Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
Pengalaman Klien Sistemic Lupus Erithematosus yang Melakukan Terapi Relaksasi Yoga Untuk Menurunkan Intensitas Nyeri di Syamsi Dhuha Foundation Bandung Monika Ginting Vegy Candana Blacius Dedi Abstract Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic autoimmune disease that attacks the human immune system and caoused any common problem, one of the problem is pain. The pain can impact to phisical, psychological, spiritual and social aspects of client’s life. Yoga is needed to modulate client’s pain. The purpose of this research is to obtain the experience of clients with Systemic Lupus Erythematosus in conducting yoga therapy to decrease pain intensity in Syamsi Dhuha Foundation Bandung. The research method in this study is qualitative with phenomenological approach. Data was collected through in-depth interviews. Data analysis is performed based on the analysis Collaizi determine keywords, categories and themes. The experiment was conducted in Syamsi Dhuha Foundation Bandung and incriminate 4 participans. This study obtained seven themes, namely: 1. decline in physical function; 2. psychological decrease; 3. improved physical function; 4. spiritual quality improvement; 5. psychological quality improvement; 6. improvement of social relations; 7. improvement of environmental quality. Yoga relaxation can stimulate opioid endogen secretion ( endorphin and enkephalin). Endorphin and enkephalin can blocked neurotransmiter P at cornu dorsalis medula spinalis. So that substantia gelatinosa closed and blocked impuls of pain. The result of participans in this research stated that pain intensity decreased after following the yoga. This research may be to people with lupus promoted by the Syamsi Dhuha Foundation Bandung. The promoted is intended to attract people with lupus to do yoga as one of the therapy. Keywords: systemic Lupus Erythematosus, yoga relaxation, pain
357
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
konsep multidimensional yang meliputi dimensi fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan yang berhubungan dengan penyakit dan terapi. Penanganan terhadap nyeri tidak hanya dilakukan secara farmakologi tetapi juga secara non farmakologi. Salah satu metode non farmakologi yang dapat digunakan untuk menurunkan intensitas nyeri adalah yoga (Potter & Perry, 2005). Yoga merupakan teknik relaksasi yang dapat digunakan untuk menurunkan intensitas nyeri. Teknik relaksasi dalam yoga dapat merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen seperti endorphin dan enkephalin. Endorphin dan enkephalin adalah senyawa yang berfungsi untuk menghambat nyeri (Smelzert dan Bare, 2010). Tujuan Penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pengalaman klien Sistemic Lupus Erythematosus dalam melakukan terapi relaksasi yoga untuk menurunkan intensitas nyeri di Syamsi Dhuha Foundation Bandung.
Pendahuluan Systemic Lupus Erythematosus (lupus) adalah penyakit autoimun kronis yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Penyakit lupus sering terlambat terdiagnosa sehingga menimbulkan dampak atau komplikasi pada organ tubuh (Waluyo & Putra, 2012). Dampak atau komplikasi yang ditimbulkan penyakit lupus yaitu: 1) gagal ginjal, akibat deposit kompleks antibodiantigen pada glomerulus; 2) perikarditis; 3) pleuritis; 4) vaskulitis terjadi di pembuluh serebrum dan perifer; 5) komplikasi susunan saraf pusat seperti stroke dan kejang, perubahan kepribadian seperti psikosis dan depresi (Corwin, 2009). Sedangkan komplikasi penyakit lupus menurut Isbagio (2006) 90% merupakan gangguan muskuloskeletal. Gangguan yang dialami berupa nyeri otot dan nyeri sendi. Nyeri yang dialami klien Sistemic Lupus Erythematosus disebabkan peradangan pada sendi dan otot. Rasa nyeri mereda ketika inflamasi atau aktivitas penyakit berada dibawah kontrol. Nyeri dapat mengubah kualitas hidup klien Sistemic Lupus Erythematosus, seperti: aspek psikologis, aspek sosial dan aspek fisik, sehingga nyeri memerlukan penanganan yang tepat untuk mengembalikan kualitas hidup klien Sistemic Lupus Erythematosus (Berman, dkk 2009). Kualitas hidup menurut World Health Organization (2004) adalah
Metodelogi Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, karena metode kualitatif dapat mengeksplorasi secara langsung, menganalisis, dan menjelaskan pengalaman nyata secara rinci dan mendalam (Spiegelberg 1975, dalam Streubert dan Carpenter 2003). Pendekatan fenomenologi merupakan cara yang paling tepat
358
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
untuk menggambarkan dan memahami pengalaman manusia (Streubert dan Carpenter, 2003). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam. Pengolahan data dilakukan berdasarkan analisis Collaizi yaitu menentukan kata kunci, kategori dan tema. Penelitian dilaksanakan di Syamsi Dhuha Foundation Bandung dengan melibatkan 4 partisipan. Partisipan dipilih berdasarkan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi sebagai berikut: 1. partisipan berusia 20-45 tahun; 2. partisipan melaksanakan senam yoga satu kali dalam seminggu; 3. partisipan telah mengikuti senam yoga minimal 6 bulan; 4. mampu berkomunikasi dengan baik.
wiraswasta dan satu orang partisipan adalah ibu rumah tangga. Hasil analisis tematik dengan empat partisipan diperoleh tujuh tema. Tema-tema tersebut yaitu: 1. penurunan fungsi fisik klien saat terdiagnosa lupus; 2. respon psikologis klien saat terdiagnosa lupus; 3. peningkatan fungsi fisik; 4. peningkatan kualitas spiritual; 5. peningkatan kualitas psikologis; 6. peningkatan hubungan sosial; 7. peningkatan kualitas lingkungan. Tujuh tema tersebut akan di jelaskan sebagai berikut: Pembahasan Pembahasan tujuh tema tersebut akan dibahas sebagai berikut: 1. Penurunan Fungsi Fisik Saat Terdiagnosa Sistemic Lupus Erythematosus Penurunan fungsi fisik merupakan respon tubuh terhadap timbulnya penyakit Sistemic Lupus Erythematosus yang menyerang berbagai organ tubuh partisipan. Serangan tersebut menyebabkan gangguan fungsi organ dan berdampak terhadap kehidupan sehari-hari. Gangguan tersebut terlihat dari pernyataan partisipan yang mengungkapkan bahwa gangguan yang dialami diantaranya: penurunan aktivitas fisik, perubahan pola nutrisi dan gangguan pencernaan, perubahan pola istirahat tidur, gangguan sirkulasi, demam, gangguan muskuloskeletal, gangguan integumen, dan gangguan penglihatan.
Hasil Penelitian Partisipan yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah empat orang. Semua partisipan yang berpartisipasi berjenis kelamin perempuan. Partisipan dalam usia produktif dengan kisaran usia 20-46 tahun dan semua partisipan beragama islam. Partisipan memiliki jangka waktu mengikuti yoga yang berbeda, mulai dari 5 bulan sampai 2 tahun. Tiga orang partisipan memiliki tingkat pendidikan strata 1 dan satu orang memiliki tingkat pendidikan diploma. Partisipan yang sudah menikah berjumlah tiga orang dan satu orang partisipan belum menikah. Tiga partisipan bekerja sebagai
359
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
Menurut Waluyo dan Putra (2012) penyakit lupus adalah penyakit autoimun yang bersifat menahun dan menimbulkan peradangan di berbagai organ tubuh. Lupus dapat menyerang kulit, persendian, bahkan organ dalam seperti ginjal, jantung, paru, darah dan organ tubuh lainnya. Gangguan fungsi fisik pada umumnya terjadi pada penyakit yang bersifat kronik. Penurunan fungsi fisik pada penyakit Sistemic Lupus Erythematosus berkaitan dengan serangan imun terhadap organ tubuh. Kondisi imun pada Sistemic Lupus Erythematosus tidak sepenuhnya bisa dikontrol. Sel-sel radang berdiferensiasi dan mengalir mengikuti aliran darah. Kompleks imun yang mengalir dalam aliran darah akan ikut melewati dan menempel pada organ yang dilaluinya. Akibatnya terjadi peradangan pada organ tubuh yang dapat menyebabkan gangguan fungsi organ sehingga timbul manifestasi penyakit lupus. 2. Respons Psikologis Saat Terdiagnosa Sistemic Lupus Erythematosus Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga partisipan menyangkal ketika partisipan terdiagnosa Sistemic Lupus Erythematosus. Partisipan mengungkapkan mengapa harus partisipan yang terkena lupus, bahkan partisipan ketiga sempat tidak mau mengakuinya. Depresi dan stres juga dialami oleh seluruh partisipan karena tidak mengetahui penyebab yang jelas dari penyakitnya, mengetahui bahwa
lupus adalah penyakit yang berat dan belum ada obatnya. Kondisi sakit dalam waktu yang cukup lama juga salah satu penyebab stres pada partisipan. Berbeda dengan partisipan ke empat bahwa partisipan merasa takut dan khawatir dengan masa depan keluarga dan anaknya. Penelitian yang dilakukan Pradiwanti (2006) mengenai dinamika emosi penderita Sistemic Lupus Erythematosus. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa stimulus kambuhnya Sistemic Lupus Erythematosus dapat berasal dari diri sendiri maupun dari luar, kambuhnya klien Sistemic Lupus Erythematosus menyebabkan pemikiran tertentu, seperti takut dosis obat bertambah, kematian semakin dekat dan rasa sakit berkepanjangan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kondisi fisiologis dan memunculkan emosi tertentu. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Judha (2010) mengenai pencarian makna hidup klien terdiagnosa Sistemic Lupus Erythematosus dengan perspektif Maslow dan Henderson pada enam partisipan di Rumah Sakit Palembang, hasil penelitiannya menyatakankan bahwa partisipan menunjukkan respon penolakan, marah, tawar menawar, depresi dan menerima. Setiap orang menunjukkan respon yang berbeda dan setiap tahap berfluktuasi. Setiap orang memiliki mekanisme koping yang berbeda sehingga respon psikologis yang ditunjukkan oleh setiap orang pun berbeda-beda. Mekanisme koping
360
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
akan mempengaruhi terhadap proses penerimaan seseorang terhadap perubahan. Koping tersebut bergantung terhadap sumber koping yang didapatkan oleh partisipan baik secara internal maupun eksternal. Jika seseorang mendapatkan sumber koping yang adekuat maka respon psikologis yang ditunjukkan oleh partisipan mengarah pada respon yang adaptif. Ketidakadekuatan sumber koping yang didapatkan oleh partisipan akan berdampak terhadap respon psikologis yang maladaptif pada partisipan. 3. Peningkatan Kualitas Fisik Peningkatan fungsi fisik partisipan tercapai setelah melakukan pengobatan dan perawatan secara kontinu. Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa mengkonsumsi obat secara teratur setiap harinya dengan jumlah obat yag relatif banyak. Periode konsumsi obat dilakukan bertahun-tahun oleh partisipan sampai dosis obat yang dikonsumsi semakin lama semakin berkurang dan klien mencapai masa remisi. Peningkatan fungsi fisik tidak hanya melalui pengobatan dan perawatan, akan tetapi ditunjang juga dengan pola hidup yang sehat. Pola hidup sehat dilakukan melalui konsumsi makanan yang sehat, pola pikir yang sehat dan olah raga. Salah satu olah raga yang di lakukan oleh partisipan adalah yoga yang dilakukan di Syamsi Dhuha Foundation. Menurut partisipan yoga berpengaruh terhadap penurunan intensitas nyeri, peningkatan kualitas
tidur dan meningkatkan kebugaran tubuh. Penelitian mengenai peningkatan fungsi fisik menggunakan yoga yang dilakukan oleh Simon (2007) di Chopra Center terhadap pasien multiple sclerosis dan kasus nyeri muskuloskeletal. Penelitiannya menyatakan bahwa yoga dan meditasi dapat menurunkan nyeri kronik dan stres, sehingga responden mampu memodulasi nyeri dan ketidakberdayaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Cohen (2004) mengenai penyesuaian psikologis dan kualitas tidur dengan efek tibetan yoga terhadap pasien limphoma, hasil penelitiannya menyatakan bahwa yoga tibetan dapat digunakan terhadap pasien dengan penyakit kanker dan penyakit kronik untuk meningkatkan kualitas tidur. Pengobatan, perawatan, dan pola hidup sehat harus dilakukan oleh partisipan untuk meningkatkan fungsi fisiknya. Fungsi fisik yang meningkat dapat mempengaruhi kualitas hidup partisipan. Peningkatan fungsi fisik menyebabkan partisipan menjalani aktivitas seperti keadaan normal. Keadaan normal partisipan mengembalikan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Menurut peneliti partisipan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal namun perlu tetap waspada terhadap kekambuhan penyakit lupus. Pemeriksaan runtin harus dilakukan untuk memantau kesehatan partisipan serta menjalankan pola hidup sehat. 4. Peningkatan Kualitas Spiritual
361
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
Peningkatan kualitas spiritual partisipan ditunjukkan dengan meningkatnya perilaku ibadah seperti, shalat malam, shalat wajib tepat waktu, rajin membaca AlQuran, berdoa dan berdzikir. Nilai – nilai spiritualitas partisipan juga muncul seperti bersyukur ketika penyakit mendera partisipan. Partisipan juga mengungkapkan bahwa tafakur yang diselenggarakan oleh Syamsi Dhuha dapat membuka pikiran dan memperkuat keyakinan partisipan. Partisipan dalam penelitian ini juga menggambarkan adanya kesadaran diri untuk menerima lupus sebagai sahabat dalam hidupnya. Proses perenungan juga dilakukan partisipan untuk mencari solusi dalam mengatasi penyakit lupus, menyadari bahwa lupus tidak ada obatnya. Partisipan juga mempunyai perasaan lega dengan terdiagnosanya penyakit lupus, dan mau menerima kondisinya saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh Judha (2010) mengenai pencarian makna hidup klien terdiagnosa Sistemic Lupus Erythematosus dengan perspektif Maslow dan Henderson pada enam partisipan di Rumah Sakit Palembang, hasil penelitiannya menyatakan bahwa penderita yang mempunyai pengalaman dan kesadaran yang tinggi tentu dapat menarik hikmah, bukan semata-mata menarik kesimpulan atas penyakit yang diderita. Proses kesadaran akan makna hidup yang terkandung dari peristiwa yang dialami merupakan
proses belajar atas peristiwa itu sendiri dan didasari keyakinan akan adanya tuhan serta harapan untuk sembuh. Perubahan nilai-nilai spiritual dan tujuan hidup yang menjadi dasar perubahan makna hidup oleh partisipan dirasakan sebagai hal yang sangat mendasar atas peristiwa yang dialami selama ini. Partisipan menjadi lebih dekat kepada tuhan, meningkatkan perilaku ibadah, bersyukur dan dapat meneriman kondisinya saat ini, serta mempunyai harapan untuk bangkit dari masalah yang ditimbulkan oleh penyakit lupus. Menurut peneliti penyakit merupakan salah satu cara peleburan dosa dan cara tuhan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan partisipan. Kaitannya disini yaitu persepsi awal mengenai penyakit lupus ini merupakan cobaan oleh partisipan. Persepsi tersebut akan mempengaruhi seseorang untuk mencari kekuatan. Hubungan spiritual dengan tuhan merupakan salah satu sumber kekuatan bagi setiap individu. Kekuatan yang berasal dari tuhan merupakan sumber koping yang dapat memperkuat mekanisme koping individu dalam menghadapi masalah. Pencarian kekuatan tersebut dapat terealisasikan dengan peningkatan perilaku ibadah maupun bertambahnya nilai spiritual di dalam diri seseorang, sehingga hubungan manusia dengan tuhannya menjadi lebih dekat. 5. Peningkatan Kualitas Psikologis Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kualitas
362
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
psikologis dapat meningkat karena adanya kontribusi dari kelompok pendukung yaitu Syamsi Dhuha Foundation Bandung. Partisipan mengungkapkan bahwa partisipasi menjadi lebih terpacu untuk mengaktualisasikan diri untuk meningkatkan pencapaian potensi diri sendiri dan memiliki sumbangsih bagi klien dengan lupus lainnya. Pengalaman partisipan juga menggambarkan proses perenungan bahwa keadaan partisipan lebih baik dari klien dengan lupus lainnya. Partisipan juga mengungkapkan bahwa yoga mempengaruhi terhadap kondisi psikologisnya. Kondisi psikologis partisipan lebih relaks setelah mengikuti yoga. Penelitian yang dilakukan oleh Yinlin (2011) mengenai pengaruh yoga terhadap kesehatan psikologis, kualitas hidup dan kesehatan fisik pasien dengan kanker, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa yoga dapat menjadi terapi tambahan bagi pasien kanker untuk membantu mengelola tekanan psikologis dan meningkatkan kualitas hidup. Pendapat lain menyatakan yoga memiliki manfaat terapeutik bagi orang yang mengalami tingkat depresi ringan. Manfaat ini termasuk penurunan depresi dan kecemasan, meningkatkan suasana hati, dan memungkinkan untuk memodulasi kortisol (Woolery, 2004). Kelompok pendukung berkontribusi terhadap pengembalian aspek psikologis partisipan. Aspek psikologis yang dimaksud yaitu kembalinya perasaan positif,
gambaran diri, harga diri, dan rasa percaya diri. Bergabungnya partisipan dengan kelompok yang memiliki karakteristik yang sama dalam artian memiliki penyakit yang sama membantu mengembalikan aspek psikologis partisipan. Partisipan dapat bertukar pengalaman bersama klien dengan lupus lainnya, sehingga partisipan tidak merasa sendiri dan memiliki rasa sepenanggungan. Klien dengan lupus yang memiliki kondisi yang lebih parah juga dapat menjadi cerminan untuk partisipan supaya tetap bertahan, memiliki semangat dan motivasi untuk sembuh. 6. Kualitas Hubungan Sosial Partisipan mengalami perubahan interaksi sosial setelah terdiagnosa sistemic lupus erythematosus. Awalnya partisipan aktif melakukan aktivitas seperti di luar rumah, namun setelah mederita sistemic lupus erythematosus partisipan harus membatasi kegiatan yang berlebih. Pola kegiatan interaksi yang masih tetap dilakukan oleh partisipan seperti mengaji, arisan, dan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan di Syamsi Dhuha Foundation Bandung. Satu orang partisipan mengaku masih bisa bekerja namun tetap harus membatasi kegiatannya, akan tetapi partisipan merasa lebih percaya diri dan dapat lebih terbuka. Beberapa partisipan juga mengungkapkan bahwa jarang berinteraksi dengan tetangga karena kesibukan sehari-hari dan kegiatan di Syamsi Dhuha Foundation Bandung. Dukungan sosial pada partisipan
363
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
sangat dirasakan oleh seluruh partisipan. Dukungan tersebut didapatkan partisipan dari keluarga, lingkungan kerja, dan teman dekat. Keluarga memberikan dukungan yang lebih besar terhadap partisipan, keluarga selalu mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk partisipan dan perhatian keluarga. Dukungan yang diberikan teman dekatnya berupa perhatian, membantu, dan memberi semangat. Menurut penelitian Cockburn, at all. (2003), terdapat 51 % menyatakan berpartisipasi menghadapi lingkungan sosial. Hal ini sesuai dengan penelitian kualitatif yang dilakukan Porter (2000, dalam Judha, 2010) bahwa peran keluarga dan orang disekitar klien lupus membantu klien untuk hidup normal. Interaksi sosial yang dilakukan saat ini merupakan bentuk penyesuaian diri terhadap perubahan suatu penyakit. Perubahan tersebut bukan berarti menghentikan kegiatan sosial secara total, namun partisipan perlu memperhatikan terhadap kemampuan dirinya untuk melakukan kegiatan sosial sehingga tidak memicu kekambuhan sistemic lupus erythematosus. Menurut peneliti partisipan dapat memiliki kualitas hubungan sosial yang baik dimana partisipan bisa menyesuaikan perubahan yang terjadi dengan ligkungan dan lingkungan partisipan yang menyesuaikan terhadap kondisi partisipan saat ini. Hal tersebut dapat berjalan dengan komunikasi yang efektif sehingga kualitas hubungan sosial dapat tercapai.
7.
Kualitas Lingkungan Lingkungan partisipan saat ini dirasakan mendukung terhadap kondisi partisipan saat ini. Hal tersebut terbukti dari pernyataan seluruh partisipan yang menyatakan bahwa rumahnya saat ini nyaman dan aman untuk ditinggali. Begitu juga dengan akses pelayanan baik secara jarak transportasi yang mudah dan terjangkau, sehingga tidak menjadi kendala bagi partisipan untuk berobat. Akses informasi yang dibutuhkan partisipan mengenai penyakit lupus juga didapatkan partisipan baik melalui media internet maupun informasi langsung. Dukungan materi partisipan dapatkan sesuai dengan kebutuhan pengobatan, sehingga partisipan tidak mengalami kesulitan dalam pembiayaan pengobatannya. Menurut Notoatmodjo (1996, dalam Mulia, 2005) lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum. Penelitian Judha (2010) menyatakan bahwa lingkungan harus di modifikasi sehingga sesuai dengan kebutuhan pasien lupus untuk tetap nyaman dan sehat. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang. Partisipan perlu menghindari atau mencegah hal-hal yang dapat menimbulkan kekambuhan pada penyakit sistemic lupus erythematosus. Akses pelayanan kesehatan yang mudah dan terjangkau menjadi faktor pendukung
364
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
terhadap status kesehatan seseorang. Kontiunitas pengobatan pada klien dengan lupus diperlukan untuk menjaga keadaan penderita tetap sehat. Jarak dan transportasi yang mudah dan terjangkau memungkinkan partisipan untuk tetap mendapatkan pengobatan dan perawatan yang berkelanjutan.
setelah mengikuti tafakur di Syamsi Dhuha Foundation Bandung. Peningkatan spiritual yang terjadi yaitu meningkatnya perilaku ibadah dan nilai spiritual. Gambaran peningkatan kualitas psikologis klien Sistemic Lupus Erythematosus setelah bergabung di Syamsi Dhuha. Peningkatan psikologis ditunjukkan dengan aktualisasi diri, munculnya perasaan positif dari partisipan. Yoga yang dilakukan oleh partisipan juga mempengaruhi terhadap ketenangan jiwa partisipan. Gambaran peningkatan hubungan sosial klien Sistemic Lupus Erythematosus di Syamsi Dhuha Foundation Bandung. Partisipan tetap bisa melakukan aktivitas namun tidak berlebihan, tetap mendapatkan dukungan baik dari keluarga maupun orang-orang terdekat. Partisipan yang sudah menikah tidak mengalami perubahan dalam melakukan hubungan seksual. Gambaran kualitas lingkungan klien Sistemic Lupus Erythematosus terlihat dari kondisi rumah partisipan yang mendukung, partisipan masih bisa melakukan rekreasi dengan keluarga, partisipan dapat mengakses tempat pengobatan dan akses transportasi dengan mudah dan terjangkau. Partisipan juga dapat mengakses informasi mengenai penyakit lupus dengan mudah. Sumber pembiayaan kesehatan partisipan berasal dari biaya pribadi dan sebagian partisipan dibiayai oleh perusahaan.
Simpulan Berdasarkan temuan-temuan dari penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Gambaran perubahan fungsi fisik yang dialami oleh klien saat terdiagnosa Sistemic Lupus Erythematosus, diidentifikasi adanya gangguan seperti: 1. Penurunan aktivitas fisik 2. Perubahan pola nutrisi dan gangguan pencernaan 3. Perubahan pola istirahat dan tidur 4. Gangguan sirkulasi 5. Gangguan muskuloskeletal 6. Gangguan integumen 7. Gangguan penglihatan 8. Gangguan termoregulasi. Respon psikologis yang dialami oleh klien saat terdiagnosa Sistemic Lupus Erythematosus yaitu depresi, menyangkal, dan tidak percaya diri. Gambaran peningkatan kualitas fisik klien Sistemic Lupus Erythematosus setelah melakukan yoga. Peningkatan kualitas fisik yang dialami oleh partisipan yaitu meningkatnya kondisi fisik, berkurangnya intensitas nyeri, meningkatnya kualitas tidur. Gambaran peningkatan spiritual klien Sistemic Lupus Erythematosus
365
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Saran Syamsi Dhuha Foundation Bandung dapat membuat program penambahan jadwal terapi relaksasi yoga, sehingga manfaat yoga dapat lebih terasa. Promosi mengenai manfaat terapi relaksasi yoga juga perlu ditingkatkan supaya klien dengan Sistemic Lupus Erythematosus mengetahui dan tertarik mengikuti yoga. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai perbedaan kualitas hidup klien Sistemic Lupus Erythematosus yang melakukan yoga dan tidak melakukan yoga.
Crotty. (2003). The Foundation Of sosial Reserch. Online; http//books.goole.co.id/book; diperoleh pada tanggal 21 Februari 2013. Isbagio, dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Judha, dkk. (2010). Pencarian Makna Hidup Klien Terdiagnosa Lupus Eritematosus Sistemik dengan Perspektif Maslow dan Henderson dalam Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 13, No 3, edisi November hal 145-152.
Daftar Pustaka Berman. et.al. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Cockburn & Wiggers. (2003). Patient Education and Counseling: Prevalence and Correlates of Perceived Unmet Needs of People with Sistemic Lupus Erythematosus; www.elsevier.com; Diperoleh 17 Juli 2013.
Mulia. (2005). Lingkungan. Graha Ilmu.
Kesehatan Yogyakarta:
Cohen, at all. (2004). Psychological Adjustment and Sleep Quality in a randomized Trial of the Effects of a Tibetan Yoga Intervention in Patients with Lymphoma dalam Jurnal Cancer May 15, 2004/ volume 100/ No. 10.
Pradiwanti. (2006). Dinamika Emosi Penderita Sistemic Lupus Erythematosus;www.adln.lib.u nair.ac.id; Diperoleh 17 Juli 2013.
Potter dan Perry. (2005). Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses dan Praktik Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Simon. (2007). Yoga and Multiple Sclerosis: A Journey to Health and Healing edisi desember.
366
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
Smeltzer dan Bare. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medika Bedah Brunner dan Suddarth volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Streubert dan Carpenter. (2003). Qualitatif Research In Nursing, Advancing The Humanistic Imperative. Philadelphia: Lippicoth Waluyo dan Putra. (2012). 100 Questions & Answers Lupus. Jakarta: Gramedia. Woolery, at all. (2004). A Yoga Intervention For Young Adults With Elevated Symptoms Of Depression dalam jurnal Alternative Therapies Mar/Apr 2004, Vol 10 No.2. World Health Organitation Quality of Life (WHO-QOL) BREF (1996). http//www.who.int; Diperoleh 16 Juni 2013. Yinlin. (2011). Effect of Yoga on Psychological Health, Quality of Life, and Physical Health of Patient with canser dalam Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine Article ID 10.1155/2011/659876.
367
Prosiding Seminar Nasional 2013 Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Melalui Pendekatan Peka Budaya
368