PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) XVI Diselenggarakan oleh :
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia bekerjasama dengan:
Konsorsium Perguruan Tinggi Swasta se-Kalimantan (KOPERTIS XI-B) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur Pemerintah Kota Balikpapan
Tim Editor:
Dr. Wiwin Suwinarti Dr. Irawan Wijaya Kusuma Dr. Erwin Dr. Ismail Dibantu oleh Tim Teknis:
Kiswanto, M.P. Nur Maulida Sari, S.Hut. Disain Sampul dan Tata Letak:
Kiswanto, M.P.
Diterbitkan oleh : Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor KM.46 Cibinong Bogor 16911 Telp./Fak: 021-87914511 / 021-87914510 e-Mail :
[email protected] Cetakan Pertama: November, 2014 ISSN 2407-2036
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
KATA PENGANTAR Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah, oleh karena itu pemerintah dituntut bijak dalam pemanfaatannya dengan melakukan penghematan dan selalu memperhatikan daya dukung alam dan lingkungan hidup yang berprinsip lestari. Terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources), baik dari sektor Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, maupun sektor lainnya diharapkan dapat selalu berkesinambungan dengan upaya meregenerasi ketersediaannya di alam. Terkait dengan kondisi kekinian dan upaya perbaikan kualitas pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dan mendukung upaya pemerintah mempromosikan hasil-hasil kajian ilmiah dalam negeri ke kancah internasional, maka Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) yang sejak berdiri tahun 1996 merupakan wadah dan forum kajian ilmiah dari bersinerginya para peneliti, praktisi dan birokrat di bidang perkayuan dan kehutanan di Indonesia juga melibatkan kolega dari luar negeri melalui kegiatan seminar dan implementasinya, kini melakukan kerjasama itu dengan Konsorsium Perguruan Tinggi Swasta se-Kalimantan (KOPERTIS XI-B), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Kota Balikpapan untuk melanjutkan tradisi seminar tahunan MAPEKI berskala nasional yang tahun ini terselenggara untuk keenambelas kali dengan tema “Pemanfaatan Sumber Daya Alam Terbarukan untuk Kesejahteraan Manusia dan Kelestarian Lingkungan” bertujuan untuk sharing informasi antar stakeholder terkait, menstimulasi makalah bermutu untuk dipublikasikan pada prosiding ini, dan meningkatkan kuantitas dan kualitas implementasi dari networking yang telah terjalin. Dalam seminar tersebut makalah disajikan baik secara oral presentation maupun poster dikelompokkan dalam 6 bidang penelitian/kajian, yaitu Sifat Dasar Kayu, Biokomposit Kayu, Biodegradasi dan Peningkatan Kualitas Kayu, Rekayasa Kayu, Bioenergi dan Kimia Hasil Hutan, dan Kajian Kehutanan lainnya Kami mewakili panitia penyelenggara menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada seluruh peserta seminar atas komunikasi dan kerjasama yang terjalin serta peran aktifnya selama kegiatan ini berlangsung. Terima kasih juga disampaikan kepada pihak-pihak yang memberikan dukungan bagi penyelenggaraan kegiatan hingga diterbitkannya prosiding hasil seminar ini, diantaranya Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia, PT. Kaltim Prima Coal, KONI Kalimantan Timur, BKSDA Kalimantan Timur dan PT Martha Tilaar Group. Balikpapan, Nopember 2014 Tim Editor
ii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
DAFTAR ISI Halaman Judul ......................................................................................................................... i Kata Pengantar ........................................................................................................................ ii Daftar Isi .................................................................................................................................. iii MAKALAH A. SIFAT DASAR KAYU Andianto (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Beberapa Kegiatan Mengidentifikasi Kayu dari Bea Cukai Tanjung Priok ............................................. 1 Djarwanto (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Ketahanan Enam Jenis Kayu Terhadap Lima Jamur Pelapuk ............................................................... 9 Edi Sarwono (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Standar Deviasi dan Variabilitas Sifat Fisis Mekanis dari Tiga Jenis Kayu Andalan Peneduh Jalan sebagai Penduga dalam Kegunaan Kayunya ............................................................... 14 Harry Praptoyo (Fakultas Kehutanan UGM) Pengaruh Perbedaan Tempat Tumbuh Terhadap Variasi Sifat Anatomi Bambu Walung (Gigantochloa atroviolaceae) pada Kedudukan Aksial ................................................. 21 Kasmudjo (Fakultas Kehutanan, UGM) Pengaruh Perbedaan Jenis dan Bagian Batang Bambu Terhadap Kualitas Bahan Mebel dan Kerajinan ................................................................................................................... 35 Kurnia Wiji Prasetyo (UPT. Balitbang Biomaterial LIPI) Mengenal Struktur Anatomi dan Dimensi Berkas Pembuluh (Vascular Bundle) Gewang (Corypha utan Lamk.) dari Nusa Tenggara Timur ................................................................... 44 Renny Purnawati (Universitas Negeri Papua) Sifat Pemesinan dan Kualitas Finishing Kayu Flindersia pimenteliana F. Muell. Asal teluk Wondama Papua Barat ......................................................................................................... 52 Sarah Augustina (IPB) Karakteristik Struktur Anatomi Kayu Tarik dan Kayu Opposite pada Kayu Balik Angin (Alpitonia excelsa) ............................................................................................. 64 Tibertius Agus Prayitno (Universitas Gadjah Mada) Sifat Finishing Kayu Jati Setelah Perlakuan Panas ............................................................................... 75 B. BIOKOMPOSIT KAYU Andriati Amir Husin (Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Permukiman) Pengaruh Suhu Terhadap Kekuatan Lentur Papan Partikel dengan Perekat Tanin Formaldehida ....... 83 Rudi Hartono (Fakultas Pertanian, USU) Pengaruh Suhu dan Waktu Pengempaan Terhadap Ketahanan Rayap Papan Partikel dari Limbah Batang Kelapa Sawit dengan Perekat Isosianat ................................................................ 91
iii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Wahyu Dwianto (UPT. Balitbang Biomaterial LIPI) Perbedaan Metode Pengkondisian Papan Semen Sabut Kelapa (Cocos nucifera L.) Terhadap Sifat Fisik dan Mekaniknya .................................................................................................... 97 IB Gede Putra (Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar, PU) Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Laminasi Sistem Bilah Lengkung dan Penambahan Air Suling sebagai Optimasi Polimer Isocyanate ...................................................... 103 C. BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU Soekmana Wedatama (Winward Asia) Peningkatan Kualitas Kayu Karet dengan Compregnasi Menggunakan Urea Formaldehida ................ 113 Ganis Lukmandaru (Fakultas Kehutanan UGM) Pengawetan Kayu Mahoni secara Tekanan dengan Deltametrin Terhadap Serangan Rayap Kayu Kering ............................................................................................... 117 D. REKAYASA KAYU Achmad Basuki (Universitas Sebelas Maret, Surakarta) Pemrograman Komputer Perancangan Struktur Rangka Kuda-Kuda Berbahan Dasar Laminated Veener Lumber (LVL) Kayu Sengon .................................................................................... 127 Ismail Budiman (UPT. Balitbang Biomaterial LIPI) Pengaruh Penggunaan Pemlastis Terhadap Sifat Mekanik Mortar dengan Bahan Pengisi Arang Sekam Padi dan Arang Bagas Tebu ...................................................................................................... 133 Johannes Adhijoso Tjondro (Dept. Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan) Momen Rotasi Hubungan Balok – Kolom dengan Pelat Buhul Plywood ............................................... 140 WS Witarso (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman – Kemen PU) Pemanfaatan Kayu Galam (Melaleuca cajuputi) sebagai Lantai Yuster untuk Rumah Sederhana Sehat ............................................................................................................. 149 Firna Novari (Politeknik Pertanian Negeri Samarinda) Pemanfaatan Kayu Pelawan (Tristaniopsis spp.) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Briket Arang untuk Konsumsi Rumah Tangga ....................................................................................... 157 E. BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN Titis Budi Widowati (Fakultas Kehutanan, UGM) Pemanfaatan Bagian Cabang dan Pucuk Cabang Dalbergia latifolia sebagai Pewarna Alami Kain Batik ....................................................................................................... 160 Didi Tarmadi (UPT Balitbang Biomaterial LIPI) Pengaruh Ekstrak Haluar (Litsea timoriana) Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus ........................................................................................... 167 Eka Novriyanti (Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan) Karakteristik Kertas Karton Gelombang dari Kayu Alternatif ................................................................. 173
iv
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Gunawan Pasaribu (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pemurnian Minyak Nilam (Pogostemon cablin) dengan Senyawa Pengkelat ........................................ 177 Muliyana Arifudin (Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua) Analisis UV-Vis dan FT-IR Kulit Kayu Eucalyptus globulus Labill (Blue Gum) dan Pinus radiata D.Don (Monterey Pine) Pasca Pemanasan Microwave ............................................ 186 Saptadi Darmawan (IPB) Sintesis dan Karakteristik Polimer Elektrolit Selulosa Asetat dari Biomassa ......................................... 193 Totok K Waluyo (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Rendemen dan Kadar Santalol Ekstrak Kayu Cendana dengan Berbagai Pelarut Organik .................. 204 Enih Rosamah (Fakultas Kehutanan, UNMUL) Stabilitas Warna Biji Tumbuhan Annato (Bixa orellana) Sebagai Bahan Pewarna Alami ...................... 209 Gusmailina (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Perbaikan Kualitas Minyak Nilam (Pogostemon cablin) dengan Adsorben ........................................... 215 F. KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA S. Yuni Indriyanti (Balai Besar Dipterokarpa) Biaya Tidak Resmi dalam Pengusahaan Kayu Hutan Alam Asal Kalimantan Timur ............................. 228 Deris Endang Sarifudin (IPB) Kajian Struktur Anatomi dan Sifat Fisik Kayu Balik Angin (Alphitonia excelsa): A Lesser Known Species from Kalimantan ............................................................................................ 237 Djamal Sanusi (Fakultas Kehutanan UNHAS) Analisis Kadar Karbon Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria) yang Tumbuh di Hutan Rakyat ...... 245 E. Manuhuwa (Fakultas Pertanian Universitas Universitas Pattimura) Produksi Madu, Propolis Dan Roti Lebah Tanpa Sengat , (Trigona spp) Dalam Sarang Bambu .......... 251 Lasino (Puslitbang Permukiman – Kemen PU) Penelitian Pemanfaatan Abu Sekam Padi sebagai Bahan Substitusi untuk Beton Tahan Api .............. 260 M Fajri (Balai Besar Dipterokarpa) Analisis Vegetasi dan Asosiasi Jenis pada Habitat Shorea macrophylla di Hutan Tane’ Olen Desa Setulang, Kabupaten Malianu, Kalimantan Timur ........................................................................ 272 Sahwalita (Balai Penelitian Kehutanan Palembang) Pengaruh pemakaian Mulsa Terhadap Pertumbuhan Sungkai (Peronema canescens Jack) ............... 278 Sihati Suprapti (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Produktivitas Jamur Pleurotus spp. pada Kompos Serbuk Gergaji Kayu Hevea brasiliensis Muell. Arg. ...................................................................................................... 284 Triyono Sudarmadji (Fakultas Kehutanan UNMUL) Observasi Potensi Tanah pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang Batubara PT.Multi Tambangjaya Utama (MTU) di Barito Selatan, Kalimantan Tengah ........................................ 290
v
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tubagus Angga Anugrah Syahbana (Balai Penelitian Kehutanan, Palembang) Pengaruh Tinggi Pemangkasan Terhadap Kemampuan Bertunas Tanaman Sungkai (Peronema canescens Jack) pada Kebun Perbanyakan ....................................................................... 307 Yosafat Aji Pranata (Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha) Analisis Kegagalan Bangunan Kayu Akibat Beban Gempa ................................................................... 312 Yoyo Suhaya (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB) Model Pertumbuhan Kayu Surian (Toona sinensis Roem) di Jawa Barat ............................................. 320 Yelin Adalina (Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi) Pemodelan Spasial Areal Produksi Madu di Kabupaten Bogor Bagian Barat ....................................... 326 Kiswanto (Fakultas Kehutanan UNMUL) Efektivitas Pemupukan Terhadap Riap Diameter Samanea saman ...................................................... 343
POSTER Firna Novari (Politeknik Pertanian Negeri Samarinda) Analisis Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Sembung (Blumea balsamifera(L)DC.) dari Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur ......................................... 350 Ganis Lukmandaru (Fakultas Kehutanan UGM) Sifat Kimia Bambu Hitam (Gighantochloa sp) pada Perbedaan Ketinggian Tempat Tumbuh dan Areal Aksial ..................................................................................................................................... 353 MI Iskandar (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pengaruh Kadar Perekat Terhadap Sifat-Sifat Papan Partikel .............................................................. 360 MI Iskandar (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pengaruh Jumlah Lapisan Dan Macam Sambungan Terhadap Sifat-Sifat Venir Lamina ...................... 372 MI Iskandar (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pengaruh Lama Penumpukan Bahan Baku Kayu Terhadap Sifat-Sifat Papan Partikel ........................ 381 Mohammad Gopar (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pemanfaatan Komposit Serat Alam Untuk Media Tanam Vertikal ......................................................... 391 Mohammad Gopar (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pengaruh Penggunaan Polivinil Asetat (PVAC) dan Komposisi Agregat (Hebel dan Cangkang Kelapa Sawit) Terhadap Sifat Mekanik Mortar Lantai Gerbong Kereta Api ....... 396 Achmad Supriadi (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Dari Kayu Borneo ke Kayu Rakyat: Dampak Terhadap Perdagangan Kayu dan Kemungkinan Kualitas Konstruksi .......................................................................................................... 401 Totok K. Waluyo (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Hubungan antara Suhu, Kelembaban, Lama Pangeringan Kemenyan secara Tradisional oleh Masyarakat di Tapanuli, Sumatera Utara ........................................................ 407 Saefudin (Puslit Biologi- LIPI) Potensi Zingiberaceae di Hutan Pinus (Pinus merkusiiJungh.&de Vriese) BKPH Majenang, Banyumas Barat ........................................................................................................ 414
vi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sona Suhartana (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan di Hutan Tanaman Lahan Kering di Sumatera, Kalimantan dan Jawa Barat ................................................................................................................... 422 Wida Banar Kusumaningrum (UPT. Balitbang Biomaterial LIPI) Studi Penambahan Aditif Pada Biopellet Dari Limbah Biomassa Industri Pertanian ............................. 427 Yuniawati (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Peningkatan Produktivitas Muat Bongkar dan Pengangkutan Kayu Acacia mangium Melalui Teknik yang Ramah Lingkungan ............................................................................................... 437 Yusdiansyah (Politeknik Pertanian Negeri Samarinda) Kajian Sifat Fisik, Mekanika dan Anatomi Kayu Mangium (Acacia mangium) di Areal Reklamasi Tambang Batubara ................................................................................................. 445 R Esa Pangersa Gusti (Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Karakteristik Alkesa (Pouteria campechiana (Kunth) Baehni) dan Potensi Pemanfaatannya ................ 452
vii
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Beberapa Kegiatan Mengidentifikasi Kayu Dari Bea Cukai Tanjung Priok 1Pusat
Andianto1, Sri Rulliaty1, Listya Mustika Dewi1 Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) e-mail :
[email protected] Tel. 081380621480 ABSTRAK
Xylarium Bogoriense di PUSTEKOLAH sering diminta membantu mengidentifikasi barang berupa kayu dari Bea Cukai Tanjung Priok. Kegiatan mengidentifikasi ini berkaitan dengan kecurigaan pihak Bea Cukai akan barang yang tidak sesuai dokumen maupun yang dilarang keluar dari Indonesia. Tulisan ini menyajikan beberapa kegiatan membantu mengidentifikasi komoditi kayu yang tertahan dalam pemeriksaan isi kontainer di pelabuhan kontainer Tanjung Priok. Metode identifikasi mengacu kepada teknik standar pembuatan preparat kayu (Sass, 1961), pembuatan preparat maserasi menurut petunjuk Tesoro (1989) dan pengamatan ciri-ciri anatomi kayu berdasarkan standar International association of wood anatomists (IAWA) Committee (Wheeler et al., 1989; Richter et al., 2004). Kata kunci : Bea cukai, Tanjung priok, pemeriksaan, Identifikasi kayu I. Pendahuluan Ciri anatomi kayu dapat digunakan dalam membantu taksonomi dan identifikasi jenis tumbuhan (pohon) sekalipun hanya terbatas sampai batas tertentu (tingkat species). Ilmu dan pengetahuan anatomi kayu diharapkan dapat menjadi dasar kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan jenis-jenis kayu di hutan alam dan hutan tanaman. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4.000 jenis pohon yang berdiameter 40 cm ke atas (Martawijaya et al., 1981), sebanyak 3.593 jenis atau meliputi jumlah hampir 90 persen masih belum dikenal sifat maupun penggunaannya. Baru sekitar 407 jenis saja (Hidelbrand, 1952) yang diperkirakan mempunyai potensi ekonomis. Dari jumlah tersebut, 267 jenis yang digolongkan ke dalam 120 kelompok jenis dan kini telah mempunyai tempat dalam perdagangan, sedangkan sisanya 140 jenis lazim disebut jenis-jenis kurang dikenal yang cukup berpotensi untuk diperdagangkan. Beberapa jenis kayu perdagangan dan jenis kayu kurang dikenal hingga saat ini telah dilakukan penelitian sifat dan kegunaannya yang dimuat dalam buku Atlas Kayu Indonesia jilid I hingga jilid III yang mencakup 92 jenis kayu. Sumbangsih ilmu anatomi kayu telah terbukti dalam peranannya di berbagai aspek penegakan hukum hingga menyingkap tabir rahasia masa lampau. Beberapa kali penerapan ilmu ini bermanfaat dalam hal pemeriksaan terhadap kepastian jenis-jenis kayu tertentu yang dilindungi dan dilarang untuk diperjualbelikan (diselundupkan). Karena ketidak-mampuan memahami jenis kayu atau karena kesengajaannya, sering kali terjadi upaya-upaya praktek penyelundupan jenis-jenis kayu yang dilarang untuk perjual-belikan sesuai peraturan yang ada. Sering kali juga beberapa oknum pedagang/pengusaha/industri perkayuan memanfaatkan ketidak-mengertian petugas dalam memahami jenis-jenis kayu. Meskipun dalam dokumen resmi pengangkutan tertera jenis kayu yang boleh dieksploitasi, namun tak jarang petugas mencurigai adanya jenis kayu yang dilindungi yang dicampur dengan jenis kayu lainnya. Beberapa kasus rencana penyelundupan kayu yang terbongkar diantaranya adalah rencana penyeludupan berpuluh-puluh kayu gelondongan sonokeling dan eboni melalui Pelabuhan Tanjung Priok, penyelundupan kayu ramin di beberapa pelabuhan yang pada akhirnya dapat digagalkan. Konfirmasi jenis-jenis kayu ini dapat dilakukan melalui pengamatan ciri makroskopik dan mikrokospik sel-sel penyusun kayu. Pengetahuan anatomi kayu juga dapat membantu dalam penelitian arkeologis. Dengan bantuan para anatomiwan kayu, para arkeolog berhasil mengungkap rahasia jenis dan umur kayu yang telah
1
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI menjadi arang pada rumah-rumah yang tertimbun lava vulkanik pada era masa awal sejarah. Melalui ilmu anatomi juga terungkap jenis-jenis kayu yang digunakan sebagai perahu kuno dari tepian Bengawan Solo di Bojonegoro, Jawa Timur. Ilmu dan pengetahuan anatomi kayu juga dapat membantu penelitian fosil kayu. Penelitian fosil kayu termasuk ke dalam lingkup bidang ilmu paleobotani. Paleobotani merupakan ilmu yang mempelajari fosil tumbuhan. Kajian bidang ilmu paleobotani meliputi aspek fosil tumbuhan, rekonstruksi takson, dan sejarah evolusi dunia tumbuhan. Manfaat ilmu anatomi dalam mendukung ilmu paleobotani adalah diketahuinya identitas botani dari suatu fosil kayu dan dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah persebaran dan kepunahan dari taksa tumbuhan tertentu. Terakhir, saat ini dikenal adanya ilmu dendrokronologi (Dendrochronology), yaitu ilmu dan pengetahuan anatomi kayu yang dikaitkan dengan perubahan iklim. Xylarium Bogoriense di PUSTEKOLAH sering diminta membantu mengidentifikasi kayu maupun produk turunannya yang berasal dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta seperti BP2HP, Polairud, Taman Nasional, Dinas Kehutanan, Bea Cukai, BRIK, perusahaan dan perdagangan kayu, Perusahaan Perkebunan, Pengembang, Perhotelan, maupun perorangan. Tulisan ini menyajikan informasi kegiatan mengidentifikasi produk-produk berbahan dasar kayu dalam rangka membantu pemeriksaan bersama petugas Bea Cukai terhadap komoditi ekspor maupun domestik berbahan dasar kayu dan turunannya, seperti kayu gelondongan (log), kayu olahan, fosil kayu hingga serbuk kayu/kulit batang (pepagan) yang tertahan di pelabuhan kontainer Tanjung Priok. II. Bahan dan Metoda Identifikasi produk kayu (log, kayu olahan, arang, fosil kayu) dilakukan baik secara langsung di lapangan atau dengan membawa sampel produk (terutama serbuk dan arang) ke laboratorium anatomi kayu pada Xylarium Bogoriense, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Bogor. Metode pemeriksaan dilakukan bergantung kepada jenis produk yang diperiksa. A. Identifikasi kayu (log, kayu olahan, fosil kayu) Kegiatan mengidentifikasi kayu baik secara langsung di lapangan maupun di laboratorium dilakukan dengan mengamati ciri makroskopis/mikroskopis kayu berdasarkan terminologi International association of wood anatomists (IAWA) Committee, yaitu daftar ciri-ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar dan kayu daun jarum (Wheeler et al., 1989; Richter et al., 2004). Pengamatan ciri makroskopis kayu di lapangan dilakukan dengan bantuan loupe perbesaran 10 kali. Untuk jenis-jenis kayu yang sulit diamati (jenis kayu kurang atau tidak dikenal) atau yang belum dapat diketahui jenisnya di lapangan selanjutnya dilakukan pengamatan ciri mikroskopis pada sampel kayu di laboratorium. Pengamatan ciri anatomi kayu secara mikroskopis dilakukan pada preparat sayat dengan bantuan mikroskop. Bahan pengamatan ciri mikroskopis dibuat dengan mengacu kepada teknik standar pembuatan preparat sayat kayu (Sass, 1961). Hasil pengamatan ciri-ciri anatomi kayu dimasukkan ke dalam program identifikasi kayu yang merupakan bagian dari sistim informasi xylarium. Selanjutnya sampel kayu diverifikasi dengan jenis kayu dari contoh koleksi Xylarium Bogoriense, serta data ciri anatomi yang diperoleh diverifikasi dengan referensi pustaka. B. Identifikasi serbuk kayu/pepagan Idenfikasi serbuk kayu/pepagan diakukan dengan cara mengamati ciri mikroskopis melalui preparat maserasi yang pembuatannya mengacu kepada petunjuk Tesoro (1989). Selain pengamatan maserasi, juga dilakukan pengujian sifat lainnya yang menjadi ciri khas dari kayu/pepagan yang diamati seperti bau dan hasil ekstrak dengan air dan/alkohol. Umumnya produk kayu berupa serbuk merupakan jenis-jenis kayu yang dipergunakan untuk dupa atau bahan obat nyamuk.
2
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI III. Hasil dan Pembahasan Tabel 1. menyajikan data beberapa kegiatan mengidentifikasi barang ekspor komoditi kayu yang berasal dari kontainer saat pemeriksaan oleh pihak Bea Cukai selama periode tahun 2011 hingga 2013. Tabel 1. Data kegiatan pemeriksaan identifikasi kayu dan produk berbahan kayu dari Bea Cukai Tahun 2011 No. Waktu Jenis Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Pemeriksaan Data yang diperoleh Hasil identifikasi 1.
Juni
Identifikasi batu alam
2.
Juli
Identifikasi batu alam
3.
Juli
Identifikasi kayu
1.
Januari
2.
Pebruari
Identifikasi kayu dan batu alam Identifikasi produk serbuk kayu/kulit batang kayu (pepagan)
1.
April
Identifikasi kayu
2.
April
Identifikasi kayu
3.
Mei
Identifikasi kayu
4.
Oktober
Identifikasi produk serbuk kayu/kulit batang kayu (pepagan)
Ciri-ciri anatomi bukan fosil kayu Ciri anatomi jenis kayu Kamper Ciri-ciri anatomi jenis kayu Ramin Tahun 2012 Ciri-ciri anatomi kayu jenis Tualang dan bukan fosil kayu Ciri-ciri anatomi kayu dan kulit batang kayu (pepagan) Gemor Tahun 2013 Ciri-ciri anatomi jenis kayu Sonokeling, Gaharu, Agathis Ciri-ciri anatomi jenis kayu Papi (Cendana semut) Ciri-ciri anatomi jenis kayu medang (Pakanangi/Ki sereh) Ciri-ciri anatomi jenis kayu dan kulit batang (pepagan) Gemor
3
Diduga fosil biota laut Drobalanoxylon sp. Gonystylus sp. Koompassia sp. dan fosil biota laut Alseodaphne sp.
Dalbergia sp., Aquilaria sp., Agathis sp. Exocarpus sp. Cinnamomum sp. Alseodaphne sp.
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 1. Pemeriksaan isi kontainer dan produk-produk yang diidentifikasi Data tabel di atas menunjukkan bahwa umumnya barang komoditi ekspor berbahan baku kayu yang tertahan dalam pemeriksaan isi komntainer oleh pihak Bea Cukai berupa barang berbentuk kayu gelondongan, fosil kayu/non kayu serta serbuk kayu/pepagan. Berdasarkan catatan dan informasi dari pihak Bea Cukai, produk-produk tersebut akan di ekspor ke luar negeri seperti di antaranya ke negara Taiwan. Tujuan penggunaan fosil kayu dan non kayu adalah sebagai barang hiasan/koleksi, sedangkan jenis-jenis kayu yang diperdagangkan ke luar negeri umumnya jenis-jenis yang dilarang diekspor sesuai peraturan. Dari pengamatan langsung di lokasi pemeriksaan diketahui adanya produk kayu gelondongan yang sebenarnya sudah dilarang untuk diekspor. Sedangkan serbuk kayu/pepagan yang akan diekspor ke luar negeri merupakan bahan baku untuk pembuatan dupa. Hasil identifikasi terhadap barang produk ekspor berbahan baku kayu yang tertahan di pelabuhan Tanjung Priok untuk keperluan pemeriksaan disajikan dalam Tabel 2. Sedangkan skema (alur kerja) kegiatan mengidentifikasi kayu baik di lapangan maupun di laboratorium disajikan pada Gambar 2. Tabel 2. Hasil identifikasi produk komoditi kayu, fosil kayu dan serbuk kayu/pepagan Jenis Produk Ciri-ciri anatomi yang ditemukan Batu alam Tidak ditemukan ciri anatomi kayu namun ditemukan ciri-ciri (Fosil) terumbu karang Porositas baur, pori hampir seluruhnya soliter, bidang perforasi sederhana, ceruk antar pembuluh selang-seling, tilosis biasa dijumpai, parenkim : aksial vaskisentrik, aliform, saluran aksial dalam baris tangensial panjang Kayu solid Batas lingkar tumbuh jelas, porositas baur, bidang perforasi sederhana, ceruk antar pembuluh selang-seling, percerukan pembuluh-jari-jari dengan halaman yang jelas;serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh, tebal dinding serat sangat tebal, parenkim : tersebar dalam kelompok, paratrakea jarang, aliform dan parenkim pita lebih dari 3 sel, panjang untai parenkim delapan (5-8) sel per untai, lebar jari-jari 1-3 seri dan jari-jari besar umumnya 4-10 seri, komposisi sel jarijari seluruhnya sel baring, kristal prismatik dalam sel baring dan dalam parenkim aksial berbilik. Warna kayu teras putih krem, porositas baur, pori sebagian gandaan 2-3, bidang perforasi sederhana, parenkim bentuk sayap dan konfluen, lebar jari-jari 1-3 seri, komposisi sel jari-jari seluruhnya sel baring, kristal prismatik dalam parekim aksial tak berbilik Batas lingkar tumbuh tidak jelas, pembuluh berganda radial 4 atau lebih dan bergerombol biasa dijumpai, bidang perforasi sederhana, ceruk antar pembuluh selang-seling, lebar jari-jari 13 seri, komposisi sel jari-jari dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal, terdapat kulit tersisip tersebar.
4
Hasil identifikasi/jenis kayu Diduga fosil biota laut Fosil kayu jenis kamper (Drobalanoxylon sp.Dipterocarpaceae) Tualang (Koompassia sp.Caesalpiniaceae)
Ramin (Gonystylus sp.Thymeleaceae)
Gaharu (Aquilaria sp.Thymeleaceae)
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Serbuk Kayu/Kulit Batang Kayu (Pepagan)
Kayu tanpa pori, tidak ada sel parenkim, noktah pada dinding radial selang-seling dalam 2 atau lebih baris, pernoktahan silang jari-jari cupressiod, trakeid berisi damar tampak bintik-bintik coklat, tinggi jari-jari sangat rendah (paling banyak 4 sel), tidak ada penebalan spiral. Batas lingkar tumbuh jelas, porositas baur, bidang perforasi sederhana, ceruk antar pembuluh selang-seling, dalam pembuluh terdapat getah dan endapan, dinding serat sangat tebal, parenkim tersebar, lebar jari-jari 1-3 seri, komposisi sel jari-jari seluruhnya sel baring dan dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal, kristal prismatik dalam parenkim aksial berbilik. Batas lingkar tumbuh jelas, porositas baur, bidang perforasi sederhana, ceruk antar pembuluh selang-seling, dalam pembuluh terdapat getah dan endapan, dinding serat sangat tebal, parenkim : vaskisentrik, aliform, parenkim pita lebih dari 3 sel, lebar jari-jari 1-3 seri, lebar jari-jari besar umumnya 4-10 seri, komposisi sel jari-jari seluruhnya sel baring, susunsn jarijari semua bertingkat, kristal prismatik dalam parenkim aksial berbilik. Batas lingkar tumbuh tidak jelas, pembuluh berganda radial 4 atau lebih dan bergerombol biasa dijumpai, bidang perforasi sederhana, ceruk antar pembuluh selang-seling, parenkim : tersebar, vaskisentrik, lebar jari-jari 1-3 seri, komposisi sel jarijari dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal serta umumnya dengan 2-4 1 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal, terdapat sel minyak dan muscilage bergabung dengan parenkim aksial. Serbuk berwarna coklat gelap dan sedikit beraroma, ditemukan banyak sel batu (sklereid) dan sedikit sel pembuluh maupun serat, ditemukan banyak sel kristal prismatik serta terlihat adanya endapan putih, apabila serbuk diekstrak menggunakan larutan alkohol 50% berubah menjadi lengket (terlihat adanya lendir).
5
Damar (Agathis sp.Araucariaceae)
Papi/Cendana Semut (Exocarpus sp. - Santalaceae)
Sonokeling (Dalbergia sp. Papilionaceae)
Medang/Pakanangi/Ki sereh (Cinnamomum sp. - Lauraceae)
Gemor (Alseodaphne sp.Lauraceae)
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI TEKNIK IDENTIFIKASI KAYU, FOSIL KAYU DAN SERBUK KAYU/PEPAGAN Sampel kayu
Sampel batu alam/fosil kayu
Pengamatan ciri makroskopis
dengan bantuan loupe perbesaran 10 X
Pengamatan ciri makroskopis lintang kayu dengan bantuan loupe perbesaran 10 X
Sampel serbuk kayu/pepagan
Pengamatan ciri mikroskopis melalui preparat maserasi (bubur kayu)
Pengamatan mikroskopis melalui preparat sayat dengan bantuan mikroskop apabila hasil nama jenis kayu masih meragukan atau belum ditemukan (teknik pembuatan preparat sayat dapat dilakukan di ITB)
Pengamatan mikroskopis melalui preparat sayat dengan bantuan mikroskop apabila hasil nama jenis kayu masih meragukan atau belum ditemukan
Objek pengamatan ciri mikroskopis pada preparat maserasi Pengujian dengan ekstrak air/alkohol (umumnya serbuk berbahan baku dari jenis kayu anggota famili Luaraceae)
Objek pengamatan ciri mikroskopis pada penampang lintang, radial dan tangensial kayu
Objek pengamatan ciri makroskopis pada penampang lintang kayu
Gambar 2. Skema teknik mengidentifikasi
6
Objek pengamatan lengket (slimy) setelah diekstrak
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 3. Format isian ciri anatomi serta aplikasi entry data ke dalam program identifikasi kayu
Gambar 4. Koleksi contoh kayu dalam Xylarium Bogoriense, serta buku referensi sebagai rujukan dalam verifikasi hasil identifikasi kayu IV. Kesimpulan Pemeriksaan identifikasi kayu yang berasal dari kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok bersama petugas Bea Cukai umumnya barang-barang komoditi ekspor berbahan baku kayu yang berupa kayu gelondongan, fosil kayu/non kayu serta serbuk kayu/pepagan. Pemeriksaan identifikasi kayu di lapangan menemukan bentuk kayu gelondongan dengan jenis kayu yang sudah dilindungi dan sudah dilarang untuk diekspor. Produk barang ekspor berupa serbuk kayu/pepagan jenis gemor (Alseodaphne sp.) merupakan bahan baku untuk pembuatan dupa. Jenis-jenis kayu hasil identifikasi selama pemeriksaan adalah Tualang, Kamper, Ramin, Gaharu, Agathis, Papi, Sonokeling, Pakanangi, dan Gemor. V. Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Mandang yang secara aktif senantiasa memberikan banyak pengetahuan dan waktunya dalam membantu mengidentifikasi barang produk kayu yang tertahan dalam pemeriksaan bersama pihak Bea Cukai. Terima kasih juga disampaikan kepada rekan peneliti, teknisi dan laboran pada laboratorium Anatomi Kayu (Pak Usep, Tuti dan Romi) yang juga turut aktif hingga saat ini melakukan pelayanan identifikasi kayu termasuk yang berasal dari Bea Cukai.
7
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI DAFTAR PUSTAKA Hidelbrand, F.H. 1952. Nama-nama kesatuan untuk jenis-jenis pohon yang penting di Indonesia. Pengumuman Istimewa No. 6, Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, S.A. Prawira. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Richter, H.G, D. Grosser, I. Heinz & P.E. Gasson. 2004. IAWA List of Microscopic Features for Softwood Identification. IAWA Journal 25 (1): 1-70. National Herbarium Nederland, Leiden, Netherland. Sass, J.E. 1961. Botanical Microtechnique.The IOWA State University Press. Tesoro, F. O. 1989. Methodology for Project 8 on Corypha and Livistona. FPRDI, College, Laguna 4031. Philippines. Wheeler, E.A., P. Baas, and Gasson P.E. 1989. IAWA List of Microscopic Features for Hardwood Identification. IAWA Bulletin n.s. 10 (3):219-332. Rijksherbarium, Leiden, Netherland.
8
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Ketahanan Enam Jenis Kayu Terhadap Lima Jamur Pelapuk, Djarwanto, Sihati Suprapti, & Hudiansyah Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor. Telp. (0251)-8633378, Fax. (0251)-8633413 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Enam jenis kayu yaitu Buchanania arborescens BL (ki rengas), Crypteronia paniculata BL. (ki bonen), Hopea nervosa King (hopea), Shorea almon (meranti merah), Terminalia complanata (ketapang) dan Tetrameles nudiflora (binong), diuji ketahanannya terhadap jamur pelapuk dengan mengacu SNI 01-7207-2006. Contoh uji kayu diambil dari bagian tepi dan bagian dalam dolok. Hasilnya menunjukkan bahwa B. arborescens termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III), C. paniculata, H. nervosa, dan S. almon termasuk kelompok kayu tahan (kelas II), T. complanata dan T. nudiflora termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV). Kehilangan berat kayu bagian dalam hampir sama dengan kehilangan berat kayu bagian tepi dolok, yang termasuk dalam kelompok kayu agak-tahan (kelas III). Sedangkan kehilangan berat tertinggi terjadi pada bagian dalam kayu T. nudiflora yang diuji dengan Polyporus sp. HHBI-209 yaitu 24,5%. Kemampuan dalam melapukkan kayu mulai dari yang tertinggi adalah Polyporus sp. HHBI 371, Tyromyces palustris HHBI-232, Polyporus sp. HHBI-209, Trametes sp. HHBI-379 dan Phlebia brevisvora HHBI-268. Kata kunci: Kayu, bagian dalam dolok, bagian tepi dolok, jamur, kelas resistensi PENDAHULUAN Sekitar 4000 jenis tumbuhan berkayu terdapat di Indonesia, namun hanya sebagian kecil saja yang sudah dikenal sebagai kayu perdagangan. Potensi jenis kayu perdagangan tersebut telah menurun. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu harus dicari bahan baku pengganti dengan cara memafaatkan kayu yang kurang dimanfaatkan atau kurang dikenal di dunia perdagangan. Kayu kurang dikenal tersebut, tumbuh diberbagai wilayah berpotensi menggantikan kayu perdagangan yang telah langka (Sumarni et al., 2009). Kualitas kayu kurang dikenal umumnya dianggap rendah karena dalam pemakaiannya belum memperhatikan sifat kayunya. Akibat kurangnya informasi tersebut, maka dalam penggunaannya sering tidak membedakan kualitas kayunya. Agar peran substitusi sebagai kayu perdagangan terpenuhi maka perlu diidentifikasi sifat dan kegunaannya.. Identifikasi tersebut antara lain sifat ketahanan kayu terhadap organisme perusak seperti jamur pelapuk. Penelitian sifat ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk perlu dilakukan terutama di daerah tropis di mana jamur tersebut mudah tumbuh. Posisi contoh kayu di dalam dolok yaitu bagian dalam (dianggap sebagai teras) dan bagian tepi (dianggap sebagai gubal), diduga memiliki sifat ketahanan yang berlainan terhadap enam jamur pelapuk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan kayu bagian dalam dan tepi dolok enam jenis kayu terhadap serangan jamur pelapuk secara laboratoris. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu asal Banten, Manokwari dan Kalimantan Timur, seperti tercantum pada Tabel 1. Bahan kimia yang dipakai antara lain Malt extract, Bacto agar dan alkohol. Sedangkan jenis jamur pengujinya yang digunakan yaitu Polyporus sp. HHBI-209, Polyporus sp. HHBI-371, Phlebia brevisvora HHBI-268, Trametes sp. HHBI-379 danTyromyces palustris HHBI-232.
9
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1. Jenis kayu yang diteliti terhadap jamur pelapuk No Jenis kayu Nama daerah 1 2 3 4 5 6
Buchanania arborescens BL. Crypteronia paniculata BL. Hopea nervosa King Shorea almon Terminalia complanata Powell Tetrameles nudiflora R. Br.
Kirengas Kibonen Hopea Meranti merah Ketapang Binong
Suku Anacardiaceae Crypteroniaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Combretaceae Datiscaceae
Asal Banten Banten Kalimantan Timur Kalimantan Timur Manokwari Manokwari
Contoh uji berukuran 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm, dengan panjang 5 cm searah serat diambil dari bagian pangkal dolok. Dolok kayu digergaji dibuat papan dan diserut sehingga tebalnya 2,5cm. Pada papan terlebar dibuang bagian tepi dan kulitnya sehingga papan menjadi lurus, lalu digergaji dan diserut sehingga tebalnya 1,5 cm, dan dikelompokkan masing-masing mulai dari bagian tepi sampai ke bagian dalam, selanjutnya pada masing-masing bagian tersebut dipotong sepanjang 5cm. Pengambilan contoh uji tersebut mengikuti pola yang dilakukan oleh Djarwanto (2010). Contoh uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bagian tepi dan bagian dalam dekat bagian tengah/empulur, diampelas, diberi nomor dan kemudian dikeringkan dengan oven 105 °C. Media uji yang digunakan adalah MEA (malt-ekstrak-agar) dengan komposisi malt-ekstrak 3% dan bacto-agar 2% dalam air suling. Media yang telah dilarutkan secara homogen dimasukkan ke dalam piala Kolle sebanyak 80 ml per-piala. Mulut piala di sumbat dengan kapas steril, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C, tekanan 1,5 atmosfer, selama 30 menit. Media yang telah dingin diinokulasi biakan murni jamur penguji, selanjutnya disimpan di ruang inkubasi sampai pertumbuhan miseliumnya rata dan tebal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Kolle-flask mengacu SNI 01-7207-2006. Contoh uji yang telah diketahui berat kering ovennya dimasukkan ke dalam piala yang berisi biakan jamur tersebut. Setiap piala diisi sepasang contoh uji yang terdiri dari kayu bagian tepi dan kayu bagian dalam dolok, diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak saling bersinggungan, kemudian diinkubasikan selama 12 minggu. Untuk setiap jenis kayu dan isolat jamur disediakan 5 buah piala sebagai ulangan. Pada akhir pengujian contoh uji dikeluarkan dari piala, dibersihkan dari miselium yang melekat, dan ditimbang pada kondisi sebelum dan sesudah dikeringkan dengan oven, untuk mengetahui kehilangan beratnya. Kehilangan berat dihitung berdasarkan selisih berat contoh sebelum dengan sesudah perlakuan dibagi berat awal contoh uji, dalam kondisi kering oven dan dinyatakan dalam persen. Persentase kehilangan berat contoh uji di analisa menggunakan rancangan faktorial 5x2x5 (jenis kayu, bagian kayu dalam dolok dan jenis jamur, dengan lima kali ulangan. Ratarata kehilangan berat kayu dikelompokkan dengan menggunakan nilai atau skala kelas resistensi menurut Martawijaya (1975) dan Suprapti et al. (2011) seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap jamur berdasarkan persentase kehilangan berat Kelas
Ketahanan
Kehilangan berat rata-rata, %
I
Sangat tahan
< 0,5
II
Tahan
0,5 - < 5
III
Agak tahan
5 - < 10
IV
Tidak tahan
10 - 30
V
Sangat tidak tahan > 30 Sumber: Martawijaya, 1975 dan Suprapti et al., 2011
10
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian secara laboratoris kehilangan berat contoh uji merupakan salah satu tanda terjadinya kerusakan kayu oleh jamur. Rata-rata kehilangan berat kayu bagian dalam dan tepi dolok terlihat bervariasi, yang disajikan pada Tabel 3 dan 4. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis kayu, bagian kayu dalam dolok dan jenis jamur berpengaruh terhadap kehilangan berat contoh uji (p < 0.01). Rata-rata kehilangan berat kayu dan kelas resistensinya terhadap jamur disajikan pada Tabel 5. Hasil uji beda Tukey (p < 0.05) terhadap enam jenis kayu memperlihatkan bahwa persentase kehilangan berat terendah terjadi pada kayu Crypteronia paniculata. Sedangkan persentase kehilangan berat tertinggi terjadi pada kayu Tetrameles nudiflora. Tabel 3. Persentase kehilangan berat kayu bagian dalam dolok dan kelas resistensinya Jenis kayu Persentase kehilangan berat oleh jamur dan kelas resistensi kayu Polyporus sp. Polyporus sp. Phlebia Trametes sp. Tyromyces HHBI-209 HHBI-371 brevisvora palustris Kb Kr Kb Kr Kb Kr Kb Kr Kb Kr Buchanania arborescens 1,80 II 9,12 III 0,54 II 9,84 III 3,99 II Crypteronia paniculata 0,72 II 5,30 III 2,12 II 1,11 II 1,88 II Hopea nervosa 3,42 II 18,31 IV 0,92 II 3,22 II 6,48 III Shorea almon 9,24 III 2,19 II 0,89 II 1,00 II 19,55 IV Terminalia complanata 17,06 IV 13,18 IV 0,61 II 5,04 III 12,45 IV Tetrameles nudiflora 24,49 IV 17,51 IV 4,44 II 1,87 II 22,99 IV Keterangan: Kb= kehilangan berat, Kr= kelas resistensi Tabel 4. Persentase kehilangan berat kayu bagian tepi dolok dan kelas resistensinya Jenis kayu Persentase kehilangan berat oleh jamur dan kelas resistensi kayu Polyporus sp. Polyporus sp. Phlebia Trametes sp. Tyromyces HHBI-209 HHBI-371 brevisvora palustris Kb Kr Kb Kr Kb Kr Kb Kr Kb Kr Buchanania arborescens 5,18 III 19,70 IV 5,48 III 18,32 IV 5,02 III Crypteronia paniculata 1,88 II 7,94 III 3,11 II 2,46 II 2,07 II Hopea nervosa 4,34 II 5,32 III 0,96 II 0,76 II 1,53 II Shorea almon 5,07 III 1,01 II 0,72 II 2,08 II 6,74 III Terminalia complanata 17,09 IV 18,90 IV 1,1 II 10,22 IV 17,16 IV Tetrameles nudiflora 21,55 IV 13,55 IV 5,37 III 1,90 II 22,23 IV Keterangan: Kb= kehilangan berat, Kr= kelas resistensi Berdasarkan hasil uji beda Tukey (p < 0.05) terhadap posisi contoh uji menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan berat pada kayu bagian dalam yaitu 7,38%, lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan berat kayu bagian tepi dolok yaitu 7,62%, namun kedua bagian tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0.05), meskipun demikian kedua bagian tersebut masih termasuk dalam kelas ketahanan yang sama yaitu kelas III (kelompok kayu agak-tahan). Menurut Suprapti & Djarwanto (2008), Djarwanto (2010), Coggins (1980), Freas (1982) dan Khan (1954) bahwa ketahanan kayu bagian teras (heartwood) lebih tinggi dibandingkan dengan ketahanan kayu bagian gubal (sapwood). Hasil analisis didapatkan interaksi yang nyata antara jenis kayu, bagian atau posisi kayu dalam dolok dan jenis jamur (p < 0.01). Kehilangan berat tertinggi terjadi pada bagian dalam kayu Tetrameles nudiflora yang diuji dengan Polyporus sp. HHBI-209 yaitu 24,49%. Sedangkan kehilangan berat terendah dijumpai pada bagian dalam kayu Buchanania arborescens) yang diuji dengan Phlebia brevisvora (0,54%).
11
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 5. Rata-rata kehilangan berat dan kelas resistensi enam jenis kayu Jenis kayu Diameter dolok Kehilangan berat (%) (cm) Bagian dalam Bagian tepi Rata-rata Buchanania arborescens 20,5 5,06 10,74 7,90 c Crypteronia paniculata 18,0 2,22 3,49 2,86 e Hopea nervosa 43,2 6,47 2,58 4,53 de Shorea almon 45,8 6,57 3,13 4,85 d Terminalia complanata 44,0 9,67 12,90 11,28 b Tetrameles nudiflora 20,5 14,26 12,92 13,59 a Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada uji
Kelas resistensi III (II-IV) II (II-III) II (II-IV) II (II-IV) IV (II-IV) IV (II-IV) Tukey p <
0.05 Berdasarkan klasifikasi ketahanan kayu terhadap jamur secara laboratoris maka Buchanania arborescens termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III), Crypteronia paniculata, Hopea nervosa dan Shorea almon termasuk kelompok kayu tahan (kelas II), sedangkan kayu Terminalia complanata, dan Tetrameles nudiflora termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV). Menurut Oey (1990), Buchanania arborescens termasuk kelompok kayu tidak tahan atau sangat tidak tahan (kelas IV/V), Crypteronia paniculata termasuk kelompok kayu tidak tahan (kelas IV) dan Tetrameles nudiflora termasuk kelompok kayu sangat tidak tahan (kelas V), yang dinilai berdasarkan usia pakai kayu dengan tidak disebutkan jenis organisme yang menyerangnya. Pada Tabel 6 ditunjukkan variasi kemampuan jamur untuk melapukkan lima jenis kayu. Berdasarkan hasil uji beda Tukey (p < 0.05) menunjukkan bahwa kehilangan berat tiga jenis jamur tidak berbeda nyata. Polyporus sp. HHBI-371, merupakan jamur pelapuk putih yang memiliki kemampuan melapukkan kayu tertinggi.kemudian diikuti oleh Tyromyces palustris dan Polyporus sp. HHBI-209. Kedua jamur tersebut termasuk jamur pelapuk coklat, dan Polyporus sp. HHBI-209 memiliki kemampuan melapukkan kayu lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan T. palustris. (Suprapti et al, 2011; Suprapti dan Djarwanto, 2012). Sedangkan Polyporus sp. HHBI-371 termasuk kelompok jamur pelapuk putih yaitu kelompok jamur yang merombak selulosa dan lignin (Djarwanto dan Tachibana 2009). Kemampuan jamur pelapuk putih, Phlebia brevisvora dalam melapukkan kayu paling rendah. Laporan sebelumnya menyatakan bahwa kemampuan P. brevisvora dalam melapukkan kayu sidikit lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan jamur Polyporus sp. HHBI-209 (Suprapti et al., 2011). Hartig dan Lorbeer (1991) menyatakan bahwa P. brevisvora termasuk kelompok jamur pelapuk putih yang dapat merombak selulosa dan lignin. Menurut Eslyn (1986) P. brevisvora termasuk kelompok jamur pelapuk putih yang memiliki kemampuan melapukkan kayu rendah. Tabel 6. Rata-rata kehilangan berat kayu oleh jamur pelapuk No Jenis jamur 1 Phlebia brevisvora
Kehilangan berat (%) 2,19 c
2
Polyporus sp. HHBI-209
9,32 a
3
Polyporus sp. HHBI-371
11,00 a
4
Trametes sp.
4,81 b
5 Tyromyces palustris 10,17 a Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey p < 0.05
12
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI KESIMPULAN Dari enam jenis kayu yang diteliti didapatkan bahwa Buchanania arborescens termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III), Crypteronia paniculata, Hopea nervosa dan Shorea almon termasuk kelompok kayu tahan (kelas II), sedangkan kayu Terminalia complanata, dan Tetrameles nudiflora termasuk kelompok kayu tidaktahan (kelas IV). Kehilangan berat kayu bagian dalam hampir sama dengan kayu bagian tepi dolok, yang termasuk dalam kelompok kayu agak-tahan (kelas III). Kehilangan berat tertinggi terjadi pada bagian dalam kayu Tetrameles nudiflora yang diuji dengan Polyporus sp. HHBI-209 yaitu 24,49%. Sedangkan kehilangan berat terendah dijumpai pada bagian dalam kayu Buchanania arborescens) yang diuji dengan Phlebia brevisvora (0,54%). Kemampuan jamur untuk melapukkan kayu berlainan tergantung pada jenis kayu dan jenis jamur yang diumpankan. Kemampuan dalam melapukkan kayu mulai dari yang tertinggi adalah Polyporus sp. HHBI 371, Tyromyces palustris HHBI-232, Polyporus sp. HHBI-209, Trametes sp. HHBI-379 dan Phlebia brevisvora HHBI268. DAFTAR PUSTAKA Coggins CR. 1980. Decay of timber in buildings dry rot, wet rot and other fungi. Rentokil Limited Felcourt, East Grinstead. 115 p. Djarwanto. 2010. Ketahanan lima jenis kayu terhadap fungi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3 (2): 51-55. Djarwanto, Tachibana S. 2009. Screening of fungi capable of degrading lignocelluloses from plantation forest. Pakistan Journal of Biological Sciences 12 (9): 669-675. ANSInet. Faisalabad, Pakistan. Eslyn WE. 1986. Utility Pole Decay. Part 4: Growth-temperature relations and decay capabilities of eleven major utility pole decay fungi. Holzforschung 40: 69-77. Freas AD. 1982. Evaluation maintenance and upgrading of wood structure. A guide and commentary. The American Society of Civil Engineers. ISBN 0-87262-317-3. Hartig C, Lorbeer H. 1991. Mikroorganismen zur bioconversion von lignin. Mat. Organismen 26: 31-52 Khan AH. 1954. Decay in timber its cause & control. Pakistan Forest Research Institute, Abbottabad. 29 p. Martawijaya A. 1975. Pengujian laboratoris mengenai keawetan kayu Indonesia terhadap jamur. Kehutanan Indonesia. Hal.: 775-777. Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Oey DS. 1990. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-7207-2006. Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Sumarni G, Muslich M, Hadjib N, Krisdianto, Malik D, Suprapti S, Basri E, Pari G, Iskandar MI, Siagian RM. 2009. Sifat dan Kegunaan Kayu: 15 jenis kayu andalan setempat Jawa Barat. 88 hal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Suprapti S, Djarwanto. 2008. Ketahanan lima jenis kayu asal Sukabumi terhadap jamur perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (2): 129-137. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Suprapti S, Djarwanto, Hudiansyah. 2011. Ketahanan lima jenis kayu asal Lengkong Sukabumi terhadap beberapa jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (3): 248-258. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Suprapti S, Djarwanto. 2012. Ketahanan enam jenis kayu terhadap jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 30 (3): 227-234. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
13
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Keistimewaan Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Sebagai Kerangka Utama Mendukung Kayu Konstruksi Perahu Fiberglas Edi Sarwono Pustekolah, Bogor (
[email protected]) Abstrak Nelayan merupakan bagian penduduk Indonesia yang persentasenya cukup besar. Sebagai negara bahari perahu para nelayan beroperasi pada pelabuhan-pelabuhan pendaratan ikan laut di daerah nelayan pantai. Tulisan ini dibuat dengan mengadakan studi literatur dan telaah di lapangan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Jawa Barat, kapal kayu produksi baru terakhir ini sudah jarang ditemui di beberapa daerah pantai sekitar nelayan. Kapal boat fiberglas lebih banyak diterima oleh nelayan pencari ikan karena pembuatannya yang cepat melalui model cetakan, harga bersaing, bobot perahunya ringan sehingga dapat didorong oleh empat orang nelayan ke tanah di pinggir pantai berpasir halus. Sampai saat ini sudah banyak kelompok masyarakat yang membuat perahu fiberglass dengan panjang 9-15 meter lebar 1,10 -1,35 meter yang dapat berlayar tidak melebihi 10 jam di laut lepas pada jarak pelayaran terbatas sekitar pantai atau di sekitar pelabuhan kapal-kapal besar. Berkapasitas muatannya < 1 ton dengan nama terkadang disebutnya boat pancung, jukung atau sampan besar. Pembuatannya tak lepas dari susunan kerangka pendukung konstruksi yang berasal dari kayu berberat jenis (BJ) kecil. Penggunaan kayunya sangat minim terutama pada gadinggading, wrang-wrang, senta-senta atas kiri-kanan serta transom bagian atas di buritan perahu memakai papan berketebalan 2,3 cm atau kayu bersambungan finger joint berukuran 2x12x1500 cm yang dibuat majemuk sehingga kelebaranya mencapai 4 cm. Alternatip utama menggunakan kayu sengon (Paraserianthes falcataria) karena kayu ini berasal dari pohon yang mempunyai sifat sangat ramah lingkungan sehingga sampai saat ini masyarakat di P Jawa telah membudidayakan secara besar-besaran di hutan rakyat bahkan di halaman rumah penduduk. Harga kayunya murah, sangat terjangkau dan mempunyai BJ kecil. Sehingga pada pemakaian pembuatan kerangka perahu tidak akan banyak menambah bobot perahunya itu sendiri bila sedang dalam keadaan kosong, disamping kayunya tahan terhadap serangan organisme perusak bila tidak terkena air secara langsung di kondisi kering. Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) juga disebut kayu jeunjing, mempunyai BJ rata-rata 0,33 – 0,48 dengan kelas kuat IV/V dan kelas awet IV-V penggunaan umumnya sebagai papan cetakan beton, meja gambar, kelom, ukiran, separator baterai, potlot dan kayu lapis dan sekarang sudah merambah ke berbagai produk modern seperti komponen penyusun konstruksi kursi sofa berlapis plastik, sampai pendukung utama konstruksi kerangka perahu fiberglass. Selama ini kayu sengon telah dijadikan komoditi utama ekspor ke negara-negara maju terutama dalam bentuk papan sambung lamina. Kata kunci : Perahu fiberglass, Nelayan, Kayu sengon.
14
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pendahuluan Posisi negara kesatuan Republik Indonesia yang terletak diantara dua benua dan dua samudera telah menyebabkan begitu pentingnya dan strategisnya dalam hal transportasi kelautan. Sehingga Indonesia disebut sebagai negara maritim yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil serta dua pertiga wilayahnya merupakan lautan, sehingga untuk keperluan transportasi antar pulau memerlukan infrastruktur yang memadai. Untuk pelayaran antar pulau tersebut dibutuhkan perahu-perahu, yang umumnya sejak zaman dahulu mula-mula terbuat dari kayu. Nelayan merupakan bagian penduduk Indonesia yang persentasenya cukup besar. Sebagai negara bahari perahu para nelayan beroperasi pada pelabuhan-pelabuhan pendaratan ikan laut di daerah nelayan pantai. Kebutuhan kayu untuk keperluan tersebut setiap tahunnya semakin meningkat, sedangkan persediannya semakin berkurang. Jenis kayu yang dipilih untuk perahupun pada umumnya terbatas pada beberapa jenis yang sudah dikenal dalam praktek dan telah terbukti keunggulannya untuk perkapalan. Para pengguna atau pembuat perahu biasanya tidak berani menggunakan jenis baru walaupun jenis kayu tersebut memiliki sifat yang sama, bahkan mungkin lebih baik daripada jenis kayu yang sudah lazim digunakan. Namun kebutuhan kayu ini dapat mengarah pada eksploitasi hutan alam secara berlebihan yang kemudian dapat mengancam kelestarian hutan. Dan tekanan kebutuhan tersebut akan dapat dikurangi dengan mengembangkan bahan baku alternatif atau kayu alternatif dari kayu hutan tanaman atau hutan rakyat lainnya. Akan tetapi untuk kayu yang berasal dari hutan tanaman umumnya memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu yang berasal dari hutan alam. Karena kayu dari hutan tanaman umumnya memiliki beberapa kelemahan diantaranya dipanen pada umur yang relatif muda, berdiameter kecil, berat jenis rendah, dan tidak awet, sehingga perlu dilakukan suatu upaya penguatan, salah satunya dengan cara membalutnya dengan suatu material yang mempunyai sifat yang tahan terhadap cuaca seperti misalnya fiberglas. Fiberglas atau juga disebut glass-reinforced plastic (GRP) atau plastik yang diperkuat bahan gelas atau glass-fiber reinforced plastic (GFRP) plastic yang diperkuat serat gelas adalah suatu polimer terbuat dari suatu matrik plastik yang diperkuat oleh serat-serat gelas halus. Fiberglas adalah suatu material ringan, sangat kuat dan penuh kekuatan. Meskipun sifat kekuatannya terkadang lebih rendah dibandingkan serat karbon, namun tipe materialnya tidak kaku, sejauh itu tak berserabut dan bahan bakunya cukup murah. Sifat berat dengan kelebihan kekuatannya sangat dapat dikenal jika dibandingkan dengan logam dan mudah dibentuk menggunakan proses pembentukan cetak. Kekuatan akhir stuktur menjadi kuat bila permukaan serat yang terbentuk hampir seluruhnya terbebas dari cacat-cacat, terkecuali fiberglas yang dipergunakan sebagai penyekat. Keteguhan tariknya dapat mencapai ribuan kg/cm2 bila penyusunnya terbebas cacat, sehingga ini akan sama kuatnya seperti serat gelas, walaupun di luar praktek laboratorium susah untuk memproduksinya dalam kondisi terbebas cacat. Suatu struktur serat gelas secara mandiri kaku dan kuat dalam keteguhan tarik dan tekan sepanjang porosnya. Begitu ringannya fiberglas dan dengan sifat materialnya yang tahan cuaca, terkadang dipergunakan sebagai peralatan pelindung seperti helm, dan juga terkadang diisi dengan struktur busa seperti halnya di dalam pembuatan papan selancar. Hasil dan Pembahasan Fibreglas adalah suatu material yang dapat dibuat untuk berbagai barang, dimana kombinasi ringan atas beratnya sendiri disertai suatu pancaran mutu berkualitas terhadap cuaca dengan suatu corak permukaan yang bervariasi. Relatif sangat ringan dan tahan cuaca ini terkadang dipergunakan sebagai peralatan pelindung, seperti helm. Komponen fiberglas adalah tipe konstruksi sel kurus, terkadang diisi dengan busa struktur seperti halnya di dalam pembuatan papan selancar.
15
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembuatan kapal atau perahu rakyat yang dikerjakan secara tradisional hanya berdasarkan pengalaman tanpa menggunakan desain. Industrinya yang kini hidup secara dinamis di beberapa daerah industri kapal atau perahu kayu tradisional dengan beragam ukuran ini banyak yang dikerjakan secara turun-temurun. Pembuatan kapal atau perahu rakyat secara tradisional tersebut terkadang merupakan suatu pemborosan kayu, karena banyak bahan baku kayu yang terpotong dan terbuang. Pembuatan gading kapal kayu biasanya diperlukan kayu pohon tertentu yang sudah berbentuk lengkung yang sulit dicari. Di Jawa Barat, produksi kapal kayu baru terakhir ini sudah jarang ditemui di beberapa daerah pantai sekitar nelayan. Industri kapal kayu dapat disebut sebagai kerajinan pembuatan kapal kayu, saat ini hanya ada beberapa pengrajin yang membuat kapal kayu. Hal ini disebabkan karena umumnya mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku kayunya. Jumlah pengrajin kapal kayu dari tahun ke tahun menurun secara drastis. Kapal boat fiberglas lebih banyak diterima oleh nelayan pencari ikan karena pembuatannya yang cepat melalui model cetakan dengan harga bersaing, bobot perahunya ringan sehingga dapat didorong oleh empat orang nelayan ke tanah di pinggir pantai berpasir halus. Sampai saat ini semakin banyak kelompok masyarakat yang membuat perahu fiberglass dengan panjang 9-15 meter lebar 1,10 -1,35 meter yang dapat untuk berlayar tidak melebihi 10 jam di laut lepas pada jarak pelayaran terbatas sekitar pantai atau di sekitar pelabuhan kapal-kapal besar. Di Kepulauan Riau pembuatan kapal tunda kayu yang digunakan untuk menarik kapal ponton/ kapal barang dengan kapasitas kapal 30 ton, ukuran panjang 1800 cm, lebar 400 cm, harganya mencapai Rp 200 juta. Kapal ikan yang dibuat mempunyai kapasitas muatan 10 ton dengan panjang 45 kaki atau 1350 cm, lebar 2,5 m atau 2500 cm dan panjang lunas 1260 cm. Harga kapalnya sekitar Rp 65 juta. Jenis-jenis kayu yang digunakan untuk pembuatan kapal atau perahu kayu adalah kayu resak (Vatica rassak) dan balau (Shorea sp.) untuk lunas, kayu sop-sop dan tumtum (Lumnitzera sp.) untuk bagian linggi kapal, dudukan mesin dan gading, sedangkan meranti (Shorea) untuk papan atau lambung kapal. Waktu yang diperlukan untuk membuat kapal perahu kurang lebih 5 bulan atau 150 hari dengan tenaga kerja 4 orang. Dengan jumlah perahu rata-rata yang dapat dibuat dalam setahun sebanyak 2 unit. Permasalahan yang dihadapi adalah kelangkaan bahan baku, tenaga, dan alat kerja. Jika panjang perahu kayu 14 kaki = 420 cm, ukuran lunasnya 9 kaki = 270 cm, waktu yang diperlukan untuk membuat perahu kurang lebih 40 hari apabila bahan tersedia dan cuaca bagus. Harga perahu kayu ini sampai Rp 8 juta/unit (belum termasuk mesinnya), harga mesin sendiri adalah Rp 19,5 juta. Jenis perahu yang dibuatnya adalah termasuk boat pancung dan pompong menurut istilah di daerah tersebut. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Ciamis Jawa Barat terhadap para nelayan di pantai Pangandaran. Menunjukkan bahwa saat ini perahu yang digunakan sebagian besar menggunakan bahan fiberglass. Penggunaan perahu kayu sangat sedikit dan berasal dari Kabupaten Cilacap. Pasca tsunami penggunaan perahu kayu beralih ke fiberglass karena mendapat bantuan dari pemerintah. Menurut mereka, perahu fiber lebih mudah dan cepat dibuat, serta mudah dalam perawatannya karena apabila perahu bocor tinggal dilakukan penambalan di bagian yang bocor saja. Dengan melihat gambar, dapat dilihat bentuk boat dari arah tiga sudut, yaitu arah atas (plan view), arah sisi (profile) dan arah depan (end view). Perahu-perahu fiberglas yang ditawarkan terdiri dari berbagai macam ukuran tersebut seperti dibawah ini untuk panjang (P) lebar (L) dan tinggi (T) mempunyai harga penawaran rupiah untuk kurs dollar sebesar Rp 11.000,-/ $ US sebagai berikut : Tabel 1.: Harga kapal fiberglas tanpa mesin No. Panjang (cm) Lebar (cm) 1 1300 200 2 1050 190 3 850 175 4 1100 125 5 900 90 6 550 150
Tinggi (cm) 90 90 80 80 70 60
16
Harga (xRp1000,-) 32.000 19.000 15.000 15.000 10.000 5.500
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sumber : Pengrajin perahu Keterangan (remarks) : Nomer bukan menunjukan rangking. Harga tidak mengikat sewaktu-waktu dapat berubah. Proses pembuatan perahu fiberglasnya dengan panjang 9 meter lebar 90 cm dan tinggi 60 cm memerlukan waktu pengerjaan selama 9 hari. Salah satu pengrajin yang didatangi didaerah Stoko di P.Bintan berhasil membuat sebuah kapal kayu jenis kepompong kapasitas muat barang 10 ton yang bermesin diesel 1600cc, 30 PK dan pembuatan dua buah kapal panjangnya 14 meter lebar 2 meter jenis kapal boat pancung yang masih berupa kerangka lunas kayu resak dan gading-gadingnya kayu sop-sop. Proses pembuatan kapal dimulai dari pembuatan lunas, linggi (sauk) dan gading-gading yang dilanjutkan dengan penempelan papanpapan kayu sebagai dinding kapal pada gading-gading yang sudah dibentuk. Gading-gading dibuat dari percabangan sebuah pohon besar kayu sop-sop terpilih dan diukur sudut pertemuannya dengan lunasnya dengan disesuaikan terhadap bentuk kelebaran kapal dengan menggunakan mal besi (8”) di tempat penebangan. Beberapa industri kapal kayu di P.Bintan mengalami kebangkrutan karena kesusahan mendapatkan pasokan bahan baku kayunya. Bahkan bengkel reparasi kapal kayu jenis boat pancung atau kepompong mengeluhkan susahnya mendapatkan kayu perkapalan. Sementara di desa Kawal di Kabupaten Bintan Riau Kepulauan ada pengrajin perahu pompong (panjang perahu 38 meter, lebar 8 meter) yang mengalami kebangkrutan usahanya sejak 8 tahun yang lalu karena kesulitan mendatangkan bahan baku kayu perkapalan dari luar daerahnya. Dilain pihak berat jenis kayu sengon 0,30 – 0,36 memungkinkan mengapung di air, sehingga dengan pemberian sisipan kayu sengon di dalam rangka pendukung perahu fiberglas akan menambah daya apung perahunya. Keteguhan atau kuat tarik sejajar serat untuk kayu pada umumnya dapat mencapai 960 - 1680 kg/cm2, keteguhan tekan sejajar serat kayu 317-650 kg/cm2. Sedangkan kayu sengon yang mempunyai keteguhan MOR 575 kg/cm2 dan dan MOE 107000kg/cm2 nilainya lebih besar delapan atau sebilan kali dari pada papan serat berberat jenis tinggi 0,71 dengan MOR 71.28 kg/cm2 dan MOE 12805kg/cm2, sehingga bila kayu sengon dipakai sebagai penyusun laminasi senta-senta, gading-gading, wrang-wrang maupun di buritan perahu pada struktur bangunan perahu fiberglas, maka akan menambah keuletan senta yang dibuat dibandingkan dengan menggunakan material fiberglas murni. Seperti terlihat pada tabel keteguhan tarik fiberglas yang dapat mencapai 550 sampai dengan 8000 kg/cm 2 pada berat jenis 1,28 sampai dengan 1,9. Untuk berat jenis fiberglas itu sendiri secara murni adalah tenggelam di dalam air. Tabel 2. Kekuatan bahan fiberglas yang pada beberapa campuran dengan mat dan woven roving. Berat Jenis (Specific gravity)
Bahan (Material) Polyester reinforced)[4]
resin
(Not
Keteguhan Tekan Keteguhan Tarik (Tensile (Compressive strength) MPa= strength) MPa = (Kg/cm2) (Kg/cm2)
1.28
55 (550)
140 (1400)
Polyester and Chopped Strand Mat Laminate 30% E-glass[4]
1.4
100 (1000)
150 (1500)
Polyester and Woven Rovings Laminate 45% E-glass[4]
1.6
250 (2500)
150 (1500)
Polyester and Satin Weave Cloth Laminate 55% E-glass[4]
1.7
300 (3000)
250 (2500)
Polyester and Continuous Rovings Laminate 70% Eglass[4]
1.9
800 (8000)
350 (3500)
17
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sumber : Wikipedia, 2013. Pada pengujian dengan menggunakan kayu sengon dan mangium pada balok lamina berperekat tanin resolsinol formaldehid (TRF), (Abdurachman dan Nurwati, 2012) menunjukkan keteguhan geser rekat antar lapisan lamina tertinggi pada kondisi kering dan basah terdapat pada kayu lamina sengon-sengon (S – S) 22,17 - 19,93 kg/cm2 yang hasilnya lebih tinggi dari pada lamina mangium-mangium (M – M) 15,14 – 6,23 kg/cm2. Hal ini dimungkinkan karena ikatan kopolimer TRF antara jenis kayu sengon dan sengon lebih kuat dari pada ikatan kopolimer jenis lainnya, karena jenis kayu itu memiliki kandungan kimia dan struktur anatomi yang memudahkan terbentuknya ikatan adhesi mekanik dan adhesi spesifik. Sedangkan kerusakan kayu yang terjadi akibat tegangan geser lapisan lamina sengon-sengon menunjukkan angka kerusakan paling tinggi 50% hingga 54,2% pada kondisi basah dan kering dibandingkan dengan lapisan lamina kombinasi sengon mangium atau mangium-mangium. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi keteguhan rekat lapisan laminanya semakin tinggi pula kerusakan kayunya. Disamping itu delaminasi pada kayu lamina dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain pengembangan (swelling) dan penyusutan (shrinkage) yang menimbulkan tegangan pada bagian dalam kayu lamina yang cenderung menggerakkan jaringan kayu ke arah transversal, faktor pengerjaan pada waktu pengempaan dan porositas yang dimiliki oleh jenis kayu yang digunakan. Hasil penelitian Santosa (2012), menyebutkan bahwa secara statistik nilai keteguhan rekat suatu produk cross laminated timber (CLT) yang facenya terbuat dari jenis kayu sengon dengan mengaplikasikan perekat yang terbuat dari hasil kopolimerisasi ekstrak cair limbah kayu merbau menghasilkan keteguhan rekat tertinggi, sementara yang terendah diperoleh pada produk CLT yang facenya masing-masing terbuat dari jenis kayu karet dan merbau, mengindikasikan bahwa rendahnya kadar ekstraktif non polar pada kayu sengon menambah atau memperkuat ikatan molekul perekat dengan kayu, sebaliknya tingginya kadar zat ekstraktif non polar pada kayu karet dan merbau akan menghambat ikatan melekul perekat dengan kayu. Penelitian ini telah menghasilkan nilai keteguhan patah MOR CLT yang facenya kayu sengon berkisar 437,9 kg/cm2. Disisi lain modulus elastisitas kayu sengon yang tinggi menyebabkan kayu sengon lebih elastis sehingga dapat dibentuk patung kecil memanjang serupa buluh bambu oleh para pengrajin patung di Bali, misalnya untuk tangkai bunga, leher jerapah disamping kayunya ringan yang memungkinkan kayu sengon dengan strenght weight ratio tinggi. Dalam hal ini keteguhan pukul dan belah di dalam kelasnya yang tinggi telah juga turut mempengaruhinya. Keteguhan pukul radial dan tangensialnya dan keteguhan belah radial dari kayu sengon yang lebih tinggi dari jati memberi inspirasi pematung bahwa di kedua kayu tersebut dapat dibuat suatu bentuk yang rumit karena bagian dalam kayu dari produk setengah jadinya tidak akan mudah patah oleh datangnya beban yang sekonyong-konyong, sedangkan kemudahan ukir telah menambah nilai tambah kayu bulat sengon dimata para pemahat patung Bali. Dilaporkan oleh Andianto 2013, dominasi tanaman sengon di hutan rakyat di kabupaten Ciamis dan kabupaten Cirebon sangat tinggi, Penggergajian skala kecil
yang banyak tersebar di kabupaten Ciamis
memperlihatkan dominasi jenis kayu sengon, tisuk dan caruy, sedangkan di wilayah kabupaten Cirebon didominasi oleh jenis kayu sengon dan jati. Hasil pengamatan di lapangan oleh penulis sendiri menunjukkan bahwa diameter kayu sengon hasil budi daya tanaman dari hutan rakyat di sekitarnya yang akan digergaji dapat mencapai rata-rata maksimum 70 cm dengan panjang batang 600 cm. Di daerah Kabupaten Temanggung dan Magelang serta kabupaten lain di propinsi Jawa Tengah. Tanaman sengonnya banyak dicampur dengan tanaman kopi, kelapa atau tanaman kebun lainnya pada jarak tanam sengon berkisar 10 meter atau lebih dan menghasilkan kayu sengon setelah tanaman sengon berdiameter lebih dari 40 cm ketika saat itu tanaman kopi atau kelapanya masih berproduksi dan dapat dipetik buahnya. Di daerah ini telah berdiri sejumlah pabrik yang mengolah dolok kayu sengon untuk dijadikan papan sambung
18
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI keperluan ekspor ke luar negeri (Korea dan Jepang). Dimana di negara maju tersebut telah banyak berdiri gedung-gedung pencakar langit yang tentu saja dalam memilih perabot pengisi interior ruangan di dalam sebuah pencakar langit diperlukan jenis-jenis kayu yang kuat tetapi berbobot ringan. Hal ini tercermin dari nilai rasio kekuatan kayu terhadap berat (strength to weight ratio) suatu bahan kayu, yang dapat digunakan sebagai salah satu faktor bahan pertimbangan untuk pemanfaatannya sebagai konstruksi. Nilai rasio kekuatan yang dibuat terhadap beratnya, seperti misalnya sengon dengan berat jenis 0,36 mempunyai ratio kekuatan terhadap berat sebesar 1597 sedangkan untuk jati dengan berat jenis 0,67 akan mempunyai ratio kekuatan kayu terhadap beratnya 1537. Kayu sengon dari hutan rakyat yang telah dapat memenuhi permintaan pabrik atau para konsumennya dengan menebang tanamannya yang petaninya mengadakan pembelian bibit kayu sengon yang disubsidi dana APBD program pola kemitraan (dulu KUHR). Program ini sepertinya merupakan perpanjangan tangan/ pemberian kredit usaha yang dilaksanakan oleh suatu PT. sebut saja PT.BMW yang bermitra usaha dengan sebuah perusahaan pembuat papan sambung dari kayu sengon skala kelas usaha menengah yang berlokasi di daerah Jawa Tengah. Memerinci besarnya dana kredit yang dapat ditarik rakyat penanam kayu sengon tergantung dari luasan lahan tanaman sengonnya, dengan ketentuan bahwa kelak hasil tebangan kayu sengonnya harus di jual kepada perusahaan tersebut dan harus bersedia untuk mengurangi beban kredit yang terpakai saat penanaman bibitnya. Seperti dikutip dari laporan sebuah perusahaan maka nilai investasi penanaman bibit sengon merah dalam satu hektarnya pada jarak tanam : 2 m X 1.5 m masa tanam : 5 tahun dengan populasi tanaman sebanyak 3300 batang melalui sistem jual kayu berdiri dijual borongan, dengan suku bunga yang berlaku saat itu 10 % pada inflasi : 8 % status tanah hak milik sistem sivikultur dengan penjarangan kayu untuk mengurangi kayu yang kurang bagus. hingga 50 % dari populasi tegakan yang ada dan dilakukan pada umur 2,5 tahun akan menghasilkan jumlah batang dolok kayu yang di jarangkan 50 % X 3300 batang = sekitar 1800 batang pada diameter kayu : 12 cm panjang kayu 10 m = 0.10368 m2/batang sehingga dapat dihitung jumlah kubikasinya sebesar : 0.864 m2 X 1800 batang = 186,624 m2. Pada akhir daur setelah umur 5 tahun tegakan kayunya di tebang total pada diameter 20 cm, menurut panjang kayu hasil tebangan akhir 18 m sebanyak 1500 batang yang menghasilkan kubikasi 1500 batang X 0.5184 m2 = 777.6 m2. Dengan estimasi hasil panen kayu sengon merah penjarangan seharga kubik glondongan dolok Rp. 400.000,- mendapatkan nilai harga kayu glondongan dolok penjarangan 186,624 m2 X Rp. 400.000 = Rp. 74.649.600. Dan harga kubik glondongan dolok hasil panen akhir daur Rp. 650.000,- dengan nilai estimasi harga kayu glondongan : 777.6 m2 X Rp. 650.000 = Rp. 505.440.000. Dapat mencapai nilai Total Nilai Jual = Rp. 74.649.600 + Rp. 777.600.000 = Rp. 580.089.600,-. Dengan keuntungan bruto sebesar harga jual kayu gelondongan - biaya tanam sengon : Rp. 580.089.600 - Rp. 12.000.000 = Rp. 568.089.600,-. Sehingga penghasilannya cukup besar yang dapat diperolehnya dari usaha budidaya tanaman sengon ini. Guna memenuhi permintaan dari para pemborong bangunan, maka apabila membutuhkan kayu gergajian dengan ukuran atau panjang yang ada di luar pasaran, maka hal itu dapat dilakukan dengan pemesanan khusus tetapi harganya akan lebih mahal. Struktur serat gelas secara tersendiri kaku dan berkekuatan besar dalam tarik dan tekan sepanjang porosnya. meskipun ini diperkirakan akan melemah di keteguhan tekannya. Elemen struktur yang terbentuk antara kayu sengon solid dan fiberglas akan memikul segala beban yang berasal dari luar secara bersamaan. Dengan sifat keteguhan pukul kayu yang berindikasikan kekuatan suatu benda untuk mendapatkan beban besar secara sekonyong-konyong, maka sebuah struktur fiberglas yang didalamnya terisi material kayu sengon tidak akan begitu saja mengalami retak atau pecah bila sewaktu-waktu mendapatkan pukulan benda. Dengan keteguhan tarik sejajar arah serat dapat mencapai sekitar 1.680 kg/cm 2, menyebabkan fiberglas yang diisi dengan kayu sengon lebih elastis tetapi ringan bobotnya seperti halnya material laminasi. Seperti penelitian ratio kekuatan terhadap beratnya kayu lamina jati-jati sebesar 2081 dengan berat jenis sekitar 0,660, maka zona
19
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI yang paling kritis pada elemen lentur kayu laminasi yang terbentuk yang perlu dikontrol kekuatannya adalah zona tarik terluar (Sugiri, 2013), melihat kayu sengon yang berada pada lapisan tengah dari suatu lapisan laminasi dengan fiberglas maka zona tarik kritis pada elemen lentur struktur laminasi kayu laminasinya adalah dibagian dinding dalam perahu mengingat datangnya beban dari luar perahu. Sehingga dengan adanya laminasi maka lapisan fiberglas di dalam perahu sewaktu-waktu bila terjadi retak dapat dilakukan penambalan fiberglas baru perahu pada zona kritis tersebut. Beban dari luar perahu tentunya sangat bervariasi tergantung pada media yang mengenai sebagai bentuk pembebanan pada kulit perahu fiberglas. Kesimpulan Pembuatan kapal atau perahu yang keseluruhannya terbuat dari kayu membutuhkan waktu yang cukup lama dengan ketersediaan bahan baku kayu perkapalan yang semakin menipis, sedangkan perahu fiberglas tidak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya, bahan kayu yang digunakan sebagai kerangka utama pendukung konstruksi dapat mempergunakan kayu sengon yang merupakan jenis cepat tumbuh sehingga ketersediaan bahan bakunya seperti di P.Jawa dapat cepat diusahakan dengan harga murah dan ketersediaan kayunya terus berlanjut. Diameter dan cabang bebas cabangnya dari pohon sengon cukup tinggi sehingga memungkinkan para pembuat perahu untuk mendapatkan kayu gergajian yang panjang dan berkualitas. Elemen struktur yang terbentuk antara kayu sengon solid dan fiberglas akan memikul segala beban yang berasal dari luar secara bersamaan. Rendahnya kadar ekstraktif non polar pada kayu sengon menambah atau memperkuat ikatan molekul fiberglas dengan kayu. Dengan sifat keteguhan kayu sengon maka zona yang paling kritis pada elemen lentur kayu laminasi yang terbentuk dapat terkontrol, utamanya di zona tarik terluar tidak akan begitu saja mengalami retak pecah bila sewaktu-waktu mendapatkan beban sekonyong-konyong setelah mendapatkan hantaman tekanan air dari luar. Fiberglas yang diisi dengan kayu sengon berkekuatan cukup baik tetapi ringan bobotnya seperti halnya material laminasi. Daftar Pustaka Abdurachman dan Nurwati. 2012. Sifat fisik dan mekanik kayu lamina campuran kayu mangium dan sengon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(2): 87-100. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Andianto,2013, Potret industri penggergajian dan penggunaan kayu rakyat di Kabupaten Ciamis dan Cirebon, Warta Hasil Hutan. Vol 8 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Balitbang Kehutanan. Bogor Malik J., dan A. Santoso. 2005. Keteguhan lentur statik balok lamina dari tiga jenis kayu limbah pembalakan hutan tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(5): 385-397. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Santoso A. 2012. Perekat resorsinol dari ekstrak limbah kayu merbau. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pengolahan Hasil Hutan. Hal. 22-33. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Balitbang Kehutanan. Bogor Sugiri SM. 2013. Standar penggunaan kayu sebagai material konstruksi. Keynote speech pada Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.
20
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENGARUH PERBEDAAN TEMPAT TUMBUH TERHADAP VARIASI SIFAT ANATOMI BAMBU WULUNG (Gigantochloa atroviolaceae) PADA KEDUDUKAN AKSIAL Harry Praptoyo1, Farhan Wathoni2 1Staf
fakultas kehutanan UGM 2Alumni fakultas kehutanan UGM ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perbedaan tempat tumbuh dan kedudukan bambu pada arah aksial terhadap variasi sifat anatomi bambu wulung (Gigantochloa atroviolaceae). Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 2 faktor yaitu tempat tumbuh (Ngemplak dan Sewon) dan arah aksial (pangkal, tengah dan ujung). Pemilihan daerah Ngemplak dan sewon di Yogyakarta karena kedua daerah tersebut dianggap dapat mewakili daerah dataran tinggi dan rendah. Penelitian ini menggunakan 3x ulangan. Parameter yang diuji adalah proporsi sel bambu dan dimensi serat. Proporsi sel meliputi proporsi sel serabut, pembuluh dan parenkim dan dimensi serat meliputi panjang serat, diameter serat dan tebal dinding sel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa letak aksial dan perbedaan tempat tumbuh berpengaruh terhadap beberapa nilai proporsi sel dan dimensi serat. Bagian pangkal memiliki proporsi parenkim terbesar, sedangkan proporsi pembuluh terbesar di bagian ujung. Sementara simensi serat terpanjang dijumpai pada bagian pangkal. Demikian juga proporsi dan dimensi sel bambu wulung dengan tempat tumbuh yang berbeda. Bambu wulung dari sewon memiliki proporsi sel pembuluh, parenkim dan serabut berturut-turut adalah 19.40% ; 43.16% dan 37.44%. sedangkan dimensi seratnya mulai dari panjang serat, diameter serat dan tebal dinding sel berturutturut adalah 2.38mm, 17.78µm dan 13.13µm. Bambu wulung dari Ngemplak memiliki proporsi sel pembuluh, parenkim dan serabut berturut-turut adalah 23.08% ; 40.85% dan 36.07%. Sedangkan dimensi seratnya mulai dari panjang serat, diameter serat dan tebal dinding sel berturut-turut adalah 2.52mm, 15.87µm dan 11.89µm. PENDAHULUAN Bambu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah kering sampai tanah yg basah (becek) dan dari tanah subur sampai kurang subur. Tingkat kesuburan tanah berpengaruh terhadap ukuran batang, baik panjang ruas, diameter dan tebal dinding bambu (Sutiyono et al, 1992). Selain tingkat kesuburan, perbedaan ketinggian tempat tumbuh juga berpengaruh terhadap banyaknya jenis bambu yang bisa tumbuh. Tempat yang relatif tinggi umumnya memiliki jenis bambu yang lebih banyak daripada tempat yang lebih rendah. Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul terletak di tempat yang lebih rendah dibandingkan Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, dimana ketinggian Kecamatan Sewon hanya 53m dpl, sedangkan Kecamatan Ngemplak mencapai 335m dpl. Menurut Berlian dan Rahayu (1995) tempat yang disukai tanaman bambu adalah lahan yang terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung, sehingga membantu kelancaran dalam
21
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI proses fotosintesis. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian sifat anatomi bambu yang tumbuh pada tempat tumbuh yang berbeda tempat ketinggian. Bambu memiliki susunan anatomi yang berbeda dengan kayu karena jaringan utama penyusun bambu–bambu adalah sel-sel parenkim dan gugus vaskuler yang mengandung pembuluh, serabut berdinding tebal dan pembuluh sedangkan serabut berfungsi memberikan kekuatan pada kayu (Yap, 1967). Di dunia tercatat lebih dari 75 genus dan 1250 spesies bambu. Bambu yang ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara kirakira mencapai hampir 80% dari keseluruhan bambu yang ada di dunia (Berlian dan Rahayu,1995). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan tempat tumbuh terhadap sifat anatomi bambu wulung (Gigantochloa atroviolaceae) yang tumbuh di Sewon dan Ngemplak, Yogyakarta. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh kedudukan aksial batang bambu terhadap sifat anatomi bambu wulung. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang diperlukan daam penelitian ini adalah: a.
Batang bambu wulung umur 3-4 tahun dari Sewon dan Ngemplak, Yogyakarta masing-masing sebanyak 3 batang sebagai ulangan..
b.
Alkohol (C2H5OH), Perhidrol (H2O2), Safranin
c.
Silol (C5H10), Canada balsam, Air suling dan
d.
Asam asetat glacial
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a.
Gergaji, pisau potong, mikrotom, kaca/gelas preparat, pipet
b.
Pisau potong (cutter), tabung reaksi, pinset, kompor pemanas, kotak preparat
c.
Mikroskop fluorescence tipe BX 51 dengan program Image Pro Plus V 4.5.
Pembuatan sampel uji Pembuatan preparat untuk dimensi serat,- Membuat contoh uji berbentuk stik berukuran 1 mm x 1 mm x 20 mm, dan disiapkan tabung reaksi yang berisi campuran asam asetat glasial dan perhidrol dengan perbandingan 1 : 20. Selanjutnya dilakukan proses maserasi sehingga diperoleh preparat dimensi serat. Pembuatan preparat untuk proporsi sel,- Preparat dibuat dengan terlebih dahulu menyiapkan contoh uji berupa potongan bambu dengan ukuran yang disesuaikan dengan ketebalan bambu, sehingga didapatkan tiga bagian arrah aksial. Potongan bambu tersebut kemudian diiris dengan mikrotom pada penampang melintang dengan ketebalan 10 - 20 mikron.
22
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 1. Preparat proporsi sel dan dimensi serat bambu wulung Secara skematis urutan kegiatan penelitian dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 2. Bagan Alur penelitian bambu wulung Sewon dan Ngenplak
23
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Analisa Data Penelitian ini disusun dengan menggunakan rancangan CRD (Completely Randomized Design) dengan menggunakan dua faktor yaitu 1.
Tempat tumbuh, terdiri 2 aras yaitu dari Bambu Sewon dan Bambu Ngemlak. Pengambilan contoh uji setiap batang bambu sebanyak 3 kali sebagai ulangan
2.
Kedudukan aksial, Pengambilan contoh uji dimulai dari pangkal, tengah dan ujung batang, dengan ulangan sebanyak 3 kali.
Data dimensi serat dan proporsi sel bambu yang diperoleh, dilakukan analisa keragaman. Hasil analisis keragaman yang berbeda nyata pada taraf uji 1 % dan 5%, kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji HSD untuk mengetahui pada taraf uji mana menunjukkan perbedaan (Torrie dan Steel, 1993). Kemudian hasil yang berbeda digambarkan dengan menggunakan grafik.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PROPORSI SEL BAMBU WULUNG A.1 Proporsi Serabut Hasil rata-rata proporsi sel serabut bambu wulung (Gigantochloa atroviolaceae ) dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Proporsi sel serabut bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial. Pangkal (P)
Arah Aksial Tengah (T)
Ujung (U)
Sewon
38,46
36,67
37,18
37,44
Ngemplak
34,87
36,92
36,41
36,07
Rata-rata
36,67
36,79
36,79
Tempat Tumbuh
Rata-rata
Hasil analisis keragaman yang telah dilakukan terhadap proporsi sel bambu menunjukkan bahwa sel serabut berbeda sangat nyata pada arah aksial. Sedangkan faktor tempat tumbuh dan interaksinya tidak menunjukkan berbeda nyata. Dari tebel 1 di atas tersebut diketahui bahwa bambu wulung Sewon memiliki proporsi sel serabut yang lebih besar dibanding bambu wulung Ngemplak. Rata-rata proporsi serabut bambu wulung sewon sebesar 37,44% sedangkan bambu wulung Ngemplak sebesar 36.07. Namun demikian, berdasarkan hasil uji keragaman yang telah dilakukan, perbedaan proporsi serabut bambu Sewon dan bambu Ngemplak tersebut tidak signifikan. Hasil proporsi serabut bambu wulung baik Sewon maupun Ngemplak nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan proporsi serabut bambu lain seperti bambu ampel proporsi serabut mencapai 58,81% (Praptoyo dan Yogasara, 2012). Namun proporsi serabut bambu wulung lebih besar bila dibandingkan dengan bambu sero yang hanya 29,03% (Loiwatu, 2008) dan bambu petung 32,64% (Manuhuwa, 2007).
24
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Keterangan Gambar :
1. 2. 3. 4.
Pembuluh Serabut Parenkim Sklerenkim
Gambar 3. Penampang melintang bambu wulung Ngemplak
Grafik Persen Serabut pada Arah Aksial 39
(%)
37 Sewon
35
Ngemplak
33 P
T
U
Dari grafik di atas menunjukkan bahwa persen serabut bambu wulung dari Sewon menunjukkan tren menurun dari bagian pangkal ke tengah kemudian naik ke ujung. Pada arah aksial rata-rata proporsi serabut dari pangkal ke ujung bambu Sewon adalah adalah 38,46%; 36,67% dan 37,19%. Sementara bambu wulung dari Ngemplak menunjukkan hal sebaliknya yaitu naik dari pangkal ke tengah kemudian turun ke ujung, rata-rata proporsi serabut bambu Ngemplak adalah 34,87%; 36,92% dan 36,41%. Perbedaan proporsi serabut yang sangat signifikan pada arah aksial, disebabkan oleh adanya perbedaan beban pada arah aksial, dimana bagian pangkal umumnya memiliki beban yang lebih besar dibandingkan bagian ujung. Prawirohatmodjo (1976) menyatakan bahwa sel serabut berfungsi sebagai kekuatan pada batang, sehingga pada bagian pangkal umumnya memerlukan kekuatan yang lebih besar dibanding dengan bagian di atasnya. A.2. Proporsi Sel Pembuluh Hasil rata-rata proporsi sel pembuluh bambu wulung (Gigantochloa atroviolaceae ) dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial bisa dilihat pada tabel berikut :
25
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Proporsi sel pembuluh bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial Pangkal (P)
Arah Aksial Tengah (T)
Ujung (U)
Sewon
15.90
20.00
22.31
19.40
Ngemplak
23.08
22.56
23.59
23.08
Rata-rata
19.49
21.28
22.95
Tempat Tumbuh
Rata-rata
Hasil analisis keragaman yang telah dilakukan terhadap proporsi sel pembuluh bambu wulung menunjukkan perbedaan yang nyata pada faktor tempat tumbuh. Proporsi pembuluh yg dihasilkan oleh bambu wulung sewon lebih kecil dibandingkan dengan bambu wulung Ngemplak, dimana bambu wulung ngemplak memiliki proporsi pembuluh 23,08%, sedangkan Sewon hanya 19,40%. Perbedaan proporsi pembuluh ini disebabkan karena adanya perbedaan kualitas tempat tumbuh. Liese (1985) menyatakan bahwa kualitas tempat tumbuh sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel bambu. Hal senada disampaikan oleh Sutiyono et al (1992) yang menjelaskan bahwa pada tanah yang subur akan menghasilkan ukuran batang bambu yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang kurang subur. Lebih jauh Berlian dan Rahayu (1995) menjelaskan bahwa tanaman bambu lebih menyukai lahan yang terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung. Hal ini karena pada lahan yang terbuka sinar matahari dapat langsung memasuki celah-celah rumpun bambu sehingga proses fotosintesis dapat berjalan lancar.
Grafik Persen Pembuluh pada Arah Aksial 26
(%)
22 18
Sewon
14
Ngemplak
10 P
T
U
Sedangkan proporsi pembuluh pada kedudukan aksial tidak berbeda nyata, demikian juga dengan interaksinya tidak berbeda nyata. Pada bambu wulung Sewon menunjukkan tren peningkatan dari bagian pangkal sampai ke ujung batang, sedangkan pada bambu wulung Ngemplak menunjukkan tren menurun dari pangkal ke tengah batang kemudian naik ke bagian ujung batang. Proporsi sel pembuluh bambu wulung pada aksial dapat di lihat pada gambar berikut :
26
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 4. Penampang melintang bambu wulung Sewon dan Ngemplak pada arah aksial Gambar tersebut juga mengindikasikan peningkatan proporsi pembuluh dari pangkal ke ujung. Ikatan pembuluh pada B. atroviolaceae lebih besar pada bagian dalam, mengecil dan memadat menuju tepi dari dinding batang bambu. Tiap ikatan pembuluh terdiri dari xylem dengan 1 atau 2 elemen protoxylem yang lebih kecil dan 2 pembuluh metaxylem yang besar serta floem yang berdinding tipis, jaringan tapis yang belum terlignifikasi terhubung dengan sel pengiring (Razak,et.al, 2002). A.3. Proporsi Sel Parenkim Hasil rata-rata proporsi sel parenkim bambu wulung (Gigantochloa atroviolaceae ) dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 3. Proporsi sel parenkim bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial Arah Aksial Tempat Tumbuh Pangkal (P) Tengah (T) Ujung (U)
Rata-rata
Sewon
45.64
43.33
40.51
43.16
Ngemplak
42.05
40.51
40.00
40.85
Rata-rata
43.85
41.92
40.26
Hasil analisis keragaman nilai proporsi sel parenkim bambu wulung yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada kedua tempat tumbuh tidak dijumpai adanya perbedaan yang nyata. Meskpiun dari nilai rata-ratnya bambu wulung Sewon memiliki proporsi parenkim yang lebih banyak dibanding bambu wulung ngemplak.
27
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sementara itu dari hasil analisis keragaman untuk arah aksial, juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara bagian pangkal dengan ujung batangnya.. Pada arah aksial, rata-rata proporsi sel parenkim berturut-turut pada pangkal, tengah dan ujung pada bambu Sewon adalah 45,64 %, 43,33 % dan 40,51 %. Sementara pada bambu wulung Ngemplak dari pangkal ke ujung adalah 42,05%, 40,51% dan 40,00%. Hasil rata-rata proporsi parenkim bambu wulung ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan proporsi parenkim bambu ampel sebesar 48,02% (Praptoyo dan Yogasara, 2012). Sedangkan Manuhuwa (2007) melaporkan bambu petung memiliki proporsi parenkim sebesar 54,79%. Proporsi parenkim yang cukup besar dijumpai pada bambu sero dimana bisa mencapai 56,85% (Loiwatu, 2008).
Grafik Persen Parenkim pada Arah Aksial 50
(%)
45 40
Sewon Ngemplak
35 30 P
T
U
Grafik tersebut menunjukkan bahwa, dari data rata-rata proporsi parenkim bambu wulung baik sewon maupun Ngemplak menunjukkan tren penurunan pada arah aksial, dimana bagian pangkal memiliki proporsi parenkim paling banyak dan terendah pada bagian ujung. Proporsi parenkim pada arah aksial semakin berkurang seiring dengan semakin tinggi letak bambu dari tanah (ujung bambu). Hal ini karena susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang (Dransfield dan Widjaja:1995). Menurut penelitian yang dilakukan W. Razak et al (2002) dikemukakan bahwa banyak parenkim tetapi sedikit serat dan sel pengiring pada bagian dalam daripada tepi/kulit bambu. B. DIMENSI SERAT BAMBU WULUNG B.1. Panjang serat Hasil pengukuran rata-rata panjang serat bambu wulung (Gigantochloa atroviolaceae) dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial dilihat pada tabel berikut. Tabel 4. Panjang serat (mm) bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak pada Arah Aksial Arah Aksial Tempat Tumbuh Pangkal (P) Tengah (T) Ujung (U)
Rata-rata
Sewon
2.43
2.42
2.30
2.38
Ngemplak
2.67
2.60
2.29
2.52
Rata-rata
2.55
2.51
2.29
28
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Berdasarkan hasil analisis keragaman yang dilakukan menunjukkan bahwa letak aksial memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang serat, Demikian juga dengan tempat tumbuh memberikan pengaruh yang nyata. Sedangkan interaksi antara faktor tempat tumbuh dan letak aksial tidak berbeda secara nyata. Dari tabel di atas terlihat bahwa panjang serat bambu wulung Ngemplak memiliki serat yang lebih panjang dibanding bambu wulung Sewon. Rata-rata panjang serat bambu wulung Ngemplak 2.52mm sedangkan sewon hanya sebesar 2.38 mm. Perbedaan panjang serat bambu wulung Ngemplak dengan Sewon disebabkan karena perbedaan kondisi kesuburan tanah dan juga curah hujan, sehingga akan mempengaruhi proses perkembangan sel serabutnya. Serabut bambu wulung dari Sewon cenderung untuk memperbesar ukuran diameter dibanding memperpanjang selnya. Menurut Lantican (1975) dalam Ulfah (1999) menyebutkan bahwa pertambahan panjang serat sangat dipengaruhi unsur-unsur hara yang ada dalam tanah.
Gambar 5. Preparat dimensi sel untuk mengukur panjang serat bambu wulung pada arah aksial
Grafik Panjang Serat pada Arah Aksial 2.70 2.60
(mm)
2.50 2.40
Sewon
2.30
Ngemplak
2.20 2.10 P
T
U
29
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 5. Hasil uji HSD panjang serat bambu wulung pada arah aksial Pangkal (P) 2.55b
Letak Aksial Tengah (T) 2.51b
HSD Ujung (U) 2.29a
0.17
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa panjang serat pada bambu wulung pada kedudukan aksial yang berbeda sangat nyata. Oleh karenanya perlu dilakukan uji HSD untuk mengetahui pada aras mana dijumpai adanya perbedaan tersebut. Hasil uji HSD pada tabel 5 menunjukkan panjang serat bagian pangkal dengan tengah batang tidak berbeda nyata, sedangkan panjang serat antara ujung batang dengan pangkal dan tengah batang berbeda nyata. Pada arah aksial, rata-rata panjang serat menunjukkan kecenderungan menurun dari pangkal ke ujung batang. Panjang serat bambu wulung berturut-turut pada bagian pangkal, tengah dan ujung adalah 2.55 mm, 2.51 mm, 2.29 mm. Menurut Lantican (1975) dalam Ulfah (1999) menyatakan bahwa penurunan panjang serat sepanjang batang sangat dipengaruhi oleh tersedianya unsur-unsur kehidupan seperti air, mineral dan karbohidrat. Hal ini berbeda dengan penelitian pada bambu ampel yang menunjukkan pada kedudukan aksial tidak berbeda nyata (Praptoyo, dan Yogasara, 2012). Serat bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak keduanya menunjukkan nilai yang lebih pendek bila dibandingkan dengan panjang serat bambu wulung umur 2 dan 4 tahun menurut penelitian Razak (2009) yaitu sebesar 3,6 – 4,2 mm. Sementara itu Ulfah (1999) melaporkan bahwa serat bambu wulung memiliki panjang 3,38mm. B.2. Diameter Serat Hasil rata-rata diameter sel serat bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 6. Diameter serat (µm) bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial Arah Aksial Tempat Tumbuh Pangkal (P) Tengah (T) Ujung (U)
Rata-rata
Sewon
18.75
17.43
17.16
17.78
Ngemplak
16.77
16.32
14.51
15.87
Rata-rata
17.76
16.88
15.83
Berdasarkan hasil analisis keragaman yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor tempat tumbuh memiliki pengaruh yang nyata terhadap diameter serat, sedangkan faktor arah aksial tidak memberikan pengaruh yang nyata. Demikian juga dengan interaksi antara faktor tempat tumbuh dan letak aksial tidak berpengaruh secara nyata. Dari tabel di atas terlihat bahwa diameter serat bambu wulung Ngemplak memiliki serat yang lebih kecil dibanding bambu wulung Sewon. Rata-rata diameter serat bambu wulung Ngemplak 15,87 µm sedangkan sewon sebesar 17,78µm.
30
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 6. Diameter serat bambu wulung pada perbesaran 100x pada penampang melintang Perbedaan diameter serat bambu Sewon dengan Ngemplak disebabkan karena faktor ketersediaan sinar matahari. Bambu Sewon banyak mendapat sinar matahari sehingga proses fotosintesis lebih lancar, hal ini karena bambu sewon tidak banyak naungan disekitar rumpun bambu. Sedangkan bambu Ngemplak tumbuh dalam naungan rumpun bambu yang rapat. Disamping itu, adanya perbedaan ukuran diameter serat juga dipengaruhi oleh kecepatan pembentukan sel serat yang sangat dipengaruhi oleh hormon auksin dan ketersediaan fotosintat. Sebagaimana dinyatakan oleh Lantican (1975) dalam Ulfah (1999) yang menyatakan bahwa diameter serat dipengaruhi oleh jumlah karbohidrat yang diperoleh dan disimpan
Grafik Diameter Serat pada Arah Aksial 20
(µm)
18 Sewon
16
Ngemplak
14 12 P
T
U
Grafik tersebut menunjukkan bahwa, rata-rata diameter serat bambu wulung baik sewon maupun Ngemplak menunjukkan tren penurunan pada arah aksial, dimana bagian pangkal memiliki diameter serat paling besar dan diameter terkecil pada bagian ujung. Rata-rata diameter serat bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak adalah sebesar 15,87-17,78 µm. Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Razak,et.al (2009) yang menyebutkan bahwa rata-rata diameter serat bambu wulung pada umur 2 dan 4 tahun adalah 16,9 µm dan 18 µm. Sementara itu Ulfah (1999) melaporkan bahwa bambu wulung memiliki diameter serat sebesar 14,34 µm, sedangkan menurut Liese (1998), diameter serat pada bambu bervariasi dari 10 – 40 µm, diameter lumen 2 – 20 µm dan tebal dinding sel dari 4 - 10 µm
31
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI B.3. Tebal Dinding Sel Hasil rata-rata tebal dinding sel bambu wulung Sewon dan Ngemplak pada arah aksial bisa dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 7. Tebal Dinding Sel (µm) bambu wulung dari Sewon dan Ngemplak pada arah aksial Pangkal (P)
Arah Aksial Tengah (T)
Ujung (U)
Sewon
2.41
2.29
2.28
2.33
Ngemplak
1.98
2.14
1.84
1.99
Rata-rata
2.20
2.21
2.06
Tempat Tumbuh
Rata-rata
Berdasarkan hasil analisis keragaman yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor tempat tumbuh memiliki pengaruh yang nyata terhadap tebal dinding sel, sedangkan faktor arah aksial tidak memberikan pengaruh yang nyata. Demikian juga dengan interaksi antara faktor tempat tumbuh dan letak aksial tidak berpengaruh secara nyata. Dari tabel di atas terlihat bahwa tebal dinding sel bambu wulung Ngemplak memiliki dinding yang lebih tipis dibanding bambu wulung Sewon. Rata-rata tebal dinding sel bambu wulung Ngemplak hanya sebesar 1,99 µm sedangkan sewon sebesar 2,33 µm.
Gambar 7. Penampang melintang bambu wulung pada perbesaran 100x pada arah aksial Rata-rata tebal dinding sel bambu wulung pada penelitian ini diperoleh berkisar 1,99-2,33 µm. Ketebalan bambu wulung sewon dan ngempak lebih tipis dibandingkan bambu wulung dalam penelitian Ulfah (1999) yang menyebutkan bambu wulung memiliki tebal dinding sel 2,82 µm. Bahkan Razak (2009) melaporkan bahwa rata-rata tebal dinding sel bambu wulung sebesar 7,1 µm pada umur 2 tahun dan 7,6 µm pada umur 4 tahun.
32
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Grafik Tebal Dinding sel pada Arah Aksial
(dalam µm)
2.5
2 Sewon 1.5
Ngemplak
1 P
T
U
Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata tebal dinding serat pada bambu wulung Sewon pada arah aksial, menurun dari pangkal menuju ujung. Sedangkan bambu wulung Ngemplak menunjukkan kenaikan pada bagian tengah kemudian menurun pada bagian ujung. Pola variasi tebal dinding sel ini diduga berkaitan dengan kandungan karbohidrat yang tersedia untuk penebalan dinding sel pada posisi pangkal lebih banyak dibandingkan dengan posisi tengah dan ujung batang sehingga menyebabkan dinding sel posisi pangkal lebih tebal dibandingkan posisi tengah dan ujung. Tebal dinding serabut ditentukan oleh adanya karbohidrat yang dikandung pohon sebagai hasil fotosintesis ataupun simpanan di dalam parenkim (Prawirohatmodjo, 1999). Karbohidrat tersebut selain digunakan untuk pertumbuhan juga dipergunakan untuk penebalan dinding sel. Peningkatan tebal dinding sel pada parenkim dan serat adalah bagian dari proses pendewasaan batang bambu (Razak,et.al., 2002) KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian anatomi bambu wulung (Gigantochloaatroviolaceae Schrad.) yang tumbuh di Sewon dan Ngemplak pada arah aksial dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Proporsi sel bambu wulung Sewon pada arah aksial, memiliki kisaran proporsi serat (36,67 – 38,46%), pembuluh (15,90 – 22,31%), dan parenkim (40,51 – 45,64%).
2.
Proporsi sel bambu wulung Ngemplak pada arah aksial, memiliki kisaran pada proporsi serat (34,87 – 36,92%), pembuluh (22,56 – 23,59%), dan parenkim (40,00 – 42,05%).
3.
Dimensi serat bambu wulung dari Sewon pada arah aksial memiliki kisaran pada panjang serat (2,30 – 2,43mm), diameter serat (17,16 – 28,75µm), dan tebal dinding sel (2,28 – 2,41 µm).
4.
Dimensi serat bambu wulung dari Ngemplak memiliki kisaran pada panjang serat (2,29 – 2,67mm), diameter serat (24,52 – 16,77µm), dan tebal dinding sel (1,84 – 2,14 µm).
5.
Tempat tumbuh berpengaruh nyata terhadap panjang serat, diameter serat dan tebal dinding sel. Bambu wulung Sewon memiliki dimensi serat lebih panjang dan dinding sel lebih tebal, namun diameter serat lebih kecil dibandingkan bambu wulung Ngemplak. Sementara itu pengaruh tempat tumbuh terhadap proporsi sel hanya berpengaruh terhadap proporsi pembuluh, dimana bambu wulung Ngemplak memiliki proporsi pembuluh lebih besar daripada Sewon.
33
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 6.
Arah aksial berpengaruh sangat nyata hanya terhadap panjang serat sedangkan diameter serat dan tebal dinding sel tidak berpengaruh nyata. Panjang serat bambu wulung Sewon maupun Ngemplak pada arah aksial keduanya menunjukkan tren menurun dari pangkal ke ujung batang. Sementara itu pengaruh arah aksial terhadap proporsi sel juga hanya berpengaruh sangat nyata terhadap proporsi serabut, sedangkan proporsi pembuluh dan parenkim tidak berbeda nyata. Pada arah aksial, bambu wulung Ngemplak menunjukkan tren proporsi serabut naik dari pangkal ke tengah kemudian turun di ujung batang, sementara bambu wulung sewon menunjukkan tren sebaliknya yaitu menurun dari pangkal ke tengah, kemudian naik pada ujung batang.. DAFTAR PUSTAKA
Berlian, N. dan E. Rahayu. 1995. Bambu Budidaya dan Prospek Bisnis. Penebar Swadaya. Jakarta Dransfield, S. dan E.A. Widjaja. 1995. Dendrocalamus asper in bamboos. Plant Resources of South-East Asia 7 Prosea. Bogor Liese, W. 1985. Anatomy And Properties Of Bamboos. Dalam Recent Research on Bamboo. IDRC. Canada .............
.1998.
The
Anatomy
of
Bamboo
Culms
(INBAR
Technical
Report
Volume 18). Loiwatu, M, 2008. Sifat Anatomi dan Nilai Turunan Tiga Jenis Bambu Di Pulau Seram. Jurnal penelitian. Jurusan Kehutanan. Fakultas pertanian. Unpatti. Maluku. Manuhuwa, 2007. Komponen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis Bambu. Jurnal penelitian. Jurusan Kehutanan. Fakultas pertanian. Unpatti. Maluku. Praptoyo, Harry dan Aditya Yogasara, 2012.Sifat Anatomi Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad.) pada arah Aksial dan Radial. Prosiding Seminar Nasional Mapeki XV. Makasar Panshin, A.J. dan C. de Zeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. 4th ed. Structure, identification, properties, and uses of the commercial woods of the United States and Canada. Mc Graw-Hill Book Company. New York Prawirohatmodjo, S., 1999. Struktur dan Sifat-Sifat Kayu (Sifat-sifat Makroskopis dan Identifikasi Kayu). Bagian Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Razak, W., Murphy, R.J. & Hashim, W.S. 2002. SEM observations on decay of Gigantochloa atroviolaceae bamboo exposed in tropical soil. Journal of Tropical Forest Products (JTFP) 8(2): 168-178. Razak, W., M. Tamizi, M. Aminuddin dan H. Affendy. 2009. Physical characteristics and anatomical properties of cultivated bamboo (Gigantochloaatroviolaceae Schrad.) culms. Journal of Biological Science 9(7): 753-759. Asian Network for Scientific Information. Sutiyono, Hendromono, M. Wardani dan I. Sukardi, 1992. Teknik Budidaya Tanaman Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Torrie, J. H., dan R.G.D, Steel. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi 2. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ulfah, D. 1999. Sifat dan Variasi Tiga Jenis Bambu (Apus, Ori Dan Wulung) pada Ketinggian Tempat Tumbuh yang Berbeda. Thesis. Fakultas Kehutanan. UGM. Yogyakarta. Yap, F. 1967. Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung
34
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Pengaruh Perbedaan Jenis dan Bagian Batang Bambu terhadap Kualitas Bahan Mebel dan Kerajinan Kasmudjo dan Sri Suryani Abstrak Dewasa ini permintaan kayu semakin bertambah sedangkan potensi kayu semakin terbatas. Salah satu alternatif bahan baku pengganti kayu adalah bambu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis (wulung, ori, petung) dan bagian batang bambu (ujung, tengah, pangkal) terhadap sifat-sifat kualitas bambu sebagai bahan mebel dan kerajinan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (CRD) dengan 2 faktor yaitu jenis bambu (wulung, ori, petung) dan bagian batang bambu (ujung, tengah, pangkal) dengan masing-masing 3 ulangan. Bambu yang digunakan berasal dari Desa Tlogoadi, Mlati, Sleman (175 m dpl). Uji sifat pengerjaan mengikuti standar ASTM D-1666-64 (1985). Selain itu, untuk mendukung penelitian dilakukan pengujian sifat fisika dan mekanika/kekerasan dengan menggunakan standard British B.S. 373 (1957) serta sifat fisik bambu sebagai informasi lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggergajian (pemotongan) menghasilkan rata-rata cacat 12,48%, pengeboran 11,47%, pembubutan 10,49%, pengetaman 2,88% dan pengampelasan 0, 45%. Secara keseluruhan bambu termasuk kelas pengerjaan kelas I (sangat baik). Hasil pengamatan sifat fisik/kenampakan : warna (hijau muda, coklat muda-tua); bau (khas/segar); kesan raba dan tekstur (sedang, halus – halus sekali); kilap (agak mengkilap – mengkilap); kekerasan (sedang, agak keras – keras); dan berat (sedang – berat). Hasil rata-rata kadar air (kering udara) 12,07% (memadai), berat jenis 0,53 (sekitar menengah/sedang), penyusutan arah lebar 4,08% (sedang/cukup memadai), penyusutan volumetrik 9,68% (memadai), dengan kekerasan 136,07 kg/cm2 (sedang, kelas kuat IV). Bambu wulung seluruhnya, bambu ori bagian pangkal dan tengah serta bambu petung bagian tengah dan ujung berpeluang sebagai bahan mebel dan kerajinan, sedang bagian-bagian lain dari 3 jenis bambu hanya berpeluang sebagai bahan kerajinan. Kata Kunci : jenis bambu, bagian batang, sifat-sifat kualitas, mebel dan kerajinan Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya hutan. Hutan yang luas sangat mendukung sebagai sumber bahan baku industri karena dari kawasan hutan tersebut diperoleh hasil hutan berupa kayu dan non kayu. Mayoritas hasil hutan tersebut berupa kayu. Dewasa ini permintaan akan kayu yang semakin bertambah, bertolak belakang dengan potensi kayu yang semakin terbatas. Di dalam Anonim (2007), dikemukakan bahwa kebutuhan kayu nasional sebesar 57,1 juta m 3/tahun dengan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya hanya sebesar 45,8 juta m3/tahun (80,21%), maka perlu upaya mencari bahan baku lain sebagai bahan baku industri, termasuk untuk mebel dan kerajinan. Melihat hal tersebut maka perlu adanya upaya untuk menggunakan sumber daya alam lain diluar kayu, misalnya bambu.
35
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Bambu termasuk jenis tanaman keluarga (familia) rumput-rumputan. Kurang lebih ada 1.000 spesies bambu dalam 80 genera, sekitar 200 spesies dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995). Diberbagai daerah di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Beberapa jenis bambu yang sering digunakan di dalam industri mebel dan kerajinan yaitu jenis wulung (hitam), legi, tutul, ori, petung, ampel, wuluh, apus, dan ater (Belian dan Rahayu, 1995). Beberapa alasan dalam penggunaan bambu sebagai bahan baku mebel dan kerajinan antara lain : mempunyai tingkat kekerasan yang tinggi, mudah dikembangbiakkan, tersedia dalam jumlah banyak, mempunyai variasi ukuran yang besar dan keawetannya mudah ditingkatkan dengan perlakuan sederhana (Sulthoni, 1998). Di dalam penggunaan bambu sebagai bahan baku mebel dan kerajinan harus memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitasnya, antara lain jenis bambu. Menurut Prawirohatmojo (1976), kualitas suatu jenis bahan baku akan berkaitan dengan sifat-sifat produk yang dihasilkan. Selain faktor jenis, letak bagian batang bambu pun juga dapat berpengaruh. Menurut Prawirohatmojo (1976), sifat-sifat yang bervariasi dalam satu individu juga disebabkan karena perbedaan letaknya dalam bagian batang (ketinggian/arah aksial). Namun dalam pelaksanaan di lapangan sering kurang diperhatikan jenis dan bagian batang bambu tersebut, artinya semua jenis dan bagian batang bambu kemungkinan dapat digunakan untuk semua tujuan penggunaan. Atas dasar informasi tersebut maka perlu dilakukan pembuktian melalui penelitian. Bahan dan Metode Bahan Menggunakan tiga jenis bambu (wulung, ori, dan petung) umur 3 (tiga) tahun yang berasal dari Desa Tlogoadi Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan tinggi tempat 175 m dpl. Tiga jenis bambu tersebut ditebang 10 cm di atas permukaan tanah (dpt) dan diambil sepanjang 7,5 m (dihitung dari pangkal tebangan) yang kemudian dibagi (dipotong) menjadi tiga bagian yaitu pangkal, tengah, dan ujung. Panjang tiap bagian batang yang akan diambil untuk contoh uji adalah 2,5 m. Selain itu juga diperlukan kertas milimeter, kertas kalkir, kertas ampelas, dan perekat Aica-aibon. Alat Bendho/pethel/sabit, gergaji tangan, pita meter ukuran panjang 3 m, gelas beker, gergaji lingkar (circlesaw) merk Craftsman (model no.113 29931), caliper digital merk Mitutoyo, oven merk Memmert, timbangan analitik merk Ohaus, Moisture meter merk protimeter, Universal Testing Machine merk Baldwin, model 60 HVL, mesin dan peralatan bubut merk Craftsman, mesin pengampelas berbentuk piringan (Disc Sander) merk Emcostar (tipe Kma 34/2), mesin dan peralatan bor model KTF 16A (made in Taiwan), mesin dan peralatan ketam (Thicknesser) merk Geetech tipe CT-150, dan desikator Cara Kerja Tiga jenis dan bagian batang bambu yang telah dipotong kemudian dikering anginkan dan digergaji sepanjang ± 30 cm. Tiap bambu ukuran ± 30 cm tersebut sebagian dibelah dengan lebar ± 5 cm dan sebagian lagi dibiarkan tetap utuh. Bambu belah digunakan untuk contoh uji sifat fisik, fisika, mekanika (kekerasan), dan sifat pengerjaan bambu yang meliputi penggergajian (pemotongan), pengeboran, pengampelasan, dan
36
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI pengetaman, sedangkan bambu utuh digunakan sebagai contoh uji pembubutan. Sifat pengerjaan dilakukan sesuai dengan pedoman ASTM D-1666-64 (Anonim,1985); sifat fisik berpedoman pada contoh uji untuk identifikasi kayu, dengan pustaka Kasmudjo (2010) dengan modifikasi; sifat fisika dan mekanika (kekerasan) berpedoman British Standard B.S.373 (Anonim, 1957 dan 1983) dan Koch (1964) yang dimodifikasi. Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Dalam penelitian ini parameter yang diukur adalah sebagai berikut : Sifat Pengerjaan (penggergajian/pemotongan, pengeboran, pengetaman, pembubutan, pengampelasan); Sifat Fisik (warna, bau, kesan raba dan tekstur, kilap, keras, dan berat); Sifat Fisika (kadar air kering udara, berat jenis, penyusutan arah lebar dan volumetrik); Sifat Mekanika (kekerasan). Hasil-hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 1 sampai 5. 1.
Sifat Pengerjaan Bambu Tabel 1. Hasil Rata-rata Cacat Pengerjaan Bambu Cacat Pengerjaan (%) Kode
Penggergajian
Pengeboran
Pengetaman
Pembubutan
Pengampelasan
13.81
18.78
2.21
13.14
0.90
13.51
15.33
3.10
8.73
0.88
6.68
8.72
2.24
11.60
0.27
19.59
18.75
4.54
13.61
0.89
18.55
11.93
1.59
11.96
0.00
12.82
8.97
3.31
12.70
0.03
5.07
10.50
1.96
9.24
0.47
9.35
4.53
1.94
6.29
0.17
12.91 12.48
5.73 11.47
5.07 2.88
7.12 10.49
0.42 0.45
J1B1 J1B2 J1B3 J2B1 J2B2 J2B3 J3B1 J3B2 J3B3 Rata-rata Total Keterangan : J1
: Jenis wulung
J2
: Jenis ori
J3
: Jenis petung
B1
: Bagian batang ujung B2
B3
: Bagian batang tengah
: Bagian batang pangkal
37
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
2.
Sifat Fisik Bambu Tabel 2. Sifat Fisik Bambu
Kode
Warna
Bau
Kesan raba/tekstur
Kilap
Keras
Berat
J1B1
coklat tua
Khas
halus sekali
mengkilap
agak keras-keras
sedang
J1B2
coklat tua
Khas
halus sekali
mengkilap
keras
sedang
J1B3
coklat tua
khas
halus sekali
mengkilap
keras
sedang
J2B1
coklat muda
khas
halus
mengkilap
agak keras
sedang-berat
J2B2
coklat muda
khas
halus
mengkilap
agak keras-keras
sedang-berat
J2B3
coklat muda
khas
halus sekali
agak mengkilap
agak keras-keras
sedang
J3B1
hijau muda
khas
sedang
agak mengkilap
agak keras-keras
berat
J3B2
hijau muda
khas
sedang
agak mengkilap
keras
sedang-berat
J3B3
coklat muda
khas
halus
mengkilap
keras
sedang
Keterangan : seperti keterangan pada tabel diatas 3.
Hasil Rata-rata Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Tabel 3. Hasil Rata-rata Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Kode Kadar air KU (%)
Berat jenis
Sifat Fisika Penyusutan arah lebar (%)
J1B1
11.25
0.52
3.65
8.87
112.10
J1B2
12.29
0.47
4.25
7.92
122.29
J1B3
12.49
0.51
3.59
8.64
166.45
J2B1
11.69
0.56
4.24
11.69
91.72
J2B2
12.28
0.54
4.34
11.26
118.90
J2B3
12.24
0.52
4.21
10.96
110.40
J3B1
11.66
0.58
3.83
9.90
152.87
J3B2
12.21
0.55
3.96
9.31
190.23
J3B3
12.54
0.50
4.63
8.57
159.66
Rata-rata Total
12.07
0.53
4.08
9.68
136.07
Keterangan : seperti keterangan pada tabel diatas
38
Penyusutan volumetrik (%)
Sifat Mekanika (kekerasan) (kg/cm²)
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
4.
Annova Hasil Penelitian Tabel 4. Annova Sifat Pengerjaan Bambu (%) Sumber Variasi Jenis (J) Bagian Batang (B) Interaksi (J*B)
Penggergajian
Pengeboran
Pengetaman
Pembubutan
Pengampelasan
9,850** 1,398 ns 3,780*
3,197 ns 3,512 ns 0,306 ns
0,521 ns 2,127 ns 3,507*
36,493 ** 11,559 ** 1,058 ns
1,359 ns 2,365 ns 1,042 ns
Keterangan : ns
: tidak berbeda *:berbeda nyata ** : berbeda sangat nyata
Tabel 5. Annova Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Sumber Variasi Kadar air Berat jenis KU (%) Jenis (J) Bagian Batang (B) Interaksi (J*B)
0,471 ns 28,026** 1,622 ns
Sifat Fisika Penyusutan arah lebar (%)
Penyusutan volumetrik (%)
Sifat Mekanika (kekerasan) (kg/cm²)
1,959 ns 0,879 ns 1,690 ns
68,648 ** 5,540 * 1,669 ns
6,4790** 1,634 ns 0,931 ns
7,448** 6,033* 2,262 ns
Keterangan : Keterangan : seperti keterangan pada tabel diatas Pembahasan 1.
Sifat Pengerjaan Hasil uji penggergajian (pemotongan) menghasilkan cacat antara 2,62 – 21,73 % atau rata-rata 12,48
%, termasuk kelas pengerjaan I-II (sangat baik – baik). Berdasarkan faktor jenis bambu, menghasilkan cacat penggergajian (pemotongan) antara 9,11 – 16,99 % (sangat baik). Pada jenis petung menghasilkan cacat 9,11 %, jenis wulung 11,33 % dan jenis ori 16,99 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu dihasilkan cacat antara 10,80 – 13,80 % termasuk sangat baik. Pada bagian pangkal menghasilkan cacat 10,80 %, bagian ujung 12,82 % dan bagian tengah 13,80 %. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis memberikan perbedaan sangat nyata, bagian batang tidak memberikan perbedaan nyata, dan interaksinya memberikan perbedaan nyata. Jenis cacat yang banyak ditemukan adalah serat terangkat (raised grain). Hasil uji pengeboran menghasilkan cacat antara 1,19 – 25,48 % atau rata-rata 11,47 %, termasuk kelas pengerjaan I-II (sangat baik – baik). Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil cacat pengeboran antara 6,92 – 14,28 % termasuk sangat baik. Pada jenis petung menghasilkan cacat 6,92 %, jenis ori 13,22 % dan jenis wulung 14,28 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu antara 7,81 – 16,01 % termasuk sangat baik. Pada bagian pangkal menghasilkan cacat 7,81 %, bagian tengah 10,60 % dan bagian ujung 16,01%. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis, bagian batang, dan interaksi tidak memberikan perbedaan nyata. Jenis cacat yang banyak ditemukan adalah serat tercabik (torn grain). Hasil uji pengetaman menghasilkan cacat antara 0,32 – 5,47 % atau rata-rata 2,88 %, termasuk kelas pengerjaan I (sangat baik). Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil cacat pengetaman antara 2,52 – 3,15 % termasuk sangat baik. Pada jenis wulung menghasilkan cacat 2,52 %, jenis petung 2,99 % dan jenis ori 3,15 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu, hasil cacat pengetaman antara 2,21 – 3,54 % termasuk sangat baik. Pada bagian tengah menghasilkan cacat 2,21 %, bagian ujung 2,90 %, dan bagian pangkal 3,54 %. Hasil
39
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis maupun bagian batang tidak memberikan perbedaan nyata, sedangkan interaksi memberikan perbedaan nyata, sehingga ke dua faktor sebaiknya digunakan bersamasama. Jenis cacat yang banyak ditemukan adalah serat terangkat (raised grain). Hasil uji pembubutan menghasilkan cacat antara 4,97 – 15,19 % atau rata-rata 10,49 %, termasuk kelas pengerjaan I (sangat baik). Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil cacat pembubutan antara 7,55 – 12,76 % termasuk sangat baik. Pada jenis petung menghasilkan cacat 7,55 %, jenis wulung 11,16 % dan jenis ori 12,76 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu, hasil cacat pembubutan antara 8,99 – 12,00 % termasuk sangat baik. Pada bagian tengah menghasilkan cacat 8,99 %, bagian pangkal 10,47% dan bagian ujung 12,00 %. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis dan bagian batang memberikan perbedaan sangat nyata, tetapi interaksi ke dua faktor tersebut tidak memberikan perbedaan nyata. Kedua faktor sebaiknya tidak digunakan bersama-sama. Jenis cacat yang banyak ditemukan adalah serat terangkat (raised grain). Hasil uji pengampelasan menghasilkan cacat antara 0,00 – 1,65 % atau rata-rata 0,45 %, termasuk kelas pengerjaan I (sangat baik). Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil cacat pengampelasan antara 0,31 – 0,68 % termasuk sangat baik. Pada jenis ori menghasilkan cacat 0,31 % jenis petung 0,35 % dan jenis wulung 0,68 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu, hasil cacat pengampelasan antara 0,24 – 0,75 % termasuk sangat baik. Pada bagian tengah menghasilkan cacat 0,35 %, bagian pangkal 0,24 % dan bagian ujung 0,75 %. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis, bagian batang, dan interaksi antara ke dua faktor tersebut tidak memberikan perbedaan nyata. Jenis cacat yang banyak ditemukan adalah serat berbulu halus (fuzzy grain). 2.
Sifat Fisik Dari identifikasi warna bambu diperoleh warna hijau muda (22,22 %), coklat muda (44,44 %) dan
coklat tua (33,33 %). Secara umum kayu (bambu) untuk kerajinan dapat berwarna : coklat muda, coklat tua sampai coklat kehitaman. Bau bambu dari faktor jenis dan bagian batang diperoleh hasil yang sama, yaitu khas (segar). Kesan raba dan tekstur bambu diperoleh hasil yang bervariasi yaitu sedang, halus dan halus sekali dengan dominan halus sekali (44,44 %). Kilap bambu diperoleh hasil yang sedikit bervariasi yaitu agak mengkilap sampai mengkilap, dengan dominan mengkilap, sehingga ke tiga jenis dan bagian batang bambu berpeluang sebagai bahan mebel dan kerajinan. Kekerasan bambu diperoleh hasil yang relatif sama yaitu sedang, agak keras sampai keras dengan didominasi agak keras. Berat bambu diperoleh hasil yang sedikit bervariasi yaitu sedang sampai berat, dengan didominasi sedang, sehingga ke tiga jenis dan bagian batang bambu berpeluang sebagai bahan mebel (tertentu) dan kerajinan. 3.
Sifat Fisika Hasil uji kadar air (kering udara) bambu antara 10,81 – 12,91 % atau rata-rata 12,07 % dan termasuk
memadai. Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil kadar air (kering udara) antara 12,01 – 12,14 %. Pada jenis wulung menghasilkan kadar air (kering udara) bambu 12,01 %, jenis ori 12,07 %, dan jenis petung 12,14 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu antara 11,53 – 12,42 % dengan rata-rata 12,07 %. Pada bagian ujung memiliki kadar air (kering udara) 11,53 %, bagian tengah 12,26 % dan bagian pangkal 12,42 %. Hasil analisis varians uji kadar air (kering udara) bambu menunjukkan bahwa faktor jenis tidak memberikan perbedaan nyata,
40
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI sedangkan faktor bagian batang memberikan perbedaan sangat nyata dan harus diperhatikan dalam penggunaannya sedangkan interaksi ke dua faktor tersebut tidak memberikan perbedaan nyata. Hasil uji berat jenis bambu menghasilkan nilai sedikit bervariasi antara 0,45 – 0,60 atau rata-rata 0,53 dan termasuk kelas sedang/menengah. Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil berat jenis ke tiga jenis bambu antara 0,50 – 0,54. Pada jenis wulung menghasilkan 0,50; jenis ori dan petung sama 0,54. Berdasarkan faktor bagian batang bambu, berat jenis bambu antara 0,51 – 0,55 termasuk hampir sama. Pada bagian pangkal menghasilkan berat jenis 0,51; bagian tengah 0,52 dan bagian ujung 0,55. Hasil analisis varians uji berat jenis bambu menunjukkan bahwa faktor jenis memberikan perbedaan sangat nyata, sedangkan faktor bagian batang memberikan perbedaan nyata dan interaksi ke dua faktor tersebut tidak memberikan perbedaan nyata. Dengan demikian dalam penggunaannya agar ke dua faktor tersebut tidak perlu digunakan bersama-sama. Secara keseluruhan hasil berat jenis bambu termasuk pada kelas kuat III. Dengan demikian ke tiga jenis dan bagian batang bambu tersebut tidak semuanya berpeluang sebagai bahan mebel dan kerajinan. Hasil uji penyusutan arah lebar bambu menghasilkan nilai yang sedikit bervariasi yaitu antara 3,10 – 4,91 % atau rata-rata 4,08 %, termasuk sedang. Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil ke tiga jenis bambu antara 3,83 – 4,27 %. Pada jenis wulung menghasilkan penyusutan arah lebar 3,83 %, jenis petung 4,14 % dan jenis ori 4,27 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu antara 3,91 – 4,18%. Pada bagian ujung menghasilkan penyusutan arah lebar 3,91 %, bagian pangkal 4,15 % dan bagian tengah 4,18 %. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis, bagian batang dan interaksi ke dua faktor tersebut tidak memberikan perbedaan nyata. Hasil uji penyusutan volumetrik bambu menghasilkan nilai yang bervariasi antara 7,69 – 12,31 % atau rata-rata 9,68 % termasuk memadai. Berdasarkan faktor jenis bambu, hasil ke tiga jenis bambu antara 8,47 – 11,30 %. Pada jenis wulung diperoleh penyusutan volumetrik 8,47 %, jenis petung 9,26 % dan jenis ori 11,30 %. Berdasarkan faktor bagian batang bambu, berkisar antara 9,39 – 10,15 % dengan rata-rata 9,68 %. Pada bagian pangkal menghasilkan penyusutan volumetrik 9,39 %, bagian tengah 9,50 % dan bagian ujung 10,15 %. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis memberikan perbedaan sangat nyata, sedangkan faktor bagian batang memberikan perbedaan nyata dan interaksi ke dua faktor tersebut tidak memberikan perbedaan. Dengan demikian pilihan jenis bambu penting diperhatikan dalam ketepatan penggunaannya. Secara keseluruhan bambu tersebut berpeluang sebagai bahan mebel dan kerajinan. 4.
Sifat Mekanika (Kekerasan) Hasil uji sifat mekanika (kekerasan) bambu antara 76,43 – 234,39 kg/cm² atau rata-rata 136,07 kg/cm²
termasuk sedang (kelas kuat IV). Berdasarkan faktor jenis bambu, besarnya antara 107,01 – 167,59 kg/cm². Pada jenis ori menghasilkan nilai kekerasan 107,01 kg/cm², jenis wulung 133,62 kg/cm² dan jenis petung 167,59 kg/cm². Berdasarkan faktor bagian batang bambu, besarnya antara 118,90 – 145,51 kg/cm². Pada bagian ujung menghasilkan nilai kekerasan 118,90 kg/cm², bagian tengah 143,81 kg/cm², dan bagian pangkal 145,51 kg/cm². Hasil analisis varians menunjukkan bahwa faktor jenis memberikan perbedaan nyata, sedangkan faktor bagian batang dan interaksi ke dua faktor tidak memberikan perbedaan. Perbedaan jenis bambu harus lebih diperhatikan sebagai bahan mebel atau untuk mebel tertentu saja. Yang berpeluang sebagai bahan mebel yang
41
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI baik adalah jenis petung bagian ujung dan tengah. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1.
Berdasarkan perbedaan jenis bambu : 1)
Hasil uji pengerjaan bambu menghasilkan cacat : penggergajian (pemotongan); pengeboran; pengetaman; pembubutan; dan pengampelasan sehingga termasuk kelas pengerjaan I (sangat baik).
2)
Sifat fisik/kenampakan bambu, sifat fisik yang sama antara lain: bau khas (segar); kekerasan sedang, agak keras-keras; kilap bambu agak mengkilap–mengkilap dan berat bambu sedang – berat, dengan warna berbeda, yaitu: warna bambu wulung coklat tua, kesan raba dan tekstur halus sekali. Warna bambu ori coklat muda, kesan raba dan tekstur halus-halus sekali, sedangkan warna bambu petung hijau muda-coklat muda, kesan raba dan tekstur sedang-halus.
3)
Kadar air (kering udara) 12,01–12,14 % (memadai); berat jenis 0,50–0,54 (menengah/sedang, kelas kuat III); penyusutan arah lebar 3,83–4,27 % (cukup memadai); penyusutan volumetrik 8,47–11,30 % (memadai).
4)
Sifat mekanika (kekerasan) bambu, menghasilkan nilai 107,01–167,59 kg/cm² (kelas kuat III-IV), sehingga hanya baik untuk jenis mebel tertentu dan kerajinan.
2.
Berdasarkan perbedaan bagian batang bambu : 1)
Hasil uji pengerjaan bambu menghasilkan cacat: penggergajian (pemotongan); pengeboran; pengetaman; pembubutan; dan pengampelasan sehingga termasuk kelas pengerjaan I (sangat baik).
2)
Sifat fisik/kenampakan bambu yang sama antara lain: bau khas (segar); kilap bambu agak mengkilapmengkilap; kekerasan sedang, agak keras-keras; berwarna hijau muda dan coklat muda-tua; kesan raba dan tekstur sedang-halus sekali, berat bambu sedang-berat, sedangkan yang berbeda, yaitu: bagian pangkal berwarna coklat muda-tua, kesan raba dan tekstur halus-halus sekali dengan berat bambu sedang.
3)
Kadar air (kering udara) bambu 11,53–12,42 % (memadai); berat jenis 0,51–0,55 (menengah/sedang, kelas kuat III); penyusutan arah lebar 3,91–4,18% (cukup memadai); penyusutan volumetrik 9,39– 10,15 % (memadai).
4)
Sifat mekanika (kekerasan) bambu, menghasilkan nilai 118,90–145,51 kg/cm² (kelas kuat III-IV), sehingga hanya baik untuk mebel tertentu saja.
3.
Interaksi secara keseluruhan memberikan perbedaan nyata hanya pada pengerjaan penggergajian (pemotongan) dan pengetaman; sedangkan yang lain tidak memberikan perbedaan nyata, artinya dalam penggunaan bambu sebagian besar harus memperhatikan secara bersamaan faktor jenis dan bagian batang bambu tersebut.
4.
Secara keseluruhan pada ke tiga jenis bambu (wulung, ori, dan petung) dan ke tiga bagian batang (ujung, tengah, dan pangkal) sifat pengerjaan digolongkan dalam kelas pengerjaan I (sangat baik); sifat fisika seperti kadar air kering udara (memadai), berat jenis (menengah, kelas kuat III), penyusutan arah lebar (cukup memadai) dan penyusutan volumetrik (memadai); sifat mekanika (kekerasan) termasuk kelas kuat
42
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI III-IV sehingga kurang berpeluang untuk mebel atau hanya untuk mebel tertentu saja, tetapi baik untuk kerajinan.
Saran 1. a. Jenis wulung bagian ujung berpeluang sebagai bahan mebel dan kerajinan, tetapi bagian tengah dan pangkalnya hanya sebagian yang berpeluang sebagai bahan mebel (tertentu) tetapi berpeluang sebagai bahan kerajinan. b. Jenis ori pada bagian ujung kurang berpeluang sebagai bahan mebel dan kerajinan, bagian tengah dan pangkalnya sebagian berpeluang sebagai bahan mebel (tertentu) tetapi berpeluang sebagai bahan kerajinan. c. Jenis petung pada bagian ujung dan tengah semua berpeluang sebagai bahan mebel (tertentu) dan bahan kerajinan, pada bagian pangkalnya sebagian kecil kurang berpeluang sebagai bahan mebel dan kerajinan.
Daftar Pustaka Anonim, 1957. British Standard-Methoda of Testing Small Clear Specimen of Timber-B. S. 373. British Standard Institution: London. _______, 1983. Pengenalan Kayu Substitusi Sebagai Bahan Baku Untuk Kerajinan Kayu. Laporan No. 17. Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH) : Bogor _______, 1985. Annual Book of ASTM Standards, Section 4 Contruction, Vol 04.09 Wood, ASTM : Philadelphia ______,
2007.
Status
lingkungan
hidup
Indonesia
2006.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.Jakarta.http://www.fordamof.org/files/RPI_6_Pengelolaan_HT_Penghasil_Kayu.pdf Dikunjungi tanggal 16 Februari 2012 pukul 15.23 Berlian, N. dan Rahayu, E, 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta. Dransfield, S. and E.A. Widjaya (Ed.), 1995. Plant resources of South-East Asia 7.Bamboos. Pp. 15-49. Prosea. Bogor. Kasmudjo, 1998. Pengenalan Jenis dan Sifat-sifat Kayu untuk Kerajinan. Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta _______, 2010. Teknologi Hasil Hutan. Suatu Pengantar. Penerbit Cakrawala Media. Yogyakarta. Koch, P, 1964. Wood Machining Processes. The Ronald Press Company. New York. Panshin, A.J and Carl de Zeeuw, 1964. Textbook of Wood Technology. Volume I. Structure, Identification, Uses and Properties of Comercial Woods of the United States. Second Edition. McGraw-Hill Book Company. Prawirohatmojo, S, 1976. Sifat-Sifat Fisika Kayu. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta Steel, G.D. dan J.H. Torrie, 1995. Prinsip Dasar Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
43
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Mengenal Struktur Anatomi dan Dimensi Berkas Pembuluh (vascular bundle) Gewang (Corypha utan Lamk.) dari Nusa Tenggara Timur Kurnia Wiji Prasetiyo UPT Balai Litbang Biomaterial-LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong-Bogor *Corresponding author:
[email protected] Abstract Gewang (Corypha utan Lamk.) is an important palm grown wild in the savannah of East Nusa Tenggara, Indonesia. The genus Corypha, belong to Arecaceae or Palmae consist of about 8 species distributed from tropical Africa to India, tropical Asia, Indochina, Malaysia, and Quensland. Corypha grows in lowland of very dried climate and savannah. The local people have used this palm traditionally for many purposes to fulfill their daily needs. Trunks are used for producing starch for food, cattle food (“putak”), building material for housing, furniture and fence. Generally, based on comparison with standard MOR for wood, gewang belonging to the strong class IIIV to the skin or edge and strength class V to the middle and to the inside or centre. Mechanical properties of the outer part gewang trunk is higher than those in the medium and centre parts. Microscopically, anatomic structure of gewang and other palm species are dominated by the beam vessel which are spread randomly and easily recognizable from a darker color, where the distribution and shape will depend on its position in the trunk and the ground tissue surrounding a light-colored. In one beam vessel generally have fiber sklerenkim, metaxylem, protoxylem, parenchyma paratracheal and vessel (pore) that looks sometimes resembling metaxylem. The average length of fiber 1790 ± 0.26 microns. Diameter of fiber is 23.09 ± 3.9 microns. Diameter of fiber lumen is 13.31 ± 2.99 microns. Whereas, wall thickness of fiber 4.89 ± 1.67 microns. Key words : trunk, gewang, anatomic structure and vascular bundle PENDAHULUAN Gewang atau tune (Corypha utan Lamk.), sejenis tanaman palem yang banyak tumbuh di savanna Nusa Tenggara Timur (NTT). Gewang tergolong jenis tanaman monokarpik yaitu setelah berbunga dan berbuah tanaman ini mati pada umur sekitar 30-40 tahun. Kedudukan jenis tumbuhan liar di kawasan savanna ini begitu penting bagi masyarakat lokal di NTT. Batang dipakai sebagai balok atau tiang rumah yang disebut “Rumah gewang” yang artinya hampir semua bagian rumah seperti atap, dinding dan tiang/balok berasal dari gewang. Berbagai jenis anyaman seperti tikar, bakul dan lumbung padi juga dibuat dari daun gewang yang sudah dikeringkan. Pelepah tegakan muda juga dipakai sebagai dinding rumah yang disebut ‘bebak’; setelah dikeringkan disusun dengan cara ditancapkan pada 2 buah rusuk bambu sehingga membentuk lempenganlempengan yang siap pakai. (Naiola, 2004). Satu batang gewang mempunyai potensi biomasa rata-rata 2,8 ton (dengan asumsi diameter rata-rata 60 cm, tinggi batang 20 m dan densitas kayu 0,5 g/cm3) yang bisa dimanfaatkan. Batang gewang bagian pinggir yang lebih keras dibanding bagian tengah dengan ketebalan sekitar 2-5 cm dicoba untuk dikembangkan menjadi parket untuk lantai yang bisa menggantikan parket dari kayu (Subyakto et al. 2005). Hasil penelitian Prasetiyo et al. (2008) menunjukkan bahwa sifat fisis gewang seperti daya serap air berbanding lurus dengan penyusutan dan berbanding terbalik terhadap kerapatan gewang. Untuk sifat mekanis bagian batang atas memiliki nilai modulus elastisitas (MOE), keteguhan patah (MOR) dan keteguhan tekan
44
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI sejajar serat lebih tinggi daripada bagian bawah dan tengah. Arah batang bagian luar, lebih tinggi nilai MOE, MOR serta keteguhan tekan sejajar seratnya dan menurun ke arah bagian dalam batang. Secara umum sifat fisis dan mekanis batang gewang bagian luar lebih tinggi dibandingkan bagian tengah dan dalam baik pada batang atas, bawah maupun batang tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi dan dimensi berkas pembuluh (vascular bundle) gewang dari NTT. METODOLOGI Batang gewang diambil dari tanaman gewang pasca monokarpik yang tumbuh liar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tanaman gewang memiliki tinggi bebas daun berkisar antara 9-19 m dengan diameter batang setinggi dada (diameter at breast height) sekitar 41-75 cm. Pada umumnya tanaman jenis palem seperti gewang didominasi oleh jaringan parenkim dan berkas pembuluh (vascular bundle) yang tersebar pada semua bagian batang sehingga contoh uji untuk mengetahui struktur anatomisnya dapat diambil dari semua bagian. Karena dianggap memiliki jaringan penyusun yang sama maka contoh uji diambil pada batang bagian luar/tepi (dermal zone) setelah lapisan kulit (epidermis) ke arah bagian dalam batang/arah diameter batang (Gambar 1).
1,5 m
upper
2m
1 2 3
1 23 middle
1,5 m
bark
3 21 3 2 1
core
2,5 m
1,5 m
bottom
0,8 m Gambar 1. Diagram pemotongan contoh uji batang gewang Pembuatan preparat maserasi Contoh uji yang mempunyai ukuran kurang lebih sebesar batang korek api dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan kemudian diberi larutan campuran H2O2 dan CH3COOH glacial dengan perbandingan 1 : 1, sampai seluruh contoh uji terendam oleh larutan. Kemudian tabung reaksi dipanaskan dalam air dengan suhu ± o
60 C sampai contoh uji menjadi berwarna putih dan serat terurai. Contoh uji kemudian dicuci dengan aquades dan diberi pewarna safranin. Setelah melalui dehidrasi dengan alkohol, contoh uji yang telah terurai direkatkan pada gelas obyek dengan entellan.
45
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pembuatan preparat sayatan Contoh uji untuk preparat sayatan diambil dari potongan batang gewang ukuran 2 x 2 x 2 cm. Contoh uji yang ada sebelum disayat terlebih dahulu dilakukan pemotretan skala makroskopis. Dalam persiapan penyayatan, sampel batang dilunakkan terlebih dahulu dengan merebus pada gliserin 25% dengan tekanan, selama kurang lebih 30 menit. Kemudian sampel dimasukkan dalam larutan gliserin : alkohol (1 : 1) selama kurang lebih satu minggu. Karena sampel gewang masih keras maka dilakukan perebusan dengan PEG selama 4 hari lalu dioven dan siap untuk disayat. Penyayatan dilakukan pada arah cross section dan longitudinal dengan menggunakan mikrotom. Setelah melalui proses dehidrasi dengan alkohol, hasil sayatan kemudian diwarnai dengan safranin dan direkat pada gelas obyek dengan menggunakan entellan dan ditutup dengan cover glass. Struktur anatomi yang diamati meliputi beberapa unsur anatomis seperti panjang, tebal dinding diameter dan diameter lumen dari berkas pembuluh (vascular bundle) berdasarkan daftar yang telah dibuat oleh IAWA Committee (Wheeler, Baas dan Gasson, 1989). Data kuantitatif merupakan rata-rata dari 30 kali pengukuran pada setiap sampel untuk panjang berkas pembuluh (vascular bundle) dan 15 kali pengukuran untuk diameter, tebal dinding serta diameter lumen dari berkas pembuluh (vascular bundle). HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Anatomi Pada umumnya jenis-jenis palem yang termasuk tanaman monokotil misalnya gewang (Corypha utan Lamk.), kelapa (Cocos nucifera Linn.), kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan lontar (Borassus flabellifer) memiliki jaringan pengangkut yang tersebar secara acak di dalam jaringan dasar yang tersusun atas sel-sel parenkim. Setiap jaringan pengangkut dikelilingi oleh pembungkus (bundle sheath) dan memiliki xylem (metaxylem) yang mengarah ke dalam serta phloem yang mengarah ke luar batang seperti yang terlihat pada Gambar 2. Lapisan bagian luar disebut epidermis. Adapun bagian vascular bundle berfungsi sebagai penyokong batang yang memiliki dinding sel tebal dan mengandung silika (Coto, 2003).
Gambar 2. Struktur anatomi batang tanaman monokotil (Utama et al, 2010) Berkas pembuluh yang tersebar secara acak pada jaringan dasar merupakan jaringan pertumbuhan arah lateral dimana tidak terjadi penambahan jumlah sel-sel lateral sehingga pertambahan diameter batangnya tidak sebesar pada tanaman dikotil. Hasil pemotretan makroskopis pada contoh uji batang gewang dan beberapa jenis palem sebagai pembanding yaitu kelapa, kelapa sawit dan lontar seperti yang ada pada Gambar 3. menunjukkan keseragaman jaringan penyusun di dalam batangnya.
46
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
A jaringan parenkim/dasar
berkas pembuluh
(ground tissue)
(vascular bundle)
B jaringan parenkim/dasar (ground tissue)
C D Gambar 3. Penampang arah lintang batang gewang (A), lontar (B), kelapa (C) dan kelapa sawit (D) (perbesaran 20x, skala 500 µm) Pada penampang lintang batang gewang (Gambar 3A) terlihat sebaran berkas pembuluh dengan diameter cukup besar berwarna gelap dan sangat kontras dengan jaringan parenkim di sekitarnya yang berwarna terang. Hal ini juga terlihat pada jenis palem yang lain seperti lontar (Gambar 3B), kelapa (Gambar 3C) dan kelapa sawit (Gambar 3D). Sebaran berkas pembuluh pada jenis palem relatif seragam yaitu pada bagian tepi batang lebih rapat/banyak dijumpai berkas pembuluh dan akan semakin sedikit ke arah bagian dalam batang. Sehingga bisa dikatakan bahwa struktur anatomi gewang serta jenis palem lainnya didominasi oleh berkas pembuluh yang tersebar acak dan mudah dikenali dari warnanya, dimana sebaran dan bentuknya akan tergantung pada posisinya dalam batang. Hasil penelitian Wardhani et al. (2006) tentang struktur anatomi batang kelapa menyebutkan bahwa berkas pembuluh pada bagian tepi sangat rapat dan semakin sedikit/jarang serta berjauhan letaknya ke arah bagian dalam batang. Dan ini juga berlaku pada semua jenis palem termasuk gewang.
47
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
A
B serat sklerenkim di berkas pembuluh
C Gambar 4. Penampang arah longitudinal batang gewang (A), lontar (B), dan kelapa (C) (perbesaran 10x, skala 1 mm) Pada penampang arah longitudinal, terlihat bagian dari berkas pembuluh batang gewang yang terpotong berbentuk pita panjang dan lebar berwarna gelap (Gambar 4A) dan juga pada jenis palem lainnya seperti lontar (Gambar 4B) dan kelapa (Gambar 4C). Warna gelap pada berkas pembuluh terjadi karena adanya proses penebalan sekunder dinding sel serat atau sklereida yang menyusun serat sklerenkim. Sedangkan yang berwarna terang disekitarnya merupakan jaringan parenkim (ground tissue) yang bisa berbentuk kompak, ramping atau bisa berbentuk seperti karang (spongy). Jaringan parenkim banyak mengandung gula/pati dan bisa ditemukan adanya kristal kalsium oksalat.
3 4
1
5 2 6 A
B
Gambar 5. Penampang lintang batang gewang (5A dengan perbesaran 25x skala 100 µm dan 5B dengan perbesaran 100x skala 50 µm) Keterangan: 1 = satu berkas pembuluh (vascular bundle), 2 = serat (serat sklerenkim), 3 = pori (pore), 4 = parenkim pada berkas pembuluh, 5 = metaxylem dan 6 = protoxylem
48
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil pemotretan mikroskopis preparat batang gewang pada arah lintang (Gambar 5A) terlihat berkas pembuluh yang berbentuk lonjong tidak bulat penuh. Pada satu berkas pembuluh secara umum terdapat serat (serat sklerenkim), metaxylem, protoxylem, parenkim dan pori yang bentuknya kadangkala menyerupai metaxylem seperti yang terlihat pada Gambar 5B.
1 A
B
2
4 3 D C Gambar 6. Penampang arah longitudinal batang gewang Keterangan: 1= pembuluh (pore), 2 = jaringan parenkim, 3 = noktah sederhana pada dinding pembuluh dan 4 = noktah sederhana scalariform pada ujung pembuluh Pada pengamatan mikroskopis arah longitudinal disekitar serat sklerenkim atau bagian dari berkas pembuluh yang terpotong terlihat pembuluh (pore) yang memiliki noktah atau bidang perforasi sederhana pada dindingnya dan scalariform di ujungnya (Gambar 6D).
49
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
2 3
1
A B Gambar 7. Penampang lintang batang gewang (7A, perbesaran 100x dan 7B, perbesaran 200x) Keterangan: 1 = serat (sklerenkim) pada berkas pembuluh, 2 = metaxylem dan 3 = pembuluh (pore) pada berkas pembuluh Bagian dalam (core) didominasi oleh jaringan parenkim yang lebih lunak dan rendah kekuatannya sehingga mudah menyerap air. Bagian tersebut juga memiliki kerapatan yang rendah dan kembang susut yang tinggi dibandingkan bagian luar (dermal zone) yang sebagian besar terdiri dari berkas pembuluh (vascular bundle) yang tebal, kuat dan stabil. Hasil penelitian Prasetiyo et al. (2008) mengenai sifat fisis dan mekanik gewang menunujukkan bahwa kerapatan batang gewang menurun mulai bagian batang terluar sampai ke arah dalam berkisar antara 0,970,19 g/cm3. Semakin ke dalam batang, jumlah berkas pembuluh (vascular bundle) semakin sedikit. Jaringan berkas pembuluh memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada jaringan di sekitarnya. Banyaknya berkas pembuluh (vascular bundle) akan mengakibatkan persentase parenkim kayu yang memiliki daya serap air tinggi menjadi lebih kecil. Dimensi dari Serat Sklerenkim Secara umum hasil pengukuran panjang serat yang terdapat pada berkas pembuluh (vascular bundle) terhadap seluruh contoh uji berkisar antara 1310-2400 mikron, dengan rata-rata 1790 ± 0,26 mikron. Dibandingkan dengan panjang trakeid softwood (500-1500 mikron) dan serat hardwood (100-1000 mikron) maka serat gewang dikategorikan serat sedang sampai panjang. Sklerenkim memiliki diameter yang bervariasi dari 18,48-29,52 mikron dengan rata-rata 23,09 ± 3,9 mikron sehingga dikategorikan sebagai serat besar. Sedangkan diameter lumen sekitar 10,32-18,72 mikron dengan rata-rata 13,31 ± 2,99 mikron dan termasuk lumen sedang. Tebal dinding serat yang dihitung dari selisih diameter serat dan diameter lumen serat dibagi dua berkisar antara 3,00-9,04 mikron dengan ketebalan rata-rata 4,89 ± 1,67 mikron. Dimensi serat gewang akan bervariasi ukurannya tergantung posisinya dalam batang. KESIMPULAN Struktur anatomi gewang serta jenis palem lainnya didominasi oleh berkas pembuluh yang tersebar acak dan mudah dikenali dari warnanya yang lebih gelap, dimana sebaran dan bentuknya akan tergantung pada posisinya dalam batang serta jaringan parenkim (ground tissue) disekitarnya yang berwarna terang. Dalam satu berkas pembuluh gewang secara umum terdapat serat yang disebut sklerenkim, metaxylem, protoxylem, parenkim paratrakeal dan pembuluh (pore) yang bentuknya kadangkala menyerupai metaxylem. Gewang memiliki panjang serat rata-rata 1790 ± 0,26 mikron, diameter serat rata-rata 23,09 ± 3,9 mikron, diameter
50
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI lumen serat rata-rata 13,31 ± 2,99 mikron serta tebal dinding serat rata-rata 4,89 ± 1,67 mikron. Variasi struktur anatomi dan dimensi serat gewang tergantung pada posisinya dalam batang. DAFTAR PUSTAKA Coto, Z. 2003. Peningkatan mutu kayu karet, kayu sawit untuk peningkatan optimalisasi pemanfaatan. Seminar Nasional Himpunan Alumni IPB dan Hapka Fakultas Kehutanan IPB Wilayah Regional Sumatera. Medan. Krempin, J.L. 1993. Palms and Cycads Around The Word. Herron Book Distributors Pty. Ltd, Queensland. Australia. Naiola, B.P. 2004. Studi Awal Terhadap Potensi Gewang (Corypha utan Lamk.) Savana NTT Sebagai Sumber Pangan Dan Minuman Baru Serta Bahan Dasar Industri Alkohol. Berita Biologi Volume 7 No. 3, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Bogor. Prasetiyo, K.W., Subyakto dan Paul B. Naiola. 2008. Sifat Fisik dan Mekanik Batang Gewang (Corypha utan Lamk.) dari Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 1 No. 2, Bogor. Prayitno, T.A. 1995. Bentuk Batang dan Sifat Fisis Kayu Kelapa Sawit. Buletin Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, No. 28/1995. pp. 43-59. Yogyakarta. Rahayu, I.S. 2001. Sifat dasar vascular bundle dan parenchyma batang kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dalam kaitannya dengan sifat fisis, mekanis, serta keawetan [Tesis]. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Siopongco, J.O., Rojo, J.P., Mosterio, A.P. & Rocafort, J.E. 1989. Coconut Wood. In: Schniewind, A.P. Concise encyclopedia of wood & wood-based materials. Pergamon Press, U.S.A. pp. 59-62. Subyakto, Prasetiyo, K.W., Subiyanto, B and Naiola B.P. 2005. Potential Biomass of Gewang (Corypha utan Lamk.) for Biocomposites. Proceedings of the 6 th International Wood Science Symposium LIPI-JSPS Core University Program in the Field of Wood Science. Bali, Indonesia. Suhaimi, E.B., Rachman, O., Hermawan, D., Karlinasari, L. Dan Rosdiana, N. 1998. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaieis guineensis Jacq.) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture (I) : Sifat Fisis, Kimia dan Keawetan Alami Kayu Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XI, No. 1. Bogor. Suhaimi, E.B., Rachman, O., Darmawan, W. dan Hidayat, I. 1999. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaieis guineensis Jacq.) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture (II) : Sifat Mekanis Kayu Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XII, No. 1. Bogor. Utama, N. A., S. Susilo Dewi dan Titiek. 2010. Organ Tanaman : Struktur, Fungsi dan Nilai Ekonomi. Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Wardhani, I.S., Surjokusumo, S., Hadi, Y.S. dan Nugroho, N. 2006. Penampilan Kayu Kelapa (Cocos nucifera Linn) Bagian Dalam yang Dimampatkan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 4, No. 2 hal 50-54. Bogor.
51
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Sifat Pemesinan dan Finishing Kayu Maniani (Flindersia pimenteliana F.v. Muell) asal Papua Barat Renny Purnawati1,2, Imam Wahyudi2, Trisna Priadi2 1 Universitas Negeri Papua, Manokwari (Papua Barat) 2 Institut Pertanian Bogor (Bogor) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji sifat pemesinan dan kualitas finishing kayu maniani (Flindersia pimenteliana) yang berasal dari Teluk Wondama Papua Barat. Pengujian sifat pemesinan berdasarkan ASTM D1666-64 yang dimodifikasi, sedangkan uji sifat finishing kayunya berdasarkan ASTM D 1308-02 dan ASTM D 3359-02. Hasil pengujian sifat pemesinan kayu menunjukkan bahwa pengetaman, pembubutan dan pengeboran kayu tergolong baik, sedangkan pembentukan dan pengamplasan sangat baik. Daya rekat lapisan cat terhadap kayu yang merupakan parameter pengujian kualitas finishing-nya sangat baik, dan secara umum kayu tahan terhadap bahan kimia rumah tangga kecuali terhadap larutan sabun dan bahan pewarna. Kata kunci: Flindersia pimenteliana , pemesinan kayu, finishing kayu Pendahuluan Dewasa ini kebutuhan kayu olahan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Di sisi lain, pasokan kayu komersial dari hutan alam sudah semakin berkurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Keterbatasan bahan baku baik untuk konstruksi maupun non konstruksi dapat diatasi dengan
memanfaatkan bahan alternatif berupa jenis kayu yang belum banyak dikenal (lesser known species). Kelompok kayu ini belum banyak dimanfaatkan oleh industri perkayuan karena data tentang sifat dan kegunaan jenis-jenis kayu tersebut tidak atau belum tersedia. Agar pemanfaatan jenis-jenis tersebut efektif dan efisien, maka perlu diketahui baik sifat dasar maupun sifat pengerjaannya. Salah satu sifat pengerjaan kayu adalah sifat pemesinannya disamping sifat finishing baik untuk meningkatkan keawetan maupun untuk meningkatkan penampilannya. Saat ini terdapat berbagai macam industri yang bergerak dalam bidang pengerjaan kayu, di antaranya moulding dan furniture. Akan tetapi untuk memperoleh suatu hasil finishing yang baik diperlukan keadaan permukaan kayu yang baik. Kayu maniani termasuk kayu yang memiliki corak dekoratif yang indah dengan tekstur yang halus. Sebagai bahan baku kayu yang memiliki potensi cukup baik, maka kayu maniani (F. pimenteliana) cocok digunakan sebagai bahan baku furniture, maupun bahan kerajinan karena keindahan tampilan dan kekuatannya yang cukup baik.
Untuk meningkatkan masa pakainya maka permukaan produk kayu perlu
dilindungi dengan bahan finishing. Untuk kebutuhan interior, keindahan lebih diutamakan sehingga bahan finishing yang dapat mengekspos tampilan serat kayu menjadi pilihan yang lebih tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat pemesinan kayu maniani dan mengetahui kualitas bahan finishing kayu melalui uji daya rekat bahan finishing dan daya tahan lapisan finishing terhadap bahan kimia rumah tangga.
52
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan adalah kayu maniani yang berasal dari hutan alam Teluk Wondama sebanyak 2 pohon. Sampel diambil dari bagian pangkal (diameter setinggi dada) dan bagian ujung batang bebas cabang. Bahan lain adalah bahan finishing berpelarut air antara lain Impra aqua wood filler AWF-911, Impra aqua sanding sealer ASS-941, Impra aqua lacquer AL-961 clear dof, dan bahan kimia rumah tangga (air panas, air dingin, kecap, cuka, saos, larutan sabun). Metode A. Pengujian Sifat Pemesinan Kayu Metode penelitian berdasarkan ASTM D-1666-64 yang dimodifikasi oleh Abdurachman dan Karnasudirdja (1982). Contoh uji, disebut contoh uji induk, dibuat dalam bentuk papan berukuran 125 cm x 12.5 cm x 2 cm sebanyak 5 lembar yang diambil dari bagian pangkal dan ujung pohon. Setiap papan dipotong berdasarkan pola pada Gambar 1. Pengujian sifat pemesinan dilakukan dengan mengamati bentuk cacat dan mengukur persentase luas cacat yang terjadi pada setiap contoh uji. Pengamatan dilakukan secara visual dengan bantuan kaca pembesar berukuran 10X. Bentuk cacat yang diamati pada masing-masing contoh uji disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1 Pola pemotongan contoh uji pemesinan kayu
53
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1 Sifat pemesinan dan bentuk cacat yang diamati Sifat pemesinan
Bentuk cacat
Penyerutan (planing)
Pembubutan (turning)
serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain), tanda chip (chip marking). serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain), tanda chip (chip mark) serat berbulu (fuzzy grain), penghancuran (crushing), kelicinan (smoothness), penyobekan (tearout) serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain), kekasaran (roughness)
Pengampelasan (sanding)
serat berbulu (fuzzy grain), bekas garukan (scratching)
Pembentukan (shaping) Pengeboran (boring)
Sumber: Abdurrachman & Karnasudirja, 1982 Ukuran cacat pemesinan dinyatakan dalam persentase luas bagian permukaan kayu yang bercacat dari seluruh penampang pengujian masing-masing contoh uji. Nilai cacat diperoleh dari rata-rata seluruh contoh uji. Nilai ini kemudian digunakan untuk menetapkan besarnya nilai bebas cacat. Berdasarkan nilai bebas cacat tersebut ditentukan klasifikasi sifat pemesinan pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi sifat pemesinan Nilai bebas cacat (%)
Kelas
0 - 20 21 – 40 41 – 60 61 - 80 81 - 100 Sumber: Abdurrachman & Karnasudirja, 1982
V IV III II I
Kualitas pemesinan Sangat jelek (very poor) Jelek (poor) Sedang (fair) Baik (good) Sangat baik (very good)
B. Pengujian Sifat Finishing Kayu Contoh uji berukuran 15 cm x 5 cm x 2 cm. Perlakuan persiapan sebelum pengujian yaitu pengecatan sesuai prosedur aplikasi. Bahan finishing menggunakan cat Impra berbahan dasar air (waterbased finising system). Pengujian keawetan lapisan cat terhadap bahan kimia rumah tangga adalah dengan mengaplikasikan air panas, air dingin, saos, kecap, cuka, minyak goreng, larutan sabun ke atas permukaan sampel kayu (ASTM D 1308-02) kemudian diamati perubahan warna dan fenomena lainnya secara kualitatif, masing-masing selama 15 menit, 1 jam dan 16 jam. Pengujian keawetan atau daya lekat bahan finishing terhadap kayu (ASTM D 3359-02) dilakukan dengan membuat sayatan menggunakan pisau cutter ukuran 2 mm x 2 mm pada permukaan kayu. Pada permukaan tersebut ditempelkan tape semi transparan, ditekan sehingga seluruh permukaan tape melekat secara sempurna. Setelah 90 detik, tape dilepas dan dievaluasi pengelupasan lapisan catnya sesuai dengan klasifikasi pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi hasil pengujian daya rekat cat Klasifikasi
Persentase area yang terkelupas (%)
5B 4B
Tidak ada 5% 5 - 15%
3B 2B 1B 0B Sumber: ASTM D 3359-02
15 - 35% 35 - 65% > 65%
54
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil dan Pembahasan A. Sifat Pemesinan Kayu Bentuk-bentuk cacat yang diamati pada masing-masing sifat pemesinan disajikan pada Tabel 4. Cacat utama yang timbul pada proses pengerjaan kayu (pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pembubutan dan pengeboran) terutama jenis cacat bulu halus, sedangkan cacat lainnya berupa serat patah, bekas garukan dan kekasaran. Tabel 4 Cacat yang timbul pada proses pengerjaan kayu Cacat Kayu
Sifat pemesinan Pengetaman
Pembentukan
Pengampelasan
Pembubutan
Pemboran
Serat menonjol
-
-
-
-
-
Serat bulu halus
√
√
√
√
√
Serat patah
√
-
-
√
-
Tanda chips
-
-
-
-
-
Bekas garukan
-
-
√
-
-
Kekasaran
-
-
-
√
-
Penghancuran
-
-
-
-
-
Kelicinan
-
-
-
-
-
Penyobekan
-
-
-
-
-
Sifat pemesinan yang erat hubungannya dengan berat jenis kayu terutama adalah sifat pembubutan, pengetaman dan pengeboran (Rachman dan Balfas 1985). Secara anatomis, semakin tinggi berat jenis kayu, maka semakin tebal dinding sel kayu, mengakibatkan kayu semakin keras. Hal ini menyebabkan kayu makin sukar dipotong, dibelah maupun dibubut. Namun demikian, berat jenis yang terlalu rendah juga cenderung menurunkan kualitas pengetaman, pembubutan, pemboran dan pengampelasan. Serat bulu halus terjadi pada kayu maniani disebabkan oleh arah serat kayu yang bergelombang. Kandungan silika pada kayu dan produk kompositnya juga sangat berpengaruh terhadap proses pengerjaan kayu khususnya proses pemesinan karena dapat menyebabkan aus pisau dan mata gergaji sehingga perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Kualitas pengerjaan kayu maniani dapat dilihat dari hasil evaluasi sifat pemesinan seperti pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa sifat pemesinan kayu maniani termasuk dalam Kelas I - II, sehingga kayu ini sangat cocok untuk dipergunakan sebagai bahan kerajinan, furniture maupun produk moulding. Sifat pemesinan kayu yang baik ditunjang pula oleh berat jenis kayu sehingga kayu cukup ringan, serat yang lurus, dan tekstur kayu yang halus. Kualitas produk yang dihasilkan juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan mesin produksi yang canggih dan operator yang terampil. Jenis kayu maniani termasuk dalam jenis kayu maple. Menurut Hoordwood (2003) jenis-jenis kayu maple pada umumnya berwarna coklat terang dengan corak yang menarik dan mudah difinishing. Jenis-jenis maple juga tergolong kayu serbaguna yang sangat baik dalam semua aspek pengerjaan kayu.
55
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 5 Sifat pemesinan kayu maniani Diameter batang (cm) 50 60
Bagian batang
Kelas Mutu Ketam
Bentuk
Ampelas
Bubut
Bor
Pangkal
II (Baik)
II (Baik)
II (Baik)
II (Baik)
II (Baik)
Ujung
II (Baik)
I (Sangat Baik)
I (Sangat Baik)
II (Baik)
II (Baik)
Pangkal
II (Baik) II (Baik)
I (Sangat Baik) I (Sangat Baik)
I (Sangat Baik) I (Sangat Baik)
II (Baik) II (Baik)
II (Baik) II (Baik)
Ujung B. Sifat Finishing Kayu
Permukaan kayu maniani sebelum dan sesudah diaplikasi menggunakan bahan finishing masingmasing seperti pada Gambar 2a dan 2b. Aplikasi bahan finishing (cat) pada permukaan kayu menghasilkan permukaan yang lebih halus, mengkilap, dan tekstur kayu yang lebih menarik. Selain itu finishing sebagai kegiatan melapisi permukaan suatu produk kayu dengan bahan pelapis tertentu dapat memberikan perlindungan dan peningkatan nilai keindahan serta membuat permukaan kayu mudah dibersihkan (Williams 2010).
Gambar 2 Tampilan kayu sebelum (a) dan setelah (b) difinishing Hasil pengujian sifat finishing kayu pada Tabel 6 menampilkan daya tahan bahan finishing setelah diberi perlakuan bahan kimia rumah tangga (air panas, air dingin, kecap, saus, cuka, sabun dan minyak goreng). Dari Tabel 6 diketahui bahwa perlakuan waktu 15 menit, bahan kimia rumah tangga seperti air panas, air dingin, kecap, saos tomat, cuka dan sabun tidak merusak lapisan cat. Larutan cuka menimbulkan kerusakan setelah perlakuan wakyu 16 jam. Saus tomat dan sabun menimbulkan pewarnaan dan pengelupasan lapisan cat pada perlakuan waktu 1 dan 16 jam Cacat terparah pada perlakuan waktu 16 jam. Cacat yang terjadi ini mengindikasikan adanya reaksi antara cat dengan bahan kimia tersebut sehingga menyebabkan perubahan atau kerusakan struktur kimia bahan finishing (cat). Umumnya cat kayu berbahan dasar air akan lebih mudah larut dibanding cat berbahan dasar minyak. Jenis finishing berpelarut air paling populer akhir-akhir ini bagi para konsumen. Bahan finishing ini terbuat dari ekstender, bahan pewarna, dan emulsi akrilik dengan bahan pelarut air. Dalam proses pengecatan, air akan menguap dan resin akan tertinggal di permukaan kayu. Walaupun proses pengeringannya lebih lama dari jenis bahan finishing yang lain karena penguapan air jauh lebih lambat daripada penguapan alkohol ataupun thinner, namun kualitas lapisan film yang diciptakan tidak kalah baik kualitasnya dengan nitrocellulose atau melamine. Bahkan sekarang sudah ada jenis waterbased lacquer yang tahan goresan. Keuntungan utama yang diperoleh dari bahan jenis ini adalah ramah lingkungan. Bahan finishing 100% bebas kandungan formaldehida, tidak berbau tajam, dan diformulasikan tanpa mengandung logam berat yang dapat membahayakan kesehatan manusia (www.propanraya.com).
56
SIFAT DASAR KAYU Tabel 6 Hasil pengujian lapisan finishing dengan bahan kimia rumah tangga Evaluasi Hasil Uji Bahan Kimia Rumah Tangga (ASTM D 1308-02) (Perlakuan Waktu) Air Panas & Kecap Saus Tomat Cuka Sabun Dingin Bgn. Btg
Diameter Batang
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
50 cm
Pangkal Ujung 60 cm Pangkal Ujung Keterangan: o
1
2
3
1
2
3
1
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
= pewarnaan ringan
2 o o o o x
oo = pewarnaan berat
3 oo oo oo oo
1 √ √ √ √
2 √ √ √ √
3 x x x x
1 x x x x
2
3
xx xx xx xx
xx xx xx xx
= lapisan cat berubah warna
xx = lapisan cat mengelupas
√
= lapisan cat tidak mengalami perubahan
*
= (1) waktu uji 15 menit (2) waktu uji 1 jam (3) waktu uji 16 jam Pengujian menggunakan metode crosscut bertujuan untuk mengevaluasi kerusakan lapisan cat secara
mekanis.
Hasil uji crosscut menunjukkan bahwa daya rekat cat terhadap kayu sangat kuat sehingga
menghasilkan kelas mutu yang terbaik (5B), yaitu kerusakan yang ditimbulkan akibat pengujian kekuatan bahan lapisan cat terhadap goresan sebesar kurang dari 5% - 0% (Tabel 7). Tabel 7 Hasil uji gores (crosscut) pada lapisan finishing (ASTM D 3359-02) Diameter Batang 50 cm 60 cm
Bagian batang Pangkal Ujung Pangkal Ujung
Kelas mutu uji cross cut 5B 5B 5B 4B-5B
Kesimpulan Sifat pemesinan kayu maniani yang terdiri dari pengetaman, pembubutan dan pemboran tergolong baik, sedangkan pembentukan dan pengamplasan sangat baik. Bahan finishing berbahan dasar air menghasilkan kualitas finishing yang cukup baik. Ketahanan lapisan finishing terhadap bahan kimia rumah tangga secara umum baik kecuali ketahanan terhadap larutan sabun dan saus. Daya rekat bahan finishing sangat baik. Daftar Pustaka Abdurrachman AJ, Karnasudirja S. 1982. Sifat Pemesinan Kayu-Kayu Indonesia. Laporan BPHH No. 160. Badan Penelitian Hasil Hutan. Bogor. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. Annual Book of ASTM Standard. Volume 04.10, Wood. D 1308-02. Standard Test Method for Effect of Household Chemicals on Clear and Pigmented Organic Finishes. USA: ASTM [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. Annual Book of ASTM Standard. Volume 04.10, Wood. D 3359-02. Standard Test Methods for Measuring Adhesion by Tape Test. USA: ASTM. Horwood R. 2003. The Woodworker’s Handbook. New Holland Pub. LTD. Rahman O, Balfas J. 1985. Sifat Pemesinan 34 Jenis Kayu dari Maluku dan Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 2 (3) pp 27-36. Williams RS. 2010. Chapter 16. Finishing of Wood. 2010. Di dalam Forest Products Laboratory. Wood Handbook: Wood as an engineering material. General Technical Report FPL-GTR-190. Madison, WI: U.S.
57
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Sifat Pemesinan dan Finishing Kayu Maniani (Flindersia pimenteliana F.v. Muell) asal Papua Barat Renny Purnawati1,2, Imam Wahyudi2, Trisna Priadi2 1 Universitas
Negeri Papua, Manokwari (Papua Barat)
2 Institut
Pertanian Bogor (Bogor)
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji sifat pemesinan dan kualitas finishing kayu maniani (Flindersia pimenteliana) yang berasal dari Teluk Wondama Papua Barat. Pengujian sifat pemesinan berdasarkan ASTM D1666-64 yang dimodifikasi, sedangkan uji sifat finishing kayunya berdasarkan ASTM D 1308-02 dan ASTM D 3359-02. Hasil pengujian sifat pemesinan kayu menunjukkan bahwa pengetaman, pembubutan dan pengeboran kayu tergolong baik, sedangkan pembentukan dan pengamplasan sangat baik. Daya rekat lapisan cat terhadap kayu yang merupakan parameter pengujian kualitas finishing-nya sangat baik, dan secara umum kayu tahan terhadap bahan kimia rumah tangga kecuali terhadap larutan sabun dan bahan pewarna. Kata kunci: Flindersia pimenteliana , pemesinan kayu, finishing kayu Pendahuluan Dewasa ini kebutuhan kayu olahan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Di sisi lain, pasokan kayu komersial dari hutan alam sudah semakin berkurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Keterbatasan bahan baku baik untuk konstruksi maupun non konstruksi dapat diatasi dengan
memanfaatkan bahan alternatif berupa jenis kayu yang belum banyak dikenal (lesser known species). Kelompok kayu ini belum banyak dimanfaatkan oleh industri perkayuan karena data tentang sifat dan kegunaan jenis-jenis kayu tersebut tidak atau belum tersedia. Agar pemanfaatan jenis-jenis tersebut efektif dan efisien, maka perlu diketahui baik sifat dasar maupun sifat pengerjaannya. Salah satu sifat pengerjaan kayu adalah sifat pemesinannya disamping sifat finishing baik untuk meningkatkan keawetan maupun untuk meningkatkan penampilannya. Saat ini terdapat berbagai macam industri yang bergerak dalam bidang pengerjaan kayu, di antaranya moulding dan furniture. Akan tetapi untuk memperoleh suatu hasil finishing yang baik diperlukan keadaan permukaan kayu yang baik. Kayu maniani termasuk kayu yang memiliki corak dekoratif yang indah dengan tekstur yang halus. Sebagai bahan baku kayu yang memiliki potensi cukup baik, maka kayu maniani (F. pimenteliana) cocok digunakan sebagai bahan baku furniture, maupun bahan kerajinan karena keindahan tampilan dan kekuatannya yang cukup baik.
Untuk meningkatkan masa pakainya maka permukaan produk kayu perlu
dilindungi dengan bahan finishing. Untuk kebutuhan interior, keindahan lebih diutamakan sehingga bahan finishing yang dapat mengekspos tampilan serat kayu menjadi pilihan yang lebih tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat pemesinan kayu maniani dan mengetahui kualitas bahan finishing kayu melalui uji daya rekat bahan finishing dan daya tahan lapisan finishing terhadap bahan kimia rumah tangga. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan adalah kayu maniani yang berasal dari hutan alam Teluk Wondama sebanyak 2 pohon. Sampel diambil dari bagian pangkal (diameter setinggi dada) dan bagian ujung batang bebas cabang. Bahan lain adalah bahan finishing berpelarut air antara lain Impra aqua wood filler AWF-911, Impra aqua sanding sealer
58
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI ASS-941, Impra aqua lacquer AL-961 clear dof, dan bahan kimia rumah tangga (air panas, air dingin, kecap, cuka, saos, larutan sabun). Metode B. Pengujian Sifat Pemesinan Kayu Metode penelitian berdasarkan ASTM D-1666-64 yang dimodifikasi oleh Abdurachman dan Karnasudirdja (1982). Contoh uji, disebut contoh uji induk, dibuat dalam bentuk papan berukuran 125 cm x 12.5 cm x 2 cm sebanyak 5 lembar yang diambil dari bagian pangkal dan ujung pohon. Setiap papan dipotong berdasarkan pola pada Gambar 1. Pengujian sifat pemesinan dilakukan dengan mengamati bentuk cacat dan mengukur persentase luas cacat yang terjadi pada setiap contoh uji. Pengamatan dilakukan secara visual dengan bantuan kaca pembesar berukuran 10X. Bentuk cacat yang diamati pada masing-masing contoh uji disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1 Pola pemotongan contoh uji pemesinan kayu
Tabel 1 Sifat pemesinan dan bentuk cacat yang diamati Sifat pemesinan Penyerutan (planing)
Pembubutan (turning)
Bentuk cacat serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain), tanda chip (chip marking). serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain), tanda chip (chip mark) serat berbulu (fuzzy grain), penghancuran (crushing), kelicinan (smoothness), penyobekan (tearout) serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain), kekasaran (roughness)
Pengampelasan (sanding)
serat berbulu (fuzzy grain), bekas garukan (scratching)
Pembentukan (shaping) Pengeboran (boring)
Sumber: Abdurrachman & Karnasudirja, 1982
59
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Ukuran cacat pemesinan dinyatakan dalam persentase luas bagian permukaan kayu yang bercacat dari seluruh penampang pengujian masing-masing contoh uji. Nilai cacat diperoleh dari rata-rata seluruh contoh uji. Nilai ini kemudian digunakan untuk menetapkan besarnya nilai bebas cacat. Berdasarkan nilai bebas cacat tersebut ditentukan klasifikasi sifat pemesinan pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi sifat pemesinan Nilai bebas cacat (%)
Kelas
0 - 20 21 – 40 41 – 60 61 - 80 81 - 100 Sumber: Abdurrachman & Karnasudirja, 1982
V IV III II I
Kualitas pemesinan Sangat jelek (very poor) Jelek (poor) Sedang (fair) Baik (good) Sangat baik (very good)
B. Pengujian Sifat Finishing Kayu Contoh uji berukuran 15 cm x 5 cm x 2 cm. Perlakuan persiapan sebelum pengujian yaitu pengecatan sesuai prosedur aplikasi. Bahan finishing menggunakan cat Impra berbahan dasar air (waterbased finising system). Pengujian keawetan lapisan cat terhadap bahan kimia rumah tangga adalah dengan mengaplikasikan air panas, air dingin, saos, kecap, cuka, minyak goreng, larutan sabun ke atas permukaan sampel kayu (ASTM D 1308-02) kemudian diamati perubahan warna dan fenomena lainnya secara kualitatif, masing-masing selama 15 menit, 1 jam dan 16 jam. Pengujian keawetan atau daya lekat bahan finishing terhadap kayu (ASTM D 3359-02) dilakukan dengan membuat sayatan menggunakan pisau cutter ukuran 2 mm x 2 mm pada permukaan kayu. Pada permukaan tersebut ditempelkan tape semi transparan, ditekan sehingga seluruh permukaan tape melekat secara sempurna. Setelah 90 detik, tape dilepas dan dievaluasi pengelupasan lapisan catnya sesuai dengan klasifikasi pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi hasil pengujian daya rekat cat Klasifikasi
Persentase area yang terkelupas (%)
5B 4B
Tidak ada 5% 5 - 15%
3B 2B 1B 0B Sumber: ASTM D 3359-02
15 - 35% 35 - 65% > 65% Hasil dan Pembahasan
C. Sifat Pemesinan Kayu Bentuk-bentuk cacat yang diamati pada masing-masing sifat pemesinan disajikan pada Tabel 4. Cacat utama yang timbul pada proses pengerjaan kayu (pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pembubutan dan pengeboran) terutama jenis cacat bulu halus, sedangkan cacat lainnya berupa serat patah, bekas garukan dan kekasaran.
60
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 4 Cacat yang timbul pada proses pengerjaan kayu Sifat pemesinan
Cacat Kayu
Pengetaman
Pembentukan
Pengampelasan
Pembubutan
Pemboran
Serat menonjol
-
-
-
-
-
Serat bulu halus
√
√
√
√
√
Serat patah
√
-
-
√
-
Tanda chips
-
-
-
-
-
Bekas garukan
-
-
√
-
-
Kekasaran
-
-
-
√
-
Penghancuran
-
-
-
-
-
Kelicinan
-
-
-
-
-
Penyobekan
-
-
-
-
-
Sifat pemesinan yang erat hubungannya dengan berat jenis kayu terutama adalah sifat pembubutan, pengetaman dan pengeboran (Rachman dan Balfas 1985). Secara anatomis, semakin tinggi berat jenis kayu, maka semakin tebal dinding sel kayu, mengakibatkan kayu semakin keras. Hal ini menyebabkan kayu makin sukar dipotong, dibelah maupun dibubut. Namun demikian, berat jenis yang terlalu rendah juga cenderung menurunkan kualitas pengetaman, pembubutan, pemboran dan pengampelasan. Serat bulu halus terjadi pada kayu maniani disebabkan oleh arah serat kayu yang bergelombang. Kandungan silika pada kayu dan produk kompositnya juga sangat berpengaruh terhadap proses pengerjaan kayu khususnya proses pemesinan karena dapat menyebabkan aus pisau dan mata gergaji sehingga perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Kualitas pengerjaan kayu maniani dapat dilihat dari hasil evaluasi sifat pemesinan seperti pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa sifat pemesinan kayu maniani termasuk dalam Kelas I - II, sehingga kayu ini sangat cocok untuk dipergunakan sebagai bahan kerajinan, furniture maupun produk moulding. Sifat pemesinan kayu yang baik ditunjang pula oleh berat jenis kayu sehingga kayu cukup ringan, serat yang lurus, dan tekstur kayu yang halus. Kualitas produk yang dihasilkan juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan mesin produksi yang canggih dan operator yang terampil. Jenis kayu maniani termasuk dalam jenis kayu maple. Menurut Hoordwood (2003) jenis-jenis kayu maple pada umumnya berwarna coklat terang dengan corak yang menarik dan mudah difinishing. Jenis-jenis maple juga tergolong kayu serbaguna yang sangat baik dalam semua aspek pengerjaan kayu. Tabel 5 Sifat pemesinan kayu maniani Diameter batang (cm) 50 60
Bagian batang
Kelas Mutu Ketam
Bentuk
Ampelas
Bubut
Bor
Pangkal
II (Baik)
II (Baik)
II (Baik)
II (Baik)
II (Baik)
Ujung
II (Baik)
I (Sangat Baik)
I (Sangat Baik)
II (Baik)
II (Baik)
Pangkal
II (Baik) II (Baik)
I (Sangat Baik) I (Sangat Baik)
I (Sangat Baik) I (Sangat Baik)
II (Baik) II (Baik)
II (Baik) II (Baik)
Ujung D. Sifat Finishing Kayu
Permukaan kayu maniani sebelum dan sesudah diaplikasi menggunakan bahan finishing masingmasing seperti pada Gambar 2a dan 2b. Aplikasi bahan finishing (cat) pada permukaan kayu menghasilkan permukaan yang lebih halus, mengkilap, dan tekstur kayu yang lebih menarik. Selain itu finishing sebagai
61
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI kegiatan melapisi permukaan suatu produk kayu dengan bahan pelapis tertentu dapat memberikan perlindungan dan peningkatan nilai keindahan serta membuat permukaan kayu mudah dibersihkan (Williams 2010).
Gambar 2 Tampilan kayu sebelum (a) dan setelah (b) difinishing Hasil pengujian sifat finishing kayu pada Tabel 6 menampilkan daya tahan bahan finishing setelah diberi perlakuan bahan kimia rumah tangga (air panas, air dingin, kecap, saus, cuka, sabun dan minyak goreng). Dari Tabel 6 diketahui bahwa perlakuan waktu 15 menit, bahan kimia rumah tangga seperti air panas, air dingin, kecap, saos tomat, cuka dan sabun tidak merusak lapisan cat. Larutan cuka menimbulkan kerusakan setelah perlakuan wakyu 16 jam. Saus tomat dan sabun menimbulkan pewarnaan dan pengelupasan lapisan cat pada perlakuan waktu 1 dan 16 jam Cacat terparah pada perlakuan waktu 16 jam. Cacat yang terjadi ini mengindikasikan adanya reaksi antara cat dengan bahan kimia tersebut sehingga menyebabkan perubahan atau kerusakan struktur kimia bahan finishing (cat). Umumnya cat kayu berbahan dasar air akan lebih mudah larut dibanding cat berbahan dasar minyak. Jenis finishing berpelarut air paling populer akhir-akhir ini bagi para konsumen. Bahan finishing ini terbuat dari ekstender, bahan pewarna, dan emulsi akrilik dengan bahan pelarut air. Dalam proses pengecatan, air akan menguap dan resin akan tertinggal di permukaan kayu. Walaupun proses pengeringannya lebih lama dari jenis bahan finishing yang lain karena penguapan air jauh lebih lambat daripada penguapan alkohol ataupun thinner, namun kualitas lapisan film yang diciptakan tidak kalah baik kualitasnya dengan nitrocellulose atau melamine. Bahkan sekarang sudah ada jenis waterbased lacquer yang tahan goresan. Keuntungan utama yang diperoleh dari bahan jenis ini adalah ramah lingkungan. Bahan finishing 100% bebas kandungan formaldehida, tidak berbau tajam, dan diformulasikan tanpa
50 cm
Tabel 6 Hasil pengujian lapisan finishing dengan bahan kimia rumah tangga Evaluasi Hasil Uji Bahan Kimia Rumah Tangga (ASTM D 1308-02) (Perlakuan Waktu) Air Panas & Kecap Saus Tomat Cuka Sabun Dingin Bgn. Btg
Diameter Batang
mengandung logam berat yang dapat membahayakan kesehatan manusia (www.propanraya.com).
Pangkal Ujung 60 cm Pangkal Ujung Keterangan: o
1
2
3
1
2
3
1
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
= pewarnaan ringan
2 o o o o x
oo = pewarnaan berat
3 oo oo oo oo
1 √ √ √ √
2 √ √ √ √
3 x x x x
= lapisan cat berubah warna
xx = lapisan cat mengelupas
√
= lapisan cat tidak mengalami perubahan
*
= (1) waktu uji 15 menit (2) waktu uji 1 jam (3) waktu uji 16 jam
62
1 x x x x
2
3
xx xx xx xx
xx xx xx xx
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pengujian menggunakan metode crosscut bertujuan untuk mengevaluasi kerusakan lapisan cat secara mekanis.
Hasil uji crosscut menunjukkan bahwa daya rekat cat terhadap kayu sangat kuat sehingga
menghasilkan kelas mutu yang terbaik (5B), yaitu kerusakan yang ditimbulkan akibat pengujian kekuatan bahan lapisan cat terhadap goresan sebesar kurang dari 5% - 0% (Tabel 7). Tabel 7 Hasil uji gores (crosscut) pada lapisan finishing (ASTM D 3359-02) Diameter Batang
Bagian batang
Kelas mutu uji cross cut
Pangkal Ujung Pangkal Ujung
5B 5B 5B 4B-5B
50 cm 60 cm
Kesimpulan Sifat pemesinan kayu maniani yang terdiri dari pengetaman, pembubutan dan pemboran tergolong baik, sedangkan pembentukan dan pengamplasan sangat baik. Bahan finishing berbahan dasar air menghasilkan kualitas finishing yang cukup baik. Ketahanan lapisan finishing terhadap bahan kimia rumah tangga secara umum baik kecuali ketahanan terhadap larutan sabun dan saus. Daya rekat bahan finishing sangat baik. Daftar Pustaka Abdurrachman AJ, Karnasudirja S. 1982. Sifat Pemesinan Kayu-Kayu Indonesia. Laporan BPHH No. 160. Badan Penelitian Hasil Hutan. Bogor. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. Annual Book of ASTM Standard. Volume 04.10, Wood. D 1308-02. Standard Test Method for Effect of Household Chemicals on Clear and Pigmented Organic Finishes. USA: ASTM [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. Annual Book of ASTM Standard. Volume 04.10, Wood. D 3359-02. Standard Test Methods for Measuring Adhesion by Tape Test. USA: ASTM. Horwood R. 2003. The Woodworker’s Handbook. New Holland Pub. LTD. Rahman O, Balfas J. 1985. Sifat Pemesinan 34 Jenis Kayu dari Maluku dan Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 2 (3) pp 27-36. Williams RS. 2010. Chapter 16. Finishing of Wood. 2010. Di dalam Forest Products Laboratory. Wood Handbook: Wood as an engineering material. General Technical Report FPL-GTR-190. Madison, WI: U.S.
63
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Karakteristik Struktur Anatomi Kayu Tarik dan Kayu Opposite pada Kayu Balik Angin (Alphitonia excelsa A. Cunn.ex Fenzl ) Sarah Augustina1 dan Imam Wahyudi2 1Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor 16680, Indonesia E-mail:
[email protected] 2Fakultas Kehutanan IPB, Bogor 16680, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Kayu merupakan hasil metabolisme mahluk hidup (pohon) sehingga memiliki variabilitas sifat baik antar jenis, antar pohon dalam satu jenis yang sama, bahkan dalam satu batang pohon. Variabilitas sifat kayu akan semakin tinggi dengan adanya abnormalitas alami berupa kayu tarik (tension wood). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan membandingkan struktur anatomi bagian kayu tarik dan opposite, kualitas serat dan beberapa sifat fisis kayu Balik Angin (A. excelsa). Batas antara kayu juvenile dan kayu dewasa juga akan dikaji berdasarkan nilai panjang serat, kerapatan kayu dan besar sudut mikrofobrilnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik anatomi, sifat fisis, dan kualitas serat antara kayu tarik dan kayu opposite, kecuali panjang serat, tekstur, warna, orientasi serat, bau dan rasa, jari-jari, bidang perforasi, serta porositasnya. Rata-rata sudut mikrofibril pada bagian kayu tarik sebesar 23.81º, sedangkan di bagian kayu opposite sebesar 26.23º. Kadar air, kerapatan, dan BJ kayu di bagian kayu tarik cenderung lebih tinggi 6.5%, 11.63% dan 13.16% dibanding parameter yang sama pada bagian kayu opposite-nya. Kata kunci: kayu tarik, kayu opposite, kayu juvenil, Alphitonia excelsa, variabilitas sifat kayu Pendahuluan Indonesia merupakan negara megadiversity dibidang flora maupun fauna. Meskipun demikian, hingga saat ini baru 20% dari jumlah flora yang ada di Indonesia yang sudah teridentifikasi (LIPI 2009). Salah satu jenis kayu yang kurang dikenal (lesser-known spesies) dan perlu diketahui sifat-sifatnya adalah Balik Angin (Alphitonia excelsa) yang banyak tumbuh di Kalimantan. Dengan mengetahui sifat-sifat kayu, maka tujuan pemanfaatan kayu tersebut secara efektif dan efisien dapat dengan mudah ditetapkan. Salah satu sifat kayu yang perlu diketahui adalah sifat yang terkait dengan struktur anatomi kayu karena sifat lainnya (fisis, mekanis dan kimiawi kayu) sangat dipengaruhi oleh struktur anatomi sel-sel penyusun kayu. Kayu merupakan hasil metabolisme mahluk hidup (pohon) sehingga terdapat variabilitas sifat kayu baik antar jenis, antar pohon dalam satu jenis yang sama, bahkan dalam satu batang pohon. Variabilitas sifat kayu akan semakin tinggi dengan adanya abnormalitas alami pada kayu yang pada kelompok kayu daun lebar dikenal sebagai kayu tarik (tension wood). Karakteristik bagian kayu tarik berbeda dibandingkan dengan karakteristik yang sama pada bagian kayu normal dan bagian kayu opposite-nya. Mengingat penelitian terkait karakteristik kayu tarik masih jarang dilakukan apalagi terhadap kayu-kayu yang tergolong ke dalam lesser-
64
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI known spesies, maka dilakukanlah penelitian ini untuk mempelajari karakteristik struktur anatomi, sifat fisis, kualitas serat dan tujuan pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan struktur anatomi sel-sel penyusun bagian kayu tarik dan kayu opposite baik secara makroskopis maupun mikroskopis, kualitas serat dan beberapa sifat fisis kayu Balik Angin (A. excelsa). Batas antara kayu juvenil dan kayu dewasa juga akan dikaji berdasarkan nilai panjang serat, kerapatan kayu dan besar sudut mikrofobrilnya. Bahan dan Metode Alat dan Bahan Alat yang digunakan terdiri dari object glass, timbangan, waterbath, gelas ukur, penusuk kayu, oven, kuas, masker, sarung tangan, stirer, cover glass, tabung reaksi, Erlenmeyer, wadah bekas film, pipet, penangas air, kertas lakmus, cutter, mikroskop, kamera makro dan mikro serta mikrotom datar. Bahan utama yang digunakan adalah bagian kayu tarik dan kayu opposite dari kayu Balik Angin (A. excelsa) asal Kalimantan. Sampel berupa lempengan tipis (disk) dengan diameter 19 cm dan tebal 5 cm, sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah alkohol absolut, akuades, asam nitrat, ethilen, safranin, iodine, pottasium iodide, larutan schultze, KClO3, toluen, dan karboxylol.
Metode Penelitian Analisis Struktur Anatomi Kayu : Ciri anatomi kayu diamati secara makroskopis maupun mikroskopis. Ukuran sampel uji sesuai dengan riap tumbuh mulai dari empulur hingga ke arah kulit dari masing-masing bagian kayu tarik dan kayu opposite. Untuk pengamatan makroskopis digunakan semua potongan kecil kayu dari empulur ke arah kulit, sedangkan untuk pengamatan mikroskopis hanya digunakan satu potongan kecil kayu, yaitu yang berada pada lingkaran tumbuh nomor tiga (tepat ditengah-tengah). Sifat makroskopis yang diamati meliputi persentase kayu tarik, warna, kilap, tekstur, arah serat, bau dan rasa, serta kekerasan, sedangkan pengamatan sifat mikroskopis kayu mengacu pada panduan identifikasi kayu yang dibuat oleh IAWA (2008). Untuk pengamatan mikroskopis, sampel uji direbus di dalam penangas air bersuhu 80ºC hingga lunak, lalu disayat dengan menggunakan rotary mikrotom pada bidang lintang (X), radial (R), dan tangensial (T). Sayatan terbaik kemudian diwarnai dengan safranin 2% selama 6-8 jam, lalu dicuci dengan akuades hingga bebas asam dan dikeringkan dengan alkohol bertingkat, masing-masing selama 2-5 menit. Selanjutnya sayatan diletakkan pada gelas objek, direkatkan dengan ethilen, ditutup dengan gelas penutup, diberi label dan siap untuk diamati dibawah mikroskop. Pengukuran Dimensi Serat : Pengukuran dimensi serat diawali dengan proses maserasi dengan metode Schultze. Sampel yang digunakan sebesar batang korek api yang diambil dari seluruh potongan kecil kayu dari empulur ke arah kulit. Sampel uji dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan KClO3 dan larutan HNO3 50%, lalu ditutup dengan alumunium foil. Tabung reaksi selanjutnya dipanaskan beberapa menit di dalam penangas air bersuhu 60-80ºC hingga sampel berubah warna menjadi putih kekuning-kuningan, lalu diangkat, didiamkan selama beberapa saat kemudian tabung reaksi dikocok hingga serat terpisah. Serat yang telah terpisah dipindahkan ke kertas saring, dicuci dengan akuades hingga bebas asam, dan dipindahkan ke wadah bekas film untuk selanjutnya dilakukan proses pewarnaan dengan safranin 2% selama 6-8 jam. Serat yang sudah diberi warna kemudian dicuci dengan akuades dan dikeringkan bertingkat dengan alkohol mulai 30% hingga alkohol absolut, masing-masing selama 2-5 menit. Setelah itu dilakukan pengamatan dimensi serat
65
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI meliputi panjang serat, diameter lumen dan diameter serat. Tebal dinding serat dihitung melalui selisih antara diameter serat dan diameter lumen, dan dibagi dua. Dimensi serat yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung nilai turunan dimensi serat yang terdiri dari Runkel ratio, Mulsteph ratio, flexibility ratio, koefisien kekakuan dan daya tenun. Pengukuran Microfibril Angle (MFA) : Sampel uji yang digunakan berupa potongan kecil kayu dari empulur ke arah kulit. Masing-masing potongan tersebut kemudian dilunakan lalu disayat pada bidang tangensialnya (20-30 µm) menggunakan rotary mikrotom. Sayatan terpilih kemudian direndam dengan larutan Schultze selama 15 menit, lalu dicuci dengan alkohol bertingkat selama 2-5 menit. Selanjutnya sayatan diberi tetasan campuran larutan iodine, pottasium iodide dan nitrit acid 50%. Pengamatan sudut mikrofibril dilakukan dengan mikroskop menggunakan alat bantu software Image-J. Analisis Sifat Fisis Kayu : Untuk pengujian sifat fisis digunakan semua potongan kecil kayu dari empulur ke arah kulit. Sifat fisis yang diukur adalah kadar air, berat jenis dan kerapatan kayu. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Kadar Air Kadar air dihitung dengan metode Gravimetri. Sampel uji ditimbang berat awalnya (BA), lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 103±2ºC hingga konstan, kemudian ditimbang berat akhirnya (BKT). KA dihitung dengan rumus: KA = (BA – BKT) / BKT x 100% 2. Berat Jenis (BJ) BJ kayu dihitung melalui perbandingan antara berat kering tanur kayu dengan berat air yang volumenya sama dengan volume kayu dalam keadaan basah (ASTM D 2395). Sampel uji diukur volume basahnya dengan metode Archimedes lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 103±2ºC hingga konstan (BKT). Dalam penelitian ini nilai BJ kayu dihitung dengan rumus: BJ = (BKT / Volume KU) / Kerapatan Air 3. Kerapatan Kerapatan kayu merupakan perbandingan antara berat basah terhadap volume basahnya (ASTM D 2395). Dalam penelitian ini nilai kerapatan kayu dihitung dengan rumus : Kerapatan Kayu = Berat KU / Volume KU Pengolahan Data Data yang bersifat kualitatif disajikan secara deskriptif, sedangkan data yang bersifat kuantitatif disajikan dalam bentuk nilai rata-rata dan standar deviasi menggunakan sebaran t-student pada selang kepercayaan 95% dengan persamaan sebagai berikut:
Dimana: µ
: nilai tengah rata-rata
ӯ
: nilai rata-rata
66
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI : nilai sebaran t pada selang kepercayaan 95% α
: taraf nyata
df
: derajat bebas (n-1)
s
: standar deviasi
n
: jumlah pengulangan contoh uji Hasil dan Pembahasan
Identifikasi Jenis Kayu Balik Angin (A.excelsa) Alphitonia excelsa termasuk kedalam famili Rhamnaceae dengan nama daerah Balik Angin atau Balek Angin. Kayu Balik Angin merupakan jenis evergreen dengan tinggi pohon berkisar 25-35 meter dan diameter 23 cm. Umumnya tumbuh di kawasan hutan hujan tropis atau hutan campuran Eucalyptus. Menurut Doran dan Trunbull (1982), kayu Balik Angin termasuk kedalam jenis pionir yang dapat beradaptasi dengan berbagai jenis tanah dan cuaca. Persebaran jenis ini meliputi wilayah Kalimantan hingga New Zeland dan Australia.
Gambar 1 Daun, Bunga dan Buah Kayu Balik Angin (A. excelsa) Sumber: Australia National Herbarium (2013) Karakteristik Anatomi Bagian Kayu Tarik Sifat Makroskopis dan Mikroskopis Sifat makroskopis (Gambar 2) bagian kayu tarik dari kayu Balik Angin yang diteliti adalah sebagai berikut: warna coklat muda, ada tilosis, permukaan kayu mengkilap dan licin, tekstur kasar, berserat lurus, tidak memiliki bau dan rasa yang khas, tergolong lunak dengan permukaan yang berserabut (wolly surface). Sifat mikroskopisnya (Gambar 3) adalah: Lingkar tumbuh: jelas. Pembuluh: porositas semi tata-lingkar, sebaran pembuluh didominasi pola diagonal hingga radial dengan diameter lumen rata-rata 93.57±22.54 μm, penyebaran pori sebagian besar soliter dan beberapa bergabung radial 4 sel. frekuensi 10.60±3.38 per mm2, panjang rata-rata 539±103.5 μm, bidang perforasi sederhana, memiliki tilosis, ceruk antar pembuluh berbentuk tangga sampai berhadapan dan dijumpai juga susunan selang-seling, berukuran sangat kecil 4±1.4 μm, tidak berumbai, percerukan pembuluh dengan jari-jari berhalaman jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim: aksial paratrakeal jarang dan vaskisentrik serta apotrakeal tersebar dalam kelompok dengan panjang untai 3-8 per untai. Jari-jari: lebar 1-2 seri, 1 ukuran, didominasi oleh sel baring dan beberapa sel baring dan sel tegak bercampur, tinggi rata-rata 279±137 μm, frekuensi 30 sel per mm. Serat: bersekat dengan ceruk berhalaman, ketebalan dinding sel sedang, panjang rata-rata 1068.80±124.45 μm, diameter rata-rata 25.71±4.81 μm, diameter lumen 12.47±3.20 μm, dan tebal dinding 6.61±2.63 μm. Saluran interseluler: tidak ada. Inklusi mineral: tidak ditemukan.
67
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
A
B
C Gambar 2 Foto Makroskopis Bagian Kayu Tarik Keterangan: A) Bidang Lintang; B) Bidang Tangensial; C) Wolly Surface
A
C
B
Gambar 3 Foto Mikroskopis Bagian Kayu Tarik Keterangan: A) Bidang Lintang (10x); B) Bidang Radial (10x); C) Bidang Tangensial (20x) Karakteristik Anatomi Bagian Kayu Opposite Sifat Makroskopis dan Mikroskopis Sifat makroskopis (Gambar 4) bagian kayu opposite dari kayu Balik Angin yang diteliti adalah sebagai berikut: berwarna coklat muda, memiliki tilosis, permukaan kayu agak mengkilap, bertekstur kasar, berserat lurus, tidak memiliki bau dan rasa yang khas dan tergolong lunak. Sifat mikroskopisnya (Gambar 5) adalah Lingkar tumbuh: tidak jelas. Pembuluh: porositas semi tata-lingkar, sebaran pembuluh didominasi pola diagonal hingga radial dengan diameter lumen rata-rata 85.76±23.41 μm, penyebaran pori sebagian besar soliter dan beberapa bergabung radial 4 sel. frekuensi 11.71±3.70 per mm2, panjang rata-rata 554.6±125.4 μm, bidang perforasi sederhana, memiliki tilosis, ceruk antar pembuluh berbentuk tangga sampai berhadapan dan dijumpai juga susunan selang-seling, berukuran sangat kecil 4±1.1 μm, tidak berumbai, percerukan pembuluh dengan jari-jari berhalaman jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim: aksial paratrakeal jarang dan vaskisentrik serta apotrakeal tersebar dalam kelompok dengan panjang untai 3-8 per untai. Jari-jari: lebar 1-2 seri, 1 ukuran, didominasi oleh sel baring dan beberapa sel baring dan sel tegak bercampur, tinggi rata-rata 277±88.5 μm, frekuensi 27 sel per mm. Serat: bersekat dengan ceruk berhalaman, ketebalan dinding sel sedang, panjang rata-rata 1066.24±104.98 μm, diameter rata-rata 25.45±4.17 μm, diameter lumen 12.5±3.08 μm, dan tebal dinding 6.47±1.86 μm. Saluran interseluler: tidak ada. Inklusi mineral: tidak ditemukan.
A
B
Gambar 4 Foto Makroskopis Bagian Kayu Opposite Keterangan : A : Bidang Lintang; B : Bidang Tangensial
68
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
A
B
C
Gambar 5 Foto Mikroskopis Bagian Kayu Opposite Keterangan : A : Bidang Lintang (10x); B : Bidang Radial (10x); C : Bidang Tangensial (10x) Panjang Serat Bagian Kayu Tarik dan Bagian Kayu Opposite Panjang serat pada bagian kayu tarik relatif sama dengan panjang serat di bagian kayu opposite-nya. Rata-rata panjang serat pada bagian kayu tarik sebesar 1068.95 μm, sedangkan di bagian kayu opposite sebesar 1066.24 μm. Panjang serat bagian kayu tarik dan bagian kayu opposite termasuk ke dalam kategori intermediate. Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa semakin ke arah kulit panjang serat cenderung
Panjang Serat (µm)
meningkat.
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Kayu Tarik Kayu Opposite
1
2 3 4 riap tumbuh
5
Gambar 6 Perbandingan Panjang Serat Kayu Tarik dan Kayu Opposite Hasil analisis keragaman pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pada bagian kayu tarik, riap tumbuh tidak berpengaruh nyata terhadap panjang serat, sedangkan pada bagian kayu opposite berpengaruh nyata.
A
B
Gambar 7 Serat pada Bagian Kayu Tarik (A) dan Bagian Kayu Opposite (B) Sudut Mikrofibril Bagian Kayu Tarik dan Bagian Kayu Opposite Nilai sudut mikrofibril pada bagian kayu tarik berbeda bila dibandingkan dengan sudut mikrofibril di bagian kayu opposite-nya. Rata-rata sudut mikrofibril pada bagian kayu tarik sebesar 23.81º, sedangkan di bagian kayu opposite sebesar 26.23º. Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa semakin ke arah kulit, sudut mikrofibril di bagian kayu tarik cenderung menurun, sedangkan pada bagian kayu opposite-nya cenderung meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yoshida et al (2000) dalam Donaldson (2008) dimana pada umumnya sudut mikrofibril cenderung lebih rendah pada lapisan gelatinous, sedangkan sudut mikrofibril akan cenderung meningkat di bagian kayu opposite hingga mencapai sudut 400 (Washusen et al 2005 dalam Donaldson 2008). Selain itu nilai MFA pada bagian kayu tarik dan kayu opposite mengalami fluktuasi dari
69
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI empulur hingga ke arah kulit. Hal ini diduga karena umur kambium pada setiap riap tumbuh berbeda sehingga menyebabkan nilai MFA juga berfluktuasi (Donaldson 2008). Meskipun demikian, hasil analisis keragaman pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa riap tumbuh baik pada kayu tarik maupun kayu opposite tidak berpengaruh nyata terhadap nilai sudut mikrofibril. sudut mikrofibril (o)
40 30
kayu tarik
20
kayu opposite
10 0 1
2
3 4 riap tumbuh
5
Gambar 8 Sudut Mikrofibril di Bagian Kayu Tarik dan Bagian Kayu Opposite Sifat Fisis Kayu di Bagian Kayu Tarik dan Kayu Opposite Kadar Air Rata-rata nilai kadar air kayu di bagian kayu tarik sebesar 11.53%, sedangkan di bagian kayu opposite sebesar 10.91%. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai kadar air kayu di bagian kayu tarik cenderung lebih tinggi 6.5% dibanding kayu opposite-nya. Hal ini berkaitan dengan ukuran diameter dan tebal dinding sel yang ada. Menurut Bowyer et al. (2003), kadar air kayu dipengaruhi oleh porsi dan macam sel penyusun termasuk tebal-tipis dinding sel dan porsi rongga sel, serta kandungan zat ekstraktif. Hasil analisis keragaman pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pada bagian kayu tarik kadar air tidak dipengaruhi oleh riap tumbuh, sedangkan pada bagian kayu opposite kadar air dipengaruhi oleh riap tumbuh. Hal ini diduga karena parameter yang berpengaruh terhadap kadar air bukan hanya riap tumbuh tetapi lebih pada keberadaan jaringan kayu tarik yang membuat sel penyusun kayu termasuk dinding serat berkembang secara tidak normal.
kadar air (%)
12.00 11.50 11.00
kayu opposite
10.50 10.00 1
2 3 4 5 riap tumbuh
Gambar 9 Perbandingan Kadar Air Kayu Tarik dan Kayu Opposite Kerapatan dan Berat Jenis Rata-rata nilai kerapatan dan BJ kayu di bagian kayu tarik sebesar 0.48 g/cm 3 dan 0.43, sedangkan di bagian kayu opposite sebesar 0.43 g/cm3 dan 0.38. Dengan demikian maka kerapatan dan BJ kayu di bagian kayu tarik cenderung lebih tinggi sebesar 11.63% dan 13.16% dibanding pada bagian kayu opposite-nya. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa semakin ke arah kulit nilai kerapatan dan BJ kayu di bagian kayu tarik cenderung lebih tinggi dibanding kayu opposite. Menurut Tsoumis (1991), tingginya nilai kerapatan dan BJ kayu di bagian kayu tarik disebabkan oleh adanya lapisan gelatinous (G-layer) yang menggantikan lapisan S2 dan S3 dalam dinding sekunder saat batang dalam kondisi miring. Hasil analisis keragaman pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa kerapatan dan BJ kayu pada bagian kayu tarik dipengaruhi oleh riap tumbuh, sedangkan pada bagian kayu opposite tidak. Adanya pengaruh nyata dari masing-masing riap tumbuh
70
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI diduga terkait dengan perbedaan kadar air, zat ektraktif dan tingkat kedewasaan sel penyusun kayu pada tiap riap tumbuh (Mitha 2011). kerapatan (g/cm3)
0.80 0.60
kayu opposite kayu tarik
0.40 0.20 0.00
berat jenis
1
2 3 4 riap tumbuh
5
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
kayu opposite kayu tarik
1
2 3 4 riap tumbuh
5
Gambar 10 Nilai Kerapatan dan Berat Jenis Kayu di Bagian Kayu Tarik dan Bagian Kayu Opposite Batas Antara Kayu Juvenile dan Kayu Dewasa Parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui batas antara bagian kayu juvenile dan kayu dewasa adalah panjang serat, kerapatan, dan sudut mikrofibril. Berdasarkan panjang serat dan nilai kerapatan kayu (Gambar 11) terlihat trend yang cenderung meningkat mulai empulur hingga ke arah kulit. Hal ini menandakan bahwa kayu masih berada dalam periode juvenil. Menurut Bowyer et al. (2003); Wahyudi dan Ahmad (2005), apabila nilai kerapatan kayu dan panjang serat cenderung terus meningkat dari empulur hingga ke arah kulit
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 0
2 4 riap tumbuh
kerapatan (g/cm3)
panjang serat (µm)
menandakan bagian tersebut masih kayu juvenile.
6
Gambar 11 Perbandingan Panjang Serat dan Kerapatan Keterangan:
= kerapatan;
= panjang serat
Berdasarkan nilai kerapatan dan sudut mikrofibril (Gambar 12) dapat dikatakan bahwa kayu Balik Angin yang diteliti masih tergolong kayu juvenil karena nilai kedua parameter yang diamati masih cenderung berubah (belum konstan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Cave (1968) dalam Hein et al. (2011) dan
71
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Donaldson (2007) yang menyatakan bahwa penurunan sudut MFA dari empulur hingga ke arah kulit dan meningkatnya nilai kerapatan kayu menandakan belum terbentuknya bagian kayu dewasa. 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
kerapatan (g/cm3)
sudut mikrofibril (o)
28.00 27.00 26.00 25.00 24.00 23.00 0
2 4 riap tumbuh
6
Gambar 12 Perbandingan Sudut Mikrofibril dan Kerapatan = kerapatan;
= sudut mikrofibril
panjang serat (µm)
1500
28.00 27.00
1000
26.00 25.00
500
24.00
0
23.00 0
2 4 riap tumbuh
sudut mikrofibri (o)
Keterangan:
6
Gambar 13 Perbandingan Sudut Mikrofibril dan Panjang Serat Keterangan:
= sudut mikrofibril;
= panjang serat
Berdasarkan ketiga parameter yang diamati dapat dikatakan bahwa kayu Balik Angin yang diteliti masih berada pada periode juvenil karena belum menunjukkan nilai yang konstan. Menurut Bowyer et al. (2003); Rulliaty (2007), kayu dewasa dapat dicirikan dengan perubahan nilai yang sangat rendah (konstan). Lamanya periode juvenil bervariasi menurut jenis pohon (Haygreen dan Bowyer 1989). Kemungkinan Penggunaan Kayu Secara Efektif dan Efisien Berdasarkan data sifat fisis, anatomi termasuk kualitas serat dapat dilihat kemungkinan penggunaan kayu secara efektif dan efisien. Dari Tabel 1 diketahui bahwa kualitas serat pada seluruh bagian kayu Balik Angin yang diteliti termasuk ke dalam kelas mutu III dengan total nilai 200. Ini menandakan bahwa kayu Balik Angin yang diteliti kurang cocok dijadikan sebagai bahan baku pulp dan kertas karena akan menghasilkan lembaran kertas dengan sifat yang kurang baik. Adanya corak dekoratif pada kayu ini memungkinkannya sebagai bahan baku industri mebel, furnitur, dan kerajinan apalagi mengingat warna kayu yang cerah. Dari nilai BJ kayu, kedua bagian kayu (tarik dan opposite) cocok untuk tujuan konstruksi ringan karena tergolong ke dalam Kelas Kuat III dan IV. Keberadaan kayu juvenile mengarahkan pemanfaatan kayu ini ke bidang wood composite. Menurut Bowyer et al (2003), menyebutkan bahwa pemanfaatan kayu juvenile sebagai bahan baku flakeboard, particleboard, dan fiberboard dapat menghasilkan kekuatan dan keawetan yang sama dengan kayu komposit dari kayu dewasa. Sama seperti pada kedua gambar diatas, berdasarkan nilai panjang serat dan sudut mikrofibril (Gambar 18) dapat disimpulkan bahwa kayu Balik Angin yang diteliti belum membentuk bagian kayu dewasa.
72
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1 Rata-rata dimensi, nilai turunan dan kelas mutu serat serta kelas kuat danbeberapa sifat fisik kayu Bagian Kayu Kriteria
Tarik
Opposite
Nilai
Scoring
Nilai
Scoring
Panjang serat
1068.8
50
1066.24
50
Runkel Ratio
1.23
25
1.14
25
Felting Power
43.07
25
43.62
25
Muhlsteph Ratio
73.51
25
74.02
25
Flexibility Ratio Coeficien of Rigidity
0.50 0.25
50 25
0.50 0.25
50 25
Total Nilai
200
200
Kelas Mutu
III
III
Warna
Terang
Terang
Corak
Ada
Ada
Berat Jenis
0.43
0.38
Kelas Kuat Kayu
III
IV
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik anatomi, sifat fisis, dan kualitas serat antara kayu tarik dan kayu opposite, kecuali panjang serat, tekstur, warna, orientasi serat, bau dan rasa, jari-jari, bidang perforasi, serta porositasnya. Panjang serat pada bagian kayu tarik relatif sama dengan panjang serat di bagian kayu opposite. Sudut mikrofibril kayu opposite cenderung lebih besar dibanding kayu tarik. Nilai kerapatan dan BJ kayu di bagian kayu tarik cenderung lebih tinggi sebesar 11.63% dan 13.16% dibanding pada bagian kayu opposite. Kualitas serat kayu Balik Angin termasuk ke dalam Kelas Mutu III sehingga kurang cocok dijadikan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Dengan corak kayu yang dekoratif, maka kayu Balik Angin berpotensi sebagai bahan baku mebel, furnitur, dan kerajinan ditambah lagi warna kayu yang terang. Dengan Kelas Kuat III-IV memungkinkan kayu ini digunakan sebagai bahan baku konstruksi ringan. Daftar Pustaka ASTM D 2395-07 a. Standard Test Methods for Specific Gravity of Wood-Based Material. New York: Amerika Standard for Testing and Material. Australian National Herbarium. 1976. Information about Australia’s Flora Growing Native Plants. Canberra (AU): Australian National Herbarium. Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar, Terjemahan [Third Edition]. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Donaldson L. 2008. Microfibril Angle: Measurement, Variation and Relationships. New Zeland: Cellwall Biotechnology Centre. Doran JC, Turnbull JW. 1982. Australian Trees and Shurbs : Spesies for Land Rehabilitation and Farm Planting in The Tropics. Canberra (AU): ACIAR. Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar, Terjemahan [Third Edition]. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hein PRG dan Brancheriau L. 2011. MFA vs density in Eucalyptus. Biores Technol. Vol 6 (3): 3352-2262 IAWA. 2008. Identifikasi Kayu : Ciri Mikroskopis Untuk Identifikasi Kayu Daun Lebar. Bogor (ID): Pustekolah.
73
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI [LIPI] Lembaga Ilmu Pendidikan Indonesia. 2009. Jumlah Spesies Tumbuhan di Indonesia. Jakarta (ID): LIPI. Mitha FS. 2011. Pengaruh Jenis Kayu dan Bagian Batang Terhadap Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Perdagangan Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Rulliaty S. 2007. Karakteristik kayu muda pada mangium (acacia mangium willd.) Dan kualitas pengeringannya. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood Structure, Properties Utilization. New York. Wahyudi I dan Ahmad FA. 2005. Perbandingan struktur anatomi, sifat fisis, dan sifat mekanis kayu jati unggul dan kayu jati konvensional. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol 3(2) : 9-15.
74
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
SIFAT FINISHING KAYU JATI SETELAH PERLAKUAN PANAS Tibertius Agus Prayitno, Rysha Ayu Mayang Sari dan Ragil Widyorini*) Laboratorium Penggergajian dan Papan Majemuk (Komposit], Jurusan THH Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta;
[email protected] ABSTRAK Hutan rakyat saat ini menjadi sumber alternatif yang menjanjikan bagi kebutuhan kayu di Indonesia. Potensi hutan rakyat pada tahun 2003 mencapai 1.560.299 ha dengan potensi produksi kayu mencapai 39.564.003 m 3. Hutan rakyat biasanya dipanen pada umur relatif muda, sehingga kualitas kayu relatif rendah. Oleh karenanya diperlukan suatu tindakan atau perlakuan untuk peningkatan kualitas kayu tersebut. Upaya peningkatan kualitas kayu dapat dilakukan dengan teknologi modifikasi yang mampu mengurangi berbagai kelemahan kayu seperti perubahan dimensi yang besar, serangan organisme perusak, dan degradasi akibat cuaca. Salah satu modifikasi kayu yang dapat digunakan adalah proses perlakuan panas.Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu jati rakyat umur muda dengan perlakuan panas sehingga sifat fisika dan finishing baik. Untuk mendapatkan sifat dan kualitas finishing kayu yang optimum, dilakukan percobaan dengan RAL dengan variasi pada metode dan lama perlakuan panas. Penelitian dirancang dalam percobaan faktorial dua faktor dengan masing-masing faktor 3 aras dan 3 ulangan. Pengujian sifat finishing meliputi Coin test, Cross cut test, dan Delamination test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara faktor cara pemanasan dan lama pemanasan berpengaruh sangat nyata pada delaminasi dan berpengaruh nyata pada cross cut test. Delaminasi tertinggi terjadi pada perebusan selama 2 jam, sedangkan delaminasi terendah pada oven selama 3 jam. Nilai cross cut tertinggi dihasilkan oleh cara steaming 2 jam dan yang terendah cara oven 2 jam. Kata Kunci : perlakuan panas, kayu jati, finishing quality PENDAHULUAN Hutan rakyat saat ini mulai menjadi sumber alternatif yang menjanjikan bagi kebutuhan kayu di Indonesia. Potensi hutan rakyat pada tahun 2003 mencapai 1.560.299 ha dengan potensi menghasilkan kayu mencapai 39.564.003 m3 (Pandit, 2004). Meskipun demikian, masa panen hutan rakyat biasanya masih pendek sehingga menghasilkan kayu relatif muda. Kualitas kayu jati pada umur muda pada umumnya relatif inferior dibanding kayu dari pohon jati tua, sehingga diperlukan suatu tindakan atau perlakuan untuk mengatasi masalah ini yang berupa peningkatan kualitas kayu tersebut. Upaya peningkatan kualitas kayu dapat dilakukan dengan memberi perlakuan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi berbagai kelemahan kayu yang memiliki kualitas rendah berupa perubahan dimensi, serangan organisme perusak, dan degradasi akibat cuaca. Salah satu perlakuan kayu yang dapat digunakan adalah proses perlakuan panas. Proses perlakuan panas pada kayu dapat meningkatkan kualitas kayu melalui pengurangan resiko cacat kayu gergajian yang ditemukan seperti melengkung, patah, adanya deposit resin di permukaan kayu serta peningkatan kekuatan, keawetan, kemudahan dalam pengerjaan dan pemotongan kayu secara akurat. Hal ini
75
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI dimungkinkan oleh terjadinya perubahan struktur anatomi sel kayu ketika proses pemanasan berlangsung. Secara umum, perlakuan panas dapat menurunkan kadar air seimbang (KAS), mengurangi emisi dari volatile organic compound (VOC), meningkatkan stabilitas dimensi, ketahanan terhadap jamur, dan membuat warna kayu menjadi lebih gelap (Esteves et al., 2007). Selain itu, perlakuan panas mampu menjadikan kayu tahan terhadap cuaca, meningkatan sifat keterbasahannya, dan menyeragamkan warna (Awoyani dan Jones, 2010). Metode perlakuan panas sangat dipengaruhi oleh waktu pemanasan dan suhu. Tingginya degradasi kayu terjadi seiring bertambahnya suhu dan lama waktu pemanasan. Namun, faktor waktu memberikan pengaruh yang lebih besar dibanding faktor suhu terhadap perubahan sifat kayu (Esteves et al., 2007). Macam metode perlakuan panas yang dilakukan, antara lain proses hidro-termal, steam injection, fully heat treatment dan lain-lain. Perlakuan panas biasanya menggunakan suhu yang relatif tinggi atau uap bertekanan tinggi. Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan berdasarkan peralatan, kemudahan aplikasi maupun efek yang ditimbulkan dalam rangka perbaikan kualitas kayu. Perlu dicari suatu metode pemanasan untuk peningkatan kualitas kayu namun tetap dapat memberikan kekuatan finishing yang optimal. Perlakuan panas dengan metode oven dilakukan pada kayu spruce oleh Pavlo dan Niemz (2003) dalam Kocaefe et al. (2008) dengan hasil bahwa temperature tinggi dan lama waktu perlakuan membuat warna menjadi gelap, meningkatkan stabilitas dimensi, tapi mengakibatkan kemunduran sifat mekanikanya. Peningkatan stabilitas dimensi akibat perlakuan panas dikarenakan degradasi hemiselulosa sehingga menurunkan penyusutan dan pengembangan kayu. Perlakuan panas dengan suhu 220°C selama 1 jam dapat mengurangi pengembangan tebal sebesar 16,5%, dan menurunkan berat jenis sebesar 7,91% yang diikuti dengan menurunnya keteguhan patah (MoR) sebesar 2,3%. Peningkatan waktu menjadi 2 jam mengakibatkan penurunan keteguhan patah yang lebih besar, disisi lain stabilitas dimensi menjadi lebih baik. Perlakuan panas dengan penguapan (steaming) yang dilakukan oleh Varga dan Zee (2008) pada kayu Eropa yaitu black locust (Robinia pseudoacacia), oak (Quercus robur) dan kayu tropis yaitu merbau (Intsia bijuga), sapupuira (Hymenolobium petraeum) dengan suhu 92°C, 108°C, 115°C, 122°C dan waktu 3 jam, 7,5 jam, 20 jam menunjukkan bahwa keteguhan rekat kayu Sapupuira naik seiring kenaikan suhu. Kualitas perekatan salah satunya dipengaruhi oleh kualitas permukaannya yaitu sifat keterbasahan (wettability). Perlakuan panas yang dapat meningkatkan sifat keterbasahan kayu ini secara tidak langsung juga dapat meningkatkan kualitas perekatannya dimana pada akhirnya dapat mempengaruhi sifat finishing kayu berkaitan dengan proses aplikasi cat (coating) sebagai bahan finishing. Proses finishing merupakan pekerjaan tahap akhir dari suatu proses pembuatan produk furniture (Prayitno, 1999). Dengan tahap perlakuan finishing yang tepat akan menghasilkan produk furniture yang menarik kenampakkannya dan lebih lama (awet) dalam pemakaiannya, sesuai dengan tujuan utamanya yaitu fungsi protektif dan dekoratif (Brown, 1952). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas terhadap kualitas finishing kayu jati. Metode perlakuan panas yang digunakan adalah dengan cara perebusan, pengukusan dan pengovenan pada suhu 100°C dan lama waktunya yaitu 1 jam, 2 jam, dan 3 jam (waktu efektif). Contoh uji yang sudah melalui proses pemanasan selanjutnya diberi perlakuan proses finishing.
76
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah papan kayu jati (Tectona sp.) yang diperoleh dari hutan rakyat dengan diameter 13-23 cm dan bahan finishing yang dipilih (Anonim, 2010) berupa coating waterbased (IMPRA Aqua Lacquer AL-961 Clear Gloss). Alat penelitian berupa gergaji bundar, planner, grinder, timbangan analitik, oven pengering, alat steam, panci, kompor, desikator, kertas saring, termometer, moisturemeter, dan spray gun. B. Prosedur Penelitian 1.
Pembuatan Contoh Uji dan Perlakuan Panas Papan dipotong menjadi ukuran 1 cm x 4 cm x 20 cm. Proses termal yang dilakukan pada penelitian
ini menggunakan metode oven, kukus atau steam, dan rebus. Suhu diatur sesuai suhu pemanasan yaitu 1000C. Pemanasan dilakukan selama 1, 2 dan 3 jam waktu efektif. Setelah perlakuan semua contoh uji disesuaikan dengan kondisi ruangan laboratorium (conditioning). 2.
Proses Finishing Proses finishing contoh uji yang telah kering udara dimulai dengan pengamplasan menggunakan
kertas amplas no.#180. Selanjutnya dilakukan pengisian pori dengan menggunakan wood filler dan setelah itu dilakukan pengamplasan kembali menggunakan kertas amplas no.#240. Selanjutnya dilakukan pelaburan sanding sealer dan pengamplasan dengan kertas amplas no.#400. Proses terakhir adalah pelaburan top coat. Contoh uji selanjutnya di kondisikan sampai mencapai kadar air yang seragam dan setelah itu dilakukan pengujian finishing. 3.
Pengujian Sifat Finishing
a.
Cross Cut Test Pengujian cross cut test dilakukan sesuai dengan ASTM D 3359 (Anonim, 1972). Parameter yang
diamati adalah banyaknya potongan kisi selotip yang mengelupas atau terangkat dari permukaan contoh uji. Jumlah potongan yang terangkat dinyatakan sebagai persentase kerusakan lapisan finishing atau cross cut test dengan formula sebagai berikut. Cross cut test = Jumlah lapisan finishing yang mengelupas x 100% 100
Nilai 5 4 3 2 1
Tabel 1. Parameter Pengujian Cross Cut Test Keterangan Parameter Pengujian Sangat Baik Sisi lapisan cat yang digores sangat halus dan tidak ada lapisan yang mengelupas Baik Ada keretakan kecil pada bekas sayatan cutter dan kerusakan lapisan <5% Cukup Kerusakan di sepanjang sayatan dan di dalam kotak sayatan, kerusakan lapisan 5-15% Kurang Kerusakan di sepanjang sayatan dan beberapa kotak terlepas, kerusakan lapisa 15-35% Jelek Kerusakan di seluruh bekas sayatan terjadi hampir di seluruh kotak, kerusakan lapisan >65%
Sumber : Anonim (1995)
77
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI b.
Delamination Test Pengujian delamination test dilakukan sesuai dengan standar SNI 01 – 5008.2 – 1999 tipe interior I
(Anonim, 1999). Parameter yang diukur adalah luas lapisan finishing yang mengelupas atau delaminasi. Rasio luas lapisan finishing yang mengelupas terhadap luas contoh uji dihitung menggunakan formula berikut. Rasio luas terdelaminasi (%) = Luas lap. finishing yang mengelupas x 100% Luas contoh uji c.
Coin Test Pengujian ini dilakukan sesuai standar pengujian dari PT. Sunjaya Coating Perdana di Surabaya,
karena untuk mengetahui tingkat fleksibilitas lapisan finishing sementara ini belum ada Standar Internasional maupun Standar Nasional Indonesia (Anonim, 1995). Parameter pengujian coint test ditunjukkan pada Tabel 1 di bawah ini: Nilai 5
Keterangan Sangat Baik
4
Baik
3 2 1
Cukup Kurang Jelek
Tabel 2. Parameter Pengujian Coin Test Parameter Pengamatan Tidak berwarna putih dan sangat fleksibel dengan tanda tidak berbunyi getas sewaktu digores Tidak berwarna putih dan cukup fleksibel, bunyi yang ditimbulkan sangat pelan dan cenderung kenyal Sedikit berwarna putih dan cukup berbunyi saat digores Timbul warna putih dan cukup berbunyi saat digores Lapisan hancur berkeping-keping saat digores
Sumber : Anonim (1995)
HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel sifat finishing (kuantitatif) kayu jati rakyat yang telah diperlakukan dengan tiga metode pemanasan kayu yaitu cara oven, cara kukus dan cara rebus disajikan pada Tabel 3, sedangkan data kualitatif dari parameter uji Cross cut dan Coin Test disajikan pada Tabel 4. Analisis varians data kuantitatif uji Cross Cut dan Delaminasi disajikan pada Tabel 5. Analisis parameter pengujian Cross Cut dan parameter pengamatan Coin Test tidak dilakukan analisis varians. Tabel 3. Rata-rata Nilai Cross Cut Test, Delamination Test dan Coin Test Variabel
Metode 1jam
Cross Cut Test
Oven
Lama Pemanasan (jam) 2jam 3jam
1,35
0,15
1,81
0,15
8,00
0,15
1,33 0,94
2,67 3,61
0,27 0,74
2,29
0,86
0,41
0,85
1,62
1,20
1,63 1,59
2,88 1,79
2,11 1,24
2,15
1.76 1,19 1,22
Kukus
2,21
Rebus Rata-rata
1,10
1.42
Rebus
Uji Delaminasi
Kontrol
2,77
Kukus
Rata-rata Oven
Rata-rata
78
1,54
2,58
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 4. Data Kualitatif Paramater Pengujian Cross Cut dan Pengamatan Uji Coin Parameter Metode Lama Pemanasan 1jam 2jam 3jam Cross Cut Test Oven Baik Baik Baik Parameter*) Kukus Baik Cukup Baik Rebus Sangat Baik Baik Baik Dominan Baik Baik Baik Coin Test Parameter*)
Dominan Baik Baik Baik Baik
Oven
Baik Baik
Sangat Baik
Baik
Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
Kukus
Sangat Baik
Rebus
Sangat Baik
Dominan Baik Keterangan;*) data parameter adalah data kualitatif
Sangat Baik
Tabel 5. Analisis Varians Nilai Cross Cut Test dan Delamination Test Parameter F Hitung (signifikansi) Interaksi Metode dan Lama Metode Pemanasan Pemanasan Cross Cut Test 0,032* 0,375ns Uji Delaminasi 0,000** 0,000**
Lama Pemanasan 0,056ns 0,001**
Keterangan: *) berbeda nyata; **) sangat berbeda nyata; ns: tidak berbeda nyata Keberhasilan finishing kayu dapat diamati dari banyak parameter, salah satunya kekuatan rekat bahan finishing terhadap substrat kayu. Pengujian cross cut bertujuan untuk mengetahui kekuatan rekat lapisan bahan finishing pada substrat kayu. Kekuatan ikatan bahan finishing pada permukaan kayu ditandai dengan banyaknya kisi bahan finishing yang tetap terikat pada substrat pada pengujian cross cut. Hasil rata-rata nilai cross cut test yang disajikan pada Tabel 3 menurut faktor metode pemanasan dengan oven dan lama perlakuan 1, 2 dan 3 jam diperoleh data berturut-turut adalah 1,35; 0,15 dan 1,81% dengan rata-rata 1,10%. Pemanasan dengan kukus (steam) menghasilkan data berturut-turut adalah 0,15; 8, dan 0,15% dengan rata-rata 2,77%, sedangkan cara rebus berturut-turut adalah 1,33; 2,67 dan 0,27% dengan rata-rata 1,42%. Hasil analisis varians variabel uji cross cut pada Tabel 5 menunjukkan bahwa interaksi faktor metode dan lama pemanasan menunjukkan pengaruh berbeda nyata (taraf 5%). Bila terjadi pengaruh interaksi antara faktor metode dan lama pemanasan, ini berarti bahwa dua faktor perlakuan dalam penelitian akan selalu berkombinasi atau berinteraksi dalam memberikan pengaruh pada suatu variabel penelitian. Oleh karenanya tren atau kecenderungan pengaruh (efek) faktor tunggal tidak dapat atau sangat sulit dideteksi. Dengan demikian hasil analisis varians pada Tabel 4 dengan bukti bahwa terjadi interaksi faktor metode dan lama perlakuan pemanasan kayu hanya akan memberikan kesimpulan bahwa nilai variabel cross cut yang tertinggi atau terendah diperoleh pada kombinasi perlakuan tertentu. Seperti yang diuraikan dalam cara uji cross cut, maka keberhasilan perekatan bahan finishing pada permukaan kayu ditandai dengan absennya pelepasan kisi-kisi bahan finishing. Dengan demikian makin sedikit kisi bahan finishing yang lepas makin baik perekatan bahan finishing. Oleh karenanya nilai
79
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI cross cut terendah menunjukkan keberhasilan perekatan bahan finishing. Berdasarkan data pada Tabel 3 maka nilai cross cut yang terendah dihasilkan oleh kombinasi oven dengan lama pemanasan 2 jam serta kombinasi metode kukus dan lama pengukusan 1 dan 3 jam sebesar 0,15. Nilai cross cut pada papan kayu jati yang tidak diperlakukan dengan pemanasan (kontrol) menghasilkan nilai rata-rata 2,15%. Dengan demikian metode
Persen
pamanasan kayu yang diterapkan secara garis besar mampu menekan kegagalan finishing (Gambar 1).
9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Kontrol 2,15%
1
2
3
Oven
1.35
0.15
1.81
Kukus
0.15
8.00
0.15
Rebus
1.33
2.67
0.27
Gambar 1. Variasi Nilai Cross Cut Test pada Kayu Jati Rakyat Pengujian delamination test bertujuan untuk menguji ketahanan bahan lapisan finishing terhadap perubahan kelembaban. Delaminasi ditunjukkan oleh banyaknya lapisan film bahan finishing yang mengelupas setelah dilakukan pengujian. Hasil pengujian delamination test pada Tabel 3 menunjukkan bahwa metode oven dengan lama 1, 2, dan 3 jam berturut-turut adalah 2,29, 0,86, dan 0,41%. Metode steam dengan lama 1, 2, dan 3 jam menunjukkan delaminasi berturut-turut sebesar 0,85, 1,62, dan 1,20%, sedangkan untuk cara rebus berturut-turut adalah 1,63, 2,88 dan 2,11%. Nilai rata-rata delamination test pada kontrol yaitu 2,58%. Hasil analisis varians pada Tabel 5 menunjukan bahwa interaksi cara dan lama waktu pemanasan menunjukan pengaruh yang nyata pada nilai delaminasi. Hasil ini sejalan dengan pengaruh kombinasi faktor pada cross cut test. Dengan demikian delaminasi ditentukan oleh kombinasi faktor dalam penelitian. Delaminasi yang paling kecil dihasilkan oleh kombinasi metode oven dengan lama pemanasan 3 jam serta kombinasi metode kukus dan lama pengukusan 1 jam(Gambar 2). Hal ini sejalan dengan hasil uji Cross Cut dimana metode oven dan metode kukus dengan kombinasi lama pemanasan oven dan pengukusan pada 1 dan 3 jam saja yang mampu menghasilkan sifat finishing yang paling baik
80
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 3.5 3
Kontrol: 2,58%
Persen
2.5 2 1.5 1 0.5 0
1
2
3
Oven
2.29
0.86
0.41
Kukus
0.85
1.62
1.2
Rebus
1.63
2.88
2.11
Gambar 2. Delaminasi Bahan Finishing Kayu Jati Rakyat setelah Pemanasan Data kualitatif sifat pengamatan pada kisi-kisi lapisan film bahan finishing pada pengujian cross cut menunjukkan bahwa garis iris lapisan film bahan finishing masuk kategori baik. Dominasi sifat pada seluruh metode yaitu oven, kukus dan rebus dengan tiga aras lama pemanasan yaitu 1, 2 dan 3 jam pada umumnya baik. Hasil cukup terjadi pada metode kukus 2 jam yang sejalan dengan nilai cross cut yang paling tinggi dalam penelitian sebesar 8%. Coin test dilakukan untuk mengetahui fleksibilitas (kegetasan) suatu cat terhadap substrat (kayu, besi, dan rotan) ataupun lapisan cat dibawahnya. Pengujian ini dilakukan sesuai standar pengujian dari PT. Sunjaya Coating Perdana karena untuk mengetahui tingkat fleksibilitas lapisan finishin. Sementara ini belum ada standar internasional maupun standar nasional Indonesia. Fleksibilitas adalah kemampuan lapisan finishing untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan bentuk tanpa mengalami keretakan atau kehilangan kekuatan rekatnya (Anonim, 1995). Data kualitatif parameter pengujian coin test pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tiga metode pemanasan yaitu oven, kukus dan rebus dengan lama pemanasan 1 jam menghasilkan sifat baik, tidak berwarna putih dan cukup fleksibel, bunyi yang ditimbulkan sangat pelan dan cenderung kenyal. Perpanjangan lama pemanasan pada ketiga metode yaitu oven, kukus dan rebus menghasilkan sifat sangat bagus, tidak berwarna putih dan sangat fleksibel dengan tanda tidak berbunyi getas sewaktu digores. Data kualitatif coin test pada sampel kontrol menunjukkan hasil baik. Dengan demikian perlakuan pemanasan mampu meningkatkan sifat finishing kayu jati dari hutan rakyat. Berdasarkan dominansi hasil pengujian coin test, maka dapat dilihat bahwa metode kukus dan rebus mampu menurunkan sifat kegetasan lapisan finishing lebih baik dibandingkan dengan metode oven.
81
SIFAT DASAR KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Interaksi antara metode dan lama pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai delamination test serta berpengaruh nyata terhadap nilai cross cut test. Nilai delamination test terendah diperoleh pada cara oven selama 3 jam yaitu sebesar 0,41%. Nilai cross cut test terendah didapat pada cara oven selama 2 jam serta steam selama 1 dan 3 jam yaitu sebesar 0,15%.
2.
Pengamatan visual uji cross cut dan audio visual pada uji coin menunjukkan kombinasi faktor metode dan lama pemanasan meningkatkan sifat perekatan bahan finishing. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1972. Annual Book of ASTM Standard. Part 21. American Society for Testing Material, West Conshohocken, Philadelphia. Anonim. 1995. Panduan Proses Wood Finishing di PT. Sunjaya Coating Perdana Surabaya. PT. Sunjaya Coating Perdana, Surabaya. Anonim. 1999. SNI 06 – 6052 – 1999, Cara Uji Kilap Jadi. Badan Standarisasi Indonesia – BSN. Jakarta. Anonim. 2010. Jenis Bahan Finishing Kayu. (diakses tanggal 4 Agustus 2011 dari www.semuatentangkayu.com) Awoyani, L. dan I.P. Jones. 2010. Anatomical Explanation for Changes in Properties of Western Red Cedar (Thuja plicata) Wood During Heat Treatment. Wood Sci Technol. DOI 10.1007/s0026-010-0315-9 Brown, H.P., A.J.Panshin, and C.C. Forsaith. 1952. Textbook of Wood Technology. Vol.II. McGraw-Hill Book.Co. New York. Esteves, B., A.V. Marquez, I. Domingos, dan Pererira. 2007. Influence of Steam Heating on The Properties of Pine (Pinus pinaster) and Eucalypt (Eucalyptus globulus). Wood Sci Technology 41:193-207. Forbes, C, 1998. Wood surface inactivation and adhesive bonding. North Carolina State University. Raleigh Kocaefe D., S. Poncsak, G. Dore, dan R. Younsi. 2008. Effect of Heat Treatment on Wettability of White Ash and Soft Maple by Water. Holz Roh Werkst 66 : 355-361. Pandit I. K. N. 2004. Hutan Tanaman Industri dan Kualitas Kayu yang Dihasilkan. Bahan Makalah, http://hti_klyd/makalah_pandit.htm Prayitno T. A. 1999. Finishing Kayu. Bagian Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Purnama, S. 2007. Finishing Mebel. Woodmag No.11 edisi April 2007. PT. Ekamant Indonesia. Jakarta. Rowell, M. R., 1999. Specialty treatment, Wood Handbook, Forest Product Laboratory, Madison Sernek, M, M.J. Boonstra, A. Pizzi, A. Despres and P. Gerardin, 2007. Bonding Performance of Heat Treated Wood with Structural Adhesives, Holz-Roh-Werkst Varga D. dan M. E. van der Zee. 2008. Influence of Steaming on Selected Wood Properties of Four Hardwood spesies. Holz Roh Werkst 66:11-18
82
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Pengaruh Suhu Terhadap Kekuatan Lentur papan Partikel dengan Perekat Tannin - Formaldehid Andriati Amir Husin Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Jl.Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung
[email protected] ABSTRAK Pembangunan perumahan dan infrastruktur merupakan industri yang membutuhkan biaya, bahan bangunan dan energi yang cukup besar. Penghematan ketiga komponen tersebut merupakan sasaran utama dalam bidang industri. Kulit bakau apabila dicampur dengan paraformaldehid dapat berfungsi sebagai bahan pengikat dalam pembuatan papan partikel yang dapat digunakan sebagai dinding pemisah dan memiliki manfaat untuk mendukung pengadaan bahan bangunan alternatif. Papan partikel darisisahasil penggergajian kayu menggunakan perekat sintetis berbasis formaldehiddimana emisinya berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Telah diteliti pembuatan papan partikel dengan menggunakan tannin-formaldehid sebagai bahan pengikat dengan metode pengempaan panas. Pengempaan panas dilakukan pada suhu 130 oC,dapat menghasilkan ikatan ketahanan terhadap
air cukup baik. Papan partikel dibuat dengan menggunakan resin
yang terdiri dari kulit kayu bakau dan paraformaldehid. Kata kunci: kulit pohon bakau, paraformaldehid, bahan pengikat, papan partikel, kekuatan lentur Pendahuluan Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang penting di Indonesia dan memberikan manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung antara lain berupa kayu yang dipanen dan diolah.Kegiatan pemanenan dan pengolahan tersebut menyebabkan terjadinya limbah permanen dan limbah pengolahan. Limbah permanen berupa batang, cabang dan ranting sedangkan limbah pengolahan berupa sebetan, potongan ujung, tatal, serbuk, sisa pemotongan dolok, sisa venir, sisa kupasan, sisa sayatan dan sisa pemotongan produk tergantung macam pengolahannya. Salah satu pemanfaatan limbah kayu adalah untuk pembuatan papan partikel(Sutigno,2006) Papan partikel adalah salah satu jenis pruduk komposit/panel kayu yang terbuat dari partikel-partikel kayu atau bahan-bahan berlignoselulosa lainnya, yang diikat dengan perekat atau bahan lainnya kemudian dikempa panas(Iswanto,2008)). Menurut Standar Nasional Indonesia Papan partikel adalah produk kayu yang dihasilkan dari hasil pengempaan panas antara campuran partikel kayu atau berlignoselulosa lainnya dengan perekat organik serta bahan pelengkap lainnya yang dibuat dengan cara pengempaan mendatar dengan dua lempeng datar. (Noor, dkk, 2006).Papan partikel tidak dapat digunakan untuk bagian eksterior karena ujungujungnya mudah menyerap embun dan mudah lembap. Meskipun demikian, beberapa produsen kini menyertakan emulsi lilin di lemnya untuk melindungi papan dari kelembapan pada tingkat tertentu. Papan partikel dapat digunakan untuk umum atau struktural. Penggunaan umum misalnya mebel, penyekat dinding dan untuk penggunaan struktural misalnya komponen dinding, peti kemas, dan lain-lain.Papan partikel struktural lebih baik dibuat dari satu jenis kayu daripada dari campuran jenis kayu. Papan partikel yang dibuat dari tatal kayu akan lebih baik daripada yang dibuat dari serbuk karena ukuran tatal lebih besar daripada serbuk(Sutigno, 2006)
83
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Diperkirakan 80 % dari kayu-kayu di Indonesia merupakan kayu-kayu yang tak dapat dipergunakan untuk produk jadi, karena terlalu lunak, terlalu kecil, bengkok-bengkok, banyak cacatnya, dan lain-lain, sehingga terpaksa harus dibuang atau kurang dimanfaatkan. Kayu-kayu ini dapat dimanfaatkan menjadi papan partikel yang sangat berguna sebagai bahan bangunan rumah. Oleh sebab itu dilakukan penelitian pembuatan papan partikel yang mempergunakan tannin-formaldehid sebagai bahan perekat, dimana tanninnya diperoleh dari kulit kayu bakau atau hasil ekstraksi kulit kayu bakau yang tumbuh disepanjang pantai. Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas dipantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung(Saenger, dkk,1983). Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Perkiraan luas mangrove di seluruh dunia sangat beragam. Beberapa peneliti sepertiNoor(dalam Lanly, Ogino &Chihara, 1988) menyebutkan bahwa luas mangrove di seluruh dunia adalah sekitar 15 juta hektar, sedangkan Spalding, dkk (1997) menyebutkan 18,1 juta hektar, bahkan Groombridge (1992) menyebutkan 19,9 hektar. Untuk kawasan Asia, luas mangrove diperkirakan antara 32 % (Thurairaja, 1994) sampai 41,5 % (Spalding, dkk, 1997) mangrove dunia. (Noor, dkk,2006).Menurut data Kementerian Negara Lingkungan Hidup, luas hutan bakau di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 4,3 juta Ha.Berdasarkan FAO yang dirilis tahun 2007, walau hanya memiliki hutan bakau seluas 3.062.300 Ha, luas hutan bakau di Indonesia mencapai 19 % dari total luas hutan bakau di seluruh dunia. Ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan luas hutan bakau paling luas di dunia melebihi Australia 10 % dan Brazil 7 %. (Alamendah’s) Tannin adalah bahan polifenol yang larut dalam air, pelarut organik atau campuran keduanya. Untuk memperoleh ekstrak tannin yang murah dengan hasil relatif cukup tinggi, dapat digunakan pelarut air. Namun hal ini tidak menjamin jumlah senyawa polifenol yang terdapat dalam bahan, karena masih merupakan campuran beberapa zat heterogen yang terdiri atas tanninmurni, semi tannin dan non tannin (Susanti, 2000). Kandungan tannin dari bahan organik (serasah, ranting dan kayu) yang terlarut dalam air hujan (bersama aneka substansi humus), menjadikan air yang tergenang dirawa-rawa dan rawa gambut berwarna coklat kehitaman seperti air teh, yang dikenal sebagai air hitam (wikipedia bahasa indonesia). Ada dua macam jenis tannin, yaitu (Husein,2011 dan Susanti,200): 1.
Hydrolizable tannins ------- gugus-gugus phenol pada tannin jenis ini adalah gugusan pyrogallol
2.
Condensed tannins ------- gugus-gugus phenol pada tannin jenis ini adalah gugusan catechol Tumbuh-tumbuhan yang banyak mengandung tannin jenis pyrogallol adalah teh, gambir, oak, chesnut dan
lain-lain sedangkan tumbuh-tumbuhan yang banyak mengandung tannin jenis condensed adalah pohon bakau (Mangrove), pinus, wattle, hemlock dan lain-lain. Di Indonesia banyak sekali tumbuh pohon-pohon yang mengandung tannin diantarnya yang terbanyak mengandung tannin adalah pohon bakau (Mangrove), yang banyak tumbuh disepanjang pantai dan rawa-rawa.Tannin di dalam mangrove bark kira-kira 40 % (Linggawati dkk,2002). Bahan perekat tannin-formaldehid termasuk kedalam golongan bahan perekat phenolik yang bersifat thermosetting. Untuk bahan perekat dasar tannin, bahan yang biasa ditambahkan adalah paraformaldehid. Namun menurut Pizzi et al (1992) penggunaan tannin tanpa fortifier dapat menghasilkan daya rekat yang cukup baik. Kelemahan dari polimer tannin-formaldehid adalah unit formaldehid cenderung menjadi reaktif jika diberikan dalam komposisi yang berlebih dan terjadi panas yang berfluktuasi. Keadaan ini menimbulkan emisi
84
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI formaldehid yang efeknya sangat kuat mengganggu kesehatan manusia (Susanti, 2000). Bahan perekat ini mempunyai arti yang penting dalam industri ply wood dan papan partikel, karena mempunyai ketahanan yang sangat baik terhadap air, panas dan jamur. Untuk lebih memperbaiki mutunya, biasanya perekat tanninformaldehid dicampur dengan phenol-formaldehid atau dapat juga dengan mencampurkan ekstrak tannin kepada perekat phenol formaldehid dengan perbandingan 60 % ekstrak tannin dan 40 % phenol-formaldehid. Campuran ini mempunyai waktu setting yang lebih singkat daripada kalau hanya mempergunakan perekat tanninformaldehid saja.Dalam pembuatan papan partikel dengan bahan perekat tannin-formaldehid, prosesnya dapat disederhanakan, yaitu dengan mencampurkan partikel-partikel kayunya dengan tannin ekstraknya, lalu diberi paraformaldehid dan air secukupnya sampai mencapai kadar air tertentu. Jadi disini proses dilakukan tanpa pembuatan resin tannin-formaldehid terlebih dahulu. Reaksi polimerisasi kondensasi terjadi didalam cake kayu, menghasilkan produk resin tannin-formaldehid yang langsung akan mengalami curing dan mengikat partikelpartikel kayunya. Menurut penelitian yang telah dilakukan, papan partikel yang dibuat dengan tannin ekstrak cukup baik dan dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan (dinding partisi). Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan limbah industri perkayuan dan pohon bakau sebagai bahan perekat pada pembuatan bahan bangunan yang berupa papan partikel selain daripada itu untuk mendapatkan suhu yang optimal ditinjaun dari sifat fisik dan mekanik berdasarkan standar yang ada. Bahan dan Metode 1.
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: mangrove bark, air dan paraformaldehid Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: saringan, oven, timbangan, panci dari stainless steel, pengaduk listrik, penangas air,vacuum pump, alat cetak, jangka sorong, alat uji kuat lentur, dll . 2.
Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental, dengan melakukan penelitian di laboratorium dengan beberapa variabel, yaitu: Bahan baku: serbuk gergaji dan chips Albasiah
Berat tannin: 60 % dari berat chips
Berat paraformaldehid: 10 % dari berat tannin
Kadar air sebelum pengempaan: 50 % berdasarkan berat total
Waktu pengempaan: 20 menit dan 25 menit
Suhu pengempaan: 110 oC, 115 oC, 120 oC, 125 oC dan 130 oC Ukuran mangrove bark powder (-60 mesh) dan ukuran mangrove bark extract(-100 mesh)
Jenis pengujian: kuat lentur dengan berbagai kondii, yaitu kondisibiasa, kondisi setelah direndam dalam air selama 24 jam, kondisi setelah direndam dalam air panas (95 oC selama 15 menit), kondisi setelah dimasukkkan dalam oven pada suhu 120 oC serta penyerapan air dan pengembangan tebal
85
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 3.
Cara kerja
Keringkan mangrove barkdi bawah sinar matahari sampai kering Giling dan ayak melalui ayakan -24mesh dan +36 mesh Timbang bubuk kayu sebanyak 250 gram, godok dengan air sebanyak 3-4 kali berat bubuk kayu pada suhu kira-kira 70 oC– 80 oC selama 3 jam. Selama penggodokan, larutan diaduk secara kontinu memakai pengaduk listrik. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan penangas air. Saring larutan melalui ayakan 36 mesh dengan bantuan vacuum pump Uapkan filtrat pada suhu 70 oC – 80 oC dengan menggunakan penangas air Tentukan kadar tannin pekatnya Keringkan tannin pekat di oven pada suhu105 oC sampai berat konstan sehingga diperoleh bongkahbongkah tannin padat yang berwarna coklat kemerah-merahan Tentukan kadar tannin ekstrak Giling dan ayak bongkah-bongkah tannin tersebut dengan menggunakan ayakan 100 mesh Tentukan kadar air bahan bakunya Timbang 1260 gramchips atau serbuk gergaji untuk membuat papan partikel dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 2 cm dan diperkirakan mempunyai kerapatan 0,7 g/cm3 Tambahkan bark powder/ bark extract sebanyak 60 % dari berat chips/serbuk gergaji Tambahkan paraformaldehid sebanyak 10 % dari berat bark powder/bark extractdan air secukupnya sampai diperoleh kira-kira 50 % dari berat total Campur bahan-bahan tersebut sampai didapatkan campuran yang homogen Cetak campuran pada cetakan yang berukuran 30 cm x 30 cm x 2 cm Kempa cake kayu secara panas dengan menggunakan mesin press hydraulis Dinginkan flat -platen pressedpapan partikel perlahan-lahan hingga suhu kamar agar papan tidak melengkung, Ratakan tepinya dengan mesin trimming 4.
Metode pengujian berdasarkan SNI 03-2105-1996 mengenai Mutu papan partikel Hasil dan Pembahasan Dalam pembuatan papan partikel, dengan menggunakan mangrove barkpowder atau mangrove bark
extract sebagai bahan pengikat (bonding agent), diperlukan penambahan air sebelum pengempaan dilakukan. Dari penelitian terdahulu ternyata kadar air optimum 50%. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan penambahan air sebanyak 50 % dari berat total. Air didalam cake kayu berguna sebagai media pelarut dari tannin dan sebagai media reaksi antara tannin dengan paraformaldehid menghasilkan resin tannin-formaldehid. Karena pengaruh panas dan tekanan, resin mengalami curing dan sementara terjadi, air mula-mula dan air hasil kondensasi yang merupakan uap harus dikeluarkan dari papan, kalau tidak maka kualitas dari papan akan jelek. Karena adanya uap air tersebut yang harus dikeluarkan, maka lamanya waktu pengempaan dan tekanan pengempaan mempengaruhi kualitas papan partikel yang dihasilkan. Dalam pengempaan, diperlukan released yaitu peniadaan tekanan, agar uap air yang terjadi didalam cake dapat keluar sehingga tekanan uap didalam cake tidak terlalu tinggi; kemungkinan terjadinya peledakan selama pengempaan dapat dihindari. Tanpa released,
86
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI mengakibatkani kualitas dari papan partikel tidak memuaskan, karena terjadi black spot pada papan tersebut. Black spot adalah suatu noda hitam pada papan yang menyebabkankerapuhan dan kelemahan ikatan partikelpartikel kayunya. Black spot disebabkan karena uap air yang tidak dapat keluar; biasanya terjadi dibagian tengah papan, dimana uap air yang terdapat pada bagian tersebut selama pengempaan tidak dapat keluar melalui tepitepi papan, sehingga bagian tengahpapan akan lebih rapuh dan lebih mudah gosong. Dari hasil penelitian diperoleh kadar tannin sebesar 35 % dari berat mangrove bark extract. Menurut beberapa hasil penelitian kadar tannindalam kayu dapat mencapai kira-kira 40 % (Linggawati,2002) Sedangkan menurut Pari dkk (1992) ukuran bahan baku ekstrak kulit kayu juga mempengaruhi rendemen ekstrak tannin yang dihasilkan.Kadar tannin dalam bark akan banyak berkurang bila bark diambil dari kayu yang telah lama terendam dalam air, atau bila bark telah disimpan terlalu lama sehingga sudah ditumbuhi jamur. Kadar air chipsadalah 9,2 %. Hal ini memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam pembuatan papan partikel. Hasil uji kekuatan lentur dapat dilihat pada Gambar 1,2dan 3. Uji kekuatan lentur dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu:Kondisi biasa, untuk mengetahui dalam keadaan biasa berapakah gaya yang diperlukan untuk mematahkan tiap cm2papan; Setelah direndam dalam air selama 24 jam, untuk melihat apakah ikatan antara partikel-partikel kayu oleh resin yang sudah curing akan terlepas atau tidak setelah dilakukan perendaman dalam air selama 24 jam.Setelah direndam dalam air panas pada suhu 95 oC selama 15 menit, untuk melihat daya tahan dari ikatan partikel-partikel kayu itu terhadap keadaan yang ekstrim. Umumnya bahan perekat yang tidak bersifat thermosetting, tidak akan tahan terhadap keadaan ini, yang berarti ikatannya akan terlepas; Setelah dimasukkan ke dalam oven pada suhu 120 oC selama 15 menit, untuk melihat daya tahan dari ikatan terhadap keadaan panas yang ekstrim (suhu 120 oC adalah suhu yang tidak mungkin dicapai oleh udara luar, jika tidak diadakan pemanasan). Dengan melihat bahwa tannin-formaldehid baru akan mengurai pada suhu 230 oC, seharusnya pada suhu 120 oC ikatan tannin-formaldehid masih kuat. Nilai pengujian menunjukkanbahwa kekuatan lentur yang paling rendah adalah 19,5 kg/cm2untuk papan partikel yang dibuat dari serbuk gergaji dengan bahan perekat mangrove bark powderdimana papan partikel sebelumnya diberi perlakuan yaitu direndam dalam air panas pada suhu95 oCselama 15 menit Sedangkan nilai kekuatan lentur yang tertinggi adalah 109 kg/cm2untuk papan partikel yang dibuat dari chipsalbasiah dengan bahan perekat mangrovebark extracttanpa diberikan perlakuan sebelumnya jadi pada kondisi biasa. Ikatan partikel yang berbentuk granular lebih lemah dari ikatan yang berbentuk chips. Hal ini disebabkan karena chips mempunyai ukuran partikel kayu yang lebih besar daripada yang berbentuk granular sehingga ikatan dari serat-serat kayunya sendiri pada chips sudah jauh lebih kuat daripada serbuk gergaji. Kekuatan lentur pada kondisi biasa dibandingkan dengan kondisi yang lebih ekstrim yaitu kondisi direndam dalam air, direndam dalam air panas dan di oven tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal tersebut membuktikan bahwa ikatan dari resin tannin-formaldehid pada pembuatan papan partikel cukup baik ketahananya terhadap air dan panas. Dari hasil tersebut di atas dapat dikatakan bahwa fungsi dari papan partikel yang dibuat dengan menggunakan mangrovebark powder atau mangrove bark extract sebagai bonding agentadalah sangat baik dan cocok untuk bahan bangunan, karena kekuatannya dan keawetannya. Kekuatan lentur papan partikel dengan mangrove bark extract sebagai bonding agent pada kondisi kering dan biasa dapat memenuhi syarat SNI 03-2005-1996 tipe 100. Uji penyerapan air berguna untuk mengetahui ketahanan/keawetanpapan terhadap kelembapan udara, yaitu daya serapnya terhadap uap air diudara yang lembap. Makin besar daya serapnya makin buruk kualitet papan itu dan kekuatan ikatan partikel-partikel kayunya akan makin lemah dengan makin bertambahnya uap air yang diserap. Hasil nilai penyerapan air dapat dilihat pada Gambar 4, 5 dan 6. Nilai penyerapan air terendah adalah 21.1 % untuk papan partikel yang dibuat dari chipsalbasiah dengan bahan perekat mangrove bark extractpada suhu 130 oC lama pengempaan 25 menit. Sedangkan yang tertinggi adalah 37,8 % untuk papan partikel yang dibuat dari serbuk gergaji dengan bahan perekat mangrove bark powderpada suhu 110 oCdengan
87
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI lama pengempaan 20 menit. Hal ini disebabkan ukuran partikel kayu yang berbentukchips lebih besar daripada yang berukuran granular, sehingga air banyak diserap oleh partikel yang berukuran granular. Penyerapan air untuk tipe 100 dalam SNI 03-2105-1996 tidak dipersyaratkan. Maksud dari uji pengembangan tebal adalah untuk mengetahui berapa besarnya pengembangani tebal papan terhadap udara lembap. Makin besar pengembangan, makin lemah ikatan dari partikel-partikel kayunya. Seperti diketahui bersama, salah satu kelemahan papan partikel dalam hal stabilitas dimensi adalah besarnya pengembangan dimensi kearah tebal. Hasil pengengujian pengembangan tebal dapat dilihat pada Gambar 7, 8dan 9.Nilai pengembangan tebal papan partikel tertinggi adalah 7.8 % untuk papan partikel yang dibuat dari serbuk gergaji dengan bahan perekat mangrove bark powderpada suhu pengempaan
110 oC dan lama
pengempaan 20 menit. Sedangkan nilai pengembangan tebal terendah adalah 3,5 % untuk papan partikel yang dibuat dari chips albasiah dengan bahan perekat mangrove bark extractpada suhu pengempaan 130 oC dan lama pengempaan 25 menit. Kadar air papan partikel juga erat kaitannya dengan proses pengempaan. Selanjutnya menurut Rofii dkk (2008) dan Sari, N.M. (2011)faktor waktu pengempaan berpungaruh terhadap kadar air. Menurut Halingan (1970 dan Diharsyah (1995) yang dikutip oleh Sari (2011), bahwa pengembangan tebal papan partikel merupakan gabungan dua komponen, yakni pengembangan partikel itu sendiri dan pengembangan akibat dari pembebasan tegangan tekan, ini terjadi pada saat kadar air tinggi dan pengembangan ini tidak dapat pulih kembali apabila papan partikel telah mengalami pengeringan. Menurut Samad (2005), pengembangan tebal mengikuti penyerapan air dan menyesuaikan pada volume air yang terserap. Pengembangan tebal papan partikel untuk tipe 100 dalam SNI 03-2105-1996 tidak dipersyaratkan.Suhupengempaan yang optimum adalah 130 oC. Pada suhu yang lebih tinggi (140 oC) diperoleh papan partikel yang gosong, sebaliknya pada suhu yang lebih rendah dari 110 oC diperoleh papan partikel yang mempunyai ikatan yang lemah. Mutu papan partikel dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti jenis kayu (berat jenis, zat ekstraktif), ukuran partikel, perekat dan pengolahan. 60 Kekuatan tekan (kg/cm 2 )
Kekuatan tekan (kg/cm 2 )
30 25 20
15 10 5
50 40
30 20 10
0
0 100
115
120
125
100
130
115
Kondisi biasa
Dalam air
120
125
130
Temperatur (oC)
Temperatur (oC) Air panas
Kondisi biasa
Di oven
Dalam air
Air panas
Di oven
Gambar 2. Kekuatan lentur papan partikel dari chips
gergaji
albasiah dengan pengempaanselama 20 menit
120
40
100
35 Penyerapan air (%)
Kekuatan tekan (kg/cm2 )
Gambar 1. Kekuatan lentur papan partikel dari serbuk
80 60
40 20
0 100
115
120
125
Dalam air
Air panas
25 20
15 10 5
130
0
Temperatur (oC) Kondisi biasa
30
110
115
120
125
130
Temperatur (oC)
Di oven
Gambar 3.Kekuatan lentur papan partikel dari chipsGambar 4. Penyerapan air papan partikel dari serbuk Albasiah dengan pengempaan selama 25 menit gergaji
88
BIOKOMPOSIT KAYU
40
35
35
30 Penyerapan air (%)
Penyerapan air (%)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
30
25 20
15 10
25 20 15 10 5
5
0
0 110
115
120
125
110
130
115
120
125
130
Temperatur (oC)
Temperatur (oC)
Gambar 5. Penyerapan air papan partikel dari chipsGambar 6. Penyerapan air papan partikel dari chips albasiah dengan pengempaan selama 25 menit
8
7,8 7,6 7,4 7,2 7 6,8 6,6 6,4 6,2 6 5,8
Pengembangan tebal (%)
Pengembangan tebal (%)
albasiah dengan pengempaan selama 20 menit
7 6 5 4 3 2 1 0
110
115
120
125
110
130
115
120
125
130
Temperatur (oC)
Temperatur (oC)
Gambar 7. Pengembangan tebal papan partikel dari Gambar 8. Pengembangan tebal papan partikel dari serbuk gergaji
chips albasiah dengan pengempaan selama 20 menit
Pengembangan tebal (%)
7
6 5 4 3 2
1 0 110
115
120
125
130
Temperatur (oC)
Gambar 9. Pengembangan tebal papan partikel dari chips albasiah dengan pengempaan selama 25 menit Kesimpulan 1.
Tannin yang berasal dari mangrove bark bereaksi dengan paraformaldehid membentuk suatu produk kondensasi yang merupakan bahan perekat yang bersifat thermosetting
2.
Papan partikel dapat dibuat dengan cara tanpa melalui proses pembuatan bahan perekat tannin-formaldehid terlebih dahulu, tetapi langsung memgunakan mangrove bark powder atau mangrove bark ectract sebagai bahan pengikat (bonding agent)
3.
Cara tersebut memberikan keuntungan dimana pembuatan papan partikel tidak tergantung pada working life dari resin tannin-formaldehid. Hal ini disebabkan karena resin tannin-formaldehid yang terbentuk selama pengempaan, akan langsung mengalami curing sambil mengikat partikel-partikel kayunya
89
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 4.
Dalam pembuatan papan partikel dengan menggunakan mangrove bark powder atau mangrove bark extract tidak memerlukan katalis
5.
Hasil pengujian papan partikel yang menggunakan mangrove bark extract lebih baik daripada yang menggunakan mangrove bark powder Daftar Pustaka
1.
Sutigno (2006). Mutu Produk Papan Partikel. (http:www.dephut.go.id/halaman/standardisasi&lingkungan kehutanan
2.
Iswanto A.H. (2008). Polimer Komposit. (http://www.library.usu.ac.id)
3. 4.
Anonim. 1996.Mutu Papan Partikel. SNI 03-2105-1996. Noor., Y.R., M. Khazali dan I N.N. Suryadipura. (2006). Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Eetlands International Indonesia Programme. Ditjen. PHKA. Bogor.
5.
Alamendah”s Blog. Hutan Bakau Huta Mangrove: Definisi dan Fungsi
6.
Susanti,, C.M..E.(2000). Autokondensasi Tannin dan Penggunaannya sebagai Perekat Kayu Lamina. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bobor.
7.
------- Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas ( hhttp:id.wikipedia.org/Tannin.
8.
Hussein, A.S., K.I. Ibrahim dan K.M. Abdulla. (2011). Tannin-phenol Formaldehyde Resins as Binders for Cellulosic Fibrers: Mechanical Properties. Polymer Research Center, University of Basrah; State Company for Petrochemical Industries, Basrah, Iraq.
9.
Linggawatii, A., Muhdarin, dkk, (2002). Pemanfaatan Tannin LImbah Kayu Industri Kayu Lapis untuk Modifikasi Resin Fenol Formaldehid. Jurnal Natur Indonesia 5 (1).
10.
Sari, N.M. (2011). Sifat Fisik dan Mekanik Papan Partikel dari Limbah Plastik Jenis HDPE dan Ranting/Cabang Karet. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan. Volume 3. No. 1
90
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Ketahanan Papan Partikel dari Limbah Batang Kelapa Sawit Terhadap Serangan Rayap Tanah
Rudi Hartono1, Tito Sucipto1, Apri Heri Iswanto1, Lasmaria Manik2 1 Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanianusu 2. Alumni Program Studi Kehutanan Fakutas Pertanian USU Email :
[email protected] ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji ketahanan papan partikel yang terbuat dari limbah batang kelapa sawit terhadap serangan rayap tanah. Papan partikel dibuat menggunakan perekat isosianat dengan ukuran 30x30x1 cm, dengan target kerapatan 0,7 g/cm3. Variasi perlakuan adalah suhu suhu 150, 160 dan, 170 oC dan waktu 3, 5, 7 dan 9 menit. Pengujian ketahanan rayap dilakukan dengan uji kubur (grave yard test) selama 100 hari, kemudian dihitung penurunan berat dan penilaian serangan rayap berdasarkanvisual grave yard test Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penurunan berat papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 54,80-95,49 %. Berdasarkan tingkat
serangan rayap semua papan partikel yang dihasilkan dikategorikan dengan tingkat
serangan hancur. Keywords : Batang Kelapa Sawit, Papan Partikel, Perekat Isosianat, Rayap Tanah PENDAHULUAN Batang kelapa sawit (BKS) pada saat peremajaan hanya menjadi limbah tanpa pemanfaatan tanpa pemanfaatan yang berarti. Padahal potensinya sangat besar untuk digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan, mengingat luas areal perkebunan yang terus bertambah setiap tahunnya. Menurut Statistik Pertanian (2010), luar areal perkebunan sudah mencapai 8,25 juta ha. Peremajaan BKS dapat menghasilkan 167 m3 log/ha atau 50,1 m3 kayu gergajian sawit. Banyak penelitian yang telah dilakukan pada BKS, seperti pemadatan BKS (Hartono, 2012), impregnasi PF ke dalam BKS (Hartono et al, 2011), papan partikel (Sucipto et al, 2009), papan komposit plastik (Risnasari et al, 2009). Dari hasil penelitian Studi Kelayakan Teknis dan Ekonomis Penggunaan Batang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Alternatif Pengganti Kayu pada Industri Biokomposit (Iswanto et al., 2009) direkomendasikan bahwa BKS sesuai untuk dijadikan papan partikel. Papan partikel merupakan salah satu produk biokomposit yang mampu mengubah limbah BKS menjadi produk yang bernilai tinggi. Keberhasilan kualitas akhir papan partikel dipengaruhi oleh faktor pengempaan (suhu dan waktu). Selain itu, kualitas papan partikel juga tergantung pada jenis perekat yang digunakan (Sutigno, 1988). Pada penelitian papan partikel dengan pengaruh suhu dan waktu pengempaan, ternyata seluruh sifat papan partikel BKS dengan perekat isosianat, seperti kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, internal bond dan modulus patah (MOR) telah memenuhi standar SNI 03-2105-2006, kecuali nilai MOE (Manik, 2013). Namun pengujian terhadap ketahanan rayap belum diketahui. Padahal rayap merupakan serangga yang paling ganas menyerang kayu dan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Menurut menurut Rudi (1994) dalam Risnasari (2001) kerugian terhadap kerusakan bangunan akibat serangan rayap mencapai Rp 27,92 Milyar Mengingat tingginya kerugian yang ditimbulkan oleh rayap, maka perlu diketahui tingkat ketahanan papan
91
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI partikel dari limbah BKS. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sifat fisis dan mekanis papan partikel dari limbah BKS dengan perekat isosianat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketahanan papan partikel terhadap serangan rayap tanah. BAHAN DAN METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah BKS sebagai bahan baku produk papan partikel dan perekat yang digunakan adalah isosianat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah chainsaw, kamera digital, mesin serut, terpal, oven, timbangan digital, sprayer gun, extruder, cetakan papan ukuran 30 cm x 30 cm x 1 cm, kempa panas, kaliper, mikrometer sekrup dan kalkulator. Prosedur Penelitian Papan partikel yang dibuat mengikuti ukuran skala laboratorium dan dibuat dengan kerapatan sasaran 0,7
g/cm3.
Dimensi panjang, lebar dan tebal dibuat 30 cm x 30 cm x 1 cm. Bahan perekat yang digunakan adalah
isosianat. Penjelasan mengenai prosedur pembuatan papan partikel, diterangkan sebagai berikut : 1.
Penyediaan bahan baku Sampel BKS untuk pembuatan papan partikel diambil dari lingkungan sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Bahan baku BKS dipotong menjadi papan dan diserut dengan mesin planner menjadi serbuk. Serbuk yang telah diserut dikeringkan dalam oven sampai kadar airnya sekitar 5%.
2.
Pembuatan papan partikel Serbuk BKS dicampur dengan perekat isosianat dengan kadar perekat 7%, dengan cara disemprot menggunakan sprayer gun. Selanjutnya serbuk dimasukkan ke dalam pencetak lembaran. Setelah itu di kempa panas menggunakan tekanan 25 kg/cm2 dengan variasi suhu yaitu suhu 150, 160 dan 170 oC serta variasi waktu pada tiap suhunya yaitu selama 3, 5, 7 dan 9 menit.
3.
Pengkondisian dan pemotongan contoh uji Papan partikel yang sudah jadi dikondisikan selama 14 hari pada suhu kamar yang bertujuan untuk menyeragamkan kadar air lembaran papan tersebut. Kemudian dipotong sesuai ukuran pengujian. Pada pengujian ketahanan rayap, ukuran papan partikel 5 x 1 x 20 cm.
4. Pengujian Ketahanan Papan Partikel terhadap Rayap Tanah Pengujian ketahanan rayap dilakukan dengan metode grave yard test (uji kubur) yaitu dengan memasukkan contoh uji ke dalam tanah selama 100 hari. Pengujian dilakukan dengan cara mengevaluasi kehilangan berat contoh uji yaitu dengan cara menimbang berat oven sebelum contoh uji dikubur (BKT 1) dan setelah contoh uji dikubur (BKT2). Perhitungan persentase penurunan berat contoh uji yaitu : Penurunan berat (%) =
BKT1 – BKT2 x 100 % BKT1
Setelah dilakukan perhitungan penurunan berat, maka dilihat tingkat serangan rayap tanah terhadap papan partikel dengan cara penilaian secara visual grave yard test seperti disajikan pada Tabel 1.
92
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1. Penilaian serangan rayap berdasarkanvisual grave yard test No
Penilaian Kualitatif
Skor
1 2
Tingkat serangan A B
Kondisi contoh uji Utuh (tidak ada serangan gigitan) Serangan ringan (ada bekas gigitan rayap)
0 1-20
3
C
Serangan sedanga berupa saluran-saluran yang tidak dalam dan melebar
21-40
4
D
Serangan hebat berupa saluran-saluran yang dalam dan lebar
41-60
5
E
Serangan hancur (lebih 50 % penampang melintang dimakan rayap)
61-80
Sumber : Somnuwat dkk. (1995) dalam Folia (2001) HASIL DAN PEMBAHASAN Ketahanan papan partikel terhadap rayap tanah Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai rata-rata penurunan berat papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 54,80-95,49 %. Nilai penurunan berat papan partikel dengan menggunakan variasi suhu dan
60
63.71
81.75
78.81
74.03
95.49 70.45
58.94
79.64
55.03
80
54.80 60.09
Penurunan Berat (%)
100
88.41
waktu disajikan pada Gambar 1.
3 menit 5 menit
40
7 menit 9 menit
20 0 150
160
170
Suhu (oC) Gambar 1. Nilai Penurunan berat papan partikel dengan variasi suhu dan waktu Gambar 1 menunjukkan nilai penurunan berat papan partikel terhadap rayap tanah tertinggi terdapat pada papan partikel yang menggunakan suhu 160 oC dengan waktu 9 menit yaitu sebesar 95,49%. Nilai penurunan berat papan partikel terhadap rayap tanah terendah terdapat pada papan partikel yang menggunakan suhu 150 oC dengan waktu 5 menit yaitu sebesar 54,80%. Pada Gambar 1 juga terlihat semua papan partikel kehilangan berat lebih dari 50% selama 100 hari. Hal ini berarti bahwa papan partikel dengan perlakuan suhu dan waktu pengempaan semuanya terserang rayap tanah dengan tingkat yang tinggi. Dapat dikatakan bahwa perlakuan suhu dan waktu perlakuan tidak memberikan proteksi papan partikel dari serangan rayap tanah. Sebagai ilustrasi serangan rayap tanah dapat dilihat pada Gambar 2.
93
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 2.. Sampel papan partikel sebelum diuji kubur dan sampel papan setelah diuji kubur Berdasarkan tingkat serangan rayap semua papan partikel yang dihasilkan dikategorikan dengan tingkat serangan hancur. Nilai tingkat serangan rayap tanah terhadap papan partikel dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil tingkat serangan rayap tanah terhadap papan partikel Perlakuan Kehilangan Berat (%) Tingkat Serangan Suhu (oC) Waktu (menit) E 150 3 79,64 E 5 54,80 E 7 60,09 E 9 55,03
Tingkat Serangan Serangan hancur Serangan hancur Serangan hancur Serangan hancur
160
3 5 7 9
58,94 88,41 70,45 95,49
E E E E
Serangan hancur Serangan hancur Serangan hancur Serangan hancur
170
3 5 7 9
63,71 74,03 78,81 81,75
E E E E
Serangan hancur Serangan hancur Serangan hancur Serangan hancur
Berdasarkan Tabel 2 juga terlihat bahwa papan partikel yang terserang lebih dari 50% termasuk dalam kelas serangan hancur. Tingginya serangan rayap tanah pada papan partikel dikarenakan bahan baku papan partikel yang berasal dari BKS bagian tengah. Bakar et al. (1998) bahwa batang kelapa sawit bagian tengah memiliki kelas kuat dan kelas awet yang sangat rendah, Dalam kekuatannya, bagian tengah BKS termasuk kelas akuat V, sedangkan keawetan termasuk dalam kelas awet V. Ketahanan kayu terhadap serangga dan perusak kayu disebabkan oleh kandungan zat ekstraktifnya. Zat ekstraktif dalam kayu berfungsi sebagai racun bagi perusak-perusak kayu, sehingga perusak tersebut tidak mau merusak memakan kayu tersebut (Panshin dan de Zeeuw, 1980). Ditinjau dari zat ekstratifnya, zat ekstraktif BKS adalah pati. Pati ini mengisi sel-sel parenkim yang terdapat pada BKS. Semakin banyak parenkim yang terdapat pada BKS, maka semakin tinggi jumlah zat ekstraktif yang dimiliki oleh BKS. Hartono et.al (2011) mengemukakan bahwa semakin ke pusat batang maka persentase parenkim semakin meningkat dibandingkan vascular bundlenya. Dalam penelitiannya, Balfas (2003) mencatat kelarutan zat ekstraktif BKS dalam alcohol benzene, air dingin, air panas dan NAOH 1 % adalah berturut-turut 8,9%, 12,02%, 16,37% dan 24,87%. Hal ini
94
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI menunjukkan bahwa zat ekstraktif pada BKS sangat tinggi dan tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah serangan rayap tanah. Batang kelapa sawit termasuk kelas awet V. Keawetan BKS sama dengan beberapa jenis kayu yang termasuk ke dalam kelas awet V antara lain jabon, jelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga, mangga hutan, dan marabung (Duljapar, 1996). Secara umum kekurangan kayu kelapa sawit dibandingkan dengan kayu lainnya adalah zat pati yang tinggi dan keawetannya rendah sehingga memudahkan rayap memakan papan partikel tersebut (Balfas, 2003, Bakar et al., 1998). Hal ini terlihat dalam penurunan berat dari papan partikel. Sehingga dalam pemanfaatan sebagai papan partikel sangat perlu menambah bahan pengawet kayu untuk meningkatkan daya tahannya terhadap serangan rayap tanah KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Papan partikel yang terbuat dari batang kelapa sawit sangat rentan terhadap serangan rayap tanah pada semua perlakuan. Penurunan berat papan partikel yang dihasilkan berkisar antara 54,80-95,49 %. Berdasarkan tingkat
serangan rayap semua papan partikel yang dihasilkan dikategorikan dengan tingkat
serangan hancur. Saran Perlu upaya meningkatkan daya tahan papan partikel dari serangan rayap tanah dengan cara menambahkan bahan pengawet kayu dalam pembuatan papan partikel. DAFTAR PUSTAKA Bakar ES, Rachman O, Hermawan D, Karlinasari L dan Rosdiana N. 1998. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture (I) : Sifat Fisis, Kimia dan Keawetan Alami Kayu Kelapa Sawit. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. XI (1): 1-11 Balfas, J. 2003. Potensi Sawit sebagai Alternatif Bahan Baku Industri Perkayuan. Seminar Nasional Himpunan Alumni. IPB dan HAPKA Fakultas Kehutanan IPB Regional Sumatera. Medan Duljapar, K. 1996. Pengawetan Kayu. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Febrianto, F dan E. S. Bakar. 2004. Kajian Potensi, Sifat-Sifat Dasar dan Kemungkinan Pemanfaatan Kayu Karet dan Biomassa Sawit di Kabupaten Musi Bayuansi. Lembaga Manajemen Agribisnis dan Agroindustri. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Folia. E. M. 2001. Pengaruh Tingkat Konsentrasi Polistirena Terhadap Keawetan Kayu Plastik Melalui Uji Kubur (graveyard test). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartono, R, I. Wahyudi, F. Febrianto, W. Dwianto. 2011. Pengukuran Tingkat Pemadatan Maksimum Batang Kelapa Sawit. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol 9. No.1
95
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hartono, R. 2012. Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression dan Kompregnasi Fenol Formaldehyda. [Disertasi] Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Risnasari, I. 2001. Rayap Sebagai Perusak Bangunan. Program Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara Statistik Pertanian. 2010. Kementerian Pertanian. Jakarta. Sucipto, T., A.H. Iswanto, I. Azhar, Z. Coto. 2009. Potensi Kayu Sawit sebagai Bahan Konstruksi dan Bahan Baku Meubeul (I): Sifat Fisis Batang Kelapa Sawit Berdasarkan Ketinggian Tempat Tumbuh. Majalah Ilmiah Vegetasi Vol 6, No. 2 Sutigno, P. 1988. Pengaruh Ekstender dan Pengisi dalam Perekat Urea Formaldehida Terhadap Daya Rekat Kayu Lapis Meranti (Shorea spec.) dan Kapur (Dryobalanops spec.). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
96
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Perbedaan Metode Pengkondisian Papan Semen Sabut Kelapa (Cocos nucifera L.) Terhadap Sifat Fisik Dan Mekaniknya Noviana Asri1, Irza Ahmad1, Santoso Sri Handoyo1, Ismail Budiman2, Wahyu Dwianto2* 1 Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta 13220 2 UPT Balitbang Biomaterial – LIPI, Jl. Raya Bogor Km.46, Bogor 16911 *E-mail:
[email protected] Abstrak Papan semen memiliki kelemahan pada proses pembuatannya, karena memerlukan waktu yang lama untuk mengeras sebelum mencapai kekuatan yang diinginkan. Penelitian ini sehubungan dengan pembuatan papan semen dari sabut Kelapa (Cocos nucifera L.) yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengkondisian setelah papan dikempa dingin terhadap sifat fisik dan mekaniknya. Metode pengkondisian setelah papan dikempa dingin adalah (1) hanya dikering-udarakan saja selama 28 hari, (2) di-oven pada suhu 60⁰ C selama 24 jam dan (3) mengunakan alat kempa panas Close System Compression (CSC) pada suhu 100⁰ C selama 1 jam dengan tekanan 30 kg/cm2. Selanjutnya papan semen yang dihasilkan, diuji sifat fisik dan mekaniknya, serta dibandingkan dengan standar BISON dan JIS A-5417-1992. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kerapatan, Modulus of Rupture (MOR), Modulus of Elastisity (MOE), keteguhan rekat internal dan kuat cabut sekrup metode (1) memenuhi standar JIS A 5417-1992 dan masih lebih baik jika dibandingkan dengan metode (2) dan (3), karena nilai kerapatan sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat mekanik papan semen. Namun, nilai kadar air, pengembangan tebal, daya serap air metode (2) dan (3) lebih rendah daripada metode (1). Dengan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode (2) dan (3) dapat meningkatkan kestabilan dimensi papan semen, tetapi karena nilai kerapatannya lebih rendah dari metode (1), maka mengakibatkan nilai mekaniknya menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan suhu yang diberikan pada papan semen berpengaruh negatif pada proses pengerasan semen dan pembentukan ikatan semen dengan sabut Kelapa, sehingga mengurangi kekompakan ikatan semen dengan sabut Kelapa. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya dengan metode (3) perlu dicoba pada suhu yang lebih rendah dan waktu yang lebih singkat. Kata kunci: Papan semen, sabut Kelapa, Close System Compression (CSC), sifat fisik dan mekanik. Pendahuluan Papan semen adalah salah satu produk komposit kayu yang terbuat dari campuran serbuk kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya dengan semen sebagai bahan perekatnya (Sutigno et al. 1977). Semen yang biasa digunakan adalah semen Portland karena mudah didapat dan memberikan kekuatan yang cukup baik. Menurut SNI 15-7064-2004, semen Portland adalah bahan pengikat hidrolis hasil penggilingan/pencampuran antar bubuk semen Portland dan Gips dengan bahan anorganik lain. Bahan anorganik tersebut antara lain terak tanur tinggi (blast furnace slag), pozolan, senyawa silikat, batu kapur, dengan kadar total bahan anorganik 6 ~ 35% dari massa semen Portland. Pengujian kesesuaian bahan baku papan semen umumnya dilakukan berdasarkan uji hidrasi, yaitu dengan mengukur suhu maksimum yang terjadi pada saat reaksi antara semen, kayu/bahan berlignoselulosa dan air. Bila suhu maksimum lebih dari 41°C maka termasuk baik, bila suhu di antara 36 ~ 41°C maka termasuk sedang dan bila suhu kurang dari 36°C maka termasuk kurang baik (Kamil 1970).
97
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Papan semen mempunyai sifat yang lebih baik jika dibandingkan dengan wood-based composite pada umumnya, yaitu lebih tahan terhadap jamur, air dan api (Maloney 1977). Papan semen juga lebih tahan terhadap serangan rayap tanah dibanding bahan baku kayunya. Disamping itu papan semen juga memiliki kelemahan, antara lain (1) berat, (2) penggunaannya yang lebih terbatas, (3) diperlukan waktu yang lama untuk mengeras sebelum mencapai kekuatan yang diinginkan, serta (4) tidak semua jenis kayu atau bahan berlignoselulosa dapat digunakan sebagai bahan baku papan semen karena adanya zat ekstraktif seperti gula, tanin dan minyak yang dapat mengganggu pengerasan semen dengan bahan baku tersebut (Moslemi dan Pfister 1987). Menurut paten BISON (1975) dalam Sutini (2003), pengkondisian papan semen setelah dikempa dingin adalah dengan dikering-udarakan selama 28 hari pada suhu ruang. Proses pembentukan ikatan antara semen dengan serbuk kayu memerlukan waktu 14 jam atau lebih. Setelah terbentuknya ikatan lalu dibiarkan selama 8 jam dan selanjutnya klem dapat dibuka. Pematangan ikatan semen dengan serbuk kayu memerlukan waktu 2-3 minggu, setelah itu papan semen mencapai kekuatan mekanik yang optimum. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempercepat pengkondisian papan semen setelah dikempa dingin (Setiadhi 2006, Sudin dan Swamy 2006). Penelitian ini mengupayakan pemanfaatan sabut kelapa yang merupakan serat alami berlignoselulosa sebagai alternatif bahan baku pembuatan papan semen untuk mengetahui perbedaan metode pengkondisian terhadap sifat fisik dan mekanik papan semen tersebut. Metode pengkondisian setelah papan dikempa dingin adalah (1) hanya dikering udarakan saja, (2) di-oven dengan suhu 60⁰ C selama 24 jam dan (3) mengunakan alat kempa panas Close System Compression (CSC) selama 1 jam dengan tekanan 30 kg/cm2 pada suhu 100⁰ C. Selanjutnya papan semen yang dihasilkan, diuji sifat fisik dan mekaniknya, serta dibandingkan dengan standar BISON dan JIS A-5417-1992. Pengempaan dengan alat kempa panas CSC adalah metode pengempaan dengan cara mengkombinasikan antara faktor kadar air papan semen, suhu dan waktu pengempaan, serta tekanan uap panas yang berasal dari kadar air papan semen yang menguap selama proses pengempaan, sehingga meningkatnya suhu dan tekanan uap panas akan melunakkan hemiselulosa dan lignin sebagai komponen kimia utama serabut kelapa dan diharapkan dapat mempercepat proses pengkondisian, serta menghasilkan papan semen sabut kelapa yang lebih baik. Bahan dan Metode Bahan penelitian yang digunakan adalah sabut kelapa, semen, bahan kimia Al2(SO4)3 dan air. Perbandingan antara sabut kelapa : semen = 1 : 3, dengan menambahkan Al2(SO4)3 sebagai katalisator sebanyak 2% dan air semen sebanyak 6% dari berat semen yang digunakan. Tiga metode pengkondisian papan semen setelah pengempaan dingin yang dilakukan, yaitu (1) hanya dikering-udarakan pada suhu ruang selama 28 hari, (2) dipanaskan di dalam oven pada suhu 60°C selama 24 jam, kemudian dikering-udarakan pada suhu ruang selama 28 hari, dan (3) dikempa panas menggunakan alat Close System Compression (CSC) dengan tekanan 35 kg/cm2 pada suhu 100°C selama 1 jam, kemudian dikering-udarakan pada suhu ruang selama 28 hari. Metode pengempaan panas dengan alat CSC adalah pengempaan dengan alat bantu berupa frame kedap udara yang diletakkan di antara kedua plat kempa panas agar kadar air papan semen yang menguap akan terperangkap di dalam frame tersebut dan diharapkan menjadi uap panas (steam) yang berfungsi mempercepat proses pengempaan (Dwianto et al. 2010). Selanjutnya papan semen diuji sifat fisiknya, meliputi kerapatan (∂), kadar air (KA), pengembangan tebal (TS = thickness swelling) dan daya serap air (WA = water absorption); serta sifat mekaniknya, meliputi keteguhan patah (MOR = Modulus of Rupture), keteguhan lentur (MOE = Modulus of Elastisitas), keteguhan rekat internal (IB = Internal Bond) dan keteguhan cabut sekrup (SW = Screw Withdrawal) sesuai dengan standar JIS A-
98
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 5417-1992. Contoh uji yang digunakan untuk uji ∂, KA, TS dan WA berukuran 5 x 5 cm. Pengujian TS dilakukan bersamaan dengan WA. Contoh uji ditimbang kemudian direndam dalam air dingin selama 24 jam. Masingmasing uji fisik dihitung menggunakan rumus, sebagai berikut: ∂ (gr/cm3) = berat/volume; KA (%) = [(berat awal – berat kering oven)/berat kering oven] x 100%; TS (%) = [(tebal akhir – tebal awal)/ tebal awal] x 100%; WA = [(berat akhir – berat awal)/ berat awal] x 100%. Pengujian MOR dan MOE dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM). Contoh uji berukuran 20 x 5 x 2 cm pada kondisi kering udara dibentangkan dengan jarak sangga 15 kali tebal nominal, kemudian pembebanan dilakukan di tengah–tengah jarak sangga. Nilai MOR dan MOE masing-masing dihitung dengan menggunakan rumus MOR (kg/cm2) = 3PL/2bh2, MOE (kg/cm2) = δPL3/4δybh3, dimana P = beban sampai patah (kg), δP = perubahan beban yang digunakan (kg), L = jarak sangga (cm), δy = perubahan defleksi pada setiap perubahan beban (cm), b = lebar contoh uji (cm), h = tebal contoh uji (cm) Ukuran contoh uji untuk uji IB adalah 5 x 5 cm. Contoh uji direkatkan pada dua buah blok besi dengan perekat epoxy dan dibiarkan mengering selama 24 jam. Kedua blok besi ditarik tegak lurus permukaan contoh uji sampai beban maksimum (contoh uji rusak). Nilai IB (kg/cm2) = P/A, dimana P = beban maksimum saat ikatan partikel lepas (kg), A = luas permukaan contoh uji (cm2). Contoh uji yang digunakan untuk uji SW adalah 10 x 5 cm. Contoh uji dibor di kedua ujungnya dan dipasang sekrup ukuran ¾ inch dengan panjang 13 mm, kemudian dimasukkan hingga kedalaman 8 mm. Selanjutnya sekrup ditarik secara teratur dengan menggunakan UTM (Universal Testing Machine) dengan kecepatan 2mm/menit sampai sekrup terlepas. Nilai kuat pegang sekrup merupakan beban maksimum (dalam kg) saat sekrup tercabut dari contoh uji dalam kg. Hasil dan Pembahasan Pada Tabel 1 berikut ini dapat dilihat hasil pengujian sifat fisik dan mekanik ketiga kelompok perlakuan tersebut dan dibandingkan dengan standar yang ada. Tabel 1. Sifat fisik dan mekanik papan semen berdasarkan standar BISON dan JIS. No.
Sifat fisik 1 2 mekanik 1 ∂ (g/cm3) 1,24 1,20 2 KA (%) 11 7 3 TS (%) 2,52 1,25 4 WA (%) 13,46 8,50 5 MOR (kg/cm2) 82,81 34,10 6 MOE (kg/cm2) 29.477,13 6.266,36 7 IB (kg/cm2) 3,07 1,91 8 SW (kg) 27,85 22,19 *Sumber: Silaban (2006) dalam Sibarani (2011).
3
BISON*
JIS A 5417- 1992
1,21 10 2,08 13,88 56,15 11.536,59 2,90 22,49
1,25 9~13 1,2~2,0 90~130 30.103~50.103 4~6 90~120
≥1,2 ≤16 ≤8,3 ≥63 ≥24.103 -
Keterangan:(1) hanya dikering-udarakan pada suhu ruang selama 28 hari, (2) dipanaskan di dalam oven pada suhu 60°C selama 24 jam, kemudian dikering-udarakan pada suhu ruang selama 28 hari, dan (3) dikempa panas menggunakan alat Close System Compression (CSC) dengan tekanan 35 kg/cm2 pada suhu 100°C selama 1 jam, kemudian dikering-udarakan pada suhu ruang selama 28 hari. Nilai kerapatan yang dihasilkan dari ketiga perbedaan metode pengkondisian telah memenuhi standar JIS A 5417-1992 yakni sebesar ≥1,2 gr/cm3. Kerapatan terbesar didapat dari nilai rata-rata kerapatan metode pengkondisian 1 yaitu sebesar 2,4 gr/cm3, sedangkan kerapatan terendah didapat dari nilai rata-rata dengan
99
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI metode pengkondisian 2 yaitu sebesar 2,0 gr/cm3. Hal ini disebabkan pengovenan papan yang dilakukan setelah papan dikempa dingin, sehingga uap air pada papan semen menguap lebih cepat dari keadaan papan semula yang mengakibatkan papan telah kering dan lebih ringan dari papan yang lainnya. Berat papan yang lebih ringan menyebabkan nilai kerapatan menjadi lebih kecil daripada papan dengan metode pengkondisian yang lain. Nilai kerapatan pada metode pengkondisian 2 masih lebih tinggi dibanding penelitian Setiadhi (2006) yang memperoleh kerapatan papan yang berkisar 1,09 ~ 1,18 gr/cm3. Nilai kadar air yang dihasilkan dari ketiga perbedaan metode pengkondisian telah memenuhi standar JIS A 5417-1992 yakni sebesar ≤16%. Kadar air terbesar didapat dari nilai rata-rata kadar air dengan metode pengkondisian 1 yaitu sebesar 10%. Kadar air terkecil didapat dari nilai rata-rata kadar air dengan metode pengkondisian 2 yaitu sebesar 7%, hal ini disebabkan oleh penguapan air yang terjadi pada metode pengkondisian 2 (papan di oven dengan suhu 60⁰ C selama 24 jam), sehingga air yang terdapat dalam papan menjadi berkurang. Pengujian kadar air juga dilakukan dengan kembali memasukkan papan ke dalam oven selama 103±3⁰ C, dengan dua kali pengovenan papan yang dilakukan papan pada metode pengkondisian 2, menyebabkan kondisi papan sudah kering dan air dalam papan menjadi sedikit sehingga diperoleh nilai kadar air yang paling kecil di antara nilai kadar air dari papan dengan metode pengkondisian yang lain. Nilai kadar air yang diperoleh lebih tinggi daripada penelitian Sethiadi (2006) yaitu berkisar 6,4 ~ 7,81%. Kadar air yang diperoleh dari rata-rata nilai kadar air dengan metode pengkondisian 3 sebesar 10%. Metode pengkondisian 3 menggunakan kempa panas tertutup CSC dengan suhu 100⁰ C selama 1 jam, sehingga uap air yang terlepas dari papan semen kembali menetes pada papan semen sehingga air yang terdapat pada papan semen dengan metode pengkondisian 3 tidak sepenuhnya menguap yang menyebabkan kadar air yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan kadar air yang diperoleh dari rata-rata nilai kadar air dengan metode pengkondisian 1. Nilai pengembangan tebal yang dihasilkan dari ketiga perbedaan metode pengkondisan telah memenuhi standar JIS A 5417-1992 yakni sebesar ≤8,3%, sedangkan untuk pengujian daya serap air di dalam JIS A 5417-1992 tidak disebutkan standar nilainya. Pengembangan tebal terbesar didapat dari nilai rata-rata pengembangan tebal dengan metode pengkondisian 1 yaitu sebesar 2,5%, sedangkan untuk daya serap terbesar didapat dari nilai rata-rata daya serap air dengan metode pengkondisian 3 yaitu sebesar 13,88%. Nilai pengembangan tebal dan daya serap air terkecil diperoleh dari nilai rata-rata pengembangan tebal dan daya serap air dengan metode pengkondisian 2 yaitu sebesar 1,25% dan 8,5%. Hal ini disebabkan pada metode pengkondisian 2 papan semen di oven selama 24 jam dengan suhu 60⁰ C, sehingga air yang diserap papan semen tidak akan mempengaruhi pengembangan volume masing-masing partikel dan tidak menyebabkan pembebasan tekanan dari papan yang diberikan pada proses pengempaan pada waktu pembentukan lembaran. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengembangan tebal adalah kerapatan, pada metode pengkondisian 2 diperoleh nilai kerapatan terkecil yang menyebabkan ikatan antar sabut kelapa dengan semen menjadi tidak kompak sehingga pengembangan tebal yang dihasilkan semakin rendah. Nilai MOR dan MOE yang dihasilkan dari metode pengkondisan 1 telah memenuhi standar JIS A 54171992 yakni sebesar ≥24.000kg/cm2 dan ≥63kg/cm2, sedangkan dengan menggunakan metode pengkondisian 2 dan 3 belum memenuhi standar JIS A 5417-1992. Nilai MOR dan MOE terbesar rata-rata adalah dengan metode pengkondisian 1 yaitu sebesar 82,81 kg/cm2 dan 29477.13 kg/cm2, sedangkan nilai MOR dan MOE terkecil ratarata dengan metode pengkondisian 2 yaitu sebesar 34,10 kg/cm 2 dan 6266,36 kg/cm2. Hal tersebut disebabkan perbedaan suhu yang diberikan pada papan semen yang berpengaruh pada proses pengerasan semen dan pembentukan ikatan semen dengan sabut kelapa. Perlakuan papan dioven selama 24 jam dengan suhu 60⁰ C menyebabkan proses pematangan ikatan semen dengan sabut kelapa semen berlangsung sangat cepat, sehingga ketika papan dikeluarkan dari oven keadaan papan telah mengeras dan matang, sedangkan proses pematangan ikatan semen dengan sabut membutuhkan waktu minimal 28 hari. Proses pembentukan ikatan
100
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI antara semen dengan partikel-partikel memerlukan waktu 14 jam atau lebih, setelah terbentuk ikatan semen dengan partikel-partikel lalu dibiarkan selama 8 jam dan selanjutnya klem dapat dibuka. Pematangan ikatan semen dengan partikel-partikel kayu memerlukan waktu 2-3 minggu, setelah itu papan mencapai kekuatan mekanis yang optimum. (Bison, 1975 dalam Sutini, 2003). Nilai MOR dan MOE pada papan semen dengan menggunakan metode pengkondisian 3 diperoleh sebesar 56,15 kg/cm 2 dan 11536,59 kg/cm2. Perbedaan nilai MOR dan MOE pada papan semen dengan menggunakan metode pengkondisian 3 dengan papan semen yang menggunakan metode pengkondisian 1 disebabkan papan semen dikempa panas CSC dengan waktu pengempaan panas CSC yang sangat singkat menyebabkan uap air dalam papan semen belum sepenuhnya menguap sehingga belum dapat melunakkan lignin dan hemiselulosa dalam papan semen yang dapat membuat papan semen lebih bersifat plastis. Di dalam standar JIS A 5417-1992 tidak disebutkan besarnya nilai IB maupun SW untuk papan semen. Nilai IB terbesar didapat dengan metode pengkondisian 1 yaitu sebesar 3,07 kg/cm 2, sedangkan nilai IB dengan metode pengkondisian 2 yaitu sebesar 1,91 kg/cm2. Nilai IB dengan metode pengkondisian 3 didapatkan sebesar 2,90 kg/cm2. Nilai SW dengan metode pengkondisian 1 yaitu sebesar 27,85 kg, sedangkan nilai SW terkecil diperoleh dengan metode pengkondisian 2 yaitu sebesar 22,19 kg. Nilai SW dengan metode pengkondisian 3 didapatkan sebesar 22,49 kg.. Perbedaan nilai IB dan SW yang dihasilkan disebabkan perbedaan suhu yang diberikan pada papan semen yang berpengaruh pada proses pengerasan semen dan pembentukan ikatan semen dengan sabut kelapa, sehingga mempengaruhi kekompakan ikatan semen dengan sabut kelapa. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian yang telah dilakukan menurut standar JIS A 5417-1992, maka hasil yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: 1.
Papan semen sabut kelapa dengan menggunakan perbedaan metode pengkondisian berpengaruh secara signifikan terhadap nilai sifat fisik dan mekaniknya.
2.
Metode pengkondisian yang hanya dikering-udarakan selama 27 hari setelah papan dikempa dingin menghasilkan nilai kerapatan 1,24 gr/cm3; kadar air 11%; pengembangan tebal 2,52%; daya serap air 13,46%; MOR 82,81 kg/cm2; MOE 29477,13 kg/cm2; IB 3,07 kg/cm2; dan SW 27,85 kg.
3.
Nilai hasil pengujian sifat fisik dan mekanik pada papan semen yang menggunakan metode pengkondisian di-oven pada suhu 60⁰C selama 24 jam, maupun dikempa dengan alat CSC pada suhu 100⁰C dengan tekanan 30 kg/cm 2 selama 1 jam belum memenuhi standar JIS A 5417-1992 untuk nilai MOR, maupun MOEnya. Hal ini kemungkinan disebabkan suhu yang diberikan pada papan semen berpengaruh negatif pada proses pengerasan semen dan pembentukan ikatan semen dengan sabut kelapa, sehingga mengurangi kekompakan ikatan semen dengan sabut kelapa. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil nilai pengujian sifat fisis dan mekanis papan
semen sabut kelapa dengan perlakuan metode pengkondisian papan hanya dikering-udarakan telah dapat memenuhi standar JIS A 5417-1992 papan semen. Secara umum papan semen sabut kelapa dengan nilai MOE yang belum memenuhi standar JIS A 5417-1992 dapat diaplikasikan untuk berbagai keperluan selama tidak menahan beban lentur, misalnya untuk partisi dinding. Berdasarkan pembahasan masalah dan kesimpulan di atas, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: 1.
Untuk mendapatkan sabut yang cukup lunak dan tidak kusut yang digunakan sebagai bahan pengisi papan semen sebaiknya sabut kelapa sudah direndam terlebih dahulu kemudian sabut kelapa kemudian dijemur hingga mencapai kadar air 30 ~ 50%.
101
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 2.
Sebaiknya papan semen diklem setelah dilepas dari kempa dingin, agar papan tidak mengembang, sehingga target kerapatan yang diinginkan dapat dicapai.
3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode pengempaan panas CSC dengan memodifikasi suhu dan waktu pengempaan, sehingga didapat nilai kuat lentur yang lebih tinggi. Daftar Pustaka
Dwianto W, Suprapedi, Darmawan T, Jayadi, Nugroho A, Amin Y, Wahyuni, I. 2010. Pilot Scale of Close System Compression Hot Press Machine. Proceedings of the Second Symposium of Indonesian Wood Research Society, Bali, Indonesia, pp. 163-169. Japanese Standards Association. 1992. Japanese Industrial Standars Cement Bonded Particle Board. JIS 54171992 Kamil RN. 1970. Prospek Pendirian Industri Papan Wol Kayu di Indonesia. Pengumuman No. 95. LPHH, Bogor. Mahmud Z. 2003. Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa. Jurnal Perspektif 4 (2): 55-63. Maloney TM. 1977. Modern Particle Board and Dry Process Fiberboard Manufacturing. Miller Freeman Publication, San Fransisco, California. Moslemi AA, Pfister SC. 1987. The influence of Cement/Wood Ratio and Cement Type on Bending Strength and Dimensional Stability of Wood-cement Composite Panels. Wood and Fiber Science 19: 165-175. Setiadhi H. 2006. Papan Semen Sabut Kelapa (Cocos nucfera L). Skripsi, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Sibarani. 2011. Pembuatan dan Penggunaan Campuran Semen dan Kayu Sebagai Bahan Bangunan Kehutanan Indonesia 390-392. Standar Nasional Indonesia. 2004. Semen Portland. SNI 15-2049-2004. Sudin R, Swamy N. 2006. Bamboo and Wood Fibre Cement Composite for Sustainable Infrastructure Regeneration. Jurnal Material
Science 41: 6917-6924.
Sutigno et al. 1977. Sifat Papan Semen Lima Jenis Kayu. Laporan (Report) No. 96. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Sutini 2003. Teknologi Pembuatan Papan Semen Partikel Ringan. Skripsi, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
102
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU LAMINASI SISTEM BILAH LENGKUNG DAN PENAMBAHAN AIR SULING SEBAGAI OPTIMASI POLYMER ISOCYANATE I B Gede Putra Budiana1,Dedi Kusmawan2 Rusli3 Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar Kompleks PU Werdhapura, Jl. Danau Tamblingan No 49 Sanur, Denpasar Email:
[email protected] Abstrak Bentuk bambu yang bulat menyerupai pipa dan ditengahnya berlubang, bila dibelah lebar ujung bawah dan atas tidak sama dan tebal dari setiap jenis bambu tidak sama dimana bagian bawah lebih tebal dari pada bagian atas, menyebabkan belahan bambu banyak terbuang dan menghasilkan rendemen rendah. Pada saat laminasi menggunakan perekat polymer isocyanate memiliki keunggulan dalam proses pengerasan yang relatif cepat, kering pada variasi suhu yang luas dan tidak mengandung formaldehyde. Namun waktu pengerasan yang relatif cepat pada perekat jenis ini akan berpengaruh terhadap waktu proses pengerjaan dan dengan semakin bertambahnya waktu tunggu pada proses pelaburan dan pengempaan mengakibatkan terjadi penurunan daya rekat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan air pada perekat polymer terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi sistem bilah lengkung. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental berupa pembuatan balok bambu laminasi dengan ukuran 85 cm x 5 cm x 5 cm dengan variasi berat labur. Variasi yang diteliti mencakup variasi dengan komposisi berat labur 225 gr/m2 (46MDGL) ditambah crossliker 10% tanpa air dan variasi dengan komposisi berat labur 225 gr/m2 (46MDGL) ditambah persentase air suling (H2O) dari berat perekat. persentase kadar air diperoleh dari variasi komposisi kadar air 0 %, 2 %, 5 %, 10 %, 16 % dan 24 %, dari berat perekat. Penambahanan 10% air suling pada perekat polymer 46 GPU dan crosslinker isocyanate 10% memberikan efek peningkatan karakterisitk fisik dan mekanik balok bambu laminasi bilah lengkung, kadar air 11%, kerapatan 0,80 g/cm3 , kuat tarik sejajar serat 21 Mpa, Kuat tekan sejajar serat 53 Mpa, kuat tekan tegak lurus 19 Mpa, kuat geser sejajar serat 19 Mpa, kuat lentur 87 Mpa dan modulus elastisitas 14.438 Mpa. Kesimpulannya adalah peningkatan kekuatan berbanding negatif dengan daktilitas balok bambu laminasi akibat umur bambu yang masih muda dan kadar air bahan baku yang belum terkontrol baik. Kata Kunci: Bambu, Bilah lengkung, Optimasi polymer PENDAHULUAN Pengadaan rumah murah yang terjangkau oleh masyarakat memerlukan dukungan teknologi khususnya inovasi dalam pemanfaatan bahan bangunan lokal. Hal ini karena bahan bangunan menempati 60-80 % komponen biaya pembangunan fisik bangunan/rumah. Kayu merupakan salah satu bahan bangunan yang hampir selalu digunakan dalam pembangunan rumah di Indonesia, tetapi krisis kayu akibat illegal logging, deforestasi
103
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI membuat kebutuhan kayu yang cenderung meningkat tidak dapat terpenuhi melalui supply kayu tersebut. Potensi bambu di Indonesia adalah 10% (154 jenis) dari keanekaragaman bambu di dunia (1250 – 1500 jenis).1 Sehingga bambu sebagai tanaman cepat tumbuh (3-5) tahun menjadi salah satu bahan alternatif pengganti kayu.2 Pemanfaatan bambu utuh mulai dari pondasi, lantai, gedek, dinding, pintu, rangka atap, tulangan beton, turap, jembatan dan pipa air sudah sering ditemui sedangkan saat ini sedang trend penggunaan laminasi bambu sebagai bahan konstruksi.3 Bentuk bambu yang bulat menyerupai pipa dan ditengahnya berlubang, bila dibelah lebar ujung bawah dan atas tidak sama dan tebal dari setiap jenis bambu tidak sama dimana bagian bawah lebih tebal dari pada bagian atas, menyebabkan belahan bambu banyak terbuang atau bambu laminasi yang dibentuk dari bilah persegi dan menghasilkan rendemen rendah. 2 Agar bahan baku bambu tidak banyak terbuang maka akan dilbuat bambu laminasi dari bilah yang masih berbentuk lengkung arah radial bambu. Menurut penelitian sebelumnya diperoleh bahwa balok laminasi bilah persegi dengan perekat urea formaldehyde memiliki modulus of rupture dan modulus of elastisitas sebesar 74,53 MPa dan 6962 Mpa lebih kuat daripada balok laminasi bilah persegi perekat melamine formaldehyde dengan modulus of rupture dan modulus of elastisitas adalah 72,82 Mpa dan 6779 Mpa, dengan jumlah perekat yang digunakan 50 gram pick up.4 Urea formaldehyde adalah perekat sintetik dari minyak bumi (petroleum) dengan bahan tambahan dari unsur-unsur alam udara. Namun unsur formaldehyde diketahui kurang ramah terhadap lingkungan dan kesehatan.5 Dalam mengatasi kelemahan tersebut telah dilakukan pengembangan menggunakan perekat yang memakai sistem water based polymer-isocyanate, memiliki keunggulan dalam proses pengerasan yang relatif cepat, kering pada variasi suhu yang luas dan tidak mengandung formaldehyde.6 Namun waktu pengerasan yang relatif cepat pada perekat jenis ini akan berpengaruh terhadap waktu proses pengerjaan dan dengan semakin bertambahnya waktu tunggu pada proses pelaburan dengan pengempaan mengakibatkan terjadi penurunan daya rekat.7 Hingga saat ini pengaruh pencampuran air suling (H2O) pada perekat terhadap sifat fisik dan mekanik bambu laminasi bilah lengkung sebagai green material belum banyak dipahami. Tujuan penelitian adalah mengetahui kekuatan dan perilaku bambu laminasi bilah lengkung dan pola keruntuhan dengan pencampuran air suling pada perekat sebagai langkah optimasi bahan perekat, sehingga harga produk bambu laminasi lebih kompetitif bersaing dengan produk laminated veneer lumber atau yang sejenis. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Kegiatan penyiapan, pengolahan bahan dan pembuatan benda uji dilakukan di Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar), Puslitbangkim, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum pada bulan Oktober 2011. Pengujian sifat fisika dan mekanika dilaksanakan di Laboratorium Balai Bahan Bangunan Pusat Litbang Permukiman Bandung pada bulan November 2011. Digunakan bambu petung (Dendracalamus Sp) dan lamina dibentuk dengan belahan yang berbentuk lengkung dengan tujuan bahan tidak banyak terbuang sehingga diperoleh rendemen atau pemanfaatan bahan baku bambu yang tinggi dan kekuatan yang optimal (Gambar 1).
104
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 1. Pemotongan bambu arah radial Proses pembilahan digunakan metode segmentasi yaitu pemotongan segmen bambu panjang 400 cm dan 200 cm setelah 100 cm dari pangkal untuk menentukan bagian mana dan ukuran strip bambu yang tepat dan studi anatomi setiap jenis yang akan digunakan (panjang, tebal daging bambu dari bagian bawah sampai bagian atas (Gambar 2 dan 3).
400 cm
400 cm
400 cm
100 cm
Gambar 2. Segmentasi bambu panjang 400 cm
100 cm
200 cm
200 cm
200 cm
200 cm
200 cm
200 cm
Gambar 3. Segmentasi bambu panjang 200 cm Pembuatan bilah lengkung menggunakan mesin spindle moulder dan pola susunan bilah tegak (Gambar 5 dan 7). 2 Dilengkapi dengan dua mata pisau berbentuk cekung dan cembung (Gambar 4). 2
(a)
(b)
Gambar 4. Pisau moulder (a) cembung dan (b) cekung
105
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 5. Alat bantu untuk pembentukan bilah lengkung (a) Tampak depan dan (b) Tampak atas Bambu bulat diameter 10 cm sampai dengan 20 cm dibelah arah radial dengan ukuran lebar 35 mm menggunakan hand saw, kemudian bilah-bilah dibersihkan pada bagian bukunya dan dikelompokan berdasarkan segmentasi bambu. Bilah-bilah kemudian diawetkan dengan cara perendaman dingin selama lebih kurang 5 hari untuk selanjutnya dikeringkan sampai mencapai kadar air makisimal 15%.8 Dimensi penampang melintang bilah lengkung untuk balok laminasi tergantung pada diamter dan tebal dinding buluh bambu. Diameter semakin besar dan tebal maka dinding buluh semakin tebal sehingga dimensi penampang melintang bilah yang diperoleh semakin besar. Bambu diameter 10 cm sampai dengan 20 cm dapat menggunakan mata pisau yang sama karena perbedaan tebal irisan bambu sangat kecil hanya 0,07 mm (Gambar 6). 2
Gambar 6. Dasar penentuan lebar,tebal dan radius bilah lengkung (Mujiman)
106
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Perekat yang digunakan adalah jenis isocyanate yang reaktif terhadap air (water base) dengan bahan water based polymer-isocyanate berupa resin (KR 7800) dan crosslinker (AJ1).8 Cara pelaburan dilakukan pada ke dua permukaan (double spread). Variasi yang diteliti mencakup variasi dengan komposisi berat labur 225 gr/m 2 (46MDGL) ditambah crossliker 10% dan variasi dengan komposisi berat labur 225 gr/m2 (46MDGL) ditambah 10 % air suling (H2O) dari berat perekat dan crossliker 10% yang dicampurkan paling akhir .
Gambar 7. Proses pembuatan bambu laminasi bilah lengkung dengan polasusunan bilah tegak ( Dalam pembuatan benda uji laminasi dikenal dua jenis pengempaan yaitu pengempaan dingin (cold presing) dan pengempaan panas (hot pressing).5 Tujuan pengempaan adalah membantu proses pengaliran sehingga perekat membentuk lapisan tipis dan proses penembusan sebagian perekat dipaksa masuk ke dalam rongga sel dari bambu. Pemberian tekanan pengempaan yang terlalu besar (over penetration) dapat mengakibatkan keluarnya perekat dari garis perekat sehingga terjadi kegagalan perekatan (starved glue line). Digunakan tekanan kempa 1,0 Mpa agar terbentuk akar perekat dengan tetap meninggalkan garis perekat yang utuh dan pejal sehingga tercapai kekuatan rekatan yang baik. 9 Pengujian mencakup pengujian fisik, yaitu kadar air dan kerapatan dan pengujian mekanik yaitu kuat lentur (Fb), modulus elastisitas lentur (Ew), kuat tarik sejajar serat (Ft), kuat tekan sejajar serat (Fc), kuat geser (Fv) dan kuat tekan tegak lurus serat (Fc’). Pengujian lentur menggunakan electromechanical universal testing machine (UTM), pengujian dimulai dari beban nol dan lendutan nol secara bertahap beban dinaikkan dengan penambahan beban 20 kN pada tiap kenaikan 100 N/s dan tercatat nilai beban dan lendutan secara digital. 10 Analisis bambu laminasi dengan melakukan korelasi terhadap kayu dengan kelas kuat setara yang ditinjau dari aspek fisika dan mekanika, kekakuan dan pola keruntuhan atau kerusakan yang dijabarkan secara deskriptif. Kekakuan dari suatu bahan ditinjau dari besarnya beban dan lendutan yang terjadi akibat beban tersebut. Tipe keruntuhan ditentukan menggunakan konsep rasio L/D yaitu perbandingan nilai kuat lentur (f b) dan kuat geser (fv) terhadap garis C.L/D. 4
107
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Dalam pembuatan benda uji laminasi dikenal dua jenis pengempaan yaitu pengempaan dingin (cold presing) dan pengempaan panas (hot pressing).5 Tujuan pengempaan adalah membantu proses pengaliran sehingga perekat membentuk lapisan tipis dan proses penembusan sebagian perekat dipaksa masuk ke dalam rongga sel dari bambu. Pemberian tekanan pengempaan yang terlalu besar (over penetration) dapat mengakibatkan keluarnya perekat dari garis perekat sehingga terjadi kegagalan perekatan (starved glue line). Digunakan tekanan kempa 1,0 Mpa agar terbentuk akar perekat dengan tetap meninggalkan garis perekat yang utuh dan pejal sehingga tercapai kekuatan rekatan yang baik. 9 Pengujian mencakup pengujian fisik, yaitu kadar air dan kerapatan dan pengujian mekanik yaitu kuat lentur (Fb), modulus elastisitas lentur (Ew), kuat tarik sejajar serat (Ft), kuat tekan sejajar serat (Fc), kuat geser (Fv) dan kuat tekan tegak lurus serat (Fc’). Pengujian lentur menggunakan electromechanical universal testing machine (UTM), pengujian dimulai dari beban nol dan lendutan nol secara bertahap beban dinaikkan dengan penambahan beban 20 kN pada tiap kenaikan 100 N/s dan tercatat nilai beban dan lendutan secara digital. 10 Analisis bambu laminasi dengan melakukan korelasi terhadap kayu dengan kelas kuat setara yang ditinjau dari aspek fisika dan mekanika, kekakuan dan pola keruntuhan atau kerusakan yang dijabarkan secara deskriptif. Kekakuan dari suatu bahan ditinjau dari besarnya beban dan lendutan yang terjadi akibat beban tersebut. Tipe keruntuhan ditentukan menggunakan konsep rasio L/D yaitu perbandingan nilai kuat lentur (f b) dan kuat geser (fv) terhadap garis C.L/D. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Bambu Bilah Persegi Dan Bilah Lengkung Dengan metode pemotongan bambu per-segmen diperoleh persentase rendemen bambu bilah pesegi pada segmen panjang 400 cm setelah 100 cm dari pangkal sebesar 56,31% sedangkan dengan panjang segmen 200 cm setelah 100 cm dari pangkal sebesar 61,69%. Rendemen bambu bilah lengkung pada segmen panjang 400 cm setelah 100 cm dari pangkal sebesar 69,89% dan segmen panjang 200 cm setelah 100 cm dari pangkal sebesar 68,83%. Tabel 1. Tabel 1. Hasil rendemen bambu dengan metode segmentasi dan pembilahan Bentuk Bilah
Segmen A 400 cm
Segmen B 200 cm
%
%
Persegi
56,31
61,69
Lengkung
69,89
68,83
Rasio Rendemen
Ukuran bilah Lebar (cm)
T (cm)
Radius (cm)
0,91
2,2
0,5-0,8
0
1,00
3,00
1,0-1,20
8,25
Sumber: Pengujian Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional, 2011 Pada bentuk bilah persegi, nilai rendemen dapat dipengaruhi oleh pembagian segmen bambu. Panjang segmen mempunyai korelasi yang negatif terhadap persentase rendemen bambu, semakin panjang segemen maka terjadi penurunan perentase rendemen bambu.
108
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Dengan bilah lengkung diperoleh rasio rendemen 1,00. Nilai rendemen tidak dipengaruhi oleh metode segmentasi pada proses pembilahan. Panjang segmen berbanding lurus terhadap persentase rendemen bambu. Sifat Fisika Kadar air dan kerapatan bambu laminasi dengan komposisi berat labur 46 GPU ditambah crossliker 10% diperoleh sebesar 9% dan 0,75 g/cm3 sedangkan komposisi 46 GPU ditambah 10 % air suling (H2O) dan crossliker 10% diperoleh sebesar 11% dan 0,80 g/cm3. Kadar air specimen uji telah memenuhi syarat kadar air perencanaan konstruksi kayu yaitu untuk kayu yang akan direkatkan dengan perekat harus mempunyai kadar air maksilamal 15% dan menurut PT. Pamolite Adhesive (PAI) disyaratkan kadar air lamina saat direkatkan berkisar 6-12% untuk perekatan struktur. Berdasarkan nilai kerapatan yang diperoleh menunjukkan bahwa bambu laminasi dengan rentang berat jenis 0,9-0,6 termasuk kategori kayu kelas kuat II. Sifat Mekanika Karakteristik mekanika bambu laminasi dengan komposisi berat labur 46 GPU ditambah crossliker 10% dan 46 GPU ditambah 10 % air suling (H2O) dan crossliker 10%. Diperoleh nilai rata-rata kuat tarik sejajar serat, kuat tekan tegak lurus, kuat tekan sejajar serat, kuat geser sejajar serat, kuat lentur (MOR) dan modulus elastisitas (MOE). Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik mekanika bambu laminasi No. Benda Uji
Kuat tarik sejajar serat (MPa)
Kuat tekan sejajar serat (MPa)
A1 A2 A3 A4 A5 Rata-rata
13,48 17,82 21,06 12,88 16
45,60 43,20 44,00 60,00 40,00 47
A1 A2 A3 A4 A5 Rata-rata
20,39 21,69 20,91 19,97 21
50,40 49,92 60,80 42,80 60,40 53
Kuat tekan tegak lurus serat (MPa) Variasi I 13,84 19,20 14,40 16,88 18,08 16 Variasi II 19,52 18,56 16,80 20,40 18,16 19
Kuat geser sejajar serat (MPa)
Kuat lentur MOR (MPa)
Modulus elastisitas MOE (MPa)
13,84 19,20 14,40 16,88 18,08 16
68,81 85,87 76,29 84,02 86,62 80
14.048 12.637 14.164
19,52 18,56 16,80 20,40 18,16 19
97,50 111,82 71,49 69,24 87,01 87
14.412 16.643 12.260
13.616
14.438
Sumber: Pengujian Balai Bahan Puslibangkim, 2011 Berdasarkan hasil pengujian lentur bambu laminasi diperoleh hasil kekuatan bambu lamianasi (Gambar 11 dan 12). Pada gambar 11 menunjukkan hubugungan beban dan lendutan balok laminasi bilah lengkung dengan variasi I dimana dari 3 (tiga) benda uji balok laminasi mencapai beban maksimum rata-rata 10.977 N sedangkan beban proporsional rata-rata 7.400 N. Lendutan maksimum rata-rata 26,47 mm dan lendutan proporsional 9,07 mm. Dari gambar 12 balok laminasi bilah lengkung dengan variasi II, dari 3 (tiga) benda uji
109
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI balok laminasi mencapai beban maksimum rata-rata 12.668 N sedangkan beban proporsional rata-rata 8.327 N. Lendutan maksimum rata-rata 20,43 mm dan lendutan proporsional 9,54 mm.
Gambar 11. Grafik hubungan beban dan lendutan bambu laminasi variasi I Dinding sel bambu petung memiliki kerapatan tinggi yaitu 0,598 g/cm 3 sehingga ahan perekat sulit meresap kedalam rongga-rongga sel bambu sehingga gaya pencengkraman (interlocking force) dan afinitas rendah. Kekentalan perekat polymer yang tinggi menyebabkan pada proses pengempaan terjadi keluarnya perekat yang berlebihan (squeezed out) sehingga terjadi kegagalan perekatan (starved glue line) atau garis perekat yang kurang dan menurunkan kekuatan mekanik pada variasi I bambu laminasi bilah lengkung.
Gambar 12. Grafik hubunga beban dan lendutan bambu laminasi variasi II
110
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Dengan pencampuran air suling pada perekat polymer memberikan pengaruh peningkatan kekuatan lentur dan meningkatkan kemampuan penempelan (afinitas) perekat pada dinding sel bambu. Campuran perekat (glue mix) yang telah dilaburkan pada bilah bambu memiliki mobilitas lebih tinggi untuk masuk ke dalam pori-pori bambu yang memiliki kerapatan tinggi ketika dilakukan penetrasi. Penetrasi yang telah diatur sedemikian rupa mengakibatkan terbentuk akar perekat dan tetap meninggalkan garis perekat yang utuh dan pejal. Dengan penambahan air suling pada perekat juga memberikan tambahan waktu tunggu (assembly time) antara pelaburan dan pengempaan sehingga proses penetrasi perekat ke dalam bahan dapat lebih optimal. dan kekuatan bambu laminasi variasi II lebih baik. Pemanfaatan bilah lengkung meningkatkan nilai redemen dan karakteristik mekanika bambu laminasi karena dengan bilah lengkung lapisan kulit tidak banyak terkelupas atau terbuang sehingga kekuatan yang dihasilkan lebih besar daripada balok laminasi bilah persegi. Pola Kerusakan Bambu Laminasi Dari pengamatan saat pengujian kuat lentur, pola kerusakan balok laminasi bilah lengkung terjadi pada perekatan antar lamina. Gambar10. Balok laminasi dominan mengalami kegagalan geser pada beban maksimum. Kerusakan terjadi dimulai dengan retak didaerah pembebanan kemudian pada pembebanan prporsional terjadi retak horizontal (initial crack). Selanjutnya saat beban maksimum terjadi kegagalan geser pada garis perekat yang dimulai dari bagian tengah bawah balok ke bagian ujung bawah balok, hal ini terjadi karena gaya tarik pada lamina bagian bawah akibat pembebanan ditengah bentang. KESIMPULAN Penambahanan 10 % air suling pada perekat polymer 46 GPU dan crosslinker isocyanate 10% memberikan efek peningkatan kekuatan bambu laminasi bilah lengkung. Kerapatan berkorelasi positif terhadap keteguhan rekat dan kenaikan kerapatan berkorelasi negatif pada kerusakan. Peningkatan kekuatan berbanding negatif dengan daktilitas balok bambu laminasi akibat umur bambu yang masih muda dan kadar air bahan baku yang belum terkontrol dengan baik. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar – Pusat Penelitian Dan Pengembangan Permukiman – Kementerian Pekerjaan Umum, Balai Bahan Dan Sains Bangunan – Pusat Peneltian Dan Pengembangan Permukiman – Kementerian Pekerjaan Umum yang telah membantu dalam pelaksanaan pengujian dan kepada pembimbing yang telah memberikan masukkan pada penyusunan karya tulis ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA 1 Widjaja,E.A, 2Mujiman,
2007. Budidaya Bambu. Jakarta.
dkk. 2010. Balok Bambu Laminasi Vertikal Menggunakan Bilah Lengkung atau Persegi Panjang
Dengan Pasa Dan Lem, Fakultas Teknik Sipil Dan Lingkungan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 3Morisco,
2006, Teknologi Bambu, Bahan Kuliah Magister Teknologi Bahan Bangunan, Program Studi Teknik Sipil
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
111
BIOKOMPOSIT KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 4Gunawan,
P. 2007. Pengaruh Jenis Perekat Terhadap Keruntuhan Geser Balok Laminasi Galar Dan Bilah
Vertikal Bambu Petung . Gema Teknik, 2: 100-109. 5Prayitno, 6PT
T.A, 1996. Perekatan Kayu, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
PAI, 2003. Spesifikasi Perekat Probolinggo.
7Budiana,
Rusli. 2011. Pengaruh Pelaburan Dan Lama Waktu Perekatan Terhadap Afinitas Dan Keteguhan Rekat
Bambu Laminasi. Mapeki XIV 2011. 8LPMB,
1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-15 PKKI-1961, Yayasan Penyelidikan Masalah Bangunan Bandung.
9Anshari,
B.2006. Pengaruh Variasi Tekanan Kempa Terhadap Kuat Lentur Kayu Laminasi Dari Kayu Meranti Dan
Keruing 2006. Dimensi Teknik Sipil, Vol 8, No 1,25-33, Maret 2006. 10Badan
Standardisasi Nasional Indonesia,2002, Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia, Badan Standar Nasional Indonesia, SNI 03-1726-2002.
11Kemenhut
NTB, BPDAS DMS, 2007. Studi Pengembangan Bambu Di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram
(NTB),
112
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI
PENINGKATAN KUALITAS KAYU KARET DENGAN COMPREGNASI MENGGUNAKAN UREA FORMALDEHIDA Soekmana Wedatama1, J. Pramana Gentur Sutapa2 , Denny Irawati2 Alumni Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Staf Pengajar Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada 1
2
ABSTRAK Kayu karet merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industry kayu di Indonesia, karena selain memiliki kekuatan yang baik, potensi kayu karet cukup besar, mudah diperoleh, dan harganya relatif murah. Dalam rangka peningkatan kualitas kayu karet, terutama sifat fisika dan mekanikanya, digunakan teknik compregnasi dengan harapan dapat meningkatkan kualitas kayu tersebut sehingga mampu meningkatkan harga jualnya. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu karet dari tanaman berumur 1 tahun dengan tinggi rata-rata 10 meter, rata-rata tinggi bebas cabang ,5 meter, dan rerata diameter setinggi dada (dbh) 25 cm, dari Kebun Karet PTPN IX (Persero) Krumput, Afdeling Krumput, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan pada 27 September 2000. Selain itu, perekat urea formaldehida kualitas teknis dari pabrik perekat Pamolite Adhesive Industry (PAI) Probolinggo juga digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa konsentrasi urea formaldehida memberikan pengaruh nyata pada hasil retensi, emisi formaldehida, berat jenis, dan penyusutan kayu arah tangensial. Sedangkan faktor lama penekanan memberikan pengaruh nyata pada hasil retensi, MOE, dan emisi formaldehida. Hasil perlakuan terbaik diperoleh dari compregnasi kayu karet dengan konsentrasi urea formaldehida 5% dan penekanan selama 120 menit, dengan nilai berat jenis 0.95, penyusutan tangensial 2,71%, penyusutan radial 1,05%, MOR 693,3 kg/cm2, MOE 93027,96 kg/cm2, dan emisi formaldehida sebesar 0,024 μg/ml. Kata kunci: Kayu karet, compregnasi, urea formaldehida, kualitas 1. Pendahuluan Kayu karet telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dapat menggantikan beberapa spesies kayu dari hutan alam terkait dengan warna, karakteristik, dan kualitas pengerjaannya (Ratnasingam et al. 2007, FAO 2011). Usahausaha perbaikan dalam teknologi di bidang industri dan perubahan pasar membuat penggunaan kayu karet dalam industri kayu menjadi semakin banyak, dan membuatnya menjadi salah satu spesies yang penting dalam industri kayu di Asia Tenggara. Pengetahuan mengenai sifat-sifat dan perbaikan kualitas kayu karet, oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting dalam rangka penggunaan kayu tersebut sebagai bahan baku industri. Penggunaan kayu sebagai bahan baku industri menghendaki adanya pengetahuan dan informasi tentang sifatsifat dari kayu tersebut secara lengkap agar dalam penggunaannya dapat dioptimalkan baik dari segi teknis maupun ekonomis. Dalam hal ini, kualitas kayu selalu berhubungan dengan kecocokan kayu tersebut pada pemakaian akhirnya. Sifat-sifat kayu telah diketahui secara umum memiliki korelasi yang kuat dengan kualitas kayu (Zobel dan van Buijtenen 1989, Panshin dan de Zeeuw 1980). Kualitas kayu merupakan resultante dari sifat-sifat yang dimiliki atau penonjolan sifat yang dominan baik fisika, kimia, mekanika, dan struktur kayu (Panshin dan de Zeeuw 1980). Karakteristik kayu tersebut, terutama sifat mekanika secara konvensional digunakan untuk memilih kayu dengan kualitas baik untuk industri hasil hutan, lebih khusus pada aplikasi struktural. Usaha peningkatan kualitas kayu telah banyak dilakukan dengan berbagai cara. Praktek silvikultur dan program pemuliaan pohon telah dilaporkan dapat meningkatkan kualitas kayu (Zobel dan van Buijtenen 1989). Naji et al. (2012) melaporkan bahwa pemilihan klon dan jarak tanam memiliki pengaruh nyata pada kerapatan dan struktur anatomi kayu karet. Selain itu, usaha perbaikan sifat fisika dan mekanika kayu dapat dilakukan dengan cara impregnasi. Impregnasi merupakan suatu metode perlakuan yang efektif berdasar atas prinsip penggantian molekul-molekul air dalam dinding sel dengan bahan-bahan lain (Haygreen dan Bowyer 1996). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat fisika dan mekanika kayu karet setelah perlakuan compregnasi dengan urea formaldehida.
113
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI 2. Metodologi Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah kayu dari tanaman karet berumur 31 tahun dengan tinggi rata-rata 10 meter, rata-rata tinggi batang bebas cabang 3,5 meter, dan diameter setinggi dada (dbh) 25 cm dari Kebun Karet PTPN IX (Persero) Krumput, Afdeling Krumput, Banyumas, Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 27 September 2000. Tujuh pohon ditebang dan dipotong untuk membuat contoh uji. Selain itu, perekat urea formaldehida dari pabrik perekat Pamolite Adhesive Industry (PAI) Probolinggo juga digunakan dalam penelitian ini. Pemotongan kayu menjadi sortimen contoh uji dilakukan untuk menguji sifat-sifat fisika dan mekanika kayu berdasarkan standar ASTM. Konsentrasi larutan urea formaldehida dan lama waktu penekanan menjadi faktor dalam penelitian ini untuk kemudian hasilnya dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Kerapatan kayu, penyusutan kayu, dan keteguhan lengkung statis kayu adalah parameter yang digunakan dalam penelitian ini. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1. Kerapatan kayu Nilai rata-rata kerapatan kayu kering udara ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Nilai rata-rata kerapatan kering udara kayu (g/cm3) karet pada berbagai perlakuan. Konsentrasi Urea Formaldehida (%) Lama tekanan (menit) Kontrol (0) 5 10 15 Kontrol (0) 0.62 30 0.71 0.66 0.66 60 0.84 0.75 0.69 120 0.95 0.71 0.69
Kerapatan kering udara (g/cm3)
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor konsentrasi urea formaldehida memberikan pengaruh sangat nyata pada kerapatan kayu, sedangkan lama penekanan proses compregnasi tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Distribusi nilai kerapatan kering udara kayu karet pada berbagai perlakuan ditunjukkan pada Gambar 1. 1 0.8 0.6
0
0.4
30 menit
0.2
60 menit 120 menit
0 0
5%
10%
15%
Konsentrasi Urea Formaldehida Gambar 1 Grafik nilai kerapatan kering udara kayu karet pada berbagai perlakuan compregnasi. 3.2. Penyusutan Kayu Nilai penyusutan kayu karet pada arah radial dan tangensial dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Nilai rata-rata penyusutan total dari basah ke kondisi kering tanur kayu karet (%) arah radial pada berbagai perlakuan Konsentrasi Urea Formaldehida (%) Lama tekanan (menit) Kontrol (0) 5 10 15 Kontrol (0) 1.2 30 1.2 1.2 1.2 60 1.1 1.2 1.2 120 1.0 1.1 1.2
114
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI Tabel 3 Nilai rata-rata penyusutan total dari basah ke kondisi kering tanur kayu karet(%) arah tangensial pada berbagai perlakuan Konsentrasi Urea Formaldehida (%) Lama tekanan (menit) Kontrol (0) 5 10 15 Kontrol (0) 2.9 30 2.8 2.9 2.9 60 2.6 2.9 2.8 120 2.7 2.7 2.8 Meskipun secara umum nilai penyusutan kayu karet yang diberi perlakuan compregansi dengan urea formaldehida lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan compregnasi kayu karet dengan urea formaldehida hanya memberikan pengaruh nyata pada penyusutan kayu pada arah tangensial yang terutama dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi larutan urea formadehida. 3.3. Keteguhan Lengkung Statik Tabel 4 Nilai rata-rata modulus patah (MOR; modulus of rupture) dan modulus elastisitas (MOE) dapat dilihat pada Tabel 4. Lama tekanan (menit) Kontrol (0) 30 60 120
Kontrol (0) MOR MOE (GPa) (MPa) 76.01 9.81
Konsentrasi Urea Formaldehida (%) 5 10 MOR MOR MOE (GPa) MOE (GPa) (MPa) (MPa)
MOR (MPa)
MOE (GPa)
72.86 72.06 69.33
70.70 67.23 72.66
8.43 9.10 8.91
8.48 9.34 9.30
70.49 73.86 74.44
8.96 9.97 7.56
15
Dari Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa secara umum perlakuan compregnasi dengan menggunakan urea formaldehida memberikan nilai keteguhan lengkung static kayu karet yang lebih rendah dibandingkan dengan control. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan compregnasi dengan menggunakan urea formaldehida tidak memberikan pengaruh yang nyata pada modulus patah kayu karet, tetapi faktor lama penekanan pada perlakuan compregnasi memberikan pengaruh yang nyata pada modulus elastisitas kayu karet. Distribusi nilai modulus patah dan modulus elastisitas kayu karet pada berbagai perlakuan dengan menggunakan urea formaldehida dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 berikut ini.
Modulus Patah (MPa)
80 60 0 menit
40
30 menit 60 menit
20
120 menit 0 0%
5%
10%
15%
Konsentrasi Urea Formaldehida
Gambar 2 Grafik nilai modulus patah kayu kayu karet pada berbagai perlakuan compregnasi.
115
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI
Modulus elastisitas (GPa)
10 8 6
0 menit 30 menit
4
60 menit 2
120 menit
0 0%
5%
10%
15%
Konsentrasi Urea Formaldehida Gambar 3 Grafik nilai modulus elastisitas kayu karet pada berbagai perlakuan compregnasi.
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Compregnasi kayu karet dengan menggunakan urea formaldehida dapat meningkatkan nilai kerapatan kering udara kayu. 2. Compregnasi kayu karet dengan menggunakan urea formaldehida dapat memperbaiki nilai penyusutan kayu pada arah tangensial. 3. Compregnasi kayu karet dengan menggunakan urea formaldehida memberikan pengaruh pada nilai modulus elastisitas kayu karet tetapi tidak berpengaruh nyata pada modulus patah kayu.
116
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI
Pengawetan Kayu Mahoni Secara Tekanan dengan Deltamethrin terhadap Serangan Rayap Kayu Kering Dida Satria Persada, Tomy Listyanto, dan Ganis Lukmandaru Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Email :
[email protected] Abstrak Di Indonesia 80-85% kayu mempunyai keawetan yang rendah (kelas III - IV). Salah satunya yaitu kayu mahoni yang memiliki kelas awet II-III sehingga perlu diawetkan agar lebih tahan terhadap rayap kayu kering. Bahan pengawet kimia biasanya berbahaya bagi lingkungan, oleh karena itu diperlukan bahan pengawet yang ramah terhadap lingkungan. Salah satu pengawet yang merupakan pestisida aman yaitu deltamethrin dan telah banyak digunakan mulai dari pertanian sampai pengendalian hama rumah tangga. Penelitian ini menggunakan dua faktor yaitu konsentrasi bahan pengawet yaitu 0,005%, 0,01%, dan 0,05% dan besar tekanan pengawetan yaitu 5 atm, 7,5 atm, dan 10 atm. Rayap yang digunakan contoh pada penelitian ini adalah rayap kayu kering sebanyak 50 ekor pada setiap sampel uji. Rayap diumpankan pada contoh uji yang sudah ditutup tabung kaca sebagai tempat rayap selama 30 hari. Dari hasil pengujian, kisaran rata-rata nilai absorbsi bahan pengawet deltamethrin yaitu 50,483-86,684 kg/m3, retensi sebelum pengkondisian 5,828-7,3 kg/m3, dan retensi bahan pengawet deltamethrin sesudah pengkondisian 2,37-4,912 kg/m3. Rata-rata mortalitas rayap yang didapat pada penelitian ini yaitu 66-100% selama 2 minggu dan 99,33-100% selama 4 minggu, kisaran rata-rata nilai pengurangan berat sebesar 0,97-37,77 mg, sedangkan nilai derajat kerusakan sebesar 0,8232,18%. Faktor konsentrasi berbeda nyata terhadap absorbsi, retensi setelah pengkondisian, mortalitas rayap selama 2 minggu, pengurangan berat dan derajat kerusakan, sedangkan faktor besar tekanan berbeda nyata pada absorbsi dan retensi setelah pengkondisian. Kata Kunci : Swietenia macrophylla King., deltamethrin, tekanan, Cryptotermes cynocephalus Light. Pendahuluan Kayu mahoni merupakan salah satu kayu yang banyak dijumpai di hutan rakyat maupun hutan tanaman yang diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan pasokan kayu. Tanaman mahoni yang ditanam di Jawa mencapai 39,99 juta pohon atau sekitar 88,36 % dari total populasi pohon mahoni di Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 5,27 juta pohon (11,64 %) berada di luar Jawa. Tanaman mahoni di Indonesia terkonsentrasi di tiga propinsi, berturut-turut adalah di Jawa Tengah (39,04 %), Jawa Barat (27,56 %) dan Jawa Timur (11,63 %). Sebanyak 45,26 juta populasi pohon mahoni di Indonesia, hanya sekitar 9,49 juta pohon atau 20,98 persen saja yang merupakan tanaman mahoni yang siap tebang (Anonim, 2004). Hal ini memberikan gambaran bahwa tanaman mahoni yang ditanam oleh rakyat sebagian besar masih berumur muda. Bagian gubal lebih menarik bagi organisme penyerang karena mengandung simpanan bahan-bahan seperti pati, dan juga karena tidak adanya zat-zat ekstraktif, sehingga tidak tahan terhadap degradasi, sekalipun pada spesiesspesies dengan kayu teras awet (Nicholas, 1987). Mahoni memiliki kelas awet III dan rentan terhadap serangan rayap, maka untuk mengatasi permasalahan pada kayu mahoni tersebut maka perlu dilakukan pengawetan. Pengawetan kayu bertujuan melindungi dan menghindarkan kayu dari berbagai serangan unsurunsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu sehingga umur kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang (Suranto, 2002). Bahan pengawet merupakan salah satu bagian yang penting dalam pengawetan. Bahan pengawet kayu adalah bahan-bahan kimia yang apabila digunakan secara baik terhadap kayu akan membuat kayu tahan terhadap serangan jamur, serangga, dan binatang laut (Hunt dan Garrat, 1986). Bahan pengawet anti serangga yang sedang populer saat ini adalah deltamethrin. Deltamethrin banyak digunakan sebagai insektisida di bidang pertanian maupun rumah tangga. Salah satu metode pengawetan kayu yaitu metode tekanan. Suranto (2002) menyatakan bahwa pengawetan kayu dengan cara tekanan adalah cara yang paling efektif untuk melindungi kayu terhadap serangan oleh pembusukan, serangga, api, dan lain-lain. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengawetan secara tekanan adalah konsentrasi
117
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI bahan pengawet dan besar tekanan yang diberikan. Besar tekanan dan konsentrasi pengawet yang diberikan berpengaruh terhadap absorbsi dan retensi bahan pengawet (Hunt dan Garrat 1986). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, bahan pengawet harus cukup air agar mobilitas bahan pengawet menjadi tinggi sehingga larutan bahan pengawet dapat meresap ke dalam rongga-rongga kayu. Berdasarkan pertimbangan diatas dan masih jarangnya dilakukan aplikasi penelitian deltamethrin pada kayu gergajian serta rayap kayu kering maka perlu dilakukan dengan tujuan mengetahui interaksi faktor konsentrasi bahan pengawet deltamethrin. Bahan dan Metode Penelitian Penyiapan Bahan Bahan yang digunakan adalah kayu mahoni dari hutan rakyat di daerah Kalasan, Jawa Tengah dengan diameter 65 cm diambil dari bagian pangkal yang dibuat menjadi contoh uji berukuran 5 x 3 x 5 cm. Bahan pengawet berupa deltamethrin dengan merk DTM Wood Protectant yang diproduksi oleh Agropharm (UK) Limited dan didistribusikan oleh CV. Langgeng Cahaya Mas Surabaya, Jawa Timur. Rayap kayu kering sebanyak 1500 ekor yang diperoleh dari koloni rayap yang diisolasi dengan kayu ganitri selama sekitar 1 – 2 minggu dengan kisaran suhu sebesar 270C. Pembuatan Contoh Uji Contoh uji yang didapat berupa papan kayu mahoni berukuran 100 x 50 x 3 cm. Setelah itu papan tersebut dipotong menjadi balok berukuran 50 x 5 x 3 cm kemudian dipotong-potong menjadi contoh uji kecil berbentuk kubus dengan ukuran 5 x 5 x 3 cm sebanyak 30 buah, dimana 27 scontoh uji dikenakan perlakuan pengawetan dan 3 contoh uji untuk kontrol. Ukuran contoh uji pengawetan ini mengacu pada Protocol for Assessment of Wood Preservatives dengan dimensi contoh uji minimum untuk pengawetan yaitu 15 mm (radial) x 25 mm (tangensial) x 50 mm (longitudinal) (Anonim, 2007). Contoh uji untuk kadar air dan berat jenis sebanyak 9 buah dibuat dengan ukuran sesuai pada British Standard 373 yaitu 2 x 2 x 2 cm (Anonim, 1957). Setelah itu dilakukan pengamplasan pada contoh uji yang berukuran 5 x 3 x 5 cm tersebut yang berfungsi untuk meratakan permukaan contoh uji. Setelah permukaannya rata baru dilakukan pengecatan. Pengecatan dilakukan pada ke empat permukaan contoh uji, yaitu pada dua permukaan bidang transversal dan dua permukaan bidang yang berhadapan. Pengecatan dengan cat kayu ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya peresapan ganda. Setiap contoh uji, ulangannya serta contoh uji sebagai kontrol sebanyak 3 sampel uji (tanpa perlakuan apapun) diberi tanda dan dikeringudarakan sampai konstan. Selain itu disediakan juga kontrol tanpa makanan dengan meletakkan rayap hanya pada tabung kaca tanpa ada kayu sebagai makanannya (Kontrol 2). Cara pembuatan contoh uji dapat dilihat pada Gambar 1.
118
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI Proses Pengawetan Bahan pengawet deltamethrin merupakan bahan pengawet murni, oleh karena itu perlu ditambah pelarut agar mencapai konsentrasi yang diinginkan (0,005; 0,01; dan 0,05 %). Dalam hal ini kebutuhan larutan (pengawet + larutan) diasumsikan sebanyak 10000 ml atau 10 liter. Contoh uji yang telah dipotong dikeringanginkan selama beberapa hari sampai beratnya konstan kemudian ditimbang berat contoh uji tersebut (bo). Pada proses pengawetannya, sampel uji diletakkan dalam tangki pengawetan, kemudian dalam tangki diisi dengan larutan bahan pengawet dengan konsentrasi tertentu dan sesuai dengan variasi besar tekanan yang diberikan melalui pengaturan kompresor, dimana lama tekanan masing-masing adalah 30 menit. Selanjutnya, contoh uji diangkat dari larutan dan dilap dengan kain bersih basah setelah dilakukan perendaman. Contoh uji ini kemudian ditimbang sebagai berat contoh uji setelah pengawetan (bb). Setelah contoh uji dikeringudarakan, diperoleh berat konstan lalu ditimbang (bi). Perhitungan absorbsi(g/cm) dan retensi aktual/sebelum pengkondisian (g/cm3) adalah sebagai berikut :
Keterangan : v = volume contoh uji (cm3); RA = retensi aktual/sebelum pengkondisian Setelah contoh uji diawetkan dan dikering – udarakan, diberi perlakuan pengkondisian terhadap cuaca. Pengkondisian terhadap cuaca dilakukan dengan cara memasukkan contoh uji ke dalam oven bersuhu 49ºC selama 24 jam/ 1 hari penuh, kemudian direndam dalam air suling selama dua jam. Selanjutnya contoh uji diambil lalu dimasukkan kembali ke dalam oven bersuhu 49ºC sampai hari berikutnya. Perlakuan pengkondisian seperti ini dilakukan selama kurang lebih 2 minggu. Setelah itu, contoh uji diambil dari oven lalu dikeringudarakan di ruang laboratorium kurang lebih selama dua hari (Anonim, 1970) dan diukur retensi setelah pengkondisian. Pengumpanan Pada Rayap Kayu Kering Contoh uji dengan berat konstan ditimbang lalu dipasang pipa/tabung gelas pada salah satu permukaan yang tidak di cat. Metode ini seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Sunarta (2006). Selanjutnya ditaruh rayap kayu kering sebanyak 50 ekor yang sehat dan aktif (nimfa rayap). Contoh uji yang sudah diletakkan rayap disimpan ditempat dimana rayap dapat hidup dengan baik. Pengamatan terhadap mortalitas rayap dilakukan setiap hari selama 30 hari. Bila ada rayap yang mati harus diambil dengan pinset lalu dibuang. Setelah 30 hari dilakukan penimbangan untuk menentukan berat sesudah pengumpanan dalam kondisi kering angin. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengurangan berat pada contoh uji. Derajat kerusakan menunjukkan intensitas serangan rayap terhadap contoh uji, dihitung sebagai persentase penurunan berat contoh uji setelah pengumpanan terhadap penurunan berat kontrol (Hadikusumo, 2004) yaitu :
119
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI Cara yang dilakukan untuk pengumpanan rayap dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan : a. Tabung kaca b. Ruang tempat meletakkan rayap c. Permukaan kayu yang diserangkan (tidak dicat) d. Permukaan kayu yang dicat Rancangan Penelitian dan Analisis Data Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomized Design) yang disusun secara faktorial dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi pengawet (0,005; 0,01; dan 0,05 %) dan faktor kedua adalah besar tekanan (5; 7,5 dan 10 atm). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman yang disusun secara faktorial. Uji lanjut memakai HSD atau Tukey. Untuk pengujian mortalitas rayap, data ditransformasi ke akar kuadrat lalu ditransformasi lagi ke arcsin (Gomez dan Gomez, 1995).Untuk penyajian data dan diagram batangnya tetap menggunakan data mortalitas sebelum ditransformasi untuk memudahkan penafsiran. Perhitungan data menggunakan program SPSS versi 16. Hasil dan Pembahasan Dari hasil analisis variansi dwi-arah (Tabel 1), terlihat bahwa tidak ada interaksi yang nyata pada taraf 5 %. Faktor konsentrasi dan tkanan secara terpisah mempengaruhi secara nyata pada parameter absorbsi, dan. retensi setelah pengkondisian. Faktor konsentrasi juga berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap selama 15 hari, pengurangan berat dan derajat kerusakan. Tabel 1. Hasil analisis varians pada parameter-parameter pengaetan kayu mahoni dengan deltamethrin Parameter
Signifikansi Konsentrasi
Tekanan
Interaksi
Absorbsi
0,03*
0,01>**
0,98 tn
Retensi sebelum pengkondisian
0,26tn
0,10 tn
0,82 tn
Retensi setelah pengkondisian
0,01>*
0,01>**
0,32 tn
Pengurangan berat
0,01>*
0,65 tn
0,95 tn
Mortalitas rayap selama 15 hari
0,01>*
0,12 tn
0,09 tn
Mortalitas rayap selama 30 hari
0,16 tn
0,61 tn
0,73 tn
Derajat kerusakan
0,01>*
0,73 tn
0,93 tn
Keterangan **
: beda sangat nyata pada taraf signifikansi 1% * : beda nyata pada taraf signifikansi 5%
120
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI tn
: tidak berbeda nyata
Absorbsi dan Retensi Absorbsi merupakan banyaknya larutan bahan pengawet yang dikandung oleh kayu segera setelah diawetkan sedangkan retensi adalah jumlah bahan pengawet tanpa pelarut (bahan pengawet kering) yang masuk dan tinggal di dalam kayu setelah proses pengawetan selesai dilakukan (Yudodibroto, 1982). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan deltamethrin serta semakin tinggi besar tekanan yang digunakan diperoleh kecenderungan nilai absorbsi yang semakin meningkat, dengan rata-rata nilai absorbsi 50,483 kg/m3 sampai 83,804 kg/m3(Gambar 3). Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai retensi semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan pengawet dan besar tekanan yaitu dengan nilai rata-rata retensi 5,828 kg/m3 sampai 7,3 kg/m3 Gambar 4). Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa pada retensi sebelum pengkondisian cuaca faktor konsentrasi larutan pengawet, besar tekanan, dan interaksi keduanya memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Pada retensi setelah pengkondisian cuaca masing-masing faktor konsentrasi larutan dan besar tekanan memberikan hasil yang sangat berbeda nyata pada α = 1%. Hal ini dapat disebabkan nilai retensi pada tiap faktor tidak berbeda jauh sebelum pengkondisian cuaca, namun setelah pengkondisian jumlah bahan pengawet yang tertinggal di dalam kayu pada konsentrasi larutan dan besar tekanan yang lebih kecil mengalami penurunan yang lebih besar sehingga nilai retensinya menjadi jauh berbeda dengan nilai retensi faktor konsentrasi larutan dan besar tekanan di atasnya. Nilai retensi mengalami penurunan setelah mengalami pengkondisian cuaca, dengan penurunan rata-rata sebesar 39,40 % dari rata-rata nilai retensi sebelum pengkondisian cuaca. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah bahan pengawet yang masih tertinggal apabila terkena cuaca panas maupun hujan secara berulang kali. Faktor konsentrasi larutan pengawet dan besar tekanan pada pengawetan secara tekanan cenderung mengalami kenaikan karena diduga semakin tinggi konsentrasi larutan pengawet maka akan semakin banyak jumlah bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu, sedangkan semakin besar tekanan yang diberikan maka larutan pengawet yang dipaksa masuk ke dalam kayu akan semakin banyak sehingga nilai absorbsi akan semakin besar. Nilai retensi memiliki kecenderungan yang sama dengan nilai absorbsi, hal ini sesuai dengan pernyataan Hunt dan Garrat (1986) dimana semakin tinggi absorbsi yang didapat semakin tinggi pula retensi yang diperoleh karena nilai retensi dipengaruhi oleh nilai absorbsi.
(a)
(b)
121
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI Gambar 3. Nilai absorbsi kayu mahoni terhadap bahan pengawet deltamethrin pada berbagai konsentrasi (a) dan besar tekanan (b). Huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (α = 5%).
(a)
(b)
Gambar 4. Nilai retensi kayu mahoni terhadap bahan pengawet deltamethrin pada berbagai konsentrasi (a) dan besar tekanan (b). Huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (α = 5%).
Sifat Anti-rayap Pengurangan berat merupakan selisih antara berat kayu sebelum dan setelah diumpankan kepada rayap kayu kering selama 4 minggu. Hasil penelitian menunjukkan pengurangan berat cenderung mengalami penurunan seiring dengan kenaikan konsentrasi larutan. Pada faktor konsentrasi larutan rata-rata pengurangan berat pada konsentrasi 0,005 % sebesar 36,12 mg, konsentrasi 0,01 % sebesar 8,86 mg, dan konsentrasi 0,05 % sebesar 1,53 % (Gambar 5). Pada kontrol tanpa perlakuan rata-rata mortalitas rayap kayu kering sebesar 117,37 mg, sehingga dapat dikatakan bahwa bahan pengawet cukup efektif untuk mencegah serangan rayap kayu kering karena selisih pengurangan berat dengan kontrol cukup berbeda jauh. Mortalitas merupakan besarnya nilai kematian rayap kayu kering dan merupakan parameter untuk mengukur tingkat efektifitas suatu bahan pengawet. Dari hasil penelitian selama 2 minggu menunujukkan rata-rata nilai mortalitas rayap kayu kering sebesar 70,22 % sampai 100 %, sedangkan pada pengamatan selama 4 minggu diperoleh hasil ratarata nilai mortalitas rayap kayu kering sebesar 99,56 % sampai 100 % (Gambar 6). Hal ini dapat dikatakan bahwa bahan pengawet sangat efektif mencegah serangan rayap kayu kering sesuai dengan pernyataan Hadikusumo (2004), bahwa perlakuan pengawetan disebut efektif bila diperoleh mortalitas rayap minimal 70 %.
122
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI
Gambar 5. Pengurangan berat pada berbagai konsentrasi (Nilai HSD = 0,070). Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 1%. Kontrol 1 = mahoni tanpa perlakuan pengawetan
Gambar 6. Mortalitas rayap kayu kering pada berbagai konsentrasi (Nilai HSD = 0,852). Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 1%. Kontrol 1 = mahoni tanpa perlakuan pengawetan, kontrol 2 = rayap tidak diberi makanan
Pada kontrol tanpa makanan sudah diperoleh nilai mortalitas sebesar 100 % selama 2 minggu pengamatan, sedangkan pada kontrol tanpa perlakuan atau proses pengawetan diperoleh rata-rata nilai mortalitas rayap sebesar 23,33 % selama 2 minggu dan 49,33 % selama 4 minggu. Perkembangan nilai mortalitas (Gambar 7) dapat dilihat bahwa kontrol tanpa perlakuan cenderung mengalami kenaikan yang kecil sedangkan kontrol tanpa makanan mempunyai kecenderungan kenaikan mortalitas yang lebih besar daripada konsentrasi 0,005 %, namun lebih kecil daripada konsentrasi 0,01 % dan 0,05 %. Deltamethrin membunuh serangga melalui kontak pencernaan dengan masuk ke dalam saluran pencernaan setelah serangga tersebut memakan bahan yang mengandung deltamethrin (Anonim, 2008). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan pula bahwa rayap benar-benar mati karena keracunan bahan pengawet dan bukan karena kondisi lingkungan yang tidak memadai. Hal ini dapat dilihat juga dari pengurangan berat sampel yang lebih banyak terjadi pada kontrol tanpa perlakuan. Besarnya absorbsi dan retensi deltamethrin tidak berpengaruh
123
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI terhadap mortalitas rayap karena deltamethrin membunuh rayap lebih karena kepekatan konsentrasinya daripada banyaknya jumlah deltamethrin yang masuk ke dalam kayu sehingga dapat disimpulkan dengan absorbsi dan retensi minimum deltamethrin sudah cukup efektif mencegah serangan rayap selama memiliki konsentrasi yang tinggi.
Gambar 7. Grafik Peningkatan mortalitas pada tiap perlakuan Keterangan : K = Konsentrasi larutan L = Besar tekanan
Nilai pengurangan berat ini lebih besar daripada penelitian Sadono (2005) dengan bahan pengawet alfamethrin pada kayu karet yaitu 2,82 mg pada konsentrasi larutan pengawet 0,006 %. Hal ini dapat disebabkan karena bahan pengawet alfamethrin lebih kuat daripada deltamethrin yang dipakai pada penelitian ini ataupun karena rayap lebih suka memakan kayu mahoni daripada kayu karet. Pengurangan berat mengalami penurunan seiring kenaikan konsentrasi larutan, hal ini diduga disebabkan semakin banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu sehingga menyebabkan aktifitas makan rayap terganggu sehingga hanya sedikit kayu yang dimakan. Hal ini didukung pernyataan Nicholas (1987) yang menyatakan bahwa bahan pengawet dengan konsentrasi tinggi akan lebih banyak masuk ke dalam kayu dibandingkan dengan bahan pengawet dengan konsentrasi lebih rendah. Nilai derajat kerusakan dihitung berdasarkan presentase pengurangan berat sampel terhadap kontrol. Sumarni (1988) menyatakan bahwa kriteria derajat kerusakan sedang ditandai dengan adanya kerusakan contoh uji berupa bekas gigitan yang dangkal dan meluas. Dari hasil penelitian diperoleh hasil derajat kerusakan berkisar antara 0,82 % sampai 29,28 % (Gambar 8). Dari rata-rata derajat kerusakan dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini kondisi kerusakan termasuk sedang, sehingga dapat dikatakan bahwa bahan pengawet cukup efektif untuk mencegah kerusakan kayu dari serangan rayap kayu kering. Derajat kerusakan cenderung menurun seiring meningkatnya konsentrasi larutan pengawet. Hal ini diduga semakin besar konsentrasi larutan semakin banyak bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu sehingga rayap lebih banyak yang keracunan. Keracunan tersebut mengakibatkan jumlah rayap yang memakan kayu menjadi lebih sedikit sehingga derajat kerusakan semakin berkurang seperti yang ditunjukkan oleh grafik mortalitas (Gambar 6).
124
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI
Gambar 8. Derajat kerusakan sampel pada berbagai konsentrasi (Nilai HSD = 5,272). Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 1%.
Pada penelitian ini besar tekanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap mortalitas rayap, pengurangan berat, dan derajat kerusakan. Hal ini diduga karena besar tekanan hanya berpengaruh terhadap seberapa banyak deltamethrin masuk ke dalam ke kayu namun tidak mempengaruhi keefektifannya dalam membunuh rayap sehingga hanya faktor konsentrasi yang mempunyai pengaruh terhadap mortalitas rayap dan pengurangan berat. Hal ini berbeda dengan nilai absorbsi dan retensi yang dipengaruhi faktor besar tekanan dimana besarnya dipengaruhi oleh seberapa banyak deltamethrin yang masuk ke dalam kayu. Berdasarkan pada hasil tersebut dapat dikatakan bahwa besarnya absorbsi dan retensi bahan pengawet ke dalam kayu tidak berpengaruh terhadap pengurangan berat sampel karena aktifitas makan rayap hanya dipengaruh oleh kosentrasi bahan pengawet bukan banyaknya jumlah bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Pada penelitian Sathantriphop et al. (2006) menunjukkan bahwa deltamethrin 0,05 % dapat mengakibatkan tingkat kematian Aedes aegypti mencapai 82,7 %, sedangkan penelitian oleh Adnan (2004) menunjukkan bahwa deltamethrin dengan konsentrasi 10 ml / 16 l air mengakibatkan mortalitas pada larva penggerek batang jagung sebesar 90 % dan ulat grayak sebesar 96 %. Pada penelitian ini deltamethrin dengan konsentrasi 0,005 % mampu mengakibatkan rata-rata mortalitas terhadap rayap kayu kering sebesar 70,22 % selama 2 minggu dan 99,56 % selama 4 minggu sehingga dapat disimpulkan bahwa deltamethrin efektif untuk mencegah serangan rayap kayu kering. Kesimpulan Hasil rerata nilai absorbsi sebesar 50,483 - 86,684 kg/m3, rerata nilai retensi sebelum pengkondisian sebesar 5,828 - 7,300 kg/m3 setelah pengkondisian sebesar 2,370 - 4,912 kg/m3. Rerata mortalitas rayap sebesar 66 – 100 % selama 2 minggu dan 99,33 – 100 % selama 4 minggu, rerata pengurangan berat sampel sebesar 0,97 - 37,77 mg, serta derajat kerusakan sebesar 0,82 - 32,18 %. Faktor interaksi antara konsentrasi dan besar tekanan tidak memberikan pengaruh nyata pada semua parameter. Faktor konsentrasi bahan pengawet deltamethrin memberikan pengaruh nyata pada parameter absorbsi, retensi, mortalitas rayap, pengurangan berat, maupun derajat kerusakan. Faktor besar tekanan yang diberikan memberikan pengaruh nyata pada parameter absorbsi dan retensi.
125
BIODEGRADASI DAN PENINGKATAN KUALITAS KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU MAHASISWA (MAPEKI) XVI Daftar Pustaka Adnan AM. 2004. Control of Asian Corn Borer (Ostrinia furnacalis Guenee) and Cutworm (Spodoptera litura Fabricius) by Using The Los Banos Entomopathogenic Nematode (Family : Steinernematidae) : A Screen House Test. www.peipfi-komdasulsel.org. (Diakses tanggal 11 Agustus 2011) Anonim. 1970. Annual Books of ASTM Standars, Part 16. Philadelphia. USA. Anonim. 1957. Methods of Testhing Small Clear Specimen of Timber. British Standard 373 London. Anonim. 2004. Potensi Hutan rakyat Indonesia Tahun 2003. (Diakses tanggal 27 Februari 2011) www.dephut.go.id/INFORMASI/BUKU2/PHRI_03/PHRI_03.htm Anonim. 2007. Protocol for Assessment of Wood Preservatives. A Production of the Australian Wood Preservation Comitte. Anonim. 2008. Deltamethrin. www.pestproducts.com/deltamethrin.htm. (Diakses tanggal 27 Februari 2011) Gomez KA, Gomez AA. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan, Penerbit Tarsito Bandung. Hadikusumo SA. 2004. Pengawetan Kayu. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan. Hunt GM, Garratt GA. 1986. Pengawetan Kayu, Diterjemahkan Oleh Ir. Mohamad Jusuf (Alm.). CV Akademika Presindo. Jakarta. Nicholas D. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan, Sadono Y. 2005. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengawet Alfametrin dan Lama Tekan pada Pengawetan Kayu Karet terhadap Serangan Rayap Kayu Kering. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). Sathantriphop S, Paeporn P, Supaphathom K. 2006. Detection of Insecticides Resistance Status in Culex quinquefasciatus and Aedes aegypti to Four Major Groups of Insecticides. Trop Biomed. 23(1):97-101. Sumarni G. 1988. Daya Hidup dan Intensitas Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. pada Kelapa (Cocos nucifera L.) Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Sunarta S. 2006. Karakterisasi Sifat – Sifat Asap Cair Cangkang Kelapa Sawit Untuk Pengawetan Kayu. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suranto Y. 2002. Pengawetan Kayu; Bahan dan Metode. Kanisius. Yogyakarta. Yudodibroto H. 1982. Pengawetan Kayu Untuk Menghambat Serangan Biologik dan Kebakaran Serta Untuk Stabilisasi Dimensi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
126
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PEMROGRAMAN KOMPUTER PERANCANGAN STRUKTUR RANGKA KUDA-KUDA BERBAHAN DASAR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL) KAYU SENGON Achmad Basuki1), Sholihin As’ad2), Setyowati, Setiono3), dan Hermawan Kris Priyantono3) 1)2)3) Jurusan Teknik Sipil FT Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 3) PT. Sumber Graha Sejahtera, Tangerang Email :
[email protected]
ABSTRAK Tujuan pembuatan program komputer ini adalah untuk menghasilkan guideline dan memudahkan pengguna dalam perancangan struktur kuda-kuda ringan dari bahan Laminated Veneer Lumber (LVL) kayu sengon. Pemrograman komputer disusun berdasarkan teori yang dikembangkan melalui penelitian yang telah peneliti lakukan dan divalidasi dengan prototip struktur rangka kuda-kuda ringan berbahan LVL kayu sengon, yang memenuhi syarat dalam memikul beban atap sesuai dengan standar pembebanan Indonesia untuk gedung. Pemrograman meliputi beberapa tahapan dari penentuan gaya-gaya dalam dari pemodelan struktur rangka kuda-kuda akibat beban yang ada, dan properties material LVL kayu sengon. Alat pengencang yang digunakan adalah pasak bambu laminasi. Kapasitas batang terhadap gaya aksial tekan dan tarik, serta kebutuhan jumlah pasak pada sambungan disajikan dalam pemrograman ini. Dari hasil verifikasi program menunjukkan bahwa program ini dapat digunakan dalam perancangan struktur rangka kuda-kuda. Kata kunci: program komputer, kuda-kuda ringan, kayu sengon, LVL, sambungan pasak bambu. Pendahuluan Kebutuhan akan kayu tidak diiringi dengan ketersedian kayu yang ada di lapangan. Hal ini dikarenakan umur kayu keras yang cukup lama. Dalam perkembangannya penggunaan kayu keras dapat digantikan dengan kayu sengon yang memiliki umur layak guna lebih pendek. Kelemahan kayu sengon dapat diatasi salah satunya dengan Laminated Veneer Lumber (LVL). Laminated Veneer Lumber (LVL) adalah proses penyatuan beberapa lapis kayu dengan lem. Laminated Veneer Lumber (LVL) kayu sengon dibuat dengan cara menyatukan lembaran-lembaran kayu sengon yang masa tumbuhnya singkat dan direkatkan dengan bahan adhesive sehingga menghasikan kayu utuh. Kayu LVL memiliki kekuatan yang setara dengan kayu konvensional sehingga layak digunakan sebagai material bangunan. Dalam pemanfaatannya, kayu LVL digunakan sebagai rangka kuda-kuda, menggantikan penggunaan kuda-kuda kayu keras. Untuk mendapatkan kemampuan rangka kuda-kuda sesuai keinginan dibutuhkan desain yang dapat menahan beban yang akan diterima. Salah satu cara mendapatkan desain yang sesuai adalah dengan menentukan guideline dari rangka kuda-kuda kayu LVL tersebut. Dalam penentuan guideline dirumuskan dengan algoritma-algoritma. Algoritma adalah kumpulan urutan perintah yang menentukan operasi-operasi tertentu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu masalah ataupun mengerjakan suatu tugas tertentu. Algoritma merupakan urutan langkah instruksi yang logis. Setiap langkah instruksi mengerjakan suatu tindakan aksi. Apabila suatu aksi dilaksanakan, maka operasi atau sejumlah operasi yang bersesuaian dengan aksi itu dikerjakan oleh pemroses. Bila data yang digunakan benar, maka algoritma akan selalu berhenti dengan memberikan hasil yang benar pula. Laminated Veneer Lumber (LVL) merupakan salah satu anggota panel kayu yang terbuat dari lembaran-lembaran vinir yang direkat dengan arah sejajar satu sama lain dan sekaligus sejajar dengan arah memanjang panel (Bakar,1996). LVL sebagai produk olahan mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan kayu utuh. Pada kayu utuh pengaruh cacat-cacat alami kayu sangat mempengaruhi keteguhan kayu, tetapi pada produk LVL cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata di antara lapisan vinir sehingga dapat meminimumkan pengaruh cacat-cacat tersebut terhadap kekuatan LVL. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan kekuatan yang lebih tinggi dan
127
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI lebih seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama (Youngquist dan Bryant 1979). Menurut Bakar (1996) dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, papan LVL mempunyai nilai lebih, meliputi ukuran panjang “endless”, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi. Salah satu perbedaan antara LVL dengan kayu lapis adalah adanya sambungan vinir pada arah tegak lurus serat. Sambungan pada arah tegak lurus serat ini tidak mengurangi keteguhan LVL asalkan posisi sambungan masing-masing lapisan tersebar merata dan jarak posisi sambungan vinir suatu lapisan tidak kurang dari 20 kali tebal vinir penyusunnya terhadap posisi sambungan lapisan di sebelahnya (Bakar, 1996). Perilaku tekuk dipengaruhi oleh nilai kelangsingan elemen batang tekan yaitu nilai banding antara panjang efektif elemen batang tekan dengan jari-jari girasi penampang elemen batang tekan. Apabila nilai kelangsingan sangat kecil, maka serat-serat kayu pada penampang elemen akan gagal tekan (crushing failure). Tetapi bila angka kelangsingan sangat tinggi, maka elemen batang akan mengalami kegagalan tekuk dan serat-serat kayu belum mencapai kuat tekannya atau bahkan masih ada pada kondisi elastik (lateral buckling failure). (Ali Awaludin, 2005) Selain kekuatan dan kekakuan elemen batangnya, desain juga harus menjamin struktur tidak akan mengalami kegagalan pada lokasi sambungan. Ada beberapa jenis sambungan seperti paku, baut dan pasak. Persamaan kekuatan secara umum dapat dituliskan seperti pada Persamaan (1) Fn = λ ϕ ∏ Ci F
(1)
Dimana Fn adalah gaya terfaktor (nomimal) yang merupakan hasil perkalian λ (faktor waktu kombinasi pembebanan), ϕ (faktor reduksi tahanan), ∏Ci (faktor koreksi masa layan – yang terdiri atas beberapa faktor) dan F (kuat/ tahanan acuan). Nilai kuat acuan berdasar kode mutu. Kuat tumpu kayu dipengaruhi oleh kandungan air dan berat jenis kayu. Wilkinson (1991) mengusulkan Persamaan (2). Fe = 114,45G1,84
(2)
dimana Fe = kuat tumpu kayu, dan G = berat jenis kayu. Perencanaan komponen struktur tarik bertujuan untuk mengetahui luas penampang batang minimum yang diperlukan. Apabila dimensi komponen struktur tarik telah ditetapkan, maka analisis berupa check terhadap luas tampang yang telah dipilih dapat dilakukan. Perhitungan kekuatan batang tarik yang memasukkan faktor-faktor seperti dalam Persamaan (3) (Awaludin, 2005): Tn = λ ϕ T’
(3)
Dimana Tn = kekuatan batang tarik terfaktor, λ = faktor waktu kombinasi pembebanan, ϕ = faktor reduksi tahanan tarik, dan T’ = tahanan tarik terkoreksi. Perencanaan dimensi batang tekan lebih sulit daripada perencanaan batak tarik, karena perilaku tekuk lateral menyebabkan timbulnya momen sekunder (secondary moment) selain gaya tekan aksial. Persamaan (4) menunjukkan perhitungan kekuatan batang tekan berikut menggambarkan kompleksitas faktor faktor yang ikut mempengaruhi kekuatan batang tekan (Awaludin, 2005): Pn = λ ϕc P’
(4)
Dimana, Pn = kekuatan tekan maksimum yang diijinkan, λ = faktor umur kombinasi pembebanan, ϕc = faktor reduksi tahanan tekan, dan P’ = tahanan terkoreksi. Kekuatan sambungan ditentukan oleh kuat tumpu LVL, tegangan lentur pasak, dan angka kelangsingan (nilai banding antara panjang pasak pada kayu utama dengan diameter pasak). Ketika angka kelangsingan kecil, pasak menjadi sangat kaku dan distribusi tegangan tumpu LVL di bawah pasak akan terjadi secara merata. Semakin tinggi angka kelangsingan pasak, maka pasak mulai mengalami tekuk dan tegangan tumpu LVL terdistribusi secara tidak merata. Bahan dan Metode Tahapan yang dilakukan dalam pembuatan program ini adalah : a) studi pustaka, yang berkaitan dengan bahasa pemrogram visual basic dan Delphi, dasar perencanaan konstruksi dan sambungan kayu, dan referensi lain yang relevan, b) pengumpulan data penelitian/pengujian yang berkaitan dengan material LVL kayu sengon, c) simulasi pemrograman desain yang dilakukan dengan memanfaatkan program komputer Delphi 2007. Dalam simulasi digunakan beberapa variasi dimensi penampang Laminated Veneer Lumber (LVL) kayu sengon untuk mengevaluasi jumlah pasak yang digunakan pada sambungan, serta perilaku terhadap sambungan tersebut, d) verifikasi hasil pemrograman.
128
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Program komputer desain struktur rangka kuda-kuda berbahan dasar LVL kayu sengon ini merupakan bagian dari pemrogram desain yang lengkap. Pemrograman ini hanya menentukan kapasitas tampang batang LVL kayu sengon yang digunakan, serta jumlah pasak yang dibutuhkan. Program belum dapat menampilkan gambar desain. Lankah pemrograman diawali dengan membuat diagram alir (flowchart) dan algoritma permrograman sehingga akan memudahkan dalam membuat/mengaplikasikan dalam bahasa pemrograman. Berikutnya pada pemrograman Delphi dilakukan pembuatan user interface terlebih dahulu, setelah itu dilbuat pengkodingan. Dalam pembuatan program Perencanaan Kuda–kuda LVL Kayu Sengon dengan Delphi 2007, dibutuhkan pembuatan database dengan bantuan program Microsoft Access 2007 untuk menyimpan hasil perhitungan yang didapat dari program. Langkah–langkah pembuatan database dengan MS. Access adalah sebagai berikut: 1. Buka Microsoft Office Access 2007, klik Blank Database dan pilih tempat penyimpanan database. Kemudian pilih create, klik table. Klik kanan pada tab Table1 pilih design view, simpan tabel dengan nama tblFaktorWaktu untuk database Faktor Waktu dalam kombinasi pembebanan. Beri nama untuk tiap kolom pada tabel dengan mengisikannya pada field name dan mendefinisikan data type sesuai kebutuhan program. 2. Lakukan hal yang sama untuk Tabel Faktor Reduksi (tblFaktorReduksi), Kode Mutu Kayu(tblKodeMutuKayu), Faktor Koreksi Layan Basah(tblFaktorLayanBasah), Faktor Koreksi Temperatur (tblFaktorTemperatur), Faktor Panjang Tekuk Struktur Tekan (tblFaktorPanjangTekuk), Nilai NDS dari U.S, 2001 untuk As/Am = 0,5 (tblAsAm05) dan As/Am = 1 (tblAsAm1). 3. Selanjutnya, buat database untuk hasil dari analisis program. Tabel yang dibutuhkan adalah Tabel Data Proyek yang merupakan identitas proyek yang akan dianalisis, Tabel Batang Atas (tblBatangAtas) untuk database analisis batang tekan, Tabel Batang Bawah (tblBatangBawah) untuk database analisis batang tarik, Tabel Tahanan Lateral (tblTahananLateral) untuk database analisis kelelahan alat sambung yang digunakan, Tabel Jumlah Sambungan (tblJumlahSambungan) untuk database analisis jumlah sambungan yang digunakan agar memenuhi syarat. Aplikasi dan Pembahasan Aplikasi program Perencanaan Kuda–kuda LVL Kayu Sengon dengan Delphi 2007 diperlukan langkah–langkah berikut sampai menghasilkan kapasitas tampang LVL kayu sengon yang memadai dan jumlah alat sambung pasak untuk yang digunakan. Prosedur perhitungan menggunakan program disajikan sebagai berikut : Tampilan awal program setelah dieksekusi seperti tampak pada Gambar 1, menekan tombol Start akan mengawali proses input data dan perhitungan.
Gambar 1. Tahap 1 program Input data pertama kali adalah menginformasikan Data Proyek, yang merupakan spesifikasi khusus perhitungan struktur rangka kuda-kuda. Setelah itu input yang perlu ditambahkan adalah beberapa faktor yang akan digunakan dalam perhitungan, termasuk kombinasi pembebanannya, yang dapat dilihat pada Gambar 2.
129
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 2. Tahap 3 Setelah Pemilihan ComboBox Perhitungan kapasitas tampang batang LVL kayu sengon, dikarenakan merupakan struktur rangka batang, berdasarkan pada gaya dalam berupa gaya tekan (atas) dan tarik (bawah), seperti terlihat dalam Gambar 3. Langkah berikutnya adalah menghitung kebutuhan jumlah pasak pada sambungan. Hasil perhitungan masih menunjukkan nilai kebutuhan pasak yang digunakan dan persyaratan pemasangan formasi pasak. Program belum menampilkan gambar formasi pemasangan. Perhitungan sambungan dapat dilihat pada Gambar 4 dan rekapitulasi jumlah pasak yang dibutuhkan seperti pada Gambar 5.
Gambar 3. Data dan perhitungan kapasitas tampang batang
130
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 4. Perhitungan tahanan lateral sambungan
Gambar 5. Rekapitulasi jumlah pasak Selanjutnya program desain struktur rangka kuda-kuda ini diverifikasi dengan perhitungan manual untuk mendapatkan validitas yang cukup pada perhitungan menggunakan program tersebut.
Kesimpulan Dari perhitungan desain struktur rangka kuda-kuda LVL kayu sengon dengan menggunakan program komputer dibandingkan dengan perhitungan manual diperoleh hasil yang hampir sama, sehingga program komputer desain struktur rangka kuda-kuda LVL kayu sengon ini cukup memadai untuk digunakan. Namun demikian, program ini dapat dikembangkan lebih lanjut khususnya untuk penggunaan alat sambung yang lain seperti paku, lem dan pelat sambung, serta gambar desain khususnya formasi pemasangan alat sambung. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kami ucapkan kepada Setyowati dan Setiono yang telah membantu terselesainya pemrograman ini, LPPM UNS atas dukungan dananya pada penelitian pengembangan LVL kayu sengon.
131
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Daftar Pustaka Awaludin, A. (2005), “Dasar-dasar Perencanaan Sambungan Kayu”, Biro Penerbit KMTS FT UGM, Yogyakarta. Badan Standarisasi Nasional (BSN) (1998), Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung (SNI 03-1727-1998), Jakarta. Badan Standarisasi Nasional (BSN) (2002), Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu, SNI-5, Jakarata. Basuki, A., Kristiawan, S.A., Priyantono, H.K., (2010a). "Perhitungan sambungan LVL kayu sengon menurut teori kayu", Laporan Penelitian Kerjasama JTS FT UNS dengan PT Sumber Graha Sejahtera, Tangerang. Basuki, A., Kristiawan, S.A., Priyantono, H.K., (2010b). "Kekuatan tumpu LVL kayu sengon pada berbagai arah serat", Laporan Penelitian Kerjasama JTS FT UNS dengan PT Sumber Graha Sejahtera, Tangerang. Basuki, A., Kristiawan, S.A., Priyantono, H.K., (2011). "Perhitungan sambungan LVL kayu sengon dengan kuat tumpu hasil uji", Laporan Penelitian Kerjasama JTS FT UNS dengan PT Sumber Graha Sejahtera, Tangerang. Basuki, A., Kristiawan, S.A., Priyantono, H.K., (2012), “Pengembangan Struktur Rangka Kuda-kuda Ringan Berbahan Dasar Laminated Veneer Lumber (LVL) Kayu Sengon”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing DIPA BLU UNS Tahun Pertama, Surakarta. Breyer, D.E. Fridley, K.J. Cobeen, K.E. dan Pollock, D.G. (2007). “Design of Wood Structures ASD/LRFD”. McGraw-Hill. United States of America. Kristiawan, S.A., Basuki, A., Priyantono, H.K., (2010). "Kekuatan rangka kuda-kuda LVL dibandingkan rangka kuda-kuda baja ringan", Laporan Penelitian Kerjasama JTS FT UNS dengan PT Sumber Graha Sejahtera, Tangerang. Kristiawan, S.A., Basuki, A., Priyantono, H.K., (2011a). "Modus kegagalan rangka kuda-kuda LVL kayu sengon", Laporan Penelitian Kerjasama JTS FT UNS dengan PT Sumber Graha Sejahtera, Tangerang. Kristiawan, S.A., Basuki, A., Priyantono, H.K., (2011b). "Kekuatan tekuk batang LVL kayu sengon", Laporan Penelitian Kerjasama JTS FT UNS dengan PT Sumber Graha Sejahtera, Tangerang. Rosalita, Yetvi. (2009). Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL). Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stephen (2007), Connection Methods for Timber Engineering. Timber Engineering. North America. -, (2000), Panduan Microsoft Acces 2000, Penerbit Andi, Yogyakarta. -, (2007), Pemrograman Delphi 2007, Penerbit Andi, Yogyakarta.
132
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN PEMLASTIS TERHADAP SIFAT MEKANIK MORTAR DENGAN BAHAN PENGISI ABU SEKAM PADI DAN ABU BAGAS TEBU Ismail Budiman1, Wida Banar Kusumaningrum1, Sasa Sofyan Munawar2 UPT Balitbang Biomaterial – LIPI Jl. Raya Bogor Km.46, Bogor 16911 2 Pusat Inovasi – LIPI Jl. Raya Bogor Km.47, Bogor 16912 1
Abstrak Penggunaan bahan pemlastis pada pembuatan mortar berfungsi untuk memperbaiki sifat workability dari mortar ataupun beton. Pada penelitian ini ingin diketahui pengaruh dari penggunaan pemlastis terhadap sifat mekanik mortar. Mortar dibuat dengan menggunakan bahan pengisi berupa abu dari sekam padi dan abu bagas tebu serta Polyvinyl Acetate (PVAc) yang digunakan sebagai bahan pemlastis. Mortar dengan bahan pengisi abu sekam padi dibuat dengan variasi perbandingan berat abu- semen 1:3 dan 1:4. Sedangkan variasi perbandingan berat abu-semen dari mortar dengan pengisi abu bagas tebu adalah 1:4 dan 1:5 Rasio berat antara bahan cair terhadap semen adalah 0,8, di mana perbandingan berat antara PVAc dan air dalam bahan cair tersebut adalah 1:3. Mortar dibuat dengan menggunakan pengaduk dan ditempatkan pada cetakan berukuran 25 mm x 25 mm x 300 mm. Setelah 24 jam, mortar dikeluarkan dari cetakan untuk direndam pada baik air selama 28 hari. Selanjutnya mortar diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dan mengacu pada standar ASTM C293-94 untuk kuat lentur dan ASTM C116-90 untuk kuat tekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembedaan rasio berat semen dengan agregat pada mortar abu sekam padi dan mortar abu bagas tebu tidak memberikan pola yang berbeda pada sifat mekanis mortar. Hal lainnya adalah bahwa pemberian pemlastis PVAc pada mortar cenderung menurunkan sifat mekanisnya. Kata kunci: mortar, abu sekam padi, abu bagas tebu, pemlastis lateks, sifat mekanik. I. Pendahuluan Mortar adalah campuran dari beberapa bahan baku seperti bahan pengikat (semen), bahan pengisi (agregat) dan air dengan atau tanpa bahan lainnya, diaduk sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu campuran yang homogen, plastis dan mudah dikerjakan. Perbandingan campuran antara bahan pengikat dengan bahan pengisi sangat tergantung dari tujuan penggunaannya, atau kekuatan mortar yang diinginkan, misalnya untuk tujuan penggunaan pelapis lantai gerbong kereta api, diperlukan mortar yang tahan terhadap getaran, panas, pukulan dan mempunyai plastisitas yang tinggi sehingga tidak mudah retak. Untuk kepentingan penggunaan material tertentu yang membutuhkan beton atau mortar dengan kerapatan rendah (lebih kecil dari 1 g/cm3), biasanya pasir atau agregat kasar lainnya tidak digunakan. Penggunaan agregat halus dengan kerapatan rendah lebih dipilih untuk digunakan dalam pembuatan material tersebut. Penelitian tentang penggunaan bahan pengisi mortar yang berasal dari bahan alam telah banyak dilakukan. Bahan alam yang digunakan tersebut diantaranya adalah abu sekam padi dan abu bagas tebu. Kedua bahan ini sangat melimpah ketersediaannya di Indonesia. Sekam padi adalah limbah dari proses penggilingan padi. Produksi beras Indonesia pada tahun 2007 berkisar pada angka 649,7 juta ton, dengan sekam yang dihasilkan sebesar 20% dari produksi berasnya (FAO, 2008). Komposisi kimia sekam padi tergantung dari jenis padi, tahun panen, iklim dan kondisi geografis (Chandrasekhar, S., S.K.G. Pramada, 2003). Pembakaran sekam dibawah suhu 8000C menghasilkan abu yang didominasi oleh silika dalam bentuk amorf (Chandrasekhar, S., S.K.G. Pramada, 2003; Zhang, M.H., V.M. Malhotra, 1996). Komponen kimia abu sekam padi terdiri atas SiO2 sebesar 72,28 % dan senyawa hilang pijar sebesar 21,43 %. Sedangkan persentase kandungan senyawa CaO, Al2O3, dan Fe2O3, tergolong sangat rendah yaitu masing-masing sebesar 0,65 %, 0,37 %, dan 0,32 %. Secara fisik abu sekam padi memiliki kerapatan gembur sebesar 0,76 g/cm 3.
133
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Maka, dengan kerapatan tersebut, maka diperkirakan akan menghasilkan mortar dengan kerapatan kurang dari 1 g/cm3 (Bakri, 2008). Habeeb, GA. et al. (2009) telah melakukan penelitian pembuatan beton dari bahan abu sekam padi pada berbagai ukuran partikel, pasir dan superplasticizer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kekuatan tekan, flexural strength, tensile strength dan static modulus meningkat dengan semakin kecilnya ukuran abu sekam padi yang digunakan pada semua waktu pengujian (28-180 hari). Abu sekam padi dapat secara efisien berfungsi sebagai bahan pozzolan (kandungan silika amorf 88,32%). Semakin halus abu sekam yang digunakan dalam beton, semakin tinggi kekuatan dari beton tersebut. Di lain pihak penelitian tentang pembuatan mortar dengan bahan baku semen, pasir, abu sekam padi dan fly ash batu bara telah dilakukan Chindaprasirt, P. et al. (2008). Dalam penelitian tersebut digunakan bahan superplasticizer tipe-F. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fly ash dan abu sekam padi sampai dengan 30% pada campuran dapat meningkatkan kekuatan tekan mortar. Selain itu, penggunaan kedua bahan ini pada pembuatan mortar dapat meningkatkan ketahanan korosi. Pada penambahan fly ash dan abu sekam sampai 40%, meskipun porositasnya meningkat, namun ketahanan terhadap korosinya juga meningkat. Rashid et al. (2010) menyatakan bahwa penambahan jumlah abu sekam padi pada pembuatan mortar, harus disertai dengan penambahan air untuk membuat workability dari mortar tersebut sama. Penambahan abu sekam sampai 20% dari berat semen juga dapat menghasilkan kekuatan tekan mortar yang baik pada durasi waktu pendek dan panjang. Penelitian pembuatan mortar dengan menggunakan abu bagas tebu dilakukan oleh Srinivasan dan Sathiya (2010), Lavanya et al. (2012), serta Sivakumar dan Mahendran (2013). Srinivasan dan Sathiya (2010) membuat komposit semen dengan menggunakan abu bagas tebu sebagai pengganti semen sampai dengan 25% dari berat semen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat mekanis komposit semen semakin meningkat seiring dengan peningkatan kandungan abu bagas tebu pada komposit. Lavanya et al. (2012) membuat beton ringan dengan menggunakan abu bagas tebu sampai dengan 30% dari berat semen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan abu bagas tebu dalam beton ringan dapat meningkatkan kekuatan beton sebessar 15% pada rasio air-semen sebesar 0,35. Pada penelitian lainnya, Sivakumar dan Mahendran (2013) menggunakan abu bagas tebu pada pembuatan beton ringan untuk mengetahui pengaruh terhadap kekuatan dan juga faktor ekonomisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan abu sekam sebanyak 20% menghasilkan beton dengan sifat terbaik dan dapat mengurangi biaya pembuatan sebanyak 12%. Untuk mendapatkan sifat-sifat khusus dari mortar tersebut, biasanya perlu diberikan bahan tambahan tertentu misalnya digunakan bahan cairan dari lateks ataupun Polyvinyl Acetate (PVAc). Penambahan bahan pemlastis ini berfungsi untuk membuat material menjadi lebih plastis, menambah kekedapan terhadap resapan air, mencegah keretakan, stabil dan mempunyai ketahanan pukul yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk pengetahui pengaruh dari penggunaan bahan pemlastis PVAc dan proporsi penambahan abu sekam padi dan abu bagas tebu terhadap sifat fisis dan mekanis dari mortar. II. Bahan dan Metode Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah abu sekam padi dan abu bagas tebu dengan ukuran lolos saringan 4 mesh dan tertahan pada saringan 10 mesh yang digunakan sebagai bahan pengisi/agregat. Bahan baku semen yang digunakan adalah semen portland yang dihasilkan oleh Holcim yang sesuai dengan standard SNI 15-70642004. Sedangkan pemlastis yang digunakan adalah polyvinyl acetate (PVAc) dengan perbandingan berat terhadap semen adalah 1:3. Kegiatan penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengukuran suhu hidrasi dan pembuatan mortar. Pengukuran suhu hidrasi campuran dilakukan untuk mengetahui kesesuaian campuran semen dengan bahan lainnya dengan menghitung indeks penghambatan campuran tersebut. Perbandingan berat Antara semen, agregat dan air adalah 10,12 : 1 : 5,06. Pada sampel lainnya, dilakukan penambahan pemlastis PVAc dengan perbandingan berat terhadap semen 1:3 yang ditujukan untuk mengetahui pengaruh penambahan pemlastis PVAc terhadap campuran. Perhitungan nilai indeks penghambatan dilakukan dengan menggunakan rumus berikut : I = 100[((t2 - t’2)/t’2)*((T’2 - T2)/T’2)*((S’2 - S2)/S’2)]
134
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI dimana t2 = waktu untuk mencapai suhu maksimum dari campuran semen-agregat-air (-PVAc) t’2 = waktu untuk mencapai suhu maksimum dari campuran semen-air (kontrol) T2 = suhu maksimum dari campuran semen-agregat-air (-PVAc) T’2 = suhu maksimum dari campuran semen-air Kegiatan pembuatan mortar dibuat dengan menggunakan bahan pengisi berupa abu dari sekam padi dan bagas tebu serta PVAc yang digunakan sebagai bahan pemlastis. Mortar dengan bahan pengisi abu sekam padi dibuat dengan variasi perbandingan berat abu- semen 1:3 dan 1:4. Sedangkan variasi perbandingan berat abu-semen dari mortar dengan pengisi abu bagas tebu adalah 1:4 dan 1:5 Rasio berat antara bahan cair terhadap semen adalah 0,8, di mana perbandingan berat antara PVAc dan air dalam bahan cair tersebut adalah 1:3. Mortar dibuat dengan menggunakan pengaduk dan ditempatkan pada cetakan berukuran 25 mm x 25 mm x 300 mm. Setelah 24 jam, mortar dikeluarkan dari cetakan untuk direndam pada baik air selama 28 hari. Selanjutnya mortar diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dan mengacu pada standar ASTM C293-94 untuk kuat lentur dan ASTM C116-90 untuk kuat tekan. III. Hasil dan Pembahasan Pengukuran Suhu Hidrasi Hubungan antara suhu campuran dengan lamanya waktu pencampuran selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Hubungan antara suhu campuran dengan waktu pencampuran Gambar 1 menunjukkan bahwa suhu maksimum dan waktu untuk mencapai suhu maksimum dari campuran semen dengan abu sekam padi dan abu bagas tebu, baik tanpa ataupun dengan penambahan PVAc cenderung tidak jauh berbeda dengan rentang suhun 37,5 - 39,4 0C. Suhu campuran tersebut masih berada di bawah suhu campuran murni (42,9 0C). Hal ini menunjukkan bahwa pencampuran semen dengan bahan agregat dan atau dengan pemlastis PVAc menurunkan suhu maksimumnya, dikarenakan adanya unsur lain yang menghambat hidrasi atau pengerasan dari semen.
135
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Nilai indeks penghambatan yang diperoleh dari campuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini : Tabel 1. Nilai indeks penghambatan campuran semen Jenis Campuran
Indeks Penghambatan (I)
Semen-air (kontrol)
Klasifikasi Penghambatan
0
Semen-air-abu sekam padi
-0,653
Semen-air-abu sekam padi-PVAc
-0,460
Penghambatan rendah (I < 10) Penghambatan rendah (I < 10)
Semen-air-abu bagas tebu
0,234
Penghambatan rendah (I < 10)
Semen-air-abu bagas tebu-PVAc
0,034
Penghambatan rendah (I < 10)
Nilai indeks penghambatan campuran berdasarkan Tabel 1 berada dalam kisaran kurang dari 10. Menurut Okino et al. (2004), nilai indeks penghambatan campuran tersebut termasuk ke dalam klasifikasi penghambatan rendah. Artinya bahwa penambahan agregat abu sekam padi ataupun abu bagas tebu dengan atau tanpa penambahan pemlastis PVAc, tidak terlalu menjadi penghambat dalam proses pengerasan atau hidrasi semennya. Densitas Nilai densitas dari mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu berkisar pada angka 1,02 – 1,41 g/cm3. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. 1.6
Density (g/cm3)
1.4 1.2 1.0 0.8 Abu sekam padi
0.6
Abu bagas tebu
0.4 0.2 0.0 1:3 tanpa 1:3 dengan 1:4 tanpa 1:4 dengan 1:5 tanpa 1:5 dengan PVAc PVAc PVAc PVAc PVAc PVAc Rasio berat agregat-semen
Gambar 2. Densitas mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu Berdasarkan data pada Gambar 2, densitas mortar dengan penambahan PVAc lebih kecil jika dibandingkan dengan densitas mortar tanpa menggunakan PVAc. Hal ini disebabkan karena dengan penambahan PVAc, ikatan yang terjadi antara semen dengan air tergantikan sebagian oleh ikatan antara semen dengan PVAc yang cepat menguap dan mengakibatkan berat mortar menjadi lebih ringan. Hal inilah yang mengakibatkan densitas mortar dengan penambahan PVAc lebih rendah dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan PVAc. Kuat Lentur Nilai kuat lentur dari mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu berkisar pada angka 1,77 – 3,88 MPa. Nilai kuat lentur teritnggi diperoleh mortar abu sekam padi dengan perbandingan berat agregat-semen 1:4 tanpa penambahan PVAc, sedangkan nilai kuat lentur terendah diperoleh mortar abu bagas tebu dengan perbandingan berat agregat-semen 1:5 dengan penambahan PVAc. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
136
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 4.5 4
Kuat Lentur (MPa)
3.5 3 2.5 2
60- 130 N Abu sekam padi
1.5
60- 130 N Abu bagas tebu
1 0.5 0 1:3 tanpa 1:3 1:4 tanpa 1:4 1:5 tanpa 1:5 PVAc dengan PVAc dengan PVAc dengan PVAc PVAc PVAc Rasio berat agregat-semen
Gambar 3. Kuat lentur mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu Nilai kuat lentur dari mortar dengan penambahan PVAc cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan PVAc. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan PVAc mempengaruhi ikatan Antara semen dengan bahan cair. Ikatan yang kuat antara semen dengan air akan berkurang dengan hadirnya PVAc dalam campuran tersebut. Hal inilah yang mempengaruhi sifat kuat lentur dari mortar. Jika dilihat dari agregat yang dipakai, mortar dengan abu sekam padi memiliki nilai kuat tekan yang lebih baik jika dibandingkan dengan mortar dengan abu bagas tebu. Ini terjadi karena kadar SiO2 amorf dari abu sekam padi lebih tinggi dibandingkan kadar SiO2 amorf dari abu bagas tebu . Kadar SiO2 amorf pada agregat tersebut mempengaruhi ikatan antara semen dengan agregat dan berpengaruh pada nilai kuat lentur dan kuat tekan. Modulus elastisitas Nilai modulus elastisitas dari mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu berkisar pada angka 301,86 – 573,06 MPa. Nilai modulus elastisitas teritnggi diperoleh mortar abu bagas tebu dengan perbandingan berat agregat-semen 1:5 tanpa penambahan PVAc, sedangkan nilai modulus elastisitas terendah diperoleh mortar abu bagas tebu dengan perbandingan berat agregat-semen 1:4 dengan penambahan PVAc. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. Modulus Elastitas (MPa)
800 700 600 500 400 300
Abu sekam padi
200
Abu bagas tebu
100 0 1:3 1:3 tanpa dengan PVAc PVAc
1:4 1:4 tanpa dengan PVAc PVAc
1:5 1:5 tanpa dengan PVAc PVAc
Rasio berat agregat-semen Gambar 4. Modulus elastisitas mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu
137
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Nilai modulus elastisitas dari mortar dengan penambahan PVAc cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan PVAc. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan PVAc mempengaruhi ikatan antara semen dengan bahan cair. Ikatan yang kuat antara semen dengan air, akan berkurang dengan hadirnya PVAc dalam campuran tersebut. Hal ini mempengaruhi sifat modulus elastisitas dari mortar. Jika dilihat dari agregat yang dipakai, mortar dengan abu sekam padi memiliki nilai modulus elastisitas yang relatif sama dengan nilai modulus elastisitas mortar dengan abu bagas tebu. Hal ini terjadi karena kadar SiO2 amorf dari abu sekam padi lebih tinggi dibandingkan kadar SiO2 amorf dari abu bagas tebu . Kadar SiO2 amorf pada agregat tersebut mempengaruhi ikatan antara semen dengan agregat dan berpengaruh pada nilai kuat lentur dan kuat tekan. Kuat Tekan Nilai kuat tekan dari mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu berkisar pada angka 2,98 – 9,33 MPa. Nilai kuat tekan teritnggi diperoleh mortar abu sekam padi dengan perbandingan berat agregat-semen 1:4 dan penambahan PVAc, sedangkan nilai kuat tekan terendah diperoleh mortar abu bagas tebu dengan perbandingan berat agregat-semen 1:4 dengan penambahan PVAc. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini. 12
Kuat Tekan (MPa)
10 8 6 Abu sekam padi 4
Abu bagas tebu
2 0 1:3 tanpa 1:3 dengan 1:4 tanpa PVAc PVAc PVAc
1:4 dengan PVAc
1:5 tanpa 1:5 dengan PVAc PVAc
Rasio berat agregat-semen Gambar 5. Kuat tekan mortar abu sekam padi dan abu bagas tebu Nilai kuat tekan dari mortar dengan penambahan PVAc cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan PVAc, kecuali pada mortar abu sekam padi dengan perbandingan berat agregat-semen 1:4. Jika dilihat dari agregat yang dipakai, mortar dengan abu sekam padi memiliki nilai kuat tekan yang lebih baik jika dibandingkan dengan mortar dengan abu bagas tebu. Hal ini terjadi karena kadar SiO2 amorf dari abu sekam padi lebih tinggi dibandingkan kadar SiO2 amorf dari abu bagas tebu . Kadar SiO2 amorf pada agregat tersebut mempengaruhi ikatan antara semen dengan agregat dan berpengaruh pada nilai kuat lentur dan kuat tekan. IV. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian di atas adalah bahwa campuran antara semen dengan agregat abu sekam padi dan abu bagas tebu baik tanpa ataupun dengan PVAc, memiliki nilai kesesuaian yang baik dengan nilai indeks penghambatan kecil. Selain itu pembedaan rasio berat semen dengan agregat pada mortar abu sekam padi (1:3 dan 1:4) dan mortar abu abu bagas (1:4 dan 1:5) tidak memberikan pola yang berbeda pada sifat mekanis mortar. Hal lainnya adalah bahwa pemberian pemlastis PVAc pada mortar cenderung menurunkan sifat mekanisnya. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Sub Program Material Maju dan Nano Teknologi, Program Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan PT. Industri Kereta Api (INKA) atas pendanaan penelitian dan kolaborasinya.
138
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Daftar Pustaka Bakri. 2008. Komponen Kimia dan Fisik Abu Sekam Padi sebagai SCM untuk Pembuatan Komposit Semen. Jurnal Perennial, 5(1) : 9-14. Barluenga, G., F. Hernandez-Olivares. 2004. SBR latex modified mortar rheology and mechanical behaviour. Cement and Concrete Research 34 (2004) 527–535 Chandrasekhar, S., S.K.G. Pramada, P.N. Raghavan. 2003. Review Processing, Properties And Applications of Reactive Silica From Rice Husk-An Overview. Journal of Materials Science, 38: 3159-3168. Chindaprasirt, P., S. Rukzon. 2008. Strength, porosity and corrosion resistance of ternary blend Portland cement, rice husk and fly ash mortar. Construction and Building Materials 22 (2008) 1601–1606 FAO. 2008. OECD-FAO Agricultural Outlook 2008-2017. www.fao.org. Habeeb, G.A., M.M. Fayyadh. 2009. Rice Husk Ash Concrete: the Effect of RHA Average Particle Size on Mechanical Properties and Drying Shrinkage. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 3(3): 1616-1622, 2009 Haque N.I, H.Al-Khaiat. 1999. Strength and durability of lightweight concretein hot marine exposure conditions, Materials and Structures/Matrix et Constructions, Vol. 32, pp 533-538, August-September. Joo-Hwa Ta, Kuan-Yeow Show. 1993. Municipal-wastewater-sludge-as-cementitious-and-blended-cement-materials. Cement & Concrete Composites 16 (1994) 39-48. Lanzon, M., P.A. Garcia-Ruiz. 2008. Lightweight cement mortars: Advantages and inconveniences of expanded perlite and its influence on fresh and hardened state and durability. Construction and Building Materials 22 (2008) 1798–1806 Lavanya, M.R., B. Sugumaran, T. Pradeep. 2012. An Experimental study on the compressive strength of concrete by partial replacement of cement with sugarcane bagasse ash. International Journal of Engineering Inventions, 1(11): 01-04. Okino E.Y.A., M.R. de Souza, M.A.E. Santana, M.V.dS Alves, M.E. de Sousa, D.E. Teixeira. 2004. Cement-bonded wood particleboard with a mixture of eucalypt and rubberwood. Cement & Concrete Composites 26:729-734. Rashid, M.H., M.K.A. Molla, T.U. Ahmed. 2010. Long Term Effect of Rice Husk Ash on Strength of Mortar. World Academy of Science, Engineering and Technology 67. 2010. Sivakumar, M., N. Mahendran. 2013. Experimental studies of strength and cost analysos of concrete using bagasse ash. International Journal of Engineering Research & Technology 2(04): 926-933. Srinivasan, R., K. Sathiya. 2010. Experimental study on bagasse ash in concrete. International Journal for Service Learning in Engineering 5(2): 60-66. Yassar, E., C.D. Atis, A. Kilic, H. Gulsen. 2003. Strength Properties Concrete Made with Basaltic Pumice and Fly Ash; Elsevier Science BV, New York. Zhang, M.H., V.M. Malhotra, 1996. High-Performance Concrete Incorporating Rice Husk Ash as a supplementary Cementing Materials. ACI Materials Journal, 93(6): 629-636.
139
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
MOMEN-ROTASI HUBUNGAN BALOK-KOLOM DENGAN PELAT BUHUL PLYWOOD Johannes Adhijoso Tjondro1 dan Hendro2 1 Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan Bandung
[email protected],
[email protected] 2 Alumni, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan Bandung Abstrak Hubungan balok-kolom menggunakan pelat buhul plywood dengan penghubung paku diuji dalam studi eksperimental ini. Jenis kayu untuk kolom dan balok menggunakan kayu cepat tumbuh Akasia. Total benda uji berjumlah 4 buah benda uji dengan masing-masing 2 buah benda uji untuk pengujian momen positif dan negatif hubungan balok-kolom. Hubungan balok kolom didesain dengan tegangan ijin dan diuji eksperimental. Hasil penelitian menunjukkan momen maksimum hubungan balok-kolom pada pengujian momen positif antara 6.41-6.91 kNm dan 3.35-4.45 kNm untuk momen negatif. Rotasi maksimum hubungan balok-kolom dengan pelat buhul plywood untuk momen positif antara 0.078-0.085 rad, dan 0.083-0.151 rad untuk pengujian momen negatif,. Kekakuan rotasi elastik untuk seluruh pengujian hubungan balokkolom dengan pelat buhul plywood antara 71.21-243.62 kNm/rad. Faktor bilinier antara 0.15-0.33 dan daktilitas antara 4.07-6.64. Keruntuhan yang terjadi adalah belah pada balok, kolom dan pada tumpu antara paku dan pelat buhul plywood. Kata kunci: Hubungan balok-kolom, pelat buhul plywood, kekakuan rotasi, fackor bi-linier, daktilitas. 1.
Pendahuluan
Sambungan merupakan bagian yang penting dalam konstruksi bangunan agar tidak mengalami kegagalan. Pelat buhul plywood dengan penghubung paku banyak digunakan pada struktur portal kayu, untuk menghubungkan elemen-elemen portal kayu, K.J Lyngcoln, 1982, Gambar 1. Dalam penelitian ini pelat buhul plywood diterapkan pada hubungan balok dan kolom, seperti pada Gambar 2. Hubungan balok dan kolom merupakan bagian yang penting dalam sistem struktur rangka.
Gambar 1. Sambungan portal menggunakan pelat buhul plywood (K.J Lyngcoln, 1982)
Gambar 2. Hubungan balok-kolom dengan pelat buhul plywood
140
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pada umumnya hubungan balok dan kolom kaku dan menerima momen negatif akibat beban gravitasi dan dapat mengalami momen positip akibat adanya beban lateral akibat angin atau gempa. Karena hal tersebut, masing-masing 2 buah benda uji untuk pengujian momen positif dan negatif pada hubungan balok-kolom diuji dengan menggunakan universal testing machine. Kekakuan rotasi hubungan balok dan kolom merupakan parameter yang diperlukan dalam perhitungan selain daktilitasnya juga harus cukup untuk ketahanan terhadap beban gempa. 2.
Bahan dan metode
Jenis kayu untuk kolom dan balok menggunakan kayu cepat tumbuh Akasia berpenampang 50 x 140 mm2, sedangkan pelat buhul menggunakan plywood dengan ketebalan 18 mm yang ada di market. Berat jenis Akasia mangium sekitar 0.54 – 0,60. Kadar air, berat jenis, modulus elastisitas dan pengencang yang digunakan adalah seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Properti material Material
Kadar air
Berat jenis
Modulus elastisitas
Akasia Mangium 50 x 140 mm2
13-16 %
0,54-0,60
6000-8000 MPa
Plywood 18 mm
11,6 %
0,35
4000 MPa
Pengencang
diameter
Panjang
Kuat leleh
paku
2,5 mm
55 mm
240 MPa
Studi ini berdasarkan pengujian eksperimental untuk mencari besarnya kekuatan momen lentur, kekakuan rotasi, daktilitas dan ragam keruntuhan dari hubungan balok-kolom dengan pelat buhul plywood. Perhitungan jumlah paku berdasarkan kapasitas momen lentur balok dengan dasar tegangan ijin. Kekuatan lentur pada grup paku berdasarkan teori tegangan geser akibat momen torsi. Perhitungan dan persamaan-persamaan yang digunakan seperti contoh Gambar 3 adalah seperti di bawah ini:
Gambar 3. Gaya yang bekerja pada paku akibat momen
141
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Perhitungan momen inersia pada pola pemakuan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) dengan :
x = Rata-rata nilai x (mm) x’ = Jarak paku arah horizontal ke nilai rata-rata x (mm)
y = Rata-rata nilai y (mm) y’ = Jarak paku arah vertical ke nilai rata-rata y (mm) I = Inersia polar paku (mm2) Perhitungan besarnya gaya maksimum yang diijinkan oleh satu paku adalah sebagai berikut: 𝑀 ′ ×𝑦 ′ 𝐼 𝑀 ′ ×𝑥 ′ 𝑘𝑦 = 𝐼 𝑁 ∆𝑘𝑥 = 𝑛 𝑝𝑎𝑘𝑢 𝑄 ∆𝑘𝑦 = 𝑛 𝑝𝑎𝑘𝑢
6)
𝑘𝑥 =
𝑆= dengan:
x y x’ y’
𝑥 𝑦
I M’
𝑥 𝑦 𝑘𝑥 𝑘𝑦 n
∆𝑘𝑥 ∆𝑘𝑦 N Q S
7) 8) 9)
(𝑘𝑥 ± ∆𝑘𝑥 )2 + (𝑘𝑦 ± ∆𝑘𝑦 )2
10)
= Jarak paku arah horizontal (mm) = Jarak paku arah vertikal (mm) = Jarak paku arah horizontal ke nilai rata-rata x (mm) = Jarak paku arah vertikal ke nilai rata-rata y (mm) = Rata – rata nilai x (mm) = Rata – rata nilai y (mm) = Momen inersia paku (mm2) = Momen yang terjadi pada paku (N.mm) = Jumlah jarak paku dalam arah horizontal (mm) =Jumlah jarak paku dalam arah vertikal (mm) = Gaya yang dipikul satu paku dalam arah horizontal akibat momen = Gaya yang dipikul satu paku dalam arah vertikal akibat momen = Jumlah paku yang digunakan = Gaya yang dipikul paku arah horizontal akibat gaya (N) = Gaya yang dipikul paku arah vertikal akibat gaya (N) = Gaya aksial pada paku (N) = Gaya geser pada paku (N) = Gaya yang diterima satu paku (N)
Perhitungan dimensi pelat buhul berdasarkan jumlah paku dan kekuatan paku berdasarkan pada kuat geser paku sebesar 250 N dari DIN 1052 dan tidak lebih dari hasil uji kuat geser ultimate rata-rata paku sebesar 3400 N. Gaya
142
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI geser pada paku yang terkritis adalah 213 N. Didapat dari hasil perhitungan dimensi seperti pada Gambar 4 dan jumlah paku 48 buah dengan 4 baris dan 12 kolom. Pelat buhul plywood dipasang pada kedua sisi hubungan balok-kolom. Pengujian dilakukan seperti terlihat pada Gambar 5, pada gambar sebelah kiri untuk pengujian momen negatip dan sebelah kanan untuk pengujian momen positip. Beban P diberikan pada ujung kantilever, beban dan lendutan vertical direkam oleh UTM, LVDT dipasang pada jarak 200 mm dari sisi luar kolom. Kecepatan pengujian adalah 6 mm/menit dan benda uji dibebani sampai runtuh. Besarnya momen dan rotasi dihitung sebagai berikut:
M P Li
i
i Li
11) .
12)
Dengan: P Li ∆i
: beban : jarak dari LVDT/beban terhadap sisi luar kolom : lendutan vertical di titik i
Gambar 4 Pola pemakuan pada pelat buhul plywood pada bagian kolom (kiri) dan balok (kanan)
143
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 5. Setting pengujian pada Universal Testing Machine 3.
Hasil pengujian
Hasil pengujian di plot dalam bentuk grafik korelasi antara beban dan peralihan dari rekaman UTM seperti pada Gambar 5, dan momen vs rotasi seperti pada Gambar 7. Rotasi diukur dari pengukuran lendutan dengan LVDT dibagi jaraknya terhadap sisi luar kolom seperti persamaan 12. Hasil observasi pada kondisi proporsional dan ultimate ditabelkan dalam Tabel 2 dan 3, berupa besaran-besaran beban, momen, lendutan dan rotasi. Tanda (-) menunjukan momen negatip dan (+) untuk momen positip.
Beban (N)
12000
PG4+
8000
PG3 +
PG2 -
4000
PG1 0 0
50
100
150
Peralihan (mm) Gambar 6. Korelasi beban dan peralihan rekaman UTM
144
200
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Beban dan peralihan Benda uji
Pp (N)
∆p (mm)
Pu (N)
∆u (mm)
PG-1(-)
3055
5.66
5075
30.40
PG-2(-)
2840
2.50
6745
16.60
PG-2(+)
4790
4.17
9705
17.00
PG-3(+)
5935
3.22
10475
15.58
Grafik hubungan antara momen dengan rotasi adalah sebagai berikut: 8
Momen (kN.m)
PG4+ 6
PG 3+
4
PG 2PG 1-
2 0 0.00
0.10 0.20 Rotasi (radian)
0.30
Gambar 7. Hubungan momen-rotasi Tabel 3. Momen dan rotasi Benda uji
Mp (kNm)
θp (rad)
Mu (kNm)
θu (rad)
PG-1(-)
2.0163
0.0283
3.3495
0.1508
PG-2(-)
1.8774
0.0125
4.4517
0.0828
PG-2(+)
3.1614
0.0208
6.4053
0.0848
PG-3(+)
3.9171
0.0161
6.9135
0.0778
Besarnya rotasi pada kondisi proporsional lebih kecil atau mendekati batas 0.025 dan batas rotasi saat runtuh menghasilkan daktilitas rotasi yang cukup besar. Keruntuhan benda uji digambarkan pada Gambar 8, terjadi belah pada balok maupun kolom dan rotasi antara plywood dan kolom, hal ini menunjukkan terjadinya pergeseran akibat tumpu atau kelelehan pada paku.
145
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
a)
b)
c)
Gambar 8. Ragam keruntuhan: a) belah pada kolom, b) belah pada balok, c) rotasi pada plywood
4.
Analisis dan diskusi
Perhitungan kekakuan rotasi pada saat elastik dan non-linier digambarkan pada Gambar 9 dan persamaan 13 sd 16. Selanjutnya dapat dihitung daktilitas rotasi dan bi-linier faktornya dan hasilnya seperti dalam Tabel 4.
Moment (kNm)
4 3
M 2u M 1 0
k θ e p
0.00 θ
k θ p 0.05
0.15 θ 0.10 u (radian) Rotation
0.20
Gambar 10. Titik-titik observasi untuk perhitungan kekakuan rotasi dan bi-linier factor
146
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
k e
kp r
Mp
13)
p
M
u u
Mp p
14)
k p
15)
k e
u
u p
16)
dengan: Mp Mu θp θu kθe kθp r μθu
: momen pada batas proporsional : momen pada batas proporsional : rotasi pada batas proporsional : rotasi pada batas ultimit : kekakuan rotasi elastis : kekakuan rotasi plastis : bi-linier faktor = kθp / kθe : daktilitas rotasi Tabel 4. kekakuan rotasi, faktor bi-linier dan daktilitas Benda uji
kθe (kNm/rad)
kθp (kNm/rad)
r
μθu
PG-1(-)
71.2161
10.8803
0.1528
5.3279
PG-2(-)
150.4437
36.6022
0.2433
6.6358
PG-2(+)
151.7206
50.7183
0.3343
4.0695
PG-3(+)
243.6217
48.5764
0.1994
4.8364
Hubungan balok kolom dengan pelat buhul ini untuk pengujian momen positif menghasilkan momen pada batas proporsional antara 3.16-3.92 kNm atau apabila dirata-rata lebih besar 44.99% dari momen negatif yang besarnya antara 1.88-2.02 kNm, dan momen maksimum pada pengujian momen positif besarnya antara 6.41-6.91 kNm atau apabila dirata-rata menghasilkan 41.42% lebih besar dibandingkan pengujian momen negatif yang besarnya antara 3.35-4.45 kN.m. Rotasi pada batas elastis pada pengujian momen positif besarnya antara 0.016-0.021 radian, dan momen negatif antara 0.01-0.03 radian, sedangkan rotasi maksimum untuk momen positif antara 0.08-0.09 radian, dan 0.08-0.15 radian untuk momen negatif. Kekakuan rotasi elastis plywood gusset joint untuk pengujian momen positif antara 151.72-243.62 kNm/radian dan momen negatif antara 71.22-150.44 kNm/radian, sedangkan kekakuan rotasi inelastik untuk momen positif antara 48.58-50.72 kNm/radian, dan 10.88-36.60 kNm/radian untuk pengujian momen negatif. Bilinear factor untuk momen positif dan negatif antara 0.15-0.33, dan angka daktilitas maksimum untuk momen positif dan negatif antara 4.07-6.64.
147
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 5.
Hubungan balok kolom dengan pelat buhul plywood untuk pengujian momen positif pada batas proporsional atau maksimum lebih besar 40% dari momen negatif Rotasi pada batas elastis memenuhi syarat batas rotasi 0.025 radian Kekakuan rotasi elastis dan maksimum pada momen positif lebih besar dari rotasi saat momen negatif. Bilinear factor berkisar antara 0.15-0.33. Faktor daktilitas maksimum pada plywood gusset joint untuk momen positif dan negatif memenuhi syarat untuk ketahanan terhdap beban gempa. Tipe kegagalan yang umum terjadi pada akhir pengujian adalah keruntuhan belah di balok dan kolom
6. 1) 2)
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Hendro, (2013). Studi Eksperimental Hubungan Balok-Kolom Kayu dengan Plywood Gusset dan Quick Connect. Skripsi, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, 2013. Lyngcoln, K.J and McDowall, C.G. (1982). Plywood Gusseted Portal Design. Queensland institute of Technology, Brisbane, 15-16 November 1982.
148
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PEMANFAATAN KAYU GALAM (Melaleuca cajuputi) SEBAGAI LANTAI YUSTER UNTUK RUMAH SEDERHA SEHAT Lasino1 , WS. Witarso.2 1, 2
Puslitbang Permukiman
Abstrak Pada tahun 2008 dan 2009 Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Puslitbang Ketransmigrasian MENAKERTRANS telah melakukan penelitian bersama dengan tujuan untuk mendapatkan bahan bangunan alternatif berbasis potensi lokal untuk pembangunan perumahan transmigrasi di PLG Kalimantan Tengah. Hasil riset tersebut selain menemu kenali potensi kayu galam (Melaleuca cajuputi) sangat berlimpah, juga dapat dihasilkan 4 teknologi alternatif untuk komponen perumahan transmigrasi di lahan gambut, yaitu sistem komponen pondasi, komponen lantai panggung, komponen dinding dan komponen rangka atap, yang seluruhnya berbahan baku kayu galam. Tulisan ini akan membahas salah satu sistem komponen saja, yaitu sistem komponen lantai panggung, khususnya lantai kayu berplester, atau disebut lantai yuster dengan bahan dasar kayu galam. Lantai yuster merupakan komponen lantai komposit antara bilah kayu galam dengan mortar adukan pasir semen, menggunakan kayu galam kecil diameter 56cm dibelah dua, disusun rapat kemudian diplester dengan adukan 1PC : 4 Pasir, diperkuat dengan ram kawat. Dari hasil pengujian laboratorium menunjukkan rekatan yang baik antara bilah galam dengan mortar, setelah umur 28 hari tidak terjadi retakan ataupun lepas. kuat lentur rata-rata mencapai 313,60 Kg/cm2. Kata kunci : potensi lokal, bahan alternatif, komponen lantai, kayu berplester (yuster), galam, perumahan transmigrasi PENDAHULUAN Latar Belakang Hingga saat ini, rehabilitasi maupun pembangunan baru perumahan transmigrasi baik tipe Rumah Panggung (RP), maupun Rumah Non Panggung (RNP) masih didominasi penggunaan bahan kayu, baik untuk sub structure (pondasi), maupun upper structure (rangka, dinding, lantai, rangka atap), dengan demikian konsumsi kayu menjadi sangat besar. Sebagai contoh, dari spesifikasi teknik tipe RP-36 untuk 1 unit diperlukan kayu sekitar 8,9 M3 dengan berbagai ukuran, ini berarti untuk membangun 36,000 unit RTJK-36, sesuai dengan target RPJM perumahan transmigrasi, diperlukan kayu tidak kurang dari 320,000 M3 berbagai ukuran. Untuk saat ini, kebutuhan kayu sebanyak itu amat sulit untuk dapat dipenuhi, karena kenyataan di lapangan untuk mendapatkan kayu gergajian sudah teramat sulit. Lebih-lebih setelah adanya pengketatan penebangan kayu hutan tanaman alam (HTA) dan dengan diberlakukannya ketentuan SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) kayu, maka mendapatkan dan memobilisasi kayu gergajian semakin sulit. Oleh sebab itu, perlu dicarikan bahan alternatif pengganti kayu gergajian kayu HTA tersebut. Penggantian bahan kayu dengan bahan alternatif bukan berarti ”replacement” atau meniadakan kayu, tetapi “meminimalkan” penggunaan kayu gergajian dari HTA, salah satu cara adalah membuat composite dengan bahan lain, namun tetap berbasis potensi lokal, atau melakukan perlakuan dan diversifikasi jenis kayu, sehingga kayu-kayu lokal klas rendah dapat digunakan dengan ditingkatkan kualitasnya terlebih dahulu. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa di kawasan transmigrasi di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah terdapat potensi lokal berupa hutan kayu galam (Melaleuca cajuputi) yang jumlahnya cukup besar, sebarannya mencapai sekitar 63.800 Ha. Puslitbang Permukiman sebagai lembaga riset bidang permukiman, telah banyak menghasilkan teknologi bahan bangunan alternatif, yang mendasarkan pada potensi lokal. Misalnya komponen dinding dari serat kayu-semen (cement bonded board), dari limbah partikel kayu (particleboard), genteng beton sejuk (semen dan ijuk) , dll. Untuk itu, terkait dengan program riset bersama antara Puslitbang Permukiman Kementerian PU dengan Puslitbang Ketransmigrasian Menakertrans yang telah dilakukan tahun 2008-209, telah menghasilkan bahan bangunan alternatif untuk menunjang program pembangunan perumahan transmigrasi di lahan gambut.
149
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tulisan ini merupakan salah satu output dari riset tersebut, khusus mengenai pemanfaatan kayu galam diameter kecil komposit dengan mortar sebagai komponen lantai, yang disebut sebagai lantai kayu berplester (yuster), untuk rumah trnsmigrasi tipe panggung. Permasalahan Kayu gergajian dari HTA di Kalimanrtan selatan dan Kalimantan tengah semakin sulit diperoleh, sehingga bila pembangunan perumahan transmigrasi di lahan gambut masih menggunakan spesifikasi lama yang didominasi penggunaan bahan kayu gergajian, maka besar kemungkinan target rehabilitasi dan pembangunan perumahan transmigrasi akan mengalami hambatan, terutama dari segi penyediaan bahan bangunan murah; Tujuan dan Sasaran Riset Tujuan riset ini adalah mengembangkan bahan bangunan alternatif pengganti kayu untuk komponen pondasi, komponen dinding, komponen lantai, dan komponen rangka atap pada perumahan transmigrasi, yang berbasis potensi lokal. Dari riset ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pembangunan dan umur layan rumah transmigrasi di lahan gambut di kawasan PLG Kalimantan tengah.
BAHAN DAN METODA PENELITIAN Metodologi yang digunakan untuk melakukan riset diawali dengan evaluasi komparatif terhadap berbagai jenis bahan bangunan alternatif pengganti kayu berdasarkan studi-studi terdahulu. Dari jenis yang terseleksi/terpilih kemudian diadakan pendalaman dengan metode deskriptif, komparatif, analitik, dan eksperimental yang dapat diuraikan sbb : Deskriptif : pendataan potensi sumber bahan baku yang akan digunakan sebagai bahan bangunan alternatif sesuai potensi lokal. Selain itu dilakukan identifikasi jenis dan karakteristik bahan bangunan alternatif pengganti kayu yang telah diaplikasikan . Komparatif : evaluasi komposisi campuran, bahan baku, dan varian sistem komponen yang memungkinkan diaplikasikan untuk perumahan transmigrasi di PLG Kalimantan Tengah. Eksperiemntal : menguji bahan baku lokal, alternative komponen lantai, dan rancangan campuran untuk contoh uji lantai yuster. Analisis
: terhadap hasil uji laboratorium, maupun analisis secara teoritis terhadap sistem komponen alternatif.
Rancangan Percobaan Pembuatan benda uji berupa papan komposit dari bilah kayu galam yang diplester dengan perkuatan ram kawat sebagai pengikat dan penahan penyusutan plesteran. Dengan demikian papan yang dihasilkan memiliki karakteristik yang baik sesuai fungsi lantai panggung dengan umur layan yang panjang. Pengujian dilakukan terhadap kuat lentur dan ketahanan pukul (impact) dengan posisi tumpuan pada arah melintang bilah galam untuk mencapai kekuatan yang maksimum sesuai dengan pemasangan pada lantai yang ditumpukan pada Balok Anak (gelagar lantai panggung) Secara umum uraian penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Bahan dan Alat Bahan kayu galam diambil dari Kapuas – Kalimantan tengah dengan ukuran diameter rata-rata 5 – 6 cm, dibelah dua digunakan sebagai dasar bagian bawah lantai. Ram kawat ukuran anyaman 0,5cm dengan diameter kawat 0,2mm dihamparkan diatas susunan bilah galam, digunakan sebagai pengikat antara bilah galam dengan mortar sekaligus sebagai penahan penyusutan plesteran.
150
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Mortar dari campuran semen dan pasir digunakan sebagai plesteran pada permukaan lantai agar lebih halus, kuat dan dapat berfungsi dengan baik sekaligus untuk memenuhi tuntutan finishing. b. Peralatan Uji Peralatan uji yang digunakan adalah mesin uji UTM (Universal Testing Machine) kapasitas 200 ton dan alat bantu seperti jangka sorong, timbangan dan meteran Standar Uji dan Penempatan Benda Uji Standar yang digunakan adalah SNI 03-6861.1-2002 tentang Lembaran Serat Bersemen. Benda uji ditempatkan diatas dua tumpuan pada arah melintang dari ujung panel dan tegak lurus dari bilah galam untuk mendapatkan beban yang maksimum dan disesuaikan dengan aplikasinya. Benda Uji Benda uji berupa panel komposit dari bilah kayu galam, kawat anyam dan plesteran dengan ukuran lebar 50cm, panjang 90cm dan tebal 5cm dengan proporsi campuran 1PC : 4 Pasir dengan tebal plesteran bervariasi 2 – 2,5 cm. Dalam penelitian ini dibuat 2 varian campuran mortar (yang lazim digunakan di masyarakat) dengan ulangan sebanyak 3 kali (masing-masing varian 3 benda uji) HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Bahan Baku Lokal Dari hasil survei lapangan dan berdasarkan data sekunder peta potensi provinsi Kalimantan Tengah, di wilayah kabupaten Kapuas (lokasi PLG) terdapat hutan galam yang luasnya mencapai sekitar 63.800 Ha yang tersebar di sekitar Papuyu, Pangkah, Palingkau, Dadahup dan Lamunti. Kayu galam (Melaleuca cajuputi) dalam bentuk olahan (gergajian) tetap memerlukan SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) dalam pengangkutannya (Permenhut, 2007),namun apabila dalam bentuk utuh (gelondong) tidak memerlukan dokumen surat tersebut, sehingga lebih mudah dalam mobilisasinya Ketersediaan kayu galam gelondong di pasaran dapat direpresentasikan oleh banyaknya pedagang pengumpul (bandar) di seputar Palingkau. Salah satu bandar di tepi jalan ruas Palingkau-Dadahup per hari mampu mensupply hingga 2500 batang kayu galam gelondong Ф 5-20cm. Ini memberikan indikasi bahwa kayu galam tersebut selain potensial di hutan (yang masih tumbuh), tetapi juga potensial di pasaran ( siap digunakan).
Gamb 1 : Hutan galam di kabupaten Kapuas
151
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gamb 2: Persedian Kayu Galam di Pedagang pengumpul Pemanfaatan Kayu Galam. Sebagian besar (lebih dari 60%) stock kayu galam pada pedagang pengumpul adalah diameter 5-8 cm. Dimensi inilah yang efektif untuk digunakan sebagai lantai yuster. Dengan panjang rata-rata 400cm, maka 1 batang galam diemeter 5cm dapat digunakan untuk membuat lantai yuster seluas 0,40 M 2, dengan perhitungann sebagai berikut: 1 batang Ф 5cm panjang 400cm dibelah menjadi 2 akan menghasilkan bilah galam panjang 100cm : a. Jumlah bilah = 4 x 2 = 8 bilah b. Luas bilah = 8 x 0,05 x 1 = 0,40 M2 c. Bila tingkat keberhasilannya 80%, maka 1 batang galam akan menjadi 0,32 M2 lantai yuster d. Untuk membuat yuster 1 unit RTJK-36 diperlukan batang galam Ф5cm = 36/0,32 x 1 batang = 112 batang Dengan demikian, stok per hari di satu pedagang pengumpul tersebut cukup untuk membuat lantai RTJK-36 sebanyak 60% x2.500/112 = 13 unit. Apabila di kawasan tersebut terdapat 10 pedagang pengumpul, maka dalam 1 hari cukup tersedia bahan untuk membuat lantai yuster sebanyak 130 unit RTJK-36 Konsumsi Kayu Dengan pendekatan dan dasar perhitungan seperti tersebut diatas, maka untuk merehabilitasi 8.000 unit rumah transmigrasi khusus untuk lantai yuster saja diperlukan kayu galam utuh (gelondong) sebanyak : 8000x112 batang = 896.000 batang Ф5-8cm, atau setara dengan 7.039 M3 . Apabila menggunakan spesifikasi lama dengan lantai dari papan kayu 3/20, maka untuk lantai panggung saja diperlukan kayu papan sebanyak : 36 x 8000 x 0,03 = 8.640 M3 Jadi perbandingan kebutuhan kayu untuk merehabilitasi /membangun 8000 unit RTJK-36 adalah : BAHAN ALTERNATIF LANTAI YUSTER Galam kecil : 7.039 M3
BAHAN KONVENSIONAL PAPAN KAYU Papan kayu : 8.640 M3
Dari tabel tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dengan bahan bangunan alternatif lantai yuster ini konsumsi kayu untuk sistem komponen lantai saja sudah dapat ditekan menjadi 7.039/8.640 x 100% = 81,46% bila dibanding menggunakan sistem konvensional lantai papan kayu.
152
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Uji Laboratorium Pengawetan Bilah Galam Lantai yuster merupakan komposit antara kayu dengan mortar, meskipun kebanyakan kayu galam termasuk klas awet II dan III, (Wahyu Supriyati, 2009), namun untuk meningkatkan keawetannya bilah galam harus diawetkan terlebih dahulu. Pengawetan dilakukan dengan sitem rendam, menggunakan bahan pengawet asam boriks dan boraks dengan kepekatan 40% asam boriks dan 60% boraks. Dua jenis bahan pengawet tersebut dipilih karena merupakan pestisida yang direkomendasikan untuk prngawet kayu oleh Komisi Pestisida Indonesia (Setjen Departemen Pertanian, 2008), Benda uji bilah-bilah galam (6 batang) pada kondisi kadar air rata-rata sekitar 30% direndam dalam larutan (95 % air bersih dicampur 5% larutan pengawet), selama 7 hari. Hasil pengawetan menunjukkan hasil retensi seperti disajikan dalam Tabel 1. Dibandingkan dengan persyaratan retensi pada SNI 03-5010.1-1999 tentang Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung, dimana disyaratkan untuk kayu konstruksi di bawah atap retensi minimal harus 6,0 Kg/M 3 dan di luar atap minimal 8,60 Kg/M3.maka hasil uji tersebut termasuk kategori baik (memenuhi syarat) untuk konstruksi di bawah atap. Kuat pukul (impact) dan kuat lentur Untuk menguji kuat lentur dan kuat pukul dibuat benda uji panel komposit yuster berukuran 50cm x 90cm, tebal 5cm dari bilah galam Ф 6cm, dengan plesteran komposisi 1PC : 4PS. Tebal rata-rata plesteran 2cm, diuji setelah umur 28 hari. Hasil pengujian seperti disajikan dalam Tabel 2 P
80 90
BENDA UJI
50
50cm X 90cm tebal 5cm
Gambar 3 Penempatan Benda Uji Dari pengujian contoh A1 diperoleh hasil : P-1 = 1.600 Kg P-2 = 1.700 Kg P-3 = 1.600 Kg
153
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Lt1 = 3PL =3. 1600.80 = 153,6 Kg/cm 2bh2 2. 50. 25 Lt2 = 3PL = 3. 1700.80 = 163,2 Kg/cm2 2bh2 2.50. 25 Lt3 = 3PL = 3. 1600.80 = 153,6 Kg/ cm2 2bh2 2. 50. 25 Selanjutnya dari uji ketahanan pukul diperoleh data bahwa dari 3 kali ulangan uji contoh panel tidak ada yang mengalami kerusakan (retak)
BILAH GALAM
RAM KAWAT
PLESTERAN
BALOK ANAK 5/10
Gambar 4 : Sistem Komponen Lantai Yuster
Tabel 1: Hasil Uji Pengawetan Kayu Galam BERAT CONTOH (Gr) RETENSI AWAL AKHIR Gr/ Cm3 Kg/M3 1 3.845 4.280 8.660 8,660 2 3,113 3,595 9.488 9,488 3 4.395 4.832 8.584 8,584 4 4.111 4.452 6.760 6,760 5 5.694 6.160 9.100 9,100 6 2.327 3.292 7.980 7,980 RATA-RATA 8,429
NO
154
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2: Hasil Pengujian Kuat Lentur Dengan Plesteran 1PC : 3PS NO KODE
UKURAN (CM)
A1, tebal plester 3cm P L 1 90 50 2 90 50 3 90 50 RATA-RATA A2, tebal plester 4cm 1 90 50 2 90 50 3 90 50 RATA-RATA
BEBAN ( Kg)
KUAT LENTUR (Kg/Cm2)
T 5 5 5
1.600 1.700 1.600
153,6 163,2 153,6 156,8
6 5 5
2.983 2.098 2.050
186,4 188,8 184,5 186,6
Tabel 3: Hasil Pengujian Kuat Lentur Dengan Plesteran 1PC : 4PS NO KODE
UKURAN (CM)
A1, tebal plester 3cm P L 1 90 50 2 90 50 3 90 50 RATA-RATA A2, tebal plester 4cm 1 90 50 2 90 50 3 90 50 RATA-RATA
BEBAN ( Kg)
KUAT LENTUR (Kg/Cm2)
T 5 5 6
2.264 2.056 3.152
203,8 185,1 197,0 195,3
6 6 5,5
1.803 1.901 1.950
131,40 136,90 155,80 141,40
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Di kawasan sekitar PLG, khususnya Kabupaten Kapuas cukup tersedia bahan bangunan kayu berupa kayu galam, terindikasi dengan sebaran hutan galam yang mencapai 63.800 Ha, dan jumlah pasokan kayu galam gelondong di pasaran, khususnya di pedagang pengumpul (bandar) dapat mencapai tidak kurang dari 2.500 batang sehari, dengan diameter 6 – 20 cm panjang 4M. Dengan kemampuan pasok sebanyak itu, maka persediaan 1 orang pedagang pengumpul saja sudah cukup untuk merehabilitasi /membangun sebanyak 133 unit RTJK-36. Dengan demikian apabila diperlukan membangun /merehabilitasi sebanyak 8000 unit rumah secara serempak akan dibutuhkan pasokan kayu galam utuh untuk lantainya saja sebanyak 576 M3 atau 150.376 batang Ф5-8cm. Jumlah ini hanya sekitar 7% saja bila dibanding menggunakan papan kayu seperti model konvensional. Pengawetan bilah galam menggunakan sistem rendaman dengan bahan pengawet asam borks(40%) dan boraks(60%) dengan kepekatan 5% larutan pengawet + 95% air bersih dapat mencapai retensi rata-rata 8,429 Kg/M3. Nilai ini memenuhi syarat SNI, karenan SNI 03-5010.1-1999 mensyaratkan nilai retensi minimal minimal 6 Kg/M3 untuk dibawah atap/terlindung cuaca. Dari pengujian laboratorium terhadap benda uji lantai yuster menunjukkan kuat lentur rata-rata untuk campuran plesteran 1PC :3 Pasir adalah 156,80 Kg/cm2. Sedangkan untuk campuran 1PC : 4Pasir adalah 141,40 Kg/cm2 Semua nilai tersebut sudah memenuhi syarat beban lentur yang diizinkan pada rumah tinggal seperti yang disyaratkan dalam Peraturan Muatan Indonesia, yaitu minimum 56,25 Kg/cm2.
155
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 4. 5.
Untuk menentukan campuran dan tebal plesteran dapat dipilih berdasarkan fungsi ruang dan beban yang akan bekerja dalam bangunan tersebut, agar tetap aman dan memiliki umur layan sesuai perencanaan. Sedangkan dari uji ketahanan pukul (impact), contoh panel cukup tahan terhadap gaya pukul yaitu tidak ada yang mengalami keretakan.
DAFTAR PUSTAKA Kemneterian Kehutanan,2006, Peraturan menteri Kehutanan no P.51/MENHUT-II/2006, Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (KSAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu, Departemen Kehutanan. PuslitbangPermukiman, PengembanganTeknologi Permukiman di Lahan Gambut, Laporan Akhir, 2008. Sekjen Departemen Kehutanan,2008, Pestisida Pertanian dan Kehutanan. Depnakertrans,2007, Rencana Aksi Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah, Bahan presentasi. Sekneg RI,2007, Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, Instruksi Presiden RI no 2/2007, Depnakertrans,2007, Spesifikasi Teknis Rumah Transmigrasi Panggung Type 36,Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Wahyu Supriyati, 2009 : Ketahanan Sifat Kayu Gelam, Universitas Palangkaraya (UNPAR) Palangkaraya. SNI Nomor 03-6861.1-2002, 2002: Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Bahan Bangunan Bukan Loga
156
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PEMANFATAN KAYU PELAWAN (Tristaniopsis spp.) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BRIKET ARANG UNTUK KONSUMSI RUMAH TANGGA Firna Novari, Farida Aryani, Wagiman, Liah Lawing Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Politeknik Pertanian Negeri, Jl. Sam Ratulangi Samarinda 75131 Email :
[email protected] ABSTRAK Kayu Pelawan yang banyak ditemukan di daerah Kutai Barat Kecamatan Long Pahangai belum dimanfaatkan secara ekonomis, meskipun tanaman ini merupakan jenis yang mendominasi hutan sekunder dan umumnya cepat tumbuh pada areal terbuka bekas eksploitasi hutan primer. Oleh karena itu perlu kajian lebih lanjut salah satunya dengan memanfaatkan jenis kayu ini sebagai bahan baku briket arang sehingga dapat menjadikannya bernilai ekonomis. Proses penelitian dilakukan dengan diawali persiapan bahan baku, pembakaran bahan baku kayu pelawan untuk mendapatkan arang. Selanjutnya arang dihaluskan dan dicampur dengan tepung tapioka, tanah liat dan air dengan perbandingan masing-masing 1000 gr arang, 200 gr tapioka, 200 gr tanah liat, air + 1200 ml. Penelitian dilakukan dengan mengolah kayu pelawan menjadi briket arang. Hasil pengujian sifat fisika briket yang meliputi kerapatan dan kadar air (KA) kayu Pelawan yaitu 0,56 gr/cm 3 dan 6,73%. Sedangkan hasil pengujian sifat kimia meliputi zat mudah menguap sebesar 37,76%, kadar abu 11,09%, nilai kalor 5764,22 cal/gr dan karbon terikat 51,15%. Dari hasil pengujian ini telah memenuhi standar persyaratan mutu briket arang kayu, sehingga kayu Pelawan dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai briket arang untuk konsumsi rumah tangga. Kata kunci : kayu pelawan, briket arang
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini harga bahan bakar minyak dunia meningkat pesat yang berdampak pada meningkatnya harga jual bahan bakar minyak, termasuk minyak tanah di Indonesia. Minyak Tanah di Indonesia yang selama ini di subsidi menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah Indonesia karena nilai subsidinya meningkat pesat menjadi lebih dari 49 trilun rupiah per tahun dengan penggunaan lebih kurang 10 juta kilo liter per tahun (Pari, 2008). Untuk mengurangi beban subsidi tersebut maka pemerintah berusaha mengurangi subsidi yang ada dialihkan menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Namun untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM yang meningkat pesat dalam hal minyak tanah diperlukan bahan bakar alternatif yang murah dan mudah didapat. Briket Arang merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari arang kayu, merupakan bahan bakar alternatif atau pengganti minyak tanah yang paling murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam waktu yang relatif singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana serta adanya bahan baku yang melimpah. Pada saat ini dan masa yang akan datang, briket arang kayu memiliki peranan dalam kehidupan manusia. Dimana dari tahun ketahun permintaan akan briket arang kayu dalam skala nasional semakin meningkat. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, briket arang kayu tidak hanya digunakan untuk industri tetapi sudah mulai masuk ke skala pemakaian rumah tangga. Kayu Pelawan yang banyak ditemukan di daerah Kutai Barat Kecamatan Long Pahangai belum dimanfaatkan secara ekonomis, meskipun tanaman ini merupakan jenis yang mendominasi hutan sekunder dan umumnya cepat tumbuh pada areal terbuka bekas eksploitasi hutan primer. Oleh karena itu perlu kajian lebih lanjut salah satunya dengan memanfaatkan jenis kayu ini sebagai bahan baku briket arang sehingga dapat menjadikannya bernilai ekonomis. Banyak jenis kayu yang sudah dimanfaatkan menjadi briket, namun untuk jenis kayu pelawan dianggap perlu untuk diteliti sebagai bahan baku pembuatan briket dan pengujian sifat fisika serta kimianya, sehingga diperoleh informasi tentang jenis kayu sekunder setelah dimanfaatkan menjadi produk briket atau produk karbonisasi lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan kayu pelawan yang potensinya sangat besar dengan mengetahui sifat fisik dan kimia briket yang dihasilkan agar diketahui kualitasnya sebagai bahan bakar/energi sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Kontribusi penelitan ini sebagai informasi baru tentang pemanfaatan kayu
157
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI pelawan yang tadinya tidak bernilai ekonomis setelah penelitian dapat bernilai ekonomis sebagai cadangan bahan bakar energi dan bisa membuka peluang dan membuka lapangan kerja baru. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kayu Pelawan,Tepung Tapioka (kanji), Air dan Tanah Liat. Sedangkan peralatan yang digunakan di antaranya adalah Ayakan mess 50, Mesin penghancur arang, Cetakan briket manual, Oven, Desikator, Timbangan elektrik, Cawan porselin, Mikrokaliper, Cutter, Alat tulis menulis, Kalkulator, Ember dan pengaduk, Thermoline furnance dan Peroxide Bomb Calorimeter. Proses pengarangan (karbonisasi) menggunakan metode yang lebih modern. Kayu dipotong 30 cm dengan diameter 15 cm di susun di dalam drum besi lalu di tutup rapat. Siram dengan minyak tanah baru dibakar,kemudian dibiarkan sampai menghasilkan arang. Kayu pelawan yang sudah menjadi arang dihaluskan dengan menggunakan mesin penggiling, kemudian di ayak dengan mesh 50 untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Untuk mendapatkan briket arang dari kayu pelawan, pertama-tama serbuk arang yang telah diayak halus dengan menggunakan mesh 50 ditimbang sebanyak 1 kg, dicampur dengan tepung tapioka 200 gr + air 1.500 ml dan tanah liat 200 gr. Pencetakan di lakukan setelah adonan merata, lalu di cetak dengan alat cetak briket manual dengan cara memasukan campuran adonan briket kedalam lubang cetak sebanyak 8 lubang, kemudian ditekan atau dipres. Adonan briket arang yang selesai dicetak akan berbentuk silinder (bulat panjang) yang masih dalam keadaan basah dan rapuh sehingga perlu perlakuan khusus yaitu dikeringkan dengan menggunakan metode penjemuran kering udara diruangan terbuka/bebas selama 7 hari. Selanjutnya dilakukan pengujian sifat fisik dan kimia briket arang yang dihasilkan, meliputi kadar air, kerapatan, nilai kalor, kadar abu, kadar zat mudah menguap dan kadar karbon terikat. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai pengujian sifat fisik dan kimia briket arang kayu pelawan disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 1. Nilai rata-rata Pengujian Sifat Fisik dan Kimia Briket Arang Kayu Pelawan No Pengujian Rata-rata ulangan 1 Kadar Air (%) 6,73 2 Zat Mudah Menguap (%) 37,76 3 Kadar Abu (%) 10,09 4 Karbon Terikat (%) 51,15 3 5 Kerapatan (gr/cm ) 0,56 6 Nilai Kalor (kal/gr) 5764,22 Sebagai pembanding nilai pengujian sifat briket arang dari kayu pelawan, digunakan beberapa standar briket arang impor yaitu Jepang, Inggris, USA dan Standar Nasional Indonesia (SNI) no. 01-6235-2000 yang tercantum dalam table berikut: Tabel 2. Stratifikasi Sifat dan Standar Briket Arang Impor & SNI Sifat-Sifat No Briket Arang Jepang 1 Kadar Air (%) 6–8 2 Zat Mudah Menguap (%) 15 – 30 3 Kadar Abu (%) 3–6 4 Karbon Terikat (%) 60 – 80 5 Kerapatan (gr/cm3) 1–2 6 Nilai Kalor (cal/gr) 6000-7000
Standar Inggris 3–6 16 8 – 10 75 0.84 7500
U.S.A 6 19 18 58 1 6500
SNI ≤8 ≤ 15 ≤8 ≥ 77 ≥ 5000
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (1994) dalam Triono (2006). SNI no. 1/6235/2000 Nilai kadar air briket arang kayu pelawan rata-rata 6,73%, sudah memenuhi standar kadar air briket yang disyaratkan olehh SNI maupun standar Jepang yaitu maksimum 8%. Kadar air berpengaruh terhadap panas yang dihasilkan, pada kadar air yang tinggi akan menyulitkan dalam penyalaan, berasap dan panas yang berkurang.. Kadar
158
REKAYASA KAYU PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI air briket diupayakan rendah agar tidak sulit dalam penyalaan dan tidak banyak mengeluarkan asap pada saat pembakaran. Nilai rata-rata zat mudah menguap briket arang kayu pelawan adalah 37,76%. Nilai ini relatif tinggi bila dibandingkan dengan semua standar briket arang baik Jepang, Inggris, USA maupun SNI. Tinggi rendahnya kadar zat mudah menguap briket arang dipengaruhi oleh suhu dan lamanya proses pengarangan, semakin tinggi suhu dan lama proses karbonisasi menyebabkan penguapan terjadi pada zat mudah menguap semakin besar sehingga diperoleh kadar zat mudah menguap yang rendah (Badri, 1987). Kandungan kadar zat mudah menguap yang tinggi di dalam briket akan menghasilkan asap yang lebih banyak pada saat briket dinyalakan, karena adanya reaksi antar karbon monoksida (CO) dengan turunan alcohol (Hendra dan Pari, 2000 dalam Triono, 2006). Nilai kadar abu briket arang kayu pelawan sebesar 10,09%, lebih tinggi dari yang disyaratkan oleh standar Jepang dan SNI. Akan tetapi bila dibandingkan dengan standar Inggris dan USA, nilai ini masih memenuhi persyaratan. Tinggi rendahnya kadar abu dipengaruhi oleh kandungan mineral dalam briket arang/jenis kayunya. Semakin tinggi kandungan mineral di dalamnya, maka semakin tinggi pula presentase kadar abu briket yang dihasilkan. Nilai kerapatan briket arang kayu pelawan adalah sebesar 0,56%. Nilai ini masih belum memenuhi standar nilai kerapatan yang disyaratkan oleh standar Jepang, Inggris dan USA.Kerapatan menunjukkan perbandingan antara berat dan volume briket arang. Besar kecilnya kerapatan dipengaruhi oleh ukuran dan kehomogenan arang penyusun briket aranng tersebut. Keberadaan karbon terikat dalam briket arang dipengaruhi oleh nilai kadar abu dan kadar zat menguap. Kadarnya akan bernilai tinggi apabila kadar abu dan kadar zat mudah menguap briket arang tersebut rendah. Karbon terikat berpengaruh terhadap nilai kalor briket arang. Nilai kalor akan tinggi apabila nilai karbon terikatnya tinggi. Semakin tinggi kadar karbon terikat maka menandakan arang tersebut adalah arang yang baik (Abidin, 1973 dalam Masturin, 2002). Nilai karbon terikat briket arang kayu pelawan sebesar 51,15%, masih belum memenuhi standar Jepang, Inggris, USA maupun SNI. Sedangkan nilai kalornya sebesar 5764,22 kal/gr, sudah memenuhi standar nilai kalor yang disyaratkan oleh SNI yaitu minimum 5000 kal/gr. KESIMPULAN Dari hasil pengujian yang telah dilakukan sebagian nyai telah memenuhi standar persyaratan mutu briket arang kayu, sehingga kayu Pelawan dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai briket arang untuk konsumsi rumah tangga. DAFTAR PUSTAKA Badri, 1987. Pemanfaatan Serbuk Gergaji Sebagai Pembuatan Briket Arang. Skripsi Sarjana Kehutanan UNMUL Samarinda. Bowyer, 1987. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Penerbit Gajah Mada Pres. Yogyakarta. Hartoyo, 1978. Pembuatan Briket Arang Secara Sederhana dari Serbuk dan Limbah Industri Perkayuan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Bogor. Masturin, A.. 2002. Sifat Fisik dan Kimia Briket Arang dari Campuran Arang Limbah Gergajian Kayu (Skripsi), Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pari. G. 2008, Proses Produksi dan Pemanfaatan Arang, Briket Arang dan Cuka Kayu, Pusat Penelitian dan Hasil Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Sudrajat, R. 1982. Produksi Arang dan Briket Serta Prospek Pengusahanya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Bogor. Triono, A. 2006. Karakteristik Briket Arang dari Campuran Serbuk Gergajian Kayu Afrika (Maesopsis Eminii Engl) dan Sengon (Paraserianthes Falkataria L. Nielsen) dengan Penambahan tempurung Kelapa (Cocos Micifera L). (Skripsi). Bogor. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Pertanian. Institut pertanian Bogor
159
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Pemanfaatan Bagian Cabang dan Pucuk Cabang Dalbergia latifolia sebagai Pewarna Alami Kain Batik Titis Budi Widowati 1,Gentur Sutapa 2 1&2) Staf Pengajar BagianTeknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM ABSTRAK Pewarna alami (berasal dari tumbuhan dan hewan) saat ini mulai berkembang dengan pesat karena adanya pelarangan penggunaan pewarna sintesis yang mengandung azo karena bersifat karsinogenik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dari limbah Dalbergia latifolia khususnya pada bagian cabang dan pucuk cabang. Bagian tanaman di ekstrak dengan metode ektraksi perebusan selama 1 jam pada suhu 80-900 C. Kain mori primisima yang telah beri perlakukan permordan, penganjian dan pembatikan dengan metode cap dicelupkan kedalam larutan pewarna sebanyak 4 kali. Kain yang telah diwarnai diberi perlakuan fiksasi dengan bahan fiksasi (kapur, tunjung dan tunjung) dan konsentrasi (10, 15, dan 20 g/L). Pengujian kain yang telah difiksasi meliputi ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat asam dan cahaya matahari. Nilai pH larutan pewarna pada bagian cabang dan pucuk cabang sebesar 7,052 dan 5,75. Bagian cabang dan pucuk cabang mengandung senyawa kimia tanin, sehingga menghasilkan warna coklat. Pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat asam dan cahaya matahari pada bagian cabang menghasilkan nilai yang masuk dalam kategori sedang sampai tinggi (4-5) dan pada bagian pucuk cabang masuk kategori sedang sampai tinggi sedang sampai tinggi (3-5). Nilai-nilai tersebut telah memenuhi SNI Syarat Mutu Kain Batik Mori Primissima. Warna yang dihasilkan dari bagian cabang dengan fiksasi tunjung pink kemudian fiksasi tawas dan tunjung pale yellow, dan pada bagian pucuk cabang pada fiksasi tunjung menghasilkan warna brown dan untuk fiksasi tawas dan kapur menghasilkan warna pink. Jadi kedua bagian dari spesies D. Latofolia berpotensi digunakan sebagai pewarna alami. Kata kunci : Pewarna alami, Batik, Dalbergia latifolia Latar Belakang Menurut Soeparman (1967), warna sudah dikenal sejak jaman purba (bungkus mumi di Pyramide Mesir sudah berwarna). Sampai tahun 1860 warna diperoleh dari alam (tumbuh-tumbuhan dan binatang). Pewarna dari tumbuh-tumbuhan banyak diduga sudah memakai bahan mineral sebagai mordan sejak jaman Romawi. Menurut Soeparman (1967), penemuan-penemuan tentang warna dimulai pada tahun 1856 di mana Williem Perkins telah menemukan zat warna yang disebut mauve atau orang biasa menyebut zat warna anilina atau zat warna ter batubara karena diperoleh melalui isolasi dari batubara yang selanjutnya disebut zat warna sintetis. Perkembangan selanjutnya adalah ditemukannya zat warna anilena hitam pada tahun 1863. Tahun 1884 merah congo ditemukan oleh Bottinger dan zat bejana ditemukan oleh Rene pada tahun 1901. Pada tahun 1912 ditemukan Naphtol AS (Azo-series) oleh Grisheim dan zat warna rapid yang merupakan campuran antara napthol dan garam diazonium ditemukan pada tahun 1920. Dampak negatif dari penggunaan bahan sintetis yang mengandung azo dan yang digunakan langsung sebagai bahan pewarna khususnya pada pakaian adalah memicu kanker kulit (90% merusak sel-sel epidermis) karena sifatnya yang karsinogenik. Kondisi ini mengakibatkan pada tahun 1996 Kedutaan Besar Republik Indonesia bidang Perdagangan di Nederlands, memberi peringatan akan bahaya zat pewarna sintetis yang mengandung azo. Akibat dari peraturan tersebut, jalur perdagangan zat warna sintetis yang mengandung azo dengan segala bentuk produknya terutama yang langsung berhubungan dengan kulit manusia seperti : pakaian, sepatu, kaos kaki dan selimut sudah dilarang. Salah satu kelemahan dari pewarna alami adalah ketahanan luntur yang rendah, sehingga diperlukan bahan tambahan untuk menguatkan ketahanan lunturnya. Bahan tambahan tersebut sering disebut dengan
160
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI bahan fiksasi atau serenan. Bahan yang dapat digunakan sebagai fiksasi antara lain air kapur, tunjung (FeSO4), tawas (alum), sendawa (NaNO3) , cuka, jeruk nipis, pijer (borax), gula batu, gula jawa, tape, pisang klutuk dan jambu biji (Kasmudjo, 2004). Tunjung, kapur dan tawas merupakan bahan fiksasi yang dinilai relatif aman terhadap lingkungan, mudah didapat serta murah, sehingga banyak digunakan oleh pengrajin batik (Anonim, 2002). Konsentrasi yang digunakan dalam pemakaian bahan fiksasi adalah tidak boleh lebih dari 50 g/L (Hasanudin,2002). Warna coklat atau kecoklatan disebabkan karena dalam tanaman tersebut di atas terdapat tanin. Selain tanin juga terdapat alizarin, purpurin, hematoksilin, brazilin, hematein, morin, maclurin, chochineal. (Hasanudin,2002). Bagian tanin yang juga menghasilkan warna coklat yaitu pyrogallol dan catechol (Hasudin dkk,2001) Metode Penelitian Bahan
Bahan yang digunakan merupakan bagian dari tanaman Dalbergia latifolia yakni bagian cabang (diameter 8-10 cm) dan pucuk cabang (bagian daun dan cabang) yang kedua bahan ini di dapat dari Gunung Kidul. Kain yang digunakan jenis kain mori primissima. Tawas dan soda abu untuk permordanan ; kapur tohor, tunjung untuk fiksasi; Natrium chlorida maksimum 6%, alkali bebas sebagai NaOH maksimum 0,2%, zat tak terlarut dalam air sebanyak 1,0%, kadar sabun non hidrat maksimum 85% untuk uji tahan luntur warna terhadap pencucian pada suhu 40 0C ; Natrium chlorida ,A sam laktat, Dinatrium ortofosfat non hidrat untuk menguji tahan luntur warna terhadap keringat asam Alat pH meter untuk mengukur pH atau keasaman, Spectrophotometer tipe NF 333 Nippon Denshoku Ind. Co.LTD untuk mengukur kecerahan warna, Linitest (Original Hanau 0829, max 2 KW, 220 V) alat untuk uji tahan luntur warna terhadap pencucian 40 0C, Gray Scale JIS L 0804 dan Staining Scale JIS L 0805 untuk menilai hasil pengujian kain, AATCC Perspirationtester, Tungku pengering listrik merk Memmert, T 40 μ 770245, 220 V, 2200 W, 2200C alat untuk uji tahan luntur warna terhadap keringat asam, Standart celupan berupa Blue wool, Fade-O meterno. Sl-BA, Part No.M7123, diproduksi wira Headingley, Leeds L 561 BW UK Alat untuk uji tahan luntur terhadap cahaya matahari. Metode Serbuk kayu disaring dengan saringan ukuran 40-60 mesh, dilakukan ekstraksi dengan cara perebusan selama 1 jam setelah mendidih,larutan kemudian diuji pH, uji fitokimia dan sisa larutan digunakan untuk mencelup kain. Kain mori primissima sebelum dibei pewarna dilakukan proses pemordanan dengan tawas dan soda abu. Kain di rebus dalam larutan tersebut kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah dimordan kain kemudian dicelup dengan pewarna sebanyak 4 kali pencelupan dengan cara 15 menit dicelup dan 45 menit dianginanginkan. Kain yang telah dicelup kemudian difiksasi dengan bahan kimia tunjung, tawas dan kapur dengan konsentrasi 10,15 dan 20 gr/liter. Kain yang telah difikasasi kemudian di uji dengan pengujian tahan uji tehadap pencucian, matahari dan keringat Hasil dan Diskusi Karakteristik Larutan Pewarna Hasil pengujian karakteristik larutan pewarna meliputi nilai pH dan pengujian fitokimia. 1. Nilai pH Tabel 1. Nilai pH Larutan Pewarna Bagian Ul 1 Ul 2 Ul 3 Ul 4 Ul 5 Rata- Rata Cabang 6,89 7,03 7,08 7,14 7,12 7,052 Pucuk Cabang 5,85 5,77 5,72 5,71 5,7 5,75 Nilai pH pada bagian cabang Dalbergia latifolia yakni 7,052 nilai ini termasuk ke dalam golongan nilai netral. Menurut Dean,1999 menyatakan bahwa nilai pH 7 menurupakan nilai netral, dan nilai ini dianggap paling
161
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI sesuai untuk pewarnaan kain dari bahan tumbuhan. Pada nilai ini (pH 7) warna yang dihasilkan cenderung ke arah warna coklat. Nilai pada bagian pucuk cabang yakni 5,75, nilai ini termasuk ke dalam nilai asam. Dean (1999) menyatakan bahwa nilai 5,5-8,5 dinilai aman dan tidak berdampak negatif terhadap hasil pewarnaan. 2.
Pengujian Fitokimia No. 1. 2. 3. 4. 5.
Pengujian Flavonoid Saponin Tannin Phenol Alkoloid
Tabel Pengujian Fitokimia Hasil Cabang + + -
Hasil Pucuk Cabang + + +
Dari hasil pengujian fitokimia didapatkan bahwa pada bagian cabang mengandung senyawa tannin dan phenol dan pada bagian pucuk cabang mengandung senyawa phenol, tanin dan alkoloid. Hasil pada cabang dan pucuk cabang dengan adanya tannin menyebabkan warna kain menjadi coklat. Menurut Khusniati (2008) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan warna kuning sampai coklat dapat diperoleh dari bagian tumbuhan yang mengandung tanin. Hal ini diperkuat oleh Hasanudin (2001), yang menyebutkan bahwa kandungan tanin akan menyebabkan warna coklat. 3.
Pengukuran Warna
Pengukuran warna yang dilakukan meliputi nilai L*, a* dan b*. Nilai L*berfungsi untuk mengukur tingkat kecerahan, dimana 0=hitam, 100= putih; nilai a* merupakan koordinat merah-hijau dimana nilai posifit : merah, nilai negatif = hijau dan nilai b* adalah koordinat kuning-biru dimana nilai positif : kuning, nilai negatif : biru dan nama warna yang dihasilkan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini : a.
Bagian Cabang
Tabel 2. Pengukuran warna Fiksasi
Sebelum Fiksasi Tunjung
Konsentrasi
b*
L*
a*
Warna
-
69,59
6,38
11,05
10 gr/L 15 gr/L 20 gr/L
72,02 70,90 70,94
5,06 6,47 6,35
11,22 14,07 11,41
Very Pale Brown Pink Pink Pink
10 gr/L 15 gr/L 20 gr/L
77,62 78.56 79.22
4,32 4,33 4,03
-3,14 -3,35 -3,98
Pale Yellow Pale Yellow Pale Yellow
Tawas
Kapur 10 gr/L 78,25 4,28 -2,49 Pale Yellow 15 gr/L 78,45 4,03 -2,55 Pale Yellow 20 gr/L 78,45 4,36 -3,45 Pale Yellow L*: lightness (0=black, 100=white), a*: red-green coordinates (positive values=red, negative values=green), b : yellow-blue coordinates (positive values=yellow, negative values=blue). Pengukuran warna yang dilakukan meliputi nilai L*,a*, b* dan nama warna. Nilai L* berfungsi untuk mengukur tingkat kecerahan, dimana 0=hitam,100= putih; nilai a* merupakan koordinat merah-hijau dimana nilai posifit : merah, nilai negatif = hijau dan nilai b* adalah koordinat kuning-biru dimana nilai positif : kuning, nilai negatif :
162
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI biru dan nama warna yang dihasilkan. Nilai L* yang didapat pada fiksasi tunjung menunjukkan nilai yang semakin menurun,hal ini dapat dikatakan bahwa fiksasi tunjung mengubah warna menjadi lebih gelap. Pada warna alam, tawas akan memberikan arah warna sesuai dengan warna aslinya sedang tunjung akan memberikan warna kearah lebih gelap atau tua (Anonim, 2002b). Hal ini diduga karena pengaruh kandungan kimia yang terdapat dalam bahan fiksasi, yakni adanya Ca2+ dari larutan kapur, Fe2+ dari larutan tunjung ataupun Al3+ dari larutan tawas. Selain memperkuat ikatan, garam logam pada bahan fiksasi juga berfungsi untuk merubah arah warna zat warna alam, sesuai dengan jenis garam logam yang mengikatnya. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Batik dan Kerajinan Yogyakarta (Anonim, 2007h), pada pewarna alami daun Jati, kayu Nangka, dan daun Mangga penggunaan bahan fiksasi dari tunjung memberikan warna cenderung gelap. b.
Bagian Pucuk Cabang
Tabel 3. Pengukuran warna Fiksasi
Konsentrasi
L*
b* a*
Sebelum Fiksasi Tunjung
Warna
-
63,98
7,71
16,31
10 gr/L
46,62
5,52
4,32
Very Pale Brown Brown
15 gr/L
46,2
5,19
5,17
Brown
20 gr/L
44,28
6,13
5,05
Brown
10 gr/L
66,1
8,21
7,81
Pink
15 gr/L
70,73
9,91
9,86
Pink
20 gr/L
70,28
10,21
8,89
Pink
10 gr/L
72,22
10,17
9,53
Pink
15 gr/L
73,38
9,88
8,71
Pink
20 gr/L
70,63
6,47
5,03
Pink
Tawas
Kapur
L*: lightness (0=black, 100=white), a*: red-green coordinates (positive values=red, negative values=green), b : yellow-blue coordinates (positive values=yellow, negative values=blue). Nilai L* yang didapat pada fiksasi tunjung menunjukkan nilai yang semakin menurun,hal ini dapat dikatakan bahwa fiksasi tunjung mengubah warna menjadi lebih gelap. Pada warna alam, tawas akan memberikan arah warna sesuai dengan warna aslinya sedang tunjung akan memberikan warna kearah lebih gelap atau tua (Anonim, 2002b). Hal ini diduga karena pengaruh kandungan kimia yang terdapat dalam bahan fiksasi, yakni adanya Ca2+ dari larutan kapur, Fe2+ dari larutan tunjung ataupun Al3+ dari larutan tawas. Selain memperkuat ikatan, garam logam pada bahan fiksasi juga berfungsi untuk merubah arah warna zat warna alam, sesuai dengan jenis garam logam yang mengikatnya. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Batik dan Kerajinan Yogyakarta (Anonim, 2007), pada pewarna alami daun Jati, kayu Nangka, dan daun Mangga penggunaan bahan fiksasi dari tunjung memberikan warna cenderung gelap.
163
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Kualitas Pewarnaan Batik Kualitias pewarnaan batik yang di uji meliputi nilai penodaan warna terhadap pencucian dan keringat asam, dan nilai perubahan warna meliputi pencucian, sinar matahari dan keringat asam. a. Cabang Tabel 3. Hasil Pengujian Kualitas Pewarnaan
Fiksasi
Konsentrasi
Nilai Penodaan Keringat Pencucian Asam
Nilai Perubahan Warna Pencucian
Sinar Matahari
Keringat Asam
Tunjung 10 gr/L
5
4-5
5
5
4
15 gr/L
5
4-5
4-5
5
4
20 gr/L
5
4-5
4-5
5
4
10 gr/L
5
4-5
5
4-5
4
15 gr/L
5
4-5
5
4-5
4
20 gr/L
5
4-5
4-5
4-5
4
10 gr/L
5
4-5
5
4-5
4
15 gr/L
5
4-5
4-5
4-5
4
Tawas
Kapur
20 gr/L Kategori nilai rendah
5 4-5 = 1, 1-2, 2; Kategori nilai sedang
5 4-5 = 2-3, 3, 3-4;Kategori nilai tinggi
4 = 4,
4-5,5 Seluruh nilai penodaan termasuk ke dalam kategori tinggi (4-5), sehingga tidak perlu dilakukan uji statistik. Nilai ini telah memenuhi SNI yakni nilai minimal 3 (sedang) Hal ini diduga karena penggunaan bahan fiksasi dapat mengikat kuat zat pewarna dari seluruh Dalbergia latifolia pada kain. Menurut Hasanudin dan Widjiati (2002) yang menyatakan bahwa sifat tahan luntur warna pencucian ditentukan oleh kuat lemahnya ikatan yang terjadi antara serat dan zat warna. Hal tersebut diperkuat oleh Sulaeman dkk (2000) menyebutkan adanya Ca 2+ dari larutan kapur, Fe2+ dari larutan tunjung ataupun Al3+ dari larutan tawas akan menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang telah berada di dalam serat dan telah berikatan dengan serat sehingga molekul zat pewarna alam yang berada di dalam serat menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan molekul zat pewarna alam akan sukar keluar dari pori-pori serat atau akan memperkuat ketahanan luntur. Pengujian terhadap sinar matahari menunjukkan nilai yang masuk dalam kategori tinggi, hal ini berarti bahwa kain yang telah diwarnai tidak mengalami perubahan warna setelah dilakukan pengujian terhadap sinar matahari. Hasil tersebut diduga karena kestabilan bahan pewarna. Menurut Hasanudin dkk (2001), sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet dan energi panas yang menyerang rantai molekul zat warna dapat menyebabkan rantai molekul zat warna putus. Akibat dari rantai yang putus, dapat menyebabkan warna pudar (luntur) karena gugus pembawa warna pada molekul zat warna tidak aktif. Hal ini diperkuat oleh Hasanudin dan Widjiati (2002), nilai ketahanan luntur warna terhadap sinar matahari lebih ditentukan oleh stabil dan tidaknya struktur molekul zat warna apabila terkena energi panas dan sinar ultra violet.
164
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI b.
Pucuk Cabang
Tabel 4. Hasil Pengujian Kualitas Pewarnaan
Fiksasi
Konsentrasi
Nilai Penodaan Keringat Pencucian Asam
Nilai Perubahan Warna Pencucian
Sinar Matahari
Keringat Asam
Tunjung 10 gr/L
4-5
4-5
3-4
4-5
3-4
15 gr/L
4-5
4-5
3-4
5
3
20 gr/L
4
4-5
3-4
5
3
10 gr/L
4
4-5
4-5
4-5
4
15 gr/L
4
4-5
4
5
4
20 gr/L
5
4-5
4-5
5
4-5
10 gr/L
5
4-5
4-5
5
4
15 gr/L
5
4-5
4-5
5
4
Tawas
Kapur
20 gr/L 5 4-5 4-5 5 Kategori nilai rendah = 1, 1-2, 2; Kategori nilai sedang= 2-3, 3, 3-4;Kategori nilai tinggi= 4, 4-5,5
4
Hasil ini diduga karena bahan fiksasi dapat mengikat kuat bahan pewarna dari Dalbergia latifolia. Bahan fiksasi mengikat kuat bahan pewarna pada kain, sehingga pada saat dicuci tidak melunturi (menodai) kain lain (kapas dan wool). Menurut Hasanudin dkk (2001), dalam pengujian ini bahan tekstil direndam dalam larutan sabun dan dikenai gerakan-gerakan mekanik. Warna pada bahan tekstil diserang oleh zat kimia dan gerak mekanik. Apabila ikatan antara zat pewarna dan serat kuat, warna pada kain tidak akan luntur. Pengujian terhadap sinar matahari menunjukkan nilai yang masuk dalam kategori tinggi, hal ini berarti bahwa kain yang telah diwarnai tidak mengalami perubahan warna setelah dilakukan pengujian terhadap sinar matahari. Hasil tersebut diduga karena kestabilan bahan pewarna. Menurut Hasanudin dkk (2001), sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet dan energi panas yang menyerang rantai molekul zat warna dapat menyebabkan rantai molekul zat warna putus. Akibat dari rantai yang putus, dapat menyebabkan warna pudar (luntur) karena gugus pembawa warna pada molekul zat warna tidak aktif. Hal ini diperkuat oleh Hasanudin dan Widjiati (2002), nilai ketahanan luntur warna terhadap sinar matahari lebih ditentukan oleh stabil dan tidaknya struktur molekul zat warna apabila terkena energi panas dan sinar ultra violet. Kesimpulan Larutan pewarna menghasilkan pH bagian cabang 7,052 dan bagian pucuk cabang 5,75. Bagian cabang mengandung senyawa kimia berupa phenol dan tanin sedangkan pada pucuk cabang mengandung tanin, phenol dan alkoloid. Adanya kandungan tanin menyebabkan warna yang dihasilkan bewarna coklat. Bagian cabang pada semua pengujian pengujian ketahanan luntur warna menghasilkan nilai tinggi (4-5) dan pada bagian pucuk cabang sedang sampai tinggi (3-5). Warna yang dihasilkan dari bagian cabang dengan fiksasi tunjung pink kemudian fiksasi tawas dan tunjung pale yellow, dan pada bagian pucuk cabang pada fiksasi tunjung menghasilkan warna brown dan untuk fiksasi tawas dan kapur menghasilkan warna pink. Jadi kedua bagian dari spesies D. Latofolia berpotensi digunakan sebagai pewarna alami.
165
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Daftar Pustaka Anonim 1975. SNI Standar Industri Indonesia Cara Uji Tekstil. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil. Yogyakarta. --------1989. SNI 08-0289-1989. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Sinar Matahari. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. -------1996 a SNI 08-0287-1996. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat Asam. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. -------1996 b. SNI 08-0287-1996. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian 400 C. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. --------1996c.SNI 08-0633-1996. Syarat Mutu Kain Batik Kombinasi Mori Primisima. Badan Standardisasi Nasional. Jakart. --------1999. Proses Ekstraksi dan Puderisasi Bahan Pewarna Alam. Disampaikan dalam seminar Revival of Natural Colours 3 Maret 1999. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Yogyakarta. --------2011. www.batik.org.Pewarna Alami. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industi Kerajinan dan Batik. Yogyakarta. Diakses pada tanggal 25 Maret 2011 pukul 10.00 WIB. Dean,J,. 1999. Wild Color. Watson-Guptill Publications. New York. Hasanudin, Widjiati, Sumardi, Mudjini dan S. Hanudji. 2001. Laporan Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya pada Produk Batik dan Tekstil Kerajinan. Departemen Perindustrian.Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industi Kerajinan dan Batik. Yogyakarta. Hasanudin dan Widjiati.2002. Laporan Penelitian Proses Prencelupan Zat Warna Alam pada Batik Kapas. Departemen Perindustrian.Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industi Kerajinan dan Batik. Yogyakarta Khusniati M. 2008. Kulit Manggis Pewarna Alami Batik. www. suaramerdeka.com. Diakses tanggal 2 April 2011 pukul 14.00 WIB. Lestari, K dan H. Suprapto. 2000. Natural Dyes in Indonesia. Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik.Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan). Soeparman. 1967.Teknologi Kimia Tekstil. dipublikasikan).
Balai Penelitian dan Kerajinan Batik. Yogyakarta. (Tidak
Sulaeman, Riyanto, Mudjini, dan Widjiati. 2000. Laporan Kegiatan Peningkatan Ketahanan Luntur Zat Warna Alam dengan Cara Pengerjaan Iring. Departemen Perindustrian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industi Kerajinan dan Batik. Yogyakarta. Wardah dan F M Setyowati. 1999. Keanekaragaman Tumbuhan penghasil Bahan Pewarna Alami dibeberapa daerah di Indonesia dalam Seminar Bangkitnya Warna-warna Alam. Dewan Kerajinan Nasional. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).
166
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Pengaruh Ekstrak Litsea timoriana Terhadap Mortalitas Larva NyamukAedes aegypti dan Culex quinquefasciatus Didi Tarmadi1 1)UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong- Bogor16911 e-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kulit batang dan daun Litsea timoriana terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinguefasciatus. Serbuk kering kulit batang dan daun Litsea timoriana diekstrak menggunakan pelarut metanol dengan metode maserasi. Pada penelitian ini menggunakan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm. 25 ekor larva nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinguefasciatus instar III-IV dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi 100 ml larutan ekstrak. Pengamatan dilakukan dengan variasi waktu 24 jam dan 48 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit batang dan daun Litsea timoriana pada konsentrasi 1000 ppm menyebabkan tingkat mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti sebesar 24 % dan 23.2 %, sedangkapan pada larva nyamuk Culex quinquefasciatus sebesar 34.4 % dan 29.6 %. Nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar kulit terhadap Aedes aegypti sebesar 7.192,09 ppm dan 217.969,44 ppm, nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar kulit terhadap Culex quinquefasciatus sebesar 2.800,18 ppm dan 7.051,23 ppm, nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar daun terhadap Aedes aegypti sebesar 8.061,54 ppm 242.531,16 ppm, dan nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar daun terhadap Culex quinquefasciatus sebesar 4.251,82 ppm dan 133.083,3 ppm. Kata kunci: Litsea timoriana, Ekstrak, Aedes aegypti, Culex quinquefasciatus Pendahuluan Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini sangat berbahaya dan termasuk kategori penyakit sangat menular serta dapat menyebabkan kematian pada penderita dalam waktu yang sangat pendek (WHO 2003). Penyakit DBD merupakan endemik terutama di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus DBD yang sangat tinggi. Tahun 2007 Indonesia merupakan negara yang melaporkan jumlah kasus dan kematian akibat DBD terbanyak di dunia (WHO 2009). Pada tahun 2010 Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus demam berdarah dengue di ASEAN dengan jumlah kematian sekitar 1.317 (Kompas 2011). Disamping nyamuk Aedes aegypti, salah satu jenis nyamuk yang juga sangat mengganggu yaitu Culex quinquefasciatus. Jenis nyamuk ini merupakan vektor penyakit filariasis. Upaya pencegahan dan penanggulangan nyamuk dititik beratkan pada pemutusan siklus penularan yaitu dengan cara pengendalian vektor (WHO 2004). Pengendalian menggunakan insektisida konvensional menimbulkan masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi sehingga perlu dicari alternatif bahan
167
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI yang lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian yaitu menggunakan ekstrak herbal dari tanaman obat tertentu. Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif pengendalian serangga karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat bioaktif. Produk dari alam ini efektif, ramah lingkungan, mudah diurai oleh mikroorganisme, murah, tersedia di berbagai tempat di dunia, dan bersifat selektif (Su dan Mulla 1999). Beberapa jenis ekstrak tanaman telah diteliti aktivitasnya terhadap larva nyamuk Aedes aegypti seperti Anacardium occidentale (Promsiri et al. 2006), Melia azedarach L (Coria et al. 2008), Ocimum canum (Kamaraj et al. 2008), Azadirachta indica (Atawodi 2009), Sapindus emarginatus (Koodalingan et al. 2009), Carica papaya ( Ahmad et al. 2011), dan lidah buaya (Subramaniam et al. 2012). Pohon Litsea timoriana telah digunakan oleh penduduk lokal sebagai konstruksi diperairan dan kuat terhadap serangga perusak. Hal ini mengindikasikan bahwa pohon Litsea timoriana memiliki ketahanan alami yang baik terhadap serangga perusak. Menurut Tarmadi et al. (2012), ekstrak kulit batang dan daun Litsea timoriana memiliki pengaruh terhadap mortalitas rayap tanah C. gestroi. Ekstrak kulit batang lebih tinggi memberikan pengaruh terhadap mortalitas C. gestroi dibandiangan dengan ekstrak daun. Hasil analisi fitokimia, kulit batang haluar mengandung tanin, saponim, alkaloid, fenolik, flavonoid, triterfenoid, glikosida Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kulit batang dan daun Litsea timoriana terhadap mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti. Metodologi Penelitian Ekstraksi Kulit batang dan daun Litsea timoriana terlebih dahulu dihancurkan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Serbuk kulit batang dan daun kering seberat 250 gr diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi. Ekstraksi dilakukan sampai berwarna bening. Larutan ekstrak kemudian dievaporator pada suhu 40 oC untuk mendapatkan ekstrak kering. Kemudian dikeringkan diatas waterbath. Penetasan Telur dan Pemeliharaan Larva Nyamuk Ae. Aegypti dan Culex quinquefasciatus Telur Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus yang diperoleh dari Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB ditetaskan di dalam wadah berupa nampan berdiameter ± 10 cm yang telah diisi air sumur. Setelah telur menetas menjadi larva diberi makan berupa ati ayam. Setelah mencapai instar ke3, larva dipindahkan ke dalam wadah yang lebih besar berupa mangkuk agar pertumbuhan larva maksimal. Makanan ditambahkan secukupnya pada pagi dan sore, sedangkan air diganti setiap dua hari. Pemberian pakan harus secara berkala untuk menjaga kestabilan pertumbuhan larva dan untuk mencegah terjadinya kelaparan larva. Uji Bioassay Uji bioassay mengacu kepada protokol WHO 2005. Pada penelitian ini menggunakan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 1000 dengan menggunakan 5 ulangan. Tiap konsentrasi ekstrak yang diuji dimasukkan dalam gelas plastik dengan ditambahkan Tween 0,5 ml sebagai surfaktan untuk mengurangi
168
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI tegangan permukaan, sehingga ekstrak dapat larut dalam air. Volume ekstrak dalam gelas yang akan diujikan adalah 100 ml. Ekstrak dimasukkan dalam wadah gelas plastic 200 ml bersama dengan 25 ekor larva instar III-IV kemudian bagian atas gelas plastik ditutupi dengan kain kasa. Pengamatan dilakukan dengan variasi waktu 24 jam dan 48.
Pembahasan Tabel 1. Mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus setelah terpapar daun dan kulit Litsea timoriana.
Jenis ekstrak
Daun
Kulit
Konsentrasi (ppm)
Pengamatan (jam) 24
48
0
2,4±2,19
6,4±2,19
50
3,2±1,79
6,4±2,19
100
5,6±2,19
7,2±2,19
250
8,8±1,79
11,2±1,79
500
18,4±2,19
24±2,83
1000
27,2±1,79
29,6±2,19
0
2,4±2,19
6,4±2,19
50
4±2,82
7,2±1,79
100
6,4±1,79
8±1,79
250
10,4±2,19
13,6±2,19
500
23,2±1,79
27,2±1,79
1000
30,4±2,19
34,4±4,83
Tabel 1 menunjukkan rata-rata persentase tingkat mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus setelah terpapar ekstrak kulit dan daun Litsea timoriana selama 48 jam. Ekstrak kasar kulit Litsea timoriana pada konsentrasi tertinggi 1000 ppm hanya menyebabkan tingkat mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus sebesar 34.4 %. Pada konsentrasi 500 ppm sebesar 27.2 %, konsentrasi 250 ppm sebesar 13.6 %, konsentrasi 100 ppm sebesar 8%, konsentrasi 50 ppm sebesar 7,2%, sedangkan pada kontrol sebesar 6,4%. Hasil uji ekstrak kasar daun Litsea timoriana terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus menunjukkan hasil yang hampir sama dengan ekstrak kasar kulit. Pada konsentrasi tertinggi yaitu 1000 ppm hanya memberikan persentase tingkat mortalitas sebesar 29.6%, pada konsentrasi 500 ppm sebesar 24%, konsentrasi 250 ppm sebesar 11.2%, konsentrasi 100 ppm sebesar 7.2%, konsentrasi 50 ppm dan kontrol sebesar 6,4%. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak kasar kulit dan daun Litsea timoriana memberikan efek yang rendah terhadap mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus. Menurut Govindarajan et al. (2008), ekstrak daun Cassia fistula Linn pada konsentrasi 50 mg/l menyebabkan tingkat mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus sebesar 100 %. Ekstrak metanol daun Ageratum houstonianum Mill memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus (Ravindran et al. 2012).
169
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti setelah terpapar daun dan kulit Litsea timoriana Jenis ekstrak
Daun
Kulit
Konsentrasi (ppm)
Pengamatan (jam) 24
48
0
0,8±1,79
2,4±2,19
50
2,4±2,19
3,2±1,79
100
2,4±2,19
4,8±1,79
250
5,6±2,19
9,6±2,19
500
8,8±1,79
12,8±1,79
1000
15,2±1,79
23,2±3,35
0
0,8±1,79
2,4±2,19
50
2,4±2,19
3,2±1,79
100
3,2±1,79
5,6±2,19
250
6,4±2,19
10,4±2,19
500
10,4±2,19
14,4±2,19
1000
16±2,83
24±2,53
Tabel 2 menunjukkan rata-rata persentase tingkat mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti setelah terpapar ekstrak kulit dan daun Litsea timoriana selama 48 jam. Dari Tabel 2 terlihat bahwa ekstrak kasar kulit Litsea timoriana pada konsentrasi 1000 ppm menyebabkan persentase tingkat mortalitas sebesar 24%, pada konsentrasi 500 ppm sebesar 14.4%, konsentrasi 250 ppm sebesar 10.4%. Hasil uji ekstrak kasar daun menunjukkan hasil yang hampir sama dengan ekstrak kasar kulit Litsea timoriana. Pada konsentrasi tertinggi yaitu 1000 ppm menyebabkan mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti sebesar 23.2%, konsentrasi 500 ppm sebesar 12.8%, konsentrasi 250 ppm 9.6%, konsentrasi 100 ppm sebesar 4.8%, sedangkan pada konsentrasi terendah yaitu 50 % sebesar 3,2%. Hal ini menujukkan bahwa ekstrak kasar kulit dan daun Litsea timoriana memberikan pengaruh yang rendah terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti. Menurut Prianto et al. (2012), ekstrak kulit Nimba (Azadirachta indica) menyebabkan mortalitas 100% terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. Penelitian Subramanian et al. (2012) menunjukkan ekstrak daun lidah buaya memiliki potensi sebagai larvasida. Ekstrak daun Acalypha indica daun Achyranthes aspera memberikan pengaruh yang tinggi terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti dengan kisaran 409 ppm dan 420 ppm (Kamalakannan et al. 2010). Ekstrak fraksi daun Citrullus vulgaris Schrad pada konsentrasi 100 ppm menyebabkan mortalitas larva Aedes aegypti sebesar 100% (Mullai et al. 2008). Ekstrak daun Ocimum canum, Ocimum sanctum dan Rhinacanthus nasutus menunjukkan aktivitas yang moderat terhadap larva nyamuk Aedes aegypti (Kamaraj et al. 2008). Ekstrak etil acetat dan n-heksan daun Ageratum houstonianum Mill memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti (Ravindran et al .2012). Ekstrak hexane daun Citrus sinensis berpengaruh terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti (Warikoo et al. 2012).
170
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 3. Nilai LC50 dan LC90 ekstrak kasar kulit dan daun Litsea timoriana Jenis ekstrak Kulit Daun
LC50 (ppm)
Larva nyamuk
24 jam
LC90 (ppm)
48 jam
24 jam
48 jam
Aedes aegypti
18.473,70
7.192,09
742.630,63
217.969,44
Culex quinquefasciatus
3.149,85
2.800,18
57.484,35
70.517,23
Aedes aegypti
21.015,23
8.061,54
80.7910,81
242.531,16
Culex quinquefasciatus
4.279,377
4.251,82
8.3337,83
13.3083,3
Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan nilai LC50 dan LC90 ekstrak kasar kulit dan daun Litsea timoriana terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus selama 24 jam dan 48 jam. Dari Tabel 3 terlihat bahwa nilai LC50 dan LC90 kulit Litsea timoriana terhadap Aedes aegypti, nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan dengan LC50 dan LC90 kulit Litsea timoriana terhadap Culex quinquefasciatus. Walaupun demikian hal ini belum bisa dipastikan bahwa ekstrak kasar kulit Litsea timoriana lebih bersifat toksik terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus dibandingkan dengan larva nyamuk Aedes aegypti. Hal ini disebabkan karena nilai mortalitas kontrol pada Culex quinquefasciatus lebih tinggi jika dibandingkan pada kontrol Aedes agypti. Dari Tabel 3 terlihat juga bahwa ekstrak kasar kulit memiliki LC50 dan LC90 lebih rendah jika dibandingkan dengan ekstrak kasar daun. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun ekstrak kasar kulit dan daun Litsea timoriana memiliki efek yang rendah terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus tetapi ekstrak kasar kulit lebih toksik terhadap larva Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus jika dibandingkan dengan ekstrak kasar daun Litsea timoriana. Ekstrak metanol O. canum, dan ekstrak aseton memiliki nilai LC50 sebesar 99.42 ppm, 94.43 ppm dan 81.56 ppm (Kamaraj et al. 2008). Nilai LC50 ekstrak metanol M. charantia, T. anguina, Luffa acutangula, Benincasa cerifera dan Citrullus vulgaris sebesar 465.85 ppm, 567.81 ppm, 839.81 ppm, 1.189,30 ppm dan 1.636,04 ppm (Prabakar dan Jebanesan 2004). Ekstrak metanol daun Vitex negundo, Vitex trifolia, Vitex peduncularis dan Vitex altissima memiliki nilai LC50 sebesar 212.57 ppm, 41.41 ppm, 76.28 ppm dan 128.04 ppm (Kannathasan et al. 2007 dalam Kamaraj et al. 2008). Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak kasar kulit dan daun Litsea timoriana memiliki pengaruh yang rendah terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus dengan nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar kulit terhadap Aedes aegypti sebesar 7.192,09 ppm dan 217.969,44 ppm, nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar kulit terhadap Culex quinquefasciatus sebesar 2800.18 ppm dan 70.517,23 ppm, nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar daun terhadap Aedes aegypti sebesar 8.061,54 ppm 242.531,16 ppm, dan nilai LC50 dan LC90 ektrak kasar daun terhadap Culex quinquefasciatus sebesar 4.251,82 ppm dan 133.083,3 ppm.
171
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Daftar Pustaka Ahmad N, Fazal H, Ayaz M, Abbasi BH, Mohammad I, Fazal L. 2011. Dengue fever treatment with Carica papaya leaves extracts. J Trop Biomed 1: 330-333. Atawodi SE. 2009. Azadirachta indica (neem): a plant of multiple biological and pharmacological activities. Phytochem Rev 8:601–620. Coria C, W. Almiron, G. Valladares, C. Carpinella, F. Luduen˜a, M. Defago, S. Palacios. Larvicide and oviposition deterrent effects of fruit and leaf extracts from Melia azedarach L. on Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae). Bioresource Technology 99: 3066–3070. Govindarajan M, Jebanesan A, Pushpanathan T. 2008. Larvicidal and ovicidal activity of Cassia fistula Linn. Leaf extract against filarial and malarial vector mosquitoes Parasitol Res 102:289–292 Kamaraj C, Rahuman AA, Bagavan A. 2008. Antifeedant and larvicidal effects of plant extracts against Spodoptera litura (F.), Aedes aegypti L. and Culex quinquefasciatus Say. Parasitol Res 103:325–331. Kamalakannan S, Murugan K,Barnard DR. 2010. Toxicity of Acalypha indica (Euphorbiaceae) and Achyranthes aspera leaf extracts (Amaranthaceae) to Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Journal of Asia-Pacific Entomology Kompas. 2011. Kasus DBD di Indonesia tertinggi di ASEAN. http://megapolitan.kompas.com/read/2011/02/19/07163187/Kasus.DBD.di.Indonesia.Tertinggi.di.ASEA N [23 September 2012] Koodalingan A, Periasamy M, Munusamy A. 2009. Antimosquito activity of aqueous kernel extract of soapnut Sapindus emarginatus: impact on various developmental stages of three vector mosquito species and nontarget aquatic insects. Parasitol Res 105:1425–1434. Mullai K, Jebanesan A, Pusphanathan T. 2008. Effect of bioactive fractions of Citrullus vulgaris Schrad. Leaf extract against Anopheles stephensi and Aedes aegypti. Parasitol Res 102:951–955. Prabakar K, Jebanesan A. 2004. Larvicidal efficacy of some Cucurbitacious plant leaf extracts against Culex quinquefasciatus (Say). Bioresour Technol 95(1):113–114. Prianto AH, Syafii W, Yusuf S. 2012. Exploration and Identification of Neem Bark (Azadirachta indica A.Juss) as Larvicide against AedesaegyptiMosquitoes. Tesis Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan. Promsiri S, Amara N, Maleeya K, Usavadee T. 2006. Evaluations of larvicidal activity of medicinal plant extractsto Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) and other effects ona non target fish. Insect Science. 13: 179-188. Ravindran J, Alex E, William J. 2012. Adulticidal activity of Ageratum houstonianum Mill. (Asteraceae) leaf extracts against three vector mosquito species (Diptera: Culicidae). Asian Pacific Journal of Tropical Disease: 177-179. Su T, Mulla MR (1999) Oviposition bioassay responses of Culex tarsalis and Culex quinquefasciatus to neem products containing azadirachtin. Entomol Exp Appl 91:337–345. Warikoo R, Ray A, Sandhu JK, Samal R, Wahab N, Kumar S. 2012. Larvicidal and irritant activities of hexane leaf extracts of Citrus sinensis against dengue vector Aedes aegypti L. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine: 152-155 [WHO]. World Health Organzation. 2003. Dengue, Dengue haemorrhagic fever and Dengue shock syndrome in the context of the Integrated management of childhood illness. Discussion Papers on Child Health. WHO/FCH/CAH/05.13. [WHO]. World Health Organzation. 2004. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. [WHO]. World Health Organzation. 2005. Guidelines for laboratory and field testing of mosquito larvicides. World Healt Organization Communicable Desease Control, Prevention and Eradication WHO Pesticides Evaluation Scheme. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13 [WHO]. World Health Organzation. 2009. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. New edition. A joint publication of the World Health Organization (WHO) and the Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases (TDR).
172
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
KARAKTERISTIK KERTAS KARTON GELOMBANG DARI KAYU ALTERNATIF Eka Novriyanti, Yeni Aprianis, Dodi Frianto, Minal Aminin Balai PenelitianTeknologi Serat Tanaman Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementrian Kehutanan Jl. Raya Bangkinang-Kuok Km. 9 Kampar, Riau Abstrak Jenis kayu lokal, seperti jabon (Antocephalus cadamba) dipertimbangkan sebagai alternative bahan baku pembuatan pulp dan kertas dengan munculnya permasalahan dengan jenis-jenis eksotis yang selama ini menjadi bahan baku utama industry tersebut. Dalam penelitian ini diuji dua proses pemasakan pulp kayu jabon dan pengaruhnya terhadap karakteristik kertas karton gelombang. Kayu jabon yang diuji memiliki berat jenis 0.32 dan kadar selulosa serta lignin masing-masing 42.3% dan 29.0%. Proses pemasakan dengan konsentrasi NaOH 15% selama 60 menit (Proses 1) dan NaOH 20% selama 90 menit (Proses 2) masing-masing menghasilkan pulp dengan rendemen 56.3% dan 49.1%. Proses 1 dan Proses 2 menghasilkan kertas medium dengan gramatur masing-masing 135.8 dan 138.9 g m–2. Kertas karton gelombang yang dihasilkan dari kedua proses memiliki indeks tarik, CMT dan RCT masing-masing 69.3 dan 82.1 Nm g–1; 130.1 dan 219.7 N; 114 dan 214.7 N. Proses 1 menghasilkan kertas corrugatedkelas A, sedangkan proses 2 menghasilkan kelas B berdasarkan SNI 14-0094-2006. Kata kunci: kayu lokal, jabon, pulp, karton gelombang PENDAHULUAN Peningkatan kebutuhan pulp dunia mencapai 20% setiap tahunnya(Gracia et al. 2008), sedangkan di Indonesia peningkatan yang terjadi rata-rata sebesar 5% pertahun (Dunia Industri 2011). Selama ini, pengadaan pasokan kayu pulp paling banyak diperoleh dari Hutan Tanaman Industri (HTI), namun program HTI yang dilakukan belum berjalan dengan baik, dari 7,8 juta ha yang dialokasikan hanya 23,5% yang ditanami. (Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch 2001). Pengadaan pasokan bahan baku pulp juga diperoleh dari hutan alam, yang jumlahnya juga semakin berkurang setiap tahunnya. Tanaman berkayu penghasil serat yang banyak digunakan sebagai bahan baku untuk industri pulp adalah jenis-jenis eksotis sepertiAcacia mangium Willd dan Eucalyptus spp. yang merupakan jenis tanaman cepat tumbuh dan sudah dikembangkan menjadi tanaman industri di areal HTI. Sementara itu beberapa tanaman berkayu lokal yang juga bersifat cepat tumbuh seperti jabon, gerunggang, dan binuang telah terindikasi berpotensi sebagai bahan baku penghasil serat namun belum populer sebagai bahan baku pulpkarena masih
173
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI minimnya data hasil penelitian tentang kondisi proses pembuatan pulp serta parameter kualitas pulp yang dihasilkan. Kertas karton gelombang atau kertas corrugated merupakan jenis kertas medium yang banyak digunakan sebagai boks karton atau sebagai kontainer barang (packaging), sehinggapermintaannyacukuptinggi. Proses pembuatan pulp berbasis alkali seperti proses soda merupakan proses yang sudah lama dikembangkan dan terbukti dapat menghasilkan pulp untuk kebutuhan packanging dengan kualitas yang baik. Pembuatan pulp dari bahan baku kayu alternatif sepert ijabon (Antocephaluscadamba) dengan proses berbasis alkali bertujuan untuk menggali potensi kayu ini sebagai bahan baku untuk pulp untuk pembuatan kertas gelombang atau corrugated paper. Beberapa parameter yang akan dilihat adalah rendemen hasil, kadar selulosa, dan kadar lignin pulp, serta sifat fisik kertas corrugated yang dihasilkan seperti: indeks tarik, Concora Medium Test (CMT) dan Ring Crush Test (RCT), gramatur, dan kadar air. BAHAN DAN METODE Kayu jabon yang digunakan adalah kayu jabon dari hutan alam di sekitar daerah Riau. Setelah dibentuk menjadi serpih dan dikering-udarakan, serpih ini dibuat pulp dengan proses soda. Pemasakan pulp dilakukan pada suhu pemasakan 165ºC dan ratio bahan baku dengan larutan pemasak 1:4. Pemasakan pulp diuji dengan dua proses yaitu proses 1: waktu pemasakan 60 menit dengan NaOH 15% dan proses 2: waktu pemasakan 90 menit dengan NaOH 20% untuk mengetahui pengaruh waktu pemasakan dan kadar NaOH terhadap sifat pulp dan kertas gelombang yang dihasilkan. Pulp yang dihasilkan dari masing-masing proses dianalisa rendemen, kadar selulosa, kadar lignin. Pulp yang diperoleh selanjutnya dijadikan corrugated paper double face atau kertas gelombang yang terdiri dari dua kertas lainer di sisi luar melapisi kertas medium di bagian tengah. Kertas gelombang ini diuji sifat fisiknya, yaitu gramatur, indekstarik, tebal, CMT, RCT, dan kadar airnya. Sifat fisik kertas gelombang dianalisa dengan mengacu pada SNI 14-0094-2006. HASIL DAN PEMBAHASAN SIfat Kimia Bahan Baku dan Sifat Pulp Sifat kimia kayu berbeda untuk setiap jenis kayu.Kayu alam jenis jabon yang diperoleh dari daerah sekitar Riau ini memiliki berat jenis (BJ) 0.32 dan kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin masing-masing 42.3%, 20.64%, dan 29.03%. Kandungan lignin yang tinggi pada suatu jenis kayu dapat mengurangi efisiensi proses pulping dan mempengaruhi jumlah bahan kimia yang dibutuhkan dalam proses pulping. Biasanya, kayu dengan kadar lignin yang rendah dan kadar selulosa yang tinggi cenderung lebih dipilih sebagai bahan baku pulp karena memerlukan bahan pemasak yang relatif lebih sedikit dan menghasilkan pulp dengan rendemen yang lebih tinggi. Dalam Mindawatiet al. (2010) disebutkan bahwa untuk dapat menjadi bahan baku pulp, secara umum kayu disyaratkan memiliki berat jenis 0.3-0.7, panjang serat>0.8 mm, kadar lignin <23%, selulosa 40-45% dan
174
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI rendemen >40% pulp coklat. Kandungan lignin kayu jabon dalam penelitian ini memilik inilai yang lebih tinggi, yang akan mempengaruhi konsumsi bahan kimia pemasak. Sedangkan kandungan selulosa kayu jabon ini cukup memenuhi persyaratan. Panjang serat kayu jabon berdasarkan penelitian terdahulu adalah 1561 µ (Aprianiset al. 2007) yang cukup mendekati persyaratan bahan baku pulp. Berdasarkan panjang serat, kandungan selulosa dan ligninnya, kayu jabon yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi kelas kualitas II dalam klasifikasi kualitas kayu daun lebar untuk bahan pulp (Pasaribu danTampubolon 2007, Rahman danSiagian 1976). Pulp kayu jabon dengan proses 1 dan proses 2 masing-masing menghasilkan nilai rendemen dan rijek 56.32% dan 2.63% serta 49.06% dan 2.51%. Kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin pulp yang dihasilkan dari proses 1 adalah 82.39%, 12.83%, dan 9. 31%. Sedangkan dari proses 2 dihasilkan pulp yang memiliki kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin masing-masing 85.44%, 15.81%, dan 7.28%. Proses 1 menggunakan NaOH yang lebih sedikit dan waktu pemasakan yang lebih cepat daripada proses 2. Pulp yang dihasilkan dari proses 1 memiliki nilai rendemen yang lebih baik, namun kadar selulosanya lebih rendah daripada pulp yang dihasilka noleh proses 2. Pada proses yang kedua, kadar NaOH yang lebih tinggi dan waktu pemasakan yang lebih lama kemungkinan dapat mendegradasi komponen kayu lebih jauh, sehingga diperoleh rendemen yang lebih rendah, dan pulp dengan kadar lignin yang juga lebih rendah namun kandungan selulosanya lebih tinggi. Secara keseluruhan, kedua proses yang dicoba untuk jenis kayu jabon memberikan hasil (rendemen) pulp coklat yang memenuhi persyaratan umum kayu sebagai bahan baku pulp, yaitu>40%. Sifat Fisik Kertas Gelombang Kayu Jabon Kertas gelombang (corrugated paper) yang dihasilkan dalam penelitian ini dibuat dengan merekatkan kertas lainer diantara dua kertas medium yang dihasilkan dari pulp kayu jabon.Kertas gelombang yang dihasilkan dari proses 1 memiliki gramatur sebesar 135.8 g/m2 dengan tebal 0.198 mm dan kadar air 7.4%.Nilai Indeks tarik, concora medium test (CMT), dan ring crush test (RCT) dari karton gelombang proses 1yang dihasilkan adalah berturut-turut 69.27 Nm/g, 131 N, dan 114 N. Sedangkan proses 2 menghasilkan karton gelombang dengan gramatur 138.9 g/m2, tebal 0.193 mm, kadar air 7.2%, serta indeks tarik, CMT dan RCT masing-masing 82.12 Nm/g, 220 N, dan 215 N. Meskipun nilai parameter sifat fisik sebagian besar memenuhi persyaratan dalam SNI 14-0094-2006, namun nilai RCT corrugated paper yang dihasilkan oleh proses1 tidak memenuhi kelas mutu A maupun B dalam persyaratan kelas mutu kertas medium SNI 14-0094-2006. Sebaliknya, proses 2 menghasilkan kertas medium yang termasuk dalam kelas mutu A. Proses 2 yang menggunakan alkali lebih banyak dan waktu pemasakan lebih lama dapat secara signifikan meningkatkan nilai indeks tarik, CMT dan RCT kertas medium dari kayu jabon, sehingga memenuhi persyaratan dalam kelas mutu A untuk kertas medium. Penambahan aditif diharapkan dapat meningkatkan
175
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI kualitas kertas gelombang dari jenis kayu ini, tanpa meningkatkan penggunaan bahan kimia dan memperpanjang waktu pemasakan sehingga proses pulping lebih ekonomis dan efisien. KESIMPULAN 1. Kayu jabon dapat dijadikan bahan baku untukpembuatan kertas gelombang. 2. Penggunaan alkali aktif (AA) sebesar 20% dan waktu pemasakan 90 menit dapat menghasilkan kertas gelombang yang memenuhi persyaratan kelas mutu A SNI 14-0094-2006. SARAN 1. Jika proses pulping dilakukan dengan kadar AA yang lebih rendah dari 20% dan waktu pemasakan yang lebih pendek dari 90 menit, sebaiknya diberikan tambahan aditif dalam pembuatan kertas, sehingga sifat fisik kertas gelombang yang dihasilkan dapat meningkat. 2. Jenis dan kadar aditif yang ditambahkan memerlukan penelitian lebih dalam untuk jenis kayu alternatif ini. DAFTAR PUSTAKA Aprianis,
Y.,
Wahyudi,
A.,
Hidayat,
A.,
Nurrohman,
E.
Sasmita,
T.,
Kosasih.
2007.
Analisakualitasseratdansifatpengolahan pulp jenisalternatifbarupenghasilserat. LaporanHasilPenelitian. BaaiPenelitianHutanPenghasilSerat, Kuok. (Tidakdipublikasikan). Mindawati, N., Bogidarmanti, R., Noraniah, HS.,Kosasih AS., Suhartati, Rahmayanti, S., Junaedi, A., Rachmat, E., Rochmayanto, Y. 2010. Sintesahasilpenelitian: Silvikulturjenisalternatifpenghasilkayu PusatPenelitiandanPengembanganTanamanHutan,
pulp.
BadanPenelitiandanPengembanganKehutanan,
DepartemenKehutanan. Bogor. Pasaribu, R.A. danTampubolon, A.P. 2007. Status teknologipemanfaatanseratkayuuntukbahanbaku pulp. Workshop
Sosialisasi
Program
GunaMendukungKebutuhanRisetHutanTanamanKayu
danKegiatan Pulp
danJejaringKerja.
BPHPS BPHPS
Kuok
(Tidakdipublikasikan). Rahman,
A.N.
danSiagian,
R.M.
1976.Dimensiseratjeniskayu
LembagaPenelitianhasilHutan. Bogor.
176
Indonesia.Laporan
No.
75.
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PEMURNIAN MINYAK NILAM DENGAN SENYAWA PENGKELAT Gunawan Pasaribu, Gusmailina dan Sri Komarayati Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor E-mail:
[email protected] Abstrak Teknik penyulingan nilam sederhana yang dilakukan oleh petani mengakibatkan kualitas minyak yang rendah. Untuk meningkatkan kualitas dan nilai jualnya, bisa dilakukan dengan proses pemurnian baik secara fisika maupun secara kimia. Salah satu prosesnya adalah melalui proses pengikatan air dan pengkelatan. Pada penelitian ini dilakukan penurunan kadar air nilam dengan pemberian garam Na2SO4 dan pemberian senyawa pengkelat Na-EDTA dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 2%, 5%, 7%, dan 15%. Teknik pengkelatan dilakukan dengan menambahkan senyawa pengkelat ke dalam sampel minyak nilam, diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit. Setelah itu, dilakukan penyaringan sehingga didapatkan minyak nilam yang telah dimurnikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Makin tinggi konsentrasi bahan pemurni yang digunakan, rendemen minyak yang dihasilkan makin rendah. Natrium sulfat anhidrat (Na 2SO4) dapat merubah sifat-sifat fisik minyak hingga memenuhi standar SNI. Penambahan senyawa pengkelat dapat meningkatkan kadar PA minyak nilam. Kata kunci: minyak nilam, pemurnian, pengkelat I. Latar Belakang Kualitas minyak nilam pada umumnya dapat ditentukan oleh warna dan komponen utama penyusun. Komponen utama penyusun minyak nilam yaitu patchouli alcohol dan norpatchoulenol. Kedua komponen tersebut memberi aneka bau khas minyak nilam. Mutu minyak ditentukan oleh sifat fisika-kimia minyaknya, faktor yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah kadar patchouli alkohol (PA). PA merupakan komponen terbesar (50 - 60%) dari minyak (Walker, 1969 dalam Ketaren, 1985) dan memberikan bau (odour) yang khas pada minyak nilam, karena antara lain mengandung norpatchoulene (Trifilief, 1980). Minyak nilam yang berkualitas tinggi harus mengandung patchouli alcohol yang tinggi dan kandungan terpen serendah mungkin. Namun kebanyakan di lapangan minyak nilam rakyat mempunyai kadar patchouli alcohol yang masih rendah yaitu masih dibawah 30 % (Sufriadi dan Mustanir, 2004). Selain itu, minyak nilam rakyat banyak mengandung bahan-bahan pengotor dan dengan warna yang gelap, sehingga kurang memenuhi standar kualitas ekspor. Mutu minyak nilam bergantung pada proses destilasinya. Destilasi uap yang digunakan petani dalam penyulingan daun nilam sebagian besar masih sangat sederhana. Sebagian besar penyulingan nilam yang dilakukan oleh petani masih menggunakan drum, bahkan ada yang menggunakan drum bekas aspal, sehingga
177
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI minyak yang dihasilkan berwarna coklat kehitaman dan keruh. Kondisi minyak nilam seperti ini sering menjadi alasan bagi tengkulak untuk menjatuhkan harga jual, sehingga sering petani merasa rugi dan dirugikan. Kondisi seperti ini juga membuat petani menjadi malas untuk menyuling, karena harga jual tidak dapat menutupi biaya penyulingan. Seperti contoh di Kabupaten Pasaman dijumpai penyuling yang enggan menyuling, karena alasan biaya menyuling lebih mahal dari harga jual, sehingga nilam dibiarkan menumpuk pada kondisi apa adanya. Padahal penyimpanan nilam kering ini akan merusak kualitas jika cara penyimpanan tidak sesuai standar. Warna minyak nilam menjadi gelap disebabkan oleh zat warna alamiah yang terdapat dalam bahan baku ikut terekstrak bersama minyak pada saat proses ekstraksi atau adanya reaksi senyawa dalam minyak dengan ion logam serta terjadinya reaksi polimerisasi sebagai akibat pengaruh suhu tinggi selama proses penyulingan. Pemurnian minyak nilam dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Pemurnian secara fisika memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik. Salah satunya dapat dilakukan dengan metode penyulingan ulang (redistillation), metode penyulingan hampa udara terfraksi, dan sistem papan bertingkat (Yanto 2004; Hernani & Marwati 2006). Metode pemurnian minyak secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan menambah bahan-bahan kimia yang dapat menyerap warna serta meningkatkan ion logam yang bereaksi dengan komponen-komponen minyak, bahan kimia atau senyawa pengompleks tertentu. Proses pemurnian minyak secara kimia dilakukan dengan adsorpsi menggunakan adsorben seperti bentonit, arang aktif, atau zeolit, proses pengkelatan dengan menggunakan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid), asam sitrat dan asam tartarat, serta metode penghilangan senyawa terpen (terpeneless) untuk meningkatkan efek aroma, sifat kelarutan dalam alkohol encer, kestabilan dan daya simpan dari minyak (Moestafa et al. 1990). Tujuan penelitian adalah memperbaiki kualitas minyak nilam dengan menggunakan senyawa pengkelat. II. METODOLOGI A. Bahan penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nilam yang diperoleh dari Sumedang, Garut, Ciamis (Jawa Barat) dan Pasaman (Sumatera Barat). Penelitian dilakukan di laboratorium HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu), Pustekolah, Bogor. Laboratorium Pascapanen, BBLitbang Pascapanen Pertanian, Bogor Peralatan-peralatan yang digunakan pada proses pengkelatan dan analisis kualitas antara lain: erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, picnometer, kompor gas, spatula, magnetic stirrer, penyaring, timbangan, termometer, stopwatch dan refraktometer dan alat-alat bantu lainnya. Alat yang digunakan adalah Gas Chromatography (GC), refraktometer, piknometer, neraca analitik, pendingin tegak, penangas air, lemari es, statip, buret, erlenmeyer, pipet tetes, pipet volumetrik, corong, termometer, dan tabung reaksi.
178
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI B. Prosedur kerja 1. Pengurangan kadar air minyak nilam Pengurangan kadar air minyak nilam dilakukan dengan penambahan garam natrium sulfat. Konsentrasi natrium sulfat yang ditambahkan sebesar 5%. Proses pengikatan air dengan natrium sulfat anhidrat ini dibiarkan selama 24 jam dan setelah mencapai waktu tersebut, campuran yang ada disaring dengan menggunakan kertas saring. 2. Proses pemurnian minyak nilam Bahan pengkelat yang digunakan adalah Na-EDTA dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 2%, 5%, 7%, dan 15%. Teknik pengkelatan dilakukan dengan menambahkan senyawa pengkelat ke dalam sampel minyak nilam, diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit. Setelah itu, dilakukan penyaringan sehingga didapatkan minyak nilam yang telah dimurnikan. 3. Pengujian mutu minyak nilam a. Pengujian warna (secara visual) b. Penentuan bobot jenis (SNI 06-2385-2006) c. Penentuan indeks bias (SNI 06-2385-2006) d. Penentuan kelarutan dalam etanol (SNI 06-2385-2006) e. Penentuan bilangan asam (SNI 06-2385-2006) f. Penentuan bilangan ester (SNI 06-2385-2006) 4. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian ditabulasi lalu dibandingkan dengan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengurangan kadar air minyak nilam Pengurangan kadar air minyak nilam dilakukan dengan penambahan garam natrium sulfat anhidrat (Na2SO4). Natrium sulfat yang ditambahkan berupa natrium sulfat teknis dan murni. Setelah penambahan garam ini, terjadi perubahan mutu yang bervariasi terhadap hasil parameter uji baik sebelum maupun setelah penambahan Na2SO4 murni dan teknis. Terjadi perubahan kadar/konsentrasi parameter yang diuji, mulai dari berat jenis, indek bias, bilangan asam, bilangan ester dan kadar patchouli alcohol (PA). Dilihat angka berat jenis, hasil yang diperoleh masuk dan memenuhi standar SNI. Demikian juga dengan bilangan asam dan bilangan ester rata-rata memenuhi standar SNI setelah dilakukan proses pemurnian tahap awal. Secara umum, dalam hal penggunaan Na2SO4 teknis atau Na2SO4 murni tidak terdapat perbedaan hasil yang menyolok. Minyak nilam asal Sumedang mempunyai berat jenis 0,9764 sebelum proses pemurnian. Setelah proses pemurnian turun menjadi berkisar antara 0,945-0,958. Hal ini disebabkan karena fraksi
179
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI berat komponen yang terkandung pada minyak nilam sebelumnya, terserap oleh bahan pemurni. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Guenther (1948), bahwa berat jenis sering dihubungkan dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung didalam suatu minyak atsiri. Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin besar pula nilai densitasnya. Biasanya berat jenis komponen terpen teroksigenasi lebih besar dibandingkan dengan terpen tak teroksigenasi. B. Pemurnian minyak nilam dengan Na EDTA Mutu minyak nilam asal Garut dengan penambahan Na EDTA disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Mutu minyak nilam lokasi Garut dengan penambahan Na EDTA
Karakteristik
Sebelum
Sesudah Na EDTA (% x berat sample) 2 5 7 15 KKM KKM KT KT 0.9629 0.9634 0.9638 0.9609 1.4970 1.4972 1.4972 1.4965
Warna KKM Bobot jenis 20°C/20°C 0,9687 Indeks bias (nD20)* 1,4952 Kelarutan dalam etanol 1:1 1:1 1:1 90% Bilangan asam 8,25 8.20 7.95 Bilangan ester 9,24 19.66 17.55 Patchouli alcohol, % 29,376 30.215 30.465 Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
1:1
1:1
5.75 15.40 2.947
4.15 14.62 34.217
SNI Kuning muda - coklat kemerahan 0.950 - 0.975 1.507 - 1.515 Larutan (jernih) atau opalisensi ringan dalam perbandingan volume 1 : 10 Maksimum 8,00 Maksimum 20.0 Minimum 30
Pada Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Garut. Perlakuan 5%, 7% dan 15% dapat memperbaiki bilangan asam. Tabel 2. Mutu minyak nilam asal Ciamis dengan penambahan Na EDTA Karakteristik
Sebelum
Sesudah Na EDTA (% x berat sample) 2 5 7 15 KKM KKM KT KT
Warna KKM Bobot jenis 0,9724 0.9770 0.9774 20°C/20°C 20 Indeks bias (nD )* 1,4985 1.4987 1.4986 Kelarutan dalam 1:1 1:1 1:1 etanol 90% Bilangan asam 0.90 0,826 0,826 Bilangan ester 4.43 10.06 10.99 Patchouli alcohol, % 36,820 36.986 37.874 Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
180
SNI Kuning muda - coklat kemerahan
0.9780
0.9814
0.950 - 0.975
1.4987
1.4990
1:1
1:1
0,811 15.80 38.683
0,810 18.34 39.942
1.507 - 1.515 Larutan (jernih) atau opalisensi ringan dalam perbandingan volume 1 : 10 Maksimum 8,00 Maksimum 20.0 Minimum 30
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pada Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias, dan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis. Penggunaan Na EDTA dapat meningkatkan kadar PA dari 36,8% menjadi 39,9%. Tabel 3. Mutu minyak nilam lokasi Pasaman dengan penambahan Na EDTA Karakteristik Warna Bobot jenis 20°C/20°C Indeks bias (nD20)* Kelarutan dalam etanol 90%
KKM 0,9707
Sesudah Na EDTA (% x berat sample) 2 5 7 15 KKM KKM KT KT 0,9818 0,9816 0,9732 0,9818
1,4992
1,4993
1,4997
1,5002
1,5110
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
4,9789 11.1244 44.091
4,0054 13.1041 45.172
Sebelum
Bilangan asam 5.2706 5,0099 5,0032 Bilangan ester 8.8876 7.8638 9.1677 Patchouli alcohol, % 43,868 43.971 43.986 Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
SNI Kuning muda - coklat kemerahan 0.950 - 0.975 1.507 - 1.515 Larutan (jernih) atau opalisensi ringan dalam perbandingan volume 1 : 10 Maksimum 8,00 Maksimum 20.0 Minimum 30
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Pasaman. Tetapi penggunaan NaEDTA meningkatkan bilangan ester walaupun masih masuk dalam standar. Tabel 4 . Mutu minyak nilam asal Sumedang dengan penambahan Na EDTA Karakteristik Warna Bobot jenis 20°C/20°C Indeks bias (nD20)* Kelarutan dalam etanol 90%
Sebelum KKM 0,9764
Sesudah Na EDTA (% x berat sample) 2 5 7 15 KKM KKM KT KT 0.9490 0.9580 0.9584 0.9585
1,4938
1.4955
1.4957
1.4960
1.4955
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
3.49 12.16 26.211
3.42 12.30 28.223
Bilangan asam 4.49 3.69 3.57 Bilangan ester 22.72 13.76 12.67 Patchouli alcohol, % 25.466 25.625 25.684 Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
SNI Kuning muda - coklat kemerahan 0.950 - 0.975 1.507 - 1.515 Larutan (jernih) atau opalisensi ringan dalam perbandingan volume 1 : 10 Maksimum 8,00 Maksimum 20.0 Minimum 30
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Sumedang.
Tetapi sebaliknya
penggunaan 15% NaEDTA menurunkan bilangan ester masing-masing dari 22,72% menjadi 12,30%. Juga sedikit meningkatkan kadar PA masing-masing dari 25,46% menjadi 28,22%.
181
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Indeks bias merupakan perbandingan antara sinus sudut masuk cahaya dengan sinus sudut bias. Indek bias dapat digunakan untuk identifikasi zat serta ukuran kemurnian. Nilai indek bias minyak nilam yang diperoleh setelah dilakukan pemurnian sudah termasuk dalam kisaran nilai SNI, meskipun nilai yang diperoleh lebih sedikit rendah dari SNI. Hal ini mungkin disebabkan karena minyak tersebut masih mengandung kadar air yang menyebabkan nilai indek bias lebih kecil dari standar. Menurut Guenther (1948), nilai indeks juga dipengaruhi salah satunya dengan adanya air dalam kandungan minyak atsiri tersebut. Semakin banyak kandungan airnya, maka semakin kecil nilai indek biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk membiaskan cahaya yang datang. Sama halnya dengan berat jenis, komponen penyusun minyak atsiri dapat mempengaruhi nilai indeks bias. Semakin banyak komponen berantai panjang seperti sesquiterpen atau komponen bergugus oksigen ikut tersuling, maka kerapatan medium minyak atsiri akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar untuk dibiaskan. Hal ini menyebabkan indeks bias minyak lebih besar. Jadi minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang besar lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil. Bilangan asam menunjukkan kadar asam bebas dalam minyak atsiri. Bilangan asam yang semakin besar dapat mempengaruhi terhadap kualitas minyak atsiri. Bilangan asam minyak nilam mengalami perubahan setelah dilakukan penambahan Na EDTA. Minyak nilam asal Garut mempunyai bilangan asam yang paling tinggi dibanding dengan minyak nilam asal Ciamis, Pasaman atau Sumedang. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor penyimpanan minyak yang kurang baik, sehingga terjadi kontak antara minyak dengan sinar dan udara sekitar. Sehingga sebagian komposisi minyak atsiri mengalami reaksi oksidasi dengan udara (oksigen) yang dikatalisi oleh cahaya sehingga akan membentuk suatu senyawa asam. Jika penyimpanan minyak tidak diperhatikan atau secara langsung kontak dengan udara sekitar, maka akan semakin banyak juga senyawasenyawa asam yang terbentuk. Oksidasi komponen-komponen minyak atsiri terutama golongan aldehid dapat membentuk gugus asam karboksilat sehingga akan menambah nilai bilangan asam suatu minyak atsiri. Hal ini juga dapat disebabkan oleh penyulingan pada tekanan tinggi (temperatur tinggi), dimana pada kondisi tersebut kemungkinan terjadinya proses oksidasi sangat besar (Guenther, 1948). Ditinjau dari parameter bilangan asam, minyak nilam asal Ciamis adalah yang paling bagus kualitasnya, karena mempunyai bilangan asam berkisar antara 0,7 – 1,4. Sumedang dan Pasaman.
Kemudian disusul oleh minyak nilam asal
Minyak nilam asal Sumedang adalah minyak nilam yang digunakan sebagai
pembanding, karena minyak nilam tersebut dihasilkan dengan teknik dan prosedur yang baik sesuai dengan prosedur dan cara yang dianjurkan, dan minyak nilam yang dihasilkan langsung diekspor ke berbagai negara dan diterima dipasar internasional tanpa proses pemurnian. Sehingga dalam penelitian ini minyak nilam asal Sumedang disebut sebagai minyak nilam berkualitas ekspor. Meskipun berdasarkan kandungan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis lebih baik dibanding minyak nilam asal Sumedang. Bilangan ester minyak nilam asal Garut, Ciamis rata-rata dibawah angka 20, (nilai maksimum yang ditetapkan oleh SNI). Setelah pemurnian bilangan ester cenderung sedikit meningkat tapi masih masuk dalam standar. Hal yang sama juga dijumpai pada minyak nilam asal Pasaman dimana bilangan ester meningkat dari 8,8 % (sebelum perlakuan) menjadi 13,10 % (perlakuan NaEDTA 15 %).
182
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Kadar patchouli alkohol (PA) yang tinggi dalam minyak nilam memberikan arti bahwa semakin baik kualitas minyak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan semua perlakuan dapat meningkatkan kadar PA minyak nilam. Pemberian natrium sulfat anhidrat (Na2SO4) meningkatkan PA nilam dari Garut 3% (teknis) dan 4.3% (murni); Ciamis 0.5% (teknis) dan 1.4% (murni); Pasaman 0.8% (teknis) dan 1.1% (murni); Sumedang 1.3% (teknis) dan 2.4%. Senyawa pengkelat Na EDTA dapat meningkatkan PA minyak nilam Garut sampai 4.8%; Ciamis 3.1%; Pasaman 3.9%. Pengkelatan adalah pengikatan logam dengan cara menambahkan senyawa pengkelat dan membentuk kompleks logam senyawa pengkelat. Proses pengikatan logam merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks logam dengan senyawa pengkelat. Proses pengkelatan dipengaruhi oleh konsentrasi senyawa yang ada (Alam 2007). Bahan pengkelat bermacam-macam, diantaranya EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid), asam sitrat, dan asam tartrat. Berdasarkan penelitian Ma’mun (2008), bahan pengkelat EDTA dapat memurnikan minyak nilam lebih baik dari kedua bahan pengkelat lainnya. Bahan pengkelat ini diharapkan dapat mengurangi kandungan besi yang terdapat dalam minyak nilam karena logam besi tersebut merupakan penyebab keruhnya minyak nilam (Alam 2007; Ma’mun 2008; Suhirman 2009). Ma’mun (2008) melaporkan bahwa pada pemurnian minyak nilam, perlakuan jenis pengkelat, konsentrasi pengkelat dan lama pengadukan serta interaksi ketiga perlakuan tersebut berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan kadar besi dalam minyak nilam. Di samping itu, semakin tinggi konsentrasi pengkelat dan semakin lama pengadukan, dapat menurunkan kandungan logam besi di dalam minyak nilam. Ma’mun (2008) berhasil menurunkan kandungan logam besi dalam minyak nilam hingga 17,66 ppm yang dihasilkan oleh kombinasi perlakuan EDTA konsentrasi 1,50% dengan lama pengadukan 90 menit. Pada penelitian yang dilakukan, konsentrasi EDTA yang ditambahkan berbeda-beda, yaitu 2%, 5%, 7%, dan 15% dengan pengadukan selama 30 menit. Perbedaan yang ditimbulkan terhadap tingkat kejernihan tidak terlihat signifikan karena hanya dilihat dengan mata secara langsung dan belum dilakukan penentuan kandungan besi dalam minyak nilam tersebut. Penentuan kelarutan minyak nilam dalam etanol didasarkan pada kelarutannya dalam etanol absolut atau etanol yang diencerkan yang menimbulkan kekeruhan dan dinyatakan sebagai larut sebagian atau larut seluruhnya, berarti minyak tersebut membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandinganperbandingan tertentu. Persyaratan mutu berdasarkan SNI 2006 menyatakan bahwa kelarutan sampel dalam etanol 90% membentuk larutan (jernih) atau opalesensi ringan dalam perbandingan volume 1:10. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelarutan minyak nilam terjadi pada perbandingan etanol dan minyak, yaitu 1:1. Baik sebelum pemurnian maupun setelah pemurnian atau setelah pemurnian dengan pengkelat menunjukkan hasil yang sama. Larutan yang terbentuk cukup bening dan berwarna kekuningan. Secara umum hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan bahan pemurni dapat memperbaiki kualitas minyak nilam, hanya nilainya bervariasi sesuai dengan asal contoh dan parameter yang diuji. Pemberian natrium sulfat anhidrat (Na2SO4) dapat merubah kadar/konsentrasi parameter yang diuji, mulai dari berat jenis, indek bias, bilangan asam, bilangan ester dan kadar patchouli alcohol (PA). Kalau dilihat angka
183
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI berat jenis, hasil yang diperoleh masuk dan memenuhi standar. Demikian juga dengan bilangan asam dan bilangan ester rata-rata memenuhi standar. Akan tetapi penggunaan Na2SO4 teknis atau Na2SO4 murni tidak ada perbedaan hasil yang menyolok. Penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Garut. Penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias, dan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis. Penggunaan Na EDTA dapat meningkatkan kadar PA dari 36,8% menjadi 39,9%. Penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Pasaman, tetapi penggunaan NaEDTA 15% dapat meningkatkan bilangan ester dari 8,88% menjadi 11,69% dan 8,88% menjadi 13,10%. Penggunaan Na EDTA tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Sumedang, tetapi meningkatkan kadar PA masing-masing dari 25,46% menjadi 27,86% dan 25,46% menjadi 28,22%. Semakin tinggi konsentrasi pengkelat yang digunakan, semakin rendah rendemen minyak yang dihasilkan. IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : 1. Makin tinggi konsentrasi bahan pemurni yang digunakan, rendemen minyak yang dihasilkan makin rendah. 2. Natrium sulfat anhidrat (Na2SO4) dapat merubah sifat-sifat fisik minyak hingga memenuhi standar SNI dan EO. 3. Penambahan senyawa pengkelat dapat meningkatkan kadar PA minyak nilam. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2009. Minyak Atsiri. Trubus Juni 2009. Vol 07. 161 hal. Alam PN. 2007. Aplikasi proses pengkelatan untuk peningkatan mutu minyak nilam aceh. Rekayasa Kimia dan Lingkungan 6 (2): 63-66. Biro Pusat Statistik, 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri 2004. BPS, Jakarta. BPS. 2006. Bulletin ringkas tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005. Statistik. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Ekspor. Buku I Badan Pusat Statistik Jakarta. 19 hal. Brahmana, H.R. 1991. Pengaruh penambahan minyak kruing dan besi oksida terhadap mutu minyak nilam (Patchouli oil). Komunikasi Penelitian 3 (4) : 330-341. Dung, N.X., P.A. Leclercq, T.H. Thai and L.D. Moi. 1989. Chemical composition of patchouli oil from Vietnam. The Journal of Essential Oil Research. Vol (2): 99-100. Davis, E; J. Hassler; P. Ho; A. Hover and W. Kruger. 2006. Essential oil. http://.wsu.edu/~gmhyde/433_web_pages/433oil-webpages/essence/essence-oils. 14 hal. Diakses September 2009. Ekholm P., L. Virkki, M. Ylinen, and L. Johanson. 2003. The effect of phytic acid and some natural chelating agents on solubility of mineral elements in oat bran. Food Chem 80: 165-170. Guenther, E. (1948), The Essential Oils, Volume I, Van Nostrand Company Inc., New York.
184
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Gusmalina, Zulnely dan E.S. Sumadiwangsa. 2005. Pengolahan Nilam Tumpangsari di Tasikmalaya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan: Vol. 23.No.1:1-14. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Hernani dan Risfaheri. 1989. Pengaruh perlakuan bahan sebelum penyulingan terhadap
rendemen dan
karakteristik minyak nilam. Pemberitaan Littri. XV (2) : 84-87. Hernani, Munazah dan Ma’mun. 2002. Peningkatan kadar patchouli alcohol dalam minyak nilam (Pogostemon cablin Benth.) melalui proses deterpenisasi. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Kerjasama Kehati, LIPI, Apinmap, Unesco, Jica, Bogor : 225-228. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, PN Balai Pustaka, Jakarta. Manurung, T.B. 2003. Usaha pengolahan dan perdagangan minyak atsiri Indonesia dan permasalahannya dalam menghadapi era perdagangan global. Sosialisasi Temu Usaha Peningkatan Mutu Bahan Olah Industri Minyak Atsiri.Dirjend. Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan. Jakarta. 9 hal. Sait, S dan I. Satyaputra. 1995. Pengaruh proses deterpenasi terhadap mutu obat minyak biji pala. Warta IHP. 12 (1-2) : 41-43. Sufriadi, E., Mustanir. 2004. Strategi pengembangan menyeluruh terhadap minyak nilam (Patchouli Oil) di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Suhirman S. 2009. Aplikasi teknologi pemurnian untuk meningkatkan mutu minyak nilam. Perkembangan teknologi TRO 21 (1): 15-21. J.J. 2003. Peningkatan mutu minyak atsiri dan pengembangan produk turunannya. Sosialisasi/temu usaha peningkatan mutu bahan olah industri minyak atsiri. Deperindag, Jakarta. Trifilieff, E., 1980, Isolation of the postulated precursor of nor-patchoulenol in patchouli Leaves, Phytochemistry, 19, 2464.
185
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Analisis UV-VIS dan FTIR Kulit Kayu Eucalyptus globulus Labill (Blue gum) and Pinus radiata D.Don (Monterey pine) Paska Pemanasan Microwave MULIYANA ARIFUDIN Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua, Manokwari Email:
[email protected]. Tlp/Fax: +62986211065 ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai dampak dari radiasi microwave terhadap komposisi kimia kulit kayu dan pengikatan senyawa fenolik dalam sel kulit kayu, sebelum kulit kayu tersebut digunakan sebagai penyerap (adsorbent) polutan organik maupun anorganik. Sample kayu Eucalyptus globulus Labill (Blue gum) and Pinus radiata D.Don (Monterey pine) dibuat menjadi serbuk berukuran 1.25 mm. Serbuk kemudian dipanaskan dengan menggunakan microwave domestik (Panasonic NN-7852; power 850 W, frekuensi 2.45 GHz) pada 3 level power input; medium low (233 W), medium (372 W) dan medium high (447 W) untuk mencapai temperatur serbuk yang diinginkan (100, 150 dan 200°C). Serbuk kemudian dianalisis dengan metode spektroskopik, yaitu dengan menggunakan Ultraviolet-Visible (UV-VIS) dan Fourier transform infrared (FTIR). Analisis UV-VIS dilakukan untuk mengetahui besarnya senyawa fenolik yang tercuci (leach) larut dalam air stelah kayu dipanaskan, sedangkan Analisis FTIR dilakukan untuk mengetahui perubahan dalam ikatan kimia yang terjadi paska pemanasan microwave. Hasil UV-VIS analisis menunjukkan bahwa nilai absorbansi kulit kayu pinus and eukaliptus yang dipanaskan dengan microwave tidak berbeda nyata dengan nilai absorbansi kedua kulit kayu yang tidak diberi perlakuan panas. Di sisi lain, FTIR analisis membuktikan bahwa pemanasan microwave menyebabkan perubahan struktur beberapa gugus fungsional pada senyawa polisakarida dalam sel kulit kayu (terutama pada struktur unit-unit hemiselulosa dan lignin). Perubahan struktur ini lebih berpengaruh pada kulit kayu eukaliptus daripada kulit kayu pinus. Key words: kulit kayu, pemanasan microwave, UV-VIS spektrofotometri, FTIR, senyawa fenolik I. INTRODUCTION The application of microwave technology in the forest industries, whilst in its infancy, appears to be gaining momentum with new applications being successfully applied. Microwave drying of veneer has been demonstrated as a preconditioning treatment, radically shortening the veneer drying times (Wahyudi, 2008). Wood permeability can also be improved by microwave treatment (Torgovnikov and Vinden, 2001) to improve drying, preservative treatment and pulping. Besides, wastes from wood industries (bark, wood strands and sawdust) have been treated by microwave heating to improve value (Du et al., 2005; Antti et al., 2011). A study by Du et al. (2005) determined the temperature distribution and moisture content during the microwave processing of wood strands. More
186
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI recently, the characteristics of pine wood sawdust following microwave exposure have also been examined (Antti et al., 2011). Microwave irradiation causes alteration to the chemical composition of wood. Antti et al. (2011) found that microwave treated sawdust used for pellet production had higher density and strength as well as improved particle bonding within the pellet. This indicates that microwave exposure causes some compounds to become more reactive, readily forming intra and intermolecular linkages. It is possible that extractives, lignin or other compounds bearing hydroxyl groups act as binders. Tsubaki et al. (2008) demonstrated that lignin and tannin still remained within the residue after microwaving. The amount of insoluble acid, including condensed tannins, increased with higher temperature. Du et al. (2005) reported that roughly 70% of the volatile organic compounds still remained in wood strands after microwaving. Some extractives (hexanal, heptanal, nonanoic acid) remained within the wood after microwaving with the remnant ratio being 4–10 times higher compared to those found in wood after oven drying. It can be concluded therefore that microwaving wood or sawdust offers advantages not only in the drying process, but also in altering chemical properties. This is beneficial in improving the chemical reactivity within the wood cells. Microwave heating of ground bark has not been reported in the literature. Information on the microwaving of ground bark is required to characterize the chemical properties of bark and their reactivity, in terms chemical fixation, especially phenolic compounds within the bark cells as a result of microwave heating. The information could then be used to further define possible end uses for the microwave treated bark. Therefore, this present study aims to elucidate the effect of microwave at different level of. II. MATERIALS AND METHODS Material preparation Ground bark of Eucalyptus globulus Labill (Blue gum) and Pinus radiata D.Don (Monterey pine) was obtained by grinding and passing the material through a 1.25 mm sieve. The ground samples were oven dried (105°C, 24 hours). Microwaving Bark Microwave heating of bark was performed with a domestic microwave (Panasonic NN-7852) with internal dimensions of 500 x 370 x 250 mm. The output power and frequency of the microwave was 850 W and 2.45 GHz. Ground bark (10 g) was weighed, placed into a beaker and subjected to microwave heating. The microwave power input was adjusted to medium low (233 W), medium (372 W) and medium high (447 W) in order to attain the desired heating temperatures (100, 150 and 200°C). The heating process was performed in one minute with a pause every 15 seconds for measuring the temperature and weight of the bark. Bark temperature was measured using a thermometer probe (Hanna instruments 9043) in three areas (centre and two sides) of the glass beaker. After microwave heating, samples were oven dried (105°C, 24 hours) to determine the final moisture content.
187
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Spectroscopic analysis of microwave heated bark Spectroscopic analysis of bark was carried out to determine the degree of modification in the chemical composition of bark after microwave treatment. Ultraviolet-visible (UV-VIS) spectroscopic analysis was used to determine colour leaching from bark after microwaving while Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopy analysis was used to identify the changes of chemical bonds in compounds after microwaving. Bark (10 mg) was weighed into a 15 cm3 tube to which distilled water (10 cm3) was added. The suspension was shaken for 1 hour at room temperature. The suspension was then filtered and the liquid phase (1 cm3) collected to be analyzed using a UV-VIS spectrophotometer (Heλios α) from ThermoSpectronic. The absorbance at 280 nm was recorded. Ground bark (1 mg, 0.2–0.5 mm) was ground with potassium bromide (100 mg) to attain a fine particle size. The mixture was pressed for 2 minutes (using compress Graseby Specac 0 kg x 1000 tons). The resultant disk was analyzed using FTIR OPUS 6.5 software (Bruker, Tensor 27). The FTIR spectra between 4000–400 cm-1 were recorded. III. RESULT AND DISCUSSION UV-VIS spectroscopy analysis UV-VIS spectroscopy is used to determine bark colour intensity following microwave heating. This analysis measures the solubility rate of bark in terms of quantity of coloured compounds remaining within the bark and leached from the material. Figure 1. compares absorbance at 280 nm of untreated and microwave treated samples at three temperatures for eucalypt and pine bark.
Absorbance at 280 nm
1.5
1
Pine 0.5
Eucalypt
0 non-microwaved
100°C
150°C
200°C
Microwave treatment *Mean of triplicate measurements. Error bars: 95% confidence level Figure 1. Relationship between microwave heating temperature and solubility of eucalypt and pine bark expressed as absorbance at 280 nm.
188
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Table 1. Results of one-way ANOVA for absorbance of eucalypt and pine bark Means of absorbance at 95 % significant level Species
Non
Microwave treatment treatm ent
100°C
150°C
200°C
F
Sig.
Eucalypt
0.58
0.60
0.59
0.50
2.10
0.18
Pine
1.13
1.05
1.19
1.15
0.89
0.49
NS: not significant at 0.05 probability level Figure 1 shows that at a wavelength of 280 nm, the average absorbance of pine bark was 1.13, which is not significantly different to that of eucalypt bark (0.58). This data is confirmed by statistical analysis ANOVA F(1, 22) = 1,459 P > 0.05 showing that the absorbance levels of pine and eucalypt bark were not significantly different. This indicates that pine bark releases almost similar quantities of tannin content to eucalypt bark, although it is mentioned that most coloured phenolic compounds present in softwood barks are polymeric flavonoids (Hemingway, 1983; Fengel and Wegener, 1984). According to the result of ANOVA analysis, it is obvious that for eucalypt bark at room temperature (non-microwaved bark) and the bark at temperatures of 100, 150 and 200°C, extractive absorbance is not significantly different (Table 4.1). This condition was also observed for pine bark. It can be concluded that microwave irradiation has an insignificant contribution to the alteration of extractive components within the bark as the absorbance values of microwave heated barks (100 and 150°C) were similar to those of untreated bark. It was expected that at a bark temperature of 200°C, microwave energy probably polymerizes extractives (tannin compounds) within the bark. Chow (1972) stated that the thermal reaction of bark at temperatures higher than 180°C results in polymerization and partial degradation of bark components and that at temperatures lower than 180°C plasticization by water occurs. However, this study found that the microwaving schedules applied at 200°C for 1 minute did not significantly reduce the solubility of eucalypt bark extractives. In other words, microwave energy contributes a minor influence on the chemical composition of the bark. FTIR spectroscopic analysis Characterization of untreated and microwave treated eucalypt and pine bark was accomplished using Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopy. Figure 2 identifies the change in FTIR spectra for eucalypt bark at ambient, 100, 150 and 200°C temperatures. Figure 3 displays the change in FTIR spectra for untreated and microwave treated pine bark.
189
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Figure 2. FTIR spectra of untreated and microwave treated eucalypt bark. The spectra of microwave treated eucalypt bark, at bark temperatures of 100, 150 and 200°C, was characterized by strong absorption intensity at 1735-1740 cm-1 (Figure 2). This can be attributed to the occurrence of C=O stretching/-vibration as described by Pandey and Theagarjan, (1997). These wave numbers correspond to the presence of C=O (unconjugated) in the xylan units of hemicelluloses (Rodrigues et al., 1998). These characterizations suggest that microwave heating caused changes in carbonyl bonds of the hemicelluloses components. The presence of new bands at 1240 cm-1 in the spectra of microwave treated barks corresponds to C-O stretching in hemicellulose acetyl groups (Kimura et al., 1992) and O-H in plane in polysaccharides (Rodrigues et al., 1998). This indicates that microwave heating influences the bonds of acetyl and hydroxyl groups in hemicelluloses. Higher absorbance at a wave number of 781 cm-1 was observed for the eucalypt bark heated at 100, 150 and 200°C compared to the untreated bark. This is indicative of the vibration of galactan units in hemicellulose and can be attributed to microwave heating (Evans et al., 1992). On the basis of this result, it can be suggested that microwave heating affected the transformation of various functional groups of polysaccharides (mainly hemicelluloses) of eucalypt bark. These transformations included carbonyl (single and double bonds), hydroxyl and acetyl groups.
190
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Figure 3. FTIR spectra of untreated and microwave treated pine bark. Figure 3 shows that microwave heating had no significant effect on pine bark. Only minor changes occurred in the spectra of pine bark after microwaving. Absorbance peaks at around 816 cm -1 were observed in the spectra of microwave treated pine barks (Figure 3). This can be attributed to aromatic out of plane C-H deformation in lignin structure (Gaballah et al., 1994), indicating that microwave heating may influence the structure of pine bark lignin. Figure 3 illustrates microwave heating at 100°C triggering an absorbance band at 779 cm-1 due to vibration of hemicellulose galactan during microwave treatment (Evans et al., 1992). This may cause a change in hydrogen bonds of the hemicellulose units. In summary, microwave heating resulted in chemical changes mainly in the lignin and hemicelluloses structures of pine bark. This is indicated by the deformation of carbon-hydrogen groups and vibration of galactan units. It is evident from Figures 2 and 3 that the bonds of functional groups in polysaccharide (hemicellulose) structures of eucalypt bark were significantly affected by microwave irradiation compared to pine bark. This high level of modification of these bonds can be attributed to the degradation of hemicellulose structures. IV. CONCLUSIONS The conclusions drawn from this study are as follows: 1. The UV absorbance values of pine and eucalypt bark showed that microwave treatment did not affect the solubility of its phenolic compounds.
191
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 2. FTIR spectroscopy showed that microwave heating caused alteration of the structure of various functional groups in the polysaccharides (primarily hemicelluloses units) and lignin to some extent. The modification of hemicelluloses structures was observed in eucalypt bark rather than pine bark.
REFERENCES Antti, L., Finell, M., Arshadi, M., and Lestander, T.A. (2011). “Effects of microwave drying on biomass fatty acid composition and fuel pellet quality”. Wood Material Science and Engineering 6(1-2):34 – 40. Chow, S. (1972). “Thermal reaction and industrial uses of bark”. Wood and fiber Journal 4(3):130-138. Du, G., Wang, S. and Cai, Z. (2005). “Microwave drying of wood strands”. Drying Technology 23:2421-2436. Evans, P.D., Micehll, A.J., Schmalzl, K.J., (1992). “Studies of the degradation and protection of wood surfaces”. Wood Science and Technology 26:151–163. Fengel, D. and Wegener, G. (1984). Wood: chemistry, ultrastructure and reactions. Berlin. New York. Gaballah, I., Goy, D., Kilbertus, G. and Thauront, J. (1994). “Decontamination of industrial effluents for environment protection and recycling of metals”. Resources, Conservation and Recycling 10:97-106. Hemingway, R. W. (1983). “Bark: its chemistry and prospects for chemical utilization”. In Organic chemicals from biomass. Irving S. Goldstein (ed). CRC Press. Kimura, F., Kimura, T., Gray, D.G., (1992). “FT-IR study of UV irradiated stoneground wood pulp”. Holzforschung 46:529–532. Pandey, K.K., (1998). “A study of chemical structure of soft and hardwood polymers by FTIR spectroscopy”. Journal of Applied Polymer Sciences 71:1969–197. Pandey, K.K., Theagarjan, K.S. (1997). “Analysis of wood surface and ground wood by diffuse reflectance (DRIFT) and photoacoustic (PAS) Fourier transform infra red spectroscopy”. Holz als Roh- und Werkstoff 55:383–390. Rodrigues, J., Faix, O. and Pereira, H. (1998). “Determination of lignin content of eucalyptus glubolus wood using FTIR spectroscopy”. Holzforschung 52:46-50. Torgovnikov, G. and Vinden, P. (2001). “Microwave Method for Increasing the Permeability of Wood and its Applications”. In Proceedings of 8th International Conference on Microwave and High Frequency Heating. September 3-7th, Bayreuth, Germany.nSpringer-Verlag. (in press). Torgovnikov, G. (1997). “Microwave drying of wood chips for particleboard”. In Proceeding of Microwave and High Frequency Heating. September 9-13th, Fermo. Tsubaki, S., Iida, H., Sakamoto, M., Azuma, J. (2008). “Microwave heating of tea residue yields polysaccharides, polyphenols, and plant biopolyester”. J. Agric. Food Chem 56:11293-11299. Wahyudi (2008). “Gluability of Two Veneer Thickness Following Microwave Heat Gun Drying”. Journal of Tropical Wood Science and Technology 6(1):7-12.
192
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
SINTESIS DAN KARAKTERISASI POLIMER ELEKTROLIT SELULOSA ASETAT DARI BIOMASA1)
SAPTADI DARMAWAN2, WASRIN SYAFII3, GUSTAN PARI4, DJENI HENDRA4 1).
Makalah disampaikan pada seminar MAPEKI XVI tanggal 7-8 November 2013 di Balikpapan 2). Mahasiswa Program Pascasarjana IPB (
[email protected]) 3). Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB 4). Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan Bogor Abstrak Baterai merupakan teknologi penyimpan energi yang sangat penting dan berkembang pesat. Elektrolit cair selama ini banyak digunakan dalam pembuatan baterai namun memiliki kelemahan yaitu dapat mengalami kebocoran dan apabila masa pakai telah habis dan dibuang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Tuntutan akan baterai yang aman, ramah lingkungan dan dapat dikemas dalam beragam bentuk menyebabkan berkembangnya penelitian pembuatan kertas atau polimer elektrolit. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan selulosa kayu sebagai polimer elektrolit dengan doping garam lithium. Kegiatan penelitian meliputi isolasi kayu untuk mendapatkan selulosa, pembuatan selulosa asetat dan polimer elektrolit serta beberapa karakterisasi instrumentasi menggunakan FTIR, XRD, LCR, dan SEM. Selulosa asetat dari selulosa kayu telah berhasil dilakukan yaitu berdasarkan analisis FTIR dan XRD dengan rendemen rata-rata sebesar 106,8%. Derajat kristalinitas polimer selulosa-lithium asetat cenderung turun dengan meningkatnya penambahan persentase doping lithium. Polimer selulosa-lithium asetat yang dihasilkan memiliki konduktivitas antara 1,11x10-4 - 2,36x x10-4 S/cm. Kata kunci: polimer elektrolit, selulosa asetat, lithium, biomasa I. PENDAHULUAN Baterai merupakan teknologi penyimpan energi yang sangat penting dan berkembang pesat terutama untuk keperluan perangkat elektronik. Perangkat ini menyimpan energi dalam bentuk senyawa kimia yang mampu menghasilkan arus listrik. Baterai secara umum terdiri dari anoda dengan kandungan lithium terinterkalasi dalam grafit yang memiliki potensial elektrokimia rendah dan katoda dari transisi metal oksida dengan potensial tinggi seperti LiCoO2 dan Li(CoNi)O2. Kedua elektroda bersifat reversibel menerima dan melepaskan ion lithium. Diantara anoda dan katoda terdapat separator agar tidak terjadi hubungan arus pendek. Kinerja perangkat ini di tentukan oleh struktur dan sifat elektrokimia elektroda penyusunnya, pemilihan elektrolit (cairan vs bukan cairan), dan disain pengemasan. Elektrolit cair menghasilkan kapasitansi spesifik tinggi (Stoller dan Ruoff, 2007). Namun elektrolit ini memiliki beberapa kelemahan yaitu dapat mengalami kebocoran dan mencemari lingkungan apabila sudah tidak digunakan. Polimer konduktif sebagai pengganti polimer cair banyak diminati karena memiliki sifat fisik dan mekanis yang baik. Sebelumnya, polimer konduktif yang berkembang berbentuk film atau lapisan tipis dari polimer sintetik (plastik) namun bersifat kaku. Elektroda yang melekat dipermukaan polimer mudah lepas sehingga akan mengurangi konduktivitas dan porositas elektroda karbon. Jenis polimer konduktif yang berpotensi dikembangkan adalah polimer dari selulosa yang bersumber dari bahan alam bersifat terbarukan (Qian X et. al., 2010). Dibandingkan plastik, kertas memiliki kelebihan seperti kemampuan daya rekat yang lebih baik dan teknik pelapisannya sederhana. Kertas konduktif yang dihasilkan menunjukkan performan yang sangat baik (Hu et al., 2009). Polimer elektrolit mengandung garam anorganik yang dilarutkan dalam polimer (Brandrel, 2005). Keuntungan utama dari polimer elektrolit seperti Li-ion polymer battery (LIPB) adalah densitas energi dan voltase tinggi serta dapat dicas. Artinya energi dapat disimpan dengan
193
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI efisien, dan dapat digunakan pada banyak aplikasi dan beberapa kali pemakaian. Selain itu baterai yang dibuat lebih aman dan mudah digunakan. Pada umumnya elektroda pada baterai menggunakan karbon bersifat konduktif dan porous dengan luas permukaan tinggi. Karbon aktif (porous karbon) banyak digunakan sebagai bahan elektroda pada perangkat energi tersebut karena tahan terhadap bahan kimia dan konduktivitas listrik tinggi (Chijuan HU 2008). Selain untuk perangkat energi karbon porous ini juga dapat dimanfaatkan sebagai komponen sensor. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan selulosa kayu menjadi polimer selulosa asetat yang didoping dengan garam lithium. Karbon aktif tempurung kemiri digunakan untuk meningkatkan konduktivitas Ruang lingkup penelitian ini adalah isolasi selulosa dari kayu, karbon aktif dari tempurung kemiri, dan karakterisasi bahan dan polimer elektrolit padat yang dihasilkan serta pengujian respon polimer selulosa asetatlithium-karbon aktif terhadap respon cahaya. II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian ini berjalan selama 6 bulan. Pelaksanaan penelitian dilakukan di beberapa laboratorium diantaranya: a. Laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan, dan Laboratorium terpadu Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. b. Laboratorium Biophysics, Departemen Fisika, Fakultas MIPA IPB, Bogor. c. Laboratorium Fuel-cell BPPT, Serpong. B. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah tempurung kemiri dan selulosa dari kayu campuran. Bahan kimia yang dipakai diantaranya metanol, etanol, aseton, benzena, KOH, asam asetat anhidrat, lithium asetat dihidrat, , dan kloroform. Untuk kegiatan sintesis dan karakterisasi diantaranya digunakan tungku pengarangnan (tanur pirolisis) kapasitas 5 kg, tanur aktivasi kapasitas ± 300 g, desikator, oven, magnetik hot plate stirer, pompa vakum, Scanning Electron Microscope (SEM) JSM 6360 LA – 20 kV, X-Ray Difraction (XRD) 7000 series – 40 kV, Fourier Transform Infra Red (FTIR) 8400 series, dan I-V meter.
a. b. c. d.
C. Metode Penelitian 1. Analisis dari parameter yang diamati Identifikasi gugus fungsi menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) yaitu dengan cara mencampur contoh uji dengan KBr yang kemudian dibuat dalam bentuk pelet dan diukur serapannya pada bilangan gelombang 600-4.000 cm-1. Analisa struktur dilakukan dengan instrumen X-ray Difraktometer (XRD), contoh uji yang digunakan berbentuk serbuk dan film. Analisa dimaksudkan untuk menghitung derajat kristalinitas dan identifikasi selulosa asetat Analisa topografi permukaan menggunakan Scanning Electron Microscope Pengukuran LCR meter untuk mengetahui konduktivitas
2. Selulosa asetat Selulosa asetat di buat dari bahan selulosa jenis kayu campuran. Metode yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Kasidi (2009) dan Desiyarni (2006) yang dimodifikasi. Alur kegiatan sintesa selulosa asetat dijelaskan pada Gambar 1. 3. Karbonisasi dan aktivasi tempurung kemiri Karbonisasi dilakukan terhadap tempurung kemiri menggunakan tanur pirolisis dengan pemanas listrik pada suhu 5000C selama 5 jam kemudian didinginkan selama 12 -24 jam. Arang yang dihasilkan di haluskan (dibuat serbuk) dengan menggunakan mesin Herzog sebanyak 10 kali penggilingan. Setiap kali penggilingan selama 3 menit. Aktivasi dilakukan terhadap serbuk arang tempurung kemiri yang telah diperoleh pada suhu 850 OC selama 120 pada tabung stainless steel kecil tertutup yang dimasukkan dalam tanur pirolisis. Sebelum diaktivasi,
194
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI karbon terlebih dahulu di rendam dalam larutan KOH dengan perbandingan arang:KOH sebesar 5:1 (b/b). Karbon aktif yang dihasilkan diukur konduktivitasnya. 2 g -Selulosa dari kayu campuran (kering oven 600C)
Erlenm ey er 25 0 ml
- 1 jam - Suhu kam ar - Diaduk
25 mL Asam Aseta t Glasi al
Asam acetat Anhidrid - 15 mL: - Dinginkan dalam air es
Selulosa teraktivasi - Aduk 3 jam - Suhu 400C
Crude Selulosa Asetat
25 mL asam asetat glasial 60% Tetes demi tetes
- 20 jam - Suhu kama r
Crude Selulosa Asetat
Disaring dengan vakum Filtrat Tetesi dengan aqua DM Endapan Selulosa Asetat Saring dan netralkan dengan aqua DM
Selulosa Asetat
Keringkan dalam oven 600C; 24 jam Selulosa asetat Kering
SEM/ Mikos k o p
Timbang (rendemen)
XRD
FTIR
Gambar 1. Diagram alir sintesis selulosa aseat
195
3 tetes asa m sulf at Asam asetat pek anhidrid at teraktivasi
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 4. Uji pelarutan lithium asetat Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan pelarut lithium asetat yang terbaik. Pelarut yang digunakan adalah aseton, etanol, dan metanol. Komposisi dan jenis pelarut yang terbaik dalam melarutkan lithium asetat digunakan sebagai pelarut dalam pembuatan polimer elektrolit selanjutnya. 5. Uji coba pendahuluan pembuatan polimer elektrolit Teknik pembuatan film (lapis tipis) polimer elektrolit mengacu pada Kasidi (2009) dengan beberapa modifikasi. Satu gram selulosa asetat dilarutkan menggunakan pelarut kloroform, sedangkan garam lithium asetat dilarutkan oleh jenis dan komposisi pelarut terbaik dari hasil uji coba pelarutan sebelumnya. Doping lithium asetat yang diberikan sebesar 10%. Larutan selulosa asetat dan lithium asetat dicampur dan diaduk. Pada perlakuan pembuatan film polimer elektrolit dengan penambahan arang, jumlah arang yang digunakan sebesar 50% dari berat film elektrolit yang dibuat. Pembentukan film dilakukan dalam cawan petri dan pelarut yang digunakan diuapkan secara perlahan agar film terbentuk dengan baik. Garis besar alur pembuatan polimer elektrolit disajikan pada Gambar 2. Film polimer elektrolit yang dihasilkan diuji sifat fisik dan konduktivitasnya menggunakan LCR meter. Kondisi pengukuran dilakukan pada tegangan tetap 1 volt dan pada frekuansi 1, 10, 100, 1.000, 10.000 dan 100.000 Hz, dengan menggunakan elektroda kuningan. Berdasarkan resistensi yang diperoleh maka dilakukan perhitungan nilai konduktivitas elektriknya menggunakan persamaan di bawah ini (Khiar et al, 2010): l = ---------RA
dimana : l A R
= ketebalan sampel = luas permukaan sampel = resistensi
6. Pembuatan dan karekterisasi polimer elektrolit dengan penambahan lithium asetat Berdasarkan sifat polimer ektrolit terbaik yang diperoleh dari tahap pendahuluan maka dilanjutkan dengan pembuatan polimer elektrolit pada proses yang sama dengan penambahan lithium asetat sebesar 0, 5, 10, 15 dan 20 persen berdasarkan berat selulosa asetat. Aanalisis XRD dilakukan untuk mengetahui tebal dan panjang bagian kristal, jarak antar lapisan fibril dan ukuran kristal. Derajat kristalinitas dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini: daerah kristalin Derajat kristalinitas (%) = -------------------------------------------daerah kristalin + daerah amorf
x 100%
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis XRD dilakukan perhitungan lebar dan panjang daerah kristalin selulosa dengan persamaan Scherrer (Anderson, 2006): Dhkl = K /( cos ) Sedangkan untuk mengukur jarak (d) antar fibril elementer rantai selulosa pada arah melintang menggunakan persamaan: dimana : K
d = /(2 sin ) = panjang gelombang sinar Cu (0,154 nm) = FWHM (full width half maximum) = setengah dari sudut difraksi dalam radian = Konstanta, untuk tebal kristalin direfleksi 200 adalah 0,9 Sedangkan untuk panjang kristalin direfleksi 004 adalah 1
196
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Selulosa Asetat
10% Lithium asetat
- Larutkan dalam kloroform (semalam) - Buih dan kotoran dipisahkan
Larutkan dalam 1 metanol : 3 aseton (semalam)
Larutan Lithium Selulosa Asetat
Aduk 24 jam (homogen)
- Karbon Aktif - Kontrol
Tuangkan dalam cawan petri
Pelarut diuapkan
Lapisan tipis polimer elektrolit
Konduktivi
Mikroskop
XRD
tas Gambar 2. Diagram alir sintesa film polimer elektrolit
197
FTIR
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Untuk mengetahui topografi permukaan maka dilakukan analisa menggunakan SEM, dan untuk menentukan konduktivitas dilakukan analisis Electrochemical Impedansi Spectroscopy (EIS) menggunakan LCR meter HOIKI 3532 BO dengan arus AC pada tegangan tetap 0,1 volt pada frekuensi 50 – 1 MHz yang terhubung dengan komputer, pengukuran dilakukan menggunakan elektroda emas pada jarak antar elektroda 14 mm, lebar elektroda 5 mm dan panjang elektroda 15 mm (Gambar 3).
Gambar 3. Elektroda dan LCR meter untuk pengukuran konduktivitas elektrik III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sintesis Selulosa Asetat Rendemen pembuatan selulosa asetat dari bahan selulosa rata-rata sebesar 106,8%. Untuk mengetahui bahwa produk yang dihasilkan adalah selulosa asetat maka dilakukan analisis menggunakan FTIR dan XRD. Pada Gambar 4a dan 4b menunjukkan difraksi selulosa dan selulosa asetat dari ICDD (referensi). Hasil analisis difraktogram sinar-x (Gambar 5) menunjukkan adanya perubahan peak (puncak) selulosa setelah disintesis menjadi selulosa asetat. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur. Peak baru yang mencirikan selulosa triasetat muncul pada sudut (2) disekitar 13,1; 17,02; 18,56; 21,02; 26,03 dan 28,00 (ICDD). Berdasarkan referensi ICDD sintesis selulosa asetat dari selulosa telah berhasil dilakukan yaitu membentuk selulosa triasetat. Masuknya senyawa asetat pada rantai selulosa menyebabkan terjadi sedikit penurunan derajat kristalinitas dari 40,40% menjadi 39,08%. Hal ini terjadi karena masuknya asetat pada rantai selulosa menggantikan hidrogen. Selulosa asetat dalam bentuk film memiliki peak yang lebih landai dibandingkan serbuknya.
(a)
(b)
Gambar 4. Difraktogram sinar-x selulosa (a) dan selulosa triasetat (b)
198
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
600 500 400 300 200 100 0 10
20
30
40
Selulosa
50 Sel-Acetat
60
70
80
0%
Gambar 5. Difraktogram serbuk selulosa dan selulosa asetat serta polimer (lembar tipis) selulosa asetat Hasil analisis FTIR (Gambar 6) menunjukkan bahwa pada selulosa asetat muncul sprektrum baru dibilangan gelombang 1756 cm-1. Puncak tersebut menunjukkan adanya ikatan asetil dari selulosa asetat. Bilangan gelombang lain yang mencirikan spektrum selulosa asetat terdapat pada puncak 3468 cm-1, 2959 cm-1, 1753 cm-1, 1639 cm-1, dan 1450-1200 cm-1.
(a)
(b)
Gambar 6. Spektrum FTRI selulosa (a) dan selulosa asetat (b) B. Penambahan Lithium Asetat dalam Pembuatan Polimer Elektrolit 1. Uji coba pelarutan lithium asetat Berdasarkan hasil uji coba pendahuluan didapatkan pelarut terbaik untuk melarutkan lithium asetat adalah metanol (polar), karena dengan mudah lithium asetat larut secara homogen. Namun demikian karena pelarut selulosa asetat yang digunakan adalah kloroform (bersifat non polar) maka dilakukan uji komposisi pelarut polar dan nonpolar untuk melarutkan lithium asetat. Pada saat pelarut selulosa asetat dan lithium asetat dicampur maka tidak akan terjadi homogenitas jika perbedaan kepolaran
199
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI cukup jauh. Pada bagian kegiatan ini digunakan pelarut metanol dan aseton. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, pelarut lithium asetat yang optimal adalah metanol:aseton pada perbandingan 1:3 (Tabel 1). Selanjutnya pembuatan film polimer elektrolit dilakukan menggunakan kloroform untuk selulosa asetat dan metanol:aseton untuk lithium asetat. Tabel 1. Pelarutan lithium asetat menggunakan beberapa jenis dan komposisi pelarut No Perbandingan Pelarut Hasil Kloroform Etanol Metanol Aceton 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1
1 -
1 -
1 1 1 1 1 1
1 1 2 3 4 5
Tidak larut Larut Larut Tidak larut Larut Larut Larut sebagian Tidak larut Tidak larut
0
-
-
1
3
Larut
1
-
-
1
4
Larut sebagian
2
-
-
1
5
Tidak larut
3
-
1
-
3
Tidak larut
4
-
1
-
3
Tidak larut
1 1 1
Keterangan
Pelarut dicampur Pelarut dicampur Pelarut dicampur Pelarut dicampur Pelarut dicampur (LiAc+Metanol)+Ac eton (LiAc+Metanol)+Ac eton (LiAc+Metanol)+Ac eton Pelarut dicampur (LiAc+Etanol)+Ace ton
2. Uji coba pelarutan selulosa dan lithium asetat Perbandingan pelarut selulosa asetat (SA) terhadap lithium asetat (LA) sebesar 2:3 menghasilkan konduktivitas lebih baik ddibandingkan rasio 5:12 (Tabel 2). Pada perbandingan 2:3 pelarut aseton yang digunakan lebih besar mendekati kepolaran kloroform sehingga pembentukan film polimer elektrolit lebih homogen dengan konduktivitas lebih baik. Selanjutnya perbandingan ini akan digunakan dalam pemberian lithium asetat dengan variasi penambahan lithium asetat (Tabel 3). Penambahan karbon aktif tempurung kemiri mampu menaikan konduktivitas sebesar satu orde. Karbon aktif tempurung kemiri yang bersifat lebih konduktif (2,171 S/cm) sangat membantu meningkatkan nilai konduktivitas polimer elektrolit. Aktivasi pada suhu 850 oC selama 2 jam telah menjadikan karbon lebih murni dengan nilai resistensi yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa elektron pada karbon dapat bergerak bebas apabila dikenai arus listrik.
200
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Perbandingan komposisi pelarut dalam pembuatan selulosa asetat – lithium asetat No
Penambahan LA (%)
Perbandingan Pelarut SA LA
Penambahan AA
Keterangan
Resistensi
Konduktivitas
(Ω)
(S/cm)
pada Larutan SA/LA
1
(10%)
2
3
-
-
1,5E-09
1,5E-09
2
(10%)
5
12
-
-
6,4E-10
6,4E-10
3
(10%)
2
3
2:1
5,0E-08
5,0E-08
Keterangan :
SA:AA/LiAc
AA = Karbon aktif; SA = Selulosa Asetat; LA = Lithium Asetat; AA/LiAc = Campuran arang aktif dan lithium asetat
C. Variasi Penambahan Lithium Asetat dalam Pembuatan Polimer Elektrolit Penambahan lithium asetat yang digunakan sebesar 0, 5, 10, 15 dan 20% terhadap berat selulosa asetat (b/b). Pada batas tertentu penambahan lithium asetat mengakibatkan penurunan nilai konduktivitas polimer elektrolit. Hal ini disebabkan karena elektrolit dalam komposisi melebihi batas komposisi jenuh. Menurut Putri(2010), konsentrasi yang tinggi dalam polimer dapat menghambat pergerakan ion-ion dan mengakibatkan penurunan konduktivitas (Putri, 2010). Tabel 3. Nilai konduktivitas polimer elektrolit Ulangan Penambahan lithium asetat 0 5 10 15 1 1,67E-04 1,03E-04 2,51E-04 1,98E-04 2 1,68E-04 1,19E-04 2,22E-04 1,62E-04 Rata-rata 1,67E-04 1,11E-04 2,36E-04 1,80E-04
20 1,64E-04 1,69E-04 1,67E-04
Apabila dibandingkan dengan kontrol, penambahan lithium asetat menyebabkan penurunan derajat kristalinitas polimer (Tabel 4). Hal ini tenjadi karena adanya interkalasi senyawa lithium asetat ke dalam polimer. Pada saat penyusunan ulang, rantai selulosa membentuk susunan fibril kurang teratur sehingga ketebalan bagian kristal menurun sedangkan ukuran kristal (d) relatif tidak berubah. Penambahan lithium asetat dalam jumlah besar justru akan menurunkan derajat kristalinitasnya karena selulosa telah jenuh dan saat senyawa lithium asetat terus masuk maka terjadi ketidakteraturan atau turunnya keteraturan bagian kristalin yang berdampak juga pada berkurangnya nilai konduktivitas. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kasidi (2009), nilai konduktivitas pada percobaan ini lebih baik. Penambahan lithium sebesar 15% menghasilkan konduktivitas sebesar 2,83 x 10-5 (Kasidi, 2009). Tabel 4. Struktur dan kristalinitas selulosa asetat Perlakuan
Jarak antar rantai selulosa (nm)
Tebal kristalin (nm)
Panjang kristalin (nm)
Derajat Kristalinititas
Ukuran Kristal (nm)
Selulosa
0,40
7,32
12,17
40,40
0,44
Sel-asetat
0,34
18,53
153,98
41,75
0,52
Polimer Sel-Li 0% Polimer Sel-Li 5% Polimer Sel-Li 10%
0,38 0,39 0,39
27,05 118,53 162,07
185,39 132,52 92,71
61,09 60,64 57,72
0,52 0,50 0,49
Polimer Sel-Li 15%
0,39
15,00
308,72
42,46
0,53
Polimer Sel-Li 20%
0,37
27,06
184,37
46,82
0,52
Hasil analisis SEM terhadap topografi permukaan polimer elektrolit memperlihatkan bahwa pada penambahan lithium asetat dalam jumlah besar (20%) menyebabkan kerusakan permukaan polimer (Gambar 7).
201
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
a
b
c
Gambar 7. Topografi permukaan polimer elaktrolit menggunakan SEM pada penambahan lithium asetat 0% (a), 15% (b) dan 20% (c). D. Respon Polimer Elektrolit Terhadap Cahaya Contoh uji yang digunakan adalah polimer elektrolit dengan penambahan lithium asetat (10%) dan karbon aktif, karena memiliki nilai konduktivitas lebih baik dibandingkan yang lain (Tabel 3). Pengujian dilakukan untuk mengetahui respon polimer elektrolit terhadap cahaya tampak menggunakan kurva I-V (Gambar 8a dan b). Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 8 dibawah tampak terjadi perubahan slop atau kemiringan kurva akibat pemberian cahaya yaitu dari 0,4131 menjadi 0,4070. Cahaya menyebabkan penurunan arus dan peningkatan tegangan. Hal tersebut terjadi karena cahaya merupakan sumber energi photon yang mempengaruhi pergerakan elektron atau ion dalam polimer. Dengan demikian salah satu alternatif lain penggunaan polimer elektrolit selain untuk perangkat energi adalah sebagai sensor cahaya.
a
Arus (Amper) 0.010 0.005 y = 0.413x + 0.000 R² = 0.999
0.000 -0.03
-0.02
-0.01
0
0.01
0.02
0.03
Tegangan
-0.005
(v)
-0.010 Arus (amper)
b
0.010 0.005
y = 0.407x + 0.000 R² = 0.999
0.000 -0.03
-0.02
-0.01
0.00 -0.005
0.01
0.02
0.03
Tegangan (v)
-0.010 Gambar 8. Respon polimer elektrolit-AALiAc terhadap cahaya menggunakan kurva I-V tanpa cahaya (a) dan disinari cahaya (b)
202
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI IV. KESIMPULAN 1. Penambahan arang pada pembuatan film selulosa elektrolit mampu meningkatkan konduktivitasnya. 2. Selulosa dari kayu campuran dapat dibuat selulosa asetat dengan respon resistensi dan tegangan yang berbeda untuk setiap perlakuan. 3. Karakteristik dimensi dan kristalinitas selulosa berubah setelah menjadi selulosa asetat. 4. Penambahan lithium asetat yang optimal adalah sebesar 10% dengan nilai konduktivitas 2,22E-04 S/cm. DAFTAR PUSTAKA Qian X.; Shen J.; Yu G.; An X. 2010. Influence of pulp fiber subtrat on conductivity of polyanilin-Coated conductive paper prepared by in situ polimeization. Bio Resource 5(2):899-907. Hu L.; Choi J.W.; Yang, Y.; Jeong S.; Mantia F.L.; Cui L.F.; Cui, Y. 2009. Highly conductive paper for energy-storage device. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas 0908858106 [diakses 10 Juni 2010]. Stoller M.D.; Ruof R.S. Review best practice methods for determening an electrode material’s performance for ultracapacitors. Department of Mechanical Engineering and the Texas Materials Institute. The University of Texas at Austin. Texas. USA.
203
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
RENDEMEN DAN KADAR SANTALOL MINYAK KAYU CENDANA HASIL EKSTRAKSI DENGAN BERBAGAI PELARUT ORGANIK Totok K. Waluyo dan Esa Pangersa Gusti Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor Email:
[email protected] Abstrak Cendana (Santalum album L)
merupakan spesies pohon terkenal dari wilayah Timor di Indonesia.
Cendana
merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu yang potensial di propinsi Nusa Tenggara Timur dan tergolong mewah karena sifat kayu terasnya dan mengandung minyak dengan aroma yang spesifik Minyak cendana adalah hasil ekstraksi dari kayu terutama bagian teras dan akar kayunya.
Pada bagian-bagian tersebut umumnya banyak
mengandung minyak dengan cukup tinggi aroma wanginya disebabkan kandungan santalolnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui rendemen ekstrak minyak cendana asal Timor Tengan Selatan (TTS) dengan menggunakan berbagai pelarut (dietil eter; petroleum benzena; metanol; hexane; etanol; benzena dan aseton) dan analisis komponen kimianya. Rendemen ekstrak minyak tertinggi dengan pelarut dietil eter (6,74%) dan berturut-tuurut pelarut aseton (6,58%), pelarut etanol (6,25%), pelarut metanol (6,11%), pelarut petrolium benzena (4,91%), pelarut benzena (4,38%) dan pelarut heksana (4,30%). Kadar santalol total (α dan β-santalol) ekstrak pelarut benzena (75,81%), pelarut petrolium benzena (73,43%), pelarut dietil eter (68,37%), pelarut aseton (64,88%), pelarut etanol (64,64%), pelarut metanol (63,52%) dan pelarut heksana (59,84%). Warna ekstrak cendana berwarna kuning pucat kecuali pelarut benzena berwarna agak kuning. Kata kunci : Cendana, pelarut organik, rendemen, α-santalol, β-santalol I.
PENDAHULUAN
Cendana (Santalum album L) merupakan spesies pohon kayu terkenal dari wilayah Timor di Indonesia. Kayunya memiliki aroma istimewa maka kayu cendana juga disebut “hau meni” atau “kayu wangi”. Akan tetapi akhirakhir ini kayu cendana banyak mempunyai nama lain yang kurang membanggakan adalah “hau lasi” atau “kayu banyak masalah”. Sebutan ini muncul karena kayu ini menjadi sumber berbagai konflik yang melibatkan masyarakat, penguasa setempat, dan pemerintah (Lopez, C. dan P. Shanley. 2005). Sebaran cendana secara alami di Indonesia terdapat di Larantuka (Flores Timur), Adonara, Solor, Lomblen, Alor, Pantar, Rote, P. Timor, Sumba dan Wetar. Populasi cendana khususnya di NTT terus menurun disebabkan antara lain adanya eksploitasi besar-besaran oleh masyarakat, sementara peremajaan hampir tidak ada. Disamping itu juga kurangnya minat masyarakat menanam cendana dikarenakan masa panen pohon cukup lama yaitu 50 tahun (Udartoya, 2005). Cendana merupakan sumber penghasil minyak atsiri dan merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu yang potensial di propinsi Nusa Tenggara Timur dan tergolong mewah karena sifat kayu terasnya yang khas dan mengandung minyak dengan aroma yang spesifik (Anonim. 1996). Minyak cendana juga sangat dihargai, yang pemanfaatannya sebagai parfum dan kosmetik, dan dengan pasar yang mapan di Amerika Serikat, Singapura, dan Eropa. Minyak cendana dari Timor ini lebih banyak dicari daripada spesies Santalum lainnya karena kandungan santalol yang cukup tinggi. Minyak cendana adalah hasil ekstraksi dari
204
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI kayu terutama bagian teras dan akar kayunya. Pada bagian-bagian tersebut umumnya banyak mengandung minyak dan cukup tinggi aroma wanginya disebabkan kandungan santalolnya tinggi. Manfaat minyak cendana digunakan sebagai parfum, obat-obatan (disentri, gonorhoe, gangguan kerongkongan, anti bakteri, anti jamur, anti virus, anti imflamasi, anti kanker, dan lain-lain (Sindhu,et.al. 2010; Ghimere, et.al. 2011) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rendemen minyak cendana hasil ekstraksi dengan menggunakan berbagai pelarut dan analisis komponen kimianya. II.
BAHAN DAN METODA
A. Bahan Contoh kayu cendana diambil dari salah satu perusahaan penyulingan minyak cendana di Soe, kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) NTT. Contoh kayu cendana yang diambil sudah berupa serbuk yang berukuran 60 mess. Serbuk cendana tersebut kemudian disimpan ditempat yang dingin/freezer untuk mencegah terjadinya penguapan minyak atsiri sampai saat diekstraksi. Bahan-bahan pelarut organik yang digunakan sebanyak 7 pelarut yaitu : dietyl eter (D), petroleum benzene (PB), metanol (M), hexane (H), etanol (A), benzene (B) dan aseton (As). B. Metoda 1. Ektraksi Ekstraksi 2 gram serbuk kayu cendana menggunakan alat soxhlet dengan 7 pelarut organik. Setiap pelarut dilakukan 3 kali ekstraksi. Selanjutnya hasil ekstrak ditambahkan dietil eter dan NaOH 4%, selanjutnya dicuci dengan aquades hangat (Gambar 1). Ekstrak + 100ml Sampel
Soxhlet dengan
dietil eter +
Larutan dietil
serbuk
pelarut
NaOH 4%,
eter dicuci
kayu
(metanol,
dikocok
aquades
cendana
benzena,
(penambaha
hangat
2 gram
aseton, dll Diekstrak selama
n NaOH 2
+ 6 jam
Ekstrak/minyak
kali)
Gambar 1. Diagram alir ekstraksi kayu cendana 2. Analisis komponen kimia Analisis komponen kimia menggunakan alat GC-MS. Parameter meliputi suhu oven 600C, suhu oven mencapai kesetimbangan 0,50 menit, suhu injektor 3000C, interface temperature 3300C, panjang kolom 30 m, diameter kolom 0,25 mm, tekanan kolom 100 kPa, laju kolom 1,6 ml/min, laju linier 46,4, ratio pemisahan 20, laju total 36,6 ml/min dengan waktu program 38 menit, dan parameter MS meliputi kisaran masa mulai M/Z 34 dan berakhir M/Z 600, interval pemindaian 0,5 menit, batas akhir pemindaian 600, kecepatan pemindaian 2000 amu/min dan voltase detektor 1 kV. Setelah GC-MS terprogram seperti tersebut di atas, minyak cendana sebanyak 15 µl diinjeksikan ke GC. Komponen kimia minyak teridentifikasi berdasarkan literatur yang sudah terprogram pada GC-MS, hasilnya tercantum pada kromatogram.
205
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI C. Analisis Data Data rendemen minyak diolah menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 ulangan. Data hasil analisis GC-MS dinarasikan secara diskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen ekstrak/minyak cendana Besarnya rendemen minyak cendana hasil ekstraksi dengan berbagai pelarut organik tercantum pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, rendemen minyak tertinggi yaitu ekstraksi menggunakan pelarut dietil eter (6,74%) dan rendemen terendah menggunakan pelarut heksana (4,30%) Tabel 1. Rendemen minyak cendana No.
Etanol (E)
Benzena (B)
1. 2. 3. Rata-rata
6,18% 6,12% 6,46% 6,25%
4,35% 4,79% 4,01% 4,38%
Heksana (H)
Pelarut Metanol (M)
3,29% 4,83% 4,77% 4,30%
4,97% 6,70% 6,66% 6,11%
Aseton (A)
Petroleum Benzena (PB) 3,87% 5,34% 5,51% 4,90%
6,05% 6,64% 7,06% 6,58%
Dietil eter (DE) 7,57% 6,64% 6,01% 6,74%
Hasil analisis sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa adanya perbedaan pelarut yang digunakan untuk mengekstrak serbuk kayu cendana berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen minyak cendana. Tabel 2. Analisis sidik ragam rendemen minyak cendana DB
JK
KT
F
Nila tengah
1
661,03
--
Perlakuan
6
19,58
3,26
Acak
14
7,53
0,54
Total
21
H 4,30
B 4,38
PB 4,90
M 6,11
E 6,25
A 6,58
6,04**
DE 6,74
Hasil uji lebih lanjut dengan menggunakan uji BNJ menunjukkan bahwa rendemen minyak hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut dietil eter, aseton, etanol, metanol dan petrolium benzena adalah relatif sama. B. Analisis komponen kimia Hasil analisis GC-MS minyak hasil ekstrak kayu cendana menunjukkan bahwa semua pelarut organik yang digunakan menghasilkan kadar santalol yang bervariasi (Tabel 3). Menurut Shankaranarayana, et.al. (2005), komponen kimia yang dapat menimbulkan aroma wangi khas cendana adalah α- dan β-santalol; α- dan β-santalena, sedangkan menurut Fahlbusch, et.al., (2012) α-santalol dan β-santalol adalah komponen yang dominan menimbulkan aroma minyak cendana. Lebih lanjut Hasegawa, et.al., (2011) menjelaskan bahwa α-santalol yang menimbulkan aroma harum dari cendana sedangkan β-santalol merupakan aroma khas cendana. Minyak hasil ekstrak kayu cendana asal NTT pada umumnya hanya mengandung 3 senyawa kimia yang berpotensi menimbulkan aroma wangi khas cendana yaitu α-santalol, β-santalol dan dan β-santalena. Bahkan ada yang mengandung hanya 2 senyawa/komponen kimia khas aroma cendana yaitu α- dan β-santalol yang terkandung pada
206
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI minyak hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut benzena, petroleum benzena dan dietil eter, akan tetapi kandungan total santalolnya lebih tinggi dibanding dengan minyak hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut lainnya yaitu etanol, heksana, metanol dan aseton (Tabel 3.).
PKNO
R.Time I.Time
F.Time
Area
Height
A/H(sec) MK%Total
Name
11
2.978
2.783
3.108
79835983
6502720 12.277
22.63
α-santalol
12
3.184
3.108
3.292
57318047
6480580 8.845
16.24
β-santalol
13
3.325
3.292
3.417
27564567
3776176 7.300
7.81
α-santalol
14
3.451
3.417
3.675
33361370
3900658 8.553
9.46
α-santalol
15
3.708
3.675
3.917
8641187
1084641 7.967
2.45
α-santalol
22
5.057
4.975
5.117
10914961
1797269 6.073
3.09
α-santalol
23
5.148
5.117
5.358
11285831
1401300 8.054
3.20
α-santalol
24
5.524
5.358
5.700
12331542
1285731 9.591
3,49
β-santalene
Gambar 2. Contoh kromatogram minyak cendana hasil ekstraksi dengan pelarut aseton Tabel 3. Kadar santalol ekstrak kayu cendana No.
Pelarut
Warna ekstrak
α-santalol
β- santalol
β- santalena
Total santalol
1.
Etanol
Kuning pucat
32,05
32,59
13,02
64,64
2.
Benzena
Agak kuning
60,11
15,70
---
75,81
3.
Heksana
Kuning pucat
42,60
17,24
3,18
59,84
4.
Metanol
Kuning pucat
49,01
14,51
3,34
63,52
5.
Aseton
Kuning pucat
48,64
16,24
3,49
64,88
6.
Petroleum benzena
Kuning pucat
51,19
22,24
---
73,43
7.
Dietil eter
Kuning pucat
47,17
21,20
---
68,37
Kadar α-santalol tertinggi (60,11%) adalah minyak cendana hasil ekstraksi menggunakan pelarut benzena dan warna minyak agak kuning artinya lebih kuning dibanding dengan minyak cendana dengan ekstraksi pelarut lainnya (etanol, heksana, metanol aseton, petroleum benzena dan dietil eter). Kandungan minyak cendana hasil ekstraksi kayu cendana asal NTT dengan berbagai pelarut menunjukkan bahwa komponen/senyawa aktifnya adalah α-santalol.
207
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
IV. KESIMPULAN Pelarut organik dietil eter menghasilkan rendemen ekstrak minyak kayu cendana tertinggi (6,74%) dibanding pelarut lainnya (aseton, etanol, metanol, petrolium benzena, benzena dan heksana). Minyak cendana hasil ekstraksi menggunakan pelarut benzena menghasilkan kadar santalol total (α- dan β-santalol) tertinggi dibanding menggunakan pelarut lainnya yaitu 75,81% dan warna minyaknya agak kuning sedangkan yang lainnya berwarna kuning pucat. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1996. Monografi Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan NTT. Fahlbusch, K.G.; F.J.. Hammerschmidt; J. Panten; W. Pickenhagen; D. Schatkowski; K. Bauer; D. Garbe and H. Surburg. 2012. Flavors and Fragrances. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA, Weinheim Ghimere, B.K.; E.S. Seong; E. H. Kim; A.K. Ghimeray; C.Y.Yu; B.K. Ghimere and I.L. Chung. 2011. A comparative evaluation of the antioxidant activity of some medicinal plants popularly used in Nepal. Journal of Medicinal Olants Research 5(10):1884-1891 Hasegawa, T.; T. Toriyama; N. Ohshima; Y. Tajima; I. Mimura; K. Hirota; Y. Nagasaki and H. Yamada. 2011. Isolation of new constituents with a formyl group from the heartwood of Santalum album L. Flavour Fragr.J. 26:98-100. Lopez, C. dan P. Shanley. 2005. Kekayaan Hutan Asia : Makanan, Rempah-rempah, Kerajinan Tangan dan Resin. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Shankaranarayana, K.H.; G. Ravikumar; A.N. Rajeevalochan and V.G. Angadi. 2005. Fragrant oils from exhausted sandalwood powder and sandal sapwood. Journal of Scientific & Industrial Research, 64:965-966 Sindhu, R.K.; Upma; A. Kumar and S. Arora. 2010. Santalum album Linn.: A Review on Morphology, Phytochemistry and Pharmacological Aspects. International Journal of PharmTech Research 2(1):914-919 Undartoya, 2005. Populasi Cendana NTT turun drastis. Akankah menuju punah ?. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi VII Tahun 2005. Jakarta.
208
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Stabilitas Warna Biji Tumbuhan Annatto (Bixa orellana L.) Sebagai Bahan Pewarna alami Enih Rosamah1), Rico Ramadan2) dan Irawan Wijaya Kusuma 3) 1), 3) Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman 2) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Email :
[email protected] Abstrak Kesumba keling atau Bixa orellana L. menjadi tanaman wajib tanam di pulau Jawa dan telah diekspor ke negara-negara Eropa dalam bentuk biji atau Annatto Seed Engros (Pande, 2009). Tanaman B.orellana L. (annatto) merupakan jenis tanaman penghasil bahan pewarna alami yang menghasilkan warna dasar merah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi pewarna alami dari biji tumbuhan annatto (Bixa orellana L.) dengan menguji karakteristik stabilitas zat warna yang dimiliki sebagai dasar pengembangan produk herbal pewarna alami. Uji stabilitas warna dilakukan dengan variasi faktor yaitu suhu ekstraksi, pH, oksidator, sinar matahari, penyinaran lampu, dan penyimpanan. Karakteristik zat warna dari ekstrak biji buah B. orellana L pada suhu 90oC menunjukkan intensitas warna tertinggi dengan absorbansi maksimal, dimana banyak senyawa warna yang terekstrak yang diindikasikan dengan tingginya nilai absorbansinya. Selain dipengaruh suhu, kestabilan zat warna juga dipengaruhi oleh faktor penyinaran matahari, sinar lampu, oksidator, pH dan penyimpanan. Kata kunci: absorbansi, Bixa, stabilitas warna.
I. Pendahuluan Tumbuhan annatto (B. orellana L.) juga termasuk tumbuhan obat karena tumbuhan ini memiliki kandungan senyawa kimia yang secara farmakologis dapat digunakan sebagai peluruh kencing (diuretik) dan menetralkan racun. Penggunaan kandungan bahan aktif ini bisa berasal dari seluruh bagian tumbuhan. Selain sebagai bahan obat tumbuhan annatto (B. orellana L.) juga digunakan sebagai pewarna alami (Harbelubun dkk, 2005). Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata tidak mampu menghilangkan peranan alam. Hal ini yang mendorong perlunya pemanfaatan sumber daya alam yang ada untuk dikembangkan dari segi pemanfaatan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan sekaligus mampu digunakan sebagai antioksidan bagi tubuh manusia. Suatu langkah masyarakat untuk kembali ke alam mendorong peningkatan pemakaian bahan alam sebagai obat dan juga pewarna pada makanan. Pemanfaatan pewarna alami pada saat ini sangat penting untuk mengurangi pemakaian pewarna sintetis yang sangat berbahaya bagi tubuh (Hanum, 2000). Selain itu bukan hanya pewarna alami tetapi juga pemanfaatan hal lain yang terkadung dalam tanaman pewarna alami seperti zat antioksidan yang terkandung didalammya mampu memberikan efek ganda pemanfaatan tanaman tersebut. Penelitian tentang bahan pewarna alami serta antioksidan dari tumbuhan B.orellana L. masih terbatas di Kalimantan Timur, sementara penggunaan pewarna alami serta kebutuhan antioksidan dari alam terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu dipandang sangat penting untuk meneliti tumbuhan B.orellana L guna mengetahui senyawa yang terkandung didalam tanaman tersebut melalui serangkaian metode meliputi ekstraksi, fraksinasi serta untuk meneliti kandungan fenol total dan besarnya aktivitas antioksidan dari ekstrak dari bagian tumbuhan B. orellana L dan juga diteliti mengenai potensi pewarna alami dengan menguji karakteristik stabilitas zat warna yang dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi yang terkandung dalam tumbuhan annatto (Bixa orellana L) sebagai tumbuhan obat dan pewarna alami. Mengetahui karakteristik uji stabilitas warna yang terkandung dalam tumbuhan annatto (B. orellana L) untuk dapat digunakan sebagai pewarna alami. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi fundamental bagi masyarakat bahwa tumbuhan annatto (B. orellana L) merupakan tanaman yang juga dapat digunakan sebagai pewarna alami dan sebagai tumbuhan berpotensi tumbuhan obat. Dalam spektrum yang lebih luas tumbuhan annatto (B. orellana L) dapat dikembangkan dan digunakan sebagai tumbuhan yang berpotensi sebagai pewarna tekstil serta pengembangan herbal alami.
209
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
II. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan B.orellana L. bagian biji yang diperoleh dari daerah Marang Kayu, Palaran serta Lempake Samarinda, Kalimantan Timur. Metode Penelitian Pengujian Stabilitas Warna (Samsudin & Khoiruddin, 2007) Sampel biji diekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada suhu yang berbeda-beda ( 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90oC). Kemudian hasil ekstraksi disentrifuge selama 30 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan vakum menggunakan kertas saring Whatman, sehingga didapatkan filtrat pigmen yang kemudian diuji absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang (λ) 510 – 550 nm. Uji stabilitas warna dilakukan terhadap pengaruh oksidasi, sinar matahari, sinar lampu, pengaruh pH, kondisi penyimpanan. Selengkapnya disajikan pada Gambar 1 dibawah ini: 1.
Sampel biji tumbuhan B. orellana L.
Pengecilan ukuran sampel
Ekstraksi (30 menit) dengan air, suhu (30, 40, 50, 60, 70, 80, 90oC
Sentrifuge (30 Menit) Kecepatan 5000 rpm/menit
Penyaringan vakum (dengan membran Whatman)
Filtrat Pigmen
Residu
Karakterisasi Analisa absorbansi pigmen terhadap : 1. Suhu 2. Oksidator 3. Sinar Matahari 4. Sinar lampu 5. Pengaruh pH (3,4,5) 6. Kondisi Penyimpanan
Gambar 1. Skema Analisa Stabilitas Zat Warna 1. 2.
Pengaruh Sinar Matahari Sebanyak 10 ml dari larutan filtrat pigmen dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian dijemur dibawah sinar matahari interval 3 jam sekali dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 510 – 550 nm. Pengaruh Sinar Lampu Sebanyak 10 ml dari larutan filtrat pigmen dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian disinari oleh lampu dengan kekuatan 20 watt selama 48 jam dan setiap 12 jam sekali, dilakukan pengamatan terhadap absorbansinya pada panjang gelombang 510 – 550 nm.
210
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 3.
4.
5.
Pengaruh pH Stabilitas filtrat pigmen dibuat dalam 3 tingkatan keasaman (pH : 3, 4, 5). Filtrat pigmen sebanyak 2 ml dilarutkan dalam 100 ml buffer asam sitrat sesuai dengan variasi pH. Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 510 – 550 nm. Pengaruh Oksidator Sebanyak 10 ml larutan filtrat pigmen masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan oksidator H2O2 sebanyak 1 ml kemudian setiap 3 jam sekali dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 510 – 550 nm. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Filtrat pigmen disimpan pada suhu dingin (15oC). Setelah 2 hari dilakukan pengenceran yaitu pigmen cair dilarutkan sebanyak 2 ml dalam 100 ml air kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 510 – 550 nm.
III. Hasil dan Pembahasan Pengujian stabilitas warna ini dilakukan pada biji tumbuhan Bixa orellana L. Biji dari tumbuhan ini diyakini memiliki zat warna. Perlakuan yang dilakukan ialah melakukan ekstraksi terlebih dahulu berdasarkan perbedaan suhu ekstraksi. Pada tabel-tabel dibawah ini disajikan hasil ekstraksi dan berbagai perlakuannya. Uji stabilitas warna dilakukan dengan beberapa perlakuan yaitu pengaruh suhu ekstraksi, pengaruh sinar matahari terhadap stabilitas warna, pengaruh sinar lampu, pengaruh pH, pengaruh oksidator, pengaruh kondisi penyimpanan. Sampel biji galuga diekstraksi dengan pelarut air, yang kemudian diekstraksi dengan variasi suhu. Kemudian dilakukan sentrifuge dengan alat sentrifuge dan langkah selanjutnya disaring sehingga didapatkan filtrat yang kemudian diuji dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 510 – 550 nm. 1. Pengaruh Suhu Ekstraksi zat warna pada biji Bixa orellana L dengan menggunakan solvent aquadest dan proses ekstraksi pada suhu yang berbeda (30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 oC) dimana ditunjukkan pada Gambar 48 diatas. Pada gambar 48 dapat dilihat bahwa awalnya absorbansi naik satu interval dengan rasio kenaikan absorbansi yang kecil pada 30 – 40 oC. kenaikan absorbansi ini menunjukkan kenaikan intensitas warna yang terekstrak. Kemudian turun pada suhu 50oC ditandai dengan turunnya nilai absorbansinya. Kemudian absorbansi naik kembali pada suhu 60 oC, kemudian mengalami penurunan absorbansi (penurunan intensitas warna) sampai pada suhu 80 oC. kemudian mengalami kenaikan yang sangat signifikan pada suhu 90oC, ini dapat dilihat pada gambar 48. terjadi kenaikan yang drastis, bila dilihat dari nilai absorbansi terjadi kenaikan satu interval suhu tetapi terjadi kenaikan nilai absorbansi warna yang begitu tinggi. Hal ini yang menyebabkan pada suhu ekstraksi 90oC kenaikan absorbansi secara signifikan akibat semakin kuat intensitas warna yang dihasilkan. Tabel 1. Pengaruh suhu ekstraksi terhadap absorbansi Suhu (oC) 30 40 50 60 Panjang Gelombang Absorbansi 510 nm 0,075 0,103 0,069 0,071 520 nm 0,073 0,101 0,067 0,077 530 nm 0,073 0,099 0,065 0,087 540 nm 0,072 0,099 0, 066 0,105 550 nm 0,072 0,098 0,065 0,125
211
70
80
90
0,034 0,038 0,043 0,050 0,063
0,012 0,019 0,030 0,056 0,090
0,106 0,122 0,141 0,172 0,223
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Warna yang dihasilkan dari biji tersebut dapat diasumsikan merupakan senyawa anthosianin. Anthosianin sebagai zat warna alami yang berwarna merah tersebar secara luas dalam jaringan tanaman seperti pada bunga dan buah (Hanum, 2000). Anthosianin adalah zat warna yang bersifat polar dan akan larut dengan baik pada pelarut-pelarut polar (Samsudin & Khoiruddin, 2007). Aquadest (air) adalah pelarut polar yang sehingga cukup baik melarutkan anthosianin. 2.
Pengaruh Sinar Matahari
Sinar matahari merupakan salah kondisi yang menyebabkan terjadinya perubahan warna. Benda - benda di sekitar manusia, apabila diamati, terlihat bahwa benda - benda yang sering terkena sinar matahari secara langsung mengalami perubahan warna lebih cepat dibanding dengan benda – benda yang terkena sinar matahari secara tidak langsung (pada kondisi lain yang sama). Begitu pula pada zat warna dari biji B.orellana L ini. Intensitas warna berubah cukup besar terhadap sinar matahari seperti yang ada pada grafik, meskipun absorbansinya semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa zat warna ini tidak stabil terhadap sinar matahari. Pada pengamatan terhadap stabilitas warna dari biji B.orellana L, adanya sinar matahari menyebabkan degradasi pigmen yang ditunjukkan penurunan absorbansi, dimana secara visual perubahan pigmen semakin bening kemudian warna merah tidak terlihat. Penurunan nilai absorbansi atau pemucatan warna disebabkan karena terjadinya dekomposisi pigmen anthosianin sehingga bentuk aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna) dan akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna coklat (Hanum ,2000). Tabel 2. Pengaruh sinar matahari terhadap absorbansi Panjang Absorbansi Gelombang Awal 3 jam 6 jam (nm) 510 0,235 0,205 0,197 520 0,190 0,180 0,176 530 0,145 0,138 0,133 540 0,135 0,126 0,118 550 0,107 0,103 0,101 3. Pengaruh Sinar lampu Pada pemberian sinar lampu terdapat pengaruh pada absorbansi. Dimana sinar lampu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kestabilan warna. Kestabilan pigmen yang terkandung pada biji juga dipengaruhi oleh adanya penyinaran lampu. Senyawa yang terkandung didalam ekstrak tersebut diduga antosianin yang memiliki kecenderungan kuat mengabsorbsi sinar tampak dan energi radiasi sinar menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum tampak dan mengakibatkan perubahan warna (Lydia, dkk, 2001 dalam Samsudin, 2007). Tabel 3. Pengaruh sinar lampu terhadap absorbansi Panjang Absorbansi Gelombang Awal 12 jam 24 jam 48 jam (nm) 510 0,235 0,111 0,111 0,091 520 0,190 0,091 0,092 0,075 530 0,145 0,078 0,078 0,062 540 0,135 0,066 0,070 0,053 550 0,107 0,060 0,068 0,046 4. Pengaruh nilai pH Pengaruh pH (keasaman) sangat berpengaruh pada absorbansi dari zat warna yang dikandung dari ekstrak biji B.orellana L, terlihat adanya kenaikan serapan (absorbansi) dengan menurunnya pH. Semakin rendah pH maka warna akan stabil. Hal ini dikarenakan bentuk pigmen antosianin pada kondisi asam adalah kation flavium sedangkan inti kation flavium dari pigmen antosianin kekurangan elektron sehingga reaktif (Francis et al, 1982).
212
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 4. Pengaruh pH terhadap absorbansi Panjang Absorbansi Gelombang Awal pH = 5 pH = 4 pH = 3 (nm) 510 0,235 0,195 0,297 0,394 520 0,190 0,176 0,278 0,382 530 0,145 0,167 0,267 0,365 540 0,135 0,156 0,258 0,357 550 0,107 0,147 0,195 0,347 5. Pengaruh Oksidator Pengaruh oksidator menyebabkan penurunan serapan (absorbansi) atau berkurangnya kadar pewarna yang disebabkan oleh adanya penyerangan pada gugus reaktif pada pewarna oleh oksidator, sehingga gugus reaktif yang bersifat memberi warna berubah menjadi tidak berwarna. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Hanum (2000) bahwa adanya oksidator dalam larutan menyebabkan kation flavium yang berwarna merah kehilangan proton dan berubah menjadi karbinol yang tidak memberikan warna. Tabel 5. Pengaruh Oksidator terhadap absorbansi Panjang Absorbansi Gelombang Awal 3 jam 6 jam (nm) 510 0,235 0,184 0,149 520 0,190 0,145 0,118 530 0,145 0,120 0,106 540 0,135 0,106 0,091 550 0,107 0,093 0,086 6. Pengaruh Penyimpanan Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap absorbansi dari ekstrak biji Bixa orellana L, hal ini dapat terlihat dari penurunan abosrbansi. Perubahan saat penyimpanan dimungkinkan disebabkan oleh reaksi kopigmentasi dan adanya dugaan ekstrak masih mengandung enzim polifenolase yang mengkatalis reaksi pencoklatan (Lydia, 2001). Tetapi pada penyimpanan dalam keadaan dingin, reaksi pencoklatan dan kopigmentasi dapat dihambat (Samsudin, 2007). Tabel 6. Pengaruh Penyimpanan (15oC) terhadap absorbansi Panjang Gelombang (nm) 510 520 530 540 550
Absorbansi Awal 48 jam 0,235 0,184 0,190 0,145 0,145 0,120 0,135 0,106 0,107 0,093
Dari hasil analisa data diatas mengenai kestabilan warna saat ekstraksi terhadap suhu dan faktor karakteristiknya. Pada suhu ekstraksi 90oC dihasilkan serapan absorbansi yang optimal, hal ini menunjukkan bahwa suhu ekstraksi yang baik ialah suhu 90oC. Kemudian dilakukan perlakuan dengan berbagai faktor seperti penyinaran sinar matahari, sinar lampu, pH, oksidator dan penyimpanan. Pada penyinaran sinar matahari terjadi penurunan serapan, ini terlihat dari absorbansi yang semakin kecil berdasarkan waktu kontak dengan sinar matahari. Hal ini mempertegas bahwa zat warna ini tidak stabil terhadap sinar matahari. Begitu juga dengan sinar lampu, zat warna tersebut mengalami penurunan serapan yang dapat dikatakan zat warna tidak stabil bila terpapar sinar. Pada pengaruh pH, zat warna mengalami kestabilan, hal ini dapat dilihat dari serapan yang diukur. Semakin rendah nilai pH maka warna konsentrat semakin merah dan stabil. Hal ini disebabkan bentuk pigmen antosianin pada kondisi asam adalah kation flavium (Francis,1982). Pada faktor pengaruh oksidator terjadi penurunan nilai serapan zat warna, hal ini dapat dikatakan zat warna tidak stabil akibat penyerangan gugus reaktif pada pewarna oleh oksidator. Pada faktor penyimpanan pada
213
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI suhu 15oC terjadi perubahan sehingga serapan yang ada sedikit berubah, tetapi penyimpanan pada suhu dingin dapat menghambat terjadinya kopigmentasi dan pencegahan reaksi pencoklatan. Dari penjelasan diatas pengaruh faktor-faktor tersebut diatas mampu mempengaruhi kestabilan zat warna dari biji tumbuhan Bixa orellana L. IV. Kesimpulan Karakteristik zat warna dari ekstrak biji buah B. Orellana L. Pada suhu 90oC menunjukkan intensitas warna tertinggi dengan absorbansi maksimal. Hal ini menunjukkan banyak senyawa warna yang terekstrak yang diindikasikan dengan tingginya nilai absorbansinya. Kesetabilan zat warna dipengaruhi juga oleh faktor penyinaran matahari, sinar lampu, oksidator, pH dan penyimpanan. Dimana terjadi penurunan absorbansi akibat penyinaran baik matahari maupun penyinaran lampu, oksidator, dan penyimpanan. Sedangkan adanya peningkatan keasaman meningkatkan nilai absorbansi. Daftar Pustaka Francis, F.J. 1982. Analysis of Anthocyanins dalam Hanum, T. 2000. Bulletin Teknologi dan Industri Pangan Vol. XI No. 1. Hanum, T. 2000. Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alam dari Katul Beras Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa). Bulletin Teknologi dan Industri Pangan Vol. XI No. 1. Fakultas Pertanian. Universitas lampung. Harbelubun, A.E., Kesaulija, E.M., Rahawarin, Y.Y. 2005. Tumbuhan Pewarna Alami dan Pemanfaatannya Secara Tradisional oleh Suku marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke. Jurnal Biodiversitas Vol. 5 No. 5. Hal. 285 – 288. Lydia S., Wijaya,I., Simon,B. , Susanto,T. 2001. Ekstraksi dan karakterisasi Pigmen dari Kulit Buah Buah Rambutan. Binjai Biosains Vol. 1 No. 2. Hal. 42-43. Pande, K. 2009. Jenis Tumbuhan sebagai Pewarna Alam pada Beberapa Perusahaan Tenun di Gianyar. Jurnal Bumi Lestari Vol. 9 No. 2 hal. 217-223. Samsudin & Khoiruddin, 2007. Ekstraksi, Filtrasi Membran dan Uji Stabilitas Zat Warna dari Kulit manggis (Garcinia mangostana). Fakultas Teknik UNDIP.
214
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PERBAIKAN KUALITAS MINYAK NILAM DENGAN ADSORBEN Gusmailina dan Gunawan Pasaribu Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor E-mail:
[email protected] Abstrak Perbaikan kualitas minyak nilam dapat dilakukan melalui penghilangan bahan/benda asing yang mengotori suatu zat/senyawaan. Pada minyak nilam umumnya bahan yang mengotori adalah debu, oksida logam (karat), dan resin. Pada penelitian ini dilakukan pemurnian minyak nilam dengan menggunakan adsorben antara lain arang aktif lokal, arang aktif import dan bentonit. Teknik adsorpsi dilakukan dengan menambahkan adsorben ke dalam sampel minyak nilam, diaduk dan dibiarkan selama 1 jam. Setelah itu, dilakukan penyaringan sehingga didapatkan minyak nilam yang telah dimurnikan. Hasil penelitian menunjukkan semua perlakuan dapat meningkatkan kadar PA minyak nilam. Pemberian arang aktif dan bentonit dapat meningkatkan kadar PA nilam sampai 4,8%. Kata kunci: minyak nilam, pemurnian, adsorben I. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak nilam terbesar di dunia. Minyak nilam merupakan komoditas ekspor non migas paling besar di antara ekspor minyak atsiri di Indonesia. Negara pengimpor minyak nilam Indonesia yaitu Singapura, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Malaysia, India dan Hongkong. Komoditas ini memberikan sumbangan yang paling besar dalam menghasilkan devisa negara di antara minyak atsiri lainnya. Untuk produk minyak nilam, Indonesia memegang peranan yang cukup besar, sekitar 90 % kebutuhan minyak nilam dunia berasal dari Indonesia (BPEN, 1983 dalam Manurung, 2003). Indonesia mengekspor tidak kurang dari 1200 ton minyak nilam pertahun dengan nilai ekspor ± US $ 25 juta (60% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia; BPS, 2005). Kebutuhan minyak nilam dunia untuk keperluan industri kosmetik, setiap tahunnya mencapai 2.000 ton. Sementara kemampuan pasokan sampai saat ini baru terpenuhi kurang dari 5% saja. Padahal untuk memenuhi kebutuhan industri lokal, diperlukan tidak kurang 300 – 400 ton per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengusahaan nilam mempunyai prospek yang cukup menggembirakan. Namun pada tahun-tahun terakhir ini ekspor minyak nilam Indonesia cenderung menurun. Hal ini disebabkan selain kemampuan produksi minyak nilam yang terbatas baik luas arealnya juga karena kualitas minyak yang dihasilkan masih rendah (BPS, 2006). Pusat Litbang Hasil Hutan pada tahun 2002 dan 2003 telah melakukan penelitian teknik produksi minyak nilam yang lebih difokuskan pada nilam yang tumbuh di bawah tegakan hutan (pola Agroforestry). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen maupun kualitas minyak nilam yang tumbuh di bawah tegakan hutan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilam yang di budidayakan di lahan pertanian atau perkebunan secara monokultur (Gusmailina, et. al., 2005). Produktivitas nilam yang ditanam secara tumpangsari di Tasikmalaya sebesar 4 kg/rumpun/panen dengan hasil DNB (daun nilam basah) sekitar 75-100 ton/ha atau sama dengan 15-20 ton DNK (daun nilam kering) per hektar sekali panen lalu dijual ke
215
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI pedagang dengan harga Rp 500/kg basah, dan Rp 2.500/kg kering, dengan nilai jual sekitar Rp 37,5- 50 juta/ha. Kualitas dan rendemen minyak yang diperoleh hampir sama dengan kualitas minyak yang ditanam secara monokultur. Kadar Patchouli berkisar antara 26-39,5%, bahkan yang disuling di laboratorium mencapai 41-49,7%, dengan rendemen berkisar antara 2,4-5%. Namun penelitian terhenti karena berbagai kepentingan hingga penelitian belum mencakup kualitas dan peningkatan kualitas minyak. Padahal kualitas minyak baik secara visual maupun laboratoris sangat menentukan harga jual. Proses produksi minyak nilam di Indonesia banyak memiliki kelemahan dari teknologi yang digunakan. Teknik penyulingan minyak nilam yang selama ini diusahakan para petani masih dilakukan secara sederhana dan belum menggunakan teknik penyulingan secara baik dan benar. Teknik penyulingan sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas perolehan minyak. Selain itu, penanganan hasil setelah produksi belum dilakukan secara maksimal, seperti wadah yang tidak sesuai dan penyimpanan yang tidak benar sehingga terjadi reaksi yang tidak diinginkan, seperti oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi (resinifikasi). Biasanya minyak yang dihasilkan akan terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman atau sedikit kehijauan akibat kontaminasi dari logam Fe dan Cu. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisika kimia minyak (Hernani dan Marwati, 2006). Selain itu, minyak yang berwarna gelap dapat menyebabkan rendahnya harga minyak sehingga tidak dapat diekspor karena bermutu rendah dan tidak memenuhi standar perdagangan atau Standar Nasional Indonesia (SNI). Penyebab timbulnya warna dalam minyak atsiri adalah zat warna alamiah yang terdapat dalam bahan yang mengandung minyak, dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi, atau warna yang timbul sebagai hasil reaksi antar komponen, degradasi dari zat warna alamiah dan reaksi senyawa dalam minyak dengan ion logam (Karmelita, 1991). Untuk meningkatkan kualitas dan nilai jual minyak nilam, dilakukan beberapa perlakuan pemurnian. Diharapkan dari penelitian ini diperoleh cara pemurnian minyak nilam yang tepat, mudah dan murah yang bisa meningkatkan kualitas minyak tersebut, terutama dalam hal warna, sifat fisiko kimia, kadar komponen utama maupun kadar senyawa aktifnya. Tujuan penelitian adalah mencari solusi untuk memperbaiki kualitas minyak nilam rakyat melalui aplikasi adsorben. II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu), Pustekolah, Bogor. Laboratorium Pascapanen, BBLitbang Pascapanen Pertanian, Bogor. Pengambilan sampel dilakukan di daerah Garut, Ciamis, Sumedang dan Pasaman (Sumbar) B. Bahan dan alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nilam yang diperoleh dari tiga daerah penghasil minyak nilam di Jawa Barat, yaitu Sumedang, Garut dan Ciamis. Lokasi pengambilan bahan di Sumatera yaitu di daerah Pasaman (Sumatera Barat). Bahan kimia Na2SO4 anhidrat, HCl 0,5 N, KOH 0,1 N, KOH alkohol 0,5 N, indikator fenolftalein, boraks, asam oksalat, kertas saring, akuades, dan etanol. Peralatan-peralatan yang digunakan pada proses pengkelatan dan analisis kualitas antara lain: erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, picnometer, kompor gas, spatula, magnetic stirrer, stirrer, penyaring, timbangan, termometer, stopwatch dan refraktometer dan alat-alat bantu lainnya.
Alat yang digunakan adalah Gas Chromatography (GC), refraktometer,
piknometer, neraca analitik, pendingin tegak, penangas air, lemari es, statip, buret, Erlenmeyer, pipet tetes, pipet volumetrik, corong, termometer, dan tabung reaksi.
216
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI C. Prosedur kerja 1. Pemurnian minyak nilam Pemurnian minyak nilam dilakukan dengan proses penambahan adsorben yang digunakan adalah arang aktif impor dari German, arang aktif lokal, dan bentonit. Teknik adsorpsi dilakukan dengan menambahkan adsorben ke dalam sampel minyak nilam, diaduk dan dibiarkan selama 1 jam. 2. Pengujian mutu minyak nilam a. Pengujian warna (secara visual) b. Penentuan bobot jenis (SNI 06-2385-2006) c. Penentuan indeks bias (SNI 06-2385-2006) d. Penentuan kelarutan dalam etanol (SNI 06-2385-2006) e. Penentuan bilangan asam (SNI 06-2385-2006) f. Penentuan bilangan ester (SNI 06-2385-2006) 3. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian ditabulasi lalu dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemurnian minyak nilam dengan arang aktif (lokal dan impor) Hasil pengujian mutu minyak nilam asal Garut dengan penambahan arang aktif disajikan pada Tabel 1 Tabel 1. Mutu minyak nilam lokasi Garut dengan penambahan arang aktif GARUT Sesudah Karakteristik
Warna
Sebelum KKM
Lokal (% x berat sample)
Impor (% x berat sample)
2
5
7
15
2
5
7
15
KKM
KKM
KT
KT
KKM
KKM
KT
KT
SNI Kuning muda sampai coklat kemerahan
Bobot jenis 20°C/20°C Indeks bias (nD20)* Kelarutan dalam etanol 90%
0,9687
0,9627
0,9623
0,9648
0,9648
0,9658
0,9631
0,9763
0,9648
0.950 - 0.975
1,4952
1,4952
1,4960
1,4965
1,4972
1,4953
1,4958
1,4972
1,4973
1.504 - 1.514
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
Larutan (jernih) dalam perbandingan volume 1 : 10
Bilangan asam
8,25
Bilangan ester
6,24
730
6,28
5,16
5,03
7,17
6,19
5,07
4,22
Maksimum 8.0
6,80
7,32
8,14
8,47
6,05
6,69
8,22
8,43
Maksimum 20.0
Patchouli alcohol, %
29,376
29.376
29.376
29.376
29.379
Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
217
29.379
29.413
29.487
30.227
Minimum 30
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pada Tabel 1 terlihat bahwa penggunaan arang aktif lokal dan impor tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Garut. Tetapi dapat menurunkan bilangan asam hampir 50% pada penggunaan 15% arang aktif impor. Mutu minyak nilam asal Ciamis dengan penambahan arang aktif disajikan pada Tabel 2. Tabel 2: Mutu minyak nilam lokasi Ciamis dengan penambahan arang aktif Karakteristik
CIAMIS Sesudah Sebelum 2
Lokal (% x berat sample) 5 7
15
Impor (% x berat sample) 5 7
2
SNI 15
Warna
KKM
KKM
KKM
KT
KT
KKM
KKM
KT
KT
Bobot jenis 20°C/20°C Indeks bias (nD20)*
0,9724
0,9763
0,9765
0,9772
0,9839
0,9809
0,9764
0,9767
0,9787
1,4985
1,4982
1,4
Kelarutan dalam etanol 90%
1,4 9 8 5
1:1
1:1
1:1
1,4 9 7 5
1:1
1,4 9 8 5
1:1
1,4 9 8 8
1:1
1,4 9 9 0
1:1
1,4 9 9 0
1:1
Kuning muda sampai coklat kemerahan 0.950 -0.975 1.504 - 1.514 9 9 0
1:1
Larutan (jernih) dalam perbandingan volume 1 : 10
Bilangan 0.90 0,9 0,9 0,9 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 Maksimum asam 0 4 0 1 5 3 0 0 8.0 Bilangan 4.43 3,0 2,7 5,2 6,2 7,9 8,3 8,1 8,8 Maksimum ester 7 2 5 1 7 2 7 8 20.0 Patchouli 36,820 36.836 36.918 37.016 38.563 37.182 37.694 38.581 39.975 Minimum 30 alcohol, % Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang Dari hasil Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan arang aktif lokal dan impor tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Pasaman. Tetapi dapat meningkatkan bilangan ester dari 4,43% menjadi 8,88% (hampir 50% meningkat) pada penggunaan 15% arang aktif impor. Hal ini mungkin disebabkan karena daya serap arang aktif impor lebih besar dari arang aktif lokal, namun tidak diketahui dalam angka seberapa besar kemampuan daya serapnya. Mutu minyak nilam lokasi Pasaman dengan penambahan arang aktif disajikan padaTabel 3.
218
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 3. Mutu minyak nilam lokasi Pasaman dengan penambahan arang aktif
Karakteristik
Sebelum
PASAMAN Sesudah Lokal (% x berat sample) 2 5 7 1 2 5 KKM KKM KT KT KKM
Warna
KKM
Bobot jenis 20°C/20°C Indeks bias (nD20)* Kelarutan dalam etanol 90%
0,9707
0,9725
0,9732
0,9750
0,9825
1,4992
1.4995
1.4999
1.5001
1:1
1:1
1:1
1:1
Bilangan 5.2706 5.0660 5.005 4,1754 asam Bilangan 8.8876 7.5581 6.5884 4.2620 ester Patchouli 43,868 43.868 43.905 43.968 alcohol, % Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
Impor (% x berat sample) 5 7 15 KKM
KT
KT
0,9707
0,9720
0,9701
0,9823
1.5020
1.4995
1.4997
1.5028
1.5082
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
4,1502
4.8810
4.8807
4.0017
4.0005
10.176 2 45.868
6.4553
7.3637
10.3580
11.0878
43,868
43.901
45.192
46.675
SNI
Kuning muda sampai coklat kemerahan 0.950 0.975 1.504 1.514 Larutan (jernih) dalam perbandinga n volume 1 : 10 Maksimum 8.0 Maksimum 20.0 Minimum 30
Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa penggunaan arang aktif lokal dan impor tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias, dan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis. Tetapi dapat meningkatkan bilangan ester dari 8,887% menjadi 11,088 pada penggunaan 15% arang aktif impor. Demikian juga dengan kadar PA meningkat dari 43,87% menjadi 46,68%. Mutu minyak nilam asal Sumedang dengan penambahan arang aktif disajikan pada Tabel 4.
219
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 4. Mutu minyak nilam asal Sumedang dengan penambahan arang aktif
Karakteristik
Sebelum
Warna
KKM
2 KKM
Bobot jenis 20°C/20°C Indeks bias (nD20)* Kelarutan dalam etanol 90%
0,9764
0.9502
1,4938
1:1
SUMEDANG Sesudah Lokal (% x berat sample) 5 7 15 2 KKM KT KT KKM
Impor (% x berat sample) 5 7 15 KKM KT KT
SNI
0.9487
0.9505
0.9567
0.9495
0.9536
0.9502
0.9571
Kuning muda sampai coklat kemerahan 0.950 - 0.975
1.4945
1.4940
1.4973
1.4952
1.4952
1.4957
1.4960
1.504 - 1.514
1:1
1:1
1:1
Bilangan 4.49 2,93 2,86 2,94 asam Bilangan 22.72 15,26 13,56 13,28 ester Patchouli 25.466 25.491 25.934 26.279 alcohol, % Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
2,99
3,54
3,51
3,35
3,15
15,24
10,04
19,99
19,49
19,68
27.131
25.532
25.814
26.947
27.892
Larutan (jernih) dalam perbandinga n volume 1 : 10 Maksimum 8.0 Maksimum 20.0 Minimum 30
B. Pemurnian minyak nilam dengan Bentonit Karakteristik mutu minyak nilam asal Garut dengan penambahan bentonit disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Mutu minyak nilam asal Garut dengan penambahan bentonit
Karakteristik Warna
Sebelum KKM
Sesudah Bentonit (% x berat sample) 2 5 7 15 KK KK KT KT M M 0.9633 0.9608 0.9648 0.9763
Bobot jenis 0,9687 20°C/20°C Indeks bias (nD20)* 1,4952 1.4970 1.4970 Kelarutan dalam 1:1 1:1 1:1 etanol 90% Bilangan asam 8,25 *) 8.01 7.55 Bilangan ester 9,24 17.54 17.15 Patchouli alcohol, % 29,376 29.378 29.311 Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang
1.4965
1.4963
1:1
1:1
5.40 16.83 29.618
4.62 16.14 31.269
220
SNI Kuning muda sampai coklat kemerahan 0.950 - 0.975 1.504 - 1.514 Larutan (jernih) dalam perbandingan volume 1 : 10 Maksimum 8.0 Maksimum 20.0 Minimum 30
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pada Tabel 5 diatas ditunjukkan bahwa penggunaan bentonit tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Garut. Tetapi penggunaan bentonit 15% dapat menurunkan bilangan asam dari 8,25% menjadi 4,62%. Mutu minyak nilam lokasi Ciamis dengan penambahan Bentonit disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Perbandingan mutu minyak nilam lokasi Ciamis dengan penambahan bentonit Sesudah Karakteristik Warna
Sebelum KKM
Bentonit (% x berat sample) 2
5
KKM
KKM
7 KT
SNI 15 KT
Kuning muda sampai coklat kemerahan
Bobot
jenis
0,9724
0.9730
0.9765
0.9768
0.9815
0.950 - 0.975
bias
1,4985
1.4985
1.4985
1.4970
1.4982
1.504 - 1.514
20°C/20°C Indeks (nD20)* Kelarutan dalam
Larutan (jernih) atau etanol
90%
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
opalisensi ringan dalam perbandingan volume 1 : 10
Bilangan asam
0.90
0.90
0.73
0.77
0.88
Maksimum 8.0
Bilangan ester
4.43
5.07
6.72
8.66
11.59
Maksimum 20.0
36,820
36.907
37.856
38.581
38.937
Minimum 30
Patchouli alcohol, %
Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa penggunaan bentonit tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias, dan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis. Tetapi penggunaan bentonit 15% dapat meningkatkan bilangan ester dari 4,43% menjadi 11,59%. Penggunaan Na EDTA dapat meningkatkan kadar PA dari 36,8% menjadi 39,9%. Perbandingan mutu minyak nilam lokasi Pasaman dengan penambahan Bentonit disajikan pada Tabel 7
221
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 7 : Perbandingan mutu minyak nilam lokasi Pasaman dengan penambahan bentonit Sesudah Karakteristik Warna
Sebelum KKM
Bentonit (% x berat sample)
SNI
2
5
7
15
KKM
KK
KT
KT
M Bobot
jenis
Kuning muda sampai coklat kemerahan
0,9707
0,9691
0,9671
0,9709
0,9789
0.950 - 0.975
1,4992
1.4994
1,4999
1,5035
1,5072
1.504 - 1.514
20°C/20°C Indeks
bias
(nD20)* Kelarutan dalam etanol 90%
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
Larutan
(jernih)
atau
opalisensi
ringan
dalam
perbandingan volume 1 : 10 Bilangan asam
5.2706
5.0510
4.8603
4.9243
5.0017
Maksimum 8.0
Bilangan ester
8.8876
6.4055
7.2655
7.9616
11.6966
Maksimum 20.0
Patchouli
43,868
43.891
43.898
43.906
45.869
Minimum 30
alcohol, % Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang Tabel 7 menunjukkan bahwa penggunaan bentonit tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Pasaman. Tetapi penggunaan bentonit 15% dapat meningkatkan bilangan ester dari 8,88% menjadi 11,69% dan 8,88% menjadi 13,10%. Mutu minyak nilam lokasi Tanjungsari, Sumedang dengan penambahan Bentonit disajikan pada Tabel 8.
222
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 8. Mutu minyak nilam Sumedang dengan penambahan bentonit Karakteristik
Sebelum
Sesudah
SNI
Bentonit (% x berat sample) Warna
KKM
2
5
KKM
KKM
7 KT
15 KT
Kuning
muda
sampai coklat kemerahan Bobot jenis
0,9764
0.9461
0.9458
0.9466
0.9469
0.950 - 0.975
1,4938
1.4932
1.4933
1.4935
1.4955
1.504 - 1.514
20°C/20°C Indeks bias (nD20)* Kelarutan
Larutan (jernih)
dalam etanol
atau
90%
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
ringan
opalisensi dalam
perbandingan volume 1 : 10 Bilangan
4.49
2.65
2.54
2.48
2.43
Maksimum 8.0
Bilangan ester
22.72
15.87
15.35
15.34
18.40
Maksimum 20.0
Patchouli
25.466
26.376
26.379
27.379
27.862
Minimum 30
asam
alcohol, % Ket.: KKM = kuning kemerahan; KT = kuning terang Tabel 8 menunjukkan bahwa penggunaan bentonit tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Sumedang.
Tetapi sebaliknya penggunaan 15% bentonit menurunkan bilangan
ester masing-masing dari 22,72 menjadi 8,40%, dan 22,72% menjadi 12,30%. Juga sedikit meningkatkan kadar PA masingmasing dari 25,46% menjadi 27,86% dan 25,46% menjadi 28,22%. Minyak nilam asal Sumedang mempunyai berat jenis 0,9764 sebelum proses pemurnian. Setelah proses pemurnian turun menjadi berkisar antara 0,945-0,958. Hal ini disebabkan karena fraksi berat komponen yang terkandung pada minyak nilam sebelumnya, terserap oleh bahan pemurni. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Guenther (1948), bahwa berat jenis sering dihubungkan dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung didalam suatu minyak atsiri. Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin besar pula nilai densitasnya. Biasanya berat jenis komponen terpen teroksigenasi lebih besar dibandingkan dengan terpen tak teroksigenasi. Nilai indek bias minyak nilam yang diperoleh setelah dilakukan pemurnian sudah termasuk dalam kisaran nilai SNI. Meskipun nilai yang diperoleh lebih sedikit rendah dari SNI. Hal ini mungkin disebabkan karena minyak tersebut masih mengandung kadar air yang menyebabkan nilai indek bias lebih kecil dari standar. Karena menurut Guenther(1948), nilai indeks
223
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI juga dipengaruhi salah satunya dengan adanya air dalam kandungan minyak atsiri tersebut.semakin banyak kandungan airnya, maka semakin kecil nilai indek biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk membiaskan cahaya yang datang. Sama halnya dengan berat jenis, komponen penyusun minyak atsiri dapat mempengaruhi nilai indeks bias. Semakin banyak komponen berantai panjang seperti sesquiterpen atau komponen bergugus oksigen ikut tersuling, maka kerapatan medium minyak atsiri akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar untuk dibiaskan. Hal ini menyebabkan indeks bias minyak lebih besar. Jadi minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang besar lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil. Bilangan asam menunjukkan kadar asam bebas dalam minyak atsiri. Bilangan asam yang semakin besar dapat mempengaruhi terhadap kualitas minyak atsiri.
Bilangan asam minyak nilam mengalami perubahan setelah dilakukan
pemurnian dengan arang aktif dan bentonit. Minyak nilam asal Garut mempunyai bilangan asam yang paling tinggi dibanding dengan minyak nilam asal Ciamis, Pasaman atau Sumedang. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor penyimpanan minyak yang kurang baik, sehingga terjadi kontak antara minyak dengan sinar dan udara sekitar. Sehingga sebagian komposisi minyak atsiri mengalami reaksi oksidasi dengan udara (oksigen) yang dikatalisi oleh cahaya sehingga akan membentuk suatu senyawa asam. Jika penyimpanan minyak tidak diperhatikan atau secara langsung kontak dengan udara sekitar, maka akan semakin banyak juga senyawa-senyawa asam yang terbentuk. Oksidasi komponen-komponen minyak atsiri terutama golongan aldehid dapat membentuk gugus asam karboksilat sehingga akan menambah nilai bilangan asam suatu minyak atsiri. Hal ini juga dapat disebabkan oleh penyulingan pada tekanan tinggi (temperatur tinggi), dimana pada kondisi tersebut kemungkinan terjadinya proses oksidasi sangat besar (Guenther, 1948). Ditinjau dari parameter bilangan asam, minyak nilam asal Ciamis adalah yang paling bagus kualitasnya, karena mempunyai bilangan asam berkisar antara 0,7 – 1,4. Kemudian disusul oleh minyak nilam asal Sumedang dan Pasaman. Minyak nilam asal Sumedang adalah minyak nilam yang digunakan sebagai pembanding, karena minyak nilam tersebut dihasilkan dengan teknik dan prosedur yang baik sesuai dengan prosedur dan cara yang dianjurkan, dan minyak nilam yang dihasilkan langsung diekspor ke berbagai negara dan diterima dipasar internasional tanpa proses pemurnian. Sehingga dalam penelitian ini minyak nilam asal Sumedang disebut sebagai minyak nilam berkualitas ekspor. Meskipun berdasarkan kandungan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis lebih baik dibanding minyak nilam asal Sumedang. Nilai bilangan ester minyak nilam untuk semua perlakuan dan asal nilam yang berbeda cenderung meningkat, walaupun masih dalam standar. Komponen utama dalam minyak nilam adalah patchouli alkohol (PA), suatu senyawa kelompok seskuiterpen dengan rumus molekul C15H26O. Kadar PA yang tinggi dalam minyak nilam memberikan arti bahwa semakin baik kualitas minyak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan semua perlakuan dapat meningkatkan kadar PA minyak nilam. Penggunaan arang aktif meningkatkan PA nilam Garut 1% (lokal) dan 3,9% (impor); Ciamis 1.7% (lokal) dan 3.2% (impor); Pasaman 2% (lokal) dan 4.8% (murni); Sumedang 1.7% (lokal) dan 3.4% (murni). Penggunaan bentonit dapat meningkatkan PA minyak nilam Garut sampai 1.8%; Ciamis 2.12%; Pasaman 2%; dan Sumedang 2.4%. Hal ini disebabkan karena terjadinya adsorpsi melalui proses difusi suatu komponen pada suatu permukaan atau antar partikel. Dalam adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul asing yang terdapat pada minyak nilam, sehingga kemurnian minyak nilam dapat meningkat (Anon, 2000 dalam Brahmana, 1991). Selain itu disebutkan juga bahwa peningkatan kejernihan pada minyak nilam terjadi karena bahan
224
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI pemurni (seperti bentonit, arang aktif) sifatnya mudah menyerap air dan logam, sehingga dengan berkurangnya air dan logam yang terikat dalam minyak menyebabkan minyak menjadi jernih. Setelah melakukan proses adsorpsi dengan menggunakan arang aktif dan bentonit, warna yang dihasilkan menjadi tetap coklat kemerahan tetapi lebih jernih.
Purnawati (2000) melaporkan bahwa penggunaan arang aktif 2% dapat
meningkatkan kejernihan dari 4% menjadi 13,1% sedangkan penggunaan bentonit 2% dari 4% menjadi 14,1%. Pada penelitian ini pengujian warna yang dilakukan hanya melakukan pengamatan langsung secara visual oleh mata, tetapi tidak melakukan penetapan kadar kejernihan, sehingga besarnya perubahan kejernihan warna yang terjadi sebelum dan setelah penambahan adsorben tidak diketahui secara angka. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya adsorpsi adalah sifat adsorben, sifat adsorbat, waktu kontak antara adsorben dan adsorbat, pH, dan suhu (Ardiana, 2006). Sedangkan menurut Subiyantoro (2003) kontak antara adsorben dengan minyak akan lebih efektif apabila campuran antara adsorben dengan minyak diaduk dengan menggunakan mixer selama 30 menit. Waktu kontak diperlukan untuk memaksimalkan kerja adsorben dalam menyerap zat warna. Diduga semakin lama waktu pengadukan dapat meningkatkan nilai kejernihan minyak. Pada penelitian ini, hanya melakukan pengadukan pada awal penambahan adsorben dan selanjutnya hanya didiamkan selama 1 jam. Hal ini dapat menjadi penyebab proses adsorpsi yang kurang sempurna. Penentuan kelarutan minyak nilam dalam etanol didasarkan pada kelarutannya dalam etanol absolut atau etanol yang diencerkan yang menimbulkan kekeruhan dan dinyatakan sebagai larut sebagian atau larut seluruhnya. Persyaratan mutu berdasarkan SNI 2006 menyatakan bahwa kelarutan sampel dalam etanol 90% membentuk larutan (jernih) atau opalesensi ringan dalam perbandingan volume 1:10. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelarutan minyak nilam terjadi pada perbandingan etanol dan minyak, yaitu 1:1. Baik sebelum pemurnian maupun setelah pemurnian atau setelah pemurnian dengan berbagai adsorben dan pengkelat menunjukkan hasil yang sama. Larutan yang terbentuk cukup bening dan berwarna kekuningan. Secara umum hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan bahan pemurni dapat memperbaiki kualitas minyak nilam, hanya nilainya bervariasi sesuai dengan asal contoh dan parameter yang diuji. Kalau dilihat angka berat jenis, hasil yang diperoleh masuk dan memenuhi standar SNI. Demikian juga dengan bilangan asam dan bilangan ester ratarata memenuhi standar SNI.
Demikian juga penggunaan arang aktif lokal dan impor tidak memberi pengaruh yang besar
terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Garut. Tetapi dapat menurunkan bilangan asam hampir 50% pada penggunaan 15% arang aktif impor. Penggunaan arang aktif lokal dan impor tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Ciamis. Tetapi dapat meningkatkan bilangan ester dari 4,43% menjadi 8,88% (hampir 50% meningkat) pada penggunaan 15% arang aktif impor. Hal ini mungkin disebabkan karena daya serap arang aktif impor lebih besar dari arang aktif lokal, namun tidak diketahui dalam angka seberapa besar kemampuan daya serapnya. Penggunaan arang aktif lokal dan impor tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias, dan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis. Tetapi dapat meningkatkan bilangan ester dari 8,887% menjadi 11,088 pada penggunaan 15% arang aktif impor. Demikian juga dengan kadar PA meningkat dari 43,87% menjadi 46,68%. Penggunaan bentonit tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis dan indek bias minyak nilam asal Garut. Tetapi penggunaan bentonit 15% dapat menurunkan bilangan asam dari 8,25% menjadi 4,62%. Penggunaan bentonit
225
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias, dan bilangan asam minyak nilam asal Ciamis, tetapi penggunaan bentonit 15% dapat meningkatkan bilangan ester dari 4,43% menjadi 11,59%. Penggunaan bentonit tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Pasaman, tetapi penggunaan bentonit 15% dapat meningkatkan bilangan ester dari 8,88% menjadi 11,69% dan 8,88% menjadi 13,10%. Penggunaan bentonit tidak memberi pengaruh yang besar terhadap bobot jenis, indek bias dan bilangan asam minyak nilam asal Sumedang, tetapi meningkatkan kadar PA masing-masing dari 25,46% menjadi 27,86% dan 25,46% menjadi 28,22%. Semakin tinggi konsentrasi penjerap yang digunakan, semakin rendah rendemen minyak yang dihasilkan. V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : 1. 2.
Penggunaan arang aktif dan bentonit dapat memperbaiki kualitas minyak nilam, dengan hasil bervariasi, makin tinggi konsentrasi bahan pemurni yang digunakan, rendemen minyak yang dihasilkan makin rendah. Pemberian arang aktif dan bentonit dapat meningkatkan kadar PA nilam sampai 4,8%. DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009. Minyak Atsiri. Trubus Juni 2009. Vol 07. 161 hal. Alam PN. 2007. Aplikasi proses pengkelatan untuk peningkatan mutu minyak nilam aceh. Rekayasa Kimia dan Lingkungan 6 (2): 63-66. Biro Pusat Statistik, 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri 2004. BPS, Jakarta. BPS. 2006. Bulletin ringkas tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005. Statistik. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Ekspor. Buku I Badan Pusat Statistik Jakarta. 19 hal. Brahmana, H.R. 1991. Pengaruh penambahan minyak kruing dan besi oksida terhadap mutu minyak nilam (Patchouli oil). Komunikasi Penelitian 3 (4) : 330-341. Dung, N.X., P.A. Leclercq, T.H. Thai and L.D. Moi. 1989. Chemical composition of patchouli oil from Vietnam. The Journal of Essential Oil Research. Vol (2): 99-100. Davis, E; J. Hassler; P. Ho; A. Hover and W. Kruger. 2006. Essential oil. http://.wsu.edu/~gmhyde/433_web_pages/433oil-webpages/essence/essence-oils.14 hal. Diakses September 2009. Ekholm P., L. Virkki, M. Ylinen, and L. Johanson. 2003. The effect of phytic acid and some natural chelating agents on solubility of mineral elements in oat bran. Food Chem 80: 165-170. Guenther, E. (1948), The Essential Oils, Volume I, Van Nostrand Company Inc., New York. Gusmalina, Zulnely dan E.S. Sumadiwangsa. 2005. Pengolahan Nilam Tumpangsari di Tasikmalaya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan: Vol. 23.No.1:1-14. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Hernani dan Risfaheri. 1989. Pengaruh perlakuan bahan sebelum penyulingan terhadap rendemen dan karakteristik minyak nilam. Pemberitaan Littri. XV (2) : 84-87. Hernani, Munazah dan Ma’mun. 2002. Peningkatan kadar patchouli alcohol dalam minyak nilam (Pogostemon cablin Benth.) melalui proses deterpenisasi. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Kerjasama Kehati, LIPI, Apinmap, Unesco, Jica, Bogor : 225-228. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, PN Balai Pustaka, Jakarta.
226
BIOENERGI DAN KIMIA HASIL HUTAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Manurung, T.B. 2003. Usaha pengolahan dan perdagangan minyak atsiri Indonesia dan permasalahannya dalam menghadapi era perdagangan global. Sosialisasi Temu Usaha Peningkatan Mutu Bahan Olah Industri Minyak Atsiri.Dirjend. Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan. Jakarta. 9 hal. Sait, S dan I. Satyaputra. 1995. Pengaruh proses deterpenasi terhadap mutu obat minyak biji pala. Warta IHP. 12 (1-2): 41-43. Sufriadi, E., Mustanir. 2004. Strategi pengembangan menyeluruh terhadap minyak nilam (Patchouli Oil) di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Suhirman S. 2009. Aplikasi teknologi pemurnian untuk meningkatkan mutu minyak nilam. Perkembangan teknologi TRO 21 (1): 15-21. J.J. 2003. Peningkatan mutu minyak atsiri dan pengembangan produk turunannya. Sosialisasi/temu usaha peningkatan mutu bahan olah industri minyak atsiri. Deperindag, Jakarta. Trifilieff, E., 1980, Isolation of the postulated precursor of nor-patchoulenol in patchouli Leaves, Phytochemistry, 19, 2464.
227
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
BIAYA TIDAK RESMI DALAM PENGUSAHAAN KAYU HUTAN ALAM ASAL KALIMANTAN TIMUR S. Yuni Indriyanti dan Catur Budi Wiati Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No. 68 Sempaja, Samarinda; Telp (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email:
[email protected] dan
[email protected] ABSTRAK Dikarenakan krisis keuangan, pengusahaan kayu hutan alam asal Kalimantan Timur yang saat ini masih beroperasi banyak yang memilih untuk tidak berproduksi. Adanya biaya tidak resmi semakin menambah beban pengusahaan kayu hutan alam asal propinsi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran besarnya biaya tidak resmi yang harus ditanggung oleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK – HA) asal Kalimantan Timur dari kawasan hutan sampai ke Izin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK). Penelitian ini bersifat investigasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya berupa penelitian studi kasus, dimana pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in dept interview) terhadap beberapa responden dari 2 (dua) IUPHHK – HA yang berada di Kalimantan Timur yaitu PT. A dan PT. B (nama asli perusahaan sengaja tidak ditampilkan) serta pihak lain yang terkait. Hasil penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan April – Agustus 2009 ini menunjukkan bahwa biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan 2 (dua) IUPHHK – HA tersebut di sepanjang jalur perjalanan kayu dapat mencapai nilai sekitar 4% dari total biaya produksi per meter kubik. Selain itu pihak IUPHHK – HA juga masih harus mengeluarkan dana tidak sedikit untuk instansi pemerintah yang dibiayai negara dalam melakukan kegiatan bimbingan, pengawasan dan pengendalian (Binwasdal). Data dari salah satu IUPHHK – HA menyebutkan bahwa dari total biaya kunjungan instansi pemerintah baik dari pusat maupun daerah untuk kegiatan Binwasdal pada tahun 2008 yang mencapai Rp 582.525.000,-, sekitar 58%-nya merupakan biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan pihak IUPHHK – HA. Kata kunci: Biaya tidak resmi, IUPHHK – HA, pengusahaan kayu hutan alam, Kalimantan Timur. A.
Latar Belakang
Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah 20.999.353 ha, memiliki kawasan hutan dan perairan seluas 14.651.553 ha. Kawasan hutan produksi di Kalimantan Timur adalah seluas 9.734.653 ha atau 66,44% dengan hutan produksi terbatas seluas 4.612.956 ha atau sekitar 31,48% dan hutan produksi tetap seluas 5.121.688 ha atau sekitar 34,96% (SK Menhut No.79/Kpts-II/2001). Selengkapnya, luas kawasan hutan dan perairan di Kalimantan Timur berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Luas Kawasan Hutan dan Perairan di Kalimantan Timur Berdasarkan Fungsinya No. Fungsi Kawasan Luas Kawasan(ha) Persentase Luas Kawasan (%) 1. Hutan Konservasi a. Hutan Cagar Alam 173.272 1,18 b. Hutan Taman Nasional 1.930.076 13,17 c. Hutan Wisata Alam 61.850 0,42 2. Hutan Lindung 2.751.702 18,78 3. Hutan Produksi Terbatas 4.612.965 31,48 4. Hutan Produksi Tetap 5.121.688 34,96 5. Perairan 500 0,01 Jumlah 14.651.553 100 Sumber: Departemen Kehutanan, 2001. Meski memiliki kawasan hutan yang luas, namun dari waktu ke waktu kondisi kawasan hutan di Kalimantan Timur mengalami penurunan yang salah satunya dikarenakan tingginya laju deforestasi atau perubahan penutupan lahan berhutan. Namun demikian, Kalimantan Timur masih menjadi surga bagi beberapa IUPHHK – HA, dimana hingga tahun
228
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 2008 tercatat sekitar 84 (delapan puluh empat) unit IUPHHK – HA yang masih aktif (Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur, 2008). Semakin berkurangnya hasil produksi yang dikarenakan terjadinya penurunan kondisi kawasan hutan dan potensinya merupakan bagian permasalahan yang dihadapi IUPHHK – HA hingga menyebabkan beberapa IUPHHK – HA di Kalimantan Timur melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau bahkan menghentikan produksinya. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya biaya tidak resmi yang harus ditanggung IUPHHK – HA sehingga berdampak pada meningkatnya biaya produksi dan menurunkan nilai keuntungan hingga berdampak lebih jauh pada tidak beroperasinya IUPHHK – HA. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran besarnya biaya tidak resmi yang harus ditanggung oleh IUPHHK – HA di Kalimantan Timur dari kawasan hutan sampai ke IUIPHHK. C.
Metode Penelitian
1.
Kerangka Pemikiran Banyaknya IUPHHK – HA di Kalimantan Timur yang melakukan PHK atau bahkan menghentikan operasinya menjadi pemikiran awal dari penelitian ini. Oleh karena itu langkah awal penelitian ini adalah melakukan identifikasi penyebab permasalahan, berupa dugaan biaya produksi yang meningkat akibat adanya biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan pihak IUPHHK – HA serta identifikasi pihak yang melakukan atau yang menyebabkan timbulnya biaya tidak resmi tersebut. Hasil identifikasi kemudian menjadi masukan kepada pemerintah agar dapat melakukan perbaikan kebijakan sehingga biaya tidak resmi tidak terjadi dan IUPHHK – HA tetap dapat beroperasi.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran (Logical Frame Work) 2.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Agustus 2009 dengan lokasi penelitian di 2 (dua) IUPHHK – HA yang masih aktif beroperasi di Kalimantan Timur (nama asli perusahaan sengaja tidak ditampilkan). 3.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini bersifat investigasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya berupa penelitian studi kasus, dimana pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in dept interview) terhadap beberapa responden yang berasal dari IUPHHK – HA, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur dan pihak lain yang terkait dalam pengusahaan kayu hutan alam asal Kalimantan Timur.
229
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI D.
Hasil Penelitian
1.
Gambaran Umum Kondisi IUPHHK – HA di Kalimantanan Timur Dibanding propinsi lain di Kalimantan, potensi hutan alam di Kalimantan Timur ternyata adalah yang terbesar. Data dari Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (2008) menyebutkan bahwa pada tahun 2008 masih ada sekitar 84 (delapan puluh empat) unit IUPHHK – HA yang aktif di Kalimantan Timur, yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Kutai Barat. Tabel 2. Daftar IUPHHK – HA di Kalimantan Timur Tahun 2008 No IUPHHK – HA A. Kabupaten Pasir (4 unit) 1. PT Telaga Mas Kalimantan 2. PT Rizki Kacida Reana 3. PT Greaty Sukses Abadi 4. PT Telakai Mandiri Sejahtera B. Kabupaten Kutai Barat (23 unit) 5. PT Barito Nusantara Indah 6. PT Ratah Timber Company 7. PT Roda Mas Timber Company 8. PT Sumalindo Lestari Jaya II 9. PT Sumalindo Lestari Jaya V 10. PT Timberdana 11. PT Triwiraasta Bharata 12. PT Marimun Timber 13. Koptren ”Darussalam” 14. PT Kemakmuran Berkah Abadi 15. PT Rimba Karya Rayatama 16. PT Harapan Kaltim Lestari 17. PT Belayan River Timber 18. PT Rimba Sempana Makmur 19. PT Agrocity Makmur 20. CV Pari Jaya Makmur 21. KSU Mayang Putri Prima 22. PT Karya Wijaya Sukses 23. PT Wangsa Karya Lestari 24. PT Seroja Universum Narwastu 25. PT Kedap Sayaaq 26. PT Balikpapan Forest Industries 27. PT Indowana Arga Timber C. Kabupaten Kutai Kertanegara (8 unit) 28. PT Limbang Ganeca 29. PT Melapi Timber 30. PT Wana Rimba Kencana 31. PT Jaya Timber Trading & Industrial 32. KUD Beringin Mulya 33. PT Mutiara Kalja Permai 34. PT Pakar Mula Bhakti 35. PT Sylva Duta Corp. D. Kabupaten Kutai Timur (15 unit) 36. PT Hanurata 37. PT Kedungmadu Tropical Wood
230
Luas (ha)
Keterangan
124.675 29.350 31.080 12.320
RKT RKT RKT -
95.000 97.690 99.520 267.600 59.066 76.340 51.000 71.623 21.690 82.810 40.630 44.430 97.500 27.425 16.470 12.730 13.110 22.320 20.230 36.500 18.000 174.600 48.303
RKT RKT RKT (SPHL) RKT (SPHL) RKT (SPHL) RKT RKT RKT BK RKT RKT RKT RKT RKT RKT IUPHHK Baru RKT Hasil verifikasi Dephut BKT (2008 – 2009) IUPHHK Baru RKT (SPHL) RKT
123.200 78.300 65.000 53.200 23.635 56.000 47.500 35.000
RKT RKT RKT RKT RKT (SPHL) RKT Belum definitif
151.600 50.400
RKT BKT (2008 – 2009)/SPHL
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. E. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. F. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. G. 74. 75. 76. 77. 78. H. 79. 80. 81. 82. 83. I.
PT Panambangan PT Segara Indochem PT Sima Agung PT Kiani Lestari PT Narkata Rimba PT Dharma Satya Nusantara PT Oceanias Timber Product PT Gunung Gajah Abadi PT Intertropic Aditama PT Borneo Karya Indah Mandiri PT Nadila Indodaya PT Mugitriman International Timber PT Sumber Mas Timber Kabupaten Berau (14 unit) PT Amindo Wana Persada PT Aditya Karya Mandiri PT Mardhika Insan Mulia PT Karya Lestari PT Wana Bhakti Persada Utama PT Daisy Timber PT Sumalindo Lestari Jaya I PT Puji Sampurna Raharja PT Sumalindo Lestari Jaya IV PT Utama Damai Indah Timber PT Inhutani I Unit Sambarata PT Inhutani I Unit Labanan PT Inhutani I Unit Meraang PT Widya Artha Perdana Kabupaten Malinau (9 unit) PT Inhutani II Unit Malinau PT Inhutani II Wilayah Sei Tebu PT Meranti Sakti Indonesia PT Wana Adiprima Mandiri PT Batu Karang Sakti PT Essam Timber PT Rimba Makmur Sentosa PT Civika Wana Lestari PT Sarana Trirasa Bhakti Kabupaten Bulungan (5 unit) PT ITCI Kayan Hutani PT Inhutani I Unit Pangean PT Inhutani I Unit Segah Hulu PT Inhutani I Unit Pimping PT Intracawood Manufacturing Kabupaten Nunukan (5 unit) PT Kartika Jaya Parakawan KSU Meranti Tumbuh Indah PT Sylvia Ery Timber PT Inhutani I Unit Kunyit-Simendurut PT Adimitra Lestari Kabupaten Kukar, Kubar dan Pasir (1 unit)
231
43.240 85.725 46.000 223.500 41.540 35.000 67.030 81.000 46.230 50.860 44.090 200.000 53.400
RKT RKT (SPHL) RKT RKT RKT SPHL (tmt tahun 2005) RKT RKT (SPHL) RKT BK (2008 – 2009) RKT RKT RKT
43.680 42.700 46.080 49.123 44.402 35.866 89.595 51.000 100.000 49.250 106.020 138.210 70.700 14.800
RKT RKT RKT RKT RKT RKT RKT RKT RKT RKT RKT RKT RKT
46.231 99.100 46.200 33.090 47.540 355.800 43.530 53.000 41.000
RKT RKT RKT RKT RKT RKT (JPT 0%) IUPHHK baru RKT RKT
218.375 50.230 54.230 45.480 195.110
RKT RKT RKT RKT RKT
40.000 15.080 50.000 120.760 52.100
RKT RKT RKT RKT (termasuk Malinau) BKT (2008 – 2009)
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 84.
PT ITCI Kartika Utama TOTAL Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (2008).
262.573 6.146.319
RKT
Data dari Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (2008) menyebutkan bahwa dari total jumlah 2.518.563,32 m3 produksi kayu bulat Kalimantan Timur, sekitar 67% atau 1.686.577,31 m3 berasal dari IUPHHK – HA. Sedangkan sisanya disumbangkan dari sumber yang lain yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman (IUPHHK – HT). Tabel 3. Produksi Kayu Bulat Kalimantan Timur Tahun 2008 No. UPTD/Dinas Kabupaten IUPHHK – HA 1. KPH Pasir 122.049,28 2. Kutai Barat 293.472,05 3. Kutai Kertanegara 43.831,52 4. Kutai Timur 248.461,80 5. KPH Berau 260.513,99 6. KPH Malinau 108.492,96 7. KPH Bulungan 175.136,00 8. KPH Nunukan 130.259,10 9. PHH Tarakan 231.195,21 10. PHH Balikpapan 73.165,40 Total 1.686.577,31 Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (2008).
Jumlah (m3) IPK 44.692,16 4.518,96 44.987,91 94.199,03
IUPHHK – HT 306.442,17 106.817,18 87.737,52 3.857,08 29.422,37 203.510,66 737.786,98
Jumlah produksi kayu bulat ini jauh dari kebutuhan bahan baku kayu bulat IUIPHHK di Kalimantan Timur yang kapasitas produksi totalnya mencapai 5.494.908 m3/tahun. Kapasitas produksi IUIPHHK di Kalimantan Timur dengan kapasitas ≤ 6.000 m3/tahun mencapai 514.720 m3/tahun, sedangkan IUIPHHK dengan kapasitas > 6.000 m3/tahun mempunyai kapasitas produksi mencapai 4.980.188 m3/tahun. Jika diasumsikan produksi kayu bulat di Kalimantan Timur hanya dipergunakan oleh seluruh IUIPHHK di Kalimantan Timur, maka kemampuan produksi IUIPHHK di Kalimantan Timur hanya mencapai 46%. Tabel 4. IUIPHHK Kapasitas ≤ 6.000 m3/tahun di Kalimantan Timur Tahun 2008 No. Kabupaten/Kota Jumlah Unit Jenis Industri 1. Paser 7 Kayu Gergajian 2 Veneer 2. Kutai Barat 12 Kayu Gergajian 3. Kutai Kertanegara 24 Kayu Gergajian 4. Kutai Timur 53 Kayu Gergajian 1 Veneer 5. Berau 14 Kayu Gergajian 6. Malinau - 7. Bulungan 2 Kayu Gergajian 8. Nunukan 1 Kayu Gergajian 9. PPU 2 Kayu Gergajian 1 Veneer 10. Balikpapan 1 Kayu Gergajian 11. Samarinda 2 Kayu Gergajian 12. Tarakan - 13. Bontang - Jumlah 118 Kayu Gergajian 4 Veneer Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (2008).
232
Kapasitas Produksi (m3) 21.500 12.000 55.000 88.650 221.850 3.800 69.620 10.800 5.500 6.000 5.000 3.000 12.000 493.920 20.800
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 5. IUIPHHK Kapasitas > 6.000 m3/tahun di Kalimantan Timur Tahun 2008 No. Nama IUIPHHK Jenis Produksi dan Kapasitasnya (m3) Plywood Sawn Timber Veneer 1. Kutai Timur 40.000 33.000 2. Samarinda 1.532.397 433.776 209.300 3. PPU 160.000 26.000 4. Balikpapan 187.840 168.600 3.345 5. Kutai Kartanegara 246.000 60.000 6. Tarakan 181.000 163.600 7. Paser 10.000 8. Berau 24.000 29.000 50.000 JUMLAH 2.361.467 863.976 322.645 Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (2008).
Wood Chip 401.600 150.000 210.000 145.500 525.000 1.432.100
Sayangnya data dari Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (2008) tidak menyebutkan kemana saja produksi kayu bulat Kalimantan Timur dipasarkan. Tetapi dari hasil wawancara dengan PT. A dan PT. B diketahui bahwa selain dijual di wilayah Kalimantan Timur, perusahaan juga menjual produksi kayu bulatnya ke luar wilayah Kalimantan Timur seperti ke Jakarta, Semarang dan Probolinggo. Pemasaran produksi kayu bulat oleh IUPHHK – HA di Kalimantan Timur biasanya dipengaruhi hubungan perusahaan, kemudahan akses dan kebutuhan pihak lain. Penjualan produksi kayu bulat IUPHHK – HA ke IUIPHHK yang mempunyai hubungan atau berada dalam group perusahaan yang sama merupakan pola dominan yang dilakukan beberapa IUPHHK – HA di Kalimantan Timur. Hal ini dapat dianggap wajar karena masalah kedekatan hubungan apalagi jika kedua perusahaan memiliki kepemilikan saham yang sama. Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah di masa lalu yang mewajibkan HPH (sekarang disebut IUPHHK – HA) untuk memiliki keterkaitan kepemilikan saham dengan industri pengolahan hasil hutan, termasuk insentif dari pemerintah berupa mekanisme self assesment dalam perhitungan pembayaran Dana Reboisasi (DR) dan Iuran Hasil Hutan (IHH) atas kayu bulat yang dikirim ke industri pengolahan kayu hulu yang merupakan milik sendiri atau ada keterkaitan saham (Greenomic, 2004). Sedangkan penjualan kayu bulat dari IUPHHK – HA ke IUIPHHK terdekat seperti yang dilakukan oleh PT. A lebih dipengaruhi karena alasan kemudahan akses. Jauhnya jarak yang harus ditempuh beresiko pada lamanya waktu pengiriman kayu bulat serta besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Sifat kayu yang mempunyai batasan waktu untuk dapat dipertahankan kualitasnya juga menjadi pilihan IUPHHK – HA untuk menjual produksi kayu bulatnya ke IUIPHHK terdekat. Meski demikian, umumnya IUPHHK – HA akan memilih menjual produksi kayu bulatnya ke pasar yang lebih jauh, jika secara ekonomis harganya lebih menguntungkan atau harga pasar terdekat masih di bawah harga rata-rata. 2.
Biaya Produksi Kayu Bulat oleh IUPHHK – HA di Kalimantan Timur dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia Secara umum struktur biaya produksi yang dibuat oleh IUPHHK – HA di Kalimantan Timur mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.32 tentang Akuntansi Kehutanan dengan rincian sebagai berikut: (a) Perencanaan; (b) Penanaman; (c) Pemeliharaan dan Pembinaan Hutan; (d) Pengendalian Kebakaran dan Pengamanan Hutan; (e) Pemungutan Hasil Hutan; (f) Pemenuhan Kewajiban Terhadap Negara; (g) Pemenuhan Kewajiban Terhadap Lingkungan dan Sosial; serta (h) Pembangunan Sarana dan Prasarana. Seperti halnya yang disebutkan dalam Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi (RKUPHHK) PT. A (2007) bahwa total biaya pengusahaan hutan yang dibutuhkan PT. A pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 54.869.014.530,- dimana beban biaya produksi kayu bulat yang dikeluarkan PT. A adalah sebesar Rp 869.722,-/m3 (terlihat pada tabel 6). Tabel 6. Proyeksi Biaya Produksi Kayu Bulat di PT. A Tahun 2009 No. Jenis Biaya Rp/m3 Persentase Biaya (%) 1. Biaya Perencanaan 24.673 2,83 2. Biaya Penanaman 15.593 1,79 3. Biaya Pemeliharaan dan Pembinaan 17.650 2,03 4. Biaya Pengendalian Kebakaran dan Pengamanan Hutan 7.830 0,90 5. Biaya Pemungutan Hasil Hutan 346.814 39,87 6. Pemenuhan Kewajiban Terhadap Negara 235.626 27,09
233
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 7. 8. 9.
Pemenuhan Kewajiban Terhadap Lingkungan dan Sosial Pembangunan Sarana dan Prasarana Biaya umum Total Sumber: data primer, diolah.
15.184 117.079 89.557 869.722
1,74 13,46 10,29 100
Dari Tabel 6 diketahui bahwa komponen terbesar dalam biaya produksi kayu bulat adalah biaya pemungutan hasil hutan (39,87%). Sedangkan biaya pemenuhan kewajiban terhadap negara (27,09%) serta biaya pembangunan sarana dan prasarana (13,46%) menempati posisi kedua dan ketiga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Oktorio, R (2004) yang menyebutkan bahwa biaya pemungutan hasil hutan menempati posisi tertinggi sebesar 26,73%, diikuti biaya pemenuhan kewajiban pada negara pada posisi kedua sebesar 24,19%, serta biaya bunga dan investasi modal kerja pada posisi ketiga sebesar 18,23%. Meskipun penelitian ini tidak dapat menyampaikan informasi berapa biaya yang dikeluarkan PT. B untuk memproduksi kayu bulat dikarenakan pelaporan pembiayaan pengusahaan hutan yang dibuat oleh perusahaan tersebut belum mengacu pada PSAK No.32, namun secara umum bila diperbandingkan dengan data IUPHHK – HA lainnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, diketahui bahwa nilai biaya produksi kayu bulat rata-rata adalah sama yaitu sekitar Rp. 900.000,- hingga Rp. 1.100.000,-/m3. Nilai ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wakil Ketua APHI bahwa biaya produksi kayu bulat berkisar antara Rp. 800.000,- hingga Rp. 900.000,- /m3 (Bisnis Indonesia, 2012). 3.
Biaya Tidak Resmi dalam Pengelolaan Hutan di Kalimantan Timur Hingga penelitian ini dilaksanakan hanya beberapa IUPHHK – HA di Kalimantan Timur yang masih bertahan. Umumnya IUPHHK – HA lebih memilih untuk tidak beroperasi dikarenakan besarnya biaya produksi kayu bulat yang harus ditanggung sedangkan harga jual kayu bulat tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Dari hasil wawancara dengan PT. A dan PT. B diketahui bahwa selain biaya resmi juga terdapat banyak biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh pihak IUPHHK - HA di sepanjang jalur perjalanan kayu yang dilakukan oleh oknum petugas, baik dari kepolisian, kehutanan, maupun TNI – AD. Meski nilainya tidak terlalu besar yaitu Rp. 500.000,hingga Rp. 2.000.000,- per oknum, namun pengakuan dari pihak IUPHHK – HA menyatakan bahwa nilai biaya tidak resmi ini bisa mencapai sekitar 4% dari total biaya produksi per meter kubik. Dengan alasan untuk kelancaran proses serta untuk menghindari kerugian yang jauh lebih besar, umumnya IUPHHK – HA lebih memilih untuk mengeluarkan biaya tidak resmi ini. Permasalahan lain terkait biaya yang menjadi beban IUPHHK – HA ternyata bukan hanya masalah biaya tidak resmi yang dilakukan oknum di sepanjang jalur perjalanan kayu, tetapi juga masalah kegiatan Binwasdal yang tumpang tindih antara instansi pemerintah pusat dan daerah berupa keharusan perusahaan memberikan biaya tambahan meski sudah mendapatkan pembiayaan dari pemerintah (DIPA). PT. B menyebutkan bahwa pada tahun 2008 terdapat sekitar 22 (dua puluh dua) kunjungan instansi pemerintah pusat dan daerah terkait kegiatan Binwasdal dengan total biaya mencapai Rp. 582.525.000,- dimana sekitar 58%-nya merupakan biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan pihak IUPHHK – HA. Kondisi ini juga disampaikan oleh Kartodihardjo (2002) dalam Oktorio, R. (2004) bahwa terdapat 58 (lima puluh delapan) kali inspeksi per tahun yang secara resmi dilakukan oleh 12 (dua belas) instansi pemerintah terhadap 19 (sembilan belas) jenis kegiatan pengusahaan hutan. Lebih lanjut besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak IUPHHK – HA untuk kegiatan Binwasdal oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Realisasi Biaya Binwasdal Dari Instansi Pemerintah Tahun 2008 No. Instansi dan Tujuan Kegiatan Jumlah Biaya (Rp) Resmi Tidak Jumlah Resmi A. Dinas Kehutanan Kabupaten 1. SO 2007 27.625.000 15.000.000 42.625.000 2. TPn, TPK dan TPK Antara 40.300.000 40.300.000 serta Gergaji Rantai 3. Penataan Rencana Hutan DIPA 17.000.000 17.000.000 4. Batas Blok URKT 2009 146.000.000 30.000.000 176.000.000 5. RKL – RPL (Dis Tambang dan 20.000.000 20.000.000 Lingkungan)
234
Keterangan
Di luar transport Tim tidak ke lapangan -
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 6. B. 1. 2. C. 1. D. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pengawasan Kegiatan IUPHHK BP2HP Evaluasi DR/PSDH Kinerja PHAPL
BPKH Titik Kontrol K. Hutan Dinas Kehutanan Propinsi Pembinaan RKT RKU Evaluasi Perizinan Peralatan PH Pemantauan Evaluasi Alat Konservasi Tanah dan Air Evaluasi Perizinan Linhut dan Peredaran Hasil Hutan 8. Kemitraan dan TPTI 9. Monev Produksi E. UPTD 1. Rekonstruksi Batas HL 2. Mematikan FAKB 3. Pemberantasan IL F. Departemen Kehutanan 1. Rekonsiliasi Tunggakan DR/PSDH JUMLAH Sumber: data primer, diolah.
-
5.000.000
5.0000
-
DIPA DIPA
15.000.000 70.000.000
15.000.000 70.000.000
-
2.500.000
2.500.000
DIPA DIPA 28.050.000 -
15.000.000 7.500.000 15.000.000 17.500.000 15.000.000 11.550.000 30.000.000
15.000.000 7.500.000 43.050.000 17.500.000 15.000.000 11.550.000 30.000.000
-
-
20.000.000 10.000.000
20.000.000 10.000.000
-
Proyek -
3.000.000 4.500.000 2.000.000
3.000.000 4.500.000 2.000.000
-
15.000.000
15.000.000
241.975.000
340.550.000
582.525.000
Tim tidak ke lapangan Permintaan dan belum clear Bantuan transport
UPTD Planologi UPTD PHH POLDA -
Besarnya biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan pihak perusahaan untuk kegiatan Binwasdal seperti tersebut di atas juga disampaikan oleh Oktorio, R. (2004) seperti terlihat pada tabel 8. Tabel 8. Beban Swasta Berbentuk Pungutan Tidak Resmi Oleh Pusat dan Daerah Dalam Pengusahaan Hutan Alam (Jutaan Rp/Thn) JENIS BIAYA PROPINSI KALSEL KALTIM SULTENG IRJA RIAU Biaya Koordinasi: 1. Pengurusan ijin 686 627 434 2. Binwasdal 422 383 389 476 256 3. Pelaporan 666 666 666 666 666 Biaya Informasi 3.656 3.656 3.656 3.656 3.656 Biaya Strategi 3.282 3.378 3.259 3.228 3.241 Jumlah 8.715 8.086 8.600 8.028 8.256 Sumber: Hasil Survei Tim Deperindag – Sucofindo (Oktober, 2001), Tidak Dipublikasi, (Keterangan: masing-masing contoh kasus didasarkan pada perhitungan produksi log sebesar 30.000 m3/tahun). Tumpang tindih pengawasan sangat mungkin terjadi karena kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan perlunya biaya tambahan atau biaya tidak resmi dalam kegiatan Binwasdal menimbulkan pertanyaan apakah belum ada standarisasi baku biaya untuk kegiatan tersebut yang diusulkan dalam DIPA. Selain itu, kurangnya pengawasan dalam pengusulan kegiatan Binwasdal IUPHHK – HA dalam DIPA dikhawatirkan menjadi peluang baru bagi sebagian oknum untuk mencari penghasilan tambahan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidak perlu. Dan sama dengan alasan sebelumnya, yaitu untuk kelancaran proses serta untuk menghindari kerugian yang jauh lebih besar, pihak IUPHHK – HA umumnya tidak bisa menolak kunjungan dari pihak instansi pemerintah baik dari pusat maupun daerah.
235
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Kegiatan Binwasdal yang mendapat dana tambahan dari IUPHHK – HA dipastikan hasilnya akan jauh dari obyektif. Selanjutnya dampak yang bisa terjadi adalah IUPHHK – HA merasa tidak perlu lagi mematuhi kebijakan yang ada atau bahkan seakan-akan sudah mendapat ijin tidak resmi untuk melakukan eksploitasi sumberdaya hutan semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Kondisi ini akan semakin memperburuk kondisi sumberdaya hutan yang ada. Agar kondisi ini tidak terus berlanjut, diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi pemerintah baik pusat maupun daerah sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih kegiatan pengawasan terhadap IUPHHK – HA yang menyebabkan terjadinya peningkatan biaya. Selain itu diharapkan pula adanya perbaikan kebijakan yang berpihak pada IUPHHK – HA yang telah berproduksi dengan baik sesuai aturan sehingga dapat mengurangi besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan pihak IUPHHK – HA. Kemudian juga diperlukan adanya aturan atau kebijakan serta tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang mencari kesempatan atau peluang dalam praktek-praktek yang menimbulkan terjadinya biaya tidak resmi yang menjadi beban bagi IUPHHK – HA. KESIMPULAN 1. Hingga tahun 2008 tercatat 84 (delapan puluh empat) unit IUPHHK – HA yang masih aktif di Kalimantan Timur dengan produksi kayu bulat sekitar 1.686.577,31 m3 atau 67% dari total jumlah produksi kayu bulat di Kalimantan Timur. 2. Biaya produksi kayu bulat berkisar antara Rp. 800.000,- hingga Rp. 900.000,- /m3 dimana komponen terbesarnya adalah biaya pemungutan hasil hutan. 3. Selain biaya resmi yang harus ditanggung IUPHHK – HA, ada juga biaya tidak resmi di sepanjang jalur perjalanan kayu yang dilakukan oleh oknum petugas baik dari kepolisian, kehutanan maupun TNI – AD dengan nilai mencapai sekitar 4% dari total biaya produksi per meter kubik. 4. Kegiatan Binwasdal yang dilakukan oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah juga menimbulkan biaya tidak resmi yang nilainya mencapai 58% dari total biaya Binwasdal yang harus dikeluarkan oleh pihak IUPHHK – HA. 5. Koordinasi antar instansi pemerintah pusat dan daerah perlu ditingkatkan agar tidak terjadi lagi tumpang tindih kegiatan Binwasdal yang dapat meningkatkan biaya produksi. 6. Perlunya perbaikan kebijakan yang berpihak pada IUPHHK – HA serta perlunya tindakan tegas terhadap oknumoknum yang mencari kesempatan atau peluang dalam praktek-praktek yang menimbulkan terjadinya biaya tidak resmi dalam pengusahaan kayu hutan alam. DAFTAR PUSTAKA Bisnis Indonesia. 2012. Pungutan Usaha Agar Segera Disederhanakan. Senin, 10 Desember 2012. Diakses dari http://aspindo-imsa.or.id/page/detail_berita/80 tanggal 14 Juni 2013. Departemen Kehutanan. 2001. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 79/Kpts-II/2001 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Timur Seluas 14.651.553 (Empat Belas Juta Enam Ratus Lima Puluh Satu Ribu Lima Ratus Lima Puluh Tiga) Hektar. Jakarta. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur. 2008. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur Dalam Angka 2008. Samarinda. Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Greenomic Indonesia. 2004. Pungutan Usaha Kayu. Evolusi Terhadap Mekanisme Perhitungan, Pemungutan dan Penggunaan Pungutan Usaha Kayu. Kertas Kerja No. 07. Jakarta. Oktorio, R. 2004. Analisis Kebijakan Pemberian Insentif Untuk Pemanfaatan Limbah Pemanenan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Bogor. PT. A. 2007. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Periode Tahun 2007 s/d 2013. Kalimantan Timur Wiati, C. B., dkk. 2009. Kajian Tata Kelola Kehutanan. Kajian Kebijakan Tata Kelola Pada Rantai Pasokan Kayu Hutan Alam. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Kehutanan. Samarinda. Tidak Dipublikasi.
236
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
KAJIAN STRUKTUR ANATOMI DAN SIFAT FISIS KAYU BALIK ANGIN (Alphitonia excelsa): A LESSER KNOWN SPECIES FROM KALIMANTAN Deris Endang Sarifudin dan Imam Wahyudi Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Kampus Darmaga, Bogor 16680 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit yang mematikan pada hutan tanaman yang biasanya monokultur perlu ditemukan jenis-jenis lain yang potensial sebagai tanaman utama. Salah satunya adalah kayu Balik Angin (Alphitonia excelsa),lesser known species dan endemik Kalimantan karena cepat tumbuh, pionir, dan memiliki batang yang silindris dengan batang bebas cabang yang tinggi. Untuk mendukung promosi dan mengarahkan penggunaan kayu yang optimal, maka dilakukan penelitian dengan mengkaji struktur anatomi dan beberapa sifat fisis pentingnya. Warna, tekstur, arahserat, corak,kesanraba, kekerasan, danbau kayudiamatipadaseluruhpotongancontohuji, sedangkancirimikroskopisnya (strukturanatomi) diamatimelaluisayatan tipis (25 μm) pada ketiga bidangpengamatan daribagian riaptumbuhnomor 3 (IAWA 2008). Morfologiseratdiukur melaluipreparatmaserasiSchlutze, sudutmikrofibril (MFA) melaluisayatan tipis bidangtangensial, sedangkansifatfisispenting (kadar air, kerapatandanberatjenis (BJ) kayu) diukurmenggunakanprosedurstandar,dimulai dariempulurkearahkulit. Hasilpenelitianmenunjukkanbahwakayu balik angin berwarnaabukeputihan, tekstursedang, arahseratlurus, bercorakdekoratif (“V”type), permukaanmengkilap, halus, kekerasansedangdantidakberbau. Ciri mikroskopisnya adalah 1, 4, 7, 9, 10, 13, 22, 30, 44, 47, 53, 56, 61, 65, 66, 69, 78, 79, 93, 97, 106, 109, 138, dan 153. Dalam jari-jari ditemukan endapan berdamar. Rata-rata panjang serat 1042.84 µm dan kualitas serat tergolong kelas II-III. Rata-rata kadar air, kerapatan, BJ, dan MFA masing-masing 13.03 %, 0.49 g/cm3, 0.43 dan 17.1˚. Berdasarkan struktur anatomi dan sifat fisis kayu yang diteliti, kayu balik angin berpotensi sebagai bahan baku mebel, furniture, fancy veneer, barang kerajinan dan atau produk lain yang mementingkan penampilan, kayu pertukangan non-struktural (Kelas Kuat III), kayu lapis dan papan komposit lainnya. Kayu ini kurang cocok untuk tujuan sebagai bahan baku pulp dan kertas bermutu tinggi. Kata kunci: Alphitonia excelsa, balik angin, lesser known species, struktur anatomi, sifat fisis PENDAHULUAN Permintaan akan kayu sebagai bahan baku industri perkayuan di Indonesia semakin meningkat, sedangkan pasokan kayu hutan alam cenderung berkurang dari tahun ke tahun, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Akibatnya industri perkayuan di Indonesia menghadapi permasalahan kekurangan bahan baku kayu. Untuk mengatasi hal tersebut Kementerian Kehutanan telah melaksanakan program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) (Kementerian Kehutanan 2009). Akan tetapi program pembangunan HTI dan HTR tersebut berjalan sangat lambat. Permasalahan lain yang timbul pada HTI dan HTR yang dikembangkan adalah rawan terhadap serangan hama dan penyakit akibat penanaman jenis yang monokultur. Oleh sebab itu maka diperlukan alternatif pemanfaatan jenis-jenis lain yang potensial untuk dikembangkan. Balik Angin (Alphitonia excelsa) merupakan salah satu jenis pohon yang tergolong lesser known species dan memiliki potensi untuk dikembangkan. A. excelsa termasuk dalam anggota dari suku Rhamnaceae yang memiliki sinonim A. incana, A. moluccana dan A. philippinensis (PROSEA 1998). Jenis ini tergolong fast growing species, pionir dan adaptif terhadap lingkungan (Doran dan Turnbull 1997). Balik Anginmerupakan pohon dengan batang lurus, silindris, dan tinggi pohon mencapai 23 hingga 35 meter. Jenis ini banyak ditemukan di hutan sekunder Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggaradan Papua (PROSEA 1998). Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengkaji sifat dasar kayu Balik Angin (A. excelsa) terutama struktur anatomi sel-sel penyusun kayu dan beberapa sifat fisis penting. Berdasarkan sifat dasar yang dimilikinya maka pemanfaatan kayu Balik Angin ini akan lebih mudah untuk ditentukansecara tepat: apakah lebih sesuai sebagai kayu struktural, kayu pulp, penghasil obat, atau untuk kegunaan yang lainnya.
237
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah kayu Balik Angin (A. excelsa.) yang berasal dari Kalimantan Selatan. Contoh uji berupa 3 buah lempengan tipis kayu setebal 5 cm dengan 3 diameter berbeda (15.6 cm, 17.0 cm dan 18.3 cm) dalam kondisi kering udara. Bahan lainnya antara lain alkohol, aquades, alkohol teknis, alkohol absolut, gliserin, toluene, karbolxylene, ethilen, KClO3, dan HNO3, potassium iodine, iodine, kertas saring, enthellan, dan safranin. Contoh uji untuk pengamatan struktur anatomi adalah yang mewakili riap tumbuh nomor 3, sedangkan untuk pengukuran dimensi serat, MFA dan sifat fisik kayu adalah potongan radial dari empulur ke arah kulit dengan ukuran selebar riap tumbuh yang ada. Peralatan yang digunakan terdiri dari gelas objek, gelas penutup, botol, watch glass, mikrotom, pipet, water bath, corong gelas, oven, mikroskop, gelas ukur, kaliper, kamera, dan alat tulis. Metode Pembuatan preparat mikrotom untuk pengamatan struktur anatomi Dari masing-masing lempengan diambil satu contoh uji. Contoh uji (balok berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm) kemudian dilunakkan dengan cara direndam dalam larutan gliserol selama 3-5 hari, selanjutnya disayat pada ketiga penampangnya (lintang/X, radial/R, dan tangensial/T) menggunakan mikrotom tipe rotary. Sayatan terbaik setebal 20-30 μm kemudian dicuci dengan akuades untuk mengilangkan gliserin lalu ditetesi safranin (1-3 tetes) dan didiamkan selama 1-2 jam. Setelah itu sayatan dicuci kembali dengan akuades untuk menghilangkan safranin. Tahap selanjutnya, sayatan didehidrasi bertingkat menggunakan alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, dan alkohol absolut masing-masing selama 5-10 menit. Selanjutnya sayatan dibeningkan dengan cara direndam beberapa saat secara berturut-turut dalam karboxylol dan toluene, lalu direkatkan pada gelas objek dan ditutup dan diberi label. Preparat yang telah dihasilkan siap untuk diamati dan didokumentasi. Ciri anatomi kayu yang diamati meliputi ciri-ciri yang dianjurkan oleh International Association of Wood Anatomist (IAWA). Pembuatan sediaan maserasi untuk pengukuran dimensi serat Pembuatan sediaan maserasi dilakukan dengan metode Schultze yang dimodifikasi. Masing-masing contoh uji dari empulur ke arah kulit dicacah kecil menjadi seukuran batang korek api. Cacahan tadi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ke dalam tabung reaksi ditambahkan KClO3 dan larutan HNO3 50% hingga cacahan terendam seluruhnya. Tabung reaksi selanjutnya dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80oC hingga cacahan menjadi pucat (putih kekuningan) dan terlihat mulai terjadi pemisahan serat. Setelah itu serat dicuci hingga bebas asam, lalu diberi safranin sebanyak 2-3 tetes dan didiamkan semalaman. Selanjutnya dilakukan dehidrasi bertingkat menggunakan alkohol mulai dari konsentrasi 10%, 30% hingga 50% masing-masing selama 10-15 menit. Serathasilmaserasikemudiandibeningkanberturut-turutdalamkarboxyloldan toluene, laludiletakkan di atasgelasobjekdanditutup dengan cover glasssertadiberi label dansiapuntukdiamati.Serat yang diamatidandiukursebanyak 30 seratutuhmeliputipanjangdan diameter seratserta diameter lumen serat.Tebaldindingseratadalahsetengahdariselisihantara diameter seratdan diameter lumennya. Pembuatan preparat untuk pengukuran sudut mikrofibril Pembuatan preparat diawali dengan menyayat contoh uji pada bidang tangensialnya menggunakan mikrotom rotary untuk mengasilkan sayatan dengan ketebalan 10-30 μm. Sayatan terbaik kemudian dicuci dengan akuades, lalu dicelupkan pada larutan Schultze selama 15 menit. Selanjutnya dicuci dalam akuades untuk menghilangkan larutan Schultze. Langkah berikutnya yaitu dicuci dalam alkohol bertingkat (50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan absolut) masingmasing selama 5 menit. Setelah itu kelebihan alkohol dihilangkan dengan menggunakan kertas saring. Sayatan selanjutnya ditetesi larutan iodine dan potassium iodine. Kelebihan larutan tersebut dihilangkan dengan menggunakan kertas saring. Kemudian dibilas menggunakan larutan asam nitrat 50% hingga sayatan berwarna transparan. Kelebihan larutan asam nitrat juga dihilangkan menggunakan kertas saring. Setelah itu didokumentasikan dan diukur sudut mikrofibril sebanyak 30 ulangan pada setiap riap tumbuh. Pengujian sifat fisis kayu Sifat fisis kayu yang diuji terdiri dari kadar air, kerapatan dan berat jenis. Pengujian sifat fisis dilakukan menggunakan contoh uji yang sama, yaitu dari empulur hingga ke kulit selebar riap tumbuh yang ada. Contoh uji ditimbang untuk mendapatkan berat awal, lalu dihitung volume awalnya. Kemudian contoh uji dikeringkan dalam oven
238
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI pada suhu (103±2)ºC hingga beratnya konstan. Sebelum ditimbang, contoh uji dimasukkan ke dalam desikator sampai stabil. Nilai kadar air, kerapatan dan berat jenis kayu dihitung dengan persamaan:
Keterangan: ρ air = 1 g/cm³ Pengolahan data Data yang dihasilkan bersifat kualitatifdisajikansecaradeskriptif,sedangkan yang bersifatkuantitatifdihitungnilai rata-rata dansimpanganbakunyamenggunakan program Microsoft Excel 2010,dandiujilanjutdengan program SAS 9.13 berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor.
HASIL DAN PEMBAHASAN StrukturAnatomi Ciri makroskopis Kayu Balik Angin yang ditelitiberwarnaabu-abucerah (5YR, 7/1 lightgray). Bagianterashampirsamadenganbagiangubalnya. Kayubercorakdekoratifmembentukpola “V” pada permukaan tangensialnya (Gambar 1) danberupagarislurus yang saling sejajar di permukaan radialnya.Permukaankayumengkilap, tekstursedang, arahseratlurus, kesanrabahalus, kekerasansedangdantidakmemilikibau yang khas.
Gambar 1 Corak kayu Balik Angin (A. excelsa) pada bidang tangensial Ciri mikroskopis Hasil pengamatan ciri mikroskopisnya memperlihatkan bahwa lingkar tumbuh: jelas (ciri no.1); pembuluh: porositas semi tata lingkar (4) (Gambar 2), dalam pola diagonal atau radial (7), hampir seluruhnya soliter (9) meski dijumpai juga yang berganda radial 2-4 sel (10), bidang perforasi sederhana (13), noktah antar pembuluh berselangseling dan bersegi banyak (22), pernoktahan pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas serta sama dalam ukuran dan bentuk (30), diameter lumen pembuluh 106.45 (100.80-111.85) µm (44), frekuensi sel pembuluh 6-14 per mm2 (47), panjang pembuluh 383.85 (362.48-422.46)µm (53), dan berisi tilosis (56). Parenkim aksial: paratrakea sangat jarang (78) dan vasisentris (79), dengan rata-rata 5-8 sel per untai (93). Jari-jari: satu ukuran, 1-3 seri (97), frekuensi 12 atau lebih per mm (106), dengan komposisi terdiri atas sel baring dan sel tegak (109). Dalam jari-jari ditemukan adanya endapan berdamar. Serat: bernoktah sederhana sampai berhalaman sangat kecil (61), dijumpai pula serat bersekat (65) dan serat tidak bersekat (66), tebal dinding serat tipis hingga tebal (69), panjang serat 1042.84 (1025.95-1060.25) µm (72). Saluran interseluler: tidak ditemukan. Inklusi mineral: kristal prismatik dan kristal butiran pasir ditemukan dalam sel baring (138 dan 153).
239
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
(a)
(b)
(c)
Gambar2Penampanglintang (a), radial (b), dantangensial (c) kayuBalikAngin (A. excelsa, 200x) Dimensi Serat dan Nilai Turunan Dimensi Serat Dimensi serat Hasil penelitian diperolehrata-rata panjang serat kayu Balik Angin dari pohon yang berdiameter kecil, sedang, dan besar masing-masingnya 1060.25 µm, 1040.32 µm, dan 1025.95 µm. Gambar 3 menunjukkan bahwa serat terpendek terdapat pada riap tumbuh pertama dekat empulur (RT-1), sedangkan serat terpanjang terdapat pada RT-5 dan RT-6 (dekat kulit). Panjang serat yang cenderung terus meningkat dari empulur ke kulit menandakan bahwa kayu masih dalam kondisi juvenil (Bowyer et al. 2007). Akan tetapi pada pohon berdiameter sedang dimungkinkansudah dimulai terjadinya masa transisi dari kayu juvenil ke kayu dewasa pada RT-5. Untuk kepastiannya dibutuhkan penelitian tersendiri.
Gambar 3 Variasipanjangseratdariempulurhinggakekulitpadaketigaukuran diameter Tabel 1 memuathasilpengukurandimensiseratkayu Balik Angin yang diteliti.Denganukuranpanjangserat ratarata sebesar 1042.84 µm, makasecarakeseluruhankayuinimasukkayuberseratsedang (kualitas II) untukbahanbaku pulp dankertassebagaimanaRachmandanSiagian (1976). Panjangseratkayu Balik AnginlebihpanjangdariseratAcacia mangium yang diteliti oleh Sahriet al. (1993). Denganukuran diameter serat rata-rata sebesar 23.23 µm, makakayu Balik Anginmasukkategorikayudenganseratberdiametersedangsebagaimana Casey (1980) dalamSupartinidanDewi (2010).Rata-rata tebaldindingserat yang diperolehsebesar 4.45 µm danberdasarkan IAWA (2008) tergolongkedalamseratberdinding tipis hinggatebal.Diameter lumen kayu Balik Angin yang ditelitiberkisarantara 13.4015.42 µm.
240
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1 Dimensi serat kayu Balik Angin (A. excelsa) padaketigaukuran diameter Parameter
ØKecil
ØSedang
ØBesar
Panjangserat (µm)
1060.25
1040.32
1025.95
Diameter serat (µm)
23.48
23.18
23.04
Diameter lumen (µm)
15.42
14.19
13.40
Tebaldinding (µm)
4.03
4.50
4.82
Nilai turunan dimensi serat Tabel 2 memuat nilai turunan dimensi serat kayu Balik Angin. Bilangan Runkel, daya tenun, dan kekakuan serat tergolong jelek (kualitas III), sedangkan fleksibilitasnya tergolong sedang (kualitas II). Selain itu, Muhlstep ratio yang dihasilkan tergolong sedang hingga jelek (kualitas II-III). Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kualitas serat kayu balik angin berkisar II-III. Namun demikian dengan bilangan Runkel yang > 0.25, maka kayu Balik Angin kurang cocok sebagai bahan baku pulp dan kertas. Tabel 2 Nilai turunan dimensi serat pada masing-masing disk Parameter Panjangserat (µm) Runkel ratio Felting power Muhlstep ratio Flexibility ratio Coefficient of rigidity Total Kelas
ØKecil
ØSedang
ØBesar
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
1060.25 0.63 45.68 56.32 0.66 0.20 -
50 25 25 50 50 25 225
1040.32 0.68 45.58 61.80 0.61 0.19 -
50 25 25 25 50 25 200
1025.95 0.82 46.23 66.97 0.57 0.22 -
50 25 25 25 50 25 200
II
III
III
SifatFisis Sifat fisis yang ditelititerdiridarikadar air (KA), kerapatan, danberatjenis (BJ)kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KA kayu pada pohon berdiameter kecil (13.28%) setara dengan pohon yang berdiameter besar (13.05%),sedangkan KA kayu dari pohon yang berdiameter sedang yaitu (12.77%) (Tabel 3). Perbedaan KA terkait dengan kondisi sel penyusun pada masing-masing contoh uji. Secara umumnilai KA kayu Balik Angin yang diteliti masuk dalam kisaran nilai KA kondisi kering udara untuk iklim di Indonesia (Hidayati dan Siagian 2012). Kerapatankayumerupakanperbandinganantaramassaatauberatkayudenganvolumenya pada kondisi yang sama yang dinyatakandalam kg/m3 atau g/cm3(Bowyer et al.2007).Dari hasilpengukurandiperoleh nilai rata-rata kerapatankayupada diameter kecilsebesar 0.46 g/cm3, sedangkanpada diameter sedangdanbesarmasing-masingnya 0.48 g/cm3dan 0.54 g/cm3. Tidak terdapat pengaruh ukuran diameter batang terhadap nilai kerapatan kayu. Dengan demikian, maka rata-rata kerapatankayunya adalah 0.49 g/cm3. BJ kayu Balik Angin yang diteliti pada pohon yang berdiameter kecil, sedang dan besar masing-masing sebesar 0.40, 0.43 dan 0.47. Menurut Martawijaya et al. (1981), dengan nilai BJ kayu yang demikian maka kayu Balik Angin termasuk dalam Kelas Kuat III. Tabel 3 Sifat fisis kayu Balik Angin pada ketiga ukuran diameter Sifat Fisis Kadar Air (%) Kerapatan BeratJenis
(g/cm3)
ØKecil
ØSedang
ØBesar
13,28
12,77
13,05
0,46
0,48
0,54
0,40
0,43
0,47
241
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sudut Mikrofibril (Microfibril Angle/MFA) MFA merupakan orientasi mikrofibril selulosa pada dinding sekunder khususnya pada lapisan S2 terhadap orientasi longitudinal sel serabut (Walker dan Butterfield 1995, Donaldson 2008, Tabet dan Aziz 2010). Mikrofibril tak lain adalah benang-benang selulosa yang tersusun rapi dengan ikatan β (1-4)-D-glucopyranose (Hori et al. 2003). Jordan et al. (2006) menyatakan bahwa MFA dapat bervariasi menurut jenis, dalam pohon pada jenis yang sama tetapi berbeda tempat tumbuh, serta antar bagian pohon. MFA juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Donaldson 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai MFA kayu Balik Angin yang diteliti bervariasi. Pada kayu yang berasal dari pohon yang berdiameter kecil rata-rata MFAnya sebesar 17.5˚, sedangkan pada kayu yang berdiameter sedang dan besar masing-masing 16.5˚ dan 17.3˚. Nilai yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan MFA hardwood. Menurut Donaldson (2008), MFA hardwood pada umumnya sekitar 20˚.
Gambar 4 Variasi radial MFA kayu Balik Angin dari empulur hingga ke kulit pada ketiga ukuran diameter Variasi radial MFA pada kayu Balik Angin yang diteliti tidak mengikuti pola umum yang ada (Gambar 4).Variasi radial MFA hasil penelitian ini relatif kecil (<1˚) bahkan dapat dikatakan tidak ada, kecuali pada RT-2 dan RT-6 untuk kayu yang berasal dari pohon yang berdiameter kecil. Menurut Bowyer et al. (2007); Ishiguri et al. (2012), MFA pada umumnya berkurang dari empulur ke arah kulit. Tingginya MFA di bagian yang dekat empulur terkait dengan elastisitas batang yang dibutuhkan untuk menahan arah angin maupun faktor lingkungan yang lainnya sebagaimana Tabet dan Aziz (2010). Abnormalitas ini diduga terkait dengan kondisi pertumbuhan yang dialami pohon sebagaimana Zhang et al. (2011) dimana variasi radial MFA pada kayu Simarouba amara, Carapa procera dan Symphonia globulifera yang diteliti meningkat dari empulur ke kulit. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan, dimana tegakan yang sangat rapat dan tumbuh sangat berdekatan satu dengan yang lainnya terhindar dari angin sehingga MFA yang dihasilkan cenderung konstan. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Hein et al. (2012) dan juga kenyataan di lapangan dimana tegakan hutan yang ada tergolong rapat. Kajian Potensi Pemanfaatan Potensi pemanfaatan kayu Balik Angin yang diteliti didasarkan pada struktur anatomi dan sifat fisis kayu hasil penelitian. Dengan corak yang dimilikinya, kayu Balik Angin berpotensi sebagai bahan baku mebel, furniture, fancy veneer, barang kerajinan dan atau produk lain yang mementingkan aspek penampilan. Ditambah lagi dengan permukaan kayu yang mengkilap, arah serat yang lurus, tekstur sedang, kesan raba halus dan MFA yang rendah (stabil). Berdasarkan kajian dimensi serat dan nilai turunan dimensi seratnya, kayu balik angin yang diteliti kurang cocok digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas karena nilai bilangan Runkelnya >0.60 meskipun termasuk Kelas Mutu II-III. Berdasarkan nilai BJ kayu, maka kayu balik angin termasuk dalam Kelas Kuat III (Martawijaya et al. 1981). Dengan demikian, maka kayu ini dapat digunakan sebagai bahan baku kayu pertukangan untuk tujuan non-struktural, kayu lapis dan papan komposit lainnya.
242
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Ciri makroskopis kayu Balik Angin antara lain: warna kayu teras light gray dan tidak berbeda dari warna bagian kayu gubalnya, bercorak dekoratif, tekstur sedang, arah serat lurus, permukaan kayu mengkilap, kekerasan sedang, kesan raba halus, dan tidak memiliki bau yang khas. 2. Ciri mikroskopis kayu Balik Anginadalah 1, 4, 7, 9, 10, 13, 22, 30, 44, 47, 53, 56, 61, 65, 66, 69, 78, 79, 93, 97, 106, 109, 138, 153 danterdapatendapanberdamardalamseljari-jarikayu. 3. Rata-rata panjang serat 1042.84 µm dan kualitas serat tergolong kelas II-III. 4. Rata-rata nilai kerapatan dan BJ kayu serta MFA masing-masing sebesar 0.49 g/cm3, 0.43 dan 17.1˚. Kayu tergolong Kelas Kuat III. 5. Berdasarkan struktur anatomi dan sifat fisis kayu yang diteliti, maka kayu Balik Angin berpotensi digunakan sebagai bahan baku produk mebel, furniture, fancyveneer, barang kerajinan dan atau produk lain yang mementingkan aspek penampilan, kayu pertukangan untuk tujuan non-struktural, kayu lapis dan papan komposit lainnya. Kayu kurang cocok untuk tujuan sebagai bahan baku pulp dan kertas bermutu tinggi. Saran Untuk melengkapi tujuan penggunaan kayu Balik Angin perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sifatmekanis, sifat kimia dan sifat pengolahannya terutama keawetan alami, keterawetan dan pengeringan kayu. DAFTAR PUSTAKA Bowyer JL, R Shmulsky, JG Haygreen. 2007. Forest Products and Wood Science An Introduction Fifth Edition. Ames IOWA (USA): Blackwell Publishing. Donaldson L. 2008. Microfibril angle: Measurement, variation, and relationship-A Review. IAWA Journal. 29(4): 345-386. Doran JC and JW Turnbull.1997. Australian Trees and Shrubs: Species for land rehabilitation and farm planting in the tropics. Canberra (AU): Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR). Hein PRG, JM Bouvet, E Mandrou, P Vigneron, B Clair, G Chaix. 2012. Age trends of microfibril angle inheritance and their genetic and environmental correlation with growth, density and chemical properties in Eucalyptus urophylla S.T. Blake Wood.Annals of Forest Science.68(4): 1-15. Hidayati F dan PB Siagian. 2012. Struktur dan sifat kayu trembesi (Samanea sama Merr.) dari hutan rakyat di Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Mapeki XIII: 228-232. Hori R, H Suzuki, T Kamiyama. 2003. Variation of microfibril angles and chemical composition implication for functional properties.Journal of Material Science Letters. 22: 963-966. IAWA. 2008. IdentifikasiKayu: Cirimikroskopisuntukidentifikasikayudaulebar. Bogor (ID): PusatPenelitiandanPengembanganHasilHutan. Ishiguri F, T Hiraiwa, K Iizuka, S Yokota, D Priadi, N Sumiasri, and N Yoshizawa. 2012. Radial variation in microfibril angle and compression properties of Paraserianthesfalcatariaplanted in Indonesia. IAWA Journal. 33(1): 15-23. Jordan L, DB Hall, A Clark, RF Daniels. 2006.Variation in loblolly pine cross-sectional microfibril angle with tree height and physiographic region.Wood and Fiber Science. 38(3): 390-398. KementerianKehutanan. 2009. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2015. Jakarta (ID): KementerianKehutanan Martawijaya A, I Kartasujana, K Kadir, SA Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Bogor (ID): BadanPenelitiandanPengembanganKehutanan, DepartemenKehutanan. Rachman AN dan RM Siagian. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia Bagian III. Laporan LPHH No. 75. Bogor (ID): Pusat LitBang HasilHutan. Sahri HM, FH Ibrahim, NA Shukor. 1993. Anatomy of Acacia mangium grown in Malaysia.IAWA Journal. 14: 245-251 Slik F. 2009. Alphitoniaexcelsa (Fenzl) Reiss.ExEndl.[Internet]. [diunduh 2013 Jun 3]. Tersediapadahttp://www.asianplant.net/Rhannaceae/ Alphitonia_excelsa.htm. SupartinidanLM Dewi. 2010. StrukturanatomidankualitasseratkayuParashoreamalaanonan (Blanco) Merr. (Dipterocarpace).Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XIII: 262-269.
243
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabet TA and FHA Aziz. 2010. Influence of microfibril angle on thermal and dynamic-mechanical properties of Acacaiamangium wood using X-Ray difraction and dynamics-mechanical test. Proceeding of the World Congress on Engineering 2010 Vol II WCW. London. Walker JCF and Butterfield BG. 1995.The importance of microfibril angle for processing industries.N.Z. Forestry:34-40. Zhang T, SL Bai, S Bardet, T Almeras, B Thibaut, J Beauchene. 2011. Radial variation of vibrational properties of three tropical woods.Journal of Wood Science57: 377-386.
244
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
ANALISIS KADAR KARBON POHON SENGON (Paraserianthes falcataria) YANG TUMBUH DI HUTAN RAKYAT Djamal Sanusi, Daud Irundu, dan Beta Putranto Abstrak Kadar karbon setiap jenis pohon atau tumbuhan berbeda-beda yang disebabkan oleh perbedaan persentase komponen kimia penyusun biomassa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar karbon yang tersimpan dalam batang sengon. Pohon sengon dari hutan rakyat di Kecamatan Kolaka Sulawesi Tenggara di tebang sebanyak 10 pohon yang berasal dari 10 kelas diameter mulai dari kelas diameter < 10 cm sampai kelas diameter > 50 cm dengan interval diameter 5 cm. Setiap pohon diambil sampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung batang serta cabang masingmasing sebanyak 100 gram untuk dibuat serbuk dengan ukuran 40-60 mesh. Serbuk dari 10 pohon masing-masing dicampur sesuai dengan bagian batang tersebut. Serbuk dikeringkan pada suhu 80 0C selama 48 jam, kemudian diambil sebanyak 2 gram untuk menetukan kadar karbonnya melalui pemanasan tanpa oksigen pada suhu 300 0C selama 1 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar karbon rata-rata pada bagian pangkal batang sebanyak 47,2 %, bagian tengah batang sebanyak 46,68%, bagian ujung batang sebanyak 46,63%, dan cabang sebanyak 45,9%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi posisi dalam batang sampai cabang kadar karbon cenderung menurun. Secara keseluruhan kadar karbon rata-rata pohon sengon yang berdiameter < 10 cm sampai > 50 cm sebanyak 46,83%. Kata Kunci : Kadar karbon, pangkal, tengah, ujung, cabang. PENDAHULUAN Pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya suhu bumi akibat efek gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O), cholorofluoro carbon (CFC). Gas rumah kaca dalam atmosfer dapat ditembus oleh sinar matahari bergelombang pendek. Setelah sampai di permukaan bumi, sinar matahari tersebut dipancarkan kembali dalam bentuk panas berupa sinar infra merah yang merupakan sinar gelombang panjang. Sinar infra merah ini diserap oleh gas tersebut dalam atmosfer sehingga tidak lepas ke angkasa, akibatnya suhu permukaan bumi naik dan hal inilah yang disebut efek rumah kaca. Gas-gas tersebut cenderung meningkat dan oleh karena itu dikhawatirkan intensitas efek rumah kaca akan naik dan suhu permukaan bumi pun akan menjadi lebih tinggi dari pada sekarang atau disebut juga bumi mengalami pemanasan global. Efek rumah kaca terjadi pada saat revolusi industri tahun 1700, kandungan karbondioksida di atmosfer 280 ppm. Pada tahun 1958 terjadi peningkatan menjadi 315 ppm, tahun 2004 sebesar 378 ppm, tahun 2005 sebesar 379 ppm, dan tahun 2007 meningkat menjadi 383 ppm yang mengindikasikan bahwa iklim mendekati titik kritis yang berbahaya (Tomecek, 2012). Adanya peningkatan kandungan karbondioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini memengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk mempertahankan keberadaan hutan yang dapat dianggap sebagai penyangga terhadap kandungan karbon sehingga para ilmuwan meneliti kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan (Salim, 2006). Salah satu jenis tanaman hutan yang banyak dikembangkan oleh masyarakat melalui pembangunan hutan rakyat adalah sengon. Sengon merupakan tanaman cepat tumbuh dan dapat tumbuh derngan baik pada berbagai jenis tanah termasuk tanah kurang subur pada ketinggian tempat tumbuh 0-800 m di atas permukaan laut. Iskandar (2006) mengemukakan bahwa sengon merupakan pohon serbaguna yang berharga untuk daerah tropis beriklim lembab. Jenis ini juga merupakan salah satu jenis yang dapat digunakan sebagai kayu pulp, kayu bakar, pohon hias, naungan, pakan ternak, dan produk kayu lainnya. Martawijaya at al. (1992) mengemukakan bahwa pohon sengon dapat mencapai tinggi 40 m dengan batang bebas cabang 10-30 m, diameter dapat mencapai 80 cm, kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Kayu teras berwarna hampir putih atau coklat muda, sedangkan warna kayu gubal tidak jauh berbeda dengan warna kayu teras. Berat jenis kayu sengon antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33 termasuk kayu lunak dengan kelas kuat IV-V. Komponen kimia kayu sengon terdiri atas selulosa 49,4%, lignin 26,8 %, pentosan 15,6%, kelarutan dalam alkohol benzen 3,4%, kelarutan dalam air dingin 3,4%, kelarutan dalam air panas 4,3%, kelarutan dalam 1% NaOH 19,6%, abu 0,6% dan silika 0,2%. Kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon tidak sama baik di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa, maupun di hutan rakyat, tergantung dalam jenis pohon, tipe tanah dan topografi. Oleh karena
245
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI itu, informasi mengenai karbon tersimpan dari berbagai tipe hutan, jenis pohon, jenis tanah, dan topografi di Indonesia sangat penting. Saat ini sumber data yang komprehensif tentang karbon tersimpan diberbagai tipe ekosistem hutan dan penggunaan lahan lain masih terbatas (Masripatin, dkk. 2010). Sekitar 50% dari biomassa hutan adalah karbon sehinngga tanaman merupakan penaksir gudang karbon dalam hutan. Biomassa menunjukkan jumlah potensial karbon yang dapat dilepas ke atmosfer sebagai karbondioksida ketika hutan ditebang atau dibakar. Sebaliknya melalui penaksiran biomassa dapat dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari atmosfer dengan cara reboaisasi atau dengan penanaman. Dengan demikian karbondioksida yang ada di atmosfer dapat diserap kembali melalui proses fotosintesis (Brown, 1997). Setiap jenis kayu memiliki kadar karbon yang berbeda-beda baik antar pohon dalam satu jenis tergantung pada umur pohon dan lokasi tempat tumbuh, bahkan dalam satu pohon kadar karbon juga berbeda menurut posisi ketinggian dalam batang. Sean at al. (2012) mengemukakan bahwa kadar karbon kayu sangat bervariasi antar jenis kayu mulai dari 41,9-51,6% pada jenis yang tumbuh di daerah tropis, 45,7-60,7% pada jenis yang tumbuh di daerah subtropis, dan 43,455% pada jenis yang tumbuh di daerah temperate (daerah beriklim 4 musim). Kadar karbon pohon Acacia crassicarpa yang tumbuh di lahan gambut Propinsi Riau pada umur 2-5 tahun menunjukkan kadar karbon yang berbeda-beda pada batang, cabang, ranting, daun, dan akar baik pada tanaman berumur 2, 3, 4, dan 5 tahun. Kadar karbon pada batang masing-masing umur tersebut sebesar 50,27%, 55,57%, 57,78%, dan 60,20%. Kadar karbon pada cabang masingmasing sebesar 43,67%, 48,3%, 49,98%, dan 55,57%. Kadar karbon pada ranting masing-masing sebesar 43,1%, 41,55%, 48,28%, dan 51,91%. Kadar karbon pada daun masing-masing sebesar 37,02%, 40,35%, 43,59%, dan 52,43%. Kadar karbon pada akar masing-masing sebesar 37,28%, 40,95%, 43,59%, dan 46,26% (Yuniawati, dkk. 2011). METODE Pohon sengon yang tumbuh di hutan rakyat Kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara diambil sampel sebanyak 10 pohon yang dipilih berdasarkan metode purposive sampling dengan mempertimbangkan variasi kelas diameter pohon. Setiap pohon sampel yang berasal dari setiap kelas diameter mulai kelas diameter <10 cm sampai kelas diameter >50 cm dengan interval diameter 5 cm ditebang kemudian diukur diameter dan tinggi total pohon. Setiap pohon yang telah ditebang diambil lempengan pada bagian pangkal, tengah, ujung, dan cabang masing-masing sebanyak 100 gram untuk dibuat serbuk berukuran 40-60 mesh. Serbuk dari 10 pohon masing-masing dicampur sesuai dengan bagian batang dan cabang. Serbuk dikeringkan dalam tanur pada suhu 80 0C selama 48 jam. Serbuk yang telah kering ditimbang sebanyak ± 2 gram, dimasukkan dalam cawan porselin yang berpenutup kemudian dipanaskan dalam tanur pada suhu 300 0C selama 60 menit pada kondisi tanpa oksigen. Serbuk yang telah dipanaskan dikondisikan lalu ditimbang untuk mengetahui berat yang tersisa. Sisa pemanasan yang terdiri atas berat karbon dan berat abu dimasukkan kembali ke dalam tanur untuk dibakar pada suhu 750 0C selama 6 jam untuk menentukan berat abu. Pengukuran kadar karbon diulang sebanyak 4 kali baik pada sampel bagian pangkal, tengah, ujung, dan cabang. Kadar karbon dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Keterangan: A = Berat kering tanur serbuk kayu (g). B = Berat contoh uji setelah pemanasan pada suhu 300 0C selama 60 menit (g). C = Berat abu (g). Volume batang = luas bidang dasar pangkal (m²) x tinggi total pohon (m) x 0,5. Biomassa = volume batang (m³) x kerapatan kayu (kg/m³). Karbon tersimpan = kadar karbon (%) x biomassa (kg).
246
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan kadar karbon bagian pangkal, tengah, dan ujung batang serta cabang dari sampel yang diulang 4 kali dirata-ratakan. Kadar karbon rata-rata keempat bagian tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data pada Lampiran 1, dibuat histogram kadar karbon rata-rata seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kadar karbon bagian pangkal sebesar 47,20%, bagian tengah sebesar 46,68%, dan bagian ujung sebesar 46,63%. Kadar karbon rata-rata bagian pohon sengon sebesar 46,83% dan cabang sebesar 45,90%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi posisi ketinggian dalam batang kadar karbon cenderung menurun. Tingginya kadar karbon pada bagian pangkal disebabkan oleh tingginya persentase kayu terasnya. Semakin tinggi posisi ketinggian dalam batang persentase kayu teras semakin rendah termasuk cabang.
Gambar 1.
Histogram Kadar Karbon Rata-rata Bagian Pangkal, Tengah, Ujung, dan Cabang Pohon Sengon.
Telah diketahui bahwa kayu teras mengandung ekstraktif lebih tinggi daripada kayu gubalnya. Ekstraktif mengandung karbon lebih dari 70% bila dibanding dengan selulosa yang hanya mengandung karbon sebesar 44,4%. Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa kadar karbon pohon muda lebih rendah daripada kadar karbon rata-rata (46,83) dan kadar karbon pohon tua lebih tinggi daripada kadar karbon rata-rata (46,83). Kadar karbon kayu daun jarum diperkirakan lebih tinggi daripada kadar karbon kayu daun lebar, karena kayu daun jarum pada umumnya mengandung ekstraktif yang lebih tinggi bila dibanding dengan kayu daun lebar. Menurut Sean at al. (2012), bahwa kadar karbon batang juga sangat bervariasi antar jenis konifer dan angiospermae yaitu 50,8 ± 0,7% untuk jenis konifer dan 47,7 ± 0,3% untuk angiospermae. Biomassa pohon sengon dari 10 kelas diameter dapat diketahui melalui perhitungan volume dan kerapatan kayu. Dari hasil perhitungan biomassa dapat diketahui karbon tersimpan setiap kelas diameter seperti disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan data pada Lampiran 2, dibuat hubungan antara diameter pohon setinggi dada dan karbon tersimpan (Gambar 2), hubungan antara tinggi total pohon dan karbon tersimpan (Gambar 3), dan hubungan antara volume pohon dan karbon tersimpan (Gambar 4). Karbon tersimpan terendah sebesar 2,16 kg terdapat pada pohon berdiameter 7,64 cm dan karbon tersimpan tertinggi sebesar 446,40 kg terdapat pada pohon berdiameter 56,69 cm. Pohon yang berdiameter 7,64, 12,74, dan 18,47 cm mengandung karbon tersimpan masing-masing sebesar 2,16, 10,53, dan 28,76 kg. Pohon yang berdiameter 22,42 dan 26,21 cm mengandung karbon tersimpan masing-masing sebesar 47,87 dan 67,92 kg. Pohon yang berdiameter 31,75 dan 36,31 cm mengandung karbon tersimpan masing-masing sebesar 116,83 dan 155,16 kg. Pohon yang berdiameter 41,72, 48,73, dan 56,69 cm mengandung karbon tersimpan masing-masing sebesar 228,04, 328,40, dan 446,40 kg. Berdasarkan Gambar 2, karbon tersimpan setiap diameter pohon sengon dapat dihitung dan bahkan besarnya karbon tersimpan pada suatu areal hutan sengon dapat diprediksi.
247
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 2. Kurva Hubungan antara Diameter Pohon Setinggi Dada dan Karbon Tersimpan. Hubungan antara tinggi total pohon dan karbon tersimpan dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan pola yang sama dengan Gambar 2. Semakin tinggi pohon, karbon tersimpan semakin besar. Pohon dengan tinggi 6,1, 10,7, 13,9, 15,7, dan 16,3 m mengandung karbon tersimpan masing-masing sebesar 2,16, 10,53, 28,76, 47,87, dan 67,92 kg. Pohon dengan tinggi 19,1, 19,4, 21,6, 22,8, dan 22,9 m mengandung karbon tersimpan masing-masing sebesar 116,79, 155,14, 228,04, 328,40, dan 446,40 kg.
Gambar 3. Kurva Hubungan antara Tinggi Total Pohon dan Karbon Tersimpan. Hubungan antara volume pohon dan karbon tersimpan dapat dilihat pada Gambar 4 yang menunjukkan hubungan garis lurus. Semakin tinggi volume pohon semakin besar karbon tersimpan yang dikandungnya. Volume pohon terendah sebesar 0,014 m³, mengandung karbon tersimpan sebesar 2,16 kg dan volume pohon tertinggi sebesar 2,889 m³ mengandung karbon tersimpan sebesar 446,40 kg.
248
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 4. Kurva Hubungan antara Volume Pohon dan Karbon Tersimpan.
1.
KESIMPULAN Kadar karbon pohon sengon yang berdiameter terkecil (7,64 cm) sampai diameter terbesar (56,69 cm) dari sepuluh pohon yang dijadikan sampel rata-rata 46,83%.
2.
Kadar karbon pohon muda lebih rendah daripada kadar karbon rata-rata sedangkan kadar karbon pohon tua lebih tinggi daripada kadar karbon rata-rata.
3.
Dengan mengetahui diameter pohon dan tinggi total pohon dapat dihitung besarnya karbon tersimpan setiap pohon.
DAFTAR PUSTAKA Brown, S., 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: A Primer FAO Forestry Paper No.134, Rome. Ganeshaiah, K., N. Barve, K. Chandrashekara, M. Swamy, and R.U. Shaanker, (2003). Carbon Allocation in Different Components of Some Tree Species of India: A New Approach for Carbon Estimation: Current Science, Vol. 85 No. 11. Iskandar, M. I, 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Sengon (Paraserianthes falkataria) untuk Kayu Rakitan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, 183-195. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., Prawira, S.A., 1992. Indonesian Word Atlas Volume II. Departement of Forestry, Agency for Forestry Research and Development Forest Products Research and Development Centre, Bogor Indonesia Masripatin, N., Kirsfianti, G., Ari, W., Wayan, S.D., Chairil, A.S, Mega, L., Indartik., Wening, W., Niken, S., Retno, M., Gustan, P., Dana, A., Bayu, S., Dyah, P., dan Arief, S. U. 2010. Pedoman Pengukuran Karbon untuk Mendukung Penerapan REDD di Indonesia. “Guidance for Carbon Measurement to Support REDD Implementation in Indonesia”. Tim Perubahan Iklim. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. Salim, 2005. Profil Kandungan Karbon pada Tegakan Puspa (Schima wallichii Korth) Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sean. C. Thomas, and Adam R. Martin, 2012. Carbon Content of Tree Tissues: A Synthesis Forests 2012, 3, 332-352; doi ; 10.3390/f3020332, www.mdpi.com/journal/forests. Tomecak, S. M., 2012. Science Fundations Global Warming and Climate Change. Chelsea House An Imprint of Infobase Learning 132 West 31st Street New York, NY10001.
249
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Yuniawati, Ahmad Budiman, dan Elias, 2011. Estimasi Potensi Biomassa dan Massa Karbon Hutan Tanaman Acacia crassicarpa di Lahan Gambut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol. 29 No. 4. Lampiran 1. Hasil Pengukuran Kadar Karbon Bagian Pangkal, Tengah, dan Ujung Batang, Serta Cabang. Bagian Batang A (g) B (g) C (g) B-C (g) Kadar Karbon (%) 2,10 1.03 0,03 1,00 47,62 2,08 0,99 0,01 0,98 47,12 Pangkal 2,18 1,04 0,02 1,02 46,79 2,01 0,97 0,02 0,95 47,26 2,16 1,05 0,02 1,03 47,69 2,20 1,03 0,02 1,01 45,91 Tengah 2,06 0,96 0,01 0,95 46,12 2,17 1,03 0,01 1,02 47,00 2,05 0,98 0,01 0,97 47,32 2,07 0,97 0,01 0,96 46,38 Ujung 2,01 0,95 0,01 0,94 46,77 2,02 0,94 0,01 0,93 46,04 Kadar karbon rata-rata pada batang 46,83 2,04 0,94 0,01 0,93 45,59 2,18 1,02 0,01 1,01 46,33 Cabang 2,15 1,00 0,01 0,99 46,05 2,17 1,00 0,01 0,99 45,62 Kadar karbon rata-rata pada cabang 45,90 Kadar karbon rata-rata batang dan cabang 46,60
Lampiran 2. Diameter Pohon Setinggi Dada, Tinggi Total Pohon, Volume, Biomassa, Kadar Karbon, dan Karbon Tersimpan. Diameter Biomassa Kadar karbon No. Tinggi total (m) Volume (m3) Karbon tersimpan (kg) (cm) (kg) (%) 1
7,64
6,1
0,014
4,61
46,83
2,16
2
12,74
10,7
0,068
22,49
46,83
10,53
3
18,47
13,9
0,186
61,42
46,83
28,76
4
22,42
15,7
0,310
102,22
46,83
47,87
5
26,21
16,3
0,440
145,04
46,83
67,92
6
31,75
19,1
0,756
249,39
46,83
116,79
7
36,31
19,4
1,004
331,29
46,83
155,14
8
41,72
21,6
1,476
486,96
46,83
228,04
9
48,73
22,8
2,125
701,26
46,83
328,40
10
56,69
22,9
2,889
953,24
46,83
446,40
250
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PRODUKSI MADU, PROPOLIS DAN ROTI LEBAH TANPA SENGAT , (Trigona spp) DALAM SARANG BAMBU E. Manuhuwa, M. Loiwatu, J.S.A. Lamberkabel dan Iqro Rumaf ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan diameter bambu sebagai sarang lebah Trigona spp terhadap jumlah madu, propolis dan bee bread (roti lebah) yang dihasilkan. Tiga jenis bambu yaitu bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu duri (Bambusa blumeana) dan bambu sero (Schizostachium brachycladum) sebagai sarang buatan lebah Trigona spp. Jumlah madu, propolis dan roti lebah diuji secara statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap 2 (dua) faktor dan 3 (tiga) ulangan. Hasil penelitian menunjukkan jenis dan diameter bambu tidak berpengaruh terhadap jumlah madu. Diameter bambu perpengaruh terhadap jumlah propolis. Jenis dan diameter bambu berpengaruh terhadap jumlah bee bread (roti lebah). Produksi madu sebanyak 5,1 gr – 27,9 gr; propolis sebanyak 7 gr – 22,3 gr dan bee bread (roti lebah)sebesar 3,5 gr – 20,1 gr. Kata Kunci : Trigona spp, Madu, Bee Propolis, Bee Bread
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki ciri hutan tropis yang khas dengan potensi sumberdaya alam hayati yang cukup tinggi. Sebagai salah satu sumber kekayaan alam, maka hutan menghasilkan berbagai hasil hutan berupa kayu maupun bukan kayu. Salah satu dari hasil hutan bukan kayu adalah bambu dan serangga berguna lebah madu ( Apis sp ). Lebah madu adalah serangga sosial yang termasuk dalam Ordo Hymenoptera dan Family Apidae yaitu serangga yang dapat menghasilkan ; madu, royal jelly, bee propolis, bee pollen, bee wax, bee bread dan bee venom. Lebah madu tanpa alat sengat Trigonaspp sebelumnya tidak populer karena hasil madunya rendah namun kini menjadi populer sebab mampu menghasilkan bee propolis yang memiliki multi khasiat. Negeri Hila merupakan salah satu Negeri di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah mempunyai peluang untuk melakukan budidaya lebah madu Trigona spp sebab selain telah ditemukan lebah madu lokal Trigona sp juga memiliki tanaman sumber getah (Bintanggur, Katapang, Nangka, Sukun dan lainnya ) yang berfungsi sebagai bahan penghasil propolis ( Lamerkabel, 2007). Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “ Bambu Sebagai Media Sarang Lebah Lokal ( Trigona spp) Terhadap Produksi Madu, Bee Propolis dan Bee Bread” 1.2.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi maksimum lebah lokalTrigona spp dari jenis dan diameter bambu sebagai media sarang. 1.3.
Manfaat Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan informasi bagi masyarakat sekitar hutan, pemerhati lebah, peneliti dan instansi pemerintah tentang penggunaan bambu sebagai media tempat bersaranglebah madu lokal Trigona spp untuk memproduksi madu, bee propolis dan bee bread.
251
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah pada bulan Juni 2012 sampai Januari 2013. Lokasi Penelitian sebagai berikut :
(a) (b) (c) Gambar 1. Sarang Bambu Untuk Media Budidaya Lebah Trigona spp Di Lokasi Penelitian a) Rumah Sarang Lebah Dari Bambu (b) Sarang Lebah Pada Beberapa Jenis Bambu (c) Aktivitas Lebah Pada Lubang Masuk Bambu Petung 3.2. Alat dan bahan a. Alat :Alat yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut : Parang, Gergaji, Palu, Sendok,. Topi, masker, sarung tanggan, rumah untuk areal budidaya dan alat tulis menulis b. Bahan :Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :Koloni Trigona spp, Bambu Duri (Bambusa bambos (L) vogas), Bambu Petong (Dendrocalamus asper), dan Bambu Sero (Schizostachyium brachycladum ) sebagai media sarang, Karet (ban dalam sepeda motor) berfungsi mengikat bambu, Air untuk menghindari serangan Trigona spp, Tembakau untuk menjinakan koloni Trigona sppdantelur dari habitat alam ke dalam media bambu 3.3. Metode Penelitian:Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (Gaspersz, 1989), dengan 2 percobaan faktorial yaituJenis Bambu(Faktor A) dan Kelas Diameter (faktor B), dimana masing masing perlakuan mandapat 3 ulangan. Faktor A dengan satuan percobaan yaitua1 = Bambu Duri (Bambusa bambos (L) Voss), a2 = Bambu Petong (Dendrocalamus asper), a3 = Bambu Sero (Schizostachyium brachycladum) sedangan factor B dengan satuan percobaan yaitub1 = Kelas diameter 11-14 cm, b2 = Kelas diameter 6 – 9 cm.Apablia hasil analisa keragaman berpengaruh maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) untuk melihat hubungan antara masing – masing perlakuan.Parameter yang analisis yaitu jumlah produksi madu, bee propolis dan bee bread, HASIL DAN PEMBAHASAN Lebah Trigona termasuk lebah lokal tanpa sengat yang beraktivitas pada suhu 18 oC sampai 35oC (Anonim, 2004). Suhu ruangan di sekitar lokasi penelitian berkisar antara 22 oC- 31 oC. Aktivitas lebah akan menurun apabila suhu lingkungan dibawah 18oC dan diatas 35oC. Lebah trigona menghasilkan panas dari dalam tubuhnya. Saat musim bunga, jumlah koloni akan meningkat. Koloni yang besar akan meningkatkan suhu dalam rongga bambu. Kondisi yang terlalu panas mengakibatkan aktivitas lebah trigona akan menurun. Diameter bambu besar mempunyai ruang yang longgar. Ruang yang longgar akanmembuat suhu didalamnya cepat turun. Diameter bambu besar mampu menghindarkan lebah trigona dari kepanasan dibandingkan dengan diameter bambu sedang dan diameter bambu kecil. Suhu yang terlalu dingin membuat aktivitas lebah trigona menurun. Lebah trigona menjaga panas dengan cara membentuk gerombolan. Saat suhu terlalu dingin lebah trigona sppdisibukkan untuk menjaga suhu tubuhnya, sehingga membuat aktivitasnya berkurang. Diameter bambu kecil mempunyai ruang yang sempit. Ruang yang sempit akan membuat suhu didalamnya meningkat. Diameter bambu kecil mampu menjaga suhu didalamnya tetap hangat (Abdilah, 2008)
252
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Produksi Madu Lebah Trigona spp yang hidup menggunakan media bambu dapat memproduksi madu dengan kisaran antara 5,1 – 27,9 gr selama 111 hari. Produksi lebah terendah terdapat pada jenis bambu petong (Dendrocalamus asper) dengan kelas diameter 6 – 9 cm(a2b2) sebesar 8,5 gr sedangkan tertinggi terdapat pada perlakuan jenis bambu Bambu Duri (Bambusa bambos (L) Voss)dengan kelas diameter 11-14 cm (a3b1) sebesar 16,9 gr. Lebah sangat peka terhadap sarang yang digunakan sebagai media tempat produksi baik jenis bambu maupun kelas diameter. Bambu duri memiliki ketebalan dinding yang lebih tebal jika dibandingkan dengan kedua jenis bambu lainnya.Dinding yang tebal membuat lebah lebih aktif dalam memproduksi madu dan aktifitas lainnya.Di dalam rongga bambu atau media sarang lainnya maupun lingkungan lokasi sekitar yang digunakan sebagai aktivitas produksi lebah sangat dipengaruhi oleh suhu. Mahani, Karim dan Nujan (2011), tidak sembarang lokasi disukai lebah Trigona spp. Umumnya, lebah Trigona menyukai daerah dengan suhu 26-34°C, baik suhu di luar maupun suhu didalam ruangan. Pada suhu di bawah 10°C, lebah tidak bisa terbang. Sebaliknya, pada suhu lebih tinggi, lebah merasa tidak nyaman sehingga mereka lebih agresif.Didalam sarang bambu, lebah beraktivitas untuk melakukan pembuatan sisiran sarang dengan komponen-komponennya, pemeliharaan telur, larva dan pupa, penyediaan makanan ratu dan jantan, menyisir dan merawat ratu, mempertahankan koloni terhadap serangan musuh, mengatur temoperatur dan kelembapan dalam sarang, mematangkan dan menyimpan madu.Diluar sarang bambu, lebah trigona beraktivitas untuk mencari makan dan bahan untuk membangun sarang, (Sihombing, 2005).Secara rinci produksi madu dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Jumlah Produksi Madu (gr) Berdasarkan Jenis dan Kelas Diamater Bambu Ulangan Perlakuan Jumlah Rerata 1 2 3 a1 b1 8,7 9,2 15,1 33,0 11,0 b2 15,6 21,7 13,6 50,9 16,9 Sub Total a1 24,3 30,9 28,7 83,9 27,9 a2 b1 17,2 13,0 11,9 42,1 14,3 b2 5,1 5,6 15,0 25,7 8,5 Sub Total a2 22,3 18,6 26,9 67,8 22,8 a3 b1 11,0 27,9 9,0 47,9 15,9 b2 7,6 10,3 14,1 32,0 10,7 Sub Total a3 18,6 38,2 23,1 79,9 26,6 TOTAL UMUM 65,2 87,7 78,7 231,6 77,5 Madu yang dihasilkan menampilkan warna, rasa, kekentalan dan aroma yang sangat khas (Gambar 2). Hal ini disebabkan karena keragaman bunga dari berbagai vegetasi yang ada di sekitar lokasi sebagai pakan lebah.
Gambar 2. Produksi Madu Dari lebah Trigonasp Selama Kegiatan Penelitian PadaJenis Bambu Duri (a), Bambu Petong (b) dan Bambu Sero (c) Total produksi madu dalam penelitian ini adalah sebesar 231,6 gr. Lebah Trigona lebih diprioritaskan untuk memproduksi propolis jika dibandingkan dengan madu dan bee bread.Hasil analisa sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi madu(gr) terdapat pada Tabel 2 di bawah ini.
253
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Hasil Analisa Jumlah Produksi Madu (gr) SK
DB
JK
KT
F Hitung
F Tabel 5% 1% 3,88 4,75 3,49
Jenis Bambu (A) 2 21,12 10,56 0,34tn 6,93 Kelas Diameter (B) 1 9,21 9,21 0,30tn 9,33 Interaksi (AB) 2 131,15 65,58 2,10tn 5,95 Galat 12 375,73 31,32 Total 17 537,21 tn = tidak nyata Perlakuan jenis bambu maupun kelas diameter tidak menujukkan hubungan yang nyata terhadap produksi madu dari lebah Trigona spp. Hal ini disebabkan ketiga jenis bambu memiliki ruang yang cocok sebagai media produksi madu. Ruang yang dipengaruhi kelas diameter dan ketebalan dinding bambu menghasilkan suhu ruangan yang tidak terlalu berbeda dan masih dalam batas toleransi untuk hidup dan berproduksi lebah Trigona spp. 5.1.2. Produksi Bee Propolis Propolis termasuk senyawa yang terbentuk dari liur lebah dengan getah dari pepohonan.Lebah Trigon spp termasuk lebah tanpa sengat yang memproduksi bee propolis dengan kuantitas dan kualitas yang sangat tinggi jika dibandingan dengan lebah lainnya.Kisaran produksi bee propolis dalam penelitian ini yaitu 7,0 - 22,3 gr. Produksi bee propolis lebah Trigona spp dengan media tiga jenis bambu dan kelas diameter disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.Jumlah Produksi Bee Propolis (gr) Berdasarkan Jenis dan Kelas Diamater Bambu Ulangan Perlakuan Jumlah Rerata 1 2 3 a1 b1 11,2 7,4 11,1 29,7 9,9 b2 16,5 22,3 15,5 54,3 18,1 Sub Total a1 27,7 29,7 26,6 84,0 28,0 a2 b1 10,8 10,0 11,5 32,3 10,8 b2 11,0 15,2 14,4 40,6 13,5 Sub Total a2 22,8 25,2 25,9 72,9 24,3 a3 b1 7,0 13,0 10,1 30,1 10,4 b2 10,0 16,2 11,8 33,6 12,6 Sub Total a3 17 29,2 21,9 68,1 22,7 TOTAL UMUM 67,5 84,1 74,4 225,0 75,0 Berdasarkan jenis bambu rata-rata tertinggi pada jenis Bambu Duri (Bambusa bambos (L) Voss) yaitu 14,0 gr dan terendah pada jenis Bambu Sero (Schizostachyium brachycladum) sebesar 11,4 gr. Berdasarkan kelas diameter, tertinggi pada kelas diameter 6 - 9 cm(b2) yaitu 14,7 gr dan terendah pada kelas diameter 11-14 cm yaitu sebesar10,4 gr. Kelas diameter yang kecil atau ruang yang kecil berpeluang memberikan suhu atau kenyaman dalam memproduksi bee propolis dalam jumlah yang banyak dan lebah dapat berproduksi yang maksimal jika dibandingkan dengan diameter yang besar.Propolis dari lebah Trigona spmemiliki karakteristik fisik kepadatan seperti plastis, liat dan lengket dengan warna gelap (coklat kehitaman) hingga warna yang agak terang (kuning kemerahan). Cara panen propolis pada lebah Trigona spsedikit lebih sulit jika propolis menyatu dengan sarang atau menyebar.
254
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 3. Produksi Bee Propolis Dari lebah Trigonasp Selama Kegiatan Penelitian Pada Jenis Bambu Duri (a), Bambu Petong (b) dan Bambu Sero (c) Jika diamati, karakteristik fisik padatan trigona yaitu plastis, liat dan lengket dan jika disimpan pada suhu rendah propolis dan lebah trigona dapat bertahan jika dibandingkan dengan lebah apis mellifera. Pada suhu tinggi (70oC) propolis berubah fase dari padar menjadi cair, (Suputa dan Arminudin, 2007). Warna propolis labah trigona justru beragam, mulai dari warna gelas (cokelat kehitaman) hingga warna yang agak terang (kunging kemerahan), Gambar 3. Total jumlah produksi bee propolis(gr) selama kegiatan penelitian sebesar 225,0 gr. Berdasarkan hasil uji pengaruh diameter bambu (B) terhadap jumlah produksi bee propolis pada tabel 3 terlihat bahwa nilai rata-rata jumlah produksi (gr) propolis tertinggi dihasilkan oleh bambu berdiameter kecil (b 2) adalah 44,2 gr , jumlah produksi (gr) propolis terendah dihasilkan oleh bambu diameter besar (b1) adalah 31,1 gr. Jumlah produksi propolis (gr) pada bambu diameter kecil (b2) berbeda Nyata dengan jumlah produksi (gr) propolis pada bambu diameter besar (b 1). Hal ini menunjukan bahwa lebah strata pekerja dari jenis Trigona sp lebih tertarik untuk menyimpan propolis pada media sarang bambu diameter kecil. Diduga karena suhu dalam bambu diameter kecil adalah suhu optimal sehingga mendukung proses penyimpanan bee propolis, hal ini terlihat banyaknya lebah strata pekerja lapang membawa bee propolis pada tungkai kaki belakang sehingga jumlah produksi bee propolis meningkat. Sedangkan bambu diameter besar memiliki ruang yang luas, sehingga diduga suhu menjadi minimal dan kondisi ini tidak mendukung aktivitas strata pekerja , hal ini terlihat dengan hanya sedikit lebah strata pekerja lapang membawa bee propolis pada tungkai kaki belakang karena banyak strata pekerja tinggal di dalam sarang mengibas sayap untuk menetralkan suhu sehingga jumlah bee propolis yang disimpan sedikit.Hasil analisa sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah produksi bee propolis terdapat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Produksi (gr) Bee Propolis SK Jenis Bambu (A) Kelas Diameter (B) Interaksi (AB) Galat Total
DB 2 1 2 12 17
JK 22,17 92,48 30,26 90,77 235,68
KT 11,09 92,48 15,14 7,57
F Hitung 1,46tn 12,22 ** 2,00tn
F Tabel 5% 1% 3,88 6,93 4,75 9,33 3,49 5,95
**= Pengaruh Sangat Nyata dan tn = tidak nyata Uji F ( Hitung ) menunjukan kelas diameter (B) berpengaruh sangat nyata dengan nilai 12,22, sedangkan yang lainnya tidak menunjukan pengaruh. Uji beda nyata jujur (BNJ) pengaruh faktor (B) dilakukan dengan memakai nilai ώ (0,05) sebesar 7,54 dan nilaiώ ( 0,01 ) sebesar 18,09. Hasil uji beda pengaruh faktor tersebut disajikan pada Tabel 5 di bawah ini.
255
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 5. Hasil Uji Beda Pengaruh Diameter Bambu (Faktor B) Terhadap Jumlah Produksi Bee Propolis(gr) PERLAKUAN
RERATA
b1(11 – 14 cm) b2(6 – 9 cm)
31,07 44,30
BEDA 13,23 *
-
*= Berbeda nyata Pada tebel 5 terlihat bahwa nilai rata-rata jumlah bee propolis terendah dihasilah oleh bambu berdiameter besar (b 1) sebesar 31,07 gr sedangkan jumlah produksi bee propolistertinggi dihasilkan oleh bambu diameter kecil (b 2) sebesar 44,30 gr. Hasil uji beda tingkat diameter bambu tersebut menunjukan bahwa jumlah produksi bee propolis pada bambu diameter kecil (b1) berbeda nyata dengan jumlah produksi bee propolis pada bambu diameter besar (b 1). Diameter bambu yang kecil memberikan peluang produksi bee propolis yang maksimum dengan kondisi suhu ruangan yang senantiasa mendukung karena tidak terlalu panas dan energy yang dikeluarkan oleh lebah tidak terlalu besar. Produksi Bee Bread Produksi bee bread dihasilkan dari lebah trigona sebagai bahan makan ratu.Produksi bee propolis sangat tergantung pada ketersediaan pakan atau tanaman berbunga yang ada disekitar lokasi.Produksi bee bread secara lengkap disajikan pada tabel 6. Tabel 6.Jumlah Produksi Bee Bread (gr) Berdasarkan Jenis dan Kelas Diamater Bambu Ulangan Perlakuan Jumlah 1 2 3 a1 b1 4,7 5,4 4,4 14,5 b2 19,7 20,1 21,3 61,1 Sub Total a1 24,4 25,5 25,7 75,6 a2 b1 3,8 3,5 5,2 12,3 b2 4,2 7,6 6,4 18,2 Sub Total a2 8,0 10,9 11,6 30,5 a3 b1 7,1 5,2 6,4 18,7 b2 5,8 6,2 14,9 26,9 Sub Total a3 12,9 11,4 21,3 54,6 TOTAL UMUM 45,3 47,8 58,6 151,7
Rerata 4,8 20,4 25,2 4,1 6,7 10,8 6,2 9,0 15,2 51,2
Total jumlah produksi (gr) bee bread selama penelitian sebesar 151,7 gr. Produksi bee bread tertinggi dihasilkan pada perlakuan a1b2 sebesar 61,1 gr dan terendah pada perlakuan a2b1 sebesar 12,3 gr. Bambu duri memiliki ketebalan batang bambu yang lebih tebal jika dibandingkan dengan bambu petong dan bambu sero, (Manuhuwa, 2008). Bambu yang tebal memberikan kondisi yang semakin baik bagi lebah untuk beraktivitas, berkembang biak dan berproduksi. Produksi bee bread didalam bambu dapat dilihat pada Gambar 4.
256
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 4. Produksi Bee Bread Dari lebah Trigona sp Selama Kegiatan Penelitian Pada Jenis Bambu Duri (a), Bambu Petong (b) dan Bambu Sero (c) Produksi bee bread dari lebah trigona sp pada beberapa jenis memperlihatkan warna kekuning-kuningan dan berbentuk bulat.Bee bread diproduksi oleh lebah pekerja yang diprioritas sebagai makan utama ratu.Hasil analisa sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah produksi (gr) terdapat pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Produksi (gr) Bee Bread SK DB JK KT F Hitung F Tabel 5% 1% Jenis Bambu (A) 2 185,76 92,88 17,29 ** 3,88 6,93 Kelas Diameter (B) 1 204,69 204,69 38,08 ** 4,75 9,33 Interaksi (AB) 2 164,15 82,08 15,26 ** 3,49 5,95 Galat 12 64,53 5,38 Total 17 619,13 **= Berpengaruh sangat nyata Uji F ( Hitung ) menunjukan semua perlakuan berpengaruh sangat nyata, namun yang paling tertinggi adalah perlakuan (B) dengan nilai 38,08. Uji beda nyata jujur (BNJ) pengaruh tunggal faktor (A) dan (B) dilakukan dengan memakai nilai Ѡ ( 0,05 ) sebesar 6,40 dan nilai Ѡ ( 0,01 ) sebesar 15,33. Hasil uji beda pengaruh tunggal kedua faktor tersebut disajikan pada tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Hasil Uji Beda Pengaruh Jenis Bambu (Faktor A)Terhadap Jumlah Produksi Bee Bread(gr) PERLAKUAN a2 a3 a1
RATA – RATA
BEDA
10,80 15.21 25,21
4,41tn 14,41 *
10,0tn
-
*= Berpengaruh nyata dan tn = tidak nyata Pada tabel 8 terlihat bahwa jumlah produksi (gr) bee bread rata - rata terendah dihasilkan oleh jenis bambu petong (a2)sebesar 10,80 gr kemudian jenis bambu sero (a3) sebesar 15,21 gr dan tertinggi dihasilhan oleh jenis bambu duri (a1) sebesar 25,21 gr. Hasil uji beda pengaruh ketiga tingkat jenis bambu terhadap jumlah produksi (gr) bee bread tersebut, menunjukan bahwa jenis bambu duri (a1) berbeda nyata dengan jenis bambu petong (a2), sedangkan antara jenis bambu petong (a2) dan jenis bambu sero (a3) dan jenis bambu duri (a1) terhadap bambu sero (a3) tidak tidak memberikan respons yang nyata.
257
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 9. Hasil Uji Beda Pengaruh Diameter Bambu (FaktorB) Terhadap Jumlah Produksi Bee Bread(gr) PERLAKUAN
RATA – RATA
b1(Diameter 11 – 14 cm) b2 (Diameter 6 – 9 cm)
15,18 36,04
BEDA 20,86 **
-
** = Berbeda sangat nyata Pada tabel 9 terlihat bahwa nilai rata – rata jumlah produksi (gr) bee bread terendah dihasilah oleh bambu berdiameter besar (b1) sebesar 15,18 gr dan jumlah produksi (gr) bee bread tertinggi dihasilkan oleh bambu diameter kecil (b2) sebesar 36,04 gr. Hasil uji beda pengaruh kedua tingkat diameter bambu tersebut, menunjukan bahwa jumlah produksi (gr ) bee bread pada bambu diameter kecil (b2) berbeda sangat nyata dengan jumlah produksi (gr) bee brad diameter besar (b1). Diameter yang kecil mengindikasikan suhu ruangan yang cukup baik untuk lebah memproduksi bee bread.Untuk melihat pengaruh interaksi antara kedua faktor yaitu jenis bambu (A) dan diameter bambu (B) terhadap jumlah produksi (gr) bee bread dapat dilihat pada tabel 10 berikut. Tabel 10. Uji Beda Interaksi Jenis dan Diameter Bambu (AB) Terhadap Jumlah Produksi Bee Bread(gr) PERLAKUAN RERATA a2 b1 4,10 a1 b1 4,84 0,74tn a3 b1 6,24 2,60tn a2 b2 6,70 2,14tn a3 b2 8,97 4,87tn a1 b2 20,37 16,27 ** ** = Sangat nyata * = Nyata tn = Tidak nyata
BEDA 1,40tn 1,86tn 4,13tn 15,53 **
0,46tn 2,73tn 14,13 *
2,27tn 13,67 *
11,40tn
-
Pada tabel 10, terlihat bahwa nilai jumlah bee bread akibat interaksi antara jenis bambu dan diameter bambu (AB) yang tertinggi dihasilkan oleh jenis bambu duri yang berdiameter kecil (a1b2), sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bambu petong berdiametre besar (a2b1). Urutan selengkapnya dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah : a 2b1, a1b1, a3b1, a2b2, a3b2,a1b2.Hasil uji beda pengaruh gabungan faktor (AB) menunjukan bahwa jumlah produksi bee bread dengan jenis bambu duri (a1)diameter kecil (b2)berbeda sangat nyata dengan jumlah produksi bee bread jenis bambu petong a2 diameter besar b1 (a2b1)sedangkan yang lain tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Hasil uji beda pengaruh interaksi antara jenis dan diameter bambu (AB) terhadap jumlah produksi bee bread pada (tabel 10) menunjukan bahwa nilai rata – rata tertinggi dihasilkan oleh jenis bambu duri diameter kecil (a 1b2) yaitu 20,4, nilai rata- rata terendah dihasilkan oleh jenis bambu petong diameter besar (a2b1) adalah 4,1. Hal ini menunjukan bahwa lebah strata pekerja dari jenis Trigona spp lebih tertarik untuk membuat bee bread pada media sarang jenis bambu duri diameter kecil (a1b2). Dikarenakan suhu dalam bambu diameter kecil mendukung proses penyimpanan bee bread, banyak pekerja lapang keluar mencari pakan sehingga jumlah produksi (gr) bee brad menjadi meningkat. Sedangkan bambu diameter besar memiliki ruang yang besar, suhu tidak mendukung, sedikit pekerja lapang yang keluar mencari pakan karena banyak jumlah lebah pekerja yang tinggal dalam sarang untuk mengatur suhu dengan cara mengibas sayap untuk menetralkan suhu sehingga jumlah produksi bee bread menjadi sedikit. Hasil uji beda pengaruh gabungan faktor (AB) menunjukan bahwa jumlah (gr) bee bread dengan jenis bambu duri a 1 diameter kecil b2 berbeda sangat nyata dengan jumlah produksi (gr) bee bread dengan jenis bambu petong a 2 diameter besar b1 (a2b1)sedangkan yang lain tidak menunjukan perbedaan yang nyata.
258
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Kesimpulan 1. Total produksi madu selama penelitian sebesar 231,69 gr, bee propolis sebesar 225 gr dan bee bread sebesar 151,7 gr. 2. Jumlah produksi madu berkisar antara 5,1 gr - 27,9 gr; bee propolis berkisar antara 7,0 gr - 22,3 gr sedangkan bee bread berkisar antara 3,5 gr - 21,3 gr. 3. Produksi madu tertinggi dihasilkan oleh bambu duri diameter kecil sebesar 50,9 gr, terendah oleh bambu petong diameter kecil sebesar 25,7 gr. 4. Produksi bee propolis tertinggi dihasilkan oleh bambu duri diameter kecil sebesar44,3 gr, terendah oleh bambu duri diameter besar sebesar 29,7 gr. 5. Produksi bee bread tertinggi oleh bambu duri diameter kecil sebesar 20,37 gr, terendah oleh bambu petong diameter besar sebesar 12,3 gr. 6. Jenis dan diameter bambu tidak berpengaruh terhadap jumlah produksi madu dan bee propolis sedangkan berpengaruh sangat nyata terhadap produksi bee bread. Saran 1. Jenis bambu duri berdiameter 6-10 cm dapat digunakan sebagai media sarang Trigona spp untuk produksi Madu, Bee Bropolis dan Bee bread. 2. Waktu panen perlu ditambahkan sehingga produksi menjadi maksimal 3. Perlu penelitian lanjutan dengan menggunakan media sarang dari bahan yang berbeda, sehingga dapat diketahui media sarang yang paling tepat untuk budidaya Trigona spp. DAFTAR PUSTAKA Gaspersz, V, 1989. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu – Ilmu Pertanian, Ilmu – Ilmu Teknik dan Biologi. ARMICO Lamerkabel, J.S.A, 2007. LaporanPerkembangan Lebah Madu Di Provinsi Maluku (Laporan Tahunan Asosiasi Perlebahan Indonesia). Ambon Mahani, Karim, dan Nurjana. N, 2011. Keajaiban propolis Trigona. Pustaka bunda, grup Puspa Swara. Jakarta Manuhuwa E dan Loiwatu M, 2008. Komponen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis Bambu Dari Pulau Seram, Maluku. (Jurnal AGRITECH UGM. Terakreditasi SK Dirjen Dikti No. 26/DIKTI/Kep/2005). Sihombing, D, T, H, 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gadja Mada University Press, Yogyakarta Supata dan Arimudin, A.F, 2007. Beternak Lebah. Citra Aji Parama. Jogjakarta.
259
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENELITIAN PEMANFAATAN ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI UNTUK BETON TAHAN API Lasino Email :
[email protected] Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyawungan, Cileunyi Wetan – Bandung Abstrak Keinginan untuk mendapatkan beton tahan api tetapi tetap kuat, awet dan ekonomis masih menjadi harapan bagi penyelenggara dan pemilik bangunan, karena dengan demikian akan diperoleh suatu bangunan yang memenuhi persyaratan teknis dengan biaya yang rendah. Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, mengamanatkan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Aspek keselamatan sendiri mencakup aspek beban dan muatan, kebakaran, petir, instalasi listrik dan bahan peledak. Hal inilah kenapa sampai saat ini masalah beton tahan api masih menjadi topik yang menarik, karena berbagai alasan seperti tuntutan undang-undang dan peraturan, persyaratan teknis, pengurangan resiko, dan sebagainya. Secara teoritis, parameter utama yang dapat menentukan ketahanan api adalah sifat konduktivitas dan integritas bahan, tetapi untuk kasus tertentu yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah penggunaan bahan baku yang memiliki sifat isolatif terhadap api, karena akan menentukan sifat beton yang dihasilkan. Saat ini produksi padi nasional mencapai 57,16 juta ton/tahun, dan akan menghasilkan sekam sekitar 20 % dari padi atau sebesar 11,43 juta ton/tahun. Jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan rencana pemerintah melalui Kementerian Pertanian yang akan membuka sawah sebesar 1.000.000 Ha. Pemanfaatan sekam saat ini baru sebatas untuk bahan pencampur dalam pembuatan bata dan bahan bakar dalam pembakaran bata dengan tungku ladang. Dari pembakaran sekam tersebut dapat menghasilkan abu sekam sebesar 20 % dari berat sekam dengan kandungan silika yang cukup besar dan termasuk bahan bersifat semen (cementitious materials) dan bersifat isolator. Dengan potensi dan karakteristik seperti diatas, maka perlu kiranya untuk terus meningkatkan pemanfaatannya diantaranya adalah sebagai substitusi pembuatan beton tahan api. Penelitian pemanfaatan abu sekam padi untuk beton tahan api merupakan upaya dalam menciptakan bangunan yang memenuhi persyaratan keselamatan dan kenyamanan karena akan menghambat rambatan thermal sehingga ruangan menjadi sejuk dan mencegah radiasai panas yang dapat menimbulkan kebakaran. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa abu sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan substitusi dalam pembuatan beton dan meningkatkan nilai konduktivitas thermal dari beton yang dihasilkan. Berdasarkan kekuatan tekannya kadar abu sekam optimal diperoleh sebesar 20 % dari agregat, dengan nilai konduktivitas thermal yang sangat baik (jauh dibawah batas maksimum yang ditentukan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa abu sekam padi dapat digunakan sebagai bahan substitusi dalam pembuatan beton tahan api, guna meningkatkan keselamatan dan kenyamanan bangunan. Kata kunci : abu sekam padi, beton tahan api, konduktivitas, keselamatan bangunan. Pendahuluan Latar Belakang Sampai saat ini bencana kebakaran masih sering terjadi bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun yang melanda diberbagai jenis bangunan khususnya perumahan. Kebakaran merupakan salah satu bencana yang sangat menakutkan karena selain sering menimbulkan korban jiwa, dampak sosial yang diakibatkan sangatlah luas diantaranya hilangnya tempat tinggal dan harta benda, proses kerja dan stagnasi usaha, rusaknya lingkungan dan sebagainya. Secara teoritis, ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya kebakaran yaitu adanya sumber api (heat), adanya bahan yang mudah terbakar (fuel) dan tersedianya pasokan oksigen yang mencukupi pada ruangan tersebut. Apabila kita dapat meniadakan salah satu dari tiga hal tersebut, maka terjadinya kebakaran akan dapat dicegah, namun demikian hal ini sangatlah sulit karena masing-masing sangatlah dekat dengan kehidupan. Salah satu faktor penyebab seringnya kebakaran serta mengapa kebakaran yang terjadi selalu berakibat fatal dikarenakan belum diterapkannya sistem proteksi total yang mencakup proteksi pasif, proteksi aktif serta penerapan manajemen penanggulangan
260
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI kebakaran pada bangunan sehingga saat terjadi kebakaran tidak dapat dipadamkan secara dini karena komponen yang terpasang mudah terbakar dengan cepat dan tidak siapnya para pengguna bangunan sehingga api sulit dikendalikan. Untuk meningkatkan ketahanan bangunan terhadap bahaya kebakaran perlu diterapkan sistem proteksi yang lebih baik yang diantaranya adalah sistem proteksi pasif yang mencakup penggunaan bahan dan komponen tahan api, melakukan kompartemanisasi dan pemisahan serta perlindungan pada bukaan. Penggunaan atau penerapan NSPM lingkup bahan dan komponen bangunan pada sistem proteksi pasif mencakup spesifikasi bahan, metoda pelapisan atau metoda pelaburan bahan penghambat api serta petunjuk teknis lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan dilapangan. Dengan diterbitkannya UUBG No. 28 tahun 2002, maka merupakan kewajiban kita untuk mematuhi dan menerapkan agar upaya perlindungan keselamatan terhadap penggunana bangunan dapat terjamin, karena salah satu aspek penting yang di atur dalam UUBG tersebut adalah persyratan keandalan bangunan. Selanjutnya secara rinci persyaratan teknis tentang pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan termuat dalam Kepmeneg PU No. 10/KPTS/2000 dan Peraturan Menteri PU No. 29/PRT/M/2006, tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, yang dapat digunakan acuan dalam pelaksanaan untuk menghasilkan bangunan yang aman terhadap kebakaran. Salah satu persyaratan penting yang termuat dalan UUBG No. 28 tahun 2002 adalah Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung yang mencakup ; 1. Keselamatan ; 2. Kesehatan ; 3. Kenyamanan ; 4. Kemudahan. Khususnya dalam persyaratan keselamatan tersebut diatas, dapat diuraikan dalam beberapa aspek seperti ; a. Keselamatan terhadap beban muatan / keandalan struktur, b. Keselamatan terhadap bahaya kebakaran, c. Keselamatan terhadap bahaya petir. Selanjutnya aspek keselamatan terhadap bahaya kebakaran dapat diuraikan dalam beberapa sistem yaitu ; Sistem proteksi pasif, Sistem proteksi aktif, dan Penerapan manajemen keamanan kebakaran (fire safety management) Sistem proteksi pasif mencakup tingkat ketahanan bahan dan komponen bangunan terhadap api, sistem kompartemenisasi, perlindungan terhadap bukaan, penyediaan akses evakuasi dan penataan tapak bangunan. Sistem proteksi aktif meliputi sistem deteksi dan alarm kebakaran, sistem pemadaman api dan sistem pengendalian asap. Untuk mengetahui tingkat ketahanan api dari bahan dan komponen bangunan, perlu dilakukan uji bakar (fire testing) di laboratorium dan dilakukan pengamatan terhadap 3 aspek yaitu stabilitas, integritas dan konduktivitas dari bahan tersebut. Pengujian dapat dilakukan terhadap bahan maupun komponen struktur, seperti pasangan dinding, kolom, balok maupun pelat lantai. Khusus untuk komponen dinding contoh uji dapat menggunakan skala kecil (small scale) maupun skala besar (big scale) sesuai dengan jenis tungku bakar yang akan digunakan. Dari pengujian ini akan diperoleh sifat ketahanan api dari komponen struktur tersebut yang meliputi stabilitas, integritas dan konduktivitas, yang kesemuanya dapat memberikan gambaran sifat ketahanan terhadap api (fire resistance). Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran kemungkinan pemanfaatan abu sekam padi sebagai bahan substitusi dalam pembuatan beton guna meningkatkan sifat insolasi terhadap thermal. Hal ini terkait dengan persyaratan teknis bangunan gedung, terutama aspek keselamatan terhadap bahaya kebakaran. Dengan meningkatkan nilai insolasi thermal, maka akan diperoleh suatu material yang dapat memenuhi syartat sebagai bahan konstruksi sebagai upaya dalam membentuk sistem proteksi pasif. Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan setelah proses penjemuran dan pengilingan padi dengan jumlah sekitar 20% dari bobot padi. Sekam padi diperoleh sebagai by product dari proses penggilingan gabah menjadi beras, Pemanfaatan sekam melalui intervensi teknologi belum banyak menarik minat investor, misalnya untuk bahan bangunan dan energi listrik. Selain untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksi, pemanfaatan sekam padi merupakan bentuk intervensi teknologi, sejalan dengan konsep zero waste yang ramah lingkungan. Berdasarkan sebaran wilayah penghasil beras, P. Jawa masih merupakan wilayah penghasil terbesar 28,6 juta ton (55,6 %). Diikuti oleh P. Sumatra sekitar 11,5 juta ton (22,4 %) dan P. Sulawesi 5,4 juta ton (0,6 %) dan dari daerah lainnya.
261
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Dengan tingkat produksi nasional sebesar 57,16 juta ton, maka potensi sekam yang dihasilan adalah sebesar 11,43 juta ton/tahun. Nilai manfaat ekonomi langsung dari produksi sekam tersebut yang saat ini banyak dimanfaatkan di P. Jawa untuk pembakaran dalam proses pembakaran bata/genteng. Pebakaran sekam dapat menghasilkan abu sekam sekitar 20 % yang mengandung silika yang dapat dijadikan campuran beton dengan kualitas yang baik. Maksud, Tujuan dan sasaran Maksud dari penelitian ini adalah pemanfaatan abu sekam padi untuk bahan substitusi dalam pembuatan beton, dengan tujuan memperoleh bahan yang memiliki tingkat ketahanan api yang lebih baik. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya komponen bangunan yang memiliki ketahanan api dan sifat insolasi yang baik sehingga dapat digunakan untuk proteksi pasif, dalam upaya meningkatkan keselamatan bangunan terhadap kebakaran. Produk/Keluaran Produk dari kegiatan ini adalah nilai insulasi thermal dari beton dengan bahan substitusi abu sekam padi yang lebih baik dari beton normal. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan beton tahan api dengan bahan substitusi abu sekam padi guna mengurangi resiko terhadap kebakaran dan meningkatkan keandalan bangunan. Lingkup kegiatan Agar tercapainya tujuan dari kajian ini perlu dilakukan pembatasan sebagai berikut : - Melakukan kajian pustaka untuk mendapatkan data sekunder, - Melakukan kajian lapangan untuk mendapatkan data primer, - Melakukan uji coba pembuatan benda uji panel beton dan pengujian ketahanan api di laboratorium. - Melakukan analisis data pengujian tingkat ketahanan api dari beton dengan berbagai kadar abu sekam padi. Kajian Pustaka Konsep Pencegahan Bahaya Kebakaran. Untuk mencegah dan menanggulangi terhadap bahaya kebakaran pada bangunan, diperlukan suatu konsep dasar sebagai bahan acuan. Ada tiga aspek utama dalam pengamanan bangunan terhadap bahaya kebakaran, yaitu penerapan sistem proteksi pasif, sistem proteksi aktif dan penerapan manajemen keamanan kebakaran (FSM). Ketiga aspek tersebut akan saling berinteraksi dalam penanggulangan kebakaran sehingga masing-masing akan membantu atau memberikan andil yang positif dalam mencegah perkembangan api saat terjadi kebakaran. Sesuai Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, yang termasuk dalam sistem Proteksi Pasif adalah ketahanan api dari bahan dan komponen bangunan yang terpasang, sistem kompartemenisasi dan pemisahan antar ruangan serta perlidungan pada bukaan yang memungkinkan api dapat menjalar. Sedangkan sistem proteksi aktif adalah sistem deteksi dan alarm kebakaran, system pemadam manual. sisstem pengendalian asap, sistem pemadaman otomatis, isntalasi lift kebakaran, pencegahan darurat dan tanda petunjuk arah, system daya darurat serta pusat pengendali kebakaran. Adapun lingkup fire safety management (FSM) antara lain melaksanakan pemeriksaan dan pemeliharaan peralatan proteksi kebakaran, melakukan pembinaan dan pelatihan SDM, menyediakan prosedur penanggulangan keadaan darurat kebakaran (Fire Emergency Plan), melakukan latihan kebakaran, melakukan audit keselamatan kebakaran (fire safety Audit), membuat Fire Safety House, serta menyediakan brosur dan porter tentang keselamatan kebakaran. Secara mendasar, tujuan proteksi kebakaran mencakup ; Perlindungan terhadap ancaman keselamatan jiwa (life safety), Perlindungan terhadap harta benda (property safety), Perlindungan terhadap lingkungan (environmental safety),
262
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Didalam praktek, langkah-langkah pencegahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut; 1.
Pencegahan ignition, Dilakukan pengawasan terhadap sumber-sumber penyulutan seperti instalasi listrik, alat memasak, rokok, mesin dan peralatan dan sebagainya,
2.
Pengendalian pertumbuhan api, - pengendalian sumber-sumber api (houskeeping yang baik), - penetapan spesifikasi bahan apis penutup yang cocok, - pemasangan hidran serta penyediaan alat pemadam api ringan, - pemasangan sprinkler otomatis, - pemeriksaan kapasitas sumber air dihalaman,
3.
Pengendalian penyebaran api, - pemasangan pintu penahan asap, - pintu-pintu harus dalam keadaan tertutup, - pemasangan seal pada penembusan-penembusan, - pemasangan sistem ventilasi asap, - pemasangan detektor asap di cerobong (duct), - penyediaan alat kontrol otomatis pada sistem HVAC, - penyediaan sumur tangga bertekanan,
4.
Pembatasan penyebaran api dalam bangunan, - penerapan sistem kompartemenisasi, - proteksi di ruang-ruang plafon dan ruang tertutup, - pembatasan ukuran dan dimensi dinding luar,
5.
Pencegahan penyebaran api ke bangunan lain, - penentuan ukuran jendela dan jenis kaca, - adanya jarak pemisah yang aman, - tingkat ketahanan api elemen dinding luar,
6.
Penyediaan sarana keluar, - pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran, - penyediaan jalus penyelamatan dengan jumlah yang cukup, - ukuran/lebar jalus penyelamatan yang memenuh, - pembatasan panjang koridor buntu, - penyediaan lampu tanda dan lampu darurat, - penyediaan prosedur evakuasi, - pelatihan prosedur evakuasi, - pemeliharaan jalus evakuasi secara berkala.
7.
Penyediaan fasilitas untuk operasi Dinas Kebakaran, - penyediaan sambungan langsung ke Dinas Kebakaran, - penyediaan papan penunjuk lokasi kebakaran, - penyediaan jalan masuk mobil kebakaran, - penyediaan akses yang aman kedalam ruang/bangunan, - pemeriksaan sumber-sumber air, - penyediaan hidran kebakaran dan pipa tegak dengan jumlah yang cukup.
8.
Pencegahan keruntuhan struktur. - tingkat ketahanan api elemen struktur memenuhi syarat, - penerapan kompartemenisasi untuk mencegah penjalaran api.
263
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Klasifikasi Bahan Bangunan untuk Pencegahan terhadap Bahaya Kebakaran Upaya pencegahan terhadap bahaya kebakaran perlu dimulai dari pemilihan bahan bangunan dimana harus memiliki sifat ketahanan terhadap api sebagaimana yang diklasiifikasikan dalam SKBI 4.4.53.1987 tentang Spesifikasi Bahan Bangunan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Rumah dan Gedung. Berdasarkan sifatnya bila diuji bakar (sifat bakar) bahan bangunan diklasifikasikan menjadi 5 tingkat yaitu mutu tingkat 1 (M-1) sampai dengan mutu tingkat 5 (M-5) yang dapat diuraikan sebagai berikut ; Bahan Mutu Tingkat 1 (M-1) Untuk dapat memenuhi mutu bahan tingkat 1, bahan harus dapat memenuhi persyaratan pengujian bakar serta pengujian jalar api pada permukaan, dengan ketentuan sebagai berikut ; a. Untuk pengujian bakar, pada saat pengujian kenaikan suhu dalam tungku tidak melebihi 50 oC. b. Untuk pengujian jalar api pada permukaan harus memenuhi ; - luas kurva suhu-waktu (t d )= 0 kepadatan asap (CA)< 30, - tidak terjadi lelehan melebihi ukuran tebalnya. - kedalaman retak pada permukaan bagian belakang benda uji harus lebih kecil dari 1/10 tebalnya - tidal terjadi nyala api lebih dari 30 detik setelah pembakaran dihentikan, - tidak terjadi deformasi yang membahayakan dan atau tidak mengeluarkan gas beracun. Bahan Mutu Tingkat 2 (M-2) Untuk dapat memenuhi mutu bahan tingkat 2, bahan harus dapat memenuhi persyaratan pengujian jalar api pada permukaan untuk bahan tingkat sukar terbakar dengan ketentuan sebagai berikut ; a. luas kurva suhu-waktu (t d ) tidak lebih dari 100 dan kepadatan asap (CA)< 60 b. tidak terjadi lelehan melebihi ukuran tebalnya, c. kedalaman retak pada permukaan bagian belakang benda uji harus lebih kecil dari 1/10 tebalnya d. tidal terjadi nyala api lebih dari 30 detik setelah pembakaran dihentikan, e. tidak terjadi deformasi yang membahayakan dan atau tidak mengeluarkan gas beracun. Bahan Mutu Tingkat 3 (M-3) Untuk dapat memenuhi ketentuan mutu bahan tingkat 3, bahan harus dapat memenuhi persyaratan pengujian jalar api pada permukaan untuk bahan tingkat menghambat api, sesuai dengan ketentuan sebagai berikut ; a. luas kurva suhu-waktu (t d ) tidak lebih dari 350 dan kepadatan asap (CA)< 120 b. tidak terjadi lelehan melebihi ukuran tebalnya, c. kedalaman retak pada permukaan bagian belakang benda uji harus lebih kecil dari 1/10 tebalnya d. tidal terjadi nyala api lebih dari 30 detik setelah pembakaran dihentikan, e. tidak terjadi deformasi yang membahayakan dan atau tidak mengeluarkan gas beracun. Bahan Mutu Tingkat 4 (M-4) Untuk dapat memenuhi mutu bahan tingkat 4, bahan harus dapat memenuhi persyaratan pengujian jalar api pada permukaan untuk bahan agak menghambat api, sesuai dengan ketentuan berikut ; a. luas kurva suhu-waktu (t d ) tidak lebih dari 350 dan kepadatan asap (CA) tidak terbatas, b. tidak terjadi lelehan melebihi ukuran tebalnya, c. kedalaman retak pada permukaan bagian belakang benda uji harus lebih kecil dari 1/10 tebalnya d. tidal terjadi nyala api lebih dari 30 detik setelah pembakaran dihentikan, e. tidak terjadi deformasi yang membahayakan dan atau tidak mengeluarkan gas beracun. Bahan Mutu Tingkat 5 (M-5) Untuk dapat memenuhi mutu bahan tingkat 5, adalah semua bahan yang tidak dapat memenuhi persyaratan baik pengujian bakar maupun persyaratan pengujian jalar api pada permukaan, atau bahan yang tidak dapat memenuhi ketentuan untuk bahan mutu tingkat 4.
264
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Beton dan ketahanan terhadap api Beton merupakan bahan yang diperoleh dengan mencampurkan beberapa bahan baku seperti semen, agregat, air dan atau tanpa bahan tambahan lainnya di bentuk sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu masa yang kompak, padat, kuat dan stabil. Secara umum beton merupakan bahan yang tahan terhadap api dan termasuk mutu M1, namun pada suhu diatas 400oC dengan waktu yang cukup lama akan mengalami perubahan fisis yang ditandai dengan adanya perubahan warna pada permukaan, penyusutan dan retak rambut walaupun belum berpengaruh pada kekuatan beton. Tetapi bila suhu mencapai diatas 600oC akan berpengaruh banyak terhadap stabilitas, integritas dan isolasi beton dimana panas akan menembus kebagian baja tulangan dan dapat menimbulkan keruntuhan pada bangunan. Oleh karenanya sifat insolasi merupakan salah satu parameter penting dalam mencegah terjadinya kondisi kritis tersebut dimana selain dapat mencegah rambatan api ke tulangan juga mencegah radiasi panas keruangan lainnya. Yang dimaksud dengan beton insolasi panas adalah komponen beton yang berfungsi sebagai bahan pelapis atau pencegah rambatan panas (thermal) dari satu sisi kesisi yang lain atau dari ruangan satu keruangan lainnya. Penggunaan bahan isolasi ini dengan maksud untuk melindungi dari pengaruh panas atau thermal yang bersumber dari api. Bahan dan Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan membuat benda uji panel beton ditambah abu sekam padi sebagai bahan substitusi untuk pengujian ketahanan api dengan beberapa parameter yang diukur yaitu stabilitas, integritas dan insolasi. Selanjutnya hasil tersebut dilakukan analisis dan dibandingkan dengan beton normal sehingga akan diperoleh suatu nilai efektifitas penambahan bahan abu sekam padi terhadap ketahanan terhadap api. Bahan dan Alat Bahan abu sekam padi diambil dari tungku pembakaran bata di Jatiwangi Kabupaten Majalengka – Jawa Barat, berbentuk butiran halus berwarna abu-abu kehitaman selanjutnya dilakukan penghalusan dengan tingkat kehalusan mendekati semen Portland sebelum digunakan sebagai campuran dalam pembuatan benda uji panel beton. Rancangan Percobaan Pembuatan dan pengujian benda uji dimaksudkan untuk mengetahui mutu beton dan conductivitasnya, yang meliputi uji kuat tekan, stabilitas, integritas dan insolasi dari panel beton, dengan berbagai proporsi campuran yang dapat diuraikan pada tabel 1 dan tabel 2 berikut :
Kode I-1 I-2 I-3 I-4 I-5 II-1 II-2 II-3 II-4 II-5 III-1 III-2 III-3 III-4 III-5
Tabel 1 Rancangan komposisi campuran mortar Perbandingan agregat Komposisi campuran (%) Semen Agregat/pasir Pasir Abu sekam 100 0 80 20 1 4 60 40 40 60 20 80
1
1
5
100 80 60 40 20
0 20 40 60 80
6
100 80 60 40 20
0 20 40 60 80
265
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Kode I II III
Tabel 2 Rancangan komposisi campuran beton Komposisi campuran Semen Pasir Kerikil Abu sekam 340 720 1.080 0 (0 %) 340 576 1.080 144 (20 %) 340 432 1.080 288 (40 %)
Air 204 204 204
Keterangan : kadar abu sekam padi terhadap pasir (agregat halus) Peralatan dan Benda Uji Peralatan uji yang digunakan adalah mesin aduk (mixer), alat cetak mortar kubus, balok dan panel mortar serta alat cetak panel beton, mesin uji UTM (Universal Testing Machine) kapasitas 200 ton dan alat uji tungku bakar serta alat bantu seperti jangka sorong, timbangan, meteran dan ruang perawatan benda uji. Metoda uji bakar Pembakaran dilakukan setelah benda uji dipasang pada tungku, dan penempatan thermocouple untuk mengukur temperatur dalam tungku dan dibelakang benda uji. Suhu bakar yang diberikuan mengikuti kurva temperatur standar, seperti tabel 3 berikut : No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
Tabel 3 Kurva suhu waktu standar Interval Waktu Temperatur Standar (Menit) (oC) 20 705 795 840 880 905 925 945 965 980 990 1000 1010 1015 1025 1030 1040 1045 1050
Pengamatan temperatur : a. Temperatur tungku diamati melalui thermoduck untuk mengontrol temperatur dalam tungku seuai dengan temperatur standar. b. Temperatur belakang benda uji meliputi 5 titik yaitu, ditengah-tengah, jung ats kanan, ujung atas kiri, ujung bawah kanan serta ujung bawah kiri.. Pengamatan kerusakan : a. Pengamatan kerusakan secara visual diamati selama proses pembakaran yang meliputi perubahan bentuk, terjadinya retak-retak, lendutan, perubahan warna pada permukaan beton dan kerusakan lainnya sesuai dengan perkembangan kenaikkan temperatur. b. Berikutnya pengamatan dilanjutkan setelah benda uji dipindahkan dari tungku, baik selama pengangkutan (unloading) dan setelah diletakkan di lantai dasar.
266
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil dan Pembahasan Abu sekam sebagai substitusi pada Mortar Sebagai langkah awal dan untuk mengetahui efektifitas abu sekam padi terhadap sifat fisis, mekanis dan konduktifitas terhadap thermal, maka dibuat penelitian pendahuluan berupa mortar kubus dan panel. Hasil uji sifat fisis-mekanis, ketahanan api dan konduktifitas disajikan dalam tabel 4 berikut: No 1 2 3 4 5
Campuran PC : Pasir 1:4
Tabel 4 Hasil pengujian kuat tekan dan sifat bakar mortar Kadar abu Kuat tekan Kuat lentur Sifat sekam (%) (kg/cm2) (kg/cm2) bakar 0 242,1 42,8 M-1 20 167,4 19,0 M-1 40 98,6 12,2 M-1 60 68,0 6,4 M-1 80 38,7 4,2 M-1
Konduktivitas (K.Cal/m.h.oC) 0,593 0,288 0,226 0,188 0,147
1 2 3 4 5
1:5
0 20 40 60 80
237,3 122,7 76,3 49,3 30,2
33,8 14,5 4,8 2,6 2,1
M-1 M-1 M-1 M-1 M-1
0,580 0,210 0,195 0,136 0,124
1 2 3 4 5
1:6
0 20 40 60 80
202,6 108,6 56,8 34,9 26,2
26,4 13,5 3,2 1,9 1,6
M-1 M-1 M-1 M-1 M-1
0,393 0,188 0,164 0,128 0,122
Konduktivitas (K.Cal/m.h.0C)
Dalam bentuk gambar hubungan antara kadar abu sekam padi dan nilai konduktivitas dari berbagai proporsi campuran disajikan dalam gambar 1 berikut. 0.7 0.6 0.5 0.4 1:4
0.3
1:5
0.2
1:6
0.1 0 0
20
40
60
80
Kadar abu sekam (%)
Gambar-1 Grafik hubungan kadar abu sekam padi dan nilai konduktivitas Bahan abu sekam padi yang berbentuk partikel halus dan banyak mengandung silica sangat baik digunakan sebagai bahan pengisi/filler dalam adukan/mortar, karena dapat menambah kemudahan pengerjaan, kerapatan dan stabilitas pada mortar karena bahan tersebut mengandung pozolanik yang sangat reaktif terhadap seman.
267
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Mortar dengan penambahan abu sekam padi mempunyai sifat konduktivity yang baik, hal ini terlihat dari hasil pengujian diatas bahwa semakin tinggi kadar abu sekam padi menghasilkan konduktivity yang semakin rendah, sehinga dapat menghambat laju perambatan thermal/panas dari suatu media ke bagian lainnya dan dapat digunakan sebagai bahan isolator. Dari hasil uji sifat bakar diperoleh seluruh contoh uji masuk dalam klasifikasi ketahanan api M-I atau termasuk bahan yang tidak mudah terbakar hal ini menunjukkan bahwa bahan tersebut sangat baik digunakan sebagai bahan pelapis pada komponen yang dipersyaratkan tahan terhadap api. Dengan nilai konduktivitas dan sifat bakar tersebut menunjukkan bahwa bahan ini dapat digunakan sebagai bahan pelapis (proteksi pasif) sesuai fungsi bangunan dan tingkat resiko terhadap bahaya kebakaran.. Sedangkan penambahan abu sekam dalam mortar tidak memberikan kontribusi terhadap kekuatan, hal ini disebabkan kandungan partikel halus dalam adukan mempunyai batas optimal sehingga apabila berlebihan tidak cukup efektif dalam menambah kekuatan, tetapi dalam penerapannya dapat dipilih proporsi yang sesuai berdasarkan kekuatan tekan yang dihasilkan, baik untuk tujuan struktural atau non struktural. Abu sekam sebagai substitusi pada Beton Uji ketahanan api dilakukan terhadap contoh panel beton berukuran 106 cm x 105 cm x 12 cm dengan menggunakan tungku bakar skala kecil (small scale fire test), dengan variasi kadar abu sekam padi 0 %; 20 % dan 40 % dari berat pasir. Jadi fungsi abu sekam padi adalah sebagai pengganti sebagian pasir atau agregat halus sehingga dapat berfungsi pula sebagai bahan filler yang dapat meningkatkan kepadatan dan kemudahan pengerjaan beton. Hasil uji ketahanan api dan konduktifitas disajikan dalam tabel 5 berikut: Tabel 5 Hasil pengujian ketahanan api panel beton No
Waktu Suhu Suhu tungku (oC) pembakaran standar 1 2 o (menit) ( C) 1 0 0 0 0 2 10 705 613 346 3 20 795 795 698 4 30 840 815 763 5 40 880 878 810 6 50 905 905 851 7 60 925 928 880 8 70 945 933 899 9 80 965 973 10 90 980 984 11 100 990 989 12 110 1000 992 13 120 1010 999 14 130 1015 1009 15 140 1025 1013 16 150 1030 1016 17 160 1040 1019 18 170 1045 1036 19 180 1050 1040 Keterangan : Contoh 1 = kadar abu sekam : 0 % Contoh 2 = kadar abu sekam : 20 % Contoh 3 = kadar abu sekam : 40 %
268
3 0 325 655 746 799 831 869 890 961 980 979 988 994 1009 1010 1011 1016 1034 1037
Suhu belakang benda uji (oC) 1 2 3 0 32 91 94 106 138 264 270
0 24 25 26 32 48 65 79 90 96 98 100 103 104 105 107 109 110 112
0 24 24 25 30 43 62 77 88 92 95 96 98 99 101 102 104 105 106
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Dalam bentuk gambar hubungan antara waktu bakar dan suhu tungku, suhu standard an suhu dibelakang benda uji dari berbagai kadar abu sekam padi disajikan dalam gambar 2, gambar 3 dan gambar 4 dibawah. 1200
S u h u (0C)
1000 800 600 400 200 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
W a k t u (menit) Suhu tungku
Suhu standar
Suhu belakang benda uji
Gambar-2 Grafik hubungan waktu bakar dan suhu yang dihasilkan Dari Panel Beton dengan kadar abu sekam padi 0 %
1200
S u h u (0C)
1000 800 600 400 200 0 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
W a k t u (menit) Suhu tungku
Suhu standar
Suhu belakang benda uji
Gambar-3 Grafik hubungan waktu bakar dan suhu yang dihasilkan dari panel beton dengan kadar abu sekam padi 20 %
269
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 1200
S u h u (0C)
1000 800 600 400 200 0 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
W a k t u (menit) Suhu tungku
Suhu standar
Suhu belakang benda uji
Gambar-4 Grafik hubungan waktu bakar dan suhu yang dihasilkan dari panel beton dengan kadar abu sekam padi 40 % Panel beton dengan kandungan abu sekam padi 0 % hanya mempunyai ketahanan api selama 1 jam, dimana setelah dibakar selama 1 jam suhu dibelakang benda uji telah mencapai 270 oC jauh diatas batas persyaratan maksimum yaitu 140 oC, dan telah mengalami deformasi dan perubahan bentuk berupa retak-rtak pada permukaan panel. Sedangkan panel dengan kadar abu sekam sebanyak 20 % dan 40 % mempunyai ketahanan api selama 3 jam dengan suhu dibelakang benda uji baru mencapai 112 dan 106 oC. Disamping suhu dibelakang benda uji, secara visual kedua contoh tersebut memiliki stabilitas dan integritas yang sangat baik karena tidak terjadi adanya perubahan fisis dan retak-retak yang dapat menyalurkan radiasi thermal. Dari hasil pengujian ketahanan api diatas terlihat bahwa penambahan abu sekam padi dalam campuran beton dapat meningkatkan nilai kethanan apinya, baik dilihat secara visual (stabilitas dan integritas) maupun sifat insulasi (konduktivitasnya), sehinga dapat menghambat laju perambatan thermal/panas dari suatu sisi ke bagian lainnya. Dengan hasil tersebut dapat memberi gambaran bahwa penambahan abu sekam padi pada beton dapat menngkatkan ketahanan terhadap api serta dapat menghambat laju perambatan panas sehingga dalam praktek dapat diterapkan dalam pembuatan beton khususnya pada komponen bangunan yang difunmgsikan sebagai proteksi pasif. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Semakin tinggi kadar abu sekam padi pada adukan/mortar semakin baik ketahanan terhadap api dan nilai konduktivitasnya, sehingga bahan tersebut sangat baik digunakan sebagai bahan campuran/substitusi dalam pembuatan komponen tahan api; Pengujian terhadap sifat bakar seluruh campuran dengan kadar abu sekam padi dari 0 % sampai dengan 80 % seluruh campuran memenuhi klasifikasi mutu M-1 atau termasuk bahan yang tidak mudah terbakar; Dari uji ketahanan api terhadap panel dengan kadar abu sekam 0 %, hanya dapat memenuhi kelas 1 jam dimana suhu dibelakang benda uji telah mencapai diatas 140 oC, Tetapi untuk panel beton dengan kadar abu sekam padi 20 % dan 40 % dapat memenuhi persyaratan kelas 3 jam dengan suhu dibelakang benda uji baru mencapai 112 oC dan 106 oC, ini berarti penambahan abu sekam padi dapat meningkatkan ketahanan terhadap api dan dapat digunakan sebagai bahan proteksi pasif pada bangunan guna mencegah atau menghambat rambatan api/thermal. Saran Dalam pengembangan penggunaan abu sekam padi sebagai bahan substitusi beton perlu diperhatikan kualitasnya mengingat mutu dari bahan tersebut sangat tergantung dari tingkat kesempurnaan pembakaran dan kadar silica yang terkandung;
270
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Untuk tujuan tersebut diperlukan pengemdalian mutu sebelum abu sekam padi digunakan, dengan melakukan analisis kimia atau uji fisis di laboratorium; Agar diperoleh mutu yang seimbang antara kekuatan dan ketahanan terhadap api, perlu dipilih suatu proporsi yang tepat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki dari hasil pengujian.
Daftar Pustaka 1. 2. 3.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Peraturan Menteri PU No. 29/PRT/M/2006, tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Republik Indonesia No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, 4. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Republik Indonesia No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, 5 Suprapto, 1979. Aspek Bahan dan Instalasi/kelengkapan Bangunan Didalam Perencanaan Sistem keamanan dan Pencegahan Kebakaran, Bandung. 6 Pusat Litbang Permukiman, 2001, Studi Potensi Bahaya Kebakaran di Kota Bandung. 7. Pusat Litbang Permukiman, 2002, Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan, Bandung. 8. Harjoto, H, 2001, penanggulangan Kebakaran dengan Passive Fire Protection, Bandung. 9. Saptaria, E. 2002. Tiga Konsep Sistem Pencegahan Kebakaran pada Bangunan, Bandung. 10. Pusat kajian strategis, Departemen PU, Kajian kebijakan strategis potensi pemanfaatan sekam dan abu sekam di Indonesia, Agustus 2008. 11. Attmann, Osman , [2010], Green Architecture, advanced technologies and material, Mc Graw Hill, New York. 12. Benton, L. and Rennie, J., [2008], Cities and Nature, Routledge Taylor & Francis Group, London & New York. 13. Lasino, (2011) Pengembangan bahan bangunan dari limbah , Makalah dalam produk expo hasil Litbang Permukiman, Solo – Jawa Tengah. 14. Baker, Susan , [2006], Sustainable Development, Routledge Taylor & Francis Group, London & New York, 15. Kibert C.J., [2008], Sustainable Construction, Green Building Design and Delivery, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, 16. Turner, John F.C, “Housing By People” (1980), Toward Autonomy in Building Environments, London, 17. Pamekas, R, (2002) “Produk Teknologi Terapan Bidang Perumahan dan Permukiman” , Makalah dalam Seminar Pengenalan dan Pemanfaatan Teknologi Bahan Bangunan, Surabaya, 18. Anonimous, (1984) Building Materials from Agro-Residues, Manila.
271
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
ANALISIS VEGETASI DAN ASOSIASI JENIS PADA HABITAT SHOREA MACROPHYLLA DI TANE’ OLEN DESA SETULANG, KABUPATEN MALINAU, KALIMANTAN TIMUR M. Fajri Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Email :
[email protected] Abstrak Shorea macrophylla adalah jenis shorea dari famili dipterokarpa yang memiliki nilai ekonomi baik kayu dan buahnya. Jenis ini sekarang sudah mulai terancam dan sudah masuk dalam daftar IUCN dengan status Vulnerable (VU; Rentan), sehingga perlu dilakukan suatu penelitian mengenai kondisi jenis ini dan asosiasinya dengan jenis lain di hutan alam. Metodologi penelitian yaitu : 1. Membuat plot penelitian seluas 1 hektar di bagi kedalam 25 petak ukur dengan luas 20 m x 20 m; 2. Inventarisasi tingkat pohon (diameter di atas 10 cm); 3. Analisa data menggunakan analisis vegetasi, asosiasi jenis dan koofisien asosiasi. Hasil penelitian menemukan sebanyak 75 jenis vegetasi tingkat pohon. Dari 75 jenis tingkat pohon yang ditemukan, sekitar 9 jenis tingkat pohon memiliki INP diatas 10 %. Dari 9 jenis tersebut, jenis S. macropyilla merupakan jenis yang paling dominan dengan INP 39,39 % (kerapatan jenis 33 pohon/ha). Asosiasi antara S. macrophylla dengan 8 jenis pohon yang dominan lainnya, nilai x hitungnya hampir semuanya lebih kecil daripada nilai x tabelnya kecuali asosiasi antara S. macrophylla dengan pohon Nyeraa, hasil x hitungnya lebih besar daripada x tabel pada taraf kepercayaan 95 % maupun 99 % dan asosiasi dengan jenis Jambu-jambuan, nilai x hitungnya lebih besar daripada X tabel pada taraf kepercayaan 95 %, tetapi lebih kecil daripada x tabel pada pada taraf 99 %. Kata kunci : analisis vegetasi, asosiasi jenis, Shorea macrophylla I. Pendahuluan Shorea macrophylla merupakan jenis dari marga shorea yang sangat bernilai ekonomi tinggi. Kayunya termasuk kayu meranti merah dan buahnya juga diambil minyaknya. Jenis ini termasuk salah satu kayu komersial utama (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Tinggi pohon ini dapat mencapai 30 m dengan garis tengah sekitar 60 cm. Batang tegak, lurus, tidak berbanir. Permukaan batang berwarna abu-abu serfa berbercak-bercak. Warna pepagan coklat muda. Tajuk lebat. Daun tunggal, tebal, kaku, besar, bulat panjang. Perbungaan bentuk mulai terdapat di ujung ranting atau di ketiak daun. Buahnya bundar telur, berbulu tebal, bersayap 5 (3 sayap besar, 2 sayap kecil) (Heyne, 1987) dalam Kholik (2011). Di dalam habitat S. macrophylla juga ada jenis pohon lainnya yang menjadi penyusun vegetasi habitat ini. antara pohon satu dengan pohon lainnya bisa saling berinteraksi antara satu sama lainnya. Menurut Indriyanto (2008), interaksi-interaksi yang terjadi dapat merupakan interaksi antar individu dari jenis yang sama, dapat juga merupakan interaksi antar individu dari jenis yang berbeda. Salah satu bentuk dari interaksi antar vegetasi adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi. Asosiasi dicirikan dengan adanya komposisi floristik yang mirip, memiliki fisiognomi yang seragam dan sebarannya memiliki habitat yang khas (Daubenmire, 1968; Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Barbour et al.,1999). Asosiasi terbagi menjadi asosiasi positif dan asosiasi negatif. Asosiasi positif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan hadir secara bersamaan dengan jenis tumbuhan lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa adanya jenis tumbuhan lainnya tersebut. Asosiasi negatif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara bersamaan (McNaughton dan Wolf, 1992). Adapun tujuan dari studi vegetasi yang telah dilakukan di Tane’ Olen Desa Setulang, Kabupaten Malinau ini adalah untuk menggali informasi mengenai kondisi S. macrophylla di hutan alam dan asosiasinya dengan jenis lain yang berada dalam habitat S. macrophylla tersebut.
272
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI A.
II. Metodologi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Tane’ Olen Desa Setulang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
B.
Bahan dan Peralatan Penelitian. Bahan dan Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : 1. Buku ekspedisi, sebagai untuk mencatat data-data yang diperlukan baik dalam kegiatan inventarisasi pohon maupun kegiatan pengukuran kelerengan. 2. Label Pohon, digunakan untuk memberikan identitas pada pohon berupa nomor pohon, jenis, diameter dan tinggi. 3. Alat tulis, digunakan untuk menulis/mencatat data-data yang diperlukan. 4. Kamera Digital untuk dokumentasi. 5. Kompas, digunakan untuk menentukan azimuth. 6. Klinometer, digunakan untuk menentukan besar sudut vertikal (dalam persen). 7. Meteran ( 30 m ), digunakan untuk menentukan jarak lapang. 8. Phi Band, digunakan untuk mengukur diameter pohon. 9. GPS, untuk mengetahui koordinat geografis. 10. Perlengkapan lapangan dan camping sebagai bahan akomodasi lapangan, seperti bahan makanan, obatobatan dan lain-lain.
C. 1.
Prosedur Penelitian Pembuatan plot penelitian Untuk mengetahui kondisi vegetasi dan asosiasinya pada habitat S. macrophylla, maka dilakukan pembuatan plot secara purposive sampling berukuran 100 m x 100 m (1 ha). Dari plot tersebut dibuat sub-plot berukuran 20 x 20 m (0.04 ha) dan 2 x 2 m secara sistematik seperti tertera pada Gambar 1. Pengamatan dilakukan terhadap semua pohon yang berdiameter ≥ 10 cm.
2
100 m 3
4
5
7
8
9
10
12
13
14
15
17100 m 18 m 22 23
19
20
24 21 Gambar 1. Skema plot penelitian di lapangan.
25
1 6 100 100m
m
11 16
2.
Pengambilan data vegetasi Data vegetasi yang diambil berupa data semua pohon yang berdiameter ≥ 10 cm.
D. Analisis Data Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis data tool pada program Microsoft Excel 2007 yang meliputi: 1). Dominansi Jenis Untuk dominasi jenis pada lokasi penelitian menggunakan Indeks Nilai Penting (INP) dengan formula menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) sebagai berikut: Jumlah individu satu jenis a. KR = x 100 Total jumlah individu seluruh jenis
273
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Frekwensi satu jenis b. FR =
x 100 Total jumlah frekwensi seluruh jenis Luas bidang dasar satu jenis
c. DR =
x 100 Total jumlah luas bidang dasar seluruh jenis
d. NPJ = KR + FR + DR 2.)
3.)
4.)
Asosiasi Jenis Untuk mengetahui S. macrophylla mempunyai hubungan yang erat atau tidak dengan jenis lainnya dan juga untuk mengetahui hubungan antar jenis tersebut pada petak-petak pengamatan, diukur dengan melihat kehadiran jenis lain (F) di dalam plot peneltian tersebut. Korelasi antar dua jenis. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tabel korelasi dua jenis (2 x 2) seperti yang dikemukakan oleh Mueller-Dombois and Ellenberg (1974). Koefisien Asosiasi (C). Untuk menghitung nilai hubungan antar dua jenis dalam satu komunitas hutan (asosiasi positif atau negatif) dilakukan perhitungan koefisien asosiasi (C) atau nilai kekerabatan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Cole (1949) dalam Bratawinata (1998); Fajri dan Saridan (2012), yaitu: ad - bc 1. Bila ad > bc, maka C = (a + b)(b + d) ad - bc 2. Bila bc > ad dan d > a, maka C = (a + b)(b + c)
ad - bc 3.
Bila bc > ad dan a > c, maka C =
(a + d)(c + d) Nilai positif atau negatif dari hasil perhitungan menunjukkan asosiasi positif atau negatif antar dua jenis. Menurut Whittaker (1975), asosiasi positif berarti secara tidak langsung beberapa jenis berhubungan baik atau ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, sedangkan asosiasi negatif berarti secara tidak langsung beberapa jenis mempunyai kecenderungan untuk meniadakan atau mengeluarkan yang lainnya atau juga berarti dua jenis mempunyai pengaruh atau reaksi yang berbeda dalam lingkungannya. III. Hasil Dan pembahasan A. Analisis Vegetasi Berikut ini akan di bahas mengenai analisis vegetasi pada plot habitat S. macrophylla yang dibuat di Hutan Adat Desa Setulang untuk melihat bagaimana kondisi keberadaan dari S. macrophylla dan jenis-jenis pohon lainnya sebagaimana hasil pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Hasil analisis vegetasi di Tane’ Olen, Desa Setulang, Kabupaten Malinau. No Jenis INP (%) KJ KR (%) F FR (%) D (m²) DR (%) 1
S. macrophylla
33
7,69
13
4,94
87,51
26,75
39,39
2
kajen ase
44
10,26
12
4,56
61,18
18,70
33,52
3
Nyera'a
32
7,46
13
4,94
31,34
9,58
21,98
4
Bala Seven
22
5,13
13
4,94
24,11
7,37
17,44
5
Ubo
24
5,59
12
4,56
16,45
5,03
15,19
6
jambu-jambuan
23
5,36
10
3,80
14,95
4,57
13,74
274
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 7
Shorea sp
15
3,50
11
4,18
18,32
5,60
13,28
8
nyatok
19
4,43
12
4,56
13,31
4,07
13,06
9
Beneva
20
4,66
9
3,42
14,94
4,57
12,65
Pada area studi tercatat sebanyak 75 jenis yang ditemukan untuk tingkat pohon. Dari 75 jenis tingkat pohon yang ditemukan, ada sekitar 9 jenis tingkat pohon yang memiliki INP diatas 10 %. Dari 9 jenis tersebut, jenis S. macropyilla merupakan jenis yang paling mendominasi dengan nilai INP sebesar 39,39 % (kerapatan jenis 33 pohon/ha). Untuk jenis pohon yang memiliki INP terbesar kedua adalah jenis pohon Kajen ase, dengan INP sebesar 22,16 % (kerapatan jenis 44 pohon/ha). Untuk nilai INP yang terbesar ke-3 dan keempat adalah jenis pohon Nyera’a dan Bala seven yaitu 21,98 % (kerapatan jenis 32 pohon/ha) dan 17,44 % (kerapatan jenis 22 pohon/ha). Selanjutnya untuk jenis pohon yang memiliki INP terbesar ke-5 sampai dengan ke-9 adalah Ubo dengan INP 15,19 % (kerapatan jenis 24 pohon/ha), jambu-jambuan dengan INP sebesar 13,74 (kerapatan jenis 23 pohon/ha), Shorea sp dengan INP sebesar 13,28 (kerapatan jenis 15 pohon/ha), Nyatok dengan INP 13,06 % (kerapatan jenis 19 pohon/ha), dan Beneva dengan INP 12,65 % (kerapatan jenis 20 pohon/ha). Berdasarkan keterangan data diatas bisa di jelaskan bahwa jenis pohon S. macropyilla mendominasi area plot penelitian baik dari frekuensi relatif dan luas penutupan relatifnya, (untuk kerapatan relatif hanya lebih rendah dari jenis pohon Kajen ase). Hal ini sesuai dengan pendapat Soerianegara dan Indrawan (1998), bahwa analisis vegetasi dalam ekologi tumbuhan adalah cara untuk mempelajari struktur vegetasi dan komposisi jenis tumbuhan. Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan bentuk (struktur) vegetasi yang ada diwilayah yang dianalisis. Caranya adalah dengan melakukan deskripsi komunitas tumbuhan. S. macrophylla berdasarkan kondisi dilapangan, menyukai tempat tumbuh di daerah sepanjang pinggiran sungai sama juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fajri, dkk (2012) di PT. Gunung Gajah Abadi, Kabupaten Kutai Timur dimana S. macrophylla juga banyak ditemukan dipinggiran sungai. Penyebaran jenis ini dilapangan ditemukan secara acak mengelompok sepanjang area sungai.Hal ini sesuai dengan pendapat Soemarwoto (1983), bahwa habitat suatu oorganisme itu pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukakn oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi yang perlu diperhatikan lagi adalah karena habitat dari S. macrophylla ini berada disepanjang sungai, maka hal ini akan sangat rawan bagi jenis ini untuk diekploitasi oleh masyarakat karena aksesnya yang lebih mudah dijangkau serta kayu ini juga bernilai ekonomi tinggi. B. Asosiasi Jenis dan Koofisien Asosiasi Pada tabel 2 dibawah ini, akan kita lihat hasil dari analisis asosiasi antara S. macrophylla dengan 8 jenis pohon yang dominan dalam area studi penelitian sebagai berikut : Tabel 2. Nilai asosiasi jenis dan koofisien asosiasi. No
Asosiasi jenis
X²t (1%)
X²t (5%)
X²
C (+/-)
1
S. macropylla dengan kajen ase
3,84
6,35
0,35
-0,04
2
S. macropylla dengan Nyera'a S. macropylla dengan Bala Seven
3,84
6,35
6,82
-0,29
3,84
6,35
0,04
0,04
3,84
6,35
0,04
0,11
5
S. macropylla dengan Ubo S. macropylla dengan Jambu-jambuan
3,84
6,35
4,87
-0,25
6
S. macropylla dengan Shorea sp
3,84
6,35
3,21
-0,21
7 S. macropylla dengan Nyatok 3,84 6,35 8 S. macropylla dengan Beneva 3,84 6,35 Keterangan: Nilai X² tabel pada taraf 5 % : 3,84, nilai X² tabel pada taraf 1 % : 6,35
0,04 0,47
0,11 0,16
3 4
275
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Dari Hasil perhitungan korelasi 2 jenis yang menggunakan tabel contigency, maka dapat dilihat hubungan asosiasi antara S. macrophylla dengan 8 jenis pohon yang dominan lainnya, nilai X hitungnya hampir semuanya lebih kecil daripada nilai X tabelnya kecuali asosiasi antara S. macrophylla dengan pohon Nyeraa, hasil X hitungnya lebih besar daripada X tabel baik tingkat kepercayaan 95 % maupun 99 % dan asosiasi dengan jenis Jambu-jambuan, nilai X hitungnya lebih besar daripada X tabel pada tingkat kepercayaan 95 %, tetapi lebih kecil daripada X tabel pada tingkat kepercayaan 99 %. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis S. macrophylla tidak mempunyai korelasi yang nyata dengan jenis pohon Kajen ase, Bala seven, Ubo, Shorea sp, Nyatok, dan beneva sedangkan dengan jenis Nyeraa dan Jambu-jambuan ada hubungan yang nyata. Adanya hubungan yang nyata antara kedua jenis adalah bila kedua spesies tersebut bisa hidup secara bersama-sama dan tidak saling mengganggu satu sama lainnya. Ini berarti sesuai dengan pendapat MuellerDombois dan Ellenberg (1974); Barbour et al. (1999), bahwa selain pengaruh interaksi pada suatu komunitas, tiap tumbuhan saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat yang sama. Hasil perhitungan koofisien asosiasi (C) yang digunakan sebagai parameter seberapa besar hubungan antara ke-8 jenis tersebut dengan S. macrophylla (tabel 2), ada yang nilai koofisien asosiasinya bernilai positif dan ada nilai koofisien asosiasinya negatif. Koofisien asosiasi yang bernilai positif adalah asosiasi S. macrohylla dengan jenis pohon Bala seven, Ubo, Nyatok dan beneva. Sedangkan koofisien asosiasi yang bernilai negatif adalah asosiasi antara S. macrophylla dengan jenis pohon Kajen ase, Nyera’a, Jambu-jambuan dan Shorea sp. Adanya nilai koofisien positif dan negatif, mengindikasikan bahwa terdapat hubungan secara langsung dan tidak langsung saling mempengaruhi antara S. macrophylla dengan ke-8 jenis pohon dominan tersebut. Menurut Odum (1993); Gopal dan Bhardwaj (1979) bahwa secara teori, spesies-spesies anggota populasi saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan membentuk interaksi yang positif, negatif, nol, atau kombinasi yang bentuk interaksi itu dapat dibagi menjadi sembilan tipe yaitu neutralisme, kompetisi (tipe gangguan langsung), kompetisi (tipe penggunaan sumberdaya), amensalisme, parasitisme, predasi, komensalisme, dan mutualisme. Nilai koofisien asosiasi yang positif ini menandakan bahwa antara S. macrophylla dengan jenis tersebut mempunyai hubungan yang positif, tidak saling mengganggu satu sama lainnya bahkan saling mendukung satu sama lainnya. Sedangkan yang mempunyai nilai koofisien asosiasi negatif, ini berarti antara S. macrophylla dengan jenis pohon yang mempunyai koofisien asosiasi negatif bisa saling bersaing dalam memperebutkan zat makanan di habitatnya serta bisa saling menyingkirkan dengan mengeluarkan zat allelopaty sehingga menjadi racun bagi tanaman lainnya. Ini sesuai dengan pendapat Odum (1993), bahwa setiap anggota populasi dapat memakan anggota-anggota lainnya, bersaing terhadap makanan, mengeluarkan kotoran yang merugikan tanama lainnya, dapat saling membunuh, dan interaksi tersebut dapat searah ataupun dua arah (timbal balik) dan pendapat dari Gopal dan Bhardwaj (1979) bahwa persaingan yang dilakukan oleh organisme-organisme dapat berupa keaktifan dalam memperebutkan kebutuhan ruang, makanan, unsur hara, air, sinar, udara, agen penyerbukan, agen dispersal, atau faktor-faktor ekologi lainnya sebagai sumber daya yang dibutuhkan oleh tiaptiap organisme untuk hidup dan pertumbuhannya. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Shorea macrophylla masih banyak ditemukan di dalam plot penelitian di kawasan Tane’ Olen Desa Setulang Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Hal ini bisa dilihat dari nilai INP-nya yang paling tinggi dibandingkan jenis lainnya. 2. Jenis ini banyak terdapat didaerah lembah dibandingkan dengan daerah punggung dan lereng. Pola hidupnya menyebar secara acak dan mengelompok. 3. Shorea macrophylla tidak terlalu memiliki asosiasi yang nyata terhadap jenis dominan lainnya pada habitat yang sama. B. Saran Kearifan lokal masyarakat adat desa setulang dalam menjaga hutannya harus tetap selalu didukung oleh semua pihak agar kelestarian hutan ini tetap terjaga terutama jenis-jenis pohon yang sudah terancam punah.
276
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI V. Daftar Pustaka Barbour, B.M., J.K. Burk, and W.D. Pitts. 1999. Terrestrial Plant Ecology. New York: The Benjamin/Cummings. Bratawinata, AA. 1998. Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metoda analisis Hutan. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda. Daubenmire, R. 1968. Plant Communities: A Text Book of Plant Synecology. New York: Harper & Row Publishers. Fajri, M., Saridan, A. 2012. Kajian Ekologi Parashorea Malaanonan Merr Di Hutan Penelitian Labanan, Berau. Jurnal Dipterokarpa Volume 6 No. 2 Desember 2012. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda Fajri, M., Rojikin, A., Prasetya, S.E., Budiono M. 2012. Studi Level Pemanenan Buah Tengkawang Yang Lestari. Laporan Tahunan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan Gopal, B. Dan Bhardwaj, N. 1979. Elemen of Ecology. Departement of Botany. Rajasthan University Jaipur,India. Indriyanto, 2008. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Kholik, A., Harjana, K.H. 2011. Kuantifikasi Produksi Buah Tengkawang. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak Diterbitkan. McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi Kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press. Mueller-Dombois, D.; H. Ellenberg. 1974. Aimand Methods of Vegetation Ecology. John Willey and Sons. Canada. Odum, E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahyono Samingan dari buku Fundamentalis of Ecology. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Soerianegara, I., dan A. Indrawan. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Departemen Kehutanan-IPB. Soerianegara, I., Dan R.H.M.J. Lemmens (Editor). 1994. Timber Trees : Major Commercial Timber.Plant Resources of South- East Asia (PROSEA). No. 5 (1). Bogor. Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta. Penerbit Djambatan. Whittaker, R. H. And G. E. Likens. 1975. The Biosphere of Man, In Primary Productivity of The Biosphere. Edit by : Lieth and Whittaker. Springler-Verlag, New York.
277
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENGARUH PEMAKAIAN MULSA TERHADAP PERTUMBUHAN SUNGKAI (Peronema canescenss Jack.) Sahwalita dan Tubagus Angga Anugrah Syabana Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jln. Kol. H. Burlian KM 6,5 Punti kayu, PalembangSumatera Selatan e-mail :
[email protected] ABSTRAK Mulsa banyak digunakan pada tanaman pertanian untuk menjaga kesuburan tanah, kelembaban dan suhu. Aplikasi mulsa di kehutanan belum banyak digunakan, di lain pihak tahap awal pertumbuhan tanaman kehutanan memerlukan pengelolaan yang intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan mulsa untuk pertumbuhan awal tanaman sungkai di lapangan. Penelitian dilakukan pada plot uji silvikultur di KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin provinsi Sumatera Selatan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok, tiga ulangan, dan setiap perlakuan terdiri 20 tanaman. Perlakuan yang diuji yaitu: tanpa mulsa (M0), plastik putih (M1), plastik hitam (M2), paranet 70% (M3) dan seresah (M4). Variabel yang diamati adalah persentase hidup, tinggi, diameter dan angka pembentuk volume (t*d). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis mulsa memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata pada pertumbuhan diameter, tinggi dan persentase hidup tanaman; namun berpengaruh nyata pada angka pembentuk volume. Pertumbuhan angka pembentuk volume terbaik pada M2 dan berbeda tidak nyata dengan M4 dengan peningkatan nilai persentase masing-masing sebesar 25,48% dan 17,31% lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol. Pilihan aplikasi mulsa skala operasional adalah pada perlakuan M4 (mulsa organik dari seresah). Kata kunci : sungkai, mulsa, persentase hidup, tinggi, diameter, angka pembentuk volume I. PENDAHULUAN Pemakaian mulsa merupakan tindakan pengelolaan tanah yang biasa dilakukan pada tanaman pertanian dengan tujuan untuk menjaga kesuburan tanah, kelembaban dan suhu. Pemakaian mulsa pada tanaman pertanian selama ini nyata meningkatkan hasil panen. Jenis mulsa yang biasa digunakan terdiri dari mulsa anorganik berupa bahan plastik dan mulsa organik berupa sisa tumbuhan. Manfaat pemakaian mulsa terhadap tanah di sekitar tanaman cukup banyak antara lain menjaga kelembaban, mengurangi pencucian tanah (N, K, Ca dan Mg), menjaga kestabilan suhu, menahan percikan air hujan dan tiupan angin secara langsung. Selain itu, mulsa memberikan berbagai keuntungan baik dari aspek fisik maupun kimia tanah. Secara fisik mulsa mampu menjaga suhu tanah lebih stabil dan mampu mempertahankan kelembaban di sekitar perakaran tanaman serta mencegah radiasi langsung matahari (Doring et.al., 2006; Bareisisi dan Viselga, 2002). Mulsa mampu menekan pertumbuhan gulma di sekitar tanaman yang menjadi pesaing dalam penyerapan unsur hara dan air. Kondisi tanah yang ideal dan tanpa gangguan gulma akan memacu pertumbuhan tanaman sehingga dapat meningkatkan produksi. Sampai saat ini, penggunaan mulsa pada tanaman kehutanan masih sangat jarang. Pemakaian mulsa pada tanaman kehutanan sebenarnya mengadopsi dari tanaman pertanian yang terlebih dahulu telah berhasil. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan mulsa pada pertumbuhan awal tanaman kehutanan khususnya jenis sungkai. II.
BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan berupa tanaman sungkai pada plot uji silvikultur umur 1 (satu) bulan. Bahan mulsa terdiri dari plastik putih, plastik hitam, paranet dan seresah. Peralatan yang digunakan adalah gunting, parang, penggaris, kaliper, alat tulis dan tally sheet.
278
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI B. Metode Penelitian 1. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo-Banyuasin yang dikelolah oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang. KHDTK Kemampo termasuk dalam Resort Pemangkuan Hutan Kemampo yang berlokasi di Desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyu Asin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis terletak antara 104o18’07”-104o22’09” Bujur Timur dan 2o54’28”-2o56’30” Lintang Selatan. Topografi tergolong datar sampai bergelombang ringan dengan kemiringan 0%-10%, jenis tanah tergolong dalam Ultisol (Podsolik Merah Kuning), termasuk tipe iklim B berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan rata-rata curah hujan 1.800-2.000 mm per tahun (Balittaman dan Unsri, 2002). Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2011. 2. Prosedur kerja Mulsa dipasang pada pangkal tanaman sungkai yang telah dibersihkan untuk memudahkan pemasangan dan menghindari kerusakan pada bahan mulsa plastik. Mulsa dipasang secara jalur memanjang sesuai dengan perlakuan pada setiap blok penelitian. Pemasangan mulsa dari bahan plastik dilakukan dengan membuat lubang pada bagian tengah sesuai dengan letak tanaman dan pada bagian pinggir diberi penahan berupa kayu atau tonggak. Mulsa dari seresah didapatkan di sekitar tanaman dan ditimbun pada pangkal tanaman dengan luas 1 m 2 setebal +15 cm. 3. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan dan 20 tanaman setiap perlakuan. Perlakuan yang diaplikasikan terdiri 5 macam mulsa yaitu: tanpa mulsa/kontrol (M0), mulsa plastik putih (M1), mulsa plastik hitam (M2), mulsa dari paranet 70% (M3) dan mulsa organik berupa seresah (M4). Khusus pada tanaman dengan perlakuan tanpa mulsa (kontrol), dilakukan kegiatan pemeliharaan rutin setiap 2 bulan sekali berupa pembersihan gulma dengan penebasan disekeliling tanaman. Variabel yang diamati adalah pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman serta persentase hidup tanaman pada saat berumur 12 bulan (Desember 2011). Nilai pertumbuhan tinggi dan diameter yang digunakan dalam analisis merupakan selisih antara pengukuran akhir dengan pengukuran awal pada saat aplikasi mulsa. Data hasil pengamatan dan pengukuran berupa persentase hidup tanaman, pertumbuhan tinggi dan diameter serta angka pembentuk volume (perkalian tinggi dan diameter) dilakukan analisis varian dan bilamana menunjukkan perbedaan yang nyata akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan (DMRT). III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Data hasil pengukuran yang diperoleh menunjukan variasi yang lebar dengan pola distribusi yang tidak normal, sehingga perlu dilakukan transformasi data dalam bentuk akar. Hasil analisis varians data hasil pengamatan pertumbuhan tanaman sungkai umur 12 bulan di KHDTK Kemampo dengan berbagai aplikasi jenis mulsa terdapat pada Tabel 1, sedangkan hasil analisis uji lanjut dan rerata perlakuan terdapat pada Tabel 2. Tabel 1. Analisis varians aplikasi jenis mulsa terhadap pertumbuhan tanaman sungkai umur 12 bulan. Sumber Variasi Rerata kuadrat Diameter Tinggi D*T Persen hidup Ulangan 10,17 ** 2,10 ** 3,47** 260,00 * Mulsa 1,17ns 0,26ns 0,54* 64,17ns Galat 0,54 0,16 0,21 51,67 Keterangan: ** =Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1% * = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% ns = non signifikan
279
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Rerata perlakuan aplikasi jenis mulsa pada tanaman sungkai Diameter Tinggi D*T Persen hidup Rerata Mulsa Rerata Mulsa Rerata Mulsa Rerata Mulsa (cm) (m) (cm.m) (%) 3,90 M2 1,62 M4 6,55 a M2 91,67 M2 3,54 M3 1,61 M2 6,10 a b M4 90,00 M1 3,54 M1 1,49 M0 5,55 b M3 88,33 M0 3,54 M4 1,46 M3 5,20 b M0 85,00 M4 3,37 M0 1,43 M1 5,12 b M1 80,00 M3 Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% - M0: kontrol, M1: plastik putih, M2: plastik hitam, M3:paranet, M4:seresah. Berdasarkan Tabel 1 secara umum aplikasi jenis mulsa memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan persentase hidup tanaman, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada angka pembentuk volume (tinggi*diameter). Pertumbuhan diameter, tinggi dan persentase hidup tanaman (Tabel 2.) berturut-turut mempunyai rerata 3,58+0,19 cm; 1,52+0,009 m dan 87+4,62%. Angka pembentuk volume (tinggi*diameter) tanaman terbaik pada perlakuan M2 (plastik hitam) sebesar 6,55 cm.m, dimana nilainya tidak berbeda nyata dengan perlakuan M4 (mulsa organik seresah) sebesar 6,10 cm.m. B. Pembahasan Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman mempunyai rerata yang cukup baik yaitu 87+4,62%. Hal ini mengindikasikan bahwa aplikasi mulsa memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi keberhasilan tumbuh tanaman. Sebagaimana fungsinya, mulsa dapat mengoptimalkan pertumbuhan tanaman melalui perbaikan iklim mikro dan meminimalkan pertumbuhan tanaman pesaing (gulma). Selain itu, mulsa bermanfaat untuk meningkatkan suhu tanah karena energi matahari melewati mulsa dan memanaskan udara dan tanah dibawah mulsa secara langsung dan panas terperangkap oleh efek rumah kaca (Hu et al., 1995). Tanaman kontrol mempunyai nilai persentase hidup yang sama dengan tanaman yang diaplikasikan mulsa karena adanya perlakuan penyiangan secara periodik berupa tebas gulma. Kegiatan ini secara langsung berperan untuk meminimalkan persaingan tanaman pokok dengan gulma. Kegiatan pembersihan gulma secara manual atau kimia yang dilakukan pada tanaman perlu dicarikan alternatif dalam upaya pengurangan tenaga kerja, ekonomis dan menjaga lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan mulsa. Strategi pengendalian gulma yang tepat, efektif dan ekonomis sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman dan lahan. Pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik dimiliki oleh jenis mulsa yang berbeda yaitu mulsa plastik hitam (M2) untuk pertumbuhan diameter dan mulsa seresah (M4) untuk pertumbuhan tinggi (Tabel 2). Dengan demikian ditentukan nilai variabel baru berupa angka pembentuk volume yang merupakan penggabungan dari variabel tinggi dan diameter (tinggi*diameter). Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka pembentuk volume pohon berbeda nyata antar perlakuan aplikasi mulsa. Pertumbuhan terbaik pada perlakuan M2 (plastik hitam) sebesar 6,55 cm.m dengan nilai persentase sebesar 25,48% lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan mulsa M2 (plastik hitam) ini secara statistik mempunyai nilai yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan M4 (mulsa seresah) sebesar 6,10 cm.m dengan nilai persentase sebesar 17,31% lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan terbaik pada mulsa plastik hitam karena mampu memberikan efek gelap yang dapat menekan gulma dan berfungsi menyerap panas, menjaga suhu tanah sehingga mikoriza dan mikroorganisme berfungsi baik, menekan erosi, mengurangi penguapan air tanah (Rukmana, 1996 dan Umboh, 1997). Manfaat pemakaian mulsa plastik lebih menitikberatkan pada pengendalian gulma sebagai pesaing tanaman pokok. Sebagaimana pernyataan Muzik, 1972 dalam Hadi dkk., 2008, bahwa gulma menyebabkan kehilangan hasil (produksi) yang lebih besar daripada kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama dan penyakit, yaitu menurunkan hasil sebesar 30%. Mulsa plastik putih dan paranet mempunyai fungsi yang hampir sama dengan fungsi plastik hitam. Namun, pada mulsa plastik putih masih bisa ditembus sinar matahari, sehingga gulma masih bisa berkembang walaupun dalam kondisi tertekan. Sedangkan mulsa paranet mempunyai rongga menyebabkan gulma masih bisa tumbuh. Kelemahan mulsa plastik adalah tidak menambah kesuburan tanah dan limbahnya berupa plastik yang bisa menimbulkan pencemaran lingkungan. Aplikasi mulsa organik dari seresah (M4) mempunyai fungsi yang relatif lebih lengkap bila dibandingkan dengan mulsa plastik. Adanya fungsi tambahan pada mulsa seresah yaitu mampu menambah kesuburan tanah. Seperti
280
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI pernyataan Sarief, (1986), mulsa seresah berfungsi memperbaiki iklim mikro untuk pertumbuhan mikroorganisme serta menyediakan unsur hara bagi tanaman pokok hasil dari dekomposisi bahan organik (seresah). Selain itu, mulsa yang berasal dari sisa tanaman mempunyai konduktivitas panas rendah, sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa plastik (Mahmood et al, 2002). Kondisi ini yang menyebabkan pertumbuhan tanaman secara umum menjadi lebih baik daripada pemanfaatan mulsa dari plastik. Mulsa organik dapat meningkatkan persediaan air di dalam tanah dan memberikan naungan pada tanah sehingga suhunya lebih rendah. Suhu tanah yang rendah dapat mengurangi laju respirasi akar sehingga asimilat yang disumbangkan untuk cadangan makanan menjadi lebih banyak dibandingkan pada perlakuan tanpa mulsa (Timlin et al., 2006). Kelembaban dan suhu tanah yang sesuai selama pertumbuhan tanaman menyebabkan perkembangan akar dan pertumbuhan vegetatif tanaman menjadi lebih baik. Mulsa seresah memperbaiki struktur tanah, meningkatkan bahan organik dan membangun pola daur hara mirip dengan ekosistem alami (Tiquia et al., 2002; Roe, 1998).
a. b. c. d. e. Gambar 1. Tanaman sungkai dengan mulsa seresah(a), paranet (b), plastik hitam(c), plastik bening (d) serta kontrol (e). Secara umum kondisi tanaman tidak terlihat perbedaan antara perlakuan mulsa dibandingkan dengan kontrol (Gambar 1). Walaupun demikian, pada kontrol gulma akan muncul kembali setelah 2 minggu penebasan. Kegiatan ini akan menambah biaya produksi dengan adanya penambahan biaya untuk operasional penebasan gulma. Pemakaian mulsa plastik pada tanaman memerlukan biaya tambahan untuk membeli mulsa plastik, sedangkan mulsa seresah tidak memerlukan biaya karena diperoleh dari sekitar lokasi penelitian. Adapun besar biaya yang dikeluarkan untuk pembelian mulsa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Biaya pemakaian mulsa sesuai jenis Jenis Mulsa Volume (m) Serasah . Paranet 210 Plastik hitam 210 Plastik bening 210
Harga (Rp) 0 4.000 12.000 13.000
Biaya (Rp) .0 840.000,2.520.000,2.730.000,-
Besarnya biaya pembelian mulsa menjadi pertimbangan dalam pemakaian mulsa plastik untuk skala luas pada tanaman kehutanan. Peningkatan biaya tersebut tergatung dengan kondisi pasar jika harga plastik meningkat, maka biaya yang dikeluarkan juga bertambah. Secara ekonomis mulsa organik layak untuk dikembangkan dalam skala operasional. Penggunaan mulsa plastik dalam bidang kehutanan khususnya pada hutan tanaman sebaiknya digunakan dalam skala kecil dan terbatas misalnya pada bedeng kebun pangkas, kebun percobaan, taman kota, arboretum, kebun koleksi, kebun jenis pohon langka dan hutan rakyat dalam skala kecil (Effendi, 2007). IV. KESIMPULAN Kesimpulan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apikasi mulsa meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman sungkai pada tahap awal pertumbuhan di lapangan. 2. Pemakaian jenis-jenis mulsa tidak memberikan perbedaan pertumbuhan tinggi dan diameter secara nyata pada tanaman sungkai pada awal pertumbuhan.
281
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 3. Pilihan aplikasi mulsa skala operasional adalah pada perlakuan M4 (seresah) yang efektif menekan gulma, memberikan iklim mikro potensial untuk perkembangan mikroorganisme, menambah kesuburan tanah serta mudah diperoleh dan ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA Balai Litbang Hutan Tanaman dan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 2002. Design Engineering Wanariset Kemampo. Palembang. Tidak dipublikasikan. Bareisis, R., G. Viselga. 2002. Trends in the development of potato cultivation technologies. Institute of Agricultural Enginering, Raudonddevaris. Lituania http://tehnika .eau.ee. diakses 15 Desember 2008. Doring, T., U. Heimbach, T. Thieme, M. Finckch and H. Saucke. 2006. Aspect of straw mulching in organic potatoes-I, effect on microclimate, Phytophtora infestans, and Rhizoctonia solani. Nachrichtenbl. Deut. Pflanzenschutzd. 58 (3); 73-78. Effendi, R. 2007. Kemungkinan Penggunaan Mulsa Plastik Perak Hitam Pada Pemeliharaan hutan Tanaman. Mitra Hutan Tanaman Vol. 2 No. 1 Agustus 2007, 09-13. Bogor. Hadi, E.E.W., J. Muara, A. Kurniawan. 2008. Teknik Pengendalian Gulma Hutan Tanaman. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2008. Balai Penelitian kehutanan palembang. Tidak Dipublikasikan. Hardjowigeno, S. 2005. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta Hu, W., S.Duan, Q.Sui. 1995. High yield technology for groundnut. Int Arachis Newsl 15 (suppl): 1-22. Mahmood, M., K. Farroq, A. Hussain, and R. Sher. 2002. Effect of mulching on growth and yield of potato crop. Asian J of Plant Sci 1(2):122-133. Roe, N. E. 1998. Compost utilization for vegetable and fruit crops. Hortic Sci 33:934-937. Rukmana, R. 1996. Usaha Tani Cabai hibrida Sistem Mulsa Plastik. PT Kanisius. Cetakan ke-2 (Revisi). Yogyakarta. Sarief, E. S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah. Pustaka Buana. Bandung. Timlin, D., S.M.L. Rahman, J. Baker, V.R. Reddy, D. Feisher, and B. Quebedeaux. 2006. Whole plant photosynthesis, development and carbon partitioning in patato as a function of temperature. Agron. J. 98(5): 1195-1203. Tiquia, S.M., J.lloyd, D.A.Herms, H.A.J.Hoitink, F.C.Michel. 2002. Effect of mulching and fertilization on soil nutrients, microbial activity and rhizosphere bacterial community structure determined by analysis of TRFLPs of PCRamplified 165 + RNA genes. Appl soil Eco 21:31-48. Umboh, A. H. 1997. Petunjuk Penggunaan Mulsa. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
282
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Lampiran 1. Hasil analisis tanah tempat penanaman sungkai di KHDTK Kemampo-Sumatera Selatan Nilai pada kedalaman tanah No. Karakteristik 0-20 cm Ket. 20-40 cm 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
pH H2O 4,07 SM 4,16 pH KCl 3,71 SM 3,74 C-Organik, % 1,83 R 0,99 N-Total, % 0,14 R 0,10 P-Bray, ppm 4,95 SR 15,45 K, me/100 g 0,30 S 0,24 Na, me/100 g 0,22 R 0,33 Ca, me/100 g 0,58 SR 0,43 Mg, me/100 g 0,13 SR 0,06 KTK, me/100 g 15,23 R 14,88 Al-dd, me/100 g 1,64 1,32 H-dd, me/100 g 0,36 0,56 Tekstur: - Pasir, % 49,46 43,11 - Debu, % 32,98 28,94 - Liat, % 17,56 27,95 Catatan: Dianalisis oleh Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
Ket. SM SM SR R R R R SR SR R
CL
: SM=Sangat Masam, SR=Sangat Rendah, R=Rendah, S=Sedang CL = Lempung berliat (Hardjowigeno, 2005)
283
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PRODUKTIVITAS JAMUR Pleurotus spp. PADA KOMPOS SERBUK GERGAJI KAYU Hevea brasiliensis Muell. Arg. Sihati Suprapti & Djarwanto e-mail:
[email protected] Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor.Telp. (0251)-8633378, Fax. (0251)-8633413 ABSTRAK Jamur tiram pink (Pleurotus flabellatus), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dan jamur tiram abu-abu (Pleurotus sajor-caju) merupakan jamur perusak kayu yang dapat dimakan dan telah dikonsumsi masyarakat secara luas. Budidaya Pleurotus spp. menggunakan media produksi yang terdiri dari serbuk gergaji kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) yang ditambah kapur 2,5%, gips 0,4%, urea atau ammonium sulfat (ZA) 0,5%, dedak 20% dan air suling secukupnya, selanjutnya diperam selama 1, 3, 5, 7 dan 9 hari. Media dikemas ke dalam kantong plastic PVC kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 °C, tekanan 1,5 atmosfir, selama 30 menit. Media steril yang telah dingin kemudian diinokulasi biakan murni jamur Pleurotus spp. Efisiensi konversi biologis (EB) dihitung berdasarkan bobot tubuh buah segar terhadap bahan media kering dan dinyatakan dalam persen. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan pupuk urea memberikan hasil yang lebih tinggi (83,75%) dibandingkan dengan penambahan pupuk ZA yakni 74,87%. Semakin lama pemeraman media cenderung menurunkankan produksi dan nilai EBnya. Nilai EB tertinggi dijumpai pada jamur P. ostreatus (85,25%), kemudian P. flabellatus (76,62%) sedangkan nilai EB terendah terdapat pada P. sajor-caju (76,08%). Kata kunci: Budidaya jamur tiram, pemeraman media, suplemen, produksi, efisiensi konversi biologis PENDAHULUAN Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) termasuk famili Euphorbiaceae, banyak ditemukan di perkebunan besar dan perkebunan rakyat di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan untuk diambil getahnya. Sejak ditemukan karet sintetis yang memiliki sifat mirip dengan karet alam, maka mulai terasa adanya saingan yang berat bagi karet alam tersebut, sehinga masa depannya kurang menggembirakan. Salah satu usaha untuk menghadapi persaingan tersebut adalah mengadakan peremajaan dengan tanaman bibit unggul serta mengefisiensikan kayu yang telah ditebangnnya serta hasil-hasil ikutan lainnya (Martawijaya, 1972). Menurut Oey (1990) kayu karet termasuk kelas kuat II-III sehingga kemungkinan dapat digunakan untuk kayu perumahan. Penggunaan kayu karet gergajian yaitu sebagai substitusi kayu ramin, agathis dan meranti putih. Sebagian besar penduduk memanfaatkan kayu karet tersebut untuk kayu bakar. Jamur tiram (Pleurotus spp.) merupakan sumber daya hutan potensial yang belum optimal penanganannya di dalam pengelolaannya. Jamur tersebut memiliki peran penting sebagai perombak utama limbah lignoselulosa di hutan tropis (Kurtzman dan Zadrazil, 1982). Jamur tiram merupakan jamur perusak kayu yang mengandung gizi lebih baik dibandingkan dengan sayur dan buah (Crisan & Sands, 1978; Bano & Rajarathnam, 1982 dan Djarwanto & Suprapti, 1990 & 1992) dan memiliki efek medis (Cochran, 1978; Chang, 1993; Chang dan Miles, 2004; Gregori et al., 2007). Budidaya jamur tiram (Pleurotus spp.) di Indonesia umumnya menggunakan teknologi sederhana sehingga mudah diserap oleh masyarakat awam. Berdasarkan studi kelayakan ekonomi pada skala rumah tangga, budidaya jamur tiram dapat dikembangkan pada skala usaha tani kecil (Suprapti dan Djarwanto, 2009 dan Djarwanto dan Suprapti, 2004). Laporan sebelumnya menyatakan bahwa media budidaya jamur terbaik adalah pada kayu karet (Suprapti, 1988; Suprapti dan Djarwanto, 1995). Budidaya jamur tersebut dilakukan pada media serbuk gergaji kayu karet ditambah bahan suplemen dengan tujuan untuk memperoleh data produktivitasnya.
284
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI BAHAN DAN METODE Media dibuat dari campuran serbuk gergaji kayu karet, dedak, kapur, gips, urea atau ZA (ammonium sulfat) dan air bersih suling secukupnya. Adapun komposisi medianya adalah serbuk gergaji 75,5% + dedak 20% + kapur 2,5% + gips 1,5%, urea atau ZA 0,5% + air suling. Bahan pada masing-masing komposisi media kecuali dedak dicampur sampai rata/homogen kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik dan diperam selama 1, 3, 5, 7, dan 9 hari. Selanjutnya bahan media ditambahkan dedak, diaduk agar bercampur rata lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik PVC ukuran 15x25 cm sebanyak 500 gram per kantong. Media disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC tekanan 1,5 atmosfir selama 30 menit. Media steril yang telah dingin diinokulasi biakan murni Jamur tiram pink (Pleurotus flabellatus), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dan jamur tiram abu-abu (Pleurotus sajor-caju), kemudian diinkubasikan sampai pertumbuhan miseliumnya rata dan tebal. Setiap perlakuan disediakan 5 kantong media sebagai ulangan. Pada umur empat minggu, media ditimbang untuk mengetahui penurunan bobotnya. Setelah miselium tumbuh rata dan tebal, tutup pada kantong plastik dibuka atau dirobek mulai bagian atas. Penyiraman dilakukan setiap hari agar kondisi lingkungannya lembab. Pemanenan jamur dilakukan apabila tubuh buah jamur telah masak petik. Efisiensi konversi biologis (EB) dihitung berdasarkan bobot tubuh buah jamur segar berbanding bahan media kering dan dinyatakan dalam persen. Data bobot tubuh buah (gram) dan nilai EB (%) dianalisa dengan rancangan faktorial 5x2x3 (waktu pemeraman media, penambahan pupuk pada media dan jenis jamur Pleurotus), dengan 5 ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan miselium jamur telah merata pada umur 3-4 minggu setelah inokulasi. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa pertumbuhan miselium Pleurotus ostreatus and P. sajor-caju telah merata pada minggu ke-empat setelah inokulasi (Suprapti dan Djarwanto, 2001a, Djarwanto dan Suprapti, 2010, Djarwanto et al., 2004). Menurut Islam et al. (2009), Khan et al. (2012) dan Kihumbu et al. (2008), pertumbuhan miselium jamur telah merata pada umur 25-30 hari (P. flabellatus), 26,5-45 hari (P. sajor-caju) dan 14 hari (P. sajor-caju pada media tongkol jagung) setelah inokulasi. Lin (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan miselium jamur P. ostreatus telah merata pada pada umur 4-5 minggu setelah inokulasi. Data penurunan bobot media akibat aktivitas jamur, permulaan panen dan bobot tubuh buah pada masingmasing jenis jamur disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Pada umur empat minggu, penurunan bobot media akibat aktivitas jamur P. sajor-caju paling tinggi. Penurunan bobot media merupakan tanda terjadinya kerusakan atau pelapukan kayu. Antai dan Crawford (1982) juga Fortin dan Poliquin (1976) menyatakan bahwa penurunan bobot terjadi karena degradasi komponen kimia (terutama lignin dan selulosa) oleh jamur. Penurunan bobot media oleh jamur Pleurotus spp. nampak bervariasi. Penurunan bobot media yang diinokulasi oleh jamur P. sajor-caju lebih tinggi dibandingkan pada media yang diinokulasi P. flabellatus dan P. ostreatus. Menurut Djarwanto dan Suprapti (1998), penurunan bobot kayu karet oleh jamur adalah 9,2-19,7% (P. flabellatus), 15,9-22,2% (P. ostreatus), dan 10,7% (P. sajor-caju). Penurunan bobot media yang ditambah pupuk ZA umumnya lebih besar dibandingkan dengan media yang ditambah urea. Hal ini mungkin disebabkan oleh pertumbuhan miselium pada media yang ditambah ZA lebih tebal, dan makanan untuk pertumbuhan tersebut diperoleh dengan cara lebih aktif mendegradasi media tersebut..
Jenis pupuk Urea
ZA
Tabel 1. Rata-rata produksi jamur tiram pink (Pleurotus flabellatus) Waktu peram Penurunan bobot Permulaan Bobot Jamur Jumlah (hari) media (%) panen (hari) (gram) tudung (buah) 1 4,40 27 188,4 167,0 3 6,15 28 176,6 111,2 5 6,20 45 157,0 67,7 7 5,84 26 209,6 158,4 9 5,53 38 130,6 90,4 1 4,70 26 163,8 111,0 3 6,40 46 16,8 102,5 5 5,60 35 154,0 46,5 7 6,80 30 117,0 92,0 9 6,35 39 119,2 103,2
285
Frequensi panen (kali) 9,2 8,4 6,0 8,4 7,4 8,0 6,6 5,0 7,0 7,2
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Jenis pupuk Urea
ZA
Tabel 2. Rata-rata produksi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) Waktu peram Penurunan bobot Permulaan Bobot Jamur Jumlah (hari) media (%) panen (hari) (gram) tudung (buah) 1 5,70 32 179,8 41,2 3 5,45 32 199,6 44,6 5 6,11 34 171,0 70,7 7 5,09 32 166,0 61,5 9 5,00 33 194,4 45,7 1 5,85 33 166,0 44,0 3 5,08 31 153,4 36,3 5 6,81 33 138,2 40,1 7 6,03 32 185,8 61,0 9 6,50 32 172,8 35,8
Frequensi panen (kali) 3,8 4,2 4,4 4,0 4,4 4,0 4,8 4,0 5,6 5,0
Jamur dipanen apabila telah mekar sempurna dan masak petik yaitu pada umur 3 hari setelah primordianya muncul. Pertumbuhan tubuh buah jamur P. sajor-caju dan sebagian P. flabellatus terlihat lambat. Hal ini disebabkan oleh gagalnya perkembangan primordia atau primordia nampak kering dan layu. Narh et al. (2011), Suprapti and Djarwanto (2001a, 2009) menyatakan bahwa jamur P. flabellatus, P. ostreatus, dan P. sajor-caju telah masak petik pada umur 3-4 hari setelah primordianya muncul. Permulaan panen jamur P. flabellatus, P. ostreatus dan P. sajor-caju masing-masing berkisar antara 26-45 hari, 31-33 hari, dan 40-96 hari setelah inokulasi. Permulaan panen tersebut umumnya mendekati permulaan panen jamur P. flabellatus, P. ostreatus dan P. sajor-caju yakni 25-32 hari, 30-34 hari dan 88-136 hari setelah inokulasi (Suprapti dan Djarwanto, 1992). Laporan sebelumnya menunjukan bahwa permulaan panen jamur P. ostreatus dan P. sajor-caju masing-masing berkisar antara 31-39 hari dan 33-48 hari setelah inokulasi (Djarwanto et al., 2004). Menurut Shah et al. (2004), tubuh buah P. ostreatus dipanen pada umur 27-34 hari setelah inokulasi. Permulaan panen jamur P. ostreatus berkisar antara 31-43 hari setelah inokulasi (Pathmashini et al., 2008). Didapatkan bahwa jumlah tudung jamur P. flabellatus paling banyak yaitu berkisar antara 47-167 buah, kemudian P. ostreatus dan jumlah tudung terendah dijumpai pada P. sajor-caju yakni berkisar antara 17-31 buah. Frekuensi panen terbanyak adalah 7,3 (5-9,2) kali diperoleh dari P. flabellatus, kemudian 4,4 (4-5,6) kali (P. ostreatus) dan 4,6 (3,6-5,2) kali (P. sajor-caju). Ukuran tubuh buah jamur P. flabellatus lebih kecil dan lebih tipis jika dibandingkan dengan P. ostreatus dan P. sajor-caju. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan tumbuh dan penebalan miselium P. flabellatus pada media yang luka setelah panen lebih cepat dibandingkan dengan dua jenis jamur lainnya.
Jenis pupuk Urea
ZA
Tabel 3. Rata-rata produksi jamur tiram abu-abu (Pleurotus sajor-caju) Waktu peram Penurunan bobot Permulaan Bobot Jamur Jumlah (hari) media (%) panen (hari) (gram) tudung (buah) 1 6,67 40 164,0 27,0 3 6,20 89 160,2 30,8 5 5,53 84 159,8 23,3 7 6,93 88 150,8 26,4 9 6,00 75 142,6 21,0 1 7,00 99 148,2 21,2 3 7,20 86 156,0 23,0 5 5,27 96 163,4 22,8 7 7,20 44 147,8 17,4 9 6,60 75 146,2 30,6
Frequensi panen (kali) 6,2 4,6 5,0 5,2 3,6 4,0 4,2 5,0 3,6 4,8
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa waktu pemeraman media, penambahan pupuk dan jenis jamur yang diinokulasikan mempengaruhi bobot tubuh buah dan nilai efisiensi konversi biologisnya (p < 0.01). Pada Tabel 4, ditunjukkan bahwa produksi dan nilai EB yang tinggi didapatkan pada media yang diperam selama 1 dan 3 hari, namun lama pemeraman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tukey, p<0.05). Semakin lama pemeraman media cenderung semakin menurun produksi dan nilai EBnya. Oleh karena itu untuk budidaya jamur Pleurotus spp. pada serbuk gergaji kayu karet dapat dilakukan secara langsung atau tanpa perlakuan pemeraman, sehingga dapat
286
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI menghemat waktu dan biaya. Ini menunjukkan bahwa kayu karet mudah dirombak oleh jamur untuk makanannya, yang umum dijumpai pada kayu kelas awet rendah (IV-V). Martawijaya (1972) dan Oey (1990) menyatakan bahwa kayu karet termasuk kelas awet V. Sedangkan menurut Suprapti (2010) ketahanan kayu karet terhadap jamur pelapuk termasuk kelas IV (IV-V). Uji beda Tukey (p<0.05) menunjukkan bahwa produksi dan nilai EB pada media yang ditambah urea adalah 169,83 gram dengan nilai EB 83,75%, yang lebih tinggi dibandingkan dengan media yang ditambah ZA yaitu 151,44 gram dan nilai EBnya 74,87%. Hasil ini senada dengan laporan sebelumnya yaitu produksi dan nilai EB yang dihasilkan pada media yang ditambah urea lebih tinggi dibandingkan dengan pada media yang ditambah ZA (Suprapti, 1989, 1989a). Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa produksi dan nilai EB jamur P. ostreatus lebih tinggi dibandingkan dengan P. flabellatus dan P. sajor-caju (p<0.05). Laporan sebelumnya menyebutkan bahwa hasil panen jamur P. ostreatus adalah paling tinggi (204,89 g/kantong), kemudian diikuti oleh P. flabellatus (157,49 g) dan hasil terendah diperoleh dari jamur P. sajor-caju yaitu 118,8 g (Suprapti dan Djarwanto, 1995). Hasil penelitian yang dilakukan di kelompok tani jamur juga menunjukkan bahwa hasil panen jamur P. ostreatus lebih besar dibandingkan dengan P. sajorcaju (Suprapti dan Djarwanto, 1992 dan 2001). Shah et al. (2004) dan Narh et al. (2011) menyatakan bahwa nilai EB jamur P. ostreatus berkisar antara 62,1-64,7% dan 50,9-59,8%. Menurut Villaceran (2006), nilai EB jamur P. sajor-caju adalah 24%. Sedangkan Khan et al. (2012) menyatakan bahwa nilai EB jamur P. flabellatus berkisar antara 50,1-70,6%. Obodai et al. (2002) menyatakan bahwa nilai EB P. ostreatus adalah 50,9 % dan P. sajor-caju yakni 34,5%. Tabel 4. Rata-rata produksi dan nilai efisiensi konversi biologis jamur Pleurotus spp. pada media yang diperam Waktu peram (hari) 1 3 5 7 9
Bobot jamur (gram) 168,37 163,77 157,23 162,83 150,97
Nilai EB (%) 81,36 82,82 79,34 76,89 76,14
Berdasarkan analisis statistik terdapat interaksi antara jenis pupuk dengan jenis jamur, dan interaksi antara waktu pemeraman dengan jenis jamur. Bobot jamur tertinggi dijumpai pada media yang ditambah pupuk urea, diperam selama 7 hari, dan diinokulasi P. flabellatus. Sedangkan bobot jamur terendah didapatkan pada media yang ditambah pupuk ZA diperam selama 7 hari, dan diinokulasi P. flabellatus. Nilai EB tertinggi dijumpai pada media yang ditambah pupuk urea, diperam selama 3 hari, dan diinokulasi P. ostreatus. Sedangkan nilai EB terendah diperoleh dari media yang ditambah pupuk ZA diperam selama 7 hari, dan diinokulasi P. flabellatus. Tabel 5. Rata-rata produksi dan nilai efisiensi konversi biologis (EB) jamur Pleurotus spp. Jenis jamur Pleurotus flabellatus Pleurotus ostreatus Pleurotus sajor-caju
Bobot jamur (gram) 155,3 b 172,7 a 153,9 b
Nilai EB (%) 76,62 b 85,25 a 76,06 b
Keterangan: Angka-angka pada masing-masing kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey p < 0.05. Dari ketiga jenis jamur tersebut, pemasyarakatan P. ostreatus lebih luas dibandingkan dengan P. flabellatus dan P. sajor-caju, konsumen lebih menyukai jamur yang warnanya putih dibandingkan dengan warna lain karena takut jamur tersebut beracun. Hal ini disebabkan petani jamur umumnya menanam jamur P. ostreatus, karena bibitnya mudah didapat, produksinya lebih besar dan harganya lebih rendah (terjangkau oleh konsumen) dibandingkan dengan kedua jenis jamur lainnya. Menurut Pasaribu et al. (2002) jamur tiram putih (P. ostreatus) merupakan salah satu jenis jamur unggulan yang menembus pasar.
287
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI KESIMPULAN Dalam budidaya jamur Pleurotus sp. menunjukkan bahwa penambahan pupuk urea memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan pupuk ZA. Semakin lama pemeraman media cenderung menurunkankan produksi dan nilai EBnya. Budidaya jamur pada kayu karet dapat dilakukan secara langsung tanpa perlakuan pemeraman media. Nilai EB jamur Pleurotus sp. tertinggi dijumpai pada P. ostreatus, kemudian P. flabellatus, sedangkan nilai EB terendah didapatkan pada P. sajor-caju. Bobot jamur tertinggi dijumpai pada media yang ditambah pupuk urea, diperam selama 7 hari, dan diinokulasi P. flabellatus. Sedangkan bobot jamur terendah didapatkan pada media yang ditambah pupuk ZA diperam selama 7 hari, dan diinokulasi P. flabellatus DAFTAR PUSTAKA Antai SP, Crawford DL. 1982. Degradation of Extractive-free Lignocelluloses by Coriolus versicolor and Poria placenta. European J. Appl. Microbiol Biotechnol (1982) 14: 165-168. Bano Z, Rajarathnam S. 1982. Pleurotus mushroom as a nutritious food. In Chang ST, Quimio TH (Eds) Tropical Mushrooms Biological Nature and Cultivation Methods. P.: 363-380. The Chinese University Press. Hong Kong. Chang ST. 1993. Mushroom biology: The impact on the mushroom production and mushroom products. In Chang ST, Bushwell JA, Chiu SW (Eds.) Mushroom Biology and Mushroom Products. p.: 3-20. The Chinese University Press. Hong Kong. Chang ST, Miles PG. 2004. Mushrooms cultivation, nutritional value, medicinal effect, and environmental impack. Second Edition. 477 p. CRC Press. Cochran KW. 1978. Medical Effects. In Chang ST, Hayes WA (Eds.) The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms. p.: 169-187. Academic Press. New York. Crisan EV, Sands A. 1978. Nutritional value. In Chang ST, Hayes WA (Eds.) The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms. p.: 137-168. Academic Press. New York. Djarwanto, Suprapti S. 1990. Nilai gizi jamur Pleurotus flabellatus. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Hayati, 20-21 September 1990 di Yogyakarta. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Djarwanto, Suprapti S. 1992. Nilai gizi jamur tiram putih Pleurotus ostrteatus yang ditanam pada limbah penggergajian. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi tanggal 11-12 Pebruari 1992 di Bogor. Hal.: 81-88. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Djarwanto, Suprapti S. 1998. Decay resistance of three wood species against some wood destroying fungi. Proceedings of The Second International Wood Science Seminar, November 6-7, 1998, Serpong. pp.: C57-C63. Research and Development Center For Applied Physics, LIPI. Indonesia. Djarwanto, Suprapti S. 2001. Pemanfaatan serbuk gergaji kayu diameter kecil untuk media tiga jenis jamur tiram. Environment Conservation Through Efficiency Utilization of Forest Biomass. Hal.: 325-332. Debut Press Jogyakarta. Yogyakarta. Djarwanto, Suprapti S. 2010. Pengaruh sumber bibit terhadap pertumbuhan jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(2): 156-168. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Djarwanto, Suprapti S, yamto, Roliadi H. 2004. Cultivation of edible mushroom in Karo, North Sumatera. In Gintings A Ng, Daryanto H, Roliadi H (eds.) Proceeding of The Interatonal Worksop “Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environment, March 16-17, 2004, Bogor-Indonesia. p.: 199-210. Fortin Y, Poliquin J. 1976. Natural durability and preservation of one hundred tropical African woods. International Development Research Centre. IDRC-017e. 131 p. Gregory AM, Svagelj, Pohleven J. 2007. Cultivation techniques and medicinal properties of Pleurotus spp. Food Technol. Biotechnol. 45(3): 236-249. Islam MZ, Rahman MH, Hafiz F. 2009. Cultivation of oyster mushroom (Pleurotus flabellatus) on different substrates. Int. J. Sustain.Crop Prod. 4(1): 45-48.
288
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Khan NA, Ajmal M, Imam ul haq M, Javed N, Asif Ali M, Benyamin R, Khan SA. 2012. Impact of sawdust using various woods for effective cultivation of oyster mushroom. Pak. J. Bot. 44(1): 399-402. Kihumbu AG, Shitandi AA, Maina MS, Khare KB, Sharma HK. 2008. Nutritional composition of Pleurotus sajor-caju grown on water hyacinth, wheat straw and corncob substrate. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences 4(4): 321-326. Kurtzman RH, Zadrazil F. 1982. Physiological and taxonomic consideration for cultivation of Pleurotus mushrooms. In Chang, S.T. and T.H. Quimio (eds) Tropical Mushrooms: Biological nature and cultivation methods. p.: 277-380. The Chinese University Press, Hong Kong. Lin Z. 2004. Mushroom Growers’ Handbook. Oyster mushroom cultivation. www fungifun.0rg/mushworld/Oystermushroom cultivation/mushroom. Diakses tanggal 18 April 2013. Narh DL, Obodai M, Baka D, Dzomeku M. 2011. The efficiency of sorghum and millet grains in spawn production and carpophore formation of Pleurotus ostreatus (Jacq. Ex Fr.) Kummer. International Food Research Journal 18(3): 1143-1148. Obodai M, Vowotor KA, Marfo K. 2002. Performance of various strains of Pleurotus species under Ghanaian conditions. In Sanchez et al. (eds.) Mushroom Biology and Mushroom Products. Ed. UAEM. ISBN 968-878-105-3. pp.: 461466. Diakses tanggal 7 Mei 2013. Oey DS. 1990. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Pasaribu T, Permana DR, Alda ER. 2002. Aneka jamur unggulan yang menembus pasar. PT Gramedia, Jakarta. Pathmashini L, Arulnandhy V, Wijeratnam RSW. 2008. Cultivation of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) on sawdust. Cey. J. Sci. (Bio. Sci.) 37(2): 177-182. Shah ZA, Ashraf M, Ishtiaq ChM. 2004. Comparative study on cultivation and yield performance of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) on different substrates (wheat straw, leaves, sawdust). Pakistan Journal of Nutrition 3(3): 158-160. Suprapti S. 1989. Pengaruh penambahan pupuk terhadap produksi jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(4): 225230. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Suprapti S. 1989a. Pemanfaatan limbah kayu HTI untuk media jamur tiram. Proceedings Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI tanggal 23 Maret 1989 di Jakarta. Hal.: 328-338. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Suprapti S. 2010. Decay resistance of 84 Indonesian wood species against fungi. Journal of Tropical Forest Science 22(1): 81-87. Suprapti S, Djarwanto. 1992. Pengaruh pengomposan serbuk gergaji kayu jeungjing terhadap produksi jamur yang enak dimakan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi tanggal 11-12 Pebruari 1992 di Bogor. Hal.: 89-97. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Suprapti S, Djarwanto. 1995. Screening and Selection of edible mushroom that have high economic value and utilize wood waste as media. Research Report on the Collaborative Project ”Screening and Utilization of Agricultural Wastes Degrading Microorganisms” (Eds). by Hah YC. Unesco Regional Network For Microbiology in Southeast Asia, Korea. Suprapti S, Djarwanto. 2001. Pemasyarakatan budidaya jamur tiram pada kelompok tani di Bogor, hambatan dan kendalanya. Prosiding Seminar Keanekaragaman Hayati dan Aplikasi Bioteknologi Pertanian tanggal 6 Maret 2001 di Jakarta. Hal.: 451-465. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT. Jakarta. Suprapti S, Djarwanto. 2009. Pedoman budidaya jamur shiitake dan jamur tiram. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. 60 hal. Villaceran AB, Kalaw SP, Nitural PS, Abella EA, Reyes RG. 2006. Cultivation of Thai and Japanese strains of Pleurotus sajor-caju on rice-straw-based Volvariella volvacea mushromm spent and composted rice straw in central Luzon Region, Philippines. Journal of Agricultural Technology 2(1): 69-75.
289
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Observasi Potensi Erosi Tanah pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang Batubara PT Multi Tambangjaya Utama (MTU) di Barito Selatan, Kalimantan Tengah Triyono Sudarmadji1) dan Wahjuni Hartati2) Laboratorium Konservasi Tanah dan Air1), Laboratorium Ilmu-ilmu Tanah2) Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Jalan Ki Hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua PO. BOX 1013 Samarinda 75123, Kalimantan Timur, Indonesia Telepon: +62-541-735089 / 748068, Fax. +62-541-735379 email:
[email protected]) dan
[email protected]) ABSTRAK Potensi erosi tergantung kepada faktor-faktor penentu utamanya yaitu erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, penutupan vegetasi, serta tindakan-tindakan konservasi tanah dan air. PT MTU selalu memantau dan mengelola setiap dampak lingkungan seiring kegiatan penambangan batubara. Tujuan observasi ini adalah untuk mengetahui dinamika potensi erosi terkait dengan upaya pemulihan lahan melalui reklamasi-revegetasi. Diketahuinya dinamika potensi erosi dalam besaran dan harkat KBE maupun TBE seiring upaya dan hasil reklamasi-revegetasi lahan pasca tambang batubara diharapkan dapat mendukung upaya-upaya pemulihan lahan melalui kegiatan reklamasirevegetasi lahan pasca tambang dalam kerangka restorasi ekosistem bentang alam pasca penambangan batubara. Observasi potensi erosi dilaksanakan di lahan reklamasi-revegetasi pasca tambang batubara dan lahan original (hutan) pada areal kerja PT MTU di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Sebanyak 5 (lima) buah Petak Observasi (PO) - Terbuka, 2012, 2011, 2010 dan Original ditetapkan untuk dapat menggambarkan kecenderungan perkembangan penutupan vegetasi dari mulai lahan terbuka pasca tambang hingga lahan original bersamaan dengan karakter potensi erosinya. Berdasarkan kisaran harkat KBE, kepekaan tanah terhadap erosi dan potensi erosi adalah Sangat Tinggi (ST) pada PO-Terbuka dan PO-2012, yang menurun seiring perkembangan penutupan vegetasi yaitu Tinggi (T) pada PO2011 dan PO-2010, serta Sangat Rendah (SR) pada PO-Original. Potensi erosi di PO-Terbuka dan PO-2012 adalah Sangat Tinggi (ST) akibat tiadanya tutupan vegetasi, rendahnya kapasitas infiltrasi dan besarnya limpasan permukaan. Pada PO-2011 dan PO-2010 menurun menjadi Tinggi (T) yang mengindikasikan adanya penahanan tumbukan hujan dan peningkatan kapasitas infiltrasi tanah. Harkat TBE Sangat Berat (SB) pada PO-Terbuka dan PO-2012 menurun seiring perkembangan vegetasi yaitu menjadi Berat (B) pada PO-2011 dan PO-2010, serta Sangat Ringan (SR) pada PO-Original. Pencapaian harkat KBE-SR dan TBE-SR pada lahan reklamasi-revegetasi memerlukan waktu 5-6 tahun, dan diantara penentu keberhasilan reklamasi-revegetasi lahan pasca tambang paling memungkinkan untuk dikelola adalah pengaturan kelerengan dan penyiapan lahan serta penanaman dan intensitas pengelolaan tanaman revegetasi. Kata kunci: revegetasi lahan pasca tambang, potensi erosi, kelas dan tingkat bahaya erosi, limpasan permukaan, konservasi tanah dan air I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) dan pengelolaan lingkungan hidup harus mampu menekan dampak merugikan, mempertahankan mutu dan kelestarian SDA dan lingkungan hidup bagi kesejahteraan manusia. PT Multi Tambangjaya Utama (MTU) yang bergerak di bidang penambangan batubara selalu mengamati-memantau-mengelola setiap dampak yang telah, sedang maupun yang potensial timbul seiring kegiatan penambangan batubara. Penambangan batubara berdampak signifikan, sehingga pengelolaannya harus mengikuti tata urutan kegiatannya, yaitu pembersihan lahan (land clearing), pengelolaan tanah pucuk (topsoils), penanganan limbah (mining waste), penambangan batubara (mining), penanganan air, restorasi - reklamasi - revegetasi lahan bekas tambang, serta masalah-masalah terkait erat dengan pra - pelaksanaan - pasca kegiatan. Pemanfaatan SDA tidak terbarukan (non-renewable resources) tersebut harus rasional, efisien, dan tidak boros, serta seminimal mungkin merusak lingkungan dan pencadangan untuk generasi mendatang. Metoda penambangan terbuka menyebabkan perubahan bentuk lahan dan sangat potensial menimbulkan pemborosan, kerusakan, serta kemerosotan SDA. Sehingga, sangat diperlukan upaya-upaya untuk mempertahankan dan memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup guna menunjang program pembangunan. Informasi tentang potensi erosi tanah sangat diperlukan sebagai satu diantara data-data dasar dalam upaya tindak lanjut kegiatan reklamasi dan revegetasi agar terarah, efektif dan efisien. Lahan terdegradasi, termasuk lahan bekas tambang batubara pada umumnya mengalami penurunan tingkat kesuburan tanah dan perubahan mikroklimat secara drastis, peningkatan potensi erosi yang mengarah kepada perubahan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan makhluk hidup.
290
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
B. Perumusan Masalah Erosi merupakan suatu proses alam yang tidak mungkin bisa dihilangkan sama sekali. Penggunaan lahan yang abai terhadap kaidah-kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan terjadinya peningkatan laju erosi sangat nyata yang berdampak setempat maupun tempat lainnya (onsite - offsite impacts). Oleh karenanya, pengendalian erosi dan limpasan permukaan sangat penting, karena hal tersebut akan sangat menentukan tatacara pengelolaan SDA tanah dan air. Upaya pemulihan kondisi ekologis kawasan pasca tambang diperlukan guna mengetahui sejauh mana upaya tersebut membuahkan hasil. Percepatan proses pulihnya ekosistem pada areal reklamasi-revegetasi harus didukung penuh oleh tindakan hati-hati dalam memberi apresiasi khusus terhadap nilai ekologis lapisan tanah pucuk (top soils) dan peranan fragmen hutan sekunder alami sebagai sumber kolonisasi jenis. Selain itu, juga perlu dipantau potensi erosi tanah untuk mendapatkan kepastian tentang stabilitas dan masa depan kawasan tersebut. Erosi yang besar dan berlangsung terus menerus akan sangat merugikan upaya-upaya penanaman yang telah dilakukan.
C. Tujuan Observasi Tujuan terpenting dari kegiatan observasi potensi erosi tanah adalah untuk mengetahui dinamika potensi erosi tanah dalam kaitannya dengan upaya pemulihan lahan melalui reklamasi-revegetasi lahan pasca penambangan batubara.
D. Hasil dan Manfaat yang Diharapkan Hasil yang diharapkan adalah diketahuinya dinamika potensi erosi tanah dalam besaran dan harkat kelas maupun tingkat bahaya erosi seiring upaya dan hasil reklamasi-revegetasi lahan pasca tambang. Selanjutnya diharapkan bahwa data dasar dan pengetahuan tentang dinamika potensi erosi tanah pada lahan revegetasi pasca tambang dapat mendukung upaya-upaya pemulihan lahan melalui kegiatan reklamasi-revegetasi dalam upaya restorasi ekosistem bentang alam pasca penambangan batubara. II. Bahan dan Metoda
A. Lokasi dan Waktu Observasi potensi erosi dilaksanakan di lahan reklamasi-revegetasi pasca tambang batubara dan lahan original (hutan) pada areal kerja PT MTU di Kabupaten Barito Selatan Provinsi Kalimantan Tengah. Di tapak observasi ditetapkan sebanyak 5 (lima) buah Petak Observasi (PO), yaitu PO-Terbuka, PO-2012, PO-2011, PO-2010 dan PO-Original; yang dirancang untuk menggambarkan kecenderungan (trend) perkembangan penutupan vegetasi bersamaan dengan karakter potensi erosinya. Pelaksanaannya adalah selama + 3 (tiga) bulan yaitu antara Bulan Oktober hingga Desember 2012, yang meliputi perancangan kegiatan, pengumpulan dan analisis data, serta penyusunan laporan penelitian.
B. Prosedur Observasi Observasi dilaksanakan pada PO yang ditetapkan secara purposif dengan sangat mempertimbangkan representasi kondisi lahan reklamasi-revegetasi pasca tambang batubara di areal kerja PT MTU. Observasi dilakukan pada PO yang berukuran 10 m x 50 m untuk setiap kondisi lahan (Terbuka, 2012, 2011, 2010, Original/Hutan) yang kemudian dibagi menjadi 20 (dua puluh) Sub-PO berukuran 5 m x 5 m (Gambar-01). Pendugaan besaran potensi laju erosi dilakukan dengan pendekatan metode Universal Soil Loss Equation (USLE) yaitu A = R x K x L x S x C x P (A = Potensial jumlah tanah maksimum yang hilang (ton/ha/tahun), R = Indeks erosivitas hujan, K = Indeks erodibilitas tanah, LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng, C = Indeks tanaman penutup dan pengelolaannya, P = Indeks tindakan konservasi tanah. Indeks R adalah gambaran dari kemampuan hujan untuk menimbulkan kejadian erosi melalui tahapan pemecahan agregat dan dispersi serta pengangkutan partikel tanah oleh tenaga limpasan permukaan (surface run-off). Besaran Indeks R ditentukan berdasarkan jeluk hujan bulanan dengan pendekatan Lenvain (1989) yaitu: R = 2,21 P1,36 (R = Erosivitas hujan dan aliran permukaan, P = Jeluk hujan bulanan cm). Berdasarkan pendekatan tersebut diperoleh besaran R-tahunan dengan menjumlahkan R-bulanan tersebut secara aljabar. Indeks K diartikan sebagai jumlah tanah yang hilang secara potensial dari suatu jenis lahan akibat erosivitas hujan dalam keadaan bera sepanjang tahun, yang terletak pada kemiringan lahan 9% dan panjang lereng 22,10 m. Besaran K sangat ditentukan oleh tekstur, struktur, permeabilitas dan kandungan bahan organik tanah, yang dapat dilakukan melalui pendekatan nomografis atau rumus-rumus lainnya. Kombinasi faktor LS mewakili rasio kehilangan tanah pada suatu panjang dan kecuraman lereng terhadap kehilangan tanah dari suatu lereng dengan panjang 22,10 m pada kondisi yang sama. Nilai-nilai LS tidak mutlak tetapi merujuk kepada nilai 1,0 dengan panjang lereng 22,10 m dan kecuraman 9%. Pengaruh panjang lereng dapat diabaikan dan yang dianggap berpengaruh hanya kemiringan lereng. Besaran Indeks P adalah nisbah atau perbandingan antara besarnya tanah yang tererosi atau tanah yang hilang dari lahan dengan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang terjadi pada lahan yang sama tetapi tanpa tanaman dan dengan panjang dan kemiringan lereng lapangan yang sama. Faktor tersebut mencakup tindakan mekanik atau fisik dan upaya lain yang bertujuan untuk mengurangi atau menekan bahaya erosi. Penilaian indeks P menggunakan kriteria berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Dengan mempertimbangkan kondisi penutupan vegetasi, PO dirancang dengan sejauh mungkin merupakan representasi ragam kondisi lapangan. Secara keseluruhan, jumlah PO adalah 5 buah (10 m x 50 m) dan setiap PO dibagi menjadi Sub-PO (5 m x 5 m) sebanyak 20 Sub-PO.
291
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Sub-Plot
5m
(11)
Sub-Plot
Sub-Plot
5m
Keterangan dan Catatan: Titik bor tanah - Kedalaman 0 - 10 cm - Kedalaman 10 - 30 cm - Kedalaman 30 - 60 cm Profil Tanah Mini (Mini Pit) - Drainase - Kedalaman Efektif Tanah (05) - Ketebalan Material Tanah (15) - Tinggi Muka Air Tanah Pengamatan Potensi Erosi - Jenis Tanah - Indeks Erodibilitas Tanah - Panjang Lereng (50 m) dan Kelerengan (%) - Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng (20) - Tutupan Vegetasi pada Berbagai Kelas (10) Umur (Terbuka, 2012, 2011, 2010, Original) - Indeks Tutupan Vegetasi - Praktek-praktek Konservasi Tanah dan Gambar-01. Petak Observasi Potensi Erosi pada Lahan Reklamasi-Revegetasi Pasca Tambang Batubara PT MTU Air (01)
Pengamatan sifat-sifat tanah dilakukan untuk mengetahui potensi tanah, baik secara kimia, morfologi maupun fisik dalam mendukung keterpulihan lahan reklamasi-revegetasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan bor tanah pada kedalaman 0 - 10 cm, 10 - 30 cm dan 31 - 60 cm. Pada setiap PO dibuat Profil Tanah Mini guna mengamati drainase, kedalaman efektif, ketebalan material tanah dan tinggi muka air tanah. Pengamatan potensi erosi tanah meliputi indeks erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, tutupan vegetasi, serta ada tidaknya praktek-praktek konservasi tanah dan air. III. Hasil dan Pembahasan
A. Risalah Lokasi Observasi Lokasi kegiatan observasi potensi erosi tanah adalah areal lahan reklamasi-revegetasi pasca kegiatan penambangan batubara di areal kerja penambangan batubara PT MTU. Karakteristik areal reklamasi dibedakan atas tahun tanam tanaman (2012, 2011, 2010) dan kondisi penutupan vegetasi (terbuka, original). Penanaman tahun 2010 ditetapkan sebagai areal reklamasi yang pertama yang diikuti penanaman pada tahun-tahun berikutnya yaitu 2011 dan 2012. Jenisjenis tanaman yang ditanam adalah jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang didahului tanaman penutup tanah (legume cover crops). Blok-blok tanaman areal reklamasi terhubung oleh jaringan jalan tambang yang terpelihara dengan kondisi cukup baik sehingga akses ke lokasi areal reklamasi-revegetasi dapat dilakukan dengan mudah.Status kawasan untuk areal kerja PT MTU adalah Arahan Penggunaan Lain (APL) sehingga termasuk kelompok kawasan budidaya non-kehutanan (KBNK). Sehubungan dengan hal tersebut, lahan original yang ditetapkan sebagai acuan (benchmark) reklamasi-revegetasi lahan pasca tambang adalah bagian dari konsesi tambang yang tidak terganggu oleh sekuen kegiatan penambangan, yang sebagian besar berupa lahan hutan sekunder yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar (transmigran) untuk kegiatan pertanian, perkebunan (karet) dan perburuan.
B. Geologi dan Jenis Tanah Secara umum, kondisi geologi termasuk dalam cekungan Barito bagian Utara yang terbentuk pada kala Eosen Oligosen dimana saat itu terjadi penurunan daratan yang mengakibatkan genangan air laut (transgresi). Menurut Peta Geologi Lembar Buntok Skala 1 : 250.000, sedimen tersier di daerah Gunung Bintang Awai dapat dikelompokkan menjadi satuan-satuan batuan (formasi) Kompleks Batuan Pra-Tersier, Formasi Tanjung, Formasi Berai, dan Formasi Montalat. Batuan tertua terdapat pada Formasi Tanjung yang pengendapannya dimulai sejak kala Eosen kemudian tertindih secara selaras oleh Formasi Berai yang berumur Oligosen - Miosen. Formasi Berai menjemari dengan Formasi Montalat. Formasi Tanjung dan Montalat mengandung lapisan-lapisan batubara yang cukup potensial. Struktur geologi adalah struktur lipatan baik sinklin atau antiklin dengan arah sumbu relatif Utara - Selatan. Batuan penyusun didominasi oleh batuan lempung berwarna abu-abu, plastis hingga semi plastis, lekat. Batu pasir berwarna putih hingga putih keabuan, terpilah sedang, halus dan kasar dengan butiran agak menyudut hingga menyudut serta batu lempung pasiran berwarna putih keabuan, berbutir halus hingga sedang dengan kandungan mineral kwarsa. Tanah di areal kuasa
292
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI pertambangan PT MTU didominasi oleh jenis Podsolik Merah Kuning (PMK) - Ultisol dengan sisipan jenis Latosol dan Litosol. Tanah PMK merupakan tanah tua sangat masam yang dicirikan kandungan C organik sangat tinggi.
C. I k I i m Jeluk hujan rataan tahunan dari bulan ke bulan relatif bervariasi kecil atau merata sepanjang tahun. Rataan jeluk hujan tahunan berkisar antara 1.245 mm hingga 2.548 mm. Rataan jeluk hujan bulanan tercatat sebesar 146 mm, tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 296 mm dan terendah pada bulan Juli sebesar 70 mm. Suhu udara rataan bulanan adalah 27,7 ºC. Suhu udara tertinggi umumnya terjadi pada bulan Maret-Mei-September dan minimum pada bulan Januari-Maret, Juni-Oktober. Kelembaban udara rataan tahunan 85,9%, maksimum 87% dan minimum 83%. Menurut Sistem Klasifikasi Iklim Schmidt dan Fergusson (1951), kawasan tambang batubara PT MTU berada di bawah pengaruh iklim tipe A dengan indikator besaran Q (Quotient) 3,9%; yang berarti daerah basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. Berdasarkan klasifikasi Koppen (1931), tipe iklim di lokasi observasi termasuk tipe tropika basah (Af). Arah angin pada bulan Januari sampai Juni pada umumnya bergerak ke arah Selatan dan Barat, sedangkan pada bulan Juli hingga Desember bertiup ke arah Baratdaya. Kecepatan angin rataan bulanan adalah sebesar 7,2 m/det, dengan kecepatan angin tertinggi pada bulan Mei (12,88 m/det) dan terendah terjadi pada bulan Juli (3,61 m/det).
D. Vegetasi Berdasarkan pengamatan secara okuler di lapangan dan informasi yang diperoleh dari dokumen ANDAL PT MTU, diketahui bahwa vegetasi pohon yang tumbuh di lokasi penambangan batubara pada umumnya adalah Dipterocarpus verrucosus, Koordersiodendron pinnatum, Shorea laevis, Shorea smithiana, Shorea pinanga, Palaquium rostratum, Shorea parvifolia, Ficus sp, Dipterocarpus gracilis, Cotylelobium burckii, Santiria griffithii, Eusideroxylon zwageri T.et.B, Koompassia exelsa, Anisoptera grosivenia, Parashorea malaanonan, Hopea dryobalanoides, Litsea angulata, Durio oxleyanus, Tristania whiteana, Scaphium macropodum, Canarium decumanum, Parkia speciosa, Dryobalanops lanceolata, Eugenia aromatica, Macaranga triloba. Selain itu, terdapat pula jenis-jenis vegetasi bukan kayu seperti rotan, gaharu, getah, bauh-buahan hutan dan tumbuhan obat-obatan tumbuhan bawah diantaranya adalah Imperata cylindrica, Paku-pakuan, Jambu-jambuan (Eugenia sp), Rumput ikat (Scleria sp), Kirinyu (Eupathorium palescens), Kuray (Trema orientalis), Paku kawat (Lycopodium circinatum), Paku katupat (Geichenia linearis), Senduduk (Acrositicum specolsum), Hakang (Cyperus rotundus), Paspalum conjugatum, Vitex pubescens, Melastoma malabathricum, Cyperus rotundus, Saccharum spontaneum, Anggrung (Trema orientalis), Sembung (Blumea balsamifera), Pulai (Alstonia scholaris), Laban (Vitex pubescens), Terap (Artocarpus elasticus), Belayong (Merremia peltata, Merremia umbelata), Mahang (Macaranga triloba/gigantea) Kelampayan (Anthocephalus chinensis), Pandan (Pandanus tectorius), dan lainnya. Tabel-01. Lokasi dan Kondisi Spesifik Plot Observasi di Areal Lahan Reklamasi-Revegetasi PT MTU Lokasi dan Kondisi Spesifik Petak No. Koordinat (UTM) Kelerengan Observasi Vegetasi Tumbuhan Bawah (%) (X) (Y) 01. Terbuka 0300480 9818328 11 02. 2012 0301349 9817713 23 Sengon laut Lcc mulai tumbuh Lcc, Anggrung, Sacharum, 03. 2011 0299826 9819514 24 Acacia mangium Rumput robot, Euphatorium sp. Anggrung, Eupatorium sp., Lcc, 04. 2010 0300278 9817977 27 Acacia mangium Mikania, Rumput, Curculio sp., Macaranga sp. Tristania sp., Dryobalanops sp., Shorea sp., Bangkirai, Durian hutan, JambuPisang hutan, Kelompok jambuan, Kelawit, Puspa, 05. Original 0301437 9817533 32 Mahang, Beringin, Manggis Zingiberaceae, Kelompok Rotan, hutan, Mangga-manggaan, Kelawit, dll. Ulin, Cempedak, Rambutan hutan dll.
293
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Rona Petak Observasi Lahan Reklamasi Terbuka
Rona Petak Observasi Lahan Reklamasi Tahun 2012
Rona Petak Observasi Lahan Reklamasi Tahun 2011
Rona Petak Lahan Reklamasi Tahun 2010
294
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Rona Petak Observasi Lahan Original
Gambar-02.
Rona Plot Observasi Potensi Erosi di Konsesi Tambang Batubara di PT MMTU
Adapun Adapun lokasi dan kondisi spesifik Plot Observasi (PO) yang meliputi posisi geografis dan vegetasi untuk setiap plot dirinci pada Tabel-01 yang secara visual terinci pada Gambar-02 (PO-Terbuka, PO-2012, PO-2011, PO-2010, serta PO-Original/Hutan).
E. Erosivitas dan Erodibilitas Tanah Berdasarkan hasil analisis terhadap data jeluk hujan diketahui bahwa rataan jeluk hujan bulanan berkisar 104 - 212 mm; rataan tahunan 1.245 - 2.548 mm dengan indeks erosivitas hujan tahunan terhitung sebesar 1.088 (Tabel-02). Tabel-02. Indeks Erosivitas Hujan (R) di Lokasi Observasi Berdasarkan Pendekatan Lenvain (1989) Jeluk Hujan (mm) Indeks Erosivitas No. Bulan Barito Barito Barito Hujan (R) Rataan 1) 2) 3) Selatan Utara Timur 01. Januari 480 289 120 296 222 02. Pebruari 107 128 91 109 57 03. Maret 301 105 151 186 117 04. April 268 35 90 131 73 05. Mei 219 3 132 118 63 06. Juni 152 57 42 84 40 07. Juli 141 58 10 70 31 08. Agustus 2 222 13 79 37 09. September 127 104 40 90 44 10. Oktober 61 134 30 75 34 11. November 205 224 207 212 141 12. Desember 485 105 319 303 229 Jumlah 2.548 1.464 1.245 1.752 1.088 Rataan 212 122 104 146 91 Catatan:1) Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Barito Selatan (2004) 2) Stasiun Meteorologi dan Geofisika Muara Teweh (2004) 3) Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Barito Timur (2004)
F. Indeks Kepekaan Tanah Terhadap Erosi (K) Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi lahan, penutupan tajuk pohon dan tumbuhan bawah serta kelerengan, prakiraan indeks kepekaan tanah terhadap erosi berkisar antara 0,11 - 0,64 (Tabel-03). Secara keseluruhan, karakter kepekaan terhadap erosi adalah ST pada PO-Terbuka dan PO-2012, yang menurun seiring dengan perkembangan penutupan vegetasi yaitu T pada PO-2011, AT pada PO-2010 serta SR pada PO-Original. Tabel-03. Indeks Kepekaan/Erodibilitas Tanah Terhadap Erosi (K) No. 01. 02. 03. 04. 05.
Plot Observasi Terbuka Tahun 2012 Tahun 2011 Tahun 2010 Original/Hutan
Erodibilitas Tanah (K) Indeks Kelas 0,56 - 0,64 Sangat Tinggi (ST) 0,56 - 0,64 Sangat Tinggi (ST) 0,44 - 0,55 Tinggi (T) 0,33 - 0,43 Agak Tinggi (AT) 0,11 - 0,20 Rendah (R)
295
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
G. Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Bentuk wilayah sekitar di lokasi plot observasi pada umumnya datar hingga bergelombang dengan kelas kelerengan berkisar dari landai hingga curam, dengan indeks panjang dan kemiringan lereng antara 1,4 hingga 6,8 (Tabel -04). Tabel-04. Indeks Panjang (50 m) dan Kemiringan Lereng (LS) - (Landai - Curam) Kelerengan (LS) No. Petak Observasi Lereng (%) Kelas Indeks 01. Terbuka 11 Landai 1,4 02. 2012 23 Agak Curam 3,1 03. 2011 24 Agak Curam 3,1 04. 2010 27 Curam 6,8 05. Original 32 Curam 6,8
H. Indeks Pengelolaan Tanaman (C) Indeks C dianalisis secara okuler berdasarkan tingkat penutupan vegetasi baik berupa pohon (dhi. tajuk pohon) maupun keberadaan dan sebaran tumbuhan bawah (Tabel-05), yang mengindikasikan bahwa semakin rapat penutupan vegetasi indeks C semakin menurun karena kemampuan menahan tumbukan hujan meningkat. Hal ini bermakna bahwa permukaan lahan semakin terlindungi oleh penutupan vegetasi dan berarti erosivitas hujan akan semakin menurun. Tabel-05. Indeks Penutupan Lahan/Pengelolaan Tanaman (C) Penutupan Lahan (%) No. Plot Pengamatan Tegakan Tumbuhan Bawah 01. Terbuka (0) (0) 02. 2012 (1) (0) 03. 2011 0-20 (10) 10-80 (50) 04. 2010 0-20 (8) 10-70 (40) 05. Original (90) (90)
Tertimbang 0 1 60 48 90
Indeks (C) 1,000 0,400 0,320 0,200 0,001
I. Indeks Konservasi Tanah (P) Praktek tindakan konservasi tanah dan air adalah berupa pengaturan kelerengan, pembuatan saluran drainase, serta penanaman tumbuhan bawah maupun tanaman pohon - khususnya jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing species). Rincian hasil penetapan Indeks P secara okuler pada berbagai tingkat kelerengan dan penutupan lahan tertera pada Tabel-06, yang dilakukan secara integratif vegetatif - fisik mekanik menjadi indeks tertimbang (weighted index). Tabel-06. Pendugaan Besaran Indeks Tindakan Konservasi Tanah (P) Indeks Konservasi Tanah (P) No. Petak Observasi Vegetatif Fisik-Mekanik 01. Terbuka 0,665 0,285 02. 2012 0,665 0,285 03. 2011 0,525 0,225 04. 2010 0,350 0,150 05. Original 0,001 0,285 Keterangan: P-Vegetatif meliputi: Penanaman cover crops, fast growing species, annual plants; P-Fisik Mekanik meliputi: re-contouring, land smoothing, water drainage constructions.
Tertimbang 0,95 0,95 0,75 0,50 0,29
J. Potensi Erosi Berdasarkan besaran Indeks R, K, LS, C, P, maka pendugaan potensi erosi maksimum yang mungkin terjadi (Tabel-07) menunjukkan kecenderungan potensi erosi akan menurun seiring dengan meningkatnya tingkat penutupan vegetasi. Secara kualitatif, KBE yang merupakan indikasi potensi erosi berkisar dari SR hingga ST. KBE pada PO-Terbuka dan PO-2012 adalah ST, PO-2011 dan PO-2010 adalah T, serta PO-Original mempunyai harkat SR. Hal ini secara indikatif bermakna bahwa penurunan KBE pada lahan reklamasi pasca tambang dari harkat ST ke T setidaknya memerlukan waktu 4 tahun, dengan upaya KBE pada harkat S, R hingga SR sebagaimana lahan original. Karakter kepekaan tanah terhadap erosi adalah ST pada PO-Terbuka dan PO-2012, menurun seiring perkembangan penutupan vegetasi. Pencapaian harkat SR untuk potensi erosi tergantung faktor-faktor penentu keberhasilan reklamasi-revegetasi lahan, dan paling memungkinkan untuk dikelola adalah pengaturan kelerengan dan intensitas pengelolaan tanaman.
296
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel-07. Potensi Erosi (A) (Ton/Ha/Tahun) pada Plot Observasi Erosi di Lahan Reklamasi-Revegetasi PT MTU No.
Plot Observasi
01. 02. 03. 04. 05.
Terbuka 2012 2011 2010 Original
Besaran Indeks (R)
(K)
(LS)
(C)
(P)
1.088 1.088 1.088 1.088 1.088
0,64 0,64 0,55 0,43 0,20
1,4 3,1 3,1 6,8 6,8
1,00 0,40 0,32 0,20 0,01
0,95 0,95 0,75 0,50 0,01
Potensi Erosi (A) 926 820 445 318 4
Kelas Tingkat Bahaya Bahaya Erosi Erosi (ST) (SB) (ST) (SB) (T) (B) (T) (B) (SR) (SR)
Maksimum 929 (ST) (SB) Rataan 503 (ST) (SB) Minimum 4 (SR) (SR) Keterangan: Kelas Bahaya Erosi (KBE) SR = Sangat Rendah <15 Ton/Ha/Tahun, R = Rendah (15-60 Ton/Ha/Tahun), S = Sedang (60-180 Ton/Ha/Tahun), T = Tinggi (180-480 Ton/Ha/Tahun), ST = Sangat Tinggi (>480 Ton/Ha/Tahun). Tingkat Bahaya Erosi (TBE) SR = Sangat Ringan, R = Ringan, S = Sedang, B = Berat, SB = Sangat Berat. Topografi - panjang dan kemiringan lereng sangat berperan menentukan kecepatan dan volume aliran permukaan. Dari kedua unsur topografi tersebut, kemiringan lereng dipertimbangkan lebih penting karena laju pergerakan air akan semakin meningkat dengan sudut lereng yang semakin besar. Volume kelebihan air menjadi lebih besar dan kemudian semuanya menuruni permukaan lahan dengan volume dan kecepatan yang meningkat. Selain memperbesar massa limpasan permukaan, semakin miring lereng juga berpeluang memperbesar kecepatan limpasan permukaan yang sangat potensial memperbesar energi angkut limpasan air tersebut.
K. Proses dan Mekanisme Erosi Erosi dapat dimengerti sebagai suatu pengikisan atau pelongsoran yang merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan atau kekuatan air dan/atau angin, baik yang berlangsung secara alamiah maupun sebagai akibat perbuatan dan/atau tindakan manusia (human activities). Sehubungan dengan hal tersebut maka dikenal adanya pengertian erosi normal (geological erosion) dan erosi dipercepat (accelerated erosion). Erosi normal merupakan proses pengangkutan tanah yang terjadi pada suatu keadaan alami seperti pengikisan lereng dan tebing-tebing bukit. Curah hujan, angin, kelerengan dan luasan permukaan lahan yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian erosi. Pada tahap ini erosi akan mampu membentuk keseimbangan dinamis, sehingga ketebalan tanah menjadi relatif stabil. Akan tetapi dengan adanya aktivitas manusia, keseimbangan ini terganggu yang cenderung mempercepat laju erosi. Erosi tanah yang disebabkan oleh agen penyebab utama berupa air akan meliputi proses-proses soil detachment - tumbukan butiran-butiran hujan, soil disaggregation - penghancuran agregat tanah, soil dispersion - pemisahan partikel tanah dari agregatnya, particle soils transportation - pengangkutan partikel-partikel tanah oleh media erosif, dalam hal ini adalah limpasan permukaan, serta deposition - pemindahan dan pengendapan partikelpartikel tanah terhanyutkan. Dalam hal terjadinya erosi, baik alamiah maupun dipercepat setidaknya terdapat 5 (lima) faktor yang menjadi penyebab utama besarnya laju erosi yaitu iklim, tanah, topografi, vegetasi, serta manusia. Faktor iklim yang besar pengaruhnya terhadap erosi tanah adalah curah hujan, yang meliputi tiga karakteristik utama yaitu kecepatan jatuhnya butiran hujan, diameter butir-butir hujan, serta intensitas dan lama hujan. Energi hujan terdiri dari dua komponen yaitu energi potensial (Ep) dan energi kinetik (Ek). Energi potensial timbul karena adanya perbedaan tinggi antara benda dan titik tinjau. Energi kinetik berkaitan dengan massa dan kecepatan. Pada fenomena erosi tanah, energi potensial dikonversi menjadi energi kinetik sehingga kekuatan erosif hanya dinyatakan dalam energi kinetik. Oleh karena Ek berkaitan dengan intensitas hujan maka dimungkinkan untuk menurunkan tenaga erosif hujan. Beberapa korelasi antara energi kinetik dan intensitas hujan telah banyak diperkenalkan oleh para peneliti yang pada akhirnya menjurus ke suatu pendekatan yang dikenal sebagai indeks erosivitas hujan (soil erosivity). Sifat-sifat fisik tanah yang berpengaruh terhadap erosi meliputi: tekstur, struktur, infiltrasi (laju dan kapasitas) serta kandungan bahan organik. Tekstur tanah turut menentukan tata air dalam tanah, yaitu berupa kecepatan atau laju infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan air. Terjadinya limpasan permukaan sangat tergantung pada kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Bila kapasitas infiltrasi dan permeabilitas besar seperti pada tanah berpasir yang mempunyai kedalaman lapisan kedap air yang dalam, walaupun intensitas hujan tinggi kemungkinan terjadi limpasan permukaan adalah kecil. Tanah bertekstur halus menyerap air sangat lambat sehingga intensitas hujan rendah pun berpeluang menimbulkan limpasan permukaan. Tanah berstruktur mantap memiliki permeabilitas dan drainase baik serta tidak mudah terdispersi oleh air hujan. Struktur tanah tidak mantap sangat mudah hancur oleh tumbukan langsung butiran hujan, sehingga butir-butir halus menutupi pori-pori tanah. Akibatnya laju infiltrasi terhambat dan limpasan permukaan meningkat. Dalam kaitan dengan erosi tanah, peran bahan organik terhadap sifat tanah adalah menaikkan kemantapan agregat dan memperbaiki struktur serta menaikkan kemampuan tanah untuk mengikat air tanah.
297
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Topografi berperan dalam menentukan kecepatan dan volume limpasan permukaan. Unsur topografi yang berpengaruh terhadap erosi tanah adalah panjang dan kemiringan lereng. Kemiringan lereng lebih penting dibanding panjang lereng karena pergerakan air serta kemampuannya memecahkan dan membawa partikel tanah akan meningkat dengan sudut ketajaman lereng yang semakin besar. Dengan makin curam dan makin panjangnya lereng maka makin besar pula kecepatan dan limpasan permukaan serta bahaya erosi. Semakin panjang lereng, kelebihan air yang berakumulasi di atasnya menjadi lebih besar dan kemudian akan turun dengan volume dan kecepatan yang semakin meningkat. Selain memperbesar massa limpasan permukaan, makin miringnya lereng juga berpeluang untuk memperbesar kecepatan limpasan permukaan yang sangat potensial untuk meningkatkan besaran energi atau daya angkutnya (transportability). Vegetasi bersifat melawan pengaruh faktor-faktor lain yang bersifat erosif, diantaranya adalah mampu menangkap (interception) butir-butir air hujan, sebab energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah; mengurangi energi limpasan sehingga mengurangi kecepatan limpasan permukaan dan kemudian memotong kemampuannya melepas dan mengangkut partikel sedimen; perakaran tanah meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan granularitas dan porositas tanah; aktivitas biologis yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman akan berdampak positif pada porositas tanah; serta mendorong transpirasi air sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya. Namun, efektivitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi juga tergantung pada ketinggian dan kontinuitas serta kerapatan penutupan tanah dan kerapatan-kedalaman perakaran. Sangat disepakati bahwa tindakan manusia adalah satu diantara faktor penting penyebab terjadinya erosi tanah yang cepat dan intensif. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya berkaitan dengan perubahan faktor-faktor yang berpengaruh, misalnya perubahan tanah akibat pembukaan wilayah untuk pemukiman, lahan pertanian, ladang, areal penggembalaan dan lainnya. Demikian juga halnya perubahan topografi secara mikro akibat penerapan terasering, penggemburan lahan dengan pengelolaan serta pemakaian stabilizer dan pupuk yang berpengaruh pada struktur tanah. Pembukaan tutupan vegetasi oleh manusia yang tidak terkendali akan menciptakan kondisi awal terjadinya erosi tanah dalam skala besar. Hal tersebut sering mengganggu keseimbangan antara regenerasi (pembentukan) tanah dan laju erosi tanah. Namun demikian, manusia juga mampu melindungi tanah dari bahaya erosi melalui kegiatan konservasi, seperti reboisasi dan penghijauan, termasuk reklamasi dan revegetasi lahan pasca tambang batubara. Berdasarkan bentuknya di lapangan, kejadian erosi secara umum sering dibedakan menjadi erosi percikan (splash erosion), erosi limpasan permukaan (overland flow erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit/selokan (channel erosion), parit besar (gully erosion), erosi tebing sungai (streambank erosion), erosi internal (internal or sub-surface erosion). Erosi percikan adalah terlepas dan terlemparnya partikel-partikel tanah dari massa tanah akibat tumbukan air hujan secara langsung. Erosi percikan maksimum akan terjadi segera setelah tanah menjadi basah dan kemudian akan menurun terhadap waktu sejalan dengan makin meningkatnya ketebalan air di atas permukaan tanah. Erosi limpasan permukaan akan terjadi hanya dan jika intensitas atau lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi atau kapasitas simpan air. Mengingat bahwa aliran permukaan terjadi tidak merata dan arah limpasannya tidak beraturan, maka kemampuan mengikis tanah juga tidak sama atau tidak merata dalam suatu luasan tertentu dari bentang atau hamparan lahan. Erosi alur terbentuk pada jarak tertentu ke arah bawah lereng akibat dari terkonsentrasinya limpasan permukaan sehingga membentuk alur-alur kecil. Jika alur-alur yang terbentuk merupakan alur baru, maka alur-alur tersebut tidak selalu saling berkaitan dengan alur-alur sebelumnya. Kebanyakan sistem alur tidak permanen dan tidak mempunyai hubungan dengan induk alur. Hanya kadang induk alur berkembang menjadi saluran permanen dan menyambung ke sungai. Proses terjadinya erosi parit sama dengan erosi alur, sehinga pada mulanya erosi parit ini dianggap sebagai perkembangan lanjut dari erosi alur. Proses pembentukan parit dimulai dari pembentukan cekungan (depression) pada lereng akibat lahan yang gundul atau tanaman penutupnya jarang akibat pembakaran atau perumputan. Air permukaan terkonsentrasi pada bagian ini sehingga cekungan makin besar dan beberapa cekungan menyatu membentuk parit. Erosi tebing sungai adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air sungai yang kuat terutama pada tikungan-tikungan. Erosi tebing akan lebih hebat jika vegetasi penutup tebing telah rusak atau pengolahan lahan terlalu dekat tebing. Erosi internal adalah proses terangkutnya partikel-partikel tanah ke bawah, masuk ke pori-pori akibat limpasan bawah permukaan. Tanah menjadi kedap air dan udara sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi dan meningkatkan limpasan permukaan atau erosi alur. Tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan massa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Berbeda dengan jenis erosi yang lain, pada tanah longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang sangat singkat. Secara okuler, bentuk-bentuk erosi yang terjadi di lahan reklamasi-revegetasi pasca tambang adalah erosi percikan, erosi limpasan permukaan, erosi alur, erosi parit dan erosi internal. Jenis yang mudah dideteksi di lapangan adalah erosi alur (Gambar-03, 04, 05, dan 06).
298
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Erosi Alur ( Rill Erosion) di PO-Terbuka
Tutupan Vegetasi Tutupan Tumbuhan Bawah Limpasan Permukaan Estimasi Potensi Erosi Bentuk dan Sebaran Erosi
: : : : :
Sedang - Sangat Besar Sedang - Sangat Tinggi Sedang - Sangat Banyak
Gambar-03. Bentuk dan Sebaran Erosi di PO-Terbuka PT MTU, Barito Selatan, Kalimantan Tengah Erosi Alur ( Rill Erosion) di PO-2012
Tutupan Vegetasi Tutupan Tumbuhan Bawah Limpasan Permukaan Estimasi Potensi Erosi Sebaran Erosi
: : : : :
1% Sedang - Besar Sedang - Tinggi Sedang - Banyak
Gambar -04. Bentuk dan Sebaran Erosi di PO-2012 Pasca Tambang Batubara PT MTU
299
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Erosi Alur ( Rill Erosion) di PO-2011
Tutupan Vegetasi Tutupan Tumbuhan Bawah Limpasan Permukaan Estimasi Potensi Erosi Sebaran Erosi
: : : : :
5 - 20% 10 - 80% Kecil - Besar Rendah - Tinggi Sedikit - Banyak
Gambar-05. Bentuk dan Sebaran Erosi di PO-2011 PT MTU, Barito Selatan, Kalimantan Tengah Erosi Alur ( Rill Erosion) di PO-2010
Tutupan Vegetasi Tutupan Tumbuhan Bawah Limpasan Permukaan Estimasi Potensi Erosi Bentuk dan Sebaran Erosi
: : : : :
5 - 20% 10 - 80% Sedang - Besar Rendah - Tinggi Sedikit - Banyak
Gambar-06. Bentuk dan Sebaran Erosi di PO-2010 PT MTU, Barito Selatan, Kalimantan Tengah
300
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
L. Potensi dan Kelas Bahaya Erosi (KBE)
ORIGINAL
2010
POTENSI EROSI TANAH 1200
Potensi Erosi (Ton/Ha/Tahun
2011
2012
TERBUKA
Berdasarkan penetapan besaran indeks R, K, LS, C, serta indeks P, maka pendugaan besaran potensi erosi yang mungkin terjadi pada setiap plot observasi dapat dilakukan. Secara umum terdapat kecenderungan bahwa potensi erosi lahan reklamasi pasca tambang yang terbuka cenderung menurun dengan meningkatnya penutupan vegetasi. Potensi erosi pada PO-Terbuka dan PO-2012 adalah 926 dan 820 ton/ha/tahun dengan harkat KBE adalah ST (Gambar-07). Tingginya potensi erosi tersebut adalah akibat tiadanya penutupan vegetasi dan rendahnya kapasitas infiltrasi sehingga sebahagian besar curah hujan menjadi limpasan permukaan. Permukaan lahan yang tertumbuk butiran-butiran hujan secara langsung dan mengalami pemecahan aggregat serta dispersi menjadi partikel tanah kemudian terangkut oleh limpasan permukaan mengikuti lereng ke arah yang lebih rendah. Pada dasarnya, upaya untuk menekan laju erosi yang mungkin terjadi adalah dengan menahan tumbukan langsung curah hujan dan mengendalikan limpasan permukaan. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan secara vegetatif seperti penanaman tanaman penutup tanah, sedangkan secara fisik mekanik adalah penyiapan jaringan drainase yang mencukupi baik secara sebaran maupun kapasitasnya. Potensi erosi pada PO-2011 dan PO-2010 adalah 445 dan 318 ton/ha/tahun dengan harkat KBE adalah T. Secara suseptibilitas, harkat KBE mengindikasikan bahwa telah adanya penahanan tumbukan langsung curah hujan terhadap lahan oleh penutupan vegetasi. Hal tersebut berarti bahwa setidaknya terjadi peningkatan kemampuan lahan untuk meresapkan sebahagian curah hujan melalui proses perembesan/infiltrasi (infiltration) ke dalam tanah. Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan intensitas penutupan lahan yang secara signifikan dapat mereduksi erodibilitas tanah akibat tumbukan curah hujan dan transportabilitas partikel-partikel tanah yang ter-disagregasi dan terdispersi adalah pengelolaan lahan-lahan revegetasi pasca tambang secara intensif. Secara praktis hal tersebut berarti adanya kegiatan pemeliharaan tanaman (penyulaman, pemupukan, pengendalian gulma - hama penyakit, penanaman pengayaan), guna mengawal sepenuhnya pertumbuhan tanaman revegetasi. Fenomena indikatif tersebut juga dapat dimaknai bahwa kegiatan upaya pemeliharaan yang meliputi penyulaman, pemupukan, pengendalian gulma dan hama penyakit, serta pengayaan tanaman guna mengawal pertumbuhan tanaman revegetasi agar dapat bertahan - tumbuh berkembang dan pada akhirnya mampu berfungsi sebagaimana diharapkan. Potensi erosi PO-Original adalah 1,4 ton/ha/tahun dengan harkat KBE SR, yang mengindikasikan bahwa di lahan original proses penahanan tumbukan langsung curah hujan dan pengendalian limpasan permukaan berlangsung dengan baik. Secara keseluruhan, kelima petak observasi erosi tersebut mengindikasikan adanya kecenderungan perkembangan KBE berupa penurunan potensi erosi tanah sejalan dengan tingkat penutupan vegetasi. Pada lahan revegetasi pasca tambang yang masih terbuka dan 2012 KBE ST, 2011 dan 2010 T, serta untuk lahan original adalah SR. Secara indikatif pencapaian harkat dengan status kisaran SR - T pada lahan reklamasi-revegetasi setidaknya memerlukan waktu 5 tahun efektif.
1000
926 820
800
600 445 400
318 200 4
0
Terbuka
2012
2011
2010
Original
Plot Observasi
Gambar-07. Potensi Erosi di Lahan Reklamasi-Revegetasi Pasca Tambang Batubara dan Original PT MTU
301
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
M. Dinamika Potensi Erosi Tanah
(30-40 cm) (30-40 cm) (30-40 cm)
Kelas Bahaya Erosi - KBE (Ton/Ha/Tahun) (<15)
(15-60)
(60-180)
(180-480)
(>100 cm)
(30-40 cm)
2012 TEERBUKA 2011 ORIGINAL 2010
Petak Observasi
Soil Depth
Fenomena dinamika erosi tanah dapat dianalisis dari prinsip filosofis dan hubungan fungsional antara potensi besaran erosi dengan faktor-faktor utama penentunya yaitu erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, penutupan vegetasi, serta tindakan konservasi tanah dan air. Perkembangan vegetasi adalah faktor sangat siginifikan terkait dengan dinamika erosi tanah di lahan reklamasi-revegetasi pasca tambang. Berangkat dari pemikiran tersebut, pendugaan potensi erosi tanah pada rentang waktu 2 (dua) tahun untuk setiap plot observasi disajikan di Gambar-08.
(>480) (ST)
(T)
(S)
(R)
(SR)
Keterangan: Kelas Bahaya Erosi (KBE) SR = Sangat Rendah <15 Ton/Ha/Tahun, R = Rendah (15-60 Ton/Ha/Tahun), S = Sedang (60-180 Ton/Ha/Tahun), T = Tinggi (180-480 Ton/Ha/Tahun), ST = Sangat Tinggi (>480 Ton/Ha/Tahun) Gambar-08. Indikasi Dinamika Potensi Erosi Tanah - Kelas Bahaya Erosi Berdasarkan Perkembangan Kelas Penutupan Vegetasi Pada gambar skematik tersebut dapat ditunjukkan bahwa pada lahan terbuka maupun 2012 harkat KBE adalah ST dan T. Seiring pertumbuhan dan perkembangan vegetasi, diharapkan harkatnya menurun menjadi SR - R - S. Sudah barang tentu prakiraan waktu tersebut bersifat indikatif dan akan bervariasi tergantung kondisi lapangan - curah hujan, kelerengan, perkembangan penutupan lahan, intensitas pengelolaan tanaman, serta tindakan konservasi tanah dan air. Diantara faktor-faktor penentu tersebut, yang paling memungkinkan untuk dikelola dengan baik dan konsisten adalah pengaturan kelerengan dan penyiapan lahan pada tahap reklamasi lahan, serta intensitas pengelolaan tanaman.
M. Keterpulihan Lahan Pasca Tambang a) Reklamasi Lahan Lahan pasca tambang harus direklamasi agar pulih sebagai kawasan yang produktif, dan untuk itu sangat diperlukan pengetahuan dan pengalaman spesifik tentang perkembangan tanah, teknik reklamasi yang tepat guna, pemilihan jenis tanaman yang sesuai tapak serta teknik penanaman dan pemeliharaan. Penambangan batubara sistem terbuka menyebabkan perubahan bentang alam, terjadinya timbunan-timbunan akibat perpindahan lapisan penutup (overburden dan interburden). Untuk menekan perubahan yang besar ditempuh cara mengembalikan lapisan penutup ke tempat asalnya, yaitu ke daerah bekas tambang. Setelah selesai penimbunan lapisan penutup pada blok bekas tambang, segera dilanjutkan dengan penyebaran tanah pucuk, diikuti pembuatan jenjang mengikuti garis kontur untuk menekan laju erosi dan pembuatan drainase guna menghindari genangan air pada musim hujan. Apabila tahapan ini dapat dilakukan dengan baik dan benar, kondisi lahan tersebut siap untuk ditanami. Pada kegiatan reklamasi, material yang ditimbunkan pada proses pengisian kembali (backfilling) umumnya dalam kondisi agregat hancur sehingga struktur dan pori dari tanah asalnya dalam kondisi rusak, tercipta rongga-rongga antar bongkahan tanah, terdapat fragmen-fragmen batuan dan kadang tercampur batubara pada tanahnya dan tanpa lapisan bahan organik. Dalam kaitan tanah sebagai media tumbuh tanaman, kondisi seperti ini berakibat pada terbentuknya sistem drainase buruk, kemampuan memegang air rendah, tanah menjadi padat dan sulit ditembus akar, tanah terbuka sehingga temperatur relatif tinggi serta kesuburan tanah cenderung menurun karena peningkatan kehilangan hara akibat penguapan dan limpasan permukaan.
302
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Satu diantara tujuan dari reklamasi lahan pasca tambang batu bara di PT MTU adalah memperbaiki kondisi tanah untuk mempercepat proses suksesi. Setelah dilakukannya upaya reklamasi biologi dengan penananam vegetasi, introduksi mikroorganisme tanah yang berpotensi memperbaiki kesuburan tanah dan peningkatan unsur hara tanah oleh proses dekomposisi serasah diharapkan dampak buruk akibat terbukanya lahan - satu diantaranya adalah erosi dapat segera teratasi. Melalui parameter-parameter yang diamati diharapkan dapat diketahui apakah revegetasi yang telah, sedang dan akan terus dilakukan dapat memperbaiki peningkatan kesuburan tanah setempat terutama dalam peningkatan unsur hara tanah secara cepat, efektif dan efisien yang pada gilirannya juga akan mengurangi potensi erosi. b) Keterpulihan Lahan Lahan adalah suatu perpaduan antara unsur bentuk/bentang lahan, geologi, tanah, hidrologi, iklim, flora dan fauna, serta alokasi penggunaannya. Oleh karenanya, keterpulihan lahan tidak hanya menyangkut keterpulihan tanah semata namun juga menyangkut keterpulihan komponen lahan lainnya (iklim, hidrologi, flora, fauna dll). Kerusakan lahan pasca tambang diawali dengan kerusakan tanah, yaitu rusaknya stuktur dan pori tanah asal diikuti kerusakan sifat-sifat tanah lainnya bahkan kerusakan komponen-komponen lahannya. Untuk menilai keterpulihan lahan juga harus diawali dengan keterpulihan tanah secara pedogenesis namun edafologis. Hal ini bermakna bahwa keterpulihan tanah tidak hanya dipandang dari proses pembentukan suatu benda alam - namun lebih jauh dari itu, tanah harus pulih fungsinya sebagai media tumbuh tanaman atau tanah harus pulih fungsi produksinya. Tindakan reklamasi di lahan pasca tambang adalah suatu upaya mempercepat keterpulihan lahan. Syarat agar tanah berfungsi sebagai media tumbuh tanaman adalah berjangkarnya akar, aerasi dan drainase baik agar perakaran dapat berkembang dan menjalankan fungsinya serta dapat menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Hal tersebut dilakukan dengan mengatur ketebalan materi tanah, kontur untuk menjamin drainase, serta aerasi dan jaminan kecukupan hara bagi tanaman dilakukan seiring dengan pelaksanaan revegetasi. Perbaikan aerasi tanah dilakukan dengan pemberian pupuk organik atau pembenah tanah lainnya, serta dapat juga dengan penanaman tumbuhan bawah. Adapun kecukupan hara bagi tanaman dipasok dengan pemberian pupuk anorganik. Seiring dengan pulihnya kondisi tanah diharapkan keterpulihan komponen lahan lainnya juga akan terikut dengan sendirinya. Percepatan pemulihan lahan dapat terwujud apabila materi berwujud tanah cukup menjamin perkembangan perakaran tanaman. Ketebalan materi berwujud tanah minimal 50 cm bahkan disarankan minimal 100 cm untuk tanah pasca tambang, disamping materi tanah sebaiknya bebas dari campuran materi lainnya (batu, materi OB atau batubara). Observasi lahan reklamasi di PT MTU menunjukkan bahwa seluruh PO mempunyai ketebalan materi berwujud tanah <60 cm, berarti persyaratan minimal sebagai media tumbuh tanaman tahunan belum terpenuhi. Selain itu, sebagian besar materi tanah tersebut tidak bebas dari campuran bahan lain seperti batu kerikil, materi OB bahkan serpihan batubara. Kondisi drainase di setiap PO buruk yang terindikasi banyak genangan di permukaan saat hujan turun. Keterpulihan tanah dapat ditinjau dari sifat-sifat kimia, fisik maupun morfologi. Secara kimia dapat dipantau dari dinamika sifat-sifat kimia tanah. Pada tahap awal, kesuburan tanah secara kimiawi ditinjau dari pH. Reaksi tanah (pH) merupakan sifat kimia tanah penting yang berpengaruh terhadap sebagian besar sifat-sifat tanah (fisik, kimia dan biologi) lainnya. Analisis korelasi sederhana dilakukan terhadap pasangan data pH dengan sifat tanah lainnya di Lahan Pasca Tambang PT Berau Coal pada berbagai umur tutupan lahan hasilnya menunjukkan adanya korelasi lebih kuat dibanding korelasi antar parameter lainnya (Hartati dkk., 2011). Berdasarkan hal tersebut maka pengukuran pH di lapangan atau di laboratorium dapat dipertimbangkan sebagai indikator penentuan tingkat kesuburan tanah lahan pasca tambang.Dalam hal ini penentuan kriteria tingkat kesuburan tanah secara kimiawi beberapa referensi tentang pengaruh pH terhadap kelarutan hara makro dan mikro serta perkembangan optimal mikro organisme tanah menjadi acuan. Dalam menentukan tingkat kesuburan tanah di LPT dengan berpegang pada pH tanahnya ditetapkan kisaran pH sebagai berikut: Sangat Rendah (pH<4), Rendah (4
1,56 g/cc). Evaluasi keterpulihan lahan berdasarkan penggabungan harkat kesuburan tanah secara kimia dan fisik. Tingkat kesuburan tanah bernilai + jika salah satu dari dua parameter yang diamati mempunyai harkat minimal S dan ++ jika kedua parameter mempunyai harkat minimal S. Namun jika kedua parameter yang diamati mempunyai harkat R atau SR maka harkat kesuburan tanahnya. Hasil evaluasi keterpulihan lahan dikombinasikan untuk menentukan keterpulihan lahan reklamasi di PT MTU (Gambar-08).
303
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Arah Harapan Perkembangan Parameter Kesuburan Tanah
Terbuka
Tahun 2012
Tahun 2011
Tahun 2010
Original
Kemasaman
(R)
(R)
(S)
(R)
(R)
Kepadatan
(T) +
(S) +
(T) ++
(T) +
(T) +
Harkat Keterangan: SR = Sangat Rendah (pH<4), R = Rendah (41,56 g/cc ), S = Sedang (4,6
Arah Harapan Perkembangan Indikator Plot Observasi
Perkembangan Vegetasi 2011 2010
Terbuka
2012
Kelas Bahaya Erosi (KBE)
(ST) Sangat Tinggi
(ST) Sangat Tinggi
(T) Sangat Tinggi
(T) Sangat Tinggi
(SR) Sangat Rendah
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
(SB) Sangat Berat
(SB) Sangat Berat
(B) Berat
(B) Berat
(SR) Sangat Ringan
Gambar-10. Dinamika Potensi Erosi Berdasarkan Perkembangan Kelas Penutupan Vegetasi
304
Original
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil-hasil pengamatan dan analisis terhadap dinamika potensi erosi sebagai pertimbangan upaya revegetasi lahan pasca tambang guna mencapai keterpulihan lahan disajikan pada Gambar-10. Perkembangan vegetasi adalah faktor yang sangat siginifikan terkait dengan dinamika erosi tanah di lahan revegetasi pasca tambang. Hingga umur 2 tahun, harkat harkat KBE menurun dari ST menjadi T. Ketika vegetasi mencapai umur >2 tahun, harkat KBE diharapkan menuju harkat SR. Hal ini bermakna bahwa pengelolaan lahan pasca tambang dalam rangka upaya pemulihannya harus dilakukan secara intensif setidaknya pada 5 (lima) tahun pertama sejak direklamasi lahan. Upaya pemulihan lahan ini harus sangat memperhatikan pengaturan kelerengan dan penyiapan lahan pada tahap reklamasi lahan, serta intensitas pengelolaan tanaman yang mancakup seleksi jenis, teknik penanaman dan pemeliharaan. Upaya rehabilitasi lahan secara fisik-mekanik yang dikombinasikan dengan cara vegetatif adalah upaya mengendalikan limpasan permukaan, sehingga daya angkut terhadap partikel-partikel tanah menurun. Hal ini dapat dilakukan dengan memotong panjang lereng untuk meredusir kecepatan limpasan kemudian mengarahkan serta mengumpulkannya ke arah yang tidak merusak. Pengendalian limpasan permukaan tersebut semata-mata tergantung kepada fungsi-fungsi fisik-mekaniknya. Apabila limpasan dapat dikendalikan dengan baik, maka dimungkinkan untuk melakukan penyiapan lahan dan melakukan penanaman pada bidang-bidang tanam yang ada. Tanaman diharapkan tumbuh dan berkembang, sehingga penutupan tajuknya diharapkan mampu berfungsi menahan tumbukan langsung curah hujan. Apabila tahapan ini bisa dilalui, maka pemecahan agregat tanah akibat tumbukan langsung curah hujan dan dispersinya menjadi partikelpartikel tanah tersebut bisa diredusir atau dikurangi. Dampak langsung kondisi tersebut adalah teredusirnya tenaga atau energi tumbukan (energi kinetik) curah hujan, terlindunginya permukaan tanah dari tumbukan langsung hujan, menurunnya limpasan permukaan karena meningkatnya kesempatan untuk berinfiltrasi; sehingga kecepatan limpasan permukaan tidak bersifat merusak. Dengan demikian, proses pemiskinan unsur-unsur hara tanah yang sangat diperlukan oleh tanaman dapat ditahan dan unsur-unsur hara tetap tertahan di tempatnya. Apabila tanaman dapat tumbuh dan berkembang, maka pada tempat tersebut akan terjadi daur atau siklus hara yang berawal dari pasokan bahan organik. Daur unsur hara akan memulihkan kondisi lahan kritis dengan terbentuknya lapisan tanah pucuk. Bila hingga tahap ini bisa dicapai maka tanaman-tanaman tersebut dipertahankan. Sebaliknya bila tanaman yang dikembangkan belum sesuai dengan fungsi dan manfaat yang diharapkan, karena biasanya pada tahap awal diperlukan tanaman-tanaman yang cepat tumbuh (fast growing species) dan resisten dengan lingkungan pertumbuhan yang kurang menguntungkan (miskin), maka tanaman-tanaman tersebut dapat diganti yang baru sesuai dengan fungsi dan/atau manfaat yang diinginkan. Penggantian ini sangat mungkin dilakukan, karena pada waktu itu kondisi lahan sudah pulih sehingga mampu berfungsi sebagai media tumbuh tanaman dengan pilihan jenis yang lebih banyak serta sebagai media pengatur tata air. Prinsip-prinsip rehabilitasi lahan tersebut adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh setiap upaya rehabilitasi lahan terdegradasi, terutama untuk kategori keadaan fisik lahan yang tanpa penutupan vegetasi sama-sekali dan/atau apabila tanah atas sudah hilang atau bahkan lapisan tanah C (sangat miskin hara) telah tersingkap dan muncul ke permukaan. Tahapan-tahapan tersebut sangat membutuhkan waktu dan setiap tahap akan menjadi tumpuan tahap berikutnya. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil observasi, analisis dan pembahasan yang dipaparkan, beberapa kesimpulan terpenting dirinci sebagai berikut: 01. Kepekaan tanah terhadap erosi adalah (ST) pada PO-Terbuka dan PO-2012, yang menurun seiring perkembangan penutupan vegetasi yaitu (T) pada PO-2011 dan PO-2010, serta (SR) pada PO-Original; 02. Potensi erosi di PO-Terbuka dan PO-2012 adalah ST akibat tiadanya penutupan vegetasi dan rendahnya kapasitas infiltrasi serta besarnya limpasan permukaan. Pada PO-2011 dan PO-2010 menurun walau berharkat T namun mengindikasikan telah adanya penahanan terhadap tumbukan hujan dan peningkatan kapasitas infiltrasi tanah; 03. Pencapaian harkat potensi erosi (SR) lahan reklamasi diduga setidaknya memerlukan waktu 5 - 6 tahun, dan diantara faktor yang menentukan keberhasilan reklamasi lahan pasca tambang yang paling memungkinkan untuk dikelola adalah pengaturan kelerengan dan penyiapan lahan serta penanaman dan intensitas pengelolaan tanaman. 04. Harkat KBE dan TBE mengindikasikan penurunan potensi erosi tanah sejalan dengan perkembangan penutupan vegetasi; 05. Dinamika erosi tanah sangat tergantung kepada faktor-faktor penentunya yaitu erosivitas, erodibilitas, panjangkemiringan lereng, penutupan vegetasi, serta tindakan konservasi tanah dan air; dan perkembangan vegetasi adalah faktor penentu dinamika erosi tanah yang sangat signifikan di lahan reklamasi pasca tambang batubara.
305
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI B. Saran Merujuk kepada kesimpulan-kesimpulan tersebut, beberapa rekomendasi terpenting dengan harapan bermanfaat disampaikan sebagai berikut: 01. Mengingat bahwa upaya untuk menekan laju erosi yang mungkin terjadi adalah dengan menahan tumbukan curah hujan dan mengendalikan limpasan permukaan, alternatif tindakan praktis secara vegetatif adalah penanaman tanaman penutup lahan (land cover crops) - tanaman cepat tumbuh - tanaman tahunan; sedangkan secara fisikmekanik adalah jaringan drainase yang memadai baik sebaran maupun kapasitasnya; 02. Upaya untuk meningkatkan intensitas penutupan lahan guna mereduksi erodibilitas tanah adalah pengelolaan lahan reklamasi secara intensif dengan kegiatan pemeliharaan tanaman guna mengawal pertumbuhannya. Hal tersebut akan semakin efektif apabila seiring dengan pengaturan kelerengan dan panjang lereng, penyiapan lahan serta intensitas pengelolaan tanaman. Seiring perjalanan waktu dan semakin meningkatnya kapasitas produksi batubara PT MTU, jumlah - sebaran dan luasan lahan pasca tambang akan terus meningkat. Sehingga, kegiatan pemantauan dan pengelolaan lahan pasca tambang batubara terkait dengan potensi erosi tanah akan ikut membantu penilaian keberhasilan reklamasi-revegetasi lahan pasca tambang batubara di areal kerja PT Multi Tambangjaya Utama di Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Daftar Pustaka Agasssi, M., 1996. Soil Erosion: Conservation and Rehabilitation. Marcel Dekker, Inc. New York. Anonim. 2006. Rehabilitasi Tambang. Praktek Unggulan Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan. Commonwealth of Australia. Arsyad, S., 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Bradshaw, A.D. 2002. Introduction and Philosophy. Perrow and A.J. Davy (eds). Handbook of Ecological Restoration. Vol 1: Principles of Restoration. Cambridge University Press, The Edinburgh Building, Cambridge CB2 2RU, UK. Ghems Enviro. 2007. Final Report of Hydroseeding Operations Proj-Stage VIII (100 Ha). Banjarbaru. Hartati, W., Sudarmadji, T., Syafrudin, M., 2010. Pemantauan Dinamika Mikroklimat dan Tingkat Kesuburan Tanah serta Potensi Erosi pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang PT Berau Coal. Hartati, W., Sudarmadji, T., Syafrudin, M., 2011. Pemantauan Dinamika Mikroklimat dan Tingkat Kesuburan Tanah serta Potensi Erosi pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang PT Berau Coal. Hartati, W., Sudarmadji, T., Syafrudin, M., 2012. Pemantauan Dinamika Mikroklimat dan Tingkat Kesuburan Tanah serta Potensi Erosi pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang PT Berau Coal. Hidayat, Y., 2003. Model Penduga Erosi. Falsafah Sains (PPs 702). Program Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hobbs, R.J dan Norton, D. A. 1996. A Conceptual Framework for Restoration Ecology. Restoration Ecology, 4: 93-110. Morgan, R. P. C., 1996. Soil Erosion and Conservation, 2nd Edition. Longman Group Limited. London. PT Berau Coal, 2009. Rencana Penutupan Tambang tahun 2025 PT Berau Coal. PT Berau Coal, Rencana Penutupan Tambang tahun 2025 PT Berau Coal, 2009. Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang Berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Udiansyah. 2007. Revegetation Stand Valuation On The Ex Coal Mining Area of PT Adaro Indonesia. MoU PT Adaro Indonesia - Universitas Lambung Mangkurat - Hokkaido University. Banjarbaru.
306
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Pengaruh Tinggi Pemangkasan Terhadap Kemampuan Bertunas Tanaman Sungkai (Peronema canescen. Jack) Pada Kebun Perbanyakan Tubagus Angga A1. Syabana dan Sahwalita2 Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Puntikayu, Palembang Telp. 0711-414864 E-mail : [email protected] , [email protected]
ABSTRAK Perkembangbiakan tanaman sungkai (Peronema canescen. Jack) secara generatif mempunyai kendala karena persentase kecambah yang rendah. Upaya yang dilakukan adalah pengadaan bibit secara vegetatif melalui stek di kebun pangkas. Pemangkasan tanaman bertujuan meningkatkan produksi tunas dan mempertahankan atau mengendalikan sifat juvenilitas sehingga meningkatkan kemampuan berakar. Pemangkasan dilakukan di kebun perbanyakan sebagai langkah awal penerapan di kebun pangkas. Penelitian tinggi pemangkasan dilakukan di kebun perbanyakan KHDTK Kemampo menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan masing-masing tinggi pemangkasan 10, 20, 30, 40 dan 50 cm. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter dan jumlah tunas. Perlakuan tinggi pangkasan berbeda nyata terhadap tinggi dan diameter. Perlakuan tinggi pangkasan 20 cm memberikan hasil terbaik terhadap tinggi tanaman, sedangkan untuk diameter perlakuan tinggi pangkasan 40 cm memberikan hasil yang terbaik. Perlakuan tinggi pangkasan tidak berbeda nyata terhadap jumlah tunas. Tinggi pangkasan yang dapat diaplikasi adalah 20 sampai 40 cm. Kata kunci : Peronema canescen. Jack, kebun perbanyakan, tinggi pangkasan, vegetatif I. PENDAHULUAN Sungkai (Peronema canescen Jack.) merupakan tanaman yang mampu berkembangbiak secara generatif dan vegetatif. Walaupun demikian perkembangbiakan secara generatif masih memiliki kendala yaitu persentase kecambah yang rendah, untuk itu perkembangbiakan secara vegetatif menjadi alternatif terbaik pada saat ini. Bahan perbanyakan yang tersedia berlimpah baik berupa trubusan batang maupun akar. Perbanyakan melalui vegetatif memiliki keunggulan sifat keturunan yang sama dengan induknya, hal ini sangat menguntungkan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman. Dalam mendukung ketersediaan bahan perbanyakan diperlukan jumlah stek yang memadai. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyediakan trubusan dari pohon induk yang memiliki kualitas baik sehingga bahan perbanyakan secara kontinyu dengan kualitas yang terjamin dapat diperoleh pada kebun pangkas. Untuk itu diperlukan teknik pemangkasan yang tepat sehingga dapat diterapkan pada kebun pangkas. Sebagai upaya awal pemangkasan dilakukan pada kebun perbanyakan untuk mengetahui tinggi pangkasan yang tepat dalam upaya menyediakan jumlah tunas yang sebanyak mungkin dan berkualitas serta kontinyu. Pemangkasan dilakukan pada tanaman berumur muda yaitu 1 tahun dengan jarak tanam 1x1m. Diharapkan tanaman yang dipangkas dapat menghasilkan tunas dalam jumlah yang memadai dan memiliki pertumbuhan yang baik. Pemangkasan dapat mempengaruhi pertumbuhan tunas-tunas baru pada bagian aksiler batang, faktor yang menentukan adalah faktor genetik (umur pohon, ukuran pohon, kondisi hormon, kemampuan beradaptasi), dan faktor lingkungan (kesuburan tempat tumbuh, ketersediaan air, intensitas matahari, kelembaban, jarak tanam) (Kijkar, 1991 dalam Putri, 2011). Sebagai langkah awal pemangkasan dilakukan pada kebun perbanyakan yang nantinya dapat diterapkan pada skala luas di kebun pangkas. Pemangkasan dilakukan dengan berbagai tingkatan tinggi dalam upaya memperoleh tinggi pemangkasan ideal untuk menghasilkan tunas yang berkualitas. Diharapkan dapat diterapkan secara luas di kebun pangkas dalam upaya menyediakan bahan perbanyakan untuk mendukung pengadaan bibit pada pengembangan hutan tanaman kayu pertukangan khususnya sungkai.
307
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun perbanyakan tanaman sungkai KHDTK Kemampo. KHDTK Kemampo termasuk dalam Resort Pemangkuan Hutan Kemampo yang berlokasi di Desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyu Asin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis terletak antara 104o18’07”-104o22’09” Bujur Timur dan 2o54’28”-2o56’30” Lintang Selatan. Topografi tergolong datar sampai bergelombang ringan dengan kemiringan 0%-10%, jenis tanah tergolong dalam Ultisol (Podsolik Merah Kuning), termasuk tipe iklim B berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan rata-rata curah hujan 1.800-2.000 mm per tahun (Balittaman dan Unsri, 2002). Penelitian dilaksanakan pada bulan juni 2011 sampai dengan April 2012. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan terdiri dari tanaman sungkai pada kebun perbanyakan. Alat yang digunakan label, kawat tembaga, gergaji, dan alat tulis. C. Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Tanaman sungkai pada kebun perbanyakan dengan jarak tanam 1x1 m dipangkas sesuai dengan perlakuan tinggi yaitu 10, 20, 30, 40 dan 50 cm dari permukaan tanah. Setelah pemangkasan, tanaman kemudian diberi label dan diamati secara berkala. Parameter yang diamati yaitu tinggi, diameter dan jumlah tunas yang tumbuh pada tanaman sungkai. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Berdasarkan pengamatan selama 10 bulan, hasil analisis varians pengaruh tinggi pangkasan terhadap tinggi, diameter dan jumlah tunas pada tanaman sungkai tersaji dalam Tabel 1 menyatakan bahwa tinggi pangkasan berbeda nyata terhadap tinggi dan diameter, namun tidak berbeda nyata terhadap jumlah tunas. Tabel 1. Analisis varians pengaruh tinggi pangkasan terhadap tinggi, diameter dan jumlah tunas pada tanaman sungkai umur 10 bulan. Sumber keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F hitung
14162,99 54217,46 776108,83 844489,28
7081,49 13554,36 2996,56
2,36 4,52**
810,55 944,23 10063,39 11818,17
405,28 236,06 39,16
10,35 6,03**
1,17 0,68 34,75 36,6
0,59 0,17 0,13
4,37 1,26 ns
Tinggi Ulangan Pemangkasan Eror Jumlah
2 4 259 265 Diameter
Ulangan Pemangkasan Eror Jumlah
2 4 257 263
Ulangan Pemangkasan Eror Jumlah
2 4 259 265
Jumlah Tunas
Keterangan : ** = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 1% ns = Non Signifikan.
308
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil uji lanjut perlakuan tinggi pemangkasan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tunas sungkai seperti yang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata tinggi dan diameter tunas sungkai umur 10 bulan pada berbagai perlakuan tinggi pangkasan. Tinggi pangkasan (cm) 10 20 30 40 50 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf nyata pada tingkat kepercayaan 1% .
Tinggi (cm) Diameter 313,02 b 28,34 b 344,10 a 32,76 a 338,56 a 32,70 a 326,15 ba 33,51 a 306,11 b 33,44 a yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
B. Pembahasan Pemotongan batang/pemangkasan tanaman bertujuan untuk meningkatkan produksi tunas untuk mendapatkan sumber bahan stek yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain itu pemangkasan bertujuan untuk mempertahankan atau mengendalikan sifat juvenilitas tunas sehingga meningkatkan kemampuan berakar (Kijkar, 1991). Dalam penentuan teknik pemangkasan yang efektif, penting diperhatikan kondisi tunas dan sifat juvenilitas dari tunas yang tumbuh setelah pemangkasan. Hasil analisis (Tabel 1), menunjukkan hasil berbeda nyata pada pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Pada pertumbuhan tinggi. perlakuan tinggi pemangkasan 10 cm dan 50 cm tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Secara mandiri perlakuan tinggi pangkasan 20 cm memberikan respon terbaik terhadap tinggi tunas pada umur 10 bulan dengan rata-rata 344,10 cm. Perbedaan tinggi berawal dari kecepatan tumbuhnya tunas, pada tinggi pangkasan 20-40 cm tunas lebih cepat tumbuh. Selanjutnya tunas berkembang dan tumbuh sesuai dengan kondisi lingkungan yang mendukung. Ahmad dan Hamzah (1993) dalam Putri (2011) menyatakan bahwa teknik pemangkasan sebaiknya dilakukan pada ketinggian 20 sampai 50 cm dari permukaan tanah. Walaupun demikian setiap tanaman memiliki ketinggian pangkasan yang berbeda, seperti tanaman sukun perlakuan pemangkasan dengan tingi 30 cm memberikan hasil terbaik (Setiadi D, dkk, 2006) dan tanaman dahu (Dracontomelon dao) dengan ketinggian 40 cm menghasilkan persen hidup dan persentase berakar terbaik ( Putri, 2009). Tanaman sungkai yang bersifat intoleran pada pertumbuhannya memerlukan sinar matahari yang berlimpah. Dengan demikian tunas akan berkompetisi untuk memperoleh sinar matahari sebanyak mungkin. Pada persaingan untuk memperoleh sinar matahari tunas akan berpacu tumbuh lebih tinggi. Selanjutnya, tunas yang terlambat akan tertekan sehingga pertumbuhannya terhambat bahkan sampai pada kematian. Jarak tanam yang rapat membuat tanaman berusaha mendapatkan sinar matahari yang berlimpah, sehingga mendorong kompetisi dalam mencapai ketinggian tertentu dalam mendapatkan sinar matahari (Mahfudz, 2001 dalam Mahfudz et al, 2006). Pada pertumbuhan diameter, perlakuan tinggi pemangkasan 20, 30, 40, 50 cm berbeda nyata dengan tinggi pemangkasan 10 cm (Tabel 2). Secara mandiri perlakuan tinggi pangkasan 40 cm memberikan respon terbaik terhadap diameter tanaman sungkai umur 10 bulan yaitu 33,51 mm. Jarak tanam pada kebun perbanyakan 1 x 1m kurang memberikan ruang pada pertumbuhan diameter, hal ini sengaja dilakukan untuk memperoleh diameter stek yang seragam dan tidak terlalu besar. Pengaturan jarak tanam berpengaruh terhadap besarnya intensitas cahaya dan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman, sehingga semakin rapat jarak tanam semakin ketat persaingan antar tanaman (Mawazin dan Hendi S, 2008). Menurut Mahfudz, 2001 dalam Mahfudz et al, 2006, pengaturan jarak tanam yang lebar akan menghasilkan diameter yang lebih besar daripada jarak tanam yang rapat. Penyetekan tanaman sungkai dilakukan setelah tunas mencapai tinggi lebih dari 4 meter. Hal ini dilakukan untuk memperoleh stek dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan bibit. Sungkai termasuk tanaman yang memiliki kemampuan bertunas yang baik, mulai dari bagian batang berkayu. Setiap tanaman memiliki pola yang berbeda, seperti pada mahoni tunas yang tumbuh hingga 3 bulan dari pemangkasan terlihat telah siap untuk dijadikan bahan stek yaitu sudah berkayu (kambium) yang terlihat dari warna batang coklat terutama pada bagian pangkalnya.
309
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Bahan untuk penyetekan yang terbaik minimal telah memiliki 2 - 3 ruas (Hartman et al, 1990; Mashudi et al, dalam Putri 2011). Tunas yang terbaik sebagai bahan stek apabila telah mencapai panjang 30 cm - 40 cm dan cukup mengandung kambium. Tinggi pangkasan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tunas tanaman sungkai pada umur 10 bulan, hal ini berarti bahwa tanaman induk sungkai yang dipangkas dengan tinggi pangkasan yang berbeda-beda pada umur tertentu jumlah tunas yang bertahan tidak berbeda nyata (Gambar 1). Kompetisi antar tanaman dalam memperoleh cahaya yang cukup menyebabkan tunas-tunas yang tidak mampu berkompetisi/bertahan akan tertekan dan sampai pada kematian. Jarak tanam yang rapat menyebabkan intensitas cahaya menjadi rendah yang mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis sehingga mengganggu pertumbuhan tunas. Namun demikian setiap jenis tanaman memiliki karakteristik dan respon yang berbeda, sehingga tingkat efektivitasnya terhadap produksi tunas sangat tergantung pada jenis tanaman tersebut.
a
b
c
d
Gambar 1. Tunas awal pada tinggi pangkasan 50 cm (a), tunas awal pada tinggi pangkasan 10 cm (b), tunas umur 10 bulan pada tinggi pangkasan 50 cm (c), tunas umur 10 bulan pada tinggi pangkasan 10 cm (d) Pengamatan di lapangan pada awal tumbuh tunas terlihat jumlah tunas yang tumbuh pada stek sungkai berkisar 7–11 batang dengan rata-rata 10,12 batang, namun seiring pertumbuhan tanaman sungkai tunas yang mampu bertahan hidup hingga pengamatan terakhir berkisar 2 – 4 batang dengan rata-rata 3,72 batang (Gambar 2).
Gambar 2. Rerata jumlah tunas pada berbagai perlakuan pemangkasan.
310
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI IV.
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Kebun perbanyakan sebaiknya dibuat dengan jarak tanam rapat untuk memperoleh diameter batang yang seragam dan tunas yang panjang, sebagai upaya penyediaan stek yang berkualitas. 2. Pemangkasan tanaman sungkai sebaiknya dilakukan pada ketinggian 20-40cm dari permukaan tanah.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Hutan Tanaman dan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 2002. Design Engineering Wanariset Kemampo. Palembang. Tidak dipublikasikan. Kijkar, S. 1991. Production of Rooted Cutting of Eucalyptus camaldulensis. Hand Book. ASEAN-Canada. Forest Tree Seed Centre Project. Muak-Lek, Saraburi 1810, Thailand. Mahfudz., Tyastuti P.,Wahyu Y. 2006. Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati Hasil Stek Pucuk Pada Dua Jarak Tanam Di Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 3. Suplemen No. 01. Halaman 247-255. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Mawazin., Hendi S. 2008. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Diameter Shorea parvifolia Dyer. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 5 No 4. Halaman 381 – 388. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Putri Kurniawati P. 2009. Pengaruh Teknik Pemangkasan Tanaman Induk dan Konsentrasi IBA Terhadap Kemampuan Perakaran Stek Pucuk Dahu (Dracontomelon dao). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 6 No.2 Halaman 7379. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor Putri Kurniawati P. 2011. Pengaruh Tinggi Pemangkasan Tanaman Induk Mahoni (Swietenia macrophylla King) Dalam Memacu Pembentukan Tunas Sebagai Sumber Bahan Stek. Jurnal Teknologi Hutan Tanaman Vol. 3 No. 1. Halaman 27 – 32. . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Setiadi Dedi, Hamdan A.A. dan Hidayat M. 2006. Pengaruh Tinggi Pangkasan Pada Bibit dan Konsentrasi IBA Terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk Sukun. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.3 suplemen No.01 Halaman 223-231. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan tanaman. Bogor.
311
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
ANALISIS KEGAGALAN BANGUNAN KAYU AKIBAT BEBAN GEMPA Yosafat Aji Pranata Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Maranatha Jalan Suria Sumantri 65 Bandung, Jawa Barat, 40164 e-mail: [email protected] ABSTRAK Bangunan kayu mempunyai keunggulan antara lain dalam segi berat struktur, dimana berat jenis kayu berkisar antara 200-1100 kg/m3. Sistem struktur bangunan kayu mengandalkan kekuatan pada sistem sambungan, yaitu antara lain sambungan pada hubungan kolom dengan balok. Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mempelajari perilaku struktur bangunan kayu akibat adanya simulasi beban gempa dengan riwayat waktu. Beban gempa yang digunakan adalah gempa Flores 1992 dan Gempa El Centro 1940. Studi kasus yang digunakan adalah rumah tinggal tidak bertingkat dengan sistem struktur utama terdiri dari kolom dan balok, yang mana dimodelkan sebagai elemen frame, sistem sambungan antara kolom dengan balok dimodelkan sebagai elemen spring. Analisis dilakukan dengan menggunakan dasar teori metode Distinct Element Method (DEM). Hasil penelitian adalah simulasi kegagalan bangunan akibat dikenai beban gempa. Kata kunci: Analisis kegagalan, Bangunan Kayu, Gempa, DEM. 1. PENDAHULUAN Sebagian besar wilayah Indonesia terletah dalam zona 4,5, dan 6 berdasarkan Peta Gempa pada peraturan Gempa SNI 02-1726-2002 (SNI, 2002), artinya wilayah tersebut merupakan wilayah dengan intensitas moderat hingga berat. Dari sudut pandang disiplin ilmu teknik sipil, terdapat teori perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dimana beban lateral (dalam hal ini disebut beban gempa) sebanding dengan berat bangunan, hal ini terdefinisi pada persamaan perhitungan gaya geser dasar (SNI, 2002). Artinya semakin berat suatu bangunan, maka beban gempa yang mengenai bangunan tersebut akan semakin besar pula dan hal ini berbanding secara linier. Bangunan kayu mempunyai keunggulan antara lain dalam segi berat struktur. Mengingat berat jenis kayu berkisar antara 200-1100 kg/m3, yang mana jauh lebih kecil dibandingkan dengan beton normal (≈2400 kg/m 3) dan baja (≈7800 kg/m3). Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mempelajari perilaku struktur bangunan kayu akibat adanya simulasi beban gempa dengan riwayat waktu. Beban gempa yang digunakan adalah gempa Flores 1992 dan Gempa El Centro 1940 (Pranata dan Simanta, 2006). Studi kasus yang digunakan adalah rumah tinggal tidak bertingkat dengan sistem struktur utama terdiri dari kolom dan balok. Skematik model rumah ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Ruang lingkup penelitian adalah bangunan kayu dimodelkan dengan kolom kayu dan balok kayu sebagai elemen frame, kayu yang digunakan adalah Meranti Merah (shorea spp.) dengan data sifat mekanika diambil dari tinjauan literatur (Pranata et.al., 2011), dan sistem sambungan antara kolom dengan balok sebagai elemen spring. Dasar teori analisis menggunakan metode Distinct Element Method atau DEM (Takatani and Nishikawa, 2013; BSI, 2012).
312
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 1. Skematik model 3D rumah tinggal tidak bertingkat.
Gambar 2. Denah lantai utama rumah. 2. BAHAN DAN METODE Simulasi kehandalan struktur bangunan kayu dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Wallstat (Takatani and Nishikawa, 2013; BSI, 2012). Fitur analisis keruntuhan (collapse analysis) yang terdapat pada perangkat lunak ini dapat digunakan untuk melakukan simulasi keruntuhan bangunan kayu akibat beban gempa riwayat waktu. Analisis ini bermanfaat untuk mempelajari status kerusakan dan kemungkinan runtuhnya bangunan secara keseluruhan selama masa riwayat waktu gerakan seismik. Dasar teori yang digunakan adalah Distinct Element Method. Dalam penelitian ini, model struktur rumah kayu dimodelkan hanya kolom dan balok saja, atap dan dinding diasumsikan sebagai komponen non-struktural sehingga diidealisasikan untuk ikut diperhitungkan menjadi berat struktur, sedangkan rangkaian papan lantai dimodelkan sebagai beban yang diaplikasikan pada pusat massa. Skematik pemodelan berat struktur ditampilkan pada Gambar 3. Struktur (frame) dimodelkan sebagai komponen dengan kombinasi pegas rotasi plastis (sendi plastis) dan elastik. Skematik model kurva M-ɵ secara umum ditampilkan pada Gambar 4. Join dimodelkan dengan kombinasi pegas rotasi dan pegas elasto-plastik (Gambar 5). Fungsi pegas rotasi dapat di-set sesuai masing-masing arah sumbu kuat dan sumbu lemah (BSI, 2012). Analisis struktur menggunakan dasar teori Distinct Elemen Method untuk keperluan investigasi perilaku keruntuhan rumah kayu dan efek kinerja seismik.
313
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tahapan simulasi yaitu mula-mula dibuat model struktur bangunan kayu dengan mempertimbangkan properti non-linier material dan asumsi perilaku sambungan antar elemen struktur, selanjutnya model struktur bangunan dikenai beban gempa berdasarkan data riwayat waktu gempa, kemudian dilakukan collapse analysis untuk mempelajari perilaku struktur secara keseluruhan maupun masing-masing elemen struktur, sesaat setelah beban gempa dikenakan, sampai dengan struktur mengalami keruntuhan. Skematik proses analisis ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 3. Pemodelan berat tiap lantai pada model rumah kayu (Nakagawa, 2011).
Gambar 4. Skematik model kurva untuk pegas (BSI, 2012).
Gambar 5. Pemodelan join (BSI, 2012).
Gambar 6. Alur analisis dengan perangkat lunak Wallstat (BSI, 2012).
314
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini secara umum terbagi menjadi empat tahapan utama. Tahap pertama adalah studi literatur berkaitan dengan topik penelitian yang diteliti. Tahap kedua adalah mengumpulkan data struktur bangunan dan data material dan data percepatan gempa rencana sesuai wilayah gempa 6 di Indonesia dengan asumsi jenis tanah keras (Pranata dan Simanta, 2006). Data rekaman gempa yang digunakan adalah rekaman gempa Flores 1992 dan El Centro 1940 (Pranata dan Simanta, 2006) yang diskalakan intensitasnya terhadap amplitudo maksimum percepatan tanah (Ao) pada kurva respons spektrum SNI 02-1726-2002 saat T = 0 (SNI, 2002). Tahap ketiga adalah pembuatan model struktur berdasarkan data struktur dan data material yang ada. Selanjutnya dilakukan simulasi analisis, dimana parameter data pendukung yaitu kekakuan sambungan kayu (parsial) diambil dari data sekunder. Tahap keempat adalah menyusun pembahasan terhadap perilaku kekakuan sistem struktur rumah tinggal, yaitu peralihan (deformasi) ujung atas tiap kolom (tiang) yang terjadi. Hal ini untuk mengetahui apakah peralihan yang terjadi tersebut masih dalam kondisi memenuhi batasan-batasan ijin atau sudah melampaui. Serta kemungkinan terjadinya perilaku kegagalan pada struktur bangunan. Skematik diagram alir penelitian dalam laporan ini selengkapnya ditampilkan pada Gambar 7. Rekaman Gempa Flores 1992 dan El Centro 1940 (Pranata dan Simanta, 2006) digunakan sebagai data masukan (input) percepatan gempa dalam simulasi (Gambar 8). Gempa Flores terletak di wilayah gempa 4 di Indonesia durasi 59,94 detik. Percepatan tanah maksimum 0,13g terjadi pada detik ke 53,94. Data akselerasi, kecepatan, dan peralihan maksimum dari akeselerogram gempa Flores 1992 yang diolah kembali menggunakan perangkat lunak SeismoSignal (Seismosoft, 2012) yaitu akselerasi maksimum 0,13g pada waktu t = 53,94 detik, kecepatan maksimum 19,43 cm/detik pada waktu t = 54,36 detik, dan peralihan maksimum 421,21 cm pada waktu t = 59,94 detik. Sedangkan Gempa El Centro direkam pada tanggal 15 Mei 1940 di California, pada jarak 9 km dari pusat gempa, dengan durasi 13,98 detik. Skala gempa 6,4 Richter. Percepatan tanah maksimum 0,3417g terjadi pada detik ke 2,1. Data parameter tanah untuk akeselerogram gempa El Centro yaitu akselerasi maksimum 0,3417g pada waktu t = 2,1 detik, kecepatan maksimum 37,52 cm/detik pada waktu t = 2,16 detik, dan peralihan maksimum 67,45 cm pada waktu t = 13,98 detik. Mulai
Studi Pustaka: a. Dasar Teori b. Permasalahan yang diteliti
Menyusun: a. Perumusan Masalah b. Tujuan Penelitian c. Ruang Lingkup Penelitian
Validasi dan Verifikasi Data: a. Sifat Mekanis Kayu b. Properti Sambungan Kayu
Pemodelan dan Simulasi Numerikal Model Struktur Rumah
Pembahasan dan Kesimpulan
Selesai
Gambar 7. Skematik diagram alir penelitian.
315
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Acceleration (g)
0.1 0.05 0 0
10
20
30
40
50
60
70
-0.05 -0.1 -0.15 Tim e (Sec.)
(a). Data rekaman gempa Flores 1992. 0.4
Acceleration
0.3 0.2 0.1 0 -0.1 0
2
4
6
8
10
12
14
16
-0.2 -0.3 Time (Sec.)
(b). Akselerogram gempa El Centro 1940. Gambar 8. Rekaman gempa yang digunakan dalam simulasi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Skematik denah lantai utama dan pembagian ruangan rumah tinggal ditampilkan pada Gambar 2. Lantai utama terletak pada elevasi +2.0 meter diatas muka tanah. Berat bangunan yang diperhitungkan adalah kolom kayu, balok kayu, papan lantai kayu, dinding, pintu, kusen, asesori kamar mandi, dan struktur atap, atau seluruh beban-beban tersebut selanjutnya disebut beban mati (DL). Beban lain yang diperhitungkan adalah beban hidup yaitu penghuni diasumsikan sebesar 250 kg/m2 (fungsi bangunan untuk rumah tinggal) dan beban mati tambahan sebesar 70 kg/m 2 (plafon, mekanikal, elektrikal, dll). Dalam analisis struktur digunakan kombinasi beban yaitu 1,2DL + 1,6LL. Diperoleh berat total struktur sebesar 72825,98 kg. Mengingat model rumah adalah panggung dengan tinggi tiang panggung 2 meter, maka pusat massa bangunan diasumsikan berapa pada elevasi +2,0 meter. Gambar 9 memperlihatkan skematik model 3D rumah tinggal yang dibahas dalam penelitian ini. Ukuran kolom (tiang) kayu adalah 200x200 mm, balok induk (utama) kayu adalah 90x180 mm, serta balok anak kayu 50x100 mm. Lantai kayu disusun oleh papan kayu dengan ketebalan 24 mm dan untuk menunjang kekakuan lantai tersebut maka pada tiap jarak 500 mm dipasang balok anak kayu (Gambar 9.b). Kemudian untuk menunjang kekakuan struktur atap maka pada elevasi ring balok atap dipasang pula beberapa balok anak (Gambar 9.a). Dinding rumah terbuat dari papan kayu tipis yang terdiri dari dua lapis (berongga) dimana tiap jarak tertentu diberi pengaku yang sekaligus berfungsi sebagai kolom praktis (Gambar 9.c) (sumber: http://www.woodenhouse.co.id).
(a). Sudut pandang dari atas.
(b). Sudut pandang dari bawah.
316
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
(c). Dinding terbuat dari dua lapis papan kayu dengan pengaku berupa kolom praktis tiap jarak 500 mm. Gambar 9. Skematik model 3D rumah tinggal. Data properti sifat mekanis kayu yang diperlukan diambil dari data sekunder hasil penelitian Pranata dkk. (Pranata et.al., 2011). Data properti kekakuan hubungan atau sambungan balok dan kolom untuk pemodelan elemen spring hubungan balok-kolom diambil dari data sekunder berdasarkan tinjauan literatur (Takatani and Nishikawa, 2013; BSI, 2012). Gambar 10 memperlihatkan skematik model rumah tinggal yang akan disimulasikan, dimana model dibuat berdasarkan komponen struktur utamanya saja yaitu balok dan kolom. Gambar 11 memperlihatkan hasil simulasi berupa deformasi (lateral) bangunan akibat gempa Flores. Gambar 12 memperlihatkan hasil simulasi berupa deformasi (lateral) bangunan akibat gempa El Centro. Kedua rekaman gempa tersebut menggunakan data sesuai Gambar 8.a dan Gambar 8.b yang mana terlebih dahulu dikonversikan menjadi kurva peralihan terhadap waktu dengan perangkat lunak SeismoSignal (SeismoSoft, 2012).
Gambar 10. Skematik model struktur kolom-balok rumah tinggal.
317
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 11. Hasil analisis: deformasi bangunan akibat gempa Flores.
Gambar 12. Hasil analisis: deformasi bangunan akibat gempa El Centro. Dari hasil simulasi kehandalan struktur rumah tinggal, terlihat bahwa deformasi arah lateral (dalam hal ini arahx) dengan menggunakan 2 (dua) rekaman gempa Flores 1992 dan El Centro 1940 ternyata hasilnya melebihi kinerja batas layan sesuai persyaratan peraturan Gempa SNI Indonesia (SIN 03-1726-2002). Sedangkan apabila dilihat gaya-gaya dalam yang timbul pada kolom dan balok, ternyata besarnya tegangan normal (aksial) yang terjadi jauh lebih kecil daripada kekuatan tekan (sejajar serat) kayu. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum tidak terjadi kegagalan pada elemen struktur balok maupun kolom. 4. KESIMPULAN Hasil penelitian adalah simulasi kegagalan bangunan akibat dikenai beban gempa. DAFTAR PUSTAKA Applied Technology Council. 1974. An Evaluation of a Response Spectrum Approach to Seismic Design of Building. USA. Badan Standarisasi Nasional. 2002. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung, SNI 03-17262002, Indonesia. Building Research Institute. 2012, Wallstat version 1.09 User Manual, Building Research Institute (independent administrative corporation). Nakagawa, T. 2011, Development of analysis method for collapsing behaviour of wooden post-and-beam house during earthquake, Building Research Data, Building Research Institute (in Japanese). National Design Specifications, 2012, NDS 2012, National Design Specifications.
318
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Persson, K., 2000. Micromechanical Modeling of Wood and Fibre Properties, Disertasi, Unpublished, Department of Mechanics and Materials, Lund University, Sweden. Pranata, Y.A., Simanta, D. 2006. Studi Analisis Beban Dorong Untuk Gedung Beton Bertulang, Jurnal Teknik Sipil Volume 2 Nomor 1, pp. 25-44, April 2006, Universitas Kristen Maranatha. Pranata, Y.A., Suryoatmono, B., Tjondro, J.A. 2011, The Flexural Rigidity Ratio of Indonesian Timber Bolt-Laminated Beam, The 3rd European Asian Civil Engineering Forum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Central Java, Indonesia, 20-22 September 2011. Seismosoft, 2012. Seismosignal User's Guide, Seismosoft. Takatani, T., Nishikawa, H. 2013, Seismic Performance Evaluation of Retrofitted Wooden-House By Collapsing Process Analysis, Research, Development, and Practice in Structural Engineering and Construction, Research Publishing Services ISBN 978-981-08-7920-4. URL: http://www.woodenhouse.co.id, diakses pada tanggal 3 November 2013.
319
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
MODEL PERTUMBUHAN KAYU SURIAN (Toona sinensis Roem.) DI JAWA BARAT Yoyo Suhaya1, Aos M. Akyas2, Titin Supriatun3, Imam Wahyudi4 1Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung 2Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 3Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran 4Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Surian (Toona sinensis Roem) merupakan salah satu jenis cepat tumbuh dengan sifat dekoratif (tekstur, kilap dan corak) yang mirip dengan jati. Memiliki corak alur lingkaran tumbuh yang jelas dengan warna permukaan kayu merah kecoklatan. Jenis ini populer dan banyak ditanam di hutan-hutan rakyat di wilayah Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan kayu surian berdasarkan perkembangan luas rata-rata lingkaran tumbuhnya. Hasil penelitian pada 7 lokasi di Jawa Barat menunjukkan model/kurva pertumbuhan sampai dengan umur 8 tahun sebagai berikut ; Cibugel (Sumedang) (Y) = 12.21ln(x) + 0.157, Darma (Kuningan) (Y) = 4.087ln(x) + 3.007, Jatinangor (Sumedang), (Y) = 8.238ln(x) + 6.164, Kadupandak (Cianjur) (Y) = 8.859ln(x) + 2.915, Lemah Sugih (Majalengka) (Y) = 16.98ln(x) + 0.826, Sukasari (Sumedang) (Y) = 18.90ln(x) + 1.711, Wado (Sumedang) (Y) = 21.87ln(x) + 2.742. Berdasarkan pengamatan luas lingkaran tumbuh terlihat bahwa pada tahap awal pertumbuhan, kayu surian mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, kemudian agak stagnan (peningkatannya sedikit) mulai umur 12 tahun. Kata kunci : Toona sinensis, model pertumbuhan. PENDAHULUAN Salah satu jenis kayu yang cukup populer dan banyak dikembangkan masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat maupun hutan tanaman industri (HTI) adalah surian (Toona sinensis Roem). Salah satu kelebihan jenis ini merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing species). Selain cepat tumbuh, kayu surian juga memiliki sifat dekoratif yang sangat bagus dan menarik. Tekstur, kilap dan coraknya mirip kayu jati (Tectona grandis L.F.) sehingga diharapkan dapat menjadi substitusi kayu jati di masa yang akan datang. Selama ini diketahui kayu jati memiliki daur pertumbuhan yang lama sehingga perlu waktu panjang untuk mendapatkannya. sedangkan kayu surian merupakan jenis kayu cepat tumbuh dengan memiliki sifat dekoratif yang tidak kalah bila dibandingkan kayu jati (Hidayat, 2010). Pola pertumbuhan pohon secara umum membentuk kurva sigmoidal. Kecepatan pertumbuhan pohon meningkat pada awal pertumbuhan, kemudian mendatar, dan akhirnya kecepatan pertumbuhan akan menurun. Bentuk khas hubungan ini bervariasi untuk setiap spesies, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan kondisi lingkungannya (Daniel dkk. 1992). Lokasi tumbuh yang dicirikan dengan intensitas cahaya matahari, komposisi udara (kandungan O2 dan CO2), ketersediaan air, suhu dan kelembaban, sifat tanah (sifat fisik dan kimia tanah), dan lingkungan biologis/organisme lain disekitarnya (Fritts, 1976., Fitter dan Hay, 1987). Hidayat (2010) menjelaskan proses pertumbuhan tinggi dan diameter pada pohon surian (Toona sinensis Roem). Pertumbuhan pohon surian pada fase awal didominasi oleh pertumbuhan tinggi. Riap pertambahan tinggi tanaman jauh lebih besar dibandingkan riap pertambahan diameter batang. Pengamatan lapangan pada tanaman surian yang tidak dipelihara secara intensif menunjukkan bahwa sampai umur 6 tahun setelah tanam, riap tinggi dapat mencapai 2,31 m per tahun. Pertambahan tinggi tanaman surian terjadi secara pesat setelah tanaman berumur satu tahun. Riap pertambahan diameter tanaman surian sampai umur 6 tahun mencapai 1,4 cm per tahun. Penelitian ini mencoba melihat dan mempelajari proses pertumbuhan surian berdasarkan luas lingkaran tumbuh yang terjadi pada setiap periode tumbuhnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah menyusun model /pola pertumbuhan kayu surian (berdasarkan luas lingkaran tumbuh) dan mengambarkan model / pola pertumbuhan kayu surian untuk melihat laju pertumbuhan dan pendekatan dalam menentukan daur tebang.
320
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI METODOLOGI PENELITIAN Bahan/objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu surian (Toona sinensis Roem) berumur lebih dari 7 tahun sebanyak 21 pohon yang berasal dari 7 lokasi di Jawa Barat yaitu, Darma (Kab. Kuningan), Lemah Sugih (Kab. Majalengka), Wado (Kab. Sumedang), Cibugel (Kab. Sumedang), Sukasari (Kab. Sumedang), Jatinangor (Kab. Sumedang), dan Kadupandak (Kab. Cianjur). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, meteran, chainsaw, gergaji mesin (circular saw), mesin ampelas, penggaris, alat tulis, kertas label, kamera dan program pengolah gambar Program Scion Image Luas lingkaran tumbuh dihitung berdasarkan skala pada gambar/foto penampang melintang (disk) batang pohon surian yang diambil pada ketinggian setinggi dada (1,3 meter). Pengukuran luas dilakukan dengan bantuan Program Scion Image dalam satuan cm2. Model pertumbuhan per lokasi adalah rata-rata dari luas lingkaran tumbuh pada 3 pohon contoh, sedangkan model pertumbuhan surian secara umum digambarkan berdasarkan seluruh pohon contoh yang diambil. Untuk melihat bentuk kurva pertumbuhan surian dilakukan analisis data melalui analisis regresi. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Model Pertumbuhan Kayu Surian Berdasarkan Luas Lingkaran Tumbuh Model pertumbuhan pohon surian dapat dilihat berdasarkan luas lingkaran tumbuh yang terjadi pada setiap tahun / periode. Hasil pengamatan pada setiap lingkaran tumbuh yang dilakukan, diperoleh data luas lingkaran tumbuh untuk setiap periode tahun pertumbuhan. Melalui analisis regresi di bawah ini digambarkan model pertumbuhan kayu surian berdasarkan perkembangan luas lingkaran tumbuhnya pada 7 lokasi tempat tumbuh yaitu ; Cibugel (Sumedang), Darma (Kuningan), Jatinangor (Sumedang), Kadupandak (Cianjur), Lemah Sugih (Majalengka), Sukasari (Sumedang), dan Wado (Sumedang).
Dok. Suhaya (2011)
Gambar 1. Contoh gambar lingkaran tumbuh kayu surian (asal Jatinangor) Model pertumbuhan surian pada masing-masing kelompok lokasi di Jawa Barat berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh yang terbentuk digambarkan seperti pada Gambar 2. – 8. Model pertumbuhan ini digambarkan untuk melihat secara parsial pertumbuhan rata-rata luas lingkaran tumbuh kayu surian yang terjadi di masing-masing lokasi tempat tumbuh.
321
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 2. Model Pertumbuhan Surian (Cibugel) (s.d. lingkaran tumbuh ke 7)
Gambar 3. Model Pertumbuhan Surian (Darma) (s.d. lingkaran tumbuh ke 7)
Gambar 4. Model Pertumbuhan Surian (Jatinangor) (s.d. lingkaran tumbuh ke 7)
Gambar 5. Model Pertumbuhan Surian (Kadupandak) (s.d. lingkaran tumbuh ke 7)
Gambar 6.Model Pertumbuhan Surian (Lemah Sugih) (s.d. lingkaran tumbuh ke 7)
Gambar 7. Model Pertumbuhan Surian (Sukasari) (s.d. lingkaran tumbuh ke 7)
Gambar 8. Model Pertumbuhan Surian (Wado) (s.d. lingkaran tumbuh ke 7)
322
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pengamatan model /pola pertumbuhan sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 (berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh) pada lokasi Cibugel (Sumedang), terlihat kurva model pertumbuhan logaritmik menggambarkan proses pertumbuhan dengan koefisien determinasi (R-square) yang sebesar 0.700. Sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 memiliki persamaan luas lingkaran tumbuh ke-x (Y) = 12.21ln(x) + 0.157. Berdasarkan kurva tersebut, pertumbuhan surian Cibugel pada periode lingkaran tumbuh ke-7 lebih kurang sebesar 25 cm2. Pengamatan model pertumbuhan sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 (berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh) pada lokasi Darma (Kuningan), terlihat kurva model pertumbuhan logaritmik menggambarkan proses pertumbuhan dengan koefisien determinasi (R-square) yang sebesar 0.644. Sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 memiliki persamaan luas lingkaran tumbuh ke-x (Y) = 4.087ln(x) + 3.007. Berdasarkan kurva tersebut, pertumbuhan surian Darma pada periode lingkaran tumbuh ke-7 lebih kurang sebesar 15 cm2. Berdasarkan kurva tersebut, pertumbuhan surian Darma terlihat paling lambat pertumbuhannya. Peningkatan luas lingkaran tumbuh per periodenya sampai dengan tahun/periode ke-7 paling kecil/ rendah. Pengamatan pada model pertumbuhan (berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh yang terbentuk) pada lokasi Jatinangor (Sumedang), terlihat model pertumbuhan logaritmik adalah model yang dapat menggambarkan proses pertumbuhan dengan koefisien determinasi (R-square) yang sebesar 0.748.. Sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 memiliki persamaan luas lingkaran tumbuh ke-x (Y) = 8.238ln(x) + 6.164. Berdasarkan kurva tersebut, pertumbuhan surian Jatinangor pada periode lingkaran tumbuh ke-7 lebih kurang sebesar 25 cm2. Berdasarkan kurva tersebut, pertumbuhan surian Jatinangor terlihat hampir sebanding dengan pertumbuhan Cibugel. Pengamatan pada model pertumbuhan (berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh yang terbentuk) pada lokasi Kadupandak (Cianjur), terlihat model pertumbuhan logaritmik adalah model yang dapat menggambarkan proses pertumbuhan dengan koefisien determinasi (R-square) yang sebesar 0,868. Sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 memiliki persamaan luas lingkaran tumbuh ke-x (Y) = 8.859ln(x) + 2.915. Berdasarkan kurva tersebut, kecepatan pertumbuhan surian Kadupandak sampai dengan periode/ lingkaran tumbuh ke-7 lebih kurang sebesar 20 cm2. Berdasarkan kurva tersebut, pertumbuhan surian Kadupandak terlihat sedikit di bawah Cibugel dan Jatinangor, tetapi sedikit lebih cepat dibandingkan Darma. Pengamatan pada model pertumbuhan (berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh yang terbentuk) pada lokasi Lemah Sugih (Majalengka), terlihat model pertumbuhan logaritmik adalah model yang dapat menggambarkan proses pertumbuhan dengan koefisien determinasi (R-square) yang sebesar 0,899. Sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 memiliki persamaan luas lingkaran tumbuh ke-x (Y) = 16.98ln(x) + 0.826. Berdasarkan kurva tersebut, terlihat kecepatan pertumbuhan surian Lemah Sugih termasuk lebih tinggi dibandingkan Darma, Kadupandak, Cibugel, dan Jatinangor. Sampai dengan periode/ lingkaran tumbuh ke-7 memiliki rata-rata lingkaran tumbuh sebesar lebih kurang 35 cm2. Pengamatan pada model pertumbuhan (berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh yang terbentuk) pada lokasi Sukasari (Sumedang), dengan model pertumbuhan logaritmik diperoleh koefisien determinasi (R-square) sebesar 0,661. Pengamatan sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 memiliki persamaan luas lingkaran tumbuh ke-x (Y) = 18.90ln(x) + 1.711. Berdasarkan kurva tersebut, terlihat pertumbuhan surian Sukasari cukup tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan Lemah Sugih, Darma, Kadupandak, Cibugel, dan Jatinangor, meskipun masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan surian di Wado. Sampai dengan periode/ lingkaran tumbuh ke-7 memiliki rata-rata lingkaran tumbuh sebesar lebih kurang 40 cm2. Pengamatan pada model pertumbuhan (berdasarkan rata-rata luas lingkaran tumbuh yang terbentuk) pada lokasi Wado (Sumedang), terlihat model pertumbuhan logaritmik adalah model yang dapat menggambarkan proses pertumbuhan dengan koefisien determinasi (R-square) yang sebesar 0,923. Sampai dengan lingkaran tumbuh ke-7 memiliki persamaan luas lingkaran tumbuh ke-x (Y) = 21.87ln(x) + 2.742. Berdasarkan kurva tersebut, terlihat pertumbuhan surian Wado memiliki kecepatan paling tinggi dibandingkan 6 lokasi lainnya (Cibugel, Darma, Kadupandak, Jatinangor, Lemah Sugih dan Sukasari. Sampai dengan periode/ lingkaran tumbuh ke-7 memiliki rata-rata lingkaran tumbuh sebesar lebih kurang 45 cm2. Untuk mendapatkan model pertumbuhan kayu surian di Jawa Barat data-data luas lingkaran tumbuh dari masingmasing lokasi kemudian digabungkan. Model pertumbuhan kayu surian Jawa Barat (berdasarkan pengambilan sampel pada 7 lokasi) digambarkan pada Gambar 9.
323
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Luas Ling. Tumbuh Surian (cm2)
Model Linier S
Rsq .679 .901
d.f 17 17
F 35.92 154.46
Sigf .000 .000
b0 12.0818 3.6071
b1 1.4684 -2.2710
Gambar 9. Model pertumbuhan surian Jawa Barat Berdasarkan analisis regresi yang digunakan, model pertumbuhan S (sigmoid) adalah model yang paling tepat untuk menggambarkan proses pertumbuhan. Hal ini terlihat dari nilai R-square yang lebih tinggi pada model tersebut yaitu sebesar 0.901 dan tingkat signifikansi yang sangat nyata. Pada tahap awal pertumbuhan, peningkatan luas ratarata lingkaran tumbuh surian terjadi cukup pesat, kemudian agak stagnan (peningkatannya sedikit) mulai umur 12 tahun. Pengamatan sampai dengan umur 19 tahun menunjukkan nilai luas rata-rata lingkaran tumbuh masih mengalami peningkatan. Hal tersebut menjelaskan bahwa produksi kayu surian masih mengalami perkembangan. Bagi usaha produksi kayu terutama kayu surian, informasi ini menjadi sangat penting terutama untuk menentukan daur atau masak tebang ekonomis jenis kayu surian ini. Penebangan yang terlalu cepat ( kurang dari 10 tahun) akan menjadi tidak ekonomis karena produktifitas lahan dalam menghasilkan kayu surian masih belum maksimal. Luas rata-rata lingkaran tumbuh belum mencapai maksimal dan masih mengalami peningkatan. Konsekwensi dari keadaan ini adalah, bahwa untuk memperoleh produktifitas lahan yang maksimal, penebangan kayu surian setidaknya harus berumur diatas 12 tahun. Pada kenyatannya di lapangan petani terkadang tidak sabar untuk segera menjual hasil kayu pada saat kayu sudah mulai terlihat agak besar dan laku dijual sebagai bahan kayu pertukangan. Padahal bila difahami produktifitas lahan dengan menanam tanaman baru akan lebih rendah bila dibandingkan dengan mempertahankan selama beberapa tahun kayu surian yang sudah berdiri. Untuk tujuan produksi kayu yang cepat, sedikitnya umur 12 – 15 tahun bisa menjadi pertimbangan sebagai umur minimal/daur tebang kayu surian.
324
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI KESIMPULAN Model pertumbuhan S (sigmoid) adalah model yang dapat menggambarkan proses pertumbuhan surian di Jawa Barat. Pada tahap awal pertumbuhan, peningkatan luas rata-rata lingkaran tumbuh surian terjadi cukup pesat, kemudian agak stagnan (peningkatannya sedikit) mulai umur 12 tahun. Untuk memperoleh produktifitas lahan yang maksimal, penebangan kayu surian setidaknya harus berumur diatas 12 tahun DAFTAR PUSTAKA Daniel, T. W., J.A. Helms, F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gajahmada University Press. Yogyakarta. 650 hal. Fitter A.H., and R.K. Hay. 1987. Environmental Physiology of Plants. Academic Press. Harcourt Brace Javanovich, Publisher. London. 423p Fritts. 1976. Tree Ring and Climate. Academic Press. London-New York- San Francisco. Hidayat, Y., M.H. Karmana, S. Amien, dan I.Z. Siregar. 2010. Surian (Toona sinensis Roem) (Ditinjau dari Aspek Ekologi, Variasi Genetic, Silvikultur dan Pemuliaan). Unpad Press. 235 hal. Hidayat, Y. 2011. Variasi Genetik Populasi Pohon Surian (Toona sinensis Roem) di Pulau Jawa. Penelitian Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. (Tidak dipublikasikan) Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. 171 hal.
325
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PEMODELAN SPASIAL AREAL PRODUKSI MADU DI KABUPATEN BOGOR BAGIAN BARAT Yelin Adalina Peneliti pada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No 5, Bogor Tel. (0251) 863324; 7520067 Fax (0251) 8638111 Email: [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan potensi produksi madu di Kabupaten Bogor Bagian Barat dari jenis lebah Apis cerana melalui pendekatan kesesuaian habitat lebah madu dengan menggunakan analisis GIS. Untuk menganalisis diperlukan empat buah peta, yaitu peta penutupan lahan, peta curah hujan, peta slope dan peta elevasi. Pada setiap peta diklasifikasikan menjadi tiga sampai empat kelas berdasarkan standar tertentu. Variabel yang digunakan terhadap kesesuaian habitat lebah madu dalam menghasilkan madu dengan menggunakan enam variabel, yaitu ketersediaan sumber pakan, curah hujan, suhu, kelembaban, ketinggian tempat dan slope. Kesesuaian potensi produksi madu dilakukan melalui proses overlay yang dikategorikan menjadi tiga kelas, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase tingkat kesesuaian potensi produksi madu dari yang rendah, sedang dan tinggi adalah 20,03%; 52,38% dan 27,59%, dan luas lahan yang meliputi dengan tingkat kesesuaian rendah, sedang dan tinggi adalah 727763,183 ha; 2606,75 ha; 38245,867 ha. Kesesuaian potensi produksi madu tertinggi di Kecamatan Naggung dengan luas areal sebesar 7414,976 ha, dan terendah di Kecamatan Cibungbulang dengan luas areal 21,818 ha. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam pengelolaan budidaya lebah madu Apis cerana. Kata kunci:, Potensi produksi madu, GIS, Apis cerana I. Pendahuluan Perlebahan dewasa ini merupakan komponen penting dalam pembangunan sektor pertanian dan kehutanan. Peran lebah madu dalam penyerbukan tanaman memberikan keuntungan ekologis, khususnya bagi kelestarian flora. Sementara produk yang dihasilkan dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi peternaknya. Sampai saat ini jenis lebah madu (Apis spp.) yang telah ditemukan di dunia ada delapan species. Lima species diantaranya termasuk jenis asli Indonesia yang penyebarannya meliputi wilayah nusantara yaitu: Apis cerana, Apis nigrocinta, Apis dorsata, Apis konchevnikoi, Apis andreniformis. Tiga species lainnya yang tidak termasuk jenis asli Indonesia yaitu Apis mellifera, Apis nuluensis dan Apis florea. Dari lima species lebah madu yang terdapat di Indonesia, satu diantaranya merupakan jenis endemik yaitu A. nigrocinta yang hanya terdapat di Sulawesi. Jenis lebah madu yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Apis mellifera dan Apis cerana (Hadisoesilo, 2003). Kondisi alam Indonesia yang subur memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah madu yaitu berupa nektar sebagai sumber karbohidrat yang diolah menjadi energi dan pollen (tepungsari) merupakan sumber protein, mineral dan vitamin. Pembinaan kegiatan perlebahan telah dilaksanakan oleh pemerintah sejak awal dasawarsa 80-an, melalui kegiatan perhutanan sosial, yang menitik beratkan kepada pemberdayaan masyarakat terutama di sekitar hutan sehingga masyarakat dapat berpartisispasi dalam pembangunan kehutanan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, tanpa mengurangi fungsi pokok hutannya sendiri. Lebah madu dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung kepada kesejahteraan manusia. Manfaat secara langsung yaitu berupa madu, malam/lilin lebah, royal jelly, propolis/zat perekat, pollen (tepung sari) dan sengatan lebah. Produk yang dihasilkan terbukti bermanfaat bagi kesehatan manusia dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Sedangkan manfaat secara tidak langsung yaitu meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat, menciptakan kesempatan kerja dan berusaha, membantu penyerbukan terhadap tanaman hutan dan pertanian, menciptakan kesempatan kerja dan berusaha, melestarikan hutan serta meningkatkan produksi pertanian. Usaha budidaya lebah madu Apis cerana telah lama dikenal dan dilakukan oleh masyarakat pedesaan terutama disekitar kawasan hutan dan kawasan pertanian lainnya. Usaha ini menjadi salah satu alternatif mata pencaharian
326
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI masyarakat disekitar kawasan yang relatif menyerap biaya produksi rendah, namun dapat memberikan kontribusi berupa pendapatan yang relatif tinggi (Erwan, 2006). Apis cerana merupakan jenis lebah madu yang potensial untuk dikembangkan. Lebah ini selain dapat dibudidayakan untuk menghasilkan berbagai produk seperti madu, lilin, dan tepungsari juga merupakan spesies lokal yang penyebarannya meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Ruther, 1988). Oleh sebab itu sangat tepat apabila budidaya A.cerana dikembangkan di masyarakat untuk kegiatan usaha dan peningkatan pendapatan (Kuntadi, 2007). Lebah madu Apis cerana seperti organisma lain dalam kehidupannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang meliputi faktor biotik dan abiotik. Faktor lingkungan ini baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktivitas hidup, keadaan makanan di alam dan perkembangan populasinya. Faktor abiotik meliputi temperatur, tinggi tempat, kelembaban udara, curah hujan dan lama penyinaran, sedangkan faktor biotik terdiri dari keanekaragaman tanaman penghasil nektar dan tepungsari dan hama penyakit. Sampai saat ini permasalahan yang dihadapi oleh peternak lebah madu A.cerana adalah produktivitas madu yang rendah yang disebabkan karena kurangnya sumber pakan lebah madu dan mudah hijrahnya (kabur) koloni. Tanaman sumber pakan lebah akhir-akhir ini semakin berkurang yang diakibatkan karena alih fungsinya lahan pertanian menjadi perumahan. Selain itu diakibatkan karena tingginya laju deforestrasi baik akibat pembalakan, kebakaran maupun alih fungsi lahan. Deforestrasi telah menyebabkan hilangnya tempat tinggal lebah dan sumber pakan lebah. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi potensi produksi madu jenis lebah Apis cerana melalui pendekatan kesesuaian habitat lebah madu dengan menggunakan teknologi GIS. II. Metodologi A. Lokasi Penelitian Analsis spasial potensi produksi madu dilakukan di Kabupaten Bogor Bagian Barat. Kabupaten Bogor Bagian Barat merupakan wilayah yang paling potensial dalam budidaya lebah madu dibandingkan wilayah kabupaten Bogor lainnya karena ketersediaan sumber pakan lebah madu yang memungkinkan serta kesesuaian faktor lingkungan yang mendukung. Kabupten Bogor Bagian Barat terdiri dari 12 kecamatan dengan luas 61240,77 km 2. Peta wilayah Kabupaten Bogor Bagian Barat dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan Tabel 1 menyajikan data luas masing-masing wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor Bagian Barat.
Gambar 1. Batas wilayah kecamatan Kabupaten Bogor Bagian Barat
327
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1. Luas Lahan pada setiap kecamatan di Bogor Bagian Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kecamatan Tenjo Gunung Sindur Jasinga Ciseeng Cibungbulang Sukajaya Nanggung Pamijahan Parung Panjang Rumpin Cigudeg Leuwiliang Jumlah
Luas (ha) 8200,402 4909,314 18668,057 3994,587 3851,227 11744,038 15804,202 12473,336 7089,808 13901,478 17760,141 12805,404 131201,994
B. Bahan dan Alat Bahan yang digunaka dalam penelitian ini adalah peta dasar tematik Kabupaten Bogor Bagian Barat skala 1:25.000, meliputi peta tutupan lahan, peta curah hujan, peta elevasi, peta kelas lereng. Seluruh peta yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hak milik Laboratorium GIS Fakultas Kehutanan IPB. Proses analisis dilakukan di Laboratorium GIS Fakultas Kehutanan IPB. Alat analisis yang digunakan adalah perangkat lunak GIS 3.2. C. Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang digunakan dalam penentuan potensi produksi madu jenis lebah Apis cerana ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai laporan, Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor, dan BAPEDA Kabupaten Bogor. Data yang digunakan terdiri dari data primer yang berupa data produksi madu dilapangan. D. Pengolahan Data Analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) berdasarkan metode tumpang tindih (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting) dan pengharkatan (scoring). Komponen lingkungan abiotik yang digunakan dalam analisis potensi produksi madu yaitu, suhu, kelembaban, curah hujan, slope dan elevasi. Sedangkan faktor biotik adalah ketersediaan sumber pakan lebah madu yang menghasilkan nektar dan polen/tepungsari. Pemberian bobot/peringkat didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat lebah madu. Pemberian bobot terdiri dari 3 (tiga) nilai bobot untuk menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh terhadap lebah madu dalam hal potensi produksi madu yaitu potensi produksi madu tinggi (3), sedang (2) dan rendah (1). Dianalisis hubungan antara peubah tidak bebas (Y) dengan peubah bebas (X) dengan persamaan sebagai berikut: Y = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4+ b5X5+ b6X6 Keterangan: Y = Potensi produksi madu bo = Nilai intersep b1 = Nilai koefisien regresi ke-i X1 = Sumber pakan X2 = Suhu X3 = Kelembaban X4 = Curah hujan X5 = Slope X6 = Elevasi/ketinggian tempat Hasil analisis spsial selanjutnya dideskripsikan dengan mempertimbangkan keterkaitan antara faktor-faktor habitat lebah madu terhadap potensi produksi madu.Validasi terhadap model matematis dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Validasi = n/N * 100 %. Validasi = persentase kepercayaan; n = jumlah koloni yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian dan N = jumlah total koloni yang terdapat di lapangan.
328
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI III. Hasil Dan Pembahasan A. Penyusunan Model Potensi Produksi Madu Jenis Penutupan Lahan Sebagai Sumber Pakan Lebah Hasil identifikasi (data hipotetik) menunjukkan bahwa dari dua belas kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor Bagian Barat diklasifikasikan menjadi 9 bagian tutupan lahan dengan masing-masing luasan seperti yang tertera dalam Tabel 2. Tabel 2. Jenis Tutupan Lahan di Kabupaten Bogor Bagian Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tipe tutupan lahan dan vegetasi Air Pemukiman Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tanah Kosong Semak belukar Perkebunan Kebun Campuran Hutan vegetasi lebat
Luasan (ha) 1549,961 15117,012 3873,482 5600,466 21892,253 313228,538 13567,068 28781,888 17319,460
Jenis tutupan lahan yang berpotensi sebagai sumber pakan lebah madu yang menghasilkan nektar dan polen dalam menghasilkan madu diklasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu semak belukar, perkebunan, kebun campuran dan hutan vegetasi lebat. Sedangkan untuk areal sawah tadah hujan maupun sawah irigasi hanya menghasilkan polen (tepungsari) sehingga lebah madu pada areal ini tidak dapat menghasilkan madu. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Bogor Bagian Barat untuk kesesuaian budidaya lebah madu didominasi oleh semak belukar dengan luas 313228,538 ha, namun walaupun areal tersebut paling luas tetapi ketersediaan sumber pakan dalam menghasilkan nektar dan polen potensinya rendah dibandingkan dengan areal perkebunan, kebun campuran dan hutan vegetasi lebat. Di dalam budidaya lebah madu, tanaman pakan (bee forage) merupakan faktor kunci yang paling menentukan terhadap keberhasilan usaha lebah madu. Perkembangan koloni lebah madu ditentukan oleh ketersediaan nektar dan tepungsari yang dihasilkan tanaman. Oleh karena itu di dalam budidaya lebah madu harus tersedia sumber pakan dalam jumlah yang tidak sekedar cukup untuk menghidupi koloni, tetapi harus melimpah agar dapat disimpan dan dipanen (Kuntadi, 2005).
Gambar 2. Layer Tutupan Lahan Kabupaten Bogor Bagian Barat
329
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Temperatur/Suhu Menurut Mani (1972) dalam Widhiono (1986) temperatur sekitar kotak lebah berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan lebah. Aktivitas hidup ini meliputi pencarian makan, perawatan keturunan dan perbesaran koloni. Menurut Smith (1960) dalam Wihdiono (1986) untuk kehidupan lebah temperatur udara optimum sekitar kotak lebah berkisar antara 20,3°C dan 26°C. Pada suhu 33-35°C lebah ratu aktif bertelur, tetapi pada suhu di bawah 15°C aktivitas lebah mencari makanan berkurang karena lebah cenderung berkumpul di dalam sarang untuk menghangatkan tubuhnya. Faktor suhu diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu suhu 20-30°C ; 30-40°C; dan > 40°C Tabel 3. Suhu pada setiap kecamatan di Bogor Bagian Barat Kecamatan Cibungbulang Cigudeg Ciseeng Gunung Sindur Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanjang Rumpin Sukajaya Tenjo Grand Total
> 40
740,323 6732,621
8422,135 15895,08
Suhu (°C) 20-30 30-40 3322,708 637,31 11387,073 7456,575 4081,636 5102,504 18459,857 6469,008 7038,123 940,053 8771,611 14,812 14730,611 1527,404 6261,088 14570,79 3955,516 8412,771 47415,988 75723,462
Total (ha) 3960,018 18843,648 4081,636 5102,504 19200,18 13507,131 16444,285 14745,423 7788,492 14570,79 12377,651 8412,771 139034,529
Gambar 3. Layer suhu di Kabupaten Bogor Bagian Barat
330
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Curah Hujan Curah hujan berpengaruh terhadap aktivitas lebah dalam mencari bahan makanan (Wihdhiono 1986). Tabel 4. Curah hujan pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Bagian Barat Kecamatan Cibungbulang Cigudeg Ciseeng Gunung Sindur Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanjang Rumpin Sukajaya Tenjo Grand Total
< 10
6173,304
6230,595 12403,899
Curah hujan 10-15 15-20 20-25 826,717 3013,305 119,996 578,532 14035,09 4230,026 4081,636 5102,504 7383,488 11816,692 7387,771 6119,36 8846,546 1424,435 14476,975 268,448 4264,916 3523,576 933,952 13636,838 6101,673 45,383 8412,771 45601,702 50334,352 30694,576
Total (ha) 3960,018 18843,648 4081,636 5102,504 19200,18 13507,131 16444,285 14745,423 7788,492 14570,79 12377,651 8412,771 139034,529
Gambar 4. Layer curah hujan di Kabupaten Bogor Bagian Barat Kelembaban Maurizio (1976) mengemukakan bahwa apabila kelembaban relatif tinggi, biasanya nektar yang disekresikan banyak tetapi konsentrasi gula rendah,sedangkan apabila udara kering (kelembaban relatif rendah) nektar yang dihasilkan sedikit tetapi konsentrasi gula tinggi. Achmadi (1991) mengemukakan bahwa di negara tropika yang kelembaban nisbinya senantiasa tinggi (Rh > 60%, madu disarang lebah sulit mencapai kadar air rendah. Oleh karena itu di negara tropika pada umumnya madu di sarang lebah sulit untuk mencapai kadar air rendah. Tabel 5. Kelembaban pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Bagian Barat Kecamatan Cibungbulang Cigudeg Ciseeng Gunung Sindur Jasinga
>70
2245,479
Kelembaban (%) 50-60 60-70 3960,018 174,527 18669,121 1256,942 2824,694 15,31 5087,194 16954,701
331
Total (ha) 3960,018 18843,648 4081,636 5102,504 19200,18
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanjang Rumpin Sukajaya Tenjo Grand Total
436,072 176,257 1156,529 5888,629 6599,471 10177,736
7771,48
13071,059 16444,285 14569,166 6631,963 8682,161 12377,651 1813,3 121085,313
13507,131 16444,285 14745,423 7788,492 14570,79 12377,651 8412,771 139034,53
Gambar 5. Layer kelembaban di Kabupaten Bogor Bagian Barat Elevasi Daerah yang sesuai dalam budidaya lebah madu adalah daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl).
Gambar 6. Layer elevasi di Kabupaten Bogor Bagian Barat
332
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 6. Elevasi pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Bagian Barat Kecamatan Cibungbulang Cigudeg Ciseeng Gunung Sindur Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanjang Rumpin Sukajaya Tenjo Grand Total
"< 500 3960,018 16142,407 4081,636 5102,504 15313,733 8089,016 3739,101 2524,965 7673,437 14525,082 2107,591 8157,62 91417,11
1000-1500
Elevasi 1500-2000 500-1000
(blank)
2701,241
0,545 598,818 4671,616 3259,742
3885,902 4819,297 7215,767 8770,354
817,801 190,362
115,055 3798,217
45,708 5047,706
1424,137
12328,938
2432,3
32485,975
255,151 370,206
Total (ha) 3960,018 18843,648 4081,636 5102,504 19200,18 13507,131 16444,285 14745,423 7788,492 14570,79 12377,651 8412,771 139034,529
Slope
Gambar 7. Layer slope di Kabupaten Bogor Bagian Barat Tabel 7. Slope pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Bagian Barat Kecamatan Cibungbulang Cigudeg Ciseeng Gunung Sindur Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanjang Rumpin
> 40 9,831 346,54 2,962 1,319 263,359 358,247 886,335 855,513 1,591 135,539
0-8 3520,169 6786,109 3821,257 4761,757 9715,658 5316,82 3561,935 5905,511 7131,621 9433,762
15-25 138,532 4802,868 79,067 68,842 3658,85 2814,411 4664,394 2788,984 100,755 1788,024
333
Slope (%) 25-40 69,916 4136,252 29,71 13,125 1812,973 2662,215 4876,035 3002,591 15,655 1697,982
8-15 221,57 2771,879 148,64 257,461 3749,34 2355,438 2455,586 2192,824 421,903 1515,483
(blank)
116,967
Total (ha) 3960,018 18843,648 4081,636 5102,504 19200,18 13507,131 16444,285 14745,423 7788,492 14570,79
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sukajaya Tenjo Grand Total
784,594 3645,83
2481,483 7648,77 70084,852
3509,069 35,913 24449,709
3406,253 3,64 21726,347
2196,252 479,718 18766,09
244,73 361,697
12377,651 8412,771 139034,529
B. Penentuan Nilai Bobot Variabel Variabel yang digunakan adalah suhu, slope, kelembaban, elevasi, curah hujan dan sumber pakan. Data produksi madu/koloni/tahun menggunakan data hipotetik pada setiap peubah. Analisis komponen utama pada kajian ini digunakan untuk memberikan bobot masing-masing variabel berkaitan dengan tingkat kepentingannya terhadap potensi produksi madu di Kabupaten Bogor Bagian Barat. Hasil pengolahan data dapat dilihat pada table berikut di bawah ini. Bobot relatif dari faktor model spasial potensi produksi madu menunjukkan keeratan masing-masing faktor terhadap produksi madu. Faktor yang paling berpengaruh terhadap produksi madu adalah ketersediaan sumber pakan dengan nilai bobot 0,2618. Urutan keeratan masing-masing faktor adalah sebagai berikut: sumber pakan; curah huja; suhu; kelembaban; elevasi dan slope Tabel 8. Rekapitulasi rata-rata potensi produksi madu pada setiap layer Layer (peubah) Sumber pakan Suhu Kelembaban Curah hujan Slope Elevasi Jumlah
Rata-rata potensi produksi madu/ha Dari kelas layer (Mi) 42,50 30,00 23,33 32,50 16,00 18,00 162,33
Bobot 0,2618 0,1848 0,1437 0,2002 0,0986 0,1109 1,0000
Dari olahan data yang ditunjukkan dalam tabel tersebut di atas, maka diperoleh bobot masing-masing variabel/peubah yang diukur untuk selanjutnya dapat disusun sebuah model matematiknya. Dengan demikian, model indeks kesesuaian potensi (IKP) produksi madu jenis lebah Apis cerana di Kabupaten Bogor Bagian Barat adalah: IKP = (0,2618 x Fsumber pakan) + (0,1848 x Fsuhu) + (0,1437 x Fkelembaban ) + (0,2002 x Fcurah hujan) + (0,0986 Fslope) + (0,1109 x Felevasi) Dimana: IKP = Indeks Kesesuaian Potensi F sumber pakan = skor kesesuaian sumber pakan bagi kelangsungan hidup lebah madu F suhu = skor kesesuaian suhu F kelembaban = skor kesesuaian kelembaban F curah hujan = skor kesesuaian curah hujan F slope = skor kesesuaian slope F elevasi = skor kesesuaian elevasi C.Model Kesesuaian Potensi produksi madu lebah budidaya Apis cerana Setelah dilakukan penggabungan masing-masing kesesuaian dari ke-6 (enam) komponen utama (peubah yang diukur) yang disusun berdasarkan pembagian tingkat (klasifikasi) kesesuaian (Tabel 9), maka diperoleh hasil analisis kesesuaian potensi produksi madu dengan klasifikasi/tingkat kesesuaian rendah, sedang dan tinggi (Gambar 8). Tabel 9. Klasifikasi skor dan bobot masing-masing variabel No 1
2
Faktor/variabel Sumber pakan (X1) Suhu (X2) (°C)
Selang Semak belukar Perkebunan Kebun campuran Hutan vegetasi lebat > 40 30-40 20-30
334
Skor 1 3 4 5 1 3 5
Bobot 0,2618
0,1848
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 3
4
5
6
>70 50-60 60-70 < 10 10-15 15-20 20-25 0-8 8-15 15-25 25-40 >40 <500 500-1.000 1.000-1.500 1.500-2.000 >2.000
Kelembaban (X3) (%) Curah hujan (X4)
Slope (X5) (%)
Elevasi /ketinggian (X6) (meter) di atas permukaan laut
1 2 5 5 3 2 1 5 3 2 1 1 5 3 2 1 1
0,1437
0,2002
0,0986
0,1109
Gambar 8. Layer kesesuaian potensi produksi madu dari jenis lebah Apis cerana di Kabupaten Bogor Bagian Barat Tabel 10. Luas untuk setiap tingkat kesesuaian potensi produksi madu jenis lebah Apis cerana di Kabupaten Bogor Bagian Barat (ha) Kecamatan Cibungbulang Cigudeg Ciseeng Gunung Sindur Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanjang Rumpin Sukajaya Tenjo Grand Total (ha)
Rendah (ha) 21.818 1783.291 825.009 42.43 3512.324 2166.873 3221.853 3543.629 2644.061 3344.493 2251.53 4405.872 27763.183
Sedang (ha) 1794.074 12361.673 1958.634 3497.191 13424.363 7333.598 5807.456 6316.964 4003.719 8271.949 4320.33 3516.795 72606.746
Tinggi (ha) 2144.126 4698.354 1297.993 1562.883 2259.422 4006.66 7414.976 4884.83 1015.456 2954.348 5805.791 201.028 38245.867
335
(blank) (ha) 0.33
4.071
125.256
289.076 418.733
Grand Total (ha) 3960.018 18843.648 4081.636 5102.504 19200.18 13507.131 16444.285 14745.423 7788.492 14570.79 12377.651 8412.771 139034.529
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Persentasi tingkat kesesuaian potensi produksi yang paling tinggi di Kabupaten Bogor Bagian Barat yaitu sebesar 27,59 persen dengan luas areal sebesar 38245.867 ha. Sedangkan persentase tingkat kesesuaian dengan potensi sedang sebesar 52,38 persen dengan luas arael 72606.746 ha, dan tingkat kesesuaian potensi produksi madu yang paling rendah yaitu sebesar 20,03 persen dengan luas areal 27763.183 ha. Tabel 11. Kesesuaian potensi produksi pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Bagian Barat Tingkat kesesuaian Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Σ Polygon 65406 167201 82658 315265
Luas (ha) 27763.183 72606.746 38245.867 138615.78
Persen (%) 20,03 52,38 27,59 100,00
Kesesuaian potensi produksi madu tertinggi terdapat di kecamatan Nanggung dengan luas areal sebesar 7414.976 ha. Sedangkan kesesuaian potensi terendah terdapat di kecamatan Cibungbulang dengan luas areal 21.818 ha dan tingkat kesesuaian potensi produkai madu sedang terdapat di kecamatan Jasinga dengan luas areal 13424.363 ha. D. Validasi hasil overlay Validasi ditujukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Validasi terhadap model kesesuaian potensi produksi madu dilakukan berdasarkan koloni lebah madu yang terdapat di masing-masing kecamatan. Dari gambar 9 menunjukkan bahwa persentasi kesesuaian potensi tertinggi, sedang dan rendah berturutturut sebesar 51,43 persen; 37,14 persen dan 11,43 persen.
Gambar 9. Layer potensi produksi madu dari jenis lebah Apis cerana di Kabupaten Bogor Bagian Barat hasil validasi
336
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 12. Persentasi hasil Validasi kesesuaian potensi produksi madu di Kabupaten Bogor Bagian Barat Kesesuaian Rendah
Kecamatan Cigudeg Parungpanjang Tenjo
Sedang Cigudeg Ciseeng Jasinga Pamijahan Rumpin Tenjo Tinggi Cigudeg Ciseeng Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanjang Rumpin Sukajaya Grand Total
Jumlah Koloni 4 1 2 1 13 5 1 3 2 1 1 18 2 1 1 4 3 2 1 1 3 35
Tabel 13. Hasil Validasi potensi produksi madu pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Bagian Barat No. 1 2 3
Kesesuaian Potensi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Titik Lapang 4 13 18 35
% 11.43 37.14 51.43 100.00
IV. Kesimpulan Potensi produksi madu sangat tergantung dari ketersediaan pakan. Potensi produksi madu dengan tingkat kesesuaian rendah di Kecamatan Cibungbulang dengan luas 27763,183 ha atau 20,03% dari luas wilayah Kabupaten Bogor Bagian Barat. Ketersediaan sumberpakan didaerah ini kurang berpotensi. Potensi produksi madu dengan tingkat kesesuaian sedang di Kecamatan Jasinga dengan luas 72606,746 hektar atau 52,38% dari luas wilayah Kabupaten Bogor Bagian Barat. Kondisi tutupan lahan di daerah ini cukup baik (sumber pakan lebah madu yang berupa nektar dan polen cukup tersedia) Potensi produksi madu dengan tingkat kesesuaian tinggi (38245,867 ha/27,59%) di Kecamatan Nanggung dengan luas38245,867 ha atau 27,59% dari luas wilayah Kabupaten Bogor Bagian Barat. Lokasi ini tutupan lahannya didominasi oleh vegetasi hutan yang lebat, sehingga ketersediaan sumber pakan lebah madu cukup melimpah. Lokasi penempatan koloni merupakan faktor yang paling penting dalam mendapatkan produksi madu yang optimum dalam budidaya lebah madu Apis cerana. Ketersediaan sumber pakan lebah madu sebagai sumber nektar dan polen merupakan faktor yang paling penting dalam budidaya lebah madu A.cerana. Kesesuaian potensi produksi madu dapat diekspresikan dengan persamaan matematis: Indeks Kesesuan Potensi (IKP)= (0,2618 x Fsumber pakan) + (0,1848 x Fsuhu) + (0,1437 x Fkelembaban ) + (0,2002 x Fcurah hujan) + (0,0986 Fslope) + (0,1109 x Felevasi). Hasil validasi model kesesuaian potensi produksi madu adalah sebesar 29,10%.
337
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Daftar Pustaka Achmadi, S. 1991. Analisa Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Staf Laboratorium Pusat Perlebahan Nasional Parung Panjang. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor. Erwan. 2006. Pemanfaatan Nira Aren Dan Nira Kelapa Serta Polen Aren Sebagai Pakan Lebah Madu Untuk Meningkatkan Produktivitas Madu Apis cerana di Kabupaten Lombok Barat [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hadisoesilo, S. 2003. Teknik Budidaya Apis cerana. Gelar dan Dialog Teknologi. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Kuntadi. 2007. Teknik Pemuliaan Lebah Madu Apis cerana Dengan Pola Partisipatif. Prosiding Gelar Teknologi Pemanfaatan Iptek Untuk Kesejahteraan Masyarakata, Purworejo 30-31 Oktober. Puslitabang Hutan Dan Konservasi Alam. Bogor. Kuntadi 2005. Pakan Buatan Untuk Lebah Madu. Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi. Teknologi Untuk Kelestarian Hutan Dan Kesejahteraan Masyarakat, Mataram 29-30 Juni 2005. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Maurizio , A. 1976. How Bees Make Honey.In Crane, E. (Ed) Hoey:A Comprehensif Survey. Heinemann. London. Ruther, F. 1988. Biogeography and Taxonomy of honeybees. Springer Verlag, Berlin, Heidelberg, New York, London, Paris, Tokyo. Widhiono I. 1986. Faktor-Faktor Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Penambahan Sel Dalam Sisiran Lebah Madu. Prosiding Lokakarya Pembudidayaan lebah Madu Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Sukabumi 20-22 Mei. Perum perhutani. Jakarta
338
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Lampiran 1. Jenis Tutupan lahan pada setiap Kecamatan di Bogor Bagian Barat TUTUPAN LAHAN
Air
Hutan / Veget asi Lebat
71,92
15,84
152,4 2 107,2 8 144,6 7 107,2 7 153,2 8
720,2 41
Kecamatan
Cibungbula ng Cigudeg Ciseeng Gunung Sindur Jasinga Leuwiliang Nanggung Pamijahan Parungpanj ang Rumpin Sukajaya Tenjo Grand Total
2,477 0,572
108,6 8 126,6 4 409,9 9 15,78 3
404,1 74 736,4 83 6266, 872 3476, 185 41,83 1 187,4 95 5457, 421
52,81 1550
99,22
Kebun Campu ran 1910,82 4 3984,19 1 1319,72 7 1228,37 1 3072,30 9 3257,67 7 2793,61 9 3250,16 5
Pemuki man
Perkebun an
Sawa h Irigasi
601,118
225,552
351,1
1413,507
334,0 63
500,483
615
1254,28 2 1007,14 9 1859,73 6 1330,19 2 1306,07 3
183,7 79 677,5 95 631,4 38 216,0 36 25,97 5 214,1 8 493,7 38
383,225 3005,391 1417,102
671,021
815,915
796,425
913,768
3543,47 8
2416,28 9 2259,02 5
2603,11
312,662
292,56
9,869
905,172
1303,04
2162,397
17319 ,46
28781,8 88
15117,0 12
13567,068
913,245
760,306 1676,862
24,47 106,1 08 3873, 482
Sawa h Tadah Hujan
Sema k/ Beluk ar
280,5 67 666,9 85 22,06 8 721,7 98 179,9 23 976,8 71 318,8 01 1817, 724 38,59 5 100,3 22 319,4 89 157,3 23 5600, 466
161,6 89 8664, 621 11,76 8 91,04 5 6967, 007 4142, 121 3849, 262 2458, 498 23,82 6 2522, 949 2328, 73 107,0 22 31328 ,54
Tanah Kosong
blan k
341,408 1653,00 5
0,33
495,684 489,313 3452,24 5
4,07 1
886,086 1413,53 9 1898,00 6 3253,58 2 3376,92 9 1023,42 6 3609,03 21892,2 53
4,40 1
Total (ha) 3960,01 8 18843,6 48 4081,63 6 5102,50 4 19200,1 8 13507,1 31 16444,2 85 14745,4 23 7788,49 2 14570,7 9 12377,6 51 8412,77 1 139034, 53
Lampiran 2. Hasil overlay layer suhu Peubah (°C) > 40 30-40 20-30 jumlah rata-rata
Luas/ha
observasi (kg)
15895,08 75723,46 47415,99 139034,5
158950,79 2271703,86 2370799,40 4801454,05
Prod (kg)/koloni/th 2 6 10 18
Prod/ha(5 koloni) 10 30 50 90 30
339
Ekspektasi
O/E
Skor
Rescalin
548924,731 2615053,44 1637475,88
0,2896 0,8687 1,4478 2,6061 0,2896 1,4478
11,11 33,33 55,56 100,00
1 3 5
min max
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Lampiran 3. Hasil overlay layer slope Peubah (%) 0-8 8-15 15-25 25-40 > 40 jumlah rata-rata
Luas/ha 70084,852 18766,094 24449,709 21726,347 3645,380 138672,382
observasi (kg) 2803394,08 375321,88 244497,09 108631,735 18226,90 3550071,685
Prod (kg)/koloni/th 8 4 2 1 1
Prod/ha(5 koloni) 40 20 10 5 5 80 16
Ekspektasi
O/E
Skor
Rescalin
1794201,880 480419,951 625922,901 556203,681 93323,271
1,5625 0,7812 0,3906 0,1953 0,1953 3,1249 0,1953 1,5625
50,00 25,00 12,50 6,25 6,25 100,00
5 3 2 1 1
min max
Lampiran 4. Hasil overlay layer kelembaban Peubah (%)
Luas/ha
>70 50-60 60-70 jumlah rata-rata
10177,736 7771,480 121085,31 139034,53
observasi (kg) 101777,36 155429,60 4843412,52 5100619,48
Prod (kg)/koloni/th 2 4 8
Prod/ha(5 koloni) 10 20 40 70 23,33
Ekspektasi
O/E
Skor
Rescalin
373380,331 285104,445 4442134,7
0,2726 0,5452 1,0903 1,9081 0,2726 1,0903
14,29 28,57 57,14 100,00
1 2 5
Skor 44,44 27,78 16,67 5,56 5,56 100,00
Rescalin 5 3 2 1 1
min max
O/E 1,3350 0,8344 0,5006 0,1669 0,1669 3,0039 0,1669 1,3350
Ekspektasi
O/E
Skor
Rescalin
346324,958 1273229,29 1405367,97 857012,601
2,1489 1,4326 0,7163 0,3582 4,6561 0,3582 2,1489
46,15 30,77 15,38 7,69 100,00
5 3 2 1
min max
Lampiran 5. Hasil overlay layer elevasi/ketinggian Peubah (dpl) <500 500-1000 1000-1500 1500-2000 >2000 jumlah rata-rata
Luas/ha 91417,11 12328,938 2432,300 32485,975 370,206 139034,53
observasi (kg) 3656684,4 308223,45 36484,5 162429,875 1851,03 4165673,255
Prod (kg)/koloni/th 8 5 3 1 1
Prod/ha(5 koloni) 40 25 15 5 5 90 18,00
Ekspektasi 2738987,31 369392,608 72875,1853 973326,254 11091,901
Lampiran 6. Hasil overlay layer curah hujan Peubah
Luas/ha
<10 10-15 15-20 20-25 jumlah rata-rata
12403,899 45601,702 50334,352 30694,576 139034,53
observasi (kg) 744233,94 1824068,08 1006687,04 306945,76 3881934,82
Prod (kg)/koloni/th 12 8 4 2
Prod/ha(5 koloni) 60 40 20 10 130 32,50
340
min max
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Lampiran 7. Hasil overlay layer sumber pakan KOORDINAT No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Titik Lapang 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Potensi Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi
GEODETIK LAT_DMS LONG_DMS -6 23 06 106 30 11 -6 23 26 106 33 50 -6 25 25 106 33 44 -6 26 56 106 32 17 -6 28 06 106 31 25 -6 27 26 106 29 31 -6 21 43 106 35 08 -6 24 03 106 35 09 -6 33 12 106 35 10 -6 33 12 106 34 15 -6 32 02 106 33 14 -6 31 48 106 32 01 -6 25 27 106 39 49 -6 26 34 106 40 24 -6 36 29 106 26 11 -6 34 21 106 26 34 -6 36 09 106 37 57 -6 34 33 106 36 44 -6 38 14 106 40 18 -6 38 32 106 39 28 -6 43 17 106 28 06 -6 36 11 106 30 22 -6 27 55 106 27 43 -6 24 51 106 29 31 -6 25 40 106 35 03 -6 24 32 106 36 25 -6 22 09 106 36 15 -6 27 22 106 35 21 -6 26 01 106 30 03 -6 35 32 106 33 43 -6 43 59 106 37 47 -6 43 32 106 40 48 -6 40 53 106 33 50 -6 42 44 106 34 11 -6 39 12 106 27 36
341
UTM X 666244.532 672965.964 672786.726 670098.153 668485.009 664989.864 675385.680 675385.680 675385.680 673682.917 671800.916 669560.439 683989.114 685064.543 658806.146 659523.099 680493.969 678253.491 684795.686 683272.161 662301.291 666513.389 661673.958 664989.864 675206.442 677715.777 677446.919 675744.156 665975.674 672697.107 680135.492 685691.877 672876.345 673503.679 661405.100
Y 9293994.986 9293367.652 9289693.269 9286915.077 9284764.219 9286018.886 9296504.321 9292202.604 9275354.213 9275354.213 9277505.071 9277953.167 9289603.650 9287542.411 9269349.733 9273292.974 9269887.448 9272844.878 9266033.826 9265496.112 9256803.059 9269887.448 9285122.695 9290768.698 9289245.174 9291306.413 9295697.749 9286108.505 9288617.840 9271052.496 9255458.772 9256265.344 9261194.395 9257788.869 9264331.063
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Lampiran 8. Titik koordinat lapang potensi produksi madu di Kabupaten Bogor Bagian Barat observasi Prod Prod/ha(5 Peubah Luas/ha (kg) (kg)/koloni/th koloni) Ekspektasi semak belukar 31328,867 626577,34 4 20 1255785,65 perkebunan 13567,692 542707,68 8 40 543847,083 kebun campuran 28782,707 1439135,35 10 50 1153725,43 hutan vegetasi lebat 17319,614 1039176,84 12 60 694239,047 jumlah 90998,88 3647597,21 170 rata-rata 42,50 min max
342
O/E
Skor
Rescalin
0,4990 0,9979
11,76 23,53
1 3
1,2474
29,41
4
1,4969 4,2411 0,4990 1,4969
35,29 100,00
5
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
EFEKTIVITAS PEMUPUKAN TERHADAP RIAP DIAMETER SAMANEA SAMAN KISWANTO Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Email: [email protected] ABSTRACT Planting Samanea saman in post-mining areas are very supportive of government programs in an effort to reduce emissions from deforestation and forest degradation. Samanea saman has the ability to absorb CO2 is very high. One tree of Samanea saman has able to absorb 28.5 tonnes of CO2 per year. This study aims to determine the diameter increment of Samanea saman in post-mining area in response to fertilizer application with different types and doses. Results of this study are expected to provide information about management plan of the post-mining area, both related to the determination of plant species, type and doses of fertilizer. The results showed that the plants were not given fertilizer has the smallest increase in diameter. It shows that plant in post-mining area needs additional nutrients from fertilization activities for spurring growth. A balanced fertilizer to overcome fertility problems either by using chemical or organic fertilizers. Plants treated with 100 g of NPK fertilizers showed the greatest increase in diameter. Keywords : Post-mining area, Diameter Increment, Fertilizer, Trembesi (Samanea saman) PENDAHULUAN Lahan bekas penambangan batubara memiliki banyak permasalahan, diantaranya kehilangan topsoil karena penggalian yang sangat dalam, kehilangan kesuburan tanah, kandungan logam berat yang cukup tinggi dalam tanah, dan struktur permukaan tanah tidak rata. Kondisi tersebut membuat tanah sangat sulit ditanami. Salah satu cara mereklamasi lahan bekas tambang adalah menanam tanaman cover crops yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan tanaman ini juga dapat mengembalikan unsur hara tanah (Pahan, 2008). Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 45 ayat 2, reklamasi pada kawasan hutan bekas areal tambang wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Novriadi, dkk. (2009) menyebutkan bahwa revegetasi lahan bekas penambangan batubara tidak semudah yang diperkirakan, karena pada lahan itu jarang terdapat topsoil. Kalaupun ada, tanah itu seringkali tererosi, telah menjadi padat dan kadang-kadang masih bercampur dengan bahan tambang. Keadaan lahan seperti ini biasanya sangat tidak subur. Beberapa lahan pasca tambang yang ditanami seringkali masih mengandung senyawa toksik. PT Cahaya Energy Mandiri merupakan perusahaan tambang batubara yang berlokasi di Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Pasca penambangan batubara, perusahaan itu telah melakukan revegetasi dengan menanam Trembesi (Samanea saman) agar lahan yang terbuka menjadi hijau kembali. Trembesi merupakan tumbuhan besar, tinggi, dengan tajuk yang sangat melebar. Perakarannya yang sangat meluas membuatnya kurang populer karena dapat merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Jenis pohon ini memiliki kemampuan menyerap karbondioksida dari udara yang sangat besar, hingga mencapai 28.488,39 kg CO 2/pohon setiap tahunnya (Welly, 2010). Trembesi (Samanea saman) atau rain tree merupakan tanaman pelindung yang mempunyai banyak manfaat. Trembesi dapat bertahan 2-4 bulan atau lebih lama di daerah yang mempunyai curah hujan 40 mm/tahun (dry season) atau bahkan dapat hidup lebih lama tergantung usia, ukuran pohon, temperatur dan tanah. Tanaman peneduh hujan ini akan tumbuh 15-25 m (50-80 ft) di tempat terbuka dengan diameter kanopi (payung) lebih besar dari tingginya (Anonim, 2011). Dalam kaitannya dengan upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon, keberadaan Trembesi cukup mendukung program tersebut. Dahlan (2010) menerangkan bahwa pohon Trembesi memiliki daya serap gas CO2 yang sangat tinggi. Satu batang pohon Trembesi mampu menyerap 28,5 ton gas CO 2 setiap tahunnya (diameter tajuk 15m). Trembesi juga mampu menurunkan konsentrasi gas secara efektif selain sebagai tanaman penghijauan. Pohon trembesi terbukti paling banyak menyerap karbondioksida dan memiliki kemampuan menyerap air tanah yang kuat. Dalam setahun, tanaman tersebut dapat menyerap 28,488,39 kg karbondioksida. Staples dan Elevitch (2006) menyatakan bahwa Trembesi (Samanea saman) termasuk pohon yang tumbuh moderate, pertumbuhan awalnya lambat namun memiliki daya hidup yang baik. Setelah dua bulan ditanam, semai akan
343
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI tumbuh cepat. Sapling umur dua tahun yang ditanam campur memiliki diameter mencapai 6,6 cm dengan sistem monospesifik 3x3 m. Pohon yang dirawat dengan baik, dapat mencapai diameter 15 cm dalam 5 tahun. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui pertumbuhan Trembesi (Samanea saman) sebagai respon dari pemberian pupuk dengan jenis dan dosis yang berbeda, khususnya sebagai tanaman revegetasi lahan pasca tambang batubara. Pemupukan awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesuburan pada tanah, namun pemberian pupuk tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya karena apabila cara penggunaannya tidak sesuai justru dapat menjadi racun bagi tanaman dan akhirnya tanaman malah menjadi mati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui riap diameter tanaman Trembesi di lahan pasca tambang sebagai respon dari pemberian pupuk dengan jenis dan dosis yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan data dan informasi mengenai metode penanaman lahan pasca tambang, baik menyangkut penentuan jenis tanaman, pemberian pupuk dengan jenis dan dosis pupuk yang tepat. METODE PENELITIAN A.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 2 (dua) lokasi, yakni lahan pasca tambang PT Cahaya Energy Mandiri, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Waktu efektif yang digunakan untuk pengamatan riap diameter selama 12 bulan, belum termasuk persiapan penelitian dan penyusunan laporan hasil penelitian. B.
Objek Penelitian Obyek penelitian ini adalah tanaman trembesi (Samanea saman) yang masih berumur ± 3 bulan setelah penanaman. C.
Pola Penelitian Penelitian ini dibuat secara faktorial mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 2 (dua) perlakuan yakni Jenis Pupuk (A) dan Dosis Pupuk (B). Perlakuan Jenis Pupuk (A) terdiri dari 2 jenis, yaitu: Pupuk NPK (A1) dan Pupuk Kandang (A2), sementara perlakuan Dosis Pupuk (B) terdiri atas : 50 gr (B1), 75 gr (B2) dan 100 gr (B3). Dari kedua perlakuan tersebut dihasilkan 6 kombinasi perlakuan. Sebagai kontrol, dipersiapkan pula tanaman yang tidak diberi pupuk (A0B0). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali, dan setiap ulangan menggunakan 10 sampel tanaman. Sehingga sampel tanaman dalam penelitian ini berjumlah = 7 kombinasi perlakuan x 3 ulangan x 10 tanaman = 210 tanaman. D.
Parameter Penelitian Parameter yang diamati adalah Riap Diameter (cm/th) tanaman Trembesi yang diperoleh dengan cara mengukur diameter tanaman setiap bulan dengan menggunakan Microcaliper sehingga dapat diketahui pertambahan diameter setiap bulan sebagai respon dari pemberian perlakuan pemupukan. E.
Pengolahan dan Analisis Data Riap diameter merupakan pertambahan ukuran diameter per tahun, dapat juga dikatakan pertambahan diameter yang tidak bisa balik yang dinyatakan dalam cm/th. Data riap diameter dari setiap kombinasi perlakuan yang telah diolah kemudian dilakukan analisis secara statistik. Analisis statistik digunakan untuk mencari hubungan antara parameter terikat (Y) dan parameter bebas (X). Pada penelitian ini, Rancangan Acak Lengkap digunakan pada percobaan yang ditujukan untuk melihat pengaruh utama dan interaksi dengan derajat ketelitian dan kepentingan yang setara. Secara umum, model matematika yang digunakan adalah (Steel dan Torrie, 1991; Gomez dan Gomez, 1995; Sastrosupadi, 2003, Hanafiah, 2005) : Y=µ+τ+ɛ Dimana : Y = Hasil pengamatan dari respon perlakuan µ = Nilai rerata (mean) harapan τ = Nilai pengaruh faktor perlakuan atau kombinasi perlakuan ɛ = Nilai kesalahan percobaan akibat randominasi perlakuan Nilai-nilai yang diperoleh diatas selanjutnya diolah kembali dengan menggunakan rumus-rumus perhitungan (Steel dan Torrie, 1991; Gomez dan Gomez, 1995, Sastrosupadi, 2003, Hanafiah, 2005). Hasil perhitungan jumlah
344
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI kuadrat semua sumber keragaman tersebut kemudian disusun dalam tabel ANOVA untuk analisis sidik ragam, seperti pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Riap Diameter. Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Kuadrat Rataan Keragaman Bebas A (a – 1) JKA JKA/DBP B (b – 1) JKB JKB/DBG Interaksi AB (a – 1) (b – 1) JKAB JKAB/DBG Galat (ab) (n – 1) JKG JKG/DBG Total (abn – 1) JKT -
F-Hitung
F- Tabel 1% 5%
KRA/KRG KRB/KRG KRAB/KRG -
Perlakuan nilai setiap sumber keragaman diketahui dengan cara membandingkan F hitung dengan Ftabel, dengan syarat : a) Jika Fhitung < Ftabel (0,05) : Tidak Signifikan b) Jika Fhitung > Ftabel (0,05) : Signifikan c) Jika Fhitung > Ftabel (0,01) : Sangat Signifikan Jika analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang signifikan dan sangat signifikan maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) atau Least Significant Difference (LSD). Apabila selisih nilai sepasang perlakuan mempunyai nilai yang lebih besar dari nilai LSD, maka perbedaan perlakuan tersebut dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan hasil parameter pengukuran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan dan pengukuran diameter setiap bulan pengamatan selama setahun, diketahui bahwa tanaman Trembesi yang tidak diberi pupuk (kontrol) memiliki pertambahan diameter (cm) setiap bulan paling kecil dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan tanaman akan tambahan unsur hara dari kegiatan pemupukan sangat diperlukan dalam memacu pertumbuhan. Analisa tersebut diperkuat dengan pendapat Mulyana (2004) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk secara berimbang mampu mengatasi masalah kesuburan tanah baik dengan menggunakan pupuk kimia (anorganik) maupun pupuk alami (organik). Jika dibandingkan jenis dan dosis pupuknya, maka tanaman Trembesi yang diberi pupuk NPK sebanyak 100 gr menunjukkan pertambahan diameter (cm) bulanan yang paling tinggi dibandingkan jenis dan dosis pupuk lainnya. Hal tersebut disebabkan pupuk NPK merupakan pupuk kimia yang kandungan unsur haranya bisa diatur sesuai kebutuhan. Hasil di atas didukung oleh pendapat Marsono dan Sigit (2002) yang menerangkan bahwa pupuk kimia buatan dibuat dari bahan kimia dasar dalam pabrik, sifat dan karakter pupuk ini dapat diketahui dari hasil analisis yang dicantumkan pada setiap kemasannya. Lebih lanjut Marsono dan Sigit (2002) menyatakan bahwa manfaat pupuk secara umum adalah menyediakan unsur hara yang kurang atau bahkan tidak tersedia di tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Sependapat dengan hal tersebut, Mulyana (2004) mengatakan bahwa pemberian pupuk secara berimbang mampu mengatasi masalah kesuburan tanah baik dengan menggunakan pupuk kimia (anorganik) maupun pupuk alami (organik).
345
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Laju Pertumbuhan (cm)
0.20 0.19
0.18 0.17 0.16 0.15 0.14 0.13 1
2
3
4
5
6
7
Kontrol
NPK 50gr
NPK 75gr
PK 50gr
PK 75gr
PK 100gr
8
9
10
11
12
NPK 100gr
Gambar 1. Laju Pertumbuhan Diameter (cm) Trembesi Setiap Bulan Berdasarkan Perlakuan
Riap Diameter (cm/th)
Tidak berbeda jauh dengan hasil pengamatan bulanan, riap diameter (cm/th) tanaman yang merupakan pengamatan pertumbuhan tahunan juga menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan pemupukan memiliki riap diameter yang lebih besar dibandingkan tanaman yang tidak diberi pupuk. Tanaman yang tanpa perlakuan pemupukan memiliki riap diameter yang paling kecil diantara perlakuan pemupukan lainnya. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa tanaman Trembesi yang tidak mendapatkan perlakuan pemupukan (kontrol) hanya memiliki riap diameter hanya mencapai 1,71 cm/th. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian pupuk dengan jenis dan dosis yang berbeda memberikan pengaruh terhadap riap diameter (cm/th) dari tanaman Trembesi. Secara umum, tanaman yang diberikan pupuk kandang menunjukkan riap diameter lebih kecil dibandingkan pupuk NPK. Demikian pula halnya dengan dosis pupuk, tanaman yang diberi pupuk dengan dosis 100 gr menunjukkan riap diameter lebih besar dibandingkan dosis 75 gr dan 50 gr.
2.40 2.30 2.20 2.10 2.00 1.90 1.80 1.70 1.60 1.50
2.27 2.20 2.03
1.97
2.08
1.85 1.71
Kontrol
NPK 50gr
NPK 75gr
NPK 100gr
PK 50gr PK 75gr PK 100gr
Gambar 2. Riap Diameter (cm/th) Trembesi Berdasarkan Perlakuan di Lahan Pasca Tambang Hasil di atas didukung oleh pendapat Marsono dan Sigit (2002) yang menyatakan bahwa penggunaan pupuk kandang mempunyai kekurangannya, antara lain: Harus diberikan dalam jumlah besar, kadar hara yang tersedia bagi tanaman relatif kecil dibandingkan beratnya, dapat menurunkan kualitas air bila berdekatan dengan sumber air dan biasanya membawa bibit gulma, yaitu dari biji-bijian makanan ternak.Sementara Pupuk kimia merupakan pupuk buatan
346
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI dari bahan kimia dasar dalam pabrik, sehingga sifat dan karakter pupuk ini dapat diketahui dan penyebutannya biasanya dari unsur yang paling dominan misalnya N, P dan K. Pupuk NPK memiliki kandungan unsur yang dominan yakni N, P dan K. unsur N pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang dan akar dan apabila terlalu banyak akan menghambat pembungaan dan pembuahan tanaman. unsur P penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem dengan demikian fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar dan tanaman muda, mempercepat pembungaan, dan pemasakan buah, biji atau gabah selain itu juga sebagai penyusun lemak dan protein. unsur K sangat penting dalam setiap proses metabolisme dalam tanaman yaitu dalam sintesis dari asam amino dan protein dari ion-ion ammonium. Pengaruh perlakuan pemupukan dengan berbagai jenis dan dosis pupuk terhadap riap diameter dapat diketahui melalui analisis sidik ragam (Steel dan Torrie, 1991; Gomez dan Gomez, 1995, Sastrosupadi, 2003, Hanafiah, 2005) seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Pemupukan Terhadap Riap Diameter Trembesi. Sumber Keragaman DB JK KT Fhit F0.05 F0.01 Perlakuan 5 0.3521 0.0704 A. Jenis Pupuk 1 0.1122 0.1122 119.15** 4.75 9.33 B. Dosis Pupuk 2 0.2365 0.1183 125.62 ** 3.88 6.93 Interaksi AB 2 0.0034 0.0017 1.82 ns 3.88 6.93 Galat 12 0.0113 0.0009 Total 17 0.3634 0.0214 Berdasarkan hasil analisis sidik ragam di atas dapat diketahui bahwa perlakuan pemupukan berupa jenis pupuk (A) dan dosis pupuk (B) memberikan pengaruh sangat nyata (sangat signifikan) terhadap riap diameter tanaman Trembesi. Sementara interaksi antara jenis dan dosis pupuk (AB) tidak memberikan pengaruh (non signifikan) terhadap riap diameter tanaman Trembesi (Samanea saman) di lahan pasca tambang. Dengan demikian diketahui bahwa pemberian pupuk dengan jenis dan dosis berbeda pada tanaman Trembesi memberikan pengaruh nyata terhadap riap diameter, sehingga riap diameter tanaman akan meningkat jika diberikan perlakuan pemupukan dengan jenis dan dosis tertentu. Uji lanjutan berupa Beda Nyata Terkecil (BNT) atau Least Significant Difference (LSD) dapat dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pupuk (A) dan dosis pupuk (B) terhadap riap diameter tanaman Trembesi. Uji LSD yang pertama dilakukan terhadap jenis pupuk (A) sebagaimana disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 4. Uji LSD Pengaruh Perbedaan Jenis Pupuk Terhadap Riap Diameter Trembesi. Perlakuan Selisih LSD 0.05 NPK – Pupuk Kandang 0.16** 0.04
LSD 0.01 0.05
Berdasarkan hasil uji LSD diketahui bahwa perbedaan pemberian jenis pupuk (pupuk kandang dan NPK) pada tanaman Trembesi memberikan pengaruh terhadap selisih riap diameter hingga mencapai 0.16 cm/th. Hal ini membuktikan bahwa pemberian pupuk NPK pada tanaman Trembesi di lahan pasca tambang memberikan peningkatan riap diameter lebih besar dibandingkan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang. Hasil serupa ditunjukkan oleh Matondang (2012) ketika melakukan pemberian pupuk pada tanaman Trembesi di kawasan Hutan Pendidikan Lempake, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Pemberian pupuk NPK pada tanaman Trembesi memberikan peningkatan riap diameter (1.61 cm/th) lebih besar dibandingkan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang (1.44 cm/th). Sabirin (2011) juga menunjukkan bahwa pemupukan tanaman Trembesi di lahan pasca tambang menunjukkan bahwa pupuk NPK dan kombinasi keduanya (NPK dan pupuk kandang) memberikan pengaruh terhadap riap diameter dibandingkan hanya diberi pupuk kandang. Uji LSD yang kedua dilakukan terhadap dosis pupuk (B) yang terdiri atas 50 gram (B1), 75 gram (B2) dan 100 gram (B3) dengan hasil disajikan pada tabel di bawah ini:
347
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 5. Uji LSD Pengaruh Perbedaan Dosis Pupuk Terhadap Riap Diameter Trembesi. Perlakuan Selisih LSD 0.05 50 gr – 75 gr 0.20** 0.05 50 gr – 100 gr 0.27** 0.05 75 gr – 100 gr 0.07* 0.05
LSD 0.01 0.08 0.08 0.08
Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk dengan dosis 75 gr dan 100 gr memberikan pengaruh yang signifikan hingga taraf 95% terhadap perbedaan riap diameter tanaman Trembesi. Hal ini dikarenakan selisih riap diameter tanaman yang diberi pupuk 75 gr dan 100 gr hanya berbeda sedikit sekali. Sementara pupuk 50 gr dan 75 gr memberikan pengaruh sangat signifikan terhadap riap diameter, demikian pula hasil yang sama ditunjukkan oleh pemberian pupuk dengan dosis 50 gr dan 100 gr. Pada penelitian ini diketahui bahwa riap diameter tertinggi ditunjukkan pada tanaman dengan dosis pupuk 100 gr. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas pemberian pupuk terhadap riap diameter tanaman Trembesi (Samanea saman) di lahan pasca tambang dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemberian pupuk dengan jenis dan dosis yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata (sangat signifikan) terhadap perbedaan riap diameter tanaman Trembesi (Samanea saman) di lahan pasca tambang. 2. Riap diameter Trembesi (Samanea saman) tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan pemberian pupuk NPK dengan dosis 100 gr, sedangkan riap diameter terendah ditunjukkan pada perlakuan tanpa pupuk. Sementara beberapa saran perlu disampaikan untuk rencana pengelolaan (management plan) tanaman di lahan pasca tambang, di antaranya: 1. Pemupukan perlu dilakukan pada tanaman Trembesi untuk meningkatkan kesuburan tanah dan memacu laju pertumbuhan tanaman, namun jenis dan dosis pupuk hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan tanaman tersebut karena apabila diberikan sebebas-bebasnya justru akan menjadi racun dan menyebabkan kematian pada tanaman. 2. Selain pemupukan, hendaknya juga dilakukan pemeliharaan bagi tanaman Trembesi sebagai tanaman revegetasi di lahan pasca tambang terutama pembebasan tanaman dari gangguan gulma dan sejenisnya baik penyiangan secara manual maupun dengan penyemprotan herbisida (kimiawi), karena gulma bisa merusak kelurusan batang dan memicu kematian tanaman. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. Trembesi (Samanea saman). Matoa: http://matoa.org/trembesi-samanea-saman, diakses tanggal 29 April 2011. Jakarta. Dahlan, E. 2010. Trembesi Dahulunya Asing Namun Sekarang Tidak Lagi. IPB Press. Bogor. Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hanafiah, K.A. 2005. Rancangan Percobaan; Teori dan Aplikasi (Edisi Revisi). Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Marsono dan Sigit, P. 2002. Pupuk Akar Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Matondang, H. 2012. Pertumbuhan Tanaman Trembesi (Samanea saman) Berdasarkan Perbedaan Pemberian Pupuk di Kebun Raya Unmul Samarinda. Skripsi Sarjana Pada Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Mulyana, A. 2004. Pengaruh Kombinasi Jenis Pupuk Kandang Dengan Pupuk Anorganik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah Kultivar Maja (Allium ascalonicum L). Skripsi Sarjana Pada Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti. Tanjungsari.
348
KAJIAN KEHUTANAN LAINNYA PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Novriadi, R; A. Subardja ; N Sumawijaya . 2009. Evaluasi Kesuburan Tanah Pada Lahan Revegetasi Paska Penambangan Batugamping, Kasus di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pahan, 2008. Evaluasi Lahan Bekas Tambang, Penutupan Tanah Dengan Tanaman Cover Crops. Gagasan makalah Mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Sabirin, M. 2011. Efektivitas Penggunaan Pupuk NPK dan Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan Semai Trembesi (Samanea saman) di Areal Pasca Tambang PT Energy Cahaya Industritama. Skripsi Sarjana Pada Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Sastrosupadi, A. 2003. Penggunaan Regresi, Korelasi, Koefisien Lintas untuk Penelitian Bidang Pertanian. Bayumedia Publishing. Malang Staples, GW, dan CR Elevitch. 2006. Samanea saman (rain tree), ver. 2006. Samanea saman (pohon hujan), ver. 2.1. 2.1. In: CR Elevitch (ed.). In: CR Elevitch (ed.). Species Jenis Profiles for Pacific Island Agroforestry. Profil untuk Pulau Pasifik Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Hōlualoa, Hawai'i. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik; Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Welly. 2010. Trembesi. http://wellyukm.blogspot.com/2010/10/trembesi-samanea-saman-jacq-merr.html.
349
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Analisis Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Sembung (Blumea balsamifera (L.)DC.) Dari Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur Firna Novari, Wartomo, Farida Aryani Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Politeknik Pertanian Negeri, Jl. Sam Ratulangi Samarinda 75131 Email : [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan screening fitokimia dan uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun sembung. Screening fitokimia dilakukan dengan metode uji warna dengan menggunakan beberapa pereaksi. Aktivitas antioksidan ditentukan dengan metode difenil pikril hydrazyl (DPPH) dan pengujian dilakukan pada konsentrasi 100 ppm dengan asam askorbik sebagai kontrol positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, steroid, alkaloid, glikosida dan saponin. Hasil pengujian aktivitas antioksidan untuk penghambatan ekstrak etanol sebesar 87,47%, fraksi heksan 33,19%, fraksi etil 81,98% dan residunya 90,11%. Sedangkan aktivitas penghambatan menggunakan asam askorbik sebesar 95,96%. Hal ini berarti pada fraksi etil dan residu menunjukkan aktivitas penghambatan yang relatif besar. Kata kunci : daun sembung, fitokomia, aktivitas antioksidan PENDAHULUAN Dalam dua dasawarsa terakhir penggunaan obat bahan alam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ini dapat dilihat dari semakin bervariasinya produk obat bahan alam yang beredar di pasar dan banyaknya produsen obat bahan alam. Di samping itu saat ini juga terjadi perubahan pola penyakit yang lebih didominasi oleh penyakit degeneratif dan penyakit kronis seperti kolesterol, hipertensi, diabetes, kanker, dan timbulnya penyakit-penyakit infeksi baru yang lebih resisten terhadap kuman penyakit yang ada. Keadaan ini menyebabkan masyarakat cenderung lebih memilih obat bahan alam yang lebih aman untuk pengobatan penyakit dari pada obat kimia/sintetik. Senyawa antioksidan memiliki peran yang sangat penting dalam kesehatan. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa antioksidan mengurangi resiko berbagai penyakit kronis seperti kanker dan jantung koroner. Karakter utama senyawa antioksidan adalah kemampuan menangkap radikal bebas (Prakash, 2001). Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan sehingga menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada disekitarnya. Senyawa oksigen reaktif terbentuk dapat berupa radikal ion superoksida (O2-), radikal peroksil (OOH), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH), dan singlet oksigen (1O2) (Winarsi, 2007) Daun sembung merupakan salah satu tumbuhan yang berkhasiat obat. Sebagian masyarakat Kabupaten Kutai Barat telah memanfaatkan daun sembung sebagai obat sakit perut seperti diare, nyeri haid, masuk angin. Berdasarkan informasi tersebut dipandang perlu untuk melakukan penelitian guna mengkaji potensi daun sembung agar dapat mengoptimalkan pemanfaatannya. BAHAN DAN METODE Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah daun tumbuhan sembung.yang berasal dari Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Bahan lain yang digunakan adalah aquades, etanol, metanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), larutan DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl), vitamin C, Bismut (III) Nitrat, KI, asam asetat, asam sulfat, Mg, HCl, 1-Naphtol. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : blender, shaker, oven, rotary evaporator, cuvette, gelas filter, gelas piala berbagai ukuran, kertas saring , corong, pipet tetes, erlenmeyer berbagai ukuran, tabung reaksi, timbangan dan desikator, UV Spectrophotometer, mikro pipet, alumunium foil. Simplisia tumbuhan di keringkan dalam ruangan konstan, kemudian dibuat serbuk setelah itu dimaserasi dengan etanol selama 48 jam dengan menggunakan shaker. Setelah itu disaring dan dipekatkan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga didapatkan ekstrak kasar.
350
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pengujian fitokimia yang meliputi triterpen/steroid, saponin, glikosida menggunakan metode Harborne (1987), sedankan flavonoid, alkaloid, dan saponin menggunakan metode Kokate (2001). Pengujian alkaloid dilakukan dengan memasukkan sebanyak 5 ml ekstrak kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 2 ml larutan HCl, kemudian dimasukkan 1 ml larutan Dragendorff. Perubahan warna larutan menjadi jingga atau merah mengindikasikan bahwa ekstrak mengandung alkaloid. Pengujian steroida dan triterpen dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard yaitu Asam Asetat anhidrid (10 tetes) ditambah Asam Sulfat (2 tetes) nilai positif ditunjukkan apabila warna sampel berubah menjadi merah dan ungu itu menunjukkan adanya terpenoida sedangkan warna hijau dan biru yang intensif menunjukkan adanya steroida. Uji flavonoid dengan cara sebanyak 1 ml ekstrak tumbuhan diberikan beberapa tetes natrium hidroksida encer. Munculnya warna kuning yang jelas pada larutan ekstrak dan menjadi tidak berwarna setelah penambahan asam encer mengindikasikan adanya flavonoid. Pengujian saponin dengan cara 1 ml sampel yang telah dilarutkan dalam aseton, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok dengan kuat selama 10 detik, adanya saponin ditandai dengan adanya busa yang stabil selama ± 10 menit, tinggi busa 1 cm – 10 cm dan tidak hilang bila ditambahkan 1 tetes HCl 2N. Pada pengujian karbohidrat sebanyak 1 ml ekstrak yang telah dilarutkan dalam aseton, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditetesi pereaksi Molisch sebanyak 1 tetes, kemudian dikocok, selanjutnya ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat, apabila terbentuk cincin ungu diantara 2 lapisan maka fraksi aktif positif mengandung karbohidrat. Pengujian Tanin dilakukan dengan memasukkan 10 ml ekstrak ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan timbal asetat 1%. Tanin dinyatakan positif apabila pada reaksi terbentuk endapan kuning. Pengujian antioksidan dilakukan berdasarkan metode Arung (2006), dimana sebanyak 467 µl ethanol dimasukkan dalam cuvette lalu ditambahkan 33 µl ekstrak yang telah dilarutkan dalam DMSO kemudian dikocok secara perlahan. Selanjutnya setelah larutan tercampur secara merata ditambahkan 500 µl DPPH lalu diinkubasi selama 20 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam alat spektropotometer dengan panjang gelombang 514 nm. Aktivitas antioksidan dapat ditentukan melalui dekolorisasi dari DPPH. Untuk kontrol positif digunakan Ascorbic acid. Ekstrak kasar yang memiliki aktivitas biologi sangat baik akan dilanjutkan untuk proses selanjutnya yaitu fraksinasi. Proses fraksinasi terhadap ekstrak kasar dilakukan menggunakan kolom kromatografi dengan fase diam sephadex. Gelas kolom yang telah dibersihkan dipasang tegak lurus pada statif, lalu dibilas dengan fase gerak yang akan digunakan, dikeringkan kemudian kolom diisi dengan fase diam sephadex LH-20 (Sigma). Fase diam kemudian dikeluarkan dan pada bagian bawah kolom disumbat dengan kapas. Selanjutnya fase diam disuspensikan dengan eluen dalam gelas dan dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom sampai seluruhnya masuk dan eluen dibiarkan mengalir rata dengan permukaan adsorben. Kolom digetarkan perlahan-lahan secara merata agar fase diam memadat, kemudian ekstrak yang akan dikolom, dilarutkan dengan sedikit eluen, dimasukkan kedalam kolom sedikit demi sedikit hingga merata. Selanjutnya eluen yang akan digunakan dimasukkan ke dalam tabung kolom. Eluat yang diperoleh ditampung dalam tabung. HASIL DAN PEMBAHASAN Screening Fitokimia Ekstrak Daun Sembung Berdasarkan hasil analisis fitokimia diperoleh hasil pada tabel berikut : Tabel Analisis Fitokimia Ekstract Alkaloid Daun sembung
+
Flavonoid
Saponin
Triterpen/steroid
glicosida
Tanin
+
+
+ steroid
+
+
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa ekstrak daun sembung mengandung senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, saponin, glicosida, saponin. Senyawa-senyawa metabolit sekunder ini yang diduga mempunyai aktivitas antioksidan karena gugus fungsi yang terdapat di dalam senyawa tersebut yang dalam pemecahan heterolitiknya akan menghasilkan radikal O (O-) dan radikal H (H-). Radikal-radikal inilah yang akan bereaksi secara radikal dengan DPPH. Aktivitas Antioksidan Daun Sembung Uji aktivitas antioksidan secara kuantitatif menggunakan metode DPPH dipilih karena ujinya sederhana, mudah, cepat, dan peka, serta hanya memerlukan sedikit sempel. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel
351
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI mengakibatkan terjadinya perubahan warna dari ungu pekat menjadi kuning pucat. Aktivitas antioksidan ditentukan dengan metode difenil pikril hydrazyl (DPPH) dan pengujian dilakukan pada konsentrasi 100 ppm dengan asam askorbik sebagai kontrol positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, steroid, alkaloid, glikosida dan saponin
Ekstrak Daun Sembung Fraksinasi
ETOH ETOAC He Vit C 0
50
100
150
Persen Penghambatan (%) Gambar Hubungan Fraksinasi Ekstrak Daun Sembung Dengan Persen Penghambatan Dari grafik di atas dapat dilihat hasil pengujian aktivitas antioksidan untuk penghambatan ekstrak etanol sebesar 87,47%, fraksi heksan 33,19%, fraksi etil asetat 81,98% dan residunya 90,11%. Sedangkan aktivitas penghambatan menggunakan asam askorbik sebagai kontrol positifnya adalah sebesar 95,96%. Hal ini menunjukkan pada fraksi etil asetat dan residu menunjukkan aktivitas penghambatan yang relatif besar, yang berarti juga memiliki aktivitas antioksidan yang kuat karena mendekati persen penghambatan kontrol positif yaitu asam askorbat. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun sembung yang berasal dari Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, steroid, alkaloid, glikosida dan saponin serta memiliki aktivitas antioksidan yang kuat pada fraksi etil asetat dan residunya. DAFTAR PUSTAKA Arung, E.T., Muladi,S., Sukaton.E., Shimizu. K., Kondo, R. 2008. Artocarpin,A Promising Compound as Whitening Agent and anti-skin Cancer. Hlm 33-35 Blois, M.S. 1958. Antioxidant determination by the use of a Stable Free Radical Nature 181:1199-12000 Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia (Terjemahan). Terbitan ke-2. Penerbit ITB. Bandung Kokate, C.K. 2001. Pharmacohnosi 16th Edn. Niali Prakasham, Mumbai, India. Prakash, A. 2001. Antioxidant Activity. Medallion Laboratories: Analitical Progress Vol 19 No 2:1-4 Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius Yogyakarta
352
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
SIFAT KIMIA BAMBU HITAM (Gigantochloa sp) PADA PERBEDAAN ARAH AKSIAL DAN KETINGGIAN TEMPAT TUMBUH MEIVITA NAFITRI, GANIS LUKMANDARU Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Email : [email protected] Abstrak Salah satu bahan non kayu yang bisa digunakan sebagai pengganti kayu adalah bambu. Di Indonesia, bambu hitam (Gigantochloa sp) merupakan salah satu jenis bambu yang banyak digunakan oleh masyarakat. Penelitian ini menggunakan 2 faktor yaitu faktor ketinggian tempat tumbuh dan arah aksial. Bambu yang digunakan adalah bambu hitam yang diperoleh dari desa Bangunharjo (53 m dpl) dan Kroco (335 m dpl), Sleman, masing – masing 5 buah individu untuk ulangan dengan diameter antara 5 – 7 cm. Bambu yang sudah ditebang kemudian dipotong menurut bagian pangkal (P), tengah (T), dan ujung (U). Pemotongan dilakukan hanya pada bagian buluh dan bambu tidak dipisahkan dari kulitnya. Setiap bagian tersebut kemudian digergaji dan dihaluskan hingga didapat serbuk kayu berukuran 40-60 mesh dan 200 mesh untuk diuji sifat kimianya merujuk standar ASTM dan TAPPI. Kisaran yang didapatkan dari penelitian ini adalah kadar ekstraktif larut alkohol toluen 4,63 – 7,74%, kadar ekstraktif larut air panas 12,83 – 15,52 %, kadar ekstraktif larut air dingin 10,10 – 14,82 %, kadar holoselulosa 74,89 – 78,95 %, kadar alfaselulosa 40,94 – 47,80%, kadar lignin 24,49 – 26,62 %, kadar kelarutan dalam NaOH 32,11 – 40,43 %, kadar abu 6,9 – 9,03 %, kadar abu tak larut asam 0,5 – 1,4%, kadar pati 2,31 – 6,54 % dan nilai pH 8,00 – 8,27. Dalam penelitian ini tidak didapatkan pengaruh yang nyata pada interaksi kedua faktor maupun arah aksial dalam analisa variansi. Faktor ketinggian tempat tumbuh berpengaruh sangat nyata hanya pada kadar pati, dimana ketinggian tempat tumbuh lebih rendah memberikan hasil kadar pati yang lebih tinggi.
Kata kunci: Gigantochloa sp, bambu hitam, sifat kimia, tempat tumbuh, arah aksial PENDAHULUAN Beberapa sektor yang menyebabkan pemanasan global, salah satunya kehutanan yaitu sebanyak 17,4% mengakibatkan pembatasan penebangan kayu. Hal ini berimbas pada berkurangnya suplai kayu sebagai bahan baku industri, sementara permintaan akan bahan baku ini terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk. Untuk itu perlu dicari alternatif bahan baku supaya kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi dengan tidak menambah penebangan kayu. Salah satu bahan non-kayu yang biasa digunakan masyarakat sebagai pengganti kayu adalah bambu. Menurut Othman dkk (1992), secara umum dalam satu rumpun bambu dapat memproduksi 8 – 12 batang. Pada setiap batangnya, dibutuhkan waktu sekitar 2 – 3 bulan untuk mencapai tinggi maksimal. Menurut Yiping dan Henley (2010), bambu merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai yang sangat potensial dalam mendukung perkembangan manusia. Bambu memiliki kekuatan yang cukup tinggi, dapat diperbaharui, cepat tumbuh dan dapat digunakan untuk berbagai macam produk. Hal ini berarti bambu dapat menjadi salah satu alternatif bahan pengganti kayu. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bambu yang melimpah. Menurut Widjaja (2001), terdapat 143 jenis bambu yang tumbuh di Indonesia, 60 jenis diantaranya tumbuh di pulau Jawa. Jenis – jenis bambu yang banyak digunakan di Indonesia adalah bambu apus, bambu petung, bambu ori dan bambu hitam. Diantara keempat bambu tersebut, bambu hitam memiliki keunikan tersendiri dikarenakan warnanya yang hitam sehingga memiliki nilai estetika yang lebih tinggi dibandingkan bambu lainnya. Bambu hitam (Gigantochloa sp) atau di Pulau Jawa dikenal dengan nama pring wulung merupakan salah satu jenis bambu asli Indonesia. Bambu ini biasanya digunakan untuk bahan pembuatan instrumen musik seperti angklung, calung, gambang dan celempung. Selain itu, bambu hitam juga berfungsi untuk bahan industri kerajinan tangan dan pembuatan mebel. Rebungnya dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Dalam pemanfaatan bambu, perlu diketahui sifat – sifat dasar dari bambu tersebut salah satunya sifat kimia. Untuk kegunaan industri dan konstruksi bambu tidak hanya dipengaruhi oleh sifat fisik dan mekanika, tetapi juga komponen kimia terutama pati dan gula (Mohmod dkk, 1991). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa distribusi sifat
353
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI kimiawi bambu membentuk suatu pola yang berkaitan dengan ketinggian posisi dalam batang bambu petung (Prasetya dan Nurhayati, 1994). Selain itu, Ulfah (1999) menyebutkan bahwa perbedaan tempat tumbuh dan arah aksial berpengaruh pada sifat kimia bambu hitam. Untuk itulah penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi tentang komponen kimia bambu hitam pada perbedaan ketinggian tempat tumbuh dan arah aksial.
Bahan dan Metode Penelitian Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah bambu hitam yang diperoleh dari desa Bangunharjo (Kab. Bantul, ketinggian tempat 53 m dpl, regosol, curah hujan 1978 mm/th) dan Kroco (Sleman, ketinggian tempat 335 m dpl, regosol, curah hujan 2399 mm/th) di Prov. Jogja. Data iklim tersebut berasal dari BMKG Jogja (2012). Masing – masing diambil 5 buah batang bambu untuk ulangan dengan diameter antara 5 – 7 cm. Pembuatan sampel Bambu yang sudah ditebang kemudian dipotong menurut bagian pangkal (P), tengah (T), ujung (U). Pemotongan dilakukan hanya pada bagian buluh dan bambu tidak dipisahkan dari kulitnya. Setiap bagian tersebut kemudian digergaji dan digerinder hingga didapat serbuk kayu berukuran 40-60 mesh dan 200 mesh untuk pengujian sifat kimia. Pengujian sifat kimia Setelah serbuk dikeringudarakan selama 2-3 hari, dilakukan pengujian komponen dan sifat kimia antara lain kadar ekstraktif larut dalam alkohol-toluena (ASTM D1107 – 96, 2002), kadar larut dalam air panas dan air dingin (ASTM D1110 – 80, 2002), kadar holoselulosa melalui metoda asam klorit mengacu pada Browning (1967), kadar alfa-selulosa (ASTM D1103 – 60, 1985), kadar lignin (ASTM D1106 – 96, 2002), kadar Kelarutan dalam NaOH 1 % (ASTM D 1109 – 84, 2002), kadar abu (ASTM D 1102 – 84, 2002), kadar abu tak larut asam (TAPPI T244 om-88), nilai pH (Lukmandaru 2009), dan kadar pati (Humphrey-Kelly 1961). Analisis sumatif Analisis sumatif (penjumlahan) digunakan untuk memperoleh hasil 100% untuk semua komponen yang ditentukan. Komponen kimia keseluruhan dapat dihitung dengan cara menjumlahkan holoselulosa, lignin, ekstraktif, dan abu (Fengel dan Wegener, 1995). Seluruh komponen total diasumsikan 100% secara teoritis, maka perhitungan dapat dilakukan dengan rumus berikut: - total holoselulosa dan lignin hasil penelitian: a - kadar abu: b - kadar ekstraktif larut alkohol-toluena: c - total kadar holoselulosa dan lignin teoritis (d) = 100% - (b + c) - kadar holoselulosa (e) dan lignin terkoreksi (f):
- Komponen total terkoreksi: b + c + e + f Analisa statistik Penelitian ini yang menggunakan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial. Analisa variansi dwiarah (two-way ANOVA) digunakan untuk mengetahui perbedaan di antara rerata parameter dalam 2 faktor (arah aksial dan tempat tumbuh). Perbedaan dianggap nyata pada taraf kepercayaan 95 % sedangkan untuk uji lanjutan menggunakan uji pembanding berganda Duncan. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.0.
354
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil dan Pembahasan Interaksi yang kompleks antara spesies, asal biji, lokasi geografis, kondisi tempat tumbuh sering menyebabkan kesulitan dalam memisahkan pengaruh keseluruhan pada faktor tunggal terhadap mutu batang bambunya. Analisis kimia batang bambu secara menyeluruh dilakukan untuk mengevaluasi perbedaan komposisi kimia dari 5 batang bambu hitam pada tiap lokasi dan 3 posisi aksial yang disarikan dalam Tabel 1. Hasil analisis variansi disajikan pada Tabel 2, dimana tidak ada interaksi yang berbeda nyata dan perbedaan nyata hanya didapatkan pada kadar pati yang dipengaruhi oleh ketinggian tempat tumbuh saja. Kadar Ekstraktif Secara umum, nilai yang diperoleh pada kadar ekstraktif larut alkohol toluena diatas tidak berbeda dari penelitian bambu hitam yang dilakukan oleh Ulfah (1999), meskipun pada kelarutan dalam NaOH 1%, kadar ekstraktif larut air panas dan air dingin nilainya lebih tinggi dari penelitian Ulfah (1999) serta Fatriasari dan Hermiati (2006). Perhitungan kadar kelarutan dalam NaOH 1% bambu hitam pada perbedaan ketinggian tempat tumbuh dan arah aksial dapat diketahui bahwa faktor perbedaan ketinggian tempat tumbuh hampir memberikan pengaruh yang nyata pada α = 5%. Hal ini mengindikasikan terdapat variasi yang besar pada kadar kelarutan dalam NaOH 1%, kadar ekstraktif larut air panas dan air dingin dalam satu spesies. Patut diduga karena adanya perbedaan musim penebangan dan diameter (umur) bambu dibandingkan pada penelitian sebelumnya. Li dkk (2007) menyebutkan bahwa perbedaan umur menyebabkan perbedaan kadar ekstraktif pada bambu. Browning (1967) menyebutkan bahwa materi yang dipindahkan dari kayu oleh larutan NaOH 1% tidak hanya meliputi sebagian besar ekstraktif melainkan juga dari materi dinding sel bermolekul rendah. Banyaknya kandungan gula yang berderajat polimerisasi rendah pada penelitian ini diindikasikan dengan tingginya kadar ekstraktif larut air panas dan air dingin (Tabel 1). Tabel 1. Kadar komponen kimia (%) dan nilai pH pada batang bambu hitam pada arah aksial dan ketinggian tempat tumbuh berbeda Parameter Min. (Sd) Ekstraktif etanol toluenaa Kelarutan dalam air dingina Kelarutan dalam air panasa Kelarutan dalam NaOH 1% Holoselulosab
Ketinggian 53 m Maks. (Sd)
Rerata
Min. (Sd)
Ketinggian 335 m Maks. (Sd)
Rerata
5,49 (0,55)
7,74 (3,34)
6,66
4,63 (0,64)
6,23 (2,26)
5,29
11,00 (3,21)
14,82 (2,31)
12,89
10,10 (3,84)
12,69 (1,47)
11,07
12,83 (2,66)
15,52 (1,5)
14,39
13,37 (2,28)
14,32 (2,68)
13,86
36,78 (6,78)
40,43 (9,5)
38,66
32,11 (2,35)
35,01 (3,77)
33,60
76,28 (4,69)
78,71 (1,32)
77,44
74,87 (3,85)
78,95 (1,49)
76,69
Alfa-selulosab
40,94 (8,98)
45,72 (1,61)
42,90
42,38 (5,7)
47,80 (2,26)
45,21
Lignin Klasonb
24,49 (2,59)
25,38 (3,68)
24,82
26,40 (4,53)
26,62 (4,87)
26,54
Abua
6,90 (2,25)
7,36 (4,36)
7,09
7,56 (2,88)
9,03 (2,94)
8,48
Abu tak larut asama
0,54 (0,004)
1,77 (0,015)
1,36
1,09 (0,001)
1,49 (0,016)
1,29
Patia
5,35 (4,16)
6,54 (0,74)
6,00
2,92 (1,89)
2,53
Nilai pH
8,00 (0,21)
8,27 (0,96)
8,13
8,28 (0,43)
8,19
2,31 (1,03) 8,14 (0,17)
Keterangan : a = % berdasarkan berat kering serbuk kayu, b = % berdasarkan berat serbuk kayu bebas ekstraktif, min. = nilai minimum, maks. = nilai maksimum, Sd = standar deviasi
355
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Hasil analisis varians untuk komponen kimia dan nilai pH pada batang bambu hitam. Sumber variasi
db
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Fhitung
(a) Kadar ekstraktif etanol toluena Arah aksial (A) 2 8,119 4,059 1,022 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 15,462 15,462 3,894 AxB 2 13,034 6,517 1,641 (b) Kadar kelarutan dalam air dingin Arah aksial (A) 2 6,763 3,381 0,349 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 24,934 24,934 2,573 AxB 2 49,533 24,767 2,555 (c) Kadar kelarutan dalam air panas Arah aksial (A) 2 6,384 3,192 0,699 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 2,134 2,134 0,467 AxB 2 15,543 7,771 1,701 (d) Kadar holoselulosa Arah aksial (A) 2 54,210 27,105 1,290 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 4,201 4,201 0,200 AxB 2 3,831 1,915 0,091 (e) Kadar alfa-selulosa Arah aksial (A) 2 114,469 57,235 2,529 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 39,990 39,990 1,767 AxB 2 21,906 10,953 0,484 (f) Kadar lignin Arah aksial (A) 2 1,587 0,793 0,053 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 22,231 22,231 1,481 AxB 2 0,945 0,473 0,031 (g) Kadar kelarutan dalam NaOH 1% Arah aksial (A) 2 53,719 26,859 0,580 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 191,962 191,962 4,146 AxB 2 0,705 0,353 0,008 (h) Kadar abu Arah aksial (A) 2 0,366 0,183 0,037 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 2,516 2,516 0,516 AxB 2 2,019 1,010 0,207 (i) Kadar abu tak larut asam Arah aksial (A) 2 0,366 0,183 0,037 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 2,516 2,516 0,516 AxB 2 2,019 1,010 0,207 (j) Kadar pati Arah aksial (A) 2 4,035 2,017 0,409 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 90,263 90,263 18,289 AxB 2 0,703 0,351 0,071 (k) Nilai pH Arah aksial (A) 2 0,116 0,058 0,234 Ketinggian tempat tumbuh (B) 1 0,025 0,025 0,102 AxB 2 0,139 0,070 0,281 Keterangan : db = derajat bebas, ns = tidak berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata pada tingkat 1 %, * = berbeda nyata pada tingkat 5 %
356
Signifikansi
0,375ns 0,06ns 0,215ns 0,709ns 0,122ns 0,099ns 0,507ns 0,501ns 0,204ns 0,294ns 0,669ns 0,913ns 0,101ns 0,196ns 0,622ns 0,949ns 0,235ns 0,969ns 0,567ns 0,053ns 0,992ns 0,963ns 0,480ns 0,814ns 0,963ns 0,480ns 0,814ns 0,669ns 0,01>** 0,931ns 0,793ns 0,752ns 0,753ns
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Kadar Komponen Dinding Sel Kisaran hasil pengukuruan kadar lignin, holoselulosa dan alfa-selulosa eksperimen ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (1999) maupun Fatriasari dan Hermiati (2006). Meski demikian, terdapat perbedaan hasil analisis dimana pada penelitian Ulfah (1999) didapatkan adanya pengaruh yang nyata faktor ketinggian tempat tumbuh terhadap kadar lignin. Penelitian lanjutan diperlukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak untuk memperjelas pengaruh faktor ketinggian tempat tumbuh terhadap kadar lignin. Pendugaan perbedaan diameter (umur) dan musim penebangan tidak berpengaruh pada kadar holoselulosa dan alfaselulosa. Li dkk (2007) menyatakan bahwa perbedaan umur bambu tidak berpengaruh pada kadar lignin, holoselulosa dan alfaselulosa. Secara teoritis kadar hemiselulosa pada ketinggian 53 m adalah 34,54% dan pada ketinggian 335 m adalah 31,48% sehingga persentase alfa-selulosa dalam holoselulosa berkisar antara 54 – 60%. Hal ini berarti alfa-selulosa tidak begitu mendominasi kandungan holoselulosa pada bambu hitam. Kadar Pati Kadar pati bambu hitam (2 – 6%) menunjukkan bahwa faktor perbedaan ketinggian tempat tumbuh memberikan pengaruh yang sangat nyata, dimana sampel dari ketinggian tempat rendah (53 m) memberi hasil yang secara nyata lebih tinggi melalui uji Duncan (Gambar 1). Kisaran dari data penelitian ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan oleh Suranto (1998) pada bambu ampel, akan tetapi lebih rendah jika dibandingan dengan penelitian Mohmod dkk (1991) pada bambu kapal. Pati merupakan hasil fotosintesis yang menjadi cadangan polisakarida yang paling penting yang terdapat dalam buah, biji dan jaringan penyimpan lain termasuk parenkim (Fengel dan Wegener (1995). Menurut Hillis (1962), faktor – faktor yang mempengaruhi kadar pati adalah pertumbuhan vegetatif, temperatur (musim), dan kadar air basah. Perbedaan kadar pati pada dua ketinggian berbeda diduga karena dipengaruhi oleh kadar air basah yang dipengaruhi oleh perbedaan curah hujan yang diterima pada kedua tempat tersebut. Penyebab lain diduga karena adanya perbedaan proporsi sel parenkim sehingga menyebabkan kandungan pati menjadi berbeda. Proporsi sel parenkim dalam spesies dapat dipengaruhi oleh kesuburan tanah yang menjadi tempat tumbuh spesies tersebut. Pada jenis tanah yang sama, ketinggian tempat tumbuh dapat memyebabkan perbedaan kesuburan tanah karena adanya erosi. Daerah dengan ketinggian yang lebih rendah memiliki bahan organik yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang lebih tinggi.
Gambar 1. Kadar pati (%) pada bambu hitam pada ketinggian tempat tumbuh yang berbeda Kadar Abu dan Abu Tak Larut Asam Abu merupakan garam yang diendapkan dalam dinding sel dan lumen. Endapan yang khas adalah berbagai garam-garam logam, seperti karbonat, silikat, oksalat, dan fosfat (Sjostrom, 1998). Hasil penelitan pada kadar abu yang didapatkan ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) pada bambu hitam. Hal ini diduga karena adanya perbedaan jenis tanah yang menjadi tempat tumbuh dengan penelitian sebelumnya. Brady (1990) dalam Tan (1994) menyatakan bahwa adanya perbedaan konsentrasi bahan anorganik antara jenis tanah yang satu dengan tanah yang lainnya, sehingga nutrisi yang diserap oleh tumbuhan juga berbeda. Tingginya zat anorganik dalam bambu hitam dalam penelitian ini dimungkinkan karena tanah regosol yang menjadi tempat tumbuh mempunyai kandungan mineral yang tinggi.
357
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Pengukuran kadar abu tak larut asam digunakan untuk mengetahui kandungan silikat dan silika dalam kayu (TAPPI, 1988). Menurut Rowell (1984), kadar silika yang lebih dari 0,5% atau 5000 ppm berbahaya bagi alat – alat penebangan. Hasil penelitian pada parameter ini lebih rendah dari yang dilakukan oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) pada bambu hitam dengan asumsi nilai kadar abu tak larut asam mendekati nilai kadar silika. Hal ini diduga karena adanya perbedaan jenis tanah yang menjadi tempat tumbuh dengan penelitian sebelumnya. Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyebutkan bahwa ketersediaan silika dalam tanah tergantung pada kecepatan pelapukan batuan. Tanah regosol dalam penelitian ini merupakan tanah muda sehingga belum banyak terjadi pelapukan batuan sehingga kandungan silika menjadi rendah. Dibandingkan dengan spesies lainnya, hasil yang didapatkan masuk dalam kisaran penelitian kadar silika yang dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) dalam Krisdianto dkk (2006) terhadap bambu batu, bambu ampel dan bambu madake. Nilai pH Data penelitian ini (pH 8,0 – 8,27) dalam kisaran basa lemah dan nilainya lebih besar dari penelitian yang dilakukan oleh Prasetya dan Nurhayati (1994) pada bambu petung (pH 3,6 – 6,3). Hal ini diduga karena adanya perbedaan spesies sehingga komponen kimia yang terkandung di dalamnya juga berbeda. Selain itu, perbedaan kandungan bahan anorganik pada tempat tumbuh juga diduga memberikan pengaruh pada pH bambu. Secara teoritis, salah satu komponen yang mempengaruhi nilai pH adalah kadar ekstraktif. Meskipun pada penelitian ini kadar ekstraktif larut alkohol toluena, kadar ekstraktif larut air panas, larut air dingin dan kelarutan dalam NaOH 1% cukup tinggi, tetapi nilai pH yang diperoleh masuk dalam kisaran basa lemah. Hal ini berarti kandungan gugus – gugus asam bebas baik dari senyawa fenolat maupun gugus gula bermolekul rendah tidak banyak berkontribusi pada nilai pH. Penyebab lain diduga karena adanya kandungan mineral yang bersifat basa yang cukup tinggi sehingga menyebabkan pH bambu hitam bersifat basa. Merujuk data pH kayu pada Fengel dan Wegener (1995), beberapa kayu mempunyai pH ≥ 7 meskipun tidak banyak. Analisis sumatif Analisis sumatif dapat digunakan untuk membuktikan secara pasti bagaimana masing-masing komponen dipisahkan dan ditentukan. Dari grafik (Gambar 2) terlihat sampel bambu pada ketinggian tempat tumbuh 53 m mempunyai nilai holoselulosa dan ekstraktif etanol-toluena sedikit lebih tinggi serta nilai kadar abu dan lignin sedikit lebih rendah. Pada penjumlahan komponen kimia secara keseluruhan juga terlihat bahwa komponen dinding sel (holoselulosa dan lignin) menyusun sekitar 86% dari komponen keseluruhan. Secara matematis, komponen penyusun dinding sel bambu hitam cenderung rendah dibandingkan spesies bambu lainnya seperti bambu petung (92 – 98%) oleh Prasetya dan Nurhayati (1994) dan Ph. pubescens (90 – 96%) oleh Li dkk (2007).
Gambar 2. Komposisi komponen kimia (%) penyusun batang bambu hitam pada pada ketinggian tempat tumbuh yang berbeda
358
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI KESIMPULAN Hasil yang didapat pada penelitian ini adalah kadar ekstraktif larut alkohol toluen 4,63 – 7,74%, kadar kelarutan dalam air panas 12,83 – 15,52%, kadar kelarutan dalam air dingin 10,10 – 14,82%, kadar holoselulosa 74,89 – 78,95%, kadar alfaselulosa 40,94 – 47,80%, kadar lignin 24,49 – 26,62%, kadar kelarutan dalam NaOH 32,11 – 40,43%, kadar abu 6,9 – 9,03%, kadar abu tak larut asam 5.476 – 17.756 ppm / 0,5 – 1,7%), kadar pati 2,31 – 6,54% dan nilai pH 8,00 – 8,27. Interaksi antara faktor ketinggian tempat tumbuh dan arah aksial serta arah aksial tidak berpengaruh nyata terhadap kadar ekstraktif, kadar karbohidrat, kadar lignin, kadar kelarutan dalam NaOH 1%, kadar pH, kadar abu dan abu tak larut asam maupun kadar pati bambu hitam. Faktor ketinggian tempat berpengaruh sangat nyata terhadap kadar pati bambu hitam. Penelitian mengenai anatomi bambu hitam diperlukan untuk mengetahui sejauh mana proporsi sel parenkim mempengaruhi kadar pati. DAFTAR PUSTAKA ASTM International.1985. Annual Book of ASTM Standards. Section Four Construction Volume 04.09 Wood. Philadelphia ASTM International. 2002. Annual Book of ASTM Standards. Section Four Construction Volume 04.10 Wood. Baltimore BMKG. 2012. Pelayanan Jasa Informasi Meteorologi. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Yogyakarta. Browning BL. 1967. Methods of Wood Cemistry Vol.I. Interscience Publishers, A Division of John Wiley and Sons, Inc. New York Fatriasari W, Hermiati E. 2006. Analisis Morfologi Serat dan Sifat Fisis Kimia Beberapa Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas. Laporan Teknik Akhir Tahunan. UPT BPP Biomaterial – LIPI Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Gadjah Mada University Press (terjemahan). Yogyakarta. Hillis WE. 1962. Wood Extractive and Their Significance to the Pulp and Paper Industries. Academic Press. New York Krisdianto, Sumarrni G, Ismanto A. 2006. Sari Hasil Penelitian Bambu. www.dephut.go.id/INFORMASI/litbang/teliti/bambu.htm. Diakses pada 20 Juli 2012 Li, XB, Shupe TF, Peter GF, Hse CY, Eberhardt TL. 2007. Chemical Change with Maturation of the Bamboo Species Phyllostachys pubescens. Journal of Tropical Forest Science 19 (1). Lukmandaru G. 2009. Sifat Kimia dan Warna Kayu Teras Jati pada Tiga Umur Berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol. 7 (1): 1–7. Mohmod AL, Khoo KC, Ali NAM. 1991. Carbohydrates in Commersial Malaysian Bamboo. Proceeding 4th International Bamboo Workshop: Bamboo in Asia Pacific Othman AR., Mohmod AL, Liese, W, Haron N. 1992. Planting and Utilization of Bamboo In Penisular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. Kuala Lumpur Prasetya B, Nurhayati. 1994. Distribusi Sifat Kimiawi dalam batang Dendrocalamus Asper. Prosiding Seminar Ilmiah P3FT – LIPI. Puslitbang Fisika Terapan – LIPI. Serpong Rosmarkam A, Yuwono NW. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Rowell R. 1984. The Chemistry Of Solid wood. American Chemistry Society, Washington D.C. Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu : Dasar – Dasar dan Penggunaan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Suranto Y. 1998. Starch Content on Culm of Three Bamboo Species. Proceedings of IWSS 1st : Sustainable Ulitization of Forest Product,JSPS-LIPI, pp 311-315. Tan KH. 1994. Environmental Soil Science.Marcel Dekker Inc. New York TAPPI. 1988. TAPPI Test Methods (T244 om-88).TAPPI Press.. Atlanta, Georgia. Ulfah D. 1999. Sifat dan Variasi Tiga Jenis Bambu (Apus, Ori, Wulung) pada Ketinggian Tempat Tumbuh yang Berbeda. Thesis S2 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). Widjaja EA. 2001. Identitas Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Bogor: Herbarium Bogoriense, Balitbang Botani, Puslitbang Biologi-LIPI Yiping L, Hanley G. 2010. Biodiversity in Bamboo Forest: A Policy Perspective for Long Term Sustainability. INBAR Working Paper 59
359
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENGARUH KADAR PEREKAT TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL M.I ISKANDAR Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor Email : [email protected]
ABSTRAK Limbah penggerrgajian adalah sesuatu bahan potensial untuk digunakan sebagai bahan baku dalam rangka produksi papan partikel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap sifat-sifat papan partikel yang terbuat dari limbah kayu sengon. Papan partikel yanh dibuat adalah tipe papan partikel berlapis tunggal (homogen) dengan ukuran 25 cm x 25 cm x 1,2 cm. bahan baku yang digunakan untuk membentuk lembaran panil adalah partikelpartikel yang lolos dari lubang saringan 4 mm dan sebagian partikel halus. Partikel-partikel yang digunakan memiliki kadar air 6% dan bahan perekat adalah Urea Formaldehida cair dengan kadar resin padat 65,0%, viskositas 2,0 poise dan kadar keasaman (pH) 6,8. Tingkat kerapatan papan partikel yang dibuat adalah berkerapatan sedang (0,70g/cm 3). Kadar perekat sebagai perlakuan terdiri dari 6%, 8%,10%, 12% dan 14%. Zat tambahan (berupa emulsi paraffin) digunakan sebanyak 2% dari berat kering partikel. Perlakuan kempa panas pada saat pembentukan lembaran adalah suhu kempa 120 oC, tekanan 35 kg/cm2, dengan lama waktu kempa 4 menit. Pengolahan data hasil penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan (UJD). Hasil penelitian menunjukan bahwa kadar perekat berpengaruh sangat nyata terhadap semua perlakuan. Semakin tinggi tingkat kadar perekat papan partikel maka nilai kerapatan, modulus patah, modulus etastisitas, keteguhan rekat internal, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan semakin meningkat dalam batas tertentu, terkecuali untuk nilai kadar air dan pengembangan tebal nilainya menurun dengan meningkatnya kadar perekat. Kata kunci : kadar perekat, sifat-sifat papan partikel. I. PENDAHULUAN Sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan akan hasil hutan terutama kayu telah menyebabkan harga kayu semakin meningkat terutama untuk kayu-kayu gergajian dengan kelas kuat dan kelas awet yang baik. Jenis-jenis kayu tersebut ketersediaannya semakin berkurang karena pengaruh pembalakan yang berlebihan. Kondisi seperti diatas mendorong perlunya pemanfaatan kayu secara maksimal seperti limbah yang terjadi di industri penggergajian.salah satu wujud limbah penggergajian adalah serbuk gergaji. Menurut Maloney (2003) serbuk gergaji khususnya yang masih basah dapat digunakan sebagai partikelpartikel dalam produksi papan partikel . sampai saat ini penelitian pemanfaatan serbuk gergaji untuk produksi papan partikel belum banyak dilakukan (Joesoef, 2010). Salah satu persyaratan terpenting bahan baku untuk dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan papan partikel adalah berat jenisnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Sebagai aturan umum, lebih disukai spesies berkerapatan rendah sampai sedang karena semakin mudah dikempa, kontak antar permukaan partikel-partikel. Semakin sempurna dan panil yang dibentuk semakin padat dan kompak, dan pada akhirnya kekuatanya semakin baik (Haygreen dan Mowyer, 1989). Menurut Martawijaya et. al., (1989) kayu sengon mempunyai kerapatan yang rendah (0,33g/cm 3), dengan demikian bias digunakan untuk bahan baku industri papan partikel. Pembuatan papan partikel dari limbah kayu merupakan salah satu cara meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu. Dalam pembuatan papan partikel dibutuhkan perekat dan bahan penolong lainnya, diantaranya adalah parafin. Kebutuhan perekat yang digunakan dalam pembuatan papan partikel berbeda untuk setiap jenis perekat, misalnya untuk Urea formaldehida, banyaknya perekat resin yang digunakan berkisar antara 6 – 10 % dari berat kering tanur parikel, sedangkan untuk fenol formaldehida, berkisar antara 2 – 3 % dari berat kering tenur patikel
360
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI (Maloney, 2003). Sedangkan penggunaan parafin berkisar antara 0.25 – 2 % dari berat kering kanur partikel, dan dicampurkan kedalam perekat (Haygreen dan Bowyer, 1989). Pengaruh peningkatan kadar resin perekat yang dipergunakan dalam pembuatan papa partikel dapat meningkatkan sifat-sifat papan partikel yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan pedapat Maloney (2000) yang menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya perekat dalam pembuatan papan partikel, akan baik sifat-sifat papan partikel yang dihasilkan. Sedangkan pendapat Haygreen dan Bowyer (1989) yang menyatakan bahwa semakin banyak resin perekat yang digunakan dalam produksi papan partikel, semakin kuat dan semakin stabil dimensi panelnya. Selanjutnya Anonim (2006) mengemukakan bahwa pengembangan tebal akan menurun dengan penggunaan parafin, karena partikel-partikel akan lebih sempurna terlindung sari kadar air. Berdasarkan uraian di atas makan dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh kadar perekat resin terhadap sifat-sifat papan partikel yang terbuat dari serbuk kayu sengon. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji kayu sengon, perekat Urea formaldehida cair dengan kadar resin padat 65,0 – 67,0, viskositas 2,0 – 3,5 poise dan kadar keasaman (pH) 6,8 – 7,6. B. Metode Papan partikel yang dibuat adalah berkerapan sedang (0,70g/cm 3), berlapis tunggal dengan ukuran panjang, lebar dan tebal 25 cm x 25 cm x 1,2 cm. 1. Pembuatan Papan Partikel Tahapan pembuatan papan partikel yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : a. Persiapan partikel :Serbuk gergaji kayu sengon yang masih kasar diayak, dan yang tertahan pada saringan 2 x 2 mm digunakan sebagai partikel-partikel pembuatan lapik (mats). b. Pengeringan partikel : Partikel-partikel dikeringkan dalam oven pada suhu 60 – 70oC sampai mencapai kadar air 2 – 5%. c. Penimbangan bahan : Kadar perekat resin Urea formaldehida yang digunakan adalah 6%, 8%, 10%, 12% dan 14% dari berat kering kanur partikel sedangkan berat parafin (emulsi) yang digunakan adalah 2% dari berat kering tenur partikel. d. Pencampuran partikel dengan perekat : Pencampuran partikel dengan perekat dan parafin dilakukan dalam blender yang diputar secara manual dan diaduk hingga rata. e. Pembuatan lembaran (mat forming) : Campuran bahan (adonan) yang telah dipersiapkan ditimbang untuk mengetahui berat adonan yang dibutuhkan untuk setiap lapik yang dibentuk. Setelah penimbangan kemudian adonan dihamparkan diatas pelat datar berukuran 35 cm x 35 cm x 1 cm, lalu dikempa panas pada suhu 120 oC selama 4 menit dengan tekanan 35 kg/cm2. f. Pengkondisian dan perataan tepi : setelah proses pengempaan panas lembaran-lembaran papan partikel yang dibentuk dikeluarkan dari kempa panas lalu dikondisikan selama dua minggu, pada suhu ruangan agar perekatnya mengeras sempurna dan kadar air papan partikel mencapai kadar air keseimbangan. Kemudian dilakukan perataan tepi papan partikel dengan menggunakan gergaji hingga berbentuk ukuran 25 cm x 25 cm x 1 cm. 2.
Pembuatan Contoh Uji Sifat papan partikel yang di uji adalah : Kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, rekat internal , dan kuat pegang skerup tegak lurus permukaan dan kuat pegang sekrup sejajar. Dalam penelitian digunakan rancangan acak lengkap 5 x 3. faktor kadar zat tambahan parafin konstan yaitu 2% dari berat kering tanur partikel, sedangkan kadar perekar resin terdiri atas 5 taraf yaitu 6%, 8%, 10%, 12% dan 14% dari berat kering tanur partikel. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan,
361
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kadar Air Nilai rata-rata pengujian kadar air disajikan pada Tabel 1. Table 1. Nilai Rata-rata Kadar Air Kadar Perekat (%) Rata-rata Kadar Air (%) 6 13,23 8 12,92 10 10,85 12 9,96 14 9,21 Beradasarkan data pada Tebel 1, diketahui bahwa kadar air menurun dengan meningkatkan kadar perekat dalam campuran adonan lapik. Nilai kadar air tertinggi (13,23%) dicapai pada level perekat 6% dan terendah (9,21) pada level perekat 14%. Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap nilai kadar air papan partikel, dihitung sidik ragamnya hasinya pada Tabel 2. Tabel 2. Sidk Ragam kadar Air Papan Partikel Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 4 38,08 9,52 21,81** Gallat 10 4,366 0,437 14 42,446 Keterangan : ** Sangat nyata Sumber Keragaman
F Tabel 3,48
5,99
Hasil sidik ragam pada Tabel 2 menunjukan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar perekat terhadap kadar air papan partikel. Untuk mengetahui respon kadar perekat papan partikel terhadap kadar air, maka dilakukan uji jarak Duncan, hasil dari pengujian pada Tabel 3
Kadar Perekat 6 8 10 12 14
Tabel 3. Uji Jarak Duncan Kadar Air Papan Partikel Rata-rata 13,23 12,92 10,85 9,96 9,21
Uji Duncan C C B AB A
Dari data uji jarak Duncan seperti pada Tabel 3 menunjukan bahwa pada tingkat kadar perekat 6% dan 8% dengan nilai masing-masing 13,23% dan 12,92% berbeda sangat nyata dengan tingkat kadar perekat 10%, 12% dan 14% dengan nilai masing-masing 10,85%, 9,96% dan 9,21%. Hal ini diduga karena dengan meningkatnya kadar perekat dalam campuran adonan lapik, permukaan dari partikel yang dapat ditempati uap air akan semakin sempit, dengan demikian nilai kadar air akan semakin menurun dengan meningkatnya kadar perekat. Dan hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widarmana (1977) yang mengemukakan bahwa semakin banyak jumlah perekat yang digunakan maka tingkat kerapatan papan partikel semakin meningkat karena kontak antar partikel semakin rapat sehingga uap air akan sulit masuk ke dalam papan partikel.
362
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 2. Kerapatan Kerapatan papan partikel yang dihasilkan untuk setiap tingkat kadar perekat disajikan pada Tebel 4. Tabel 4. Nilai Rata-rata Kerapatan Papan Partikel Kadar Perekat (%) Rata-rata Kerapatan (g/cm3) 6 0,6 8 0,66 10 0,67 12 0,69 14 0,7 Berdasarkan data Tabel 4, terlihat bahwa nilai kerapatan terrendah (0,6 g/cm3) tercapai pada tingkat perekat yang digunakan 6% sedangkan kerapatan tertinggi (0,7 g/ cm 3) perekat 14%. Selanjutnya sidik ragam untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap nilai rata-rata kerapatan papan partikel menghasilkan data seperti pada Tabel 5. Table 5. Sidik Ragam Kerapatan Papan Partikel Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 4 0,019 0,00475 9,5** Gallat 10 0,005 0,0005 14 0,024 Keterangan : ** Sangat nyata Sumber Keragaman
F Tabel 3,48
5,99
Data hasil sidik ragam pada Tabel 5 menunjukan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar perekat nilai kerapatan papan partikel. Untuk mengetahui respon tingkat kadar perekat papan partikel. Terhadap nilai kerapatan maka dilakukan uji jarak Duncan, dan hasilnya tertera pada table 6.
Kadar Perekat 6 8 10 12 14
Tabel 6. uji Jarak Duncan Kerapatan Papan Partikel Rata-rata Kerapatan Uji Duncan 0,6 A 0,66 B 0,67 B 0,69 BC 0,7 C
Hasil uji jarak Duncan pada Tabel 6 menunjukan bahwa nilai kerapatan dari tiap level perekat menghasilkan nilai kerapatan yang meningkat. Hal ini diduga karena dengan semakin banyaknya perekat yang digunakan, kerapatan akan meningkat, hal ini sesuai dengan pendapat Maloney (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kadar perekat semakin baik sifat papan partikel. Nilai-nilai kerapatan papan partikel penelitian ini semuanya memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia yaitu ada antara 0,50 – 0,70 g/cm3.
363
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 3. Pengembangan Tebal a. Pengembangan tebal setelah perendaman selama 2 jam Data hasil pengukuran papan partikel setelah direndam dalam air selama 2 jam disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Rata-rata PengembanganTebal Papan Partikel Setelah Perendaman Selama 2 Jam Kadar Perekat (%) Rata-rata Pengembangan Tebal (%) 6 17,15 8 14,29 10 11,28 12 9,28 14 7,05 Berdasarkan data Tabel 7, diketahui bahwa nilai pengembangan tebal terendah (7,05%) diperoleh pada level perekat yang digunakan sebanyak 14% sedangkan nilai tebal tertinggi (17,15%) pada level perekat 6%. Untuk mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap sifat pengembangan tebal, maka dilakukan sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Sidik Ragam Pengembangan Tabel Papan Partikel Setelah Perendaman Selama 2 Jam Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel 5% Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 4 191,03 47,76 132,69 3,48 5,99 Gallat 10 3,59 0,35 ** 14 194,62 Keterangan : ** Sangat nyata Tabel 8 menunjukan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar perekat terhadap sifat pengembangan tebal papan partikel. Untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap sifat pengembangan tebal maka dilakukan uji jarak Duncan dan hasilnya disajikan pada tabel 9. Tabel 9. Uji Jarak Duncan Sifat Pengembangan Tebal Papan Partikel Setelah Perendaman Selama 2 Jam Kadar Perekat Rata-Rata Pengembangan Uji Duncan Tebal 6 17,15 E 8 14,29 D 10 11,76 C 12 9,28 B 14 7,05 A Data pengujian jarak Duncan pada sifat pengembangan tebal setelah perendaman selama 2 jam menunjukan reaksi atau fenomena yang berbeda-beda. Hal ini diduga karena dengan semakin banyaknya perekat, permukaan partikel dapat tertutup perekat lebih sempurna dan ruang kosong antar partikel yang dapat ditempati uap air akan semakin sempit. Dengan demikian uap air yang dapat masuk semakin sedikit, dilain pihak ikatan antar partikel semakin kuat karena cukupnya permukaan tertutup oleh perekat, maka pengembangan tebal akan semakin kecil dengan meningkatnya perekat. Hasil ini sejalan dengan pendapat Maloney (2003) yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya perekat dalam pembuatan papan partikel, akan meningkatkan keteguhan lentur, keteguhan tarik tegag lurus permukaan, serta menurunkan penyerapan air dan pengembangan tebal. Menurut Sutigo (1996) pengaruh kadar perekat terhadap pengembangan papan partikel bersifat positif, yaitu semakin tinggi kadar perekat, pengembangan tebalnya menurun. Papan partikel yang dihasilkan dari penelitian ini yang memenuhi standar Nasional dimana nilai pengembangan tebal setelah peredaman 2 jam adalah dibawah 10%, sehingga papan partikel yang dibuat memenuhi standar tersebut.
364
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI b. Pengembangan tebal setelah peredaman selama 24 jam Data hasil pengukuran pengembangan tebal papan partikel setelah direndam dalam air 24 jam disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Rata-rata Pengembangan Tebal Papan Partikel Setelah Peredaman Selama 24 Jam Kadar Perekat (%) Rata-rata Pengembangan Tebal (%) 6 36,21 8 32,70 10 24,76 12 19,90 14 18,61 Berdasarkan data Tabel 10, maka diketahui bahwa nilai pengembangan tebal terrendah (18,61%) dipeoleh pada level perekat yang digunakan sebesar 14%. Sedangkan nilai pengembangan tebal tertinggi (36,21%) diperoleh dari tingkat kadar perekat 6%. Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap sifat pengembangan tebal, dilakukan sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sidik Ragam Pengembangan Tebal Papan Partikel Setelah Peredaman Selama 24 Jam Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Bebas Kuadrat Tengah 5% 1% Perlakuan 4 724,79 181,19 325,14** 3,48 5,99 Gallat 10 5,57 0,56 14 730,36 Keterangan : ** Sangat nyata Tabel 11 menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar perekat terhadap sifat perkembangan tebal papan partikel. Untuk mengetahui respon kadar pekerekat terhadap sifat pengembangan tebal maka dilakukan uji jarak Duncan, hasil pengujian jarak Duncan, dan hasilnya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Uji Jarak Duncan Sifat Pengembangan Tabel Papan Partikel Setelah Perendaman Selama 24 Jam Kadar Perekat Rata-rata Pengembangan Uji Duncan Tebal 6 36,21 A 8 32,70 C 10 24,76 B 12 19,90 A 14 18,61 A Keterangan : ** Sangat nyata Data Tabel 12 menunjukan bahwa level perekat yang digunakan menghasilkan fenomena yang berbeda terhadap pengembangan tebal papan pertikel. Hal ini diduga karena perbedaan pengaruh tingkat kadar perekat. Hasil ini sesuai dengan pendapat Sutigno (1996) yang menyatakan bahwa pengaruh kadar perekat terhadap pengembangan tebal papan partikel dapat dipahami. Makin tinggi kadar perekat, pengembangan tebal papan partikelnya cenderung menurun, selanjutnya dikatakan bahwa papan partikel yang diberi parafin pada ramuan perekatnya akan berkurang penyerapan air dan pengembangan tebalnya setelah direndam dalam air selama 24 jam.
365
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 4. Modulus Patah Nilai rata-rata modulus patah disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Nilai Rata-rata Modulus Patah Kadar Perekat (%) Rata-rata modulus Patah (kg/cm2) 6 80,45 8 157,41 10 165,19 12 171,59 14 179,47 Berdasarkan data Tabel 13 maka diketahui nilai modulus patah terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat 6% yaitu dengan nilai 80,45 kg/cm2, sedangkan nilai tertinggi modulus patah diperoleh dari tingkat kadar perekat 14 % yaitu dengan nilai 179,47 kg/cm2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat papan partkel terhadap modulus patah maka dilakukan sidik ragam tercantum pada Tabel 14. Tabel 14. Sidik Ragam Modulus patah Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 4 19362,23 4840,56 248,91 Gallat 10 194,47 19,45 14 19556,70 Keterangan : ** Sangat nyata Sumber Keragaman
F Tabel 5% 1% 3,48 5,99
Pada Tabel 14 diketahui bahwa kadar perekat papan partikel berpengaruh sangat nyata terhadap modulus patah. Untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap nilai modulus patah selanjutnya dilakukan uji jarak Duncan seperti pada Tabel 15.
Kadar Perekat 6 8 10 12 14
Tabel 15. Uji Jarak Duncan Modulus Patah Partikel Rata-rata Modulus Patah Uji Duncan 80,45 A 157,41 B 165,19 BC 171,59 CD 179,47 D
Data Tabel 15 menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara papan partikel berkadar perekat 6% dengan nilai 80,45 kg/cm2 dibandingkan dengan papan partikel berkadar perekat 14% dengan nilai 179,47 kg/cm2. dari uji jarak Duncan menunjukan bahwa tinggi tingkat perekat papan partikel maka nilai modulus patahnya semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Maloney (2003) dan Haygreen dan Bowyer (1989) yang menyatakan bahwa modulus patah papan partikel dipengaruhi oleh keteguhan rekat antar partikelnya, nilai modulus patah papan partikel akan meningkat dengan semakin meningkatnya keteguhan rekat dan akan menurun jika keteguhan rekatnya menurun. Papan partikel yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki nilai modulus patah tertinggi 179,47 kg/cm 2, sehingga papan partikel yang dibuat memenuhi standar tersebut.
366
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 5. Modulus Elatisitas Nilai rata-rata modulus elasisitas disajkan pada Tabel 16. Tabel 16. Nilai Rata-rata Modulus Elastisitas Papan Partikel Kadar Perekat (%) Rata-rata modulus Elastisitas (kg/m2) 6 7542,60 8 8387,77 10 10258,60 12 13658,40 14 16391,50 Berdasarkan data Tabel 16 diketahui nilai modulus elastisitas terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat 6% yaitu dengan nilai 7542,60 kg/cm2, sedangkan nilai tertinggi modulus elastisitas diperoleh dari tingkat kadar perekat 14% yaitu dengan nilai 16391,50 kg/cm2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat papan partikel terhadap modulus elastisitas, dilakukan sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Sidik Ragam Modulus Elastisitas Papan Partikel Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Bebas Kuadrat Tengah 5% 1% 4 16535012.7 41337703.2 85.14** 3.48 5.99 10 4855463.7 485546.4 14 1702062763.7 Keterangan : ** Sangat nyata Sumber Keragaman Perlakuan Gallat
Pada Tabel 17 dijelaskan bahwa kadar perekat papan partikel berpengaruh sangat nyata terhadap modulus elastisitas. Untuk mengetahui respon kadar perekat terhadap modulus elastisitas selanjutnya dilakukan uji jarak Duncan pada Tabel 18. Tabel 18. Uji Jarak Duncan Modulus Elastisitas Papan Partikel Kadar Perekat Rata-rata Modulus Elastisitas Uji Duncan 6 7542,60 A 8 8387,77 A 10 10258,60 B 12 13650,40 C 14 16391,50 D Tabel 18 menunjukan bahwa tingkat kadar perekat 6% (7542,60 kg/cm 2) dan 8% (8387,77 kg/cm2) bereda nyata dengan kadar perekat 10% (10258,60 kg/cm 2), 12% (13650,40 kg/cm2) dan 14% 16391,50 kg/cm2). Dari hasil analisis menunjukan bahwa semakin meningkatnya kadar perekat papan partikel makan nilai modulus elastisitasnya semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutigno (1996) yang mengatakan bahwa bila kadar perekat berbeda maka keteguhan elastisitas papan partikelnya akan meningkat pada kadar perekat yang lebih besar. Papan partikel yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki nilai modulus elastisitas tertinggi 16391,50 kg/cm2) dari kadar perekat 14%, untuk Standar Nasional Indonesia nilai modulus elastisitas tidak disyaratkan.
367
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 6. Rekat Internal Nilai rata-rata rekat internal pada berbagai tingkat kadar perekat dijelaskan pada Tabel 19 berikut ini : Tabel 19. Nilai Rata-rata Rekat Internal Papan Partikel Kadar Perekat (%) Rata-rata Rekat Internal 6 2,64 8 3,66 10 3,74 12 4,24 14 5,77 Berdasarkan data pada Tebel 19, maka diketahui nilai rekat internal terendah dihasilakan dari papan partikel berkadar perekat 6% yaitu 2,64, sedangkan nilai rekat internal tertinggi diperoleh dari papan partikel berkadar perekat 14% yaitu dengan nilai 5,77 kg/cm2. Selanjutnya dilakukan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap kekuatan rekat internal, dan hasilnya dijelaskan pada Tabel 20. Tabel 20. Sidik Ragam Rekat Internal Papan Partikel Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 4 15,73 3,93 195,60** Gallat 10 0,20 0,02 14 15,93 Keterangan : ** Sangat nyata Sumber Keragaman
F Tabel 5% 1% 3.48 5.99
Hasil analisis keragaman pada Tabel 20 menunjukan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar perekat terhadap rekat internal papan partikel. Untuk mengetahui respon kadar perekat papan partikel terhadap rekat internal, maka dilakukan uji jarak Duncan, hasil pengujian disajikan pada Tabel 21 Tabel 21. Uji jarak Duncan Rekat Internal Papan Partikel Kadar Perekat Rata-rata Rekat Internal Uji Duncan 6 2,64, A 8 3,66 B 10 3,74 B 12 4,24 C 14 5,77 D Data hasil uji jarak Duncan pada Tabel 21 menunjukan bahwa pada tiap tingkat kadar perekat menghasilkan nilai rata-rata yang berbeda-beda, hal ini diduga karena perbedaan tingkat kadar perekat, dengan semakin meningkatnya yang diberikan permukaan partikel dapat tertutup perekat lebih sempurna. Hal ini sesuai dengan pendapat Maloney (2003) dan Widarmana (1977) yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya perekat akan meningkatkan nilai keteguhan rekatnya. Nilai rekat internal hasil pengujian ini, mencapai nilai tertinggi 5,77 kg/cm 2. standar Nassional Indonesia menetapkan nilai rekat internal minimal 6 kg/cm2, maka papan partikel yang dihasilkan tidak memenuhi standar tersebut.
368
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 7. Kuat Pegang Sekrup Tegak Lurus Permukaan Nilai rata-rata hasil pengukuran dari kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Nilai Rata-rata Kuat Pegang Sekrup Tegak Lurus Permukaan Papan Partikel Kadar Perekat (%) Rata-rata kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan (kg) 6 25,07 8 29,87 10 33,27 12 37,93 14 41,87 Dari Tabel 22 diketahui nilai kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan terendah diperoleh pada tingkat kadar perekat 6% yaitu dengan nilai 25,07 kg, sedangkan nilai kekuatan pegang sekrup tertinggi diperoleh dari tingkat kadar perekat 14% yaitu dengan nilai 41,87 Kg. Untuk mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan, selanjutnya dilakukan sidik ragam dan hasilnya pada Tabel 23 berikut ini. Tabel 23 Kuat Pegang Sekrup Tegak Lurus Permukaan Papan Partikel Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Bebas Kuadrat Tengah 5% 1% Perlakuan 4 521,947 130,487 7,74 3,48 5,99 Gallat 10 168,693 16,869 14 690,640 Keterangan : ** Sangat nyata Setelah dilakukan sidik ragam pada Tabel 23. diketahui ada pengaruh perlakuan yang berbeda sangat nyata. Selanjutnya dilakukan uji jarak Duncan untuk mengetahui respon tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel, dan disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Uji Jarak Duncan Kuat Pegang Tegak Lurus Permukaan Papan Partikel Kadar Perekat Rata-rata Kerapatan Uji Duncan 6 25,07 A 8 29,87 AB 10 33,27 BC 12 37,93 CD 14 41,87 D Dari data hasil uji jarak Duncan pada Tabel 24 menunjukan bahwa untuk tingkat kadar perekat 6% dengan 14% merupakan perlakuan yang berbeda nyata. Hal ini diduga karena nilai kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan dipengaruhi dengan semakin meningkatnya kadar perekat. Hasil ini sesuai dengan pendapat Haygreen dan Bowyer (1989) yang menyatakan bahwa kekuatan menahan paku dan sekrup sebagian besar oleh kerapatan dan kandungan resin. Menurut Standar Nasional Indonesia nilai kekuatan pegang sekrup tegak lurus permukaan papan partikel minimal 40 kg, sedangkan nilai tertinggi yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 41,87 kg, dengan demikian papan partikel yang dibuat dapat memenuhi standar tersebut.
369
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 8. Kuat Pegang Sekrup Sejajar Permukaan Nilai rata-rata uji pegang sekrup sejajar permukaan disajikan pada Tabel 25 berikut ini : Tabel 25. Nilai Rata-rata Kuat Pegang Sekrup Sejajar Permukaan Papan Partikel Kadar Perekat (%) Rata-rata kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan (kg) 6 22,27 8 23,67 10 31,20 12 35,73 14 40,07 Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa nilai kuat pegang sekrup sejajar permukaan terendah yaitu 22,27 kg terdapat pada tingkat kadar perekat 6% sedangkan nilai tertinggi kekuatan pegang sekrup sejajar permukaan diperoleh pada tingkat kadar perekat 14%. Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat 6%, sedangkan nilai tertinggi kekuatan pegang sekrup sejajar permukaan diperoleh pada tingkat kadar perekat 14%. Untuk mengetahui pengaruh tingkat kadar perekat terhadap kekuatan pegang sekrup sejajar permukaan selanjutnya dilakukan sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Kuat Pegang Sekrup Sejajar Permukaan Papan Partikel Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Bebas Kuadrat Tengah 5% 1% Perlakuan 4 701,531 175,383 6,80** 3,48 5,99 Gallat 10 258,027 25,803 14 959,558 Keterangan : ** Sangat nyata Dari hasil sidik ragam pada Tabel 26 menunjukan adanya pengaruh yang sangat nyata dari tingkat kadar perekat terhadap nilai kekuatan pegang sekrup sejajar permukaan. Untuk mengethui respon tingkat kadar perekat terhadap kekuatan penang sekrup sejajar permukaan maka dilakukan uji jarak Duncan Tabel 27 berikut ini. Tabel 27 Uji Jarak Duncan Kuat Sekrup Sejajar Permukaan Papan Partikel Kadar Perekat Rata-rata Kerapatan Uji Duncan 6 22,27 A 8 23,67 A 10 31,20 AB 12 35,73 B 14 40,07 B Hasil uji ,jarak Duncan pada tabel 27 membuktikan adanya pengaruh yang berbeda-beda. Dari hasil analisis, hal ini diduga karena adanya perbedaan tingkat kadar perekat dari tiap perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutigno (1994) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya kadar perekat, ikatan antar partikel menjadi lebih kuat sehingga akan memperbaiki kestabilan tebal papan partikel. Standar Nasional Indonesia menetapkan nilai minimal kuat pegang sekrup sejajar permukaan adalah 25 kg, sedangkan nilai tertinggi kuat pegang sekrup sejajar permukaan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 40,07 kg, dengan demikian hasil dari penelitian ini dapat memenuhi standar tersebut.
370
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI IV KESIMPULAN 1.
2.
3.
4.
Penambahan kadar perekat papan partikel memberikan pengembangan pengaruh sangat nyata terhadap hasil pengujian kadar air, sifat pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, dan kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan serta sejajar permukaan. Tingkat kadar perekat 14% memberikan hasil terbaik terhadap nilai pengujian kadar air (nilai 9,21%), kerapatan (nilai 0,70 g/cm3), modulus patah (nilai 179,47 g/cm3), modulus elastisitas (nilai 16391,50 g/cm3), pengembangan tebal 2 jam (nilai 7,05%), pengembangan tebal 24 jam (nilai 18,61%) kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan (nilai 41,87 kg) dan kuat pegang sekrup sejajar permukaan (nilai 41,07 kg) dan kuat pegang sekrup sejajar permukaan (nilai 40,07 kg). Tingkat kadar perekat 12% , 10%, 8%, dan 6% untuk nilai kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, modulus patah, modulus elastisitas, ikat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan makin menurun dengan semakin rendahnya tingkat kadar perekat. Menurut standar pengujian yang digunakan yaitu Standar Nasional Indonesia, nilai hasil pengujian papan partikel dari penelitian ini yang memenuhi standar adalah untuk jenis pengujian kadar air, kerapatan, pengembangan, tebal, modulus patah, modulus elastisitas, kuat pegang sekrup tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan. Sedangkan hasil pengujian rekat internal tidak dapat memenuhi syarat standar pengujian.
DAFTAR PUSTAKA __________ 1991. papan Partikel Datar. SNI-2105-1991-A Dewan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta Anonim. 2006 Plywood and Other Wood Based Panel. Food and Agriculture Organization of the United Nation. Rome. Haygreen, J.G. dan J. L Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Joesoef, M.Ir 2000. Diklat Teknologi Kayu I. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Cepu. Maloney, T. M. 2003. Modern Particleboard and Dry Process Fiberboards Manufacturing. Miller Freeman Publication, San Fransisco. Martawijaya, A.I., I Kartasujana, Y. I. Mandang, S. A. Prawira dan K. Kadir 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Sudjana. 1975. Metode Statistika. Penerbit “TARSITO”. Bandung. Sutigno, P. 1994 Perekat dan perekataan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Sutigno. P 1996 Teknologi Papan Partikel. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor Widarman. 1977. Panel-panel Berasal dari Kayu Sebagai Bahan Bangunan Proceding Seminar Persaki. 1977. pengurus Pusat Persaki. Bogor
371
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENGARUH JUMLAH LAPISAN DAN MACAM SAMBUNGAN TERHADAP SIFAT-SIFAT VENIR LAMINA M.I. ISKANDAR Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikah Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Email: [email protected] ABSTRAK Venir lamina adalah salah satu jenis produk panel-panel kayu yang terbuat dari lembaran-lembaran venir yang direkat dengan arah serat venir dibuat sejajar satu dengan yang lainnya menurut arah memanjang venir. Sambungan yang terdapat pada bahan-bahan konstruksi merupakan satu titik lemah terhadap daya tahan memikul beban sehingga harus dirancang sebaik-baiknya untuk memperkecil kelemahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jumlah lapisan dan macam sambungan venir lamina yang terbuat dari kayu sengon. Sistem sambungan venir lapisan tengah masing-masing venir lamina ada tiga macam yaitu: butt joint, plain scarf joint, dan tongue and groove joint. Venir lamina yang dibuat dari tiga macam ukuran ketebalan yaitu 2,70 cm (9 lapis), 3,30 cm (11 lapis) dan 3,90 cm (13 lapis), sedangkan ukuran panjang masing-masing adalah 100 cm dan lebar 20 cm. Perekat yang digunakan Urea Formaldehida cair sebanyak 161,35 gr/m 2, tekanan kempa 10 kg/cm2 selama 24 jam. Panel yang terbentuk selanjutnya dikondisikan selama 7 hari pada suhu kamar. Untuk mengetahui pengaruh jumlah lapisan dan bentuk sambungan venir tengah terhadap sifat venir lamina data penelitian dianalisis menggunakan rancangan faktorial 3 x 4 dalam pola acak lengkap. Apabila hasil analisa yang memberikan pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Wilayah Berganda Duncan. Sifat-sifat venir lamina yang diuji terdiri dari sifat fisis (kerapatan, kadar air dan delaminasi) dan mekanis (MOR, MOE dan keteguhan geser horizontal). Pengujian sifat fisis venir lamina mengacu pada standar JAS 1639-1986, sedangkan sifat mekanis pada standar JAS 1494-1991. Hasil pengujian sifat fisis venir lamina menunjukkan bahwa jumlah lapisan berpengaruh sangat nyata terhadap sifat fisis, sedangkan bentuk sambungan dan interaksi antar jumlah lapisan dan bentuk sambungan tidak berpengaruh terhadap sifat tersebut. Nilai kerapatan venir lamina tertinggi (0,50 g/cm3) terdapat pada balok (billet) venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 9 dan 11 lapis paa sistem sambungan (butt joint, plain scarf joint serta tongue and groove joint). Nilai kadar air venir lamina terendah (13,43%) terdapat balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dengan sistem sambungan butt joint. Nilai delaminasi venir lamina terendah (0%) terdapat pada balok (billet) venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 9 dan 11 lapis pada setiap sistem sambungan. Hasil pengujian sifat mekanis venir lamina menunjukkan bahwa jumlah lapisan dan bentuk sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap sifat mekanis, sedangkan interaksi antara jumlah lapisan dan bentuk sambungan berpengaruh nyata terhadap sifat tersebut. Nilai modulus patah venir tertinggi (664,36 kg/cm 2) terdapat pada balok (billet) venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Nilai modulus elastisitas venir lamina tertinggi (120.452,23 kg/cm2) terdapat pada balok (billet) venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Nilai keteguhan geser horizontal venir lamina tertinggi (53,39 kg/cm2) terdapat pada balok (billet) venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Kata kunci: jumlah lapisan, macam sambungan, venir lamina. I.
PENDAHULUAN
Venir lamina adalah salah satu jenis produk panil-panil kayu yang terbuat dari lembaran-lembaran venir yang direkat dengan arah serat venir dibuat sejajar satu dengan yang lainnya menurut arah memanjang panil. Laminated veneer lumber memiliki keunggulan potensial dibanding dengan papan gergajian dalam hal kekuatan, ramalan penampilan, ukuran yang tersedia, ketepatan ukuran, stabilitas dimensi dan keterawetan. Venir lamina dipergunakan sebagai bahan bangunan (konstruksi) atau untuk pembuatan furniture, molding dan lain-lain.
372
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Menurut Pease (1994) venir lamina dapat memiliki ukuran panjang 25,00 m (82 ft), lebar 1,20 m (4 ft) dan tebal berkisar antara 19 – 75 mm (0,75 – 3,00 in). Untuk memperoleh venir lamina dengan ukuran atau penampang yang diinginkan, dapat dibuat dengan jalan menyambung venir yang digunakan. Lembaran-lembaran venir dapat disambung menurut arah lebar atau panjang. Menurut Feirer (1984) bentuk sambungan yang mungkin dibuat ada sembilan macam, yaitu: end joint, butt joint, edge joint, rabbet joint, dado joint, lap joint, miter joint, mortise and tenon joint serta dovetail joint. Sambungan yang terdapat pada bahan-bahan konstruksi merupakan suatu titik lemah terhadap daya tahan memikul beban sehingga harus dirancang sebaik-baiknya untuk memperkecil kelemahan tersebut. Jenis sambungan yang berbeda mempunyai kekuatan menahan beban yang berbeda pula yang sesuai dengan luas bidang sambungan (Sinaga, 1994; Tular dan Idris, 1981 dalam Yanti, 1998). Selanjutnya menurut Baldwin (1995) mengemukakan bahwa konstruksi venir lamina yang tebalnya standar (4,46 cm atau 1,75 in) dapat terdiri dari 15 lapis dengan tebal nominal individu venir-venir pembentuk lapisan 3,20 mm (0,12 in) atau 19 lapis dengan tebal nominal individu venir-venirnya 2,55 mm (0,10 in). Disebutkan juga bahwa faktor penentu terhadap kebutuhan konstruksi lapisan venir lamina antara lain adalah jenis kayu dan kualitas venir pembentuk lapisan. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh jumlah lapisan dan macam sambungan terhadap sifat-sifat venir lamina. II.
BAHAN DAN METODE
A. Bahan 1. Bahan Baku Lembaran-lembaran venir yang digunakan untuk pembentuk balok (billet) venir lamina terbuat dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) dengan ketebalan 3,00 mm. 2. Bahan Perekat Bahan perekat yang digunakan adalah perekat Urea Formaldehida (UA-104) dengan viskositas 11 poise pada suhu 25oC, kadar resin 66 – 70% pada suhu 105oC dan pH 6,8 – 7,6. Komposisi perekat yang digunakan adalah perekat UA-104 sebanyak 100 gram, tepung terigu merek Segitiga Biru sebanyak 25 gram dan pengeras HU-12 sebanyak 0,5 gram. B. Metode 1. Pembuatan Venir Lamina a. Pembuatan Venir Dolok-dolok kayu terlebih dahulu dibersihkan dari kulit dan kotoran, kemudian diukur panjang, diameter kedua ujungnya dan diperiksa cacat yang ada. Pembuatan lembaran-lembaran venir berketebalan 3 mm dilakukan dengan mesin kupas merek Ritter Fleck Rotary. b. Pengeringan Venir Untuk kesesuaian kadar air venir dengan perlakuan perekatan maka lembaran-lembaran venir terlebih dahulu dikeringkan sampai mencapai kadar air lebih rendah dari 10%. c. Penyeleksian Venir Setelah pengeringan, lembaran-lembaran venir ditumpuk kemudian diseleksi (digrading). d. Penyambungan Venir Sebahagian dari venir hasil pengeringan dipisahkan untuk keperluan perlakuan penelitian (sistem sambungan). Lapisan venir lamina yang mendapat perlakuan sambungan adalah bagian dalam masingmasing bentuk sambungan tegak (butt joint), serong (plain scarf joint) dan alur lidah (tongue and groove joint). e. Pengampelasan Venir Setelah pengerjaan penyambungan maka lembaran-lembaran venir dibersihkan dari kotoran yang melekat dengan menggunakan ampelas. f. Pelaburan Perekat Permukaan lembaran venir dilabur dengan perekat UF sebanyak 161,35 gr/m 2 dengan menggunakan bilah (stick).
373
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI g.
h. i.
Pembentukan Lapisan Venir Lamina Venir yang telah dilabur perekat disusun dengan arah serat-serat setiap lapisan sejajar satu dengan yang lain, dimulai dengan venir muka dan diikuti dengan lapisan dalam. Setiap ukuran ketebalan venir lamina, sistem sambungan venir lapisan dalamnya hanya satu macam. Untuk venir lamina berlapis 9 konstruksinya terdiri dari 5 venir utuh dan 4 venir sambungan dengan tebal nominal venir lamina 2,70 cm; berlapis 11 terdiri dari 6 venir utuh dan 5 venir sambungan dengan tebal nominal venir lamina 3,30 cm dan untuk berlapis 13 terdiri dan 7 venir utuh dan 6 venir sambungan dengan tebal nominal venir lamina 3,90 cm disusun secara selang-seling. Disamping itu juga, dibuat venir lamina berlapis 9, 11 dan 13 sebagai kontrol, konstruksinya terdiri dari lembaran-lembaran venir utuh (tanpa sambungan) Pengempaan Lembaran venir yang telah disusun kemudian dikempa dingin dengan tekanan 10 kg/cm 2 selama 24 jam. Pengkondisian Setelah proses pengempaan, venir lamina yang terbentuk dikeluarkan dari dalam kempa dan diberi perlakuan kondisioning selama 7 hari.
2.
Pengujian Sifat-Sifat Venir Lamina Sifat-sifat venir lamina yang diuji terdiri dari: kadar air, kerapatan, delaminasi, modulus patah, modulus elastisitas, dan keteguhan geser horizontal. 3.
Rancangan Percobaan Untuk mengetahui pengaruh jumlah lapisan dan bentuk sambungan terhadap sejumlah respon yang akan diteliti yaitu kerapatan, kadar air, delaminasi, modulus patah, modulus elastisitas, dan keteguhan geser horizontal maka dianalisis menggunakan rancangan faktorial 3 x 4 dalam pola acak lengkap.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat-Sifat Venir Lamina 1. Kerapatan Berdasarkan hasil penelitian nilai kerapatan venir lamina untuk konstruksi lapisan dan sistem sambungan berkisar antara 0,49 – 0,50 g/cm3 dan antara 0,50 – 0,51 g/cm3 untuk balok (billet) tanpa sambungan (control). Nilai kerapatan venir lamina terendah (0,49 g/cm3) terdapat pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dan tertinggi (0,50 g/cm3) pada 9 dan 11 lapis. Kerapatan venir lamina tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan, kecuali balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 11 lapis. Tabel 1. Sidik Ragam Kerapatan Venir Lamina Sumber db Keragaman A 2 B 3 A*B 6 Sisa 24 Total 35 Keterangan: A = Jumlah Lapisan
JK 0.00065000 0.00029720 0.00006111 0.00086670 0.00187500
KT 0.00032500 0.00009907 0.00001010 0.00003611 B = Bentuk Sambungan
Ftabel
Fhitung 9.00** 2.74 0.28
0,05 3,40 3.01 2.51
0,01 5.61 4.72 3.67
** = Sangat nyata
Lapisan dengan bentuk sambungan tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain, jumlah lapisan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam nilai kerapatan venir lamina sedangkan bentuk sambungan tidak mempengaruhinya. Hasil uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% (α = 0,05) menunjukkan bahwa nilai kerapatan venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis tidak berbeda nyata dengan venir lamina yang konstruksinya 11 lapis tetapi berbeda nyata dengan venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis. Berdasarkan data diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,326 (R2 = 53,80%). Hal ini berarti bahwa 53,80% nilai kerapatan venir lamina dipengaruhi oleh jumlah lapisan.
374
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Kerapatan venir lamina akan semakin menurun dengan meningkatnya jumlah lapisan. Hal ini diduga akibat tekanan kempa yang digunakan konstan untuk semua jumlah lapisan sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah lapisan maka ikatan antar permukaan venir tidak optimal. Semakin besar tekanan kempa yang diberikan terhadap suatu panil akan menghasilkan papan yang lebih tipis dengan kerapatan yang lebih tinggi dan demikian juga sebaliknya. Menurut Kelly (1977) kerapatan akhir panil dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: jenis kayu (kerapatan kayu), besarnya tekanan kempa, jumlah lapisan penyusun panil, kadar perekat serta bahan tambahan lainnya. Nilai kerapatan venir lamina yang dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan dengan kerapatan kayu utuh sengon (0,53 gr/cm3). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sutigno dan Masano (1986) menunjukkan bahwa kerapatan venir lamina lebih kecil dibanding kerapatan kayu utuh. 2.
Kadar Air Berdasarkan hasil penelitian nilai kadar air venir lamina untuk konstruksi lapisan dan sistem sambungan berkisar antara 13,43 – 13,98% dan antara 13,43 – 13,91% untuk balok (billet) tanpa sambungan (control). Nilai kadar air venir lamina terendah (13,43%) terdapat pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dengan sistem sambungan butt joint dan tertinggi (13,98%) pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan tongue and groove joint. Kadar air venir lamina tanpa sambungan (control) lebih rendah dibanding panil dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan, kecuali panil yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dengan sistem sambungan butt joint. Hasil sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah lapisan sangat nyata terhadap kadar air venir lamina. Sedangkan bentuk sambungan serta interaksi antara jumlah lapisan dengan bentuk sambungan tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain, jumlah lapisan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam nilai kadar air venir lamina sedangkan bentuk sambungan tidak mempengaruhinya. Tabel 2. Sidik ragam kadar air venir lamina Sumber db Keragaman A 2 B 3 A*B 6 Sisa 24 Total 35 Keterangan: A = Jumlah Lapisan
JK
KT
1.94100000 0.97000000 0.09743000 0.03248000 0.14700000 0.02455000 0.71700000 0.02986000 2.90200000 B = Bentuk Sambungan
Fhitung 32.50** 1.09 0.82
Ftabel 0,05 3,40 3.01 2.51
0,01 5.61 4.72 3.67
** = Sangat nyata
Hasil uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% (α = 0,05) menunjukkan bahwa nilai kadar air venir lamina antara ketiga macam konstruksi (9, 11 dan 13 lapis) berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Berdasarkan data diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,640 (R2 = 75,30%). Hal ini berarti bahwa 75,30% nilai kadar air venir lamina dipengaruhi oleh jumlah lapisan. Kadar air venir lamina akan semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah lapisan. Hal ini diduga akibat kadar air perekat yang dapat meningkatkan kadar air venir lamina sebanding dengan pertambahan jumlah lapisan konstruksi dari venir lamina yang dibuat. Dengan demikian pertambahan jumlah lapisan maka semakin banyak garis rekat yang merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi kadar air venir lamina yang dibuat. Nilai kadar air hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Wasto (1999) bahwa nilai kadar air akan semakin meningkat dengan meningkatnya ketebalan venir lamina (7, 9 dan 11 lapis). Vick (1999) dalam Sahriawati (2000) menyatakan bahwa kadar air panil dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: kadar air venir yang direkat, perekat dan air yang dihasilkan dari proses perekatan. Nilai kadar air venir lamina hasil penelitian memenuhi Standar Jepang yang mensyaratkan kadar air maksimum 14%. 3.
Delaminasi Berdasarkan hasil penelitian nilai delaminasi venir lamina untuk konstruksi lapisan sistem sambungan berkisar antara 0 – 0,93% dan antara 0 – 0,38% untuk balok (billet) tanpa sambungan (control). Nilai delaminasi venir lamina terendah (0%) terdapat pada panil yang konstruksinya terdiri 9 dan 11 lapis untuk ketiga macam sistem sambungan venir (butt joint, plain scarf joint serta tongue and groove joint) dan tertinggi (0,93%) pada panil yang konstruksinya terdiri
375
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI dari 13 lapis dengan sistem sambungan tongue and groove joint. Nilai delaminasi venir lamina tanpa sambungan (control) lebih rendah dibanding balok (billet) dengan perlakuan sistem sambungan yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis, kecuali balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 9 dan 11 lapis. Sidik ragam seperti tertera pada Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah lapisan sangat nyata terhadap delaminasi venir lamina. Sedangkan bentuk sambungan serta interaksi antara jumlah lapisan dengan bentuk sambungan tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain, jumlah lapisan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam nilai delaminasi venir lamina sedangkan bentuk sambungan tidak mempengaruhinya. Tabel 3. Hasil sidik ragam delaminasi venir lamina Sumber db Keragaman A 2 B 3 A*B 6 Sisa 24 Total 35 Keterangan: A = Jumlah Lapisan
JK
KT
1.980 0.990 0.354 0.118 0.708 0.118 1.248 0.052 4.289 B = Bentuk Sambungan
Fhitung 19.04** 1.47 1.47
Ftabel 0,05 3,40 3.01 2.51
0,01 5.61 4.72 3.67
** = Sangat nyata
Hasil uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% (α = 0,05) menunjukkan bahwa nilai rata-rata delaminasi venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis tidak berbeda nyata dengan venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 11 lapis tetapi berbeda nyata dengan venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis. Berdasarkan hasil penelitian nilai koefisien korelasi adalah sebesar 0,572 (R2 = 70,60%). Hal ini berarti bahwa 70,60% nilai delaminasi venir lamina dipengaruhi oleh jumlah lapisan. Nilai delaminasi tertinggi terdapat pada sistem sambungan tongue and groove joint dengan jumlah lapisan 13 lapis. Hal ini diduga akibat proses pelaburan perekat yang tidak merata pada permukaan venir sehingga ikatan antar venir tidak optimal. Menurut Ekawati (1998), nilai delaminasi dipengaruhi oleh bidang geser, jenis perekat serta interaksinya. Delaminasi merupakan proses terlepasnya kembali ikatan perekat antar bidang lamina sehingga kekuatan ikatan perekat merupakan faktor penentu terhadap mudah sukarnya lapisan-lapisan pembentuk konstruksi venir lamina terlepas satu sama lain. Nilai delaminasi venir lamina hasil penelitian memenuhi Standar Jepang yang mensyaratkan delaminasi dengan bagian yang terbuka tidak lebih dari 33,30%. 4.
Modulus Patah Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai modulus patah (MOR) venir lamina hasil penelitian untuk konstruksi lapisan dan sistem sambungan berkisar antara 320,19 – 664,36 kg/cm2 dan antara 476,03 – 721,81 kg/cm2 untuk balok (billet) tanpa sambungan (control). Nilai modulus patah venir lamina terendah (320,19 kg/cm2) pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dengan sistem sambungan tongue and groove joint dan tertinggi (664,36 kg/cm2) pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dan sistem sambungan plain scarf joint. Nilai venir lamina tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding panil dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan. Sidik ragam seperti pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah lapisan dan bentuk sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap modulus patah venir lamina sedangkan interaksi antara jumlah lapisan dengan bentuk sambungan berpengaruh nyata. Dengan kata lain, perbedaan jumlah lapisan dan bentuk sambungan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam nilai modulus patah. Tabel 4. Sidik ragam modulus patah venir lamina Sumber db Keragaman A 2 B 3 A*B 6 Sisa 24 Total 35 Keterangan: A = Jumlah Lapisan
JK
KT
Fhitung
0,05 270691.126 135345.563 69.15** 3,40 302799.722 100933.241 51.56** 3.01 36002.566 6000.428 3.07* 2.51 46978.035 1957.418 656471.449 B = Bentuk Sambungan ** = Sangat nyata * = nyata
376
Ftabel 0,01 5.61 4.72 3.67
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% (α = 0,05) menunjukkan bahwa nilai modulus patah venir lamina antara ketiga macam konstruksi (9, 11 dan 13 lapis) dan antara sistem sambungan venir (butt joint, plain scarf joint, tongue and groove joint serta control) berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Untuk interaksi antara sambungan venir butt joint dan tongue and groove joint pada balok (billet) berlapis 9 tidak berbeda nyata dengan sambungan venir berupa butt joint pada balok (billet) berlapis 11, tetapi berbeda nyata dengan interaksi-interaksi lainnya. Sementara itu, interaksi antara sambungan venir butt joint dan plain scarf joint pada balok (billet) berlapis 9 tidak berbeda nyata dengan sambungan venir berupa butt joint dan tongue and groove joint pada balok (billet) berlapis 11, tetapi berbeda nyata dengan interaksi-interaksi lainnya. Dan interaksi balok (billet) berlapis 9 tanpa sambungan dan sambungan venir berupa plain scarf joint tidak berbeda nyata dengan balok (billet) berlapis 11 dengan sistem sambungan tongue and groove joint. Selanjutnya interaksi sambungan venir beripa plain scarf joint pada balok (billet) berlapis 11 tidak berbeda nyata dengan sambungan venir berupa tongue and groove joint pada balok (billet) berlapis 13, tetapi berbeda nyata dengan interaksi-interaksi lainnya. Berdasarkan hasil penelitian nilai koefisian korelasi sebesar 0,896 (R2 = 92,80%). Hal ini berarti bahwa nilai modulus patah venir lamina hasil penelitian 92,80% dipengaruhi oleh jumlah lapisan dan bentuk sambungan. Nilai modulus patah venir lamina tertinggi terdapat pada balok (billet) berlapis 13 dan sistem sambungan venirnya berupa plain scarf joint. Hal ini dapat terjadi diduga akibat perbedaan kombinasi perlakuan menyebabkan perbedaan luas bidang sambung yang direkat dan mempengaruhi kekuatan menahan beban. Dengan demikian venir lamina pada plain scarf joint memiliki luas bidang sambung yang lebih besar sehingga menghasilkan nilai modulus patah yang lebih baik dibanding dengan bentuk sambungan lainnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wirjomartono (1958) mengemukakan bahwa semakin kecil sudut sambungan, berarti semakin luas bidangnya sehingga semakin besar kekuatannya menahan beban. Hasil penelitian Yanti (1998) menunjukkan bahwa semakin kecil sudut sambungan maka kekuatan modulus patah balok laminasi akan semakin meningkat dan kekuatan menahan beban pada sudut sambungan 30o akan lebih besar dibanding dengan sudut sambungan 60o dan 90o. Menurut Karnasudirdja (1989) bahwa kekuatan panil dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: jenis kayu, tebal lamina, bentuk sambungan lamina yang direkat, macam perekat dan kadar air kayu sebelum direkat. Disamping itu juga dipengaruhi oleh kerapatan venir lamina yang dihasilkan. Semakin tinggi kerapatan kayu maka makin tinggi pula keteguhan lenturnya (Haygreen and Bowyer, 1982). Nilai modulus patah venir lamina hasil penelitian memenuhi standar JAS 1494-1991 yang mensyaratkan nilai modulus patah minimum 215 kg/cm2. 5.
Modulus Elastisitas Berdasarkan hasil penelitian nilai modulus elastisitas venir lamina hasil penelitian untuk konstruksi lapisan dan sistam sambungan berkisar antara 90.386,53 – 120.452,23 kg/cm2 dan antara 116.126,88 – 131.964,94 kg/cm2 untuk balok (billet) tanpa sambungan (control). Nilai modulus elastisitas venir lamina terendah (90.386,53 kg/cm2) pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dengan sistem sambungan butt joint dan tertinggi (120.452,23 kg/cm2) pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Modulus elastisitas venir lamina tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masingmasing konstruksi lapisan. Sidik ragam seperti tertera pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah lapisan dan bentuk sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap modulus elastisitas venir lamina sedangkan interaksi antara jumlah lapisan dengan bentuk sambungan berpengaruh nyata. Dengan kata lain, perbedaan jumlah lapisan dan bentuk sambungan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam nilai modulus elastisitas venir lamina. Tabel 5. Sidik ragam modulus elastisitas venir lamina Ftabel Sumber db JK KT Fhitung Keragaman 0,05 A 2 1479525685.313 739762842.656 51.83** 3,40 B 3 3371264714.211 1123754904.737 78.73** 3.01 A*B 6 304543869.689 50757311.615 3.56* 2.51 Sisa 24 342545834.547 14272743.106 Total 35 5497880103.760 Keterangan: A = Jumlah Lapisan B = Bentuk Sambungan ** = Sangat nyata * = nyata
377
0,01 5.61 4.72 3.67
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% (α = 0,05) menunjukkan bahwa nilai rata-rata modulus elastisitas venir lamina antara ketiga macam konstruksi (9, 11 dan 13 lapis) maupun antara sistem sambungan venirnya (butt joint, plain scarf joint, tongue and groove joint serta control) berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Untuk interaksi antara sambungan butt joint dan tongue and groove joint pada balok (billet) berlapis 9 tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya, tetapi berbeda nyata dengan interaksi-interaksi lainnya. Interaksi antara sambungan tongue and groove joint pada balok (billet) berlapis 9 tidak berbeda nyata dengan sistem sambungan butt joint pada balok (billet) berlapis 11. Dan interaksi antara balok (billet) berlapis 9 tanpa sambungan tidak berbeda nyata dengan sistem sambungan plain scarf joint pada balok (billet) berlapis 11 dan 13. Selanjutnya interaksi antara balok (billet) 11 lapis tanpa sambungan tidak berbeda nyata dengan balok (billet) berlapis 13 dengan sistem sambungan plain scarf joint, tetapi berbeda nyata dengan interaksi lainnya. Berdasarkan data diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,909 (R2 = 93,80%). Hal ini berarti bahwa 93,80% nilai modulus elastisitas venir lamina dipengaruhi oleh jumlah lapisan dan bentuk sambungan. Nilai modulus elastisitas venir lamina tertinggi diperoleh pada jumlah lapisan 13 dengan sistem sambungan plain scarf joint. Hal ini dapat terjadi diduga akibat perbedaan kombinasi perlakuan menyebabkan perbedaan luas bidang sambung yang direkat dan mempengaruhi kekuatan menahan beban. Dengan demikian venir lamina pada plain scarf joint memiliki luas bidang sambung yang lebih besar sehingga menghasilkan nilai modulus elastisitas yang lebih baik dibanding dengan bentuk sambungan lainnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wirjomartono (1958) mengemukakan bahwa semakin kecil sudut sambungan, berarti semakin luas bidangnya sehingga semakin besar kekuatannya menahan beban. Soelaeman (1998) meneliti tentang pengaruh besarnya sudut kemiringan sambungan terhadap kekuatan lentur balok laminasi kayu agathis. Hasil penelitian Soelaeman (1998) menunjukkan bahwa semakin kecil sudut sambungan (90o, 60o, dan 30o) maka kekuatan modulus elastisitas akan semakin meningkat dan kekuatan menahan beban pada sudut sambungan 30o akan lebih besar dibanding dengan sudut sambungan 60o dan 90o. Menurut Karnasudirdja (1989) bahwa kekuatan panil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis kayu, tebal lamina, macam sambungan lamina yang direkat, macam perekat dan kadar air kayu sebelum direkat. Disamping itu juga dipengaruhi oleh kerapatan venir lamina yang dihasilkan. Semakin tinggi kerapatan kayu maka makin tinggi pula keteguhan lenturnya (Haygreen and Bowyer, 1982). Nilai modulus elastisitas venir lamina hasil penelitian memenuhi standar JAS 1443-1991 yang mensyaratkan nilai modulus elastisitas minimum 70.000 kg/cm2. 6.
Keteguhan Geser Horizontal Berdasarkan hasil penelitian nilai keteguhan geser horizontal venir lamina untuk konstruksi lapisan dan sistem sambungan berkisar antara 26,34 – 53,59 kg/cm2 dan antara 37,00 – 61,40 kg/cm2 untuk balok (billet) tanpa sambungan (control). Nilai keteguhan geser horizontal venir lamina terendah (26,34 kg/cm2) pada balok (billet) yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dengan sistem sambungan butt joint dan tertinggi (53,59 kg/cm2) pada panil yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Keteguhan geser horizontal venir lamina tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan. Sidik ragam seperti tertera pada Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah lapisan dan bentuk sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan geser horizontal venir lamina sedangkan interaksi antara jumlah lapisan dengan bentuk sambungan berpengaruh nyata. Dengan kata lain, perbedaan jumlah lapisan dan bentuk sambungan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam nilai keteguhan geser horizontal venir lamina yang dihasilkan. Tabel 6. Sidik ragam modulus elastisitas venir lamina Sumber db Keragaman A 2 B 3 A*B 6 Sisa 24 Total 35 Keterangan: A = Jumlah Lapisan
JK
KT
Fhitung
Ftabel 0,05 3,40 3.01 2.51
2558.652 1279.326 241.20** 1036.598 345.533 65.15** 100.143 16.691 3.15* 127.295 5.304 3822.688 B = Bentuk Sambungan ** = Sangat nyata * = nyata
378
0,01 5.61 4.72 3.67
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% (α = 0,05) menunjukkan bahwa nilai rata-rata keteguhan geser horizontal venir lamina berlapis 9 tidak berbeda nyata dengan berlapis 11 tetapi berbeda nyata dengan berlapis 13. Sedangkan untuk sistem sambungan (butt joint, plain scarf joint, tongue and groove joint serta control) berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Untuk interaksi antara ketiga macam sistem sambungan (butt joint, plain scarf joint dan tongue and groove joint) pada balok (billet) berlapis 9 tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Dan juga interaksi antara tanpa sambungan pada balok (billet) 9 tidak berbeda nyata dengan sistem sambungan butt joint serta tongue and groove joint pada balok (billet) berlapis 11. Sementara itu interaksi antara balok (billet) berlapis 11 tanpa sambungan tidak berbeda nyata dengan sistem sambungan tongue and groove joint pada balok (billet) berlapis 13. Selanjutnya interaksi antara sambungan plain scarf joint pada balok (billet) 11 tidak berbeda nyata dengan sistem sambungan butt joint pada balok (billet) berlapis 13, tetapi berbeda nyata dengan interaksi-interaksi lainnya. Berdasarkan hasil penelitian nilai koefisien korelasi sebesar 0,951 (R2 = 96,70%). Hal ini berarti bahwa nilai keteguhan geser horizontal venir lamina 96,70% dipengaruhi oleh jumlah lapisan dan bentuk sambungan. Nilai keteguhan geser horizontal venir lamina semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah lapisan venir lamina. Hal ini diduga akibat bertambahnya ketebalan venir lamina dengan bertambahnya jumlah lapisan. Dengan demikian venir lamina tersebut semakin kuat menahan beban yang bekerja padanya. Menurut Karnasudirdja (1989) bahwa kekuatan balok lamina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis kayu, tebal lamina, macam sambungan lamina yang direkat, macam perekat dan kadar air kayu sebelum direkat. Disamping itu juga dipengaruhi oleh kerapatan venir laminasi yang dihasilkan. Semakin tinggi kerapatan kayu maka makin tinggi pula keteguhan lenturnya (Haygreen and Bowyer, 1982). Nilai keteguhan geser horizontal venir lamina yang dihasilkan memenuhi standar JAS 1494-1991 yang mensyaratkan nilai keteguhan geser horizontal venir lamina minimal 30 kg/cm 2 kecuali pada butt joint untuk setiap jumlah lapisan. IV. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
KESIMPULAN
Nilai kerapatan venir lamina hasil penelitian 53,80% dipengaruhi oleh jumlah lapisan. Nilai kerapatan venir lamina tertinggi (0,50 g/cm3) terdapat pada panil venir lamina yang kontruksinya terdiri dari 9 dan 11 lapis pada sistem sambungan (butt joint, plain scarf joint serta tongue and groove joint). Kerapatan venir lamina tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan, kecuali panil yang konstruksinya terdiri dari 11 lapis. Nilai kadar air venir lamina hasil penelitian 75,30% dipengaruhi oleh jumlah lapisan. Nilai kadar air venir lamina terendah (13,43%) terdapat pada panil venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dengan sistem sambungan butt joint. Kadar air venir lamina tanpa sambungan (control) lebih rendah dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan, kecuali panil yang konstruksinya terdiri dari 11 lapis dengan sistem sambungan butt joint. Nilai kadar air venir lamina yang dihasilkan memenuhi JAS 16391986. Nilai delaminasi venir lamina hasil penelitian 70,60% dipengaruhi oleh jumlah lapisan. Nilai delaminasi venir lamina terendah (0%) terdapat pada venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 9 dan 11 lapis pada setiap sistem sambungan (butt joint, plain scarf joint serta tongue and groove joint). Nilai delaminasi venir lamina tanpa sambungan (control) lebih rendah dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis, kecuali panil yang konstruksinya terdiri dari 9 lapis dan 11 lapis. Nilai delaminasi venir lamina yang dihasilkan memenuhi JAS 1639-1986. Nilai modulus patah venir lamina hasil penelitian 92,80% dipengaruhi oleh jumlah lapisan dan bentuk sambungan. Nilai modulus patah venir lamina tertinggi (664,36 kg/cm2) terdapat pada panil venir lamina yang kontruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Nilai modulus patah venir lamina tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan. Nilai modulus patah venir lamina yang dihasilkan memenuhi JAS 1494-1991. Nilai modulus elastisitas venir lamina hasil penelitian 93,80% dipengaruhi oleh jumlah lapisan dan bentuk sambungan. Nilai modulus elastisitas venir lamina tertinggi (120.452,23 kg/cm2) terdapat pada venir lamina yang konstruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Nilai modulus elastisitas venir lamina tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masing-masing konstruksi lapisan. Nilai modulus elastisitas venir lamina yang dihasilkan memenuhi JAS 1494-1991. Nilai keteguhan geser horizontal venir lamina hasil penelitian 96,70% dipengaruhi oleh jumlah lapisan dan bentuk sambungan. Nilai keteguhan geser horizontal venir lamina tertinggi (53,59 kg/cm 2) terdapat pada venir lamina yang kontruksinya terdiri dari 13 lapis dengan sistem sambungan plain scarf joint. Nilai keteguhan geser horizontal tanpa sambungan (control) lebih tinggi dibanding balok (billet) dengan perlakuan sambungan pada masing-masing
379
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI konstruksi lapisan. Nilai keteguhan geser horizontal yang dihasilkan memenuhi JAS 1494-1991 kecuali sistem sambungan butt joint pada ketiga macam konstruksi.
DAFTAR PUSTAKA Baldwin, R.F. 1995. Plywood And Veneer-Based Product: Manufacturing Practice. Miller Freeman Inc. New York Ekawati, D. 1998. Pengaruh Jenis Perekat dan Pengaturan Letak Kayu Merah (Shorea spp) serta Kelapa (Cocos nucifer) Terhadap Sifat Fisis Mekanis Balok Lamina Contoh Kecil Bebas Cacat. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan. Haygreen, J.G. dan Bowyer J.L. 1982. Forest Product and Wood Science, An Introduction The Iowa. State University Ames. Japanese Agriculture Standard. 1986. Japanese Agriculture Standard for Laminated Veneer Lumber No. 1639/1986. Tokyo _________. 1991. Japanese Agriculture Standard for Laminated Veneer Lumber No. 1494/1991. Tokyo Karnasudirdja, S. 1989. Prospek Kayu Indonesia Sebagai Bahan Baku Industri Kayu Lamina. Paper pada Seminar Glued Laminated Timber di Departemen Kehutanan Indonesia, Jakarta. 15 Juni 1989. Tidak diterbitkan. Kelly, M.W. 1997. Critical Literature Review of Relationship Between Processing Parameters and Phisical Properties of Particleboard. General Technical Report FLL-10 Pease, A.D. 1994. Panels: Product, Applications and Production Trends. Miller Freeman Inc. California, USA. Sahriawati, N. 2000. Liquifikasi Serbuk Tiga Jenis Kayu dan Pemanfaatannya dengan Filler Tepung Sekam Untuk Perekat Kayu Lapis Meranti Merah (Shorea spp). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Tidak diterbitkan. Soelaeman, R. 1998. Pengaruh Besarnya Sudut Kemiringan Sembungan Terhadap Kekuatan Lentur Balok Laminasi Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Wasto. 1999. Pengaruh Jarak dan Posisi Sambungan Tegak Terhadap Sifak Makanis LVL (Laminated Veneer Lumber) Kayu Kaya (Khaya anthoteca). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Wirjomartono. 1958. Konstruksi Kayu Berlapis Majemuk. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Yanti, N. 1998. Pengaruh Kombinasi Sudut Sambungan Terhadap Sifat Mekanis Balok Laminasi Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
380
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENGARUH LAMA PENUMPUKAN BAHAN BAKU KAYU TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL M.I. ISKANDAR Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikah Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Email: [email protected] ABSTRAK Penumpukan kayu di log yard merupakan salah satu mata rantai kegiatan produksi di pabrik papan partikel. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku agar proses produksi dapat terus berlangsung. Selama penumpukan, kayu mempunyai kemungkinan terserang jamur perusak yang mengakibatkan penurunan kualitas kayu. Dengan menurunnya kualitas kayu diduga akan berpengaruh terhadap mutu papan partikel yang dibuat dari bahan baku tersebut. Lama waktu penumpukan kayu dilakukan selama kurang dari satu, dua dan tiga bulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama kayu terhadap sifat-sifat papan partikel. Wujud kayu yang ditumpuk berupa kayu bulat berukuran panjang 80 – 100 cm dan diameter 10 – 20 cm dan mengandung kulit. Dari setiap tumpukan diambil enam batang log kemudian dicacah menjadi partikel dengan bantuan mesin flaker. Selanjutnya partikel dikeringkan dan disaring lalu partikel-partikel dirakit menjadi papan menggunakan parekat Urea Formaldehida (UF) cair, dikempa panas dengan tekanan kempa sebesar 25 kg/cm 2 pada suhu 130OC selama 6 menit. Papan partikel yang dibuat berukuran (30 x 30 x 0,9) cm3 dengan target kerapatan 0,70 g/m3. Rancangan percobaan yang dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Pengujian fisis dan mekanis papan partikel mengacu pada SNI 03.2105.1996 tentang mutu papan partikel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan waktu penumpukan kayu memberikan pengaruh terhadap warna papan partikel, yaitu semakin lama waktu penumpukan kayu maka warna papan partikel akan menjadi semakin gelap. Perlakuan waktu penumpukan kayu menghasilkan nilai sifat fisis papan partikel yang fluktuatif namun cenderung meningkatkan sifat mekanis papan partikel, yaitu keteguhan lentur, keteguhan patah, ikatan dalam dan kuat pegang sekrup. Lama waktu penumpukan bahan baku selama satu bulan merupakan waktu penumpukan yang optimum dengan sifat-sifat panel yang memenuhi persyaratan standar adalah sebagai berikut: kadar air 6,88%, kerapatan sebesar 0,72 kg/cm3, modulus elastisitas 16.456,12 kg/cm2, dan kuat tarik tegak lurus permukaan 5,56 kg/cm2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki sifat-sifat pengembangan tebal panel yang belum memenuhi persyaratan standar SNI 03.2105.1996. Kata kunci: lama penumpukan, sifat-sifat papan partikel, bahan baku kayu. I. PENDAHULUAN Penumpukan kayu di log yard merupakan salah satu mata rantai kegiatan produksi di perusahaan industri papan partikel. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi pabrik agar proses produksi dapat terus berlangsung. Selama penumpukan, kayu dalam berbagai bentuk dan ukuran mempunyai kemungkinan terserang oleh jamur perusak yang mengakibatkan kayu menjadi rusak dan lapuk (Padlinurjaji 1979). Tingkat kerusakan kayu yang terjadi sangat ditentukan oleh cara dan lama penumpukan, jenis kayu dan adanya organisme perusak atau pelapuk kayu (Haroen 1985). Salahuddin (1995) telah melakukan penelitian sebelumnya tentang pengaruh lama waktu penyimpanan bahan baku kayu karet terhadap sifat fisis dan mekanis kayu dengan lama waktu penyimpanan selama 4, 8, 12 dan 16 hari. Penyimpanan dilakukan terhadap bahan baku berbentuk kayu dan selumbar. Dari penelitian terdahulu ini dapat diketahui bahwa lama waktu penyimpanan bahan baku kayu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kerapatan, kadar air, pengembangan tebal, penyerapan air, modulus patah dan modulus elastisitas papan partikel. Hasi dari penelitian terdahulu ini pula menyatakan semakin lama waktu penyimpanan bahan baku kayu maka sifat fisis dan mekanis papan partikel cenderung menurun. Penumpukan bahan baku berupa kayu karet di PT. Paparti Pertama dilakukan tanpa adanya perlindungan dari sinar matahari dan hujan serta berhubungan langsung dengan tanah. Kayu karet ditumpuk dalam blok-blok dan
381
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI diurutkan berdasarkan waktu penerimaan kayu di pabrik. Umur tumpuk kayu di log yard tersebut berkisat antara satu sampai tiga bulan. Selama penumpukan sangat mungkin terjadi deteriorasi kayu serangan faktor biologis. Peristiwa deteriorasi diduga berpengaruh terhadap kualitas kayu dan lebih lanjut berpengaruh terhadap kualitas papan partikel yang dibuat dari kayu tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lama waktu penumpukan terhadap sifat-sifat papan partikel dan menentukan lama waktu penumpukan kayu karet optimum di log yard. Lama waktu penumpukan bahan baku kayu terdiri dari kurang dari satu bulan, satu, dua dan tiga bulan terhitung dari saat penerimaan kayu di pabrik. Wujud bahan baku yang ditumpuk berupa kayu bulat berukuran panjang rata-rata 80 – 100 cm dan diameter 10 – 20 cm serta mengandung kulit. II.
BAHAN DAN METODE
A. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kayu karet berbagai lama waktu penumpukan, Urea Formaldehida berbentuk cair sebagai perekat. Bahan baku kayu karet yang digunakan adalah berupa log dengan diameter antara 10 – 20 cm dan panjang log antara 80 – 100 cm. Bahan baku tersebut merupakan limbah pemanenan yaitu berupa cabang atau batang bagian atas. Kayu dan perekat tersebut diperoleh dari PT. Paparti Pertama. B. Metode 1. Penumpukan Bahan Bahan baku kayu ditumpuk berdasarkan waktu kedatangan kayu karet di log yard penumpukan setinggi 3 meter. Bahan baku yang ditumpuk berupa log dengan diameter antara 10 – 20 cm dan panjang antara 80 – 100 cm. 2.
Pembuatan Partikel Kayu karet dari masing-masing tumpukan menurut lamanya penumpukan dicacah menjadi partikel dengan alat yang dinamakan mesin hombak (flaker). Dari setiap tumpukan diambil 5 – 6 log untuk dibuat flake. Log dengan panjang 80 – 100 cm dan diameter 10 – 20 cm dicacah menjadi partikel flake.
3.
Pengeringan Partikel Setelah kayu karet dicacah menjadi flake, kemudian dimasukan ke dalam oven dengan suhu 100±3oC. Kegiatan pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air partikel yang semula berkisar antara 30 – 50% menjadi 3 – 5%.
4.
Persiapan Perekat Perekat yang digunakan dalam proses produksi papan partikel ini adalah Urea Formaldehida (UF).
5.
Pencampuran Perekat dengan Partikel Pencampuran perekat dengan partikel dengan menggunakan blender.
6.
Pembentukan Lapik Adonan (furnish) dibentuk menjadi lapik (mats) di atas cetakan dasar berukuran 30 cm x 30 cm. Pengempaan Panas Menurut Rowell et al. (1997), suhu pengempaan biasanya antara 100 – 140 oC. Resin urea biasanya matang pada suhu antara 100oC dan 130oC. Tekanan yang biasa digunakan antara 14 – 35 kg/cm2. Lembaran tersebut dikempa panas pada suhu 130oC, tekanan 25 kg/cm2 selama 6 menit.
7.
8.
Pengkondisian Pengkondisian dilakukan guna menyeragamkan kadar air lembaran papan partikel dan melepaskan tegangan sisa yang terdapat dalam lembaran sebagai akibat pengempaan panas, maka dilakukan pengkondisian selama 14 hari pada suhu kamar.
382
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 9.
Pengujian Papan Partikel Papan yang dibuat sebanyak lima belas papan. Pengujian sifat fisis dan mekanis papan partikel mengacu pada SNI 03.2195.1996. Sifat yang diuji kadar air, pengembangan tebal, kerapatan, modulus elastisitas, kuat lentur, kuat pegang sekrup, kuat tarik tegak, dan lurus permukaan. 10. Analisis Data Analisis data menggunakan rancangan percobaan acak lengkap dengan tiga ulangan. Banyaknya perlakuan adalah lima perlakuan berdasarkan taraf lama waktu penumpukan kayu di log yard.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Perubahan warna lama waktu penumpukan kayu terhadap warna papan partikel Perubahan warna papan partikel akibat perlakuan penumpukan kayu sangat berbeda. Semakin lama waktu penumpukan maka warna partikel akan semakin gelap yang akan berpengaruh pada warna akhir papan partikel. Semakin lama waktu penumpukan kayu warna papan partikel pun akan semakin kehitam-hitaman. Padlinurjaji (1979) mengatakan ciri-ciri kayu yang telah diserang oleh jamur antara lain mengalami perubahan warna. 2.
Kadar Air Kadar air didefinisikan sebagai banyak air di dalam produk kayu (Haygreen & Bowyer 1996). Kadar air perlu diketahui karena banyaknya air di dalam papan selalu berubah-ubah menurut udara sekelilingnya dan semua sifat fisik kayu sangat dipengaruhi oleh perubahan kadar air. Nilai rata-rata kadar air papan partikel tertinggi terdapat pada papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama dua bulan sebesar 8,48%. Kadar air terendah terdapat pada papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama satu bulan sebesar 6,88%. Untuk mengetahui pengaruh lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap kadar air papan partikel dilakukan sidik ragam, dengan senang kepercayaan 95% dan 99% (Tabel 1). Tabel 1. Sidik Ragam Ftabel Sumber Keragaman db JK KT Fhitung 0,05 0,01 Perlakuan 4 5,886 1,471 9,70** 3,478 5,994 Sisa 10 1,517 0,152 Total 14 7,403 Keterangan: db = derajat bebas JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah (**) = berbeda sangat nyata Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa lama waktu penumpukan kayu memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air papan partikel. Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dilakukan uji beda nyata terkecil dengan selang kepercayaan 95% dan hasilnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Uji beda nyata terkecil untuk perlakuan lama waktu penumpukan kayu terhadap kadar air papan partikel. Lama waktu penumpukan kayu
Nilai rata-rata kadar air papan partikel
< 1 bulan (segar) 7,23b 1 bulan 6,88b 2 bulan 8,48a 3 bulan 6,91b Kombinasi* 7,95a Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (*) kombinasi partikel satu bulan (50%), dua bulan (20%) dan tiga bulan (30%)
383
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil uji beda nyata terkecil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar tidak berbeda dengan papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama satu dan tiga bulan namun berbeda dengan papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan selama dua bulan dan papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan. Dari hasil pengujian terhadap contoh uji, diperoleh kadar air rata-rata berkisar antara 6,88% - 8,48%. Standar Nasional Indonesia mensyaratkan kadar air papan partikel maksimum 14%. Semua papan partikel hasil penelitian memenuhi persyaratan standar. 3.
Pengembangan Tebal Pengembangan tebal adalah besaran yang menyatakan pertambahan tebal contoh uji dalam persen terhadap dimensi awal, setelah contoh uji direndam pada suhu kamar 24 jam. Nilai pengembangan tebal tertinggi dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan untuk perendaman selama 24 jam sebesar 44,04%. Nilai pengembangan tebal terendah dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan untuk perendaman 24 jam sebesar 23,96%. Papan yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan menunjukkan peningkatan stabilitas dimensi. Untuk mengetahui pengaruh lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap pengembangan tebal papan partikel dilakukan sidik ragam. Tabel 3. Sidik Ragam Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total Keterangan: db = derajat bebas JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah (tn) = tidak nyata
db
JK
KT
Fhitung
4 10 14
773,483 702,994 1476,477
193,371 70,299
2,75tn
Ftabel 0,05 3,478
0,01 5,994
Tabel 3 di atas memberikan informasi bahwa lama waktu penumpukan bahan baku kayu memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap pengembangan tebal papan partikel yang dihasilkan. Pengujian yang telah dilakukan terhadap papan partikel yang dibuat memperoleh nilai rata-rata pengembangan tebal diperoleh nilai rata-rata antara 23,96% - 44,04%. Nilai rata-rata pengembangan tebal papan partikel menunjukkan nilai pengembangan yang tinggi. Hal ini diduga karena tidak dilakukan penambahan zat tambahan ke dalam perekat. Menurut Maloney (1993), bahan tambahan yang banyak digunakan adalah zat lilin, untuk meningkatkan daya tahan papan terhadap air. Standar Nasional Indonesia tentang mutu papan partikel mensyaratkan pengembangan tebal maksimum adalah 12%, sehingga seluruh papan partikel tidak memenuhi standar tersebut. 4.
Kerapatan Kerapatan merupakan perbandingan antara berat papan dengan volume papan dengan volume papan yang dinyatakan dalam gram/cm3. Menurut Haygreen dan Bowyer (1996) semakin tinggi kerapatan menyeluruh papan dari suatu bahan baku tertentu maka semakin tinggi kekuatan papannya. Berdasarkan hasil penelitian kecenderungan semakin lama waktu penumpukan kayu sumber partikel maka kerapatan papan partikel semakin menurun. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama satu bulan sebesar 0,72 g/cm3. Nilai kerapatan terendah dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan sebesar 0,63 g/cm3. Untuk mengetahui pengaruh lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap kerapatan papan partikel dilakukan analisis keragaman dengan selang kepercayaan 95% dan 99% dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.
384
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 4. Sidik ragam kerapatan papan partikel Sumber Keragaman
db
Perlakuan 4 Sisa 10 Total 14 Keterangan: db = derajat bebas JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah (**) = berbeda sangat nyata
JK
KT
Fhitung
0,018 0,007 0,025
0,004 0,001
6,03**
Ftabel 0,05 3,478
0,01 5,994
Dari Tabel 4 di atas diketahui bahwa pengaruh perlakuan lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap kerapatan papan partikel adalah sangat nyata. Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dilakukan uji beda nyata terkecil dengan selang kepercayaan 95% dan hasilnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Uji beda nyata terkecil untuk perlakuan lama waktu penumpukan kayu terhadap kerapatan papan partikel. Lama waktu penumpukan kayu
Nilai rata-rata kadar air papan partikel
< 1 bulan (segar) 0,707ab 1 bulan 0,723a 2 bulan 0,683ab 3 bulan 0,627c Kombinasi* 0,660bc Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (*) kombinasi partikel satu bulan (50%), dua bulan (20%) dan tiga bulan (30%) Hasil beda nyata terkecil pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar tidak berbeda dengan papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan selama dua bulan. Hal ini berarti tidak terjadi pengaruh yang nyata jika partikel disimpan selama dua bulan. Papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan selama satu bulan berbeda dengan papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan selama tiga bulan dan berbeda pula dengan papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan. Sehingga lama waktu penumpukan optimum adalah selama dua bulan. Kelly (1977) diacu dalam Yusfriandita (1998) menjelaskan bahwa besar kecilnya kerapatan papan partikel dipengaruhi oleh kerapatan kayu asal dan kandungan perekat yang digunakan. Selain itu kerapatan papan partikel juga dipengaruhi oleh tekanan kempa. Tekanan kempa yang optimum akan menghasilkan kerapatan papan partikel yang maksimum. Berdasarkan pengujian terhadap papan partikel yang telah dibuat, kerapatan papan partikel rata-rata berkisar antara 0,63 g/m3 – 0,72 g/m3. Standar Nasional Indonesia mensyaratkan kerapatan papan partikel adalah antara 0,50 g/m3 – 0,90 g/m3, sehingga semua papan memenuhi standar. 5.
Modulus Elastisitas Modulus elastisitas adalah ukuran kemampuan tingkat keteguhan papan komposit dalam menerima beban tegak lurus terhadap permukaan papan komposit. Sifat ini berhubungan langsung dengan nilai kekakuan papan komposit. Dengan semakin tingginya nilai keteguhan lentur maka papan komposit akan semakin tahan terhadap perubahan bentuk. Berdasarkan hasil penelitian kecenderungan semakin lama waktu penumpukan kayu sumber partikel maka modulus elastisitas papan partikel semakin menurun. Nilai keteguhan lentur tertinggi dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar, dengan nilai keteguhan lentur sebesar 22.084,01 kg/cm 2. Sedangkan nilai keteguhan
385
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI lentur terendah dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan, yaitu 5.354,52 kg/cm2. Untuk mengetahui pengaruh lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap modulus elastisitas papan partikel dilakukan sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% dan 99% dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sidik ragam modulus elastisitas Sumber Keragaman
db
JK
Perlakuan 4 445.982.115,673 Sisa 10 184.314.850,905 Total 14 630.296.966,578 Keterangan: db = derajat bebas JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah (**) = berbeda sangat nyata
KT
Fhitung
11.495.528,918 18.431.485,090
6,05**
Ftabel 0,05 3,478
0,01 5,994
Tabel 6 menunjukkan bahwa lama waktu penumpukan bahan baku kayu memberikan pengaruh nyata terhadap nilai modulus elastisitas. Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dilakukan uji beda nyata terkecil dengan selang kepercayaan 95% dan hasilnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Uji beda nyata terkecil untuk perlakuan lama waktu penumpukan kayu terhadap modulus elastisitas papan partikel. Lama waktu penumpukan kayu
Nilai rata-rata kadar air papan partikel
< 1 bulan (segar) 22,084a 1 bulan 16,456a 2 bulan 14,817a 3 bulan 5,355b Kombinasi* 16,830a Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (*) kombinasi partikel satu bulan (50%), dua bulan (20%) dan tiga bulan (30%) Hasil uji beda nyata terkecil menginformasikan bahwa papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar, papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama satu dan dua bulan, serta papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan memberikan pengaruh yang sama, namun papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan tiga bulan memberikan pengaruh yang berbeda. Hal ini berarti berdasarkan hasil pengujian modulus elastisitas partikel, lama waktu penumpukan optimum adalah satu dan dua bulan, karena penumpukan selama tiga bulan memberikan hasil yang berbeda. Dari hasil pengujian terhadap contoh uji diperoleh nilai modulus elastisitas rata-rata antara 5.354,52 kg/cm2 – 22.084,01 kg/cm2. SNI 03.2105.1996 mensyaratkan nilai keteguhan lentur minimum 2,5 x 10 4 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 200, 2,0 x 104 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 150, dan 1,5 x 104 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 100. Klasifikasi papan partikel ini dilakukan berdasarkan nilai kuat lentur. Tidak ada papan partikel yang memenuhi persyaratan modulus elastisitas untuk papan partikel tipe 200. Papan partikel yang memenuhi persyaratan keteguhan lentur untuk papan partikel tipe 150 adalah papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar. Papan partikel yang memenuhi persyaratan modulus elastisitas untuk tipe 100 adalah papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu panumpukan kayu selama satu bulan dan papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan.
386
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 6.
Kuat Lentur Kuat lentur merupakan kemampuan papan partikel dalam menahan beban hingga batas maksimum. Nilai kuat lentur tertinggi dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar, dengan nilai kuat lentur sebesar 253,56 kg/cm2, sedangkan nilai kuat lentur terendah dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan sebesar 102,04 kg/cm2. Untuk mengetahui pengaruh lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap keteguhan kuat lentur partikel dilakukan sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% dan 99% (Tabel 8). Tabel 8. Sidik ragam kuat lentur papan partikel Sumber Keragaman
db
Perlakuan 4 Sisa 10 Total 14 Keterangan: db = derajat bebas JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah (*) = nyata
JK
KT
Fhitung
32.044,948 24.379,822 66.424,770
10.511,237 2.437,982
4,31*
Ftabel 0,05 3,478
0,01 5,994
Dari Tabel 8 di atas diketahui bahwa lama waktu penumpukan bahan baku kayu memberikan pengaruh nyata terhadap kuat lentur papan partikel. Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dilakukan uji beda nyata terkecil dengan selang kepercayaan 95% dan hasilnya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Uji beda nyata terkecil untuk perlakuan lama waktu penumpukan kayu terhadap kuat lentur papan partikel. Lama waktu penumpukan kayu
Nilai rata-rata kadar air papan partikel
< 1 bulan (segar) 253,56a 1 bulan 209,61ab 2 bulan 139,11bc 3 bulan 102,04c Kombinasi* 183,14abc Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (*) kombinasi partikel satu bulan (50%), dua bulan (20%) dan tiga bulan (30%) Hasil uji beda nyata terkecil pada Tabel 9 menunjukkan bahwa keseluruhan papan partikel memiliki nilai kuat lentur yang berbeda satu sama lain. Koch (1985) menjelaskan bahwa seperti halnya modulus elastisitas, kuat lentur juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu orientasi partikel, kerapatan dan jenis kayu, dimensi partikel, kualitas partikel dan kadar air lapik. Sehingga dengan meningkatnya nilai modulus elastisitas maka meningkat pula nilai kuat lentur papan partikel yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai modulus elastisitas maka sifat kekakuan papan partikel untuk merubah bentuk akibat adanya pembebanan akan semakin kecil dan semakin tinggi nilai kuat lentur maka kemampuan atau kekuatan papan partikel untuk menahan beban sampai mencapai titik kritis (contoh uji rusak) akan semakin tinggi (Wangaard 1950 diacu dalam Mardikanto 1979). Berdasarkan hasil pengujian papan partikel didapatkan nilai kuat lentur rata-rata 102,04 kg/cm2 – 253 kg/cm2. Standar Nasional Indonesia tentang mutu papan partikel mensyaratkan nilai kuat lentur minimum 180 kg/cm 2 untuk papan partikel 200, 130 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 150, dan 80 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 100. Papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar, papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama penumpukan selama satu bulan dan papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan memenuhi persyaratan keteguhan patah untuk tipe 200. Papan partikel yang memenuhi persyaratan keteguhan patah untuk tipe 150 adalah papan partikel dengan yang dibuat dari bahan baku dengan lama penumpukan selama dua bulan. Papan
387
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan selama tiga bulan memenuhi persyaratan keteguhan patah untuk tipe 100. 7.
Kuat tarik Tegak Lurus Permukaan Kuat tarik tegak lurus permukaan adalah suatu ukuran ikatan anat partikel dalam lembaran papan partikel. Keteguhan rekat merupakan suatu petunjuk daya tahan papan partikel terhadap kemungkinan pecah atau belah. Kuat tarik tegak lurus permukaan adalah ukuran tunggal terbaik tentang kualitas pembuatan suatu papan karena menunjukkan kekuatan ikatan antara partikel-partikel. Sifat kuat tarik tegak lurus permukaan akan semakin sempurna dengan bertambahnya jumlah perekat yang digunakan dalam proses pembuatan papan partikel (Haygreen & Bowyer 1996). Papan yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan menunjukkan peningkatan kuat tarik yang lebih tinggi dari papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan selama tiga bulan. Nilai kuat tarik yang paling tinggi dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar sebesar 5,88 kg/cm2. Nilai kuat tarik yang paling rendah dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan sebesar 0,19 kg/cm2. Untuk mengetahui pengaruh lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap kuat tarik papan partikel dilakukan sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% dan 99% (Tabel 10). Tabel 10. Sidik ragam kuat tarik tegak lurus permukaan papan partikel Sumber Keragaman
db
JK
Perlakuan 4 80,827 Sisa 10 20,131 Total 14 100,958 Keterangan: db = derajat bebas JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah (**) = berbeda sangat nyata
KT
Fhitung
20,207 2,013
10,04**
Ftabel 0,05 3,478
0,01 5,994
Tabel 10 di atas memberikan informasi bahwa sehingga dapat disimpulkan lama waktu penumpukan bahan baku kayu memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai ikatan dalam papan partikel. Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dilakukan uji beda nyata terkecil dengan selang kepercayaan 95% (Tabel 11). Tabel 11. Uji beda nyata terkecil untuk perlakuan lama waktu penumpukan kayu terhadap kuat tarik tegak lurus permukaan papan partikel. Lama waktu penumpukan kayu
Nilai rata-rata kadar air papan partikel
< 1 bulan (segar) 5,880a 1 bulan 5,560a 2 bulan 1,980b 3 bulan 0,187b Kombinasi* 1,227b Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (*) kombinasi partikel satu bulan (50%), dua bulan (20%) dan tiga bulan (30%) Uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar dan bahan baku dengan lama waktu penumpukan satu bulan memberikan pengaruh yang sama. Papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama dua bulan, papan yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan dan papan partikel yang dibuat dari papan bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan telah memberikan pengaruh yang berbeda.
388
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Lei dan Wilson (1980) diacu dalam Koch (1985) menjelaskan bahwa kuat tarik tegak lurus permukaan dapat ditingkatkan dengan menghilangkan atau mengurangi daerah yang lebih sedikit atau bahkan tidak terdapat perekat. Nilai kuat tarik tegak lurus permukaan papan partikel dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kerapatan papan partikel, jenis kayu, dimensi partikel, kualitas partikel, dan kadar air partikel sebelum dicampur perekat (Koch 1985). Berdasarkan hasil pengujian di dapat nilai kuat tarik tegak lurus permukaan berkisar antara 0,19 kg/cm 2 – 5,88 2 kg/cm . Standar Nasional Indonesia mensyaratkan kuat tarik tegak lurus permukaan ini minimal 3,0 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 200, 2,0 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 150 dan 1,5 kg/cm2 untuk papan partikel tipe 100. Papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan dan papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan dan papan partikel yang dibuat dari partikel-partikel kombinasi lama waktu penumpukan tidak memenuhi persyaratan ini untuk tipe manapun. Papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar dan bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama satu bulan memenuhi persyaratan kuat tarik untuk tipe 200. Papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama dua bulan memenuhi persyaratan kuat tarik untuk tipe 100. 8.
Kuat Pegang Sekrup Kuat pegang sekrup penting untuk kegunaan perabot rumah tangga, kabinet dan bagian-bagian industri yang lain. Kekuatan menahan sekrup sebagian besar ditentukan oleh kerapatan papan, meskipun kandungan resin berpengaruh pula. Nilai kuat pegang sekrup terbesar dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku segar sebesar 97,73 kg. Nilai kuat pegang sekrup terkecil dimiliki oleh papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan lama waktu penumpukan kayu selama tiga bulan sebesar 36,80 kg. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh lama waktu penumpukan bahan baku kayu terhadap kuat pegang sekrup papan partikel dilakukan analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% dan 99% (Tabel 12). Tabel 12. Sidik ragam kuat kuat pegang sekrup papan partikel Sumber Keragaman
db
Perlakuan 4 Sisa 10 Total 14 Keterangan: db = derajat bebas JK = Jumlah kuadrat KT = Kuadrat tengah (tn) = tidak nyata
JK
KT
Fhitung
6.891,157 5.850,240 12.741,397
1.722,789 585,024
2,94tn
Ftabel 0,05 3,478
0,01 5,994
Dari Tabel 12 di atas diketahui bahwa lama waktu penumpukan bahan baku kayu di log yard tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kuat pegang sekrup. Karena hasil yang di dapat tidak menunjukkan pengaruh nyata maka tidak dilakukan uji beda nyata terkecil. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan di dapat nilai kuat pegang sekrup rata-rata antara 36,80 kg – 97,73 kg. Standar Nasional Indonesia tentang mutu papan partikel mensyaratkan papan partikel memiliki kuat pegang sekrup minimal 30 kg untuk papan partikel tipe 200, 40 kg untuk papan partikel tipe 150 dan 30 kg untuk papan partikel tipe 100. Seluruh papan partikel yang dihasilkan memenuhi standar tersebut.
389
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI D. KESIMPULAN 1. 2.
3. 4.
Semakin lama waktu penumpukan kayu di lapangan terbuka tanpa perlindungan menyebabkan perubahan warna kayu dan panel yang dibuat dari bahan baku tersebut menjadi lebih gelap. Lama waktu penumpukan kayu berpengaruh fluktuatif terhadap nilai sifat fisis papan partikel yang dibuat namun cenderung meningkatkan sifat mekanis papan partikel (modulus elastisitas, kuat lentur, kuat tarik tegak lurus permukaan, kuat pegang sekrup). Sifat-sifat papan partikel yang memenuhi persyaratan SNI 03.2105.1996 untuk semua perlakuan antara lain kadar air, kerapatan, dan keteguhan patah. Waktu penumpukan kayu yang optimum di lapangan terbuka tanpa perlindungan adalah satu bulan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1996. Mutu Papan Partikel. SNI 03.2105.1996. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Dewan Standarisasi Nasional. 1996. Mutu Papan Partikel Standard Nasional Indonesia. No. 03-2105, Jakarta. Haygreen, J.G. dan Bowyer J.L. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar. Hadikusumo SA, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta; Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science, An Introduction. Koch P. 1985. Utilization of Hardwoods Growing on Southern Pine Sites Volume III. Washington DC: US Department of Agriculture Forest Service. Maloyen, T.M. 1993. Modern Particle Board and Dry Process Fibreboard Manufacturing. San Fransisco: Miller Freeman Inc. Padlinurjaji IM. 1979. Pelapukan Kayu oleh Jamur. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Rowell RM, Raymound, AY, Judith KR. 1997. Paper and Composites from Agrobased Resources. Lewis Publisher CRC Press, Inc. Salahuddin M. 1995. Pengaruh Lama Penyimpanan Bahan Baku Kayu terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Papan Partikel Kayu Karet (Hevea Brasilliensis Muell. Arg) [Skripsi]. Bogor; Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
390
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM VERTIKAL MOHAMAD GOPAR, ISMADI
UPT Balai Litbang Biomaterial-LIPI Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong, Bogor ABSTRAK Konsep vertical garden city (sistem taman vertikal) merupakan sebuah tren baru dewasa ini didalam dunia arsitektur tata ruang perkotaan (landscaping) dan dapat diaplikasikan dalam skala perumahan pada daerah sub-urban. Salah satu permasalahan yang ada pada pengembangan sistem ini adalah material untuk media tanam. Modul atau media tanam, umumnya terbuat dari bahan polimer seperti polipropilena atau bahan sintetis geo-tekstil. Disamping bahan sintetis tersebut, bahan alam seperti pohon pakis (Cycas rumphii miq) dapat dijadikan sebagai modul media tanam vertikal. Namun, bahan-bahan tersebut cenderung tidak ramah lingkungan, mahal, bahkan tanaman pakis merupakan pohon konservasi yang dilindungi pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan alternatif media tanam yang dapat mensubstitusi material konvensional yang ada. Pada penelitian ini dibuat sebuah modul media tanam vertikal yang terbuat dari serat alam yaitu pelepah kelapa sawit dan bambu. Teknologi yang dikembangkan merupakan teknologi pembuatan papan komposit namun dengan kerapatan (densitas) yang rendah sehingga morfologi media yang dihasilkan identik dengan modul media tanam vertikal dari batang pakis. Bahan yang digunakan adalah partikel bambu dan pelepah kelapa sawit yang sebelumnya dilakukan perlakuan rendaman dalam air selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu baru dibuat komposit dengan kerapatan 0.4 g/cm3. Perekat yang digunakan adalah Phenol formaldehyde (PF) dengan konsentrasi 12%. Campuran serat dan perekat dikempa panas dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 2 cm pada suhu 1400C selama 20 menit. Papan komposit diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan acuan standar JIS A-5908. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman pangan dan tanaman hias. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi komposit serat alam sebagai media tanam vertikal yang memenuhi kebutuhan pasar seperti karakteristik kekuatan, ketahanan terhadap kondisi lingkungan, estetika serta kelayakan ekonomis. Dampak lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan nilai ekonomi limbah pertanian, pengembangan sistem pertanian modern (garden agriculture) serta menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman. Kata kunci : sistem tanam vertikal, media tanam, pelepah kelapa sawit dan bambu, komposit. Pendahuluan Pertumbuhan pembangunan perkotaan di negara maju yang kian pesat mengakibatkan daerah perkotaan semakin kehilangan area hijau nya. Keberadaan ruang terbuka hijau di tengah perkotaan menjadi sesuatu yang langka. Sebagai contoh Kota Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32185.9 hektar (50.2%) dan pada tahun 2002 menjadi berkisar 9430.6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun berkisar -22755.3 hektar (-159.0 %) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan sebagai areal urban, dimana urban mengalami kenaikan berkisar 24411.0 hektar (72.7 %). (Suwargana, 2005). Kondisi pemukiman yang padat memiliki andil negatif dalam kehidupan perkotaan seperti terbatasnya persediaan udara bersih, pemanasan lingkungan, hingga percepatan tingkat strees masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengoptimalkan tersedianya ruang terbuka hijau di daerah pemukiman perkotaan. Upaya tersebut antara lain melalui penghijauan sisi-sisi kosong dalam lanskape perkotaan seperti dinding bangunan, jalur pedestrian, lahan sempit, interior mall/perkantoran, kawasan perumahan bahkan baliho iklan (Taman Vertikal V-ga, 2011). Pada tahun 1994, seorang botaniawan, Patrick Blanc memperkenalkan konsep taman vertical modern; yaitu membuat sebuah taman untuk memanfaatkan lahan kosong yang tidak mungkin ditanami oleh tanaman/pohon pada mulanya. Konsep tanam vertikal selain diterapkan untuk dekorasi pertamanan, dapat pula dijadikan sebagai konsep pertanian modern. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi semakin sempitnya lahan pertanian di daerah perkotaan. Sistem pertanian ini sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju. Investasi per-m2 untuk satu sistem taman vertikal pada tahun 2007 dapat mencapai US$ 2,500 s.d. 10,000 (Cochrane, 2010). Hal ini memacu inovasi-inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi. Saat ini diperkirakan untuk per-m2 diperlukan biaya US$ 125 s.d 150 atau sekitar 1 juta hingga 4 juta rupiah.
391
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media tanam dan sistem modul. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian tentang Vertical Greening Module (VGM). Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan sehat, dilakukan penanaman dengan bibit didalam kotak VGM yang telah diisi dengan media tanam. Apabila tanaman telah cukup umur, kotak VGM siap dibawa ketempat pemasangan pilaster (tiang penggantung) beserta sistim drainasenya di lokasi yang akan dibuat taman vertikal. Sebagai upaya menekan biaya produksi instalasi taman vertikal, dalam penelitian ini dilakukan substitusi media tanam yang terbuat dari bahan polimer dan serat sintetis dengan sebuah desain modul yang terbuat dari papan serat yang terbuat dari serat alam (biokomposit). Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan serat sintetis maupun plastik antara lain bersifat renewable, bisa didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi lingkungan, memiliki sifat mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan harganya lebih murah (Mohanty et al. 2002, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003 dan Zimmermann et al. 2004) serta densitas yang lebih rendah. Dengan memanfaatkan limbah perkebunan, diharapkan upaya ini dapat menjadi solusi penanganan limbah, meningkatkan nilai ekonomi serta menurunkan biaya produksi VGM. Metode dan Bahan Pelepah kelapa sawit dan sagu yang masih basah dibersihkan dari daun-daun yang terikut. Pelepah kemudian di pipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga pelepah terpipihkan dan sebagian cairan yang terkandung pada pelepah akan terpisahkan. Serat pelepah kelapa sawit kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 5-6 cm mempergunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oCatau dijemur hingga kadar airnya -+5%. Serat kering disimpan dalam kantong plastik kedap udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -+5%. Bambu betung basah dengan umur tanam 5 tahun dipotong-potong dengan ukuran kurang lebih 2 meter kemudian dibelah dua untuk bambu berdiameter kecil (<7 cm) yang berdiameter besar (>7 cm) dibelah empat. Bambu setelah dibelah kemudian dipipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga diperoleh serat bambu. Serat kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-6 cm dengan menggunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -+5%. Serat kering disimpan dalam plastic kedap udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hinggakadarairnya -+5%. Perekat yang digunakan adalah phenol formaldehyde (PF) sebanyak 12% berdasarkan berat kering bahan baku. Pencampuran perekat dan serat alam dilakukan dengan mempergunakan spray gun di dalam wadah rotary drum. Kerapatan dari modul panel komposit yang dibuat adalah 0.4 g/cm3. Selanjutnya campuran serat dan perekat dikempa panas pada suhu 1400C selama 20 menit di dalam cetakan 40 cm x 40 cm x 3 cm. Selanjutnya sampel diuji fisik mekaniknya dengan mengacu standar JIS A 5908-2003. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman tanaman hias. Panel komposit untuk uji tanam dibuat modul media tanam vertikal yaitu panel dicetak dengan cetakan yang salah satu permukaannya dibuat beralurl. Cetakan tersebut berbahan aluminium dengan panjang 155 cm, lebar 55 cm dan beralur dengan kedalaman alur 1,5 cm. Untuk mendapatkan modul tanaman vertikal dengan ketebalan 3,5 cm, digunakan pembatas /stopper. Setelah dikempa panas, komposit tersebut dirapihkan dengan dipotong keempat sisi pinggirnya. Ukuran yang diinginkan adalah panjang 150 cm dan lebar 48 cm. Selanjutnya untuk menyesuaikan dengan kondisi penanaman, modul komposit untuk tanaman vertikal dilubangi dengan diameter 10 mm dan jarak 10 cm. Lubang ini digunakan sebagai tempat meletakkan tanaman. Letak lubang-lubang pada modul komposit menyesuaikan dengan pola-pola tanaman yang diinginkan, sehingga membentuk pola gambar yang indah. Proses selanjutnya yang dilakukan untuk mendapatkan modul tanaman vertikal adalah seting modul pada bingkai. Bingkai yang digunakan berbahan baja ringan galvanis dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 49 cm dan tebal 4 cm. Modul komposit yang telah berpola pada bidang belakang (bagian berprofil) dibungkus dengan filter geotextile kemudian dimasukkan pada bingkai plat baja ringan. Lapisan geotextile ini berfungsi sebagai alas/filter cairan hara dari kompos. Proses selanjutnya adalah pengisian modul tanaman vertikal dengan media tanam yang berupa kompos dan pupuk organik. Selanjutnya modul tanaman vertika disiram air dan ditanami sesuai pola warna tanaman yang diinginkan.
392
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Hasil dan Pembahasan Karakterisasi Fisik Mekanik Kuat Lentur (MOR) Nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 0,85 – 2,68 MPa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit serat bambu yang direndam 4 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat pepelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. 3
2.46
2.5
2.68 2.07
Modulus of Rupture
2 1.5
1.06
1
1.08
0.85
0.5 0
Pelepah Pelepa 4 Pelepah Bambu Bambu Bambu 2 minggy 6 2 4 6 minggu minggu minggu minggu minggu Gambar 1 Grafik MOR vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat Berdasarkan data pada Gambar 1 nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapasawit dengan penambahan waktu rendam cenderung turun kemudian naik lagi dan papan komposit serat bambu cenderung naik kemudian turun. Hal ini menujukkan bahwa penambahan waktu rendam mempengaruhi ikatan antara serat dengan perekat Phenol Formaldehyde (PF) Berdasarkan data pada Ganbar 1 Nilai MOR untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOR. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOR yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit. Modulus Elastisitas (MOE) Nilai modulus elastisitas dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 88,59 – 222,26 Mpa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam selama 2 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
250
222.26 220.97
203.89
200 Modulus of Elasticity
150 100
101.62
88.59
99.47
50 0 Pelepah Pelepa 4 Pelepah Bambu Bambu Bambu 2 minggy 6 2 4 6 minggu minggu minggu minggu minggu
Gambar 2 Grafik MOEvs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat
393
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Berdasarkan data pada Ganbar 2 Nilai MOE untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 2 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOE. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOE yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.
Thickness Swelling
Thickness Swelling Nilai pengembangan tebal dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu berkisar pada angka 6,36 – 14,26 %. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam selama 6 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
14.26 11.2 7.49
7.15
6.36
7.55
Pelepah Pelepah Pelepah Bambu Bambu Bambu 2 mingu 4 6 2 4 6 minggu minggu minggu minggu minggu
Gambar 3. Grafik TS vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat. Berdasarkan data pada Ganbar 3 Nilai TS untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai terendah yang paling bagus. Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai TS. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai TS yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit. Karakterisasi Kualitatif Untuk modul media tanam telah dicoba ditanami tanaman hias. Uji coba tanam pada modul media tanam ditunjukkan oleh Gambar 4 dan Gambar 5. Dari uji tanam tersebut diketahui bahwa modul tanaman vertical dari bahan serat bambu yang direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu, tanaman bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua bulan, sedangkan dari uji tanam pada modul dari bahan pelepah kelapa sawit yang direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu setelah seminggu mati kemudian ditanami lagi seminggu kemudian mati, kemudian ditanami lagi sudah bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua bulan (Gambar 5).
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat bambu direndam 2 minggu; (b) serat bambu direndam 4 minggu; (c) serat bambu direndam 6 minggu.
394
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat pelepah kelapa sawit direndam 2 minggu; (b) serat pelepah kelapa sawit direndam 4 minggu; (c) serat pelepah kelapa sawit direndam 6 minggu. Dari Gambar 5 dan gambar 6 terlihat bahwa dalam masa tanam +- 3 minggu, modul media tanam dari serat bambu memiliki kemampuan tanam yang bagus. Dan modul media tanam dari serat pelepah kelapa sawit memiliki mampu tanam yang rendah. Dari hasil uji coba tanam, terlihat bahwa semakin semakin lama direndam makin bagus tingkat pertumbuhannya. Meskipun semua komposit yang dibuat bisa ditanami akan tetapi yang lebih bagus yang memiliki nilai MOR yang tertinggi dan yang memiliki nilai TS terendah. Papan komposit yang akan diproduksi untuk modul media tanam vertikal serat bambu sebelum di cetak jadi komposit direndam air dahulu selama 4 minggu. Kesimpulan Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa papan komposit serat alam dapat dimanfaatkan sebagai media tanam vertikal. Perlakuan terbaik secara mekanik dan memenuhi syarat untuk penanaman adalah perlakuan perendaman serat bambu selama 4 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan mekanik papan komposit, dapat dilakukan dengan pembuatan penampang papan komposit yang berprofil atau beralur. Daftar Pustaka Cochrane T, 2010, Growing up the wall, The Guru, 36, pp. 04-06 Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable bio-composites from renewable resources: Opportunities and challenges in the green materials world. J. Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26. Oksman, K., Skrifvas, M., Selin, J.F. 2003. Natural fibers as reinforcement in polylactic acid (PLA) composites. Composites Science and Technology 63: 1317-1324. Suwargana, N. dan Susanto Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Surabaya, 14 – 15 September 2005. Taman vertikal V-ga,2010/11, http://www.facebook.com/pages/Taman-Vertikal-V-ga/125313897553090. Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres: Can They Replace Glass In Fibre Reinforced Plastics. Composites Science and Technology 63: 1259-1264. Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose fibrils for polymer reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761
395
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENGARUH PENGGUNAAN POLIVINIL ASETAT (PVAc) DAN KOMPOSISI AGREGAT BETON AERASI DAN CANGKANG KELAPA SAWIT TERHADAP SIFAT MEKANIK MORTAR LANTAI GERBONG KERETA API Mohamad Gopar1, Ismail Budiman1, Sasa Sofyan Munawar1,2 1 UPT Balitbang Biomaterial – LIPI, Jl. Raya Bogor Km.46, Bogor 16911 2 Pusat Inovasi – LIPI, Jl. Raya Bogor Km.47, Bogor 16912 Abstrak Penggunaan bahan polivinil asetat (PVAc) pada pembuatan mortar berfungsi untuk memperbaiki sifat workability dari mortar ataupun beton. Pada penelitian ini ingin diketahui pengaruh dari penggunaan polivinil asetat dan komposisi agregat bahan pembuatan terhadap sifat mekanik mortar. Mortar dibuat dengan rasio semen, agregat dan bahan cair sebesar 1:1:2. Agregat yang digunakan adalah campuran antara beton aerasi dan cangkang sawit dengan tiga variasi perbandingan berdasarkan berat yaitu 100% beton aerasi, 50% beton aerasi-50% cangkang kelapa sawit, dan 100% cangkang kelapa sawit. Tipe bahan cair yang digunakan adalah air dan campuran antara PVAc dan air dengan rasio berat sebesar 1:3. Bahan penyusun mortar diaduk dan dicetak pada cetakan berukuran 25 mm x 25 mm x 300 mm. Setelah 24 jam, mortar dikeluarkan dari cetakan untuk direndam pada bak air selama 28 hari. Selanjutnya mortar diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dan mengacu pada standar ASTM C293-94 untuk kuat lentur dan ASTM C116-90 untuk kuat tekan. Berat jenis mortar dihitung untuk diketahui hubungannya dengan kekuatan mekanis yang dihasilkan. Kata kunci: hebel, cangkang kelapa sawit, polivinil asetat, mortar, sifat mekanik. Pendahuluan Kereta api merupakan angkutan yang efisien untuk mengangkut jumlah penumpang yang banyak dan angkutan barang dalam jumlah yang besar. PT. Industri Kereta Api (INKA) salah satu produsen gerbong kereta api telah mengembangkan berbagai tipe gerbong kereta api. Salah satu komponen dalam gerbong kereta api adalah lapisan lantai. Lapisan lantai terdiri dari mortar dan rubber sheet dengan material utama yang masih diimpor dari Jepang atau Korea. Material utama pembentuk mortar yang masih diimpor adalah agregat dan plasticizer dimana harga dasar dari bahan-bahan tersebut cukup tinggi. Mortar adalah campuran dari beberapa bahan baku seperti bahan pengikat (semen), bahan pengisi (agregat halus) dan air dengan atau tanpa bahan lainnya, sehingga didapatkan suatu campuran yang homogen, plastis dan mudah dikerjakan. Fungsi mortar pada lantai gerbong sebagai penghambat panas, peredam suara dan penyerap getaran. Agregat memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap sifat reologi dan sifat mekanis dari mortar maupun semen. Berat jenis, distribusi ukuran partikel, bentuk dan tekstur permukaan dari agregat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap sifat mortar. Agregat dengan berat jenis yang besar tersebut berpengaruh terhadap berat total gerbong kereta api. Berat gerbong yang diharapkan adalah 9-10 ton, sedangkan saat ini beratnya berkisar 12-14 ton. Beberapa teknik untuk menurunkan densitas mortar ataupun beton yaitu dengan cara dibuat berpori (aerated concrete, foam concrete), atau mengganti agregat beton dengan agregat ringan (Yasar, et.al, 2003), seperti: batu apung, serat alami, abu sekam, perlit, dan polystyrefoam. Umumnya agregat-agregat ringan tersebut memiliki massa yang ringan dengan densitas < 1 g/cm3 (Yassar et.al., 2003). Foam concrete (bata ringan) umumnya terbuat dari beberapa bahan seperti semen, pasir silica, air, dan foaming agent. Penggunaan busa dalam campuran beton bertujuan untuk mengurangi nilai kerapatan (density) pada beton setelah proses curing. Busa-busa yang ditambahkan akan terjebak dalam mortar yang setelah mengeras akan terperangkap dalam beton dan membentuk ruang rongga kecil yang banyak sehingga membuat volume beton bertambah dan mengurangi beratnya. Foaming agent yang baik untuk digunakan adalah foaming agent yang terbuat dari bahan protein hydrolisis karena menghasilkan lebih banyak busa ketika bercampur dengan air. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi agregat dari bahan hayati berupa cangkang buah kelapa sawit dan perpaduannya dengan beton aerasi dan pengaruh penambahan bahan pemlastis PVAc.
396
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Metode dan bahan Agregat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beton aerasi ringan (Foam concrete) merk hebel yang dibeli dari pasaran dibuat menjadi ukuran lebih kecil dan dimasukkan dalam mesin hammer mill. Hasil dari mesin hammer mill disaring untuk mendapatkn ukuran agregat lolos saringan 4 mesh dan tertahan di saringan 20 mesh. Agregat kedua yang digunakan adalah cangkang kelapa sawit dengan ukuran lolos saringan 8 mesh dan tertahan di saringan 20 mesh. Mortar dibuat dengan rasio semen, agregat dan bahan cair 1:1:2. Agregat yang digunakan dibagi menjadi tiga variasi berdasarkan perbandingan berat yaitu 100% hebel, 50% hebel-50% cangkang kelapa sawit, dan 100% cangkang kelapa sawit. Tipe bahan cair yang digunakan adalah campuran antara PVAc dan air dengan rasio berat sebesar 1:3. Bahan penyusun mortar diaduk dan dicetak pada cetakan berukuran 25 mm x 25 mm x 300 mm. Setelah 24 jam, mortar dikeluarkan dari cetakan untuk direndam pada bak air selama 28 hari. Selanjutnya diuji sifat mekaniknya dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dan mengacu standar ASTM C293-94 untuk kuat lentur dan ASTM C116-90 untuk kuat tekan. Berat jenis mortar dihitung untuk diketahui hubungannya dengan kekuatan mekanis yang dihasilkan. Hasil dan Pembahasan Densitas Nilai densitas dari mortar hebel dan cangkang sawit berkisar pada angka 0,96 – 1,1 g/cm3. Densitas tertinggi diperoleh mortar dengan agregat 50% hebel-50% cangkang kelapa sawit dengan bahan ciar campuran antara air dan PVAc dengan rasio 1:3 sedangkan densitas terendah diperoleh mortar dengan agregat 50% hebel-50% cangkang kelapa sawit dengan bahan ciar dengan bahan cair air. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Berat jenis (g/cm3)
1.15
1.1
1.1 1.05 1
0.97
0.98
H3
C
0.96
0.95 0.9 0.85 H3+C
H3+C+Pvac
Gambar 1. Densitas mortar vs komposisi agregat dan penggunaan Polyvinil asetat Berdasarkan data pada Gambar 1, densitas mortar dengan penambahan PVAc 1:3 dari bahan cair ika dibandingkan dengan densitas mortar tanpa menggunakan PVAc. Hal ini disebabkan karena pada proses curing kelebihan air akan menguap sedangkan pada pengguaan PVAc tidak menguap sehingga menambah berat mortar. Kuat Lentur (MOR) Nilai kuat lentur dari mortar hebel dan cangkang sawit berkisar pada angka 1,09 – 1,81 MPa. Nilai tertinggi diperoleh mortar dengan agregat 100% cangkang kelapa sawit sedangkan nilai terendah diperoleh mortar dengan agregat 50% hebel-50% cangkang kelapa sawit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
397
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 3 2.5
1.77
Kuat Lentur (MPa)
2
1.81
1.5
1.09
1.28
1 0.5 0 H3
C
H3+C
H3+C+Pvac
Gambar 2. Kuat lentur vs komposisi agregat dan penggunaan Polyvinil asetat. Berdasarkan data pada Gambar 2, nilai kuat lentur dari mortar dengan penambahan PVAc cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan PVAc. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan PVAc mempengaruhi ikatan Antara semen dengan bahan cair. Ikatan yang kuat antara semen dengan air akan berkurang dengan hadirnya PVAc dalam campuran tersebut. Hal inilah yang mempengaruhi sifat kuat lentur dari mortar. Jika dilihat dari agregat yang dipakai, mortar dengan cangkang buah sawit memiliki nilai kuat tekan yang lebih baik jika dibandingkan dengan mortar dengan hebel. Modulus Elastisitas (MOE)
Modulus of Elasticity (N/mm2)
Nilai modulus elastisitas dari mortar hebel dan cangkang sawit berkisar pada angka 47,88 – 206,13 MPa. Nilai tertinggi diperoleh mortar dengan agregat 100% cangkang kelapa sawit sedangkan nilai terendah diperoleh mortar dengan agregat 100 % hebel. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. 250
206.13
200 146.66
150
116.58
100 50
47.88
0 H3
C
H3+C
H3+C+Pvac
Gambar 3. Modulus elastisitas vs komposisi agregat dan penggunaan Polyvinil asetat Berdasarkan data pada Gambar 3, Nilai MOE untuk komposisi 100% cangkang sawit bernilai paling optimal. Penambahan cangkang sawit memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan nilai MOE material. Sedangkan pengaruh PVAc memberikan pengaruh positif terhadap mortar. Kuat Tekan Nilai kuat tekan dari mortar hebel dan cangkang sawit berkisar pada angka 2,72 – 9,81 MPa. Nilai tertinggi diperoleh mortar dengan agregat 100% hebel sedangkan nilai terendah diperoleh mortar dengan agregat 50% hebel-50% cangkang kelapa sawit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
398
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Keteguhan Tekan (N/mm2)
12
10
9.81
7.75
8 6 4
2.72
3.14
H3+C
H3+C+PVac
2 0 H3
C
Gambar 4. Kuat Tekan vs Komposisi agregat dan penggunaan Polyvinil asetat Nilai kekuatan tekan untuk komposisi hebel dan cangkang sawit murni berada di atas nilai standard yang disyaratkan. Pencampuran antar material menyebabkan turunnya nilai kekuatan tekan agregat. Sedangkan penambahan pemlastis PVAc pada mortar dapat meningkatkan nilai kuat tekan mortar. Kesimpulan Sifat mekanik mortar berbahan dasar bahan hayati dan bahan alam (non hayati) relatif lebih baik dari mortar berbahan dasar kombinasi (hayati-non hayati). Penambahan bahan pemlastis (Pvac) belum mampu menaikkan sifat mekanik mortar secara keseluruhan. Optimasi kombinasi bahan hayati (cangkang sawit) dan non hayati (hebel) perlu dilakukan guna mendapatkan material dasar mortar yang lebih bagus. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Sub Program Material Maju dan Nano Teknologi, Program Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan PT. Industri Kereta Api (INKA) atas pendanaan penelitian dan kolaborasinya.
Daftar Pustaka Yassar, E., C.D. Atis, A. Kilic, H. Gulsen. 2003. Strength Properties Concrete Made with Basaltic Pumice and Fly Ash; Elsevier Science BV, New York. Lanzon, M and P.A. Garcia-Ruiz. 2008. Lightweight cement mortars: Advantages and inconveniences of expanded perlite and its influence on fresh and hardened state and durability. Construction and Building Materials 22 (2008) 1798–1806. Habeeb, G.A., M.M. Fayyadh. 2009. Rice Husk Ash Concrete: the Effect of RHA Average Particle Size on Mechanical Properties and Drying Shrinkage. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 3(3): 1616-1622, 2009 Chindaprasirt, P., S. Rukzon. 2008. Strength, porosity and corrosion resistance of ternary blend Portland cement, rice husk and fly ash mortar. Construction and Building Materials 22 (2008) 1601–1606 Barluenga, G., F. Hernandez-Olivares. 2004. SBR latex modified mortar rheology and mechanical behaviour. Cement and Concrete Research 34 (2004) 527–535 Yang, X and D.D.L. Chung. 1992. Latex-modified cement mortar reinforced by short carbon fibres. Composites Vol 23 (6) : 453-460. Rashid, M.H., M.K.A. Molla, T.U. Ahmed. 2010. Long Term Effect of Rice Husk Ash on Strength of Mortar. World Academy of Science, Engineering and Technology 67. 2010. ASTM. C 1386 – 07,1998, Standard Specification For Precast Autoclaved Aerated Concrete (AAC) Wall Contruction Units,American Society For Testing and Materials,West Censhocken,Pennsylvania.
399
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI SNI 03 – 2156-1991, Blok Beton Ringan Bergelembung Udara (Aerated) Dengan Proses Otoklaf, Standar Nasional Indonesia,Jakarta,Indonesia. Zhihua, P., H. Fujiwara and W. Tionghua. 2007. Preparation of High Performence Foamed Concrete From Cement, Sand and Mineral Admixtures,Journal of Wuhan University of Technology-Materials Science Edition. Kearsleya, E.P., P.J Wainwright. 2001. The Effect of High Fly Ash Content on the Compressive Strength of Foamed Concrete. Journal of Cement and Concrete Research, page 105-112. Kearsleya, E.P., P.J Wainwright. 2002. Ash Content For Optimum Strength of Foamed Concrete. Journal of Cement and Concrete Research, page 241-246.
400
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
DARI KAYU BORNEO KE KAYU RAKYAT : DAMPAK TERHADAP PERDAGANGAN KAYU DAN KUALITAS KONSTRUKSI Achmad Supriadi dan Barly
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor
Email : susupriadi @gmail.com ABSTRAK Kemampuan pasokan kayu dari hutan alam yang terus menurun, telah mengakibatkan menurunnya pasokan kayu borneo di pasaran wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Untuk menutupi kekurangan pasokan kayu borneo, para pedagang kayu menjual kayu-kayu lokal yang berasal dari hutan rakyat yang biasa disebut dengan kayu rakyat (kayu kampung), dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Makalah ini menyajikan tentang dampak peningkatan permintaan kayu rakyat terhadap perdagangan dan kualitas konstruksi. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi tentang potensi hutan rakyat, sifat kayu dari hutan rakyat, dampaknya terhadap perdagangan dan kualitas konstruksi. Potensi hutan rakyat diperkirakan mencapai 1.279.581 ha dengan potensi tegakan 42.965.520 m 3, dengan pulau Jawa memiliki hutan rakyat terluas yaitu 400.000 ha, kemudian berturut-turut diikuti oleh pulau Sumatera (232.001 ha), Sulawesi (227.413 ha) dan Nusa Tenggara (202.835 ha). Jenis kayu hutan rakyat pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh dan tidak memperoleh perlakuan seperti pada hutan tanaman. Batang kayunya umumnya merupakan kayu remaja (juvenile wood), berdiameter kecil dan banyak cabang. Kayunya pada umumnya memiliki berat jenis yang rendah. Meskipun demikian, permintaan terhadap kayu rakyat cenderung semakin meningkat. Peningkatan ini memberikan berbagai dampak positif seperti harga kayu rakyat menjadi semakin baik, munculnya pelaku usaha baru sebagai pedagang perantara kayu rakyat dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, muncul pula berbagai dampak negatif seperti penebangan kayu di hutan rakyat menjadi tidak terkendali, ukuran sortimen kayu yang diperdagangkan kurang dari standar dan kemungkinan kualitas konstruksi menjadi rendah. Kata kunci : Kayu rakyat, sifat kayu, perdagangan, konstruksi.
I. PENDAHULUAN Indonesia yang kaya dengan hutan tropisnya, pernah mampu memproduksi kayu secara melimpah, yaitu dimulai setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 tentang pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Berdasarkan peraturan pemerintah ini, ijin pengusahaan hutan diberikan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), selain juga diberikan kepada pengusaha non HPH dengan ijin pemungutan hasil hutan (IPHH) dan ijin pemanfaatan kayu (IPK) pada lahan yang akan dikonversi. Sebagian besar kayu yang dihasilkan diekspor dalam bentuk kayu bulat. Krisis ekonomi dunia pada tahun 1975 berdampak pada menurunnya ekspor kayu bulat, sementara produksi melimpah, sehingga hasil produksi banyak didistribusikan di dalam negeri. Data di lapangan menunjukkan bahwa kayu gergajian yang masuk melalui pelabuhan ke wilayah DKI Jakarta pada tahun 1970 sebesar 129.352 m3, kemudian meningkat menjadi 927.980 m3 pada tahun 1975, untuk kemudian diperdagangkan dan digunakan sebagai bahan bangunan perumahan dan keperluan industri perkayuan di Jakarta dan Jawa Barat (Badrudin, 1979). Pada tanggal 18 Juli 1974 pemerintah mendirikan Perum Perumnas, dimana kayu borneo atau setara meranti selalu dicantumkan dalam spesifikasi kayu bangunan rumah yang ditawarkan. Eksploitasi hutan yang telah berjalan puluhan tahun tanpa disertai dengan penanaman kembali secara benar pada areal hutan yang telah ditebang, telah mengakibatkan kerusakan hutan. Meskipun pemerintah telah berupaya menjaga kelestarian hutan dengan menetapkan berbagai sistim silvikultur seperti Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB),
401
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI namun para pelaksana HPH banyak yang belum sepenuhnya mengindahkannya, disamping pemerintah belum mampu melakukan pengawasan secara efektif sehingga disana sini masih terdapat pelanggaran. Rusaknya hutan telah menurunkan kemampuan pasokan kayu ari hutan alam, sementara kebutuhan terhadap kayu dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan perumahan. Realisasi produksi kayu bulat tahun 2007 sebesar 31.491.584 m3, jumlah ini di bawah dari yang dibutuhkan yaitu sekitar 50.000.000 m 3, sehingga pada tahun tersebut dilakukan impor kayu bulat sebesar 17.003.001 m3 (Anonim, 2008). Menurunnya pasokan kayu dari hutan alam telah mengakibatkan menurunnya pasokan kayu borneo di pasaran wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Untuk menutupi kekurangan pasokan kayu borneo, para pedagang kayu menjual kayu-kayu local yang berasal dari hutan rakyat yang biasa disebut dengan kayu rakyat (kayu kampung), dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Makin meningkatnya permintaan terhadap kayu rakyat telah mendorong para pemilik pohon untuk menjual pohon/kayunya walaupun pohon tersebut belum siap tebang. Makalah ini menyajikan tentang dampak peningkatan permintaan terhadap kayu rakyat sebagai akibat penurunan pasokan kayu borneo terhadap perdagangan dan kualitas konstruksi. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi tentang potensi hutan rakyat, sifat kayu dari hutan rakyat, dampaknya terhadap perdagangan dan kualitas konstruksi. II. POTENSI DAN SIFAT KAYU HUTAN RAKYAT 2.1. Potensi hutan rakyat Terdapat berbagai data potensi dan luas hutan rakyat. Menurut Wardana (2005) dalam Muslich, et.al. (2006), potensi kayu dari hutan rakyat diperkirakan mencapai 39.416.557,5 m3 dengan luas 1.568.415,6 ha. Menurut Tampubolon et al.(2006) luas hutan rakyat Indonesia diperkirakan mencapai 1.279.581 ha dengan potensi tegakan 42.965.520 m3. Sedangkan data potensi hutan rakyat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon mencapai 226.080.019 batang dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang atau potensi produksi sekitar 19.621.480 m3 (Anonim, 2005). Dilihat dari sebaran areal hutan rakyat, pulau Jawa memiliki hutan rakyat terluas yaitu 400.000 ha, kemudian berturut-turut diikuti oleh pulau Sumatera (232.001 ha), Sulawesi (227.413 ha) dan Nusa Tenggara (202.835 ha). Sedangkan berdasarkan potensi tegakan, pulau jawa memiliki potensi tegakan tertinggi yaitu 23.441.691 m3, kemudian berturut-turut diikuti oleh pulau Sulawesi (5.617.887 m3), Sumatera (5.123.267 m3) dan Nua Tenggara (4.205.209 m3). Rincian sebaran areal hutan rakyat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran luas dan potensi hutan rakyat di Indonesia tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pulau
Luas (ha)
Jawa Sumatera Bali Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua
400.846 232.001 13.498 202.835 163.515 227.413 3.658 36.010
Potensi tegakan (m3) 23.441.691 5.123.267 362.295 4.205.209 3.885.764 5.617.887 Pm pm
Sumber : Rakernis Departemen Kehutanan 2005 (dalam Tampubolon et al., 2006). Data diolah Berbagai jenis pohon ditanam di hutan rakyat. Pada Tabel 2. berikut disajikan data potensi hutan rakyat yang terdiri dari populasi 7 (tujuh) jenis tanaman yang dikembangkan di hutan rakyat dan tersebar di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa (Sukadaryati, 2006).
402
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 2. Populasi tujuh jenis pohon yang ditanam di hutan rakyat (batang) No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis pohon Akasia Bambu Jati Mahoni Pinus Sengon Sonokeling Jumlah
Potensi di daerah Jawa Luar Jawa 22.611.068 9.409.011 29.139.388 8.786.890 50.119.621 29.592.858 39.990.730 5.268.811 3.521.107 2.302.757 50.075.525 9.758.776 2.008.272 344.379 197.465.711 65.463.482
Jumlah 32.020.079 37.926.278 79.712.479 45.259.541 5.823.864 59.834.301 2.352.651 262.929.193
Siap tebang 12.069.695 6.721.780 18.446.024 9.497.192 2.715.576 24.613.228 742.543 74.806.038
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa tujuh jenis pohon yang dikembangkan di hutan rakyat meliputi akasia, bamboo, jati, mahoni, pinus, sengon dan sonokeling. Jati merupakan jenis pohon yang terbanyak ditanam di hutan rakyat yaitu 79.712.479 batang, kemudian berturut-turut diikuti oleh sengon (59.834.301 batang), dan mahoni (45.259.541 batang). Untuk hutan rakyat di pulau Jawa, jenis sengon dan jati yang paling banyak ditanam yaitu dengan jumlah batang di atas 50 juta batang. 2.2. Sifat kayu hutan rakyat Jenis kayu hutan rakyat pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh dan tidak memperoleh perlakuan seperti pada hutan tanaman. Batang kayunya umumnya merupakan kayu remaja (juvenile wood), berdiameter kecil dan banyak cabang, kayunya umumnya memiliki berat jenis yang rendah. Muslich et al.(2006) menyatakan bahwa kayu dari hutan rakyat umumnya lebih ringan, teksturnya lebih kasar, lebih banyak mengandung mata kayu yang ukurannya lebih besar, seratnya tidak teratur serta mengandung lebih banyak kayu remaja (juvenile wood). Haygreen dan Bowyer (1986) menyatakan pada umumnya kayu juvenile lebih rendah kualitasnya daripada kayu dewasa, sel-sel kayu juvenil lebih pendek daripada sel-sel kayu dewasa, terdapat sedikit sel-sel kayu akhir dalam daerah juvenile dan sebagian terbesar sel mempunyai lapisan dinding yang tipis. Hasilnya adalah kerapatan dan kekuatan yang rendah. Menurut Dadswell (1958) dalam Haygreen dan Bowyer (1986), sel-sel dewasa kayu lunak mungkin tiga sampai empat kali panjang sel-sel kayu juvenile, sedangkan serabut-serabut dewasa kayu keras umumnya dua kali panjang sel-sel yang terdapat dekat empulur. Kecilnya diameter batang mengakibatkan rendemen penggergajian dolok kayu hutan rakyat menjadi rendah. Banyaknya cabang mengakibatkan timbulnya mata kayu pada kayu gergajian. Kayu rakyat yang berumur muda menjadi kurang awet secara alami, sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu. Dengan berbagai kelemahan tersebut mengakibatkan kualitas kayu rakyat menjadi lebih rendah dibanding kayu dari hutan alam dan hutan tanaman. III. PERDAGANGAN KAYU RAKYAT DAN KEMUNGKINAN DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS KONSTRUKSI Menurunnya pasokan kayu dari hutan alam termasuk dari Kalimantan, mengakibatkan menurunnya pasokan kayu borneo pada perdagangan kayu di berbagai wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Sebagaiman telah diuraikan sebelumnya, untuk mengisi kekurangan pasokan kayu borneo ini para pedagang kayu menambahnya dengan memasarkan kayu yang berasal dari wilayah sekitarnya yang biasa disebut dengan kayu rakyat. Kayu rakyat dapat terdiri dari berbagai jenis pohon rimba dan jenis pohon buah-buahan. Kayu rakyat yang berasal dari jenis pohon buahbuahan sering disebut dengan istilah kayu kampung. Terdapat kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap kayu rakyat. Peningkatan ini memberikan berbagai dampak baik positif maupun negative terhadap perdagangan kayu di wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Berbagai dampak positif antara lain : 1. Harga kayu rakyat menjadi semakin baik Sebagaimana yang berlaku dalam hukum ekonomi, bila permintaan terhadap suatu barang meningkat, maka harga barang tersebut akan bergerak naik. Demikian juga yang terjadi pada kayu rakyat, meningkatnya permintaan terhadap kayu rakyat membuat harga kayu rakyat di pasaran semakin membaik. Meningkatnya harga kayu rakyat
403
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI tentunya dapat membawa dampak positif bagi pemilik lahan, karena mereka akan lebih tertarik lagi untuk menanami tanahnya dengan berbagai jenis pohon yang menghasilkan kayu bernilai ekonomi tinggi 2. Munculnya pelaku usaha baru sebagai pedagang perantara kayu rakyat Meningkatnya permintaan terhadap kayu rakyat, juga telah memberi dampak poistif yaitu munculnya pelaku usaha baru sebagai pedagang pengumpul kayu rakyat. Pedagang pengumpul ini berlaku sebagai pihak yang menghubungkan antara pedagang kayu dengan petani pemilik kayu rakyat, sehingga keberadaan pedagang pengumpul cukup membantu untuk terjadinya transaksi bisnis antara pedagang kayu dengan petani pemilik. 3. Peningkatan pendapatan pada masyarakat Peningkatan permintaan terhadap kayu rakyat sebagai akibat dari menurunnya pasokan kayu borneo, telah dapat meningkatkan pendapatan berbagai elemen dalam masyarakat tang terlibat dalam penyediaan pasokan kayu rakyat. Berbagai elemen masyarakat tersebut anatara lain petani pemilik lahan, petani penggarap lahan, pedagang pengumpul dan pedagang kayu. Peningkatan pendapatan ini diharapkan dapat memicu perkembangan perekonomian di pedesaan. Selain berbagai dampak positif yang timbul dengan terjadinya peningkatan permintaan kayu rakyat seperti tersebut di atas, muncul pula berbagai dampak negatif, antara lain yaitu : 1. Penebangan kayu di hutan rakyat menjadi tidak terkendali Permintaan terhadap kayu rakyat yang terus meningkat disertai dengan peningkatan harga kayu, telah mendorong petani pemilik hutan rakyat untuk menjual pohon yang dimilikinya setiap ada permintaan, terlebih lagi bila kebutuhan ekonomi sudah mendesak. Penebangan pohon tidak lagi mempertimbangkan umur masak tebang, kualitas kayu dan kelestarian lingkungan. Muslich dan Krisdianto (2006) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, misalnya kebutuhan biaya anak sekolah atau hajatan, kayu hutan rakyat dapat ditebang dan dijadikan sumber penghasilan untuk menutupi kebutuhan tersebut. Pemilik kayu hutan rakyat kurang peduli dengan umur pohon dan kualitas batang yang dihasilkan. 2. Ukuran sortimen kayu yang diperdagangkan kurang dari standar Selain kayu rakyat yang diperdagangkan pada umumnya bermutu rendah, fakta di lapangan menunjukkan ditemukan ukuran sortimen kayu yang diperdaganglan kurang dari ukuran standar. Sebagai contoh sotimen kayu sengon dengan ukuran standar 1 x 15 x 300 cm, diperdagangkan dengan ukuran 1 x 15 x 280 cm atau panjang sortimen tersebut 20 cm lebih rendah dari panjang yang seharusnya. Kayu gergajian dengan ukuran standar panjang 400 cm, pada kenyataannya hanya 380 cm atau kurang 20 cm. Data beberapa sortimen kayu rakyat dengan ukuran di bawah standar disajikan pada Tabel 3.
404
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 3. Sortimen kayu gergajian dari kayu rakyat yang tidak sesuai ukuran standar No
Ukuran standar (cm) Ukuran kenyataan (cm) 1 x 15 x 300 1 x 15 x 280 1 x 16 x 300 1 x 16 x 280 1 x 18 x 300 1 x 18 x 280 2 x 15 x 300 2 x 15 x 280 2 x 16 x 300 2 x 16 x 280 2 x 18 x 300 2 x 18 x 280 4 x 6 x 300 4 x 6 x 280 6 x 12 x 300 6 x 12 x 280 10 x 10 x 300 10 x 10 x 280 Merahan (Duren dan kecapi 2 x 18 x 300 2 x 18 x 280 2 x 20 x 300 2 x 20 x 280 4 x 6 x 300 4 x 6 x 280 6 x 12 x 300 6 x 12 x 280 8 x 12 x 300 8 x 12 x 280 2 x 20 x 400 2 x 20 x 380 6 x 12 x 400 6 x 12 x 380 8 x 12 x 400 8 x 12 x 380 4 x 6 x 400 4 x 6 x 380 Putihan (afrika dan karet) 3 x 4 x 400 3 x 4 x 380 3 x 4 x 400 3 x 4 x 380 4 x 6 x 400 3,3 x 5,8 x 380 5 x 7 x 400 4,3 x 7 x 400 6 x 12 x 400 5,5 x 11,2 x 400 Sumber : Beberapa perusahaan pengergajian kayu di Bogor Jawa Barat 1.
Sortimen dari kayu Sengon
Harga (Rp) 5.000 6.000 7.000 9.000 10.000 12.000 4.500 17.000 17.000 15.000 17.000 6.000 15.000 25.000 30.000 50.000 67.000 12.500 6.000 900.000/m3 1.000.000/m3 1.100.000/m3 1.250.000/m3
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa berbagai sortimen memiliki ukuran yang kurang dari standar. Perbedaan ini mengakibatkan kerugian pada pengguna, terutama bila dihitung dalam jumlah besar (per satuan m3). Sebagai contoh pengguna akan menderita kerugian sebesar Rp 73.000/m3 untuk setiap pembelian sortimen kayu sengon ukuran 1 x 15 x 300 cm dan Rp 50.000 /m3 untuk sortimen kayu sengon ukuran 6 x 12 x 300 cm. Selain ditemukannya sortimen berukuran kurang dari standar, untuk sotimen kayu ukuran tertentu seperti sortimen kayu sengon ukuran 4 x 6 x 300 cm dijual dalam bentuk ikatan. Satu ikatan terdiri atas 9 batang dengan menggabungkan kayu teras dengan kayu gubal. Cara penjualan seperti ini merugikan konsumen, karena konsumen tidak dapat memilih sortimen yang baik dan tidak dapt menolak sortimen dari kayu gubal yang bermutu rendah. 3. Kualitas konstruksi menjadi rendah Kayu hutan rakyat yang banyak mengandung kayu juvenile menghasilkan kayu dengan kualitas rendah. Ketika digunakan kayu menjadi mudah melengkung, bengkok, mudah patah dan tidak awet, sehingga apabila kayu rakyat digunakan sebagai bahan konstruksi mengakibatkan bangunan konstruksi menjadi tidak kuat dalam menahan beban, tidak tahan lama, tidak aman dan nyaman. Dalam jangka panjang, penggunaan kayu bermutu rendah dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi karena tidak panjangnya umur bangunan tersebut. Tindakan perlakuan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kayu rakyat seperti pengawetan, pengeringan, impergnasi bahan kimia ke dalam kayu dan lain-lain perlu dilakukan agar kayu rakyat menjadi lebih awet, dan memiliki stabilitas dimensi yang tinggi . Ditemukannya sortimen kayu rakyat dengan ukuran kurang dari standar juga turut berpengaruh terhadap kualitas konstruksi. Sebagai contoh sortimen papan cor kayu sengon ukuran standar 1 x 15 x 300 cm, kenyataannya berukuran 1 x 15 x 280 cm atau memiliki panjang kurang 20 cm dari standar. Bila papan tersebut langsung digunakan, maka panjang ukuran konstruksi menjadi kurang 20 cm dari yang seharusnya. Secara teknik hal ini menyalahi aturan sehingga konstruksi yang dibuat menjadi tidak sesuai dengan bestek dan membahayakan keselamatan pengguna konstruksi. Untuk mengatasi penggunaan sortimen dengan ukuran kurang dari standar, pengguna terpaksa harus menyambung sortimen tersebut hingga mencapai ukuran yang seharusnya. Tindakan ini memerlukan tambahan biaya
405
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI yang lebih besar dari yang seharusnya, karena bahan kayu yang digunakan sebagai penyambung harus lebih panjang dari selisih ukuran, dalam contoh ini harus lebih panjang dari 20 cm supaya sambungan dapat dibuat dengan baik. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan 1. 2.
3.
Meningkatnya perdagangan kayu rakyat (kayu kampung) seiring menurunnya pasokan kayu borneo di pasaran wilayah Jakarta dan Jawa Barat, telah meningkatkan permintaan terhadap kayu rakyat di wilayah tersebut. Dampak positif dari peningkatan permintaan terhadap kayu rakyat antara lain harga kayu rakyat menjadi semakin baik, munculnya pelaku usaha baru sebagai pedagang perantara kayu rakyat dan meningknya pendapatan pada masyarakat Dampak negatif dari peningkatan permintaan terhadap kayu rakyat antara lain penebangan kayu di hutan rakyat menjadi tidak terkendali, ukuran sortimen kayu yang diperdagangkan kurang dari standar dan kualitas konstruksi diperkirakan menjadi rendah
B. Saran 1.
Diperlukan campur tangan pemerintah agar perdagangan kayu rakyat (kayu kampung) dapat memberikan dampak positif baik bagi produsen, konsumen maupun masyarakat umum. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Hutan rakyat Indonesia. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi III :32. Jakarta. ----------. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta Badrudin, A. 1979. Konsumsi kayu di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Laporan nomor 132. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor Djajapertjunda, S. 2002. Hutan dan Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. IPB Press. Bogor Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Terjemahan. Gadjah Nada University Press. Yogyakarta Muslich, M. dan Krisdianto. 2006. Upaya peningkatan kualitas kayu hutan rakyat sebagai bahan baku industri. Prosiding Seminar Hasil Hutan di Bogor tanggal 2 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor Sukadaryati. 2006. Potensi hutan rakyat di Indonesia dan permasalahannya. Prosiding Seminar Hasil Hutan di Bogor tanggal 2 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor Tampubolon, A.P., P. Parthama dan E. Suryadi. 2006. Peranan Badan Litbang Kehutanan dalam mendukung program hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Makalah pada Pelatihan dan Pengembangan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Nganjuk
406
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
HUBUNGAN ANTARA SUHU, KELEMBABAN, LAMA PENGERINGAN KEMENYAN SECARA TRADISIONAL OLEH MASYARAKAT DI TAPANULI, SUMATERA UTARA Totok K Waluyo dan Djeni Hendra Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor Email:[email protected] Abstrak Kemenyan merupakan komoditas primadona hasil hutan bukan kayua (HHBK) khususnya Sumatera Utara dan merupakan penghasil kemenyan dunia terbesar setelah Laos. Kegiatan pengeringan kemenyan pasca panen memerlukan waktu cukup lama (3-4 bulan) dan dilakukan secara tradisional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui teknik pengeringan kemenyan secara tradisional oleh masyarakat dan kondisi ruang pengeringan yang berpengaruh terhadap penurunan kadar air kemenyan. Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya ada sentuhan teknologi yang dapat mempersingkat pengeringan kemenyan. Metode yang digunakan adalah data hasil pengamatan suhu, kelembaban, lama pengeringan pada proses pengeringan. Teknik pengeringan kemenyan oleh masyarakat cukup sederhana yaitu cukup menempatkan kemenyan di lantai 2 suatu bangunan beratap seng dan secara berkala kemenyan dibalik sedangkan lantai dasar digunakan untuk kegiatan penyortiran dan penyimpanan kemenyan kering. Laju penurunan kadar air kemenyan rata-rata per minggu 0,89%. Kelembaban ruang pengering tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar air sedangkan suhu dan lama pengeringan sangat berpengaruh. Dengan demikian penurunan kadar air kemenyan dipengaruhi oleh lama pengeringan dan temperatur ruang pengeringan dengan persamaan Y = 30,081 - 1,057 X1 - 0,628 X2 Kata kunci: Kemenyan, suhu, kelembaban, lama pengeringan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Laos dan Indonesia merupakan dua negara penghasil kemenyan terbesar di dunia. Kemenyan asal Laos disebut kemenyan Siam (Lao benzoin) dihasilkan dari pohon Styrax tonkinensis, sedangkan kemenyan Indonesia berasal dari Sumatera Utara sehingga disebut kemenyan Sumatera (Sumatran benzoin) dihasilkan dari pohon Styrax benzoin dan Styrax paralleloneurum (Kashio dan Johnson, 2001). Kedua jenis tersebut termasuk famili Styracaceae yang memiliki sekitar 160 species (Pauletti, et.al.;2006). Kemenyan adalah salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan primadona Sumatera Utara, sentra produksi berada di kabupaten Tapanuli Utara. Kemenyan (Styrax sp) merupakan salah satu jenis pohon yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat di Sumatera Utara yang melibatkan lebih dari 100 desa dan 18.000 keluarga (Lopez dan Shanley, 2005). Berdasarkan data statistik tahun 2005 Dinas Perkebunan Sumatera Utara, tanaman kemenyan tersebar di 5 kabupaten (Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan dan Pakpak Barat) seluas 23.592,70 Ha dengan produksi 5.837,86 ton. Kemenyan (Styrax sp,) menghasilkan resin disebut kemenyan yang digunakan secara luas dalam industri farmasi, bahan pengawet, parfum, kosmetik, aromatherapy, dupa, campuran rokok kretek dan lain-lain (Sagala, et al. 1980; Widyastuti, 1989, Fernandez, et.al. 2003). Untuk mendapatkan resin tersebut dilakukan penyadapan dengan cara menoreh kulit pohon dan dipanen setelah 3 bulan setelah penyadapan dan selanjutnya resin dikeringkan. Kegiatan pengeringan ini membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 3 – 4 bulan (Edison, Putra dan Alhamra, 1983). Dengan demikian kegiatan penyadapan kemenyan hingga hasilnya dapat dipasarkan diperlukan waktu 6 - 7 bulan yakni 3 bulan kegiatan penyadapan dan 3 - 4 bulan kegiatan pengeringan sehingga dirasakan oleh petani kemenyan cukup lama untuk mendapatkan hasil dari kegiatannya. Khusus kegiatan pengeringan kemenyan masih tradisional yang memerlukan waktu relatif lama. Pengeringan tidak tidak dapat dilakukan dengan cara menjemur karena kemenyan akan meleleh sehingga dapat menurunkan kualitasnya.
407
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI B. Tujuan Tujuan penelitian ini untuk mengetahui teknik pengeringan kemenyan secara tradisional oleh masyarakat dan kondisi ruang pengeringan yang berpengaruh terhadap penurunan kadar air kemenyan. Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya ada sentuhan teknologi yang dapat mempersingkat pengeringan kemenyan. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian dilaksanakan di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah kemenyan yang dikeringkan dan peralatan yang digunakan adalah termometer ruangan, hygrometer dan moisturemeter. C. Metode 1. Pengamatan teknik pengeringan kemenyan Pengamatan teknik pengeringan mulai persiapan hingga selesai pengeringan serta keadaan ruang pengeringan. 2. Pengamatan dan pengukuran kondisi ruang pengeringan Kemenyan diukur kadar airnya sebelum dikeringkan dan selama dikeringkan diukur kadar airmya setiap minggunya. Di dalam ruang pengeringan ditempatkan thermometer dan hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban ruang pengeringan. Suhu dan kelembaban diukur setap hari pada pukul 07.00; 13.00 dan 20.00. Pengeringan kemenyan dilakukan selama 3 bulan. D. Analisa data Untuk mengetahui hubungan kadar air kemenyan dengan kelembaban dan suhu ruang pengeringan serta lama pengeringan menggunakan persamaan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeld, 1991): Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + β3X3i …………… (1) di mana : Y = kadar air kemenyan pada minggu ke i X1i = lama pengeringan (minggu ke i) X2i = suhu rata-rata ruang pengeringan (minggu ke i) X3i = kelembaban rata-rata ruang pengeringan (minggu ke i) i = 1, 2, 3 ………12 Kondisi ruang pengeringan (suhu dan kelembaban) tergantung iklim sekitar ruang pengeringan/lingkungan sehingga adanya perubahan suhu juga akan mengakibatkan perubahan kelembaban. Dengan demikian variabel kelembaban dihilangkan maka hubungan kadar air dengan suhu ruang pengeringan dan lama pengeringan menggunakan persamaan sebagai berikut : Yi = β0 + β1X1i + β2X2i ………………………. (2) di mana : Y = kadar air kemenyan pada minggu ke i X1i = lama pengeringan (minggu ke i) X2i = suhu rata-rata ruang pengeringan (minggu ke i) i = 1, 2, 3 ………12 Selanjutnya untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan dari 2 persamaan tersebut(1 dan 2), dilakukan uji F dengan hipotesis sebagai berikut : Test hipotesis (persamaan 1 dan 2) H0 : β3 = 0 H1 : β3 ≠ 0 (ESSR – ESSUR)/q F hitung = ESSUR/N – k
408
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Teknik pengeringan secara tradisional Kemenyan yang baru dipanen berbentuk lempengan/bongkahan yang masih lembek dan lengket satu sama lainnya. Agar kemenyan tidak lengket dan keras maka perlu dikeringkan. Kemenyan tidak dapat dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari secara langsung karena kemenyan akan meleleh. Untuk itu masyarakat petani kemenyan menggunakan teknik pengeringan cukup sederhana dan ini merupakan teknik yang sudah lama dilakukan secara turun temurun. Kemenyan yang baru dipanen langsung ditempatkan di atas langit rumah atau gudang yang beratap seng. Setiap 2 hari sekali timbunan kemenyan dibalik dan dilakukan secara terus menerus selama ± 3 bulan. Ciri kemenyan yang sudah kering adalah rapuh dan tidak lengket. Setelah pengeringan selama 3 bulan, kemenyan disortir sesuai kualitas berdasarkan besar kecilnya lempengan/bongkahan dan siap dipasarkan. Kadar air kemenyan kering berkisar antara 2 – 3% (Waluyo, dkk. 2006).
Gambar 1. Ruang pengeringan kemenyan di atas langit-langit gudang penyimpanan B. Laju penurunan kadar air kemenyan Penurunan kadar air kemenyan setiap minggu tercantum pada pada Tabel 1. Kadar air kemenyan sebelum dikeringkan 18.5% dan setelah dikeringkan selama 3 bulan (12 minggu) menjadi 1.4%. Menurut Waluyo, dkk. 2006, kadar air kemenyan di pasaran 2-3%, sedangkan kadar air kemenyan setelah dikeringkan 1.4%. Kadar air kemenyan di pasaran lebih besar dibanding kadar air setelah dikeringkan, hal ini dikarenakan kemenyan yang di pasaran sudah sedikit banyak menyerap air menyesuaikan kondisi lingkungan. Tabel 1. Penurunan laju penurunan kadar air selama pengeringan Minggu Penurunan Laju Penurunan Ke Kadar air (%) Kadar air (%) Kadar air awal 18.5% 1
17.2
1.3
2
10.3
6,9
3
8.1
2.2
4
6.6
1.5
5
5.1
1,5
6
4.4
0,7
7
4
0.4
8
3.2
0.8
9
2.7
0.5
10
2.1
0.6
11
1.7
0.4
12
1.4
0.3
Rata-rata
0.89
409
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 2 laju penurunan kadar air terbesar yaitu 6,9% pada minggu ke 2 dan pada minggu-minggu berikutnya relatif kecil. Rata-rata laju penurunan kadar air per minggu sebesar 0,89%. Kadar air kemenyan mutu I dan II maksimum 10% berdasarkan Standar Industri Indonesia (SII) 2044-87 tentang kemenyan. Dengan demikian lama pengeringan kemenyan mungkin cukup 3 minggu saja karena dengan jangka waktu tersebut kadar air kemenyan sudah mencapai 8,1% (Tabel 1.) di mana dengan kadar air tersebut sudah memenuhi SII 2044-87.
Kadar Air (%)
Penurunan kadar air 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Minggu ke Gambar 2. Grafik penurunan kadar air kemenyan setiap minggu C. Hubungan kadar air dengan lama pengeringan, temperatur dan kelembaban Hasil pengukuran kadar air kemenyan selama pengukuran tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Data pengukuran kadar air kemenyan No.
Kadar air
Minggu
Temperatur ruang
Kelembaban ruang
kemenyan (%)
Ke
pengeringan (0C)
pengeringan (%)
27.3
68.29
18,5 (Kadar air awal) 1
17.2
1
2
10.3
2
27
68.33
3
8.1
3
27.1
68.38
4
6.6
4
29.8
68.52
5
5.1
5
27.8
65.57
6
4.4
6
28.7
65
7
4
7
28.8
68.05
8
3.2
8
27.8
71.95
9
2.7
9
27.2
73.52
10
2.1
10
28.3
67.95
11
1.7
11
29.1
68.76
12
1.4
12
28.4
71.14
28,1
68,8
Rata-rata
410
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Berdasarkan data pada Tabel 2, hubungan antara kadar air kemenyan dengan lama pengeringan, temperatur dan kelembaban ruang pengeringan sebagai berikut : Y = 9,858 - 1,135 X1 - 0,379 X2 + 0,199 X3 ……………. (1) di mana : Y = kadar air X1 = lama pengeringan (minggu ke i) X2 = temperatur X3 = kelembaban Hubungan tersebut di atas merupakan hubungan yang sangat erat berdasarkan sidik ragam pada Tabel 3, di mana F hitung lebih besar dibanding F tabel. Tabel 3. Sidik ragam regresi (1) Df
SS
MS
F
Regression
3
182.2972444
60.7657481
Residual
8
45.10942229
5.63867779
11
227.4066667
Total
F table
10.777
3.59
Pengeringan kemenyan secara tradisional berbeda dengan pengeringan pada umumnya, sebagai contoh pada pengeringan kayu temperatur dan kelembaban ruang pengeringan diatur yang berupa bagan pengeringan sedangkan pengeringan kemenyan tergantung kondisi cuaca/lingkungan. Untuk mengetahui apakah temperatur atau kelembaban yang mempengaruhi penurunan kadar air kemenyan perlu dilakukan uji F terhadap 2 persamaan yaitu persamaan (1) dengan persamaan (2) tanpa memasukkan variabel kelembaban. Persamaan antara kadar air kemenyan dengan lama pengeringan dan temperatur ruang pengeringan sebagai berikut : Y = 30,081 - 1,057 X1 - 0,628 X2 ………….. ……………. (2) di mana : Y = kadar air X1 = lama pengeringan (minggu ke i) X2 = temperatur Tabel 4. Sidik ragam regresi (2) Df
SS
MS
Regression
2
180.6298128
90.31491
Residual
9
46.77685385
5.197428
Total
11 227.4066667 Test hipotesis (2 persamaan) sebagai berikut : Ho : β2 = 0 H1 : β2 ≠ 0 Maka : (ESSR – ESSUR)/q F hitung = ESSUR/N – k (46,7769 – 45,1094)/1 F hitung =
F hitung =
45,1094/12 – 4 1,6675 5,6387 = 0,296
F hitung = 0,296 < F tabel = 5,32
411
F 17.38
F table 3,98
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Berdasarkan hasil uji F tersebut di atas, maka terima Ho yang berarti variabel kelembaban ruang pengeringan kemenyan tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar air kemenyan. Dengan demikian penurunan kadar air kemenyan dipengaruhi oleh lama pengeringan dan temperatur ruang pengeringan dengan persamaan (2) yaitu Y = 30,081 - 1,057 X1 - 0,628 X2 Dengan menggunakan persamaan (2) tesebut di atas, lama pengeringan 2 minggu dengan suhu ruang pengeringan 270C (Tabel 2) maka akan didapat kadar air kemenyan sebesar 30,081 – (1,057) (2) – (0,628)(27) = 11,01%. Selanjutnya bila lama pengeringan 3 minggu dengan suhu ruang pengeringan 27,1 0C maka akan didapat kadar air kemenyan sebesar 30,081 – (1,057)(3) – (0,628)(27,1) = 9,89%. Hal ini berarti dengan penambahan lama pengeringan 1 minggu akan menurunkan kadar air kemenyan sebesar 11,01% - 9,89% = 1,12%. Kemenyan mengandung senyawa-senyawa asam sinamat, asam benzoat, stirol, vanilin, styracin, koniferil benzoat dan resin yang terdiri dari benziresinol dan suma resinotannol. Kandungan senyawa terbanyak dalam kemenyan adalah asam sinamat (C6H5CH= HCOOOH) (Sagala, et al. 1980). Asam sinamat merupakan senyawa organik tentunya mempunyai gugus hidroksil (OH) dan apabila terjadi reaksi akan membentuk air (H2O). Sebagai contoh, bahwa kemenyan dapat dibuat asam sinamat. Dengan menggunakan reaksi Perkin’s yaitu : Asam sinamat dapat diperoleh dengan memanaskan benzal dehida dan natrium asetat anhidrat, asam asetat anhidrat dengan penambahan beberapa tetes piridin sebagai katalis. Reaksinya sebagai berikut : (CH3CO)2O C6H5CHO + CH3COOHNa C6H6CH (OH) CH2 COONa C6H5CH = CHCOONa + H2O Berdasarkan hal tersebut di atas, kemenyan selama dikeringkan akan menangkap senyawa-senyawa yang bersifat garam sehingga terjadi reaksi dan terbentuklah air, selanjutnya air tersebut menguap selama pengeringan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Teknik pengeringan kemenyan secara tadisional oleh masyarakat cukup sederhana dengan menyimpan kemenyan di atas langit-langit rumah/gudang yang beratap seng selama 3 bulan. Laju penurunan kadar air kemenyan tertinggi terjadi pada lama pengeringan 2 minggu yaitu 6,9% dan rata-rata laju penurunan kadar air kemenyan per minggu 0,89%. Penurunan kadar air kemenyan tidak dipengaruhi oleh kelembaban udara ruang pengeringan. Penurunan kadar air kemenyan dipengaruhi oleh lama pengeringan dan temperatur ruang pengeringan dengan persamaan Y = 30,081 - 1,057 X1 - 0,628 X2 Pengeringan kemenyan membutuhkan waktu yang cukup lama (3 bulan), maka diperlukan teknik pengeringan yang relatif lebih cepat sehingga masyarakat petani kemenyan dengan segera dapat memasarkannya. DAFTAR PUSTAKA Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1987. Standar Industri Indonesia (SII) 2044-87. Kemenyan. Jakarta. Dinas Perkebunan Sumatera Utara. 2008. Statistik Perkebunan Tahun 2005. http : www.disbun.sumutprov.go.id. Diakses tgl 13 Desember 2008. Edison, DT.; M. Putra dan Alhamra. 1983. Pengembangan Kemenyan. Departemen Perindustrian. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Medan. Fernandez, X.; L. L. Cuvelier; A. M. Loiseau; C. Perichet and C. Delbecque. 2003. Volatile constituents of benzoin gums: Siam and Sumatra. Part I. Flavour Fragr. J. 18:328-333. Kashio, M. and D. V. Johnson. 2001. Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from Styrax Species. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok. RAP. Publication : 2001/21. Lopez, C. dan P. Shanley. 2005. Kekayaan Hutan Asia : Makanan, Rempah-rempah, Kerajinan tangan dan Resin. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Pauletti, P.M.; H. L. Teles; D. H. S. Silva; A. R. Araujo and V. S. Bolzani. 2006. The Styracaceae. Braz. J. Pharmacogn. 16(4):576-590 Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. McGraw-Hill, Inc. New York, St.Louis, San Fransisco, Auckland, Bogota, Caracas, Lisbon, Madrid, Mexico City, Milan, Montreal, New Delhi, San Juan, Singapore, Sydney, Tokyo and Toronto.
412
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sagala, M.; E. Tarmiji dan H. Harja. 1980. Percobaan Pembuatan Asam Sinamat. Komunikasi. Departemen Perindustrian. Balai Penelitian Kimia. Medan. Waluyo, T.K.; P. Hastoeti dan T. Prihatiningsih. 2006. Karakterstik dan sifat fisiko-kimia berbagai kualitas kemenyan di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 24 (1) : 47-61. Widyastuti, W. 1989. Perkembangan Aromatherapy. Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Litbang Tanaman Industri. Caringin, Bogor 25 -27 Juli 1989 Lampiran 1. Sidik ragam persamaan (1) SS
MS
F
Regression
Df 3
182.2972444
60.7657481
10.777
Residual
8
45.10942229
5.63867779
11
227.4066667
Total
Coefficients
Significance F 0.003494262
Standard Error
t Stat
P-value
Intercept
9.858608
44.21889065
0.22295013
0.8292
X Variable 1
-1.13501
0.25833668
-4.3935186
0.0023
X Variable 2
-0.37857
0.981729879
-0.3856142
0.7098
X Variable 3
0.199548
0.366953645
0.5437952
0.6014
Lampiran 2. Sidik ragam persamaan (2) df
SS
MS
Regression
2
180.6298128
90.31491
Residual
9
46.77685385
5.197428
11
227.4066667
Total
Coefficients
Standard Error
t Stat
F
Significance F
17.3768454
0.000811942
P-value
Intercept
30.0812629
22.96896317
1.309648
0.22275772
X Variable 1
-1.0565122
0.205693914
-5.13633
0.00061432
X Variable 2
-0.6278304
0.833491473
-0.75325
0.470542093
413
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
POTENSI ZINGIBERACEAE DI HUTAN PINUS (Pinus merkusii Jungh.&de Vriese) BKPH MAJENANG, BANYUMAS BARAT SAEFUDIN1) DAN EFRIDA BASRI2) 1)Puslit Biologi - LIPI, Bogor, 2)Puslitbang Ketektikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor ABSTRAK Telah dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data potensi Zingiberaceae sebagai bahan obat, bahan pewarna makanan dan aroma penyedap masakan di desa sekitar hutan produksi pinus BKPH Majenang, Banyumas Barat. Sebanyak 5 marga yaitu Alpinia, Ammomum, Curcuma, Kaempferia, dan Zingiber telah dibudidaya oleh masyarakat ataupun tumbuh liar di bawah tegakan pohon yang menjadi komponen pengelolaan hutan pinus secara berkelanjutan. Keunggulan utama kelima marga tersebut adalah kemampuan tumbuhnya yang baik di bawah tegakan pohon maupun pada tempat terbuka, mudah perawatan dan bernilai ekonomi tinggi. Masyarakat lokal memanfaatkan beberapa jenis Zingiberaceae sebagai bumbu masakan, aroma, pewarna alami, bahan obat serbaguna,dan pengobatan tradisional. Banyak jenis Zingiberaceae tersebut berpotensi sebagai antioksidan dan imunomodulator alami, karena senyawa kimia yang dikandungannya. Kata kunci: Zingiberaceae, pengelolaan berkelanjutan, antioksidan, imunomodulator PENDAHULUAN Pertambahan jumlah penduduk dan alih fungsi lahan pertanian di desa hutan meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya hutan produksi. Masyarakat pemukim di sekitar hutan berupaya memanfaatkan lahan hutan produksi sebagai pengganti lahan pertanian untuk kebutuhan pangan. Upaya ini harus diarahkan, karena pengelolaan lahan harus didasarkan pada perbaikan lingkungan, tanpa mengakibatkan fungsi lahan hutan produksi menjadi terancam. Model pemanfaatkan lahan oleh masyarakat ini harus direspon melalui rencana program yang terencana dan nyata. Pemanfaatan hutan dengan cara menjarah seperti penebangan liar, penjarahan, penggembalaan dan sebagainya harus diubah dengan program yang mendukung lingkungan menjadi berkualitas (Riyanto, 2005). Pencegahan harus ditingkatkan melalui program pengelolaan yang bijaksana tanpa merugikan masyarakat di sekitar desa hutan. Kebijakan Perum Perhutani tentang pengelolaan upaya melestarikan fungsi hutan dengan mengikutsertakan masyarakat melalui program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dinilai sangat tepat. Program ini memberi harapan baru dalam upaya melestarikan fungsi hutan yang akhirnya mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Zingiberaceae atau jahe-jahean digunakan sebagai pilihan strategis dalam memanfaatkan sumberdaya tumbuhan untuk pembangunan hutan produksi secara berkelanjutan. Program pemberdayaan tersebut dapat diketahui dampaknya melalui dua cara, yaitu cara tradisional bagi kepentingan masyarakat dan dampak ilmiah terhadap pelestarian hutan. Pengalaman tradisional masyarakat lokal menjadi dasar pemanfaatan Zingiberacea dilanjutkan dengan pembuktian ilmiah. Pemanfaatan Zingiberaceae masih perlu dilakukan penilaian ekonomi sehingga konsep pembangunan hutan produksi lestari dapat diterapkan secara formal dalam pengelolaan hutan produksi. Lingkungan hutan produksi pinus, jati dan mahoni di BKPH Majenang, Banyumas Barat diduga memiliki banyak manfaat bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui potensi jenis-jenis Zingieraceae dalam pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Tujuan secara khusus adalah mengetahui partisipasi masyarakat lokal dalam memanfaatkan potensi Zingiberaceae dan kaitannya dengan pengelolaan hutan, dan produksi berkelanjutan di BKPH Banyumas Barat.
414
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI BAHAN DAN METODA Survey lapang dilakukan di enam desa Ciporos, Sidamulya, Cilempuyang, Kutabima, Ujungbarang dan Cilopadang, Kabupaten Cilacap pada bulan Agustus – Oktober 2010. Data primer diperoleh langsung dari pembudidaya dan pengguna Zingiberaceae yang menjadi objek dalam penelitian tersebut. Masing-masing responden ádalah anggota lembaga masyarakat desa hutan (LMDH). Sejumlah 24 petani pembudidaya dan pengguna Zingiberaceae diminta keterangan dan pengalamannya terkait pengelolaan hutan produksi berkelanjutan di desa masing-masing. Karakteristik responden terpilih adalah anggota keluarga kelompok tani desa hutan yang biasa membudidaya, memanfaatkan dan mengkonsumsi Zingiberaceae untuk masakan, pengobatan tradisional, pemeliharaan kesehatan, maupun hasil Zingiberaceae untuk dijual atas dasar pesanan. Cara-cara mengkonsumsi, pengambilan bahan tumbuhan obat, pembudidayaan dan cara meracik bahan Zingiberaceae sebagai obat dicatat sebagai dokumen. Setelah melalui tahapan orientasi dan eksplorasi dilakukan pengecekkan kebenaran data dari informan, terutama data budidaya, pemanfaatan, dan data kependudukan. Partisipasi masyarakat dapat diketahui dari aktivitas petani hutan dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), dan pemerintah daerah. Data pengelolaan dan dampaknya terhadap hutan produksi diperoleh melalui Perum perhutani. Data pemanfaatan Zingiberaceae, cara mengkonsumsi dan meracik bahan dibandingkan dengan studi pustaka. Manfaat program bagi masyarakat diukur dari pendapatan rumah tangga. Pendapatan rumah tangga yang digunakan adalah analisa biaya, analisa penerimaan dan analisa pendapatan. Sedangkan Kontribusi pendapatan terhadap pendapatan rumah tangga pertahun dan pendapatan perkapita pertahun dengan 320 Kg setara beras. Keberhasilan program pengelolaan program dapat diukur dari dampaknya terhadap kematian pohon hutan, keberlanjutan program dan kelestarian hutan produksi. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem Polikultur Budidaya Zingiberaceae di desa hutan tidak terpisahkan dengan pembangunan hutan produksi. Kegiatan rutin yang dilakukan oleh sebagian besar petani hutan pada dasarnya merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan individu ataupun kelompok sosial. Perhutani dan Pemerintah Daerah menfasilitasi melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program dimulai dari perencanaan di tingkat desa oleh kelompok tani hutan yang fasilitasi oleh Perhutani. Pemberdayaan masyarakat desa hutan difasilitasi oleh PNPM Mandiri di tingkat Pemerintahan Kecamatan. Evaluasi program dilaksanakan oleh masing-masing, bersama lembaga masyarakat desa hutan. Sistem polikultur dimulai dengan penyediaan jenis pupuk dan bibit tanaman Zingiberaceae, bibit ikan, ternak ayam, kambing dan sapi disiapkan melalui kedua program tersebut. Sistem polikultur Zingiberacea dilaksanakan bersama umbi-umbian, palwija dan tanaman pangan lainnya, dan jenis pohonya adalah pinus, jati dan mahoni. Rancangan budidaya Zingiberaceae ini dimulai pasca peremajaan pohon pinus, mahoni dan jati atau awal pembukaan dan perluasan lahan baru. Produksi rata-rata Zingiberaceae dengan pola ini berkisar 4 sampai 7 ton per ha, bergantung pada jenis tanaman, dan pola tanamnya. Sistem ini dirancang sampai umur 3 atau 4 tahun. Sedangkan sistem kandang ternak kambing dan sapi serta budidaya ikan dilaksanakan di dekat rumah tinggal masyarakat desa hutan. Pengembangan tanaman obat Zingiberaceae secara polikultur cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat dari peran aktif masyarakat yang terlibat. Dari enam desa penelitian dijumpai 21 petani menanam Zingiberaceae dengan motivasi kemanfaatan dan keserbagunaan jenis-jenis Zingiberaceae. Peran aktif masyarakat dalam berbagai forum dan pelatihan menumbuhkan aktifitas positif dalam budidaya Menurut Mochtar Lubis (1992), Kumur (2002), dan Riyanto (2005), aktivitas individu dalam kegiatan sosial masyarakat di desa hutan sangat menentukan keberhasilan pembangunan hutan Indonesia
415
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Kelayakan ekologi/lingkungan, kelayakan pendapatan (ekonomi), dan kelayakan sosial menjadi pertimbangan dalam budidaya Zingiberaceae. Hutan produksi harus dikelola dan dijaga agar tetap lestari, tanah terjaga kesuburan, dan harus dikondisikan agar tidak terjadi erosi (Eming Sudiana, 2009). Secara ekonomi hutan produksi harus dapat menghasilkan nilai pendapatan dan manfaat (perolehan) yang tinggi bagi masyarakat secara berkelanjutan (Riyanto, 2005). Dengan cara tersebut, program Perhutani dan Pemerintah Daerah terbukti mampu sebagai penyedia lapangan kerja bagi masyarakat sekitar desa hutan. Basis pola tanam hutan produksi BKPH Majenang yaitu pola tanam berbasis tanaman pinus, mahoni dan jati bersama tanaman obat serbaguna, tanaman semusim, kang tanah, kacang panjang, pasi gogo, ubi-ubian dan pisang. Pemilihan komoditi tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepemilikan bibit tanaman yang ada di masyarakat. Adanya tumbuhan bawah ini pohon pinus, jati dan mahoni menjadi lebih terkontrol. Penggantian pohon yang mati segera diganti dan diketahui penyebabnya. Batasan waktu yang relatif singkat yaitu 3-4 tahun dirasakan petani terlalu singkat, sehingga dijumpai petani yang tetap bertahan sampai penjarangan tanaman dilakukan. B. Zingiberaceae potensial Sektor ekonomi utama di hutan produksi BKPH Majenang adalah getah pinus dan kayu pinus, sebagian lainnya adalah kayu jati dan mahoni. Kegiatan ekonomi prospektif lainnya adalah sistem usahatani polikultur di bawah tegakan pohon yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan. Beberapa jenis komoditi, misalnya tanaman pangan seperti ubi-ubian lokal, padi gogo, pisang dan tanaman obat-obatan khususnya Zingiberaceae atau jahe-jahean. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) mengelola program tersbut, dan kelompok petani hutan (KTH) bertindak sebagai ujung tombak pelaksanaanya. Marga Amomum, Alpinia, Curcuma, Kaempferia dan Zingiber dibudidaya secara intensif dan cukup luas oleh banyak petani hutan. Beberapa jenis penting adalah Amomum cardomomum Wild, Curcuma domestica Val. Dan Zingiber officinale Roxb dijual berdasarkan pesanan. Jenis-jenis lain yaitu Alpinia galanga L., Curcuma zedoaria Berg.Rosc.dan Etlingera elatior L dijual bebas ke pasar atau pengepul dan tengkulak. Beberapa jenis Zingiberaceae lain yaitu: Alipinia officcinarum Hance, Boesenbergia, C. Xanthoriza Roxb, C. Xanthoriza Roxb dimanfaatkan oleh masyarakat lokal, tetapi belum dibudidaya dan tumbuh liar di bawah tegakan hutan produksi. Beberapa anggota kelompok tani telah mulai membudidaya Zingiber officinale (jehe merah) secara monokultur dan intensif dalam pot. Sebanyak 17 jenis, dari lima marga paling sering dijumpai di enam desa penelitian, tetapi diyakini lebih banyak lagi jenis yang tumbuh liar di hutan produksi. Meskipun tidak semua jenis ditanam secara luas di bawah tegakan pohon, tetapi masyarakat telah memanfaatkan Zingiberaceae dari sumbet hutan produksi untuk keperluan pengobatan dan masakan tradisional. Beberapa jenis yang sering dimanfaatkan adalah Alpinia sp, Amomum sp, C. heyneana Vahl (temu-giring) dan C. xanthoriza (temu-lawak), K. angustifolia Rasc. (temu rapet=kunyit menir), K. galanga (kencur) dan Z. cassummunar Roxb (bengle). Jenis lainnya Boesenbergia rotunda L mulai dibudidaya di halaman rumah tapi tidak secara luas. Beberapa jenis penting antara lain: Alpinia galanga L. Alpinia galanga L. (lengkuas) adalah tumbuhan berimpang tumbuh di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Masyarakat memanfaatkannya sebagai campuran bumbu masak dan pengobatan tradisional. Rimpang dimememarkan kemudian dicelupkan begitu saja ke dalam campuran masakan. Pemmanfaatan untuk pengobatan tradisional adalah jenis lengkuas merah Alpinia purpurata K Schum, antara lain untuk obat : sakit perut, penyakit kulit, rematik, dan sakit kepala. Cara pemanfaatkannya dengan merebus dan meminum, mengoleskan atau menggosok dan sering diramu dengan bahan lain seperti bawang putih. Ekstrak etanol Alpinia galanga (lengkuas) telah terbukti menunjukkan potensi sebagai antioksidan alami (senyawa yang berpotensi melawan kelebihan oksidasi) dalam produk makanan. A. galanga mengandung senyawa fenolik dan ACA (1-acetotoxychavicol asetat) semacam zat antitumor yang baunya ringan, tidak menyengat dan baik untuk variasi produk makanan (Nopparat M. dan S. Chaiseri, 2009).
416
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Amomum cardamomum Willd Kapolaga adalah nama umum jenis tumbuh dari suku jahe-jahean ini. Marga Amomum ini terutama dikenal karena menghasilkan aneka jenis pengganti kapolaga. Selain itu, beberapa jenisnya menghasilkan buah yang dimakan segar, atau dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lain disebutkan bahwa tanaman ini memiliki sifat; Rasa agak pahit, hangat. Penurun panas, anti tusif dan anti muntah. obat batuk. Kapulaga juga memiliki khasiat untuk mencegah keropos tulang (Katzung, BG. 1995). Kandungan kimia yang sudah diketahui antara lain: minyak terbang: sineol, terpineol dan alfaborneol, beta kamper, sebinena, mirkena, mirtenal, karvona, terpinil asetat, dan kersik. - protein, gula, lemak dan silikat (Departemen kesahatan RI. 1995). Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe Tanaman jenis ini penggunaan rhizomanya sebagai tanaman obat dan minuman telah lama dikenal. Manfaat produk alaminya banyak digunakan dalam industri parfum, pewarna untuk industri pangan, dan sebagai obat atau campuran obat. Kelompok masyarakat desa hutan membudidaya kunyit putih ini di sela-sela tanaman pinus dan jati muda untuk memenuhi pesanan pasar. Bagi masyarakat tanaman ini khasiatnya bermacam-macam, biasanya terkait dengan pencernaan. Ros Sumarny (2006) melaporkan, bahwa kelompok senyawa aktif sebagai anti-proliferasi sel tumor adalah gweikurkulakton (seskuiterpen lakton), membunuh sel tumor melalui mekanisme apoptosis serta meningkatkan fagositosis. Masyarakat di sekitar hutan rimpangnya dipakai sebagai obat kudis, radang kulit, pencuci darah, perut kembung, dan gangguan lain pada saluran pencernaan serta sebagai obat pembersih dan penguat (tonik) sesudah nifas Jenis-jenis Curcuma heyneana Valeton & Zijp., C. aeruginosa Roxb. dan C. longa L diketahui sebagai anti ghaut karena mampu menurunkan kadar asam urat melalui aktivitas inhibitor santin oksidase oleh ekstrak rimpang kering dan segar. Manfaat lainnya adalah bahwa temu putih juga bersifat antitumor, hepatoprotektif, anti-peradangan, dan analgesik. Komponen minyak atsiri dari rimpangnya terdiri dari turunan Guaian (kurkumol, kurkumenol, Isokurkumenol, Prokurkumenol, Kurkurnadiol), turunan Germakran (Kurdion, Dehidrokurdion); seskuiterpena furanoid dengan kerangka eudesman (Kurkolon). Kerangka Germakran (Furanodienon, Isofuranodienon, Zederia, Furanodien, Furanogermenon); kerangka Eleman (Kurserenon identik dengan edoaron, Epikurserenon, Isofurano germakren); Asam4-metoksi sinamat (bersifat fungistatik). (Miachir at al., 2004). Boesenbergia rotunda L. Nama daerah tumbuhan ini temu kunci tumbuh liar di bawah pohon pinus, jati dan mahon. Masyarakat membudidaya dalam sistem polikultur karena dapat tumbuh di bawah naungan yang cukup teduh. Secara tradisional, rimpang kunci pepet ini digunakan sebagai obat sakit perut dan disentri. Umbi-umbinya yang kecil dan berair mempunyai khasiat mendinginkan sebagai bedak pengharum tubuh. Sebagian masyarakat juga memamfaatkan temu kunci sebagai bahan makanan sayur atau lalapan. Selain dipergunakan untuk obat-obatan, tumbuhan ini juga dapat digunakan untuk kosmetik. Rimpang dan umbinya yang didestilasi dapat menghasilkan minyak atsiri yang mengandung sineol, zat yang berbau kamper. Karena daunnya indah, tumbuhan ini digunakan oleh masyarakat untuk tanaman hias dalam pot. Etlingera elatior (Jack) R.M.Smith Nama daerahnya adalah kecombrang atau bunga honje. Manfaatnya terutama sebagai bahan campuran atau bumbu penyedap berbagai macam masakan. Kuntum bunga ini sering dijadikan lalap atau direbus lalu dimakan bersama sambal. Kecombrang yang dikukus juga kerap dijadikan bagian dari pecel dan gado-gado, dan bagian dari masakan laksa. Kecombrang atau honje juga dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara: menggosokkan langsung batang semu honje ke tubuh dan wajah atau dengan mememarkan pelepah daun honje hingga keluar busa yang harum yang dapat langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit, termasuk campak. berdasarkan metode Weil dan pengaruh terhadap histologi hati, ginjal,
417
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI lambung, dan usus. Penelitian ini dilakukan menggunakan mencit jantan galur ddY, umur 2-3 bulan Pada pengamatan histologi ekstrak etanol bunga kecombrang menimbulkan efek toksik pada organ hati berupa perdarahan dan pelebaran vena sentralis, pada organ ginjal yang berupa sklerotik, degenerasi hidropik dan nekrosis, pada organ lambung berupa udem, pada organ usus yang berupa kerusakan epitel dan membran mukosa. Kaempferia rotunda L. K. rotunda sering disebut temu kunci berasal dari wilayah Indocina, namun didapati menyebar secara alami di Asia mulai dari India, Srilangka sampai Indonesia (Nugroho, B., 1996); Valeton (1931). Ia berpendapat bahwa temu rapet belum lama dibudidayakan dari abad ke-20, karena tumbuhan ini tidak tercantum dalam buku Rumphius. Padahal, jika pada waktu itu tumbuhan ini sudah dikenal di Jawa, pastilah tumbuhan ini sudah ada di buku Rumphius (Priya Mohanty J., L. K. Nath, Nihar Bhuyan & G. Mariappan. 2008) Kaempferia rhiroma, adalah jenis lain yang tumbuh liar dan dimanfaatkan sebagai obat tradisional masyarakat di desa hutan. Kandungan kimia yang terdapat di dalam rimpang kencur K rhizoma adalah pati (4,14%), mineral (13,73%), dan minyak astiri (0,02%) berupa sineol, asam metal kanil dan penta dekaan, asam cinnamic, ethyl aster, asam sinamic, borneol, kamphene, paraeumarin, asam anisic, alkaloid, dan gom. Senyawa sejenis terpenoid ditemukan pada beberapa jenis Kaenferia pandurata dan Curcuma pandurata. Senyawa ini bermanfaat sebagai antioksidan nabati (Kumar, 2002; Ros Sumarni, 2006; Lia Muadah, 2912). Kedua jenis ini ditemukan tumbuh liar di bawah tegakan pohon hutan pinus dan jati di BKPH Majenang, Banymas Barat. Zingiber officinale Roxb Rimpang jahe merah, terutama yang dipanen berdasarkan pesanan. Pada umur panen yang masih muda tidak bertahan lama disimpan di gudang. Untuk itu diperlukan pengolahan secepatnya agar tetap layak dikonsumsi. Untuk mendapatkan rimpang jahe yang berkualitas, jahe dipanen pada umur tidak terlalu muda juga tidak terlalu tua. Jahe segar dipasarkan dalam bentuk olahan jahe, juga dipasarkan dalam bentuk jahe segar, yaitu setelah panen, jahe dibersihkan dan dijual kepasaran. Terdapat beberapa hasil pengolahan jahe yang dipasarn, yaitu: jahe kering, awetan jahe, jahe bubuk, minyak jahe, dan oleoresin jahe. Jahe kering merupakan potongan jahe yang dikeringkan dengan irisan memotong serat irisan tipis (digebing). Jenis ini sangat populer di pasar tradisional. Awetan jahe adalah hasil pengolahan tradisional dari jahe segar. Jajanan yang paling sering ditemui di pasaran adalah, tingting jahe (permen jahe), acar, asinan, sirup, dan jahe instan. Zingiber Officale Roxb yang memiliki kandungan Zingiberol, Zingiberene, Phellandrene, Curcumene, Borneol, Champhene, Citral, Garanial, Galanolactone, Furanogermenone, Pipecolic Acid, Aspartic Acid, Glutamic Acid, dll. Senyawa fenol yang dikandung jenis Z. officinale digunakan sebagai anti rematik dan ramuan penurun kolesterol. Senyawa ini juga digunakan untuk mencegah infeksi pada luka local (Windholz, 1976). Total jenis Zngiberaceae potensial berjumlah lebih kurang 17 jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam pengobatan tradisonal, bumbu ataupun sebagai bahan baku obat. Tanaman obat lain yang dibudidaya sebagai bahan obat bukan Zingiberaceae adalah yanaman penghasil minyak atsiri, seperti minyak kayu putih. nilam, cengkeh dan sereh. Tanaman tersebut dibudidaya sebagai pesanan dari pengumpul untuk bahan baku obat dan jamu-jamuan. Hasil rekapitulasi total pendapatan bertani Zingiberaceae berkisar Rp408,00-750.000,-. Dari hasil tambahan petani desa hutan tersebut menunjukkan bahwa program PMDH cukup berjalan dengan baik. Hal ini juga dapat dilihat dari pendapatan yang berasal dari program PMDH yang menyumbang pendapatan rumah tangga total sebesar 66,01 %. Rata-rata pendapatan total sebesar Rp. 2.830.573,20. Dengan rata-rata pendapatan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang terlibat dalam program PMDH ini sejahtera. Keberhasilan program PMDH tidak hanya dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan tetapi juga dilihat dari kelestarian hutannya. Kelestarian hutan dapat diukur salah satunya dari prosentase tumbuh tanaman. Dari pengamatan di lapang, prosentase tumbuh tanaman ratarata mencapai 90,125 %. Hal ini berarti bahwa kualitas lingkungan hidup adalah baik. Banyak jenis Zingiberaceae mengandung minyak atsiri dalam rimpangnya yang bermanfaat bagi masyarakat local di sekitar hutan. Selain bahan baku obat-obatan, manfaat lainnya adalah , bumbu masakan, pewarna alami,
418
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI tanaman hias dan obat tradisional (Departemen kesahatan RI, 1995; Ros Sumarny. 2006; Nopparat M. and S. Chaeseri. 2009). Masyarakat Cina zaman dahulu menggunakan rimpang dari temu-temuan ini sebagai obat gangguan pencernaan, hepatitis, penyakit kuning, diabetes, arterosklerosis, dan infeksi bakteri (Katzung, 1995; Farnsworth, 1990 dan Chairul, 2002). Rimpang Zingiberaceae digunakan untuk penyedap rasa makanan, terutama di Asia Tenggara. Karakteristik aromatik, khususnya jenis Alpinia galanga digambarkan sebagai kayu, mint dan bunga. Rimpang yang memiliki minyak esensial menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri gram positif, ragi, dan dermatofit. Senyawa yang paling aktif adalah terpinen-4-ol (Verma, R. K.; Mishra, G.; Singh, P. dan Khosa R. L. 2011). C. Bioprospeksi Zingiberaceae Potensi Zingiberaceae dalam kehidupan masyarakat lokal akan terus-menerus, berkelanjutan sepanjang masa. Perkembangan dan prospek selanjutnya tergantung pada jumlah dan jenis senyawa kandungannya. Potensi Zingiberaceae di desa hutan juga berfungsi sebagai bahan pangan karena senyawa kandungan warna dan aroma yang mengandung selera paling dominan. Potensi Zingiberaceae dalam kesehatan dan pertahanan tubuh terutama kerana. antioksidan yang diperoleh dari enzim-enzim superoksida dismutase (SOD), glutathione peroxidase (GPX), katalase (CAT), dan glutathione (GSH), dan dapat diperoleh dari asupan makanan atau suplemen, seperti vitamin C, vitamin A, tokoferol, dan β-karotene. Vegetasi hutan produksi berfungsi untuk konservasi dan produksi kayu, tetapi bermanfaat juga dalam industri karena mengandung senyawa-senyawa polifenol, selulosa, lignin, tanin, dan resin. Potensi lahan di bawah tegakan hutan adalah produsen bahan obat-obatan dan agrokimia. Zingiberaceae dan tanaman obat lainnya karena mengandung material sain seperti senyawa-senyawa alkaloid, terpen-terpen, flavonoid dan senyawa lainnya. Variasi dan komposisi senyawa-senyawa tersebut yang menjadikan sumberdaya hayati Zingiberaceae dan vegetasi hutan produksi bernilai ekonomi. Di lain pihak karena nilai ekonomi itu pula yang memicu kerusakan sumberdaya hutan karena dimanfaatkan atau dieksploitasi secara berlebihan. Bioprospeksi yang memandang bahwa seluruh sumberdaya hayati dan organnya memiliki potensi dan prospek strategis dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Hutan produksi harus dilindungi melalui pengelolaan yang berkelanjutan karena memiliki fungsi ekologis dan ekonomi. Kedua fungsi tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan strategis memanfaatkan hasil hutan. Prioritas ekonomi seperti yang dilakukan selama ini dalam pengelolaan hutan justru telah mengakibatkan biaya ekonomi tinggi dalam menanggulangi berbagai efek ekologis yang timbul. Bioprospeksi dipandang efektif digunakan dalam pengelolaan sumberdaya hayati apabila dapat menerapan manajemen berwawasan lingkungan dan bernilai ekonomi yang berkelanjutan. Hasil rekapitulasi total menunjukkan bahwa budidaya Zingiberaceae dalam program PMDH cukup berjalan dengan baik. Hal ini juga dapat dilihat dari Pendapatan yang berasal dari program budidaya Zingiberaceae yang mampu menyumbang pendapatan rumah tangga, kisaran tambahan pendapatan sebesar antara Rp 1-1,2 juta per panen. Perolehan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang terlibat dalam program PMDH cukup menikmati hasil. Keberhasilan program PMDH tidak hanya dilihat dari tingkat pendapatann masyarakat sekitar hutan tetapi juga dilihat dari kelestarian hutan produksinya. Kelestarian hutan dapat diukur dari prosentase tumbuh tanaman, kesuburan dan produktivitas lahan. KESIMPULAN Sistem polikultur Zingiberaceae di hutan produksi pinus menghasilkan pendapatan dan manfaat (perolehan) yang tinggi bagi masyarakat di desa hutan. Sistem ini terbukti mampu sebagai penyedia lapangan kerja, memlihara tanaman hutan dan berdampak positf erhadap pengelolaan hutan produksi. Zngiberaceae potensial berjumlah lebih kurang 17 jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai tanaman serbaguna dalam pengobatan tradisonal, bumbu masakan penyedap rasa, pewarna alam ataupun sebagai bahan baku obat. Zingiberaceae mengandung akaloid, terpen-terpen, flavonoid, fenolik dan ACA (1-acetotoxychavicol asetat) dan senyawa lainnya yang penting sebagai antioksidan, bahan imunomodulator dan zat anti tumor.
419
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sumberdaya hayati Zingiberaceae dan organnya memiliki potensi dan prospek strategis dalam pengelolaan hutan produksi. karena memiliki fungsi ekologis dan ekonomi. Kedua fungsi tersebut menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan program memanfaatkan hasil hutan. DAFTAR PUSTAKA Chairul, 2002. Pendayagunaan Sumber Daya Nabati Dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat Menuju Indonesia Sehat 2010. Berita Iptek. LIPI Press. Hal 71-82 Departemen kesahatan RI. 1995. Materi Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. XI. Hal. 57. Eming Sudiana, 2009, Pengelolaan Hutan Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Ciamis. Jurnal Agritek Vol. 17 No. 3. IPB, Bogor. Hal. 27-33. Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal 1345-1358. Priya Mohanty J., L. K. Nath, Nihar Bhuyan & G. Mariappan. 2008. "Evaluation of antioxidant potential of Kaempferia rotunda Linn.". Indian Journal of Pharmaceutical Sciences 70 (3): 362–364. Katzung, BG. 1995. Basic and Clinical Pharmacology 6 th. Ed. Practice-Hall International Inc. p 858-878. Kumar, S. 2002. Methods for Community Participation: A Complete Guide for Practitioners, ITDG, London. Pp 27. Lia Muadah, 2912. Uji Aktivitas Imunomodulator Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) Dan Ekstrak Rimpang Kunci Pepet (Kaempferia angustifolia Rosce) Melalui Pengukuran Aktivitas Dan Kapasitas Fagositosis Sel Macrofage Peritonium Mencit Secara Invitro. Skripsi UHAMKA, Jakarta. Miachir JI, Romani VLM, Amaral AFC, Mello MO, Crocomo OJ, Melo M. 2004. Micropropagation and callogenesis of Curcuma zedoaria Rosc. Sci Agric 61(4): 427-432. Nopparat Mahae and Siree Chaeseri. 2009. Antioksidant Activities and Antioxidative Component in Extracts of Alpinia galangal l(L) Sw. Kasetsart J. Bangkok. Thailand. (Nat. Sci.) 43: 358-369. Nugroho, Bambang W. et al. (1996). "Insecticidal constituents from rhizomes of Zingiber cassumunar and Kaempferia rotunda". Phytochemistry 41 (1): 129–132. Riyanto, B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dlm Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam, Bogor, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan.172p. Ros Sumarny. 2006. Karakterisasi Kimiawi dan Aktivitas Antiproliferasi Sel Lestari Tumor Serta Aktivitas Fagositosis Secara In-vitro Dari Fraksi Bioaktif Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria Chist. Roscoe). Thesis Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Trakranrungsie, N. A. Chatchawanchonteera, W. Khunkini. 2008. Research in Veterinary Science. 81(1) p. 80-84. Verma, R. K., G. Mishra, P. Singh, K.K., Jha & R. L. Khosa. 2011. Pelagia Research Libtary. Der Prahmacia Sinica. India. P 142-154. Windholz, M. 1976. The Merck Index, An Encyclopedia of Chemicals and Drugs. Ninth Ed. Merck Co. Inc. USA.
420
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI LAMPIRAN Tabel potensi dan pemanfaatan Zingiberaceae Domestikasi
Jenis Potensial
Manfaat
Dibudidaya intensif
Amomum cardomomum, Zingiber officinale Alpinaia galanga, Curcuma xantorhiza Kaempferia galangal L. Zingiber sp, dan Zingiber officinale
Obat, makanan, pesanan Obat, makanan, dijual bebas Obat, kosmetik, pesanan Obat, makanan, dipanen dari hutan produksi
Tumbuh Liar
Amomum..sp Alpinia sp Boesenbergia sp Curcuma zedoaria C.domestica Etlingera elatior Kaempferia sp Zingber sp
421
Bagian disajikan Rimpang
yang
Rimpang, daun muda Rimpang Sebagai obat dapat langsung digunakan, diperas, didihkan, dan disaring. Sering menjadi bagian racikan bahan obat lain
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PEMANENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN DI HUTAN TANAMAN LAHAN KERING DI SUMATERA, KALIMANTAN, DAN JAWA BARAT1) Sona Suhartana, Yuniawati & Rahmat*) Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan & Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan JL. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, E-mail: [email protected] ABSTRAK Penerapan teknik pemanenan kayu ramah lingkungan (RIL) dapat meningkatkan produksi yang menguntungkan secara ekonomi dan kelestarian hutan yang terjaga. Untuk itu perlu dikaji penerapan teknik RIL di hutan tanaman lahan kering. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemanenan kayu di hutan tanaman lahan kering ditinjau dari aspek teknis, finansial dan lingkungan. Metode penelitian berupa studi pustaka yang dilakukan di perpustakaan RI. Ardi Kusuma, perpustakaan IPB dan hasil-hasil penelitian penulis selama 2001-2012. Hasil kajian sebagai berikut: 1. Penerapan teknik RIL di HTI Sumatera (Jambi) dapat meningkatkan produktivitas 11,230 m 3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat sekitar 6,8% yang setara dengan tambahan keuntungan Rp 17.136.000.000/th, menurunkan biaya produksi Rp 5.918,8/m3, penggeseran lapisan tanah atas 1,4 mm; 2. Penerapan teknik RIL di HTI Kalimantan (KalBar, KalTeng, Kaltim) dapat meningkatkan produktivitas antara 12,756-19,528 m3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat antara 14,1 – 24,2 % yang setara dengan tambahan keuntungan antara Rp 279.180.000-10.097.528.320/th, menurunkan biaya produksi antara Rp 2.691,2-5.464,40/m3, tingkat kerusakan tegakan tinggal menurun antara 7,05 – 12,5 %; 3. Penerapan teknik RIL di Jawa Barat (KPH Cianjur) dapat meningkatkan produktivitas 6,317 m 3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat 10,6 % yang setara dengan tambahan keuntungan 678.421.284,8/th, menurunkan biaya produksi sekitar Rp 9.683,2/m3, penggeseran lapisan tanah atas 1,2 mm; dan 4. Penerapan teknik RIL di HTI lahan kering Kalimantan ternyata lebih baik daripada di Sumatera dan Jawa Barat, dilihat dari tingginya produktivitas dan efisiensi pemanfaatan kayu dan biaya produksi yang rendah. Kata kunci : Pemanenan kayu, hutan tanaman lahan kering, RIL, I. PENDAHULUAN Pelaksanaan pemanenan kayu di HTI selama ini belum optimal terutama kegiatan penebangan dan penyaradan. Hal ini dikarenakan limbah penebangan yang dihasilkan relatif besar dan akibat penyaradan kerusakan tanah hutan lebih dominan terjadi. Dalam pemanfaatan kayu di areal HTI sering dijumpai beberapa kekeliruan dalam kegiatan pemanenan kayu yang menyebabkan kegiatan pemanenan belum optimal karena masih banyak kayu berdiameter minimal 10 cm belum dimanfaatkan dan kayu dari tunggak pohon yang tidak diambil bahkan dibiarkan di lapangan. Tingginya tunggak yang dibiarkan di lapangan merupakan pemborosan dari kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan. Di samping itu pelaksanaan pemanenan kayu masih menyisakan kerusakan hutan seperti kerusakan tegakan tinggal dan penggeseran lapisan tanah atas. Penerapan teknik pemanenan ramah lingkungan perlu dilaksanakan guna melindungi ekologi hutan. Menurut Elias (1998) tingkat kerusakan tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen. Sedangkan hasil penelitian FAO (1998) di hutan hujan tropika Afrika dan Amerika Selatan menunjukkan bahwa kegiatan pemanenan hutan dengan menggunakan teknik pemanenan konvensional dapat merusak tegakan tinggal dan kerusakan tanah yang cukup besar yaitu 5-50%. Pemanenan kayu ramah lingkungan atau lebih dikenal dengan RIL (Reduced Impact logging) menurut Elias et al., (2001) adalah suatu pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pemanenan kayu. RIL merupakan penyempurnaan praktek pembuatan jalan, penebangan dan penyaradan yang saat ini sudah ada, sehingga diperlukan adanya wawasan dan keterampilan yang baik dari para operator serta adanya kebijakan tentang lingkungan yang mendukungnya. Menurut Sukanda (2002) penerapan pemanenan kayu dengan teknik RIL dapat menekan tingkat kerusakan tegakan tinggal sampai 48%, kerusakan tanah sampai 50%, dan areal yang terbuka akibat pembuatan jalan hutan dapat ditekan sebesar 68%. Tujuan penerapan RIL menurut Nugraha et al., (2007) adalah meminimalkan pengaruh negatif terhadap lingkungan, meningkatkan efisiensi pemanenan melalui penekanan terhadap volume limbah penebangan, biaya pemanenan, dan peningkatan produksi kayu, menciptakan ruang tumbuh yang optimal dalam tegakan tinggal
422
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI dengan memaksimalkan pertumbuhan pohon dan hasil hutan non kayu, meningkatkan pendapatan, kesehatan dan keselamatan kerja dan menciptakan prakondisi pengelolaan hutan tropis secara lestari. Pemanenan kayu tidak akan dapat menimbulkan dampak yang nyata terhadap kualitas dan tegakan tinggal untuk produksi kayu yang akan datang apabila dilaksanakan secara tepat dan hati-hati, sehingga kegiatan pemanenan kayu bukan kegiatan yang merusak. Kegiatan pemanenan kayu harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kemampuan hutan untuk menghasilkan produk hutan bagi generasi sekarang maupun akan datang. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemanenan kayu di hutan tanaman lahan kering ditinjau dari aspek teknis, finansial dan lingkungan. II. PRODUKTIVITAS, EFISIENSI PEMANFAATAN KAYU DAN BIAYA PRODUKSI Prinsip pelestarian hutan berkelanjutan juga diterapkan dalam kegiatan pemanenan kayu. Beberapa hasil penelitian penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di HTI lahan kering dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi pemanfaatan kayu sehingga menurunkan biaya produksi dan memberi tambahan keuntungan bagi perusahaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil-hasil penelitian penerapan RIL di HTI lahan kering Penelitian Produktivitas Efisiensi pemanfaatan Biaya produksi Tambahan (m3/jam) kayu (%) (Rp/m3) keuntungan (Rp/thn) A 19,528 24,2 3.522,7 1.472.263.200 B 18,992 18,1 2.691,2 10.097.528.320 C 12,756 14,1 5.464,40 279.180.000 D 11,230 6,8 5.918,8 17.136.000.000 E 6,317 10,6 9.683,82 678.421.284,8 Keterangan : A = Suhartana & Yuniawati (2009) Kalteng; B = Suhartana & Yuniawati (2006a) Kalbar; C = Suhartana & Yuniawati (2006b) Kaltim; D = Suhartana et al., (2012a) Sumatera; E = Suhartana et al., (2011a) Cianjur. Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa produktivitas penerapan RIL di Kalimantan, Jambi dan Cianjur memiliki kisaran 6,317-19,528 m3/jam dengan rata-rata 13,765 m3/jam. Rata-rata produktivitas di Cianjur lebih rendah daripada di daerah lain yaitu 6,17 m3/jam, hal ini karena kondisi areal dengan kelerengan curam >15% sehingga mempersulit penebangan. Kondisi kelerengan areal yang curam memiliki kesulitan tersendiri dalam pelaksanaan penebangan baik menggunakan teknik tepat guna maupun teknik setempat, belum lagi kondisi kayu jati yang kuat sehingga menyulitkan operator chainsaw, akibatnya waktu yang
digunakan untuk menebang menjadi lama. Rendahnya produktivitas
mengakibatkan biaya produksi yang dikeluarkan meningkat menjadi Rp 9.683,82/m 3. Peningkatan biaya produksi tersebut berimbas pada kecilnya tambahan keuntungan yang diperoleh perusahaan di Cianjur. Apabila melihat hasil penelitian di Cianjur tersebut maka perlu adanya penerapan RIL bagi komoditi kayu jati pada kelerengan curam. Selama ini penerapan RIL lebih fokus pada komoditi tanaman dengan kelas kekuatan kayu di bawah kekuatan kayu jati. Hal berbeda ditunjukkan pada hasil penelitian di Kalimantan Tengah (A) di mana rata-rata produktivitas yang dihasilkan sebesar 19,528 m3/jam, lebih tinggi daripada daerah lain. Peningkatan produktivitas tersebut diikuti dengan adanya peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu sebesar 24,2%. Apabila dilihat dari tingginya efisiensi pemanfaatan kayu tersebut (A) mengindikasikan penerapan pemanenan ramah lingkungan pada daerah tersebut sudah baik. Dengan peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu berarti panjang batang yang dimanfaatkan sudah sampai ke diameter minimal 5 cm dan tinggi tunggak sebagai limbah dapat diminimalkan. Efisiensi dari pemanfaatan kayu ditentukan oleh tinggi tunggak yang dihasilkan di mana makin rendah tunggak berarti tebangan makin bagus, sedikitnya batang yang rusak, tidak ada kayu yang rusak akibat penebangan, pembersihan cabang dan ranting dan pemotongan batang, sortimen kayu dapat diperoleh sesuai SOP diameter dan panjang batang, tidak ada kecelakaan kerja dan semua kayu siap diangkut.
423
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Dari Tabel 1 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu dari penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan sehingga memberikan keuntungan tambahan bagi perusahaan. Peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu tersebut pada akhirnya bermuara kepada ketersediaan bahan baku kayu di mana pemanfaatan sumberdaya hutan menjadi optimal dengan mengurangi terjadinya pemborosoan sumberdaya. Peningkatan produksi kayu sangat dituntut guna penyediaan bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu. III. KERUSAKAN HUTAN Kegiatan pemanenan kayu yang menerapkan RIL maupun konvensional selalu menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem hutan. Setiap tahun angka kerusakan hutan mengalami peningkatan. Departemen Kehutanan (2004) dalam Nugraha et al., (2007) menyebutkan bahwa puncak dari peningkatan kerusakan hutan di Indonesia pada tahun 2003 dengan laju deforestasi mencapai 2,8 juta hektar tiap tahun dengan kerugian negara mencapai Rp 30 trilyun/tahun. Pendekatan pemanenan kayu di hutan tanaman sampai saat ini umumnya menggunakan prinsip kelestarian hasil (produksi kayu) dan belum mempertimbangkan kelestarian fungsi-fungsi hutan lainnya dan lingkungan. Pemanenan kayu sebagai bagian dari pengelolaan hutan tanaman memiliki pengaruh terhadap kesuksesan dan kegagalan dalam pengelolaan hutan lestari jangka panjang. Seperti pengaruh kerusakan tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan pohon pada rotasi yang akan datang. Oleh karena itu untuk menunjang pengelolaan hutan tanaman lestari, perlu menerapkan pemanenan kayu ramah lingkungan yang memperhatikan fungsi produksi dan fungsi lingkungan sehingga produksi kayu dan kelestarian lingkungan dapat berjalan seimbang. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan kerusakan hutan akibat pemanenan kayu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kerusakan hutan akibat pemanenan kayu Penelitian Kerusakan tegakan Penggeseran lapisan tinggal (%) tanah atas (mm) A 7,05 B 12,5 C 1,4-8,9 D 5,7-6,9 Keterangan : A = Suhartana (2001); B = Suhartana (2002); C = Suhartana et al., (2011b); D = Suhartana et al., (2012b). Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa walaupun telah menerapkan pemanenan kayu ramah lingkungan, kerusakan hutan masih tetap terjadi. Kerusakan tegakan tinggal yang terjadi berkisar antara 7,05-12,5% dan penggeseran lapisan tanah atas berkisar antara 1,4-8,9 mm. Ada beberapa faktor yang memang harus lebih diperhatikan pada saat melakukan pemanenan kayu, yaitu kondisi topografi, iklim, kerapatan tegakan, keterampilan operator dan kebijakan perusahaan. Kondisi topografi lapangan dengan beragam kelerengan merupakan kendala walaupun telah menerapkan RIL. Pada penelitian D di wilayah Cianjur memiliki kelerengan lebih dari 15% sehingga penggeseran lapisan tanah atas lebih banyak terjadi. Hal ini disebabkan pada penggunaan teknik terkontrol (TT) para pekerja diarahkan oleh peneliti untuk melakukan penyaradan dengan melakukan pengaturan letak kayu sehingga langkah kaki mereka saat memikul kayu dilakukan secara zigzag sehingga pada saat dilakukan pengulangan pemikulan berikutnya tidak menginjak bekas injakan kaki semula. Dengan demikian langkah kaki tersebut dapat mengurangi intensitas kedalaman penggeseran lapisan tanah atas. Sedangkan dengan teknik setempat (TS) karena kayu tidak diatur sehingga bekas langkah kaki pekerja bisa berulang kali terinjak dengan pola yang sama atau sejajar dan akan menambah dalam penggeseran lapisan tanah atas.
424
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Penggeseran lapisan tanah atas dapat mengakibatkan hilangnya lapisan top soil sehingga beberapa unsur hara yang dibutuhkan untuk kesuburan tanah menjadi hilang, bahkan terkadang dapat menimbulkan erosi tanah. Kondisi cuaca perlu diperhatikan karena beresiko terhadap keamanan kerja operator. Kegiatan harus berhenti pada saat kondisi sangat basah karena dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan tanah atas (pada kegiatan penyaradan). Kondisi tanah licin bagi operator chainsaw untuk bergerak dengan aman dan cepat menjauhi pohon yang rebah. Kerapatan tegakan juga mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal, oleh karena itu perlu diperhatikan pengaturan jarak tanam (pada saat penanaman) sehingga pada saat pemanenan kayu persentase kerusakan tegakan tinggal dan rusaknya lapisan tanah atas akibat penyaradan dapat diminimalkan. Penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan dapat dilakukan oleh perusahaan HTI meliputi : kegiatan perencanaan pemanenan kayu, di mana adanya jadwal pemanenan kayu harus dipersiapkan sebelumnya untuk areal yang akan ditebang pada tahun bersangkutan. Perencanaan tersebut dapat berupa sistem jaringan jalan baik sarad maupun angkut yang dituangkan ke dalam bentuk peta; Kegiatan penebangan dengan menentukan arah rebah sesuai jalur penyaradan, sehingga penyaradan kayu dapat dilakukan dengan mudah dan lancar pada akhirnya dapat meminimalkan terjadinya kerusakan tegakan tinggal dan penggeseran lapisan tanah atas. Penggunaan peralatan harus direncanakan sesuai kondisi tegakan dan keadaan lapangan. Untuk hutan tanaman lebih diarahkan menggunakan peralatan pemanenan kayu pada sistem semi mekanis dengan kombinasi teknik manual dan mekanis tepat guna. Cara meminimalkan kerusakan tegakan tinggal dan penggeseran lapisan tanah atas akibat pemanenan kayu pada dasarnya adalah pelaksanaan pemanenan kayu disesuaikan dengan sistem tertentu sehingga lahan hutan yang ditinggalkan dalam kondisi yang memungkinkan ke perbaikan keadaan hutan semula (Elias, et al. 2001). IV. KESIMPULAN 1. Penerapan teknik RIL di HTI Sumatera (Jambi) dapat meningkatkan produktivitas 11,230 m 3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat sekitar 6,8% yang setara dengan tambahan keuntungan Rp 17.136.000.000/th, menurunkan biaya produksi Rp 5.918,8/m3, penggeseran lapisan tanah atas 1,4 mm. 2. Penerapan teknik RIL di HTI Kalimantan (KalBar, KalTeng, Kaltim) dapat meningkatkan produktivitas antara 12,75619,528 m3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat antara 14,1 – 24,2 % yang setara dengan tambahan keuntungan antara Rp 279.180.000-10.097.528.320/th, menurunkan biaya produksi antara Rp 2.691,2-5.464,40/m3, tingkat kerusakan tegakan tinggal menurun antara 7,05 – 12,5 %. 3. Penerapan teknik RIL di Jawa Barat (KPH Cianjur) dapat meningkatkan produktivitas 6,317 m 3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat 10,6 % yang setara dengan tambahan keuntungan Rp 678.421.284,8/th, menurunkan biaya produksi sekitar Rp 9.683,2/m3, penggeseran lapisan tanah atas 1,2 mm. 4. Penerapan teknik RIL di HTI lahan kering Kalimantan ternyata lebih baik daripada di Sumatera dan Jawa Barat, hal ini dapat dilihat dari tingginya produktivitas dan efisiensi pemanfaatan kayu sehingga menghasilkan biaya produksi yang rendah.
425
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI DAFTAR PUSTAKA Elias. 1998. Reduced Impact Logging in the tropical natural forest in Indonesia. Forest Harvesting Case Study. Rome : Food Agriculture Organitation of The United Nation. Elias, G. Applegate, K. Kartawinata, Machfudh dan A. Klassen. 2001. Pedoman reduced impact logging Indonesia. CIFOR. Bogor. Food Agricultural Organization. 1998. Reduced Impact Logging. http://www/fao.org/document/showedr.asp?urlile=DOCREP/005/AC805E/ac805e0f htm (RIL). [6 Agustus 2010]. Nugraha, A., H. Priyadi., Hasbillah., P. Gunarso dan R. Benyamin. 2007. Pembalakan ramah lingkungan Konsep dan Implementasi di Indonesia. Editor Murtijo dan Bambang Poerwanto. Wana Aksara. Banten. Suhartana, S. 2001. Pengaruh penebangan terkendali dan konvensional terhadap kerusakan tegakan tinggal dan produktivitas kerja. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(4):219-230. Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. ___________. 2002. Dampak pembalakan berwawasan lingkungan (PBL) terhadap kerusakan tegakan tinggal dan biaya penyaradan di hutan produksi alam. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(4):285-301. Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2006a. Pengaruh teknik penebang, dan kelerengan terhadap efisiensi pemanfaatan kayu mangium (Acacia mangium Wild). Jurnal Peronema 2(2):37-44. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. ________________________. 2006b. Pengaruh teknik penebangan dan sikap tubuh penebang terhadap peningkatan pemanfaatan kayu Gmelina arborea: Studi kasus di HPHTI PT Surya Hutani Jaya Kalimantan Timur. Jurnal Rimba Kalimantan 11(2): 99-104. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. ________________________. 2009. Peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu Gmelina (Gmelina arborea) melalui penerapan teknik penebangan dan sikap tubuh pada dua kelerengan di PT Purwa Permai Kalimantan Tengah. Jurnal Hutan tropis Borneo (25) : 1-13. Fakultas Kehutanan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Suhartana, S., Yuniawati, & Rahmat. 2011a. Peningkatan produktivitas dan efisiensi pemanfaatan kayu jati (Tectona grandis Linn.f) melalui penerapan teknik penebangan tepat guna: kasus di KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Buletin Puslitbang Perhutani 14(2):1017-1024. Puslitbang Perum Perhutani. Cepu. Suhartana, S., M.M. Idris, & Yuniawati. 2011b. Penyaradan kayu sesuai standar prosedur operasional untuk meningkatkan produktivitas dan meminimalkan biaya produksi dan penggeseran lapisan tanah atas: kasus di satu perusahaan hutan di Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(3):248-258. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Suhartana, S., Yuniawati & Rahmat. 2012a. Increasing timber utilization efficiency and productivity through proper tree felling technique in Jambi, Indonesia. Sepilok Bulletin 15 & 16:27-35. Forest Research Centre, Sabah Forestry Department. Sandakan, Sabah, Malaysia. ________________________________. 2012b. Peningkatan produktivitas, penurunan biaya dan penggeseran lapisan tanah atas melalui penerapan teknik penyaradan terkontrol: Kasus di KPH Cianjur. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 14, tanggal 2 Nopember 2011 di University Club Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hlm. 742-746. MAPEKI. Bogor. Sukanda.2002. Kajian teknis dan ekonomis penerapan reduced impact logging (Studi kasus di PT. Gunung Meranti, Kalimantan Tengah). http://www.bp2kk.go.id/buletin_vol5No1_2002.htm#tiga. [27 Juli 2010].
426
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
STUDI PENAMBAHAN ADITIF PADA BIOPELLET DARI LIMBAH BIOMASSA INDUSTRI PERTANIAN Wida B. Kusumaningrum1*, Ismail Budiman1, Lilik Astari1, Dany Perwita S1, Sasa Sofyan M1,2 UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI, Jl Raya Bogor KM 46 Cibinong *Email : [email protected] Abstract Biomassa merupakan sumber energi bersih dan terbarukan. Dengan sumber daya yang melimpah di Indonesia, pemanfatan biomassa sebagai sumber energi masih belum maksimal. Biomassa tidak dapat langsung digunakan karena kerapatannya yang rendah. Metode densifikasi dapat meningkatkan kandungan energy biomassa per satuan volume. Kegiatan ini bertujuan untuk memproduksi biopellet dari limbah biomassa tandan kosong sawit, pelepah sawit, cangkang sawit, bambu betung, cangkang jarak, dan kulit kayu akasia mangium. Selain itu untuk meningkatkan performa biopellet ditambahkan aditif yaitu perekat tapioka, batu bara muda, dan gliserol. Proses pembuatan bio-pellet dilakukan dengan mesin pembuat pellet konvensional pada suhu pengempaan 250 o C selama 15 menit. Nilai kalor yang diperoleh berkisar antara 3500-4500 kal/gram untuk biopellet tanpa penambahan aditif. Biopellet dengan perekat tapioka diperoleh nilai kalor berkisar antara 4000-5000 kal/gram. Dengan penambahan batu bara muda berkisar antara 40005500 kal/gram, sedangkan dengan penambahan gliserol mencapai 4000-4700 kal/gram. Secara umum, Biopellet dengan penambahan aditif menunjukkan perbaikan sifat fisik, mekanis, proximate bahan bakar, dan nilai kalor. Kata kunci : biopellet, tapioka, gliserol, batu bara muda PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara penghasil bahan bakar fosil terbesar di dunia. Selain untuk kebutuhan domestik juga sebagai komoditi eksport. Penggunaan bahan bahar fosil yang melebihi batas sudah memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan. Peningkatan emisi karbon secara langsung menyebabkan efek gas rumah kaca, terlebih secara global telah meningkatkan level air laut dan perubahan iklim. Sebagai bahan bakar yang tidak dapat diperbarui, bahan bakar fosil akan punah pada batas waktu tertentu jika tidak dikelola dengan baik penggunaannya. Oleh karena itu, pemerintah memberikan ruang bagi sumber energi terbarukan sebesar 25% untuk mendukung komitmen dalam Kyoto Protocol dimana pemerintah Indonesia mentargetkan penurunan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. (www.esdm.go.id). Biomassa menjadi salah satu sumber energi baru dan terbarukan yang sangat potensial di Indonesia dimana mempunyai potensi sebesar 49,81 GW sedangkan kapasitas terpasang baru 0,3 GW. (Blueprint PEN, 2006). Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik (El Bassam dan Maegaard, 2004). Disamping itu, biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang paling serbaguna dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya. Biomassa dapat menghasilkan bahan bakar untuk panas, listrik dan transportasi (Siemers, 2006). Bahan yang termasuk biomassa antara lain sisa hasil hutan dan perkebunan, biji dan limbah pertanian, kayu dan limbah kayu, limbah hewan, tanaman air, tanaman kecil, dan limbah industri serta limbah permukiman (Bergman dan Zerbe, 2004). Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbarui. Namun biomassa tidak dapat langsung dibakar karena sifat fisiknya yang buruk seperti kerapatan energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi (Saptoadi, 2006). Bio-pellet merupakan salah satu bentuk konversi biomassa secara fisik menjadi sumber energi yang dapat langsung digunakan. Bio-pellet diproduksi dengan prinsip densifikasi. Metode densifikasi dapat meningkatkan kandungan energi tiap satuan volume dan juga dapat mengurangi biaya transportasi dan penanganan (Leach dan Gowen, 1987). Sumber Bio-pellet biasanya dari kayu dan limbah pengolahan kayu, dan sumber biomassa non-kayu. Bio-pellet rata-rata memiliki panjang 1.5 cm, diameter 1 cm dan berat 25 gram. Kalori yang dihasilkan berkisar antara 4.000-5.000 kilo kalori/kilogram setara dengan batubara. Sedangkan kadar abunya cukup rendah antara 2-5%, sehingga akhir dari penggunaannya tidak terlalu menimbulkan masalah baru. Bio-pellet komesial yang telah diproduksi di beberapa negara Eropa, Amerika, dan Asia bersumber dari kayu dan limbah industri kayu. Dengan mulai berkurangnya potensi kayu, limbah biomassa lain dari industri pertanian menjadi alternatif pengganti kayu seperti tandan kosong sawit, pelepah sawit, cangkang buah sawit, bambu, dan cangkang biji jarak. Oleh karena itu, pemanfaatan limbah tersebut sangat dimungkinkan untuk diolah menjadi bio-pellet. Bio-pellet dari limbah biomassa nonkayu memiliki
427
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI nilai kalor yang relatif rendah, meskipun setara dengan batu bara muda jenis lignite yang biasa dieksplorasi di Indonesia. Penambahan aditif seperti tepung tapioka, batu bara muda, dan gliserol dapat meningkatkan nilai kalor dan performa bio-pellet. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek dari penambahan aditif tepung tapioka, batu bara muda, dan gliserol pada bio-pellet dari limbah industri pertanian pada masing-masing komposisi. Pengaruh utama yang diamati adalah sifat fisik dan mekanis serta nilai kalor yang dihasilkan oleh bio-pellet. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan merupakan limbah dari industri pertanian maupun kehutanan yaitu tandan kosong kelapa sawit, pelepah sawit, cangkang buah sawit, bambu betung, cangkang biji jarak, dan kulit kayu akasia mangium. Pembuatan partikel dilakukan dengan menggunakan chiper, ring flaker, dan hammer mill kemudian disaring hingga diperoleh ukuran partikel lolos 40mesh. Penambahan aditif yaitu tepung tapioka, batu bara muda, dan gliserol dilakukan dengan komposisi yang berbeda untuk tiap aditif. Komposisi tepung tapioka yang ditambahkan dalam serbuk adalah 1, 3, dan 5% berdasarkan berat. Pencamapuran dilakukan secara manual dengan terlebih dahulu melarutkan tepung tapioka ke dalam air yang telah dipanaskan hingga mencapai suhu 80 o C, kemudian dicampurkan dengan masing-masing bahan. Batu bara muda yang ditambahkan ke dalam bahan dilakukan pada komposisi 5 dan 10% berdasarkan berat. Sedangkan penambahan gliserol dilakukan dengan komposisi 5, 10, dan 15% berdasarkan berat. Campuran serbuk dari berbagai jenis dengan bahan aditif (tepung tapioka, batu bara muda, dan gliserol) pada masing-masing komposisi kemudian dibuat bio-pellet. Mesin pembuat pellet konvensional yang bekerja berdasarkan pengempaan dan panas digunakan dengan kondisi operasi tertentu. Kondisi operasi ditetapkan pada suhu 250 o C dengan lama pengempaan selama 15 menit. Bio-pellet kemudian disimpan dalam plastik kedap udara untuk selanutnya dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian sifat fisik dan mekanis (densitas, kuat tekan, dan ketahanan goncangan), analisis proximate (kadar air, kadar abu, jumlah karbon terikat, dan bahan mudah menguap), dan nilai kalor. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Bio-pellet dari limbah biomassa dengan perekat tepung tapioka Penggunaan perekat dalam bio-pellet dapat memperbaiki keteguhan rekat karena peningkatan ikatan antar parikel. Selain itu juga menghasilkan produk yang seragam dan menghilangkan bau bahan. (White and Pasket, 1981). Komposisi perekat yang dianjurkan dalam bahan bakar padat sekitar 0,5-5% b/b dari total campuran. (Huege dan Ingram, 2006). Gambar 1 menunjukkan bio-pellet yang diproduksi menggunakan perekat tapioka dengan suhu pengempaan 250 o C selama 15 menit pada komposisi perekat 1, 3, dan 5%. Penambahan tapioka pada biopellet dengan komposisi 1, 3, dan 5% tidak mempengaruhi penampakan bio-pellet untuk semua jenis bahan. Bio-pellet nampak lebih mampat dan kompak dibandingkan dengan sebelum ditambahkan tapioka.
428
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 1. Biopellet dengan perekat tapioka dari tandan kosong sawit (a) dengan komposisi tapioka 1% (P TKS 1), 3% (P TKS 3), 5% (P TKS 5), pelepah sawit – PS (b), cangkang sawit - CS (c), bambu betung – BB (d), cangkang jarak CJ (e), kulit kayu akasia mangium – KAM (f). Kerapatan bio-pellet dengan penambahan tapioka meningkat daripada bio-pellet kontrol seperti terlihat pada Tabel 1. Hal ini dikarenakan adanya tapioka yang memiliki kerapatan/ densitas lebih tinggi dibandingkan bahan biomassa. Kecenderungan peningkatan densitas dengan penambahan tapioka dengan komposisi 1, 3, dan 5% pada beberapa jenis bahan. Ketahanan goncangan yang mengacu pada kehilangan massa selama transportasi dan penyimpanan menunjukkan kestabilan massa selama proses goncangan selama 1 menit secara vertikal. Dari Tabel 1 diketahui ketahanan goncangan berkisar 97,03 – 100% tergantung dari jenis bahannya. Biopellet dari cangkang jarak memiliki ketahanan goncangan lebih baik daripada bahan lainnya. Kuat tekan menggambarkan ketahanan terhadap tekanan pada beban tertentu. Tabel 1 memberikan informasi bahwa Biopellet dari cangkang sawit, bambu, cangkang jarak, dan kulit kayu akasia memberikan peningkatan kekuatan dengan perekat tapioka. Dengan menggunakan analisis statistik dengan model rancangan acak lengkap, diperoleh hasil bahwa penambahan perekat tapioka memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kuat tekan (compressive strength) untuk semua jenis bahan. Analisis proximate yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar zat terbang (volatile matter), karbon terikat (fixed carbon), dan nilai kalor dilakukan berdasarkan standard ASTM D 1989. Kadar air meningkat dengan penambahan tapioka dibandingkan bio-pellet kontrol. Biopellet yang diproses dengan perekat tapioka akan mengalami peningkatan kadar air karena pengaruh proses yang menggunakan air untuk perekatan. (Zamirza, 2009). Kadar air yang diperbolehkan untuk bahan bakar padat adalah kurang dari 10%.(www.energyefficiencyasia.org). Kadar air akan berpengaruh pada pembentukan asap dan akan menurunkan kalor pembakaran. Abu merupakan bahan sisa pembakaran yang mengendap pada ruang bakar dan dapat menyebabkan karat pada cerobong alat bakar. Kadar abu diusahakan seminimal mungkin, tidak lebih dari 40%. Tabel 2 menunjukkan nilai kadar abu yang tergolong kecil berkisar antara 1-5%. Dalam hal ini bahan bakar dari biomassa dapat meminimalkan salah satu permasalahan dalam proses pembakaran, selain itu juga mengurangi biaya perawatan alat pembakaran. Kadar zat terbang yang tinggi dihasilkan bio-pellet dari biomassa limbah pertanian seperti tandan kosong sawit, pelepah sawit, cangkang sawit, dan bambu betung. Kadar zat terbang merupakan indeks kandungan bahan bakar dalam bentuk gas
429
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI seperti methane, hidrokarbon, hidrogen, karbon monooksida, dan gas yang tidak mudah terbakar lainnya. Kadar zat terbang akan mempengaruhi jumlah karbon terikat dalam bahan bakar. Kandungan karbon terikat memberikan gambaran kasar nilai kalor pembakaran, semakin tinggi karbon terikat akan meningkatkan nilai kalor. Pada Table 2 diketahui jumlah karbon terikat (fixed carbon) tertinggi pada kulit kayu akasia mangium (KAM) pada komposisi tapioka 3%. Tabel 1. Sifat fisik dan mekanis Biopellet dengan perekat tepung tapioka Formula
Densitas (gr/cm3)
Kuat tekan (kgf/mm)
Ketahanan goncangan
P TKS 1
0,74
2,31
98,66%
P TKS 3
0,76
1,52
99,47%
P TKS 5
0,87
2,96
99,16%
P PS 1
0,37
0,38
100%
P PS 3
0,28
0,16
100%
P PS 5
0,37
0,29
97,03%
P CS 1
0,99
1,53
97,97%
P CS 3
1,08
2,34
99,44%
P CS 5
1,00
2,19
100%
P BB 1
0,44
1,20
99,22%
P BB 3
0,50
1,97
100%
P BB 5
0,48
1,15
99,15%
P CJ 1
1,07
3,35
100%
P CJ 3
1,11
3,50
99,73%
P CJ 5
1,04
2,31
100%
P KAM 1
0,80
0,77
100%
P KAM 3
1,04
2,70
99,59%
P KAM 5
1,09
1,23
99,64%
Tabel 2. Analisis Proximate Bio-pellet denga perekat tepung tapioka Formula
Kadar air
Kadar zat terbang (% )
Kadar abu (% )
Karbon terikat (% )
P TKS 1
5,61%
80,93
1,56
17,51
P TKS 3
5,91%
78,97
2,18
18,85
P TKS 5
4,46%
78,88
2,16
18,96
P PS 1
6,59%
69,63
4,67
25,7
P PS 3
5,22%
71,85
4,44
23,71
P PS 5
5,64%
68,42
4,51
27,07
P CS 1
4,72%
72,31
3,08
24,61
P CS 3
3,75%
71,35
3,03
25,62
P CS 5
4,27%
71,3
3,19
25,51
P BB 1
4,48%
76,26
4,00
19,74
P BB 3
4,21%
76
3,9
20,1
P BB 5
2,46%
74,8
3,94
21,26
P CJ 1
5,45%
69,49
9,15
21,36
P CJ 3
3,57%
69,17
9,09
21,74
P CJ 5
4,31%
68,66
9,33
22,01
P KAM 1
5,77%
62,67
3,69
33,64
P KAM 3
5,40%
61,04
3,9
35,06
P KAM 5
6,06%
62,72
3,58
33,7
430
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Nilai kalor (kal/gram)
6000 5000 4000
Kontrol
3000
Tapioka 1%
2000
Tapioka 3% Tapioka 5%
1000 0 TKS
PS
CS
BB
CJ
KAM
Gambar 2. Nilai kalor biopellet dengan perekat tapioka pada komposisi tapioka 1,3, dan 5%. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai kalor pembakaran bio-pellet dengan penambahan tapioka meningkat pada beberapa jenis bahan dibanding kontrol. Nilai kalor bio-pellet tandan kosong sawit menurun dengan penambahan perekat tapioka. Pada komposisi tapioka 1% diperoleh bio-pellet dengan nilai kalor 4470 kal/gram. Sedangkan pada pelepah sawit, nilai kalor tertinggi pada komposisi tapioka 5% dengan 4401 kal/gram. Biopellet dari cangkang sawit mengalami peningkatan nilai kalor dengan penambahan tapioka pada semua komposisi. Komposisi 3% tapioka memberikan nilai kalor tertinggi dengan 4899 kal/gram. Demikian halnya dengan biopellet bambu betung dan kulit kayu akasia mangium memberikan nilai kalor yang meningkat dengan penambahan tapioka pada semua komposisi. Nilai kalor tertinggi biopellet dari bambu betung dan kulit kayu akasia pada komposisi tapioka 1% dengan 4727 kal/gram dan 4675 kal/gram. Hal berbeda terjadi pada bio-pellet dari cangkang jarak yang menunjukkan penurunan nilai kalor dibandingkan dengan kontrol. 2.
Bio-pellet dari limbah biomassa dengan penambahan batu bara muda Batu bara muda merupakan bahan bakar padat dengan nilai kalor berkisar antara 3000-4500 kal/gram. Jenis batu bara muda adalah lignit dan sub bituminus dan telah banyak dieksplorasi di Indonesia. Batu bara memiliki jumlah karbon terikat lebih tinggi daripada biomassa sehingga dengan penambahan batu bara pada komposisi tertentu dapat meningkatkan nilai kalor bio-pellet. Partikel batu bara dibuat sama dengan partikel biomassa untuk mempermudah ikatan antar partikel antara batu bara dengan biomassa. Selain itu juga batu bara dengan biomassa akan memudahkan dalam penyalaan dan mengurangi kebutuhan udara sekunder pembakaran. Bio-pellet dengan penambahan batu bara muda terlihat lebih gelap dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan warna dari batu bara sendiri adalah hitam kecoklatan dan pengaruh suhu pengempaan yang cukup tinggi. Penambahan batu bara muda dengan komposisi 5% maupun 10% tidak memberikan penampakan yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Biopellet dengan penambahan batu bara muda pada komposisi 5% dan 10% Sifat fisik dan mekanis bio-pellet dengan penambahan batu bara disajikan pada Tabel 3. Kerapatan biopellet meningkat dengan penambahan batu bara muda dibandingkan dengan kontrol. Batu bara muda memiliki densitas lebih tinggi daripada biomassa. Penambahan batu bara muda dengan komposisi 5 dan 10% tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap densitas biopellet untuk semua jenis bahan. Ketahanan biopellet terhadap goncangan diketahui
431
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI berkisar antara 97-100%, tidak jauh berbeda dengan biopellet dengan perekat tapioka. Ikatan atau interaksi antar partikel antara batu bara muda dengan partikel biomassa sama kuatnya dengan perekat tapioka. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa biopellet dari pelepah sawit memiliki ketahanan paling baik diantara yang lain. Kuat tekan bio-pellet dengan batu bara muda diketahui lebih kecil daripada kontrol, begitu juga lebih rendah dari bio-pellet dengan perekat tapioka. Hal ini menyebabkan biopellet dengan penambahan batu bara muda kurang tahan terhadap tekanan dan beban dan mengurangi performanya terutama saat penyimpanan. Dengan analisis statistik dengan rancangan acak lengkap diketahui bahwa penambahan batu bara muda berpengaruh terhadap kuat tekan biopellet terhadap beban. Kadar air biopellet diperoleh lebih tinggi daripada kontrol karena adanya pengaruh penambahan batu bara muda seperti terlihat pada Tabel 4. Batu bara muda memiliki kadar air yang cukup tinggi, dan termasuk bahan bakar yang kurang efisien. Kadar abu biopellet relatif rendah berkisar antara 2-11.5% dan masih memenuhi standar sebagai bahan bakar padat. Kadar abu tertinggi pada biopellet dari bambu betung dengan komposisi batu bara muda sebesar 10%, tetapi masih lebih rendah dibandingkan batu bara muda sebesar 17%. Kadar zat terbang cukup rendah yang dapat diartikan kandungan lain selain karbon terikat cukup rendah. Kadar zat terbang terendah pada biopellet dari kulit kayu akasia dengan 57,8% dan mendekati kadar zat terbang batu bara muda sebesar 35,2%. Kadar karbon terikat yang dapat menggambarkan kandungan karbon dalam bahan bakar untuk pembakaran diketahui cukup tinggi. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa karbon terikat tertinggi diperoleh pada biopellet dari kulit kayu akasia dengan 37,2 %. Nilai tersebut lebih tinggi dari batu bara muda yang mencapai 35,2%. Tabel 3. Sifat fisik dan mekanis biopellet dengan penambahan batu bara muda Formula
Densitas (gr/cm3)
Kuat tekan (kgf/mm)
Ketahanan goncangan
B TKS 5
0,75
2,38
100%
B TKS 10
0,66
1,48
98,27%
B PS 5
0,37
0,28
100%
B PS 10
0,35
0,25
100%
B CS 5
0,96
0,55
98%
B CS 10
1,06
1,69
99,15%
B BB 5
0,43
0,98
99,28%
B BB 10
0,48
0,64
98,78%
B CJ 5
1,06
2,06
100%
B CJ 10
1,03
1,64
98,13%
B KAM 5
0,92
0,69
97%
B KAM 10
1,01
1,27
98,94%
Tabel 4. Analisis proximate biopellet dengan penambahan batu bara muda Formula
Kadar air (% )
Kadar zat terbang (% )
Kadar abu (% )
Karbon terikat (% )
B TKS 5
5,32
76
2,9
21,1
B TKS 10
6,03
74
3,4
22,6
B PS 5
3,89
61,8
5,1
33,1
B PS 10
5,28
67,1
5,9
27
B CS 5
4,71
70,5
3,5
26
B CS 10
5,32
69,8
3,9
29,81
B BB 5
1,08
68,46
4,73
22,83
B BB 10
0,89
69,48
11,42
19,1
B CJ 5
4,80
66,3
9,4
24,3
B CJ 10
4,18
66,2
9,7
24,1
B KAM 5
6,82
59,6
4,1
36,3
B KAM 10
3,78
57,8
5
37,2
432
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Secara keseluruhan biopellet dari biomassa memiliki nilai kalor lebih tinggi dibandingkan batu bara muda baik dengan penambahan aditif maupun tidak. Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa dengan penambahan batu bara muda dapat meningkatkan nilai kalor untuk beberapa jenis bahan seperti tandan kosong sawit, cangkang sawit, cangkang jarak, dan kulit kayu akasia mangium. Nilai kalor bio-pellet dari tandan kosng sawit tidak memberikan peningkatan yang siginifikan bahkan tergolong sama meskipun dengan penambahan batu bara muda sampai 10%. Hal yang sama juga terjadi pada biopellet dari pelepah sawit dan cangkang jarak. Bahkan pada pelepah sawit dengan komposisi batu bara 10% tidak meningkatkan nilai kalor, sedangkan pada cangkang jarak terjadi peningkatan dari kontrol pada komposisi 5% dengan nilai kalor sebesar 4515 kal/gram tidak berbeda jauh dari kontrol sebesar 4424 kal/gram.
Gambar 4. Nilai kalor Biopellet dengan penambahan batu bara muda pada komposisi 5% dan 10%. Bio-pellet dari cangkang jarak dan kulit kayu akasia menunjukkan peningkatan nilai kalor yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bio-pellet dari cangkang sawit memiliki nilai kalor tertinggi pada penambahan batu bara dengan komposisi 5% sebesar 4929 kal/gram dan terjadi sedikit penurunan pada komposisi 10% sebesar 4910 kal/gram. Biopellet dari kulit kayu akasia diperoleh nilai kalor tertinggi daripada yang lainnya sebesar 5548 kal/gram pada komposisi 5%, sedangkan pada komposisi 10% dapat mencapai 5159 kal/gram. 3.
Bio-pellet dengan penambahan Gliserol Gliserol merupakan hasil samping dari proses yang melibatkan lemak seperti hidrolisis lemak, saponifikasi lemak, dan transesterifikasi lemak menggunakan metanol. Dari proses tersebut dapat dihasilkan gliserol dengan kadar 10-20%. Limbah gliserol dari proses pembuatan biodiesel cukup melimpah, karena membutuhkan biaya yang tinggi untuk memurnikan gliserol. Nilai kalor gliserol kasar dapat mencapai 4400-4900 kcal/kg untuk minyak segar, sedangkan untuk minyak bekas mencapai 6000 kcal/kg. (Thompson dan He, 2006). Dengan kalor pembakaran yang cukup tinggi, gliserol dapat digunakan sebagai bahan bakar ataupun sebagai aditif untuk meningkatkan nilai kalor pada bio-pellet. . Komposisi yang digunakan adalah 5, 10, dan 15 % terhadap berat total biomassa. Secara penampakan, biopellet diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dengan kontrol pada suhu pengempaan 250 o C, lebih cerah dibandingkan dengan biopellet penambahan batu bara muda seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Biopellet dengan penambahan Gliserol dengan komposisi 5%
433
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Densitas biopellet meningkat dengan metode densifikasi sebanyak 2-3 kali dari bahan mula-mula dan relatif hampir sama jika pada bio-pellet dengan penambahan batu bara muda. Penambahan gliserol dapat meningkatkan kerapatan biopellet karena pencampuran dua jenis material yang berbeda memberikan kerapatan campuran. Gliserol berupa cairan kental, tidak berbau, dan mudah terbakar dengan densitas relatif 1,26 gram/cm 3 . (Robertson, 2002). Densitas campuran menghasilkan bio-pellet dengan kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bio-pellet kontrol maupun dengan penambahan batu bara muda. Sifat fisik dan mekanis biopellet dengan penambahan gliserol tidak mengalami perubahan yang signifikan daripada kontrol. Seperti terlihat pada Tabel 5, kuat tekan masing-masing biopellet tidak mengalami peningkatan yang berarti dibandingkan dengan kontrol, begitu halnya dengan ketahanan goncangan. Dari analisis statistik dengan rancangan acak lengkap diketahui bahwa kadar gliserol berpengaruh terhadap kuat tekan biopellet. Tabel 5. Sifat fisik dan mekanis Biopellet dengan penambahan Gliserol Formula
Densitas (gr/cm3)
G TKS 5
0,55
Kuat tekan (kgf/mm) 0,70
Ketahanan goncangan 100%
G TKS 10
0,63
1,50
98,84%
G TKS 15
0,60
1,13
98,72%
G PS 5
0,39
0,50
100%
G PS 10
0,46
0,78
100%
G PS 15
0,38
0,35
100%
G CS 5
0,95
1,05
99,69%
G CS 10
1,19
5,39
99,72%
G CS 15
1,06
3,49
100%
G BB 5
0,60
2,89
100%
G BB 10
0,45
1,26
99,30%
G BB 15
0,33
0,48
100%
G CJ 5
1,06
3,99
100%
G CJ 10
1,02
2,73
100%
G CJ 15
1,09
4,35
100%
G KAM 5
0,83
0,47
99,25%
G KAM 10
1,04
5,11
100%
G KAM 15
1,00
5,96
100%
Ketahanan goncangan yang paling baik diketahui pada bio-pellet dari pelepah sawit dan cangkang jarak. Secara keseluruhan semua jenis biomassa yang dikonversi menjadi bio-pellet memiliki ketahanan goncangan yang baik walaupun tidak sebaik bio-pellet dengan perekat tapioka. Kompatibilitas gliserol dengan biomassa cukup baik, penambahan gliserol dapat memberikan peningkatan performa terutama waktu penyalaan yang dapat lebih cepat. Dalam hal ini gliserol yang mudah terbakar dapat menjadi starter sehingga sifat biomassa yang lebih sulit terbakar tanpa starter dapat lebih mudah terbakar. Dengan demikian, konsumsi kerosin atau bahan bakar sekunder dapat dikurangi. Kadar air tiap jenis biomassa bervariasi, berkisar antara1,5-6,5%. Kadar air dari limbah biomassa tergolong rendah dibandingkan batu bara yang dapat mencapai 17%. Hal ini yang dapat memberikan tempat bio-pellet dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif dan ekonomis. Kadar air yang tinggi mempengaruhi secara langsung kalor pembakaran suatu bahan bakar. Selain itu juga bahan bakar dengan kadar air tinggi memerlukan perlakuan pendahuluan untuk mengurangi kadar air yang berarti menjadi kurang ekonomis. Tabel 6 menunjukkan beberapa parameter analisis proximate bio-pellet dengan penambahan gliserol. Kadar zat mudah menguap secara keseluruhan diperoleh bervariasi sekitar 60-80%. Sedangkan jumlah karbon terikat diperoleh sekitar 18-35% berbeda untuk tiap jenis biomassa. Jumlah karbon terikat diperoleh cukup tinggi hampir sama dengan batu bara muda komersial yang mencapai 35%. Hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dari bio-pellet dengan penambahan batu bara muda. Kadar abu relatif rendah untuk semua jenis bahan. Kadar abu yang tinggi juga merugikan baik dalam proses pembakaran maupun perawatan ruang bakar. Kadar abu rerata terendah diperoleh bio-pellet dari tandan kosong sawit sekitar 1,7 %.
434
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 6. Analisis Proximate Biopellet dengan penambahan Gliserol Formula
Kadar air (% )
Kadar zat terbang (% )
Kadar abu (% )
Karbon terikat (% )
G TKS 5
4,99
77,5
2,4
20,1
G TKS 10
2,77
79,3
2,3
18,4
G TKS 15
6,59
78,8
1,7
19,5
G PS 5
2,27
69,3
4,6
26,1
G PS 10
4,68
71
4
25
G PS 15
6,79
72,5
4,3
23,2
G CS 5
1,83
73,7
3
23,3
G CS 10
2,70
73,7
2,9
23,4
G CS 15
5,16
74,8
2,6
22,6
G BB 5
3,10
73,9
3,7
22,4
G BB 10
4,02
74,8
3,7
22,3
G BB 15
4,74
73,9
3,4
21,3
G CJ 5
2,26
66,3
9
24,7
G CJ 10
2,67
66,7
8,8
24,5
G CJ 15
4,81
69,2
8,2
22,6
G KAM 5
1,81
61,6
3,5
34,9
G KAM 10
2,39
65,2
3,1
31,7
G KAM 15
4,38
64,4
3,1
32,5
Nilai kalor (kal/gram)
Dari semua jenis bahan hanya beberapa yang menunjukkan peningkatan nilai kalor dengan penambahan gliserol, seperti terlihat pada Gambar 6. Bio-pellet dari pelepah sawit dan cangkang sawit yang mengalami peningkatan nilai kalor dibandingkan kontrol. Komposisi gliserol dalam biopellet mempengaruhi nilai kalor secara langsung. Komposisi gliserol yang tinggi 10 dan 15% ternyata menurunkan performa biopellet terutama nilai kalornya. Hal ini diduga karena gliserol pada suhu tinggi akan melepaskan senyawa akrolein yang mudah terbakar dan menyebabkan biomassa mengalami pembakaran internal sehingga menurunkan performa biopellet. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komposisi gliserol yang optimum adalah maksimal 5%. 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Kontrol
Gliserol 5% Gliserol 10% Gliserol 15%
TKS
PS
CS
BB
CJ
KAM
Gambar 6. Nilai kalor Biopellet dengan penambahan Gliserol Nilai kalor bio-pellet dari tandan kosong sawit diketahui cukup tinggi dan dengan penambahan gliserol mengalami peningkatan pada komposisi 5% dan pada komposisi 10 dan 15% mengalami penurunan tetapi masih lebih tinggi dari kontrol. Sedangkan biopellet dari cangkang sawit diketahui mengalami peningkatan nilai kalor pada semua komposisi penambahan gliserol. Pada komposisi 5% mencapai 4622 kal/gram dan tertinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Sedangkan pada komposisi 10 dan15% mengalami penurunan tetapi masih lebih tinggi daripada kontrol dengan nilai 4399 kal/kg dan 4339 kal/kg.
435
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI KESIMPULAN Bio-pellet dengan penambahan perekat tepung tapioka, batu bara muda, dan gliserol menghasilkan sifat fisik dan mekanis serta analisis proximate dan nilai kalor yang meningkat untuk beberapa jenis biomassa. Dari hasil pengujian sifat fisik dan mekanis biopellet dengan perekat tapioka pada komposisi 1,3, dan 5% memberikan pengaruh terhadap densitas, ketahanan terhadap goncangan, dan kuat tekan. Sedangkan nilai kalor yang tertinggi mencapai 4899 kal/gram diperoleh dari biopellet cangkang sawit dengan komposisi tapioka 3%. Dengan penambahan batu bara muda, sifat fisik dan mekanis seperti densitas, ketahanan goncangan, dan kuat tekan tidak mengalami perubahan secara siginifikan dibandingkan dengan kontrol meskipun penambahan batu bara muda dengan komposisi 5 dan 10% memberikan pengaruh terhadap ketiga indikator pengujian tersebut. Nilai kalor tertinggi diperoleh dari biopellet kulit kayu akasia dengan komposisi batu bara muda 5% yang dapat mencapai 5548 kal/gram. Penambahan gliserol dalam biopellet kurang berpengaruh signifikan terhadap sifat fisik dan mekanis seperti halnya dengan penambahan batu bara muda. Dengan komposisi gliserol 5% pada biopellet dari cangkang sawit diperoleh nilai kalor mencapai 4622 kal/gram. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih pada program insentif PKPP (peningkatan Peneliti dan Perekayasa) 2012 Kementrian Riset dan Teknologi yang telah mendanai hingga kegiatan ini selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fazar Akbar dan Sudarmanto yang telah membantu dalam kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. dari http://www.esdm.go.id/publikasi/lainlain.html Bergman R. dan J. Zerbe. 2004. Primer on Wood Biomass for Energy. USDA Forest Service, State and Private Forestry Technology Marketing Unit Forest Products Laboratory. Madison, Wisconsin. El Bassam N. dan P. Maegaard. 2004. Integrated Renewable Energy or Rural Communities. Planning guidelines, Technologies and Applications. Elsevier. Amsterdam Huege F.R. dan K.D.Ingram.2006. Briquetting of Lime Based Products with Carbon Based Additives. United State Patent Organization Leach G. dan Gowen. M. 1987. Household Energy Handbook: An Interim Guide and Reference Manual. World Bank Technical Paper No.67. The World Bank. Washington, DC. Robertson. S. 2002. SIDS Initial Assessment Report CAS No 56-81-5 Glycerol. National Centre for Ecotoxicology and Hazardous Substance Isis House. Wallingford, UK. Saptoadi. H. 2006. The Best Briquette Dimesnionand Its Particle Size. The 2 nd Joint International Conference oc Sustainable Energy and Environment (SEE 2006), 21-23 November 2006. Bangkok, Thailand. Siemers W. 2006. Prospect for Biomass and Biofuels in Asia. The 2nd Joint International Conference oc Sustainable Energy and Environment (SEE 2006), 21-23 November 2006. Bangkok, Thailand. Thompson J.C dan He B.B. 2006. Characterization of Crude Glycerol from Biodiesel Production from Multiple Feedstocks. Applied Engineering in Agriculture Vol 22, 2, 261-265. American Society of Agricultural and Bioogical Engineers. ___________, National Energy Policy Vision 25/25. Dari http://www.energyefficiencyindonesia.info/energy/indonesia/vision25 ___________, Pedoman Effisiensi Energi untuk Industri di Asia, Bahan Bakar dan Pembakaran. www.energyefficiencyasia.org
436
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS MUAT BONGKAR DAN PENGANGKUTAN KAYU Acacia Mangium MELALUI TEKNIK YANG RAMAH LINGKUNGAN Yuniawati, Sona Suhartana & Rahmat Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan. E-mail: [email protected] ABSTRAK Kegiatan muat, bongkar dan angkut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pemanenan kayu yang berfungsi mengeluarkan kayu dari petak tebang ke tujuan akhir. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 di areal kerja HPHTI PT Surya Hutani Jaya, Provinsi Kalimantan Timur. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui rata-rata produktivitas dan biaya muat bongkar serta pengangkutan dengan teknik RIL dan setempat pada kayu Acacia mangium. Metode penelitian menggunakan teknik RIL dan teknik setempat dengan menghitung rata-rata produktivitas dan biaya dari kegiatan muat, bongkar dan angkut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Rata-rata produktivitas dan biaya muat dengan teknik RIL dan setempat berturut-turut sebesar 349,029 m3.m/jam, 339,612 m3.m/jam, Rp 927,5/ m3, dan Rp 953,2/m3; 2. Rata-rata produktivitas dan biaya bongkar dengan teknik RIL dan setempat berturut-turut sebesar 419,483 m3.m/jam, 410,273 m3.m/jam, Rp 771,9/m3, dan Rp 788,6/m3; 3. Rata-rata produktivitas dan biaya angkut dengan teknik RIL dan setempat berturut-turut 257,993 m3km/jam, 249,371 m3km/jam, Rp 1.112,3/m3, dan Rp 1.150,1/m3; 4. Melihat keuntungan yang bakal didapat apabila menerapkan teknik RIL dalam pengeluaran kayu maka terbuka peluang bagi pengusaha hutan untuk menerapkan teknik RIL. Kata kunci : Produktivitas, biaya, RIL, muat, bongkar, angkut I. PENDAHULUAN Untuk tercapainya target yang telah ditetapkan maka diperlukan kelancaran dalam kegiatan muat bongkar dan pengangkutan kayu. Muat bongkar merupakan salah satu kegiatan dalam pemanenan kayu, yaitu menaikkan kayu ke atas alat angkut dan menurunkannya dengan cara dan alat tertentu. Di luar pulau Jawa, pada areal hutan yang luas, kegiatan muat bongkar umumnya menggunakan peralatan semi mekanis dan mekanis untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan biaya minimal. Penggunaan alat muat bongkar berpengaruh langsung terhadap produktivitas dan biaya pengangkutan. Sistem kerja muat bongkar harus secepat mungkin supaya alat angkut, berupa truk dapat segera berjalan. Kapasitas alat muat bongkar yang lebih kecil daripada kapasitas alat angkut menyebabkan truk terpaksa menunggu. Sebaliknya jika kapasitas alat muat bongkar lebih besar dari kapasitas angkut maka alat muat bongkar harus menunggu sampai truk kosong tiba. Pengangkutan kayu adalah pengangkutan kayu dolok dari TPn sampai tempat tujuan akhir (pabrik pengolahan kayu, tempat penimbunan kayu/TPK atau langsung ke konsumen). Tujuan pengangkutan kayu adalah agar kayu dapat sampai di tempat konsumen pada waktu yang tepat dengan biaya minimal. Kayu tidak boleh terlalu lama tertimbun di hutan, sebab akan menurunkan kualitas kayu (Elias, 1988). Seperti diketahui bahwa produk hasil hutan berupa kayu merupakan suatu barang yang bersifat memakan tempat dan sangat berat. Oleh karena itu harus dicapai suatu cara agar pengangkutan dapat semurah-murahnya. Hasil
437
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI penelitian yang menunjukkan rata-rata produktivitas muat bongkar dan angkut pada kondisi lapangan dan teknik yang berbeda yaitu : 1. Dulsalam dan Tinambunan (2006) menyebutkan rata-rata pengeluaran kayu menggunakan kabel layang P3HH24 pada kelerengan di atas 15% sebesar 2,519 m3/jam dengan biaya Rp 15.713/m3; 2. Suhartana, et al., (2009) mengatakan bahwa rata-rata produktivitas angkut kayu dengan pontoon menggunakan kapal tarik (tugboat) di hutan rawa gambut adalah 596,06 m3.km/jam dengan biaya Rp 858,6/m3.km; 3. Suhartana et al.,(2011) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas muat bongkar (cara pikul) dan angkut kayu jati teknik terkontrol masing-masing adalah 3,103 m3/jam, 4,859 m3/jam dan 47,573 m3/jam/km dengan biaya rata-rata Rp 12.902,4/m3, Rp 8.233,4/m3, dan Rp 3.125,7/m3/km. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui rata-rata produktivitas dan biaya muat bongkar serta pengangkutan dengan teknik RIL dan setempat pada kayu Acacia mangium. II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 di areal kerja HPHTI PT Surya Hutani Jaya, Distrik Sebulu. Areal ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan letak goegrafisnya, kelompok hutan ini terletak di antara 00° 32’ - 00°17’ LS dan 116° 67’ – 117° 14’ BT. Keadaan areal penelitian sebagian besar memiliki kemiringan lapangan antara 0 – 25 % dengan ketinggian tempat antara 25 -250 meter dari permukaan laut. Jenis tanah didominasi oleh Ultisol. Adapun tipe Iklim menurut Schmit & Ferguson termasuk type B dengan curah hujan bulanan 2.109,1 mm. Keadaan tegakan pada areal penelitian berupa jenis pohon Acacia mangium dengan kerapatan sekitar 800 pohon/ha (untuk pohon berdiameter 10 cm ke atas). Dalam RKT tahun 2010, perusahaan memungut kayu dari areal seluas 5.948 Ha dengan target produksi kayu 301.852,57 m3 terdiri dari jenis kayu Acacia mangium. Rata-rata produksi kayu 197.552,2 Ton/Tahun. Rata-rata target produksi 481.683 Ton/Tahun. Industri hasil hutan yang diituju oleh perusahaan ini adalah PT Sarana Bina Semesta Alam (PT SBSA), terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, kapasitas terpasang 1,2 juta ton/tahun.
438
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di PT Surya Hutani Jaya, Kalimantan Timur
B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah meteran, pengukur waktu (stopwatch) sedangkan alat yang digunakan adalah ekskavator Hitachi PC 200, alat tulis, komputer, dan truk Hino FM 260 (alat yang dioperasikan di lapangan). C. Prosedur Penelitian 1.
Menentukan secara purposif petak tebang yang segera akan dilakukan pengangkutan.
2.
Melaksanakan muat, dan bongkar kayu dengan teknik setempat dan RIL masing-masing ulangan 5 rit.
3.
Melaksanakan pengangkutan dengan teknik setempat dan RIL dengan ulangan masing-masing 3 rit.
4.
Mencatat waktu kerja dan volume kayu yang dimuat, diangkut dan dibongkar serta jaraknya. Yang dimaksud muat, bongkar dan pengangkutan teknik RIL= pengangkutan dilakukan dengan pengaturan
muatan, penumpukkan kayu diatur sedemikian rupa dan jumlah muatan disesuaikan dengan kapasitas alat angkut. Sedang muat, bongkar dan angkut teknik setempat adalah pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada operator setempat untuk melakukan kebiasaannya.
439
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI D. Analisis Data Data lapangan diolah ke dalam bentuk tabulasi untuk dihitung nilai rata-rata dan simpangan bakunya. Untuk membandingkan kedua teknik muat, bongkar, angkut dilakukan uji-t (Steel & Torrie, 1980). 1) Produktivitas muat, bongkar, angkut VxJ P am = ____ ................................................................
(1)
W di mana: Pam = produktivitas muat/bongkar (m3.m/jam), produktivitas angkut (m3.km/jam); W = waktu efektif (jam); V= volume kayu (m3); J = jarak muat/bongkar (m), jarak angkut (km). 2) Biaya muat, bongkar, angkut, dihitung dengan menggunakan rumus dari FAO (Anonim,1992) sebagai berikut: BP + BA + BB + Pj + BBB + BO + BPr + UP Bam =
............................. H x 0,9
BP = BA = BB =
(2)
Pam
UPA H x 0,6 x 3% JT H x 0,6 x 18%
.....................................................................................
(3)
...............................................................................
(4)
.......................................................................................
(5)
...................................................................................... JT BBB1 =0,20 x HP x 0,54 x HBB ........................................................................
(6)
BBB2 = 0,12 x HP x HBB .................................................................................
(8)
BPr = 1,0 x BP...............................................................................................
(9)
BO = 0,1 x BBB..........................................................................................
(10)
Pj =
JT H x 0,6 x 2%
(7)
di mana :Bam = Biaya muat-bongkar(Rp/m3.hm), biaya angkut (Rp/m3.km); BO = Biaya oli/pelumas (Rp/jam); H = Harga alat (Rp); Bp = Biaya penyusutan (Rp/jam);. BA = Biaya asuransi (Rp/jam); Up = Upah pekerja (Rp/jam); BB = Biaya bunga (Rp/jam); Pj = Biaya pajak (Rp/jam); BBB 1= Biaya bahan bakar (Rp/jam); BBB2 = Biaya bahan bakar angkut (Rp/jam); Bpr = Biaya pemeliharaan (Rp/jam); HBB = Harga bahan bakar (Rp/liter); UPA = Umur pakai alat (jam); JT = Jam kerja alat per tahun (jam); HP = Besar daya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Produktivitas dan Biaya Kegiatan Muat Kegiatan muat yang ada di lapangan dilakukan dengan menyiapkan kayu dari timbunan kayu kemudian dimasukkan ke dalam truk. Di mana alat muat berjalan kosong menuju timbunan kayu dengan mendahulukan tumpukan yang berada di TPK. Alat muat akan mengambil kayu yang teratas dari tumpukan secara hati-hati agar susunan kayu tidak rusak. Alat muat yang bermuatan menuju truk . Alat muat segera melepaskan kayu dari jepitan ke atas truk. Hasil perhitungan produktivitas dan biaya muat di sajikan pada Tabel 1.
440
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1. Produktivitas dan biaya pemuatan kayu dengan ekskavator Hitachi PC 200 di Kaltim Waktu (jam) Volume (m3) Jarak (m) Produktivitas Biaya (m3.m/jam) (Rp/ m3.m)
No. Teknik RIL 1. 2. 3. 4. 5.
Rata-rata SD Teknik Setempat 1. 2 3. 4. 5. Rata-rata SD
0,381 0,387 0,361 0,381 0,359
26,235 26,155 25,975 26,121 25,875
5 5 5 5 5
344,291 337,920 359,765 342,795 360,376
939,6 957,3 899,2 943,7 897,7
0,374 0,013
26,072 0,145
5 0
349,029 10,353
927,5 27,32
0,385 0,394 0,369 0,389 0,369 0,381 0,012
25,423 26,148 25,897 26,112 25,795 25,875 0,292
5 5 5 5 5 5 0
330,169 331,827 350,908 335,630 349,526 339,612 9,893
979,8 974,9 921,9 963,8 925,5 953,2 27,56
Tabel 2. Biaya pemilikan dan operasi ekskavator Hitachi PC 200 untuk pemuatan kayu Komponen biaya Jumlah (Rp/jam) Biaya penyusutan Biaya asuransi Biaya bunga Biaya pajak Biaya bahan bakar Biaya Oli/pelumas Biaya perbaikan/pemeliharaan Biaya upah Total biaya mesin
54.000 10.800 54.000 7.200 113.400 11.340 54.000 18.750 323.490
Dari Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa penggunaan teknik RIL memiliki rata-rata produktivitas lebih tinggi yaitu 349,029 m3.m/jam daripada teknik setempat (pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada operator setempat untuk melakukan kebiasaannya) yaitu 339,612 m3.m/jam. Memiliki selisih rata-rata produktivitas 2,69%. Dengan menggunakan teknik RIl dapat meningkatkan rata-rata produktivitas sebesar 2,69%. Penerapan RIL dapat meminimalkan waktu kerja alat muat (saat berjalan kosong, muat, dan isi muatan). Hal ini karena adanya pengaturan jumlah muatan sesuai kapasitas alat angkut sehingga memudahkan alat muat berupa ekskavator untuk mengatur dan menyusun tumpukan kayu sehingga tidak jatuh ke tanah. Dengan pengaturan yang demikian maka waktu yang terbuang akibat memungut kayu yang jatuh ke tanah dapat diminimalkan. Lain halnya dengan teknik setempat (sesuai kebiasaan setempat) di mana memiliki rata-rata waktu kerja muat lebih lambat, hal ini disebabkan tidak adanya pengaturan tumpukan kayu akibatnya banyak waktu yang terbuang. Di samping itu pada penggunaan teknik setempat sering terjadi gangguan berupa kayu terlepas dari jepitan (akibat dari penumpukkan kayu yang tidak teratur). Karena memiliki produktivitas yang tinggi maka biaya kegiatan pemuatan dengan teknik RIL menjadi rendah yaitu rata-rata Rp 927,5 m3 dibandingkan dengan teknik setempat yaitu Rp 953,2 m3. Dengan selisih biaya yaitu 2,77%. Penggunaan teknik RIL dapat menurunkan biaya rata-rata sebesar 2,77%. Untuk memperkuat hasil tersebut, maka dilakukan uji-t yang menghasilkan t-hit = 1,471 <(t-tabel 95% = 2,306) untuk aspek produktivitas dan t-hit = 1,481 <(t-tabel 95% = 2,306) untuk aspek biaya. Dapat dikatakan bahwa dari aspek
441
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI produktivitas dan biaya muat kayu, ternyata antara kedua teknik berbeda tidak nyata atau dapat dikatakan kedua teknik pemuatan kayu adalah sama. B. Produktivitas dan Biaya Kegiatan Bongkar Kegiatan bongkar di lapangan merupakan kegiatan mengangkat atau mengambil kayu dari atas truk dengan menggunakan ekskavator. Alat bongkar berjalan bermuatan menuju tempat penimbunan kayu dan secara perlahan menurunkan kayu. Selanjutnya alat bongkar ke posisi awal untuk melanjutkan kegiatan bongkar. Hasil perhitungan produktivitas dan biaya bongkar disajikan pada tabel 3. No.
Tabel 3. Produktivitas dan biaya bongkar kayu dengan ekskavator Hitachi PC 200 di Kaltim Waktu (jam) Volume (m3) Jarak (m) Produktivitas Biaya (m3.m/jam) (Rp/ m3.m)
Teknik RIL 1. 2. 3. 4. 5. Rata-rata SD Teknik Setempat 1. 2 3. 4. 5. Rata-rata SD
0,310 0,307 0,313 0,316 0,308 0,311 0,004
26,235 26,155 25,975 26,121 25,875 26,072 0,145
5 5 5 5 5 5 0
423,145 425,977 414,936 413,307 420,049 419,483 5,355
767,5 759,4 779,6 782,7 770,1 771,9 9,42
0,313 0,326 0,312 0,313 0,313 0,315 0,006
25,423 26,148 25,897 26,112 25,795 25,875 0,292
5 5 5 5 5 5 0
406,118 401,043 415,016 417,125 412,061 410,273 6,616
796,5 806,6 779,5 775,5 785,1 788,6 12,78
Tabel 4. Biaya pemilikan dan operasi ekskavator Hitachi PC 200 untuk bongkar kayu Komponen biaya Jumlah (Rp/jam) Biaya penyusutan Biaya asuransi Biaya bunga Biaya pajak Biaya bahan bakar Biaya Oli/pelumas Biaya perbaikan/pemeliharaan Biaya upah Total biaya mesin
54.000 10.800 54.000 7.200 113.400 11.340 54.000 18.750 323.490
Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas bongkar kayu dengan menggunakan teknik RIL yaitu sebesar 419,483 m3.m/jam lebih tinggi daripada menggunakan teknik setempat (410,273 m3.m/jam) dengan selisih sebesar 2,20%. Dengan demikian penggunaan alat ekskavator Hitachi PC 200 untuk membongkar kayu dapat meningkatkan rata-rata produktivitas sebesar 2,20%. Hal ini disebabkan adanya pengaturan tinggi tumpukan yang tersusun rapi dan tidak melebihi kapasitas pada kegiatan pemuatan sehingga pada saat pembongkaran muatan memudahkan alat bongkar untuk beraktivitas. Akibatnya rata-rata waktu yang diperlukan untuk membongkar muatan dengan teknik RIL lebih cepat daripada teknik setempat. Hasil perhitungan biaya produksi (Tabel 3) menunjukkan bahwa biaya produksi dengan menerapkan teknik RIL dapat mengurangi biaya bongkar. Rata-rata biaya bongkar dengan teknik RIL yaitu Rp. 771,9/ m3. Sedangkan dengan
442
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI teknik setempat memiliki rata-rata yaitu Rp 788,6/ m3. Selisih biaya dari kedua teknik tersebut sebesar 2,16%. Dengan demikian penggunaan teknik RIL dapat menurunkan biaya produksi sebesar 2,16%. Penggunaan teknik RIL menghasilkan rata-rata produktivitas yang tinggi dan biaya yang rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis statistik uji-t. Dari aspek produktivitas menghasilkan t-hit = 2,420* >(t-tabel 95% = 2,306). Pada aspek biaya menghasilkan t-hit = 3,465** >(t-tabel 99% = 3,355). Hal ini berarti antara kedua teknik bongkar kayu berbeda nyata pada taraf 95% (aspek produktivitas) dan berbeda sangat nyata pada taraf 99% (aspek biaya produksi). Dapat dikatakan bahwa dari aspek produktivitas dan biaya bongkar kayu, ternyata teknik bongkar RIL lebih baik daripada teknik setempat. C. Produktivitas dan Biaya Kegiatan Pengangkutan Menggunakan Truk Produktivitas kerja pengangkutan diperoleh dari hasil perhitungan waktu kerja berjalan kosong truk dengan berjalan muatan. Dari Tabel 5 diperoleh rata-rata produktivitas menggunakan teknik RIL sebesar 257,993 m 3km/jam lebih tinggi daripada rata-rata menggunakan teknik setempat yaitu 249,371 m3km/jam dengan selisih 3,34%. Menggunakan teknik RIL dapat meningkatkan rata-rata produktivitas pengangkutan sebesar 3,34%. Tingginya rata-rata produktivitas pengangkutan dengan teknik RIL selain karena keterampilan supir truk yang tinggi, kondisi jalan yang baik (selalu dipelihara atau ada perawatan), kondisi truk yang digunakan sangat baik di mana perawatan dan pemeliharaan alat rutin dilakukan terutama pemeriksaan kondisi truk. Teknik RIL mengatur banyaknya kayu yang dapat dimuat sesuai kapasitas truk sehingga tidak kelebihan beban muatan. Rata-rata produktivitas dan biaya angkut menggunakan truk disajikan pada Tabel 5. No. Teknik RIL 1. 2. 3. Rata-rata SD 1. 2 3. Rata-rata SD
Tabel 5. Produktivitas dan biaya angkut kayu dengan truk Hino FM 260 di Kaltim Waktu (jam) Volume (m3) Jarak (km) Produktivitas (m3.km/jam)
Biaya (Rp/ m3.km)
6,115 5,753 6,641
29,387 28,975 29,654
54,10 54,00 54,20
259,990 271,971 242,019 257,993 15,076
1.101,2 1.052,7 1.183,0 1.112,3 65,855
6,338 6,094 6,657
28,995 29,575 29,290
54,00 54,20 54,10
247,039 263,040 238,034 249,371 12,665
1.159,0 1.088,5 1.202,8 1.150,1 57,667
Tabel 6. Biaya pemilikan dan operasi truk Hino FM 260 untuk pengangkutan kayu Komponen biaya/ Jumlah (Rp/jam)/ Cost components Amount (Rp/hour) Biaya penyusutan/Depreciation cost 33.750 Biaya asuransi/Insurance cost 6.750 Biaya bunga/Interest cost 33.750 Biaya pajak/Taxes cost 4.500 Biaya bahan bakar/Fuel cost 129.600 Biaya Oli/pelumas/Oil and grease cost 12.960 Biaya perbaikan/pemeliharaan/Servicing and repairing cost 33.750 Biaya upah/Wages cost 31.250 Total biaya /Total cost = Biaya mesin 286.310
443
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 6 menunjukkan bahwa penggunaan teknik RIL memiliki rata-rata biaya produksi yang lebih rendah daripada teknik setempat yaitu Rp 1.112,3 m3 dengan selisih 4,20%. Hasil analisisi statistik uji-t menunjukkan bahwa dari aspek produktivitas menghasilkan t-hit = 0,759< (t-tabel 95% = 2,776),dan aspek biaya menghasilkan t-hit = 0,748< (ttabel 95% = 2,776). Dapat dikatakan bahwa dari aspek produktivitas dan biaya angkut kayu, ternyata antara kedua teknik berbeda tidak nyata atau dapat dikatakan kedua teknik pengangkutan kayu adalah sama. IV. KESIMPULAN Kegiatan muat bongkar dan pengangkutan merupakan kegiatan satu paket yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pengeluaran kayu. Penggunaan teknik RIL dapat meningkatkan rata-rata produktivitas muat, bongkar dan pengangkutan kayu masing-masing sebesar 2,69%, 2,20% dan 3,34%. Pengeluaran biaya dalam kegiatan muat bongkar dan pengangkutan memiliki pos yang mahal, sehingga penggunaan teknik RIL dapat menurunkan biaya produksi tersebut. Penurunan biaya dengan teknik RIL pada kegiatan muat, bongkar dan pengangkutan masing-masing sebesar 2,77%, 2,16% dan 4,20%. Melihat keuntungan yang bakal didapat apabila menerapkan teknik RIL dalam pengeluaran kayu maka terbuka peluang bagi pengusaha hutan untuk menerapkan teknik RIL. DAFTAR PUSTAKA Anonim,1992. Cost control in forest harvesting and road construction. FAO Forestry Paper No. 99, FAO of the UN. Rome. Dulsalam & D. Tinambunan. 2006. Produktivitas dan biaya pengeluaran kayu dari hutan tanaman dengan sistem kabel layang P3HH24 di KPH Pekalongan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol 24(1):77-88. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Elias. 1988. Pembukaan Wilayah Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Steel, R.G.D & J.H. Torrie, 1980. Pronciples and Procedures of Statistics. Mc. Graw-Hill Book Co., Inc. New York. 633 pp Suhartana, S., Yuniawati & Sukanda. 2009. Pengangkutan kayu melalui kanal di hutan rawa gambut. Kasus di satu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Wahana Foresta Vol 2(2):34-41. Fakultas Kehutanan. Universitas Lancang Kuning. Riau. Suhartana, S., Yuniawati & Rahmat. 2011. Produktivitas dan biaya muat bongkar dan pengangkutan kayu jati (Tectona grandis Linn.f) di KPH Cianjur. Jurnal Wahana Foresta Vol. 4(1): 37-44. Fakultas Kehutanan. Universitas Lancang Kuning. Pekanbaru.
444
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
KAJIAN SIFAT FISIK, MEKANIKA DAN ANATOMI KAYU MANGIUM (Acacia mangium) di AREAL REKLAMASI TAMBANG BATUBARA Yusdiansyah, Wartomo, Fikri Hernandi ABSTRAK Reklamasi lahan pasca tambang batubara, merupakan usaha menghutankan kembali lahan yang bersangkutan. Namun degradasi lahan (perubahan daya dukung tanah), dan tingkat kesuburan tanah yang rendah akibat penambangan batubara, akan mempengaruhi sifat-sifat kayu yang ditanam pada areal tersebut, seperti sifat anatomi dan sifat fisika dan mekanika kayunya. Target utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi: menyediakan data teknis mengenai sifat-sifat kayunya ( anatomi, sifat fisika dan mekanika) serta kualitas produk yang dihasilkan pada areal reklamsi lahan pascatambang. Kayu Mangium yang digunakan untuk penelitian berumur ± 9 tahun (tahun tanam 2004/2005) berasal dari reklamasi lahan PT. Kitadin Embalut dan HTI PT. Surya Hutani Lestari Sebulu. Penelitian dilakukan di Laboratorium Anatomi dan Identifikasi Kayu, Laboratorium Fisik dan Mekanik Kayu Universitas Mulawarman dan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.. Pembuatan dan pengujian struktur anatomi kayu menggunakan standar IAWA, untuk sifat fisik dan mekanik menggunakan standar DIN. Adapun hasil dari penelitian ini secara umum nilainya berbeda. dimana yang kayu yang tumbuh pada areal bekas tambang, anatomi sel pori D 226,68, T 225,48, J 5,24, Sel Jari-jari T 3743, L 23,28, J 6,89 dan Persentase Sel PR 11,32, JJ 9,97, PA 4,46, S 74,25. Untuk Anatomi HTI D 220,21, T216,02, J 5,68, Sel Jari-Jari T 367,23, L 23,39, J 6,85, Persentase Sel PR 11,32, JJ 9,67, PA 4,31, S 75,27. Dimensi dan nilai turunan serat kayu pada areal bekas tambang PS 978,13, DS 34,26, DL 26,16, TDS 4,05, RR 0,33, FP 29,45, FR 0,76, CoR 0,12 dan MR 42,32, pada areal HTI PS 962,67, DS 33,93, DL 26,18, TDS 3,88, RR 0,31, FP 29,93, FR 0,77, CoR 0,12, MR 40,84. Untuk sifat fisika dan mekanika pada areal bekas tambang KA segar 112,68%, Kerapatan 0,57g/cm 3, penyusutan vol 9,43, pengembangan,vol 9,08, sedangkan pada areal HTI KA segar 114,42%, Kerapatan 0,54g/cm 3, penyusutan vol 8,78, pengembangan,vol 9,08, Kata kunci : Tambang batubara, HTI, kayu mangium, anatomi, serat, sifat fisika dan mekanika.
BAB I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Sumberdaya mineral yang berupa bahan galian yang terkandung dalam bumi merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional. Kalimantan Timur yang kaya akan sumber daya alam, selain sumber daya hutan dan migas, sektor tambang batubara merupakan salah satu sumber devisa terbesar. Namun dalam pemanfaatannya, selain mengutamakan aspek-aspek ekonomis yang dituntut, juga pemanfaatannya yang berwawasan lingkungan dengan mempersyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya mineral harus memperhatikan pengembalian fungsi lahan dan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. Guna menekan dampak lingkungan terhadap areal yang terbuka ini, harus dilakukan reklamasi atau pemulihan kembali lahan yang terbuka dan tandus dengan jenis pohon tertentu yang mampu bertahan pada kondisi lahan tersebut dan dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukkannya. Degradasi lahan yakni perubahan daya dukung tanah akibat penambangan batubara ini, tentunya berdampak pada pola perkembangan dan pertumbuhan pohon-pohon di lahan tersebut, yang akan membentuk variabilitas kayu salah satu indikatornya adalah variasi dalam struktur anatomi, sifat fisika dan mekanika kayu yang akan berpengaruh terhadap kualitas kayu. Adanya variabilitas kayu ini merupakan hasil dari suatu sistem interaksi faktor-faktor yang komplek sehingga merubah proses-proses fisiologis kambium yang terlibat dalam proses pembentukan kayu. B. Tujuan Penelitian Orientasi pengelolaan reklamasi lahan pasca tambang batubara tidak hanya menitikberatkan pada pertumbuhan pohon dan pemulihan fungsi lahan kembali seperti semula. Tetapi juga berorientasi kayunya dapat dimanfaatkan, karena jenis yang ditanam umumnya tanaman yang saat ini dikembangkan di areal hutan tamanan
445
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI industri (HTI). Berdasarkan hal tersebut diatas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1. Mengetahui struktur anatomi, sifat fisik dan mekanika kayu Acacia mangium Willd yang tumbuh di areal reklamasi lahan pascatambang batubara. 2. Mengetahui apakah perubahan daya dukung tanah memberikan dampak perubahan terhadap struktur anatomi, sifat fisika dan mekanika kayu. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data dan informasi mengenai struktur anatomi dan sifat fisikamekanika kayu Mangium yang tumbuh di areal reklamasi lahan pascatambang batubara. Serta diharapkan akan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu Anatomi Kayu, Fisika dan Mekanika Kayu dalam rangka identifikasi sehingga menjadi dasar pemikiran dalam penentuan pengelolaan dan pengolahan kayu lebih lanjut di masa mendatang. BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Sifat Kayu dan Analisis Produk Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, Laboratorium Anatomi dan Identifikasi Kayu serta Laboratorium Fisika dan Mekanika Kayu Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 7 bulan. Adapun urut-urutan kegiatannya adalah sebagai berikut : 1. Survei lokasi pada areal reklamasi lahan pascatambang untuk menentukan tempat pengambilan pohon Akasia mangium sesuai dengan kriteria yang ditentukan. 2. Penebangan pohon yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan standar yang digunakan. 3. Pengangkutan kayu yang telah di tebang dari lokasi penebangan (Kabupaten Berau) ke laboratorium Teknologi Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda di Samarinda dengan menggunakan angkutan darat. 4. Pembuatan contoh uji, dengan memotong-motong kayu menjadi bagian (ukuran) yang disesuaikan dengan standar. 5. Pengujian contoh uji dengan berbagai alat (mesin) uji yang telah dikalibrasi terlebih dahulu. 6. Pengolahan data dan pelaporan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing pengujian. B. Bahan penelitian dan peralatan penelitian 1.
Bahan baku
Jenis kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon Acacia mangium pada umur + 9 tahun (tahun tanam 2004/2005) dan jarak tanam 3 x 3 m dari areal hasil reklamasi lahan pasca tambang batubara PT. Kitadin Kabupaten Kutai Kartanegara dan PT. Surya Hutani Lestari Kecamatan Sebulu 2. Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan; HNO3 65%, KClO3, Alkohol, Aquades, Xylol, zat pewarna Safranin, Lem/Kanada Balsam, Analine Blue, dan perekat canada balsam untuk preparat yang akan diawetkan. 3.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gergaji, hand counter, seperangkat mikroskop layar, tabung film, mikroskop Olympus BH-2, alat pemanas (warmer), seperangkat slice microtome, kompor listrik, kaca objek, cutter, pisau, kaca penutup dan alat tulis menulis
446
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI C. Pelaksanaan Penelitian Survey lokasi Survey dilakukan pada areal reklamasi lahan pascatambang, guna menentukan lokasi yang sesuai baik dari segi criteria tempat tumbuh, jenis dan umur pohon maupun kemudahan dalam menangani kayu setelah ditebang dan dipotong-potong. 1.
Penebangan pohon Pohon yang telah ditetapkan terlebih dahulu kemudian dilakukan penebangan, penebangan dilakukan dengan menggunakan gergaji rantai. Dalam menebang pohon tersebut, terlebih dahulu diberi tanda arah mata angin dan diameter batang, kemudian batang pohon tersebut dibagi berdasarkan letak ketinggian dalam batang, yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung.
2.
Pengangkutan Pengangkutan kayu dari lokasi tambang (Kabupaten Kutai Kartanegara) ke Kota Samarinda digunakan truk melalui jalan darat, yang diperkirakan memakan waktu 2 hari.
3.
Pembuatan contoh uji Untuk uji struktur anatomi, masing-masing pohon diambil bagian batang dan dipotong menjadi 3 bagian yakni pangkal, tengah dan ujung dengan jarak yang sama. Tiap bagian tersebut diambil contoh uji kearah radial yang berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm sebanyak 3 buah yang digunakan untuk membuat sayatan tipis pada tiga bidang pengamatan kayu. Disamping itu dibuat pula contoh uji dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1 cm sebanyak 3 buah yang akan digunakan untuk dilakukan pemisahan serat/maserasi. Pengamatan struktur anatomi mengacu pada standar IAWA (The Internasional Association of Wood Anatomists, 1989) Contoh uji sifat fisika dan mekanika kayu dibuat dari tiap pohon dibagi menjadi tiga bagian yaitu pangkal, tengah, ujung. Tiap bagian dipotong menjadi kayu berbentuk balok (tongkat). Pengujian sifat fisika-mekanika mengacu pada standar DIN (Deutches Institut fuer Normung) dari Jerman (Scharad-Rad, 1985) dengan cara pengambilan dan ukuran
4.
Pengujian
Pengamatan struktur anatomi Pengamatan dan pengukuran mikroskopis kayu dari preparat hasil sayatan dilakukan dengan mengukur : Pengukuran tinggi sel pori menggunakan mikroskop Olympus BH-2 dengan micrometer pada lensa mata mikroskop dengan perbesaran 100 kali dan nilai konversinya 14,92 ụm. Pengukuran diameter sel pori dilakukan pada bidang transversal dengan menggunakan mistar (mm) pada mikroskop layar dan nilai konversinya 14,92 µm Pengukuran tinggi dan lebar sel jari-jari dilakukan pada bidang tangensial dengan menggunakan mikroskop layar dengan nilai konversi 14,92 µm. Pengukuran jumlah sel pori dilakukan pada bidang transversal dengan manggunakan kertas dilubangi persegi empat sesuai dengan ukuran yang telah dikonversikan di mikroskop layar (1 mm x 1 mm). Pengukuran jumlah sel jari-jari dilakukan dengan menghitung jumlah sel jari-jari per mm, hanya sel jari-jari yang terdapat pada garis tengah saja yang dihitung. Karena garis tengah sudah menunjukkan ukuran 1 mm. Pengukuran persentase sel pori, sel parenkim dan sel jari-jari dilakukan dengan menggunakan metode dot grid pada mikroskop layar. dengan menggunakan rumus :
Persentasesel
Jumlah titik yang ada didalam sel x 100% 441
Sedangkan sel tersebut dihitung dengan menggunakan rumus : Persentase sel serabut = 100 % - % sel pori - % sel jari-jari - % sel
parenkim
Pengukuran dimensi serat menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer pada pada lensa okulernya. Untuk pengukuran panjang serat dengan pembesaran 100 kali dan pembesaran 400 kali untuk diameter serat dan lumen., sedangkan untuk tebal dinding serat dihitung dengan rumus :
Tebal dinding serat
serat lumen 2
447
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Perhitungan nilai turunan serat Nilai turunan serat dapat dihitung dari nilai dimensi serat dengan menggunakan rumus sebagai berikut ; -
Runkel ratio
-
Felting power
-
Flexibility ratio
-
Coefisien of rigidity
-
Muhlsteph ratio
2 x tebal dinding serat diameter serat Panjang serat = diameter serat diameter lumen = diameter serat tebal dinding serat = diameter serat =
Di mana :
= d l
d
2
l2 x 100% d2
= diameter serat = diameter lumen
Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik Pegujian sifat fisik dan mekanik dalam penelitian ini menggunakan Standar DIN meliputi ; a. Sifat Fisik 1. Kadar air (DIN 52 183-77) Menimbang masing-masing contoh uji, kemudian mengeringkan ke dalam oven dengan suhu 103 2 0 c selama ±24 jam dan ditimbang untuk mendapatkan berat kering tanur, dan dihitung dengan rumus; dimana ;
mw mo x100% mo
µ = kadar air (%) mu = berat basah mo = berat kering tanur
2. Kerapatan (DIN 52 182 – 76) Menimbang masing-masing berat contoh uji dan mengukur dihitung dengan rumus;
dimensinya yaitu panjang lebar dan tebal, kemudian
m ( g / cm3 ) v
dimana ; ς = kerapatan m0 = berat dalam kering tanur v0 = volume dalamkering tanur 2.
Pengembangan/penyusutan (DIN 52 184 – 79)
Mengukur tiga arah (panjang, lebar dan tebal) dalam keadaan basah (di atas titik jenuh serat) kemudian mengukur kembali seperti semula dalam keadaan sampel kering tanur, dihitung dengan rumus :
maks
lw l x100% Lw
dimana ; β maks = penyusutan maksimum lw = ukuran dalam keadaan basah l0 = ukuran dalam kering tanur
448
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI b. Sifat Mekanik 1.
Kekakuan dan Keteguhan Patah (DIN 52 186 – 78)
Pengujian kekakuan dan keteguhan patah yang dihitung dengan rumus :
b
l 3 F 4.b . a3 f
dimana ;
βb
= kekakuan l = panjang contoh uji a = lebar arah tangensial b = lebar arah radial ΔF = selisih beban dalam batas elastis Δf = simpangan dari pusat contoh uji sesuai beban
N / mm
3F . l 2 b. a2
b
( N / mm2 )
2
dimana ; βb = keteguhan patah F = beban 2.
Keteguhan Tekan (DIN 52 185 – 76)
Pengujian tekan sejajar serat dihitung dengan menggunakan rumus ;
F A
c, //
( N / mm2 )
dimana ; βc, // = keteguhan tekan sejajar serat F = beban maksimum A = luas penampang melintang sebelum dikenai beban 3.
Keteguhan Pukul (DIN 52 189 – 48)
Pengujian keteguhan pukul dihitung dengan menggunakan rumus ;
w dimana ;
5.
W A
( J / mm2 )
w = keteguhan pukul W = gaya pukul A = luas penampang melintang contoh uji (=a.b)
Pengolahan data
Untuk mengetahui pengaruh perbedaan keadaan pohon yang tumbuh pada areal bekas tambang dan areal HTI (Hutan Tanaman Industri), maka dilakukan uji dengan menggunakan uji - t BAB IV . HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian dengan dengan beberapa pengujian diperoleh hasil sebagai berikut : Anatomi kayu Nilai rata-rata Anatomi Kayu Akasi mangium Yang Tumbuh Pada Tempat Yang Berbeda Tempat Tumbuh
Sel Pori
PR
JJ
PA
6.89
11.32
9.97
4.46
74.25
HTI 220.21 216.02 5.68 367.23 23.39 6.85 10.75 9.67 4.31 Dimana : D- Diameter, T- Tinggi, J- Jumlah, L- Lebar, PR- Pori, JJ- Jari-jari, PA- Parenkim Aksial, S- Serabut
75.27
226.86
T 225.48
J 5.24
T 375.43
L
Persentase Sel J
Rekl Tbng
D
Sel Jari-jari
23.28
449
S
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Nilai rata-rata Dimensi dan Nilai Turunan Serat Kayu Akasi mangium Yang Tumbuh Pada Tempat Yang Berbeda Tempat
Dimensi Serat
Tumbuh Rekl Tbng
PS 978.13
DS
DL
34.26
26.16
Nilai Turunan Serat TDS
RR
FP
FR
CoR
4.05
0.33
29.45
0.76
0.12
MR 42.32
HTI 962.67 33.93 26.18 3.88 0.31 29.93 0.77 0.12 40.84 Dimana: RR- Runkel Ratio, FP- Felting Power, FR- Flexibility Ratio, CoR- Coeffisien of Rigidity, MR- Muhlsteph Ratio Sifat Fisika dan Mekanika Nilai Rata-rata Sifat Fisika Kayu Akasi mangium Yang Tumbuh Pada Tempat Yang Berbeda Tpt KA. Penyusutan Tumbuh Segar Krpt (%)
Pengembangan
(g/cm3)
t (%)
r(%)
l(%)
Vol
Anis
t(%)
r(%)
l(%)
Vol
Anis
Rekl Tbng
112.68
0.57
2.75
6.10
0.33
9.18
2.29
2.85
6.25
0.33
9.43
2.29
HTI
114.42
0.54
2.68
5.69
0.27
8.78
2.19
2.75
6.05
0.27
9.08
2.37
Nilai Rata-rata Sifat Mekanika Kayu Akasi mangium Yang Tumbuh Pada Tempat Yang Berbeda MOE MOR Tekan //Srt Pukul Tpt Tumbuh (N/mm2) (N/mm2) (N/mm2) (J/mm2) Rekl Tbng
16906.31
85.29
58.4902
0.0646
HTI
16015.58
84.21
54.1129
0.0433
Dari hasil pengukuran pada tabel di atas, untuk nilai anatomi kayu, terlihat bahwa nilai rata-rata untuk kayu mangium yang tumbuh pada areal pascatambang lebih besar dibandingkan dengan kayu mangium yang tumbuh pada areal hutan tanaman industri. Hal ini dikarenakan kecepatan pertumbuhan kayu pada areal pascatambang lebih lambat dibandingkan pada kayu pada areal hutan tanaman industri, karena tingkat kesuburan tanah yang berbeda. Kayu yang kecepatan tumbuhnya lebih tinggi sel-sel kayunya cenderung lebih tipis, sehingga mempengaruhi sifat-sifat anatominya. Berdasarkan nilai dimensi dan turunan seratnya untuk kedua kayu yang tumbuh pada areal pascatambang dan hutan tanaman industri memiliki nilai dalam klasifikasi II yang berarti bila dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas diduga menghasilkan kekuatan yang tinggi. Sifat fisika kayu pada kayu areal pascatambang cenderung lebih tinggi terutama kerapatannya, bila dibandingkan dengan kayu HTI, sehingga sifat- sifat kayu lainnya baik sifat fisik maupun mekanik akan berbanding lurus dengan kerapatan kayunya. BAB V. KESIMPULAN 1.
Tempat tumbuh akan mempengaruhi pertumbuhan pohon (kayu),dimana semakin subur tanah yang digunakan sebagai tempat tanaman makan kecepatan pertumbuhannya semakin cepat (besar).
2.
Kecepatan pertumbuhan yang berbeda maka sifat anatomi kayunya juga berbeda (ukuran).
3.
Perbedaan sifat anatomi kayunya, maka sifat fisika kayunya juga berbeda, semakin besar kecepatan pertumbuhannya maka semakin kecil (rendah) sifat fisika kayunya.
4.
Sifat fisika berbeda maka sifat mekanikanyapun berbeda. bila sifat mekanikanya rendah (kecil) maka sifat mekanikanyapun rendah (kecil)
450
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1969. Kayu Daun Untuk Pulp dan Kertas. Berita Selullosa (5) Anonim. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta Anonim. 1992. Vademecum Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, Jakarta Anonim. 2000. Pedomen Reklamasi Lahan pada Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Budiarso, E. 1988. Pembuatan Preparat Pengamatan Struktur Anatomi Kayu. Mulawarman, Samarinda
Fakultas Kehutanan Universitas
Budi, A.S. 1998. Sifat dan Kegunaan Kayu Tropis (Khususnya terhdap Kayu-kayu Penting Indonesia. Rimba Kalimantan. Fahutan Universitas Mulawarman, Samarinda. Butterfield, B.E. dan B.A. Meylan. 1980. Struktur Kayu dalam Tiga Dimensi. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Fahn, A. 1992. Anatomi Tumbuhan. Gadjah Mada University, Yogyakarta. Fengel, D dan Wegener, G. 1995. Kimia Kayu dan Reaksi-reaksi Ultra Struktur (Terjemahan). Gajah Mada University press, Yogyakarta. Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. IAWA Committee. 1989. IAWA List of Microscopic Features for Hardwood Identification. IAWA Publisher, Lieden Kasmudjo. 1990. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Sengon pada Berbagai Umur. Duta Rimba No. 121, Jakarta.
451
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Karakteristik Alkesa (Pouteria campechiana (Kunth) Baehni) dan Potensi Pemanfaatannya (Properties of Alkesha and It’s Utilizations) R. Esa Pangersa G dan Zulnely1 1Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413 ABSTRAK Alkesa (Pouteria campechiana (Kunth) ) Baehni merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang belum banyak diketahui baik karakteristik maupun manfaatnya. Keberadaan buah ini hanya terdapat di sebagian kecil wilayah di Jawa Barat (endemik) dan berbuah sepanjang tahun. Buah alkesha diyakini memiliki manfaat sebagai obat sakit perut (maag). Namun penjelasan ilmiah mengenai hal tersebut belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan memaparkan karakteristik buah alkesa, kandungan nutrisinya dan komponen kimia yang terkandung didalamnya serta potensi pemanfaatannya. Buah alkesha dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisinya. Analisis kandungan komponen kimia dilakukan menggunakan alat GC-MS pyrolysis. Hasil analisis proksimat menunjukkan buah alkesha banyak mengandung karbodirat. Analisis komponen kimia menunjukkan kandungan kimia yang beragam, salah satunya adalah Limonene. Senyawa kimia yang dapat menetralkan asam lambung dan mencegah kanker payudara. Kata kunci : Buah alkesa, kandungan nutrisi, komponen kimia, pemanfaatan. PENDAHULUAN Alkesa memiliki nama ilmiah Pouteria campechiana (Kunth) Baehni dari family Sapotaceae. Asal buah ini yaitu dari Meksiko kemudian dibudidayakan di Kuba selanjutnya berkembang baik hingga Philipina. Dunia perdagangan mengenal buah alkesa dengan nama canistel, Egg-fruit, Yellow sapote. Sedangkan Filipina mengenal buah ini dengan nama tiesa, canistel (Morton, 1992). Di Indonesia, buah Alkesa merupakan buah khas dari Jawa Barat karena keberadaan buah ini hanya ditemukan di daerah Jawa Barat. Masyarakat Sunda mengenalnya dengan nama sawo walanda. Pemberian nama ini bermula sejak jaman penjajahan Belanda dimana alkesa banyak terdapat dipekarangan rumah-rumah orang Belanda dan sifat buahnya yang mirip sawo sehingga masyarakat pada saat itu menyebutnya sawo walanda. Saat ini keberadaan alkesa hanya terdapat di sebagian kecil wilayah Provinsi Jawa Barat. Masyarakat setempat meyakini bahwa alkesa memiliki manfaat sebagai obat sakit perut (maag atau mulas). Namun penjelasan ilmiah mengenai keyakinan masyarakat tersebut belum dilakukan. Tulisan ini bertujuan mencari tahu kebenaran keyakinan masyarakat akan manfaat buah tersebut secara ilmiah, memaparkan karakteristik buah, kandungan nutrisi dan komponen kimia yang terkandung dalam buah alkesa serta potensi pemanfaatan dilihat dari kandungan kimianya. BAHAN DAN METODE Bahan utama berupa buah alkesa diperoleh dari Hutan Penelitian Konservasi Haurbentes, Jawa Barat. Buah alkesa dikupas sehingga didapatkan daging buahnya. Kemudian dilakukan analisis proksimat terhadap daging buah tersebut berupa kadar protein, kadar lemak, pati, total gula, serat kasar dan karbohidrat. Analisis ini dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Kandungan kimia yang terkandung didalam buah alkesa dianalisis dengan menggunakan alat GC-MS pyrolysis. Hasil analisis kandungan kimia buah kemudian dianalisis potensi pemanfaatannya melalui studi literatur. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kandungan Nutrisi Pohon alkesa tumbuh pada iklim tropis dan subtropics dengan ketinggian dibawah 1400 m dpl. Pohon akan tetap tumbuh meskipun curah hujan sedang atau bahkan musim kemarau panjang. Sifat fisik buah alkesa memiliki warna kuning ketika matang, tekstur daging buah mirip ubi rebus dan memiliki rasa yang manis.Analisa kandungan nutrisi buah Alkesa disajikan pada Tabel 1.
452
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Tabel 1. Kandungan nutrisi Buah Alkesa Table 1. Nutrient content of Alkesa fruit No. Jenis Nutrisi Alkesa dari Filipina (%)*1) 1. Protein 1,7-2,5
Alkesa (%) 1,44
Sawo (%)*4) 0,5
Ubi (%) 1,0 *2)
2. 3.
Lemak Pati
0,1-0,6 -
0,58 30,25
1,1 -
0,2 *2) 21,45 *3)
4.
Karbohidrat
36-39
47,37
22,4
26,2 *2)
5. Total Gula 13,13 6. Serat Kasar 0,1-7,5 1,12 *1)Morton, 1992 ; *2) Hartadi et al, 1986 ; *3) Grace,1977 ; *4) Direktorat Gizi Depkes RI, 1993
5,13 *3) 1,6 *2)
Buah alkesa memiliki kadar protein yang lebih baik dibandingkan dengan sawo dan ubi. Protein merupakan salah satu zat gizi yang penting bagi tubuh. Kegunaan protein yaitu sebagai zat pembangun tubuh dan berperan dalam proses pergantian sel tubuh yang rusak (Muchtadi, 1989). Fungsi lain protein yaitu sebagai pembentukan ikatan-ikatan essensial tubuh seperti hormone dan enzim, menjaga keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh (buffer yang bereaksi dengan asam dan basa), pembentukan antibodi dan sebagai sumber energi pada saat tubuh tidak mampu memenuhi kecukupan energi (Rickert, 1996). Lemak memiliki banyak kegunaan bagi tubuh, yaitu sebagai sumber energi, penyimpanan cadangan energi, melindungi bagian tubuh yang penting dan pemberi rasa hangat pada tubuh, pelarut vitamin A, D, E dan K serta penyedia asam lemak esensial (Wenck et al, 1980). Energi yang dihasilkan oleh lemak paling tinggi yaitu 9 kkal/g dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Masukan energi yang berlebih dari sumber apa saja (karbohidrat, lemak maupun protein) dapat menyebabkan kegemukan (obes) dan kegemukan termasuk salah satu faktor sekunder penyebab penyakit jantung koroner (Prakoso, 1992). Hasil analisis menunjukkan kandungan lemak buah alkesa tergolong rendah (0,58). Hasil analisa kandungan nutrisi buah alkesa dari Jawa Barat menunjukkan bahwa karbohidrat merupakan nutrisi yang paling tinggi diantara yang lainnya. Hal ini juga mendukung pernyataan Morton (1992) yang menyatakan bahwa buah alkesa kaya akan karohidrat, karoten dan niacin. Karbohidrat merupakan sumber energi bagi manusia. Survey Sosial Ekonomi Nasional (2008) menyatakan 64,1% konsumsi karbohidrat berasal dari beras. Dengan hasil ini, buah alkesa dapat digolongkan sebagai sumber alternatif karbohidrat baru selain beras, sagu, ubi, dan kentang. Pati umumnya disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan. Kadar pati buah alkesa tergolong cukup besar (30,25). Pati banyak digunakan sebagai bahan pangan, industri perekat kayu lapis bahkan sebagai sumber bahan baku bio-ethanol. Masyarakat Jawa Barat meyakini bahwa buah alkesa baik dikonsumsi untuk penderita penyakit diabetes. Hal ini dibuktikan dengan analisa kandungan nutrisi yang menunjukkan bahwa buah alkesa mengandung kabrohidrat cukup tinggi namun total gulanya yang tergolong rendah. Serat kasar yang rendah memudahkan degradasi serat menjadi molekul-molekul gula yang lebih sederhana saat proses pencernaan (Tobing, 1999). 2. Komponen Kimia Buah Alkesa Potensi pemanfaatan buah alkesa salah satunya dapat dilihat dari kandungan komponen kimia yang terkandung didalam buah. Analisis kandungan komponen kimia buah alkesa menggunakan alat GC-MS pyrolysis disajikan pada Gambar 1.
453
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
Gambar 1. Analisis kandungan komponen kimia buah alkesa (% relatif) Figure 1. Chemical component compound analyzes of alkesa fruit (% relative) Hasil analisis kandungan komponen kimia buah alkesa menunjukkan acetol sebagai kandungan terbesar (11,12%), levoglucosan 9,09%, limonene 7,98%, 2-furancarboxaldehyde 7,70%, methanamide 6,40%, dan senyawa kimia lainnya dibawah 5%. Senyawa aktif limonene merupakan senyawa kimia yang mampu menetralkan asam lambung sehingga dapat mengobati sakit perut (mulas atau maag). Limonene juga secara klinis terbukti tidak menimbulkan resiko mutagenic, karsinogenik maupun nefrotoksik bagi manusia. Selain itu, limonene juga memiliki aktifitas kemopreventif terhadap berbagai jenis kanker, terutama kanker payudara (Sun, 2007). KESIMPULAN Dilihat dari kandungan nutrisinya, buah alkesa memiliki potensi sebagai bahan baku di bidang pangan dan energi. Kandungan karbohidrat yang tinggi namun rendah total gula merupakan asupan yang baik bagi penderita diabetes. Kandungan pati yang tergolong tinggi pada buah alkesa berpotensi sebagai bahan baku alternatif bio-ethanol. Keyakinan masyarakat akan khasiat buah ini sebagai obat sakit perut dibenarkan secara ilmiah melalui kandungan senyawa aktif limonene. Senyawa ini mampu menetralkan asam lambung. Selain itu, senyawa ini juga bersifat kemopreventif terhadap kenaker payudara dan secara klinis tidak berbahaya bagi manusia. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Gizi Depkes RI. 1993. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Grace, M. R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of United Nations. Rome Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A. D. Tillman. 1986. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Morton, J.F. 1992. Edibel Fruits and Nuts. PROSEA no : 2 tahun 1992. Bogor. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Ilmu Gizi. IPB Bogor. Prakoso, M.I.D. 1992. Memilih Makanan Seimbang Untuk Kesehatan Jantung. Seminar Jantung Sehat, 25 April 1992. Jakarta. Rickert, VI. 1996. Adolescent Nutrition Assesment and Management. Chapman & Hall. University of Texas.
454
POSTER PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI Sun, J. 2007. D-Limonene : Safety and Clinical Applications. Alternative Medicine Review Vol. 12 No.3. Thorne Research, Inc. Tobing, J.T.R. 1999. Perbedaan Kandungan Karbohidrat dari Bungkil Kedelai asal Amerika Serikat dan India Hasil Fraksinasi dan Hidolisis Enzim Komersial. Skripsi. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor. Wenck, D.A,M. Baren dan S.P. Dewan. 1980. Nutrition. A Prentice Hall Company, Reston. Virginia.
455
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
LAMPIRAN
456
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
457
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
458
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
459
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
SUSUNAN PROGRAM KEGIATAN SEMINAR NASIONAL XVI MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA BALIKPAPAN, 6 NOPEMBER 2013
460
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
DAFTAR NAMA DAN INSTITUSI ASAL PESERTA SEMINAR NASIONAL XVI MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA BALIKPAPAN, 6 NOPEMBER 2013 No
Nama Penyaji
1.
Abdurachman
2. 3.
Abdurrachman Achmad Basuki
4.
Achmad Supriadi
5. 6. 7. 8.
Agus Ngadianto Agus Wahyudi Andi Detti Yunianti Andi Sadapotto
9.
Andianto
10. 11. 12.
Andrian Fernandez Andriati Amir Husin Anindya Marsabella Rosiarto
13.
Anita Firmanti
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Apri Heri Iswanto Asef Kurniyawan Hardjana Atmawi Darwis Baharuddin Beta Putranto S. Yuni Indriyanti Danang Sudarwoko Adi
Institusi Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan BB Dipterokarpa Universitas Sebelas Maret Surakarta Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Sekolah Vokasi UGM Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Universitas Hasanuddin Fak. Kehutanan UNHAS Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan BB Dipterokarpa Pusat Penelitian Dan Pengembangan Permukiman Fak. Kehutanan UNMUL Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang-Kementerian Pekerjaan Umum Fak. Kehutanan IPB BB Dipterokarpa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB Fak. Kehutanan UNHAS Fak. Kehutanan UNHAS BB Dipterokarpa UPT. BALITBANG BIOMATERIAL LIPI
21.
Deded S Nawawi
Departemen Hasil Hutan, IPB
22.
Dedi Kusmawan
23.
Deni Zulfiana
24. 25.
Denny Irawati Deris Endang Sarifudin
26.
Diana Prameswari
27. 28.
Didi Tarmadi Djamal Sanusi
29.
Djarwanto
30.
Dominicus Martono
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar - PU UPT. Balai Penelitian Dan Pengembangan Biomaterial LIPI Fak. Kehutanan UGM IPB Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi - Bogor UPT. Balitbang Biomaterial LIPI Fakultas Kehutanan UNHAS Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
461
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI 31.
E. Manuhuwa
32.
Edi Sarwono
33. 34. 35. 36.
Eka Mulya Alamsyah Eka Novriyanti Enih Rosamah Erwin
37.
Fakhri Zuhir
38.
Gunawan Pasaribu
39.
Gustam Pari
40. 41.
Frika Purnamasari Harry Praptoyo
42.
Heru Purnomo
43.
I B Gede Putra Budiana
44. 45.
Ihak Sumardi Imam Wahyudi
46.
Irawati Azhar
47. 48.
Ismadi Ismail Budiman
49.
Johannes Adhijoso Tjondro
50. 51. 52. 53. 54.
Joko Sulistyo Karmilasanti Kasmudjo Kiswanto Kurnia Wiji Prasetyo
55.
Lasino
56.
Lina Karlinasari
57.
Listya Mustika Dewi
58. 59. 60. 61. 62. 63.
M. Fajri Muhammad Dassir Muliyana Arifudin Nani Husien Naresworo Nugroho Nyoman J. Wistara
64.
Pebriyanti Kurniasih
65.
Ragil Widyorini
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati - ITB Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Fakultas Kehutanan UNMUL Fakultas Kehutanan UNMUL Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Riau Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Puslitbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Unmul Fakultas Kehutanan UGM Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar Pu Sekolah Tinggi Ilmu Hayati ITB Fakultas Kehutanan IPB Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara R & D Unit for Biomaterial LIPI UPT. Balitbang Biomaterial LIPI Civil Enegineering Departement Parahyangan Catholic University Fakultas Kehutanan UGM Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Fakultas Kehutanan Ugm Fakultas Kehutanan Unmul UPT. Balitbang Biomaterial LIPI Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Balitbang - Kementerian Pekerjaan Umum Fakultas Kehutanan IPB Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Balai Besar Dipterokarpa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua Fakultas Kehutanan UNMUL IPB IPB Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok UGM
462
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
66.
Renhart Jemi
67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78.
Renny Purnawati Rima Rinanda Rita Diana Rizka Asti Wulandari Rudi Hartono Sahriyanti Saad Sahwalita Saptadi Darmawan Sarah Augustina Sasa Sofyan Munawar Sentot Adi Sasmuko Sigit Sunarta
79.
Sihati Suprapti
80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91.
Siti Wahyuningsih Soekmana Wedatama Sucahyo Sadiyo Suhasman Sukaesih Prajadinata Sumarhani Syofia Rahmayanti Tekat Dwi Cahyono Tibertius Agus Prayitno Tien Wahyuni Titis Budi Widowati Tito Sucipto
92.
Totok K. Waluyo
93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102.
Triastuti Trisna Priadi Triyono Sudarmadji Tubagus Angga Anugrah Syabana Tuti Herawati Veny Oktavina Sidauruk Wahyu Dwianto Wahyudi Wasrin Syafii Whicliffe Fiernaleonardo Pasedan
103.
WS Witarso
104.
Yeni Aprianis
105.
Yosafat Aji Pranata
106.
Yoyo Suhaya
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya Universitas Negeri Papua Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Pusat Pengkajian Perubahan Iklim - Unmul IPB Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Universitas Hasanuddin Balai Panelitian Kehutanan Palembang Mahasiswa Pascasarjana IPB IPB R&D Unit For Biomaterials Lipi Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Puslitbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Windward Asia Departemen Hasil Hutan,Fakultas Kehutanan IPB Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Universitas Darussalam Ambon Universitas Gadjah Mada Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Puslitbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan Upt. Balitbang Biomaterial Lipi Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB Fakultas Kehutanan UNMUL Balai Penelitian Kehutanan Palembang Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Upt. Balitbang Biomaterial Lipi Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan UNMUL Pusat Penelitian Dan Pengembangan Permukiman Balitbang - Kementerian Pekerjaan Umum Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati, Institut
463
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT PENELITI KAYU INDONESIA (MAPEKI) XVI
107.
Yustinus Suranto
108.
Yusuf Sudo Hadi
109. 110.
Firna Novari Yelin Adalina
111.
Agus Ismanto
112.
Andri Setyawan
113.
Arief Heru Prianto
114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122.
Edi Sukaton Edi Wibowo Kurniawan Eva Oktoberyani Christy Farida Aryani Ganis Lukmandaru Heriad Daud Salusu Ika Wahyuni Ikhsan Guswenrivo James Rilatupa
123.
Jessica Hendrik
124. 125.
Laili Iftaroh Lusita Wardani
126.
MI Iskandar
127. 128.
Mohammad Gopar Saat Egra
129.
Saefudin
130.
Sona Suhartana
131. 132. 133. 134. 135. 136.
Sri Suharti Sukma Surya Kusumah Sutanto Tati Karliati Vetty Vandasari Wida Banar Kusumaningrum
137.
Yuniawati
138. 139.
Yusdiansyah Yusup Amin
140.
R Esa Pangestu G
Teknologi Bandung Fakultas Kehutanan UGM Forest Products Departement, Faculty Of Forestry IPB Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Fak. Kehutanan UGM UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Fakultas Kehutanan UNMUL Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Univ. Palangkaraya Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Fakultas Kehutanan UGM Poiteknik Pertanian Negeri Samarinda Balitbang Biomaterial LIPI Balitbang Biomaterial LIPI Universitas Tarumanegara Forest Products Departement Faculty of Forestry Ipb Fakultas Kehutanan UNMUL IPB Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan UPT Balitbang Biomaterial LIPI Fakultas kehutanan UNMUL Puslitbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan Puslitbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi Bogor R&D Unit For Biomaterials Lipi Pusat Pengkajian Perubahan Iklim - Unmul Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan UNMUL Upt. Balitbang Biomaterial Lipi Puslitbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan Politeknik Pertanian, Samarinda Upt. Balitbang Biomaterial Lipi Puslitbang Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan
464