microbial amylases [review]. Biotechnol Appl Biochem 31: 135-152. Pearce, G. R. 1983. The Utilisation of Fibrous Agricultural Residu. Australia Government Publishing Service, Canberra. Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 2. Terjemahan Ratna Siri, Tedja Imas, S. Sutarmi Tjitrosomo, Sri Lestari Angka. Jakarta: UI-Press. Peres, J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia, and J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatment of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int. Microbiol. 5 : 53-56.
56 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Produksi N-NH3, VFA Total dan Populasi Mikroba Rumen yang Disuplementasi ... Preston, T. R., and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Available Resources in The Tropics and Subtropics. Penambul Books Ltd., Armidale NSW. Putra, S. 1999. Peningkatan Performans Sapi Bali Melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplementasi Seng Asetat (disertasi). Bogor : Institut Pertanian Bogor. Richards, C.J., R.B. Pugh and J.C. Waller. 2006. Influence of soybean hull supplementation on rumen fermentation and digestibility in steers consuming freshly clipped endophyte-infected tall fescue. J.Anim. Sci. 84: 678-685 Sauvant, D., Grenet, E., and Doreau, M. 1995. Degradation Chimiqiues des Aliments dans Reticulo-rumen : Cinetique at Importance. In : Nutrition des Ruminants Domestiques. Institut Nasional de la Recherche Agronomiqiue (INRA) editions. pp: 381-406. Satter, L. D and L. L. Slyter. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial protein production invitro. Brit. J. Nutrition 32 : 199 – 200. Sakinah, D. 2005. Kajian Suplementasi Probiotik Bermineral Terhadap Produksi VFA, NH3, dan Kecernaan Zat Makanan pada Domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schaefer, D.M., C.L. Davis and M.P. Bryant. 1980. Ammonia saturation constant for predominant species of rumen bacteria. J. Dairy Sci. 63-1248. Susanti. 2002. Pengaruh Teknologi Komunikasi Terhadap Hubungan Antara Lingkungan dan Struktur Organisasi. Tesis S-2 UGM. 2002. Sutardi, T. 2006. Fermentabilitas dan Kecernaan Invitro Ransum Limbah Agro Industri yang di Suplementasi Kromium Anorganik dan Organik. Med. Pet. 29:56-62. Sutardi, T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1980. Peningkatan mutu hasil limbah lignoselulosa sebagai pakan ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutrisno CI. 1983. Pengaruh Minyak Nabati dalam Mengatasi Defisiensi Zn pada Sapi yang Memperoleh Ransum Berbahan Dasar Jerami Padi. [Disertasi], Program Pascasarjana IPB, Bogor. Steel, R. G.D. and J. H. Torrie. 1991. Principle and Procedures of Statistics, Mc Graw Hill. Book. O. Inc. New York. Solomon , N. W. 1993. Zinc. Encylopedia of Food Science, Food Technology and Nutrition. Vol 7. London., 49: 80-94. Soegih, R. 1992. Peranan mineral khususnya elemen renik terhadap kesehatan ternak. Pengaruh Mineral Terhadap Kesehatan Ternak. Jakarta. Tillman. AD., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawiro Kusumo dan S Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta. Tillman, A.D. H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta. Tjokonegoro. A. 1992. Pengolahan Sinyal, Lecture handout: Pengolahan sinyal. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Weiber, P. J., G.C. Waghorn, and Merten D. R. S., 1999. Effect of diet on population of three species of ruminal cellulolytic bacteria in lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 82 : 122-134.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
57
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK NITROGEN TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI BEBERAPA RUMPUT RAWA 1) Fariani, A., A.I.M. Ali dan Tasmawati2) Abstract: The potency of nitrogen fertilizer as an substance for increase the nutritive content on swamp grass has been investigated. The research arranged by using Factorial Randomizad Complete Design with four levels of urea fertilizer consentrations (0 g urea / 10 kg soils, 0,2717 g urea / 10 kg soils, 0,5434 g urea / 10 kg soils, and 0,8152 g urea / 10 kg soils) and three kinds of swamp grass (Hymenachne amplexicaulis, Ischaemum rugosum, and Oryza rufipogon), each treatment combination was replicated two times. The result showed that nitrogen fertilizer had potential for increase the nutritive content of swamp grass..From result, it shows that if kind of grass, nitrogen fertilizer dose, and interact both of them was give a different significant response (P<0,05) for all parameter. The conclusion in this researches showed that the best result for ash content, crude protein, crude fat, and rough fiber, on Hymenachne amplexicaulis grass with added nitrogen fertilizer 0,54 g. Keywords: nitrogen fertilizer, swamp grass, nutritive value. 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Unsri
1 PENDAHULUAN
P
akan merupakan salah satu faktor terpenting dalam usaha peternakan. Keberhasilan maupun kegagalan usaha peternakan banyak ditentukan oleh pakan yang diberikan. Pakan mempunyai peranan bagi ternak untuk kelangsungan hidup, untuk menghasilkan suatu produk, misalnya susu, daging dan untuk pertumbuhan. Pakan adalah bahan yang dapat dimakan dan dicerna oleh seekor hewan yang mampu menyajikan hara dan nutrien yang penting untuk perawatan tubuh, pertumbuhan, dan penggemukan tubuh. Bahan pakan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu konsentrat dan bahan berserat. Konsentrat (produk bijian dan butiran) dan bahan berserat (jerami dan hijauan) merupakan komponen atau penyusun ransum (Williamson dan Payne, 1959). Keberhasilan usaha peternakan sangat ditentukan oleh faktor pakan. Produktivitas ternak terutama pertumbuhan dan kemampuan berproduksinya 70% dipengaruhi oleh lingkungan dan 30% faktor genetik (Parakkasi, 1999). Pengembangan usaha peternakan akan berjalan lambat apabila masih dianggap sebagai usaha wilayah perlu mengukur potensi wilayah bagi ternak yang akan dikembangkan, karena produksi ternak akan banyak bergantung pada daya dukung pakan yaitu 80% yang tercermin dari luas lahan hijauan serta sisa hasil pertanian (Makka, 2004). Faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan lahan rawa adalah: (1) lama dan kedalaman air banjir atau air pasang serta kualitas airnya, (2) ketebalan, kematangan, dan kandungan hara gambut, (3) kedalaman lapisan pirit dan kemasaman total potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya, (4) pengaruh luapan atau intrusi air payau/salin, dan (5) tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan, apakah endapan sungai, laut, atau pasir. Faktor tersebut dapat merupakan suatu kendala dalam melakukan pembudidayaan hijauan di daerah rawa. (Widjaja, 1987). Di Sumatera selatan, luas lahan rawa lebak yang belum termanfaatkan sebagai lahan tanaman pangan masih cukup luas. Lahan yang diusahakan hanyalah 161.341 ha (12%) dari total luas rawa yang ada (1.369.987 ha) (Anonimous, 2003). Kendala usaha tani pada rawa lebak adalah tingkat genangan air dan keasaman yang tinggi. Kegiatan usaha tani hanya dapat dilakukan pada musim kemarau (monokultur) yaitu ketika air surut. Pada musim hujan lahan tidak dapat digunakan karena adanya genangan air sehingga lahan ditumbuhi oleh tanaman liar (Ali, 2005). Pengembangan hijauan di lahan rawa lebak dapat dilakukan dengan cara memilih bibit unggul yang dapat menyesuaikan diri di lahan rawa lebak dengan kondisi genangan air, keasaman air, dan tanah yang berlumpur. Hingga saat ini lahan rawa lebak belum dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai lahan pengembangan hijauan pakan ternak. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang
58
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
aspek produksi rumput rawa sehingga dapat diketahui potensi pengembangan hijauan pakan di lahan rawa lebak. Beberapa rumput rawa yang tumbuh secara liar yang memiliki nilai nutrisi baik untuk ternak antara laian Isachne globasa (rumput kasuran, wawaderan), Ischne albens (rumput jukut piit), Panicum muticum (rumput melala, kolonjono) dan masih banyak terdapat jenis rumput yang terdapat di Indonesia. (Lubis, 1952). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk nitrogen terhadap kandungan nutrisi pada tiga jenis rumput rawa.
2 MATERI DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan di rumah kaca Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dan Laboratorium Kimia Hasil Pertanian jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Adapun materi yang digunakan: 1. Bibit Bibit yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit rumput rawa berupa pols yang terdiri dari 8 batang rumput rawa. Rumput rawa yang digunakan adalah: a) Himenachne amplexicaulis, b) Ischaemum rugosum, dan c) Oryza rufipogon. 2. Pupuk Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Pupuk SP 36, Pupuk KCl (50% K2O) dan Pupuk Urea (46% N) 3. Bahan Kimia Bahan kimia akan digunakan pada saat analisa proksimat untuk menentukan kandungan nutrisi rumput rawa sebagai berikut: NaOH, H2SO4, Aquadest, HgO, Na2S2O3, HCl, dietil eter dan kloroform. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun Faktorial dengan 12 perlakuan, setiap perlakuan terdiri dari 2 ulangan. Perlakukan merupakan kombinasi 3 spesies rumput rawa dan 4 takaran pupuk nitrogen. Faktor R: Jenis Rumput R1 = Hymenachne amplexicaulis R2 = Ischaemum rugosum R3 = Oryza rofipogon Faktor R: Dosis Pupuk N0 = Tanpa pemupukan N1= 0,2717 g urea per tanaman (25 kg/ha) N2 = 0,5434 g urea per tanaman (50 kg/ha) N3 = 0,8152 g urea per tanaman (75 kg/ha) Cara Kerja Cara kerja dalam penelitian ini dilakukan pada dua tahap yaitu pertama penanaman rumput rawa di rumah kaca. Kedua analisis kandungan nutrisi rumput rawa di laboratorium. Adapun cara kerja penelitian ini adalah sebagai berikut: Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
59
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
Penanaman rumput rawa a. Penyimpanan Media Tanam Media tanam yang digunakan adalah tanah rawa lebak. Tanah dikeringkan terlebih dahulu, dibersihkan dari kotoran, ditumbuk dan diayak 5 mm. Sebelum dimasukkan kedalam ember, tanah dicampur dengan pupuk KCl serta SP 36, dan diaduk hingga rata. Setiap ember diisi dengan tanah sebanyak 10 kg. Ditambahkan air dengan ketinggian 5 cm dari permukaan tanah. b. Penanaman Bibit rumput rawa berupa pols, sebanyak 8 batang rumput ditanam di ember setelah tanah di dalamnya dibasahi terlebih dahulu. Polibag ditempatkan pada ember dan digenangi oleh air setinggi 5 cm dari permukaan tanah. Genangan air 5 cm tersebut harus tetap dipertahankan. c. Pemupukan Pemberian urea dilakukan setelah 7 hari penanaman dan 7 hari setelah defoliasi dilakukan. Jumlah urea yang diberikan disesuaikan dengan perlakuan Yaitu: tanpa pupuk atau 0 g, 0,2717 g , 0,5434 g , 3 : 0,8152 g. setiap ember atau tanaman. d. Pemeliharaan Tanaman Dilakukan pembersihan gulma, serta genangan air akan dipertahankan pada ketinggian 5 cm selama penelitian berlangsung. e. Pemotongan Pemotongan pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 60 hari. Pemotongan selanjutnya setiap 40 hari. Pemotongan dilakukan pada titik ±20 cm dari atas tanah. Selama penelitian, dilakukan tiga kali pemotongan. Pengamatan nilai nutrisi pada setiap perlakukan yaitu pada pemotongan pertama. Parameter yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah 1) Bahan kering, 2) Kadar abu, 3) Protein Kasar, 4) Serat Kasar, 5) Lemak Kasar , dan 6) BETN.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN A Bahan Kering Hasil pengukuran rata-rata bahan kering rumput rawa berkisar antara 16,78% sampai 35,85%. Bahan kering terendah terdapat pada perlakuan R1N3 (Hymenachne amplexicaulis dengan pemberian pupuk urea 0,81 g 10 kg-1 tanah) dan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan R2N0 (Ischaemum rugosum tanpa pemberian pupuk). Dari analisis keragaman menunjukkan bahwa baik faktor jenis rumput, jumlah pupuk dan interaksi antara jenis rumput dengan jumlah pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap bahan kering rumput rawa. Pengaruh jenis rumput (R) terhadap bahan kering menunjukkan bahwa R1 (Hymenachne amplexicaulis), R2 (Ischaemum rugosum) dan R3 (Oryza rufipogon) berbeda nyata, sedangkan untuk pengaruh dosis pupuk (N) terhadap bahan kering menunjukkan bahwa N0 berbeda nyata dengan N1, N2, dan N3. Rata-rata bahan kering rumput rawa seperti disajikan pada Gambar 1. Perubahan bahan kering yang signifikan terlihat pada rumput Ichaeum rugosum (R2) yang diberi pupuk urea sebanyak 0,27 g (N1). Jika dibandingkan dengan Ichaeum rugosum tanpa pupuk, penurunan bahan kering setelah diberi pupuk sebanyak 0,27 g (N1) adalah sebesar 13,3%. Pada rumput Oryza rufipogon (R3) ketika ditambahkan pupuk sebanyak 0,27 g (N1), jika dibandingkan denagan Oryza rufipon (R3) tanpa pemberian pupuk (N0) mengalami penurunan bahan kering sebesar 0,97%.
60 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
Gambar 1. Bahan kering rumput rawa pada berbagai perlakuan dosis pupuk N.
Dalam penelitian ini, pada rumput Ischaemum rugosum ketika ditambahkan pupuk urea sebanyak 0,27 g ke dalam tanah, maka terjadi proses osmosis karena meningkatnya kadar N tanah yaitu air dalam tanah akan berpindah ke dalam akar sehingga kadar bahan kering menurun sebesar 13,3%. Ketika ditambahkan pupuk urea lagi sebanyak 0,54 g, maka proses yang terjadi berikutnya adalah proses difusi yaitu kadar N dalam tanah semakin meningkat yang menyebabkan konsentrasi air dalam ember menjadi tinggi sehingga N bergerak masuk ke dalam akar tanaman dan air yang terdapat dalam tanaman sebagian keluar melalui akar. Oleh karena itu, kadar bahan kering rumput Ischaemum rugosum ketika ditambahkan pupuk urea sebanyak 0,54 g meningkat sebesar 2,87%. Kandungan bahan kering tertinggi untuk rumput Hymenachne amplexicaulis yaitu sebesar 18,13% (N2), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 16,78% (N3). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Ischaemum rugosum, bahan kering tertinggi sebesar 35,85% (N0), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 22,55% (N1). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Oryza rufipogon, bahan kering tertinggi sebesar 30,02% (N0), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 28,42% (N2). Pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Hymenachne amplexicaulis dan Oryza rufipogon terlihat cenderung stabil dari N0 hingga N3 seperti terlihat pada Gambar 4. Dari penelitian sebelumnya (Rohman, 2007) dilaporkan bahwa rumput Oryza rufipogon memiliki kandungan bahan kering sebesar 23,26%. Pada penelitian ini diperoleh hasil yang menyatakan bahwa bahan kering tertinggi pada rumput Oryza rufipogon setelah diberi pupuk urea sebanyak 0,27 g (N1) adalah sebesar 29,23%. B Kadar Abu Hasil pengukuran rata-rata kadar abu rumput rawa berkisar antara 0,26% sampai 4,50%. Kadar abu terendah terdapat pada perlakuan R1N1 (Hymenachne amplexicaulis dengan pemberian pupuk urea 0,27 g 10 kg-1 tanah) dan kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan R2N2 (Ischaemum rugosum dengan pemberian pupuk urea 0,54 g 10 kg-1 tanah). Perubahan kadar abu yang signifikan terlihat pada rumput Ischaeum rugosum (R2) yang diberi pupuk urea sebanyak 0,54 g (N2). Jika dibandingkan dengan Ischaeum rugosum tanpa pupuk, peningkatan kadar abu setelah diberi pupuk sebanyak 0,54 g (N2) adalah sebesar 3,89%.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
61
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
Gambar 2. Kadar abu rumput rawa pada berbagai perlakuan dosis pupuk N.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa kadar abu rumput Ischaemum rugosum mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada penambahan pupuk urea sebanyak 0,54 g. Menurut Nyakpa (1988) peningkatan ini dapat terjadi karena jumlah kadar N dalam tanah dapat meningkatkan kecepatan mineralisasi tanaman yang meningkatkan kadar mineral dalam tanaman. Selain itu, mineral juga terdapat di dalam pupuk urea sebagai senyawa ikutan yang memiliki pengaruh dalam peningkatan kadar abu tanaman. Perlu diingat pula bahwa proses mineralisasi dapat terhenti karena adanya peningkatan dominan suatu unsur dalam tanah (Nyakpa et al., 1988). Hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan kadar abu pada rumput Ischaemum rugosum ketika diberi pupuk urea sebanyak 0,81 g. Kandungan kadar abu tertinggi (Gambar 5) untuk rumput Hymenachne amplexicaulis yaitu sebesar 3,86% (N3), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 0,26% (N1). Dari penelitian Rohman (2007) dilaporkan bahwa kadar abu rumput Hymenachne amplexicaulis sebesar 3,25%. Ini berarti untuk rumput Hymenachne amplexicaulis mengalami peningkatan kadar abu sebesar 0,61% setelah ditambahkan pupuk urea sebanyak 0,81 g. Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Ischaemum rugosum, kadar abu tertinggi sebesar 4,5% (N2), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 0,61% (N0). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Oryza rufipogon, kadar abu tertinggi sebesar 1,65% (N3), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 0,74% (N0). Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan R2N2 (Ischaemum rugosum dengan pemberian pupuk urea sebanyak 0,54 g). Jika dibandingkan dengan perlakuan R2N0 (Ischaemum rugosum tanpa pupuk), perlakuan R2N2 berbeda nyata dengan R2N0. Pada umumnya hijauan mengandung abu kurang lebih 0,5-7% (Lubis, 1952). Dari penelitian ini diperoleh hasil yang menyatakan bahwa kadar abu tertinggi setelah diberi pupuk urea adalah sebesar 4,50%. Hal ini berarti pemberian pupuk urea hingga kadar 0,81 g 10 kg-1 tanah tidak melebihi kadar abu rumput rawa pada umumnya. C. Protein Kasar Hasil analisa rata-rata kandungan protein kasar rumput rawa berkisar antara 2,36% sampai 6,37%. Protein terendah terdapat pada perlakuan R2N3 (Ischaemum rugosum dengan pemberian pupuk urea 0,81 g 10 kg-1 tanah) dan tertinggi terdapat pada perlakuan R1N2 (Hymenachne amplexicaulis dengan pemberian pupuk urea 0,54 g 10 kg-1 tanah). Hasil analisis keragaman (Lampiran 13) menunjukkan bahwa baik faktor jenis rumput, jumlah pupuk dan interaksi antara jenis rumput dengan jumlah pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap protein kasar rumput rawa. Hasil uji BNJ (p<0,05) pengaruh jenis rumput (R) terhadap protein menunjukkan bahwa R1 (Hymenachne amplexicaulis), R2 (Ischaemum rugosum) dan R3 (Oryza rufipogon) berbeda nyata, sedangkan hasil uji BNJ (p<0,05) 62 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
untuk pengaruh dosis pupuk (N) terhadap protein kasar menunjukkan bahwa N3, N2 berbeda nyata dengan N0 dan N1. Perubahan protein kasar yang signifikan terlihat pada rumput Oryza rufipogon (R3) yang diberi pupuk urea sebanyak 0,54 g (N2). Jika dibandingkan dengan Oryza rufipogon tanpa pupuk, peningkatan protein kasar setelah diberi pupuk sebanyak 0,54 g (N2) adalah sebesar 0,96%.
Gambar 3. Kadar protein kasar rumput rawa pada berbagai perlakuan dosis pupuk N.
Kandungan protein kasar tertinggi terdapat pada perlakuan R1N2 (Hymenachne amplexicaulis dengan pemberian pupuk urea sebanyak 0,54 g). Jika dibandingkan dengan perlakuan R1N0 (Hymenachne amplexicaulis tanpa pupuk), perlakuan R1N2 berbeda nyata dengan R1N0. Dari penelitian ini diperoleh hasil yang menyatakan bahwa protein kasar teringgi setelah diberi pupuk urea adalah sebesar 6,37%. Hal ini berarti pemberian pupuk urea hingga kadar 0,54 g 10 kg-1 dapat meningkatkan kadar protein rumput Hymenachne amplexicaulis sebesar 0,48%. Hasil analisis dihitung berdasarkan bahan kering menjelaskan bahwa kenyataan tentang relatif rendahnya kadar protein akibat pengaruh langsung dari iklim tropis. Iklim tropis lebih menguntungkan untuk pembentukan zat-zat sebagai hasil asimilasi CO2 bahan ekstrak (Huitema, 1986). Analisa tanah yang telah dilakukan diketahui mempunyai kandungan N yang normal, kemudian dengan perlakuan pemupukan N, maka kandungan N dalam tanah akan tinggi. Hal ini tidak memberikan pengaruh yang baik pada kandungan protein pada rumput. Menurut Ismunadji et al., (1988) diantara penyebabnya adalah bentuk N yang tersedia di dalam tanah yang siap diserap sedikit, dan sebagian pupuk N telah tervolatilisasi. Penyebab ketersedian N yang dapat diserap oleh akar tanaman sedikit karena tanaman dalam keadaan tergenang air secara terus-menerus, sehingga pertukaran udara di dalam tanah tidak optimal yang mengakibatkan pH tanah akan turun. Keadaan pH tanah yang rendah mengakibatkan kandungan N dalam tanah yang dapat diserap oleh akar adalah dalam bentuk ion nitrat sedangkan ammonium tidak dapat diserap. Menurut Abdi (2007) sumber nitrogen yang diserap oleh tanaman pada umumnya dalam bentuk nitrat dan ammonium. Penyerapan unsur hara dipengaruhi oleh derajat keasaman tanah (pH), dimana penyerapan N optimal pada pH 5,57,5, pada kondisi pH di atas 7 (keadaan basa) tanaman akan lebih banyak menyerap N dalam bentuk ion nitrat. Pupuk urea dapat meningkatkan kadar N kasar dalam rumput rawa karena N yang terdapat dalam urea diserap oleh tanaman untuk membentuk protein tanaman dan pembentukan DNA. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada rumput Hymenachne amplexicaulis dan rumput Oryza rufipogon meningkat kadar N kasarnya ketika ditambahkan pupuk urea sebanyak 0,54 g, ini berarti hingga kadar penambahan pupuk sebanyak 0,54 g unsur N masih dapat diserap oleh kedua rumput tersebut, tetapi ketika ditambahkan lagi sebanyak 0,81 g pupuk urea, yang terjadi malah menurunkan kadar N kasar tanaman karena sudah melebihi ambang batas N dalam tanah untuk diserap oleh tanaman yang menyebabkan akar tidak lagi dapat menyerap N karena tingkat jenuh N dalam tanah sudah tercapai. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
63
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
Makin tinggi N yang diberikan, makin rendah efisiensi pemanfaatan oleh tanaman. Hal ini dapat ditentukan oleh gabungan antara tanggapan tanah atas pemberian pupuk dan tanggapan tanaman atas serapan hara pupuk (Budi, 1996). Pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Hymenachne amplexicaulis terlihat cenderung stabil dari N0 hingga N3 seperti terlihat pada Gambar 6. Kandungan protein tertinggi untuk rumput Hymenachne amplexicaulis yaitu sebesar 6,37% (N2), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 5,81% (N3). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Ischaemum rugosum, protein kasar tertinggi sebesar 3,88% (N1), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 2,36% (N3). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Oryza rufipogon, protein kasar tertinggi sebesar 5,27% (N2), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 4,16% (N0). D. Lemak Kasar Kandungan lemak kasar pada tanaman lebih banyak ditentukan oleh faktor umur, genetik atau varietas dari tanaman. Jumlah lemak yang terdapat dalam jaringan tanaman tidak terlalu tinggi (Dwidjeseputro, 1985). Lemak terbentuk dari C, H dan O2. Biji-bijian dari tanam-tanaman, terutama dari macam-macam kacang-kacangan, mengandung banyak lemak; rumput dan tanaman berumbi hanya sedikit mengandung zat lemak kasar. Kadar lemak kasar dapat diketahui jika dilarutkan dengan eter (Lubis, 1952). Hasil pengukuran rata-rata lemak kasar rumput rawa berkisar antara 2,04% sampai 3,52%. Lemak kasar terendah terdapat pada perlakuan R3N0 (Oryza rufipogon tanpa diberi pupuk) dan lemak tertinggi terdapat pada perlakuan R3N2 (Oryza rufipogon dengan pemberian pupuk urea 0,54 g 10 kg-1 tanah). Hasil analisis keragaman (Lampiran 17) menunjukkan bahwa baik faktor jenis rumput, jumlah pupuk dan interaksi antara jenis rumput dengan jumlah pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap lemak kasar rumput rawa. Hasil uji BNJ (p<0,05) pengaruh perlakuan R (jenis rumput) terhadap lemak (Tabel 6) menunjukkan bahwa perlakuan R2 (Ischaemum rugosum) berbeda nyata dengan R1 (Hymenachne amplexicaulis) dan R3 (Oryza rufipogon), sedangkan untuk N3, N1 berbeda nyata dengan N0 dan N2. Perubahan lemak yang signifikan terlihat pada rumput Oryza rufipogon (R3) yang diberi pupuk urea sebanyak 0,54 g (N2). Jika dibandingkan dengan Oryza rufipogon tanpa diberi pupuk (N0), peningkatan lemak kasar setelah diberi pupuk sebanyak 0,54 g (N2) adalah sebesar 1,48%.
Gambar 4. Kadar lemak kasar rumput rawa pada berbagai perlakuan dosis pupuk N.
64 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
Pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Ischaemum rugosum terlihat cenderung stabil dari N0 hingga N3 seperti terlihat pada Gambar 7. Kandungan lemak kasar tertinggi untuk rumput Ischaemum rugosum yaitu sebesar 2,89% (N2), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 2,42% (N0). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Hymenachne amplexicaulis, lemak tertinggi sebesar 3,21% (N1), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 2,26% (N0). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Oryza rufipogon, lemak tertinggi sebesar 3,52% (N2), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 2,04% (N0). Dari penelitian Rohman (2007) diperoleh kedar lemak kasar rumput Ischaemum rugosum sebesar 1,88% dan rumput Hymenachne amplexicaulis sebesar 2,36%. Untuk kadar lemak kasar rumput Hymenachne amplexicaulis yang tumbuh di India sebesar 2,3% dan kadar lemak rumput Hymenachne amplexicaulis yang tumbuh di Suriname sebesar 1,9% (Anonimous, 2007). Penelitian Rino (2008) menunjukkan kadar lemak kasar pada rumput Hymenachne amplexicaulis sebesar 2,11%. Dari beberapa perbandingan diatas terbukti bahwa dengan adanya pemberian pupuk N pada R1, R2, R3 dapat meningkatkan kadar lemak. Kandungan lemak kasar tertinggi terdapat pada perlakuan R3N2 (Oryza rufipogon dengan pemberian pupuk urea sebanyak 0,54 g). Jika dibandingkan dengan perlakuan R3N0 (Oryza rufipogon tanpa diberi pupuk), perlakuan R3N2 berbeda nyata dengan R3N0. Dari penelitian ini diperoleh hasil atakan bahwa lemak teringgi setelah diberi pupuk urea adalah sebesar 3,52%. Pada penelitian Rohman (2007) diperoleh bahwa kadar lemak Oryza rufipogon adalah sebesar 0,62%. Hal ini berarti pemberian pupuk urea hingga kadar 0,54 g 10 kg-1 dapat meningkatkan kandungan lemak kasar rumput rawa jenis Oryza rufipogon. F. Serat Kasar Hasil pengukuran rata-rata serat kasar rumput rawa berkisar antara 30,61% sampai 43,85%. Serat kasar terendah terdapat pada perlakuan R2N0 (Ischaemum rugosum tanpa diberi pupuk) tertinggi terdapat pada perlakuan R1N1 (Hymenachne amplexicaulis dengan pemberian pupuk urea 0,27 g 10 kg-1 tanah). Hasil analisis keragaman (Lampiran 21) menunjukkan bahwa baik faktor jenis rumput, jumlah pupuk dan interaksi antara jenis rumput dengan jumlah pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap serat kasar rumput rawa. Jenis rumput R3 (Oryza rufipogon), R2 (Ischaemum rugosum) berbeda nyata dengan R1 (Hymenachne amplexicaulis), sedangkan pada pemberian pupuk N1, N2, dan N3 berbeda nyata dengan N0. Perubahan serat kasar yang signifikan terlihat pada rumput Ischaemum rugosum (R2) yang diberi pupuk urea sebanyak 0,27 g (N1). Jika dibandingkan dengan Ischaemum rugosum tanpa pupuk (N0), peningkatan serat kasar setelah diberi pupuk sebanyak 0,27 g (N1) adalah sebesar 10,52%.
Gambar 5. Kadar serat kasar rumput rawa pada berbagai perlakuan dosis pupuk N.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
65
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
Pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Oryza rufipogon terlihat cenderung stabil dari perlakuan N0 hingga N3 seperti terlihat pada Gambar 8. Kandungan serat kasar tertinggi untuk rumput Oryza rufipogon yaitu sebesar 38,58% (N1), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 33,65% (N3). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Ischaemum rugosum, serat kasar tertinggi sebesar 41,13% (N1), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 30,61% (N0). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Hymenachne amplexicaulis, serat kasar tertinggi sebesar 43,85% (N1), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 36,96% (N0). Menurut Huitema (1986) di daerah iklim tropis lebih menguntungkan untuk pembentukkan zat-zat sebagai hasil asimilasi CO2 salah satunya yaitu serat kasar. Serat kasar terendah terdapat pada perlakuan R3N3 (Oryza rufipogon dengan pemberian pupuk urea sebanyak 0,81 g). Jika dibandingkan dengan perlakuan R3N0 (Oryza rufipogon tanpa pupuk), perlakuan R3N3 berbeda nyata dengan R3N0. Dari penelitian ini diperoleh hasil yang menyatakan bahwa serat kasar terendah setelah diberi pupuk urea adalah sebesar 33,65% yang terdapat pada perlakuan R3N3 (Oryza rufipogon dengan pemberian pupuk urea sebanyak 0,81 g), pada perlakuan R3N2 juga mengalami penurunan serat kasar. Hal ini berarti pemberian pupuk urea kadar 0,27 sampai 0,81 g 10 kg-1 dapat menurunkan kadar serat kasar rumput Oryza rufipogon sebesar 3,45%, akan tetapi perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang berarti untuk menurunkan serat kasar pada rumput Oryza rufipogon karena kadar serat kasar yang terkandung pada perlakuan masih terlalu tinggi. G. BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) BETN terdiri dari beberapa golongan antara lain adalah pati, macam-macam gula dan juga asam-asam organik. BETN yang diukur dalam penelitian ini adalah BETN yang terdapat pada hijauan rumput rawa. Hasil pengukuran rata-rata BETN rumput rawa berkisar antara 45,69% sampai 62,93%. BETN terendah terdapat pada perlakuan R1N2 (Hymenachne amplexicaulis dengan pemberian pupuk urea 0,54 g 10 kg tanah) dan BETN tertinggi terdapat pada perlakuan R2N0 (Ischaemum rugosum tanpa diberi pupuk). Hasil analisis keragaman (Lampiran 25) menunjukkan bahwa baik faktor jenis rumput, jumlah pupuk dan interaksi antara jenis rumput dengan jumlah pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap BETN rumput rawa. Pengaruh jenis rumput (R) menunjukkan bahwa R1 (Hymenachne amplexicaulis) berbeda nyata dengan R2 (Ischaemum rugosum) dan R3 (Oryza rufipogon), sedangkan pengaruh pemberian pupuk (N) menunjukkan bahwa N3, N0 berbeda nyata dengan N2 dan N1. Perubahan BETN yang signifikan terlihat pada rumput Ischaemum rugosum (R2) tanpa diberi pupuk (N0). Jika dibandingkan dengan Ischaemum rugosum (R2) diberi pupuk sebanyak 0,27g (N1), terjadi penurunan BETN sebesar 11,9 %. Pengaruh interaksi perlakuan terlihat bahwa BETN tertinggi terdapat pada perlakuan R2N0 (Ischaemum rugosum tanpa diberi pupuk). Jika dibandingkan dengan perlakuan R2N1 (Ischaemum dengan diberi urea 0,27 g 10 kg-1 tanah), perlakuan R2N0 berbeda nyata dengan R2N1. Hal ini berarti pemberian pupuk urea dapat menurunkan kadar BETN rumput Ischaemum rugosum.
66 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ...
Gambar 6. Kadar BETN rumput rawa pada berbagai perlakuan dosis pupuk N.
Pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Oryza rufipogon terlihat cenderung stabil dari N0 hingga N3 seperti terlihat pada Gambar 9. Kandungan BETN tertinggi untuk rumput Hymenachne amplexicaulis yaitu sebesar 53,36 % (N0), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 45,69% (N2). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Ischaemum rugosum, BETN tertinggi sebesar 62,93% (N0), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 51,03% (N2). Untuk pengaruh pemberian pupuk pada rumput rawa Oryza rufipogon, BETN tertinggi sebesar 57,52% (N3), sedangkan yang terendah yaitu sebesar 53,42% (N1). Dari hasil penelitian Rino (2008) menunjukkan bahwa kadar BETN rumput Hymenachne amplexicaulis sebesar 46,76%, sedangkan kadar BETN rumput Hymenachne amplexicaulis yang tumbuh di India sebesar 54,0% (Anonimous, 2007). Dari perbandingan kedua literatur diatas kadar BETN pada pemberian pupuk N yaitu N1 dan N2. Ini berarti dengan penambahan pupuk N pada rumput R1 dapat menurunkan kadar BETN. Kadar BETN tinggi disebabkan karena sebagian fraksi-fraksi lain juga lebih tinggi. Tillman et al (1998) menyatakan bahwa kadar BETN tanaman sangat ditentukan oleh besarnya kadar fraksi-fraksi lain. Bila komposisi kimia lebih tidak berbeda maka kadar BETN juga tidak beda dan begitu juga sebaliknya.
4 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, jika dilihat dari kandungan protein kasar (6,37%), lemak kasar (3,19%), BETN (45%), dan abu (2,05%) perlakuan yang terbaik adalah rumput Hymenachne amplexicaulis dengan penambahan pupuk sebanyak 0,54 g urea. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2003. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Sumatera Selatan. BPS. Palembang. Ali, AIM. 2005. Potensi dan kendala Pengembangan Hijauan Pakan di Rawa Lebak. Makalah seminar kenaikan jabatan. Universitas Sriwijaya. Indralaya. Budi, D.S. 1996. Pengaruh Takaran Urea Tablet Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi, Kulivar IR 64 dan Bengawan Solo. Agrijournal 4(1) : 40-45. Huitema, H. 1986. Peternakan di Daerah Tropis Arti Ekonomi dan Kemampuannya. Penelitian dari Beberapa Daerah di Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta. Loveless, A.R. 1983. Principles of Plant Biology for the Tropics. Longman Group Limited. London and New York. Lubis, D.A. 1952. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembangunan. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
67
Fariani, A., dkk./Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Kandungan Nutrisi Beberapa ... Makka, D. 2004. Penyediaan Kredit KKP dalam Mendunkung Pengembangan Sapi Potong dan Unggas di Kawasan Agribisnis Peternakan. Direktorat Bina Produksi. Disampaikan pada Pertemuan Kemitraan Usaha Peternakan Sumatra Selatan. Nyakpa, M.Y., A.M. Lubis, Mamat. A.P, A. Ghaffar. A, Ali Munawar, Go Ban Hong, Nurhajati. H. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Parakkasi, A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa. Bogor. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Jakarta. Rohman, M.Z. 2007. Evaluasi Nilai Nutrisi Rumput Rawa Sebagai Pakan Ternak di Rawa Lebak Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Skripsi Program Studi Nutrisi dan Makan Ternak Universitas Sriwijaya. Salisbury, F.B dan C.F. Rosa. 1992. Fisiologi Tumbuhan. ITB. Bandung. Tillman, A.D., H. Hartadi, R. Soedomo, P. Soeharta. dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Widjaja, Adhi. 1987. Pengelolaan Lahan Rawa di Daerah Transmigrasi. Makalah Tidak Dipublikasikan. Bogor. Williamson, G. dan Payne, W.J.A. 1959. An Introduktion to Animal Husbandry in The Tropics. Diterjamahkan oleh Darmadja, D. SGN. 1993. Pengantar Ilmu Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
68 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
ARTROPODA SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEHATAN LAHAN PERTANIAN ARTHROPODS AS HEALTH BIOINDICATOR OF AGRICULTURE LAND 1) Dewi Meidalima dan Meihana2) Abstrak: Praktek pertanian konvensional selain menghasilkan produksi yang meningkat, juga terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap lahan pertanian itu sendiri dan lingkungan lainnya. Peningkatan pemakaian pestisida dan pupuk sintetik berdampak negatif terhadap agroekosistem. Salah satu dampaknya adalah terjadinya pencemaran tanah dan air di lahan pertanian. Agroekosistem yang tercemar oleh insektisida dan pupuk sintetik menyebabkan rendahnya kelimpahan dan keanekaragaman artropoda, terutama parasitoid dan predator. Salah satu fungsi serangga adalah memberikan informasi kondisi kesehatan suatu agroekosistem. Beberapa artropoda tanah dan air dapat dijadikan sebagai bioindikator kesehatan suatu lahan. Informasi tentang biota air dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Keanekaragaman dan kelimpahan larva Odonata merupakan bioindikator kesehatan air di lahan basah. Kumbang predator air juga merupakan salah satu artropoda umum yang banyak dijumpai di perairan sehat. Carabidae dan Formicidae dapat dijadikan bioindikator manajemen lahan pertanian dan kondisi agroekosistem pada suatu daerah. Oleh karena itu managemen sistem pertanian sangat penting memperhatikan kesehatan lahan pertanian dan lingkungan sekitarnya. Kata kunci: artropoda, bioindikator, parasitoid, predator 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sriwigama, Palembang
PENDAHULUAN
P
eningkatan pemakaian pestisida dan pupuk sintetik berdampak negatif terhadap agroekosistem. Salah satu dampak dari pemakaian pestisida sintetik adalah terjadinya pencemaran tanah dan air di lahan sawah lebak. Selain itu, penggunaan pestisida dan pupuk sintetik, cenderung menurunkan keberadaan musuh alami (Wanger et al., 2010), sehingga sering terjadi peledakan populasi hama (Herlinda et al. 2008; Khodijah et al. 2012a). Peledakan populasi hama ini menunjukkan ketidak berdayaan musuh alaminya (Wissinger, 1997). Agroekosistem yang tidak sehat atau tercemar oleh pestisida sintetik menyebabkan rendahnya kelimpahan dan keanekaragaman artropoda, terutama parasitoid dan predator (Wanger et al. 2010; Herlina et al. 2011). Pada agroekosistem yang sehat tidak terjadi dominasi oleh serangga hama (Herlinda et al. 2008). Beberapa artropoda tanah dan air dapat dijadikan sebagai bioindikator kesehatan suatu lahan. Kumbang predator air merupakan salah satu artropoda umum yang banyak dijumpai di perairan sehat (Burghelea et al. 2011). Kematian larva Ceriagrion sp (Odonata:Coenagriidae) tinggi terjadi pada air dengan penambahan insektisida sintetis dibandingkan perlakuan tanpa insektisida (Chang et al. 2007).
Di ekosistem persawahan, artrhopoda predator merupakan musuh alami yang paling berperan menekan populasi hama, terutama wereng coklat dan penggerek batang (Rosdah et al. 2002; Khodijah et al. 2012b). Hal ini disebabkan karena predator memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi di ekosistem ephemeral tersebut (Herlinda et al. 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizali et al (2002), di pematang sawah di Halimun banyak ditemukan Carabidae yang merupakan bioindikator manajemen lahan pertanian (Kromp and Steinberger, 1992) dan Formicidae untuk indikator kondisi agroekosistem pada suatu daerah (Peck et al. 1998). Hal ini berarti di daerah Halimun belum banyak tercemar oleh bahan kimia, seperti pestisida.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
69
Dewi Meidalima dan Meihana/ Artropoda sebagai Bioindikator Kesehatan Lahan Pertanian
Jenis serangga akuatik paling banyak diteliti untuk mengetahui pencemaran air pada suatu daerah (Rizali et al. 2002). Tidak adanya serangga Ephemeroptera menandakan lingkungan tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak dapat hidup pada habitat yang sudah tercemar (Samways, 1994). Parameter kualitas lingkungan dapat dideteksi melalui perubahan keanekaragaman dan kelimpahan artropoda di suatu lahan (Anderson et al., 2011). Penurunan kualitas air dapat diamati dengan ada atau tidaknya populasi organism air, termasuk makroinvertebrata (Gage et al., 2004; Strayer, 2006). Informasi tentang biota air dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia (Winarno et al., 2000). Beberapa serangga air dan invertebrata dapat dijadikan bioindikator polusi pada perairan tersebut (Fatma et al., 2009). Keanekaragaman dan kelimpahan larva Odonata merupakan bioindikator kesehatan air di lahan basah (Foote and Hornung, 2005). Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Winasa dan Rauf (2005), terjadinya penurunan kelimpahan artropoda permukaan tanah dari family Lycosidae, Lyniphiidae, Carabidae dan Formicidae pada ekosistem sawah yang diaplikasi deltametrin. Penurunan serangga fitofag dan artropoda predator juga terjadi pada ekosistem sawah yang diaplikasi profenofos dan deltametrin (Purwanta et al, 1997). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rizali et al (2002), di pematang sawah di Halimun banyak ditemukan Carabidae yang merupakan bioindikator manajemen lahan pertanian (Kromp, 1990) dan Formicidae untuk indikator kondisi agroekosistem pada suatu daerah (Peck et al. 1998). Hal ini berarti di daerah Halimun belum banyak tercemar oleh bahan kimia, seperti pestisida. Pada ekosistem yang tidak diaplikasi dengan insektisida, kelimpahan artropoada predator, seperti Carabidae (Purwanta et al. 1997), dan laba-laba jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem yang disemprot (Tulung, 1999). Penggunaan pestisida merupakan penyebab utama dari rendahnya keanekaragaman dan kelimpahan komunitas makroinvertebrata (seperti : Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera) di lahan sawah (Uwimana, 2011; Bambaradeniya et al., 2004). Demikian juga penggunaan herbisida secara tidak langsung berpengaruh terhadap musuh alami. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryawan (1999), penyemprotan herbisisda untuk mengendalikan gulma di ekosistem padi telah meningkatan populasi wereng coklat dan wereng hijau, sedangkan populasi predator menurun. Keanekaragaman dan kelimpahan artropoda makro penghuni tanah juga dipengaruhi oleh sistem pengolahan tanah pada suatu ekosistem. Tanah yang diolah secara konservasi memiliki kelimpahan dan keanekaragaman spesies kumbang Carabidae lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang diolah secara konvensional (Frence et al., 1998). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Yulminarti et al., 2012). Oleh karena itu,upaya konservasi seperti managemen lahan pertanian sangat penting dilakukan untuk mempertahankan musuh alami (Perfecto et al., 2009).
TOPIK-TOPIK YANG DIBAHAS Artropoda Predator di Perairan Sehat Pencemaran air dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman atau punahnya populasi organism perairan. Punahnya organism tersebut dapat mengganggu suatu ekosistem. Penurunan kualitas air dapat diamati dengan ada atau tidaknya populasi organism air, termasuk makroinvertebrata (Gage et al, 2004; Strayer, 2006). Informasi tentang biota air dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia (Winarno et al., 2000). Sedangkan menurut Fatma et al. 2009, beberapa serangga air dan invertebrata dapat dijadikan bioindikator polusi pada perairan tersebut. Keanekaragaman dan kelimpahan larva Odonata merupakan bioindikator kesehatan air di lahan basah (Foote and Hornung, 2005). Artropoda predator memiliki arti penting pada lahan pertanian, karena erat kaitannya dengan sistem pengendalian hayati. Di ekosistem pertanian artropoda predator sangat kompleks dan berlimpah. Kelimpahan relatif predator, terutama pada lahan pertanaman padi lebih tinggi dibandingkan dengan kelimpahan serangga fitofag (Herlinda et al. 2004). 70 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Dewi Meidalima dan Meihana/ Artropoda sebagai Bioindikator Kesehatan Lahan Pertanian
Kelimpahan artropoda pada suatu ekosistem dapat merupakan bioindikator kesehatan ekosistem tersebut. Ketidaksesuaian teknologi budidaya yang diterapkan dan toksisitas limbah kimia cenderung merusak lingkungan termasuk penurunan keanekaragaman hayati (Sugiyarto, 2005; Winarno et al., 2000). Penggunaan pupuk dan pestisida sintetik, dapat berdampak buruk terhadap artrhopoda yang ada di sekitar ekosistem tersebut, sehingga sering terjadi peledakan populasi hama (Herlinda et al. 2010a). Peledakan populasi hama ini menunjukkan ketidak berdayaan musuh alaminya (Wissinger, 1997). Satu tanda tanya besar mengapa di Jalur Pantai Utara Jawa Barat (Pantura), yang input insektisidanya tinggi untuk mengendalikan hama, malah sering muncul peledakan populasi hama seperti laporan Settle et al. (1996). Peledakan populasi hama ini menunjukkan ketidakberdayaan musuh alaminya (Hidaka, 1993; Settle et al. 1996; Wiedenmann and Smith, 1997; Wissinger, 1997). Gangguan hama merupakan merupakan cerminan kerapuhan suatu ekosistem karena adanya penurunan peran musuh alami akibat penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana (Herlinda et al. 2010b). Artropoda Predator di Lahan Sehat Parameter kualitas lingkungan dapat dideteksi melalui perubahan keanekaragaman dan kelimpahan artropoda di suatu lahan (Anderson et al., 2011). Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk kualitas tanah adalah dengan menggunakan organisma (artropoda) dalam tanah sebagai bioindokator kesehatan tanah tersebut. Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi di dalam tanah, sebagai akibat dari pengelolaan tanah tersebut. Pengelolaan tanah secara intensif, penggunaan pestisida dan pupuk sintetis pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan biodiversitas organisma tanah. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Winasa dan Rauf (2005), terjadinya penurunan kelimpahan artropoda permukaan tanah dari family Lycosidae, Lyniphiidae, Carabidae dan Formicidae pada ekosistem sawah yang diaplikasi deltametrin. Penurunan serangga fitofag dan artropoda predator juga terjadi pada ekosistem sawah yang diaplikasi profenofos dan deltametrin (Purwanta et al., 1997). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rizali et al (2002), di pematang sawah di Halimun banyak ditemukan Carabidae yang merupakan bioindikator manajemen lahan pertanian (Kromp. 1990) dan Formicidae untuk indikator kondisi agroekosistem pada suatu daerah (Peck et al. 1998). Hal ini berarti di daerah Halimun belum banyak tercemar oleh bahan kimia, seperti pestisida. Pada ekosistem yang tidak diaplikasi dengan insektisida, kelimpahan artropoada predator, seperti Carabidae (Purwanta et al. 1997), dan laba-laba jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem yang disemprot (Tulung, 1999). Penggunaan pestisida merupakan penyebab utama dari rendahnya keanekaragaman dan kelimpahan komunitas makroinvertebrata (seperti : Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera) di lahan sawah (Uwimana, 2011; Bambaradeniya et al. 2004). Demikian juga penggunaan herbisida secara tidak langsung berpengaruh terhadap musuh alami. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryawan (1999), penyemprotan herbisisda untuk mengendalikan gulma di ekosistem padi telah meningkatan populasi wereng coklat dan wereng hijau, sedangkan populasi predator menurun. Keanekaragaman dan kelimpahan artropoda makro penghuni tanah juga dipengaruhi oleh sistem pengolahan tanah pada suatu ekosistem. Tanah yang diolah secara konservasi memiliki kelimpahan dan keanekaragaman spesies kumbang Carabidae lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang diolah secara konvensional (Frence et al. 1998). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Yulminarti et al. 2012).
KESIMPULAN Informasi tentang keanekaragaman, kelimpahan dan jenis artropoda predator pada suatu ekosistem, merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui apakah suatu ekosistem telah tercemar atau tidak. Melalui upaya konservasi seperti managemen lahan pertanian kesehatan lahan pertanian dan keberadaan musuh alami dapat dipertahankan. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
71
Dewi Meidalima dan Meihana/ Artropoda sebagai Bioindikator Kesehatan Lahan Pertanian
DAFTAR PUSTAKA Anderson A, McCormack S, Helden A, Sheridan H, Kinsella A, Purvis G. 2011. The potential of parasitoid Hymenoptera as bioindicators of arthropod diversity in agricultural grasslands. Journal of applaied Ecology 48:382-390. Bambaradeniya CNB, Edirisinghe JP, Silva DN, Gunatilleke CVS, Ranawana KB, Wijekoon S. 2004. Biodiversity Associated with an Irrigated Rice Agroecosystem in Sri Lanka. J. Biodivers.Conserv. 13:17151753. Burghelea CI, Zaharescu DG, Hooda PS, Palanca-Soler A. 2011. Predatory Aquatic Beetles, Suitable Trace Elements Bioindicators. J. Environ. Monit 13(5):1308-1315 . Chang X, Zhai B, Wang M, Wang B. 2007. Relationship between exposure to an insecticide and fluctuating asymmetry in a damselfly (Odonata, Coenagriidae). J. Hidrobiologia 586(1):213-220. Fatma KA, Refaat MG, Ibrahim AI. 2009. Some Aquatic Insects and Invertebates for the Evaluation of Bacteriological Pollution in El-Zomor and El-Mariotya Canals, Giza, Egypt. J. Biolog. Sci. 2(1):125-131. Foote AL, Hornung CLH. 2005. Odonates as biological indicators of grazing effects on Canadian prairie wetlands. J. Ecological Entomology 30(3):273-283. French BW, NC Elliott, Berberet RC. 1998. Reverting Conservation Reserve Program Lands to Wheat and Livestock Production: Effects on Ground Beetle (Coleoptera: Carabidae) Assemblages. Environ. Entomol. 27: 1323-1335. Gage MS, Spivak A, Paradire CJ. 2004. Effect of land use and disturbace on benthic insects in headwater streams draining small watershe north of Charlotte. NC. Southwest. J. Nature 3:345-358. Herlina N, Rizali A, Moerfiah, Sahari B, Buchori D. 2011. Pengaruh Habitat Sekitar Lahan Persawahan dan Umur Tanaman Padi terhadap Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika. J. Entomol. Indon. 8(1):17-26. Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Siswadi, Hidayat P. 2004. ArtrhopodaMusuh Alami Penghuni Ekosistem Persawahan di Daerah Cianjur, Jawa Barat. J. Entomol. Ind, 1:9-15. Herlinda S, Waluyo, SP Estuningsih, Chandra Irsan. 2008. Perbandingan Keanekaragaman Spesies dan Kelimpahan Artrhopoda Predator Penghuni Tanah di Sawah Lebak yang Diaplikasi dan Tanpa Aplikasi Insektisida. J,Entomol, Ind, 5(2):96-107. Herlinda S, Wati C, Khodijah, Nunilahwati H, Meidalima D, Mazid A. 2010. Eksplorasi dan Identifikasi Serangga Predator Lipaphis erysimi (Kalt.) (Homoptera: Aphididae) dari Ekosistem Sayuran Dataran Rendah dan Tinggi Sumatera Selatan. Seminar Nasional hasil Penelitian Bidang Petanian, Palembang 20 Oktober 2010. Hidaka K. 1993. Farming system for rice cultivation which promote the regulation of pest populations by natural enemies: Planthopper management in traditional, intensive farming and lisa rice cultivation in Japan. Ext. Bull. 37:1-15. Khodijah, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y, Thalib R, Meidalima D. 2012a. Artropoda Predator dan Penghuni Ekosistem Persawahan Lebak dan Pasang Surut Sumatera Selatan. J.Lahan Sub-Optimal. 1(1): 57-64. Khodijah, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y, Thalib R, Thamrin T, Meidalima D. 2012b. Pests Attacking Paddy Fresh Swamp and Tidal Lawland of South Sumatera. Prosiding Seminar International on Substainable Management of Lowland for Rice Production. Banjarmasin 27-28 September 2012. Kromp B. 1990. Carabids Beetle (Coleoptera, Carabidae) as Bioindicators in Biological and Conventional Farming in Austrian Potato Fields. Biol Fert Soils, 9: 182-187. Kromp B, Steinberger KH. 1992. Grassy field margins and arthropod diversity: a case study on ground beetles and spiders in Eastern Austria (Coleoptera: Carabidae; Arachnidae: Aranei, Opiliones). Agric. Ecosyst. Environ. 40:71-93. Peck SL, Mc Quaid B, Campbell CL. 1998. Using Ant Species (Hymenoptera: Formicidae) as a Biological Indicator of Agroecosystem Condition. J. Entomol Soci America 27: 1102-1110. Perfecto I, Vandemeer JH, Wright AL. 2009. Nature's matrix: linking agriculture, conservation and food sovereignty. London: Earthscan. Purwanta FX, Rauf A, Kartosuwondo U, Sastrosiswoyo W. 1997. Pengaruh Aplikasi Insektisida terhadap Komunitas Artropoda pada Agroekosistem Kedelai. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional PHT, Subang, 16-19 Juni 1997. Rizali A, Damayanti Buchori, Hermanu Triwidodo. 2002. Insect Diversity at the Forest Margin-Rice Field Interface: Indicator for a Healthy Ecosystem. J. Hayati:9(2):41-48.
72 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Dewi Meidalima dan Meihana/ Artropoda sebagai Bioindikator Kesehatan Lahan Pertanian Rosdah T, Effendy TA, Herlinda S. 2002. Struktur Komunitas dan Potensi Artrhopoda Predator Hama Padi Penghuni Ekosistem Sawah Dataran Tinggi di Daerah Lahat Sumatera Selatan. Makalah Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari Pangan Sedunia, Palembang, 7-8 Oktober 2002. Samways MJ. 1994. Insect Conservation Biology. New York : Chapman & Hall. Settle WH, H Ariawan, ET Astuti, W Cahyana, AL Hakim, D Hindaya, AS Lestari, Pajarningsih. 1996. Managing Tropical Rice Pest Through Conservation of Generalist Natural Enemies and Alternative Prey. Ecology. 77:1975-1988. Strayer, D.L. 2006. Challenges for freshwater invertebrate conservation. J. North Am. Benthol. 25(5):271-287 Sugiyarto. 2005. Atruktur dan Komposisi Makrofauna Tanah sebagai Bioindikator Kesehatan Tanah pada Kasus Perubahan Sistem Penggunaan Lahan di HTI Sengon. J. BioSmart. 7(2):100-103. Suryawan IBG. 1999. Kajian Berbagai Teknik Pengendalian Gulma pada Sawah Pola Tanam Benih Langsung. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 36h. (Tesis S2). Tulung M. 1999. Ekologi laba-laba di Pertanaman Padi dengan Perhatian Utama pada Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 120h. (Disertasi S3). Uwimana C. 2011. Impact of Rice Cropping on Abundance of Benthic Macroinvertebrates in Nyanza, Sovu and Kibabara Marshes, Huye District. National University of Rwanda Faculty of Science Biology Department. 22p. Wanger TC, Rauf A, Schwarze S. 2010. Pesticides and tropical biodiversity. Frontiers in Ecology and the Environment 8:178-179. Wiedenmann RN, Smith JW. 1997. Attributes of Natural Enemies in Ephemeral Crop Habitat. Boil. Contr. 10: 16-22. Winasa IW, Rauf A. 2005. Pengaruh Sampling Aplikasi Deltametrin terhadap Artropoda Predator Penghuni Permukaan Tanah di Pertanaman Kedelai. J. Entomol. Ind. 2: 39-47. Winarno K, Okid PA, Ahmad DS. 2000. Pemantauan Kualitas Perairan Rawa Jabung berdasarkan Keanekaragaman dan Kekayaan Komunitas Bentos. J. BioSmart. 2(1):40-46. Wissinger SA. 1997. Cyclic Colonization in Predictably Ephemeral Habitat :A Template for Biological Control in Annual Crops System. Biol. Contr. 10:4-15. Yulminarti, Siti Salamah, Tati Suryati S, Subahar. 2012. Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Semut di Tanah Gambut Alami dan Tanah Gambut Perkebunan Sawit di Sungai Pagar, Riau. J. Biospecies. 5(2): 21-27
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
73
PENGARUH WAKTU DAN BAHAN PENGOMPOSAN TERHADAP LAJU RESAPAN AIR PADA LUBANG BIOPORI 1) Dwi Probowati Sulistiyani, Dwi Setyawan dan Arvin Rahmatullah2) Abstrak: Permasalahan yang sering terjadi dalam pengelolaan sumberdaya air pada suatu wilayah diantaranya adalah banjir yang terjadi pada musim hujan dan ketersediaan air yang sangat terbatas atau kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan pada sifat permukaan lahan karena pembangunan lapisan kedap seperti tapak bangunan dan jalan serta fasilitas lainnya, sehingga proporsi air hujan yang menjadi aliran permukaan semakin meningkat. Untuk menanggulangi kondisi di atas, saat ini tersedia suatu teknologi untuk membantu mengatasi masalah tersebut, yaitu teknik lubang resapan biopori (LRB). Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Penambahan sampah organik pada lubang resapan biopori (LRB) diduga dapat meningkatkan nilai laju resap air pada tanah sebagai akibat adanya aktifitas fauna tanah seperti cacing tanah, rayap, dan semut yang menggali liang di dalam tanah serta memperbaiki agregat tanah. Kata Kunci: Lubang biopori 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN A Latar Belakang
S
umberdaya air mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup, keberlanjutan pemanfaatan serta keberadaan sumber daya air perlu diperhatikan. Meskipun jumlah air tidak berubah, tetapi ketersediaan air di dalam tanah dapat berubah jika siklus air terganggu. Sumber daya air di Indonesia mengalami kekurangan selama musim kemarau, namun terjadi banjir selama musim hujan terutama di beberapa daerah. Meskipun Indonesia memiliki curah hujan yang berlimpah, dengan rata-rata nasional lebih dari 2.500 mm/tahun, namun terjadi perbedaan yang sangat besar di daerah tertentu di Indonesia. Hal ini terjadi berkisar dari daerah-daerah yang sangat kering di Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi bagian dari Kepulauan (kurang dari 1.000 mm) dan yang sangat basah di beberapa bagian daerah Papua, Jawa, dan Sumatra (lebih dari 5.000 mm). (Bappenas, 2005) Untuk menanggulangi kondisi di atas, saat ini tersedia suatu teknologi untuk membantu mengatasi masalah tersebut, yaitu teknik lubang resapan biopori (LRB). Menurut Brata dan Nelistya (2008) biopori merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dalam tanah dan dari dalam tanah. Lubang resapan biopori diisi dengan sampah organik sebagai makanan bagi aktifitas fauna tanah sehingga dapat memicu terbentuknya biopori. Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang (Brata dan Nelistya, 2008). Lubang biopori dapat berfungsi optimal apabila diisi dengan bahan organik, sehingga di dalam lubang resapan biopori akan tetap berlangsung proses pengomposan secara aerobik oleh mikroorganisme tanah. Bahan organik yang digunakan dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain sampah dapur rumah tangga, potongan/pangkasan tanaman, sisa produksi pertanian yang tidak dimanfaatkan dan sebagainya. Sepanjang siklus hidupnya mikroorganisme sangat tergantung kepada bahan organik, di mana energi yang dihasilkan akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan reproduksi (Suryati, 2009).
74
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Dwi Probowati Sulistiyani, dkk./Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap LJU ...
Adanya aktifitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaannya. Oleh karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air (Brata dan Nelistya, 2008). Oleh karena itu dengan diterapkannya teknologi lubang resapan biopori diharapkan akan mampu meningkatkan nilai laju resapan air, sehingga salah satu masalah pengelolaan sumberdaya air pada suatu wilayah dapat teratasi (Brata dan Nelistya, 2008). B Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lama dan bahan pengomposan terhadap laju resapan air pada lubang biopori. C Hipotesis Penelitian 1. Pengomposan pada minggu keempat dapat meningkatkan laju resapan air pada biopori.
lubang resapan
2. Bahan pengomposan berupa rumput dapat meningkatkan laju resapan air pada lubang resapan biopori. D Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di halaman Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. E Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah bor belgi, single ring infiltrometer, meteran, penggaris, stopwatch, gunting, ember plastik, gayung, cangkul, pisau. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah daun jati, rumput, kiambang, dan air. F Metodologi Penelitian Penelitian Lubang Resapan Biopori (LRB) dilakukan untuk mengetahui laju infiltrasi berdasarkan waktu dan bahan pengomposan pada lubang biopori. Penempatan perlakuan dirancang menurut Rancangan Acak Kelompok. Faktor yang diuji yaitu bahan kompos dari daun jati, kiambang, dan rumput kemudian dibandingkan dengan kontrol (tanpa kompos). Setiap perlakuan diulang tiga kali. Waktu pengomposan adalah setelah 7, 14, 21, dan 28 hari. Di setiap akhir waktu pengomposan, bahan kompos dibiarkan di dalam lubang karena telah mengalami penyusutan. G Peubah Yang Diamati Peubah yang diamati adalah jumlah Lubang Resapan Biopori (LRB), laju resapan air sebelum pengomposan, dan laju infiltrasi setelah 7, 14, 21, dan 28 hari pengomposan H Cara Kerja Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi : Persiapan Kegiatan pada tahap ini meliputi studi pustaka dengan mengumpulkan dan mempelajari literatur yang berkaitan dengan penelitian ini, menentukan tempat penelitian dan tempat pembuatan lubang resapan biopori serta mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan di lapangan. Kegiatan di Lapangan Kegiatan yang dilakukan di lapangan meliputi: a. Melakukan pengamatan kondisi umum lokasi penelitian, yaitu : 1. Luas bidang kedap (m²) yang digunakan untuk penelitian. 2. Curah hujan. b. Penentuan jumlah lubang resapan biopori. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
75
Dwi Probowati Sulistiyani, dkk./Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap LJU ...
Jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Jumlah LRB
intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap (m²) Laju resapan air per lubang (liter/jam )
c. Pembuatan lubang resapan biopori dengan cara: 1. Membuat lubang silindris di tanah dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm serta jarak antar lubang 100 cm. 2. Lubang diisi dengan bahan kompos dari daun jati sebanyak 1,5 kg, rumput sebanyak 1,5 kg, dan kiambang sebanyak 1 kg. d. Pengukuran laju resapan air dalam lubang resapan biopori sebelum lubang diisi dengan sampah organic. e. Pengukuran laju resapan air dalam lubang resapan biopori setelah lubang diisi dengan sampah organik selama 7, 14, 21, dan 28 hari dengan cara seperti diatas, tetapi di akhir waktu sampah, sampah dibiarkan di dalam lubang karena telah mengalami penyusutan. f. Pemeliharaan lubang resapan biopori dengan cara : 1. Lubang biopori harus selalu terisi bahan kompos. 2. Pengambilan kompos dilakukan dengan menggunakan alat bor. 3. Setiap akhir waktu pengomposan, bahan kompos dibiarkan di dalam lubang karena telah mengalami penyusutan. I Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dan diperoleh merupakan hasil pengamatan di lapangan. Adapun data yang dikumpulkan yaitu : a. Data Primer yaitu : 1. Luas bidang kedap (m²) yang digunakan untuk penelitian. 2. Pengukuran laju infiltrasi sebelum diisi sampah organik. 3. Pengukuran laju infiltrasi setelah 7, 14, 21, dan 28 hari diisi sampah organik. b. Data Sekunder yaitu: Data curah hujan harian maksimum daerah indralaya dan sekitarnya dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). J Analisis Data Hasil pengamatan infiltrasi diolah dengan menggunakan Persamaan Philip sebagai berikut : F = a * (sqrt t) + bt f = a / (2 * sqrt t) + b
(Philip, 1954)
Keterangan: F f t a b
: infiltrasi komulatif : laju infiltrasi rerata (cm/jam) : waktu (jam) : parameter yang menunjukkan tingkat penyerapan air : parameter yang menunjukkan hantaran hidrolik
HASIL DAN PEMBAHASAN Curah Hujan dan Intensitas Hujan Hasil pengukuran curah hujan selama 10 tahun (2001 – 2011) yang diterbitkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Palembang untuk stationing wilayah Indralaya Ogan Ilir (Tabel 1) terlihat bahwa lokasi penelitian mempunyai variasi curah hujan tahunan berkisar antara 100 sampai 500 mm per tahun. Berarti, curah hujannya cukup tinggi. Oleh karena itu pembuatan Lubang Resapan Biopori di lokasi ini sangat berguna untuk mengembalikan air hujan kedalam tanah.
76 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Dwi Probowati Sulistiyani, dkk./Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap LJU ...
Untuk mengetahui banyaknya Lubang Resapan Biopori yang akan dibuat, diperlukan data curah hujan tertinggi. Sehingga dapat diketahui seberapa efisien Lubang Resapan Biopori tersebut dalam meresap air. Menurut Tabel 1, curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan November 2008, yaitu sebesar 556 mm. Data curah hujan tertinggi tersebut digunakan untuk mengetahui besar intensitas hujan yang ada, sehingga jumlah LRB dapat ditentukan. Lubang Resapan Biopori merupakan teknologi sederhana untuk meresapkan air hujan, sekaligus mempercepat pelapukan sampah organik. Agar lebih efektif dalam meresapkan air hujan dan jika dirasa jumlah sampah organik yang dihasilkan cukup banyak, perlu dibuat LRB lebih dari satu. Untungnya, teknologi ini mudah dan murah dalam proses pembuatannya. Dengan demikian jika jumlah LRB lebih dari satu, tidak akan memberatkan pembuatannya. Tabel 1. Curah Hujan Bulanan maksimum untuk wilayah Indralaya dalam 10 tahun
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rerata Maks
Jan 385 408 311 374 190 304 276 297 143 291 298 408
Feb 123 101 163 381 232 312 150 84 229 360 214 381
Mar 502 452 241 333 299 313 201 210 374 429 335 502
Apr 470 271 192 187 205 268 481 174 183 503 293 503
Mei 46 126 84 138 122 181 206 30 204 110 125 206
Bulan Jun Jul 184 27 77 186 9 52 180 129 94 119 164 88 136 87 37 61 125 76 133 72 114 90 184 186
Ags 194 0 69 8 36 0 24 113 41 204 69 204
Sep 127 12 59 17 373 0 9 92 57 218 96 373
Okt 300 64 279 102 103 22 41 182 195 165 145 300
Nop 266 210 367 281 219 75 204 556 168 510 286 556
Des 417 310 268 365 239 264 154 279 318 156 277 417
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Klas II Kenten Palembang
Perhitungan intensitas curah hujan menggunakan metode mononobe adalah sebagai berikut: 2
I=
R 24 24
24 3 𝑡
dimana : I t
: Intensitas hujan maksimum 10 tahun (mm/jam). : Lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam).
R24 : Curah hujan harian maksimum dalam 10 tahun CH maksimum = 556 mm/30 hari = 18.5 mm/hari I=
18.5 24 24 60
2 3
2
I=
18.5 24 3 24 1
I = 0.77 * 8.32
I = 6.40 mm/jam
Penentuan jumlah lubang resapan biopori Jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Jumlah LRB
intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (m²) Laju resapan air per lubang (liter/jam )
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
77
Dwi Probowati Sulistiyani, dkk./Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap LJU ...
P = 27 m
L = 10 m
Gambar 1. Denah lokasi penelitian
Ket : : LRB perlakuan kiambang : LRB perlakuan daun jati : LRB perlakuan rumput : LRB perlakuan kontrol : parit kecil : parit besar Luas bidang kedap air = p x l = 10 * 27 (m) = 270 m2 Perhitungan : Jumlah LRB = 6.40 mm/jam * 270 m2 1.5 l/jam = 11.52
= 12 lubang
Parameter resapan tanah dan laju infiltrasi Kemampuan tanah melewatkan air ditentukan oleh dua parameter yaitu a dan b dalam rumus Philips. Kemudian didapatkan nilai infiltrasi komulatif (F) dan laju infiltrasi (f). Dimana a adalah parameter tingkat penyerapan air dan b adalah hantaran hidrolik. Parameter a dan b merupakan nilai yang dibutuhkan untuk menghitung laju infiltrasi, selain itu nilai a dan b mempengaruhi cepat lambatnya laju infiltrasi. Nilai a, b, F, dan f tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Nilai a, b, F, dan f
Kompos Jati
kiambang
kontrol
Variabel N a b F f a b F f a b F
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
awal 0.10178 0.01019 41.94 39.74 0.07709 0.01037 41.94 39.63 0.07257 0.01015 40.88
Waktu pengamatan (hari) 7 14 21 0.12326 0.12928 0.12938 0.01007 0.01018 0.01054 43.66 44.4 45.71 39.96 40.52 41.83 0.09034 0.11824 0.19352 0.04017 0.01026 0.00965 43.18 44.03 46.35 40.47 40.49 40.55 0.08200 0.08803 0.07337 0.01037 0.01048 0.01083 42.25 42.99 43.38
78 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
28 0.16130 0.01039 47.06 42.22 0.20877 0.00981 47.84 41.58 0.08160 0.01114 45
Dwi Probowati Sulistiyani, dkk./Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap LJU ...
f a b F f
rumput
3 3 3 3 3
38.70 39.79 40.35 41.18 42.55 0.09445 0.10830 0.11754 0.13600 0.14664 0.01037 0.01045 0.01050 0.01060 0.01074 42.99 44.1 44.85 46.33 47.45 40.16 40.86 41.32 42.25 43.05
Tabel 3. Nilai a, b, F, dan f 12 lubang
Variabel
N
a b F f
12 12 12 12
Waktu Pengamatan ( hari) awal 7 14 21 28 0.08647 0.10097 0.11327 0.1331 0.1496 0.01027 0.01776 0.01035 0.01041 0.01052 42.152 43.298 44.069 45.44 46.84 39.558 40.268 40.671 41.453 42.351
Ket: a : parameter yang menunjukkan tingkat penyerapan air b : parameter yang menunjukkan hantaran hidrolik F : infiltrasi komulatif f : laju infiltrasi
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 2) menunjukkan nilai a dan b pada perlakuan kontrol, daun jati, dan rumput bahwa tingkat penyerapan dan hantaran hidrolik sebelum pengomposan (awal) sampai dengan sesudah pengomposan (7 hari – 28 hari) lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan kiambang. Laju Infiltrasi pada Lubang Resapan Biopori (LRB) Sebelum Pengomposan. Berikut ini merupakan grafik hasil pengukuran infiltrasi pada Lubang Resapan Biopori sebelum adanya proses pengomposan.
Gambar 2. Grafik LRB sebelum pengomposan
Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 2), menunjukkan laju infiltrasi pada LRB yang akan diberikan bahan pengomposan rumput memiliki laju infiltrasi tercepat sebesar 40,2 cm/jam dibandingkan pada LRB yang lain. Hal ini disebabkan oleh Ultisol mempunyai karakteristik laju infiltrasi yang berbeda, yang bervariasi dari yang sangat rendah sampai yang sangat tinggi. Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Tanaman diatas Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
79
Dwi Probowati Sulistiyani, dkk./Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap LJU ...
permukaan tanah mempunyai dua pengaruh, yaitu pertama, berfungsi sebagai penghambat aliran di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar (Suyono dan Takeda, 1999). Pada lokasi penelitian rumput yang ada di atas permukaan tanah menjadi penghambat aliran air, sehingga air hujan yang jatuh tidak mengalir ke daerah yang lebih rendah, tetapi meresap ke dalam tanah yang dapat menyimpan air ke dalam tanah. Sedangkan yang kedua adalah akar yang dapat lebih menggemburkan struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Makin banyak penutup tanah yang berupa vegetasi, maka laju infiltrasi cenderung lebih tinggi (Suyono dan Takeda, 1999). Pada lokasi penelitian terdapat pohon jati yang mempunyai akar yang panjang, yang berfungsi sebagai penyerap air dan membuat rongga sebagai jalan masuk air ke dalam tanah. Oleh karena itu, lokasi penelitian mempunyai laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Laju Infiltrasi pada Lubang Resapan Biopori (LRB) Setelah Pengomposan Berikut ini merupakan grafik hasil pengukuran infiltrasi pada Lubang Resapan Biopori setelah adanya proses pengomposan.
Gambar 3. Grafik LRB setelah pengomposan.
Hasil pengamatan pada LRB menunjukkan bahwa laju infiltrasi berbeda nyata terhadap perlakuan, laju infiltrasi mengalami peningkatan setelah dilakukan pengomposan di dalam LRB. Hal ini disebabkan karena jumlah air yang meresap tergantung pada proses pembentukan biopori pada tiap bahan pengomposan. Pada gambar 3 tersaji laju infiltrasi pada LRB dengan perlakuan daun jati meningkat 0,3 cm/jam pada minggu pertama, 0,8 cm/jam pada minggu kedua, 2,1 cm/jam pada minggu ketiga, dan 2,5 cm/jam pada minggu keempat. Hal ini menunjukkan pengomposan daun jati pada LRB memberikan peningkatan laju infiltrasi dari minggu pertama sampai minggu keempat. Semakin lama proses pengomposan maka semakin cepat laju infiltrasi pada LRB. Karena daun jati ditinjau dari sifat fisiknya yang telah dikomposkan di dalam LRB memiliki sifat macak-macak (remah) dan berwarna coklat. Sifat remah tersebut memberi peluang dapat meneruskan air ke dalam tanah dan kompos ini dikatakan belum cukup matang. Proses pengomposan pada daun jati berjalan lebih lama dibandingkan dengan bahan pengomposan yang lain, karena kandungan lignin pada daun jati sangat tinggi (Putra, 2010). Laju infiltrasi pada LRB dengan perlakuan kiambang menunjukkan peningkatan dibandingkan sebelum perlakuan dengan peningkatan 0,9 cm/jam pada minggu 1, 2, dan 3. Sedangkan pada minggu keempat meningkat 2,0 cm/jam. Hal ini disebabkan kiambang memerlukan waktu yang lama untuk mengalami proses pelapukan, sehingga pada minggu 1,2, dan 3 laju infiltrasi tidak mengalami peningkatan dan pada minggu keempat baru terjadi peningkatan laju infiltrasi. Hal ini disebabkan oleh pada minggu 1 sampai 3 kiambang belum terdekomposisi dengan baik, sedangkan pada minggu ke 4 kiambang sudah mengalami dekomposisi dan mikroorganisme dalam tanah mulai melakukan aktifitas didalam LRB.
80 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Dwi Probowati Sulistiyani, dkk./Pengaruh Waktu dan Bahan Pengomposan terhadap LJU ...
Hasil pengamatan pada LRB dengan perlakuan kontrol menunjukkan peningkatan laju infiltrasi dari minggu 1 sebesar 1,1 cm/jam, minggu 2 sebesar 1,7 cm/jam, minggu 3 sebesar 2,5 cm/jam, dan minggu 4 sebesar 3,9 cm/jam. Hal ini dipengaruhi oleh tidak adanya penghalang pada lubang seperti halnya lubang yang lain, sehingga air dapat meresap secara langsung melalui ruang pori tanah. Lubang resapan biopori dengan perlakuan rumput menunjukkan peningkatan laju infiltrasi pada minggu 1 sebesar 0,7 cm/jam, minggu 2 sebesar 1,1 cm/jam, minggu 3 sebesar 2,1 cm/jam, dan minggu 4 sebesar 2,9 cm/jam. Peningkatan laju infiltrasi ini disebabkan oleh penggunaan rumput sebagai perlakuan dalam LRB mempunyai sifat fisik yang mudah lapuk sehingga organisme tanah mendapatkan makanan dan dapat membuat liang berupa terowongan kecil atau pori-pori di dalam lubang yang berfungsi sebagai resapan air yang dapat mempercepat proses infiltrasi. Berdasarkan hasil pengamatan pada LRB dari minggu 1 sampai dengan minggu 4 menunjukkan laju infiltrasi dengan perlakuan rumput memberikan laju infiltrasi tertinggi sebesar 2,9 cm/jam pada minggu 4 dibandingkan dengan perlakuan daun jati sebesar 2,5 cm/jam pada minggu 4, dan pada perlakuan kiambang sebesar 2,0 cm/jam. Sedangkan pada perlakuan kontrol peningkatannya mencapai 3,9 cm/jam disebabkan oleh tidak adanya penghalang bagi air untuk masuk pada LRB, sehingga lebih cepat laju infiltrasinya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemberian bahan pengomposan (daun jati, rumput, dan kiambang) dapat meningkatkan laju infiltrasi pada lubang biopori. 2. Pemberian bahan pengomposan berupa rumput dapat meningkatkan laju infiltrasi dibandingkan kiambang dan daun jati. Berdasarkan uji beda nilai tengah (Uji Tukey). 3. Semakin lama bahan pengomposan di dalam lubang biopori, maka semakin cepat laju infiltrasinya. Saran 1. Disarankan lubang biopori digunakan pada areal yang memiliki daerah resapan terbatas. 2. Disarankan bahan pengomposan yang digunakan sebaiknya dicacah dan dikering anginkan terlebih dahulu, agar proses pelapukan lebih cepat. DAFTAR PUSTAKA Bappenas. (2005). Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025. Diperoleh dari www.bappenas.go.id. Brata, K.R. dan A. Nelistya. 2008. Lubang Resapan Biopori. Bogor. Handojo, R. (2008). Konsep dan Pengembangan Eco Efficient dalam Pembangunan Infrastruktur. Catatan perkuliahan. Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. Putra, R.S. 2010. Pengaruh Lubang Resapan Biopori Terhadap Kandungan Nitrat Air Sumur. Skripsi. Bogor. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Faperta IPB, Bogor. Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramitha. Bandung Suryati, T. 2009. Membuat Kompos dari Sampah Rumah Tangga. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
81
PEMANFAATAN BIOMASSA AKASIA (Acacia mangium) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALAT PENGERING GABAH TIPE FLAT BE MENGGUNAKAN PANAS UAP JENUH MELALUI HEAT EXCHANGER1) Endo Argo Kuncoro2), Rahmad Hari Purnomo2), Wahyu Adi Putra3) Abstract: The research objective was to analyze rice drying process by using flat bed drier with saturated vapor heat through heat exchanger having biomass fuel of acacia (Acacia mangium). The observed parameters in this reaserch were drying rate, water content, drying energy requirement, efficiency of energy usage, heating efficiency and drying efficiency as well as drying capacity. The results showed that average drying rate by using biomass fuel of acacia was 1.11%/hour. The final water content of rice using biomass fuel of acacia was 13.88% wet basis. The average energy requirement by biomass fuel of acacia for drying and air heating were 31,419.86 kJ and 30,211.60 kJ. The average efficiency by biomass fuel of acacia for drying and heating were 20.61% and 7.68%. The average efficiency of energy consumption from biomass fuel of acacia was 24.09%. The average efficiency of drier using biomass fuel of acacia was 89.89%. In conclusion, the use of biomass fuel of acacia in flat bed drier was suitable for rice drying process. Keywords: drying process, flat bed dryier, saturated vapour, heat exchanger 1)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Program Studi Teknik Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNSRI
2-3)
PENDAHULUAN Latar belakang
U
paya peningkatan produksi dan produktivitas padi di berbagai sentra produksi di Indonesia belum diikuti dengan penanganan panen dan pascapanen yang memadai sehingga berakibat pada tingginya kehilangan hasil baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Direktorat Penanganan Pasca Panen, 2005). Data Badan Pusat Statistik (1996) dalam Nugraha (2011) menunjukan bahwa kehilangan hasil proses pascapanen karena kesalahan penanganan pascapanen terutama pada proses pengeringan mencapai 2,13%. Jika hal ini tidak dikelola secara tepat maka hasil proses pascapanen akan berkurang sehingga merugikan para petani. Tujuan pengeringan gabah yaitu untuk mendapatkan gabah kering yang tahan untuk disimpan dan memenuhi persyaratan kualitas gabah yang akan dipasarkan. Gabah kering panen memiliki kadar air sekitar 18% sampai 25% (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2002). Kadar air dapat memacu terjadinya respirasi yang berakibat pada penurunan mutu (Kartasapoetra, 1994). Gabah hasil panen dapat disimpan dan digiling jika kadar air mencapai kadar air maksimum yaitu sebesar 14% (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Mayoritas masyarakat pedesaan seperti di daerah pasang surut Sumatera Selatan melakukan pengeringan gabah menggunakan energi sinar matahari. Pengeringan dengan cara penjemuran mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah mudah terkontaminasi, sukar dikontrol, memerlukan tempat yang luas dan waktu yang lama. Oleh karena itu para petani sering mengeluhkan hasil panen mereka rusak seperti tumbuhnya jamur, warna kuning pada beras, mudah berkecambah, rendahnya kualitas, bahkan busuk sehingga kehilangan hasil panen tidak dapat dihindari (Badan Litbang Pertanian, 2012). Penggunaan mesin pengering merupakan terobosan baru dalam penanganan pasca panen. Penggunaan mesin pengering akan menambah biaya produksi beras karena harus mengeluarkan biaya pembelian bahan bakar minyak. Pengganti bahan bakar minyak adalah menggunakan biomassa. Biomassa memiliki beragam jenis diantaranya adalah kayu bakar.
82
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Endo Argo Kuncoro, dkk./Pemanfatan Biomassa Akasia (Acacia mangium) sebagai Bahan Bakar ...
Kayu bakar mempunyai peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengeringan gabah. Hal tersebut disebabkan oleh: 1) konsumsi kayu bakar masyarakat Indonesia masih dominan terutama di pedesaan (Nurhayati dan Herdinie, 2007) dan 2) kayu bakar secara umum mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi yaitu sekitar 3.800 – 4.900 kkal/kg (Ruskin, 1983). Kayu bakar yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu akasia (Acacia mangium). Kayu akasia memiliki nilai kalori rata-rata yaitu 4.900 kkal/kg (Badan Litbang Departemen Kehutanan, 1994).
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) Kompresor (Multi Pro 0,75 hp), 2) Drum sebagai ketel uap, 3) Pipa tembaga (diameter 1 cm), 4) Selang kompresor, 5) Klem, 6) Ruang pengering dari papan tripleks, 7) Pelapis aluminium, 8) Kawat kasa, 9) Kayu reng, 10) Thermo-Humidity meter (KW06-284), 11) Perangkat akuisisi suhu LM35DZ, 12) Anemometer (Lutron AM-4203 ), 13) Blower, 14) Timbangan duduk kapasitas 20 kg, dan 15) Timbangan digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) Gabah varietas Ciherang, 2) Air, dan 3) Kayu akasia. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan penyajian data dalam bentuk tabulasi dan grafik. Data yang dihasilkan berupa data primer hasil pengukuran langsung pada alat pengeringan. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data melalui pengujian. Parameter yang Diamati Parameter yang diamati meliputi: 1. Kadar air bahan (%bb), 2. Laju pengeringan (% per jam), 3. Energi yang dibutuhkan untuk pengeringan gabah (kJ), 4. Energi untuk memanaskan gabah (kJ), 5. Energi untuk meningkatkan suhu gabah (kJ), 6. Energi untuk meningkatkan suhu uap air (kJ), 7. Energi untuk memanaskan udara pengering (kJ), 8. Energi untuk menguapkan air dalam ketel uap (kJ), 9. Energi yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar (kJ), 10. Total energi yang dibutuhkan alat pengering, 11. Effisiensi pengeringan (%), dan 12. Effisieni pemanasan (%).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil percobaan dengan menggunakan alat pengering gabah tipe flat bed didapat hasil dan pembahasan sebagai berikut: Laju Pengeringan
Laju Pengeringan (%/jam)
Laju pengeringan adalah penurunan kadar air per satuan waktu. Laju pengeringan gabah diperoleh dari hasil pengurangan kadar air awal sebelum dikeringkan dengan kadar air akhir gabah setelah dikeringkan selama waktu pengeringan. Gambar 1 menunjukan hasil laju pengeringan dengan bahan bakar kayu akasia. 1,6% 1,4% 1,2% 1,0% 0,8% 0,6% 0,4% 0,2% 0,0%
1,41% 0,98%
1
2 Perulangan
0,95%
3
Gambar 1. Laju pengeringan dengan bahan bakar kayu akasia
Laju pengeringan yang berbeda dikarenakan kadar air akhir gabah dalam basis basah lebih kecil dari pada percobaan kedua dan ketiga. Selisih antara kadar air basis basah awal dengan akhir menjadi Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
83
Endo Argo Kuncoro, dkk./Pemanfatan Biomassa Akasia (Acacia mangium) sebagai Bahan Bakar ...
lebih besar dan laju pengeringan menjadi lebih tinggi. Kemudian faktor lain yang mempengaruhi laju pengeringan adalah debit udara pengeringan berbeda untuk setiap sampel gabah. Sebagai contoh debit udara rata-rata pengeringan sebesar 0,0043 m3/s. Suhu dan kelembaban relatif plenum yang dihasilkan mempengaruhi laju pengeringan. Suhu dan kelembaban relatif rata-rata plenum yang dihasilkan dengan bahan bakar kayu akasia sebesar 52,70oC dan 27,90%. Suhu yang tinggi dan kelembaban relatif yang lebih rendah akan mempercepat laju pengeringan. Kadar Air Kadar air rata-rata gabah sebelum dikeringkan adalah 23% dan 21% basis basah. Mendapatkan nilai kadar air awal gabah adalah dengan cara mengeringkan bahan hingga penurunan massa konstan. Metode yang digunakan adalah termogravimetri. Bahan yang dikeringkan diperiksa dan ditimbang dengan timbangan digital tiap 1 jam, sehingga didapat nilai kadar air awal gabah. Tabel 1. Kadar air awal dan akhir gabah dalam basis basah
Kadar Air Awal Kadar Air Akhir (% basis basah) (% basis basah) Bahan Bakar Kayu Akasia 23 13,16 21 14,15 21 14,34 Kadar air akhir gabah yang rendah pada penggunaan kayu akasia adalah karena suhu plenum ratarata yang dihasilkan tinggi yaitu sebesar 52,70oC sehingga proses penguapan kadar air bahan lebih cepat dan laju pengeringan meningkat. Suhu pengeringan, kelembaban relatif udara pengering, dan kecepatan aliran udara pengeringan mempengaruhi laju pengeringan yang berdampak pada kadar air akhir bahan yang dikeringkan. Semakin besar udara pengering dan kecepatan aliran udara serta semakin rendah kelembaban relatif, maka laju pengeringan semakin tinggi dan kadar air akhir bahan lebih rendah. Gambar 2 di bawah ini menunjukan penurunan kadar air awal gabah hingga akhir selama proses pengeringan menggunakan bahan bakar kayu akasia.
Gambar 2. Penurunan kadar air gabah dengan bahan bakar kayu akasia
Penurunan yang signifikan terjadi saat jam pertama proses pengeringan. Hal ini karena pelepasan kadar air masih terjadi pada kulit gabah atau sekam. Proses ini dapat disebut sebagai laju pengeringan konstan karena terjadi dalam waktu singkat dan dapat disamakan dengan kecepatan penguapan air bebas. Kemudian penurunan kadar air pada jam berikutnya akan terjadi penurunan yang tidak signifikan. Laju pengeringan yang semakin kecil terhadap waktu pengeringan disebabkan penguapan kadar air gabah terus terjadi hingga kadar air kesetimbangan (EMC). Semakin kecil kandungan air dalam gabah, maka tekanan uap air semakin kecil sehingga laju penurunan kadar air akan menurun (Wikantyoso, 1988). 84 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Endo Argo Kuncoro, dkk./Pemanfatan Biomassa Akasia (Acacia mangium) sebagai Bahan Bakar ...
Kadar Air Kesetimbangan (%)
25% 20% 15% 10% 5%
23% 18,30% 14,34% 14,15% 13,16% 10,80% 9,40% 7,90% 6,50% 4,48%
0% Kelembaban Relatif (RH) (%)
Gambar 3. Kadar air kesetimbangan pada gabah pada suhu 28 oC berbahan bakar kayu akasia
Analisis Kebutuhan Energi Untuk menurunkan kadar air bahan melalui proses penguapan air bahan ke udara dibutuhkan energi panas. Panas yang dihasilkan oleh alat pengering sangat berpengaruh terhadap suatu produk yang dikeringkan. Bila energi panas yang dihasilkan terlalu kecil maka memerlukan waktu yang lama untuk pengeringan. Namun jika energi panas yang dihasilkan besar sehingga suhu udara panas tinggi menyebabkan produk yang dikeringkan rusak. Besaran suhu dan kecepatan aliran udara sangat mempengaruhi besarnya kebutuhan energi panas pengeringan gabah (Taib et al. (1987) dalam Ablizar (2008)). Tabel 3 di bawah ini menunjukan pengaruh suhu plenum terhadap kebutuhan energi panas pengering. Tabel 2. Pengaruh suhu plenum terhadap kebutuhan energi pengering
Suhu Plenum Kebutuhan Energi (oC) Proses Pengeringan (kJ) Bahan Bakar Kayu Akasia 51 5.334,45 55 5.198,02 52 4.382,90 Pada Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa kebutuhan energi untuk proses pengeringan adalah antara 4.382,90 kJ sampai 5.334,45 kJ dengan suhu plenum yang dihasilkan sebesar 51oC sampai 55oC. Rata-rata nilai kebutuhan energi untuk proses pengeringan dengan bahan bakar kayu akasia adalah sebesar 4.971,79 kJ. Energi panas yang dihasilkan untuk proses pengeringan sebesar 389.530,40 kJ sampai 430.533,60 kJ dengan suhu plenum yang dihasilkan 51oC sampai 55oC. Nilai rata-rata energi panas yang dihasilkan untuk pengeringan dengan bahan bakar kayu akasia adalah 410.032,00 kJ. Selain itu semakin tinggi suhu yang dihasilkan maka semakin besar energi yang dihasilkan untuk proses pengeringan. Energi panas yang dihasilkan akan banyak membawa uap air dari bahan yang dikeringkan, sehingga waktu dan energi yang dibutuhkan untuk proses pengeringan gabah akan semakin kecil. Tabel 3 menunjuKkan hubungan massa air bahan yang diuapkan ke udara (wa) terhadap kebutuhan energi penguapan (qp). Kebutuhan energi penguapan berbanding lurus dengan massa air gabah yang diuapkan. Energi penguapan tertinggi dan terendah menggunakan bahan bakar kayu akasia adalah 2.447,45 kJ dengan massa uap air yang diuapkan sebesar 1,13 kg dan 1.641,42 kJ dengan massa uap air yang diuapkan sebesar 0,73 kg. Rata-rata kebutuhan energi untuk penguapan air dalam bahan dengan bahan bakar kayu akasia adalah sebesar 1.984,56 kJ dan rata-rata massa air dalam bahan yang diuapkan sebesar 0,88 kg.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
85
Endo Argo Kuncoro, dkk./Pemanfatan Biomassa Akasia (Acacia mangium) sebagai Bahan Bakar ... Tabel 3. Hubungan antara massa air gabah yang diuapkan terhadap kebutuhan energi penguapan
Massa Air Kebutuhan Diuapkan (wa) Energi Penguapan (qp) (kg) (kJ) Bahan Bakar Kayu Akasia 1,13 2.447,45 0,73 1.641,42 0,78 1.754,80 Kebutuhan energi penguapan air dalam gabah dengan menggunakan kayu akasia cukup tinggi. Hal ini terjadi karena rata-rata jumlah air yang diuapkan dari gabah menggunakan bahan bakar kayu akasia sebesar 0,88 kg. Semakin besar air yang diuapkan dalam bahan selama proses pengeringan maka energi penguapan yang dibutuhkan akan semakin besar juga. Tabel 4. Hubungan antara massa air yang diuapkan dalam ketel uap terhadap kebutuhan energi menguapkan air dalam ketel uap
Massa Air Energi Menguapkan Air Diuapkan dalam dalam Ketel Uap (kJ) Ketel Uap (kg) Bahan Bakar Kayu Akasia 28,91 65.255,65 35,00 79.004,48 27,28 61.561,93 Proses pemanasan air dalam ketel uap bertujuan untuk menciptakan uap jenuh yang selanjutnya dialirkan ke pipa tembaga (heat exchanger). Energi uap jenuh berpindah ke permukaan pipa tembaga dan memanaskan udara di dalam ruang plenum. Penggunaan bahan bakar dapat mempengaruhi proses pemanasan air dalam ketel uap. Semakin banyak bahan bakar yang digunakan maka energi penguapan air dalam ketel uap akan besar. Pada Tabel 5 menyatakan hubungan energi menguapkan air dalam ketel uap terhadap energi yang dihasilkan bahan bakar. Penggunaan bahan bakar kayu akasia yang tidak terkontrol menyebabkan energi yang dihasilkan tidak sebanding dengan energi yang dibutuhkan untuk menguapkan air dalam ketel uap. Tabel 5. Hubungan antara energi menguapkan air dalam ketel uap terhadap energi yang dihasilkan dari bahan bakar kayu akasia
Energi Menguapkan Air dalam Ketel (kJ) 65.255,65 79.004,48 61.561,93
Energi dari Bahan Bakar Kayu Akasia (kJ) 389.530,40 430.533,60 410.032,00
Energi panas rata-rata yang dibutuhkan pada pengeringan gabah menggunakan bahan bakar kayu akasia dengan kadar air awal 23% basis basah untuk menguapkan air bahan rata-rata sebesar 0,88 kg ke udara (q1) adalah sebesar 4.971,79 kJ dengan laju kebutuhan energi panas rata-rata untuk pengeringan gabah (𝑞1 ) adalah sebesar 0,20 kJ/s. Panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu gabah rata-rata (qpb) adalah 68,06 kJ dengan laju kebutuhan energi panas rata-rata (𝑞𝑝𝑏 ) adalah sebesar 2,70×10-3 kJ/s. Panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air dalam gabah rata-rata (qp) adalah sebesar 1.984,56 kJ dengan laju kebutuhan energi panas rata-rata (𝑞𝑝 ) adalah sebesar 0,079 kJ/s. Panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu uap air rata-rata (q2) adalah sebesar 196,23 kJ dengan laju kebutuhan energi panas rata-rata (𝑞2 ) sebesar 7,79×10-3 kJ/s. Panas yang dibutuhkan 86 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Endo Argo Kuncoro, dkk./Pemanfatan Biomassa Akasia (Acacia mangium) sebagai Bahan Bakar ...
untuk memanaskan udara pengering rata-rata (qhe) adalah sebesar 24.199,22 kJ. Jadi total energi panas rata-rata (qt) yang dibutuhkan gabah selama proses pengeringan menggunakan bahan bakar kayu akasia adalah 31.419,86 kJ. Efisiensi Menurut Taib et al. (1987) dalam Rahmanto (2011), efisiensi pengeringan adalah perbandingan antara energi yang digunakan untuk proses pengeringan bahan (q1) dengan energi untuk memanaskan udara pengering (qhe). Efisiensi pemanasan merupakan perbandingan dari kebutuhan total energi panas alat pengering (qt) terhadap energi panas yang dihasilkan bahan bakar (qbb). Tabel 6. Perbandingan efisiensi pengeringan terhadap efisiensi pemanasan
Efisiensi Pengeringan Efisiensi Pemanasan (η1) (%) (η2) (%) Bahan Bakar Kayu Akasia 22,13 8,27 22,29 7,06 17,41 7,72 Efisiensi pengeringan dan pemanasan dengan bahan bakar kayu akasia cukup rendah. Hasil ratarata energi bahan bakar dengan kayu akasia adalah sebesar 410.032,00 kJ. Tabel 7 Perbandingan energi masukan (input) dengan energi keluaran (output)
Energi Masukan (Input) Energi dari Bahan Bakar (kJ) 389.530,40 430.533,60 410.032,00
Energi Keluaran (Output) Energi Total (kJ) 95.655,43 108.601,42 92.200,00
Berdasarkan Tabel 7 penggunaan energi untuk proses pengeringan gabah dan penguapan air dalam ketel uap masih rendah. Energi untuk proses tersebut hanya membutuhkan sekitar 22,49% hingga 25,22% dari energi yang dihasilkan bahan bakar kayu akasia. Selain itu menujukan bahwa energi dari proses pembakaran bahan bakar kayu akasia tidak efisien sekitar 74,78% hingga 77,51% hilang ke lingkungan. Kapasitas Pengeringan Pengertian kapasitas adalah jumlah keluaran atau output maksimum yang dihasilkan dari alat atau suatu fasilitas selama selang waktu tertentu (Sume, 2012) Tabel 8 menunjukkan perbandingan antara kapasitas pengeringan aktual dan efektif. Tabel 8. Perbandingan nilai kapasitas pengeringan aktual dan efektif alat pengeringan tipe flat bed
Kapasitas Aktual Kapasitas Efektif (kg/hari) (kg/hari) Bahan Bakar Kayu Akasia 10 kg/hari 11,25 kg/hari 10 kg/hari 11,05 kg/hari 10 kg/hari 11,08 kg/hari Tabel 8 menunjukan nilai rata-rata kapasitas efektif pengeringan dengan menggunakan bahan bakar kayu akasia adalah sebesar 11,12 kg/hari. Nilai rata-rata kapasitas efektif pengeringan dengan menggunakan bahan bakar kayu akasia cukup besar. Nilai efisiensi alat pengeringan dengan menggunakan bahan bakar kayu akasia didapat sebesar 89,89%. Efisiensi alat pengeringan didapat dari perbandingan antara kapasitas aktual dibandingkan dengan kapasitas efektif pengeringan. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
87
Endo Argo Kuncoro, dkk./Pemanfatan Biomassa Akasia (Acacia mangium) sebagai Bahan Bakar ...
Efisiensi alat pengeringan yang rendah dikarenakan perbandingan antara kapasitas efektif dengan kapasitas aktual pengeringan terlalu besar. Begitu juga sebaliknya, jika nilai perbandingan antara kapasitas efektif dengan kapasitas aktual tidak terlalu besar maka efisiensi alat pengeringan akan semakin besar.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Laju pengeringan rata-rata sebesar 1,11%/jam, kadar air akhir gabah rata-rata sebesar 13,88%, dan kebutuhan energi panas total rata-rata 31.419,86 kJ. 2. Efisiensi pengeringan dan efisiensi pemanasan dengan bahan bakar kayu akasia adalah sebesar 20,61% dan 7,68%. Efisiensi rata-rata energi keluaran (output) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar kayu akasia adalah sebesar 24,09% . 3. Kapasitas efektif dan efisiensi alat pengeringan berbahan bakar kayu akasia adalah sebesar 11,12 kg/hari dan 89,89%. 4. Penggunaan kayu akasia sebagai bahan bakar alat pengeringan tipe flat bed memenuhi kriteria untuk mengeringkan gabah. Saran Berdasarkan hasil penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat untuk proses pengeringan gabah dengan pengering tipe flat bed dibutuhkan konstruksi pengering yang lebih kuat dan efisien. Rancangan teknis heat exchanger, ketel uap, dan tungku pembakaran kayu akasia harus diperhatikan agar mengurangi pemborosan energi. Hasil akhir gabah setelah dikeringkan harus diuji ke BULOG agar diketahui kualitas gabah yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA Ablizar, R. 2008. Pengering Gabah Tipe Silinder dengan Sumber Pemanas Bahan Bakar Gas. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2002. Keputusan Bersama Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Republik Indonesia dan Kepala Badan Urusan Logistik tentang Harga Pembelian Gabah oleh Kontraktor Pengadaan Gabah/Beras Dalam Negeri dari Petani/Kelompok Tani. No: 04/SKB/BBKP/II/2002. Tanggal 26 Februari 2002. Kep-58/UP/02/2002. Badan Litbang Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Teknis Penanaman Jenis-Jenis Kayu Komersil. Badan Litbang Pertanian. 2012. Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi Sumatera Selatan. Agroinovasi Sinar Tani. Ed. 8-14 Februari 2012 No. 3443 Tahun XLII. Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI (01-0224-1987) Standar Mutu Gabah. Standar Nasional Indonesia. Brooker, D.B., F.W. Bakker-Arkema, dan C.W. Hall. 1992. Pengeringan dan Penyimpanan Biji-Bijian dan Biji Minyak Nabati. Diterjemahkan oleh Purnomo, R.H. 1997. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Çengel Y.A. 2007. Heat and Mass Transfer: A Practical Approach. 2 nd ed. New York. McGraw-Hill.
88 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
STUDI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG SEMI (Zea mays.L) PADA BEBERAPA SISTEM BERTANAM (Cropping System) DAN DOSIS PUPUK NPK MAJEMUK DI LAHAN KERING 1) STUDY ON GROWTH AND PRODUCTION OF SEMI CORN (Zea mays.L) ON SOME farming system (Cropping System) DOSAGE AND NPK COMPOUND FERTILIZER IN DRY LAND. Hermanto2), Dwi Putro Priadi3), Yakup Parto4) Abstract: This study was conducted with Divided Compartments Design ( RPB ) to the Main Plot Planting Treatment System ( Cropping System) ( S ) ie S1 = single- lined cropping system ( single row planting ) with a spacing of 45 cm x 45 cm with a population of 40 plants perpetak , S2 = fence multiple cropping systems ( double row planting ) with a spacing of 20 cm x 60 cm x 100 cm with a population of 63 plants perpetak , S3 = three fences multiple cropping systems ( Triple row planting ) with a spacing of 20 cm x 30 cm x 30 cm x 100 cm with a population of 99 plants perpetak . Plots child Dose Treatment NPK Compound Fertilizer ( D ) the dose of NPK Compound D1 = 250 kg / ha , NPK Compound D2 = dose of 300 kg / ha , NPK Compound D3 = dose of 350 kg / ha . The results are as follows: Treatment of double row planting system planting spacing of 20 cm x 60 cm x 100 cm with 63 populations per plot ( S2 ) gives the best results to variable growth and yield of corn spring , and is a treatment that can give a good effect on weed growth and changes in microclimate . NPK fertilizer dose of 300 kg / ha , equivalent to 120 g / plot ( D2 ) is able to give the best effect of the variable number of ear cropping , ear weight without cornhusk , and production perpetak . and is a treatment that can provide a good influence on the growth of weeds and changes in microclimate . Keywords: baby corn, cropping system, single row planting, double row planting, triple row planting 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Musi Rawas
PENDAHULUAN
B
aby corn atau biasa disebut jagung semi atau jagung putri sebenarnya merupakan tongkol jagung yang dipanen waktu muda (belum berbiji). Baby corn atau jagung semi merupakan salah satu jenis sayuran yang disukai oleh hampir semua golongan masyarakat. Jenis sayuran ini memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi berbagai macam masakan sehingga tidak mengherankan permintaan terus meningkat (Sarwanto dan Widiastuti, 2002). Produksi jagung semi atau baby corn di Indonesia rata-rata yaitu sebesar 4,50 ton ha-1 dan Sulawesi Selatan sebesar 2,19 ton ha-1 (Biro Pusat Statistik, 2005).
Baby corn yang biasanya ditanam setelah penanaman padi di lahan tadah hujan atau di lahan kering, sering dihadapkan pada permasalahan tentang ketersediaan air. Selain itu terbatasnya penggunaan varietas yang berdaya hasil tinggi, baik yang bersari bebas maupun hibrida, penggunaan jarak tanam yang tidak teratur, dan pemupukan yang belum didasarkan atas ketersediaan unsur hara dalam tanah dan kebutuhan tanaman, misalnya dengan pemupukan urea (N) yang berlebihan tanpa dibarengi dengan pemupukan P dan K (Anonimous, 2009). Upaya peningkatan produksi tanaman perluasan tertentu dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi tanaman dengan pengaturan jarak tanam turut mempengaruhi produktifitas tanaman dan penghematan air. Dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam pengunaan lahan dapat dilakukan dengan memodifikasi pola bertanam (cropping system). Pola bertanam pada tanaman pangan ada beberapa pola diantaranya adalah single row planting (Pola bertanam tunggal), double row planting (pola bertanam pagar berganda) dan triple row planting (pola bertanam tiga pagar berganda) dan seterusnya. Dari ketiga jenis pola bertanam tersebut di atas yang paling popular adalah single row planting, dimana menanam tanaman dengan membuat jarak antar baris dan jarak antar tanaman relatif sama pada permukaan lahan yang luas, sehingga tidak ada lorong antar barisan tanamannya. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
89
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ...
Kelemahan sistem ini adalah dalam pemeliharaan tanaman dan juga dapat menyebabkan efek negatif terhadap iklim mikro tanaman. Biasanya dengan pola bertanam tunggal persaingan antar tanaman akan rendah dalam memperebutkan cahaya matahari, namun dampak terhadap iklim mikonya adalah kelembaban rendah, suhu relatif lebih tinggi kadar air tanah menjadi lebih sedikit, dan gulma tumbuh secaca maksimal karena banyaknya ruang kosong yang tersedia, sehingga pertumbuhannya akan sangat beragam, selain itu resiko terserang hama dan penyakit juga tetap tinggi. Oleh karenanya perlu dicari alternatif lain dalam penggunaan pola bertanamnya (Musa et.al, 2007). Pengaturan populasi tanaman melalui pengaturan jarak tanam pada suatu tanaman akan mempengaruhi efisiensi tanaman dalam memanfaatkan sinar matahari dan persaingan tanaman dalam pemanfaatan hara dan air yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. dengan pengaturan jarak tanam yang baik, maka pemanfaatan ruang yang ada bagi pertumbuhan tanaman dan kapasitas penyangga terhadap peristiwa yang merugikan dapat diefesienkan. Sementara menurut Soedaryono et al., (1996), jarak tanam yang baik untuk budidaya jagung semi sistem bertanam tunggal adalah 45 cm x 45 cm. Sementara menurut hasil penelitian Dahlan dan Prayogi (2004), sistem jarak tanam pagar berganda yang baik untuk jagung adalah dengan jarak tanam 20 x 60 x 100 cm. Adiwirman dan Sugiyanta (1997) jarak tanam jagung semi dapat dilakukan lebih rapat lagi yaitu 60 cm x 20 cm dengan bertanam double row planting pola bertanam pagar berganda. Jarak yang digunakan memang relatif lebih rapat dibandingkan dengan jagung yang diproduksi dalam bentuk pipilan atau jagung muda. Ajuran penanaman jagung semi per lubang tanam sebaiknya sebanyak 2 tanaman. Menurut Mayadewi (2007) suatu pertanaman sering terjadi persaingan antara tanaman dengan tanaman atau antara tanaman dengan gulma untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya matahari, maupun ruang tumbuh. Salah satu yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah pengaturan jarak tanam. Dengan tingkat kerapatan yang optimum maka akan diperoleh Indek Luas Daun (ILD) yang optimum dengan pembentukan bahan kering yang maksimum. Selanjutnya menurut Rasiworo (1992) dalam Mayadewi (2007), bahwa jarak tanam yang rapat akan meningkatkan daya saing tanaman terhadap gulma karena tajuk tanaman menghambat pancaran sinar matahari ke permukaan tanah sehingga pertumbuhan gulma menjadi terhambat, disamping itu juga evaporasi dapat ditekan. Namun dengan jarak tanam yang terlalu sempit mungkin tanaman budidaya akan memberikan hasil yang relative kurang, karena adanya kompetisi antar tanaman itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan jarak tanam yang optimum untuk memperoleh hasil yang maksimum. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam budidaya jagung semi, diperlukan pengelolaan budidaya yang benar. Jagung semi membutuhkan pupuk dalam jumlah relatif besar yaitu 300 kg NPK majemuk/ha. Pupuk NPK komposisi 15-15-15 diberikan sebanyak 2 kali untuk menjamin ketersediaan hara bagi tanaman. Pemupukan pertama dilakukan bersamaan dengan waktu tanam sebanyak 9 g/1 meter persegi petakan (100 kg/ha), sedang pemupukan kedua dilakukan setelah tanaman berumur 30 hari yaitu sebanyak 20,1 g/ meter persegi petakan (200 kg/ha) (Anonimous, 2006). Hasil penelitian Haruna (2009) menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk NPK komposisi 15-15-15 yang dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik sebanyak 500 g/ meter persegi meberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan dan peningkatan produksi jagung semi. Untuk pemupukan NPK diberikan sebanyak 2 kali tujuannya untuk menjamin ketersediaan hara bagi tanaman. Pemupukan pertama dilakukan bersamaan dengan waktu tanam sebanyak 100 kg/ha, sedang pemupukan kedua dilakukan setelah tanaman berumur 30 hari yaitu sebanyak 200 kg/ha. Dosis pemupukan pada percobaan ini juga didasarkan aturan pemupukan yang telah diterapkan oleh PT. Hatari sejak tahun 1992 (Anonimous, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan diperolehnya informasi yang baik tentang pengaruh pola bertanam (cropping system) terhadap efek pertumbuhan gulma dan iklim mikro pada tanaman dan pemupukan NPK Majemuk dalam mempengaruhi laju pertumbuhan serta hasil jagung semi di lahan kering.
90 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ...
BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung Bisi-2, pupuk NPK (15:15:15), pupuk kotoran ayam, pestisida dengan bahan aktif konzep. Sedangkan alat-alat yang akan digunakan adalah ayakan 20 mesh, timbangan analitik, cangkul, arit, parang, palu, ember plastik, meteran, papan, paku, dan alat-alat tulis. Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT) dengan 2 perlakuan. Perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut : Petak Utama Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping System) (S) yaitu S1= sistem tanam berbaris tunggal (single row planting) dengan jarak tanam 45 cm x 45 cm dengan populasi 40 tanaman perpetak, S2= sistem tanam pagar berganda (double row planting) dengan jarak tanam 20 cm x 60 cm x 100 cm dengan populasi 63 tanaman perpetak, S3= sistem tanam tiga pagar berganda (Triple row planting) dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm x 30 cm x 100 cm dengan populasi 99 tanaman perpetak Anak Petak Perlakuan Dosis Pupuk NPK Majemuk (D) yaitu D1= dosis NPK Majemuk 250 kg/ha, D2= dosis NPK Majemuk 300 kg/ha dan D3= dosis NPK Majemuk 350 kg/ha Dari kedua perlakuan di atas didapatkan 9 kombinasi perlakuan dengan ulangan sebanyak 3 kali, sehingga didapatkan 27 unit percobaan dengan sampel masing-masing 5 tanaman. Dalam penelitian ini ada dua peubah utama yang diamati yaitu beberapa peubah pertumbuhan dan produksi tanaman dan juga pengamatan terhadap faktor iklim mikro. a. Faktor Pertumbuhan dan Produksi Tanaman yang diamati yaitu sebagai berikut :1. Jumlah Daun (helai), 2. Umur Berbunga (hari), 3. Jumlah Buah Pertanaman (buah), 4. Panjang Tongkol Tanpa Kelobot (cm), 5. Berat Tongkol Berkelobot (gr), 6. Berat Tongkol Tanpa Kelobot Pertanaman (gr), 7. Berat Buah Perpetak (gr), 8. Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT), 9. Laju Asimilasi Bersih (LAB), dan 10. Indek Luas Daun (ILD). b Faktor Gulma, Iklim Mikro dan Kesuburan Tanah yang dimati adalah : 1. Jumlah Populasi Gulma, 2. Suhu Udara dan Suhu Tanah, 3. Kelembaban Tanah dan Udara, 4. Intensitas Cahaya Matahari, 5. pH dan Kandungan Hara Tanah
HASIL a. Faktor Pertumbuhan dan Produksi Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem bertanam (S) berpengaruh sangat nyata terhadap peubah umur berbunga, berpengaruh nyata terhadap jumlah buah per tanaman, berat buah berkelobot, dan. berat buah tanpa kelobot. Sedangkan untuk peubah tinggi batang, jumlah daun, panjang tongkol dan produksi perpetak berpengaruh tidak nyata. Untuk perlakuan dosis pupuk NPK (D) menunjukkan pengaruh nyata pada jumlah daun, panjang tongkol, dan berpengaruh tidak nyata pada peubah tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah buah pertanaman, berat buah berkelobot, berat buah tanpa berkelobot dan produksi perpetak. Kombinasi perlakuan antara sistem bertanam dengan dosis pupuk NPK (SD) menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap semua peubah yang diamati. Tabel 1. Hasil Uji BNJ pengaruh perlakuan system bertanam (cropping System) terhadap beberapa peubah pertumbuhan dan produksi tanaman jagung semi (baby corn)
Perlakuan S1 S2 S3
Umur Berbunga 49,67cB 47,89 bA 45,56 aA
Jumlah Tongkol 5,56 ab 6,89 b 5,00 a
Peubah yang diamati Berat Tongkol Berat Tongkol Berkelobot tanpa Kelobot 43,13 aAbB 11,84aB 50,00 bB 12,47bB 37,78 aA 11,14aA
Laju Asimilasi Bersih (LAB) 0.00218 aA 0.00282 cB 0.00243 bA
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
91
Umur berbunga (hari)
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ... 120 100 80 60 40 20 0 S1 U20
S1 U40 Perlakuan Sistem Bertanam
S2 U20
Jumah Buah Pertanaman (buah)
Gambar 1. Umur berunga pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system) 8 6 4 2 0 S1
S2
S3
Perlakuan Sistem Bertanam
Berat Buah berkelobot per tanaman
Gambar 2. Jumlah Buah Pertanaman pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system)
60 50 40 30 20 10 0 S1
S2
S3
Perlakuan Sistem Bertanam Gambar 3.
Berat Buah Berkelobot pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system)
Berat buah tanpa kelobot /tanaman (buah)
13 12,5 12 11,5 11 10,5 10 S1
S2 Perlakuan Sistem Bertanam
S3
Gambar 4. Berat Tongkol tanpa Kelobot pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system)
92 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Laju Asimilasi aersih
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ... 0,003 0,002 0,001 0 S1
S2
S3
Perlakuan sistem bertanam Gambar 5. Laju Asimilasi Bersih pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system) Tabel 2. Hasil Uji BNJ pengaruh perlakuan dosis pupuk NPK majemuk terhadap beberapa peubah pertumbuhan dan produksi tanaman jagung semi (baby corn)
Peubah yang diamati Jumlah Daun (helai) Panjang Tongkol (cm) 49,67cB 5,56 ab 47,89 bA 6,89 b 45,56 aA 5,00 a
Perlakuan
Jumlah Daun (helai)
D1 D2 D3 13 12 11 10 D1
D2
D3
Perlakuan Dosis pupuk NPK
Panjang Tongkol (cm)
Gambar 6. Jumlah Daun Saat Panen pada Perlakuan Dosis Pupuk NPK
12 11 10 9 D1
D2
D3
Perlakuan Dosis Pupuk NPK Gambar 7. Panjang Tongkol Pertanaman pada Perlakuan Dosis Pupuk NPK
B. Faktor Lingkungan Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem bertanam berrpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap peubah faktor gulma dan lingkungan yaitu pada parameter jumlah gulma yang tumbuh dipetak penelitian pada usia tanaman 20 dan 40 hari, suhu tanah usia tanaman 20 dan 40 hari, suhu udara bagian kanopi pada saat tanaman berumur 40 hari, kelembaban tanah pada saat tanaman berumur 20 dan 40 hari, kelembaban udara pada saat tanaman berumur 20 hari, dan intensitas cahaya pada saat tanaman beumur 40 hari. Sedangkan untuk peubah lainnya berpengaruh tidak nyata. Sementara itu pada perlakuan dosis pupuk NPK hanya memberikan pengaruh nyata pada parameter Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
93
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ...
suhu udara didalam kanopi pada saat tanaman berumur 20 hari setelah tanam dan kombinasi perlakuannya semua parameter berpengaruh tidak nyata. Tabel 4. Hasil Uji BNJ pengaruh perlakuan system bertanam (cropping System) terhadap peubah gulma dan iklim mikro disekitar tanaman jagung semi (baby corn)
Jumlah Gulma usia tanaman 20 dan 40 hari
Peubah yang diamati Jenis Gulma Jenis Gulma Suhu udara di Suhu udara di Suhu tanah Suhu tanah Perlakuan Umur tan 20 Umur tan 40 kanopi umur kanopi umur tan umur tan 20 umur tan 40 hari hari tan 20 hari 40 hari hari hari S1 37.78 b 103.11c 29.56 30.00 b 27.27 29.67 b S2 27.78 a 87.56 b 29.00 29.22 a 27.37 29.22 ab S3 24.89 a 62.00 a 29.44 27.67 a 26.19 28.33 a
150 100 50 0 S1 u20 S2U20 S3 U20 S1 U40 S2 U40 S3 U40 Perlakuan Sistem Bertanam
Suhu udara usia tanaman 20 dan 40 hari
Gambar 8. Jumlah Gulma yang Tumbuh Pada Usia Tanaman 20 dan 40 hari
30 28 26 S1 u20 S2 U20 S3 U20
S1 U40 S2 U40 S3 U40
Perlakuan Sistem Bertanam
Suhu tanah usia tanaman 20 dan 40 hari
Gambar 9. Suhu udara didalam Kanopi usia tanaman 20 dan 40 hari pada perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system) 30 25 20 S1 u20 S2 U20 S3 U20
S1U40 S1U40 S1U40
Perlakuan Sistem Bertanam
Gambar 10. Suhu Tanah usia tanaman 20 dan 40 hari pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system)
94 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ... Tabel 4. Hasil Uji BNJ pengaruh perlakuan system bertanam (cropping System) terhadap beberapa peubah iklim mikro disekitar tanaman jagung semi (baby corn)
Perla kuan
RH tanah Umur tanaman 20 hari 80.56 a 85.55 ab 90.00 b
Kelembaban tanah usia tanaman 20 dan 40 hari
S1 S2 S3
Peubah yang diamati RH tanah umur RH udara di kanopi tanaman 40 hari umur tan 20 hari 80.55 90.89 b 85.55 86.22 b 90.00 80.22 a
RH udara di kanopi umur tan 40 hari 90.56 ab 86.11 ab 81.34 a
90 85 80 75 S1 u20 S2 U20
S3 U20
S1U40 S1U40 S1U40
Perlakuan Sistem Bertanam
Kelembaban Tanah Usia Tanaman 20 dan 40 hari
Gambar 11. KelembabanTanah usia tanaman 20 dan 40 hari pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system)
86
84 D1 u20
D2 U20
D3 U20
D1 U40
D2 U40
D3 U40
Perlakuan Dosis pupuk NPK Gambar 12. KelembabanTanah usia tanaman 20 dan 40 hari pada Perlakuan Dosis pupuk NPK Tabel 6. Hasil Uji BNJ pengaruh perlakuan system bertanam (cropping System) terhadap peubah intensitas cahaya matahari disekitar tanaman jagung semi (baby corn)
Perlakuan S1 S2 S3
Peubah yang diamati Intensitas matahari di kanopi Intensitas matahari di kanopi umur tanaman 20 hari umur tanaman 40 hari 32790.55 38297.33 b 36083.11 34442.22 b 36119.67 30709.55 a
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
95
Intensitas Cahaya Matahari
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ...
40000 30000 20000 10000 0 S1 U20 S2 U20 S3 U20
S1U40 S1U40 S1U40
Perlakuan Sistem Bertanam Gambar 13. Intensitas cahaya matahari usia tanaman 20 dan 40 hari pada Perlakuan Sistem Bertanam (Cropping system)
PEMBAHASAN Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem bertanam (cropping system) (S) berpengaruh sangat nyata terhadap peubah umur berbunga, dan berpengaruh nyata terhadap jumlah buah pertanaman, berat buah berkelobot, berat buah tanpa berkelobot serta Laju Asimilasi Bersih (LAB). Sedangkan untuk peubah tinggi batang, jumlah daun, panjang tongkol dan produksi per petak, Laju pertumbuhan Tanaman (LPT) dan Indeks Luas Daun (ILD) berpengaruh tidak nyata. Keragaman respon tanaman terhadap perlakuan sistem bertanam menyebabkan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap aspek pengamatan. Munculnya pengaruh nyata sampai sangat nyata pada peubah umur berbunga, jumlah buah pertanaman, berat buah berkelobot, serta berat buah tanpa berkelobot diduga bahwa dengan sistem tanam yang berbeda menyebabkan ruang tumbuh yang tersedia berbeda-beda, akibatnya tanaman mengalami persaingan sehingga jumlah daun yang terbentuk berbeda, umur berbunga berbeda,jumlah buah yang terbentuk juga berbeda. Semua peubah yang menunjukkan pengaruh diatas berhubungan dengan ketersediaan ruang tumbuh, pemanfaatan sinar matahari, air, dan faktor lingkungan lainnya. Kekurangan ruang tumbuh menyebabkan tanaman tidak berkembang dengan baik sehingga organ yang terbentuk akan semakin sedikit. Menurut Lakitan (1996), bahwa persaingan yang terjadi pada tanaman terutama pada fase pertumbuhan awal tanaman dapat berdampak sangat negatif terhadap fase pertumbuhan berikutnya. Bila terjadi persaingan hingga fase generatife aktif, maka akan menyebabkan hasil akhirnya rendah. Rendahnya hasil tersebut dikarenakan aktifitas metabolisme tanaman terganggu akibat persaingan terutama dalam memperoleh bahan baku sebagai sumber bahan metabolism seperti unsur hara, air, dan cahaya. Akibat kekurangan cahaya, dan air menyebabkan terhambat proses fotosintesisnya. Bila fotosintesis terhambat, maka karbohidrat yang terbentuk sebagai sumber bahan baku metabolisme akan berkurang. Berdasarkan hasil uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dan data tabulasi menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam pagar berganda (double row planting) dengan jarak tanam 20 cm x 60 cm x 100 cm (S2), memberikan hasil terbaik pada peubah jumlah daun, jumlah buah pertanaman, berat buah berkelobot, berat buah tanpa kelobot dan produksi per petak. Hal ini diduga, bahwa dengan perlakuan S2 maka tanaman jagung semi mendapatkan faktor pendukung pertumbuhan yang paling optimal, seperti ruang tumbuh yang baik, kebutuhan cahaya, air, dan suhu serta kelembaban yang mendukung sehingga tanaman dapat membentuk jaringan secara maksimal yaitu jumlah daun, jumlah buah, berat buah berkelobot dan tanpa kelobot serta pada akhirnya memberikan hasil tertinggi pada produksi per petak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Musa et al (2007) pengaturan populasi tanaman melalui pengaturan jarak tanam pada suatu pertanaman sangat penting artinya karena akan mempengaruhi eisiensi tanaman dalam pemanfaatan matahari dan persaingan tanaman dalam pemanfaatan hara dan air yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi.
96 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ...
Menurut Gardner, Pierce, dan Mitchell (1991), kerapatan tanaman yang renah selama pertumbuhan berlangsung hanya rendah tingkat kompetisinya sampai pembentukan bunga dan biji. Pada populasi yang tinggi dengan tingkat penyinaran penuh memungkinkan tanaman lebih efisien dalam memanfaatkan energy matahari dalam proses fotosintesis sehingg asimilat yang terbentuk lebih banyak. Namun pada tanaman yang dengan populasi ideal akan lebih baik pertumbuhan maupun produksinya. Karena tanaman dengan ruang tumbuh yang ideal maka akan memndapatkan semua kebutuhan pertumbuhannya terutama energy matahari, ruang tumbuh, dan air akan lebih baik, sehingga tanaman akan memperoleh jumlah organ tanaman yang lebih besar, dan ini akan berdampak pada perombakan asimilat untuk menghasilkan energy yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan hasil tanaman. Salisbury and Ross (1996) menyatakan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Bila tanaman tertekan akibat lingkungan tumbuhnya yang ekstrim atau abnormal akan menyebabkan tanaman tumbuh abnormal dan lebih pendek fase vegetatifnya. Perubahan fase pertumbuhan tersebut menyebabkan tanaman lebih cepat menghasilkan, namun hasilnya relatif lebih rendah kualitasnya akibat keterbatasan unsur pendukung seperti unsur hara, air, ruang tumbuh, dan sinar matahari serta faktor iklim mikro lainnya. Hasil untuk panjang tongkol terbaik terdapat pada perlakuan S1, hal ini diduga bahwa dengan tanaman yang sangat rapat maka menyebabkan tanaman tumbuh tidak normal, sehingga pembentukan jaringan generatif yaitu panjang tongkolnya lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh normal. Pada perlakuan S1 rata-rata tongkol berbentuk panjang tetapi dari ukuran diameternya lebih kecil. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk NPK memberikan pengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap peubah jumlah daun, dan panjang tongkol, serta berpengaruh tidak nyata terhadap peubah yang lainnya. Pengaruh nyata sampai sangat nyata yang terjadi pada peubah-peubah di atas diduga disebabkan oleh variasi pemberian pupuk NPK yang berbeda-beda jumlahnya , sehingga menyebabkan ketersediaan pupuk bagi tanaman berbeda, yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Unsur NPK dibutuhkan tanaman dalam proses pembentukan jaringan tanaman seperti jumlah daun dan panjang tongkol. Menurut Sutejo (1995) bahwa, tanaman membutuhkan unsur hara untuk pertumbuhan, perkembangan dan produksinya dalam jumlah yang optimal. Bila ketersediaannya bagi tanamanan kurang tepat dosis dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan. Berdasarkan hasil tabulasi data, menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk 300 kg/ ha (D2) memberikan hasil terbaik pada peubah jumlah buah per tanaman, Berat buah tanpa tongkol dan produksi perpetak. Hal ini membuktikan bahwa untuk mendapatkan produksi yang maksimal maka tanaman harus mendapatkan unsur hara dalam kondisi yang optimal . Hal ini senada dengan pendapat Sutejo (1995) yang menyatakan bahwa kebutuhan tanaman terhadap unsur NPK cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh ketersediaan di dalam tanah biasanya relatif rendah. Bila tanaman kekurangan unsur nitrogen gejala yang tampak adalah daun tanaman akan berwarna hijau kekuningan, dan bila kekurangan unsur P maka tanaman akan terhambat pertumbuhan akar, daun dan batangnya. Sedangkan bila kekurangan unsur K gejala yang tampak pada tanaman yaitu daunnya menguning, mengkerut, dan tulang daunnya tampak lebih menonjol serta batang tanaman akan lemah dan kerdil. Hal ini senada dengan pendapat Hakim et al., (1986), bahwa efektifitas dan efisiensi pemupukan salah satunya ditentukan oleh dosis, takaran, atau konsentrasinya harus tepat. Sedangkan pada peubah jumlah daun, umur berbunga dan berat buah berkelobot perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan dosis pupuk 200 kg/ ha. Hal ini diduga bahwa jumlah daun, umur berbunga dan berat buah berkelobot membutuhkan NPK dalam jumlah terbatas. Dengan dosis yang lebih rendah dari perlakuan lainnya, maka ketersediaan unsur NPK bagi tanaman akan semakin terbatas, sehingga tanaman jagung semi memaksimalkan penyusunan jaringan hidupnya lebih cepat dan lebih banyak, namun akibatnya produksi bagian generatif aktualnya yaitu jumlah buah, berat buah tanpa kelobot sampai produksi per petak lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Novizan (2002) bahwa, kebutuhan pupuk terutama unsur hara pokok yaitu NPK bagi tanaman yang berumur genjah Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
97
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ...
atau pendek seperti akan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhannya. Bila unsur NPK tersedia dalam jumlah terbatas maka tanaman akan memamfaatkan dalam membentuk jaringan vegetatif lebih cepat. Selanjutnya menurut Sutejo ( 1986), unsur NPK bagi tanaman berfungsi sebagai unsur penyusun setiap sel hidup, bahan penyusun enzim dan klorofil daun dan sebagai pembentuk sel-sel baru. Dengan ketersediaan NPK pada pertumbuhan vegetatif maka tanaman akan membentuk jaringan-jaringan lebih cepat. Peubah-peubah pada pengamatan jagung semi rata-rata masih berada pada fase vegetatif fasif dan generative aktif sehingga hasil perlakuan NPK masih sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dan produksinya. Faktor Gulma dan Iklim Mikro Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem bertanam bepengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap peubah faktor gulma dan iklim mikro yaitu pada parameter jumlah gulma yang tumbuh dipetak penelitian pada usia tanaman 20 dan 40 hari, suhu tanah usia tanaman 20 dan 40 hari, suhu udara bagian kanopi pada saat tanaman berumur 40 hari, kelembaban tanah pada saat tanaman berumur 20 dan 40 hari, kelembaban udara pada saat tanaman berumur 20 hari, dan intensitas cahaya pada saat tanaman beumur 40 hari. Hal ini diduga, bahwa perbedaan jarak tanam yang digunakan, akan berpengaruh terhadap perubahan kondisi lingkungan tumbuh tanaman terutama kaitanya dengan perubahan iklim mikro. Menurut Waxn and Stoller (1977) dalam Mayadewi (2007), pada dasarnya pemakaian jarak tanam yang rapat bertujuan untuk meningkatkan hasil, asalkan faktor pembatas dapat dihindari sehinggga tidak terjadi persaingan antar tanaman. Bila faktor pembatas tidak dapat dihindari, maka kerapatan jarak tanam akan mempengaruhi perubahan lingkungan tumbuh tanaman bahkan pada musim-musim panas akan sangat ekstrim seperti perubahan suhu baik tanah maupun udara, kelembaban, dan kebutuhan air. Berdasarkan hasil uji BNJ dan data pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan S2 (jarak tanam 20 cm x 60 cm x 100 cm) relative lebih stabil hasilnya. Dari jumah gulma yang tumbuh, suhu udara dan tanah, kelembabab udara dan tanah, dan intensitas cahaya matahari, semuanya berada dalam batasan sedang atau optimal. Hal ini diduga, bahwa dengan perlakuan S2 maka tanaman jagung semi tumbuh optimal, sehingga perubahan iklim mikronyapun akan lebih stabil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh pada jarak tanam terlalu rapat atau terlalu jarang. Valentinuz danTollenaar (2006), bahwa kerapatan tanaman akan berpengaruh langsung terhadap perubahan iklim mikro dilokasi budidaya. Bila tanaman terlalu rapat maka perubahan iklim mikronya akan lebih lambat dibandingkan dengan tanaman yang kerapatannya rendah, terutama perubahan suhu tanah maupun udara, kelembaban tanah dan udara, serta intensitas matahari. Bila hal ini berlangsung lebih lama maka akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas hasil. Produktifitas tanaman menjadi terganggu dan kemampuan tumbuhnya menjadi lebih rendah.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlakuan sistem bertanam double row planting jarak tanam 20 cm x 60 cm x 100 cm dengan 63 populasi per petak (S2) memberikan hasil terbaik terhadap peubah pertumbuhan dan produksi tanaman jagung semi, dan merupakan perlakuan yang mampu memberikan pengaruh penekanan terbaik terhadap pertumbuhan gulma dan perubahan iklim mikro. 2. Dosis pupuk NPK 300 kg / ha atau setara 120 g/ petak (D2) mampu memberikan berpengaruh terbaik terhadap peubah jumlah tongkol pertanaman, berat tongkol tanpa kelobot, dan produksi perpetak. dan merupakan perlakuan yang mampu memberikan pengaruh baik terhadap pertumbuhan gulma dan perubahan iklim mikro. 3. Interaksi perlakuan sistem bertanam (cropping system) dengan dosis pupuk NPK 250 kg / ha (S2D1) secara umum memberikan hasil terbaik terhadap parameter produksi jagung semi dan perubahan iklim mikro, karena lebih efisien.
98 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Hermanto, dkk./Studi Pertumbuhan dan Produksi Jagung Semi (Zea mays.L) ...
DAFTAR PUSTAKA Adiwirman dan Sugiyanta, 2007. Study potensi hasil bebera hibrida baru jagung untuk menghasilkan jagung semi (baby corn). Abstrak Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonimous, 2009. Budidaya Tanaman Pangan. Baby Corn. Posting Agrobisnis Indonesia. 15 Sepetember 2009. --------------. 2007. Laporan Sensus Pertanian Nasional. Badan Pusat Statistik Pusat. Jakarta ---------------.2006. Petunjuk Pelaksanaan Pemupukan pada Tanaman Jagung Semi di lahan kering PT. Nusantara Agroswadaya Industri (NAI) Bogor Jawa Barat. Gardner.,F.P.,R.B. Pierce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya, Terjemahan Herawati Susilo. Universitas Indonesia. Jakarta Haruna . N. 2009. Pengaruh penggunaan berbagai limbah pertanian (jerami padi, sekam, lamtoro, dan kulit buah kakao) sebagai sumber bahan organik tanah terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman baby corn Lakitan. B. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo. Jakarta. Mayadewi. N.Y.A (2007). Pengaruh Jenis pupuk Kandang dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan Gulma dan Hasil Jagung Manis. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali. Journal AGRITOP. Vol 26 (4) : 153 – 159 (2007). ISSN : 02158620 Musa Y., Nasaruddin, M.A. Kuruseng, 2007. Evaluasi produktivitas jagung melalui pengelolaan populasi tanaman, pengolahan tanah, dan dosis pemupukan. Journal Agrisistem, Juni 2007 vol. 3 (1): 21 – 33. Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Effektif. Agromedia Pustaka. Jakarta. Salisbury, Frank B and C. W Ross. 1999. Fisiologi Tumbuhan. ITB Bandung. Bandung Sarwanto, A.T., dan Y.E., Widiastuti, 2002. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta Sutejo, M.M. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. Valentinuz O.R. dan M. Tollenaar (2006), Pengaruh Genotif, Nitrogen, Kepadatan Tanaman dan Jarak Antar Baris Terhadap Luas Permukaan (Profil) Daun pada Tanaman Jagung .Terjemahan. Effect of Genotype, Nitrogen, Plant Densitry, and Row Spacing on the Area-per-Leaf Profile in Maize. Published online Januari 3. 2006. Published in Agron. J. 98 : 94-99 (2006). American Society of Agronomy.S.Segoe Rd. Madison. WI 53711. USA.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
99
DINAMIKA DAN KONSERVASI KARBON DI LAHAN SUB OPTIMAL SUMATERA SELATAN 1) Muh Bambang Prayitno dan Bakri 2) Abstrak: Sumatera Selatan mempunyai sumberdaya lahan, khususnya lahan sub optimal sebagai lahan rawa dan gambut dengan luasan yang sangat besar dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber papan dan pangan dalam menunjang kesejahteraan masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk dan upaya dalam memenuhi keperluaannya dan sedikitnya ketesediaan lahan subur, maka alih fungsi lahan rawa gambut tidak dapat dihindari. Alih fungsi lahan di Sumatera Selatan antara lain pembukaan lahan untuk transmigrasi, tanaman perkebunan dan HTI di Pantai Timur. Dampak yang terjadi akibat dari alih fungsi lahan adalah perubahan ekosistem yang cenderung menurun yang rentan terhadap kerusakan lahan (kekeringan dan kebakaran lahan), serta dampak yang cukup serius adalah kehilangan karbon dalam jumlah sangat besar yang tidak dapat dipulihkan lagi. Data pada makalah ini adalah bagian dari Penelitian Fundamental DIKTI tahun 2013 dengan judul “Dinamika Karbon dan Pengembangan Model Allometri Pada Lahan Sub Optimal di Sumatera Selatan”. Lokasi penelitian adalah Lahan Pasang Surut Telang II sebagai lahan pertanian dan Air Sugihan Kiri sebagai lahan perkebunan yang dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2013. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada musim kemarau 2013 sebagai kemarau basah para petani Telang II memanfaatkan lahan untuk tanaman jagung, sedangkan di Air Sugihan Kiri petani cenderung memanfaatkan lahan untuk tanaman perkebunan khususnya kelapa sawit dan karet. Dinamika tataguna lahan pada laha pasang surut telah berkembang sebagai akibat dari kondisi lahan dan ketersediaan air di lahan. Lahan pertanian Telang II dengan tanaman jagung mampu menghasilkan C massa jagung sekitar 14.247,187 kg C /ha atau 28.494,373 kg CO2 e/ha, sedangkan bila ditanam padi menghasilkan C massa sekitar 5.611,746 kg C /ha atau 11.223,493 kg CO2 e/ha. Kegiatan perkebunan di Air Sugihan Kiri dengan tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan sekitar 16,11 ton C per ha atau setara 59,034 ton CO2 e per ha dengan pada umur tanaman 4 tahun. Dampak nyata alih fungsi lahan adalah hilangnya cadangan karbon di lahan Telang II dan Air Sugihan Kiri selama 40 tahun dan tidak catatan resmi kedalaman gambut pada lahan transmigrasi di Sumatera Selatan. Prakiraan kedalaman gambut adalah dengan membandingkan kedalaman gambut lokasi sekitarnya yakni 50 cm (Air Sugihan Kanan) hingga 300 cm (Bentang lahan gambut Riding Selapan, OKI). Kehilangan cadangan karbon tanah dan terbatasnya kemampuan penambatan karbon oleh tanaman menjadi perhatian penting dalam konservasi karbon di lahan suboptimal Sumatera Selatan saat ini dan di masa mendatang. Kata Kunci: Alih fungsi lahan, dinamika karbon, lahan suboptimal 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
S
umatera Selatan mempunyai sumberdaya lahan, khususnya lahan sub optimal sebagai lahan rawa dan gambut dengan luasan yang sangat besar dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber papan dan pangan dalam menunjang kesejahteraan masyarakat. Namun disisi lain seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan keperluaanny, maka perubahan peruntukan lahan dan kerusakan lahan tidak dapat dihindari dan terus terjadi hingga sekarang. Hutan rawa gambut di pantai Timur Sumatera Selatan telah dikembangkan sejak tahun 1969 oleh Pemerintah Pusat untuk transmigrasi berbasis tanaman pangan dengan total luas areal yang telah direklamasi sampai tahun 2004 ini adalah 373.000 ha (PIRA Sumsel, 2004). Hutan di sekitar pantai timur juga telah dieksploitasi baik secara legal dan illegal untuk diambil kayunya secara besar-besaran dari tahun 1970 hingga 1990 an, dan pengambilan kayu terus terjadi hingga sekarang. Pembukaan lahan sub optimal rawa gambut untuk dimanfaatkan sebagai pemukiman transmigrasi, lahan pertanian dan perkebunan dan kehutanan membawa dampak terhadap kehilangan sumber 100
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Muh. Bambang P. dan Bakri/ Dinamika dan Konservasi Karbon di Lahan Sub Optimal Sumatera Selatan
hayati, terjadi perubahan hidrologi dan iklim mikro. Dampak utama pada lahan adalah terjadinya degradasi lahan dan sekaligus kehilangan karbon tanah dalam jumlah sangat besar dan dimungkinkan sebagai salah satu sumber emisi karbon di Sumatera Selatan Siklus karbon pada hutan rawa gambut alami adalah selalu terjadi keseimbangan karbon dalam ekosistem, atau bahkan akan terjadi penambatan dan penimbunan karbon lebih besar dari pada kehilangan karbon dalam ekosistem tersebut. Terbentuknya gambut pada suatu bentang lahan adalah salah satu contoh proses penambatan dan penimbunan karbon lebih besar daripada kehilangan karbon pada lahan Kondisi terbalik, dimana emisi karbon lebih besar daripada penambatan dan penimbunan karbon akan terjadi pada lahan pertanian dan perkebunan yang menggunakan lahan rawa gambut. Dampak alih fungsi hutan rawa gambut untuk pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah terjadinya proses degradasi lahan yang diikuti munculnya permasalahan kekeringan yang rentan kebakaran lahan, kerusakan ekosistem lahan rawa dan turunnya produkrivitas karbon tanaman secara drastis di lahan. Hasil beberapa penelitian Prayitno (2007a,b dan 2008) memperlihatkan bahwa pada beberapa daerah tranmsigrasi di lahan sub optimal di Sumatera Selatan telah kehilangan tanah gambutnya dan horison tanah didominasi oleh Ah, Bt dan Btg atau Bt dan Btg. Hilangnya lapisan gambut akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara alami, dan kegiatan pertanian dan perkebunan di lahan sub optimal akan sangat tergantung pada pupuk buatan. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penambatan karbon tanaman pertanian/perkebunan, potensi dan ketersediaan cadangan karbon pada lahan pertanian/perkebunan, dan mengetahui dinamika karbon sebagai dampak pengelolaan lahan di lahan suboptimal selama lebih dari 40 tahun.
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan subbagian dari Penelitian Fundamental Dikti tahun 2013. Lokasi penelitian adalah Rawa Pasang Surut Telang II dan Air Sugihan Kiri, Kab. Banyuasin sebagai pewakil dari pengembangan lahan rawa gambut sebagai daerah transmigrasi di Sumatera Selatan (Gambar 1). Waktu penelitian adalah bulan Juli hingga Oktober 2013. B. Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan dan alat yang digunakan adalah berkaitan dengan pengukura biomasa dan cadangan karbon baik di lapangan dan analisis di laboratorium. C. Metodologi Upaya untuk mendapatkan data terbaik dan mampu menghasilkan volume gambut pada lokasi penelitian diperlukan sebaran titik pengamatan yang dapat mewakili lokasi penelitian. Metoda interpolasi banyak digunakan untuk menduga volume dalam sebuah kubah gambut (Siegert dan Annete, 2005; Ballhorn dan Siegert, 2007), yakni dengan sebaran titik pengamatan secara merata dan mewakili areal lahan gambut. 1. Biomasa Tanaman Atas Pemukaan (Above Ground Biomass) Pendekatan yang dilakukan dalam menentukan biomasa tanaman adalah perpaduan antara interpretasi tataguna lahan pada citra landsat dengan dilanjutkan pengecekan vegetasi pada tiap tataguna lahan di lapangan. Penentuan jumlah biomasa untuk setiap jenis vegetasi menggunakan data penelitian yang dipublikasi ditingkat Sumatera Selatan dan Indonesia. 2. Cadangan Karbon Cadangan karbon pada lahan gambut dapat dihitung dengan persamaan yang dikemukakan oleh Agus (et al., 2007). Parameter yang diamati adalah luas lahan gambut (A, ha), kedalaman gambut (D, Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
101
Muh. Bambang P. dan Bakri/ Dinamika dan Konservasi Karbon di Lahan Sub Optimal Sumatera Selatan
meter), kerapatan isi (BD, g/cm3) dan kandungan karbon (C-organik, %) pada setiap jenis tanah gambut Persamaan yang digunakan tersebut adalah: Cadangan Karbon (ton/ha) = (B x A x D x C)/102 .............. (Agus., et al., 2007). 3. Data Sekunder Karbon Data sekunder dalam tulisan ini adalah hasil penelitian yang telah dilakukan di lahan rawa gambut dan pasang surut di Sumatera Selatan selama beberapa tahun terakhir.
HASIL DAN PEMBASAN A. Tataguna Lahan Rawa Pasang Surut Alih fungsi lahan dari hutan primer rawa gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan memberikan pengaruh besar terhadap siklus karbon pada lahan. Hutan primer rawa gambut dengan siklus karbon yang relatif baik, yakni proses penambatan karbon pada tanaman dan penambahan cadangan karbon pada tanah akan terus bertambah setiap saat, disisi lain proses kehilangan karbon sebagai emisi karbon adalah jauh relatif sedikit. Bentang lahan gambut yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian/perkebunan/HTI memperlihatkan bahwa kemampuan penambatan karbon adalah sangat tergantung pada vegetasi utama dan gulma dan umur tanaman. Potensi jumlah cadangan karbon tanah adalah tergantung pada jumlah penambatan karbon, namun disisi lain potensi emisi karbon adalah cukup besar, yakni sebagai akibat dari proses pembakaran lahan dalam membantu pembersihan lahan dalam persiapan lahan. Lahan pertanian dan perkebunan di pasang surut Telang II dan Air Sugihan Kiri memperlihatkan bahwa tanaman utama yang dilakukan adalah tanaman semusim (padi, jagung, sayuran) dan tanaman tahunan (kelapa). Bentang lahan Air Sugihan Kiri sejalan dengan kegiatan pengelolaan air di saluran maka terjadi perubahan muka air tanah yakni semakin dalam. Dampak perubahan muka air tanah adalah terjadi perubahan jenis tanaman yang dipilih petani, yakni tanaman perkebunan (kelapa sawit dan karet) lebih banyak diusahakan dari pada tanaman semusim. B. Cadangan Karbon Tanah di Lahan Pertanian Rawa Pasang Surut Kondisi lahan pertanian pada daerah Pasang surut Telang II dan Air Sugihan Kiri mempunyai kesamaan ditinjau dari cadangan karbon tanah dan penambatan karbon tanaman bila dibandingkan dengan karbon pada kondisi aslinya (hutan rawa gambut pasang surut). Pengamatan cadangan karbon pada tanah pada lahan pertanian Telang II dan Air Sugihan Kiri adalah telah hilamngnya lapisan gambut dan tersisa horison Ah tipis (Ah/Bt/Btg) dan bahkan sebagian besar telah muncul horison Bt (Bt/Btg). Kondisi tersebut memperlihatkan pengaruh kegiatan pertanian mmberikan pengaruh yang nyata terhadap hilangnya cadangan karbon (gambut) yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kedalaman Gambut pada Lahan Transmigrasi Di Sumatera Selatan
Lokasi Transmigrasi Air Sugihan Kiri P 18-20 Delta Telang II Air Sugihan Kiri P20-16 Air Sugihan Kanan 32-29 Delta Telang I, Banyuasin Delta Saleh, Banyuasin Delta Upang, Banyuasin Pulau Rimau, Banyuasin
Kedalaman Gambut (cm) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ah 30-50 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Kondisi Lahan/ Horison Tanah
Sumber
Terdegradasi/ Bt/Btg Terdegradasi/ AB/Bt/Btg Terdegradasi/ Bt/Btg Terdegradasi/ Ah/Bt/Btg Terdegradasi/ B/Btg Terdegradasi/ Bt/Btg Terdegradasi/ Bt/Btg Terdegradasi/ Bt/Btg
Prayitno, 2013 Prayitno, 2013 Prayitno, 2007 Prayitno, 2007 Prayitno, 2007 Prayitno, 2007 Prayitno, 2007 Prayitno, 2007
Sumber: Data diolah dari Beberapa Penelitian Prayitno (2007-2013).
102 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Muh. Bambang P. dan Bakri/ Dinamika dan Konservasi Karbon di Lahan Sub Optimal Sumatera Selatan
Kedalaman gambut pada setiap lokasi secara pasti tidak dapat diketahui karena tidak ada data yang tercatat, sehingga kehilangan karbon yang terjadi selama kegiatan pertanian dan perkebunan juga tidak dapat diketahui. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan membanding kedalaman gambut lahan transmgrasi dengan bentang gambut terdekat di wilayah Kabupaten OKI, seperti disajikan pada Tabel 2. Hasil perhitungan cadangan karbon pada lahan gambut Bentang Lahan Gambut Kayuagung adalah sekitar 1.687,2 ton/ha (Prayitno, 2012). Nilai kandungan karbon tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Page et al, (2002), yakni gambut dengan kedalaman 1 meter mempunyai kandungan karbon sekitar 600 t/ha dan Agus et al., (2009) bahwa gambut mampu menyimpan karbon antara 30 hingga 70 kg C m-3 atau setara dengan 300 hingga 700 ton C ha-1 per satu metar kedalaman. Tabel 2. Kedalaman Gambut pada Lahan Sekitar Transmigrasi Sumatera Selatan
Bentang Lahan HPT Kayuagung, OKI HPT Kayuagung, OKI Riding, OKI Penyambungan, OKI Sungai Bungin, OKI Pampangan, OKI
Kedalaman Gambut (m) 4-8,5 4-6,5 3 3-5 3-5 3-4
Kondisi Bentang lahan Terdegradasi Terdegradasi Terdegradasi Terdegradasi Terdegradasi Terdegradasi
Sumber: Data diolah dari Penelitian Prayitno (2005-2013).
Sumber Prayitno, 2013 Prayitno, 2005 Prayitno, 2011 Prayitno, 2005 Prayitno, 2011 Prayitno, 2009
Kehilangan gambut pada lahan sub optimal tidal dapat dihitung secara pasti, karena ketebalan gambut awal tidak diketahui. Prakiraan kehilangan gambut lahan sub optimal di Sumatera Selatan pada kedalaman 1 meter adalah mencapai 430.686.482,4 ton C dan 861.372.964,8 ton C02 e (Tabel 3). Jumlah kehilangan baik karbon massa dan CO2e adalah sangat besar dan sangat sulit untuk dikembalikan seperti semula. Disisi lain karbon adalah unsur hara makro yang sangat penting bagi kehidupan termasuk tanaman pertanian. Kondisi karbon diatas perlu menjadi perhatian bagi peneliti, petani dan pemerintah, yakni kegiatan pertanian dan perkebunan di lahan sub optimal mampu meningkatkan penambatan karbon oleh tanaman dan ketersediaan cadangan karbon di lahan untuk tetap menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan. Tabel 3. Prakiraan Kehilangan Karbon pada Lahan Transmigrasi Di Sumatera Selatan selama 40 tahun
Lokasi Transmigrasi Delta Upang Cinta Manis Delta Telang I Delta Telang II Delta Saleh Air Sugihan Kiri Air Sugihan Kanan Pulau Rimau Karang Agung Hulu Karang Agung Tengah Karang Agung Hilir Total
Luasn Lahan (ha)* 8.423 6.084 26.680 13.800 19.090 50.470 31.140 40.263 9.000 30.000 20.317 255.267
Kedalaman Gambut (m) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Prakiraan Kehilangan C (ton C) 14.211.285,6 10.264.924,8 45.014.496,0 23.283.360,0 32.208.648,0 85.152.984,0 52.539.408,0 67.931.733,6 15.184.800,0 50.616.000,0 34.278.842,4 430.686.482,4
Prakiraan kehilangan CO2 (ton CO2 e) 28.422.571,2 20.529.849,6 90.028.992,0 46.566.720,0 64417296,0 170.305.968,0 105.078.816,0 135.863.467,2 30.369.600,0 101.232.000,0 68.557.684,8 861.372.964,8
Sumber : *) PIRA Sumsel, 2004. Keterangan: Bentang Lahan Gambut Kayuagung: Ketebalan gambut = 1-4 meter, BD gambut = 0,3-0,4 (Prayitno, 2012). C gambut = 0,46 %. Cadangan Karbon = 1.687,2 ton/ha (Prayitno, 2013).
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
103
Muh. Bambang P. dan Bakri/ Dinamika dan Konservasi Karbon di Lahan Sub Optimal Sumatera Selatan
C. Penambatan Karbon di Lahan Pertanian Rawa Pasang Surut Lahan sub optimal di Sumatera Selatan adalah salah satu lahan pertanian sebagai penghasilkan utama padi dan palawija. Namun dengan perubahan kondisi lahan, maka sebagian lahan telah ditanam kelapa sawit dan karet sebagai tanaman tahunan, dengan umur tanaman sekitar 5 tahun dan belum menghasilkan. Kemampuan penambatan karbon oleh tanaman adalah ditentukan oleh jenis tanaman dan umur tanaman. Hasil penelitian penambatan karbon pada padi, jagung dan kelapa sawit disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kemampuan Penambatan Karbon Tanaman di Lahan Transmigrasi Sumatera Selatan
Lokasi Telang II Air Sugihan Kiri Air Sugihan Kiri
Tanaman Jagung Padi Kelapa Sawit (umur 4-5 tahun)
C mass Tanaman (ton C/ha) 14,247187 5,611746 16,11
Fiksaasi CO2 (ton C/ha) 28,494373 11,223493 59,034
Tabel 4 memperlihatkan bahwa potensi penamabtan karbon pada kegiatan pertanian dan perkebunan adalah tidak sebesar penambatan karbon pada hutan. Page et al, (2002) menyatakan biomassa hutan gambut hanya mengandung sekitar 200 t C/ha. Hutan tropis di Asia tenggara berperan penting dalam penyimpanan karbon, yakni dengan kandungan karbon lebih dari 500 Mg/ha (Lasco, 2002) dan hutan primer mampu menghasilkan 1.300 Mg CO2 per hektar (Germer dan Sauerborn, 2008). D. Dinamika dan Konservasi Karbon pada Lahan Sub Optimal Sumatera Selatan Proses pembangunan di sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai salah satu upaya dalam mensejahterakan petani/masyarakat dengan upaya mengalih fungsikan lahan rawa gambut memberikan dampak yang cukup besar terhadap lingkungan, termasuk kehilangan karbon. Kehilangan karbon pada lahan sub optimal adalah terjadi secara perlahan dan terus menerus, sebagai akibat dari segala kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan. Namun disisi lain proses yang terjadi juga sebagai akibat dari kemampuan pengetahuan petani tentang pengelolaan lahan yang baik dan juga kurang perhatiannya pihak terkait dalam membina para petani dalam menjalankan kegiatannya. Lahan suboptimal adalah lokasi terbaik penyimpan karbon secara alami. Berdasarkan atlas Gambut Indonesia (Wahyunto et al., 2003) memperlihatkan bahwa Papua mempunyai lahan gambut terluas dengan ketebalan gambut lebih tipis, sehingga prakiraan cadangan (stock) karbon sekitar 3,623 Mega ton (Mt) atau 3,6 Giga ton (Gt), Sumatera dengan ketebalan antara 0,5-12 m, dengan cadangan karbon 22,3 Giga ton, dan Kalimantan cadangan karbon 11,3 Giga ton. Prakiraan cadangan karbon gambut di Indonesia mencapai 37 Gt. Kemampuan kegiatan pertanian, perkebunan dan kehutanan dalam menambat dan menyimpan karbon adalah lebih rendah dari hutan primer rawa gambut, sehingga kehilangan karbon yang telah terjadi tidak mungkin akan kembali seperti semula. Disisi lain kegiatan pertanian, perkebunan dan kehutanan juga diperlukan untuk kesejahteraan dan kemamkmuran masyarakat Indonesia, sehingga hal terbaik yang segera dan harus dilakukan adalah memperbaiki dan meningkatkan penambatan dan ketersediaan karbon di lahan sub optimal Sumatera Selatan.
104 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Muh. Bambang P. dan Bakri/ Dinamika dan Konservasi Karbon di Lahan Sub Optimal Sumatera Selatan
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Lahan pertanian Telang II dengan tanaman jagung mampu menghasilkan C massa jagung sekitar 14.247,187 kg C /ha atau 28.494,373 kg CO2 e/ha, sedangkan bila ditanam padi menghasilkan C massa sekitar 5.611,746 kg C /ha atau 11.223,493 kg CO2 e/ha. 2. Kegiatan perkebunan di Air Sugihan Kiri dengan tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan sekitar 16,11 ton C/ha atau setara 59,034 ton CO2 e/ha dengan pada umur tanaman 4 tahun. 3. Dampak nyata alih fungsi lahan adalah hilangnya cadangan karbon di lahan sub optimal. Prakiraan kehilangan karbon dengan kedalaman gambut 1 meter adalah 430.686.482,4 ton C atau setara dengan 861.372.964,8 ton CO2 e. B. Saran Penelitian penambatan dan cadangan karbon di lahan suboptimal yang diusahakan untuk pertanian dan perkebunan perlu terus dikembangkan di masa mendatang guna mengetahui kondisi dan potensi karbon, upaya pengelolaan dan konservasi karbon di lahan. DAFTAR PUSTAKA Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las, dan M. Van Noordwijk. 2009. Carbon Dioxide Emmision in Land Use Transitions to Plantation. Jurnal Litbang Pertanian 28(4) : 119-126. Hairiah, K., D. Suprayogo, Widianto, Berlian, E. Suhara, A. Mardiastuning, R. H. Widodo , C. Prayogo, dan S. Rahayu. 2004. Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan Serasah, populasi Cacing Tanah dan Makroporositas Tanah. Agrivita 26:68-80. Lasco, R. D. 2002. Forest Carbon Budgets in Southeast Asia Following Harvesting and Land Cover Change. Scince in China (Series C). Vol. 45 supp. October 2002. Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H.V. Boehm, dan A. Jaya, dan S Limin. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature; Nature 420, 61-65. 10.1038/nature01131. Proyek Irigasi dan Rawa Andalan (PIRA). 2004. Data Pengembangan Rawa di Sumatera Selatan. Prayitno, M. B. 2007a. Survai Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa Sawit di Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten Banyuasin. Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan Universitas Sriwijaya. Tidak Dipublikasi. Prayitno, M. B. 2007b. Survai Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa Sawit di Kecamatan Air Sugihan, OKI. Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan Universitas Sriwijaya. Tidak Dipublikasi. Prayitno, M. B. 2007c. Survai Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa Sawit di Kecamatan Pampangan, OKI. Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan Universitas Sriwijaya. Tidak Dipublikasi. Prayitno, M. B. 2008. Survai Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Tebu di Delta Saleh, Kecamatan Air Saleh dan Air Kumbang Padang, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dilakukan oleh Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan Universitas Sriwijaya. Tidak Dipublikasi. Prayitno, M.B. 2012. Dampak Degradasi Lahan Gambut Terhadap Karakteristik Lahan dan Hidrologi Di Hutan HPT Kayuagung, OKI. Laporan Akhir Penelitian Fundamental, DIKTI. Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya. Tidak dipublikasi. Prayitno, M.B, Sabaruddin, D. Setyawan, dan Yakup. 2013. Dampak Perubahan Tataguna Lahan terhadap Biomassa dan Cadangan Karbon di Lahan Gambut. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Lahan Sub Optimal Universitas Sriwijaya. Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional. Palembang, 20-21 September 2013. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagyo. 2003. Sebaran Gambut dan Kandungan karbon Pulau Sumatra dan Kalimantan. Proyek CCFPI (Climate Chnage, Forests and peatlands in Indonesia). Wetlands International – Indonesia Programme (WI–IP) and Wildlife Habitat Canada (WHC), Bogor.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
105
PREDIKSI EROSI DARI LAHAN KEBUN TEH DI GUNUNG DEMPO KOTA PAGARALAM1) Napoleon A., S. M. Bernas2), dan A. Pratama 3) Abstrak: Banyak faktor yang mempengaruhi erosi pada lahan perkebunan. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menentukan besarnya erosi adalah dengan mengunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Rumus umum pendugaan A = R.K.LS.C.P. Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan teh PT. Perkebunan Negara VII di Gunung Dempo, Kota Pagaralam Provinsi Sumatera Selatan. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa tingkat erosi dari berbagai lahan di kebun teh dengan lereng yang berbeda adalah terendah 3 ton/ha/th pada lereng 39% dan tertinggi 7 ton/ha/th pada lereng 93%, semuanya masih di bawah Baku Mutu Lingkungan 9 ton/ha/th.. Rendahnya erosi dari kebun teh adalah disebabkan karena sifat tanah dengan struktur granular dan remah, kandungan bahan organik tanah tinggi, tekstur berpasir, permeabilitas sangat cepat, serta tajuk tanaman teh dan rumput diantara gawangannya yang menutupi permukaan tanah secara baik, keadaan ini harus dipelihara dan dipertahankan secara baik agar erosi tetap rendah. Kata Kunci: Erosi, Kebun teh, sifat tanah 1)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen, pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Unsri 3) Mahasiswa pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UNSRI 2)
PENDAHULUAN
P
erkebunaan teh adalah suatu ekosistem yang berada pada dengan ketinggian di atas 800 mdl dengan penutupan tajuknya bisaa mencapai 85 persen, hal ini akan dapat berdampak pada terlindungannya tanah dari energi tumbuk air hujan yang dapat menyebabkan bahaya erosi. Di daerah beriklim basah, erosi oleh air yang penting, Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang kurang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa masuk sumber air yang dinamai sedimen, akan diendapkan di tempat aliran airnya melambat; di dalam sungai, waduk, danau, reservoir, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan sebagainya (Arsyad, 2010). Erosi yang disebabkan air merupakan gejala geologik yang paling umum. Air yang mengalir dan pukulan butir-butir hujan merupakan gaya-gaya pelepas utama. Butir hujan memercik dan air yang mengalir membantu mengangkut butir tanah yang sudah lepas. Proses pelepasan sebagian besar disebabkan oleh air yang mengalir, tetapi pada permukaan tanah yang datar, pukulan-pukulan butir air hujan merupakan pelepas utama. Pukulan butiran air hujan memperlihatkan 3 pengaruh, yaitu: (1) melepas atau memecah tanah ; (2) pukulan cenderung merusak granulasi dan (3) perciknya membantu mengangkut tanah. Begitu besar gaya yang dipunyai air hujan yang jatuh sehingga bukan saja granul tanah dilepas dan dipecah, tanah juga dihancurkan (Soepardi, 1983). Erosi tidak bisa di hilangkan akan tetapi erosi dapat di tanggulangi atau di kurangi dengan cara melalui factor factor yang ada seperti curah hujan, relief (tofografi) semakin curam lereng pada lahan pegunungan tersebut sebaiknya kita mengatasinya dengan menggunakan pembuatan teras atau guludan agar dapat mengurangi laju air pada permukaan (run off), vegetasi dapat berperan penting dalam mengetahui besar-kecilnya erosi pada daerah penggunungan di lahan the semakin rapata atau semain banyaknya vegetasi yang ada semangt kecil pula erosi akan berlangsung pada lahan tersebut seperti contoh tanaman rumput rumpuntan dan vegteasi pula dapat membantu dalam mengurangi laju aliran permukaann, selain itu juga sifat-sifat tanah berpengaruh dalam terjadinya erosi seperti tekstur, struktur, bahan organic, kedalaman tanah, tingkat kesburuan tanah, dan lapisan tanah, serta manusia pun berperan di dalam menentukan besar-kecilnya suatu erosi dari segi pengelolahannya dari suatu lahan tersebut.
106
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Napoleon A., dkk./Prediksi Erosi dari Lahan Kebun Teh di Gunung Dempo Kota Pagaralam ...
Ada berbgai cara pendekatan yang dapat dilakukan untuk menduga besarnya erosi yg terjadi. Salah satu pendekatan yg sering dipergunakan untuk memprediksi besarnya erosi yang terjadi adalah dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Rumus umum pendugaan sbb: A = R.K.LS.C.P. Dimana : R K LS C P
= = = = =
faktor curah hujan, faktor tanah (erodibilitas), faktor panjang dan kemiringan lereng, faktor vegetasi, dan faktor pengelolaan tanah.
TUJUAN Untuk mengetahui besarnya prediksi erosi dari lahan perkebunan teh PT. Perkebunan Negara VII di Gunung Dempo, Kota Pagaralam Provinsi Sumatera Selatan.
METODOLOGI Penelitian ini mengunakan metode survai lapangan yang dilanjutkan dengan analisis laboratorium. Pengambilan contoh tanah dilaksanakan pada lahan Perkebunan Teh PT. Perkebunan Negara VII di Gunung Dempo Kecamatan Dempo Basema, Kota Pagaralam, dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan tanah dan Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya. Titik pengamatan berdasarkan tingkat kemiringan lereng, jenis tanah,dan penutupan vegetasi atau umur tanaman.Setelah survai langsung di lapangan maka ditentukanlah 5 (lima) titik pengamatan. Dari setiap titik diambil sampel sebanyak dua ulangan yaitu lapisan atas (0-30) cm dan lapisan bawah (30-60) cm untuk analisa permeabilitas, sebaran ukuran partikel tanah (tekstur), kandungan bahan organik di Laboratorium Fisika, Konservasi dan Hidrologi serta Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Unsri. Koordinat dan lokasi serta ketinggian tempat pengambilan sampel tanah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Titik koordinat pengambilan sampel tanah di Kebun Teh Pagaralam
NO 1 2 3 4 5
KETINGGIAN TEMPAT (mdpl) Afdeling II 1065 Afdeling V 1437 Afdeling V Blok 5 1289 Afdeling VA 1310 Afdeling III 1779 LOKASI
SOUTH
EAST
04o02’33.0” 103o11’36.1” 04o03’73.1” 103o08’94.7” 04o04’02.3” 103o09”67.6” 04o02’17.1” 103o10’47.6” 04o01’53.6” 103o09’33.6”
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai faktor curah hujan yang berdasarkan banyaknya curah hujan sebesar 2.491 (Tabel 2) adalah sangat tinggi dan merupakan nilai paling besar dibandingkan nilai lainnya. Memang curah hujan di area tropika basah seperti di Indonesia adalah penyebab erosi tertinggi, bila faktor lainnya tidak dapat memperkecil faktor curah hujan maka dapat dipastikan erosi akan tinggi. Tabel 2. Rata-rata curah hujan tahunan dari Tahun 2002 sampai 2011
Tahun
Jumlah Curah Hujan (mm)
2002 2003
2.841 3.166
Jumlah Hari Hujan (HH) 188 210
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
107
Napoleon A., dkk./Prediksi Erosi dari Lahan Kebun Teh di Gunung Dempo Kota Pagaralam ...
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah Rerata Tahunan Nilai Faktor Curah Hujan
2.882 4.053 2.397 2.299 2.819 3.584 3.847 1.698 29.586 2.959 2.491
205 266 216 255 185 175 246 243 2.189 218
Sumber data: PT Perkebunan Nusantara VII, Unit Usaha Pagaralam (Januari, 2012).
Pada lokasi penelitian puncak curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2005 dengan jumlah curah hujan 4.053 mm, jumlah hari hujan 266 hari hujan dan terendah pada tahun 1.698 mm, jumlah hari hujan 243 hari hujan. Curah hujan yang tinggi berpotensi terjadinya erosi, karena curah hujan tahunan >200 terjadi pada bulan Desember sampai Mei. Oleh sebab itu monitoring erosi perlu dilakukan dari bulan Maret sampai Mei. Berdasarkan hasil perhitungan USLE didapatkan nilai Erosivitas sebesar 1954,42 (Bernas, 2009). Hasil penelitian terhadap nilai permeabilitas tanah di lokasi penelitian mempunyai nilai permeabilitas tanah relatif sangat cepat dikarenkan kandungan bahan organik pada sumua titik poengamatan tergolong tingg, dengan struktur granular dan dengan permeabilitas yg tergolong cepat hingga sangat cepat (Tabel 3). Tabel 3. Data keadaan di lapangan dan hasil analisa laboratorium.
NO 1 2 3 4 5
Nama Lokasi Afdeling II Afdeling V Afdeling V Blok 5 Afdeling VA Afdeling III
Bahan Organik (%) 8.40 12.45 12.79 12.20 9.45
Struktur Tanah Granular Granular Granular Granular Granular
Keterangan: c = cepat dan sc= sangat cepat, data Januari 2012.
Permeabilitas (cm/jam) 32,72sc 17,48c 58,00c 34,5sc 19,94sc
Pada lokasi penelitian, kadar organik cukup tinggi pada berbagai lereng dan lapisan dengan nilai lebih 5%. Akan tetapi pada lereng tengah titik 2 ulangan 3 nilai bahan organik 4,97 %. Menurut Syarief (1989), pengaruh bahan organik perlu diperhatikan. Suatu tanah mineral berdrainase baik dan mengandung 5 persen bahan organik akan mempunyai lebih banyak air tersedia daripada tanah sama tetapi berkadar bahan organik 3 persen. Seseorang akan beranggapan bahwa hal ini semata-mata disebabkan oleh kemapuan bahan organik menahan air. Kenyataannya tidaklah demikian. Keuntungan dari adanya bahan organik terletak pada pengaruh baiknya terhadap struktur tanah dan porositas tanah. Kandungan bahan organik yang lebih dari 5 persen akan mengurangi jerapan air dalam tanah karena memilki porositas yang besar, sehingga potensi terjadinya erosi akan lebih besar. Tekstur tanah pada lokasi penelitian mempunyai kelas tekstur lempung berpasir, pasir berlempung dan lempung berliat. Kalau dilihat dari kelas tekstur maka tanah tersebut cukup baik untuk tanaman. Tetapi tentu saja tanah lempung dengan kandungan pasir yang cukup tinggi akan mudah tererosi. Seperti dinyatakan Rahim 2006 bahwa fraksi yang mudah tererosi adalah fraksi pasir, karena tanah bertekstur kasar mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga dengan curah hujan yang cukup rendah pun akan menimbulkan erosi. Sedangkan fraksi liat lebih sukar tererosi karena butirannya sangat halus dan bermuatan positif atau negatif sehingga mempunyai gaya adhesi yang kuat antar butir (Hanafiah,2005). Hasil Pengamatan tekstur tanah yang ada di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4
108 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Napoleon A., dkk./Prediksi Erosi dari Lahan Kebun Teh di Gunung Dempo Kota Pagaralam ... Tabel 4. Nilai faktor fraksi ukuran partikel tanah yang mempengaruhi besar kecilnya perhitungan erosi.
LOKASI Afdeling II Afdeling V Afdeling V Blok 5 Afdeling VA Afdeling III
Pasir Debu Liat Pasir Halus (%) (%) (%) (%) 37,73 61,55 64,00 57,84 58,48
Keterangan : Data Januari 2012.
20,37 11,62 10,50 13,66 13,88
33,94 18,63 16,97 20,49 18,50
7,96 8,20 8,53 8,01 8,14
Kalau dilihat dari hasil persentase tekstur tanah diatas maka sebagian besar adalah lempung berpasir atau pasir berlempung , karena kandungan pasir yang relatif tinggi dibandingkan dengan debu dan liat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah di Perkebunan Teh Pagaralam ini tidak mudah untuk tererosi. Dimana air akan banyak terserap ke dalam tanah sehingga kemungkinan untuk terjadinya aliran permukaan sangat kecil. Ini dapat dilihat dari hasil analisa permeabilitas tanah yang cepat sampai sangat cepat. Faktor LS merupakan kombinasi antara faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S). Karena perhitungan berdasarkana panjang dan kemiringan lereng maka semakin panjang lereng maka semakin besar pula nilai faktor L dan semakin besar persen kemiringan suatu lereng maka akan semakin besar pula faktor S. Sedangkan kombinasi keduanya merupakan perkalian antar kedua faktor tersebut (Bernas, 2009). Nilai faktor ini dapat dilihat pada Tabel 5. Perhitungan nilai erosi berdasarkan data sifat fisik dan kimia tanah yang disajikan dalam Tabel 4 (data pemantauan Januari 2012). Dari data yang didapat besar erosi yang dihitung adalah rendah, jadi semua hasil pemantauan erosi berada dibawah baku mutu lingkungan seperti yang disyaratkan oleh S.K. Menteri L.H. N0. 150. Tahun 2003. Hasil data pengamatan lapangan dan hasil analisa di Laboratorium, dimana kombinasi keduanya merupakan data untuk perhitungan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi sebagai berikut faktor panjang dan kemiringan lereng, faktor tanaman, faktor Erodibiltas, faktor curah hujan, dan hasil prediksi erosi. Tabel 5. Panjang dan kemiringan lereng serta nilai faktornya yang mempengaruhi besar kecilnya perhitungan erosi.
No 1 2 3 4 5
Panjang Kemiringan Faktor Faktor (LS) Lokasi Lereng (L) (m) √L/22 Lereng (S) (%) S Afdeling II 500 4,77 18 5,95 28 Afdeling V 200 3,01 58 18,21 55 Afdeling V Blok 5 100 2,13 58 18,21 39 Afdeling VA 300 3,69 70 21,88 81 Afdeling III 400 4,26 70 21,88 93
Keterangan : Data Januari 2012.
Panjang lereng dan kemiringan lereng merupakan faktor dengan nilai yang besar, tetapi faktor ini dapat ditekan pengaruhnya bila faktor vegetasi (C) di atasnya mempunyai tajuk yang menutupi permukaan tanah secara sempurna atau diatas 90%. Kandungan bahan organik tanah di Kebun Teh Pagaralam sangat tinggi, ini disebabkan karena sisa-sisa tanaman seperti ranting, daun serta akar tanaman sangat banyak dan dibiarkan di bawah pohon teh. Banyaknya bahan organik juga disebabkan karena lokasi yang terletak di gunung Dempo dengan rata-rata temperatur rendah, sehingga proses pembusukan atau dekomposisi bahan organik menjadi lambat. Dari besarnya nilai faktor tersebut maka hanya lereng 0% yang nilanya rendah, lereng 3% dan 6% nilainya sudah cukup tinggi di atas 1,00. Pada lereng yang panjang dan seragam, air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di lereng bawah sehingga makin besar kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya tanah lereng bagian bawah mengalami erosi lebih besar daripada lereng Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
109
Napoleon A., dkk./Prediksi Erosi dari Lahan Kebun Teh di Gunung Dempo Kota Pagaralam ...
bagian atas. Sebaliknya lereng yang panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh lereng datar dalam jarak pendek. Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng bawah tidak begitu besar dan erosi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan lereng yang panjang dan seragam (Arsyad, 1989). Tabel 6. Nilai faktor Penutupan Tajuk Tanaman Teh dan Rumput
NO
Nama Lokasi
1 2 3 4 5
Afdeling II Afdeling V Afdeling V Blok 5 Afdeling VA Afdeling III
Penutupan Tajuk (Faktor C) 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003
Keterangan: Faktor nilai pengelolaan tanah tidak ada.
Sifat Tanah (Faktor K) 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01
Nilai faktor penutupan tajuk sangat rendah (Wischmeier dan Smith, 1978) karena lebih dari 90% permukaan tanah ditutupi oleh tanaman teh dan ditutupi oleh rumput yang berada diantara gawangan tanaman teh. Dengan tingginya tingkat penutupan oleh tajuk tanaman maka membuat nilai faktor C sangat rendah (Tabel 6). Faktor erodibilitas tanah atau kepekaan tanah terhadap erosi, dimana nilai ini tergantung pada struktur tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik dan permeabilitas tanah. Nampaknya dibawah tanaman teh dengan tanah berpasir dan kandungan bahan organik yang tinggi telah menjadikan tanah yang remah, agregat mantap, dan permeabilitas sangat cepat sehingga nilai K menjadi rendah yaitu 0,01 sampai 0,02 (Tabel 7). Tabel 7. Data besarnya erosi hasil pemantauan Januari 2012.
NO 1 2 3 4 5
Tanah Tererosi Baku Mutu Lingkungan (ton/ha/th) (9 ton/ha/th) Afdeling II 4,0 < Afdeling V 4,0 < Afdeling V Blok 5 3,0 < Afdeling VA 6,0 < Afdeling III 7,0 < Nama Lokasi
Keterangan : (<) berarti di bawah BML (Baku Mutu Lingkungan) berdasarkan S.K. Menteri L.H. N0. 150. Tahun 2003).
Dari hasil pemantauan yang dilakukan menunjukkan bahwa semua erosi yang terjadi dari Kebun Teh Pagaralam (Tabel 6 ) masih dibawah Baku Mutu Lingkungan (<9 ton/ha/th). Penyebab rendahnya erosi dari kebun teh adalah karena sifat tanah dengan struktur granular dan remah, kandungan bahan organik tanah tinggi, tekstur berpasir, permeabilitas sangat cepat, serta tajuk tanaman teh dan rumput diantara gawangannya yang menutupi permukaan tanah secara baik, keadaan ini harus dipelihara dan dipertahankan secara baik agar erosi tetap rendah.
KESIMPULAN Dari hasil pemantauan tingkat erosi dari Kebun Teh di Pagaralam maka dapat ditarik kesimpulan dan saran seperti berikut: 1. Tingkat erosi dari berbagai titik di kebun teh dengan lereng yang berbeda adalah terendah 3 ton/ha/th dan tertinggi 7 ton/ha/th, semuanya masih di bawah BML 9 ton/ha/th. 2. Tingkat erosi rendah disebabkan sifat tanah dengan struktur granular dan remah, kandungan bahan organik tinggi, tekstur berpasir, permeabilitas sangat cepat, serta tajuk tanaman teh dan rumput diantara gawangannya yang menutupi permukaan tanah secara baik. 3. Pemantauan erosi tidak perlu lagi dilakukan di kebun yang sedang berproduksi seperti lokasi yang sudah di pantau, sebaiknya pemantauan erosi dilakukan pada kebun yang baru dipangkas untuk peremajaan atau kebun yang baru ditanami kembali. 110 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Napoleon A., dkk./Prediksi Erosi dari Lahan Kebun Teh di Gunung Dempo Kota Pagaralam ...
4. Penyiangan rumput penganggu sebaiknya hanya di potong bukan dicangkul atau dapat juga berantas dengan herbisida tetapi seresah dibiarkan di permukaan tanah sebagai sumber bahan organik tanah atau sebagai mulsa penahan erosi dan aliran permukaan. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor. As-syakur, A. R. 2008. Prediksi erosi dengan menggunakan metode USLE dan sistem informasi geografis (SIG) berbasis piksel di daerah tangkapan air danau buyan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Universitas Udayana. Bali disampaikan dalam PIT MAPIN XVII, Bandung 10-12-2008. Hardjowiogeno,S.1995.Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Akademika Presindo Jakarta. Hillel, D. 1982. Introduction to soil physics. Academic Press. London. 363p. Kementrian Lingkungan Hidup, 2003. Himpunan Peraturan Perundang Undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Jakarta. Jenkinson, D.S. 1977. Studies on the decomposition of plant material in soil V. The effect of plant cover and soil type on the loss of carbon from 14C labeled Rye grass decomposing under field conditions. Journal of Soil Science, 28, 424-434. Lubis, K.S dan A. Rauf. 2003. Indeks bahaya erosi pada beberapa penggunaan lahan inceptisol desa telagah kecamatan sei bingei kabupaten langkat. Universitas Sumatera Utara. Medan. Morgan R.P.C., 1986. Soil Erosion and Conservation. Longman Sci. And Tech. Essex England. Rahim, S. E. 2000. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta. Suripin. 2004. Pelestarian Sunber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta. Tisdall, J.M. and J.M. Oades, 1982. Organic matter and water stable aggregates in soils. Australian Journal of Soil Research, 33, 141-163. Widiyono, H. 2005. Pengaruh sistem olah tanah dan pertanaman terhadap erosi tanah. Jurnal Akta Agrosia Vol. 8 No.2 hlm 74-79. Wischmeier, W.H. and D.D. Smith, 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses A Guide to Conservation Planning. U.S.D.A. Agriculture Handbook No. 537.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
111
PEMBERIAN PUPUK HAYATI DENGAN JARAK TANAM BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN SERAPAN HARA JAGUNG (Zea mays L) PADA LAHAN PASANG SURUT1) Giving Biological Fertilizer With Different Planting Distance Of Growth, Production And Corn (Zea Mays L) Nutrient Uptake On Tidal Swamp Iin Siti Aminah2), Erni Hawayani 2), Idwar Effendi3) Abstract: This study aimed to determine the effect of bio-fertilizers with a different spacing on growth, production and nutrient uptake of corn in swamp tidal. This study was conducted from May to September 2012 in the farmers' land Banyu Urip village of Tanjung Lago Banyuasin Regency district of South Sumatra Province. This study uses Split Plot Design and each treatment was repeated 3 times. As the main plot treatment were plant spacing, comprising: (J1): 100x30 cm, (J2): 70x30 cm, (J3): 40x30 cm. Treatment of subplot consisted of various types of fertilizers, comprising: (H0 ): Inorganic Fertilizer NPK, (H1): Biological Fertilizer Bio P, (H2): Biological Fertilizer Azospirilium, (H3): Biological Fertilizer Bio P + Azospirilium. The results showed that treatment 100x30 cm spacing gave the highest influence on the growth, biological fertilizer obtained the highest results in the different components and the results are not real corn production in swamp tidal. Nutrient uptake in combination with the best spacing biological fertilizer on treatment with the highest N fertilizer inorganic N, whereas for P and K uptake at the highest biological fertilizer. No interaction at a spacing of treatment with biological fertilizer. Keywords: zea mays, dinstance ropping, biological fertilizer, tidal swamp 1)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Palembang 3) Alumni Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang 2)
PENDAHULUAN
P
engembangan pertanian lahan pasang surut merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan peningkatan produksi pertanian yang semakin kompleks. Dengan pengelolaan yang tepat melalui penerapan iptek yang sesuai, lahan pasang surut memiliki prospek besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif terutama dalam rangka pelestarian swasembada pangan, diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, serta pengembangan agribisnis wilayah (Abdurachman dan Ananto, 2000). Luas lahan pasang surut di Indonesia 24,7 juta Ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua dan Sulawesi; 9,53 juta Ha berpotensi untuk pertanian. Sumatera Selatan memiliki luas 0, 3 juta ha yang potensial untuk pertanian (Balitbang Pertanian, 2008). Permasalahan utama dalam mengusahakan lahan pasang surut adalah sulitnya mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan disebabkan kesuburan tanah rendah (Adimihardja et al. 2000; Maas, 2003; Masganti dan Yuliani, 2005) yang dicirikan oleh pH rendah , kandungan yang bersifat toksis H+, Al, Fe (III) dan Mn tinggi,keadaan ini diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa yang rendah serta kekahatan hara-hara lainnya (Andriesse dan Sukandi dalam Suriadikarta, 2005). Akibat timbulnya lapisan pirit yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah menjadi tidak dapat digunakan untuk pertanian. Jagung adalah salah satu komoditas pangan yang masih diimpor dalam jumlah yang cukup besar. Tahun 2012 (angka sementara) , total produksi jagung di Sumatera Selatan sekitar 112,29 ribu ton pipilan kering turun 13,40 ton (10,66%) dibandingkan tahun 2011 (BPS, 2013). Usaha tani pada lahan pasang surut umumnya dilakukan dengan masukan pupuk sintetis tinggi, penggunaan pestisida dan herbisida yang terus menguras ketersediaan hara sehingga berdampak pada penurunan diversitas organisme dan musuh alami. Untuk mengurangi dampak negatif alternatif penggunaan pupuk organik 112
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Iin Siti Aminah, dkk./Pemberian Pupuk Hayati dengan Jarak Tanam Berbeda terhadap ...
berbasis penggunaan mikrob (pupuk hayati) merupakan solusi konservasi tanah dan air sebagai pengganti pupuk kimia sintetis dalam keberlanjutan usahatani di lahan pasang surut. Pupuk hayati merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah, tidak meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi kesehatan manusia (Musnamar, 2003). Aplikasi pupuk hayati yang mengandung mikoriza, dan bakteri oengikat N (Azotobacter chroococum), bakteri pelarut P (Bacillus megaterium) dan pelarut K (B.mucilaginous) terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung ( Wu et al, 2005). Jarak tanam jagung untuk produksi biji umumnya menggunakan 75x25 cm (1 tanaman) atau 75x40 cm (2 tanaman). Jarak tanam yang sama juga diterapkan sebagian besar petani di Amerika (ISU, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jarak tanam yang lebih rapat seringkali diterapkan untuk menekan pertumbuhan gulma, disamping hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan jarak tanam rekomendasi. Larson (2003) menyatakan bahwa jarak tanam dan penempatan benih adalah faktor yang sangat berpengaruh pada potensi hasil jagung. Melalui perbaikan pengelolaan lahan dan pemberian amelioran pada beberapa tipe luapan memberikan hasil panen jagung Sukmaraga pada tipe luapan C/D berupa panen pipilan 7,9 ton per ha dengan jarak tanam 75 x 20 cm (Hatta et al., 2009), sedangkan pada penelitian Mayadewi (2007) pada jagung manis dengan perlakuan jarak tanam 50 x 20 cm dengan pemberian pupuk kandang ayam menghasilkan tongkol layak jual tertinggi yaitu 11,58 ton/ha dibandingkan dengan kombinasi pupuk kandang ayam dengan jarak tanam 110 x 20 cm yaitu 6,13 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak tanam jagung hibrida P-21 60x20 cm dapat meningkatkan tinggi tanaman dan produksi bahan silase dari rata-rata 45,8 t ha-1 menjadi rata-rata 60,1 t ha-1 atau meningkat 31% dibandingkan jarak tanam 75x25 cm (Subiksa. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk hayati dengan beberapa jarak tanam berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi jagung pada lahan pasang surut.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di kebun petani desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Oktober awal 2012. Analisis tanah dilakukan di laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian UNSRI, sedangkan analisis jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Center for Hazar Chemical Studies Bogor. Percobaan ini menggunakan benih jagung Pioner, Pupuk anjuran petani urea, KCl dan SP 36 (H0), pupuk yang diperkaya dengan mikroba hayatiPseudomonas, Azospirillum, Azotobacter, BioP2000Z (Kandungan berbagai mikroba, unsur hara makro dan mikro =H1), H2 Azospirillum (mengandung mikroba Pelarut Fosfat 6.650.000 cfu/gdan Azospirillum 1.000.000 cfu/g), H3 kombinasi Bio P dan Azospirilum. Penelitian ini disusun dengan Rancangan Petak Terbagi (Split plot Design). Sebagai petak utama , yaitu : masing-masing J1 (100 x 30 cm) atau populasi jagung 33.333 tanaman per Ha, J2 (70 x 30 cm) populasi 47.619 tanaman per Ha dan J3 (40 x 30cm) populasi 83.333 tanaman per Ha. Sebagai anak petak pemberian pupuk yang diperkaya mikroba/hayati yaitu tanpa pupuk hayati (H0) ,(H1) BioP, pupuk hayati Azospirillum (H2) dan (H3) pupuk Hayati 1/2 (H1 + H2). Pemberian bahan amelioran dolomit 500 kg ha-1 (Prastowo et al., 1993) 2 minggu sebelum tanam secara ditebar sepanjang alur baris tanaman. Untuk dosis pupuk kimia yang dilakukan dengan cara tugal di kiri dan kanan lubang tanam. Pemberian pupuk kandang 4 ton ha -1, SP 36 100 kg ha-1 dan pupuk hayati H1 diberikan setelah fermentasi dosis 1 liter dengan pengenceran 6 liter selama 48 jam dengan pemberian disemprot setiap 10 hari hingga 12 MST, sedangkan pemberian pupuk hayati H2 diberikan sesuai dengan dosis aplikasi anjuran produsen yaitu 10 cc per liter per tanaman diberikan setiap 2 minggu hingga 10 MST (vegetatif akhir, mulai berbunga). Pemupukan diberikan pupuk anjuran urea (43% N) 200 kg ha-1 , KCl (49,80% K2O) 100 kg ha-1, sedangkan SP 36 (36% P2O5) 150 kg ha -1 . Pengamatan pada penelitian ini meliputi : tinggi tanaman, berat tongkol, produksi jagung Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
113
Iin Siti Aminah, dkk./Pemberian Pupuk Hayati dengan Jarak Tanam Berbeda terhadap ...
per petak; luas daun, kadar dan serapan hara NPK jagung yaitu konsentrasi hara jaringan (%) x bobot kering tanaman (g/tanaman) (Kaiser et al.2005). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis sidik ragam dengan program SAS yang dilanjutkan dengan uji BNJ taraf 5% .
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Awal Kriteria analisa tanah (Hardjowigeno, 1986) pH 4,54 (masam); C-organik 4,73% (tinggi) ;N-total 0,35% (tinggi) , P-Bray I 40,20 ppm (sedang) ; K-dd 0,58 me/100g (sedang) ;Na 0,65 (sedang) ;Mg 1,17 (sangat rendah); KTK 30,45 (sangat tinggi) ; Al-dd 1,28 (dalam me/100g) (sangat rendah);% fraksi tekstur : pasir 25,93;debu 36,48 ;liat 37,59 (Laboratorium Kimia,Biologi dan Kesuburan Tanah UNSRI,Juli 2012). Hasil analisa tanah menunjukkan bahwa kandungan unsur hara di dalam tanah cukup tersedia, tetapi dengan pH masam, unsur hara tersebut terhambat ketersediaannya. Tanah masam banyak mengandung ion logam seperti Fe, Al, Mn yang dapat menjerap unsur hara P membentuk ikatan Al-P, Fe-P, Mn-P, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dalam mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme pelarut fosfat , yaitu mikroorganisme yang dapat melarutkan fosfat yang tidak tersedia menjadi tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Mikroorganisme ini diketahui memproduksi asam amino, vitamin, substansi pemacu pertumbuhan (Ponmurugan dan Gopi, 2006). Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Berdasarkan hasil analisis keragaman pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap berat berangkasan kering, berat tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol, berat 100 biji, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun. Perlakuan pupuk hayati dan interaksi berpengaruh tidak nyata terhadap semua peubah yang diamati. Tabel 1. Pengaruh utama jarak tanam (J) terhadap peubah yang diamati
Perla kuan J1 J2 J3 BNJ 0.05
Tinggi tanaman (9MST) (cm) 225,08A 222,91A 219,56A 6,68
Luas daun (cm2) 747,05A 690,82B 611,37C 37,37
Berat tongkol (g)
Berat 100 biji (g)
639,17A 596,67AB 521,67B 76,96
33,17A 30,09B 27,83C 2,16
Berat Berangkasan kering (g) 237,67AB 251,17A 173,50B 71,55
Berat pipilan (Ton/Ha) 1,87A 2,46AB 2,85B 0,47
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Pada tabel 1 pertumbuhan tinggi pada perlakuan jarak tanam yang lebih rapat menunjukkan bahwa populasi jagung yang lebih rapat secara umum menunjukan respon bahwa pada pertumbuhan vegetatif belum menunjukkan kompetisi yang nyata pada tanaman. Sedangkan luas daun pada jarak tanam yang lebih rapat menunjukkan hasil yang berbeda nyata, begitu juga dengan komponen dan hasil jagung diperoleh pada jarak tanam yang kurang rapat. Pada jarak tanam 40 x 30 diperoleh produksi yang tertinggi, jarak antar barisan dan bentuk tajuk akan mempengaruhi sebaran daun (Stewart et al., 2003). Ada kecendrungan bahwa jarak tanam yang lebih luas akan menaikkan berat berangkasan kering, berat tongkol, berat 100 biji. Hal ini disebabkan dengan semakin luasnya jarak tanam atau semakin rendahnya populasi maka semakin besar pemanfaatan sinar matahari untuk proses fotosintesa dan juga semakin luas kemungkinan untuk pertumbuhan tanaman, sebagaimana yang dikemukakan oleh Koswara (1982) menyatakan bahwa kerapatan tanaman (jarak tanam) mempengaruhi populasi dan koefisien penggunaan cahaya. Tingginya populasi menyebabkan tanaman lebih cepat menutupi tanah dan terjadi saling menaungi (Fadly et al, 2000). Dengan peningkatan jumlah populasi pada jarak 114 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Iin Siti Aminah, dkk./Pemberian Pupuk Hayati dengan Jarak Tanam Berbeda terhadap ...
tanam tertinggi (100 x 30 cm) , luas daun pada (Tabel 1) menunjukkan bahwa akan makin besar serapan radiasi oleh daun sehingga meningkat jumlah klorofil tanaman (Gardner et al., 1991). Tabel 2. Pengaruh pemberian pupuk hayati (H) terhadap peubah yang diamati
Perla kuan H0 H1 H2 H3 BNJ 0.05
Tinggi tanaman (9MST) (cm) 223,87A 223,73A 220,0A 223,48A 10,89
Luas daun (cm2)
Berat tongkol (g)
Berat 100 biji (g)
700,4A 666,41A 669,62A 695,87A 47,78
605,56A 590A 581,11A 566,67A 98,41
31,2A 30,1A 30,1A 30,0A 2,76
Berat Berangkasan kering (g) 248,44A 213,33A 214,89A 206,44A 91,47
Berat pipilan (Ton/Ha) 2,42A 2,47A 2,24A 2,40A 0,59
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
Pemberian pupuk hayati pada Tabel 2 memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik. Diduga hal ini disebabkan pada perlakuan pupuk hayati terjadi kompetisi antara mikrob yang ditambahkan, sehingga terjadi inefektivitas pada tanaman, namun pemberian pupuk hayati BioP menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk lainnya. Husen (2009) menelaah efektifitas pupuk hayati komersil, efektif meningkatkan tinggi jagung tetapi tidak nyata meningkatkan bobot tanaman, secara umum pupuk hayati cukup efektif meningkatkan beberapa aspek pertumbuhan vegetatif, namun merepresentasikan efektivitas pupuk hayati yang sebenarnya karena lambatnya respon tanaman diduga terkait dengan kondisi lahan yang selama ini menggunakan pupuk kimia. Dan efektivitas pupuk hayati dalam menyediakan hara sangat tergantung pada daya hidup dan perkembangannya di lingkungan rizosfer. Kombinasi perlakuan pupuk hayati dengan pengaturan jarak tanam pada penelitian ini tidak terjadi interaksi, namun kombinasi perlakuan jarak tanam 100x30 cm dengan hayati Azospirilium memberikan pertumbuhan dan produksi yang berbeda tidak nyata dengan pupuk anorganik. Tabel 3. Pengaruh kombinasi antara jarak tanam dengan pupuk hayati pada peubah yang diamati tanaman jagung
Jarak Tanam J1 J2 J3 BNJ 0.05
Pupuk Hayati Hasil (t/Ha) H0 H1 H2 H3 2,12 1,89 1,79 1,68 2,55 2,38 2,51 2,59 2,59 3,15 2,63 3,01 tn
Secara tabulasi (Tabel 3) bahwa hasil tertinggi dicapai pada jarak tanam yang makin rendah (J3 : 40 x 30cm) dengan Hayati (H3: BioP dan Azospirillum). Hasil biji yang rendah dari kebanyakan varietas jagung tropik disebabkan oleh pembagian bahan kering total ke biji yang rendah (Goldsworthy dan Colegrove dalam Fischer dan Palmer, 1995). Aliran relatif dan remobilisasi C dan N ke biji selama pengisian biji tergantung pada nisbah sumber/lubuk tertentu pada tanaman. Nisbah sumber/lubuk tergantung pada genotipe dan kombinasi lingkungan yang dapat diubah oleh faktor manajemen tanaman seperti waktu tanam, kerapatan populasi, unsur hara, air, dan lain-lain. Persaingan antar tanaman menyebabkan masing-masing tanaman harus tumbuh lebih tinggi agar memperoleh cahaya lebih banyak (Salisbury dan Ross, 1995). Transformasi pupuk kimia dalam tanah tergantung pada mikroba tanah, seperti Nitrifikasi pupuk kimia, produksi enzim fospatase, yang merupakan katalis hidrolis pupuk P dan produksi enzim urease yang mengkatalis hidrolisis urea untuk memproduksi ammonium karbonat (Saraswati, 2007). Namun demikian, pemberian pupuk kimia berlebihan dapat memberikan efek negatif pada lingkungan mikroba, khususnya pada daerah yang dekat dengan partikel pupuk granul, meningkatkan konsentrasi garam dalam larutan tanah sehingga menyebabkan ketidaksembangan hara antara lain pH rendah (Beauchamp dan Hume, 1997). Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
115
Iin Siti Aminah, dkk./Pemberian Pupuk Hayati dengan Jarak Tanam Berbeda terhadap ...
Pemberian pupuk hayati memberikan respon yang sama baiknya dan berbeda tidak nyata dengan pemberian pupuk kontrol anorganik, baik pada pertumbuhan vegetatif maupun pada komponen dan hasil tanaman jagung. Pada hasil pipilan jagung menunjukkan bahwa pemberian pupuk hayati BioP menunjukkan produksi tertinggi. Tabel 4. Pengaruh kombinasi antara jarak tanam (100x30cm) dengan pupuk hayati terhadap kadar dan serapan NPK pada tanaman jagung
Kombinasi J1H0 J1H1 J1H2 J1H3
N 0,702 0,784 0,703 0,761
Kadar (%) P 0,146 0,150 0,177 0,159
K 0,516 0,820 0,686 1,004
Serapan (g tan-1) N P K 2,171 0,292 1,596 1,568 0,300 1,640 1,476 0,373 1,445 1,755 0,367 2,316
Pada tabel 4, serapan hara N tanaman lebih tinggi pada pemberian pemupukan anorganik, hal ini kemungkinan mikroba yang ditambahkan masih terkendala dengan tanah yang bersifat masam (pH <5), sesuai dengan pendapat Isroi (2002) bahwa produktivitas dan daya dukung tanah mempengaruhi aktivitas mikrob, walaupun demikian pupuk hayati yang ditambahkan terbukti banyak memberikan sumbangan dalam menjaga kesuburan tanah (Musnamar, 2003). Pemanfaatan bahan organik memacu peningkatan serapan hara P dan K pada tanaman jagung (Nursyamsi et al, 2005). Pertumbuhan tanaman yang cepat pada perlakuan pemberian pupuk hayati menyebabkan kecepatan serapan P tidak seimbang dengan kecepatan pertumbuhan sehingga konsentrasinya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang pertumbuhannya lambat. Namun demikian, total serapan P lebih besar dibandingkan perlakuan kontrol an organik sesuai dengan pendapat Subiksa ( 2012). Karakter fungsional utama mikroba yang banyak dipilih untuk pupuk hayati antara lain kemampuan mikroba menambat N2 dari udara, melarutkan hara P yang terikat di dalam tanah, memacu pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan zat pengatur tumbuh, dan bahkan yang berfungsi sebagai pengendali patogen tular-tanah (Cattelan et al., 1999; Tenuta, 2006). Respon tanaman jagung terhadap pupuk hayati tergolong lambat dan baru terlihat pada fase akhir masa pertumbuhan vegetatif diduga terkait dengan rendahnya kepadatan populasi mikroba, sehingga beberapa karakter fungsional mikroba dalam menambat N2, melarutkan P atau memacu pertumbuhan tanaman belum bekerja secara optimal. Dalam banyak kasus, satu mikroba memiliki kemampuan lebih dari satu kategori fungsi, sehingga fungsinya dapat sebagai pemacu tumbuh, penyedia hara (fungsi langsung) dan juga sekaligus pengendali patogen (fungsi tidak langsung) yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Tanaman yang perakarannya berkembang dan tumbuh dengan baik tidak mudah terserang patogen (penyakit), dan sebaliknya tanaman yang terserang patogen tidak akan tumbuh dengan baik walaupun unsur hara yang tersedia cukup (Husen, 2010).
KESIMPULAN 1. Pengaturan jarak tanam dengan pemberian pupuk hayati, berpengaruh tidak nyata pada pertumbuhan, namun berpengaruh nyata pada komponen hasil jagung 2. Tidak ada interaksi pada kombinasi perlakuan jarak tanam dengan pemberian pupuk hayati walaupun hasil ini belum merepresentasikan efektivitas pupuk yang sebenarnya karena tergolong lambatnya respon tanaman terhadap pupuk hayati. 3. Serapan hara pada perlakuan jarak tanam 100x 30 cm menunjukkan serapan N tertinggi pada perlakuan pupuk anorganik, sedangkan untuk serapan P dan K terjadi pada pemberian pupuk hayati.
116 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Iin Siti Aminah, dkk./Pemberian Pupuk Hayati dengan Jarak Tanam Berbeda terhadap ...
DAFTAR PUSTAKA Abdurahman dan E,E.Ananto. 2000. Konsep Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.Bogor,25-27 Juli 2000.23 hlm Adimihardja, A., L.I. Amien, F. Agusdan Djaenudin (Penyunting). 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Beauchamp, E.G. dan D.J. Hume. 1997. Agricultural Soil Manipulation: The Use of Bacteris, Manuring and Plowing. p. 643-664. In J.D. Van Elsas, J.T. Trevors, and E.M.H. Wellington (Eds.), Modern Soil Microbiology. Marcel Dekker, New York. Cattelan, A.J., P.G. Harbel and J.J. Fuhrmann. 1999. Screening for plant growth, promoting rhyzobacteria to promote early soybean growth. Soil Sci. Soil Am. J 63 : 1670 - 1680 Fadly. A.F. Subandi, A Roslina .J. Faliana dan E.O. Mamat. 2000. Pengaruh N dan Kerapatan Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Risalah Penelitian Jagung dan Pengembangan Tanaman Bogor 4: 35-40. Fischer, K.S. dan A.F.E. Palmer. 1996. Jagung Tropik. Dalam: Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik Editor: P.R. Goldsworthy dan N.M. Fischer, terjemahan: Tohari. GMU Press. Hal. 281-319. Gardner FP, RB Pearce, Rogen LM. 1991. Fisologi Tanaman Budidaya, Herawati Susilo, penerjemah. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : Physiology of Crop Plants Hatta,M., B.H. Sunarminto, B.D. Kertonegoro dan E. Hanudin. 2009. Upaya Pengelolahan dan perbaikan lahan pada beberapa tipe luapan untuk meningkatkan produktifitas jagung di lahan rawa pasang surut. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol. 9 No 1 (2009) p: 37-48. Hindersah. R., T. Simarmoto. 2004. Potensi Rhyzobakteri Azotobacter dalam meningkatkan kesehatan tanah. J. Natur Indonesia 5 (2) : 127 - 133 Husen, E. 2009. Telaah Efektivitas Pupuk Hayati Komersil Dalam Mewujudkan Pertumbuhan Tanaman. balittanah.litbang.deptan.go.id/.../prosiding2009pdf/0... ISU. 2006. Corn production. Iowa state University Exension. http://www.agronext.iastate.edu/corn /production/management/planting/row.html Kaiser D.E., Mallarino. A.P., Bermudez M. 2005. Corn grain yield, early growth and early nutrient uptake as effected by broadcast and infuroow starter fertilization. J. Agron 97 : 620 : 626 Koswara, J. 1982. Diktat Kuliah ilmu tanaman setahun Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian. Pertanian Bogor. Bogor. 50 hal. Larson, E. 2003. How to plant corn for higher yield. http://deltafarmpress.com/corn/how- plant-corn-higheryields Maas, A. 2003. Peluang dan konsukuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM, 19 Juli 2003. Yogyakarta Masganti dan N.Yuliani. 2005. Status hara Tanah di daerah Sentra Produksi Padi Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. J.Tanah dan Air 6(1):18-25 Mayadewi,N,N.Ari.2007. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan Gulma dan Hasil Jagung Manis. AGRITROP, 26 (4):153-159. Musnamar EL. 2003. Pupuk Organik : Cair dan Padat, Pembuatan dan Aplikasi, Jakarta: Penebar Swadaya Nursyamsi, D. dan Suprihati. 2005. Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan Kebutuhan Pupuk untuk padi (Oryza sativa), Jagung (Zea mays) dan kedelai Glycine max). Bul Agron. (33) ( 3) 40 - 47 Ponmurugan, P dan C. Gopi. 2006. In Vitro Production of Growth Regulators and Phosphatase Activity by Phosphate Solubiliting Bacteria. African Journal of Biotechnology 5 (4) : 48 Prastowo, B., E.E. Ananto, R. Thahir dan Handoko. 1993 Pengembangan alat dan mesin pertanian dalam meningkatkan efektivitas usahatani. hlm 200-211 Dalam M. Syam Hermanto, H. Kasim dan Sumihadi (Ed) Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku I. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Bogor Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan II. Ed. 4. Terjemahan: D.R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 173 hal Saraswati, R. 2007. Pengaruh Pupuk Hayati Dalam Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Menunjang Keberlanjutan Produkvitas tanah. Jurnal Sumber Daya Lahan Vol No 4 Desember 2007.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
117
Iin Siti Aminah, dkk./Pemberian Pupuk Hayati dengan Jarak Tanam Berbeda terhadap ... Subiksa I.G.M. 2012. Pengaruh Jarak Tanam dan Jenis Pupuk terhadap Pertumbuhan, Produksi Silase dan Biji Pipilan Jagung Hibrida pada Inceptisols Dramaga. Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Bogor 16114 Suriadikarta D.A. 2005. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam untuk Usaha Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian 24(1). 2005 Stewart, D.W., C. Costa, L. M. Dwyer, D. L. Smith, R. I. Hamilton and B. L. Ma. 2003. Canopy Structure, Light Interception, and Photosynthesis in Maize. Agron. J. 95:1465-1474 Tenuta, M. 2006. Plant Growth Promoting Rhizobacteria: Prospect for increasing nutrient acquisition and disease control. Available: http://www.umanitoba. ca/afs/agronomists_conf/2003/pdf/tenuta_rhizobacteria.pdf . [Accessed 29 Oktober 2013]. Wu S.C., Cao Z.H., Cheng K.C., Wong M.H. 2005. Effect of Biofertulizer Containing N Fixer and K Solibilizer and A M Fungi on Maize Growth;A Green House trial : 125: 155 - 166 Yodpetch, C dan O.K. Bautista . 1983. Young Cob Corn : Suitable Varietasm Nutritive Value and Optimum Stage of Maturity. Phil.Ags. 66: 232-244.
118 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
PROBLEMATIKA KERUSAKAN LAHAN (PENYEBAB, MASALAH, KENDALA DAN DAMPAK), SERTA UPAYA PENANGULANGANYA 1) Satria Jaya Priatna2) Abstrak: Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, Akademisi dan lainnya. Perubahan fungsi lahan dari kawasan resapan air menjadi kawasan pertambangan, industri, perkebunan, dan permukiman, juga memberi dampak yang sangat luas, yang akhirnya menimbulkan bencana bagi masyarakat setempat. Beberapa hal yang menjadi pemicu penyebab rusaknya hutan dan meluasnya lahan kritis diantaranya disebabkan oleh adanya aktivitas pembalakan liar, kebakaran hutan, ataupun alih fungsi lahan sebagai akibat dari desakan ekonomi masyarakat terutama di sekitar hutan. Dalam kaitannya dengan bidang Konservasi Tanah dan Air, ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya permasalahan kerusakan lahan dan air, antara lain adalah sbb: 1) Faktor alami penyebab erosi (seperti: iklim, lereng, dan karakteristik lahan), 2) Praktek pertanian yang kurang bijak (laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budidaya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik konservasi), dan 3) Faktor kebijakan dan sosial- ekonomi. Untuk menjaga produktivitas lahan, maka penggunaan lahan harus sesuai dengan Kemampuan Lahan serta penggunaan agroteknologi harus disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai. Tipe teknik konservasi tanah dan air yang banyak diterapkan di seluruh dunia termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur, dan manajemen (WASWC, 1998). Kata Kunci : kerusakan lahan, konservasi, erosi, kemampuan lahan. 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN
L
uas kawasan hutan Indonesia tahun 2012 mencapai ± 130,61 juta Ha. Kawasan tersebut diklasifikasi sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (21,17 juta ha), kawasan lindung (32,06 juta ha), kawasan produksi terbatas (22,82 juta ha), kawasan produksi (33,68 juta ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (20,88 juta ha) Luas kawasan hutan tersebut mencapai 68,6 % dari total luas daratan Indonesia sehingga menjadi salah satu potensi sumber daya alam yang rawan terjadi kerusakan karena kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 0,45 terbagi menjadi kerusakan kawasan hutan 0,32 dan di luar kawasan hutan 0,13 per tahun (Kementerian Kehutanan, 2012). Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, Akademisi dan lainnya. Faktorfaktor penyebab rusaknya hutan dan meluasnya lahan kritis diantaranya disebabkan oleh adanya aktivitas pembalakan liar, kebakaran hutan, ataupun alih fungsi lahan sebagai akibat dari desakan ekonomi masyarakat terutama di sekitar hutan. Kementerian Kehutanan telah menetapkan program-program prioritas untuk mengatasi kerusakan hutan dan meluasnya lahan kritis, antara lain: pemberantasan illegal logging, revitalisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan pemantapan kawasan hutan. Program pemberdayaan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan mempunyai tujuan yang jelas, yaitu: meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan di dalam hutan (Darusman dan Hardjanto, 2006). Programprogram untuk mengatasi meluasnya lahan kritis telah cukup banyak dilakukan terutama di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan dalam rangka untuk meningkatkan kesadaran serta partisipasi masyarakat di sekitar hutan seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Social Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
119
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
Forestry (Pengembangan hutan Rakyat/HR, Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan Desa/HD), serta Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan/AUK (Rotan, Madu, Sutera Alam). Salah satu pola rehabilitasi lahan kritis secara vegetasi adalah dengan membangun hutan rakyat. Melalui pembangunan hutan rakyat akan terjadi peningkatan produktivitas lahan serta menunjang konservasi tanah dan air (Andayani, 1995).
DEGRADASI LAHAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH Kondisi sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia saat ini termasuk wilayah Sumatra Selatan dalam keadaan yang memprihatinkan. Erosi tanah mengakibatkan pencemaran dan pendangkalan sungai, waduk serta perairan terjadi di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Bila melihat laju degradasi hutan di Indonesia sepuluh tahun terakhir, sangat memprihatinkan mencapai hingga 1,6 hutan Ha/tahun. Seperti yang kita ketahui, salah satu fungsi hutan adalah menjaga keseimbangan hidro-orologis. Hutan berperan menaikkan laju resapan air ke dalam tanah sehingga mengurangi konsentrasi aliran air dan risiko banjir dapat diminimalisasi, walaupun terjadi banjir tidak terjadi banjir bandang. Kenaikan laju infiltrasi menyebabkan peningkatan cadangan air tanah di sekitar hutan, yang nantinya dikeluarkan pada musim kemarau sebagai mata air. Jadi secara umum, hutan berfungsi untuk stabilisasi dan optimalisasi aliran air, bukan menambah air (Soemarwoto, 1992). Menurut kajian BPDAS Musi (2011), sebaran luasan potensi lahan kritis di wilayah Sumsel adalah sebagai berikut: 1) lahan agak kritis (± 3.154.962,400 Ha atau 39,74%); 2) lahan kritis (± 910.295,730 Ha atau 11,56%); 3) lahan potensial kritis (± 1.738.408,870 Ha atau 21,02%), lahan sangat kritis (± 240.172,648 Ha atau 2,47%); dan lahan tidak kritis (± 2.061.116,969 Ha atau 25,21%), kondisi tersebut tentunya disebabkan oleh karena sudah meluasnya tingkat kerusakan lahan (degradasi) yang terjadi di wilayah Sumatera Selatan. Tanda-tanda terjadinya degradasi lahan sangat kentara. Tanda-tanda adanya degradasi, adalah dengan makin menyusutnya sumber air di permukaan tanah dan sumber air di bawah tanah, baik secara kuantitas mau pun kualitas. Perubahan fungsi lahan dari kawasan resapan air menjadi kawasan pertambangan, industri, perkebunan, dan permukiman, juga memberi dampak yang sangat luas, yang akhirnya menimbulkan bencana bagi masyarakat setempat. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada jalan lain selain mengerahkan segala daya untuk segera bertindak nyata mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan hidup di bumi ini. Bahkan pasca krisis moneter didaerah-daerah pinggiran hutan terdorong untuk melakukan perluasan lahan-lahan perkebunan. Sehingga seringkali terjadi perambahan hutan oleh masyarakat sekitarnya. Hal di atas diiringi semakin tidak terkendalinya pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten-kota, dalam mengelola tata lingkungannya. Bila menilik masalah lingkungan yang terjadi di Sumatera Selatan merupakan akibat dari perencanaan dan pengelolaan tata ruang dan lahan yang tidak tepat, kondisinya memberikan gambaran yang negatif dan terus mengalami degradasi di berbagai sektor. Hal tersebut karena tidak adanya lagi otoritas Gubernur untuk ikut mengendalikan tata ruang secara tegas, masing-masing walikota atau bupati punya otoritas baru. Sehingga pemerintah daerah lebih leluasa memberikan perizinan kepada para pengembang, penambang, industri, dll tanpa pernah mengindahkan dampak ekologi yang akan timbul dari pemberian ijin. Semua terjadi dengan dan atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan atas nama pertumbuhan ekonomi di daerah, banyak sekali ruang terbuka hijau yang sebenarnya ruang publik dan hak masyarakat, dirampas dan direduksi menjadi fungsi-fungsi ekonomi. Bahkan kebijakan ini semakin diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2008, tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Sehingga kemungkinan hutan semakin dieksploitasi semakin terbuka lebar. Ada apa ini? Apakah hasil dari eksploitasi hutan yang akan diterima sebanding dengan resiko bencana ekologi yang akan terjadi ? Padahal sudah jelas, dampak dari kerusakan hutan dan lahan menyebabkan terjadinya banjir dimusim hujan. Berbagai kerugian dialami seperti rusaknya areal pertanian dan sarana prasarana berupa jalan, jembatan serta perumahan penduduk yang nilainya miliaran rupiah. Bencana banjir dan 120 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
tanah longsor juga menimbulkan korban jiwa dan dampak lain yaitu menyebarnya berbagai penyakit. Dimusim kemarau, rakyat mengalami kekeringan yang mengakibatkan penderitaan masyarakat. Kekurangan sumber air dimana-mana, sehingga pertanian tidak berjalan dengan semestinya. Kawasan dengan fungsi lindung, dibangun dan diolah tanpa mengikuti kaidah sistem pengolahan lahan yang tepat. Kalau keadaan ini berlanjut terus setiap tahun, dapat dibayangkan betapa akan merosotnya kondisi lingkungan kita saat ini. Kerugian yang besar akan dialami oleh pemerintah daerah, bangsa dan negara. Tingkat dan akselerasi kerusakan lingkungan saat ini telah lebih jauh berubah menjadi masalah sosial yang pelik. Aktifitas pembangunan saat ini telah menimbulkan masalah-masalah sosial seperti mengabaikan hak-hak rakyat atas kekayaan alam, marjinalisasi, dan pemiskinan. Permasalahan lingkungan hidup juga bukan masalah yang berdiri sendiri dan harus dipandang sebagai masalah sosial kolektif (http://satudunia.oneworld.net, 05 Februari 2008). Kerusakan Hutan yang Memprihatinkan Prihatin dan miris membaca berita di www.hutanindonesia.com tentang telah gundulnya lebih dari 1 juta hektar hutan di Jambi. Betapa tidak terbayangkan apa yang bakal terjadi akibat penggundulan hutan itu. Kekeringan, tandus dan gersang sudah terbentang sampai 1 juta hektar. Belum lagi efek jangka panjang dengan terkikisnya lapisan subur tanah atau erosi oleh air hujan, bahkan banjir dan longsor bisa terjadi kapan saja. Gundulnya hutan juga berakibat berkurangnya persediaan air tanah yang mulai menyusut karena hilangnya akar-akar pohon sebagai penyimpan dan penahan air bawah tanah. Belum lagi musnahnya flora dan fauna yang habitatnya berada di hutan, pasti juga akan mengalami kemusnahan. Hutan gundul akibat ulah tangan manusia yang menebangi kayu untuk dijual sebagai bahan baku kertas dan bahan bangunan serta furniture. Penebangan hutan untuk lahan pertanian yang dilakukan masyarakat atau untuk pembangunan pabrik, kantor, atau perumahan rakyat yang kadang tak sadar telah mengurangi hutan di negeri ini. Bahkan kerusakan tak sengaja seperti kebakaran hutan yang tiap tahun di musim kemarau selalu terjadi kebakaran hutan yang tak bisa terelakan menambah luasnya kerusakan hutan yang entah kapan bisa direboisasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang tinggal di sekitar hutan itu. Hutan Gundul Butuh Waktu Lama Menumbuhkannya Rasa prihatin dan bersedih atau hanya sekedar bersimpati atas gundulnya hutan-hutan di wilayah sekitar kita akibat pembukaan lahan untuk berbagai kepentingan dalam berbagai sektor: pertanian, pabrik,perumahan atau bahkan pembalakan liar tidak akan serta merta mengembalikan hijaunya dan rimbunnya hutan-hutan yang telah gundul itu. Perlu usaha keras dan sungguh-sungguh dari semua pihak untuk melakukan reboisasi yaitu penanaman atau penghijauan hutan kembali. Hutan yang lebat dengan pohon-pohon besar yang telah tumbuh dan hidup berpuluh tahun bahkan beratus-ratus tahun yang lalu, ini sedikit demi sedikit telah gundul. Seperti pada berita diatas telah musnah 1 juta hektar, bukan jumlah yang main-main, belum lagi hutan-hutan di seluruh wilayah NKRI yang juga telah mengalami nasib yang sama maka akan bertambah luas lagi hutan yang telah mengalami kegundulan. Hutan gundul tidak mudah menumbuhkan kembali. Tanah yang telah mengalami kegundulan dan gersang bahkan telah hilang unsur hara dalam tanah, sehingga sulit untuk ditanami kembali. Hutan alami tidak memerlukan perawatan sehingga tidak memerlukan biaya. Sedangkan untuk menanami hutan yang telah gundul diperlukan biaya yang tak sedikit dan memerlukan perawatan dan kesabaran. Kadang pohon yang telah ditanam mati karena tidak dirawat setelah dilakukan penanaman kembali. Bahkan diperlukan waktu yang lama untuk menumbuhkan hanya sebatang pohon saja. Hal-hal itulah kadang membuat proyek reboisasi sering gagal total dan bahkan sia-sia, telah menghabiskan dana yang banyak tapi tak ada hasilnya. Kadang proyek reboisasi juga hanya akalakalan saja untuk mendapatkan kucuran dana. Alhasil proyek hanya dijalankan setengah hati dan kegagalan sudahlah pasti karena niatnya hanya ingin memperoleh keuntungan semata. Seharusnya hal Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
121
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
itu tidak perlu terjadi jika Pemerintah dan masyarakat sama-sama sadar akan pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Melestarikan Lebih Baik daripada Reboisasi Seharusnya niat yang tulus dari pemerintah dan masyarakat harus ditanamkan demi kelestarian hutan kita saat ini. Pemerintah dan masyarakat harus betul-betul menyadari bahwa melakukan pencegahan kerusakan hutan atau melakukan pelestarian lebih mudah dibanding dengan melakukan reboisasi. Reboisasi memang harus tetap dilakukan bagi hutan-hutan yang telah gundul. Tapi pencegahan terhadap kerusakan hutan yang lebih luas lagi harus segera dihentikan. Melakukan pelestarian lebih baik dan hanya diperlukan ketegasan dari pemerintah terhadap pelaku perusakan hutan dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya hutan bagi keseimbangan alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan makhluk yang ada di muka bumi ini.
DAMPAK KERUSAKAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Sumberdaya alam utama yang terdapat dalam suatu DAS yang harus diperhatikan dalam pengelolaan DAS adalah sumberdaya hayati, tanah dan air. Sumberdaya tersebut peka terhadap berbagai macam kerusakan (degradasi) seperti kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity), kehilangan tanah (erosi), kehilangan unsur hara dari daerah perakaran (kemerosotan kesuburan tanah atau pemiskinan tanah), akumulasi garam (salinisasi), penggenangan (water logging), dan akumulasi limbah industri atau limbah kota (pencemaran) (Rauschkolb, 1971; ElSwaify, et. al. 1993). Menurunnya kualitas air yang disebabkan baik oleh sedimen yang bersumber dari erosi maupun limbah industri (polusi) sudah sangat dirasakan di daerah aliran sungai yang berpenduduk padat. Erosi di daerah tropika basah dengan berbagai fenomena yang bertalian erat dengannya seperti penurunan produktivitas tanah, sedimentasi, banjir, kekeringan, termasuk jenis kerusakan DAS yang memerlukan penanganan segera dengan menggunakan teknologi yang telah dikuasai maupun teknologi baru, agar degradasi lingkungan tidak berlanjut mencapai tingkat yang gawat. Dampak negatif erosi terjadi pada dua tempat yaitu pada tanah tempat erosi terjadi, dan pada tempat sedimen diendapkan. Kerusakan utama yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi adalah kemunduran kualitas sifatsifat biologi, kimia, dan fisik tanah. Kemunduran kualitas tanah tersebut dapat berupa kehilangan keanekaragaman hayati, unsur hara dan bahan organik yang terbawa oleh erosi, tersingkapnya lapisan tanah yang miskin hara dan sifat-sifat fisik yang menghambat pertumbuhan tanaman, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kapasitas tanah menahan air, meningkatnya kepadatan tanah dan ketahanan penetrasi serta berkurangnya kemantapan struktur tanah. Hal tersebut pada akhirnya berakibat pada memburuknya pertumbuhan tanaman, menurunnya produktivitas tanah atau meningkatnya pasokan yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi. Memburuknya sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah serta menurunnya produktivitas tanah sejalan dengan semakin menebalnya lapisan tanah yang tererosi (Sudirman et al 1986). Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh aliran permukaan diendapkan di bagian tertentu atau masuk ke sungai serta diendapkan di dalam sungai, waduk, danau atau saluran-saluran air. Disamping itu dengan berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah yang mengalami erosi akan menyebabkan aliran permukaan (run off) meningkat. Peningkatan aliran permukaan dan mendangkalnya sungai mengakibatkan banjir semakin sering dengan tingkatan (derajat) yang semakin berat pada setiap musim hujan. Terjadinya banjir sudah merupakan fenomena yang berulang setiap tahun di banyak DAS di Indonesia. Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian terlihat bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang tidak terpisahkan dari peristiwa eropsi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau sungai (Sinukaban 1981). Hal ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi 122 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
berlebihan dalam danau atau waduk sehingga memungkinkan perkembangan tananam air menjadi lebih cepat dan pada akhirnya mempercepat pendangkalan dan kerusakan waduk atau danau tersebut. Meningkatnya aktivitas pertambangan dan pembanguan pabrik yang tidak diikuti dengan teknik konservasi dan penanganan limbah yang memadai, akan meningkatkan pencemaran yang luar biasa di bagian hilir. Dari gambaran tersebut telihat juga bahwa laju erosi suatu DAS dapat dijadikan salah satu indikator kecepatan proses pengrusakan (degradasi) DAS. Untuk menilai laju erosi yang terjadi di suatu DAS, petunjuk dasar yang mudah diperoleh adalah konsentrasi sedimen dalam aliran permukaan (Sinukaban 1981). Berdasarkan konsentrasi sedimen dalam air sungai, laju erosi di beberapa DAS di Indonesia pada 30 – 40 tahun yang lalu sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan (Badrudin Mahbub, 1978) dan di banyak tempat sudah lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan (Sinukaban 1994). Dari perkembangan pengamatan ternyata laju erosi saat ini sudah semakin meningkat dan sudah jauh lebih gawat dari pada keadaan 30 – 40 tahun yang lalu, terutama pada DAS kategori prioritas I. Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau adalah indikator utama kerusakan DAS yang sangat jelas. Pada dasarnya banjir terjadi karena sebagian besar dari hujan yang jatuh ke bumi tidak masuk kedalam tanah mengisi akuifer, tetapi mengalir di atas permukaan yang pada gilirannya masuk ke sungai dan mengalir sebagai banjir ke bagian hilir. Hal ini terjadi karena kapasitas infiltrasi tanah sudah menurun akibat rusaknya DAS. Faktor utama kerusakan DAS yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi adalah: (1) hilang / rusaknya penutupan vegetasi permanen / hutan di bagian huilu, (2) pengunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, dan (3) penerapan teknologi pengelolaan lahan / pengelolaan DAS yang tidak memenuhi syarat yang diperlukan. Penurunan infiltrasi akibat kerusakan DAS mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run off) dan menurunnya pengisian air bawah tanah (groundwateri) mengakibatkan meningkatnya debit aliran sungai pada musim hujan secara drastis dan menurunnya debit aliran pada musim kemarau. Pada keadaan kerusakan yang ekstrim akan terjadi banjir besar di musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kehilanghan air dalam jumlah besar di musim hujan yaitu mengalirnya air ke laut dan hilangnya mata air di kaki bukit akibat menurunnya permukaan air bawah tanah. Dengan perkataan lain, pengelolaan DAS yang tidak memadai akan mengakibatkan rusaknya sumberdaya air.
PERANAN PEMERINTAH DALAM KELESTARIAN HUTAN Dalam pelestarian hutan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya harus proaktif dan berperan sebagai motor penggerak dan sebagai pelindung hutan yang utama. Ada beberapa hal berikut ini mesti dilakukan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan konservasi lahan dan menjaga kelestarian hutan. 1. Ketegasan Penegakan Hukum Ketegasan Pemerintah dalam kebijakan yang diambil haruslah memikirkan kelestarian hutan. Pemerintah dan para penegak hukum juga harus memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku pembalakan liar dan para cukong yang berada dibalik pelaku pembalakan liar itu. Pemerintah juga harus menindak tegas orang-orang yang telah melakukan pencurian sumber daya hutan serta para pelaku perusak hutan. Hukum tak pandang bulu, walaupun seorang pejabat kepala daerah yang melakukan harus dihukum seberat-beratnya. Penegakan hukum inilah yang jadi pangkal masalah sehingga pembalak liar dan para backing yang merupakan penegak hukum itu sendiri, cukong dan bahkan kepala daerah tetap melenggang bebas walaupun sudah jelas terbukti melakukan pengrusakan hutan dengan memberi izin yang menyalahi aturan kelestarian hutan. 2. Menggalakan Pariwisata Hutan Dengan melakukan pelestarian maka ekonomi kehutanan berkurang akibat dihentikannya penebangan hutan untuk industri furniture, kertas dan bahan bangunan. Sebagai penggantinya Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
123
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
pemerintah bisa menggalakan pariwisata hutan. Pemerintah bisa membangun wisata alam yang selama ini sudah dibangun di beberapa tempat misalnya di taman hutan Gunung Leuser Sumatera Utara dan Taman Nasional Ujung Kulon di jawa Barat. Jika dikelola denga profesional maka wisata alam dan hutan ini akan menambah devisa negara di sektor pariwisata dan akan menambah pemasukan kas negara. Tak perlu pesimis bahwa wisata hutan tak diminati, bahkan para turis mancanegara lebih senang berwisata di hutan-hutan di indonesia ini. 3. Kebijakan Semua hutan adalah hutan lindung Pemerintah harus menerapkan kebijakan bahwa semua hutan adalah hutan lindung, yang wajib dilindungi dan dilestarikan. Tindak berat kepada siapa saja yang melakukan penebangan liar di setiap hutan di negeri ini. Dengan kebijakan ini maka kerusakan hutan bisa dikurangi sedikit demi sedikit. 4. Reboisasi Tepat Sasaran dan Perawatan Pasca Reboisasi Pemerintah harus melakukan reboisasi yang tepat sasaran dan harus melakukan pengawasan dan perawatan setelah dilakukan reboisasi. Perawatan pohon yang ditanam memerlukan dana yang tak sedikit. Apalagi untuk melakukan pemupukan dan penyiraman setiap pohon yang ditanam. Ini erat kaitannya dengan keberhasilan proses reboisasi itu sendiri. Tak jarang pohon yang telah ditanam dirusak oleh orang yang tak bertanggung jawab atau bahkan pohon yang baru bersemi dimakan oleh hewan-hewan liar atau malah hewan-hewan ternak milik masyarakat. Jika tidak dilakukan pengawasan dan perawatan reboisasi tidak akan berhasil dengan maksimal.
PERANAN MASYARAKAT TERHADAP KELESTARIAN HUTAN DAN REBOISASI Selain pemerintah, masyarakat juga harus berperan aktif dalam melakukan pelestarian dan penghijauan hutan kembali (reboisasi). Tanpa peran serta dan dukungan masyarakat (baik masyarakat sebagi individu; pemerhati lingkungan; maupun masyarakat yang terhimpun dalam wadah organisasi pecinta konservasi tanah dan air / MKTI) maka kelestarian hutan juga tidak dapat dikendalikan. Berikut ini beberapa peran serta masyarakat yang cukup penting dalam pelestarian hutan di Indonesia: - Menanamkan Kesadaran Pentingnya Hutan Seperti yang telah diuraikan diatas. Maka hutan sebagai paru-paru dunia dan bumi ini bergantung pada hutan sebagai penjaga suhu bumi agar tetap stabil (global warming). Dimana jika hutan ini habis maka suhu bumi tidak stabil sehingga kerusaka ekosistem yang lain akan susul-menyusul. Masyarakat harus tahu hal itu dan sejak dini anak-anak (sekolah) dan remaja harus didik dan disosialisasikan agar sadar akan lingkungan dan kelestarian hutan. Orang tua dan guru harus terus mengkampanyekan pentingnya hutan agar tertanam dalam bawah sadar mereka bahwa kerusakan hutan akan juga merusak kelangsungan hidup manusia. Jika kesadaran itu sudah tumbuh maka, masyarakat akan saling bekerja sama menjaga kelestarian hutan dan segera melapor atau mencegah dengan sendirinya jika ada orang-orang yang hendak merusak atau menebang pohon-pohon di hutan di sekitar mereka. - Menghilangkan Kebiasaan Ladang Berpindah-Pindah Bagi masyarakat petani harus dihindari pembukaan lahan hutan untuk pembuatan ladang yang berpindah-pindah. Ini juga salah satu penyebab kerusakan hutan yang mungkin masih sering terjadi terutama di daerah-daerah terpencil, di wilayah Sumatera Selatan. - Kebiasaan Menanam Pohon Masyarakat terutama generasi muda diharapkan mempunyai kebiasaan menanam pohon dilingkungan tempat tinggalnya. Baik dipekarangan rumah atau dipinggir-pinggir jalan desa.
124 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
Kebiasaan ini perlu dipupuk sejak dini. Memang sulit hal ini diterapkan di daerah perkotaan. Tapi kebiasaan ini masih bisa diterapkan di desa-desa dan digalakan untuk masyarakat desa. - Menjaga Lingkungan Hidup, menghemat Air Bersih dan Daur Ulang Masyarakat juga diminta untuk menjaga lingkungan tempat tinggal dengan menjaga kebersihan lingkungan. Menghemat penggunaan air bersih dan tidak mencemari sumber-sumber air bersih seperti sungai dan danau dan lain-lain. Masyarakat juga harus kreatif memanfaatkan teknologi daur ulang untuk menjadikan sampah sampah organik sebagai pupuk dan juga menggunakan kertas daur ulang untuk menghindari penggunaan kertas.
PERMASALAHAN KONSERVASI TANAH DAN AIR Beberapa permasalahan dalam bidang Konservasi Tanah dan Air tergolong kompleks, ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya permasalahan kerusakan lahan dan air di wilayah kita, antara lain adalah sbb: Faktor Alami Penyebab Erosi Secara alami proses erosi pasti akan terjadi, hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor alami yang berpengaruh dan biasanya sulit di atasi, beberapa faktor alam tersebut adalah sebagai berikut: (1) faktor iklim (curah hujan) yang tinggi, baik kuantitas maupun intensitasnya, (2) faktor lereng yang bervariasi dari mulai landai sampai sgt curam, dan (3) faktor internal tanah yang peka erosi, terutama terkait dengan sifat dab karakteristik tanah itu sendiri. Data BMG menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%). Praktek Pertanian yang Kurang Bijak Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datar berombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor lainnya, Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahan- lahan berlereng curam, kondisi seperti ini juga terjadi di wilayah Sumatera Selatan. Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budidaya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak dijumpai di beberapa dataran tinggi Sumatera Selatan. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian. Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan ekonomi. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
125
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa mendatang. Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah. Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian (Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundang-undangan. Selain itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan mudah dan murah.
PERANAN KONSERVASI TANAH DAN AIR TERHADAP PELESTARIAN, PRODUKTIVITAS DAN SUMBERDAYA TANAH DAN AIR Untuk menjaga produktivitas lahan, maka penggunaan lahan harus sesuai dengan Kemampuan Lahan serta penggunaan agroteknologi harus disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai. Tipe teknik konservasi tanah dan air yang banyak diterapkan di seluruh dunia termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur, dan manajemen (WASWC, 1998). Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok agronomi antara lain penanaman tanaman campuran (tumpang sari), penananam berurutan (rotasi), penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimum, penananam tanpa olah tanah, penanaman mengikuti kontur, penananam di atas guludan mengikuti kontur, penggunaan pupuk hijau atau pupuk buatan, dan penggunaan kompos. Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok vegetatif antara lain penanaman tanaman pohon atau tanaman tahunan (seperti kopi, teh, tebu, pisang), penanaman tanaman tahunan di batas lahan (tanaman pagar), penanaman strip rumput (vetiver, rumput makanan ternak). Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok struktur antara lain saluran penangkap aliran permukaan, saluran pembuangan air, saluran teras, parit penahan air (rorak), sengkedan, guludan, teras guludan, teras bangku, dam penahan air, dan embung pemanen air hujan. Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok manajemen antara lain perubahan pengunaan lahan menjadi lebih sesuai, pemilihan usaha pertanian yang lebih cocok, pemilihan peralatan dan masukan komersial yang lebih tepat, penataan pertanian termasuk komposisi usaha pertanian, dan penentuan waktu persiapan lahan, penanaman, dan pemberian input. Penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai di berbagai proyek pengembangan pertanian dan penelitian telah membuktikan bahwa teknik konservasi tanah dan air mampu menstabilkan produktivitas pertanian dan bahkan pada beberapa tempat mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani (Sihite dan Sinukaban, 2004). Penanaman sayuran mengikuti kontur pada tanah Andosol yang mempunyai drainase yang baik di Citere Jawa Barat mampu mempertahankan produktivitas lahan dan sangat efektif menekan erosi. Penggunaan rorak dan tananam penaung multistrata di pekebunan kopi rakyat mampu menekan erosi dan meningkatkan pendapatan petani sampai lebih dari Rp. 6.000.000 di DAS Besai Lampung barat. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya air di suatu DAS, maka penutupan vegetasi permanen harus tetap dijaga kelestariannya, penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan dan 126 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....
teknologi pengelolaan DAS harus memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Di DAS yang didominasi oleh daerah pertanian, penerapan teknik konservasi yang memadai sangat diperlukan untuk meningkatkan infiltrasi dan menurunkan aliran permukaan yang pada gilirannya dapat melestarikan sumberdaya air. Hasil penelitian tentang pengaruh teknik konservasi tanah dan air yang memadai dalam pengelolaan DAS terhadap kelestarian sumber daya air di Jawa Barat dan Lampung sangat positif (Sinukaban et al, 1998, Sihite dan Sinukaban 2004). Penelitian-penelitian tersebut menunjukan bahwa teknik pengelolaan DAS yang memenuhi kaidah konservasi tanah dan air akan menurunkan aliran permukaan (quick flow) dan menaikan aliran dasar (base flow) serta memperpanjang masa aliran dasar secara substansial (Sinukaban et al, 1983).
PENUTUP
Permasalahan degradasi lahan saat ini masih menjadi persoalan serius di Indonesia maupun di Sumatera Selatan, dan belum ada “praktek kebijakan” yang “PAS” untuk menanggulanggi dan mencegahnya secara tepat.
Dalam kaitaannya dengan Pengelolaan lingkungan hidup, maka perlu upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Dasar dan prinsip pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup sehingga dapat membangun manusia seutuhnya dan mewujudkan manusia sebagai bagian lingkungan hidup dan tidak akan dapat dipisahkan.
Dalam kaitannya dengan Penanggulangan terjadinya Degradasi lahan, maka peran MKTI bersama pemerintah, pemerhati lingkungan dan pihak swasta (coorporation) harus terjalin secara sinergis dan berkelanjutan. Karena tanpa peran serta dan dukungan masyarakat maka kelestarian hutan juga tidak dapat dikendalikan. Beberapa peran serta masyarakat yang cukup penting dalam pelestarian hutan di Sumataera Selatan adalah: menanamkan kesadaran pentingnya hutan, menghilangkan kebiasaan ladang berpindah, melakukan kebiasaan menanam pohon, menjaga lingkungan hidup, menghemat air bersih dan melakukan daur ulang.
PUSTAKA ACUAN Abdurachman, A. 2004. Pengendalian konversi lahan sawah secara komprehensif. Makalah pada Round Table Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian,14 Desember 2004. Badrudin M. 1978. Tingkat Erosi Beberapa Wilayah Sungai di ndonesia. Direktorat Penyediaan Masalah Air. BPDAS Musi, 2011. Laporan Kegiatan Identifikasi dan karakteristik Lahan di Sumatera Selatan. Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34. Dalam Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Rauschkolb, R.S. 1971. Land Degradation. FAO Soil Bull, No. 13 Sinukaban, N. 1981. Erosion Selectivity as Affected by Tillage Planting System. Ph.D Thesis University of Winconsin, Madison, USA. Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. J.L. Amstrong and MG Nethery, 1994. Effect of Soil Conservation Practices and Slope Lengths on Run Off, Soil Loss and Yield of Vegetables in West Java. Aust, J. Soil and Water Cons. 7(3): 25-29. Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. and J. Amstrong. 1998. Impact of soil and Water Conservation Practiceson Stream Flows in Citere Catchment, West Java, Indonesia. Toward Sustainable Land Use. Advances in Geoecology 31:1275-1280 Sihite, J. and Sinukaban. 2004. Economic Valuation of Land Use Cange in Besai Sub Watershed Tulang Bawang Lampung. Proceed of International Seminar on “Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production” 3 – 5 Dec 2004. Cilegon, Indonesia
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
127
Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) .... Sinukaban, 2007 . “Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.” Dalam Fahmudin Agus et al (2007) (Penyunting). “Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Soemarwoto, 1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta WASWC (World Association of soil dan eater Conservation). 1998. Wocat (World Overview of Concervation Approachs and Technologies). A Frame Work for the Evaluation of Soil and water Conservation. Lang Druck AG, Bern Switzerland.
128 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG PADA BERBAGAI SISTEM OLAH TANAH DAN JARAK TANAM 1) Rismiyanto, Soni Isnaini, Rakhmiati, Yatmin, dan Maryati 2) Abstract: Yield of corn (Zea mays L.) a given extreme by land preparation method and row spacing. The objective of this research was study influence of soil tillage and row spacing to growth and yield of corn. This research was done in Gunung Sugih Besar village, Sekampung Udik subdistrict, Lampung Timur district from October 2003 to January 2004. The field design made use randomized completely block design with the treatment arranged in a split-plot manner by 3 replications. Main plot was tillage system (no-tillage, minimum tillage, and intensive tillage) and sub plot was row spacing (20x70 cm, 25x70 cm, and 30x70cm). Analysis data with analysis of variant and followed by least significant deference to level of significant was 5%. The result of this research that weight of corn cob and length of corn cob with no tillage was lower 11,11% and 7,91% than minimum tillage and intensive tillage, respectively. The more row spacing, length of corn cob was higher 10,67% than 20x70 cm row spacing. In the other hand, variable of plant high, weight of biomass, weight of 100 seeds, and yield of corn not including influenced by the treatments. Keywords: tillage, row spacing, corn 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI Sumatera Selatan, 6-7 November 2013 Dosen pada Jurusan Agroekoteknologi Sekolah Tinggi Pertanian Dharma Wacana
PENDAHULUAN
D
i Indonesia, jagung (Zea mays L.) merupakan komoditi pertanian tanaman pangan penting setelah padi. Di samping sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras, jagung pun digunakan sebagai pakan dan bahan baku penting industri, Makin pentingnya komoditi jagung ini tercermin dari makin meningkatnya kebutuhan jagung dalam negeri, yaitu rata-rata mencapai 9,6% per tahun, sedangkan rata-rata peningkatan produksi hanya 1,1% per tahun. Atas dasar ini, peluang mengembangkan komoditi jagung, peluangnya lebih besar karena permasalahan budidaya jagung relatif lebih sedikit, hama penyakitnya tidak terlalu banyak dan keuntungan usaha taninya pun lebih tinggi (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Permasalahan utama yang dihadapi pada budidaya jagung adalah masih rendahnya produktivitas tanaman, yaitu hanya sekitar 3,3 – 4,2 t/ha pada kurun waktu 2004-2009 (Dirjen TP Kementan, 2010). Menurut Utomo (2004), rendahnya produktivitas jagung terutama disebabkan: (1) sebagian besar tanaman jagung ditanam di lahan kering yang kurang subur dan defisit air, (2) penggunaan varietas unggul masih kurang, (3) teknik pengolahan tanahnya tidak memperhatikan teknik-teknik konsrervasi, sehingga tanahnya makin lama makin kurus, dan (4) pemupukan dan pemeliharaan tanaman belum optimal. Agar produktivitas tanaman dan keuntungan usaha tani jagung dapat ditingkatkan, diperlukan teknik budidaya yang bukan hanya mampu meningkatkan produktivitas tanaman jagung saja, tetapi juga mampu melestarikan sumberdaya lahan. Teknik olah tanah konservasi (OTK) merupakan salah satu upaya kongkrit yang mampu menjawab permasalan tersebut (Utomo, 2004; Moenandir, 2004; Hairiah dkk., 1998; Pekrun dkk., 2003; Utomo, 2011). Salah satu keunggulan OTK adalah kemampuan teknologi untuk menurunkan emisi CO2, dalam arti luas OTK merupakan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan (Utomo dkk., 2012; Utomo, 2011). Sistem olah tanah konservasi adalah sistem persiapan lahan yang bertujuan untuk menyiapakan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum dengan tetap memperhatikan konservasi tanah dan air. Pada perkembangan sistem OTK lebih lanjut, aspek konservasi tanah dan air kemudian lebih diseimbangkan dengan aspek sosial ekonomi. Pada sistem OTK, di samping kelayakan fisik seperti kelayakan tanah dan persyaratan mulsa dipermukaan lahan lebih dari 30% (Köller, 2003).
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
129
Rismiyanto, dkk./Pertumbuhan dan Hasil Jagung pada Berbagai Sistem Olah Tanah dan Jarak Tanam
Pada budidaya jagung, di samping persiapan lahan harus menjadi perhatian utama, di pihak lain jarak tanam juga harus diatur pada kondisi yang optimal. Pengaturan jarak tanam yang salah satu tujuannya adalah untuk mengoptimalkan persaingan cahaya dan hara. Diharapkan pada jarak tanam optimal, produksi jagung akan lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam yang suboptimal. Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh pengolahan tanah dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil jagung.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di desa Gunung Sugih Besar, kecamatan Sekampung Udik, kabupaten Lampung Timur sejak bulan Oktober 2003 sampai Januari 2004 pada jenis tanah Latosol dengan ketinggian 25 – 50 m dpl. Bahan yang digunakan adalah benih jagung hibrida P 12, pupuk urea, SP 36, KCl, Rhidomil, karbofuran, herbisida isoprofilamina glyfosat dan air ledeng. Alat-alat yang digunakan meliputi alat pengolahan tanah, ember, handsprayer, dan neraca. Perancangan lingkungan menggunakan rancangan kelompok teracak lengkap yang perlakuannya disusun secara split-plot dengan 3 ulangan. Sebagai petak utama adalah sistem olah tanah (tanpa olah tanah, olah tanah minimum, dan olah tanah intensif), dan anak petak adalah jarak tanam (20x70 cm, 25x70 cm, dan 30x70cm). Data dianalisis ragam dan dilanjutkan uji beda nyata terkecil pada taraf nyata 5%. Luas petak percobaan 4,2x6 m2 dengan jarak antarulangan 1 m dan jarak antarpetak 0,5 m. Pada sistem tanpa olah tanah, dua minggu sebelum tanam gulma dikendalikan dengan herbisida isoprofilamina glyfosat dengan dosis 5 L ha-1 volume semprot 400 L ha-1. Tanah yang diolah secara minimum hanya diolah satu kali bajak dengan kedalaman 10 cm, lalu benih jagung ditugal yang sebelumnya telah dicampur dengan fungisida Rhidomil. Sistem olah tanah intensif dengan melakukan pembajakan dua kali dengan kedalaman sekitar 20 cm, lalu digemburkan dan gulma dibersihkandiratakan, lalu ditugalkan benih jagung. Setelah penanaman selesai dilakukan pemupukan urea dengan 1/3 dosis (300 kg urea ha-1), SP 36 150 kg ha-1, dan 50 kg KCl ha-1 yang telah dicampur dengan karbofuran diberikan secara tugal disamping lubang benih. Sisa pupuk urea diberikan saat 3 MST dan 6 MST. Pemanenan biji jagung dilakukan setelah buah jagung cukup tua dengan kriteria klobot jagung telah menguning dan agak kering, sedangkan biji bila ditekan dengan kuku telah keras. Peubahpeubah yang diamati adalah tinggi tanaman, bobot biomassa, bobot tongkol jagung tanpa klobot, panjang tongkol, bobot 100 butir jagung, dan hasil pipilan kering.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristika tanah Inceptisol (Latosol) lokasi percobaan memperlihatkan bahwa tanah bersifat masam dengan kapasitas sangga pH tanah yang lebar. Sifat sangga pH tanah ini semakin tinggi akibat kandungan bahan organik yang tinggi. Meskipun kandungan bahan organik tinggi tetapi N total tergolong rendah sehingga pertumbuhan jagung jika tanpa masukan dari luar. Fakta yang serupa diperlihatkan oleh kandungan P tanah tersedia yang rendah (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik beberapa sifat kimia pada lokasi penelitian
Kedalaman pH H2O pH KCl C-org N-total P-Bray II KTK g kg-1 mg kg-1 cmol kg-1 0-20 cm 4,6 3,8 4,30 0,60 17 6,5 Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot tongkol jagung dan panjang tongkol jagung dengan tanpa olah tanah lebih rendah 11,11% dan 7,91% daripada olah tanah minimum dan olah tanah intensif, secara berurutan. Semakin lebar jarak tanam, panjang tongkol jagung lebih tinggi 10,67% daripada jarak tanam 20x70 cm. Di pihak lain, peubah tinggi tanaman, bobot kering biomassa, bobot 100 dan hasil jagung belum dipengaruhi oleh kedua faktor perlakuan (Tabel 2). 130 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Rismiyanto, dkk./Pertumbuhan dan Hasil Jagung pada Berbagai Sistem Olah Tanah dan Jarak Tanam
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pertumbuhan jagung yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman dan bobot biomass belum meningkat secara nyata jika dibandingkan antara olah tanah konsrervasi (tanpa olah tanah dan olah tanah minimum) dengan olah tanah intensif atau sebaliknya olah tanah intensif lebih baik daripada olah tanah konservasi. Hal ini berarti ketiga sistem olah tanah memberikan pengaruh yang homogen terhadap pertumbuhan jagung. Fakta ini dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan akar, karena akar akan menyerap hara dari zone perakaran. Pertumbuhan akar sangat ditentukan oleh aerasi tanah, berdasarkan data analisis tekstur menunjukkan kelas tekstur pasir berliat. Tabel 2. Perbandingan orthogonal peubah tinggi tanaman (TT), bobot biomassa (BB), panjang tongkol jagung (PTJ), berat tongkol jagung (BTJ), bobot 100 butir biji kering (B100), hasil biji pipilan kering (HBPK) akibat pengolahan tanah dan jarak tanam
Kontras (C)
TT
BB
PTJ
Peubah BTJ
Petak utama: C1: t1 vs.t2,t3 1,66 <1 12,24* 9,05* C2: t2 vs. t3 <1 <1 <1 3,52 Anak petak: C3: j1 vs. j2,j3 <1 2,62 5,07* 2,76 C4: j2 vs. j3 <1 <1 4,57 1,89 Pengaruh Interaksi: C1 x C3 <1 <1 <1 <1 C1 x C4 <1 3,45 <1 <1 C2 x C3 <1 <1 1,02 <1 C2 x C4 3,66 1,66 <1 <1 Pengaruh sederhana: C3 pada t1 <1 <1 1,72 <1 C3 pada t2 <1 <1 2,91 1,13 C3 pada t3 <1 <1 <1 <1 C4 pada t1 <1 1,40 <1 1,41 C4 pada t2 <1 <1 1,85 <1 C4 pada t3 1,74 <1 2,03 <1
F B100 HBPK Hitung 1,36 <1
2,73 <1
7,71 7,71
<1 <1
<1 <1
4,75 4,75
<1 <1 <1 <1
<1 <1 <1 <1
4,75 4,75 4,75 4,75
<1 <1 <1 <1 <1 <1
<1 <1 <1 <1 <1 <1
4,75 4,75 4,75 4,75 4,75 4,75
Perbedaan jarak tanam yang hanya 5 cm dalam barisan sedangkan antar-barisan konstan (70 cm) secara umum belum menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap peubah pertumbuhan dan hasil jagung. Fakta ini menggambarkan bahwa pengaruh radiasi matahari yang masuk searah antar-barisan lebih penting peranannya pada fotosintesis, sehingga pertumbuhan dan hasil jagung yang dihasilkan bernilai homogen, kecuali panjang tongkol jagung yang nilainya bervariasi. Pembahasan yang cukup relevan terhadap peubah panjang tongkol jagung, yaitu berkaitan dengan semakin lebar jarak tanam maka populasi tanaman per ha semakin sedikit jumlahnya. Keuntungan dengan sedikitnya populasi tanaman per ha, karena persaingan pembentukan akar seminal pada monokotil (jagung) (Gardner dkk., 1985). Menurut Pavlychenko (1937 dalam Gardner dkk., 1985), perbedaan jumlah akar seminal tampaknya ikut menentukan kemampuan adaptasi dan persaingan antar-tanaman. Persaingan antar-tanaman menyebabkan bobot akar menurun dengan drastis, namun pada penelitian ini peubah itu tidak diamati. Selain itu, kerapatan tanaman merupakan salah satu faktor yang lebih menentukan perkembangan pucuk ketiak (berakibat pada ketersediaan cahaya bagi tajuk sebelah bawah) (Gardner dkk., 1985). Tabel 2 memperlihatkan bahwa pertumbuhan jagung belum dipengaruhi oleh bervariasinya cara pengolahan tanah, fakta ini berkaitan dengan sifat fisika maupun kimia tanah yang belum berbeda. Sifat fisika tanah terutama perubahan nilai indeks kestabilan agregat akibat perbedaan cara olah tanah pada musim pertama relatif masih sama. Mungkin yang berbeda sifat fisika tanahnya adalah sistem aerasi tanah pada pengolahan tanah intensif, tetapi pada kondisi ini sistem aerasi belum membatasi pertumbuhan jagung yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman dan bobot biomassa. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
131
Rismiyanto, dkk./Pertumbuhan dan Hasil Jagung pada Berbagai Sistem Olah Tanah dan Jarak Tanam
Syahbuddin dkk. (1998) melaporkan hal yang sama dengan temuan pada penelitian ini, di pihak lain jika pupuk N diaplikasikan bersamaan pada cara pengolahan tanah akan menghasilkan pengaruh interaksi. Fakta ini mengindikasikan bahwa OTK memerlukan pemupukan N yang optimal dengan tujuan untuk membantu dekomposisi mulsa yang terhampar pada permukaan tanah yang berasal dari gulma yang dikendalikan dengan herbisida. Utomo (1989) mengemukakan bahwa sistem OTK membutuhkan pemupukan yang optimal. Tabel 1 memperlihatkan bahwa hasil biji pipilan kering baik pada ketiga sistem olah tanah maupun ketiga jarak tanam belum bervariasi. Hasil jagung pada ketiga sistem olah tanah yang dihubungkan dengan komponen hasil (panjang tongkol, berat tongkol, dan bobot 100 biji) ternyata hasil biji pipilan kering sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen hasil (nilai F yang positif dan >1). Sedangkan hasil biji pipilan kering pada ketiga jarak tanam ditentukan oleh komponen hasil dengan derajat yang kecil (korelasinya tidak dihitung).
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot tongkol jagung dan panjang tongkol jagung dengan tanpa olah tanah lebih rendah 11,11% dan 7,91% daripada olah tanah minimum dan olah tanah intensif, secara berurutan. Semakin lebar jarak tanam, panjang tongkol jagung lebih tinggi 10,67% daripada jarak tanam 20x70 cm. Di pihak lain, peubah tinggi tanaman, bobot kering biomassa, bobot 100 dan hasil jagung belum dipengaruhi oleh kedua faktor perlakuan. Disarankan untuk melakukan penelitian OTK dengan masa tanam yang lebih lama dan dikombinasikan dengan pemupukan N. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T., dan Y.E. Widyastuti. 2004. Meningkatkan produksi jagung di lahan kering, sawah dan pasang surut. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. 2010. Road map swasembada jagung 2010-2014. Kementerian Pertanian. Jakarta. Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1985. Fisiologi tanaman budidaya. Diterjemahkan oleh H. Susilo (1991). UI Press. Jakarta. Hairiah, K., S. Ismunandar, dan E. Handayanto. 1998. Pengelolaan tanah secara biologi pada lahan kering beriklim basah melalui pendekatan holistik dan spesifik lokasi menuju sistem pertanian berkelanjutan. Hlm. 12-28. Dalam Sudaryono dkk. (eds.). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat daerah HITI Tahun 1998. Buku 1. HITI Komda Jawa Timur. Koller, K. 2003. Techniques of soil tillage. pp. 1-25. In El Titi, A. (ed.). Soil Tillage in Agroecosystems. CRC Press. Boca Raton, Florida. Moenandir, J. 2004. Penerapan oalah tanah konservasi dalam sistem produksi jagung (Menuju Celebes corn belt). Hlm 36-44. dalam A. Tjoneng dan J. Riry (eds.). Pros. Seminar Nasional IX Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi Gorontalo, 6-7 Oktober 2004. HIGI, Universitas Gorontalo, dan Pemerintah Provinsi Gorontalo. Pekrun, C., H.P. Kaul, and W. Claupein. 2003. Soil tillage for sustainable nutrient management. pp. 83-113. In El Titi, A. (ed.). Soil Tillage in Agroecosystems. CRC Press. Boca Raton, Florida. Syahbuddin, H., M. Utomo, H. Hamim, dan R. Hartawan. 1998. Perubahan sifat kimia tanah, pertumbuhan dan hasil jagung pada dua teknologi olah tanah yang dikapur dan diberi pupuk N berbeda pada lahan alang-alang Podsolik Merah Kuning. Hlm. 233-246. Dalam Sudaryono dkk. (eds.). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat daerah HITI Tahun 1998. Buku 1. HITI Komda Jawa Timur. Utomo, M. 1989. Olah tanah konservasi teknologi untuk pertanian lahan kering. Pidato Ilmiah Dies Natalis Universitas Lampung ke-24. Universitas Lampung, Bandar Lampung. 24 hlm. Utomo, M. 2011. Olah tanah konservasi untuk mitigasi gas rumah kaca dan ketahanan pangan. Hlm. Istimewa. Dalam A. Abrar dkk. (eds.). Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-ilmu Pertanian PTN Wil Barat. Volume 3. Fakultas Pertanian UNSRI. Utomo, M. 2004. Olah tanah konservasi untuk budidaya jagung berkelanjutan. Hlm. 18-35. Dalam A. Tjoneng dan J. Riry (eds.). Pros. Seminar Nasional IX Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi Gorontalo, 6-7 Oktober 2004. HIGI, Universitas Gorontalo, dan Pemerintah Provinsi Gorontalo.
132 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Rismiyanto, dkk./Pertumbuhan dan Hasil Jagung pada Berbagai Sistem Olah Tanah dan Jarak Tanam Utomo, M., H. Buchari, I.S. Banuwa, L.K. Fernando, dan R. Saleh. 2012. Carbon storage and carbon dioxide emission as influenced by long-term conservation tillage and nitrogen fertilization in corn-soybean rotation. J. Tropical Soils 17(1): 75-84.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
133
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN LAHAN KERING UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITASNYA 1) NP. Sri Ratmini2) Abstrak: Pengembangan lahan kering sebagai lahan pertanian merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun peternakan. Pengembangan pertanian di lahan kering perlu berbagai inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian maupun untuk menjaga produktivitas lahan. Luas lahan kering yang digunakan sebagai lahan pertanian di Indonesi 55.619.030 ha yang tersebar di seluruh pulau di Indonesi. Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering secara umum sangat bervariasi antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, yaitu meliputi permasalahan teknis maupun sosial-ekonomis. Permasalahan tersebut antara lain: (a) miskin kadar hara dan bahan organik, (b) tingkat pH rendah, (c) lahan berlereng, sehingga rentan proses erosi, (d) kekurangan air, dan (e) lahan garapan sempit. Upaya peningkatan produktivitas lahan kering dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain melalui: (1) pengendalian erosi dapat dilakukan dengan cara mekanik, vegetatif dan pengaturan pola tanam, (2) perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah dilakukan dengan cara penggunaan mulsa, penggunaan bahan organik, pengolahan tanah konservasi pengapuran, pemupukan dan pengelolaan bahan organik. Kata Kunci: konservasi, lahan kering, pengelolaan dan produktivitas 1) 2)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
PENDAHULUAN
K
ebutuhan pangan Nasional terus meningkat dengan laju peingkatan 1-2% pertahun seiring degan bertambahnya jumlah penduduk, dengan demikian dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional harus diikuti dengan laju peningkatan produksi bahan pangan terutama beras sehingga mampu mengimbangi laju peningkatan kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang terus meningkat. Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 melalui penerapan program yang dikenal dengan program Revolusi Hijau, ditandai dengan pemakaian input-input yang tinggi terutapa pupuk dan pestisida serta penggunaan varietas unggul. Namun demikian sejak tahun 1998, produksi pertanian termasuk padi turun drastis. Penciutan lahan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan produksi, selain itu juga karena terjadi pelandaian produktivitas (levelling off) lahan sawah di Jawa yang disebabkan terutama oleh karena kemunduran kesuburan tanah (Sri Adiningsih, 1992), sehingga untuk memenuhi kebutuhan beraas nasional Pemerintah Indonesia mengimpor beras dari negaara lain hingga saat ini.
Peningkatan produksi pangan dapat dicapai dengan berbagai cara, salah satu peluang adalah pembangan/pendayagunaan lahan kering. Lahan kering di Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pangan cukup luas dan potensinya cukup besar untuk menghasilkan berbagai bahan pangan. Kendala yang sering dihadapai dalam pengembangan pertanian lahan kering adalah produktivitasnya rendah yang disebabkan oleh sifat fisik tanahnya umumnya kurang baik, kimia tanah (kejenuhan basa rendah, kemasaman dan kandungan alumunium tinggi), kandungan hara dan bahan organik rendah serta ketersediaan air kurang, disamping itu curah hujan yang tinggi dan mempunyai topografi berlereng sehingga tanah peka erosi. Produktivitas tanah sangat rendah yang dicerminkan oleh indeks pertanaman (IP) palawija sekitar 0,27-0,83 dengan hasil atau produksi yang sangat rendah pula. Peningkatan produksi berarti menambah pengangkutan unsur hara termasuk unsur-unsur yang tidak pernah ditambahkan ke dalam tanah, keadaan tersebut akan dapat menurunkan produktivitas lahan (Amien, 1999; Utomo, 1990). Fauck (1977) mengatakan bahwa penurunan produktivitas tanah sering terjadi pada pertanian lahan kering, terutama pada lahan miring. Proses terjadinya penurunan produktivitas tanah dapat 134
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP.
berlangsung dalam waktu yang lama maupun dalam waktu relatif pendek, akibat dari proses pembentukan tanah (pedogenesis), adanya musim kemarau atau musim hujan dan cara pengelolaan tanah yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Peristiwa tersebut secara tidak langsung mengganggu kandungan bahan organik tanah, nitrogen tanah, pH tanah dan sebagainya. Makalah ini membahas beberapa upaya pengelolaan lahan kering yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan serta menjaga kelestariannya dengan penerapan teknologi yang mempertimbangkan kendala biofisik tanah tersebut. Potensi Pengembangan Lahan Kering dan Arahan Pemanfaatannya Lahan kering berdasarkan ketinggian dapat dibedakan menjadi lahan kering dataran tinggi dan dataran rendah. Hidayat dan Mulyani, (2002), total luas lahan kering di Indonesia adalah 144 juta ha yang teridiri dari dataran rendah seluas 87 juta ha dan dataran tinggi seluas 57 juta ha tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku + Irja, Jawa, Sulawesi dan Bali + NTT. Lahan kering dataran rendah sebagian besar bentuk wilayahnya berbukit, datar berombak, dan berombak- bergelombang, sedangkan dataran tinggi sebagian besar bentuk lahannya bergunung (Tabel 1). Juarsah et al. (2010) menyatakan bahwa lahan kering yang sesuai untuk budidaya pertanian hanya sekitar 76,2 juta ha, sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,7 juta ha), dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan yang datar-bergelombang (lereng <15%) tergolong sesuai untuk pertanian tanaman pangan, dan luasnya sekitar 23,3 juta ha. Pada lereng antara 15-30%, lahan kering tersebut lebih baik diarahkan untuk tanaman tahunan (47,5 juta ha), agar bahaya erosi dapat dihindari. Di dataran tinggi yang elevasinya > 700 m, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,1 juta ha, sedangkan yang lainnya sesuai untuk tanaman tahunan dengan luas sekitar 5,5 juta ha. Ditinjau dari aspek pemanfaatan dan penggunaan lahan, wilayah dengan relief datar (lereng 0-3%) dan datar berombak (lereng 1-8%) berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan. Sedangkan wilayah dengan lereng lebih besar, berombak sampai bergelombang (lereng 8-15%), tanaman pangan masih dipebolehkan, namun harus dikombinasikan dengan tanaman tahunan, disertai dengan tindakan-tindakan konservasi tanah yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan social ekonomi setempat (Subagyo et al., 2004). Tabel 1. Luas dan penyebaran lahan kering di dataran rendah dan tinggi (ha) Pulau Dataran rendah Datar berombak Berombakbergelombang Berbukit Dataran tinggi Datar berombak Berombakbergelombang Berbukit Bergunung Jumlah
Sumatera Jawa Bali+NTT Kalimantan Sulawesi Maluku+Irja ------------------------------------- (ha) ----------------------------------------------------6.610.000 1.024.400 588.000 15.893.700 315.700 4.640.100 9.774.500 3.005.600 713.600 6.426.300 943.000 2.790.700
Indonesia
6.737.800 3.814.600 1.960.300 7.464.600 4.641.900 8.969.900 ------------------------------------- (ha) ----------------------------------------------------1.000 409.600 269.000 6.300 72.300 1.647.900 499.500 11.400 400 700 30.000 300
34.444.200
20.200 9.682.000 3.329.000
1.424.400 1.057.000 10.747.000
Sumber: Hidayat dan Mulyani (2002).
700 3.206.000 6.738.000
237.400 11.852.000 6.738.000
77.100 7.453.000 13.533.000
533.100 16.293.000 34.875.000
29.071.900 23.777.600
2.406.100 512.400 2.426.800 51.306.000 143.945.000
Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering di Indonesia secara umum dapat dibedakan ke dalam iklim basah dan iklim kering. Iklim basah umumnya memiliki curah hujan tinggi (> 1.500 mm/th) dengan masa hujan relatif panjang, sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1.500 mm/th) dengan masa hujan relatif pendek, 3-5 bulan (Irianto et al., 1998). Tim Puslittanak (1996) menambahkan bahwa wilayah beriklim basah memiliki tipe hujan A, B, dan C, sedangkan wilayah beriklim kering memiliki tipe hujan D, E, dan F (Schmidt dan Ferguson, 1951). Menurut Hidayat dan Mulyani (2002) lahan kering di Indonesia yang termasuk beriklim basah (setara regim kelembaban udik) sekitar 78,1 juta ha dan beriklim kering sekitar 9,2 juta ha. Produksi jagung yang relatif tinggi dijumpai di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, masing-masing sebesar 2,77, 2,59, dan 2,50 ton/ha, sedangkan di tempat lainnya (Bali, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Irian Jaya) sangat rendah berkisar antara 1,40 – 2,09 ton/ha. Produksi kacang tanah dan kedelai relatif sama yakni masing-masing berkisar antara 0,95 – 1,09 ton/ha dan 1,09 – 1,23 ton/ha. Tahun Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
135
Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP.
2010, luas panen beberapa tanaman pangan Indonesia seperti: padi 13.118.120 ha, jagung 4.133.785 ha, kedelai 672.242 ha, kacang tanah 626.264, kacang hijau 284.564 ha, ubi kayu 1.203.143 ha dan ubi jalar 181.234 ha, dengan produksi masing masing komoditas berturut turut: padi 65.9809.670 ton, jagung 17.844.676 ton, kedelai 905.015 ton, kacang tanah 779.677 ton, kacang hijau 323.518 ton, ubi kayu 23.093.522 ton dan ubi jalar 2.060.272 ton, namun produksi ini belum dapat memenuhi kebutuhan pangan Nasional (BPS, 2010). Kendala Pengembangan Lahan Kering Pengembangan pertanian di lahan kering seringkali menghadapi berbagai kendala, antara lain kendala biofisik tanah, sosial ekonomi petani, kelembagaan, ketersediaan sarana dan prasarana, serta kendala lainnya yang menghambat kelancaran pembangunan pertanian. Kendala biofisik tanah biasanya berkaitan erat dengan kondisi tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan hal tersebut merupakan indicator penyebab rendahnya produktivitas tanah. Kendala tersebut diantaranya adalah : (1) ketersediaan air yang rendah, (2) lahan peka erosi, dan (3) buruknya sifat sisik, kimia dan biologi tanah. Makalah ini hanya membahas kendala biofosik nomor (2) dan (3). Peka Erosi Tanah-tanah di lahan kering memiliki topografi datar-berombak, berombak bergelombang, berbukit, dan bergunung masing-masing seluas 31,5 juta, 24,2 juta, 35,9 juta, dan 49,5 juta ha. Tanah-tanah yang terletak di topografi berombak hingga bergunung sangat peka terhadap erosi terutama di daerah iklim basah yang memiliki curah hujan tinggi. Dengan demikian maka hanya sekitar 22,31% saja tanah-tanah di lahan kering relatif aman dari ancaman erosi sedangkan sisanya (sekitar 77,69%) mempunyai potensi erosi yang tinggi atau tanah memiliki kepekaan terhadap erosi yang tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa erosi yang terjadi di lahan ini umumnya tinggi, berkisar antara 51-252 t/ha/th (Tabel 2). Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada kehilangan tanah yang masih dapat ditoleransi (tolerable soil lost). Menurut Arsyad (1989) nilai erosi yang masih ditoleransikan di Indonesia sekitar 25 mm/th atau setara dengan 30 ton/ha/th (asumsi berat volume tanah 1,2 g/cc). Dengan demikian maka lahan ini memerlukan upaya peningkatan kesuburan dan konservasi tanah dalam pengelolaannya. Erosi dapat menimbulkan kerusakan pada tanah tempat erosi terjadi danpada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi berupa kemunduran sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Memburuknya sifat-sifat fisik tanah tercermin antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, dan berkurangnya kemantapan struktur tanah. Kemunduran sifat kimia dan biologi tanah ditandai antara lain oleh : hilangnya bahan organik dan berbagai unsur hara yang diperlukan tanaman dan menurunnya aktivitas mikroba tanah (Arsyad, 1989). Tabel 2. Erosi tanah pada lahan kering di beberapa tempat di Indonesia
Lokasi Pacet, Cianjur1) Sukaresmi, Cianjur2) Pangalengan, Bandung3) Karmeo, Batanghari4)
Jenis tanah Hapludands Dystropepts Dystrandepts Kanhapludults
Lereng (%) 9-22 9-15 30 8-12
Komoditas Erosi (t/ha/th) Buncis-kubis 252 Cabai-kc. merah 65 Kentang-kubis 218 Tanpa tanaman 51
Sumber : 1) Suganda et al., 1997; 2)Suganda et al., 1999; 3)Sinukaban et al., 1994; dan 4)Erfandi, 2001
Kemunduran sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menyebabkan terjadinya proses degradasi lahan, yaitu produktivitas lahan menjadi lebih rendah, baik sementara maupun tetap, sehingga pada akhirnya lahan tersebut menjadi kritis. Di Indonesia, degradasi lahan merupakan masalah yang sangat serius terutama pada areal pertanian lahan kering. Indonesia memiliki lahan kritis yang sangat luas (sekitar 10,9 juta ha) yang tersebar di berbagai propinsi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, (1997). Penyebab utama kemunduran produktivitas tanah tersebut adalah erosi karena kurang cepatnya pengelolaan lahan dan curah hujan yang tinggi. 136 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP.
Penyebab kerusakan tanah tersebut selain karena erosi juga proses-proses lain seperti penggurunan (desertification), pemasaman (acidification), penggaraman (salinisation), polusi (pollution), pemadatan (compaction), genangan (waterlogging), penurunan permukaan tanah organik (subsidence) dan penurunan tinggi muka air (Kurnia et al., 2002). Berdasarkan tingkat kemasaman tanah, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam yang dicirikan oleh pH < 5,0 dan kejenuhan basa < 50% dengan total luasan sekitar 99.6 juta (69.17%), serta lahan kering tidak masam dicirikan dengan pH > 5,0 dan kejenuhan basa > 50% sekitar 44,4 juta ha (30,8%) (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah-tanah yang termasuk kelompok masam di lahan kering beriklim basah (udik) antara lain : Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan Oxisol. Sedangkan lahan kering yang tidak masam umumnya terdiri dari Inceptisol, Vertisol, Mollisol, dan Alfisol dan berada di wilayah iklim kering (ustik). Kemasaman tanah dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman karena ketersediaan hara makro (N, P, K, Ca, dan Mg) di tanah masam sangat rendah, sebaliknya ketersediaan hara mikro (Fe, Cu, Mn, dan Zn) tinggi. Pada tanah-tanah masam P dapat difiksasi oleh kation Al dan Fe membentuk Al-P dab Fe-P yang tidak tersedia bagi tanman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah yang berkembang dari bahan endapan masam umumnya miskin hara terutama hara N, P, K, Ca, dan Mg, kejenuhan basa rendah, tetapi kandungan aluminium tinggi. Kadar bahan organik tanah juga rendah sehingga kapasitas tukar kation (KTK) tanah juga rendah. Tingkat pelapukan bahan organik di daerah tropika basah sangat intensif, sementara itu tingkat pencucian juga tinggi sehingga kadar bahan organik tanah menjadi rendah. Selanjutnya tanah-tanah di daerah tropika (Ultisol dan Oxisol) banyak mengandung sumber muatan variable charge yang dalam kondisi tanah masam dapat bermuatan positif sehingga menghasilkan KTK yang rendah (Nursyamsi et al., 1996; Haryati et al., 1995; Hafif et al., 1992; Nursyamsi, 2003).
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAH Berdasarkan potensi sumberdaya lahan, peluang untuk meningkatkan produktivitas lahan kering cukupbesar yaitu melalui ekstensifikasi maupun peningkatan mutu intensifikasi. Namun kendalan yang dihadapi cukup besar dan beragam, baik fisik, biotik, sosial ekonomi, sarana dan prasarana serta kelembagaan. Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan kering harus mempertimbangkan kendala fisik biotik tersebut di atas. Dengan demikian maka upaya peningkatan produktivitas lahan kering dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki atau mengatasi kendala tersebut. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah: (1) pengendalian erosi, (2) perbaikan sifat fisik tanah, (3) perbaikan sifat kimia tanah, dan (4) perbaikan sifat biologi tanah. Upaya tersebut perlu dilakukan secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan skala prioritas, efisiensi, dan efektivitas suatu teknologi yang akan diterapkan. Pengendalian Erosi Mengendalikan erosi tanah berarti mengurangi peranan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi sehingga proses erosi terhambat atau berkurang. Abdurachman dan Sutono (2002) mengemukakan bahwa pengendalian erosi dapat dilakukan dengan cara mekanik, vegetatif, dan usahatani konservasi. Aplikasi di lapang biasanya merupakan kombinasi dari cara-cara tersebut di atas. Cara mekanik: Termasuk cara mekanik antara lain adalah pembuatan teras, seperti teras bangku dan teras gulud. Teras dapat mengurangi panjang lereng dan menghambat laju aliran permukaan sehingga pengangkutan partikel-partikel tanah pun terhambat. Penerapan teknik ini membutuhkan waktu yang lama untuk mampu menjadi efektif. Penelitian yang dilaksanakan pada tanah Typic Eutropept di Ungaran membuktikan bahwa teras bangku dan juga teknik lainnya baru menjadi efektif setelah 5 tahun (Haryati et al.,1995). Cara vegetatif: Cara ini menggunakan tanaman (vegetasi) untuk mengurangi energi pukulan air hujan dan menghambat aliran permukaan sehingga erosi dapat ditekan. Termasuk cara ini antara lain adalah : strip rumput, penggunaan mulsa, tanaman penutup tanah (cover crop), olah tanah konservasi, Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
137
Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP.
dan pertanaman lorong. Pengendalian erosi dengan cara vegetatif sangat efektif dalam mengurangi erosi. Usahatani konservasi: Usaha tani konservasi (conservation farming) pada lahan kering merupakan penerapan beberapa paket teknologi yang ditujukan untuk melestarikan lingkungan sekaligus berfungsi untuk meningkatkan produksi, antara lain adalah penggunaan pola tanam. Perbaikan Sifat Fisik Tanah Buruknya sifat-sifat fisik tanah antara lain dapat disebabkan: secara genetik, akibat aktivitas manusia, dan akibat erosi. Struktur tanah berkaitan erat dengan tekstur tanah dimana bila tekstur tanah pasir maka struktur tanah lepas dan sebaliknya pada tekstur tanah liat maka struktur tanah menjadi masif. Kedua macam struktur tanah tersebut kurang kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Aktivitas manusia juga dapat menyebabkan struktur tanah menjadi rusak, misalnya penggunaan alat-alat mekanik di lahan pertanian mengakibatkan tanah menjadi padat sehingga aerasi buruk dan ketahanan penetrasi meningkat. Demikian pula erosi dapat menyebabkan rusaknya sifat-sifat fisik tanah karena lapisan atas tanah (topsoil) hilang dan lapisan subsoil muncul di permukaan. Kerusakan sifat fisik tanah akibat erosi tercermin antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, dan berkurangnya kemantapan struktur tanah. Upaya untuk meningkatan produktivitas tanah dapat dilakukan dengan cara: (1) penggunaan mulsa sisa tanaman, (2) penggunaan bahan organik, dan (3) olah tanah konservasi. Penggunaan mulsa dari sisa tanaman, cover crop, dan tanaman pagar pada alley cropping dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti berat isi, pori aerasi, dan stabilitas agregat. Penggunaan bahan organik efektif dalam memperbaiki sifat fisik tanah. Suwardjo et al. (1987) menunjukkan bahwa bahan organik yang berasal dari lamtoro, kaliandra dan flemingia pada tanah Ultisol Lampung dapat meningkatkan stabilitas agregat dan air tersedia. (Tabel 3). Penggunaan pupuk hijau dari system alley cropping, cover crop, dan sisa tanaman yang dikombinasikan dengan pupuk kimia dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah, yaitu menurunkan bobot isi, meningkatkan total ruang pori, dan meningkatkan pori air tersedia (Hafif et al., 1993). Tabel 3. Pengaruh berbagai sumber bahan organik terhadap stabilitas agregat tanah dan air tersedia.
Sumber bahan organik Stabilitas agregat Air tersedia (% isi) Tanpa bahan organik 40,52 10,3 Lamtoro 95,08 10,9 Kaliandra 76,22 12,7 Flemingia 142,28 11,6 Sumber: Suwardjo et al. (1987)
Olah tanah konservasi adalah pengolahan tanah seperlunya dengan tujuan menciptakan kondisi tanah kondusif untuk pertumbuhan akar tapi di lain pihak mengurangi kerusakan struktur tanah akibat pengolahan. Termasuk dalam kelompok ini adalah olah tanah minimum (minimum tillage) dan tanpa olah tanah (zero tillage). Olah tanah konservasi dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah menjadi lebih menguntungkan pertumbuhan tanaman. Sistem tanpa olah tanah dapat meningkatkan kadar air tanah dibandingkan dengan olah tanah konvensional (Dao, 1993). Peningkatan ketersediaan air tanah pada sistem tanpa olah tanah berkaitan erat dengan peranan mulsa dalam mengurangi evaporasi dan perbaikan distribusi ukuran pori. Perbaikan Sifat Kimia Tanah Kendala kimia tanah di lahan kering secara umum adalah: (1) kemasaman yang tinggi terutama di lahan kering beriklim basah, (2) kadar bahan organik dan KTK rendah, dan (3) ketersediaan hara terutama N, P, K, Ca, dan Mg rendah. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah dapat dilakukan melalui perbaikan sifat kimia tanah dengan memperhatikan kendala-kendala tersebut di atas. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui: (1) pengapuran, (2) pengelolaan bahan organik, dan (3) pemupukan.
138 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP.
Pengapuran di tanah masam ditujukan untuk meningkatkan pH tanah sehingga kelatrutan Al menurun. Pemberian kapur efektif dalam menurunkan kejenuhan Al tanah hingga level yang tidak meracuni tanaman. Sukristionubowo (1993) melaporkan bahwa pemberian kapur 1 ton/ha pada tanah masam (Ultisols di Kubang Ujo, Jambi) dapat menaikkan pH tanah dari 4,0 menjadi 4,7 dan sangat efektif menurunkan Al-dd tanah dari 2,25 menjadi 0,25 me/100g. Bahan organik tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas tanah karena peranannya yang besar dalam meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah (kemantapan agregat, retensi air, pori aerasi, dan lain-lain); sifat kimia tanah (C-organik, kapasitas tukar kation, dan suplai hara); dan biologi tanah (sumber energi dan penyusun tubuh mikroorganisme tanah). Penggunaan Flemingia congesta dalam pola alley cropping dan penggunaan mulsa sisa tanaman Mucuna sp dan pupuk kandang mampu memperbaiki sifat-sifat kimia tanah (C-organik, N, P dan K tanah) pada tanah Podsolik Merah Kuning (Tabel 4). Selain itu bahan organik juga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan P mengurangi kebutuhan kapur serta dapat mensuplai hara sehingga akhirnya dapat meningkatkan berbagai hasil tanaman pangan di tanah Podzolik Merah Kuning (Tabel 5). Tabel 4. Pengaruh penggunaan mulsa sisa tanaman dan pupuk kandang terhadap sifatsifat kimia tanah Podsolik Merah Kuning.
Sifat kimia tanah2) C-org N P % mg/100g Kontrol 217 025 30 25 Mulsa jerami padi+sisa tanaman 255 028 44 32 Mulsa Mucuna sp 240 027 36 29 Pupuk kandang 250 028 43 35 Perlakuan
K
Sumber : 1)Suwardjo et al. 1989; 2)Kurnia 1996 Tabel 5. Pengaruh pengelolaan bahan organik terhadap hasil tanaman pangan pada Podsolik Merah Kuning
Perlakuan
Ubi kayu (a) Kacang hijau (a) Jagung (b) -------------- ton/ha ------------Kontrol 2649 000 213 Pupuk kandang 311 Mulsa jerami padi+sisa tanaman 2916 269 329 Mulsa Mucuna sp 307
Sumber : (a). Irianto et al. 1993; (b). Kurnia 1996
Pemberian pupuk untuk meningkatkan produktivitas lahan kering mutlak diperlukan, namun efisiensi pemupukan perlu perhatian terutama untuk pupuk N, P, dan K. Hasil penelitian pemupukan dengan metode minus one test pada Oxisol Pelaihari dengan menggunakan tanaman jagung sebagai indikator menunjukkan bahwa pemberian pupuk N, P, K, Ca, Mg, dan S dapat meningkatkan ketersediaan masing-masing hara di dalam tanah (Nursyamsi et al., 2003). Hasil penelitian Sri Adiningsih dan Mulyadi (1993) pada tanah Ultisol Lampung menunjukkan bahwa pemberian bahan organik Mucuna Sp, kapur, dan P-alam dapat meningkatkan C-organik, P-HCl, P-Bray 1, Ca-dd tanah, dan menurunkan Aldd dan kejenuhan Al, serta dapat mempertahankan produktivitas jagung dan kedelai selama 3 tahun. Perbaikan Sifat Biologi Tanah Peningkatan produktivitas lahan kering juga dapat dilakukan melalui perbaikan sifat biologi tanah karena sifat biologi tanah juga merupakan kendala biofisik tanah di lahan kering. Pada tanah-tanah yang mengalami degradasi umumnya parameter biologi tanah seperti kadar C-organik, populasi mikroba tanah (bakteri, jamur, aktinomisetes, dan lain-lain), dan biomasa mikroba semuanya rendah. Penelitian rehabilitasi lahan di tanah Haplorthox di Jambi menunjukkan bahwa pemberian bahan organik sisa tanaman dari calopogonium, tanaman pangan, dan mucuna dapat meningkatkan jumlah azotobacter dan fungi. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
139
Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP.
KESIMPULAN Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan kering dengan mempertimbangkan kendala fisik biotik tanah, antara lain dapat dilakukan melalui: (1) pengendalian erosi, (2) perbaikan sifat fisik tanah, (3) perbaikan sifat kimia tanah, dan (4) perbaikan sifat biologi tanah. 1. Pengendalian Erosi. Pengendalian erosi berarti mengurangi peranan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi sehingga proses erosi terhambat atau berkurang. Pengendalian erosi dapat dilakukan dengan cara: mekanik (teras bangku, teras gulud, dan teras kridit); vegetatif (strip rumput, mulsa, tanaman penutup tanah, olah tanah konservasi, dan tanaman lorong); dan usahatani konservasi (pengaturan pola tanam). Aplikasi di lapang biasanya merupakan kombinasi dari caracara tersebut di atas. 2. Perbaikan sifat fisik tanah. Sifat fisik tanah seperti bobot isi, aerasi, kemantapan agregat, kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah perlu diperbaiki agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan dengan cara: (1) penggunaan mulsa sisa tanaman, (2) penggunaan bahan organik, dan (3) olah tanah konservasi. 3. Perbaikan sifat kimia tanah. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah dapat dilakukan melalui perbaikan sifat kimia tanah dengan memperhatikan kendala kimia tanah. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui: (1) pengapuran, (2) pengelolaan bahan organik, dan (3) pemupukan. 4. Perbaikan sifat biologi tanah. Peningkatan produktivitas lahan kering juga dapat dilakukan melalui perbaikan sifat biologi tanah. Upaya perbaikan dapat dilakukan dengan cara pemberian beberapa macam bahan organik seperti sisa tanaman dari calopogonium, tanaman pangan, dan mucuna. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian semusim. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 4: 41-46. Abdurachman, A. dan Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. Hal. 103-146 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. DeMaria, I.C., Nnabude, P.C., de Castro, O.M. 1999. Long-term tillage and crop rotation effects on soil chemical properties of a Rhodic Ferralsol in Southern Brazil. Soil & Tillage Research 51 (1999) 71-79. Erfandi, D. 2001. Sistem pengelolaan lahan kering dalam upaya penanggulangan lahan terdegradasi. Hal 613618 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk Mencapai Produktivitas Optimum Berkelanjutan. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Ferreras, L.A., J.L. Costa, F.O. Garcia, and C. Fecorari. 2000. Effect of no-tillage on some soil physical properties of a structural degraded Petrocalcic Paleudoll of the Southern “Pampa” of Argentina. Soil & Tillage Research 54 (2000) 31-39. Hafif, B., D,. Santoso, Mulud S., dan Putu Wigena. 1992. Beberapa cara pengelolaan tanah untuk pengendalian erosi. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 10:54-60. Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 13:40-50. Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Hal. 1-34 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Irianto G. A. Abdurachman dan I. Juarsah. 1993. Rehabilitasi tanah Tropudults tererosi dengan sistem pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia congesta. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 11:1318.
140 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP. Kurnia U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan Produktivitas Tanah. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo. 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 15:10-18. Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering. Hal. 147-182 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Nursyamsi, D. 2003. Penelitian kesuburan tanah Oxisol untuk jagung. J. Tanah Trop. 17:53-65. Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1 : 1.000.000. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Sudartho, T., H. Suwardjo, D. Erfandy, dan T. Budhyastoro. 1992. Permasalahan dan penanggulangan lahan alang-alang. Hal. 51-70 dalam Pemanfaatan Lahan Alangalang untuk Usahatani Berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang. Bogor, 1 Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Suganda, H., M. S. Djunaedi, D. Santoso, dan Soleh Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi, dan produksi sayuran pada Andisols. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 15:3850. Sukristionubowo, Pulyadi, Putu Wigena, dan A. Kasno. 1993. Pengaruh penambahan bahan organic, kapur dan pupuk NPK terhadap sifat kimia tanah dan hasil kacang tanah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 11:1-6. Suwardjo A. Abdurachman dan S. Abujamin 1989. The use of crop residue mulch to minimize tillage frequency. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 8:31-37. Suwardjo, H. dan Ai Dariah. 1995. Teknik olah tanah konservasi untuk menunjang pengembangan pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Hal 8-13 dalam Prisiding Seminar Nasional V. Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Bandar Lampung, 8-9 Mei 1995. Kerjasama UNILA, HIGI, HITI, dan Jurusan BDP, Faperta, IPB. Fauck, R. 1977. Influenses of Agriculture Practice on Soil Juanda et al. Kajian Laju Infiltrasi 31 Degradation. In Assecsing Soil Degradation. FAO. Soil Bulletin. Roma. Utomo, W. H., 1990. Erosi dan Konservasi Tanah. Universitas Brawijaya, Malang.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
141
KAJIAN ESTIMASI KARBON DI KAWASAN KONSERVASI HUTAN LINDUNG TELANG SEBAGAI UPAYA PENGURANGAN DAMPAK EMISI GAS RUMAH KACA DI KABUPATEN BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN 1) Yuli Rosianty2), Kemas Ali Hanafiah3), Indra Yustian4) Abstract: One of the ways to reduce greenhouse gas (CO2, NH4 and NO2 ) in the atmosphere is the absorption by the plants through the photosynthetic process. Mangrove forest has the ability of absorbing and storing carbon (CO2), so it is important to find out the potential of mitigation of mangrove forest in the area of Telang Protected Forest. To find out about those potential we should find out the land coverage which still has the mangrove vegetation and the ability of carbon storing above and below the surface of the mangrove forest. From the overlay of the image interpretation 2005-2009, there had been a reduction of the area which has natural vegetation for 121,80 ha. The mangrove forest which still left was only 6.963,10 ha or only 56% left from 12.370 ha. The estimation of carbon stock used the Allometric equation for the tree and destructive method for the biomass besides tree. As the result, the ability of carbon stock above the surface was114,86 ton C/ha and below the surface was 147,39 ton C/ha. The average ability in storing carbon total was 262,25 ton C/ha. With the average percentage of carbon in the soil was 43,38%, the tree components was 33,84%, the root was 12,37% while Nipah, the forest-floor plant, was relatively small (respectively 5,73% ; 2,14% and 2,10%). If the reforestration is done with the assumption of close tree coverage, the total ability of carbon stock will be 4.002.445,488 tonC/ha or increase to 1.805.708,120 (82,20%) from the 2009 condition, and it has Carbon Trade potential for $ 16.009.781,950-$ 40.002.445,488. Keywords: Estimation, biomass, Carbon Stock, Destructive, Allometric, Reforestration, Carbon Trade. 1)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen Jurusan Konservasi Sumberdaya Alam Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang 3) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya 4) Dosen Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya 2)
PENDAHULUAN
G
as rumah kaca (GRK) seperti CO2, NH4 dan NO2 adalah gas-gas di atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim global, ditandai dengan munculnya fenomena anomali atmosfer seperti hujan lebat namun singkat, es di kedua kutub mencair sehingga meningkatkan permukaan air laut. Gas CO2 dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor dan kegiatan industri. Selain itu peningkatan gas CO2 dapat juga terjadi secara alami yang diakibatkan oleh kebakaran hutan atau letusan gunung berapi. Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer (CO2) dapat dikurangi diantaranya melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan (biomassa) seperti batang, daun, buah, umbi dan akar. Biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah ini merupakan penyimpan karbon selain tanah itu sendiri. Kandungan karbon yang tersimpan dalam kantong-kantong karbon tersebut diatas dapat mewakili jumlah karbon yang terserap dari atmosfer. Hutan mangrove merupakan bagian ekosistem pesisir dengan produktifitas hayati yang tinggi yang mempunyai kemampuan menyimpan karbon. Tetapi luasan mangrove di Indonesia terus mengalami mengurangan, menurut Wetlands International (1998), laju deforestasi mangrove di Indonesia pada tahun 1982 dari 5,2 juta ha menjadi 3,2 juta ha pada tahun 1987. Pada awal tahun 1990, luas hutan mangrove menjadi 2,5 juta ha dan berkurang kembali menjadi 2,4 juta ha pada tahun 1993 akibat deforestasi besar-besaran. Kerusakan hutan Indonesia pada 2000-2005 sekitar 1,8-2 juta hektare per tahun (Mangunjaya 2007). Menurut Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Badan Planologi Kehutanan (2008) luas hutan mangrove di Sumatera Selatan ± 201.300 ha. Kabupaten Banyuasin yang memiliki luas kawasan hutan lindung mangrove ± 63.803 ha juga mengalami deforestasi. Salah satunya Kawasan Hutan Lindung Telang dengan luas wilayah 12.370 ha, berdasarkan surat Menteri Kehutanan No. S.519/MENHUT-VII/2007 142
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
tentang persetujuan prinsip penggunaan Kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api dan sarana pendukungnya di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan.seluas ± 600 ha dan dilakukan tukar menukar dengan rasio 1 : 2, calon areal pengganti yang diajukan seluas ± 1.200 ha dijadikan perluasan Kawasan Taman Nasional Sembilang. Sementara menunggu izin tetap, saat ini diberikan ijin dispensasi seluas ± 34,4 ha meliputi ± 14,4 untuk pembangunan jalan akses dan fasilitas darat, sisanya ± 20 ha untuk pembangunan pelabuhan penyebrangan dan pelabuhan laut. Selain itu kerusakan hutan mangrove juga diakibatkan oleh adanya perambahan hutan dan illegal logging. Berkurangnya luas hutan mangrove di Kawasan Hutan Lindung Telang ini dapat mengurangi potensi jumlah CO2 yang tersimpan. Sementara adanya pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api dengan lalu lintas kapal yang ramai nantinya berpotensi menambah emisi karbon di atmosfer terutama di kawasan tersebut. Untuk itu dalam penelitian ini perlu dilakukan inventarisasi dan identifikasi Kawasan Hutan Lindung Telang yang masih bervegetasi mangrove sehingga dapat diestimasi kemampuan penyimpanan karbon hutan mangrove di Kawasan Hutan Lindung Telang. Dengan diketahuinya estimasi kandungan karbon tersimpan pada Kawasan Hutan Lindung Telang dan peranan penting hutan mangrove dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca maka diharapkan adanya upaya untuk tetap menjaga kelestarian hutan mangrove tersebut.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Analisis vegetasi, pengambilan biomassa dan sampel tanah dilakukan di hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang, berdekatan dengan lokasi pembangunan pelabuhan Tanjung Api-api yang telah dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010. Selanjutnya dilakukan analisis kimia biomassa dan tanah di Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Universitas Sriwijaya Palembang. Metode Pengambilan Data Menggunakan Citra Satelit 7 ETM+ pada dua rentang waktu yang berbeda yaitu tafsiran citra tahun 2005 dan tahun 2009, dioverlay untuk mengetahui perubahan penutupan lahan dalam kurun waktu 4 (empat) tahun. Pada tafsiran citra satelit tahun 2009 penyebaran lahan mangrove dapat diinventarisasi dan diidentifikasi berdasarkan kenampakan langsung pada citra, digunakan untuk pembuatan peta kerja dengan skala skala 1 : 250.000. Dipilih tiga lokasi yang mewakili penutupan tajuk rapat, sedang dan jarang. Pada masing-masing lokasi dibuat transek dengan plot-plot pengamatan berukuran 1 x 1m, 10 x 10m dan 20 x 50m masing-masing sebanyak 9 plot, sehingga untuk ketiga transek tersebut ada 27 plot pengamatan untuk setiap ukuran. Metode Sampling Biomassa a. Biomassa di Atas Permukaan Pengumpulan sampel serasah dan tumbuhan bawah dalam plot ukuran 1x1m, sedangkan pengambilan sampel biomassa pohon pada plot pengamatan berukuran 10 x 10 m dan 20 x 50 m. Semua pohon yang ditemui pada setiap plot dicatat jenis, diameter dan tinggi pohon. b. Biomassa di Bawah Permukaan (Akar) Pengambilan data biomassa akar merupakan bagian yang sulit dan tidak memiliki keakuratan sebaik yang dimiliki komponen vegetasi lainnya, sehingga digunakan pendekatan BEF (BiomassExpansion Factor) yaitu rasioakardan batang (root to shoot ratio). c. Karbon Tanah Untuk mengetahui kandungan karbon dalam tanah diambil sampel tanah dengan kedalaman 30 cm secara komposit dan sampel tanah dengan menggunakan ring sample untuk mengetahui berat jenis (bulk density) tanah.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
143
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
Metode Analisis Data a. Biomassa di Atas Permukaan Estimasi berat kering (BK) serasah kasar atau tumbuhan permukaan tanah per kuadran melalui perhitungan sebagai berikut (Hairiah dkk, 2001): Total BK (kg/m2) = Total BB(kg) x sub contoh BK(g) BB subcontoh (g) x contoh area (m2) Keterangan: BK = berat kering BB = berat basah. Data pohon yang diperoleh dilakukan perhitungan allometrik berdasarkan persamaan umum spesies. Untuk beberapa spesies mangrove dapat menggunakan persamaan (Clough and K. Scott, 1989): ...................Persamaan W2
Log Y = A + B log DBH Keterangan: Log Y = Biomassa pohon A dan B = Nilai konstanta persamaan (Tabel 1). DBH = Diameter setinggi dada (1.3 m)
Tabel 1. Biomassa pohon dengan menggunakan persamaan allometrik
Spesies Bruguiera gymnorrhiza n = 17 DBH = 2 - 24 cm
Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa N = 23 DBH = 3 - 23 cm
Variabel Daun Cabang Batang Total
A -1.1679 -1.5012 -0.6482 -0.7309
B 1.4914 2.2789 2.1407 2.3055
r2 0.854 0.926 0.977 0.989
E 1.57 1.60 1.29 1.19
Daun Cabang Batang Akar Total
-1.8571 -1.8953 -1.0528 -2.1663 -0.9789
2.1072 2.6844 2.5621 3.1353 2.6848
0.57 0.912 0.991 0.968 0.995
1.59 1.57 1.14 1.32 1.11
Sumber: (Clough and K. Scott, 1989):
Untuk beberapa spesies yang belum diketahui persamaan umum spesies yang bersangkutan maka akan digunakan rumus dibawah ini (Chave, 2005). {AGB}est = exp (-2.977 + ln (ρD2H)) = 0.0509 x ρD2H {AGB}est = ρ x exp(-1.349 + 1.980 ln(D) + 0.207(ln(D2)) – 0.0281(ln(D))3) Keterangan : AGB : Biomassa pohon (kg/pohon) D : Diameter pohon (cm) H : Tinggi Pohon (m) ρ : Berat Jenis pohon b. Biomassa di Bawah Permukaan (Akar) Persamaan untuk mendapatkan estimasi biomassa akar antara lain adalah persamaan yang disusun oleh Cairns et al. (1997) dalam Sutaryo (2009) pada rumus dibawah ini: RBD = exp (-1.0587 + 0.8836 x ln AGB) Keterangan: RBD = Biomassa akar (Mg/ha), 144 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
AGB = biomassa atas permukaan (Mg/ha). c. Karbon Tanah Penghitungan simpanan karbon untuk masing-masing horizon menggunakan rumus: KC = B x A x D x C Keterangan: KC = Kandungan karbon (ton) B = Bobot isi tanah (Bulk density)ton/m3 D = Luas tanah (m2) A = Ketebalan tanah (m) C = (kadar karbon) C-org (%) (sumber: Murdiyarso, 2004) d. Estimasi Kandungan Karbon Untuk memprediksi kandungan karbon di hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan, digunakan rumus di bawah ini: n Wx
=
∑ W pi x 10.000
i-l
A Keterangan: Wx = Total biomassa (ton/ha) Wpi = Biomassa serasah/tumb.bawah/ pohon/akar/C tanah (ton) A = Luas plot (m2) n = Jumlah sampel (Sumber: Heriansyah dkk, 2003) Setengah dari biomassa adalah kandungan karbon (Sutaryo, 2009 ; Brown dan Gaston, 1996 ; Murdiyarso, 2004). Kandungan Karbon (C) = 0.5 W
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hutan Mangrove 1. Deforestasi Hutan Mangrove Laju deforestasi hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang selama 4 tahun dari overlay tafsiran citra landsat TM+7 tahun 2005 dan tahun 2009 dapat dilihat pada gambar 1.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
145
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
PertanianPerkebunan 0% 2.65% Rawa 0%
Tambak 1.22% Terbuka 4.47%
Tambak Pertanian Perkebunan 4.48% 0.21%
M angrove 2.45% Rapat 39.70% Rawa
Terbuka 4.02%
0.14%
Belukar rawa 34.38% M angrove Jarang 0.3%
M angrove Sedang 17.25%
Belukar rawa 32.40%
Mangrove Jarang 0.75%
Tahun 2005
Mangrove Rapat 32.78%
Mangrove Sedang 22.75%
Tahun 2009
Gambar 1. Persentase Perubahan Penutupan Lahan Kawasan HL Telang (2005-2009)
Pada gambar 1, terlihat bahwa luasan hutan mangrove yang mempunyai penutupan tajuk rapat mengalami pengurangan luas dari 39,70 % menjadi 32,78 % terjadi pengurangan seluas 856,372 ha, sebaliknya terjadi peningkatan pada luasan hutan mangrove dengan penutupan tajuk sedang dan penutupan tajuk jarang. Mangrove dengan penutupan tajuk sedang dari 17,25 % menjadi 22,75 % bertambah seluas 679,432 ha. Mangrove dengan penutupan tajuk jarang dari 0,3 % menjadi 0,75 % bertambah seluas 55,143 ha. Pengurangan luasan mangove pada penutupan tajuk rapat ini disebabkan oleh terjadinya penebangan pohon-pohon yang berdiameter besar, semakin banyak pohon yang ditebang maka mangrove dengan penutupan tajuk rapat menjadi semakin berkurang dan sebaliknya luas mangrove dengan penutupan tajuk sedang dan jarang menjadi bertambah. Pada Kawasan Hutan Lindung Telang terjadi juga pengurangan luas areal belukar rawa, areal pertanian dan areal terbuka dengan persentase penurunan pada gambar 1, hal ini terjadi karena alih fungsi lahan yang dimanfaatkan menjadi areal perkebunan dan areal tambak. Pada lokasi pengamatan di hutan mangrove dengan penutupan tajuk jarang ditemukan areal bekas lahan pertanian yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk menanam padi beberapa tahun yang lalu. Setelah tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat sekitar lahan tersebut dibiarkan dan kondisi saat ini sudah tumbuh semak belukar, anakan mangrove dan nipah. Pengelompokan luas berdasarkan vegetasi mangrove, vegetasi non mangrove (belukar, pertanian dan perkebunan) dan areal tidak bervegetasi, ternyata selama empat tahun hutan mangrove terjadi pengurangan luas sebesar 1 % (121,78 ha), untuk lahan yang bervegatasi non mangrove juga berkurang sebesar 2 % (243,86 ha) sementara areal yang tidak bervegetasi meningkat sebesar 3 % (365,66 ha). Luas hutan mangrove saat ini hanya tinggal 56 % yaitu seluas 6.963,102 ha. Tidak bervegetasi 704.46 (6%)
Vegetasi non mangrove (4580.64) 37%
Tidak bervegetasi 1070.12 (9%)
Vegetasi mangrove 7084.90 (57%)
Tahun 2005
Vegetasi non mangrove 4336.78 (35%)
Tahun 2009
Vegetasi mangrove 6963.10 (56%)
Gambar 2. Pengurangan Lahan Bervegetasi Kawasan Hutan Lindung Telang
Luas areal mangrove dan non mangrove semakin berkurang, sedangkan lahan yang tidak bervegetasi semakin bertambah. Dengan semakin mudah akses masuk menuju hutan mangrove menyebabkan penebangan akan semakin sering terjadi dan pengurangan luas hutan mangrove makin bertambah. Pengurangan areal non mangrove disebabkan karena adanya lahan bekas pertanian yang ditinggalkan oleh masyarakat setelah beberapa kali masa panen dan tidak subur lagi. Sedangkan areal yang tidak bervegetasi bertambah sebesar 3 % (365,661 ha) dari 704,46 ha menjadi 1.070,12 ha berupa areal tambak dan areal terbuka. Kawasan yang masih ditutupi vegetasi mangrove saat ini hanya tinggal 56 % yaitu seluas 6.963,102 ha, hal ini menjelaskan bahwa tingkat kerusakan hutan mangrove ini sebesar 44 % dari 146 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
total luas mangrove. Secara ekologis terjadi penurunan tingkat kesuburan perairan dan kualitas perairan pesisir, menurunnya penyediaan benih ikan alami, stok perikanan, menurunnya kualitas air laut yang akan digunakan untuk media tambak atau laut dan menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat (Saparinto, 2007). Penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan Kecamatan Muara Telang juga mengalami penurunan dari 4.407,70 kg pada tahun 2008 berkurang menjadi 3.642,80 kg pada tahun 2009 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuasin, 2009). 2. Vegetasi Hutan Mangrove Pengamatan vegetasi hutan mangrove dilakukan pada penutupan tajuk jarang (T1) dengan koordinat 104o82' 82,03"BT - 02o37' 86,05" LS, penutupan tajuk sedang pada koordinat 104o82' 17,03" BT 02o37' 55,05" LS dan penutupan tajuk rapat pada koordinat 104o81' 75,08" BT - 02o37' 07,01" LS. Daerah pengamatan ini berada di dekat jalan masuk menuju pelabuhan Tanjung Api-Api yang sedang dibangun, kurang lebih 400 m dari tepi laut. Dari hasil analisis vegetasi ditemukan spesies Bakau (Rhyzophora sp), Tumu (Bruguiera gymnorhiza), Buta-buta (Excoearia agollacta) dan Nipah. Banyaknya aliran anak sungai menyebabkan salinitas air berkurang dan menjadi air payau, sehingga makin ke arah darat makin banyak ditemukan Nipah. B. Estimasi Kandungan Karbon Hutan Mangrove 1. Kandungan Karbon Pohon Biomassa di atas permukaan tanah terdiri dari pohon, nipah, tumbuhan bawah dan serasah. Dari hasil analisis kimia di laboratorium, persentase kandungan karbon pada Bakau (Rhizophora sp.), Buta-buta (Excoecaria Agollactha), Tumu (Brugeria gymnorizha), Nipah, diperoleh persentase kandungan karbon pada bagian atas permukaan tanah rata-rata diatas 40%. Kandungan karbon pohon pada bagian batang lebih tinggi dibandingkan dengan daun dan cabang. Tumu (Brugeria gymnorhiza) mempunyai kandungan karbon tertinggi rata-rata sebesar 49,40% dan Bakau (Rhizophora spp) sebesar 47,84%, persentase kandungan karbon kedua jenis ini hampir sama besar disebabkan karena kedua jenis ini masih satu famili yaitu Rhizophoraceae dengan karakteristik pohon yang hampir sama dapat mencapai ketinggian 30 m dan diameter dapat mencapai 50 cm. Sedangkan Buta-buta (Excoecaria Agollacha) termasuk dalam famili Euphorbiace merupakan jenis pohon merangas kecil dengan ketinggian hanya 15m. Menurut IPCC (1996) total karbon pada biomassa di atas permukaan sekitar 41–54%. Suatu batang pohon rata-rata memiliki kandungan karbon 45,7%. Hilmi (2003) menjelaskan perbedaan kandungan karbon pohon berdasarkan perbedaan diameter batang, Rhizophora apiculata kandungan karbon pada batang yang berdiameter 10 - 40 cm berkisar antara 35,75% sampai 44,35%, Rhizophora mucronata berkisar antara 36,51% – 38,25% dan Brugeria gymnorhiza berkisar antara 26,63% – 33,23%. Besarnya kandungan karbon dipengaruhi oleh kandungan bahan organik sehingga kadar karbon berkorelasi positif dengan bahan organik tersebut, makin besar kandungan bahan organik maka potensi karbon tersimpan akan makin besar. Kandungan bahan organik dipengaruhi oleh diameter batang, makin banyak diameter besar yang ditemukan akan mempengaruhi diameter rata-rata tegakan sehingga kandungan biomassa akan meningkat. Korelasi antara diameter dan kandungan biomassa pada pohon Bakau (Rhyzophora sp). Adanya korelasi positif antara diameter pohon setinggi dada terhadap biomassa daun, cabang, batang dan akar Bakau (Rhyzophora sp). Menurut Lugo dan Snedaker (1974 dalam Hilmi 2003), dengan bertambahnya umur tegakan akan meningkatkan diameter rata-rata tegakan sehingga biomassa total meningkat dan kandungan karbon tersimpannya juga meningkat. Hutan mangrove dengan penutupan tajuk jarang mempunyai kemampuan menyimpan karbon pada pohon sangat rendah yaitu sebesar 34,87 tonC/ha, sementara mangrove dengan penutupan tajuk sedang kemampuan menyimpan karbon pohon sebesar 99,93 tonC/ha. Hal ini merupakan indikasi terjadinya kerusakan pada hutan mangrove dengan penutupan tajuk jarang dan sedang, dari hasil analisis vegetasi, pada mangrove dengan penutupan tajuk jarang ditemukan pohon pada setiap spesies dalam jumlah yang sedikit dengan diameter kecil. Sedangkan pada mangrove dengan penutupan tajuk Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
147
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
sedang apabila dibandingkan dengan penutupan tajuk jarang lebih banyak ditemukan pohon pada tingkat pancang dan tiang dengan diameter dibawah 20 cm. Dengan jumlah pohon yang sedikit dan diameter pohon yang kecil menyebabkan kemampuan simpanan karbon perhektar pada penutupan jarang dan sedang lebih kecil dibandingkan dengan mangrove penutupan tajuk rapat. Mangrove dengan penutupan tajuk rapat jumlah kandungan karbon tersimpan pada pohon sebesar 131,42 tonC/ha, ini menunjukkan besarnya kemampuan penyimpanan karbon Kawasan Hutan Lindung Telang pada mangrove dengan vegetasi yang masih baik. Sementara apabila dibandingkan dengan hutan non mangrove seperti Hutan Kota di Bandar Lampung mempunyai kemampuan penyimpanan karbon lebih besar dari hutan mangrove yaitu rata-rata 172,51 tonC/ha (Setiawan, 2007). Perbandingan antara kandungan karbon total antara hutan mangrove dan non mangrove dilakukan pada dua tipe hutan pesisir Cagar Alam Pulau Dua, Serang, Banten yang merupakan salah satu daerah konservasi penting di Jawa, menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara nyata (P>0,05), dengan nilai masing-masing sebesar 130,87 MgC/ha pada hutan mangrove dan 139,01 MgC/ha pada hutan non mangrove (Wulansari, 2008). 2. Kandungan Karbon di Atas Permukaan Kandungan karbon hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang di atas permukaan selain pohon terdapat juga pada nipah, tumbuhan bawah dan serasah seperti pada tabel 3. Kandungan karbon di atas permukaan tanah hutan mangrove dengan penutupan tajuk rapat masing-masing lebih tinggi kandungan karbonnya dibandingkan dengan penutupan tajuk sedang dan jarang. Hal ini menjelaskan bahwa pada penutupan tajuk rapat dengan jumlah pohon, nipah dan tumbuhan bawah yang lebih banyak akan menghasilkan serasah yang banyak juga sehingga total kandungan karbon di hutan mangrove penutupan tajuk rapat akan lebih banyak tersimpan dibandingkan dengan penutupan tajuk sedang dan jarang, total kandungan karbon di atas permukaan tanah pada mangrove penutupan tajuk rapat sebesar 165,70 tonC/ha, sedang sebesar 129,57 tonC/ha dan jarang sebesar 49,32 tonC/ha. Tabel 3. Kandungan karbon di atas permukaan tanah pada plot pengamatan di hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang
Penutupan Pohon Nipah Tumbuhan bawah Serasah Total Tajuk (tonC/ha) (tonC/ha) (tonC/ha) (tonC/ha) (tonC/ha) Jarang 34,87 6,43 4,16 3,86 49,32 Sedang 99,93 17,85 6,16 5,63 129,57 Rapat 131,42 20,78 6,47 7,03 165,70 3. Kandungan Karbon di Bawah Permukaan Kandungan karbon di bawah permukaan diperoleh dari karbon yang terkandung pada akar tanaman dan karbon tanah. Estimasi biomassa akar diperoleh dengan pendekatan yang menggunakan rasio akar dan batang (root to shoot ratio). Tabel 4. Estimasi kandungan karbon di bawah permukaan pada plot pengamatan di hutan mangrove pada Kawasan Kawasan Hutan Lindung Telang
Penutupan Tajuk
Akar Pohon (tonC/ha)
Akar Nipah (tonC/ha)
Jarang Sedang Rapat
10,94 29,85 40.97
1,36 3,43 3,94
Akar Tumb. bawah (tonC/ha) 1,75 2,49 2,59
Karbon Tanah (tonC/ha)
Total (tonC/ha)
101,95 107,65 135,25
116,00 143,42 182,75
Dari hasil analisi kimia tanah kandungan C-organik tanah hutan mangrove di Kawasan Hutan Lindung Telang rata-rata 4,91 %, pada kedalaman 30 cm estimasi kandungan karbon tanah pada penutupan tajuk jarang sebesar 101,95 tonC/ha, penutupan tajuk sedang 107,65 tonC/ha dan 148 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
penutupan tajuk rapat sebesar 135,25 tonC/ha. Pada penutupan tajuk rapat vegetasi hutan mangrove masih banyak, semakin banyak pohon atau vegetasi hutan lainnya akan semakin banyak serasah yang terakumulasi. Dengan banyaknya serasah yang terakumulasi dan terdekomposisi akan memberikan pasokan bahan organik ke dalam tanah semakin banyak sehingga tanah hutan mangrove kaya akan bahan organik. Menurut Logo and snedaker (1974 dalam Noor dkk, 1999) proses interaksi hara dengan tanaman melalui proses fotosintesis akan membentuk bahan organik. Produksi kotor hasil fotosintesis ada yang direspirasi oleh hutan, ada yang disimpan sebagai produksi bersih berupa biomassa hutan, dan disimpan dilantai hutan sebagai detritus. Detritus ini disimpan oleh konsumer dan dekomposer yang dapat mempengaruhi masukan hara yang pada akhirnya dapat mempengaruhi perkembangan biomassa. 4. Estimasi Total Karbon Tersimpan Estimasi total kandungan karbon tersimpan adalah perkiraan jumlah karbon di atas dan di bawah permukaan. Apabila ditinjau secara keseluruhan kemampuan menyimpan karbon hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang saat ini di atas permukaan tanah rata-rata sebesar 114,86 tonC/ha, di bawah permukaan tanah rata-rata sebesar 147,39 tonC/ha dan total kemampuan rata-rata sebesar 262,25 tonC/ha dengan kemampuan menyimpan karbon pada masing-masing kantong karbon pada gambar 3. Pohon 33.84%
Tanah 43,83%
Perakaran 12.37%
Serasah 2.10%
Nipah 5.73% Tumbuhan baw ah 2.14%
Gambar 3. Kemampuan simpanan karbon dari setiap kantong karbon
Kemampuan simpanan karbon terbesar di hutan mangrove dalam penelitian ini terdapat pada stock karbon tanah sebesar 43,83%, stock karbon pohon sebesar 33,84%, stock karbon akar 12,37%, sedangkan stock karbon pada nipah, tumbuhan bawah dan serasah relatif kecil yaitu masing-masing 5, %, 2,14% dan 2,10%. Hal yang serupa juga ditemukan pada kandungan karbon total hutan mangrove di hutan pesisir Cagar Alam Pulau Dua, Serang, Banten menjelaskan juga bahwa proporsi stok karbon terbesar terdapat pada tanah (43,0-55,7%) dan komponen pohon (39,0-54,3%) sedangkan proporsi understorey, serasah dan nekromasa relatif kecil (<5,0%) (Wulansari, 2008). Hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang mempunyai kemampuan menyimpan karbon total rata-rata sebesar sebesar 262,25 tonC/ha, tetapi apabila kondisi hutan mangrove ini dalam keadaan baik dengan penutupan tajuk rapat mempunyai kemampuan menyimpan karbon total sebesar 348,45 ton C/ha. Kemampuan simpanan karbon di hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang pada tahun 2009 dan tahun yang akan datang apabila sudah dilakukan ada reboisasi dapat diprediksikan seperti yang pada tabel 5. Tabel 5. Estimasi Kemampuan Simpanan Karbon di hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang
Penutupan Lahan Mangrove penutupan tajuk rapat Mangrove penutupan tajuk sedang Mangrove penutupan tajuk jarang Areal belukar rawa
Luas(ha) 2009 4.054,90 2.814,37 93,83 4.008,34
Estimasi Simpanan Karbon (tonC/ha) Tahun 2009 1.412.930,253 768.295,139 15.511,976 0,000
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
149
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ...
Areal rawa Areal pertanian Areal Perkebunan Areal Tambak Areal terbuka Total
17,67 303,01 25,43 555,14 497,32 12.370,00
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 2.196.737,368
Dari tabel 5, estimasi kemampuan simpanan karbon di hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 2.196.737,368 tonC/ha. Apabila dilakukan reforestasi dan diasumsikan penutupan tajuk menjadi rapat maka kemampuan simpanan karbon akan meningkat menjadi 3.793.375,488 tonC/ha atau bertambah sebesar 1.596.638,120 tonC/ha (72,68%) dari kondisi pada tahun 2009. Peningkatan kemampuan simpanan karbon ini sangat berperanan sekali dalam mengatasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dengan kisaran harga di pasar Internasional antara $4 - $10 per ton karbon yang tersimpan per hektar (Risnandar, 2009), maka diperkirakan hutan mangrove di Kawasan Hutan Lindung Telang mempunyai potensi nilai perdagangan karbon (Carbon Trade) sebesar $15.173.501,95 – $37.933.754,88
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Terjadi perubahan penutupan lahan pada Kawasan Hutan Lindung Telang tahun 2005–2009 yaitu areal bervegetasi mangrove berkurang sebesar 121,80 ha sehingga areal yang masih ditutupi vegetasi alami (hutan mangrove) saat ini seluas 6.963,10 ha atau hanya 56 % dari 12.370 ha. 2. Kemampuan menyimpan total karbon rata-rata sebesar 262,25 tonC/ha. Dengan persentase ratarata kandungan karbon dalam tanah sebesar 43,83 %, komponen pohon sebesar 33,84 %, akar sebesar 12,37 %, sedangkan nipah, tumbuhan bawah dan serasah relatif kecil (5,73 % ; 2,14 % ; dan 2,10 %). 3. Pada kondisi tahun 2009 diperkirakan kemampuan simpanan karbon hutan mangrove pada Kawasan Hutan Lindung Telang sebesar 2.196.737,368 tonC/ha, dan apabila dilakukan reforestasi akan meningkat menjadi 3.793.375,488 tonC/ha, dengan potensi Carbon Trade berkisar antara $15.173.501,95 – $37.933.754,88. Saran 1. Kemampuan simpanan karbon sangat dipengaruhi oleh penutupan tajuk, penutupan tajuk rapat mempunyai kemampuan yang sangat tinggi dalam menyimpan karbon, untuk itu harus ada kebijakan dari pemerintah daerah Kabupaten Banyuasin khususnya yang berkaitan dengan Kawasan Hutan Lindung Telang untuk melakukan reforestasi dan mempertahankan kelestariannya karena peranannya yang sangat penting dalam menjaga kesimbangan lingkungan di ekosistem perairan dan mitigasi gas rumah kaca. 2. Dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Telang Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan ini harus dilakukan koordinasi secara terpadu dari seluruh staker holder baik dari instansi pemerintah yang terkait, pihak swasta dan seluruh masyarakat. 3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan disarankan untuk membuat model persamaan biomassa dan kandungan karbon spesies Buta-buta (Exceocaria agollacha) dan Nipah karena literatur kedua spesies ini masing sangat kurang. DAFTAR PUSTAKA Badan Planologi Kehutanan (2008). Luas Penutupan Lahan Di Dalam dan Di Luar Kawasan Hutan Seluruh Indonesia. Jakarta.
150 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yuli Rosianty,dkk./Kajian Estimasi Karbon di Kawasan Konservasi Hutan Lindung Telang ... Chave, J.C., Andalo, S. Brown, M.A. Cairns, J.Q. Cambers, T. Yamakura. 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forest. Oecologia. 2005. DOI 10.1007/s00442-0050100x. Clough, B.F and Scott, K. 1989. Allometric Relationship for estimating Above-Ground Biomass in six mangrove species. Forest ecology and management. 27. 117-127 Dinas Perikanan. 2010. Laporan produksi lelang lebak lebung tahun 2007-2009 Kabupaten Banyuasin. Sumatera Selatan. Hairiah, K., SM Sitompul, Meine van Noordwijk and Cheryl Palm K. 2001. Methods for sampling carbon stocks above and below ground. International Centre for Research in Agroforestry. Bogor. Hilmi E. 2003. Model pendugaan kandungan karbon pada pohon kelompok jenis Rhizophora spp dan Bruguiera spp dalam tegakan hutan mangrove (disertasi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heriansyah, I., N.M. Heriyanto, C.A. Siregar and M. Kiyoshi, 2003. Estimating carbon fixation potential of platation forests : case study on Acacia mangium plantations. Buletin Penelitian Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. IPCC. 1996. Climate Chenge 1995, Impact, Adaptations and mitigation of Climate : Scientific – Technical Analysis. Contribution of Working Group II to the Second Assesment Report of thr Intergovermental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. UK. Mangunjaya,F.M 2007. Perubahan iklim dan potensi hutan Indonesia. Koran Tempo. 2 Juli 2007. http://korantempo.com/korantempo/2007/02/07/Opini/krn,20070207,60.id. html. Murdiyarso, D., Upik R., Karniatun H., Lili M. Suryadiputra dan Adi J., 2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut. Wetlands Internasional-Indonesia Programme. Bogor. Noor, Y.R., M. Khanzali, IN. N. Suryadiputro. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor. Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Effhar dan Dahara Prize.ISBN: 979-501-573-7. Surabaya. Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Wulansari, M., 2008. Perbandingan Stok Karbon pada Hutan Mangrove dan Non Mangrove di Pulau Dua, Banten. Skirpsi. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
151
MAKALAH PENUNJANG Bagian 2 1. Perencanaan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Konservasi Tanah dan Air 2. Peranan Konservasi Tanah dan Air Tanah untuk Meningkatkan Fungsi Hidrologis DAS
MANAJEMEN LAHAN DALAM MEMBANGUN USAHATANI KONSERVASI INTEGRASI UNTUK KETAHANAN PANGAN DI PEDESAAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR SINGKARAK 1) Aprisal, Bujang Rusman, dan Refdinal2) Abstrak: Penelitian ini bertujuan 1) mengkaji pengaruh manajemen ekologi lahan marjinal terhadap sifat tanah, 2) Mengkaji pengaruh manajemen ekologi lahan marjinal terhap produksi tanaman, dan 3) Mengkaji manajemen ekologi lahan marjinal terhadap penerimaan petani, 4) Mempelajari pengaruh usahatani konservasi terintegrasi terhadap penerimaan petani dan kehidupan satu keluarga tani yang layak diatas garis kemiskinan, 5) Mencari kunci dari sistem usahatani yang bekelanjutan didaerah pedesaan kususnya untuk satu keluarga tani miskin. Penelitian ini dirancang dilapangan dengan rancangan percobaan fatorial petak terbagi. Sebagai petak utama adalah carai restorasi ekologi tanah (membakar lahan alang-alang (Ro), mulsa alang-alang (R1); memberi pupuk kandang dan kompos alang-alang (R2); dan meround up (R3). Kemudian usahatani sampingan petani juga memelihara tiga ekor ternak sapi, dan menanam rumput ternak (rumput raja) serta tanaman karet. Penelitian dilakukan dilahan petani di Aripan Singkarak bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen lahan dalam berusahatani konservasi di lahan marjinal dapat memperbaiki beberapa sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Erosi tanah dan aliran permukaan juga dapat ditekan lebih baik pada perlakuan pemberian kompos dan pupuk kandang dibandingkan perlakuan mulsa, dan round up serta konvensional. Manajemen lahan dengan perlakuan pengolahan tanah ditambah kompos, pupuk kandang dan ditanami dengan kacang tanah ternyata dapat memberi penerimaan yang tertinggi berasal komoditi kacang tanah (T3) yakni Rp 65.000 per petak, kemudian diikuti oleh kedelai (T2) yakni Rp 48.000 per petak dan jagung (T1) yakni Rp 40.000 per petak. Kata kunci: HTI, lahan marjinal, manajemen, manajemen ekologi. 1) 2).
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Jurusan Tanah pada Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
PENDAHULUAN
L
ahan kritis dan miskin di sekitar daerah tangkapan air Singkarak cukup luas, dan keberadaannya juga kemberi konstribusi terhadap penerimaan petani yang rendah. Hal ini dikarenakan oleh produktivitas lahan yang rendah akibat tingkat kesuburan tanahnya yang rendah. Masyarakat tani miskin yang berada pada lahan miskin akan terus miskin apabila sumberdaya lahan tempat mereka tinggal dibiarkan, malah akan saling memiskinkan. Degradasi lahan akan terus berlanjut disebabkan lahan tersebut sebahagian besar ditumbuhi oleh alang-alang, kemudian alang-alang pada musim panas terus terbakar. Kejian ini terus berulang-ulang dan dari aspek lahan akan mengalami kerusakan. Akhirnya masyarakat petani terus hidup susah, seterusnya pendidikan anak-anak dan masa depannya juga suram. Usaha meningkatkan pendapatan petani miskin ini telah banyak juga dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian dan instansi terkait dengan hasil baik. Namun bentuk kajian mereka masih berbentuk spasial dan hasilnya masih belum memuaskan. Hal ini terlihat dari masyarakat petani miskin masih tetap diselimuti oleh kemiskinan sampai sekarang terutama di daerah Aripan di DTA Singkarak. Untuk itu perlu ada terobosan yang mengintegrasikan berbagai komoditi sehingga terbentuk model usahatani konservasi yang terintegrasi yang memberi harapan petani dalam meningkatkan penerimaan mereka dari berbagi sumber komoditi. Memper-banyak sumber penerimaan petani dari berbagai komoditi (tanaman semusim, tanaman tahunan, ternak, dan rumput pakan) akan memperbesar peluang bagi petani untuk meningkatkan taraf hidup memperoleh hidup layak.
Penelitian ini bertujuan 1) mengkaji pengaruh manajemen ekologi lahan marjinal terhadap sifat tanah, 2) Mengkaji pengaruh manajemen ekologi lahan marjinal terhap produksi tanaman, dan 3) Mengkaji manajemen ekologi lahan marjinal terhadap penerimaan petani, 4) Mempelajari pengaruh usahatani konservasi terintegrasi terhadap penerimaan petani dan kehidupan satu keluarga tani yang Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
155
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
layak diatas garis kemiskinan, 5) Mencari kunci dari sistem usahatani yang bekelanjutan didaerah pedesaan kususnya untuk satu keluarga tani miskin.
METODE PENELITIAN Disain Petak Percobaan . Penelitian dilakukan di lapangan dengan menggunakan rancangan petak terbagi (RPT), dimana cara manajemen ekologi tanah (M) sebagai petak utama dan tanam (T) anak petak dengan perlakuan-perlakuan sebagai berikut: Petak utama (R): 4 cara manajemen ekologi tanah yaitu: Ro R1 R2
R3
Anak T1 T2 T3
Alang-alang dibakar dan tanah diolah secara konvensional (tanah dicangkul dan dicincang satu kali) teknik yang biasa dilakukan petani. Alang-alang dibabat, dipotong kira-kira 20 cm dijadikan mulsa 10 ton ha-1+ sisa tanaman dijadikan mulsa dan tanah diolah konvensional. Alang-alang dibabat kemudian daun dan rimpang alang-alang dikomposkan dan tanah diolah konvensional, pupuk kandang 10 ton ha-1 tahun-1 setiap musim tanam dan ditambah kompos alang-alang dan sisa tanaman dijadikan mulsa dan campuran pakan sapi, kemudian kotoran sapi dikembalikan pada petak M2. Alang-alang disemprot dengan herbisida sistemik Round up kemudian alang-alang direbahkan+ sisa panen tanaman dijadikan mulsa, tanah diolah minimum menurut barisan tanaman Petak (T) : 3 tanaman semusim yaitu: Tanam yang biasa dilakukan petani setempat sebagai pembanding ( Jagung) Tanaman alternatif (I) Kedelai Tanam alternatif (II) Kacang tanah.
Tanaman pangan alternatif ini, menggunakan tanaman yang cocok dengan kondisi biofisik daerah setempat dan mempunyai harga yang tinggi di pasaran. Untuk menunjang dan menambah pendapatan petani, maka disamping tanaman pangan petani menanam juga tanaman karet sebanyak 200 batang, dan rumput raja. Sapi lokal dipelihara tiga ekor untuk digemukan; pakan sapi diambil dari strip rumput raja dan sebagian dari sisa tanaman dari petak R2; kotoran sapi dikembalikan ke petak R2. Persiapan lahan. Lahan alang-alang yang pilih dibatasi (diplot) dengan tali plastik sesuai dengan ukuran dan banyaknya petak percobaan. Peletakan setiap cara manajemen ekologi tanah (R) dilakukan secara acak. Setelah diplot kemudian lahan dibuka sesuai dengan perlakuan manajemen ekologi tanah (R) yang sudah ditentukan dan dijadikan sebagai petak utama (masing-masing ukuran petak utama 2,5 m x 16 m); jarak antara petak utama adalah 1 m. Setelah pembukaan lahan selesai dilakukan penanaman sesuai dengan pola tanam (P) yang telah dirancang dan dijadikan sebagai anak petak dengan ukuran 2,5 m x 5 m; jarak atara setiap anak petak adalah 0,5 m. Peletakan setiap anak petak di setiap petak utama dilakukan secara acak. Penanaman. Tanaman yang digunakan adalah: (1) tanaman pangan; kacang kedelai, jagung Bisi dan kacang tanah. Penanaman umumnya dilakukan dengan tugal, namun untuk kacang tanah dibuatkan dahulu lobangnya kemudian diberi pupuk awal setelah satu minggu baru benih ditanam, (2) rumput raja (50cm x 50cm) sebagai tanaman strip pada teras antara petak utama tanaman pangan, (3) tanaman karet ditanam dilahan sekitar (3mx6m) lahan tanaman pangan yang masih kosong. Untuk mengukur erosi dipasang alat penangkar aliran permukaan dan erosi pada setiap petak. Aliran permukaan dengan cara menampung air dan mengalirkannya ke drum kolektor. Pengambilan Contoh Tanah. Contoh tanah diambil sebelum percobaan dimulai, dan tiga bulan setelah perlakuan pada MT; contoh tanah diambil dari masing-masing petak percobaan. Untuk keperluan analisis sifat fisika tanah 156 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
diambil 36 contoh tanah tidak terganggu dengan ring sampler dan untuk analisis sifat kimia dan biologi tanah diambil 36 contoh tanah komposit. Analisis contoh tanah dilakukan di laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Pengamatan aliran permukaan di amati dengan cara menampung air aliran permukaan masing-masing petak dengan drum kolektor. Sedangkan erosi tanah diamati dengan menimbang tanah yang tertampung oleh drum kolektor pada masing-masing petak percobaan. Untuk melihat pengaruh antara perlakuan terhadap sifat-sifat tanah dilakukan analisis sidik ragam rancangan petak terpisah (Gomez dan Gomez, 1976) dan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan dilakukan uji jarak ganda Duncan (DNMRT). Alat anal analisis digunakan software statistik 8.
HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Air Daerah Penelitian Analisis neraca air pada lahan daerah penelitian adalah dengan melihat air yang masuk dari curah hujan dan air keluar melalui evapotranspirasi. Berdasar curah hujan dan evapotranspirasi (Gambar 1). Pada grafik terlihat bahwa curah hujan sebagai sumber air tanaman di lahan kering di Aripan ini pada bulan Februari, April, Juli, September, Oktober, November dan Desember lebih tinggi dari penguapan. Artinya pada bulan-bulan ini terjadi kelebihan air. Sedangkan defisit air terjadi pada bulan Januari, Maret, Mai, Juni dan Agustus, karena jumlah penguapan yang lebih tinggi daripada curah hujan. Grafik Curah Hujan dan Evapotranspirasi 300 250
( mm )
200 150 100 50 0 CH
Januar Februa Maret April i ri 84,3
Eto 122,46
217,6
42,6
242,5
Mai
Juni
Juli
48,7
74,5
139
Agustu Septe Oktob Nove Desem s mber er mber ber 72
110
108
127
230
117 114,44 104,16 109,63 89,937 101,14 101,14 102,13 105,21 96,487 111,99
Gambar 1. Grafik bandingan curah hujan dan penguapan didaerah penelitian Aripan DTA Singkarak.
Daerah Aripan DTA Singkarak merupakan daerah yang terletak di belakang bukit barisan dari arah Kota Padang, sehingga daerah ini merupakan daerah bayangan hujan, karena uap air telah mencapai titik kondensasi menjadi hujan orografik di daerah bukit barisan arah barat. Sedangkan arah timur menurut Oldeman dan Las (19790 daerah DTA Singkarak merupakan daerah yang termasuk iklim kering yakni bulan basah 3 bulan dan bulang kering 5 bulan atau disebut juga dengan daerah bayangan hujan. Dengan kondisi tersebut maka dalam memanfaatkan lahan didaerah ini untuk usahatani maka diperlukan suatu perlakuan terhadap tanah dan pola tanam yang tepat supaya hasilnya dapat optimal. Dari pemetaan rata-rata curah hujan di Sumatera Barat maka terlihat didaerah sekitar DTA Singkarak curah hujan kecil dari 2000 mm pertahun. Dari neraca air dan rerata curah hujan tahunan sangat berguna untuk penyusunan pola tanam yang tepat sesuai dengan ketersediaan air di dalam tanah. Tanaman jagung, kacang tanah dan kedelai dapat tumbuh dan menghasilkan yang optimal di daerah ini asalkan pola tanamnya disesuaikan dengan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
157
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
neraca air lahan. Menyesuaikan penanaman dengan ketersediaan air tanah karena air merupakan sesuatu zat cair yang secara mutlak diperlukan tanaman dalam jumlah cukup dan pada saat yang tepat. Kekurangan air maka tanaman dapat mengalami kekeringan sehingga menyebabkan penurunan kualitas dan bisa mengalami gagal panen. Unsur iklim seperti curah hujan, suhu dan kelembaban sering menjadi faktor yang dapat menurunkan tingkat kesesuaian lahan di tingkat pertama, karena sifatnya yang permanen dan sulit dimodifikasi, akibatnya dapat menutup peluang untuk pengembangan bagi komoditas tertentu (Sibuea dan Pramudia, 1992). Penggunaan perhitungan neraca air lahan yang sekaligus menyajikan periode surplus dan defisit air pada lahan, diharapkan dapat mencegah kesalahan yang mungkin terjadi dalam penetapan pola tanam (Abujamin, 2000). Sifat Tanah Bobot Isi Tanah Hasil analisis statistik nyata menurunkan bobot isi tanah (Tabel 1) akibat perlakuan pengolahan tanah konservasi yakni pemberian mulsa, pemakain kompos dan pupuk kandang serta menggunakan Round up bila dibandingkan dengan pengolah konvensional yakni membakar alang-alang dalam membuka lahan. Hal ini dikarenakan oleh pemberian bahan-bahan ameleoran seperti kompos, pupuk kandang mulsa dapat mengurangi kepadatan tanah dalam satu satuan volume tanah, sehingga tanah lebih sarang dibandingkan dengan tanpa bahan ameleoran. Hasil penelitian Aprisal (2000) di tanah Ultisol didaerah peranap Riau juga menunjukkan bahwa pemberian bahan organik pada tanah dapat menggemburkan tanah dan menurunkan bobot isi tanah dan dapat bertahan dalam jangka waktu lebih lama. Tabel 1. Pengaruh manajemen pengolahan tanah terhadap bobot isi tanah.
Perlakuan Bobot Isi Tanah (g/cm3) Notasi uji lanjut Pengolahan Tanah Ro 1,13 A R1 1,08 AB R2 1,06 AB R3 1,01 B Jenis Tanaman T1 1,12 A T2 1,05 B T3 1,04 B
Keterangan: Ro =pebakaran lahan; R1= pemberian mulsa; R2 = pemberian kompos dan pukan; R3 = Roun up; T = jagung; T2= kdelai; T3= kc.Tanah
Bahan Organik Tanah Kandungan bahan organik tanah perlakuan pemberian kompos alang-alang dan pupuk kandang lebih nyata meningkatkan kandungan bahan organik tanah (Tabel 2). Hal ini dikarenakan oleh bahan organik pupuk kandang dan kompos alang-alang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebab kompos dari alang-alang mempunyai kandungan ligin yang lebih tinggi sehingga pelapukan dan penghancurannya membutuhkan waktu yang lama. Menurut Anderson dan Ingram, (1993) yang dimaksud bahan organik tanah adalah fraksi bahan organik yang berukuran kecil dari 2 mm dan kandungan bahan tergantung pada komposisi dan umurnya. Dengan arti kata, penambahan bahan organik ke dalam tanah pengaruhnya akan terlihat setelah mempunyai waktu yang cukup dalam proses pelapukannya. Tabel 2. Pengaruh manajemen pengolahan tanah terhadap bahan organik tanah.
Perlakuan Bahan Organik Tanah ( % ) Notasi uji lanjut Pengolahan Tanah Ro 3,4 B R1 3,9 B 158 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
R2 R3
4,6 3,6
Keterangan: Ro =pebakaran lahan; R1= pemberian mulsa; R2 = pemberian kompos dan pukan; R3 = Roun up; T = jagung; T2= kdelai; T3= kc.Tanah
A B
Total Ruang Pori Tanah Pengaruh perlakuan pengolahan tanah pemberian pupuk kandang dan kompos alang-alang yang paling nyata meningkatkan total ruang pori tanah (Tabel 3). Hal ini disebabkan oleh pengaruh keberadaan bahan organik yang diberikan lebih mampu membuat tanah lebih sarang serta peningkatan ruang pori tanah. Tabel 3. Pengaruh manajemen pengolahan tanah terhadap total ruang pori tanah.
Perlakuan Total Ruang Pori Tanah Notasi uji lanjut (%) Pengolahan Tanah Ro 56 B R1 58 AB R2 60 A R3 57 AB Jenis Tanaman T1 59 A T2 58 A T3 56 B
Keterangan: Ro =pebakaran lahan; R1= pemberian mulsa; R2 = pemberian kompos dan pukan; R3 = Roun up; T = jagung; T2= kdelai; T3= kc.Tanah
Pori tanah juga menggambarkan tingkat ketersediaan air yang dapat disimpan oleh tanah setiap kejadian hujan. Total ruang pori tersebut menunjukkan volume pori yang dapat diisi oleh udara dan air. Semakin tinggi nilai TRP maka semakin besar ruang yang dapat ditempati oleh udara dan air sehingga semakin kecil nilai volume matrik tanah. Hal ini sangat berguna untuk perkembangan akar tanaman di dalam tanah untuk mengambil air dan unsur hara. Disamping itu pori-pori tanah sangat penting dalam pergerakan air secara kapileritas, sehingga air tanah dapat naik kezona perakan tanaman. Unsur Hara N, P dan K Pengaruh pengolahan tanah pemberian pupuk kandang dan kompos lebih nyata meningkatkan kandungan nitrogen total tanah (Tabel 4). Hal ini dikarenakan oleh pemberian pupuk kandang dan kompos ke dalam tanah terjadi peningkatan proses dekomposisi bahan oranik dalam tanah akibat meningkatnya aktivitas mikrooganisme dalam tanah. Dalam proses pelapukan telah terjadi pelepasan nitrogen ke dalam tanah, sehingga menambah kandungan N dalam tanah. Demikian juga dengan perlakuan tanaman yakni tanaman kacang tanah dan kedelai memberi pengaruh yang nyata meningkatkan kandungan N total tanah Tabel 4. Pengaruh pengolahan tanah dan jenis tanaman terhadap N total, P tersedia, dan K tersedia.
Perlakuan
Unsur Hara P-tersedia K-tersedia Pengolahan Tanah Nitrogen Total Tanah ( % ) (ppm) (me/100 g) Ro 0,05 C 4,01 A 1,05 A R1 0,09 B 2,80 B 0,92 A R2 0,15 A 4,63 A 0,93 A R3 0,08 B 3,74 AB 0,96 A Jenis Tanaman T1 0,05 B 3,61 A 1,03 A T2 0,10 A 4,04 A 0,94 A Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
159
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
T3
0,12 A
3,73 A
Keterangan: Ro =pebakaran lahan; R1= pemberian mulsa; R2 = pemberian kompos dan pukan; R3 = Roun up; T = jagung; T2= kdelai; T3= kc.Tanah
0,93 A
Dibandingkan dengan perlakuan jenis tanaman jagung. Akar kacang-kacangan umumnya banyak mengandung bintil-bintil akar yang di dalamnya banyak bakteri penambat nitrogen dari udara. Diduga ini memberi konstribusi yang nyata dalam meningkatkan kandungan N total tanah. Sedangkan peningkatan P tersedia yang nyata adalah pada perlakuan pada pemberian pupuk kandang dan kompos. Hal ini diduga karena bahan organik yang diberikan dalam proses pelapukan dapat melepaskan P tersedia dan juga menekan ion-ion yang mengikat P seperti ion aluminium. Sedangkan pada kalium ( K ) tanah belum nyata pengaruh perlakuan pengolahan tanah dan berbagai jenis tanaman. Hardjowigeno (2003) menyatakan hilangnya N dari tanah karena digunakan oleh tanaman atau mikroorganisme, dan N dalam bentuk NO3- (nitrat) mudah di cuci oleh air hujan. Selain itu senyawa N mudah larut dan mudah hilang oleh air drainase ataupun hilang karena penguapan. Ahmad et al., (1991) juga menambahkan bahwa kehilangan unsur N melalui :1) proses denitrifikasi, 2) terbawa bersama panen, 3) tercuci bersama panen dan 4) terfiksasi oleh mineral. Karena selalu berada di dalam larutan tanah, ion nitrat lebih mudah tercuci oleh aliran air. Arah pencucian menuju lapisan di bawah daerah perakaran sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Total Mikroorganisme Tanah Total mikroorganisme tanah yang tertinggi berada pada pengolahan lahan yang diberi pupuk kandang dan kompos alang-alang (Gambar 2). Hal ini diduga karena pemberian pupuk kandang dan kompos merupakan sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah. Oleh karena popolasi mikroba pada lahan seperti ini dapat meningkat dengan cepat, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pembakaran lahan akan mengurangi sumber bahan organik sebagai sumber energi mikroorganisme tanah. Dengan demikian perkembang biakan mikroorganisme menjadi rendah. Demikian juga tanah yang mempunyai kandungan bahan organik yang susah dilapuk karena kandungan bahan lignin yang tinggi, perkembangan mikroorganisme juga sangat lambat.
Mikroba tanah 106 spk/g tanah
T1
T2
T3
4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Ro
R1
R2
R3
Pengolahan Tanah Gambar 2. Grafik popolasi mikroorganisme tanah pada berbagai perlakuan pengolahan tanah
Menurut Komagata (1994) populasi mikroorganisme dan aktivitas mikroorganisme tanah dalam suatu ekosistem sangat tergantung pada jumlah energi yang masuk ekosistem tanah. Pada ekosistem tanah sebagian besar energi yang dibutuhkan mikroorganisme disediakan oleh bahan organik tanah. Kemu-dian senyawa organik yang dikeluarkan oleh akar atau eksudat akar, juga merupakan sumber energi yang baik bagi mikroorganisme tanah. 160 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
Permeabilitas Tanah Perlakuan pengolahan tanah nyata meningkatkan laju permeabilitas tanah (Tabel 5). Pengolahan tanah yang memperhatikan kaedah konservasi atau pengolahan tanah yang bersifat mejaga dan memelihara dengan cara pemberian bahan organik dan mulsa sangat dapat memperbaiki sifat tanah didaerah penelitian. Pemberian bahan organik seperti mulsa, pupuk kandang dapat menurunkan bobot isi tanah sehingga membuat tanah menjadi lebih sarang hingga jumlah pori-pori tanah. Permeabilitas tanah dilukiskan sebagai sifat tanah yang mengalirkan air melalui pori tanah. Didalam tanah, sifat aliran mungkin laminar atau turbulen. Tahanan terhadap aliran bergantung pada jenis tanah, ukuran butiran, bentuk butiran, bobot isi, serta bentuk geometri rongga pori. Temperatur tanah juga sangat mempengaruhi tahanan aliran (kekentalan dan tegangan permukaan). Tabel 5. Pengaruh manajemen pengolahan tanah terhadap permeabilitas tanah.
Perlakuan Laju Permeabiltas (cm/jam) Pengolahan Tanah Ro 0,77 R1 3,77 R2 4,44 R3 12,11 Jenis Tanaman T1 4,16 T2 4,25 T3 7,41
Notasi uji lanjut B AB AB A B B A
Keterangan: Ro =pebakaran lahan; R1= pemberian mulsa; R2 = pemberian kompos dan pukan; R3 = Round up; T1 = jagung; T2= kdelai; T3= kc.Tanah
Aliran Permukaan
Aliran Permukaan (mm)
Aliran permukan pada lahan usahatani konservasi terlihat dapat ditekan pada perlakuan pengolahan tanah yang ditambah dengan pupuk kandang dan kemudian juga ditambahankan kompos dari alangalang (R2). Selanjutnya ditanami dengan jagung, kedelai dan kacang tanah (Gambar 3). Aliran permukaan terjadi karena sudah jenuhnya tanah dalam menyerab air atau pori-pori tanah yang sudah tersumbat atau tertutup oleh adanya erosi internal. Air aliran permukaan ini mempunyai energi yang dapat mengikis permukaan tanah dan membawa butiran-butir tanah ke lereng bagian bawah. Praktek usahatani yang kurang memper-hatikan penutupan permukaan tanah akan mengalami erosi yang lebih tinggi. Suripin (2002) menyatakan tanaman penutup yang rendah dapat mengurangi kecepatan aliran permukaan karena meningkatnya kekasaran dan mencegah terkonsentrasinya aliran permukaan serta memberi peluang air untuk terinfiltrasi. 5000,00 4500,00 4000,00 3500,00 3000,00 2500,00 2000,00 1500,00 1000,00 500,00 0,00
Perlakuan Olah Tanah
Gambar 3. Grafik hasil pengukuran air aliran permukaan mm per petak per petak di Aripan
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
161
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
Erosi Tanah Tanah tererosi pada daerah penelitian terlihat pada Gambar 4, dimana jumlah tanah tererosi yang paling tinggi terjadi pada perlakuan pengolahan tanah secara konvensional yakni lahan dibakar kemudian diolah (Ro). Sedangkan erosi tanah yang terendah terdapat pada perlakuan pengolahan tanah yang diberi pupuk kandang dan kompos alang-alang (R2). Pengolahan tanah secara konservasi dengan pemberian kompos dan pupuk kandang dapat menekan erosi sampai 19 kg tanah/plot. Sedangkan pengolahan tanah secara konvensional tanah tererosi mencapai 42 kg tanah/plot. Hal ini diduga pada tanah diberi bahan organik dapat mempertahankan kegemburan tanah dalam jangka panjang dan kapasitas infiltrasi tanah lebih tinggi dan aliran permukaan dapat ditekan. Hasil penelitian Aprisal (2000) menunjukkan bahwa jumlah erosi tanah pada musim tanam pertama yang ditanami dengan kacang tanah dan lahan dibuka dengan cara membakar serta mengolah tanah secara konvensional mempunyai erosi yang lebih besar yakni 5,23 mm/3 bulan. Selanjutnya Aprisal et al (2009) juga memperlihatkan bahwa pengolahan tanah konservasi dengan menambahkan bahan ameleoran pupuk kandang dan kompos dapat menekan erosi tanah dari rerata erosi tanah yang terjadi pada masing-masing teknik konservasi tanah, maka usahatani dengan teknik konservasi tanah dapat menekan erosi, yakni dari rerata 73,6 kg/ha menjadi 33,5 kg/ha. Hubungan manajemen lahan dengan erosi tanah 45,00 40,00
EROSI TANAH kg/plot
35,00 30,00
25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 R0T1
R0T2
R0T3
R1T1
R1T2
R1T3
R2T1
R2T2
R2T3
R3T1
R3T2
R3T3
Gambar 4. Grafik hasil pengukuran erosi tanah kg per petak di Aripan
Penerapan usahatani konservasi dengan penataan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi pada teras bangku dan legum pohon serta dilengkapi dengan embung, dapat mengurangi erosi dan aliran air permukaan yang mempunyai pengaruh yang baik dalam mengurangi banjir dan kekeringan serta erosi, selain itu juga dapat meningkatkan produksi dan produktifitas lahan usahatani yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani (Juanda et al., 2005). 162 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
Produktivitas Lahan Produktivitas lahan disini adalah hasil yang peroleh persatuan luas. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas lahan yang tertinggi didapatkan pada lahan yang diolah dengan pemberian pupuk kandang dan kompos alang-alang yang ditanami dengan kacang tanah, kedelai dan jagung (Gambar 8). T1
T2
T3
70000,0
(Rp per petak )
60000,0
50000,0 40000,0
30000,0 20000,0 10000,0 0,0
Ro
R1
R2
R3
Teknik Konservasi
Gambar 5. Grafik hasil tanaman setelah di konversi ke rupiah per petak
Dari Ganbar 5 produktivitas tanah telah dikonversi kedalam satuan rupiah berdasarkan harga pasar. Perlakuan pemberian bahan organik kompos dan pupuk kandang (R2) diduga dapat membuat kondisi tanah sebagai media tumbuh yang cukup kondusif bagi pertumbuhan akar tanaman, sehingga akar dapat berkem-bang dengan baik dan mampu menyerap unsur hara yang optimal. Penerimaan yang tertinggi berasal komoditi kacang tanah (T3) yakni Rp 65.000 per petak, kemudian diikuti oleh kedelai (T2) yakni Rp 48.000 per petak dan jagung (T1) yakni Rp 40.000 per petak. Tingginya penerimaan dari kacang tanah ini dikarenakan oleh harga komoditi dari kacang tanah yang lebih tinggi di pasar yakni sekitar Rp 17.000 s/d Rp 18.000 per kg. Hal ini disebabkan oleh kacang tanah merupakan komoditi yang sangat disukai oleh masyarakat untuk berbagai jenis makanan olahan seperti kueh, kacang tojin, kerupuk piek dll. Menurut Lynam dan Herdt (1989), indikator pertanian yang berkelanjutan dari aspek ekonomi adalah apabila rasio penerimaan per biaya rata-rata lebih besar atau sama dengan satu dalam jangka waktu yang panjang. Selanjut Lynam dan Herdt (1989) juga menjelaskan bahwa berkelanjutan suatu pertanian bukan saja dinilai dari aspek fisik tetapi juga dengan memperhatikan harga pasar. Artinya dalam merencanakan usahatani perlu diperhatikan komoditi yang ditanam mempunyai nilai ekonomis, sehingga mampu meningkatkan penerimaan petani.
Kesimpulan 1. Perbaikan kondisi fisik tanah dengan cara manajemen lahan yang baik dapat meningkatkan produktivitas lahan. 2. Manajemen lahan dengan perlakuan pupuk kandang dan kompos alang-alang cocok untuk bahan perbaikan kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah. 3. Tanaman kacang tanah merupakan komoditi yang mampu meningkatkan penerimaan petani tertinggi yakni Rp 65000,- per petak. Penerimaan ini lebih tinggi daripada komoditi kedelai dan jagung. 4. Pemeliharaan ternak sapi tiga ekor juga memberi sumbangan penerimaan petani sebesar Rp 1.183.000 selama 6 bulan. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian ini maka disarankan pemanfaatan lahan marjinal disekitar DTA Singkarak dengan manajemen pengelolaan yang baik dapat dengan menggunakan pupuk kandang dan kompos alang-alang. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
163
Aprisal, dkk./Manajemen Lahan Dalam Membangun Usahatani Konservasi Integrasi ...
DAFTAR PUSTAKA Abujamin A A. 2000. Penentuan penghitungan neraca air Agroklimat. Makalah disampaikan pada program pelatihan peningkatan dalam bidang Agroklimatologi Kerja sama antara Badan Litbang Pertanian, Deptan dan FMIPA-IPB. Bogor. 31 Agustus – 2 Nopember 2000. Ahmad, F. 1991. Permasalahan Dan Pengelolaan Air Tanah Di Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Anadalas. Padang. Sumatera Barat Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 216 hal. Anderson, J.M and J.S.Ingram. 1993. Tropical soil biology and fertility. A. Handbook of methods. CAB International, Wallingford. Aprisal. 2000. Reklamasi lahan marjinal alang-alang dan model system usahatani terpadu untuk membangun pertanian lestari di daerah Transmigrasi Pandan Wangi Peranap Riau. Disertasi. IPB. Bogor. Juanda, D., Jamulya, Suyono, dan Warsana. 2005. Pemanfaatan Aliran Permukaan Dan Penerapan Teknologi Sistem Usahatani Konservasi Terhadap Lingkungan Sosial Petani Di Mikro Sub DAS Keji. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 5 (1) (2005) p : 55-61. Gomez, K.A. And A.A. Gomez. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Terjemahan oleh Endang Syamsudin dan J.S. Baharsyah. UI Press. Jakarta. Hardjowigeno. S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademi Pressindo. Jakarta. 347 hal. Lynam, J.F. and R.W. Herdt. 1989. Sense and sustainability. Sustainbility as an objective in international agriculture research. Proc. 14 IBSRAM. Pramudia A dan Santosa I. 1992. Analisis periode tanam kedelai di daearah Semi-Arit Tropik. Stui kasus di daerah Segaranten Kabupaten Sukabumi. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang 20-22 Agustus 1991. Halaman 397-412 Sibuea L H dan Pramudia A. 1992. Penggunaan Neraca air tanah di Pulau Timor Bagian Barat dan penggunaan untuk evaluasi tingkat kesesuaian lahan dengan studi kasus di daerah Besikama. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang 20-22 Agustus 1991. Halaman 512 – 521 Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. ANDI. Yogyakarta. 210 halaman
164 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
IRIGASI GENANGAN UNTUK PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI MERAH (Capsicum annum L.)1) Arjuna Neni Triana2, Hilda Agustina3, dan Sri Anita Agustina4 Abstract: The research objective was to determine effect of flooding irrigation by using semi permeable layer on root growth of chilly crop (Capsicum annum L.). Method used in this study was descriptive method through direct field observation and results were presented in form of tables and graphs. Treatments in this research were A1B1C1, A1B2C2, A1B1C2 A1B2C1, A2B1C1, A2B2C1, A2B2C2 and A2B1C2. All treatments respectively had two replications with 16 pots. Thirty two pots were broken during 35 days and 70 days after planting to observe root length increment, whereas other 16 pots were broken during harvest. The results showed that the best results in term of root growth was found on A2B2C2 treatment with root length increments of 4.9 cm, 14.75 cm and 44.8 cm during 35, 70 and 116 days after planting, respectively. The best of semi permeable layer media was found on A2 treatment having thickness of 1.5 cm. The best of soil height and flooding height were 32 cm and 8 cm, respectively. Keywords: semi permeable water transmission layer, Capsicum annum L, root growth 1)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Unsri 4) Mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian 2-3)
PENDAHULUAN Latar Belakang
I
rigasi merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya suatu tanaman. Irigasi adalah panambahan kekurangan air dalam bentuk lengas atau kelembaban tanah sesuai keperluan suatu tanaman untuk tumbuh dan berkembang (Najiyati 1993). Salah satu bentuk dari irigasi adalah irigasi permukaan yaitu suatu sistem irigasi yang dilakukan dengan cara mengalirkan air memlalui suatu media yang dipendamkan dalam tanah. Metode irigasi permukaan dapat dilakukan pada lahan yang kondisi airnya tergenang, tofografi lahan cukup datar, jenis tanah bertekstrur sedang sampai agak halus dan kedalaman muka air yang optimum. Genangan merupakan kandungan lengas atau kelembaban tanah lebih besar dari kapasitas lapang.Pengurangan proses pemanjangan akar saat terendam dilahan yang tergenang merupakan hal yang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman. Pengenangan air yang berlebih terhadap tanaman juga berpengaruh negatif terhadap tanaman seperti mempengaruhi kelarutan unsur hara tanah, fisiologi tanaman, keracunan pada tanaman, kekeurangan oksigen pada tanaman dan daya adaptasi tanaman. Tanah yang subur dan tersedianya unsur hara yang cukup akan menghasilkan akar tanaman cendrung membentuk banyak cabang. Triana (1999) Mengemukakan tanaman yang ditanam di media tanaman jauh lebih baik tumbuh dari pada tanman yang ditanam dilapangan atau lahan. Kerapatan akar pada tanaman yang ditanam (seperti pot) cukup seragam sedangkan dilapangan akarnya bergam dengan kedalaman tanah.
Pertumbuhan akar sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bagian atas tanaman. Menurut Santika (1995), akar yang mengalami kerusakan akibat gangguan biologis, mekanis dan fisis akan menghasilkan pertumbuhan pucuk tanaman yang kurang optimal. Selain berhubungan dengan tanaman maka akar juga akan selalu berhubungan dengan tanah sebagai tempat melekatnya akar, maka perlu dilakukan penelitian tentang irigasi genangan dengan penghantar air berbahan semi kedap terhadap pertumbuhan akar pada tanaman cabai merah (Capsicum annum L.). Lapisan penghantar air bersifat semi kedap merupakan sistem pemberian air yang dilakukan dengan cara mengenangi air dibawah permukaan tanaman. Lapisan irigasi semi kedap terbuat dari 60 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
165
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
% tanah liat dan 40 % pasir yang dibakar dengan suhu sebesar 1000 oC selama 24 jam. Lapisan penghantar air bersifat semi kedap berfungsi untuk merembeskan air ke media tanah melawan gaya gravitasi. Oleh sebab itu air akan naik ke dalam pot sehingga kebutuhan air dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan air bagi tanaman selama proses pertumbuhan (Agustina et al.,2007). Tujuan Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh penerapan irigasi genangan menggunakan lapisan penghantar air berbahan semi kedap terhadap pertumbuhan akar tanaman cabai (Capsicum annum L.).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium Teknik Konservasi Tanah dan Air (TKTA) dan rumah tanaman Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya pada bulan Juni 2012 sampai dengan Juli 2013. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian adalah : 1) Air, 2) Benih cabai merah F1 hibrida Siramping C199 “Primasid”, 3). Fungisida “Nefos” 4) Insektisida “Primadan 3GR”, 5) millimeter block 6) Pupuk “bio-fitalik”, 7). Pupuk Kandang, 8) Pupuk NPK “YaraMila”, dan 9) Tanah jenis Ultisol. Alat yang digunakan pada penelitian adalah : 1) Bak penampung air ukuran 60 cm X 60 cm X 12 cm, 2) Desikator, 3) Higrometer, 4) Kuas, 5) Lapisan semi kedap dengan komposisi 60% tanah liat dan 40% pasir , 6) Lem pipa, 7) Lem silicon, 8) Mistar baca, 9) Palu, 10) Papan, 11) Penampung air 1000 liter “Tedmond”, 12) Pipa PVC 3/4, 13) Plastik penutup bak penampungan air (terpal penutup) 14) Pot plastik berukuran diameter 26 cm dan tinggi 3 6cm, 15) Rumah tanaman berukuran panjang 8 m, lebar 4 m, dan tinggi 3 m, 16) Timbangan digital, dan 17) Tungku pembakaran. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pengamatan langsung di lapangan dan hasil yang diperoleh akan disajikan dengan menggunakan tabel dan gambar. Adapun faktor perlakuan adalah: 1. Tebal lapisan penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm (A1) dan 1,5 cm (A2) 2. Tinggi genangan 4 cm (B1) dan 8 cm (B2) 3. Tinggi tanah 22 cm (C1) dan 32 cm (C2) Kombinasi perlakuan diulang sebanyak 2 kali sehingga ada 16 media (pot) dan dipecahkan setiap 35 hari, 72 hari dan 116 hari untuk melihat peningkatan panjang akar. Jumlah media (pot) keseluruhan yang digunakan adalaH 48 pot. Parameter yang Diamati 1. Peningkatan panjang akar (cm) 2. Kadar air tanah tanaman cabai (basis kering) (%) 3. Tinggi tanaman (cm) 4. Jumlah daun (helai) 5. Jumlah tandan bunga (buah) 6. Berat brangkasan (g)
166 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
HASIL DAN PEMBAHASAN
9,25
6,8
10
3,6 4,95
6 4 2
A2 = 1,5 A1 = 0,5
0 B1 = 4
B2 = 8 Tinggi Genangan (cm)
(a)
8 6 4 2 0
6,44,9
5,2
A2 = 1,5 A1 = 0,5 B1 = 4
B2 = 8 Tinggi Genangan (cm)
Tebal Penghantar air (cm)
7,75
Panjang akar (cm)
8
Tebal Penghantar air (cm)
Panjang akar (cm)
Peningktan Panjang Akar
(b)
Gambar1. Rerata pertumbuhan panjang akar tanaman cabai pada faktor C dengan ketinggian tanah C 1 = 22 cm (a) dan C2 = 32 cm (b) pada pemecahan pot 35 hari
Gambar 1 menunjukkan saat umur tanaman cabai 35 hari yang menghasilkan akar yang paling panjang adalah A2B1C2 sebesar 9,25 cm. A2B1C2 memiliki tebal media penghantar air sebesar 1,5 cm sehingga lapisan penghantar air bersifat semi kedap memerlukan waktu yang lebih lama untuk merembeskan air dibandingkan dengan perlakuan A1 yang mempunyai tebal sebesar 0,5 cm. Tinggi genangan A2B1C2 adalah 4 cm, pot yang dibenamkan pada genangan air setinggi 4 cm akan mendapatkan tekanan atau dorongan ke atas yang sama besar. Air yang masuk ke dalam pot melalui media penghantar air bersifat semi kedap mengakibatkan terjadinya hisapan matriks antara molekul air dengan agregat tanah, tinggi tanah 32 cm menyebabkan air memerlukan waktu lebih lama untuk mengisi ruang pori kosong tanah dalam tanah bila dibandingkan dengan tinggi tanah 22 cm. A 2B1C2 pada umur 35 hari memiliki panjang akar tertinggi 9,25 cm karena air belum sampai ke daerah perakaran, sehingga akar tumbuh memanjang mendekati sumber air. Pertumbuhan panjang akar terendah pada umur 35 hari ialah perlakuan A2B1C1 sebesar 3,6 cm. Tinggi tanah pada A2B1C1 sebesar 22 cm, air yang merembes pada penghantar air bersifat semi kedap setebal 1,5 cm dengan genangan 4 cm tidak sulit untuk mengisi ruang pori kosong pada tinggi tanah 22 cm. Air yang naik ke atas permukaan terjadi akibat gaya kapiler. Gaya kapiler membuat air bergerak ke atas melawan gaya gravitasi (Munson dan Bruce, 2003). A2B1C1 memiliki pertumbuhan panjang akar terendah karena air telah mengisi ruang pori kosong tanah mendekati daerah perakaran, sehingga akar tidak tumbuh memanjang mendekati sumber air. Pertumbuhan panjang akar tertinggi pada umur 35 hari pada perlakuan A2B1C2 sedangkan umur 72 hari pertumbuhan panjang akar tertinggi adalah perlakuan A2B2C2 sebesar 14,75 cm. Perlakuan A2B1C2 memiliki tinggi genangan 8 cm dibandingkan dengan A2B1C2 yang tinggi genangan 4 cm. Tinggi genangan 8 cm mendapat desakan atau dorongan lebih besar dbandingkan 4 cm. Hukum Archimedes menyatakan “Jika suatu benda dibenamkan ke dalam suatu zat cair maka benda tersebut akan mendapatkan tekanan ke atas yang sama berat zat cair yang redesak oleh benda tersebut” (Munson dan Bruce, 2003). Kebutuhan air pada A2B2C2 tercukupi dengan optimal pada fase generatif sehingga pertumbuhan panjang akar serta pertumbuhan tanaman cabai tumbuh baik. A2B1C1 pada umur 35 hari dan 72 hari memiliki pertumbuhan panjang akar terendah, umur 72 hari panjang akar A2B1C1 sebesar 6,25 . Tebal media penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi genangan 4 cm dan tinggi tanah 22 cm, maka air yang merembes mampu mengisi pori kosong tanah hingga permukaan, hal ini menyebabkan kondisi media tanam (tanah) menjadi jenuh air . Kondisi jenuh air tidak baik untuk pertumbuhan akar maupun pertumbuhan cabai, terjadi kekuranagan pemasokan O2 panjang akar pada perlakuan A2B1C1 terendah karena ketersediaan air disekitar daerah perakaran tercukupi. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
167
Panjang akar (cm)
7,75
6,25
10 5
A2 = 1,5 A1 = 0,5
0 B1 = 4 B2 = 8
20
Tebal Penghantar air (cm)
13,5
15
15,5 12,510
15 Panjang akar (cm)
14,75
Tebal Penghantar air (cm)
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
10
6,5
5
A2 = 1,5 A1 = 0,5
0
Tinggi Genangan (cm)
B1 = 4 B2 = 8
Tinggi Genangan (cm)
(a)
(b)
A2 = 1,5 A1 = 0,5 B1 = 4 B2 = 8 Tinggi Genangan (cm)
40 20
16,45 15,35 17,1
Tebal Penghantar air (cm)
24,1 17,512,3
44,8
60 Panjang akar (cm)
Panjang akar (cm)
35,4 40 30 20 10 0
Tebal Penghantar air (cm)
Gambar 2. Rerata pertumbuhan panjang akar tanaman cabai pada faktor C dengan ketinggian tanah C1 = 22 cm (a) dan C2 = 32 cm (b) pada pemecahan pot 72 hari.
A2 = 1,5 A1 = 0,5
0 B1 = 4 B2 = 8 Tinggi Genangan (cm)
(a)
(b)
Gambar 3. Rerata pertumbuhan panjang akar tanaman cabai pada faktor C dengan ketinggian tanah C 1= 22 cm (a) dan C2 = 32 cm (b) pada pemecahan pot 116 hari.
Panjang akar tertinggi pada umur 116 hari terdapat pada perlakuan A2B2C2 sebesar 44,8 cm , karena media tanam lebih tebal yaitu 1,5 cm, jadi jarak tanam ke sumber air. Air bergerak ke atas merembes ke celah – celah sempit (pori) media penghantar air bersifat semi kedap menuju ke media tanam. Air yang mengisi ruang kosong pori tanah sampai kondisi seimbang. Air mempunyai sifat mencari akar, semakin sedikit air yang mampu merembes ketebalan media penghantar air bersifat semi kedap maka akar akan semakin panjang. Perlakuan A2B2C2 memiliki genangan setinggi 8 cm posisi dan jarak sumber air terhadap laju pertumbuhan akar, semakin jauh muka air maka pajang akar akan menjadi semakin panjang. Menurut Prajnanta (2009), akar tanaman cabai memiliki panjang berkisar antara 5 cm sampai 50 cm. Kondisi media tanaman yang tergenang atau berlebihan akan membuat akar tidak perlu mencari sumber air sehingga ukuran dan volume akar akan menjadi kecil, begitu pula sebaliknya. Tinggi media tanah dalam pot juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang akar. Tinggi tanah pada perlakuan A2B2C2 sebesar 32 cm, air yang mampu merembes dari media penghantar air bersifat semi kedap dan mengisi pori atau cela tanah yang kosong dengan waktu lebih yang lama jika dibandingkan dengan tinggi tanah 22 cm. Akar akan menjadi busuk dan pertumbuhannya menjadi tidak baik jika media tanah menjadi jenuh air. Perlakuan A2B1C1 pada umur 116 hari memiliki pertumbuhan panjang akar paling rendah yaitu sebesar 12,3 cm. Tekanan yang didapat pada saat pot dibenamkan dengan tinggi genangan 4 cm menghasilkan dorongan yang sama berat sehingga air yang lolos melewati pori kosong pada media penghantar air bersifat semi kedap menjadi jenuh air karena tinggi tanah hanya 22 cm. Terjadi cekaman kelebihan air yang mengakibatkan akar tanaman menjadi busuk dan tidak tumbuh dengan baik atau kerdil.
168 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi Tanaman (cm)
60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 A1B1C1 A1B2C1 A2B2C2
Minggu Ke A1B2C2 A2B1C1 A2B1C2
A1B1C2 A2B2C1
Gambar 4. Perbandingan rerata tinggi tanaman cabai (Capsicum annum L.) setiap perlakuan
Keterangan: A1 = Tebal bahan penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm A2 = Tebal bahan penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm B1 = Tinggi genangan 4 cm B2 = Tinggi genangan 8 cm C1 = Tinggi tanah 22 cm C2 = Tinggi tanah 32 cm Pertumbuhan tanaman pada umumnya sangat tergantung pada jumlah air yang tersedia di dalam tanah. Tinggi tanaman diukur dari pangkal tanaman sampai daun yang terpanjang. Gambar 4 menunjukkan grafik rerata tinggi tanaman. Pertumbuhan tanaman yang tertinggi pada minggu ke – 17 terdapat pada perlakuan A1B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi genangan 8 cm, tinggi tanah 22 cm) yaitu sebesar 55,15 cm. Tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan A1B1C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 22 cm) sebesar 19,1 cm. Kadar air mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman cabai, A1B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi genangan 8 cm, tinggi tanah 22 cm) pertumbuhan tinggi tanaman cabai mempunyai kemampuan penyerapan air yang baik sehingga air mencukupi kebutuhan air tanaman, A1B1C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 22 cm) menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman menurun dikarenakan ketersediaan air yang berlebihan menyebabkan tanah menjadi jenuh dan stres (cekaman air yang berlebihan). Cekaman kelebihan air dapat berdampak buruk pada pertumbuhan, reproduksi dan kelangsungan hidup tumbuhan karena kekurangan O2 (Lakitan, 1996). Kondisi tinggi muka air yaitu (faktor B) B1 = 4cm, B2 = 6 cm menunjukkan bahwa rerata tinggi pada minggu ke-1 dan minggu ke-2 setelah tanam pertumbuhan tinggi adalah A1B1C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 22 cm) dan A2B1C2 (penghantar air bersifat semi kedap setebal 1,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 32 cm). Minggu ke-15 pertumbuhan tinggi tanaman menjadi lebih lambat dibandingkan minggu-minggu sebelumnya disebabkan oleh pertumbuhan tanaman terganggu, akibat keadaan tanaman yang jenuh air dan akar yang terganggu oleh air yang berlebihan. Wiryananta (2002), mengemukakan pertumbuhan tanaman cabai akan terhambat oleh kadar air yang tinggi, dikarnakan situasi yang lembab dapat memicu pertumbuhan virus, bakteri dan jamur. Jumlah Daun (Helai) Gambar 5 menunjukkan jumlah rerata daun terbanyak terdapat pada perlakuan A2B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi genangan 8 cm, tinggi tanah 22 cm) yaitu berjumlah Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
169
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
62 helai, dan jumlah rerata daun terendah terdapat pada perlakuan A2B1C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 32 cm) sebanyak 11 helai. Perlakuan A2B1C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 32 cm) memiliki rerata jumlah daun yang tinggi lalu mengalami jumlah rerata daun yang rendah dibandingkan dengan jumlah rerata daun dari perlakuan lainnya. Minggu ke- 14 rerata jumlah daun perlakuan A2B1C2 sebanyak 59 helai. Minggu ke-15 turun menjadi 20 helai dan pada minggu ke16 turun lagi menjadi 11 helai serta pada saat pemanenan pada minggu ke-17 jumlah rerata banyak daun tetap 11 helai. Penurunan rerata jumlah daun disebabkan karena tanaman pada perlakuan A2B1C2 (tebal penghantar bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 32 cm) terserang hama karat daun. Jumlah daun (helai)
100
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 A1B1C1 A2B1C1
Minggu Ke
A1B2C2 A2B2C1
A1B1C2 A2B2C2
A1B2C1 A2B1C2
Keterangan: A1 = Tebal bahan penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm A2 = Tebal bahan penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm B1 = Tinggi genangan 4 cm B2 = Tinggi genangan 8 cm C1 = Tinggi tanah 22 cm C2 = Tinggi tanah 32 cm Gambar 5. Perbandingan rerata jumlah daun tanaman cabai (Capsicum annum L.) setiap perlakuan.
Perlakuan A1B2C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi genangan 4 cm, tinggi tanah 22 cm) rerata jumlah daun yang tinggi pada minggu ke-15 yaitu 79 helai. Jumlah rerata daun pada minggu ke-16 menjadi 39 helai akan tetapi pada minggu ke- 17 rerata jumlah daun bertambah menjadi 55 helai. Perlakuan A1B2C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi muka air 4 cm, dan tinggi tanah 32 cm) juga terserang penyakit karat daun, dan virus kuning (virus gemini). Minggu ke-13 pada jumlah daun berkurang yang disebabkan oleh hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai. Minggu ke-15 tanaman mulai terjadi gugurnya daun. Stres pada tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor dari dalam tanaman itu sendiri. Faktor lingkungan (eksternal) sangat dipengaruhi oleh keadaan suhu yang tinggi serta kelembaban yang rendah sedangkan pada faktor dalam tanaman (internal) disebabkan oleh hama dan penyakit tumbuhan. Minggu ke-15 terlihat penurunan pada jumlah daun . Perlakuan A2B1C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi muka air 4 cm, dan tinggi tanah 32 cm) rerata jumlah daun yang berguguran lebih rendah disebabkan terserang penyakit daun berubah warna menjadi kuning lalu menjadi gugur. Tanaman yang tidak mampu menyesuaikan diri pada lingkungannya akan mengalami stres yang berdampak pada gugurnya daun dan pertumbuhan akar tanaman.
170 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
Jumlah Bunga Jumlah Bunga (buah)
14 12 10 8 6 4 2 0 14
15
16
17
Minggu Ke A1B1C1 A2B1C1 A2B2C1
A2B1C2 A2B2C2 A1B2C1
A1B1C2 A1B2C2
Keterangan : A1 = Tebal bahan penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm A2 = Tebal bahan penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm B1 = Tinggi genangan 4 cm B2 = Tinggi genangan 8 cm C1 = Tinggi tanah 22 cm C2 = Tinggi tanah 32 cm Gambar 6. Perbandingan rerata jumlah bunga tanaman cabai (Capsicum annum L.) setiap perlakuan.
Saat pengamatan di lapangan banyak terjadi kerontokan calon bunga dan bunga pada tanaman cabai. Fase generatif di mulai pada minggu ke-9 dan pada minggu ke-13 mulai terlihat bunga, sedangkan perlakuan A1B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi muka air 8 cm, dan tinggi tanah 22 cm) pada minggu ke-12 telah masuk fase generati. Minggu ke – 13 pertumbuhan bunga merata tetapi pada minggu ke 14 rata- rata jumlah bunga menurun dikarenakan gugur, pertumbuhan A2B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi muka air 4 cm, dan tinggi tanah 22 cm) tidak ada peningkatan jumlah bunga dari minggu ke- 14 dan minggu ke 15, pada minggu ke-16 bunga pun rontok dan tidak menghasilkan calon buah. Perlakuan A1B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi muka air 8 cm, dan tinggi tanah 22 cm) dan A2B2C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi muka air 8cm, dan tinggi tanah 32 cm) pada minggu ke-17 mengalami penurunan rerata jumlah bunga yang dari mingu ke minggu, sedangkan perlakuan lainnya jumlah bunga rontok pada minggu ke-16 dan tidak menghasilkan calon buah. Gambar 6 menunjukkan rerata jumlah bunga terbanyak pada perlakuan A1B2C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi muka air 8 cm, dan tinggi tanah 32 cm) sebesar 12 buah. Jumlah bunga terendah terendah terdapat pada perlakuan A2B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi muka air 8 cm, dan tinggi tanah 22 cm) sebesar 1 buah. Jumlah bunga saat pemanenan yang terbanyak terdapat pada perlakuan A2B2C2 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 1,5 cm, tinggi muka air 8 cm, dan tinggi tanah 32 cm) sebanyak 2 buah dan yang terendah pada perlakuan A1B2C1 (tebal penghantar air bersifat semi kedap 0,5 cm, tinggi muka air 8 cm, dan tinggi tanah 22 cm) sebanyak 1 buah. Terdapat dua faktor penyebab kerontokan bunga dan buah cabai , yaitu faktor lingkungan dan faktor dari dalam tanaman. Tekanan atau stress yang ada di lingkungan dapat berupa suhu yang rendah, kelembaban yang tinggi serta keadaan media tanaman (tanah) yang jenuh air, sedangkan faktor dari tanaman itu sendiri ialah tekanan biotik seperti hama dan penyakit (Maspari dalam Fajriansyah, 2010). Tanaman cabai yang ditanam telah teserang hama penyakit tumbuhan seperti hama pada akar yaitu Nematoda, hama thrips, tungau, aphids dan virus kuning gemini, sehingga pertumbuhan bunga, buah dan pertumbuhan tinggi tanaman cabai menjadi terganggu dan gagal panen. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
171
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
Berat Berangkasa
3 2 1 0
2,1055
A2 = 1,5 A1 = 0,5 B1 = 4
B2 = 8
Tinggi Genangan (cm)
4,785 4,488
3,099 3,2975
Tebal Penghantar air (cm)
4
5 4 3 2 1 0
Berat Berangkasan batang (g)
4,5135 4,208 3,0555
5
Tebal Penghantar air (cm)
Berat berangkasan batang (g)
Berat berangkasan yang dihitung merupakan berat brangkasan akar dan batang yang telah dipanen pada umur 17 minggu.
A2 = 1,5
A1 = 0,5 B1 = 4
B2 = 8
Tinggi Genangan (cm)
(a)
(b)
Gambar 7. Rerata berat berangkasan tanaman cabai pada faktor C dengan ketinggian tanah C 1= 22 cm (a) dan C2 = 32 cm (b)
2
0,9440,424 1,134
1
A2 = 1,5
0
A1 = 0,5 B1 = 4
B2 = 8
1
1,338 1,007 0,7015
0,702
0,5
Tinggi Genangan (cm)
Tebal Penghantar air (cm)
3
1,5 Berat berangkasan akar (g)
3,025
4
Tebal Penghantar air (cm)
Berat berangkasan akar (g)
Gambar 7 menunjukkan rerata berat berangkasan tertinggi ialah pada perlakuan A2B2C2 (lapisan penghantar semi kedap tebal 1,5 cm, tinggi muka air 8 cm, tinggi media tanah 32 cm) sebesar 4,785 g, berat berangkasan batang terendah ialah A1B1C1 (lapisan penghantar semi kedap tebal 0,5 cm, tinggi muka air 4 cm, tinggi media tanah 22 cm) sebesar 2,10 g.
A2 = 1,5 A1 = 0,5
0 B1 = 4
B2 = 8
Tinggi Genangan (cm)
(a)
(b)
Gambar 8. Rerata berat berangkasan akar cabai pada faktor C dengan ketinggian tanah C1= 22 cm (a) dan C2 = 32 cm (b).
Gambar 8 menunjukkan rerata berat berangkasan akar yang tertinggi adalah A2B2C1 (lapisan penghantar semi kedap tebal 1,5 cm, tinggi muka air 8 cm, tinggi media tanah 22 cm) sebesar 3,052 g. Berat berangkasan akar terendah adalah perlakuan A2B1C1 (lapisan penghantar semi kedap tebal 1,5 cm, tinggi muka air 4 cm, tinggi media tanah 22 cm) sebesar 0,42 g.
KESIMPULAN Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian adalah: 1. Perlakuan tinggi genangan yang baik ialah 8 cm karena pertumbuhan panjang akar tertinggi pada umur 72 hari dan 116 hari memiliki tinggi genangan 8 cm (A2B2C2). 2. Pertumbuhan akar tanaman cabai yang baik yaitu pada perlakuaan A2B2C2 terjadi peningkatan panjang akar tanaman pada pemecahan pot 35 hari 4,9 cm, pemecahan pot ke 72 hari sebesar 14,75 dan pada hari 116 sebesar 44,8 cm.
172 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Arjuna Neni Triana, dkk./Irigasi Genangan untuk Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah ...
3. Perlakuan A1B2C1 merupakan perlakuan yang memilliki pertumbuhan tinggi tanaman paling tinggi sebesar 55,15 cm , jumlah buah terbanyak serta hasil panen terbanyak yaitu 8 buah dengan berat 47,939 g. DAFTAR PUSTAKA Agustina, H. 2008. Analisis Keseimbangan Air Pada Irigasi Bawah Permukaan Melalui Lapisan Semi Kedap Tesis S2. Bogor : IPB (Tidak Dipublikasikan). Agustina, H., B.I. Setiawan, S. K. Saptomo, dan Rudiyanto. 2007. Evapotranspirasi pada Sistem Irigasi Bawah Permukaan Tanah Melalui Lapisan Semi Kedap. Prosiding Seminar Ketahanan Pangan, Bandar Lampung, 15-17 November 2007. PERTETA. Hal 148-150. Doorenbos, J. and W.O. Pruiit, 1977. Crop Water Requirement. FAO Irrigation and Drainage paper. No. 24 (revised). FAO-UN, Rome. Fajriansyah, A. 2012. Pengaruh Tinggi Genangan Air Terhadap Pengaruh Pertumbuhan Tanaman Cabai (Capsicum Annum) pada Pot Dengan Media Penghantar Air Bersifat Semi Kedap. Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian . UNSRI (Tidak Dipublikasikan). Haryati. 2008. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman http://library.usu.ac.id/download/fp/hslpertanian-haryati2.pdf. Diakses pada tanggal 1 mei 2013. Hillel, D. 1982. Interoduction to Soil Physics. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : Penghantar Fisika Tanah (diterjemahkan oleh Robiyanto Hendro Susanto dan Rahmad Hari Purnomo). Penerbit Mitra Gama Widya Jogyakarta 1998. Yogyakarta. Lakitan, B. 1996. Dasar- Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada . Jakarta. Munson dan Bruce ,R. 2003. Mekanika Fluida Edisi Kempat Jilid I. Erlangga . Jakarta. Najiyati, S. 1993. Sistem Penyaluran Air dalam Petunjuk Mengairi Tanaman. Penebar Swadaya . Jakarta. Prajnanta, F. 2009. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya : Jakarta. Santika, A. 1995. Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya : Jakarta. Triana, A.N. 1999. Studi Kedalaman dan Kelembaban Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Wortel ( Daucus carota L.) Tesis S2. Bogor : IPB ( Tidak Dipublikasikan). Wiryatana, B.T. W. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Agro Media Pustaka . Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
173
KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN KARET UMUR DUA TAHUN (Hevea brasiliensis) PADA BAGIAN ATAS, TENGAH DAN BAWAH LERENG DI PERKEBUNAN KARET RAKYAT DESA GUNUNG MERAKSA 1) Bakri, Alamsyah Pohan, dan Ade Hafitriyan2) Abstract: The Varieties of Rubber’s Growth in two years old (Hevea Brasiliensis) are in up, middle, and down slope in citizenry rubber’s plantation at Gunung Meraksa village. The purpose of this research is to find out the varieties of rubber’s growth in two years old in up, middle, and down slope. Taking sample was done in up, middle, below slope, explanation of land 12%-27%. The growth of rubber in two years old, clon PB 260 was done by measuring of turn stem in 100 cm on elephant’s feet (continuation). The amount of sample was decided by five samples in every slope espressly. The texture of land in down slope was dominated by sandy loam but in up and middle slope was dominated by clay loam. The total value of N on land P- was available in down slope higher than up and middle slope. The measurement of rubber turn stem down slope had average 25.2 cm bigger than plantation up and middle slope. The available of nutrien substance, the position of slope caused the variety of rubber’s growth. Kata Kunci: karet, posisi lereng, pertumbuhan 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN
P
ertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh tanah sebagai media tanam. Sifat-sifat tanah akan dipengaruhi oleh faktor pembentukannya, salah satu dari faktor pembentukan tanah ialah topografi. Hubungan antara topografi dengan sifat-sifat tanah tidak selalu sama disemua tempat. Hal ini disebabkan karena sifat faktor-faktor pembentuk tanah yang berbeda di setiap tempat. Salah satu komponen pembentuk adalah lereng. Lereng biasanya terdiri dari bagian puncak/atas, cembung dan cekung, serta kaki lereng. Daerah yang berlereng curam terjadi erosi yang terus menerus sehingga tanah-tanah ditempat ini bersolum dangkal, kandungan bahan organik rendah dan perkembangan horizon lambat dibandingkan dengan tanah-tanah didaerah datar yang air tanahnya dalam (Hardjowigeno, 2003). Sifat-sifat tanah akan menunjang produktifitas lahan sebagai lahan perkebunan. Status hara rendah dan laju erosi tanah yang terjadi merupakan masalah pokok dalam usaha pertanian, termasuk perkebunan karet. Rendahnya rata-rata produksi karet diyakini disebabkan rendahnya kesuburan tanah, pemeliharaan yang kurang memadai, terbatasnya pengendalian hama dan penyakit serta tingginya laju erosi tanah (Rahim,2001). Faktor-faktor dominan dalam pembentukan tanah yaitu biosfir, iklim, topografi, dan bahan induk. Faktor biosfir dan iklim menjadi faktor aktif dalam perkembangan tanah (Arsyad, 2010). Selanjutnya diketahui bahwa teknik konservasi tanah dan air menentukan kesuburan fisik dan kimia tanah (Mawardi, 2012). Karet sebagai tanaman berumur panjang memberikan pengaruh spesifik terhadap sifat tanah. Tanaman akan memberikan perlindungan yang berbeda terhadap permukaan tanah dan perbedaan umur tanaman mempengaruhi sifat tanah akibat perbedaan tajuk dan perakaran tanaman. Tanaman yang masih muda mempunyai tajuk yang masih kecil dan sistem perakarannya sedikit, makin bertambah umur tanaman maka semakin besar tajuk yang dimilikinya dan semakin banyak pula sistem perakarannya. Tanaman dengan sitem perakaran yang banyak dan menyebar dapat menyebabkan pori-pori tanah meningkat dan memberi pori aerasi yang lebih baik, sehingga pori-pori dalam tanah dapat dipertahankan dan permeabilitas menjadi baik (Amypalupy, 2010); Nusirwan, 2011). 174
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ...
Penelitian bertujuan untuk mempelajari : Keragaan pertumbuhan tanaman karet pada bagian atas, tengah, dan bawah lereng di perkebunan karet rakyat, dan beberapa sifat tanah baik fisik maupun kimia terhadap keragaan pertumbuhan tanaman karet serta kemiringan lereng di perkebunan karet rakyat.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survai tingkat detail dengan skala 1 : 5.000 yang meliputi area seluas 6 hektar tanaman karet yang berumur 2 tahun. Penentuan titik-titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan sistem grid berdasarkan luas areal yang disurvai. Dalam penelitian ini lokasi yang diamati sebanyak 3 lokasi meliputi bagian atas, tengah dan bawah lereng. Tiap-tiap lokasi diambil 3 sampel tanah dengan jarak 50 m dan kedalaman 0-30cm serta 30cm-60cm dan untuk jarak antara masing-masing lereng ditentukan dengan jarak 75 m. Kemudian untuk mengukur lilit batang tanaman karet dipilih secara acak sebanyak 75 tanaman serta pengukurannya dilakukan 100 cm diatas kaki gajah pada tanaman karet. Kegiatan survai dilakukan dengan tahapan kegiatan: 1. Melakukan pengambilam sampel tanah pada titik yang telah ditentukan dengan menggunakan GPS. 2. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada setiap titik pengambilan sampel untuk analisis laboratorium. Sampel tanah yang diambil tiap lokasi pengamatan/tiap lereng sebanyak 3 sampel dengan kedalaman 30 cm (0 – 30 cm) dan 60 cm (30 – 60 cm), sehingga jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 titik sampel. 3. Sampel tanah yang sudah diambil di tiap lokasi pengamatan/di tiap lereng dikompositkan sesuai pada bagian lereng yang ditentukan serta kedalamannya, sehingga jumlah sampel yang dianalisis di laboratorium menjadi 10 sampel yaitu T1 (Lereng Bawah) 0-30cm, T2 (Lereng Bawah) 30-60cm, T3 (Lerang A Atas) 0-30cm, T4 (Lereng A Atas) 30-60cm, T5 (Lereng A Tengah) 0 -30cm, T6 (Lereng A Tengah) 30-60cm, T7 (Lereng B Atas) 0-30cm, T8 (Lereng B Atas) 30-60, T9 (Lereng B Tengah) 0-30cm, T10 (Lereng B Tengah) 30-60 cm
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Contoh Tanah dan Tanaman
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
175
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ...
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah beberapa karakteristik sifat-sifat tanah, meliputi bahan organik, unsur hara (N,P,K), tekstur tanah dan keragaan pertumbuhan tanaman karet meliputi lilit batang serta kemiringan lereng. Sebagai data pendukung juga diamati iklim ( curah hujan dan suhu), pH tanah, warna tanah dan kedalaman efektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum Desa Gunung Meraksa Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten Ogan komering Ulu beriklim tropis dan basah dengan temperatur bervariasi antara 23,9 0C sampai dengan 34,6 0C di tahun 2012. Desa Gunung Meraksa Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten Ogan Komering Ulu termasuk daerah yang bercurah hujan tinggi. Menurut pengukur curah hujan yang berada di Lubuk Batang, pada tahun 2012 curah hujan bulanan bervariasi antara 22 mm sampai dengan 367 mm. Dengan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember tahun 2012 yaitu sebanyak 16 hari hujan. Dapat dikatakan bahwa pada bulan Desember adalah puncak dari musim penghujan di tahun 2012, sedangkan hari hujan paling sedikit terjadi pada bulan Agustus yang hanya terjadi 2 hari hujan pada bulan tersebut. Curah hujan merupakan unsur yang sangat besar pengaruhnya terhadap ketersediaan air di dalam tanah dan juga berpengaruh terhadap pola tanam. Curah hujan minimum bagi tanaman karet adalah 1500mm/tahun dengan distribusi merata. Secara umum tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada kisaran curah hujan 1500 – 3000 mm/tahun dengan distribusi merata. Curah hujan 100 – 150 mm akan dapat mencukupi kebutuhan air tanaman karet selama 1 bulan ( Rao dan Vijayakumar, 1992). Curah hujan yang rendah dan berlebihan sangat mempengaruhi keragaan pertumbuhan tanaman karet dibandingkan dengan curah hujan yang ideal karena curah hujan yang rendah menyebabkan proses pengangkutan air dari akar kebatang berjalan lambat sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan pada kondisi curah hujan berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada penyadapan dan meningkatnya serangan penyakit. Serangan penyakit gugur daun dan Colletotrichum yang berat terjadi pada wilayah dengan curah hujan di atas 3000 mm/tahun (Basuki, 1990). Hari hujan lebih dari 100 hari dalam setahun menyebabkan hari sadap menjadi lebih rendah, akibatnya produksi lateks pun menjadi tidak optimal. Di samping itu serangan penyakit daun dan bidang sadap juga meningkat (Watson, 1989). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Badan Metereologi dan Geofisika Kenten, menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata tahunan Kecamatan Lubuk Batang selama 5 tahun terakhir antara tahun 2008 – 2012 adalah 2407mm. Berdasarkan acuan CSR/FAO (1983), menunjukan bahwa curah hujan pada lokasi penelitian tergolong kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) untuk tanaman karet. Besarnya curah hujan tahunan pada lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 1 di bawah ini:
Rerata Curah Hujan 6000
2008
4000
2009
2000
2010
0 2008
2009
2010
2011
2012
2011
Gambar 2. Rerata Besarnya Curah Hujan Tahunan Kecamatan Lubuk Batang Tahun 2008 – 2012.
Lokasi penelitian secara umum memiliki dua kemiringan lereng yang berbeda pada arah lereng A antara lereng bawah - tengah yaitu 27% dan antara lereng tengah - atas yaitu 14%, sedangkan pada arah lereng B antara lereng bawah - tengah yaitu 20% dan lereng tengah - atas yaitu 12%. 176 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ...
Berdasarkan kerangka acuan CSR/FAO (1983) lokasi penelitian ini tergolong kelas kesesuaian S2(sesuai) dan S3(cukup sesuai). Dalam kaitannya dengan keragaan pertumbuhan tanaman karet, kemiringan lereng pada lokasi penelitian memperlihatkan perbedaan pada lilit batang tanaman karet di tiap arah lereng yang berbeda. Pada kondisi lereng bawah ukuran rata-rata lilit batang tanaman karet lebih besar dari kondisi lereng tengah dan atas pada tiap lereng yang berbeda yaitu 25,2 cm, sedangkan pada lereng tengah untuk arah lereng A dan lereng B yaitu 21,1 cm dan 18,7 cm, kemudian untuk ukuran rata-rata lilit batang pada lereng atas arah lereng A dan lereng B yaitu 20,4 cm dan 18,7 cm. Kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian untuk lereng bawah dan arah lereng tengah A dan lereng B serta arah lereng atas B adalah 0 – 120cm. sedangkan untuk arah lereng atas A yaitu 80 cm, hal ini dapat diketahui dengan ditemukannya lapisan krokos. Sebaliknya untuk lereng bawah dan arah lereng tengah A dan lereng B serta arah lereng atas B tidak ditemukannya lapisan krokos dan air tanah pada lokasi penelitian. Berdasarkan kriteria penilaian tingkat kesesuian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO (1983), kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah tergolong S1 (sangat sesuai) dan S2 (sesuai) di arah lereng atas A untuk tanaman karet. Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dan melakukan pembacaan dari segitiga tekstur, menunjukkan bahwa tekstur tanah pada lokasi penelitian beragam yaitu lempung berpasir, lempung berliat, lempung liat berpasir, liat, dan lempung. Tanah lempung berpasir diwakili oleh T1. (LB) 030cm dan T5. (LAT) 0-30cm sedangkan tekstur tanah lempung berliat diwakili oleh T2. (LB) 3060cm, T6. (LAT) 30-60cm, T7. (LBA) 0-30cm, dan T10.(LBT) 30-60cm. Kemudian untuk tekstur tanah liat diwakili oleh T4. (LAA) 30-60cm dan T8. (LBA) 30-60cm, untuk tekstur tanah lempung liat berpasir diwakili oleh T3. (LAA) 0-30cm dan tekstur tanah lempung diwakili oleh T9. (LBT) 030cm. Pada tabel 1, di bawah ini dapat di lihat tekstur tanah pada tiap lereng dan titik pengamatan. Tabel 1. Hasil Analisis Fraksi Tanah
NO
Titik Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
T1. (LB) 0-30cm T2. (LB) 30-60cm T3. (LAA) 0-30cm T4. (LAA) 30-60cm T5. (LAT) 0-30cm T6. (LAT) 30-60cm T7. (LBA) 0-30cm T8. (LBA) 30-60cm T9. (LBT) 0-30cm T10.(LBT) 30-60cm
Pasir 60,55 38,23 51,47 36,52 53,08 44,11 44,11 36,16 41,83 35,25
Debu % 23,43 25,99 24,76 22,88 29,17 23,18 25,29 20,92 38,05 25,46
Liat 16,02 35,78 23,77 40,60 17,75 32,71 30,60 42,92 20,12 39,29
Tekstur Lempung Berpasir Lempung Berliat Lempung Liat Berpasir Liat Lempung Berpasir Lempung Berliat Lempung Berliat Liat Lempung Lempung Berliat
*Sumber: Data Primer Hasil Analisis Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Tekstur merupakan faktor pembatas bagi tanaman karet, oleh karena itu tekstur yang diwakili T1. (LB) 0-30cm dan T5. (LAT) 0-30cm, T2. (LB) 30-60cm, T3. (LAA) 0-30cm, T6. (LAT) 30-60cm, T7. (LBA) 0-30cm, T10.(LBT) 30-60cm, dan T9. (LBT) 0-30cm. Berdasarkan CSR/FAO dalam kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan tanaman karet, tekstur tanah di atas tergolong S1 (sangat sesuai). Tekstur tanah yang dominan pada lokasi penelitian yaitu lempung berliat, dimana tekstur tanah lempung merupakan tekstur tanah yang terdiri dari campuran partikel-partikel kasar dan halus “seimbang”, sehingga sifatnya berada ditengah-tengah antara pasir, debu dan liat. Hal ini menyebabkan lempung sering dianggap sebagai tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman dan produksi pertanian, dikarenakan kapasitas tanah lempung saat menahan air dan unsur hara lebih baik dibanding tanah pasir, sedangkan drainase, aerasi, dan sifat-sifat tanah olahnya lebih baik dibandingkan tekstur liat. Akan tetapi, untuk tanaman karet tekstur lempung sangat sesuai. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
177
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ...
Sedangkan, hasil pengamatan tekstur pada tabel 1 menunjukkan, tanah lapisan atas (0-30cm) memiliki kandungan pasir yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah pada lokasi ini didominasi pasir. Pada T1. (LB) 0-30 cm, merupakan lokasi dengan kandungan pasir paling tinggi, hal ini disebabkan karena pasir pada lereng bagian atas dan tengah tererosi dan mengendap di bagian lereng bawah. Kandungan pasir yang tinggi pada lereng bawah juga didukung adanya sungai kecil yang memungkinkan untuk membawa sedimen pasir dari hulu. Hasil analisis di Laboratorium didapat bahwa bahan organik tanah pada lokasi penelitian beragam mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lahan yang berbeda, baik dari kemiringan lereng dan jumlah penutup lahan, semua itu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah kandungan bahan organik pada lahan tersebut. Pada tabel 2. Di bawah ini dapat di lihat kandungan bahan organik tanah pada tiap lereng dan titik pengamatan. Tabel 2. Hasil Analisis Kandungan Bahan Organik Tanah
NoT Titik Pengamatan BO (%) 1 T1. (LB) 0-30cm 6,41 2 T2. (LB) 30-60cm 2,17 3 T3. (LAA) 0-30cm 5,74 4 T4. (LAA) 30-60cm 1,97 5 T5. (LAT) 0-30cm 2,97 6 T6. (LAT) 30-60cm 2,09 7 T7. (LBA) 0-30cm 8,95 8 T8. (LBA) 30-60cm 3,33 9 T9. (LBT) 0-30cm 3,59 10 T10.(LBT) 30-60cm 1,97
Keterangan Tinggi Rendah Tinggi Sangat Rendah Rendah Rendah Sangat Tinggi Rendah Sedang Sangat Rendah
Sumber: Data Primer Hasil Analisis Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Hasil dari laboratorium yang diketahui, kandungan bahan organik tanah pada lokasi penelitian ini dari sangat rendah sampai sangat tinggi yaitu 1,97 – 8,95 %. Kandungan bahan organik yang tergolong sangat rendah yaitu 1,97 % pada T4 (LAA) 30 – 60 cm dan T10 (LBT) 30 – 60 cm, sedangkan untuk kandungan bahan organik yang tergolong tinggi yaitu 8,95% pada T7. (LBA) 0 – 30 cm. Salah satu penyebab perbedaan jumlah kandungan bahan organik ini adalah jumlah seresah pada lahan tersebut yang berasal dari tanaman. Berdasarkan hasil analisis di Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, kandungan unsur hara N, P dan K di lokasi penelitian tergolong beragam dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi serta sangat tinggi. Pada tabel 3, di bawah ini dapat di lihat kandungan unsur hara N, P dan K pada tiap lereng dan titik pengamatan. Tabel 3. Hasil Analisis Kandungan Unsur Hara N, P dan K
Titik Pengamatan N-Total (%) P-Bray I (ppm) K-dd (me/100g) 0,25 12,00 0,58 T1. (LB) 0-30cm 0,12 4,35 0,45 T2. (LB) 30-60cm 0,23 18,15 0,19 T3. (LAA) 0-30cm 0,08 3,45 0,13 T4. (LAA) 30-60cm 0,17 14,85 0,19 T5. (LAT) 0-30cm 0,11 4,05 0,19 T6. (LAT) 30-60cm 0,35 11,40 0,32 T7. (LBA) 0-30cm 0,14 2,25 0,58 T8. (LBA) 30-60cm 0,30 24,75 0,38 T9. (LBT) 0-30cm 0,10 4,35 0,13 T10.(LBT) 30-60cm
Sumber: Data Primer Hasil Analisis Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
178 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ...
Hasil analisis di atas didapatkan bahwa N-total yang sangat rendah pada T4 (LAA) yaitu 0,08 %, sedangkan untuk N-total yang rendah yaitu pada T2 (LB), T5 (LAT), T6 (LAT), T8 (LBA) dan T10 (LBT) dengan nilai berkisar antara 0,10% – 0,17%, kemudian untuk N-total yang sedang terdapat pada T1 (LB), T3 (LAA), T7 (LBA) dan T9 (LBT) dengan nilai berkisar antara 0,23% – 0,35%. Menurut kerangka acuan CSR/FAO (1983) lokasi penelitian yang memiliki kriteria N-total sedang tergolong dalam kelas kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai), dan untuk N-total rendah tergolong kelas kesesuaian lahan S2 (sesuai), serta N-total sangat rendah tergolong dalam kelas kesesuaian lahan S3 (cukup sesuai). Status hara N-total di tiap kemiringan lereng dapat disebabkan karena sifat N yang mudah hilang dari dalam tanah. Hilangnya N dapat melalui berbagai proses antara lain karena pencucian, proses denitrifikasi, penguapan dan tererosi (Banua, 2013). Hasil analisis diatas didapatkan bahwa kandungan unsur hara P di tiap lereng dan titik pengamatan yaitu dari sangat rendah sampai sedang. Unsur hara P yang sangat rendah pada T2 (LB), T4 (LAA), T6 (LAT), T8 (LBA), dan T10 (LBT) dengan nilai berkisar antara 2,25% – 4,35%, sedangkan untuk unsur hara P yang rendah yaitu pada T1 (LB), T5 (LAT), dan T7 (LBA) yaitu dengan nilai berkisar antara 11,40% – 14,85%, kemudian untuk unsur hara P yang sedang terdapat pada T3 (LAA) dan T9 (LBT) yaitu dengan nilai masing-masing 18,15% dan 24,75%. Merujuk kerangka acuan CSR/FAO (1983) lokasi penelitian yang memiliki kriteria P sedang tergolong dalam kelas kesesuaian lahan S2 (sesuai), dan untuk P rendah tergolong kelas kesesuaian lahan S3 (cukup sesuai), serta P sangat rendah tergolong dalam kelas kesesuaian lahan N (tidak sesuai). Status hara P di lereng dan titik pengamatan dapat disebabkan karena pH tanah yang tergolong masam sampai sangat masam (pH 4.12 – pH 3.88), yang dapat menyebabkan P terfiksasi oleh ion – ion Al dan Fe sehingga ketersediaan P untuk tanaman menjadi berkurang (Tan, 1995). C-organik yang rendah hingga sedang juga dapat menyebabkan sangat rendahnya kandungan unsur hara P pada lokasi. Bahan organik tanah akan dapat mempengaruhi ketersediaan fosfor tanah melalui proses dekomposisi yang menghasilkan asam- asam organik yang mengikat ion Al, Fe dan Ca dari larutan tanah dengan membentuk senyawa kompleks yang sukar larut (Tan, 1995). Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa kandungan unsur hara K di tiap lereng dan titik pengamatan yaitu hanya dari rendah sampai sedang. Unsur hara K yang rendah yaitu pada T3 (LAA), T4 (LAA), T5 (LAT), T6 (LAT), dan T10 (LBT) dengan nilai berkisar antara (0,13 me/100 g – 0,19 me/100 g), sedangkan untuk unsur hara K yang sedang terdapat yaitu pada T1 (LB), T2 (LB), T7 (LBA), T8 (LBA), T9 (LBT) yaitu dengan nilai berkisar antara (0,32 me/100g – 0,58 me/100g) (tabel. 3). Status hara K di lokasi disebabkan karena ketersediaan K di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, yaitu tipe koloid tanah, suhu, pembasahan dan pengeringan, pH tanah dan proses pelapukan (Nyakpa, et al., 1988). Pertumbuhan lilit batang selama masa tanaman belum menghasilkan merupakan kunci utama agar tanaman karet dapat disadap secepatnya (memperpendek masa tanaman belum menghasilkan). Percepatan pertumbuhan lilit batang selain dipengaruhi oleh budidaya management, iklim setempat yaitu curah hujan dan topografi, juga dipengaruhi oleh jenis klon itu sendiri, kemudian ketahanan terhadap penyakit daun sangat mempengaruhi pertumbuhan lilit batang. Hasil dari pengamatan langsung, pertumbuhan lilit batang tanaman karet jenis klon PB260 berumur 2 tahun pada lokasi penelitian sangat berbeda di tiap-tiap lereng. Pada tabel 4, di bawah ini dapat di lihat data keragaan pertumbuhan lilit batang tanaman karet pada tiap lereng dan titik pengamatan. Tabel 4. Keragaan Pertumbuhan Lilit Batang Tanaman Karet.
Titik Pengamatan Lereng Bawah
Ukuran Lilit Batang (cm) T7. 26, 25, 24, 27, dan 25
Rata – rata (cm)
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
179
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ...
Lereng A Atas Lereng A Tengah Lereng B Atas Lereng B Tengah
T8. 25, 27, 25, 27, dan 24 T9. 24, 25,5, 24,5, 23, dan 26 T1. 21,5, 20,5, 20, 21, dan 19 T2. 20, 21, 19, 21, dan 20 T3. 20,5, 20, 20,5, 21, dan 20,5 T4. 21, 20, 22, 22,5 dan 21,5 T5. 21, 21, 20, 20,5, dan 20 T6. 22,5, 21, 21,5, 21, dan 21 T13. 19, 18,5, 17, 20, dan 19,5 T14. 20, 16,5, 17, 19, dan 17,5 T15. 16,5, 15,5, 15, 17, dan 15 T10. 21, 20, 19,5, 21, dan 22 T11. 19,5, 20, 18,5, 17, dan 15 T12. 18,5, 18, 18,5, 17, dan15,5
25,2 cm 20,4 cm 21,1 cm 17,5 cm 18,7 cm
Data Tabel 4 diketahui bahwa pada lereng bawah pertumbuhan lilit batang ternyata lebih besar dibandingkan dengan tiap-tiap arah lereng tengah dan atas yaitu dengan ukuran rata-rata 25,2 cm, sedangkan pada arah lereng A tengah dan atas yaitu ukuran lilit batang tanaman karet masing-masing dengan rata-rata 21,9 cm dan 20,1 cm. Kemudian pada arah lereng B tengah dan atas yaitu ukuran lilit batang tanaman karet masing-masing dengan rata-rata 18,7 cm dan 17,5 cm. Wibawa, dkk, (1997) mengatakan bahwa penanaman tanaman sela pada musim hujan, apalagi dipupuk, yang berdekatan dengan karet dapat meningkatkan pertumbuhan lilit batang tanaman karet. Menurut data Tabel 4 pertumbuhan lilit batang pada tiap-tiap arah lereng, baik lereng bawah, arah lereng A tengah dan atas serta arah lereng B tengah dan atas berbeda. Untuk arah lereng A baik tengah dan atas pertumbuhan lilit batang yaitu dengan ukuran rata-rata 21.1 cm dan 20.4 cm, sedangkan untuk arah lereng B baik tengah dan atas pertumbuhan lilit batang yaitu dengan ukuran rata-rata 18.7 cm dan 17.5 cm. Data tersebut menjelaskan bahwa lereng bawah lebih baik untuk pertumbuhan lilit batang dibandingkan dengan tiap-tiap arah lereng tengah dan atas. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan lereng bawah yang relatif datar, kandungan bahan organik yang tinggi yaitu 6,41 % dan pH tanah mendekati netral yaitu 6,15. Serta kandungan unsur hara yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman karet yaitu untuk N-total 0,25%, P-tersedia 12,00 ppm dan K 0,58 me/100 g. Menurut Hardjowigeno (2003), di daerah lereng bawah perkembangan horizon dapat terhambat karena sering terjadi penimbunan baru akibat dari bahan-bahan yang berasal dari lereng atas maupun tengah, kemudian adanya pencucian yang mengakibatkan basa-basa lebih intensif berpindah bersamasama melalui air resapan, sehingga pH tanah lebih tinggi di bawah lereng daripada di lereng tengah maupun lereng atas. Keadaan tanah baik fisik maupun kimia pada arah lereng A tengah yaitu tekstur tanah lempung berpasir dan lempung berliat dengan dua kedalam berbeda 0-30 cm dan 30-60 cm, kemudian kandungan bahan organik tanah rendah dan sangat rendah yaitu 2.97 % dan 2,09, nilai pH tanah yaitu 4.17 dan 4.12 serta kandungan unsur hara N,P dan K masing-masing untuk unsur hara N-total 0,17 % dan 0,11 %, dan P-tersedia 14,85 ppm dan 4,05 ppm, serta K 0,19 me/100g dan 0,19 me/100g. Sedangkan ukuran rata-rata pertumbuhan lilit batang pada arah lereng A tengah yaitu 21,1 cm. Kemudian keadaan tanah pada arah lereng A atas yaitu tekstur tanah lempung liat berpasir dan liat, kemudian bahan organik tinggi dan sangat rendah yaitu 5,74% dan 1,97% , nilai pH tanah yaitu 4.03 dan 3.88. kandungan unsur hara N 0,23m% dan 0,08 % dan P-tersedia 18,15 ppm dan 3,45 ppm, serta K 0,19 me/100g dan 0,13 me/100g. Sedangkan ukuran rata-rata pertumbuhan lilit batang pada arah lereng A atas yaitu 20,4 cm. Data keadaan tanah pada lokasi penelitian di arah lereng A tengah dan atas didapatkan bahwa kandungan unsur hara N, P, dan K yang tersedia mempengaruhi pertumbuhan lilit batang tanaman karet. Tersedianya kandungan unsur hara N,P dan K di lokasi penelitian pada arah lereng A melalui pemupukan. 180 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ...
Menurut Hardjowigeno (2003). Daerah yang berlereng curam akan terjadi erosi terus-menerus sehingga tanah-tanah di tempat yang curam akan bersolum dangkal, kandungan bahan organik rendah dan perkembangan horison lambat dibandingkan dengan tanah-tanah di daerah datar yang air tanahnya dalam. Keadaan tanah baik fisik maupun kimia pada arah lereng B tengah yaitu tekstur tanah lempung dan lempung berliat dengan dua kedalam berbeda 0-30 cm dan 30-60 cm, kandungan bahan organik tanah sedang dan sangat rendah yaitu 3.59% dan 1.97%, nilai pH tanah yaitu 4.50 dan 4.02, kemudian untuk kandungan unsur hara N yaitu 0.30 % dan 0.10%, unsur hara P yaitu 24.75 ppm dan 4.35 ppm, unsur hara K yaitu 0.38 me/100 g dan 0.13 me/100 g. Sedangkan ukuran rata-rata pertumbuhan lilit batang pada arah lereng B tengah yaitu 18,7 cm. Kemudian pada arah lereng B atas yaitu tekstur tanah lempung berliat dan liat, kemudian kandungan bahan organik tinggi dan sangat rendah yaitu 8.95% dan 3.33%, nilai pH tanah 4.03 dan 3.88, kandungan unsur hara N yaitu 0,35 % dan 0.14%, unsur hara P yaitu 24.75 ppm dan 4.35 ppm, unsur hara K yaitu 0.38 me/100 g dan 0.13 me/100 g. Sedangkan ukuran rata-rata pertumbuhan lilit batang pada arah lereng B atas yaitu 17,5 cm. Lokasi penelitian di arah lereng B tengah dan atas didapatkan bahwa kandungan unsur hara N, P, dan K yang tersedia mempengaruhi pertumbuhan lilit batang tanaman karet. Tersedianya kandungan unsur hara N,P dan K di lokasi penelitian pada arah lereng B melalui pemupukan. Menurut Arsyad (2010), melihat faktor erodibilitas tanah atas dasar kelas tekstur dan kandungan bahan organik dengan kesimpulan bahwa makin kecil kandungan bahan organik maka makin peka tanah tersebut untuk tererosi. Dan diantara kelas tekstur tanah, debu dan lempung berdebu yang merupakan kelas tekstur yang paling peka terhadap erosi, sedangkan pasir termasuk kelas tekstur yang paling tahan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: Pada lereng bawah pertumbuhan lilit batang lebih besar dibandingkan dengan tiap-tiap arah lereng tengah dan atas yaitu dengan ukuran lilit batang rata-rata 25.2 cm. Tekstur tanah pada lokasi lereng bawah T1 (LB) 0-30cm memiliki kandungan pasir paling tinggi dibandingkan dengan lokasi lereng atas dan tengah. Berdasarkan data keadaan unsur hara pada lokasi penelitian di arah lereng A tengah dan atas didapatkan bahwa kandungan unsur hara N, P, dan K yang tersedia mempengaruhi pertumbuhan lilit batang tanaman karet. Saran diperlukan penelitian secara seri terhadap pertumbuhan tanaman karet dan sifat-sifat tanah diatas, tengah dan bawah lereng. DAFTAR PUSTAKA Amypalupy, K. 2010. Padu Padan Merajut As Ketangguhan Agribisnis Karet. Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet. Sembawa. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air Edisi 2. Penerbit Kampus IPB Bogor. Banua, I.S. 2013. Erosi. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Basuki, 1990. Penyakit Gugur Daun Colletotrichum Pada Tanaman Karet. Buletin Pusat Penelitian Perkebunan Tanjung Morawa, 1 (2):3-17. Cahyono, B. 2010. Cara Sukses Berkebun Karet. Pustaka Mina. Jakarta Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Mitchell, J. K., and Bubenzer. 1980. Soil Loss Estimation. Dalam M.J. Kirkby and R.P.C. Morgan (ed). Soil Erosion, P. 17-62. Chichester. John Wiley and Sons. Nusirwan. 2011. Penggunaan Berbagai Jarak Tanam Mucuna Bractea pada Tanaman Karet yang belum menghasilkan. Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian. Palembang. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
181
Bakri, dkk./Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet Umur Dua Tahun ( Hevea brasiliensis) ... Nyakpa, M. Y, A..M. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, Go Ban Han N.Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Badan Kerjasama Ilmu Tanah. BKS – PTN/USAID. Rahim, S.E. 2001. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta. Tan, K.H. 1995. Dasar-dasar Kimia Tanah. Universitas Gadjah Mada. UGM Press. Watson, G.A. 1989. Climate and soil. In Rubber. Eds. Webster, C.C and Baulkwill, W.J. John Wiley and Sons, Inc., New York. Wibawa, G; M.J. Rosyid dan A. Gunawan. 1997. Kajian alternatif tanaman sela di perkebunan karet. Kumpulan makalah Apresiasi Teknologi Peningkatan Produktivitas Lahan Perkebunan Karet. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Pusat Penelitian Karet.
182 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
INTERAKSI WORTEL & UBI UNGU SEBAGAI PAKAN TAMBAHAN TERHADAP PERTUMBUHAN LOBSTER RED CLAW (Cherax quadricarinatus) YANG DIPELIHARA DARI PERAIRAN UMUM 1) Boby Muslimin2), Khusnul Khotimah3) Abstract: The purpose of research to know interaction between carrot and violet cassava were given to juvenile red lobster claw (Cherax quadricarinatus) that influence moulting and shell replacement for red lobster claw. The research conducting during the month of May 2013. The research was conducted in the aquaculture laboratory of the Muhammadiyah University Palembang and as research material used red lobster claw (Cherax quadricarinatus) with the age of 10 days. This research divided into three treatment with different feed are pellet and carrote patch (P1) , pellet and violet cassava patch (P2) & mixed of pellet, carrote paetch & violet cassava patch (P3) with completely randomized method. Results show the highest of survival rate were P3 (76,6%), P1 (64,1%) and the lowest was P2 (54,1%). The result show the highest of weight growth were P2 (1,3 gr), P3 (1,2 gr) and the lowest was P1 (0,7 gr), while results show the highest of length growth were P3 (2,41 cm), P2 (2,0 cm) and the lowest was P1 (1,9 cm). Keywords: red lobster, carrote, 1) 2,3)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen Budidaya Perairan UMP Palembang
PENDAHULUAN
K
eanekaragaman hayati perikanan dapat dilestarikan dengan metode akuakultur atau budidaya ikan, salah satu jenis hayati air tawar tersebut adalah Lobster red claw (Cherax quadricarinatus) merupakan salah satu jenis udang yang hidup di air tawar dengan habitat sungai yang menjadi salah satu komoditas ikan hias dan menjadi salah satu udang konsumsi. Dalam pertumbuhannya lobster red claw (Cherax quadricarinatus) mengalami pergantian kulit (moulting). Kerangka atau kelopak kulit yang menyelimuti tubuh loster terbuat dari chitin dan jika ingin tumbuh cepat, maka lobster perlu membuang kulit lama dan menggantinya dengan kulit baru dengan frekuensi moulting yang tinggi pada lobster muda yang dipengaruhi pada mutu makanan lobster. Kitin adalah jenis karenod antara β-karoten dan astazanthin (Anonim, 2013) yang bisa salah satunya karoten ß-karoten, yang bisa didapatkan dari wortel dan ubi (Suryanti, 2003). Red claw yang diberikan serutan wortel mengalami peningkatan warna biru tertinggi pada capit, cephalothorax hingga telson (Satyantini et.al, 2009). Lobster air tawar pada umumnya memiliki dua bagian tubuh, yaitu kepala (chepalothrax) dan badan (abdomen) pada bagian bawan (Lukito, 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui stimulant pakan tambahan wortel dan ubi ungu terhadap pertumbuhan & kelangsungan hidup lobster red claw.
BAHAN & METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium basah perikanan Universitas Muhammadiyah Palembang selama bulan Mei 2013. Bahan yang ddigunakan adalah burayak lobster red claw (Cherax quadricarinatus ) dengan umur 10 hari yang dipelihara dalam akuarium berukuran 30x40x30 cm sebanyak 9 unit akuarium dan dipelihara selama 30 hari. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL), dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan Perlakuan P1: pemberian pelet dengan wortel, Perlakuan P2 : pemberian pelet dengan ubi ungu dan Perlakuan P3: Pemberian pelet dengan wortel dan ubi ungu. Parameter yang diamati meliputi: 1) Kelangsungan Hidup (survival rate) dengan cara menghitung burayak yang mati untuk mengetahui sintasannya dengan menggunakan rumus (Effendi, 2004), Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
183
Boby Muslimin dan Khusnul/Khotimah Interaksi Wortel dan Ubi Ungu sebagai Pakan Tambahan ...
Jumlah larva yang masih hidup SR larva = ---------------------------------------- x 100 % Jumlah larva awal 2) Pertumbuhan dengan menghitung Pertambahan Berat dan pertambahan panjang dengan menggunakan rumus (Effendi, 2004) pertambahan berat = Berat akhir burayak (gr) - Berat awal burayak (gr) dan 3) Pertambahan panjang dengan menghitung pertambahan panjang = Panjang akhir burayak (cm) - Panjang awal burayak (cm)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (SR) Tabel 1. Kelangsungan Hidup burayak lobster red claw
Perlakuan P1 P2 P3
Ulangan 1 2 3 72.5 70.0 50.0 65.0 60.0 37.5 70.0 80.0 80.0
TP
Rata-rata
192.5 162.5 230 585
64.17 54.17 76.67 65.00
Dari tabel 1 terlihat kelangsungan hidup tertinggi ada pada perlakuan P3 sebesar 76,67 %, dilanjutkan P1 sebesar 64,17% dan terendah pada P2 seebsar 54,17%. 250 200 150 100 50 0 P1
P2
P3
Gambar 1. Grafik kelansungan hidup burayak lobster red claw Tabel 2. ANOVA kelangsungan hidup burayak lobster red claw
SK DB JK KT Fhit 5% Pakan 2 884.72 442.36 3.54tn 5.14 Galat 6 750 125.00 Total 8 1634.72 Keterangan: tn = Berpengaruh tidak nyata
Fhitung lebih kecil dari Ftabel bearti tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelangsungan hidup burayak lobster red claw tiap perlakuan. Kelangsungan hidup burayak lobster red claw selama penelitian, rata-rata kelangsungan hidup sebesar 65% untuk semua perlakuakn, ini menunjukkan angka tersebut masih dalam teloransi budidaya burayak lobster red claw, kematian ini disebabkan oleh proses adaptasi burayak terhadap pakan yang ditambahkan dengan wortel dan ubi ungu. Selain itu lobster air tawar memiliki karekteristik berganti kulit (moulting) dan memiliki sifat kanibal selama masa pertumbuhannya (Lukito, 2007). Kematian burayak lobster red claw juga diakibatkan oleh sifat kanibal lobster, terutama pada saat pergantian cangkang.
184 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Boby Muslimin dan Khusnul Khotimah/Interaksi Wortel dan Ubi Ungu sebagai Pakan Tambahan ...
Pertambahan berat Tabel 3. Pertambahan berat red claw
Ulangan 1 2 3
Perlakuan P1 P2 P3
0.48 1.49 1.08
0.88 1.73 1.65
0.92 0.81 0.95
Sumber : Pengolahan data
TP
rata-rata
2.28 4.03 3.68 9.99
0.76 1.34 1.23 1.11
berat
Dari tabel 3 terlihat pertambahan berat tertinggi ada pada perlakuan P2 (1.34 gr), diikuti P3 (1,23 gr) & terendah pada P1 (0,76 gr). 1,5 1,4 1,3 1,2 1,1 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 P1
P2
P3
perlakuan Gambar 2. Grafik Pertambahan berat burayak lobster red claw Tabel 4. ANOVA pertambahan berat burayak lobster red claw
SK Pakan Galat Total
DB 2 6 8
JK 0.21 0.77 0.98
KT 0.105 0.128
Fhit 0.82tn
5% 5.14
Keterangan: tn = Berpengaruh tidak nyata
Fhitung lebih kecil dari Ftabel bearti tidak ada perbedaan yang siginifikan terhadap pertambahan berat burayak lobster red claw tiap perlakuan. Pertambahan Panjang Tabel 5. Pertambahan panjang burayak lobster red claw
Perlakuan P1 P2 P3
Ulangan 1 2 3 2.32 2.08 1.43 1.5 2.50 2.05 2.36 2.57 2.3
TP 5.83 6.05 7.23 19.11
Sumber: Pengolahan data primer
Rata- rata 1.94 2.02 2.41 2.12
Dari tabel di atas didapatkan hasil pertambahan panjang burayak lobster red claw tertinggi ada pada P3 (2,41 cm), diikuti P 2 (2,02 cm) dan terendah pada P1 (1,94 cm).
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
185
Boby Muslimin dan Khusnul/Khotimah Interaksi Wortel dan Ubi Ungu sebagai Pakan Tambahan ... 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 P1
P2
P3
Gambar 3. Grafik pertambahan panjang burayak lobster red claw Tabel 6. ANOVA pertambahan panjang burayak lobster red claw
SK Pakan Galat Total
DB 2 6 8
JK KT Fhit 5% 0.11 0.055 0.97tn 5.14 0.34 0.057 0.45
Pertambahan berat tertinggi ada pada perlakuan P2 (1,34 gr) dan pertambahan panjang tertinggi ada pada perlakuan P3 (2,41 cm). Ini menunjukkan bahwa pakan ubi ungu dengan kadar beta karoten sebesar 32.967 SI memiliki manfaat dalam memacu pertumbuhan berat pada burayak lobster red claw (Astawsan & Kasih, 2008). Sedangkan campuran pelet, wortel dan ubi ungu (P3) mempengaruhi pertambahan panjang lobster red claw. Percepatan moulting dan pembentukan cangkang lobster red claw akan dipengaruhi dengan kualitas pakan yang dimakan, dengan bahan kandungan dalam cangkang berupa kitin, yang dalam proses pembentukannya dibutuhkan zat berupa beta karoten yang terdapat pada ubi ungu dan wortel.
SIMPULAN Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kandungan beta karoten (P2), maka akan sebanding dengan pertumbuhan berat burayak lobster red claw dan P3 yang merupakan campuran pelet wortel dan ubi ungu perlakuan terbaik untuk pertambahan panjang burayak lobster red claw. Sedangkan survival rate tertinggi terdapat pada perlakuan P3. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2013. alchemist08.files.wordpress.com/2012/05/percobaan-6-kitin-kitosan.docx. Astawan, Made & Kasih Leomitro Andreas. Khasiat Warna-Warni Makanan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Effendi. I. 2002. Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. ............ 2004. Pengantar Akuakultur. Penerbit swadaya. Jakarta. Lukito, Agung. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta. Satyantini. H. Woro, Mubarak. Shofy.A, Mukti. Taufiq.A & C.Ninin. Penambahan Wortel Sebagai Beta Katoren Alami Dengan beberapa Metode Pengelolahan Pada Pakan Terhadap Peningkatan Warna Biru Lobster Red Claw (Cherax quadricarinatus). Jurnal Akuakultur Indonesia, 8(1): 19-27 (2009). Suryanti; T. Wikanta dan N. Indriati. 2003. Kandungan Histami Pada Beberapa Produk Hasil Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi. Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. JakartaSubandiyah. S,. Subagja, J., dan Tarupa, E. 1990. Pengaruh Suhu dan Pemberian Pakan alami ( Tubifek dan Daphnia) Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan botia (Botia macracantha Bleeker). Bull. Penel. Perik. Darat. Vol.9. No. 1.68.
186 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
PERMASALAHAN UTAMA DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PASAMAN, SUMATERA BARAT. 1) Bujang Rusman2) Abstrak: Daerah aliran sungai (DAS) Pasaman dengan luas 166.879 hektar merupakan DAS lintas kabupaten Pasaman dan kabupaten Pasaman Barat . Berdasarkan PP 37 tahun 2012, DAS ini termasuk dalam klasifikasi DAS yang dipulihkan daya dukungnya dan merupakan salah satu dari 108 DAS Prioritas Nasional yang harus dibuatkan rencana pengelolaan DAS terpadu (RPDAST). Permasalahan utama kondisi bio-fisik dalam pengelolaanb DAS Pasaman adalah terkait dengan perubahan fungsi kawasan hutan , hutan lindung /kawasan konservasi , masalah lahan kritis yang luas ,laju erosi dan sedimentasinya tinggi, sering terjadi bencana alam (banjir, longsor) serta masalah tata air terutama penurunan kualitas air debit air sungai dan terjadinya abrasi laut di sepanjang pantai. Untuk pengelolaan DAS Pasaman yang terkait dengan kondisi biofisik tersebut maka diperlukan program-program yang terkait dengan optimalisasi penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya dukung wilaya, penerapan teknik konservasi tanah dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah tangkapan air dan menjaga tata airnya,serta pengelolaan vegetasi yang dilakukan dalam rangka peningkatan produktivitas lahan, restorasi ekosistem DAS dan rehabilitasi hutan dan lahan. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji karakteristik bio-fisik DAS Pasaman sebagai acuan dalam pengelolaan DAS Pasaman dengan harapan tercapainya tujuan pengelolaan DAS yang lebih baik dan terwujudnya kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan DAS melalui pengelolaan DAS Terpadu. Kata Kunci: Daerah aliran sungai (DAS), kawasan konservasi, restorasi ekosistem 1) 2)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanaian Universitas Andalas Padang
1 PENDAHULUAN Upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam (SDA) dengan manusia di dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan adalah merupakan suatu tujuan utama dalam pengelolaan DAS. Terkait dengan pengelolaan DAS Pasaman, ada beberapa permasalahan pokok yang terkait dengan pengelolaannya pada saat ini antara lain adalah menyangkut dengan isu degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang meliputi: (1)Telah terjadinya perubahan /alih fungsi kawasan hutan dan kawasan konservasi menjadi perkebunan sawit yang cukup besar dan dan setiap terus meningkat ,sehingga menimbulkan daya perusak air yang tinggi, (2) Masalah tata air, pada musim kemarau, debit air Batang Pasaman menjadi kecil dan di musim hujan menjadi besar atau indeks IOWR besar, kondisi ini menunjukan bahwa fluktuasi debit air ke dua sungai tersebut tidak normal dan perubahan tata guna lahan DAS Pasaman, sehingga sering menimbulkan bencana alam seperti seringnya banjir di wilayah bagian hilir , seperti di kecamatan Sasak Ranah Pesisir (3) Penurunan kualitas lingkungan DAS Batang Pasaman seperti erosi dan sedimentasi serta peningkatan BOD5 akibat aktivitas pertanian seperti perkebunan sawit yang pembuangan limbahnya ke sungai serta tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air di wilayah hulu dalam budidaya pertanian, sehingga menyebabkan peningkatan sedimentasi dan pendangkalan sungai serta BOD5 di wilayah hilir atau muara sungai; (4) Banjir dan erosi di bagian hilir DAS Pasaman dan sering pula terjadi longsor di kawasan hulu dan hutan lindung menyebabkan terganggunya lalu lintas darat dan badan jalan utama antara kedua kabupaten ; (5) degradasi hutan, lahan dan peningkatan luasan lahan kritis serta penurunan produktivitas DAS di bagian hulu dan hilir akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan masyarakat serta pembangunan, dan (6) Tingginya kebutuhan lahan guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji karakteristik bio-fisik DAS Pasaman sebagai acuan dalam pengelolaan DAS Pasaman dengan harapan tercapainya tujuan pengelolaan DAS yang lebih Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
187
Bujang Rusman/Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ...
baik dan terwujudnya kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan DAS melalui pengelolaan DAS Terpadu.
2 METODELOGI Penelitian ini menggunakan metode: 1) kajian karakteristik DAS Pasaman melalui survei lapangan guna mengidentifikasi dan menganalisis kondisi bio-fisiknya yang terkait dengan permasalahan utama dalam pengelolaan DAS Pasaman; 2) Kajian biofisik melalui document review terhadap data –data sekunder dan peta-peta administrasi DAS, curah hujan, tata guna lahan, erosi dan lahan kritis dengan skala 1:100.000, sehingga dapat diketahui potensi dan permasalahan yang ada terkait dengan pengelolaan DAS Pasaman.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Letak Geografis Secara geografis daerah aliran sungai (DAS) Pasaman mempunyai luas sekiatar 166.879,30 hektar, yang terdiri dari tiga sub daerah aliran sungai (Sub-DAS); yaitu: 1. Sub-daerah aliran Batang Kenaikan yang berada pada bagian barat, yang hulunya berasal dari Gunung Tule. 2. Sub-daerah aliran sungai Batang Tongar yang berada di bagian tengah dan hulunya berasal dari Gunung Talamau dan kabupaten Pasaman. 3. Sub-daerah aliran Batang Kapar yang berada pada bagian timur. Secara administrasi wilayah DAS Pasaman berbatasan dengan: a. Sebelah utara dengan provinsi Sumatera Utara, b. Sebelah selatan dengan Samudera Hindia, c. Sebelah barat dengan kecamatan Lembah Melintang d. Sebelah timur dengan Kabupaten Agam. 3.2 Kondisi Iklim Berdasarkan peta curah hujan DAS Pasaman skala 1:100.000, daerah aliran sungai (DAS) Pasaman mempunyai dua bentuk besaran curah hujan tahunan, dimana: 1. Bagian selatan DAS Pasaman/arah pantai barat pulau Sumatera mempunyai besaran curah hujan antara 4000 sampai 5000 mm per tahunnya, 2. Bagian tengah mempunyai curah hujan antara 3000 sampai 4000 mm per tahun, dan 3. Bagian hulu DAS Pasaman atau utara mempunyai curah antara 2500 sampai 3000 mm per tahun. Sedangkan besaran curah hujan bulanan selama 10 tahun (2002-2011) dapat dilihat pada Tabel 1 dan rata-rata curah hujan tahunan sekitar 4493 mm/tahun. Curah hujan yang tinggi di wilayah DAS Pasaman memberikan indikasi bahwa potensi curah hujan dan intensitas yang tinggi menunjukkan bahwa erosivitas hujan di wilayah ini tergolong tinggi dan bila pengelolaan lahan di wilayah DAS Pasaman tidak memperhatiakn kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, terutama pada lahan miring yang sering terbuka untuk peladangan dan pembukaan kebun sawit maka kondisi ini akan meningkatkan laju aliran permukaan atau run-off yang besar yang dapat meningkatkan laju erosi dan sedimentasi pada sungai-sungai dan kawasan hilir DAS Pasaman.
188 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Bujang Rusman/Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ... Tabel 1: Data curah hujan bulanan (mm/bulan), Kecamatan Pasaman, kabupaten Pasaman Barat dari tahun 2002-2011 Bulan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Januari 138 313 406 797 458 140 117 220 366 Februari 206 278 256 578 424 720 197 305 553 Maret 539 374 188 352 435 411 538 149 788 April 263 340 323 108 190 364 266 478 884 Mei 259 189 789 208 123 197 268 *) 453 Juni 225 115 629 49 180 518 462 123 206 Juli 194 322 271 228 148 686 537 113 137 Agustus 259 508 968 447 569 324 468 113 207 September 467 258 748 710 359 248 595 706 662 Oktober 401 408 378 993 402 589 259 70 499 November 449 591 458 467 653 215 166 85 414 Desember 822 415 554 286 506 596 424 74 275 Jumlah 4222 4111 5978 5223 4444 5008 4297 2436 5444 Sumber: Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air. Kabupaten Pasaman Barat
2011 153 131 201 412 106 202 174 249 633 476 514 516 3766
Gambar 1: Peta curah hujan daerah aliran sungai (DAS) Pasaman.
3.3 Perubahan Tata Lahan Perubahan tata guna lahan, terutama kawasan hutan menjadi APL cukup besar dan meningkat setiap tahunnya terkait dengan terjadi perluasan kawasan ladang dan kebun sawit. Bahkan kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan konservasi dan recharge area telah banyak berubah fungsi menjadi kawasan budidaya terutama pada kawasan hulu DAS Pasaman, sedangkan di kawasan hilirnya, terutama pada kecamatan Sasak Ranah Pesisir yang sebagian besar daerahnya merupakan kawasan resapan air telah banyak berubah fungsinya menjadi kawasan pertanian lahan basah dan kebun sawit. Hal ini tentu akan dapat menimbulkan dampak banjir di daerah ini, karena fungsi kawasan resapannya Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
189
Bujang Rusman/Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ...
telah terganggu, apalagi kawasan tersebut merupakan kawasan hilir, berdekatan dengan garis pantai dengan curah hujan dan intensitas yang tinggi.
Gambar 2: Peta penggunaan lahan DAS Pasaman
3.4 Lahan Kritis Berdasarkan interpretasi dari peta lahan kritis DAS Pasaman , skala 1:100.000 dimana wilayah ini mempunyai tingkat bahaya erosi sebagai berikut: 1. Lahan ktitis tersebar di sebelah timur kawasan DAS Pasaman pada lahan dengan kemiringan lereng antara 25 sampai 40 % , meliputi luas sekitar 411 hektar (1,69 %). 2. Lahan agak kritis tersebar pada wilayah bagian tengah dan bagian timur pada lahan dengan kemiringan lereng 25 sampai 40 % dan 8 sampai 15 % meliputi luasan sekitar 4326 hektar (17,82 %). 3. Wilayah dengan potensial kritis tersebar luas pada bagian tengah sampai ke bagian hulu dan tengah wilayah DAS Pasaman dan diperkirakan meliputi luas sekitar 17.603 hektar atau 72,53 % dari luasan DAS dan mendominasi kawasan APL (areal penggunaaan lain) 4. Wilayah yang tidak kritis tersebar di sepanjang pantai barat Samudera Hindia dengan lusa sekitar 1892 hektar (7,80 %). Berdasarkan sebaran lahan kritis pada peta lahan kritis DAS Pasaman, dapat disimpulkan bahwa wilayah ini telah memiliki lahan kritis dan agak kritis seluas 4737 hektar (19,51%) dan potensial kritis seluas 17.603 hektar (72,82%). Hal ini mengidentifikasikan bahwa pengelolaan DAS Pasaman, terutama terkait dengan pengelolaan hutan dan lahannya harus memperhatikan dengan serius terkait daya dukung DAS dan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air pada lahan miring dan kawasan konservasinya.
190 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Bujang Rusman/Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ...
Gambar 3: Sebaran lahan kritis dalam wilayah DAS Pasaman
Gambar 4: Lahan miring yang potensial kritis ,karena terjadi perubahan fungsi kawasan, tanpa mengindahkan teknik konservasi tanah dan air, tanahnya rentan terhadap erosi pada wilayah DAS Pasaman.
3.5 Erosi, Sedimentasi dan Banjir. Laju erosi di daerah aliran sungai DAS Pasaman relatif tinggi, terutama lahan-lahan miring yang terbuka akibat pengolahan tanah dan pembakaran, ladang berpindah serta nilai erodibilitas tanahnya yang cukup tinggi seperti tanah Inceptisol, Andisol,Oxisol dan Ultisol, sehingga laju erosi yang terjadi Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
191
Bujang Rusman/Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ...
telah melebihi laju pembentukan tanah. Berdasarkan data besar erosi melalui kajian prediksi erosi model USLE, menunjukan besar erosi yang terjadi terutama pada lahan miring dengan nilai erodibilitas tanah tinggi (K), serta erosivitas hujan tinggi (R), besar erosi yang terjadi pada kawasan perladangan dan kebun sawit menunjukkan nilai telah lebih 60 ton/ha/tahunnya. Erosi yang terjadi pada DAS Pasaman adalah merupakan faktor utama penyebab terjadinya degradasi tanah dan lingkungan hidup, sehingga menurunkan produktivitas tanah dengan indikasi luasan lahan kritis yang cukup luas. Hal ini harus memjadi perhatian serius dalam pengelolaan DAS Pasaman.
Gambar 5: Perubahan fungsi kawasan lindung setempat sepanjang garis pantai telah menimbulkan masalah serius terhadap abrasi di hilir DAS Pasaman.
Erosi tanah yang terjadi adalah merupakan interaksi dari faktor iklim dengan curah hujan dan intensitasnya tinggi. Dari peta iklim DAS Pasaman dapat dilihat bahwa curah hujan wilayah ini tergolong tinggi, mulai dari 2500 mm sampai 4500 mm per tahunnya sehingga menyebabkan nilai erosivitas hujannya menjadi tinggi , akibatnya daya perusak dan energi kinetik air hujan menjadi tinggi dan mempercepat terjadinya proses detachment/dispersi pada agregat tanah pada lahan terbuka terbuka, serta diiringi oleh faktor tanahnya, mempunyai nilai erodibilitas tanah tinggi, seperti pada tanah andisol, inceptisol akan menyebabkan tanah-tanah di DAS Pasaman akan mudah mengalami erosi. Secara umum wilayah ini mempunyai 5 jenis tanah utama yaitu Andisol, Gley humus, Organosol, Regosol dan Kambisol (Inceptisol)l, dimana Kambisol mempunyai luas sekitar 18.134 hektar (74,72 %) yang penyebarannya di bagian tengah dan hulu DAS Pasaman dan Andisol penyebarannya sekitar gunung Talamau yang sangat intensif digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan secara intensif. Tanah Andisol dan Inceptisol mempunyai nilai erodibilitas cukup tinggi dengan nilai erosivitas tinggi pada wilayah curah hujan antara 2500 sampai 4500 mm per tahunnya, menyebabkan tanahtanah tersebut rentan terhadap erosi bila lahannya terbuka dan dalam pemanfaatannya tidak memperhatikan teknik-teknik konservasi tanah dan air, terutama pada kawasan dengan topografi bergelombang, berombak sampai berbukit curam, sehingga menimbulkan terjadinya lahan kritis dan agak kritis mencapai luas sekitar 4737 hektar (19,51 %) .Sedangkan lahan yang mempunyai potensial kritis mencapai luasan 17.603 hektar (72,53 %). Hal ini menggambarkan bahwa dalam pengelolaan lahan pertanian harus hati-hati dan harus berbasiskan kaidah konservasi tanah dan air. Untuk melihat hubungan perbandingan besarnya tanah yang tererosi dengan besarnya erosi yang dapat diperbolehkan (ETOL), maka nila IBE tanah ini tergolong tinggi sampai sangai tinggi. Hal ini akan menimbulkan dampak yang sangat serius terhadap laju sedimentasi dan fluktuasi debit air Batang Pasaman yang dapat menimbulkan pendangkalan muara sungainya. Berdasarkan peta lahan kritis, daerah ini mempunyai kawasan potensial kritis erosi yang cukup luas yang tersebar pada bagian hulu dan tengah DAS Pasaman, bila kawasan ini berubah fungsi kawasannya, seperti untuk perladangan, perkebunan atau kawasan budidaya (APL) pertambangan galian C tanpa mempertimbangkan land capability dan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, maka dampak bahaya erosi dan longsor akan menimbulkan turunnya daya dukung terhadap lingkungan DAS Pasaman. 192 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Bujang Rusman/Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ...
Faktor topografi tanah yang miring mulai dari kondisi berombak, bergelombang sampai berbukit curam dan yang diiringi oleh faktor vegetasi berupa perubahan tata guna lahan dari hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan konservasi yang berubah menkjadi kawasan budidaya berupa areal pertanian, ladang dan kebun sawit, serta faktor aktivitas manusia sendiri yang tidak mengindahkan aspek ekologi dan kaidah-kaidah konservasi tanah dalam mengelola lahan pertanian dan perkebunan, sehingga akan menimbulkan erosi yang lebih besar pula di daerah DAS Pasaman ini yang bentuk-bentuk erosi berupa sheet erosion, rill erosion dan gully erosion sehingga menyebabkan sedimentasi sungai-sungai meningkat setiap tahun dan akhirnya sungai menjadi jangkal dan kualitas air sungai menurun seperti yang terjadi pada Batang Pasaman, Batang Kapar dan anakanak sungai lainnya. Seiring dengan tuntutan, kebutuhan dan peningkatan ekonomi , dimana lahan di wilayah ini telah dipergunakan untuk berbagai peruntukan, terutama untuk pengembangan tanaman pangan, ladang dan perkebunan sawit berdasarkan laporan BPS Propinsi Sumatera Barat bahwa di kabupaten Pasaman Barat, pada tahun 2008 terdapat kebun sawit seluas 87.912 ha dan pada tahun 2010 mencapai 96.608 ha, sedangkan luasan kawasan hutan primer terjadi penyusutan yang cukup besar, sehingga mengorbankan areal hutan lindung yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan konservasi dan kawasan resapan air di bagian hilir DAS Pasaman. Perubahan penggunaan lahan yang tinggi di DAS Pasaman saat ini turut mempercepat terjadinya degradasi tanah dan lingkungan melalui erosi tanah karena struktur akar tanaman hutan alami yang kuat mengikat tanah dan mempertinggi daya pegang air tanah atau water holding capasity (WHC) digantikan dengan struktur tanaman pertanian dan tanaman perkebunan sawit yang lebih lemah ikatan dan rendah WHC nya. Lahan kering yang berada dalam wilayah DAS Pasaman sebagian besar dipergunakan untuk keperluan pertanian dan perkebunan . Potensi perkebunan sawit yang menjadi salah satu andalan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan pendapatan daerah. Bila pengembangan sawit ini tidak memenuhi dan mengikuti ketentuan hukum ekologi lingkungan dan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, bisa berpotensi menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang makin parah yaitu menurunkan produktivitas lahan dasn hutan, karena kelapa sawit dalam pertubuhannya membutuhkan high input (agrochemical) dan boros dalam water comsuption, meningkatkan terjadinya erosi, sedimentasi serta memacu meluasnya banjir di musim penghujan. Berdasarkan laporan BPS Propinsi Sumatera Barat bahwa di kabupaten Pasaman Barat, pada tahun 2008 terdapat kebun sawit seluas 87.912 ha dan pada tahun 2010 mencapai 96.608 ha, sedangkan luasan kawasan hutan primer terjadi penyusutan yang cukup besar. Perubahan vegetasi hutan alami menjadi perkebunan sawit, perladangan secara langsung berimbas pada perubahan fungsi hutan sebagai catchment area, akibatnya yang terjadi dari bentuk perubahan ini adalah semakin besarnya tingkat erosi yang berujung terhadap kehilangan lapisan top soil, kehilangan hara tanah serta kelestarian umur lahan. Penyebab meningkatnya bencana banjir di DAS Pasaman pada beberapa dekade terakhir ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah; (1) Curah hujan wialayah ini cukup tinggi mencapai 2500- 4500 mm per tahunnya; (2) Menurunnya daya dukung lingkungan DAS Pasaman seperti degradasi hutan dan lahan; (3) Telah terjadinya perubahan fungsi kawasan yaitu semakin berkurangnya hutan lindung/ kawasan konservasi dan kawasan resapan yang telah berubah fungsi menjadi kebun sawit; (4) Peranan hutan sebagai pengatur hidrologi dan recharge area telah terganggu karena luasannya makin berkurang, dan (5) Makin dangkal dan menyempitnya Batang Pasaman dengan anak-anak sungainya, serta (6) Terjadi perubahan fungsi kawasan lindung setempat sepanjang garis pantai telah menimbulkan masalah abrasi yang serius di bagian hilir DAS Pasaman (Gambar 5).
4 KESIMPULAN 1. Masalah utama kondisi bio-fisik DAS Pasaman adalah perubahan fungsi kawasan, degradasi hutan dan lahan seperti luasnya lahan kritis, erosi, sedimentasi , penurunan kualitas air sungai dan abrasi air laut. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
193
Bujang Rusman/Permasalahan Utama Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) ...
2. Masalah kondisi bio-fisik DAS Pasaman menimbulkan dampak negatif terhadap tata air, dan menurungkan daya dukung dan daya tampung ekosistem DAS. 3. Melalui pengelolaan DAS Pasaman Terpadu, kondisi daya dukung DAS dapat ditingkatkan untuk mewujudkan kelestarian dan keserasiaan ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan SDA bagi manusia dan maakhluk hidup lainnya secara berkelanjutaan. PUSTAKA Bujang Rusman, 2012. Konservasi tanah dan lingkungan. Bujang Rusman, 2012. Perda Pengelolaan DAS Propinsi Sumatera Barat (Suatu Pemikirian dari Forum DAS Multipihak Propinsi Sumatera Barat, 2012), Padang. Kementerian Kehutanan. 2013. Rencana Pengelolaan DAS Pasaman Terpadu. Buku I. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
194 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
EVALUASI SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH PADA LAHAN DATAR DAN LANDAI DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SUNGAI LILIN, KABUPATEN MUSI BANYU ASIN Djak Rahman Abstract: The aims of ”Physical and Chemical Soil Evaluation for Oil palm Plantation on flat and gentle slope land ”is to assess the relationship between the soil characteristics and the slope steepness land. This study was carried out at Estate Tanjung Dalam in Sungai Lilin, Musi Banyu Asin District. The result of study shows that soil texture in flat area (0-2%) and gentle area (5-7%) is Clayloam (CL), while in moderately gentle area (11-13%) is Sandly loam (SL), even though the suitability of these texture (CL and SL) are highly suitable (S1). The effective soil depth of flat area is ≥ 110 cm, so the suitabillity is S1; while that of gentle areas are < 100 cm with moderately suitable (S2). Cation Exchange Capacity (CEC) and the content of Nitrogen (%) in the moderately gentle area are declined, even though the two chemical soil characteristics are moderately suitable in all of the study area. On the other hand, soil acidity (pH) is very low (<4,5) in the whole of the study area. Acid soil like this is morginally suitable (S3) for oil palm. So, Liming application is needed on this area. Keyword: Evaluation, Oil Palm, Slope, Soil depth, Physical, Chemical.
1 PENDAHULUAN Latar Belakang
E
valuasi lahan adalah kegiatan yang menitik beratkan pada tampilan lahan ketika digunakan untuk tujuan tertentu. Hal ini menyangkut penentuan dan interpretasi survei dasar dari iklim, vegetasi, topografi dan aspek-aspek lain dari tanah dalam hal penentuan bentuk alternatif dari penggunaan lahan (Rahman 2009). Faktor topografi yang menjadi pertimbangan utama pada lahan berlereng, umumnya dinyatakan dalam persen kecuraman dan panjangnya lereng. Secara umum erosi akan meningkat dengan semakin curam dan semakin panjangnya lereng. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus yang menyangkut usaha konservasi dalam pengelolaan tanah di areal belerang untuk menekan risiko erosi dan menekan degradasi lahan (Rahman, 1993). Secara fisik, prinsip dasar yang dipakai dalam evaluasi lahan yang digunakan diantaranya adalah kesesuaian yang didasarkan atas penggunaan lestari. Dalam hal ini, aspek kerusakan atau degradasi lingkungan diperhitungkan pada saat menilai kesesuaiannya agar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan dikemudian hari (FAO, 1976).
Sumatera Selatan didominasi oleh Sistem Lahan (Land System) MBI (Muara Beliti) yang merupakan lahan datar sampai bergelombang. Kelas kecuraman lereng dominan adalah landai (3-8%) dan cukup landai (9-15%), meskipun di beberapa faset ada juga yang datar (0-2%). Sistem lahan ini menurut Studi RePPProt (1988), cocok untuk tanaman kelapa sawit dan karet. Ini didukung oleh penelitian di Kabupaten Muara Enim yang didominasi oleh Sistem Lahan MBI, yaitu 60% dari total luas kabupaten. Perkebunan yang dominan di atas sistem lahan ini adalah karet dan kelapa sawit (Rahman, 2000). PT. Hindoli adalah salah satu perusahaan swasta yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit. Hingga saat ini mengelola area seluas ± 20.000 ha plasma dan sekitar 20.000 ha inti, yang terletak di Desa Teluk kemang dan di Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. Lahan Perkebunan di Tanjung Dalam tergolong datar dan landai, yaitu 0-2% (datar), 3-8% (landai) dan 9-15% (cukup landai), yang terletak pada ketinggian tempat ± 25 m dpl. Akibat erosi yang lebih Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
195
Djak Rahman/Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lahan Datar dan Landai ...
besar, lahan yang lebih curam memiliki kedalaman tanah yang lebih dangkal dan kesuburan tanah yang lebih rendah. Tentu saja hal ini akan diikuti oleh penurunan produksi, dengan kata lain kesesuaian tanahnya lebih rendah dibandingkan lahan datar . Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kesesuaian tanah pada lahan yang berbeda lerengnya tersebut, agar dapat diketahui pengelolaan apa yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas tanah. Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Mengevaluasi kesesuaian beberapa sifat fisik dan kimia tanah pada lahan datar dan landai untuk tanaman kelapa sawit di lokasi penelitian pada saat sekarang. 2. Untuk melihat seberapa besar perbedaan kesesuaian lahan antara yang datar dengan yang landai. 3. Memberikan gambaran pengelolaan yang harus dilakukan pada kesesuaian yang berbeda berdasarkan faktor pembatas yang ada. Hipotesis Lahan yang landai (3-8%) dan lebih-lebih lagi yang cukup landai (9-15%) memiliki faktor pembatas yang lebih berat dibandingkan dengan yang datar (0-2%), sehingga kesesuainnya pun lebih rendah.
2 PELAKSANAAN PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada perkebunan kelapa sawit, di Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. Lokasi Penelitian dipilih yang berlereng datar (0-2%), landai (3-8%) dan cukup landai atau sedang (9-15%). Analisis tanah dilakukan di laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Waktu penelitian secara keseluruhan dimulai bulan April sampai Desember 2010. Persiapan Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan, yaitu : Bor belgie, meteran, kompas, pisau lapangan, abney hand level, tongkat bantu pengukur lereng, cangkul, alat-alat tulis, kantong plastik kapasitas 2 kg yang telah diberi label, tali rafia dan karet gelang serta karung plastik. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei tingkat sangat detail dengan luas area penelitian 12 hektar. Pengambilan contoh tanah menggunakan sistem jalur/grid, dengan jarak antar titik pengeboran 100 meter untuk satu kelas kecuraman lereng. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan bor belgie pada kedalaman 0 – 40 cm. Parameter yang diamati pada setiap titik di lapangan adalah : Kecuraman lereng dan kedalam efektif tanah. Karakteristik tanah yang dianalisis di laboratorium adalah: Tekstur, pH H2O, N, P2O5, K2O dan KTK. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk melihat kelas kesesuaian lahan berdasarkan kriteria CSR/FAO Staff (1983) untuk tanaman kelapa sawit seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Kriteria tingkat kesesuaian beberapa karakteristik lahan untuk tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) Kelompok Karakteristik Lahan Kondisi perakaran (r) 1. Tekstur Tanah
2. Kedalaman efektif (cm) Retensi unsur hara (f)
S1
Tingkat Kesesuaian Lahan S2 S3
Lempung berpasir, lempung liat berpasir, lempung berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir > 100
Pasir berlempung, liat berpasir 70 – 99
196 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Liat berdebu 45 – 69
N Berbatu, berpasir, liat tinggi < 45
Djak Rahman/Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lahan Datar dan Landai ... 1. KTK (cmol (+) kg-1)
> sedang
Rendah
Sangat rendah
-
2. pH
5,0 – 6,0
7,1 – 8,5 < 4,5
> 8,5
Ketersediaan unsur hara (n) 1. N Total (%)
6,1 – 7,0 4,9 – 4,5
> sedang
Rendah
2. P2O5
> sedang
3. K2O
Sedang
Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah
Lereng (s) Kemiringan lereng (%)
0–8
Rendah Rendah 9 – 15
16 – 50
> 51
Sumber : CSR/FAO Staff, (1983)
Cara Kerja Secara berurutan, pekerjaan yang dilakukan adalah: 1. Observasi persen kecuraman lereng secara umum pada lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian. 2. Pemetaan atau penentuan petak-petak/blok lokasi serta pengukuran batas-batas dan luas lahan. 3. Penentuan titik pengamatan untuk mengukur kecuraman lereng dan kedalaman efektif tanah serta pengambilan sampel tanah. 4. Sampel tanah pada setiap titik pengamatan diambil sampai kedalaman 40 cm. Sampel ini diambil secara komposit yang berasal dari 5 titik. Empat titik pengambilan lainnya berjarak 10 m dari titik pengamatan utama (titik boring). 5. Sampel tanah dibawa ke Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unsri untuk dianalisis. Analisis Tanah di Laboratorium Sifat fisik tanah yang dianalisis di laboratorium hanya tekstur tanah. Sifat-sifat kimia yang dianalisis adalah: 1. Yang menyangkut retensi hara (f), yaitu pH dan KTK 2. Yang menyangkut ketersediaan hara (n), yaitu N, P205 dan K20. Analisis Data Data dianalisis berdasarkan metode penilaian kesesuaian lahan melalui pencocokan (matching) menurut CSR/FAO Staff (1983) yang hasilnya disajikan secara tabulasi dengan urutan sebagai berikut: 1. Membuat Peta bantu atau gambar situasi areal di lapangan yang akan disurvei, dengan titiktitik pengamatannya . 2. Membuat tabel kesesuaian aktual sekarang untuk tanaman kelapa sawit yang mengacu pada kriteria tingkat kesesuaian lahan yang ditetapkan oleh CSR/FAO Staff (1983). Penyusunan Laporan Laporan disusun berdasarkan hasil analisis data yang disusun secara tabulasi yang menyajikan dan menampilkan Kesesuaian Lahan sekarang (current suitability).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Lereng Pada lahan areal studi, yaitu di perkebunan Kelapa Sawit PT. HINDOLI Estate Tanjung Dalam, ditemui lereng datar (flat) dan lantai (gentle & moderatly gentle) pada 3 blok. Masing-masing blok Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
197
Djak Rahman/Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lahan Datar dan Landai ...
(Datar, Landai dan Cukup Landai) Luasnya ± 4 ha dan pada setiap blok dilakukan pengamatan dan pengambilan sample tanah pada 4 titik yang berjarak 100 m. Persentase kecuraman pada titik-titik pengamatan dari masing-masing blok adalah: a. Datar (D)
: D1 = 2%, D2 = 1%, D3 = 2%, D4 = 0%
b. Landai (L)
: L1 = 6%, L2 = 6%, L3 = 5%,
c. Cukup Landai (C)
: C1= 11%, C2 = 12%, C3 =12%, C4= 13%
L4 = 7%
Secara langsung persentase kecuraman lereng pada setiap blok ini menunjukkan kesesuaiannya untuk pertanaman kelapa sawit. Mengacu kepada ketentuan CSR/FAO Staff tahun 1983 (lihat Table 1), Blok D dan L sangat sesuai (S1) untuk pertanaman kelapa sawit; sedangkan blok C cukup sesuai (S2). Dilihat dari toleransi penggunaan lahan datar (0 – 2 %), landai (3 – 8 %) dan cukup landai (9 – 15 %), ketiga blok ini relatif tidak ada masalah erosi untuk digunakan sebagai tanaman tahunan pada umumnya (Rahman, 2010). Tetapi untuk kelapa sawit, pada lahan yang berlereng 9 – 15 % yang kesesuaiannya S2, memerlukan tindakan konservasi tanah, paling tidak tanaman penutup tanah. Tindakan ini diperlukan paling tidak untuk menekan erosi sebelum tajuk tanaman kelapa sawit relatif sempurna menutup lahan (80 – 90 %). Kedalaman Tanah dan Tekstur pada Setiap Blok Kedalaman efektif tanah dan tekstur tanah menunjukkan perbedaan pada blok-blok yang memiliki kelas kecuraman lereng berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Data kedalaman efektif dan tekstur tanah pada setiap titik pengamatan dari 3 blok.
Sample Lereng Kedalaman Tanah % % % Kelas Kes /blok (%) Pasir Debu Liat Tekstur Tekstur Cm Kes D1 2 ≥ 110 S1 38,6 30,1 31,3 CL S1 D2 1 ≥ 110 S1 36,5 25,1 38,4 CL S1 D3 2 ≥ 110 S1 46,0 22,0 32,0 CL S1 D4 0 ≥ 110 S1 41,6 24,2 34,2 CL S1 L1 L2 L3 L4
6 6 5 7
90 85 90 80
S2 S2 S2 S2
30,4 39,2 40,6 39,2
28,7 29,3 22,4 22,1
40,9 31,5 37,0 38,9
CL CL CL CL
S1 S1 S1 S1
C1 C2 C3 C4
11 12 12 13
75 70 75 70
S2 S2 S2 S2
50,5 51,4 56,7 63,7
33,7 32,0 33,8 29,0
15,8 16,6 9,5 7,3
SL SL SL SL
S1 S1 S1 S1
Keterangan: Kes = Kesesuaian = S1 (sangat sesuai) S2 (cukup sesuai) CL = Clay Loam (lempung berliat); SL = Sandy Loam (lempung berpasir)
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ada indikasi hubungan antara kecuraman lereng dengan kedalaman efektif tanah. Disini tampak bahwa kecuraman lereng diikuti oleh semakin dangkalnya kedalaman efektif tanah. Lahan datar (D) yang lerengnya hanya 0 – 2 % memiliki kedalaman tanah rata-rata 110 cm atau lebih. Kedalaman ≥ 110 cm demikian tergolong sangat sesuai (S1) untuk kelapa sawit. Lahan yang landai atau L (5 – 7 %) kedalaman tanahnya 80 – 90 cm. Terakhir lahan yang cukup landai atau C (11 – 13 %), memiliki kedalaman tanah yang paling dangkal, yaitu 70 – 75 cm. Lahan landai (L) dan cukup landai atau sedang (C) ini kesesuaiannya adalah S2 (cukup sesuai) untuk tanaman kelapa sawit. Dangkalnya tanah pada lereng yang lebih curam tentu saja disebabkan oleh erosi tanah yang lebih besar dibandingkan dengan lahan yang lebih datar. Atas fakta inilah makanya selalu dianjurkan untuk 198 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Djak Rahman/Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lahan Datar dan Landai ...
melakukan tindakan konservasi tanah, terutama selagi tanaman belum dewasa atau belum cukup efektif untuk menutup lahan. Dalam proses erosi mulai dari pemecahan butir tanah (detachment) sampai pengangkutan partikel tanah, maka partikel yang terangkut duluan dan paling jauh adalah yang lebih halus, yaitu debu dan liat. Oleh karena itu, lahan yang lebih berat teroresi logikanya akan lebih banyak kehilangan fraksi yang lebih halus sehingga tanah yang tertinggal dapat didominasi oleh pasir yang relatif kasar. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa lahan datar (D) dan landai (L) memiliki kelas tekstur Clay Loam (CL) atau lempung berliat. Sebaliknya lahan yang paling curam, yaitu C, lebih banyak fraksi pasirnya sehingga kelas teksturnya Sandy Loam (SL) atau lempung berpasir. Meskipun demikian, kedua kelas tekstur ini (CL dan SL) masih tergolong sangat sesuai (S1) untuk tanaman kelapa sawit. Retensi hara dan Unsur hara makro esensial Retensi hara (nutrient retention) adalah Ph dan KTK. Unsur hara makro esensial meliputi N, P2O5 dan K2O yang tersedia di dalam tanah (nutrient availability) untuk tanaman. Di bawah ini (pada tabel 3) disajikan hasil analisis Ph (H20), KTK (Kapasitas Tukar Kation), N (%), P2O5 Bray I (ppm) dan K2O (me/100 g) dari setiap sample tanah. Tabel 3. Hasil analisis pH, KTK, N, P2O5 dan K2O dari setiap sample pada setiap blok.
Sample (blok) D1 D2 D3 D4
pH (H2O) 4,05 4,22 4,13 4,21
KTK (me/100g) 14,53 15,38 13,70 13,05
Ntotal (%) 0,15 0,14 0,14 0,17
P2O5 (ppm) 19,24 24,00 34,01 50,84
K2O (me/100 g) 0,23 0,31 0,39 0,31
L1 L2 L3 L4
3,89 4,47 4,14 4,05
16,88 15,29 13,88 14,70
0,12 0,11 0,11 0,11
26,79 18,06 25,76 47,06
0,23 0,27 0,31 0,23
C1 C2 C3 C4 Kes
4,03 4,22 4,33 4,14 S3
12,70 12,29 10,88 8,88 S2
0,09 0,10 0,12 0,11 S2
23,01 25,77 43,62 61,14 S1
0,32 0,28 0,32 0,23 S1
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa unsur hara di dalam tanah tidak ada masalah. Ketersedian P dan K tergolong sangat sesuai (S1). Nitrogen cukup sesuai (S2) meskipun kriteria kandungannya masih rendah. Akan tetapi Ph tanah yang dibawah 4,5 perlu mendapat perhatian, karena kurang sesuai (S3) untuk kelapa sawit. Keadaan diatas cukup dapat dimengerti karena pihak pengelola kebun secara teratur melakukan pemupukan N, P dan K masing-masing setiap 3 atau 4 bulan, sedangkan untuk pengapuran tidak pernah dilakukan. Unsur N perlu lebih mendapat perhatian pada lahan yang berlerang, karena data menunjukkan bahwa ada kecendrungan menurunnya N dalam tanah dengan semakin curamnya lereng. Kandungan N total pada lahan Datar, Landai dan Cukup landai rata-rata berturut-turut 0,15%, 0,11% dan 0,10%. Tingginya N pada lahan datar dibandingkan yang lebih curam, dikarenakan pengaruh erosi pada lahan landai (L) dan Cukup landai (C) yang membawa N dalam tanah yang memang mudah tercuci dibandingkan P dan K. Kapasitas tukar kation tergolong cukup sesuai ( S2). Tetapi ada kecenderungan menurun atau lebih rendah pada lahan C yang lerengnya di atas 10%. Rendahnya KTK ini ada hubungannya dengan fraksi pasir yang lebih dominan pada lahan tersebut (lihat kembali Tabel 2). Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
199
Djak Rahman/Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lahan Datar dan Landai ...
4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Persentase lereng pada lahan datar (D) dan landai (L) yang berkisar antara 0- 7% tergolong sangat sesuai (S1) untuk pertanaman kelapa sawit. Sedangkan pada lahan cukup landai (C) yang lerengnya 11-13% cukup sesuai (S2). 2. Kecuraman lereng diikuti oleh dangkalnya kedalam efektif tanah dan dominannya fraksi pasir, meskipun secara keseluruhan tekstur tanah (CL dan SL) tergolong sangat sesuai. 3. Ketesediaan P dan K tergolong S1, tetapi N total kesesuaiannya lebih rendah (S 2). Selain itu N cenderung semakin turun dengan semakin curamnya lereng. 4. Kapasitas Tukar Kation tergolong S2. Tetapi ada kecendrungan menurun pada lahan C yang lebih curam dari lahan lainnya. 5. Kemasaman tanah yang cukup tinggi pada ketiga lahan (pH dibawah 4,5) menyebabkan lahan areal studi tergolong kurang sesuai (S3) untuk sekarang ini (current suitability is marginally suitable) Saran-saran 1. Oleh karena pada lahan yang lebih curam seperti lahan C (11-13%), lebih dangkal kedalaman tanahnya dan lebih dominan fraksi pasirnya, serta cenderung lebih rendah KTK dan unsur N nya, maka diperlukan usaha konservasi (paling tidak dengan tanaman penutup tanah) selagi usia tanaman belum dewasa. Karena kecenderungan-kecenderungan ini disebabkan oleh proses erosi tanah yang berlangsung. 2. Mengingat pH yang rendah sehingga kurang sesuai (S3) untuk tanaman kelapa sawit, dianjurkan untuk melakukan usaha peningkatan pH seperti pengapuran, dengan harapan dapat meningkatkan produksi tanaman. DAFTAR PUSTAKA Centre for Soil Research/Food and Agriculture Organization (CSR/FAO) Staff. 1983. Reconnaissance Land Resource Surveys 1 : 250.000 Scale Atlas Format Prosedures. Centre for Soil Research, Bogor. Indonesia. FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation; FAO Soils Bulletin 32. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Rahman, Dj. 1993. Land Evaluation for Tea Plantation on Sloping Areas, A case study in CBR. Thesis on Rural and Land Ecology Survey. ITC, The Netherlands. Rahman, Dj. 2000. Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Arahan Pengembangan Pertanian di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Hasil Penelitian yang disajikan pada Seminar dan Kongres Nasional HITI tanggal 2-4 November. 1999 di Bandung, yang dimuat dalam Prosiding tahun 2000. Rahman, Dj. 2009. Land Evaluation For Perennial Crops. Sriwijaya University. Palembang. Rahman, Dj. 2010. Pengantar Pengelolaan Tanah dan Konservasi Tanah. Universitas Sriwijaya, Fakultas Pertanian, Indralaya. RePPProt. 1998. Study Regional Physical Planning Program for Transmigration. Review of Phase 1 ResultSumatera. Bakosurtanal-BPN-ODA-Deptran, Cibinong-Bogor.
200 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
EVALUASI PERBAIKAN TAPAK PADA REHABILITASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN BATUBARA DI PT. BERAU COAL KAL-TIM1) Endang Sosilawati2) Abstrak: Hasil penelitian di kawasan hutan bekas tebangan mengungkapkan bahwa jenis tanah di wilayah pertambangan batubara ex adalah Typic hapludults yang dapat diidentifikasi dari adanya horizon argilik (Bt) dan rendahnya kapasitas pertukaran kation dan Saturasi dasar. Tingginya tingkat fraksi tanah liat (28 - 59%) di beberapa plot penelitian menyebabkan drainase yang buruk dan membuat sebagian besar lubang tanam diisi dengan air saat hujan. Akibatnya, sulit bagi akar tanaman untuk tumbuh dengan baik baik secara horisontal maupun vertikal ketika mereka tumbuh keluar lubang tanam. Namun, itu pengaruh kimia positif pada kapasitas pertukaran kation efective. Keasaman tanah (pH) dalam plot penelitian sebelum tanam berkisar dari 4,78 sampai 5,01 dan setelah penanaman itu meningkat menjadi 5,33 untuk 5,56. Kenaikan ini karena adanya pencucian alkali dihasilkan dari mineralisasi kompos dan pemupukan. Pemberian kompos dan pupuk hanya berpengaruh pada konsentrasi nitrogen, yaitu dari 0,06 - 0,09% (sebelum tanam) untuk 0,08 - o, 19% (setelah tanam). Ini berarti status nitrogen dari tanah masih memiliki tingkat yg rendah. Sebuah tambahan yang signifikan untuk jumlah dalam memberikan kompos dan pupuk meningkatkan kandungan C tanah, yaitu dari kisaran 0,82% 0,88% (sebelum tanam) untuk 2,47% - 4,74% (setelah tanam). Hal ini juga meningkatkan kandungan P tanah dari 25,69 - 34,45 ppm (sebelum tanam) untuk 54,59 - 144,73 ppm (setelah tanam). Kata Kunci: Perbaikan tapak, Rehabilitasi Lahan. 1) 2)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Jurusan Kehutanan Stiper Sriwigama Palembang
PENDAHULUAN
K
egiatan penambangan batubara oleh PT. Berau Coal selain memberikan dampak positif bagi peningkatan pendapatan nasional dan devisa negara, juga telah memberikan dampak negatif berupa penurunan kualitas lingkungan fisik, kimiawi dan biologi baik yang sifatnya sementara atau yang berkelanjutan.
Penurunan kesuburan tanah dengan cepat terjadi pada areal penambangan batubara khususnya pada penambangan sistem terbuka (open-pitmining). Dengan sistem ini pembukaan vegetasi penutup lahan (land clearing), pengupasan tanah permukaan dan bawah (top soil dan sub soil) serta pelimbahan yang merupakan kegiatan utama penambangan batubara, akan meninggalkan areal bekas penambangan dengan kondisi tanah yang tandus (Makhrowie, 1995). Hilangnya vegetasi penutup lahan menyebabkan hilangnya sumber bagan organik yang diikuti oleh penurunan kemampuan tanah untuk menahan pukulan butiran air hujan sehingga erodibilitas tanah menjadi besar. Berkurangnya atau hilangnya sumber bahan organik menyebabkan kapasitas tanah dalam menyimpan air menjadi berkurang, yang berakibat laju run-off dan pencucian hara tanah menjadi lebih besar (pada topografi curam) dan percepatan pencucian hara (leaching) ke lapisan tanah bawah juga menjadi besar (khususnya pada tekstur kasar). Adanya tekanan yang berat dari pukulan air hujan ke permukaan tanah akibat hilangnya vegetasi penutup, akan menyebabkan kerusakan struktur tanah permukaan dan tanah akhirnya menjadi padat dan kompak. Hilangnya vegetasi penutup tanah juga menyebabkan terjadinya perubahan iklim mikro (suhu tanah meningkat), mengubah kehidupan dan komposisi mikrobia pengurai bahan organik tanah. Tujuan penelitian Menemukan cara yang tepat untuk rehabilitasi lahan bekas galian batubara.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
201
Endang Sosilawati/Evaluasi Perbaikan Tapak pada Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan ...
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di areal bekas penambangan batubara PT. Berau Coal, Site lati tepatnya di km 8 IPD Elevasi 50 di Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Peralatan yang digunakan adalah peta kerja, parang, cangkul, sekop lurus, palu, bor tanah (hand auger: soil sampler), ring sampel tanah, pisau dapur, isolasi bening/transparan, spidol permanen (hitam, merah, hijau), payung ukuran besar (untuk soil sampling), terpal plastik ukuran medium (2mx3m), rafia, meteran dengan panjang 50 m dan 30 m, kantong plastik, klip 2 kg (untuk sampel tanah). Bahan yang digunakan adalah bibit tanaman meranti bapa (Shorea selanica), enau (Arenga pinnata), kapur (Dryobalanops beccarii), Ulin (Eusideroxylon zwageri), durian (Durio zibethinus), kahoi (Shorea belangeran), ketapang (Terminalia catappa), sirsak (Annona muricata), angsana (Pterocarpus indicus), jati super (Tectona grandis). Pupuk NPk, kompos, benih Centrosema pubescens, Colopogonium mucunoides, mulsa bahan organik. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah perubahan sifat fisik, morfologi, kimia tanah akibat kegiatan pertambangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi sifat-sifat tanah di areal bekas tambang hanya dilakukan terhadap parameter-parameter tekstur, pH, N Total, C-tersedia, kation-kation K, Ca, Mg, Na, Al, H. Sifat-sifat fisik tanah lainnya seperti struktur, konsistensi, tidak dapat dilakukan karena material tanah yang ditimbunkan telah hancur agregatnya. Sifat fisik tanah (tekstur) Hasil pengujian di laboratorium, menunjukkan bahwa 8 plot uji coba penanaman yang diamati sebelum penanaman dilakukan, hanya 2 plot yang tanahnya memiliki tekstur mirip dengan tanah hutan bekas tebangan, yaitu lempung berpasir (SL) sampai pasir berlempung (LS). Plot-plot lainnya memiliki kadar liat lebih tinggi, berupa kelas tekstur lempung berliat (CL) sampai liat (C). Kisaran kadar liat tanah pada plot-plot tersebut sebesar 28 sampai 59%, sedangkan di hutan bekas tebangan hanya 2 sampai 21%. Tingginya kadar liat tanah pada plot uji coba tersebut menyebabkan sebagian besar lubang tanam berisi air pada saat hujan. b. Sifat kimia tanah 1) Reaksi tanah/pH H2O Tabel 1. Nilai pH H2O di Hutan bekas tebangan dan di Lahan bekas tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 5,25 4,97 4,78 4,93 Ma Sebelum tanam 4,83 5,01 4,78 4,86 Ma Sesudah tanam 5,33 5,47 5,56 5,49 Am Lokasi
Keterangan: Ma = masam,
Am = agak masam
Tanah di hutan bekas tebangan mempunyai nilai pH semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman. Lebih tingginya nilai pH pada lapisan teratas dibandingkan dengan lapisan di bawahnya diduga karena adanya pengaruh mineralisasi bahan organik yang membebaskan basa-basa. Sementara tanah lokasi bekas tambang yang belum ditanami cenderung mempunyai nilai pH yang tidak beraturan. Hal ini diduga terjadi karena adanya proses penimbunan lubang bekas tambang yang tidak sesuai prosedur dimana lapisan top soil kedudukannya berada di bawah dan sub soil berada di lapisan paling atas. Tanah lokasi bekas tambang yang sudah ditanami menunjukan nilai pH yang semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya kedalaman. Ini diduga karena adanya proses pencucian basa-basa dari lapisan atas ke lapisan bawah, baik basa-basa hasil mineralisasi kompos maupun dari pemupukan. 202 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Endang Sosilawati/Evaluasi Perbaikan Tapak pada Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan ...
2) Nitrogen Total Tabel 2. Nilai Nitrogen Total (%) di hutan bekas tebangan dan di lahan bekas tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 0,08 0,06 0,05 0.06 Sr Sebelum tanam 0,07 0.09 0,06 0,07 Sr Sesudah tanam 0,14 0,19 0,08 0,13 Sr-Rd Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Rd = rendah
Konsentrasi nitrogen total pada lokasi hutan bekas tebangan secara vertikal semakin menurun nilainya sesuai dengan bertambahnya kedalaman karena berbeda dengan unsur hara lainnya, nitrogen merupakan satu-satunya unsur hara yang tidak bersumber dari mineral pada batuan induk, melainkan dari hasil pelapukan bahan organik. Oleh karena itu, secara alamiah lapisan tanah yang makin menjauhi permukaan tanah, mempunyai konsentrasi nitrogen semakin rendah. Di lokasi bekas tambang, tanah yang belum ditanami tidak menunjukan pola konsentrasi nitrogen total seperti di hutan bekas tebangan. Adanya proses penimbunan yang tidak mengindahkan susunan lapisan tanah seperti awalnya, menyebabkan konsentrasi N jadi tidak beraturan, sedangkan di lokasi tambang yang sudah ditanami nampak bahwa konsentrasi N relatif tinggi dan terkonsentrasi pada kedalaman 20-50 cm. Hal ini diduga karena terjadinya dua hal, yaitu a) setelah pembuatan lubang tanam dan pemberian kompos, ada tanah mineral yang ditempatkan di atas kompos sehingga lapisan 0-20 cm sebenarnya terdiri dari tumpukan tanah mineral dan kompos; b) sejumlah N dari pupuk NPK yang diberikan lewat pemupukan tanah, telah tercuci dan berada di lapisan 20-50 cm. Pemberian kompos dan pemupukan hanya meningkatkan status N dari 0,06 -0,09% (sangat rendah) menjadi 0,08 - 0,19% (sangat rendah sampai rendah). Dengan demikian terlihat bahwa dosis pupuk nitrogen perlu ditingkatkan agar diperoleh N dengan status sedang. Kandungan nitrogen total di dalam tanah secara umum dikendalikan oleh unsur iklim, vegetasi, dan secara khusus dipengaruhi oleh jumlah dan nilai rasio karbon terhadap nitrogen dari subtansi bahan organik. Hal-hal lainnya yang dapat mempengaruhi jumlah nitrogen total dalam tanah adalah relief serta secara tidak langsung bahan induk pembentuk tanah (Ruhiyat, 1989). 3). Karbon Total Tabel 3. Nilai Karbon Total (%) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 1,01 0,77 0,43 0,65 Sr Sebelum tanam 0,88 0,82 0,87 0,86 Sr Sesudah tanam 3,50 4,74 2,47 3,36 Sd-Tg Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Sd = sedang, Tg = tinggi
Secara keseluruhan konsentrasi karbon, baik untuk tanah di hutan bekas tebangan maupun pada areal tambang yang belum ditanami tergolong sangat rendah, tetapi pada areal yang sudah ditanami mengalami peningkatan dengan status tergolong sedang sampai tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa sumber utama karbon dalam tanah adalah bahan organik, sehingga pemberian kompos dapat meningkatkan nilai konsentrasinya. Pada hutan bekas tebangan, penurunan konsentrasi C terjadi sesuai dengan bertambahnya kedalaman tanah. Pada Lahan bekas penambangan yang belum ditanami, konsentrasi C nya cenderung tidak beraturan akibat susunan lapisan tanahnya sudah tercampur aduk. Penambahan kompos secara signifikan meningkatkan kadar C dari 0,82 sampai 0,88% (sebelum tanam) menjadi 2,47-4,74% (sesudah tanam). Banyak peran bahan organik yang tidak dapat digantikan oleh pupuk mineral, oleh karena itu penambahan bahan organik ke dalam lubang tanam serta melakukan penanaman tanaman penutup tanah (cover crop) di areal bekas tambang merupakan langkah yang tepat. Effendi (1996) menyatakan, bahwa perbedaan konsentrasi karbon organik secara horizontal di permukaan tanah disebabkan oleh perbedaan tingkat dekomposisi bahan organik, sedangkan pada lapisan bawah dipengaruhi oleh kadar liat. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
203
Endang Sosilawati/Evaluasi Perbaikan Tapak pada Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan ...
4) Fosfor Tersedia Tabel 4. Nilai fosfor tersedia (ppm) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 26,10 28,50 35,60 31,57 Sd Sebelum tanam 30,55 25,69 35,45 31,54 Sd Sesudah tanam 144,73 121,03 54,59 92,55 Stg Lokasi
Keterangan: Sd = sedang, Stg = sangat tinggi
Pada hutan bekas tebangan konsentrasi P-tersedia tergolong sedang dan polanya semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman tanah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadinya proses pencucian dan pengakutan fosfor dari lapisan atas ke lapisan bawah. Lebih meningkatnya konsentrasi P tanah sesudah tanam hingga berstatus sangat tinggi diduga dikarenakan pemberian kompos dan pemupukan NPK pada lubang tanam. Sebagaimana diketahui bahwa sumber pokok fosfor dalam tanah adalah sisa-sisa tanaman dan hewan mati (menjadi bahan organik) dan pupk P. Buckman dan Brady (1982) mengemukakan, bahwa tersedianya fosfor anorganik sebagian besar ditentukan oleh beberapa faktor antara lain : a) pH tanah, b) besi, aluminium dan mangan yang dapat larut, c) kalsium tersedia dan mineral kalsium, d) jumlah dan dekomposisi bahan organik, serta e) kegiatan mikroorganisme. Fungsi P bagi tanaman sangat penting antara lain dalam pembentukan inti protein, pembelahan sel, pembentukan bunga-buah-biji, perkembangan akar dan metabolisme karbohidrat (Anonim, 2001). 5) Kapasitas Tukar Kation Tabel 5. Nilai KTK Potensial (me.%) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 21,44 20,26 19,79 20,26 Sd Sebelum tanam 24,96 21,54 20,04 21,48 Sd Sesudah tanam 23,32 26,80 17,73 21,57 Sd Keterangan: Sd = sedang. Lokasi
Tabel 6. Nilai KTK Efektif (me.%) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 9,19 8,36 7,69 8,19 Rd Sebelum tanam 12,78 12,63 9,83 11,26 Rd Sesudah tanam 13,86 14,72 12,39 13,38 Rd Lokasi
Keterangan:, Rd = Rendah
Dari Tabel 5 dan 6 tampak bahwa tanah yang ditimbun pada lahan bekas penambangan karena memiliki kadar liat lebih tinggi daripada tanah hutan bekas tebangan, juga mempunyai nilai KTK potensial dan KTK efektif lebih tinggi pula. Sementara itu tindakan pemberian kompos setebal 50 cm mampu meningkatkan KTK potensial dari 21,5- 24,9 meq/100 gr dan KTK efektif dari 12,6-12,7 meq/100 gr (sebelum tanam), masing-masing menjadi 23,3-26,8 meq/100 gr dan 13,8-14,7 meq/100 gr (sesudah tanam). Penyebab dari peningkatan nilai KTK itu diduga koloid organik bersumber dari kompos. Walaupun di satu sisi terjadi peningkatan nilai KTK akibat perlakuan pemberian kompos, namun peningkatan itu belum mengubah status nilai KTK baik KTK potensial (sedang) maupun KTK efektif (rendah). KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat penting untuk menilai potensi kesuburan tanah. Tanah dengan nilai KTK tinggi akan mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan nilai KTK rendah, karena unsur-unsur hara yang dapat dipertukarkan berada dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang karena proses
204 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Endang Sosilawati/Evaluasi Perbaikan Tapak pada Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan ...
pencucian oleh air gravitasi di dalam tanah. Pada dasarnya tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat yang tinggi mempunyai KTK yang tinggi pula. 6) Kejenuhan Basa Tabel 7. Nilai Kejenuhan Basa Potensila (%) diHutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 0,98 0,83 0,95 0,92 Sr Sebelum tanam 31,58 44,68 28,87 34,15 Rd Sesudah tanam 60,71 63,57 68,50 65,46 Tg Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Rd = rendah, Tg = tinggi
Tabel 8. NilaiKejenuhan Basa Efektif (%) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 2,28 2,09 2,55 2,35 Sr Sebelum tanam 52,90 65,17 62,71 61,48 Tg Sesudah tanam 96,95 99,21 99,95 99,13 Stg Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Rd = rendah, Tg = tinggi
Pada Tabel di atas terlihat bahwa ada perbedaan yang cukup besar dalam jumlah kation-kation basa di antara tanah hutan bekas tebangan dengan umumnya tanah di areal bekas tambang baik yang belum maupun yang sudah di tanami. Tanah di areal bekas tambang bukan saja lebih tinggi nilai KTK-nya tapi juga lebih kaya akan unsur-unsur basa dari pada tanah hutan bekas tebangan. Secara alamiah pada tanah-tanah hutan di mintakat iklim tropis basah selalu terjadi pencucian unsur-unsur hara basa dari lapisan atas ke lapisan bawah tanah. Sehubungan dengan fenomena ini serta lebih tingginya nilai Kejenuhan Basa di areal bekas tambang sebelum penanaman, lebih memperkuat kemungkinan bahwa tanah yang ditimbunkan di areal bekas tambang tersebut berasal dari lapisan tanah yang dalam. Kemungkinan lainnya adalah bahwa tanah yang ditimbunkan ke areal bekas tambang berasal dari macam tanah yang batuan induknya berbeda dari tanah di hutan bekas tebangan. Hardjowigeno (1993), mengemukakan bahwa basa-basa umumnya mudah tercuci sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami proses pencucian atau berkembang dari batuan induk yang kaya unsur-unsur basa. 7). Susunan kation basa dan kation asam Tabel 9. Distribusi Kation K+ (meq/100 gr) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 0,09 0,09 0,95 0,09 Sr Sebelum tanam 0,22 0,22 0,19 0,20 Rd Sesudah tanam 0,50 0,45 0,35 0,41 Rd-Sd Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Rd = rendah, Sd = sedang
Tabel 10. Distribusi Kation Na+ (meq/100gr) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 0,02 0,01 0,03 0,02 Sr Sebelum tanam 0,07 0,10 0,15 0,12 Sr-Rd Sesudah tanam 0,13 0,13 0,1 5 0,14 Rd Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Rd = rendah, Sd = sedang
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
205
Endang Sosilawati/Evaluasi Perbaikan Tapak pada Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan ... Tabel 11. Distribusi Kation Ca+ (meq/100gr) di Hutan Bekas Tebangan dan diLahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 0,08 0,05 0,06 0,06 Sr Sebelum tanam 1,66 1,77 1,95 1,84 Sr Sesudah tanam 9,65 10,42 8,14 9,13 Sd Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Sd = sedang
Tabel 12. Distribusi Kation Mg+ (meq/100gr) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan Bekas Tambang
Kedalaman tanah (cm) Status 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 0,02 0,01 0,02 0,01 Sr Sebelum tanam 4,01 4,14 0,08 3,98 Tg Sesudah tanam 4,34 4,53 4,46 Tg Lokasi
Keterangan: Sr = sangat rendah, Tg = tinggi
Tabel 13. Distribusi Kation Al3+ (meq/100gr) di Hutan Bekas Tebangan dan diLahan BekasTambang
Kedalaman tanah (cm) 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 8,98 7,48 7,64 7,86 Sebelum tanam 6,83 4,64 4,11 4,81 Sesudah tanam 0,40 0,08 0,00 0,10 Lokasi
Tabel 14. Distribusi Kation H+ (meq/100 gr) di Hutan Bekas Tebangan dan di Lahan BekasTambang
Kedalaman tanah (cm) 0-20 20-50 50-100 0-100 Hutan bekas tebangan 12,25 10,25 12,75 11,90 Sebelum tanam 15,12 11,75 11,00 12,05 Sesudah tanam 7,82 10,15 6,15 7,68 Lokasi
Dari Tabel 9 sampai 12 tampak bahwa jumlah kation-kation basa berupa K, Na, Ca, Mg, tanah di lahan tambang yang telah ditimbun selalu lebih tinggi dari pada tanah hutan bekas tebangan. Sebaliknya untuk kation-kation asam, tanah hutan bekas tebangan mempunyai jumah lebih tinggi (Tabel 13, 14). Pemberian kompos dan pupuk NPK tampak meningkatkan jumlah kation-kation K, Ca, Mg dan menurunkan jumah kation-kation Al dan H. Sehubungan dengan unsur-unsur basa ini, kation Mg pada tanah bekas tambang tampak berstatus paling tinggi dibandingkan kation-kation basa lainnya. Walau pemberian kompos dapat meningkatkan ketersediaan Mg tapi besar kemungkinan unsur ini berasal dari tanah yang berbeda batuan induknya daribatuan induk tanah hutan bekas tebangan. Pada batuan induk tingginya konsentrasi Mg diduga dapat bersumber dari: mineral biotit, augit, hornblende, amfibol atau dolomit. Fungsi unsur-unsur basa bagi tanaman antara lain: K untuk mengedarkan protein keseluruh jaringan, aktivator enzim, mengatur pernapasan dan transfirasi, perkembangan akar, Ca untuk pembelahan sel dan penyusun dinding sel, Mg untuk pembentukan klorofil dan aktivator enzim (Hardjowigeno, 1987).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kondisi tanah pada areal hutan bekas tebangan mencerminkan bahwa awalnya tanah di areal bekas tambang adalah Typic Hapludults, dicirikan oleh kehadiran horison argilik (Bt), serta rendahnya status Kejenuhan Basa dan Kapasitas Tukar Kation. 206 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Endang Sosilawati/Evaluasi Perbaikan Tapak pada Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan ...
2. Tingginya kadar fraksi liat (28-59%) pada beberapa petak penelitian menciptakan drainase buruk dan menyebabkan pada saat hujan sebagian besar lubang tanam berisi air. Hal ini mber konsekuensi berupa sulitnya akar tanaman untuk berkembang baik secara horizontal maupun vertikal, manakala telah menjangkar keluar dari lubang tanam yang berisi kompos, walaupun secara kimiawi tingginya kadar liat tersebut berpengaruh positif bagi kapasitas tukar kation efektif. 3. pH tanah pada petak penelitian sebelum tanam berkisar 4,78-5,01 dan sesudah tanam meningkat menjadi 5,33-5,56. Peningkatan ini diduga terjadi akibat adanya pencucian basa-basa hasil mineralisasi kompos maupun dari pemupukan. 4. Pemberian kompos dan pemupukan meningkatkan konsentrasi nitrogen dari 0,06-0,09% (sebelum tanam) menjadi 0,08-0,19% (sesudah tanam) sehingga status unsur ini masih tergolong rendah. 5. Secara signifikan penambahan kompos dan pemupukan meningkatkan kadar C tanah dari 0,820,88% (sebelum tanam) menjadi 2,47-4,78% (sesudah tanam) dan P dari 25,69-35,45 ppm (sebelum tanam) menjadi 54,59-144,73 ppm (sesudah tanam). Saran Proses penimbunan kembali areal bekas penambangan harus memperhatikan susunan lapisan tanah asalnya, khususnya lapisan top soil dan sub soil. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2001. Laporan Tahun Pertama Uji Coba Revegetasi dan Kajian Tanah Lahan datar dan Lereng. PT. Berau Coal Wilayah Kabupaten Berau. Fakultas Kehutanan universitas Mulawarman, Samarinda Effendi, 1996. Pengaruh Pengusahaan Hutan Alam dan Pengkonversiannya Menjadi Hutan Tanaman terhadap Sifat-Sifat Tanah Di Kawasan HPH PT. Kiani Lestari Kaltim. Program Pasca sarjana Universitas Mulawarman, Samarinda Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta Hardjowigeno,S. 1993. KalsifikasiTanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo, Jakarta. Makhrowie dan Mulyadi, 1995. Studi Kelayakan Fisik Lahan untuk Pengembangan Usaha Tani pada Areal Bekas Penambangan Batubara PT Kaltim Prima Coal Sangata, Kabupaten Kutai. Buckman, H.O. & Brady, 1982. Ilmu Tanah. Bhrata karya Aksara, Jakarta Ruhiyat, D. 1989. Diktat Bahan Kuliah Ilmu Tanah Hutan. Fakultas Kehutanan Universita Mulawarman, Samarinda.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
207
MENGURANGI GENANGAN AIR DENGAN MENGGUNAKAN BIOSWALES1) Oleh: Faradiah Hildy Putri 2) Abstract: Infrastructure development is no longer heed the environmentally development, more oriented to gray infrastructure . This condition has a negative impact , one of which is the emergence of flooding. flooding occurus because of the lack of rain water catchment areas . Current infrastructure development began in earnest new concept of green infrastructure or green infrastructure . One form of green infrastructure is making bioswales.Bioswales made by digging area on the edge of the road , which is used to drain water from the sidewalk , through the side of the road and then straight into the drain. Given these bioswales , rain water can be absorbed into the soil before the water dumps into the channel . The area planted with grasses and other root crops, which helps the absorption of water .Making bioswales have been tried in several cities in the United States . Bioswales can reduce flooding when it rains . Keywords: green infrastucture, flooding, bioswales 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Universitas Indo Global Mandiri, Palembang
PENDAHULUAN
P
ertumbuhan kota telah bergeser untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan. Infrastruktur abuabu (grey infrastructure) dengan membangun ruang lahan-lahan kota dianggap tidak efektif lagi karena mengurangi daya tampung wilayah. Pemanasan global dan perubahan iklim memimbulkan terjadinya isu krisis air akibat dari banjir dan kekeringan. Krisis air seperti banjir dan kekeringan yang terjadi di kota-kota besar diakibatkan oleh meningkatnya jumlah urbanisasi sedangkan infrastruktur tidak mampu untuk menampung kegiatan di dalamnya. Hal ini mengakibatkan bentuk dan fungsi dari infrastruktur menjadi hilang. Penerapan konsep kota yang bergeser kepada konsep yang berkelanjutan dilakukan dengan menerapkan infrastruktur hijau (green infrastructure). Infrastruktur hijau didefinisikan sebagai jaringan interkoneksi ruang hijau yang melestarikan nilai-nilai ekosistem alam yang berfungsi dan memberikan manfaat yang terkait dengan populasi manusia (Green Infrastructure: Smart Conservation for the 21st Century, 2001). Infrastruktur hijau menjadi salah satu solusi untuk menghadapi permasalahan krisis air. Infrastruktur hijau memberikan manfaat ganda dengan memberikan manfaat kepada lingkungan dan mendukung kota yang berkelanjutan dalam mempertahankan kondisi perairannya. Tidak seperti infrastruktur abu-abu yang menggunakan pipa untuk membuang air hujan, infrastruktur hijau justru memanfaatkan vegetasi dan tanah untuk mengelola air hujan. Proses alami dengan memanfaatkan alam ini menjadikan infrastruktur hijau tidak hanya untuk menangkap air hujan tetapi juga dapat untuk penangan banjir. Terdapat berbagai macam penerepan infrastruktur hijau untuk kota seperti green roof, penggunaan paving untuk jalan, bioswales dan lainnya. Bioswales sering digunakan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi genangan dan banjir.
KONSEP BIOSWALES Pengertian Bioswale, disebut juga vegetated swales, merupakan swale dengan rumput dan vegetasi lainnya, tanah berhumus bagian atasnya dan lapisan infiltrasi pada bagian bawah (Claytor, 1996; TRCA, 2009; MDEP, 1997 dalam Low Impact Development Best Management Practices Design Guide Edition 1.0.). Bioswale didesain untuk memperlambat laju limpasan dengan meningkatkan kekasaran pada 208
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Faradiah Hildy Putri/Mengurangi Genangan Air dengan Menggunakan BIOSWALES
permukaan (surface roughness). Peningkatan pada surface roughness dapat memperlambat waktu limpasan, memungkinkan terjadinya infiltrasi, evaporasi, trasnpirasi dan memfilter limpasan sebelum masuk ke jaringan drainase (Low Impact Development Best Management Practices Design Guide Edition 1.0) Bioswale dapat diterapkan di sekitar tempat parkir atau jalan.Teknik lansekap pada bioswale digunakan untuk mengarahkan dan menyaring air hujan serta menyaring polusi dari permukaan air limpasan. Bioswales menampung air limpasan, menahan air untuk jangka waktu tertentu dan kemudian memungkinkan air untuk perlahan-lahan mengalir ke tanah. Bioswales biasanya mengandung tanaman asli dan rumput, seperti yang digunakan dalam taman hujan, yang meningkatkan penyaringan air (National Association of Regional Councils United States Forest Service). Aplikasi bioswale pada perkotaan ditujukan untuk memperlambat aliran limpasan pada kawasan terbangun yang memiliki permeabilitas rendah seperti tempat parkir, dan jalan raya. Bioswale dapat diterapkan dalam kawasan industri, kompleks perkantoran, pusat ritel dan proyek apartemen kepadatan tinggi. Namun, bioswale sangat penting untuk diaplikasikan di sekitar tempat parkir dan jalan raya, di mana polusi air terjadi akibat residu kendaraan bermotor (tumpahan oli, tumpahan bensin, dan lain-lain), timbal, sedimen dan lainnya. Tanpa adanya bioswale, air limpasan yang tercampur dengan polusi dapat langsung masuk ke drainase tanpa adanya filtrasi terlebih dahulu (http://www.eoearth.org). Desain Bioswale adalah saluran terbuka dengan vegetasi yang dirancang untuk mengurangi dan mengalirkan limpasan air. Berbeda dengan bioretention, bioswale memiliki bentuk yang linier dan bagian bawah yang memiliki slope untuk memfasilitasi pergerakan air. Bioswales memiliki empat fungsi untuk manajemen stormwater yaitu pengumpulan , pengangkutan , filtrasi dan infiltrasi . Keempat sifat mengurangi dan menunda kecepatan limpasan serta menjaga kualitas air hujan. Jika bioswales berada pada tanah yang berpori, limpasan air hujan yang ditahan di drainase dapat menyusup ke dalam tanah di bawahnya. Hal ini memungkinkan air hujan untuk mengisi ulang secara alami air tanah. Bioswale akan efektif bila dibangun pada topografi yang landai yaitu kurang dari 4%. Maksimum kemiringan topografi untuk bioswale adalah 6%. Apabila topografi terlalu tinggi atau lebih dari 6%, maka air tidak dapat mengalir maksimal untuk masuk kedalam bioswale. Bioswale memiliki bentuk trapesium untuk memaksimalkan penangkapan air. Kapasitas penangkapan bioswale dibuat dengan perencanaan sehingga dapat menangkap dan menampung debit air puncak pada saat terjadi badai 10 tahunan dan badai 20 tahunan. Air yang melimpas akan masuk ke dalam bioswale karena letak bioswale yang lebih rendah. Air limpasan yang masuk ke dalam bioswale akan diresapkan secara bertahap ke jaringan drainase. Dengan diresapkan secara bertahap maka air tidak masuk secara serentak ke dalam jaringan drainase. Hal ini, dapat mengurangi kemungkinan genangan akibat air limpasan yang memasuki drainase secara serentak melebihi kapasitas drainase.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
209
Faradiah Hildy Putri/Mengurangi Genangan Air dengan Menggunakan BIOSWALES
Sumber : newyork.thecityatlas.org Gambar 1: Bioswales
Bioswale memiliki 4 lapisan dengan fungsinya masing-masing. Lapisan-lapisan bioswale dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Sumber: Low Impact Development Best Management Practices Design Guide Edition 1.0 Gambar 2: Lapisan Biosawale
Keterangan: 1. 2. 3. 4.
Vegetasi Lapisan tanah atas (humus) Lapisan kerikil Under drain dengan cleanout
1. Vegetasi Vegetasi yang ditanam bioswale disesuaikan dengan kondisi lingkungan di mana bioswale dibuat. Penggunaan tanaman lokal akan sangat membantu agar masa tanam tanaman menjadi lebih lama. Dalam pemilihan jenis tanaman harus melihat kriteria tanaman yaitu tanaman yang memiliki akar kuat dan tahan terhadap air. Fungsi akar tanaman pada bioswale untuk menahan kecepatan dan sebagai “cakar” untuk menahan erosi tanah. Pemilihan tanaman yang tahan air karena bioswale akan tergenang air saat hujan. Tumbuhan semak merupakan tanaman yang direkomendasikan karena memenuhi kriteria yaitu memiliki akar yang kuat dan tahan air. Nilai tambah vegetasi bioswale dapat memperindah kota dengan memberi penghijauan pada kota. 210 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Faradiah Hildy Putri/Mengurangi Genangan Air dengan Menggunakan BIOSWALES
2. Lapisan Tanah Atas (Humus) Lapisan tanah atas (humus) sebagai tempat hidup bagi vegetasi. Selain itu, mikroba yang terdapat di dalam tanah humus dapat mencerna nutrisi organik dalam konsentrasi tinggi yang dianggap polutan. Sampah-sampah besar seperti daun dan plastik akan tertahan di antara tanaman sehingga tidak masuk ke dalam jaringan drainase. 3. Lapisan Kerikil Lapisan kerikil merupakan lapisan saringan terakhir sebelum air masuk ke jaringan drainase. Lapisan kerikil akan menyaring air yang akan masuk ke jaringan drainase agar lebih bersih. 4. Under Drain dengan Clean Out Limpasan air yang sempat tertahan di bioswale akan di saring pada lapisan sebelumny. Air yang telah tersaring akhirnya akan masuk secara bertahap (pelan-pelan) ke dalam jaringan drainase yang terdapat pada lapisan paling bawah dari bioswale.
KEUNTUNGAN BIOSWALES Bioswales termasuk ke dalam salah satu komponen Low Impact Development (LID). LID pada prinsipnya menerapkan pendekatan meniru alam untuk mengatur aliran airnya. Dalam laporan Natural Resouce Conservation Service, LID memberikan dampak yang penting bagi lingkungan. 5. Melindungi area rawan 6. Meningkatkan habitat bagi kehidupan liar dengan menyediakan vegetasi 7. Melindungi kualitas air dengan mengurangi sedimentasi dan hilangnya nutrisi tanah yang terbawa limpasan air hujan. 8. Mengurangi erosi.
STUDI KASUS Bioswales di NewYork City Kota NewYork mencari jalan untuk menjamin kualitas sungai, danau, dan badan air lainnyaagar terhindar dari polusi sebagai dampak pembangunan dan urbanisasi. Pembangunan dengan menggunakan infrastruktur hujau (green infrastructure) dilakukan untuk melestraikan ruang terbuka hijau alami di sepanjang aliran sungai dan menerapkan infrastruktur hijau di lingkungan permukiman. Penerapan infrastruktur hijau dilakukan dengan menyesuaikan aturan-aturan dan program-program yang sesuai dengan kondisi lingkungan penerapan infrastruktur hijau, untuk melindungi sumber air dan menambah jumlah air bersih di sumbernya. Aturan penggunaan infrastruktur hijau tertuang dalam NYC Green Infrastructrure Plan. Salah satu bentuk penerapan infrastruktur hijau untuk meningkatkan kualitas sumber daya air adalah dengan membangun bioswale. Penerapan bioswale dilakukan karena Kota New York mengalami masalah kritis untuk meningkatkan kualitas air. Permasalahan terbesar yaitu untuk menurunkan tingkat overflow dari drainase gabungan. Dalam drainase ini tercampur air buangan yang kotor dan limpasan air hujan. Saat musim kering, limpasan air hujan yang masuk ke dalam jaringan drainase sedikit sehingga pipa pengolahan air limbah masih dapat mengakomodasinya. Saat musim penghujan, limpasan air hujan dengan debit yang besar secara serentak memasuki drainase. Dengan debit yang besar, hanya sebagian campuran air buangan kotor dan limpasan yang dapat masuk ke pipa pengolahan air sedangkan sebagian lagi langsung dibuang ke sumber air seperti sungai. Kondisi ini mengakibatkan sumber air menjadi tercemar. Bioswale diterapkan untuk menangkap limpasan air hujan untuk mengurangi genangan di permukaan. Air yang tertangkap di bioswale akan disaring secara berlapis oleh komponen-komponen bioswale yang kemudian akan diresapkan secara bertahap ke dalam drainase. Peresapan secara bertahap akan mengurangi debit berlebih di pipa saluran sehingga dapat meminimalkan air dari drainase yang langsung terbuang ke sumber air. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
211
Faradiah Hildy Putri/Mengurangi Genangan Air dengan Menggunakan BIOSWALES
Sumber : http://www.capitalnewyork.com Gambar 3. Bioswale di New York
Terdapat tiga 3 standar ukuran bioswale di Kota New York yaitu berukuran 10’x5’, 15’x5’ dan 20’x5’ dengan spesifikasi yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Bioswale dibangun dengan mengikuti standar dan geoteknikal prosedur agar keberadaan bioswale tidak menimbulkan konflik dengan jaringan utilitas yang telah ada.
Sumber : 2012 Green Infrastructure Annual Report, New York City, 2012 Gambar 4. Potongan Bioswale New York
Permodelan yang dilakukan di Kota New York menunjukan dengan menggunaka bioswales dapat mengurangi volume buangan air kotor yang langsung ke sumber air atau combined sewer overflows combined sewer overflows (CSO). Dalam 20 tahun, bioswales akan menurunkan CSO dari sekitar 30 miliar galon per tahun menjadi 17,9 miliar galon per tahun. Penurunan CSO dengan bioswales lebih besar dibandingkan dengan penggunaan drainase tradisional yang hanya menuruhkan CSO menjadi sekitar 19 bilion galon. 212 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Faradiah Hildy Putri/Mengurangi Genangan Air dengan Menggunakan BIOSWALES
Sumber: NYC Green Infrastructure Plan: A Sustainable Strategy for Clean Water Ways. Gambar 5. Prediksi Volume CSO
Dari permodelan yang dilakukan, dengan menggunakan bioswale yang terintegrasi dengan drainase dapat lebih efektif untuk mengurangi CSO.
KESIMPULAN Bioswales memiliki empat fungsi untuk manajemen stormwater yaitu pengumpulan , pengangkutan , filtrasi dan infiltrasi. Dari permodelan yang telah dilakukan di New York, dengan menggunakan bioswale selain dapat mengurangi limpasan air hujan yang dapat mengurangi genangan, bioswale dapat mengurangi volume CSO yang masuk ke sumber air. DAFTAR PUSTAKA NYC Green Infrastructure Plan: A Sustainable Strategy for Clean Water Ways. 2012. NYC Green Infrastructure Annual Report. 2012. NYC Green Infrastructure Annual Report. 2010. Natural Resource Conservation Service. Bioswale Absorb and Transport Large Runoff Event. 2005. Green Infrastructure: Smart Conservation for the 21st Century oleh Sprawl Watch Clearinghouse. Low Impact Development Best Management Practices Design Guide Edition 1.0. November 2011.
http://www.eoearth.org diunduh tanggal 25 Oktober 2013. http://www.ci.sandy.or.us/ diunduh tanggal 25 Oktober 2013. http://www.esf.edu/ere/endreny/GICalculator/BioswaleIntro.html diunduh tanggal 25 Oktober 2013.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
213
PENINGKATAN KETAHANAN RENDAMAN PADI LOKAL DENGAN MENGINSERT GEN SUB 1) Oleh : Gusmiatun2), Rujito A. Suwignyo3), Andi Wijaya, dan Mery Hasmeda3) Abstract: One of efforts to increase rice production at swamp area which is frequently flooded was the use of resistant submergence rice cultivars/varieties. The objectives of this research was to reconstruct superior resistant submergence local rice by inserting resistant gene(Sub1). Superior local genotypes were used as source of parents. The studies were carried out for two phases: 1) Crossing of local selected genotypes which were selected from first study with tolerant submergence rice variety of, FR13A. and 2) Progeny evaluation and DNA analysis. First study was conducted green house Graduate Study Sriwijaya University, Palembang. Second study was carried out at field experiment of Central Research and Development of Agricultural Biotechnology and Genetic Resources in Bogor. All studies were conducted from March2011 until March 2013 with different experimental methods and different environmental stress. First study was introgression Sub1 gene into local genotypes PayakSelimbuk, Pegagan, Siam and PelitaRampak with FR13A. Second study was evaluation of progeny and DNA analysis to prove the success of inserting the gene target by DNA analysis and evaluation of BC1F1 plant performance after treatment by plant submergence for 14 days.The results showed that Introgression of Sub1 gene into local genotypes might improve plant submergence tolerant after submergence stress for 14 days. Reduction of rice production was relatively small which was 10.72% compared to the parents which was 48.75%. The success introgression of Sub1 gene to local genotypes was indicated by banding pattern described by PCR analysis using RM 464A Marker and RM 219. Keywords: Resistant submergence, local swamp rice, Sub 1 gene 1)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Fakultas Pertanian UMP 3) Dosen pada Fakultas Pertanian Unsri 2)
PENDAHULUAN
P
eningkatan produksi padi di lahan rawa sering mengalami kendala cekaman terendam, terutama pada fase vegetatif tanaman. Meskipun secara alamitanaman padi merupakan tanaman semiakuatik yang dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan berair, namun terjadinya rendaman terhadap seluruh bagian tanaman dalam jangka panjang dapat merusak jaringan tanaman padi akibat terganggunya proses fisiologis tanaman hingga menyebabkan kematian (Ito et al., 1999). Penundaan waktu tanam hingga bibit berumur 50 – 90 hari danpemindahan bibit lebih dari satu kali dapat menghindarkan tanaman dariancaman banjir, namun di sisi lain penanaman bibit terlalu tua maka jumlah anakan yang dihasilkan juga semakin sedikit (Ridwan dan Munir,2002) Transplanting lebih dari satu kali juga menyebabkan tanaman membutuhkan waktu lebih banyak untuk dapat beradaptasi. Hal inimenyebabkan rendahnya produksi padi. Penyebab lain rendahnya produksi adalah petani menggunakan varietas unggul nasional seperti IR64, Ciliwung, dan Ciherang yang diyakini memiliki potensi hasil tinggi, namun di sisi lain membutuhkan kondisi pertumbuhan yang optimum (tidak toleran banjir). Penggunaan varietas unggul secara terus menerus juga menyebabkan sejumlah varietas lokal ”hilang”padahal merupakan sumber daya hayati yang memiliki nilai potensial dan aktual untuk kepentingan manusia.Varietas lokal banyak digunakan sebagai donor gen sifat mutu baik (rasa nasi enak, aromatik), ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan toleransinya terhadap cekaman abiotik seperti suhu rendah, toleran lahan salin, sulfat masam, dan genangan.Untuk itu perlu dilakukan pelestarian dan pemuliaan genotipelokal, dengan menjadikannya sebagai tetua persilangan untuk varietas andalan di lahan rawa yaituvarietas unggul yang toleran terhadap kondisiterendamakibat banjir, sehingga diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi permasalahanpetani dalam menghindari cekaman terendam tanpa harus memindahkan bibit.
214
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Gusmiatun, dkk./Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB.
Agar petani bersedia mengadopsi varietas unggul yang dihasilkan, maka selain adaptif pada kondisi lingkungan setempat juga harus memiliki karakteristik mutu produk sesuai dengan preferensi konsumen setempat. Genotipe lokal Payak Selimbuk menjadi pilihan dalam perakitan varietas ini karena relatif toleran terhadap cekaman terendam selama tujuh haripada fase vegetatif dan fase bibit (Gusmiatun, 2011), sedangkan genotipe lokal Pegagan, Siam, dan Pelita Rampak memiliki rasa nasi yang diinginkan petani Sumatera Selatan (Ruskandar, 2005). FR13A digunakan sebagai tetua karena diketahui mengandung gen Sub1 yang toleran terhadap peredaman selama 14 hari (Xu, et al., 1996). Hasil penelitian terhadap varietas-varietas turunan FR13A yang telah ada toleransi rendamannya masih dibawah FR13A disebabkan adanya lokus-Iokus lain pengendali toleransi terhadap rendaman yang belum terintrogresikan (Nandi et al., 1997). Dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki toleransi rendaman menggunakan sumber genetik ini. Dengan menggabungkan sifat keunggulan padi lokal dengan sifat toleran rendaman ke dalam satu varietas, diharapkan dapat diperoleh varietas unggul yang toleran rendaman untuk daerah rawa serta dapat diterima petani. Penelitian ini bertujuanuntuk meningkatkan toleransi padi lokal rawa terhadap cekaman terendam, dengan cara menginsert gen ketahanan rendaman (Sub1), sebagai langkah awal untuk menghasilkan varietas unggul toleran rendaman untuk daerah rawa. Menurut Das et al., (2005) bahwa faktor penting dalam toleransi padi terhadap perendaman adalah kemampuannya memeliharaan cadangan karbohidrat yang tinggi, terutama setelahterendam. Demikian juga dengan kosentrasi klorofil yang tinggi selama terendam merupakan ciri pada genotipe toleran, karena tanaman dapat melakukan fotosintesis relatif lebih baik selama perendaman dan juga setelahair surut untuk melanjutkan pertumbuhan dan pemulihan yang lebih cepat.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan dalamduatahapan, yaitu tahap : 1) persilangan genotipe lokal dengan padi tahan rendaman (FR13A) untuk menginsert gen ketahanan rendaman hingga generasi BC1F1, dan 2)menguji ketahanan tanaman hasil persilangan pada kondisi terendam, serta melakukan analisis DNA. Persilangan untuk Menghasilkan BC1F1 Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai Juni 2012 di Pasca Sarjana Unsri, Jl Padangselasa Bukit Besar Palembang.Persilangan Topcross dilakukan antara genotipe lokal Pegagan (Pgn), Siam (Sm),Payak Selimbuk (Pys),dan Pelita Rampak (Plr)dengan FR13A. Hasil persilangan (F1) disilangkan kembali dengan tetua lokal (Backcross) sehingga dihasilkan tanaman BC1F1, Persilangan dilakukan dengan teknik konvensional dan diulang sebanyak tiga kali. Guna mendukung ketersediaan pollen dan putik, penanaman dilakukan dalam beberapa waktu tanam yang berbeda (multiple planting dates), yaitu dalam selang waktu 2 minggu. Uji Ketahanan RendamanMaterial Genetik Hasil Persilangan(BC1F1) danAnalisis DNA Pengujian dilaksanakan pada bulan Agustus 2012 sampai Maret 2013 di kebun percobaan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian di Bogor. Uji ketahanan rendaman dilakukan terhadap seluruh tanaman BC1F1 maupun tetuanyadengan menggunakan metode eksperimen pada lingkungan yang berbeda, yaitu:tanpa perendaman (P0), dan perendaman selama 14 hari(P1). Genotipe-genotipe tersebut di tata dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.Perendaman dilakukan pada saat tanaman berumur 10 hari setelah transplanting hingga ketinggian air ± 10 cm di atas permukaan tanaman. Analisis PCR pada DNA dilakukan terhadap seluruh tanaman BC1F1 maupun tetuanyadengan menggunakan sampel daun yang masih muda. Pengamatan yang dilakukanmeliputi: tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif, jumlah anakan total, jumlah gabah isi per malai (butir), persentase gabah hampa (%), berat gabah bernas 1000 butir (g) berat gabah per rumpun (g) persentase tanaman hidup (%), kandungan klorofil dan karbohidrat diamati pada sebelum dan 10 hari setelah perendaman. Hasil analisis DNA dilihat dari perbedaan pola pita yang digambarkan.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
215
Gusmiatun, dkk./Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB.
HASIL DAN PEMBAHASAN PersilanganGenotipe Lokal dengan Material Genetik Tahan Rendaman (FR13A) Persilangan genotipe lokal dengan FR13A hingga generasi BC1F1 dihasikan: Pegagan-FR13A ( PgnF), Siam-FR13A (SmF), Payak Selimbuk-FR13A (PysF), dan Pelita Rampak-FR13A (PlrF). Uji Ketahanan Rendaman Tanaman BC1F1 Persentase tanaman hidup Persilangan dengan FR13A dapat meningkatkan persentase tanaman yang dapat bertahan hidup pada tanamanBC1F1. PgnF dan PlrF menjadi sangat toleran terhadap perendaman selama14 haridibandingkan tetuanya hingga persentase hidupnya mencapai 100% yang sama dengan tetua tahan pembanding FR13A. Semua genotipe uji berada pada kisaran toleransi moderat hingga sangat toleran (Tabel 1). Tabel 1. Persentase Hidup Tanaman Tetua dan BC1F1 akibat Stres Perendaman Selama 14 hari Genotipe FR13A Pegagan-FR13A (PgnF) Siam-FR13A (SmF) Payak Selimbuk-FR13A (PysF) Pelita Rampak-FR13A (PlrF) Pegagan (Pgn) Siam (Sm) Payak Selimbuk (Pys) Pelita Rampak (Plr)
Tanaman Hidup (%) 100,00 100,00 93,33 93,33 100,00 93,33 80,00 86,67 93,33
Nilai Skor 1 1 5 5 1 5 5 5 5
Kriteria Sangat toleran Sangat toleran Moderat Moderat Sangat toleran Moderat Moderat Moderat Moderat
Keterangan: Skor 1:Sangat toleran (100% tanaman hidup), Skor 3:Toleran (95-99% tanaman hidup), Skor 5:Moderat (75-94% tanaman hidup), Skor 7: Rentan (50-74% tanaman hidup),Skor 9 = Sangat rentan (0 - 49% tanaman hidup).
Kandungan klorofil, karbohidrat, dan tinggi tanaman Perendaman mengakibatkan penurunan kandungan klorofil tanaman, dengan penurunangenerasi BC1F1lebih kecil dibandingkan tetuanya.Penurunan terekecil pada Plrf, yaitu 31,84%, dan terbesar pada Pys, yaitu 48,7%. Demikian halnya dengan kandungan karbohidrat tanaman, generasi BC1F1mengalami penurunanlebih kecil dibandingkan tetuanya. Penurunan kandungan karbohidrat terkecil diantara BC1F1terdapat pada PysF yaitu 24,03%, dan terbesar pada tetua Pys yaitu 33,34%.Hal serupa juga terjadi pada peubah tinggi tanaman, penurunan tinggi tanaman akibat perendaman lebih kecil pada generasi BC1F1 dibandingkan tetua lokal. Persentase penurunan paling kecil pada SmF yaitu 4,72, dan terbesar pada Pgn yaitu 14,51% (Tabel 2). Tabel 2. Persentase Penurunan Kandungan Klorofil,Karbohidrat,dan tinggi tanaman dari Genotipe Tetua maupun BC1F1.
Genotipe Klorofil Karbohidrat Tinggi Tanaman FR13A 34,1222,20 6,69 PgnF 33,4725,43 9,53 SmF 33,6731,034,72 PysF 32,3724,03 7,84 PlrF 31,8424,97 6,61 Pgn 40,0027,28 14,51 Sm 48,6932,33 14,04 Pys 48,7033,34 13,37 Plr 37,7732,88 10,59 Jumlah anakan ( total dan produktif)
216 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Gusmiatun, dkk./Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB.
Perendaman selama 14 hari menurunkan jumlah anakan yang dihasilkan. baik tanaman tetua maupun BC1F1, dengan penurunan yang lebih besar pada BC1F1. Anakan total yang dihasilkan tanaman BC1F1pada kondisi stres perendaman : 9 – 11 anakan, rata-rata dapat menghasilkan malai atau merupakan anakan produktif yaitu 9 –10 anakan. Berbeda dengan tanaman tetua, jumlah anakan totalnya adalah 8 – 11 anakan, yang dapat menghasilkan malaiyaitu 8 – 9 anakan(Gambar 1).
Anakan Total &Produktif
12 10 8 6
Anakan Total Anakan Pruduktif
4 2 0 FR13A PgnF
SmF
PysF
PlrF
Pgn
Sm
Pys
Plr
Gambar 1. Rata-rata Jumlah anakan Total dan Produktif pada Tanaman Tercekam Rendaman.
Gabah isi, gabah hampa, bobot total per rumpun, dan berat 1000 butir Gabah isi yang dihasilkan tanaman tetua dalam kondisi normal lebih banyak bila dibandingkan BC1F1. Cekamanterendam menurunkankemampuan tanaman dalam menghasilkan jumlah gabah isi, dengangenerasiBC1F1 lebih baik dibandingkan dengan tetuanya;Meskipun antar generasi BC1F1 tidak terdapat perbedaanyang nyata, namun PlrF relatif banyak menghasilkan jumlah gabah isi (125 butir/malai)(Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata Jumlah Gabah Isi, Gabah Hampa, Bobot 1000 Butir, dan Gabah Total pada Perbedaan Kondisi Tumbuh
GenotipeGabah Isi Gabah Hampa 1000 butir Gabah Total P0 P1 P0 P1 P0 P1 P0 P1 --------------------------------------- g/malai ---------------------------------------------FR13A 137,00 130,00 10,0013,00 23,00 23,00 33,15 28,70 PgnF 129,00116,00 11,0013,00 24,00 23,00 34,06 26,01 SmF 135,00 121,00 10,00 17,00 24,00 23,00 32,40 25,05 PysF 131,00120,00 10,0014,00 25,00 25,00 36,03 30,00 PlrF 139,00 125,00 11,00 13,00 24,00 24,00 36,69 30,00 Pgn 141,00 97,00 9,00 20,00 25,00 25,00 38,78 19,40 Sm 147,0094,00 10,00 19,00 26,00 25,00 38,22 13,14 Pys 153,0089,00 8,00 20,00 26,00 25,00 43,47 22,28 Plr 151,00103,00 9,0017,00 25,00 24,00 41,53 22,35 BNT 0,05:18,490,3,16 5,62 0,01:24,794,23 7,53 Hal sebaliknnya terjadi pada jumlah gabah hampa, adanya perendaman mengakibatkan jumlahnya mengalami peningkatan, dengan peningkatan yang lebih kecil pada BC1F1dibandingkan tetua. Jumlah gabah hampa pada tetua yang terendam adalah 17 – 20 butir/malai, padaBC1F1adalah 13 – 14 butir/malai (Tabel 3). Gabah total per rumpun yang dihasilkan generasi BC1F1 pada kondisi normal lebih rendah dibandingkan teruanya. Terjadi sebaliknya pada tanaman yang mengalami perendaman, kemampuan generasi BC1F1 lebih baik dibandingkan tetuanya. Pada kondisi normaltetua Pys menghasilkan gabah total palingtinggi yaitu 43,47g,pada tanaman yang mengalami stres perendaman, gabah total paling banyak dihasilkan oleh PysF dan PlrF yaitu 30 g/rumpun. Sedangkan tetuanya menghasilkan 19,40 g – 22, 35g/rumpun (Tabel 3). Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
217
Gusmiatun, dkk./Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB.
Rata-rata bobot 1000 butir yang dihasilkan oleh genotipe tetua tidak berbeda dengan BC1F1, baik pada tanaman yang mengalamai stres perendaman maupun yang tumbuh dalam kondisi normal. Namun demikian, tetua Payak Selimbuk mepunyai bobot 1000 butir yang relatif lebih tinggi pada pertumbuhan normal (26 g), maupun pada kondisi tercekam rendaman (25 g) (Tabel 3). Berat berangkasan Berangkasan kering semua genotipe mengalami penurunan akibatcekaman terendam. Diantara BC1F1,penurunan paling rendah terdapat pada PysF(10,68%) dan paling besar pada tetua Pegagan (37,83%). Sedangkan penurunan berat kering genotipepembanding /FR13A sebesar 10,63% (Gambar 2). Analisis DNA Berdasarkan hasil elektroforesis produk PCR dengan marker mikrosatelit (RM219), menunjukkan adanya perbedaan pola pita DNA dari tetua dengan turunannya. Tetua tahan FR13A (no.1) mempunyai pita pada ukuran 200 bp, tetua lokal Pegagan, Siam, Payak Selimbuk, dan Pelita Rampak berada sedikit dibawah pada ukuran 190 bp, serta turunannya PgnF, SmF, PysF, dan PlrF (no.6, 7, 8, 9) mempunyai pita yang sama dengan tetua tahan, sedangkan Ciherang Sub-1 berada sama dengan tetua tahan. Hal ini menunjukkan bahwa gen Sub1 berhasil diinsert ke dalam genotipe lokal, dan dapat terdeteksi dengan marka RM 219 (Gambar 3). Penurunan Berat Kering (%)
40
37,83
35,21
36,3
33,68
Pgn
Sm
Pys
Plr
30 20
10,63
11,23
12,28
10,68
10,86
FR13A
PgnF
SmF
PysF
PlrF
10 0
Gambar 2.Penurunan Berat Berangkasan Kering Genotipe Tetua dan BC1F1akibat Stres Perendaman Selama 14 Hari. M a r k e r 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
110910110
200 bp 100 bp Keterangan: 1. FR13A, 2. Pegagan, 3. Siam, 4. Payak Selimbuk, 5. Pelita Rampak, 6. PgnF, 7. SmF, 8. PysF, dan 9. PlrF, 10. Ciherang-Sub1 Gambar 3. Hasil Elektroforesis Primer RM 219 Menggunakan Gel Agarose 3% (RM 219berada pada kromosom 9).
218 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Gusmiatun, dkk./Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB.
PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tanaman yang dapat bertahan hidup pada generasi BC1F1cenderung lebih besar, bahkan pada PgnF, PysF, dan PlrF persentase hidupnya mencapai 100%yang tidak berbeda dengan tetua toleran (FR13A). Kemampuan tanaman dapat bertahan hidup dalam kondisi terendam selama 14 karena tanaman dapatmengatasi kekurangan karbondioksida, cahaya, dan oksigen selama terendam, selanjutnya dapat melangsungkan pertumbuhannya setelah periode perendaman berakhir. Hal ini karena adanya mekanisme yang mengatur keadaan yang tidak menguntungkan tersebut yaitu hadirnya gen Sub1.Adanya perendaman mengakibatkan akumulasi etilen yang kemudian menginduksi transkripsigen Sub1A sehingga terjadi akumulasi protein Sub1A. Selanjutnya Sub1A menghambat Expansi A (ExpA) dan sukrosa sintase (Sus3), dengan demikian menekan pertumbuhan. Sub1A juga meningkatkan transkripsi gen yang berkaitan dengan fermentasi sehingga terjadi akumulasi mRNA dan peningkatan aktivitas Pdc(piruvat dekarboksilase) danAdh(alkohol dehydroxygenase). Kondisi fermentasi akan membuat glikolisis dapat berlanjut sehingga menghasilkan ATP untuksurvival.Sub1Amenghambatgen yang berkaitan dengan degradasi sel dan katabolisme karbohidrat. Degradasi pati menghasilkan sumber glukosa yang dibutuhkan untuk glikolisis danpertumbuhan.Sub1C yang mengontrol gen ά-amilase (RAmy3D)dihambat oleh Sub1A. Gibberellins (GA) terlibat dalam regulasi ekspresi Sub1C(Xu et al., 2006). Dengan demikian, kehadiran gen Sub1 memungkinkan tanaman dapat hidup dalam kondisi terendam. TanamanBC1F1 memiliki kandungan klorofil yang relatif lebihtinggi dibandingkan dengan tetuanya. Hal serupa terjadi padahasil penelitian Callaku dan Harrison (2005), bahwa tanaman gandumyang tercekam rendaman memiliki nilai estimasi heritabilitas untuk karakter kandungan klorofil adalah tinggi. Tingginya kandungan klorofil menyebabkan tanaman lebih mampu mengatasi kondisi kekurangan cahaya selama terendam karenakemampuannya menangkap cahaya lebih tinggi sehingga tetap dapat melangsungkan proses fisiologis selama terendam (Lee at al., (2004). Kondisi lingkungan yang terendam mengakibatkan turunnya kandungan klorofil. tanaman, dengan persentase yang lebih kecil padaBC1F1. Rendaman penuh mempercepat degradasi kandungan klorofil pada tanaman padi yang rentan dibandingkan dengan yang toleran(Sarkar et al., 2006). Perendaman mengakibatkanterhambatnya difusi etilen ke tajuk sehingga mendorong klorosis dan perpanjangan daun berlebih pada kultivar yang intoleran (Mohanty et al., 2000). Status klorofil yang relatif lebih tinggi pada tanaman BC1F1, peranannya semakin diperkuat dengan kehadiran gen Sub1 yang memiliki kemampuan untuk menghambat katabolisme karbohidrat selama terendam. Hal ini diindikasikan pada kandungan karbohidrat setelah perendaman relatif lebih tinggi padaBC1F1. Kandungan karbohidrat yang tinggi setelah terendam yang merupakan selisih kadar sebelum terendam dengan yang digunakan selama terendam.Faktor kunci yang menentukan kemampuan tanaman bertahan dalam cekaman rendaman adalah kandungan karbohidrat yang tinggi setelah terendam, karena kebutuhan karbohidrat dapat digunakan untuk tumbuh dan mempertahankan proses fisiologis setelah cekaman rendaman berakhir. Setelah terendam terjadi kerusakan dan kematian daun-daun tua, inisiasi dan pertumbuhan berikutnyamembutuhkan ketersediaan karbohidrat yang relatif lebih tinggi agar dapatlebih cepat mengembangkan daun-daun baru (Setter et al., (1997); Sagala, 2011).Selanjutnya tercermin dari pertumbuhan dan kemampuan berproduksi yang lebih baik dari tanaman BC1F1 dibandingkan tetuanya. Tanaman BC1F1(PlrFdan PysF)lebih toleran perendaman sehingga mampu menghasilkan jumlah gabah isi per malai lebih banyak, persentase gabah hampa lebih kecil, dan bobot total gabah per rumpun lebih besar. Sifat toleran rendaman yang diwarisi dari FR13A menjadikan tanaman BC1F1lebih cepat mengalami pemulihan setelah periode perendaman berakhir. Selanjutnya kemampuan menyediakan asimilat untuk pengisian gahah juga lebih besar. Sebaliknya dengan genotipe tetua lokal, perendaman mengakibatkan kemampuan tanaman lebih rendah untuk beradaptasi dengan kondisi kekurangan CO2 dan radiasi matahari yang rendah, selanjutnya laju fotosintesis berkurang, sehingga lebih lambat melakukan pemulihan, asimilasi karbon untuk pengisian biji juga rendah, akibatnya jumlah gahah isi yang dihasilkan lebih rendah.Tanaman dikatakan toleran jika mampu beradaptasi dalam merespon proses anaerob yang memampukan sel untuk mengatur atau Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
219
Gusmiatun, dkk./Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB.
memelihara keutuhannya sehingga tanaman mampu bertahan dalam kondisi hipoksia tanpa kerusakan yang berarti (Sarkar et al., 2006). Parameter pertumbuhan yang menggambarkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan seluruh kondisi lingkungan untuk pertumbuhanya tercermin dari berat kering tanaman yang dihasilkan. Rendahnya penurunan nilai berat kering yang dihasilkan tanaman BC1F1 akibat stress perendaman mengindikasikan toleransinya terhadap stres yang dialami, sehingga lebih efisiennya dalam memanfaatkan seluruh kondisi yang ada untuk pertumbuhannya. Persentase penurunan berat kering terendahpada BC1F1 adalah PysF(10,67%) dan PlrF (10,86%), yang hampir sama dengan persentase penurunan genotipe toleran pembanding/FR13A (10,63%). Semua parameter pengamatan yang meliputi karakter fisiologi, morfogi, dan pruduksi tanaman BC1F1 yang mengalami perendamanlebih baik dari tetua lokalnya, meskipun toleransinya masih di bawah FR13A. Hal ini lebih meyakinkan bahwa gen Sub1 berhasil terintrogresi ke dalam genotipe lokal (BC1F1) melalui persilangan konvensional yang dilakukan, dan dibuktikan dari hasil analisis DNA menunjukkan adanya kesamaan pola pita DNA dengan tetua donornya/FR13A. Karena tidak semua lokus-lokus pengendali toleransi ikut terintrogresi, menjadikantanamanBC1F1tidak sebaik FR13A. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nandi et al., (1997); Suhartaik (2010), bahwa terdapat sejumlah QTL lain pada varietas FR13A tmengendalikan toleransi tanaman padi terhadap rendaman. Lokus-lokus pengendali toleransi terhadap rendaman belum semuanya terintrogresikan pada galur baru.
KESIMPULAN 1. Introgresi gen Sub1 ke dalam genotipe lokal pada generasi BC1F1(PysF dan PlrF) dapat meningkatkan toleransinya terhadap cekaman terendam, hingga tanaman toleran perendaman selama 14 hari dibandingkan tetuanya. 2. Meningkatnya toleransi genotipe lokal terhadap cekaman terendam selama 14 hari dicerminkan dari meningkatnya persentase tanaman hidup, penurunan berat keringyang lebih rendah (Payak Selimbuk: 36,3%, Payak Selimbuk-Sub1 10,67%),dan penurunan gabah total yang lebih rendah (Payak Selimbuk: 48,75%; Payak Selimbuk-Sub1: 10,72%, Pelita Rampak: 46,42%; Pelita Rampak-Sub1:18,25%). 3. Keberhasilan introgresi gen Sub1 dapat teridentifikasi dengan marka RM 219 dan RM 464A. Saran Tanaman BC1F1 masih memiliki sifat-sifat dari tetua FR13A yang tidak diinginkan ikut terintrogresi, sehingga perlu dilakukan backcross kembali hingga generasi BC3F2. DAFTAR PUSTAKA Collaku, A., and S. A. Harrison. 2005. Heritability of waterlogging tolerance in wheat. Crop Sci. 45:722–727. Das, K.K., Sarkar, R.K., Ismail, A.M., 2005. Elongation ability and non-structural carbohydrate levels in relation to submergence tolerance in rice. Plant Sci. 168, 131–136. Gusmiatun, 2011. Studi Morfologi dan Fisiologi Padi Lokal Rawa Lebak pada Cekaman Terendam Fase Vegetatif. Disertasi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Ito, O.,E. Ella, and N. Kawano. 1999. Physiological and Molecular basis of Submergence in rainfed lowland rice ecosystem. Field Crops Res 64:75-90. Mohanty B, Krishnan SPT, Swarup S, Bajic VB. 2005. Detection and preliminary analysis of motifs in promoters of anaerobically induced genes of different plant species. Annals of Botany 96: 669–681. NandiSP, K. Subudhi, D. Senadhira, N.L. Manigbas, S. Sen-Mand, N. Huang. 1997. Mapping QTLs for submergence tolerance in rice by AFLP analysis dan selective genotyping. Mol dan Gen Genet255: 1–8. Ruskandar Ade, Tita Rustiati, Putu Wardana, 2005. Adopsi varietas Unggul Baru dan Keuntungan Usaha Tani Padi di Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sumatera Selatan.
220 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Gusmiatun, dkk./Peningkatan Ketahanan Rendaman Padi Lokal dengan Menginsert Gen SUB. Sarkar, R.K., J.N. Reddy, S.G. Sharma and A.M. Ismail. 2006. Physiological Basis of Submergence Tolerant in Rice and Implications on Crop Development. Current Science. 91: 899 - 906. Sagala D. 2011. Peningkatan Produksi Padi pada Lahan Sawah Tadah Hujan: Upaya Mengatasi Stres Terendam. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Setter, T.L., I. Waters, B.J. Atwell. T. Kupkanchanakul, and H. Greenway. 1997. Carbohydrate status of terrestrial plants during flooding. In: Crawford, R.M.M. (Ed.), Plant Life in Aquatic and Amphibious Habitats. Special Publication No.5 British Ecological Society. Blackwell Scientific Publications, Oxford, pp. 411-433. Xu,Kenong, and Mackill David J. 1996. A major locus for submergence tolerance mapped on rice chromosome 9. Mol Bree2: 219–224. Xu Kenong., Xia Xu,Takeshi Fukao, Patrick Canlas,,Reycel Maghirang-Rodriguez,, Sigrid Heuer,Abdelbagi M. Ismai,Julia Bailey-Serres,Pamela C. Ronald, and David J. Mackill. 2006. Sub1A is an ethylene-responsefactor-like gene that confers submergence tolerance to rice. Nature 442 : 705-708.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
221
RESPON PERTUMBUHAN LARVA IKAN BETOK (Anabas testudineus) TERHADAP VARIASI PAKAN DALAM AKUARIUM 1) Helmizuryani2) dan Boby Muslimin2) Abstract: Implementation of this research to determine of growth and survival rate of betok larva fish towards feed variations given. The research has doing in the aquaculture laboratory of Muhamamdiyah Palembang University start from April 2013 until mei 2013. This research doing by expertiments using Completely Randomized Design (CDR) with variation feeding, each treatment be repeated three times. The treatment are ; P1 (tubifex feeding), P2 (Artemia feeding) and P3 (Daphnia feeding). The results of highest weight growth were showed P1 (2,14 gr), P2 (0,95 gr) and the lowest was P3 (0,63 gr). The results of higheset length growth were showed P1 (2,29 cm), P2 (1,80 cm) and the lowest was showed P3 (1,70 cm) and the highest of survival rate were showed P1 (91,87%), P2 (90,00%) and the lowest was showed P3 (85,83%). While supporting data of water quality include temperature (29 0C), pH (7), DO (3,60 mg/l) and ammonia (0,32 mg/l) there all within limits of telorance and fit for life betok larva fish. Keywords: Growth, Feeding Variation, Betok Larva Fish. 1) 2)
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang 6-7 November 2013 Dosen Fakultas Pertanian Prodi Budidaya Perairan ([email protected])
PENDAHULUAN
I
kan betok (Anabas testudineus) yang sering disebut dengan ikan papuyu (bahasa Banjar) merupakan ikan air tawar lokal yang tersebar di beberapa perairan umum di pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Ikan ini adalah salah satu jenis ikan penetap (blackfishes) yang umumnya hidup liar di perairan tawar. Permintaan terhadap ikan betok di Sumatera Selatan cukup tinggi, sehingga mengakibatkan harga ikan betok terus meningkat karena ikan betok ini mempunyai nilai ekonomis tinggi, digemari oeh masarakat, dagingnya yang enak dan gurih tetapi belum banyak dibudidayakan. Saat ini populasi ikan betok diduga mengalami penurunan akibat tingginya usaha penangkapan (Mustakim, 2008). Namun untuk memenuhi permintaan terhadap ikan tersebut para nelayan hanya mengandalkan hasil tangkapan dari alam yang bersifat musiman. Melihat adanya berbagai tekanan terhadap populasi ikan betok diatas dikhawatirkan pada masa yang akan datang keberadaan ikan betok di Sumatera Selatan akan terancam. Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini usaha ke arah tersebut telah dilakukan, namun belum berhasil dengan baik. Kekurangan persediaan benih yang bermutu dalam jumlah dan waktu yang tepat disebabkan oleh belum optimalnya penanganan induk dan larva yang dihasilkan. Pada fase larva, tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam sehingga apabila kondisi lingkungan tidak sesuai atau tidak tercukupi maka larva akan mati. Penelitian mengenai biologi ikan betok di alam sudah banyak dilakukan antara lain mengenai jenis parasit yang menempel di tubuh /ektoparasit (Sahoo et al., 2000); keragaman fenotif (Yusuf dan Kartika, 2007); studi karakter morfometrik-meristik (Akbar, 2008); kebiasaan makanan (Mustakim, 2008); studi biologi pertumbuhan (Tampubolon, 2009); keanekaragaman genetic (Slamat, 2009), analisis biologi reproduksi dan domestikasi (Helmizuryani, 2011) namun variasi pakan untuk pertumbuhan larva ikan betok belum dilakukan.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium basah Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang Jurusan Budidaya Perairan dari bulan April sampai bulan Mei 2013. Bahan-bahan yang 222
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Helmizuryani dan Boby Muslimin/Respon Pertumbuhan Lrva Ikan Betok (Anabas testudineus) ...
digunakan pada penelitian ini adalah : larva ikan betok ukuran larva yang berumur 2 minggu sebanyak 400 ekor, dengan kepadatan dalam akuarium 40 ekor/akuarium, kertas label, tissue, hand soap dan pakan berupa cacing Tubifek, Artemia dan Daphnia , sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : akuarium untuk pemeliharaan larva ukuran 30x40x30 cm sebanyak 9 buah, timbangan digital, kertas lakmus, termometer, batu aerasi, selang sipon, ember, serok, mistar dan lap. Ikan dipelihara selama 30 hari. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL), dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan : Perlakuan P1: pemberian pakan cacing tubifek, Perlakuan P2 : pemberian pakan Artemia dan Perlakuan P3: Pemberian pakan Daphnia, Pakan yang diberikan secara adstation (stok pakan selalu tersedia). Frekwensi pemberian pakan dilakukan sebanyak 6 kali sehari yaitu : 6.00, 9.00, 12.00, 15.00, 18.00 dan 21.00 WIB. Proses penyiponan dilakukan setiap dua hari sekali sebelum pemberian pakan gunanya agar kualitas air di akuarium tetap baik. Pengumpulan data yang dilakukan yaitu meliputi Kelangsungan hidup dihitung dengan menggunakan rumus (Effendi, 2004). SR benih =
Jumlah benih yang masih hidup ---------------------------------------Jumlah benih awal
x 100 %
Pertumbuhan meliputi pertambahan herat dihitung dengan menggunakan rumus (Effendi, 2004) : Wm = Wt – Wo, dimana : Wm = Pertambahan berat mutlak ikan uji (gr), Wt = Berat akhir ikan uji (gr) dan Wo = Berat awal ikan uji (gr), pertambahan Panjang dihitung dengan menggunakan rumus (Effendi, 2004) : Lm = Lt – Lo, dimana : Lm = Pertambahan panjang mutlak ikan uji (cm), Lt = Panjang akhir ikan uji (cm) dan Lo = Panjang awal ikan uji (cm). kualitas air sebagai data pendukung dengan mengamati : oksigen, pH, amoniak dan suhu. Hasil pengamatan ditabulasi dalam Tabel RAL dan dianalisa dengan menggunakan analisa F. Bila hasil analisa didapatkan nilai F Hitung < F Tabel (5 % dan 1 %) maka tidak dilakukan uji lanjutan namun bila F Hitung > F Tabel maka dilakukan uji lanjutan berdasarkan KK (koefisien keragaman).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan berat dan panjang larva ikan betok Dari Tabel 1 dan Gambar 1 diatas terlihat Pertumbuhan berat larva ikan betook yang tertinggi ada pada perlakuan P1 sebesar 1,14 gr, diikuti perlakuan P2 sebesar 0,95 gr dan terendah pada perlakuan P3 sebesar 0,63 gr. Dari data yang diperoleh selanjutnya dilakukan perhitungan analisa sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam dari data tersebut terlihat pada Tabel 2 menunjukan bahwa perlakuan pakan yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan berat larva ikan betok, dimana F hitung lebih besar dari F tabel 5% dan 1%. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut yang ditampilkan pada tabel 3., dimana hasil uji BNT 5% dan 1% menunjukkan bahwa perlakuan P1 berbeda tidak nyata dengan P2 tetapi berbeda sangat nyata dengan P3. Dari Tabel 4 dan Gambar 2 terlihat pertambuhan panjang larva ikan betook yang tertinggi ada pada perlakuan P1 sebesar 2,29 cm, diikuti perlakuan P2 sebesar 1,80 cm dan terendah pada perlakuan P3 sebesar 1,70 cm. Dari data yang diperoleh selanjutnya dilakukan perhitungan analisa sidik ragam pada Tabel 5 menunjukan bahwa perlakuan pakan yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan panjang larva ikan betok, dimana F hitung lebih besar dari F tabel 5% dan 1%. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut yang ditampilkan pada tabel 6. dengan hasil uji BNT 5% dan 1% menunjukkan bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata dengan P2 dan P3. Larva ikan betok yang dipelihara dalam akuarium selama 30 hari dengan variasi pakan mengalami pertumbuhan berat dan panjang dan secara statistik juga menunjukan perbedaan yang significant dan secara kasat mata ukuran panjang dan berat ikan berbeda antara awal pemeliharaan dengan akhir pemeliharaan. Perlakuan P1 (pemberian pakan cacing tubifek) memperlihatkan pertumbuhan yang tertinggi dibandingkan perlakuan P2 dan P3. Pemberian perlakuan dengan cacing tubifek menghasilkan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
223
Helmizuryani dan Boby Muslimin/Respon Pertumbuhan Lrva Ikan Betok (Anabas testudineus) ...
pertumbuhan yang optimal. Hal tersebut disebabkan cacing tubifek langsung dapat dimanfaatkan secara efisien oleh larva, selain itu kandungan nutrisi pada masing-masing pakan alami berbeda, seperti cacing tubifek memiiki mempunyai serat kasar yang sangat rendah sehingga dapat dengan mudah dicerna dengan sempurna oleh tubuh larva ikan betok, disamping itu kadar proteinnya cukup tinggi yaitu sebesar 48,56% (Ayinla dan Akandes, 1988), selain memiliki protein yang lebih tinggi, asam-asam amino yang penyusun protein dalam cacing tubifek dapat terserap seluruhnya oleh ikan. Torrans (1983) dalam Subandiyah dkk (2003) menyatakan pakan cacing tubifek mempunyai beberapa keuntungan antara lain : pergerakan relatif lambat sehingga memberikan rangsangan bagi ikan untuk memakannya, ukurannya sesuai dengan bukaan mulut ikan, mempunyai kandungan protein yang tinggi, palatabilitas ikan tinggi dan mudah dicerna. sedangkan rendahnya pertumbuhan dengan pakan artemia disebabkan karena jasad artemia yang baru menetas sangat kecil yaitu antara 0,4 – 0,5 um dan berat 0,002 mg (Bombeo, 1995). Selanjutnya Isnansetyo dan Kurniastuti (1995), menyatakan kandungan protein artemia memang mempunyai keunggulan dibanding pakan alami lainnya tetapi ukuran jasad renik yang terlalu kecil dan tidak sesuai dengan bukaan mulut larva dengan aktifitas yang sama, maka jumlah biomasa jasad pakan yang dimakan rendah, hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi rendah dan ditambah lagi kandungan karbohidrat dan lemak pada cacing tubifek lebih tinggi dibandingkan dengan artemia (lampiran 2). Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Sahwan (2003) yang menyatakan bahwa karbohidrat dan lemak merupakan suplai energi dan energi cadangan yang penting untuk larva setelah protein sehingga ikan dapat beraktifitas dan mencerna makanannya dengan maksimal. Begitu juga dengan pakan daphnia yang merupakan tingkat pertumbuhan terendah, Kandungan protein daphnia sebesar 68,12% (Mokoginta et al, 2003) lebih besar dari kandungan protein cacing tubifek tetapi kandungan asam amino esensial pada daphnia sp hampir mirip dengan artemia. Daphnia merupakan pakan alami yang berukuran lebih kecil dari artemia yaitu 0,2 -0,3 mm, dengan ukurannya yang kecil dan bagian tubuhnya yang tertutup oleh cangkang dari khitin yang transparan sehingga akan sulit bagi larva untuk memakannya. Selain itu rendahnya pertumbuhan dengan variasi pakan diduga karena larva belum beradabtasi terbiasa dengan pakan yang diberikan Sembiring (2011) menyatakan pada stadia larva, larva menggunakan energinya untuk perkembangan organ-organ tubuhnya terlebih dahulu sebelum menggunakan energi tersebut untuk pertumbuhannya sehingga pada semua perlakuan pertumbuhan bobot larva tidak berbeda nyata. Sedangkan Effendi (2004) menyatakan larva masih dalam proses perkembangan menuju bentuk definitif sehingga belum memiliki organ tubuh yang lengkap, bahkan organ yang ada pun masih bersifat primitif sehingga belum berfungsi maksimal. Oleh karena itu, pada saat dilakukan penimbangan larva tidak ditemukan perbedaan bobot yang signifikan antar perlakuan. Sedangkan Fujaya (2004), menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, hormon dan lingkungan. Jadi apabila lingkungan dalam hal ini kualitas airnya rendah, maka ikan yang dipelihara akan mengalami pertumbuhan yang lambat karena kondisi lingkungan yang tidak optimal untuk pertumbuhan larva. Selanjutnya pertumbuhan akan terjadi jika lingkungannya baik dan jumlah makanan yang dimakan melebihi dari pada yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya Kelangsungan hidup larva ikan betok Dari Tabel 7 dan Gambar 3 kelangsungan hidup larva ikan betook yang tertinggi ada pada perlakuan P1 sebesar 91,67%, diikuti perlakuan P2 sebesar 90% dan terendah pada perlakuan P3 sebesar 85,83%. Dari data yang diperoleh selanjutnya dilakukan perhitungan analisa sidik ragam pada Tabel 8 dimana dari hasil analisis keragaman F hitung lebih kecil dari F tabel berarti semua perlakuan berpengaruh tidak nyata, sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Nilai kelangsungan hidup terbaik pada P1 dengan pemberian pakan cacing tubifek, menurut Hendri et al (2011), tingkat kelangsungan hidup larva ikan betok dengan pemberian pakan alami (artemia) larva hanya mencapai 25%, hal ini disebabkan terjadinya kompetensi dalam ruang gerak larva. Kelangsungan hidup larva ikan nila GIFT yang dipelihara dalam baskom plastik sebesar 56% dipengaruhi oleh tingginya tingkat kepadatan (Suriansyah et al, 2006). Berarti kelangsungan hidup larva betok yang dipelihara lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian diatas. 224 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Helmizuryani dan Boby Muslimin/Respon Pertumbuhan Lrva Ikan Betok (Anabas testudineus) ...
Tingginya kelangsungan hidup pada P1 disebabkan cacing tubifek memiliki tekstur tubuh yang disukai oleh larva dan menumpuk didasar perairan sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh larva. Mantau et al (2004) menyatakan pakan harus tersedia dalam jumlah yang cukup, sesuai dengan bukaan mulut larva, kandungan nutrisi yang dapat dicerna dan dimanfaatkan larva serta tersedia secara kontinyu. Keadaan ini juga didukung oleh Asmawi (1984) yang menyatakan bahwa pemberian pakan yang tepat bukan hanya dapat menambah energi tetapi yang lebih penting dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan. Rendahnya kelangsungan hidup pada P2 dan P3 adalah karena tekstur tubuh artemia dan daphnia yang mempunyai cangkang yang sulit dicerna oleh alat pencernaan larva sedangkan alat pencernaan larva belum sempurna sehingga bertambahnya energi ysng dibutuhkan untuk proses pencernaan yang berakibat metabolisme ikan tidak optimal, daya tahan larva berkurang dan terjadi kematian. Kualitas air Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian pada dasarnya masih dalam batas toleransi untuk hidup larva ikan betok. Dari hasil pengukuran air selama penelitian suhu air berkisar antara 27 – 29 0c, suhu ini sangat baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok. sedangkan suhu optimal untuk pertumbuhan ikan betok berkisar antara 25-330C (Kordi, 2000). Berdasarkan hasil pengukuran suhu selama penelitian masih dalam taraf normal dan dikatakan baik untuk pertumbuhan larva ikan betok. Hasil pengukuran pH air selama penelitian berkisar antara 7,1-7,8. Ghufron dan Kordi (2007) menyatakan bahwa pH air yang baik untuk budidaya ikan betok berkisar antara 6,5 – 9,0, berarti pH yang dapat masih layak bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok. Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antata 3,33-3,53 mg/l. Menurut Ghufron dan Kordi (2007) kadar oksigen yang cocok untuk pertumbuhan ikan betok adalah 3-4 ppm, ini berarti pengukuran oksigen selama penelitian masih mendukung untuk pertumbuhan ikan betok. Kandungan amoniak selama penelitian berkisar antara 0,028-0,046 mg/l . Lesmana (2001) menyatakan bahwa kadar amonia (NH3) terukur yang dapat membuat ikan mati adalah > 1 mg/l. Berarti kandungan amoniak selama penelitian aman untuk kehidupan larva yang dipelihara.
SIMPULAN Dari hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan cacing tubifek unjukkan menmemberikan pertumbuhan yang terbaik dimana pertambahan berat sebesar 1,14 gr, panjang sebesar 2,29 cm dan kelangsungan hidup sebesar 91,67%. TABEL DAN GAMBAR Tabel 1. Rata-rata pertambahan berat (gram) larva ikan betok selama penelitian
Perlakuan P1 P2 P3
Ulangan TP Rata-rata (gram) 1 2 3 1,02 1,2 1,19 3,41 1,14 0.96 0.99 0,9 2.85 0.95 0.56 0.57 0.75 1,88 0.63 8,14 0,90
Sumber : Pengolahan data primer
Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam pertambahan berat larva ikan betok
SK
DB
Pakan Galat Total
2 6 8
JK
KT
Fhit
0.4 0.20 24.00** 0.05 0.01 0.45
F Tabel 5% 1% 5.14 10.92
Kk : 11,11% ** : Berpengaruh sangat nyata
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
225
Helmizuryani dan Boby Muslimin/Respon Pertumbuhan Lrva Ikan Betok (Anabas testudineus) ... Tabel 3. Uji lanjut Beda nyata terkecil (BNT) berat larva ikan betok
P1 P2 P3
1,14 0,95 0,63
BNT 0,05 BNT 0,01
0,2 0,3
b b a
B B A
Tabel 4. Rata-rata pertambahan panjag (cm) larva ikan betok selama penelitia
Perlakuan P1 P2 P3 Total
Ulangan 2 3 2,33 2,31 1,94 1,78 1,56 1,88
1 2,23 1,69 1,66
TP
Rata-rata (cm)
6,87 5,41 5,10 17,38
Sumber : Pengolahan data primer
2,29 1,80 1,70 1,93
Tabel 5. Hasil analisis sidik ragam pertambahan panjang larva ikan
SK
DB
Pakan Galat Total
2 6 8
KK
7,32%
JK
KT
Fhit 0.6 0.3 20,00** 0,09 0.02 0,69
F Tabel 5% 1% 5.14 10.92
** : Berpengaruh sangat nyata Tabel 6. Uji lanjut Beda nyata terkecil (BNT) larva ikan betok
P1 P2 P3
2,29 1,80 1,70
BNT 0,05 BNT 0,01
b a a
B A A
0,29 0,44
Tabel 7. Data kelangsungan hidup (%) larva ikan betok selama penelitian
Perlakuan P1 P2 P3
Ulangan 1 2 100 80 85 90 90 77.5
TP Rata-rata 3 95 275 91.67 95 270 90.00 90 257.5 85.83 802.5 89.17
Sumber : Pengolahan data primer
Tabel 8. Hasil analisis sidik ragam kelangsungan hidup larva ikan betok
SK
DB
Pakan Galat Total
2 6 8
JK
KT
Fhit
54.17 27.085 0.44tn 370.83 61.805 425
F Tabel 5% 1% 5.14 10.92
226 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Helmizuryani dan Boby Muslimin/Respon Pertumbuhan Lrva Ikan Betok (Anabas testudineus) ...
KK
8.82%
tn : Tidak berpengaruh nyata Tabel 9. Data pengamatan kualitas air larva ikan betok selama penelitian
Perlakuan P1 P2 P3
pH Suhu (oC) O2 (mg/l) Amoniak (mg/l) 7,3 29,0 3,53 0,028 7,3 27,7 3,33 0,046 7,8 29,3 3,38 0,039
Berat
Sumber pengolahan data primer 1,14
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
0,95 0,63
1
2 perlakuan
3
Gambar 1. Grafik rata-rata pertambahan berat larva ikan betok selama penelitian 2,5
2,29
Panjang
2
1,80
1,70
P2
P3
1,5 1 0,5 0 P1
perlakuan Gambar 2. Grafik rata-rata pertambahan panjang larva ikan betok selama penelitian 94 92 SR
90 88 86 84 82 P1
P2
P3
perlakuan Gambar 3. Grafik rata-rata kelangsungan hidup larva ikan betok selama penelitian
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
227
Helmizuryani dan Boby Muslimin/Respon Pertumbuhan Lrva Ikan Betok (Anabas testudineus) ...
DAFTAR PUSTAKA Akbar, H. 2008. Studi Karakter Morfometrik-Meristik Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) di DAS Mahakam Tengah Propinsi Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan). Asmawi, S. 1984. Pemeliharaan ikan dalam keramba. Gramedia. Jakarta. Ayinla, O.A and G. R. Akande. 1988. Growth Responses of Clarias gariepinus (Burchell 1822) on silage-based diets. Nig inst.Oceanogr and mar. Res. Tech. Paper 37:19 Effendi. 2004. Pengantar Akuakultur. Penerbit swadaya. Jakarta. Fujaya. 2004. Fisiologi Ikan. Rineke Cipta, Jakarta Gufron, M dan Kordi, K. 2002. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta Haloho, L.M. 2008. Kebiasaan Makanan Ikan Betok (Anabas testudineus) di Daerah Rawa Banjiran Sungai Mahakam, Kec. Kota Bangun, Kab. Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan). Helmizuryani. 2011. Analisis Biologi Reproduksi dan Upaya Domestikasi Ikan Betok (Anabas testudineus) dari Perairan Alami, Jurnal Kopertis Hendri B, Suriansyah, MT Kamil, 2011. Pemberian Pakan Alami (Artemia) Berbeda Terhadap Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Larva Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch). Anterior Jurnal Universitas Muhammadiyah Palangka Raya Edisi Khusus (45–51). Isnansetyo dan Kurniastuty. 1995 Tekhnik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton.Kanisius, Yogyakarta. Hal 67 – 71. Mantau, Z., J. B. M. Kawung dan Sudarty. 2004. Pemeliharaan Ikan Mas yang Efektif dan Efisien. Jurnal Litbang Pertanian. Manado. Mokoginta,. Jusadi,D dan Pelawi, T.L. (2003). Pengaruh Pemberian Daphnia sp. yang Diperkaya dengan Sumber Lemak Berbeda Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan Nila (oreochromis niloticus). Jurnal Akuakultur Indonesia, 2(1):7-11 (2003). Sahoo, P.K., P. Swain, S.K. Sahoo, S.C. Mukherjee and A.K. Sahu. 2000. Pathology Caused by the Bacterium Edwardseilla tarda in Anabas testudineus (Bloch). Asian Fisheries Science 13 : 357-362. Sembiring, V. P. A. 2011. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok (Anabas testudineus) Pada pH 4, 5, 6 dan 7. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Slamat. 2009. Keanekaragaman Genetik Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) pada Tiga Ekosistem Perairan Rawa di Propinsi Kalimantan Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan). Subandiyah. S,. Satyani. D dan Aliyah. 2003. Pengaruh Substitusi Pakan Alami (Tubifek) dan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Tilan Lurik Merah (Mastacembelus erytrotaenia Bleeker, 1850. Jurnal Iktiologi Indonesia, Volume 3, Nomor 2, Desember 2003. Suriansyah, Oman.A dan Zairin, JR. M. 2006. Studi Pematangan Gonad Ikan Betok (Anabs testudineus) dengan Rangsangan Hormon. Jurnal of Tropical Fisheries (2009). 4 (1). Yustina. 2001. Keaaneragaman Jenis Ikan di Sepanjang Perairan Sungai Rangau, Riau Sumatra. Jurnal Natur Indonesia 4 : 1-14.
228 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
POTENSI PENGUNAAN LAHAN PEKARANGAN MASYARAKAT TRANSMIGRASI DAERAH PASANG SURUT UNTUK BUDIDAYA PERIKANAN (The Potential Use of Transmigration Community’s Yard in Tidal Area for Aquacultere)1) Mirna Fitrani2) Abstract: Land use planning in relation to the improvement of food security is very important to be studied. Telang Karya is one of the transmigration villages located in Banyuasin regency, South Sumatra. Trans community in the village of Telang Karya generally have enough land that only used as paddy fields, home and yard . The influence of tidal wetland and stream causes the yard often flooded, so the yard digging to hoard foundations. Pits are rectangular -shaped pond that can be used to cultivate fish. Based on a review of the data range of physics and chemistry, among others excavated pond water temperature of 21-41 ° C, the brightness of 0-45 cm, DO and pH 5-6 0.61 to 3.6 indicates that the water quality of the pond excavation it still can support the survival and growth of aquatic biota, particularly fish. Judging from the color of the water is brown to green also indicates the water level of fertility, thus it is expected that dug pond water is able to provide natural food for the fish to be cultivated. From the results of studies in the field of analysis also showed that poor water quality for aquaculture in some of dug ponds, so need some effort before being used for aquaculture media . Keywords : dug ponds, tidal area, aquaculture 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN
T
elang Karya merupakan salah satu desa transmigrasi yang berlokasi di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan yang termasuk ke dalam 11 desa eks UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) Delta Telang I (Ngudiantoro, 2009). Masyarakat di desa tersebut menggantungkan kehidupannya terutama pada sektor pertanian dan belum banyak yang merambah ke sektor lain seperti perikanan. Hal tersebut disebabkan kurangnya wawasan masyarakat terhadap informasi teknologi di bidang perikanan khususnya perikanan budidaya, sehingga minat masyarakat dalam usaha perikanan saat ini masih rendah, padahal potensi lahan, air dan sumberdaya manusia yang tersedia dapat dijadikan sebagai peluang usaha yang cukup potensial dan menjanjikan. Menurut Husni (2006), budidaya ikan adalah suatu usaha pemeliharaan ikan sejak dilepaskannya ikan ke kolam (pendederan) hingga ikan tersebut mencapai ukuran konsumsi dan layak dipasarkan. Budidaya ikan diharapkan dapat menjadi alternative bagi masyarakat untuk menambah penghasilan serta tentunya pemenuhan gizi masyarakat itu sendiri terkait upaya peningkatan ketahanan pangan.
Masyarakat transmigran di Desa Telang Karya umumnya memiliki lahan yang cukup luas yang baru dimanfaatkan sebagai lahan sawah, rumah dan pekarangan. Adanya pengaruh pasang surut air sungai menyebabkan lahan sawah dan pekarangan masyarakat sering tergenang. Menurut Mudjiadi (2006) dalam Harsono (2008), lahan pasang surut merupakan lahan dengan kemiringan yang relative datar dan disertai adanya genangan air yang terbentuk secara alamiah ataupun musiman. Sebelum dibangun saluran pedesaan yang mengatur masuk dan keluarnya air ke lahan pertanian, masyarakat desa melakukan penimbunan di pekarangannya agar rumah mereka dapat aman dari banjir. Penimbunan dilakukan dengan memanfaatkan tanah yang digali di lahan pekarangan rumah. Akibatnya hampir disetiap pekarangan penduduk terdapat sedikitnya 2-3 unit kolam galian dengan ukuran yang cukup luas. Kolam-kolam galian tersebut akhirnya menjadi tampungan air hujan dan dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk mencuci dan mandi, sebagian lagi memanfaatkannya untuk memelihara ikan. Saat ini sudah banyak penduduk yang membuat sumur dan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
229
Mirna/Potensi Penggunaan Lahan Pekarangan Masyarakat Transmigrasi Daerah Pasang Surut ...
tandon tersendiri untuk menampung air yang akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga kolam-kolam galian tadi akhirnya tidak banyak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat. Kolam-kolam galian yang terdapat di pekarangan rumah penduduk merupakan kolam yang dapat dimanfaatkan untuk memelihara ikan jika berada dalam kondisi yang ideal atau sesuai untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan yang dipelihara, sebagaimana dijelaskan Suyanto (2005) bahwa budidaya ikan seperti nila (Oreochromis niloticus) biasanya menggunakan berbagai macam wadah atau media, diantaranya adalah kolam, tambak, keramba dan jaring apung sebagai media pemeliharaannya. Menurut Husni (2006), wadah dalam budidaya ikan adalah tempat menampung air yang digunakan untuk kegiatan pemeliharaan ikan. Kondisi media yang layak untuk budidaya ikan akan tercermin pada kualitas air kolam dan lahan yang digunakan sebagai media pemeliharaannya. Pengkajian secara detail mengenai kondisi kualitas air kolam sangat diperlukan untuk menganalisis potensinya untuk menunjang usaha budidaya ikan. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan penentuan teknik budidaya serta jenis ikan apa saja yang dapat dikembangkan, selain itu upaya pemanfaatan kolam galian diharapkan dapat menjadi salah satu upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan.
BAHAN DAN METODE Data yang dikumpulkan meliputi data fisika dan kimia air kolam galian yang diambil pada setiap kolam yang terdapat di pekarangan rumah masyarakat Desa Telang Karya yang berlokasi di P8-12 S Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dengan lokasi seperti pada gambar 1. Data diambil dengan menggunakan beberapa alat ukur kualitas air, antara lain; kertas lakmus untuk mengukur pH, Disolved Oxigen meter untuk kandungan oksigen, thermometer untuk mengukur suhu, serta Secchi disk untuk mengukur kecerahan air dan alat lainnya yang menunjang penelitian, seperti meteran, botol sampel dan kantong plastik. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif berdasarkan literatur dan standar baku mutu air untuk menunjang kebutuhan budidaya perikanan yang sesuai juga dengan persyaratan SNI (Standar Nasional Indonesia).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Banyuasin merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2002. Kabupaten tersebut mempunyai lahan seluas 11.832,99 km2 dengan Ibukota Pangkalan Balai. Banyuasin terdiri atas 18 kecamatan antara lain, Banyuasin II, Pulau Rimau, Tungkal Ilir, Betung, Rantau Bayur, Banyuasin III, Talang Kelapa, Tanjung Lago, Muara Telang, Makarti Jaya, Muara Padang, Muara Sugihan, Air Saleh, Banyuasin I dan Rambutan. Luas wilayah Desa Telang Karya adalah 2.670 Ha dengan penggunaan lahan antara lain pemukiman seluas 130 Ha (4,9%), sawah pasang surut 1.282 Ha (48%), rawa seluas 1.024 Ha (38,3%) dan untuk penggunaan lainnya seluas 234 Ha (8,8%) (Badan Pusat Statistik, 2012). Sebagain besar wilayah kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai Musi dan Sungai Banyuasin. Wilayahnya berupa lahan basah yang dipengaruhi pasang surut, sehingga sebagian besar lahan tersebut dimanfaaatkan untuk pertanian lahan basah khususnya persawahan (Pusat Data-Informasi Daerah Rawa dan Pesisir, 2008). Desa Telang Karya adalah desa yang berada di Kecamatan Muara Telang dengan ibukota kecamatan berada di jalur 8 Jembatan 2 Desa Telang Jaya, Delta Telang I dengan membawahi 18 desa yang tersebar di jalur 3, 5, 6, 8 dan 10. Desa tersebut merupakan lokasi pemukiman transmigrasi yang berbasis pertanian tanaman pangan pasang surut. Pada lokasi kajian (Gambar 1) diperoleh informasi bahwa, pada awalnya masing-masing keluarga di Desa Telang Karya menempati lahan seluas ±2 Ha. Namun pada perkembangannya saat ini sudah banyak perubahan kepemilikan. Hal tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain karena lahan tersebut dijual atau diwariskan. Bahkan juga disebabkan adanya sengketa waris yang menimbulkan perpecahan kepala keluarga sehingga berubah pula kepemilikan lahan tersebut. Saat ini lahan pekarangan di Desa Telang Karya tidak hanya dimanfaatkan untuk bangunan rumah tinggal namun
230 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Mirna/Potensi Penggunaan Lahan Pekarangan Masyarakat Transmigrasi Daerah Pasang Surut ...
juga dimanfaatkan antara lain sebagai halaman pekarangan kandang ternak, lahan tanaman serta kolam galian yang berfungsi sebagai tampungan air hujan.
Gambar 1. Denah lokasi kajian
Penduduk Desa Telang Karya sebagian besar adalah transmigran yang bekerja di sektor pertanian khususnya tanaman pangan. Tanaman pangan yang diusahakan meliputi padi pasang surut, palawija sayuran dan buahan termasuk tanaman kelapa. Selain tanaman pangan dan peternakan, terdapat beberapa petani yang juga pernah dan masih melakukan kegiatan di bidang perikanan, yaitu memelihara ikan dengan memanfaatkan kolam tampungan yang terdapat di pekarangan rumahnya. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, masyarakat di Desa Telang Karya pada awalnya memanfaatkan tanah di pekarangan rumahnya untuk menimbun pondasi bangunan rumah yang dirasa belum cukup tinggi untuk menghindari banjir ketika air pasang terjadi. Tanah timbunan yang diambil membentuk suatu tampungan atau lebih dikenal sebagai kolam galian. Kolam galian tersebut berisi air dan bahkan sering kali didapati jenis ikan liar seperti gabus yang hidup di dalamnya. Setelah dilakukan pemetaan lokasi pekarangan warga, diperoleh data berupa kondisi fisik dan jumlah kolam serta kondisi kualitas dan kuantitas air yang berpotensi untuk digunakan sebagai media pemeliharaan ikan atau budidaya perikanan, antara lain sebagai berikut : a. Kondisi Fisik Masing-masing pekarangan warga yang berada di lokasi TC 1 - TC 7 umumnya memiliki Kolam galian. Kolam galian tersebut ada yang dimanfaatkan sebagai sumber air yang digunakan untuk mandi, mencuci atau sebagai sumber air yang akan disimpan di tandon penyimpanan air bersih. Akan tetapi beberapa kolam galian lainnya tidak dimanfaatkan oleh warga dan hanya dibiarkan begitu saja sehingga kolam tersebut ditumbuhi tanaman semak. Kolam galian yang terdapat di pekarangan rumah umumnya cukup terlindung dari sinar matahari langsung, karena di sekitar kolam, masyarakat banyak menanam pohon kelapa dan tanaman lain yang membuat rindang. Pada kolam-kolam tersebut juga bayak dijumpai tumbuhan air seperti hydrilla dan mata lele yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami untuk ikan. Dari segi tata letak dan konstruksi kolam, kolam-kolam galian tersebut umumnya berada di tempat yang berdekatan satu sama lain dan berada tidak jauh dari rumah pemiliknya. Hal tersebut memungkinkan pemilik untuk lebih mudah mengontrol kolam jika pemeliharaan ikan dilakukan. b. Jumlah dan ukuran luas kolam galian Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
231
Mirna/Potensi Penggunaan Lahan Pekarangan Masyarakat Transmigrasi Daerah Pasang Surut ...
Lokasi kajian berada pada P8-12S, yaitu pada TC1-TC10, sedangkan TC11-TC17 dinilai sudah tidak memenuhi persyaratan untuk dimanfaatkan lahannya sebagai media pemeliharaan ikan dengan sistem kolam. Pada lokasi tersebut dijumpai kondisi fisik dengan kualitas air berupa pH dan kandungan oksigen yang rendah. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, masing-masing pekarangan rumah warga Desa Telang Karya memanfaatkan tanahnya untuk menimbun rumah, sehingga keberadaan kolam galian pada masing-masing pekarangan dipastikan terdapat minimal 1 unit dengan luas yang beragam, mulai dari 30m2 hingga lebih dari 1000m2, namun kolam-kolam tersebut belum memiliki konstruksi yang sesuai untuk persyaratan kolam yang baik untuk pemeliharaan ikan, seperti belum adanya saluran dan pematang yang dapat melindungi kolam tersebut ketika banjir atau pasang. Masing-masing kolam tersebut membutuhkan kajian lebih lanjut untuk konstruksi kolam dan tata airnya. c. Kuantitas dan kualitas air kolam galian Menurut Arie (2003) dalam Sardi (2008), faktor utama yang mutlak dipertimbangkan dalam usaha budidaya perikanan adalah kualitas air media hidup ikan. Jika faktor lain dalam kondisi yang uptimum dan kualitas air media baik, maka hasilnya akan sesuai harapan, begitupun sebaliknya. Pada masing-masing lokasi kolam, diperoleh informasi bahwa, kolam umumnya selalu tergenangi oleh air, baik air yang berasal dari hujan maupun pengaruh pasang surut air sungai dengan kedalaman berkisar antara 25-160 cm. Diketahui juga bahwa pada bulan Mei hingga bulan Agustus disaat musim kemarau kondisi air akan asin, sedangkan akhir bulan Oktober hingga bulan Mei merupakan musim hujan dimana air akan kembali pada kondisi normal. Beberapa data parameter kualitas air yang diperoleh selama penelitian tersaji pada tabel 1 berikut : Tabel 1. Data kisaran kualitas air di masing-masing kolam galian di Desa Telang Karya selama penelitian
Parameter kualitas air Suhu (0C) Kecerahan (cm) Warna pH DO (ppm) Salinitas (ppt)
Nilai Kisaran 28-41 0-45 Kecokelatan-kehijauan 5-6 0.61-3.6 0
Nilai kisaran kualitas air yang diperoleh pada setiap kolam galian di masing-masing lokasi cukup bervariasi, Kisaran suhu air 28-41oC yang terdapat pada kolam galian sudah dapat dikatan optimal, suhu yang tinggi (41oC) dikarenakan pada lokasi kolam diperoleh data kedalaman yang rendah, sehingga memungkinkan air mendapat masukan sinar matahari langsung. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan memberikan peneduh berupa penanaman pohon di sisi kolam, menambahkan daun-daun seperti daun kelapa dan teratai untuk melindungi air kolam dari pengaruh sinar matahari yang berlebihan. Dapat juga dilakukan penggalian kolam kembali agar diperoleh kedalaman yang ideal untuk pemeliharaan ikan. Namun secara umum, suhu yang terukur masih berada dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh ikan khususnya ikan air tawar, seperti Gabus, Patin,Lele dan Nila. Menurut Brotowidjoyo et al, 1995 dalam Leonidas, 2006, ikan merupakan hewan poikiloterm, yang suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan. Suhu lingkungan akan mempengaruhi fisiologis dan metabolisme dalam tubuh ikan. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan air (turbidity) air. Kekeruhan air akan sanagat mempengaruhi pertumbuhan biota budidaya. Kekeruhan bersumber dari zat-zat tersuspensi seperti lumpur, senyawa organik dan anorganik, plankton serta organisme mikroskopik lainnya (Kordi dan Tancung, 2007). Sedangkan kecerahan menurut Effendi (2003) dipengaruhi oleh cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi dan ketelitian penelitian. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kekeruhan dan kecerahan pada kolam galian berada dalam kisaran yang sudah cukup baik. Kisaran nilai tersebut juga tampak secara fisik dari warna air kolam galian yang kecokelatan hingga hijau. Warna tersebut
232 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Mirna/Potensi Penggunaan Lahan Pekarangan Masyarakat Transmigrasi Daerah Pasang Surut ...
mengindikasikan keberadaan bahan-bahan organik dan anorganik tersuspensi serta adanya mikroorganisme seperti mikroalga yang merupakan pakan alami bagi biota air khususnya ikan. Menurut Khairuman dan Susenda (2002), ikan air tawar seperti patin mempunyai toleransi yang panjang terhadap pH, yaitu antara 5,0-9,0. Berdasarkan SNI 7550:2009, standar kualitas air untuk ikan nila pada kelas pembesaran adalah 6,5-8,5. Menurut Mahyudin (2008), pH yang baik untuk ikan lele adalah 6-9. Nilai pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mematikan ikan. pH air kolam galian berada dalam kisaran yang mendekati netral secara umum masih dapat mendukung untuk budidaya ikan-ikan air tawar, walaupun dibeberapa kolam diketahui mempunyai pH yang asam. Kolam tersebut diantaranya yang berlokasi di TC 6-7 dan 10. Pada kolam tersebut dijumpai pH air 2-3 dengan kisaran pirit yang cukup tinggi. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh endapan yang berasal dari sedimen yang terbawa oleh arus sungai dari hulu yang mengendap. Endapan yang lamakelamaan semakin tebal memungkinkan tumbuhkan rumput dan pohon-pohon yang merupakan vegetasi pantai. Sisa-sisa vegetasi yang mati dan membusuk lama kelamaan akan membentuk gambut yang menyebabkan warna air menjadi kecokelatan, mengurangi kadar oksigen dan menyebabkan pH air menjadi turun (Departemen PU, 1995 dalam Ngudiantoro, 2009). Pada kondisi air tersebut, hanya ikan jenis tertentu saja yang dapat dipelihara, karena tidak semua jenis ikan mampu mentolerir kondisi air yang diberada di bawah kisaran toleransinya. Masing-masing kolam pada saat penelitian masih dalam kondisi yang tawar dengan nilai salinitas 0. Namun menurut Rosalina (2008), nilai salinitas untuk daerah muara sungai berkisar antara 1015‰. Nilai salinitas tersebut dimungkinkan untuk daerah-daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut. Ikan-ikan air tawar secara umum mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda. Ikan nilai misalnya, mampu mentolerir nilai salinitas sampai lebih dari 15‰. Berdasarkan hal tersebut, dalam budidaya ikan penting juga untuk menjadi pertimbangan jenis biota apa yang dapat direkomendasikan untuk dipelihara pada kolam-kolam yang dipengaruhi pasang surut. Beberapa warga Desa Telang Karya sudah pernah melakukan kegiatan budidaya ikan dengan menggunakan kolam galian yang terdapat di pekaranganya. Ada yang masih melakukan, namun ada juga yang berhenti dikarenakan beberapa alasan. Sebagian warga masih belum berminat melakukan usaha budidaya ikan karena belum mengetahui teknik pemeliharaan yang tepat dan belum memiliki modal usaha. Namun tidak sedikit juga warga yang sangat berminat dan antusias untuk mencoba melakukan usaha tersebut. Warga yang berminat sangat berharap mendapatkan pendampingan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan dalam keterampilan memelihara ikan dan menjadikan usaha tersebut sebagai usaha sampingan selain dari hasil sawah. Mereka juga berharap mendapat dukungan dan bantuan dari pemerintah terkait, karena usaha budidaya merupakan usaha yang cukup potensial untuk dikembangkan di desa mereka. Salah satu warga yang masih melakukan usaha budidaya ikan ketika diwawancari mengatakan, bahwa usahanya sudah berlangsung cukup lama. Jenis ikan yang dipelihara adalah patin. Pemeliharaan masih dilakukan secara tradisional dengan mengandalkan tanaman air sebagai pakan utama untuk ikan yang dipelihara. Pemasaran hasil juga masih sebatas dijual kepada masyarakat disekitar desa. Begitu pula dengan warga lain yang juga melakukan usaha yang sama. Pemeliharaan ikan dilakukan dengan sekaligus memelihara ayam (mina ayam). Kendala yang dihadapi adalah sulitnya mendapatkan benih. Selama ini benih didapatkan dari Palembang dengan biaya yang cukup tinggi tidak hanya dari harga benih namun juga biaya transportasi untuk mengangkutnya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Data-data kualitas air yang disajikan, masih kurang mendukung analisa secara komprehensif. Namun dari hasil kajian secara umum dapat diperoleh kesimpulan antara lain, bahwa kolam galian yang selama ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat umumnya memiliki kondisi yang cukup menunjang untuk pemeliharaan ikan. Sehingga kolam-kolam tersebut sayang sekali apabila tidak dimafaatkan dengan optimal. Budidaya perikanan saat ini mungkin belum banyak menarik minat masyarakat Desa Telang Karya, hal tersebut dimungkinkan karena masyarakat belum banyak memahami peluang ekonominya. Sampai saat ini belum pernah dilakukan pendampingan dalam bidang perikanan, Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
233
Mirna/Potensi Penggunaan Lahan Pekarangan Masyarakat Transmigrasi Daerah Pasang Surut ...
sehingga perlu sekali dukungan dari akademisi, maupun pemerintah terkait untuk memanfaatkan peluang tersebut. Berdasarkan data-data yang diperoleh, pemeliharaan ikan berupa pembesaran ikan-ikan air tawar seperti patin, lele, nila dan gabus dapat dikembangkan sebagai komoditi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Telang Karya, dengan catatan konstruksi dan tata letak kolam diperbaiki lagi sehingga dapat menunjang kegiatan budidaya ikan-ikan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Harsono, E. 2008. Hubungan sistem aliran air pada jaringan tata air dalam mendukung produktivitas lahan daerah rawa pasang surut. JSDA. 4(2): 125-138 Husni, E. 2006. Pengembangan Usaha Pembesaran Ikan di Lahan Pekarangan dengan Pemanfaatan Aliran Air Irigasi. Mangrove dan Pesisir. 6 (3): 52-59. Khairuman dan Sudenda. 2002. Budiidaya Patin Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Tangerang. Kordi K, M.G.H dan A.B Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. Mahyuddin, K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. Ngudiantoro. 2009. Kajian Pendugaan Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut; Kasus di Sumatera Selatan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rosalina D. 2008, Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Optimalisasi Sumberdaya Ikan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sardi, M. A. 2008. Kualitas Air Media Pemeliharaan Ikan Nila (Orheochromis niloticus) di Keramba yang diberi pakan berformulasi rumput gajah dan rumput kumpai dengan campuran probiotik. Skripsi. Universitas Sriwijaya. (tidak dipublikasikan). SNI 755.2009. Produksi Ikan Nila (Orheochromis niloticus) kelas pembesaran di kolam air Tenang. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta. Suyanto, R.S. 2005. Nila. Jakarta. Penebar Swadaya. Pusat Data-Informasi Rawa dan Pesisir. (2008). Integrated Lowland Development and Management Planing (DD-ILM). Palembang.
234 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
ANALISIS BERBAGAI PERANGKAT PENGENDALIAN MUKA AIR DAN KAJIAN INOVASI TEKNOLOGI PIPA BERLUBANG DALAM UPAYA PENGURANGAN BANJIR DI KOTA PALEMBANG1) Momon Sodik Imanudin, Masreah Bernas, dan NP. Sri Ratmini2) Abstrak: Kota Palembang sejak dulu terkenal dengan kota rawa dimana pada awalnya luas lahan rawa adalah sebesar 54% dari total Palembang seluas 400,62 km2. Penelitian pada tahun 1999 luas lahan rawa tinggal 30,35% dan pada tahun 2007 tinggal 15,30 %. Pelandaian penuruan terjadi pada tiga tahun terakhir yang hanya sekirat 0,52%. Analisis menunjukan prediksi lahan rawa sampai tahun 2013 adalah tinggal 14,43% dari total luas lahan rawa awal yaitu setara dengan 369.395.677,20 m2. Oleh karena itu potensi air limpasan meningkat. Bila curah hujan maksimum harian adalah 90mm/hari, maka total volume air buangan adalah sebesar 29,921,049.85 m3. Dari jumlah air berlebih ini di simpan kolam retensi sebanyak 409,493.36 m3. Hasil kajian menunjukan bahwa ada potensi pengendalian air dari pipa berlubang. Perhitungan pipa berlubang dengan diameter 10 cm dan kedalaman 150 cm, menunjukan volume air tertampung 0,01 m 3. Pipa di pasang 20 buah setiap 200 m2 pada ruang terbukan hijau (10% dari total lahan kering) dan di pasang di bahu jalan setiap 5m sepanjang 747.922 km2, sehingga total tampungan air dari pipa adalah sebesar 1.765.705,94 m3. Analisis menunjukan kontribusi pengendalian air relatif cukup baik yaitu sebesar 5,90% dari potensia air tergenang. Kondisi ini masih mungkin bertambah bila jumlah lubang berpori dinaikan dua kali lebih banyak dari perhitungan awal. Oleh karena itu kehadiran teknologi pipa berlubang bawah tanah dapat membantu beban tampung air dari saluran terbuka dan kolam retansi yang saat ini dirasa masih kurang karena keterbatasan dana. Kata Kunci: Palembang, Pipa berlubang, Pengendalian muka air. 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN
S
ecara geografis pada awalnya kota Palembang adalah didominasi oleh lahan rawa. Luas lahan rawa adalah mencapai 54% dari total luasan kota Palembang (Febriana, 2008). Palembang sendiri memiliki luas sekitar 400,62 km²( BPS, 2002). Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi menyebabkan semakin menigkatnya kebutuhan akan lahan untuk perumahan, sarana publik dan areal bisnis menjadi. Kondisi ini menyebabkan lahan rawa yang berada pada areal yang strategis mulai di reklamasi menjadi lahan kering untuk kepentingan bisnis. Hasil penelitian Febriana, (2008) menunjukkan peningkatan reklamasi lahan rawa dari tahun 1999 sampai tahun 2005 yaitu lahan rawa tinggal 15,38%. Sementara BAPPEDA kota Palembang menyebutkan lahan rawa yang tersisa saat ini tinggal 5.834 ha (ANTARA, 2013). Dampak dari perubahan status lahan rawa ke lahan kering yang kemudaian digunakan untuk bangunan kedap maka fungsi lahan rawa sebagai penampung air menjadi hilang. Air hujan yang turun tidak bisa diserap kedalam tanah, sehingga air hujan menjadi air limpasan. Air limpasan ini semakin besar bila sistem drainase tidak mampu menampung air lagi. Oleh karena itu hampir setiap tahun bila musim hujan tiba Palembang mengalami kebanjiran. Meskipun banjir yang terjadi masih bisa dikendalikan. Pada makalah ini akan dianalisis perubahan tata guna lahan, sampai pada tahun 2013. Analisi dilakukan berdasarkan data empiris hasil penelitian perubahan tata guna lahan tahun 1999 sampai 2007. Selanjutnya dihitung potensi volume air air berlebih yang harus dikendalikan agar tidak terjadi banjir. Beberapa inovasi teknologi dalam pengendalian muka air seperti teknologi pipa paralon, biopori, dan kolam retensi akan dikaji kontribusinya dalam upaya pengendalian muka air di kota Palembang.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
235
Momon Sodik Imanudin,dkk./Analisis Berbagai Perangkat Pengendalian Muka Air Tanah ...
TUJUAN Kajian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi beberapa teknologi pengendalian muka air yang bisa di coba di kota Palembang dalam upaya pengurangan genangan. Adapun teknologi yang dianalisis adalan tampungan air limpasan dengan sistem pipa berlubang, pipa biopori, dan kolam retensi.
METODOLOGI Kajian ini dilakukan di kota Palembang pada tahun 2013. Pipa berlubang dipasang sebanyak 20 buah setiap 200 m2 pada ruang terbukan hijau (10% dari total lahan kering) dan di bahu jalan setiap 5m sepanjang 747.922 km2. Ukuran pipa paralon diameter 10 cm dan kedalaman 150 cm. Disepanjang sisi paralon dibuat lubang untuk mempermudah resapan air dari paralon ke sekitarnya. Pemasangan pipa diawali dengan pembuatan lubang di dalam tanah dengan diameter 10 cm, setelang itu pipa yang telah dilubangi dimasukkan kedalam lubang tanah yang telah disiapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Tata Guna Lahan dan Potensi Genangan Kota Palembang awalnya sebagian besar wilayahnya adalah lahan rawa yaitu sekitar 54% dari total luas wilayah Palembang, yang hampir sepanjang tahun selalu tergenang. Luas kota Palembang adalah 400,62 km2 yang terdiri dari 14 kecamatan. Pesatnya pertambahan penduduk dan perkembangan perkotaan diikuti dengan pembangunan, sehingga menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin luas. Peningkatan kebutuhan lahan mengindikasikan semakin beragamnya fungsi dari wilayah tersebut, seperti pemerintahaan, perdagangan, social, pendidikan, perumahan dan serta yang tidak kalah pentingnya adalah industri. Perkembangan pembangunan yang semakin luas mengakibatkan perluasan diarahkan untukmpemanfaatkan lahan rawa, mengingat lahan keringnya telah menyempit. Dengan menyempitnya lahan rawa, maka kemampuannya untuk menampung air hujan dan air limpasan juga akan berkurang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 luas lahan rawa adalah 40.000 ha yang didefinisikan bahwa rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat, serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis. Namun kenyataan yang terjadi saat ini, lahan rawa yang tadinya mempunyai luas 22.000 ha, kini hanya tersisa sekitar 30 persen dari luas tersebut (7.300 ha) http://www.antaranews.com/print/172273/. Berdasarkan data terbaru BAPEDA Palembang, 9/1 (ANTARA) - Luas rawa di Kota Palembang dipastikan tersisa tinggal 5.834 hektare yang dibagi tiga yaitu kawasan konservasi, budidaya dan reklamasi. Kepala Bidang Rencana Strategis dan Tata Ruang Bappeda Kota Palembang (Bapak Aris Munandar), mengatakan pihaknya telah melakukan pendataan ulang rawa di daerah itu dan dibagi sesuai dengan kegunaannya.Namun, seharusnya tidak tiga jenis rawa karena konservasi dan budidaya memiliki peran yang sama sehingga bisa digabung, katanya.Menurut dia, rawa seluas 5.834 ha sampai kini masih dibagi menjadi tiga jenis yaitu rawa konservasi, budidaya dan reklamasi http://www.iyaa.com/berita/regional/umum/2423356_2078.html dowload 2013. Kota Palembang posisinya sangat rendah yaitu sekitar 8 m dpl, dan dilalui oleh sungai Musi. Dengan kondisi ini maka penyusutan lahan rawa akan berdampak terhadap genangan air limpasan yang tidak mampu lagi di tampung di lahan. Disamping itu Palembang yang terletak pada 2°59′27.99″LS 104°45′24.24″BT mempunyai curah hujan cukup tinggi. Menurut ketentuan Badan Meteorologi Klimatologi dan geofisika, bahwa untuk diperkotaan curah hujan > 50 mm dan diluar perkotaan > 100 mm sudah berpeluang menimbulkan banjir yang biasa disebut atau diistilahkan dengan curah hujan ekstrim. Berdasarkan ketentuan BMKG tersebut maka di kota Palembang, peluang banjir hampir setiap bulan kecuali pada bulan Juli, Agustus dan September (Gambar1).
236 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Momon Sodik Imanudin,dkk./Analisis Berbagai Perangkat Pengendalian Muka Air Tanah ...
CH max harian (mm)
140 120 100 80 60 40 20 0 Jan
Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt Nov Des
Gambar 1. Data curah hujan maximum harian di kota Palembang tahun 2012
Di kota Palembang, yang mempunyai curah harian maximum seperti tertera pada Gambar 1 dan dengan kondisi daerah kedap air sangat luas yaitu sebesar 332,456,109.48 m2 (hasil perhitungan) dengan asumsi bahwa ruang terbuka hijau sekitar 10% dari total luas kota Palembang, maka dari hasil perhitungan didapat volume air limpasan sangat besar yaitu sebesar 29,921,049.85 m3 (Tabel 2). Untuk mengurangi jumlah air limpasan ini diperlukan beberapa inovasi. Analisis Perangkat Pengendalian Banjir Saat Ini Kondisi Kota Palembang yang sebagian besar merupakan daerah rawa dan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Daerah rawa ini berfungsi sebagai penampung air hujan dan pengaliran air dari lingkungan disekitarnya dan juga sebagai sarana pengaliran alami. Secara umum daerah rawa di Kota Palembang biasanya memiliki elevasi tanah yang rendah dari pada tanah disekitarnya. Sungai yang melintas di daerah rawa seakan-akan hanya merupakan rawa yang diberi badan/dinding sungai, sehingga elevasi dasar sungai tidak terlalu dalam dibanding elevasi dasar rawa. Kondisi seperti ini nampak jelas di sungai-sungai seperti sungai buah, sungai sekanak, sungai bendung, sungai sriguna dan lain lain. Tabel 1. Jumlah kolam retensi yang ada di kota Palembang tahun 2013
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
KolamRetensi Siti Khodijah Simp.POLDA Taman Purbakala Ario Kemuning Talang Aman Seduduk Putih Patal IBA Sport Hall Kambang Iwak Besar Kambang Iwak Kecil Sei.Unggas Taman Ogan Permai GOR Jaka Baring Perumahan Poligon Lapangan Golf Pertamina Golf Punti Kayu Sungai Aur
Luas (m2) 11.085 5.655 5.393 16.267 16.898 22.590 5.202 12.037 8.070 22.126 7.886 15.619 22.217 20.000 5.000 2.000 15.000 10.000 10.000
Dalam (m) 0,8 – 1,5 0,8 – 1,5 0,8 – 1,5 0,8 – 1,5 0,8 – 1,5 0,8 – 1,5 0,8 – 1,5 2 0,8 – 1,5 3–5 3 0,8 – 1,5 3–5 3 1-1.5 3-5
Keterangan Tambahan 2010 (0,2 Ha)
Tahun 2005 Tahun 2007 Tahun 2009
Sumber: http://dpubmpsda.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=Kolam-Retensi-yang-sudah-ada
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
237
Momon Sodik Imanudin,dkk./Analisis Berbagai Perangkat Pengendalian Muka Air Tanah ...
Saat ini, di kota Palembang telah dibangun sekitar 19 kolam retensi dengan kedalaman dan luas yang berbeda-beda yang dimanfaatkan untuk menampung air limpasan. Kolam-kolam tersebut letaknya menyebar diseluruh wilayah kota Palembang. Dari hasil perhitungan (Tabel 2) diperoleh bahwa total volume tampungan kolam retensi yang ada sebesar 241.517 m3, namun kolam yang telah dibuat belum efektif untuk mengatasi genangan air/banjir. Efektifitas kolam retensi yang ada saat ini hanya mampu menampung 0,81% dari total limpasan, sehingga dibutuhkan untuk mereklamasi/mengeruk kembali kolam-kolam yang ada sehingga berfungsi dengan optimal. Disamping itu, inovasi-inovasi lain untuk melengkapi kolam retensi yang telah ada tersebut. Upaya penanggulangan dan pencegahan banjir, tidak dapat hanya pada mengandalkan perbaikan kapasitas saluran drainase atau pada perbaikan dan pemeliharaan badan-badan air, namun harus diupayakan meningkatkan infiltrasi dan meningkatkan daya resapan tanah. Beberapa upaya yang dapat dipadukan untuk mengatasi/mengurangi banjir yang memberikan hasil lebih memuaskan yaitu dengan pemanenan air hujan, menahan sementara air hujan supaya tidak langsung terbuang kesaluran, dan pembuatan lubang pori/pipa berlubang. No. 1. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Uraian Luas Palembang (m2) Curah hujan mak harian (mm) Kondisi rawa awal 54% Rawa 1999 Rawa 2007 Persentasi penurunan rawa per 3 tahun terakhir (%) Perubahan presentasi penurunan rawa per tahun Kondisi rawa saat ini 2013 Prediksi Kondisi awal lahan kering Kondisi saat ini 2013 Daerah terbuka hijau prediksi hanya 10% Daerah kedap Volume air limpasan (m3) volume Kolam retensi Volume limpasan yang tidak tertampung Analisis kemampuan pipa berlubang kedalaman 1,5 diameter 10 cm Volume tampung air dalam 1 pipa (m3) Kapasitas lahan terbuka hijau a. Densitas pipa per 200 m persegi adalah 20 batang lahan terbuka hijauan 10 dari total lahan kering c. Jumlah pipa untuk di lahan hijau terbuka d. Volume air tertampung pipa di lahan terbuka hijau (m3) Kapasitas pipa di sepanjang bahu jalan e. Panjang jalan di kota Palembang Pipa di pasang setiap jarak 5m, maka jumlah pipa (buah) f. Volume air tertampung pada pipa di sepanjang bahu jalan (m3) 19. Total simpanan air melalui pipa berlubang (m3) 20. Kontribusi pipa berlubang untuk pengendalian limpasan (%)
Hasil Perhitungan 400,620,000.00 90.00 216,334,800.00 65,657,611.80 33,099,224.40 1,124,940.96 374,980.32 31,224,322.80 184,285,200.00 369,395,677.20 36,939,567.72 332,456,109.48 29,921,049.85 409,493.36 30,685,751.48 0.01 3,693,956.77 369,395.68 4,349.63 747,922,000,000.00 149,584,400,000.00 1,765,.705,944.00 1,765,876.64 5.75
Inovasi teknologi pipa berlubang dapat diterapkan di areal terbuka hijau dan di sepanjang bahu jalan raya. Inovasi ini diharapkan dapat mengurangi jumlah air limpasan/genangan, namun seberapa besar efektivitasnya perlu diuji dan dihitung. Hasil penelitian Julandri dkk. (2013) menyatakan bahwa laju infiltrasi pada biopori dengan pipa berlubang lebih cepat/tinggi dibandingkan dengan tanpa biopori. Dalam kajian ini diuji besaran efektifitas dari teknologi pipa berlubang yang di lakukan di ruang terbuka hijau dan di sepanjang bahu jalan di kota Palembang. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa jumlah air yang dapat disimpan pipa berlubang pada lahan terbuka hijau, dengan asumsi bahwa luas lahan terbuka hijau adalah 10 persen dari total luas 238 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Momon Sodik Imanudin,dkk./Analisis Berbagai Perangkat Pengendalian Muka Air Tanah ...
lahan kering di Kota Palembang yaitu sebesar 4,349 m3. Kemampuan tampung air pipa berlubang di areal terbuka hijau lebih besar jika dibandingkan dengan kapasitas tampung kolam retensi. Sementara kapasitas/volume air tampung pada pipa di sepanjang bahu jalan yaitu sebesar 1,761,356,310 m3, dengan perhitungan panjang jalan di kota Palembang adalah 747,922 km. Kapasitas ini didapat dengan menanam pipa berpori di satu sisi sepanjang bahu jalan. Dengan demikian total kapasitas/volume air tampung pipa berpori yang diterapkan pada lahan terbuka hijau dan sepanjang bahu jalan adalah sebesar 1,765,876.64 m3. Berdasarkan perhitungan ini maka efektivitas dari tapungan air di pipa berpori terhadap jumlah limpasan air dari derah kedap adalah sebesar 5,90%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kesuma (2012), bahwa untuk air limpasan yang mendekati 140 juta liter dapat dibuat lubang resapan sebanyak 42.000 lubang pori. Rauf (2012) menatakan bahwa meningkatkan daya jerap tanah di kawasan apapun sebesar 1 cm saja per jam, maka air yang dapat diserap tanah tersebut dapat bertambah hingga 100.000 liter (100 m3) per hektar per jam. Berdasarkan hal ini maka pemanfaatan pipa berpori dapat diterapkan di kota Palembang karena harganya terjangkau, perawatan murah dan dapat dilakukan oleh perorangan untuk di wilayah pekarangan.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan dari hasil kajian maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan inovasi teknologi pipa berlubang mampu menampung aliran air limpasan sebesar 1,765,876.64 m3 dengan nilai efektifitas sebesar 5,90%. Penerapan teknologi pipa berpori direkomendasikan untuk diterapkan di Kota Palembang, khususnya di derah terbuka hijau dan di bahu jalan. DAFTAR PUSTAKA Febriana. 2008. Kinerja pengendalian pemanfaatan lahan rawa di Kota Palembang (Tu gas Akhir). Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang
http://dpubmpsda.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=Kolam-Retensi-yang-sudah-ada Kolam Retensi yang sudah ada. dowload 2013
.
http://www.iyaa.com/berita/regional/umum/2423356_2078.html.
Luas rawa Palembang tersisa 5.834 hektar. dowload 2013. Julandr, M., A. Nirmala, E. Yuniarti. 2013. Efektivitas lubang resapan bipori terhadap laju resapan (infiltrasi). Jurnal Teknik Lingkungan UNTAN, Volume 1 no.1. Kesuma R. W. 2012. Studi pemaksimalan resapan air hujan menggunakan lubang resapan biopori untuk mengatasi banjir (studi kasus: Kecamatan Dayeuh Kolot Kab. Bandung). Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian. Institut Teknologi Bandung. Rauf, A. 2012. Upaya memitigasi banjir secara massal. http://a-rauf.blogspot.com/2012/05/memitigasi-banjirsecara-massal.html Walhi: Stop Alih Fungsi Rawa di Palembang. http://www.antaranews.com/print/172273/
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
239
STABILISASI TANAH LEMPUNG DENGAN MENGGUNAKAN ABU SABUT KELAPA SEBAGAI LAPIS TANAH DASAR JALAN (SUBGRADE) (Studi Kasus: Kota Palembang)1) R. S. Ilmiaty2), S. I. Pertiwi3), Y. Hamdani4), I. Yunus5) Abstract: Soil is the most important part of the structure as a foundation supporting construction
above it. Quality and durability of the construction can not be separated from the soil properties that can cause problems due to unstable ground conditions. That condition can be solved by improving soil bearing. Efforts made by improving the top layer of the road, but it does not solve the problem because the the instability of road is expected not only because of the structure of the road, but also on the basic ground. Soil stabilization by mixing additives tested by using coconut husk ash which is one of the ingredient that can be added to the soil deposits to repair the mechanical characteristics of soil. Coconut husk ash pozzolan containing the same substance contained by portland cement, fly ash from the combustion of coal, rice husk ash also that the levels of certain treatments and give reaction of the changing in the mechanical properties of clay. According to ASTM C.618-85, Pozolan is siliceous material which has no adhesive properties to itself, but when mashed with sufficient fineness to the presence of water can react chemically with chalk Ca (OH) z and form the adhesive. This study analyzes the behavior of clay with the addition of coconut husk ash at 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, and 10% of the soil then tested such as soil physical properties such as grain gradation testing, soil density, soil moisture content, hydrometer analysis, Atterberg limits and mechanical properties of soil in the form of standard soil compaction testing and California Bearing Ratio (CBR).
From these studies, according to Unifed Soil Classification System (USCS) soil in this area is included in the OH group, whereas according to the American Association of State Highway Transportation Officials late (AASHTO) the soil is included in the A-group 7-5. soil mixture with the addition of coconut husk ash compared to the original soil showed that the liquid limit (LL) and plastic limit (PL) occurs due to decreased binding of the coconut husk ash with soil granules that resulted clay granules bind when testing liquid limit and plastic limit, which means the Plasticity Index (IP) tends to decrease . SCBR value without soaking with the addition of coconut husk ash at 6% reached the peak of increasing caused by soil clotting that increase holding capacity of inter-granular while in 8% dan 10% there is decreasing due to the reducing volume weight of soil because the soil pores are filled with coconut husk ash and causing the penetration results. while the unsoaked CBR test is reduce and soaked CBR test with the addition of coconut husk ash on 6% reached the peak of increasing because the soil that has been soaked for 96 hours could cover soil grain and work effectively so that the strength increases and the development (swelling) decrease, whereas on 8% and 10% decreased due to reducing of soil volume weight because the soil pores are filled with coconut husk ash and water that causing the degradation of penentration result on soaked CBR test. Keyword: Clay, Stabilization, Coconut husk ash, CBR. 1)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang 6-7 Nopember 2013 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya 3,4,5) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Taman Siswa 2)
PENDAHULUAN Latar Belakang
P
erencanaan awal suatu pondasi harus disesuaikan dengan jenis dan sifat tanah yang akan mendukungnya. Kondisi tanah yang ideal jarang dijumpai dilapangan, karena tanah pada umumnya bersifat heterogen, dan anisotropis. Tanah mampu menahan beban yang disalurkan pondasi, mempunyai stabilisasi yang baik atau perbedaan kembang susut yang rendah. Tanah lempung mempunyai nilai kembang susut cukup besar. Pada musim penghujan, tanah lempung akan mengembang dan pada musim kemarau/kering tanah lempung akan menyusut cukup besar. Sehingga
240 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ...
tanah lempung mempunyai perubahan yang besar. Kestabilan dalam mendukung konstruksi di atasnya menjadi berkurang. Jika pergerakan dan penurunan konstruksi ini tidak merata pada seluruh konstruksi dan pondasi, maka akan berakibat timbulnya retakan-retakan dan amblas pada konstruksi diatasnya. Walaupun, retakan atau amblas tersebut diperbaiki atau ditambal, maka apabila terjadi kembang susut lagi tentunya akan berakibat timbulnya retakan dan amblas kembali. Untuk mengantisipasi ketidakstabilan pondasi di atas tanah lempung, sebaiknya sebelum membuat pondasi, terlebih dahulu tanah lempungdistabilisasi.Menurut (Bowles, dalam Riska Wulandari, 2010) apabila tanah yang terdapat di lapangan bersifat sangat lepas atau sangatmudah tertekan, atau apabila mempunyai indeks konsistensi yang tidak sesuai, permeabilitas yangterlalu tinggi, atau sifat lain yang tidak diinginkan sehingga tidak sesuai untuk suatu proyek pembangunan, maka tanah tersebut harus distabilisasikan. Stabilisasi terbagi atas usaha stabilisasi secara fisis,mekanis, maupun kimiawi. Stabilisasi mekanis ditujukan memperbaiki karakteristik mekanis tanah. Menstabilkan tanah lempung agar menjadi lebih kuat digunakanlah stabilisasi tanah dengan cara mekanis yaitu dengan mencampur tanah lempung dengan bahan tertentu. Bahan yang digunakan dalam pencampuran tanah lempung adalah Abu Sabut Kelapa yang digunakan untuk memperbaiki karakteristik mekanis tanah. Abu sabut kelapa mengandung zat pozzolan suatu zat yang sama dikandung oleh semen portland, abu terbang dari hasil pembakaran batu bara, juga abu sekam padi yang pada kadar dan perlakuan tertentu memberikan reaksi terhadap perubahan sifat mekanis tanah lempung. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi persentase kondisi sifat fisis tanah lempung asli. 2. Melakukan uji konsistensi pada campuran tanah dengan abu sabut kelapapada pengujian pemadatan. 3. Menganalisispersentase peningkatan daya dukung (CBR) maksimum tanah lempung yang sudah dicampur dengan abu sabut kelapa.
TINJAUAN PUSTAKA Tanah Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak terikat secara kimia satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikelpartikel padat. Sistem Klasifikasi Tanah Sistem klasifikasi tanah berguna untuk mengelompokkan tanah-tanah sesuai dengan perilaku umum dari tanah pada kondisi fisik tertentu. Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam urutan berdasarkan satu kondisi tertentu bisa saja mempunyai urutan yang tidak sama jika didasarkan pada kondisikondisi lainnya. Untuk mengetahui perlakuan tanah dasar agar dapat memenuhi persyaratan dan cukup baik sebagai pondasi jalan sesuai dengan spesifikasi yang ada maka perlu diketahui sifat-sifat dan klasifikasinya. Adapun sistem klasifikasi tanah yang umum digunakan yaitu : 1. Klasifikasi Sistem USCS Pada sistem ini sifat tanah ditentukan oleh ukuran butir dan gradasi butirannya.Sistem ini pertamatama dikembangkan oleh Cassagrande dan dikenal sebagai sistem klasifikasi airfield.Sistem ini dipakai dengan sedikit modifikasi oleh U.SBureau of Reclamation dan U.S Corps of Engineers. Kemudian American Society for Testing and Materials (ASTM) telah menggunakan sistem unified sebagai metode standar guna mengklasifikasi untuk maksud-maksud rekayasa (ASTM D-2487). Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam klasifikasi tanah yang benar antara lain ; 1. Butiran yang lolos saringan No. 200. 2. Fraksi yang lolos saringan No. 40. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
241
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ...
3. Koefisisen keseragaman dan gradasi (Cu dan Cc) untuk tanah 0-12 % lolos saringan No. 200. 4. Batas cair dan indeks plastis untuk tanah lolos saringan No. 40. 5. Sistem klasisfikasi yang ditemukan oleh cassagrande tersebut mengkelompokkan tanah ke dalam dua kelompok besar yaitu: a.
Tanah berbutir kasar (coarse-grained-soil) Tanah berbutir kasar berupa kerikil dan pasir dimana ≤ 50 % berat total contoh tanah lolos saringan No. 200.
b.
Tanah berbutir halus (fine-grained-soil) Tanah berbutir halus merupakan tanah dimana ≥ 50 % berat totalcontoh tanah lolos saringan No. 200.
Tanah Lempung Tanah lempung adalah suatu tanah yang terdiri dari butiran yang sangat kecil dan menunjukkan sifatsifat plastisitas dan kohesi. Kohesi menunjukkan bahwa bagian-bagian itu melekat satu sama lainnya sedangkan plastisitas merupakan isi atau tanpa kembali kebentuk aslinya dan tanpa retakan-retakan atau pecah-pecah. Tanah lempung merupakan akumulasi partikel mineral yang tidak mempunyai atau lemah dalam ikatan antar partikelnya yang terbentuk dari pelapukan batuan. Proses pelapukan ini terjadi secara fisis dan kimiawi. Proses fisis antara lain berupa erosi tiupan angin, pengikisan oleh air dan gletser atau perpecahana akibat pembekuan dan pencairan es dalam batuan. Sabut Kelapa Abu Sabut Kelapa merupakan salah satu bahan yang dapat ditambahkan ke dalam deposit tanah untuk memperbaiki karakteristik mekanis tanah. Abu sabut kelapa mengandung zat pozzolan suatu zat yang sama dikandung oleh semen portland, abu terbang dari hasil pembakaran batu bara, juga abu sekam padi yang pada kadar dan perlakuan tertentu memberikan reaksi terhadap perubahan sifat mekanis tanah lempung.Menurut ASTM C.618-85, pozolan adalah bahan yang mengandung silika dimana tidak mempunyai sifat perekat pada dirinya sendiri, namun jika dihaluskan dengan kehalusan yang cukup memadai dengan adanya air akan bisa bereaksi secara kimia dengan kapur Ca(OH)z dan membentuk perekat.
METODOLOGI PENELITIAN
242 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ...
Penelitian ini adalah penelitian pengujian laboratorium. Kegiatan penelitian ini mengenai pengaruh penambahan bahan tambahan Abu Sabut Kelapa terhadap nilai CBR tanah yang dilakukan dengan cara pengujian CBR laboratorium. Adapun sampel tanah lempung ekspansif yang digunakan pada penelitian ini diambil dari daerah Soekarno Hatta Palembang.Penelitian meliputi, beberapa tahap pekerjaan mulai dari studi literatur, pengumpulan dan pengolahan data, analisa data. Pada pekerjaan lapangan dilakukan pengambilan sampel berupa tanah lempung maupun bahan tambahan Abu Sabut Kelapa. Kemudian dilanjutkan dengan pengujian dan analisa laboratorium berupa pengujian sifat-sifat fisis tanah dan sifat-sifat mekanis tanah dengan menggunakan campuran bahan tambahan Abu Sabut Kelapa dengan persentase masing-masing campuran sebesar 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% dari berat kering tanah kemudian dilakukan pengujian CBR perendaman dan tanpa perendaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Laboratorium Pengujian yang dilakukan adalah pengujian indeks properties yang terdiri dari pengujian kadar air, berat jenis tanah, analisa saringan, analisa hidrometer, atterberg limit. Pengujian Indeks Properties Tanah Hasil pengujian indeks properties tanah yang dilakukan, dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 1 Hasil Uji Sifat Fisis Tanah
No 1 2 3 4 5 6
Data Pengamatan Kadar Air Tanah (w) Batas Cair (LL) Batas Plastis (PL) Indeks Plastis (IP) Specific Gravity (GS) Butiran lolos saringan No.200 a. Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi b. Pasir c. Kerikil
Nilai 10,227 (%) 70,42 (%) 31,02(%) 39,40(%) 2,611 90,16 (%) OH 9,84 (%) 0 (%)
Pengujian Utama Campuran yang digunakan dalam penelitian ini berupa variasi persentase penambahan abu sabut kelapa yang berbeda yaitu 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, 10%. a. Hasil Pemadatan Hasil pengujian pemadatan standardapatdilihat pada Gambar 4.1
Berat Isi Kering (gr/cm3)
KURVA PEMADATAN 2,0 1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,2 1,1 1,0 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kadar Air, w (%)
Gambar 1. Grafik Pemadatan Tanah Asli
Dari hasil pemadatan yang dilakukan didapatkan nilai 𝛾𝑑 maks yaitu 1,477 gr/cm3 dengan kadar air optimum (Woptimum) = 22,85%. Dari hasil tersebut akan digunakan sebagai perhitungan untuk pembuatan benda uji pada pengujian CBR. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
243
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ...
1. Pengujian Kadar Air Merupakan perbandingan antara berat air yang terkandung dalam tanah dengan berat kering tanah yang dinyatakan dalam persen. Hasil pengujian diperolehkadar air tanah asli sebesar 10,227%. 2. Pengujian Berat Jenis Tanah Berat jenis tanah adalah perbandingan berat butir tanah dengan volume butir tanah pada suhu tertentu.Hasil pengujian berat jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 2. Data Hasil Pengujian Berat Jenis Tanah (Specific Gravity)
No 1 2 3 4 5 6
Jenis Tanah + % Bahan Campuran Lempung + 0% Abu Sabut Kelapa Lempung + 2% Abu Sabut Kelapa Lempung + 4% Abu Sabut Kelapa Lempung + 6% Abu Sabut Kelapa Lempung + 8% Abu Sabut Kelapa Lempung + 10% Abu Sabut Kelapa
Berat Jenis (GS) 2,611 2,621 2,656 2,677 2,688 2,692
3. Analisa Saringan Data hasil pengujian analisa saringan tanah asli dengan penambahan Abu Sabut Kelapalihat pada Tabel 4.3. Tabel 3. Hasil Uji Analisa Saringan
No Jenis Tanah + %Bahan Campuran 1 2 3 4 5 6
Lempung + 0% Abu Sabut Kelapa Lempung + 2% Abu Sabut Kelapa Lempung + 4% Abu Sabut Kelapa Lempung + 6% Abu Sabut Kelapa Lempung + 8% Abu Sabut Kelapa Lempung + 10% Abu Sabut Kelapa
Fraksi Halus (<0,075mm) 90,16 % 81,12 % 72,90 % 68,28 % 62,62 % 59,50 %
Fraksi Kasar (>0,075mm) 9,84 % 18,88 % 27,10 % 31,72 % 37,38 % 40,50 %
4. Batas-batas Atterberg Limits Hasil pengujian batas-batas Atterberg Limits tanah asli dan tanah dengan campuran abu sabut kelapa dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini. Tabel 4. Nilai Batas-batas Atterberg limits (Batas Konsistensi)
No 1 2 3 4 5 6
Jenis Tanah + % Bahan Campuran Lempung + 0% Abu Sabut Kelapa Lempung + 2% Abu Sabut Kelapa Lempung + 4% Abu Sabut Kelapa Lempung + 6% Abu Sabut Kelapa Lempung + 8% Abu Sabut Kelapa Lempung + 10% Abu Sabut Kelapa
Batas Cair (%) 70,42 68,99 68,31 67,07 66,01 64,35
Batas Atterberg Batas Plastis Indeks Plastisitas (%) (%) 31,02 39,40 30,35 38,64 29,98 38,33 29,17 37,90 28,68 37,33 27,69 36,65
5. Pengujian CBR (California Bearing Ratio) Pengujian yang dilakukan pada CBR yaitu pengujian CBR tanpa perendaman (unsoaked) dan CBR perendaman (soaked). Pada pengujian CBR perendaman benda uji direndam selama 4 hari.Ada 6 variasi campuran yang dilakukan pada uji CBR ini.
244 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ... Tabel 5. Data Nilai CBR Tanpa Perendaman dan CBR Perendaman 96 jamdan Pengembangan No 1 2 3 4 5 6
Jenis Tanah + % Bahan Campuran Lempung + 0% Abu Sabut Kelapa Lempung + 2% Abu Sabut Kelapa Lempung + 4% Abu Sabut Kelapa Lempung + 6% Abu Sabut Kelapa Lempung + 8% Abu Sabut Kelapa Lempung + 10% Abu Sabut Kelapa
Nilai CBR (%) Tanpa Perendaman 0,1" 0,2" 27,755 26,051 30,312 29,703 35,790 32,868 39,076 37,007 29,581 26,781
Nilai CBR (%) Perendaman (96jam) 0,1" 0,2" 2,264 2,021 3,725 3,165 4,455 4,309 5,113 5,015 4,090 3,701
22,277
2,995
20,451
2,678
Swelling Potential (%) 7,575 6,653 5,433 4,478 3,255 2,555
Klasifikasi Tanah Asli
Persen Lolos (%)
Grain Size Analysis 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1
0,1
0,01
0,001
Diameter Saringan (mm)
Gambar 2. Analisa Saringan Tanah Asli
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa persentase butiran tanah yang lolos saringan No.200 sebesar 90,16% dan dihubungkan dengan nilai batas cair 70,42% dan indeks plastisitas yang ada sebesar 9,426% maka menurut Unifed Soil Classification System (USCS) tanah tersebut termasuk dalam kelompok OH yaitu Lempung organic dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi Menurut American Association of State Highway an Transportation Officials (AASHTO) tanah tersebut termasuk dalam kelompok A-7-5, merupakan tanah berlempung yang tidak baik apabila digunakan sebagai dasar pondasi jalan raya. Karakteristik Tanah Lempung dengan Abu Sabut Kelapa Pengujian dilakukan terhadap campuran tanah dan abu sabut kelapa terdiri dari uji berat jenis, batas konsistensi, gradasi butiran, pemadatan, dan CBR perendaman dan tanpa perendaman. 1. Berat Jenis Hasil pengujian berat jenis dengan variasi persentase campuran tanah dan abu sabut kelapa sebagaimana tercantum pada tabel 4.2 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan nilai berat jenis seiring dengan persentase abu sabut kelapa.Nilai berat jenis campuran tanah dan abu sabut kelapa lebih tinggi dibandingkan dengan nilai berat jenis tanah asli yaitu 2,611%. Hal ini disebabkan pada proses pencampuran abu sabut kelapa bersifat mengikat tanah lempung yang akan menambah berat butiran, maka nilai berat jenis akan meningkat 2. Batas-Batas Konsistensi Uji batas konsistensi berupa uji batas cair (LL), batas plastis (PL) dan batas susut (SL).Pengaruh penambahan persentase abu sabut kelapa terhadap nilai batas konsistensi yang ditunjukkan pada Tabel 4.4.berdasarkan hasil uji batas cair (LL), penambahan abu sabut kelapa menyebabkan penurunan nilai batas cair. Hal ini mengindikasikan telah terjadi pengikatan antara abu sabut kelapa dengan butiran tanah lempung, yang mengakibatkan butiran lempung mengikat saat uji batas cair, sehingga batas cairnya menurun. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
245
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ...
Berdasarkan uji batas plastis (PL), penambahan abu sabut kelapa mempunyai kecenderungan turun, hal ini dikarenakan sifat plastis dan susut tanah lempung dipengaruhi abu sabut kelapa.Indeks plastisitas (IP) adalah nilai batas cair dikurangi nilai batas plastis (IP = LL – PL). Hubungan tersebut memperlihatkan bahwa nilai IP sangat tergantung pada nilai batas cair dan batas plastis.Karena penambahan persentase abu sabut kelapa dapat menurunkan batas cair, sehingga menghasilkan indeks plastisitasnya menurun. 3. Gradasi Butiran Hasil uji gradasi butiran akibat penambahan bahan abu sabut kelapa menunjukkan bahwa terjadi perubahan komposisi tanah. yaitu berkurangnya lolos saringan pada fraksi halus dan meningkatnya fraksi kasar.
Persen lolos (%)
GRAIN SIZE ANALYSIS 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
0 % Additive
0% Abu sabut kelapa 2,5 % Additive 2% Abu sabut kelapa 5 % Abu Additive 4% sabut kelapa 6% Abu sabut kelapa 7,5 % Additive 8% Abu sabut kelapa 10 % Additive 10% Abu sabut kelapa 12,5 % Additive
1
0,1
0,01
0,001
Diameter Saringan (mm)
Gambar 3. Analisa Saringan Dengan Variasi Penambahan Abu Sabut Kelapa
Perilaku gradasi butiran untuk penambahan abu sabut kelapa seperti Gambar 4.3 terlihat bahwa penambahan abu sabut kelapa dapat memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap persentase gradasi yang lolos saringan ayakan No.4. 4. Nilai California Bearing Ratio (CBR) Besarnya nilai CBR adalah salah satu cara untuk mengetahui daya dukung tanah. Besarnya nilai daya dukung tanah dipengaruhi oleh kualitas bahan, lekatan antar butir dan kepadatannya. Ikatan antar butir merupakan kemampuan saling mengunci antar butiran, dan adanya rekatan yang merekatkan permukaan butiran tersebut. Semakin kuat ikatan antar butir akan menghasilkan nilai CBR semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. Uji CBR yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apakah penambahan persentaseabu sabut kelapamemberikan pengaruh terhadap nilai CBR. Ada enam variasi campuran yang dilakukan pada uji CBR yaitu: normal 0%, 2%, 4%, 6%, 8%dan 10%. Uji CBR tanpa perendaman (unsoaked) dan perendaman (soaked)96 jam dapat dilihat pada grafik berikut ini: Grafik CBR Perendaman 96 jam
Nilai CBR Analisis (%)
6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
Persentase Abu Sabut Kelapa (%)
Gambar 4. Hubungan Persentase Abu Sabut KelapaDengan Nilai CBR Perendaman
246 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ...
Peningkatan nilai CBR perendaman terjadi karena campuran penambahan abu sabut kelapa.Pencampuran abu sabut kelapa menyebabkan penggumpalan tanah sehingga meningkatnya daya ikat antar butiran.Dengan meningkatnya daya ikat antar butiran, maka kemampuan daya dukung tanah meningkat. Grafik CBR Tanpa Perendaman 45
Nilai CBR Analisis (%)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
Persentase Abu Sabut Kelapa (%)
Gambar 5. Hubungan Persentase Abu Sabut KelapaDengan Nilai CBR Tanpa Perendaman
Pada Gambar 4.4 dan 4.5terlihat bahwa nilai CBR tertinggi tercapai pada penambahan abu sabut kelapa 6% akan tetapi pada penambahan abu sabut kelapa 8% dan 10% nilai CBR cenderung mengalami penurunan, hal ini dikarenakan berat volume tanah berkurang karena pori-pori tanah terisi oleh abu sabut kelapa dan menyebabkan hasil penetrasi pada pengujian CBR menurun. 10
Swelling CBR (%)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
Persentase Abu Sabut Kelapa (%)
Gambar 6. Hubungan Persentase Abu Sabut Kelapa dengan Swellinguji CBR Perendaman
Dari Gambar 4.6 menunjukkan bahwa penambahan abu sabut kelapa yang banyak mengakibatkan nilai pengembangan campuran tanah semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena abu sabut kelapa bersifat mengikat/menyelimuti pori-pori pada butiran, sehingga proses masuknya air pada tanah terhambat dan swelling CBR perendaman 96 jammenurun. Secara keseluruhan, berdasarkan analisis seperti yang dijelaskan sebelumnya tentang penambahan abu sabut kelapa pada tanah dengan kondisi γd = 1,477 gr/cm3 dengan kadar air optimum (Woptimum) = 22,85% memberikan pengaruh, sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut ini: Tabel 6. Perilaku Tanah Akibat PenambahanAbu Sabut Kelapa No. 1. 2. 3. 4.
Tinjauan Berat Jenis (Gs) Batas-batas konsistensi Gradasi butiran CBR (laboratorium) Perendaman dan Tanpa Perendaman
Perilaku Persentase bahan abu sabut kelapameningkat maka berat jenis meningkat. Persentase bahan abu sabut kelapa meningkat maka LL turun, PL turun maka IP turun Persentase bahan abu sabut kelapa meningkat persen lolos saringan menurun dan persen tertahan saringan meningkat Persentase bahan abu sabut kelapameningkat dan pengurangan volume penambahan air maka γd konstan. Nilai CBR perendaman 96 jamdan tanpa perendaman cenderung naik pada penambahan abu sabut kelapa 2%, 4%, dan 6%. Nilai CBR mengalami titik puncak pada penambahan abu sabut kelapa6% akan tetapi pada penambahan abu sabut kelapa8% dan 10% nilai CBR cenderung mengalami penurunan. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
247
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ... hal ini dikarenakan berat volume tanah berkurang karena pori-pori tanah terisi oleh abu sabut kelapa dan menyebabkan hasil penetrasi pada pengujian CBR menurun.
KESIMPULAN Dari hasil pengujian, dan pembahasan yang dilakukan pada tanah lempung asli dan tanah lempung dengan campuran bahan abu sabut kelapa sebesar 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan 10%, maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan 1. Dari pengujian tanah asli didapat nilai berat isi kering maksimum (𝛾𝑑 ) = 1,477 gr/cm3 ; Kadar air optimum (Wopt) = 22,85% ; LL = 70,42 % ; PL = 31,02 % ; SL = 16,06 % ; IP = 39,49 %, mengandung fraksi halus 90,16%, dengan Specific Gravity = 2,611. MenurutUnifed Soil Classification System (USCS) tanah tersebut termasuk dalam kelompok OH, sedangkan menurut American Association of State Highway an Transportation Officials (AASHTO) tanah tersebut termasuk dalam kelompok A-7-5. 2. Hasil uji batas konsistensi (Atterberg Limits) campuran tanah dengan penambahan abu sabut kelapadibandingkan tanah asli menunjukkan bahwa batas cair (LL) dan batas plastis (PL) mengalami penurunan dikarenakan terjadi pengikatan antara abu sabut kelapa dengan butiran tanah yang mengakibatkan butiran tanah lempung mengikat saat uji batas cair dan batas plastis, yang berarti Indeks Plastisnya (IP) cenderung menurun. 3. Nilai CBR tanpa perendaman (unsoaked) pada persentase 6% didapat nilai CBR 38,0415 % mencapai titik puncak peningkatan disebabkan karena adanya penggumpalan tanah sehingga meningkatnya daya ikat antar butiran, maka kemampuan daya dukung tanah meningkat sedangkan pada 8% didapat nilai 28,181% dan 10% didapat nilai 21,364% mengalami penurunan dikarenakan berat volume tanah yang berkurang karena pori-pori tanah terisi oleh abu sabut kelapa dan menyebabkan hasil penetrasi pada pengujian CBR tanpa perendaman (unsoaked) menurun dan CBR perendaman (soaked) dengan penambahan abu sabut kelapa pada persentase 6% didapat nilai 5,064% mencapai titik puncak peningkatan karena tanah yang telah direndam selama 96 jam dapat menyelimuti butiran tanah dan bekerja efektif sehingga kekuatannya meningkat dan pengembangannya (swelling) menurun, sedangkan pada 8% didapat nilai 3,895% dan 10% didapat nilai 2,836% mengalami penurunan dikarenakan berat volume tanah yang berkurang karena poripori tanah terisi oleh abu sabut kelapadan air sehingga menyebabkan hasil penetrasi pada pengujian CBR perendaman menurun. DAFTAR PUSTAKA B Arifin, 2010, Analisa Konsolidasi Tanah Lempung, Smartek. Chapter I, 2010, Perencanaan Ruas Jalan Semarang-Godong dengan Stabilisasi Tanah Menggunakan Bahan Kimia Asam Fosfat, Vol. 1, hal. 3 Gofar, Nurly, dkk, 2009, Petunjuk Praktikum Mekanika Tanah, Universitas Sriwijaya, Palembang Hanafih, Kemas Ali, 2007, Dasar-dasar Ilmu Tanah, PT Raja Grafino, Jakarta. Hardiyatmo, H.C, 2010, Mekanika Tanah I & Mekanika Tanah II Edisi Kelima, Gadjah Mada University Prees, Jakarta. Karina, Ayu, dan Della, 2010, Petunjuk Praktikum Laboratorium Tanah, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang. Noor Endah,Mekanika Tanah (PS-135), ITS, Surabaya. PU Bina Marga, Klasifikasi Tanah Priyo, Dwi Ariyanto. Ikatan Antara Asam Organik Tanah dengan Logam,Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Siti Nur Rahma, 2007, Abu Sabut Kelapa sebagai Bahan Tambah Sebagian Bahan Pengikat Hidarolis, Vol.3. No.3, hal. 45, Desember 2007, Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Mataram Smith, M.J, 1992, Mekanika Tanah (Soil Mechanic), Erlangga, Jakarta.
248 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
R. S. Ilmiaty, dkk./Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Abu Sabut Kelapa ... Terazaghi, Karl. Ralh. Peck, 1987, Mekanika Tanah Dalam Praktek Rekayasa Jilid 1 dan Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Wulandari Rizka, 2010, Analisa Stabilisasi Tanah Lempung Organik dengan Asam Fosfat untuk Subgrade pada Jalan, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
249
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KEUNTUNGAN USAHATANI PADI SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN OKU TIMUR SUMATERA SELATAN1) Sidiq Hanapi2) Abstract: This study was conducted in August 2013 in one of the paddy production centers in Buay Madang Timur District, Ogan Komering Ulu Timur Regency . The method are descriptive and multiple regression analysis to see the effect of independent variables on the dependent variable. The independent variable are acreage variables, GKP prices, seed prices, NPK prices, urea prices, SP36 prices, pesticide price and quantity of paddy production. While the dependent variable is paddy farming profits . This study aims to analyze how much profit the household paddy farmers and the factors that affect the rate of benefit paddy farming . The results showed that the average profit household paddy farmers in Buay Madang Timur District, Ogan Komering Ulu Timur Regency Rp.13.431.000,- on MT I/MHI, MT II/MK I Rp. 10.982.000 ,- and on MT III/MK II Rp. 6.871.000.- /hectare. While the factors that affect the profitability of paddy farming are acreage, price GKP, Urea prices, pesticides and the amount of paddy production. Kata Kunci: Usahatani padi, faktor keuntungan Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang 6-7 November 2013 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian, Km 6 Kotak Pos 1265, Palembang 30153
PENDAHULUAN
T
antangan besar di sektor pertanian pada saat ini adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional dari produksi dalam negeri. Konsumsi beras akan terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk, dan sisi lain pertumbuhan produksi padi nasional mulai menunjukkan gejala stagnan (Abidin, 2010). Pada sektor pertanian ini juga memegang peranan sangat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguaran di Indonesia, karena disanalah salah satu tumpuan pengentasan kemisikinan, percepatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. (Lokollo dan Friyanto, 2007) Sejalan dengan hal itu, Kementrian Pertanian sesuai mandat utamanya yaitu menangani stabilitas peningkatan produksi pertanian, terutama menfasilitasi untuk pengembangan kemampuan masyarakat petani (Harniati, 2008). Wujud komitmen yang tinggi itu dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan program-program peningkatan produksi pangan, khususnya beras. Besarnya perhatian pemerintah terhadap ekonomi perberasan ini didasari oleh pertimbangan bahwa beras merupakan bahan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Melalui penelitian secara intensif, Puslitbang Tanaman Pangan dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah menghasilkan inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu disingkat PTT (Hermanto, 2007). Produksi padi di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) selama periode 2007 – 2011, menunjukkan trend meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 22,94 persen per tahun. Tahun 2011 produksi padi mencapai 3,38 juta ton gabah kering giling (GKG), bertambah sekitar 112,2 ribu ton dari produksi tahun 2010. Luas panen tanaman padi 2011 meningkat sekitar 1,99 persen dibanding tahun 2010. Sementara produktifitas padi meningkat sekitar1,42 persen dari sebesar 42,53 kuintal per hektar tahun 2010 menjadi 43,13 kuintal perhektar di tahun 2011 (BPS,2012). Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis seberapa besar keuntungan rumah tanga petani padi pada lahan sawah irigasi (2) melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi.
250
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
S. Hanapi/Analisis Faktor-Faktor Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Kabupaten ...
METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, menerangkan hubungan antar variabel, antar kategori dalam suatu variabel dengan kategori atau variabel lain, membuat prediksi, serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988). Selanjutnya dapat memberikan gambaran pendapatan atau keuntungan petani padi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengembangan usahatani padi saat ini. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Buay Madang Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Penentuan lokasi pengkajian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa kabupaten Ogan Komering Ulu Timur merupakan salah satu sentra produksi padi/lumbung beras Sumatera Selatan (Badan Pusat Statistik Sumsel, 2012) dengan jumlah sampel sebanyak 15 petani padi. Teknik Analisis 1. Analisis Keuntungan Usahatani Padi Sawah Irigasi Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan atau keuntungan petani padi. Pendapatan atau keuntungan diperoleh dengan menghitung selisih antara penerimaaan yang diterima dari hasil usaha dengan biaya produksi yang dikeluarkan, dirumuskan: = Y.Py - ∑Xi.Pxi - BTT Keterangan:
= Pendapatan (Rp)
Y
= Produksi (Kg)
Py
= Harga GKP (Rp)
∑Xi
= Jumlah faktor produksi ke i (i= 1,2,3...n)
Px
= Harga produksi ke i (Rp)
BTT
= Biaya Tetap Total (Rp)
Untuk mengetahui keuntungan usahatani padi digunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya yang dirumuskan sebagai berikut: R/C
PT BT
Keterangan: R/C = Nisbah antar penerimaan dengan biaya PT = Penerimaan Total BT = Biaya total yang dikeluarkan petani Jika R/C > 1, maka usahatani padi yang diusahakan menguntungkan. Jika R/C < 1 maka suahatani padi yang diusahakan mengalami kerugian. 2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keuntungan Usahatani Padi Dalam analisis pengkajian ini digunakan metode regresi berganda untuk melihat pengaruh beberapa variabel bebas (independent) yang meliputi luas tanam, harga GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pupuk SP36, harga pestisida dan jumlah produksi padi terhadap variabel tak bebas (dependent) yaitu tingkat keuntungan usahtani padi. Persamaan regresi berganda adalah (Lains,2006):
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
251
S. Hanapi/Analisis Faktor-Faktor Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Kabupaten ...
Y=β0+β1X1+β2X2+ β3X3+β4X4 +β5X5+β6X6 β7X7+β8X8+ u Keterangan: Y β0 β1 X1 X2 X3
= Tingkat keuntungan usahatani padi = intersep = Koefisien regresi = Luas tanam = Harga GKP = Harga Benih
X4 X5 X6 X7 X8 U
= Harga Pupuk NPK = Harga Pupuk Urea = Harga Pupuk SP 36 = Harga Pestisida = produksi padi = Galat baku
Untuk mengetahui seberapa besar proporsi atau persentase total dalam variabel tak bebas (dependent variable) yang dijelaskan oleh variabel bebas (independent variable) digunakan koefisien determinasi (R2) (Gujarati, 2000). Selanjutnya digunakan uji-F untuk melihat variabel bebas secara simultan terhadap tingkat keuntungan usahatani padi. Guna menguji secara parsial dari masingmasing variabel bebas terhadap tingkat keuntungan usahatani padi digunakan uji-t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Keuntungan Usahatani Padi Sawah Irigasi Penerimaan usahtani padi diperoleh dari hasil produksi padi (GKP) dikalikan harga produksi yaitu harga GKP pada periode musim tanam tersebut yang dinyatakan dalam rupiah. Pengeluaran usahatani padi merupakan penjumlahan dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel meliputi pengunaan bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja pengolahan lahan, semai, pemeliharaan tanaman sampai panen, biaya angkut dan lain-lain. Keuntungan yang didapat petani adalah penerimaan dikurangi dengan total pengeluaran petani untuk prosess produksi. Tabel 1. Rata-rata Penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani padi sawah irigasi MT I/MH I di kecamatan Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur. No. A 1 2 3 4 B 1 2 3 4 C 1 2 3
D
D
4 5 6 7 8 9 1 2 3
uraian Biaya Saprodi bibit Ciiliwung Urea SP 36/TSP NPK Pestisida Dufan Score Kapros Gandasil Biaya Tenaga Kerja Pembibitan Cabut bibit Olah tanah Tanam TK Traktor Tanam TK Laki laki Penyiangan Pupuk Penyemmprotan Panen Perontokan Angkut Biaya lain-lain PBB/Pajak Iuran irigasi Janggolan TOTAL BIAYA (A+B+C+D)
jumlah
harga satuan
biaya/Rp
15 100 150 250
12.000 1.860 2.100 2.400
180.000 186.000 315.000 600.000
1 2 2 2
220.000 40.000 25.000 28.000
220.000 80.000 50.000 56.000
5 4
50.000 50.000
250.000 200.000
4
50.000
600.000 200.000
3 1
50.000 50.000
252 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
150.000 50.000 3.465.000 250.000 300.000 35.000 10.000 162.000 7.359.000
-
-
S. Hanapi/Analisis Faktor-Faktor Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Kabupaten ... E F
PRODUKSI PADI GKP KEUNTUNGAN BERSIH (E-D) R/C ratio
6.300
3.300
20.790.000 13.431.000 2,8
Berdasar hasil analisis yang disajikan pada tabel 1 tersebut bahwa penerimaaan dan total biaya usahatani padi pada MT I / MH I, maka diperoleh nisbah penerimaan dengan biaya yang disebut Revenue cost ratio (R/C rasio). Besarnya R/C usahatani padi adalah 2,8 artinya setiap Rp. 1.000,biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.800,-. Tabel 2. Rata-rata Penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani padi sawah irigasi MT II/MK I di kecamatan Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur. No. A 1 2 3 5 B 1 2 3 C 1 2 3
4 5 6 7 8 9 D
1 2
D E F
uraian Biaya Saprodi bibit Cigeulis Urea SP 36/TSP NPK Pestisida Dufan Score Gandasil Biaya Tenaga Kerja Pembibitan Cabut bibit Olah tanah Tanam TK Traktor Tanam TK Laki laki Penyiangan Pupuk Penyemmprotan Panen Perontokan Angkut Biaya lain-lain Iuran irigasi Janggolan TOTAL BIAYA (A+B+C+D) PRODUKSI PADI GKP KEUNTUNGAN BERSIH (E-D) R/C ratio
jumlah
harga satuan
biaya/Rp
15 100 150 250
10.000 1.860 2.100 2.400
150.000 186.000 315.000 600.000
1 2 2
220.000 40.000 28.000
220.000 80.000 56.000
5 4
50.000 50.000
250.000 200.000
4
50.000
600.000 200.000
3 1
50.000 50.000
-
5.300
3.350
150.000 50.000 2.959.000 250.000 300.000 10.000 162.000 6.773.000 17.755.000 10.982.000 2,6
Sementara pada MT II/MK II berdasar hasil analisis yang disajikan pada tabel 2 tersebut bahwa penerimaaan dan total biaya usahatani padi, maka diperoleh nisbah penerimaan dengan biaya yang disebut Revenue cost ratio (R/C rasio). Besarnya R/C usahatani padi adalah 2,6 artinya setiap Rp. 1.000,- biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.600,-. Tabel 3. Rata-rata Penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani padi sawah irigasi MT III/MK II di kecamatan Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur. No.
uraian
A
Biaya Saprodi 1
bibit Cigeulis
2
Urea
3
SP 36/TSP
jumlah
harga satuan
biaya/Rp
15
10.000
150.000
100
1.860
186.000 -
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
253
S. Hanapi/Analisis Faktor-Faktor Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Kabupaten ... 4 B
NPK
250
2.400
600.000
Pestisida 1
Tirang
1
50.000
50.000
2
Sidomin
1
80.000
80.000
3
Gandasil
2
28.000
56.000
C
Biaya Tenaga Kerja 1
Pembibitan
5
50.000
250.000
2
Cabut bibit
4
50.000
200.000
3
Olah tanah 4
50.000
Tanam TK Traktor Tanam TK Laki laki
600.000 200.000
4
Penyiangan
5
Pupuk
3
50.000
150.000
6
Penyemmprotan
1
50.000
50.000
7
Panen
8
Perontokan
250.000
9
Angkut
300.000
D
-
2.040.000
Biaya lain-lain 1
Iuran irigasi
2
Janggolan
10.000 162.000
D
TOTAL BIAYA (A+B+C+D)
E
PRODUKSI PAGI GKP
F
KEUNTUNGAN BERSIH (E-D)
5.369.000 3.600
3.400
12.240.000 6.871.000
R/C ratio
2,2
Pada MT III/MK II hasil analisis yang disajikan pada tabel 3 tersebut bahwa penerimaaan dan total biaya usahatani padi, maka diperoleh nisbah penerimaan dengan biaya yang disebut Revenue cost ratio (R/C rasio). Besarnya R/C usahatani padi adalah 2,2 artinya setiap Rp. 1.000,- biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.200,-. Dari hasil analisis diketahui bahwa rata-rata produksi padi dengan luas tanam 1 hektar, yang diterima oleh petani di kecamatan Buay Madang Timur, Kabupten OKU Timur sebesar 6.300 kg GKP dengan nilai sebesar Rp. 20.795.000,- pada MT I/MHI dengan keuntungan Rp.13.431.000,selanjutnya pada MT II/MKI sebesar 5.300 kg GKP dengan nilai sebesar Rp. 17.755.000,- diperoleh keuntungan Rp. 10.982.000,- dan pada MT III/MK II sebesar 3.600 kg dengan nilai sebesar 12.240.000,- diperoleh keuntungan 6.871.000. Sementara dilihat besarnya R/C > 1 pada ketiga musim tanam tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi masih memberikan keuntungan petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi Faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi adalah luas tanam, harga GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pupuk SP36, harga pestisida, dan produksi padi. Variabel-variabel ini dianalisis dengan menggunakan model regresi. Hasil analisis model regresi sebagai berikut. Tabel 4. Hasil analisis regresi tingkat keuntungan usahatani padi (tahap pertama)
Variabel Konstanta Luas Tanam(X1) Harga GKP(X2) Harga Benih(X3)
Koef. Regresi -5676202 2625280 2325,472 -20,267
t-hitung -3,867 3,626 4,732 -0,347
254 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sig. 0,001 0,001 0,000 0,712
S. Hanapi/Analisis Faktor-Faktor Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Kabupaten ...
Harga NPK(X4) Harga Urea(X5) Harga SP 36 (X6) Harga Pestisida(X7) Produksi Padi (X8) F-hitung R2 adjusted R2
-47,872 -375,2281 -250,362 -10,086 2115,511 204,736 0,974 0,976
-0,144 -0,744 -0,414 -1,871 17,013
Berdasarkan uji t, diketahui ada variabel 4 variabel yang usahatani padi irigasi, sedangkan sisa 4 variabel lainnya tidak diolah kembali dengan menggunakan metode backward untuk menghilangkan variabel-variabel independent yang memiliki dependent. Hasilnya disajikan pada tabel 5 sebagai berikut:
0,867 0,418 0,342 0,061 0,000
mempengaruhi tingkat keuntungan berpengaruh nyata. Kemudian data mendapatkan hasil terbaik dengan korelasi tinggi terhadap variabel
Tabel 5. Hasil analisis regresi tingkat keuntungan usahatani padi (tahap kedua)
Vareabel Konstanta Luas Tanam(X1) Harga GKP(X2) Harga Urea(X5) Harga Pestisida(X6) Produksi Padi(X8) F-hitung R2 adjusted R2
Koef. Regresi -6030184 2609183 2375,572 -462,178 -8,609 2218,157 297,723 0,975 0,976
t-hitung -4,732a 3,904a 5,239a -2,142c -3,251b 18,164a
Sig. 0,000 0,001 0,000 0,041 0,003 0,000
Keterangan: a. Nyata pada taraf kepercayaan 99,99 persen b. Nyata pada taraf kepercayaan 99,97 persen c. Nyata pada taraf kepercayaan 95,80 persen
Model faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi di Kecamatan Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur : Y= - 6030184 +2609183X1+2375,572X2 -462,178 X5 -8,609X6 +2218,157X8 Nilai koefisien determinasi (R2) memberikan informasi proporsi variasi dalam faktor yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama. Kecocokan model dikatakan lebih baik kalau R2 semakin mendekati nilai 1 (Gujarati, 2000). Pada tabel terlihat nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,976 yang berarti sekitar 97,6 persen dari variasi produksi padi dijelaskan oleh variabel Independennya/bebasnya yaitu luas tanam, harga GKP, harga pupuk Urea, harga pestisida, dan produksi padi. Sedangkan 2,4 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi. Nilai F-hitung sebesar 297,723 yang berarti lebih besar dari f-tabel pada tingkat kepercayaan 99,99 persen yaitu f 0,01 (6;41)= 3,67. Dengan demikian secara keseluruhan semua variabel independen/bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani padisawah irigasi di Kabupaten OKU Timur. Untuk mengetahui pengaruh antara variabel Independen/bebas terhadap dependen variabel (keuntungan usahatani padi) dapat dijelaskan sebagai berikut: Faktor luas tanam padi (X1) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen. Nilai koefisien regresi yang positif berarti semakin besar luas tanam yang dimiliki, maka akan semakin besar produksi padi yang dihasilkan dan keuntungan yang diperoleh petani juga semakin besar. Berarti kenaikan dan penurunan luas tanam padi berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
255
S. Hanapi/Analisis Faktor-Faktor Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Kabupaten ...
Faktor harga GKP (X2) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen. Nilai koefisien regresi yang positif berarti semakin tinggi harga GKP sebagai harga jual produksi, maka akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh petani juga semakin tinggi. Hal ini berarti kenaikan dan penurunan harga GKP padi berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi. Faktor harga pupuk Urea (X5) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan usahtani padi irigasi pada taraf kepercayaan 95,90 persen. Nilai koefisien regresi yang negatif berarti semakin tinggi harga pupuk Urea, maka keuntungan yang diperoleh petani akan menurun. Hal ini berarti kenaikan dan penurunan harga pupuk Urea berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi. Faktor harga pestisida (X6) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan usahtani padi pada taraf kepercayaan 99,70 persen. Nilai koefisien regresi yang negatif berarti semakin tinggi harga pestisida, maka keuntungan yang diperoleh petani akan menurun. Hal ini berarti kenaikan dan penurunan harga pestisida berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi irigasi. Faktor produksi padi (X8) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan usahtani padi irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen. Nilai koefisien regresi yang positif berarti semakin tinggi jumlah produksi padi, maka akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh petani juga semakin tinggi. Hal ini berarti kenaikan dan penurunan jumlah produksi padi berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi.
KESIMPULAN Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Keuntungan rata-rata rumah tangga petani padi sawah irigasi di Kecamatan Buay Madang Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur sebesar Rp.13.431.000,-. pada MT I/MHI, pada MT II/MKI Rp. 10.982.000,- dan pada MT III/MK II sebesar Rp. 6.871.000. per hektar. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keuntungan uisahatani padi sawah irigasi adalah luas tanam, harga GKP, harga pupuk Urea, harga pestisida dan jumlah produksi padi. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2011. Kajian Laba dan Titik Impas Usahatani Padi Hibrida di Sulawesi Tenggara, JPPTP, Balai Besar Pengakjian dan Pengembangan Pertanian, Litbang Kementan, Vol.14 Nomor 3. Bogor BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2012. Sumatera Selatan dalam Angka tahun 2012.Badan Pusat Statistik Sumsel. Palembang. Gujarati, D. dan Zain, S, 2000. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta. Hariati, 2008, Program-program Sektor Pertanian yang Berorientasi Penganggulangan Kemiskinan, Dalam Prosiding Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, DEPTAN, Bogor Hermanto. 2007. PTT, Andalan Peningkatan Produksi Padi Nasional. Puslitbang Tanaman Pangan; Warta Litbang Pertanian. 29 (2); hal. 14-15. Lains, Alfian. 2006. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jilid II. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Lokollo, EM dan Friyanto,S, 2007, Peran Sektor Pertanian Dalam Pendapatan Rumah Tangga, Dalam Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: mencari alternatif arah pengembangan ekonomi rakyat, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, DEPTAN, Bogor Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Ghalia Indonesia. Jakarta. Suryana, A. Dan Mardianto, S. 2001, Bunga Rampai Ekonomi Beras, LPEM-FEUI, Jakarta Soetrisno L, 2002, Paradigma Baru Pembanguan Pertanian, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
256 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
OPTIMALISASI KONSEP GREEN BUILDING DALAM PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA PALEMBANG 1) Sitti Sarifah2) Abstract: Development of cities in Indonesia today has led to rapid population growth and changes in urban land use from non-built up land into built up land becoming massive. The situation brought more negative implications for soil and water conditions because in general building construction in Palembang currently did not follow the GBCI (Green Building Council of Indonesia) concept of green building. So more and more waste, rubbish, and pollution generated and exceed the capacity of local land. Construction concepts that encourage energy efficiency, protection of soil and water, and waste recycling has been widely applied by several buildings in Jakarta. The application of the concept of optimization strategies include: cooperation among the relevant agencies, GBCI, and universities; utilize public facilities; utilize certain public activities; cooperation with the public/ private partnership to produce goods and services that support green building concept, as well as working with schools,local mass media, local television media, Head of RT (neighborhood), and RW (neighborhoods) Chairman. Keywords: green building concept, urban land use, optimization 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Universitas Indo Global Mandiri Palembang
PENDAHULUAN
B
umi ini satu tetapi dunia tidak. Manusia dengan segala macam dinamikanya telah menyebabkan perubahan yang begitu pesat dalam abad terakhir ini. Perkembangan penduduk dan teknologi telah memacu perilaku konsumsi menjadi semakin tak terbatas dan tak terkendali. Akan tetapi manusia tidak menyadari bahwa ada bencana besar sedang menunggu, apabila ia tidak berusaha menyeimbangkan dirinya dengan alam. Berbagai macam kebutuhan yang timbul akibat perkembangan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi harus diatur sedemikian rupa sehingga pembangunan yang terjadi tidak perlu bertentangan dengan ekosistem alam yang sudah berjalan sekian lama. Hal ini penting demi keberlanjutan manusia itu sendiri karena dua ancaman terbesar bagi masa depan perkotaan adalah kemiskinan dan pencemaran lingkungan (polusi) (WCED, 1987). Perkembangan kota-kota di Indonesia dewasa ini telah menyebabkan pesatnya pertambahan penduduk dan perubahan penggunaan lahan perkotaan dari lahan non-terbangun menjadi lahan terbangun secara masif. Situasi tersebut lebih banyak membawa implikasi negatif terhadap kondisi tanah dan air karena pada umumnya konstruksi bangunan di Palembang saat ini belum mengikuti konsep green building dari GBCI (Green Building Council Indonesia). Sehingga semakin banyak limbah, sampah, dan polusi yang dihasilkan dan melampaui daya tampung lahan setempat. Konsep konstruksi yang mendorong efisiensi energi, perlindungan tanah dan air, serta daur ulang sampah ini telah banyak diterapkan oleh beberapa bangunan di Jakarta, Kota Chicago di Amerika Serikat, bahkan Palembang.
TOPIK PEMBAHASAN Perkembangan Kota-kota di Indonesia dan Kota Palembang Pesatnya kemajuan teknologi telah mendorong migrasi penduduk ke perkotaan karena asumsi masyarakat pada umumnya bahwa kota merupakan sumber mata pencaharian yang paling strategis. Pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tidak terkendali telah menyebabkan ketidakseimbangan percepatan beban kota dengan percepatan kelengkapan sarana prasarana terutama terkait drainase, Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
257
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
sanitasi, transportasi, permukiman, dan persampahan. Akibatnya, kota-kota di Indonesia memiliki banyak permasalahan yang hampir serupa, seperti Jakarta dengan kesemrawutannya, Medan dengan polusi dan kepadatannya, Bandung dengan sampahnya, kemudian demikian pula Kota Palembang. Pemerintah kota umumnya tidak mampu untuk menyelesaikan semua permasalahan kota yang timbul akibat pola dan struktur ruang kota yang tidak terencana tersebut sendirian. Pemerintah membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak stakeholders untuk menyelesaikan permasalahan perkotaan yang timbul, dimana diantaranya seperti: a) Umumnya pembangunan lokasi dilakukan dengan tidak tepat dalam cara maupun lokasi. Hal ini dibuktikan oleh banyak contoh. Diantaranya: kekumuhan di Kota Jakarta, kemacetan, banjir, dan kekeringan di perkotaan.
Gambar 1. Kekumuhan dan Kemacetan di Kota Jakarta (Sumber: www.finance.detik.com, 2009 dan www.suarapengusaha.com, 2012)
Firdaus Ali dari Badan Regulator PAM DKI Jakarta dalam National Geographic Indonesia edisi Agustus 2009 menyatakan bahwa di daerah Pademangan Timur, Jakarta Utara, harga air pernah mencapai Rp. 37 ribu hingga Rp. 75 ribu per meter kubik. Harga tersebut dikarenakan keterbatasan sumber daya air yang dimiliki Jakarta. Dalam sebuah liputan khusus Metrotv (2013) juga diperlihatkan bagaimana kebutuhan sanitasi (WC dan KM) di daerah Jakarta terutama di kantongkantong kumuh sangat besar, tetapi sangat minim sarana.
Gambar 2. Seorang Penjaja Air Sedang Mengisi Jerigen di Jakarta Utara (Sumber: National Geographic Indonesia, 2009)
b) Ketiadaan konservasi dan efisiensi energi. Contoh fenomena tersebut adalah kebutuhan Bahan Bakar Minyak di Indonesia yang sangat boros sehingga menghabiskan 300 triliun dana APBN pada tahun 2012 (sumber: Detikfinance, 2012) hanya untuk subsidi BBM, padahal apabila dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur di daerah terpencil, sarana transportasi publik, proyek pembangunan ramah lingkungan, dan sebagainya, justru akan lebih efektif dan efisien. Hal ini menyebabkan banyaknya demonstrasi ketika pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Meskipun demikian, sudah sepantasnya diakui bahwa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perkotaan sudah banyak berusaha untuk menekan kebutuhan BBM dengan banyak cara, diantaranya yakni dengan bus rapid transit, pembangunan SPBG, dan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan gas.
258 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
Gambar 3. Aksi-aksi Demonstrasi Mahasiswa dan Buruh Menolak Kenaikan Harga BBM (Sumber: Okezone dan Kompas, 2013)
c) Ketiadaan konservasi terhadap air. Perlindungan terhadap badan air alami maupun badan air buatan manusia sendiri sangat perlu untuk ditingkatkan. Fenomena yang ada saat ini di masyarakat justru sebaliknya seperti pada Gambar 4, masyarakat membuang sampah dan limbah rumah tangga ke saluran drainase kota dan/atau sungai. Padahal banjir di perkotaan umumnya disebabkan oleh kurangnya wadah untuk air hujan meresap ataupun mengalir. Contoh bukti ketiadaan konservasi air yakni: banjir, kurangnya Instalasi Pengolahan Air Limbah, banyak saluran air kotor mampat/ tersumbat, saluran drainase mampat, dan kekeringan.
Gambar 4. Saluran Drainase Mampat dan Harus Dibersihkan (Sumber: Pos Kota dan Radar Sukabumi 2013)
d) Ketiadaan daur ulang terhadap sumber daya material. Pertambahan penduduk perkotaan menyebabkan berkurangnya jatah sumber daya bagi masing-masing orang. Contoh sumber daya yang menjadi kian terbatas yakni, sumber daya air, listrik, sumber daya lahan untuk tempat tinggal maupun usaha, ruang terbuka hijau, dan sebagainya. Hal ini harus disadari oleh setiap warga kota agar sumber daya alam yang ada saat ini dapat dihemat dan dilestarikan keberadaannya untuk generasi mendatang. Bentuk-bentuk akibat ketiadaan kesadaran untuk daur ulang antara lain: sampah menggunung di Tempat Pembuangan Akhir dan Tempat Pembuangan Sementara, sungai menjadi lautan sampah, dan sebagainya. Seperti contoh di bawah ini Sungai Citarum, dimana sungai ini menyediakan sekitar 80% persediaan air untuk kebutuhan air di Jakarta, menyalurkan irigasi pertanian yang memasok 5% beras Indonesia, dan sumber air untuk lebih dari 2.000 pabrik (World Water Week in Stockholm, 2010 dalam www.worstpolluted.org, 2013)
Gambar 5. Kondisi Sungai Citarum di Jawa Barat (Sumber: The Sun, 2009 dan The Guardian, 2008)
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
259
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
e) Kurangnya kenyamanan dan kesehatan ruang. Adapun contoh dari kondisi ini diantaranya: banyaknya polusi asap rokok dalam ruang karena kebiasaan merokok yang sukar dihilangkan, beban listrik AC yang semakin besar dikarenakan iklim mikro perkotaan semakin panas, dan tingkat kebisingan tinggi. f) Ketiadaan manajemen lingkungan bangunan. Hal ini menyebabkan banyak limbah rumah tangga/ industri, sampah rumah tangga/ industri yang tidak dikelola dengan baik dan justru merusak alam. Contoh kasusnya yakni: sampah dibuang sembarangan ke sungai atau lahan kosong meski sudah ada papan aturan larangan membuang sampah sembarangan, limbah industri/RT dibuang ke badan air tanpa diolah, dan sebagainya.
Gambar 6. Limbah Rumah Tangga yang Tidak Diolah di Pasar Perumnas Palembang (Sumber: Survei, 2013)
Konsep Green Building dari Green Building Council Indonesia Konsep ini mengarahkan pada pembangunan bangunan dan sekitarnya dengan prinsip ramah lingkungan. Hal ini menjadi salah satu solusi penting dalam perencanaan pembangunan di perkotaan karena semakin banyak individu-individu atau komunitas maupun badan usaha yang mampu dan bersedia menerapkan konsep ini, maka konservasi tanah dan air di perkotaan dapat diimplementasikan dengan masif. Adapun konsep ini mencakup: a. Appropriate Site Development (Pembangunan Lokasi dengan Tepat) Prasyarat dari konsep yang pertama ini diantaranya seperti: • Basic Green Area dimana bertujuan memelihara atau memperluas kehijauan kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Selain itu untuk mengurangi limpasan permukaan beban sistem drainase dan meminimalkan dampak negatif terhadap neraca air bersih dan sistem air tanah selama penggunaan bangunan. Contoh penerapan yang sudah dilakukan pemerintah adalah memindahkan permukiman kumuh menuju rusun yang memiliki RTH sehingga manajemen efektivitas lahan tercapai. Termasuk dalam RTH yakni roof garden (taman di atas atap) untuk mengantisipasi kekurangan lahan di perkotaan namun tetap dapat memiliki ruang hijau.
Gambar 7. Rusun Marunda di Jakarta (Sumber: Sindonews, 2013)
• Site Selection bertujuan menghindari pembangunan di area greenfield/ menghindari pembukaan lahan baru
260 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
• Community Accessibility bertujuan untuk mendorong pembangunan di tempat yang sudah memiliki jaringan konektivitas dan meningkatkan pencapaian pengguna gedung sehingga mempermudah masyarakat dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. • Public Transportation bertujuan mendorong penghuni dan tamu gedung untuk menggunakan kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Gambar 8. Monorel Indonesia: a. Buatan Konsorsium BUMN; b. PT Melu Bangun Wiweka/ Swasta (Sumber: Vivalog dan Republika Online, 2013)
• Bicycle bertujuan untuk mendorong penggunaan sepeda bagi penghuni dan tamu gedung dengan memberikan fasilitas yang memadai bagi pengguna sepeda sehingga dapat mengurani penggunaan kendaraan bermotor. • Site Landscaping bertujuan untuk memelihara atau memperluas kehijauan kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Mengurangi limpasan permukaan beban sistem drainase dan meminimalkan dampak terhadap neraca air bersih dan sistem air tanah, mengurangi urban heat island, reduksi CO2 dan zat polutan lain, pencegah erosi, konservasi lahan dan penanganan polusi. • Micro Climate bertujuan untuk memperbaiki kondisi microclimate mencakup kenyamanan suhu, angin dan kualitas lingkungan manusia di luar ruangan pada sekeliling bangunan sehingga mempengaruhi kondisi udara di dalam ruangan. • Storm Water Management bertujuan untuk mengurangi beban jaringan drainase kota akan limpasan air hujan baik secara kuantitas maupun kualitas, dengan sistem manajemen air hujan secara terpadu. b. Energy Efficiency and Conservation (Konservasi dan Efisiensi Energi) Prasyarat dari konsep yang kedua ini diantaranya seperti: electrical sub metering (fasilitas pendukung prosedur pemantauan dan pencatatan konsumsi listrik), energy efficiency measure (penghematan konsumsi energi melalui aplikasi langkah-langkah efisiensi energi), natural lighting, ventilation, climate change impact, dan on site renewable energy (penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang bersumber dari dalam tapak).
Gambar 9. Mobil Listrik Buatan Indonesia Dipamerkan di APEC Bali 2013 (Sumber:
www.harianrakyatbengkulu.com, 2013)
c. Water Conservation (Konservasi Air) Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
261
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
Prasyarat dari konsep yang ketiga diantaranya seperti: water metering (pengontrolan penggunaan air sehingga dapat menjadi dasar penerapan manajemen air yg lebih baik), water use reduction, rainwater harvesting (penggunaan air hujan/limpasan air hujan sebagai salah satu sumber air), water recycling (menyediakan air dari sumber daur ulang air limbah gedung untuk mengurangi kebutuhan air dari sumber air utama), alternative water resource (misalnya: air kondensasi AC, air bekas wudhu, atau air hujan), water fixtures, water efficiency landscaping (efisiensi dalam lansekap lebih ditujukan pada upaya untuk meminimalisasi penggunaan sumber air bersih dari air tanah dan PDAM untuk kebutuhan irigasi lansekap dan menggantinya dengan sumber air lain).
Gambar 10. Sistem Rainwater Harvesting di Perkotaan (Sumber: www.tataruangindonesia.com, 2013)
d. Material Resource and Cycle (Daur dan Sumber Daya Material) Prasyarat dari konsep yang keempat diantaranya seperti: fundamental refrigerant (mencegah pemakaian bahan perusak atmosfer), building and material reuse, environmentally processed product (menggunakan bahan bangunan hasil fabrikasi yang menggunakan material dan proses produksinya ramah lingkungan), certified wood (menggunakan bahan baku kayu yang dapat dipertanggungjawabkan asalnya usulnya untuk melindungi kelestarian hutan), modular design (meningkatkan efisiensi dalam penggunaan material dan mengurangi sampah kontruksi), dan regional material (mengurangi jejak karbon dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri).
Gambar 11. Ruang Kantor, Bar Espresso, sekaligus Ruang Musik yang Dibangun dari Mesin Cuci yang Dibuang; Didesain oleh Arsitek Belanda (Sumber: Architechten, 2012)
262 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
Gambar 12. Sebuah Rumah Baru dari Kontainer-kontainer Bekas di Sydney dengan 3 Kamar Tidur (Sumber: Architechten, 2012)
Gambar 12. Beragam Barang Perabotan Rumah Tangga dari Sampah Plastik di Palembang (Sumber: Survei, 2013)
e. Indoor Air Health & Comfort (Kenyamanan dan Kesehatan Ruang) Prasyarat dari konsep yang kelima diantaranya seperti: CO2 monitoring (memonitor konsentrasi CO2 dalam mengatur masukan udara segar sehingga menjaga kesehatan pengguna gedung), environmental tobacco smoke (pengaturan paparan asap rokok dalam ruangan), chemical pollutan (Mengurangi polusi zat kimia berbahaya didalam ruangan untuk menjaga kesehatan manusia), outside view (mengurangi kelelahan mata dengan memberikan pemandangan jarak jauh dan menyediakan koneksi visual keluar gedung), visual comfort, dan thermal comfort (menjaga kenyamanan termal ruangan yang dikondisikan stabil). f. Building Environmental Management (Manajemen Lingkungan Bangunan) Prasyarat dari konsep yang keenam diantaranya seperti: basic waste management (pemilahan sampah semenjak dari rumah untuk mempermudah proses daur ulang), pollution of construction activity (pengurangan sampah yang dibawa ke TPA dan polusi dari proses konstruksi), advance waste management (mendorong manajemen sampah secara terpadu sehingga mengurangi beban TPA), dan occupant survey (mengukur kenyamanan pengguna gedung melalui survei baku terhadap pengaruh desain dan sistem pengoperasian gedung). Contoh Implementasi Konsep Green Building a. Chicago Terdapat banyak gedung di Chicago, Illinois, Amerika Serikat ini yang sudah berusaha menerapkan roof garden untuk mengatasi banjir dan menghemat AC. Adapula gedung percontohan yang telah memiliki sertifikasi LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) yakni Chicago Center For Green Technology (CCGT).
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
263
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
Gambar 13. a. Museum Ilmu Pengetahuan dan Industri Chicago; b. CCGT (Sumber: Kinasih, 2009)
b. Palembang Di Kota Palembang sudah ada beberapa kelurahan yang menerapkan bank sampah sehingga memacu masyarakat untuk memilah sampah-sampahnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah di Palembang sudah banyak yang mendidik siswa-siswinya untuk mengolah sampah. Selain itu, ternyata sudah banyak gedung-gedung yang memiliki roof garden.
Gambar 14. Roof Garden di Gedung KONI dan di Rumah Tenun Jalan Tamansiswa (Sumber: Survei, 2013)
c. Jakarta Menurut Ketua Green Building Council Indonesia (GBCI) Naning Adiwoso sampai saat ini, di Indonesia baru ada sekitar 8 bangunan yang menerapkan green building. Yakni: 5 bangunan baru (gedung Kementerian PU, Institut Teknologi & Science Bandung Deltamas, Perkantoran Dahana Subang, Kampus Prasetya Mulya, dan Kuningan Tower) dan 3 bangunan lama yang direvitalisasi dengan green building (Grand Indonesia-BCA Tower, Sampoerna Strategic Square, dan German Centre BSD). Gedung baru di Kementerian PU Pusat di Jakarta bisa menghemat listrik hingga 44%, juga menghemat air hingga 81%. Pengelolaan airnya dimanfaatkan, ditampung untuk siraman pohon. Air dari kamar madi memiliki water treatment (Kepala Puskom Publik Kementerian PU, Danis Sumadilaga dalam Gatra, 2013). Untuk mendorong masyarakat membuat bangunan green building, Kementerian PU mempercepat penerbitan Perda BG menuju bangunan berkelanjutan. Menurut Dirjen Cipta Karya Kementerian PU, Imam Ernawi, pemerintah menargetkan pada 2013 sudah ada 50% kabupaten/kota dari total 497 kabupaten/kota sudah menerbitkan Perda BG. Saat ini baru 23,89% dari mereka yang sudah memiliki, sisanya pada 2015 semuanya diharapkan sudah menerbitkan. Dukungan kedua adalah memberikan percontohan green building pada bangunan gedung pemerintah. Dukungan ketiga adalah mengembangkan kapasitas para pelaku bangunan gedung, menyangkut Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Sertifikasi Laik Fungsi (SLF), Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG), pendataan, dan Pengkaji Teknis. Dukungan keempat, memberikan penghargaan kepada pihak yang telah menerapkan green building dengan membebaskan PBB, dan bentuk lain. Dukungan kelima, Kementerian PU akan mengeluarkan pedoman teknis bangunan hijau dalam Permen PU (Gatra, 2013).
264 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ...
Strategi Optimalisasi Konsep Green Building Untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Perkotaan Strategi optimalisasi penerapan konsep ini diantaranya: a. Kerjasama dinas-dinas terkait dengan GBCI dan universitas setempat untuk sosialisasi kepada seluruh stakeholder (termasuk masyarakat, kontraktor, konsultan, investor, dan pemilik lahan) mengenai urgensi penerapan konsep green building beserta penjelasan manfaat, kriteria penilaian, dan cara-cara penerapannya. b. Memanfaatkan sarana publik untuk kampanye konsep green building, seperti LCD di bundaran Masjid Agung, light box seperti di sepanjang jalan-jalan protokol di Palembang, dan papan pengumuman di kantor-kantor kecamatan/ kelurahan/ Puskesmas/ Puskesdes.
Gambar 15. LCD di Bundaran Masjid Agung Palembang (Sumber: survei, 2013)
c. Memanfaatkan kegiatan-kegiatan publik tertentu untuk menyebarkan informasi mengenai urgensi konsep green building, seperti PNPM Mandiri, penyusunan RDTR oleh Bappeda Kota Palembang, Pemilukada, dan/atau Pemilu Nasional. d. Kerjasama dengan masyarakat/ swasta untuk memproduksi barang/ jasa yang mendukung berbagai aplikasi yang tercakup dalam enam konsep green building e. Kerjasama dengan sekolah-sekolah, Ketua RT, dan Ketua RW setempat
KESIMPULAN Perkembangan kota-kota di Indonesia menuntut adanya penggunaan lahan yang besar dan cenderung merusak tanah dan air. Akan tetapi, masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan konservasi dalam penggunaan lahan perkotaan diantaranya dengan mengoptimalkan 6 konsep green building yang diterbitkan oleh GBCI. DAFTAR PUSTAKA Architechten. 2009. Incredible buildings made from recycled materials. Diakses di http://knowledge.allianz.com/environment/pollution/?722/incredible-buildings-made-from-recycledmaterials-gallery# Detikfinance, Dewi Rachmat Kusuma. 2012. Daripada 'Bakar' Rp 300 T Untuk Subsidi BBM, Mending Bangun Transportasi Massal. Diakses di http://finance.detik.com/read/2012/ 12/29/155659/2129530/1034/daripadabakar-rp-300-t-untuk-subsidi-bbm-mending-bangun-transportasi-massal Detikfinance, Suhendra. 2009. Diakses di http://finance.detik.com/read/2009/09/30/ 140503/1211878/4/ri-siapbebaskan-350-kota-dari-kekumuhan-hingga-2015 Gatra. 2013. Baru 8 Gedung Ini Berkonsep Green Building. Diakses di http://www.gatra.com/nusantara1/nasional-1/29575-di-indonesia-baru-8-gedung-berkonsep-green-building,-apa-saja.html Kinasih, S.S.K., 2009, Strategi dan Skenario Perencanaan Kota Chicago, Illinois, AS, Skripsi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kompas, Putra Prima Perdana. 2013. Buruh dan Mahasiswa Bergabung Demo Tolak Kenaikan BBM. Diakses di http://regional.kompas.com/read/2013/06/17/13530380/
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
265
Sitti Sarifah/Optimalisasi Konsep Green Building dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ... National Geographic Indonesia, Reynold Sumayku, Zika Zakiya. 2013. Air, Emas Bening Nan Mahal. Diakses di http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/06/air-emas-bening-nan-mahal Okezone, Bramantyo. 2013. Demo Tolak Kenaikan BBM, Mahasiswa Keroyok Dandim Solo. Diakses di http://jogja.okezone.com/read/2013/06/17/511/823085/redirect Pos Kota. 2012. Sampah Bikin Mampet Saluran. Diakses di http://m.poskotanews.com/ 2012/01/20/sampahbikin-mampet-saluran/ Radar Sukabumi. 2013. Lagi, Drainase dekat Adipura Dikeluhkan. Diakses di http://radarsukabumi.com/?p=63363 Republika Online. 2013. In Picture: Ini Dia Monorel 'Made In Bekasi'. Diakses di http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/02/13/mhdyko-ini-dia-monorel-made-inbekasi Sindonews, Dian Ramdhani. 2013. Rusun Marunda prioritas warga Waduk Pluit? Diakses di http://metro.sindonews.com/read/2013/02/02/31/713683/rusun-marunda-prioritas-warga-waduk-pluit The Guardian. 2008. Pollution in the Citarum river, Indonesia. Diakses di http://www.theguardian.com/environment/gallery/2008/dec/05/water-pollution-citarumriver?picture=340412058 The Sun. 2009. Tide of filth ... the dirtiest river. Diakses di http://www.thesun.co.uk/ sol/homepage/features/2757558/Tide-of-filth-the-dirtiest-river.html Vivalog. 2013. Ironis, Monorel Indonesia Tak Laku di Dalam Negeri. Diakses di http://log.viva.co.id/news/read/432634-ironis--monorel-indonesia-tak-laku-di-dalam-negeri World Commission on Environment and Development (WCED), Hari Depan Kita Bersama,1988, Gramedia: Jakarta www.harianrakyatbengkulu.com. 2013. Dukung Mobil Listrik Nangkring di APEC 2013. Diakses di http://harianrakyatbengkulu.com/dukung-mobil-listrik-nangkring-di-apec-2013/ www.suarapengusaha.com, Iwan Galuh, 2012, Kemacetan Jakarta. Diakses di http://suarapengusaha.com/2012/10/17/secepatnya-mobil-dari-bekasi-dilarang-masuk-jakarta/kemacetanjakarta-ist-2/ www.tataruangindonesia.com. 2013. Integrated Rainwater Harvesting (Sistem pemanenan air terintegrasi). Diakses di http://www.tataruangindonesia.com/fullpost/kajian/ 1366711848/integrated-rainwater-harvestingsistem-pemanenan-air-terintegrasi.html Www.worstpolluted.org. 2013. Citarum River, Indonesia. Diakses di http://www.worstpolluted.org/ files/FileUpload/files/2013/Citarum%20River.pdf
266 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
PAGAR HIDUP BERLAPIS: FILOSOFI DAN BEST PRACTICE KONSERVASI VEGETATIF 1) Sri Tejowulan2) Abstrak: Pengembangan pertanian di wilayah lahan kering banyak menghadapi tantangan agroklimat, sosialbudaya, kelembagaan dan ekonomi yang tidak mudah diatasi. Tujuan dari makalah ini adalah untuk melihat dan memahami hakekat tantangan dan potensi pengembangan pertanian mikro di wilayah lahan kering dan memperkenalkan sistem Pagarhidup Berlapis (Pagar Tejo) sebagai model agroforestry (pertanian terpadu) berbasis sumberdaya lokal yang ekonomis, berkesinambungan, dan ramah lingkungan. Adapun kegunaan dari telaah makalah ini adalah tersedianya model atau skenario yang dapat dijadikan pedoman dalam upaya konservasi tanah dan air, pengentasan kemiskinan dan peningkatan produktivitas lahan kering dalam rangka pencapaian ketahanan pangan, ekonomi, dan tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Pagarhidup Berlapis adalah system agroforestri yang memadukan berbagai kombinasi pepohonan, perdu, rerumputan, ternak dan pakan ternak, perikanan, dan/atau berbagai jenis tanaman lainnya dalam satu bidang lahan yang sama yang didesain timur barat untuk pengoptimalan pemanfaatan lahan dan pencahayaan matahari. Dalam implementasinya Pagarhidup Berlapis menekankan pentingnya peningkatan income petani, deversifikasi produk, dan pelestarian lingkungan. Pagarhidup Berlapis lahir dari hasil merantai fakta-fakta, phenomena alam, dan kemampuan serta kebiasaan masyarakat lokal. Sistem Pagarhidup Berlapis bekerja sebagai berikut: berbagai jenis tanaman kayu, perdu, dan/atau rumput penghasil pakan ternak ditanam secara berlapis-lapis, arah TimurBarat dengan jarak antar baris 2,5-3.0 meter atau disesuaikan dengan kebutuhan petani. Berbagai tanaman pangan, hortikultura, sayuran, herbs, umbi-umbian, dan/atau tanaman-tanaman industri bernilai ekonomis ditanam dibawah dan/atau diantara barisan pagar, sebagai bagian dari diversitas tanaman pertanian yang diusahakan, dan dalam rangka mencapai ketahanan pangan dan ekonomi, serta pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Tanaman pepohonan/kayu dan ternak ruminant (kambing, domba, sapi, kerbau, dan/atau kuda) merupakan bagian integral dari Pagarhidup Berlapis dan merupakan sumber pendapatan utama bagi petani. Pagarhidup berfungsi utama sebagai sumber hijauan pakan ternak yang melimpah sepanjang tahun. Tanamantanaman yang ditanam dibawah dan/atau diantara barisan pagar berperan sebagai penghasil pendapatan sampingan/tambahan yang cukup besar dan dalam rangka mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Kata Kunci: lahan kering, pagarhidup berlapis, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, pelestarian lingkungan 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram
PENDAHULUAN
P
embangunan pertanian dan pengembangan system dan teknologi pertanian harus terus dilakukan untuk mengantisipasi bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan akan mencapai jumlah 300 juta orang pada tahun 2025. Secara teknis peningkatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia di masa datang dapat dicapai, namun permasalahan utama terletak pada praktek pertanian yang dipilih dan diterapkan sering tidak memadai. Pemilihan dan penerapan system/teknologi pertanian secara tidak tepat tidak hanya menguras dan merusak sumberdaya alam dan lingkungan yang ada namun juga dapat membawa petaka dan kegagalan pemerintah dalam mencapai pemenuhan kebutuhan pangan.
Pada saat ini tercatat semakin banyak lahan pertanian dan perhutanan yang mengalami degradasi (baik secara fisik, kimia, maupun biologi), yaitu menurunnya fungsi dan kualitas tanah yang disebabkan oleh penggunaan dan pengelolaan tanah secara tidak bijak. Tanah kehilangan materialnya, mengalami pemadatan, pemasaman, salinisasi, alkalinisasi, kontaminasi atau pencemaran, berkurang unsur haranya, dan miskin aktivitas mikro flora dan fauna di dalamnya. Bahkan sebagiannya telah mengalami kerusakan parah sehingga lahan tersebut tidak dapat digunakan lagi sebagai lahan untuk berproduksi (ultimate degradation). Tanah-tanah tersebut harus direhabilitasi sebelum dapat dimanfaatkan kembali. Karena setiap tanah memiliki sensitivitas yang berbeda, maka pengelolaan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
267
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
atau intervensi pada setiap tanah harus disesuaikan dengan sifat-sifat inherent dan sensitivitas dari masing-masing jenis tanah. Mengingat adanya ancaman terhadap kelestarian tanah/lahan dan kelangsungan aktifitas pertanian, maka system/teknologi pertanian yang ekonomis, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan harus terus dikembangkan. Pada kenyataannya teknologi dimaksud sebenarnya telah banyak tersedia dan siap untuk diadopsi dan disebarluaskan. Tetapi karena setiap tempat memiliki ciri-ciri ekologi khusus yang tidak dimiliki oleh tempat lain maka paket teknologi pertanian yang telah teruji di suatu tempat tidak dapat ditransfer begitu saja secara utuh ke tempat lain. Walaupun demikian prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya tetap dapat diadopsi untuk diuji dan dikembangkan di tempat lain. Prinsip-prinsip sistem pertanian yang ekonomis dan ekologis telah disepakati oleh para ahli, diantaranya adalah: (1) memiliki kemampuan untuk mencegah erosi dan meningkatkan konservasi air, (2) mampu meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan unsur hara, dan (3) memiliki kemampuan untuk menekan gulma dan mengontrol penyebaran hama dan penyakit. Agroforestri adalah satu bentuk sistem pertanian yang memiliki kriteria dan kemampuan seperti dimaksudkan; berbagai tanaman pangan, ternak, dan pepohonan (buah-buahan dan produk kayu) ditanam pada sebidang lahan pertanian yang sama dengan tujuan untuk: (1) mengambil hasilnya, (2) mengkonservasi tanah dan air, dan (3) menjaga keseimbangan ekologi. Sistem Tumpangsari, Alley cropping, Tri Strata, agrosylvopastural, dan Kebun Campuran adalah contoh-contoh dari perwujudan sistem agroforestri yang memiliki sifat keberlanjutan tersebut. Namun, walaupun teknik-teknik agroforestri ini telah lama dikenal dan dipraktekkan secara luas oleh masyarakat Indonesia, pada kenyataannya belum tampak kontribusi yang nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memecahkan masalah kesejahteraan masyarakat yang belum bisa dicapai melalui sistem tumpangsari, allay cropping, tristrata, agrosylvopastural, dan kebun campuran tersebut dan dengan memperhatikan segala faktor yang ada di wilayah lahan kering, maka Tejowulan (2002) memperkenalkan teknologi agroforestri atau pertanian terpadu yang dinamakan sistem “Pagarhidup Berlapis” atau yang sering disebut dengan Pagar Berlapis atau Pagar Tejo. Secara teknis sistem Pagarhidup Berlapis adalah teknik Agrosylvopastural yang dilaksanakan dengan cara menanam tanaman pagar penghasil hijauan ternak secara berlapis-lapis pada hamparan tanah yang sama. Dalam prakteknya, hamparan satu hektar lahan dapat ditanami antara 40 hingga 60 baris tanaman pagar sehingga terlihat bahwa tanaman pagar tersebut berbaris-baris atau berlapis-lapis. Tanaman hijauan ternak yang ditanam dapat berupa tanaman pohon (leguminosa) seperti turi, gamal, kaliandra, dan lamtoro dan tanaman-tanaman pohon lainnya seperti waru, kapuk, kelor, imba, jati putih, jabon, dua banga, meranti merah, dan/atau sengon. Pepohonan dan perdu tersebut adalah tanaman penghasil hijauan ternak dan kayu (baik kayu bakar dan/atau kayu bangunan) yang dapat hidup dan beradaptasi dengan baik pada kondisi lahan kering atau lahan kritis. Pagar Hidup Berlapis menitikberatkan pada produksi ternak dan penyediaan pakan ternak sepanjang tahun, teknik ini tetap mengizinkan dilakukannya penanaman tanaman pangan dan palawija, rumput-rumputan, tanaman industri dan tanaman-tanaman lainnya. Hal ini dimungkinkan karena pengaturan barisan dibuat membujur dari arah Timur ke arah Barat sehingga memungkinkan penetrasi cahaya matahari di antara barisan dari pagi hingga sore hari. Singkatnya Pagar Berlapis menjadikan ternak dan kayu sebagai komponen pokok usahatani sedangkan hasil tanaman palawija dan tanaman pangan lainnya hanya sebagai sumber pendapatan tambahan atau sampingan. Hal ini berbeda dengan sistem-sistem pertanian agroforestri lainnya yang menjadikan tanaman pangan dan palawija sebagai komponen pokok, sedangkan ternak hanya sebagai kegiatan sampingan, yang terbukti tidak berhasil mengangkat kesejahteraan petani.
TUJUAN DAN KEGUNAAN Tujuan. Telaah ini bertujuan untuk menyampaikan landasan teori atau filosofi lahirnya system/teknologi pertanian “Pagarhidup Berlapis” dan menyampaikan informasi tentang praktek-praktek penerapannya di lapangan kaitannya dengan upaya-upaya terhadap pemberdayaan dan peningkatan perekonomian 268 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
masyarakat untuk pengentasan kemiskinan, perbaikan dan peningkatan kualitas lahan dan lingkungan, ketahanan pangan, serta pencapaian perwujudan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Kegunaan. Sedangkan kegunaan dari penulisan ini adalah tersedianya model atau skenario praktek pertanian yang dapat dijadikan pedoman dalam upaya pengentasan kemiskinan dan rehabilitasi lahan kritis/rusak dalam rangka pencapaian pembangunan pertanian yang menyejahterakan dan yang berkelanjutan.
DASAR PEMIKIRAN Telaah ini ditulis secara deskriptif. Data dan informasi dikumpulkan, dianalisis, dikaji, dan diinterpretasikan serta dibahas untuk digunakan sebagai jastifikasi dalam menarik kesimpulan dan/atau pemberian saran serta rekomendasi.
PEMBAHASAN Filosofi Pembangunan pertanian di wilayah lahan kering banyak menghadapi berbagai tantangan dan kendala, baik dari aspek iklim, teknik agronomi, ekonomi, maupun sosial budaya dan kelembagaan. Sebagai akibatnya upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kehidupan yang berkualitas di daerah ini menjadi tidak mudah, mahal, dan beresiko kegagalan tinggi. Petani sering mengalami kegagalan tanam dan panen terutama: (1) ketika curah hujan yang diharapkan tidak kunjung tiba, (2) distribusi curah hujan yang tidak merata, (3) sifat curah hujan yang tidak menentu (erratic), dan/atau (4) oleh musim kering yang berkepanjangan yang menyebabkan terganggunya penyediaan air pada saat dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu, tanah yang bersolum dangkal, berbatu, bertekstur pasiran, berstruktur lepas/sarang/dan atau porous, berbahan organik rendah, dan kandungan unsur hara N, P, S, dan unsur-unsur hara mikro yang rendah, menjadi tantangan dan kendala tersendiri bagi keberhasilan budidaya tanaman di lahan kering. Kondisi iklim dan produktivitas lahan yang kurang menguntungkan tersebut sering diperparah oleh kebiasaan petani yang lebih suka mengusahakan tanaman pangan monokultur semusim daripada tanaman tahunan atau pepohonan/perdu. Tanaman pangan semusim umumnya membutuhkan air dalam jumlah besar dibandingkan tanaman tahunan/perdu, dan sebagian sangat sensitif terhadap kekurangan air dan kekeringan sehingga memiliki resiko kegagalan tanam dan panen yang cukup tinggi. Sebaliknya tanaman tahunan (pepohonan/perdu) membutuhkan air dalam jumlah yang relatif kecil dan kurang sensitif terhadap kekeringan dan kekurangan air karena sebagian besar kebutuhan air dapat dipenuhi oleh tanah melalui sistem perakaran dalam yang intensif. Selain itu nilai jual tanaman semusim umumnya rendah karena produknya yang bersifat musiman dan sistem perdagangan yang masih dikontrol dan dikuasai oleh para tengkulak dan pengusaha. Dari uraian diatas tampak jelas bahwa pengembangan wilayah lahan kering seharusnya lebih menekankan pada pemanfaatan peran tanaman tahunan atau pepohonan; utamanya untuk wilayah-wilayah lahan kering yang memiliki musim hujan yang singkat dan musim kemarau/kering yang panjang. Pernyataan tersebut secara implisit merekomendasikan kepada petani untuk mempertimbangkan agroforestri atau pertanian terpadu atau sistem-sistem pertanian lainnya yang mampu mengintegrasikan pepohonan/perdu ke dalam sistem produksinya. Pengembangan sistem pertanian di lahan kering yang seharusnya lebih menekankan dan mengintensifkan peran tanaman tahunan tersebut, pada saat ini tampaknya masih sulit untuk diwujudkan karena kendala ekonomi dan kondisi sosial budaya petani yang sebagian besar masih bersifat subsisten (petani gurem dan buruh tani). Hasil tanaman tahunan yang tidak dapat dinikmati dengan segera dan keterbatasan modal serta biaya untuk pembelian bibit dan pemeliharaan tanaman, merupakan faktor penyebab utama terhambatnya implementasi agroforestri atau pertanian terpadu di wilayah lahan kering. Lebih jauh, di wilayah-wilayah penggembalaan ternak bebas seperti sistem Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
269
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
“LAR” di pulau Sumbawa, praktek pertanian lebih memprihatinkan lagi, dimana gangguan ternak menjadi salah satu faktor utama penyebab kegagalan usahatani, reboisasi, penghijauan, dan upayaupaya budidaya dan pelestarian alam lainnya. Kehidupan di wilayah lahan kering yang serba sulit tersebut telah membentuk sikap dan perilaku tersendiri bagi masyarakatnya. Sebagian besar petani cenderung memiliki sikap kurang percaya diri, apatis, hidup seadanya, kurang kreatif, kurang memiliki kemauan kerja keras, dan sering berorientasi sesaat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Sebagai akibat dari sikap dan perilaku semacam itu, banyak tindakan-tindakan mereka yang merugikan masa depan mereka sendiri, alam secara keseluruhan, dan masyarakat lain dalam ekosistem yang lebih luas. Lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang kurang produktif dan tidak bersahabat terhadap pelestarian lingkungan tersebut, seperti: (1) pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kondisi lahan, (2) pembersihan lahan dengan cara pembakaran, (3) pengolahan tanah secara terbuka pada lahan-lahan miring, (4) pengembalaan ternak secara lepas pada lahan-lahan kritis dan lahan-lahan usahatani, (5) perambahan hutan dan perladangan liar pada kawasan hutan, dan (6) lain sebagainya, semakin memperburuk kondisi perekonomian dan kehidupan mereka. Sebagai akibat dari meluasnya malpraktek pertanian semacam itu: (1) lahan-lahan rusak dan terdegradasi, (2) kritis dan tidak produktif, (3) terlantar, dan (4) bentuk-bentuk pemanfaatan lain yang tidak optimal, semakin besar baik dalam hal jumlah, luasan, maupun sebarannya di wilayah-wilayah lahan kering di Indonesia. Di lain pihak, wilayah lahan kering memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Dari total luas lahan di Indonesia (171 juta Ha) lebih dari 90%-nya merupakan kawasan lahan kering. Di propinsi Nusa Tenggara Barat, dari 2, 02 juta Ha luas daratan yang ada, 84% merupakan kawasan lahan kering; dengan tingkat kepemilikan lahan per keluarga > 2 Ha. Dibandingkan dengan angka rata-rata kepemilikan areal lahan sawah yang hanya sebesar 0,20 Ha per keluarga, angka kepemilikan lahan kering jauh lebih besar, sehingga terbuka peluang yang lebih besar pula untuk meningkatkan kesejahteraan mereka melalui peningkatan produktivitas lahan dan usahataninya. Lebih jauh, lahan kering merupakan tempat diproduksinya berbagai produk-produk bahan ekspor dan bahan baku industri, seperti: kopi, coklat, vanila, mente, melon, tomat, dan lain sebagainya serta ternak yang merupakan sumber pendapatan penting bagi: (1) petani, (2) pendapatan asli daerah (PAD), dan (3) devisa Negara, yang sekaligus menjadi kekuatan keunggulan komparatif daerah yang sangat penting dalam era otonomi daerah dan globalisasi seperti sekarang ini. Dengan memperhatikan tantangan dan ancaman serta kekuatan dan peluang yang ada di wilayah lahan kering, maka untuk mewujudkan sistem pertanian yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlanjutan pemanfatan sumberdaya lahan yang ada, maka perlu dikembangkan skenario sistem pertanian lahan kering yang sesuai dengan kondisi iklim, agroekosistem, permodalan dan ekonomi, serta kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Berdasarkan paparan fakta keadaan lahan kering diatas, maka sistem pertanian yang direkomendasikan untuk dikembangkan di wilayah lahan kering harus memiliki kriteria sebagai berikut: (1) berbasis tanaman pohon dan/atau perdu, (2) ternak, (3) tanaman industri dan pangan, dan (4) kekuatan/ketersediaan sumberdaya lokal. Perpaduan keempat faktor tersebut diharapkan akan dapat mewujudkan sistem pertanian yang mampu: (1) menciptakan lingkungan lahan kering yang berkualitas, (2) menghasilkan ekonomi yang tinggi, dan (3) mendukung pembangunan wilayah lahan kering secara berkelanjutan. Cita-cita untuk mewujudkan sistem pertanian lahan kering yang ekonomis, ekologis, dan dapat diterima oleh masyarakat lokal sebagaimana diinginkan diatas dapat dikatakan mudah diucap tetapi sulit untuk diwujudkan; terutama disebabkan oleh kompleksitas dan realitas permasalahan hidup dan kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat di lapangan. Untuk itu perlu dicarikan upaya-upaya praktis pragmatis yang dapat menjadi faktor pemicu (starter) untuk menggerakkan sistem pertanian yang dicita-citakan, yaitu: (1) yang menguntungkan masyarakat petani, dan (2) yang pada kelanjutannya tidak bertentangan dengan teori dan konsep pengembangan pertanian yang ekonomis, ekologis (berkelanjutan), dan sesuai dengan nilai-nilai sosial ekonomi dan budaya masyarakat local.
270 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
Berdasarkan fakta tentang kondisi lahan kering di atas, dan berdasarkan pada pemikiran-pemikiran dan pengalaman-pengalaman yang panjang dan intensif selama bertahun-tahun, maka diperkenalkanlah sistem usahatani terpadu “Pagarhidup Berlapis”, yang merupakan sistem baru dari hasil merantai: (1) fakta-fakta alam dan lingkungan, (2) keadaan social budaya dan ekonomi, dan (3) kemampuan serta kebiasaan masyarakat lokal. Sistem pertanian terpadu “Pagarhidup Berlapis” lahir berdasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut: 1.
Lahan-lahan kosong, rusak, kritis, tidak produktif, terdegradasi, ditumbuhi alang-alang, bero, tererosi berat, pasiran, berbatu, dan bentuk-bentuk lainnya tersebar di kawasan yang cukup luas di Indonesia.
2.
Di wilayah-wilayah pelosok tanah air, daerah-daerah terpencil, kawasan-kawasan transmigrasi, hanya sebagian kecil petani yang mampu mengelola lahan yang dimilikinya; sebagian besar tidak dimanfaatkan secara efektif, diberokan dalam waktu panjang.
3.
Usahatani tanaman semusim (padi dan palawija) memiliki harga jual rendah dan sering mengalami kegagalan tanam dan/atau kegagalan panen karena kekurangan air dan/atau kekeringan (faktor iklim kering), dan/atau rusak oleh gangguan penggembalaan ternak secara lepas.
4.
Berbagai jenis tanaman kayu dan perdu penghasil pakan ternak, tumbuh dan berkembang secara kontinyu sepanjang tahun di lahan kering dan menghasilkan pakan dalam jumlah melimpah.
5.
Berbagai jenis tanaman kayu dan perdu penghasil pakan ternak tersebut, dapat ditumbuhkan atau dikembangbiakkan dengan mudah melalui penanaman batang, cabang, ranting, dan/atau bijinya.
6.
Semakin sering dipangkas semakin banyak cabang dan daun muda yang tumbuh.
7.
Sebagian besar petani di wilayah lahan kering juga berprofesi sebagai peternak (sapi, kambing, kerbau, kuda, ayam, bebek, dll.); sebagian ternak telah dikandangkan.
8.
Memotong pohon, memangkas cabang, ranting, dan semak belukar merupakan pekerjaan seharihari bagi sebagian besar masyarakat petani di lahan kering.
9.
Ternak memiliki nilai ekonomi yang tinggi, nilai jual 1 ekor sapi, kerbau, atau kuda dan/atau 3-5 ekor kambing setara dengan penghasilan petani monokultur tanaman semusim sekali panen setahun.
10. Pasar ternak banyak tersedia; dan harga ternak relatif stabil tinggi sepanjang tahun. 11. Tanaman-tanaman hortikultura, tanaman pangan, tanaman bahan baku industri, tanaman herbal, tanaman empon-empon, dan/atau umbi-umbian, dan lain sebagainya telah biasa diusahakan sebagai tanaman tumpangsari. 12. Pada usahatani monokultur tanaman pangan, pepohonan jarang ada dan jika ada jumlahnya tidak banyak dan arah penanamannya sering tidak beraturan atau cenderung mengikuti arah kontour. Pagarhidup Berlapis dirancang sebagai berikut: 1.
Berbagai jenis tanaman pepohonan berumur genjah (5-7tahun) dan/atau perdu penghasil pakan ternak ditanam secara berlapis-lapis dengan jarak antar barisan 2.5-3 meter, atau disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan petani.
2.
“Pagarhidup berlapis” ditanam menurut arah TIMUR-BARAT tanpa memperdulikan bentuk, muka lahan, kemiringan, maupun arah kemiringan.
3.
Tanaman kayu-kayuan dan perdu yang direkomendasikan diantaranya adalah jati putih, sengon, jabon, raju mas/dua banga, meranti merah, waru, kapuk, nangka, turi, gamal, lamtoro, kaliandra, banten, dan lain-lain.
4.
Berbagai tanaman kayu-kayuan dan perdu tersebut dapat ditanam sesudah, sebelum, maupun secara bersamaan dengan tanaman-tanaman tumpangsari.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
271
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
5.
Tanaman-tanaman yang dapat ditumpangsarikan kedalam sistem “Pagarhidup Berlapis” diantarannya adalah tanaman padi, palawija, kacang-kacangan, rumput-rumputan, empon-empon, tanaman herbal, umbi-umbian, cabe, sayur-sayuran, buah-buah-buahan, dan/atau tanaman yang lainnya.
6.
Setelah tanaman tumpangsari dipanen (3-5 bulan), komponen tanaman pagar pada sistem “Pagarhidup Berlapis” mulai dapat dipanen untuk penyediaan pakan ternak; jumlah dan frekuensi panen sangat tergantung pada jenis pepohonan dan/atau perdu yang ditanam. Pada tanah-tanah pertanian yang masih mengutamakan tanaman pangan di dalamnya, pagarhidup berlapis menggunakan turi atau gamal sangat direkomendasikan guna memaksimal produksi pangan dan hijauan ternak/ternak yang dihasilkan. Tanaman pepohonan yang lainnya dapat ditanam sebagai tanaman pagar keliling lahan atau menjadi komponen utama pada beberapa bagian pagar pembentuk sistem “Pagarhidup Berlapis” tersebut.
7.
Pekerjaan petani sangat mudah dan sederhana, memangkas hijauan ternak yang dihasilkan oleh tanaman pepohonan dan/atau perdu tersebut untuk diberikan kepada ternak yang dipeliharanya dengan cara dikandangkan.
8.
Puluhan ekor kambing dan/atau beberapa ternak sapi, kerbau, dan/atau kuda dapat dihidupi oleh tanaman pagarhidup berlapis serta rerumputan dan limbah hasil tanaman tumpangsari yang diusahakannya.
9.
Setiap tahun atau bulannya jumlah ternak akan terus bertambah sehingga sebagiannya dapat dijual sebagai sumber penghasilan utama petani.
10. Kayu (timber) genjah hasil panen pepohonan pagar berlapis (setelah 5-7 tahun penanaman) akan memberikan penghasilan yang besar kepada petani. 11. Hasil panen dari tanaman-tanaman yang ditumpangsarikan ke dalam sistem “Pagarhidup Berlapis” akan memberikan penghasilan awal dan sampingan, dimana frekuensi, jumlah dan besarannya akan sangat tergantung pada jenis/macam, harga, dan jumlah produksi tanaman tumpangsari yang ditanam. 12. Integrasi tanaman industry bernilai ekonomi tinggi seperti vanili, konyak, ashitaba, dan/atau tanaman yang lainnya ke dalam sistem “Pagarhidup Berlapis”, akan meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. 13. Dihasilkannya berbagai produk pertanian berupa kayu, ternak, tanaman padi, palawija, rumputrumputan, empon-empon, tanaman herbal, umbi-umbian, cabe, sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman industri dan/atau tanaman yang lainnya, serta inklusi teknologi pasca panen, home industri, dan kreatifitas-kreatifitas ekonomi produktif lainnya, pada akhirnya akan dapat mendorong kearah terwujudnya sistem agribisnis agroforestri atau pertanian terpadu yang menguntungkan. Dari uraian tersebut diatas tampak jelas bahwa Pagarhidup Berlapis mengakomodasikan keinginan dan kebutuhan petani dengan baik. Petani secara bebas dan mandiri dapat memilih jenis usahatani yang ingin dikerjakannya. Petani dapat memilih jenis dan jumlah produk kayu yang ingin diproduksinya, jenis dan jumlah ternak yang ingin dihasilkannya, jenis dan jumlah tanaman pangan, tanaman industri, tanaman hortikultura, empon-empon, herbal, umbi-umbian, sayur-sayuran, dan/atau rerumputan yang ingin dihasilkannya. Pagarhidup Berlapis mengakomodasi penerapan sistem zonasi. Berbagai teknik pertanian dapat diterapkan berdampingan dengan atau diintegrasikan kedalam sistem ini. Inklusi pepohonan atau perdu dari jenis leguminase kedalam system ini menempatkan Pagarhidup Berlapis sebagai teknik budidaya yang tepat untuk merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas dan pelestarian lahan-lahan rusak dan terdegradasi. Secara lengkap Keuntungan dan Manfaat Sistem Pagarhidup Berlapis diuraikan sebagai berikut.
272 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
1.
Meningkatkan nilai ekonomi dan produktivitas lahan; lahan kosong, rusak, kritis, tidak produktif, terdegradasi, ditumbuhi alang-alang, bero, tererosi berat, pasiran, tanah berbatu, dan lain-lain dapat diusahakan dan ditanami dengan tanaman-tanaman penutup lahan yang produktif dan ekonomis.
2.
Menghasilkan produk-produk pertanian yang cukup bervariasi (kayu/timber, ternak, pakan ternak, padi, palawija, rumput-rumputan, empon-empon, tanaman herbal, umbi-umbian, cabe, sayur-sayuran, buah-buah-buahan, dan/atau produk pertanian lainnya).
3.
Menghasilkan ternak dan timber serta tanaman industri bernilai ekonomi tinggi sebagai sumber penghasilan utama bagi petani; dan tanaman musiman seperti padi, palawija, rumput-rumputan, empon-empon, tanaman herbal, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buah-buahan, dan/atau produk pertanian lainnya sebagai hasil pendapatan sampingan yang cukup besar.
4.
Memperpanjang periode waktu tanam dan aktivitas usaha pertanian dari sekali panen setahun (45 bulan) dengan monokultur menjadi sepanjang tahun (12 bulan) dengan Pagarhidup Berlapis.
5.
Pagarhidup Berlapis didesain tanpa pengairan; aplikasi pengairan, pemupukan, dan pengelolaan yang lebih baik akan melipatgandakan hasil panen.
6.
Dapat diterapkan di segala jenis tanah dan landscape (datar, miring, bergelombang, berbukit, dan bergunung) serta pada berbagai kondisi tipe iklim (Semi Arid-Tipe E4 hingga Tropis-Tipe A).
7.
Mengkonservasi tanah dan air.
8.
Dapat diterapkan sebagai teknik budidaya atau agronomi, teknik rehabilitasi, penghijauan, dan perlindungan tanah, air, dan hutan (karena persen tutupan lahan yang tinggi dan pertumbuhan akar tanaman yang intensif).
9.
Sangat adaftif terhadap perubahan iklim global, dan mitigatif terhadap pengurangan konsentrasi karbon di atmosfer; hal ini berarti peluang untuk mendapatkan kredit karbon (carbon trade).
10. Cabang, ranting, dan sisa-sisa potongan kayu/timber dan pakan ternak sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber energi kayu bakar (biomass energy) serta produk olahan lain yang bermanfaat (industri kerajinan, chips, brickets, dan lain-lain). 11. Campuran sisa pakan ternak, manure, urine merupakan sumber pupuk murah dan dapat diproses menjadi pelet pakan ternak/ikan atau sumber biogas rumah, casting, slurry, pupuk padat, dan pupuk cair alamiah/organik. 12. Menciptakan peluang yang besar bagi tumbuh dan berkembangnya agribisnis, industri dan homeindustri, pasca panen, dan aktivitas-aktivitas pengolahan hasil pertanian, packaging, dan labeling produk olahan. 13. Menciptakan peluang kerja dan tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif lainnya. 14. Mendorong terwujudnya kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Best Practice Sejak diperkenalkannya sistem Pagarhidup Berlapis pada tahun 2002 di pulau Lombok dan Sumbawa NTB, implementasi dari teknologi ini sudah tersebar ke berbagai propinsi di Indonesia dengan berbagai model produk pengembangannya. Sesuai dengan keingininan dan kebutuhan penggunanya Pagarhidup Berlapis telah dikembangkan untuk mendukung berbagai tujuan sebagai berikut: (1) Peternakan, (2) Pertanian terpadu, (3) Kebun campuran, (4) Agroforestri sederhana, (5) Tanaman Jalanan, (6) Tanaman Pembatas, (7) Tanaman Saluran, (8) Tanaman Energi, (9) Perkebunan, dan (10) Perhutanan. Berikut adalah illustrasi dan gambar-gambar Pagarhidup Berlapis di lapangan.
kegiatan, proses, dan implementasi sistem
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
273
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
(1)
(2)
Gambar 1, 2: Ilustrasi Lahan kosong tidak produktif & Lahan Pagarhidup Berlapis
(3)
(4)
Gambar 3, 4: Ilustrasi Arah Tanam Timur-Barat & Panen Hijauan Sepanjang Tahun
(5)
(6)
Gambar 5, 6: Ilustrasi Sistim Zonasi & Kemakmuran dengan Pagarhidup Berlapis
274 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
(7)
(8) Gambar 7, 8: Pagarhidup Berlapis dalam proses pembuatan
(9)
(10) Gambar 9, 10: Pagarhidup Berlapis dengan Palawija
(11)
(12)
Gambar 11, 12: Pagarhidup Berlapis dengan Singkong & Rumput
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
275
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
(13)
(14)
Gambar 13, 14: Pagarhidup Berlapis sebagai tanaman pembatas
(15)
(16) Gambar 15, 16: Pagarhidup Berlapis Dan Pakan Ternak
(17)
(18)
Gambar 17, 18: Pagarhidup Berlapis dengan inklusi Perikanan & Energi Biomas
Akhirnya, walaupun Pagarhidup Berlapis pada awalnya merupakan hasil rekayasa teknologi budidaya pertanian untuk wilayah lahan kering beriklim kering (tipe D3-E4), namun dalam implementasinya telah berkembang dan merambah daerah-daerah lain yang beriklim lebih basah (tipe B-C3) dengan hasil yang lebih baik. Hal ini mudah difahami karena tersedianya air dan kelembaban yang lebih tinggi/baik serta periode musim hujan yang lebih panjang dan musim kering yang lebih pendek di wilayah-wilayah yang beriklim lebih basah. Penerapan pagarhidup berlapis di lahan-lahan 276 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ...
sawah diyakini akan mampu memberikan terobosan baru bagi terjadinya revitalisasi pendapatan, produksi, dan diversitas produk dan usaha di persawahan yang selama 3 decade terakhir ini telah mencapai titik nadirnya.
PENUTUP Untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang lestari tidak cukup hanya berupaya untuk mengembalikan dan menjaga keadaan lahan menjadi subur dan hijau saja melainkan juga perlu dilakukan upaya tercapainya kesejahteraan petani yang mengelolanya. Sebaliknya, dalam upaya mencapai kemakmuran yang diharapkan oleh masyarakat, mereka tidak boleh hanya melakukan aktivitas-aktivitas yang berorientasi pada keuntungan dan eksploitasi sumberdaya alam semata melainkan harus ikut serta menjaga dan memelihara agar sumberdaya lahan dan lingkungan tetap terpelihara sehingga produktivitasnya akan terus terjaga untuk kepentingan dan keberlanjutan pembangunan bagi generasi masa kini dan masa datang. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka scenario pengelolaan lahan yang berkelanjutan hendaknya didasarkan pada enema tujuan pokok sebagai berikut Meningkatkan produktivitas lahan (productivity), mengurangi resiko kegagalan (stability/security), melindungi potensi sumberdaya alam dan mencegah degradasi tanah dan air (protection and conservation), meningkatkan pendapatan (viability), memenuhi kebutuhan social (acceptability), dan mampu bersaing di pasaran global (compatibility). Untuk itu pengelolaan lahan harus dilaksanakan berbasis pada pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya alam, ekonomi, dan sosial budaya yang tersedia secara lokal, dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip agribisnis dan kelestarian alam. Dengan strategi ini, input dari luar dapat dikurangi dan kekuatan internal dapat dioptimalkan penggunaannya. Sesuai dengan filosofinya, Pagarhidup berlapis dirancang berdasarkan prinsip prinsip sebagaimana diuraikan diatas; mengutamakan aspek produktivitas, keekonomian, ketersediaan, kemanfaatan, keselarasan, dan keberlanjutan ekosisitem. Pagarhidup Berlapis tidak membutuhkan persyaratan apapun untuk memulainya. Perannya lebih sebagai pioneer dan pemicu bagi terbentuk dan terwujudnya sistem agribisnis pertanian yang menguntungkan dan selaras alam. Variasi model yang terwujud di lapangan menunjukkan bahwa sistem Pagarhidup Berlapis sangat compatible dengan situasi dan kondisi alam (baik iklim basah maupun kering), keekonomian, dan sosial budaya yang ada di tengah masyarakat. Inklusi tanaman legume sebagai bagian integral dalam system ini menjadikan Pagarhidup Berlapis satu teknik budidaya pertanian yang sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat dan menanggulanggi berbagai bentuk kerusakan lahan dan lingkungan yang sekarang ini semakin marak terjadi. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. ., 1980. Pengawetan Tanah dan air. DEP. Ilmu Tanah IPB. Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi NTB, 2003. Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Lahan Kering Propinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2003-2007. Bappeda NTB Press, Mataram. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi NTB, 2002. Sumberdaya Alam Spasial Daerah Propinsi NTB. Bappeda NTB Press, Mataram. Badan Pusat Statistik Propinsi NTB, 2001. Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2001. Bappeda Propinsi NTB. Darmadjo, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjahmada University Press, Yogyakarta. Dinas Kehutanan Propisi NTB, 2003. Pola Pemanfaatan Hutan Berdasarkan Penunjukan TGHK pada setiap Kabupaten dan Kota di Wilayah Lahan Kering Propinsi NTB. Bappeda Propinsi NTB, Mataram. Dinas Kimpraswil Kabupaten Lombok Barat, 2002. Investasi Sumur Pompa di Kabupaten Lombok Barat. Dinas Kimpraswil Kabupaten Lombok Barat (2002). Sarana dan Prasarana Pengairan. Bappeda Propinsi NTB. Dinas Kimpraswil Kabupaten Lombok Tengah (2002). Sarana dan Prasarana Pengairan. Bappeda Propinsi NTB. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
277
Sri Tejowulan/Pagar Hidup Berlapis: Filosofi dan Best dan Best Practice Konservasi Vegetatif ... Ethridge, D., 1995. Research Methodology in Apllied Economics. IOWA State University Press. Wasington DC. Hairiah, Sabarnurdin dan Sardjono (2003). Bahan Ajaran Agroforestri, World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor. Hardjowigeno, S., 1989. Ilmu Tanah. C.V. Akademika Presindo, Jakarta. Kang B.T., G.F. Wilson, and Duguma, 1985. Allay Cropping. A Stable Alternative to Shifting Cultivation. IITA, Ibadan, Nigeria. Kanwil BPN Propinsi NTB, 2001. Luas Daratan pada setiap Kabupaten dan Kota di Propinsi NTB, Bappeda Propinsi NTB Press, Mataram. Liptan LPTP Koya Barat, Irian Jaya No. 03/95 , 1995. Usaha Konservasi Pada Lahan Kering. Loka pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Irian Jaya. Mahesworo, 1989. Tanaman Pagar yang Bermanfaat. Swadaya. Jakarta. Nitis, 1992. Sistem Tiga Strata. Balai Informasi Pertanian Bali. Denpasar. Oldeman, L.R., and Darmijati Syarifuddin, 1977. An Agroclimate MAP of Sulawesi and Nusa Tenggra Barat. CSIR Bogor, Indonesia. Priyono dan Suwardji, 2004. Lahan Kritis : Kriteria Identifikasi untuk Keperluan Inventarisasi Luasnya di Prpinsi NTB. Positon Papper yang Disampaikan dalam Workshop Penyamaan Persepsi Tentang Lahan Kritis Lintas Dinas dan Instansi serta Berbagai Stakeholders di Tingkat Propinsi NTB di Bappeda Propinsi NTB, Mataram. Rahardjo, 2000. Buku Ajar Konservasi Tanah dan Air. Jurusan Ilmu Tanah, Faperta Unram. Mataram. Reksohadiprodjo., S (1987-1988). Pakan Ternak Gembala, BPFE Yogyakarta. Soil Survey Staff , 1998. Key to Soil Taxonomi. SMSS Technical Monograph No. 19. Press, Inc. Blaksburg, Virginia. Suwardji dan Tejowulan, (2003). Lahan Kritis dan Permasalahan Lingkungan Hidup. Makalah yang Disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Kritis Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Mataram. 17 Desember 2003. Suwardji dan Tejowulan (2002a). Olah Tanah Konservasi Merupakan Sistem Pertanian yang Menyeluruh. Makalah yang Disampaikan pada Seminar Nasional Budidaya Olah Tanah Konservasi. Diselenggarakan oleh Himpunan Ahli Gulma Indonesia, Yogyakarta 30 Juli 2003. Suwardji dan Tejowulan (2002b). Pertanian Lahan Kering di Propinsi NTB, Prospek dan Kendala Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Sumberdaya Lokal di Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta. Suwardji, Sri Hastuti dan Tejowulan (2003). Berbagai Faktor Penghambat dalam Penerapan Olah Tanah Konservasi. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Lahan Kering di Mataram Mei 2002. Utomo, M. 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Lahan Kering Tanggal 27-28 Mei 2002 di Hotel Lombok Raya Mataram. Mataram, Propinsi NTB. Utomo, M. 1990. Budidaya Pertanian Tanpa Olah Tanah. Teknologi untuk Pertanian Berkelanjutan. Direktorat Produksi Padi dan Palawija Departemen Pertanian, Jakarta.
278 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
TRANSFORMASI HUTAN MENJADI TANAMAN PERKEBUNAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP HIDROLOGI DAS 1) (Impact of forest transformation and oil palm expansion on catchment hydrology) Suria Darma Tarigan2) dan Sunarti3) Abstract: The study area experiences rapid forest transformation and expansion of oil palm plantation. From economic point of view, the expansion brings positives impact to the farmer income. But, on the other side the expansion also affect environmental function of the landscape. People around study area stated that since oil palm expansion, small rivers, lakes and ponds are drying. Scientific analysis of the relation between the water scarcity in the area and oil palm development is therefore very important. The research objective was to analyze impact of forest transformation and oil palm expansion on river discharge. Impact of land-use transformation on catchment river discharge were analyzed by identifying time series land use data and then related it to change in baseflow index (BFI). Result showed that land use transformation in the study area reduced proportion of baseflow in the river discharge showing by decreasing trend of BFI. Keywords: Baseflow Index, Forest transformation, oil palm expansion, river discharge. 1)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. Bogor 3) Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi 2)
PENDAHULUAN
P
ada saat ini luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 8,5 juta ha dan diharapkan luas perkebunan tersebut meningkatkat menjadi 2x lipat pada tahun 2025. Selama ini masyarakat mengenal kelapa sawit sebagai tanaman yang membutuhkan banyak air. Aktivitas perkebunan kelapa sawit untuk luasan saat ini (8,5 juta ha) memerlukan konsumsi air sekitar 200 miliar m3/tahun. Disamping konsumsi air yang banyak untuk aktivitas evapotranspirasi dan aktivitas di pabrik sawit, diperkirakan budidaya kelapa sawit yang tidak memperhatikan aspek konservasi air dan tanah mengurangi lebih lanjut kuantitas maupun distribusi debit sungai. Pada masa mendatang dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap sumberdaya air akan semakin meningkat tajam jika tidak dilakukan upaya penglolaan perkebunan yang ramah lingkungan sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Saat ini, kajian pengaruh ekspansi perkebunan sawit terhadap debit sungai belum dilakukan dengan seksama. Hal ini menyebabkan usaha-usaha mitigasi yang dilakukan tidak tepat sasaran dan berbagai spekulasipun muncul terhadap dampak lingkungan perkebunan sawit. Belum diketahuinya dengan jelas hubungan kausal ekspansi perkebunan sawit dan sumber daya air memicu adanya usaha-saha pihak asing untuk melakukan kampanye hitam bagi produk sawit Indonesia. Masih diperlukan penelitian mendalam terkait hubungan sebab akibat aspek ini sehingga upaya-upaya mitigasi dapat dilakukan dengan tepat guna. Kalau ditinjau dari aspek ekonomi, tidak dapat dipungkiri bahwa ekpansi perkebunan sawit memberikan kontribusi yang sangat positif bagi perekonomian daerah, regional dan nasional. Saat ini ekspor produk kelapa sawit mencapai hampir 5% dari produk domestic bruto. Penelitian ini bertujuan melakukan kajian dampak ekspansi kelapa sawit terhadap debit sungai di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi.
METODOLOGI Waktu dan Lokasi Lokasi penelitian terletak di DAS Batang Pelepat dan DAS Batang Bungo, Kabupaten Muara Bungo di Propinsi Jambi. Kedua DAS tersebut mempunyai stasiun pengukuran debit di outlet masingmasing. Disamping itu pada aeal penelitian terdapat stasiun penangkar hujan Rantau Pandan yang Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
279
Suria Darma Tarigan dan Sunarti/Transformasi Hutan Menjadi Tanaman Perkebunan dan ...
mempunyai data time series curah hujan yang cukup memadai. Penelitian dilakukan pada pada bulan Maret sampai dengan Nopember 2012.
Sumber: Diolah dari Landsat 2007, Peta Penggunaan Lahan BAPLAN dan Peta DEM 30 m. Gambar 1. Lokasi penelitian (DAS Batang Bungo and DAS Batang Pelepat) di Propinsi Jambi
Pengumpulan dan Analisis Data Dampak transformasi hutan menjadi perkebunan terhadap karakterisitik debit sungai dianalis dengan melakukan identifikasi perubahan lahan pada skala DAS dan kemudian dihubungkan pengaruhnya terhadap debit sungai pada saat bersamaan. Secara kunatitatif dampak tersebut dinilai dengan menghitung baseflow index (BFI) tahunan. Perubahan penggunaan lahan pada lokasi penelitian ditetapkan dengan menggunakan berbagai sumber data seperti literatur, citra Landsat, peta penggunaan lahan MIH (Menuju Indonesia Hijau), AVNIR2-ALOS, dan peta penggunaan lahan 2011 dari BAPLAN, Kementerian Kehutanan. Baseflow Index (BFI) Umunya debit sungai terdiri dari komponen direct runoff (DO) and baseflow (BF). Direct runoff merupakan aliran yang terdiri dari surface runoff dan quick interflow dan mencapai sungai dalam waktu yang relatif cepat. Sementara itu, komponen baseflow terdiri dari air yang mengalami perkolasi melewati profil tanah dan masuk ke zona akuifer. Baseflow merupakan sumber air yang penting untuk musim kemarau.. Proporsi BF dan DO pada periode tertentu ditentukan oleh karakteristik fisik tanah, kekasaran permukaan tanah (surface roughness) dan tipe penggunaan lahan. Rasio voluma BF terhadap DO disebut sebagai baseflow index (BFI). Nilai BFI dihitung dalam basis tahunan (Wahl dan Wahl, 1995): BFI = VBF/VRD .....................................................................(1), dimana BFI adalah baseflow index, VBF adalah volume baseflow dan VRD adalah volume total debit sungai .
HASIL DAN PEMBAHASAN Transformasi Hutan dan Ekspansi Perkebunan Sawit Kajian dampak transformasi hutan dan ekspansi perkebunan sawit terhadap debit sungai dilakukan pada dua DAS terpilih di Kabupaten Muara Bungo yaitu DAS Batang Pelepat dan DAS Bungo. DAS Batang Pelepat mempunyai outlet di Rantau Keloyang, sedangkan DAS Batang Bungo di Rantau Pandan. Kedua outlet mempunyai stasiun pengukuran debit sungai dan mempunyai luas DAS yang relatif sama (BPDAS Batanghari, 2002).
280 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Suria Darma Tarigan dan Sunarti/Transformasi Hutan Menjadi Tanaman Perkebunan dan ...
DAS Batang Pelepat DAS Batang pelepat mempunyai luas 412 km2 (BPDAS Batanghari, 2002). Bentuk geometri dan penggunaan lahan pada DAS Batang Pelepat dapat dilihat pada Gambar 1. Gambaran transformasi hutan menjadi perkebunan di DAS Batang Pelepat sejak 1986 disajikan pada Table 1. Analisis data dibagi dalam dua periode: a) 1986 -2004 dan b) 2005 – 2010. Pada periode waktu 1986 – 2004 agroforestry karet mempunyai luasan 2,757 ha atau 6,68 % dari luas DAS. Pada awal periode tersebut belum teridentifikasi adanya perkebunan sawit di DAS Batang Pelepat. Table 1. Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Batang Pelepat 1986a 1994a 2005b 2007c Ha % Ha % Ha % Ha % Sawit 0 0.00 0 0.00 4,192 10,16 6,241 15.13 Agroforestry karet 0 0.00 2,757 6.68 6,541 15.86 6,760 16.39 Hutan 41,220 99.93 38,007 92.14 29,920 72.53 27,485 66.63 Semak 0 0.00 391 0.95 450 1.09 519 1.26 Tanah terbuka 0 0.00 0 0.00 30 0.07 37 0.09 Pemukiman 30 0.07 95 0.23 117 0.28 208 0.50 Total 41,250 100 41,250 100 41,250 100 41,250 100 a) Biotrop (2000) dalam Diana (2000) b) Alokasi berdasarkan Peta Penggunaan Lahan (Balitbang Pertanian, 2005c). c) Dikompilasi dari berbagai sumber (Landsat image 2007, MIH 2007, CRC 990 Project) d) Dikompilasi dari berbagai sumber (BAPLAN, ALOS image 2010, CRC 990 Project) Land Use
2010d
Ha 9,479 6,639 24,173 558 41 360 41,250
% 22.98 16.09 58.60 1.35 0.10 0.87 100.00
Pada periode 2005-2010, luasan perkebunan sawit dan agroforestry karet masing-masing meliputi 9,479 ha (22,98%) dan 6,639 ha (16,09%). Sementara itu pada periode 2005-2010 luasan hutan menurun dari 72,53% menjadi 58,60% atau kira-kira 5,800 ha (Tabel 1).
Rataan debit bulanan (m3/s)
Perbandingkan rataan bulanan debit sungai pada periode 1985 -2004 dengan periode 2005-2010 disajikan pada Gambar 2. Pada periode 2005-2010 terdapat kecenderungan penurunan rataan bulanan debit setelah ekspansi perkebunan. Untuk membedakan dampak pengaruh perubahan lahan dan variasi sesaat hujan pada periode kajian maka pada Gambar 3 disajikan rataan bulanan curah hujan pada periode yang bersesuaian. Curah hujan maka periode 2005-2010 mempunyai rataan sedikit lebih tinggi (223 mm) dibandingkan dengan rataan bulanan curah hujan pada periode sebelumnya (215 mm). Sementara itu rataan bulanan debit sungai pada periode 2005-2010 lebih rendah (23 m3/det) dibandingkan dengan pada periode 1985-2004 (26 m3/det). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penurunan debit sungai pada periode 2005-2010 bukan disebabkan oleh perubahan rataan bulanan curah hujan.
50 40 30 Periode 1985-2004
20
Periode 2005-2010
10 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Gambar 2. Rataan Debit Bulanan pada 2 Periode Berbeda
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
281
Rataan bulanan hujan (mm)
Suria Darma Tarigan dan Sunarti/Transformasi Hutan Menjadi Tanaman Perkebunan dan ...
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Periode 1985-2004 Periode 2005-2010
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Gambar.3. Rataan Bulanan Curah Hujan pada 2 Periode Berbeda
DAS Batang Bungo Perubahan penggunaan lahan di DAS Batang Bungo dicantumkan pada Tabel 2. Pada kurun waktu 2007 sampai 2011 luas perkebunan sawit meningkat sekitar 4,500 ha. Sementara itu luas tutupan hutan dan karet berkurang pada periode tersebut masing seluas 3,700 ha dan 2,600 ha. Tabel 2 Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Batang Bungo
Landuse
2007 (ha) (%) 13.718 33,3 Hutan 6.515 15,8 Sawit 14.747 35,8 Karet 6.000 14,6 Semak 147 0,4 Lahan terbuka 86 0,2 Pemukiman Total 41.213 100,0
2011 (ha) (%) 10.110 25,1 11.015 27,4 12.060 32,4 5.780 14,4 165 0,4 90 0,2 40.220 100,0
Sumber: Dikompilasi dari berbagai sumber (Landsat 2007, BAPLAN, ALOS image 2010, CRC 990 Project)
Bersamaan dengan perubahan penggunaan lahan di DAS Batang Bungo pada periode 2007-2011, maka terdapat kecenderung penurunan debit sungai untuk periode 2005 dan 2011 di DAS Batang Bungo ( Gambar 4).
Gambar 4. Debit Sungai Bulanan pada periode 2005 dan 2011 di Batang Bungo
282 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Suria Darma Tarigan dan Sunarti/Transformasi Hutan Menjadi Tanaman Perkebunan dan ...
Curah Hujan Bulanan (mm)
Namun demikian untuk DAS Batang Bungo, perubahan pola debit pada ke dua tahun tersebut tidak dapat disimpulkan akibat perubahan penggunaan lahan karena curah hujan pada Tahun 2005 jauh lebih tinggi dari curah hujan pada Tahun 2011 (Gambar 5). 500,0 400,0 300,0 200,0 100,0 0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan 2005
2011
Gambar 5. Curah Hujan Bulanan pada 2 Periode Waktu di Batang Bungo
Baseflow Index (BFI) Masyarakat di sekitar daerah studi berpendapat bahwa sejak terjadi perluasan besar-besaran areal pertanaman kelapa sawit maka sumberdaya air lokal seperti mata air, sungai kecil, danau kecil dan kolam-kolam mengalami kekeringan. Pada ulasan di atas, perubahan penggunaan lahan dikaitkan dengan parameter rataan bulanan debit dalam periode tertentu. Mengingat nilai rataan bulanan debit sungai merupakan rataan tahun basah dan tahun kering, dampak transformasi hutan dan ekspansi perkebunan tidak terlalu menonjol pegaruhnya terhadap perubahan debit sungai. Hal ini antara lain juga disebabkan karena proporsi tutupan hutan di hulu kedua DAS masih cukup memadai. Dalam kondisi seperti ini rataan bulanan debit harus diverifikasi dengan analisis BFI. Mengingat bahwa masyarakat sering mengkaitkan ekpansi perkebunan sawit dengan kekurangan air pada musim kemarau maka perlu dilakukan kajian lanjutan terkait dampak perubahan penggunaan lahan terhadap baseflow. Dibandingkan dengan rataan debit bulanan maka baseflow lebih sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan khususnya di musim kemarau. Baseflow index dapat digunakan untuk melakukan evaluasi apakah transformasi hutan ke penggunaan lahan perkebunan mempengaruhi debit sungai pada musim kemarau dimana komponen utama dari debit total terdiri dari baseflow. Baseflow index ditentukan dengan melihat rasio baseflow terhadap debit yang diperoleh dari data debit berkala. Jika BFI mendekati 1 maka proporsi baseflow pada debit sungai sangat tinggi. Pada kondisi ini fluktuasi debit diantara musim kemarau dan penghujan adalah kecil. Baseflow merupakan komponen penting debit sungai khususnya musim kemarau. Transformasi hutan menjadi areal pertanian pada sebuah DAS akan berdampak pada pengurangan perkolasi yang akhirnya mengurangi groundwater recharge. Pada keadaan seperti ini nilai BFI akan menurun. Kedua DAS yang sedang dikaji mengalami perubahan penggunaan laha yang cukup intensif. Perubahan BFI pada kedua DAS pada kurun waktu 2004 sampai pada tahun 2011 disajikan pada Table 3. Pada periode waktu tersebut nilai BFI pada DAS Batang Pelepat menurun dari 0,822 menjadi 0,765 dan pada DAS Batang Bungo 0,784 menjadi 0,734. Penurunan nilai BFI tersebut menandakan kapasitas perkolasi menurun akibat perubahan penggunaan lahan. Tabel 3. Niali Baseflow Index (BFI) pada DAS Batang Pelepat dan Batang Bungo
Baseflow Index (BFI) Tahun DAS Batang Pelepat DAS Batang Bungo 2004 0,822 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
283
Suria Darma Tarigan dan Sunarti/Transformasi Hutan Menjadi Tanaman Perkebunan dan ...
2007 2011
0,792 0,765
0,784 0,734
Dibandingkan dengan DAS Batang Bungo, maka DAS Batang Pelepat mempunyai nilai BFI yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan proporsi tutupan hutan di Batang Pelepat 2 x lebih tinggi dibandingkan tutupan hutan di Batang Bungo. Disamping itu, luas perkebunan sawit di Batang Bungo 2 x lebih luas dari pada luasan sawit di Batang Pelepat. Pada Tabel 4 disajikan data debit ekstrim yang pernah terjadi di ke dua DAS. Kedua DAS mempunyai luasan yang hampir sama, namun debit ekstrim pada DAS Batang Bungo jauh lebih besar dari pada debit ekstrim yang pernah terjadi di DAS Batang Pelepat. Table 4. Perbandingan Debit Ekstrim yang Pernah terjadi pada kedua DAS
Characteristics Debit ekstrim Debit ektrim DAS Hutan (%) Sawit (%) maximum (m3/s) minimum (m3/s) Batang Pelepat 55 16 72 6 Batang Bungo 25 27 106 10 Transformasi hutan dan ekspansi perkebunan (sawit) cenderung menggangu fungsi hidrologis DAS dalam bentuk pengurangan baseflow dan meningkatnya debit ekstrim baik maksimum maupun minimum.
KESIMPULAN Transformasi hutan dan ekspansi perkebunan sawit terjadi cukup intensif pada areal kajian dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Di DAS Batang Pelepat, pada periode 2005-2010, luasan hutan menurun dari 72.53% menjadi 58.60% atau kira-kira 5.800 ha. Sedangkan luasan perkebunan sawit meningkat sebesar 5,000 ha. Sementara itu di DAS Batang Bungo perkebuan sawit meningkat seluas 4,500 ha atau 11.6 % dari luas DAS pada periode 2007-2011. Pada saat yang bersamaan luasan hutan di DAS Batang Buno menurun sebesar 3,700 ha. Selama periode 2004 – 2011 terjadi kecenderungan penurunan rataan debit bulanan di DAS Batang Pelepat. Pada periode yang sama nilai BFI pada DAS Batang Pelepat menurun dari 0.822 menjadi 0.765, sementara di Batang Bungo menurun dari 0.784 menjadi 0.734. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dirjen DIKTI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang sudah menyediakan dana penelitian dalam skim Publikasi Internasional dan Kerjasama Internasional 2012. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada CRC 990 Project (Goettingen University-IPB) atas fasilitas lokasi penelitian di lapang yang disediakan. DAFTAR PUSTAKA Balitbang - Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2005c) Penyusunan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Pertanian Kabupaten Bungo. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. BAPPEDA Bungo (2002) Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten Bungo tahun 2001-2005.Badan Perencanaandan Pembangunan Daerah Kabupaten Bungo, Muara Bungo, Indonesia. BPDAS Batanghari. (2002) Database dan informasi kegiatan rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial. Jambi : Balai Pengelolaan DAS Batanghari.
284 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Suria Darma Tarigan dan Sunarti/Transformasi Hutan Menjadi Tanaman Perkebunan dan ... Diana M. (2000) Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Sumberdaya Air pada Sub DAS Batang Pelepat Provinsi Jambi.[Skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN (2011) Statistik Perkebunan 2009-2011: KelapaSawit. SekretariatDirektoratJenderal Perkebunan. Sunarti, Sinukaban N, Sanim B and Tarigan SD (2008). Konversi Hutan Menjadi Lahan Usahatani Karet dan KelapaSawit Serta Pengaruhnya terhadap Aliran Permukaandan Erosi Tanah di DAS BatangPelepat, Jambi. J. Tanah Tropika, Vol 13. No.3, ISSN 0852-257X. Lampung. Wahl, KL and Wahl TL(1995) Determining the Flow of Comal Springs at New Braunfels, Texas, Texas Water '95, American Society of Civil Engineers, August 16-17, 1995, San Antonio, Texas, pp. 77-86.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
285
MAKALAH PENUNJANG Bagian 3 1. Peranan KTA dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan 2. Penguatan Kelembagaan untuk Mendukung KTA
MEMBANGUN INDUSTRI KAYU PERTUKANGAN MELALUI POLA KEMITRAAN KELEMBAGAAN KLASTER AGRIBISNIS PERKAYUAN1) Agoes Thony A.K.2) Abstract: The development of industry plantation forestry (HTI) having done in Indonesia has shown the real result but also has some problem. It is not only management of plantation forestry that also gives the success. The group of society has been directed to produce the wood and the group of industry community in wood handicraft which initially when the activity is done individually it has not organitation to build the wood factory for investment and to make the institution so the owner of capital is easy to have the partnership to build the wood factory whith industry plantation forestry timber as raw materials. Involvement in the factory is expected directly or in directly to help and need conselling in tehnics. The group of society and others wood craft can besupported to make cooperation in wood business. Keyword: HTI, Institution, Patnership, worker wood, worker of worker wood. 1) 2).
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Tenaga Pengajar (Lektor Kepala) pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Agribisnis, Universitas Sjakhyakirti, Palembang.
PENDAHULUAN
K
ebijakan klaster industri pada dasarnya bertujuan untuk mendorong berkembangnya kelompokkelompok usaha kecil dan menengah dengan menempatkan industri sejenis atau yang saling terkait pada satu kawasan tertentu dan merupakan suatu kebijakan pengembangan industri kecil yang cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan.
Kebijakan klaster industri diharapkan mampu memberikan efek ganda (multiflier effect) kepada ekonomi lokal, yang pada gilirannya akan mampu menciptaklan pekerjaan sekunder, menarik minat penyedia jasa, yang semuanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, sehingga terciptanya lapangan kerja, meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Adjid (1985), bahwa dalam usaha sehamparan yang dikelola dalam satu kesatuan kelompok yang dinamis berdampak positif terhadap peningkatan keuntungan petani, sebagai akibat meningkatnya kemampuan petani dalam kerjasama kelembagaan dengan pihak lain.
PERMASALAHAN Berkenaan dengan itu kajian pokok dalam studi ini hanya diarahkan pada mencari bentuk atau pola kemitraan bisnis multi pihak yang paling mungkin untuk direalisasikan pada tingkatan lapangan sehingga akan diperoleh suatu pola keterpaduan sebagaimana kebutuhan suatu industri pengolahan kayu pertukangan melalui kelola dengan sistem kemitraan kelembagaan. Dengan demikian permasalahan pokok dalam kajian ini adalah tidak lain untuk mencari dan menentukan bagaimanakah pola kemitraan kelembagaan klaster agribisnis perkayuan yang lebih spesifik untuk kepentingan suatu industri pengolahan kayu pertukangan.
KERANGKA PEMIKIRAN TEORI Dunia usaha dan industri perkayuan yang dalam hal ini industri pengolahan, akan memainkan peranan yang lebih penting dibandingkan dengan pemerintah yang hanya sebagai fasilitator dan dinamisator. Dunia usaha dan industrilah yang akan dapat berbuat nyata untuk mewujudkan manfaat ekonomi dari hutan, yang sebagian akan didistribusikan ke masyarakat luas dalam berbagai bentuk, antara lain lapangan pekerjaan dan manajemen bersama. Lebih jauh lagi industri pengolahan kayu besar peranannya dalam pemanfaatan hasil hutan karena dapat meningkatkan nilai tambah kayu itu sendiri Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
289
Agoes Thony AK./Membangun Industri Kayu Pertukangan Melalui Pola Kemitraan Kelembagaan ...
dan kelestarian industri dan hutannya. Industri pengolahan kayu memiliki keterkaitan yang erat dengan hutan, tidak akan ada industri kayu kalau tidak ada hutan. Investasi pada pabrik pengolahan kayu yang permanen biasanya memerlukan jaminan pasokan bahan baku yang kontinyu. Hal ini bermakna sebagai pengelolaan hutan secara lestari. Jika industri (pabrik) pengolahan kayu menginginkan kontinyuitas bahan bakunya, maka pengelola hutan industri (budidaya) akan memperhatikan, menjaga dan melestarikan hutan dengan melaksanakan penanaman, pemeliharaan dan pemanfaatan hasil hutan. Sebaliknya agar hutan dapat lestari maka diperlukan pabrik pengolahan kayu yang terus berjalan (lestari). Di lain pihak, pemerintah, masyarakat dan pergurunan tinggi akan menjadi pengawas agar dalam mengambil manfaat ekonomi tersebut, fungsi hutan dalam melindungi lingkungan hidup tidak terabaikan. Pada saat industri berkembang setelah terjadinya revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan belaka, yang memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya, dan pembayaran pajak kepada pemerintah. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekadar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, akan tetapi juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial. Perusahaan sesungguhnya tidak hanya memiliki sisi tanggung jawab ekonomi, seperti bagaimana untuk memperoleh keuntungan dan menaikkan harga saham atau tanggung jawab lainnya kepada pemerintah, akan tetapi jika perusahaan ingin eksis dan akseptabel di dalam mengelola perusahaan, maka dalam operasionalnya harus disertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial. Upaya perusahaan dalam meningkatkan perannya dalam pembangunan kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan menurut Wibisono (2007) membutuhkan sinerji multi pihak yang solid, baik dari pemerintah maupun komunitas (masyarakat). Tidak mungkin persoalan-persoalan bangsa ini hanya dapat diselesaikan oleh salah satu pihak saja. Sinergi yang paling diharapkan adalah adanya kemitraan antara perusahaan, pemerintah dan komunitas (masyarakat) sekitarnya yang disebut kemitraan tripatrit. Lebih jauh lagi Sjarkowi (2004), mengemukakan bahwa kompleksitas permasalahan sudah harus dijawab dengan kehandalan kerjasama tripatrit antara usahawan, rakyat dan pemda (URP) melalui strategi bisnis kehutanan yang berkelayakan. Sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan dan tanggung jawab perusahaan yang bersifat sosial, maka timbul suatu konsep yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility disingkat CSR. Pada saat isu CSR mengalami perkembangan yang cukup pesat, yang sebelumnya merupakan isu marginal kini telah menjelma menjadi isu sentral dan semakin populer. Salah satu pendorongnya adalah perubahan paradigma dunia usaha untuk tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi harus pula bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial, (Wibisono 2007). Selanjutnya dikemukakan pula oleh Schwab (2003) dalam Siahaan (2007), bahwa peranan dunia bisnis sudah rancu dan dalam era melambatnya pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan pengkajian kembali atas keterlibatan dunia usaha di dalam kegiatan non-bisnis seperti memerangi kemiskinan, menjamin kesehatan masyarakat dan melestarikan lingkungan. Sekalipun merupakan tanggung jawab pemerintah (Ari, 2005), namun perlu makin banyak menjadi perhatian dunia usaha.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagaimana tujuan penelitian yaitu ingin mencari dan menentukan satu pola kemitraan kelembagaan klaster agribisnis perkayuan sehingga akan terwujud suatu pola keterpaduan yang lebih spesifik untuk kepentingan suatu industri pengolahan kayu pertukangan. A Aktualisasi Entitas Masyarakat Tanpa Kelembagaan Formal Bentuk kelembagaan yang secara empiris ada, adalah suatu bentuk kelembagaan perusahaan swasta dengan keputusan manajemen yang terpusat, dimana unit-unit yang ada dalam lingkup maupun di luar perusahaan (masyarakat penghasil bahan baku kayu) hanya tunduk kepada satu keputusan manajemen. Sedangkan untuk entitas masyarakat yang belum memproduksi bahan baku kayu ataupun entitas masyarakat pengrajin kayu pertukangan (yang ketergantungan bahan baku dari hutan alam bukan dari hutan tanaman industri), yang keberadaannya belum melembaga, namun masih 290 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Agoes Thony AK./Membangun Industri Kayu Pertukangan Melalui Pola Kemitraan Kelembagaan ...
berupa kelompok yang belum disatukan dalam suatu wadah satuan usaha pada lingkup organisasi tertentu. Satuan usaha tersebut bentuknya berupa lembaga yang berfungsi sebagai perekat hubungan dalam suatu aktivitas usaha sehingga akan tumbuh rasa memiliki dibarengi rasa tanggung jawab untuk mengembangkan satuan usaha yang telah dibangun bersama. Kelembagaan, menurut Syahyuti (2003) ibarat organ-organ dalam suatu tubuh manusia, sehingga kelembagaanlah yang menggerakkan masyarakat secara keseluruhan. Fungsi lembaga menurut Soekanto (1999) adalah untuk 1). memberikan pedoman bagaimana harus bertingkah laku dan bersikap dalam menghadapi masalah dalam hidup; 2). menjaga keutuhan masyarakat, serta 3). memberikan pegangan kepada masyarakat dalam rangka pengendalian sosial atau menjadi sistem pengawasan tingkah laku. Selanjutnya Garcia (1994) mengemukakan, bahwa kelembagaan tidak sekedar group of people. Tanpa kelembagaan maka tidak akan ada masyarakat dengan segala kebudayaannya. Suatu kelembagaan dapat bertanggung jawab terhadap kebutuhan manusia dan kelangsungan masyarakat. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, fungsi utama kelembagaan adalah agar tercapai efisiensi dalam bertindak. Suatu tindakan akan menjadi ekonomis, karena telah ada pedoman dalam bertindak. Pelaku ekonomi tidak akan bertindak secara acak, akan tetapi bertindak menurut pola yang telah ada dan telah disepakati. Di sisi lain kelembagaan juga akan dapat digunakan sebagai wadah untuk menumbuhkembangkan tindakan kolektif di tingkat lokal sehingga mampu menciptakan perubahan arah struktur ekonomi pedesaan, ke arah ekonomi industri. Hal ini dapat terjadi dikarenakan peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya, mobilisasi dan sekaligus sebagai wadah untuk berkomunikasi. Bahkan menurut Pranadji (2003), kemajuan perekonomian suatu masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan akan banyak ditentukan oleh faktor non-productive resources terutama sistem kelembagaan yang dikembangkan masyarakat tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan dalam membangun sistem kelembagaan yang sehat merupakan kunci kemajuan perekonomian suatu masyarakat. Oleh karena itu jika sistem kelembagaan suatu masyarakat dibiarkan rapuh maka tidak akan ada peluang bagi masyarakat tersebut untuk memajukan atau memandirikan perekonomiannya, sebagaimana dikemukakan oleh Pranadji (2003), kerapuhan struktur organisasi ekonomi masyarakat pedesaan tercermin dari posisi pelaku ekonomi pedesaan yang tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk melakukan bargaining position dengan pelaku ekonomi di luar desa. Lemahnya bargaining position tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang antara lain : kelemahan dalam pengorganisasian kelompok tani, penguasaan modal usaha, interdependensi yang sangat timpang antara pelaku ekonomi pedesaan dengan luar pedesaan. B Bisnis Pengolahan Kayu Pola Kemitraan Kelembagaan Untuk mewujudkan hak dan tanggung jawab yang kokoh antara masing-masing pihak, perlu terikat secara moral ke dalam suatu bentuk kelembagaan yang memiliki aturan main yang jelas dan disepakati oleh semua anggota, dan lebih penting lagi adalah aturan main yang dibuat lembaga tersebut mampu mendorong kemandirian semua anggota. Aturan Main yang dirumuskan untuk suatu kelembagaan adalah suatu bentuk kelembagaan yang operasionalisasi kegiatannya melalui pola kemitraan kelembagaan (Thony dan Fachrurrozie, 2008). Untuk dapat terwujudnya hal ini, maka entitas masyarakat penghasil bahan baku kayu pertukangan dan masyarakat pengrajin kayu pertukangan harus mewadahi kelompoknya ke dalam satu lembaga organisasi formal, yang selanjutnya akan bekerjasama dengan pihak swasta untuk membentuk satu unit usaha kilang kayu sebagai suatu unit usaha bersama dan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan dan dapat saling menghidupi kelompok mitra, sehingga dapat dicapai tujuan kemitraan yaitu untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra, meningkatkan skala usaha, serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok usaha yang mandiri. Kesadaran dalam membangun suatu lembaga kemitraan, baik secara ekonomi maupun kelembagaan mengharuskan dikembangkannya paradigma baru tentang kemitraan berdasarkan kesetaraan peran dan manfaat dalam nuansa kerjasama yang sinergis. Jika hubungan kerjasama antara masyarakat penghasil bahan baku dan masyarakat pengrajin kayu pertukangan pengguna bahan baku dengan swasta melalui pola kemitraan kelembagaan dengan sistem klaster agribisnis perkayuan, Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
291
Agoes Thony AK./Membangun Industri Kayu Pertukangan Melalui Pola Kemitraan Kelembagaan ...
maka akan tercipta suatu keterikatan dan keterkaitan usaha bahkan akan menjadi kunci dalam mengatasi persoalan yang akan terjadi. Hanya dengan melalui kemitraan kelembagaan inilah berbagai persoalan yang akan timbul antara pihak yang bermitra akan dapat terselesaikan (Thony, 2008). Dengan demikian kemitraan sesungguhnya merupakan sebuah kebutuhan saat ini (Sulistyani, 2004), karena dengan kemitraan akan banyak terjadi penghematan energi dan akan dicapai hasil serta manfaat yang berlipat ganda jika para pihak yang memiliki kesamaan orientasi melakukan kemitraan. Bahkan model kemitraan dapat dianggap sebagai suatu pola baru dalam menciptakan peran yang setara antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat, yang disebut oleh Syarkowi (2004) sebagai kerjasama tripatrit antara usahawan, rakyat dan pemerintah daerah (URP). Jika kita renungkan makna dari uraian di atas, dapat tergambar bahwa bentuk kelembagaan yang dapat melaksanakan pola kemitraan seperti itu adalah bentuk kelembagaan Koperasi. Memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri, melalui suatu perusahaan yang didirikan, dimiliki, dan dikendalikan secara bersama-sama di antara orang-orang yang membutuhkannya, merupakan wujud suatu koperasi. Kelembagaan koperasi merupakan bentuk kelembagaan yang tepat dengan pola kemitraan. Kemitraan sangat diperlukan koperasi agar usahanya dapat terus berkembang. Kemitraan dilakukan karena koperasi secara obyektif tidak mampu mengelola atau membiayai sendiri seluruh kegiatannya. Oleh karena itu koperasi harus bermitra dengan pihak lain tanpa mengorbankan nilai-nilai dan prinsipprinsip yang melekat pada koperasi tersebut, akan tetapi agar dapat dilakukan secara layak, kemitraan yang terbentuk harus didasari disiplin bisnis dan kelayakan usaha, sehingga kemitraan ini bukan hanya dilandasi semangat bahwa suatu pekerjaan akan memberikan hasil terbaik jika dilakukan secara bersama-sama, melainkan harus didasari oleh perhitungan-perhitungan bisnis yang cermat dan dapat dipertanggung jawabkan. Bentuk kelembagaan ini merupakan suatu kemitraan antara koperasi masyarakat pengrajin kayu pertukangan dengan koperasi masyarakat penghasil bahan baku. Keberadaan kedua koperasi ini harus terbentuk, dan untuk selanjutnya dalam rangka investasi usaha kilang kayu, maka kedua pihak perlu membentuk koperasi sekunder yang menyatukan aspirasi kedua pihak dan sekaligus membuka pintu kepercayaan bagi pihak ke tiga (perusahaan swasta) yang akan memberikan bantuan pemodalan dalam bentuk pinjaman lunak atau hibah (Thony, 2008). Selain peran swasta yang memberikan bantuan dalam bentuk modal pinjaman, lebih penting lagi adalah dibutuhkan pula dukungan kebijakan pada tingkat Pemerintah Daerah yang dalam hal ini membantu agar peran instansi terkait sebagai pelaksana teknis yaitu Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian perdagangan serta lembaga keuangan (perbankan) untuk terlibat membina entitas masyarakat tersebut. Pada kebijakan ini yang dapatkita katakan sebagai revitalisasi kelembagaan tingkat masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan dalam rangka memacu terwujudnya klaster agribisnis industri pengolahan kayu melalui kemitraan kelembagaan, maka dapat dikemukakan bahwa pola ini memiliki kelebihan potensial bagi kedua pihak yang terlibat dalam kemitraan yang terbentuk. Adapun kelebihan potensial yang dimaksud adalah: 1. Kedua pihak tentunya saling membutuhkan (pemasok bahan baku dan pengguna untuk barang jadi) sehingga mudah untuk sepakat. 2. Masing-masing pihak dapat menghimpun modal sesuai kapasitas ekonomi para anggota koperasi, sehingga porsi bagi hasil perkongsian mudah teridentifikasi. 3. Lembaga formal yang dibentuk akan dapat menghimpun kedua pihak dan akan menguatkan daya tawar-menawar serta mudah meyakinkan pihak ketiga (perusahaan mitra). Dengan pola ini isu permodalan akan lebih mudah diatasi, dan juga setiap potensi ancaman resiko dan dampak negatif yang mungkin timbul akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya sehingga tidak akan merugikan pihak manapun. Dalam menentukan pola yang ideal pada usaha kemitraan kelembagaan antara swasta, masyarakat penghasil bahan baku dan masyarakat pengrajin kayu pertukangan, perlu digarisbawahi, bahwa pola yang dipakai idealnya harus dikondisikan sebagaimana butir-butir seperti : 1). masyarakat penghasil 292 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Agoes Thony AK./Membangun Industri Kayu Pertukangan Melalui Pola Kemitraan Kelembagaan ...
bahan baku dan masyarakat pengrajin kayu pertukangan atau pihak lain yang bermitra adalah pemilik saham keseluruhan jaringan usaha klaster agribisnis, sehingga pihak yang bermitra secara kolektif adalah penguasa klaster agribisnis tersebut ; 2). status keorganisasian pihak yang bermitra tidak dibatasi hanya pada kegiatan produksi bahan baku (masyarakat penghasil bahan baku), dan sebagai pengguna bahan olahan (masyarakat pengrajin kayu pertukangan), akan tetapi pada seluruh jaringan usaha klaster agribisnis tersebut, yang pada kondisi ini secara kolektif membangun (organisasi) pasar bersama, yang termasuk membangun unit kilang kayu, sehingga terciptanya usaha pada jaringan kemitraan secara horizontal dan vertikal; 3). Output usaha kemitraan bukanlah bahan mentah yang tidak stabil, namun berupa bahan olahan (akhir) yang bernilai tambah tinggi, dengan jaringan pasar lokal, regional bahkan nasional; 4). Diberlakukannya azas keterbukaan dan demokrasi dalam rangka menentukan suatu keputusan secara musyawarah mufakat (Thony, 2008). Dengan pola kemitraan, kedudukan lembaga akan lebih kuat, dan akan mampu memberikan contoh betapa bermanfaatnya sikap mandiri dalam kehidupan. Kepeloporan lembaga untuk membangun kemandirian dapat dilakukan, seperti lembaga dapat menyediakan berbagai kesempatan kepada para anggotanya untuk menabung, menanamkan modal atau menjadikan lembaga tersebut sebagai sarana anggota atau masyarakat umum. Dari aspek kelembagaan, kemitraan kelembagaan sekaligus dapat dikaitkan dengan program sentra bisnis yang pada era sekarang sedang dikembangkan di banyak daerah. Program sentra bisnis yang merupakan pusat kegiatan di kawasan atau lokasi tertentu dimana terdapat usaha kecil yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi bentuk klaster. Dengan terbentuknya lembaga mitra(lembaga primer) ini, maka secara otomatis kelompok masyarakat pengrajin kayu pertukangan dan kelompok masyarakat penghasil bahan baku, selanjutnya dapat berwujud sebagai kelompok usaha mandiri dan berbadan hukum yang terakumulasi dalam satu kesatuan klaster agribisnis perkayuan yang terpadu (lembaga sekunder), sehingga dalam aktivitas usahanya kelompok ini tentunya dengan mudah dapat melakukan konsolidasi dalam bidang manajemen (Corporate Management). Jika secara individu ke dua kelompok walaupun sudah berada dalam wadah formal (misal : koperasi primer dan sekunder), namun tetap berada pada posisi tawar yang lemah yaitu sebagai penerima harga (price accepter). Untuk itu, dalam upaya membangun kelembagaan yang mampu meningkatkan posisi tawarnya, maka ke dua kelompok ini tentunya membutuhkan binaan dan bimbingan yang berasal dari pihak perusahaan mitra (swasta). Jika menggunakan istilah inti dan plasma, menurut Thony (2008), maka kelompok masyarakat pengrajin kayu pertukangan dan kelompok masyarakat penghasil bahan baku sebagai plasma, melalui lembaga formal (korporasi) yang telah terbentuk, bermitra dengan swasta (melalui koperasi karyawannya) yang bertindak sebagai inti yang berperan tidak hanya sebagai pemasok input dan pemasar output, akan tetapi juga bertindak sebagai penjamin terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan bidang usaha korporasi, misalnya saja pihak lembaga perbankan. Untuk perkembangan ke depan tidak mustahil usaha korporasi akan lebih baik, sehingga korporasi dalam hal-hal tertentu dapat saja memiliki akses langsung ke sumber modal (perbankan) tanpa jaminan pihak swasta, akan tetapi harus adanya campur tangan pihak pemerintah daerah (pemda). Untuk itu dituntut peran pemda yang dapat membantu sebagai penjamin (avalist). Inilah suatu solusi membangun pola kemitraan antara masyarakat (petani), pengrajin, perusahaan dan perbankan dalam satu organisasi dalam bentuk badan usaha milik petani yang difasilitasi oleh pihak pemda. Model kemitraan kelembagaan ini adalah yang merupakan pola baru yang memberikan peran setara dan seimbang antara tiga aktor pelaksana pola kemitraan yaitu pemerintah (pemda), swasta (Perusahaan) dan masyarakat (penghasil bahan baku dan pengguna bahan olahan). Posisi Pemda akan lebih baik jika lebih transparan dan mengembangkan kepemimpinan yang partisipatif. Sedangkan di pihak Swasta hendaknya mampu memberikan kontribusi dalam memberikan enerji untuk melaksanakan pemberdayaan bersama pemda kepada masyarakat, dan masyarakat hendaknya mampu memanfaatkan peluang untuk memberikan peran aktif melalui partisipasi yang nyata. Peran pemda yang berada pada posisi fasilitasi terhadap jalannya proses kemitraan kelembagaan , lebih banyak berperan pada penentuan rambu-rambu dan aturan main secara umum, dapat berupa kebijakan politik, kebijakan umum, kebijakan sektoral dan batasan-batasan normatif lain. Peran swasta pada posisi Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
293
Agoes Thony AK./Membangun Industri Kayu Pertukangan Melalui Pola Kemitraan Kelembagaan ...
operasionalisasi atau implementasi kebijakan atau penentuan langkah (policy action) bersama msyarakat, kontribusi tenaga ahli, tenaga trampil maupun sumbangan/pinjaman dana, alat atau teknologi. Sedangkan peran masyarakat pada umumnya diwujudkan dalam bentuk partisipasi baik pada level formulasi, implementasi, monitoring maupun evaluasi.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Pola kemitraan kelembagaan Klaster Agribisnis Perkayuan yang lebih spesifik untuk kepentingan suatu industri pengolahan kayu pertukangan adalah kemitraan kelembagaan antara tiga entitas yaitu masyarakat penghasil bahan baku kayu dan masyarakat pengnguna bahan olahan dserta perusahaan swasta yang sepakat untuk membentuk unit kilang kayu. 2. Untuk lebih berkembangnya pola kemitraan kelembagaan antara masyarakat penghasil bahan baku, masyarakat pengrajin kayu pertukangan dan perusahaan, untuk jangka panjang perlu melibatkan pihak perbankan sehingga dapat membentuk satu wadah organisasi dalam bentuk korporasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang difasilitasi oleh pihak pemerintah daerah. Untuk perkembangan ke depan tidak mustahil usaha korporasi tersebut akan lebih baik dan memiliki akses langsung ke sumber modal tanpa jaminan pihak swasta melainkan pemerintah daerahlah sebagai penjamin. DAFTAR PUSTAKA Adjid, Dudung Abdul. 1998. Bunga Rampai Agribisnis. Kebangkitan, Kemandirian dan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan. Menuju Abad 21. Surat kabar Sinar Tani, Jakarta. Ari, Margiono. 2005. Menakar Keterlibatan Pemerintah Dalam Corporate Social Responsibility. http://csrarticles.blogspot.com/. diakses Selasa 6 Maret 2007. Garcia. Manuel. B. 1994. Introductory Sociology: A Unified Approach with Accompanying Work Book. National Book Store, Inc. Metro Manila, Philippines. Pranadji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Schwab, Klaus 2003. Get Back to Business. Newsweek. Dalam Siahaan, N. H. T. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Penerbit Pancuran Alam, Jakarta. Sjarkowi, Fachrurrozie. 2004. Quo Vadis Pengelolaan Hutan Propinsi Sumatera Selatan. Makalah Lokakarya Sertifikasi Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari. Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sulistyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gava Media, Yokyakarta. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapannya Dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Thony, Agoes Ak. 2007. Mamahami Pengertian Sistem Agribisnis. Kumpulan Makalah Pelatihan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dalam Mengelola Usaha Agribisnis. Lembaga Konsultasi Manajemen Agribisnis, Palembang. Thony, Agoes Ak., dan Fachrurrozie Sjarkowi. 2007. Agribisnis Acasia mangium Kayu Pertukangan Berbasis Satuan Kelola Hutan Kerakyatan Program Binaan PT.MHP di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Jurnal Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan. Jaringan Komunikasi Pasak Bumi. Palembang. Thony, Agoes Ak. 2008. Revitalisasi Klaster Agribisnis Perkayuan Dalam Perspektif Keberlanjutan Ekologis, Ekonomis, Sosial Hutan Tanaman Industri Acasia mangium, Wild. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Doktor Bidang Ilmu-ilmu Pertanian. Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya. 2008. Thony, Agoes Ak. 2009. Revitalisasi Klaster Agribisnis Perkayuan Berbasis Kayu Acasia mangium Hutan Tanaman Industri di PT.Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Agritek. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, Teknologi Pertanian, Kehutanan Volume 16 No.5 ; 797 - 804. .Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Penerbit. CV. ASHKAF Media Grafika, Surabaya.
294 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
PENGHEMATAN SUMBERDAYA MELALUI PENERAPAN BUDIDAYA PADI SECARA RATOON DI LAHAN PASANG SURUT 1) Andi Wijaya2,3) Abstract: Lahan pasang surut merupakan lahan yang berpotensi besar sebagai lumbung pangan terutama padi. Tetapi lahan pasang surut menghadapi kendala tenaga kerja yang rendah dan kondisi air yang terbatas. Oleh sebab itu, relatif sedikit petani di daerah pasang surut melakukan penanaman lebih dari satu kali dalam satu tahun. Salah satu cara untuk meningkatkan intensitas tanam adalah melalui budidaya ratoon. Budidaya ratoon adalah metode memanfaatkan tanaman padi yang tumbuh kembali setelah dipanen sehingga dapat dipanen kembali. Diuraikan strategi aplikasi metode ratoon di daerah pasang surut dan strategi penelitian yang dibutuhkan. Kata kunci: pasang surut,budidaya ratoon 1)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Fakultas Pertanian Unsri 3) Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Sub-Optimal
2)
PENDAHULUAN
K
ebutuhan beras untuk penduduk Indonesia yang berjumlah 241 juta jiwa dapat dipenuhi denga mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan. Upaya meningkatkan produksi padi di Indonesia terus dilakukan untuk mengimbangi lajupeningkatan kebutuhan beras yang diperkirakan mencapai41,5juta ton atau 65,9 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2025. Peningkatan produksi ini ditempuh dengan beberapa cara diantaranya intensfikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi adalah upaya meningkatkan produktivitas padi dan indeks panen (IP) per tahun, sedangkan ekstensifikasi adalah upaya memperluas areal produksi yang diarahkan ke lahan baru atau lahan yang belum optimal produksinya antara lain lahan rawa pasang-surut (Kementan, 2012 ;Tombe, 2009). Peningkatan produksi yang terjadi lebih diakibatkan oleh peningkatan oleh penambahan luas tanam dibandingkan dengan penambahan produktivitas. Lahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai wilayah produksi beras adalah lahan rawapasang surut, luas rawa pasang surut seluas 20 juta hektar (Bappenas, 2007). Walaupun potensi lahan ini cukup tinggi tetapi produktivitas padi lahan pasang surut masih rendah yaitu 3,5 ton GKG per ha (Moeljoparwiro, 2002). Selain itu intensitas penanaman untuk wilayah ini masih rendah yaitu baru satu kali per tahun (Alimhamsyah et al. 2003). Rendahnya intensitas pemanfaatan lahan ini akibat kekurangan tenaga kerja dan waktu yang tersedia untuk budidaya padi yang kedua terbatas (Sudana, 2005). Solusi untuk mengatasi haltersebut adalah dengan menerapkan budidaya ratoon atau singgang (Jawa) dan turiang (Sunda). Ratoon merupakan tanaman padi yang telah dipanen yang tumbuh kembali menghasilkan anakan baru dan selanjutnya dapat dipanen (Islam et al. 2008). Keunggulan ratoon selain memberikan tambahan produksi, juga hemat input produksi, biaya, tenaga dan waktu persiapan tanam (Santos et al. 2003). Waktu panen ratoon 40% lebih pendek, penghematan air sebanyak 60%, penghematan input produksi sebanyak 38% dan produksi bisa mencapai 50% dari tanaman utama (Oad et al., 2002). Walaupun banyak kelebihan budidaya ratoon masih jarang diterapkan di daerah pasang surut. Hal ini karena ada beberapa kendala yang dihadapi. Menurut Susilawati et al. (2008) dan IRRI (1988) kendala tersebut adalah; [1] produksi yang tidak realible yaitu terlalu rendah, [2] permasalahan persaingan dengan gulma, [3] tingginya tingkat kegagalan panen akibat serangan hama/penyakit dan [4] belum ada genotyp yang unggul untuk budidaya ratoon. Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara mendalam persmasalah budidaya padi secara ratoon di agroekosistem rawa pasag surut. Selain itu juga perlu dibuat road map (peta jalan) penelitian strategis yang perlu dilakukan untuk pengembangan budidaya ratoon di agroekosistem pasang surut. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
295
Andi Wijaya/Penghematan Sumberdaya Melalui Penerapan Budidaya Padi Secara Ratoon ...
PERMASALAHAN BUDIDAYA RATOON DI LAHAN PASANG SURUT Sesuai dengan uraian di atas, bahwa banyak sekali keuntungan dari budidaya ratoon tetapi masih relatif sedikit petani yang menerapkan budidaya ini. Hal ini dikarenakan budidaya ratoon di pasang surut menghadapi beberapa kendala. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: Varietas yang Tidak Sesuai Sebenarnya, sejarah budidaya padi menunjukkan bahwa padi budidaya yang ada sekarang merupakan proses domestifikasi (penjinakan) dari padi perennial (tahunan) dengan proses seleksi sehingga menjadi tanaman semusim seperti sekarang ini. Hal ini berarti tanaman padi waktu dahulu kala sering diterapkan sistem budidaya ratoon. Oleh sebab itu beberapa ahli berpendapat bahwa ratooning merupakan sifat liar dari tanaman padi. Tetapi sifat ratooning ini dikembangkan kembali oleh pengelola budidaya padi secara komersial terutama di Amerika Serikat karena menguntungkan dari segi input produksi dan waktu (Hill, 2010). Di Indonesia belum ada varietas yang dilepas khusus untuk budidaya dengan sistem ratoon, sehingga budidaya ratoon produksinya relatif rendah. Rendahnya produksi dikarenakan oleh tingginya persentase gabah hampa. Diduga hal ini karena singkatnya waktu yang tersedia untuk pengisian gabah.Menurut Vergara (1995) pada tanaman utama terdapat tiga fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi yaitu pertumbuhan vegetative, reproduktif dan fase pematangan. Pada tanaman ratoon tidak melalui fase vegetative. Tanaman ratoon langsung memasuki fase reproduktif selama 30 hari dan masa pematangan selama 35 hari. Hasil evaluasi terhadap 34 varietas padi disimpulkan bahwa produksivarietas lokal rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul nasional (Wijaya et al., 2012). Hal ini dapat dipahami karena sifat ratoon ini merupakan sifat liar tanaman padi. Menurut Harrelet al. (2009), varietasvarietas local memiliki karakter yang lebih mendekati padi liar dibandingkan dengan varietas modern. Oleh sebab itu kemampuan untuk ratoon lebih tinggi pada varietas-varietas local dibandingkan dengan varietas modern (varietasunggul). Menurut Wijaya et al. (2012) bahwa karakter umur panen, produksi tanaman utama dan persentase gabah hampa memiliki hubungan korelasi yang nyata terhadap produksi gabah pada tanaman ratoon. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ambiliet al. (2002) bahwa anakan produktif pada tanaman utama berkorelasi nyata dengan produksi tanaman ratoon. Umur Panen dan Tinggi Pemotongan Waktu panen merupakan periode yang penting didalam budidaya ratoon. Waktu panen yang tepat adalah sewaktu bulir telah menguning tetapi tanaman masih hijau. Sesuatu yang telah disimpulkan bahwa akumulasi untuk tanaman kedua (ratoon) terjadi sewaktu mendekati matang panen pada tanaman pertama. Dimana deposit inilah yang berkonstribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi ratoon. Untuk itu, tindakan agronomis yang specifik pada budidaya padi ratoon atau setelah tanaman pertama dipanen merupakan cara untuk meningkatkan hasil gabah.Cara budidaya dan kondisi pada tanaman pertama mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari padi ratoon (Jones, 1993). Selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman pertama, beragam karbohidrat dan gula terakumulasi pada tanaman pertama yang terakumulasi di daun dan batang. Dimana akumulasi tersebut akan ditranslokasikan untuk perkembangan gabah setelah pembungaan (Turner dan Jund, 1993). Makarim dan Hartatik (2006) menyatakan umur tanaman ratun akan berada pada kisaran 65 hari Salah satu faktor yang berhubungan dengan status karbohidrat tanaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ratun adalah tinggi pemotongan singgang. Selain berhubungan dengan cadangan makanan pada singgang, tinggi pemotongan juga berkaitan dengan ruas tanaman yang tersisa, dimana pada setiap bukunya terdapat tunas-tunas lateral yang akan menghasilkan tunas-tunas ratun. Tinggi pemotongan mempengaruhi dan menentukan jumlah tunas yang tumbuh dan periode pertumbuhan ratun (JichaodanXiaohui,1996). Tinggi pemotongan juga dapat memacu tunas yang dorman untuk tumbuh (MahadevappadanYogeesha, 1988) dan mempengaruhi jumlah anakan dan hasil biji (Harrelet al,.2009). 296 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Andi Wijaya/Penghematan Sumberdaya Melalui Penerapan Budidaya Padi Secara Ratoon ...
Hasil penelitian tentang tinggi pemotongan singgang terhadap hasil ratun tanaman padi masih menunjukkan hasil yang berbeda. Santos et al.(2003) membuktikan bahwa tinggi pemotongan yang rendah yaitu 5 cm dari permukaan tanah, dapat menurunkan hasil 12-37% dibandingkan tinggi pemotongan 15 cm. Berbeda dengan hasil penelitian Petroudiet al. (2011), bahwa pemotongan yang rendah (10 cm) memberikan hasil ratun dan indeks panen yang lebih tinggi dibandingkan pemotongan yang tinggi (40 cm). Menurut Susilawati (2011), tinggi pemotongan 20 cm dari permukaan tanah (tersisa 2-3 ruas), merupakan pemotongan optimal yang dapat meningkatkan dan mengoptimalkan produksi biji pada malai ratun yang ditanam di lahan pasang surut Kalimantan dengan system tanam pindah. Sedangkan hasil penelitian Nassiriet al. (2011) menunjukkan pada pemotongan singgang yang tinggi (40 cm) memberikan hasil ratun tertinggi dibandingkan tinggi pemotongan 0 dan 20 cm. Demikian pula menurut Harrelet al. (2009), budidaya ratun lebih baik dilakukan dengan tinggi pemotongan singgang berkisar 40-50 cm. Pemotongan batang padi lebih pendek dari biasanya sangat dianjurkan untuk budidaya ratoon. Tinggi panen biasanya adalah 40 dan 45 cm sedangkan untuk ratoon adalah 20 – 25 cm dari permukaan tanah (Tarpley et al, 2008). Menurut Meriza et al. (2013), semakin tinggi pemotongan singgang, semakin cepat umur berbunga ratun tanaman padi. Pada pemotongan singgang 40-50 cm, umur berbunga ratun 15 hsp, berbeda nyata dengan tinggi pemotongan 20 cm (28,75hsp) dan 10 cm (37,50 hsp). Ratun yang dihasilkan dari buku yang lebih tinggi keluar lebih cepat dibandingkan yang tumbuh dari buku yang lebih rendah, sehingga semakin mempercepat umur tanaman berbungayaitu selama 35 hari untuk fase reproduktif dan 30 hari untuk fase pemasakan. Menejemen Pemupukan Salah satu unsure hara yang sanggat berperan bagi tanaman ialah nitrogen. Vegara et al. (1988) menginformasikan pemberian N dapat meningkatkan hasil pada system ratun. Nitrogen merupakan salah satu aspek teknologi budidaya yang penting dalam peningkatan produksi dan produktivitas tanaman dari tiga unsure hara (N, P, dan K) unsur N memberikan pengaruh paling mencolok dan cepat terutama merangsang pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun (Ikwani, 2012). Perkembangan akar sanggat di pengaruhi oleh ketersedian N. Pertumbuhan akar hanya akan aktif bila kadar N pada batang lebih dari 1 %, perkembangan akar berhubungan erat dengan perkembangan daun. Apabila daun yang ke-n pada batang utama telah memanjang, maka akan muncul akar sekunder pada buku yang ke-(n-3). (Muratha dan Muatshushima, 1978; Yoshida 1981). Nitrogen sering membatasi produksi tanaman di daerah tropis dan biasanya tersedia sebagai nitrat (NO3-) pada lahan kering.namun kedua amonium(NH4+) danNO3-penting sebagai sumber N untuk tanaman tumbuh (Marschner, 1995). Kebutuhan N pada padi sawah mencapai 90 – 120 kg N ha ( Taslimet al., 1989). Pemberian pupuk Nitrogen sebanyak dua kali setelah panen tanaman utama dapat meningkatkan hasil padi ratun di Jepang sebesar 56 % (Nakano dan Morita, 2007). Bollichet al. (1988) melaporkan bahwa pada tahun 1985 di Lemont, Texas, lahan sawah seluas 160 ha diusahakan secara komersial, pertanaman padi utama menghasilkan sebesar 8,2 ton/ha gabah kering giling (GKG) dan padi ratun mampu menghasilkan sebesar 3,6 ton/ha GKG sehingga total produksi dapat mencapai 11,6 ton/ha GKG. Untuk menghasilkan ratun yang baik, make pemupukan tidak hanya diberikan terhadap tanaman utama, tetapi juga pada tanaman ratun (Zhao-weiet al. 2003). Studi lain menyatakan bahwa hanya N yang secara nyata berpengaruh terhadap tanama nratun (McCauley et al. 2003). Pupuk N harus segera diberikan setelah panen agar terjadi proses ratun lebih awal (Sannang, 2002). Pemberianpupuksecaratepatdanberimbangpadapadiutamadaribenihmaupunpadiratundiharapkandap atmeningkatkanproduktivitaspadi.Pemupukandenganwaktupemberiandandosispupuk yangtepatdapatmencegahpenurunankesuburantanahakibatpengurasanharaolehtanamansecaraberlebiha n (BalaiPengkajianTeknologi Lampung, 2004).Untuk meningkatkan produksi pangan nasional, dapat dilakukan peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi produksi antara lain melalui penggunaan pupuk organik. Pupuk tersebut dapat mengembalikan kesuburan lahan melalui jasa mikroba yang menguntungkan (Hutapea dan Mashar, 2011). Pupukorganik yang dikembalikan melalui pupuk kandang selain sebagai sumber bahan organik tanah juga sebagai sumber hara bagi pertumbuhan tanaman (Endedan Taylor, 1969). Pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
297
Andi Wijaya/Penghematan Sumberdaya Melalui Penerapan Budidaya Padi Secara Ratoon ...
dan biologi tanah melalui perannya sebagai sumber makanan mikroba di dalam tanah (Sugitoet al. 1995) dan meningkatkan jenis serta populasi mikroba, sehingga aktivitas mikroba dalam tanah terus meningkat (Sarief, 1989). Hasil penelitian Wijaya et al. (2013) menunjukkan bahwa Perlakuan pemberian pemupukan urea secara bertahap dengan pupuk urea 33,3 % 21 (HST), 33,3 % 80 (HST), 33,3% 7 (HSP) memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi tanaman ratoon dibandingkan dengan pemberian secara konvensional (dua tahap) ataupun pemberian dengan empat tahap. Tetapi perlakuan ini tidak berpengaruh terhadap produksi tanaman utama. Penelitian ini juga membuktikan bahwa pemberian pupuk organik 2,5 ton per ha juga memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi padi ratoon dan juga tidak berpengaruh terhadap produksi tanaman utama.
PENELITIAN STRATEGIS UNTUK PADI RATOON Permasalahan hama dan penyakit juga merupakan permasalahan penting di dalam budidaya ratoon. Adanya tanaman sepanjang waktu mengakibatkan inang selalu tersedia. Selain itu, penanaman ratoon yang dilakukan hanya sekelompok petani juga mengakibatkan hama dan penyakit terkonsentrasi pada suatu tempat. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk pengendalian hama penyakit pada budidaya ratoon. Di sisi lain, perlu penelitian kelembagaan agar petani dapat lebih bersama-sama dalam melakukan budidaya ratoon. Budidaya ratoon juga memerlukan varietas yang spesifik untuk tujuan itu. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan varietas khusus untuk tujuan budidaya ratoon di lahan rawa. Hal ini karena penelitian Wijaya et al. (2012) menunjukkan bahwa permasalahan varietas di lahan rawa pada padi ratoon adalah tingginya persentase gabah hampa. Untuk itu perlu dikembangkan varietas dengan anakan lebih sedikit tetapi persentase gabah hampanya rendah. Secara simultan perlu dilakukan penelitian untuk mensinergiskan antara limbung dan sumber pada budidaya padi ratoon. Salah satu cara untuk mensinergiskan hal tersebut adalah melalui memaksimalkan sumber dengan jalan menejemen pupuk yang tepat. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian pemupupukan untuk meningkatkan produksi padi ratoon. Beberapa penelitian fitohormon juga perlu dilakukan untuk memaksimalkan transportasi asmilat dari sumber ke gabah.
KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Budidaya padi ratoon mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di daerah pasang surut 2. Di daerah pasang surut budidaya padi ratoon menghadapi kendala hama-penyakit, dan persentase gabah hampa yang tinggi 3. Diperlukan penelitian untuk meningkatkan produksi padi ratoon melalui penelitian hama/penyakit, pemupukan, aplikasi zat pengatur tumbuh dan pengembangan varietas DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T, D Nazeim, Mukhlis, I Khairullah, HD Noor, M Sarwani, Sutikno, Y Rina, FN Saleh dan S Abdussamad. 2003. Empat puluh tahun Balittra; Perkembangandan Program Penelitian Ke Depan. Balai Penelitian Tanaman Pangan LahanRawa. BadanLitbangPertanian. Banjarbaru Ambili S.N. and C.A. Rosamma. 2002. Character association in ratoon crop of rice (Oryza sativa L.). Journal of Tropical Agriculture 40: 1-3. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.2009. PengelolaanTanamanTerpadu (PTT) Padi Rawa Pasang Surut. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Bappenas. 2007. Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan irigasi rawa di Sumatera. Direktorat Pengairan dan Irigasi Kedeputian Bidang Sarana dan Prasarana, Jakarta Bollich, C.N ,B.D.Webb, and J.E. Scott. 1988. Breeding and testing for superior ratooning ability of rice in Texas. p. : 48-53 In Rice Ratooning. Intem.Rice Res.Inst. Los Banos. Philippines.
298 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Andi Wijaya/Penghematan Sumberdaya Melalui Penerapan Budidaya Padi Secara Ratoon ... Harrell D.L., J.A. Bond and S. Blanche. 2009. Evaluation of main crop stuble height on ratoon rice growth and development. Field Crops Reserach 114: 396-403. Islam M.S., M. Hasannuzzaman, M.D. Rukonuzzaman. 2008. Ratoon rice response to different fertilizer doses in irrigated condition. Agric. Conspec. Sci. 73:197-202. IRRI. 1988. Rice ratooning as an alternative to double cropping in Asia. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes. (Eds.) Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm 3-15. Jichao, Y. and S. Xiaohui. 1996. Effect of Cutting Node and Leaves Retained on the Mother Stem on Rice Ratooning. Sichuan Agric. Univ. J. 4(7): 42-53. Jones, D.B. 1993. Rice ratoon response to main crops harvest cutting height. Agron.J. 85: 1139-1142. Kementan., 2012. LaporanKinerjaKementerianPertanianRepublik Indonesia Tahun 2011. 40 hal. Harrel, D.L., A.B. Jason, and B. Sterling. 2009. Evaluation of Main-Crop Stubble Height on Ratoon Rice Growth and Development. Field Crops Res.114:396-403 Ikhwani,. 2012. Pengaruh perendaman pemupukan N terhadap pertumbuhan dan produksi padi toleran rendaman. J. Lahan suboptimal. 1: 12-21. McCauley N, Turner FT, Way MO, Vawter LJ. 2003. Hybrid Ratoon management. RiceTech. Makarim, A.K. dan E. Suhartatik. 2006. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal.295-329. Mahadevappa, M. and H.S. Yogeesha. 1988. Rice Ratooning Breeding, Agronomic Practice, and Seed Production Potential. DalamSusilawati, B.S. Purwoko, H. Aswidinnoor, dan E. Santosa. 2010. KeragaanVarietas danGalur PadiTipe Baru Indonesia dalam Sistem Ratun.J. Agron. Indo.38(3: 177-184. Moeljopawiro Sugiono. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. Muratta, Y. and Matsushima, S. 1978. ‘Rice” In Evans.L.T. (Ed). Crop physiology.Cambridge; University Press. Cambridge. 73-99. Nakano, H., and S.Morita. 2007. Effects of twice harvesting on total dry matter yield of rice. Field Crops Res. 101, 269-275. Nassiri, M., H. Pirdashti and T. N. Nejad. 2011. Effect of Level and Time of Nitrogen Fertilizer Application and Cutting Height on Yield and Yield Component of Rice Ratooning. Proceedings of the Fourth International Iran and Russia Conference. Pp. 602-606. Oad, F.C., M.A. Samo, Z.U. Hassan, Pompesta, Cruz, and N.L. Oad. 2002. Correlation and path analysis of quantitative characters of rice ratoon cultivar and advance lines. J Agriculturure&Biologi. 4(2): 204-207. Petroudi, E. R., G. Noormohammadi, M. J. Mirhadi, H. Madani, and H. R. Mobasser. 2011. Effects of Nitrogen Fertilization and Rice Harvest Height on Agronomic Yield Indices of Ratoon Rice-Berseem Clover Intercropping System. AJ CS. 5(5):566-574. Sannang, Nurhuda. 2002. Skripsi :Studi Potensi Hasil dan Viabilitas Benih Tanaman Utamadan Ratun dari Tujuh Genotipe Padi Gogo asal Kalimantan Timur. Budidaya Pertanian :Institut Pertanian Bogor. Santos A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabu. 2003. Rice rationing management practices for higher yields. Comm.Soil Sci. Plant Anal. 34:881-918 Sarief S. 1989. Kesuburandanpemupukantanahpertanian. CV. Pustaka Buana. Bandung. Sudana W. 2005.Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No 2; 141-151 Sugito Y, Nuraini Y, Nihayati E. 1995. Sistempertanianorganik.FakultasPertanian, UniversitasBrawijaya. Malang. Susilawati, 2011. Agronomi ratun genotipe-genotipe padi potensial untuk lahan pasang surut. [Disertasi] Bogor :InstitutPertanian Bogor. Tombe. 2009. SekilasPupukHayati. Di downloaddarihttp://biofob.blogspot.com/ pukul 19.15 WIB. Turner F.T. and M.F. Jund. 1993. Rice ratoon crop yield linked to main crop stem carbohydrats. Crop Sci. 33: 150-153. Vergara, B.S., F.S. Lopez, J.S. Chauhan. 1988. Morphology and physiology of ratoon rice. P. 31-40. In W.H. Smith, V. Kumble, E.P. Cervantes (Eds.) Rice Ratooning. IRRI. Los Banos. Philippines. Wijaya A., Y. Parto, S.N. Aidil Fitri, dan I. Marpaung. 2012. Peningkatan produksi padi rawa pasang surut melalui penerapan budidaya sistem ratoon dan perakitan varietas yang spesifik. Laporan Penelitian Insentif Riset Nasional Tahun 2012. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
299
Andi Wijaya/Penghematan Sumberdaya Melalui Penerapan Budidaya Padi Secara Ratoon ... Vergara, B.S., F.S.S. Lopez, and J.S. Chauhan. 1988. Morphology and physiology of ratoon rice p. : 31-40 ln Rice Ratoning. Intern.Rice res. Inst. Los Banos. Philippines. Zhao-wei J, W-Xiong L, Y-zhen L, Chuan-ying Z, Hua-an X. 2003. Effects of nitrogen fertilizer rates on uptake and distribution of nitrogen in ratoon rice. Fujian J Agric Sci. (02)1: 14-29.
300 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
PENINGKATAN PENGETAHUAN SISWA SEKOLAH DASAR MENGENAI KONSERVASI LAHAN DAN AIR MELALUI PENDIDIKAN LINGKUNGAN 1) Azizah Husin2) Abstrak: Lingkungan hidup memiliki permasalahan yang makin meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu baik kuantitas maupun kualitas. Lingkungan hidup mengalami degradasi tidak terlepas dari unsur manusia sebagai salah satu komponen dari system lingkungan hidup. Manusia kurang memperhatikan bagaimana cara berperilaku positif terhadap lingkungan hidup. Alam beserta sumberdaya yang dikandungnya termasuk tanah dan air telah memberikan kehidupan bagi manusia. Namun suatu saat jika perilaku yang dikembangkan tidak positif terhadap lingkungan , maka berbagai peristiwa diluar dari kejadian alam telah membuktikan bahwa kerugianlah yang diderita manusia itu sendiri. Untuk mengatasi hal ini diperlukan berbagai upaya salahsatunya melalui pendidikan yakni pendidikan lingkungan hidup. Dalam kajian ini dibahas mengenai upaya pendidikan lingkungan yang diberikan kepada anak sejak usia sekolah dasar yang meliputi pengetahuan tanah, air, dan udara, potensi dan permasalahan. Permasalahan Pendidikan lingkungan diberikan kepada anak sekolah dasar dengan tujuan agar mereka dapat memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup termasuk lahan dan air seperti manfaatnya dan permasalahannya, sehingga diharapkan siswa sejak dini akan memiliki kesadaran dan perilaku positif. Kata kunci: pendidikan, lingkungan hidup, lahan dan air, pelestarian 1) 2)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Unsri
PENDAHULUAN
T
anah dan Air adalah sumberdaya alam yang tidak ternilai bagi kehidupan di dunia ini. Tanah dan air memberikan manusia sumber-sumber kehidupan yang sangat dibutuhkan. Selain itu kandungan didalam tanah dan air berupa kekayaan yang jadi sumber dalam pembangunan bekelanjutan. Potensi yang ada didalam tanah maupun pada permukaan tanah sangat menentukan ketercukupan kebutuhan pangan manusia jika digunakan dan dikelola dengan baik. Permukaan tanah terdapat berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang besar maupun yang sangat kecil. Semua itu sebagai cerminan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati selain merupakan kekayaan alam Indonesia, juga berfungsi diantaranya sebagai bahan dan riset serta rekreasi. Air yang ada didalam bumi maupun air yang ada dipermukaan juga mempengaruhi kehidupan manusia. Air yang berlebihan di permukaan tanah khususnya karena musim hujan dapat menyebabkan banjir. Air yang langka dimusim kemarau menimbulkan masalah kekeringan. Penggunaan air yang tidak sehat dan tidak bersih juga menimbulkan masalah kesehatan.
Selama ini banyak perilaku manusia yang tidak menjaga kelestarian sumberdaya tanah dan air. Sumberdaya alam diexpeloitasi secara besar-besaran. Akibat yang ditimbulkannya terjadi kerusakan disana sini. Perilaku kerusakannya adalah membakar hutan, menggunduli hutan, menguras sumberdaya alam dari dalam tanah secara besar-besaran (exploitasi), menangkap dan menjual hewan langka. Pembunuhan hewan-hewan untuk kepentingan berburu manusia dan menangkap hewan demi kepuasan manusia. Sedangkan terhadap air adalah perilaku boros air, membuang sampah sembarangan sehingga ketika hujan dapat mengakibatkan sumbatan di parit dan disungai, penebangan pohon, penimbunan daerah resapan air dan rawa. Bentuk kerusakannya adalah terjadinya banjir, tanah longsor, kelangkaan hewan-hewan tertentu, hewan buas berkeliaran dipemukiman penduduk, kerusakan dan pengurangan keanekaragaman hayati di darat dan di laut, polusi air dan tanah. Akibat terhadap kerusakan tanah, tanah menjadi tercemar serta tidak subur, struktur tanah menjadi kaku/keras, tanah mengalami penipisan unsur hara. Tanah
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
301
Azizah Husin/Peningkatan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Mengenai Konservasi Tanah ...
yang tidak subur menyebabkan ketidaksuburan tumbuhan dan ketidaknyamanan makhluk / hewan kecil yang beranekaragam diatas permukaan tanah khususnya hutan untuk bertahan hidup. Air tanah mengalami pengurangan disebabkan penggunaan air tanah yang meningkat tajam. Air tanah yang terkuras, mengakibatkan level tanah lamakelamaan mengalami menurun. sedangkan air semua mengalir kedaerah rendah dan pada akhirnya bermuara ke laut. Air laut meningkat volumenya, maka banjir besar terjadi serta dapat menenggelamkan daerah sekitarnya. Selain itu terjadinya abrasi pantai. Jika air laut yang asin masuk kewilayah kehidupan masyarakat, dapat menggangu kehidupan tumbuhan dan hewan di darat yang terbiasa dengan air tawar. Selain itu kerusakan lingkungan terhadap air disebabkan penggunaan sumberdaya yang ada didalam air seperti penangkapan ikan yang tidak ramah ligkungan. Cara yang dilakukan ketika menangkap ikan yakni dengan melakukan jaring yang rapat sehingga ikan kecil ikut terjerat, dan penggunaan bom serta strum sehinga bibitbibit ikan bisa mati. Kerusakan lingkungan tanah dan air tidak terlepas dari perilaku manusia. Manusia sebagai makhluk yang berakal dapat menentukan sikap dan perilaku yang positif sesuai dengan pengetahuan, nilai-nilai yang dimiliki terhadap objek. Jika manusia sudah memiliki pengetahuan lingkungan, maka sebaiknya perilakunya akan positif terhadap lingkungan. Untuk mengembangkan perilaku yang positif terhadap lingkungan perlu diberikan pendidikan mengenai pelestarian lingkungan lingkungan (tanah dan air) bagi kehidupan manusia dan dalam pembangunan berkelanjutan. Tujuannya agar masyarakat memiliki pengetahuan, kesadaran, kepekaaan dan kepedulian terhadap lingkungan tanah dan air, sehingga mengembangkan perilaku positif dalam berhubungan dengan lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan bisa diberikan pada semua tingkat pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Anak usia sekolah dasar telah mendapatkan pendidikan lingkungan melalui materi pelajaran yang terintegrasi dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Pada usia sekolah dasar anak sudah bisa diajak untuk melakukan kegiatan konkrit terhadap lingkungan yang didasari juga dengan pengetahuan yang diperoleh dari kurikulum SD.
PEMBAHASAN Konservasi Tanah dan Air Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan. Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah upaya efisiensi dari penggunaan energi, perlindungan terhadap lingkungan dan sumber daya alam jangka panjang, dan jaminan bahwa keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya (Arsyad S. , 2000).
Persoalan yang selalu muncul dengan tanah adalah pengrusakan dalam bentuk penggundulan hutan, pembakaran hutan. Hal ini menyebabkan musnahnya dan berkurangnya keanekaragaman hayati, dan banjir serta tanah longsor. Sedangkan pengeksploitasian sumberdaya alam yang dikandung oleh tanah menyebabkan cepat berkurangnya sumber alam yang tidak dapat diperbaharui. Hal ini memungkinkan pembangunan tidak dapat berkelanjutan. Penggunaan pestisida dan pupuk tanaman telah menyebabkan struktur tanah menjadi padat dan tidak subur secara alami. Akibat lainnya adalah air yang mengalir dari penggunaan pupuk kimia mengalami polusi dan ini berakibat negatif bagi makhluk hidup di air lainnya. Kerusakan pada tanah juga membawa akibat pada kerusakan pada air. Air mengalami deficit serta tercemar oleh penggunaan bahan kimia yang dilakukan terhadap tanah. Upaya konservasi tanah secara luas bermakna menggunakan tanah sesuai dengan dayadukungnya sehingga tidak terjadi kerusakan tanah.
302 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Azizah Husin/Peningkatan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Mengenai Konservasi Tanah ...
Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali; berbagai tindakan konservasi tanah adalah juga tindakan konservasi air. Upaya konservasi tanah bertujuan untuk mencegah erosi, memperbaiki tanah yang rusak, memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (Arsyad S. , 2006)
Penghematan air atau konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan tujuan untuk pengefisienan penggunaan air melalui berbagai cara diantaranya menggunakan teknologi atau perilaku manusia penggunanya. Sebagai contoh konservasi air adalah penggunaan air hujan untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang dapat merusak selain itu menjamin ketersediaan air pada musim kemarau.Usaha konservasi air bertujuan untuk menjamin ketersediaan energy, kecukupan air bersih untuk generasi masa depan, ketercukupan pangan, Penghematan energy, Konservasi habitat - Penggunaan air oleh manusia yang diminimalisir (Arsyad S & Ernan, 2008). Pendidikan Lingkungan Hidup Pendidikan adalah usaha sadar untuk menciptakan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa depan. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan terbuka seluasluasnya bagi setiap orang, guna memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan sebagai bekal pengabdian dalam kehidupan masyarakat (Sadulloh, 2007). Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk merubah pola fikir, pandangan, sikap dan perilaku dengan memberikan pengetahuan, nilai, dan kecakapan/ keterampilan agar sesuai dengan tujuan pendidikan (Sugihartono, 2007). Pendidikan pada hakekatnya mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Istilah mendidik menunjukkan usaha yang lebih ditujukan pada pengembangan budi pekerti, hati nurani, semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, ketaqwaan, dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya, maka aspek bimbingan, pengajaran, dan pelatihan harus berjalan secara terpadu dan berkelanjutan serta serasi dengan perkembangan peserta didik dan lingkungan hidupnya (Siswoyo, 2007). Dari pendapat itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan dengan melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang berisikan pengetahuan, nilai, dan keterampilan agar kelak anak dapat berkembang maksimal sehingga menyesuaikan diri terhadap lingkungan dengan benar. Lingkungan adalah suatu system kompleks yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme. Setiap organisme hidup dalam lingkungannya masingmasing. (Zoeraini & Irwan, 2010).Faktor-faktor lingkungan digolongkan yakni biotic dan abiotik. Faktor abiotik seperti suhu, udara, cahaya atmosfir, hara mineral, air, tanah, api. Faktor biotic yakni makhluk-makhluk hidup diluar lingkungan abiotik. Faktor yang ada dalam lingkungan selain berinteraksi dengan organism, juga berinteraksi sesama factor tersebut, sehingga sulit memisahkan dan merubah tanpa mempengaruhi bagian lain dari lingkungan itu Lingkungan diartikan segenap pengada (entity) yang diciptakan Tuhan, mulai dari ruang, benda atau pengada nirhidup (abiota), keadaan atau tatanan alam yang mempengaruhi daya atau peluang serta tantangan agar semua ciptaan melakukan makna menurut kehendak penciptanya. Dalam ruang juga ada makhluk hidup (Soeryani, 2007). Lingkungan hidup terdiri atas ruang dengan segenap benda, daya keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan segala perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya (Anonim, 2009) Pendidikan lingkungan hidup adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
303
Azizah Husin/Peningkatan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Mengenai Konservasi Tanah ...
dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru . (UNESCO, Deklarasi Tbilisi, 1977) Pendidikan lingkungan hidup adalah pengajaran serta penyebarluasan dasar-dasar pengertian dan pemahaman tentang ruang atau lingkungan sekitar dengan segala isi, bentuk dan proses yang menyertainya dimana kita berada (Soeryani, 2007). Pendidikan Lingkungan Hidup merupakan suatu proses pengembangan kesadaran manusia terhadap hubungan saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan abiotik sehingga terbina hubungan keseimbangan antara komponen-komponen lingkungan hidup (Neolaka, 2008). Dari pendapat diatas disimpulkan pengertian Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) adalah suatu proses pendidikan yang meliputi pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan kepada peserta didik dengan tujuan agar tumbuh kesadaran, kepekaan dan kepedulian, sikap, serta memiliki perilaku positif agar lingkungan lestari dan pembangunan berkelanjutan. Tujuan pendidikan lingkungan hidup untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan lingkungan hidup dengan memperhatikan masalah-masalah yang terjadi dan mampu memberikan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan dilaksanakan sedini mungkin melalui berbagai jenis, jenjang dan jalur pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga perguruan tinggi.Lembaga pendidikan terdiri dari pendidikan formal, non formal dan informal. Pendidikan lingkungan pada lembaga formal dapat dilaksanakan pada murid sekolah dasar dan menengah, dan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan non formal dilaksanakan di masyarakat. Sedangkan pendidikan non formal dilaksanakan didalam lingkungan keluarga. Esensi yang ditekankan pada pendidikan lingkungan hidup yakni : kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, pengetahuan dan pemahaman serta perubahan perilaku, kemampuan mengantisipasi munculnya kerusakan lingkungan hidup, serta berpartisipasi dalam kegiatan memelihara lingkungan (Sonnny, 2006). Materi Pokok Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah dasar meliputi : pencemaran air, udara, tanah, manusia dan lingkungan, memelihara kebersihan diri dan kebersihan lingkungan energy, sumberdaya alam, hutan, dan daur ulang, dan bencana alam. Materi tersebut disajikan dalam bentuk keterkaitan dan saling mempengaruhi terhadap konservasi tanah dan air. Karena munculnya permasalahan/ degradasi tanah, secara umum diiringi juga masalah kerusakan air. Dalam rangka konservasi tanah dan air yang dilakukan disekolah, maka kegiatannya tidak terlepas dari Pendidikan lingkungan di sekolah yang dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan siswa dalam penghematan dan efisiensi penggunaan air, menjaga kebersihan halaman dari sampah organik dan an organik, penghematan energi, kebersihan dan penghijauan lingkungan dan halaman yang ada di sekitar sekolah. Pendidikan Pelestarian Air di Sekolah
a. Sumur resapan Sekolah membutuhkan air yang cukup banyak untuk memenuhi keperluan kegiatan dan kebersihan sekolah. Jenis kebutuhan air disekolah adalah untuk minum, kebersihan lingkungan, kebersihan diri murid, wudhu, menyiram tanaman, dll. Karena itu sekolah perlu menyediakan bak-bak penampungan air hujan, baik berupa kolam maupun sumursumur resapan. Sumber air yang mengisi kolam maupun sumur resapan sebaiknya berasal dari air hujan yang jatuh dari atap bangunan sekolah atau dari air bekas wudhu dan cuci tangan. b. Pembersihan saluran air atau selokan di lingkungan sekolah dari sampah pelastik atau lainnya, agar air lancar mengalir c. Efisiensi penggunaan air di sekolah. Air digunakan secukupnya saja tidak sampai berlimpah dan berlebihan, apalagi sampai terjadi pemborosan air. 304 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Azizah Husin/Peningkatan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Mengenai Konservasi Tanah ...
d. Tidak membiarkan kran air tidak dimatikan. Setelah menggunakan air anak dijajarkan untuk selalu mematikan kran, serta menhidupkan kran air tidak terlalu kencang. Jika air bak sudah penuh segera dimatikan krannya. Pendidikan Pelestarian Tanah a. Menggalakkan penghijauan di lingkungan sekolah dan di kelas Lingkungan sekolah yang hijau dapat menjadikan suasana nyaman dan segar serta bersih. Karena fungsi dari tanaman dapat menyerap kebisingan dan debu serta udara yang panas. Secara psikologis lingkungan sekolah yang hijau mempengaruhi kenyamanan dalam proses belajar mengajar. b. Membersihkan lingkungan sekolah/ halaman sekolah dari sampah dan membuang sampah pada tempatnya. Kebersihan lingkungan perlu dijaga terutama dari sampah yang dibuang tidak pada tempatnya. Lingkungan yang bersih terhindar dari penyakit. Kebersihan sekolah adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh semua pihak. Murid harus dibiasakan untuk membuang sampah pada tempatnya c. Membuat pupuk organic dari sisa sayuran / tumbuhan hijau. Anak dilatih untuk memilah sampah yang masih dapat digunakan kembali seperti plastic, dan bekas botol minuman. Selain itu anak juga dilatih cara mmbuat pupuk dari sampah hijau. d. Menyirami tanaman secara bergiliran 1 minggu 1 kali. Hal ini dilakukan agar anak mencintai tumbuhan, tidak merusak tanaman/tumbuhan sehingga kelak menyukai penghijauan di lingkungan rumahnya masing-masing. e. Mengumpulkan sampah anorganik khususnya plastic yang untuk didaur ulang baik langsung maupun tidak langsung dijual ke pengumpul.Sampah anorganik dikumpulkan dan jika sudah banyak dapat dijual . Agar pengelolaan sampah berlangsung dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan, maka setiap kegiatan pengelolaan sampah harus mengikuti cara-cara yang baik dan benar. KESIMPULAN Degradasi tanah dan air disebabkan oleh perilaku manusia. Pendidikan lingkungan hidup sebagai upaya memberikan pengetahuan, menanamkan sikap, kesadaran, kepekaan dan kepedulian dan perilaku positif terhadap lingkungan udara, tanah dan air, serta kandungan didalamnya dan memahami permasalahannya. Tujuan pendidikan lingkungan agar terjadi perobahan perilaku anak terhadap lingkungan. Di sekolah dasar pendidikan lingkungan hidup dilakukan melalui pemberian materi yang meliputi pengetahuan tentang manusia dan lingkungan hidup dan tidak hidup, bagaimana manusia harus bersikap dan berperilaku terhadap lingkungan seperti menjaga kebersihan lingkungan sekolah, penghematan air, hemat energy dan sumber daya alam, pelatihan mendaur ulang. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2009). UULH No 32 tahun 2009. Jakarta: Dep. KLH. Arsyad S, & Ernan, R. (2008). Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Bogor: Yayasan Obor Indonesia. Arsyad, S. (2006). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Arsyad, S. (2000). Pengawetan Tanah dan Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Neolaka, A. (2008). Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Sadulloh. (2007). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Siswoyo, D. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Soeryani, M. (2007). Lingkungan Hidup. Jakarta. Jakarta: Yayasan Institute Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan (IPPL). Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
305
Azizah Husin/Peningkatan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Mengenai Konservasi Tanah ... Sonnny, K. ( 2006). Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas. Sugihartono. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Zoeraini, & Irwan, D. (2010). Prinsip-Prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara.
306 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
KINERJA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI REPONG DAMAR DITINJAU DARI ASPEK EKOLOGI DAN SOSEK 1) Delfy Lensari 2) Abstrak: Sumberdaya hutan mempunyai fungsi terhadap kehidupan manusia, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, keberadaannya perlu dipertahankan. Namun dengan semakin padatnya jumlah penduduk, semakin meningkat pula tekanan terhadap sumberdaya hutan. Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu akibat penebangan liar, kebakaran hutan dan penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan hutan adalah diikut sertakan masyarakat dalam memelihara hutan misalnya dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri selalu ada interaksi ekologi, sosial dan ekonomi. Salah satu contoh agroforestri tersebut adalah Repong Damar di Pesisir Krui Lampung yang menghasilkan produk getah damar (S. javanica). Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana kinerja pengelolaan Repong Damar bagi masyarakat dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Parameter aspek ekologi yang diukur adalah kerapatan jenis, kerapatan relatif jenis, frekuensi jenis, frekuensi relatif jenis, dominansi jenis, dominansi relatif jenis, dan Indeks Nilai Penting (INP). Analisis vegetasi dilakukan dengan kegiatan inventarisasi dengan menggunakan metode jalur berpetak. Parameter aspek sosial yang diukur adalah persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar, status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan, dan manajemen pengelolaan Repong Damar. Pengukuran data aspek sosial dengan menggunakan Skala Likert. Parameter aspek ekonomi yang diukur adalah pendapatan dari usaha mengelola Repong Damar (dalam Rp. per tahun), pendapatan di luar usaha mengelola Repong Damar (dalam Rp. per tahun), dan pendapatan per kapita (dalam Rp. per tahun). Rata-rata pendapatan per kapita masyarakat di Desa Penengahan adalah sebesar Rp. 5.169.200/orang/tahun. Faktor yang mempengaruhi aspek ekonomi tersebut adalah jumlah anggota rumah tangga, luas lahan Repong Damar, dan sumber pendapatan masyarakat yang berbeda-beda. Kata Kunci: Repong Damar, aspek ekologi, aspek sosial, aspek ekonomi 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Staf Pengajar Jurusan Konservasi Sumberdaya Alam, Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang
PENDAHULUAN
S
umberdaya hutan mempunyai fungsi terhadap kehidupan manusia, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung.Oleh karena itu, keberadaannya perlu dipertahankan.Namun dengan semakin padatnya jumlah penduduk, semakin meningkat pula tekanan terhadap sumberdaya hutan.Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu akibat penebangan liar, kebakaran hutan dan penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat.Hal ini dimungkinkan karena masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan belum diikutsertakan dalam pengamanan kawasan hutan. Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan hutan adalah diikutsertakan masyarakat dalam memelihara hutan misalnya dengan sistem agroforestri. Menurut Lundgren dan Raintree, diacu dalam Nair(1993) didalam sistem agroforestri senantiasa terjadi interaksi ekologi, ekonomi maupun sosial di antara komponen-komponennya. Pada saat krisis ekonomi beragam produk yang dihasilkan dari agroforestri bagi penduduk desa memiliki arti dan peran ekologi, sosial dan ekonomi yang sangat penting (Wijayanto 2002). Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia telah melestarikan sistem-sistem yang tepat guna yang memadukan tradisi pengelolaan hutan dengan pertanian.Salah satu contoh agroforestri tersebut adalah Repong Damar di Pesisir Krui Lampung yang menghasilkan produk getah damar (S. javanica).Aspek ekonomi Repong Damar dalam jangka panjang yang telah mampu menghidupi ribuan orang warga masyarakat Pesisir Krui, aspek ekologi Repong Damar menghasilkan keseimbangan lingkungan baik dari sumber air dan keadaan iklim mikro yang bisa dirasakan oleh masyarakat setempat, dan aspek sosial Repong Damar merupakan kebun warisan. Sistem pengelolaan hutan damar yang terbentuk di Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
307
Delfy Lensari/Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek ...
Pesisir Krui telah memungkinkan kegiatan pemeliharaan sumberdaya hutan.Hutan damar merupakan penopang utama sistem produksi tradisional di desa dan secara tidak langsung telah turut memelihara dan melindungi keanekaragaman hayati asli dataran rendah Krui.Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana kinerja pengelolaan Repong Damar bagi masyarakat dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi.Penelitian ini bertujuan :Menganalisiskinerja pengelolaan Repong Damar ditinjau berdasarkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung.Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2011. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah masyarakat (petani damar) yang ada di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Krui Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Petani getah damar yang ada di Desa Penengahan berjumlah 348 KK sehingga menurut Arikunto (2000) jika populasi lebih dari 100 orang maka sample responden dapat diambil 10% dari populasi yaitu sebesar 35 KK. Responden ditentukan secara purposive sampling. Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini dapat menggambarkan status, data, kondisi tertentu dari Repong Damar di Desa Penengahan secara sistematis, faktual dan akurat sesuai fakta yang ada di lapangan. Aspek ekologi Parameter yang diukur adalah kerapatan jenis, kerapatan relatif jenis, frekuensi jenis, frekuensi relatif jenis, dominansi jenis, dominansi relatif jenis, dan Indeks Nilai Penting (INP). Analisis vegetasi dilakukan dengan kegiatan inventarisasi dengan menggunakan metode jalurberpetak (Indriyanto 2008). Aspeksosial Parameter yang diukur adalah persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar, status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan, dan manajemen pengelolaan Repong Damar. Analisis data dengan menggunakan Skala Likert. Aspek ekonomi Parameter yang diukur adalah pendapatan dari usaha mengelola Repong Damar di Desa Penengahan (dalam Rp. per tahun), pendapatan diluar usaha mengelola Repong Damar di Desa Penengahan (dalam Rp. per tahun), dan pendapatan per kapita (dalam Rp. per tahun). Analisis data aspek ekonomi menggunakan rumus Hadisapoetra (1973) : -
Pendapatan usaha mengelola Repong Damar di Desa Penengahan Lu
j
j
I l
i l
( PixYi ) Ci
Keterangan: Lu = Pendapatan usaha mengelola Repong Damar Pi = Harga komoditi ke-i Yi = Hasil produksi komoditi ke-i Ci = Biaya yang dikeluarkan dalam mengelola Repong Damar ke-i i = 1, 2, 3........ j 308 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Delfy Lensari/Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek ...
-
Pendapatan di luar usaha mengelola Repong Damar di Desa Penengahan :
K
Lu x100% ( Lu Inu )
Keterangan: K = Kontribusi usaha pengelolaan Repong Damar. Lu = Pendapatan usaha pengelolaan Repong Damar. Inu = Pendapatan di luar usaha pengelolaan Repong Damar. -
Pendapatan perkapita: Pendapatan Per kapita =
Pendapatan total masyarakat Jumlah anggota keluarga
HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Ekologi Pengelolaan Repong Damar Berdasarkan pengamatan dan pencatatan jenis, tinggi dan diameter pada tanaman penyusun komponen Repong Damar di Desa Penengahan maka kondisi vegetasi pada masing-masing tingkat pertumbuhan dapat disajikan pada Tabel 1 (Semai), Tabel 2 (Pancang), Tabel 3 (Tiang) dan Tabel 4(Pohon). Tabel 1. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan No 1 2 3 4 5 6 7
Nama jenis Pulai (Alstonia scholaris L R. Br) Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Damar (S. javanica) Laban (Vitex pubescens Vahl) Petai (Parkia speciosa Hassk) Kayu Manis (Cynamomus Spp) Sungkai (Penorema canescens) Jumlah
K 50 250 300 50 150 50 150 1000
KR (%) 5 25 30 5 15 5 15 100
F 0,2 0,6 0,8 0,2 0,6 0,2 0,6 3,2
FR (%) 6,25 18,75 25 6,25 18,75 6,25 18,75 100
INP (%) 11,25 43,75 55 11,25 33,75 11,25 33,75 200
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa Damar (S. javanica) merupakan jenis semai yang memiliki Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi yaitu masing-masing sebesar 30%, 25%, dan 55%. Hal ini menunjukkan bahwa Damar merupakan jenis tanaman yang mendominasi atau menguasai ruang di dalam komunitas tersebut. Tabel 2.Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan No Nama jenis 1 Damar (S. javanica) 2 Mangga (Mangifera indica L) 3 Petai (P. speciosa) 4 Sungkai (P. canescens) 5 Rambutan (Nephelium lappaceum) 6 Kayu Afrika (M. eminii) 7 Durian (Durio zibethinus) Jumlah
K 120 40 160 60 20 60 40 500
KR (%) 24 8 32 12 4 12 8 100
F 0,8 0,4 1 0,6 0,2 0,4 0,2 3,6
FR (%) 22,22 11,11 27,78 16,67 5,56 11,11 5,56 100
INP (%) 46,22 19,11 59,78 28,67 9,56 23,11 13,56 200
Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa tanaman Petai (P. speciosa) memiliki nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Indek Nilai Penting (INP) tertinggi yang memiliki nilai masing-masing 32%, 27,78% dan 59,78%. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman Petai merupakan jenis tanaman yang paling dominan pada tingkat pancang.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
309
Delfy Lensari/Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek ... Tabel 3.Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan No Nama Jenis 1 Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) 2 Jambu air (Eugenia aquea Burm. F) 3 Petai (P. speciosa) 4 Damar (S.javanica) 5 Rambutan (N. lappaceum) 6 Mangga (M. indicaL) 7 Pulai (A. scholaris) 8 Durian (D. zibethinus) 9 Jambu bol (Eugenia mallacensis L) 10 Laban (V. pubescens) 11 Salam (Eguania polyantha Miq) 12 Duku (Lansium domesticum Corr) Jumlah
K 10 10 30 60 70 20 10 10 10 10 10 10 260
KR (%) 3,85 3,85 11,54 23,08 26,92 7,69 3,85 3,85 3,85 3,85 3,85 3,85 100
F 0,20 0,20 0,60 1 0,60 0,40 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 4.2
FR (%) 4,76 4,76 14,29 23,81 14,29 9,52 4,76 4,76 4,76 4,76 4,76 4,76 100
D 0,13 0,14 0,75 1,10 1,04 0,25 0,17 0,27 0,13 0,20 0,19 0,10 4.45
DR (%) 2,86 3,15 16,83 24,68 23,29 5,57 3,78 6,02 2,86 4,47 4,29 2,19 100
INP (%) 11,47 11,76 42,65 71,56 64,50 22,79 12,39 14,62 11,47 13,08 12,90 10,80 300
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa jenis Damar (S. javanica) merupakan tanaman yang memiliki nilai Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi dibandingkan dengan jenis tanaman yang lainnya yaitu masing-masing sebesar 23,81%, 24,68% dan 71,56%. Hal ini menunjukkan bahwa Damar merupakan tanaman yang sering dijumpai disetiap petak ukur dan menguasai dalam komunitas tersebut dibandingkan dengan jenis yang lainnya. Tabel 4.Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan No
Nama Jenis
1 Pulai (A. scholaris) 2 Damar (S. javanica) 3 Duku (L. domesticum) 4 Rambutan (N. Lappaceum) 5 Petai (P. speciosa) 6 Manggis (Garsinia mangostana) 7 Durian (D. zibethinus) 8 Sungkai (P. canescens) Jumlah
K 35 25 15 10 10 5 5 15 120
KR (%) 29,17 20,83 12,50 8,33 8,33 4,17 4,17 12,50 100
F 0,60 1 0,60 0,20 0,40 0,20 0,20 0,40 3,6
FR (%) 16,67 27,78 16,67 5,56 11,11 5,56 5,56 11,11 100
D 3,23 4,73 1,27 0,46 1,48 0,46 0,32 0,84 12,79
DR (%)
INP (%)
25,26 36,96 9,96 3,60 11,60 3,56 2,52 6,54 100
71,10 85,58 39,13 17,48 31,04 13,29 12,24 30,15 300
Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa jenis Damar (S. javanica) merupakan tanaman yang memiliki nilai Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi dibandingkan dengan jenis tanaman yang lainnya yaitu masing-masing sebesar 27,78%, 36,96% dan 85,58%. Hal ini menunjukkan bahwa Damar merupakan tanaman yang menguasai dalam komunitas tersebut dibandingkan dengan jenis yang lainnya. Berdasarkan Tabel 1 sampai dengan Tabel 4 dapat diketahui bahwa Indeks Nilai Penting (INP) damar (S. javanica) menunjukkan kecenderungan menurun dari tingkat pohon ke tingkat semai, namun permudaan alami damar di Pesisir Tengah Krui cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh Kerapatan Relatif (KR) jenis damar yang cenderung meningkat dari tingkat pohon (20,83%) ke tingkat semai (30%). Penurunan INP damar dari tingkat pohon ke tingkat semai berkaitan dengan keberadaan jenis campuran. Semakin rendah tingkat pertumbuhan, maka akan semakin beragam dan semakin banyak jumlah dan jenis tumbuhan campurannya. Pada penelitian Duryat (2006) yang dilaksanakan di Pesisir Krui (Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Tengah, dan Pesisir Selatan) juga menghasilkan INP tertinggi pada tingkat pohon yaitu jenis Damar yaitu mencapai 165,051%. Semakin tinggi nilai INP suatu jenis, berarti semakin besar dominansi jenis tersebut pada tempat tumbuhnya (Indriyanto 2008). Aspek Sosial Pengelolaan Repong Damar: Persepsi Masyarakat tentang Pengembangan Pengelolaan Repong Damar Sebagian besar masyarakat Desa Penengahan memiliki persepsi yang sama yaitu setuju tentang pengembangan Repong Damar. Persepsi ini dapat disebabkan masyarakat masih memiliki anggapan 310 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Delfy Lensari/Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek ...
bahwa Repong Damar merupakan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Akan tetapi perlu adanya keterlibatan dari pemerintah dalam membantu masyarakat mengelola Repong Damar. Status kepemilikan, Luas lahan, Ketenagakerjaan, Kelembagaan, dan Manajemen pengelolaan Repong Damar Status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan, dan manajemen pengelolaan Repong Damar dapat disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan dan manajemen pengelolaan Repong Damar di Desa Penengahan Parameter Status kepemilikan lahan Luas lahan Ketenagakerjaan Kelembagaan Manajemen pengelolaan Repong Damar - Permudaan/penanaman - Pemeliharaan
- Pemanenan - Pemilihan kualitas getah damar
- Pengaturan hasil/pemasaran
Hasil Tanah warisan dalam bentuk penguasaan hak milik perorangan 0,5-1,75 ha Anggota keluarga, dan tenaga upahan. Kelompok tani getah damar bergabung dengan kelompok tani tanaman pertanian dibawah bimbingan Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Barat Penanaman bibit untuk mengganti tanaman yang mati atau tumbang. Menyeleksi tanaman keras yang tumbuh liar diganti dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi. Menghilangkan tanaman parasit yang biasa mengganggu tanaman kebun Mengambil getah damar dengan cara menyadap pohon yang sudah berumur 20 tahun. Kualitas A (2-4 cm) berwarna kuning bening, kualitas B (12 cm) bewarna kuning bening, kualitas C (0,5 -1 cm) berwarna agak kotor, kualitas KK/DE (sisa sortasiberupa damar kecil-kecil atau debu). Disajikan pada Gambar 1
Gambar 1. Jalur pemasaran getah damar di Pesisir Krui
Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat diketahui bahwa jalur pemasaran getah damar di daerah Pesisir Krui dimulai dari petani Repong Damar yang baru menyadap getah damar,kemudian getah damar tersebut dijual kepada pedagangpenghadang (tengkulak) yang sudah menanti di daerah perbatasan antara desa dengan Repong Damar, kemudian tengkulak tersebut menjual getah damar ke pedagang pengumpul yang berada di desa. Petani Repong Damar juga dapat menjual langsung kepada Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
311
Delfy Lensari/Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek ...
pedagang pengumpul yang berada di desa. Dari pedagang pengumpul,getah damar kemudian dijual ke pedagang besar yang berada di Pasar Krui. Dari pedagang besar yang berada di Pasar Krui getah damar tersebut dijual ke pengusaha-pengusaha besar yangada di Bandar Lampung, Jakarta, dan kotakota besar lainnya atau dijual ke eksportir. Aspek Ekonomi Pengelolaan Repong Damar: Pendapatan Masyarakat dari Repong Damar Repong Damar di Desa Penengahan sebagai suatu sistem produksi tentunya memberikan pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendapatan rata-rata masyarakat di Desa Penengahan berdasarkan luas Repong Damar dapat disajikan Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata pendapatan dari Repong Damar di Desa Penengahan. Luas Lahan (ha) 0.5 0.75 1 1.25 1.75 Jumlah Rata-rata
Biaya Usaha Repong Damar (Ci) (Rp/tahun) 300.000 330.000 355.000 375.000 400.000 1.760.000 352.000
Hasil usaha Repong Damar (PixYi) (Rp/tahun) 12.440.000 14.880.000 17.400.000 18.800.000 18.840.000 82.360.000 16.472.000
Pendapatan usaha Repong Damar (Lu) (Rp)/tahun 12.140.000 14.550.000 17.045.000 18.425.000 18.440.000 80.600.000 16.120.000
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan masyarakat dari Repong Damar memberikan pemasukan sebesar Rp. 16.120.000 per KK per tahun. Pendapatan masyarakat yang berasal dari Repong Damar dipengaruhi oleh luas lahan dan jumlah anggota keluarga. Pendapatan Masyarakat dari Luar Repong Damar Pekerjaan di luar Repong Damar merupakan pekerjaan pokok masyarakat Desa Penengahan yang terdiri atas PNS, wiraswasta, dan petani sawah. Pendapatan di luar dari Repong Damar berkisar antara Rp 4.200.000/KK/tahun sampai dengan Rp 24.000.000/KK/tahun. Ketidakmerataan pendapatan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jumlah anggota rumah tangga, jumlah pendapatan, dan sumber pendapatan masyarakat. Pendapatan Perkapita Pendapatan perkapita masyarakat dihitung berdasarkan pendapatan total masyarakat dibagi dengan jumlah jiwa per kepala keluarga (KK). Rata-rata pendapatan perkapita masyarakat Desa Penengahan dapat disajikan pada Tabel7. Tabel 7 Rata-rata pendapatan perkapita masyarakat di Desa Penengahan. Jumlah Tanggungan (orang) 3 4 5 6 7 Jumlah Rata-rata
Pendapatan Luar Repong Damar (lnu) (Rp/tahun) 9.000.000 9.466.700 6.818.200 11.940.000 6.400.000 43.624.900 8.725.000
Pendapatan usaha Repong Damar (Lu) (Rp/tahun) 14.650.000 13.144.500 14.289.100 17.689.000 15.648.400 75.421.000 15.084.200
Pendaatan total (Rp/tahun) 23.650.000 22.611.200 21.107.300 29.629.000 22.048.400 119.045.900 23.809.200
Pendapatan per kapita (Rp/tahun) 7.883.400 5.652.800 4.221.500 4.938.200 3.149.800 25.845.700 5.169.200
Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan perkapita masyarakat di Desa Penengahan adalah sebesar Rp. 5.169.200per orang per tahun atau Rp. 430.800per orang per bulan. Faktor yang mempengaruhi pendapatan per kapita adalah jumlah anggota rumah tangga, luas lahan Repong Damar, dan sumber pendapatan masyarakat. 312 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Delfy Lensari/Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek ...
Berdasarkan kriteria kesejahteraan menurut Sajogyo (1974) yang mengatakan bahwa golongan miskin pedesaan diukur berdasarkan banyaknya pengeluaran perkapita per tahun yang setara dengan 240 kg – 320 kg beras, maka dengan harga beras di lokasi penelitian sebesar Rp. 6.000,- per kg maka nilai ambang batas kemiskinan di lokasi penelitian adalah Rp. 1.920.000,- per kapita per tahun. Penelitian Suharjito (2000)adalah masyarakat di Desa Sumberejo Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, menghasilkan pendapatan per kapita rata-rata setahun dari hutan rakyat adalah sebesar Rp. 840.000 2.517.949,66/kapita/tahun. Sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat berada jauh di atas garis kemiskinan dimana kebutuhan pangan dan non pangan sudah terpenuhi dan masih disisakan untuk tabungan. Kontribusi Repong Damar terhadap Pendapatan Total Masyarakat Kontribusi rata-rata Repong Damar terhadap pendapatan total masyarakat di Desa Penengahan dapat disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata kontribusi Repong Damar terhadap pendapatan total masyarakat dari Repong Damar di Desa Penengahan. Jumlah Tanggungan (orang) 3 4 5 6 7 Jumlah Rata-rata
Pendapatan Luar Repong Damar (lnu) (Rp/tahun) 9.000.000 9.466.700 6.818.200 11.940.000 6.400.000 43.624.900 8.725.000
Pendapatan usaha Repong Damar (Lu) (Rp/tahun) 14.650.000 13.144.500 14.289.100 17.689.000 15.648.400 75.421.000 15.084.200
Pendapatan total (Rp/tahun) 23.650.000 22.611.200 21.107.300 29.629.000 22.048.400 119.045.900 23.809.200
Pendapatan per kapita (Rp/tahun) 7.883.400 5.652.800 4.221.500 4.938.200 3.149.800 25.845.700 5.169.200
Kontribusi Repong Damar (%) 63 61 68 61 71 323 65
Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata kontribusi Repong Damar terhadap pendapatan total masyarakat memberikan sumbangan sebesar 65%. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi Repong Damar terhadap pendapatan total masyarakat cukup besar atau lebih besar dibandingkan pendapatan di luar Repong Damar. Hal ini juga terjadi di Cina, berdasarkan penelitian Jianbo (2006) bahwa pendapatan petani di Cina Utara dan Selatan jauh lebih tinggi (64,29%)dari agroforestri Paulownia dengan sistem tumpang sari dibandingkan dengan tanpa sistem tumpang sari.
KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan 1. Repong Damar memiliki kondisi vegetasi yang menyerupai keadaan ekosistem hutan alam, dengan indikator keanekaragaman jenis tanaman yang cukup tinggi terdapat pada pohon penghasil buah dan getah. 2. Repong Damar memiliki status lahan sebagai lahan hak milik yang dimiliki oleh satu keluarga. Sistem ketenagakerjaan dalam Repong Damar sebagian besar menggunakan tenaga kerja dari anggota keluargadan tenaga upahan. 3. Repong Damar memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar bagi masyarakat (65%). Saran 1. Repong Damar sangat penting bagi masyarakat Desa Penengahan, sehingga perlu dilakukan upaya pengelolaan (kerjasama yang baik antara pemerintah Lampung Barat dengan masyarakat) guna mempertahankan kelestariannya. 2. Pemerintah Lampung Barat dan lembaga pemerhati Repong Damar sebaiknya sering melakukan penyuluhan mengenai pengelolaan Repong Damar dan menyediakan informasi sesuai dengan kebutuhan, mudah dijangkau dan dipahami oleh petani Repong Damar.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
313
Delfy Lensari/Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Repong Damar Ditinjau dari Aspek ...
3. Kelompok tani Repong Damar agar lebih beperan aktif dalam meningkatkan kemandirian petani, dan mencari mitra sehingga dapat menjamin pemasaran hasil getah damar. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S (2000)prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Rineka Cipta, Jakarta. Duryat(2006) Dimensi tegakan dan pengaruh peubah tempat tumbuh terhadap produksi Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. Et. V) di Krui Lampung Barat. [Tesis]. Magister of Bogor Agricultural University, Bogor. [Indonesia] Hadisapoetra(1973) Biaya dan pendapatan di dalam usaha tani. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Indriyanto(2008) Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara, Jakarta. Jianbo L(2006) Energy balance and economic benefits of two agroforestry system in northern and southhern China. Agriculture, Ecosystems and Environment 116: 255-262 Nair PKR(1993)An introduction to agroforestry. Kluwer Academic Publishers in Cooperation with International Centre for Research In Agroforestry, ICRAF. Netherlands. 513p. Sajogyo (1974) Usaha perbaikan gizi keluarga. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan IPB. Bogor Suharjito D(2000) Hutan rakyat di Jawa perannya dalam perekonomian desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Wijayanto N(2002) Analisis strategi sistem pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung.Manajemen Hutan Tropika Vol VIII No. 1:39-49
314 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
KAJIAN KUALITAS PERAIRAN LEBAK DELING DALAM UPAYA MENJAGA KELESTARIAN SUMBERDAYA PERAIRAN 1) Khusnul Khotimah2) Abstrak: Rawa lebak Deling merupakan salah satu lebak yang berada di kecamatan Pangkalan Lampam dan Pampangan kabupaten Ogan Komering Ilir. Keberadaan lebak-lebak di wilayah ini merupakan sumberdaya perairan yang besar bagi daerah Sumatera Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas perairan lebak Deling sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian sumberdaya perairan. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Metode yang digunakan yaitu Purposive Sampling dengan mengambil 10 titik stasiun. Parameter yang diamati meliputi sifat fisik dan kimia air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum berdasarkan sifat fisik dan kimia air kondisi perairan lebak Deling masih tergolong baik untuk kehidupan biota air, namun tingkat kesuburannya rendah dan tergolong perairan oligotrofik. Kata Kunci: rawa lebak, lebak deling, kualitas perairan 1) 2)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang
PENDAHULUAN
R
awa adalah semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan pada umumnya terdapat tumbuhan (vegetasi). Rawa terbagi menjadi 2 yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut airnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut sedangkan rawa lebak airnya dipengaruhi oleh luapan sungai dan hujan. Noor (2007) menyatakan bahwa rawa lebak umumnya merupakan daerah yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak sungai, dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada musim kemarau. Genangan air merupakan watak bawaan (inherence) dan sebagai ciri hidro-ekologi rawa sehingga dapat menjadi unsur pembeda utama, antara satu daerah dengan lainnya, sekalipun dalam satu kawasan. Pada saat musim kering lahan rawa lebak dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tanaman semusim dan sebagian yang tetap tergenang air (lebung/lubuk) merupakan tempat hidup ikan. Pada saat air tinggi lahan rawa lebak biasanya ditumbuhi vegetasi air yang tumbuh pada permukaan lebak membentuk seperti pulau-pulau kecil. Menurut Samuel et al. (1993), vegetasi air yang terapung tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung ikan dan anak-anak ikan dari serangan ikan buas dan juga sebagai tempat menempelkan telur. Keberadaan rawa lebak sangat besar peranannya bagi kehidupan manusia maupun biota air. Namun pada saat ini rawa lebak telah banyak beralih fungsi menjadi perkebunan. Hal ini dapat memberikan dampak terhadap kondisi ekologis rawa lebak tersebut terutama terjadinya penurunan kualitas perairan. Perubahan kualitas perairan dapat memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman organisme yang hidup didalamnya. Rawa lebak di Kabupaten Ogan Komering Ilir tersebar di beberapa kecamatan, diantaranya rawa lebak di kecamatan Pangkalan Lampam dan Pampangan. Rawa lebak di wilayah ini terbagi menjadi beberapa lebak berdasarkan lebung. Salah satu rawa lebak yang berada di daerah ini adalah lebak Deling. Lebak Deling ini berbatasan dengan lebak Serdang, lebak Pondok, dan lebak Jungkal. Lebak Deling merupakan lebak yang berada paling dekat dengan daratan. Keberadaan lebak-lebak ini saling mempengaruhi, oleh karena itu kondisi ekologis wilayah lebak harus tetap terjaga dengan baik guna mendukung keberlanjutan sumberdaya perairan yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan data tentang kualitas air di lebak Deling dengan menganalisis faktor fisika dan kimia air. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pembuat kebijakan pengelolaan ekosistem rawa lebak, agar pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perairan ini dapat lestari dan berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
315
Khusnul Khotimah/Kajian Kualitas Perairan Lebak Deling dalam Upaya Menjaga Kelestarian ...
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air yang diambil dari 10 titik stasiun pengamatan yang kemudian dianalisa di laboratorium. Penelitian dilaksanakan dengan metode survei dan analisa di laboratorium. Pengambilan data dilakukan sebanyak 3 kali yaitu bulan Maret, April dan Mei 2012. Metode yang digunakan pada penentuan stasiun penelitian adalah secara sengaja (Purposive Sampling) yaitu dengan menentukan 10 stasiun pengambilan sampel pada lokasi penelitian berdasarkan perbedaan kondisi lingkungan untuk mewakili seluruh wilayah.
Gambar 1. Peta Lokasi penelitian
Parameter yang diamati meliputi 1) parameter fisika yaitu kedalaman, kecerahan, suhu, Padatan terlarut total (TDS) dan Daya Hantar Listrik (DHL), dan 2) parameter kimia yaitu pH, CO2, Oksigen Terlarut (DO), total N dan total P.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Data Hasil Analisis Fisika Kimia Air Lebak Deling pada tiap Stasiun
Parameter A. Fisika Kedalaman (m) Kecerahan (m) Suhu (0C) TDS (mg/l) DHL (µS/cm) B. Kimia pH CO2 (mg/l) DO (mg/l) Total N (mg/l) Total P (mg/l)
1
2
3
4
Stasiun Pengamatan 5 6 7
8
9
10
0,55 2,16 2,26 2,04 2,23 3,08 3,64 2,18 2,58 3,08 0,28 0,33 0,30 0,30 0,25 0,26 0,33 0,30 0,35 0,33 27,33 27,50 28,17 28,33 27,83 28,67 28,50 28,33 28,33 28,67 28,33 28,33 28,33 30,00 31,67 28,33 25,00 28,32 26,67 28,33 56,67 66,67 63,33 70,00 76,67 70,00 60,00 53,33 60,00 73,33 4,43 4,47 4,43 4,43 4,40 4,40 4,43 4,47 4,47 4,40 17,85 18,19 18,26 18,41 19,10 19,50 20,42 18,57 19,67 20,13 4,74 4,66 4,57 4,74 4,19 4,27 4,09 4,40 4,28 4,19 0,385 0,385 0,376 0,362 0,371 0,402 0,444 0,325 0,405 0,385 0,045 0,041 0,041 0,040 0,048 0,045 0,049 0,047 0,042 0,046
Kondisi Fisika Perairan 1. Kedalaman 316 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Khusnul Khotimah/Kajian Kualitas Perairan Lebak Deling dalam Upaya Menjaga Kelestarian ...
Kedalaman air yang diukur pada 10 stasiun pengamatan berkisar antara 0,55 – 3,64 meter. Berdasarkan kondisi topografi, terlihat bahwa semakin jauh dari daratan tinggi air akan semakin dalam. Sejalan dengan pendapat Noor (2007), bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi, semakin ke arah tepi semakin rendah genangannya. Ketinggian air di lebak Deling berfluktuasi mengikuti musim. Pada saat musim hujan seluruh wilayah lebak tergenang, dan pada musim kemarau lebak Deling kering kecuali bagian lubuk/lebung. 2. Kecerahan Dari hasil pengamatan didapatkan kecerahan pada lebak Deling berkisar dari 0,25 – 0,35 meter. Kondisi air telihat keruh dan berwarna hitam. Rendahnya kecerahan dikarenakan tingginya konsentrasi bahan padatan terlarut yang ada pada perairan. Pada waktu pengamatan ketinggian air sudah mulai menurun, sehingga menyebabkan bahan padatan yang tadinya terlarut dalam konsentrasi rendah dengan berkurangnya volume air maka konsentrasi bahan padatan menjadi besar dan terjadi pemekatan. Air yang hitam dan keruh dipengaruhi oleh pelapukan vegetasi air yang ada di lebak Deling tersebut. Vegetasi yang mati akan terdekomposisi melalui pelapukan, pada prosesnya sisa-sisa tanaman yang belum mengendap ke dasar air akan mengapung dan mempengaruhi tingkat kecerahan badan perairan. Hasil dekomposisi vegetasi ini juga mempengaruhi warna air menjadi lebih hitam. 3. Suhu Air Permukaan Hasil pengukuran suhu air permukaan pada semua stasiun pengamatan didapatkan hasil sebesar 27,33 – 28,67 0C. Tingginya suhu yang terjadi di lebak Deling ini masih dalam batas toleransi untuk kehidupan biota air. Sejalan dengan hasil penelitian Wibowo dan Sunarno (2005), bahwa suhu yang optimum untuk hidup ikan berkisar antara 26 – 29 0C. 4. Padatan Terlarut Total (TDS) Nilai padatan terlarut total (TDS) yang didapat dari 10 stasiun pengamatan berkisar antara 25,00 – 31,67 mg/l. Nilai padatan terlarut total yang ada pada lebak Deling tergolong rendah. Bahan padatan yang terlarut di lebak Deling berasal dari hasil proses pelapukan vegetasi. Jumlah padatan terlarut ini masih memenuhi standar baku mutu kualitas air berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan nomor 16 tahun 2005 yaitu sebesar 1000 mg/liter. 5. Daya Hantar Listrik (DHL) Dari hasil pengamatan pada 10 stasiun nilai daya hantar listrik pada perairan lebak Deling berkisar antara 53,33 – 76,67 µS/cm. Secara keseluruhan nilai daya hantar listrik pada perairan lebak Deling ini masih relatif baik bagi kehidupan ikan. Besarnya nilai daya hantar listrik juga dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan perairan karena tingginya daya hantar listrik menandakan banyaknya jenis bahan organik dan mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Kondisi Kimiawi Perairan 1. pH Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Kordi dan Andi, 2005). Nilai pH di perairan lebak Deling relatif sama berdasarkan data dari 10 stasiun yaitu berkisar antara 4,43 – 4,47. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan di lebak Deling bersifat asam. Pada perairan lebak Deling, sumber keasaman berasal dari asam organik yang terbentuk dari dekomposisi vegetasi air yang mati dan juga dari asam karbonat yang dihasilkan oleh karbondioksida di dalam air. Sejalan dengan pendapat Huchinson (1957 dalam Fatah et al., 2010) mengatakan bahwa terdapat beberapa sumber keasaman di perairan, antara lain karbondioksida yang di dalam air membentuk asam karbonat, adanya asam organik (humus) dan adanya asam mineral yang berasal dari lahan sulfat masam. 2. Karbondioksida (CO2)
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
317
Khusnul Khotimah/Kajian Kualitas Perairan Lebak Deling dalam Upaya Menjaga Kelestarian ...
Hasil pengamatan kandungan karbondioksida (CO2) di rawa lebak Deling berkisar antara 17,85 – 20,42 (mg/l). Karbondioksida (CO2) merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air untuk melakukan fotosintesis. Meskipun peranan karbondioksida (CO2) sangat besar bagi kehidupan organisme air namun kandungannya yang berlebih dapat menjadi racun (Kordi dan Andi, 2005). Kandungan Karbondioksida (CO2) yang ada diperairan lebak Deling masih tergolong baik bagi kehidupan organisme akuatik. Hal ini didukung oleh pendapat Boyd (1988 dalam Effendi, 2007) yang menyatakan bahwa sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida (CO2) bebas mencapai 60 mg/l. Organisme akuatik yang hidup di perairan lebak Deling ini merupakan organisme spesifik rawa yang memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi yang ada. Payne (1986), menyatakan bahwa ikan rawa pada umumnya memiliki toleransi tinggi terhadap kadar karbondioksida (CO2) yang tinggi, karena memiliki hemoglobin yang tinggi afinitasnya terhadap oksigen (O2) dan rendah sensitifitasnya terhadap karbondioksida (CO2). 3. Oksigen terlarut (DO) Kadar oksigen terlarut berbanding terbalik dengan kadar karbondioksida (CO2) terlarut. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang ada di perairan lebak Deling berkisar antara 4,09 – 4,74 mg/l. Secara keseluruhan kandungan oksigen terlarut pada perairan lebak Deling ini tergolong rendah, akan tetapi masih memenuhi baku mutu kualitas air peruntukan perikanan dan pertanian dengan nilai minimum 3 mg/l. Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada lebak Deling ini dikarenakan oksigen yang ada banyak digunakan untuk proses respirasi oleh biota air di perairan tersebut. Selain itu juga vegetasi yang ada merupakan sumber bahan utama dalam proses dekomposisi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya proses dekomposisi bahan organik dalam jumlah yang besar sehingga membutuhkan oksigen yang besar juga dalam proses perombakan tersebut. Sejalan dengan Mulyanto (1995) bahwa oksigen terlarut dalam air dapat berkurang disebabkan oleh respirasi biota air baik hewan maupun tumbuhan, serta digunakannya oksigen terlarut dalam proses penguraian atau perombakan bahan organik yang terlarut maupun yang berupa bahan-bahan kotoran yang mengendap di dasar perairan. 4. Total N dan Total P Nitrogen dan fosfat merupakan unsur hara yang dibutuhkan bagi kehidupan biota perairan. Kedua unsur hara ini dapat dijadikan sebagai penciri tingkat kesuburan suatu perairan. Hasil pengamatan nitrogen total di perairan lebak Deling berkisar antara 0,325 – 0,444 mg/l. Sedangkan hasil pengamatan kandungan fosfat total di perairan lebak Deling berkisar antara 0,041 – 0,049 mg/l. Kadar fosfat di perairan ini tergolong cukup. Menurut (Boyd, 1988) kadar fosfat total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/liter. Selanjutnya menurut Effendi (2007) keberadaan fosfat di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih kecil daripada kadar nitrogen, karena sumber fosfat lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan. Sumber alami fosfat di perairan adalah pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik. Tingkat Kesuburan Perairan Tingkat kesuburan suatu perairan juga dapat ditentukan dengan menggunakan biomassa alga. Penentuan dengan cara ini sering disebut dengan indeks status trofik (TSI) Carlson. Pendugaan biomassa alga dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap 3 parameter, yaitu klorofil-a, kedalaman secchi dan fosfat total. Menurut Carlson (1977) status trofik dibagi dalam 4 kategori yaitu oligotrofik dengan nilai TSI 0 – 40; mesotrofik dengan nilai TSI 40 – 50; Eutrofik nilai TSI 50 – 70; dan hipereutrofik nilai TSI 70 – 100. Berdasarkan indeks status trofik (TSI) Carlson, nilai indeks status trofik (TSI) perairan lebak Deling berkisar 7,87 – 10,12. Dari nilai ini lebak Deling tergolong dalam kategori perairan oligotrofik. Perairan oligrotrofik merupakan perairan yang miskin unsur hara dan produktivitas rendah (produktivitas primer dan biomassa rendah). Pada perairan ini biasanya memiliki kadar nitrogen dan fosfor yang rendah.
318 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Khusnul Khotimah/Kajian Kualitas Perairan Lebak Deling dalam Upaya Menjaga Kelestarian ...
KESIMPULAN Berdasarkan pengukuran parameter fisika dan kimia air, dapat dikatakan bahwa perairan lebak Deling tergolong sebagai perairan yang baik untuk kehidupan biota air. Dengan tingkat kesuburan yang rendah dan tergolong perairan oligotrofik, lebak Deling masih dapat dijadikan tempat budidaya ikan pada saat tergenang. DAFTAR PUSTAKA Carlson, R.E. 1977. A Trophic State Index for Lakes. Limnology. Oceanografi. V.22(2) Effendi, H. 2007. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta. Fatah, K., Husnah, dan Azwar Said. 2010. Laporan Penelitian. Karbon Organik Terlarut sebagai Indikator Keragamanhayati dan Kualitas Hasil Tangkapan Ikan di Rawa Banjiran. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Palembang. Kordi K, G. Dan Andi Baso Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta. Mulyanto. 1995. Lingkungan Hidup untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Noor, M. 1996. Perspektif Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Pasang Surut. Majalah Warta Pertanian Nomor 156/Tahun XIII/Mei/1996. Noor, M. 2007. Rawa Lebak : Ekologi, Pemanfaatan Pengembangannya. PT. Raja Garafindo Persada. Jakarta. Samuel, Yosmaniar dan A.S. Sarnita. 1993. Peranan Tumbuh-tumbuhan Air di Perairan Lebak Lebung dalam Perikanan. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Perairan Umum. Pengkajian Potensi dan Prospek Pengembangan Perairan Umum Sumatera Bagian Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. Wibowo, A. dan Mas Tri Djoko Sunarno. 2005. Kelimpahan ikan dan Suhu Perairan Sungai Musi. Jurnal Warta Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
319
PERBAIKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) LEBAK DENGAN PEMBERIAN KOMPOSISI PUPUK ORGANIK HAYATI DAN ANORGANIK 1) Neni Marlina2), Nuni Gofar3), Nurbaiti Amir4), dan Bermi Arya Putra4) Abstract: The objective of this study was to obtain composition of biofertilizer and inorganic fertilizer are proper in some lowland rice varieties. This study was cnducted from June to September 2013 at 6 Darmapala Greenhouse Jl Bukit Lama. Palembang. The design is the Factorial Complete Randomized Design (CRD). The first factor is the composition of biofertilizer with inorganic fertilizer consisting of 25% to 75%, 50% to 50%, and 75% to 25%. Factor II is composed of a variety Ciherang, Inpari 9 and Situbagendit. The results showed that plant height 8 MST, the maximum number of tillers, number of productive tillers, number of filled grains per panicle, 1000 grain weight and the weight of the highest MPD obtained on treatment of composition of biofertilizer with inorganic fertilizer of 75% (225 kg ha-1) with 25% fertilizer inorganic (62.5 kg urea ha-1, SP-36 37.5 kg ha-1, and 25 kg KCl ha-1 with a production of 55,30 g pot-1. Keywords: biofertilizer, lowland rice, inorganic fertilizer 1)
Makalah , disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UNPAL 3) Peneliti PURPLSO 4) Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UMP 2)
PENDAHULUAN
L
ahan rawa lebak di Indonesia tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Lahan rawa lebak juga memberikan kontribusi yang besar dalam swasembada beras. Salah satu program yang telah dilakukan pemerintah adalah Tongga Prodi (Kawasan Penyangga Produksi Padi) tahun 2005 di delapan propinsi seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bengkulu, Lampung dan Jambi (Noor, 2007). Usaha-usaha untuk meningkatkan hasil pertanian terus dilakukan karena pertambahan jumlah penduduk menuntut tersedianya bahan pangan (antara lain padi) dan kebutuhan lainnya yang lebih banyak, oleh karena itu segala upaya untuk meningkatkan produksi padi sangat diperlukan. Peningkatan produksi padi pada tanah-tanah miskin hara menjadi perhatian utama karena pada saat ini lahan yang tersedia untuk perluasan areal tanam adalah tanah-tanah dengan tingkat kesuburan tanah rendah seperti salah satunya lahan rawa lebak adalah dengan pemupukan dan penggunaan varietas unggul. Pupuk merupakan input pertanian yang mutlak digunakan untuk mencapai hasil yang maksimal dengan masukan optimum bagi tanaman yang ditumbuhkan pada tanah-tanah marginal. Salah satu pupuk yang dapat digunakan antara lain pupuk organik hayati (yaitu kompos jerami padi yang diperkaya dengan bakteri penambat N2, bakteri pemacu tumbuh dan bakteri pelarut foisfat) dan pupuk anorganik. Bakteri-bakteri tersebut telah diisolasi dan diseleksi dari lahan rawa lebak di Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir (Gofar et al., 2008, Gofar et al., 2009, Gofar dan Marsi, 2010, Gofar et al., 2012, Gofar dan Marsi, 2013, dan Marlina et al., 2013) Gofar et al. (2009), telah menemukan bakteri endofitik asal tanaman padi yang sehat yang tumbuh pada ekosistem lebak dan bakteri tersebut dapat digunakan sebagai bakteri pemacu tumbuh sekaligus penambat nitrogen pada kondisi tanah berkesuburan rendah, sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan awal tanaman padi dan mengurangi ketergantungan pupuk N anorganik yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak dan pasang surut. Isolat bakteri endofitik pemacu tumbuh tersebut telah dikembangkan menjadi pupuk hayati yang ekonomis. Marlina, Silviana dan Gofar (2013), telah menemukan isolat-isolat Azotobacter sp. dan Azospirillum sp. yang diisolasi dari rhizosfer tanaman yang tumbuh di lahan rawa lebak. Isolat-isolat
320
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Neni Marlina, dkk./Perbaikan Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi ...
tersebut terbukti mampu menambat N2, memacu pertumbuhan tanaman padi dan dapat meningkatkan serapan NPK sehingga dapat dikembangkan sebagai pupuk organik hayati pada tanaman padi yang dibudidayakan di lahan rawa lebak. Selanjutnya Gofar dan Marsi (2013), telah mendapatkan hasil gabah kering giling padi gogo pada ultisol sebanyak 17,20 g/polybag pada 10 ton ha-1 pupuk organik hayati + 75 % pupuk anorganik. Diharapkan bakteri yang didapatkan pada penelitian ini seperti bakteri penambat N2 hidup bebas dan endofitik, bakteri pelarut fosfat, dan bakteri pemacu tumbuh yang diaplikasikan melalui tanah atau benih, mampu meningkatkan efisiensi pemupukan N, P dan K. Dalam upaya mencapai tujuan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan, penggunaan mikroba indigen pemacu tumbuh dan penyumbang unsur hara sebagai pupuk mikroba hayati berpotensi mengurangi kebutuhan pupuk kimia atau buatan, dan meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani dengan masukan yang lebih murah. Selain memperhatikan pupuk, faktor jenis padi yang dibudidayakan juga menentukan produktivitas tanaman padi (Sulaiman, 1995; Susanto et al., 2003). Di lahan lebak, petani lebih banyak membudidayakan padi lokal, sekitar 90 % luas pertanaman merupakan proporsi padi lokal dengan berbagai varietas. Beragamnya varietas padi lokal yang dibudidayakan di lahan lebak, menjadi indikator adanya perbedaan produktivitas diantara varietas tersebut. Dari uraian diatas dapat diketahui pentingnya pemberian pupuk organik hayati dan pupuk anorganik pada beberapa varietas padi lebak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil produksi suatu tanaman, oleh karena itu komposisi pupuk organik hayati yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik (urea, SP-36 dan KCl) dan varietas merupakan masukan yang sangat diperlukan dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan komposisi pupuk organik hayati dan anorganik yang tepat pada beberapa varietas padi lebak.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan percobaan di Rumah Kaca dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor perlakuan. Faktor I adalah komposisi pupuk organik hayati dengan anorganik yang terdiri dari 25 % dengan 75 %, 50 % dengan 50 %, dan 75 % dengan 25 %. Faktor II adalah varietas yang terdiri dari ciherang, inpari 9 dan situbagendit. Adapun dosis anjuran pupuk NPK pada tanaman padi varietas Ciherang adalah 250 kg ha-1 urea, 150 kg ha-1 SP-36, dan 100 kg ha-1 KCl, sedangkan dosis pupuk organik hayati adalah 300 kg ha-1. Kompos dibuat dari jerami padi yang dicacah ± 5 cm dan pupuk kandang kotoran sapi dicampur dengan perbandingkan 10:1 yang dikomposkan selama 4 minggu, kemudian kompos tersebut diayak dengan ayakan berdiameter 2 mm. Kompos jerami padi disterilkan menggunakan autoklaf pada temperatur 1210C, tekanan 1 atm selama 15 menit. Pembuatan pupuk organik hayati dengan mencampurkan 100 kg kompos steril dengan biomassa bakteri yang diekstrak dari masing-masing 100 ml isolat Azotobacter, 100 ml isolat Azospirillum, 100 ml isolat bakteri endofitik, dan 100 ml isolat bakteri pelarut fosfat, masing-masing dengan kepadatan 10-9 spk mL-1. Biomassa bakteri diperoleh dengan mensentrifusi biakan cair isolat-isolat bakteri tersebut dengan kecepatan 15000 rpm selama 5 menit. Persiapan media tanam dimulai dengan pengambilan contoh tanah pada kedalaman 0-20 cm, kemudian tanah dikeringanginkan dan diayak. Setelah itu ditimbang tanah sebanyak 10 kg dan dimasukkan kedalam pot. Pupuk organik hayati dan pupuk N, P dan K diberikan satu hari sebelum tanam benih. Khusus untuk pupuk N diberikan 2 kali yaitu setengah dosis pada saat 1 hari sebelum tanam dan sisanya saat tanaman berumur 1 bulan setelah tanam. Benih padi ditanam sebanyak 5 biji untuk setiap potnya, dengan kedalaman 2 cm. Setelah 1 minggu dipilih 2 tanaman yaitu yang menunjukkan pertumbuhan seragam untuk dipelihara.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
321
Neni Marlina, dkk./Perbaikan Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi ...
Pemeliharaan tanaman meliputi: 1) Penyiraman, dilakukan 1 kali sehari, 2) Seleksi tanaman, dilakukan satu minggu setelah tanam, 3) Penyiangan, dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang ada, 4) Pengendalian hama dan penyakit, dilakukan secara manual. Panen hasil dilakukan setelah lebih dari 75 % bulir masak pada setiap rumpun yang dicirikan dengan daun bendera yang menguning. Bagian tanaman yang dipanen adalah bulir padi. Peubah yang diamati adalah sifat kimia tanah sebelum penelitian, tinggi tanaman 8 MST, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, analisis pupuk organik hayati, jumlah gabah isi per malai, berat 100 butir dan berat gabah kering giling. Data yang didapat diolah secara statistik dengan sidik ragam RAL Faktorial. Apabila hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Sebelum Perlakuan Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah yang dilakukan sebelum penelitian dan kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983), tanah yang digunakan pada penelitian ini tergolong masam (pH H2O=5,50) dengan kapasitas tukar kation tergolong sedang (17,52 cmol(+) kg-1), kandungan C-organik 12,7 g kg-1 tergolong rendah, kandungan N-total dan P tersedia tergolong rendah (1,3 g kg-1 dan 4,50 mg kg-1), basa tertukar seperti Ca-dd 10,58 cmol(+) kg-1 tergolong sedang, Mg-dd 3,45 cmol(+) kg-1 tergolong tinggi, K-dd 0,77 cmol(+) kg-1 tergolong tinggi, Na-dd 0,68 cmol(+) kg-1 tergolong sedang, dengan Kejenuhan Basa 88,36 % tergolong tinggi, Al-dd 0,2 cmol(+) kg-1, H-dd 0,19 cmol(+) kg-11, Fe 174,38 mg kg-1, Cu 5,02 mg kg-1, Zn 8,80 mg kg-1, Mn 228,56 mg kg-1, dengan tekstur tanah mengandung 19,41 % pasir, 44,86 % debu dan 35,73 % liat dan tergolong tekstur tanah lempung liat berdebu. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tanah yang digunakan sebagai media tumbuh dalam penelitian ini termasuk kategori dengan kesuburan tanah rendah dengan pH H2O tergolong masam dengan kandungan C-organik, N-total dan P tersedia rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Subagyo (2006), bahwa pH tanah lebak berkisar 4,0 sampai 5,5 dan kandungan unsur-unsur hara makro tergolong rendah. Selain itu tanah pada penelitian ini tanah ini perlu diberi pupuk baik pupuk anorganik maupun pupuk organik hayati yang mengandung bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp., bakteri endofitik dan bakteri pelarut fosfat agar kandungan unsur hara N, P dan K meningkat sehingga tanaman padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Upaya penambahan pupuk organik hayati berupa kompos jerami padi yang diperkaya oleh bakteri penyumbang hara dengan sifat kimia: memiliki pH netral (pH=7,04), kapasitas tukar kation tergolong tinggi (34,80 cmol(+) kg-1), nisbah C dan N tergolong rendah (13,45), N-total, P tersedia dan K-dd tergolong sangat tinggi (10,8 g kg-1, 87,30 mg k -1 dan 111,83 cmol(+) kg-1 ) dapat memperbaiki sifat kimia tanah lebak yang belum optimal untuk pertumbuhan tanaman padi. Pertumbuhan Vegetatif dan Produksi Tanaman Padi Dari hasil analisis keragaman diketahui bahwa perlakuan komposisi pupuk organik hayati dan anorganik, varietas dan interaksi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali perlakuan komposisi pupuk organik hayati dan anorganik berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan produktif. Pengaruh perlakuan komposisi pupuk organik hayati dan anorganik, varietas dan interaksi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi lebak dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3. Secara umum terlihat bahwa semua perlakuan varietas padi memberikan respon yang baik dengan pemberian komposisi pupuk organik hayati dan anorganik. Aplikasi komposisi pupuk organik hayati 75 % (225 kg ha-1 dari 300 kg ha-1) dengan pupuk anorganik 25 % (62,5 kg urea ha-1, 37,5 kg SP-36 ha-1, dan 25 kg KCl ha-1) memberikan jumlah anakan maksimum terbanyak (32,33 anakan), jumlah anakan produktif terbanyak (22,67 malai).
322 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Neni Marlina, dkk./Perbaikan Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi ... Tabel 1. Pengaruh perlakuan komposisi pupuk organik hayati dan anorganik terhadap peubah yang diamati
Komposisi pupuk organik hayati dengan pupuk anorganik (%) 25 dengan 75 50 dengan 50 75 dengan 25 BNJ 0,05
Tinggi tanaman 8MST (cm) 97,39 93,22 97,17 7,07
Jumlah anakan maksimum (anakan) 29,44 25,33 32,33 7,99
Jumlah anakan produktif (malai) 21,61 ab 16,61 a 22,67 b 5,50
Jumlah gabah isi per malai (butir) 89,81 78,83 104,06 26,01
Berat 100 butir (g) 2,11 2,17 2,28 0,28
Berat Gabah Kering Giling (g) 46,39 38,11 48,56 14,66
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata Tabel 2. Pengaruh varietas terhadap peubah yang diamati
Varietas Ciherang Inpari 9 Situbagendit
Tinggi tanaman 8MST (cm) 94,39 96,11 97,28
Jumlah anakan maksimum (anakan) 28,11 28,89 30,11
Jumlah anakan produktif (malai) 18,44 20,67 21,78
Jumlah gabah isi per malai (butir) 94,30 83,20 95,20
Berat 100 butir (g) 2,11 2,11 2,33
Berat Gabah Kering Giling (g) 42,89 38,44 51,72
Jumlah gabah isi per malai terbanyak (104,06), berat 100 butir terberat (2,28 g) dan berat GKG terberat (48,56 g) bila dibandingkan dengan komposisi pupuk organik hayati dan anorganik (25 % dengan 75 % dan 50 % dengan 50 %) (Tabel 1). Hal ini disebabkan pemberian komposisi pupuk organik hayati 75 % dengan pupuk anorganik 25 % merupakan komposisi yang cukup dan berimbang bagi tanaman dalam mendapatkan unsur hara tanaman padi untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Marlina et al. (2013), bahwa pemberian pupuk organik hayati 300 kg ha-1 dapat menyumbangkan unsur hara N, P dan K sebesar (1,834 g tan-1, 0,311 P g tan1 , 3,294 g tan-1) dan berat GKG memiliki korelasi yang positif dengan pupuk organik hayati. Tabel 3. Pengaruh interaksi terhadap peubah yang diamati
Varietas Ciherang Inpari 9 Situbagendit ................................Tinggi Tanaman 8 MST (cm) ................................... 25 dengan 75 98,17 96,67 97,83 50 dengan 50 88,67 95,17 95,83 75 dengan 25 96,33 96,50 98,67 BNJ 0,05= tn ................................Jumlah anakan maksimum (anakan) ................................... 25 dengan 75 29,33 27,33 31,67 50 dengan 50 24,17 26,83 25,00 75 dengan 25 30,83 32,50 33,67 BNJ 0,05= tn ................................Jumlah anakan produktif (malai) ................................... 25 dengan 75 18,83 22,67 23,33 50 dengan 50 14,67 16,67 18,50 75 dengan 25 21,83 22,67 23,50 BNJ 0,05= tn ................................Jumlah gabah isi per malai (butir) ................................... 25 dengan 75 93,42 85,33 90,68 50 dengan 50 85,83 76,23 74,42 25 dengan 75 103,65 88,03 120,49 BNJ 0,05= tn ................................Berat 100 butir (g) ................................... 25 dengan 75 2,00 2,17 2,17
Komposisi pupuk organik hayati dengan pupuk anorganik (%)
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
323
Neni Marlina, dkk./Perbaikan Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi ...
50 dengan 50 2,17 2,00 75 dengan 25 2,17 2,17 BNJ 0,05= tn ................................Berat GKG (g) ................................... 25 dengan 75 40,83 44,83 50 dengan 50 40,67 27,33 75 dengan 25 47,17 43,17 BNJ 0,05= tn
2,33 2,50 53,50 46,33 55,33
Tabel 2 menunjukkan bahwa varietas situbagendit dapat meningkatkan tinggi tanaman (97,28 cm), jumlah anakan maksimum(30,11 anakan), jumlah anakan produktif (21,78 malai), jumlah gabah isi per malai (95,20 butir), berat 100 butir (2,33 g) dan berat GKG (51,72 g) bila dibandingkan varietas ciherang dan inpari 9. Hal ini disebabkan bahwa varietas situbagendit lebih respon dan toleran dengan tanah lebak serta berat GKG lebih banyak bila dibandingkan varietas ciherang dan inpari 9. Selain itu bahwa varietas tanaman padi mempunyai respon yang berbeda terhadap lingkungan tumbuh, dan hal ini dapat dipahami karena adanya sifat baqa dari tanaman padi yang berbeda (Sulaiman, 1995 dan Susanto et al., 2003). Jumlah anakan, tinggi tanaman dan sifat tanggap terhadap pupuk merupakan faktor yang menentukan tingkat produksi suatu varietas. Jumlah anakan produksi per rumpun menentukan jumlah malai per rumpun sehingga semakin tinggi jumlah anakan per rumpun, semakin tinggi pula potensi suatu varietas. Produksi padi sangat tergantung dari jumlah gabah isi dan berat 1000 butir (Vegara, 1992). Rata-rata jumlah gabah isi per malai, berat 100 butir dan berat GKG tiap pot tertinggi pada varietas situbagendit yang mendapat perlakuan komposisi pupuk organik hayati 75 % dan pupuk anorganik 25 %, hal ini tidak terlepas dari sumbangan unsur hara NPK dari pupuk organik hayati dan pupuk anorganik yang mampu mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman padi yang pada akhirnya berat gabah 100 butir maupun berat GKG setiap pot lebih banyak (Tabel 3). Hasil penelitian Simanungkalit (2001), menunjukkan bahwa aplikasi terpadu antara pupuk hayati dan pupuk kimia merupakan suatu pendekatan terpadu dengan menggunakan kombinasi pupuk hayati dan pupuk kimia dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.
KESIMPULAN Pemberian komposisi pupuk organik hayati 75 % (225 kg ha-1) dan pupuk anorganik 25 % (62,5 kg urea ha-1, 37,5 kg SP-36 ha-1, dan 25 kg KCl ha-1) dan varietas situbagendit dengan produksi 55,33 g pot-1 UCAPAN TERIMA KASIH Artikel ini merupakan bagian dari penelitian berjudul: “ Pengembangan Teknologi Pupuk Mikroba Multiguna untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Rawa Lebak” yang dibiayai Dana Intensif SINAS 2012 Kemenristek. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang sudah membiayai penelitian tersebut. DAFTAR PUSTAKA Gofar, N. 2008. Keanekaragaman Mesofauna Tanah pada Lahan Lebak yang Dibudidayakan dan Perannya dalam Menjaga Keseimbangan Ekosistem Tanah. Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Palembang tanggal 18 Oktober 2008. Hal 1-11 Gofar, N., A. Napoleon, dan M.U. Harun. 2009. Seleksi Kemampuan Berbagai Konsorsium Bakteri Endofitik Pemacu Tumbuh dalam Meningkatkan Biomassa dan dan Kadar N Tanaman Padi di Tanah Asal Rawa Lebak, hal 280-289 Gofar, N dan Marsi. 2010. Pengembangan Paket Teknologi Pupuk Organik Hayati untuk Mendukung Pertanian Ramah Lingkunga. Laporan Penelitian Strategis Nasional, Lembaga Penelitian Unsri, Indralaya
324 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Neni Marlina, dkk./Perbaikan Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi ... Gofar N, H Widjajanti, dan NLP Sriratmini. 2012. Pengembangan teknologi pupuk mikroba multiguna untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak. Laporan kemajuan tahap 2: Penelitian Intensif Sinas, Palembang. Gofar,N., H. Widjajanti dan NLP Sriratmini. 2012. Uji Kemampuan Isolat Bakteri Endofitik Penghasil IAA dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman Padi pada Tanah Asal Rawa Lebak. Prosiding InSINAs. 0423:293297 Gofar, N dan Marsi. 2013. Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo pada Ultisol yang Dipupuk dengan Kompos Diperkaya Pupuk Hayati. Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang Ilmu-ilmu Pertanian BKSPTN Wilayah Barat Tahun 2013 vol 1 . Pontianak 19-20 Maret 2013. Hal 169-180 Marlina, N., Silviana dan N. Gofar. 2013. Seleksi Bakteri Penambat Nitrogen (Azospirillum dan Azotobacter) Asal Rhizosfer Tanaman Budidaya di Lahan Lebak untuk Memacu Pertumbuhan Tanaman Padi. Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang Ilmu-ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2013 vol 1 . Pontianak 19-20 Maret 2013. Hal 739-750 Marlina, N., N. Gofar, A. Halim dan A.Madjid. 2013. Improvement of rice Growth and productivity through balance application of inorganic fertilizer and biofertilizer in inceptisol soil of lowland swamp area. Seminar Internasional in Palembang 25 October 2013. Noor, M. 2007. Rawa Lebak. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Sulaiman, S. 1995. Pembentukan Varietas Unggul Padi Rawa. Laporan Hasil Penelitian Balittan Banjarbaru. Banjarbaru. Simanungkalit, RDM. 2001. Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kimia: Suatu Pendekatan Terpadu. Buletin Agrobio 4(2): 56-61 Subagyo, A. 2006. Lahan Rawa Lebak dalam Didi Ardis S et al. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor. Hal 99-116 Susanto, U, A.A. Daradjat dan B. Suprihatno. 2003. Perkembangan Pemuliaan Padi Sawah di Indonesia. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 22(3): 125-131 Vegara. 1992. Bercocok Tanam Padi. Proyek Prasarana Fisika. Bappenas, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
325
TANAH DAN PERKEMBANGAN PATOGEN TULAR TANAH 1) Nurhayati2) Abstract: Soil not only as a growing medium for various crops , but also a medium in which a variety of microorganisms also grow and thrive in it . Naturally land was inhabited by a variety of microorganisms , ranging from the micro-organisms that are beneficial (non pathogenic) either harmful (payhogenic) for the crop thereon . Soils Microorganisms which are harmful and cause diseases in plants , also known as soil -borne pathogens . Soil-borne pathogens are a group of microorganisms that were largely spent its life cycle in the soil and has the ability to infect and cause disease in plants . This soil -borne pathogens may be fungi , nematodes and bacteria .. The development of soil -borne pathogens is strongly influenced by the growth medium . Soil as a growing medium was instrumental to the development and survival of soil -borne pathogens . Factors that influence the development of soil -borne pathogens , these include the soil acidity level ( pH ) , soil temperature , soil moisture , soil texture and soil organic matter . Knowledge how this soils factors influence the development and the survival of a soil -borne pathogens can be used as a basis for determining the appropriate controls and efficient . Keyword: sil, development of soil-borne pathogen 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013. Dosen pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN Tanah pertanian tidak hanya menentukan tingkat kesuburan dan kelangsungan hidup tanaman yang diusahakan akan tetapi juga merupakan media tumbuh bagi berbagai macam mikroorganisme baik yang bermanfaat maupun yang merugikan tanaman yang diusahakan (Chet et al, 2006). Di dalam tanah dapat dijumpai banyak sekali macam mikroorganisme dengan jumlah mencapai milyaran per gram tanah. Mikroorganisme ini dapat berupa nematoda, jamur, bakteri dan lain-lain (Chauthan et al, 2006). Salah satu mikroorganisme yang berperan penting dan dapat menyebabkan penyakit tanaman adalah mikrooranisme yang termasuk dalam kelompok soil-borne pathogen atau patogen tular tanah. Patogen tular tanah adalah kelompok mikroorganisme yang sebahagian siklus hidupnya berada di dalam tanah dan mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan menimbulkan penyakit pada tanaman. Umumnya patogen tular tanah memiliki kemampuan pemencaran dan bertahan dalam tanah dan hanya sedikit yang mempunyai kemampuan membentuk spora udara sehingga dapat memencar ke areal yang lebih luas (Garrett, 1970) Menurut Ownley et el (2003), perkembangan dan populasi, penyebaran, daya tular serta daya tahan patogen tular tanah sangat di pengaruhi oleh sifat-sifat tanah dimana patogen tersebut berada. Pengetahuan tentang sifat-sifat tanah yang mempengaruhi perkembangan patogen tular tanah akan sangat bermanfaat sebagai dasar dalam menentukan strategi pengendalian penyakit tanaman secara tepat dan effien. Tanah sebagai media tumbuh bagi banyak mikroorganisme termasuk patogen tular tanah tentu memegang peran yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tersebut. Faktor-faktor tanah yang paling berperan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan patogen tanah tersebut antara lain adalah temperatur,, kelembaban, pH, tekstur tanah dan bahan organik tanah. Makalah ini mencoba menguraikan sifat-sifat tanah yang dapat mempengaruhi perkembangan patogen tular tanah, yang dapat menyebabkan penyakit dan kerugian besar pada tanaman pertanian.
PATOGEN TULAR TANAH (SOIL-BORNE PATHOGEN). Patogen tular tanah dapat menurunkan produksi dan kualitas tanaman. Hal ini merupakan tantangan dalam budidaya pertanian, karena patogen bertahan dalam tanah selama bertahun-tahun dan setiap tanaman mungkin saja rentan terhadap beberapa species patogen tular tanah tersebut. Infeksi yang simultan oleh patogen tular tanah kadangkala menghasilkan penyakit kompleks yang dapat 326
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Nurhayati/Tanah dan perkembangan Patogent Ular Tanah
menghancurkan tanaman budidaya. Banyak penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah ini sulit diprediksi, dideteksi dan didiagnosis, sementara tanah dan lingkungannya juga sangat komplek sehingga diperlukan pengetahuan yang luas dari seluruh aspek. Semakin banyak jumlah dan macam species patogen tular tanah di dalam tanah maka semakin besar pula peluang akan terjadinya serangan penyakit pada tanaman (Brown et al, 1984). Patogen tular tanah dapat berupa berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, nematoda, cendawan dan lainnya yang dapat menyerang tanaman mulai dari stadia awal sampai pada stadia tanaman telah berbunga atau menghasilkan serta menimbulkan berbagai macam bentuk gejala serangan yang berbeda-beda pada inangnya. Kerugian yang ditimbulka oleh patogen tular tanah juga dapat bervariasi dari tidak terlalu merugikan atau ringan sampai mengakibatkan serangan berat dimana tanaman tidak dapat berproduksi (Dalmadiyo, 2004). Serangan patogen tanah umumnya akan mengakibatkan gejala berupa busuk akar, perubahan warna pada jaringan, layu, busuk pucuk atau mahkota atau bahkan matinya tanaman. Gejala yang paling umum disebabkan oleh patogen tular tanah ini adalah busuk yang mempengaruhi jaringan bawah tanaman termasuk busuknya biji, damping off atau rebah kecambah dan busuk akar, dan layu jaringan karena adanya infeksi pada akar. Beberapa patogen tular tanah dapat menyebabkan penyakit daun dengan gejala dan kerusakan timbul pada bagian tanaman di atas tanah. Sebagai contoh antraknose pada lettuce disebabkan oleh patogen tulara tanah yang dapat terbawa oleh percikan air hujan ke bagian permukaan daun tanaman ini dan menyebabkan penyakit bercak daun. Hal yang sama juga pada patogen tular tanah Sclerotinia sclerotiorum yang dapat bertahan dalam tanah dalam bentuk sklerotia yang dalam lingkungan menguntungkaan dapat membentuk apothecia yang dapat menyebarkan spora udara sehingga apabila kontak pada daun yang rentan dapat mengakibatkan penyakit daun (Koike et al, 2003). Secara umum patogen tular tanah dibagi atas soil inhabitant (penghuni tanah) dan soil invaders atau soil transients yaitu patogen yang hanya dapat hidup di dalam tanah dalam waktu yang singkat. Beberapa patogen tular tanah dapat juga hidup sebagai organisme tanah yang tidak patogen pada keadaan tertentu dan hidup sebagai sapropit pada sisa tanaman mati.
MACAM-MACAM PATOGEN TULAR TANAH DAN EKOLOGINYA. Soil-borne patogen pada tanaman dapat dibedakan atas jamur, bakteri, virus dan nematoda (Agrios, 1996). Jamur merupakan mikroorganisme multiselular yang dapat menyebabkan penyakit pada berbagai sayuran dan dikelompokkan sebagai grup patogen yang paling penting. Beberapa jamur tular tanah menetap dalam tanah dalam jangka waktu yang panjang karena mikroorganisme tersebut mampu menghasilkan struktur untuk bertahan seperti klamidospora, oospora dan sklerotia yang tahan terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Contohnya Phytophthora nicotianae patogen tular tanah yang dapat menyebabkan penyakit lanas pada tembakau dan berbagai tanaman lainnya, mampu membentuk struktur klamidospora yang tahan terhadap lingkungan yang tidak baik. Klamidospora tersebut dapat bertahan dalam tanah sampai beberapa tahun tanpa kehadiran inangnya dan dapat menjadi sumber inokulum apabila lingkungan menguntungkan. P. nicotianae tumbuh dan berkembang baik pada tanah dengan suhu lebih dari 20oC. P. nicotianae dapat menyebar melalui air, tanah ataupun tanaman yang terinfeksi (Sullivan, 2005). Rhizoctonia solani adalah Jamur tular tanah lainnya yang dapat mengakibatkan penyakit rebah kecambah. Patogen ini dapat membentuk struktur untuk bertahan dalam tanah disebut dengan sklerotia. Infeksi pada tanaman akan terjadi jika kelembaban tanah relatif tinggi dan didukung oleh cuaca basah. Penyebaran jamur ini dapat terjadi melalui percikan air hujan ataupun tanah yang terinfeksi (Semangun,, 2000). Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu dan berdinding sel lentur. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri tular tanah lebih sedikit apabila dibandingkan dengan jamur patogen tular tanah dan biasanya hanya bertahan dalam tanah dalam waktu yang singkat. Salah satu bakteri patogen tular tanah ini adalah bakteri Ralstonia solanacearum dikenal sebagai bakteri yang sangat penting pada tanaman tembakau karena dapat mengakibatkan layu dan menguningnya daun tembakau. Patogen ini dapat bertahan pada bagian tanaman yang terinfeksi, selain itu patogen juga dapat bertahan pada Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
327
Nurhayati/Tanah dan perkembangan Patogent Ular Tanah
beberapa inang alternative dan tanah. Penyebaran patogen dapat melalui air irigasi, tanah yang mengandung inokulum ataupun alat-alat pertanian (Anonim,2004). Virus patogen tular tanah diketahui yang menyebabkan penyakit pada tanaman hanya sedikit. Umumnya gejala yang ditimbulkan patogen ini adalah kerdil, perubahan warna pada daun dan buah. Virus Patogen tular tanah biasanya hanya bertahan dalam jaringan tanaman yang ada di dalam tanah atau di dalam vektorrnya seperti nematoda dan jamur yang akan menyebarkan virus patogen tersebut ke tanaman inang. Contoh virus penyebab penyakit lettuce big vein dimana virus bertahan dalam jamur Olpidium brassicae yang berperan sebagai vektornya di dalam tanah (Koike et al, 2003). Nematoda soil-borne patogen menghabiskan hampir seluruh hidupnya di dalam tanah, sebagai pemakan akar tanaman ekternal atau sebagai residen di dalam akar. Nematoda mempengaruhi tanaman dengan menurunkan daya kecambah dan pertumbuhan tanaman. Di dalam tanah nematoda dapat hidup bebas atau dalam bentuk telur dan sista. Contoh nematoda yang bersifat patogen tular tanah antara lain adalah Meloidogyne sp. patogen root knot yang mengakibatkan penurunan daya kecambah pada beberapa species tanaman dan mengakibatkan distorsi dan pembengkakan akar yang berat. Umumnya menyerang tanaman seperti wortel. Sista nematoda Heterodera sp dapat bertahan hidup dalam tanah cukup lama (Koike et al, 2003).
TANAH DAN PERKEMBANGAN PATOGEN TULAR TANAH Patogen tular tanah merupakan slah satu kelompok mikroorganisme dari banyak macam mikroorganisme yang menghuni tanah. Tanah sebagai media tempat tumbuh dan berkembangnya patogen tular tanah sebelum patogen tersebut menemukan inangnya sudah tentu akan berpengaru terhadap mikroorganisme tersebut baik dalam hal populasi atau reproduksi dan kelimpahannya, penyebarannya, daya tahannya dan patogenesitas serta virulensinya (Ownley et al, 2003). Sifat-sifat tanah yang berhubungan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan patogen tular tanah antara lain adalah temperatur,, tekstur tanah, kelembaban tanah, pH tanah, hara tanah serta keadaan bahan organik dalam tanah (LaMondia dan Cowles, 2005; Manici et al, 2005; Elhottova et al, 2006). Umumnya perkembangan patogen tular tanah akan terhambat pada temperatur tanah yang ekstem tinggi, karenanya solarisasi tanah sering digunakan untuk membebaskan tanah dari berbagai patogen tular tanah. Pinkerton et al (2002), melaporkan bahwa dengan solarisai maka suhu tanah dapat meningkat dan menyebabkan kematian atau menurunnya populasi patogen tular tanah seperti Rhizoctonia sp dan pythium sp. Tekstur tanah merupakan faktor penentu kesuburan dan kesehatan tanaman. Umumnya patogen tular tanah seperti Pythium sp. berkembang baik pada tanah-tanah yang mempunyai kandungan debu dan liat tinggi karena pada tanah demikian biasanya drainasenya jelek sehingga mendukung perkembangan patogen ini (Wing et al, 1995). Dilaporkan oleh Barker dan Weeks (1991), bahwa reproduksi nematoda Pratilenchus penetrans meningkat pada tanah-tanah bertekstur pasir sedangkan pada tanah berlempung reproduksinya rendah. Seperti halnya temperatur, kelembaban tanah juga berperan dalam perkembangan dan terjadinya penyakit oleh patogen tular tanah. Kelembaban umumnya berpengaruh terhadap daya kecambah spora patogen dan penetrasi inang oleh tabung kecambah. Kelembaban dalam bentuk air irigasi atau air yang mengalir juga berperan penting dalam distribusi dan penyebaran patogen. Serangan Pythium sp. penyebab rebah kecambah akan meningkat sebanding dengan peningkatan kelembaban tanah hingga mendekati titik jenuh (Agrios, 1997). Keasaman atau pH tanah berperan penting dalam terjadinya dan keganasan pnyakit tanaman yang disebabkan oleh pati patogen tular tanah. Serangan Plasmodiophora brassicae akan terjadi sangat parah pada tanah dengan pH antara 5,7, sedangkan pada pH tanah 6,2 serangannya akan menurun dan tidak berkembang sama sekali pada ph 7,8 (Agrios, 1997). Penyaki lanas pada tembakau dapat terjadi pada tanah dengan pH asam maupun basa akan tetapi pH optimum bagi perkembangan P. nicotianae adalah 6-7 (Sullivan, 2005). Menurut Porth et al (2003), perkembangan patogen umumnya akan tertekan pada pH tinggi, karena pada pH tinggi akan mengakibatkan komdisi lingkungan tiak sesuai 328 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Nurhayati/Tanah dan perkembangan Patogent Ular Tanah
untuk perkembangan patogen tular tanah. Patogen umumnya akan lebih infektif pada keadaan pH tanah rendah (Campbell dan Greathead (1996). Kandungan unsur hara dalam tanah berhubungan erat dengan ketahanan tanaman terhadap patogen tanah demikian pula kandungan bahan organik dalam tanah. Bahan organik dapat membantu perkembangan mikroorganisme yang dapat menghambat aktivitas jamur patogen. Kolonisasi oleh Pythium sp. akan tinggi apabila kadar bahan organik tanah rendah (Manici et al, 2005). Penambahan bahan organik yang berkadar N tinggi dapat menekan perkembangan patogen tular tanah.
PENUTUP Tanah bukan saja media bagi pertumbuhan tanaman akan tetapi juga merupakan media pertumbuhan berbagaimacam mikroorganisme tanah baik yang menguntung maupun yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Salah satu dari mikroorganisme tanah yang merugikan tanaman tersebut adalah patogen tular tanah. Patogen tular tanah data berupa soil inhabitans (penghuni tetap tanah) atau soil invader atau soil transients. Patogen tular tanah dapat berupa jamur, bakteri, virus dan nematoda. Pertumbuhan dan perkembangan patogen tular tanah sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah dimana dia tumbuh. Adapun sifat-sifat tanah yang berperan dalam populasi, reproduksi, daya tahan, penyebaran dan kemampuan patogen tular tanah untuk menginfeksi dan menyebakan penyakit pada tanaman antara lain adalah temperatur,, tekstur tanah, kelembaban tanah, pH tanah, hara tanah serta keadaan bahan organik dalam tanah. Dengan mengetahui faktor yang berperan terhadap patogn tular tanah maka diharapkan strategi penanggulangan patogen tanah dapat disusun dengan tepat. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G. N. 1996. Plant Pathology. Second edition. Academic Press. New York. Anonim, 2004. Diagnostic protocols for regulated pest; Ralstonia solanacearum. EPPO Bulletin 34:173-178. Barker, K.R and W. W. Weeks. 1991. Relathionship between soil and level of Meloidogyne incognita and tobacco yeild and quality. Journal of nematology 23(1):82-90. Campbell, R. N and A. S. Greathead. 1996. Control of clubroot of crucifers by liming. In Engelhard, A. W (Eds). Soilborne Plant Pathogens: management of disease with macro and microelements, St paul:APS Press. Chauchan, A.K., A.Das., H. Kharkwal., A. C. Kharkwal dan A. Varma. Impact of micro-organisms on environment and health. In Chauhan, A.K and A. Varma (Eds.) Microbes Health and Environment. I. K. International Publising House Pvt. Ltd. S-25. Green Park Extension. New Delhi. Dalmadiyo, G. 2004. Kajian interaksi infeksi nematoda puru akar (Meloidogyne incognita) dengan bakteri Ralstonia solanacaerum pada tembakau temanggung (Disertasi). Universitas Gajah Mada. Yokyakarta. Elhottova, D., V. Kristufek., J. Triska., V. Chrastny., E. Uhlirova., J. Kalcik and TPiceklmmediate. 2006. Impact of the flood (Bohemia, August 2002) on selected soil characteeristic. Water, air and soil pollution 173(1-4):177-193. Garret, S. D. 1970. Toward biological control of soil-borne plant pathogens. In Baker, K.F., W.C. Synder., R.R. Baker., J. . Menzies., F.E. Clark., L. L. Miller., A. W. Dimock., Z. A. Patrick., W. A. Krentzer and M. Rubo (Eds). Ecology of soil-borne plant pathogens prelude to biological control: An International Symposium on Factor Detemining the Behavior of Plant Pathogens in Soil. Held at the Universiy of California, Berkeley. Koike, S.T., Subbarao, K.V., David, R.M and Turini, T.A. 2003. Vegetable diseases caused by soilborne pathogens. University of Calofornia. Division of Agriculture and natural Resources. LaMondia, J. A and R.S. Cowles. 2005. Comparison of Pratylenchus penetrans Infection and Maladera castanea feeding on straberry root rot. Journal of Nematology 37:131-135. Manici, L. M., F. Caputo and G. Baruzzi. 2005. Additional experiences to elucidate microbial component of soil suppressiveness towards strawberry black root rot complex. Annual Applied Biology 146:421-431. Olson, H. A. 2005. Ralstonia solanacearum. http://www.cals.ncsu.edu/course/pp78/Ralstonia/Ralstonia solanacearum biova rs.html. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
329
Nurhayati/Tanah dan perkembangan Patogent Ular Tanah Ownley, B.H., B.K. Duffy and D. M. Weller. 2003. Identification and manipulation of soil properties to improve the biological contro performance of phenazine-producing Pseudomonas fluorescens. Applid and Environmental Microbiology 69(6):3333-3343. Pinkerton, J. N., K. L. Ivors., P. W. Reeser., P. R. Bristow and G. E. Windom. 2002. The use of soil solarization for the management of soilborne plant pathogens in strawberry and redberry production. Plant Disease 86:645-651. Porth. G., F. Mangan., R. Wick and W. Autio. 2003. Evaluation of management strategies for clubroot disease of brassica crops. http://www.umassvegetable.org. Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Yokyakarta: Gajah Mada University Press.
330 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
ANALISIS NERACA AIR UNTUK MENGETAHUI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN PADA SUB DAS OGAN DAS MUSI SUMATERA SELATAN1) Puspitahati dan Edward Saleh2) Abstrak: Ketersediaan air makin lama makin menurun dikarenakan DAS Musi yang memiliki luas area 59.942 km2 berubah fungsi penggunaan lahannya serta pengelolaan DAS Musi yang kurang baik. Perubahan tata guna lahan pada DAS menyebabkan erosi dan sedimentasi sehingga dapat mengurangi ketersediaan air. Perubahan tata guna lahan berupa lahan terbuka pada daerah aliran sungai dari tahun ke tahun semakin meningkat (Puspitahati, 2008). Hal ini menyebabkan terjadinya erosi dan sedimentasi yang akan mengurangi ketersediaan air di DAS Musi. Ketersediaan air yang tidak merata disebabkan oleh berbagai faktor seperti curah hujan, kondisi alam dan karakteristik DAS. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui perubahan tata guna lahan dari hasil analisis neraca air pada tahun 1991 dan 2004. Penelitian ini memfokuskan pada salah satu Sub DAS Musi yaitu, Sub DAS Ogan. Pada Sub DAS Ogan ini, data debit aliran (Stream flow) untuk neraca air tahun 1991 dan 2004 menggunakan metode MOCK. Metode yang digunakan pada tulisan ini adalah metode deskriptif, studi literatur dan mengambil data-data sekunder, sedangkan analisis dilakukan dengan uji statistik Chi-Square. Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :1)Nilai debit aliran (Stream flow) dipengaruhi oleh faktor curah hujan, nilai koefisien albeda dan koefisien expose surface yang dapat mempengaruhi evapotranspirasi, infiltrasi,dan run off dan 2) Penurunan debit aliran air pada Sub DAS Ogan diiringi dengan perubahan tata guna lahanyang didapatkan sebesar rata-rata 74,4 %. Kata Kunci: neraca air, debit aliran (stream flow) dan perubahan lahan pada Sub Das Ogan 1) 2)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Staf Pengajar Pada Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Unsri
PENDAHULUAN Latar Belakang
P
ertambahan penduduk dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan pertambahan penduduk yang semakin meningkat, maka kebutuhan lahan. Hal ini menyebabkan banyaknya perambahan hutan ataupun lahan rawa, sehingga menyebabkan lahan hutan menjadi lahan terbuka dan non hutan semakin banyak. Perubahan tata guna lahan berupa lahan terbuka pada daerah aliran sungai dari tahun ke tahun semakin meningkat (Puspitahati, 2008). Konversi lahan hutan menjadi permukiman, perkantoran, pembuatan jalan perindustrian, perladangan/persawahan akan semakin meningkat. Penurunan luas penutupan lahan berupa vegetasi merupakan penyebab penurunan kemampuan ketersediaan air. Penurunan penutupan vegetasi mengakibatkan berkurangnya luas areal genangan (di sekitar danau), luas danau serta kedalaman air danau (Suhardi, 2005). DAS Musi yang memiliki luas area 59.942 km2 berubah fungsi penggunaannya menjadi berbagai infrastruktur yang mengakibatkan rusaknya lahan sehingga meningkatkan degradasi. Ketersediaan air yang tidak merata disebabkan oleh berbagai faktor seperti curah hujan, kondisi alam dan karakteristik DAS (Farida dan Noorwidwjik, 2012). Selain itu juga, faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah evaporasi, reflection coeffisien, exposed surface, water surplus, infiltrasi dan run off. Semua faktor tersebut terdapat dalam neraca air (Water balance) (Rosmina, 2004). Dalam Neraca air dapat menghitung dinamika air tanah dan pengggunaan air oleh tanaman secara kuantitatif (Lascano, 2000), memantau cekaman air pada tanaman ( Doraiswamy et al., 1982) mengevaluasi penerapan sistem pertanian irigasi pada kondisi iklim tertentu (Binh et al., 1994), dan menghitung ketersediaan air secara spasial pada suatu wilayah (Latha et al., 2010). DAS Musi khususnya SUB DAS Ogan diduga dari tahun 1994 sampai tahun 2004 mengalami perubahan lahan yang signifikan. Hal ini dilihat dari perubahan debit ketersediaan air (debit aliran Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
331
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ...
/stream flow)dari tahun 1994 sampai tahun 2004 berubah pada SUB DAS Ogan. Maka dari itu penelitan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar perubahan lahan yang ada di SUB DAS OGAN melalui perhitungan neraca air dari tahun 1991 sampai 2004. Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui penilaian perubahan tata guna lahan dari hasil analisis neraca air dan faktor yang mempengaruhi debit aliran air pada SUB DAS Ogan DAS Musi Sumatera Selatan.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Dan Peralatan Adapun bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah : data pada neraca air di SUB DAS Ogan yang meliputi antara lain : data meteorologi (curah hujan, jumlah hari hujan,suhu,kelembaban relatif,penyiaran dan angin, data debit aliran (Stream flow) dari tahun 1991 sampai tahun 2004 pada SUB DAS Ogan, data curah hujan SUB DAS Ogan, data exposed surface SUB DAS Ogan, evapotranspirasi pada SUB DAS Ogan, data penggunaan lahan di SUB DAS Ogan. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah peta propinsi Sumatera Selatan, peta DAS Musi, peta stasiun Hujan DAS Musi, Peta stasiun Klimatologi Musi,peta water level di DAS Musi, peta penggunaan lahan, planimeter,seperangkat komputer, printer,dan alat tulis. METODE PENELITAN Penelitian ini memfokuskan pada salah satu Sub DAS Musi yaitu, Sub DAS Ogan. Metode yang digunakan pada tulisan ini adalah metode deskriptif, studi literatur dan mengambil data-data sekunder. Sedangkan analisis data dilakukan dengan uji statistik Chi-Square. Penelitian ini mengambil data dari hasil perhitungan neraca air dengan menggunakan perhitungan METODE MOCK. Hasil neraca air didapatkan dari hasil penelitian oleh Rosmina Zuchri Amir (2004). Neraca air sangat dipengaruhi oleh faktor sifat fisik tanah, penutupan vegetasi dan karakteristik air permukaan, setelah perhitungan neraca air sebagai output yaitu limpasan,debit aliran,dan evapotranspirasi. Hasil perhitungan didapatkan berupa aliran permukaan yang berdasarkan analisa dan meteorologi. Curah hujan yang terjadi dikurangi dengan evapotranspirasi, infiltrasi dan aliran air tanah sesuai dengan persamaan sebagai berikut (Nassaruddin, 2004): Ro = R – Ea – I + Bn Keterangan: Ro = Aliran permukaan ( Runoff ) (mm) R = Curah hujan (mm) Ea = Evapotranspirasi (mm) I = lnfiltrasi (mm) Bn = Aliran dari air tanah (mm) Langkah-langkah untuk menghitung ketersediaan air dengan menggunakan metode Mock adalah sebagai berikut : 1. Perhitungan Data Curah Hujan Hujan merupakan input di dalam sistem DAS yang mempengaruhi hasil output berupa limpasan air (run off) dan debit aliran air ( stream flow) (Wuri H, 2011). Jumlah hari hujan dalam satu bulan yaitu 15 hari. Stasiun pengamat/penakar hujan hanya memberikan tebal hujan di titik di mana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut (Setiawan, 2012). Dalam perhitungan curah hujan digunakan metode Thiessen. Curah hujan yang digunakan adalah hujan efektif. Selain curah hujan, dihitung juga faktor suhu yaitu T sebesar
332 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ...
26,400C, penyinaran matahari sebesar 48% , rata-rata kelembaban relatif udara sebesar 85% dan kecepatan angin (w) sebesar 162,70 mile/hari. 2. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial dan aktual Metode Mock menggunakan rumus empiris dari Penman untuk menghitung evapotranspirasi potensial. Menurut Penman, besarnya evapotranspirasi potensial diformulasikan sebagai berikut :
Keterangan: H = energi budget, H = R (1-r) (0,18 + 0,55 S) – B (0,56 – 0,092 d e ) (0,10 + 0,9 S), D = panas yang diperlukan untuk evapotranspirasi, dan D = 0,35 ( a d e − e ) (k + 0,01w) A = slope vapour pressure curve pada temperatur rata-rata, dalam mmHg/ 0F B = radiasi benda hitam pada temperatur rata-rata, dalam mm 2 H O/hari a e = tekanan uap air jenuh pada temperatur rata-rata, dalam mmHg R = radiasi matahari, dalam mm/hari. r = koefisien refleksi. S = rata-rata persentasi penyinaran matahari bulanan, dalam persen (%) 1 E = 1 F x R(1-r) E = 2 F x (0,1 + 0,9S) 3 E = 3 F x (k + 0,01w) Maka bentuk yang sederhana dari persamaan evapotranspirasi potensial menurut Penman adalah : E=1E-2E+3E Evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi evapotranspiration, dihitung sebagai berikut :
yang
sebenarnya
terjadi
atau
actual
Eactual = Ep – ΔE Evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh reflection coeffisient atau albedo coeffisient (r) yaitu perbandingan antara radiasi elektromagnetik (dalam sembarang rentang panjang gelombang yang ditentukan) dipantulkan oleh benda dengan jumlah radiasi yang terjadi. Dari penjelasan ini, maka faktor penyinaran matahari, suhu dan penutupan lahan yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan adalah penting dan berpengaruh besar dalam perhitungan evapotranspirasi. Berdasarkan metode Mock, Tabel 1 menyatakan nilai koefisien refleksi pada masing-masing penutupan lahan. Tabel 1. Nilai koefisien refleksi (r)
Rata-rata permukaan bumi Cairan salju yang jatuh spesies tumbuhan padang pasir dengan daun berbulu Rumput, tinggi dan kering Permukaan padang pasir Tumbuhan hijau yang membayangi seluruh tanah Tumbuhan hijau yang membayangi sebagian tanah Hutan musiman Hutan yang menghasilkan buah Tanah gundul kering Tanah gundul lembab Tanah gundul basah Pasir,basah-kering Air bersih, elevasi matahari 45 Air bersih, elevasi matahari 200C
40% 40-85% 30-40% 31-33% 24-28% 24-27% 15-24% 15-20% 10-15% 12-16% 10-12% 8-10% 9-18% 5% 14%
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
333
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ...
Evapotranspirasi terbatas adalah untuk membedakan perhitungan dari evapotranspirasi aktual. Persamaan sebagai berikut : ΔE = Epm (d/30) m (mm/bulan) Dimana: ∆E = selesih antara evapotranspirasi potensial dan terbatas Epm = evapotranspirasi potensal (mm/bulan) d = jumlah hari-hari permukaan kering setiap bulan m = Koefisien expose surface Koefisien expose surface adalah proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau pada musim kering. Koefisien expose surface sangat ditentukan oleh tipe penggunaan lahan. Untuk menentukan koefisien expose surface (m%) menggunakan metode MOCK dengan ketentuan tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Expose Surface (m)
m Daerah 0% Hutan primer sekunder 30-40% Daerah tererosi 40-50% Daerah ladang pertanian 3. Perhitungan Water surplus Water Surplus adalah jumlah curah hujan bulanan dengan evapotranspirasi aktual atau (P-Ea) dalam mm/bulan.Persamaan water surplus (WS) adalah sebagai berikut: WS = (P – Ea) + SS dimana: SS =soil Storage (kemampuan tanah untuk menyimpan air) P – Ea = presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi 4. Perhitungan Ketersediaan air (Debit) rata-rata bulanan Limpasan air (Run Off) adalah semua air yang mengalir lewat suatu sungai bergerak meninggalkan daerah tangkapan sungai tersebut tanpa memperhatikan asal/jalan yang ditempuh sebelum mencapai saluran. Untuk menghitung Run Off, sebelumnya dihitung besarnya infiltrasi. Setelah lapisan bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat adanya gaya gravitasi bumi yang dikenal sebagai proses perkolasi (Asdak, 2002. Pada umunya keadaan tanah sub DAS Ogan terdiri dari 4 (empat) ordo besar meliputi Podsolik, Hidromorf, latosol, Litosol. Adapun Kualitas tanah diperoleh gambaran bahwa sifat fisik tanah dominan adalah tekstrur tanah liat (39,32% 45,23%), pasir (29,55% - 31,08%), debu (25,22% - 27,72 %) (RPJMD ,2010). Karena komponen utama fraksi tanah adalah liat, maka kemampuan tanah untuk proses menahan, menyerap, menyanggah dan mentransformasi limbah cukup baik. Keadaan topografi dan ketinggian wilayah Sub DAS Ogan berkisar antara 0 – 1.000 meter lebih di atas permukaan laut dan mempunyai iklim trofis dan basah dengan temperatur bervariasi antara 22 ‘ C – 31 ‘ C. Menurut Mock, besarnya infiltrasi adalah water surplus (WS) dikalikan dengan koefisien infiltrasi (if), atau Infiltrasi (i) = WS x if Dimana: GS = {0,5x(1+ K)xi} +{KxGSom} Perhitungan Base flow dihitung dalam bentuk persamaan : 334 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ...
BF = i - ΔGS Direct run off dihitung dengan persamaan : DRO = WS – i Setelah base flow dan direct run off, komponen pembentuk debit yang lain adalah storm run off. Mock menetapkan bahwa: SRO = P x PF Total run off (TRO) merupakan komponen-komponen pembentuk debit sungai (stream flow) adalah jumlah antara base flow, direct run off dan storm run off, atau : TRO = BF + DRO + SRO Jika TRO ini dikalikan dengan catchment area dalam km2 dengan suatu angka konversi tertentu akan didapatkan besaran debit dalam m3 / det .
HASIL DAN PEMBAHASAN Curah Hujan pada SUB DAS Ogan Adapun DAS Musi memiliki sepuluh SUB DAS yang memiliki luas sebesar 59.942 Km2 , dimana pada salah satunya adalah SUB DAS Ogan yang memilki luas sebesar 8.233 Km2 dan panjang sungai 313 Km (Musi River Basini, 2003). Jumlah penduduk tahun 2000 di SUB DAS Ogan adalah 716.355 orang (Sumatera Selatan dalam angka, 2001). Rata-rata curah hujan pada tahun 2004 di SUB DAS Ogan sebesar 1108,40 mm/tahun. Sedangkan curah hujan tertinggi pada sub DAS Ogan tahun 2004, yaitu sebesar 194,21 mm/bulan terdapat pada bulan Maret. Pada tahun 1991 rata-rata curah hujan sebesar 2557 mm/bulan. Penggunaan Lahan pada SUB DAS Ogan Tipe penggunaan lahan di Sub DAS Ogan pada tahun 2004 dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Tipe Penggunaan Lahan pada SUB DAS Ogan Tahun 2004
NO tipe penggunaan lahan Luas (m2) 1 Kampung 116,485,440 2 perkebunan rakyat 3,580,604,160 3 Tegalan 119,986,624 4 Sawah 457,268,032 5 kebun campuran 485,334,208 6 perkebunan besar 833,751,616 7 hutan tanah industri 653,093,120 8 hutan lebat 157,828,048 9 Rawa 118,374,072 10 Alang-alang 144,930,336 11 Sungai/Danau 97,958,880 12 Hutan belukar 1,579,367,936 13 Tanah terbuka 12,550,107 total (m2) 8,357,532,579 total (km2) 8357,53
Rosmiana,2004
Dari tabel 3 diatas menunjukkan perkebunan rakyat dan hutan belukar masih mendominasi penutupan lahan pada Sub DAS Ogan tahun 2004. Perubahan penutupan lahan dapat mempengaruhi koefisien albedo (reflection coeffisient) dan expose coefficient. Perubahan albedo dapat menyatakan adanya perubahan lahan yang secara langsung mempengaruhi keseimbangan hidrologi dan kondisi iklim dekat permukaan tanah (Prasasti I, 2004). Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
335
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ...
Adapun hasil perhitungan rata-rata koefisien albedo yang didapatkan pada Sub DAS Ogan tahun 2004 adalah 0,2. Sedangkan untuk koefisien expose surface pada Sub DAS Ogan tahun 2004 adalah 45%. Hal ini memperlihatkan bahwa Sub DAS Ogan masih termasuk wilayah ladang pertanian, perkebunan dan belukar,yang artinya belum termasuk daerah yang rusak dan tererosi pada tahun 2004. Maka, besarnya koefisien albedo tergantung dari jenis vegetasi dan penutupan pada permukaan tanah pada DAS (Asdak C, 2007). Evapotranspirasi pada Sub DAS Ogan Hasil perhitungan evapotranspirasi yang terjadi pada tahun 2004 di Sub DAS Ogan dapat dlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Evapotranspirasi Potensial dan Aktual pada Sub DAS Ogan pada tahun 2004
Dilihat dari Gambar 1 bahwa evapotranspirasi potensial lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan evapotranspirasi aktual. Hasil analisis evapotranspirasi dipengaruhi koefisien albedo dan koefisien expose surface. Sehingga nilai koefisien albedo dan koefisien expose surface mempengaruhi nilai evapotranspirasi. Apabila nilai semua faktor dianggap tetap,dan nilai r (koef.albedo) lebih tinggi, maka nilai evapotranspirasi potensial akan berbanding lurus dengan albedo yaitu meningkat. Hal ini ditunjukkan pada nilai albedo antara hutan musiman (15-20%) dan tanah gundul kering (1216%),yang memilki nilai evapotranspirasi potensial lebih besar adalah hutan musiman. Sedangkan apabila nilai m (koefisien expose surface) lebih tinggi, maka nilai evapotranspirasi aktual akan menurun. Hubungan Infiltrasi , curah hujan dan Run off Jumlah curah hujan masuk ke tanah tidak semuanya mengalami evapotranspirasi, tapi sebagian masuk dan terserap ke tanah. Menurut Sudibyakto (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah ketidakmampuan tanah untuk menahan air yang berasal dari air hujan untuk jangka waktu tertentu. Kemampuan tanah menahan air menurut Thornthwaite-Mather (1957, dalam Sudibyakto, 1985) sangat ditentukan oleh jenis tanah (terutama tekstur) dan jenis vegetasinya. Curah hujan di Sub DAS Ogan Tahun 2004 pada bulan Januari sampai Mei dan bulan Nopember sampai Desember adalah bulan hujan, sedangkan dari bulan Juni sampai oktober adalah bulan kering yang artinya curah hujan yang turun hanya sedikit sekali. Hubungan Infiltrasi,curah hujan dan Run Off dapat dilihat pada Gambar 2.
336 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ...
Ea
Gambar 2. Hubungan Infiltrasi, curah hujan dan Run off pada Sub DAS Ogan
Dari Gambar 2 terlihat grafik antara curah hujan, run off dan infiltrasi memiliki tren yang sama. Di Sub DAS Ogan pada bulan maret tahun 2004 merupakan jumlah curah hujan tertinggi yaitu sebesar 194,21 mm/bulan, diiringi dengan run off yang tertinggi sebesar 71,32 mm/bulan serta laju infiltrasi tertinggi sebesar 19,09 mm/bulan dari bulan-bulan lain. Berbeda dengan dengan nilai evapotranspirasi, meskipun mengikuti tren dengan curah hujan, infiltrasi dan run off, namun pada bulan kering juni sampai oktober tidak menurun drastis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa curah hujan merupakan faktor utama yang mempengaruhi besarnya run off dan infiltrasi. Selain itu juga, perubahan penutupan lahan berupa perubahan jenis vegetasi, jenis tanah,dan kondisi DAS dapat mempengaruhi besarnya nilai koefisien albeda dan koefisien expose surface sehingga mempengaruhi nilai evapotranspirasi, infiltrasi dan run off. Pada Gambar 3 merupakan perbandingan Run off tahun 1991 dan 2004 pada Sub DAS Ogan.
Gambar 3. Perbandingan Run off tahun 1991 dan 2004 pada sub DAS Ogan.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa pada bulan maret dengan curah hujan terbesar, nilai Run off pada tahun 1991 yang tertinggi terdapat pada bulan maret yaitu sebesar 240 mm/bulan, sedangkan tahun 2004 sebesar 71,32 mm/bulan. Nilai Run off yang terendah pada tahun 1991 sebesar 64 mm/bulan, Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
337
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ...
sedangkan tahun 2004 sebesar 3,25 mm/bulan. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan nilai Run off yang sangat besar dari tahun 1991 sampai tahun 2004, dikarenakan perubahan curah hujan yang menurun dan perubahan penutupan lahan yang sangat besar dari tahun 1991 sampai tahun 2004 pada Sub DAS Ogan. Perubahan debit aliran air dipengaruhi oleh perubahan lahan Nilai debit aliran air pada Sub DAS Ogan didapatkan dari hasil kali nilai Run Off pada setiap bulan dengan luasan daerah tangkapan air dari Sub DAS Ogan yang sudah dikalibrasi menjadi m3/detik. Luas Daerah tangkapan air (Catcment area) Sub DAS Ogan sebesar 8233 km2. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa rata-rata debit aliran air pada tahun 2004 cenderung menurun dibandingkan pada tahun 1991. Debit tertinggi pada tahun 2004 , seiring dengan tren dari nilai infilttrasi, curah hujan dan Run off yaitu pada bulan maret, sebesar 219,23 m3/detik sedangkan tahun1991 sebesar 373,51 m3/detik. Sedangkan pada tahun 2004, debit aliran terendah sebesar 9,99 m3/detik dan tahun 1991 sebesar 99,60 m3/detik. Perubahan debit aliran pada sub DAS Ogan dari tahun 1991 sampai 2004 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perubahan Debit Aliran Air pada Sub DAS Ogan dari tahun 1991 sampai 2004
Hal ini menunjukkan bahwa nilai debit aliran air dipengaruhi oleh Run Off, infiltrasi, evapotranspirasi dan curah hujan. Kesemua faktor tersebut dipengaruhi oleh perubahan lahan dari tahun 1991 sampai tahun 2004. Sehingga dapat disimpulkan terjadinya penurunan debit aliran air pada Sub DAS Ogan diiringi dengan perubahan tata guna lahan. Semakin turun debit aliran air sebagai ketersediaan air, maka semakin menurun jumlah tutupan lahan berupa vegetasi. Sehingga dapat dikatakan pada Sub DAS Ogan, penurunan debit aliran air, menurun pula nilai koefisien albedo dan meningkatnya koefisien exposure sehingga nilai perubahan lahan dari tahun 1991 sampai 2004 seiring dengan perubahan debit aliran air. Penutupan lahan berupa vegetasi hutan akan lebih banyak menyerap air dibandingkan lahan terbuka dan pemukiman, meningkatkan infiltrasi dan menaikkan Run Off sehingga menaikkan pula debit ketersediaan air dan sebaliknya. Hasil perhitungan nilai perubahan penutupan lahan pada Sub DAS Ogan terhadap debit aliran air dari tahun 1991 sampai tahun 2004 rata-rata sebesar 74,4%. diperkirakan perubahan lahan pada luasan perkampungan (permukiman),perladangan dan lahan terbuka yang semakin meningkat pada sub DAS Ogan dari tahun 1991 sampai 2004. Analisis Uji Statistik Chi-Square untuk Debit aliran air pada Sub DAS Ogan tahun 1991 dan 2004 Hasil uji statistik untuk debit aliran air pada Sub DAS Ogan dari tahun 1991 sampai 2004 dapat dilihat pada tabel 4.
338 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ... Tabel 4. Uji Statistik Chi-Square
Chi-Square Tests Value df Asymp.sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 132.000a 121 0.233 Likelihood Ratio 59.638 121 1.000 Linear-by-Linear 7.991 1 0.005 Association N of Valid Cases 12 Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square, maka didapatkan kesimpulan bahwa antara debit aliran air tahun 1991 dan 2004 sangat berbeda nyata (significant). Maka dapat dikatakan bahwa akibat perubahan lahan pada Sub DAS Ogan dari tahun 1991 sampai tahun 2004 dapat menurunkan debit aliran air. Debit aliran air yang dihasilkan tahun 2004 lebih kecil dibandingkan tahun 1991. Hal ini dikarenakan, jumlah penguapan dan penyerapan air berkurang, karena penutupan lahan berupa tutupan vegetasi yang dapat menyerap dan menguapkan air lebih banyak semakin berkurang.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.
Nilai debit aliran (Stream flow) dipengaruhi oleh faktor curah hujan, nilai koefisien albeda dan koefisien expose surface yang dapat mempengaruhi evapotranspirasi, infiltrasi,dan run off. Penurunan debit aliran air pada Sub DAS Ogan diiringi dengan perubahan tata guna lahan yang didapatkan sebesar rata-rata 74,4 %.
2.
Nilai Run off pada tahun 1991 yang tertinggi terdapat pada bulan maret yaitu sebesar 240 mm/bulan, sedangkan tahun 2004 sebesar 71,32 mm/bulan.Nilai Run off yang terendah pada tahun 1991 sebesar 64 mm/bulan, sedangkan tahun 2004 sebesar 3,25 mm/bulan.
3.
Debit tertinggi pada tahun 2004 , seiring dengan tren dari nilai infilttrasi, curah hujan dan Run off yaitu pada bulan maret, sebesar 219,23 m3/detik sedangkan tahun1991 sebesar 373,51 m3/detik. Sedangkan pada tahun 2004, debit aliran terendah sebesar 9,99 m3/detik dan tahun 1991 sebesar 99,60 m3/detik.
Saran Adapun saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah perubahan tata guna lahan berupa penutupan jenis vegetasi yang mampu menyerap air lebih banyak, sehingga dapat meningkatkan debit ketersediaan air untuk masa depan. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Asdak, C., 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Farida dan Meine van Noordwijk. 2004. Analisis debit sungai akibat alih guna lahan dan aplikasi model Genriver pada DAS way Besai, Sumberjaya. World Agroforestry Centre- ICRAF SE Asia. AGRIVITA VOL. 26 NO.1 MARET 2004 ISSN : 0126 – 0537. Nasaruddin J.Al. 2004. Hidrologi untuk Pengairan. Pengalih ragamkan curah hujan menjadi aliran permukaan. Prasasti I.2004. Analisis Hubungan Penutup Lahan dan Parameter Turunan Data Penginderaan Jauh dengan Albedo Permukaan. Institut Pertanian Bogor.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
339
Puspitahati dan Edward Saleh/Analisis Neraca Air Untuk Mengetahui Perubahan Tata Guna ... Puspitahati. 2008. Perubahan penutupan tata guna lahan dan kapasitas tampung pada Sub DAS Karang Mumus DAS Mahakam Kalimantan Timur Rosmina Zuchri Amir. 2004. Analisis Ketersediaan air pada daerah aliran sungai (DAS) Musi di Sumatera Selatan Setyawan P, Trijuni S,Hanafi F,Taufi k A. 2012. Analisis Neraca Air di DAS Kupang dan Sengkarang Sudibyakto, 1985. Model Infi ltrasi DAS : Suatu Tinjauan Perbandingan Metodologi, Majalah Geografi Indonesia Th.2-3, No.4-5, September 1989-Maret 1990 hal. : 15-26. Wuri Handayani dan Yonky Indrajaya. 2011. The Analysis of Rainfall and Discharge Relationship on Ngatabaru Sub Sub Watershed, Central Sulawesi. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
340 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
REKAYASA PUPUK ORGANIK PLUS DARI SUMBER DAYA LOKAL PEDESAAN UNTUK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN PADI1) Syafrullah2) Abstract: Rural local resources has potential as a source of nutrients for plants, so it can be used as raw material for organic fertilizer plus. Organic fertilizer formulations to obtain the best plus rice and organic fertilizer to get the formula plus the best and the best dose for rice crop growth and production. This study aims to evaluate the characteristics of existing raw materials countryside as a local resource that can be utilized as raw material for organic fertilizer plus, The study was conducted from July to October 2012 in the laboratory and in greenhouses. The results of this study was obtained that the local resources that exist in rural areas can be created as raw materials of organic fertilizer plus. There are four formula of organic fertilizer plus the appropriate SNI 19-7030-2004, that is 6 to 9 formula formula is the best formula for rice and oganik fertilizer treatments plus formula 9 with a dose of 750 kg / ha is the best treatment on the growth and production of rice plants and can improve the quality of soil/growing media. Kata Kunci: Sumber Daya Lokal, Pupuk Organik Plus, Tanaman Padi 1) 2)
Makalah, Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Fakultas Pertanian UMP.
PENDAHULUAN Latar Belakang
U
paya peningkatan produksi hingga tercapainya swasembada beras tahun 1984, teknik bercocok tanam tradisional (pertanian organik) benar-benar ditinggalkan. Teknik tersebut dianggap tidak praktis karena hasilnya kurang optimal. Hampir 100% beras yang di konsumsi penduduk Indonesia merupakan hasil pertanian modern dengan penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia (Andoko, 2006). Penggunaan zat kimia (pupuk kimia dan pestisida) dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu lama, menyebabkan banyak bermunculan penyakit di masyarakat (Soenandar et al., 2010). Untuk memperbaiki lingkungan akibat penggunaan zat kimia yang telah berlangsung lama ini, maka diterapkan kembali sistem pertanian organik. Sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Dalam prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara lain: (1) Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis (2) Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (3) Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (4) Kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan mengembalikan residu tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman, dan (5) Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak (Departemen Pertanian, 2002). Penerapan pupuk organik di lapangan mempunyai kelemahan yaitu takaran atau dosis pemberiannya dalam jumlah yang besar persatuan luas (ton/ha). Sebagai contoh untuk memperbaiki sifat fisik tanah Entisol dibutuhkan pupuk organik 20 – 30 ton/ha (Mowindo, 2001), dan dosis pupuk organik untuk budidaya padi sebanyak 5 ton pupuk kandang. (Andoko, 2005). Sehingga diperlukan upaya untuk mengurangi dosis pupuk organik atau meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, tetapi tidak mengurangi perannya dalam meningkatkan kualitas tanah dan produksi tanaman.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
341
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
Upaya peningkatan efisiensi penggunaan pupuk dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu: (i) peningkatan kesuburan tanah jangka panjang, dan (ii) modifikasi pupuk yang lebih efisien (Goenadi, 2006). Penerapan modifikasi pupuk yang lebih efisien salah satu cara yaitu dengan cara mengekstraksi pupuk organik menjadi fraksi asam humat, selain itu asam humat juga dapat menahan pupuk anorganik larut air (Agrosatya, 2009). Untuk meningkatkan kandungan unsur hara pada pupuk organik dapat ditambahkan mineral pupuk anorganik dan mineral alami yang dikenal sebagai model pupuk organik plus. Pupuk organik plus merupakan pupuk organik hasil ekstraksi limbah pertanian (asam humat kompos jerami padi) yang dilengkapi dengan pupuk anorganik dan bahan mineral alami. Lebih lanjut dilaporkan oleh Nurhidayat et al., (2009), bahwa penambahan bahan mineral alami yaitu tepung darah untuk menambah unsur N dan P, tepung tulang untuk menambah P dan Ca dan abu sekam untuk menambah K. Pupuk organik plus lebih praktis dalam aplikasinya bila dibandingkan dengan pupuk organik yang ada dipasaran, dalam aplikasinya pupuk yang ada dipasaran harus ditambahkan pupuk NPK anorganik dan urea, sebagai contoh pupuk organik super “Petroganik” yang diproduksi PT. Petrokimia Gersik, dosis anjuran untuk tanaman padi 1 hektar adalah 500-1000 kg Petroganik ditambahkan 300 kg NPK Phoska dan 200 kg urea. Berdasarkan uraian di atas maka perlu diadakan penelitian tentang kajian pembuatan formulasi pupuk organik plus untuk tanaman padi (Oryza sativa L.). Rumusan Masalah 1. Apakah ada bahan baku yang dapat meningkatkan kandungan hara dan bahan baku yang dapat pemberbaiki kesuburan media tumbuh tanaman? 2. Apakah penggunaan pupuk organik dalam jumlah yang besar per satuan luas dapat dikurangi takarannya. 3. Apakah ada formula pupuk organik plus yang terbaik bagi tanaman padi? Tujuan Penelitian 1. Untuk mengevaluasi karakteristik bahan baku yang ada di pedesaan sebagai sumber daya lokal menjadi bahan dasar dalam pembuatan pupuk organik plus. 2. Untuk mendapatkan formula pupuk organik plus yang baik bagi tanaman padi. 3. Menghasilkan Formula pupuk organik plus yang terbaik dan Takaran yang terbaik untuk pertumbuhan dan Produksi Tanaman Padi. Hipotesis 1. Diduga dengan mengekstraksi pupuk orgaik menjadi asam humat dan penambahan mineral dari limbah tanaman padi, limbah ternak dan mineral batuan alami, maka kandungan unsur hara dari pupuk organik dapat ditingkatkan dan dosis pupuk organik dapat dikurangi. 2. Diduga semakin tinggi asam humat semakin besar kemampuannya dalam menahan unsur hara dari mineral pupuk NPK. 3. Diduga pada Formula 9 dengan takaran 750 kg/ha pupuk organik plus yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman padi. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah Mendapatkan formula pupuk organik plus yang mampu meningkatkan kualitas tanah sawah dan meningkatkan hasil dan mutu hasil serta meningkatkan nilai tambah limbah tanaman dan ternak sebagai sumber daya lokal. 2. Manfaat bagi masyarakat (petani) adalah mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian pupuk kimia pada budidaya tanaman padi. 342 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
METODELOGI PENELITIAN Untuk memperoleh formula pupuk organik plus yang baik untuk tanaman padi disusunlah 3 tahap penelitian yaitu: Penelitian Laboratorium: 1. Karakterisasi bahan baku pembuatan pupuk organik plus. 2. Perakitan (rekayasa) formulasi pupuk organik plus untuk tanaman padi. Penelitian Rumah kaca: Menerapkan hasil penelitian II berupa 4 formula pupuk organik plus yang sesuai SNI Pupuk Organik 2004, yang dicobakan pada budidaya tanaman padi di rumah kaca. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Fakultas Pertanian UMP, Laboratorium Fakultas Pertanian UNSRI Indralaya dan Laboratorim Fakultas Pertanian UGM serta Rumah kaca Balai Perlindungan Tanaman KM 6 Palembang. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Juni sapai dengan Oktober 2012 Bahan dan Alat Bahan yang akan digunakan dalam penelitian laboratorim adalah Jerami padi, Kotoran sapi, Tulang sapi, Darah sapi, Urine sapi, NaOH 0,5 N, HCL 0,5 N, dan Air. Bahan yang akan digunakan adalah Asam Humat kompos Jerami padi, Tepung Tulang sapi, Tepung Darah sapi, Tepung Tapioka, Urine sapi dipermentasi 20 hari, Batu fosfat alam, Dolomit, Abu Sekam Padi, Urea, SP-36, KCl dan Air, Bahan yang digunakan pada pelitian rumah kaca adalah benih padi (Gogo Aromatik), pupuk organik plus, dan tanah lapisan atas. Alat yang digunakan pada penelitian laboratorium adalah ember plastik, pengaduk, timbangan, pH meter, gelas ukur, pipet volumetrik, cawan alumunium, cawan porselin, neraca analitik, penjepit, desikator, oven, pengenas air, tanur, spektrofotometer, gelas piala, labu takar, pipet tetes, tabung reaksi, labu kjeldahl, alat distilasi, tabung erlenmeyer, corong gelas, AAS dan ruang asam. Alat yang digunakan pada penelitiaan rumah kaca adalah polybag ukuran 10 kg, cangkul, sekop, gayung, ember, tali plastik, gelas ukur, meteran dan timbangan. Metode Penelitian Deskripsi karakteristik Bahan baku yang ada dipedesaan sebagai sumber daya lokal dengan cara melakukan analisis sifat kimianya dilaboratorium FP UNSRI Indralaya terhadap 7 bahan baku yaitu: • K1 = Asam Humat dari kompos jerami padi, yang dianalisa adalah N total, P total, K total KTK, Ca, Mg dan S. • K2 = Tepung Tulang sapi yang dianalisa adalah N total, P total, dan Ca. • K3 = Urine sapi di fermentasi 20 hari yang dianalisa adalah N total, P total, K total dan Ca. • K4 = Tepung darah sapi yang dianalisa adalah N total, P total dan K total • K5 = Batuan fosfat alam yang dianalisa adalah N total, K total, P total dan Ca dan S. • K6 = Abu sekam padi yang dianalisa adalah N total, P total dan K total. • K7 = Zeolit yang dianalisa adalah K total KTK,Ca,Mg dan KTK. Adapun metode penelitian II menggunakan metote analisis Laboratorium yang digunakan tertera pada Tabel dibawah ini. Tabel 1. Metode Analisis Parameter Pengamatan di Laboratorium adalah sebagai berikut :
Parameter pH C-Organik N total
Metode Parameter pH Meter Walkley and Black Kjeldahl
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
343
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
P total dan S total Spectrophotometer Flamephotometer K total AAS (Atomic Absorptioon Spectrophotometer) Ca, Mg Metode dalam pembuatan formula pupuk organik plus adalah dengan cara pencampuran bahanbahan baku secara manual pada 9 perlakuan formulasi. Dalam 9 formulasi tersebut komposisi bahan bakunya dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2. Perlakuan Komposisi Bahan dalam Formulasi Pupuk Organik Plus (POP) Bahan Asam Humat Bahan Bahan (X berat bahan Mineral Pupuk Mineral Alami mineral pupuk NPK) (N, P, K) (Zeolit & Dolomit) F1 1 1 0,5 F2 1 1,5 0,5 F3 1 2 0,5 F4 2 1 0,5 F5 2 1,5 0,5 F6 2 2 0,5 F7 3 1 0,5 F8 3 1,5 0,5 F9 3 2 0,5 Keterangan: 1 bagian mineral pupuk = 4 bagian N + 2 bagian P + 1 bagian K Formulasi Pupuk Organik Plus
Pada penelitian III menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara Faktorial, dengan 16 kombinasi perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali dengan 5 tanaman contoh. Adapun faktor perlakuannya adalah sebagai berikut: 1. Formulasi pupuk organik plus (P) P1 = P2 = P3 = P4 =
Formula 6 (F6) Formula 7 (F7) Formula 8 (F8) Formula 9 (F9)
2. Takaran Pupuk Organik Plus (T) T1 = T2 = T3 = T4 =
250 Kg/ha 500 Kg/ha 750 Kg/ha 1000 Kg/ha
Peubah yang diamati adalah analisis kimia dari formulasi pupuk organik yang dibuat yaitu : Bahan Organik, Kadar Air, Kandungan C-organik, N total, P total, K total, Mg total, Ca total, S total dan pH dan Peubah yang Diamati (1). Tinggi Tanaman (cm), (2). Jumlah Anakan (batang), (3). Jumlah Anakan Produktif (malai), (4). Berat 1000 Butir (gram), dan (5). Berat Buah per Tanaman (gram)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari hasil penelitian I dapat diketahui bahwa sumber daya lokal yang ada di pedesaan seperti limbah tanaman jerami padi, limbah ternak, kotoran sapi, urine sapi, darah sapi dan tulang sapi mempunyai potensi yang dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik plus, karena masing-masing bahan baku memiliki kandungan unsur hara sebagai sumber nutrisi bagi tanaman (Tabel 3). Tabel 3. Hasil Analisa Laboratorium bahan baku pupuk organik plus
Bahan baku Asam Humat kompos
N 1,260
P 0,44
Kandungan Unsur Hara (%) K Ca Mg S 0,25 0,37 0,58 0,7
344 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
KTK 65,23
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
jerami padi Urin sapi difermentasi 20 hari Tepung Darah Sapi Tepung Tulang sapi Batuan Fosfat Alam Abu sekam padi Dolomit Zeolit Urea * SP-36 * KCl *
2,22
0,31
0,18
0,62
-
-
-
6,51 0,03 0,00
1,69 13,55 6,02 0,26
0,125 0,04 1,80
-
36 -
1,28 60
2,68 38 0,85 -
0,01 -
46 -
38,20 20,15 20 3,39 -
-
80,08 -
Keterangan : * Sudah diketahui dari label produksinya
Dari hasil penelitian II terlihat bahwa dari 9 formula yang dibuat ada 4 formula pupuk organik plus yang sesuai dengan Standar Nasional Pupuk Organik (SNI-19-7030-2004) yaitu formula 6 (F6) sampai dengan formula 9 (F9), seperti tertera pada tabel 4 dibawah ini. Tabel 4. Hasil Analisa Laboratorium sifat kimia Formulasi dari Pupuk Organik Plus Parameter Kadar Air (%) Bahan Organik (%) C-Organik (%) Kadar N (%) Kadar P (%) Kadar K (%) Ph Kadar Ca (%) Kadar Mg (%) Kadar S (%)
Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 17,36 17,06 15,64 15,01 14,80 14,56 14,19 13,84 11,07 23,56 24,85 24,15 25,27 26,40 27,03 27,06 27,34 27,03 13,20 14,26 15,60 16,40 16,17 16,06 16,01 15,94 15,08 1,43 1,79 1,84 1,98 2,05 5,64 7,38 10,08 14,05 0,008 0,043 0,116 0,119 1,48 2,52 2,56 3,57 6,71 0,60 0,66 0,70 0,70 1,23 2,34 2,35 3,40 5,01 6,58 6,68 6,72 6,75 6,86 7,06 7,20 7,25 7,40 0,79 0,81 0,85 0,88 0,90 0,97 0,99 1,01 1,10 1,46 1,95 2,48 2,78 2,96 3,19 3,20 3,32 3,86 0,001 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,03 0,05 0,09
Standar Pupuk Organik (SNI 19-7030-2004) < 50 % 27-58 % 9.80-32.00 > 0.40 > 0.10 > 0.20 6.80-7.49 -
Dari hasil penelitian II ini, 4 formula terbaik akan dilakukan penelitian lanjutan di rumah kaca untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi. Dari hasil penelitian dapat diketahui pengaruh formulasi dan takaran pupukorganik plus pada semua peubah yang diamati tertera pada Tabel dibawah ini.
PERLAKUAN P1T1 P1T2 P1T3 P1T4 P2T1 P2T2 P2T3 P2T4 P3T1 P3T2 P3T3 P3T4 P4T1
Tinggi tanaman (cm) 104,57 111,01 114,67 111,84 104,78 110,17 113,88 111,84 104,50 110,82 114,87 113,13 109,68
PEUBAH YANG DIAMATI Jumlah Jumlah anakan anakan produktif (anakan) (anakan) 14,00 13,00 16,42 15,25 16,50 15,33 15,17 14 16,75 15,42 16,58 15,42 18,33 17 16,42 15,58 16,33 14,92 17,00 15,92 17,58 16,25 15,92 14,83 17,83 16,67
Berat 1000 butir (gram) 27,00 27,00 28,33 27,67 26,33 27,00 27,00 27,00 27,00 27,67 29,00 27,00 28,33
Berat gabah per tanaman (g) 9,20 11,07 12,73 11,47 8,27 8,60 12,33 11,33 9,87 10,47 13,60 11,50 9,93
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
345
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
P4T2 P4T3 P4T4
111,76 119,45 111,84
18,08 21,17 19,17
16,75 20,08 18,00
28,33 29,00 28,33
10,00 14,33 11,87
Pembahasan Potensi Sumber daya lokal yang ada dipedesaan seperti limbah tanaman jerami padi, limbah ternak, kotoran sapi, urien sapi, darah sapi dan tulang sapi dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik plus, menurut Patel dan Shoba (2007) petensi jerami sekitar 1,4 kali dari hasil panen. Rata-rata produksi nasional adalah 48,95 ku/ha, sehingga jumlah jerami yang dihasilkan sekitar 68,53 ku/ha. Tahun 2008 produksi padi nasional sebesar 57,157 juta ton, diperkirakan produksi jerami mencapai 80,02 juta ton (Deptan 2009). Potensi jerami padi yang sengat besar ini sebagian besar masih disia-siakan oleh petani. Sebagian besar jerami hanya dibakar menjadi abu dan hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk pakan ternak dan media jamur merang. Pemanfaatan jerami untuk kompos dengan rendeman dengan jerami sekitar 60% dari berat awal jerami sehinggan dalam 1 hektar diperoleh kompos jerami sekitar 4,11 dan bila semua jerami secara nasional dapat dibuat kompos maka dihasilkan kompos jerami sebesar 48,01 juta ton. Berdasarkan hasil analisa laboratorium yang dilakukan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBP) kandungan unsur hara dari jerami padi adalah N sebesar 1,86% , P2O5 sebesar 0,21% dan K2O sebesar 5,35%.an 1,09 ton Urea Dari data tersebut, kompos jerami padi mengandung hara N setara 41,3 kg Urea, 5,8 kg SP36 dan 89,17 kg KCl per ton kompos jerami. Bila dinilai secara nasional potensi nilai hara dari kompos jerami adalah setara dengan 1,09 juta ton Urea, 0,15 ton SP36 dan 2,35 juta ton KCl, jumlah ini sekitar 45% dari konsumsi pupuk nasional yang mencapai 7,9 juta ton tahun 2007 (APPI, 2009). Potensi limbah ternak untuk tulang 40 kg/ekor, darah sapi 80 % dari berat sapi dan urine sekitar 10 liter per hari. Dari kompos jerami dapat dijadikan fraksi/bahan asam humat. Asam humat jerami padi ini diharapkan akan mampu sebagai bahan pembawa dan sekaligus penyedia unsur hara. Hal ini sejalan dengan pendapat Stevenson (1982) bahwa asam humat merupakan senyawa organik yang bermuatan dan bersifat amorf serta tidak larut air dan berfungsi sebagai perekat koloid - koloid tanah sehinggga terflokulasi sebagai pembenah tanah. Selanjutnya Schnitzer (1991) yang menjelaskan bahwa asam humat sebagai bahan pembawa karena asam humat adalah bahan makromolekul polielektrolit yang memiliki gugus fungsional seperti –COOH, –OH fenolat maupun –OH alkoholat, sehingga asam humat memiliki peluang untuk berikatan dengan ion basa dari mineral pupuk, bahan organik dan mineral alami, serta menambah unsur hara makro dan mikro. Dari 100 kg kompos jerami setelah diekstrak menjadi 40 kg fraksi/asam humat dari analisa laboratorium fraksi humat mengandung N = 1,260 %, P = 0,44 % dan K = 25 %, bila dihitung kebutuhan nitrogen untuk tanaman padi 100 kg N/ha. Maka di butuhkan fraksi humat sebesar 1,260 x 100 kg N/ha = 126 fraksi humat. Penambahan limbah ternak seperti tepung tulang, tepung darah, urien sapi, diharapkan untuk memperkaya unsur hara N, P, dan K dalam formulasi pupuk organik plus yang dibuat dan penambahan limbah tanaman, abu sekam, untuk memperkaya unsur hara K dalam pupuk organik plus. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Trilaksani et al ( 2006) melaporkan bahwa tepung darah memiliki kandungan N 12,18 %, P2O5 5,28%, K2O 0,15%, C-Organik 19,01% dan tepung tulang mengandung kalsium 39,24 % dan Fosfor 13,66 %, Urine sapi yang difermentasi selama 20 hari mengandung N 2,7 %, P2O5 2,4 %, K2O 3,8 %, Ca 5,8 % dan limbah tanaman yaitu abu sekam padi mengandung kalium bervariasi dari 1,3 sampai 2,9 % (Afandi, 2008). Sedangkan Penambahan batuan fospat alam untuk memperkaya unsur hara P dan Ca. Penambahan mineral pupuk an-organik seperti mineral Urea, SP36, dan KCl untuk memperkaya unsur hara N, P, dan K bila penambahan pupuk alami belum mampu menambah unsur hara dalam pupuk organik plus sesuai dengan standar nasional pupuk organik (SNI 19-7030-2004). Dengan diketahuinya karakteristik bahan baku, maka dapat dibuat pupuk organik plus yang di sesuaikan denga kebutuhan tanaman padi. Kebutuhan unsur hara pada tanaman padi, tidak hanya pada fase generatif saja tetapi juga unsur hara diperlukan juga untuk fase vegetatif sehingga mineral 346 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
pupuk NPK ditingkatkan menjadi 2 bagian. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Simamora dan Sulundik (2006) bahwa untuk pertumbuhan tanaman padi fase vegetatif diperlukan 58 N /ha, 20 P2O5/ha dan 147 K2O/ha dan penelitian Susanto (2006) melaporkan bahwa tanaman padi pada masa pertumbuhan dan produksinya membutuhkan 100-150 N kg/ha, 20 P kg/ha dan 20 K kg/ha. Sehingga perlu ditambahkan lagi bagian mineral pupuk NPK sampai 2 bagian dalam komposisi formulasi pupuk organik plus yang dibuat. Peran dari asam humat dalam pembuatan formulasi pupuk organik plus sebagai pembawa unsur hara dari mineral pupuk NPK, yang diberikan dari mineral pupuk alami dan hasil analisa laboratorium terlihat bahwa F1 sampai F3 bisa menahan unsur hara dari mineral pupuk NPK tersebut, tetapi belum memenuhi SNI pupuk organik. Sehingga perlu peningkatan kandungan asam humat menjadi 2 dan 3 bagian asam humat. Hal ini sejalan degan pendapat Marsi et, al. (2001) bahwa semakin tingginya asam humat, maka kemampuan menahan unsur hara juga meningkat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Syafrullah (2010) baha kombinasi asam humat dan urea serta mineral alami dengan perbandingan 2:1:1 terbaik untuk tanaman padi. Pada formula 4 (F4) dan formula 5 (F5) terdiri dari 2 bagian asam humat dengan beratnya 1 dan 1,5 kali berat mineral pupuk NPK yang berasal dari mineral pupuk alami. Hasil analisis laboratorium bahwa kandungan unsur hara dari formula 4 (F4) dan formula 5 (F5) masih tergolong rendah, belum sesuai dengan SNI pupuk organik hanya formula 6 saja yang sesuai dengan SNI sehingga formula yang dibuat perlu ditingkatkan lagi unsur haranya. Untuk meningkatkan kandungan unsur hara formula pupuk tersebut ditambahkan mineral pupuk an-organik seperti : Urea, SP-36 dan KCL sebesar 1 sampai 2 % dari pupuk alami, disamping mineral pupuk alami pada formula 7 (F 7) sampai formula 9 (F9) diharapkan kandungan unsur hara dari 3 formula tersebut dapat meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Gofar dan Tambas (1998) menjelaskan bahwa pemberian senyawa aktif bahan organik berupa fraksi humat yang dikombinasikan dengan perlakuan pupuk NPK merupakan alternative yang baik untuk mengatasi kekurangan unsur hara dari pupuk organik. Untuk menambah daya tahan asam humat, ditambahkan mineral alami yaitu zeolit sebanyak 0,5 kali berat mineral pupuk NPK, karena zeolit berfungsi dapat (1). Mengikat kation dari unsur dalam pupuk misalnya NH4+ dari urea, K+ dari KCl, (2) Meningkatkan hasil tanaman (Estiaty, 2006). Sedangkan menurut Sudiarso (1999) bahwa penambahan Dolomit membantu memperkaya unsur hara Ca dan Mg dan membantu memperbaiki pH. Sehingga dari 9 formulasi yang dibuat ada 4 formula yang hasil analisa Laboratorium yang sesuai dengan SNI pupuk organik. Disamping meningkatkan kandungan unsur hara dalam tanah. Penambahan asam humat pada formula pupuk organik plus juga dapat meningkatkan kualitas tanah ini tercermin dari meningkatnya kandungan C-Organik tanah, setelah penelitian yaitu sebesar 0,90 sampai dengan 3,84 % dibandingkan dengan C-Organik tanah sebelum penelitian (Lampiran 3). Hal ini disebabkan asam humat tahan terhadap aktifitas mikroorganisme tanah. Menurut pendapat Stevenson (1982) bahwa keberadaan asam humat dalam tanah tahan terhadap aktifitas mikroorganisme tanah. Pada penelitian ini tanah yang diambil untuk media tanam memiliki pH yang sangat rendah (tergolong tanah sangat masam) dan kesuburan tanah tergolong rendah (lampiran 1). Sehingga perlu ditingkatkan lagi kesuburannya salah satu alternatif untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah pemberian pupuk organik plus, karena pupuk organik plus yang diberikan ini mengandung kombinasi bahan asam humat mineral pupuk (N,P,K) alami dan minerel pupuk an-organik dan bahan mineral alami (Zeolit dan Dolomit). Dengan pemberian pupuk organik plus yang mengandung humat ini diharapkan dapat meningkatkan pH tanah karena asam humat mempunyai kemampuan dalam mencengkram (chelate) Al dan Fe yang menyebabkan fiksasi P pada tanah ternetralisir sehingga meningkatkan ketersediaan unsur hara P dan unsur hara lainnya (Hanafiah, 2005). Meningkatnya pH tanahnya pada komplek fosfo-humat maka naiknya kertersediaan P sehingga lebih mudah diserap tanaman. Selain itu adanya asam humat akan membentuk komplek Ca-Humat, dengan demikian pesaing bagi ion K+ menjadi berkurang sehingga ketersediaan ion K+ dalam larutan tanah menjadi meningkat. Disamping itu pupuk organik plus ini juga mengandung zeolit yang dapat juga memiliki kemampuan sebagai pengikat kation yang dapat menahan ion NH4+ dan K+ yang terdapat dalam tanah, sehingga dapat Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
347
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen (Stevenson, 1986). Lebih lanjut Syafrullah (1994) melaporkan bahwa asam humat juga berpengaruh nyata dalam memperbaiki/meningkatkan sifat fisik, sifat kimia tanah regosol dan pertumbuhan dan produksi tanaman padi gogo, serta kandungan nitrogen di dalam jaringan tanaman. Pupuk organik plus formula 9 (P4) adalah perlakuan terbaik ini menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan formulasi pupuk organik yang lain. Hal ini disebabkan pupuk organik plus formulasi 9 memiliki kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari formula lainnya yaitu N-total 8,05 %, P-total 5,71 %, dan K-total 4,01 %, C-organik 15,08 %, dan bahan organik 27,03%. Adanya asam humat yang tinggi pada formula 9 ini menyebabkan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Tan (1992) yang menjelaskan bahwa adanya asam humat dapat berfungsi memperbaiki pertumbuhan tanaman secara langsung dengan meningkatkan permeabilitas sel atau melalui kegiatan hormon pertumbuhan. Hal ini dapat ditunjukkan dari peubah jumlah anakan produktif sebanyak 20,8 malai dan peubah berat gabah per tanaman terberat 14,33 gram terberat bila dibandingkan dengan perlakuan formulasi pupuk organik yang lainnya. Pada perlakuan takaran pupuk organik plus, perlakuan takaran 750 kg/ha (T3) merupakan takaran yang terbaik. Hal ini disebabkan pupuk organik plus takaran 750 kg/ha mengandung unsur hara N, P, K yang cukup tersedia bagi tanaman. Ini sejalan dengan pendapat Marschner, (1989), bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman akan meningkat jika unsur hara yang tersedia mencukupi. Selain itu jika kebutuhan hara tanaman terpenuhi, maka tanaman akan lebih optimal dalam memanfaatkan sinar matahari dan air dalam menjalankan proses metabolisme hidup dalam jaringannya yaitu dalam meningkatkan proses fotosintesis dan menghasilkan fotosintat yang akan sangat membantu pembelahan dan pembesaran sel sehingga tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan produksi yang maksimal yang ditunjukkan dengan perkembangan organ-organ tanaman yang baik (Lakitan, 1996). Lebih selanjut Syafrullah (2010) melaporkan bahwa pupuk organik modifikasi dengan takaran 750 kg/ha berpengaruh baik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi dilahan pasang surut Sumatera Selatan dengan produksi 6,77 ton/GKP/ha. Pada takaran formulasi pupuk organik plus 250 kg/ha menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi lebih rendah bila dibandingkan dengan takaran dari formulasi yaitu berat buah per tanaman teringan yaitu dengan rata-rata 9,32 g. Hal ini sejalan dengan pendapat Marsi et al. (2001), bahwa produksi tanaman akan menurun jika unsur hara yang terkandung di dalam tanah kurang atau tidak seimbang. Sedangkan takaran 1000 kg/ha dari formulasi pupuk organik plus menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi lebih rendah bila dibandingkan dengan takaran 750 kg/ha dari formulasi pupuk organik plus namun lebih baik bila dibandingkan dengan takaran 250 kg/ha dan 500 kg/ha. Hal ini dikarenakan pada takaran 1000 kg/ha terdapat kelebihan unsur hara yang tertinggal di dalam tanah yang belum terurai sepenuhnya sebagai cadangan hara dalam tanah, ini dapat dilihat dari hasil analisa tanah setelah penelitian yaitu C-organik 7,95 %, N-total 0,41 %. P-total 0,19 % dan K-total 0,67 %, bila dibandingkan analisa tanah sebelum penelitian yaitu C-organik 4,13 %, N-total 0,38 %, P-Bray 19,05 ppm, K-dd 0,26 me/100g dan hasil analisis tanah setelah penelitian pada perlakuan formula pupuk organik plus lainnya (Lampiran 3). Pada perlakuan interaksi pupuk organik plus formula 9 dan takaran 750 kg/ha merupakan perlakuan yang terbaik. Hal ini disebabkan pupuk organik tersebut dapat memperbaiki lingkungan tumbuh dan unsur hara yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Menurut Hanafiah (2005), indikator kondisi fisik tanah dan nutrisi yang disediakan tanah dicerminkan oleh kualitas pertumbuhan dan produksi tanaman yang tumbuh diatasnya. Dalam keadaan optimal tanaman akan tumbuh dan berproduksi maksimal. Untuk menilai keberhasilan penelitian ini yaitu dengan cara membandingkan hasil penelitian dengan hasil deksripsi padi varietas gogo aromatik, dari penelitian terlihat bahwa penelitian ini hasilnya melebihi hasil deskripsi seperti tertera dibawah ini.
348 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ... Tabel 10. Data perbandingan Deskripsi Varietas Gogo Aromatik dan Hasil Penelitian yang dilakukan
Parameter Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Produktif (malai) Berat 1000 butir
Deskripsi Varietas Gogo Aromatik 93 -98 17 – 18
Data Hasil Penelitian 119,45 cm 20,08 anakan
28,07 – 30,93 g
29,00 g
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sumber daya lokal pedesaan mempunyai potensi unsur hara, sehingga dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan pupuk organik plus. 2. Ada 4 formula pupuk organik plus yang sesuai SNI 19-7030-2004, yaitu formula 6 sampai formula 9 merupakan formula terbaik untuk tanaman padi. 3. Perlakuan pupuk oganik plus formula 9 dengan takaran 750 kg/ha merupakan perlakuan terbaik pada pertumbuhan dan produksi tanaman padi serta dapat meningkatkan kualitas tanah/ media tanam. Saran Untuk memperbaiki kesuburan tanah dan mengurangi pemakaian pupuk kimia serta untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi dianjurkan menggunakan pupuk organik plus. DAFTAR PUSTAKA Afandi, 2008. Pemanfaatan Urine Sapi yang difermentasi sebagai Nutrisi Tanaman http://affandi21.xanga.com/644038359/pemanfaatan-urine-sapi-yang-difermentasi-sebagai-nutrisi-tanaman/. Diakses tanggal 10 Agustus 2010. Agrosatya S E P, 2009. Humus, Material Organik Penyubur Tanah http://www.agrosatya.com Powered by Joomla! Generated: Diakses 20 Mei, 2010, 21:10 Andoko, A. 2006. Budidaya Padi secara Organik. Penebar Swadaya. Jakarta Departemen Pertanian, 2002. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, Sayur-Sayuran. Badan Pengendali Bimas. Jakarta.
Estiaty L M. 2006. Pengaruh Zeolit Terhadap Media Tanam. Pusat Penelitian Geoteknologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta. http://www.geotek.lipi.go.id/?p=90 (Diakses tanggal 10 Agustus 2010) Goenadi, D Hajar. 2006. Pupuk dan Teknologi Pemupukan. Berbasis Hayati. Dari cawan Petri ke Lahan Petani. Yayasan John Hi-tech Idetama. Jakarta Gofar . N dan D. Tambas. 1998. Studi Pembentukan dan Penguraian Senyawa Kompleks Logam-koloid Tanah (antara logam Fe dan Al dengan koloid liat, fraksi humat dan campurannya). J. Tanah Trop No.6:119 – 128 Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Raja Grafindo, Jakarta. Marschner Horst, 1989. Meneral Nutrition of Higher Plants. Accademic Press, Toronto. Canada Marsi, M Amin Diha, dan Dullah Tambas . 2001. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Pupuk N oleh Tanaman Padi Sawah melalui Pemanfaatan Bahan Organik Limbah Panen Padi dan Pupuk Hijau. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya kerjasama dengan PT. Pupuk Sriwijaya. Mowido, .2001. Peranan Bahan Organik dan Lempung Terhadap Agregasi dan Agihan Ukuran Pori pada Entisol. Tesis Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Nurhidayat dan Purwendro, S. 2009. Mengolah Sampah untuk Pupuk dan Pestisida Organik. Penebar Swadaya. Jakarta. Schnitzer, M 1991. Soil Organik Matter-the Next 75 Years. Soil Sci. 151: 41-58 Soenandar, M., Aeni, M.N., Raharjo, A. 2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida Organik. Agromedia Pustaka. Jakarta. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
349
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ... Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. John Wiley dan Sons, New York. Stevenson, F.J. 1986. Cycles of Soil Carbon, Nitrogen, Phosphorus, Sulfur, Micronutrients. Jhon Wiley & Sons. New York – Chichester Brisbane – Toronto – Singapura, 379 P. Sutanto, R. 2006. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta. Silaban Arpaden, 1998. Regresi dan Korelasi: Jeni dan Kesesuaian Penggunaan. Dalam Metodelogi Penelitian. Penerbit Universitas Sriwijaya. Palembang Simamora S dan Sulundik. 2006. Meningkatkan kualitas kompos. PT.AgroMedia Pustaka, Jakarta. Syafrullah. 1994. Pengaruh Asam Humat dan Urea Terhadap Sifat Fisik dan Tahanan N Tanah serta pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo dan Tanah Regosolo Tesis Pasca Sarjana Univeristas Gajah Mada. Yogjakarta. Syafrullah. 2010. Modifikasi dan Aplikasi Pupuk Organik pada Budidaya SRI (System of Rice Intensification) di Pasang Surut Sumatera Selatan. Proseding Simposium Perpupukan Nasional tanggal 1 Nopember 2010. Dewan Pupuk Indonesia Jakarta. Tan, K.H. 1992. Dasar-dasar kimia tanah. Edisi ketiga (Terjemahan). Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. Trilaksani W, Ella S dan M Nabil. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) sebagai sumber kalsium dengan metode hidrtolisis dan protein. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol IX Nomor 2 Tahun 2006.
Lampiran 1. Hasil analisis tanah sebelum tanam Parameter Hasil Analisis pH 4,10 C-Organik (%) 4,13 N-total (%) 0,38 P-Bray I (ppm) 19,05 K-dd (me/100g) 0,26 Na-dd (me/100g) 0,98 Ca-dd (me/100g) 1,30 Mg-dd (me/100g) 0,28 KTK (me/100g) 17,4 Al-dd (me/100g) 1,60 H-dd (me/100g) 1,14 Tekstur Pasir (%) 32,07 Debu (%) 36,21 Liat (%) 30,92
Kriteria Sangat masam Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Sangat rendah Sangat rendah Sedang Sangat rendah Sangat rendah Lempung liat berdebu
Lampiran 2. Standar kualitas unsur makro pupuk organik berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) Kandungan Bahan organik (%) Kadar air (%) Total N (%) Karbon (%) P (%) K (%) pH
Baku 27-58 <50 >0.40 9.80-32.00 >0.10 >0.20 6.80-7.49
350 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Syafrullah/Rekayasa Pupuk Organik Plus dari Sumber Daya Lokal Pedesaan untuk Pertumbuhan ...
Lampiran 3. Hasil Analisis Tanah Setelah Penelitian Pada Perlakuan Formula Pupuk Organik Plus dan Takaran Pada Tanaman Padi. No Perlakuan 1 2 3 4 5
P1T1 P2T2 P3T3 P4T3 P4T4
Kandungan (%) C-Organik N - total P - total K - total 5,01 0,39 0,06 0,26 5,86 0,39 0,07 0,31 6,49 0,395 0,09 0,40 7,06 0,40 0,10 0,50 7,95 0,41 0,19 0,67
Lampiran 4. Deskripsi padi varietas JSPGA 136 (Gogo Aromatik) Nomor seleksi : UNSOED G 136 Asal persilangan : Poso*Mentik wangi Golongan : Cere Umur tanaman : 120-121 hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 93 – 98 cm Anakan produktif : 17 – 18 batang Warna batang : Hijau Warna lidah daun : Ungu Warna daun : Hijau, tepi ungu Muka daun : Kasar Posisi daun : Tegak Daun bendera : Tegak Bentuk gabah : Sedang Warna gabah : Kuning jerami Kerontokan : Tahan rontok Kerebahan : Tahan rebah Tekstur nasi : Pulen Kadar amilosa : 19,97 % Bobot 1000 butir : 28,07 – 30,93 g Rata-rata hasil : 4,0 t/ha Potensi hasil : 6,4 t/ha Ketahanan terhadap: Agak tahan penyakit blast daun Pyrcularia grisea Sifat tanaman : Aroma wangi pada daun ketika di lapangan dan nasi, toleran kekeringan Anjuran tanaman : Padi gogo pada lahan kering dan sawah tadah hujan Pemulia : Totok Agung dan Suwarto Tim peneliti teknis : Agus riyanto dan dyah Susanti Sumber: Laboratorium pemuliaan tanaman dan bioteknologi Fak. Pertanian, Univ. Jendral Soederman, Purwokerto, Jawa-Tengah, PO Box 125. E-mail: [email protected] Telp./Faks. (0281) 638791
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
351
PENGELOLAAN TANAH ANDISOL UNTUK PRAKTIK BUDIDAYA TANAMAN YANG BERKELANJUTAN 1) Yakup2) Abstract: The Andisol soil in Indonesia 5,394 thousands ha or about 2.87 %. A big part of them in Sumatera and Java Islands, the rest in other islands. Origin material of this soil was volcanic ash, the physical, chemical, and biological characters are relatively well, so it have a high potency for agriculture. Main constraints are physiographically enough steep, high erodibility, relative low of pH, Al toxicity, and high retention of P. The technologies which are need to applicated are soil tillage with conservation orientated, P fertilizing, organic material/ green manure giving, and culture crop species which tolerant to relative low of pH, Al toxicity, and low P availability. Andisol soil in low land can be alocated for culyure food crop and some industrial crop like sugarcane, tobacco, cotton, and coffe. In middle land can be used for culture some horticultural crops (tomato, carrot, apple, and potato), and industrial crop (coffe and clove). Then in high land can be used for culture some specific horticultural crops (potato, garlic, carrot, and cabbage), and specific industrial crops (tea and quinine). The culturing of those some crops need pay attention to soil conservation, in order to create the sustainable agriculture. Keywords: Andisol soil, soil characters, technology components, land using. 1) 2)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
PENDAHULUAN
A
ndi atau Ando berasal dari bahasa bahasa Jepang “Ankantsu – shoku – do” yang berarti tanah coklat gelap. Warna ini merupakan tipikal untuk Andisol sebagai tanah yang secara genetik berkembang dari abu vulkan, dengan karakteristik horison A yang tebal berwarna gelap (Mohr et al., 1972; Young, 1976). Andisol terbentuk melalui proses pedogenesis dari bahan induk abu vulkanik. Meski demikian tidak semua tanah yang terbentuk dari bahan induk abu vulkanik dapat diklasifikasikan sebagai Andisol. Beberapa dari tanah tersebut telah berkembang ke arah yang lebih matang, seperti Mollisol, Alfisol, Ultisol, ataupun Oxisol. Andisol pada kenyataannya merupakan transisi antara tanah vulkanik yang baru berkembang (Entisol) dengan salah satu dari beberapa ordo tanah tersebut (Van Vambeke, 1992). Andisol di Indonesia dewasa ini telah banyak digunakan untuk budidaya berbagai jenis tanaman, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan (Djaenudin et al., 1989; Sukarman dan Subardja, 1997; Hikmatullah et al., 2000). Penggunaan Andisol untuk budidaya jenis-jenis tanaman tersebut perlu dioptimalkan melalui pengelolaan yang tepat. Dalam kaitan ini maka perlu dikenali kondisi keberadaan, sifat fisik, kimia, dan biologinya. Pengenalan tersebut terutama penting untuk mengembangkan penggunaannya dalam praktik budidaya tanaman yang berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan disini adalah data mengenai tanah andisol dari berbagai sumber yang ada baik berupa buku teks, prosiding seminar, jurnal ilmiah, ataupun artikel ilmiah lain. Sumber-sumber tersebut dikaji satu per satu untuk mengetahui relevansi kandungan/isinya tentang tanah andisol. Kandungan/isi yang relevan disadur dengan mencantumkan sumbernya secara jelas dan kemudian dikelompokkan dalam bentuk tabulasi/narasi berbagai aspek, yaitu distribusi; iklim, tinggi tempat, dan topografi; serta sifat-sifat fisik, kimia, dan biologinya. Berdasarkan kondisi dan sifat-sifatnya maka selanjutnya ditentukan teknologi yang perlu diterapkan dan alternatif penggunaan lahan. Metode yang digunakan dalam penentuan tersebut adalah dengan cara memadukan kondisi dan sifat-sifat tanah andisol serta kendala yang dihadapi dengan alternatif teknologi yang tersedia. Teknologi yang dipilih adalah teknologi yang diprakirakan akan sesuai dan mampu mengatasi 352
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan
kendala. Alternatif penggunaan lahan ditentukan dengan mempertimbangkan tinggi tempat ( 500, 500 – 1000, dan 1000 m dpl) dan tingkat kemiringan lereng (0 – 5, 5 – 15, 15 – 30, dan 30 %). Selanjutnya pada tiap ketinggian tempat dan tingkat kemiringan lereng tersebut ditentukan alternatif jenis tanaman yang dapat dibudidayakan dan teknik konservasi yang dapat dilakukan baik untuk tanaman semusim maupun tanaman tahunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Dari segi distribusinya maka sebagian besar tanah andisol berada di P. Sumatra dan P. Jawa, serta sebagian terdapat di beberapa pulau lain (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi tanah andisol di Indonesia.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Pulau Sumatra Jawa Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Irian Jaya Indonesia ( %)
Luas ( x 1000 ha) Persentase (%) 2.594 48,09 1.698 31,48 135 2,50 245 4,54 237 4,40 164 3,84 321 5,95 5.394 ( 2,87 % ) 100,00
Sumber : Puslittanak (2000).
Di P. Sumatra tanah andisol antara lain terdapat di Propinsi Sumatra Utara (1.062 ribu ha), kemudian di Sumatera Selatan (308 ribu ha), Sumatera Barat (292 ribu ha), Lampung (268 ribu ha), dan Aceh (265 ribu ha). Di P. Jawa antara lain terdapat di Propinsi Jawa Timur (730 ribu ha), Jawa Barat (500 ribu ha), dan Jawa Tengah (452 ribu ha)(Puslittanak, 2000). Distribusi tanah andisol secara geografis tak dibatasi zona utama iklim dan vegetasi (Tan, 1984). Tanah ini ditemukan pada berbagai bentang alam (landscape) dan ketinggian tempat di daerah humid tropik (Arifin dan Hardjowigeno, 1995). Tanah andisol terbentuk pada daerah dengan kisaran bulan basah antrara 7 (di Sikka, Flores) – 11,8 (di Ciapus, Bogor), bulan kering antara 0 (di Sukamantri, Bogor) – 4,0 (di Bendosari Malang), dan curah hujan antara 1616 mm/th (di Tondano, Minahasa) – 4880 mm/th (di Ciapus, Bogor). Tipe iklim (Koppen) : Afa, Ama, Cfa, dan Cfhi; tipe hujan (Schmidt-Fergusson) : A, B, dan C; dan zona Agroklimat (Oldemen) : A, B1, dan B2. (Djaenudin et al., 1989; Tan, 1984; Hardjosoesastro et al., 1983; Santoso, 1993; Hikmatullah et al., 2000). Tanah andisol ditemukan pada tinggi tempat antara 175 m dpl (di Pasaman, Sumatra Barat) – 2450 m dpl (di Bendosari, Malang)(Fiantis dan Van Ranst, 1995; Santoso, 1993). Topografi tanah andisol bervariasi dari datar, bergelombang, berbukit, sampai bergunung. Tingkat kemiringan berkisar dari relatif datar ( 5 % ), 15 %, hingga 30 % (Suparto et al., 1989; Ismangoen dan Soekardi, 1993; Sukarman dan Subardja, 1997). Sifat fisik tanah andisol tercermin antara lain pada morfologi, warna, tekstur, struktur, konsistensi, bobot isi, retensi air, dan erodibilitasnya. Sifat-sifat fisik tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat-sifat fisik tanah andisol.
No. 1 2
Sifat Fisik Morfologi : Solum tanah Horison A Warna : Lapisan atas Lapisan bawah
Nilai 85 – 215 cm 18 - 48 cm 7,5 YR 3/2 – 10 YR 3/3 7,5 YR 3/2 – 10 YR 3/4
Keterangan Dalam – sangat dalam Agak tebal – tebal Coklat – coklat sangat gelap Coklat – coklat gelap kekuningan
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
353
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan
3
Tekstur
4 5 6
Struktur Konsistensi Bobot Isi (33 Pa) Lapisan atas Lapisan bawah Retensi Air ( pada KL) Erodibilitas
7 8
Lempung berdebu, Lempung berpasir Remah, gumpal (lemah) Gembur, sangat gembur
Baik
0,55 – 0,90 g/cm3 0,37 – 0,87 9/cm3 6 – 7 mm air / cm tanah Tinggi (terhadap air maupun angin)
Rendah Rendah Tinggi Kurang baik
Baik Baik
Sumber : Hardjosoesastro et al. (1983), Djaenudin et al. ( 1989), Suparto et al. (1989), Hikmatullah et al. (1994), Sukarman dan Subardja (1997), Subagyo et al. (1997, dan Hikmatullah et al. (2000). Tabel 3. Sifat-sifat kimia tanah andisol.
No. 1 2 3 4 5 6 7
Sifat Kimia PH tanah : pH H2O pH KCl pH NaF Bahan Organik : C-organik (%) N-total (%) C / N ratio Retensi P (%) P tersedia (ppm) KTK (me / 100 g) : Tanah Liat Kejenuhan Basa (%) Kation-dd (me / 100 g) Ca Mg Na K
Nilai 5,4 – 6,1 4,2 – 10,2 – 12,3 4,86 – 11,90 0,40 – 0,85 9 - 15 82,0 – 89,4 1 - 6 22,0 – 65,0 31,2 – 87,4 17,8 – 48,8 2,42 – 5,41 0,55 – 2,94 0,09 – 0,10 – 0,47
Keterangan Agak masam - sedikit 5,6 masam Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah – sedang Rendah – sedang Rendah – sedang 0,42 Rendah – sedang Rendah – sedang
Sumber : Hardjosoesastro et al. (1983), Suparto et al. (1989), Hikmatullah et al. (1994), Sukarman dan Subardja (1997), Subagyo et al. (1997), dan Hikmatullah et al. (2000).
Sifat-sifat kimia tanah andisol terlihat antara lain pada pH, bahan organik, retensi P, P tersedia, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa, dan kation-kation dapat ditukar (Kation-dd). Sifat-sifat kimia tersebut disajikan pada Tabel 3. Sementara itu dari segi biologi, macam vegetasi dapat tipikal untuk kondisi tanah tertentu. Namun belum banyak diungkap mengenai vegetasi pada Andisol. Beberapa jenis vegetasi pada Andisol disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Vegetasi pada Andisol di berbagai tempat.
No. 1 2 3 4 5 6
Lokasi Jenis Vegetasi Chile Notophagus oblicua (pohon beech) Columbia, Amerika Tengah, Selandia Quercus sp. (kayu oak) Baru Kenya Arundinaria alpina (bambu rendah} Jepang Fagus crenata (sejenis beech) Miscanthus sinensis (Rumput pampas) Indonesia (Sumatra Utara) Pinus merkusii (Tusam) Indonesia (Malang, Jawa Timur) Eupatorium odoratum (Kirinyuh)
Sumber : Mohr et al. (1972), Frei (1984), Santoso (1993), Murayama (1984), dan Wada (1986).
Dua jenis vegetasi di Jepang dianggap penting karena memberikan ciri-ciri khas pada pada andisol, yaitu pohon hutan Fagus crenata (sejenis beech) dan Miscanthus sinensis (rumput pampas). Meski pengaruh dari F. Crenata juga penting dalam pembentukan tanah andisol, namun pengaruh M. 354 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan
sinensis lebih mampu menimbulkan ciri-ciri khas tanah andisol yang berupa warna hitam dan kandungan humus yang tinggi. Dilaporkan bahwa F. crenata membentuk Fulvudand, sedangkan di bawah rumput M. sinensis terbentuk Melanudand, yaitu dua great-group Andisol yang cukup berbeda warnanya (Shoji et al., 1993). (Shoji et al., 1993). Di Indonesia (Malang, Jawa Timur), pada jenis vegetasi Chromolaena odorata (kirinyuh) yang lebih terbuka menghasilkan pelapukan lebih intensif, sehingga terjadi laju transformasi yang lebih besar dari mineral alofan ke mineral lain (imogolit) (Santoso, 1993).
PEMBAHASAN Berdasarkan kondisi dan sifat-sifat tanahnya, maka pengelolaan tanah andisol untuk budidaya tanaman berkelanjutan dapat dilakukan melalui perbaikan kualitas tanah (soil quality) dan kesesuaian penggunaan lahan (suitable land use). Perbaikan kualitas tanah ditujukan untuk meningkatkan kemampuan tanah dan produktivitasnya. Kualitas tanah merupakan kondisi yang menunjukkan tanah sehat, mempunyai sifat - sifat fisik yang baik, dan produktivitasnya tinggi. Beberapa komponen teknologi yang dapat diterapkan dalam praktik budidaya tanaman pada tanah andisol disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Beberapa komponen teknologi untuk pengelolaan tanah andisol. No. 1
2
3
4
5
Teknologi Pengerjaan Tanah
Pengapuran
Pemupukan P
Bahan Organik dan Pupuk Hijau
Peranan Mikoriza
Keterangan Andisol mempunyai konsistensi yang gembur dan ketahanan struktur yang tinggi, sehingga relatif lebih mudah diolah. Pengolahan secara konvensional dapat dilakukan melalui pencangkulan dan penggemburan sedalam 40 cm, dan di tempattempat tertentu perlu diterapkan pengolahan tanah minimum. Pada tanah yang mempunyai kedalaman efektif 60 cm, penyiapan lahan untuk penanaman teh cukup dengan membersihkan gulma dan membuat lubang-lubang tanam berukuran 30 x 30 x 30 cm3. Reaksi tanah yang agak masam sampai sedikit masam merupakan ciri Andisol yang terkait dengan sifat kompleks mineral liat alofan. Sejumlah tinggi kapur diperlukan untuk meningkatkan pH tanah yang mengandung mineral liat bermuatan variabel, sehingga biasanya dipilih pH yang sudah cukup mampu untuk menjaga Al tidak larut (5,5). Pada percobaan di Hawaii pemberian dosis kapur 21,3 ton/ha setelah 5 tahun meningkatkan pH tanah pada kedalaman 0 – 15 cm dari 4,8 menjadi 6,1 dan pada kedalaman 30 – 45 cm dari 5,4 menjadi 5,8. Pemupukan P terutama diperlukan untuk tanah-tanah yang telah berkembang lebih lanjut / lama diusahakan. Ketersediaan P dari pupuk yang diaplikasikan cepat berkurang, dan hanya 10 % yang dapat digunakan sebagian besar tanaman. Keefektifan pupuk P tergantung cara aplikasi. Pada dosis rendah (20 – 40 kg P / ha) cara setempat-setempat lebih efektif daripada cara tebar, tetepi pada dosis tinggi cara tebar lebih efektif daripada cara setempatsetempat. Meski Andosol mengandung bahan organik tinggi,tetapi penambahan bahan organik masih diperlukan untuk mengatasi toksisitas Al. Bahan organik dapat menambah unsur hara dan memperbaiki sifat fisik tanah melalui pembentukan struktur yang baik dan mantap. Sumber bahan organik dapat berupa pupuk hijau. Jenis leguminosae Crotalaria anagyroides dapat meningkatkan N tanah, jenis nonleguminosaeThitonia diversifolia dapat meningkatkan P2O5 dan K2O. Mikoriza berpotensi untuk meningkatkan serapan P oleh tanaman. Penanaman tanaman bermikoriza (buncis, jagung, kedelai, dan bunga matahari) mampu meningkatkan P tersedia dan penyerapan P oleh tanaman yang ditanam sesudahnya. Peningkatan serapan P diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan dan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
355
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan
6
Tanaman toleran
perkembangan tanaman. Jenis/spesies tanaman yang toleran terhadap pH rendah, toksisitas Al, dan ketersediaan P rendah dapat memberi kontribusi penting dalam strategi pengelolaan Andisol. Tanaman ubi kayu, kacang tanah, kentang, gandum, dan barley adalah jenis-jenis tanaman yang relatif toleran terhadap pH rendah. Tanaman pinus dan teh relatif toleran terhadap toksisitas Al. Toleransi Al pada beberapa jenis tanaman berkorelasi dengan efisiensi penggunaan P, misalnya pada beberapa varietas gandum dan tomat. Tanaman ubi kayu, pisang dan kacang buncis diketahui relatif toleran terhadap ketersediaan P rendah.
Sumber: Wargadipura (1973), Purnama et al. (1987), Darmawijaya dan Rochdiyanto (1990), Norman et al. (1991), Van Vambeke (1992), Fiantis dan Van Ranst (1995), dan Karasawa et al. (2000).
Mengingat beberapa dari komponen teknologi tersebut (khususnya pengapuran dan pemupukan P) merupakan praktik pengelolaan yang capital intensive dan bagi petani kecil jarang tersedia, maka peranan jenis/varietas tanaman yang toleran terhadap kendala pada Andisol semakin penting (Van Vambeke, 1992). Jenis-jenis tanaman ubi kayu (Manihot esculenta), kacang tanah (Arachis hypogaea), kacang tunggak (Vigna unguiculata), kentang (Solanum tuberosum), gandum (Tritivum aestivum), dan barley (Hordeum vulgare) relatif toleran terhadap kemasaman tanah/pH rendah (Arkin dan Taylor, 1981; Sanchez dan Salinas, 1981; Marschner, 1997). Tanaman pinus (Pinus merkusii) dan teh (Camellia sinensis) relatif toleran terhadap Al tinggi. Kedua jenis tanaman tersebut dikenal sebagai “Al-accumulator” karena mengakumulasi sebagian besar Al yang berlebih dengan melokalisasinya di dalam sel-sel epidermis daun yang lebih tua (dapat mengandung Al hingga 1000 ppm). Disamping itu toleransi tanaman teh terhadap Al juga karena mengandung sejumlah asam organik dan polifenol yang mengkhelat Al (Harjadi dan Yahya, 1988). Dari hasil penelitian Andisol dalam kaitannya dengan produktivitas tanaman teh maka pada tingkat great group didapatkan bahwa produksi teh tertinggi terjadi di Melanudand (Abdullah et al., 1994). Pada beberapa jenis tanaman, toleransi Al berkorelasi dengan efisiensi penggunaan P, misalnya pada varietas gandum (Tritivum aestivum) dan tomat (Lycopersicum esculentum) yang toleran Al dihubungkan dengan kemampuannya mentoleransi taraf P rendah pada media tumbuhnya (Harjadi dan Yahya, 1988). Beberapa jenis tanaman lain yang toleran terhadap ketersediaan P rendah adalah pisang (Musa paradisiaca), ubi kayu (Manihot esculenta), dan kacang buncis (Phaseolus vulgaris). Tanaman pisang toleran terhadap ketersediaan P rendah karena kemampuannya memobilisasi P di dalam tubuhnya, sedangkan tanaman ubi kayu mampu mengefektifkan penyerapan P melalui simbiosisnya dengan mikoriza (Norman et al., 1995). Kacang buncis mempunyai akar-akar yang sangat efisien menyerap P pada kisaran konsentrasi sangat rendah dan pada permukaan akar-akarnya terdapat aktivitas fosfatase yang mampu memobilisasi P organik tanah (Waisel et al., 1991). Disamping beberapa komponen teknologi tersebut, maka dalam praktik budidaya tanaman secara simultan juga perlu diterapkan konservasi tanah. Teknik konservasi yang diterapkan harus efektif dalam mengendalikan laju aliran permukaan (run-off) dan erosi, mampu menciptakan kondisi drainase / aerase yang optimum bagi pertumbuhan tanaman, dan dapat diterima petani dari aspek teknis maupun ekonomis (Rachman, 1988). Konservasi tanah ini penting karena meski secara fisik, kimia, dan biologis tanah andisol umumnya mempunyai potensi tinggi untuk pertanian, tetapi karena kondisi fisiografinya maka dalam menentukan penggunaan tanah ini selain mempertimbangkan kesesuaian jenis tanaman juga perlu memperhatikan konservasi tanah. Sehubungan dengan hal itu, maka dikemukakan alternatif penggunaan tanah pada Tabel 6.
356 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan Tabel 6. Alternatif penggunaan Andisol pada berbagai ketinggian tempat dan tingkat kemiringan. No 1
Tinggi tempat (m dpl) 500
Tingkat kemiringan (%) 0–5
5 - 15
15 - 30
2
500 – 1000
0–5
5 – 15
15 - 30
30 3
1000
5 – 15
Jenis tanaman Padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, tomat, pisang, pepaya, jeruk, kopi, tebu tembakau, kapas, dan kelapa. Padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, tomat, pisang, pepaya, jeruk, kopi, tebu, tembakau, kapas, dan kelapa. Jagung, ubi kayu, tomat, pisang, jeruk, pepaya, kopi, dan kelapa. Jagung, ubi jalar, tomat, kentang, pisang, jeruk, apel, pepaya, bawang merah, wortel, kopi, cengkeh, dan kelapa. Ubi jalar, tomat, kentang, pisang, jeruk, apel, pepaya, bawang merah, wortel, kopi, cengkeh, dan kelapa. Kentang, pisang, jeruk, apel, bawang merah, wortel, kopi, cengkeh, adpokat, dan melinjo. Pisang, kopi, cengkeh, adpokat, melinjo, jeungjing, dan tusam. Ubi jalar, tomat, kentang, jeruk, apel, bawang putih, wortel, lobak, kubis, asparagus, cengkeh, teh, dan kina.
15 – 30
Kentang, jeruk, apel, bawang putih, kubis, asparagus, cengkeh, teh, dan kina.
30
Teh, kina, jeungjing, tusam, dan cemara.
Teknik konservasi Tanaman semusim Tanaman tahunan Pengerjaan tanah, pemupukan, pemulsaan.
Pemupukan
Pembuatan teras gulud, penanaman menurut kontur, pemupukan, pemulsaan.
Pemupukan, penyiangan selektif.
Pembuatan teras bangku dan saluran drainase, penanaman dalam jalur, pemupukan, rotasi dengan tanaman penutup tanah. Pengerjaan tanah, pemupukan organik, pemulsaan.
Pemupukan, penanaman tanaman penutup tanah, penyiangan selektif. Pemupukan.
Pembuatan teras gulud, penanaman menurut kontur, pemupukan organik, rotasi dengan tanaman penutup tanah.
Pemupukan, penyiangan selektif.
Pembuatan teras bangku dengan saluran drainase dan tanaman penguat teras, penanaman dalam jarur, pemupukan organik, rotasi dengan tanaman penutup tanah.
Pemupukan, penanaman tanaman penutup tanah, penyiangan selektif.
Pengerjaan tanah minimum, pembuatan teras gulud dengan tanaman penguat teras, penanaman menurut kontur, pemupukan organik, rotasi dengan tanaman penutup tanah. Pembuatan teras bangku dengan saluran drainase dan tanaman penguat teras, penanaman dalam jalur, pemupukan organik, rotasi dengan tanaman penutup tanah. -
Penutupan tanah permanen, penghutanan. Pemupukan, penyiangan selektif.
Pemupukan, penanaman tanaman penutup tanah, penyiangan selektif. Penutupan tanah permanen, penghutanan.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
357
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan
Meski Andisol di Indonesia mempunyai potensi produksi pertanian yang tinggi baik untuk tanaman pangan, hortikultura, maupun industri / perkebunan, namun karena jenis tanah ini mempunyai kisaran distribusi dari dataran rendah hingga dataran tinggi maka ketinggian tempat merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menentukan jenis tanaman. Hal ini karena ketinggian tempat mempunyai hubungan linier dengan kondisi iklim yang sangat berpengaruh terhadap kesesuaian dari berbagai jenis tanaman yang diusahakan. Di dataran rendah ( 500 m dpl) selain tanaman pangan maka beberapa jenis tanaman industri seperti tebu, tembakau, kapas dan kopi dapat diusahakan. Di dataran sedang (500 – 1000 m dpl) beberapa jenis tanaman hortikultura (tomat, kentang, apel, dan wortel) dan tanaman industri (kopi dan cengkeh) juga dapat diusahakan. Selanjutnya di dataran tinggi ( 1000 m dpl) dapat diusahakan beberapa jenis tanaman hortikultura dan tanaman industri khas dataran tinggi. Jenis - jenis tanaman hortikultura dataran tinggi antara lain kentang, bawang putih, wortel, dan kubis, sedangkan beberapa jenis tanaman industri dataran tinggi antara lain teh dan kina. Mengingat Andisol mempunyai tingkat kemiringan yang beragam, maka dalam pengusahaan jenis-jenis tanaman tersebut juga perlu memperhatikan aspek konservasi tanah. Intensitas pengerjaan tanah dalam pengusahaan tanaman semusim lebih tinggi daripada tanaman tahunan, sehingga pengusahaan tanaman semusim memerlukan tingkat konservasi tanah yang lebih tinggi dibandingkan pengusahaan tanaman tahunan. Pada tanah yang relatif datar (kemiringan 5 %) maka tingkat konservasi lahan yang diperlukan masih relatif ringan, dan makin bertambah kemiringan lahan maka tingkat konservasi tanah yang diperlukan makin tinggi. Semakin tinggi tempat juga memerlukan tingkat konservasi tanah yang semakin tinggi, sebab pada tempat yang lebih tinggi akan semakin banyak ditemukan lahan yang mempunyai tingkat kemiringan tinggi hingga cukup curam. Di dataran sedang dan dataran tinggi, tanah yang cukup curam (kemiringan 30 %) dan yang lebih curam lagi hanya diperuntukkan bagi tanaman penutup tanah dan/atau dihutankan. Dalam kaitan ini beberapa pola tanam dapat diterapkan, antara lain pergiliran tanaman (sequential planting), tanam bersisipan (relay cropping), tanam berjalur (strip cropping), tanam sela (inter culture), wana tani (agroforestry), dan sebagainya.
KESIMPULAN 1. Dalam pengelolaan Andisol untuk pertanian yang berkelanjutan maka kendala yang dihadapi meliputi kondisi fisiografinya yang kadang memiliki kemiringan cukup curam, erodibilitas tinggi, pH relatif rendah dan toksisitas Al, dan retensi P tinggi. 2. Komponen teknologi dalam pengelolaan Andisol untuk pertanian berkelanjutan antara lain pengerjaan tanah yang berorientasi pada konservasi lahan, pemupukan P, pemberian bahan organik/pupuk hijau, serta pembudidayaan jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap pH relatif rendah, toksisitas Al, dan ketersediaan P rendah. 3. Andisol di dataran rendah selain dapat untuk mengusahakan tanaman pangan dan beberapa jenis tanaman industri seperti tebu, tembakau, kapas, dan kopi. Di dataran sedang untuk beberapa jenis tanaman hortikultura (tomat, wortel, apel, dan kentang) dan tanaman industri (kopi dan cengkeh). Selanjutnya di dataran tinggi dapat untuk beberapa jenis tanaman hortikultura khas dataran tinggi (kentang, bawang putih, wortel, dan kubis) dan tanaman industri khas dataran tinggi (teh dan kina). 4. Sesuai dengan kondisi fisiografi dan jenis tanaman yang diusahakan, maka penggunaan Andisol untuk berbagai jenis tanaman perlu memperhatikan aspek konservasi tanah. Teknologi konservasi tanah yang dipilih harus efektif dalam mengendalikan aliran permukaan (run-off) dan erosi, mampu menciptakan kondisi drainase / aerase yang baik bagi pertumbuhan tanaman, serta dapat diterima dan dipraktikkan petani, sehingga produktivitas lahan dapat berkelanjutan.
358 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, T. S., Darmawan dan D. T. Suryaningtyas. 1994. Evaluasi hubungan tatanama dalam order Andisol dengan potensi produksi lahan dalam menunjang budidaya tanaman teh. Laporan Penelitian, Jurusan Tanah, FP IPB. Bogor. Arkin, M. and G. W. Taylor. 1961. Modifying the root environment to reduce crop stress. American Soc. Agricultural Engineers. Darmawijaya, M.I. dan S. Rochdiyanto. 1990. Pengaruh cara penyiangan di perkebunan teh Andosol terhadap erosi dan run-off serta pertumbuhan tanaman teh muda. Pros. 1 Konf. X HIGI, Malang, 13 – 15 Maret 1990. h. 471 – 483. Djaenudin, D.,B.P. Gunawan dan M. Sudjadi. 1989. Sekuen tanah berkembang dari bahan vulkan di Daerah Cikajang-Garut, Jawa Barat. Risalah Hasil Penelitian Tanah, Pusat Penelitian Tanah. Bogor. h. 65 – 78. Fiantis, D and E. Van Ranst. 1995. Properties of volcanic ash soil from the Marapi and Talamau volcanoes in West Sumatra, Indonesia. Pros. Kong. Nas. VI HITI, Jakarta, 12 – 15 Desember 1995. h. 1 – 15. Hardjosoesastro, R., H. Suyanto dan A. M. Satari. 1983. Andosol dari daerah Sukamantri Kabupaten Bogor. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 2 : 18 – 29. Harjadi, S. S. dan S. Yahya. 1988. Fisiologi stres lingkungan. PAU Bioteknologi, IPB. Bogor. 236 h. Hikmatullah, H.H. Djohar dan A. Hidayat. 1994. Identifikasi sifat andik pada tanah berbahan induk abu vulkanik muda Gunung Dempo di Propinsi Sumatra Selatan. Risalah Seminar Hasil Pnelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. h. 117 – 126. Hikmatullah, H. Subagyo dan B. H. Prasetyo. 2000. Properties and classification of Andisols developed from volcanic ash in the Tondano Area, North Sulawesi. Agrivita 21 (2) : 28 – 40. Ismangoen and M. Soekardi. 1993. Pencirian sifat Andik pada tanah Andisol di sekitar Malang, Jawa Timur. Pros. Pert. Teknis Penelitian Tanah dan agroklimat, Bidang Potensi Sumberdaya Lahan. Bogor. h. 49 – 64. Karasawa, T. , J. Arihara and Y. Kasahara. 2000. Effects of previous crops on arbuscular-mycorrhizal formation and growth of maize under various soil moisture conditions. Soil Science and Plant Nutrition 46 (1) : 53 – 60. Marschner, H. 1997. Mineral nutrition of higher plants. Second Edition. Academic Press Limited. London. 889 p. Mohr, E.C.J., F.A. Van Baren and J. Van Schuylenborgh. 1972. Tropical soils. W Van Hoeve Publishers Ltd – The Haque. The Netherlands. 467 p. Murayama, S. 1984. The monosccharide composition of polysaccharides in Ando Soils. In : K.H. Tan (Ed.). Andosols. Van Nostrand Reinhold Company. New York. p. 373 – 382. Norman, M. J. T., C. J. Pearson and P. G. E. Searle. 1995. The ecology of tropical food crops. Second Edition. Cambridge University Press. Cambridge. 439 p. Purnama, R., M.Sanusi dan Z.S. Wibowo. 1987. Pengaruh berbagai cara pengolahan tanah untuk penanaman baru terhadap pertumbuhan tanaman teh muda dan produksi. Pros. Sem. Budidaya Pertanian Tanpa Olah Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. h. 105 – 110. Puslittanak. 2000. Atlas sumberdaya tanah eksplorasi Indonesia, skala 1 ; 1.000.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Rachman, L.R. 1988. Pengelolaan Pertanian Konservasi pada lahan bervegetasi alang-alang (Imperata cylindrica). Pros. I Konp. Ke IX HIGI, Bogor, 22 – 24 Maret 1988. h. 407 – 427. Santoso, B. 1993. A study on the physico-chemical aspect of Andosols at the topo- climo sequence of the west slope of Gunung Kawi Malang. Agrivita 16 (1) : 24 – 28. Shoji, S., M. Nanzyo and R. Dahlgen. 1993. Volcanic ash soils. Elsevier. Amsterdam. 288 p. Subagyo, H., B.H. Prasetyo and A.M. Sudihardjo. 1997. Pedogenesis of soils developed from andesitic volcanic materials at medium altitude in Mount Manglayang, Bandung Area, West Java. Agrivita 20 (4) : 204 – 219. Suganda, H., M.S. Djunaedi, D. Santoso dan S. Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi, dan produksi sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Iklim 15 : 38 – 50. Suparto, Hikmatullah, Wahyunanto dan A. Hidayat. 1989. Sifat dan klasifikasi tanah berkembang dari volkan andesitik-dasitik daerah G. Seulawah Agam, Kabupaten Aceh Besar. Risalah Hasil Penelitian Tanah. Pusat Penelitian Tanah. Bogor. h. 79 – 93. Sukarman dan D. Subardja. 1997. Identifikasi dan karakterisasi tanah bersifat Andik di Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Jurnal Tanah dan Iklim 15 : 1- 10. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
359
Yakup/Pengelolaan Tanah Andisol untuk Praktik Budidaya Tanaman yang Berkelanjutan Tan, K.H. 1984. The Andosols in Indonesia. In : K.H. Tan (Ed.). Andosols. Van Nostrand Reinhold Company. New York. p. 60 – 63. Van Wambeke, A. 1992. Soil of tropics, properties and appraisal. McGraw-Hill, Inc. New York. 343 p. Wada, K. 1986. Ando Soils in Japan. Kyushu University Press. Fukuoka, Japan. 276 p. Waisel, Y., A. Eshel and U. Kafkafi. 1991. Plants roots : The Hidden Halfs. Marcell Dekker Inc. New York. 948 p. Wargadipura, R. 1973. Macam-macam tanaman pupuk hijau untuk merehabilitasi tanah perkebunan teh. Menara Perkebunan 41 (1) : 7 – 11. Young, A. 1976. Tropical soils and soil survey. Cambridge University Press. Cambridge. 468 p.
360 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan Sungsang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan1) Yudhi Zuriah WP 2) Abstract: This research aims to analyze the chain of the commercial distribution and marketing efficiency of tall variety in Pendowo Harjo village at Sungsang Subdistrict Banyuasin District. Selection of sampling units its use snow ball sampling method, the number of samples examined as many as 15 the head of the family and each 1 traders in every marketing agencies. The result of analysis shows, there are two marketing channels of tall variety which was done in Pendowo Harjo village. The marketing margins of obtained each amounting to Rp. 400,00 in brokers, Rp. 800,00 in traders gatherer and Rp. 900,00 in traders large per piece per month. While profit and efficiency of each institution distribution was amounting to Rp.1.911.066,00 (11,71 %) in brokers, Rp. 4.282.466,00 (9,57 %) in traders gatherers, Rp. 938.425,00 (26,63 %) in traders large, and Rp. 985.714,00 (2,295 %) in traders retailer per month. Farmers share from the selling price in the level of consumer was 25,71%. Keywords: marketing margin, marketing efficiency, farmer’s share 1)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII dan Kongres VIII Mayarakat Konservasi Tanah Dan Air Indonesia (MKTI), Cabang Sum-Sel Hotel Ariesta Jalan Kapten A. Rivai (30129) Palembang , Tanggal 6-7 November 2013 2) Dosen Jurusan Agribisnis pada STIPER Sriwigama – Kopertis Wilayah II
PENDAHULUAN Latar Belakang
K
elapa (Cocos nucifera L) merupakan tanaman perkebunan atau industri berupa pohon batang lurus dari famili palmae sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi salah satu komoditi andalan usahatani rakyat serta merupakan komoditi ekspor. Disamping itu tanaman kelapa juga merupakan tanaman sosial mengingat tanaman ini dibudidayakan oleh puluhan juta petani, dijuluki pohon kehidupan karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan (serba guna) seperti sabut, tempurung, kulit, daging buah, air, batang, daun, dan nira (Sapu, 2011). Kelapa memiliki berbagai manfaat dan hasil olahan, baik yang dapat dimakan maupun tidak, oleh karenanya tata niaga kelapa cukup kompleks (Karmidi, 2009). Data Asia Pasific Coconut Community (APCC) menunjukkan bahwa konsumsi kelapa segar penduduk Indonesia sekitar 36 butir/kapita/tahun atau 7,92 miliar butir (51,1%). Bila produksi buah kelapa nasional sebanyak 15,5 miliar butir/tahun, maka buah kelapa yang dapat diolah di sektor industri adalah 7,57 miliar butir (48,9%). Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan 29 unit industri dengan kapasitas 1 juta butir/hari. Dari buah kelapa dapat dikembangkan berbagai industri yang menghasilkan produk pangan dan non pangan mulai dari produk primer yang masih menampakkan ciri-ciri kelapa hingga yang tidak lagi menampakkan ciriciri kelapa. Dengan demikian, nilai ekonomi kelapa tidak lagi berbasis kopra (Agro Inovasi, 2006). Luas areal pertanaman kelapa di Indonesia mulai dari tahun 1970 hingga 2009 terus mengalami peningkatan, yaitu dari 1.805.711 hektar menjadi 3.799.124 hektar, hal ini juga seiring dengan peningkatan produksi kelapa dari tahun 1970 hingga tahun 2009 yaitu 1.202.902 ton menjadi 3.257.969 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Luas perkebunan kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3,9 juta hektar yang terdiri dari perkebunan rakyat seluas 3,7 juta hektar; perkebunan milik pemerintah seluas 4.669 hektar serta milik swasta seluas 66.189 hektar. Selama 34 tahun, luas tanaman kelapa meningkat dari 1,66 juta hektar pada tahun 1969 menjadi 3,9 juta hektar pada tahun 2011 (Indonesian Commercial Newsletter, 2011). Perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang sangat penting dan strategis dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan, disamping menjadi sumber pendapatan Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
361
Yudhi Zuriah WP/Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan ...
lebih dari 153.250 kepala keluarga beserta keluarganya atau 3,2 juta penduduk Sumatera Selatan. Perkebunan juga mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) maupun terhadap perolehan devisa ekspor non migas, pembangunan perkebunan ke depan lebih ditekankan kepada upaya peningkatan produktivitas dan mutu hasil pada areal perkebunan yang ada (Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, 2008). Pemasaran komoditas pertanian merupakan kegiatan/proses pengaliran komoditas pertanian dari produsen (petani, peternak dan nelayan) sampai ke konsumen/pedagang perantara (tengkulak, pengumpul, pedagang besar, dan pengecer) berdasarkan pendekatan sistem pemasaran (marketing system approach), kegunaan pemasaran (marketing utility) dan fungsi-fungsi pemasaran (marketing function) (Rahim dan Diah, 2007). Pemasaran yang efektif salah satu faktor yang harus mendapatkan perhatian utama yaitu tingkat harga yang menguntungkan dan stabilitas harga, merupakan salah satu cara yang efektif menolong petani dalam meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan pasar, kedua unsur ini akan memepengaruhi pola dan cara petani dalam menjalankan usahataninya (Saefudin, 1983). Soekartawi (2004), menyatakan ciri-ciri produk pertanian akan mempengaruhi mekanisme pemasaran, oleh karena itu sering terjadi harga produksi pertanian yang dipasarkan menjadi fluktuasi secara tajam, maka yang sering dirugikan adalah di pihak petani atau produsen. Karena kejadian semacam ini maka petani atau produsen memerlukan kekuatan dari diri sendiri atau berkelompok dengan yang lain untuk melaksanakan pemasaran. Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga pemasaran timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran (Rahim, dkk., 2007). Pemasaran dikatakan efisien jika telah memenuhi dua syarat, yaitu mampu menyampaikan hasil atau produk dari produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan mampu melakukan pembagian yang adil kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan produksi dan pemasaran produk tersebut (Sudiyono, 2001). Maka usaha untuk mempertemukan petani produsen dengan konsumen diperlukan pihak ketiga yaitu lembaga perantara. Lembaga perantara ini merupakan lembaga yang berdiri sendiri berada diantara produsen dan konsumen akhir atau pemakai industri. Mereka memberikan pelayanan dalam hubungannya dengan pembelian dan atau penjualan barang dari produsen ke konsumen, penghasilan mereka juga langsung berasal dari transaksi tersebut. Lembaga-lembaga inilah yang melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga seperti pembelian, penjualan, penyimpanan, mengelola, mengangkut serta mendistribusikan ke konsumen (Rahim, dkk., 2007). Jauh dekatnya jarak antara petani produsen ke konsumen akan mencerminkan panjang pendeknya saluran distribusi tataniaga, semakin jauh jarak antara petani responden dengan konsumen memungkinkan timbulnya berbagai resiko yang harus ditangani yang akan meneyebabkan besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga yang ikut serta dalam memasarkan komoditi tersebut. Dalam hal ini peranan lembaga tataniaga sangat dibutuhkan untuk menyampaikan hasil dari tangan produsen ketangan konsumen, untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga di atas dibutuhkan biaya, disamping itu lembaga-lembaga tataniaga yang ikut dalam memasarkan hasil akan mengambil keuntungan atas jerih payah yang telah disumbangkan (Soekartawie, 2004) Aliran barang dapat terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran, yang sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku serta karakteristik aliran barang yang digunakan. Oleh karena itu dikenal istilah saluran pemasaran. Fungsi saluran pemasaran ini sangat penting, khususnya untuk melihat tingkat harga masing-masing lembaga pemasaran. Saluran pemasaran ini dapat berbentuk sederhada dan dapat rumit. Hal demikian tergantung dari macam komoditi lembaga pemasaran dan sistem pemasaran (Soekartawi, 2002). Menurut Kotler dalam Iga (2009), saluran pemasaran dan panjangnya berbeda - beda sesuai tingkat saluran pemasarannya. 362 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yudhi Zuriah WP/Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan ...
Konsep margin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayar konsumen akhir dan harga yang diterima petani produsen, dengan menganggap bahwa selama proses pemasaran terdapat beberapa lembaga pemasaran yang terlibat dalam aktifitas pemasaran ini, maka dapat dianalisis distribusi margin pemasaran diantara lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat (Sudiyono, 2001). Dengan adanya fenomena di atas, tentunya diperlukan perbaikan dalam bidang rantai tata niaga (saluran pemasaran) dan efisiensi pemasaran, dimaksudkan untuk memperbesar nilai yang diterima petani produsen, memperkecil biaya tata niaga dan terciptanya harga jual dalam batas kemampuan daya beli konsumen. Rumusan Masalah 1. Ada berapa saluran pemasaran Kelapa Dalam dari Desa Pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin 2. Berapa besar tingkat efisiensi pemasaran pada setiap lembaga yang terlibat dalam pemasaran kelapa dalam dari Desa Pendowoharjo ke Kabupaten Banyuasin dilihat dari besarnya nilai marjin pemasaran, keuntungan pemasaran dan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share). Tujuan dan Kegunaan Berdasarkan permasalahan yang ada, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendiskripsikan saluran pemasaran kelapa dalam dari Desa Pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin. 2. Menganalisis tingkat efisiensi pemasaran dari setiap lembaga yang terlibat dalam pemasaran kelapa dalam dari Desa pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan sampel adalah Kabupaten Banyuasin, Kecamatan Sungsang Desa Pendowo Harjo. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Metode penarikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling. Pengambilan petani contoh 10 persen dari jumlah populasi (sebanyak 15 KK), penarikan contoh lembaga pemasaran dilakukan secara purposive sampling yaitu diambil 1 pedagang dari setiap lembaga pemasaran yang terlibat dengan cara menelusuri rantai pemasaran kelapa dalam yang terjadi di lokasi peneltian. Metode Analisis Tujuan pertama diidentifikasi dengan cara menelusuri saluran pemasaran yang terjadi di Desa pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin melalui lembaga-lembaga yang terlibat. Untuk menganalisis tingkat efisiensi pemasaran pada setiap lembaga yang terlibat dalam pemasaran kelapa dalam, dihitung dari besarnya nilai majin pemasaran, keuntungan pemasaran dan bagian yang diterima oleh petani (farmer’s share). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Limbong dan Sitorus (2006). a. Menghitung besarnya marjin pemasaran yang diterima pada setiap masing-masing saluran pemasaran, digunakan rumus yaitu: Mpi Dimana: Mpi Hji Hbi i
= Hji
- Hbi
= = = =
Marjin pemasaran ke-i (Rp/buah) Harga jual ke-i (Rp/buah) Harga beli ke-i (Rp/buah) Lembaga pemasaran
b. Menghitung keuntungan pada masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus yaitu : Kpi
=
Mpi – Bpi
Bpi
=
T + TK + S – P + R + L Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
363
Yudhi Zuriah WP/Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan ...
Dimana: Kpi Bpi T TK S P R L
= = = = = = = =
Keuntungan pemasaran (Rp/buah) Biaya pemasaran (Rp/buah) Biaya transportasi (Rp/buah) Tenaga kerja (Rp) Penyusutan (Rp) Biaya Pengemasan (Rp) Retribusi (Rp) Biaya lainya, seperti biaya telpon dan lainya.
c. Menghitung besarnya Farmer’s share, digunakan rumus : (Hanafiah dalam Deni Helfira 2010).
Dimana : FS HP HK
= = =
Farmer’s share Harga ditingkat petani (Rp/buah) Harga ditingkat konsumen (Rp/buah)
d. Menhitung besarnya efisiensi pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran, digunakan rumus: X 100% Dimana : Epi = TBpi = TNpi = TBpi = TNpi = Dimana Bpi Bbi Npi = Hji = Vpi =
Efisiensi pemasaran untuk tingkat ke-i Total biaya pemasaran untuk tingkat ke-i (Rp/buah) Total nilai prodak untuk tingkat ke-i (Rp/buah) Bpi + Bbi Hji x Vpi = Biaya pemasaran tingkat ke-i (Rp/buah) = Biaya pembelian atau harga beli tingkat ke-i (Rp/buah) Nilai produk untuk tingkat ke-i (Rp/buah) Harga jual untuk tingkat ke-i (Rp/buah) Volume penjualan untuk tingkat ke-i
Kriteria lembaga pemasaran efisiensi bila 0≤Epi≤100%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Biaya Pemasaran Tabel 1. Total biaya pada masing-masing lembaga pemasaran kelapa dalam di Desa Pendowo Harjo, 2013
No 1 2 3 4
Biaya Pemasaran (Rp/hari) (Rp/buah) (Rp/bulan) Pedagang Perantara 45.190 152,29 990.256 Pedagang Pengumpul 239.589 201,05 1.437.534 Pedagang Besar 183.219 768,75 4.896.575 Pedagang Pengecer 19.310 185,08 579.286 Total 1.307,17 Keterangan
Sumber : olahan data primer
Pedagang besar yang melakukan kegiatan pemasaran kelapa dalam mengeluarkan biaya yang paling besar, sedangkan pedagang perantara mengeluarkan biaya yang paling sedikit dibandingkan lembaga pemasaran lainnya. Perbedaan biaya ini disebabkan karena penggunaan biaya variabel yang tidak sama, seperti biaya transfortasi, upah tenaga kerja dan konsumsi. Biaya pemasaran yang 364 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yudhi Zuriah WP/Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan ...
dikeluarkan oleh lembaga pemasaran mulai dari pedagang perantara, pedagang pengumpul, sampai pada pedagang besar meningkat atau semakin besar dengan total biaya secara keseluruhan dari keempat lembaga pemasaran tersebut yaitu sebesar Rp.1.307,17 per buah. Pedagang perantara lebih efisien dalam melakukan kegiatan pemasaran karena biaya pemasarannya lebih sedikit. Sistem pemasaran kelapa dalam dari Desa Pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin ini cenderung tidak efisien karena rantai pemasarannya yang panjang sehingga memperbesar biaya pemasaran. Kaitannya dengan lembaga pemasaran yaitu semakin banyak biaya yang diperhitungkan oleh pedagang dalam pemasaran, maka harga jualnya akan semakin tinggi karena pedagang tersebut ingin mendapatkan keuntungan. Apabila semakin tinggi harga jualnya, maka ini akan menjadi beban bagi konsumen akhir, sehingga bagian yang diterima petani (produsen) akan semakin kecil. Marjin Pemasaran Marjin pemasaran pedagang perantara lebih kecil dibandingkan lembaga pemasaran lainnya (pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer). Pedagang besar dan pedagang pengumpul sama-sama menjual kelapa dalam dengan harga jual yang jauh lebih tinggi dari harga belinya jika dibandingkan dengan pedagang perantara dan pedagang pengecer. Jadi sistem pemasaran kelapa dalam dari Desa Pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin ini cenderung tidak efisien karena semakin banyaknya lembaga pemasaran yang ikut serta di dalam pemasaran sehingga total marjin pemasarannya semakin besar, berikut Tabel 2. Tabel 2. Marjin pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran kelapa dalam di Desa Pendowo Harjo, 2013
Harga Beli Harga Jual (Rp/bulan) (Rp/buah) 1 Pedagang Perantara 900 1.300 2 Pedagang Pengumpul 1.300 2.100 3 Pedagang Besar 2.100 3.000 4 Pedagang Pengecer 3.000 3.500 Selisih antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul Selisih antara pedagang besar dengan pedagang perantara Selisih antara pedagang besar dengan pedagang perantara No
Lembaga Pemasaran
Marjin Pemasaran (Rp/bulan) 400 800 900 500 400 100 500
Total Nilai Produk dan Keuntungan Pemasaran Total nilai produk yang diperoleh pedagang pengecer lebih besar dibandingkan lembaga pemasaran lainnya yaitu lebih besar Rp. 500,00 per buah dibandingkan pedagang besar, lebih besar Rp. 1.400,00 per buah dibandingkan pedagang pengumpul, dan lebih besar Rp. 2.200,00 per buah dibandingkan pedagang perantara, disebabkan semakin mahalnya harga jual di tingkat pedagang pengecer. Sebaliknya, total nilai produk yang diperoleh pedagang perantara lebih kecil dibandingkan lembaga pemasaran lainnya, karena lebih murahnya harga jual di tingkat pedagang perantara, berikut Tabel 3. Tabel 3. Total Nilai Produk pada masing-masing lembaga pemasaran kelapa dalam di Desa Pendowo Harjo, 2013
Volume Jual Harga Jual (buah/bulan) (Rp/buah) 1 Pedagang Perantara 7.715 1.300 2 Pedagang Pengumpul 7.150 2.100 3 Pedagang Besar 7.150 3.000 4 Pedagang Pengecer 3.130 3.500 Selisih antara pedagang pengecer dengan pedagang besar Selisih antara pedagang pengecer dengan pedagang pengumpul Selisih antara pedagang pengecer dengan pedagang perantara No
Keterangan
Total Nilai Produk (Rp/bulan) (Rp/buah) 10.029.500 1.300 15.015.000 2.100 21.450.000 3.000 10.955.000 3.500 500 1.400 2.200
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
365
Yudhi Zuriah WP/Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan ...
Total keuntungan yang diperoleh pedagang perantara dalam memasarkan kelapa dalam dari petani ke pedagang pengumpul yakni sebesar Rp. 1.911.066,00 per bulan (Rp247,71 per buah) dengan volume jual sebanyak 7.715 buah per bulan. Kemudian pedagang pengumpul memasarkan dari pedagang perantara ke pedagang besar dengan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 4.282.466,00 per bulan (Rp. 598,95 per buah) pada volume penjualan sebanyak 7.150 buah per bulan. Selain itu, total keuntungan yang diperoleh pedagang besar dalam memasarkan adalah sebesar Rp.938.425,00 per bulan atau Rp.131,25 per buah pada volume penjualan sebanyak 7.150 buah per bulan, berikut Tabel 4. Tabel 4. Keuntungan pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran kelapa dalam di Desa Pendowo Harjo, 2013
Marjin Biaya Pemasaran Volume Jual Pemasaran (Rp/buah) (buah/bulan) (Rp/buah) 1 P. Perantara 400 152,29 7.715 2 P. Pengumpul 800 201,05 7.150 3 P. Besar 900 768,75 7.150 4 P. Pengecer 500 185,08 3.130 Selisih antara pedagang pengumpul dengan pedagang pengecer Selisih antara pedagang pengumpul dengan pedagang perantara Selisih antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar No.
Lembaga Pemasaran
Keuntungan Pemasaran (Rp/buah) 247,71 598,95 131,25 314,92 285,03 351,24 467,70
(Rp/bulan) 1.911.066 4.282.466 938.425 985.714
Sementara total keuntungan yang diperoleh pedagang pengecer adalah sebesar Rp. 985.714,00 per bulan (Rp314,92 per buah) dengan volume penjualan sebanyak 3.130 buah per bulan. Keadaan ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul lebih besar dibandingkan lembaga pemasaran lainnya yakni lebih besar Rp. 285,03 per buah dibandingkan pedagang pengecer, lebih besar Rp. 351,24 per buah dibandingkan pedagang perantara, dan lebih besar Rp. 467,70 per buah dibandingkan pedagang besar. Hal ini disebabkan marjin pemasaran di pedagang pengumpul relatif besar (Rp.800,00 per buah), sedangkan biaya pemasarannya relatif kecil (Rp. 201,05 per buah). Sebaliknya, keuntungan yang diperoleh pedagang besar lebih kecil jika dibandingkan lembaga pemasaran lainnya, hal ini karena besarnya biaya pemasaran yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp.768,75 per buah. Efisiensi Pemasaran Nilai Efisiensi pemasaran di pedagang besar lebih besar (25,63 persen) di bandingkan dengan lembaga pemasaran lainnya, hal ini disebabkan karena total biaya yang dikeluarkan pedagang besar lebih tinggi (Rp. 768,75 per buah). Secara keseluruhan lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran kelapa dalam di Desa Pendowo Harjo sudah efisien, karena nilai efisiensi pemasarannya berada di antara nilai (0< Epi< 100) % , berikut tabel 5. Tabel 5. Tingkat efisiensi pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran kelapa dalam di Desa Pendowo Harjo, 2013
No
Keterangan
Total Biaya Total Nilai Produk (Rp/buah) (Rp/buah) 1 Pedagang Perantara 152,29 1.300 2 Pedagang Pengumpul 201,05 2.100 3 Pedagang Besar 768,75 3.000 4 Pedagang Pengecer 185,08 3.500 Selisih antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul Selisih antara pedagang besar dengan pedagang perantara Selisih antara pedagang besar dengan pedagang pengecer
366 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Efisiensi Pemasaran (%) 11,71 9,57 25,63 5,29 16,06 13,92 20,34
Yudhi Zuriah WP/Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan ...
Nilai Farmer’s Share Harga jual di tingkat produsen sebesar Rp. 900,00 per buah dan harga jual di tingkat konsumen akhir sebesar Rp.3.500,00 per buah diperoleh nilai farmer’s share sebesar 25,71 persen. Artinya, dari harga jual di tingkat konsumen sebesar Rp3.500,00 maka sebesar 25,71 persen merupakan bagian yang diterima petani, sedangkan sisanya sebesar 74,29 persen merupakan bagian yang diterima masingmasing lembaga pemasaran (pedagang perantara, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer), berikut Tabel 6. Tabel 6. Farmer’s Share pada Saluran Pemasaran Kelapa Dalam dari Desa Pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin.
No 1 2 3 4 5
Keterangan Petani Pedagang Perantara Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pedagang Pengecer Farmer Share (%)
Sumber : olahan data primer
Harga Jual (Rp/watun) 900 1.300 2.100 3.000 3.500 25,71
Perbedaan harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat petani (produsen) terlalu karena banyaknya lembaga pemasaran yang ikut serta di dalam kegiatan pemasaran kelapa sehingga menyebabkan bagian yang diterima petani semakin kecil. Dengan demikian pemasaran kelapa dalam dari Desa Pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin cenderung tidak karena bagian yang diterima petani masih tergolong kecil yaitu hanya sebesar 25,71 persen.
tinggi, dalam, sistem efisien
Harga jual yang ditetapkan antara lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran yang lainnya jangan tidak terlalu jauh, karena apabila selisih harga di antara lembaga pemasaran tersebut terlalu jauh, akan menjadi beban bagi konsumen akhir dan akan terdapat pembagian yang tidak adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam tata niaga termasuk petani.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Terdapat dua saluran pemasaran Kelapa Dalam di Desa Pendowo Harjo ke Kabupaten Banyuasin yaitu petani kelapa dalam ke pedagang perantara ke pedagang pengumpul baru ke konsumen akhir, petani kelapa dalam ke pedagang besar ke pedagang pengecer baru ke konsumen akhir. 2. Marjin pemasaran kelapa dalam yang diperoleh pedagang pengumpul lebih besar dibandingkan pedagang perantara, sementara itu marjin pemasaran pedagang besar lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul yaitu masing-masing sebesar Rp.400,00 (pedagang perantara), Rp.800,00 (pedagang pengumpul), dan Rp.900,00 (pedagang besar) per buah. 3. Keuntungan dan efisiensi pemasaran yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran per bulan adalah sebesar Rp.1.911.066,00 (11,71%) pedagang perantara, Rp.4.282.466,00 (9,57%) pedagang pengumpul, Rp.938.425,00 (25,63%) pedagang besar, dan Rp. 985.714,00 (5,29%) pedagang pengecer. 4. Bagian yang diterima petani dari harga jual di tingkat konsumen (Farmer’s Share) adalah sebesar 25,71%. Saran Sebaiknya jangan terlalu banyak lembaga pemasaran yang ikut serta di dalam kegiatan pemasaran, sehingga bagian yang diterima petani cukup besar.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
367
Yudhi Zuriah WP/Efisiensi Pemasaran Kelapa Dalam Di Desa Pendowo Harjo Kecamatan ...
DAFTAR PUSTAKA Agro Inovasi, 2006). Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. (Online). (www.litbang.deptan.go.id/special/publikasi/.../kelapa/kelapa-bagian-b.pdf, Diakses dari Internet Tanggal 15 Februari 2013. Deswita, Selviana; Ermi Tety dan Evy Maharani. 2010. Analisis Saluran Pemasaran Dan Transmisi Harga Tandan Buah Segar (Tbs) Kelapa Sawit Pada Petani Swadaya Di Desa Sari Galuh Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Diakses dari Internet Tanggal 2 Oktober 2013. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan. (Online). (http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama/5-kelapa Diakses Tanggal 15 Februari 2013. Indonesian Commercial Newsletter. 2011. Perkebunan Kelapa Potensi yang Belum Optimal. (Online). (http://www.datacon.co.id/Sawit-2011kelapa.html. Diakses Tanggal 15 Februari 2013). Karmidi. 2009. Pemasaran Kelapa. (Online). karmidi.blogspot.com/2009/07/pemasaran-kelapa. Dikases Tanggal 15 Februari 2013. Limbong dan Sitorus. 2006. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Institute Pertanian Bogor. Rahim, A dan Diah Retno Dwi Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian. Penebar Swadaya. Depok. Saefudin, A. M. 1983. Pemasaran produk pertanian. IPB. Bogor. Sapu, U. 2011. Strategi Pemasaran Kelapa. (Online). (umbusapuymail.blogspot.com/2011/.../strategipemasaran-kelapa.html. Dikases Tanggal 15 Februari 2013. Soekartawi. 2004. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Tomek, CW dan Robinson, L. K. 1981. Agricultural product price. Cornel University Press. London.
368 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
RESPON TANAMAN SAWI (Brasssica juncea L.) TERHADAP BERBAGAI KONSENTRASI DAN INTERVAL PEMBERIAN NANO BIO1) Yursida, Karlin Agustina, dan Edy Romza2) Abstract: A study on response of mustard (Brassica juncea L) to various concentrations and interval Nano Bio Universal was conducted to evaluate growth and production of Brassica juncea L. The study was conducted in the Agricultural Faculty Farm, of IBA University from July to October 2013. The experiment was carried out as a Factorial experiment in a Block Randomized Design with three replications. The first factor was concentration of Nano bio consist of: control, 1 ml / l, 2 ml / l and 3 ml / l, while the second factor was the interval consisting of 3 levels: 3 days, 7 days and 10 days. The results showed that the application of Nano Bio 3 ml / 3 days give the best results, but did not differ significantly with the concentration of 3 ml / 7 days or concentration 2 ml / 3days. Keywords: Nano bio, concentration, interval 1) 2)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Dosen pada Jurusan Budidaya Pertanian UIBA
PENDAHULUAN Latar Belakang
S
aat ini banyak lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang mengalami masalah dengan tanah yang digunakan untuk tumbuhnya tanaman. Kandungan hara yang sudah mulai berkurang akibat pemakaian pupuk kimia menjadi salah satu penyebabnya. Tanah dapat menjadi kering dan mengeras dengan cepat, sehingga menyebabkan menurunnya hasil panen. Hal itu sudah sangat menunjukkan kualitas pertanian di negara ini semakin menurun. Jika hal tersebut dibiarkan tidak menutup kemungkinan pertanian di Indonesia akan semakin mengalami kemunduran dan ketersediaan lahan yang subur semakin terbatas, sehingga upaya yang dapat kita lakukan adalah memanfaatkan lahan marjinal yang ada dengan bantuan teknologi supaya dapat dijadikan tempat untuk budidaya tanaman (Nugroho, 2012). Peningkatan produksi pangan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan perlu didukung oleh teknologi yang mampu membenahi tanah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, ramah lingkungan dan mampu meningtkatkan produksi pangan. Penggunaan pupuk yang tidak seimbang menyebabkan kekurangan hara bagi tanaman dan sebaliknya menyebabkan keracunan dan polusi lingkungan bila digunakan berlebihan. Badan Litbang Pertanian telah melakukan beberapa penelitian dan dapat disimpulkan bahwa teknologi nano sangat dipercaya untuk mendapatkan hasil pertanian yang memuaskan. Teknologi nano dapat mengembangkan unsur hara dalam tanah yang berukuran nano dan dapat juga digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman. Teknologi yang bekerja pada dimensi 10 pangkat minus 9 ini dapat mengembangkan pertanian masa depan, dan kenyataannya pada zaman sekarang ini diperlukan adanya teknologi yang mampu mengembangkan mutu pertanian di Indonesia agar mendapatkan hasil pertanian yang baik dan memuaskan (Nano Sains Forum, 2013). Pada dasarnya, penemuan teknologi nano ini ada untuk memaksimalkan output dengan meminimumkan input pupuk dan pestisida melalui monitoring kondisi tanah seperti perakaran tanah (rizosfir) dan mengaplikasikannya langsung ke target, sehingga teknologi ini mampu mengefisienkan penggunaan pupuk, menurunkan penggunaan pestisida dan menghasilkan produk-produk bio-nano (Widawati, 2011). Pupuk organik cair Bio Nano adalah pupuk yang menggunakan teknologi nano yang merupakan 100 persen pupuk alami hayati, mengandung bio pestisida, dapat mengurangi Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
369
Yursida, dkk./Respon Tanaman Sawi (Brasssica juncea L ) terhadap Berbagai Konsentrasi dan ...
penggunaan pupuk kimia sampai 50 persen, meningkatkan hasil panen 20 sampai 50 persen, dan dapat digunakan untuk segala jenis tanaman (Nano Sains Forum, 2013). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh aplikasi berbagai konsentrasi dan interval pemberian Nano bio terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi Hipotesis 1. Diduga pemberian nano bio dengan interval seminggu sekali akan memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi 2. Diduga pemberian nano bio dengan konsentrasi 1 ml/l air akan memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi 3. Di duga kombinasi pemberian nano bio dengan konsentrasi 1 ml/l air yang diberikan seminggu sekali akan memberi pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi
TINJAUAN PUSTAKA Bahan Pembenah Tanah Menurut Dariah ( 2012), bahan pembenah tanah dibedakan menjadi 2 yaitu : alami dan sintetis (buatan pabrik), dan berdasarkan senyawa pembentukannya juga dapat dibedakan dalam 2 kategori yakni pembenah organik (termasuk hayati) dan pembenah tanah an organik. Konsep penggunaan bahan pembenah tanah adalah: 1. Pemantapan agregat tanah untuk mencegah erosi dan pemcemaran, 2. merubah sifat hidrophobic dan hidrofilik, sehingga merubah kapasitas tanah menahan air (water holding capacity) 3. meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Beberapa bahan pembenah juga mapu menyuplai unsur hara tertentu, meskipun jumlahnya relatif kecil dan seringkali tidak semua unsur hara yang terkandung dalam bahan pembenah tanah dapat segera diguanakan untuk tanaman. Prospek dan KendalaLahanyangmengalami degradasi (penurunan kualitas) semakin meningkatdari tahun ke tahun, baik dari segi luasan maupun tingkat degradasinya. Hasil Penelitian Puslitbangtanah menunjukkan di 11 propinsi di Indonesia terdapat 10,94 juta ha lahan kritis. Berdasarkan data di 11 propinsi tersebut, diperkirakan luas lahan kritis di seluruh wilayah Indonesia akan lebih besar lagi Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk mempercepat laju pemulihan lahan-lahan tersebut. Teknologi Nanobio merupakan teknologi tinggi pertanian yang memanfaatkan organisme tertentu yang berukuran sangat kecil dan diterapkan ke suatu tanaman sehingga tanaman tersebut mampu tumbuh dengan baik. Arah pertanian ke depan akan berbasis pada teknologi ramah lingkungan, karena pertanian secara konvensional sudah tidak mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk yang pesat. Sementara itu, peneliti teknologi Nanobio dari Thailand, Charoonkiat Phatthara Montrisin mengungkapkan, penerapan teknologi ini di negaranya sudah terbukti mampu meningkatkan produktivitas pertanian hingga dua kali lipat, selain itu mampu menurunkan biaya produksi hingga setengahnya. Pemerintah Indonesia berencana memanfaatkan teknologi Nanobio pada 2015 mendatang. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Sawi (Brassica juncea L.) merupakan tanaman sayuran dengan iklim sub-tropis, namun mampu beradaptasi dengan baik pada iklim tropis. Sawi pada umumnya bayak ditanam di dataran rendah, namun dapat pula didataran tinggi . Sawi tergolong tanaman yang toleran terhadap suhu tinggi (panas). (Haryanto et al, 1995) 370 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yursida, dkk./Respon Tanaman Sawi (Brasssica juncea L ) terhadap Berbagai Konsentrasi dan ...
Saat ini, kebutuhan akan sawi semangkin lama semangkin miningkat seiring dengan peningkatan populasi manusia dan manfaat mengkonsumsi bagi kesehatan. Selain itu juga sangat potensial untuk komersial dan prospek sangat baik, di lihat dari aspek klimatologis, aspek teknis, aspek ekonomis dan aspek sosialnya sangat mendukung, sehingga memiliki kelayakan untuk diusahakan (Nazarudin, 2002) Kandungan yang terdapat pada sawi adalah protein, lemak, karbohidrat, (Ca), (P), (Fe), Vitamin (A), Vitamin (B), dan Vitamin (C) (Haryanto et al., 1995). Selain itu sayuran yang berwarna hijau tua, umpamanya sayuran sawi, merupakan sayuran yang banyak mengandung zat besi dan karotin. Pertumbuhan tanaman sawi akan lebih baik jika unsur hara yang dibutuhkan tersedia cukup.. Hal ini tidak menjadi masalah jika budidaya dilakukan di lahan yang subur. Tetapi ketersediaan lahan yang subur semakin terbatas sehingga budidaya tanaman terpaksa dilakukan di lahan lahan marginal . Salah satu solusinya adalah meningkatkan kesuburan tanah dengan memberikan pembenah tanah.
PELAKSANAAN PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas IBA Palembang. Sedangkan waktu pelaksanaannya dimulai pada bulan Juli sampai Oktober 2013 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih awi dataran rendah, dan Nano Bio Sedangkan alat yang digunakan polibeg, gelas ukur, .pipet ukur. handspeyer, oven, timbangan, neraca analitik, , meteran, gunting, dan alat-alat laboratorium lainnya. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok ( RAK ) yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah konsentrasi nano bio dan faktor kedua adalah interval pemberian Nano Bio. Adapun konsentrasi yang digunakan adalah: K0 K1 K2 K3 K4
= kontrol = 0,5 ml/l air = 1 ml/l air = 2 ml/l air = 3 ml/l air
Sedangkan perlakuan interval pemberian nano bio adalah sebagai berikut : I1 = 3 hari sekali I2 = 7 harisekali I3 = 10 hari sekali Untuk melihat pengaruh perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Cara Kerja 1. Persiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan adalah tanah marginal yang berasal dari kebun percobaan Fakultas pertanian UIBA dengan pH 4,5 dan tekstrur berlempung halus. Tanah dibersihkan dan dihaluskan kemudian dimasukkan dalm polibeg ukuran 5 kg dan diberi label. 2. Persemaian dan penanaman Bak plastic diisi dengan media sekam bakar . Benih sawi disemaikan dalam bak plastik lalu dilembabkan. Peresemaian berlangsung selama 21 hari..Kemudian\bibit sawi tersebut dipindahkan ke dalam polibeg yang telah diisi dengan media tanam. 3. Persiapan Larutan Nano bio Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
371
Yursida, dkk./Respon Tanaman Sawi (Brasssica juncea L ) terhadap Berbagai Konsentrasi dan ...
Larutan nano bio disiapkan dengan cara mencampur larutan nano bio dan feeder dengan perbandingan yang sama ke dalam air bersih sebanyak 1 liter. Konsentrasi yang digunakan sesuai perlakuan yaitu 0,5 ml/l , 1 ml/l, 2 ml/l dan 3 ml/l. Lalu larutan tersebut diinkubasikan selama 24 jam di laboratorium. 4. Aplikasi Nano Bio Larutan yang sudah diinkubasi disiramkan ke media tanam sampai mencapai kapasitas lapang. . Aplikasi disesuaikan dengan perlakuan yaitu 3 hari sekali, seminggu sekali dan 10 hari sekali. 5. Pemeliharaan Pemeliharaan meliputi penyulaman yang di lakukan bila ada tanaman mati dengan batas waktu satu minggu setelah tanam. 6. Panen Panen dilakukan setelah tanaman sawi memperlihatkan fisik tanaman yang telah siap di panen, dengan kriteria 50 % daun terbawah telah berwarna menguning,ukurannya lebih kecil dari daun diatasnya sedangkan daun diatasnya berbentuk lebih tebal dan berwarna hijau cerah. 7. Peubah Yang Diamati Peubah yang diamati meliputi: 1. Analisis media tanam dilakukan di laboratorium Puslit Tanah Bogor 2. Tinggi Tanaman (cm) 3. Jumlah Daun (helai) 4. Berat Segar Tanaman (g) 5. Berat Kering Tanaman (g) 6. Panjang Akar (cm)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi Nano Bio berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sawi, demikian juga dengan interval pemberian serta interaksi keduanya. Hasil tertinggi terdapat pada perlakuan K4I1 (30,98 cm) tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan K3 I1. Data secara lengkap tertera pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh konsentrasi dan interval pemberian nano Bio terhadap tinggi tanaman sawi (cm)
Konsentrasi K0 (kontrol) K1 (0,5 ml/l) K2 (1 ml/l) K 3 (2 ml/l) K4 (3 ml/l) Rata rata interval BNJ K = 1,81
Interval pemberian (hari) 3 hari 7 hari 10 hari 21,0 A 20,5 A 20,7 A 23,8 AB 22,7 A 21,6 A 25,9 AB 24,33 AB 22,5 A 28,9 B 26,8 AB 25,4 AB 30,98 B 20,37 A 27,5 AB 26,11 b 22,96 a 23,56 a BNJ I = 0,98 BNJ i=7,36
Rata rata konsentrasi 20,73 a 22,70 b 24,24 c 27,03 d 26,28 d 26,11 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada Uji BNJ taraf 5%.
Sedangkan pengamatan terhadap jumlah daun menunjukkan bahwa jumlah daun terkecil terdapat pada kontrol yang berbeda nyata dengan semua perlakuan. Tetapi antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ %.
372 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yursida, dkk./Respon Tanaman Sawi (Brasssica juncea L ) terhadap Berbagai Konsentrasi dan ... Tabel 2. Pengaruh konsentrasi dan interval pemberian nano Bio terhadap jumlah daun sawi (helai)
Konsentrasi K0 (kontrol)
Interval pemberian (hari) 3 hari 7 hari 10 hari
Rata rata konsentrasi
4,67 A
4,00 A
4,00 A
4,22 a
5,33 B
5.00 B
5,00 B
5,11 b
5,33 B 5,00 B 5,00 B
5,11 b
5,33 B 5,33 B 5,67 B
5,44 b
5,67 B 5,33 B 5,33 B Rata rata interval 5,37 b 4,93 a 5,00 a BNJ K = 0,20 BNJ I = 0,11 BNJi = 0,82
5,44 b
K1 (0,5 ml/l) K2 (1 ml/l) K 3 (2 ml/l) K4 (3 ml/l)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada Uji BNJ taraf 5%.
Pemberian Nano Bio dengan konsentrasi 3 ml/l yang diaplikasikan 7 hari sekali ( K4I1) memberikan hasil berat segar terbesar yaitu 86,3 g tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan K3I1, K3I2,K4I2 dan K4I3 (seperti tertera pada tabel berikut) Tabel 3. Pengaruh konsentrasi dan interval pemberian nano Bio terhadap berat segar sawi (g)
Konsentrasi
Interval pemberian (hari) 3 hari
K0 (kontrol) 21,5 A K1 (0,5 ml/l) 48,3 B K2 (1 ml/l) 75,3 D K 3 (2 ml/l) 85,0 E K4 (3 ml/l) 86,3 E Rata rata interval 63,28 b BNJ K = 0,88 BNJ I = 0,48
7 hari
Rata rata konsentrasi 20,,7 a 39,16 b 68,76 c 81,53 d 84,63 e
10 hari
22,0 A 21,7 46,9 B 22,3 73,8 D 57,2 83,4 E 76,2 84,7 E 82,9 62,16 b 52,00 BNJ i = 3,6
A A C D E a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5%.
Sedangkan hasil pengamatan terhadap berat kering juga menunjukkan hasil tertinggi ada perlakuan K4I1 yaitu seberat 8,8 g, tetapi berbeda tidak nyata dengan K4I2 dan K3I1 (Tabel 4) Tabel 4. Pengaruh konsentrasi dan interval pemberian nano Bio terhadap berat kering sawi (g)
Konsentrasi K0 (kontrol) K1 (0,5 ml/l) K2 (1 ml/l) K 3 (2 ml/l) K4 (3 ml/l) Rata rata interval BNJ K = 0,11 BNJ
Interval pemberian (hari) 3 hari 1,95 5,84 7,45 8,60 8,80 6,528 a I = 0,06
7 hari
10 hari
Rata rata konsentrasi 2,00 a 4,54 b 6,74 c 8,15 d 8,43 e
2,10 1.97 5,50 2,30 7,39 5,40 8,30 7,57 8,40 8,10 6,338 b 5,068 c BNJ interval = 0,46
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada Uji BNJ taraf 5%.
Perlakuan K4I1 yaitu Nano Bio konsentrasi 3 ml/l yang diaplikasikan setiap 3 hari memberikan panjang akar terpanjang. Tetapi berbeda tidak nyata dengan KI2, K4I3, K3I1,K3I2,K3I3 serta K2I3.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
373
Yursida, dkk./Respon Tanaman Sawi (Brasssica juncea L ) terhadap Berbagai Konsentrasi dan ... Tabel 5. Pengaruh konsentrasi dan interval pemberian nano Bio terhadap panjang akar sawi (cm)
Konsentrasi K0 (kontrol) K1 (0,5 ml/l) K2 (1 ml/l) K 3 (2 ml/l) K4 (3 ml/l) Rata-rata Interval BNJ K = 0,36
Interval pemberian (hari) 3 hari 7 hari 10 hari 5,10 A 5,10 A 5,70 A 5,20 A 6,10 AB 5,90 A 7,10 B 6,70 B 7,40 B 7,20 B 6,28 b 6,02 a BNJ I = 0,19
4,90 A 5,20 A 6,30 AB 6,20 AB 6,98 B 6,06 a
Rata rata Konsentrasi 5,03 a 5,36 a 6,10 b 6,66 b 7,18 c BNJ i = 1,47
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada Uji BNJ taraf 5%.
Pembahasan Hasil penelitian menunjukan bahwa aplikasi konsentrasi dan interval pemberian nano Bio berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, seperti tinggi tanaman, jumlah daun, berat segar tanaman, dan panjang akar. Perlakuan K4I1 menghasilkan tinggi tanaman tertinggi dan berbeda tidak nyata dengan K3I1,K2I1,K1I1,K3I2,K2I2,K4I3 dan K3I3. Ini menunjukkan bahwa dengan pemberian nano Bio konsentrasi 3 ml/l dengan interval 10 hari atau konsentrasi 0,5 ml/l yang diberikan setiap 3 hari memberikan hasil yang sama dengan konsentrasi 3 ml/l yang diberikan tiap 3 hari . Terlihat semakin tinggi konsentrasi dan makin rapat interval maka makin tinggi tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa peran unsur Nittrogen yang dihasilkan oleh Nitrobacter dan Rhizobium yang terkandung dalam Nano Bio dalam memfixasi N dari udara terhadap pertambahan tinggi tanamn dan menunjukkan manfaat penggunaan pupuk hayati nano Bio (Nano sains Forum, 2013). Selanjutnya menurut Marschner (1990) nitogen diperlukan tanaman sebagai penyusun protein yang berguna dalam pembelahan dan pembentukan sel sel baru sehingga akan membentuk jaringan baru yang juga dapat meningkatkan aktivitas metaboleisme. Aplikasi nano Bio pada semua konsentrasi dan interbval pemberian menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata tetapi berbeda nyata dengan kontrol (tanpa pemberian nano Bio). Hal ini menunjukan bahwa mikroba yang terkandungdalam nano Bio bekerja dalam proses pembenahan dan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanman untuk tumbuh dan menyediakan unsur hara yang dapat dimanfaatkan tanaman (Widowati, 2011). Pada penelitian ini tidak ada perbedaan yang nyata pada jumlah daun untuk semua konsentrasi dan interval pemberian yang kemungkinan karena sifat genetik tanaman, Pada panjang akar terlihat bahwa pemberian nano Bio konsentrasi 3 ml/l dengan interval 3 hari menunjukkan hasil terpanjang dibandingkan perlakuan lain, tetapi berbeda tidak nyata dengan interval lainnya, dan konsentrasi 1 ml/l dengan interval 3 hari dan 7 hari . hal ini menunjukan makin tinggi konsentrasi dan makin sering aplikasi menyebabkan pertumbuhan akar makin panjang. Ini didukung informasi dari nano Sains Forum (2013) yang menyatakan bahwa salah satu manfaat nano Bio adalah merangsang pertumbuhan batang dan akar serta hasil tanman . Dimana tercermin dari peubah berat segar dan berat kering tanaman yang selaras dengan hasil`peubah tinggi tanmaan dan panjang akar. Pada berat kering terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi dan makin sering diberikan maka makin besar berat kering sawi. Selanjutnya Nano sains Forum (2013) juga menyatakan bahwa pupuk dengan teknologi nano bermanfaat meningkatkan penyerapan hara, perlindungan tanmaan serta meningkatkan produksi tanaman.
KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aplikasi Nano Bio berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian nano Bio). Aplikasi Nano Bio dengan konsentrasi 3 ml/l yang diberikan setiap 3 hari memberikan pengaruh yang terbaik . 374 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Yursida, dkk./Respon Tanaman Sawi (Brasssica juncea L ) terhadap Berbagai Konsentrasi dan ...
DAFTAR PUSTAKA Dariah, A. 2012. Bahan Pembenah Tanah, Prospek dan Kendala. www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/165. Diakses 27 Juli 2013 Gomez, K.A and A.A. Gomez. Statistical Procedues for Agricultural reserach 1984. John Wiley & Sons, Inc. Haryanto, E., T. 1995 Bertanam Sawi. Kanisius Yogyakarta, Nano Sains Forum. 2013. Teknologi Nano Selesaikan Masalah dalam Bidang Pertanian. Universitas Diponegoro, Semarang. Nazaruddin 2002. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah Penebar Swadaya , Jakarta . Nugroho, P. 2012. Panduan Membuat Pupuk Kompos Cair. Pustaka Baru, Yogyakarta Widowati, L.R. 2011. Pengembangan Teknologi Nano dengan Memanfaatkan Bahan Batuan Alami dan Bahan Organik. Laporan Hasil Penelitiaan . Balitbangtan, Balai Penelitian Tanah, Bogor
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
375
RESPON MIKROALGA DAN BAKTERI DALAM MENGABSORBSI POLUTAN LIMBAH PABRIK PUPUK UREA 1) Marhaini2), Faizal, Hatta Dahlan, Arinafril, Marsi3) Abstrak: Salah satu permasalahan yang sering dihadapi pabrik pupuk urea di Indonesia adalah tingginya kadar amonia dan urea dalam limbah cairnya. Meskipun air limbah pabrik pupuk urea tidak tergolong senyawa B 3, namun pada konsentrasi tertentu, senyawa amonia dan urea diperairan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem karena akan berdampak pada eutrofikasi ekosistem, menghambat metabolisme biota air, bahkan menyebabkan keracunan yang berakibat kerusakkan oran tubuh dan kematian. Prinsipnya senyawa nitrogen dalam limbah yang menimbulkan polusi adalah ion amonia (NH3-), ion nitrat (NO3-) dan ion nitrit (NO2-). Penelitian ini bertujuan meneliti efektifitas mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens dalam mengabsorbsi polutan dalam air limbah pabrik pupuk urea. Pada proses bioremediasi konsentrasi air limbah pabrik pupuk urea yang menggunakan konsentrasi IC 50. C. pyrenoidosa terjadi penurunan NH3-N sebesar 53,46% dan urea sebesar 58%. Nannochloropsis sp mampu menurunkan NH3-N 57,5% dan urea 53,71%. P. fluorescens mampu menurunkan NH3-N 71,57% dan urea 62,47%. Sedangkan sinergi mikroalga C. pyrenoidosa dan bakteri P. fluorescens dapat menurunkan NH3-N sebesar 58,98% dan urea 80,24%. Kata kunci: air limbah pabrik pupuk urea, Chlorella pyrenoidosa, Nannochloropsis sp, Pseudomonas fluorescens 1)
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013 Universitas Muhammadiyah Palembang Jln. A. Yani 13 Ulu, Palembang, email : [email protected] 3) Universitas Sriwijaya Program Pascasarjana. Jln. Padang Selasa Palembang 2)
PENDAHULUAN
S
enyawa amonia sudah dikenal luas sebagai bahan baku beberapa komoditas penting dalam perindustrian. Namun, di lain pihak amonia juga merupakan salah satu polutan berbahaya. Senyawa amonia dalam air pada konsentrasi tertentu, mengganggu keseimbangan ekosistem karena menyebabkan eutrofikasi ekosistem perairan, menghambat metabolisme hewan air, bahkan menyebabkan keracunan yang berakibat kerusakan organ tubuh dan kematian. Pada prinsipnya, senyawa nitrogen dalam limbah yang dapat menimbulkan polusi adalah : ion amonia (NH3), ion nitrat (NO3-) (Setiyawan et al., 2011). Di Indonesia, terdapat enam pabrik pupuk urea dengan karakteristik air limbah berkadar urea dan amonia-nitrogen tinggi. Pengolahan air limbah berkadar urea dan amonia-nitrogen tinggi merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pabrik pupuk urea di Indonesia. Meskipun air limbah pabrik pupuk urea tidak termasuk senyawa bahan berbahaya dan beracun (B3), air limbah pabrik pupuk urea ini dapat menimbulkan kerusakan ekosistem badan air yang sangat serius (Wardhany et al., 2009). Salah satu aktivitas industri pupuk urea yang berpotensi menimbulkan dampak pencemaran lingkungan adalah kegiatan pembuangan air limbah ke perairan. Limbah cair yang merupakan hasil sampingan utama dari industri pupuk urea adalah amonia cair. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.122 tahun 2004 dan SK Gubernur Sumatera Selatan No.18 tahun 2005, beban pencemaran maksimal untuk industri pupuk urea adalah kadar amonia cair sebesar 0,75 kg/ton (50 mg/L) dan pH 6,0 – 10. Dalam skala besar mikroalga selalu berasosiasi dengan bakteria/mikroba lain. Pada dasarnya, interaksi bakterialga mampu memurnikan air sungai. Aktivitas metabolisme bakteri heterotropikaerobik menghasilkan CO2,NH4+,NO3-, PO43- dan sebagainya. Mikroalga menyerap senyawa-senyawa tersebut dan menghasilkan bahan organik, O2, dan H2O. Oksigen yang diproduksi mikroalga digunakan oleh bakteri aerobik-heterotrofik diantaranya untuk reaksi nitrifikasi dan bakteri anaerobikdenitrifikasi. Dalam penelitian ini, akan dicoba menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa dan
376
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Marhaini, dkk./Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah ...
Nannochloropsis sp. yang bersinergi dengan bakteri P. fluorescens, untuk mengolah air limbah yang mengandung urea dan amonia konsentrasi tinggi. Menurut Liang Li dan Yan Liu (2009), proses pengolahan limbah secara biologis (mikroorganisme) tidak akan berlangsung secara maksimal atau terganggu apabila pada limbah ditemukan senyawa kimia yang beracun (toxic) sehingga akan mempengaruhi kinerja dari unit pengolahan limbah. Untuk itu dalam penelitian ini, harus melakukan uji toksisitas mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens (IC50) terhadap air limbah pabrik pupuk urea. Telah diketahui juga bahwa bakteri genus Pseudomonas khususnya spesies P. fluorescens yang merupakan bakteri tanah ini dapat dipakai untuk mendeteksi adanya polutan pada ekosistem (Wu et al., 2006, Selvaraju et al., 2011). Bakteri ini mudah dibiakkan dalam bentuk kultur, tetap bertahan hidup di lingkungan yang terkontaminasi polutan dan mengandung enzim pendegradasi pestisida yang merupakan ekspresi bakteri yang dapat mendegradasi pestisida (Wu et al., 2006, Santacruz et al., 2005; Torres et al., 2010). Lingkungan yang terkontaminasi logam berat seperti timah, merkuri, dan cadmium diketahui dapat diremediasi oleh bakteri P. putida (Wu et al., 2006, Wasi et al., 2011). Sedangkan mikroalga jenis C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. digunakan dalam penelitian ini, karena keduanya adaptif terhadap perubahan lingkungan, berpotensi untuk digunakan pada akumulasi bahan limbah, khususnya untuk penyerapan nitrogen dan fosfor, dan laju pertumbuhannya relatif cepat disamping itu memiliki konsentrasi klorofil tertinggi dan dapat berkembang biak dengan waktu generasi setiap 7 – 9 jam dengan waktu fase stasioner terjadi dalam hari 5-6 (Hansakul, 1993) .
METODE PENELITIAN Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : labu ukur, pH meter, pipet ukur, Spektrofotometer, timbangan, aerator ,selang plastik bening berdiameter ¾, hemacytometer, mikroskop, Lampu Tl dan botol kultur. Sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah air, akuades, reagen Nessler, limbah cair amonia yang diambil dari Wetland area pabrik pupuk urea dan mikroalga Chlorella pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. Bibit berasal dari kultur murni dalam keadaan tidak terkontaminasi oleh zooplankton atau organisme lain. Air yang digunakan adalah air payau (campuran air laut dan air tawar) sebagai media tumbuh utama Nannocloropsis sp dengan salinitas 3%, sedangkan mikroalga Chlorella pyrenoidosa menggunakan air tawar, pH 8 - 9.5, dan suhu 25-30 °C. Bakteri Pseudomonas fluorescens, bibit berasal dari biakan murni dalam keadaan tidak terkontaminasi. Media Kings B (komposisi protease pepton 10 g, K₂HPO₄ 0,75 g, MgSO₄7H₂O 0,75 g, gliserol 7,5 ml, akuadest 500 ml). Pengukuran variabel meliputi pH, kadar NH3-N dan urea.
PEMBAHASAN Derajat Keasaman (pH) Air Limbah Pabrik Pupuk Urea yang Diolah dengan Mikroalga, Bakteri dan Sinergi Mikroalga dengan Bakteri Derajat keasaman adalah parameter yang menunjukkan banyaknya ion hidrogen yang terkandung dalam air. Nilai pH medium kultur merupakan faktor mengontrol yang menentukan kemampuan biologis mikroorganisme dalam memanfaatkan unsur hara (De La Noue dan De Pauw, 1989). Derajat keasaman (pH) kualitas air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens serta sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens dari hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1. perlakuan yang menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. terlihat tidak terjadi penurunan pH, ini disebabkan adanya sistem buffer alami berupa gas CO2 terlarut yang terdapat dalam media kultur akibat dari mikroalga dalam memfiksasi gas CO2 dalam kawasan pabrik dalam proses fotosintesis. Hal ini didukung oleh pendapat Cole, (1988), yang menyatakan gas CO2 terlarut yang terdapat dalam media akan menjadi asam karbonat yang akan terurai menjadi ion karbonat dan ion bikarbonat. Kandungan CO2 didalam kultur berasal dari difusi udara dan respirasi
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
377
Marhaini, dkk./Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah ...
dari yang digunakan dalam proses fotosintesis (Oh-Hama dan Miyachi 1988). Dalam air CO2 dapat hadir dalam bentuk berikut ini : CO2 + H2O
H2O3
H+ + HCO2-
2H+ + CO32- .................. (1)
Perubahan pH media umumnya terjadi jika ada absorbsi nitrogen dalam bentuk ion amonium yang berasal dari garam amonium sehingga media menjadi asam dan absorbsi ion nitrat, sebaliknya menyebabkan pH media akan tetap, hal ini dapat dinetralkan dengan sumber karbon yang ditambahkan (Fogg, 1953). Menurut Becker (1994), pemanfaatan amonium sebagai sumber nitrogen untuk mikroalga mengakibatkan pH media menjadi tetap, dan menyatakan asimilasi nitrat dan amonium sangat berkaitan dengan pH. Perubahan pH karena penambahan ion hidrogen sebagai akibat pengambilan amonium. Mikroalga akan menggabungkan NH4+ dengan sel sebagai R-NH3 dalam kondisi terdisosiasi, dimana R adalah gugus alkil. Pada proses ini ion H+ yang tertinggal dalam media akan mengakibatkan pH menjadi turun (Said, 1987). Berdasarkan hasil penelitian profil pH pada kualitas air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan bakteri P. fluorescens (Gambar 1) selama masa pemeliharaan terjadi penurunan yang dilakukan mulai pada hari ke-0 sampai pada ke-7 dengan berbagai konsentrasi, seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Nilai penurunan pH selama pemeliharaan dari sebelum kultur pH 8,3 setelah kultur selama 7 hari pH menjadi 7,5. Hal ini diduga akibat adanya proses respirasi yang dilakukan oleh bakteri P. fluorescens sehingga terjadinya sistem buffer secara alami. Derajat keasaman dalam kehidupan bakteri berperan dalam proses nitrifikasi seperti pertumbuhan, perkembangbiakan serta aktivitasnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Beristain et al., (2005a), bahwa nilai pH selama masa pemeliharaan dengan menggunakan bakteri dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu CO2 dalam media pemeliharaan, dan keberadaan bakteri. Seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan, maka jumlah CO2 akan semakin banyak sehingga nilai pH pada media pemeliharaan cenderung semakin menurun. Sumbangan CO2 pada media pemeliharaan diduga juga berasal respirasi yang dilakukan oleh bakteri yang menghasilkan CO2. Adanya CO2 dalam air akan menggeser kesetimbangan karbonat kearah kanan sehingga akan menurunkan nilai pH. Berikut merupakan reaksi kesetimbangan karbonatnya: CO2 + H2O
H+ + HCO3- ............................................................................(2)
Ketika terdapat CO2 maka reaksi kesetimbangan akan bergeser ke kanan sehingga terbentuk ion H+ yang akan menyebabkan pH perairan menurun bersifat lebih asam. Menurut McIntosh (2001), yang menyatakan peningkatan CO2 akan menurunkan nilai pH pada perairan. Seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan, maka jumlah CO2 akan semakin banyak sehingga nilai pH pada media pemeliharaan cenderung semakin menurun. Mekanisme bakteri nitrifikasi dapat mempengaruhi pH dapat dijelaskan melalui persamaan berikut (Novotny dan Olem, 1994) : NH4+ + 2 O2 NH4+ + 3/2 O2
NO3- + 2 H+ + H2O ......................................................................(3) NO2- + 2 H+ + H2O ..........................................................(4)
Melalui persamaan diatas dapat dilihat bahwa bakteri nitrifikasi dalam prosesnya untuk mengubah NH4+ (amonium) menjadi NO3- (nitrat) dan nitrit menghasilkan ion H+ yang dapat membuat pH pada media pemeliharaan turun. Pada penelitian pengolahan air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan interaksi sinergi antara mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens terdapat pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat penurunan kadar pH. Hal ini akibat dari interaksi antara mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens bersinergi dalam pengolahan air limbah pabrik pupuk urea dimana bakteri P. fluorescens menguraikan senyawa yang ada pada air limbah pabrik pupuk urea yang antara lain menghasilkan CO2 dan H2O sehingga terjadi persamaan reaksi 2 dan adanya proses mikroalga dalam memfiksasi gas CO2 pada kawasan pabrik. Ketika terdapat CO2 maka reaksi kesetimbangan akan bergeser ke kanan sehingga terbentuk ion H+ yang akan menyebabkan pH perairan menurun. Hal ini didukung oleh pendapat Cole (1988), bahwa 378 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Marhaini, dkk./Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah ...
gas CO2 terlarut yang terdapat dalam media akan menjadi asam karbonat yang akan terurai menjadi ion karbonat dan ion bikarbonat. Berdasarkan hasil penelitian kadar pH pada kualitas air pabrik pupuk urea dengan pengolahan menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens serta sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens dapat disimpulkan kadar pH masih memenuhi standar baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 122 tahun 2004 dan SK Gubernur Sumatera Selatan No. 18 tahun 2005. NH3-N Air Limbah Pabrik Pupuk Urea yang Diolah dengan Mikroalga, Bakteri dan Sinergi Mikroalga dengan Bakteri Kadar Amonia (NH3-N) kualitas air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens serta sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens dari hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kadar NH3-N yang telah dilakukan terhadap mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. pada air limbah pabrik pupuk urea terjadi penurunan pada masing-masing perlakuan yang berdasarkan konsentrasi nilai IC50 yang diamati mulai dari hari ke-0 sampai ke-7. Pada Gambar 2. terlihat konsentrasi IC50a, IC50b, IC50c, IC50d, dan IC50e, terjadi penurunan kadar NH3-N. Penurunan konsentrasi NH3-N dalam air limbah pabrik pupuk urea dipengaruhi berbagai faktor diantaranya kemampuan mikroalga dalam mereduksi senyawa nitrogen yang didukung oleh kondisi lingkungan seperti pH dan cahaya, selain itu mixing (agitasi) tetap dilakukan sehingga tidak terjadi proses pengendapan. Di dalam proses fotosintesis, mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp, memerlukan unsur hara nitrogen yakni amonium, nitrat atau nitrit yang terkandung dalam air limbah pabrik pupuk urea. Unsur nitrogen yang dimanfaatkan secara langsung berturut-turut adalah amonium (NH4-N), nitrat (NO3-N) kemudian nitrit (NO2-N). Konsentrasi amonium dalam limbah pabrik pupuk urea dimanfaatkan sebagai salah satu sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. Efektifitas penurunan NH3-N menunjukkan adanya peningkatan penerapan unsur hara yang dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen oleh mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. dalam menghasilkan protein sebagai hasil dari proses metabolisme. Penurunan NH3-N memperlihatkan terjadinya proses asimilasi yang merombak senyawa amonium anorganik (NH4+) menjadi senyawa mikroorganik berupa asam amino dalam sel mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. yang dibutuhkan dalam membantu mempercepat pertumbuhannya. Hal ini didukung oleh pendapat Davis et al., (1953) dan Odum (1971), yang menyatakan bahwa apabila terdapat amonium dan nitrat dalam limbah maka mikroalga suka menggunakan amonium sebagai sumber nitrogen. Menurut Wheeler (1983), menyatakan bahwa metabolisme nitrogen pada mikroalga terjadi melalui tahapan asimilasi senyawa nitrogen anorganik berupa NH4+ menjadi metabolit organik berupa asam amino bebas. Peningkatan penyerapan senyawa nitrogen menyebabkan peningkatan biomassa, konsentrasi protein dan klorofil (Beaker, 1994). Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 2. Bahwa kultur mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. dalam limbah cair pabrik pupuk urea akan tumbuh dengan baik dan sekaligus berperan positif dalam upaya pengolahan limbah cair. Ini dikarenakan didalam air limbah pabrik pupuk urea terkandung senyawa nitrogen seperti amonium, nitrat dan nitrit sebagai nutrien bagi mikroalga C. pyrenoidosa dan Nannochloropsis sp. dalam proses metabolismenya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Goldman and Horne (1983), bahwa kehidupan dan pertumbuhan mikroalga sangat tergantung pada kandungan nutrien dan CO2 dalam air serta energi matahari, Nitrat (NO3-), amonium (NH4+) dan amonia (NH3-) adalah bentuk nutrien yang siap digunakan oleh mikroalga berklorofil untuk melakukan proses fotosintesis (Corner and Davies, 1971). Berdasarkan hasil penelitian pengolahan air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan bakteri P. fluorescens dalam mengabsorbsi NH3-N Disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2. konsentrasi IC50a, IC50b, IC50c, IC50d, dan IC50e, selama masa pemeliharaan cenderung terjadinya penurunan NH3-N. Hal ini adanya penguraian amonium pada saat proses nitrifikasi didalam kultur. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
379
Marhaini, dkk./Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah ...
Penguraian amonium tersebut diduga dilakukan oleh bakteri P. fluorescens yang bersifat autotrof dan heterotrop untuk mensintesa sel untuk memperoleh senyawa nitrat yang dijadikan sebagai energi dalam proses metabolismenya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Novotny dan Olem (1994), yang menyatakan bahwa, perubahan amonium menjadi nitrit (nitrifikasi) dan teroksidasi membentuk nitrat oleh bakteri yang menggunakan energi dari reaksi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan sel dalam reaksi sebagai berikut: NH4+ + 3/2 O2
NO2- + 2 H+ + H2O ..........................................................(5)
NO2- + ½ O2
NO3- .......................................................................................(6)
NH4+ + 2 O2
NO3- + 2 H+ + H2O ......................................................(7)
Sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens dalam pengolahan air limbah pabrik pupuk terlihat pada Gambar 2, dan hasil pengamatan pada konsentrasi IC50a, IC50b, IC50c, IC50d, dan IC50e, dimana terjadi penurunan kadar NH3-N. Hal ini disebabkan interaksi sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens, dimana bakteri P. fluorescens dalam kerjanya pengolahan air limbah pabrik pupuk urea menguraikan senyawa-senyawa yang ada pada limbah pabrik pupuk urea menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana yang siap dimanfaatkan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp seperti NO2, NO3-. NH4+ dan CO2. Sedangkan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dalam pengolahan air limbah pabrik pupuk urea menghasilkan bahan organik, O2 dan H2O. Hal ini diperkuat oleh pendapat Wardhany et al., (2009), menyatakan bahwa melalui proses fotosintesis, mikroalga menggunakan CO2 dari bakteri aerob dan amonia untuk membentuk protoplasma sel dan melepaskan molekul oksigen dapat digambarkan pada persamaan reaksi 8 dan 9, proses antara bakteri dengan mikroalga dalam pengolahan air limbah nitrogen. Cahaya 8 CO2 + 4,5 H2O
C5H14O3N + 8,75 O2
…................................................(8)
Unsur hara C8H12O3N + 3O2
C5H7O2N + NH3 + 3 CO2 + H2O .....................................(9)
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan (fotosintesis) mikroalga adalah intensitas cahaya, suhu air, pH, makro dan mikronutrien, dan konsentrasi CO2 (Surk-Key & Toshiuki, 2002). Walaupun mengandung unsur karbon, karbon pada urea tidak bisa digunakan sebagai sumber hara (Stein, 1973; Polle et al., 1999), karena karbon dalam bentuk teroksidasi dan selama hidrolisis terlepas sebagai CO2 dalam reaksi sebagai berikut: (NH2)2CO + 2 H2O
(NH4)2 CO3
2NH3 + CO2 + H2O ……….....................(10)
Menurut Stein (1973), bakteri memanfaatkan bahan organik yang dihasilkan oleh mikroalga atau berasal dari mikroalga mati sebagai sumber karbon untuk mensintesa sel baru dan untuk kebutuhan energi membentuk produk akhir seperti CO2, NH4+ pada proses respirasi dan sintesis, mikroalga memanfaatkan CO2 sebagai sumber karbon untuk fotosintesis. Pengolahan air pabrik pupuk urea dengan menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens serta sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens dapat disimpulkan kadar NH3-N yang memenuhi standar baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 122 tahun 2004 dan SK Gubernur Sumatera Selatan No. 18 tahun 2005. Baku mutu air limbah bagi kegiatan industri pupuk (kadar maksimum NH3-N 50 mg/L) pada pengolahan dengan mengggunakan sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens pada konsentrasi 578,575 ppm dengan penurunan NH3-N diatas 90 % . Urea Air Limbah Pabrik Pupuk Urea yang Diolah dengan Mikroalga, Bakteri dan Sinergi Mikroalga dengan Bakteri
380 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Marhaini, dkk./Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah ...
Senyawa nitrogen merupakan elemen yang sangat penting untuk kehidupan yaitu penyusun protein dan bahan genetik. Sumber nitrogen di dalam air berasal dari air limbah yang banyak mengandung senyawa nitrogen. Penurunan nitrogen dalam media pertumbuhan menyebabkan penurunan tingkat pertumbuhan sel mikroalga (Fogg, 1953). Kadar urea dalam pengolahan air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens serta sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan bakteri P. fluorescens. dari hasil penelitian dapat di lihat pada Gambar 3. dan hasil pengamatan kadar urea berdasarkan konsentrasi IC50a, IC50b, IC50c, IC50d dan IC50e. Berdasarkan hasil penelitian pengolahan air limbah pabrik urea menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. pada Gambar 3. terjadi penurunan kadar urea. Hal ini dikarenakan, selama pemeliharaan terkonversinya kadar urea menjadi amonium yang dapat dimanfaatkan oleh mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. sebagai nutrisi dalam proses metabolisme. Hal ini didukung oleh pendapat Suryadiputra (1995), bahwa senyawa nitrogen yang biasa digunakan dalam kultur mikroalga adalah amonium. urea dan nitrat. Mikroalga mengabsorpsi unsur nitrogen dalam bentuk amonium atau nitrat, meskipun amonium dapat menjadi sumber nitrogen bagi pertumbuhan pada pH tinggi, tetapi kebanyakan mikroalga tumbuh dengan baik apabila mendapat sumber nitrogen dalam bentuk nitrat. Pengolahan air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan bakteri P. fluorescens pada Gambar 3. terlihat terjadi penurunan kadar urea. Hal ini diduga adanya proses amonifikasi yang merupakan proses mineralisasi melalui penguraian urea secara kimiawi yang menghasilkan karbondioksida dan amonium yang terionisasi, sesuai persamaan reaksi berikut: (NH2)2CO3 + H2O
2 NH3 + CO2
..............................................................(11)
sehingga terjadi proses nitrifikasi (dalam persamaan reaksi 5 sampai persamaan reaksi 7) yang merupakan proses oksidasi ini oleh bakteri P. fluorescens dari amonium menjadi nitrat. Bakteri P. fluorescens memperoleh energi dengan cara mengoksidasi amonium menggunakan karbohidrat untuk mensintesis unsur organik dalam kondisi aerobik. Hal diperkuat oleh pendapat Montoya dan Velasco (2000), amonium digunakan sebagai sumber nitrogen oleh fitoplankton, alga, tumbuhan air dan golongan bakteri. Diduga bakteri menggunakan amonium dalam jumlah yang signifikan dalam perairan. Beberapa studi mengindikasikan bakteri menggunakan hampir 50% total amonium dalam air. Bakteri tidak hanya menggunakan amonium sebagai sumber nitrogen, tetapi hasil ekskresi organisme. Pengolahan air limbah pabrik pupuk urea dengan menggunakan sinergi mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens, terjadi penurunan kadar urea. Ini dikarenakan senyawa urea dalam air limbah akan diuraikan oleh bakteri P. fluorescens menjadi senyawa yang lebih sederhana yang siap dimanfaatkan oleh mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. sebagai nutrien seperti CO2, NH4+, NO3, NO2 dan lain-lain. Sebaliknya mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dengan menyerap senyawa tersebut menghasilkan bahan organik, O2 dan H2O. Hal ini diperkuat oleh pendapat Stein, (1973); Polle et al., (1999), yang menyatakan bahwa melalui proses fotosintetis, mikroalga menggunakan CO2 dari bakteri dan amonia yang terurai dari urea untuk membentuk protoplasma sel dan melepaskan molekul oksigen. Walaupun urea mengandung kadar karbon, tetapi tidak bisa digunakan sebagai sumber hara, karena karbon dalam bentuk teroksidasi dan selama hidrolisis terlepas sebagai CO2. Kadar urea tidak termasuk didalam standar baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 122 tahun 2004 dan SK Gubernur Sumatera Selatan No. 18 tahun 2005, akan tetapi kadar urea yang tinggi diperairan dapat mengganggu keseimbangan badan air yang serius. Hal ini diperkuat oleh pendapat Metcalf dan Eddy (1991), nitrogen dalam perairan terdapat dalam bentuk gas nitrogen (N2), amonia (NH3), amonium (NH4), ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-). Hal ini mengakibatkan kandungan nutrien dalam perairan meningkat, termasuk amonia yang berbahaya bagi organisme akuatik. Nitrogen tersebut akan digunakan sebagai sumber nitrogen oleh fitoplankton, alga, tumbuhan, dan bakteri. Tetapi jumlah nutrien yang berlebih akan mendorong pertumbuhan alga yang pesat (blooming) yang pada akhirnya berakibat pada kematian massal alga. Senyawa nitrogen amonia akan menjadi toxic atau beracun bagi mahluk hidup jika terdapat dalam bentuk ammonium hidroksida dengan pH yang tinggi berkisar antara 9-11. Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
381
Marhaini, dkk./Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah ...
KESIMPULAN Memberikan informasi kepada pihak industri yang menghasilkan limbah nitrogen (NH3-N dan Urea), dapat melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan mikroalga C. pyrenoidosa, Nannochloropsis sp. dan bakteri P. fluorescens untuk menghasilkan pengolahan yang optimal kadar NH3-N maksimal 500 ppm dan kadar urea 1000 ppm. DAFTAR PUSTAKA Beaker, E.W.1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology, Cambridge; Cambridge University Press. Beristain BT, Verdegem M, Avnimelech Y. 2005a. Microbial Ecology and Role in Aquaculture Ponds. Di dalam: Organic Matter Decomposition in Simulated Aquaculture ponds. PhD Thesis. Fish Culture and Fisheries Group. Wageningen Institute of Animal Science. Wageningen University. Netherlands. Cole. G.A, 1988. Textbook of Limnology. Third edition, Waveland-Press, inc.New York. Press Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne, sydney, USA, p 66-517 Corner, E.D.S., and Davies A.G. ,- 1971. Plankton as A Factor in the Nitrogen and Phosphorus Cycles in the Sea. Adv. Mar.p101-204. Davis.M.L., dan Cornwell, 1991. Introduction to Environmental Engineering 2 nd ed, New York. Mc. Graw Hill. De La Noue J., De Pauw N. 1989. The Potential of Microalgae Biothecnology. A Review of Production and Use of Microalgae. Journal of Biotechnology p 725-760. Fogg G. E, 1953. The Metabolisme of Algae. London : Methven and Co Ltd. p 149. Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. Mc Graw Hill International Book Company. New York. 464 p. Hansakul, 1993, Chlorella Nutrient and its Benificial Properties Proceeding Research Seminar and Workshop on Mass Culture of Microalga, Faculty of Science, Sipakoro University, Nakorm Pathomm, Thailand. KMNLH, 2004. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Kantor Menteri Negara Kependudukan Lingkungan Hidup 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kep51/MENEGLH/ 2004. Sekretariat Negara, Jakarta. Liang Li and Yan Liu, 2009 Ammonia Removal in Electrochemical Oxidation: Mechanism and Pseudokinetics, Journal of Hazardous Materials, 2009, p 1010-1016. McIntosh R.P. 2001. Changing Paradigms in Shrimp Farming : Establishment of Heterotrophic Bacterial Communities. Global Aquaculture Alliance. Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering : Treatment, Disposal, and Reuse. 4 th edition. McGraw-Hill, New York. Montoya R dan Velasco M. 2000. Role of Bacteria on Nutritional and Management Strategies in Aquaculture Systems. Global Aquaculture Alliance. Novotny V dan Olem H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrasns Reinhold. New York. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W. B. Sounder Co. Philadelphia p574 Oh-Hama, T. dan Miyachi.S., 1988. Microalgal Biotechnology, M. Borowitzka dan L Borowitzka (Eds). Cambridge University Press. New York. Polle, J,, S, Kanakagiri, J,R, Benemann, A, Melis. 1999, Maximizing Photosynthetic Eficiencies and Hydrogen Production by Microalgal Cultures, Proceedings of the 1999 U,S DOE Hydrogen Prog, Said EG. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Santacruz, G., Bandala,E.R., dan Torres.L.G., 2005. Chlorinated Pesticides (2,4-D and DDT) Biodegradation at High Concentrations Using Immobilized Pseudomonas fluorescens. J. Environ. Sci. p 571–583. Selvaraju, S.B., Khan, I.U.H.,dan Yadav,J.S.,. 2011. Susceptibility of Mycobacterium Immunogenum and Pseudomonas fluorescens to Formaldehyde and Non-Formaldehyde Biocides in Semi-Synthetic Metalworking Fluids. p 725 – 741. Setiyawan.A. dan Bayu. H. 2011, Karakteristik Proses Klarifikasi Dalam System Nitrifikasi-Denitrifikasi Untuk Pengolahan Limbash Cair dengan Kandungan N-NH3 Tinggi, Makalah Penelitian Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Stein, J,R. 1973. Handbook of Phycological Methods, Culture Methods and Growth Measurement, CambridgeUniv, Press.
382 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Marhaini, dkk./Respon Mikroalga dan Bakteri dalam Mengabsorbsi Polutan Limbah ... Suryadiputra INN. 1995. Mikroalga dan Penanganan Air Limbah. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Surk-Key, Y,& Toshiuki.N., 2002. Activity of Chlorella Vulgaris Associated by Escherichia coli W3110 on Removal of Total Organic Carbon in Continuous River Water Flow System, Algae p 195-199. Torres, L.G., Hernández, M., Pica,Y., Albiter.V., dan.Bandala.E.R., 2010. Degradation of di-, tri-, tetra-, and Pentachlorophenolmixtures in an Aerobic Biofilter. African J. p 3396 – 3403. Wardhany, D.K., dan Ayuningtyas. F., 2009. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Pupuk Urea dengan Menggunakan Proses Gabungan Nitrifikasi-denitrifikasi dan Microalga. Makalah Penelitian Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponogoro. Wasi, S., S. Tabrez dan Ahmad.M., 2011. Suitability of Immobilized Pseudomonas fluorescens SM1 Strain for Remediation of Phenols, Heavy Metals, and Pesticides from Water. Water Air Soil Pollut. Wheeler RA, 1983. Phytoplakton Nitrogen Metabolism, Carpenter EJ., Aapone D.G. Editor, Nitrogen in Marine Environment, New York Academic Press. .Wu H.C., Wood,T.K., Ashok,M., dan Wilfred.C., 2006. Engineering Plant-Microbe Symbiosis for Rhizoremediation of Heavy Metals: Appl. Environ. Microbiol. p 1129.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
383
PURIFIKASI BIOGAS UNTUK MENINGKATKAN PERSENTASE METANA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF DENGAN MENGGUNAKAN ZEOLIT DAN KARBON AKTIF 1) Abdullah Saleh2) Abstract: Raw materials for biogas are easy to find and has a large number. Biogas is a gas produced by the anaerobic digestion or fermentation activity of organic materials and purification is one way to improve the quality of biogas. In this research, the influence of variations in the quantity of investigation adsorber (activated carbon and zeolite) with adsorption processes that lead to higher percentage of methane, varying the quantity of each adsorber is 40 grams, 60 grams, 80 grams. The parameters were measured to determine the quality of biogas purification result is the percentage of methane. The results were obtained best quality biogas purification results in pengadsorbsian using 80 grams of activated carbon, whereby biogas purification results obtained had a percentage of 40.21% methane. Keywords: Biogas, purification, zeolite, actived carbon 1) 2)
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 November 2013 Dosen pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Tekhnik Unsri
PENDAHULUAN
I
ndonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Ada berbagai macam sumber energi yang dapat dimanfaatkan di negara ini. Seiring perkembangan zaman, sudah banyak sumber energi yang mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan mulai menipisnya cadangan bahan bakar minyak sebagai salah satu sumber energi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dari berbagai sumber energi yang dikembangkan, biogas merupakan salah satunya. Pengembangan biogas sebagai sumber energi alternatif didasari dari banyaknya bahan baku pembuatan biogas yang dapat dimanfaatkan. Selain jumlahnya yang banyak, bahan baku pembuatan biogas juga mudah ditemukan. Sebagai contoh, kotoran hewan sekalipun dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biogas. Biogas sangat potensial sebagai bahan bakar karena memiliki kandungan metana. Biogas juga sudah mulai dikembangkan dan dimanfaatkan oleh beberapa industri sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak. Tetapi biogas mengandung H2S dan CO2 yang cukup tinggi sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Dengan demikian biogas perlu dimurnikan dulu sebelum digunakan sebagai bahan bakar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan biogas dengan kualitas yang baik melalui purifikasi dengan cara menguji pengaruh zeolit dan karbon aktif untuk mengurangi kadar H2S dan CO2 yang cukup tinggi sehingga akan didapat biogas dengan kuantitas metana yang tinggi. Dengan tingginya kadar metana dalam biogas, maka semakin tinggi pula kualitas biogas. Tujuan Penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui cara peningkatan persentase metana dalam peningkatan kualitas biogas. 2. Untuk mengetahui pengaruh kuantitas zeolit terhadap persentase metana dalam peningkatan kualitas biogas. 3. Untuk mengetahui pengaruh kuantitas karbon aktif terhadap persentase metana dalam peningkatan kualitas biogas. 4. Untuk mendapatkan produk berupa biogas dengan kualitas terbaik.
384
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Abdullah Saleh/Purifikasi Biogas Untuk Meningkatkan Persentase Metana ...
FUNDAMENTAL Biogas dan aktivitas anaerobik Biogas merupakan gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestic (rumah tangga), sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal. Rentang Komposisi Biogas Umumnya Komposisi biogas bervariasi tergantung dengan asal proses anaerobik yang terjadi. Biogas hasil fermentasi biasanya memiliki konsentrasi metana yang rendah. sekitar 40%.Metana berkadar rendah dalam biogas sebesar itu hanya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam kegiatan masak memasak. Guna menaikan kemanfaatan biogas sebagai energi baru terbarukan, perlu dilakukan tahap pemurnian metana secara mudah dan murah. asetat. Bagian lainnya merupakan komponen minor yaitu fenol, metil asetat, asam format, asam butirat dan lain-lain. Zeolit Zeolit merupakan mineral alumina silikat terhidrat yang tersusun atas tetrahedral-tetrahedral alumina (AlO45-) dan silika (SiO44-) yang membentuk struktur bermuatan negatif dan berongga terbuka/berpori. Muatan negatif pada kerangka zeolit dinetralkan oleh kation yang terikat lemah. Selain kation, rongga zeolit juga terisi oleh molekul air yang berkoordinasi dengan kation. Rumus umum zeolit adalah Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].mH2O Dimana M adalah kation bervalensi n. (AlO2)x(SiO2)y adalah kerangka zeolit yang bermuatan negatif. 1. Zeolit sebagai adsorben Zeolit mempunyai kapasitas yang tinggi sebagai adsorben (penyerap). Mekanisme adsorbsi yang mungkin terjadi adalah adsorbs fisika (yang melibatkan gaya Van der walls), adsorbs kimia (yang melibatkan gaya elektrostatik), ikatan hydrogen , dan pembentukkan kompleks koordinasi. Molekul atau zat yang diserap akan menempati posisi pori. Daya serap (adsorbansi) tergantung dari jumlah pori dan luas permukaan. Molekul – molekul dengan ukuran yang lebih kecil dari pori yang mampu terserap oleh zeolit 2. Perbandingan Silikon-Alumunium, Si/ Al ,Tinggi Zeolit memiliki silikon tinggi dengan kandungan alumunium rendah. Muatan zeolit dapat menjadi lebih rendah dengan kation yang lebih sedikit .pori – pori zeolit akan lebih hidrofobik , artinya pori-pori zeolit lebih tidak suka air atau cenderung kering. Zeolit memiliki daya adsorbs tinggi pada senyawa karbon. Selain itu zeolit memiliki afinitas tinggi terhadap hidrokarbon. Rasio Si/Al yang tinggi menyebabkan zeolit memiliki lebih banyak pusat aktif dengan keasaman yang tinggi. Perubahan rasio Si/Al dapat dilakukan dengan proses dealuminasi. 3. Perbandingan Silikon-Alumunium, Si/Al,Rendah Zeolit memiliki lebih banyak alumunium daripada silikon. Muatan zeolit akan menjadi lebih tinggi dengan kation yang lebih banyak. Hal ini akan menyebabkan kapasitas tukar ion akan lebih banyak. Pori-pori zeolit lebih hidrofilik artinya pori-pori zeolit lebih suka air atau cenderung basah. Zeolit memiliki daya adsorbsi yang rendah. Zeolit dengan rasio Si/Al rendah mempunyai afinitas tinggi terhadap molekul bersifat polar proses pembuatan asp serta kandungan udara dalam kayu.
Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
385
Abdullah Saleh/Purifikasi Biogas Untuk Meningkatkan Persentase Metana ...
Karbon Aktif Karbon aktif adalah karbon yang di proses sedemikian rupa sehingga pori – porinya terbuka, dan dengan demikian akan mempunyai daya serap yang tinggi. Karbon aktif merupakkan karbon yang bebas serta memiliki permukaan dalam (internal surface), sehingga mempunyai daya serap yang baik. Keaktifan daya menyerap dari karbon aktif ini tergantung dari jumlah senyawa kabonnya yang berkisar antara 85 % sampai 95% karbon bebas. Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa saja yang kontak dengan karbon tersebut. Karbon Aktif digunakan untuk menjernihkan air, pemurnian gas, industri minuman, farmasi, katalisator, dan berbagai macam penggunaan lain. Selain di bidang pengolahan air, karbon aktif dapat digunakan di berbagai industri seperti pengolahan/tambang emas dengan berbagai ukuran mesh maupun iondine number. Juga digunakan untuk dinding partisi, penyegar kulkas, vas bunga, dan ornamen meja Metana Metana adalah hidrokarbon yang paling sederhana,berbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Metana murni tidak berbau, tetapi jika digunakan untuk keperluan komersial, biasanya ditambahkan sedikit bau belerang untuk mendeteksi kebocoran yang mungkin terjadi. Sebagai komponen utama gas alam, metana adalah sumber bahan bakar utama. Pembakaran satu molekul metana dengan oksigen akan melepaskan satu molekul CO2 (karbondioksida) dan dua molekul H2O (air): CH4 + 2O2 → CO2 + 2H2O Gas metana dapat dihasilkan dari perombakan anaerobik senyawa-senyawa organik, seperti pada limbah cair kelapa sawit, limbah kotoran ternak atau kotoran manusia. Pada limbah kotoran ternak, secara alami gas ini dihasilkan pada kolam-kolam penampungan limbah di tempat penampungan akhir kotoran ternak. Limbah cair di dalam penampungan akhir kotoran ternak akan melepaskan gas metana dan karbon dioksida (CO2). Keduanya berbahaya bagi lingkungan karena berpengaruh dalam penyebab efek rumah kaca. Secara alami proses ini sangat lambat dan gas yang dihasilkan juga sedikit. Akan tetapi untuk merombak limbah kotoran ternak menjadi biogas dalam jumlah masif dapat dilakukan dengan sedikit rekayasa. Sifat Fisik dari Metana : a. b. c. d. e. f.
Rumus Kima Berat Molekul Titik Didih Titik Beku Tekanan Kritis Spesific Gravity
: CH4 : 16,042 gr/mol : -161,49 oC pada 14,7 psia (760mm) : -182,48 oC pada 14,7 psia (760mm) : 45,802 atm : 0,415 gr/mol
Sifat Kimia dari Metana a. Tidak berbau dan berwarna b. Mudah Terbakar c. Metana sangat reaktif pada oksidator, halogen, dan beberapa senyawa lain yang mengandung unsur halogen. d. Eksplosif pada konsentrasi 10-15%.
METODOLOGI PENELITIAN Sampel Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah biogas.
386 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
Abdullah Saleh/Purifikasi Biogas Untuk Meningkatkan Persentase Metana ...
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di peternakan sapi Alizabit daerah Bukit Baru tepatnya di Tanjung Barangan serta Laboratorium PT. Pupuk Sriwidjaja. Waktu pelaksanaan direncanakan selama 3 (tiga) bulan , yaitu pada bulan September 2012 sampai November 2012 Alat dan Bahan 3.1.1. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 3.1.2. 1. 2. 3. 4.
Alat : Drum volume 550 liter Drum volume 500 liter Selang gas diameter 0,5 inci Gas valve 0,5 inci Filter air aquarium Flow meter gas Balon penampung biogas Saringan Pasir Bahan : Kotoran sapi Zeolit Karbon Aktif Air
Variabel Penelitian 3.1.3.
Variabel berubah 1 Zeolit 2 Karbon Aktif 3.1.4. Variabel tetap 1. Laju alir gas Proses Pembuatan Biogas dan Purifikasi biogas 1. Penyiapan bahan baku berupa kotoran sapi dan air. 2. Masukkan bahan baku berupa kotoran sapi dan air dengan menggunakan saringan pasir 1 m ke dalam digesterr dengan perbandingan 1 : 1 4. Fermentasikan bahan baku hingga terbentuk biogas 3. Atur kuantitas Zeolit yang diinginkan sebagai Filter pertama dan kuantitas karbon aktif yang diinginkan sebagai Filter kedua 4. Alirkan biogas yang terbentuk melewati alat-alat penyaring zat pengotor biogas (Filter pertama dan Filter kedua) dengan laju alir yang sudah ditentukan 5. Ambil sampling outlet biogas yang keluar dari fermentor dan masukkan ke dalam balon penampung biogas 6. Ambil sampling outlet biogas yang keluar dari Filter pertama dan masukkan ke dalam balon penampung biogas 7. Ambil sampling outlet biogas yang keluar dari Filter kedua dan masukkan ke dalam balon penampung biogas 8. Ukur kadar metana dari masing-masing sampling Analisa Persentase Metana Analisa persentase metana dengan menggunakan gas chromatograph (GC) di laboratorium PT. PUSRI
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, pemurnian biogas dilakukan dengan proses adsorbsi menggunakan kolom adsorbsi dengan ketinggian kolom 61,5 cm berdiameter 2 cm dengan 2 (dua) jenis adsorber sebagai variabel berubahnya, yaitu karbon aktif dan zeolit. Karbon aktif dan zeolit digunakan sebagai variabel Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013
387
Abdullah Saleh/Purifikasi Biogas Untuk Meningkatkan Persentase Metana ...
berubah sedangkan flowrate sebagai variabel tetapnya dengan bahan baku kotoran sapi sebagai bahan baku penghasil biogas.Pada sampel awal (1) didapatkan produk biogas berpersentase metana sebesar 31,62 %. Persentase ini termasuk cukup kecil, mengingat dari studi beberapa literatur mengatakan biogas murni memiliki kadar metana sebesar sekitar 40%. Penyebab terbesar hal ini terjadi karena asupan makanan untuk sapi berupa ampas tahu dan dedak yang menyebabkan kurang baiknya kualitas dari kotoran sapi sebagai bahan baku utama penghasil biogas dari proses fermentasi. Karbon Aktif sebagai adsorber pada pemurnian biogas Masing-masing
388 Prosiding Seminar Nasional 2013 MKTI, Palembang 6-8 November 2013