PROSIDING SEMINAR NASIONAL K3 “Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional”
Safety and Health
(SHEA) Conference
Surakarta, 19 November 2016 di Ballroom Hotel Solo Paragon
i
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak R p100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling b anyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 114 Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 115 Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik Penggandaan, Pengumuan, Pendsitribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksdu dalam 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk penggunaan Secara Komersial baik dalam media elektronik maupun nonelektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
PROGRAM STUDI D3 HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PERAN K3 DALAM MENJAWAB TANTANGAN INDUSTRI PERTAMBANGAN NASIONAL
Surakarta, 19 November 2016 di Ballroom Hotel Solo Paragon
UNS PRESS Jalan Ir. Sutami 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
iii
Prosiding Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional Hak Cipta @ Program Studi D3 Hiperkes dan KK FK UNS. 2016. Penyunting Yeremia Rante Ada’, S.Sos., M.Kes. Seviana Rinawati, S.K.M., M.Si. Sumardiyono, S.K.M., M.Kes. Ilustrasi Sampul UNS PRESS Penerbit & Pencetak Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) Jalan Ir. Sutami 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271 7890628 Website : www.unspress.uns.ac.id Email :
[email protected] ISBN 978-602-397-076-6
iv
PENGANTAR PANITIA Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia-Nya prosiding Safety and Health (SHEA) Conference dapat diterbitkan. Prosiding ini merupakan kumpulan makalah/paper dari para peneliti di bidang K3
yang disusun sebagai bukti telah
terselenggaranya Call for Paper di dalam acara SHEA Conference 2016 dengan tema “Peran K3 dalam Menghadapi Tantangan Industri Pertambangan Nasional”. Meskipun topik SHEA Conference mengenai pertambangan, topik bahasan dari paper yang masuk tidak kita batasi asalkan masih berkaitan/relevan dengan bidang ilmu K3 & Lingkungan. SHEA Conference 2016 sendiri telah dilaksanakan pada tanggal 19 November 2016 di Ballroom Solo Paragon – Surakarta, dengan penyelenggara kerjasama Kelompok Mahasiswa (KEMA) Hiperkes & KK – (Asosiasi Profesi Keselamatan Pertambangan Indonesia) APKPI. SHEA Conference 2016 merupakan serangkaian acara lomba poster & video, diskusi publik online dan ditutup dengan seminar nasional serta Call for Paper sebagai puncak acara utama dari SHEA Conference kali ini. Seminar ini diselenggarakan sebagai media sosialisasi dan diskusi di bidang K3 sektor industri pertambangan. SHEA Conference dijadikan sebagai media tukar menukar informasi dan pengalaman, ajang diskusi ilmiah, peningkatan wawasan keilmuan K3 dalam rangka membantu mewujudkan tingkatan sistem manajemen tertinggi berupa budaya K3. Semoga penerbitan prosiding ini dapat digunakan sebagai data sekunder dalam pengembangan penelitian di masa akan datang, serta dijadikan bahan acuan dalam peningkatan dan penyelesaian kinerja K3 di masyarakat dan lingkup negara. Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu, kami mengucapkan terima kasih.
Surakarta, 19 November 2016 Ketua Panitia SHEA Conference 2016,
Ilham Aryo Pamungkas
v
DAFTAR ISI PENGANTAR PANITIA ........................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................................
v vi
KESEHATAN KERJA HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANGTUA TENTANG PENGENALAN POTENSI BAHAYA DAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) PADA ANAK SEKOLAH DI SD NEGERI SUDIROPRAJAN SURAKARTA Yeremia Rante Ada , Mujahidatul Musfiroh Universitas Sebelas Maret ..........................................................................................
1
HUBUNGAN KADAR DEBU KAIN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA WANITA PERUSAHAAN KONVEKSI Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta ..........................................................................
8
ANALISIS PERBEDAAN POSTUR KERJA DAN KELUHAN MUSCU LO SKE LETA L DISO RD ER PADA OPER AT OR CONTA IN ER CRAIN E DI PERUSAHAAN BONGKAR MUAT PT. X SURABAYA Neffrety Nilamsari, Mufatihatul Aziza Universitas Airlangga ..................................................................................................
16
KESELAMATAN KERJA EVALUASI KESELAMATAN KERJA INSTALASI LISTRIK PADA GEDUNG TRAKINDO KILOMETER 13 BALIKPAPAN Isradi Zainal Universitas Balikpapan................................................................................................
25
EVALUASI SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN AKTIF PADA GEDUNG TRAKINDO KILOMETER 13 BALIKPAPAN Isradi Zainal Universitas Balikpapan................................................................................................
36
ANALISIS KEJADIAN CEDERA TANGAN PADA OPERASI PENGEBORAN, WOR KOV ER , DAN WELLSE RV ICE DI LEPAS PANT AI, PERU SAH AAN MIGAS , 2012-2014 Syamsul Arifin, Maslina Universitas Balikpapan................................................................................................
43
FAKTOR DETERMINAN STATUS HIDRASI PADA PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SURABAYA (Studi pada pekerja pengasapan ikan dan nelayan di Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya tahun 2016) Ratih Damayanti, Tofan Agung Eka P. Universitas Airlangga ..................................................................................................
53
vi
ANALISIS KEPATUHAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PEKERJA LABORATORIUM SEPARASI CRUDE OIL DI JAKARTA TAHUN 2011 Dwi Okta Rizkiani Universitas Indonesia ..................................................................................................
63
PENGUASAAN INTERPRESTASI LOADCHART SEBAGAI UPAYA TEKNIK MENGENDALIKAN RISIKO KECEL AKAAN KERJA SEKTOR PERTAMBANGAN PADA MOBILE CRANE Erwin Ananta Universitas Balikpapan................................................................................................ 71 HIGIENE PERUSAHAAN HUBUN GAN INTEN SITAS KEBISINGA N DENGA N GANGGU AN FISIOL OG I PEKERJA DI PT. X SURABAYA Tofan Agung Eka Prasetya , Fadilatus Sukma Ika N., Erwin Dyah Nawawinetu Universitas Airlangga ..................................................................................................
80
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BENTUK KECELAKAAN LALULINTAS JALAN DARAT DI KOTA SAMARINDA TAHUN 2015 Krispinus Duma, Brayen Risky Dumanauw Universitas Mulawarman Samarinda, Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda .....
87
STUDI PENURUNAN AMBANG DENGAR PADA KARYAWAN PEMB ANG KIT LISTRIK TENAG A DIESEL GUNUNG MAL ANG BAL IKPAPAN Andi Surayya Mappangile, J.A. Senduk Universitas Balikpapan................................................................................................
96
HUBUNGAN ANTARA KEBISINGAN, PENCAHAYAAN, DAN SHIFT KERJA DENGAN RISIKO KECELAKAAN KERJA PADA PEKERJA DI PT BORNEO MELINTANG BUANA EKSPORT KABUPATEN SLEMAN Mahfi Yusuf Universitas Gadjah Mada ........................................................................................... 105 KAJIAN STUDI PENGARUH TEKANAN PANAS TERHADAP PRODUKTIVITAS PEKERJA Rani Marfuah, Sinta Devi, Wigati Listyaningsih, Windha Khurnianti, Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 114 PENGARUH KEBISINGAN TERHADAP PSIKOLOGIS PEKERJA Galih Sibi W., Asyifa Ega J., Chella Ayu N., Hidayati Nur K., Tintrim Antika D. P., Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 122 IKLIM KERJA DI PT GARMENT BOYOLALI Bayu Aji R., Novia Cahya G. D., Risa Indah N., Veronicha Rosali N., Raras Kartika I., Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 130 vii
KAJIAN PENERANGAN TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA DI PERKANTORAN Dita Puspitaningrum, Intan Cahaya K. D., Pangesti Tri K., Yuliana Duwi K., Selviana Arum, Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 136 EFEKTIVITAS PEMBERIAN AIR KELAPA DALAM MEMINIMALISIR FAKTOR BAHAYA TEKANAN PANAS PADA PEKER JA DAPUR RESTORAN Tri Utami, Diah Savitri, Leny Dyah Satyaningrum, Nikmah Afiyani, Nuri Wulandari, Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 145 KAJIAN STUDI PENGARUH KEBISINGAN TERHADAP STRESS KERJA Aditya Anggara, Eny Oktora, Kharisma Dian, Nisa Villa, Widhi Khurniasih, Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 152 PENGARUH PAJANAN DEBU TERHADAP TIMBULNYA GEJALA ISPA PADA PEKERJA UNIT BOILER DI PERUSAHAAN PENGGUNA BAHAN BAKAR BATU BARA Ersa Dwi Meitilana, Dwi Istiani, Ibnu Syihab Azzuhri, Wahyu Kandi Putri, Trisnawati Inayah, Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 161 SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (SMK3) PENILAIAN EFEKTIVITAS PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI RUMAH SAKIT Dr.R.HARDJANTO BALIKPAPAN James Evert Adolf Liku, Naila Suroyya Universitas Balikpapan................................................................................................ 167 IMPLEMENTASI METODE NORDIC BODY MAP UNTUK MENGIDENTIFIKASI KELELAHAN MAHASISWA D3 HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS Danang Adhi Kurniawan, Hanif Siti Nur Fatimah, Giri Prasetyo Aji, Wisnu Suryo Andriyanto, Rahmat Ghufron Romadhoni, Sumardiyono Universitas Sebelas Maret Surakarta .......................................................................... 175 PENERAPAN HIGIENE INDUSTRI SEBAGAI BAGIAN DARI PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI INDUSTR I NON MIGAS DAN NON TAMBANG DI KALIMAN TAN TIMUR (Studi Terhadap Tujuh Perusahaan Non Migas dan Non Tambang di Wilayah Kalimantan Timur) Luqmantoro Universitas Balikpapan................................................................................................ 186
viii
PSIKOLOGI KERJA ANALISIS IMPLEMENTASI METODE DO IT DALAM PENERAPAN BEHAVIOUR BASED SAFETY (BBS) DI PT X Seviana Rinawati Universitas Sebelas Maret .......................................................................................... 192 PENGARUH MOTIVASI DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA (KINERJA) DOSEN DI UNIVERSITAS X Eka Rosanti Universitas Darussalam Gontor .................................................................................. 200
ix
x
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANGTUA TENTANG PENGENALAN POTENSI BAHAYA DAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) PADA ANAK SEKOLAH DI SD NEGERI SUDIROPRAJAN SURAKARTA Yeremia Rante Ada’a* , Mujahidatul Musfirohb a Program
Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126
b Pusat
Penelitian Kependudukan, LPPM, Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36A, Kentingan Surakarta 57126 *
Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Keselamatan dan kebersihan diri pada anak merupakan faktor penting yang perlu dikenalkan sejak dini. Melalui pengembangan program Hiperkes Goes to School dengan model pendampingan mahasiswa dilakukan pendampingan di sekolah untuk pengenalan potensi bahaya dan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat. Langkah awal dalam tahap ini adalah dengan mengetahui pengetahuan dan sikap orang tua murid tentang potensi bahaya dan perilaku hidup bersih dan sehat, karena hal ini merupakan tanggungjawab orangtua di rumah, masyarakat dan guru di sekolah. Keterbatasan pengenalan orangtua tentang potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sejak dini menyebabkan anak mempunyai kesiapan pengetahuan dan mental yang kurang dalam menghadapi bahaya dan masalah kebersihan yang potensial menyebabkan kecelakaan pada anak. Pengenalan potensi bahaya dan PHBS pada anak dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap orangtua dalam mengenal dan memahami potensi bahaya dan PHBS di rumah, sekolah dan masyarakat. Metode Penelitian: Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelasi. Sampel dipilih dengan metode total sampling yaitu orang tua dengan anak yang sekolah di SDN Sudiroprajan Surakarta sejumlah 32 responden. Data pengetahuan dan sikap tentang pengenalan potensi bahaya dan PHBS pada anak dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Hasil: Hasil penelitian didapatkan nilai pengetahuan tertinggi 8 (2 dari 32 responden) dan nilai sikap tertinggi 12 (1 dari 32 responden). Hasil analisis menunjukkan hubungan antara pengetahuan dan sikap orangtua tentang pengenalan potensi bahaya dan PHBS pada anak sekolah (p = 0,014). Kesimpulan: Pengetahuan orang tua berhubungan dengan sikap orang tua dalam mengenalkan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada anak sekolah. Kata kunci: pengetahuan dan sikap orang tua, potensi bahaya, PHBS.
PENDAHULUAN Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terbentuk setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau pengalaman orang lain. Sebagian besar pengetahuan manusia 1
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang memengaruhi penerimaan seseorang terhadap perilaku, kesadaran seseorang dalam melakukan sesuatu serta menentukan sikap seseorang. Sikap dan perilaku seseorang yang berdasarkan pengetahuan akan bersifat lebih langgeng (long lasting) daripada sikap atau perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan dapat menumbuhkan kesadaran pada diri seseorang, sehingga sikap dan perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan pengetahuan yaitu tahu, paham, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Notoatmodjo, 2003). Data pengetahuan dapat dikumpulkan dengan angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2010). Sikap adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang. Sikap merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku sebagai rekasi terhadap suatu rangsangan atau stimulus. Setiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap suatu perangsang (Purwanto, 2003). Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2010), sikap mempunyai 3 komponen, yaitu kepercayaan (keyakinan, kehidupan emosional, kecenderungan untuk bertindak. Komponen-komponen sikap akan secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Sikap yang utuh terbentuk karena pengaruh pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi. Pengetahuan akan menyebabkan seseorang berpikir dan berusaha supaya diri dan keluarga terhindar dari bahaya atau penyakit. Dalam proses berpikir faktor emosi dan keyakinan akan berespon, sehingga seseorang berniat untuk mencegah bahaya dan penyakit (Panggabean, 2008). Tingkatan sikap yaitu menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab (Notoatmodjo, 2010). Menurut Notoadmodjo (2011), tingkatan sikap yaitu menerima, merespon, mengevaluasi dan bertanggung jawab. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan angket yang menanyakan sikap dari responden terhadap objek atau materi penelitian. Pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada anak sekolah oleh orangtua berkaitan dengan pengetahuan dan sikap orangtua. Pengetahuan dan sikap orangtua dalam mengenalkan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada anak berkaitan dengan dimensi budaya, norma dan sistem nilai yang dipercaya oleh orangtua. Selain dimensi budaya, pengetahuan dan sikap orangtua dalam mengenalkan potensi bahaya dan PHBS juga berkaitan dengan dimensi ekonomi yang merupakan pendukung terhadap pembentukan sikap dan pengetahuan seseorang. Dimensi ekonomi yang memengaruhi 2
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pengetahuan dan sikap orangtua dalam pengenalan potensi bahaya dan PHBS kepada anak sekolah meliputi ketersediaan sarana prasarana atau fasilitas. Anak yang dikenalkan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sejak dini dapat mencegah terjadinya kecelakaan atau potensi cedera pada anak. Pengetahuan orangtua yang baik dalam pengenalan potensi bahaya dan PHBS dapat memengaruhi sikap orangtua dalam mengenalkan potensi bahaya dan PHBS pada anak. Sehingga sejak dini, anak dapat mengenal dan bersikap negatif terhadap bentuk-bentuk potensi bahaya di sekitar rumah, sekolah dan masyarakat serta anak dapat berperilaku hidup bersih dan sehat selama di rumah, sekolah dan masyarakat.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan evaluasi hasil pengabdian pengembangan program Hiperkes Goes to School dengan model pendampingan mahasiswa untuk meningkatkan pemahaman tentang higiene dan keselamatan pada anak SD. Tahap awal dalam program ini adalah ingin mengetahui pengetahuan dan sikap orang tua murid tentang pengenalan potensi bahaya dan PHBS pada anak. Data dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan kuesioner dan dilakukan analisis kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan yaitu analitik korelatif dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini, pengumpulan data pengetahuan dan sikap diperoleh dalam satu waktu dan selanjutnya dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat. Sampel dalam penelitian diambil dengan menggunakan teknik total sampling. Populasi penelitian yaitu orangtua dengan anak yang bersekolah di SDN Sudiroprajan Surakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil seluruh responden yang hadir dalam pertemuan orangtua murid dan bersedia menjadi sampel penelitian. Sampel penelitian ini didapatkan 32 responden yang memenuhi kriteria restriksi. Analisis univariat yaitu deskripsi pengetahuan dan sikap yang meliputi nilai tertinggi, terendah, dan nilai rata-rata. Adapun analisis bivariat merupakan analisis korelatif antara pengetahuan dan sikap orangtua tentang pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada anak dengan uji spearman.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi hasil penelitian menunjukkan bahwa data pengetahuan orangtua tentang pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu nilai tertinggi: 8 (6,3% atau 2 dari 32 responden) dan nilai terendah: 2 (6,3% atau 2 dari 32 responden). Nilai 3
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pengetahuan terbanyak yaitu 7 (28,1% atau 9 dari 32 responden). Nilai rerata pengetahuan yaitu 5,44. Responden yang memiliki nilai di atas nilai rerata yaitu 17 responden (53,2%). Nilai sikap orangtua dalam pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu nilai tertinggi 12 (3,1% atau 1 dari 32 responden) dan nilai terendah: 3 (3,1% atau 1 dari 32 responden). Nilai rerata sikap yaitu 7,63. Responden yang memiliki nilai sikap di atas nilai rerata yaitu 15 responden (46,8%). Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji spearman menunjukkan nilai p = 0,014 dan r = 0,387. Hasil menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dengan sikap orangtua tentang pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada anak sekolah di SDN Sudiroprajan Surakarta. Kekuatan korelasi atau hubungan antara pengetahuan dan sikap orangtua tentang pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu lemah. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi sikap orangtua tentang pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kekuatan korelasi lemah, karena ada faktor lain yang berhubungan dengan sikap seseorang, antara lain dimensi budaya, norma, nilai dan ekonomi. Pengetahuan orangtua dalam pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada penelitian ini dikategorikan baik, karena 53,2% responden mempunyai nilai di atas nilai rerata. Pengetahuan dalam penelitian ini meliputi pemahaman orangtua terhadap kondisi dan sumber bahaya di sekitar rumah, sekolah dan masyarakat serta perilaku hidup bersih dan sehat yang dapat diterapkan di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat dengan tepat dan benar.
Menurut Budiman dan Riyanto
(2013),
faktor-faktor yang memengaruhi
pengetahuan, antara lain: tingkat pendidikan, informasi atau media massa, sosial ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia. Variasi tingkat pendidikan, informasi atau media massa, sosial ekonomi, menyebabkan
lingkungan, pengalaman,
perbedaan
pengetahuan
dan usia pada responden di penelitian ini
yang
dimiliki responden
atau
orangtua
dalam
mengenalkan potensi bahaya dan PHBS juga bervariasi. Variasi pengetahuan orangtua atau responden ditunjukkan dengan adanya nilai tertinggi dan terrendah yang diperoleh orangtua atau responden. Sikap orangtua atau responden dalam penelitian dikategorikan sedang, karena 46,8% responden memiliki nilai sikap di atas nilai rerata. Sikap responden dalam penelitian ini yaitu sikap orangtua dalam mengenalkan potensi bahaya di sekitar rumah, sekolah dan masyarakat serta memberikan contoh dalam berperilaku hidup bersih dan sehat di rumah, sekolah dan masyarakat, misalnya: tidak merokok dilingkungan rumah, mencuci tangan dengan tepat dan 4
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
benar, menjaga kebersihan lingkungan dan membeli jajanan yang tidak sembarangan. Sikap seseorang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, budaya, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan faktor emosional (Azwar, 2013). Pengetahuan adalah hasil tahu setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan membawa individu untuk berfikir. Proses perfikir seseorng yang diikuti keyakinan dan emosi dapat menimbulakn terbentuknya sikap seseorang terhadap suatu objek (Notoadmodjo, 2011). Pengetahuan merupakan salah satu faktor pembentuk sikap seseorang (Adikusumo,2005). Pengetahuan menjadi kekuatan dalam perubahan sikap seseorang (Baron, 2003). Sikap adalah sekumpulan gejala dalam proses memberikan respon terhadap stimulus atau pengetahuan. Proses pembentukan sikap dalam diri seseorang diawali dengan adanya kesadaran, pengetahuan yang diterima, perasaan tertarik, proses menimbang-nimbang yang melibatkan pikiran, perasaan dan perhatian dan akhirnya seseorang tersebut bersedia menerima stimulus dan bersedia untuk bertindak (Notoadmodjo, 2011). Sikap seseorang terhadap suatu objek merupakan interpretasi dari pengetahuan orang tersebut terhadap objek yang bersangkutan. Sikap berkaitan erat dengan pengetahuan seseorang (Walgito, 2003). Sikap terbentuk setelah terjadi proses tahu atau adanya pengetahuan dalam diri seseorang (Suryani, dkk, 2006). Sikap yang terbentuk dapat bersifat positif atau negatif. Sikap positif terbentuk karena pengetahuan yang diterima seseorang lebih cenderung pada aspek positif mengenai suatu objek (Wawan dan Dewi, 2010). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Notoadmodjo (2012), yaitu pengetahuan yang merupakan stimulasi pembentuk sikap akan menjadi dasar terbentuknya sikap seseorang. Seseorang yang mengetahuani dan memehami suatu objek akan sadar, tertarik dan menimbang terhadap objek yang diterima selanjutnya akan memberikan respon terhadap objek tersebut. Respon terhadap objek yang diketahui seseorang merupakan sikap seseorang. Menurut Notoadmodjo (2005), sikap merupakan reaksi yang masih tertutup terhadap suatu objek, karena sikap merupakan suatu bentuk keyakinan atau kepercayaan, proses evaluasi terhadap objek dan kecenderungan untuk bertindak. Sikap dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk respon atau reaksi tertutup dari orangtua dalam mengenalkan potensi bahaya dan PHBS. Sehingga orangtua mempunyai keyakinan atau kepercayaan terhadap potensi bahaya dan PHBS di rumah, sekolah dan masyarakat. Keyakinan atau kepercayaan orangtua untuk mengenalkan potensi bahaya dan PHBS kepada anak didasari oleh dorongan untuk mengenalkan perilaku yang baik dan mencoba memberikan pengetahuan kepada anak agar anak dapat menghindari potensi bahaya di rumah, 5
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
sekolah dan masyarakat. Sikap orangtua dalam mengenalkan potensi bahaya dan PHBS terhadap anak melalui proses evaluasi, sehingga orangtua tidak mengenalkan semua potensi bahaya dan PHBS pada anak, tetapi orangtua mengenalkan potensi bahaya dan PHBS sesuai dengan usia perkembangan anak. Proses evaluasi orangtua akan memengaruhi kecenderungan orangtua untuk berperilaku, yaitu mengenalkan atau tidak mengenalkan potensi bahaya dan PHBS pada anak. Sikap positif atau negatif orangtua dalam mengenalkan potensi bahaya dan PHBS pada anak dipengaruhi karena pengalaman pribadi, emosional serta budaya. Orangtua yang bersikap positif beranggapan bahwa dengan mengenalkan potensi bahay dan PHBS pada anak sedini mungkin dapat meningatkan kewaspadaan anak terhadap potensi bahaya serta anak dapat berperilaku hidup bersih dan sehat, sehingga anak dapat mandiri dalam menghindari potensi baya dan dapat menjaga kebersihan dan kesehatan diri anak sendiri, Adapun, orangtua yang bersikap negatif beranggapan bahwa mengenalkan potensi bahaya dan PHBS pada anak sejak dini dapat meningkatkan potensi bahaya pada anak, karena orangtua sadar bahwa sikap anak adalah selalu ingin tahu dan mencoba. Pemberian pengetahuan mengenai potensi bahaya dan PHBS sejak dini dapat menumbuhkan rasa keingintahuan anak dan anak akan mencoba, sehingga rasa keingintahuan dan mencoba terhadap potensi bahaya akan membahayakan anak atau mencederai anak. Hasil penelitian ini, menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dan sikap orangtua terhadap pengenalan potensi bahaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kekuatan hubungan lemah. Hubungan antara pengetahuan dan sikap orangtua terhadap pengenalan potensi bahaya dan PHBS lemah, karena orangtua mempunyai rasa kekhawatiran terkait dengan perkembangan kognitif dan psikologis anak serta budaya atau kondisi lingkungan sekitar.
KESIMPULAN Terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap orangtua tentang pengenalan potensi bahaya dan PHBS pada anak sekolah (p = 0,014). Pengetahuan orang tua terhadap pengenalan potensi bahaya dan PHBS terhadap anak perlu diikuti dengan pengetahuan orang tua terhadap perkembangan anak. Adapun sikap orang tua terhadap pengenalan potensi bahaya dan PHBS diikuti dengan pengenalan upaya pencegahan terhadap potensi bahaya serta dampak maupun keuntungan dari PHBS untuk anak.
6
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
DAFTAR PUSTAKA Adikusumo, I, 2005. Sikap Remaja terhadap Seks Bebas di Kota Negara: Perspektif Kajian Budaya. Ejournal Unud. Denpasar: Universitas Udayana. Azwar, S, 2013. Sikap, Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi 2, Cetakan XVIII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron dan Byrne, 2003. Social Psycology. Tenth Edition. Boston: Pearson Education Inc. Budiman dan Riyanto, 2013. Kapita Selekta Kuesioner: Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Notoadmodjo, S, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoadmodjo, S, 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Notoadmodjo, S, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Notoadmodjo, S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Notoadmodjo, S, 2011. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi 2010. Jakarta: Rineka Cipta. Notoadmodjo, S, 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Panggabean, R, 2008. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Petugas Laboratorium terhadap Kepatuhan Menerapkan Standart Operasional Prosedur (SOP) di Puskesmas Kota Pekanbaru. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara. Purwanto, M. N, 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Suryani, N. , Rahayuwati, L. , Kosasih, C, 2006. Hubungan antara Pengetahuan tentang Pencegahan HIV/AIDS dengan Sikap Remaja terhadap Pencegahan HIV/AIDS di SMU Pasundan Bandung. Jurnal Keperawatan Unpad. Vol 8 No. XIV. Walgito, B, 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset. Wawan, A dan Dewi, M, 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
7
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HUBUNGAN KADAR DEBU KAIN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA WANITA PERUSAHAAN KONVEKSI Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Pekerja pada perusahaan konveksi memiliki risiko sakit akibat terpapar faktor bahaya lingkungan kerja. Salah satu faktor bahaya lingkungan kerja di perusahaan konveksi adalah debu kain yang timbul pada proses sewing. Debu kain yang terhirup tenaga kerja akan berdampak pada penurunan kapasitas vital paru karena debu yang menempel di alveoli, sehingga menghambat absorbsi oksigen di alveoli, yang seharusnya yang selanjutnya akan berdampak pada kelelahan kerja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kadar debu kain dengan kelelahan kerja pekerja wanita di perusahaan konveksi. Metode Penelitian: Menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah karyawan salah satu perusahaan konveksi. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive quota random sampling, Kriteria inklusi meliputi: pekerja wanita, masa kerja minimal 1 tahun, usia lebih dari 20 tahun. Penentuan jumlah sampel menggunakan rule of tumb selanjutnya diperoleh jumlah sampel 30 orang. Hasil: Pada penelitian ini diperoleh kadar debu kain antara 0,09-0,65 mg/m3 . Hasil uji menggunakan Pearson Product Moment diperoleh hasil r = 0,414; p=0,023. Hasil ini menunjukkan hubungan yang signifikan yang menyatakan bahwa kadar debu yang makin tinggi akan menyebabkan kelelahan kerja makin meningkat. Faktor kadar debu kain dapat mempangaruhi kelelahan kerja sebesar 17%, Adapun 83% disebabkan faktor lain. Kesimpulan: Debu kain dapat menyebabkan terjadinya kelelahan kerja pada pekerja wanita perusahaan konveksi. Kata kunci: kadar debu kain, kelelahan kerja.
PENDAHULUAN Salah satu industri yang memiliki banyak pekerja adalah industri konveksi. Industri konveksi yang dimaksud adalah suatu perusahaan yang menghasilkan pakaian jadi baik itu pakaian wanita, pria, anak, pakaian olahraga, maupun jenis pakaian lainnya. Sebagian besar pekerja
konveksi
adalah
wanita.
Pada
umumnya,
perusahaan-perusahaan
konveksi
menggunakan bahan baku tekstil dari bermacam-macam jenis, seperti katun, kaos, linen, polyester, rayon, dan bahan-bahan syntesis lain ataupun campuran dari jenis bahan-bahan tersebut. Peralatan yang digunakan pada perusahaan konveksi mempunyai alat-alat berupa mesin potong, mesin jahit, setrika, yang dilengkapi dengan kursi kerja, papan potong bahan, 8
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
meja setrika dan meja pengepakan. Dalam melaksanakan pekerjaannya, para pekerja perusahaan konveksi ini berisiko terjadinya gangguan kesehatan dan keselamatan kerja yangterjadi paparan panas di bagian pengepresan dan penyetrikaan dan banyaknya debu-debu serat dan aroma khas kain, terpaan kebisingan, getaran, panas dari mesin jahit dan lainnya (Fitrihana, 2016). Perusahaan
konveksi “X” di
Desa
Gedangan,
Grogol,
Kabupaten
Sukoharjo
menggunakan bahan baku kain yang bahan dasarnya adalah kapas. Mulyati, dkk (2015),dalam penelitian terhadap debu kapas menyatakanada hubungan yang bermakna antara nilai Risiko Paparan Debu Kapas terhadap Kejadian Bisinosis (penyakit akibat penimbunan debu kapas dalam paru) di Industri Tekstil PT Grandtex Bandung, serta ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan kejadian bisinosis. Bisinosis ditandai dengan rendahnya nilai forced expiratory volume in 1 second (FEV1 ) kurang dari 70%. Dilaporkan oleh Syahputra, dkk. (2015), prevalensi bisinosis akibat pekerja terpapar debu kapas di salah satu pabrik X pembuat tilam dengan bahan kapas di Kota Medan sebanyak 74% pada lingkungan kerja dengan kadar debu kapas unit Carding 0,3714 mg/m3 dan unit Spinning 0,1425 mg/m3 . Selanjutnya, Atmojo dan Sadakir (2015), menyatakan bahwa Ada Hubungan Kadar Debu Lingkungan dan Kapasitas Fungsi Paru dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja di Bagian Produksi CV Valasindo Sentra Usaha Gondang Rejo Karanganyar. Dengan demikian,, terdapat korelasi antara pemaparan kadar debu, fungsi paru dan kelelahan kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji hubungan antara kadar debu kain dengan kelelahan kerja pekerja wanita perusahaan konveksi.
METODE PENELITIAN Metode penelitian menggunakan jenis observasional/survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah tenaga kerja wanita perusahaan konveksi “X” di Desa Gedangan, Grogol, Kabupaten Sukoharjo berjumlah 530 orang. Pemilihan sampel menggunakan purposive quota sampling, menggunakan kaidah rule of thumb. Kriteria sampel adalah wanita, bekerja di bagian sewing, usia lebih dari 20 tahun, masa kerja lebih dari 1 tahun, tidak disiplin memakai masker. Sampel berjumlah 30 orang. Untuk statistik menggunakan Pearson Product Moment untuk menguji kemaknaan hubungan kadar debu dengan kelelahan kerja.
9
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Tempat penelitian adalah perusahaan konveksi “X” yang berlokasi di Gedangan, Grogol, Kabupaten Sukoharjo merupakan perusahaan konveksi dengan jumlah karyawan 36 orang staf kantor, 8 orang staf teknik, 18 orang staf quality control, dan 530 orang tenaga kerja produksi. Produk yang dihasilkan adalah pakaian wanita dewasa dan anak-anak, baju laki-laki dewasa dan anak-anak, jaket, dan baju olah raga. Kapasitas produksi 200. 000 pcs per bulan yang diekspor ke negara USA, Eropa, dan Asia. Dalam proses produksinya, perusahaan konveksi tempat penelitian ini dilakukan tahapan proses produksi yang diawali dari bagian gudang, cutting, sewing, gosok, quality control, dan ruang packing. Penelitian difokuskan pada bagian sewing (jahit) karena pada bagian ini merupakan ruangan yang paling banyak tenaga kerjanya. Aspek lingkungan kerja yang berisiko menyebabkan gangguan kesehatan dan keselamatan kerja pekerja pada bagian ini salah satunya adalah faktor kimia berupa debu kain. Pekerja setiap hari terpapar debu kain ketika melakukan pekerjaan menjahit bahan-bahan kain yang diproses menjadi pakaian jadi. Pada umumnya pekerja memakai masker, namun apabila dilihat dari rutinitasnya kurang disiplin karena beberapa saat ketika menggunakan masker sering melepas maskernya dengan alasan panas, tidak nyaman, dan merasa sakit. Deskripsi hasil penelitian dapat dilihat pada tabel-tabel 1,2,3,4,5,6, dan 7. Tabel 1. Deskripsi Usia Sampel Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Deskripsi Rata-rata Median Modus Standar Deviasi Minimum Maksimum
Nilai (tahun) 29,97 29,50 29 3,76 25 40
Sumber: Data primer
Berdasarkan data tabel 1 menunjukkan usia terendah 25 tahun dan tertinggi 40 tahun serta rata-rata 29,97 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sampel penelitian semua masih dalam usia produktif yaitu 15-64 tahun (Jati, 2015).
10
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 2. Deskripsi Masa Kerja Sampel Penelitian No. Deskripsi 1. Rata-rata 2. Median 3. Modus 4. Standar Deviasi 5. Minimum 6. Maksimum Sumber: Data primer
Nilai (tahun) 6,57 7 9 2,14 2 10
Masa kerja adalah jumlah tahun yang dihitung sejak tenaga kerja bekerja mulai bekerja sampai ulang tahun terakhir ketika penelitian dilakukan. Masa kerja berhubungan dengan kapasitas vital paru. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2015), yang menemukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian pneumokoniosis pada pekerja pengumpul semen dengan kadar debu lebih dari 3 mg/m3 di unit pengantongan semen PT Tonasa Line Kota Bitung(p = 0,002). Hasil analisis hubungan antara masa kerja dengan kejadian pneumokoniosis diperoleh nilai OR sebesar 11,333 yang artinya pekerja yang memiliki masa kerja lama (≥ 10 tahun) mempunyai peluang terjadinya pneumokoniosis sebesar 11,333 kali dibandingkan dengan pekerja yang memiliki masa kerja baru (< 10 tahun). Namun berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak adalah debu non organik (debu semen), Adapun dalam penelitian ini adalah debu organik (debu kain/kapas). Tabel 3. Deskripsi Indeks Massa Tubuh Sampel Penelitian No. Deskripsi Nilai (kg/m2 ) 1. Rata-rata 21,41 2. Median 21,25 3. Modus 20,4 4. Standar Deviasi 1,077 5. Minimum 19,5 6. Maksimum 23,4 Sumber: Data primer Penelitian Eraliesa (2008) menyatakan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan kerja pada tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan Tapaktuan. Dalam penelitian ini diinformasikan bahwa tenaga kerja dengan gizi baik (26,9%), gizi sedang (38,5%), dan gizi kurang (34,6%). Berbeda dengan penelitian ini, status gizi sampel penelitian semuanya dalam keadaan baik (IMT antara 18,5 – 25,0 kg/m2 ) dan pekerjaan yang dilakukan pada penelitian sebelumnya adalah kategori berat, Adapun pada penelitian ini beban kerja pada kategori ringan. 11
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 4. Deskripsi Iklim Kerja No. Deskripsi 1. Rata-rata 2. Median 3. Modus 4. Standar Deviasi 5. Minimum 6. Maksimum Sumber: Data primer
ISBB (o C) 28,9 29,0 28,6 0,442 28,0 29,5
Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya (Permenakertrans No. Per. 13/MEN/X/2011). Dalam peraturan ini nilai ambang batas iklim kerja berdasarkan parameter ISBB adalah 31 o C untuk beban kerja ringan dengan waktu kerja 6-8 jam per hari. Adapun hasil penelitian ini nilai ISBB adalah 28,9o C dengan beban kerja ringan dan waktu kerja 8 jam per hari. Dengan demikian, iklim kerja di ruangan sewing masih di bawah nilai ambang batas. Tabel 5. Deskripsi Kebisingan No. Deskripsi 1. Modus 2. Minimum 3. Maksimum Sumber: Data primer
Nilai (dBA) 75 75 86
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertrans No. Per. 13/MEN/X/2011). Dalam peraturan ini nilai ambang batas intensitas kebisingan adalah 85 dbA untuk waktu paparan 8 jam per hari. Adapun hasil penelitian ini nilai intensitas kebisingan adalah 75 dBA untutk waktu kerja (paparan) 8 jam per hari. Dengan demikian, intensitas kebisingan di ruangan sewing masih di bawah nilai ambang batas.
12
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 6. Deskripsi Kadar Debu mg/m3 0,289 0,280 0,19 0,166 0,09 0,65
No. Deskripsi 1. Rata-rata 2. Median 3. Modus 4. Standar Deviasi 5. Minimum 6. Maksimum Sumber: Data primer
Debu adalah partikel-partikel zat yang dihasilkan oleh pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dan lain-lain dari bahanbahan organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, bijih logam,arang batu, butir-butir zat padat dan sebagainya (Suma’mur, 2009). Pada perusahaan konveksi di mana penelitian ini dilakukan, kadar debu rata-rata terukur 0,289 mg/m3
dengan nilai terandah 0,09
mg/m3
dan tertinggi 0,65
mg/m3 .
Berdasarkan
Permenakertrans No. Per. 13/MEN/X/2011 nilai ambang batas (NAB) untuk kadar debu kapas adalah 0,2 mg/m3 . Dengan demikian,, hasil pengukuran secara umum dilihat dari nilai rata-rata telah melebihi nilai ambang batas, walaupun nilainya bervariasi di bawah dan di atas nilai ambang batas. Tabel 7. Deskripsi Kelelahan Kerja No. Deskripsi 1. Rata-rata 2. Median 3. Modus 4. Standar Deviasi 5. Minimum 6. Maksimum Sumber: Data primer
Waktu Reaksi (milidetik) 342,55 343,40 301,1 21,751 301,1 386,0
Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja (Suma’mur, 2009). Kelelahan kerja dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat reaction timer melalui rangsang cahaya dengan satuan milidetik (Setyawati, L. 2012). Kriteria untuk kelelahan kerja menggunakan reaction timer adalahNormal (N): 150,0 -240,0 mili detik; Tingkat Kelelahan Kerja Ringan (KKR): 240,0 < X < 410,0 mili detik; Tingkat Kelelahan Kerja Sedang (KKS): 410,0 ≤ X < 580,0 mili detik, dan Tingkat Kelelahan Kerja Berat (KKB): ≥ 580,0 mili detik. Pada hasil pengukuran penelitian ini diperoleh nilai rata-rata kelelahan adalah 342,55 mili detik. Dengan demikian, masuk kategori kelelahan ringan.
13
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Hubungan Antara Kadar Debu Kain dengan Kelelahan Kerja Melalui uji statistik product moment correlation diperoleh nilai r = 0,414 (p = 0,023), sehingga dinyatakan signifikan, yang berarti ada hubungan antara kadar debu kain dengan kelelahan kerja pekerja di perusahaan konveksi “X” Sukoharjo. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar debu adan diikuti dengan meningkatnya kelelahan kerja. Tingkat hubungan yang terjadi menurut Sugiyono (2002) termasuk kategori sedang karena terletak antara 0,40 – 0,5999. Selanjutnya, dapat diketahui bahwa besarnya factor kadar debu memengaruhi fungsi paru tenaga kerja sebesar r2 = 0,4142 = 0,17 atau 17%. Dengan demikian, faktor lain selain debu yang menjadi penyebab kelelahan kerja sebesar 83%. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Suma’mur (2009), yang menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu merupakan pekerjaan yang melelahkan. Hal ini dianggap menjadi penyebab kelelahan kerja karena menghirup debu dengan kadar tinggi dapat mengurangi volume paru, sehingga menghambat absorbs oksigen di alveoli yang menyebabkan orang mudah mengalami kelelahan. Pada penelitian ini, pekerja memakai masker kadang-kadang atau tidak disiplin memakainya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menggunakan masker yang tidak dilakukan selama waktu bekerja menjadi tidak efektif karena terbukti dari hasil penelitian ini, semakin meningkat kadar debu, maka semakin meningkat kelelahan kerja tenaga kerja di perusahaan konveksi “X” Sukoharjo. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Syahputra (2015), yang menyatakan kadar debu kapas di lingkungan kerja di unit Carding 0,3714 mg/m3 dan unit Spinning 0,1425
mg/m3
menyebabkan terjadinya kecenderungan kemungkinan
terkena
bisinosis pada pekerja dengan jenis kelamin laki-laki. Adapun peda penelitian ini dilakukan pada pekerja perempuan. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian menunjukkan ada hubungan antara kadar debu kain dengan kelelahan kerja perkerja wanita (r = 0,414; p = 0,023; r2 = 0,17). UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan FK UNS, yang telah memberi izin kepada penulis untuk mengikuti Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 2. Panitia Penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 14
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
DAFTAR PUSTAKA AtmojoTB. , Sadakir, 2015. “Hubungan Kadar Debu Kayu dan Kapasitas Fungsi Paru dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja di Bagian Produksi CV Valasindo Sentra Usaha Gondang Rejo Karanganyar”. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN:978-60214930-3-8. Deddy Abdi Syahputra, Zainuddin Amir, Pandiaman Pandia, 2015. Hubungan Kadar Debu Kapas dengan Kejadian Bisinosis pada Pekerja Pabrik X Pembuat Tilam di Kota Medan, J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015. Eraliesa F. , 2008. “Hubungan Faktor Individu dengan Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Bongkat Muat di Pelabuahan Tapaktuan Kecamatan Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2008”, USU Respiratory © 2009. http://repository. usu. ac. id/bitstream/123456789/14721/1/09E01076. pdf Fitrihana N, 2016. Memperbaiki Kondisi Kerja Di Industri Garmen Melalui Pendekatan Ergonomi. http://digilib. itb. ac. id/files/disk1/625/jbptitbpp-gdl-noorfitrih-31227-1ergonomi- y. pdf, diakses 25 Januari 2016. Jati WR, 2015. Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang Atau Jendela Bencana Di Indonesia?,Populasi Volume 23 Nomor 1 2015. Mulyati SS. , Setiani O. , Raharjo M. , 2015. “Analisis Risiko Paparan Debu Kapas Terhadap Kejadian Bisinosis di Industri Tekstil PT Grandtex Bandung”. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 14 No.2/Oktober 2015. Simanjuntak ML, Pinontoan OR, Pangemanan JM, 2015. Hubungan Antara Kadar Debu, Masa Kerja, Penggunaan Masker dan Merokok dengan Kejadian Pneumokoniosis Pada Pekerja Pengumpul Semen di Unit Pengantongan Semen PT Tonasa Line Kota Bitung, JIKMU, Vol. 5, No. 2b April 2015. Setyawati, L. 2012. Selintas Tentang Kelelahan Kerja. Amara Books. Yogyakarta. Suma’mur, PK. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).CV Sagung Seto. Jakarta. Syahputra DA, Amir Z, Pandia P., 2015. “Hubungan Kadar Debu Kapas dengan Kejadian Bisinosis pada Pekerja Pabrik X Pembuat Tilam di Kota Medan”. J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015.
15
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
ANALISIS PERBEDAAN POSTUR KERJA DAN KELUHAN MUSCULOSKELETAL DISORDER PADA OPERATOR CONTAINER CRAINE DI PERUSAHAAN BONGKAR MUAT PT X SURABAYA Neffrety Nilamsari* , Mufatihatul Aziza Prodi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga Surabaya, Jalan Srikana No. 65 Surabaya telp. (031) 5033869 * Pos-el:
neffrty.
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Ilmu ergonomi memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja, seperti mengurangi rasa nyeri dan mengurangi ketidaknyamanan visual dan perbaikan postur kerja serta mengurangi kelelahan yang dialami pekerja. Penelitian ini membahas tentang perbedaan analisis postur kerja dan faktor risiko musculoskeletal disorder pada operator cointainer crain di perusahaan bongkar muat PT X di Surabaya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan postur kerja antara operator cointainer crain (CC) yang bekerja menggunakan safety belt dengan operator cointainer crain yang bekerja tanpa menggunakan safety belt. Mengidentifikasi tingkat risiko keluhan musculoskeletal disorder (MSDs) yang dirasakan operator CC selama bekerja dan memberikan rekomendasi postur kerja yang ergonomis untuk mengurangi tingkat risiko keluhan MSDs yang dirasakan operator CC. Metode Penelitian: Penelitian deskriptif analitik melalui observasi dan wawancara. Sampel penelitian berjumlah 33 orang operator container crane pada shift pertama. Lokasi penelitian di PT X sebuah perusahaan bongkar muat di Surabaya. Teknik pengambilan sampel secara purposive. Hasil: Analisis postur kerja menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assesment) diperoleh hasil risiko sangat tinggi untuk tangan bagian kiri dan risiko tinggi pada tangan bagian kanan pada operator CC yang tidak menggunakan safety belt, Adapun risiko tinggi pada tangan bagian kiri dan risiko sedang pada tangan kanan pada operator CC yang menggunakan safety belt. Untuk kategori risiko keluhan MSDs sebanyak 3 orang tergolong risiko ringan, 22 risiko sedang dan 8 risiko berat. Disarankan pada operator CC untuk selalu menjaga kebugaran dengan streching khusus yang dapat dilakukan di tempat kerja untuk mengurangi risiko MSDs. Kesimpulan: Postur kerja yang diadopsi oleh operator container crain yang tidak menggunakan safety belt lebih berisiko tinggi mengalami musculoskeletal disorder daripada postur kerja yang diadopsi oleh operator container crain yang menggunakan safety belt. Kata kunci: postur kerja, REBA, MSDs operator CC.
PENDAHULUAN PT X adalah salah satu perusahaan bongkar muat barang di Surabaya. PT X memiliki sifat pekerjaan yang sangat padat. Alat bantu untuk memudahkan proses bongkar muat petikemas menggunakan alat Container Craine (CC). Container Craine adalah suatu pesawat 16
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
angkat yang digunakan untuk memindahkan dan mengangkat muatan dalam bentuk barang atau petikemas (container) secara vertikal atau
horizontal dalam jarak
yang
ditentukan.
Produktivitas target operator CC dalam kegiatan bongkar dan muat di PT X berkapasitas sebesar 20-25 boks peti kemas per/jam dengan waktu kerja 4 jam tiap operator CC. Pekerjaan operator CC mayoritas adalah duduk, punggung membungkuk dan kepala melihat ke bawah untuk memastikan kondisi container di speader dalam kondisi lock/un-lock di mana operator CC bekerja diketinggian 30-40 meter. Pekerjaan ini berisiko mengalami kelelahan kerja dan penyakit yang berhubungan dengan penyakit akibat kerja yang tinggi akibat dari sikap kerja yang tidak ergonomis. Selain faktor sikap kerja, faktor lain yang memengaruhi adalah keluhan musculoskeletal disorder.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan teknik pengumpulan data secara observasi dan wawancara. Penelitian ini dilakukan mulai 1 Agustus hingga 10 Oktober 2016. Pada penelitian ini jumlah responden sebanyak 33 orang operator CC pada sift pagi. Teknik pengambilan sampel secara purposive dengan pertimbangan kemudahan akses ke lokasi penelitian adalah pada pagi dan siang hari. Data keluhan MSDs dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner tentang faktor risiko ergonomi yang diadopsi berdasarkan indikator REBA dan UNCLA-LOSH serta WHO. Analisis data tentang MSDs dilakukan secara deskriptif Adapun data tentang postur kerja dianalisis menggunakan software REBA.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data karakteristik responden adalah sebagai berikut; Usia responden dengan frekuensi terbanyak adalah 32 tahun berjumlah 6 orang ( 18,18 %).
Paling tua berusia 54 tahun dan
termuda berusia 32 tahun. Masa kerja terlama adalah 23 tahun dan terendah 7 tahun. Jenis kelamin responden seluruhnya laki-laki dengan pendidikan terakhir terbanyak adalah di tingkat perguruan tinggi strata 1 sejumlah 21 orang ( 63,64%). Tahap awal penelitian dilakukan identifikasi karakteristik responden dan identifikasi keluhan musculoskeletal disorder untuk mengetahui gambaran kategori jenis keluhan tersebut. Hasil analisis data diperoleh rincian sebagai berikut: Untuk kategori risiko keluhan MSDs ringan sebanyak 3 orang, 22 orang tergolong risiko sedang dan 8 orang tergolong mengalami keluhan MSDs risiko berat.
17
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Berikut merupakan hasil penilaian risiko
postur tubuh kepada dua
responden
menggunakan metode REBA yang di kelompokkan dalam bagian anggota tubuh, antara lain Grup A (punggung, leher, dan kaki), Grup B (lengan atas), Grup B (lengan bawah), Grup B (pergelangan tangan), serta pembebanan, kolping, dan aktivitas.
Gambar 1. Postur kerja responden dengan safety belt dan hasil analisis REBA
18
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Gambar 2. Postur kerja responden tanpa menggunakan safety belt dan hasil analisis REBA Berdasarkan skor final REBA pada kedua responden operator container crane PT X Surabaya ditemukan perbedaan skoring dan tingkat risiko. Skor REBA pada responden pertama sebesar 9 (dimensi tubuh bagian kiri = risk level tinggi) dan 7 (dimensi tubuh bagian kanan = risk level sedang) di mana skor nilai tersebut lebih rendah daripada responden ke dua dan rekomendasi perbaikan/perubahan postur kerja bersifat tidak segera.
Pada responden kedua
memiliki nilai skor REBA 11 ( dimensi tubuh bagian kiri = risk level sangat tinggi ) dan 9 (dimensi tubuh bagian kanan –
risk level tinggi), sehingga perlu dilakukan upaya
perbaikan/perubahan postur kerja yang sifatnya segera.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari
kontribusi nilai pada batang tubuh (trunk), kaki (legs), lengan atass (upper arms) bagian kiri, pergelangan tangan (wirsts) bagian kanan, dan lengan bawah (lower arms) pada responden pertama risk levelnya lebih rendah daripada skor nilai responden kedua. Tindakan yang dapat dilakukan di antaranya perbaikan postur kerja atau pengurangan beban otot kerja dan upaya untuk mengurangi dampak dari risiko postur kerja tersebut agar tidak menimbulkan MSDs. Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah cedera atau penyakit pada sistem syaraf atau jaringan seperti otot, tendon, ligament, tulang sendi, tulang rawan atapun pembuluh darah. Rasa sakit yang akibat MSDs dapat digambarkan seperti kaku, tidak fleksibel, panas/terbakar, kesemutan, mati rasa, dingin dan rasa tidak nyaman. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang dari mulai keluhan ringan hingga keluhan yang terasa sangat sakit. Apabila otot statis menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon (Tarwaka, 2015). MSDs merupakan kumpulan penyakit yang disebabkan oleh beberapa faktor risiko, beberapa faktor risiko tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu pekerjaan, lingkungan dan manusia atau pekerja (Pheasant, 1991; Oborne, 1995). Faktor Pekerjaan seperti 19
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Postur Kerja di mana sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja (Tarwaka, 2010). Ada dua aspek dari postur tubuh yang dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal. Pertama berhubungan dengan posisi tubuh yang salah. Contoh bekerja dengan tubuh yang membungkuk ke depan, ke belakang, atau tubuh yang memutar ke samping. Aspek kedua yang memiliki kontribusi terhadap keluhan musculoskeletal yaitu memposisikan leher dan bahu pada posisi tertentu yang tidak alamiah. Untuk melakukan pergerakan pada lengan, otot-otot pada leher dan bahu akan berkontraksi dan akan terus berkontraksi selama pekerjaan tersebut berlangsung. Kontraksi yang terjadi akan menekan pembuluh darah yang menyebabkan berkurangnya aliran darah pada otot-otot tangan yang sedang bekerja. Pada kondisi tubuh yang demikian dibutuhkan aliran darah yang banyak karena kerja otot yang terus-menerus. Dua hal dapat terjadi akibat posisi tubuh tersebut adalah otot-otot leher atau bahu akan menjadi sangat lelah meskipun hanya melakukan sedikit gerakan atau tidak ada gerakan sama sekali. Pada saat yang bersamaan pengurangan aliran darah ke tangan akan mempercepat kelelahan yang terjadi pada otot. Kedua hal ini akan memudahkan terjadinya cedera. Pada saat bekerja operator CC PT X melakukan pengulangan posisi kerja seperti membungkukkan badan dan leher berkali-kali, sehingga posisi seperti ini berpotensi pada terjadinya keluhan musculoskeletal (Repetition Injury). Resiko MSDs meningkat jika salah satu bagian tubuh yang sama digunakan secara berulang-ulang. Pekerjaan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menyebabkan kelelahan, kerusakan jaringan, dan kadang-kadang nyeri dan rasa tidak nyaman (discomfort) . Paparan lingkungan kerja yang lain adalah durasi kerja. Pada satu hari bekerja operator CC rata-rata melakukan pekerjaan dengan posisi tidak alamiah tersebut dalam waktu yang lama lebih dari 4 jam sehari. Durasi adalah jumlah waktu terpajang faktor risiko. Durasi didefinisikan sebagai durasi singkat jika < 1 jam per hari, durasi sedang yaitu 1-2 jam per hari,dan durasi lama yaitu > 2 jam per hari. Durasi terjadinya postur janggal yang berisiko bila postur tersebut dipertahankan lebih dari 10 detik (Brief Survei Methode dalam Humantech, 1995). Berdasarkan hasil studi Eko Mardiyanto (2015), diketahui bahwa 59,3% pekerja yang mengalami keluhan MSDs diakibatkan oleh aktivitas mengangkat/manual handling dengan total waktu kerja selama 6 jamsetiap hari. Faktor lain yang dapat menimbulkan rasa nyeri dan berdampak pada munculnya musculoskeletal disorder adalah penggunaan alat kerja yang bersifat statis seperti alat 20
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Perangka/alat kerja yang memiliki pegangan/tombol yang digenggam atau dipencet dalam waktu yang lama.
Menurut Tarwaka (2004) pada saat tangan harus memegang alat atau
menekan tombol, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, apabila hal ini sering terjadi dapat menyebabkan rasanyeri otot menetap. Berdasarkan hasil studi Susan, et al.. (2005), permasalahan ergonomi pada operator mesin dan assembler adalah ketika tangan digunakan untuk menghidupkan mesin (seperti mendorong tombol dan menekan panel), menggenggam besi untuk membuka kotak, memegang benda atau pun alat kerja dengan ujung jari (Susan, et al., 2005). Operator CC di PT X juga menggunakan alat kerja tersebut dalam waktu yang lama ( > 4 jam).
Gambar 3. Posisi tangan kanan dan kiri saat memegang handle Hasil pengukuran postur kerja dengan menggunakan metode REBA menunjukkan adanya postur tubuh yang canggung/janggal dan memiliki nilai/skor yang tinggi. Postur tersebut terbentuk sebagai tuntutan pekerjaan operator container yang bekerja di ketinggian dengan kondisi posisi bidang visual container dan pengangkutnya yang berada di bawah kabin operator. Lantai kabin terbuat dari kaca tembus pandang untuk memudahkan operator melihat container atau barang yang akan di angkat menggunakan spreader crane yang tergantung dengan sling di bawahnya. Tuntutan pekerjaan tersebut memiliki posisi khas, yaitu dengan punggung dan kepala membungkuk ke depan, kaki membuka lebar dengan tumpuan telapak kaki di atas dua foot rest yang tersandar secara terpisah ( Pigini L. , 2006). Mengingat postur kerja operator crane cenderung menunduk dan membungkuk maka bagian tubuh tertentu seperti otot trapezius (Otot punggung dan bagian bahu kanan serta kiri) akan menahan beban tubuh. Bagian tubuh lainnya yang memiliki beban berat adalah leher yang menopang kepala ketika posisi tubuh menunduk. Hal ini tergambar dalam skor nilai pada metode REBA dan sudut yang terbentuk oleh posisi operator crane pada gambar 1 dan 2. Bagian tubuh yang cenderung memiliki skor tinggi di antaranya adalah bagian batang tubuh (trunk), leher (neck), lengan atas (upper arms) dan lengan
21
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
bawah (lower arms). Akan tetapi, kecenderungan skor tinggi tersebut dominan pada responden kedua yang tidak menggunakan sabuk pengaman. Penggunaan sabuk pengaman memiliki kontribusi dalam mengurangi kerja otot-otot tubuh, otot trapezius dan otot leher. Penelitian Pigini L., (2006) menyatakan bahwa penggunaan sabuk pengaman dapat mengurangi beban berat badan sebesar 79%. Pada saat membungkuk, tulang belakang bergerak ke sisi depan sehingga tubuh mengalami tekanan dan penimbunan beban hanya pada bagian tubuh tertentu saja. Akibatnya, pekerja dapat mengalami keluhan muskuloskeletel seperti nyeri punggung, nyeri leher, atau nyeri pinggang, dan lain sebagainya. Muskuloskeletel adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai rasa sakit. Penelitian Nurliah A. (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara postur kerja dengan keluhan musculoskeletal disorders yang disebabkan oleh postur duduk yang tidak ergonomis. Hal ini sejalan dengan data yang ditemukan di PT X bahwa keluhan myalgia (nyeri otot dan pegal-pegal) serta low back pain menjadi salah satu dari sepuluh keluhan penyakit terbanyak di tahun 2013 dan 2014 lalu berdasarkan data dari petugas kesehatan PT X Surabaya. Keluhan musculoskeletal telah menjadi dapat berkembang lebih buruk jika tidak segera ditangani. Mengingat adanya potensi dampak risiko kesehatan di masa yang akan datang, maka diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki postur kerja atau pengurangan beban otot kerja untuk mengurangi dampak risiko seperti terjadinya cumulative trauma disorders termasuk di antaranya Musculoskeletal disorders, low back pain, dan keluhan otot lainnya. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka rekomendasi yang dapat diajukan kepada perusahaan untuk memperbaiki postur kerja dan mengurangi dampak dari risiko postur kerja yang statis dan tidak alamiah pada operator antara lain sebagai berikut: 1. Memastikan sabuk pengaman/tersedia dan dapat digunakan dengan baik pada setiap kabin operator container crane untuk mengurangi beban pada tubuh ketika dalam posisi menunduk dan mengurangi kerja otot lumbar (pinggang) serta menggunakan sabuk pengaman setiap bekerja di dalam kabin.
22
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Gambar 4. Penggunaan sabuk pengaman Sumber: Dokumentasi pribadi (2016) 2. Jika memungkinkan, mengaplikasikan monitor sebagai visualisasi di dalam kabin yang terhubung dengan camera yang terpasang di bawah kabin. Tinggi visual disesuaikan setinggi mata duduk, sehingga operator tidak perlu menunduk untuk melakukan pekerjaannya dan beban otot pinggang, leher, serta punggung ketika melakukan kegiatan bongkar muat dapat diminimalisir.
Gambar 5. Kabin operator yang dilengkapi dengan monitor visualisasi Sumber: Brieda cabins brochure (2012) Memberikan pengetahuan mengenai latihan (exercise) perenggangan untuk mengurangi dampak dari risiko postur kerja yang statis seperti cumulative trauma disorders termasuk di antaranya Musculoskeletal disorders, low back pain, dan keluhan otot lainnya pada operator container crane di PT X di Surabaya. KESIMPULAN Postur kerja yang diadopsi oleh operator container crain yang tidak menggunakan safety belt lebih berisiko tinggi mengalami musculoskeletal disorder daripada postur kerja yang diadopsi oleh operator container crain yang menggunakan safety belt. 23
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Widi Hidayat, S. E. , M. Si. , Ak, Dekan Fakultas Vokasi, yang telah memberi izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini. 2. Eny Inayati, drg., M. Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga dan Erwin Dyah Nawawinetu, dr. , M. Kes, selaku Koordinator Program Pendidikan Diploma III Program Studi Higiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Vokasi Universitas Airlangga yang memberikan bimbingan. 3. Bapak Bondan Winarno, S. T. , selaku Asisten Manajer PT Terminal Petikemas Surabaya yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan selama penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA Brieda cabins brochure . 2012. http://www. briedacabins.com/en- EN/docs. php. Humantech Inc. 1995. Applied Ergonomic Training Manual. Berkeley Vale Australia: Protector and Gamble Inc. Mardiyanto,E. , Denny Ardyanto, Hari Basuki Notobroto (2015). Container Crane Operator Ergonomics Analysis PT X Port Of Tanjung Perak, Surabaya. Civil and Environmental Research. www. iiste. org ISSN 2224-5790 (Paper) ISSN 2225-0514 (Online). Vol. 7, No. 4, 2015. Nurliah A. 2012. Analisis Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Operator Forklift di PT LLI. Tesis. Universitas Indonesia. Depok. Oborne, David j. 1995. Ergonomic at Work. Human Factor in Design and Development. 3rd edition. John Wiley an Sons ltd: Chicester. Pheasant, Stephen. 1991. Ergonomics, Work and Health. Maryland: Aspen Publishers, Insc: Maryland, Gaithersburg. Pigini, L. , 2006. Ergonomics solutions in designing workstations for operators cranes on harbours. Susan Stock et.al. 2005. Work-related Musculoskeletal Disorders, Guide and Tools for Modified Work. National Library of Quebec: Montreal. Tarwaka, 2010. Ergonomi Industri Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja, Solo: Harapan Press. Tarwaka. 2015. Ergonomi Industri. Dasar - Dasar Pengetahuan Ergonomi Dan Aplikasi Di Tempat Kerja. Harapan Press. Surakarta.
24
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
EVALUASI KESELAMATAN KERJA INSTALASI LISTRIK PADA GEDUNG TRAKINDO KILOMETER 13 BALIKPAPAN
Isradi Zainal Program Studi D4 K3 Fakultas Vokasi Universitas Balikpapan, Jalan Pupuk Raya, 76114 Pos-el:
[email protected] ABSTRAK Pendahuluan: Instalasi listrik adalah saluran instalasi beserta gawai maupun peralatan baik di dalam maupun di luar bangunan untuk menyalurkan aliran listrik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keselamatan kerja instalasi listrik pada gedung Trakindo Kilometer 13 Balikpapan yang meliputi: keselamatan kerja dan kelayakan perlengkapan peralatan instalasi listrik, Pengaman instalasi listrik, ukuran penampang Penghantar, tahanan isolasi (Risolasi), dan keselamatan kerja tahanan pembumian (grounding) (Rpertanahan ). Metode Penelitian: Metode yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data adalah deskriptif. Bahan dan peralatan yang digunakan berupa check list dan ohm meter untuk memverifikasi kesesuaian dengan Persyaratan Umum Instalai Listrik (PUIL). Observasi dilaksanakan di gedung Trakindo kilometer 13 Balikpapan dengan jumlah panel sebanyak 37 unit. Hasil: Hasil evaluasi menunjukkan bahwa perlengkapan instalasi listrik sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Ukuran penampang penghantar dari panel yang terpasang sesuai dengan beban yang diterima. Tahanan Isolasi yang diukur dengan ohm meter umumnya lebih dari 0,5 ohm, Adapun tahanan pembumian umumnya kurang dari 5 ohm. Untuk pengaman instalasi listrik (MCB/MCCB) ditemukan 30 panel yang memenuhi syarat dan 7 panel yang kurang memenuhi syarat. Kesimpulan: Sistem instalasi listrik yang terpasang di tempat penelitian meliputi perlengkapan instalasi listrik, ukuran penampang penghantar, tahanan isolasi dan tahanan pembumian secara umum memenuhi persyaratan umum instalasi listrik (PUIL) dan aman untuk digunakan, Adapun untuk pengaman instalasi listrik (MCB/MCCB) ada 7 panel yang memerlukan penggantian. Kata kunci: keselamatan kerja, instalasi listrik, workshop, PUIL, MCB/MCCB.
PENDAHULUAN Instalasi Listrik merupakan salah satu bagian yang penting dalam pembangunan gedung untuk melindungi keselamatan manusia dan hewan yang berada di daerah sekitar sehingga aman dari sengatan listrik. Masih seringnya terjadi pada suatu bangunan yang penyebabnya diduga karena hubung singkat atau secara umum karena listrik pada suatu bangunanpun masih banyak ditemukan instalasi listrik yang mengabaikan persyaratan umum instalasi listrik (PUIL), Standar nasional Indonesia (SNI), Peraturan Menteri Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri ESDM dan tidak memperhatikan ketentuan tentang keselamatan kerja dan peralatan.
25
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Mengevaluasi instalasi listrik pada suatu bangunan haruslah mengacu pada peratuan dan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu Instalasi listrik harus diperhitungkan sebaik mungkin agar energi listrik dapat terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan keinginan kita. Evaluasi kelayakan instalasi listrik dimulai dengan pemeriksaan dari perlengkapan instalasi yang meliputi Lasdop/isolasi, sakelar, fitting, Tusuk kontak dan kotak kontak. Kemudian pengaman, sesuai persyaratan atau tidak dan bagaimana kondisi fisiknya. Daintaranya magnetic circuit breaker (MCB), Pengaman lebur atau sekring, dan Pembumian (grounding). Selanjutnya, pemeriksaan penghantar instalasi dalam hal ini kabel apakah sesuai persyaratan atau belum. Menurut PUIL (2000:241) kabel instalasi inti tunggal berisolasi PVC (Poly Vinil Chlorid) tidak diperbolehkan dibebani arus melebihi Kuat Hantar Arus (KHA) untuk masing-masing luas penampang nominal. Sehingga setiap penghantar yang dipasang dalam instalasi listrik harus terdapat tanda pengenal kabel sehingga memudahkan dalam pemasangan penghantar. Untuk penghantar Kawat penghubung yang menghubungkan saklar ke lampu-lampu diperbolehkan mempunyai penampang 1,5 mm2 . Selanjutnya, mengukur besar tahanan/resistans isolasi dan tahanan/resistans pembumian. Dalam pemeriksaan instalasi, untuk pengujian tahanan isolasi (Risolasi) dan tahananan pembumian (grounding) (Rpertanahan ) menggunakan alat ukur. Untuk menguji tahanan isolasi (Risolasi) alat ukur yang digunakan adalah insulation tester. Berdasarkan paparan tersebut maka akan dibuat penelitian dengan judul “Evaluasi Keselamatan Kerja Instalasi Listrik pada Gedung Trakindo Kilometer 13 Balikpapan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keselamatan kerja instalasi listrik yang meliputi perlengkapan instalasi listrik, Luas penampang penghantar listrik, tahanan isolasi, tahanan pembumian dan Pengaman isntalasi listrik. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Gedung Trakindo Kilometer 13 Balikpapan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2016. Gedung trakindo memiliki Gedung utama, workshop dan Gedung Pendukung. Dalam sistem instalasi listriknya, gedung Trakindo memiliki 37 Panel yang menjadi objek dalam penelitian ini Metode yang digunakan untuk mengetahui kelayakan instalasi listrik adalah dengan metode observasi. Dalam pengambilan data ini, peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian dengan cara mengamati, mengukur, dan mencatat kelayakan instalasi listrik di Gedung Trakindo. Keselamatan kerja instalasi listrik yang terdapat di gedung trakindo Kilometer 13 Balikpapan, dapat dikatakan layak dan aman apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
26
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
1. Perlengkapan instalasi listrik Perlengkapan instalasi listrik dinyatakan layak dan aman jika, Lasdop/isolasi ada dalam tiap sambungan kabel instalasi, tuas sakelar berfungsi dengan baik (ON/OFF), fitting lampu berfungsi dengan baik (ulir lampu normal, tidak ada korosi dalam komponen fitting), untuk (sakelar, fitting, tusuk kontak dan kotak kontak): 1). Tercantum dengan jelas nama pembuat dan atau merek dagang; 2). Tercantum dengan jelas daya tegangan, dan/arus arus pengenal; 3). Tercantum dengan jelas data teknis lain seperti disyaratkan SNI, 4). Memenuhi ketentuan PUIL 2000 dan/standar yang berlaku. 2. Penampang penghantar Penampang penghantar instalasi listrik dinyatakan layak dan aman jika, 1). Tercantum dengan jelas nama pembuat dan atau merek dagang; 2). Tercantum dengan jelas daya tegangan, dan/arus arus pengenal; 3). Tercantum dengan jelas data teknis lain seperti disyaratkan SNI. Setiap penghantar yang dipasang dalam instalasi listrik harus terdapat tanda pengenal kabel sehingga memudahkan dalam pemasangan penghantar, penggunaan kawat penghantar minimal 1,5 mm2 . Pada tabel 3. 16-2 dalam PUIL 2000 disebutkan bahwa jenis pengawatan instalasi magun (terpasang tetap) luas minimum penghantar fase adalah 1,5 mm2 (PUIL 2000:78). 3. Tahanan Isolasi Tahanan isolasi dinyatakan layak dan aman jika, Pada instalasi listrik gedung mempunyai resistansi isolasi kabel > 0,5 MΩ. Pada instalasi listrik umumnya digunakan tegangan uji 500 V dan resistansi 1000 ohm/Volt. Standart resistansi isolasi kabel harus > 0,5 MΩ. Jika hasil pengukuran hasilnya 0 MΩ atau < 0,5 MΩ pada instalasi, maka instalasi tersebut mempunyai isolasi yangjelek. 4. Tahanan Pembumian (grounding) Tahanan pembumian (grounding) dinyatakan layak dan aman jika, Resistans pembumian total seluruh sistem pada instalasi listrik tidak boleh lebih dari 5Ω. Dalam (PUIL, 2000: 68) disebutkan bahwa resistans pembumian total seluruh sistem tidak boleh lebih dari 5Ω. 5. Pengaman Instalasi Listrik Pengaman instalasi listrik dinyatakan layak dan aman jika, 1). Tercantum dengan jelas nama pembuat dan atau merek dagang; 2). Tercantum dengan jelas daya tegangan, dan/arus arus pengenal; 3). Tercantum dengan jelas data teknis lain seperti disyaratkan SNI 4). Memenuhi ketentuan PUIL 2000 dan/standar yang berlaku. Pemasangan atau penggunaan pengaman baik MCB maupun sekering sesuai dengan daya yang terpasang dalam instalasi.
27
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan dari analisis data hasil penelitian, dapat diketahui tingkat kelayakan instalasi listrik di Gedung Trakindo. Hasil analisis data menyebutkan bahwa, tingkat kelayakan instalasi listrik ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor yang berpengaruh terhadap kelayakan pemakaian instalasi listrik adalah perlengkapan peralatan instalasi listrik, pengaman instalasi listrik ditinjau dari segi kondisi fisiknya, besar penampang penghantar instalasi pada penambahan beban titik nyala, tahanan isolasi (Risolasi), dan tahanan pembumian (Grounding) (Rpertanahan ). Jika faktorfaktor tersebut dapat
memenuhi kriteria kelayakan
instalasi,
maka instalasi tersebut
dianggaplayak. 1. Perlengkapan Instalasi Listrik Perlengkapan instalasi listrik pada gedung trakindo kilometer 13
Balikpapan
dinyatakan layak dan aman karna: Lasdop/isolasi ada dalam tiap sambungan kabel instalasi, tuas sakelar berfungsi dengan baik (ON/OFF), fitting lampu berfungsi dengan baik (ulir lampu normal, tidak ada korosi dalam komponen fitting), untuk (sakelar, fitting, tusuk kontak dan kotak kontak): 1). Tercantum dengan jelas nama pembuat dan atau merek dagang; 2). Tercantum dengan jelas daya tegangan, dan/arus arus pengenal; 3). Tercantum dengan jelas data teknis lain seperti disyaratkan SNI, 4). Memenuhi ketentuan PUIL 2000 dan/standar yang berlaku. Jadi, sescara keseluruhan perlengkapan instalasi listrik ditinjau berdasrkan kriteria di atas dinyatakan aman dan layak untuk digunakan. 2. Penampang Penghantar Berdasarkan hasil evaluasi dan pemeriksaan, Penampang penghantar instalasi listrik yang terpasang pada gedung trakindo kilometer 13 Balikpapan dinyatakan layak dan aman karena, 1). Tercantum dengan jelas nama pembuat dan atau merek dagang; 2). Tercantum dengan jelas daya tegangan, dan/arus arus pengenal; 3). Tercantum dengan jelas data teknis lain seperti disyaratkan SNI. Untuk menentukan seberapa besar penampang penghantar yang dibutuhkan, maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah Kemampuan Hantar Arus dari penghantar tersebut. Berdasarkan PUIL 2000 pasal 7. 3. 2 dinyatakan bahwa semua penghantar harus mampunyai KHA sekurang-kurangnya sama dengan arus yang mengalir melaluinya, hal ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan arus maksimum yang dihitung atau ditaksir menurut pasal 4. 3. 2 dan 4. 3. 3 Untuk menentukan seberapa besar penampang penghantar dari panel ditentukan dengan menggunakan pembatas arus. Sesuai pasal 4. 3. 5. 3 yang berisi tentang penentuan kebutuhan maksimum dengan arus nominal pemutus daya. Besarnya kapasitas daya terpasang pada tiap-tiap panel dapat ditentukan dengan daya peralatan, lampu penerangan serta beban lain yang akan digunakan. Sebagai contoh perhitungan dapat diambil data dari tabel Tabel 1 Beban yang berada di PP office 2 dengan kapasitas daya terpasang sebesar 39.
28
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
183 watt maka arus yang mengalir dapat dicari dengan persamaan berikut: I =
P
=
3 .E.Cos
21346 1.73 .380.0.8
= 32,46 A
Dari nilai arus yang di dapat sebesar 32,46 A, kemudian kita menghitung besar KHA (Kemampuan Hantar Arus). KHA = I Nominal x 125% KHA = 32. 46A x 125% KHA = 50,7 A Berdasarkan PUIL, daalam tabel menyatakan bahwa dengan Ampere sebesar 50. 7 dapat menggunakan 54A. Dengan nilai yang ada dapat menentukan dengan melihat besarnya kabel yang digunakan dengan Ampere sebesar 54A, yaitu didapat kabel sebesar 4mm². Adapun di data perencanaan menggunakan kabel NYY 4 x 16 mm², hal ini dilakukan untuk mengantipasi apabila terjadi penambahan beban dan telah dipersiapkan pengaman sebagai cadangan beban (Load Spare). Tabel 1. Data Evaluasi Kelayakan Penghantar
No
Nama panel
Beban (VA)
Beban KHA (Watt) (Ampere)
1 2 3 4 5 6
PANEL UTAMA SDP OFFICE SDP UPS OFFICE SDP AC OFFICE PP-OF. 1(OFFICE 1) PP-OF. 2(OFFICE 2)
7
PP-OF. 3(OFFICE 3)
6. 100 VA
4. 480
10,6
NYY 4x4mm2
L
8
PP-UPS ANNEX
3. 750 VA
3. 000
7,125
NYY 4x4mm2
L
9
1. 500 VA
121. 096 22. 750 VA 18. 200
287,5
NYY 4x4mm2
L
10
PP-UPS GENSET & WELDING SHOP PP-UPS. 1(UPS OFFICE 1)
43,2
NYY 4x10mm2
L
11
PP-UPS. 2(UPS OFFICE 2)
32. 500 VA 16. 000
37,98
NYY 4x10mm2
L
12
39. 360 VA 31. 504
73,7
NYY 4x16 mm2
L
4. 465 VA
3. 572
8,5
NYY 4x4mm2
L
14
PP-AN. 1(ANNEX BUILDING) PP-AN. 2(ANNEX BUILDING) PP-HAL AREA
2. 800 VA
2. 240
5,31
NYY 4x4mm2
L
15 16
PP-MACHINE SHOP PP-WAREHOUSE
391. 463 VA 313. 39. 290 VA 31.170 432
747,2 74,6
NYY 4(2x1Cx240)mm2 NYY 4x16 mm2
L L
17
PP-COMPONENT SHOP
524. 569 VA
419. 655
996,3
NYY 4(2x1Cx240)mm2
L
18
PP-DC. 1(DOCUMENT CENTER) PP-DC. 2(DOCUMENT CENTER)
10. 980 VA
8. s74
20,75
NYY 4x4mm2
L
5. 400 VA
4. 320
12,3
NYY 4x4mm2
L
13
19
1161,8 VA 84,01 210. 411 VA 168. 399,7 69. 250 VA 55.369 400 131,535 104. 432 VA 83. 546 198,3 161. 378 VA 129. 306,5 102 39. 183 VA 21. 346 50,7
Hasil Pemeriksaan L=Layak T=Tidak Layak NYY 4x1Cx300 L NYY mm2 4x1Cx240 L NYY mm2 4x50 mm2 L NYY 4x70 mm2 L NYY 4X120 mm2 L NYY 4x16mm2 L Penghantar
29
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
20 21
PP-SUPPORTING BUILDING PP-PAINTING ROOM
129. 005 VA
103. 204 66. 395 VA 58. 269
245
NYY 4x70 mm2
L
157,6
NYY 4X35 mm2
L
22
PP-PUMP ROOM
1. 540 VA
1. 232
2,93
NYY 4x4 mm2
L
23
PP-WASHING PAD
15. 928 VA 12. 742
30,25
NYY 4x4mm2
L
24
PP-DUST COLL.
37. 500 VA 30. 000
71,225
NYY 4x10mm2
L
25
PP-OL
17. 280 VA 13. 824
32,8
NYFGb Y 4x4 mm2
L
26
LP-PL. 1
1. 500 VA
1. 200
2,85
NYFGb Y 4x4 mm2
L
27
LP-PL. 2
1. 500 VA
1. 200
2,85
NYFGb Y 4x4 mm2
L
28
PP POST SECURITY 1&2
1. 375 VA
1. 110
2,6
NYM 3x2. 5mm2
L
29
GARDU PLN
1. 313 VA
1. 050
1,88
NYM 3x2. 5mm2
L
30
PP-POWER HOUSE
16. 444 VA 26. 032
61,8
NYY 4x10 mm2
L
31
PP-TEST LOAD GENSET
287,45
NYY 4x120 mm2
L
32
PP-HYDRANT
121. 117. 500 VA 94.096 000
223,15
FRC 4x120 mm2
L
33
PP-PLUMBING
29. 165 VA 23. 332
55,4
NYY 4x16 mm2
L
34
PP-OIL FARM
96. 250 VA 77. 000
182,8
NYY 4x50 mm2
L
35
PP-AC OFFICE LT. 1
52. 718 VA 42. 174
100
NYY 4x35mm2
L
36
PP-AC OFFICE LT. 2
51. 714 VA 41. 371
98,21
NYY 4x35mm2
L
151. 370 VA
3. Tahanan Isolasi Berdasarkan hasil evaluasi dan pemeriksaan, Tahanan isolasi dinyatakan layak dan aman karena pada instalasi listrik di gedungtrakindo kilometer 13 Balikpapan,mempunyai resistansi isolasi kabel > 0,5 MΩ. Pada instalasi listrik digunakan tegangan uji 500 V dan resistansi 1000 ohm/Volt. Tabel 2. Data Kelayakan Tahanan Isolasi (Risolasi) di Gedung Trakindo No
30
Hasil Pengukuran R isolasi (MΩ)
No ID Panel
(f/n)
(f/t)
(n/t)
Nilai Standart R isolasi (MΩ)
Keterangan Layak
1
Panel utama
24,1
24,8
24,6
0,5
V
2
Kapasitor bank
2,1
2,11
2,1
0,5
V
3
SDP Office
22,1
23,1
22
0,5
V
4
SDP UPS Office
22,2
22,5
22,5
0,5
V
5
SDP AC Office
22,4
22,3
23
0,5
V
6
PP Office Lt 1
0,52
0,8
0,72
0,5
V
7
PP Office Lt 2
22,2
22,4
22,2
0,5
V
8
PP Office Lt 3
62,3
61,8
62,1
0,5
V
9
PP-UPS Annex
21,3
21,4
22,1
0,5
V
10
PP-UPS Genset
13,2
13,4
13,7
0,5
V
11
PP-UPS Office Lt 1
0,54
7,9
8,1
0,5
V
12
PP-UPS Office Lt 2
7,19
7,41
7,12
0,5
V
Tidak layak
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
13 PP Annex Lt 1
72,3
71,4
71,6
0,5
V
14 PP Hall Area
38,0
38,6
38,5
0,5
V
15 PP Machine shop
4,51
7,9
8,11
0,5
V
16 PP Ware House
13,7
13,9
13,5
0,5
V
17 PP Component Shop
62,3
61,8
62,9
0,5
V
18 PP Doc . Center Lt 1
7,54
7,65
7,81
0,5
V
19 PP Doc Center Lt 2
21,1
21,5
21,3
0,5
V
20 PP Support Building
23,4
24,1
24,4
0,5
V
21 PP Painting Room
17,8
18,1
14,5
0,5
V
22 PP Pump Room
23,7
23,2
22,8
0,5
V
23 PP-WP
0,78
11,3
0,85
0,5
V
24 PP-Dust Coll
21,3
22,1
29,5
0,5
V
25 PP Hall Area
20,2
21,1
20,5
0,5
V
26 PP-OL
23,4
23,6
23,8
0,5
V
27 LP-PL 1
1,86
1,84
1,87
0,5
V
28 LP-PL 2
75,8
75,9
4,4
0,5
V
29 PP-Security 1& 2
1,28
1,35
2,82
0,5
V
30 Gardu PLN
20,5
20,2
21,1
0,5
V
31 PP Power House
23,8
23,4
23,6
0,5
V
32 PP Load Test Gens
22,3
23,2
24
0,5
V
33 PP Hydrant
18,6
20,1
20,4
0,5
V
34 PP Plumbing
2,63
2,51
2,48
0,5
V
35 PP Oil Farm
11,02
10,99
10,99
0,5
V
36 PP AC Office Lt 1
0,54
1,78
4,31
0,5
V
37 PP AC Office Lt 2
21,2
21,3
21,3
0,5
V
4. Tahanan Pembumian (Grounding) Tahanan pembumian (grounding) dinyatakan layak dan aman jika, Resistans pembumian total seluruh sistem pada instalasi listrik tidak boleh lebih dari 5Ω. Dalam (PUIL, 2000: 68) disebutkan bahwa resistans pembumian total seluruh sistem tidak boleh lebih dari 5Ω. Dari hasil penelitian tahanan pembumian (Grounding) (Rpertanahan) di gedung Trakindo, diperoleh data sebagai berikut: Tabel 3. Data Kelayakan Tahanan Pembumian (Rpertanahan ) di Gedung Trakindo No.
No ID Panel
Hasil Pengukuran R pembumian (Ω)
Nilai Standart R Pembumian (Ω)
Keterangan LAYAK TIDAK LAYAK
1
Panel utama
0,2
5,0
V
2
Kapasitor bank
4,8
5,0
V
3
SDP Office
0,4
5,0
V
4
SDP UPS Office
0,2
5,0
V
5
SDP AC Office
0,3
5,0
V
6
PP Office Lt 1
0,4
5,0
V
31
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
7
PP Office Lt 2
1,8
5,0
V
8
PP Office Lt 3
4,2
5,0
V
9
PP-UPS Annex
0,6
5,0
V
10
PP-UPS Genset
2,0
5,0
V
11
PP-UPS Office Lt 1
0,8
5,0
V
12
PP-UPS Office Lt 2
0,8
5,0
V
13
PP Annex Lt 1
1,4
5,0
V
14
PP Hall Area
4,1
5,0
V
15
PP Machine shop
3,2
5,0
V
16
PP Ware House
1,6
5,0
V
17 18 19
PP Component Shop PP Doc . Center Lt 1 PP Doc Center Lt 2
0,8 4,6 4,2
5,0 5,0 5,0
V V V
20
PP Support Building
4,4
5,0
V
21
PP Painting Room
0,4
5,0
V
22
PP Pump Room
1,8
5,0
V
23
PP-WP
4,2
5,0
V
24
PP-Dust Coll
0,3
5,0
V
25
PP Hall Area
1,4
5,0
V
26
PP-OL
2. 7
5,0
V
27
LP-PL 1
0,8
5,0
V
28
LP-PL 2
2,1
5,0
V
29
PP-Security 1& 2
3,4
5,0
V
30
Gardu PLN
2,0
5,0
V
31
PP Power House
0,4
5,0
V
32
PP Load Test Gens
0,2
5,0
V
33
PP Hydrant
1,8
5,0
V
34
PP Plumbing
2,2
5,0
V
35
PP Oil Farm
0,4
5,0
V
36
PP AC Office Lt 1
2,0
5,0
V
37
PP AC Office Lt 2
0,4
5,0
V
5. Pengaman Instalasi Listrik Untukmenentukan besarnya pengaman, dapat diuraikan contoh beban pada Table 1 untuk PP-UPS 2: I=
P 3 .E.Cos
=
16000 1.73 .380.0.8
=37,98 A
Jadi 37,98 A adalah arus nominal (I Nominal) sebagai acuan awal dalam menentukan KHA (Kuat Hantar Arus). KHA = I Nominal x 125% KHA = 37,98 A x 125% KHA = 47,47 A 32
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Sebenarnya cukup jika kita menggunakan pengaman 50 A, tetapi untuk mengantisipasi jika suatu saat akan diadakan penambahan beban maka digunakan pengaman sebesar 54 A. Berdasarkan hasil evaluasi dan pemeriksasaan,Pengaman instalasi listrik yang terpasang di gedung Trakindo kilometer 13 Balikpapan jika ditinjau dari segi fisik,dinyatakan layak dan aman karena, 1). Tercantum dengan jelas nama pembuat dan atau merek dagang; 2). Tercantum dengan jelas daya tegangan, dan/arus arus pengenal; 3). Tercantum dengan jelas data teknis lain seperti disyaratkan SNI 4). Akan tetapi, jika ditinjau dari segi kapasitas beban, maka diketahui bahwa 30 panel yang kelayakan instalasi listriknya layak, Adapun 7 panel kelayakan instalasinya dinyatakan kurang layak karena tingkat kelayakannya kurang memenuhi
kriteria-kriteria
kelayakan
instalasi.
Kekuranglayakan
disebabkan
karena
pengaman instalasi listrik untuk 7 pengaman tersebut lebih kecil dari dari beban arus maksimal yang diterima. Hasil evaluasi dan pemeriksaan secara keseluruhan untuk instalasi listrik pada gedung trakindo kilometer 13 diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4. Data Kelayakan Instalasi Listrik ( Keselamatan Kerja Listrik) Gedung Trakindo Hasil Pengamatan Kriteria Kelayakan Instalasi No.
Keterangan Jumlah Kriteria Layak
Panel Perlengkapan Pengaman Penampang R R Instalasi Instalasi Penghantar Isolasi Pembumian 1 2 3
4
5
1 Panel utama
L
KL
L
L
L
V
2 Kapasitor bank
L
KL
L
L
L
V
3 SDP Office
L
KL
L
L
L
V
4 SDP UPS Office
L
KL
L
L
L
V
5 SDP AC Office
L
L
L
L
L
V
6 PP Office Lt 1
L
L
L
L
L
V
7 PP Office Lt 2
L
L
L
L
L
V
8 PP Office Lt 3
L
L
L
L
L
V
9 PP-UPS Annex
L
L
L
L
L
V
10 PP-UPS Genset
L
L
L
L
L
V
11 PP-UPS Office Lt 1
L
KL
L
L
L
V
12 PP-UPS Office Lt 2
L
KL
L
L
L
V
13 PP Annex Lt 1
L
KL
L
L
L
V
14 PP Annex Lt 2
L
L
L
L
L
V
15 PP Hall Area
L
L
L
L
L
V
16 PP Machine shop
L
L
L
L
L
V
17 PP Ware House
L
L
L
L
L
V
18 PP Component Shop
L
L
L
L
L
V
19 PP Doc . Center Lt 1
L
L
L
L
L
V
20 PP Doc Center Lt 2
L
L
L
L
L
V
33
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
21 PP Support Building
L
L
L
L
L
V
22 PP Painting Room
L
L
L
L
L
V
23 PP Pump Room
L
L
L
L
L
V
24 PP-WP
L
L
L
L
L
V
25 PP-Dust Coll
L
L
L
L
L
V
26 PP-OL
L
L
L
L
L
V
27 LP-PL 1
L
L
L
L
L
V
28 LP-PL 2
L
L
L
L
L
V
29 PP-Security 1& 2
L
L
L
L
L
V
30 Gardu PLN
L
L
L
L
L
V
31 PP Power House
L
L
L
L
L
V
32 PP Load Test Gens
L
L
L
L
L
V
33 PP Hydrant
L
L
L
L
L
V
34 PP Plumbing
L
L
L
L
L
V
35 PP Oil Farm
L
L
L
L
L
V
36 PP AC Office Lt 1
L
L
L
L
L
V
37 PP AC Office Lt 2
L
L
L
L
L
V
KESIMPULAN Berdasarkan temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa perlengkapan sistem instalasi listrik pada Gedung Trakindo kilometer 13 Balikpapan memenuhi persyaratan umum instalasi listrik dan layak untuk digunakan. Penghantar ( Kabel ) sistem instalasi listrik sesuai dengan beban yang diterima dan memenuhi persyaratan PUIL. Tahanan isolasi penghantar sistem Instalasi listrik gedung trakindo memenuhi persyaratan umum instalasi listrik karna resistansi isolasimya di atas 0,5 Ohm. Tahanan Isolasi Pembumian sistem Instalasi listrik gedung trakindo memenuhi persyaratan umum instalasi listrik karna resistansi pembumiannya di bawah 5 Ohm. Khusus untuk Pengaman ( MCB/MCCB ) sistem Instalasi listrik pada gedung trakindo secara fisik memenuhi syarat tapi secara kapasitas yang layak dan aman berjumlah 30 Panel dan yang kurang layak berjumlah 7 Panel . Disarankan agar MCB/MCCB yang kapasitasnya kurang dari beban yang akan diamankan agar diganti baru dan disesuaikan dengan beban yang akan diterima. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohamad. 1998. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Asi, Sunggono. 2000. Buku Pegangan Kerja Menangani Teknik Tenaga Listrik untuk Instalasi Listrik Rumah Tangga, Biro Teknik Listrik Dll. Solo: CV Aneka.
34
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Badan Standarisai Nasional (BSN). 2000. Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000). Jakarta: Yayasan PUIL Boentarto. 1996. Teknik Instalasi Listrik Penerangan. Solo: Aneka BP. KONSUIL PUSAT. 2009. Pedoman Pemeriksaan Instalasi Tegangan Rendah. Jakarta A. S Pabla, Ir. Abdul Hadi. 1994. Sistem Distribusi Daya Listrik. Jakarta: Erlangga Priowirjanto, Gator. 2003. Instalasi Listrik Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Sugandi, imam, dkk. 2001. Panduan Instalasi Listrik Untuk Rumah Berdasarkan PUIL 2000. Jakarta: Yayasan Usaha Penunjang Tenaga Listrik. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suhadi, dkk. 2008. Teknik Distribusi Tenaga Listrik Jilid 1. Jakarta: Departemen PendidikanNasional Susanto, Gatut. 2007. Kiat Hemat Bayar Listrik. Jakarta: Penebar Swadaya Yusgiantoro, Purnomo. 2006. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 046 Tahun 2006. Jakarta: Menteri ESDM. http://www. dJalanpe. esdm. go. id/modules. php?mod=11&sub=51 (diunduh tanggal 3 April 2013)
35
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
EVALUASI SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN AKTIF PADA GEDUNG TRAKINDO KILOMETER 13 BALIKPAPAN
Isradi Zainal Program Studi D4 K3 Fakultas Vokasi Universitas Balikpapan, Jalan Pupuk Raya, 76114 Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: PT Trakindo adalah perusahaan yang bergerak dibidang penyediaan dan perbaikan mesin yang memiliki potensi terjadinya kebakaran yang diakibatkan oleh kegiatankegiatan kantor, perbaikan dan perawatan mesin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keandalan sistem proteksi kebakaran aktif pada gedung dan workshop PT Trakindo kilometer13 Balikpapan melalui serangkaian evaluasi sistem proteksi kebakaran. Metode Penelitian: Metode yang digunakan adalah dengan metode wawancara dan observasi langsung melalui pemeriksaan visual dan pengujian sistem proteksi kebakaran dengan peralatan penguji tekanan hidran dan detektor asap/panas sesuai ketentuan Permenaker No. 04/MEN/, Permenaker No. 02/MEN/1983, Instruksi Menteri No. 11/M/BW/1997, Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 186/Men/1999, Keputusan Menteri PU No. 10/KPTS/2000, Keputusan Menteri PU no 11/KTS/, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/m/2008, Standar Nasional Indonesia dan Peraturan NFPA terkait Sistem Proteksi Kebakaran. Hasil: Hasil Pemeriksaan dan pengujian sistem proteksi kebakaran menunjukkan bahwa Alat Pemadam Api Ringan terpasang pada jarak kurang dari 25 meter, jumlahnya cukup dan siap untuk digunakan. Detektor asap dan api terpasang masing masing di tempat yang sesuai dengan kebutuhan, berfungsi dengan baik dan suaranya dapat terdengar di setiap lantai. Kotak hidran yang terpasang umumnya lengkap termasuk fasilitas pompa dan pipa tegak dengan kapasitas tekanan tidak lebih dari 7 bar pada hidran terdekat dan tidak kurang dari 4,5 bar. Sprinkler tidak terpasang pada gedung Trakindo. Siemes connection, sistem pemadam luapan, sistem pengedali asap, pembuangan asap, petunjuk arah, cahaya darurat, listrik darurat dan ruang pengendalian kebakaran terdapat pada gedung trakindo kilometer 13 Balikpapan. Kesimpulan: Sistem proteksi kebakaran aktif yang terpasang pada gedung Trakindo kilometer 13 Balikpapan memenuhi ketentuan yang berlaku dan layak untuk digunakan. Kata kunci: sistem proteksi aktif, workshop, peraturan menteri, NFPA.
PENDAHULUAN Seiring perkembangan zaman dan era globalisasi yang berdampak terhadap kemajuan perkembangan di sektor industri dewasa ini berlangsung dengan cepat dan membawa perubahan-perubahan dalam skala besar terhadap tata kehidupan negara dan masyarakat. Namun kemajuan di sektor industri selain membawa dampak positif terhadap perkembangan perekonomian dan kemakmuran bangsa juga memiliki potensi bahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau ledakan dan pencemaran lingkungan. Potensi bahaya tersebut 36
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
dikarenakan penggunaan bahan kimia, proses dengan suhu, tekanan tinggi, penggunaan alatalat modren seperti alat-alat berat yang beroperasi dan mesin listrik tanpa diimbangi dengan sistem untuk mengendalikanya. Perencanaan proteksi kebakaran di suatu industri merupakan suatu rencana yang memuat prosedur dan pemasangan peralatan proteksi untuk mengantisipasi atau mengatasi jika terjadi kebakaran. Bencana kebakaran harus dikelola dengan baik dan terencana mulai dari pencegahan, penanggulangan dan rehabilitasi setelah terjadi kebakaran, karena kencenderungan masyarakat selama ini hanya bereaksi setelah kebakaran terjadi dan bahkan bahaya kebakaran sering diabaikan dan tidak mendapat perhatian sistem manajemen perusahaan. Pengelola bencana kebakaran juga bukan sekedar menyediakan alat pemadam atau melakukan latihan peran kebakaran, namun diperlukan suatu program terencana dalam suatu sistem manajemen kebakaran yang merupakan upaya terpadu untuk mengelola resiko kebakaran mulai dari perencanaan, pemantauan dan tindak lanjutnya (Ramli, 2010). Dengan
mengetahui begitu
buruknya
dampak
terjadinya
kebakaran,
diharapkan
perusahaan dapat melaksanakan upaya sistem proteksi manemen kebakaran supaya dampak dari kebakaran tidak terlalu besar dan supaya terjadinya kebakaran dapat diminimalisir dengan sekecil mungkin bila terjadi kebakaran sewaktu-waktu dapat dilakukan penanggulangannya dengan cepat dan benar, sehingga kebakaran tidak berakibat kerugian yang lebih besar dan kerusakan lingkungan. PT Trakindo mempunyai bagian area perawatan dan perbaikan mesin yang sebagian besar kegiatannya berkaitan dengan perbaikan dan perawatan peralatan. Percikan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut sangat berpotensi untuk mengakibatkan kebakaran apabila tidak dilakukan secara benar. Dalam artian dilakukan pada area yang memiliki bahan-bahan yang mudah terbakar. Ditambah angin yang kencang karena ruang workshop yang terbuka, untuk itu perlu diadakan sistem proteksi kebakaran supaya dampak dari kebakaran tidak terlalu besar dan sebaliknya apabila sistem proteksi kebakaran tidak direncakan secara bagus maka tingkat kebakaran akan tinggi dan bisa mengakibatkan kerugian bagi keselamatan karyawan, material perusahaan dan lingkungan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Sistem Proteksi Kebakaran pada PT Trakindo kilometer 13 Balikpapan.
37
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode di mana penelitian dilakukan terhadap suatu kondisi atau peristiwa dengan cara memberikan gambaran secara jelas dan terbatas guna mengungkapkan suatu masalah. Penelitian ini dilaksanakan di gedung dan workshop Trakindo kilometer 13 Balikpapan. Objek dalam penelitian ini adalah sistem proteksi kebakaran aktif yang meliputi: Alat Pemadam Api Ringan (APAR), fire alarm, detektor kebakaran, hidran, sprinkler, siemes connection, pengendali asap, pembuangan asap, petunjuk arah, cahaya darurat, listrik darurat, dan ruang pengendali darurat. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan antara lain: observasi lapangan, wawancara dan kepustakaan. Observasi lapangan dilakukan dengan menggunakan checklist dan pengujian
peralatan
yang
didasarkan
pada
Peraturan
menteri ketenagakerjaann,
kementerian Pekerjaan umum, dan National Fire Protection Association (NFPA) untuk sistem proteksi aktif di antaranya Permenaker No. 04/MEN/1980 tentang syarat syarat pemasangan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan (APAR), Permenaker No. 02/MEN/1983 tentang Instalasi alarm kebakaran otomatik, Instruksi Menteri No. 11/M/BW/1997tentang pengawasan khusus penanngulangan K3 Kebakaran, Keputusan Menteri No. 186/Men/1999 tentang Unit Penanggulangan kebakaran di tempat kerja, Kepmen PU No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/m/2008 tentang persayaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung, dan SNI 03-7017. 2-2004 tentang pemeriksaan keselamatan kebakaran pada bangunan gedung dan NFPA.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Alat Pemadam Api Ringan (APAR) Alat ini merupakan sistem pemadam api jinjing yang dapat digunakan langsung saat terjadi kebakaran. Biasanya digunakan dalam memadamkan kebakaran kecil. Jarak perletakan alat juga telah sesuai standar yaitu maksimal 25 m. Jumlah APAR sesuai persyaratan (1 APAR 200 m2 ). Terdapat label, kartu tanda pengenal, stensil atau indicator yang ditempelkan sebagai informasi yang berisi tentang nama produk dan isi APAR, pada penempatan APAR terdapat tanda atau simbol. Instruksi pengoperasian APAR diletakkan di depan APA yang terlihat jelas. APAR sudah disertifikasi oleh instansi yang berwenang. APAR yang ada di PT Trakindo telah sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaaan Umum
38
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
No. 26/PRT/M/2009 tentang Syarat-Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan dan NFPA 10. APAR yang digunakan adalah “APAR Jenis Powder”. Apar ini digunakan untuk memadamkan api kelas A, B dan C. APAR telah tersedia di semua unit kerja pemasangan APAR juga ditempatakan pada posisi yang terlihat dan mudah dijangkau dengan ketinggian 125 cm dari lantai juga di lengkapi dengan kartu yang berisikan tanggal pengisian dan tanggal pengecekan kondisi APAR. 2.
Hidran Hidran yang terdapat dalam gedung telah sesuai standar tata cara pemasangan hidran (SNI 03-1745-1989) dan NFPA 14. Kelengkapan hydrant seperti selang, nozzle, Kerang pembuka serta kopling sesuai dengan sambungan dinaspemadam kebakaran. Selang hydrant bersiameter 1,5 inch dengan panjang 30 m. Kotak hydrant terletak tidak kurang dari 0,9 m atau lebih dari 1,5 m dari permukaan lantai. Kotak hydrant mudah dibuka, dijangkau dan tidak terhalang benda apapun. Semua peralatan hydrant dicat merah dan kotak hydrant berwarna merah bertuliskan ‘HIDRAN’ yang dicat warna putih. Terdapat petunjuk petunjuk penggunaan yang dipasang pada tempat yang mudah terlihat. Pada pengujian instalasi hidran dan kemampuannya diperoleh hasil di mana tekanan terdekat dari ruang pompa tidak lebih dari 7 bar dan yang terjauh tidak kurang dari 4,5 bar.
3.
Fire Alarm Fire alarm sudah terpasang pada gedung sesuai dengan SNI-03-3985-2000 yaitu untuk bangunan dan workshop dengan jumlah lantai 1-4. Pengujian smoke detector dan fire alarm berfungsi secara baik dan memenuhi syarat. Jarak antar alarm tidak lebih dari 61 m sesuai dengan ketentuan NFPA 72. Alarm terpasang berdekatan dengan titik panggil manual. Alarm dapat berbunyi pada tiap lantai dan terdengar ke seluruh ruangan. Jarak antara titik panggil manual (TPM) tidak lebih dari 30 m. Titik Panggil Manual (TPM) diletakkan dengan tinggi 1,4 m dari lantai. Alarm mempunyai sumber listrik cadangan dari baterai atau generator dengan kapasitas 4 jam. Pada saat uju coba fire alarm dan fasilitas terkait berfungsi dengan baik.
4.
Detektor Asap dan Detektor Api Berdasarkan survei tata cara pemasangan deteksi asap dan api pada gedung yang ditinjau telah memenuhi standar yang berlaku (SNI 03-3689), yaitu jarak antar detektor < 20 m dan jarak dari detektor ke dinding < 10 m. Jumlah detektor yang terpasang sesuai
39
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
dengan ketentuan NFPA72 yang mensyaratkan untuk tiap luas 46 m2 terdapat minimal satu detektor panas. 5.
Sprinkler Alat ini tidak terpasang pada Gedung dan workshop PT Trakindo Balikpapan.
6.
Siemese Connection Merupakan sebuah sambungan selang mobil pemadam kebakaran dalam menyuplai air dan sumbernya sewaktu dating ke lokasi terjadinya kebakaran. Alat ini ditempatkan pada lokasi terjadinya kebakaran. Kondisi siemese connection dalam keadaan bagus hanya saja belum dipastikan apa sesuai dengan connection milik dinas pemadam kebakaran.
7.
Sistem Pemadam Luapan Sistem ini berlaku untuk ruangan/bangunan yang memerlukan sistem khusus seperti ruang komunikasi, ruang komputer, ruang elektronik, dan lainnya. Sistem pemadam khusus dapat berupa gas, busa dan bubuk kering. Alat ini tidak tersedia pada gedung Trakindo karena dirasa tidak perlu.
8.
Pengendali Asap Pengendali asap merupakan suatu alat yang berguna untuk mengembalikan asap yang terdapat di dalam ruangan pada saat kebakaran terjadi untuk selanjutnya dibuang keluar bangunan. Hal ini mengingat bahwa uap tersebut dapat membahayakan jiwa orang yang berada di dalam gedung.
9.
Pembuangan Asap Pembuangan asap merupakan suatu alat yang berguna untuk mengeluarkan asap dari dala ruangan menuju keluar gedung pada saat terjadi kebakaran. Menurut peraturan, setiap reservoir asap dilayani minimal satu buah fan yang mampu menghisap asap. Selain itu, fan tersebut terletak di dalam reservoir asap dengan ketinggian beberapa meter dari lantai.
10. Petunjuk Arah Petunjuk arah juga dinilai baik karna tanda arah menuju ruangan dipasang dengan tulisan yang jelas dan ditempatkan di lokasi yang mudah terlihat oleh pengguna gedung. Adapun
jarak
antara
tanda
arah
tersebut
dipasang
tidak
berjauhan,
sehingga
membingungkan pengguna gedung saat terjadi kondisi darurat. 11. Cahaya Darurat Pencahayaan darurat di gedung Trakindo dinilai baik karena sesuai dengan peraturan yang berlaku (Kepmen PU No. 441/KPTS/1998 tentang persyaratan teknis bangunan gedung) yaitu pencahayaan darurat harus dipasang di setiap tangga yang terlindung dari bahaya kebakaran, di setiap lantai dengan luas > 300 m2 , di setiap koridor dan pada ruang pengendali operasi. 40
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
12. Listrik Darurat Daya yang disuplai pada gedung Trakindo berasal dari 2 sumber yaitu daya listrik PLN dan sumber daya darurat berupa generator. Pemasangan instalasi listrik pada bangunan ini jugaa telah sesuai dengan peratuan umum instalasi listrik tegangan rendah (SNI 04-0225-2000). 13. Ruang Pengendali Darurat Pada survei gedung yang ditinjau di gedung Trakindo, terdapat 1 ruangan pengendali operasi yang dapat memonitor bangunan. Ruangan tersebut direncanakan dapat memonitor kebakaran yang terjadi dengan menggunakan peralatan yang lengkap.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan, pemeriksaan dan pengujian sistem proteksi kebakaran aktif di PT Trakindo, maka dapat disimpulkan bahwa sistem proteksi kebakaran aktif yang ada di gedung tersebut sesuai dengan Permenaker No: 04/Men/1980, Kepmen PU No. 20/PRT/M/2009 dan NFPA10 tentang Alat Pemadam Api Ringan (APAR); sesuai dengan Permenaker No. 02/Men/1982,SNI 03-3689 dan NFPA 72 tentang fire alarm system; sesuai dengan SNI 03-1745-1989 dan NFPA14 tentang hidran; sesuai dengan Instruksi Menteri No. 11/M/BW/1997 tentang pengawasan khusus penangulangan K3 kebakaran; Keputusan Menteri No. 186/Men/1999 tentang unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja, Kepmen PU No. 10/KPTS/2000 tentang ketentuan teknis pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan linkungan; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/m/2008 tentang persayaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung, dan SNI 037017. 2-2004 tentang pemeriksaan keselamatan kebakaran pada bangunan gedung; dan Kepmen PU No. 20/PRT/M/2009 tentang jalur evakuasi.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan FK UNS, yang telah memberi izin kepada penulis untuk mengikuti Seminar Nasional SHEA Conference tahun 2016. 2. Panitia penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference tahun 2016.
41
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
DAFTAR PUSTAKA David A Cooling, 1990. Fire Prevention and Protection Bab 10: Industrial Safety Management and Technology. New Jersey: Prentice Hall ILO 1992 Tentang Kunci Untuk Mencegah Kebakaran Devi Andalusia. 2013. Arahan Distribusi Lokasi Pos Pemadam Kebakaran Berdasarkan Kawasan Potensi Risiko Bencana Kebakaran di Kota Surabaya, Jurnal Teknik POMITS Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya KEPMEN Tenaga Kerja No. Kep-186/Men/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengaman Terhadap Kebakaran pada Bangunan National Fire Protection Assocition (NFPA). tentang Kebakaran dan Klasifikasi Kebakaran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2009 tentang Hidran dan Fire Boks Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. KEP. 02/MEN/1980 tentang SyaratPemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. KEP 186/MEN/1999 tentang Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja SNI 19-15005-2005 tentang Penyedian Tempat Aman Primanda Arief Kurniawan. 2010. Evaluasi Penerapan Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Rumah Sakit (Studi Kasus RS. Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta). eJurnal MATRIKS TEKNIK SIPIL. Universitas Sebelas Maret, Surakarta Ramli, Soehatman. 2010. Pedoman Praktis Manjemen Kebakaran. Jakarta: Dian rakyat Rian Trikomara. 2012. Evaluasi Keandalan Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung Studi Kasus Gedung Kantor Bupati Indragiri Hilir. Jurnal TA mode 2 Universitas Riau, Riau Rusli. 2011. Faktor Faktor Penentu dalam Analisis Sistem Proteksi Kebakaran dalam Suatu Kawasan Studi Kasus: Kota Parigi. Jurnal SMARTek, Vol. 9 No. 3. Agustus 2011: 196 – 211. Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu SNI 03-1745-1989 Tata Cara Pemasangan Sistem Hyndrant untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung dan Rumah SNI 03-1745-2000 tentang Alat Pemadam Api Ringan SNI 03-6570-2001 tentang Instalasi Pompa yang Dipasangan Tetap untuk Proteksi Kebakaran Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kesehatan Kerja INDRA WAHYU KURNIAWAN. 2014. Sistem Manajemen Proteksi Kebakaran Terpadu Berbasis Web dengan Menggunakan Framework Yii. Skripsi. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” Jawa Timur
42
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
ANALISIS KEJADIAN CEDERA TANGAN PADA OPERASI PENGEBORAN, WORKOVER, DAN WELLSERVICE DI LEPAS PANTAI PERUSAHAAN MIGAS, 2012-2014 Syamsul Arifin* , Maslina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Balikpapan Jalan Pupuk Raya, Gn Bahagia, Balikpapan (0542) 765442, 764205 * Pos-el:
syamsul. arifin@uniba-bpn. ac. id
ABSTRAK Pendahuluan: Porsi terbesar kecelakaan kerja di pengeboran, workover, dan well service berdasarkan bagian tubuh terjadi pada jari dan tangan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pekerjaan, faktor manusia, pekerjaan, dan organisasi yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan. Metode Penelitian: Penelitian ini mempergunakan Desain studi kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional. Analisis data yang dilakukan adalah dengan menganalisis distribusi proporsi variabel yang diteliti dan membandingkannya dengan teori/hasil observasi. Hasil: Karakteristik pekerjaan yang terdapat kasus cedera tangan memberikan porsi yang hampir sama namun dengan konsekuensi cedera yang berbeda. Faktor manusia yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan yaitu: mistake/mental slip, prosedur tidak dilakukan, analisis bahaya tidak dipergunakan, dan penggunaan alat yang tidak benar. Faktor pekerjaan yang berkontribusi yaitu: desain tidak memadai dan tidak tersedia peralatan standar. Faktor organisasi yang berkontribusi yaitu: analisis bahaya tidak memadai/bahaya tidak teridentifikasi, prosedur tidak memadai, prosedur tidak ada, tidak ada analisis risiko, tidak dilatih, dan arahan kerja tidak memadai. Kesimpulan: Karakteristik pekerjaan (primer, sekunder, tertier) yang terdapat kasus cedera tangan dalam aktivitas pengeboran, workover, dan wellservice memberikan porsi yang hampir sama, masing- masing sepertiga. Kata kunci: kecelakaan, tangan, manusia, pekerjaan, organisasi.
PENDAHULUAN Bekerja di lapangan minyak dan gas (migas) lepas pantai (offshore) adalah aktivitas berisiko tinggi. Gardner (2002) menyebutkan beberapa karakteristik khas pekerjaan offshore yang membuatnya menjadi berisiko tinggi: lokasi kerja yang terisolasi, potensi bahaya besar (kebakaran, ledakan), pola kerja 12 jam per hari dengan 2 atau 4 minggu kerja terus menerus, banyak terpaparan bahaya di waktu bersamaan (contoh: bahan berbahaya, kebisingan, getaran, panas, pengangkatan manual), dan kondisi lingkungan. Industri migas hulu, ada beberapa fase aktivitas pekerjaan migas, mulai dari eksplorasi, pengembangan, dan produksi lapangan. Salah satu bagian aktivitas pekerjaan migas lepas 43
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pantai yang bisa berada di fase eksplorasi dan pengembangan adalah pengeboran (drilling), workover, dan wellservice. Pengklasifikasian berdasarkan tipe aktivitas pekerjaan, data International Association of Oil and Gas Producer (OGP) menunjukkan bahwa 20% kejadian loss time incident terjadi pada operasi pengeboran, workover, dan wellservices (OGP, 2013). Khusus untuk industri drilling sendiri, International Association Of Drilling Contractors (IADC) mengeluarkan publikasi program statistik insiden anggotanya. Proporsi kejadian kasus loss time incident pada anggota IADC yang mengikuti ISP (Incident Statistic Program) diketahui bahwa porsi terbesar berdasarkan bagian tubuh, kasus loss time incident terjadi pada jari sebanyak 22,88% dan pada tangan sebesar 6,85% (IADC, 2013). PT ABC adalah salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas dengan pemerintah Indonesia melalui SKKMigas. PT ABC memiliki hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dalam blok/wilayah kerja di lepas pantai Kutei Basin, Kalimtanan Timur. Beberapa departemen yang ada di PT ABC, Departemen Drilling dan Completion (D&C) adalah salah satu departmen penunjang operasi. Drilling, workover dan wellservices dianggap sebagai salah satu operasi dengan potensi risiko keparahan tingkat tinggi. Meskipun tiap tahun terlihat tren penurunan kejadian kecelakaan, cedera pada jari dan tangan masih menempati porsi terbesar cedera yang ada di D&C. Sebanyak 59% cedera yang ada di D&C antara 2012-2014 terjadi pada jari dan tangan pekerja. Kejadian cedera tangan di D&C diduga lebih banyak diakibatkan oleh faktor manusia. Belum adanya analisis lebih lanjut faktor manusia, pekerjaan dan organisasi yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan sehingga penanganannya bisa jadi tidak sesuai untuk mencegah terulangnya kejadian di masa depan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian guna lebih memahami aspek manusia, pekerjaan, dan organisasi terkait cedera tangan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pembuatan program promotif dan preventif pencegahan cedera tangan. Hasil observasi kejadian cedera tangan tidak hanya terjadi pada pekerjaan utama di operasi pengeboran, workover dan wellservice, tapi juga pada pekerjaan sampingan. Pada kejadian cedera tangan belum diketahui secara rinci apa saja faktor manusia, pekerjaan, dan organsisasi yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan dalam aktivitas pengeboran, workover, dan wellservice sehingga program pencegahan cedera tangan menjadi tepat dan efektif. 44
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Menurut Health Safety Executive UK (HSE, 2009), ada tiga aspek yang memberikan dampak terhadap keselamatan dan kesehatan di tempat kerja yaitu: faktor pekerjaan, individu dan organisasi. Faktor Manusia (individu) Faktor individu adalah faktor yang dapat memberikan kegagalan aktif. James Reason (1990) membedakan antara kesalahan yang disengaja dan kesalahan yang tidak disengaja. Kesalahan yang disengaja berupa pelanggaran sedang kesalahan yang tidak disengaja bisa berupa slip/lapse atau mistake. Beberapa contoh penyebab langsung dan faktor kontributor dari kegagalan individu: tingkat kompetensi dan kemampuan yang rendah; pekerja yang lelah; pekerja yang bosan dan tidak memiliki hati pada pekerjaan; masalah kesehatan pekerja. International Association of Oil & Gas Producers (OGP) ketika membuat daftar kategori penyebab kecelakaan, menjabarkan faktor orang (tindakan) ke dalam beberapa hal berikut (OGP, 2011): 1) Mematuhi prosedur: pelanggaran yang disengaja (oleh individu atau grup); pelanggaran tidak sengaja (oleh individu atau grup); posisi di lintasan benturan (di line of fire); gerakan berulang atau posisi/postur tidak benar; bekerja atau bergerak dengan kecepatan yang tidak tepat; pengangkatan yang tidak benar 2) Penggunaan alat, material dan produk: penggunaan/posisi peralatan/material/produk yang tidak benar; perbaikan peralatan yang berenergi tanpa/tidak cukup isolasi 3) Penggunaan metode pelindung: gagal untuk memperingatkan bahaya; tidak memadainya penggunaan sistem keselamatan; Alat Pelindung Diri (APD) tidak dipergunakan atau dipergunakan tidak benar; peralatan atau material tidak diamankan; pelindung, sistem peringatan atau alat keselamatan dimatikan atau dilepas 4) Kurang kewaspadaan/perhatian: pengambilan
keputusan
yang
tidak
benar;
kurang
perhatian/teralihkan oleh hal/stres lain; tindakan kekerasan; penggunaan obat terlarang atau alkohol; kelelahan. Faktor Pekerjaan Pada faktor pekerjaan, sebuah pekerjaan harus sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi yang memperhatikan keterbatasan dan kekuatan manusia. Ketidaksesuaian antara kebutuhan pekerjaan dan kapasitas manusia dapat menyebabkan kesalahan. Kesesuaian pekerjaan dengan
45
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pekerja membuat pekerja tidak kelebihan beban (overload) sehingga memberikan kontribusi yang paling efektif (HSE, 2009). Beberapa contoh penyebab langsung dan faktor kontributor dari kegagalan pekerjaan: desain peralatan dan instrumen yang tidak logis; gangguan dan interupsi yang terus menerus; instruksi yang hilang atau tidak jelas; peralatan yang tidak dirawat dengan baik; beban kerja tinggi; kondisi kerja yang bising dan tidak menyenangkan. Daftar kategori penyebab kecelakaan yang masuk ke dalam faktor pekerjaan menurut OGP adalah sebagai berikut (OGP, 2011): 1) Sistem pelindung: pelindung atau pembatas yang tidak memadai/rusak; Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak memadai atau rusak; alat peringatan/alat keselamatan yang tidak memadai atau rusak; sistem pengamanan yang tidak memadai 2) Alat, material, produk: desain/spesifikasi/manajemen perubahan yang tidak memadai; alat/material/produk yang tidak memadai atau rusak; perawatan/inspeksi/pengujian yang tidak memadai 3) Bahaya tempat kerja: terlalu padat, berantakan atau terbatas gerakan; permukaan, lantai, jalan tidak memadai; atmosfir berbahaya (ledakan/beracun/aspiksian); badai atau kejadian alam. Faktor Organisasi Faktor organisasi dan lingkungan kerja merupakan faktor laten yang dapat menyebabkan kegagalan. Beberapa contoh faktor laten di industri yaitu budaya keselamatan, peraturan dan prosedur, pelatihan, pengawasan, desain peralatan, dan perawatan. Berikut adalah beberapa contoh penyebab langsung dan faktor kontributor dari kegagalan organisasi dan manajemen: perencanaan pekerjaan yang tidak baik sehingga tekanan kerja meningkat; sistem K3 dan barrier yang tidak memadai; respon tidak memadai terhadap insiden sebelumnya; manajemen didasarkan atas komunikasi satu arah; koordinasi dan tanggung jawab yang kurang; manajemen K3 dan budaya K3 yang tidak memadai. Adapun daftar kategori penyebab kecelakaan yang masuk ke dalam faktor organisasi menurut
OGP
adalah
sebagai
berikut: kompetensi/pelatihan
tidak
memadai;
standar
kerja/prosedur tidak memadai; identifikasi bahaya atau penilaian risiko tidak memadai; komunikasi tidak memadai; pengawasan tidak memadai; budaya organisasi/kepemimpinan yang buruk; gagal melaporkan kejadian (OGP, 2011).
46
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
METODE PENELITIAN Desain penelitian ini mempergunakan desain studi kuantitatif dengan pendekatan crosssectional. Lokasi penelitian adalah di area operasi pengeboran, wellservice, dan workover lepas pantai, PT ABC di Kalimantan Timur. Waktu penelitian Januari 2015 – Juli 2015. Data yang diteliti pada penelitian ini adalah data sekunder berupa data investigasi kejadian kecelakaan di D&C selama periode Januari 2012-Desember 2014 beserta data pendukungnya semisal Standard Operating Procedur (SOP), izin kerja, Job Safety Analysis (JSA), wawancara saksi dan korban, data part, foto-foto kejadian, dan data medis. Pengumpulan data dengan mengakses catatan investigasi kecelakaan yang dikelola oleh HES Specialist, diteliti juga data investigasi yang telah di masukkan ke dalam sistem online IMPACT guna mengetahui status close-out tindakan perbaikan yang telah dilakukan. Pengelolaan data dengan melakukan pengelompokkan data hasil investigasi ke dalam variabel penelitian, dibuatkan tabel distribusi frekuensinya. Analisis data yang dilakukan adalah dengan menganalisis distribusi proporsi variabel yang diteliti dan membandingkannya dengan teori/hasil observasi. Hasil analisis untuk menjelaskan tentang karakteristik pekerjaan, faktor manusia, pekerjaan dan organisasi yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan aktivitas pengeboran, workover dan wellservice akan disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi frekuensi dan grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan Klasifikasi Pekerjaan Distribusi kejadian
berdasarkan
klasifikasi pekerjaannya
dibagi menjadi: primer,
sekunder, dan tertier. Pekerjaan primer adalah pekerjaan yang melibatkan lebih dari satu tim kerja, pekerjaan ini umumnya dikerjakan oleh drilling kru dan service company kru yang dilakukan di platform, rig floor dan work deck rig/barge. Pekerjaan primer merupakan aktivitas inti operasi pengeboran, workover, dan wellservice. Pekerjaan sekunder adalah pekerjaan pekerjaan pendukung aktivitas inti yang membutuhkan tim kerja, biasanya dikerjakan oleh maintenance dan marine kru di storage/utility area. Adapun pekerjaan tertier adalah pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan aktivitas pengeboran, workover, dan wellservice, merupakan aktivitas dengan tingkat resiko rendah. Pekerjaan tertier dilakukan seorang diri, umumnya dikerjakan oleh barge kru (katering, camp) yang dikerjakan di area akomodasi.
47
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Gambar 1. Distribusi Klasifikasi Pekerjaan Kejadian Sebagian besar kejadian cedera tangan terjadi di rig floor dan dek kerja barge (53%), di mana aktivitas utama terkait pengeboran, workover, dan wellservice berlangsung. Yang cukup menarik, proporsi lokasi kejadian terbesar kedua cedera tangan terjadi adalah di akomodasi dan dapur (21%), di mana aktivitas lebih banyak masuk ke dalam kategori aktivitas pendukung yang tidak terkait langsung dengan operasi pengeboran, workover, dan wellservice. Dengan demikian, data klasifikasi pekerjaan yang menghasilkan cedera tangan, bisa dikatakan masingmasing tipe pekerjaan (primer, sekunder, tersier) memberikan porsi yang hampir sama, sekitar sepertiga. Ketika dilakukan penjabaran dan tabulasi silang dengan detail konsekuensi kejadian, meskipun tiap tipe pekerjaan memberikan jumlah cedera yang hampir sama, namun konsekuensi cedera yang dihasilkan berbeda. Pekerjaan yang terkait langsung dengan aktivitas inti pengeboran memberikan konsekuensi cedera tangan yang lebih serius, sedang aktivitas pendukung semisal katering atau aktivitas di akomodasi lebih banyak berkontribusi pada cedera tangan ringan. Pembahasan Akar Penyebab Kejadian Distribusi akar penyebab kejadian hasil investigasi kecelakaan dapat disajikan dalam tabel berikut: Tabel 1. Distribusi Akar Penyebab Kejadian Akar Penyebab Kejadian Mistake/mental slip Analisis bahaya tidak memadai Desain tidak memadai Prosedur tidak dilakukan Prosedur tidak memadai Bahaya tidak teridentifikasi Tidak ada analisis risiko Tidak dilatih Prosedur tidak ada Analisis bahaya tidak dipergunakan Penggunaan alat yang tidak benar Arahan kerja tidak memadai Tidak tersedia peralatan standar 48
Jumlah Kejadian 10 7 4 3 3 2 2 2 2 1 1 1 1
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Data akar penyebab kejadian cedera tangan memperlihatkan bahwa “mistake/mental slip” dan “analisis bahaya yang tidak memadai” merupakan kontributor tertinggi penyebab cedera tangan seperti yang terlihat pada tabel di atas. Setelah dilakukan klasifikasi akar penyebab kejadian menjadi faktor personal, faktor pekerjaan, dan faktor organisasi, terlihat bahwa faktor organisasi merupakan penyebab terbesar kejadian cedera tangan, hampir setengah kejadian cedera tangan diakibatkan oleh faktor organisasi (49%), baru kemudian faktor manusia (38%). Faktor manusia Berdasar keseluruhan akar penyebab kejadian cedera tangan, dipilah faktor manusia yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan di Departemen D&C, yaitu: a) Mistake/mental slip (26%) b) Prosedur tidak dilakukan (8%) c) Analisis bahaya tidak dipergunakan (3%) d) Penggunaan alat yang tidak benar (3%) Dari daftar di atas, mistake/mental slip disebut terbanyak sebagai akar penyebab kejadian (26%). Luput (slips) terjadi ketika suatu aksi fisik gagal mewujudkan hasil yang diinginkan, terkait dengan perhatian atau konsentrasi pekerja. Sedang pada khilaf (lapses), kegagalan yang terjadi terkait dengan ingatan atau memori pekerja. Mode aktivitas untuk kesalahan ini adalah skill-based error. Keliru (mistake), sebaliknya, terjadi ketika seseorang mempergunakan rencana yang tidak memadai untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kekeliruan biasanya melibatkan kesalahan interpretasi atau kurangnya pengetahuan (DOE, 2009). OEDRS
(Operational
Excellence
Data
Reporting
Standard)
menjelaskan
“mistake/mental slip” sebagai: The people doing the task had all the skills and knowledge, had proper work direction and priorities, and did not intentionally choose not to follow procedures. Factors may include attention lapse, stress, fatigue, over-tiredness, emotional distress; external distractions such as other workers and/or activities; internal distractions such as daydreaming; unintentionally skipping a procedure step (OEDRS, 2014). Mistake/mental slip yang disebutkan sebagai akar penyebabnya dalam penyebab kejadian cedera tangan, bisa jadi perlu dijabarkan lebih lanjut lagi, apakah masuk ke kategori mode bekerja skill, rule atau knowledge base. Tindakan pengendalian yang efektif akan sangat tergantung pada mode kerja apa kesalahan itu terjadi.
49
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Pada mode skill-base, diperlukan peralatan yang memadai guna meminimalisir slips. Pekerja juga harus bebas dari interupsi dan gangguan yang bisa merusak konsentrasi, membagi fokus perhatian mereka dan menyebabkan lapse memori. Pada mode ini, pekerja bisa sangat terbantu dengan pengingat atau alat bantu kerja sederhana. Ketika mode rule-base, pekerja membutuhkan prosedur yang akurat, lengkap dan tidak ambigu sebagai referensi kerja. Mereka juga mungkin perlu mendapatkan akses ke ahli tertentu ketika harus memutuskan peraturan mana yang harus diambil dan aplikasi yang benar untuk peraturan tersebut. Di sisi lain, ketika pemahaman pekerja terhadap permasalahan bekerja di mode knowledge-base tidak lengkap atau tidak akurat, dan dibutuhkan proses berpikir yang banyak dan lambat, kolaborasi dengan tim ahli yang berpengalaman bisa jadi diperlukan untuk membuat pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Faktor Pekerjaan Dari keseluruhan akar penyebab kejadian cedera tangan, dipilah faktor pekerjaan yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan di Departemen D&C, yaitu: a) Desain tidak memadai (10%) b) Tidak tersedia peralatan standar (3%) Di faktor pekerjaan, sebuah pekerjaan harus sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi yang memperhatikan keterbatasan dan kekuatan manusia. Ketidaksesuaian antara kebutuhan kerja dan kapasitas manusia dapat menyebabkan kesalahan manusia. Kesesuaian pekerjaan dengan pekerja membuat pekerja tidak kelebihan beban (overload) sehingga dapat memberikan kontribusi yang paling efektif (HSE, 1999). Rekayasa teknik (engineering) telah berkembang jauh pada awal mula berkembangnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Hal ini sejalan dengan prioritas hirarki pencegahan kecelakaan kerja, yang dimulai dari tahapan rekayasa teknik, administrasi dan pelatihan, kemudian alat pelindung diri. Aplikasi modifikasi teknik di lapangan juga telah diterapkan, terutama dalam penggunaan tag-line atau tali pemandu, penyediaan dan penggunaan alat bantu semisal push-pull stick, yang berguna untuk memandu penempatan ketika pengangkatan peralatan, praktik kebijakan handoff-load atau tangan tidak menyentuh material yang sedang diangkat/angkut, dan sarung tangan high-impact atau yang memberikan pekerja perlindungan lebih ketika ada kontak/gesekan. Faktor Organisasi Dari keseluruhan akar penyebab kejadian cedera tangan, dipilah faktor organisasi yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan di Departemen D&C, yaitu: 50
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
a) Analisis bahaya tidak memadai/bahaya tidak teridentifikasi (23%) b) Prosedur tidak memadai (8%) c) Prosedur tidak ada (5%) d) Tidak ada analisis resiko (5%) e) Tidak dilatih (5%) f) Arahan kerja tidak memadai (3%) Porsi paling besar di kategori faktor organisasi adalah analisis bahaya tidak memadai dan prosedur yang tidak memadai. Analisis bahaya adalah salah satu komponen komitmen terbesar sistem manajemen K3. Salah satu cara untuk menentukan dan membuat prosedur kerja yang layak adalah dengan terlebih dahulu melakukan analisis bahaya kerja (OSHA, 2002). Hal ini konsisten dengan temuan audit Contractor Health Environment Safety Management (CHESM) yang menunjukkan adanya kekurangan di sisi analisis bahaya dan prosedur standar operasi. “Hazard identification and control” menjadi salah satu temuan tiga besar di CHESM audit, 7 (12%) perusahaan memerlukan perbaikan dalam hal ini. Temuan terbanyak ada pada ketidakjelasan proses peninjauan kembali Job Safety Analysis (JSA), tidak ada nomor di template JSA, dan tidak ditemukannya data pendukung adanya komunikasi JSA sebelum melakukan pekerjaan. Proses peninjauan ulang prosedur juga ditemukan dalam audit CHESM.
KESIMPULAN Karakteristik pekerjaan (primer, sekunder, tertier) yang terdapat kasus cedera tangan dalam aktivitas pengeboran, workover, dan wellservice memberikan porsi yang hampir sama, masing-masing sepertiga. Meskipun proporsi karakteristik pekerjaan hampir sama, konsekuensi cedera yang dihasilkan berbeda. Pekerjaan yang terkait langsung dengan aktivitas inti pengeboran, workover dan wellservice memberikan konsekuensi cedera tangan yang lebih serius, sedang pada aktivitas pendukung lebih banyak berkontribusi pada konsekuensi cedera tangan ringan. Faktor manusia yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan di Departemen D&C, yaitu: mistake/mental slip, prosedur tidak dilakukan, analisis bahaya tidak dipergunakan, dan penggunaan alat yang tidak benar. Faktor pekerjaan yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan di Departemen D&C, yaitu: desain tidak memadai dan tidak tersedia peralatan standar. Faktor organisasi yang berkontribusi pada kejadian cedera tangan di Departemen D&C,
51
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
yaitu: analisis bahaya tidak memadai/bahaya tidak teridentifikasi, prosedur tidak memadai, prosedur tidak ada, tidak ada analisis risiko, tidak dilatih, dan arahan kerja tidak memadai. Saran untuk menindaklanjuti hasil penelitian di antara adalah perlu penjabaran lebih lanjut lagi, “mistake/mental slip” yang disebutkan sebagai akar penyebabnya masuk ke kategori mode bekerja skill, rule atau knowledge base, karena tindakan pengendalian yang efektif akan sangat tergantung pada mode kerja apa kesalahan itu terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Department of Energy. 2009. Human Performance Improvement Handbook - Volume 1: Concepts and Principles. Washington, D. C, USA. -----. 2009. Human Performance Improvement Handbook - Volume 2: Human Performance Tools for Individuals, Work Teams, and Management. Washington. Gardner, Ron. 2002. Overview and Characteristics of Some Occupational Exposures and Health Risks on Offshore Oil and Gas Installations. Ann. occup. Hyg. , Vol. 47, No. 3, pp. 201–210. Oxford University Press. UK Health Safety Executive, UK. 2009. Reducing error and influencing behaviour. UK (www. hse. gov. uk) -----. 1999. Health & Safety Management Lecturing Resource - Lecture Notes: Accident Aetiology. Diakses di: http://www. hse. gov. uk/quarries/education/(11 Maret 2015) International Association of Oil & Gas Producers (OGP). 2011. Health & safety incident reporting systems users’ guide – 2010 data. London International Association of Drilling Contractor (IADC). 2013. Rotary Rig Supplemental Incident Reports (Total Counts). Diakses di: http://www. iadc. org/isp/iadc-2013-ispprogram-annual-report- index/(14 Januari 2014) Occupational Safety & Health Administration (OSHA). 2002. Job Hazard Analysis. USA PT ABC. 2015. IBU D&C CHESM, D&C KLO Contract Owner Forum. Presentasi Budi Santoso CHESM Advisor, 12 Februari 2015 -----. 2014. Incident Investigation Facilitator Handbook. USA -----. 2014. Operational Excellence Data Reporting Standard (OEDRS). USA Reason, James. 2000. Human error: models and management. BMJ volume 320 18 march 2000 -----. 2009. Human Error. Cambridge University Press. New York, USA
52
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
FAKTOR DETERMINAN STATUS HIDRASI PADA PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SURABAYA (Studi pada pekerja pengasapan ikan dan nelayan di Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya tahun 2016) Ratih Damayanti*, Tofan Agung Eka P. DIII Hiperkes dan KK, Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga, Jalan Srikana 65 Surabaya, 60286 *Pos-el: ratih.
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Pekerja di sektor informal termasuk pekerja pengasapan ikan dan nelayan belum banyak tersentuh mengenai kesehatan dan keselamatan kerjanya. Pekerja pengasapan ikan dan nelayan adalah pekerja yang banyak terpapar oleh suhu panas dari lingkungan kerjanya. Suhu lingkungan yang panas dapat menyebabkan heat stress salah satu tandanya adalah dehidrasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor determinan status hidrasi pada pekerja pengasapan ikan dan nelayan di Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya. Metode Penelitian: Penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dari penelitian ini adalah pekerja pengasapan ikan dan nelayan yang ada pada kelompok kerja di Kelurahan Tambak Wedi, Kota Surabaya. Sampel penelitian sebanyak 34 orang dengan metode pengambilan sampel adalah dengan simple random sampling. Uji statistik menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan antara faktor-faktor yang ada pada pekerja informal dengan status hidrasinya. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0,027) antara tingkat konsumsi air dan cairan dengan status hidrasi pada pekerja pengasapan ikan dan nelayan. Pekerja informal yang tidak terhidrasi dengan baik memiliki risiko untuk mengalami dehidrasi sebesar 13 kali (OR=12,67) dibandingkan dengan pekerja informal yang terhidrasi dengan baik. Adapun faktor lain yaitu usia, jenis kelamin dan tingkat pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan. Kesimpulan: Pemenuhan air dan cairan sangat penting untuk pemenuhan status hidrasi nelayan, yang mana air dan cairan dapat memengaruhi performa pekerja informal dalam bekerja apalagi mereka bekerja dengan paparan panas. Saran: penelitian berikutnya sebaiknya dilakukan pemeriksaan tanda klinis dehidrasi, beban kerja fisik, heat stress, serta mengukur suhu lingkungan kerja secara langsung. Kata kunci: pekerja informal, hidrasi, panas.
PENDAHULUAN Pekerja di sektor informal hingga saat ini masih jarang dan kurang tersentuh kesehatan dan keselamatan kerjanya. Saat ini sudah ada Unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja di setiap Puskesmas di Surabaya. Akan tetapi, permasalahan hidrasi pada pekerja belum tersentuh.
53
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Kelurahan Tambak Wedi merupakan bagian dari Kecamatan Kenjeran Surabaya, yang mana sebelah utara berbatasan langsung dengan selat Madura, sebelah selatan dengan keluarahan Tanah Kalikedinding, sebelah barat Kelurahan Bulak Banteng dan sebelah timur dengan Keluarhaan Kedung Cowek. Tambak Wedi merupakan salah satu daerah berpenduduk padat di mana mayoritas penduduk merupakan pendatang dari Madura dan Jawa. Hal ini dimungkinkan karena lokasi Tambak Wedi yang berdekatan dengan pulau Madura. Wilayah Kelurahan Tambak Wedi sebagian besar dipergunakan untuk pemukiman, bangunan perkantoran, sekolah dan tambak. Sarana kesehatan yang ada di Kelurahan Tambak Wedi adalah 1 buah puskemas. Kelurahan Tambak Wedi terdiri dari 4 RW dan 40 RT. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dengan penghasilan rendah dan pengolah hasil laut (termasuk pekerja pengasap ikan). Sebagian besar penduduk berpendidikan terakhir SLTP (Ernawati &Umilia, 2014). Pekerja yang bekerja di lingkungan yang panas termasuk nelayan dan pekerja pengasapan ikan memiliki risiko tinggi mengalami dehidrasi akut hingga kronis. Dehidrasi akut dapat di atasi dengan memberikan asupan air dan cairan Adapun dehidrasi yang kronis dapat menyebabkan kerusakan organ misalnya terjadinya batu ginjal (Bardosono & Ilyas, 2014). Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, perlu diadakan penelitian mengenai faktor determinan status hidrasi pada pekerja pengasapan ikan dan nelayan di Kelurahan Tambak Wedhi terutama pada nelayan dan pekerja pengasapan ikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor determinan dalam hal ini adalah faktor internal yang ada pada pekerja informal dengan status hidrasinya. Faktor internal tersebut adalah usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan dan tingkat konsumsi air dan cairan selama 24 jam.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini pada dilakukan dengan melakukan wawancara dan pemeriksaan urin. Wawancara ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat konsumsi air dan cairan pada pekerja informal. Adapun pemeriksaan urin bertujuan untuk menilai status hidrasi pekerja. Populasi penelitian adalah pekerja informal yang bekerja sebagai nelayan dan pekerja pengasapan ikan. Satu kelompok nelayan dan pekerja pengasapan ikan berjumlah 84 orang. Sampel penelitian sebanyak 34 orang dengan metode pengambilan sampel adalah dengan simple random sampling. Penelitian ini menggunakan instrumen untuk pengumpulan data di antaranya lembar 54
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
kuesioner, form food recall 1 x 24 jam, tabung pengumpul urin dan indikator warna urin sederhana untuk melihat tanda dehidrasi. Analisis data menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan antara faktor-faktor yang ada pada pekerja informal dengan status hidrasi mereka.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut disajikan hasil identifikasi karakteristik pekerja sektor informal di Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Surabaya. Karakteristik pekerja meliputi usia, jenis kelamin dan tingkat pengetahuan.
Gambar 1. Usia berdasarkan Jenis Pekerjaan Pekerja Informal di Kelurahan Tambak Wedi 2016
Sebagian besar pekerja informal berusia 36-60 tahun baik pada jenis pekerjaan nelayan (52,94%) dan pekerja pengasapan ikan (20,58%). Adapun pekerja informal yang berusia 15-35 tahun ada pada urutan kedua yaitu 14,7% pada nelayan dan 8,84% pada pekerja pengasapan ikan.
Gambar 2. Jenis Kelamin berdasarkan Jenis Pekerjaan Pekerja Informal di Kelurahan Tambak Wedi 2016 55
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Jenis kelamin nelayan seluruhnya adalah laki-laki berjumlah 23 pekerja. Pekerja pengasapan ikan seluruhnya berjenis kelamin perempuan. Berikut disajikan distribusi tingkat pengetahuan nelayan dan pekerja pengasapan ikan.
Gambar 3. Tingkat Pengetahuan berdasarkan Jenis Pekerjaan Pekerja Informal di Kelurahan Tambak Wedi 2016 Sebagian besar tingkat pengetahuan pekerja informal termasuk dalam kategori buruk yaitu 21 nelayan dan 10 pekerja pengasapan ikan. Selain variabel karakteristik pekerja, juga dilakukan pengukuran tingkat konsumsi air dan cairan pada pekerja dan disajikan dalam gambar berikut.
Gambar 4. Tingkat Konsumsi Air dan Cairan Pekerja Informal di Kelurahan Tambak Wedi 2016 Berdasarkan gambar di atas tingkat konsumsi air dan cairan pekerja informal sebagian besar dalam kategori sangat kurang yaitu sebesar 35%. Tingkat konsumsi air dan cairan pekerja informal dalam kategori baik sebesar 32%. Tingkat konsumsi air dan cairan pekerja informal dalam kategori kurang sebesar 24%. Sisanya dalam kategori cukup sebesar 6% dan kategori 56
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
sangat baik sebesar 3%. Nilai minimum air dan cairan yang dikonsumsi oleh pekerja informal di Kelurahan Tambak Wedi sekitar 500 ml. Adapun nilai maksimum air dan cairan yang dikonsumsi oleh pekerja informal di Kelurahan Tambak Wedi sekitar 4. 074 ml (lebih dari 4 liter). Adapun rata-ratanya yaitu kurang lebih 2. 290 ± 783,79 ml. Pada penelitian ini didapatkan jenis minuman dan frekuensi konsumsi minuman selain air putih oleh pekerja informal sebagai berikut.
Gambar 5. Frekuensi Konsumsi Air dan Cairan di Luar Air Putih dan Makanan Pekerja Informal di Kelurahan Tambak Wedi 2016 Berdasarkan gambar di atas didapatkan bahwa sebanyak 26,47% pekerja informal yang mengonsumsi teh manis sebanyak 1-3 gelas/hari. Selain itu, sebanyak 11,76% pekerja informal yang memiliki kebiasaan mengonsumsi kopi sebanyak 1-2 gelas atau cangkir/hari. Sisanya adalah pekerja informal yang memiliki kebiasaan mengonsumsi minuman berenergi atau minuman serbuk dalam kemasan 1-2 kali/hari yaitu sebesar 11,76%. Status hidrasi pekerja diukur dengan melakukan pengambilan urin dan pengamatan warna urin untuk menentukan kategori hidrasi pekerja. Berikut disajikan hasil pengukuran status hidrasi pekerja.
Gambar 6. Status Hidrasi Pekerja Informal di Kelurahan Tambak Wedi 2016 57
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Berdasarkan gambar 6, diketahui bahwa mayoritas pekerja yaitu 11 nelayan dan 7 pengasap ikan pada kategori kurang terhidrasi dengan baik. Kategori terhidrasi dengan baik teridentifikasi pada 9 nelayan dan 3 pengasap ikan. Kategori tidak terhidrasi dengan baik teridentifikasi pada 3 nelayan dan 3 pengasap ikan. Status hidrasi dalam kategori terhidrasi dengan baik memiliki warna putih/jernih hingga kuning muda. Status hidrasi dalam kategori kurang terhidrasi dengan baik memiliki warna kuning tua hingga oranye. Adapun status hidrasi dalam kategori tidak terhidrasi dengan baik memiliki warna cokelat muda hingga cokelat tua (seperti teh). Sebenarnya indikator tersebut dapat dipergunakan sebagai indikator pemeriksaan urin sendiri/mandiri (PURI) untuk menilai setiap individu para pekerja sudah terhidrasi dengan baik atau tidak. Variabel status hidrasi akan dianalisis dengan variabel faktor internal (usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan dan tingkat konsumsi air dan cairan) yang menjadi salah satu determinan status hidrasi. Berikut disajikan hasil analisis hubungan faktor internal dengan status hidrasi pekerja. Tabel 1. Hubungan Faktor Internal dengan Status Hidrasi Pekerja Informal di Kelurahan Tambak Wedi 2016
Variabel Usia Jenis Kelamin Jenis Pekerjaan Tingkat Pengetahuan Tingkat Konsumsi Air dan Cairan
Hasil Analisis (p) 0, 593 0, 983 0, 868 0, 675 0,027
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 5 faktor determinan status hidrasi yang memiliki hubungan yang signifikan (α < 0,05) yaitu hanya tingkat konsumsi air dan cairan (p=0,027). Adapun usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Menurut hasil perhitungan statistik, perkiraan risiko (OR) yang muncul adalah 12,67. Berarti pekerja informal yang tidak terhidrasi dengan baik memiliki risiko 13 kali mengalami dehidrasi daripada pekerja informal yang terhidrasi dengan baik. Umur, jenis kelamin, suhu lingkungan dan aktivitas fisik serta ukuran fisik atau status gizi adalah faktor internal yang memengaruhi kebutuhan air pada individu (Andayani, 2013). Menurut NHANES III (1996), semakin bertambahnya usia seseorang berdasarkan jenis kelamin semakin besar pula kebutuhan air dan cairan yang berasal dari makanan dan minuman. Menurut Putri & Mulyani (2012), ada perbedaan asupan cairan yang signifikan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Pada penelitian tersebut, konsumsi rata-rata air putih 58
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
penduduk tertinggi pada kelompok umur 14-18 tahun, sementara terendah terdapat pada kelompok umur 9-13 tahun. Oleh sebab itu, konsumsi air putih pada kelompok usia ini juga lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, asupan rata-rata cairan selain air putih penduduk tertinggi terdapat pada kelompok umur 14-18 tahun, sementara terendah terdapat pada kelompok umur > 70 tahun. Hal tersebut kemungkinan karena aktivitas usia remaja yaitu 1418 tahun yang cukup padat sehingga membutuhkan cairan lebih banyak. Adapun untuk jenis kelamin didapatkan bahwa konsumsi rata-rata cairan dari air putih penduduk tertinggi terdapat pada jenis kelamin laki-laki, sementara terendah terdapat pada jenis kelamin perempuan. Adapun, asupan rerata cairan selain air putih tertinggi terdapat pada penduduk dengan jenis kelamin perempuan dan asupan rerata cairan terendah terdapat pada penduduk dengan jenis kelamin laki-laki (Putri & Mulyani, 2012). Sebagian besar tingkat pengetahuan pekerja informal di Tambak Wedi termasuk dalam kategori buruk. Tingkat pengetahuan yang buruk akan memengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam praktiknya menjaga kesehatan tubuhnya salah satunya dalam pemenuhan air dan cairan atau status hidrasi. Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa pengetahuan yang baik memiliki pengaruh terhadap konsumsi caran baik secara kualitas maupun kuantitas dan kebiasaan minum sehari-harinya. Jika seseorang memililki pengetahuan yang baik mengenai konsumsi air dan cairan, konsumsi cairan dan kebiasaan minumnya akan baik pula dan risiko kekurangan cairan atau dehidrasi menjadi lebih kecil (Hardiansyah, 2009). Selain usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan, pada penelitian ini juga dibahas mengenai tingkat konsumsi air dan cairan pada pekerja informal. Sebagian besar dalam kategori yang sangat kurang sementara kontras dengan tingkat konsumsi air dan cairan dalam kategori sangat baik yang berjumlah sangat sedikit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai minimum air dan cairan yang dikonsumsi oleh pekerja informal di Kelurahan Tambak Wedi sekitar 500 ml. Selain itu, ternyata selain air putih juga terdapat pekerja informal yang mengonsumsi teh manis sebanyak 1-3 gelas/hari, kopi sebanyak 1-2 gelas atau cangkir/hari dan minuman berenergi atau minuman serbuk dalam kemasan 1-2 kali/hari. Konsumsi kopi, teh dan alkhohol dalam dosis yang tinggi dapat menjadi penyebab penurunan cairan tubuh. Hal ini disebabkan karena minuman tersebut bersifat diuretik terhadap tubuh. Minuman berkarbonasi pun juga sebaiknya dihindari sebab minuman tersebut merangsang produksi gas dalam saluran cerna. Tingginya produksi gas dalam saluran cerna, perut terasa penuh sehingga jumlah konsumsi cairan menurun (Putriana, 2014). Padahal jika 59
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
konsumsi cairan menurun secara otomatis berpengaruh pada status hidrasi seseorang. Apalagi tingkat konsumsi air dan cairan pada pekerja informal di Tambak Wedi sebagian besar termasuk dalam kategori buruk ditambah lagi jika mereka memiliki kebiasaan minum teh dan kopi yang memiliki efek diuretik. Hal tersebut semakin memperburuk status hidrasi pekerja informl di Tambak Wedi. Ketika pasokan cairan terbatas atau tubuh mengeluarkan banyak cairan, laju kehilangan air melebihi laju kehilangan elektrolit. Cairan ekstraselular menjadi jenuh dan tekanan osmotik menarik air dari cairan intra-selular ke dalam cairan ekstraselular. Para pekerja, khususnya yang terpapar panas disarankan untuk mengkonsumsi minuman sebanyak 250 ml (setara 1 gelas) setiap 25-30 menit saat bekerja (Kenefick & Sawka, 2007). Penelitian pada juru masak restauran di Semarang menunjukkan bahwa pemberian minuman formulasi air kelapa sebanyak 400 ml/hari yang mengandung rerata natrium 0. 66 g/L, kalium 0. 23 g/L dan kadar gula reduksi 7. 6% selama 3 hari dapat memperbaiki kemampuan rehidrasi dan mengurangi kelelahan subjektif (Novita, 2011). Natrium pada minuman berfungsi untuk mengganti kehilangan natrium lewat keringat dan bertindak sebagai transport glukosa melewati dinding intestinal. Glukosa yang ditambahkan pada minuman bermanfaat untuk menjaga kadar glukosa darah dan menghindari kelelahan selama bekerja. Hal tersebut sejalan juga dengan penelitian Bardosono & Ilyas (2014) yang menyebutkan bahwa seorang pekerja yang terpapar panas memiliki risiko dehidrasi lebih besar jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpapar panas. Salah satu tanda jika seseorang mengalami dehidrasi memiliki kadar hemoglobim, hematokrit, viskositas darah dan kadar natrium yang tinggi. Kebutuhan cairan pada pekerja yang aktif hingga sangat aktif saat melakukan pekerjaan dalam lingkungan panas (30-35o C) yang dianjurkan adalah sebesar 6 hingga 8 liter per hari. Seseorang yang bekerja di lingkungan yang panas dapat melakukan adaptasi dengan lingkungan kerjanya. Saat suhu lingkungan meningkat maka tubuh melakukan pemeliharaan berupa penyeimbangan panas yang diterima oleh tubuh dengan cara berkeringat. Keringat yang berlebih pada pekerja disertai dengan kurangnya asupan air dan cairan akan mengakibatkan terjadinya dehidrasi (Sumamur, 2013; Tarwaka et al. , 2004; Hardinsyah et al, 2009; Ahrens, 2007; Gustam, 2012 dalam Andayani, 2013). Pada penelitian ini jumlah asupan air dan cairan para pekerja masih jauh di bawah rekomendasi yang diberikan pada pekerja yang melakukan pekerjaan di lingkungan yang panas. Kondisi tersebut berpengaruh pada status hidrasinya. Hal
60
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
tersebut diperkuat dengan uji statistik yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan air dan cairan dengan status hidrasi pekerja.
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian menunjukkan faktor-faktor internal seperti usia, jenis kelamin dan tingkat pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap status hidrasi. Tingkat konsumsi air dan cairan memiliki hubungan yang signifikan (α < 0,05) terhadap status hidrasi pekerja (p=0,027). Pemenuhan air dan cairan sangat penting untuk pemenuhan status hidrasi nelayan, yang mana air dan cairan dapat memengaruhi performa pekerja informal dalam bekerja apalagi mereka bekerja dengan paparan panas. Saran: penelitian berikutnya sebaiknya dilakukan pemeriksaan tanda klinis dehidrasi, beban kerja fisik, heat stress, serta mengukur suhu lingkungan kerja secara langsung.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Widi Hidayat, S. E. , M. Si. , Ak, Dekan Fakultas Vokasi, yang telah memberi izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini. 2. Eny Inayati, drg. , M. Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga dan Erwin Dyah Nawawinetu, dr. , M. Kes, selaku Koordinator Program Pendidikan Diploma III Program Studi Higiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Vokasi Universitas Airlangga yang memberikan bimbingan. 3. Bapak Mustopa selaku Ketua kelompok nelayan Kelurahan Tambak Wedi, Surabaya yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan.
DAFTAR PUSTAKA Ahrens, Cd. 2007. Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate, and The Environment, 8th Ed. Canada: Thomson Brooks/Cole. Andayani, Khairunissa. 2013. Hubungan konsumsi cairan dengan status hidrasi pada pekerja industri laki-laki. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Bardosno, Saptawati, & Ilyas, Ermita. Health, nutrition and hydration status of Indonesian Workers: Premilinary study in two different environment. Med J Indones. 2014; 23:1126 Ernawati, Mia & Umilia, Ema. 2014. Arahan Penataan Lingkungan Kawasan Perumahan Swadaya di Kelurahan Tambak Wedi Kota Surabaya. Jurnal Teknik Pomits vol. 3, no. 2 (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271)
61
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Hardinsyah, Dodik Briawan, et al. 2009. Studi Kebiasaan Minum dan Status Hidrasi pada Remaja dan Dewasa di Wilayah Ekologi yang Berbeda. Bogor: Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia (Persagi), Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB Bogor, Danone Aqua Indonesia Kenefick, Robert W. , & Sawka, Michael N. 2007. Hydration at The Work Site [serial online] (sitasi 15 Juli 2016). NHANES III. 1996. Analytic and reporting guidelines: The Third National Health and utrition Examination Survei (NHANES III). National Center for Health Statistics, Maryland. USA. Novita, Atmadja. 2011. Pengaruh Pemberian Minuman Formulasi Air Kelapa terhadap Kemampuan Rehidrasi dan Kelelahan Subjektif Pekerja. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Putri, Renata M. , & Mulyani, Erry Y. 2012. Perbedaan Asupan Cairan Berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, tipe daerah dan status ekonomi di Pulau Sulawesi. Nutrire Diaita Volume 4 nomor 2, Oktober 2012. Putriana, Ditasari. 2014. Konsumsi cairan periode latihan dan status hidrasi setelah latihan pada atlet sepak bola remaja. Skripsi. Program studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Sumamur, PK. 2013. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: Sagung Seto Tarwaka, Solichul, Bakri, Lilik S. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Produktivitas. Surakarta: Uniba Press.
62
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
ANALISIS KEPATUHAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PEKERJA LABORATORIUM SEPARASI CRUDE OIL DI JAKARTA TAHUN 2011 Dwi Okta Rizkiani Program Studi S2 Keselamatan dan Kesehatan Kerja, FKM, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jalan Kampus Baru FKM UI, Jawa Barat 16424 Telepon (021) 7864975 Pos-el: dwi.
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Menurut OSHA, ketika engineering dan administrative control tidak dapat dilakukan atau tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai, perusahaan harus menyediakan alat pelindung diri dan memastikan pekerja menggunakannya. Hasil identifikasi dan penilaian risiko K3 yang dibuat laboratorium separasi crude oil menunjukan laboratorium memiliki potensi bahaya K3 yang cukup tinggi seperti terpapar bahan kimia dan uap toluen, terpapar panas, ledakan bomb dan tabung gas, iritasi kulit, tersengat listrik, tersiram cairan panas, terhisap debu/serbuk tembaga, kejatuhan tabung gas bertekanan, terpapar bahan oksidatif, terpapar uap panas. Alat pelindung diri masih memegang peran penting dalam upaya mengurangi keterpaparan pekerja akan bahan kimia dan tingkat keparahan jika terjadi kecelakaan. Akan tetapi, masih ditemukan pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri saat bekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang memengaruhi perilaku kepatuhan pemakaian alat pelindung diri pada pekerja. Metode Penelitian: Menggunakan desain strudi deskriptif bersifat kualitatif yang menggunakan dua jenis data yaitu data primer dengan wawancara mendalam dan observasi, dan data sekunder dari telaah dokumen dan literatur. Hasil: Hasil berdasarkan variabel yang berkaitan dengan kepatuhan pemakaian alat pelindung diri bahwa kepatuhan informan dalam pemakaian alat pelindung diri tergolong masih rendah, hal ini dibuktikan juga dengan hasil observasi yang menyatakan seluruh informan tidak lengkap memakai alat pelindung diri yang diwajibkan saat bekerja. Kesimpulan: Peningkatan dan perbaikan dari faktor pengetahuan, sikap, fasilitas, pengawasan alat pelindung diri perlu dilakukan agar kepatuhan pemakaian alat pelindung diri dapat sepenuhnya berjalan dengan baik. Kata kunci: kepatuhan, alat pelindung diri, laboratorium.
PENDAHULUAN Laboratorium merupakan sarana untuk melakukan penelitian, pengukuran, uji mutu, pengembangan, pendidikan serta pemanfaatan alat-alat laboratorium. Tempat dengan segala kelengkapan peralatannya berpotensi menimbulkan bahaya kepada penggunanya. Kegiatan di laboratorium memiliki berbagai risiko yang berasal dari faktor fisik, kimia, ergonomi dan psikososial yang harus dapat dikendalikan dengan baik dalam rangka menjamin keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produktivitas kerja.
63
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Pemahaman dan kesadaran perusahaan dan tenaga kerja penting untuk mengantisipasi dan mengendalikan potensi bahaya yang ada di laboratorium. Menurut OSHA (Occupational Health and Safety Association), ketika engineering dan administrative control tidak dapat dilakukan atau tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai, perusahaan harus menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) dan memastikan pekerja menggunakannya. APD adalah alat yang dipakai untuk meminimalisasi paparan bahaya kerja. Contoh APD seperti sarung tangan, pelindung mata dan kaki, alat pelindung pendengaran, helm, respirator dan baju pelindung (OSHA, 2009). Hasil penelitian di laboratorium klinik RSCM Jakarta menunjukkan sebesar 56,8 % petugas laboratorium tidak menggunakan APD dan lebih dari 40% petugas di beberapa laboratorium (IGD, hematologi, dan anak) berisiko tinggi terinfeksi penyakit yang berbahaya karena tidak memakai APD. Alasan utama tidak digunakannya APD adalah karena tidak tersedia APD di laboratorium (Dian Perwitasari, 2006). Hasil penelitian penggunaan alat pelindung telinga pada karyawan PT Petrokimia Gresik menunjukkan sebesar 69% pekerja patuh dan sebesar 31% tidak patuh menggunakan alat pelindung telinga. Faktor yang memengaruhi pemakaian alat pelindung telinga tersebut adalah pengetahuan, sikap dan perilaku (Minarti, 2004). Laboratorium separasi crude oil memiliki potensi bahaya cukup tinggi. Laboratorium ini mengerjakan pengujian pemisahan minyak bumi dari air dan sifat fisika yang dimiliki dalam minyak bumi tersebut, seperti titik panas, titik beku, titik nyala dan titik bakar minyak berat, kadar abu sulfat dalam minyak pelumas, titik leleh dari petroleum wax, penentuan sedimen dalam minyak bumi menggunakan bahan kimia seperti toluene, xylene serta pengujian yang memiliki potensi bahaya cukup tinggi lainnya. Identifikasi dan Evaluasi Bahaya Lingkungan serta Keselamatan dan Kesehatan Kerja (IAB) yang dibuat tahun 2010 menunjukan laboratorium separasi memiliki potensi bahaya K3 yang cukup tinggi seperti terpapar bahan kimia dan uap toluene, terpapar panas, ledakan bomb dan tabung gas, iritasi kulit, tersengat listrik, tersiram cairan panas, terhisap debu/serbuk tembaga, kejatuhan tabung gas bertekanan, terhirup asap, terpapar bahan oksidatif, terpapar uap panas, kelelahan mata, sakit mata, terpapar dingin. Saat ini APD masih memegang peran penting dalam upaya mengurangi keterpaparan pekerja akan bahan kimia dan tingkat keparahan jika terjadi kecelakaan. Berdasarkan dokumen laporan kecelakaan, pada 27 Januari 2007 terjadi kecelakaan di laboratorium uji sifat fisika (bagian dari laboratorium separasi), pekerja laboratorium tersebut 64
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pergelangan tangannya tersiram minyak diesel/biofuel saat melakukan uji Flash Point dengan suhu 240o C, saat bekerja pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri, akibatnya pekerja mengalami luka bakar. Selain itu, pada Juni 2008 terjadi juga kecelakaan kerja di laboratorium CBM gedung eksploitasi lantai 1. Kecelakaan terjadi saat pengangkatan core sample (batuan) terakhir, posisi core tidak lurus di atas tumpukan core sebelumnya, sehingga core tersebut bergeser dan bergerak menimpa kaki pekerja. 6 orang pegawai diperintahkan memindahkan core seluruhnya menggunakan APD jas lab dan sarung tangan tetapi 4 orang tidak menggunakan safety shoes. Korban merupakan salah satu yang tidak menggunakan APD. Akibat kecelakaan tersebut pekerja mengalami cedera di kaki kiri dan memar. Berdasarkan wawancara ke kepala kelompok laboratorium proses separasi, tentang perilaku pekerja memakai APD di laboratorium, masih ada pekerja yang tidak memakai APD saat bekerja, alasannya adalah ketidaknyamanan saat memakai APD. Safety shoes di dalam lab disamakan dengan safety shoes pekerja lapangan, sarung tangan yang terlalu tebal menyulitkan untuk memegang alat berukuran kecil membuat pekerja merasa aman, nyaman dan terbiasa bekerja tanpa memakai sepatu atau sarung tangan karet. Faktor keterbatasan ketersediaan APD juga memengaruhi perilaku pekerja dalam memakai APD. Berdasarkan wawancara pihak LK3, ketersediaan APD saat ini baru mencapai 70%. Hal ini didukung dengan hasil inspeksi APD pada Januari 2009 menunjukan dari 34 lab yang di inspeksi, tidak ada yang perkerjanya memiliki APD secara lengkap. Pada laboratorium uji sifat fisika dari 13 pekerja hanya 3 orang saja yang memiliki jas lab yang masih baik kondisinya, Adapun pada laboratorium destilasi walaupun jas lab sudah terpenuhi tetapi perlu penambahan. Berdasarkan data yang didapatkan di atas, maka penting untuk dilakukan analisis tentang faktor yang memengaruhi kepatuhan pemakaian APD saat bekerja. Kepatuhan pemakaian APD sangat memengaruhi kemungkinan seseorang untuk terkena penyakit dan mengalami cedera yang lebih parah.
METODE PENELITIAN Dalam
melakukan
penelitian
perilaku
pemakaian
alat
pelindung
diri
pekerja
laboratorium, peneliti menggunakan desain penelitian kualitatif dengan cara wawancara dan observasi langsung. Tujuan menggunakan desain kualitatif adalah untuk menggali lebih dalam informasi dari berbagai informan agar diperoleh fakta terkait dengan kepatuhan pemakaian APD. Informan dalam penelitian ini adalah 8 orang pekerja yang ada di laboratorium separasi
65
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
(laboratorium uji sifat fisika dan laboratorium destilasi) yang direkomendasikan oleh kepala lab dan telah diobservasi kelengkapan pemakaian alat pelindung diri saat bekerja. Dari hasil observasi, informan adalah pekerja yang tidak patuh karena tidak lengkap memakai APD. Jenis data yang digunakan peneliti adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan informan yang dipilih dan observasi. Wawancara dilakukan dengan panduan pedoman wawancara yang telah dibuat. Data sekunder diperoleh dari inspeksi APD, data rekam kecelakaan, dan pedoman LK3. Peneliti melakukan pengolahan data dengan pendekatan analisis kualitatif. Pengolahan dan analisis data ini dilakukan secara manual dengan menggunakan langkah data atau informasi yang diperoleh berupa kata-kata dari hasil wawancara dibuat menjadi sistematis menjadi bentuk tulisan, mengklasifikasikan atau mengelompokkan informasi yang diperoleh berdasarakan variable penelitian dan disusun agar dapat dibandingkan antara informan yang satu dengan yang lainnya, menganalisis data dengan menggunakan matriks pengumpulan data penelitian dan ditinjau kembali dengan landasan teori yang digunakan. Setelah itu, peneliti menggunakan teknik menarik kesimpulan berdasarkan data yang terkumpul.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber informan untuk wawancara mendalam berjumlah 10 orang dari seluruh populasi yang berjumlah 24 orang, 8 orang pekerja untuk sumber informasi utama dan 2 orang kepala laboratorium yang digunakan untuk triangulasi. Informan merupakan pekerja yang telah diobservasi dan tidak lengkap dalam memakai APD. Tabel 1. Ringkasan Analisis Pengetahuan No. 1.
Tema Penelitiaan Bahan dan Alat berbahaya
Definisi APD 2.
Fungsi APD
3.
4.
66
Dampak memakai bekerja
APD
tidak saat
Ringkasan Pengetahuan informan mengenai bahan dan alat berbahaya ditempat kerja mereka sudah cukup baik. Informan sudah mengetahui dan dapat menyebutkan alat dan bahan yang digunakan dan semua informan tahu risiko bekerja dengan bahan berbahaya tersebut. Seluruh informan mengetahui definisi APD untuk melindungi diri saat pekerja. Beberapa informan dapat menyebutkan jenis APD yang wajib digunakan saat bekerja. Seluruh informan sudah mengetahui fungsi APD yang dipakai saat bekerja. Informan dapat menyebutkan fungsi satu-persatu APD yang tersedia di laboratorium Sebagian informan menyatakan bahwa tidak menggunakan APD dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan. Sebagian besar informan menyatakan dampak tidak menggunakan APD di laboratorium adalah pusing-pusing, tersiram bahan kimia, sesak nafas, iritasi kulit.
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 2. Ringkasan Analisis Sikap No. Tema Penelitian Kesediaan memakai APD 1.
2.
Frekuensi Pemakaian APD Kebiasaan bertukar APD
3.
Respon terhadap rekan kerja dalam pemakaian APD
4.
Ringkasan Seluruh informan informan bersedia mamakai APD karena kesadaran diri tentang bahaya kerja bagi keselamatan dan kesehatan Menurut informan APD yang menyulitkan pekerjaan dan membahayakan bila dipakai maka informan tidak mau memakainya. APD yang selalu dipakai adalah jas lab APD lain seperti sarung tangan, respirator dipakai pada kondisi kondisi pekerjaan Informan bergantian memakai APD seperti sarung karena keterbatasan ketersediaan APD dan kerja shift. Bebarapa informan terkadang meminjam safety shoes rekan kerjanya jika ukurannya sama. Sebagian informan menyatakan akan mengingatkan rekan kerjanya jika tidak mengunakan APD hanya pada kondisi berbahaya seperti menggunakan bahan kimia. Sebagian biasanya bersikap cuek.
Tabel 3. Ringkasan Analisis Fasilitas APD No.
1.
2.
3.
4.
5.
Tema Penelitian Ketersediaan APD
Ringkasan Seluruh informan menyatakan bahwa APD yang diperlukan sudah tersedia semua di laboratorium Jumlah APD yang tersedia tidak sesuai dengan pekerja. APD jas lab yang sudah kotor dan sarung tangan tahan panas yang sudah tidak lagi dapat menahan panas tinggi harus diganti. Kecukupan APD bagi Rata-rata pekerja belum mendapatkan sepatu safety. semua pekerja Masih ada beberapa APD seperti sarung tangan dan respirator yang digunakan secara bergantian karena belum semua pekerja mendapatkan APD tersebut. Kemudahan Seluruh informan menyatakan tidak mudah mendapatkan mendapatkan APD APD. Pekerja baru tidak langsung mendapatkan APD saat masuk kerja, begitu juga saat meminta pergantian APD yang rusak membutuhkan waktu berbulan-bulan. Kesesuaian APD Sebagian besar informan menyatakan APD yang tersedia dengan pekerjaan sudah sesuai dengan jenis pekerjaan. Kenyamanan memakai Sebagian besar informan merasakan APD yang mereka APD pakai saat ini sudah nyaman untuk kondisi tertentu dan tidak dalam waktu pemakaian yang lama. Sarung tangan yang sudah kotor dan terlalu tebal membuat pekerja tidak aman dan nyaman saat memakainya. Respirator cartridge berat sehingga pekerja sering melepasnya 67
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 4. Ringkasan Analisis Pengawasan APD No. 1. 2. 3.
Tema Penelitian Frekuensi pengawasan
Ringkasan Sebagian besar informan menyatakan pengawasan APD dilakukan oleh LK3 tetapi jadwal pengawasan tidak rutin dan pekerja tidak mengetahui jadwal tersebut. Respon pengawas saat Seluruh informan menyatakan pengawas akan langsung pekerja tidak memakai apd menegur pekerja yang tidak mamakai APD Sanksi tidak memakai APD Seluruh informan menyatakan tidak ada sanksi yang diberikan pengawas jika terdapat pekerja yang tidak memakai APD
Tabel 5. Observasi Kelengkapan APD Informan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
Informan 5 Informan 6 Informan 7
Informan 8
Kegiatan APD Wajib Destilasi crude oil Jas lab, sarung tangan, safety shoes, respirator Penentuan density Jas lab, sarung tangan, respirator Destilasi crude oil Jas lab, sarung tangan, safety shoes, respirator Analisis wax Respirator, sarung content tangan, jas lab, safery shoes Penentuan air dan Jas lab, sarung tangan, sedimen safety shoes Flash point Sarung tangan, safety shoes, jaslab Penentuan karbon Jas lab, sarung tangan residu tahan panas, safety shoes, respirator, face shield Penentuan karbon Jas lab, sarung tangan residu tahan panas, safety shoes, respirator, face shield
APD yang tidak digunakan Jas lab, sarung tangan Jas lab, respirator Jas lab, safety shoes, respirator Respirator, safety shoes
Safety shoes Safety shoes, sarung tangan Safety shoes, face shield
Sarung tangan tahan panas, respirator, safety shoes, face shield
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat diketahui bahwa faktor yang paling dominan dalam perilaku kepatuhan pemakaian APD pada pekerja laboratorium separasi adalah fasilitas APD yang diberikan perusahaan. Kondisi dan kenyamanan serta ketersediaan fasilitas APD yang menjadi alasan utama pekerja tidak patuh memakai APD saat bekerja. Sikap pekerja yang kurang perhatian terhadap APD, kurangnya pengetahuan dan lemahnya pengawasan juga saling berkaitan memengaruhi pekerja tidak memakai APD. Untuk meningkatkan pemakaian APD pada seluruh pekerja dapat dilakukan usaha seperti pemberian informasi tentang APD, 68
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pembagian APD yang merata, pengukuran APD agar sesuai dengan pekerja, penambahan APD sehingga tidak bergantian dan tidak bertabrakan jadwal pemakaiannya yang membuat salah satu pekerja tidak memakai APD.
KESIMPULAN Kesimpulan
dari penelitian
menunjukkan
pengetahuan
informan
berperan
dalam
pembentukan perilaku untuk memakai APD. Sebagian besar informan sudah memiliki pengetahuan yang baik mengenai APD. Pengetahuan yang baik mengenai dampak yang ditimbulkan jika tidak memakai APD membuat pekerja bersikap positif dalam memakai APD. Pengetahuan tentang APD sebagian informan didapatkan dari hasil pelatihan pada saat masuk kerja. Sikap pekerja sudah baik dalam menanggapi pemakaian APD, hanya saja karena pekerja belum sepenuhnya terbiasa memakai APD dan keterbatasan APD sehingga pekerja tidak selalu memakai APD. Kepatuhan pemakaian APD juga didukung dengan adanya fasilitas yang baik. Perusahaan telah menyediakan APD yang diperlukan pekerja, tetapi ketersediaan fasilitas APD terbatas dan tidak mencukupi untuk semua membuat pekerja tidak memakai APD. Pengawasan yang dilakukan LK3 belum berjalan dengan baik, jadwal yang tidak rutin serta penetapan sanksi yang belum tegas membuat pekerja lebih leluasa tidak memakai APD. Pada saat pengawas menengur pekerja tidak memakai APD, pekerja memberikan alasan bahwa APD yang diperlukan tidak tersedia, sehingga tidak dapat memberikan sanksi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKM UI. 2. Ketua Program Studi S2 Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKM UI yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 3. Panitia Penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA Geller, E. Scott. 2000. The Psychology of Safety Handbook. Florida: Lewis Publishers. Geller, E. Scott. 2001. Working Safe: How to Help People Actively Care for Health and Safety (2nd ed). Florida: Lewis Publishers. Ibrahim, Baihaqi. 2009. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Sarung Tangan dalam Kaitan Standar Kewaspadaan Umum Bagi Petugas Laboratorium Klinik di Kota Cilegon. Skripsi Program Sarjana FKM UI 2009. Depok: FKM UI. 69
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Minarti. 2004. Analisis Faktor yang Memengaruhi Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Telinga Berdasarkan Teori Lawrence Green pada Karyawan PT Petrokimia Gresik. Morningcamp. 11 Mei 2010. Konsep http://morningcamp.com/?p=129
Kepatuhan.
Diakses
pada 26
April 2011.
Kurniawan, Indrayatna. 2010. Gambaran Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Laundry Rumah Sakit Pelni. Skripsi Program Sarjana FKM UI 2010. Depok: FKM UI. Prosafe Institute. 6 Desember 2010. Manajemen K3 Laboratorium. Diakses pada 3 Mei 2011. (http://www. prosafeinstitute.com/component/content/article/31-training-program/93k3-laboratorium. html) PPE In The Laboratory. Diakses pada 2 Mei 2011. (http://ehs. okstate. edu/modules/ppe/index. htm) Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: PT Rineka Cipta. OSHA. 2003. Personal Protective Equipment. U. S. Departement of Labor. OSHA. Respiratory Protection. Diakses pada 5 Mei 2011. (http://www. osha. show_document?p_table=STANDARDS&p_id=12716)
gov/pls/oshaweb/owadisp.
Permenakertrans Nomor 08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri. Perwitasari, Dian. 2006. Tingkat Risiko Pemakaian Alat pelindung Diri dan Higiene Petugas di Laboratorium Klinik RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 5 No. 1, April 2006: 380-384. Stranks, Jeremy. 2007. Human Factors and Behavioral Safety. UK: Elsevier, Ltd. Souza, Adenicia Custodia S. , et al. 2008. Nursing graduating student’s knowledge on personal protective equipment: contributions of educational institutions. Revista Eletronica de Enfermagem. 2008: 10(2): 428-437. Susanto, Feno Adi. 2007. Tingkat Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Petugas Laboratorium Rumah Sakit Prikasih. Skripsi Program Sarjana FKM UI 2007. Depok: FKM UI. UCLA Environment, Health and Safety. Januari, 2009. Personal Protective Equipment (PPE) for UCLA Research Laboratories, An Online Tutorial.
70
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENGUASAAN INTERPRETASI LOADCHART SEBAGAI UPAYA TEKNIK MENGENDALIKAN RISIKO KECELAKAAN KERJA SEKTOR PERTAMBANGAN PADA MOBILE CRANE Erwin Ananta Program Studi Diploma IV Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Vokasi, Universitas Balikpapan, Kampus Jalan Pupuk, Kel. Damai Bahagia, Kota Balikpapan 76114. Telp. (0542) 765442 Pos-el: erwin. ananta@uniba-bpn. ac. id
ABSTRAK Pendahuluan: Penguasaan interpretasi loadchart (diagram beban) merupakan syarat mutlak dalam proses pekerjaan lifting (pengangkatan) khususnya di sektor pertambangan mineral & batubara, dan sektor konstruksi pada umumnya. Penguasaan interprestasi loadchart ini dilakukan sebagai upaya teknik pengendalian risiko kecelakaan kerja, di mana pekerjaan jenis ini merupakan pekerjaan berisiko tinggi. Kegagalan dalam memahami loadchart pada mobile crane dapat berakibat rusaknya alat peralatan, rusaknya material yang diangkat, kerusakan lingkungan kerja disekitarnya, serta cedera atau bahkan terjadinya kematian pekerja. Imbasnya berdampak pada produktivitas dan biaya perusahaan. Penelitian ini difokuskan untuk menemukan jawaban atas penyebab terjadinya kegagalan menginterprestasikan loadchart pada proses lifting yang berakibat pada kecelakaan kerja. Metode Penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan melalui pengamatan (observasi) terhadap suatu proses pekerjaan lapangan dengan memberikan gambaran melalui implementative description khusus pada proses lifting dengan melibatkan mobile crane dan peralatan angkatnya. Penelitian ini berlokasi di pertambangan batubara terbesar di Indonesia terletak di site Sangata, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Hasil: Aada beragam faktor yang menciptakan peluang terjadinya kecelakaan kerja khususnya pada proses lifting di antaranya (a) faktor manusia; (b) faktor alat peralatan dan lingkungan kerja, dan; (c) faktor sistem manajemen dan budaya perusahaan. Meskipun diperlukan penelitian lebih lanjut, faktor manusia yang gagal paham dalam menginterprestasikan loadchart memegang peranan dominan menciptakan peluang terjadinya kecelakaan kerja tambang. Penguasaan ilmu pengetahun dasar eksakta sangat diperlukan untuk memecahkan permasalahan khususnya proses pekerjaan lifting yang melibatkan mobile crane. Kesimpulan: Pemahaman interpretasi loadchart yang baik dan benar, hal ini dapat mengendalikan risiko kecelakaan kerja dalam proyek-proyek pertambangan batubara pada khususnya, dan proyek-proyek konstruksi pada umumnya di mana pekerjaan ini melibatkan unit mobile crane dalam beragam tipe dan kapasitasnya Kata kunci: keselamatan kerja, loadchart, proses pekerjaan lifting, mobile crane.
71
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENDAHULUAN Loadchart (diagram beban) merupakan suatu skema grafis yang bersifat teknis dalam suatu manual pengoperasian unit yang umumnya disertakan oleh manufaktur pada setiap unit mobile crane. Pekerjaan lifting adalah proses pekerjaan pengangkatan muatan yang tidak terlepas dari adanya interprestasi loadchart, yang mana dalam setiap proses pekerjaan lifting merupakan salah satu pekerjaan yang sering ditemui di lapangan khususnya pada pekerjaan-pekerjaan pengangkatan di pertambangan, pembangunan gedung-gedung bertingkat, dan juga sering ditemui pada proses bongkar muat kapal di dermaga. Pekerjaan jenis ini merupakan pekerjaan dengan katagori risiko tinggi (high risk job) terhadap kecelakaan pada saat pengoperasiannya. Gagalnya penguasaan dan pemahaman terhadap interprestasi loadchart berarti gagalnya pengangkatan muatan. Kegagalan pengangkatan muatan bisa berimbas pada rusaknya alat peralatan, rusaknya material yang diangkat, dan kerusakan pada struktur bangunan disekitarnya, serta cedera atau bahkan terjadinya kematian adalah bagian dari rangkaian bahaya yang mungkin saja terjadi saat proses pekerjaan lifting dengan melibatkan mobile crane dan peralatan angkatnya (lifting gear), yang kesemuanya itu berawal dari pemahaman terhadap interprestasi loadchart. Kegagalan tersebut berdampak kepada produktivitas dan biaya perusahaan. Contoh skematik loadchart dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 1. Skematik loadchart untuk jenis terex-franna telescopic crane Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER. 09/MEN/VII/2010 tentang Operator dan Petugas Pesawat Angkat dan Angkut, mewajibkan
72
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
bahwa petugas yang mengoperasikan mobile crane adalah orang yang telah lulus uji kompetensi dan memiliki surat izin operasional (SIO) untuk mengoperasikan mobile crane sesuai dengan kelas mobile crane yang dioperasikan. Surat izin operasional inipun berbatas waktu, sehingga apabila batas waktunya habis, maka yang bersangkutan wajib dilakukan penilaian ulang untuk dinilai kembali atas kemampuannya dalam mengoperasikan mobile crane. Salah satu syarat uji kompetensi ini adalah penguasaan dan pemahaman yang mendalam terhadap interprestasi loadchart.
Gambar 2. Range diagram dan loadchart table untuk jenis terex-franna crane Begitu juga dengan petugas yang bekerja untuk membantu proses pekerjaan lifting seperti Juru Ikat (Rigger) dan Petugas Pemberi Isyarat (Dogsman), yang merupakan orang-orang yang telah mendapatkan pelatihan dan bersertifikasi untuk pekerjaan lifting. Pada dasarnya semua pekerjaan lifting memiliki potensi bahaya dengan tingkat keparahan masing-masing sesuai dengan berat muatan dan kapasitas mobile crane yang digunakan, dan kondisi lingkungan di mana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Sesuai identifikasi dan analisa, bahwa jika mengalami kegagalan dalam proses pekerjaan lifting, maka akan berakibat fatal baik pada alat peralatan, material yang diangkat, struktur disekitarnya, dan korban jiwa. Oleh sebab itu pada saat akan melaksanakan pekerjaan lifting, terutama pada saat mengangkat dengan muatan yang berat dengan menggunakan mobile crane dengan kapasitas besar, maka dibutuhkan izin kerja. Hal ini harus menjadi perhatian karena pada kenyataannya berdasarkan penelitian pada data inspeksi lapangan yang telah dilakukan di kawasan pertambangan batubara, masih banyak pekerjaan-pekerjaan lifting tidak memiliki izin operasional dan tidak menggunakan peralatan angkat standar. Bahkan ditemukan adanya operator mobile crane yang tidak memahami bagaimana menginterpretasikan loadchat. Ini sangat berbahaya sekali. 73
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Adanya analisis keselamatan kerja (JSA), penilaian risiko (risk assessment), penggunaan alat-alat keselamatan kerja dan alat pelindung diri (APD) secara memadai dalam proses pekerjaan lifting adalah upaya yang bijak untuk mencegah terjadinya risiko kecelakaan kerja secara dini. Namun pada kenyataan di lapangan, banyak terjadinya kerusakan alat dan cedera pekerja pada saat proses pekerjaan lifting karena aspek-aspek keselamatan kerja tersebut tidak diindahkan dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Seperti terlihat pada Gambar 3, merupakan salah satu contoh kecelakaan kerja yang melibatkan mobile crane yang terjadi di kawasan pertambangan.
Gambar 3. Kecelakaan kerja mobile crane di lokasi pertambangan batubara Penelitian ini merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan untuk menemukan jawaban penyebab atas terjadinya kegagalan proses pekerjaan lifting yang didasari atas kekurangpahaman terhadap interprestasi loadchart, sehingga berakibat pada kecelakaan kerja di lingkungan pertambangan batubara, dengan harapan hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi pedoman atau rujukan untuk melaksanakan proses pekerjaan lifting dengan memahami interprestasi loadchart dengan benar. Interprestasi loadchart merupakan pekerjaan teknis yang spesifik di mana dibutuhkan orang-orang yang telah mendapat pelatihan yang memadai, memahami matematika dan fisika dasar, memiliki kemampuan membaca grafis adalah syarat mutlak untuk mengerti loadchart. Bila kesemuanya itu telah dikuasai kemudian dilakukan uji kompetensi, maka pekerja yang telah lulus uji kompetensi berhak memiliki izin untuk mengoperasikan mobile crane sesuai dengan
kelasnya.
Penguasaan
dan
pemahaman
terhadap
interprestasi
loadchart
untuk
pengoperasian mobile crane dan peralatan angkatnya (lifting gear) adalah berbeda pada setiap unit mobile crane, sehingga dibutuhkan pemahaman mendalam terhadap kesesuaian setiap unit 74
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
mobile crane yang akan dioperasikan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika semua operator mobile crane mampu memahami dan menguasai cara-cara menginterprestasikan loadchart dan peralatan angkatnya (lifting gear), dipergunakan sesuai standar manufaktur dan sesuai dengan regulasi keselamatan kerja yang berlaku, serta sesuai Standard Operating Procedure (SOP), maka pekerjaan lifting dapat diselesaikan dengan baik, lancar, aman dan selamat, tanpa terjadinya kecelakaan kerja. Penelitian ini difokuskan pada penguasaan loadchart dalam upaya teknik mengendalikan risiko kecelakaan kerja sektor pertambangan batubara pada mobile crane dengan batasan hanya pada jenis penggunaan Terex-Franna telescopic mobile crane dengan kapasitas di bawah 50 (lima puluh) ton, dengan penggerak roda ban karet, yang banyak dipergunakan di lingkungan pekerjaan bidang pertambangan batubara site Sangata, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
METODE PENELITIAN Rangkaian kegiatan penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian kualitatif implementative description, di mana kegiatan-kegiatan yang akan digunakan bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap permasalahan yang diteliti. Penelitian ini lebih mengutamakan proses daripada hasil atau produk, dan analisis data dilakukan secara induktif dengan mencari makna yang sesungguhnya. Kegiatan tersebut meliputi di antaranya (a) pendekatan penelitian; (b) lokasi dan waktu penelitian; (c) teknik pengumpulan data dalam penelitian; dan; (d) pemeriksaan keabsahan (validitas) data yang diterima dan dikumpulkan dalam penelitian ini. Secara prinsip metodologi dalam penelitian ini adalah bagaimana menjawab pertanyaan penelitian mengapa terjadi kecelakaan kerja yang melibatkan mobile crane di kawasan kerja tambang batubara. Prinsip dasar dari metode apa saja yang digunakan, bagaimana prosedur kerja dilakukan, asumsi-asumsi apa saja yang mendasari penelitian ini, instrumen penelitian meliputi apa saja yang akan digunakan, bagaimana teknik pengumpulan data, dan alasan penting apa yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan studi kasus. Studi kasus dalam penelitian ini adalah proses pekerjaan lifting dilingkup kegiatan pertambangan batubara. dalam proses pekerjaan lifting dengan melibatkan telescopic mobile crane dengan penguasaan interprestasi loadchart.. Penelitian ini dilakukan dengan berlokasi di kawasan tambang batubara Kaltim Prima Coal, yang merupakan kawasan tambang batubara terbesar di Indonesia yang terletak di site 75
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Sangata, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Peneliti mengkhususkan diri untuk melakukan penelitian pada proses pekerjaan lifting dengan melibatkan telescopic mobile crane berdasarkan penguasaan interprestasi loadchart. Penelitian dilakukan dengan tahap pengamatan terhadap tahapan persiapan pekerjaan, tahapan pelaksanaan di lapangan pekerjaan, tahapan evaluasi terhadap data hasil pengamatan, penelusuran data dan dokumentasi yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian ini. Observasi dilakukan di lokasi pekerjaan di mana objek penelitian berupa proses pekerjaan lifting dengan melibatkan telescopic mobile crane dengan cara mengamati implementasi aspek keselamatan kerja. Pengamatan dilakukan dengan mengamati langsung dan dicatat secara sistematis terhadap indikasi dan gejala yang secara visual terlihat pada objek penelitian. Pada penelitian ini, Peneliti melibatkan diri secara aktif, namun tetap menjaga keseimbangan sebagai pihak eksternal yang melakukan penelitian tanpa terlibat dalam pengambilan keputusan lapangan secara langsung.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan penelitian ini disusun berdasarkan aktivitas-aktivitas yang telah terjadi di kawasan lokasi proyek pertambangan batubara yang melibatkan pekerja, kegiatan pekerjaan, aspek keselamatan dan kesehatan kerja, dan khususnya melibatkan mobile crane seperti telah diuraikan pada pembahasan terdahulu. Peneliti sengaja memilih perusahaan tersebut karena selama ini perusahaan ini memiliki rekam jejak yang baik dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta aspek budaya perusahaan (Corporate Culture) yang menjunjung tinggi nilainilai K3. Objek penelitian berlokasi di tambang permukaan terbuka (open pit mining) dengan aktivitas pengangkatan dan menurunkan material berada di sekitar workshop yang masih berada di kawasan tambang. Insiden Fly Jib Rusak pada Terex-Franna Crane Mobile crane tipe Terex-Franna dengan lengan panjang tambahan (fly jib) digunakan untuk mengangkat plat baja menuju lokasi pit workshop pada Sabtu 19 Maret 2016. Setelah pengangkatan, operator diminta oleh operator crane truck untuk menurunkan material dari crane truck. Muatan pertama yang terdiri dari satu palet material dapat diturunkan dengan aman terkendali. Pada pengangkatan berikutnya, rigger menambahkan satu tambahan palet lagi menjadi dua palet untuk diangkat sekaligus dengan pertimbangan untuk menghemat waktu, tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi terhadap loadchart kapasitas angkat Franna crane
76
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
terhadap beban yang akan diangkat. Saat muatan tersebut diangkat, tiba-tiba fly jib pada TerexFranna crane menjadi bengkok dan retak, seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Insiden fly jib rusak pada terex-franna crane Analisis, Investigasi dan Observasi Operator crane, telah bekerja pada perusahaan sejak 11 Juni 2008, berusia 33 tahun. Pendidikan terakhir adalah SMA. Yang bersangkutan adalah operator crane untuk membantu aktivitas di workshop pit. Dia juga telah lolos pemeriksaan medis pada Juli 2015 dan memiliki catatan tidur yang cukup, dalam arti yang bersangkutan tidak dalam kondisi fatigue (kelelahan) akibat kerja. Dia juga memegang Surat Izin Mengoperasikan Peralatan Perusahaan (SIMPER Franna Crane) dan Surat Izin Operasional (SIO) Kelas III dari Kementerian Tenaga Kerja R. I. yang masih berlaku. Penyebab langsung atas insiden ini didasarkan atas analisis lapangan dan observasi di mana pekerjaan ini dilakukan dengan sistem yang tidak bekerja dengan baik. Alarm yang terpasang pada LMI (Load Measure Indicator) tidak memberikan tanda suara peringatan saat kapasitas angkat crane telah terlampaui akibat muatan berlebih. Penyebab langsung yang lain yang juga memberikan kontribusi yang tidak kalah penting adalah kurangnya pemahaman terhadap loadchart saat mengoperasikan crane. Seharusnya seorang operator dapat melakukan kalkulasi berdasarkan loadchart sebelum muatan diangkat. Ketidakmampuan melakukan interprestasi loadchart mengakibatkan fly jib pada crane mengalami kerusakan (bengkok) dan retak akibat crane karena tidak sanggup mengangkat muatan. Operator crane harus menguasai interprestasi kalkulasi loadchart pada setiap unit crane, sesuai dengan kelas masing-masing. Hal ini bergantung pada kapasitas crane, radius kerja crane, dan panjang penyaluran boom, karena setiap crane memiliki kapasitas, radius, dan boom yang berbeda, sehingga hasil kalkulasi loadchart juga akan berbeda pula. Kasus di atas hanyalah satu dari sekian kasus kecelakaan kerja yang melibatkan mobile crane. Kecelakaan tersebut didominasi oleh Human Error, di mana faktor kesalahan manusia menjadi aspek utama dari setiap kecelakaan yang berdampak terjadinya kerusakan peralatan, 77
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
atau cedera pekerja. Analisis dan interview langsung kepada para pekerja, observasi langsung dan tak langsung di lapangan, serta pengumpulan data, menghasilkan klasifikasi faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja, yakni (a) faktor manusia; (b) faktor alat peralatan dan lingkungan kerja, dan; (c) faktor sistem manajemen dan budaya perusahaan. Pertama, dalam faktor manusia terdeteksi kurangnya pengetahuan atau terbatasnya pemahaman yang dimiliki pekerja khususnya untuk ilmu-ilmu eksakta seperti fisika dan matematika, menjadi faktor utama kecelakaan pengangkatan, karena sebagian besar masalah pekerjaan pengangkatan dapat dipecahkan bila memahami prinsip-prinsip dasar fisika dan matematika. Kedua, faktor alat peralatan, dan lingkungan kerja, terdapat penggunaan unit, alat, dan peralatan kerja yang tidak standar dan tidak sesuai peruntukkannya dalam menangani material. Pekerja tidak menyadari bahwa dengan menggunakan peralatan kerja yang tidak sesuai peruntukkannya akan menciptakan peluang terjadinya kecelakaan kerja. Yang ketiga adalah faktor sistem manajemen dan budaya perusahaan. Ketersedian prosedur yang tepat dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang dipatuhi oleh setiap pekerja akan membantu mengendalikan terjadinya kecelakaan kerja. Rekam jejak kecelakaan kerja terdahulu yang terdokumentasi dengan baik juga dapat digunakan ulang sebagai bahan safety meeting agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
KESIMPULAN Interprestasi loadchart merupakan aspek teknis yang spesifik di mana dibutuhkan orangorang yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan yang memadai, sehingga memiliki kemampuan dalam membaca grafik-grafik dan kemampuan dalam meinterpretasikan tabel grafis, di mana hal ini yang merupakan syarat mutlak untuk mengerti loadchart. Penguasaan dan pemahaman terhadap interprestasi loadchart untuk pengoperasian mobile crane dan peralatan angkatnya (lifting gear) adalah berbeda pada setiap unit mobile crane, sehingga dibutuhkan pemahaman mendalam terhadap kesesuaian setiap unit mobile crane yang akan dioperasikan. Penguasaan ilmu-ilmu dasar eksakta seperti fisika dan matematika, menjadi syarat mutlak dapat mengendalikan kecelakaan kerja yang melibatkan mobile crane. Terdapat tiga klasifikasi faktor utama penyebab kecelakaan kerja, yakni (a) faktor manusia; (b) faktor alat peralatan dan lingkungan kerja, dan; (c) faktor sistem manajemen dan budaya perusahaan. Pada penelitian ini dititikberatkan pada faktor manusia (tanpa mengesampingkan faktor-faktor yang lain). Faktor manusia memegang peranan penting dan dominan terciptanya kecelakaan kerja. Kurangnya pengetahuan atau terbatasnya pemahaman yang dimiliki seorang 78
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pekerja khususnya untuk ilmu-ilmu dasar eksakta, menjadi salah satu faktor terciptanya kecelakaan kerja. Di samping itu, faktor alat peralatan, dan lingkungan kerja juga memiliki kontribusi terciptanya kecelakaan kerja. Alat peralatan digunakan dengan tidak standar dan tidak
sesuai peruntukkannya
dalam mengangkat/menurunkan
material juga
berpeluang
menciptakan kecelakaan kerja. Pekerja tidak menyadari bahwa dengan menggunakan peralatan kerja yang tidak standar dan tidak sesuai peruntukkannya akan menciptakan terjadinya kecelakaan kerja pada dirinya dan orang lain. Dengan pemahaman interpretasi loadchart yang baik dan benar, hal ini dapat mengendalikan risiko kecelakaan kerja dalam proyek-proyek pertambangan batubara pada khususnya, dan proyek-proyek konstruksi pada umumnya di mana pekerjaan ini melibatkan unit mobile crane dalam beragam tipe dan kapasitasnya.
DAFTAR PUSTAKA Brauer, Roger L. 1994. Safety and Health for Engineers. New York: John Willey & Son, Inc. Moran, Mark McGuire. 1996. Construction Safety Handbook. Maryland: Government Institute, Inc. Rockvile. Muin, Syamsir A. 1995. Pesawat-pesawat Pengangkat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nazir, Muhammad. 2003. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 09/MEN/VII/2010 tentang Operator dan Petugas Pesawat Angkat dan Angkut. 2010. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 01/Men/1989 tentang Kwalifikasi dan SyaratSyarat Operator Keran Angkat. 1989. Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 05/MEN/1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut. 1985. Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Riddley, John. 2006. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (alih bahasa Soni Astranto). Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Soejono. 1996. Cara Kerja Pesawat Pengangkat. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Tarwaka. 2008. Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Press. Terex Lifting Australia Pty. , Ltd. 2005. Rated Capacity Manual AT-20 Terex Franna Operator Manual. Book Part Number 16C1320-0 Revision B. Thiess Indonesia. 2016. Accident Investigation Report. HSE Department Sangata Mining Project Internal Report. Wahyono, Dwi, dan Hendarminta. 1980. Alat Pengangkat. Jakarta: PT Rineka Cipta. Widharto, Sri. 2003. Manual Rigging (Punggah). Jakarta: Pradnya Paramita.
79
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN FISIOLOGI PEKERJA DI PT X SURABAYA Tofan Agung Eka Prasetya*, Fadilatus Sukma Ika N. , Erwin Dyah Nawawinetu Program Studi DIII Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga, Surabaya * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Kebisingan merupakan salah satu jenis faktor bahaya fisik. Kebisingan juga menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa dengan proporsi 35 %. Di berbagai industri di Indonesia, angka kebisingan ini berkisar antara 30 – 50 %. Kebisingan dapat menimbulkan beberapa gangguan kesehatan bagi pekerja. Penyakit akibat pajanan kebisingan yang melebihi NAB dapat berupa audiotori ataupun non audiotori. Beberapa faktor risiko lainnya yang berpengaruh antara lain karakteristik pekerja, perilaku pekerja dan gangguan pendengaran saat dalam kandungan. Beberapa faktor yang termasuk dalam karakteristik pekerja antara lain umur, masa kerja, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin. Metode Penelitian: Penelitian analitik dengan desain cross sectional dengan sampel penelitian yaitu seluruh pekerja (20 pekerja) di PT X yang terpilih untuk diikutsertakan dalam penelitian. Penelitian ini mengambil intensitas kebisingan sebagai variabel independen dan gangguan fisiologis sebagai variabel dependen yang dapat diukur dengan menilai tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, respiration rate, suhu tubuh). Uji analisis keeretan hubungan yang digunakan adalah fisher’s exact dan coefficient contingency. Sementara karakteristik pekerja dijadikan faktor risiko lainnya yang memiliki pengaruh terhadap proses terjadinya gangguan pendengaran. Hasil: Kebisingan tertinggi 116,5 dBA pada area atau mesin (RNC). Hasil analisis menunjukkan bahwa kebisingan memiliki keeratan hubungan yang rendah dengan tanda vital(tekanan darah, denyut nadi, respiration rate, suhu tubuh). Hasil analisis karakteristik individu (umur, pendidikan dan masa kerja) menunjukkan bahwa umur memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan tekanan darah pekerja (phi=0,511). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang rendah antara intensitas kebisingan dengan gangguan fisiologis pada pekerja. Perusahaan dapat melakukan pengendalian kebisingan dengan melakukan perbaikan dan perawatan dengan mengganti bagian yang bersuara dan melumasi semua bagian yang bergerak serta , merendam sumber bising dengan jalan memberi bantalan karet untuk mengurangi getaran peralatan dari logam. Kata kunci: kebisingan, tanda vital, gangguan fisiologis.
PENDAHULUAN Kawasan Asia Tenggara terdapat 75 sampai 140 juta jiwa menderita gangguan pendengaran. Prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk Indonesia sendiri diperkirakan sebesar 4,6% (Soetjipto, 2007). Sebuah hasil penelitian yang dilakukan pada
80
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pekerja pabrik baja di daerah Jawa Tengah menunjukan adanya 21 pekerja (84%) dari kelompok kasus menderita gangguan pendengaran akibat bising (Harmadji, 2004). Dunia industri merupakan salah satu penyumbang kebisingan terbesar jika dibandingkan dengan beberapa sumber kebisingan lainnya. Hal ini mengakibatkan banyaknya kasus gangguan pendengaran akibat bising di kawasan perindustrian. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di PT X, pekerja mengeluhkan bising yang mengganggu. Pekerja juga telah dihadapkan beberapa permasalahan terkait dengan bising yang ditimbulkan oleh mesin produksi, di antaranya adalah keluhan gangguan pendengaran dan keluhan warga sekitar perusahaan. Kebisingan dapat menyebabkan gangguan auditorik, dan menimbulkan gangguan fisiologis pada sistem internal tubuh seperti sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem muskuloskeletal, sistem syaraf, dan sistem endokrin (Octavia et al. , 2013). Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan penelitian mengenai hubungan intensitas kebisingan dengan gangguan fisiologis pekerja pada Air Separation Plant di PT X. Penelitian ini selain dapat dipergunakan sebagai deteksi bahaya kebisingan dan pengendalian serta dapat upaya preventif untuk mencegah timbulnya penyakit akibat kerja akibat kebisingan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional. Data diambil pada satu waktu dan satu tempat. Penelitian ini pada dilakukan dengan melakukan pengukuran kebisingan dan pemeriksaan tanda vital (vital sign). Pengukuran kebisingan bertujuan untuk menentukan intensitas kebisingan. Pemeriksaan tanda vital bertujuan untuk menentukan gangguan fisiologis yang dialami pekerja. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja PT X Rungkut, Surabaya. Sampel dalam penelitian yaitu seluruh pekerja yang terpilih untuk diikutsertakan dalam penelitian (purposive sampling) yaitu 20 pekerja. Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari: usia, masa kerja, dan tingkat pendidikan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh, dan respiration rate (RR). Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer dengan jenis uji korelasi (fisher’s exact atau coefficient contingency).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengukuran intensitas kebisingan pada setiap area memiliki hasil yang berbeda, tertinggi intensitas kebisingan pada area mesin Recycle Nitrogen Compressor (RNC) dan terendah pada area pemukiman warga (Tabel 1). Berdasarkan peraturan menteri tenaga 81
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
kerjaNo. Per. 13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja menyatakan nilai ambang batas kebisingan adalah 85 dbA selama 8 jam kerja sehingga maka beberapa area melebihi nilai ambang batas. Tabel 1. Hasil Pengukuran Kebisingan pada Air Separation Plant PT X Tahun 2016 No. 1. 2. 3. 4.
Area atau Mesin Feed Air Compressor (FAC) Refrigeration Unit (RU) Recycle Nitrogen Compressor (RNC) Nitrogen Compressor Supply atau Nitrogen Booster Compressor 5. Expansion Turbine 6. Control Room ASP 7. Pojok belakang utara ASP 8. Pojok belakang selatan ASP 9. Pojok depan utara ASP 10. Pojok depan selatan ASP 11. Bagian depan plant 12. Pemukiman
Intensitas Kebisingan (dBA) 105,2 104,9 116,5 102,6 113,4 71,5 83,8 83,3 73,5 74,3 74,2 70,3
Intensitas kebisingan merupakan tingkat kebisingan yang dinyatakan dalam satuan desibel A. Pengukuran intensitas kebisingan ditujukan untuk membandingkan hasil pengukuran pada suatu saat dengan standar yang telah ditetapkan serta merupakan langkah awal untuk pengendalian. Alat yangdipergunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM) (Watson, 2002). Penelitian di Bandara Munich oleh Evans, et al. , (1995), ditemukan kenaikan tekanan darah sistolik 3 mmHg yang dihubungkan dengan kebisingan penerbangan. Adapun penelitian evans, et all 1998, ditemukan ada kenaikan tekanan darah sisol dan diastol untuk komunitas yang terpajang sebesar 3,4 mmHg lebih besar dibanding grup kontrol. Penelitian statistik oleh Van Kempen terhadap banyak hasil studi efek kebisingan, mendapatkan adanya pengaruh dari pajanan kebisingan pada tekanan darah. Kenaikan signifikan secara statistik ditemukan untuk pajanan kebisingan lingkungan kerja, untuk tekanan darah sistol 0,51 (0,01-1,00) mmHg/5 dBA, Adapun untuk diastoli kenaikannya tidak signifikan. Berbeda dengan hasil penelitian ini, kebisingan tidak berhubungan dengan tekanan darah.
82
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Berikut disajikan hasil analisis hubungan antara intensitas kebisingan dengan tanda vital. Tabel 2 menunjukkan hubungan antara intensitas kebisingan dengan tekanan darah pekerja setelah bekerja: Tabel 2.
Analisis Intensitas Kebisingan dengan Tekanan Darah Setelah Bekerja di PT X Tahun 2016
Tekanan Darah Kebisingan < NAB >NAB Total
Normal f 6 4 10
Prehipertensi
% 30,0 20,0 50,0
F 7 2 9
% 35,0 10,0 45,0
Hipertensi Total derajat 1 F % F % 1 5,0 14 70 0 0 6 30 1 5 20 100 Contingency Coefficient=0,235
Hasil analisis keeratan hubungan adalah sebesar 0,235, yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara intensitas kebisingan dengan tekanan darah. Berikut disajikan hasil analisis intensitas kebisingan dengan denyut nadi: Tabel 3. Hasil Analisis Intensitas Kebisingan dengan Denyut Nadi Setelah Bekerja di PT X Tahun 2016 Kebisingan
< NAB >NAB Total
Denyut Nadi Normal Tidak normal (f) (%) (f) (%) 13 65,0 1 5,0 5 25,0 1 5,0 18 90,0 2 10,0
Total (f) (%) 14 70,0 6 30,0 20 100 Contingency Coefficient=0,144
Hasil analisis keeratan hubungan adalah sebesar 0,144, yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara intensitas kebisingan dengan denyut nadi. Berikut disajikan hasil analisis intensitas kebisingan dengan Respiration Rate (RR): Tabel 4. Hasil Analisis Intensitas Kebisingan dengan RR Setelah Bekerja di PT X Tahun 2016 Kebisingan
< NAB >NAB Total
Respiration rate Normal Tidak normal (f) (%) (f) (%) 5 25,0 9 45,0 1 5,0 5 25,0 6 30,0 14 70,0
Total (f) (%) 14 70,0 6 30,0 20 100 Contingency Coefficient=0,184
Hasil analisis keeratan hubungan adalah sebesar 0,184, yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara intensitas kebisingan dengan RR. Berikut disajikan hasil analisis intensitas kebisingan dengan suhu tubuh: 83
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 5. Hasil Analisis Intensitas Kebisingan dengan Suhu Tubuh Setelah Bekerja di PT X Tahun 2016 Suhu tubuh Normal Tidak normal (f) (%) (f) (%) 4 20,0 10 50,0 1 5,0 5 25,0 5 25,0 15 75,0
Kebisingan
< NAB >NAB Total
Total (f) (%) 14 70,0 6 30,0 20 100 Contingency Coefficient=0,125
Hasil analisis keeratan hubungan adalah sebesar 0,125, yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara intensitas kebisingan dengan suhu tubuh. Penelitian Stansfeld dan Matheson (2003) menyatakan bahwa perubahan tekanan darah maupun tanda vital lainnya terkait dengan kebisingan, masih perlu penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, penelitian Rosenlund terhadap 2919 sampel penduduk yang tinggal disekitar Bandara Arlanda, Stockholm dengan lama tinggal paling sedikit 1tahun dan berumur 19-80 tahun, menunjukkan bahwa pajanan kebisingan penerbangan bisa menjadi faktor risiko untuk terjadinya hipertensi. Penduduk yang tinggal sekitar bandara Arlanda dengan pajanan kebisingan kurang dari 55 dBA prevalensi hipertensinya sebesar 14% Adapunpenduduk yang terpajan kebisingan lebih dari 55 dBA prevalensi hipertensinya sebesar 20%. Hasil analisis menunjukkan bahwa umur atau usia menjadi variabel yang memiliki hubungan dengan perubahan tanda vital pada pekerja. Variabel lain yaitu tingkat pendidikan dan masa kerja tidak memiliki hubungan dengan perubahan tanda vital pekerja. Berikut disajikan hasil analisis antara umur pekerja dengan tanda vital, dalam hal ini adalah tekanan darah, denyut nadi, RR, dan suhu tubuh setelah bekerja: Tabel 6. Hasil Analisis Umur Pekerja dengan Tanda Vital Pekerja Setelah Bekerja di PT X Tahun 2016 Tekanan Darah Umur 15-35 36-60 Total
Umur 15-35 36-60 84
Normal F 7 3 10
% 35,0 15,0 50,0
Prehipertensi F 2 7 9
% 10,0 35,0 45,0
Hipertensi derajat 2 f % 0 0 1 5,0 1 5,0
Denyut Nadi Normal Tidak normal (f) (%) (f) (%) 7 35,0 2 10,0 11 55,0 0 0
Total f 9 11 20
% 45,0 55,0 100 phi=0,511 Total
(f) 9 11
(%) 45,0 55,0
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tekanan Darah Umur
Normal F
%
Hipertensi derajat 2 f % 10,0
Prehipertensi F 90,0
% 2
Total
18
Umur
Normal (f) 2 4 6
(%) 10,0 20,0 30,0
Normal (f) 3 2 5
Suhu tubuh Tidak normal (%) (f) (%) 15,0 6 30,0 10,0 9 45,0 25,0 15 75,0
Total f 20
RR
15-35 36-60 Total
Umur 15-35 36-60 Total
Tidak normal (f) (%) 7 35,0 7 35,0 14 70,0
% 100 phi =0,369 Total
(f) 9 11 20
(%) 45,0 55,0 100 phi =0,154 Total
(f) 9 11 20
(%) 45,0 55,0 100 phi=0,174
Berbeda dengan penelitian lain yang membuktikan bahwa kebisingan dalam jangka waktu lama akan menaikkan risiko penyakit yang berhubungan dengan kenaikan tekanan darah seperti hipertensi, stroke dan jantung. Penelitian Rosenlund, (2001), menemukan bahwa penduduk dengan kebisingan prevalensinya 20% dibandingkan dengan daerah tenang yang hanya 14%. Bertambahnya usia menyebabkan kelenturan atau elastisitas pembuluhdarah semakin berkurang. Ketika denyut jantung meningkat dikarenakan sistem saraf yang dirangsang oleh kebisingan,
maka
pembuluh
darah
kurang
bisa
melebar
dikarenakan
berkurangnya
elastisitasnya, sehingga kenaikan tekanan darah akan lebih tinggi. Tekanan darah akan naik terus perlahan seiring dengan bertambahnya usia, dan akan naik tajam setelah usia 40 tahun. Semakin tua usia seseorang maka tekanan sistol semakin tinggi. Biasanya dihubungkan dengan timbulnya arteriosclerosis (Guyton dan Hall, 2007)
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang rendah antara intensitas kebisingan dengan gangguan fisiologis pada pekerja. Salah satunya adalah hasil analisis keeratan hubungan antara intensitas kebisingan dengan tekanan darah menunjukkna coefficient contingency 0,235, yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara
85
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
intensitas kebisingan dengan tekanan darah. Terdapat hubungan yang cukup kuat antara umur pekerja dengan gangguan fisiologis pekerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa umur memiliki keterkaitan yang cukup kuat antara umur dengan tekanan darah pekerja (phi=0,511). UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Widi Hidayat, S. E. , M. Si. , Ak, Dekan Fakultas Vokasi, yang telah memberi izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini. 2. Eny Inayati, drg. , M. Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga dan Erwin Dyah Nawawinetu, dr. , M. Kes, selaku Koordinator Program Pendidikan Diploma III Program Studi Higiene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Vokasi Universitas Airlangga yang memberikan bimbingan. 3. Bapak Imam Baehaki S. T. , selaku Manajer Operasional PT X yang telah memberika fasilitas dan kemudahan.
DAFTAR PUSTAKA Evans, G. W. , Hygge, S. , Bulingger, M. 1995. Chronic Noise and psychhological stress. Psychological science. Vol 6(6): 333-338 Evans, G. W. , Hygge, S. , Bulingger, M. 1995. Chronic Noise Exposure and Physiological Response: A Prospective Study of Children Living Under Environmental Stress. Vol 9(1): 75-77 Soetjipto, Damayanti. 2007. Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Jakarta: Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Guyton, Arthur C. & Hall, Jhon E. 2007. Medical Physiology. Elsevier: UK Harmadji, S. & Kabullah, H. 2004. Noise Induced Hearing Loss in Steel Factory Worker. Folia Medica Indonesia, Surabaya. 4 (4). (http://www. journal. unair. ac. id/filerPDF/FMI-404-04. pdf) Octavia, A. , Asnawati, Yasmina, A. 2013. Pengaruh Intensitas Kebisingan Lingkungan Kerja Terhadap Waktu Reaksi Karyawan PT PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin. Berkala Kedokteran. 9 (2): 181-189 Rosenlunda, M. , Berglinda, N. , Pershagena, G. , Järupc, L. , Bluhma, G. 2001. Increased prevalence of hypertension in a population exposed to aircraft noise. Occup Environ Med. 58:769-773 Soetjipto, Damayanti. 2007. Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Jakarta: Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Stansfeld, Stephen A. , & Matheson, Mark P. 2003. Noise pollution: non-auditory effects on health. British Medical Bulletin. 68; 243–257 Watson, Roger. 2002. Anatomi & Fisiologi untuk Perawat. Penerbit EGC: Jakarta.
86
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BENTUK KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN DARAT DI KOTA SAMARINDA TAHUN 2015 Krispinus Dumaa* , Brayen Risky Dumanauwb aBagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat-Ilmu Kedokteran Komunitas (IKM/IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda
bPendidikan
Fakultas Kesehatan Msyarakat Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda *Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Transportasi Kota Samarinda dulunya didominasi oleh lalu lintas air melalui sungai-sungai yang membelah kota, apabila terjadi kecelakaan akan kedengaran menyeramkan karena banyaknya korban atau karena hilangnya korban di sungai. Namun setelah adanya infrastruktur jembatan dan jalan raya maka transportasi darat yang dominan. Kecelakaan lalu lintas darat tidak kerdengaran memiluhkan namun bila menghitung korban setiap tahun mencapai ratusan juga yang meninggal, luka berat dan lukan ringan. Tujuan penelitianini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat di Kota Samarinda. Metode Penelitian: Menggunakan metode obsevasional analitik pendekatan cross secsional dengan uji chi-square. Populasi adalah seluruh korban kecelakaan lalu lintas jalan darat (Lalinda) yang dilaporkan oleh Unit Lakalantas Kota Samarinda tahun 2015 sebanyak 316. sampel adalah pengemudi kendaraan yang terlibat kecelakaan berumur 17 atau lebih, sebanyak 169 orang. Variabel bebas penelitian adalah Jenis kendaraan yang terlibat kecelakaan, Jenis kelamin pengemudi, pendidikan pengemudi, kepemilikan SIM, waktu kecelakaan dan variabel terikat adalah bentuk kecelakaan lalinda. Hasil: Jenis kendaraan ada hubungan signifikan dengan bentuk kecelakaan lalinda (p=0,016), pendidikan pengemudi tidak ada hubungan signifikan dengan bentuk kecelakaan lalinda (p=0,360), kepemilikan SIM pengemudi tidak ada hubungan signifikan dengan bentuk kecelakaan lalinda (p=0,705), waktu kecelakaan tidak ada hubungan signifikan dengan bentuk kecelakaan lalinda (p=0,785),jenis kelamin pengemudi tidak ada hubungan signifikan dengan bentuk kecelakaan lalinda (p=0,973). Kesimpulan: Tingkat kecelakaan lalinda di Kota Samarinda dipengaruhi oleh jenis kendaraan (motor atau mobil) yang beroperasi di jalan raya. Faktor-faktor lainnya tidak ada hubungan signifikan dengan tingkat kecelakaan lalinda namun perlu diwaspadai dengan padatnya volume kendaraan di jalan raya. Kata kunci: jenis kendaraan, bentuk kecelakaan, korban.
PENDAHULUAN Transportasi di Kota Samarinda dan sekitarnya dahulunya didominasi oleh lalu lintas air melalui sungai-sungai yang membelah kota. Apabila terjadi kecelakaan akan kedengaran menyeramkan karena banyaknya korban atau karena hilangnya korban di sungai yang dicari beberapa hari. Dari kedua sisi sungai orang dapat melihat pencarian korban kecelakaan di 87
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
perairan sungai selama beberapa hari sehingga makin banyaklah orang mengetahui dan merasa piluh karena kecelakaan tersebut. Laporan WHO 2009 disebutkan kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian umat manusia nomor ke sembilan dengan persentase 2,2pada tahun 2004. Diprediksikan pada tahun 2030 kecelakaan lalu lintas akan mejadi penyebab kematian nomor ke-lima dengan persentase 3,6 menggantikan posisi penyakit diare. Seiring berkembangnya pembangunan, sarana transportasi darat pun ditingkatkan seperti membangun infrastruktur jembatan yang menghubungkan bagian-bagian Kota Samarinda. Demikian pula sarana jalan raya darat diperlebar atau pun diperbanyak dan diperpanjang. Akhirnya transportasi jalan raya darat dengan berbagai jenis kendaraan yang dominan dibanding transportasi air. Jikalau kecelakaan lalu lintas darat terjadi tidaklah kerdengaran berhari-hari hanya sesaat saja ketia terjadi kecelakaan, lagi pula tidak banyak orang yang mengetahui kecelakaan tersebut kecuali orang yang melintas saat terjadi kecelakaan atau orang diskitar kerjadian kecelakaan. sehingga kecelakaan lalu lintas jalan raya darat tidak seseram dan memiluhkan seperti kecelakaan di lalu lintas air. Akan tetapi, bila menghitung korbankorban kecelakaan lalu lintas setiap tahun, ternyata mencapai ratusan yang meninggal, luka berat dan lukan ringan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan raya darat di Kota Samarinda.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakandalam penelitian ini adalah obsevasional analitik dengan pendekatan cross secsional. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square test. Populasi adalah seluruh korban kecelakaan lalu lintas jalan raya darat (Lalinda) yang dilaporkan oleh Unit Lakalantas Kota Samarinda
tahun 2015
sebanyak
316.
Sampel adalah
pengemudikendaraan yang terlibat kecelakaan yang berumur minimal 17 tahun (syarat memperoleh surat izin mengemudi atau SIM) sebanyak 169 orang. Variabel bebas penelitian adalah jenis kendaraan yang terlibat kecelakaan, jenis kelamin pengemudi, pendidikan pengemudi, kepemilikan SIM pengemudi, waktu kecelakaan (siang atau malam) dan variabel terikat adalah bentuk kecelakaan (kecelakaan ringan atau kecelakaan berat dan mati) lalinda.
88
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data penelitian yang terdiri atas variabel independen adalah jenis kendaraan yang terlibat kecelakaan, tingkat pendidikan sopir atau pengemudi yang terlibat kecelakaan, kepemilikan surat izin mengemudi (SIM) pengemudi, waktu terjadinya kecelakaan dan jenis kelamin pengemudi, dengan variabel dependen yaitu bentuk kecelakaan, disajikan di bawah ini. Tabel 1. Analisis Hubungan Jenis Kendaraan dengan Bentuk Kecelakaan Lalu lintas Jalan Darat di Kota Samarinda Tahun 2015
Bentuk Kecelakaan Kecelakaan Berat dan Mati Kecelakaan Ringan Jumlah
Jenis Kendaraan Mobil Motor 15 69 29 56 44 125
Jumlah 84 85 169
p
0. 016
Pada tabel 1 dapat dilihat hasil analisis statistik antara jenis kendaraan dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat menunjukan ada hubungan signifikan dengan nilai p=0. 016. Hal ini menunjukkan secara statistik faktor jenis kendaraan beruparoda empat atau lebih (mobil) dan kendaraan roda dua (motor) ada hubungan signifikan dengan bentuk-bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat berupa kecelakaan berat atau kecelakaan yang mengakibatkan pengemudi mati, dan bentuk kecelakaan ringan berupa luka ringan atau kerusakan barang di Kota Samarinda. Analisis statistik faktor pendidikan pengemudi dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat di Kota Samarinda menunjukkan tidak ada hubungan (p=0,360), seperti ditampilkan pada tabel 2. Tabel 2.
Analisis Hubungan Faktor Pendidikan dengan Bentuk Kecelakaan Lalu lintas Jalan Darat di Kota Samarinda Tahun 2015
Bentuk Kecelakaan Kecelakaan Berat dan Mati Kecelakaan Ringan Jumlah
Pendidikan SMA dan PT SMP dan SD 80 4 78 7 158 11
Jumlah 84 85 169
p
0. 360
Hasil analisis statistik faktor kepemilikan SIM pengemudi dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat di Kota Samarinda menunjukkan tidak ada hubungan dengan nilai p=0,360, ditampilkan pada tabel 3.
89
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 3. Analisis Hubungan Faktor Kepemilikan SIM dengan Bentuk Kecelakaan Lalu lintas Jalan Darat di Kota Samarinda Tahun 2015 Kepemilikan SIM (A,B,C) Punya SIM Tidak Punya SIM 45 39 48 37 93 76
Bentuk Kecelakaan Kecelakaan Berat dan Mati Kecelakaan Ringan Jumlah
p
Jumlah 84 85 169
0. 750
Analisis statistik faktor waktu kejadian kecelakaan dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat di Kota Samarinda menunjukkan tidak ada hubungan dengan nilai p=0,360, ditampilkan pada tabel 4.
Tabel 4.
Analisis Hubungan Faktor Waktu Kejadian dengan Bentuk Kecelakaan Lalu lintas Jalan Darat di Kota Samarinda Tahun 2015
Bentuk Kecelakaan Kecelakaan Berat dan Mati Kecelakaan Ringan Jumlah
Waktu Kejadian Siang Hari Malam Hari Jumlah (Pukul 06. 00-18. (Pukul 18. 00-06. 00) 00) 57 27 84 56 29 85 113 56 169
p
0. 785
Hasil analisis statistik faktor jenis kelamin pengemudi dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat diperoleh nilap p=0. 973. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan faktor jenis kelamin pengemudi kendaraan dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan darat di Samarinda, seperti ditampilkan pada tabel 5.
Tabel 5. Analisis Hubungan Faktor Jenis Kelamin dengan Bentuk Kecelakaan Lalu lintas Jalan Darat di Kota Samarinda Tahun 2015 Bentuk Kecelakaan Kecelakaan Berat dan Mati Kecelakaan Ringan Jumlah
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 70 14 71 14 141 28
Jumlah 84 85 169
p
0. 973
Faktor jenis kendaraan mempunyai hubungan signifikan dengan bentuk kecelakaan lalu lintas jalan raya darat di kota Samarinda. Jenis kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan tersebut yang dilaporkan oleh Unit Lakalantas Kota Samarinda tahun 2015 berupa kendaraan roda empat atau lebih (mobil) dan roda dua (Motor). Dalam UU RI no 22 tahun 2009 pasal 1
90
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
ayat 7 disebutkan bahwa kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Ayat 8 disebutkan kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. Adapun kendaraan tidak bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. Jenis-jenis kendaraan di jalan raya Kota Samarinda dan sekitarnya umumnya kendaraan bermotor, kendaraan yang tidak bermotor hampir belum ada kecuali gerobak dan sepeda ontel. Dalam laporan Unit Lakalantas Kota Samarinda, juga tidak ditemukan kasus kecelakaan kendaraan bermotor dengan kendaraan tidak bermotor. Semua kejadian kecelakaan akibat kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor lainnya atau kecelakaan tunggal oleh kendaraan bermotor itu sendiri. Bentuk-bentuk kecelakaan lalu lintas jalan raya darat yang terjadi akibat kecelakaan antara kendaraan bermotor tersebut berupa kecelakaan yang menyebabkan pengemudi meninggal atau luka berat dan kecelakaan ringan. Kategori bentuk kecelakaan ini sesuai dengan UU RI no 22 tahun 2009 pasal 29 Ayat (3) disebutkan "luka ringan" adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang di klasifikasikan dalam luka berat. Ayat (4) disebutkan "luka berat" adalah luka yang mengakibatkan korban: a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan; c. kehilangan salah satu pancaindra; d. menderita cacat berat atau lumpuh; e. terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih; f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh) hari. Berdasarkan kategori kecelakaan lalinda menurut UU RI no 22 tahun 2009 tersebut, jumlah korban kecelakaan lalinda di Kota Samarinda pada tahun 2015 sebanyak 316 jiwa. Kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan lalinda tersebut sebanyak 169 buah yang dikemudikan oleh orang yangsudah mempunyai SIM. Dari 169 kendaraan yang terlibat kecelakaan lalinda tersebut sebanyak 125 di antaranya adalah kendaraan roda dua (motor) atau sebesar (73,96%) dan selebihnya adalah kendaraan roda empat atau lebih (mobil, truk, troiler dll).
91
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Kondisi kendaraan bermotor yang buruk mempunyai resiko kecelakaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi kendaraan bermotor yang baik. Walaupun mengemudikannya dengan berhati-hati, tetap akan mempunyai risiko kecelakaan yang tinggi. Kondisi kendaraan bermotor yang buruk tersebut berupa kendaraan yang tanpa lampu, rem dan kemudi yang tidak berfungsi baik atau ban yang sudah usang. Kondisi buruk kendaraan tersebut terjadi karena kurang pemeriksaan dan perawatan secara berkala (Korlantas Polri, 2016). Kendaraan bermotor dalam keadaan baik pun dengan kecepatan 40km/jam mempunyai kemungkinan 15-20% faktor risiko kecelakaan, dengan kecepatan 50km/jam kemungkinan 4550% faktor risiko, dan seterusnya seperti diperlihatkan pada gambar 1. Semakin tinggi kecepatan kendaraan bermotor. semakin besar kemungkinan faktor risiko kecelakaan terjadi. Apalgi jika kendaraan bermotor dalam keadaan buruk (tanpa lampu, rem dan kemudi tidak berfungsi baik atau ban sudah using) akibat perawatan dan pemeliharaan yang tidak baik. Bahkan situasi sekarang, dengan istilah mendaur ulang ban bekas, menjadi ban yang kelihatannya baru untuk dipakai lagi dan murah dibanding yang baru, namun sangat mengandung faktor risiko karena kualitasnya rendah.
Gambar 1. Grafik Kemungkinan Kecelakaan Fatal Berkaitan dengan Kecepatan Kendaraan Sumber: Korlantas Polri, 2016 Akan tetapi, penyebab kecelakaan merupakan kombinasi dari faktor manusia, kendaraan, sarana dan prasarana serta lingkungan, tetapi sebagian besar menyalahkan adalah karena kesalahan manusia.
Meskipun masalah dasar adalah ketidakseimbangan pasokan dan
permintaan transportasi. Sebagai contoh situasi ketidakseimbangan tingkat pertumbuhan
92
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
motorisasi (lebih dari 10% per tahun) dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan infrastruktur jalan (tidak mencapai 1% per tahun). Fenomena ini diperburuk lagi oleh popularitas sepeda motor yang meroket karena fleksibilitas dalam penggunaannya serta kemudahan kepemilikannya. Di zaman otonomi ini, pemerintah daerah tidak memiliki kontrol pada situasi tersebut, bahkan cenderung menikmati pendapatan dari pajak kepemilikan (Soehodho, S. 2007). Hal lain yang menyebabkan kendaraan bermotor mengalami kecelakaan adalah faktor perilaku pengemudi seperti kelalaian, kelelahan, mengantuk dan melakukan aktivitas yang berpotensi mengganggu konsentrasi selama mengemudi seperti berkomunikasi menggunakan telepon seluler, memutar musik dengan volume tinggi dan bercakap-cakap (Sahabudin, Wartatmo, H. Kuschitawati, S. 2011). Dicontohkan Korlantas Polri dari kasus yang paling banyak menyebabkan kecelakaan lalinda adalah melihat ponsel saat mengemudikan kendaraan. Jika empat detik saja melihat ponsel seorang pengemudi kendaraan bermotor dengan kecepatan 80km/jam, maka berarti ia telah menempuh jarak 86 meter dalam keadaan buta (Korlantas Polri, 2016). Pengawasan kelaikan kendaraan sangat diperlukan, terutama oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan kendaraan. Safety riding merupakan suatu program untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas, perlu ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Adapun kepada seluruh pengguna jalan raya harus memahami safety riding. Program-program safety riding meliputi (Puspitasari, D; Yovita, L;Jurnal, H. 2013; Priyantha, D. M. 2009. ): 1. Menggunakan sabuk pengaman dan helm standar bagi pengendara sepeda motor dan yang membonceng. 2. Menggunakan kaca spion lengkap. 3. Lampu kendaraan bermotor lengkap dan berfungsi baik. 4. Sepeda motor menyalakan lampu di siang hari. 5. Patuhi batas kecepatan (dalam kota 50 km/jam, luar kota 80 km/jam, daerah pemukiman/keramaian 25 km/jam dan jalan bebas hambatan 100 km/jam). 6. Kurangi kecepatan pada saat mendekati persimpangan. 7. Sepeda motor, kendaraan berat dan kendaraan lambat menggunakan lajur kiri. 8. Patuhi dan disiplin terhadap ketentuan dan tata-cara berlalu-lintas, seperti saat memasuki jalan utama, mendahului, membelok/memutar arah dan penggunaan lampu sign. 9. Patuhi rambu-rambu, marka jalan dan peraturan lalu-lintas. Selain itu, perlu pula ditanamkan program safety driving kepada pengemudi, khususnya pengemudi umur 15-25 tahun. Kelompok umur ini yang paling banyak mengalami kecelakaan 93
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
lalu lintas, yaitu sebesar 30,93% dari seluruh korban lalinda pada tahun 2015. Program safety driving bagi pengemudi diuraikan sebagaimana berikut (Korlantas Polri, 2016 dan Anom, 2010): a. Memiliki SIM, sesuai peraturan dan hukum, berarti sudah diakui memiliki kemampuan untuk mengemudikan kendaraan. b. Persiapan kendaraan, yakin kendaraan yang digunakan dalam kondisi baik dan aman. c. Persiapan pengemudi, rencanakan tujuan perjalanan, kondisi fisik, mental, perbekalan dan administrasi. d. Pengaturan barang bawaan, atur barang bawaan tidak menggangu konsentrasi, keamanan dan kenyamanan selama berkendara. e. Persiapan sebelum mengemudi, gunakan alat pengaman, atur posisi mengemudi senyaman dan seaman mungkin. f. Etika berkendara, mematuhi semua aturan berlalu-lintas dan sopan santun berkendara di jalan. g. Aktivitas selama perjalanan, fokus selama mengemudi, tidak menggunakan HP atau ngobrol, istirahat bila lelah/mengantuk. h. Kemahiran mengemudi, mahir dan terampil mengemudi di segala kondisi jalan dan cuaca.
KESIMPULAN Kesimpulan bentuk-bentuk kecelakaan lalinda di Kota Samarinda dipengaruhi oleh jenis kendaraan bermotor (mobil dan motor) yang beroperasi di jalan raya. Oleh karena itu, faktor pemeliharaan dan perawatan yang berkaitan dengan kendaraan bermotor perlu diperhatikan seperti lampu, rem dan kemudi serta ban. Faktor-faktor lain tidak berhubungan secara statistik dengan bentuk kecelakaan lalinda, namun perlu diwaspadai dengan padatnya volume kendaraan di jalan raya. Saran, pengemudi kendaraan roda 2 (motor) atau roda empat atau lebih (mobil) harus waspa terhadap kelaikan kendaraannya sebelum dipakai karena jenis kendaraan mempunyai hubungan yang signifikan terjadinya kecelakaan lalinda.
DAFTAR PUSTAKA Anom. 2010. Smart-Driving SMARTDRIVING. pdf.
http://www.
pertaminaptc.com/quality/pustaka/load_file/
Korlantas Polri. 2016. http://www. korlantas-irsms. info/speeding.
94
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Priyantha, D. M. 2009. THE INFLUENCE OF YOUNG AND MALE MOTORISTS ACCIDENT – Factors on Motorcycle Injuries in Bali –IATSS RESEARCH Vol. 33 No. 2, 2009. Puspitasari, D; Yovita, L; Jurnal, H. 2013. Hubungan Antara Faktor Pengemudi Dan Faktor Lingkungan Dengan Kepatuhan Mengendarai Sepeda Motor. Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 192–200. Sahabudin, Wartatmo, H. Kuschitawati, S. 2011. Pengendara sebagai Faktor Risiko Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas Sepeda Motor Tahun 2010. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 27, No. 2, Juni 2011. Soehodho, S. 2007. Motorization In Indonesia And Its Impact To Traffic Accidents, IATSS RESEARCH Vol. 31 No. 2, 2007. Undang-Undang RI No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
95
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
STUDI PENURUNAN AMBANG DENGAR PADA KARYAWAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL GUNUNG MALANG BALIKPAPAN Andi Surayya Mappangile * , J. A. Senduk Prodi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, D4 K3 , Universitas Balikpapan, Jalan Pupuk Raya Balikpapan Kalimantan Timur 76114 telp. (0542) 764205 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Penurunan ambang dengar (hearing loss) adalah melemahnya pendengaran pada satu atau dua telinga, sebagian atau seluruhnya yang terjadi selama atau setelah bekerja. Berdasarkan Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika dan kimia di area kerja tidak boleh melebihi 85 dB(A) untuk 8 jam kerja perhari atau 40 jam per minggu. Hasil pemeriksaan medical chek up yang dilakukan kepada pekerja PLTD (2015), diketahui bahwa angka penurunan ambang dengar (tuli) mencapai 7 karyawan dari 28 karyawan yang di medical chek up tahun 2015. Adapun hasil pengukuran tingkat kebisingan di area kerja PLTD Gunung Malang Balikpapan berkisar antara 70,2-103,0 dBA. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian PAD berdasarkan variabel intensitas kebisingan, lama kerja dan umur. Metode Penelitian: Menggunakan desain kasus-kontrol dengan purposive sampling, kasus adalah responden yang dinyatakan positif mengalami PAD yang diperiksa oleh petugas kesehatan berdasarkan hasil Medical Chek Up dan kontrol adalah responden yang dinyatakan negatif atau tidak mengalami PAD yang diperiksa oleh petugas kesehatan berdasarkan hasil Medical Chek Up. Jumlah total responden sebanyak 28 orang. Data diperoleh: observasi meliputi pengukuran tingkat kebisingan dan PAD Adapun wawancara untuk mengetahui, lama kerja dan umur. Pengukuran tingkat kebisingan menggunakan sound level meter dan pengukuran PAD menggunakan audiometer selanjutnya analisis data menggunakan analisis bivariat (uji statistik Chi-square). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya PAD yaitu intensitas kebisingan berpengaruh terhadap terjadinya PAD (p-value = 0,044 <0,05), lama kerja bukan merupakan faktor risiko (OR=1) terhadap terjadinya PAD (pvalue = 1,000> 0,05) dan umur bukan merupakan faktor risiko (OR<0,533) terhadap terjadinya PAD (p-value=0,419 >0,05). Kesimpulan: Faktor yang memengaruhi terjadinya Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) karyawan adalah terpapar intensitas bising tinggi (>85dB). Olehnya itu diperlukan upaya pengendalian intensitas kebisingan melalui pengendalian secara teknis (terhadap sumber bising), agar dilakukan peningkatan pengawasan dan disiplin dalam pemakaian APT pada pekerja, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tentang bahaya bising serta untuk mengurangi dampak serta sebagai upaya pecegahan terjadinya penyakit akibat kerja. Kata kunci: intensitas kebisingan, penurunan ambang dengar, lama kerja, umur.
96
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 164 dinyatakan bahwa upaya Keselamatan dan kesehatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, dengan wajib melaksanakan upaya kesehatan kerja yang bertujuan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan dan gangguan buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. M emperhatikan isi dari pasal di atas, maka jelaslah bahwa PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) termasuk dalam kriteria tempat yang wajib memenuhi standar kesehatan lingkungan kerja di antaranya menjaga menjamin tempat kerja yang aman bebas dari ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak
kesehatan,
khususnya penurunan ambang pendengaran terhadap para pelaku langsung yang bekerja di PLTD,
dan juga terhadap pemukiman di sekitar area PLTD dengan memperhatikan
Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika dan kimia di area kerja. Pembangkit listrik tenaga diesel sebagai salah satu PLTD yang berada di wilayah Kota Balikpapan tepatnya di daerah Gunung Malang mempunyai potensi bahaya yaitu kebisingan (sumber kebisingan berasal dari ruang mesin pembangkit SWD). Dampak dari bahaya kebisingan itu ialah gangguan pendengaran (ketulian) baik sementara maupun menetap. juga potensi bahaya-bahaya lain yang memengaruhi situasi dan kondisi, yaitu kecelakaan (ledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cedera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas berbahaya, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di PLTD. Berdasarkan hasil pemeriksaan medical chek up yang dilakukan Hasil pemeriksaan medical chek up yang dilakukan kepada pekerja PLTD pada tahun 2015, menunjukkan terjadinya angka penurunan ambang dengar (tuli) mencapai 25 % atau 7 dari 28 karyawan mengalami penurunan pendengaran (Laporan K2L PLTD Gunung Malang).
Tingginya angka PAD pada
karyawan PLTD menunjukkan bahwa ada resiko
bahaya yang belum mendapatkan
penanganan/pengendalian
intensitas
secara
memadai.
Faktor
kebisingan
kemungkinan
dibeberapa tempat kerja masih tinggi atau melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) , lama pajanan, yaitu intensitas bising, masa kerja, lama kerja, atau penggunaan alat pelindung telinga yang belum maksimal.
97
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi analitik dengan jenis rancangan penelitian yang digunakan yaitu studi kasus-kontrol (Case Control Study). Studi kasus kontrol merupakan rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara padaran (faktor-faktor yang diteliti) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan tujuan untuk mengetahui proporsi kejadian berdasarkan riwayat ada tidaknya sebuah paparan. Penelitian ini mempelajari mengenai hubungan intensitas kebisingan, lama kerja dan umur dengan Penurunan Ambang Pendengaran (PAD). Kasus adalah karyawan yang bekerja di area bising PLTD Balikpapan yang mengalami penurunan ambang pendengaran dan hasilnya positif berdasarkan hasil medical cek up. Kontrol adalah karyawan/karyawati yang bekerja di PLTD Balikpapan yang di medical cek up dan hasillnya negatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan intensitas kebisingan, lama kerja dan umur dengan penurunan ambang pendengaran pada karyawan PLTD Gunung Malang Balikpapan. Sebagai Variabel Terikat dalam penelitian ini adalah Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) dan Variabel Bebas (Independen Variabel) atau faktor yang mempunyai hubungan dengan kejadian penurunan ambang pendengaran yaitu: lingkungan kerja intensitas kebisingan, dan lama kerja. Karakteristik Populasi dalam penelitian ini adalah semua karyawan yang terpapar bising di area bising PLTD Balikpapan sebanyak 28 karyawan. Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah purposive sampling yaitui 7 responden sebagai kasus (menderita gangguan pendengaran) dan 21 responden sebagai Kontrol (tidak menderita gannguan pendengaran), dengan perbandingan kasus terhadap kontrol = 1: 3 (1 kasus: 3 kontrol), sehingga total responden yang di ambil 7 kasus + 21 kontrol = 28 responden. 21 responden yang diambil sebagai kontrol ialah karyawan yang bekerja di area bising yang mempunyai karakteristik yang sama dengan kasus dalam hal perilaku (penggunaan alat pelindung telinga), karakteristik (jenis kelamin), lingkungan (tempat kerja) sebagai faktor risiko tetapi tidak diteliti (Matching), responden kasus maupun kontrol sama-sama terpapar bising di PLTD. Responden kasus dalam penelitian ini adalah orang yang
dinyatakan
mengalami
penurunan ambang pendengaran positif berdasarkan hasil medical check up dan bekerja di area bising PLTD Balikpapan. Responden kontrol adalah kelompok yang digunakan sebagai pembanding dan berkriteria mempunyai potensi terpajan oleh faktor risiko yang sama dengan kelompok kasus, dan tidak menderita penyakit yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi kontrol adalah karyawan/karyawati yang bekerja di area PLTD yang mempunyai
98
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
karakteristik yang sama dengan kasus dalam hal perilaku (penggunaan alat pelindung telinga), karakteristik (jenis kelamin), lingkungan (tempat kerja) sebagai faktor risiko tetapi tidak diteliti (Matching), dalam hal ini baik kasus maupun kontrol sama-sama terpapar bising. Pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara. Observasi meliputi melihat data hasil pengukuran intensitas kebisingan (instrumen = Sound Level Meter) dan data penurunan ambang pendengaran (instrumen = Audiometer) berdasarkan hasil Medical Cek Up pada tahun 2015, Adapun wawancara untuk mengetahui lama kerja dan umur responden. Pengukuran tingkat kebisingan menggunakan sound level meter dan pengukuran Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) menggunakan audiometer. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan cara yaitu setelah data dikumpulkan, selanjutnya diolah menggunakan sistem komputerisasi melalui program SPSS 16. 0 for windows. Data disajikan dalam bentuk tabel disertai penjelasan. Serta dengan cara data yang telah diperoleh dianalisis dan interpretasikan untuk menguji hipotesis dengan menggunakan aplikasi komputer dengan metode analisa Univariat dan Analisis Bivariat dengan uji hipotesis variabel bebas dan variabel terikat untuk melihat hubungan antara 2 variabel yaitu variabel bebas (intensitas bising, dengan variabel terikat (Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) karena desain penelitian adalah kasus-kontrol maka digunakan analisis Odd Ratio (OR) untuk mengetahui besarnya risiko pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengukuran intensitas kebisingan di areah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Gunung Malang Balikpapan didapati hasi sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Pengukuran Intensitas Kebisingan PLTD Gunung Malang Balikpapan
No.
Lokasi
1
Ruang MFO
2
Ruang Tata Usaha 1
3
Ruang Tata Usaha 2
4
Ruang Manager
Intensitas Kebisingan NAB Faktor Kimia & Fisika Terukur Permenakertrans Penilaian No. 13/MEN/X/2011 Max: 89,6 85 > NAB Ave: 89,3 Max: 74,5 85 < NAB Ave: 71,5 Max: 76,2 85 < NAB Ave: 68,4 Max: 71,7 85 < NAB Ave: 70,9
Metode Pengujian
Direct Reading Direct Reading Direct Reading Direct Reading
99
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
5
Ruang Mesin (Siang)
6
Ruang Mesin (Malam)
7
Control Room Atas
8
Ruang Oprt Bawah
9
Ruang Pemeliharaan
10
Ruang Bengkel
Max: 104,6 Ave: 104,1 Max: 105,7 Ave: 105,1 Max: 84,4 Ave: 81,4 Max: 90,1 Ave: 89,9 Max: 72,9 Ave: 72,8 Max: 89,6 Ave: 89,3
85
> NAB
85
> NAB
85
< NAB
85
> NAB
85
< NAB
85
> NAB
Direct Reading Direct Reading Direct Reading Direct Reading Direct Reading Direct Reading
Sumber: Data Sekunder Dari hasil pengukuran intensitas kebisingan di 10 lokasi yaitu ruang MFO, ruang tata usaha 1, ruang tata usaha 2, ruang manager, ruang mesin (siang dan malam), control room atas, ruang oprator bawah, ruang pemeliharaan dan ruang bengkel diperoleh 5 lokasi yang melebihi nilai ambang batas (NAB) yaitu ruang MFO, ruang mesin (siang dan malam), ruang oprator bawah dan ruang bengkel. Berdasarkan Permenakertrans nomor Per. 13/MEN/X/2011 tahun 2011 tentang NAB Faktor fisik di tempat kerja sebesar 85 dBA untuk pekerjaan selama 8 jam perhari. Intensitas kebisingan menunjukkan bahwa dari responden yang mengalami Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) yang terpapar kebisingan dengan intensitas bising melebihi 85dB sebanyak 5 orang (71%), Adapun pada kelompok kontrol Non PAD responden yang terpapar bising melebihi 85dB sebanyak 6 orang (29%). Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Intensitas kebisingan, yang berhubungan dengan kejadian Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) di PLTD Gunung Malang Balikpapan tahun 2015
Variabel/Kategori Intensitas Kebisingan 1. (Kasus) PAD 1) Melebihi NAB Bising (>85 dB) Tidak melebihi NAB (<85 dB) 2. Kontrol Non PAD Melebihi NAB Bising (>85 dB) Tidak melebihi NAB Bising (<85 dB)
No.
Jumlah
Presentase (%)
5 2
71 % 29 %
6 15
29 % 71 %
Lama Kerja memperlihatkan bahwa Responden yang mengalami Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) yang bekerja selama lebih dari 10 tahun sebanyak 4 (57%) dan pada kelompok kontrol (Non PAD) responden yang bekerja selama lebih dari 10 tahun sebanyak 12 (57%).
100
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Faktor Lama Kerja yang Berhubungan dengan Kejadian Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) di PLTD Gunung Malang Balikpapan Tahun 2015
Variabel/Kategori Lama Kerja
No.
1. (Kasus) PAD 1) Lebih dari 10 tahun (>10 tahun) Kurang dari 10 tahun (<10 tahun) 2. Kontrol Non PAD Lebih dari 10 tahun (>10 tahun) Kurang dari 10 tahun (<10 tahun)
Jumlah
Presentase (%)
4 3
57 % 43 %
12 9
57 % 43 %
Umur responden pada kelompok kasus yang berumur lebih dari 40 tahun sebanyak 5 (71%) dan kelompok kontro non PAD berumur lebih dari 40 tahun sebanyak 12 (57%). Tabel 4. No. 1.
2.
Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Umur yang berhubungan dengan kejadian Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) di PLTD Gunung Malang Balikpapan tahun 2015
Variabel/Kategori Umur (Kasus) PAD Lebih dari 40 tahun (>40 tahun) Tidak melebihi 40 Tahun (<40 tahun) Kontrol Non PAD Lebih dari 40 tahun (>40 tahun) Tidak melebihi 40 tahun (<40 tahun) Total
Jumlah
Presentase (%)
5 2
71 % 29 %
12 9 28
57 % 43 % 100%
Analisis Bivariat. Analisa bivariat dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang antara intensitas kebisingan, lama kerja , umur terhadap Penurunan Ambang Pendengaran (PAD). Tabel 5. Distribusi Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) karyawan di Area bising PLTD Gunung Malang Balikpapan tahun 2015
Intensitas Bising Melebihi NAB Bising (>85 dB) Tidak melebihi NAB Bising (>85 dB)
Kasus PAD N %
Kontrol Non PAD N %
5
71%
6
29%
2
29%
15
71%
OR
P
0,044
1.
Faktor Risiko
0,160
No.
101
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
2.
57%
Kurang dari 10 tahun
3
43%
9
43%
Umur Lebih dari 40 tahun
5
71%
12
57%
Kurang dari 40 tahun
2
29%
9
43%
0,419
12
1,000
57%
0,553
4
1,000
3.
Lama Kerja Lebih dari 10 tahun
a. Intensitas Bising Berdasarkan tabel 5 jumlah persentase kasus yang terpapar bising dengan intensitas lebih dari 85dB sebesar 71%. Dari uji statistik didapat p-value=0,044 (p-value<0,05) yang berarti bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara intensitas bising dengan Penurunan Ambang Pendengaran (PAD). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukar (2000) menyatakan bahwa ada perbedaan antara karyawan yang terpapar bising intensitas tinggi dengan karyawan yang terpapar bising intensitas rendah terhadap kejadian penurunan ambang pendengaran, didapatkan hasil bahwa karyawan yang terpapar kebisingan dengan intensitas bising tinggi (>85
dBA)
berisiko
menderita
gangguan pendengaran dibanding karyawan yang terpapar bising rendah (< 85 dBA) dengan nilai Hasil ini juga didikung oleh Oetomo A, dkk (1993, dalam Rambe, 2003) dalam penelitiannya terhadap 210 karyawan pabrik dengan intensitas bising antara 79 s/d 100 dB didapati bahwa sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran nilai ambang, Adapun sebanyak 136 telinga telah mengalami pergeseran nilai ambang dengar, derajat ringan sebanyak 116 telinga ( 55,3% ), derajat sedang 17 (8% ) dan derajat berat 3 (1,4%). Hal yang sama juga di dukung oleh Nasution (1991, dalam Rambe, 2003) yang melakukan penelitian terhadap pandai besi yang berada di sekitar kota Medan, hasil penelitiannya mendapatkan sebanyak 92,30 % dari pandai besi tersebut menderita sangkaan mengalami penurunan ambang pendengaran setelah terpapar kebisingan dengan intensitas tinggi secara terus menerus (Rambe, 2003). b. Lama Kerja Jumlah persentase kasus yang terpapar bising lebih dari 10 tahun 57% berdasarkan tabel 5 , Dari uji statistik didapat p-value= 1,000 (p-value>0,05) secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan Penurunan Ambang Pendengaran (PAD), maka dapat disimpulkan bahwa lama kerja bukan merupakan faktor risiko terhadap terjadinya Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) karyawan di area bising PLTD Gunung Malang Balikpapan.
102
Secara umum karyawan yang
mengalami penurunan
ambang
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pendengaran di dominasi oleh yang bekerja selama lebih dari 10 tahun (71%) ,Adapun hanya 29% responden yang bekerja selama ≤ 10 tahun. Hal ini disebabkan karena adanya pertimbangan tertentu PLTD untuk mempertahankan setiap karyawannya, selain itu sebagian besar karyawan yang di MCU ialah yang bekerja selama lebih dari 10 tahun, hal ini juga yang memengaruhi terhadap pengambilan sampel penelitian karena yang menjadi sampel penelitian hanya karyawan yang di MCU.
Tidak seimbangnya distribusi frekuensi
dari lama kerja tersebut akan memengaruhi terhadap nilai OR, sehingga lama kerja bukan merupakan faktor resiko terhadap terjadinya penurunan ambang pendengaran (OR= 1. 000). Hal tersebut didukung oleh teori yang menyatakan bahwa hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam sampai beberapa hari (3 – 7 hari). (Subaris dan Haryono, 2008:19). c. Umur Jumlah persentase kasus yang berumur lebih dari 40 tahun 71%. Dari uji statistik didapat p-value=0,419 (p-value>0,05) secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan Penurunan Ambang Pendengaran (PAD), maka dapat disimpulkan bahwa umur bukan merupakan faktor risiko terhadap terjadinya Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) karyawan di area bising PLTD Gunung Malang Balikpapan.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan, faktor yang memengaruhi terjadinya Penurunan Ambang Pendengaran (PAD) karyawan adalah terpapar intensitas bising tinggi (>85dB) sementara itu faktor lama kerja dan umur tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
terjadinya Penurunan Ambang Pendengaran (PAD)
karyawan di area pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) Gunung Malang Balikpapan. Olehnya itu diperlukan upaya pengendalian intensitas kebisingan melalui upaya pengendalian secara teknis (terhadap sumber bising), agar dilakukan peningkatan pengawasan dan disiplin dalam pemakaian APT pada pekerja, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tentang bahaya bising serta untuk mengurangi dampak serta sebagai upaya pecegahan terjadinya penyakit akibat kerja.
DAFTAR PUSTAKA Buchari. 2007. Kebisingan. http://library. usu. ac. id. Diakses tanggal 01 maret 2015 Budiarto. 2001. Penelitian dalam Studi Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta
103
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Budiono, S. 2003. Program Pemeliharaan Pendengaran di Perusahaan dalam Bunga Rampai Hiperkes & KK. Semarang: Undip Damayanti. 2007. Gangguan pendengaran. http://www. Menlh. go. id/article. Diakses tanggal 15 Maret 2015 Depkes. 2004. Pandangan Sehat 2030. Jakarta. Diakses tanggal 15 Maret 2015 Hadjar, E. 1990. Gangguan keseimbangan dan kelumpuhan nervus fasial dalam: Soepardi dan Iskandar, N. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 75-77 Harnita, N. 1995. Pengaruh Suara Bising Pada Pendengaran Karyawan Pabrik Gula Sei Semarang Di Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Sumut: Bagian THT, FK USU, Ikron. 2005. Kebisingan lalu lintas jalan terhadap gangguan kesehatan psikologi anak SDN Cipinang muara kecamatan jatinegara kota Jakarta timur. Skripsi. FKM. Depok: UI Iskandar. 1990. Penyakit Akibat Kerja. Surabaya: Airlangga University Press Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan Lameshow, S, dkk. 1997. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Yogyakarta: UGM press Liston, SL. , duvall, AJ. 1997. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. Dalam: Adams gl, boies, LR. , higler, PH. , ed. Buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Jakarta: EGC Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) Faktor Fisika dan Kimia di Area Kerja Rambe, A. Y. M. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Sumut: FK. THT USU. Ridley, J. 2003. Ikhtisar Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Erlangga Sutirto I, Bashiruddin J. Tuli akibat bising dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 5. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2001:37–39. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
104
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HUBUNGAN ANTARA KEBISINGAN, PENCAHAYAAN, DAN SHIFT KERJA DENGAN RISIKO KECELAKAAN KERJA PADA PEKERJA DI PT BORNEO MELINTANG BUANA EKSPORT KABUPATEN SLEMAN Mahfi Yusuf Prodi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK, Universitas Gadjah Mada, Jalan Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281 telp. 085743354955 Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Latar Belakang: PT Borneo Melintang Buana (BMB) Eksport merupakan salah satu industri yang menghasilkan furniture untuk diekspor ke luar negeri. Potensi bahaya yang terdapat di industri tersebut adalah faktor fisik, yaitu kebisingan dan pencahayaan Adapun bahaya faktor psikologis yaitu shift kerja. Hal tersebut menyebabkan kelelahan pada pekerja sehingga berpengaruh terhadap risiko kecelakaan kerja. Metode Penelitian: Pengambilan data dilakukan secara cross-sectional dengan pendekatan kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah pekerja di seluruh divisi dengan total sampling yaitu 153 orang. Pengukuran kebisingan menggunakan sound level meter yang dilakukan oleh Balai Hiperkes Yogyakarta dan kuesioner. Pengukuran pencahayaan menggunakan lux meter yang dilakukan oleh Balai Hiperkes Yogyakarta dan kuesioner. Pengukuran shift kerja menggunakan kuesioner dan risiko kecelakaan kerja dikaji melalui lembar isian. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan chi-square. Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Keseluruhan uji menggunakan Confidence Interval 95% dan tingkat kemaknaan p 0,05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel demografi tidak berhubungan terhadap risiko kecelakaan kerja di PT BMB. Kebisingan berhubungan dengan risiko kecelakaan kerja dengan nilai p=0,017 (p<0,05). Pencahayaan berhubungan dengan risiko kecelakaan kerja dengan nilai p=0,014 (p<0,05). Shift kerja berhubungan dengan risiko kecelakaan kerja dengan nilai p=0,030 (p<0,05). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kebisingan, pencahayaan, dan shift kerja dengan risiko kecelakaan kerja di PT BMB Eksport. Tidak terdapat hubungan antara variabel demografi dengan risiko kecelakaan kerja. Kata kunci: kebisingan, risiko kecelakaan kerja, pencahayaan, shift kerja.
PENDAHULUAN Dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), persaingan antar perusahaan semakin ketat sehingga menuntut perusahaan agar mampu bertahan dan berkompetisi. Sumber daya manusia (human resources) merupakan faktor yang sangat penting dalam proses produksi untuk mencapai tujuan perusahaan (Nasution et al. , 2015). Oleh karena itu, perusahaan dan sumber daya manusia (human resources) mendapatkan tantangan untuk meningkatkan produktivitas
105
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
perusahaan dan tenaga kerja melalui penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K 3) yang unggul. Budiono dalam Nasution et al. (2015) menyatakan bahwa terdapat faktor yang memengaruhi kondisi kesehatan kerja, yaitu kapasitas kerja karyawan, beban kerja, dan beban kerja tambahan. Arifin dalam Nasution (2015) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja adalah unsafe condition. Faktor lingkungan kerja dalam kesehatan kerja merupakan beban kerja tambahan, yaitu kebisingan, pencahayaan, vibrasi, radiasi, dan temperatur. PT Borneo Melintang Buana (BMB) Eksport merupakan industri manufaktur yang menghasilkan furnitur. Jumlah pekerja di PT BMB sebanyak 300 baik pekerja tetap dan tidak tetap. Berdasarkan identifikasi masalah yang dilakukan di PT BMB Eksport, terdapat bahaya faktor fisik yang meliputi kebisingan dan pencahayaan, serta bahaya faktor psikologis yaitu shift kerja. Kebisingan di PT BMB Eksport sudah masuk kategori sangat mengganggu yaitu 81. 5 dB. Pekerja terpapar kebisingan terus-menerus di lingkungan kerja dan belum ada pengendalian dari manajemen. Pencahayaan di seluruh ruang produksi juga masuk dalam kategori menggangguuntuk jenis pekerja yang membutuhkan ketelitian dan konsentrasi tinggi. Di samping itu, angka kecelakaan kerja di PT BMB Eksport terus terjadi setiap bulan. Data kecelakaan kerja di PT BMB Eksport pada tahun 2015 sebanyak 67 kasus dan pada bulan Oktober 2016 sebanyak 48 kasus kecelakan kerja. Studi yang dilakukan oleh Cantley et al. (2015) pada industri manufaktur aluminium di Amerika Serikat menyatakan bahwa paparan kebisingan berpengaruh terhadap kecelakaan kerja di tempat kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sardrudi et al. (2012) pada industri manufaktur traktor di Iran bahwa paparan kebisingan meningkatkan peluang terjadinya Kecelakan Akibat Kerja (KAK). Pencahayaan merupakan salah satu faktor bahaya fisik di tempat kerja yang berisiko menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja (Prayoga, 2014). Selain itu, shift kerja juga berhubungan dengan kecelakaan kerja. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajaratnam et al. , (2013) bahwa shift kerja berhubungan dengan kecelakan kerja di Amerika Serikat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kebisingan, pencahayaan, dan shift kerja dengan risiko kecelakaan kerja pada pekerja di PT Borneo Melintang Buana Eksport.
106
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
METODE PENELITIAN Jenis
penelitian
ini
adalah
kuantitatif,
metode
observational
analitic
dengan
menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di PT Borneo Melintang Buana (BMB) Eksport. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling yang berjumlah 153 orang. Pengukuran kebisingan menggunakan sound level meter yang dilakukan oleh Balai Hiperkes Yogyakarta (data sekunder perusahaan) dan kuesioner. Pengukuran pencahayaan menggunakan lux meter yang dilakukan oleh Balai Hiperkes Yogyakarta (data sekunder perusahaan) dan kuesioner. Pengukuran shift kerja menggunakan kuesioner dan risiko kecelakaan kerja dikaji melalui lembar isian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan STATA 12. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan chisquare. Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Keseluruhan uji menggunakan Confidence Interval 95% dan tingkat kemaknaan p 0,05. Jalannya penelitian dimulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penyelesaian. Tahap
persiapan dimulai dengan studi pendahuluan untuk
gambaran umum dan permasalahan di lapangan,
mendapatkan
persiapan instrumen penelitian,
dan
dilanjutkan dengan uji validitas dan reliabilitas. Tahap pelaksanaan penelitian dimulai dengan pengurusan perizinan, pengumpulan responden dan dilanjutkan dengan briefing untuk tata cara pengisian kuesioner, membagi kuesioner, mendampingi dan memandu pekerja dalam mengisi kuesioner, dan mengecek kembali semua data kuesioner dari responden. Tahap penyelesaian dilakukan untuk mengolah data dan menyusun laporan akhir penelitian dalam bentuk paper. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel. 1 berikut menunjukkan data distribusi dan frekuensi variabel penelitian:
Tabel 1. Distribusi dan Frekuensi Variabel Penelitian Variabel
Divisi
Kategori Miling Rustic Assembling Grading Gudang Teknisi Revisi Packing Finishing Adm. Fitting Fitting PU Total
n (jumlah) 24 17 26 5 2 1 32 16 11 2 13 4 153
% 15,69 11,11 16,99 3,27 1,31 0,65 20,92 10,46 7,19 1,31 8,5 2,61 100 107
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Usia
Jenis Kelamin
Masa kerja
Pendidikan
Pencahayaan
Shift Kerja
Kebisingan Risiko Kecelakaan Kerja
≤35 tahun >35 tahun Total Laki-laki Perempuan Total ≤6 tahun > 6 tahun Total SD-SMP Sederajat SMA Sederajat Total Mengganggu Tidak Mengganggu Total Mengganggu Tidak Mengganggu Total Mengganggu Tidak Mengganggu Total Berisiko Tidak Berisiko Total
77 76 153 128 25 153 64 89 153 32 121 153 108 45 153 45 108 153 62 91 153 71 82 153
50,33 49,67 100 83,66 16,34 100 41,83 58,17 100 20. 92 79,08 100 70,59 29,41 100 29,41 70,59 100 40,52 59,48 100 46,41 53,59 100
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh data bahwa jumlah sampel yang telah ditentukan dalam penelitian ini adalah sebanyak 153 (100%) pekerja terdiri dari pekerja dan operator di PT Borneo Melintang Buana (BMB) Eksport. Tabel. 2 berikut menujukkan data hasil analisis bivariat penelitian: Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Risiko Kecelakaan Kerja Variabel
Berisiko N
Usia ≤35 Tahun >35 Tahun Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Masa Kerja ≤ 6 Tahun > 6 Tahun
108
%
Tidak Berisiko n %
Nilai p
OR
CI 95%
38 33
49,35 39 43,42 43
50,65 56,58
0,462
1,27
0,639-2,522
61 10
47,66 67 40 15
52,34 60
0,483
1,37
0,527-3,667
33 38
51,56 31 42,7 51
48,44 57,3
0,278
1,43
0,712-2,866
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Pendidikan SD – SMP Sederajat SMA Sederajat Kebisingan Mengganggu Tidak Mengganggu Pencahayaan Mengganggu Tidak Mengganggu Shift Kerja Mengganggu Tidak Mengganggu
13
40,63 19
59,38
58
47,93 63
52,07
36 35
58,06 26 38,46 56
57 14 27 44
0,461
0,74
0,308-1,753
41,94 61,54
0,017* 2,21
1,091-4,514
52,78 51 31,11 31
47,22 68,89
0,014* 2,47
1,1233-5,598
69 18 40,74 64
40 59,26
0,030* 2,18
1,014-4,735
Berdasarkan Tabel 2. diperoleh hasil bahwa usia, jenis kelamin, masa kerja dan pendidikan memiliki nilai p>0,05 dengan masing-masing nilai p adalah 0,462; 0,483; 0,278 dan 0,461. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel karakteristik responden tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko kecelakaan kerja. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil bahwa variabel kebisingan memiliki nilai p< 0,05, yaitu 0,017. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan risiko kecelakaan kerja. Hasil perhitungan OR antara kebisingan dengan risiko kecelakaan kerja pada Tabel 2. menunjukkan bahwa responden dengan tingkat kebisingan yang mengganggu memiliki peluang 2,21 kali berisiko mengalami kecelakaan kerja dibandingkan
dengan
responden
dengan
tingkat
kebisingan
yang
tidak
mengganggu.
Signifikansi hubungan antara kebisingan dengan risiko kecelakaan kerja disebabkan karena manajemen belum menyediakan Alat Pelindung Telinga (APT) berupa ear plug atau ear muff bagi pekerja. Hal ini berdampak terhadap kesehatan pekerja baik dampak fisiologis maupun psikologis. Di samping itu, kurangnya perhatian manajemen terkait pembinaan dan minimnya tingkat pendidikan pekerja menyebabkan rendahnya tingkat kesadaran (poor awareness) pekerja terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan pekerja bahwa dampak fisiologis dari kebisingan yang dirasakan oleh pekerja di PT Borneo Melintang Buana (BMB) Eksport yaitu, penurunan ketajaman pendengaran sementara, sakit telinga, dan kendali otot terganggu. Dampak psikologis yang ditimbulkan oleh kebisingan pada pekerja meliputi gangguan komunikasi, tidak dapat konsentrasi pada saat bekerja, gangguan tidur serta kelelahan (fatigue). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang dilakukan oleh Neitzel et al. , (2015) bahwa kebisingan berpengaruh terhadap kecelakaan kerja dan near miss. Pernyataan ini didukung oleh hasil 109
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
penelitian yang dilakukan oleh Deshaies et al. , (2015) bahwa kebisingan berhubungan dengan kecelakaan kerja. Girard et al. , (2015) menyatakan bahwa kebisingan berpengaruh terhadap risiko kecelakaan kerja di Rumah Sakit. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristiyanto et al., (2014) bahwa kebisingan berpengaruh terhadap gangguan psikologis seperti gangguan tidur, gangguan konsentrasi, dan perasaan mudah marah pada pekerja di Departemen laundry di Semarang. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil bahwa variabel pencahayaan memiliki nilai p< 0,05, yaitu 0,014. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan risiko kecelakaan kerja. Hasil perhitungan OR antara pencahayaan dengan risiko kecelakaan kerja pada Tabel 2. menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pencahyaan mengganggu memiliki peluang 2,47 kali berisiko mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden dengan tingkat pencahayaan yang tidak
mengganggu.
Signifikansi hubungan antara pencahayaan dengan risiko kecelakaan kerja pada pekerja di PT BMB Eksport disebabkan karena sebagian besar pekerja memiliki masa kerja lebih dari 6 tahun serta rata-rata pekerja adalah berusia lebih dari 35 tahun. Hal ini berdampak terhadap kesehatan pekerja baik dampak psikologis. Di samping itu, sebagian besar pekerja berjenis kelamin lakilaki. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat risiko kecelakaan kerja di PT BMB Eksport. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Patel et al. , (2014) bahwa pencahayaan berpengaruh terhadap kejadian kecelakaan lalu lintas (road safety). Berdasarkan Tabel 2. diperoleh hasil bahwa variabel shift kerja memiliki nilai p< 0,05, yaitu 0,03. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan risiko kecelakaan kerja. Hasil perhitungan OR antara shift kerja dengan risiko kecelakaan kerja pada Tabel 2 menunjukkan bahwa responden dengan shift kerja yang mengganggu memiliki peluang 2,18 kali berisiko mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden dengan shift kerja yang tidak mengganggu. Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Carusao (2014) bahwa shift kerja menyebabkan kelelahan pada pekerja dan berpengaruh terhadap risiko keselamatan pekerja. Kantermann et al. , (2013) menyatakan bahwa shift kerja berhubungan dengan kecelakaan kerja di Belgia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhao (2014) bahwa shift kerja berhubungan dengan risiko dan kejadian kecelakan kerja. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Zolot (2015) yang menjelaskan bahwa shift kerja khususnya shift malam berpengaruh dengan risiko
110
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
kecelakaan kerja pada perawat. Hasil penelitian juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wong (2011) di Kanada bahwa shift kerja berhubungan dengan kecelakan kerja. Tabel. 3 berikut menujukkan data hasil analisis multivariat penelitian: Tabel 3. Hasil Analisis Multivariat Model
Model 1 Model 2
Variabel Bebas Pencahayaan Shift Kerja Kebisingan Pencahayaan Kebisingan Konstanta
Coef.
OR
p
0,864 0,309 0,709 0,936 0,824 -0,606
2,37 1,36 2,03 2,55 2,28
0,028 0,454 0,059 0,015 0,017
CI 95% Min Mak 1,096 5,133 0,607 3,056 0,974 4,245 1,203 5,408 1,162 4,472
Berdasarkan Tabel 3. hasil analisis multivariat model 1 diketahui bahwa terdapat 1 variabel yang memiliki nilai p<0,05 yaitu pencahayaan (0,028) serta terdapat 2 variabel yang memiliki nilai p>0,05 yaitu shift kerja (p=0,454) dan kebisingan (p=0,059). Karena terdapat variabel dengan nilai p>0,05 maka analisis dilanjutkan pada model 2 dengan mengeleminasi variabel dengan nilai p terbesar, yaitu variabel shift kerja. Hasil analisis multivariat model 2 pada Tabel 3 diketahui bahwa semua variabel memiliki nilai p<0,05. Analisis multivariat model 3 dianggap sebagai hasil akhir dari analisis regresi logisik. Variabel yang berhubungan dengan risiko kecelakaan kerja adalah pencahayaan (p=0,015) dan kebisingan (p=0,017). Nilai OR untuk variabel pencahayaan adalah 2,55 yang berarti bahwa responden dengan tingkat pencahyaan mengganggu memiliki peluang 2,55 kali berisiko mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden dengan tingkat pencahayaan yang tidak mengganggu. Nilai OR untuk variabel kebisingan adalah 2,28 yang berarti bahwa responden dengan tingkat kebisingan yang mengganggu memiliki peluang 2,28 kali berisiko mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden dengan tingkat kebisingan yang tidak mengganggu. Berdasarkan Tabel 3. di atas juga dapat diperoleh persamaan model regresi logistik dari analisis multivariat model 2, yaitu: Y= -0,606 + 0,936 x Pencahayaan + 0,824 x Kebisingan Signifikansi hubungan antara kebisingan, pencahayaan, dan shift kerja secara bersama dengan risiko kecelakaan kerja disebabkan karena PT Borneo Melintang Buana (BMB) Eksport belum menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Sistem Manajemen K3 diterapkan untuk meningkatkan kinerja dan mengurangi kecelakaan kerja
111
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
sehingga mampu memperbaiki moral pekerja yang dikehendaki oleh perusahaan dalam melaksanakan proses dan prosedur (Soemirat, 2015). Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abidin (2015) bahwa penerapan SMK3 memiliki pengaruh dengan kejadian kecelakaan kerja di PT Mega Andalan Kalasan Kabupaten Sleman.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai hubungan antara kebisingan, pencahayaan dan shift kerja dengan risiko kecelakaan kerja pada pekerja di PT Borneo Melintang Buana (BMB) Eksport diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan antara kebisingan dengan risiko kecelakaan kerja, ada hubungan antara pencahayaan dengan risiko kecelakaan kerja, ada hubungan antara shift kerja dengan risiko kecelakaan kerja di PT BMB Eksport.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, A. U. , 2015. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan Faktor yang Berpengarh pada Kejadian Kecelakaan Kerja di PT Mega Andalan Kalasan Kabupaten Sleman. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Cantley, L. F. , Galusha, D. , Cullen, M. R. , Dixon-Ernst, C. , Rabinowitz, P. M. , & Neitzel, R. L. , 2015. Association between Ambient Noise Exposure, Hearing Acuity, and Risk of Acute Occupational Injury. Scandinavian Journal of Work Environment and Health, Vol. 1, No. 41, pp. 75-83. Caruso, C. C. , 2015. Negative Impacts of Shiftwork and Long Work Hours. Rehabilitating Nursing, Vol. 1, No. 39, pp. 16-25. Deshaies, P. , Martin, R. , Belzile, D. , Fortier, P. , Laroche, C. , Leroux, T. , Nelisse, H. , Girard, S. E. , Arcand, R. , Poulin, M. , Picard, M. , 2015. Noise as An Explanatory Factor in Work-Related Fatality Reports. Noise Health, Vol. 78, No. 17, pp. 294-299. Girard, S. E. , Leroux, T. , Courteau, M. , Picard, M. , Turcotte, F. , & Richer, O. , 2015. Occupational Noise Exposure and Noise-Induced Hearing Loss are Associated with Work-Related Injuries Leading to Admission to Hospital. An International PeerReviewed Journal for Health Professionals and others in Injury Prevention, Vol. 21, No. 1, pp. 88-92. Kantermann, T. , Haubruge, D. , & Skene, D. J. , 2013. The Shift-Work Accident Rate is More Related to the Shift Type than to Shift Rotation. Human and Ecological Risk Assessment: An International Journal, Vol. 19, No. 6, pp. 1586-1594. Kristiyanto, F. , Kurniawan, B. , Wahyuni, I. , 2014. Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Gangguan Psikologis Pekerja Departemen Laundry bagian Washing PT X Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 2, No. 1, pp. 75-79.
112
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Nasution, D. E. A. , Mulyadi, A. , & Hamidy, Y. , 2015. Analisis Hubungan Kesehatan Kerja dengan Kejadian Kecelakaan Kerja pada Karyawan Lapangan bagian Pemanenan Kayu di PT Citra Sumber Sejahtera Sejati. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 1, No. 9, pp. 35-50. Neitzel, R. L. , Long, R. N. , Sun, K. , Sayler, S. , & Thaden, T. L. , 2015. Injury Risk and Noise Exposure in Firefighter Training Operations. Ann Occupational Hygiene, pp. 1-16. Patel, M. , Patel, V. , Parmar, A. , & Patel, D. M. , 2014. Road Lighting as an Accident Countermeasure. International Journal of Civil Engineering and Technology, Vol. 5, No. 12, pp. 296-304. Prayoga, H. A. , 2014. Intensitas Pencahayaan dan Kelainan Refraksi Mata terhadap Kelelahan Mata. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 2, No. 9, pp. 117-122. Rajaratnam, S. M. W. , Howard, M. E. , Grunstein, R. R. , 2013. Sleep Loss and Circadian Disruption in Shift Work: Health Burden and Management. MJA, Vol. 8, No. 199, pp. 1115. Sardrudi, H. A. , Golmohammadi, R. , Dormohammadi, A. , & Poorolajal, J. , 2012. Effect of Noise Exposure on Occupational Injuries: A Cross-sectional Study. Journal of Research in Health Sciences, Vol. 2, No. 12, pp. 101-104. Soemirat, J. , 2015. Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wong, I. S. , McLeod, C. B. , & Demers, P. A. , 2011. Shift Work Trends and Risk of Work Injury among Canadian Workers. Scandinavian Journal of Work Environment and Health, Vol. 1, No. 37, pp. 54-61. Zhao, I. , Bogossian, F. , & Turner, C. , 2014. Shift Work and Work Related Injuries among Health Care Workers: A Systematic Review. Australian Journal of Advanced Nursing. Vol. 27, No. 3, pp. 62-74. Zolot, J. P. A. , 2015. Schedules and Injury Risk among Newly Licensed RNs. International Journal of Nursing Study, Vol. 115, No. 12, pp. 21.
113
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
KAJIAN STUDI PENGARUH TEKANAN PANAS TERHADAP PRODUKTIVITAS PEKERJA Rani Marfuah* , Sinta Devi, Wigati Listyaningsih, Windha Khurnianti, Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Tekanan panas merupakan faktor bahaya yang berpengaruh terhadap tenaga kerja, karena tekanan panas akan memberikan beban tambahan di samping beban kerja dari tenaga kerja itu sendiri dan jika tidak dikendalikan dengan baik sehingga melebihi nilai batas yang di perkenankan maka dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dan dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja. Faktor penyebab tekanan panas pada pekerja meliputi suhu lingkungan yang tinggi, pergerakan udara yang terbatas, kerja fisik yang berat dan terpajan langsung dengan mesin/matahari. Selain itu, faktor internal seperti konsumsi obat, kondisi fisik, berat badan juga memengaruhi produktivitas kerja. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pengaruh tekanan panas terhadap produktivitas pekerja. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Kajian studi ini menggunakan metode studi pustaka dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan penelitian yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Hasil: Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan tekanan panas meliputi keram akibat panas disebabkan produksi keringat yang berlebih. Stroke akibat panas disebabkan pajanan panas yang terus menerus dan ekstrim, kegagalan regulator suhu tubuh. Heat stroke merupakan gangguan kesehatan akibat pajanan terhadap panas yang paling serius/fatal. Dengan adanya lingkungan kerja yang panas, menjadikan tubuh cepat lelah karena organ fungsional tubuh tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga produktivitas rendah. Kesimpulan: Tekanan panas pada pekerja ternyata dapat menimbulkan gangguan kesehatan, apabila suhu maupun paparan panas di lingkungan kerja tidak sesuai dengan kondisi tubuh manusia ataupun sebaliknya maka dapat memengaruhi produktivitas kerja. Kata kunci: tekanan panas, produktivitas kerja.
PENDAHULUAN Perkembangan perindustrian di Indonesia memberikan dampak yang positif bagi kehidupan manusia. Dampak positif tersebut dapat dirasakan tidak lepas dari peran tenaga kerja di sebuah perusahaan. Agar perusahaan dapat berkembang dengan baik, maka diperlukan tenaga kerja yang dapat bekerja secara produktif. Kesehatan merupakan faktor yang sangat penting bagi produktivitas dan peningkatan produktivitas tenaga kerja selaku sumber daya manusia. Kondisi kesehatan yang baik merupakan potensi untuk meraih produktivitas kerja 114
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
yang baik pula. Pekerjaan yang menuntut produktivitas kerja yang tinggi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kerja dengan kondisi kesehatan prima. Selain itu, tekanan panas juga merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan agar produktivitas, penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja dapat dikendalikan semaksimal mungkin. Tekanan panas adalah gabungan dari produksi panas oleh tubuh tenaga kerja itu sendiri, iklim (cuaca) kerja yang merupakan kombinasi dari suhu udara, kelembapan udara, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi serta beban kerja yang harus ditanggung oleh tenaga kerja. Tekanan panas merupakan faktor bahaya yang berpengaruh terhadap tenaga kerja, karena tekanan panas akan memberikan beban tambahan di samping beban kerja dari tenaga kerja itu sendiri dan jika tidak dikendalikan dengan baik sehingga melebihi nilai batas yang di perkenankan, maka dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dan dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja (Santoso, 1985). Gangguan kesehatan akibat tekanan panas dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana seperti halnya dehidrasi, merasa haus, cepat lelah, pusing, mual, terdapat biang keringat, kulit terasa panas dan kering, timbulnya kejang, sampai dengan terjadinya penyakit yang sangat serius. Gangguan perilaku dan performansi kerja juga sering ditemukan seperti pekerja melakukan istirahat curian. Peningkatan pada suhu dalam tubuh yang berlebih dapat mengakibatkan penyakit dan kematian. Faktor penyebab tekanan panas pada pekerja meliputi suhu lingkungan yang tinggi, pergerakan udara yang terbatas, kerja fisik yang berat dan terpajan langsung dengan mesin/matahari. Selain itu faktor internal seperti konsumsi obat, kondisi fisik, umur, dan berat badan juga memengaruhi. Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembapan, kecepatan udara dan panas radiasi dan panas radiasi pada tingkat pegeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sbagai akibat pekerjaanya. Tekanan panas memengaruhi produktivitas kerja, karena manusia akan mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan maksimal apabila kondisi lingkungan kerja terutama iklim kerja yang baik. Tujuan penulisan artikel ini adaah untuk mengetahui pengaruh tekanan panas terhadap produktivitas pekerja.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Kajian studi menggunakan metode studi pustaka dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa penelaahan terhadap buku-buku,
literatur-literatur,
catatan-catatan,
dan laporan-laporan
penelitian yang
ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. 115
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Tekanan panas ( Heat stress ) merupakan salah satu faktor fisik yang mungkin terdapat di lingkungan kerja. Adapun tekanan panas ini disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1. Aliran udara dalam ruang kerja yang kurang baik atau sistem ventilasi yang kurang sempurna. 2. Adanya pengaruh sumber panas yang ada di lingkungan kerja. Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan secara aktif untuk dapat beradaptasi dengan berbagai kondisi iklim. Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Menurut Suma’mur (2014), bahwa salah satu akibat melakukan kerja dalam lingkungan kerja yang panas adalah kelelahan yang dialami lebih berat dibanding bila melakukan kerja dalam lingkungan kerja yang tidak panas di mana hal ini dapat menurunkan produktivitas pekerja. Tekanan panas yang berlebih dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti: 1.
Keram akibat panas Penyebab: Produksi keringat yang berlebih dan kehilangan garam tubuh. Gejala: nyeri kaku otot kaki-lengan-perut, mendadak panas, kulit lembab. Penanganan: minum, memijat area yang kaku atau keram.
2.
Kelelahan akibat panas Penyebab: dehidrasi berat.
Gejala: nyeri kaku otot kaki-lengan-perut, mendadak panas,
kulit pucat-lembab-dingin, nadi cepat, lelah, lemas, pingsan. Penanganan: bawa ke tempat teduh atau ber-AC, istirahat/berbaring dengan kaki diangkat, longgarkan pakaian, dan minum air. 3.
Stroke akibat panas Penyebab: pajanan panas yang terus menerus dan ekstrim, kegagalan regulator suhu tubuh. Gejala: suhu badan tinggi, tidak ada keringat, kulit panas dan merah, sesak napas. Penanganan: hubungi unit darurat, rendam pasien dalam air dingin, pijat dengan es. Heat stroke merupakan gangguan kesehatan akibat pajanan terhadap tekanan panas yang paling serius/fatal.
116
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Nilai Ambang Batas (NAB) tekanan panas dilihat dari beban kerja dan lama waktu kerja. Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan temperatur tempat kerja, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Per. 13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja untuk Iklim Kerja dan Nilai Ambang Batas untuk Temperatur Tempat Kerja, Nilai Ambang Batas (NAB) untuk iklim kerja adalah situasi kerja yang masih dapat dihadapi oleh tenaga kerja dalam pekerjaan sehari-hari yang tidak mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus menerus tidak melebihi dari 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu. NAB terendah untuk iklim kerja ISBB (Indeks Suhu Basah dan Bola) ruang kerja adalah 28°C dan NAB tertinggi adalah 32,2°C, tergantung pada beban kerja dan pengaturan waktu kerja (Depnakertrans, 2011). Tabel 1. Nilai Ambang Batas untuk Tekanan Panas ISBB (o C) No Beban Kerja Ringan Sedang Berat 1 75% -100% 31,0 28,0 2 50% -75% 31,0 29,0 27,5 3 25% -50% 32,0 30,0 29,0 4 0% -25% 32,2 31,1 30,5 Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13/MEN/X/2011, tentang NAB Faktor Fisika dan Kimia di Tempat kerja. Pengaturan Waktu Kerja Setiap Jam
Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas) menurut SNI 16-7063-2004, dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) tidak diperkenankan melebihi: a) Untuk beban kerja ringan
: 30,0 o C
b) Untuk beban kerja sedang : 26,7 o C c) Untuk beban kerja berat
: 25,0 o C
CATATAN -Beban kerja ringan membutuhkan kalori 100-200 kilo kalori/jam. -Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih besar 200-350 kilo kalori/jam. -Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih besar dari 350-500 kilo kalori/jam. Berdasarkan penelitian Nindy Puspitasari dalam skripsi Pengaruh Iklim Kerja Panas Terhadap Dehidrasi dan Kelelahan Pada Tenaga Kerja Bagian Boiler di PT Albasia Sejahtera Mandiri Kabupaten Semarang, data tekanan panas pada bagian produksi dan bagian boiler, sebagai berikut:
117
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 2. Hasil Pengukuran Iklim Kerja Panas di Bagian Produksi dan Bagian Boiler Titik Pengukuran 1 2 3 4 Rata-rata Standar Deviasi Keterangan
Beban Kerja Sedang Sedang Sedang Sedang
ISBB Iklim Kerja (0 C) Bagian Produksi (indoor) Bagian Boiler (outdoor) 26. 5 31. 4 26. 8 31. 7 27. 5 32. 6 27. 2 32. 2 27,0 32,0 0,43
NAB (0 C) 28 28 28 28 28
0,53 >NAB
Menurut penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang tidak mengalami kelelahan atau normal pada iklim kerja bagian produksi
NAB. Menurut Sedarmayanti (2009) yang dikutip oleh Ahmad Muizzudin dalam Skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Kelelahan Kerja dengan Produktivitas Kerja pada Tenaga Kerja Bagian Tenun di PT Alkatex, Tegal” menyatakan bahwa faktor manusia sangatlah berpengaruh terhadap tingkat produktivitas kerja, seperti masalah tidur, kebutuhan biologis dan juga kelelahan kerja bahkan diutarakan bahwa penurunan produktivitas tenaga kerja di lapangan sebagian besar disebabkan oleh kelelahan kerja. Adapun berdasarkan penelitian Fefti Hadi Istiqomah, Erwin Dyah Nawawinetu dalam jurnal yang berjudul Faktor Dominan Yang Berpengaruh Terhadap Munculnya Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas Pada Tenaga Kerja di PT Iglas (Persero) Tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah keluhan paling banyak yang dialami responden adalah 6 keluhan dengan keluhan yang paling sering dirasakan adalah rasa sangat haus (73%). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan semua tenaga kerja mengalami keluhan subjektif akibat tekanan panas. Dengan timbulnya keluhan subjektif akibat tekanan panas maka risiko untuk terjadinya penurunan produktivitas tenaga kerja juga akan menurun. Berdasarkan penelitian Fefti Hadi Istiqomah, Erwin Dyah Nawawinetu diperoleh hasil mengenai umur pekerja PT Iglas (Persero) Tahun 2013, sebagai berikut: Tabel 3. Umur Tenaga Kerja di Unit Forming, Melting dan Sortir di PT IGLAS (Persero) Gresik No. 1 2
118
Umur (tahun) < 40 ≥ 40
Jumlah 21 31
Presentase 40,4 59,6
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Pada penelitian ini sebagian besar responden memiliki umur ≥ 40 tahun sebesar 59,6%. Menurut Nawawinetu (2010) kemampuan mentolerir panas akan semakin menurun saat umur semakin bertambah. Kondisi tersebut sangat nyata saat umur mencapai 40 tahun di mana pada umur tersebut kemampuan tubuh untuk melakukan pendinginan melalui penguapan keringat menjadi lebih lambat. Pada tenaga kerja yang telah berumur 40 tahun, proses tubuh untuk menghasilkan keringat jauh lebih lambat daripada tenaga kerja yang berumur lebih muda. Umur juga dapat memengaruhi produktivitas kerja karena orang yang lebih tua akan berkurang kemampuannya yang berkaitan dengan kecepatan dan pembebanan otot statis dalam pekerjaan.
Berdasarkan penelitian Pricilia J. M. Mamahit et al. (2016) dalam jurnal Hubungan Antara Iklim Kerja dengan Produktivitas Kerja pada Tenaga Kerja di PT Tropica Cocoprima Desa Lelema Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan, diperoleh data Responden dalam penelitian berjumlah 84 responden yang terbagi atas 46 (54,8%) responden laki-laki dan 38 (45,2%) responden perempuan. Responden pada umur 21-30 tahun paling banyak sebesar 37 (44,0%), berdasarkan masa kerja responden yang paling lama bekerja 39 (46,4%). Dari hasil penelitian yang dilakukan di bagian PT Tropica Cocoprima Tumpaan menunjukkan produktivitas kerja berdasarkan jenis kelamin dapat diketahui bahwa pada responden laki-laki memiliki produktivitas kerja lebih tinggi dengan persentase 54,8% dan pada responden perempuan memiliki produktivitas kerja lebih rendah dengan persentase 45,2%. Karena menurut WHO wanita tidak dapat beraklimatisasi dengan baik seperti laki-laki. Hal ini dikarenakan mereka mempunyai kapasitas kardiovaskuler yang lebih kecil. Tabel 4. Ukuran Tubuh Tenaga Kerja di Unit Forming, Melting, dan Sortir di PT IGLAS (Persero) Gresik Variabel No. 1 2 3 4
Ukuran Tubuh Kurus Normal Overweight Obese
N 2 21 25 4
% 3,8 40,4 48,1 7,7
Berdasarkan Fefti Hadi Istiqomah dan Erwin Dyah Nawawinetu dalam Jurnal yang berjudul Faktor Dominan Yang Berpengaruh Terhadap Munculnya Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas Pada Tenaga Kerja di PT Iglas (Persero) Tahun 2013 diperoleh data Persentase terbesar dari ukuran tubuh responden adalah overweight yaitu sebesar 48,1%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja pada unit Forming, Melting dan Sortir di PT IGLAS (Persero) Gresik mempunyai risiko untuk mengalami keluhan subjektif akibat tekanan panas. Apabila semakin besar ukuran tubuh responden, maka akan semakin banyak keluhan 119
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
yang akan dirasakan oleh responden. Hal tersebut berarti sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Nawawinetu (2010) bahwa tenaga kerja yang obesitas dengan lemak yang tebal, rasio antara luas permukaan tubuh dengan berat badan relatif rendah dan hal tersebut mengakibatkan terjadinya halangan dalam pengaturan suhu tubuh sehingga risiko heat stress akan terjadi pada tenaga kerja yang bekerja di lingkungan yang panas.
KESIMPULAN Tekanan panas pada pekerja ternyata dapat menimbulkan gangguan kesehatan, seperti keram akibat panas, kelelahan akibat panas dan strokeakibat panas. Apabila suhu maupun paparan panas di lingkungan kerja tidak sesuai dengan kondisi tubuh manusia maka dapat memengaruhi produktivitas kerja.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dosen pembimbing yaitu Bapak Sumardiyono yang telah memberikan ilmunya kepada kami. 2. Teman-teman kelompok yang telah berpartisipsi penuh dalam pembuatan arikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Andi.
2008. Tekanan Panas, diakses tanggal 15 Oktober 2016 (https://seraresa. wordpress.com/2014/10/04/tekanan-panas-heat-stress-di-tempat-kerja/)
Annuriyana, Ika. 2010. Hubungan Tekanan Panas dengan Produktivitas Tenaga Kerja Bagian Pencetakan Genteng di Desa Jelobo Wonosari Klaten. Skripsi. Program D. IV Kesehatan Kerja, Universitas Sebelas Maret. Apligo. 2011. Pengaruh Temperatur Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan, diakses tanggal 15 Oktober 2016 (https://aplikasiergonomi. wordpress.com/2011/12/27/pengaruh-temperatur- lingkungan-kerja-terhadap-kinerjakaryawan/) Badan Standarisasi Nasional. 2003. Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja. SNI 16-7063-2004, ICS 13. 100. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13/MEN/X/2011, tentang NAB Faktor Fisika dan Kimia di Tempat kerja. Jakarta; depnakertrans. Istiqomah, Fefti Hadi, Erwin Dyah Nawawinetu. 2013. Faktor Dominan yang Berpengaruh terhadap Munculnya Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas pada Tenaga Kerja di PT Iglas (Persero) Tahun 2013. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health. Vol. 2, No. 2 Jul-Des 2013: 175–184 120
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Mamahit, Pricilia J. M. Paul A. T. Kawatu, Nancy S. H. Malonda. 2016. Hubungan antara Iklim Kerja dengan Produktivitas Kerja pada Tenaga Kerja di PT Tropica Cocoprima Desa Lelema Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 5 No. 1 FEBRUARI 2016 ISSN 2302 – 2493 Sari, Nindi Puspita. 2014. Pengaruh Iklim Kerja Panas terhadap Dehidrasi dan Kelelahan pada Tenaga Kerja Bagian Boiler di PT Albasia Sejahtera Mandiri Kabupaten Semarang. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Suma’mur, PK. 2014. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja (HIPERKES). Jakarta: Sagung Seto.
121
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENGARUH KEBISINGAN TERHADAP PSIKOLOGIS PEKERJA Galih Sibi W. * , Asyifa Ega J. , Chella Ayu N. , Hidayati Nur K. , Tintrim Antika D. P. , Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Kesehatan tidak hanya berupa kesehatan fisiologis melainkan juga mencakup kesehatan psikologis. Kesehatan sangat berpengaruh di dalam dunia kerja. Di zaman yang modern saat ini dapat ditemukan berbagai macam bidang kerja salah satunya adalah bidang industri. Dalam industri tersebut tentunya banyak menggunakan berbagai macam alat dan mesin. Penggunaan mesin dan alat kerja yang mendukung proses produksi berpotensi menimbulkan suara kebisingan. Kebisingan di tempat kerja tidak hanya akan menimbulkan kecelakaan kerja, melainkan dapat menimbulkan gangguan psikologis pada pekerja karena mungkin konsentrasi terganggu dan timbulnya perasaan tidak nyaman. Tujuan dari dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap psikologis pekerja. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan tinjauan pustaka melalui telaah berbagai jurnal yang terkait dengan kebisingan dan psikologis kerja. Hasil: Kebisingan merupakan suara yang tidak dikehendaki yang berasal dari usaha atau suatu kegiatan dalam tingkat waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kenyamanan pekerja. Dari studi pustaka menunjukkan bahwa banyak industri yang masih menghasilkan kebisingan di atas NAB (85 dB). Banyak pekerja yang mengalami dampak dari kebisingan tersebut, seperti gangguan psikologis. Gangguan psikologis tersebut dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah dan stres kerja. Kesimpulan: Kebisingan yang melebihi NAB dapat menyebabkan gangguan psikologis pada pekerja. Kata kunci: kebisingan, gangguan psikologis.
PENDAHULUAN Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan hak dasar setiap pekerja dan merupakan penjamin adanya perlindungan terhadap pekerja. Perlindungan terhadap pekerja meliputi aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan atas kesehatan, keselamatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Dalam aspek kesehatan, tidak hanya mencakup kesehatan fisiologis (kesehatan dalam gerak fisik) namun juga kesehatan psikologis (mencakup mental seseorang). Di dalam era modern saat ini, tentu industri lebih menggunakan alat mesin yang lebih efisien daripada menggunakan manual. Dari 122
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
penggunaan alat mesin tersebut, memiliki dampak negatif salah satunya menimbulkan kebisingan. Kebisingan merupakan suara yang tidak dikehendaki yang berasal dari usaha atau suatu kegiatan dalam tingkat waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kenyamanan pekerja. Intensitas kebisingan yang di atas nilai ambang batas (NAB) tentunya sangat merugikan dan mengganggu pekerja. Akan tetapi, kebisingan tersebut tidak dapat dengan mudah dihindari. Salah satu alasannya seperti keberadaan alat yang merupakan sumber kebisingan tersebut tidak dapat diganti menggunakan alat lainnya. Sehingga kehadirannya sering menyebabkan penurunan peforma kerja, sebagai salah satu penyebab stress dan gangguan psikologis lainnya. Secara spesifik, gangguan psikologis dapat mengakibatkan cepat marah, stress, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan reaksi psikomotor, dan kehilangan konsentrasi.
Semakin
tinggi intensitas
kebisingan,
memungkinkan
berakibat
terjadinya
gangguan psikologis semakin besar. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap psikologis pekerja.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan tinjauan pustaka meliputi telaah berbagai jurnal yang terkait dengan kebisingan dan psikologis kerja. Data yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan berbagai buku dan jurnal yang terkait dengan kebisingan dan psikologis kerja. Kemudian dijadikan dasar untuk membuat penelitian ini. Metode ini dipilih berdasarkan kemudahan pelaksanaan, waktu yang singkat dan hasil dapat diperoleh dengan cepat. Metode ini juga dapat mempelajari kolerasi dan pengaruh dari variabel lain yang akan dibahas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebisingan pada umumnya didefinisikan sebagai bunyi atau suara yang keberadaannya tidak dikehendaki. Terdapat dua karakteristika utama yang menentukan kualitas suatu bunyi atau suara, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik dengan satuan Herz (Hz), yaitu jumlah gelombang bunyi yang sampai di telinga setiap detiknya. Sesuatu benda jika bergetar menghasilkan bunyi atau suara dengan frekuensi tertentu yang merupakan ciri khas dari benda tersebut. Biasanya suatu kebisingan terdiri atas campuran sejumlah gelombang sederhana dari anek frekuensi. Nada suatu kebisingan ditentukan oleh 123
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
frekuensi getaran sumber bunyi. Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu satuan logaritmis yang disebut Desibel (dB) dengan memperbandingkannya dengan kekuatan standar 0,0002 Dine (Dyne)/cm2 yaitu kekuatan bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat dapat didengar telinga normal (Suma’mur, 2014). Dalam bahasa K3, National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) telah mendefinisikan status suara atau kondisi kerja di mana suara berubah menjadi polutan secara lebih jelas, yaitu ( Tambunan, 2005): a. Suara-suara dengan tingkat kebisingan lebih dari 104 dBA. b. Kondisi kerja yang mengakibatkan seorang karyawan harus menghadapi tingkat kebisingan lebih besar dari 85 dBA selama lebih dari 8 jam. Bunyi yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber sara yang bergetar. Getaran sumber suara ini mengganggu keseimbangan molekul udara sekitarnya sehingga molekul-molekul udara ikut bergetar. Getaran sumber ini menyebabkan terjadinya gelombang rambatan energi mekanis dalam medium udara menurut pola rambatan longitudinal. Rambatan gelombang di udara ini dikenal sebagai suara atau bunyi Adapun dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan kenyamanan dan kesehatan (Luxon dkk, 2010). Nilai Ambang Batas kebisingan adalah angka 85 dB yang dianggap aman untuk sebagian besar tenaga kerja bila bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Nilai Ambang Batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya day dengar yang tetap untuk waktu terusmenerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya dan waktu maksimum bekerja yang rekomendasikan. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 13 tahun 2011 tentang kebisingan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Ambang Batas Kebisingan Waktu Pemaparan Per Hari 8 Jam 4 2 1 30 15 7,5 3,75 1,88
124
Menit
Intensitas Kebisingan dalam dB (A) 85 88 91 94 97 100 103 106 109
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
0,94 112 28,12 Detik 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 1,76 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139 Catatan: Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB (A), walaupun sesaat. Sumber: Permenaker No 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan No. Waktu Papar Per Hari Tingkat suara dalam dB (A) 1 8 jam 85 2 4 jam 88 3 2 jam 91 4 1 jam 94 5 30 menit 97 6 15 menit 100 7 7,5 menit 130 8 3,5 menit 106 9 1,88 109 Sumber: US Department of Health and Human Service, Occupational Noise Exposure (Revised Criterial 1998), Public Health Service Centre for Disease Control and Prevetion, National Institute for Occupational Safety and Health, Cincinnati, Ohio, June 1998 Berdasarkan penelitian Aripta Pradana dalam Jurnal Hubungan Antara Kebisingan dengan stres kerja pada pekerja bagian Gravity PT Dua Kelinci (2013), data distribusi kebisingan pada bagian Gravity PT Dua Kelinci Pati, sebagai berikut: Tabel 3. Data Distribusi Hasil Kebisingan pada Bagian Gravity PT Dua Kelinci No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Mesin Gravity 1 Gravity 2 Gravity 3 Gravity 4 Gravity 5 Gravity Abangan
Nilai Kebisingan (dBA) 96,9 dBA 96,3 dBA 97,2 dBA 94,5 dBA 83,8 83,5 Jumlah
Frekuensi (orang) 10 orang 8 orang 9 orang 9 orang 8 orang 6 orang 50 orang
125
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Menurut Aripta Pradana dalam Jurnal Hubungan Antara Kebisingan dengan stres kerja pada pekerja bagian Gravity PT Dua Kelinci (2013) pekerja bagian Gravity PT Dua Kelinci sering terpapar kebisingan yang digunakan setiap harinya sebesar 83,5 -96,9 dB(A). Menurut Pandji Anoraga (2005: 113), suara bising mempunyai kemungkinan sebagai penyebab stres. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 50 responden bagian Gravity PT Dua Kelinci akibat faktor lingkungan yang kurang nyaman, yaitu suara mesin produksi yang bising melebihi nilai ambang batas (NAB) ternyata berhubungan kuat dengan stres pada pekerja yang bekerja di bagian Gravity, dibuktikan dengan 12 responden yang mengalami stres kerja tinggi. Adapun menurut Heri Mujayen Kholik dan Dimas Adji Krishna dalam jurnal yang berjudul Analisis Tingkat Kebisingan Peralatan Produksi Terhadap Kinerja Karyawan Di Power Plant II PT Pertamina (Persero) Revinery Unit 5 Balikpapan menyatakan bahwa nilai rata -rata pada hasil pengolahan data menunjukkan bahwa rata -rata pengukuran kebisingan di area kerja Power Plant II sebesar 98,599 dB(A). Mayoritas responden menyatakan sangat setuju bahwa kebisingan yang ditimbulkan alat kerja dan mesin di wilayah kerja membuat responden menjadi orang yang mudah kaget, membuat kurang konsentrasi, membuat mudah lelah dan membuat cepat marah. Kebisingan yang dialami karyawan memberikan dampak kinerja karyawan yang cenderung menurun karena terganggu dengan tingkat kebisingan yang sudah melampaui standar rata-rata yang telah ditetapkan pemerintah. Menurut Tri Budiyanto dan Erza Yanti Pratiwi dalam jurnal Hubungan Kebisingan dan Masa Kerja Terhadap Terjadinya Stres Kerja Pada Pekerja di Bagian Tenun Agung Saputra Tex Piyungan Bantul Yogyakarta didapatkan nilai tingkat kebisingan di bagian tenun ini mempunyai tingkat kebisingan pada shift pagi yaitu 99,06 dB. Berdasarkan tabel di bawah yang telah ditambahkan nilai 1 pada semua cell menunjukkan bahwa dari sebanyak 42 atau 95,5 % pekerja yang mengalami tingkat kebisingan (>85 dB) terdapat sebanyak 39 atau 88,6 % pekerja yang mengalami stres kerja kategori sedang, Adapun dari sebanyak 2 (4,5 %) pekerja yang tidak mengalami tingkat kebisingan (<85 dB) terdapat hanya 1 atau 2,3 % pekerja yang mengalami stres kerja kategori sedang.
126
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 4. Hubungan Antara Tingkat Kebisingan Terhadap Terjadinya Stres Kerja pada Pekerja di Bagian Tenun “Agung Saputra Tex” Piyungan Bantul Yogyakarta Tahun 2010 Tingkat kebisingan Bising (>85 dB) Tidak bising (<85 dB) jumlah
Stres sedang n (%) 39 88. 6 %
Stres kerja stres ringan Total N (%) n (%) 3 6. 8 % 42 95. 5 %
1
2. 3 %
1
2. 3 %
2
4. 5 %
40
90. 9 %
4
9. 1 %
44
100 %
P-Value
RP
0. 039
1. 857 (0. 463 -7. 445)
Hasil persentase data di atas menunjukkan tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas di tempat kerja dapat menyebabkan gangguan pendengaran, gangguan konsentrasi dalam bekerja, penyakit psikosomatik antara lain berupa gastritis, stres dan kelelahan. Menurut Ardiansyah, et al dalam jurnal yang berjudul Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Tekanan Darah dan Tingkat Stres Kerja (2013) menyatakan bahwa di Seksi Pallet IKPP setelah dilakukan pengukuran kebisingan pada titik-titik yang telah ditentukan yaitu area mesin potong, area mesin belah, area mesin nailer memiliki intensitas kebisingan di atas NAB. Hasil dari pengukuran kebisingan di Seksi Pallet IKPP dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5. Tingkat Intensitas Area Seksi Pallet No. 1. 2. 3.
Area Mesin potong Mesin belah Mesin nailer
Intensitas Kebisingan 98. 5 dBA 93. 1 dBA 96. 5 dBA
NAB (85 dBA) Lebih dari NAB Lebih dari NAB Lebih dari NAB
Dari hasil pembagian kuisioner pada pekerja sebanyak 23 data yang diambil terdapat 18 responden yang menyatakan mengalami kenaikan stres kerja dan 5 responden mengalami penurunan tingkat stres kerja. Selanjutnya, menurut jurnal yang berjudul keisingan memengaruhi tekanan darah pekerja PT PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti, Banjarmasin oleh Huldani yang telah melakukan pengukuran kebisingan pada 6 titik lokasi, diketahui bahwa kebisingan pada bagian pemeliharaan memiliki intensitas kebisingan terendah yaitu 96 dB dan kebisingan tertinggi 113 dB. Hasil dari pengukuran dapat dilihat pada tabel 6.
127
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 6.
Distribusi Hasil Pengukuran Intensitas Kebisingan di Bagian Pemeliharaan di PT PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin Tahun 2011. Titik 1 2 3 4 5 6
Intensitas Kebisingan Bagian Pemeliharaan 105 dB 98 dB 113 dB 110 dB 96 dB 102 dB
Berdasarkan hasil wawancara dengan pekerja di bagian pemeliharaan, sebagian besar menyatakan merasakan gangguan komunikasi dan konsentrasi pada saat bekerja. Kebisingan yang melebihi NAB dapat menyebabkan berbagai gangguan terhadap kesehatan pekerja seperti gangguan komunikasi, psikologis, fisiologis, keseimbangan (pusing) dan ketulian.
KESIMPULAN Kebisingan di tempat kerja yang melebihi NAB dapat memengaruhi psikologis pekerja seperti berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah dan stres kerja. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatis.
UCAPAN TERIMAKASIH 1. Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan artikel ini. 2. Terima kasih kepada Bapak Sumardiyono sebagai pembimbing dalam mengerjakan artikel ini. 3. Terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam pengerjaan dan penyelesaian artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Budiyanto, Tri, Erza Yanti Pratiwi. 2010. “Hubungan Kebisingan Dan Massa Kerja Terhadap Terjadinya Stres Kerja Pada Pekerja Di Bagian Tenun Agung Saputra Tex Piyungan Bantul Yogyakarta”. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 4/No. 2. 15 Oktober 2016. Huldani. 2012. “Kebisingan Memengaruhi Tekanan Darah Pekerja PT PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti, Banjarmasin”. CDK-199. Vol. 39/No. 11. 13 November 2016 Kholik, Heri Mujayin, Dimas Adji Krishna. 2012. Analisis Tingkat Kebisingan Peralatan Produksi Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Teknik Industri. Vol. 13/No. 2.
128
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Luxson Muhammad, Sri Darlina dan Tan Malaka, 2010. “Kebisingan Di tempat Kerja”. Jurnal Kesehatan Bina Husada. Vol 6 No. 2. 15 Oktober 2016. Muhamad Rian, Ardiansyah, Ja’far Salim, Wahyu Susihono. 2013. “Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Tekanan darah dan Tingkat Stres Kerja”. Jurnal Teknik Industri. Vol. 1/No. 1. 13 November 2016. Pradana, Aripta. 2013. “Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stres Kerja Pada Pekerja Bagian Gravity PT Dya Kelinci”. Unnes Journal of Public Health. ISSN 2252-6528. 15 Oktober 2016. Ramdan, Iwan M, 2007. Dampak Giliran Kerja, Suhu dan Kebisingan Terhadap Perasaan Kelelahan Kerja di PT LJP Provinsi Kalimantan Timur. The Indonesian Journal of Public Health.Vol. 4, No. 1. 15 Oktober 2016. Suma’mur, PK. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: Sagung Selo.
CV
Tarwaka, PGDip. Sc. ,M. Erg. 2015. Ergonomi Industri. Surakarta: Harapan Press.
129
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
IKLIM KERJA DI PT GARMENT BOYOLALI Bayu Aji R. * , Novia Cahya G. D. , Risa Indah N. , Veronicha Rosali N. , Raras Kartika I. , Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Iklim kerja merupakan salah satu unsur dari pekerjaan yang mempunyai peran penting dan tidak boleh kita acuhkan. Pekerjaan dengan suhu tinggi memerlukan penerapan teknologi baik dalam proses produksi maupun proses distribusinya. Dengan lingkungan kerja yang nyaman maka semangat kerja akan meningkat, begitu juga produktivitas. Panas merupakan sumber penting dalam proses produksi, maka tidak menutup kemungkinan pekerja terpapar langsung sehingga dapat mengalami penyakit akibat kerja. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Variabel standar kenyaman termal adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan kebisingan, variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1). Bangunan (luasan bangunan, luas bukan, orientasi dan perabot), 2). Kondisi termal (suhu, kelembaban, kecepatan udara, cahaya dan kebisingan), dan 3). Kondisi lingkungan sekitar pabrik. Sementara alat ukur yang dipakai dalam penelitian adalah: 1). Thermo Hygrometer, (2). Environtment Meter, (3). Anemometer, dan 4). Meteran. Hasil perekaman dan pengukuran dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan standar kenyamanan penelitian Talarosha (2005). Hasil: Pada PT Garment Boyolali iklim kerja (panas lingkungan) sangat mengganggu. Berdasarkan dari pemaparan karyawan merasakan gerah atau panas ketika bekerja karena tempat kerja yang begitu padat dengan alat – alat kerja dan juga atap pabrik yang terbuat dari seng semakin terasa panas saat siang hari, selain itu mesin produksi di garment tersebut terlalu bising. Kesimpulan: Lingkungan kerja yang tidak seimbang seperti suhu yang terlalu tinggi dan para pekerja terpapar oleh panas selama 8 jam menyebabkan tidak optimalnya produktivitas pekerja dan proses produksinya, serta dapat menambah penyakit akibat kerja dikemudian hari. Kata kunci: iklim kerja, suhu, kelembaban.
PENDAHULUAN Kenyamanan dari suatu tempat kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah iklim kerja. Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi akibat dari pekerjaanya (PER. 13/MEN/X/2011). Produksi panas dalam tubuh tergantung dari kegiatan fisik tubuh, makanan yang telah atau sedang dikonsumsi, pengaruh panas tubuh sendiri, misalnya pada keadaan demam. Faktorfaktor yang menyebabkan pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan sekitarnya adalah 130
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (penguapan keringat). Konduksi ialah pertukaran panas antara tubuh dengan benda-benda sekitar melalui mekanisme sentuhan atau kontak langsung. Udara adalah penghantar panas yang kurang begitu baik, tetapi melalui kontak dengan tubuh dapat terjadi pertukaran panas antara udara dengan tubuh. Setiap benda termasuk tubuh manusia selalu memancarkan gelombang panas. Tergantung dari suhu benda sekitar, tubuh menerima atau kehilangan panas lewat mekasnisme radiasi panas. Temperatur lingkungan kerja merupakan salah satu faktor fisik yang berpotensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan bagi pekerja bila berada pada kondisi yang ekstrim. Kondisi temperatur lingkungan kerja yang ekstrim meliputi panas dan dingin yang berada di luar batas kemampuan manusia untuk beradaptasi. Persoalan tentang bagaimana menentukan bahwa kondisi temperatur lingkungan adalah ekstrim menjadi penting, mengingat kemampuan manusia untuk beradaptasi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun demikian secara umum kita dapat menentukan batas kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan temperatur lingkungan pada kondisi yang ekstrim dengan menentukan rentang toleransi terhadap temperatur lingkungan (Soeripto, 2008). Menurut Suma’mur (2009) panas merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kenikmatan saat bekerja, apabila intensitas panas melebihi atau di bawah ketentuan yang telah ditetapkan maka akan menyebabkan keluhan dan gangguan kesehatan pada tenaga kerja. Ketentuan intensitas panas untuk kondisi nyaman disesuaikan dengan beban kerja dan pengaturan waktu kerja terganggu. OSHA (Occupational Safety & Health Administration) mengatakan bahwa pekerjaan yang menyangkut temperatur udara yang tinggi, radiasi sumber panas, kelembaban yang tinggi, kontak fisik langsung dengan objek panas, atau aktivitas fisik yang berat memiliki potensi tinggi dalam menimbulkan stres pada pekerja yang terlibat dalam kegiatan kerja tersebut. Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Suhu tubuh manusia dipertahankan menetap oleh suatu pengaturan suhu. Suhu menetap ini dapat dipertahankan akibat keseimbangan antara panas yang dihasilkan dari metabolisme tubuh dan pertukaran panas di antara tubuh dan lingkungan sekitarnya (Suma’mur P. K. , 1996:91). Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan temperatur tempat kerja, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Per. 13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat 131
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Kerja untuk Iklim Kerja dan Nilai Ambang Batas untuk Temperatur Tempat Kerja, Ditetapkan: Nilai Ambang Batas (NAB) untuk iklim kerja adalah situasi kerja yang masih dapat dihadapi oleh tenaga kerja dalam pekerjaan sehari-hari yang tidak mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus menerus tidak melebihi dari 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu. NAB terendah untuk iklim kerja ISBB (Indeks Suhu Basah dan Bola) ruang kerja adalah 28°C dan NAB tertinggi adalah 32,2°C, tergantung pada beban kerja dan pengaturan waktu kerja (Depnakertrans, 2011). Jika pekerja terpapar dalam jangka waktu yang lama maka pekerja yang terpapar panas dapat mengalami penyakit akibat kerja yaitu menurunnya daya tahan tubuh dan berpengaruh terhadap timbulnya gangguan kesehatan sehingga berpengaruh terhadap produktivitas dan efisiensi kerja. Menurut Soeripto (2008), tekanan panas disebabkan karena adanya sumber panas yang memengaruhi kondisi lingkungan kerja. Intensitas panas cenderung meningkat apabila sistem ventilasi di lingkungan kerja tersebut tidak bisa mengeluarkan panas yang ada di dalam ruangan. Peningkatan sistem ventilasi dan penggunaan local exhauster sedikit banyaknya akan mengurangi intensitas panas ruangan, banyak dampak yang akan muncul apabila tekanan panas di lingkungan kerja tinggi, seperti dehidrasi, meningkatnya stres, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya denyut nadi, hipertensi, penurunan kerja otak karena kurangnya asupan oksigen dan penurunan respon kulit. Wignjosoebroto (2000) pekerja yang bekerja di lingkungan kerja panas akan mengalami indikator heat strain, yaitu peningkatan denyut nadi, tekanan darah, suhu tubuh, pengeluaran keringat dan penurunan berat badan. Dalam mempertahankan fungsinya, tubuh berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan agar rangsangan luar tidak terlalu memengaruhi kondisi tubuh, tapi hal ini tergantung kepada kemampuan organ dan antibodi invididu, karena setiap individu memiliki kemampuan organ dan antibodi yang berbeda. Hal ini bisa saja disebabkan oleh pola hidup dan faktor gen. Pola hidup terdiri dari pola konsumsi makanan dan gizi, olahraga dan pola istirahat (Sukmana, 2003).
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan cara wawancara terhadap sampel dan observasi di PT Garment Boyolali. Variabel standar kenyaman termal adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan kebisingan, variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1). Bangunan (luasan bangunan, luas bukan, orientasi dan perabot), 2). Kondisi termal (suhu, kelembaban, kecepatan udara, cahaya dan kebisingan), dan 3). Kondisi lingkungan 132
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
sekitar pabrik. Populasi penelitian adalah tenaga kerja yang terpapar panas di perusahaan di PT Garment Boyolali. Kriteria sampel adalah laki-laki, usia antara 20 – 25 tahun, masa kerja kurang lebih 1 tahun dan setiap hari terpapar oleh panas selama 8 jam dengan istirahat jeda selama 1 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim kerja panas yang di teliti adalah pada ruang produksi. Ruang produksi yang dimaksud dalam penilitian ini adalah ruang pemotongan kain dan ruang penjahitan. Sumber panas berasal dari mesin press ,atap ruangan ,minimnya ventilasi dan juga tata letak alat mesin yang terlalu berdekatan sehingga membuat sirkulasi udara tidak lancar. Dari pemaparan sample pekerja bahwa keadaan tersebut mengganggu aktivitas produksi, udara panas menutut banyak istirahat agar panas metabolism tubuh cukup rendah sehinga tubuh tidak memikul beban panas yang berlebihan, hal tersebut membuat pekerja mengantuk. Ruang produksi yang panas juga menyebabkan iritasi kulit, sesak nafas, dehidrasi, sakit kepala akibat heat stress yang dirasakan sampel pekerja. Suhu di dalam ruang produksi panas karena padatnya alat-alat yaitu pada ruang sewing. Pada ruang pengepresan sangat panas walaupun sudah ada blower namun tetap panas karena pada proses pengepresan menggunakan mesin yang bersuhu tinggi. Jadi pada ruang press pekerja akan cepat haus. Keluhan pekerja pada ruang press: 1) kulit melepuh 2) kulit tangan mengelupas Keluhan subjektif merupakan berbagai gangguan kesehatan yang dirasakan oleh responden selama bekerja yang merupakan efek dari tekanan panas yang diterima oleh responden selama bekerja. Semakin banyak keluhan yang dialami tenaga kerja menunjukkan bahwa terjadi gangguan kesehatan yang bisa mengganggu produktivitas kerja. Jenis keluhan yang paling sering dialami responden adalah rasa sangat haus dan menurunnya atau sedikit hilangnya nafsu makan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan semua tenaga kerja mengalami keluhan subjektif akibat tekanan panas. Dengan timbulnya keluhan subjektif akibat tekanan panas maka risiko untuk terjadinya penurunan produktivitas tenaga kerja juga akan meningkat. Ukuran tubuh juga memiliki hubungan yang bermakna dengan munculnya keluhan subjektif akibat tekanan panas. Kuat hubungan yang dibentuk adalah sedang dengan pola hubungan yang positif, yaitu apabila semakin besar ukuran tubuh responden maka akan 133
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
semakin banyak keluhan yang akan dirasakan oleh responden. Hal tersebut berarti sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Nawawinetu (2010) bahwa tenaga kerja yang obesitas dengan lemak yang tebal, rasio antara luas permukaan tubuh dengan berat badan relatif rendah dan hal tersebut mengakibatkan terjadinya halangan dalam pengaturan suhu tubuh sehingga risiko heat stress akan terjadi pada tenaga kerja yang bekerja di lingkungan yang panas. Selain itu, Wirakusumah (2001) dalam Triyanti (2007) juga menjelaskan bahwa produksi panas pada inti temperatur tubuh berhubungan dengan berat badan dan massa tubuh. Penyebaran panas melalui kulit merupakan sebuah fungsi yang terjadi dalam proses mengeliminasi panas tubuh. Tenaga kerja yang gemuk mungkin memiliki risiko terjadinya kelainan akibat panas daripada tenaga kerja dengan permukaan kulit yang lebih banyak terhadap berat badan. Menurut Nawawinetu (2010), kesiagaan dan kapasitas mental juga akan terpengaruh apabila seorang tenaga kerja telah mengalami efek tekanan panas. Selain masalah produktivitas, dengan berbagai keluhan yang dirasakan oleh responden maka akan muncul pula masalah keselamatan kerja. Masalah keselamatan kerja yang sering terjadi di lingkungan kerja yang panas adalah kecelakaan kerja akibat tangan yang basah dan licin karena banyaknya keringat yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pengendalian terhadap terjadinya keluhan subjektif yang terjadi akibat faktor dominan yaitu ukuran tubuh tenaga kerja. Upaya pengendalian bisa dilakukan dengan penambahan kembali jumlah ventilasi dan local exhauster. Menyediakan tempat istirahat yang dingin dalam upaya menstabilkan suhu tubuh setelah 1 jam kerja. Upaya administratif bisa dilakukan dengan membuat sistem rotasi kerja, pola konsumsi air minum yang cukup juga akan meminimalisir terjadinya gangguan kesehatan akibat paparan panas. Selain itu perlu adanya terapi kesehatan untuk mengurangi berat badan tenaga kerja yang bisa dilakukan secara bersama-sama yaitu senam pagi setiap satu minggu sekali, serta pemberitahuan atau penyuluhan kepada tenaga kerja dengan berat badan berlebih untuk melakukan diet dan mengatur pola hidup. Rotasi kerja mungkin saja dapat dilakukan, yaitu orang yang berbadan gemuk sebaiknya tidak ditempatkan pada tempat kerja yang panas. Hal tersebut seperti dijelaskan Suma’mur (2009) bahwa perlu adanya penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat. Ada kemungkinan seorang tenaga kerja dengan berat badan berlebih akan lebih optimal kerjanya (tidak mengalami keluhan kesehatan subjektif) dengan bekerja di tempat yang lebih sejuk. Perusahaan juga dapat melakukan penyediaan APD untuk tempat panas seperti: kacamata, celemek, pakaian kerja yang menutup rapat, sarung tangan dari kulit dan sepatu kerja.
134
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
KESIMPULAN Penelitian ini menunjukan bahwa iklim kerja merupakan salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan karena dapat mengganggu produktivitas kerja. Tekanan panas atau heat stress memiliki hubungan yang erat terhadap faktor kelelahan kerja. Tekanan panas menyebabkan lingkungan kerja yang tidak nyaman, sehingga dapat mengakibatkan kelelahan kerja, kurang optimalnya produktivitas, serta dapat menimbulkan penyakit akibat kerja. Maka perusahaan perlu mengatur shift kerja yang sesuai dan pengaturan sirkulasi udara ditempat kerja, agar panas metabolisme tubuh cukup rendah sehinga tubuh tidak memikul beban panas yang berlebihan.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Sumardiyono, SKM. , M. Kes yang telah membimbing dalam penulisan artikel. 2. Dekan FK UNS, yang telah memberi izin kepada penulis untuk mengikuti Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 3. Panitia Penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA Fahrurozi Arfad, Makmur Sinaga, Gerry Silaban. 2013. Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Terpapar Panas Pada Pada Pekerja Bagian Bottling Process PT Sinar Sosro Deli Serdang Tahun 2013. Diakses tanggal 4 November 2016, (jurnal. usu. ac. id/index. php/lkk/article/download/4239/5659) Fefti Hadi Istiqomah, Erwin Dyah Nawawinetu. 2013. Faktor Dominan yang Berpengaruh terhadap Munculnya Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas pada Tenaga Kerja Di PT IGLAS (Persero) Tahun 2013. diakses tanggal 4 November 2016, journal.unair. ac. id/download- fullpapers-k3f63554cd83full. pdf Iffa Failasufa, Eram Tunggul Pawenang , Sofwan Indarjo. 2014. Hubungan Kebisingan dan Tekanan Panas dengan Stres Kerja Pada Pekerja Bagian Spinning. diakses tanggal 4 November 2016, (http://journal.unnes. ac. id/sju/index. php/ujoph) Nawawinetu, E. D. , 2010. Modul Kuliah Heat Stress. Surabaya: Universitas Airlangga. Soeripto, M. 2008. Higiene Industri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suma’mur, PK. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: CV Sagung Seto. Suma’mur, P. K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: PT Sagung Seto. Tarwaka, PGDip. Sc. ,M. Erg. 2015. Ergonomi Industri. Surakarta: Harapan Press. 135
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
KAJIAN PENERANGAN TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA DI PERKANTORAN Dita Puspitaningrum* , Intan Cahaya K. D. , Pangesti Tri K. , Yuliana Duwi K. , Selviana Arum, Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Perkantoran merupakan suatu tempat kerja yang terdapat berbagai macam aktivitas seperti mengetik, menulis dan membaca. Kantor biasanya berada dalam suatu ruangan tertutup yang memerlukan penerangan dengan intensitas yang cukup. Berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan No 7 tahun 1964 tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan serta penerangan dalam tempat kerja, semua aktivitas dalam sebuah ruangan memerlukan intensitas penerangan yang baik agar para pekerja dapat beraktivitas dengan nyaman tanpa mengeluarkan tenaga lebih dan meminimalisir terjadinya kesalahan. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh penerangan terhadappekerjaan perkantoran yang berdampak pada produktivitas kerja. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan cara studi pustaka melalui pengumpulan data dengan mengadakan penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Hasil: Kategori penerangan yang tidak baik di perkantoran jika kurang dari 300 lux memberikan dampak intensitas cahaya yang terpapar dalam perkantoran rendah. Hal tersebut menyebabkan kelelahan pada indra penglihatan dan penurunan konsentrasi kerja sehingga produktifitas kerja kurang maksimal. Kesimpulan: Kondisi penerangan yang buruk di ruang kantor memengaruhi rendahnya produktivitas kerja. Kata kunci: kantor, penerangan, produktivitas kerja.
PENDAHULUAN Pada tempat kerja seperti kantor terdapat beberapa aktivitas antara lain membaca, menulis, mengetik dan aktivitas lainnya. Kantor biasanya berada dalam suatu ruangan tertutup, hal ini memerlukanpenerangan yang cukup pada tempat kerja tersebut. Penerangan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. Faktor penerangan merupakan salah satu faktor lingkungan kerja yang termasuk kelompok faktor risiko, jika intensitas penerangan tidak memadai maka dapat menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Penerangan juga berpengaruh terhadap kesehatan mata dan secara tidak langsung memengaruhi tingkat konsentrasi terhadap pekerjaan. 136
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Secara umum, penerangan di tempat kerja mempunyai berbagai fungsi yang berbedabeda, antara lain: 1. Untuk memberikan kontribusi yang berarti pada seluruh lingkungan kerja sehingga setiap objek kerja dapat mudah dilihat dan dikerjakan. 2. Untuk menerangi tugas-tugas tertentu, sehingga pekerjaan dapat mudah dilakukan dengan mudah dan efisien. 3. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. 4. Untuk memberikan keamanan di dalam dan sekitar tempat kerja.
Penerangan yang baik memungkinkan pekerja memilih objek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu. Intensitas penerangan yang baik sangat memengaruhi mata. Jika cahaya yang kurang otot mata harus berkontraksi semaksimum mungkin untuk melihat objek atau sebaliknya, jika ini terjadi terus menerus dapat menyebabkan kerusakan pada mata. Intensitas penerangan di ruang kerja minimal 100 lux. Displai penerangan yang baik di ruang kerja perkantoran sebagai berikut: 1. Memposisikan stasiun kerja dengan jendela dan bola lampu sebagai sumber cahaya paralel dengan garis pandang pekerja. 2. Tidak memposisikan stasiun kerja terhadap sumber cahaya berada di depan atau di atas kepala secara langsung. 3. Menggunakan banyak lampu dengan intensitas rendah daripada satu lampu dengan intensitas tinggi. 4. Tidak memposisikan stasiun kerja dengan lampu di belakang pekerja. 5. Penggunaan penerangan di ruang kantor yang memerlukan ketelitian tinggi harus paling sedikit mempunyai kekuatan 300 lux.
Berdasarkan peraturan Menteri Perburuhan No 7 tahun1964 tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan serta penerangan dalam tempat kerja terdapat ketentuan sebagai berikut: 1. Pasal 10 Setiap tempatkerja harus mendapatkan penerangan yang cukup untuk melakukan pekerjaan. 2. Pasal 11 a. Jendela-jendela, lobang-lobang atau dinding kaca yang dimaksudkan untuk memasukkan cahaya harus selalu bersih dan luas seluruhnya harus 1/6 daripada luas lantai kantor tempat kerja. 137
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
b. Jendela-jendela, lobang-lobang atau dinding kaca harus dibuat sedemikian rupa, sehingga memberi penyebaran cahaya yang merata. c. Bila ada penyinaran matahari langsung yang menimpa pekerja maka harus diadakan tindakan untuk menghalanginya. d. Apabila jendela hanya sebagai satu-satunya sebagai sumber penerangan cahaya matahari, maka jarak jendela dan lantai tidak boleh melebihi 1,2 m. e. Jendela-jendela itu harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan cahaya siang mencapai dinding tempat kerja yang terletak di seberang.
Apabila sumber penerangan alamiah yaitu cahaya matahari belum bisa mengatasi masalah penerangan di ruang kerja maka dapat digunakan sumber penerangan artifisial. Penerangan artifisial adalah penerangan umum yang mana penerangan ini didesain untuk keperluan penerangan diseluruh area tempat kerja. Penerangan ini didesain untuk ditempatkan pada plafon secara permanen dan untuk penerangan secara luas, penerangan kombinasi (Locklized-General Lighting) penerangan ini dilakukan manakala penerangan umum tidak memberikan kecukupan pada intensias pekerjaan tertentu. Penerangan kombinasi lokal dan penerangan umum dipasang di atas kepala secara permanen untuk meningkatkan intensitas penerangan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Penerangan lokal, penerangan ini untuk meningkatkan intensitas penerangan pada pekerjaan tertentu yan memerlukan ketelitian seperti pekerjaan membaca dan menulis, quality control, menjahit, dsb. Penerangan lokal harus memungkinkan pemakai dapat dengan mudah mengatur dan mengendalikan penerangan sesuai dengan keperluannya. Amstrong (1992) menyatakan bahwa intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguan visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga akan menyebabkan kesilauan (glare), pantulan cahaya (reflections), bayangan (excessive shadows), tegang mata (eyestrain). Produktivitas pekerjaan dalam sebuah ruangan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penerangan adalah hal yang pokok apabila ruang tersebut akan digunakan. Desain penerangan yang tidak baik di tempat kerja dapat memengaruhi kinerja kesehatan dan keselamatan kerja bagi para pekerja, di antaranya:
138
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
1. Pengaruh penerangan terhadap kelelahan Menurut Grandjan (1993) bahwa penerangan yang tidak didesain dengan baik akan dapat menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama bekerja yang mengakibatkan gangguan antara lain: a. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja b. Kelelahan mental c. Keluhan pegal di daerah mata d. Sakit kepala di sekitar mata e. Kerusakan indra mata 2. Pengaruh penerangan terhadap postur tubuh Pada beberapa situasi, intensitas penerangan yang tidak baik dan tidak sesuai akan menyulitkan seseorang untuk dapat melihat objek kerja karena posisi atau sumbercahaya (lampu yang digunakan). Objek yang digunakan akan sulit dilihat oleh karena intensitas penerangan di bawah standar yang dianjurkan, dan bahkan mungkin postur tubuh harus membungkuk agar posisi mata lebih dekat dengan objek kerja. Selanjutnya, pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan pada performansi kerja antara lain: a.
Kehilangan produktivitas
b.
Kualitas kerja rendah
c.
Banyak terjadi kesalahan
d.
Angka kecelakaan kerja meningkat
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan cara studi pustaka dari beberapa jurnal dan referensi buku yang terkait untuk memaparkan pemecahan terhadap suatu masalah yang ada secara sistematis dan deskriptif berdasarkan referensi yang ada. Berdasarkan ada tidaknya pengaruh dari penerangan terhadap terjadinya kelelahan mata pekerja pada objek yang sama, serta pengaruh interaksi antara variabel tersebut dengan produktivitas kerja.
139
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh Intensitas Penerangan Berdasarkan hasil yang di dapat melalui berbagai jurnal dan artikel terkait, ruang kerja atau kantor yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan membaca dan menulis, di mana kegiatan tersebut dilakukan secara rutin. Jumlah cahaya yang diperlukan cukup bervariasi antara lain tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan (seperti tuntutan akan kecepatan dan akurasi pekerjaan), jenis permukaan kerja (apakah permukaan kerja menyerap cahaya atau memantulkan cahaya), area kerja umum dan keadaan penglihatan individu pekerja (Tarwaka,2014). Nilai Ambang Batas (NAB) intensitas penerangan menurut pada standar Kepmenkes Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002bagi ruangan dengan kegiatan rutin sebesar 300 lux. Intensitas penerangan di ruang kerja merupakan hal yag sangat penting untuk diketahui. Intensitas penerangan yang kurang akan menyebabkan masalah terhadap daya pandang dan terjadinya kelelahan pada mata. Di lain pihak, intensitas penerangan yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan kesilauan(glare) dan cahaya pantul(reflection) secara berlebihan. Ketika ruangan perkantoran berada di area yang tertutup dan tidak dilengkapi dengan sumber penerangan yang memadai, hal tersebut tentu akan berdampak terhadap kemampuan penglihatan pekerja. Kondisi sumber cahaya juga menentukan intensitas penerangan yang dihasilkan sesuai atau tidak. Kebutuhan akan penerangan, penglihatan dengan jarak normal, istirahat sejenak, dan tingkat konsentrasi merupakan hal-hal yang berhubungan dengan faktor pekerjaan. a. Karakteristik Pekerjaan Berdasarkan Kebutuhan terhadap Penerangan Jenis pekerjaan terbagi atas faktor pembedanya. Berdasarkan kebutuhan suatu pekerjaan terhadap penerangan terdapa tujuh jenis karakteristik pekerjaan yaitu kasar dan rutin, kasar dan tidak rutin, rutin, agak halus, halus, amat halus, rinci. b. Kesulitan Melihat Objek Kerja pada Jarak Normal Kelelahan mata dapat dipicu akibat kondisi ekstrim yang dialami oleh pekerja. Ketika pekerja merasa kesulitan untuk melihat objek kerja dalam jarak pandang normal, maka efek negatif dari hal tersebut maka akan sering berkontraksi dan mengakibatkan kelelahan mata.
140
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
c. Istirahat Sejenak dari Pekerjaan Pekerjaan yang menuntut pekerja harus menatap layar monitor selama berjam-jam per hari dapat menyebabkan kelelahan mata. Meminimalisir efek negatif tersebut, pekerja sebaiknya mengalihkan perhatian sejenak dari pekerjaan yang sedang dilakukan. d. Konsentrasi Intensitas penerangan yang kurang atau berlebih akan menghasilkan dampak negatif terhadap kemampuan mata pekerja di area perkantoran. Selain itu terlalu sering berada di depan monitor juga membuat pekerja memiliki kemungkinan besar untuk mengalami kelelahan. Dengan kondisi kerja seperti itu, tentu akan sulit bagi pekerja untuk berkonsentrasi dengan pekerjaan yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Rahmayanti dan Artha (2015) bahwa pengukuran intensitas pencahayaan pada ruang perkantoran PT Pertamina RU VI Balongan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengukuran Intensitas Pencahayaan pada Ruang Perkantoran PT Pertamina RU VI Balongan No
Bagia n
Lokasi pengukuran
Gedung HSE I 1 Meja A Ruang Lead of Insurance dan fier facility
Meja komp
Luas ( m2)
Job terpapar
Int. Cahaya (lux)
Parameter (lux)
Memenuhi (ya/tdk)
Kesimpulan
6m x 3m
-
120
300
Tidak
4 lampu menyala
18 m2
-
150
300
Tidak
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari Tabel 1 tentang hasil pengukuran intensitas pencahayaan yang dilakukan pada ruang Lead of Insurance dan fier facility yaitu sebesar 120 lux dan 150 lux dengan kondisi jumlah lampu yang menyala sebanyak 4 buah. Intensitas penerangan di ruangan tersebut tidak sesuai dengan parameter yang ditetapkan Kepmenkes Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 bagi ruangan dengan kegiatan rutin sebesar 300 lux. Penelitian tersebut juga menjelaskan tentang hubungan kualitas pencahayaan dengan keluhan kelelahan mata pada pegawai di area perkantoran PT Pertamina RU VI Balongan yang disajikan pada Tabel 2.
141
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 2. Hubungan Kualitas Pencahayaan dengan Keluhan Kelelahan Mata di PT Pertamina RU VI Balongan Kualitas Pencahayaan Kurang Baik Baik Total
Kelelahan Mata Kurang Ya 2 25 7,4% 92,6% 0 3 0% 100% 2 28
Total 27 100% 3 100% 30
Berdasarkan tabel di atas kualitas pencahayaan yang kurang baik menyebabkan kelelahan mata sebanyak 25 pekerja. Adapun jika kualitas pencahayaan baik hanya 3 pekerja saja yang menderita kelelahan mata. Pencahayaan yang kurang baik dikarenakan jumlah lampu yang kurang dan dapat menyebabkan kelelahan pada mata karena intensitas cahaya rendah. Kualitas penerangan di ruang kantor selain ditentukan oleh jumlah dari lampu juga ditentukan oleh luas area yang diteranginya. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan tata letak ruangan pekerja, di mana sejumlah lampu atau sumber cahaya tersebut harus dapat memberikan penerangan terhadap seluruh pekerja yang berada dalam ruangan tersebut. 2. Produktivitas Pekerjaan di Ruang Kantor Permasalahan penerangan meliputi kemampuan manusia untuk melihat objek, sifatsifat dari indera penglihatan, usaha-usaha yang dilakukan untuk melihat objek lebih baik dan pengaruh penerangan terhadap lingkungan. Berdasarkan kondisi di atas penerangan yang buruk di ruang kantor akan mengakibatkan rendahnya produktivitas kerja. Adanya efek dari penyesuaian indera terhadap penerangan di ruangan tersebut seperti sakit mata, lelah, pening kepala, pegal di area punggung dan leher bahkan kerusakan indera mata bagi pekerja. Pada pekerjaan yang memerlukan ketelitian seperti membaca dan menulis tanpa penerangan yang memadai, maka akan berdampak pada kelelahan mata. Terjadinya kelelahan otot mata dan kelelahan saraf mata sebagai akibat tegangan yang terus menerus pada mata, walaupun tidak menyebabkan kerusakan mata secara permanen, tetapi menambah beban kerja, mempercepat lelah, sering istirahat, kehilangan jam kerja dan mengurangi kepuasan kerja, penurunan mutu produksi, meningkatkan frekuensi kesalahan, mengganggu konsentrasi dan menurunkan produktivitas kerja (Pheasant, 1993). Berdasarkan
hasil
penelitian
Padmanaba
(2006)
menjelaskan
bahwadengan
menambahkan penerangan lokal pada meja gambar 16 mahasiswa desain interior dapat meningkatkan intensitas cahaya dari 407,85 lux menjadi 1416 lux. Hal tersebut bermanfaat
142
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
untuk mengurangi tingkat kelelahan mata dari mahasiswa yang melakukan kegiatan menggambar yang membutuhkan waktu cukup lama. Kesimpuln yang diperoleh yaitu peningkatan
penerangan
lokal
tersebut
memberikan
peningkatan
produktivitas
kerjamahasiswa desain interior. Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat objek-objek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu. Untuk mendesain ulangpenerangan yang baik di suatu ruangan atau ruang kantor dapat dilakukan dengan mengganti lampu secara reguler sesuai jadwal yang telah ditetapkan, membersihkan lampu secara rutin, memberi tambahan lampu di tempat yang sesuai, menggunakan cat dinding atau platfon dengan warna yang terang. Hal tersebut dimaksudkan agar cahaya dapat dipantulkan, menghindari bayangan dengan penerangan lokal, dan tidak memposisikan stasiun kerja dengan lampu di belakang pekerja. KESIMPULAN Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa pada ruangan perkantoran di area yang tertutup dan tidak dilengkapi dengan sumber penerangan yang memadai, akan berdampak terhadap kemampuan penglihatan pekerja. Kondisi penerangan yang buruk di ruang kantor akan memicu kelelahan mata dan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan FK UNS, yang telah memberi izin kepada penulis untuk mengikuti Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 2. Bapak Sumardiyono
selaku pembimbing dan dosen mata kuliah pengukuran dan
pemantauan faktor fisika. 3. Panitia Penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 4. Nurmalita Sari yang telah memberi masukan terhadap penulisan artikel kepada penulis. DAFTAR PUSTAKA Ady Prayoga. ,H. 2014, Intensitas Penerangan dan Kelalaian Refraksi Mata Terhadap Kelelahan Mata,Jurnal Kesehatan Masyarakat , ISSN 1858-1196. Nurhaini, A. , 2011, Optimasi Sistem Penerangan dengan Memanfaatkan Cahaya Alami (Studi Kasus LAB. Elektronika dan Microprosesor UNTAD),Jurnal Ilmiah Foristek, volume. 1, No. 1.
143
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Padmanaba. R. ,2006, Pengaruh Penerangan Dalam Ruang Terhadap Produktivitas Kerja Mahasiswa Desain Interior,Jurnal Dimensi Interor, Vol. 4, No. 2. Purwanti,I. , Poerwanto. ,Wahyuni, D. , November 2013, Analisa Pengaruh Penerangan Terhadap Kelelahan Mata Operator di Ruang Kontrol PT XYZ,Jurnal Teknik Industri, Vol. 3, No. 4, pp . 43-48. Rahmayanti, D. , dan Artha,A. , 2015, Analisis Bahaya Fisik: Hubungan Tingkat Penerangan dan Keluhan Mata pada Pekerja Area Perkantoran Health, Safety and Environmental (HSE) PT Pertamina RU VI Balongan,Jurnal Optimasi Sistem Industri, ISSN 20884842/2442 -8795. Suma’mur, PK. 2013. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta: CV SagungSeto Tarwaka. 2010. Ergonomi Industri. Solo: HarapanPress
144
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
EFEKTIVITAS PEMBERIAN AIR KELAPA DALAM MEMINIMALISIR FAKTOR BAHAYA TEKANAN PANAS PADA PEKERJA DAPUR RESTORAN Tri Utami* , Diah Savitri, Leny Dyah Satyaningrum, Nikmah Afiyani, Nuri Wulandari, Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Tekanan panasbanyak dirasakan para pekerja di Indonesia. Selain karena cuaca di Indonesia panas tetapi juga dari jenis pekerjaan itu sendiri. Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah juru masak atau koki yang sebagian besar pekerjaannya dilakukan di dapur restoran. Resiko terpapar panas pada juru masak tersebut lebih tinggi sehingga menyebabkan bertambahnya beban kerja. Indonesia dengan banyak tumbuhan yang tumbuh terutama tanaman kelapa dapat memanfaatkan air kelapa sebagai minuman elektrolit sebagai konsumsi para pekerja. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji efektivitas pemberian air kelapadalam meminimalisir pengaruh tekanan panas terhadap denyut nadi yang berhubungan dengan kelelahan pekerja di dapur restoran. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode penelitian kausal komparatif (deskriptif), yang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat, tapi tidak dengan jalan eksperimen tetapi dilakukan dengan pengamatan terhadap data dari faktor yang diduga menjadi penyebab sebagai pembanding. Pendekatan yang kami gunakan melalui metode studi pustaka dengan menggunakan jurnal nasional maupun internasional serta artikel yang berkaitan dengan efektivitas pemberianpemberian air kelapa dalam meminimalisir pengaruh tekanan panasterhadap denyut nadi yang berhubungan dengan kelelahan pekerja di dapur restoran. Hasil: Berdasarkan hasil studi pustakayang kami lakukan dari beberapa jurnal, menyebutkan bahwa hasil penelitian dari jurnal tersebut menyatakan bahwa tekanan panas memengaruhi denyut nadi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kelelahan pada para pekerja restoran jika waktu paparannya tergolong lama dan intensitas panas yang diterimanya tergolong tinggi. Pemberian minuman air kelapa kepada pekerja dapat mengurangi tingkat kelelahan dengan cara dikonsumsi oleh para pekerja selama masa kerja nya. Kesimpulan: Pemberian minuman air kelapa kepada para pekerja untuk mengurangi kelelahan dan dehidrasi akibat tekanan panas dapat dilakukan dan efektif menurunkan kelelahan dan dehidrasi pada pekerja dapur restoran. Kata Kunci: tekanan panas, kelelahan, air kelapa.
PENDAHULUAN Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, terbuka, tertutup, bergerak ataupun tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha di mana terdapat sumber-sumber bahaya. Sumber bahaya yang ditemukan di tempat kerja 145
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
sangat beragam, salah satunya adalah kondisi fisik berupa iklim kerja panas. Terpajan oleh temperatur yang tinggi selama bekerja dalam ruangan dengan lingkungan panas atau bekerja di ruang terbuka dengan cuaca yang panas merupakan suatu keadaan yang sangat berpotensi menimbulkan bahaya. Menurut Grantham reaksi fisiologis terhadap pemaparan panas yang berlebihan dapat dimulai dan fisiologis yang sangat sederhana sampai dengan terjadinya penyakit yang sangat serius. Gangguan perilaku dan performansi kerja seperti melakukan istirahat curian, terjadinya dehidrasi (kehilangan cairan) merasa haus, letih, mual, pusing, cepat lelah, terdapat biang keringat, kulit terasa panas, terasa kering, dan timbulnya kejang. Tahun 1979 di Amerika ditemukan total insiden penyakit akibat panas dengan kehilangan hari kerja yang paling kecil satu hari diestimasikan sebesar 1. 432 kasus. Penelitian lain yang dilakukan oleh Donoghue dan Bates ditemukan sebanyak 65 kasus acute heat exhaustiondengan ISBB berada pada rentang 26,0o – 28,0o pada pekerja tambang besi bawah tanah di Australia. Iklim kerja merupakan salah satu unsur dari pekerjaan yang memiliki peran sangat penting untuk meningkatkan produktivitas para pekerja di perusahaan terutama bagi para juru masak atau koki yang kesehariannya di dapur, maka resiko terpapar panas sangat tinggi. Panas merupakan sumber penting dalam proses produksi maka tidak menutup kemungkinan pekerja terpapar langsung, dalam jangka waktu yang lama pekerja yang terpapar panas dapat mengalami penyakit akibat kerja yaitu menurunnya daya tahan tubuh dan berpengaruh terhadap timbulnya gangguan kesehatan sehingga berpengaruh terhadap produktivitas dan efisiensi kerja. Menurut Pemenakertrans NO. PER. 13/MEN/X/2011, Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisikadi Tempat Kerja, pasal 1 ayat 13 berbunyi: “Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya”. Paparan panas dapat pula menyebabkan keluhan lain selain pengeluaran keringat yang berlebih dan perasaan cepat lelah. Apabila tubuh banyak mengeluarkan keringat maka secara otomatis tubuh akan mengalami dehidrasi karena banyak kehilangan cairan tubuh. Untuk menghindari terjadinya dehidrasi maka direkomendasikan pemberian minuman pengganti cairan tubuh. Pekerja khususnya yang terpapar panas disarankan untuk mengkonsumsi minuman sebanyak 250 ml (setara 1 gelas) setiap 25-30 menit saat bekerja. Penelitian pada juru masak restauran di Semarang menunjukkan bahwa pemberian minuman formulasi air kelapa sebanyak 400 ml/hari 146
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
yang mengandung rerata natrium 0. 66 g/L, kalium 0. 23 g/L dan kadar gula reduksi 7. 6% selama 3 hari dapat memperbaiki kemampuan rehidrasi dan mengurangi kelelahan subjektif. Natrium pada minuman berfungsi untuk mengganti kehilangan natrium lewat keringat dan bertindak sebagai transport glukosa melewati dinding intestinal. Glukosa yang ditambahkan pada minuman bermanfaat untuk menjaga kadar glukosa darah dan menghindari kelelahan selama bekerja.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kausal komparatif (deskriptif) yang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat, tapi tidak dengan jalan eksperimen tetapi dilakukan dengan pengamatan terhadap data dari faktor yang diduga menjadi penyebab sebagai pembanding. Teknik pendekatan yang kami gunakan adalah dengan menggunakan studi pustaka, yaitu dengan teknik pengumpulan data dengan mempelajari berbagai buku, literatur, catatan , laporan ataupun jurnal yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan. Studi pustaka yang kami lakukan dengan menggunakan jurnal nasional maupun internasional serta artikel terkait tekanan panas. Kami mengkaji jurnal dan artikel satu persatu. Kami fokus pada efek tekanan panas terhadap denyut nadi yang berhubungan dengan kelelahan pekerja restoran khususnya pada area kerja dapur karena juru masak mendapat paparan panas yang terus-menerus dalam waktu yang lama di mana sumber tekanan panas berasal dari api kompor dan suhu ruangan. Kami menggunakan beberapa jurnal dan artikel dengan tema pengaruh tekanan panas terhadap pekerja restoran, dari jurnal kita dapatkan efek yang ditimbulkan dari pengaruh panas terhadap pekerja restoran khususnya pada denyut nadi dan kelelahan. Kemudian untuk mengurangi efek yang diterima oleh pekerja restoran, kami merekomendasikan kepada pekerja untuk mengonsumsi minuman berelektrolit khususnya minuman yang berasal dari air kelapa dengan beberapa pertimbangan dari referensi jurnal nasional maupun internasional serta artikel dengan tema kandungan air kelapa untuk mengurangi dehidrasi pada pekerja restoran akibat tekanan panas tersebut. Analisis data diambil dari penelitian jurnal di mana populasi yang diteliti adalah koki di restoran “ X” yang terletak di kota Semarang serta berbagai jurnal yang membahas tentang pengaruh pemberian air kelapa pada beberapa pekerja lain. Variabel penelitian meliputi variabel terikat dan in terikat. Variabel terikat adalah keluhan subjektif. Variabel bebas adalah beban kerja, umur, lama istirahat, kebiasaan minum, kesegaran jasmani dan iklim kerja.
147
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Tekanan panas yang diterima pada pekerja dapur restoran selama jam kerja menunjukkan dampak awal berupa peningkatan denyut nadi pada pekerja yang berakibat pada peningkatan kelelahan dari pekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Inayah (2001) di dapat bahwa denyut nadi responden sebelum kerja sebagian besar 82/menit sampai 86/menit (38,71%) dan perubahan denyut nadi responden sebagian besar tergolong tinggi (61%). Denyut nadi juga mengalami peningkatan saat bekerja hingga selesai bekerja antara 1,8 – 7,62 denyut/menit dan menurun pada jam istirahat sebesar 19,66 denyut/menit. Hasil pengukuran denyut nadi sebelum dan sesudah terpapar panas signifikan, atau bisa dikatakan ada perbedaan antara denyut nadi sebelum dan sesudah terpapar panas. Perbedaan yang terjadi disebabkan karena responden melakukan aktivitas kerja dan berada pada lingkungan kerja yang panas sehingga merangsang jantung untuk berkontraksi lebih cepat. Hal ini sesuai dengan teori tentang denyut nadi jantung dalam Psysiologi Bases of Exercise bahwa aktivitas yang lama pada lingkungan yang panas menyebabkan denyut jantung lebih tinggi daripada latihan pada temperatur rendah. Dengan adanya perubahan yang terjadi pada denyut nadi, maka berpengaruh pula terhadap kelelahan pada pekerja. Hal ini disebabkan oleh tekanan panas yang dialami pekerja sehingga menyebabkan dehidrasi yang berakibat pada timbulnya kelelahan . Bekerja di dapur restoran dapat menyebabkan dehidrasi dan kelelahan subjektif yang dalam jangka panjang dapat mengganggu kesehatan para pekerja. Untuk meminimalisasi dehidrasi dan kelelahan terhadap pekerja, dilakukan pemberian minuman air kelapa kepada pekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Atmadja,dkk (2015) pada koki di restoran “X” di Kota Semarang-Jawa Tengah, Indonesia. Minuman kelapa dirumuskan terbuat dari air Kelapa dan di formulasikan untuk mengandung 0. 66 g/L natrium, 0. 3 g/L kalium , dan 7. 6 % gula pereduksi. Minuman kelapa diberikan kepada koki di restoran “X” di Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia yang terkena tekanan panas yang terpancar dari memasak di dapur. Berat badan pekerja, denyut nadi, tekanan darah, dan suhu diukur sebelum dan setelah bekerja setiap hari selama 6 hari berturut-turut. Tiga hari berturut-turut pertama bertindak sebagai kelompok kontrol dan tiga hari kedua berturut-turut bertindak sebagai kelompok perlakuan. Subjek dalam kelompok perlakuan mengonsumsi 2 x 200 ml minuman kelapa setiap hari selama tiga hari berturut-turut. Pertama, 200 ml dikonsumsi pada pagi hari sebelum mulai bekerja dan yang kedua dikonsumsi di sore hari pada saat istirahat. Kelelahan subjektif diukur pada hari pertama dan hari terakhir dari penelitian. Data dianalisis dengan Paired test – Wilcoxon dan analisis multivariat Kovarian ( MANCOVA). Hasil penelitian 148
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
menunjukkan bahwa minuman kelapa dirumuskan bisa mengurangi berat badan (p= 0. 003), denyut nadi meningkat (p= 0. 008), penurunan tekanan diastolik (p=0. 006), kenaikan suhu tubuh (p= 0. 004), dan kelelahan subjektif (p= 0. 0001) dari koki yang bekerja di dapur restoran. Ketika asupan energi dan air selama satu hari ditambahkan dengan asupan minuman air kelapa, minuman masih bisa mengurangi berat badan (p=0. 001), penurunan tekanan diastolik (p=0. 032), kenaikan suhu tubuh (p=0. 023), dan kelelahan subjektif (p=0. 006). Mengkonsumsi 400 ml minuman kelapa per hari di formulasikan untuk 3 hari berturut-turut dapat memberikan rehidrasi dan mengurangi kelelahan subjektif dari koki yang terkena tekanan panas yang dipancarkan di dapur restoran. Efektifitas pemberian minuman air kelapa untuk meningkatkan rehidrasi dari manusia saat bekerja sejalan dengan jurnal dengan judul pengaruh rehidrasi menggunakan air kelapa (Cocos Nucifera L) yang ditulis oleh Lusi Putri Dwita. Hasil telah pustaka mengatakan bahwa minuman yang mengandung kalium dengan konsentrasi tinggi dapat menunda pemulihan volume plasma lebih lama (lebih dari 90 menit) dibandingkan minuman yang mengandung kadar natrium tinggi (Martini, 2006). Oleh karena itu, air kelapa yang mengandung kadarkalium lebih tinggi menurunkan volume plasma lebih lambat dibandingkan minuman suplemen. Air kelapa yang digunakan dalam penelitian ini mengandung kalium 6,02g/L Adapun pada minuman suplemen minuman suplemen menurunkan hematokrit lebih besar dari pada air kelapa namun pada akhir periode rehidrasi kedua minuman tersebut dapat memulihkan volume plasma hingga ke keadaan normal. Pengaruh pemberian air kelapa untuk peningkatan kebugaran dan penurunan kelelahan sejalan dengan artikel yang di tulis
oleh Lana Alfiyana yang menyatakan
bahwa
pemberian air kelapa muda ini dapat digunakan sebagai cairan rehidrasi alternatifpengganti sp ort drink. Selain itu, pemberian air kelapa dapat meningkatkan VO2 Max para pekerja. Pemberian air kelapa pada pekerja tidak memerlukan penambahan gula maupun bahan lainnya. Karena pemberian penambahan gula tidak berpengaruh terhadap peningkatan VO2 Max. Pemberian minuman air kelapa kepada pekerja dapurrestoran sangat direkomendasikan dalam rangka mengurangi tekanan panas yang akan memengaruhi tingkat kelelahan para pekerja. Hal ini didasarkan pada kajian teori yang telah kami lakukan baik jurnal nasional maupun internasional yang meneliti tentang efektivitas pemberian air kelapa untuk meminimalisir tekanan panas pada pekerja dapur restoran. Kandungan yang terdapat dalam air kelapa berupa kalium, natrium dan gula pereduksi yang merupakan komposisi minuman elektrolit. Kalium yang terkandung dapat mengurangi penurunan volume plasma sel sehingga kelelahan dan dehidrasi dapat ditunda. 149
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Seseorang yang mengalami penurunan volume plasma maka ia akan lebih cepat dehidrasi. Kecepatan penurunan volume plasma yang telah dihambat oleh kalium diseimbangkan oleh natrium sehingga penurunan volume plasma dalam darah terjadi secara perlahan-lahan. Hal ini berdampak pada pengurangan kelelahan pekerja. Oleh karena itu, pemberian air kelapa dalam meminimalisisr faktor tekanan panas terhadap kelelahan dapat menjadi rekomendasi yang tepat.
KESIMPULAN Efektivitas pemberian air kelapa pada pekerja dapur restoran untuk mengurangi kelelahan akibat faktor tekanan panas dapat di buktikan melalui hasil penurunan tingkat kelelahan dan tingkat dehidrasi setelah pemberian air kelapa terhadap pekerja koki di restoran. Tekanan panas yang diterima pekerja koki di dapur restoran dapat menyebabkan dehidrasi , penurunan denyut nadi, dan pada akhirnya berdampak pada kelelahan. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya untuk meminimalisasi kelelahan dan dehidrasi tersebut pemberian minuman air kelapa kepada pekerja dapat menjadi salah satu jalan yang dapat di terapkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Sumardiyono, S. K. M, M. Kes selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya terkait pembuatan artikel. 2. Dekan FK UNS, yang telah memberi izin kepada penulis untuk mengikuti Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 3. Panitia Penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA Atmadja, N. ; Murwani, R. ; Kartini, A. Formulated coconut drink can reduce dehydration and subjective fatigue in Chefs working at a restaurant kitchen. International Food Research Journal . 2015. Vol. 22 Issue 6, p2637-2641. 5p. Diakses tanggal 2 November 2016 (http://search. ebscohost.com/) Donoghue,A. M & G. P. Bates. The Risk Of Heat Exhaustion at Deep Undeground Metalliferous Mine In Relation To Body Mass Index and Predicted VO2 Max. The Minerals Industry Safety and Health Centre, University of Queensland,Brisbane, Australia. 2000: 50 (4):259-263. Diakses tanggal 2 November 2016 (http://occmed. oxfordjournals. org/content/50/4/259. short) Fajrin,Nurul. Na’im Furqaan. 2014. Factors Associated with Health Complaints Caused by Heat Stress on Hospital Laundry Installation Workers in The City of Makassar.Bagian
150
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Kesehatandan Keselamatan Kerja, FKM Universitas Hasanuddin. Diakses tanggal 2 November 2016 (http://repository. unhas. ac. id/handle/123456789/11359) Grantham, D. Occupational Health and Safety Guidebook for the WHSO. Queensland: Merino Lithograpics Moorooka: 1992. Hapsari, A. Kartini. 2013. Pengaruh Minuman Karbohidrat Elektrolit Terhadap Produktivitas Kerja. Journal of Nutrition College. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2016. (http://eprints. undip. ac. id/41821/1/554_OQI_BINTANG_HAPSARI. pdf) IstiqomahFeftiHadi. Nawawinetu E. D. 2013. Faktor Dominan Yang Berpengaruh Terhadap Munculnya Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas Pada Tenaga Kerja Di PT Iglas (Persero) Tahun 2013. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health,Vol. 2, No. 2 Jul-Des 2013: 175–184. Diakses tanggal 2 November 2016 (http://journal. unair. ac. id/download- fullpapers-k3f63554cd83full. pdf) L. Alfiyana,E. AMurbawani . 2012. The Influence Of Coconut water for the Athletes Soccer’s. Undergraduated Thesis of Student of Nutrition Science Study Program, Medical Faculty Diponegoro University. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2016. (http://eprints. undip. ac. id/38480/) Pulung S. , Ika S. P. 2006. Perbedaan efek fisiologis pada pekerja sebelum dan sesudah bekerja di lingkungan kerja panas. Jurnal Kesehatan Lingkungan ISSN 1829-7285Vol. 2/No. 2/Published: 2006-01. Diakses tanggal31 Oktober 2016 (http://journal. unair. ac. id) Robert W. Kenefick, Michael N. Sawka. Hydration at The Work Site. The Journal of the American College of NutritionVolume 26 2007 -Issue sup5: ILSI North America Conference on Hydration and Health Promotion November 29-30, 2006 --Washington, DC diakses tanggal 2 November 2016 (http://dx. doi. org/10. 1080/07315724. 2007. 10719665)
151
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
KAJIAN STUDI PENGARUH KEBISINGAN TERHADAP STRESS KERJA Aditya Anggara* , Eny Oktora, Kharisma Dian, Nisa Villa, Widhi Khurniasih, Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Tempat kerja terdapat beberapa faktor yang memengaruhi lingkungan kerja seperti faktor fisika, faktor kimia, faktor biologi, faktor fisiologis, dan faktor mental-psikologis. Faktor fisika di tempat kerja meliputi kebisingan, radiasi, getaran mekanis, iklim (cuaca) kerja, tekanan udara, dan penerangan. Kebisingan sebagai salah satu faktor bahaya dapat menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, salah satunya adalah gangguan terhadap psikologis, berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur serta cepat marah. Bila kebisingan di tempat kerja diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikomatik berupa stress akibat kerja. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap stress kerja. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif melalui kajian studi. Kajian studi ini menggunakan metode studi pustaka dengan menganalisis hasil penelitian berdasarkan referensi artikel pada jurnal dan skripsi yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Hasil: Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran kita juga dapat merupakan sumber stress yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis pekerja. Pengaruh bising secara psikologis, yaitu berupa penurunan efektivitas kerja dan kinerja seseorang. Pengaruh kebisingan terhadap tubuh sama seperti pengaruh stress terhadap tubuh manusia. Pekerja yang terpapar kebisingan di atas NAB akan mengalami stress kerja. Kesimpulan: Tingkat kebisingan yang cukup tinggi menyebabkan pekerja cepat merasa lelah, pusing dan kurang nyaman dalam bekerja, sehingga dapat menimbulkan stress kerja. Kata kunci: kebisingan, stress kerja.
PENDAHULUAN Pembangunan di Indonesia, khususnya di bidang industri akan terus dikembangkan sampai tingkat industri maju. Seperti diketahui, bahwa hampir semua industri menggunakan mesin yang menjadi sumber kebisingan. Selanjutnya, dapat dimengerti bahwa dengan berkembangnya industri di Indonesia maka akan semakin besarlah jumlah tenaga kerja dalam pekerjaannya selalu terpapar pada bising yang keras dan berlangsung lama (Budiono, 1992). Kemajuan industri tidak menyadari dampak teknologi yang diadobsi tidak bisa menjamin keselamatan para tenaga kerja. Pemakaian mesin menimbulkan suara atau bunyi yang dapat 152
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
memberikan dampak terhadap gangguan komunikasi, konsentrasi dan kepuasan kerja bahkan sampai pada cacat (Anizar, 2012). Menurut peraturan PP No. 50 Tahun 2012 pasal 1 ayat 3 tentang penerapan sistem menejemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan jasa atau barang guna memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Bertitik tolak dari hal tersebut, lingkungan kerja merupakan salah satu sumber utama bahaya potensial kesehatan kerja. Suma’mur (2014) di tempat kerja terdapat beberapa faktor yang memengaruhi lingkungan kerja seperti faktor fisika, faktor kimia, faktor biologi, faktor fisiologis, dan faktor mentalpsikologis. Faktor fisika di tempat kerja meliputi kebisingan, radiasi, getaran mekanis, iklim (cuaca) kerja, tekanan udara, penerangan, dan bau-bauan. Salah satu dari faktor yang terdapat dalam lingkungan kerja yang sangat mengganggu adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja seringkali merupakan problem tersendiri bagi tenaga kerja, umumnya berasal dari mesin kerja. Sayangnya, banyak tenaga kerja yang telah terbiasa dengan kebisingan tersebut, meskipun tidak mengeluh gangguan kesehatan tetap terjadi, Adapun efek kebisingan terhadap kesehatan tergantung pada intensitasnya (Anies, 2005). Pekerjaan yang menimbulkan bising dengan intensitas tinggi umumnya terdapat di pabrik tekstil, genarator pabrik yang digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, pekerjaan pemotongan plat baja, pekerjaan bubut, gurinda, pengamplasan bahan logam dan sebagainya (Sugeng Budiono, dkk, 2003). Dalam dunia kerja, sering timbul (muncul) berbagai masalah sehubungan dengan stres dan kondisi-kondisi yang dapat memicu terjadinya stres. Baik disadari maupun tidak, pekerjaan seseorang menimbulkan stres pada dirinya. Hal ini pasti akan tampak dalam kurun waktu yang panjang, karena memang manusia setiap harinya berkecimpung di tempat kerjanya lebih dari sepertiga kali waktunya (Arman, 2011). Stres dalam bekerja terjadi pada setiap pekerja. Pekerja mengalami stres karena pengaruh dari pekerjaan itu sendiri maupun lingkungan tempat kerja. Seseorang yang mengalami stres dalam bekerja tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Kebisingan di area tersebut melebihi NAB yaitu 85 dB dengan suara mesin yang gaduh dan waktu kerja 8jam/hari secara terus-menerus dapat menyebabkan adanya gangguan pekerjaan (kebisingan). Menurut Roestam (2003) kebisingan di tempat kerja menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, salah satunya adalah gangguan terhadap psikologis. Gangguan kebisingan terhadap psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, 153
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
susah tidur serta cepat marah. Bila kebisingan di tempat kerja diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikomatik berupa stress akibat kerja. Stres dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi bila transaksi antara individu dengan lingkungan. Stres dapat menyebabkan individu merasakan adanya kepincangan, apakah itu nyata atau tidak (Eunike R. Rustiana, 2005). Adapun gejala stres meliputi tanda seperti sakit kepala, urat bahu dan leher terasa tegang, gangguan pencernaan, nyeri punggung dan leher, keluar keringat berlebihan, merasa lelah, sulit tidur, cemas dan tegang saat menghadapi masalah, sulit berkonsentrasi, mudah marah dan tersinggung (Siti Nuzulia, 2010). Bagi perusahaan, stres dilihat dalam konteks makna jumlah kemangkiran, kehilangan produktivitas, kinerja yang buruk, kecelakaan, penurunan kreatifitas, dan kurang inovasi (Terry Loocker dkk, 2005). Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap stress kerja.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif melalui kajian studi. kajian studi ini menggunakan kajian studi ini menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan cara pengumpulan data dan informasi dengan bantuan macam-macam materi, dalam bentuk sejarah, berita, artikel, naskah, jurnal, skripsi, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian. Disini, kita menggunakan bantuan informasi dari jurnal, artikel, dan skripsi tentang kebisingan di tempat kerja. Seperti jurnal dengan judul “Analisis Pengaruh Kebisingan terhadap Tingkat Konsentrasi Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Proses PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta”, jurnal dengan judul “Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Tekanan Darah dan Tingkat Stres Kerja”, jurnal dengan judul “Hubungan Kebisingan dan Massa Kerja terhadap Terjadinya Stres Kerja pada Pekerja di Bagian Tenun ”Agung Saputra Tex” Piyungan Bantul Yogyakarta, skripsi dengan judul “Pengaruh Kebisingan terhadap Stress Kerja Tenaga Kerja Penggilingan Padi CV Padi Makmur Karanganyar” dan skripsi dengan judul “Pengaruh Kebisingan terhadap Stres Kerja pada Pekerja Bagian Weaving di PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta”.
154
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran kita juga dapat merupakan sumber stress yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis pekerja. Pekerja yang terpapar kebisingan di atas NAB akan mengalami stress kerja. Bising dengan intensitas tinggi (di atas NAB) sangat mengganggu. Gangguan dapat berupa kerusakan pada indera pendengaran, gangguan fisiologis, sampai pada stres yang menuju pada keadaan cepat marah, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan reaksi psikomotorik, kehilangan konsentrasi, gangguan konsentrasi antara lawan bicara yang kesemuanya itu akan bermuara pada penurunan performa kerja sehingga akan kehilangan efisiensi dan produktivitas. Nilai Ambang Batas kebisingan adalah 85 dB yang dianggap aman untuk sebagian besar tenaga kerja bila bekerja 8 jam/hari. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas kebisingan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Ambang Batas Kebisingan Waktu Pemaparan Per Hari 8 4 2 1
Jam
30 15 7,5 3,75 1,88 0,94
Menit
Intensitas Kebisingan dalam dB (A) 85 88 91 94
28,12 Detik 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11 Catatan:Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB (A), walaupun sesaat.
97 100 103 106 109 112 115 118 121 124 127 130 133 136 139
Sumber: Permenaker No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja. 155
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Berdasarkan penelitian Nabilatul Fanny dalam Jurnal Analisis Pengaruh Kebisingan Terhadap Tingkat Konsentrasi Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Proses PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta, data hasil pengukuran kebisingan di bagian proses PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta, sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Pengukuran Kebisingan di Bagian Proses PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta No. Kebisingan (dBA) Frekuensi Presentase () 1 88 1 8 2 91 1 8 3 97 2 17 4 93 1 8 5 94 3 25 6 95 2 17 7 100 2 17 Rata-rata 94,83 12 100 Menurut Nabilatul Fanny dalam Jurnal Analisis Pengaruh Kebisingan Terhadap Tingkat Konsentrasi Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Proses PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta, rata-rata kebisingan di bagian proses PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta adalah 94,83 dB (A). Adapun menurut Muhamad Rian Ardiansyah et al dalam Jurnal Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Tekanan Darah dan Tingkat Stres Kerja, didapatkan hasil pengukuran kebisingan di area seksi pallet, sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Pengukuran Kebisingan di Area Seksi Pallet No. 1 2 3 4
Mesin Mesin Mesin Mesin
Area potong serut belah nailer
Intensitas Kebisingan 98,5 83,6 93,1 96,5
NAB (85 dBA) >NAB ≤NAB >NAB >NAB
Menurut Muhamad Rian Ardiansyah et al dalam Jurnal Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Tekanan Darah dan Tingkat Stres Kerja, rata-rata kebisingan di area seksi pallet adalah 92,93 dBA. Dari tabel 2 rata-rata kebisingan adalah 94,83 dBA, dan dari tabel 3 ratarata kebisingan 92,93 dBA, terpapar selama 8 jam kerja. Menurut Tri Budiyanto et al dalam Jurnal Hubungan Kebisingan dan Massa Kerja Terhadap Terjadinya Stres Kerja pada Pekerja di Bagian Tenun ”Agung Saputra Tex” Piyungan 156
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Bantul Yogyakarta, didapatkan hasil hubungan antara tingkat kebisingan terhadap terjadinya stres kerja sebagai berikut: Tabel 4. Hubungan Antara Tingkat Kebisingan Terhadap Terjadinya Stres Kerja Pada Pekerja di Bagian Tenun ”Agung Saputra Tex” Piyungan Bantul Yogyakarta Tingkat Kebisingan Bising (>85 dB) Tidak bising (<85 dB) Jumlah
Stress Kerja Stress ringan n %
Stress sedang N % 39
88,6 %
3
6,8 %
P-Value
RP
0,039
1,875 (0,4637,445)
Total n
%
42
95,5 %
1
2,3 %
1
2,3 %
2
4,5 %
40
90,9 %
4
9,1 %
44
100 %
Menurut Tri Budiyanto et al hasil di atas yang telah ditambahkan nilai 1 pada semua sel menunjukkan bahwa dari sebanyak 42 atau 95,5% pekerja yang mengalami tingkat kebisingan (>85 desibel) terdapat sebanyak 39 atau 88,6% pekerja yang mengalami stres kerja kategori sedang, Adapun dari sebanyak 2 atau 4,5% pekerja yangtidak mengalami tingkat kebisingan (<85 desibel) terdapat hanya 1 atau 2,3% pekerja yang mengalami stres kerja kategori sedang. Hasil nilai hitung statistik menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan stres kerja pada pekerja di bagian tenun ”Agung Saputra Tex” Piyungan Bantul Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value sebesar 0,039 (< 0,05). Kemaknaan secara biologis menyatakan bahwa terdapat pekerja yang mengalami tingkat kebisingan (> 85 desibel) memiliki peluang resiko terkena stres kerja sedang 1,857 kali (0,4637,445) dibanding pekerja yang tidak mengalami tingkat kebisingan (< 85 desibel). Adapun menurut Ratih Wahyuning dalam skripsi Pengaruh Kebisingan Terhadap Stres Kerja pada Pekerja BagianWeaving di PT Iskandar Indah Printing TextileSurakarta, didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Stres Kerja Kebisingan Kebisingan > 85 dB(A) Kebisingan <85 dB (A) Total
Ringan
Tingkat Stress Sedang n %
n
%
Berat
n
%
10
31,25
14
43,75
8
25
32
62,75
13
25,49
6
11,76
42
94
27
69,24
14
36,76
157
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa lokasi di bagian > 85 dB(A), 10 pekerja mengalami stres ringan (31. 25%), 14 pekerja mengalami stres sedang (43. 75%), dan 8 pekerja mengalami stres berat (25%). Adapun di bagian < 85 dB(A), 32 pekerja mengalami stres ringan (62. 75%), 13 pekerja mengalami stres sedang (25. 49%), dan 6 pekerja mengalami stres berat (11. 76%). Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan antara kebisingan sengan stres kerja pada pekerja di PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta. Hasil perhitungan analisis bivariat diperlihatkan pada tabel berikut: Tabel 6. Hasil Uji Chi Square Kebisingan Kebisingan >85 dB (A) Kebisingan <85 dB (A) Total
Tingkat Stress Ringan Sedang Berat n N n 10
14
P
OR
C
CL
0,019
2,103
29,5
0,7156,185
8
32
13
6
42
27
14
Menurut Ratih Wahyuning dapat dilihat bahwa digunakan Uji Chi Square dengan jumlah sampel 83 orang, didapatkan hasil nilai signifikan p(value) = 0. 019, Odds Ratio (OR) 2. 103, Contingency Coefficient (C)29. 5, dan Confidence Interval (CI) 0. 715-6. 185. Maka dapat diambilkesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antarakebisingan terhadap stres kerja pada pekerja di bagian weaving PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.
Gambar 1. Pebandingan Stress Kerja Pekerja Sebelum Bekerja dan Sesudah Bekerja
158
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Menurut Muhamad Rian Ardiansyah et al dalam Jurnal Pengaruh Intensitas Kebisingan terhadap Tekanan Darah dan Tingkat Stres Kerja, hasil dari pengukuran tingkat stres kerja yaitu rata-rata tingkat stres kerja sebelum bekerja adalah sebesar 86. 23 satuan dan setelah bekerja adalah sebesar 91. 56 satuan. Pada 23 data yang diambil terdapat 18 Responden yang mengalami kenaikan tingkat stres kerja dan 5 Responden yang mengalami penurunan tingkat stres kerja. Menurut Idhayu Oktarini dalam skripsi Pengaruh Kebisingan terhadap Stress Kerja Tenaga Kerja Penggilingan Padi CV Padi Makmur Karanganyar, didapatkan distribusi penilaian stress kerja sebagai berikut: Tabel 7. Distribusi Penilaian Stress Kerja Lokasi Kerja Di dalam ruangan Di halaman Total
Penilaian Stress Kerja Stress Tidak Stress 18 10
Prosentase (%) Stress Tidak Stress
0
100 %
8
55,56 %
36
0 44,44 % 100
Berdasarkan tabel di atas tenaga kerja yang bekerja di dalam ruangan penggilingan padi 18 orang (100 %) mengalami stress kerja, Adapun tenaga kerja yang bekerja di halaman penggilingan padi 10 orang ( 55,56 %) mengalami stress kerja dan 8 orang (44,44 %) tidak mengalami stress kerja. Kebisingan yang terlalu tinggi atau melebihi NAB menyebabkan pekerja cepat merasa lelah, pusing dan kurang nyaman dalam bekerja, sehingga dapat menimbulkan stress kerja. Pengaruh bising secara psikologis, yaitu berupa penurunan efektivitas kerja dan kinerja seseorang. Pengaruh kebisingan terhadap tubuh sama seperti pengaruh stress terhadap tubuh manusia. Stress kerja dapat menimbulkan reaksi pada tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit psikis, kecelakaan kerja, absensi kerja, lesu kerja dan gangguan jiwa.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebisingan yang terlalu tinggi atau melebihi NABdapat menyebabkanpekerja cepat merasa lelah, pusing dan kurang nyaman dalam bekerja, sehingga dapat menimbulkan stress kerja. Stress kerja dapat menimbulkan reaksi pada tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit psikis, kecelakaan kerja, absensi kerja, lesu kerja dan gangguan jiwa. 159
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dosen pembimbing yaitu Bapak Sumardiyono yang telah memberikan ilmunya kepada kami. 2. Teman-teman kelompok yang telah berpartisipsi penuh dalam pembuatan arikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Anizar. 2012. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu Ardiansyah, M. R. , Ja’far Salim, Wahyu Susihono. 2013. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Tekanan Darah dan Tingkat Stres Kerja. Jurnal Teknik Industri. Vol. 1, No. 1, Maret 2013, pp. 7-12, ISSN 2302-495X. Budiono. 1998. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Semarang: Universitas Diponegoro. Budiono Sugeng, R. M. S Jusuf, Andriana Pusparini. 2013. Bunga Rampai Hiperkses dan Kesehatan Kerja. Semarang: Universitas Diponeggoro. Budiyanto, Tri. , Erza Yanti Pratiwi. 2010. Hubungan Kebisingan dan Massa Kerja Terhadap Terjadinya Stres Kerja pada Pekerja di Bagian Tenun ”Agung Saputra Tex” Piyungan Bantul Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 4. No. 2, JUNI 2010, pp. 126 – 135, ISSN 1978-0575. Fanny, Nabilatul. 2015. Analisis Pengaruh Kebisingan Terhadap Tingkat Konsentrasi Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Proses PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan. Vol. 5, No. 1, Februari 2015, pp. 5261, ISSN 2086 – 2628. Oktarini, Idhayu. 2010. Pengaruh Kebisingan Terhadap Stress Kerja Tenaga Kerja Penggilingan Padi CV Padi Makmur Karanganyar. Skripsi. Program Diploma IV Kesehatan Kerja Unversitas Sebelas Maret, Surakarta. Roestam A. W. 2003. Pelatihan Aplikasi Ergonomi untuk Produktivitas. Jakarta: Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suma’mur, PK. 2014. Hygiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Sagung Seto Wahyuning, Ratih. 2013. Pengaruh Kebisingan Terhadap Stres Kerja pada Pekerja Bagian Weaving di PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta. Skripsi. Program Diploma IV Kesehatan dan Keselamatan Kerja Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
160
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENGARUH PAJANAN DEBU TERHADAP TIMBULNYA GEJALA ISPA PADA PEKERJA UNIT BOILER DI PERUSAHAAN PENGGUNA BAHAN BAKAR BATU BARA Ersa Dwi Meitilana* , Dwi Istiani, Ibnu Syihab Azzuhri, Wahyu Kandi Putri Trisnawati Inayah, Sumardiyono Prodi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Surakarta *Pos-el: [email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang disebabkan karena faktor lingkungan kerja. Hal ini dapat terjadi karena pekerja seringkali dihadapkan pada pejanan atau beban kerja yang berbahaya terhadap kesehatanya. Salahsatu faktor yang memengaruhinya adalah faktor kimia yakni debu. Pada perusahaan yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar produksi memiliki ancaman gangguan pernafasan seperti ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari debu batubara pada pekerja di unit boiler. Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan studi pustaka. Data diambil dari beberapa jurnal yang menganalis dan meneliti tentang perusahaan yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Hasil: Hasil yang didapatkan adalah tenaga kerja pada unit kerja boiler sangat rentan terkena gangguan pernafasan yaitu ISPA. Gejala yang sering dialami adalah batuk dan keluhan pada dada. Apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan ISPA berupa brongkitis akut, TBC, dan Asma. Kesimpulan: Kesimpulanya adalah udara di sekitar unit boiler tidak aman untuk dihirup karena dapat menyebabkan gangguan pernafasan seperti ISPA Kata kunci: debu, pekerja, gangguan pernapasan.
PENDAHULUAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif melalui kajian studi. Kajian studi ini menggunakan Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses produksi industri. Oleh karena itu peranan sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan, maupun kesehatan kerjanya. Begitu pula untuk setiap sumber produksi perlu dipergunakan secara aman dan efisien. Tempat kerja, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi lingkungan kerja seperti, faktor fisika, kimia, biologis, dan psikologis. Semua faktor tersebut juga dapat menyebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sehingga dalam bekerja perlu memperhatikan semua
161
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
faktor tersebut untuk menghindari atau menurunkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, serta untuk meningkatkan prokdutivitas kerja. Badan dunia International Labour Organization (ILO) tahun 1999 mengemukakan penyebab kematian yang diakibatkan oleh pekerjaan sebesar 34% adalah penyakit kanker, 25% kecelakaan, 21% penyakit saluran pernapasan, 15% penyakit kardiovaskuler, dan 5% disebabkan oleh faktor lain. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang utama dibuktikan dengan prevalensi ISPA di Indonesia sebanyak 25,5% (rentang: 17,5%-41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional dan pneumonia sebanyak 2,1% (rentang: 0,8% -5,6%). Indonesia merupakan salah satu Negara yang kaya akan galian (tambang), meliputu emas, perak tembaga, batubara, minyak dan gas. Industri pertambangan batubara sangatlah banyak, serta cadangan batu bara di Indonesia lebih besar dari minyak bumi. Sehingga pemerintah mulai melihat batu bara sebagai sumber energi alternatif. Selain sebagai energi alternatif, batubara juga digunakan sebagai bahan bakar pada mesin Boiler. Pajanan debu dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut maupun kronis. Partikel debu yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan adalah dari hasil industri yang mencemari udara seperti debu batubara, semen, kapas, debu organik dan lain-lain. Debu batubara adalah campuran kompleks berbagai mineral, trace metal dan bahan organik dengan derajat yang berbeda dari partikulat batubara. Pencemaran udara yang diakibat batubara sebagai bahan bakar pada unit Boiler ini akan berdampak negatif terhadap paru-paru pekerja. Penyakit pernafasan yang umumnya timbul akibat paparan partikel debu batu bara yaitu menurunnya kualitas udara sampai taraf yang membahayakan kesehatan dan akhirnya menimbulkan dan meningkatkan gangguan penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Oleh karena itu, kami berkeinginan untuk membahas lebih lanjut mengenai masalah ini, guna mengetahui pengaruh pajanan debu terhadap timbulnya gejala ispa pada pekerja unit boiler di perusahaan pengguna bahan bakar batu bara.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif melalui kajian studi. Kajian studi ini menggunakan Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis menggunakan metode deskriptif yakni studi yang bertujuan untuk mempelajari masalah secara mendalam. Topik masalah yang akan dibahas adalah dampak paparan debu bagi pekerja di perusahaan yang menggunakan bahan bakar batu bara. 162
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Adapaun metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dengan mencari informasi lewat buku, majalah, koran, dan literatur lainya yang bertujuan untuk membentuk sebuah landasan teori (Arikunto: 2006). Penulis menggunakan metode studi pustaka bertujuan untuk mendapatkan banyak data yang relevan dengan topik pembahasan yaitu dampak paparan debu di unit Boiler pada perusahaan yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Penulis mengkorelasikan beberapa jurnal untuk mendapatkan data yang akurat. Dengan demikian, sumber data pada penelitian ini adalah hasil penelitian dari jurnal yang telah diakui secara nasional atau internasional.
HASIL DAN PEMBAHASAN Debu adalah salah satu bahan yang sering disebut partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1-500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara, baik dalam maupun di luar gedung (Indoor and Out Door Pollution), debu sering dijadikan indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Paparan debu dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut maupun kronis. Partikel debu yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan akut salah satunya adalah hasil industri yang dapat mencemari udara seperti debu batu bara, semen, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun, debu pada penggilingan padi (debu organik) dan lain-lain. Debu batubara adalah campuran kompleks berbagai mineral, trace metal dan bahan organik dengan derajat yang berbeda dari partikulat batubara. Pencemaran udara akibat pembakaran dengan boiler menggunakan bahan bakar batu bara ini akan berdampak negatif terhadap paru-paru pekerja. Penyakit pernafasan yang umumnya timbul akibat paparan partikel debu batu bara yaitu menurunnya kualitas udara sampai taraf yang membahayakan kesehatan dan akhirnya menimbulkan dan meningkatkan gangguan penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. ISPA adalah terjadinya infeksi yang parah pada bagian sinus, tenggorokan, saluran udara, atau paru-paru. Penyebab infeksi saluran pernapasan atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 jenis. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Faktor risiko utama adalah karena adanya polusi, kondisi lingkungan yang buruk seperti polutan udara. Kondisi lingkungan kerja di unit boiler pada perusahaan umumnya banyak terdapat debu batu bara yang dihasilkan dari proses pemanasan air/softwater guna mendapatkan uap 163
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
panas (steam) untuk menunjang proses produksi di plant. Batu bara adalah bahan bakar yang sering digunakan dalam penggunaan boiler. Debu batu bara merupakan salah satu partikel padat yang terbentuk karena proses pembakaran batu bara. Batu bara merupakan salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk oleh batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik yang berasal dari sisasisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Penelitian yang pernah di lakukan oleh PT Kalimantan Prima Persada (Sholihah dkk: 2008) tentang pekerja yang berada di unit boiler menunjukan data sebagai berikut: Tabel 1.
Gangguan pernapasan yang dialami pekerja lapangan PT Kalimantan Prima Persada Sungai Putting, 2007
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Gangguan Pernafasan Jumlah Persentase (%) Batuk kering 14 23,73 Batuk berdahak 15 25,42 Sesak nafas 8 13,56 Asma akibat kerja 7 11,86 Alergi debu 3 5,08 Keluhan pada dada 6 10,17 TAK (Tanpa Keluhan) 6 10,18 Jumlah 59 100. 00 Sumber: Sholihah, Q., Khairiyati L, Setyaningrum, R. Pajanan Debu Batubara Dan Gangguan Pernapasan Pada Pekerja Lapangan Tambang Batubara. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2008 ; Vol, 4(2): 1-8. Tabel. 1 tersebut menunjukan terdapat gangguan pernafasan pada pekerja di PT Kalimantan Prima Persada. Gangguan pernafasan yang sering dialami pekerja sesuai dengan responden yang ada adalah batuk berdahak dan batuk kering. Debu yang berterbangan yang masuk ke dalam pernafasan menimbulkan reaksi berupa lendir. Secara keseluruhan, debu yang dihasilkan dari boiler mengakibatkan ISPA walaupun dalam jangka pendek masih dalam tahap relatif ringan. Hal tersebut juga sesuai penilitian dengan menggunakan quisoner pada pekerja boiler PT Acidatama dengan 20 responden. Hasilnya yang mengalami ISPA sebanyak 13 orang (65%) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak
7 orang (35%).
De nga n
d e mik ia n , dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan kerja terutama kondisi udara disekitar
unit boiler
tentunya kurang aman untuk dihirup karena dapat menyebabkan
gangguan pernapasan seperti ISPA.
164
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Menurut Hyatt (2006) dalam Khumaidah (2009) apabila tenaga kerja yang bekerja pada lingkungan dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama akan memiliki risiko terkena penyakit gangguan pernapasan, apalagi dengan tenaga kerja yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun pada ligkungan kerja dengan debu berkonsentrasi tinggi. Perusahaan Lem di Purbolinggo juga menunjukan hasil yang sama yaitu (Luthfida Anisa dan Soedjadjadi Keman: 2014) menunjukan masalah kesehatan berupa paparan jangka pendek seperti penyebab serangan asma dan bronchitis akut, peningkatan kerentanan infeksi pernapasan, iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru, batuk dan bersin, napas pendek dan hidung berair, dan serangan jantung pada penderita penyakit jantung. Pengaruh Kadar Debu Batubara terhadap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Efek debu terhadap saluran pernapasan telah terbukti bahwa kadar debu berhubungan dengan kejadian gejala penyakit pernapasan terutama gejala batuk. Di saluran pernapasan, debu yang mengendap menimbukan oedema mukosa di dinding saluran pernapasan sehingga terjadi penyempitan pernapasan.
Menurut beberapa penelitian mengenai pajanan debu batu
bara terhadap gangguan pernapasan, debu batu bara yang terhirup akan menyebabkan gangguan pernapasan seperti batuk kering, batuk berdahak, sesak napas, asma akibat kerja, alergi debu, keluhan pada dada (Sholihah, 2008).
KESIMPULAN Dari data yang telah didapatkan dapat disimpulkan bahwa unit kerja boiler merupakan unit kerja yang berpotensi besar bagi para pekerja untuk terpapar debu batu bara. Hal ini dikarenakan oleh proses memanaskan air/ softwater guna mendapatkan uap panas atau steam untuk menunjang proses produksi di plant, batu bara merupakan bahan bakar yang sering digunakan, sehingga pada proses ini menghasilkan debu batu bara.
Selain itu, adanya
aktivitas lain di sekitar boiler yang memicu adanya debu batu bara dapat beterbangan. Sehingga bila tenaga kerja yang bekerja pada area boiler dalam waktu yang lama akan memiliki risiko terkena penyakit gangguan pernapasan, apalagi dengan tenaga kerja yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun pada ligkungan kerja dengan debu berkonsentrasi tinggi.
165
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Dekan FK UNS, yang telah memberi izin kepada penulis untuk mengikuti Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 2. Kepala Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja. 3. Panitia Penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016. 4. Dosen D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja.
DAFTAR PUSTAKA Anisa Kurnia, Luthfida, and Soedjajadi Keman 2014. "Analisis Risiko Paparan Debu Pm 2, 5 Terhadap Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronis Pada Pekerja Bagian Boiler Perusahaan Lem di Probolinggo". Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, 118–125. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Khumaidah. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Mebel PT Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. Tesis. Semarang: Magister Pasca Sarjana UNDIP. Sholihah, Q. , Khairiyati L, Setyaningrum, R. Pajanan Debu Batubara Dan Gangguan Pernapasan Pada Pekerja Lapangan Tambang Batubara. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2008 ; Vol, 4(2): 1-8. Vitasasmiari, E. 2013. “Pengaruh kadar debu batu bara terhadap infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada tenaga kerja di unit Boiler PT Indo Acidatama Tbk. Kemiri, Kebakramat”. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Yusnabeti, Ririn Arminsih Wulandari dan Ruth Luciana 2010. ”Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pekerja Industri Mebel”. Journal of Health Research Vol. 14, 25-30.
166
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENILAIAN EFEKTIVITAS PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI RUMAH SAKIT Dr. R. HARDJANTO BALIKPAPAN James Evert Adolf Liku* , Naila Suroyya Lembaga Penelitian Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Balikpapan * Pos-el:
james@uniba-bpn. ac. id
ABSTRAK Pendahuluan: Penilaian efektifitas penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di Rumah Sakit TK. II Dr. R. Hardjanto Balikpapan kesesuaian Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1087/Menkes/SK/VIII/2010. Penelitian dilakukan untuk mengetahui tingkat efektifitas penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit. Metode Penelitian: Jenis penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, metode yang digunakan adalah observasi data dan lapangan serta didukung dengan kuesioner, di mana kuisioner ditujukan kepada tenaga medis, tenaga non medis, dokter di Rumah Sakit Tingkat II Dr. R. Hardjanto Balikpapan dengan responden sebanyak 30 orang. Hasil: Program keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit telah diterapkan dengan menghitung efektifitas melalui besaran presentasi dari beberapa elemen. Elemen tersebut antara lain pengembangan kebijakan K3RS 59%, pembudayaan perilaku K3RS 62%, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) K3RS 46%, pengembangan pedoman – petunjuk teknis dan prosedur K3RS 89%, pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja 92%, pelayanan kesehatan kerja 77%, pelayanan keselamatan kerja 88%, pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah 92%, pengelolaan jasa bahan beracun dan berbahaya 91%, pengembangan manajemen tanggap darurat 91%, pengumpulan pengelolaan dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3 83%, pengkajian ulang program tahunan 88%. Kesimpulan: Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit Dr. R. Hardjanto Balikpapan telah memenuhi kriteria efektif dengan nilai efektifitas keseluruhan 80%. Kata kunci: efektifitas, keselamatan,kesehatan, rumah sakit.
PENDAHULUAN Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Selain dituntut mampu memberikan pelayanan dan pengobatan yang bermutu, Rumah Sakit juga dituntut harus melaksanakan dan mengembangkan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) seperti yang tercantum dalam buku 167
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Standar Pelayanan Rumah Sakit dan terdapat dalam instrumen akreditasi Rumah Sakit (Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor: 1087/MENKES/SK/VIII/2010). Sejalan dengan peraturan tersebut dalam kegiatan operasional Rumah Sakit Tk. II Dr. R. Hardjanto Balikpapan berusaha untukmenciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan melalui penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam operasional tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai “Penilaian Efektifitas Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit Dr. R. Hardjanto Balikpapan”. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuriakan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah penilaian tingkat efektifitas penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di Rumah Sakit Tingkat II Dr. R. Hardjanto?”. Rumusan masalah penelitian ini yaitu untuk mengetahui seberapa efektif penerapan Keselamatan dan Kesehatan kerja untuk meningkatkan efesiensi pelayanan di Rumah Sakit Tingkat II Dr. R. Hardjanto Balikpapan.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah jenis penelitian metode deskriptif persentase (kuantitatif) yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gamabaran atau deskripsi tentang suatu penerapan secara objektif yang menurut sugiyono (2014) dikatakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan persentase. Metode Kuantitatif digunakan apabila masalah merupakan penyimpangan antara seharusnya dengan yang terjadi, antara aturan dengan pelaksanaan, antara teori dengan praktik, antara rencana dengan pelaksanaan. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr. R. Hardjanto Balikpapan yang terletak di Jalan Tanjung Pura Balikpapan, Kalimantan Timur. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret sampai dengan Mei 2016. Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui observasi serta wawancara, data akan diolah dengan dua tahapan yaitu dengan memeriksa data dan meneliti kembali catatan pencari data untuk mengetahui apakah catatan itu cukup baik dan segera dapat disiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Pemeriksaan dilakukan untuk meningkatkan mutu (reabilitas dan validitas) data yang hendak diolah dan dianalisis. Data yang diolah dalam proses tabulasi memperhatikan catatan hasil observasi dan wawancara selama penelitian di lapangan. 168
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Metode ini digunakan untuk mengkaji efektifitas penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di Rumah Sakit Tk. II Dr. R. Hardjanto. Deskriptif persentase ini diolah dengan cara frekuensi dibagi dengan jumlah responden dikali 100% seperti dikemukakan oleh Sudjana (2001:129). Kriteria penilian dari hasil kuesioner yang berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit 0-50% kurang efektif, 51-75% cukup efektif, 76-100% efektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Analisis Hasil Penerapan SMK3RS No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1.
Elemen Pengembangan kebijakan K3RS Pembudayaan perilaku K3RS Pengembangan SDM K3RS Pengembangan Pedoman, Petunjuk Teknis dan Prosedur K3RS Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja Pelayanan kesehatan kerja Pelayanan keselamatan kerja Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair dan gas Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya Pengembangan manajemen tanggap darurat Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3 Pengkajian ulang program tahunan
Jumlah Pertanyaan
Jawaban
Tingkat Efektifitas
3 2 3
Ya 53 37 41
Tidak 37 23 49
3
80
10
89%
3
83
7
92%
2 3
46 79
14 11
77% 88%
3
83
7
92%
3
82
8
91%
3
82
8
91%
3
75
15
83%
2 33
53 794
7 196
88% 80%
59% 62% 46%
Pengembangan Kebijakan K3RS Tingkat efektifitas Elemen 1 Pengembangan kebijakan K3RS sebesar 59%memenuhi kriteria cukup efektif. Organisasi K3RS/P2K3 telah dibentuk dan sudah menjalankan fungsinya, namun belum disahkan dan belum disosialisasikan. Perencanaan untuk 3 tahun berikut sudah dilakukan dan juga telah direvisi tiap tahunnya, hanya saja program yang ada belum terperinci untuk tiap unit kerja dan belum sepenuhnya disosialisasikan kepada seluruh karyawan.
169
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
2.
Pembudayaan Perilaku K3RS Tingkat efektifitas elemen 2 Pembudayaan K3RSsebesar 62% memenuhi kriteria cukup efektif. Sosialisai K3 telah dilakukan, namun tidak kepada seluruh karyawan mendapatkan sosialisasi K3. Penyebaran informasi hanya dilakukan sebatas menampilkan poster K3 di tempat pelayanan pasien dan pengungjung.
3.
Pengembangan SDM K3RS Tingkat efektifitas elemen 3 pengembangan SDM K3RS sebesar 46% memenuhi kriteria kurang efektif. Manajemen belum secara spesifik mengembangkan SDM KRS di tiap unit. Manajemen baru melaksanakan sosialisasi mengenai pengunaan APAR dan sosialisasi bantuan hidup dasar. SDM yang telah mengikuti pelatihan K3 hanya sebatas 3 orang dokter.
4.
Pengembangan Pedoman Petunjuk Teknis dan Prosedur K3RS Tingkat Efektifitas elemen 4 Pengembangan Pedoman Petunjuk Teknis dan Prosedur K3RS sebesar 89% memenuhi kriteria efektif. Manajemen telah membuat pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan kerja, pelayanan keselamatan kerja, tanggap darurat, pencegahan dan penanggulangan kebakaran, kesehatan lingkungan, pengelolaan limbah B3, pencegahan kecelakaan dan bencana, pengendalian penyakit infeksi, serta angkat angkut pasien sudah terpenuhi dan diterapkan pada setiap unit yang ada. Khusus untuk pedoman ergonomi belum secara spesifik yang ada hanya terkait angkat angkut pasien.
5.
Pemantauan dan Evaluasi Kesehatan Lingkungan Tempat Kerja Tingkat efektifitas elemen 5 pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerjasebesar 92%telah memenuhi kriteria efektif. Manajemen telah melakukan pemetaan terhadapkesehatan lingkungan namun untuk pengawasan dan pemantauannya belum dilakukan secara konsisten karena belum ada petugas yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan tersebut. Manajemen telah melakukan penyehatan dan pengawasan lingkungan seperti penyehatan makanan dan minuman, cara penyajian yang higenis untuk para pasien, penyehatan air, penanganan limbah, menyediakan tempat pencucian umum termasuk laundry,
pembasmian
pengendalian
serangga.
Terkait
sterilisasi
manajemen
telah
menyediakan CSSD adalah tempat khusus untuk menyeterilkan alat-alat kesehatan. Disisi lain manajemen belum melaksanakan pemantauan ruangan, bangunan dan fasilitas sanitasi termasuk pencahayaan, suhu ruangan dan kebisingan.
170
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
6.
Pelayanan Kesehatan Kerja Tingkat efektifitas elemen 6 pelayanan kesehatan sebesar 77% telah memenuhi kriteria efektif.
Manajemen telah melakukan pemeriksaan kesehatan kepada seluruh karyawan
secara berkala serta khusus dan hasilnya telah dianalisa lebih lanjut untuk proses yang akan diberikan kepada karyawan serta memberikan pengobatan dan rehabilitasi bagi karyawan yang membutuhkan.
Selain
itu manajemen juga
telah melakukan kegiatan
yang
mendukung kesehatan karyawan antaralain penyuluhan medis dan senam bersama. Untuk perlindungan
spesifik
dengan
pemberian
imunisasi
belum
terlihat
dan
kegiatan
pengawasan kesehatan kerja belum dilakukan secara konsisten. 7.
Pelayanan Keselamatan Kerja Tingkat efektifitas elemen 7 pelayanan keselamatan kerja sebesar 88% telah memenuhi kriteria efektif. Manajemen telah memiliki data sarana, prasarana serta peralatan yang akan diperiksa serta dikalibrasi dan telah melakukan kalibrasi internal juga kalibrasi legal secara berkala. Sarana, prasarana serta peralatan yang digunakan tersimpan, terpelihara, dan terawat dengan baik, juga telah tersertifikasi. Jadwal pemeliharaan dan perawatan telah dibuat namun dalam pelaksanaan pemeriksaan beberapa peralatan diundur karena masih digunakan dalam kegiatan operasional.
8.
Pengembangan Program Pemeliharaan Pengelolaan Limbah Tingkat efektifitas pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair dan gassebesar 92% telah memenuhi kriteria efektif. Manajemen telah melakukan pengelolaan seperti pemilahan sampah dengan menyediakan tempat penampungan limbah medis dan nonmedis, pemberian tempat sampah kuning – limbah medis dan hijau – limbah non medis. Tersedia fasilitas incinerator pengeloh limbah rumah sakit, demikian juga ketersediaan APD yang layak pakai.
9.
Pengelolaan Jasa, Bahan Beracun dan Barang Berbahaya Tingkat efektifitas pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya sebesar 91% telah memenuhi kriteria efektif. Manajemen telah menyediakan prosedur pengadaan, penyimpanan dan penanggulangan bila terjadi kontaminasi dengan acuan Lembar Data Keselamatan Bahan. Manajemen juga telah membuat prosedur kewaspadaan, upaya pencegahan dan pengendalian bencana pada tempat yang berisiko dengan mengunakan poster yang dipasang di tiap unit. Manajemen pun telah melakukan pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana, prasarana dan peralatan
171
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
kesehatan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan check list pada seluruh peralatan kesehatan yang terkait dengan penggunaan bahan beracun dan berbahaya. 10. Pengembangan Manajemen Tanggap Darurat Tingkat efektifitas elemen 10 Pengembangan manajemen tanggap daruratsebesar 91% telah memenuhi kriteria efektif. Manajemen telah membentuk tim tanggap darurat dan menyusun langkah-langkah evakuasi,
menyediakan rambu-rambu/tanda khusus
jalan
keluar untuk evakuasi apabila terjadi bencana di setiap unit serta menyediakan 3 master point telah. Manajemen juga telah menyediakan APAR di setiap unit dan telah melakukan ujicoba/simulasi terhadap kesiapan petugas tanggap darurat. Manajemen belum dapat menyediakan sistem pendeteksi api seperti heat detector, smoke detector, sprinkle dan maupun hydrant. 11. Pengumpulan, Pengolahan, Dokumentasi Data dan Pelaporan Kegiatan K3 Tingkat efektifitas elemen 11 pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3sebesar 83% telah memenuhi kriteria efektif. Manajemen telah membuat sistem komunikasi internal dan eksternal tanggap darurat, menyusun prosedur pencatatan dan pelaporan serta penanggulangan kecelakaan kerja, PAK, kebakaran dan bencana demikian juga format pencatatan dan pelaporan. Manajemen telah membuat sistem pelaporan kejadian sesuai dengan alur pelaporan dan tindak lanjutnya. 12. Pengkajian Ulang Program Tahunan Tingkat efektifitas elemen 12 pengkajian ulang program tahunansebesar 88% telah memenuhi kriteria efektif. Manajemen mengikuti akreditasi rumah sakit yang setiap tahunnya dikaji secara internal. Manajemen telah membentuk tim tanggap darurat yang tugas dan fungsinya terkait kewaspadaan bencana. Secara keseluruhan tingkat efektifitas dari elemen 1 hingga 12 sebesar 80%, telah memenuhi kriteria efektif. Tingkat Efektifitas Penerapan SMK3RS 20% Ya 80%
Gambar 1. Tingkat Efektifitas SMK3RS
172
Tidak
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
1087/Menkes/SK/VIII/2010 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit di Rumah Sakit Tk. II Dr. R. Hardjanto Balikpapan telah memenuhi kriteria efektif dengan nilai efektifitas keseluruhan 80%. Secara terperinci tingkat efektifitas tiap elemen sebagai berikut: pengembangan kebijakan K3RS 59%, pembudayaan perilaku K3RS 62%, pengembangan SDM K3RS 46%, pengembangan pedoman, petunjuk teknis dan prosedur K3RS 89%, pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja 92%, pelayanan kesehatan kerja 77%, pelayanan keselamatan kerja 88%, pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat cair dan gas 92%, pengelolaan jasa bahan beracun dan berbahaya 91%, pengembangan manajemen tanggap darurat 91%, pengumpulan pengelolaan dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3 83%, pengkajian ulang program tahunan 88%. Untuk meningkatkan nilai efektifitas maka disarankan kepada manajemen untuk membuat program pelatihan K3RS secara terperinci untuk tiap unit kerja, menunjuk petugas untuk memantau lingkungan tempat kerja dari risiko yang ada, melaksanakan pemantauan cahaya, suhu dan kebisingan, meningkatkan promosi kesehatan bagi pekerja pasien dan pengunjung melalui radio rumah sakit, membuat pedoman prakts ergonomi di area kerja, melakukan sosialisasi program K3 bagi seluruh pekerja sesuai unit kerjanya.
DAFTAR PUSTAKA Drs. Soewarno, Handayaningrat. 1990. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: PT Toko Gunung Agung. Drs. Ulbert Silalahi, 2007. Studi Tentang Ilmu Administrasi, Bandung: Sinar Baru Algensindo. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007 Tentang pedoman Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:1087/MENKES/SK/VII/2010 Tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit. Kusuma, Ibrahim Jati, 2010. Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Karyawan PT Bitratex Industri. Skripsi. Universitas Diponegoro Mangkunegara, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Novie E. Mauliku, jurnal Kajian Analisis penerapan system manajemen K3RS di rumah sakit,Bandung 173
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Puji Winarni Rahayuningsih, 2011. jurnal penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (MK3) di instalasi gawat darurat RSU PKU muhammadiyah,Yogyakarta. Simanjuntak, 1994. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: HIPSMI. Siswowardojo Widodo, 2003. Norma Perlindungan Ketenaga Kerjaan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta. Sudjana, 2001. Metode Statiska. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,Bandung: Alfabeta. Suma’mur. 2009. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Gunung Agung, Jakarta. Suma’mur. 2006. Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta: PT Toko Gunung Agung. Tarwaka. 2008. Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Press. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja
174
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
IMPLEMENTASI METODE NORDIC BODY MAP UNTUK MENGIDENTIFIKASI KELELAHAN MAHASISWA D3 HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS Danang Adhi Kurniawan*, Hanif Siti Nur Fatimah, Giri Prasetyo Aji, Wisnu Suryo Andriyanto, Rahmat Ghufron Romadhoni, Sumardiyono Program Studi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Jalan Kolonel Sutarto 150 K Jebres Surakarta 57126 * Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Kelelahan kerja yang dialami tiap orang berbeda namun semuanya akan dapat menurunkan kapasitas kerja. Risiko dari kelelahan kerja tersebut di antaranya adalah terjadi stress akibat kerja, penyakit akibat kerja dan terjadi kecelakaan akibat kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelelahan yang dialami mahasiswa D3 Hiperkes dan KK saat kuliah atau ujian dan menggunakan fasilitas di kampus D3 Hiperkes dan KK. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Jenis data dalam penelitian ini ditinjau dari data primer dengan sampel 44 orang mahasiswa. Alat ukur dan penilaian yang digunakan menggunakan formulir pengukuran metode Nordic Body Map. Hasil: Ditemukan beberapa hal yang berkaitan dengan tingkat kelelahan mahasiswa D3 Hiperkes dan KK yaitu: 1) informan secara umum 50% merasakan agak sakit di tubuh bagian atas, 2) sebanyak 50% -95% informan merasa tidak sakit di tubuh bagian bawah, 3) sekitar 215% informan tetap merasakan kesakitan, kemungkinan bisa bertambah parah apabila pekerjaan dilakukan dengan jangka waktu lama. Kesimpulan: Proses perkuliahan di kampus D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja belum diperlukan adanya perbaikan. Perkuliahan yang nyaman akan memengaruhi hasil kinerja dari mahasiswa untuk berprestasi. Kata kunci: Nordic Body Map, kelelahan mahasiswa.
PENDAHULUAN Begitu banyak pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan mesin, mulai dari mesin yang sangat sederhana sampai dengan menggunakan mesin yang berbasis teknologi canggih. Peningkatan
penggunaan
mekanisasi
dan
otomatisasi
pada
kecepatan
kerja,
dapat
mengakibatkan suatu pekerjaan menjadi pekerjaan yang monoton dan kurang menarik untuk dikerjakan. Akibatnya beban kerja psikologis akan menjadi lebih dominan dirasakan oleh para pekerja. Di sisi lain, di berbagai industri juga masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan secara manual yang memerlukan tuntutan dan tekanan secara fisik yang berat. Aktivitas yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya memberikan dampak yang positif dan negatif pada tubuh manusia. Salah satu bagian yang paling berdampak pada aktivitas yang 175
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
dilakukan manusia adalah pada bagian sistem rangka dan otot. Hal ini disebabkan oleh posisi kerja yang tidak ergonomis sehingga sistem rangka dan otot manusia mengalami gangguan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Akibat dari sistem rangka dan otot yang mengalami gangguan
adalah
menurunnya
tingkat
kekuatan
bagian-bagian
tubuh
dan
menurunnya produktivitas pekerja ketika melakukan aktivitas sehari-harinya. Hal seperti ini sangat merugikan proses perkuliahan dikarenakan mahasiswa yang sistem rangka dan ototnya mengalami gangguan dalam jangka pendek maupun panjang akan banyak mengajukan surat permohonan untuk izin tidak masuk kuliah. Solusi untuk mengurangi potensi gangguan dan penyakit yang dialami manusia ketika melakukan aktivitas sehari-hari dengan posisi kerja yang tidak ergonomis seperti membungkuk dengan waktu yang lama adalah dengan mempelajari ilmu sistem rangka dan otot manusia. Ilmu sistem rangka dan otot manusia yaitu ilmu yang mempelajari bagian-bagian dari kerangka, tulang, sendi, dan otot. Ilmu sistem rangka dan otot manusia juga mempelajari gangguan dan jenis keluhan yang akan dan sudah terjadi pada bagian-bagian kerangka, tulang, sendi, dan otot. Metode pengukuran yang digunakan dalam ilmu sistem rangka dan otot manusia yaitu dengan Nordic Body Map. Kelelahan adalah respon total terhadap stres psikososial yang dialami dalam satu periode waktu tertentu dan cenderung menurunkan motivasi dan prestasi kerja. Kelelahan kerja yang dialami tiap orang berbeda namun semuanya akan dapat menurunkan kapasitas kerja. Risiko dari kelelahan kerja tersebut di antaranya adalah terjadi stress akibat kerja, penyakit akibat kerja dan terjadi kecelakaan akibat kerja. Nordic Body Map adalah daftar keluhan yang diderita pekerja dalam gambar yang menerangkan nyeri yg dialami pada bagian tubuh tertentu (Lientje Setyawati K. Maurits, 2016). Kuesioner Nordic Body Map merupakan salah satu bentuk kuesioner checklist ergonomi. Kuesioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para mahasiswa karena sudah terstandarisasi dan tersusun rapi. Pengisian kuesioner Nordic Body Map ini bertujuan untuk mengetahui bagian tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum dan sesudah kegiatan perkuliahan. Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama, yaitu leher, bahu, punggung bagian atas, siku, punggung bagian bawah, pergelangan tangan atau tangan, pinggang atau pantat, lutut, tumit atau kaki. Adapun beberapa hasilnya, sebelum melakukan pengisian kuesioner didapatkan hasil yaitu: pada bagian leher dan punggung banyak keluhan terjadinya gangguan muskuloskeletal;
176
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
pada bagian bahu, siku, tangan, pantat, dan pinggang beberapa ada yang merasakan keluhan muskuloskeletal; pada bagian kaki, lutut, dan tumit beberapa tidak mengalami keluhan. Pengamatan sistem rangka dan otot manusia ini dilakukan terhadap mahasiswa D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja FK UNS yang sedang melaksanakan proses perkuliahan seperti kegiatan kuliah, ujian tengah semester, ujian akhir semester dan sebagainya. Alasan pengamatan ini dilakukan karena mudah diamati, lebih mudah mendapatkan izin dari kampus, dan mahasiswa tersebut banyak mengeluhkan rasa ketidaknyamanan terhadap fasilitas kampus yang kurang memadai seperti kursi, pencahayaan, ac, dan sebagainya. Harapan dari pengamatan ini adalah agar dapat memberikan rekomendasi perbaikan terhadap posisi kerja dan fasilitas penunjang yang digunakan untuk mengurangi potensi keluhan dan penyakit yang mungkin terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelelahan yang dialami mahasiswa D3 Hiperkes dan KK saat kuliah atau ujian, juga mengetahui kelayakan fasilitas yang digunakan di kampus D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja yang memengaruhi produktivitas serta kelelahan dalam kuliah.
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di Kampus D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jalan Kolonel Sutarto No. 150 K Surakarta Telepon (0271) 635819. Penelitian dan pengambilan data dilakukan pada Mahasiswa D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja bulan Oktober tahun 2016. Subjek yang diteliti adalah Mahasiswa D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja di Kampus Tirtomoyo saat berlangsungnya proses perkuliahan. Penelitian ini dilakukan dengan cara membagikan Kuesioner Nordic Body Map untuk penilaian terhadap risiko kerja yang berhubungan dengan gangguan otot ditempat kerja, guna mengetahui masalah yang dialami oleh para pekerja pada saat bekerja secara terus menerus. Penulis menggunakan pengetahuan teoritis yang didapat dari bangku kuliah serta buku yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Studi lapangan yang digunakan yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan tinjauan langsung pada objek yang diteliti guna mendapatkan data primer yang diperlukan dan mencatat data-data yang diperlukan dalam penulisan.
177
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan oleh penulis didapat dari penyebaran kuesioner melalui pengisian online kapada mahasiswa D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja dari yang berjumlah 273 orang diambil sampel 44 orang menggunakan kuesioner data Nordic Body Map. Pengumpulan Data dengan Nordic Body Map (NBM) Pengumpulan data ini menggunakan metode NBM di Kampus D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Adapun tahap-tahap pengerjaanya adalah sebagai berikut: 1. Membuat kuesioner dengan sistem online maupun cetak kuesioner. 2. Mengumpulkan data kuesioner yang diisi oleh mahasiswa D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja. 3. Menilai dan menganalisis dari hasil kuesioner. 4. Mengoreksi hasil kuesioner. Berikut tabel. 1 tentang kuesioner Nordic Body Map yang diberikan dalam penelitian: Tabel 1. Kuesioner yang Akan Diisi
178
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Diagram 1. Bagian Leher Atas dan Bawah
Responden merasakan sakit kaku di bagian leher atas 29,5% tidak merasakan sakit ; 54,5% merasakan agak sakit ; 15,9% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian leher bawah 36,6% tidak merasakan sakit; 47,7% merasakan agak sakit; 13,6% merasakan sakit dan sisanya sekitar 2,1% merasakan sangat sakit.
Diagram 2. Bagian Bahu Kiri dan Kanan
Responden merasakan sakit kaku di bagian bahu kiri 61,4% tidak merasakan sakit ; 27,3% merasakan agak sakit ; 9,1% merasakan sakit dan sisanya sekitar 2,2% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian bahu kanan 47,7% tidak merasakan sakit ; 38,6% merasakan agak sakit ; 13,6 % merasakan sangat sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
Diagram 3. Bagian Lengan Atas Kiri dan Kanan
179
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Responden merasakan sakit kaku di bagian lengan atas kiri 65,9% tidak merasakan sakit ;31,8% merasakan agak sakit ; 2,3% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian lengan atas kanan 56,8% tidak merasakan sakit ; 38,6% merasakan agak sakit ; 4,5% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
Diagram 4. Bagian Punggung
Responden merasakan sakit kaku di bagian punggung 29,5% tidak merasakan sakit; 56,8% merasakan agak sakit ; 13,6% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
Diagram 5. Bagian Pinggang
Responden merasakan sakit kaku di bagian pinggang 43,2% tidak merasakan sakit ; 47,7% merasakan agak sakit ; 6,9% merasakan sakit dan sisanya sekitar 2,2% merasakan sangat sakit.
Diagram 6. Bagian Bokong dan Pantat 180
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Responden merasakan sakit kaku di bagian pada bokong 65,9% tidak merasakan sakit ; 25% merasakan agak sakit ; 6,9% merasakan sakit dan sisanya sekitar 2,2% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian pantat 68,2% tidak merasakan sakit ; 22,7% merasakan agak sakit ; 6,9% merasakan sakit dan sisanya sekitar 2,2% merasakan sangat sakit.
Diagram 7. Bagian Siku Kiri dan Siku Kanan Responden merasakan sakit kaku di bagian siku kiri 88,6% tidak merasakan sakit ; 9,1% merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian sikut kanan 63,6% tidak merasakan sakit ; 36,4% merasakan agak sakit ; 0% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0% merasakan sangat sakit.
Diagram 8. Bagian Lengan Bawah Kiri dan Kanan
Responden merasakan sakit kaku pada bagian lengan bawah kiri 81,8% tidak merasakan sakit ; 15,9% merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku pada bagian lengan bawah kanan 72,7% tidak merasakan sakit ; 22,7% merasakan agak sakit ; 4,5% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
181
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Diagram 9. Bagian Pergelangan Tangan Kiri dan Kanan
Responden merasakan sakit kaku di bagian pergelangan tangan kiri 79,5% tidak merasakan sakit ; 18,2% merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Responden merasakan sakit kaku di bagian pergelangan tangan kanan 52,3% tidak merasakan sakit ; 40,9% merasakan agak sakit ; 6,7% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
Diagram 10. Bagian Pergelangan Tangan Kiri dan Kanan
Responden merasakan sakit kaku di bagian tangan kiri 84,1% tidak merasakan sakit ; 13,6% merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian tangan kanan 65,9% tidak merasakan sakit ; 29,5% merasakan agak sakit ; 4,5% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
Diagram 11. Bagian Paha Kiri dan Kanan 182
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Responden merasakan sakit kaku di bagian paha kiri 93,2% tidak merasakan sakit ; 6,8% merasakan agak sakit ; 0% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian paha kanan 93,2% tidak merasakan sakit ; 6,8% merasakan agak sakit ; 0% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0% merasakan sangat sakit.
Diagram 12. Bagian Lutut Kiri dan Kanan
Responden merasakan sakit kaku di bagian lutut kiri 95,5% tidak merasakan sakit ; 4,5% merasakan agak sakit ; 0% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian lutut kanan 88,6% tidak merasakan sakit ; 11,4% merasakan agak sakit ; 0% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0% merasakan sangat sakit.
Diagram 13. Bagian Betis Kiri dan Kanan Responden merasakan sakit kaku di bagian betis kiri 81,8% tidak merasakan sakit ; 15,9% merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian betis kanan 81,8% tidak merasakan sakit ; 15,9% merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
183
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Diagram 14. Bagian Pergelangan Kaki Kiri dan Kanan
Responden merasakan sakit kaku di bagian pergelangan kaki kiri 86,4% tidak merasakan sakit ; 11,4% merasakan agak sakit ; 2,1% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian pergelangan kaki kanan 86% tidak merasakan sakit ; 12,3% merasakan agak sakit ; 1,6% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit.
Diagram 15. Bagian Kaki Kiri dan Kanan
Responden merasakan sakit kaku di bagian kaki kanan 88,6% tidak merasakan sakit ;9,1 % merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Adapun responden merasakan sakit kaku di bagian kaki kiri 88,6% tidak merasakan sakit ; 9,1% merasakan agak sakit ; 2,2% merasakan sakit dan sisanya sekitar 0,1% merasakan sangat sakit. Pembahasan pada penelitian ini didapatkan hasil bagian yang paling dominan mengalami gangguan muskuloskeletal adalah bagian leher dan punggung. Bagian tersebut dapat memengaruhi aktivitas maupun proses perkuliahan, bisa jadi respon total terhadap stres psikososial yang dialami dalam satu periode dalam waktu tertentu akan cenderung menurun. Risiko dari kelelahan kerja yaitu timbul stres akibat kerja, penyakit akibat kerja, hingga kecelakaan akibat kerja. Adapun penyebab utama dari keluhan tersebut yaitu belum maksimalnya fasilitas kegiatan perkuliahan seperti: kursi yang kurang ergonomis, pencahayaan 184
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
dan pendingin ruangan yang kurang memadai. Saran untuk pihak prodi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja untuk segera mengoptimalkan sarana dan prasarana yang ada, meskipun secara keseluruhan belum diperlukan adanya perbaikan. Akan tetapi, jika fasilitas tersebut digunakan dalam waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan muskuloskeletal yang serius.
KESIMPULAN Proses perkuliahan di kampus D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja belum diperlukan adanya perbaikan. Penelitian didapatkan total skor yang didapat adalah masuk dalam kategori rata-rata rendah yaitu belum diperlukan adanya tindakan perbaikan tetapi tetap diperhatikan dalam menjaga fasilitas kampus dan meningkatkan kualitas fasilitas agar tidak terjadi keluhan muskuloskeletal dalam proses perkuliahan. Perkuliahan yang nyaman akan memengaruhi hasil kinerja dari mahasiswa untuk berprestasi ditingkat universitasnya.
DAFTAR PUSTAKA Sukania, I Wayan, Lamto W, Desica N. 2011. Identifikasi Keluhan Biomekanik dan Kebutuhan Operator Proses Packing di PT X. Jakarta: Universitas Tarmanagara Maurits, Lientje Setyawati K. 2008. Pengertian Kelelahan Kerja. wordpress.com/2008/09/09/kelelahan-kerja. 9 April 2008
http://batikyogya.
Tarwaka. 2015. Ergonomi Industri. Surakarta: Harapan Press.
185
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENERAPAN HIGIENE INDUSTRI SEBAGAI BAGIAN DARI PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI INDUSTRI NON MIGAS DAN NON TAMBANG DI KALIMANTAN TIMUR (Studi Terhadap Tujuh Perusahaan Non Migas dan Non Tambang di Wilayah Kalimantan Timur) Luqmantoro Program Studi Diploma IV Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Diploma IV Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Balikpapan, JalanPupuk Raya Gunung Bahagia, Balikpapan, Kalimantan Timur Telp. (0542) 765442,764205 Fax. (0542) 764205 Pos-el: luqmantoro@uniba-bpn. ac. id
ABSTRAK Pendahuluan: Penerapan higiene industri adalah kewajiban setiap perusahaan dalam rangka melindungi kesehatan tenaga kerjanya. Di beberapa perusahaan migas dan tambang skala besar di wilayah Kalimantan Timur penerapan higiene industri telah menjadi barometer penerapan higiene industri di Indonesia. Sampai saat ini belum terdapat data penerapan higiene industri di perusahan non migas dan non tambang di wilayah Kalimantan Timur. Paper ini berisi studi penerapan higiene industri di perusahaan non migas dan non tambang di Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan terhadap tujuh perusahaan yang meliputi perusahaan fabrikasi logam penunjang migas, fabrikasi logam penunjang tambang, logistik, jasa inspeksi dan galangan kapal. Tujuh perusahaan tersebut adalah perusahaan yang telah menerapkan dan telah mendapatkan sertifikasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja OHSAS 18001:2007. Penelitian ini dirancang untuk melihat sejauh mana penerapan higiene industri di perusahaan non migas dan non tambang di Kalimantan Timur. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan cara memeriksa dokumen, melakukan wawancara dan mengamati aktivitas dan kondisi lapangan. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan kriteria penerapan higiene industri yang mengacu ke standar dan regulasi yang berlaku. Hasil: Hasil yang diperoleh adalah tidak ada satupun dari tujuh perusahaan tersebut yang menerapkan siklus AREC (anticipation, recognition, evaluation and control) dan Health Risk Assessment secara benar, tidak ada satupun perusahaan yang melakukan pengukuran faktor fisika dan kimia yang benar sesuai dengan regulasi dan standar yang berlaku serta kompetensi higiene industri personil kunci tujuh perusahaan tersebut tidak sesuai standar dan regulasi. Kesimpulan: Secara keseluruhan tujuh perusahaan tersebut belum menerapkan higiene industri dengan benar sehingga disarankan untuk perbaikan terhadap tujuh perusahaan tersebut diberikan di akhir paper ini. Kata kunci: higiene industri, perusahaan non minyak dan gas, perusahaan non tambang.
186
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENDAHULUAN Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) merupakan kewajiban yang harus diterapkan bagi perusahaan yang memperkerjakan 100 orang atau lebih atau perusahaan dengan potensi bahaya tinggi. Salah satu sertifikasi SMK3 yang diakui dan dikenal luas di dunia adalah sertifikasi yang mengacu ke standar OHSAS 18001:2007. OHSAS 18001:2007 adalah standar yang berisi persyaratan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. OHSAS 18001:2007 bersifat generic atau sesuai untuk diterapkan di jenis industri apapaun. Salah satu persyaratan OHSAS 18001:2007 adalah persyaratan tentang kesehatan kerja. Dalam standar OHSAS 18001:2007 klausul 4. 2 tentang Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dinyatakan bahwa kebijakan K3 harus mencakup suatu komitmen untuk mencegah cedera dan penyakit akibat kerja. Beberapa perusahaan migas dan tambang skala besar di wilayah Kalimantan Timur penerapan higiene industri telah menjadi barometer penerapan higiene industri di Indonesia. Dala acara-acara ilmiah higiene industri baik lokal maupun internasional perusahaanperusahaan tersebut telah menunjukkan penerapan higiene industri yang sangat baik. Ahli higiene industri telah menjadi fungsi wajib yang harus ada di perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan non migas dan non tambang di wilayah Kalimantan Timur saat ini penerapan dan sertifikasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja telah menjadi persyaratan wajib bagi perusahaan yang akan memasok barang atau jasanya ke industri migas dan tambang. Persyaratan tersebut tertuang dalam persyaratan lelang dan persyaratan dalam Contractor Safety Management System. Sertifikasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang dipilih oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah SMK3 yang dikeluarkan oleh Kemnaker dan OHSAS 18001:2007 yang dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi yang terakreditasi secara nasional maupun internasional. Penelitian ini dilakukan terhadap 7 (tujuh) perusahaan non migas dan non tambang yang memasok barang atau jasanya ke perusahaan migas dan tambang di wilayah Kalimantan Timur. 7 (tujuh) perusahaan non migas dan non tambang di wilayah Kalimantan Timur tersebut adalah: 1. PT MJ adalah perusahaan fabrikasi dan perbaikan alat-alat migas. PT MJ mempekerjakan 102 tenaga kerja. Pekerjaan utamanya adalah melakukan fabrikasi dan perbaikan alat-alat migas yang terbuat dari logam menggunakan mesin-mesin produksi, pengelasan, blasting, coating/pelapisan permukaan logam dan pengecatan. PT MJ telah memperoleh sertifikat OHSAS 18001:2007 sejak tahun 2012. 187
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
2. PT BI adalah perusahaan fabrikasi dan perbaikan alat-alat pertambangan. PT BI mempekerjakan 110 tenaga kerja. Pekerjaan utamanya adalah melakukan fabrikasi dan perbaikan alat-alat tambang yang terbuat dari logam menggunakan mesin-mesin produksi, pengelasan, blasting, coating/pelapisan permukaan logam dan pengecatan. PT BI telah memperoleh sertifikat OHSAS 18001:2007 sejak tahun 2015. 3. PT SS adalah perusahaan fabrikasi dan perbaikan alat-alat pertambangan. PT SS mempekerjakan 120 tenaga kerja. Pekerjaan utamanya adalah melakukan fabrikasi dan perbaikan alat-alat tambang yang terbuat dari logam menggunakan mesin-mesin produksi, pengelasan, blasting, coating/pelapisan permukaan logam dan pengecatan. PT SS telah memperoleh sertifikat OHSAS 18001:2007 sejak tahun 2014. 4. PT PK adalah perusahaan inspeksi alat-alat migas dan tambang. PT PK mempekerjakan 20 orang tenaga kerja. Pekerjaan utamanya adalah melakukan inspeksi NDT (non destructive test) terhadap alat-alat migas. Pekerjaan NDT melibatkan penggunaan bahan kimia, gelombang suara dan listrik. Sebagian besar pekerjaan NDT dilakukan di lokasi perusahaan migas. PT PK telah memperoleh sertifikat OHSAS 18001:2007 sejak tahun 2014. 5. PT LD adalah perusahaan inspeksi alat-alat migas. PT LD mempekerjakan 10 orang tenaga kerja. Pekerjaan utamanya adalah melakukan inspeksi NDT (non destructive test) terhadap alat-alat migas. Pekerjaan NDT melibatkan penggunaan bahan kimia, gelombang suara dan listrik. Sebagian besar pekerjaan NDT dilakukan di lokasi perusahaan migas. PT LD telah memperoleh sertifikat OHSAS 18001:2007 sejak tahun 2014. 6. PT PI adalah perusahaan logistik dan pergudangan. PT PI mempekerjakan 30 orang tenaga kerja.
Pekerjaan utamanya adalah memberikan pelayanan jasa logistik (pengangkutan,
bongkar muat) dan penyewaan gudang ke perusahaan migas dan tambang. PT PI telah memperoleh sertifikat OHSAS 18001:2007 sejak tahun 2014. 7. PT MN adalah perusahaan pembuatan dan perbaikan kapal. PT MN mempekerjakan 100 orang tenaga kerja. Pekerjaan utamanya adalah membuat kapal sesuai pesanan dan memperbaiki kapal yang rusak. Pekerjaan pembuatan kapal antara lain pemotongan plat besi, pengelasan, pengangkatan manual, blasting, coating, pengecatan dan inspeksi NDT. Sebagian pelanggan PT MN adalah perusahaan migas dan tambang. PT MN telah memperoleh sertifikat OHSAS 18001:2007 sejak tahun 2015.
188
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Higiene industri adalah sebuah ilmu atau seni yang menitik beratkan pada upaya antisipasi,
rekognisi,
evaluasi dan pengendalian
faktor
lingkungan kerja
yang
dapat
menyebabkan penyakit akibat kerja, terganggunya kesehatan atau ketidaknyamanan pekerja (Barbara, 2002) Penilaian risiko kesehatan kerja (health risk assessment) adalah penilaian risiko kesehatan kerja yang merupakan kombinasi dari konsekuensi dan kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja (Goverment of Western Australia Dept of Health, 2010). Health risk assessment diawali dengan identifikasi bahaya kesehatan. Untuk mengetahui bahaya kesehatan dilakukan dengan cara melakukan pengukuran lingkungan kerja yang meliputi faktor fisika, kimia dan biologi. Persyaratan OHSAS 18001:2007 klausul 4. 2 menyatakan bahwa organisasi harus memastikan bahwa setiap orang dalam pengendalilannya yang melakukan tugas-tugas yang mempunyai dampak pada K3 harus kompeten sesuai dengan tingkat pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman, dan menyimpan catatan-catatannya. Personil K3 yang melakukan pengelolaan higiene industri harus memiliki kompetensi higiene industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan higiene industri di perusahaan non migas dan non tambang sebagai bagian dari penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di 7 (tujuh) perusahaan yang berlokasi di Balikpapan. Penelitian ini dilaksanakan bulan Agustus-September 2016. Metode pengumpulan data penelitian ini adalah melalui pemeriksaan dokumen, pemeriksaan lapangan dan wawancara dengan personil kunci K3 perusahaan. Pengolahan data dilakukan dengan cara membandingkan data penelitian dengan standar implementasi higiene industri yang merujuk kepada peraturan perundangan atau standar internasional higiene industri.
Menyiapkan daftar pertanyaan
Memeriksa dokumen
Melakukan wawancara
Observasi Lapangan
Membandingkan data penelitian dan standar yang diacu
Menentukan rekomendasi dan menarik kesimpulan
Gambar 1. Metode penelitian
189
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan data di perusahaan MJ, BI, SS, PK, LD, PI dan MN meliputi empat indikator utama penerapan higiene industri. Keempat indikator tersebut adalah penerapan siklus AREC (Anticipation, Recognition, Evaluation, Controll), penerapan health risk assessment, pengukuran lingkungan kerja yang berdampak pada kesehatan dan kompetensi higiene industri bagi personil K3. Tabel 1. Tabel Penerapan Empat Indikator Higiene Industri di Perusahaan MJ, BI, SS, PK, LD, PI dan MN Pengukuran Lingkungan Penerapan Penerapan Kerja yang Indikator Penerapan Kompetensi higiene Siklus Health Risk berdampak HI industri personil K3 AREC Assessment pada kesehatan kerja Perusahaan Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak PT MJ √ √ √ √ PT BI √ √ √ √ PT SS √ √ √ √ PT PK √ √ √ √ PT LD √ √ √ √ PT PI √ √ √ √ PT MN √ √ √ √ Sumber: Hasil pendataan tahun 2012, 2014 dan 2015 Seluruh perusahaan tidak ada satu pun yang menerapkan siklus AREC. Bukti yang diperoleh adalah tidak adanya manual, SOP maupun aturan baku lainnya di perusahaan yang menyatakan diterapkannya siklus tersebut. Seluruh perusahaan tidak satupun yang menerapkan health risk assessment dengan benar. Risk assessment yang ada mengacu ke ANZI Z10 yang penekanannya pada safety risk assessment bukan health risk assessment. Matriks konsekuensi dan kemungkinan yang digunakan mengacu ke safety risk assessment, bukan ke konsekuensi kesehatan berupa konsekuensi akut dan
kronik.
Tingkat
kemungkinan yang
digunakan adalah
tingkat
kemungkinan berdasarkan kejadian kecelakaan kerja bukan penyakit akibat kerja. Seluruh perusahaan tidak melakukan pengukuran lingkungan kerja dengan benar. Metode pengukuran yang digunakan adalah metode STEL. Hal tersebut hanya tepat digunakan untuk identifikasi bahaya keselamatan bukan kesehatan. Tidak ditemukan bukti bahwa perusahaan
190
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
telah melakukan pengukuran lingkungan kerja dengan menggunakan metode TWA yang berguna untuk menganalisis risiko kesehatan kerja. Seluruh perusahaan tidak memiliki personil yang memiliki kompetensi higiene industri. Bukti yang diperoleh adalah tidak adanya sertifikat kompetensi higiene industri personil K3 dan pengetahuan yang baik tentang higiene industri. Perancangan pelatihan yang dilaksanakan perusahaan menekankan pada keselamatan kerja bukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengenai kesehatan kerja.
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa tidak satupun dari tujuh perusahaan non migas dan non tambang yang diteliti yang telah menerapkan higiene industri dengan benar. Sistem manajemen K3 yang dimiliki perusahaan tidak dirancang untuk memberikan perlindungan kesehatan kerja secara benar sesuai peraturan perundangan dan standar yang berlaku, melainkan ditekankan pada pemenuhan persyaratan keselamatan kerja. Dan disarankan untuk perbaikan terhadap tujuh perusahaan tersebut diberikan di akhir paper ini.
DAFTAR PUSTAKA Barbara A Plog,Patricia J, Quinlan. 2002. Fundamental Industrial Hygiene. National Safety Council United State of America. Goverment of Western Australia Department of Health. 2010. Health Risk Assessment (Scoping) Guidelines Kepmenkes 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri OHSAS 18001:2007 Occupational Health and Safety Management Systems Requirements Sum’mur P. K. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sagung Seto
191
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
ANALISIS IMPLEMENTASI METODE DO IT DALAM PENERAPAN BEHAVIOUR BASED SAFETY (BBS) DI PT X Seviana Rinawati Prodi D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, FK, Universitas Sebelas Maret Jalan Kolonel Sutarto 150K Jebres Surakarta 57126, telp (0271) 635819 Pos-el: sev1ana_er@staff. uns. ac. id
ABSTRAK Pendahuluan: Penyebab langsung (direct cause) kecelakaan berasal dari tindakan tidak aman (unsafe act) sekitar 80 % dan kondisi tidak aman (unsafe condition) sekitar 18%, sehingga kunci untuk menghilangkan kecelakaan adalah dengan menerapkan perilaku keselamatan (Behavior Based Safety) sebagai pencegahan proaktif terhadap potensi bahaya di tempat kerja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui analisis implementasi metode DO IT dalam penerapan Behavior Based Safety (BBS) diPT X. Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan pengambilan data secara langsung di perusahaan melalui obervasi langsung, wawancara dan dokumentasi. Hasil data penelitian akan dibahas dengan kajian literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti yang berlaku. Hasil: Penelitian ini mengenai implementasi metode DO IT dalam penerapan Behavior Based Safety (BBS) meliputi: pelaksanaan 3 program OHS (Hazard Identification, Plan Inspection, dan Safety Talk), perilaku pemakaian APD, penerapan 5R dan perilaku kepatuhan terhadap prosedur kerja yang telah diterapkan dengan baik. Kesimpulan: Implementasi metode DO IT dalam penerapan Behavior Based Safety (BBS) di PT X telah diterapkan namun tahap intervensi lebih diperhatikan penerapannya. Kata kunci: metode DO IT, behavior based safety.
PENDAHULUAN Suizer (1999) salah seorang praktisi behavioral safety mengemukakan bahwa para praktisi safety telah melupakan aspek utama dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek behavioral para pekerja. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Dominic Cooper. Cooper (1999) berpendapat walaupun sulit untuk dikontrol secara tepat, 80-95 persen dari seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior. Pendapat tersebut didukung oleh hasil riset dari NCS tentang penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Hasil riset NCS menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena unsafe condition dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh DuPont Company menunjukkan bahwa kecelakaan kerja
192
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
96% disebabkan oleh unsafe behavior dan 4% disebabkan oleh unsafe condition. Unsafe behavior adalah tipe perilaku yang mengarah pada kecelakaan seperti bekerja tanpa mempedulikan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa izin, bekerja tidak menggunakan peralatan keselamatan, bekerja menggunakan peralatan tidak standar, kurangnya pengetahuan dari pekerja, pekerja terganggu keadaan emosinya (Hanum, 2012). Kontraktor merupakan orang yang ditunjuk oleh pimpinan kontraktor untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya dan didaftarkan dalam izin kerja kontraktor yang terikat kontrak dengan pengelolaan tenaga kerja yang bekerja sama dengan PT X. Ada bagian-bagian tempat kerja yang mempunyai risiko kecelakaan lebih tinggi seperti tempat kerja yang mengolah bahan kimia yang mudah meledak dan terbakar, tempat kerja yang mengandung bahan beracun dan berbahaya dan tempat kerja tertutup, maka perlu tindakan preventif yang lebih ketat dari tempat kerja lainnya dengan menerapkan prosedur kerja khusus. Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat menimbulkan kerugian baik kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian ini bisa dikurangi jika kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dengan cara dideteksi sumber-sumber bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja tersebut (Syukri,1997). Sumber-sumber bahaya bisa berasal dari: manusia, peralatan, bahan, proses, cara/sikap kerja dan lingkungan kerja. Unsafe Behavior adalah tipe perilaku yang mengarah padakecelakaan seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa izin, menyingkirkan peralatan keselamatan, pengoperasian pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya,
menggunakan
peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat tubuh atau keadaan emosi yang terganggu (Miner, 1992). Menurut Geller dalam Health and Safety Protection (2011) dijelaskan bahwa salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan merubah perilaku-perilaku yang kritikal adalah dengan metode DO IT. PT X menerapkan upaya pencegahan kecelakaan kerja dengan menerapkan konsep behavior based safety dengan metode DO IT. Behaviour BasedSafety (BBS) adalah perilaku keselamatan manusia di area kerja. Kegunaan menggunakan metode DO IT adalah mengupayakan pencegahan kecelakaan kerja melalui pendekatan yangberbasis perubahan perilaku. Diharapkan dari penulisan ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sebagai sarana pembelajaran dalam hal suatu metode penerapan Behaviour Based Safety di suatu perusahaan.
193
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif pada suatu perusahaan di Semarang dengan sumber data primer yang diperoleh dengan melakukan observasi langsung mengenai implementasi metode DO IT dalam menerapkan BBS. Data yang digunakan sebagai bahan dalam laporan ini diperoleh melalui beberapa teknik pengambilan data yaitu: (1) Studi pustaka penelusuran landasan teori yang sesuai permasalahan penelitian, (2) Observasi lapangan meliputi pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan metode DO IT dalam penerapan BBS di perusahaan X, dan (3) Wawancara kepada pihak terkait di perusahaan X. Pengambilan data dilakukan
pada
bulan
Maret2016.
Data
literatur/pustaka sesuai masalah penelitian,
dianalisis
dengan
mengkaji
berdasarkan
kemudian dilakukan pengambilan
keputusan
penyelesaian masalah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil identifikasi (HIRADC) di perusahaan X, unsafe behavior merupakan hal yang menimbulkan kecelakaan kerja. Dalam rangka menghindari potensi bahaya dan menciptakan budaya keselamatan kerja maka perusahaan bekerjasama dengan kontraktor melakukan upaya-upaya menjaga keselamatan dan kesehatan kerja dan upaya peningkatan perilaku karyawan kontraktor ketika di lokasi kerja melalui sistem izin kerja kontraktor yang dikeluarkan oleh Departemen OHS dan dengan penerapan Behaviour Based Safety di tempat kerja kontraktor. Metode DO IT(Define, Observation, Intervene, Test)merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengubah perilaku karyawan dalam proses Behavior Based Safety. Adapun hasil implementasi metode tersaji dalam tabel. 1: Tabel. 1 Hasil implementasi metode DO IT di PT X Define Pelaksanaan 3 Program OHS (Hazard Identification, Plan Inspection, dan Safety Talk)
Observation - Sistem absen - Pembicaraan terkait aspek K3
Intervention
- Keikutsertaan Kepala - Menurunnya tingkat presensi Departemen sebagai leader karyawan apel pagi - Antusias dalam apel - Rutinitas pengawasan pagi/safety talk meningkat - Sosialisasi terhadap Supervisor/Team Leader dan anggotanya.
194
Test
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Perilaku penggunaan APD
Semua karyawan memakai APD sesuai potensi bahaya di tempat kerja
- Pemasangan safety sign
- Pengawasan khusus pemakaian APD
- Peningkatan pelaksaan tool boks meeting terutama kegiatan safety talk
- Kendala pendistribusian APD - Kesesuaian APD dengan kebutuhan dan perawatannya
Penerapan 5R
Dilakukan dengan cara checklist
Penilaian 5R (inspeksi) dan pemberian Reward
- Karyawan tanggap terhadap penataan 5R di setiap area tempat kerja (setiap hari Jumat)
Perilaku kepatuhan terhadap prosedur kerja
Dilakukan dengan cara observasi informal dan checklist
- Pemberlakuan work permit
- Penambahan SOP pada area potensi bahaya tinggi
- Adanya instruksi kerja - Pemberlakuan Standart Operational Procedure
- Prosedur kerja sudah cukup jelas, mudah untuk dimengerti
- Diperlukan adanya sosialisasi yang terkait disaat pembuatan SOP
- Safety sign yang dipasang masih belum maksimal
- Penambahan pemasangan safety sign
Sumber: Hasil pendataan, 2016 1. Define Define adalah tahap untukmenentukan target-target perilaku dari karyawan yang akan dihilangkan/diperbaiki
atau
ditingkatkan/dipertahankan.
Dalam
penelitian
ini
yang
terdefinisikan menjadi target dengan ruang lingkup seluruh tenaga kerja di PT X dalam 4 program yaitu:Pelaksanaan 3 Program OHS (Hazard Identification,Plan Inspection, dan Safety Talk), Perilaku penggunaan APD, Penerapan 5R dan Perilaku kepatuhan terhadap prosedur kerja. Program yang telah dijadikan target BBS tersebut telah dimasukkan dalam program kerja sistem perusahaan sehinggahal ini sesuai dengan pendapat Heni (2011) menyebutkan budaya keselamatan mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama adalah kerangka kerja yang diperlukan dalam suatu organisasi dan hal ini merupakan tanggung jawab hirarki manajemen. Komponen kedua adalah sikap pekerja pada semua tingkatan dalam merespon dan memanfaatkan kerangka kerja tersebut. 2. Observation Observasi dengan cara pengamatan terbuka dan pengamatan tertutup oleh OHS Manager pada saat safety patrol dalam 4 program dengan hasil: program berjalan baik dan rutin dilakukan oleh karyawan tetap, plan inspection dengan checklist masih belum rutin 195
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
dijalankan karena kurangnya sosialisasi kepada karyawan, Pelaksanaan safety talk dilakukan Supervisor/Team Leader atau anggota yang hadir untuk melakukan absensi dan melakukan pembicaraan tentang aspek K3 namun tidak dilakukan setiap hari, karyawan sudah mendapatkan APD sesuai dengan potensi bahaya di tempat kerja, awareness karyawan untuk mengingatkan visitor yang tidak lengkap dalam pemakaian APD juga tergolong baik, penerapan 5R sudah diterapkan dan karyawan telah mematuhi prosedur kerja yang ada dalam setiap aktivitas karyawan seperti: pemberlakuan instruksi kerja, Work Permit, Job Safety Analysis (JSA),dan Standart Operational Procedure (SOP). Hasil observasi tersebut didokumentasikan dan dianalisis dengan mempertimbangkan hal-hal yang diperoleh dari pengamatan tertutup maupun terbuka. Hal ini sesuai dengan Cooper (1999) yang menyatakan bahwa mengidentifikasi adanya tujuan kriteria yang sangat penting bagi pelaksanaan program behavioral safety yaitu: a. Melibatkan Partisipasi Pekerja yang Bersangkutan b. Memusatkan perhatian pada perilaku unsafe yang spesifik c. Didasarkan pada data hasil observasi d. Proses pembuatan keputusan berdasarkan data e. Melibatkan intervensi secara sistematis dan observasional f.
Menitikberatkan pada umpan balik terhadap perilaku kerja
g. Membutuhkan dukungan dari manajer 3. Intervene Intervene yang diberikan terhadap pelaksanaan Plan Inspection adalah keikutsertaan OHS Manager dengan diadakan kembali sosialisasi terhadap Supervisor/Team Leader dan anggotanya, dapat dilakukan pada waktu meeting, turun ke lapangan, dan dukungan dari managerdan
Intervene
terhadap
pelaksanaan
safety
talk
adalah
keikutsertaan
Supervisor/Team Leader dan penanggung jawab K3 Departemen setiap hari. Salah satu sebab keberhasilan behavioral safety adalah karena melibatkan seluruh karyawan dalam safety management. Pada masa sebelumnya safety management bersifat top-down dengan tendensi hanya berhenti di management level saja. Hal ini berarti para karyawan yang berhubungan langsung dengan unsafe behavior tidak dilibatkan dalam proses perbaikan safety performance. Behavioral safety mengatasi hal ini dengan menerapakn sistem bottom-up, sehingga individu yang berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi unsafe behavior. Dengan keterlibatan workforce
196
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
secara menyeluruh dan adanya komitmen, ownership seluruh karyawan terhadap program safety, maka proses improvement akan berjalan dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Fleming dan Lardner (2002) mengenai unsur inti dari modifikasi perilaku adalah ABC Model of Behavior, Antecedent/Pendahuluan(A), Behavior/Perilaku (B) dan Consequences/Konsekuensi (C). ABC Model of Behavior menentukan perilaku yang dipicu oleh satu set pendahulunya (sesuatu yang mendahului perilaku dan kausal terkait dengan perilaku) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil dari perilaku bagi individu) yang menambah atau mengurangi kemungkinan bahwa perilaku akan diulang. Analisis ini mengidentifikasi pola antecedents dan konsekuensi yang memperkuat terjadinya perilaku dan konsekuensi yang terjadi untuk perilaku yang diinginkan. 4. Test Test bertujuan untuk melihat efektifitas dari program yang dibuat dan melihat hasil intervene. Untuk melihat intervene yang dilakukan terhadap target perilaku yang ditingkatkan dan dilakukan continous improvement oleh perusahaan belum menggunakan sistem khusus. Pelaksanaan test di 4 program sudah berjalan dengan baik memenuhi setiap target yang dijalankan sesuai jadwal dan hasil penilaian terlampir di setiap area, sehingga dapat diketahui tindak lanjut dalam kekurangan hasil penilaian tersebut. Hal ini sependapat dengan Geller (2011) jika terlihat bahwa intervensi yang dilakukan tidak efektif maka dapat dilakukan intervensi baru atau strategi baru, sehingga sesuai dengantujuan tahap test adalah untuk melihat efektivitas dari program intervensi yang dibuat. Kekurangan sistem manajemen yang berhubungan agar cepat ditangani sehingga tidak lagi memicu terjadinya unsafe behavior. Unsafe atau safety behavior yang teridentifikasi dari proses tersebut disusun dalam check list dalam format tertentu, kemudian dimintakan persetujuan pekerja yang bersangkutan. Ketika sistem behavior safety semakin matang individu menambahkan unsafe behavior dalam checklist sehingga dapat dikontrol atau dihilangkan. Syarat utama yang harus dipenuhi yaitu, unsafe behavior tersebut harus observable, setiap orang bisa melihatnya.
BBS telah diterapkan di PT X dengan melibatkan komponen sistem di perusahaan, seluruh karyawan dan memperhatikan proses dalam bekerja sehingga dapat sesuai dengan Geller (2001): secara umum total safety culture membutuhkan perhatian berkelanjutan terhadap tiga hal berikut: Environment factors (Termasuk peralatan, perlengkapan, prosedur, standard, 197
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
dan temperature, keadaan fisik), Person factors (Termasuk sikap, kepercayaan dan kepribadian seseorang) dan Behavior factors (Termasuk praktek kerja aman, serta turut campur dalam masalah safety orang lain). Penerapan metode DO IT dalam penerapan BBS di PT X dikategorikan berhasil dengan harapan dapat mengurangi Unsafe Behavior seperti yang dikemukakan Cooper (1999), harapan dari hasil penerapanbehavior based safety yang terencana dalam suatu perusahaan: angka kecelakaan kerja yang rendah, meningkatkan jumlah safety behavior, mengurangi accident cost, program tetap bertahan dalam waktu lama, penerimaan sistem oleh semua pihak dan generalisasi behavioral safety pada sistem lain (seperti: sistem manajemen).
KESIMPULAN Implementasi metode DO IT (Define, Observation, Intervene, Test)dalam penerapan Behavior Based Safety (BBS) di PT X telah diterapkan sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengubah perilaku karyawan dalam mewujudkan safety culture, namun pada tahap intervensi lebih diperhatikan penerapannya.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Pihak perusahaan yang telah bersedia memberikan kesempatan kepada penulis sebagai tempat penelitian. 2. Dekan FK UNS dan Panitia penyelenggara Seminar Nasional SHEA Conference Tahun 2016 yang telah memberikan izin kepada penulis untuk berpartisipasi. 3. Rekan kerja dan pihak lain yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA British Patroleum Chemical. 1995. Training Course. Cilegon: PT PENI Cooper. D. M. 1999. The Psychology of Behavioral Safety. hhtp://www. behavioral-safety.com. (26 April 2016) Fleming M. Adapun Lardner, R. . , 2002. Stategles to Promote Safe Behavior as Part of Healthand Safety Management System. The Kcil Center Geller E. S. 2011. The Psychologi of Safety Handbook. Lewis Publisher.
198
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Hanum, N. L. 2012. Implementasi Behaviour Based Safety pada Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Guna Meningkatkan Safe Behaviour Pekerja. Institut Sepuluh Nopember: Surabaya Health & Safety Protection. 2011. DO IT Behavior Based Safety. hhtp://www. Health-Safety Protection.com. ( 26 April 2016) Sahab, Syukri. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Bina Sumber Daya Manusia. Soekidjo Notoatmojo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2002. Sugiyono. 2009. Metode PenelitianKuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
199
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
PENGARUH MOTIVASI DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA (KINERJA) DOSEN DI UNIVERSITAS X Eka Rosanti Prodi D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja, FIK, Universitas Darussalam Gontor, Jalan Raya Siman, Km. 5, Siman, Ponorogo 63471 telp. (0352) 483762 Pos-el: [email protected]
ABSTRAK Pendahuluan: Indonesia perlu meningkatkan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia sesuai dengan bidangnya agar mampu bersaing dalam level internasional, salah satunya dimulai dari pendidikan perguruan tinggi. Oleh karena itu kinerja dosen sangat memengaruhi kualitas lulusan. Penelitian ini akan mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi dan kepuasan kerja sebagai faktor yang memengaruhi produktivitas kerja (kinerja) dosen di Universitas X. Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan sifat penelitian adalah ex-postfacto dengan lokasi penelitian di Universitas X. Teknik sampling menggunakan probability sampling dengan random sampling acak sederhana. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara. Pengolahan data menggunakan uji korelasi analisis regeresi tunggal dan analisis regresi berganda. Hasil: Hasil uji regresi linier menyatakan bahwa motivasi berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja (kinerja) dosen dengan nilai R2 = 0,465 dan kepuasan kerja berpengaruh tidak signifikan terhadap produktivitas kerja (kinerja) dosen dengan nilai R2 = 0,085. Berdasarkan hasil regresi pengaruh motivasi dan kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja (kinerja) diperoleh R2 = 0,224, berarti bahwa kontribusi motivasi dan kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja (kinerja) dosen Universitas X sebesar 22,4%, Adapun sisanya sebesar 77,6% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Kesimpulan: Semakin tinggi motivasi dan kepuasan kerja dosen, maka akan semakin tinggi pula produktivitas kerja (kinerja), demikian sebaliknya. Kata kunci: motivasi, kepuasan kerja, produktivitas kerja (kinerja).
PENDAHULUAN Seiring dengan telah diberlakukannya kesepakatan Masyakarat Ekonomi ASEAN atau pasar bebas ASEAN, maka seluruh tenaga kerja khususnya di Indonesia perlu meningkatkan kualitas, kualifikasi, dan kompetensi sesuai dengan bidang yang ditekuninya agar mampu bersaing dalam level internasional. Salah satu upaya yang cukup strategis adalah dimulai dari pendidikan perguruan tinggi. Pendidikan Tinggi dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 49 Tahun 2014 adalah adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, program profesi, program spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan 200
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
kebudayaan bangsa Indonesia. Kekuatan utama perguruan tinggi dalam kehidupannya terletak pada kekuatan sumber daya dosen. Sehingga peran dosen dalam menciptakan lulusan yang dapat bersaing secara global sangat tinggi, mengingat dosen adalah ujung tombak pelaksana keseluruhan proses pendidikan. Menurut Sulastri (2007) kinerja dosen sangat memengaruhi kualitas lulusan dari perguruan tinggi. Mangkunegara dan Prabu A. (2004) memberikan pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai (dosen) dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tugas utama dosen adalah melaksanakan tridharma perguruan tinggi dengan beban kerja paling sedikit sepadan dengan 12 (dua belas) SKS dan paling banyak 16 (enam belas) SKS pada setiap semester sesuai dengan kualifikasi akademik. Pelaksanaan tugas utama dosen ini perlu dievaluasi dan dilaporkan secara periodik sebagai bentuk akuntabilitas kinerja dosen kepada para pemangku kepentingan (Dikti, 2010). Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor: (1) harapan mengenai imbalan, (2) dorongan (motivasi), (3) kemampuan, kebutuhan dan sifat, (4) persepsi terhadap tugas, (5) imbalan internal dan eksternal, (6) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dalam penelitian faktor yang akan diteliti adalah motivasi dan kepuasan kerja dosen. Motivasi adalah proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran (Robbins dan Stephen P, 2006). Adapun kepuasan kerja menurut Wexley dan Yuki terjemahan Shobaruddin (2005) adalah cara pekerja merasakan mengenai pekerjaaanya. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa aspek pekerjaan, meliputi upah atau gaji, kondisi kerja, pengawasan, teman kerja, materi pekerjaan, jaminan kerja, serta kesempatan untuk maju. Faktor yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang antara lain (1) Faktor individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman tingkat sosial dan demogarfi seseorang (2) Faktor psikologis persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi,dan kepuasan kerja (3) Faktor organisasi struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system) (Subekti 2008). Dipandang dari segi ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kinerja adalah salah satu tolak ukur dari produktivitas kerja. Produktivitas kerja adalah hasil kerja (output) tenaga kerja yang terukur. Dalam penelitian ini
201
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
peneliti akan membahas dua faktor yang memengaruhi produktivitas kerja dosen menggunakan indikator kinerja individu yaitu motivasi dan kepuasan kerja. Universitas X sebagai Universitas Swasta yang belum lama berdiri telah melaksanakan evaluasi terhadap kinerja dosen setiap semesternya. Namun selama ini belum ada analisis tentang kinerja dosen yang ditinjau pemenuhan kewajiban dosen terhadap tri dharma perguruan tinggi, hanya digunakan untuk pemenuhan terhadap peraturan pemerintah. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi dan kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja (kinerja) dosen di universitas X.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan dan bersifat ex-postfacto. Populasi penelitian ini adalah keseluruhan dosen Universitas X. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik probability sampling dengan random sampling acak sederhana. Meskipun rancangan ini dikatakan sederhana, namun diperlukan persyaratan bahwa populasi yang dihadapi harus sudah homogen dalam hal karakteristik subjek yang akan diteliti. Kriteria sampel adalah dosen dengan masa kerja yang sama, beban kerja sama dan status sama yaitu dosen tetap. Untuk variabel bebas yaitu motivasi dan kepuasan kerja dan variabel terikat yaitu produktivitas kerja (kinerja) diukur dengan menggunakan kuesioner. Tabel 1. Rangkuman Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian (Indrarini, 2009) Variabel Motivasi Kerja Kepuasan Kerja
Produktivitas Kerja (Kinerja) dosen
Jumlah Item 20 32
Tidak valid
Valid
Keterangan
0 2 item yaitu no 15. Adapun no. 31
20 30
Item yang tidak valid tidak dipakai
0
30
-
30
Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian (Indrarini, 2009) Variabel Motivasi Kerja Kepuasan Kerja Produktivitas Kerja (Kinerja)
202
Jumlah Item 20 32 30
Koefisien Korelasi Hasil Analisis
Keterangan
0,9205 0,9307 0,9580
Reliabel Reliabel Reliabel
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan Uji statistik kolmogorov smirnov untuk normalitas data, dan uji korelasi analisis regresi tunggal dan analisis regresi berganda dengan menggunakan fasilitas SPSS Versi 17 dengan interpretasi data jika p value = < 0,05 maka dinyatakan berpengaruh signifikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Motivasi kerja terhadap Produktivitas Kerja (Kinerja) Dosen Hasil analisis regresi ini diperoleh konstanta sebesar 23,083 dan koefisien motivasi kerja (X1) sebesar 1,335 sehingga diperoleh model regresi: Y = 23,083 + 1,335 X 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (1) Model tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan atau penurunan motivasi kerja sebesar 1% akan diikuti dengan kenaikan atau penurunan produktivitas kerja dosen (kinerja) sebesar 1,335%. Koefisien regresi tersebut diuji kebermaknaannya menggunakan uji t diperoleh t hitung = 2,780 dengan p value = 0,01 < 0,05, berarti hipotesis alfa (Ha) yang menyatakan ada pengaruh motivasi kerja terhadap produktivitas kerja dosen (kinerja) dosen diterima. Nilai R2 = 0,465, yang berarti bahwa kontribusi motivasi kerja terhadap produktivitas kerja dosen (kinerja) sebesar 46,5% sebagai akibat indikator-indikator X1 dan di luar itu kemungkinan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi dosen tentang motivasi kerja maka semakin tinggi pula produktivitas kerja (kinerja) dosen, sebaliknya semakin rendah motivasi kerjanya maka semakin rendah pula kinerjanya. Seperti yang diungkapan Winardi (2004) bahwa motivasi merupakan sesuatu kekuatan yang ada dalam diri manusia, yang dapat dikembangkan sendiri atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar, pada intinya berkisar sekitar imbalan moneter dan non moneter, yang dapat memengaruhi hasil kinerjanya secara positif dan secara negatif, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi dari orang yang bersangkutan. Menurut Tomar dan Sharma (2013) Motivasi tenaga kerja dalam sebuah organisasi dapat memengaruhi produktivitas kerja. Produktivitas kerja yang dimaksud adalah terkait apa yang dihasilkan dan apa yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tersebut. Tabel 3. Rata-Rata Motivasi Kerja Dosen Ditinjau Dari Setiap Aspek No. 1. 2. 3. 4. 5.
Aspek Motivasi Prestasi Pengakuan Tanggung Jawab Promosi Pertumbuhan
Skor Total 354 398 368 293 237
Skor Ideal 600 600 600 600 600
% Skor 59 66,33 61,33 48,83 39,5
Kriteria Cukup Cukup Cukup Rendah Rendah
203
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Aspek paling tinggi pada motivasi adalah berkaitan dengan pengakuan diikuti dengan tanggung jawab, kemudian prestasi, promosi dan pertumbuhan. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas responden menyatakan bahwa perlu adanya penghargaan terhadap prestasi dosen sesuai dengan beban kerjanya serta adanya tunjangan dan jaminan kesehatan.
Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Produktivitas Kerja (Kinerja) Dosen Hasil analisis regresi ini diperoleh konstanta sebesar 54,934 dan koefisien motivasi kerja (X2) sebesar 0,413 sehingga diperoleh model regresi: Y = 54,934 + 0,413 X 2. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2) Model tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan atau penurunan kepuasan kerja sebesar 1% akan diikuti dengan kenaikan atau penurunan produktivitas kerja dosen (kinerja) sebesar 0,413%. Koefisien regresi tersebut diuji kebermaknaannya menggunakan uji t diperoleh t hitung = 1,616 dengan p value = 0,11 > 0,05, berarti hipotesis alfa (Ha) yang menyatakan ada pengaruh kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja dosen (kinerja) dosen ditolak. Nilai R2 = 0,085, yang berarti bahwa kontribusi kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di Universitas X sebesar 8,5% sebagai akibat indikator-indikator X2 dan di luar itu kemungkinan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil bahwa kepuasan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja (kinerja) dosen, kepuasan yang diinginkan oleh dosen tidak hanya dalam bentuk upah, kondisi sosial, kondisi fisik, namun juga pada sisi psikologis seseorang. Kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari dosen terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk didalamnya masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis. Menurut Indermun M. V. Adapun Bayat M. S. (2013) industrial psychologist tidak membenarkan adanya kepuasan kerja dengan kinerja seseorang. Menurut mereka hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja hanyalah sebuah hubungan timbal balik antara tenaga kerja dan yang mempekerjakan baik yang berkaitan dengan monetary, non monetary maupun kondisi psikologis. Salah satu penyebab kepuasan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja (kinerja) dosen di Universitas X adalah belum adanya sistem penghargaan, dosen semua dianggap sama meskipun dari segi beban kerja berbeda (ada kelebihan beban kerja dari yang seharusnya). Hal ini sesuai dengan Saari dan Judge (2004) yang menyatakan bahwa ketika kinerja hanya dinilai dari perilaku saja tanpa memperhatikan kompensasi dan penghargaan maka hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja akan lemah. Karena kompensasi dan penghargaan memiliki kontribusi terhadap tingginya kinerja. 204
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
Tabel 4. Tingkat Kepuasan Kerja Dosen ditinjau dari Setiap Aspek No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aspek Kepuasan Gaji Kenyamanan terhadap Pekerjaan Kebanggaan terhadap Lembaga Penghargaan terhadap hasil kerja Kebermaknaan Tugas Kesempatan untuk maju Kewenangan mengatur sistem kerja Umpan balik terhadap tugas
Skor Total 364
Skor Ideal 600
% Skor 60,67
Kriteria Cukup
326
600
54,33
Cukup
396
600
66,00
Cukup
324
600
54,00
Cukup
419 355
600 600
69,83 59,17
Tinggi Cukup
391
600
65,17
Cukup
407
600
67,83
Tinggi
Kepuasan tinggi lebih banyak dirasakan oleh dosen berkaitan dengan kebermaknaan tugas dan umpan balik terhadap tugas, artinya mereka cenderung puas dengan apa yang dilakukan sebagai dosen untuk menciptakan sebuah pembelajaran yang kondusif dan adanya evaluasi yang membangun dari lembaga. Namun dari segi gaji, kenyamanan, kebanggaan, penghargaan, kesempatan untuk maju, dan kewenangan mengatur sistem belum dirasakan secara puas. Aspek lainnya terbentuk karena sebuah sistem yang berjalan sesuai kebijakankebijakan dari universitas. Kondisi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan pengelola masing- masing (Indrarini, 2009).
Pengaruh Motivasi dan Kepuasan Kerja terhadap Produktivitas Kerja (Kinerja) Dosen Hasil analisis regresi ini diperoleh konstanta sebesar 16,523 dan koefisien motivasi (X1) sebesar 1,206 Adapun kepuasan kerja (X2) sebesar 0,136 sehingga diperoleh model regresi: Y = 16,524+ 1,206 X 1 + 0,136X 2. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3) Model tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan atau penurunan motivasi kerja dengan mengontrol kepuasan kerja sebesar 1% akan diikuti dengan kenaikan atau penurunan produktivitas kerja dosen (kinerja) sebesar 1,206%, sebaliknya setiap terjadi penurunan atau kenaikan kepuasan kerja 1% dengan mengontrol motivasi kerja akan diikuti dengan kenaikan atau penurunan kinerja (produktivitas kerja) sebesar 0,136%. Secara simultan hipotesis ini diuji kebermaknaannya menggunakan uji t diperoleh nilai t hitung = 0,503 dengan p value = 0,61 > 0,05, berarti hipotesis yang menyatakan bahwa motivasi dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja dosen (produktivitas kerja) ditolak. Nilai R2 = 0,224, berarti 205
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
bahwa kontribusi motivasi dan kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja dosen (kinerja) Universitas X sebesar 22,4%, Adapun sisanya sebesar 77,6% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Jadi semakin tinggi motivasi kerja dan semakin tinggi kepuasan kerja dosen, maka akan semakin tinggi pula kinerjanya, demikian pula sebaliknya. Produktivitas kerja (kinerja) dosen Universitas X dilihat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu segi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tabel 5. Tingkat Kinerja Dosen ditinjau dari Beberapa Aspek No.
Aspek Produktivitas Kerja (Kinerja) Melaksanakan Pendidikan dan Pengajaran Melaksanakan Penelitian Melaksanakan Pengabdian kepada Masyarakat
1. 2. 3.
Skor Total
Skor Ideal
% Skor
Kriteria
1077
4500
23,93
Rendah
982
4500
21,82
Rendah
911
4500
20,24
Rendah
Berdasarkan hasil rekap kuesioner dari aspek pengajaran, masih banyak dosen yang belum memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan pendapat, padahal hal tersebut dapat merangsang diskusi sekaligus mampu mengukur pemahaman mahasiswa terhadap materi yang diajarkan. Dosen masih banyak mengajarkan mata kuliah yang disenangi dalam keahliannya yang artinya dosen dapat mengajarkan dengan maksimal. Dikarenakan Universitas X masih tergolong baru dengan dosen yang masih muda, maka tingkat pembuatan buku ajar masih rendah. Berdasarkan hasil rekap kuesioner dari aspek penelitian, dosen belum optimal dalam mengunduh informasi terkini dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas, hal ini dikarenakan LPPM masih tergolong baru dan belum terakreditasi. Sehingga dosen masih sering menggunakan biaya sendiri dalam pelaksanaan penelitian sehingga
tema
penelitian
masih
banyak
yang
belum sinkron
dengan
pembelajaran.
Konsekuensinya dosen tidak dapat memenuhi kewajiban penelitian setiap semesternya. Berdasarkan hasil rekap kuesioner dari aspek pengabdian kepada masyarakat dosen Universitas X belum menitikberatkan pada permasalahan yang ada di masyarakat secara umum, lokasi penelitian masih di area sekitar Universitas X. Selain itu seperti halnya dengan kegiatan penelitian, kegiatan pengabdian kepada masyarakat belum dilaksanakan setiap semester oleh masing-masing dosen. Hal ini dikarenakan Universitas yang baru dengan LPPM yang belum terakreditasi.
206
Prosiding Seminar Nasional K3 Peran K3 dalam Menjawab Tantangan Industri Pertambangan Nasional
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja (produktifitas kerja) dosen Universitas X dengan persamaan regresi: Y = 23,083 + 1,335 X 1 dan nilai R2 = 0,465, yang berarti bahwa kontribusi motivasi kerja terhadap kinerja dosen (produktifitas kerja) sebesar 46,5% sebagai akibat indikator-indikator X1. Kepuasan kerja berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja (produktifitas kerja) dosen Universitas X dengan persamaan regresi: Y = 54,934 + 0,413 X 2 dan nilai R2 = 0,085, yang berarti bahwa kontribusi kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di Universitas X sebesar 8,5% sebagai akibat indikator-indikator X2. Kontribusi motivasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen (produktifitas kerja) Universitas X sebesar 22,4%, Adapun sisanya sebesar 77,6% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini dengan persamaan regresi: Y = 16,524+ 1,206 X 1 + 0,136X 2, nilai R2 = 0,224. Jadi semakin tinggi motivasi kerja dan semakin tinggi kepuasan kerja dosen, maka akan semakin tinggi pula kinerjanya, demikian pula sebaliknya. DAFTAR PUSTAKA Dikti. 2010. Pedoman Beban Kerja Dosen dan Evaluasi Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Indermun M. V, Bayat M. S. 2013. The Job Satisfaction-Employee Performance Relationship: A Theoretical Perspective. International journal of Innovative Research in Management. Vol. 11, No. 2. November 2013. Pp. 1-9, ISSN 2319 – 6912. Indrarini. 2009. Pengaruh Motivasi dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Dosen Akademi Swasta di Kota Semarang. Semarang. UNNES. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 49 Tahun 2014 tentang Standar nasional Pendidikan Tinggi. Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi. Terjemahan Molan Benyamin. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Saari, L. M. , & Judge, T. A. (2004) Employee Attitudes and Job Satisfaction. Human Resource Management, 43 (4), 395-407. Subekti, Heru. 2008. Indikator Kinerja. http://subektiheru. blogspot.com/. (06 Juli 2016). Sulastri T. 2007. Hubungan Motivasi Berprestasi dan Disiplin dengan Kinerja Dosen. Jurnal Optimal Vol 1. No 1. Tomar A, Sharma S. 2013. Motivation As A Tool For Effective Staff Productivity In The Public & Private Organization. Journal of Indian Research. Vol. 1. No. 3. Juli-September 2013. pp 122-129. ISSN 2321-4155. Wexley, Kenneth N. Adapun Yuki, Gary A. 2005. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Terjemahan Shobaruddin Muh. Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Winardi. 2004. Motivasi Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 207