PROSIDING
SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI KEHUTANAN (BPK) PALEMBANG Musi Rawas, 13 Juli 2011 Editor: Prof. Riset. Dr. Ir. Hendi Suhaendi, MS. Ir. Hj. Nina Mindawati, M.Si Drs. Riskan Effendi, M.Sc Dra. Illa Anggraeni
Hak Cipta Oleh Pusprohut: Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, sebagai berikut: Untuk sitiran seluruh buku, ditulis: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan (2011). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang, 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan (2011). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang, 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor, halaman.........
ISBN: 978-979-3819-72-3 Prosiding ini diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Alamat: Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor PO BOX 331 Telp (0251) 8631238, 8631507 Fax (0251) 7520005 E-mail:
[email protected] Dicetak dengan pembiayaan dari DIPA Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang TA. 2011
ISBN: 978-979-3819-72-3
PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN (BPK) PALEMBANG
“Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Usaha Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran” (Musi Rawas, 13 Juli 2011)
Editor: Prof. Riset. Dr. Ir. Hendi Suhaendi, MS. Ir. Hj. Nina Mindawati, M.Si Drs. Riskan Effendi, M.Sc Dra. Illa Anggraeni
KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN
KATA PENGANTAR Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan secara teknis administratif berada dalam binaan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan. Sejak tahun 2006, BPK Palembang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan penelitian di bidang hutan tanaman khususnya kayu pertukangan untuk selanjutnya menyebarluaskan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat dan pengguna melalui kegiatan publikasi dan diseminasi hasil yang dicapai. Salah satu upaya untuk menyebarluaskan hasil penelitian adalah dengan menyelenggarakan kegiatan seminar hasil-hasil penelitian yang kali ini dilaksanakan di Musi Rawas, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Seminar hasil-hasil penelitian kehutanan dilaksanakan oleh BPK Palembang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas pada tanggal 13 Juli 2011 dengan tema “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Usaha Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran”. Seminar hasil-hasil penelitian kehutanan menyajikan 7 (tujuh) makalah utama yang telah dipresentasikan dan 22 (dua puluh dua) makalah penunjang. Sebagai output dari pelaksanaan kegiatan seminar tersebut, disusun prosiding yang memuat seluruh makalah utama dan penunjang. Mencermati tema seminar dan makalah-makalah yang dibahas dalam seminar, maka Prosiding ini diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah turut mensukseskan terselenggaranya kegiatan seminar, juga semua pihak yang telah membantu di dalam penyusunan prosiding ini, diucapkan terima kasih.
Palembang, November 2011 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan,
Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF NIP. 195610051982031006
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
iv-vi
SAMBUTAN.........................................................................................................
viii-x
RUMUSAN ..........................................................................................................
xi-xii
I. MAKALAH UTAMA 1. PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN POLA TANAM CAMPURAN KARET DAN KAYU-KAYUAN M. J. Rosyid.............................................................................................
1-10
2. APLIKASI PERANGKAT PENGATURAN HASIL DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS LOKAL Hengki Siahaan dan Agus Sumadi ..........................................................
11-18
3. MIKORIZA DAN AGROFORESTRI, PERPADUAN TEKNOLOGI DAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DI LAHAN KRITIS Maliyana Ulfa dan Edwin Martin ...........................................................
19-25
4. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN MELALUI PENANAMAN POLA CAMPURAN Sahwalita, Abdul Hakim Lukman, Agus Sofyan dan Sri Utami...............
27-35
5. DAMPAK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Fatahul Azwar.........................................................................................
37-45
6. NILAI EKONOMI PENANAMAN POHON PENGHASIL KAYU PADA LAHAN MILIK Bambang Tejo Premono dan Edwin Martin ...........................................
47-57
7. SERANGAN RAYAP PADA TANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans): POTENSI KERUSAKAN DAN PELUANG PENGENDALIANNYA Asmaliyah ...............................................................................................
59-64
II. MAKALAH PENUNJANG
iv
1. PERSEPSI DAN MOTIVASI MASYARAKAT DALAM PEMBUDIDAYAAN BAMBANG LANANG Ari Nurlia dan Edwin Martin...................................................................
65-71
2. SEBARAN DAN PERSYARATAN TEMPAT TUMBUH KAYU BAWANG (Dysoxylum mollissimum Blume.) DI PROVINSI BENGKULU Sri Utami, Armelia Prima Yuna, Nanang Herdiana dan Teten Rahman Saepuloh.........................................................................
73-78
3. INVENTARISASI SERANGAN HAMA, PENYAKIT DAN GULMA PADA PERTANAMAN KAYU BAWANG DI KHDTK BENAKAT, KABUPATEN MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN Sri Utami dan Agus Kurniawan...............................................................
79-86
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
4. PENGAMATAN SERANGAN HAMA PADA TANAMAN BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.) DI SUMATERA SELATAN Asmaliyah, Andika Imanullah dan Abdul Hakim Lukman.......................
87-97
5. KEJADIAN PENYAKIT DAUN PADA ANAKAN TEMBESU (Fagraea fragrans) DI KABUPATEN MUARA ENIM Asmaliyah, Nesti Andriani dan Illa Anggraeni ........................................
99-104
6. MODEL PERTUMBUHAN DIAMETER DAN TINGGI BAMBANG PADA SISTEM AGROFORESTRI DI PAGARALAM - SUMATERA SELATAN Agus Sumadi dan Hengki Siahaan........................................................... 105-110 7. NILAI MANFAAT BUDIDAYA AREN BAGI MASYARAKAT SEKITAR BUKIT BARISAN SUMATERA Edwin Martin dan Armelia Prima Yuna .................................................. 111-119 8 PEMANFAATAN TANAMAN AREN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TWA BUKIT KABA, KABUPATEN REJANG LEBONG, BENGKULU YANG MENGGUNAKAN POLA CAMPURAN Junaidah, Armelia Prima Yuna, Edwin Martin, R. Dody Prakosa dan Bambang Tejo Premono ......................................................................... 121-131 9. REGENERASI TUMBUHAN BAWAH PADA TEGAKAN CAMPURAN KAYU BAWANG DAN BAMBANG LANANG DI KHDTK BENAKAT Etik Erna Wati Hadi dan Joni Muara....................................................... 133-139 10. TEKNIK PENENTUAN LOKASI UNTUK PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT JENIS BAMBANG LANANG DENGAN SISTEM LAHAN (LAND SYSTEM) DI KABUPATEN MUSI RAWAS, SUMATERA SELATAN R. Dody Prakosa ...................................................................................... 141-150 11. TEKNOLOGI PENGOLAHAN NIRA SEBAGAI BAHAN BAKU GULA AREN DI KABUPATEN REJANG LEBONG, BENGKULU Junaidah, R. Dody Prakosa dan Armelia Prima Yuna.............................. 151-160 12. TEMBESU: SALAH SATU JENIS LOKAL POTENSIAL DALAM PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI SUMATERA Agus Sofyan............................................................................................. 161-166 13. KEANEKARAGAMAN JAMUR MIKORIZA ARBUSKULAR DI BAWAH TEGAKAN SUNGKAI (Peronema Canescens Jack.) Maliyana Ulfa dan Maman Suparman ................................................... 167-172 14. PEMANFAATAN HEWAN UNTUK KEGIATAN PENYARADAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN EMPAT LAWANG PROVINSI SUMATERA SELATAN Agus Baktiawan Hidayat dan Deni Mulyana .......................................... 173-180 15. POTENSI TUMBUHAN BAWAH GADUNG (Dioscorea hispida) DI BAWAH TEGAKAN TEMBESU PADA LAHAN DENGAN TIPE PENYIAPAN LAHAN BERBEDA DI KHDTK KEMAMPO PROVINSI SUMATERA SELATAN Etik Erna Wati Hadi dan Nesti Andriani .................................................. 181-185
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
v
16. SILVIKULTUR TANAMAN AREN Junaidah dan R. Dody Prakosa ............................................................... 187-195 17. STEK BATANG NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN Agus Baktiawan Hidayat, Sahwalita dan Nanang Herdiana ................. 197-204 18. PERTUMBUHAN TEMBESU PADA POLA CAMPURAN DENGAN KARET DI HUTAN RAKYAT Agus Sumadi dan Teten Rahman Saepuloh ........................................... 205-210 19. KONSERVASI IN-SITU JELUTUNG DARAT (Dyera costulata Hook f.) PADA KAWASAN PUSAT LATIHAN GAJAH (PLG) SEBLAT Hengki Siahaan....................................................................................... 211-215 20. ROTAN JERNANG: TANAMAN UNGGULAN DALAM AGROFORESTRI Agung Wahyu Nugroho.......................................................................... 217-223 21. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA KEMIRI (Aleurites mollucana Wild.) Agus Sofyan ............................................................................................ 225-232 22. PENGARUH PEMBERIAN PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT Aquilaria malacensis Lamk. ASAL ANAKAN ALAM DI PERSEMAIAN Sahwalita ................................................................................................ 233-241 LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 243-247
vi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
DAFTAR LAMPIRAN 1. Susunan Acara Seminar Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan...........................
243
2. Panitia Seminar Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan........................................
244
3. Daftar Peserta Seminar Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan ........................... 245-247
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
vii
SAMBUTAN BUPATI MUSI RAWAS SEMINAR-HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN MUSI RAWAS, 13 JULI 2011 Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr. Wb, Yang saya hormati: 1. Kepala Badan Litbang Kehutanan/mewakili 2. Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan 3. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 4. Para Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lingkup Sumatera Bagian Selatan/mewakili 5. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas 6. Para Kepala Dinas Kehutanan Lingkup Sumatera Bagian Selatan/mewakili 7. Para Kepala UPT Lingkup Badan Litbang/mewakili 8. Para Akademisi, Penyuluh Lapangan, Kelompok Tani Hutan dan peserta seminar yang berbahagia. Para hadirin yang kami hormati, Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan ridho-Nya kita semua dapat hadir dalam acara Seminar Hasil-Hasil Penelitian yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas di Lubuk Linggau. Saya menyambut baik dan gembira atas terlaksananya seminar dengan tema “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran“ di Kabupaten Musi Rawas dengan penekanan pembahasan yang diarahkan pada pengelolaan “hutan rakyat”. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa, merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya, yang memberikan manfaat kepada masyarakat sebagai salah satu penyangga sistem kehidupan. Selain itu, hutan juga sebagai sumber keragaman hayati yang penting untuk dipertahankan kelestarian dan keberadaannya sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai pengatur tata air, mencegah erosi serta memenuhi kebutuhan hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya hutan dijaga keberadaan dan kelestariannya. Sebagai salah satu modal pembangunan, sumberdaya hutan memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Oleh karena itu sumberdaya hutan harus dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Para hadirin yang berbahagia, Salah satu fungsi hutan adalah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dalam bentuk pemanfaatan produk kayu. Berdasarkan statusnya hutan dibedakan menjadi viii
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
dua, yaitu hutan negara dan hutan hak yang biasanya disebut hutan rakyat di mana status kepemilikan lahannya ada pada rakyat. Dalam konteks seminar ini akan dibahas hal-hal yang terkait dengan hutan rakyat. Tema seminar ini relevan dengan kebijakan pembangunan, baik dari sektor kehutanan maupun Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan yaitu dalam kebijakannya Provinsi Sumatera Selatan menetapkan visi untuk tahun 2008-2013 “Sumatera Selatan Sejahtera dan Terdepan Bersama Masyarakat Cerdas dan Berbudaya”. Dalam rangka mensejahterakan masyarakat tersebut maka perlu didukung dari beberapa sektor terkait antara lain dari sektor kehutanan melalui pembangunan hutan rakyatnya. Berdasarkan data dari Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah V Palembang tahun 2011, Provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan hutan seluas 4.416.837 Ha dengan rincian: Hutan Suaka Alam seluas 714.416 Ha (6,54%); Hutan Lindung seluas 760.523 Ha (6,96%); Hutan Produksi Tetap seluas 2.293.083 Ha (20,99%); Hutan Produksi Terbatas seluas 217.370 Ha (1,99%); dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 431.445 Ha (3,95%). Dari hutan produksi tetap dan terbatas seluas 2.510.453 Ha, yang telah dikeluarkan izin pemanfaatannya untuk pembangunan hutan tanaman baik untuk tujuan menghasilkan bahan baku pulp/kertas maupun penghara kayu pertukangan seluas 1.375.312 Ha (Dishut, 2010) dan terealisir seluas 425.59 Ha (Dishut, 2010). Dengan kondisi tersebut supply bahan baku kayu khususnya kayu pertukangan untuk wilayah Sumatera Selatan dapat tercukupi, namun dengan rendahnya realisasi pembangunan hutan tanaman oleh berbagai sebab, dikhawatirkan supply bahan baku tersebut masih defisit dibandingkan kebutuhannya baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Kekhawatiran tersebut sudah mulai nampak dari semakin langkanya kayu berkualitas untuk kebutuhan perumahan dan peningkatan secara drastis harganya sehingga banyak beralih ke rangka baja sebagai pengganti kayu. Rendahnya realisasi pembangunan hutan tanaman pada kawasan hutan dari hasil kajian terkait dengan revitalisasi industri kehutanan disebabkan antara lain produksi tanaman kehutanan berdaur panjang, resiko tinggi dan investasi besar. Salah satu solusi penyediaan bahan baku kayu adalah melalui hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat, di mana hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat dapat mengurangi resiko dari ketiga hal tersebut di atas karena bergantung pada satu komoditi saja dan skalanya lebih kecil sehingga dapat dikelola dengan baik. Pembangunan hutan rakyat di wilayah Sumatera Selatan telah mencapai 1.857 Ha dengan asumsi riap 15 m3/Ha/tahun dapat dihasilkan hanya 27.855 m3/Ha/tahun. Melihat kondisi ini peningkatan pembangunan hutan rakyat cukup prospektif. Hal tersebut tidak terkecuali untuk pengembangan hutan rakyat di wilayah Kabupaten Musi Rawas, di mana pembangunan hutan rakyat bukan semata untuk tujuan produksi tetapi juga untuk tujuan perlindungan karena sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Musi Rawas berada pada dataran tinggi. Para hadirin yang berbahagia, Peran IPTEK dalam setiap langkah pembangunan sangat diperlukan, tak terkecuali dalam pembangunan hutan rakyat. Manfaat IPTEK akan meningkatkan produktivitas serta proses yang efektif dan efisien. Dalam seminar ini diharapkan dapat dikenalkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang baik
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
ix
mengenai jenis-jenis tanaman yang unggul maupun teknik budidaya yang benar serta berbagai dampak terhadap lingkungan. Untuk semua itu kami minta para hadirin peserta seminar sekalian agar dapat memperhatikan, mengkritisi dan menyampaikan saran dan masukan terhadap paparan hasil penelitian baik yang telah dilaksanakan maupun untuk rencana penelitian yang akan datang. Dan untuk hasil-hasil yang relevan dengan kondisi wilayah kerja masing-masing supaya dapat diterapkan. Para hadirin yang berbahagia, Akhirnya diiringi ucapan terima kasih atas perhatian yang diberikan, maka dengan melafazhkan Bismillahirrahmanirrahim, Seminar Hasil-Hasil Penelitian dengan tema “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran“ secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat mengikuti seminar ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih Wassalamualaikum, Wr. Wb
x
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
RUMUSAN Berdasarkan arahan Bupati Musi Rawas; Keynote Speech: PERAN IPTEK DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT oleh Kepala Bappeda Kabupaten Musi Rawas; paparan makalah dan diskusi, maka seminar ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Dukungan sektor kehutanan dalam mensejahterakan masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan di antaranya melalui pembangunan hutan rakyat. Peran IPTEK dalam pembangunan hutan rakyat tersebut sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas serta proses yang efektif dan efisien. 2. Ekstensifikasi dan intensifikasi budidaya tanaman penghasil kayu pada lahan milik akan menghasilkan peningkatan produktivitas hutan. Pilihan antara melakukan ekstensifikasi atau intensifikasi bergantung pada situasi atau kondisi di wilayah pengembangan. 3. Pola tanam campuran dengan menggunakan jenis tanaman penghasil kayu pertukangan merupakan salah satu bentuk yang dapat diterapkan dalam upaya peningkatan produktivitas lahan. Beberapa jenis pohon penghasil kayu pertukangan yang dapat digunakan sebagai tanaman sela pada pola penanaman campuran adalah sungkai, tembesu, bambang lanang dan kayu bawang. 4. Pengaturan jarak tanam yang optimal dalam pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan dapat memberikan hasil yang optimal. Jarak tanam karet (14m + 6m) x 2,5m atau jumlah karet 400 tanaman per hektar merupakan jarak tanam yang optimal karena dapat mengurangi kompetisi antar tanaman. 5. Bioteknologi mikoriza dapat diaplikasikan untuk penanganan lahan kritis yang dikelola petani/pemilik lahan secara agroforestri dan rendah input. 6. Rayap Nasutitermes matangensis berpotensi menyebabkan kerugian dan kegagalan pembangunan hutan tanaman tembesu. Tindakan pengendalian dapat dilakukan melalui pengurangan populasi hama dan pengelolaan lingkungan yang menekan perkembangan hama namun menguntungkan perkembangan musuh alami. 7. Perangkat pengaturan hasil yang penting dalam pengelolaan hutan rakat adalah model penduga volume dan model penduga pertumbuhan. Model penduga volume dapat digunakan untuk mengetahui potensi tegakan yang dimiliki saat ini, sementara model penduga pertumbuhan bermanfaat untuk menduga potensi tegakan pada saat daur. 8. Hutan tanaman bambang lanang skala usaha masyarakat memenuhi kriteria kelayakan ekonomi. Hutan tanaman campuran bambang yang dibangun masyarakat terbukti memberikan kontribusi ekonomi bagi keluarga pemiliknya. 9. Lahan yang diusahakan dengan pola budidaya campuran antara tembesu dengan karet lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan jika lahan ditanami secara monokultur. Makin banyak tembesu ditanam bersama karet dalam satu unit lahan makin menurun nilai ekonomi yang dapat disumbangkan lahan tersebut.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
xi
10. Keberadaan hutan rakyat dalam bentuk campuran antara tanaman kehutanan dan perkebunan telah dirasakan manfaatnya (lingkungan) oleh masyarakat Desa Suka Karya yang berada di wilayah Hutan Lindung Bukit Cogong, terutama dalam mengatasi bahaya banjir dan longsor yang sebelumnya sering melanda desa tersebut. 11. Pembangunan hutan tanaman pola campuran berpengaruh positif terhadap penyerapan karbon, hidro-orologis (konservasi air dan tanah) serta keanekaragaman jenis. 12. Untuk meningkatkan kemanfaatan hasil penelitian yang dilaksanakan BPK Palembang perlu upaya elaborasi dengan instansi terkait di daerah, agar hasil yang diperoleh dapat berguna bagi user atau masyarakat.
TIM PERUMUS: 1. Ir. A.H. Lukman, M.Si 2. Drs. Agus Sofyan, M.Sc 3. Edwin Martin, S.Hut., M.Si
xii
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN POLA TANAM CAMPURAN KARET DAN KAYU-KAYUAN M. J. Rosyid1
ABSTRAK Pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan secara tradisonal sudah dikembangkan oleh masyarakat di beberapa sentra karet di Indonesia. Namun pola yang terbentuk bukan direncanakan dari awal, tapi terbentuk secara alami. Dimana prosesnya diawali dari sistem perladangan dengan penanaman padi ladang dan palawija, kemudian penanaman karet dengan bahan tanam biji sapuan dan penghutanan kembali, sebagai akibat tidak adanya pemeliharaan kebun. Hutan yang terbentuk menjadi sangat heterogen, namun produktivitasnya rendah. Oleh karena itu, perlu upayaupaya untuk memperbaiki pola tanam campuran ini sehingga menjadi pola yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi secara berkesinambungan. Dalam penyusunan pola tanam campuran antara tanaman karet dengan tanaman kayu, agar diperoleh hasil yang optimal, maka perlu menggunakan tanaman karet dengan bahan tanam klon unggul, memiliki produksi yang tinggi dan mampu berkompetisi dengan tanaman kayu. Beberapa klon yang prospektif untuk dikembangkan adalah BPM 1, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 42 dan IRR 118. Klon-klon ini di samping mampu memberikan hasil lateks yang tinggi, juga mampu memberikan hasil kayu karet dengan baik. Teknologi lainnya yang perlu dicari adalah penggunaan jarak tanam karet agar lebih sesuai untuk pengembangan diversifikasi karet dengan tanaman kayu-kayuan. Jarak tanam yang sudah digunakan adalah (14.0 m + 6.0 m) x 2.0 m dengan populasi karetnya 500 pohon/ha, namun dalam perkembangannnya, pertumbuhan tanaman karetnya agak terhambat. Oleh karena itu, alternatif jarak tanam yang akan datang adalah (14.0 m + 6.0 m) x 2.5 m atau dengan populasi 400 pohon/ha, dengan jarak tanam ini diharapkan mampu mengurangi kompetisi antartanaman karet atau dengan tanaman kayu-kayuan. Demikian juga dalam masalah waktu penanaman tanaman kayu jangan dilaksanakan bersamaan dengan penanaman karet, sebaiknya ditanam setelah tanaman karet berumur dua tahun, dengan pertimbangan tanaman kayu masih memperoleh cahaya matahari dan tanaman karet sudah kuat berkompetisi. Melalui pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan dengan menerapkan teknologi anjuran, dapat diharapkan areal hutan disamping mampu menghasilkan kayu untuk jangka panjang, juga mampu memberikan pendapatan harian melalui hasil lateksnya. Kata kunci: hutan tanaman, peningkatan produktivitas, pola tanam campuran
1
Peneliti pada Balai Penelitian Karet Sembawa
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
1
PENDAHULUAN Sistem usahatani karet yang umum dilaksanakan di sebagian besar sentra karet rakyat baik di Sumatera maupun Kalimantan adalah dengan sistem usahatani tradisional yang dimulai dengan pengusahaan perladangan, kemudian dilanjutkan dengan pengusahaan tanaman karet yang dicampur dengan tanaman buah-buahan dan tanaman kayu-kayuan. Pola usahatani seperti ini akan membentuk suatu sistem usahatani hutan tanaman karet (rubber agroforestry sistems). Sebetulnya sistem ini sudah mulai berkurang, karena areal hutan yang digunakan untuk perladangan sudah mulai berkurang, namun budidaya atau teknologi pengusahaannya masih berjalan. Hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat mengenai cara budidaya dan penanaman karet masih sangat rendah dan terbatas dan masih menganut budaya nenek moyang dengan teknologi perladangan. Sistem usahatani hutan tanaman karet yang umum dilaksanakan petani tidak optimal, sehingga hasil yang diperolehnya juga menjadi tidak maksimal. Beberapa faktor yang menyebabkan produktivitas tidak maksimal (Rosyid dan Suryaningtyas, 2006 dan Joshi, L. 2008) adalah: 1. Lahan usahanya merupakan lahan bekas perladangan yang sudah terkuras unsur haranya 2. Tidak menggunakan jenis karet yang baik, hanya menggunakan bahan tanam biji sapuan dari hutan, sehingga produksinya sangat rendah 3. Tidak ada pengaturan jarak tanam, sehingga terjadi kompetisi yang tinggi baik antar tanaman karet maupun dengan tanaman atau pohon-pohon hutan lainnya 4. Pemeliharaan hampir tidak ada, baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan kondisinya dibiarkan menghutan, dengan populasi yang sangat padat. Akibat dari kondisi ini maka pertumbuhan tanaman karet menjadi sangat lambat dan produksinya sangat rendah. Pada sistem ini pada umumnya tanaman karet baru disadap setelah tanaman berumur lebih dari tujuh tahun, dengan rata-rata produksi kurang dari 10 kg/ha/hari. Sistem pengembangan hutan, dengan pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan seperti ini banyak kerugiannya, meskipun bagi petani sangat mudah dan cukup terjangkau dalam membangunnnya. Kerugian yang diakibatkan dari sistem ini adalah: 1. Terjadinya kerusakan lahan hutan 2. Lahan hutan beralih fungsi atau menjadi hutan yang kurang produktif 3. Pendapatan petani rendah 4. Pendapatan daerah rendah. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan untuk mengganti hutan tradisional yang selama ini berkembang guna mendukung pengembangan sistem usahatani hutan tanaman yang lebih menguntungkan.
SISTEM USAHATANI HUTAN TANAMAN KARET TRADISIONAL Sistem usahatani hutan tanaman karet secara tradisional terbentuk karena adanya sistem perladangan. Kegiatan sistem perladangan ini diawali dari sistem
2
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
berburu lahan yang subur untuk melakukan penanaman padi ladang, sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan pokok. Dalam sistem usahatani ini, pelaksanaannya diawali dengan penanaman padi, kemudian disusul dengan penanaman palawija dan sayuran. Pada umumnya penanaman padi dilaksanakan hanya dua sampai tiga tahun. Pada tahun kedua atau pada saat tanah sudah mulai menurun kesuburannya dan hasil padi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hidupnya, areal lahan perladangan ini selanjutnya ditanami karet dengan bahan tanam biji sapuan, di samping ditanami karet juga ditanami pohon buah-buahan seperti durian, nangka, cempedak, kemang dan lainnya sesuai dengan selera petani. Di samping itu, apabila ada pohon kayu-kayuan yang bermanfaat bagi masyarakat seperti meranti (Shorea sp), tembesu (Fragraea fragran, seru (Calophylum inophyllum), sungkai (Peronema canescens), pulai (Alstonia scholaris) dan pohon hutan lainnya akan dibiarkan tumbuh secara alami, sehingga beberapa tahun kemudian areal ini akan menghutan kembali dengan kondisi yang sangat padat dan heterogen. Model dari sistem perladangan pada saat ini pada umumnya sudah berubah, karena lahan untuk melakukan rotasinya sudah terbatas dan petani tidak melakukan perladangan berpindah lagi namun melakukan usahatani menetap. Namun demikian, ciri model perladangannya masih dilaksanakan petani. Hal ini disebabkan pengetahuan atau teknologi yang dikuasai petani ini hanya teknologi perladangan yang merupakan warisan dari nenek moyangnya, meskipun model spesifiknya telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Beberapa model yang berkembang pada sistem usahatani karet yang merupakan kelanjutan dari sistem perladangan menurut Wibawa dkk. (2005) serta Rosyid dan Suryaningtyas (2006) adalah sebagai berikut: 1. Penanaman padi + sayuran + pisang – penanaman karet – menyisipkan beberapa tanaman buah-buahan tahunan – membiarkan beberapa tanaman hutan tumbuah seperti pulai (Alstonia scholaris), tembesu (Fragraea fragrans), meranti (Shorea sp), seru (Calophylum inophyllum), sungkai (Peronema canescens) dan pohon kayu lainnya yang dianggap berguna, sehingga menjadi hutan campuran (Daerah Musi Banyu Asin, Musi Rawas, Muara Enim dan Lahat) 2. Penanaman padi + palawija atau nenas + penanaman karet - membiarkan beberapa tanaman hutan tumbuah seperti pulai (Alstonia scholaris), tembesu (Fragraea fragrans), meranti (Shorea sp), seru (Calophylum inophyllum), sungkai (Peronema canescens) dan pohon kayu lainnya yang dianggap berguna, sehingga menjadi hutan campuran (daerah Banyu Asin, OKI, OKU Selatan dan OKU) 3. Penanaman padi + sayuran + pisang - penanaman karet - menyisipkan beberapa tanaman buah-buahan tahunan - membiarkan tumbuh untuk tanaman tembesu (Fragraea fragrans) dan seru (Calophylum inophyllum), sehingga menjadi hutan campuran (Daerah OKU Timur) 4. Penanaman nenas - penanaman karet - membiarkan tumbuh untuk tanaman tembesu (Fragraea fragrans) dan seru (Calophylum inophyllum), sehingga menjadi hutan campuran (Ogan Ilir). Kelemahan dari sistem ini adalah teknologi budidaya yang digunakan masih sangat rendah, seperti tidak ada pengaturan jarak tanam, baik untuk tanaman karet maupun untuk tanaman kayu, sehingga populasi tanaman per satuan luas menjadi sangat padat. Selain itu tidak menggunakan varietas atau klon unggul dan tidak ada pemeliharaan tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma, sehingga produktivitas dan kualitas hasilnya sangat rendah.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
3
Hasil penelitian Rosyid (2003) dalam penelitian tanaman tembesu yang diversifikasikan dengan tanaman karet di daerah Kecamatan Tanjung Raja, Kabupaten Ogan Ilir (Kabupaten OI) dan Kecamatan Cempaka Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (Kabupaten OKU Timur) menunjukkan bahwa, populasi tanaman kayu persatuan luasnya sangat beragam, karena jumlah yang tumbuh ditentukan secara alami (tumbuh sendiri secara alami). Keragaman populasi tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengelompokkan jumlah tanaman tembesu yaitu mulai dari 0-25 pohon/ha, 25-50 pohon/ha, 50-75 pohon/ha, 75-100 pohon/ha dan 100-125 pohon/ha yang tumbuh pada areal kebun karet dengan populasi antara 400-450 pohon/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman tembesu yang cabang batangnya banyak, berdampak pada pertumbuhan tanaman tembesunya menjadi sangat lambat, semakin tinggi jumlah tanaman tembesu, maka pertumbuhan tanaman tembesu menjadi terhambat. Begitu juga pertumbuhan tanaman karet terhambat dan produksi karetnya juga terhambat (Gambar 1 sampai dengan Gambar 4). Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tanaman tembesu, semakin banyak cabangnya, maka semakin kecil lilit batangnya. Kayu tembesu dengan lilit batang yang besar pada umumnya diarahkan untuk menghasilkan papan, namun demikian para petani juga tetap mengusahakan tanaman tembesu dengan jumlah cabang empat atau lima, meskipun lilit batangnya kecil. Kayu tembesu yang kecil untuk di daerah Kabupaten OI dan OKU Timur pada umumnya digunakan untuk kebutuhan bahan pagar atau sebagai bahan kayu reng bangunan rumah. Kayu-kayu tembesu yang kecil, akan dipanen pada saat pohon berumur lima atau enam tahun, sedangkan untuk menghasilkan papan pemanenan dilakukan setelah pohon berumur lebih dari 20 tahun.
Lilit batang tembesu (cm)
120
100
1 cabang (0.2+8.0X0.25X2+0.003X3)
80
2 cabang (0.0+6.3X0.20X2+0.003X3)
60
3 cabang (0.2+4.6X0.15X2+0.002X3)
40
4 cabang (0.4+2.9X0.10X2+0.002X3)
20
5 cabang (0.6+1.2X0.05X2+0.001X3)
0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Umur tembesu (tahun)
Gambar 1. Pengaruh jumlah cabang pohon tembesu pada pertumbuhan lilit batang tembesu Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi tanaman tembesu maka semakin lambat juga pertumbuhan tanaman tembesunya. Populasi pohon ditentukan secara alami, karena petani tidak menanamnya dan apabila ada pohon tembesu di areal kebun karet akan dipelihara atau dirawat dan dibiarkan besar, kecuali untuk pohon yang sangat berdekatan dengan tanaman karet, maka akan dicabut.
4
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Lilit batang tembesu (cm)
140 Populas i tem bes u 100 - 125 pohon (''0,02+5,91X0.18X2+0.002X3)
120 100 80
Populas i tem bes u 75 - 100 pohon ('-0.14+7,16X0.22X2+0.003X3)
60
Populas i tem bes u 50 - 75 pohon (0.2+8.0X0.25X2+0.003X3) Populas i tem bes u 25 - 50 pohon (0.08+9,49X0.29X2+0.003X3)
40
Populas i tem bes u 0 - 25 pohon ('-0.18+9,19X0.29X2+0.003X3)
20 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Umur tanaman (bulan)
Gambar 2. Pengaruh jumlah pohon tembesu terhadap pertumbuhan lilit batang pohon tembesu Gambar 3 menunjukkan bahwa bahwa semakin tinggi populasi populasi pohon tembesu pada areal kebun karet, maka semakin lambat pertumbuhan tanaman karetnya. Bagi kebun yang populasinya pohon tembesunya kurang dari 25 pohon/ha, matang sadap dari tanaman karetnya dapat dicapai pada umur 8.0 (delapan) tahun, sedangkan yang populasinya antara 100-125 pohon/ha, matang sadap baru dapat dicapai pada umur 11 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi antara pohon tembesu dengan tanaman karet sangat tinggi.
Gambar 3. Pengaruh jumlah pohon tembesu terhadap pertumbuhan lilit batang tanaman karet Populasi pohon tembesu juga berpengaruh pada hasil karet sejak awal penyadapan sampai dengan tanaman karet berumur 23 tahun, dimana semakin tinggi populasi pohon tembesu, maka hasil karetnya juga semakin menurun. Setelah tanaman karet berumur 23 tahun seluruh areal kebun menghasilkan hasil yang sama, yaitu sekitar 600 kg/ha/tahun. Hal ini disebabkan oleh karena tanaman karet yang ada sudah sama-sama rusaknya (Gambar 4). Gambaran mengenai kompetisi antara tanaman di atas, baru dari satu nuansa pola campuran antara tanaman karet dengan satu jenis pohon tembesu saja, sementara fakta di lapangan menunjukkan sangat banyak pohon-pohon hutan yang sangat bermanfat bagi kehidupan sehari-hari. Apabila pola pengusahaannya sama seperti di atas, maka produktivitas lahan yang akan dicapai menjadi sangat rendah. Oleh karena itu perlu ada suatu teknologi mengenai pola tanaman campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan yang lebih menguntungkan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
5
Gambar 4. Pengaruh jumlah pohon tembesu terhadap hasil karet PENELITIAN SISTEM USAHATANI HUTAN TANAMAN KARET Penelitian mengenai diversifikasi tanaman kayu dengan tanaman karet di Balai Penelitian Sembawa baru dilaksanakan pada tahap awal. Penelitian yang sudah dilaksanakannya adalah diversifikasi karet dengan tanaman jati (Tectona grandis L.f.) dan akasia (Acacia mangium), klon karet yang digunakan adalah RRIC 100. Untuk menghindari kompetisi antara tanaman karet dengan tanaman kayu, maka dibuat jarak tanam pagar, dengan jarak tanam karet (14.0 m + 6.0 m) x 2.0 m, pada jarak tanam ini populasi karetnya tetap 500 pohon/ha sama dengan populasi jarak tanam normal 6.0 m x 3.3 m. Pada jarak tanam yang lebar dari pola ini dimanfaatkan untuk penanaman tanaman kayu. Akasia ditanam bersamaan dengan penanaman tanaman karet dan ada perlakuan tanaman akasia yang ditebang setelah umur 4.0 tahun. Sementara tanaman jati ditanam setelah tanaman karet berumur dua tahun, karena pada umur dua tahun pertama ditanami tanaman sela jagung. Denah penanaman dengan jarak tanam pagar ini dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan data-data hasil penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 6 hingga Gambar 8. X
X
X
X
X
O
O
O
O
O
O
O
O
O
X
X
X
X
X
X
O
O
O
O
O
O
O
O
O
X
X
X
X
2,0 m X
X
6,0 m
X
X
X
14 m
Keterangan: X : Tanaman karet O : Tanaman kayu (akasia/jati)
Gambar 5. Denah penanaman pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu dengan sistem tanam jarak tanam pagar Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pertumbuhan tanaman karet. Dimana pertumbuhan terbaik ada pada perlakuan tanaman karet tanpa tanaman sela dengan jarak 6.0 m x 3.3 m, jarak tanam ini lebih cepat enam bulan dibandingkan dengan jarak tanam (14.0 m + 6.0 m) x 2.0 m. Hal ini disebabkan karena pada jarak tanam pagar ada jarak 2.0 m dalam barisan karet, sehingga terjadi kompetisi yang lebih tinggi diantara tanaman karetnya. Informasi lain dari Gambar 6 adalah pertumbuhan tanaman karet pada areal yang didiversifikasikan dengan tanaman akasia dan ditanam pada waktu yang 6
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Lilit batang karet (cm)
bersamaan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman karetnya tertekan, namun setelah tanaman akasia ditebang pertumbuhan tanaman karet mulai meningkat lagi. Hal ini berbeda dengan kondisi tanaman karet yang ditanami dengan tanaman sela jati, dimana jati ditanam setelah tanaman karet berumur dua tahun, sehingga tanaman karet sudah tumbuh besar dan mampu berkompetisi dengan tanaman jati. Oleh karena itu, untuk membangun pola campuran antara tanam karet dengan tanaman kayu, sebaiknya tanaman karet ditanam lebih dahulu atau pada saat tanaman kayu ditanam kondisi tanaman karetnya sudah kuat. Pola campuran tanaman karet dengan tanaman jati, umur matang sadapnya terlambat 10 bulan bila dibandingkan dengan tanaman kontrol dengan jarak tanam pagar. Kondisi ini masih jauh lebih baik dari pada tanaman yang didiversifikasikan dengan tanaman akasia yang ditebang setelah umur empat tahun, tanaman karetnya baru matang sadap setelah tanaman berumur 100 bulan, sehingga terlambat 35 bulan dibanding jarak tanam pagar kontrol. Sedangkan tanaman karet pada areal yang tanaman akasianya tidak ditebang sampai dengan tanaman berumur 115 bulan belum mencapai matang sadap. 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Akasia (12,27+32,56F3(X)) Akasia ditebang (14,99+39,54F3(X)) Jati (12,23+43,51F3(X)) Kontrol 14+6 x 2 (8,8+50,96F3(X)) Kontrol 6x3,3 (7,83+56,62F3(X)) 5
15
25
35
45
55
65
75
85
95
105
115
Umur tanaman (bulan)
Gambar 6. Pengaruh jumlah tanaman kayu dalam diversifikasi dengan karet terhadap pertumbuhan lilit batang tanaman karet klon RRIC 100 Pengembangan pola campuran karet dengan tanaman kehutanan agar diperoleh hasil yang optimal, maka perlu dicoba dengan klon-klon karet yang lain yang sesuai dengan kondisi agroklimat kehutanan. Beberapa klon yang memungkinkan untuk digunakan dalam pola tanam campuran antara tanaman karet dengan tanaman kayu dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data rata-rata produksi yang tertinggi, maka klon-klon yang prospektif untuk dikembangkan adalah BPM 1, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 42 dan IRR 118. Produksi karet dalam pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu dapat dilihat pada Gambar 7. Data tersebut menunjukkan bahwa untuk tanaman karet dengan tanaman sela jati memiliki produksi yang tidak terlalu jauh dengan tanaman karet secara monolutur yang mengunakan jarak tanam pagar (14.0 m + 6.0 m) x 2.0 m dan jarak tanam konvensional (6.0 m x 3.3 m), sedangkan tanaman karet dengan tanaman sela akasia, selain umur matang sadapnya (mulai produksi) yang lambat juga
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
7
tingkat produksinya sangat rendah. Areal yang memiliki tingkat hasil yang tertinggi adalah tanaman karet dengan jarak tanam konvensional (6.0 m x 3.3 m). Tabel 1. Klon karet penghasil lateks - kayu yang memungkinkan untuk diaplikasikan dalam pola tanam campuran karet dan tanaman kayu Klon
1 2 BPM 1 839 1174 PB 330 289 1095 RRIC 100 816 1116 AVROS 2037 562 986 IRR 5 1119 1227 IRR 21 1785 1533 IRR 32 1292 1386 IRR 39 1293 1302 IRR 42 1281 1449 IRR 118 1415 1630 Sumber: Lasimingsih (2009)
Tahun sadap ke3 4 5 1681 1955 1753 2182 2579 1803 1734 2088 2373 1487 1786 2267 1492 2048 2160 1109 1523 1817 963 1526 1869 900 1467 1810 1253 2174 2331 2671
6 7 2831 3017 1946 2287 3001 2293 2050 1852 2072 2086 2636
1796 2104 2121 2800
Rataan 15 tahun 2106 1649 2179 1947 1609 1631 1602 1569 1989 1905*
Gambar 8 menunjukkan bahwa, pertumbuhan tanaman akasia dan jati yang ditanam sebagai tanaman sela karet lebih lambat bila dibandingkan dengan tanaman secara monokultur. Hal ini wajar, karena adanya kompetisi dengan tanaman karet. Namun apabila melihat data pada Gambar 8 di atas, dimana pertumbuhan tanaman akasia yang sangat cepat, mengakibatkan pertumbuhan tanaman karetnya menjadi sangat tertekan. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu kehutanan yang optimal, maka perlu dicari perbandingan populasi karet dengan tanaman kayu yang lebih baik. Penggunaan jarak tanam dapat dilakukan dengan jarak tanam pagar ukuran (14.0 m + 6.0 m) x 2.0 m, dapat juga dengan jarak tanam pagar dengan ukuran (14.0 m + 6.0 m) x 2.5 m atau dengan populasi 400 tanaman karet per hektar. Penanaman tanaman kayu jangan bersamaan dengan penanaman karet, sebaiknya ditanam setelah tanaman karet berumur dua tahun, dengan pertimbangan tanaman kayu masih memperoleh cahaya matahari dan tanaman karetnya sudah kuat berkompetisi. 60
Produksi (g/p/s)
50 40 Jati Kontrol 14+6x2
30
Kontrol 6x3 Akasia
20 10
113
111
109
107
105
103
101
99
97
95
93
91
89
87
85
83
0
Umur tanaman karet (bulan)
Gambar 7. Pengaruh jumlah tanaman kayu dalam diversifikasi dengan karet terhadap produksi karet klon RRIC 100
8
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Pertumbuhan lilit batang (cm)
120
100
Akasia sebagai sela karet (38,07+47,61F3(X))
80
Akasia monokultur (38,74+60,90F3(X))
60
Jati sebagai sela karet (11,51+19,56F3(X))
40
Jati monokultur (9,41+33,7F3(X))
20
5 11
95 10 5
85
75
65
55
45
35
25
15
5
0
Umur tanaman (bulan)
Gambar 8. Pertumbuhan tanaman akasia dan jati dalam diversifikasi usahatani karet dan tanaman kayu KESIMPULAN 1. Petani di beberapa daerah di Sumatera Selatan sudah terbiasa dengan pengembangan pola tanam campuran antara tanaman karet dengan pohon kayukayuan hutan dengan pola tradisonal sehingga kurang optimal, yaitu produktivitas karet rendah, kualitas dan hasil kayunya juga menjadi rendah. 2. Agar diperoleh hasil optimal, pengembangan pola tanam campuran .antara tanaman karet dengan tanaman kayu, perlu menggunakan tanaman karet dengan bahan tanam klon unggul. Beberapa klon yang prospektif untuk dikembangkan adalah BPM 1, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 42 dan IRR 118. 3. Jarak tanam alternatif agar dapat mengurangi kompetisi antar tanaman karetnya, dapat digunakan jarak tanam (14.0 m + 6.0 m) x 2.5 m, sehingga terdapat 400 tanaman karet per hektar. Tanaman kayu sebaiknya ditanam setelah tanaman karet berumur dua tahun, dengan pertimbangan tanaman kayu masih memperoleh cahaya matahari dan tanaman karetnya sudah kuat berkompetisi.
DAFTAR PUSTAKA Joshi, L. 2008. Smallholder Rubber Agroforestry Sistem. Common Fund for Commodities Report). Lasminingsih, M. 2009. Pembangunan kebun entres. Saptabina Usahatani. Balai Penelitian Perkebunan Sembawa. Rosyid, M.J. 2003. Diversifikasi Usahatani Tanaman Sela Tahunan Penghasil Buah, Lateks dan atau Kayu. Laporan akhir kegiatan Penelitian: Bagian Proyek Pengkajian TeknologiPertanian Partisipatif. Balai Penelitian Sembawa, Puslit Karet, LRPI. Tahun 2003. Rosyid, M.J. 2004. Model Pemanfaatan Kayu Karet di Tingkat Petani untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis Kayu Karet. Laporan akhir kegiatan Penelitian:
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
9
Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Balai Penelitian Sembawa, Puslit Karet, LRPI. Tahun 2004. Rosyid, M.J. dan H. Suryaningtyas. 2006. Estimation of Timber Volume Based on Stem Girth in Rubber Plantation. International Natural Rubber Conference, 13 – 14 November 2006, Ho Chi Minh City, Vietnam. Wibawa, G, M.J. Rosyid dan A. Gunawan. 2005. Marketing of Rubber-based Agroforest Product in Indonesia: Survey Report at Four Provinces. Appraisal meeting on “Improving the Productivity of Rubber Smallholdings through Rubber Agroforestry Systems”. 5-8 September 2005 at Lee Gardens Plaza Hotels, Hat Yai District, Songkhla Province, Thailand.
10
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
APLIKASI PERANGKAT PENGATURAN HASIL DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS LOKAL Hengki Siahaan1 dan Agus Sumadi1)
ABSTRAK Perangkat pengaturan hasil hutan tanaman umumnya dilakukan pada perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mempunyai skala pengusahaan yang luas dan belum diaplikasikan dalam pengelolaan hutan rakyat. Namun demikian, untuk memperoleh hasil yang optimal dan kontinyu, pengaturan hasil perlu dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat. Perangkat pengaturan hasil digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan penting dalam pengelolaan hutan tanaman (termasuk hutan rakyat), yaitu kapan panen dapat dilaksanakan, berapa kuantitas (volume) yang dipanen dan bagaimana pengaturan panen dilakukan agar azas kelestarian dapat tercapai. Kata kunci: hutan rakyat, pengaturan hasil
I. PENDAHULUAN Perangkat pengaturan hasil hutan tanaman umumnya dilakukan pada perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mempunyai skala pengusahaan yang luas namun belum diaplikasikan dalam pengelolaan hutan rakyat. Ini disebabkan oleh beberapa hal yang melekat dengan karakteristik pengembangan hutan rakyat itu sendiri, yaitu pertama, luas lahan yang diusahakan umumnya sempit, kedua, penanaman hanya dilakukan satu kali dan ditunggu hingga panen (tidak dilakukan secara kontinyu) dan ketiga, pola tanam yang diterapkan umumnya adalah pola campuran (agroforestri) sehingga terasa lebih rumit dalam pengaturan hasilnya. Namun demikian, pengaturan hasil bukanlah hal yang tidak perlu dalam pengelolaan hutan rakyat. Untuk memperoleh hasil yang optimal dan kontinyu, pengaturan hasil perlu dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat. Perangkat pengaturan hasil digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan penting dalam pengelolaan hutan tanaman (termasuk hutan rakyat), yaitu kapan panen dapat dilaksanakan, berapa kuantitas (volume) yang dipanen dan bagaimana pengaturan panen dilakukan agar azas kelestarian dapat tercapai. Jika panen dilakukan tidak tepat waktu, maka akan diperoleh hasil yang lebih rendah dari yang seharusnya. Demikian pula dalam hal pengaturan jumlah (volume) panen, jika panen dilakukan secara berlebihan akan mengakibatkan tidak tersedianya stock tegakan untuk panen pada tahun-tahun berikutnya dan jika terlalu sedikit, maka hasil yang diperoleh tidak akan memadai untuk kebutuhan pengelola (pemilik). Perangkat pengaturan hasil digunakan pada tahap kegiatan inventarisasi tegakan untuk mengetahui potensi tegakan yang dimiliki saat ini dan untuk menduga potensi 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
11
tegakan yang akan diperoleh pada saat panen. Pada saat inventarisasi, data pohon yang dikumpulkan adalah diameter batang (dbh) dan tinggi (jika dianggap praktis), sedangkan potensi (volume) tegakan tidak dapat diketahui secara langsung. Potensi tegakan sekarang (saat inventarisasi) dapat diperoleh dengan menggunakan perangkat model penduga volume yang biasanya menggunakan diameter sebagai variabel penduga. Potensi tegakan pada saat panen dapat diperoleh dengan menggunakan model pertumbuhan dan hasil. Model pertumbuhan dan hasil dapat disusun melalui kegiatan inventarisasi secara dinamis pada petak-petak ukur yang disebut sebagai petak ukur permanen (PUP). Skema ini dapat terlihat secara jelas pada Gambar 1.
Sumber: Vanclay, 1994
Gambar 1. Peranan perangkat pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan tanaman Secara lebih lengkap Harbagung dkk. (2007) menyusun diagram keterpaduan berbagai perangkat pengaturan hasil hutan tanaman (Gambar 2). Pada Gambar 2 ditunjukkan bahwa untuk dapat menyediakan perangkat pengaturan hasil, penelitian harus dilaksanakan secara simultan mencakup beberapa aspek penelitian/kegiatan, yaitu: 1) Teknik inventarisasi dan pendugaan potensi massa tegakan hutan tanaman, 2) Kuantifikasi pertumbuhan dan hasil hutan tanaman, dan 3) Pembangunan growth & yield database hutan tanaman. Struktur dan potensi tegakan saat ini
Teknik inventarisasi dan pendugaan potensi massa tegakan: 1 Model isi pohon 2 Teknik inventarisasi
Proyeksi struktur dan potensi tegakan menjelang tebangan
Kuantifikasi pertumbuhan/hasil tegakan: 1 Perangkat pembonitaan 2 Model pertumbuhan dan hasil
Proyeksi produksi kayu
Model pengaturan hasil
Pembangunan growth & yield database
Gambar 2. Keterpaduan aspek-aspek penelitian dalam penyusunan perangkat pengaturan hasil hutan tanaman
12
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Pengelolaan hutan rakyat tentu saja tidak membutuhkan semua perangkat pengaturan hasil sebagaimana dalam pengelolaan Hutan Tanaman Industri, tetapi paling tidak memerlukan beberapa perangkat yang sangat penting, yaitu model penduga volume dan model pertumbuhan. Model penduga volume bermanfaat untuk mengetahui potensi tegakan yang dimiliki saat ini, dan model pertumbuhan untuk menduga potensi tegakan pada saat panen. Pada tulisan ini, kedua model ini akan dibahas secara lebih rinci dengan menyajikan hasil-hasil penelitian yang sudah dicapai pada beberapa jenis yang telah dikembangkan dalam hutan rakyat.
II. MODEL PENDUGA VOLUME Model penduga volume bermanfaat untuk menduga volume pohon dan potensi tegakan secara lebih teliti. Volume pohon yang diduga dapat berupa volume pohon bebas cabang, yaitu volume pohon dari batang utama sampai ujung batang bebas cabang (tajuk utama), volume pohon sampai diameter ujung tertentu, misalnya 7 cm (V7) dan 10 cm (V10). Variabel penduga yang digunakan dalam model penduga volume pohon adalah diameter setinggi dada (dbh) dan tinggi total, atau hanya menggunakan penduga tunggal diameter. Penyusunan model volume diawali dengan memilih pohon sampel (30 pohon atau lebih). Pada pohon sampel dilakukan pengukuran dbh, tinggi, dan pengukuran volume per seksi dengan panjang seksi sebesar 1 m. Model volume disusun dengan melakukan analisis regresi yang menghubungkan peubah bebas (dbh atau dbh & tinggi) dengan jumlah volume seluruh seksi batang sesuai dengan model-model yang diuji. Model penduga volume pohon dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis dan untuk pemanfaatannya secara praktis disusun dalam bentuk tabel yang disebut tariff atau tabel volume lokal. Tabel volume pohon berbeda pada setiap jenis dan bersifat lokal, artinya hanya berlaku untuk lokasi tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat digunakan untuk menaksir volume jenis yang sama di lokasi lain yang mempunyai karakteristik tempat tumbuh yang sama. Beberapa hasil penelitian telah berhasil menyusun model penduga volume untuk beberapa jenis lokal di Sumatera Selatan dan Bengkulu sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Model tersebut disusun berdasarkan peubah bebas tunggal diameter atau diameter dan tinggi. Tabel 1. Model penduga volume beberapa jenis pohon di Sumatera Selatan dan Bengkulu No 1. 2. 3. 4.
Jenis Krasikarpa
Model V = 0,000257 D2,217 V = 0,0000759D1,96H0,78 Pulai darat V = 0,0795 - 0,0127D + 0,000751D2 Pulai gading V = 0,0000801 D2,471 V = 0,000077 D2,304H0,241 Kayu bawang V = 0,0001027 D2,317 H0,239
Sumber Sumadi, 2006 Sumadi dkk., 2006 Sumadi dkk., 2010 Sumadi dan Siahaan, 2010
Tabel volume disusun berdasarkan model penduga volume yang diperoleh dengan memasukkan nilai-nilai peubah bebas yang digunakan dalam penyusunan model. Pada Tabel 2 disajikan contoh tabel volume pulai gading berdasarkan peubah
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
13
bebas tunggal diameter. Volume yang disajikan adalah volume kayu yang dapat dimanfaatkan (merchantable volume) yaitu bagian batang dan cabang hingga diameter ujung 7 cm (V7). Tabel 2. Tabel volume pulai gading hingga diameter ujung 7 cm (V 7) yang disusun berdasarkan model volume V = 0,0000801 D2,471 Dbh*(cm)
V7 (m3)
Dbh (cm)
V7 (m3)
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0,065 0,076 0,088 0,101 0,116 0,131 0,148 0,166 0,186 0,206 0,228
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
0,251 0,276 0,302 0,329 0,358 0,388 0,420 0,453 0,487 0,524 0,561
Dbh (cm) 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
V7 (m3) 0,601 0,642 0,684 0,728 0,774 0,822 0,871 0,922 0,974 1,029 1,085
Keterangan: dbh* = diameter at breast heigh (diameter setinggi dada)
III. MODEL PERTUMBUHAN DAN HASIL A. Pengertian Model Pertumbuhan dan Hasil Model adalah suatu abstraksi atau referensi dari suatu aspek dari suatu realitas. Model dapat dinyatakan dalam bentuk verbal (misal: suatu deskripsi) atau dalam bentuk material (model skala). Model matematik merupakan suatu model verbal, yang dapat menyatakan hubungan antarvariabel secara ringkas dan jelas. Model pertumbuhan merupakan suatu abstraksi dari dinamika alami suatu tegakan yang meliputi pertumbuhan, mortalitas atau perubahan lainnya dalam suatu struktur dan komposisi tegakan. Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan dimensi pohon atau tegakan pada periode waktu tertentu. Sedangkan hasil didefinisikan sebagai jumlah dimensi yang dapat dipanen pada akhir periode. Hasil tegakan dapat digambarkan dalam bentuk kurva hasil. Kurva hasil adalah kurva yang menghubungkan antara ukuran suatu jenis pohon (tanaman) seperti volume, berat, diameter, atau tinggi dengan umurnya. Bentuk kurva hasil tanaman yang ideal akan menyerupai huruf S atau berbentuk kurva sigmoid. Kurva ini menunjukkan akumulasi ukuran pada setiap tingkat umur, sehingga kurva ini disebut sebagi kurva pertumbuhan kumulatif (Gambar 3a). Walaupun bentuk pasti kurva hasil akan berubah jika dimensi pohon diganti, namun kurva ini tetap mempunyai karakteristik yang sama pada setiap dimensi tersebut. Kurva ini dapat diturunkan untuk mengetahui laju pertumbuhan atau dikenal dengan riap (Husch at al., 2003). Selanjutnya Prodan (1968) membedakan riap ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increament, disingkat CAI) dan riap ratarata tahunan (Mean Annual Increament, disingkat MAI). CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu. Daur optimal suatu tegakan diperoleh pada saat terjadi 14
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
perpotongan antara kurva CAI dan MAI, yaitu pada saat MAI mencapai titik maksimum (Gambar 3b).
Dimensi
Dimensi
tegakan
Level tegakan pertumbuhan
MAI
CAI Umur
a
Daur optimal
Umur
b
Gambar 3. Kurva pertumbuhan (a) MAI dan (b) CAI (Avery dan Burkhart 1994; Loetsch dan aller 1973) B. Tabel Pertumbuhan dan Hasil Tabel hasil menyajikan hasil yang dapat diperoleh dari tegakan seumur pada berbagai umur tegakan dan kualitas tapak. Pada awalnya muncul di China pada tahun 1640-an yang disebut dengan ”Lung Chuan codes”. Kemudian berkembang di Jerman tahun 1787 dan selama beberapa ratus tahun kemudian telah berkembang ribuan tabel hasil di Eropa. Tabel hasil modern umumnya tidak hanya menyajikan volume yang dihasilkan, tetapi juga menyajikan data tinggi tegakan, rata-rata diameter pohon, jumlah pohon, basal area tegakan, CAI dan MAI. Tabel hasil dibedakan atas dua jenis, yaitu tabel hasil normal dan tabel hasil berdasarkan kerapatan tegakan. Tabel hasil normal menyediakan estimasi hasil yang dapat diperoleh dari tegakan normal yang didasarkan pada data yang diperoleh dari stem analisis dan plot sementara. Tabel hasil ini dapat menyediakan estimasi potensi tegakan seumur dengan baik, tetapi kurang memuaskan apabila diterapkan di hutan alam yang mempunyai variasi umur yang besar. Perkembangan selanjutnya berusaha untuk menambah variabel lain dalam tabel hasil, dan variabel yang paling logis adalah variabel kerapatan tegakan, seperti dipublikasikan oleh Edward dan Cristie (1981) dalam Vanclay (1994). Tabel ini menyajikan data tinggi, stem/ha, rata-rata diameter, basal area tegakan, stem volume, produksi volume tahunan, dan volume kumulatif setiap interval 5 tahun pada berbagai kondisi manajemen tapak. Tabel hasil seringkali membutuhkan estimasi terhadap umur tegakan, sehingga tidak mudah diaplikasikan di hutan alam. Hal ini dicoba diatasi dengan membuat tabel pertumbuhan. Tabel pertumbuhan mencoba mentabulasikan pertumbuhan pada berbagai kondisi tegakan. Variabel selain umur tegakan, seperti volume, kerapatan, tinggi, rata-rata diameter dan kelas tajuk, dijadikan sebagai dasar karakterisasi tegakan. Model-model hasil sebaiknya disusun secara lengkap agar dapat dikembangkan untuk menyusun tabel hasil tegakan, yaitu sebuah tabel yang menyajikan informasi perkembangan semua dimensi tegakan (seperti diameter, tinggi, jumlah batang, luas bidang dasar dan volume). Tabel hasil tersebut sangat diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan, seperti misalnya pengaturan jarak tanam, penentuan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
15
rotasi tebang (daur), proyeksi standing stock menjelang tebangan dan penyusunan jadwal pemanenan berazaskan kelestarian. Sebagian besar dari model-model yang telah tersusun hanya menggunakan umur tegakan sebagai peubah. Untuk dijadikan dasar penyusunan tabel hasil, seyogyanya penyusunan model juga memasukkan variabel tempat tumbuh (misal: indeks tempat tumbuh) dan kerapatan tegakan (jarak tanam) sebagai peubah penduga. Salah satu contoh model pertumbuhan yang telah disusun adalah model pertumbuhan kayu bawang di Provinsi Bengkulu (Siahaan, 2009) yang menggunakan kerapatan (N) selain umur (A) sebagai prediktor variabel. Model pertumbuhan dibuat pada dua pola tanam agroforestri, yaitu pola tanam agroforestry kayu bawang + kopi dan pola tanam agroforestri multi jenis. Pada pola tanam multi jenis, selain kayu bawang dan kopi juga ditanam jenis lain seperti karet, kayu manis, jengkol dan pinang. Tabel hasil dan pertumbuhan kayu bawang disusun berdasarkan model pertumbuhan yang telah diperoleh. Pada pola tanam agroforestri kayu bawang + kopi persamaan pertumbuhan diameter dan volume masing-masing adalah D = 44,710 A0,44807 N-0,28443 dan Ln V = 6,224 – 6,889/A – 133,85/N dan pada pola tanam agroforestri multi jenis adalah Ln D = 2,644 – 1,290/A + 111,37/N dan Ln V = 4,001 – 4,761/A + 0,219 ln N. Variabel kerapatan (N) merupakan variabel penting dalam persamaan pertumbuhan diameter dan volume tegakan pada kedua pola tanam tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tabel hasil dan pertumbuhan kayu bawang di Provinsi Bengkulu pada dua pola tanam agroforestri Pola tanam Agroforestry kayu bawang + kopi
Umur (tahun) 10
15
Agroforestry multi jenis
10
15
Kerapatan (N/ha) 250 500 750 250 500 750 250 500 750 250 500 750
Volume Hasil (m /ha) Riap (m3/ha/th) 143,31 14,44 193,83 19,38 211,92 21,19 186,59 12,44 243,87 16,26 266,63 17,78 113,54 11,35 132,12 13,21 144,37 14,44 133,07 8,87 154,85 10,32 169,20 11,28 3
Diameter Hasil (cm) Riap (cm/th) 26,09 2,61 21,42 2,14 19,09 1,91 31,28 2,09 25,69 1,71 22,89 1,53 19,46 1,95 15,51 1,55 14,38 1,44 20,31 1,35 16,19 1,08 15,01 1,00
Tabel hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 3 dapat digunakan untuk mengatur saat yang tepat untuk melakukan pemanenan dan berapa besar volume yang dapat ditebang untuk memperoleh hasil yang optimal bagi petani (pengembang). Tabel hasil juga dapat dijadikan dasar untuk memilih pola tanam yang akan diterapkan, dengan memperhitungkan hasil yang diperoleh dari tanaman sela.
IV. PENUTUP Perangkat pengaturan hasil merupakan cara untuk mengatur hasil dalam pengelolaan hutan baik hutan tanaman maupun hutan alam. Hutan rakyat yang merupakan salah satu bentuk hutan tanaman yang dikembangkan oleh masyarakat
16
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
selama ini belum dikelola secara lestari sehingga ke depan diperlukan perangkat pengaturan hasil baik meliputi model penduga volume, model pertumbuhan tegakan, tabel pertumbuhan dan hasil serta perangkat penentuan umur tebang. Penggunaan perangkat pengaturan hasil dapat memproyeksikan volume dan lokasi tebangan pada tiap tahunnya. Perangkat pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan rakyat diharapkan dapat menunjang tercapainya kelestarian hasil.
DAFTAR PUSTAKA Avery T.E. and Burkhart H.E., 1994. Forest Measurements. Fourth Edition. Mc. GrawHill, Inc. New York. USA. Clutter J.L., Fortson J.C., Pienar L.V., Brister G.H. and Bailey R.L., 1983. Timber Management: A Quantitative Approach. John Wiley & Sons Inc. New York, USA. FAO.
2006. Global Forest Resources Assessment 2005. Organization of United Nations, Rome.
Food and Agriculture
Harbagung, Bustomi S., Krisnawati H., Darwo, dan Siswanto B.E., 2007. Sintesis Hasil Penelitian Kuantifikasi Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Husch, B., Beers T.W., Kershaw J.A., 2003. Forest Mensuration Fourth Edition. John Wiley & Son Inc. Hoboken, New Jersey. Loetsch F, Haller E. 1973. Forest Inventory Volume II. F Brunig, penerjemah. Munchen: BLV. Prodan M. 1968. Forest Biometrics. Gardiner SH, penerjemah. Oxford: Pergamon Press. Terjemahan dari: Forstliche Biometrie. Siahaan H., 2009. Model Pertumbuhan Kayu Bawang Pada Berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Sumadi, A. 2006. Model Penduga Volume Untuk Penaksiran Volume Pohon Berdiri Jenis Acacia Crassicarpa Di PT. SBA Wood Industries. Prosiding Semainar Hasilhasil Penelitian Peran Iptek dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat. Kayuagung-OKI, 7 Desember 2006. Sumadi A., Azwar F., Muara J., 2006. Pemodelan Penduga Volume Pohon Pulai Darat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 3 No. 2 (73-81). Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Sumadi A., Nugroho AW., dan Teten R. 2010. Model Penduga Volume Pohon Pulai Gading DI Kabupaten Musi Rawas-Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 7 No.2 (107-112). Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Sumadi A. dan Siahaan H., 2010. Model Penduga Volume Pohon Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum Burm F.) Di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 7 No. 5 (227-231). Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
17
Vanclay JK, 1994. Modelling Forest Growth and Yield: Application to Mixed Tropical Forest. http://jkv.50 meggs.com [25 Apr 2008]. Van Laar A., Akca A., 1997. Forest Mensuration. Cuvillier Verlag. Gottingen. Germany.
18
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
MIKORIZA DAN AGROFORESTRI, PERPADUAN TEKNOLOGI DAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DI LAHAN KRITIS Maliyana Ulfa1) dan Edwin Martin1) ABSTRAK Optimalisasi pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan pengembangan hutan rakyat di lahan milik masyarakat. Pola campuran (agroforestri) dalam hutan rakyat, merupakan bentuk aplikatif yang dapat diadopsi masyarakat. Pengetahuan dan input teknologi terhadap budidaya jenis pohon dan tanaman pertanian dan/atau tanaman produksi yang diterapkan akan menunjang keberhasilan pengembangan hutan rakyat. Salah satu input teknologi yang dapat diterapkan adalah aplikasi mikoriza. Perpaduan aplikasi mikoriza dan agroforestri merupakan paduan teknologi untuk mendukung pembangunan hutan rakyat kritis. Kata kunci: agroforestri, hutan rakyat, lahan kritis, mikoriza
I. PENDAHULUAN Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan berupaya menekan laju peningkatan luas lahan kritis di Indonesia. Lahan kritis di Indonesia hingga saat ini ibarat pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Dalam rangka Peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Dunia Tahun 2010, Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia sudah melebihi angka 30 juta ha (Kementerian Kehutanan, 2010). Antaranews (2010) menyebutkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia saat ini sekitar 30,19 juta ha, yang terbagi atas 23,3 juta ha lahan kritis dan 6,89 juta ha lahan sangat kritis. Di Provinsi Sumatera Selatan, luas lahan kritis telah mencapai 1,34 juta ha dengan rincian 1,1 juta ha terletak di luar kawasan dan 240.000 ha terletak di dalam kawasan (Infokito, 2007). Lahan kritis di luar kawasan hutan yang berstatus lahan milik, cenderung ditinggalkan karena dianggap tidak produktif atau disebut juga dengan lahan tidur. Lahan dikategorikan kritis karena lahan telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia dan biologis, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Anonim, 2011). Pembukaan hutan untuk kegiatan penambangan, kesuburan tanah yang rendah akibat karakter tanah penyusunnya, kelerengan lahan yang menjadikan tanah rentan erosi, merupakan beberapa faktor yang menjadikan lahan tersebut kritis. Di Sumatera Selatan, lahan kritis didominasi oleh lahan yang berjenis tanah podsolik merah kuning atau dikenal juga dengan ultisol. Jenis tanah tersebut umumnya mempunyai kendala kesuburan, yaitu berupa pH rendah (masam), defisiensi unsur hara terutama phosphat (P) dan nitrogen (N), menipisnya top soil dan miskin bahan organik.
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
19
Dalam rangka pendayagunaan lahan kritis di lahan milik, perwujudannya dapat berupa pengembangan hutan rakyat pola campuran (agroforestri) disertai dengan input teknologi yang tepat guna. Bentuk teknologi yang dapat digunakan adalah pemanfaatan bioteknologi mikoriza. Aset hayati ini berpotensi terutama di lahan dengan kondisi yang kritis hingga ekstrem kritis. Bersifat ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu toksik pada tanah. Selain itu bersifat efektif dan efisien karena aplikasi hanya dilakukan di awal pembibitan dan karena yang diinfeksikan adalah jasad renik yang bersimbiosis dengan tanaman yang dikembangkan, yang selama itu pula terus berkembangbiak dengan sendirinya. Dalam aplikasinya, mikroba tanah tersebut mempunyai peran membantu penyerapan hara tanah oleh tanaman. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini akan disampaikan manfaat perpaduan teknologi mikoriza dan agroforestri dalam meningkatkan kesuburan dan nilai guna lahan kritis, terutama pada areal milik masyarakat. Menurut Tata (2008), salah satu alternatif untuk merestorasi hutan adalah penanaman pohon oleh petani di lahan mereka yang dapat mereka kelola sendiri untuk dipanen kayunya di masa depan.
II. TEKNOLOGI MIKORIZA BAGI PERTUMBUHAN TANAMAN DI LAHAN KRITIS Mikoriza adalah suatu struktur sistem perakaran yang terbentuk sebagai suatu manifestasi adanya simbiosis mutualisme antara cendawan (Myces) dan perakaran (Rhiza) tumbuhan tingkat tinggi. Mikoriza mempunyai peran yang unik dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, yaitu dengan adanya interaksi antara simbion jamur dan simbion pohon. Simbion jamur memperoleh keuntungan karena tersedia bahan organik yang diproduksi oleh pohon yang jamur tidak mampu melakukannya. Untuk pertumbuhannya, jamur memerlukan karbohidrat sederhana seperti glukosa, maltosa, sukrosa sebagai sumber karbon dan energi (Melin, 1962). Sedangkan simbion pohon memperoleh keuntungan karena dibantu oleh simbion jamur dalam menyerap unsur hara (Hadi, 2001). Hara mineral dan air, serta nitrogen yang biasanya terikat dalam humus dapat lebih mudah diserap karena dengan adanya simbiosis tersebut (De Hulster, 1972). Dengan adanya simbiosis tersebut diharapkan dapat memacu pertumbuhan pohon. Jenis ektomikoriza sebanyak kurang lebih 7% ditemukan hidup bersama dengan jenis-jenis meranti, pinus, ekaliptus dan tangkil (melinjo). Termasuk dalam jenis tersebut adalah Amanita, Boletus, Laccaria, Cenococum, Suillus, Rhizopogon, Scleroderma dan Pisolithus. Sedangkan jenis endomikoriza (Fungi Mikoriza Arbuskular/FMA) sebanyak kurang lebih 93% mampu hidup bersimbiosis dengan beberapa jenis tanaman kehutanan. Pembentuk cendawan ini di antaranya Glomus sp., Glomus clorum, Glomus etunicatum, Gigaspora sp., Acaulospora dan lain sebagainya. Potensi mikoriza selain ditunjukkan dengan keefektifannya dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, mikoriza juga merupakan solusi dalam upaya konservasi pada lahan kritis yang begitu luas. Dalam reboisasi peran mikoriza adalah agar pohon yang ditanam dapat segera mampu untuk mengkonservasi tanah dan air (Hadi, 2001). Dengan lahan kritis yang begitu luas, teknologi mikoriza terhitung lebih murah apabila dibandingkan menggunakan input pupuk kimia (an organik). Selama proses konservasi tanah, mikoriza lebih efektif dalam menunjang perbaikan kualitas kemampuan tanah
20
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
karena mikoriza merupakan input jasad hidup yang terus berkembang dan menginfeksi selama hidupnya. Keunikan dari jamur simbiotik ini terletak pada eksistensinya yang justru ditemukan dan berperan aktif pada kondisi lingkungan yang kritis. Pada kondisi kahat hara dan kekeringan, secara individu mikoriza aktif melangsungkan proses metabolisme, yang selama proses tersebut mendatangkan keuntungan bagi tanaman. Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang terikat cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun (Notohadinagoro, 1997). Selain itu tanaman dapat tahan terhadap serangan patogen akar karena adanya mantel jamur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar. Tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza dapat beradaptasi dengan baik pada lahan yang kondisi haranya sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mikoriza untuk menyediakan fosfor dari tanah (Danielson, 1985) serta penyerapan ionion kurang mobil, seperti Cu dan Zn serta amonium (Bowen dan Smith, 1981). Selain peningkatan penyerapan hara, mikoriza juga mampu mengakumulasikan atau mengeksklusikan elemen-elemen beracun (Bowen dan Smith, 1981; Gildon dan Tinker, 1981; Leyval et al., 1997), sebagai penyaring untuk menjaga konsentrasi As tetap rendah (Sharples et al., 2000). Tanaman bermikoriza lebih toleran terhadap logam berat daripada tanaman tidak bermikoriza, meskipun fakta yang mendukung hal ini masih terbatas. Menurut Donelly dan Fletcher (1994), kemampuan tersebut dihasilkan dengan adanya ikatan antara logam berat dengan gugus karboksil hemiselulosa pada matriks di antara sel tanaman dan jamur. Dengan adanya manfaat mikoriza dalam rehabilitasi di lahan kritis, maka mikoriza juga berpotensi untuk dijadikan input teknologi dalam pengembangan hutan rakyat pola campuran (agroforestri). Berdasarkan hasil penelitian Martin et al. (2010) pada studi kasus agroforestri bambang lanang, maka terdapat kecenderungan masyarakat tidak melakukan pemupukan terhadap tanaman bambang lanang, karena pemeliharaan dan input peningkatan produktivitas tanaman ditujukan pada tanaman kopi atau karet yang merupakan komoditas utama dalam agroforestri. Oleh karena itu, pohon bermikoriza menjadi perlu jika ingin meningkatkan produktivitas komoditas kayunya. De La Cruz et al. (1988) menunjukkan bahwa CMA dapat menggantikan kira-kira 50% kebutuhan fosfat, 40% nitrogen dan 25% kalium pada anakan Leucaena leucocephala. Pada tanaman bonu (Trichospermum burreti), albizia (Paraserianthes falcataria) dan acacia (Acacia mangium), selain terbukti mampu beradaptasi pada lahan pasca penambangan nikel, pertumbuhannya dapat meningkat 2 – 3 kali lipat dibandingkan kontrol, yang hampir setara dengan pemberian pupuk urea 130 kg/ha, TSP 180 kg/ha dan KCl 100 kg/ha (Setiadi, 1996). Sedangkan ketika mikoriza diberikan bersamaan dengan pupuk menunjukkan kecenderungan bahwa kinerja mikoriza lebih efektif dalam jangka panjang dibandingkan pupuk.
III. MIKORIZA DALAM AGROFORESTRI Pola tanam campuran (agroforestri) yang terdiri dari tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan dapat menjadi alternatif pembangunan hutan rakyat.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
21
Agroforestri mempunyai manfaat dan keunggulan untuk diterapkan. Noordwijk and Dommergues (1990), Wilson (1990), Sanchez (1995) dan Young (1997) menyebutkan bahwa agroforestri memiliki fungsi untuk (1) mengontrol/mengurangi erosi, (2) memelihara bahan organik tanah, (3) meningkatkan kondisi fisik tanah, (4) menambah jumlah nitrogen dengan penanaman pohon yang dapat menfiksasi nitrogen, (5) menyediakan hara mineral dalam tanah, (6) membentuk sistem ekologikal, (7) mengurangi kemasaman tanah, (8) mereklamasi lahan, (9) meningkatkan kesuburan tanah, (10) meningkatkan aktifitas biologi tanah, (11) adanya asosiasi mikoriza pada campuran pohon dan pertanian, (12) meningkatkan penangkapan hujan, cahaya, hara mineral dan produksi biomasa, dan (13) meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya, air dan hara mineral. Menurut Hairiah dan Utami (2002), agroforestri merupakan sistem dengan berbagai macam pola sebaran dan kedalaman perakaran, masukan bahan organik dan pendapatan yang terus menerus. Keberlangsungan sistem tersebut harus didukung dengan ketersediaan lahan dan kejelasan status kepemilikan. Pola agroforestri diyakini mampu menciptakan jaring penyelamat hara yang efisien, sehingga kehilangan hara lewat pencucian dan aliran permukaan dapat ditekan. Dari sudut pandang manfaat dalam konservasi tanah dan air, perbedaan kedalaman sebaran akar pohon yang tercipta dalam agroforestri mempengaruhi kondisi porositas tanah. Hairiah et al. (2004) menyebutkan pohon dengan seresah berkualitas rendah dan berperakaran dalam secara tumpangsari dapat direkomendasikan untuk mengurangi limpasan permukaan dan tingkat erosi pada lahan berlereng. Sehingga dengan sistem tersebut dapat membentuk lapisan tanah dari pukulan air hujan, selain itu perakaran pohon yang menyebar dalam dapat meningkatkan porositas tanah. Berdasarkan studi kasus status inovasi budidaya bambang lanang (Martin et al., 2010), maka secara umum pengembangan hutan rakyat pola campuran (agroforestri) perlu mendapatkan input teknologi untuk mendapatkan produktivitas yang optimal. Pola agroforestri dapat dikembangkan pada lahan kritis yang mempunyai kendala kesuburan, dengan input teknologi yang efektif dan efisien, yaitu dengan aplikasi bioteknologi mikoriza. Penanaman tanaman kehutanan bermikoriza dengan tanaman pertanian dan dengan tanaman inang fungsional lainnya dalam pola campuran akan membentuk asosiasi alami, yang pada akhirnya membentuk ekosistem yang dinamis dan sehat (Gambar 2). Penelitian Tata (2008) mengenai mikoriza pada Dipterocarpaceae pada agroforestri karet di Sumatra menunjukkan bahwa inokulasi fungi ektomikoriza berpengaruh terhadap daya tahan hidup awal, yang bermanfaat utama dari inokulasi adalah meningkatkan daya tahan terhadap penyakit akar. Peran ektomikoriza berhubungan sangat erat satu sama lain melalui jejaring mikoriza. Pohon inang ektomikoriza memiliki peran penting sebagai induk bagi anakan, karena banyak benih Dipterocarpaceae berkecambah dan tumbuh di dekat zona perakaran induk (Yasman, 1995 dalam Tata, 2008). Lebih lanjut dijelaskan bahwa keragaman jenis pohon mempunyai hubungan yang mendasar dengan keragaman jenis biota di bawah permukaan tanah (termasuk mikroba, makro dan mikrofauna), yang dipengaruhi oleh aspek kualitas perakaran, keseimbangan air dan iklim mikro. Keragaman jenis di bawah permukaan tanah mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara dan perlindungan terhadap akar.
22
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Produktivitas lahan diperoleh karena adanya siklus hara melalui penyuburan akibat aktivitas mikroba tanah. Adanya organik, C, dan N tanah dari serasah akan berpengaruh pada biomasa mikroba tanah, termasuk mikoriza yang aktif menyerap dan menyediakan unsur P, N, Zn, Cu, dan S kepada tumbuhan inang, sehingga siklus hara pada agroforestri bersifat efisien dan tertutup (Riswan et al., 1995). Semakin bertambah umur tanaman yang dikembangkan dalam agroforestri, maka populasi mikoriza juga semakin meningkat (Lakshman et al., 2001). Input mikoriza dalam agroforestri, selain mampu meningkatkan penyerapan P, juga mampu mengefisiensi pemupukan. Khususnya dalam pemupukan pupuk P, mikoriza mampu mengubah kondisi perakaran menjadi mudah menyerap unsur hara tersebut, sehingga pemberian pupuk kimia dapat diminimalisir. Manipulasi lingkungan lebih efektif apabila input yang diberikan adalah berupa input yang diselaraskan dengan kondisi yang ada dan memperhatikan kedinamisan unsur hara yang ideal. Dari segi efisiensi biaya, pengapuran pada tanah-tanah masam juga menghadapi dilema dan memperlukan pertimbangan kembali apabila tanah yang harus dinaikkan pH-nya pada lahan yang sangat luas. Mikoriza dengan enzim fosfatase yang dimiliki mampu melepas ikatan P oleh Fe dan Al pada tanah-tanah masam, sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Tanaman bermikoriza menjadi mandiri dalam rangka penyediaan hara yang dibutuhkan, selain itu tidak meninggalkan residu toksik karena merupakan jasad hidup. Peranan mikoriza kaitannya dengan ketersediaan P menjadi sangat nyata mengingat meningkatnya kandungan unsur hara P dalam jaringan tanaman mempunyai peranan penting dalam pembelahan sel terutama pada perkembangan jaringan meristem, yang berakibat lebih lanjut terhadap bertambahnya laju tinggi tanaman bermikoriza. Salah satu sebabnya adalah bahwa mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan unsur mikro, yaitu dengan jalinan hifanya mampu meningkatkan luas permukaan akar sehingga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air (Marschner, 1992 dalam Setiadi, 2001; Hatch, 1937). Selain itu mikoriza juga mampu meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan dan terhadap serangan patogen akar (Imas, 1989).
IV. PENUTUP Agroforestri dapat dikembangkan di lahan yang kritis. Dengan adanya bioteknologi mikoriza, tanaman mampu bertahan hidup dan tumbuh dengan baik, bahkan mendapatkan produktivitas yang berkelanjutan. Pengembangan agroforestri yang dikembangkan di lahan-lahan kritis sekaligus merupakan upaya rehabilitasi lahan kritis.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. http: www.dephut.go.id/ RLPS.htm. [Diakses pada tanggal 5 Juli 2011]. Antaranews. 2010. Luas Lahan Kritis Jateng Berkurang. Http: www.antarajateng.com. [Diakses pada tanggal 15 Oktober 2010].
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
23
Bowen, G. D. dan Smith, S. E. 1981. The effects of mycorrhizas on nitrogen uptake by plants. In F.E. Clarks and T. Rosswall (Ed.). Terresterial Nitrogen Cycles. Processes, Ecosystem Strategies and Management Impacts. Swedish National Science Research Council, Stockholm. Ecol. Bull. 33 : 237-247. Danielson, R. M. 1985. Taxonomic affinities and criteria for identification of the common ectendomycorrhizal symbiont of pine. Canadian Journal Botany 60 : 7-18. De Hulster, I. A. 1972. Tropical Silviculturae. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. De La Cruz, R. E., Manalo, M. Q., Aggangan, N. S., dan Tambalo, J. D. 1988. Growth of three legume trees inoculated with VA mycorrhizal fungi and Rhizobium. Plant Soil 108 : 111-115. Direktorat Jenderal Reboisasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2006. Data Potensi Hutan Rakyat di Indonesia. Direktorat Jenderal RLPS. Departemen Kehutanan. Jakarta. Donnelly, P. K. dan Fletcher, J. S. 1994. Potential use of mycorrhizal fungi as bioremediation agents. In Bioremediation Through Rhizosphere Technology. Edited by T. A. Anderson and J. R. Coats. American Chemical Society Symposium Series 563. ACS Chicago, Illinois . Pp. 93-99. Gildon, A. dan Tinker, P. B. 1981. A heavy metal tolerant straint of a mycorrhizal fungus. Trans. Br. Mycol. Soc. 77 : 648-649. Hadi, S. 2001. Fungsi dan Peran Mikoriza Pada Ekosistem Hutan. Patologi Hutan, Perkembangannya di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hal. 259 -262. Hairiah, K. dan S.R. Utami. 2002. Agroforestry: Tawaran Menuju Pertanian Sehat. Proceeding Seminar Nasional Peranan Strategis Agroforestry dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Lestari dan Terpadu. Yogyakarta, 1-2 November 2002. Universitas Gadjah Mada. Hairiah, K., D. Suprayogo, Widianto, Berlian, E. Suhara, A. Mardiastuning, R.H, Widodo, C. Prayogo, dan S. Rahayu. 2004. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Agroforestry Berbasis Kopi. Journal Agrivita 26 (1) Februari 2004. Hatch, A.B. 1937. The role of mycorrhiza in afforestation. Journal of Forestry, 34:22-29. Imas, T. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. Infokito. 2007. Lahan Kritis Sumsel Bertambah. http://infokito.wordpress.com/ 2007/11/03/lahan-kritis-sumsel-bertambah/#more-699. [Diakses pada tanggal 11 September 2010]. Kementrian Kehutanan. 2010. Laporan Luas dan Penyebaran Lahan Kritis Selama 4 Tahun Terakhir. Sistem Informasi Assesment Pembangunan Kehutanan (SIAPHUT) Departemen Kehutanan. http: siaphut.dephut.go.id/siaphut/ reports/rlps. [Diakses pada tanggal 11 September 2010]. Lakshman, H.C., L. Rajanna, R.F. Inchal, F.I. Mulla dan Y. Srinivasulu. 2001. Survey of VA - mycorrhizae in agroforestry and its implications on forest trees. Tropical Ecology 42 (2): 283-286.
24
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Leyval, C., Turnau, K and Haselwandter, K. 1997. Effect of heavy metal pollution on mycorrhizal colonization and function: physiological, ecological and applied aspects. Mycorrhiza Vol 7 No. 3 : 139-153. Martin, E., B.T. Premono, A.P. Yuna, A. Nurlia dan A.B. Hidayat. 2010. Laporan Hasil Penelitian Teknik Budidaya Bambang Lanang Aspek Status Pembudidayaan Bambang Lanang di Masyarakat. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Melin, E. 1962. physiological Aspect of Mycorrhizae of Forest Tree; Hlm. 247-263. Dalam T.T Kozlowski (ed). Tree Growth. The Ronal Press Company Inc. New York. Noordwijk, M. dan Y.R. Dommergues. 1990. Root Nodulation:the twelfth hypothesis. Agroforestry Today (2) : 9 -10. Notohadinagoro, T. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember. Riswan, S., M. Siregar dan I. Samsoedin 1995. Konsep Mawanati dalam Usaha Pengembangan Masyarakat Pedesaan Wamena, Irian Jaya. Prosiding Lokakarya Nasional Wanatani II, Bogor. Hal 110-125. Sanchez, P.A. 1995. Science in Agroforestry Agrofor Syst (30) : 5-55. Setiadi, Y. 1996. The practical application of arbuscular mycorrhizal fungi for enhancing tree establishment in degraded nickel mine sites at PT. INCO, Soroako. Paper presented on IUFRO International Symposium on Accelerating Natural Succession of Degraded tropical Lands 11- 13 June 1996. Washington. Setiadi, Y. 2001. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I, Bogor, 15-16 Nopember 1999. Bogor. Sharples, J. M., Chambers, S. M., Meharg, A. A. and CAIRNEY, J. W. G. 2000. Genetic diversity of root-associated fungal endophytes from Calluna vulgaris at contrasting field sites. New Phytologist. Vol 148 : 153–162. Tata, M.H.L. 2008. Mycorrhizae on dipterocarps in rubber agroforests (RAF) in Sumatra. Thesis. University of Utrecht. Wilson, J. R. 1990. Agroforestry and soil fertility. The eleventh hypothesis. Shade. Agroforestry Today (2) : 14-15. Young, A. 1997. Agroforestry for Soil Management. 2nd ed. CAB International, Wallingford (UK). 320 pp.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
25
26
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN MELALUI PENANAMAN POLA CAMPURAN Sahwalita1, Abdul Hakim Lukman1), Agus Sofyan1) dan Sri Utami1)
ABSTRAK Kondisi hutan alam terus mengalami penurunan sedangkan kebutuhan bahan baku kayu semakin meningkat. Kondisi ini memerlukan penanganan yang serius. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan hutan tanaman melalui pola campuran dengan memanfaatkan jenis-jenis lokal penghasil kayu pertukangan, seperti sungkai, tembesu, bambang lanang dan bawang. Pengembangan pola campuran merupakan upaya untuk meningkatkan nilai lahan, terutama di lahan usaha masyarakat. Masalah yang dihadapi pada jenis pohon penghasil kayu pertukangan adalah rendahnya riap yang disebabkan minimalnya penerapan praktek-praktek silvikultur. Beberapa langkah strategi yang dilakukan dalam upaya meningkatkan riap melalui penerapan praktek silvikultur antara lain: pemuliaan, kesesuaian lahan, manipulasi lingkungan dan perlindungan tanaman. Kata kunci: jenis lokal, lahan usaha masyarakat, pola campuran, produktivitas
I. PENDAHULUAN Kondisi hutan alam yang terus mengalami penurunan baik kualitas maupun kuantitas sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Forest Watch Indonesia (2010), melaporkan bahwa tutupan hutan Indonesia pada tahun 2005 hanya sekitar 88,5 juta ha atau sekitar 48,8% dari total luas lahan dan 46,5% dari total luas wilayah. Laju kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai angka 1,87 juta ha dalam kurun waktu 2000-2005, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-2 dari sepuluh negara dengan laju kerusakan tertinggi di dunia. Kondisi ini tentunya harus disikapi secara serius terkait upaya penyelamatan hutan yang masih tersisa serta upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu yang semakin meningkat. Selain upaya penyelamatan terhadap potensi hutan alam yang masih tersisa, upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu juga harus terus didorong melalui pembangunan hutan tanaman baik berupa Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Rakyat (HR) maupun Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pada pelaksanaannya pengelolaan hutan tanaman ini memiliki perbedaan, tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu peningkatan produktivitas lahan, sehingga dapat dicapai nilai ekonomi yang optimal. Pengelolaan sumberdaya hutan memerlukan penanganan yang cermat karena luas lahan yang semakin berkurang akibat terjadinya perubahan peruntukan atau alih fungsi menjadi areal perkebunan, pertambangan, pemukiman dan peruntukan lainnya. Data Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) menunjukkan bahwa akibat pelanggaran kawasan hutan untuk non-kehutanan, negara mengalami kerugian 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
27
Rp. 21,7 triliun di Kalimantan Timur dan Rp. 158,5 triliun di Kalimantan Barat (Anonim, 2011). Kondisi-kondisi tersebut menjadi salah satu ancaman serius terhadap keutuhan luas kawasan hutan yang berdampak pada penyusutan luas areal hutan serta pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu. Intensifikasi pemanfaatan lahan dengan penerapan pola tanam yang tepat merupakan langkah yang dapat ditempuh dalam upaya mengoptimalkan produktivitas. Selain itu pembangunan hutan tanaman memerlukan penggalian potensi setempat seperti kearifan lokal, jenis-jenis pohon lokal serta prospek pemasarannya. Salah satu cara intensifikasi pemanfaatan lahan adalah dengan diversifikasi jenis. Pola ini memiliki berbagai keuntungan antara lain keragaman hasil, periode panen yang berjenjang/ bertahap, terbukanya peluang lapangan kerja dan menjaga kondisi lingkungan. Selain itu upaya peningkatan produktivitas dilakukan dengan pemakaian bibit unggul dan penerapan teknik silvikultur yang tepat. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi mengenai peluang peningkatan produktivitas hutan tanaman melalui pola penanaman campuran. Jenis-jenis pohon yang dapat diusahakan pada lahan usaha masyarakat termasuk penghasil kayu pertukangan seperti sungkai, tembesu, bambang dan bawang.
II. PENANAMAN POLA CAMPURAN DENGAN JENIS-JENIS POHON PENGHASIL KAYU PERTUKANGAN Pengusahaan lahan masyarakat sudah demikian berkembang saat ini, pada umumnya dalam bentuk pola penanaman campuran. Namun demikian tingkat produktivitasnya masih belum maksimal, karena pola pengelolaan yang diterapkan masih bersifat tradisional, baik ditinjau dari sisi materi atau bahan tanaman yang digunakan maupun dari sisi pengelolaannya. Pengelolaan belum menerapkan praktekpraktek silvikultur secara maksimal seperti pengaturan jarak tanam, pemupukan dan pemeliharaan yang belum intensif. Pola penanaman campuran dengan jenis pohon penghasil kayu pertukangan memiliki banyak kelebihan dan keuntungan. Selain perolehan hasil bersifat rutin/periodik dari tanaman pokok seperti kopi, karet dan sawit, pada akhir daur tanaman pokok akan diperoleh juga hasil kayu dari tanaman selanya. Hasil panen kayu tanaman sela ini dapat digunakan sebagai modal dalam peremajaan tanaman pokok pada rotasi berikutnya. Awang (1999), mengemukakan keuntungan dari penerapan pola tanam campuran antara lain adalah sebagai aset untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang, menjaga stabilitas ekosistem karena strata tajuk yang beragam dengan biodiversitas yang tinggi, mengurangi laju erosi dan mampu melindungi aneka tanaman pertanian, memberikan kontribusi terhadap produksi kayu serta membuka peluang bisnis kayu dari hutan rakyat. Pola tanam campuran melalui hutan rakyat memiliki prospek yang baik, karena dari unit lahan yang sama dapat dihasilkan beragam produk secara kolektif dari tanaman kehutanan, perkebunan maupun pertanian sebagai tanaman semusim yang dikenal dengan sistem tumpangsari. Beberapa jenis pohon penghasil kayu pertukangan yang dapat digunakan sebagai pengisi lahan usaha masyarakat terutama di wilayah Sumatera Bagian Selatan antara lain sungkai, tembesu, bambang lanang dan kayu bawang. Alasan mengapa keempat jenis tersebut layak dipilih sebagai tanaman sela pada lahan usaha masyarakat adalah
28
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta sudah dikenal dan dikembangkan oleh sebagian masyarakat di wilayah Sumatera. Selain itu dari sisi status riset jenis-jenis tersebut juga relatif lebih maju dibandingkan dengan jenis-jenis penghasil kayu pertukangan lainnya. Di bawah ini disajikan penjelasan tentang keempat jenis dimaksud berikut status risetnya. A. Sungkai (Peronema canescen Jack.) Pemilihan jenis sungkai memiliki berbagai keunggulan antara lain: sebaran alaminya luas di seluruh Pulau Sumatera, merupakan jenis lokal sehingga tidak memerlukan uji kesesuaian jenis, sudah dikenal masyarakat meliputi penanaman sampai pemanfaatan kayunya, bahan perbanyakannya mudah dan berlimpah karena dapat melalui cara generatif dan vegetatif (stek batang), budidayanya sederhana sehingga dapat dilakukan oleh masyarakat, tahan terhadap kebakaran dan mampu memulihkan luka bakar tanpa banyak berpengaruh terhadap pertumbuhannya, tekstur kayu yang indah dan mirip seperti jati, pengerjaannya mudah karena bisa dilakukan secara manual dan mesin, memiliki batang silindris dan memiliki batang bebas cabang yang tinggi, serta telah dikembangkan pada Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pengembangan jenis sungkai masih dilaksanakan secara tradisional dan belum dipelihara secara intensif. Sebenarnya riap yang rendah dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang tepat dan intensif. Variasi pertumbuhan tegakan sungkai pada berbagai lokasi dan pola tanam dirinci pada Tabel 1. Upaya peningkatan produktivitas sungkai yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang melalui pengumpulan materi dari pohon induk di tiga provinsi sebagai upaya untuk memperoleh bibit unggul. Praktek silvikultur yang diterapkan di lapangan pada jenis ini yang berumur 8 bulan baru sampai pada tahapan pemberian pupuk dasar dan pengaturan jarak tanam. Tabel 1. Rerata riap pertumbuhan sungkai pada berbagai umur dan lokasi No. Pengelola/ Lokasi Umur Jarak Riap Riap Riap (th) tanam Tinggi Diameter Volume (m/th) (cm/th) (m3/ha/th) 1 PT. SBB/ Musi Banyuasin 2 PT. SMB/ Musi Banyuasin 3 Proyek Inpress/ Muara Enim 4 Hutan Rakyat/ Sarolagun 5 Hutan Rakyat Bungo 6 Proyek JICA/ Muara Enim 7 BPTH/Banyuasin
Keterangan
18
3x3
0.93
1.27
10.92
monokultur
4
3x2
1.85
2.52
12.93
18
3X3
0.78
0.97
3.66
tepi jalan campur Sawit monokultur
6
3x6
1.42
2.42
1.60
campuran karet
-
2x2
28
4x2
0.63
0.89
3.39
12
5x5
1.08
1.56
1.73
ditebang Ø 10 cm
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
monokultur (terbakar) monokultur
29
B. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) Tembesu merupakan salah satu jenis pohon unggulan lokal di Sumatera Bagian Selatan. Sebagian besar masyarakat telah mengenal dan memanfaatkan kayunya yang terkenal kuat dan awet. Masyarakat telah membudidayakan tembesu baik secara monokultur maupun campuran dengan tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit, namun pengelolaannya masih bersifat tradisional, baik ditinjau dari sisi materi (bahan) tanaman maupun aspek pengelolaannya. Rerata riap pertumbuhan tembesu yang dikelola masyarakat secara tradisional relatif rendah dan masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang intensif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan tanaman yang lebih intensif seperti perlindungan terhadap gangguan gulma, pemupukan dan pemangkasan cabang pada tanaman tembesu menghasilkan rerata riap pertumbuhan diameter yang lebih tinggi (Sofyan dkk., 2010), sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Hasil senada juga dikemukakan oleh Purwita dan Supriadi (2010), bahwa kombinasi antara pemeliharaan yang baik dengan pemupukan dapat meningkatkan volume produksi yang nyata pada tanaman Acacia mangium. Tabel 2. Rerata riap pertumbuhan tembesu pada berbagai umur dan lokasi Umur (tahun)
Jarak tanam
Kerapatan (N/ha)
Riap
Diameter Tinggi Lokasi (cm/th) (m/th) 4 3x1 3333 1,92 1,79 Muara Enim* 4 3x2 1666 2,28 1,65 Muara Enim* 3 3x2 1666 2,38 1,70 Muara Enim* 3 3x3 1111 1,82 1,82 OKU Timur + 2 3x3 1111 1,71 1,97 OKU Timur + 6 3x3 1111 1,67 1,71 OKU Timur + Keterangan: * Plot penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang (intensif) + Plot penelitian dalam bentuk hutan rakyat milik masyarakat (tradisional) Peningkatan riap telah diperoleh melalui pengelolaan intensif berupa pemeliharaan dan pemupukan. Peluang peningkatan riap masih dapat dilakukan dengan penggunaan benih atau bibit yang unggul (bermutu) secara generatif. C. Bambang Lanang (Michelia champaca L.) Bambang lanang (Michelia champaca L.) yang dikenal juga dengan nama medang bambang merupakan salah satu jenis pohon lokal di Sumatera Selatan, juga sebagai sumber penghasil kayu pertukangan. Jenis pohon ini telah dibudidayakan masyarakat, khususnya di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kota Pagar Alam secara swadaya di kebun-kebun mereka. Sistem penanaman yang umum diterapkan masyarakat adalah pola agroforestri, yaitu penanaman pohon bambang lanang di antara tanaman perkebunan sebagai tanaman pokok seperti kopi, kakao atau karet, dan tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) seperti durian, kemiri, cempedak dan petai. Di dalam pola agroforestri, bambang lanang biasanya ditanam pada tahun ketiga atau keempat setelah pembukaan lahan, yakni saat petani secara intensif memelihara kebunnya yang mulai menghasilkan kopi atau tanaman pokok (perkebunan) lainnya (Martin dkk., 2003).
30
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Penanaman pohon bambang lanang sebagai tanaman sela (campuran) di dalam lahan/kebun, berdampak pada pemanfaatan kebun tersebut relatif lebih optimal, dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan dihasilkannya beragam komoditas, yakni produk tanaman perkebunan dan produk kayu dari pohon bambang lanang. Pada saat tanaman perkebunan sudah tidak produktif lagi, keberadaan pohon bambang lanang dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan berikutnya, dan dapat dijadikan modal untuk kegiatan regenerasi/pembangunan kebun baru. Bambang lanang termasuk jenis pohon dengan daur pertumbuhan menengah (medium-growing species). Pemanenan biasanya dilakukan pada umur tanaman 15-20 tahun dengan menghasilkan kayu gergajian ± 1 m3 per pohon (Martin dan Premono, 2010). Hasil penelitian pertumbuhan bambang lanang pada beberapa plot tanaman campuran milik masyarakat dengan berbagai umur menunjukkan riap volume berkisar 6,16-20,22 m3/ha/th (Sofyan dkk., 2010). Pada Tabel 3 terlihat riap diameter bambang lanang (umur 2-15 tahun) berkisar dari 2,52-6,27 cm/th. Asumsi riap diameter minimal 2,5 cm/th, pada umur 20 tahun sudah diperoleh pohon bambang lanang berdiameter minimal 50 cm, dan sudah layak untuk ditebang sebagai kayu pertukangan. Menurut Effendi dan Kosasih (2008), seiring dengan kemajuan teknologi, pohon berdiameter 30-40 cm sudah dapat digunakan untuk industri perkayuan. Tabel 3. Riap bambang lanang pada berbagai umur dan jarak tanam Umur (tahun) 2 5 5 6 8 15
Jarak tanam (m x m) 3,5 x 3,5 7x5 6x4 4x4 4x3 8x4
Kerapatan (N/ha) 589 256 411 733 789 233
Diameter (cm/th) 6,27 3,41 2,96 2,50 2,31 2,52
Riap Tinggi (m/th) 4,62 2,11 1,91 1,46 1,72 1,54
Volume (m3/ha/th) 16,79 6,16 6,77 9,46 18,17 20,22
D. Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) merupakan tanaman hutan unggulan lokal Bengkulu yang telah lama dikenal dan dikembangkan terutama di Kabupaten Bengkulu Utara (Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Jenis ini mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah, dataran rendah sampai dataran tinggi. Nuriyatin dkk. (2003) melaporkan kayu bawang memiliki kualitas kayu baik, termasuk tingkat ketahanan B atau tingkat ketahanan cukup tahan sampai tahan terhadap serangan rayap. Lebih lanjut Utami dan Kurniawan (2010) melaporkan bahwa tegakan kayu bawang di habitat asalnya lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Hal ini disebabkan karena jenis ini mengandung senyawa metabolit sekunder. Kayu bawang memiliki batang lurus dan tergolong jenis cepat tumbuh. Jenis ini memiliki tajuk ringan dan sempit, tidak memiliki cabang yang besar sampai umur 3 tahun dan bersifat self pruning sehingga dapat digunakan pada pola agroforestri. Pola pengusahaan kayu bawang adalah campuran dan hanya beberapa lokasi yang menerapkan pola monokultur. Pola tanam campuran dilakukan dengan mengkombinasikan tanaman kayu bawang dengan jenis tanaman lainnya. Secara umum tanaman kayu bawang tidak dijadikan sebagai tanaman utama, tetapi lebih
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
31
diarahkan sebagai tanaman pencampur, terutama pada kebun karet, kopi atau sawit. Siahaan dkk. (2010) melaporkan bahwa daur volume optimal tegakan kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara diperoleh pada umur 7 tahun dengan riap diameter 2,09 cm/th dan volume 12,44 m3/ha/thn pada kerapatan 250 phn/ha sebagaimana tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Riap kayu bawang pada berbagai pola campuran dan kerapatan Lokasi
Pola Campuran Kerapatan Riap Riap Riap (N/ha) Tinggi Diameter Volume (m/th) (cm/th) (m3/ha/th) Desa Sawang Lebar, Kec. Kayu bawang + 250 1,73 2,09 12,44 Air Napal dan Desa Dusun kopi 500 1,48 1,71 16,26 Curup, Kec. Air Besi, 750 1,35 1,53 17,78 Bengkulu Utara Desa Dusun Curup, Kec. Kayu bawang + 250 1,69 1,35 8,87 Air Besi, Bengkulu Utara kopi + karet + 500 1,65 1,08 10,32 jengkol + pinang 750 1,62 1,00 11,28 Sumber: Siahaan dkk. (2010)
III. STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS Membangun hutan tanaman membutuhkan investasi dana yang relatif besar dengan jangka waktu pengembalian yang relatif lama (jangka panjang). Karenanya pembangunan hutan tanaman harus bersifat produktif serta mampu bersaing dengan usaha lainnya. Upaya peningkatan produktivitas dapat dilaksanakan melalui dua cara, yaitu peningkatan terapan praktek silvikultur (intensif) dan penganekaragaman jenis (diversifikasi). Penganekaragaman jenis sudah dilaksanakan terutama di lahan usaha masyarakat. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah penentuan jenis yang tepat dan peningkatan penerapan praktek silvikultur yang tepat. Peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui penerapan teknik silvikultur intensif (SILIN) yang memadukan penggunaan benih unggul, manipulasi lingkungan yang tepat dan didukung dengan upaya mengendalikan kehilangan produk akibat serangan hama dan penyakit atau sebab-sebab lainnya. Beberapa aspek penting dalam peningkatan produktivitas hutan tanaman melalui penerapan teknik silvikultur intensif dijelaskan sebagai berikut: A. Kesesuaian lahan Pengaruh kesesuaian lahan sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman, karenanya informasi kesesuaian lahan terkait dengan persyaratan tumbuh menjadi faktor penting dalam pembangunan hutan tanaman. Menurut Hardiyanto (2005), ketidaksesuaian lahan (antara jenis dengan tapak) menyebabkan produktivitas hutan tanaman tidak optimal bahkan dalam banyak kasus dapat mengalami kegagalan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Shelbourne (1972), Zobel dan Talbert (1984), yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuh (edafis dan klimatis).
32
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
B. Manipulasi Lingkungan Konsep silvikultur intensif melalui upaya manipulasi lingkungan yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan sehingga dicapai pertumbuhan optimal dari suatu tegakan. Penggunaan media dan pupuk (jenis dan dosis) yang tepat pada tingkat pembibitan dapat memacu pertumbuhan bibit yang optimal. Demikian pula pengolahan lahan yang tepat pada tingkat lapang, dapat mengoptimalkan pertumbuhan tanaman yang optimal. Menurut Suparna (2005) dan Soekotjo (2009), penyiapan lahan, pemberian unsur hara serta pemeliharaan tanaman merupakan hal penting dalam peningkatan produktivitas tegakan. Hal senada dikemukakan pula oleh Purwita dan Supriadi (2010), bahwa pemeliharaan yang baik yang dikombinasikan dengan pemupukan menghasilkan peningkatan volume yang nyata pada Acacia mangium. C. Pemuliaan Faktor (elemen) lain dalam teknik silvikultur intensif adalah aspek pemuliaan. Aspek ini terkait erat dengan upaya seleksi pada berbagai tingkat (level) yaitu jenis, sumber benih dan tingkat famili atau individu. Pemilihan jenis merupakan hal penting yang terkait erat dengan pemanfaatan hasil akhir atau tujuan penanaman. Pemilihan jenis yang akan dikembangkan umumnya didasarkan pada hasil uji jenis atau species trial. Namun demikian jika tidak tersedia waktu untuk melakukan uji jenis, maka dapat ditempuh dengan mengumpulkan berbagai informasi dasar mengenai sebaran jenis target, kondisi biofisik lokasi sebaran atau dilakukan melalui pendekatan yang didasarkan pada hasil pengujian yang pernah dilakukan. Langkah selanjutnya adalah melakukan uji asal sumber benih (provenance trial) sebagai dasar dalam penentuan asal sumber benih (provenance) yang akan dipilih dalam pembangunan hutan tanaman. Selanjutya dilakukan pengujian pada tingkat individu pohon atau famili. Melalui tahapan atau seleksi tersebut, riap pertumbuhan (produktivitas) tegakan secara bertahap dapat ditingkatkan (Tabel 5). Tabel 5. Ilustrasi taksiran peningkatan riap (perbaikan genetik) melalui seleksi dalam program pemuliaan pohon No 1. 2. 3.
Sumber variasi
Level Seleksi
Spesies (Jenis) Spesies terbaik Provenansi (Populasi) Provenansi terbaik Famili/klon (individu) Individu terbaik Total peningkatan riap (genetik)
Peningkatan Riap (perbaikan genetik) (a)% (b)% (c)% (a+b+c)%
Ilustrasi pada Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa perolehan peningkatan riap maksimal dapat dilakukan melalui beberapa tahapan sesuai dengan status riset dari masing-masing jenis. Untuk jenis-jenis lokal yang status risetnya saat ini masih relatif sedikit, maka strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan riap tegakan yang akan dibangun adalah dengan menggunakan benih atau bibit yang berasal dari pohonpohon induk hasil seleksi yang didasarkan pada sifat-sifat seperti pertumbuhan yang cepat, kelurusan batang, bebas cabang yang tinggi dan tanaman terlihat sehat. Langkah selanjutnya dalam jangka panjang perlu dibangun sumber benih dari jenisjenis prioritas yang akan dikembangkan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
33
D. Perlindungan tanaman Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan upaya agar produktivitas yang telah dihasilkan tidak mengalami penurunan karena serangan hama, penyakit maupun gulma. Dalam konsep PHT tanaman diupayakan tumbuh optimal sehingga resiko penurunan hasil dapat diminimalisir serendah mungkin. Penggunaan bibit hasil seleksi yang dipadu secara tepat dengan aspek manipulasi lingkungan dan pengendalian hama dan penyakit terpadu akan menghasilkan tegakan dengan produksi optimal.
IV. PENUTUP Peningkatan produktivitas tanaman dapat dilakukan melalui pengelolaan bersifat intensif melalui penerapan praktek silvikultur. Pola penanaman campuran dengan menggunakan jenis penghasil kayu pertukangan merupakan salah satu bentuk yang diterapkan dalam upaya peningkatan produktivitas lahan. Beberapa jenis pohon penghasil kayu pertukangan yang dapat digunakan sebagai tanaman sela dalam pola penanaman campuran adalah sungkai, tembesu, bambang lanang dan kayu bawang.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Kegiatan Kebun dan Tambang Ilegal Menggila. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi 02 Tahun 2011. Pusat Humas Kementerian Kehutanan. Jakarta. Awang San Afri. 1999. Pembangunan Hutan Rakyat di Jawa Tengah: Harapan dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat Vol.1 No.1 Pusat kajian Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu bawang. Dishut Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Effendi R. dan A.S Kosasih. 2008. Silvikultur hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Prosiding Worshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. Bogor. 19 Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Forest
Watch Indonesia. 2010. Perkembangan www.fwi.or.id. Diakses 15 Nopember 2010.
Tutupan
Hutan
Indonesia.
Hardiyanto, E.B. 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalam Pengembangan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. pp. 121-134. Fakultas Kehutanan UGM dan ITTO. Yogyakarta. Martawijaya. A, Kartasujana.I, Mandang. Y.I, Kadir K dan Prawira S.A. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen kehutanan. Bogor. Indonesia. (Cetakan Ketiga). Martin, E. dan B. T. Premono. 2010. Hutan Tanaman Kayu Pertukangan adalah Portofolio: Pelajaran dari keswadayaan penyebarluasan bambang lanang di masyarakat. Makalah pada Seminar Nasional Kontribusi Litbang Dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan. 29 November 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
34
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Martin, E., Ulfa M., Silalahi A.T.L., dan Winarno B. 2003. Agroforestry Tradisional Sebagai Basis Pengembangan Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Prosiding Temu Lapang dan Ekspose Hasil-hasil Penelitian UPT Badan Penelitian dan Pengembagan Kehutanan Wilayah Sumatera. 9-10 Desember 2003. Peran Pembangunan Hutan Tanaman Terhadap Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Nuriyatin, N., Apriyanto E., Satriya N., Saprinurdin. 2003. Ketahanan Lima Jenis Kayu Berdasarkan Posisi Kayu di Pohon terhadap Serangan Rayap. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 5(2) : 77-82. Purwita, T. dan Supriadi, B. 2010. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Makalah pada Diskusi Multi Pihak Peran Litbang Dalam mendukung Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman di Sumatera Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Shelbourne, C. J.A. 1972. Genotipe environment Interaction: Its Study and its Implication in Forestry Improvement. Proc. IUFRO Genetics Sabrao Joint Symposia. Tokyo. Siahaan, H., Sumadi A., Saefulah T.R. 2010. Hutan Rakyat Kayu bawang Pola Agroforestry sebagai Pola Alternatif Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Peran Iptek dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Palembang, 2 Desember 2009. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikutur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sofyan, A, Martin E., Lukman A.H., Nugroho A.W. 2010. Mengenal Jenis-jenis Kayu Pertukangan Prioritas Badan Litbang Kehutanan Di Sumatera. Makalah pada Seminar Bersama Hasil-hasil Penelitian. Peran Litbang Kehutanan dalam Implementasi RSPO pada Pembangunan Perkebunan di Sumatera. Pekanbaru, 4-5 Nopember 2010. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Suparna N. 2005. Meningkatkan produktivitas kayu dari hutan alam dengan penerapan silvikultur intensif di PT. Sari Bumi Kusuma unit Seruyan, Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. pp. 30-47. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan ITTO. Yogyakarta. Ulfa, M., Martin E., Ulya N. A. dan Siahaan H. 2003. Sifat-sifat Tanah pada Berbagai Umur Tegakan Hutan Rakyat Kayu Bawang (Protium javanicum Burm. F) di Karang Tinggi, Bengkulu Utara. Jurnal Tanah dan Air. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta. Yogyakarta. Utami, S dan Kurniawan A. 2010. Budidaya Jenis Kayu Bawang Aspek Perlindungan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Zobel, B.J. and Talbert J. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons. New York.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
35
36
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
DAMPAK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Fatahul Azwar1
ABSTRAK Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu dan non-kayu dari hutan yang semakin tidak dapat dipenuhi dari hutan alam, telah dikeluarkan kebijakan pembangunan hutan tanaman baik dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), maupun Hutan Rakyat (HR) dengan berbagai pola penamanan baik secara monokultur maupun campuran. Dalam perkembangannya selain pencapaian hasil sumber bahan baku kebutuhan kayu dan non-kayu (ekomomis), hutan tanaman juga menunjukan dampak yang positif terhadap perbaikan kualitas lingkungan melalui fungsinya sebagai penyerap karbon, konservasi air dan tanah, serta konservasi keanekaragaman jenis (biodiversity). Keberadaan hutan tanaman juga memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas habitat satwa liar dan keanekaragaman jenis tumbuhan didalamnya. Dampak positif lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman akan terjadi apabila pembangunannya dilakukan dengan perencanaan dan pola silvikultur yang tepat. Kata kunci: air, hutan tanaman, karbon, keanekaragaman jenis, lingkungan, tanah
I. PENDAHULUAN Hutan memiliki manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung adalah sebagai penghasil kayu dan hasil non-kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Hutan selain memiliki fungsi ekonomis juga memiliki fungsi ekologis dimana seharusnya keduanya berjalan seiring dan seimbang. Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire, bahkan dalam tataran global keanekaragaman hayati hutan Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Colombia. Namun seiring waktu dan meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, kebutuhan akan kayu dan lahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, sehingga pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan akibatnya laju degradasi hutan antara tahun 1997-2003 diperkirakan sebesar 2,83 juta ha per tahun, meningkat secara signifikan dari periode sebelumnya yaitu tahun 1985-1997 dimana laju degradasi lahan hutan hanya sebesar 1,8 juta ha per tahunnya. Pada periode tahun 1985-1987, penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di pulau Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pada periode 1997-2000 terjadi selain di Sumatera dan Kalimantan, juga di Papua (Departemen Kehutanan, 2007). 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
37
Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (a) kebakaran dan perambahan hutan; (b) illegal logging dan illegal trading; (c) adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain; dan (d) adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL). Guna mengantisipasi permasalahan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia (khususnya hutan alam), pemerintah menggulirkan beberapa program, salah satunya ialah dengan pembangunan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR) maupun hutan rakyat (HR). Pembangunan hutan tanaman ini diharapkan selain dapat memnuhi kebutuhan bahan baku kayu maupun non-kayu (ekonomis) juga diharapkan dapat menjadi pemelihara lingkungan hidup, seperti fungsi mengatur tata air, habitat kehidupan liar, sumber keanekaragaman hayati, penyerap karbon, pensuplai kebutuhan oksigen dan mempertahankan kesuburan tanah. Pembangunan hutan tanaman skala luas akan memberikan perubahan yang berarti pada lingkungan. Dampak penting akibat pembangunan hutan tanaman dalam skala luas adalah perubahan ekosistem asli. Jika hutan alam ditebang habis dan dilakukan pembuatan hutan tanaman, dapat dipastikan akan terjadi penurunan keanekaragaman jenis dan kerusakan habitat serta lingkungan. Sebaliknya, apabila hutan tanaman dibangun pada lahan kritis, bekas perladangan dan tanah kosong/marjinal, maka akan terjadi peningkatan kualitas habitat, keragaman jenis, kualitas tanah dan konservasi air yang lebih baik.
II. HUTAN TANAMAN DAN KUALITAS LINGKUNGAN Pada dasarnya pembangunan hutan tanaman seharusnya dilakukan pada lahanlahan kritis, lahan hutan yang tidak produktif, lahan hutan yang rusak (areal bekas tebangan), dan lahan dengan penutupan vegetasi non hutan (alang-alang, semak belukar, lahan kosong). Hal ini di sebenarnya selain bertujuan pada peningkatan produktivitas hutan guna memenuhi kebutuhan bahan baku hasil hutan baik kayu maupun non-kayu juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Pembangunan hutan tanaman (dalam berbagai pola dan pengusahaan) sejatinya bila dibangun dengan perencanaan yang baik tidak hanya bermanfaat secara ekonomis tetapi juga secara ekologis. Beberapa parameter penting dampak pembangunan hutan tanaman terhadap lingkungan secara ilmiah dapat dilihat dari hasil penelitian, yaitu penyerapan karbon (carbon sink), konservasi air dan tanah (hidro-orologis), serta keanekaragaman jenis (biodiversity). A. Hutan Tanaman Sebagai Penyerap Karbon Tingkat emisi karbon atau secara awam dikatakan sebagai polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi, dan rumah tangga yang tinggi memicu efek rumah kaca dimana terjadi peningkatan suhu global di bumi. Efek rumah kaca juga bisa diakibatkan oleh deforestasi akibat konversi hutan dan degradasi lahan hutan akibat illegal logging, kebakaran hutan, overcutting dan lain-lain. Hutan tidak hanya sebagai penyerap karbon (bila terjaga dengan baik) namun juga bisa berpotensi sebagai sumber emisi karbon (apabila tidak terjaga dengan baik).
38
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Peningkatan serapan karbon dapat dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan tanaman, mengingat hutan alam di Indonesia (bahkan dunia) sudah semakin menipis akibat deforestasi dan degradasi lahan. Tomich dkk. (2001) menyampaikan beberapa jenis pemanfaatan lahan di Sumatera dalam menyerap karbon, sebagaimana dirinci pada Tabel 1. Tabel 1. Kapasitas beberapa jenis pemanfaatan lahan di Sumatera dalam menyerap karbon Tipe Penggunaan Lahan Hutan alam Hutan kemasyarakatan Hutan bekas tebangan Agroforestry karet Monokultur karet Monokultur kelapa sawit Sawah/hortikultur Ketela pohon Sumber: Tomich dkk. (2001)
Skala Pengamatan 25 ha 35 ha 35.000 ha hutan konsesi Petak-petak 1-5 ha Petak-petak 1-5 ha 35.000 ha Petak-petak 1-2 ha Petak-petak 1-2 ha
Rata-rata serapan Karbon (th/ha) 254 176 150 116 97 91 74 39
Tabel 1 menunjukkan bahwa fungsi hutan dalam penyerapan karbon lebih besar dibandingkan dengan penggunaan lahan non-kehutanan, bahkan pola hutan tanaman kemasyarakatan serta pola hutan tanaman campuran (agroforestri dengan karet) lebih baik dibandingkan dengan pemanfaatan lahan perkebunan sistem monokultur dan hortikultura (pertanian). Khusus pada hutan tanaman, penelitian Gintings dan Prajadinata (2002, 2003, 2004, 2005) menunjukkan kandungan karbon bervariasi pada berbagai jenis pohon pada umur dan lokasi yang berbeda (Tabel 2). Dari Tabel 1 dan Tabel 2 terlihat bahwa daya serap karbon pada beberapa jenis tertentu di hutan tanaman monokultur (sejenis) tergolong tinggi dibandingkan tanaman perkebunan dan pertanian monokultur. Tabel 2. Kandungan karbon pada berbagai jenis tanaman hutan di berbagai lokasi hutan tanaman di Indonesia Jenis/Lokasi
Umur Kerapatan (tahun) (N/ha) Mahoni (Sumsel) 20 1.111 Mangium (Sumsel) 6 1.111 Sungkai (Sumsel) 10 1.111 Sungkai (Lampung) 25 1.666 Puspa (Lampung) 25 1.666 Kemiri (Lampung) 25 312 Pinus (Jatim) 14 622 Mahoni (Jatim) 16 533 Sengon (Jatim) 8 711 Gmelina (Sulsel) 4 1.600 Pinus (Sulsel) 13 977 Eukaliptus (Sulsel) 21 577 Sumber: Gintings dan Prajadinata (2002, 2003, 2004, 2005) Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Kandungan Karbon (ton/ha) 202,99 99,85 41,97 91,29 91,46 203,08 83,94 77,51 134,31 89,69 40,80 68,21
39
B. Hutan tanaman bagi konservasi air dan tanah 1. Peranan hutan tanaman terhadap tata air Fungsi hutan dalam pengendalian daur hidrologis dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses evapotranspirasi dan pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi b. Menambah uap air di atmosfir c. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi secara langsung melalui proses intersepsi d. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan dan tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan e. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan karakteristik fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan dinamika bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah. Berkaitan dengan konservasi air, banyak penelitian menunjukkan bahwa aliran air tahunan meningkat jika vegetasi hutan dihilangkan atau dikurangi (evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi). Hal ini berkaitan dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi dan beraneka ragam dibandingkan pertanian monoklutur. Ada perbedaan yang signifikan dalam daur hidrologis antara tipe penggunaan lahan hutan tanaman dengan penggunaan lahan non-kehutanan yaitu terletak pada siklus keseimbangan air. Pada lahan-lahan berhutan, ketersediaan air pada musim hujan dan kemarau relatif stabil, sedangkan pada pemanfaatan lahan non-kehutanan (khususnya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perumahan) mengakibatkan ketersediaan air jauh berbeda antara saat musim penghujan dan musim kemarau. Laju evapotranspirasi hutan tanaman dan perkebunan relatif sama dan besar tetapi juga memberi input yang besar juga terhadap pembentukan hujan di awan khususnya pada daerah-daerah dataran rendah di mana evapotranspirasi besar, namun evapotranspirasi yang terjadi pada hutan tanaman tidak langsung dari air tanah melainkan dari hasil respirasi tanaman dan intersepsi (aliran tajuk dan batang) sehingga kondisi air tanah tetap terjaga sebagai salah satu sumber air. Peran hutan tanaman dalam meyerap dan melepas air juga masih lebih baik dibandingkan lahan yang hanya ditutupi vegetasi rumput dan semak. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian Pudjiharta (1995) dalam Wibowo dkk. (2008), bahwa persen evapotranspirasi hutan tanaman Altingia excelsa, Schima wallichii, Eucalyptus urophylla, dan Dalbergia latfolia (masing-masing 42%, 22,9%, 36,9% dan 41,68%) masih lebih kecil daripada evapotranspirasi dari lahan yang ditutupi hanya oleh vegetasi rumput dan tumbuhan bawah lain (rumput 57,60%, telekan 51,53%, kirinyu 55,41%, pakis 55,12% dan campuran tumbuhan bawah 57,74%). Penetuan strategi konservasi air dalam pengelolaan hutan tanaman membutuhkan pertimbangan geografis, dan penentuan jenis tanaman untuk kesesuaian lahannya, pemilihan tanaman fast growing yang cenderung bersifat rakus air (Acacia mangium, Pinus merkusii dan tanaman higroskopis lainnya) disarankan tidak di lakukan pada daeah bercurah hujan rendah. Selain itu manfaat terpenting dari kehadiran hutan tanaman adalah berkaitan dengan pengaturan lingkungan hidrologis melalui
40
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
perlindungannya terhadap bahaya erosi dan banjir yang merupakan hasil akumulasi dari gempuran energi kinetik air hujan terhadap permukaan tanah secara langsung. 2. Peranan hutan tanaman terhadap konservasi tanah Peran hutan tanaman secara umum terhadap konservasi tanah pada dasarnya sama dengan prinsip konservasi tanah oleh hutan alam. Hutan dengan strata tajuk dan seresah yang ada pada permukaan tanah menjaga tanah dari ancaman erosi akibat gesekan kinetis air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sehingga aliran permukaan yang terjadi tidak secara langsung dan unsur hara pada tanah lapisan atas juga terjaga dari proses pencucian akibat adanya penahanan dari vegetasi hutan dan seresah lantai hutan. Sistem perakaran vegetasi hutan juga mampu menjaga kekuatan tanah dari ancaman longsor pada lahan yang berlereng atau lahan dengan kemiringan yang cukup tinggi. Keberadaan seresah pada lantai hutan juga memberi masukan unsur hara pada lapisan tanah atas (top soil) akibat proses dekomposisi yang dialami seresah. Beberapa penelitian unsur hara di lahan hutan tanaman, khususnya hutan tanaman dengan tanaman jenis fast growing (daur pendek) menunjukkan penurunan unsur hara pada tahun tanam tertentu dan unsur hara biasanya kembali meningkat setelah masa panen/penebangan seperti yang ditunjukan oleh penelitian pada hutan tanaman Eucalyptus grandis dimana pada umur tegakan 9 tahun terjadi penurunan unsur hara N, K , dan Ca dibanding pada tegakan yang berumur 3 tahun dan unsur tersebut mengalami kenaikan lagi setelah masa penebangan/pemanenan (Wibowo dkk., 2007). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan unsur hara tertentu disebabkan oleh kebutuhan nutrisi dari jenis tanaman yang meningkat setiap tahunnya, namun masih dalam tingkat kewajaran mengingat pengembalian unsur hara melalui dekomposisi seresah pada tanaman fast growing lajunya lebih rendah dari pada jenis tanaman lain. Penelitian Purwanto dan Gintings (1995) menunjukkan bahwa pada hutan tanaman Shorea pinanga, S. compressa dan S. palembanica sifat reaksi tanah pada ketiga jenis tegakan tersebut tidak berbeda nyata untuk setiap umur tegakan dan bahkan jenis S. palembanica berpengaruh lebih baik terhadap bulk density serta permeabilitas tanahnya. Perubahan unsur hara N, C-organik, K, Mg, Ca dan KTK juga tidak berbeda nyata. Dari segi pengembalian hara, terlihat bahwa jenis S. pinanga lebih baik terlihat dari kadar unsur N, P, K yang terkandung dalam serasahnya. Penelitian Kunarso dan Azwar (2007) terkait penanaman hutan tanaman (A. mangium, Mahoni, Pinus, Sungkai, Seru, dan campuran) pada lahan terdegradasi (alang-alang) menunjukkan unsur hara yang lebih baik daripada lahan yang tidak ditanami tanaman hutan (dibiarkan menjadi alang-alang), bahkan pada hutan tanaman dengan pola campuran kandungan unsur hara N, P, K, Na, Ca serta C-organiknya lebih besar daripada lahan alang-alang dan lahan hutan tanaman pola monokultur. Hal ini menunjukkan bahwa rehabilitasi lahan pada tanah kosong, tidak produktif atau rehabilitasi lahan non-hutan dengan pemilihan jenis tanaman hutan, dan dengan pola pengelolaan dan penanaman yang tepat dapat memperbaiki kualitas tanah. C. Hutan tanaman dan keanekaragaman jenis Perambahan hutan dan konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan sudah diakui menjadi penyebab hilangnya keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. Untuk mengantisipasi hal ini pemerintah telah menetapkan kawasan-kawasan hutan konservasi (taman nasional, tahura, hutan lindung dan lain-lain), dan perluasan pembangunan hutan tanaman. Diharapkan dengan adanya hutan tanaman yang Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
41
lokasinya diarahkan pada lahan yang tidak produktif seperti tanah kosong dan padang alang-alang, semak belukar serta hutan rawa yang rusak, dapat mengembalikan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis hutan tanaman tidaklah setinggi hutan alam (baik hutan alam primer dan sekunder) tetapi melalui kegiatan silvukultur di dalamnya dan komposisi vegetasi penyusunnya tetap mampu berkontribusi lebih baik terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dibandingkan dengan pemanfaatan lahan non-kehutanan. Wibowo dkk. (2007) menunjukkan bahwa hutan tanaman jati di daerah penyangga Taman Nasional Baluran memiliki Indeks Nilai Penting (INP) pada dominasi jenis vegetasi di tinggkat semai, pancang, dan pohon masih relatif tinggi (di atas 50%) dan indeks kekayaan jenis pada tingkat tiang jauh lebih tinggi dibanding hutan alam pada taman nasional yang berbatasan. Keberadaan hutan tanaman jati masih lebih baik dalam hal perjumpaan jenis burung dibanding pada areal lahan yang telah menjadi pemukiman penduduk dan pertanian, dimana 24% jenis satwa liar di hutan alam (taman nasional yang berbatasan dengan areal penanaman hutan tanaman jati) dapat dijumpai juga di hutan tanaman jati. Penelitian Bismark dan Sawitri (2006) pada beberapa areal hutan tanaman juga menunjukkan perjumpaan satwa yang lebih sering dibandingkan pada areal perkebunan/perladangan, dan areal pertanian di beberapa daerah sekitar taman nasional. Lebih khusus lagi, penelitian Kunarso dan Azwar (2007, 2008, 2009) menunjukkan keanekaragaman jenis tumbuhan bawah pada beberapa tegakan hutan tanaman monokultur dan campuran lebih baik dibandingkan lahan alang-alang seperti terlihat pada Gambar 1. 100 90
Jumlah jenis
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Al
Aa
Ab
Ac
Ad
Ae
Af
Ag
Ah
Kr1
Kr2
Kr3
Ks1 Ks2
S
P
Htc
Sf
Te ga ka n
Sumber: Kunarso dan Azwar (2007, 2008, 2009) Keterangan: Aa, Ab, Ac, Ad, Ae, Af, Ag, Ah: Hutan Tanaman Acasia mangium (monokultur) pada berbagai umur tegakan Al: Lahan terbuka (lahan alang-alang) Kr1, Kr2, Kr3: Kebun karet masyarakat pada berbagai tingkat umur Ks1, Ks 2: Kebun sawit masyarakat pada tingkat umur yang berbeda S: Hutan Tanaman Sungkai (monokultur) P: Hutan Tanaman Pinus (monokultur) Htc: Hutan Tanaman Campuran Sf: Hutan alam sekunder
Gambar 1. Grafik jumlah jenis tumbuhan pada masing-masing tegakan Hutan tanaman juga merupakan habitat hewan yang lebih baik daripada areal lahan kosong atau alang-alang, khususnya di hutan tanaman daerah Benakat Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan selama periode 2007-2009 (Kunarso dan Azwar,
42
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
2009). Hal ini dikarenakan pada beberapa areal hutan tanaman lebih tersedia pakan dan naungan serta sumber air sehingga lahan hutan tanaman bisa menjadi habitat permanen atau alternatif/semusim serta daerah jelajah bagi beberapa satwa liar. Kondisi khusus pada Hutan tanaman Tembesu di daerah Benakat – Sumsel yang di kelola dengan silvikultur intensif, selain memberi dampak bagi dinamika tumbuhan bawah (percepatan suksesi) juga mengundang beberapa satwa liar seperti burung, babi, rusa dan bahkan beruang sebagai tempat mereka mencari makan dan sebagai wilayah jelajah mereka. Selain itu komposisi vegetasi penyusun hutan tanaman juga secara tidak langsung turut memberi kontribusi terhadap keberadaan hewan makrofauna tanah sebagai salah satu bagian penting dari rantai proses dekomposisi seresah dalam siklus pengembalian hara tanah seperti yang terlihat pada Gambar 2 (Kunarso dan Azwar, 2009). 35 30 25 20
MH
15
MK
10 5
H tn
S
ek u
nd er
un gk ai S
ni ah o M
6t h a ka si A
A
ka si
a
5t h
a4 th A
ka si
a3 th A
ka si
a2 th A
ka si
a1 th ka si A
A
la ng 2
0
Sumber: Kunarso dan Azwar (2009) Keterangan: MH : Musim Hujan MK : Musim Kemarau
Gambar 2. Grafik jumlah jenis makrofauna tanah pada musim hujan dan kemarau Perlakuan silvikultur intensif pada hutan tanaman untuk peningkatan produktivitas akan membuat keanekaragaman jenis di dalamnya menjadi fluktuatif. Namun perlakuan tertentu justru dapat menstimulasi percepatan kekayaan jumlah vegetasi khususnya vegetasi tumbuhan bawah seperti ditunjukan oleh penelitian Azwar dan Etik (2010) pada perlakuan penyiangan lahan dan pemangkasan tajuk pada hutan tanaman Tembesu dengan jarak tanam yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Sumber: Azwar dan Etik (2010) Keterangan: Pengamatan ke-1: sebelum dilakukan perlakuan silvikultur Pengamatan ke-2: 2 minggu setelah pemangkasan tajuk dan penyiangan lahan Pengamatan ke-3: 8 minggu setelah pemangkasan tajuk dan penyiangan lahan
Gambar 3. Grafik jumlah total individu tumbuhan bawah sebelum dan sesudah perlakuan silvikultur
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
43
III. PENUTUP Pembangunan hutan tanaman dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), maupun Hutan Rakyat (HR) yang ada selain sebagai penyedia bahan baku kebutuhan kayu ataupun non-kayu (aspek ekonomi) juga berfungsi sebagai salah satu upaya dalam perbaikan kualitas lingkungan (asek ekologi) seperti dalam penyerapan karbon, konservasi tanah dan air, serta konservasi sumber keanekaragaman hayati. Upaya konservasi air dan tanah melalui pembangunan hutan tanaman penting dijaga keberadaannya sebagai daerah tangkapan air (water catchment area), dan penyeimbang siklus air (water reservoir). Fungsi hutan tanaman sebagai penyedia air karena hutan tanaman mampu menjaga keseimbangan daur hidrologis. Oleh karena itu pemilihan jenis dan pengelolaan lahan yang tepat dalam pengelolaan hutan tanaman dapat melindungi kestabilan air sepanjang musim. Keberadaan hutan tanaman juga berkontribusi dalam perbaikan kualitas tanah, baik dalam proses pengembalian hara maupun perbaikan struktur tanah melalui komposisi vegetasi penyusunnya. Pembangunan hutan tanaman juga berdampak positif terhadap keanekaragaman hayati di dalamnya, karena dapat menjadi sumber pakan, tempat bernaung (habitat), serta daerah jelajah bagi satwa liar. Perlakuan silvikultur dalam pengelolaan hutan tanaman tidak menggangu terhadap pengkayaan jenis vegetasi penyusun selain tanaman utama bahkan dengan perlakuan silvikultur yang tepat dapat memicu pengayaan jenis vegetasi penyusun di dalamnya. Fungsi ekologis dari hutan tanaman sebagai upaya perbaikan kualitas lingkungan dapat berjalan dengan baik apabila pembangunannya dilakukan dengan perencanaan yang tepat, seperti pemilihan lokasi lahan, pemilihan jenis, pola tanam dan perlakuan silvikultur yang tepat. Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak membangun hutan tanaman sebagai salah satu upaya perbaikan kualitas lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, F. dan Etik Ernawati Hadi. 2010. Laporan Hasil Penelitian Budidaya Tembesu; Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Bismark dan Sawitri. 2006. Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Gintings, A. N. dan S. Prajadinata. 2002, 2003, 2004, dan 2005. Assesment of the Potency Of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change. Interim Reports. Cooperation between Forest and Nature Conservation Research and Development Center (FNCRCDC) and Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO). Kunarso, A. dan Azwar, F. 2007, 2008, dan 2009. Laporan Hasil Penelitian Perubahan Keanekaragaman Jenis dan Lingkungan Akibat Pembangunan Hutan Tanaman. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. 44
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Purwanto, Ign. dan Gintings, A. N. 1995. Pengaruh Berbagai Jenis Vegetasi Terhadap Kapasitas Infiltrasi Tanah di Cijambu, Sumedang, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kehutanan No. 573, 1995, pp ; 13-25. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Tomich, T. P., H. de Foresta, K. Dennis, D. Murdiyarso, Q. M. Katterings, F. Stolle, Suyanto, dan M. Van Noordwijk, M. 2001. Carbon Sequestration for Conservation and Development in Indonesia. Submitted to American Journal of Alternative Agriculture. Wibowo, A., Yunita L., P. Tambunan, dan Zuraida. 2007. Sintesa Hasil Penelitian Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. Pusat Penelitian Hutan Tanaman. Bogor. Wibowo, A., Yunita L., P. Tambunan, Zuraida, Adi K., Agung B. S., Susi A., dan Sukresno. 2008. Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. Pusat Penelitian Hutan Tanaman. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
45
46
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
NILAI EKONOMI PENANAMAN POHON PENGHASIL KAYU PADA LAHAN MILIK Bambang Tejo Premono1) dan Edwin Martin1) ABSTRAK Pemanfaatan lahan milik yang efektif akan memberikan pendapatan yang optimal baik tanaman tahunan dan tanaman kayu pada pola penanaman campuran. Hal ini dapat dilihat pada penanaman tanaman bambang dengan pola campuran dengan tanaman kopi dan tanaman tembesu dengan tanaman karet. Dalam pemanfaatan unit lahan yang sama dan waktu yang sama dengan tanaman tahunan dan tanaman kayu perlu mendapatkan perhatian baik dalam hal pilihan jenis tanaman dan jarak tanam karena adanya trade off antara tanaman perkebunan (tahunan) dan tanaman kehutanan (tanaman kayu). Tanaman bambang banyak dikembangkan oleh masyarakat di daerah Empat Lawang, Lahat dan Pagar Alam. Kayu bambang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kayu pertukangan karena kayu bambang dikenal kuat dan awet. Penanaman bambang pada lahan milik dikarenakan mudah ditanam, tajuknya ringan dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi meskipun umur panen kayu relatif panjang. Pada penanaman pola campuran dengan tanaman kopi ternyata tanaman bambang memiliki nilai NPV positif dan nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku sehingga layak untuk dikembangkan oleh masyarakat. Pada kasus tanaman tembesu yang dicampur secara acak dengan tanaman karet pada daerah OKU Timur ternyata juga memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tananam tembesu monokultur. Pemilihan tanaman penghasil kayu sebagai tanaman campuran pada lahan milik oleh masyarakat dilakukan secara alami berdasarkan pemikiran yang rasional dengan mempertimbangkan aspek ketersediaan bibit, kemudahan pemeliharaan, tidak mengganggu tanaman pokok dan pertimbangan untuk pemenuhan kebutuhan kayu di masa mendatang serta harga kayu yang cukup tinggi. Kata kunci: lahan milik, nilai ekonomis, pola campuran, pola monokultur, pola tanam
I. PENDAHULUAN Usaha pemanfaatan lahan yang terbatas harus senantiasa mempertimbangkan aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat dan teknologi yang tersedia untuk dapat mengurangi resiko dan ketidakpastian. Kegagalan yang terjadi selama ini dikarenakan aspek yang ada tidak saling mendukung dalam praktek pemanfataan lahan berbasis pohon (practice land use based tree). Pada umumnya pohon penghasil kayu pertukangan memiliki umur panen (daur) yang relatif lama, sebagian besar memiliki daur menengah dan panjang. Sebagai contoh tanaman bambang (Michellia campaka), yang dikembangkan masyarakat di daerah Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam memiliki daur menengah dengan umur panen pada umur 10-15 tahun 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
47
sedangkan tanaman tembesu (Fagraea fragrans) yang dikembangkan masyarakat di daerah OKU Timur memiliki daur panjang dengan umur panen diperkirakan pada umur 30-35 tahun atau lebih. Masa panen yang relatif panjang menjadikan jenis-jenis pohon penghasil kayu dianggap kurang memiliki nilai ekonomi untuk diusahakan oleh masyarakat yang tidak memiliki lahan yang luas. Ini menyebabkan rendahnya minat masyarakat memilih pohon penghasil kayu sebagai salah satu komoditi di lahan milik, meskipun aspek teknis budidaya dan kesesuaian lahan cukup dikuasai dan telah didesiminasikan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Disisi lain, beberapa masyarakat lokal telah mempraktekkan secara turun-temurun usaha penanaman pohon-pohon penghasil kayu pada lahan milik mereka. Penelitian ini bertujuan ntuk mengetahui pola-pola dan nilai ekonomi budidaya pohon-pohon penghasil kayu berdaur menengah dan panjang pada unit lahan milik masyarakat.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di 2 (dua) lokasi yaitu di daerah yang masyarakatnya membudidayakan tanaman bambang secara campuran dengan tanaman kopi yaitu Kabupaten Pagaralam, Empat Lawang dan Lahat dan di daerah yang masyarakatnya membudidayakan tanaman tembesu secara campuran dengan tanaman karet di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur). B. Analisis Data Pola penanaman campuran menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, dimana paling sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha penanaman campuran memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis finansial terhadap pola penanaman campuran yang dilakukan proyek berbasis finansial. Menurut Lahjie (2004), analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran digunakan untuk menilai kelayakan finansial dengan menggunakan analisis NPV (Net Present Value), IRR dan BC ratio. Net Present Value (NPV) yang didapat dengan mendiskonto semua biaya dan pendapatan pada suku bunga diskonto dan kemudian hasil diskonto pendapatan dikurangi hasil diskonto biaya. Nilai sekarang netto merupakan nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Dalam analisis keuangan/finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi. 1. Net Present Value (NPV) didapat dengan mendiskonto semua biaya dan pendapatan pada suku bunga diskonto dan kemudian hasil diskonto pendapatan
48
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
dikurangi hasil diskonto biaya. Suatu kegiatan dikatakan layak jika NPV positif (Gittinger, 1986; Kadariah, 1999). t n
NPV =
t 0
Bt Ct r t n
: : : : :
( Bt Ct ) (1 r ) t
pendapatan kotor tahun ke-t biaya kotor tahun ke-t suku bunga diskonto (discount rate) interval waktu umur ekonomis kegiatan
2. Internal Rate of Return (IRR) adalah suku bunga diskonto yang menyebabkan jumlah hasil diskonto pendapatan sama dengan jumlah hasil diskonto biaya atau suku bunga yang membuat NPV sebesar nol. Suatu proyek layak jika IRR lebih besar dari suku bunga diskonto. t n
IRR = Bt Ct r t n
: : : : :
Bt = t t 0 (1 r )
t n
Ct
(1 r ) t 0
t
pendapatan kotor tahun ke-t biaya kotor tahun ke-t suku bunga diskonto (discount rate) interval waktu umur ekonomis kegiatan
3. Benefit Cost Ratio (BCR) didapat dengan membagi jumlah hasil diskonto pendapatan dengan jumlah hasil diskonto biaya. Kegiatan dikatakan layak jika BCR lebih besar dari satu. t n Bt (1 r ) t BCR = ttn0 Ct t t 0 (1 r ) Bt Ct r t n
: : : : :
pendapatan kotor tahun ke-t biaya kotor tahun ke-t suku bunga diskonto (discount rate) interval waktu umur ekonomis kegiatan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemilihan Jenis dan Pola Penanaman Campuran (Agroforestri) 1. Pola Tanam Campuran Tanaman Bambang dan Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan yang menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat di daerah Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Sebagian Pagaralam. Tanaman kopi merupakan jenis tanaman yang memerlukan naungan ringan agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Tanaman kopi akan mulai produksi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
49
pada umur 5 tahun dengan masa produksi hingga umur 10 tahun dengan perawatan yang baik. Masyarakat pada ketiga kabupaten ini telah banyak menanam tanaman bambang sebagai tanaman campuran pada tanaman kopi dengan pertimbangan dapat diambil kayunya pada masa yang akan datang. Penanaman tanaman bambang sebagai tanaman campuran di antara tanaman kopi dilakukan sebagai tanaman pagar atau pinggir lahan dan juga tanaman sela di antara tanaman kopi dengan jarak antartanaman yang disesuaikan dengan tanaman kopi agar tidak mengganggu tanaman kopi. Tanaman bambang sebagai tanaman campuran digunakan sebagai tanaman masa depan yang diharapkan dapat memberikan pendapatan maupun dipanen untuk kebutuhan kayu sendiri di masa mendatang. Sedangkan kopi menjadi sumber pendapatan tunai bagi masyarakat dalam jangka pendek. Pemilihan jenis bambang sebagai tanaman campuran dengan tanaman kopi pada lahan milik masyarakat di daerah Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam telah mengalami proses pemilihan dan penentuan jenis secara alami yang dilakukan sendiri oleh masyarakat. Pemilihan ini pada kenyataannya telah melalui cara berpikir rasional yang mempertimbangkan untung dan rugi dalam proses pengambilan keputusannya. Pertimbangan tersebut meliputi teknik penanaman, sifat tanaman, umur panen, harga, ketersediaan bibit, kemudahan pemiliharaannya dan pengaruhnya terhadap tanaman kopi. Pola-pola tanaman tanaman bambang dengan tanaman kopi dapat dilihat pada Gambar 1, 2, 3 dan 4.
Gambar 1. Tanaman bambang di antara tanaman kopi muda yang belum produktif
Gambar 2. Tanaman bambang di antara tanaman kopi muda yang produktivitasnya mulai berkurang
Gambar 3. Tanaman bambang menjadi tanaman pagar (pinggir) tanaman kopi
Gambar 4. Tanaman bambang di antara tanaman tanaman kopi yang masih produktif
50
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
2. Pola Tanam Campuran Tanaman Tembesu dan Tanaman Karet Tanaman karet merupakan tanaman rakyat yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga banyak dikembangkan oleh masyarakat di Sumatera Selatan termasuk di daerah Ogan Komering Ulu Timur (OKUT) terutama daerah transmigrasi yang berpenduduk pendatang, sedangkan daerah berpenduduk suku asli masih mengandalkan hasil buah-buahan seperti duku, durian dan lain-lain. Di samping itu, masyarakat di OKU Timur juga masih mempertahankan atau menanam tanaman tembesu pada lahan milik karena kayu tembesu memiliki kualitas kayu yang baik, pemeliharaannya mudah dan merupakan tanaman yang tubuh secara alami (tidak ditanam). Dalam hal ini masyarakat hanya memilih tanaman tembesu yang baik dan tidak mengganggu tanaman karet. Dengan kata lain, tanaman tembesu ditanam campuran secara acak dengan tanaman karet. Keberadaan tembesu di antara atau sebagai tanaman pagar dengan tanaman karet tidak terlalu rapat karena akan mengganggu produkstifitas hasil tanaman karet. Tanaman tembesu memiliki MAI diameter antara 1,2-1,3 cm/tahun, pada penanaman pola campuran dengan tanaman karet diperlukan kurang lebih 200 tanaman tembesu. Hasil simulasi ini dapat menjadi dasar pengaturan jumlah pohon pada pola campuran tembesu karet. Jika melihat kondisi saat ini, dengan jarak tanam Karet 4m x 6m adalah salah satu pilihan masyarakat, maka 200 tanaman tembesu dapat ditanam di antara jalur tanam karet dengan jarak tanam 6m x 8m (Gambar 5).
Gambar 5. Desain model penanaman campuran karet-tembesu B. Nilai Ekonomi Penanaman Pola Campuran Tanaman bambang bagi masyarakat pengebun di daerah Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam dianggap menjadi tanaman yang dapat menjadi tumpuan di masa datang dengan proyeksi perolehan hasil kayu yang akan didapatkan. Bagi pembibit, tanaman bambang dapat sebagai pendapatan tunai yang cukup menjanjikan. Tanaman bambang telah dapat memberikan harapan baru bagi masyarakat dengan proyeksi pendapatan akan datang yang akan diperoleh, meskipun tanaman bambang akan memberikan hasil pada umur panen 10-15 tahun. Dengan demikian tanaman bambang digunakan sebagai asset atau tabungan jangka panjang yang memberikan hasil yang tinggi dikarenakan harga kayu bambang yang cukup tinggi dan pasar yang cukup luas tidak hanya untuk kebutuhan lokal setempat. Harga kayu
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
51
bambang akan berbeda di setiap daerah karena preferensi konsumen dan biaya produksi serta distribusi yang ada. Perbedaan struktur harga dapat dilihat pada Gambar 6, di mana harga kayu bambang di Pagaralam yang menjadi sumber (penghasil) kayu bambang lebih tinggi dibandingkan harga kayu bambang di Kota Palembang meskipun secara geografis letaknya lebih jauh. Hal ini disebabkan preferensi konsumen di Kota Palembang terhadap kayu bambang masih rendah dan juga karena masih banyak jenis kayu lainnya yang menjadi pilihan bagi masyarakat di Kota Palembang. Hukum permintaan dan penawaran dapat menjelaskan bahwa di mana harga akan turun jika permintaan sedikit dan harga juga akan turun jika penawaran banyak. Kondisi tersebut dapat menjawab mengapa harga kayu bambang di sentranya lebih tinggi dibanding di Kota Palembang yang lebih rendah. Oleh karena itu, dalam pemasaran, kegiatan promosi sangat diperlukan dengan tujuan untuk mengenalkan barang dan meningkatkan harga jual. Kayu bambang masih kurang dikenal baik oleh masyarakat di luar penyebarannya, sehingga perlu adanya promosi yang lebih baik. Padahal pasar terbesar kayu bambang berada di luar sentra penghasil kayu bambang yaitu Palembang dan kota di sekitarnya. Untuk itu perlu dilakukan penyebarluasan informasi mengenai kayu bambang sehingga akan meningkatkan permintaan dan harga jualnya. Harga kayu bambang di pasaran sebanding dengan harga kayu meranti dan lebih tinggi dibandingkan harga kayu racuk (campuran).
Gambar 6. Disparitas harga kayu bambang lanang pada jalur distribusi Sumsel Tanaman bambang sebagai tanaman penghasil kayu memiliki prospek yang baik sehingga dapat dikembangkan sebagai tanaman campuran karena nilai ekonominya yang cukup tinggi. Untuk melihat seberapa besar nilai ekonomi tanaman bambang dapat dilihat pada Tabel 1. Perhitungan pada Tabel 1 menggunakan asumsi suku bunga berlaku saat penelitian dilakukan yaitu 13%, harga jual kayu pada saat penelitian pada lokasi yang ada, dan harga komoditi pada saat itu, biaya yang dikeluarkan bersifat biaya campuran (joint cost) karena tanaman bambang di tanam campuran dengan tanaman kopi. Hasil analisis ekonomi pembangunan hutan tanaman bambang oleh masyarakat pada 5 (lima) desa sentra budidaya menunjukkan bahwa inisiatif skala masyarakat layak untuk diusahakan (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun belum diusahakan secara intensif hutan tanaman bambang masyarakat memiliki nilai ekonomi yang penting.
52
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Tabel 1 menggambarkan bahwa penanaman tanaman bambang pola campuran dengan tanaman kopi dapat memberikan hasil yang cukup tinggi dengan IRR di atas bunga yang berlaku dan NPV bernilai positif sehingga layak secara ekonomi. Selain mendapatkan hasil pendapatan tunai, penanaman tanaman bambang juga mendapatkan hasil jangka panjang yang cukup besar dengan memanfaatkan ruang lahan yang ada dalam satu waktu. Masyarakat yang menanam bambang sebenarnya telah melakukan tindakan rasional yang sederhana, hanya dengan melihat dan mencoba tindakan mana yang menguntungkan bagi ekonomi keluarga. Hasil tanaman bambang dalam jangka panjang diharapkan dapat sebagai tabungan (simpanan) pada saat mendadak untuk kebutuhan pesta perkawinan, kebutuhan kayu, menyekolahkan anak dan juga kebutuhan spiritual yaitu naik haji. Tabel 1. Analisis ekonomi hutan tanaman bambang masyarakat pada daerah penelitian Komponen Biaya
Nama Desa
Sukajadi Muarameo Pelangkenidai Pajarbakti Belumai Harga tanah (Rp)/ha 50.000.000 6.000.000 40.000.000 9.000.000 65.000.000 Biaya pembangunan 3.238.889 4.416.667 1.727.778 5.555.556 1.361.111 (Rp)/ha Biaya pemeliharaan 1.900.000 3.300.000 2.375.000 2.375.000 1.900.000 (Rp)/ha Biaya pemanenan 450.000 500.000 450.000 400.000 450.000 (Rp)/m3 Pendapatan akhir daur 533.333.333 333.333.333 355.555.556 355.555.556 533.333.333 NPV 30.918.815 24.946.553 41.790.649 41.040.392 17.495.201 BCR 1,57 3,08 1,96 3,60 1,26 IRR 17% 21% 18% 24% 15% Asumsi: 1. Bambang lanang ditanam dengan jarak 6 m x 6m, 80% dari total jumlah pohon dapat dipanen 2. Suku bunga investasi = 13% 3. Biaya bersifat joint cost 4. Umur panen 15 tahun kecuali Muara Meo 18 tahun 5. 1 pohon menghasilkan kayu 1 m3
Perbedaan struktur biaya pembangunan hutan tanaman bambang dan disparitas harga jual kayu akan mempengaruhi tingkat keekonomisan praktik budidaya antara satu tempat dengan tempat lainnya. Pada Gambar 7 ditunjukkan hasil simulasi perubahan nilai Internal Rate of Return (IRR) akibat perbedaan jumlah pohon yang diusahakan dalam 1 (satu) hektar lahan pada dua lokasi yang berbeda. Di Desa Pajar Bakti, Kabupaten Empat Lawang, menanam 100 pohon (10m x 10m) merupakan usaha yang menguntungkan dari sisi finansial, sementara di Desa Belumai, Pagaralam, tanaman bambang harus ditanam minimal sejumlah 278 pohon (6m x 6m) agar layak diusahakan menurut kriteria kelayakan ekonomi. Dalam pola penanaman campuran antara tanaman karet dengan tanaman tembesu keekonomisan atau kelayakan finansialnya ditentukan dengan melihat Nilai Harapan Lahan (NHL). NHL merupakan cerminan nilai dari tanah atau lahan yang diusahakan dalam rotasi tanaman yang diusahakan. NHL dapat digunakan untuk mengintrepretasikan harga maksimum yang mungkin terjadi pada pengusahaan lahan (Straka dan Bullard, 1996). Untuk melihat kelayakan finansialnya maka dibuat analisis dengan asumsi umur panen tanaman tembesu 30 tahun dan umur panen (sadap)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
53
tanaman karet 7 tahun berdasarkan harga, biaya dan pendapatan masyarakat pada saat penelitian. Gambaran mengenai hasil analisis NHL simulasi berbagai pola tanam karet-tembesu untuk periode usaha 30 tahun disajikan pada Tabel 2. NHL tertinggi diperoleh pada pola tanam yang berlaku saat ini yaitu pola campuran karet-tembesu dengan jumlah pohon tembesu 40 batang. NHL terendah akan dialami oleh lahan yang ditanami tembesu secara monokultur, meskipun dengan intensitas tegakan cukup tinggi. NHL usaha budidaya campuran karet-tembesu dengan pola tanam teratur ternyata lebih rendah dibandingkan NHL pola tanam tembesu acak. Ini dapat terjadi karena pola teratur dengan jumlah pohon lebih banyak membutuhkan biaya pembangunan lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai biaya yang terdiskonto (discounted cost) pada masa analisis 30 tahun. Namun demikian, pada dasarnya pelaku usaha (petani) dapat mengabaikan rendahnya nilai kini tanaman tembesu pola teratur dengan menganggap tembesu sebagai komponen nilai yang bukan untuk dinikmati sekarang, tetapi sebagai asuransi masa regenerasi.
Gambar 7. Jumlah minimum pohon yang harus ditanam per 1 (satu) hektar untuk memenuhi kriteria kelayakan usaha secara finansial Hasil analisis finansial terhadap usaha budidaya tembesu juga menunjukkan bahwa pola agroforestri karet-tembesu yang saat ini diterapkan masyarakat lebih menguntungkan dari pola tanam tembesu secara monokultur (Tabel 3). Hanya tembesu yang ditanam dengan intensitas tinggi (625 pohon per ha) yang dapat memenuhi kriteria kelayakan finansial, namun secara teknis hal ini sulit diterapkan karena daur tembesu yang panjang dan lebar tajuk tembesu dewasa yang tumbuh alami mencapai lebih dari 4 (empat) meter. Tabel 2. Nilai Harapan Lahan (NHL) hutan tanaman Tembesu di OKU Timur (umur panen 30 tahun) Pola tanam A. Saat ini Agfororestry karet-tembesu (karet, 4m x 6 m; tembesu acak 40 pohon) B. Saat ini Karet monokultur (4m x 6m) C. Pilihan I: Agroforestry karet-tembesu (karet, 4m x 6m; tembesu 6m x 8m D. Pilihan II: Tembesu monokultur (4m x 4m)
NHL/ha (Rp.) 263,809,363 254,940,367 258,329,154 3,314,839
Sumber: Data primer disimulasi, 2010
54
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Asumsi yang digunakan untuk menghitung kelayakan finansial yaitu suku bunga yang digunakan 13%, umur panen karet 7 tahun, harga getah karet Rp. 14.000,- pada saat penelitian. Pola tanam tembesu yang dicampur dengan karet bernilai ekonomi lebih tinggi dari budidaya tembesu monokultur. Ini dapat terjadi karena lamanya masa panen tembesu (30 tahun atau lebih). Dalam analisis finansial waktu diperhitungkan sebagai komponen biaya sehingga satu-satunya cara untuk mengurangi biaya ini adalah dengan mempersingkat masa panen tembesu melalui peningkatan riap secara signifikan. Tabel 3. Hasil analisis finansial pada berbagai kemungkinan intensitas penanaman per hektar pada pembangunan hutan tanaman Tembesu di OKU Timur Intensitas penanaman Jarak tanam 5m x 5m (400 pohon) Jarak tanam 4m x 5m (500 pohon) Jarak tanam 4m x 4m (625 pohon) Acak 40 pohon + karet, 4m x 6m Sumber: Data primer hasil simulasi, 2010
Kriteria analisis NPV BCR (2,087,868) 0.7742 (958,095) 0.9033 454,121 1.0423 200,885,415 6.0173
IRR 12% 13% 13% 37%
C. Peluang dan Harapan serta Tantangan Kebutuhan kayu yang makin meningkat setiap tahunnya akan menjadi peluang dan prospek cerah bagi pengebun tanaman penghasil kayu di masa mendatang. Menurut Nurrochmat (2009), permintaan kayu bulat secara nasional pada tahun 2010 mencapai 10 m3 ditambah dengan defisit aktual saat ini. Dan juga untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk veneer dan MDF peluang kayu Bambang sangat besar karena permintaan kayu untuk veneer dan MDF juga masih terbuka. Kondisi ini memberikan harapan bagi tanaman penghasil kayu yang makin tinggi di masa mendatang. Dengan terbatasnya lahan milik yang ada dan makin meningkatnya kebutuhan kayu setiap tahunnya menyebabkan kedua jenis tanaman ini dapat dijadikan alternatif dalam pemanfataan lahan milik yang makin sempit karena dapat dikembangkan secara campuran dengan tanaman tahunan (perkebunan) dengan pengaturan jarak tanam. Salah satu yang menjadi penyebab masih kurangnya minat masyarakat secara luas mengembangkan tanaman kehutanan karena umur panennya yang masih panjang dan ketergantungan terhadap lahan milik yang ada sangat tinggi karena lahan yang ada sebagai sumber pendapatan utama bagi masyarakat. Tantangan yang ada dalam pengembangan tanaman tahunan (perkebunan) dan tanaman penghasil kayu (kehutanan) adalah adanya suatu prinsip saling meniadakan (trade-off) dalam pola penanaman campuran antara tanaman perkebunan (tahunan) dan tanaman kehutanan (penghasil kayu). Untuk itu perlu adanya pengaturan jarak tanam dan jumlah tanaman dalam satu unit lahan yang sama sehingga didapatkan hasil yang optimal. Gambaran mengenai hubungan hasil antara tanaman perkebunan dan tanaman kehuatanan dapat dilihat pada Gambar 8. Pada posisi A hasil tanaman kehutanan akan lebih besar daripada hasil tanaman perkebunan (tahunan) sedangkan hasil yang optimal antara kedua jenis tanaman pada posisi B. Untuk itu, hal perlu dipertimbangkan sebagai berikut: (1) Jarak antar tanaman, (2) Jenis dan sifat tanaman dan (3) Jumlah tanaman dalam satu unit lahan. Dalam pola penanaman campuran, prinsip yang dianut adalah productivity, sustainability dan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
55
adoptability artinya pola campuran tersebut dapat memberikan hasil yang optimal, kelangsungan hasil dan lingkungan dan mudah diterapkan secara luas oleh masyarakat. Tanaman kehutanan berdaur menengah dan panjang belum dikembangkan secara luas terutama oleh para pengusaha dan perusahaan HTI karena dianggap kurang ekonomis. Untuk itu strategi dalam introduksi tanaman kehutanan pada lahan milik adalah dengan pengembangan pola penanaman campuran antara tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan (tahunan) andalan setempat. Hal ini menjadi tantangan bagi institusi Litbang Kehutanan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman kehutanan dan pola-pola penanaman yang dapat memberikan hasil optimal bagi masyarakat. A
Hasil Tanaman Y Penghasil Kayu Hasil Tanaman Kehutanan (Penghasil Kayu)
B
Y1
C
Y2
X
Hasil Tanaman Perkebunan (tahunan)
Gambar 8. Ilustrasi Hubungan antara hasil perkebunan dan hasil kehutanan pada unit lahan yang sama IV. PENUTUP Tanaman bambang (Michellia campaka) adalah tanaman penghasil kayu yang banyak dikembangkan secara campuran oleh masyaraka di daerah Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Penilaian ini dilakukan pada 5 (lima) daerah sampel yang menjadi lokasi penelitian yang dapat dilhat dari nilai NPV yang positif, IRR lebih dari suku bunga yang berlaku yaitu 13% dan BCR lebih dari 1. Sebagai tanaman campuran, tanaman bambang dapat menjadi tabungan jangka panjang yang menguntungkan, namun sebagai tanaman yang ditanam secara monokultur masih perlu adanya penelitian lebih lanjut. Tanaman tembesu (Fagraea fragrans) yang penanamannya dicampur secara acak sebanyak 40 batang dengan tanaman Karet juga memberikan nilai ekonomi yang tinggi yang dapat dilihat dari Nilai Harapan Lahan (NHL) sebesar Rp. 200,885,415,-. Namun apabila ditanam secara monokultur akan memberikan nilai ekonomi yang rendah karena jangka panen yang panjang 30 tahun atau lebih untuk mendapatkan volume kayu sekitar 1 m3. Untuk itu penanaman tanaman tembesu diarahkan untuk dilakukan secara pola campuran karena umur panen yang lama. Oleh karena itu, yang perlu mendapatkan pertimbangan dan penelitian lebih mendalam adalah pola-pola campuran bagaimana yang dapat memberikan hasil optimal antara tanaman
56
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
perkebunan yang menjadi pendapatan tunai masyarakat dan tanaman kehutanan yang menjadi tabungan masa depan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Gittinger, J. Price. 1986. Analisis Ekonomi Proyek Pertanian. UI-Press. Jakarta Kadariah. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. FE UI. Jakarta Lahjie, A.M. 2004. Teknik Agroforestri. Universitas Mulawarman. Samarinda, Kalimantan Timur. Nurrochmat, Dodik Ridho (2009). Posisi Pasar dan Strategi Pemasaran Produk Perkayuan Indonesia. www.fahutan.s5.com/sept/SEPT001.HTM Straka, Thomas J and Steven H Bullard. 1996. Land Expectation Value Calculation in Timberland Valuation. The Appraisal Journal. October 1996.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
57
58
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
SERANGAN RAYAP PADA TANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans): POTENSI KERUSAKAN DAN PELUANG PENGENDALIANNYA Asmaliyah1
ABSTRAK Salah satu jenis hama yang menyerang tanaman tembesu di lapangan yang cukup potensial menyebabkan kerugian dan kegagalan pembangunan hutan tanaman tembesu adalah rayap. Berdasarkan hasil identifikasi di Laboratorium Entomologi Museum Zoologi Bogor, Widya Satwaloka-LIPI, rayap tersebut merupakan jenis Nasutitermes matangensis. Serangan rayap ini ditemukan pada tanaman tembesu di Kebun Percobaan Way Hanakau, Way Kanan-Lampung Utara dengan luas serangan sudah mencapai 80 persen dan baru-baru ini ditemukan juga di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat dan di Desa Menjungkut Kecil, Kecamatan Bukit Kemuning, Kabupaten Lampung Utara. Untuk mengantisipasi agar serangan rayap tidak sampai meluas lagi dan mengurangi resiko terjadinya kematian tanaman, beberapa cara pengendalian bisa diaplikasikan secara bersama-sama dan terpadu dengan praktek-praktek silvikultur. Pendekatan pengendalian ini tidak saja berfungsi untuk mengendalikan serangan yang sudah ada tetapi juga untuk mencegah timbul dan berkembangnya serangan hama ini pada daerah yang belum terserang. Kata kunci: cara pengendalian, potensi kerusakan, rayap
I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam pembangunan hutan tanaman adalah resiko terjadinya serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit pada tanaman dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomi bahkan dapat menggagalkan pembangunan hutan tanaman, apabila tidak segera diantisipasi secara dini. Salah satu jenis hama yang cukup merugikan pada berbagai hutan tanaman adalah rayap, karena dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi hasil hutan. Serangan rayap terjadi pada berbagai jenis tanaman kehutanan, perkebunan maupun pertanian, misalnya jati, pinus, karet, eucaliptus, kelapa sawit dan jenis tanaman lainnya (Adharini, 2008). Serangan rayap juga ditemukan menyerang tanaman tembesu tahun tanam 2003 di Kebun Percobaan Way Hanakau, Desa Bhakti Negara (Register 46 Hanakau), Kecamatan Pakuan Ratu, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung, sekitar 5 tahun yang lalu. Tahun 2010 juga sudah ditemukan adanya serangan rayap pada tanaman tembesu tahun tanam 2007 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat, Desa Benakat Minyak, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim dan di Desa Menjungkut Kecil, Kecamatan Bukit Kemuning, Kabupaten Lampung Utara. 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
59
Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa lokasi pertanaman tembesu, selain rayap jenis hama yang ditemukan menyerang tanaman tembesu adalah hama penggerek batang, hama penggerek pucuk dan ulat daun. Namun sampai saat ini hanya serangan rayap yang sangat mengkhawatirkan, karena luas serangannya sudah mencapai 80 persen di Kebun Percobaan Way Hanakau. Rayap menyerang bagian batang tanaman tembesu, dimana apabila serangan sudah sangat berat atau sudah mencapai kambium dapat menyebabkan batang tembesu rusak berat bahkan dapat mengakibatkan kematian tanaman. Oleh karena itu perlu segera dicari cara pengendaliannya agar serangan rayap tidak meluas lagi dan mengurangi resiko terjadinya kematian tanaman.
II. POTENSI KERUSAKAN TANAMAN TEMBESUOLEH RAYAP Berdasarkan hasil identifikasi, rayap yang ditemukan menyerang tanaman tembesu adalah jenis Nasutitermes matangensis, yang termasuk ordo Isoptera, famili Termitidae. Rayap menyerang tanaman tembesu dengan cara memakan bagian batang tanaman, yang dimulai dari batang bagian luar kemudian seiring dengan habisnya batang bagian luar serangan terus berlanjut ke batang bagian dalam. Akibat dari serangan rayap, batang tanaman tembesu menjadi lapuk dan berlubang-lubang bahkan ada beberapa di antaranya sampai menyebabkan kematian tanaman (Gambar 1).
a b c Gambar 1. Rayap dan kerusakannya: a) rayap; b) kerusakan pada batang; c) tanaman yang telah mati akibat serangan rayap Tanda-tanda awal adanya serangan rayap pada tanaman tembesu adalah adanya sarang rayap yang terbuat dari tanah, arahnya memanjang ke bagian atas batang, dengan intensitas serangan masih sangat rendah. Pada tahap lanjut, sarang rayap akan semakin melebar dengan intensitas serangannya hampir mendekati sekitar 80 persen dari seluruh luasan batang. Pada kondisi ini biasanya sarang rayap sudah membentuk gundukan (Gambar 2).
a b Gambar 2. Gejala serangan rayap: a) serangan awal; b) serangan lanjut yang ditandai dengan adanya gundukan 60
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Hasil pengamatan di Kebun Percobaan Way Hanakau terhadap luas serangan rayap atau jumlah tanaman yang terserang menunjukkan adanya pertambahan yang cukup besar setiap tahunnya, bahkan beberapa di antaranya ada yang sudah mengalami kematian (Tabel 1). Luas serangan rayap pada pengamatan terakhir tahun 2010 sudah mencapai 80 persen, padahal pada awal munculnya serangan rayap pada tahun 2006, baru beberapa tanaman saja yang terserang, sehingga kurang mendapat perhatian. Baru pada tahun 2008 dilakukan penelitian yang lebih intensif terhadap serangan hama ini, karena secara umum terlihat serangan hama semakin meluas. Hal tersebut menunjukkan bahwa rayap merupakan hama yang berpotensi menyebabkan kerugian dan kegagalan dalam pengembangan hutan tanaman tembesu ke depannya, karena hanya dalam jangka waktu 5 tahun, hampir seluruh tanaman tembesu yang ada sudah terserang rayap. Cara pengendalian serangan rayap perlu segera dicari untuk mengurangi resiko terjadinya serangan rayap, mencegah agar serangan rayap tidak sampai meluas lagi, dan mengurangi resiko terjadinya kematian tanaman. Apalagi baru-baru ini serangan rayap juga sudah ditemukan pada tanaman tembesu tahun tanam 2007 di KHDTK Benakat, Desa Benakat Minyak, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim dan di Desa Menjungkut Kecil, Kecamatan Bukit Kemuning, Kabupaten Lampung Utara, meskipun luas serangannya masih di bawah 5 persen dan menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) masih kategori sangat rendah. Tabel 1. Luas serangan rayap dan jumlah tanaman yang terserang pada tanaman tembesu tahun tanam 2003 di Kebun Percobaan Way Hanakau, Lampung Utara No.
Blok
1. 2. 3.
I II III
Tahun 2008 Jumlah Luas tanaman serangan terserang 23 20,17 % 52/2 35,37 % 25 23,81 %
Tahun 2009 Jumlah Luas tanaman serangan terserang 79 69,30 % 88 59,86 % 44 41,90 %
Tahun 2010 Jumlah Luas tanaman serangan terserang 93/1 81,58 % 116 78,91 % 79/2 75,24 %
III. BEBERAPA CARA ALTERNATIF PENGENDALIAN RAYAP Pengendalian rayap pada tegakan hutan sering dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetik seperti aldrin, heptachlor, chlordane dan dieldrin. Namun insektisida-insektisida tersebut tergolong insektisida hidrokarbon berklor yang sangat persisten di lingkungan dan sekarang sudah tidak diproduksi lagi (Adharini, 2008). Untuk itu perlu dicari alternatif cara pengendalian yang lebih ramah lingkungan tetapi cukup efektif untuk mengendalikan serangan rayap. Beberapa cara yang berpeluang untuk dikembangkan sebagai alternatif untuk pengendalian rayap adalah sebagai berikut: 1. Mengeradikasi sarang-sarang rayap yang ada di areal pertanaman, baik yang ada di batang pohon dan di tanah (gundukan tanah), maupun pohon-pohon yang telah mati akibat serangan rayap dan tunggul-tunggul bekas tanaman, karena dapat menjadi sumber infeksi bagi tanaman yang sehat. Hasil pengamatan di lapangan, cara ini telah terbukti dapat mengurangi jumlah tanaman tembesu yang terserang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
61
2.
3.
4.
5.
6.
7.
62
rayap di Kebun Percobaan Way Hanakau, Lampung Utara (Asmaliyah dkk., 2011). Cara pengendalian ini selain dapat mengurangi atau menekan meluasnya serangan rayap juga dapat mencegah timbulnya/masuknya serangan rayap pada lokasi pertanaman tembesu yang belum terserang dan mencegah masuknya serangan rayap ke tanaman. Melakukan kegiatan pemangkasan yang dapat menyebabkan penutupan tajuk menjadi lebih terbuka sehingga sinar matahari bisa lebih banyak sampai ke permukaan tanah atau ke pangkal batang. Selain itu pada areal yang terbuka atau pada penutupan kanopi rendah, umumnya fluktuasi suhu dan kelembaban sangat besar. Kondisi ini mengakibatkan kehidupan dan aktivitas rayap menjadi terganggu sehingga dapat menekan atau mengurangi penyebaran serangan rayap ke tanaman lainnya sehingga mengurangi jumlah tanaman yang terserang. Menggunakan bioinsektisida yang berbahan aktif cendawan Metarrhizium anisopliae. Bioinsektisida ini berpeluang untuk dikembangkan dalam pengendalian hama rayap karena hasil pengujian dalam skala laboratorium menunjukkan bahwa, penyemprotan larutan bioinsektisida langsung ke tubuh rayap N. matangensis dengan dosis 20 gram/liter air dapat menyebabkan persentase kematian rayap sebesar 66 persen dengan persentase kematian kontrol sebesar 0 persen sampai hari keenam setelah perlakuan. Aplikasi di lapangan dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan bioinsektisida ini ke bagian tanaman yang terserang rayap. Menanam dengan pola campuran, yaitu penanaman tembesu dicampur dengan tanaman lain (tanaman kehutanan, tanaman buah, tanaman perkebunan) yang bukan inang dari rayap. Hasil survey pada beberapa lokasi pertanaman tembesu menunjukkan tanaman tembesu yang ditanam dengan pola campuran atau agroforestri lebih aman dari serangan rayap dibandingkan pada tanaman tembesu yang ditanam secara monokultur. Menggunakan semut gramang (Anoplolepis longipes Jerd.), karena berpotensi mengurangi populasi rayap N. matangensis, yang diduga kuat merupakan musuh alami rayap. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, semut gramang ini memakan telur rayap di dalam gundukan sarang rayap. Oleh karena itu, keberadaan dan populasi semut gramang di lapangan harus tetap terjaga agar perkembangan dan penyebaran populasi dan serangan rayap dapat ditekan. Salah satu caranya adalah tidak mengeradikasi semua bahan organik berupa serasah daun tembesu di bawah tegakan, karena serasah ini sangat diperlukan oleh semut gramang untuk membuat sarang serta untuk tumbuh dan berkembang biak. Menggunakan insektisida nabati yang berasal dari tumbuhan. Beberapa jenis tanaman yang berpeluang untuk dikembangkan dalam pengendalian rayap adalah ekstrak sereh wangi (Andropogon nardus) (Hardi dan Kurniawan, 2010), ekstrak akar tuba (Derris elliptica) (Adharini, 2008), ekstrak biji Afromomum melegueta (Escoubas et al., 1995). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, ketiga jenis tanaman tersebut masing-masing telah terbukti dapat menyebabkan kematian rayap, menekan intensitas serangan rayap dan menghambat makan rayap pekerja. Menggunakan insektisida kimia bisa dilakukan apabila diperlukan. Jika ada indikasi serangan rayap akan semakin mengkhawatirkan dan dapat menggagalkan pembangunan hutan tanaman, maka pengggunaan bahan kimia bisa dilakukan, tetapi harus dilakukan secara bijaksana dan sesuai dengan anjuran. Jenis insektisida yang digunakan sebaiknya dipilih yang lebih berwawasan lingkungan,
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
karena penggunaannya lebih rendah dosisnya dan lebih aman terhadap mamalia. misalnya insektisida kimia yang berbahan aktif imidakloprid (http://www. chemigarindustry.com/index.p).
IV. PENUTUP Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rayap merupakan salah satu jenis hama yang menyerang tanaman tembesu di lapangan, yang cukup potensial menyebabkan kerugian atau kegagalan dalam pengembangan hutan tanaman tembesu. Ada indikasi tanaman tembesu merupakan inang utama bagi rayap N. matangensis, karena baru-baru ini serangan rayap ini juga ditemukan pada tanaman tembesu tahun tanam 2007 di KHDTK Benakat, sebanyak lebih kurang 4 pohon dan di Desa Menjungkut Kecil, Kecamatan Bukit Kemuning, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung sebanyak 1 pohon. Oleh karena itu tindakan pengendalian perlu segera dilakukan untuk mengantisipasi agar serangan rayap tidak semakin meluas dan mengurangi resiko terjadinya kematian tanaman, melalui pengendalian secara langsung dan mengelola lingkungan agar tidak menguntungkan untuk perkembangan hama tetapi kondusif untuk perkembangan musuh alami. Untuk meningkatkan keberhasilan melindungi, menjaga dan memperbaiki tanaman dari serangan rayap, beberapa peluang pengendalian yang ada dapat diaplikasikan secara bersama-sama dan terpadu dengan praktek-praktek silvikultur. Pendekatan pengendalian ini sesuai dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang merupakan upaya pengendalian populasi hama melalui pemaduan taktik/strategi pencegahan dan pengendalian yang tidak saja efisien dari segi ekologi maupun ekonomi, tetapi juga diterima oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Adharini, G. 2008. Uji keampuhan ekstrak akar tuba (Derris Elliptica Benth) untuk pengendalian rayap tanah Coptotermes Curvignathus Holmgren. Skripsi Mahasiswa Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Tidak dipublikasikan. Asmaliyah, A. Imanullah dan W. Darwiati. 2011. Identifikasi dan Potensi Kerusakan Rayap pada Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans) Di Kebun Percobaan Way Hanakau, Lampung Utara. Belum dipublikasikan. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Tesis Mahasiswa Program Pasca Sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Escoubas, P., L. Lajide dan J.Mizutani. 1995. Termite antifeedant activity in Aframomum melequeta. Phytochemistry, Vol.40, No.4, November 1995. Available online 28 April 2000.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
63
Hardi, T.W dan R. Kurniawan. 2010. Pengendalian rayap tanah pada tanaman kayu putih dengan ekstrak sereh wangi. http://Biotifor.or.id. Diakses tanggal 27 November 2010. http://www.chemigarindustry.com/index.p.2011. Rayap dan pengendaliannya. Diakses tanggal 16/6/2011. Sumardi, 2007. Perlindungan Hutan Lanjut. Bahan Kuliah PSIK Program Khusus KTB 602. Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM.
64
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PERSEPSI DAN MOTIVASI MASYARAKAT DALAM PEMBUDIDAYAAN BAMBANG LANANG Ari Nurlia1 dan Edwin Martin1)
ABSTRAK Bambang lanang merupakan salah satu jenis tanaman unggulan lokal di Sumatera Selatan yang sudah mulai dikembangkan di lahan milik masyarakat. Bambang lanang termasuk tanaman dengan masa panen lebih dari sepuluh tahun, namun hal ini tidak menyurutkan minat masyarakat untuk menanam bambang. Dikarenakan tingginya minat masyarakat untuk menanam bambang lanang, maka diperlukan suatu penelitian yang mengkaji persepsi dan motivasi masyarakat terhadap bambang lanang untuk mengetahui secara utuh latar belakang dari tingginya minat masyarakat dalam menanam bambang lanang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan dan menjelaskan persepsi dan motivasi masyarakat dalam membudidayakan bambang lanang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei dan dianalisis dengan menggunakan analisis sosial. Hasil penelitian mengungkapkan persepsi masyarakat terhadap bambang lanang tergolong baik, dimana masyarakat memandang bambang lanang sebagai tanaman selingan yang kayunya berkualitas, mudah tumbuh dan rendah input. Motivasi masyarakat untuk menanam bambang lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan keamanan dan keselamatan dibandingkan kebutuhan fisiologis. Implikasi dari persepsi dan motivasi masyarakat terhadap bambang lanang berpengaruh nyata terhadap aktivitas budidaya bambang lanang yang dilakukan masyarakat dimana aktivitas budidaya bambang lanang yang dilakukan masyarakat masih berada pada tahap silvikultur dasar. Kata kunci: bambang lanang, budidaya, motivasi, persepsi, silvikultur dasar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi hutan alam yang semakin menurun dari waktu ke waktu menyebabkan semakin menurun pula produktivitas kayu yang dapat dihasilkan, sedangkan di satu sisi permintaan akan kayu semakin meningkat. Fenomena ini menyebabkan hutan alam tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan kayu sesuai yang diharapkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kayu adalah dengan melakukan upaya pembangunan dan pengembangan hutan tanaman antara lain dengan mengembangkan jenis-jenis tanaman lokal yang merupakan jenis unggulan setempat. Bambang lanang (Michelia campaka L.) merupakan salah satu jenis tanaman unggulan lokal di Sumatera Selatan yang sudah mulai dikembangkan di lahan milik masyarakat. Jenis ini banyak ditemukan di Kabupaten Lahat, Kabupaten Empat Lawang 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
65
dan Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. Jenis ini telah lama digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat karena kayunya yang kuat dan awet (Winarno dan Waluyo, 2008). Martin dkk. (2010) menyatakan walaupun masa panen bambang lanang lebih dari sepuluh tahun namun tidak menyurutkan minat masyarakat untuk terus menanam bambang lanang pada lahan-lahan mereka, dimana dalam tiga tahun terakhir, 500.000 batang bibit setiap tahunnya yang disiapkan penangkar bibit di Kecamatan Jarai dan Muara Payang di Kabupaten Lahat namun belum dapat memenuhi permintaan masyarakat. Dikarenakan tingginya minat masyarakat terhadap pengembangan bambang lanang, maka perlu adanya suatu penelitian yang mengkaji persepsi dan motivasi masyarakat dalam pembudidayaan bambang lanang. Hal ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang dari tingginya minat masyarakat dalam menanam jenis pohon bambang lanang. B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan dan menjelaskan persepsi dan motivasi petani dalam menanam bambang lanang. Sasaran penelitian adalah tersedianya pengetahuan dan informasi mengenai persepsi dan motivasi masyarakat dalam pembudidayaan bambang lanang dan implikasinya terhadap perilaku masyarakat dalam pembudidayaan bambang lanang yang nantinya dapat dijadikan rekomendasi oleh pihak terkait dalam pengembangan bambang lanang di masyarakat.
II. METODE PENELITIAN A. Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan kriteria desa yang sebagian besar (>80%) penduduknya merupakan pembudidaya bambang lanang. Desa Belumai, Pelangkenidai dan Sukajadi di Kota Pagaralam dan Desa Pajar Bakti di Kabupaten Empat Lawang terpilih karena memenuhi persyaratan penelitian. Penelitian dilaksanakan pada Bulan April-November 2010. B. Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini merupakan survey yang dilakukan dengan menggunakan metode dasar deskriptif analisis. Pendekatan metode ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu studi awal (pra survey) untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi calon lokasi penelitian dan survey lapangan untuk mengumpulkan informasi secara menyeluruh melalui wawancara (data primer) dan pengumpulan data sekunder yang mendukung tujuan penelitian. Responden penelitian dipilih secara acak sejumlah 10% dari jumlah total keluarga di desa. Jumlah responden di Desa Pajar Bakti sebanyak 42 keluarga, 28 keluarga di Belumai, 32 keluarga di Sukajadi dan 28 keluarga di Pelangkenidai, sehingga jumlah total responden penelitian ini sebanyak 130 keluarga. Data primer di analisis dengan menggunakan analisis sosial. Adapun analisis yang dilakukan antara lain analisis tabulasi, analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis tabulasi dilakukan dengan mengelompokkan data-data berdasarkan beberapa kriteria untuk keperluan analisis selanjutnya. Hasil analisis tabulasi berupa tabel-tabel
66
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
data yang menggambarkan hubungan atau gabungan variabel-variabel penelitian. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis dan menggambarkan data yang bersifat kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan diperkuat analisis statistik parametrik berdasarkan parameter atau indikator yang sesuai. Beberapa teori yang digunakan untuk mengkaji motivasi petani dalam menanam bambang adalah teori hirearki kebutuhan dari Abraham Maslow, dan teori risiko dan ketidakpastian dari Cancian (1984) dalam Suhardjito (2002).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Masyarakat Terhadap Bambang Lanang Kriteria yang digunakan masyarakat dalam memberikan persepsinya mengenai bambang lanang adalah berdasarkan pengamatan dan kenyataan yang mereka alami sehari-hari. Hal ini sesuai dengan Surya (2004) yang menyatakan pengamatan atau perception merupakan salah satu bentuk perilaku kognitif yaitu suatu proses mengenal lingkungan dengan menggunakan alat indera. Hasil penelitian mengungkapkan persepsi masyarakat terhadap bambang lanang sudah tergolong baik, dimana sebagian besar responden di seluruh desa memandang bambang lanang merupakan tanaman selingan yang kayunya berkualitas, cepat tumbuh, mudah dipelihara, mudah dalam hal memanen dan menjual hasil kayunya, biaya murah, tidak membutuhkan tenaga kerja secara terus menerus dan mudah mendapatkan bibitnya. Persepsi responden dari setiap desa secara rinci disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Persepsi masyarakat terhadap bambang lanang
Persepsi Masyarakat Bambang lanang merupakan tanaman dengan kayu berkualitas Bambang lanang cepat tumbuh Menanam bambang lanang mudah karena tidak harus dipelihara Mudah memanen dan menjual kayunya Menanam bambang lanang biayanya lebih murah dibanding kopi atau karet Menanam bambang lanang tidak membutuhkan tenaga kerja yang terus menerus seperti pada karet atau kopi Bambang lananga merupakan tanaman selingan bukan tanaman utama Mudah mendapatkan bibit Lahan yang ditanam tidak bermanfaat Sumber: Data primer penelitian
Persentase respon dari responden (%) Desa Desa Desa Desa Belumai Pajarbakti Pelangkenidai Sukajadi (N= 28) (N=42) (N=28) (N=32) 96,4
100,0
89,3
100,0
96,4
95,2
78,6
100,0
67,9
92,9
53,6
93,8
71,4
97,6
46,4
100,0
85,7
95,2
75,0
100,0
85,7
97,6
92,9
96,9
96,4
90,5
96,4
100,0
82,1 7,1
97,6 11,9
96,4 89,3
100,0 3,1
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
67
Sebagian besar responden menganggap bambang lanang merupakan tanaman yang bersifat ekonomis karena selain dapat tumbuh dengan cepat, bambang lanang tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif seperti komoditas-komoditas utama mereka yaitu kopi, coklat dan karet. Pandangan sebagian besar responden terhadap bambang lanang yang dianggap memiliki proses pemeliharaan yang mudah disertai dengan input yang murah meningkatkan motivasi masyarakat untuk menanam bambang lanang. B. Motivasi Masyarakat Menanam Bambang Lanang Bambang lanang (Michelia champaka L.) merupakan tanaman dengan masa panen yang relatif lama dibanding dengan tanaman-tanaman lainnya yang ditanam oleh masyarakat. Martin dkk. (2010) mengemukakan bambang lanang memiliki masa panen lebih dari sepuluh tahun, namun hal ini tidak menyurutkan minat masyarakat untuk menanam bambang lanang. Motivasi masyarakat untuk menanam bambang lanang dikelompokkan berdasarkan teori hirearki kebutuhan dari Abraham Maslow. Motivasi masyarakat dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu kebutuhan fisiologis atau dasar, kebutuhan keamanan dan keselamatan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri (Maslow, 2011). Beberapa motivasi yang mempengaruhi minat masyarakat untuk menanam bambang lanang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Keragaman motivasi responden dalam berdasarkan teori hirearki kebutuhan Hirearki Kebutuhan Kebutuhan fisiologis (physiological) Kebutuhan keamanan dan keselamatan (safety) Kebutuhan sosial (love/belonging) Kebutuhan penghargaan (esteem) Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization) Sumber: Data primer penelitian
menanam
bambang
Persentase respon dari responden (%) Desa Desa Desa Desa Belumai Pajarbakti Pelangkenidai Sukajadi (N= 28) (N=42) (N=28) (N=32) 3,6 7,1 0 16,2 74,2 53,8 90,2 96,1 64,3 4,8 85,7 96,9 92,9 0 35,7 96,9 0 0 0 0
lanang
Rata -rata 6,7 78,6 62,9 56,4 0
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Dari penelitian terungkap rata-rata responden menempatkan kebutuhan fisiologis pada tingkatan keempat bukan pada tingkatan pertama (Gambar 1b). Sedangkan bedasarkan teori hirearki kebutuhan Abraham Maslow, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan lainnya (Gambar 1 (a) (Moekijat, 1989)). Pergeseran tingkatan kebutuhan terjadi dikarenakan bambang lanang bukan merupakan komoditas utama dalam kebun mereka sehingga kebutuhan keamanan dan keselamatan seperti membuat rumah di kemudian hari, tabungan masa depan, kejelasan kepemilikan lahan dan pencegahan perambahan lahan menjadi kebutuhan yang lebih diprioritaskan. Bambang lanang ditanam pada lahan milik bukan sebagai tanaman pokok dan bukan sebagai sumber penghasilan utama. Bambang lanang ditanam hanya sebagai selingan dalam kebun-kebun yang mereka miliki atau sebagai tanaman pagar untuk membatasi kebun yang mereka miliki dengan kebun lain. Walaupun bambang lanang hanya merupakan tanaman selingan, sebagian besar responden tidak merasa rugi untuk menanam bambang lanang di dalam kebun mereka, 68
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
karena mereka menganggap bambang lanang adalah aset keluarga yang merupakan investasi mereka dimasa mendatang. Dalam hal ini motivasi petani dalam menanam bambang lanang adalah untuk memenuhi kebutuhan keamanan dan keselamatannya. Pada awalnya sebagian besar responden terutama di Desa Belumai, Palangkenidai dan Desa Sukajadi menanam bambang lanang dikarenakan mengikuti tetangga yang telah menanam terlebih dahulu. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sesuai dengan teori Cancian (1984) dalam Suhardjito (2002) yang menyatakan bahwa petani dalam memilih jenis tanaman dipengaruhi oleh faktor risiko dan ketidakpastian. Pada dasarnya petani dalam mengambil suatu keputusan dalam hal ini pemilihan jenis tanaman bambang lanang, petani memerlukan contoh yang dapat dijadikan teladan terlebih dahulu untuk meminimalkan faktor risiko dan ketidakpastian. Motivasi yang timbul untuk menanam bambang karena mengikuti tetangga atau orang lain merupakan bentuk motivasi yang termasuk pada kelompok kebutuhan sosial. Kebutuhan ini merupakan suatu kebutuhan dimana setiap orang ingin mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Dengan menanam bambang lanang seperti halnya orang lain, mereka akan merasa sebagai bagian dari masyarakat tersebut. Act uali zati Esteem on
Act Physiological
Love/Belonging
Esteem
Safety
Love/belonging
Physiological
Safety
a b Gambar 1. Piramida hirearki kebutuhan Abraham Maslow (a) dan hirearki kebutuhan responden (b) Kebutuhan terakhir yang telah menjadi motivasi responden menanam bambang adalah kebutuhan penghargaan (esteem). Kebutuhan penghargaan merupakan kebutuhan yang berdimensi dua. Sebagian kebutuhan akan penghargaan ini adalah kebutuhan akan harga diri. Dimensi yang lain adalah kebutuhan untuk menerima pengakuan dan penghargaan dari orang-orang yang menjadi temannya (Moekijat, 1989). Dalam hal ini responden menanam bambang lanang untuk memberikan teladan bagi mayarakat lain, sehingga dengan menanam bambang lanang mereka akan merasa dihargai, dianggap penting dan di apresiasi oleh masyarakat lain. Dalam teori hirearki kebutuhan dari Abraham Maslow, tingkat kebutuhan tertinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Namun, dalam kasus ini responden belum mencapai tahapan tersebut. Kebutuhan aktualisasi diri dapat tercapai apabila semua tingkat kebutuhan lainnya telah terpenuhi dengan baik. C. Implikasi Persepsi dan Motivasi Terhadap Perilaku Budidaya Bambang Lanang Persepsi dan motivasi masyarakat dalam menanam bambang lanang secara tidak langsung berpengaruh nyata terhadap perilaku masyarakat dalam membudidayakan bambang lanang. Persepsi sebagian besar responden terhadap bambang lanang yang dianggap memiliki proses pemeliharaan yang mudah disertai dengan input yang murah,
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
69
dan motivasi masyarakat untuk menanam bambang lanang dimana kebutuhan keamanan dan keselamatan menjadi prioritas pertama dibanding kebutuhan fisiologis menyebabkan aktivitas budidaya bambang lanang hanya berada pada taraf silvikultur dasar. Status aktivitas bambang lanang di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Status aktivitas budidaya bambang lanang di wilayah penelitian No.
Uraian Kegiatan
Sampel unit analisis Pajarbakti Belumai Pelangkenidai Sukajadi (E. Lawang) (P. Alam) (P. Alam) (P. Alam) (n=42) (n=28) (n=28) (n=32)
1.
Memilih buah dari pohon yang paling √ Χ bagus 2. Membuat bibit √ Χ 3. Memupuk bibit Χ Χ 4. Memilih bibit yang paling bagus untuk Χ √ ditanam 5. Persiapan lahan cara tebas total √ Χ 6. Persiapan lahan cara jalur √ Χ 7. Menanam dengan jarak tanam tertentu Χ √ 8. Memupuk tanaman Χ √ 9. Pembersihan gulma Χ √ 10. Melakukan penjarangan Χ Χ 11. Memangkas ranting Χ √ 12. Menyemprot herbisida Χ Χ 13. Menyemprot pestisida Χ Χ 14. Memanen Χ Χ Keterangan: √ = dilakukan oleh umum ( > 50% responden ) Χ = belum dilakukan oleh umum ( > 50% responden)
Χ
Χ
Χ Χ
Χ Χ
Χ
Χ
Χ Χ √ √ √ Χ √ Χ Χ Χ
Χ Χ Χ √ √ Χ Χ Χ Χ Χ
Hasil penelitian menunjukkan kegiatan budidaya bambang lanang yang dilakukan sebagian besar responden masih berada pada tahap silvikultur dasar, dimana kegiatan yang dilakukan hanya sebatas pada kegiatan penanaman, pemupukan dan pembersihan gulma. Petani belum melakukan budidaya bambang lanang secara silvikultur intensif dikarenakan bambang lanang hanya merupakan tanaman selingan pada lahan mereka dan untuk menerapkan silvikultur intensif diperlukan input yang besar. Namun demikian, bukan berarti bambang lanang merupakan tanaman yang tidak berarti bagi mereka. Sebagian besar responden percaya, dengan menanam bambang lanang mereka telah melakukan investasi untuk masa depan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Persepsi masyarakat terhadap bambang sudah tergolong baik, dimana sebagian besar responden berpandangan bambang lanang merupakan tanaman selingan yang kayunya berkualitas, cepat tumbuh, mudah dipelihara, mudah dalam hal memanen dan menjual hasil kayunya, biaya murah, tidak membutuhkan tenaga kerja secara terus menerus dan mudah mendapatkan bibitnya. Motivasi masyarakat untuk menanam bambang lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan keamanan dan keselamatan dibandingkan kebutuhan fisiologis. Hal ini terjadi dikarenakan bambang lanang hanya
70
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
merupakan tanaman selingan yang keberadaannya tidak terlalu mempengaruhi kebutuhan fisiologis masyarakat. Dikarenakan tingginya motivasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan keamanan dan keselamatannya menyebabkan meningkatnya minat masyarakat untuk menanam bambang lanang pada areal kebun mereka. Implikasi dari persepsi dan motivasi masyarakat terhadap bambang lanang berpengaruh nyata terhadap aktivitas budidaya bambang lanang yang dilakukan masyarakat. Kegiatan budidaya bambang lanang yang dilakukan masyarakat masih berada pada tahap silvikultur dasar dimana kegiatan budidaya yang dilakukan sebatas penanaman, pemupukan dan pembersihan gulma.
DAFTAR PUSTAKA Maslow, Abraham. 2011. Wikipedia, Internet. Diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/ Abraham Maslow pada tanggal 22 Juni 2011. Martin, E, Bambang, T.P., Armellia, P.Y., Ari, N, dan Agus, B.H. 2010. Budidaya Jenis Bambang lanang Aspek Status Pembudidayaan di Masyarakat. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang: Tidak dipublikasikan. Moekijat. 1989. Manajemen Kepegawaian. Mandar Maju. Bandung. Suhardjito, D. 2002. Pemilihan Jenis Tanaman Kebun-Talun: Suatu Kajian Pengambilan Keputusan Oleh Petani. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol VIII No.2: 47-56. Surya, M. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Pustaka Bani Quraisy. Bandung. Winarno, B, dan Efendi, W. 2008. Potensi Pengembangan Hutan Rakyat Dengan Jenis Tanaman Kayu Lokal. Diakses di http://efendi.multiply.com/journal/item/4/ pada tanggal 22 juni 2011.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
71
72
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
SEBARAN DAN PERSYARATAN TEMPAT TUMBUH KAYU BAWANG (Dysoxylum mollissimum Blume.) DI PROVINSI BENGKULU Sri Utami1, Armelia Prima Yuna1), Nanang Herdiana1) dan Teten Rahman Saepuloh2)
ABSTRAK Salah satu strategi yang dapat dipilih untuk mengurangi permasalahan defisit kebutuhan kayu yang terjadi saat ini adalah dengan membangun dan memperluas hutan rakyat di berbagai daerah. Untuk itu, hal pertama yang mutlak diperlukan sebagai langkah kongkrit pengembangan jenis ini menjadi hutan rakyat melalui pengkajian terhadap aspek-aspek sebaran dan persyaratan tumbuh kayu bawang. Hasil survey terhadap kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) yang merupakan jenis unggulan Provinsi Bengkulu menunjukkan bahwa jenis ini mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah, dataran rendah sampai dataran tinggi, dengan kelerangan bervariasi. Kayu bawang hampir dapat ditemui di setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu yang meliputi Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Bengkulu Selatan, Seluma, Kepahiang dan Rejang Lebong. Kata kunci: Dysoxylum mollissimum, kayu bawang, persyaratan tempat tumbuh, sebaran
I. PENDAHULUAN Pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu upaya untuk menyediakan bahan baku dalam memenuhi kebutuhan kayu konsumsi nasional, hal ini dikarenakan semakin menurunnya persediaan bahan baku dari hutan alam produksi. Status lingkungan hidup Indonesia tahun 2006 menyatakan kebutuhan kayu nasional 57,1 juta m3/tahun (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007), maka terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m3/tahun. Strategi mengurangi defisit kebutuhan kayu yang terjadi adalah membangun dan memperluas hutan rakyat di berbagai daerah. Jenis kayu yang telah dikembangkan di hutan rakyat antara lain sengon, pulai, gmelina, mindi, kayu afrika dan kayu bawang. Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) merupakan jenis tanaman hutan unggulan lokal Bengkulu yang telah lama dikenal dan dikembangkan terutama di Kabupaten Bengkulu Utara (Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Nuriyatin dkk. (2003) melaporkan kayu bawang memiliki kualitas kayu baik, termasuk tingkat ketahanan B atau tingkat ketahanan cukup tahan sampai tahan terhadap serangan rayap. Apriyanto (2003) menambahkan bahwa kayu bawang memiliki batang lurus dan tergolong jenis cepat tumbuh. Herdiana (2008) melaporkan bahwa kayu bawang berumur 10 tahun sudah mulai bisa dipanen untuk kebutuhan kayu pertukangan dengan kualitas kayu yang cukup baik.
1 2)
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
73
Saat ini kayu bawang jarang dijumpai sebaran alamnya, tetapi pengembangan jenis ini sangat luas di Provinsi Bengkulu. Sebaran dan persyaratan tumbuh jenis ini masih belum banyak diteliti, oleh sebab itu dalam rangka mengembangkan jenis ini, aspek-aspek tersebut perlu diteliti. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah informasi persyaratan tumbuh dan sebaran kayu bawang.
II. PERSYARATAN TUMBUH Kondisi umum tempat tumbuh kayu bawang antara lain ketinggian tempat bervariasi mulai dari pinggir pantai seperti Bengkulu Utara (ketinggian antara 0 hingga 107 m dpl) dan Bengkulu Tengah (dengan ketinggian sampai 92 m dpl), sampai daerah pegunungan (Kepahyang dan Rejang Lebong dengan ketinggian sampai 974 m dpl), kelerengan tempat mulai dari datar, bergelombang sampai dengan curam, tingkat bahaya erosi mulai dari rendah sampai tinggi dan bahaya banjir termasuk rendah. Kayu bawang dapat tumbuh juga pada lahan bekas penggembalaan yang telah mengalami pemadatan dan lahan kritis yang belum dimanfaatkan secara optimal. Rata-rata curah hujan yang dikehendaki berkisar 500-3500 mm/tahun. Depari (2010) melaporkan bahwa jenis ini dapat tumbuh hampir di segala jenis tanah, namun untuk menghasilkan pertumbuhan terbaik menghendaki kondisi tanah yang subur, gembur dan mempunyai aerasi yang baik. Adapun karakteristik tanah tempat tumbuh kayu bawang pada beberapa daerah di Provinsi Bengkulu tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik tanah tempat tumbuh kayu bawang pada beberapa daerah di Provinsi Bengkulu No
Karakteristik
Nilai Bengkulu Tengah Bengkulu Selatan 1 pH H20 (1:1) 4,13-4,18 4,11-4,82 2 C-Organik (%) 1,29-1,44 1,31-1,57 3 N-total (%) 0,12 0,13 4 P-Bray I, ppm 2,00-5,65 2,45-2,75 5 K-dd, me/100 g 0,12-0,31 0,15-0,22 6 Na, me/100 g 0,54-0,91 0,65-0,69 7 Ca, me/100 g 0,61-2,24 0,57-1,00 8 Mg, me/100 g 0,09-0,40 0,10-0,21 9 KTK, me/100 g 15,89-18,13 15,45-20,95 10 Al-dd, me/100 g 1,64-2,65 1,12-4,99 11 H-dd, me/100 g 0,65-0,73 0,38-0,68 12 Tekstur (%) Lempung Berliat Lempung Berliat (CL) (CL) Sumber: Analisis sampel tanah Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UNSRI (2010) Bengkulu Utara 5,20-5,24 1,03-1,35 0,08-0,12 3,50-3,95 0,34-0,38 0,44 0,62-0,76 0,24-0,31 26,25-28,28 1,55-1,67 0,67-0,84 Liat (C)
Rejang Lebong 4,26-4,68 4,52-4,83 0,33-0,39 1,80-7,05 0,19-0,24 0,43-0,65 0,37-1,08 0,06-0,20 12,95-14,75 0,20-0,48 0,04-0,16 Lempung Berpasir (SL)
Berdasarkan Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa nilai pH H2O lebih besar dibandingkan dengan pH KCl, hal ini menunjukkan bahwa umumnya tegakan kayu bawang tumbuh pada tanah yang masam dengan pH kurang dari 7. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) pada umumnya tinggi, dan paling tinggi di Kabupaten Bengkulu Utara yang berkisar 26,25-28,28 me/100 gram. Nilai KTK tersebut menunjukkan bahwa kemampuan menjerap dan mempertukarkan kation-kation dengan akar tanaman pada beberapa lokasi di Provinsi Bengkulu termasuk tinggi. Pada umumnya tekstur tanahnya adalah liat kecuali di Kabupaten Rejang Lebong. Hal ini juga berkorelasi positif dengan nilai KTK. Di Kabupaten Rejang Lebong, persentase tekstur pasirnya lebih tinggi dan 74
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
kadar liatnya lebih rendah dan nilai KTK nya juga lebih rendah (12,95-14,75 me/100 gram) dibandingkan lokasi di kabupaten lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya pasokan bahan organik akibat pengelolaan tanah semi intensif dan tekstur tanah liat yang mempunyai luas permukaan mempertukarkan kation yang lebih besar, mampu menunjang KTK tanah yang lebih baik. Tanah yang masam merupakan tanah yang lebih mudah teroksidasi dimana salah satu kendala yang dihadapi pada tanah ini adalah kejenuhan basa (KB) yang rendah. KB yang rendah tercermin pada rendahnya kadar kation-kation basa tertukarkan pada beberapa lokasi penelitian. Kemasaman tanah pada lokasi penelitian juga berkaitan dengan akumulasi Al. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah pada beberapa lokasi penelitian di empat kabupaten di Provinsi Bengkulu mempunyai kadar Al yang lebih tinggi dibandingkan ion H yang juga merupakan sumber kemasaman tanah. Hardjowigeno (1993) melaporkan bahwa tanah mineral dengan pH 4,5-5,8 mengindikasikan cukup banyak Al dapat ditukar yang dapat menganggu pertumbuhan tanaman, dan kejenuhan basa yang rendah.
III. SEBARAN JENIS Tegakan kayu bawang dapat dijumpai hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu walaupun luasan dan kondisinya cukup beragam. Secara umum tegakan kayu bawang yang dijumpai di lapangan merupakan sebaran pengembangan kayu bawang, sedangkan sebaran alaminya sudah jarang ditemukan dan banyak pohon induk kayu bawang yang sudah ditebang oleh masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 di Provinsi Bengkulu menunjukkan bahwa jenis ini dapat ditemukan antara lain di Kabupaten-kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Bengkulu Selatan, Rejang Lebong, Kepahiang, serta Seluma sebagaimana yang tersaji pada Tabel 2. Hasil peta sebaran kayu bawang (Gambar 1) menunjukkan bahwa dari hasil survey lapangan terdapat 54 lokasi sebaran jenis kayu bawang di Provinsi Bengkulu. Lokasi 54 titik sebaran tersebut terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara (27 lokasi), Bengkulu Tengah (4 lokasi), Bengkulu Selatan (5 lokasi), Rejang Lebong (6 lokasi), Kepahiang (2 lokasi), dan Seluma (10 lokasi). Dari beberapa kabupaten di Provinsi Bengkulu, tegakan kayu bawang paling banyak ditemui di Kabupaten Bengkulu Utara. Daerah tersebut termasuk dataran rendah sampai sedang (ketinggian tempat kurang dari 200 m dpl). Berdasarkan hasil wawancara disebutkan bahwa daerah tersebut diakui sebagai daerah asal (sebaran alami) kayu bawang.
Gambar 1. Sebaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
75
Umumnya pola pengusahaan kayu bawang adalah campuran dan hanya beberapa lokasi yang menerapkan pola monokultur (Gambar 2a). Pola tanam campuran dilakuan dengan mengkombinasikan tanaman kayu bawang dengan jenis tanaman lainya, baik tanaman kayu (jati, mahoni, sungkai, terap), tanaman buah (duren, nangka, cempedak) atau tanaman perkebunan (karet, sawit, coklat dan kopi). Secara umum tanaman kayu bawang tidak dijadikan sebagai tanaman utama, tetapi lebih diarahkan sebagai tanaman pencampur, terutama pada kebun karet, kopi atau sawit. Jarak tanam yang dapat digunakan pada pola hutan rakyat monokultur adalah 3 m x 3 m dan 3 m x 4 m (Siahaan dan Saefulloh, 2006). Pada pola hutan rakyat campuran di mana kayu bawang berfungsi sebagai pohon pelindung, jarak tanam yang biasa digunakan adalah 5 m x 5 m. Penanaman pada perkebunan dengan kayu bawang sebagai tanaman sela, misalnya pada perkebunan karet dan sawit dapat ditanam dengan jarak tanam 9 m x 9 m. Tabel 2. Sebaran tegakan kayu bawang di Provinsi Bengkulu No Kabupaten 1 Bengkulu Utara
Lokasi Desa Sawang lebar, Kec. Air Napal (3 titik); Desa Dusun Curup, Kec. Air Besi (11 titik); Desa Senabah (3 titik); Desa Kembang Seri (5 titik); Desa Sidodadi (5 titik) 2 Bengkulu Tengah Desa Kembang Ayun, Kec. Air Kelapa (3 titik); Desa Pasar Pedati, Kec. Air Kelapa (1 titik) 3 Bengkulu Selatan Desa Air Sulau, Kec. Kedurang Ilir (1 titik); Desa Batu Ampar, Kec. Kedurang (1 titik); Desa Lubuk Ladung, Kec. Kedurang (1 titik); Desa Merambung, Kec. Ulu Manna (1 titik); Desa Simpang Pino, Kec. Ulu Manna (1 titik) 4 Seluma Desa Bakal Dalam, Kec. Talo Kecil (1 titik); Desa Taba, Kec. Talo Kecil (2 titik); Desa Semidang Aras Maras, Kec. Alas Barat (1 titik); Desa Air Teras, Kec. Seluma Timur (1 titik); Desa Talang Sali, Kec. Seluma Timur (1 titik); kota seluma (1 titik); Desa Pagar Agung, Kec. Seluma Barat (1 titik); Desa Padang Pelasan, Kec. Air Perukan (1 titik); Desa Babatan, Kec. Sukaraja (1 titik) 5 Kepahiang Desa Lubuk Saung, Kec. Sebrang Musi (1 titik); Desa Talang Serawe, Kec. Sebrang Musi (1 titik) 6 Rejang Lebong Desa Bandung Marga, Kec. Bermani Ulu Raya (2 titik); Desa Pal 7, Kec. Bermani Ulu Raya (1 titik); Desa Beringin Tigo, Kec. Sindang Kelingi (1 titik); Desa Pelalo, Kec. Sindang Kelingi (1 titik); Desa Kampung Delima, Kec. Curup Timur (1 titik)
Ket
Di masyarakat, kayu bawang ditanam pada pinggir lahan sebagai batas kepemilikan lahan, selain itu juga ditanam secara selang-seling dengan tanaman kopi (Gambar 2b), sawit, karet atau coklat yang merupakan tanaman utama. Di sini kayu bawang lebih diarahkan sebagai tanaman penaung, terutama untuk tanaman kopi. Yang paling banyak ditemukan adalah menanam kayu bawang secara acak, tidak ada jarak tanam dan tanaman lain umumnya adalah tanaman kayu dan tanaman buah.
76
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
A
B
Gambar 2. A) Tegakan kayu bawang pola monokultur B) Tegakan kayu bawang pola campuran dengan kopi
IV. KESIMPULAN Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) merupakan tanaman hutan unggulan Provinsi Bengkulu. Jenis ini mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dengan kelerangan bervariasi. Kayu bawang hampir ditemui di setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu yang meliputi Kabupaten-kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Bengkulu Selatan, Seluma, Kepahiang, dan Rejang Lebong. Jenis ini ditanam dengan pola monokultur dan campuran (sebagai tanaman pelindung dan tanaman sela).
DAFTAR PUSTAKA Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu bawang (Protium javanicum Burm. F) pada Tegakan Monokultur Kayu bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 5(2) : 64-70. Depari, E.K. 2010. Hubungan antara Faktor-faktor Tempat Tumbuh dan Perlakuan Silvikultur terhadap Produktivitas Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) di Hutan Rakyat Bengkulu. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu bawang. Dishut Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu bawang dan Bambang lanang di KHDTK Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian ‘Mengenal Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Loka Sumsel dan Upaya Pengembangannya. Palembang, 11 Desember 2008. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Status lingkungan hidup Indonesia 2006. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
77
Nuriyatin, N., E. Apriyanto, N. Satriya, Saprinurdin. 2003. Ketahanan Lima Jenis Kayu Berdasarkan Posisi Kayu di Pohon terhadap Serangan Rayap. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 5(2) : 77-82. Siahaan, H. dan T. R. Saefulloh. 2006. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian ‘Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan’. Padang, 20 September 2006. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
78
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
INVENTARISASI SERANGAN HAMA, PENYAKIT DAN GULMA PADA PERTANAMAN KAYU BAWANG DI KHDTK BENAKAT, KABUPATEN MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN Sri Utami1 dan Agus Kurniawan1)
ABSTRAK Tanaman kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) merupakan salah satu jenis lokal di Provinsi Bengkulu. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya tanaman kayu bawang yaitu adanya serangan hama, penyakit dan gulma. Pada daerah asalnya tersebut, biasanya hama, penyakit serta gulma menyerang kayu bawang pada skala persemaian dan lapangan pada saat umur tanaman kurang dari 4 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji serangan hama dan penyakit pada tanaman kayu bawang yang ditanam di luar habitat asalnya (seperti di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan). Pengetahuan mengenai jenis serangan hama, penyakit dan gulma sangat diperlukan dalam rangka mencegah dan menekan serangan agar tidak menimbulkan kerugian secara materi. Tanaman kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) yang berumur 3,5 tahun di KHDTK Benakat terserang oleh hama sarang semut, ulat penggerek daun, liana, dan penyakit jamur akar. Intensitas serangan organisme penganggu tanaman tersebut tergolong rendah. Akan tetapi upaya pencegahan dan pengendalian perlu dilakukan sehingga pertumbuhan tanaman dan produktivitas tegakan tidak terhambat. Kata kunci: gulma, hama, kayu bawang, KHDTK Benakat, penyakit
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) merupakan salah satu jenis lokal di Provinsi Bengkulu. Tanaman ini dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, seperti yang dijumpai di Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah, Seluma, Kepahiang dan Rejang Lebong (Utami dkk., 2010). Kayu bawang biasa ditanam secara campuran sebagai tanaman sela, dengan karet, kelapa sawit, kopi, durian dan jenis tanaman lainnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya tanaman kayu bawang yaitu adanya serangan hama, penyakit dan gulma. Pada daerah asalnya tersebut biasanya hama, penyakit serta gulma menyerang kayu bawang pada skala persemaian dan lapangan pada saat umur tanaman kurang dari 4 tahun. Serangan organisme penganggu tanaman (OPT) tersebut bisa menimbulkan kerugian baik secara ekonomi maupun ekologi. Kerusakan yang disebabkan oleh hama terdiri dari kerusakan langsung (mematikan tanaman, merusak bagian tanaman, merusak biji/buah) maupun 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
79
tidak langsung, misalnya sebagai vektor penyakit (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Sedangkan gejala serangan penyakit akan ditunjukkan oleh tanaman inang dengan penyimpangan fungsi sistem metabolisme. Penyimpangan ini akan mengakibatkan gangguan kemampuan tumbuhan dalam mengabsorbsi serta mengirimkan air dan hara, penurunan kemampuan fotosintesis, fungsi reproduksi dan kerusakan fisiologi lainnya. Adapun serangan gulma bisa mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman bahkan bisa mengakibatkan kematian tanaman. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor eksternal (cahaya, suhu, kelembaban tanah, dan praktek silvikultur yang diterapkan) dan faktor internal (zat pertumbuhan, keseimbangan air, dan interaksi antara berbagai organ pohon). Demikian halnya dengan serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit tidak akan timbul tanpa sebab, akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan timbul dan berkembangnya penyakit, seperti kondisi lingkungan/iklim mikro (cahaya, suhu, dan kelembaban udara), site dan praktek silvikultur. Sehingga apabila terdapat tanaman yang dibudidayakan di luar habitat asalnya juga akan mempengaruhi ketahanan tanaman tersebut terhadap serangan hama, penyakit maupun gulma. Oleh karena itu penelitian untuk mengkaji serangan hama, penyakit, dan gulma pada tanaman kayu bawang yang ditanam di luar habitat asalnya (seperti di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan) sangat perlu dilakukan dalam rangka mencegah dan menekan serangan yang bisa menimbulkan kerugian secara materi. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi jenis serangan hama, penyakit dan gulma yang terdapat pada tegakan kayu bawang di KHDTK Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
II. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada pertanaman kayu bawang yang berumur 3,5 tahun di KHDTK Benakat, Kabupaten Muara Enim dari bulan Juli sampai Agustus 2010. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu tegakan kayu bawang berumur 3,5 tahun dan alkohol 70%. Sedangkan alat-alat yang digunakan yaitu cawan plastik, hand counter, kotak plastik, gunting, kamera dan alat-alat tulis. C. Metode Penelitian 1. Inventarisasi Serangan Hama, Penyakit dan Gulma Kegiatan ini dilakukan dengan cara membuat petak/plot pengamatan pada areal tanaman yang terserang hama dan penyakit yang luasannya diambil 10% dari luasan seluruh areal yang terserang, dimana luasan areal ini terbagi dalam plot-plot kecil berukuran 20 x 50 m (0,1 ha).
80
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
2. Penghitungan Intensitas Serangan Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) atau intensitas serangan dilakukan menurut Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1 dan Tabel 2). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus di bawah ini. (ni x v j ) x 100 % I ZxN Keterangan: I : Tingkat kerusakan tanaman ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama dan penyakit Tingkat Kerusakan Sehat Ringan Agak berat Berat Sangat berat
Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun - Kerusakan daun 5 % - Kerusakan daun antara 5 % x 25 % - Kerusakan daun antara 25 % x 50 % - Kerusakan daun antara 50 % x 75 % - Kerusakan daun antara 75 % x 100 % - Pohon gundul/hampir gundul
Nilai 0 1 2 3 4
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama dan penyakit Tingkat KeruSakan Sehat Ringan Agak berat Berat Sangat berat Gagal
Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Tanaman - Batang rusak 0 % - Batang rusak antara 1 % - 20 % - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % - Batang rusak di atas 80 % - Pohon tumbang/patah/mati
Nilai 0 1 2 3 4 5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tegakan kayu bawang yang diamati di KHDTK Benakat berumur 3,5 tahun ditanam dengan pola tanam campuran dengan bambang lanang dengan jarak tanam 5 x 5 m. Tegakan ini merupakan satu lokasi yang dijadikan contoh penanaman di luar habitat aslinya. Tanaman yang ditanam di luar habitat aslinya akan mengalami adaptasi dengan lingkungan baru. Kayu bawang dikenal memiliki rentang persyaratan tumbuh yang luas. Hal ini ditunjukkan dari tegakan tanaman kayu bawang di habitat aslinya (Provinsi Bengkulu) tumbuh baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Secara umum, tanaman kayu bawang pada plot pengamatan tumbuh dengan baik. Tegakan kayu bawang umur 3,5 tahun memiliki rata-rata tinggi 9,52 m dan diameter 10,52 cm.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
81
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa terdapat serangan hama dan penyakit pada tegakan tersebut. Secara umum persentase serangan hama, penyakit dan gulma bisa dikategorikan sedang (<40%) seperti yang tersaji pada Tabel 3. Jenis serangan hama yang menyerang pertanaman kayu bawang yaitu sarang semut dan ulat penggerek daun. Sedangkan jenis penyakit yang ditemukan adalah serangan jamur akar. Selain itu juga dijumpai gulma yang tergolong jenis liana. Tabel 3. Intensitas serangan hama dan penyakit tanaman kayu bawang umur 3,5 tahun di KHDTK Benakat, Kabupaten Muara Enim Jalur 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rerata
Semut 0 4 8 20 32 52 48 28 24 24
Intensitas serangan (%) Liana Ulat daun Patah 0 0 0 0 4 4 20 0 0 20 0 0 4 0 0 12 0 0 28 0 0 12 0 0 0 0 4 10,67 0,44 0,89
Mati 0 20 4 0 0 0 0 4 0 3,11
Sarang Semut Semut merupakan serangga eusosial yang berasal dari ordo Hymenoptera, famili Formicidae. Semut dikenal dengan koloni dan sarang-sarangnya yang teratur, yang terkadang terdiri dari ribuan semut per koloni. Jenis semut dibagi menjadi semut pekerja, semut pejantan dan ratu semut. Satu koloni dapat menguasai dan memakai sebuah daerah luas untuk mendukung kegiatan mereka. Koloni semut kadangkala disebut superorganisme dikarenakan koloninya membentuk sebuah kesatuan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada tegakan kayu bawang dijumpai sarang semut pada bagian apikal tanaman (Gambar 1). Pada umumnya tanaman yang ada semutnya, memiliki tajuk yang kurang lebat bila dibandingkan dengan tanaman yang sehat. Daun-daun tanaman kayu bawang khususnya pada bagian apikal secara umum lebih mudah rontok dan kering dibandingkan dengan tanaman yang tidak terdapat sarang semut. Adanya sarang semut dapat mengmenghambat daun dalam melakukan fotosintesis, mengakibatkan metabolisme lainnya dari tanaman tersebut terganggu sehingga transport air dan unsur hara dalam rangka mendukung per tumbuhan tanaman juga terganggu. Terhambatnya proses fotosintesis mengakibatkan daun mengering dan mudah rontok. Intensitas serangan sarang semut paling tinggi dibandingkan serangan lainnya yaitu sebesar 24% (Tabel 3). Timbulnya sarang semut lebih disebabkan karena kurang terpeliharanya areal pertanaman sehingga menstimulasi serangga ini untuk membuat sarang pada pohon-pohon yang tinggi dalam rangka berlindung dan mencari makanan.
82
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Gambar 1. Sarang semut pada bagian apikal tanaman kayu bawang Ulat Penggerek Daun Pada beberapa tanaman kayu bawang yang diamati di lapangan juga terserang ulat penggerek daun. Serangga ini termasuk ordo Lepidoptera dimana stadia yang menganggu pertanaman adalah larvanya. Ulat ini menyerang tanaman dengan cara menggerek daun baik daun muda maupun daun tua. Bekas gerekan ulat ini berlubang dan lama kelamaan daun akan mengering dan rontok. Serangan yang berat dapat mengakibatkan tanaman menjadi gundul dan mengalami kematian. Besarnya intensitas serangan hama ini paling rendah dibandingkan serangan lainnya yaitu sebesar 0,44%. Walaupun tingkat serangan hama ini tergolong rendah tetapi populasi hama ini sangat fluktuatif dan dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya adalah faktor lingkungan mikro seperti suhu dan kelembaban. Pada kondisi lingkungan yang ekstrim dan perubahan kondisi lingkungan yang terjadi secara tibatiba menstimulasi peningkatan populasi hama ini. Apabila pada kondisi demikian tidak dibarengi dengan jumlah musuh alami yang memadai maka bisa terjadi ledakan hama. Oleh karena itu tindakan pencegahan seperti monitoring mutlak diperlukan dalam rangka mengantisipasi terjadinya ledakan populasi hama ini yang dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomi maupun ekologi.
Gambar 2. Ulat penggerek daun pada tanaman kayu bawang Gangguan Penyakit Selain serangan hama dan liana, terdapat beberapa tegakan kayu bawang yang mati akibat serangan penyakit akar yang disebabkan oleh jamur. Daun-daun tanaman rontok dan batang mengering akibat serangan jamur ini. Apabila di sekitar pertanaman digali tanahnya maka pada akar tanaman dijumpai miselium jamur. Jamur ini akan mengakibatkan akar tanaman busuk sehingga transport air dan unsur hara dari akar ke bagian atas tanaman akan terganggu sehingga lama kelamaan tanaman bisa mati. Akibat serangan jamur ini, beberapa batang tanaman kayu bawang juga membusuk. Hal ini disebabkan karena miselium jamur sudah menyebar dan menginfeksi batang tanaman.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
83
Intensitas serangan penyakit sebesar 3,11%. Munculnya penyakit ini lebih disebabkan karena tingginya kelembaban pada areal pertanaman sehingga menstimulasi jamur untuk menginfeksi tanaman. Tetapi tidak semua tanaman kayu bawang diserang, hanya beberapa tanaman saja. Hal ini disebabkan karena serangan penyakit ini akan menyerang tanaman yang kurang tahan/lebih rentan.
Gambar 4. Gejala busuk pada batang karena serangan jamur akar Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004) lingkungan yang mendukung berkembangnya penyakit busuk akar adalah: 1) Tempat tumbuh yang miskin hara, 2) Pengaturan yang jelek, dan 3) Adanya luka atau kerusakan jaringan pada akar. Lebih lanjut Sumardi dan Widyastuti (2004) melaporkan bahwa patogen penyebab busuk akar ini berpotensi mengakibatkan kerusakan yang cukup parah karena: 1) Berkembang di dalam tanah, 2) Pohon dan tanaman yang terserang merupakan sumber penular yang potensial, serta 3) Dapat menyerang tanaman muda dan tua. Liana Salah satu jenis gulma yang sering dijumpai di hutan adalah liana. Liana merupakan kelompok tanaman merambat dan menjalar ke atas pada pohon serta merupakan ciri khas pada beberapa ekosistem hutan di daerah tropik dan daerah iklim sedang (Spurr dan Barnes, 1980). Liana yang dijumpai pada pertanaman kayu bawang adalah jenis lawatan (Mikania scandens WILLD.) dan akar sembung (Mikania micrantha H.B.K). Dua jenis gulma tersebut termasuk gulma berdaun lebar. Keberadaan gulma jenis liana ini dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan kayu bawang. Beberapa tanaman mengalami patah/bengkok serta mengalami hambatan pertumbuhan seperti yang tampak pada Gambar 3. Tanaman yang dililit liana, pada batangnya akan nampak bekas lilitan liana tersebut. Gulma jenis mikania tersebut merupakan gulma tahunan yang penting, tumbuh dominan dan sering membentuk sheet pada areal pertanaman.
a
b
Gambar 3. a) Lilitan liana pada batang kayu bawang, b) Bekas lilitan pada batang kayu bawang Pengenalan jenis ini di lapangan sangat mudah dengan ciri-ciri tumbuh merambat, sering membentuk jalinan sheet, daun berbentuk hati serta tumbuh dari ketiak daun
84
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
dan ujung batang/cabang. Tanaman ini mudah berkembang biak baik melalui biji maupun potongan batangnya dan umumnya tumbuh pada tanah lembab atau agak kering di areal terbuka atau agak ternaung dan penyebarannya meliputi 0-700 m dpl (Nasution, 1990). Gangguan yang ditimbulkan berupa persaingan hara dan air, membelit tanaman dan mengeluarkan zat alelopati yang bisa menekan pertumbuhan tanaman kayu bawang. Menurut Wong (1964), zat alelopati yang dikeluarkan adalah phenol dan flavon. Sementara itu Sumardi dan Widyastuti (1998) melaporkan bahwa sebagian besar liana yang terdapat dalam suatu area permudaan memiliki sifat pertumbuhan sebagai tumbuhan berkayu dan menjalar, kadang-kadang mematikan tanaman yang ditumpanginya. Sumardi dan Widyastuti (2000) menyatakan bahwa tanaman meranti di hutan hujan tropika yang mengalami kerusakan serius karena liana akan terhambat perkembangan permudaannya dan mengurangi produktivitas hutan yang bersangkutan. Besarnya intensitas serangan liana pada tegakan kayu bawang sebesar 10,67% yang masih dikategorikan ke dalam serangan rendah. Tetapi keberadaannya bisa menghambat pertumbuhan tanaman sehingga upaya pencegahan dan pengendalian perlu dilakukan. Selain dijumpai serangan hama, penyakit dan gulma (liana) juga dijumpai beberapa tanaman yang patah sebesar 0,89%. Kerusakan patah ini lebih disebabkan karena gangguan mekanis. Teknik Pencegahan dan Pengendalian Secara umum serangan OPT pada tanaman kayu bawang yang berumur 3,5 tahun di KHDTK Benakat tergolong rendah. Akan tetapi teknik pencegahan dan pengendalian mutlak dilakukan secara efektif dan efisien dengan tetap memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi. Beberapa teknik yang bisa dilakukan yaitu: 1. Monitoring. Kegiatan ini penting untuk dilakukan dalam rangka memonitor populasi hama, serangan penyakit dan gulma. Hasil kegiatan monitoring akan dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan untuk pengendalian serangan OPT. 2. Pemeliharaan pertanaman. Kegiatan yang bisa dilakukan yaitu penyiangan terhadap gulma, bisa secara teknis mekanis maupun dengan kimiawi (penggunaan herbisida). Khusus untuk liana, karena jenis tersebut mudah berkembang biak dan menyebar, teknik yang efektif dan efisien dilakukan yaitu dengan penggunaan herbisida dengan dosis yang tepat. Dengan pemeliharaan areal pertanaman maka pertumbuhan gulma bisa dikendalikan, dapat memutus siklus hidup hama maupun penyakit dan menstimulasi pertumbuhan tanaman. 3. Pengendalian Hayati. Teknik ini pada dasarnya memanfaatkan agen hayati/biologis untuk mengendalikan serangan OPT. Dengan adanya kegiatan pemeliharaan, kita bisa mengatur dan mengelola habitat musuh alami/agen hayati. Gulma biasanya dijadikan tempat hidup sementara bagi musuh alami. 4. Pengendalian secara mekanis. Teknik pengendalian ini bisa efektif dan efisien dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya serangan dan juga biaya yang diperlukan untuk tindakan pengendalian. Serangan penyakit akar yang disebabkan oleh jamur bisa dikendalikan dengan mencabut/mematahkan tanaman kemudian sumber inokulum jamur yang terdapat di akar dibakar/dihanguskan sehingga siklus jamur patogen terputus.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
85
III. KESIMPULAN Pada tanaman kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) yang berumur 3,5 tahun di KHDTK Benakat terserang oleh hama semut, ulat penggerek daun, penyakit jamur akar serta liana. Intensitas serangan organisme penganggu tanaman tersebut tergolong rendah. Akan tetapi upaya pencegahan dan pengendalian perlu dilakukan sehingga pertumbuhan tanaman dan produktivitas tegakan tidak terhambat.
DAFTAR PUSTAKA Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Nasution, U. 1990. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Spurr, S.H. dan B.V. Barnes. 1980. Forest Ecology. Third Edition. John Wiley & Sons. Canada. 687p. Sumardi dan S.M. Widyastuti. 1998. The Potential of Fixing Trees in Tropical Rain Forest. Research Report. KEEC-GMU. Fac. of Forestry. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2000. The Incidence of Potential Weed in Tropical Rain Forest. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 6:9-17. Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Utami, S., A.P. Yuna, N. Herdiana, T.R. Saepuloh. 2010. Laporan Hasil Penelitian Budidaya Jenis Kayu bawang Aspek Silvikultur. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak Diterbitkan. Wong, P.W. 1964. Evidence for the Presence of Growth Inhibitory Substances in Mikania cordata (Burm. f.) B.L. Robinson. J. Rub. Res. Inst. Malaya. 18 (5). Kuala Lumpur. Malaysia.
86
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PENGAMATAN SERANGAN HAMA PADA TANAMAN BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.) DI SUMATERA SELATAN Asmaliyah1, Andika Imanullah1) dan Abdul Hakim Lukman1)
ABSTRAK Salah satu permasalahan yang seringkali terjadi dalam pembangunan hutan tanaman adalah adanya serangan hama. Serangan hama dapat merugikan secara ekonomi apabila serangannya berat, oleh karena itu tindakan pencegahan dan pengendalian perlu dilakukan. Tindakan pencegahan dan pengendalian akan berhasil apabila jenis hama yang menyerang diketahui. Menyadari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan adanya serangan hama pada tanaman bambang lanang, yang dikelompokkan ke dalam 3 ordo, yaitu ordo Hemiptera (famili Pentatomidae), ordo Coleoptera (famili Chrysomelidae) dan ordo Lepidoptera. Semua jenis hama yang ditemukan merupakan hama pemakan daun dan akibat kerusakannya belum membahayakan tanaman. Kata kunci: bambang lanang, hama, ordo, Sumatera Selatan
I. PENDAHULUAN Bambang lanang (Maduca aspera H.J.Lam.) merupakan salah satu jenis pohon lokal yang potensial untuk dikembangkan di Sumatera Bagian Selatan, karena jenis ini merupakan jenis asli di daerah tersebut dan mempunyai nilai kompetitif yang cukup tinggi, baik dalam pertumbuhan maupun nilai ekonominya. Kayu bambang lanang ini sudah banyak dimanfaatkan masyarakat untuk bahan bangunan karena kayunya yang kuat dan awet (Winarno dan Waluyo, 2008). Pertumbuhan jenis ini di daerah sebaran alaminya termasuk cepat, mulai umur 10 tahun sudah mulai dipanen untuk kebutuhan kayu pertukangan dengan kualitas kayu yang cukup baik. Jenis ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk hutan rakyat, tetapi lokasi pengembangannya masih sangat terbatas. Di Sumatera Selatan daerah pengembangan jenis bambang lanang ini masih terbatas di Kabupaten Lahat, Kabupaten Empat Lawang dan Kota Pagaralam. Oleh karena itu untuk menunjang pengembangan jenis lokal ini, pembangunan hutan tanaman jenis bambang lanang perlu terus dikembangkan, baik di daerah sebaran alaminya maupun di luar sebaran alaminya. Namun dalam pembangunan hutan tanaman, salah satu resiko yang sering dihadapi adalah adanya serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman, apabila tidak dikendalikan sejak dini. Oleh karena itu informasi tentang jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman sangat diperlukan, sehingga dapat 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
87
ditentukan strategi pengendaliannya. Di dalam makalah ini disampaikan beberapa jenis hama yang cukup potensial menggangu atau menghambat pertumbuhan tanaman bambang Lanang.
II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi pertanaman bambang Lanang yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Lahat, Kabupaten Empat Lawang dan Kota Pagaralam. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Desember 2010. B. Metode Penelitian 1. Inventarisasi dan Identifikasi Hama Kegiatan inventarisasi dilakukan dengan cara membuat petak pengamatan pada areal tanaman yang terserang dengan luasan 10% dari seluruh luasan areal yang terserang atau dari jumlah total tanaman yang ada. Parameter yang diamati adalah jenis serangan, gejala serangan atau bentuk kerusakan, bagian tanaman yang terserang, luas serangan dan intensitas serangan. Untuk mengetahui jenis hamanya dilakukan kegiatan identifikasi yang dilakukan di Laboratorium Museum Zoologi Bogor, Widya Satwaloka LIPI. Pada kegiatan ini dilakukan juga kegiatan eksplorasi hama yang diperlukan untuk kegiatan identifikasi jenis hama. 2. Penghitungan Luas Serangan dan Intensitas Serangan Penghitungan luas serangan atau persentase serangan (P) dilakukan dengan cara menghitung jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah seluruh tanaman yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 persen atau: Jumlah tanaman yang terserang dalam satu petak ukur Jumlah seluruh tanaman dalam satu petak ukur
P=
X 100 %
Sedangkan intensitas serangan (I) dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun yang terserang dalam satu pohon, dibagi dengan jumlah seluruh daun dalam satu pohon di kali 100 persen (khusus serangan pada daun) atau: Jumlah daun yang terserang dalam satu pohon/tanaman Jumlah seluruh daun dalam satu pohon/tanaman
I =
X 100 %
Adapun untuk penentuan atau klasifikasi tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan klasifikasi menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994), dengan sedikit modifikasi (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan
Tanda kerusakan yang terlihat pada daun
Nilai
1
2 - Jumlah daun yang terserang 5 % - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 5 - 25 % - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 26 - 50 %
3 0 1 2
Sehat Ringan Agak berat 88
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
1 Berat Sangat berat
2 - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 51 - 75% - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 76 - 100% - Pohon gundul/hampir gundul
3 3 4
III. HASIL PENGAMATAN A. Inventarisasi dan Identifikasi Hama Berdasarkan hasil pengamatan pada beberapa lokasi pertanaman bambang lanang di Kabupaten Lahat, Kabupaten Empat Lawang dan Kota Pagaralam ditemukan beberapa jenis hama yang termasuk dalam 3 (tiga) kelompok hama. Hama-hama tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kepik Kepik yang ditemukan pada tanaman bambang lanang ini berasal dari famili Pentatomidae, subordo Heteroptera dan ordo Hempitera. Jenis kepik ini dijumpai hampir pada sebagian besar areal pertanaman bambang lanang di kota Pagaralam pada berbagai ketinggian (Tabel 2). Sedangkan di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, kepik ini tidak ditemukan, kecuali di Desa Tanjung Raman, Kecamatan Pendopo Lintang, Kabupaten Empat lawang. Hal ini menunjukkan bahwa kepik ini merupakan hama yang cukup potensial pada daerah dataran tinggi (≥ 500 m dpl), karena diduga kuat hama ini cocok di daerah tersebut. Kepik ini pada tanaman ditemukan pada daun yang masih muda serta dahan dan biasanya dalam kelompok. Kepik ini menyerang tanaman dengan cara menghisap cairan tanaman, terutama daun, akibatnya daun menjadi hitam, mengkerut, kering dan kemudian gugur. Selain menghisap cairan daun, kepik ini juga menghisap cairan tunas, pucuk, bunga, buah dan biji (Anonim, 2007). Kepik ini pada waktu muda (nympha) berwarna kuning kemudian berkembang menjadi kuning kehijauan. Pada bagian punggung terdapat 3 (tiga) garis yang berwarna hitam (Gambar 1). Kepik berbentuk bulat, mempunyai antena berjumlah 4 ruas dengan bentuk dan ukuran yang sama, mengeluarkan bau busuk/tengik dan mempunyai panjang tubuh sekitar 1 cm dan meletakkan telur (berwarna kuning) di atas permukaan daun secara berbaris.
a b c Gambar 1. Kepik dati famili Pentatomidae: a. kepik pada dahan, b. kepik pada daun, c. kepik dan gejala serangannya pada daun bambang lanang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
89
Menurut Grazia et al. (2008), kepik dari famili Pentatomidae mempunyai ciri-ciri umum bagian sayap terdapat dua bagian yaitu di bagian luar menebal dan di bagian dalam membran. Mereka berbau busuk atau berbau tengik karena kepik ini mempunyai senyawa sianida yang diproduksi oleh tubuhnya dan akan dikeluarkan apabila keberadaannya terganggu. Pentatomidae dapat menjadi hama, karena mereka mempunyai populasi besar, menghisap tumbuhan terutama pada daun dan menjadikan tanaman yang produktif menjadi rusak dan mereka resisten terhadap berbagai pestisida. Dari hasil pengamatan di lapangan luas serangan jenis kepik ini bervariasi pada setiap lokasi areal pertanaman bambang lanang berkisar antara 2050%, dengan intensitas serangan masih kategori serangan ringan (10-20%). Tabel 2. Lokasi areal pertanaman bambang lanang yang ditemukan adanya serangan hama kepik di Kota Pagaralam dan Kabupaten Empat Lawang No. Lokasi Kota Pagaralam 1. Ds. Talang Darat, Kel. Burung Dinang, Kec. Dempo Utara 2. Ds. Sukananti, Kel. Curup Jare, Kec. Pagaralam Utara 3. Ds. Pagar Jaya, Kel. Bangun Rejo Kec. Pagaralam Selatan 4. Ds. Pematang Bange, Kel. Curup Jare, Kec. Pagaralam Utara 5. Ds. Sumber Jaya, Kel. Candi Jaya, Kec. Dempo Tengah 6. Ds. Suka Cinta, Kel. Atom Bungsu, Kec. Dempo Selatan 7. Ds. Perahu Dipo, Kel. Perahu Dipo, Kec. Dempo Selatan 8. Kel. Karang Dalo, Kec. Dempo Tengah 9.
Ds. Padang Temu, Kel. Padang Temu, Kec. Dempo Tengah 10. Ds. Pagar Bumi (Talang Kemiling), Kel. Kuripan Babas, Kec. Pagaralam Utara 11. Ds. Mingkik, Kel. Atom Bungsu, Kec. Dempo Selatan 12. Ds. Muara Siban, Kel. Muara Siban, Kec. Dempo Utara 13. Ds. Bumi Agung, Kel. Bumi Agung, Kec. Dempo Utara Kabupaten Empat Lawang 14. Ds. Tanjung Raman, Kec. Pendopo Lintang
90
Koordinat
Ketinggian (m dpl)
Bujur: 103o12’56,44” Lintang: 4o05’36,38” Bujur: 103o11’11,89” Lintang: 4o00’56,20” Bujur: 103o12’24,75” Lintang: 4o01’32,54” Bujur: 103o12’24,75” Lintang: 4o01’32,54” Bujur: 103o16’11,85” Lintang: 4o04’10,94” Bujur: 103o22’49,22” Lintang: 4o04’01,20” Bujur: 103o19’37,95” Lintang: 4o04’17,39” Bujur: 103o17’11,74” Lintang: 4o03’7,26” Bujur: 103o16’37,88” Lintang: 4o03’05,51” Bujur: 103o13’13,40” Lintang: 3o59’49,44” Bujur: 103o24’32,58” Lintang: 4o00’18,61” Bujur: 103o12’56,54” Lintang: 4o04’36,52” Bujur: 103o11’33,38” Lintang: 4o03’56,75”
1120 - 1130
Bujur: 102o57’56,4” Lintang: 03o48’11,1”
308
1118 897 – 900 890 800 760 748 - 750 745 688 – 701 806 – 814 505 979 998-1172
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
2. Kumbang Berdasarkan hasil identifikasi jenis kumbang yang ditemukan menyerang dan memakan daun, bambang lanang adalah jenis Aulexis sp, yang termasuk dalam famili Chrysomelidae, ordo Coleoptera. Serangan kumbang ini ditemukan hampir di seluruh lokasi areal pertanaman bambang lanang baik yang ada di Kabupaten Lahat, Kabupaten Empat Lawang maupun Kota Pagaralam (Tabel 3). Tabel 3. Lokasi areal pertanaman bambang lanang yang ditemukan adanya serangan hama kumbang No.
Lokasi
1 2 Kabupaten Lahat 1. Ds. Lubuk Layang Ulu, Kec. Kikim Timur 2. Ds. Pagar Jati, Kec. Kikim Selatan 3.
Ds. Lubuk Sepang, Kec. Pulau Pinang
4.
Ds. Pagar Batu, Kec. Pulau Pinang
5. 6.
Ds. Gunung Karto, Kec. Kikim Timur Ds Banding Agung, Kel. Muara Payang, Kec. Jarai Ds. Simpur, Kec. Pulau Pinang
7.
Kabupaten Empat Lawang 8. Ds. Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi 9.
Ds. Tanjung Raman, Kec. Pendopo Lintang Kota Pagaralam 10. Ds Muara Siban, Kel. Muara Siban, Kec. Dempo Utara 11. Ds. Karang Dalo, Kel. Karang Dalo, Kec. Dempo Tengah 12. Ds. Talang Padang, Kel. Ulu Rurah Kembang Agung, Kec. Pagaralam Selatan 13. Ds. Perahu Dipo, Kel. Perahu Dipo, Kec. Dempo Selatan 14. Ds. Jangga, Kel. Padang Temu, Kec. Dempo Tengah 15. Ds. Sukajadi, Kel. Plang Kenidai, Kec. Dempo Tengah 16. Ds Kerinjing, Kel. Agung Lawangan, Kec. Dempo Utara 17. Ds. Sukananti, Kel. Curup Jare, Kec. Pagaralam Utara 18. Ds. Belumai, Kel. Ulu Rurah, Kec. Dempo Utara
Koordinat
Ketinggian (m dpl)
3
4
Bujur: 103o22’07,4” Lintang: 3o42’52,2” Bujur: 103o14’39,0” Lintang: 3o45’20,9” Bujur: 103o31’48,6” Lintang: 3o52’00,4” Bujur: 103o31’38,15” Lintang: 3o50’56,79” Bujur: 103o07’32,0” Lintang: 3o54’28,0” Bujur: 103o31’48,6” Lintang: 3o52’00,4”
156 214-235 149 154 742 149
Bujur: 103o06’29,3” Lintang: 03o33’46,4” Bujur: 102o57’56,4” Lintang: 03o48’11,1”
167
Bujur: 103o12’56,54” Lintang: 4o04’36,52” Bujur: 103o17’11,74” Lintang: 4o03’7,26” Bujur:103o16’49,77” Lintang:4o01’11,48” Bujur: 103o19’37,95” Lintang: 4o04’17,39” Bujur: 103o16’39,16” Lintang: 4o03’5,98” Bujur: 103o19’03,30” Lintang: 4o04’02,02” Bujur: 103o09’10,24” Lintang: 4o05’40,30” Bujur: 103o11’11,89” Lintang: 4o00’56,20” Bujur: 103o15’29,29” Lintang: 4o02’38,54”
979-981
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
308
745 703-717 748 - 750 710 800 1270-1289 1118 721-722
91
1 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
2 Ds. Simpang Padang Kareti, Kel. Besemah Serasan, Kec. Pagaralam Selatan Ds. Bumi Agung, Kel. Bumi Agung, Kec. Dempo Utara Ds. Simpang Macang, Kel. Plang Kenidai, Kec. Dempo Tengah Ds. Tebat Gunung, Kel. Lubuk Buntak, Kec. Dempo Selatan Ds. Pematang Bange, Kel. Curup Jare, Kec. Pagaralam Utara Ds. Talang Darat, Kel. Burung Dinang, kec. Dempo Utara Ds. Pagar Bumi (Talang Kemiling), Kel. Kuripan Babas, Kec. Pagaralam Utara Ds. Padang Temu, Kel. Padang Temu, Kec. Dempo Tengah Ds. Sumber Jaya, Kel. Candi Jaya, Kec. Dempo Tengah Ds. Bandar, Kel. Kance Dewe, Kec. Dempo Selatan Ds. Mingkik, Kel. Atom Bungsu, Kec. Dempo Selatan Ds. Suka Cinta, Kel. Atom Bungsu, Kec. Dempo Selatan Ds. Pagar Jaya, Kel. Bangun Rejo Kec. Pagaralam Selatan
3 Bujur: 103o16’15,49” Lintang: 4o01’20,66” Bujur: 103o11’37,04” Lintang: 4o03’51,95” Bujur: 103o17’47,89” Lintang: 4o03’21,22” Bujur: 103o21’05,26” Lintang: 4o05’02,90” Bujur: 103o12’13,32” Lintang: 4o00’41,98” Bujur: 103o12’56,44” Lintang: 4o05’36,38” Bujur: 103o13’13,40” Lintang: 3o59’49,44” Bujur: 103o16’37,88” Lintang: 4o03’05,51” Bujur: 103o16’11,85” Lintang: 4o04’10,94” Bujur:103o22’15,82” Lintang:4o04’36,11” Bujur: 103o24’32,58” Lintang: 4o00’18,61” Bujur: 103o22’49,22” Lintang: 4o04’01,20” Bujur: 103o12’24,75” Lintang: 4o01’32,54”
4 712 998-1000 747-750 815 890-1022 1120 - 1130 806 – 814 688 – 701 800 772 505 760 897 – 900
Serangan kumbang dari jenis Aulexis sp. ini paling dominan ditemukan di seluruh areal tanaman bambang lanang. Hal ini dapat dilihat dari luas serangannya yang sudah mencapai 100% dan intensitas serangannya yang termasuk kategori serangan berat (80-100%). Hal ini menunjukkan bahwa kumbang merupakan hama yang cukup potensial pada tanaman bambang lanang. Kumbang ini menyerang pada stadia imago. Kumbang berwarna coklat muda terang dan mengkilat (Gambar 2a). Kumbang ini menyerang tanaman bambang lanang dengan memakan daging daun yang lunak, baik daun tua maupun daun muda, akibatnya daun menjadi berlubang yang tersebar di seluruh permukaan daun (Gambar 2b).
a b Gambar 2. Serangan kumbang pada tanaman bambang lanang: a. kumbang Aulexis sp.; b. Bentuk kerusakan akibat serangan Aulexis sp. 2. Ulat Serangan ulat yang ditemukan pada tanaman bambang lanang baik yang ada di Kabupaten Lahat, Kabupaten Empat Lawang maupun di Kota Pagaralam, terdiri dari 4
92
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
jenis. Serangan ulat ini hampir ditemukan di seluruh lokasi areal pertanaman bambang lanang yang diamati. Ketiga jenis ulat yang ditemukan belum teridentifiksi. 2.1. Jenis a (Ulat penggulung daun) Jenis ulat ini sewaktu masih kecil tubuh dan kepala berwarna oranye kehijauan, transparan, kemudian berubah tubuh berwarna hijau dengan kepala berwarna kuning (Gambar 3a). Tubuh terdiri dari 10 ruas mempunyai 3 pasang kaki (tungkai) dan 4 pasang kaki palsu (proleg). Pupasi di dalam sebuah ruangan yang dibuat dari benangbenang sutera yang merupakan air liur ulat, selanjutnya akan terbentuk pupa yang dibungkus oleh kokon berwarna putih. Pupa berwarna hijau. Stadia dewasa dari ulat ini berbentuk kupu (ordo Lepidotera).
a b c Gambar 3. Ulat dan serangannya: a. Ulat yang masih muda; b. Bentuk kerusakannya; c. ulat dewasa dan bentuk kerusakannya Pada waktu masih muda, ulat ini menyerang tanaman dengan cara memakan daging daun yang lunak, namun urat dan epidermis daun tidak dimakan. Akibat serangannya bagian daun yang dimakan menjadi kering dan berlobang (Gambar 3b). Sedangkan pada waktu sudah dewasa, ulat memakan seluruh bagian daun, akibat serangannya beberapa bagian daun hilang dimakan ulat (Gambar 3c). Ulat ini melakukan aktivitas makannya di dalam ruangan yang dibentuk oleh ulat dengan cara menggulung daun atau merekatkan daun-daun muda sehingga terbentuk sebuah ruangan. Menjadi pupa di dalam sebuah ruangan yang dibuat dari benang-benang sutera yang merupakan air liur ulat, selanjutnya akan terbentuk pupa berwarna hijau yang dibungkus oleh kokon berwarna putih. Dari ketiga jenis ulat yang ditemukan, ulat jenis a ini paling luas serangan, intensitas dan sebarannya (Tabel 4). Luas serangan maupun intensitas serangan hama ulat ini pada tanaman bambang lanang termasuk kategori serangan ringan sampai agak berat (berkisar antara 20-30%). Walaupun luas serangan dan intensitas serangan ulat ini masih kategori serangan ringan, tetapi dilihat dari sebarannya, ulat ini cukup potensial membahayakan tanaman bambang lanang. Tabel 4. Lokasi areal pertanaman bambang lanang yang ditemukan adanya serangan hama ulat No.
Lokasi
1 2 Kabupaten Lahat 1. Ds. Muara Dua, Kec. Pagar Gunung 2. Ds. Lubuk Layang Ulu, Kec. Kikim Timur 3. Ds. Pagar Jati, Kec. Kikim Selatan
Koordinat
Ketinggian (m dpl)
3
4
Bujur:103o33’31,6” Lintang:3o57’48,9” Bujur: 103o22’07,4” Lintang: 3o42’52,2” Bujur:103o14’39,0” Lintang:3o45’20,9”
338
√
√
-
-
156
√
√
-
-
214-235
√
-
-
-
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Jenis ulat a b c d 5 6 7 8
93
1 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2 Ds. Sugi Waras, Kec. Gumay Talang Ds. Lubuk Sepang, Kec. Pulau Pinang Ds. Pagar Batu, Kec. Pulau Pinang Ds. Gunung Karto, Kec. Kikim Timur Ds Banding Agung, Kel. Muara Payang, Kec. Jarai Ds. Simpur, Kec. Pulau Pinang
10. Ds. Penandingan, Kec. Mulak Ulu Kabupaten Empat Lawang 11. Ds. Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi 12. Ds. Tanjung Raman, Kec. Pendopo Lintang Kota Pagaralam 13. Ds Muara Siban, Kel. Muara Siban, Kec. Dempo Utara 14. Ds. Karang Dalo, Kel. Karang Dalo, Kec. Dempo Tengah 15. Ds. Talang Padang, Kel. Ulu Rurah Kembang Agung, Kec. Pagaralam Selatan 16. Ds Perahu Dipo, Kel. Perahu Dipo, Kec. Dempo Selatan 17. Ds. Jangga, Kel. Padang Temu, Kec. Dempo Tengah 18. Ds. Sukajadi, Kel. Plang Kenidai, Kec. Dempo Tengah 19. Ds. Bumi Agung, Kel. Bumi Agung, Kec. Dempo Utara 20. Ds. Sukananti, Kel. Curup Jare, Kec. Pagaralam Utara 21. Ds. Belumai, Kel. Ulu Rurah, Kec. Dempo Utara 22 Ds Simpang Padang Kareti, Kel. Besemah Serasan, Kec. Pagaralam Selatan 23. Ds. Talang Padang, Kel. Ulu Rurah Kembang Agung, Kec. Pagaralam Selatan 24. Ds. Bumi Agung, Kel. Bumi Agung, Kec. Dempo Utara 25. Ds. Simpang Macang, Kel. Plang Kenidai, Kec. Dempo Tengah 26. Ds. Tebat Gunung, Kel. Lubuk Buntak, Kec. Dempo Selatan
94
3 Bujur:103o25’53,5” Lintang: 3o46’16,9” Bujur:103o31’48,6” Lintang:3o52’00,4” Bujur:103o31’38,15” Lintang:3o50’56,79” -
4 121
5 √
6 √
7 -
8 -
149
√
-
-
-
154
√
-
-
-
-
√
-
-
-
Bujur: 103o07’32,0” Lintang: 3o54’28,0” Bujur: 103o31’48,6” Lintang: 3o52’00,4” -
742
√
-
-
√
149
√
-
-
-
-
√
√
-
-
Bujur:103o06’29,3” Lintang:3o33’46,4” Bujur:102o57’56,4” Lintang:3o48’11,1”
167
√
-
-
-
308
√
√
-
-
Bujur:103o12’56,54” Lintang:4o04’36.52” Bujur: 103o17’11,74” Lintang: 4o03’7,26” Bujur:103o16’49,77” Lintang:4o01’11,48”
979-981
√
√
-
-
745
√
-
-
-
703-717
√
-
-
-
Bujur:103o19’37,95” Lintang:4o04’17,39” Bujur: 103o16’39,16” Lintang: 4o03’5,98” Bujur:103o19’03,30” Lintang:4o04’02,02” Bujur:103o11’37,04” Lintang:4o03’51,95” Bujur:103o11’11,89” Lintang:4o00’56,20” Bujur:103o15’29,29” Lintang:4o02’38,54” Bujur:103o16’15,49” Lintang:4o01’20,66”
748 - 750
√
√
-
-
710
√
-
-
-
800
√
-
-
-
998-1000
√
-
-
-
1118
√
-
-
-
721-722
√
-
-
-
712
√
-
-
-
Bujur:103o16’49,77” Lintang:4o01’11,48”
703-717
√
-
-
-
Bujur:103o11’37,04” Lintang:4o03’51,95” Bujur:103o17’47,89” Lintang:4o03’21,22” Bujur:103o21’05,26” Lintang:4o05’02,90”
998-1000
√
-
-
-
747-750
√
-
-
-
815
√
√
-
-
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
1 2 27. Ds. Pematang Bange, Kel. Curup Jare, Kec. Pagaralam Utara 28. Ds. Talang Darat, Kel. Burung Dinang, Kec. Dempo Utara 29. Ds. Pagar Bumi, Kel. Kuripan Babas, Kec. Pagaralam Utara 30. Ds. Padang Temu, Kel. Padang Temu, Kec. Dempo Tengah 31. Ds. Sumber Jaya, Kel. Candi Jaya, Kec. Dempo Tengah 32. Ds. Bandar, Kel. Kance Dewe, Kec. Dempo Selatan 33. Ds. Mingkik, Kel. Atom Bungsu, Kec. Dempo Selatan 34. Ds. Suka Cinta, Kel. Atom Bungsu, Kec. Dempo Selatan 35. Ds. Pagar Jaya, Kel. Bangun Rejo Kec. Pagaralam Selatan
3 Bujur:103o12’13,32” Lintang:4o00’41,98” Bujur:103o12’56,44” Lintang:4o05’36,38” Bujur:103o13’13,40” Lintang:3o59’49,44” Bujur:103o16’37,88” Lintang:4o03’05,51” Bujur:103o16’11,85” Lintang:4o04’10,94” Bujur:103o22’15,82” Lintang:4o04’36,11” Bujur:103o24’32,58” Lintang:4o00’18,61” Bujur:103o22’49,22” Lintang:4o04’01,20” Bujur:103o12’24,75” Lintang:4o01’32,54”
4 890-1022
5 √
6 -
7 -
8 -
1120 - 1130
√
-
-
-
806 – 814
√
-
-
-
688 – 701
√
-
-
√
800
√
-
-
√
772
√
-
-
-
505
√
-
-
√
760
√
-
-
√
897 – 900
√
-
-
√
2.2. Jenis b (Graphium agamemnon L.) Ulat ini bentuknya seperti kerucut, pada waktu masih muda (instar awal), tubuh berwarna coklat dengan bagian/potongan kecil berwarna putih dan dada berpunuk. Pada tiap segmen terdapat duri lembut yang pendek pada setiap sisi kanan dan kiri dan mempunyai ekor yang terdapat sepasang duri (Gambar 4a). Pada ulat dewasa tubuh seluruhnya berwarna hijau (Gambar 4b), pada instar terakhir terdapat bercak hitam kecil pada tubuhnya, tanduk hitam lembut pendek, sepasang tanduk kuning lembut di belakang kepala ketika diganggu dan mengeluarkan bau yang menusuk (Evans dan Crossley, 2010). Stadia dewasa berbentuk kupu. Ulat ini menyerang daun muda dengan cara memakan daun mulai dari bagian pinggir daun. Akibat serangannya, daun menjadi rusak atau beberapa bagian dari daun hilang. Luas serangan maupun intensitas serangan ulat daun ini masih kategori serangan ringan (berkisar 10-20%).
a b Gambar 4. Ulat instar awal dan bentuk kerusakannya (a); Ulat dewasa (b) Berdasarkan identifikasi ulat ini adalah jenis Graphium (=Papilio) agamemnon (L.), yang termasuk famili Papilionidae, ordo Lepidoptera (Kalshoven, 1981; Evans dan Crossley, 2010; Wikipedia, 2011). Hama ini menyukai berbagai jenis tanaman dari genus Annona spp., Michelia camphaca (cempaka/bambang) dan durian. Di Malaysia, dilaporkan bahwa hama ini mempunyai parasit dari jenis Apanteles papilionis Vier. (famili Braconidae; ordo Hymenoptera). Hama ini terdapat di Asia Tenggara, Australia, Irian dan Kepulauan Salomon (Kalshoven, 1981).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
95
2.3. Jenis c (Ulat bulu hitam) Ulat ini tubuhnya berbulu, mempunyai 10 ruas, ruasnya berwarna oranye dan hitam. Seiring dengan bertambahnya umur, seluruh tubuh ulat berwarna hitam dan bulu semakin memanjang (Gambar 5). Ulat ini ditemukan menyerang daun muda dengan cara memakan daun yang dimulai dari pinggir. Akibat serangannya daun menjadi rusak dan beberapa bagian dari daun hilang. Luas serangan maupun intensitas serangan ulat ini masih kategori serangan ringan (berkisar antara 5-10%).
Gambar 5. Ulat hitam dan bentuk kerusakannya 2.4. Jenis d Ulat ini ditemukan pada daun, dengan ciri khas ditutupi selaput kuning yang transparan sehingga ulat di dalamnya kelihatan, berwarna kuning (Gambar 6a), telurnya juga terdapat di dalam selaput kuning tersebut dan berwarna putih. Gejala serangannya daging daun yang lunak dimakan, bekas gerekannya agak kasar, selanjutnya daun bekas serangan mengering, akibatnya daun berlobang besar (Gambar 6b).
a
b
Gambar 6. Ulat kuning dan bentuk kerusakannya: a. ulat kuning di dalam selaput pada daun; b. bentuk kerusakannya
IV. PENUTUP Berdasarkan hasil pengamatan semua jenis hama yang ditemukan merupakan hama pemakan daun dengan luas serangan dan intensitas serangan rata-rata masih kategori serangan ringan, kecuali serangan kumbang. Walaupun sampai saat ini serangan hama belum mempengaruhi pertumbuhan tanaman, namun dilihat dari sebarannya serangan hama pada tanaman bambang lanang ini cukup potensial membahayakan tanaman ini ke depannya. Oleh karena itu untuk mengantisipasi agar serangan hama ini tidak sampai meluas dan merugikan, perlu dilakukan monitoring secara berkesinambungan, sehingga pencegahan dan pengendalian bisa dilakukan secara dini.
96
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Pengendalian Kepik Penghisap Tanaman Jambu Mete Tanpa Pestisada Sintetis. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol.29, No.6. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Jakarta. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Tesis Mahasiswa Program Pasca Sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Evans, DH dan S. Crossley. 2010. Graphium agamemnon (Linnaeus, 1758) (erroneously: Papilio ligathus) PAPILIONIDAE Green Spotted Triangle or Tailed Jay. http://lepidoptera.butterflyhouse.com.au/papi/Diakses tanggal 7 Juni 2011. Grazia, J., Schuh, R.T., Wheeler, W.C. 2008. Pentatomidae. http://en.wikipedia.org/. Diakses tanggal 2 Nopember 2009. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops In Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. Wikipedia. 2011. Graphium agamemnon. http://en.wikipedia.org/wiki/. Diakses tanggal 7 Juni 2011. Winarno, B dan E.A. Waluyo. 2008. Potensi pengembangan hutan rakyat dengan jenis tanaman lokal. http://effendi.multiply.com/. Diakses tanggal 21 Januari 2010.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
97
98
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
KEJADIAN PENYAKIT DAUN PADA ANAKAN TEMBESU (Fagraea fragrans) DI KABUPATEN MUARA ENIM Asmaliyah1, Nesti Andriani2) dan Illa Anggraeni3)
ABSTRAK Tembesu (Fagraea fragrans ROXB.) merupakan jenis tanaman yang cukup potensial untuk dikembangkan di daerah Sumatera Selatan. oleh karena itu perlu dikembangkan dengan membangun hutan tanaman atau hutan rakyat tembesu. Di Sumatera Selatan, sebagian besar areal penanaman tembesu dilakukan oleh rakyat yang berasal dari anakan alam yang tumbuh dari akar atau cabutan yang ditanam dalam pola campuran dengan karet atau pola agroforestri. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ditemukan adanya serangan penyakit daun pada anakan tembesu, yang menyebabkan daun gugur. Oleh karena itu perlu dukungan penelitian dasar untuk mengetahui jenis patogen dan ekobiologinya, karena sampai saat ini informasi atau laporan tentang jenis penyakit yang menyerang tanaman tembesu dan pengendaliannya belum ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis penyebab penyakit yang menyerang daun tembesu dan ekobiologinya. Berdasarkan penampilan dan pengamatan secara makroskopis yang mencakup gejala-gejala yang timbul pada tanaman inang dan pertumbuhan koloni pada media PDA, dan pengamatan mikroskopis untuk menentukan sifat-sifat khas yang dapat mencirikan fungi, bahwa penyebab penyakit pada anakan tembesu adalah fungi patogen Fusarium sp. Fungi menghasilkan 3 jenis spora aseksual yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Bentuk Makrokonidia menyerupai bulan sabit dengan kedua ujungnya meruncing, bersekat dan spora inilah yang menjadi ciri khas dari fungi Fusarium. Kata kunci: Fusarium sp., penyakit, tembesu
I. PENDAHULUAN Tembesu (Fagraea fragrans ROXB.) merupakan jenis tanaman yang cukup potensial untuk dikembangkan di daerah Sumatera Selatan, karena jenis ini merupakan jenis asli (lokal) setempat dan telah banyak serta lama dimanfaatkan masyarakat karena mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tembesu juga mempunyai sifat ekologi yang baik, yaitu mempunyai kemampuan daya hidup yang baik pada lahan yang ditumbuhi alang-alang dan pada lahan yang kurang subur, tahan api dan mempunyai pertumbuhan awal yang cukup cepat. Kayu tembesu pada umumnya banyak digunakan sebagai kayu pertukangan, bahan konstruksi berat di tempat terbuka maupun yang berhubungan dengan tanah, balok jembatan, tiang-tiang rumah, lantai, dan barang bubutan (Martawijaya dkk., 2005). 1 2 3
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
99
Tembesu di Indonesia tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya (Martawijaya dkk., 2005). Namun saat ini potensi tegakan tembesu sudah sangat menurun di berbagai daerah sebaran alaminya, terutama di Sumatera Selatan, oleh karena itu perlu dikembangkan dengan membangun hutan tanaman atau hutan rakyat tembesu. Di Sumatera Selatan, sebagian besar areal penanaman tembesu dilakukan oleh rakyat yang berasal dari anakan alam yang tumbuh dari akar atau cabutan yang ditanam dalam pola campuran dengan karet atau pola agroforestri. Di sisi lain, pembangunan hutan tanaman sering menghadapi kendala teknis, salah satunya adalah ancaman adanya serangan penyakit. Oleh karena itu kegiatan pengendalian sangat penting dilakukan untuk mendukung keberhasilan pembangunan hutan tanaman khususnya peningkatan produktivitas. Kegiatan pengendalian dapat menekan peluang muncul dan berkembangnya serangan penyakit sehingga kerugian secara ekonomis dapat dikurangi. Salah satu kunci keberhasilan kegiatan pengendalian tersebut adalah diketahuinya informasi tentang jenis penyakit atau patogen yang menyerang serta ekobiologinya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ditemukan adanya serangan penyakit daun pada anakan tembesu, yang menyebabkan daun gugur. Oleh karena itu perlu dukungan penelitian dasar untuk mengetahui jenis patogen dan ekobiologinya, karena sampai saat ini informasi atau laporan tentang jenis penyakit yang menyerang tanaman tembesu dan pengendaliannya belum ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis penyebab penyakit yang menyerang daun tembesu dan ekobiologinya.
II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Karta Mulya, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, yang secara geografis terletak pada 4209’ - 4507’ Bujur Timur dan 9604’ – 47001’ Lintang Selatan. Kelembaban (RH) 30%, suhu udara 27 0-320C, pH tanah 6,6 dan ketinggian tempat 26 m dari permukaan laut. Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Desember 2010. B. Metode Penelitian Pengamatan gejala pada daun anakan tembesu yang terserang penyakit. Daun yang sakit diambil untuk mendapatkan patogen yang diduga menjadi penyebab penyakit. Untuk merangsang sporulasi, contoh daun sakit dilembabkan dengan cara memasukkan dalam cawan petri menggunakan kertas tissue yang telah dibasahi dengan aquades steril selama 24 jam. Kemudian diamati secara mikroskopis bentuk hifa, spora dan tubuh buah. Isolasi patogen, jaringan daun yang diambil dari perbatasan sehat dan sakit dicuci bersih, kemudian diiris tipis (transparan), dimasukkan dalam labu erlenmeyer isi aquades steril, dikocok/diaduk, irisan diambil dan dimasukkan dalam alkohol 70% selama lima menit, kemudian dimasukkan dalam larutan hipoklorit 3% selama lima menit. Potongan tersebut dicuci dan ditiriskan di atas kertas hisap/tissue. Setelah jaringan daun kering diletakkan di tengah cawan petri yang sudah berisi PDA (media agar kentang/Potatos Dextrose Agar), diinkubasikan pada suhu kamar. Patogen
100
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
yang muncul diamati dan dimurnikan dengan cara dipindahkan ke cawan petri lain yang berisi PDA. Biakan murni diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Untuk mengidentifikasi isolat secara mikroskopis diperlukan pembuatan preparat. Preparat yang dibuat ada 2 macam yaitu dari jaringan daun yang sakit secara langsung dan dari koloni biakan murni hasil isolasi. Preparat diamati di bawah mikroskop. Identifikasi dilakukan dengan pengamatan secara mikroskopis (bentuk hifa, ada tidaknya septa, bentuk spora dll) dan makroskopis (gejala penyakit dan tanda penyakit di lapangan). Berdasarkan ciri-ciri tersebut fungi patogen diidentifikasi dengan menggunakan kunci determinasi serta dideskripsikan dengan acuan pustaka antara lain Alexopoulos dan Mims (1979); Barnett & Hunter (2006); Dwidjoseputro (1978); Streets (1980) dan Agrios (2005). C. Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan dengan mengamati anakan tembesu yang tumbuh dari akar pohon tembesu, baik yang terserang maupun yang tidak terserang penyakit. Jumlah anakan tembesu yang diamati sebanyak 325 anakan. Parameter yang diamati adalah gejala yang tampak pada tanaman yang terserang dan persentase serangan atau luas serangan. Penghitungan persentase serangan (P) dilakukan dengan cara menghitung jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah seluruh tanaman yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 persen atau: P=
Jumlah tanaman yang terserang pada setiap lokasi pertanaman Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur
X 100 %
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gejala Penyakit Serangan penyakit pada daun anakan tembesu menunjukkan gejala awal serangan di mana pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bercak-bercak yang tidak beraturan berwarna coklat muda yang dikelilingi warna kuning. Bercak-bercak menyebar ke seluruh permukaan daun dan dapat menyatu menjadi bercak yang lebar dalam jangka waktu yang relatif singkat. Bercak yang sudah melebar berwarna coklat (Gambar 1). Gejala yang menyebar pada permukaan daun menunjukkan bahwa patogen memiliki kemampuan penyebaran yang baik dengan bantuan angin, air atau serangga vektor. Pada anakan tembesu hal ini perlu mendapat perhatian karena anakan yang terserang dapat menjadi inokulum dan mengakibatkan anakan pada persemaian yang sama dapat tertular. Di tingkat infeksi lebih lanjut seluruh bagian daun yang terserang menjadi berwarna coklat dan kering hingga akhirnya daun gugur.
Gambar 1. Gejala awal dan serangan lanjut penyakit yang menyerang daun anakan tembesu
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
101
B. Persentase Serangan Perkembangan penyakit biasanya diukur dengan kejadian penyakit (diseases incidance) dan intensitas penyakit (diseases severity). Sehubungan dengan terjadinya serangan penyakit pada anakan tembesu maka di lakukan pengukuran persentase kejadian penyakit yaitu proporsi anakan yang terserang penyakit dalam suatu populasi tanpa memperhitungkan berat atau ringannya tingkat serangan. Anakan tembesu yang diamati seluruhnya adalah 325 anakan, 113 anakan tembesu terserang penyakit daun, maka persentase serangannya (diseases incidance) adalah 34,76%. C. Identifikasi Patogen Deskripsi penyebab penyakit atau diagnosis merupakan tahapan awal yang sangat perlu dilakukan dalam pengendalian penyakit. Kekeliruan dalam diagnosis penyebab penyakit sering terjadi karena gejala penyakit yang sama dapat disebabkan oleh patogen yang berbeda. Berdasarkan penampilan dan pengamatan secara makroskopis yang mencakup gejala-gejala yang timbul pada tanaman inang dan pertumbuhan koloni pada media PDA, dan pengamatan mikroskopis untuk menentukan sifat-sifat khas yang dapat mencirikan fungi, patogen dideskripsikan dengan acuan pustaka antara lain Alexopoulos dan Mims (1979); Barnett & Hunter (2006); Dwidjoseputro (1978); Streets (1980) dan Agrios (2005), bahwa penyebab penyakit pada anakan tembesu adalah fungi patogen Fusarium sp. Fusarium sp. termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes (fungi imperfect), ordo Moniliales dan famili Tuberculariaceae (Alexopoulos dan Mims, 1979). Fusarium sp. yang menyerang daun anakan tembesu bila dibiakkan pada media agar-kentang (PDA= Potatoes Dextrose Agar) mulai tampak pertumbuhannya dua hari setelah dibiakkan, pada awal pertumbuhan berupa koloni serabut benang tipis, berwarna putih. Beberapa hari kemudian koloni tumbuh menggumpal dan konsentris seperti kapas (Gambar 2A). Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa hifa Fusarium sp. memiliki tipe percabangan sederhana. Fungi menghasilkan 3 jenis spora aseksual yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Mikrokonidia adalah konidia bersel satu bentuknya oval dan paling banyak dihasilkan di setiap bentuk lingkungan. Makrokonidia bentuknya menyerupai bulan sabit dengan kedua ujungnya meruncing, bersekat (Gambar 2B) dan spora inilah yang menjadi ciri khas dari fungi Fusarium, spora jenis ini dihasilkan pada permukaan tanaman yang terserang lanjut. Klamidospora disebut pula spora istirahat berdinding tebal dihasilkan pada ujung hifa atau ditengah hifa, spora jenis ini merupakan spora untuk bertahan hidup pada lingkungan yang kurang menguntungkan. Miselium bercabang-cabang dan berseptat (Agrios, 2005; Alexopoulos dan Mims, 1979). Fusarium sp. merupakan fungi saprofit, parasit luka dan parasit fakultatif, dikenal pula sebagai fungi penghuni tanah (soil borne) dan tular benih (seed borne). Booth (1971) mengatakan bahwa jenis Fusarium oxysporum dapat hidup hingga kedalaman 40 cm dari permukaan tanah serta bertahan hidup sampai datangnya inang dalam waktu lima tahun. Smilley et al. (1992) mengatakan bahwa fungi ini dapat bertahan hidup dalam bentuk miselium dorman pada tanaman bahkan pada jenis tertentu fungi ini berlaku sebagai saprofit pada daun atau ranting yang telah mati. Fungi ini juga dapat tumbuh pada berbagai organ tanaman, mulai dari akar, batang hingga daun serta menjadi penyebab berbagai macam penyakit. Selain menyebabkan bercak daun, fungi ini juga menyebabkan penyakit lodoh, busuk kaki dan busuk akar (Booth, 1971).
102
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Rangkaian peristiwa perkembangan penyakit atau disebut siklus penyakit dimulai dari patogen yang beristirahat/tidak aktif, diseminasi patogen, inokulasi, penetrasi, infeksi, pertumbuhan dan perbanyakan patogen dalam tubuh tanaman. Siklus penyakit Fusarium yang bersifat parasit fakultatif artinya pada siklus penyakit Fusarium mempunyai dua fase yaitu fase patogenesis dan fase saprogenesis. Fase saprogenesis merupakan keadaan interaksi inang patogen yang tidak aktif, ketidakaktifan tersebut dapat disebabkan karena tanaman inang tidak ada atau patogen dalam keadaan dorman. Jika tanaman inang tidak ada, patogen hidup dengan memanfaatkan bahan organik sebagai sumber nutrisi (bersifat saprofitik). Fase patogenesis merupakan keadaan interaksi inang-patogen yang berlangsung secara aktif. Pada fase ini patogen mendapatkan tempat hidup dan nutrisi untuk menghasilkan generasi baru. Fase patogenesis dimulai sejak terjadinya kontak organ patogen dengan tanaman inang (inokulasi) penetrasi, infeksi, pertumbuhan dan perbanyakan patogen dalam tubuh tanamam (Agrios, 2005; Sinaga, 2009; Meliala, 2009 dalam Bogidarmanti dkk., 2011). A
B
Gambar 2. A. Biakan murni Fusarium sp., B. Makrokonidia Fusarium sp. Ada dua tipe perkembangan penyakit yang disebabkan oleh fungi yaitu yang mempunyai tipe perkembangan cepat dan tipe perkembangan lambat. Fusarium masuk ke dalam tipe yang perkembangannya lambat dengan siklus tunggal (monocyclic). Sebagai contoh pada penyakit layu vaskular, patogen bertahan hidup selama musim dingin atau panas di dalam akar yang membusuk atau di dalam tanah, menginfeksi tanaman selama musim tanam, dan pada akhir musim tanam menghasilkan spora-spora baru pada batang dan akar yang terinfeksi. Spora tetap di dalam tanah dan berperan sebagai inokulum primer pada musim tanam berikutnya. Pada patogen monosiklik inokulum primer merupakan satu-satunya inokulum yang tersedia selama musim tersebut, karena tidak ada inokulum sekunder dan tidak ada infeksi sekunder (Agrios, 2005 dalam Bogidarmanti dkk., 2011). Fusarium sp. memasuki tubuh inang dengan dua cara yaitu dengan melalui luka dan dengan penetrasi langsung atau melalui stomata. Luka dapat disebabkan oleh serangga, angin, atau manusia pada saat daun masih muda. Patogen masuk ke dalam jaringan daun, miselium menembus epidermis kemudian jaringan bunga karang dan berkas pembuluh pada daun. Kemudian miselium juga menyerang jaringan palisade dan secara berangsur-angsur jaringan lainnya terinvasi. Hal ini ditandai dengan adanya bercak pada daun dimana terjadi perubahan warna dan kematian sel-sel. Karena berkurangnya luasan total pada daun yang mengandung kloroplas akibat serangan penyakit bercak tersebut maka hal ini akan menghambat dan mengurangi hasil fotosintesa yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan anakan tembesu tersebut.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
103
IV. KESIMPULAN Penyebab penyakit bercak daun pada anakan tembesu adalah fungi patogen Fusarium sp. dengan persentase serangan mencapai 34,76%. Fusarium sp. yang menyerang daun anakan tembesu bila dibiakkan pada media PDA mulai tampak pertumbuhannya dua hari setelah dibiakkan, pada awal pertumbuhan berupa koloni serabut benang tipis, berwarna putih. Beberapa hari kemudian koloni tumbuh menggumpal dan konsentris seperti kapas. Fungi menghasilkan 3 jenis spora aseksual yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Makrokonidia bentuknya menyerupai bulan sabit dengan kedua ujungnya meruncing, bersekat dan spora inilah yang menjadi ciri khas dari fungi Fusarium, spora jenis ini dihasilkan pada permukaan tanaman yang terserang lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA. Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons. Barnett, H.L. and B.B. Hunter (2006). Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth edition. The American Phytopathology Society St. Paul, Minnesota. USA. Bogidarmanti, R., I. Anggraeni dan A. Pribadi. 2011. Serangan penyakit pada bibit sesendok (Endospermum malaccense) di persemaian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok-Riau. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. (Belum terbit). Booth, C. 1971. The genus Fusarium. Commonwealth Mycologycal Institute. Kew, Surrey, England. Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Meliala, C. 2009. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sinaga, M. 2009. Dasar-dasar penyakit tumbuhan. Penerbit Swadaya. Jakarta. Smiley, R.W., P.H. Dernoden and A.R. Woolhouse. 1992. Compendium of turfgrass diseases. 2nd. Ed. The American Phytopathology Society. St. Paul, Minnesota. Streets, R.B. 1980. Diagnosis penyakit tanaman (Terjemahan : Imam Santoso) The University of Arizona Press. Tuscon – Arizona. USA.
104
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
MODEL PERTUMBUHAN DIAMETER DAN TINGGI BAMBANG PADA SISTEM AGROFORESTRI DI PAGARALAM-SUMATERA SELATAN Agus Sumadi 1 dan Hengki Siahaan1)
ABSTRAK Hutan rakyat merupakan salah satu solusi untuk pemenuhan kebutuhan kayu yang terus meningkat. Pengembangan hutan rakyat yang ada di masyarakat khususnya di Pagaralam menggunakan sistem agroforestri. Sistem ini merupakan gabungan antara kehutanan dan pertanian di mana komoditi kehutanan berupa kayu bambang sedangkan pertanian dapat berupa kopi atau kakao. Tulisan ini akan mengkaji pertumbuhan bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri. Hasil pengukuran di lapangan pada umur yang sama pertumbuhan bambang sistem agroforestri dengan kakao maupun dengan kopi memiliki pertumbuhan tidak berbeda jauh di mana sistem agroforestri dengan kakao memiliki pertumbuhan lebih cepat. Pertumbuhan optimal tegakan bambang dengan sistem agroforestri tercapai dari umur 0-5 tahun sehingga pada umur ini perlakuan silvikultur dapat lebih intensif. Hasil regresi yang terbentuk antara diameter dengan umur pohon y = 8.0731 Ln(x) + 2.3187 sedangkan tinggi dan umur pohon y = 7.2355 Ln (x) – 1.281. Persamaan ini dapat berguna dalam memprediksi pertumbuhan diameter dan tinggi bambang dengan sitem agroforestri dengan kopi atau kakao. Kata kunci: bambang, kakao, kopi, Pagaralam, sistem agroforestri
I. PENDAHULUAN Salah satu program revitalisasi kehutanan adalah pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat. Pembangunan hutan rakyat merupakan solusi yang dapat diterapkan dalam mengatasi kebutuhan kayu yang terus meningkat. Hutan rakyat merupakan hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat. Pengembangan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas menggunakan sistem agroforestri. Sistem agroforestri dicirikan oleh keberadaan komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama, kondisi ini mengakibatkan pengurangan bidang olah bagi budidaya tanaman semusim karena perkembangan tajuk (Suryanto dkk., 2005). Pengembangan sistem agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat dapat memberikan manfaat ganda pada masyarakat baik dari hasil tahunan dari tanaman pertanian maupun manfaat dari hasil akhir berupa kayu dari hasil kehutanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryanto dkk. (2006) bahwa model agroforestri banyak menjadi pilihan prioritas dalam sistem pertanaman karena memiliki beberapa 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
105
kelebihan dibandingkan dengan sistem kehutanan dan pertanian (monokultur), kelebihan ini di antarannya yaitu produk ganda yang dihasilkan sepanjang pengelolaan (baik kayu maupun non kayu termasuk di dalamnya jasa lingkungan). Selain itu sistem agroforestri merupakan sistem pengolahan lahan yang dapat mendukung penyediaan pangan sesuai dengan pendapat Widianto dkk. (2003) mengatakan agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Hutan rakyat yang banyak berkembang di wilayah Sumatera Selatan khususnya Kota Pagaralam berupa hutan rakyat jenis kayu bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri dengan kopi atau kakao. Bambang merupakan jenis pohon yang memiliki pertumbuhannya cepat dan kayunya berkualitas kelas kuat II (Adelina, 2008). Jenis ini telah lama digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat karena kayunya yang kuat dan awet (Winarno dan Waluyo, 2008). Sistem agroforestri bambang telah berkembang di masyarakat sejak lama namun belum ada informasi bagaimana pertumbuhan pohon bambang. Tulisan ini akan mengkaji pertumbuhan tegakan bambang sistem agroforestri kopi dan kakao yang ada di Pagaralam. A. Pertumbuhan Diameter Bambang Sistem Agroforestri Bambang merupakan jenis pohon yang banyak dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam. Pola tanam yang banyak kita temukan berupa sistem agroforestri antara pohon bambang dengan kopi atau dengan kakao. Kegiatan penelitian untuk melihat pertumbuhan kayu bambang dengan sistem agroforestri dilakukan pada tegakan bambang yang telah dibudidayakan oleh masyarakat. Penelitian dilakukan dengan pembuatan plot ukur dalam bentuk petak ukur permanent (PUP). PUP dibangun bertujuan untuk memantau pertumbuhan tegakan bambang pada berbagai pola tanam. Hasil pengukuran pertumbuhan tegakan bambang dengan sistem agroforestri dengan kopi dan kakao memberikan gambaran pertumbuhan tegakan bambang yang relatif bagus. Diameter merupakan dimensi pohon yang mudah diukur dan dapat memberikan gambaran kecepatan pertumbuhan suatu jenis pohon. Diameter yang umum digunakan dalam pengukuran merupakan diameter setinggi dada (dbh) atau diameter pohon yang diukur setinggi 130 cm dari permukaan tanah. Pengamatan pertumbuhan diameter tegakan bambang dilakukan pada hutan rakyat yang ada di Pagaralam. Hasil pengukuran dimensi pohon dan pertumbuhan diameter bambang seperti pada Tabel 1. Pengembangan sistem agroforestri bambang yang banyak berkembang di Pagaralam berupa agroforesti antara bambang dengan kopi. Dari ke enam lokasi pembuatan PUP lima di antaranya merupakan agroforestri dengan kopi dan hanya satu lokasi yang merupakan agroforestri dengan kakao. Pada umur yang sama antara plot PUP lima yang berlokasi di Desa Talang Blumai Kecamatan Pagaralam Utara dan PUP enam yang berada di Kelurahan Karang Dalo Kecamatan Dempo Tengah menunjukkan pertumbuhan diameter bambang pada umur 3 tahun sistem agroforestri kakao memiliki pertumbuhan tidak berbeda jauh dengan sistem agroforestri kopi dimana agroforestri dengan kakao pertumbuhan diameter sedikit lebih cepat. Sistem agrogoresti dengan kakao pada umur 3 tahun diameter bambang mencapai 9.89 cm dengan riap rata-rata tahunan (MAI) sebesar 3.30 cm/tahun sedangkan sistem
106
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
agroforestri dengan kopi diameter sebesar 9.01 cm dengan MAI sebesar 3 cm/tahun. MAI diameter merupakan riap diameter rata-rata pada umur tertentu yang diperoleh dari dimensi diameter pada umur tertentu dibagi dengan umurnya pada memperoleh diameter tertentu tersebut. Tabel 1. Dimensi diameter dan pertumbuhan diameter tegakan bambang sistem agroforestri PUP 1 2 3 4 5 6
Lokasi
8 9 5 6 4 5 5 6 3 4
789 789 256 256 589 589 411 411 544 544
Dbh (cm) 18.59 19.41 16.97 17.44 12.53 14.54 14.80 16.16 9.89 14.60
3
577
9.01
Campuran Umur
Kel. Bumi Agung Kec.Dempo Tengah Kel. Muara Siban Kec. Dempo Utara Kel. Bumi Agung Kec. Dempo Tengah Kel. Padang Temu Kec. Dempo Tengah Talang Belumai Kec. Pagar Alam Utara Kel. Karang Dalo Kec Dempo Tengah
Kopi Kopi Kopi Kopi Kakao Kopi
N/Ha
MAI Dbh (cm/thn) 2.32 2.16 3.39 2.91 3.13 2.91 2.96 2.69 3.30 3.65
CAI Dbh (cm/thn)
3.00
-
0.81 0.47 2.09 1.36 4.71
Secara umum perkembangan bambang dengan sistem agroforestri sampai dengan umur 5 tahun rata-rata MAI sekitar 3.09 cm/tahun. Setelah umur 6 tahun atau lebih riap rata-rata tahunan sudah mulai mengalami penurunan. Pola pertumbuhan diameter jenis bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri dengan kopi atau dengan kakao seperti pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan perkembangan dimensi diameter bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri. Persamaan yang terbentuk merupakan persamaan logaritmik dengan rumus y = 8.0731 Ln(x) + 2.3187 dimana y merupakan diameter pohon sedangkan x merupakan umur tegakan. Persamaan yang terbentuk memiliki nilai R2 sebesar 86.6% yang memberikan gambaran keragaman diameter pohon dapat diterangkan oleh umur pohon sebesar 86.6% sedangkan 13.4% diterangkan oleh faktor lain. Persamaan yang terbentuk dapat menjadi pedoman dalam pendugaan pertumbuhan diameter bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri. 25 y = 8.0731Ln(x) + 2.3187 R2 = 0.866
Diameter (cm)
20
15
10
5
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Umur (Thn)
Gambar 1. Model pertumbuhan diameter tegakan bambang sistem agroforestri
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
107
B. Pertumbuhan Tinggi Bambang Sistem Agroforestri Tinggi merupakan dimensi pohon yang sering digunakan dalam menilai pertumbuhan. Tinggi pohon meliputi tinggi total dan tinggi bebas cabang. Tulisan ini akan menyajikan pertumbuhan pohon dilihat dari perubahan atau pertambahan dari tinggi pohon total. Pertumbuhan pohon sering dinyatakan dalam riap baik riap ratarata tahunan (MAI) ataupun riap tahunan berjalan (CAI). MAI merupakan perbandingan antara tinggi suatu pohon pada umur tertentu dibagi dengan umurnya sedangkan CAI merupakan selisih tinggi pada tahun tertentu dikurangi dengan tinggi pada tahun sebelumnya. Pengembangan bambang dengan sistem agroforestri baik dengan kopi maupun kakao memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi. Hasil pengukuran dimensi tinggi total pohon pada berbagai umur dan riap tinggi pohon seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Dimensi tinggi dan pertumbuhan tinggi tegakan bambang sistem agroforestri PUP 1 2 3 4 5 6
Lokasi Kel. Bumi Agung Kec.Dempo Tengah Kel. Muara Siban Kec. Dempo Utara Kel. Bumi Agung Kec. Dempo Tengah Kel. Padang Temu Kec. Dempo Tengah Talang Belumai Kec. Pagar Alam Utara Kel. Karang Dalo Kec Dempo Tengah
8 9 5 6 4 5 5 6 3 4
789 789 256 256 589 589 411 411 544 544
Tinggi (cm) 13.78 15.04 10.54 11.97 9.25 11.03 9.55 10.71 5.32 7.59
3
577
5.2
Campuran Umur Kopi Kopi Kopi Kopi Kakao Kopi
N/Ha
MAI Tinggi (cm/thn) 1.72 1.67 2.11 1.99 2.31 2.21 1.91 1.79 1.77 1.90
CAI Tinggi (cm/thn)
1.73
-
1.25 1.42 1.77 1.16 2.27
Tinggi merupakan parameter pohon yang dapat menggambarkan tingkat kualitas tempat tumbuh suatu lahan. Sistem agroforestri bambang dengan kopi maupun kakao memberikan perbedaan yang tidak begitu jauh. Pengembangan agroforestri bambang dengan kakao pada umur tiga tahun tingginya mencapai 5.32 m dengan MAI tinggi sebesar 1.77 m/tahun, sedangkan sistem agroforestri bambang dengan kopi pada umur yang sama tingginya 5.2 m atau lebih rendah dengan sistem agroforestri bambang dengan kakao sebesar 0.12 m. Pada plot tertua umur sembilan tahun tegakan bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri bambang dengan kopi memiliki tinggi 15.05 m dengan MAI sebesar 1.67 m/tahun. Berdasarkan pola riap MAI tegakan bambang didapatkan informasi pertumbuhan tinggi bambang optimal tercapai sampai umur 5 tahun dan selanjutnya akan mengalami penurunan. Sampai dengan umur 5 tahun MAI tinggi sebesar 2.07 m/tahun. Berdasarkan informasi ini budidaya bambang memerlukan perlakukan intensif dalam rangka memacu pertumbuhan pohon bambang. Pola pertumbuhan tinggi bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri seperti pada Gambar 2.
108
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
16
y = 7.2355Ln(x) - 1.281 R2 = 0.8031
14 12
Tinggi (m)
10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Umur (thn)
Gambar 2. Model pertumbuhan tinggi tegakan bambang sistem agroforestri Pertumbuhan tinggi bambang sistem agroforestri dibangun berdasarkan persamaan logaritmik. Persamaan yang terbentuk y = 7.2355 Ln (x) – 1.281 dengan nilai R2 sebesar 80.31% dimana y merupakan tinggi bambang sedangkan x merupakan umur tegakan bambang. Persamaan yang terbentuk dapat memberikan gambaran perkembangan tinggi pohon bambang berdasarkan umur tegakan yang dikembangkan dengan sistem agroforestri.
(b)
(a)
Gambar 3. Sistem agroforestri bambang dengan kopi (a) dan agroforestri bambang dengan kakao (b)
KESIMPULAN Budidaya bambang dengan sistem agroforestri pada umur 3 tahun memberikan informasi pertumbuhan diameter dan tinggi pohon bambang tidak berbeda jauh antara sistem agroforestri dengan kako maupun agroforestri dengan kopi, dimana sistem agroforestri antara bambang dengan kakao pertumbuhan bambang sedikit lebih cepat. Pertumbuhan MAI diameter dan tinggi bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri baik kopi maupun kakao memiliki pertumbuhan optimal sampai dengan umur 5 tahun sehingga pada saat umur 0 – 5 tahun memerlukan perlakukan silvikultur intensif untuk memacu pertumbuhan bambang. Persamaan untuk menggambarkan pertumbuhan diameter y = 8.0731 Ln(x) + 2.3187 sedangkan pertumbuhan tinggi y = 7.2355 Ln (x) – 1.281. Persamaan ini dapat menjadi pedoman dalam memprediksi pertumbuhan bambang yang dikembangkan dengan sistem agroforestri antara bambang dengan kopi atau bambang dengan kakao.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
109
DAFTAR PUSTAKA Adelina, N. 2008. Pengaruh posisi buah, ukuran benih dan pengusangan cepat terhadap perkecambahan benih Medang Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J.Lam). Tesis Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang. (Tidak dipublikasikan). Suryanto P., W.B. Aryono Dan M.Sambas Sabarnurdin. 2006. Model Bera Dalam Sistem Agroforestri. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 2 : 15-26. Suryanto P., Tohari dan M.S. Sabarnurdin. 2005. Dinamika Sistem Berbagi Sumberdaya (Resouces Sharing) dalam Agroforestri: Dasar Pertimbangan Penyusunan Strategi Silvikultur. Ilmu Pertanian. Vol. 12 No.2, 2005 : 165 – 178. Widianto, N. Wijayanto dan D. Suprayogo. 2003. Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor. Indonesia. Winarno, B. dan E. A. Waluyo. 2008. Potensi pengembangan hutan rakyat dengan jenis tanaman lokal. http://efend1.multiply.com/journal/item/4/Potensi Pengembangan Hutan Rakyat dengan Jenis Tanaman Kayu Lokal. di akses tanggal 21 Januari 2010.
110
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
NILAI MANFAAT BUDIDAYA AREN BAGI MASYARAKAT SEKITAR BUKIT BARISAN SUMATERA Edwin Martin1 dan Armelia Prima Yuna1)
ABSTRAK Bukit Barisan adalah fitur khas Pulau Sumatera. Nilai penting areal ini mendorong pemerintah untuk menetapkannya sebagai kawasan hutan. Sayangnya, niat untuk mempertahankan tutupan Bukit Barisan bertentangan dengan praktik usahatani kopi secara ekstensif yang dilakukan sebagian besar masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi nilai manfaat budidaya aren bagi petani kopi yang hidup dan tinggal di sekitar Bukit Barisan Sumatera. Hasil penelitian menunjukkan kinerja ekonomi rumah tangga penanam aren-kopi lebih baik dari penanam kopi saja. Pohon-pohon aren yang ditanam di antara kopi berperan sebagai sumber utama nafkah keluarga sehari-hari, sementara hasil kopi menjadi tabungan tahunan. Praktik usahatani aren-kopi merupakan budidaya pertanian menetap dan menggerakkan ekonomi desa. Kata kunci: aren, Bukit Barisan, deforestasi, masyarakat sekitar hutan
I. PENDAHULUAN Bukit Barisan adalah salah satu fitur khas Pulau Sumatera. Eksistensi wilayah perbukitan yang memanjang dari Provinsi Lampung hingga Aceh ini merupakan berkah bagi masyarakat di sekitarnya. Keanekaragaman hayati, iklim mikro, dan kesuburan tanah di sekitar Bukit Barisan memberikan kehidupan (livelihoods) bagi masyarakat. Sayangnya, harmoni antara masyarakat dengan areal Bukit Barisan menjadi terusik ketika jumlah populasi manusia makin meningkat dan tidak sebanding dengan daya dukung lingkungan. Guna menjaga stabilitas ekosistem, melestarikan fungsi perlindungan tata air, pencegahan banjir dan erosi, maka pemerintah mengambil kebijakan menjaga eksistensi hutan di sepanjang Bukit Barisan, melalui beragam bentuk kelembagaan, seperti Hutan Lindung, Taman Wisata Alam, Cagar Biosfer, dan Taman Nasional. Pembatasan akses pemanfaatan vegetasi dan lahan yang telah ditunjuk atau ditetapkan sebagai kawasan lindung berdampak pada berkurangnya kesempatan bagi masyarakat lokal untuk dapat meningkatkan kesejahteraan. Secara alamiah, rumah tangga yang hidup dan berusahatani di sekitar Bukit Barisan memiliki keterbatasan dalam penguasaan lahan usaha, karena relatif tingginya tingkat kesulitan bertani di areal berbukit di banding mereka yang tinggal di dataran rendah. Hambatan institusi dan alamiah tersebut disebut banyak pakar sebagai faktor penyebab pemiskinan
1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
111
(impoverisment) masyarakat sekitar kawasan lindung dataran tinggi (Davies dan Wismer, 2007; Hartono, 2006; Van Griethuysen, 2006; Peluso, 1992). Kemiskinan dan keterbatasan kepemilikan lahan adalah dua faktor yang disebut masyarakat lokal sebagai penyebab mengapa mereka terpaksa membuka hutan di kawasan lindung Bukit Barisan untuk areal usahatani. Masyarakat tidak diberikan pilihan untuk mengubah pola tradisional usahatani kopi secara berpindah, sehingga terjadi lingkaran berulang antara kemiskinan dan deforestasi di Kawasan Lindung Bukit Barisan. Beberapa kelompok masyarakat yang hidup dan berusahatani di sekitar Taman Wisata Alam Bukit Kaba, Kabupaten Rejang Lebong menunjukkan perbedaan pola usahatani dengan kelompok masyarakat lainnya. Mereka memilih aren (Arenga pinnata MERR) sebagai tanaman utama penghasil pendapatan (cash income), sementara hasil budidaya kopi berperan sebagai tabungan. Entitas praktik usahatani campuran aren dan kopi ini menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama dalam konteks hubungan antara kehidupan masyarakat sekitar Bukit Barisan dan hutannya. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimanakah perbedaan kinerja ekonomi rumah tangga antara penanam aren-kopi dengan penanam kopi saja. Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi nilai manfaat budidaya aren bagi petani kopi yang hidup dan tinggal di sekitar Bukit Barisan Sumatera. Penelitian dimaksudkan untuk memberikan pilihan usahatani bagi masyarakat yang sejalan dengan kebijakan pemerintah menjadikan hutan di Bukit Barisan sebagai kawasan hutan.
II. METODE PENELITIAN a. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juni sampai Oktober tahun 2009. Lokasi penelitian dipilih secara purposive, yaitu desa-desa penghasil gula aren di Kabupaten Rejang Lebong dan desa-desa penghasil kopi di Kabupaten Muara Enim (Gambar 1). Desa Air Meles Atas, Sindang Jaya dan Sindang Jati yang terletak di Kabupaten Rejang Lebong dikenal sebagai sentra penghasil gula aren. Ketiga desa tersebut berbatasan langsung dengan Taman Wisata Alam Bukit Kaba. Sementara, Desa Muara Tenang, Tebing Abang dan Tanjung Raya di Kecamatan Semende Darat Tengah Kabupaten Muara Enim dipilih sebagai pewakil desa-desa sekitar Bukit Barisan yang umum berusahatani kopi.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian; Posisi desa-desa penghasil gula aren di Rejang Lebong dan desa-desa penghasil kopi di Muara Enim 112
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
b. Pengumpulan dan analisis data Metode survei menjadi alat utama dalam pengumpulan data. Survei rumah tangga dilakukan pada seluruh desa-desa yang telah ditetapkan sebagai sasaran penelitian. Sebanyak 30 rumah tangga dipilih secara acak pada masing-masing desa penelitian. Survei rumah tangga dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap kepala rumah tangga dengan alat bantu kuesioner terstruktur. Pewawancara ditunjuk dari beberapa orang masyarakat desa bersangkutan yang telah terbiasa melakukan pencacahan dan dilatih oleh tim peneliti. Daftar pertanyaan dalam kuesioner terdiri atas kelompok pertanyaan yang mencakup identitas responden, pengalaman usahatani, potensi dan pengelolaan usahatani. Khusus untuk desa-desa sentra aren, selain menggunakan cara survei, juga dilakukan pendekatan penelitian interpretatif (Agger, 2003) guna mendalami pengalaman petani berusahatani aren. Data kuantitatif yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk menampilkan pemusatan data (rerata) berdasarkan unit desa. Data kualitatif diolah untuk dipilah dalam menjelaskan kecenderungan data kuantitatif dan perbedaan yang terjadi antara situasi di desa-desa penghasil gula aren-kopi dengan desa-desa penghasil kopi saja.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Deskripsi usahatani masyarakat sekitar Bukit Barisan Sebagian besar masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar Bukit Barisan Sumatera merupakan petani kopi. Salah satu kelompok suku yang terkenal sebagai petani kopi adalah orang Semende. Wilayah asli orang Semende berada di 3 (tiga) kecamatan dalam Kabupaten Muara Enim, yaitu Semende Darat Laut (SDL), Semende Darat Tengah (SDT), dan Semende Darat Ulu (SDU). Orang Semende secara tradisional pergi merantau ke seluruh daerah berhutan di sekitar Bukit Barisan untuk membuka kebun kopi baru, baik dalam Provinsi Sumatera Selatan, maupun sampai ke provinsi tetangganya, yakni Lampung, Bengkulu dan Jambi. Orang Semende seringkali berperan sebagai inisiator pembukaan wilayah-wilayah permukiman baru di daerah berbukit, dengan mengubah tutupan hutan menjadi perkebunan kopi. Kehidupan orang Semende dan usahatani kopinya dapat dideskripsikan dari keadaan yang terjadi di Desa Muara Tenang, Tanjung Raya, dan Tebing Abang. Petani yang tinggal di Desa Tebing Abang, Muara Tenang dan Tanjung Raya adalah petani kopi tulen. Mereka mengandalkan hasil kopi sebagai sumber nafkah keluarga. Hampir semua lahan kebun ditanami kopi secara monokultur. Jenis tanaman keras lainnya, termasuk aren jarang dapat dijumpai dalam unit kebun kopi (Tabel 1). Tabel 1. Deskripsi umum kebun masyarakat di desa-desa penghasil kopi Rerata luas kebun/rumah tangga (Ha) Muara Tenang 1.90 Tebing Abang 1.02 Tanjung Raya 1.14 Sumber: Data primer, diolah (2009) Desa
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Tanaman pokok Kopi Kopi Kopi
Jumlah aren -
113
Meskipun terkenal sebagai penghasil kopi yang memiliki citarasa yang khas, ternyata produktivitas kebun kopi di Kecamatan SDT tergolong rendah. Hasil panen kopi yang dapat diperoleh oleh rumah tangga petani di Desa Muara Tenang yang memiliki lahan kebun cukup luas, tidak mencapai 1 (satu) ton dalam satu tahun atau musim (Tabel 2). Menurut orang Semende, tanah-tanah yang telah mereka usahakan secara turun-temurun makin berkurang kesuburannya dan tidak mampu menghasilkan kopi dalam jumlah banyak. Oleh karenanya, banyak orang Semende yang melakukan migrasi untuk mencari tanah-tanah yang lebih subur, di sekitar areal Bukit Barisan lainnya. Tabel 2. Jumlah batang dan hasil produksi kopi per tahun di desa-desa penghasil kopi Rerata jumlah batang Rerata hasil panen/tahun Harga jual kopi/rumah tangga (Kg) (Rupiah) Muara Tenang 4750 700 12.000 Tebing Abang 2326 400 9.500 Tanjung Raya 2611 300 10.000 Sumber: Data primer, diolah (2009) Rendahnya produktivitas kebun kopi di SDT berimplikasi pada tingkat pendapatan yang diperoleh oleh setiap rumah tangga petani. Petani kopi Semende mengalami defisit pendapatan (Tabel 3). Kopi di desa ini berkontribusi 90 persen terhadap pendapatan total rumah tangga petani, namun tidak mampu menopang pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Fakta ini menguatkan alasan mengapa orang Semende memiliki kebiasaan merantau dan membuka hutan di sekitar Bukit Barisan. Tanpa diversifikasi komoditas dalam unit lahan kebun, maka sulit bagi masyarakat Semende untuk meningkatkan pendapatan, khususnya bagi mereka yang hanya mengandalkan lahan kebun sebagai sumber nafkah keluarga. Desa
Tabel 3. Kontribusi usahatani kopi terhadap pendapatan rumah tangga petani di desadesa penghasil kopi Rerata pendapatKontribusi kopi Rerata pengeluar- Selisih pendaDesa an total/bulan terhadap pendapat- an total/bulan patan penge(Rupiah) an total (%) (Rupiah) luaran (Rupiah) Muara Tenang 593.067 91,28 1.018.903 (425.837) Tebing Abang 922.567 45,77 870.530 52.037 Tanjung Raya 662.526 29,46 677.026 (14.500) Sumber: Data primer, diolah (2009) b. Kehidupan petani kopi pengolah aren Desa Air Meles Atas, Sindang Jaya dan Sindang Jati adalah desa-desa sentra penghasil gula aren di Kabupaten Rejang Lebong. Pada awalnya, ketiga desa tersebut juga merupakan penghasil kopi, sebagaimana keadaan desa-desa sekitar Bukit Barisan pada umumnya. Aren menyebar secara alami ke dalam kebun-kebun kopi sejak tahun 1960-an. Setelah pohon banyak ditemukan di dalam kebun, beberapa orang petani mencoba menyadap air nira untuk dibuat gula aren. Keberhasilan beberapa orang membuat dan menjual gula aren menginspirasi petani lainnya untuk mengusahakan aren sebagai sumber ekonomi alternatif selain kopi. Saat ini, usahatani aren merupakan sumber pendapatan utama warga tiga desa tersebut. Tabel 4 memberikan
114
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
gambaran tentang potensi pohon aren yang ditanam oleh setiap keluarga di dalam kebun kopi. Berdasarkan pengalaman masyarakat Desa Sindang Jati, 6 (enam) batang pohon aren dewasa dapat memenuhi nafkah 1 (satu) keluarga baru. Selain tidak membutuhkan lahan yang luas, usahatani aren penghasil gula tidak mengenal masa paceklik. Meskipun pada bulan-bulan tertentu harga gula aren tidak tinggi, tetapi tetap dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari petani. Oleh karena itu, meskipun kepemilikan lahan usahatani warga di ketiga desa penghasil gula aren lebih sempit dibanding desadesa penghasil kopi Semende, kepala keluarga baru disana tidak perlu merantau ke luar daerah untuk mencari lahan usahatani baru. Pohon-pohon aren mampu menopang kehidupan petani pemiliknya dan menciptakan pola usahatani menetap. Harga gula aren tertinggi yang pernah dinikmati petani adalah Rp. 13.700,-, yaitu pada satu bulan menjelang Bulan Ramadhan tahun 2009. Harga terendah dalam tiga tahun terakhir adalah Rp. 7000,-. Pada saat harga gula aren dirasakan anjlok, sebagian besar petani menyimpan gula aren hingga waktu harga jual lebih baik. Sebagian besar petani menjual gula aren per 1 (satu) atau 2 (dua) hari guna mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Petani penghasil gula aren tidak mengenal masa paceklik, sehingga stabilitas ekonomi keluarga relatif terjaga. Tabel 4. Deskripsi umum kebun masyarakat di desa-desa penghasil gula aren Rerata luas kebun/rumah Tanaman Jumlah tangga pokok1) aren Air Meles Atas 1,06 Ha Kopi 132 pohon Sindang Jaya 0,84 Ha Kopi 55 pohon Sindang Jati 0,99 Ha Kopi 115 pohon Sumber: Data primer, diolah (2009) 1): Kopi disebut petani sebagai tanaman pokok karena ditanam secara sengaja dan teratur, sementara pohon aren biasanya hanya diposisikan sebagai tanaman pagar dan sela Desa
Desa-desa sentra aren di Rejang Lebong memiliki kebiasaan berbeda dalam hal masa pengolahan nira menjadi gula. Selain itu, ketiga desa sentra aren juga berbeda dalam banyaknya pohon aren yang harus disadap oleh setiap keluarga (Tabel 4). Desa Sindang Jati adalah desa yang terkenal dengan hasil gula aren yang melimpah. Perbedaan ini dimungkinkan oleh perbedaan produksi nira pohon aren pada setiap desa, banyaknya jumlah manggar yang disadap, tingkat keuletan petani dan curahan waktu petani terhadap usahatani aren. Tabel 4. Jumlah kepemilikan pohon aren dan produksi gula di desa-desa penghasil gula aren Jumlah pohon produktif/ rumah tangga Air Meles Atas 25 Sindang Jaya 17 Sindang Jati 12 Sumber: Data primer, diolah (2009) Desa
Harga jual per kg (Rp) 20 kg/hari 10.000 35 kg/minggu 10.000 30 kg/2 hari 12.000 Hasil gula
Kebanyakan petani aren di Desa Sindang Jati membuat gula aren di sekitar rumah tinggal. Kayu bakar untuk memasak gula aren dibeli dari pemasok kayu bakar. Mereka Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
115
mendapatkan kayu bakar jenis gamal (Glirisidae sp) dari penjual yang mengumpulkan kayu dari daerah sekitar Curup (Ibukota Kabupaten Rejang Lebong) seharga 400 ribu rupiah per satuan angkut mobil minibus jenis pick up. Jenis kayu bakar lainnya yang kerap dipakai petani adalah kayu karet, seharga 350 ribu rupiah per satuan yang sama. Produksi gula aren yang membutuhkan proses pengolahan dan membutuhkan kayu bakar berdampak pada pelibatan secara penuh kaum perempuan (ibu rumah tangga) dalam usaha produktif dan mendorong terbentuknya kebun campuran. Hal ini menyebabkan perputaran ekonomi di desa-desa penghasil gula aren relatif lebih cepat dibandingkan desa-desa penghasil kopi saja. Usahatani aren yang dilakukan setiap keluarga di desa-desa sentra aren menyuburkan praktik jual beli gula aren. Pada tahun 2009, terdapat paling tidak 30 keluarga yang berperan sebagai pedagang pengumpul gula aren di desa ini. Petani merasa diuntungkan dengan banyaknya pedagang pengumpul ini. Selain memudahkan dalam pemasaran, pedagang pengumpul memberikan beragam fasilitas kredit bagi petani aren, mulai dari pembuatan rumah, kendaraan bermotor, perabot rumah tangga dan lainya. Fasilitas kredit tersebut merupakan pengikat antara petani dan pedagang. Pedagang pengumpul menyuplai gula kepada pedagang perantara yang berasal dari Desa Kepala Curup dan Pelalo. Pedagang perantara inilah yang kemudian memasarkan langsung gula-gula aren ini ke kota-kota besar seperti Jambi dan Palembang. Petani aren di desa-desa sentra aren Rejang Lebong tergolong cukup sejahtera. Ini terbukti dari banyaknya petani yang mampu membeli lahan (tanah) di desa-desa lainnya. Jika petani aren tergolong rajin, maka ia akan dapat menghasilkan gula sebanyak 20 kg setiap hari. Namun, apabila ia memilih untuk tidak bersusah payah maka hasil gulanya mencapai antara 10 kg sampai 15 kg setiap harinya. Apabila harga gula Rp. 10.000,- maka petani rajin akan memperoleh pendapatan Rp. 200.000,- setiap harinya, dan petani santai akan mendapatkan Rp. 100.000,- saja. Pendapatan dari usahatani aren mendominasi sumber pendapatan petani di ketiga desa sentra aren (Tabel 5). Tabel 5. Kontribusi usahatani aren terhadap pendapatan rumah tangga petani Rerata pendapat- Kontribusi aren Rerata pengeluar- Selisih pendapatanan total/bulan terhadap penda- an total/bulan pengeluaran (Rupiah) patan total (%) (Rupiah) (Rupiah) Air Meles Atas 2.277.281 92,32 1.088.754 1.188.526 Sindang Jaya 2.794.909 73,49 1.546.227 1.248.681 Sindang Jati 3.463.909 90,17 1.068.590 2.341.984 Sumber: Data primer, diolah (2009) Desa
Hampir semua petani aren di Desa Sindang Jaya juga menanam kopi di lahan usahataninya. Hasil rata-rata kopi setiap 1 hektar kopi adalah 2 ton biji kopi kering. Kopi di Desa Sindang Jaya dan Sindang Jati umumnya adalah dari jenis robusta yang diremajakan dengan cara sambung. Pada tahun 2009, harga jual biji kopi kering per kilogramnya adalah Rp. 11.000,-. Tidak semua warga di desa-desa sentra aren memiliki areal usahatani aren, namun mereka tetap dapat mengelola aren. Sistem bagi hasil dijalankan oleh pemilik lahan aren yang tidak memiliki waktu untuk langsung mengelola kebun arennya. Cara bagi hasil yang paling umum adalah nira hasil sadapan menjadi hak pemilik lahan selama 3 tiga hari, kemudian 3 hari berikutnya menjadi milik penyadap.
116
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Selain menjadikan kopi sebagai sumber tabungan tahunan, hampir semua warga Desa Sindang Jaya dan Sindang Jati juga mengusahakan hewan ternak seperti sapi dan kambing. Peternakan rumah tangga ini merupakan bagian dari upaya mengoptimalkan hasil dari lahan usahatani, karena melimpahnya pakan ternak dari kebun, baik dari jenis rumput maupun buah aren dari tandan jantan. Cara usahatani seperti ini menguatkan ketahanan ekonomi rumah tangga petani dan mengurangi kebutuhan lahan usahatani baru. c. Ilustrasi rumah tangga petani aren-kopi Usahatani aren tidak identik dengan petani, suku, usia, jenis kelamin, dan golongan tertentu. Usahatani tani aren yang dilakukan masyarakat di Desa Air Meles Atas, Sindang Jaya, dan Sindang Jati memberikan gambaran nyata bahwa pengolahan aren dapat dilakukan oleh siapapun. Salah satu contoh petani aren yang cukup berhasil adalah Pak Arpendi yang tinggal di Desa Air Meles Atas. Pak Arpendi berusia 40 tahun dan memiliki 2 (dua) orang anak. Dia merupakan warga lokal suku Rejang, suku asli Kabupaten Rejang Lebong. Orang Rejang juga dikenal sebagai petani kopi tulen di daerah berbukit sekitar Bukit Barisan. Meskipun menamatkan sekolah hingga tingkat SLTA, Pak Arpendi tidak pernah berniat menjadi pegawai negeri, namun memilih menjadi petani aren-kopi, karena menurutnya dalam hitungan matematis petani aren lebih sejahtera dari pegawai negeri. Pak Arpendi berketetapan hati menjadikan aren sebagai sumber utama nafkah sehari-hari, sementara kopi diperankan sebagai tabungan keluarga. Hasil penjualan gula aren dapat mencukupi kebutuhan harian rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Kopi merupakan tanaman dominan di kebunnya. Hasil kopi digunakan sebagai tabungan untuk membeli kendaraan bermotor, tanah kebun, dan barang-barang lain yang membutuhkan dana besar. Pada saat penelitian dilakukan, Pak Arpendi mengusahakan 12 manggar dari 400 pohon aren yang ada di kebunnya. Lahan usahatani yang dia kelola sebetulnya tidak terlalu luas, yaitu sekitar 1,5 hektar. Pak Arpendi mengatur pola tanam beragam komoditas di lahan miliknya secara acak, namun diatur secara efisien. Strata atas ditempati pohon aren dan kayu afrika (Maesopsis eminii). Strata kedua ditempati beragam pohon buah seperti jengkol, pisang, petai, dan kemiri. Strata ketiga diisi oleh tanaman yang paling banyak frekuensinya di kebun yaitu kopi. Sementara lantai kebun ditempati tanaman bawah seperti talas, cabai dan sayur-mayur. Pola agroforestri kompleks yang diterapkan Pak Arpendi berakibat tercukupinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kemandirian dalam usahatani. Menyadap nira dari pohon-pohon aren produktif setiap pagi dan petang adalah aktivitas rutin Pak Arpendi. Nira aren yang tersimpan dalam tabung dibawa ke kediamannya yang berjarak 0,5 km dari kebun, untuk selanjutnya dimasak menjadi gula oleh Ibu Arpendi. Hampir setiap hari, kecuali hari Ahad, petani ini berada di kebunnya. Selain menyadap aren, ia selalu membersihkan gulma di sekitar tanaman kopi, talas, dan sayur-mayur. Kebutuhan kayu bakar untuk memasak gula aren juga disiapkan dari kebun ini, sehingga ia tidak tergantung kepada pedagang kayu bakar sebagaimana kebanyakan petani aren di desanya. Profil pendapatan dari usahatani aren berbasis kopi yang dilakukan oleh Pak Arpendi disajikan dalam Tabel 5. Hasil usahatani aren-kopi yang dilakukan Pak Arpendi dapat dilakukan oleh semua petani kopi di sekitar Bukit Barisan. Hasil Penelitian Prakosa dkk. (2009)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
117
menunjukkan bahwa secara biofisik terdapat kemiripan antara situasi di desa-desa penghasil gula aren Rejang Lebong dengan desa-desa penghasil kopi Semende. Karenanya, usahatani aren-kopi ini dapat direplikasi di wilayah lainnya di sekitar Bukit Barisan. Peran pemerintah adalah memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada petani kopi yang tinggal di sekitar Bukit Barisan tentang pilihan-pilihan usahatani menetap dan produktif, sehingga secara bijaksana mengurangi tekanan terhadap keberadaan tutupan hutan di sepanjang Bukit Barisan. Tabel 5. Ilustrasi arus pendapatan petani pengolah aren di Desa Air Meles Atas Kabupaten Rejang Lebong (Petani = Pak Arpendi, luas lahan = 1,5 hektar) No.
Sumber Pendapatan
Per musim Jumlah total Per hari Per bulan Per 3 bulan Per 6 bulan Per tahun dalam 1 tahun
1.
Aren Nira/gula aren2) 123.300.000 - Tertinggi 342.500 10.275.000 3.000.000 36.000.000 - Rata-rata 100.000 630.000 7.500.000 - terendah 21.000 375.000 750.000 Ijuk 4.000.000 4.000.000 Kolang-kaling 2. Kopi 8.000.000 8.000.000 3. Keladi/talas 1.800.000 3.600.000 4. Pisang 120.000 480.000 5. Dagang harian 50.000 1.500.000 18.000.000 Sumber: Data primer hasil indepth interview Keterangan: 2): Selama tahun 2008 sampai tahun 2009, harga gula aren di tingkat petani cukup fluktuatif, harga tertinggi Rp. 14.000, terendah Rp. 7.000 dan rata-rata Rp. 10.000
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kinerja ekonomi rumah tangga penanam aren-kopi lebih baik dari penanam kopi saja. Pohon-pohon aren yang ditanam di antara kopi berperan sebagai sumber utama nafkah keluarga sehari-hari, sementara hasil kopi menjadi tabungan tahunan. Pengolahan aren menjadi gula dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal perbedaan gender, usia, tingkat pendidikan dan asal suku. Usahatani aren-kopi mendorong terjadinya percepatan roda ekonomi desa, menghilangkan masa paceklik dan terbentuknya kebun campuran. Usahatani aren-kopi memiliki prospek untuk dilakukan oleh petani kopi sekitar Bukit Barisan yang memiliki tradisi peladangan berpindah. Pemerintah diharapkan bertindak sebagai penyuluh (extension worker) yang memberikan informasi valid kepada petani kopi sekitar Bukit Barisan mengenai seluk beluk kehidupan petani arenkopi dibandingkan petani yang mengandalkan kopi saja.
118
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
DAFTAR PUSTAKA Agger, B., 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya (Critical Theory: Critiques, Application, and Its Implication). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Davies, E.G.R dan S.K. Wismer, 2007. Sustainable forestry and local people: The case of Hainan’s Li minority. Human Ecology, 35: 415-426. Hartono, M.D., 2006. Is national park for conservation? Case study in Merapi VolcanoIndonesia. Paper presented in 11th biennial conference of International Association for the Study of Common Property, Bali Indonesia, June 19-23, 2006. Peluso, N.L., 1992. Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press. Prakosa, D., E. Martin, B.T. Premono, Junaidah, F. Azwar, A.P. Yuna, 2009. Upaya pengembangan aren di areal sekitar kawasan hutan lindung melalui pemanfaatan perangkat pendukung keputusan. Laporan Penelitian Balai Penelitian Kehutanan tahun 2009. Tidak dipublikasikan. Van Griethuysen, P., 2006. A critical evolutionary economic perspective of socially responsible conservation. Di dalam: Oviedo G., Van Griethuysen P., and Larsen P.B., editor. Poverty, Equity and Rights in Conservation - Technical papers and case studies. IUCN, Gland, Switzerland, IUED, Geneva, Switzerland.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
119
120
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PEMANFAATAN TANAMAN AREN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TWA BUKIT KABA, KABUPATEN REJANG LEBONG, BENGKULU YANG MENGGUNAKAN POLA CAMPURAN Junaidah1, Armellia Prima Yuna1), Edwin Martin1), R. Dody Prakosa1) dan Bambang Tejo Premono1)
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan aren oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Bukit Kaba, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian tanaman aren yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Bukit Kaba, antara lain ijuk, nira, bunga jantan, pelepah, daun, umbut, batang, lidi dan buah. Dari beberapa produk tersebut, produk olahan aren dengan nilai ekonomi paling tinggi adalah gula aren yang berasal dari pengolahan nira. Hingga saat ini teknologi yang digunakan dalam mengolah bagian tanaman aren menjadi produk yang bernilai ekonomi lebih tinggi seperti gula aren masih dilakukan dengan cara konvensional. Pola pemanfaatan produk olahan bagian tanaman aren di masyarakat kebanyakan untuk konsumsi pribadi dan dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Pohon aren yang dimanfaatkan kebanyakan tumbuh secara alami di lahan masyarakat. Peremajaan pohon yang sudah tua, pemilihan bibit yang berkualitas dan penyuluhan budidaya aren merupakan langkah yang bisa diambil untuk mempertahankan dan meningkatkan populasi aren di sekitar kawasan TWA Bukit Kaba. Kata kunci: aren, pemanfaatan, pola penanaman, teknologi pengolahan
I. PENDAHULUAN Aren (Arenga pinnata Merr.) telah dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia. Tanaman aren tumbuh tersebar pada hampir seluruh wilayah Indonesia terutama di Papua, Maluku Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bengkulu dan Kalimantan Selatan. Luas pertanaman aren di Indonesia pada tahun 2002 adalah 47.730 ha (Efendi, 2009). Tanaman aren dapat tumbuh mulai dari 9 sampai dengan 1400 m dpl. Tumbuh secara liar atau dibudidayakan. Biasanya banyak ditemukan di lereng-lereng atau tebing sungai. Tanaman aren memiliki banyak kegunaan. Hampir semua bagian tanaman aren bisa dimanfaatkan, mulai dari akar, batang, umbut, pelepah, daun, buah, bunga jantan, nira, ijuk, dan lidi. Aren juga mempunyai fungsi hidrologi sebagai penahan air. Sistem perakaran aren diketahui sangat dalam, bisa mencapai enam meter ke dalam tanah. Sehingga, keberadaan aren di tanah-tanah yang terjal dapat sangat membantu mengurangi dan mencegah terjadinya erosi tanah.
1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
121
Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu merupakan salah satu sentra aren di wilayah Sumbagsel. Beberapa desa yang mempunyai potensi aren terletak di sekitar kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba. TWA Bukit Kaba adalah kawasan hutan lindung yang ditunjuk sebagai Hutan Wisata c.q. Taman Wisata berdasarkan SK Menhut Nomor 166/kpts-II/1986 tanggl 1 Januari 1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Dati I Bengkulu seluas ± 13.490,00 Ha. Kondisi TWA semakin hari semakin kritis karena semakin banyak kawasan hutan yang rusak dan dirambah oleh masyarakat (BKSDA, 2010). Desa-desa berpotensi aren yang berbatasan dengan TWA Bukit Kaba menjadikan aren sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama setelah kopi. Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani aren kondisinya relatif lebih sejahtera dibandingkan masyarakat yang hanya mengandalkan kopi sebagai sumber pendapatan keluarga. Hal tersebut juga bersinergi dengan keadaan TWA Bukit Kaba saat ini. Berdasarkan pemantauan di lapangan, kondisi TWA Bukit Kaba yang berbatasan dengan desa berpotensi aren kawasannya masih cukup bagus dibandingkan bagian lainnya. Oleh karena itu, salah satu solusi untuk menjaga kelestarian TWA Bukit Kaba dari perambahan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan tanaman aren secara lebih maksimal sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pemanfaatan aren oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Bukit Kaba. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dalam upaya mencegah perambahan hutan dengan jalan meningkatkan pendapatan petani yang berada di sekitar kawasan TWA Bukit Kaba.
II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tiga desa yang berbatasan dengan TWA Bukit Kaba, yaitu Desa Sindang Jati, Desa Sindang Jaya dan Desa Air Meles Atas. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan antara lain pohon aren (Arenga pinnata Merr.), kuesioner, kamera dan alat tulis. C. Metode Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan cara survei lokasi sentra aren yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Bukit Kaba. Diambil tiga desa yang memiliki potensi aren paling besar. Setelah ditentukan lokasi untuk dijadikan tempat penelitian, kemudian dilakukan observasi lapangan dan wawancara dengan masyarakat. Sebagai data pendukung juga dikaji keadaan lokasi penelitian yang dikumpulkan dari instansi terkait. Data hasil penelitian disajikan secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi 1. TWA Bukit Kaba
122
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Kawasan ini ditunjuk berdasarkan SK Menhut Nomor 166/kpts-II/1986 tanggal 1 Januari 1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Dati I Bengkulu seluas ± 13.490,00 Ha sebagai kawasan hutan wisata. Sebelumnya kawasan ini merupakan hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan/Penunjukan R.B. No.4 tgl. 8 September 1926. Kawasan hutan ini memiliki potensi wisata yang menarik yaitu kawah belerang, laut pasir, sumber air panas, potensi flora dan fauna yang beragam, udara pegunungan yang sejuk, dan lokasi berkemah. Kawasan ini ramai dikunjungi oleh masyarakat/ wisatawan sehingga memungkinkan untuk dibina/dikembangkan sebagai Taman Wisata Alam guna kepentingan kepariwisataan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, akhirnya Hutan Lindung Bukit Kaba berubah status menjadi Hutan Wisata c.q. Taman Wisata. TWA Bukit Kaba secara administrasi pemerintahan terletak di tiga wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Kepahiang, Kecamatan Padang Ulak dan Kecamatan Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Secara geografis kawasan tersebut terletak pada 102030‘-102045’BT dan 3030’-3040’LS. Keadaan topografi kawasan pada umumnya bergelombang sedang sampai dengan berat, berbukit dan bergunung-gunung dengan ketinggian 1000-2000 m dpl. Jenis tanah regosol, latosol, Andosol dan Alluvial dengan tekstur lempung berpasir dan berwarna hitam. Menurut klasifikasi Schimdt dan Ferguson termasuk dalam tipe iklim A. 2. Kabupaten Rejang Lebong Kabupaten Rejang Lebong terletak di sebelah barat pegunungan Bukit Barisan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lebong b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Kepahiang c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten MURA, Provinsi Sumatera Selatan Kabupaten Rejang Lebong memiliki luas wilayah 151.576 ha. Secara geologis tekstur tanah di Kabupaten Rejang Lebong terdiri dari tekstur tanah halus, tanah sedang dan tanah kasar. Sedangkan menurut jenis tanahnya, Kabupaten Rejang Lebong tersusun atas tujuh jenis tanah, yaitu jenis tanah Andosol, Alluvial, Regosol, Latosol, Podsolik Merah Kuning/Latosol Andosol, kompleks Podsolik Merah Kuning Litosol Latosol, dan kompleks Podsolik Coklat Podsol Latosol (Anonim, 2008). Berdasarkan topografinya, wilayah Kabupaten Rejang Lebong terletak pada berbagai ketinggian dibawah 500 m dpl. Curah hujan rata-rata 180,44-294,58 mm/bulan atau 2.165,30-3535 mm/tahun dengan suhu rata-rata 21,69-24,350C serta kelembaban udara 84,17-89,28%. Jumlah bulan basah 7-12 bulan/tahun dan bulan kering 0-3 bulan/tahun (Anonim, 2009). Desa-desa sentra aren yang berbatasan dengan TWA Bukit Kaba adalah Desa Sindang Jati dan Desa Sindang Jaya, Kecamatan Sindang Kelingi serta Desa Air Meles Atas, Kecamatan Selupu Rejang. Karakteristik lahan penghasil aren disajikan pada Tabel 1. Desa Sindang Jati dan Desa Sindang Jaya secara administrasi lokasinya berdampingan dan memiliki kondisi masyarakat yang relatif sama. Mayoritas penduduk kedua desa adalah suku Jawa. Mata pencaharian utama sebagai petani aren dengan pekerjaan sampingan sebagai petani sayur atau peternak. Sedangkan Desa Air Meles Atas mayoritas penduduknya adalah Suku Rejang. Mata pencaharian utama
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
123
penduduk sebagai petani aren dengan pekerjaan sampingan sebagai petani kopi. Sebagian besar penduduk memiliki latar belakang pendidikan Sekolah Dasar. Aren yang dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Rejang Lebong umumnya tumbuh secara alami, bukan melalui usaha penanaman. Berkembangnya aren di lahan petani semata-mata mengandalkan anakan yang berasal dari alam (tumbuh di sekitar batang induk aren). Oleh karena itu, pola penanaman yang terbentuk juga tidak beraturan (acak). Umumnya aren ditanam masyarakat secara tumpang sari (campuran) dengan tanaman perkebunan (seperti, kopi), tanaman palawija (seperti, sayur) dan tanaman berkayu (seperti, kayu manis dan kayu afrika). Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, penduduk ketiga desa sudah menggantungkan hidup pada usaha aren ini lebih dari 15 tahun. Tabel 1. Karakteristik lahan penghasil aren di Kabupaten Rejang Lebong No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Sindang Jaya Air Meles Selang Data I II I (Sumardi)II (Sapri) Kondisi drainase Baik Baik Baik Baik Baik Kedalaman sulfidik Lereng (%) 21 14 15 5 – 21 Batuan Permukaan Batuan Singkapan Kedalaman Efektif (cm) 100 100 100 100 100 agak kecil Tingkat bahaya erosi sedang sedang sedang tinggi agak tinggi tidak tidak tidak tidak ada Bahaya banjir kecil kecil kecil ada ada ada kecil geluh geluh geluh geluh geluh geluh geluh-geluh Tekstur berpasir berpasir pasiran pasiran pasiran berpasir berpair Struktur remah remah remah remah remah remah remah tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak Konsistensi kompak kompak kompak kompak kompak kompak kompak Jenis tanah andosol andosol andosol andosol datarTopografi datar miring datar miring miring miring miring Kelembaban udara (%) 86-91 82 81-90 81-90 68-82 76-84 59-91 Kelembaban tanah (%) 70 50 47-60 47-60 70 58-60 47-80 pH tanah 6,2-6,6 6,2-6,8 6-6,5 6-6,5 5,8-6 6,2-6,5 5,6-6,8 S Suhu hari 21,520,5-21,5 21,5-22 19-23 19-23 24,5 19-24,5 0 pengamatan ( C) 2,5 969Ketinggian (m dpl) 957 981 1.085 1.087 919 1.087 Kondisi tanah
Warna tanah
Sindang Jati I (SJ12) II (SJ34) Baik Baik 5 8 100 100 agak sedang tinggi
hitam
hitam
hitam
hitam
coklat coklat coklat kehikehitaman kehitaman tam-hitaman
Sumber: Data primer diolah (2009)
Kontribusi aren terhadap pendapatan keluarga di ketiga desa menurut pengakuan masyarakat cukup besar. Dengan memiliki kebun aren minimal 1 hektar, pendapatan yang dapat diperoleh oleh masyarakat dari pengusahaan aren ini menyumbang lebih dari 73% dari total pendapatan keluarga. Sisanya berasal dari hasil pengusahaan kopi dan palawija. Oleh sebab itu, aren dan palawija dialokasikan sebagai pendapatan jangka pendek (untuk menopang kehidupan sehari-hari), sedangkan
124
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
tanaman perkebunan (kopi) dan tanaman berkayu adalah sebagai pendapatan jangka panjang (tabungan). Sistem yang digunakan dalam pengelolaan hasil adalah sistem bagi hasil gula dengan perbandingan petani : buruh tani = 1 : 3 atau bagi hari dengan perbandingan petani : buruh tani = 4 hari : 4 hari. Gula aren hasil olahan dipasarkan di Kabupaten Rejang Lebong, Lubuk Linggau dan sekitarnya. B. Aren (Arenga pinnata Merr.) Aren (Arenga pinnata Merr.) termasuk dalam suku Arecaceae yang tumbuh secara tidak merata dalam suatu hamparan dengan jarak yang tidak teratur. Tanaman aren dapat mencapai tinggi 25 m, berdiameter hingga 65 cm. Batang pokoknya kokoh dan pada bagian atas diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang dikenal sebagai ijuk. Ijuk adalah bagian dari pelepah daun yang menyelubungi batang. Daun aren majemuk menyirip, panjang hingga 5 m dengan tangkai daun hingga 1,5 m. Anak daun seperti pita bergelombang hingga 7 x 145 cm, berwarna hijau gelap di atas dan keputihputihan oleh karena lapisan lilin di sisi bawahnya. Tanaman aren termasuk kelompok jenis tanaman berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina terpisah dalam tongkol yang berbeda yang muncul di ketiak daun. Panjang tongkol bisa mencapai 2,5 m. Buah bentuk seperti peluru dengan diameter sekitar 4 cm, beruang tiga dan berbiji tiga, terususun dalam untaian seperti rantai. Bunga betina akan muncul terlebih dahulu pada umur 7-12 tahun, kemudian disusul bunga jantan sekitar 6-12 bulan setelahnya (Efendi, 2009). Aren dikenal luas oleh masyarakat sebagai penghasil nira. Nira adalah cairan jernih agak keruh yang diperoleh dari penyadapan bunga jantan. Nira segar mempunyai rasa manis, tidak berwarna, berbau harum, dengan pH antara 5,5-6. Rasa manis pada nira disebabkan adanya gula (sukrosa, glukosa, fruktosa dan maltosa). Selain gula, nira juga mengandung protein, lemak, air, pati dan abu serta asam-asam organik (sutrat, malat, siksinat, laktat, fumarat dan prioglutamat) yang berperan dalam pembentukan cita rasa gula merah yang spesifik. Komposisi nira secara umum terdiri dari air (80-90%), sukrosa (8-12%), gula reduksi (0,5-1%), dan bahan lainnya (1,5-7%) (Itoh, 1985 dalam Supardi, 1993 dalam Wibowo, 2006). Nira dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula merah, tuak (minuman beralkohol) cuka dan nata (bahan pangan berbentuk gel, berwarna putih dan kenyal seperti kolang-kaling). Perbanyakan tanaman aren dilakukan secara generatif (menggunakan biji). Budidaya aren oleh masyarakat masih banyak mengandalkan permudaan alam. Anakan alam tersebar di bawah pohon aren, penyebarannya ke daerah lain dibantu oleh hewan musang/luwak. Pemindahan anakan alam dapat langsung segera ditanam di lapangan atau dipindahkan ke polybag yang telah diisi dengan tanah selama 2-4 minggu. Benih aren yang dikumpulkan harus benar-benar berasal dari buah yang matang dan sehat. Ciri-ciri buah yang matang adalah kulit buah berwarna kuning kecoklatan, tidak terserang hama penyakit dengan diameter buah ± 4 cm. Pengambilan biji aren dari dalam buah aren harus menggunakan sarung tangan karena buah aren mengandung asam oksalat yang akan menimbulkan rasa gatal apabila kena kulit. Benih yang dikumpulkan diseleksi dan dipilih benih yang berukuran relatif besar, bewarna hitam kecoklatan, permukaan halus/tidak keriput, sehat tidak terserang hama dan penyakit (Sunanto, 1993).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
125
Benih disemaikan di persemaian dengan media campuran pasir dan serbuk gergaji dengan perbandingan 2 : 1. Untuk mematahkan dormansi biji aren dapat dilakukan beberapa cara yaitu tempurung biji digosok dengan kertas pasir (ampelas) dalam air agar air dapat meresap ke dalam endosperm sampai jenuh, merendam biji dalam larutan HCl dengan kepekatan 95% selama 15-25 menit atau merendam biji dalam air panas bersuhu 50C selama 3 menit (Anonim, 2007). Biji yang telah diberi perlakuan disemaikan dan disiram setiap hari untuk menjaga kelembaban. Setelah muncul daun muda dengan panjang 3-5 cm, semai dipindahkan ke dalam polybag yang berukuran 10 x 15 cm yang telah diisi tanah sebanyak ¾ bagiannya. Bibit ditempatkan di bawah naungan dan disiram setiap hari. Bibit aren siap ditanam di lapangan setelah berumur 6-8 bulan di persemaian (Anonim, 2007). C. Identifikasi Pemanfaatan Aren di Lokasi Survei 1. Bagian tanaman yang dimanfaatkan Bagian tanaman aren yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Bukit Kaba secara umum adalah ijuk, nira, bunga jantan, pelepah, daun, umbut, batang, lidi dan buah. Nira adalah produk aren yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat dengan persentase tertinggi 100%. Pemanfaatan aren oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Bukit Kaba secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pemanfaatan tanaman aren oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Bukit Kaba dan responden pemanfaatan di tiap desa Responden pemanfaat (%) Ds. Sindang Jaya Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas 1. Nira 100,00 100,00 100,00 2. Ijuk 63,64 81,82 56,25 3. Lidi 42,42 18,18 9,38 4. Batang 45,45 27,27 9,38 5. Pelepah 42,42 18,18 9,38 6. Daun 42,42 18,18 9,38 7. Empulur (sagu) 45,45 27,27 9,38 8. Bunga jantan (manggar) 30,30 63,64 3,13 9. Bunga betina (buah kolang-kaling) 54,54 90,91 62,5 Sumber: Data primer diolah (2009) No.
Bagian tanaman
2. Pola Pemanfaatan Petani aren merupakan mata pencaharian utama setelah petani kopi. Hasil produk olahan utama aren yang dijual masyarakat adalah nira. Walaupun demikian bagian tanaman lain juga ada yang dijual atau dimanfaatkan untuk keperluan sendiri. Pola pemanfaatan bagian tanaman aren disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pola pemanfaatan tanaman aren Bagian/produk tanaman 1 2
No.
1. Nira
126
Konsumsi sendiri 3 4 Ds. Sindang Jaya X Ds. Sindang Jati X Ds. Air Meles Atas X Desa
Dijual 5 X X X
Harga Jual (Rp) 6 10.000,-/kg 10.000,-/kg 12.000,-/kg
Pemanfaatan utama 7 Gula aren Gula aren Gula aren
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
1 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
2
3 Ds. Sindang Jaya Ijuk Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas Ds. Sindang Jaya Lidi Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas Ds. Sindang Jaya Batang Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas Ds. Sindang Jaya Pelepah Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas Ds. Sindang Jaya Daun Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas Ds. Sindang Jaya Umbut Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas Ds. Sindang Jaya Bunga jantan Ds. Sindang Jati Ds. Air Meles Atas Ds. Sindang Jaya Buah Ds. Sindang Jati (bunga betina) Ds. Air Meles Atas
4 X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
5 X X X X X X
X X X
6
3.000,-/kg 3.000,-/kg 3.000,-/kg
7 Sapu Sapu Sapu Sapu Sapu Sapu Kayu bakar Kayu bakar Kayu bakar Atap rumah Atap rumah Atap rumah Pembungkus gula Pembungkus gula Pembungkus gula Sebagai lauk Sebagai lauk Sebagai lauk Pakan ternak Pakan ternak Pakan ternak Kolang-kaling Kolang-kaling Kolang-kaling
D. Identifikasi Teknologi Pengolahan Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga desa yang menjadi lokasi penelitian belum ada yang menguasai teknik budidaya aren. Pembudidayaan yang ada selama ini hanya mengandalkan dari regenerasi anakan alam. Tanaman aren yang ada di kebunkebun masyarakat kebanyakan merupakan tanaman aren yang sedang dalam masa produksi atau tua. Pengolahan tanaman aren dilakukan dengan menggunakan teknologi yang tergolong konvensional dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Teknologi pengolahan dalam pemanfaatan aren diperoleh petani secara turun-temurun dari orang tua mereka. Berikut adalah teknologi yang dikembangkan masyarakat dalam memanfaatkan tanaman aren. 1. Nira Nira adalah cairan berwarna jernih agak keruh yang dihasilkan dari penyadapan bunga jantan. Tanaman aren bisa disadap pada umur 7-9 tahun. Nira bisa diolah menjadi beberapa olahan yaitu gula aren, tuak dan cuka. Penyadapan nira dilakukan melalui beberapa tahapan. Tanaman aren yang siap disadap kondisi bunga jantan telah berwarna coklat. Setelah itu bunga jantan dipukul dan diayun-ayun setiap 1-2 minggu sekali selama kurun waktu 4-6 minggu. Pemukulan dilakukan sebanyak 250 kali dan pengayunan dilakukan beberapa kali. Bunga jantan yang telah berwarna coklat kehitaman mengkilap, berbau harum, menghasilkan minyak dan telah didatangi kutu siap untuk dipotong. Pemotongan dilakukan di bagian tongkol tandan bunga jantan. Bunga jantan yang telah dipotong dibersihkan/dilap kemudian ditutup dengan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
127
menggunakan plastik/kain. Setelah 2-3 hari, bunga jantan dibuka dan dipotong ± 1-2 mm dan dimasukkan ke dalam ruas bambu untuk menampung nira yang keluar. Pengirisan nira dilakukan pagi dan sore hari berbarengan dengan kegiatan pengambilan tampungan nira. Masa sadap nira sekitar ± 1-6 bulan, tergantung dari bunga jantan yang disadap. Bunga jantan yang pertama disadap mempunyai periode sadap paling lama bisa mencapai 5-6 bulan. Nira sangat cepat mengalami fermentasi, oleh karena itu nira yang diambil harus segera diolah (Gambar 1a). (b)
(a)
(a)
Gambar 1. Pemanfaatan nira (a) Nira baru disadap, (b) Gula aren Nira bisa diolah menjadi gula aren, tuak dan cuka. Cara pengolahan menjadi gula aren meliputi beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu perebusan nira. Perebusan nira dilakukan sekitar ± 6-8 jam (tergantung dari banyaknya nira). Selama perebusan, dilakukan penyaringan dari kotoran dan pengadukan. Ciri-ciri nira yang sudah siap cetak adalah: konsentrasi nira sudah sangat pekat, bila diaduk berat, dan ketika diangkat dari wajan dan dituangkan kembali ke dalam wajan akan putus-putus sehingga bila dimasukkan ke dalam air akan seperti benang. Alat cetak yang digunakan berupa batok kelapa dan mangkuk. Sebelum adonan dimasukkan ke dalam cetakan, terlebih dahulu cetakan direndam dalam air sampai basah. Tujuannya untuk membantu proses pendinginan dan memudahkan mengeluarkan gula dari cetakan. Gula aren yang telah jadi (Gambar 1b) sebelum dipasarkan harus disimpan dalam tempat kering dan dibungkus dengan menggunakan plastik atau daun pisang/daun aren kering untuk menghindari melelehnya gula akibat pengaruh suhu udara. Gula aren dijual petani aren dengan kisaran harga Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 12.000,per kilogramnya. Untuk produk olahan nira berupa tuak prosesnya lebih sederhana. Tuak diperoleh dengan mencampur nira dengan satu atau beberapa kulit kayu atau akarakaran dan dibiarkan selama 1-3 malam. Kulit kayu yang digunakan biasanya kulit kayu nirih (Xylocarpus sp.) dan sejenis manggis hutan (Garcinia sp.). Tuak yang dihasilkan mempunyai rasa agak masam, sedikit manis atau pahit. Sedangkan untuk memperoleh cuka cukup dengan menyimpan nira dan membiarkan selama 3-4 hari. Cuka dari nira jarang dijual dipasaran, karena kalah kualitasnya dengan cuka buatan pabrik. Cuka yang dihasilkan biasanya hanya digunakan untuk konsumsi pribadi. 2. Buah aren Buah aren biasa disebut masyarakat setempat dengan beluluk (Gambar 2a). Buah aren dimanfaatkan masyarakat menjadi kolang-kaling. Kolang-kaling biasanya disukai sebagai campuran es, manisan atau kolak (Gambar 2b). Permintaan kolang-kaling meningkat pada bulan Ramadhan, biasanya dihidangkan sebagai makanan pembuka. Cara pengolahan adalah buah aren yang masih muda dikukus selama ± 3 jam, setelah itu dikupas untuk mengeluarkan inti biji. Selain dikukus, juga bisa dibakar dan direbus. 128
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Inti biji tersebut direndam dalam air kapur selama 10-20 hari untuk menghilangkan getahnya yang gatal dan beracun. Kolang-kaling biasa dijual dengan harga Rp.2.000,/kg-Rp.3000,-/kg. Pada bulan puasa, harga kolang-kaling bisa mencapai Rp.5.000,-/kg.
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Buah aren, (b) Kolang-kaling 3. Pelepah dan daun Pelepah daun aren dimanfaatkan sebagai bahan atap rumah petani. Saat ini pelepah aren sudah jarang sekali dijadikan atap rumah petani. Pelepah aren hanya dijadikan atap gubuk tempat pengolahan aren di kebun-kebun petani. Daun aren dimanfaatkan sebagai pembungkus gula aren. Cara pengolahan meliputi daun aren dilepaskan dari pelepahnya, kemudian dikeringkan dan dibungkuskan pada gula aren. Pelepah dan daun aren digunakan petani hanya untuk keperluan sendiri. 4. Ijuk dan lidi Pohon aren dapat menghasilkan ijuk setelah berumur ± 4-5 tahun. Ijuk adalah helaian benang-benang atau serat-serat yang berwarna hitam, berdiameter < 0,5 mm, bersifat kaku, tidak mudah putus, sangat tahan terhadap genangan air yang masam, termasuk genangan air laut yang mengandung garam. Walaupun demikian, ijuk mempunyai kelemahan yaitu sangat mudah terbakar. Ijuk terletak di antara batang dan pelepah dalam bentuk lempengan-lempengan. Pohon aren yang masih muda, kualitas ijuknya rendah (kecil dan cepat putus). Bila pohon sudah berbunga, produksi ijuk kembali menurun. Masa produktif ijuk adalah ± 3-4 tahun. Pengambilan ijuk dengan cara memanjat pohon aren menggunakan tangga dari bambu. Sebelum diambil, pelepah dipotong untuk mempermudah pengambilan. Ijuk diambil secara paksa dengan mengungkit menggunakan parang. Ijuk yang diambil mengandung lidi, kotoran dan benang ijuk. Lidi dipisahkan dengan menggunakan tangan sedang benang-benang ijuk dipisahkan dengan cara disisir menggunakan sisir kawat besi. Tahap pertama menggunakan sisir kawat besi renggang, baru kemudian sisir kawat besi rapat. Ijuk yang telah rapi dan halus diikat dan siap untuk dijual. Lidi ijuk bisa dikumpulkan, diikat dan dijadikan sapu lidi. Selain dari lidi ijuk, lidi juga diperoleh dari sirip pelepah aren. Caranya dengan menyisir daun aren. 5. Umbut Umbut adalah bagian tengah batang tanaman aren yang masih muda. Diperoleh dengan jalan menebang pohon aren yang masih muda (umur 4-5 tahun) dan diambil bagian tengah batang. Umbut yang diambil bisa diolah menjadi bahan makanan (Gambar 3a). Masyarakat jarang menggunakan umbut karena akan menyebabkan kematian tanaman yang berarti kerugian. Masyarakat lebih senang memelihara tanaman aren
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
129
yang ada dan merawatnya karena hasil yang diperoleh akan lebih besar dari nira dan produk lainnya. (b)
(a)
Gambar 3. (a) Umbut a aren yang dijadikan makanan/lauk, b (b) Bunga jantan 6. Bunga jantan Selain menghasilkan nira yang diperoleh dari penyadapan pada tongkolnya, bagian bunga jantan yang telah dipotong bisa digunakan sebagai pakan ternak (Gambar 3b). E. Peluang Pemanfaatan dan Pengembangan Pemanfaatan tanaman aren oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Bukit Kaba masih kurang maksimal. Produk utama yang diolah masyarakat adalah ijuk, buah muda dan nira karena mempunyai nilai komersial yang tergolong tinggi dan permintaan pasar yang cukup besar. Pengolahan bagian tanaman lain, seperti pelepah, daun, bunga jantan, dan batang hanya untuk keperluan pribadi. Peluang pemanfaatan bagian tanaman aren yang masih bisa dikembangkan di masyarakat antara lain: 1. Lidi aren yang diperoleh dari mengiris daun aren dapat digunakan untuk barang anyaman kecil. Di Pasundan, Jawa Barat, lidi dipakai untuk sapu kasar dan barang anyaman yang jarang seperti keranjang roti, dan sebagainya. 2. Limbah sisa ijuk dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Pada pembangunan tanggul atau dinding saluran pengairan, limbah ijuk bisa digunakan sebagai penyaring air irigasi atau sebagai bahan pengisi tembok penangkis ombak laut karena sifatnya yang sangat tahan terhadap air garam. Dapat juga dijadikan sebagai tempat bertelur induk ikan mas. Populasi aren di sekitar kawasan TWA Bukit Kaba harus terus dipertahankan dan ditingkatkan karena merupakan sumber pendapatan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera tentunya tidak akan merusak dan merambah kawasan hutan. Berapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan aren di sekitar kawasan TWA Bukit Kaba di antaranya: 1. Dilakukan peremajaan terhadap pohon-pohon aren yang telah tua karena sudah tidak produktif lagi dan fungsi hidrologinya berkurang. 2. Permudaan tanaman aren menggunakan bibit yang berkualitas, artinya bebas dari serangan hama penyakit, segar, jumlah daun 2-3 helai dan termasuk jenis aren kapur sehingga lebih produktif. 3. Penyuluhan kepada masyarakat desa dan dinas terkait tentang budidaya aren karena akan menunjang pengembangan di desa-desa lainnya di sekitar kawasan TWA Bukit Kaba. Dengan peningkatan potensi aren diharapkan pendapatan masyarakat dan fungsi hidrologi lahan meningkat.
130
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Bagian tanaman aren yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Bukit Kaba di Desa Sindang Jati, Desa Sindang Jaya, Desa Air Meles Atas adalah ijuk, nira, buah, pelepah/daun, batang, buah muda, bunga jantan umbut dan lidi. 2. Masyarakat mengolah produk aren dengan cara konvensional dan menggunakan alat-alat yang masih sangat sederhana. 3. Pemanfaatan tanaman aren yang paling maksimal adalah nira dan ijuk karena mempunyai nilai komersil yang paling tinggi, produksi yang berkelanjutan dan permintaan pasar yang terus meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Budidaya Tanaman Aren. Sumber: http://www.disbun. jabarprov.go.id. Diakses pada: 22 Oktober 2009. Anonim. 2008. Kabupaten Rejang Lebong dalam Angka 2007/2008. Curup: Badan Pusat Statistik Kabupaten Rejang Lebong. Anonim. 2009. Data Klimatologi Stasiun Geofisika Kepahiang. Kepahiang: Badan Meterologi dan Geofisika. BKSDA. 2010. Taman Wisata Alam Bukit Kaba. Sumber: http://www.ditjenphka.go.id. Diakses pada: 22 Februari 2010. Efendi, D.S. 2009. Aren Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. . 31. No.2 Th. 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Sumber: http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/ wr312091.pdf. Diakses pada: 22 Oktober 2009. Sunanto, H. 1993. Aren, Budidaya dan Multigunanya. Jakarta: Kanisius. Wibowo, S. 2006. Beberapa Jenis Pohon Sebagai Sumber Penghasil Bahan Pengawet Nabati Nira Aren (Arenga pinnata Merr). Info Hasil Hutan Vol. 12 No. 1, April 2006. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor, Indonesia. Hal: 67-74.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
131
132
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
REGENERASI TUMBUHAN BAWAH PADA TEGAKAN CAMPURAN KAYU BAWANG DAN BAMBANG LANANG DI KHDTK BENAKAT Etik Erna Wati Hadi1 dan Joni Muara2)
ABSTRAK Salah satu aspek penting dalam pembangunan hutan tanaman adalah pemilihan jenis pohon. Dalam memilih jenis yang akan dikembangkan hendaknya mempertimbangkan kesesuaian tempat tumbuh dengan lokasi penanaman, caranya dengan menggunakan pendekatan pemilihan jenis lokal. Bambang lanang (Medhuca aspera) serta jenis kayu bawang (Disoxylum mollisimmum Blume.) merupakan jenis unggulan di Sumbagsel. Tumbuhan bawah maupun tanaman pokok mempunyai keperluan dasar yang sama untuk pertumbuhan dan perkembangan yang normal yaitu unsur hara, air, cahaya, bahan ruang tumbuh dan CO2. Tujuan penelitian untuk menyediakan informasi tumbuhan bawah serta kecepatan regenerasi setelah pengendalian. Sasaran penelitian ini adalah tersedianya data tumbuhan bawah pada tegakan campuran kayu bawang dan bambang lanang dan tersedianya informasi regenerasi tumbuhan bawah setelah pengendalian. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di areal KHDTK Benakat. Inventarisasi tumbuhan bawah dengan membuat petak contoh yang tersebar merata secara sistematis dengan ukuran 1 x 1 meter (bujur sangkar) untuk mengetahui keragaman dan variasi jenis tumbuhan bawah. Laju regenerasi tumbuhan bawah dengan menghitung biomas tumbuhan bawah 1, 2 dan 3 bulan setelah pengendalian. Hasil penelitian adalah dominasi jenis tumbuhan bawah oleh rumput empritan (Cyrtococcu acrescens (Trin.) Stapf.). Pengendalian tumbuhan bawah yang yang efektif dan efisien adalah pengendalian tumbuhan bawah dengan Glifosat 1,5 lt/ha + Paraquat diklorida 1,5 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%, karena biaya yang dikeluarkan minimal dan laju regenerasi tumbuhan bawah relatif rendah. Kata kunci: gulma, KHDTK Benakat, pengendalian, tumbuhan jenis lokal
I. PENDAHULUAN Percepatan pembangunan hutan tanaman perlu dilakukan dengan semakin besarnya laju degradasi hutan alam. Salah satu aspek penting dalam pembangunan hutan tanaman adalah pemilihan jenis pohon. Dalam memilih jenis yang akan dikembangkan hendaknya mempertimbangkan kesesuaian tempat tumbuh dengan lokasi penanaman. Hal ini berhubungan dengan persyaratan tumbuh yang dibutuhkan oleh jenis tanaman yang akan dikembangkan dan dikaitkan dengan kondisi tempat tumbuh (biofisik) daerah perkembangannya, di antaranya adalah iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, jenis dan kesuburan tanah (Widiarti, 2006 dalam
1 2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
133
Herdiana, 2009). Hal yang paling mungkin adalah dengan menggunakan pendekatan pemilihan jenis lokal. Jenis unggulan di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) khususnya di antaranya bambang lanang (Medhuca aspera) yang banyak tersebar di Kabupaten Lahat dan sekitarnya serta jenis kayu bawang (Disoxylum mollisimmum Blume.) di Provinsi Bengkulu. Pohon bambang lanang mencapai tinggi 15-20 meter dengan tinggi bebas cabang 6-8 meter dan diameter 60 cm. Kayunya agak keras dan penggunaannya untuk bangunan rumah. Batang berbentuk lurus berwarna putih belang kehitaman sampai kekuningan dan mempunyai cabang yang tidak terlalu besar dan panjang. Kayu bawang sudah ditetapkan sebagai jenis andalan setempat (Aprianto, 2003 dalam Siahaan dkk., 2010) di Provinsi Bengkulu, sudah cukup berkembang di masyarakat. Tegakan alam sampai saat ini sudah tidak bisa ditemukan. Kayu bawang mampu tumbuh di berbagai jenis tanah dan relatif tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang spesifik. Tanaman ini mampu bertahan pada tanah yang cenderung asam, tumbuh cepat, bebas cabang tinggi dan tahan terhadap serangan hama penyakit serta memiliki tekstur kayu yang baik (Herdiana, 2009). Tinggi pohon mencapai 30 meter dengan diameter 75 cm (Dishut provinsi Bengkulu, 2003 dalam Herdiana, 2009). Kayu bawang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Rishnaldi, 2001), termasuk kelas awet dan kelas kuat IV, biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan perlengkapan rumah tangga (lemari, meja, kursi dan tempat tidur) dan konstruksi bangunan (kusen, dinding dan sebagainya). Tumbuhan bawah maupun tanaman pokok mempunyai keperluan dasar yang sama untuk pertumbuhan dan perkembangan yang normal yaitu unsur hara, air, cahaya, bahan ruang tumbuh dan CO2. Meskipun jumlah bahan dasar dalam tanah maupun di atas tanah tercukupi, tetap akan mengurangi asupan untuk tanaman pokok, hal tersebut dikarenakan gulma mempunyai sifat “rakus”. Beberapa jenis tumbuhan bawah berpotensi sebagai gulma mengganggu tanaman di persemaian karena perakarannya cukup dalam sehingga mengganggu pertumbuhan bibit. Disamping itu beberapa jenis gulma pertumbuhan tingginya dapat melebihi bibit tanaman pokok, sehingga menjadi pesaing dalam hal pengambilan cahaya dan ruang (tempat tumbuh). Akibatnya dapat menurunkan riap anak semai. Sedangkan di hutan tanaman, gulma dapat bersaing dengan tanaman pokok dan jenis yang mudah terbakar di daerah yang terbuka, mengganggu tanaman muda, karena tajuknya tertutup dan jenis gulma melilit yang dapat menimbulkan cacat pada batang berupa pembengkakan secara lokal. Tujuan penelitian untuk menyediakan informasi tumbuhan bawah serta kecepatan regenasi setelah pengendalian. Sasaran penelitian ini adalah: 1. Tersedianya data tumbuhan bawah pada tegakan campuran kayu bawang dan bambang lanang. 2. Tersedianya informasi regenerasi tumbuhan bawah setelah pengendalian.
II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di areal KHDTK Benakat, lokasi pembangunan plot uji coba di Blok I yang berdekatan dengan plot uji asal sumber benih Acacia
134
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
mangium dan secara administratif lokasi tersebut berdekatan dengan Desa Sungai Baung. Lahan yang akan digunakan sebagai plot uji coba dan pengamatan merupakan plot uji coba agroforestri yang merupakan bekas plot uji coba tanaman Sungkai (Peronema canescens) yang sudah terbakar dan tidak dipelihara lagi. Jenis pohon lain yang tumbuh pada lokasi tersebut antara lain: Sungkai (Peronema canescens), mahoni (Switenia mahagoni), Puspa (Schima spp.), laban (Vitex pubescens), bungur (Lagerstromia speciosa), sengon (Parasetianthes falcataria), Acacia mangium, pelangas, tepungan, dll. Jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m. Dengan ukuran jarak tanam tersebut maka jumlah tanaman dalam setiap hektar sekitar 400 batang. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah areal/plot-plot tanaman muda di hutan tanaman campuran bambang lanang (Madhuca aspera) dan kayu bawang (Protium javanicum) umur 2 tahun, alkohol, kertas koran, aquadest, kapas dan tally sheet. Sedangkan alat yang digunakan adalah ice box, kuas, kotak plastik, meteran, tali plastik, kamera dan alat tulis. C. Metode 1. Inventarisasi tumbuhan bawah dengan membuat petak contoh yang tersebar merata secara sistematis di dalam petak pertumbuhan. Petak contoh dibuat dengan ukuran 1 x 1 meter (bujur sangkar) untuk mengetahui keragaman dan variasi jenis tumbuhan bawah (Soerianegara, 1976) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998). Peletakan petak contoh pada persilangan diagonal antarjalur tanaman pokok. Parameter pengamatan adalah dominasi dengan menghitung biomas suatu jenis dalam petak contoh. Menurut Odum (1959) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998) jenis-jenis yang dominan mempunyai jumlah biomas yang terbesar. Untuk menghitung biomas suatu jenis dihitung dengan menimbang berat kering jenis tersebut, seluruh bagian tanaman (batang, daun ranting, akar, bunga, dan buah) diambil kemudian di bungkus dan di oven sampai beratnya stabil. 2. Laju regenerasi tumbuhan bawah dengan menghitung biomas tumbuhan bawah 1, 2 dan 3 bulan setelah pengendalian. Dari biomas yang dihasilkan tiap petak contoh dapat diketahui waktu yang dibutuhkan tumbuhan bawah untuk muncul kembali setelah pengendalian, sehingga bisa dilihat tingkat efektivitas pengendalian. Perlakuan yang dilakukan sebagai berikut: K : Kontrol (Glifosat 3 lt/ha + Paraquat diklorida 3 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%) (dosis anjuran dari produsen) U1: Perlakuan herbisida (Glifosat 2,5 lt/ha + Paraquat diklorida 2,5 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%) U2: Perlakuan herbisida (Glifosat 2 lt/ha + Paraquat diklorida 2 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%) U3: Perlakuan herbisida (Glifosat 1,5 lt/ha + Paraquat diklorida 1,5 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
135
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Tabel 1 Menggambarkan jenis-jenis tumbuhan bawah hasil inventarisasi, terdapat 6 jenis tumbuhan bawah yang didominasi oleh rumput empritan. Untuk mengetahui laju regenerasi tumbuhan bawah dapat dilihat dari jumlah biomas yang dihasilkan terdapat pada Tabel 2. Laju regenerasi tercepat pada perlakuan U2 dan yang terlambat pada perlakuan kontrol. Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada awal pengamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Jenis
Berat Kering Famili/Habitus Biomas (kg/Ha) Ilmiah Cyrtococcm acrescens (Trin.) Stapf. Gramineae/Rumput 21.65 Mikania micrantha H.B.K. Asteraceae/Perdu 7.88 Unidentified Unidentified 4.71 Imperata cylindrica Gramineae/Rumput 3.97 Scleria sumatrensis Rotz. Cyperaceae/Rumput 2.18 Solanum toruum Solanaceae/Perdu 1.18
Lokal Empritan Lawatan Kacangan Alang-alang Rumput belidang Terung hutan
Tabel 2. Berat kering biomas tumbuhan bawah setelah 1, 2 dan 3 bulan perlakuan pengendalian Perlakuan
Biomas Tumbuhan Bawah (kg/ha) pada pengamatan ke1 2 3 4 221.04 (100%) 0.00 (0.00%) 3.32 (1.50%) 5.23 (2.37%) 340.49 (100%) 3.19 (0.94%) 16.78 (4.93%) 23.58 (6.93%) 317.09 (100%) 10.36 (3.27%) 21.25 (6.70%) 39.61 (12.49%) 346.47 (100%) 3.13 (0.90%) 6.23 (1.80%) 10.41 (3.00%)
K U1 U2 U3 Keterangan: 1 : Pengendalian 2 : 1 bulan setelah pengendalian
3 : 2 bulan setelah pengendalian 4 : 3 bulan setelah pengendalian
400 350
346.47
Biomas (kg/Ha)
300 250 221.04
200 150 100 50 6.23
3.13
0 1
2
10.41 5.23
3.32
0
3
4
Bulan keKontrol (Glifosat 3 lt/ha + Paraquat diklorida 3 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%) Glifosat 2,5 lt/ha + Paraquat diklorida 2,5 lt/ha + Metsulfuron methyl 20% Glifosat 2 lt/ha + Paraquat diklorida 2 lt/ha + Metsulfuron methyl 20% Glifosat 1,5 lt/ha + Paraquat diklorida 1,5 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%
Gambar 1. Grafik laju regenerasi tumbuhan bawah pada tegakan campuran kayu bawang dan bambang lanang
136
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
B. Pembahasan Tumbuhan bawah yang mendominasi adalah rumput empritan. Rumput empritan termasuk dalam famili gramineae (poaceae). Jenis tumbuhan bawah ini memiliki potensi sebagai gulma karena merupakan vegetasi tahunan, disebut juga “Soft grasses” umumnya bermanfaat sebagai penutup tanah dan semak menahun, namun merugikan bagi tanaman maka perlu dikendalikan. Cyrtococcm acrescens tumbuh mengelompok, rapat dan membentuk sheet. Bijinya agak banyak, ringan, mudah tersebar melalui alat pengolahan tanah dan berbunga sepanjang tahun. Jenis ini sebenarnya tidak berbahaya, karena bermanfaat sebagai penutup tanah pada lokasi yang curam (Nasution, 1990), namun jika jumlahnya melimpah akan mengganggu pertumbuhan tanaman muda dan pada pembibitan karena persaingannya dalam memperoleh air, unsur hara dan cahaya. Mikania micrantha bukan merupakan jenis yang mendominasi, namun keberadaannya sangat merugikan, sehingga perlu dikendalikan sebelum jenis ini menjadi dominan. M. micrantha termasuk jenis dengan status potensi sebagai gulma tahunan, tumbuh merambat, membentuk sheet, berkembangbiak dengan biji serta potongan batangnya. Perkembangbiakan dengan potongan batangnya memiliki kemampuan hidup lebih dari 95% (Nasution, 1990), hal inilah yang menyebabkan pengendalian jenis ini agak sulit dilakukan. Pengendalian yang efektif dengan cara mendongkel sampai akarnya kemudian disingkirkan dan dibakar. Gangguan yang ditimbulkan adalah persaingan dalam mendapat air dan unsur hara, serta membelit tanaman pokok dari batang sampai ke pucuk, sehingga tanaman pokok tertutupi oleh jenis ini. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu, batang bengkok kadang sampai patah jika jenis ini sudah sangat mendominasi. Wibowo (2006) menyatakan bahwa gangguan gulma lawatan/sembung rambat tidak terbatas pada kerusakan fisik, tetapi juga dapat berupa gangguan fisiologis yang disebabkan oleh adanya gangguan penyerapan mineral dalam tanah, khususnya kalsium dan mangan. Hasil pengamatan laju regenerasi tumbuhan bawah setelah pengendalian secara mekanik/fisik (tebas jalur) dan secara kimiawi (menggunakan campuran 3 jenis herbisida dengan dosis yang berbeda) disajikan dalam Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada bulan pertama kontrol (K) menunjukkan persentase regenerasi tumbuhan bawah yang terendah sebesar 0% (nol persen), sedangkan yang tertinggi pada perlakuan U2 sebesar 3,27%. Dua bulan setelah pengendalian tumbuhan bawah telah tumbuh meskipun persentasenya masih di bawah 10%. Setelah tiga bulan pengendalian menunjukkan persentase regenerasi yang terlambat pada kontrol sebesar 2,37% dan yang tertinggi pada perlakuan U2 sebesar 12,49%. Selain itu perlakuan Glifosat 1,5 lt/ha + Paraquat diklorida 1,5 lt/ha + Metsulfuron methyl 20% juga memberikan laju regenerasi yang lambat, sehingga aplikasi ini lebih efektif dan efisien karena penggunaan dosis herbisida paling sedikit, sehingga berbanding lurus dengan biaya yang akan dikeluarkan. Pengendalian tumbuhan bawah bertujuan untuk mengurangi persaingan antara tanaman pokok dengan tumbuhan bawah, biasanya pengendalian dilakukan jika kondisi penutupan tumbuhan bawah mencapai 30-50%. Penggunaan herbisida (pengendalian secara kimiawi) dianjurkan bila tanaman pokok telah berumur lebih dari 1 (satu) tahun atau bila kondisi mendesak (sangat dibutuhkan). Penggunaan herbisida harus memperhatikan dosis yang digunakan, hal ini dikarenakan herbisida mengandung bahan aktif (kimiawi) yang bila pemakaiannya tidak bijaksana akan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
137
menyebabkan pencemaran pada tanah. Oleh sebab itu pada setiap kemasan herbisida selalu disertakan dosis yang dianjurkan oleh produsen untuk jenis tumbuhan bawah dan umur tanaman tertentu. Efektivitas dan efisiensi pengendalian menggunakan herbisida ditentukan oleh beberapa hal, antara lain jenis tanaman pokok, tempat tumbuh serta iklim. Perbedaan laju regenerasi tumbuhan bawah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain waktu pengendalian, metode pencampuran, pekerja serta cara penyemprotan. Waktu pengendalian antara musim kemarau dengan musim penghujan akan mengakibatkan pertumbuhan yang berbeda. Pada musim kemarau, setelah pengendalian pertumbuhan tumbuhan bawah cenderung lebih lambat. Hal ini dikarenakan pengendalian pada musim kemarau lebih efektif, karena bahan aktif dalam herbisida baik herbisida sistemik maupun kontak akan meresap ke dalam bagian tanaman sehingga pengaruh bahan aktif akan optimal. Sedangkan pada musim penghujan, bahan aktif sering larut dalam air hujan jika waktu pengendalian berdekatan dengan waktu turun hujan, sehingga pengaruh bahan aktif dalam herbisida tidak bekerja secara optimal. Selain waktu pengendalian, cara mencampur herbisida juga memberi pengaruh yang berbeda, pencampuran antara herbisida dengan air yang kurang tepat akan mempengaruhi daya kerja bahan aktif dalam herbisida tersebut. Cara kerja di lapangan juga mempengaruhi hasil pengendalian, sehingga cara kerja para pekerja di lapangan harus disesuaikan dengan metode yang tepat, sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi antara pekerja yang satu dengan yang lainnya.
IV. KESIMPULAN Jenis tumbuhan bawah yang mendominasi tegakan campuran kayu bawang dan bambang lanang adalah rumput empritan (Cyrtococcu, acrescens (Trin.) Stapf.). Pengendalian tumbuhan bawah yang yang efektif dan efisien adalah pengendalian tumbuhan bawah dengan Glifosat 1,5 lt/ha + Paraquat diklorida 1,5 lt/ha + Metsulfuron methyl 20%, karena biaya yang dikeluarkan minimal dan laju regenerasi tumbuhan bawah relatif rendah.
DAFTAR PUSTAKA Nasution, U. 1990. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. PT. Gramedia. Jakarta. Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu Bawang dan Bambang Lanang di KHDTK Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Mengenal Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pengembangannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Rishnaldi. 2001. Menghijaukan Hutan dengan Tanaman Kayu Bawang. http://berita liputan6.com/daerah/200102/8734/class='vidico'. Diakses tanggal 13 April 2010. Siahaan, H., Agus S., dan Teten R. 2010. Hutan Rakyat Kayu Bawang Pola Agroforestry Sebagai Pola Alternatif Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat. Prosiding
138
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Seminar Peran IPTEK dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Soerianegara, I. dan Andry I. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Wibowo, A. 2006. Gulma di Hutan Tanaman dan Upaya Pengendaliannya (Weed in Forest Plantation and Its Control Efforts). Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
139
140
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
TEKNIK PENENTUAN LOKASI UNTUK PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT JENIS BAMBANG LANANG DENGAN SISTEM LAHAN (LAND SYSTEM) DI KABUPATEN MUSI RAWAS, SUMATERA SELATAN R. Dody Prakosa1
ABSTRAK Bambang Lanang (Michelia champaka) merupakan jenis lokal yang berpotensi untuk dikembangkan, karena mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Selain pertumbuhannya yang relatif cepat, kayu bambang lanang merupakan kayu yang dapat digunakan untuk konstruksi dan mebel. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan bambang lanang adalah belum tersedianya benih maupun bibit yang unggul, informasi kesesuaian tempat tumbuh, teknik silvikultur dan sebagainya. Berdasarkan masalah di atas maka salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu perlunya penelitian tentang kesesuaian tapak untuk pengembangan jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Pemetaan sebaran tempat tumbuh dan sistem lahan untuk jenis bambang lanang merupakan cara yang tepat untuk mengetahui lokasi-lokasi yang sesuai untuk pengembangan tanaman tersebut. Penelitian dilakukan di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam, dengan cara survei tempat tumbuh dan memetakannya dalam bentuk peta sebaran tempat tumbuh dan di-overlay (tumpang susun) dengan peta sistem lahan. Dengan mengetahui sistem lahan di mana bambang lanang tumbuh, dan diasumsikan sistem lahan sama maka bambang lanang dapat tumbuh dengan optimal, di lokasi yang lain yaitu di Kabupaten Musi Rawas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di Kabupaten Musi rawas bambang lanang tumbuh pada sistem lahan dengan simbol MBI, SAR, BMS, BKN, BTK, MPT dan MTL, yaitu dari mulai dataran sampai perbukitan, dengan total luas areal 839.426,9 ha. Dari kelima sistem lahan tersebut MBI mempunyai areal yang paling luas yaitu 722.377,8 ha atau 86,06% dari total luas kelima sistem lahan tersebut. Teknik untuk menentukan lokasi pengembangan jenis bambang lanang dilakukan dengan cara memadukan antara survei titik lokasi tempat tumbuh (site) tegakan jenis tersebut dan peta sistem lahan (land system). Hasilnya dapat dipakai untuk menentukan lokasi pengembangan di daerah lain (dalam penelitian ini di Kabupaten Musi Rawas). Kata kunci: bambang lanang, jenis lokal, sebaran, sistem lahan, tempat tumbuh
I. PENDAHULUAN Kebutuhan bahan baku industri untuk kayu pertukangan selama lima tahun terakhir sekitar 40,96 juta m3/tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan kebutuhan bahan baku kayu pulp, sejumlah 17,91 juta m3/tahun (Direktorat Produksi Hasil Hutan, 2000). Di sisi lain, total produksi kayu HTI dari tahun 1999 sampai Juli 2001 hanya sebesar 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
141
9,05 juta m3, dengan perincian yang berasal dari HTI pulp 8,73 juta m 3 dan 0,32 juta m3 berasal dari HTI lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan HTI kayu pertukangan perlu lebih diprioritaskan, agar kekurangan bahan baku tersebut dapat dipenuhi dari hutan tanaman. Forestry Working Group (2002), menyatakan bahwa realisasi penanaman areal HTI sampai tahun 2001 seluas 2,21 juta hektar dengan produksi kayu rata-rata sangat rendah yaitu 4,15 juta m3/th. Rendahnya produktivitas tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi lahan hutan yang umumnya kurang subur, pemilihan jenis pohon yang kurang tepat dan pengelola kurang menguasai cara budi daya dan persyaratan tumbuhnya. Oleh karena itu diperlukan adanya peta sebaran dan persyaratan tumbuh jenis-jenis prioritas (andalan setempat). Jenis unggulan lokal yang terdapat pada suatu daerah telah diinventarisir oleh beberapa peneliti seperti Suriarahardja, Wasono dan Pratiwi. Inventarisasi jenis andalan setempat di seluruh Indonesia telah dilakukan oleh Suriarahardja dan Wasono (1996) dalam Pratiwi (2000). Pratiwi (2000), menginvetarisir jenis-jenis andalan setempat yang terdapat di Jawa Timur tujuh jenis, Jawa Tengah delapan jenis, dan Jawa Barat sembilan jenis serta Sumatera bagian selatan enam jenis. Jenis-jenis tersebut terdapat baik di hutan negara maupun di hutan milik rakyat. Informasi yang ditampilkan adalah nama perdagangan dan famili, penyebaran, deskripsi, kegunaan, persyaratan tumbuh, fenologi, cara perbanyakan, ketahanan terhadap hama dan penyakit. Hasil-hasil studi tersebut belum mengemukakan potensi dari jenis-jenis tersebut, posisi lokasi sebaran secara tepat, kesesuaian jenis serta metode pengelolaan yang tepat di suatu daerah. Dengan informasi tersebut pihak pemerintah daerah belum dapat memperkirakan manfaat atau keuntungan yang mungkin dapat diambil dari keberadaan jenis-jenis tersebut di daerahnya. Penentuan lima jenis prioritas ini berdasarkan hasil lokakarya lingkup Badan Litbang Kehutanan tahun 2003, menentukan sepuluh jenis yang menjadi prioritas utama. Di antara sepuluh jenis tersebut lima di antaranya tercatat sebagai jenis andalan lokal setempat. Dalam perjalanan waktu jenis prioritas ini bertambah yaitu dengan masuknya jenis pulai (Alstonia angustiloba) dan sungkai (Peronema canescens, Jack.). Pemetaan jenis-jenis tersebut di atas juga baru sebatas peta PSP (Permanen Sampel Plot) yang belum dilengkapi dengan peta kesesuaian jenis dan persyaratan tumbuh yang dapat digunakan untuk pengembangan jenis-jenis tersebut. Dengan dilengkapinya peta yang sudah ada (PSP) melalui survai lapangan, data sekunder dan pemetaan dengan menggunakan software Arc View 3.3 atau Arc GIS 9.3, maka diharapkan peta ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang akan mengembangkan hutan tanaman. Data yang tersimpan dengan sofware Arc View ini dapat dibuka juga dengan sofware Arc GIS yang sudah banyak dimiliki oleh kantorkantor pemerintah maupun swasta. Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, maka diperlukan kegiatan penyusunan peta kesesuaian lahan jenis andalan lokal di Sumatera Selatan yaitu jenis bambang lanang. Penyusunan ini dilakukan dengan cara survei lokasi tempat tumbuh di Kabupaten Empat Lawang, Pagaralam dan Lahat sebagai lokasi di mana jenis ini sudah tumbuh baik. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan peta pengembangan lokasi jenis tersebut berdasarkan peta sistem lahannya. Sistem lahan adalah pembagian hamparan lahan (landscape) ke dalam arealareal penting untuk pengembangan perencanaan dengan cara memetakan unit lahan yang mempunyai ciri-ciri khusus dengan skala 1: 250.000 (Direktorat Bina Program
142
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
(2000). Konsep sistem lahan menurut Christian dan Stewart (1968) dalam Direktorat Bina Program (2000) adalah berdasarkan prinsip ekologi. Asumsi kedekatan hubungan antara tipe batuan, hidroklimatologi serta bentuk lahan, tanah dan organisme. Diakui bahwa sistem lahan yang sama akan mempunyai kombinasi yang sama seperti faktorfaktor ekologi atau lingkungan. Lebih jauh dijelaskan bahwa karena sistem lahan selalu terdiri dari susunan yang sama dari batuan, iklim, topografi dan tanah, maka di mana saja terjadi akan mempunyai potensi dan juga keterbatasan yang sama. Konsep sistem lahan adalah kesesuaian-kesesuaian secara khusus pada skala survei tinjau secara cepat dimana lahan diklasifikasikan melalui interprestasi foto udara atau melalui bentuk-bentuk lain dari penginderaan jauh (Bakosurtanal, 1988). Pemetaan sistem lahan pada intinya merupakan pemetaan bentuk lahan, yang memetakan tanah atau geologi melalui interpretasi citra dan juga berdasarkan pada identifikasi bentuk lahan (RePPProT, 1989). Bentuk lahan ini dideskripsikan oleh Desaunettes (1977) dan untuk Indonesia banyak terdapat sistem lahan yang kemiripannya sangat dekat. Kesamaan-kesamaan ini dicatat di dalam keterangan pada peta sistem lahan. Contoh sistem lahan yaitu: sistem lahan dengan simbol BPD merupakan pegunungan, yaitu merupakan kelompok punggung gunung, batuan metamorfik yang tidak teratur dengan jenis tanah (grup) Dystropepts, Tropudults dan Paleudults, serta curah hujan rata-rata tahunan 2700-4700 mm, dan seterusnya. Apabila di dalam peta terdapat area dengan sistem lahan yang sama berarti area tersebut mempunyai karakteristik yang relatif sama. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh teknik menentukan lokasi pengembangan jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Kegiatan penelitian dilakukan dengan mengambil sampel tempat tumbuh jenis bambang lanang di beberapa tempat yang berbeda. Kegiatan dilakukan untuk memetakan tempat tumbuh jenis bambang lanang yang disesuaikan dengan sistem lahan dimana jenis tersebut tumbuh di tempat asalnya. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara disengaja (purposive sampling), dengan mempertimbangkan jenis dan luasan suatu sistem lahan (land system) dan kesesuaian jenis tanaman. Data dasar yang digunakan berupa peta land system skala 1:250.000, sehingga data yang akan dihimpun dari lapangan dalam tingkatan reconnaissance (survai tinjau).
II. METODOLOGI A.
Bahan dan Alat
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain thally sheet, peralatan survei lapangan (kompas, pita diameter, Abney Level dan GPS merk Garmin), komputer PC dengan software ILWIS 3.7, Arc GIS 9.3, Microsoft Excel dan Microsoft Word. B.
Metode
Secara garis besar tahapan kegiatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Prinsip pemaduan data grafis dan data atribut dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). Melalui pendayagunaan SIG, data grafis maupun data atribut yang berkaitan dengan jenis andalan setempat dapat dipanggil kembali, dimanipulasi, dianalisa dan disajikan melalui berbagai cara tampilan (display). Dengan demikian
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
143
untuk mendayagunakan data yang berkaitan dengan jenis setempat maka seluruh data tersebut harus dimasukkan ke dalam sistem. Sesuai dengan luaran yang akan dicapai pada Gambar 1, maka penelitian ini dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu: pemetaan tempat tumbuh jenis bambang lanang, pembuatan peta sistem lahan (land system) dan pemetaan lokasi pengembangan bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas. 1. Pemetaan tempat tumbuh jenis bambang lanang Langkah pertama dalam memetakan tempat tumbuh ini adalah menentukan titiktitik tempat tumbuh tegakan bambang lanang di tiga kabupaten sebagai tempat tumbuh alami jenis tersebut. Ketiga kabupaten tersebut adalah Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam. Titik koordinat tempat tumbuh tegakan bambang lanang yang terletak di tiga kabupaten tersebut dikumpulkan untuk dibuat peta titik sebaran tempat tumbuh (point map). Sebelum dibuat peta titik-titik lokasi tempat tumbuh tegakan bambang lanang, dibuat tabel dengan menggunakan Microsoft Excel di mana kolom pertama dan kedua berupa titik koordinat, sedangkan kolom ketiga dan seterusnya berupa keterangan seperti desa, kecamatan, tinggi tempat, umur, diameter (dbh), tinggi total rata-rata dan kondisi pertumbuhan. Selanjutnya tabel tersebut dimasukkan (export) ke dalam software ILWIS 3.7. yang dibuat oleh Koolhoven et al. (2010) untuk dibuat peta titik sebaran tempat tumbuh bambang lanang. Tahapan kegiatan penelitian ini disajikan dalam bentuk flowchart pada Gambar 1. 2. Pembuatan peta sistem lahan (land system) Peta sistem lahan diperoleh dari peta yang sudah ada yang dibuat oleh Direktorat Bina Program (1989), Departemen Transmigrasi. Di dalam peta tersebut terdapat beberapa parameter yaitu ketinggian tempat dari permukaan laut, curah hujan tahunan, suhu atau temperatur, tekstur tanah, drainase dan jenis tanah. Dalam mendapatkan informasi tentang sistem lahan, tahap pertama yang harus dilakukan adalah pembuatan sub map untuk tiga kabupaten, di mana jenis tersebut tumbuh. Pembuatan sub map dilakukan dengan memotong (cutting) peta sistem lahan hanya pada lokasi tiga kabupaten tersebut. Dengan demikian akan diperoleh peta baru berupa peta sistem lahan dengan lokasi khusus hanya tiga kabupaten tempat tumbuh jenis Bambang Lanang. Pembuatan peta sistem lahan juga dilakukan di lokasi dimana jenis tersebut akan dikembangkan, yaitu di Kabupaten Musi Rawas. Cara pembuatannya sama dengan cara di atas, hanya lokasinya yang berbeda. Peta sistem lahan dipotong hanya untuk lokasi Kabupaten Musi Rawas, sehingga diperoleh peta baru yaitu peta sistem lahan untuk Kabupaten Musi Rawas. 3. Pembuatan peta lokasi pengembangan bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas Sebelum peta ini dibuat maka harus dipersiapkan terlebih dulu sistem lahan tempat tumbuh bambang lanang di tiga kabupaten di atas. Cara yang dilakukan adalah dengan meng-overlay (tumpang-susun) antara peta sebaran tempat tumbuh dengan peta sistem lahan, atau dengan menggunakan cross operation di ILWIS 3.7. Dengan cara tersebut maka akan diperoleh kode sistem lahan tempat tumbuh bambang lanang. Jadi di sini tidak semua kode sistem lahan menjadi tempat tumbuh jenis bambang lanang. Selanjutnya kode sistem lahan ini dimasukkan pada peta sistem lahan di Kabupaten Musi Rawas. Cara ini dilakukan dengan cross table operation atau dengan raster operation dan dengan atribut map pada software ILWIS 3.7, dengan demikian akan diperoleh peta pengembangan jenis bambang
144
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
lanang di Kabupaten Musi Rawas beserta kode sistem lahannya. Keterangan kode sistem lahan dapat diperoleh dari tabel sistem lahan untuk wilayah Sumatera. Peta sistem lahan (land system)
Peta Administrasi 4 Kabupaten
Dua Peta Administrasi (Gabungan Kab. Empat lawang, Lahat dan Pagar Alam) dan (Kab. Musi Rawas)
PERSIAPAN
Peta land system pada kedua peta administrasi
Data primer (peta titik-titik lokasi tempat tumbuh bambang lanang)
Data Sekunder
KEGIATAN LAPANGAN Peta sistem lahan dengan sebaran lokasi tempat tumbuh bambang lanang di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam
ANALISIS
Peta sistem lahan Kabupaten Musi Rawas
Analisa data berdasarkan sistem lahan yang sama
Tampilan peta lokasi pengembangan jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas
Gambar 1. Flowchart (diagram alir) tahapan kegiatan penyunan peta pengembangan jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas, Sumsel
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Peta lokasi pengembangan bambang lanang ini dibuat dengan menggunakan sumber data dari peta sistem lahan (land system), peta sebaran tempat tumbuh dan informasi-informasi dari hasil survei lapangan. Pembuatan peta lokasi pengembangan bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas ini didasarkan pada peta lokasi sebaran tegakan bambang lanang yang terdapat pada tiga kabupaten yaitu Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam. Setiap titik lokasi sebaran jenis mengandung informasi
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
145
tentang posisi spasial (koordinat), desa, kecamatan, kabupaten, tinggi tempat, diameter (dbh), tinggi pohon, umur dan keterangan lainnya. Hasil peta lokasi pengembangan ini dapat disajikan dalam bentuk hard copy (cetakan peta) dan soft copy (peta digital). Pada peta digital informasi-informasi tersebut dapat dilihat secara langsung pada tabel atribut (atribut table). Hasil pengolahan data menggunakan software ILWIS 3.7, yang sudah bebas diunduh melalui internet, hasil analisis yang pertama adalah berupa peta gabungan tiga kabupaten (Empat Lawang, Pagaralam dan Lahat) dengan sebaran tempat tumbuh bambang lanang (Gambar 2).
Gambar 2. Peta sebaran tempat tumbuh bambang lanang di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam 1. Sistem lahan tempat tumbuh bambang lanang Dari hasil survei tempat tumbuh bambang lanang di tiga kabupaten (Empat Lawang, Pagaralam dan Lahat) diperoleh beberapa sistem lahan yang menjadi tempat tumbuh jenis bambang lanang. Sistem lahan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sistem lahan (land system) tempat tumbuh bambang lanang (Michelia champaka) di Kabupaten Empat Lawang, Pagaralam dan Lahat No.
Simbol Sistem lahan
Sistem Lahan
Deskripsi umum Bentuk Lahan
1
2
3
4
1
SAR
Dataran
2
MPT
Perbukitan
3
MBI
Dataran
4
BTK
Dataran
5
146
MTL
Perbukitan
Dataran-dataran endapan bertufa yang berbukit Perbukitan batuan bkn endapan yg tidak simetris/teratur Dataran-dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang Dataran lahar basa yang berbukit Kelompok punggung panjang, batuan endapan dengan arah lereng terjal
Kelompok Curah Hujan RaBesar Tanah ta-rata Tahunan (USDA, 1999) (mm) 5 Paledults Haplortox Dystropepts Tropudults Dystropepts Tropudults Dystropepts Haplortox Dystropepts Tropudalfs Tropudults Tropudults Dystropepts
6 1400- 4700 1600-4400 1500-4100
1900-4400
1800-4400
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
1
2
3
6
KNJ
Kipas dan lahar
7
TLU
Kipas dan lahar
8
TWH
Dataran
9
BMS
Perbukitan
10
PKS
Dataran
11
UBD
Perbukitan
12
BKN
Lembah aluvial
4
5 Dystropepts Dataran aluvial vulkanik yang Dystrandepts melereng landai Tropaquepts Paledults Lereng-lereng lahar agak Dystropepts curam dan teroreh Haplortox Tropudults Dataran batuan endapan, Paleudults berbukit kecil Dystropepts Punggung-punggung gunung yang Dystropepts sangat curamdi atas gunung Tropudults berapi berbasalt Troportents Dataran-dataran batu tufa Dystropepts vulkanik asam yang Dystrandepts bergelombang Haplortox Punggung gunung dengan Dystropepts aliran sejajar di atas tufa Eutrandepts vulkanik asam Dystrandepts Tropaquepts Dasar-dasar lembah kecil Tropofluents diantara bukit-bukit Eutropepts
6 2400-5300
1900-4300
2300-4700
1400-4600
1600-4100
1400-3900
1500-5200
Tabel 1 menunjukkan bahwa bambang lanang di tiga Kabupaten (Empat Lawang, Pagaralam dan Lahat) tumbuh pada 12 sistem lahan. Bambang lanang tumbuh mulai dari lembah aluvial, dataran sampai perbukitan dengan curah hujan rata-rata tahunan minimal 1400 mm/thn. Bambang lanang ternyata tumbuh pada dataran-dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang dan juga perbukitan batuan bukan endapan yang tidak simetris atau teratur. Jenis ini tumbuh pada curah hujan rata-rata tahunan antara 1400-5300 mm/thn. Bahkan jenis ini tumbuh pada lembah aluvial, namun demikian tidak dijumpai bambang lanang yang tumbuh di pegunungan yang tinggi. Tegakan dan pohon serta buah dan biji bambang lanang dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tegakan dan pohon bambang lanang (Michelia champaka) beserta buah dan bijinya 2. Lokasi pengembangan bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas Setelah diperoleh sistem lahan dimana jenis bambang lanang tumbuh, maka langkah berikutnya adalah menentukan lokasi pengembangan jenis tersebut di tempat lain, yaitu di Kabupaten Musi Rawas. Dua belas kode sistem lahan yang yang diperoleh
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
147
sebelumnya digunakan untuk mencari sistem lahan yang sama di lokasi pengembangan. Setelah dilakukan analisis, ternyata diperoleh sebanyak tujuh sistem lahan yang sama dengan daerah asal bambang lanang dan tujuh sistem lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan peta lokasi pengembangan bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas, disajikan pada Gambar 4. Tabel 2. Sebaran kesesuaian jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas No. 1 2 3 4 5 6 7
Sistem Lahan BKN BMS BTK MBI MPT MTL SAR Jumlah
Luas (ha) 6.701,3 8.295,0 5.954,0 722.377,8 2.050,8 1.598,9 92.449,1 839.426,9
Persentase (%) 0,80 0,99 0,71 86,06 0,24 0,19 11,01 100,00
Tabel 2 menunjukkan bahwa sistem lahan yang sesuai untuk pengembangan jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas adalah MBI, SAR, BMS, BKN, BTK, MPT dan MTL, yaitu mulai dari dataran sampai perbukitan. Sebaran luasan masing-masing kode sistem lahan dapat dilihat pada Gambar 5, dimana sistem lahan MBI dan SAR mempunyai luas terbesar yaitu 86,1% dan 11,0%. Menurut survei yang telah dilakukan pada tempat tumbuh jenis bambang lanang, jenis ini tumbuh pada ketinggian antara 120 meter sampai dengan 1.143 meter di atas permukaan laut (dpl). Pada ketinggian 120 m dpl ditemukan di Kabupaten Empat Lawang, sedangkan pada ketinggian 1.143 meter dpl dijumpai di Kota Pagaralam. Pertumbuhan paling baik adalah bambang lanang yang tumbuh di Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan yaitu antara ketinggian 120-681 meter dpl.
Peta pengembangan Bambang Lanang di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan Bertitik tolak dari hasil peta pengembangan jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas, maka lokasi-lokasi yang sesuai berada pada daerah bagian tengah sampai ke bagian timur wilayah kabupaten. Hal ini sesuai karakter jenis bambang lanang yang tumbuh dari daerah dataran sampai perbukitan, sedangkan daerah pegunungan yang ada di bagian barat Kabupaten Empat Lawang tidak sesuai karena daerah tersebut merupakan wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat. Dengan demikian untuk daerah
148
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
pegunungan yang tingginya lebih dari 1.150 m dpl pertumbuhan bambang lanang kurang baik dan jarang ditemukan tanaman tersebut.
Gambar 4. Peta dan grafik luas sistem lahan untuk pengembangan jenis tanaman bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan
KESIMPULAN 1. Teknik untuk menentukan lokasi pengembangan jenis bambang lanang dilakukan dengan cara memadukan antara survei titik lokasi tempat tumbuh (site) tegakan jenis tersebut dan peta sistem lahan (land system). Hasilnya dapat dipakai untuk menentukan lokasi pengembangan di daerah lain (dalam penelitian ini di Kabupaten Musi Rawas). 2. Bambang lanang yang terdapat di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam tumbuh pada ketinggian 120 – 683 m dpl. 3. Sistem lahan yang sesuai untuk pengembangan jenis bambang lanang di Kabupaten Musi Rawas adalah sistem lahan dengan kode MBI, SAR, BMS, BKN, BTK, MPT dan MTL, yaitu mulai dari dataran sampai perbukitan.
DAFTAR PUSTAKA Bakosurtanal. 1988. Peta and System with Land Use Suitablity and Environmental Hazards, Bakosurtanal, Bogor. Desaunettes, J.R. 1977. Catalogue of Landforms for Indonesia. FAO Working Paper No. 13 (AGL/TF/INS/44). Soil Research Institute, Bogor. Direktorat Bina Program. 2000. Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Direktorat Bina Program, Dirjend Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi, Jakarta. Forestry Working Group. 2002. Matrix of Action of Forestry Working Group as the Follow up to CGI Quarterly Review Meeting, 20 February 2002. Ministry of Forestry, Jakarta. (unpublished). Pratiwi. 2000. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan Sumatera Bagian Selatan. Info Hutan No. 123/2000, Badan Litbang Hutbun, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Indonesia.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
149
RePPProT. 1989. Review of Phase I Results Java and Bali, Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPProT), Volume I, Main Report, Land Resource Departement ODNRI (Overseas Development Administration Foreign and Commonwealth Office London England dan Direktorat Bina Program Direktorat Jendral Penyiapan Pemukiman Departemen Transmigrasi Jakarta Indonesia. Koolhoven, W., Hendrikse, J., Nieuwenhuis, W., Retsios, B., Schouwenburg, M., Wang, L., Budde, P., and Nijmeijer, R. 2010. Ilwis 3.7 Academic (User’s Guide). International Institute For Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), 7500 AA Enschede, The Netherlands. Website: http://www.itc.nl/ilwis/
150
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
TEKNOLOGI PENGOLAHAN NIRA SEBAGAI BAHAN BAKU GULA AREN DI KABUPATEN REJANG LEBONG, BENGKULU Junaidah1, R. Dody Prakosa2) dan Armelia Prima Yuna2)
ABSTRAK Nira adalah produk utama yang dihasilkan dari tanaman aren. Produk olahan nira yang telah dipasarkan secara luas dan mempunyai nilai jual yang cukup tinggi adalah gula aren. Salah satu sentra pengolahan nira sebagai bahan baku gula aren adalah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Hingga kini pengolahan nira di masyarakat masih menggunakan cara tradisional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui teknologi yang dipakai masyarakat dalam mengolah nira sebagai bahan baku gula aren. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan untuk meningkatkan teknologi pengolahan nira sebagai bahan baku gula aren sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produk serta memperluas pemasarannya. Metode yang digunakan adalah observasi langsung ke lapangan dan wawancara dengan para petani aren pada beberapa desa yang dipilih secara sengaja (purposive sampling). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan oleh masyarakat masih sangat sederhana dan tidak menggunakan bahan tambahan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk. Perlu adanya budidaya aren dengan menggunakan bibit yang berkualitas dan pemberian bahan pengawet alami agar nira tidak mengalami fermentasi. Pemasaran produk olahan cukup luas sampai ke luar Kabupaten Rejang Lebong baik melalui pedagang pengumpul atau pembeli yang langsung datang kepada petani. Kata kunci: aren, gula aren, pengolahan nira, pemasaran
I. PENDAHULUAN Nira adalah cairan manis yang berwarna jernih agak keruh yang diperoleh dari penyadapan tandan bunga atau buah palma dari beberapa jenis pohon serta hasil ekstraksi beberapa jenis tanaman. Nira bisa diperoleh dari penyadapan pohon aren (Arenga sp.), lontar (Borassus flabellifer Linn.), nipah (Nypa fruticans Wurmb.), kelapa (Cocos nucifera Linn.) dan hasil ekstraksi tanaman tebu (Saccharum officinarum Linn.), umbi bit (Beta vulgaris Linn.), stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) serta dahlia (Dahlia variabilis) (Lutony, 1993 dalam Wibowo, 2006). Dari beberapa jenis tanaman di atas, aren/enau adalah salah satu jenis tanaman yang produksi niranya paling banyak. Ada beberapa jenis aren yang hidup di Indonesia, yaitu aren glora (Arenga undulatifolia), aren sagu (Arenga microcarpa) dan aren (Arenga pinnata Merr.) (Sunanto, 1993). Dari ketiga jenis pohon aren tersebut, jenis yang produktivitas niranya paling tinggi adalah jenis Arenga pinnata Merr. Jenis inilah yang banyak dikembangkan oleh masyarakat.
1 2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
151
Aren tersebar merata di seluruh Indonesia pada ketinggian 1.400 m dpl. Biasanya banyak tumbuh di lereng-lereng atau tebing sungai. Luas pertanaman aren di Indonesia pada tahun 2002 adalah 47.730 ha terutama terdapat di Sumatera Utara, Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan (Efendi, 2009). Produk olahan nira bisa berupa gula aren (gula batok dan gula semut), cuka dan tuak. Tuak merupakan minuman beralkohol yang terbuat dari nira yang telah mengalami fermentasi. Gula aren adalah produk utama olahan nira. Gula aren lebih unggul dari gula kelapa karena mempunyai aroma yang lebih tajam dan rasa yang lebih manis. Oleh karena itu, banyak industri pangan menggunakan gula aren sebagai pemberi citarasa manis, seperti industri dodol di Garut (Jawa Barat) dan industri kecap di Palembang. Setiap daerah memproduksi gula aren sesuai dengan budaya daerahnya masing-masing. Teknik mengelola tersebut kemudian menjadi keterampilan yang diajarkan secara turun-temurun. Industri gula aren berkembang di seluruh Indonesia dalam bentuk industri kecil (rumah tangga) dan menengah. Tahun 2007 industri gula aren di Gorontalo mampu memproduksi hingga 1.367.496 kg dan mencapai 1.048.708 kg pada tahun 2008, dengan kisaran 3-5 kg/hari atau produksi rata-rata 7,8 kg/hari (Anonim, 2009b). Salah satu sentra industri gula aren di Pulau Sumatera yang masih berproduksi hingga saat ini berlokasi di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Masyarakat daerah ini sudah menggantungkan hidup pada usaha aren lebih dari 15 tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui teknologi yang dipakai masyarakat dalam mengolah nira sebagai bahan baku gula aren. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan untuk meningkatkan teknologi pengolahan nira sebagai bahan baku gula aren sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produk serta memperluas pemasarannya.
II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah sentra produksi gula aren di Air Meles Atas, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi tegakan aren/enau, nira, kuesioner, kamera dan alat tulis. C. Metode Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan cara survei pada beberapa lokasi sentra industri pengolahan gula aren. Kemudian diambil tiga desa sentra industri gula aren yang memiliki potensi aren dan produksi gula aren lebih banyak dibandingkan dengan desa lainnya. Setelah ditentukan lokasi untuk dijadikan tempat penelitian, kemudian dilakukan observasi lapangan dan wawancara dengan petani. Data pendukung yang turut diambil meliputi keadaan lokasi penelitian, pembinaan terhadap petani dan informasi teknologi pengolahan nira di daerah lain dikumpulkan dari instansi terkait serta studi pustaka. Data hasil penelitian disajikan secara deskriptif.
152
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Di Kabupaten Rejang Lebong terdapat empat sentra produksi gula merah, masing-masing adalah Kecamatan Sindang Kelingi, Kecamatan Sindang Dataran, Kecamatan Selupu Rejang dan Kecamatan Curup Selatan. Dari 44 desa yang tersebar di empat kecamatan tersebut, terpilih tiga desa sentra produksi aren dengan potensi aren dan produksi gula aren terbanyak, yaitu Desa Sindang Jati dan Desa Sindang Jaya, Kecamatan Sindang Kelingi serta Desa Air Meles Atas, Kecamatan Selupu Rejang. Gula aren yang dihasillkan berupa gula aren bongkahan (gula batok/gula gandu). Masyarakat memproduksi gula semut (gula kristal/ bubuk) bila ada pesanan saja. Proses pengolahan nira menjadi gula aren umumnya dilakukan di kebun-kebun atau di rumah-rumah petani. Jika lokasi kebun aren petani jauh dari rumah, pengolahan nira dilakukan di kebun. Petani membuat gubuk kecil di kebun yang dilengkapi dengan tungku besar untuk mengolah nira. Lokasi penelitian yang dipilih termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Rejang Lebong. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 800 hingga 1200 m dpl, jenis tanah andosol, curah hujan rata-rata 180,44-294,58 mm/bulan atau 2.165,30-3.535 mm/tahun, suhu rata-rata 21,69-24,350C dengan kelembaban udara 84,17-89,28%. Jumlah bulan basah 7-12 bulan/tahun dan bulan kering 0-3 bulan/tahun (Anonim, 2009a). B. Karakteristik Aren Jenis aren yang dikembangkan masyarakat di Kabupaten Rejang Lebong adalah jenis Arenga pinnata. Aren adalah palma yang terpenting setelah kelapa karena merupakan tanaman serba guna. Aren merupakan tanaman berumah satu, bunga jantan terpisah dari bunga betina dalam tongkol yang berbeda yang muncul di ketiak daun. Panjang tongkol bisa mencapai 2,5 m. Buah berbentuk bulat dengan diameter ± 4 cm, memiliki ruang tiga dengan biji tiga yang tersusun dalam untaian seperti rantai. Bunga jantan biasa disebut masyarakat dengan sebutan manggar, yakni merupakan bagian tanaman yang menghasilkan nira. Salah satu ciri khas tanaman aren adalah tumbuhnya bunga-bunga yang berawal dari puncak pohon, kemudian disusul tumbuhnya bunga-bunga yang semakin ke bawah pada batang pohon. Bunga yang tumbuh terakhir hampir mendekati permukaan tanah dengan ketinggian bisa mencapai sekitar 1 m. Setiap pohon dapat menghasilkan 15 liter nira/hari. Nira juga dapat difermentasi untuk menghasilkan bioetanol. Batang pokok aren kokoh dan pada bagian atas diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang dikenal sebagai ijuk. Buah aren (beluluk) memiliki dua atau tiga butir inti biji (endospsperm) yang berwarna putih dilapisi batok tipis yang keras. Buah yang masih muda, bagian intinya masih lunak dan agak bening. Buah muda yang diolah dikenal dengan sebutan kolang-kaling. Aren yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari dua variasi jenis, yaitu aren kapur dan aren kijang. Karakteristik variasi morfologi kedua variasi jenis aren disajikan pada Tabel 1. Jenis aren yang lebih produktif adalah jenis aren kapur karena bunga jantan yang dihasilkan lebih banyak. Bunga jantan yang paling produktif adalah bunga jantan yang muncul pertama kali. Masa sadap bisa mencapai 5-6 bulan. Masa sadap dan produksi akan terus menurun pada bunga jantan yang muncul berikutnya. Walaupun aren kapur Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
153
lebih produktif, banyak juga petani yang lebih berminat dengan aren kijang dengan alasan lebih mudah dalam proses penyadapan (tidak terlalu tinggi). Tabel 1. Karakteristik morfologi jenis aren No 1.
Karakteristik Tinggi * Tinggi Total (m) * Tinggi Bebas pelepah (m) 2. Diameter (cm) 3. Jumlah Bunga jantan (mangar) 4. Mulai mucul bunga betina (th. Ke-) 5. Mulai mucul bunga jantan (th. Ke-) 6. Masa sadap produktif (th) * Masa manggar produktif (bulan) * Jumlah manggar paling produktiff 7. Daun * kekerasan helai daun Sumber: Data primer diolah (2009)
Aren Kijang 13.5 7 23 7 6 7 2 3 4
-
19 12.5 51.5 10 10 12 3 6 5
Keras/kaku
Aren Kapur 12 8 30.8 10 7 8 4 3 6
-
24 18 52.7 14 11 13 5 6 8
Lembut/lentur
C. Budidaya Aren Di Kabupaten Rejang Lebong tanaman aren dibudidayakan masyarakat secara alami. Berdasarkan informasi dari masyarakat diketahui bahwa aren dibawa oleh nenek moyang mereka dari Desa Pal 8, Kecamatan Curup Selatan. Namun saat ini, potensi aren dan produksi gula aren di Kecamatan Curup Selatan semakin berkurang. Tanaman aren yang ada di lahan masyarakat Kecamatan Sindang Kelingi berasal dari anakan alam yang dipelihara dengan baik. Anakan alam tersebar secara merata di bawah pohon induknya. Anakan alam yang sehat dan bagus dipelihara untuk menggantikan pohon induk. Selain itu ada juga yang diambil untuk ditanam di lokasi lain. Ciri-ciri anakan alam yang diambil adalah tinggi 30-50 cm, bebas dari hama penyakit, jumlah daun 2-3 helai dan biji masih menempel di batang anakan. Jika lokasi penanaman dekat, anakan bisa langsung ditanam. Bila lokasi penanaman jauh, anakan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam polybag yang telah diisi dengan media top soil dan dibiarkan selama 2-4 minggu sebelum ditanam di lapangan. Anakan alam yang terlalu banyak di bawah pohon induk perlu dilakukan penjarangan. Penyebaran tanaman aren kebanyakan dibantu oleh musang/luwak. Tegakan aren yang terlalu rapat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Tanaman dengan ukuran yang lebih pendek biasanya jumlah bunga jantan dan nira yang dihasilkan juga akan lebih sedikit. D. Teknik Pengambilan Nira Nira diambil melalui proses penyadapan. Nira segar mempunyai rasa manis, tidak berwarna, berbau harum, dengan pH antara 5,5-6. Rasa manis pada nira disebabkan karena adanya gula (sukrosa, glukosa, fruktosa dan maltosa). Selain gula, nira juga mengandung protein, lemak, air, pati, dan abu serta asam-asam organik (sutrat, malat, siksinat, laktat, fumarat, dan prioglutamat) yang berperan dalam pembentukan cita rasa gula merah yang spesifk (Itoh, 1985 dalam Supardi, 1993 dalam Wibowo, 2006). Penyadapan nira telah dilakukan secara turun-temurun dari warisan orang tua mereka. Keterampilan, kesabaran, dan keberanian sangat dibutuhkan oleh petani aren 154
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
dalam proses penyadapan. Penyadapan nira biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Tahapan teknik penyadapan nira (Gambar 1) dijabarkan sebagai berikut: 1. Seleksi tanaman Tanaman aren yang akan disadap mempunyai ciri-ciri bunga betina telah keluar yang disusul dengan bunga jantan. Bunga jantan telah berwarna coklat kehitaman (mulai matang). 2. Mempersiapkan peralatan sadap Peralatan yang diperlukan adalah tangga untuk memanjat, bumbung dari bambu untuk menampung nira, palu dari kayu untuk memukul batang manggar, golok untuk memotong pelepah dan bunga jantan serta mengiris pangkal bunga jantan, tali sebagai alat pengaman, plastik/kain untuk menutup bunga jantan yang baru dipotong, dan tali rafia untuk mengikat plastik penutup bunga jantan. 3. Pembersihan tongkol (tandan) Pembersihan tandan dilakukan dengan membersihkan ijuk yang ada di sekitar tongkol dan membuang dua pelepah daun yang tersisa yang berada di bagian atas dan bawah tongkol bunga jantan. Pembersihan dilakukan untuk mempermudah proses penyadapan. 4. Pemukulan dan pengayunan Bunga jantan yang telah berwarna kecoklatan dipukul dengan palu yang terbuat dari kayu. Pukulan pertama agak keras, selanjutnya dipukul merata dengan sangat ringan sebanyak ± 250 kali. Kemudian, tangkai bunga jantan diayun beberapa kali. Kegiatan pemukulan dan pengayunan dilakukan setiap 1-2 minggu sekali selama 46 minggu. Kegiatan ini untuk merangsang keluarnya nira melalui pembuluh floem. Wibowo dan Sasmuko (2005) menyebutkan bahwa pemukulan pada nira pada proses penyadapan juga dilakukan di daerah Sumatera Utara. Tujuannya untuk melonggarkan pembuluh tapis dalam tandan yang semula padat menjadi terurai atau pecah sehingga memperlancar nira yang keluar. Jika pemukulan dan pengayunan dilakukan pada bunga jantan masih muda (belum berwarna kecoklatan), akan mengakibatkan bunga jantan rusak dan nira yang dihasilkan sangat sedikit bahkan tidak keluar sama sekali. 5. Pemotongan bunga jantan Pemotongan bunga jantan dilakukan setelah berwarna coklat kehitaman mengkilap, telah keluar minyak, berbau harum, dan mulai didatangi oleh kutu-kutu atau kumbang. Pemotongan dilakukan menggunakan golok yang tajam. Cara pemotongan meliputi bunga jantan dipotong pada bagian pangkal keluar bunga. Bagian yang dipotong kemudian dibersihkan/dilap dan ditutup dengan plastik transparan/kain selama 2-3 hari dan diikat dengan tali rafia. Tujuan penutupan luka tersebut untuk mengatur nira yang keluar agar jumlahnya stabil. Bila nira yang keluar sangat banyak pada saat baru dipotong biasanya masa sadap tidak lama dan produksi nira pada bunga jantan berikutnya akan menurun drastis. 6. Pengirisan bunga jantan Setelah 2-3 hari, plastik dibuka dan dilakukan pengirisan tangkai bunga jantan. Tangkai bunga jantan dipotong sangat tipis dengan ukuran ± 1-2 mm. Alat pemotong harus tajam dan bersih, bisa menggunakan golok atau silet. Pengirisan dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengambilan hasil sadapan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
155
7. Penampungan dan pengambilan nira Nira yang telah keluar, ditampung dengan menggunakan wadah penampung yang terbuat dari bambu (bumbung). Ukuran bumbung bervariasi dengan panjang sekitar ± 50-100 cm dan diameter sekitar ± 15 cm. Cara menampung yakni ujung bunga jantan dimasukkan ke dalam bumbung, kemudian ditutupi dengan plastik/kain dan diikat supaya tidak jatuh. Pemberian plastik/kain dimaksudkan untuk melindungi kotoran atau air hujan agar tidak masuk ke dalam bumbung. Pengambilan nira biasanya dilakukan 2 kali sehari pagi dan sore. Dalam 1 hari, petani mampu melakukan penyadapan 10-30 pohon tergantung dari tinggi bunga jantan. Umumnya petani dalam sehari bisa memanjat dan menyadap nira sebanyak 12 pohon dengan produksi bisa mencapai ± 60-80 liter nira. Bumbung tempat penampungan nira harus sering dibersihkan, karena bila kotor akan menghasilkan nira yang masam. Nira yang baru disadap dapat diawetkan dengan mengggunakan bahan pengawet alami, seperti kayu nangka (Artocarpus integra Merr.), kulit kayu/buah manggis (Garcinia mangostana Linn.), batang kawao (Milletia sericea), dan batang tuba (Derris eliptica Benth.). Dengan menggunakan bahan pengawet alami, diharapkan nira lebih terjaga kualitasnya dan gula aren yang dihasilkan akan lebih berkualitas
Seleksi tanaman (bunga jantan berwarna coklat)
Pemukulan dan Pengayunan
Bunga jantan baru dipotong
Pengangkutan
Pengambilan nira ( 2 x sehari)
Pengirisan bunga jantan (±1 mm)
Gambar 1. Diagram proses penyadapan nira 8. Pengangkutan dan pengumpulan hasil sadapan Nira yang diambil dikumpulkan dalam bumbung yang lebih besar kemudian langsung diangkut ke tempat pengolahan. Nira hasil sadapan harus segera diolah menghindari fermentasi nira (menimbulkan rasa masam) yang akan menurunkan kualitas gula aren yang dihasilkan. Fermentasi yang sangat cepat pada nira disebabkan komposisi senyawa yang terkandung dalam nira. Komposisi senyawa nira secara umum terdiri dari: air (80-90%), sukrosa (8-12%), gula reduksi (0.5-1%)
156
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
dan bahan lainnya (1.5-7%). Dengan komposisi tersebut, nira merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, jamur dan ragi (Maylan, 1994 dalam Wibowo, 2006). E. Teknik Pengolahan Nira Produk olahan dari nira dapat berupa gula aren, cuka dan tuak. Gula aren merupakan produk olahan utama karena permintaannya yang cukup tinggi dan kontinyu, serta mempunyai nilai ekonomis paling tinggi. Peralatan yang digunakan meliputi tungku, wajan, kayu bakar, saringan, kayu pengaduk, kemiri/minyak kelapa, cetakan (batok kelapa/mangkuk kaca/plastik plastik), papan alas cetak, daun pisang, dan plastik. Tahapan pembuatan gula aren (Gambar 2) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penggodokan/perebusan Nira hasil sadapan yang telah dikumpulkan dimasukkan dalam wajan berukuran besar. Ukuran wajan yang digunakan beragam, tergantung dari ukuran tungku dan banyaknya nira yang akan dimasak. Wajan yang sering digunakan berdiameter ± 80 cm. Tungku terbuat dari tanah liat dengan ukuran sekitar 1 x 1 x 1 m. Tungku ada yang dibangun di atas permukaan tanah atau di dalam tanah. Nira yang telah dikumpulkan harus segera dimasak untuk menghindari fermentasi. Yang perlu diperhatikan saat penggodokan nira adalah api jangan terlalu besar dan terlalu kecil (stabil). Jika terlalu besar, gula aren yang dihasilkan berwarna hitam dan terasa pahit. Pelepah dan batang aren yang telah tua merupakan bahan bakar yang banyak digunakan petani selain kayu bakar. Nira yang telah digodok juga bisa disimpan dan diolah pada keesokan harinya. Penggodokan nira yang belum langsung diolah menjadi gula batok cukup dilakukan sampai nira mendidih sekitar 2 jam. Setelah itu nira didinginkan dan disimpan dalam dirigen.
Perebusan
Pembersihan kotoran dan pengadukan
Gula aren siap dipasarkan
Pencetakan
)
Gambar 2. Diagram pembuatan gula aren 2. Pembersihan dan pengadukan kotoran Sebagian petani ada yang mencampur nira yang dimasak dengan minyak kelapa atau kemiri yang telah dihaluskan. Jumlah penambahan kemiri atau minyak kelapa tidak baku. Wajan berdiameter ± 80 cm yang berisi larutan gula diberikan 2 sendok
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
157
kemiri bubuk/minyak kelapa. Tujuannya agar buih-buih atau busa yang meluap dari wajan saat merebus bisa turun. Penambahan kemiri/minyak bisa menurunkan tegangan permukaan (Supardi, 1993 dalam Wibowo dan Sasmuko, 2005). Nira yang telah direbus dibersihkan kotorannya dengan menggunakan saringan dan sesekali diaduk. Semakin lama perebusan, nira akan semakin kental dan pengadukan harus semakin sering dilakukan. 3. Pencetakan Waktu perebusan nira sampai kental dan siap untuk dicetak bervariasi tergantung dari banyaknya nira yang direbus. Perebusan 60-80 liter nira membutuhkan waktu sekitar 6-8 jam untuk siap cetak. Ciri-ciri nira yang siap cetak adalah nira menjadi sangat pekat, bila diaduk terasa berat, bila diangkat dari wajan dan dituangkan kembali ke dalam wajan adukan terlihat putus-putus atau seperti benang bila dimasukkan ke dalam air dingin. Adonan yang seperti ini harus segera diangkat dari tungku dan didinginkan sekitar ± 10-15 menit sambil terus diaduk. Setelah itu adonan gula yang mulai dingin mulai dimasukkan ke dalam cetakan. Alat cetak yang digunakan untuk pembuatan gula aren biasanya batok kelapa, bambu atau mangkuk plastik. Sebelum adonan gula dimasukkan, cetakan dicelupkan ke dalam air sampai basah. Tujuannya untuk membantu pendinginan dan memudahkan mengeluarkan gula dari cetakan. Setelah dimasukkan dalam cetakan, adonan membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit untuk menjadi gula aren bongkahan. Dari 60-80 liter nira akan dihasilkan 10-12 kg gula aren. Di lokasi penelitian petani tidak memproduksi gula semut karena waktu pembuatan yang lebih lama, harga jual yang lebih mahal dan permintaan relatif sedikit. 4. Penyimpanan dan pengemasan Gula aren yang telah selesai dicetak dibiarkan dulu sampai dingin. Setelah dingin, baru disimpan dalam tempat/wadah yang kering dan terlindung dari kontak dengan air. Biasanya gula aren dibungkus dengan plastik atau daun aren/daun pisang yang telah dikeringkan. Pengemasan mempunyai peranan penting karena gula mempunyai sifat menarik air (higroskopis), sehingga bila pengemasan/penyimpanan kurang baik, gula aren yang dihasilkan akan cepat lembek, berjamur dan rusak. F. Pemasaran Tata niaga gula aren di Kabupaten Rejang Lebong dapat dilihat pada Gambar 3. Pelaku yang terlibat adalah petani aren selaku produsen, pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen. Terdapat tiga saluran pemasaran yaitu saluran pertama petani aren langsung pada konsumen, saluran kedua petani aren ke pedagang pengumpul dilanjutkan pedagang pengecer baru konsumen dan saluran ketiga petani aren ke pedagang pengecer dilanjutkan konsumen. Pada saluran pertama, pemasaran produk olahan nira dilakukan dengan cara petani menjual sendiri ke pasar kecamatan atau menunggu pembeli datang langsung ke rumah. Tuak dan cuka jarang dijual di pasaran, biasanya hanya untuk konsumsi penduduk lokal sedangkan gula aren pemasarannya cukup luas. Pemasarannya mencapai Kabupaten Rejang lebong, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Kepahiang dan sekitarnya. Kecamatan Sindang Kelingi khususnya Desa Sindang Jaya dan Sindang Jati terkenal sebagai sentra produksi gula aren. Pedagang pengumpul selalu datang setiap minggu ke desa tersebut untuk membeli gula aren petani. Gula aren dijual oleh para
158
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
petani dengan harga Rp 10.000,- hingga Rp 13.000,-/kg. Sedangkan di kota kabupaten, gula aren bisa dibeli dengan harga Rp. 16.000,- hingga Rp. 19.000,-/kg. Petani aren/produsen Pedagang Pengumpul Pedagang pengecer Pedagang pengecer
Konsumen
Gambar 3. Tata niaga gula aren di Kabupaten Rejang Lebong
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Teknik pengolahan nira menjadi gula aren yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Rejang Lebong masih konvensional (sangat sederhana), baik tahapan penyadapannya maupun tahapan pengolahannya. 2. Potensi aren dan pemasaran produk aren (gula merah) di Kabupaten Rejang Lebong cukup besar dan harus terus dikembangkan sehingga produk yang dihasilkan lebih banyak dan kualitasnya dapat lebih ditingkatkan. 3. Budidaya aren di daerah sentra produksi harus menggunakan bibit berkualitas dan jenis yang produktif. 4. Nira yang baru disadap dapat diawetkan dengan mengggunakan bahan pengawet alami, seperti kayu nangka (Artocarpus integra Merr.), kulit kayu/buah manggis (Garcinia mangostana Linn.), batang kawao (Milletia sericea), dan batang tuba (Derris eliptica Benth.). Dengan menggunakan bahan pengawet alami, diharapkan nira lebih terjaga kualitasnya dan gula aren yang dihasilkan akan lebih berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009a. Data Klimatologi Stasiun Geofisika Kepahiang. Kepahiang: Badan Meterologi dan Geofisika. Anonim. 2009b. Potensi pengembangan Gula Aren/Gula Merah. http://www.gorontalo.go.id. Diakses pada: 22 Oktober 2009.
Sumber:
Efendi, D.S. 2009. Aren Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. . 31. No.2 Th. 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Sumber: http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/ wr312091.pdf. Diakses pada: 22 Oktober 2009. Sunanto, H. 1993. Aren, Budidaya dan Multigunanya. Yogyakarta: Kanisius.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
159
Wibowo, S. dan S.A. Sasmuko. 2005. Kajian Pengolahan dan Sistem Pemasaran Gula Merah Aren di Desa Kuta Raja, Tiga Binanga-Tanah Karo, Sumatera Utara. Info Hasil Hutan. Vol. 11 No.1, April 2005. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor, Indonesia. Hal: 41-49. Wibowo, S. 2006. Beberapa Jenis Pohon Sebagai Sumber Penghasil Bahan Pengawet Nabati Nira Aren (Arenga pinnata Merr). Info Hasil Hutan Vol. 12 No. 1, April 2006. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor, Indonesia. Hal: 67-74.
160
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
TEMBESU: SALAH SATU JENIS LOKAL POTENSIAL DALAM PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI SUMATERA Agus Sofyan1
ABSTRAK Pembangunan dan pengembangan hutan tanaman semestinya diarahkan pada upaya pencapaian tingkat produktivitas atau riap pertumbuhan tegakan yang maksimal, dimana seluruh potensi faktor produksi yang dapat mengantarkan pada tercapainya tingkat produktivitas maksimal seperti pemilihan jenis yang tepat, penggunaan benih unggul secara genetik serta penerapan teknik silvikultur yang tepat harus dapat dipenuhi. Penggunaan jenis-jenis lokal komersial merupakan alternatif yang dapat ditempuh dalam memenuhi kebutuhan kayu bahan baku kayu pada tingkat lokal, melalui pembangunan hutan rakyat yang produktif. Tembesu merupakan salah satu jenis yang mempunyai peluang cukup besar untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan rakyat. Peningkatan produktivitas hutan tanaman tembesu dapat dilakukan dengan tindakan seleksi mulai dari pemilihan pohon induk yang akan dijadikan sebagai sumber benih (bahan) tanaman, kemudian seleksi pada tingkat pembibitan terhadap bibit-bibit yang mempunyai vigoritas (penampilan pertumbuhan) yang baik serta penerapan teknik silvikultur yang tepat sesuai jenis (silvikultur jenis). Kata kunci: hutan rakyat, jenis, produktivitas, seleksi, silvikultur, sumber benih
I. PENDAHULUAN Masalah utama yang dihadapi kehutanan Indonesia saat ini adalah terjadinya kerusakan hutan pada tingkat yang demikian berat yaitu sebesar 600.000 hektar per tahun, sementara pada pada periode 1999 hingga 2002 tercatat sebesar 4 juta hektar per tahun (Kementerian Kehutanan, 2011). Selain menyebabkan kerusakan atau dampak lingkungan yang serius seperti banjir dan longsor, juga menyebabkan kesenjangan antara kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dengan kemampuan penyediaan bahan baku kayu yang demikian tinggi. Data-data tentang kebutuhan bahan baku kayu dan kemampuan produksinya menunjukkan angka yang bervariasi, tergantung dari sumber data yang digunakan, namun demikian semuanya menunjukkan adanya kekurangan supply dalam pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat, sementara potensi hutan alam sebagai produsen utama semakin menurun dari waktu ke waktu. Salah satu sasaran dalam program revitalisasi kehutanan adalah, pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dalam rangka mengurangi kesenjangan kebutuhan bahan baku kayu, baik pada tingkat lokal maupun regional.
1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
161
Problem kesenjangan kebutuhan bahan baku kayu yang demikian tinggi, sesungguhnya pada satu sisi telah membuka peluang dan kesempatan dalam pembangunan dan pengembangan hutan rakyat (HR) yang di berbagai daerah yang selama ini peran dan manfaatnya secara ekonomi telah dirasakan oleh masyarakat. Beberapa jenis produk kayu hutan rakyat seperti jati, sengon, pulai, jabon dan lain-lain telah menjadi bahan baku industri yang berdampak langsung bagi perekonomian masyarakat. Perkembangan yang menggembirakan ini tentunya harus terus didukung dari sisi kebijakan maupun teknis sehingga pembangunan hutan rakyat menjadi usaha yang mempunyai keunggulan komparatif dan mampu bersaing dengan usaha lain. Perkembangan hutan rakyat pada beberapa daerah di wilayah Sumatera Selatan, khususnya jenis tembesu selama ini masih dilakukan secara tradisional (silvikultur ekstensif), dimana sebagian besar petani masih memanfaatkan regenerasi yang berasal dari trubusan alami yang terdapat di areal kebun, dengan merawatnya bersama-sama dengan tanaman pokok (karet atau sawit) yang mereka kelola (Sofyan dkk., 2010). Kesesuaian lahan merupakan faktor penting yang harus dipenuhi dalam pembangunan hutan tanaman, karena sebaik apapun mutu atau keunggulan bibit yang digunakan, tanaman tidak akan tumbuh baik kecuali pada kondisi lahan yang sesuai. Tingkat kesesuaian lahan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan produktivitas tegakan yang akan dihasilkan (Shelbourne, 1972, Zobel dan Talbert, 1984 dan Hardiyanto, 2005). Pemilihan jenis merupakan hal yang sangat penting dalam membangun hutan tanaman. Pemilihan jenis-jenis lokal yang sudah cukup banyak dibudidayakan masyarakat, sesunguhnya merupakan pilihan yang arif dan bijak, karena selain sudah cukup dikenal, jenis-jenis lokal relatif tidak mempunyai kendala dengan faktor kesesuaian lahannya. Dari beberapa jenis lokal komersial yang telah dikembangkan selama ini, tembesu mempunyai peluang yang cukup besar serta dapat dikembangkan dalam skala wilayah yang lebih luas, mengingat peta sebaran alaminya yang sangat luas, sehingga dari aspek kesesuaian lahan, pengembangan tembesu di berbagai wilayah tidak mempunyai kendala yang berarti.
II. KEUNGGULAN KOMPARATIF TEMBESU Membangun hutan tanaman berarti menginvestasikan dana dalam jumlah besar dengan jangka waktu relatif lama serta tingkat resiko yang tinggi. Membangun hutan tanaman harus mempertimbangkan berbagai aspek serta bersifat produktif, sehingga dapat diperoleh hasil sesuai harapan. Dengan penerapan teknik silvikultur intensif yang dipadukan dengan penggunaan benih bermutu secara genetik (unggul), diharapkan dapat dicapai pertumbuhan tegakan dengan tingkat produktivitas maksimal. Beberapa alasan penting mengapa tembesu menjadi salah satu jenis yang layak dipilih dalam pembangunan Hutan Rakyat, khususnya di wilayah Sumetera Selatan, karena tembesu mempunyai beberapa keunggulan antara lain: 1. Dari aspek kesesuaian lahan, tembesu sangat sesuai untuk dikembangkan di wilayah Sumatera Selatan.
162
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
2. Potensi sumberdaya genetik masih cukup besar, karena potensi alaminya di berbagai daerah masih cukup baik, sehingga peluang peningkatan riap (produktivitas) sangat mungkin dilakukan. 3. Pemanfaatan dan produk serta sifat kayu tembesu yang istimewa sudah sangat dikenal, khususnya di wilayah Sumatera Selatan. Estimasi kebutuhan kayu tembesu per tahun di Kabupaten OKU Timur sebesar 2.414 m3, sementara kebutuhan faktual sebagai bahan baku mebel ukiran di Palembang pada saat ini mencapai 3.120 m3 (Martin dkk., 2010). 4. Nilai ekonomi dan budaya kayu tembesu, khususnya untuk beberapa daerah di Sumatera Selatan sangat tinggi dibanding dengan jenis-jenis kayu lainnya. Harga jual kayu tembesu di pasar lokal saat ini berakisar antara Rp. 3.000.000 s.d Rp. 3.500.000,- per m3. 5. Teknik budidaya sudah mulai dikenal dan dipraktekkan oleh sebagian masyarakat (silvikultur ekstensif). 6. Status riset tembesu relatif maju. Pembibitan tanaman (generatif maupun vegetatif) sudah dikuasi, begitu pula penanaman pada tingkat lapang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pilihan pada jenis tembesu dalam program pembangunan dan pengembangan hutan rakyat adalah merupakan pilihan yang bijak dengan prospek yang cukup menjanjikan. Pola pengembangan hutan rakyat di berbagai daerah, termasuk di wilayah Sumatera Bagian Selatan umumnya dalam bentuk pola penanaman campuran, karet dan sawit misalnya dicampur dengan tembesu sebagai tanaman selanya, karet dicampur dengan bambang lanang, kemiri dengan bambang lanang, cacao (coklat) dan kopi dengan bambang lanang, demikian pula kayu bawang umumnya ditanam dalam bentuk pola campuran dengan tanaman karet, kopi, pinang dan jengkol (Sofyan dkk., 2010). Pengelolaan hutan rakyat di berbagai daerah umumnya masih bersifat tradisional, baik ditinjau dari sisi materi (bahan) tanaman maupun aspek pengelolaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani masih mengandalkan trubusan atau semai alam (wildling) tembesu yang terdapat di lokasi kebun mereka sebagai bibit atau bahan tanamannya. Petani belum secara serius dalam menggunakan bibit tembesu, sebagaimana mereka memilih dan menggunakan bibit karet atau sawit. Dari aspek pengelolaan, seperti pengaturan jarak tanam, pemupukan, pemeliharaan, pemangkasan cabang serta perlakuan-perlakuan silvikultur lainnya belum dipraktekan secara baik. Dapat dikatakan bahwa penggunaan bibit atau bahan tanaman serta pengelolaan dalam budidaya jenis-jenis kayu pertukangan oleh sebagian masyarakat belum dilakukan secara intensif dan terkesan ‘seadanya’. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan dan informasi teknis yang dimiliki masyarakat tentang budidaya tembesu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan tanaman yang lebih intensif pada tanaman tembesu menghasilkan rerata riap pertumbuhan diameter yang lebih tinggi (Sofyan dkk., 2010), sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Hasil senada juga dikemukakan oleh Purwita dan Supriadi (2010), bahwa kombinasi antara pemeliharaan yang baik dengan pemupukan dapat meningkatkan volume produksi yang nyata pada pertanaman Acacia mangium.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
163
Tabel 1. Rerata riap pertumbuhan tembesu pada berbagai umur dan lokasi Riap Umur Jarak Kerapatan (tahun) tanam (N/ha) Diameter (cm/th) Tinggi (m/th) Lokasi 1 4 3x1 3333 1,92 1,79 Muara Enim* 2 4 3x2 1666 2,28 1,65 Muara Enim* 3 3 3x2 1666 2,38 1,70 Muara Enim* 4 3 3x3 1111 1,82 1,82 OKU Timur + 5 2 3x3 1111 1,71 1,97 OKU Timur + 6 6 3x3 1111 1,67 1,71 OKU Timur + Keterangan: * Plot penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang (intensif) + Plot penelitian dalam bentuk hutan rakyat milik masyarakat (tradisional) No
III. STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT Peningkatan riap pertumbuhan (produktivitas) hutan tanaman tembesu dapat dilakukan melalui: 1. Pemilihan bahan atau materi tanaman yang jelas asal usulnya, dalam hal ini adalah pohon induk dimana benih diperoleh. Dari pohon-pohon induk yang mempunyai pertumbuhan dan fenotipe yang baik, diharapkan akan diwariskan sifat-sifat pertumbuhan yang baik pada keturunannya melalui benih maupun bahan vegetatif (klon). Oleh karena itu seleksi pohon induk dalam pengumpulan benih sangat penting dalam pembangunan hutan tanaman. 2. Seleksi pada tingkat bibit. Umumnya bibit yang dihasilkan di persemaian mempunyai keragaman pertumbuhan bahkan pada jenis-jenis tertentu tingkat keragamannya sangat tinggi. Karenanya sangat perlu dilakukan seleksi terhadap bibit-bibit yang mempunyai penampilan (performa) pertumbuhan yang baik untuk dijadikan sebagai bahan tanaman. Dengan menggunakan bibit yang mempunyai performa pertumbuhan yang baik, maka dapat diharapkan pertumbuhan tanaman yang optimal. 3. Tindakan manipulasi lingkungan harus diarahkan pada upaya terpenuhinya kebutuhan dan persyaratan tumbuh yang dapat menghasilkan pertumbuhan maksimal. Pada aspek ini status kesuburan lahan (hara tanah), kondisi tempat tumbuh (luas lubang tanam, kegemburan tanah) serta gangguan hama, penyakit dan gulma menjadi hal yang sangat penting untuk dikelola dengan baik, sehingga kebutuhan persyaratan untuk pertumbuhan tanaman (akar maupun batang atau tunas) dapat dipenuhi. Dengan demikian tanaman (tegakan) dapat tumbuh secara maksimal. 4. Pemeliharaan dan perlindungan tanaman yang optimal merupakan faktor penting dan sangat menentukan kinerja pertumbuhan tanaman. Pemeliharaan tanaman harus dilakukan dengan baik sesuai dengan kebutuhan maksimal bagi pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit-bibit yang berasal dari benih unggul (bermutu baik secara genetik) serta hasil seleksi pada tingkat persemaian, tidak dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tempat tumbuh (lingkungan) yang tidak atau kurang baik. Tanaman yang pada fase pertumbuhan awal (0 sampai 2 tahun) tidak memperoleh pemeliharaaan yang baik akan mengalami pertumbuhan yang buruk, sekalipun dilakukan pemupukan secara maksimal. Gangguan gulma pada periode tersebut akan menyebabkan stagnasi pertumbuhan tanaman bahkan pada jenis-jenis tertentu dapat menyebabkan kematian tanaman. 164
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
5. Tembesu merupakan jenis tanaman dengan tipe percabangan yang sangat berat, dimana pembentukan cabang pada batang pokok (utama) sangat banyak dengan sifat pemangkasan alami atau ‘self prunning’ yang sangat rendah, sehingga cabangcabang yang terbentuk menjadi besar dan dalam jumlah sangat banyak. Karenanya harus dilakukan pemangkasan secara periodik sejak pertumbuhan awal (umur 1 tahun). Pemangkasan dengan intensitas 50% dari tinggi total tanaman, pada tanaman umur 30 bulan dapat meningkatkan pertumbuhan diameter, kualitas serta bentuk batang (Sofyan dkk., 2010).
Tegakan tembesu umur 4 tahun dengan jarak tanam 2 x 3 m (rerata diameter 9,12 cm, tinggi 6,60 m)
Pemangkasan cabang pada tegakan umur 4 tahun
Pemangkasan cabang dan penjarangan pada tegakan umur 4 tahun
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
165
IV. PENUTUP Untuk dapat mengurangi kesenjangan dan pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu pada tingkat lokal, pengembangan hutan rakyat dengan jenis-jenis lokal merupakan salah satu alternatif yang cukup bijak dan potensial. Mengingat bahwa sebagian besar lahan dataran rendah telah didominasi oleh kelapa sawit dan karet, maka peluang budidaya tembesu dapat dilakukan dengan pola tanam campuran. Pola tanam campuran karet dengan tembesu merupakan pola tanam yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pembangunan hutan rakyat tembesu. Namun pola tanam campuran dengan jenis lain seperti sawit atau jenis lainnya perlu dipelajari. Untuk mengetahui pola campuran terbaik dalam pengembangan hutan tanaman tembesu, diperlukan kajian dan penilaian yang menyeluruh (comprehensive assesment) terhadap pola budidaya yang tepat yang didasarkan pada berbagai pertimbangan dari pihakpihak terkait (stakeholder). Pemerintah sebagai pemegang kebijakan diharapkan dapat mengambil peran dalam mendorong pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat tembesu serta jenis lokal lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu pada tingkat lokal maupun nasional.
DAFTAR PUSTAKA Hardiyanto, E.B. 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalam Pengembangan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. p. 121-134. Fakultas Kehutanan UGM dan ITTO. Yogyakarta. Kementerian Kehutanan, 2011. Deforestasi Hutan Capai 600 Ribu Ha per Tahun. Ekonomi dan Lingkungan TROPIS. Edisi 04/TAHUN IV-2011. Jakarta. Martin, E., Premono, B.T. dan Hidayat, A.B. 2010. Teknik Budidaya Tembesu Aspek Status Pembudidayaan Tembesu. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Purwita, T. dan Supriadi, B. 2010. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Makalah pada Diskusi Multi Pihak Peran Litbang Dalam mendukung Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman di Sumatera Selatan. Palembang. Shelbourne, C.J.A. 1972. Genotype-environment Interaction : Its Study and its Implications in Forestry Improvement. Proc. IUFRO Genetics-Sabrao Joint Symposia. Tokyo. Sofyan, A., Junaidah., Lukman, A.H., Nasrun. 2010. Teknik Budidaya Tembesu. Aspek Silvikultur. Laporan Hasil Penelitian.Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Zobel, B.J. and. J. Talbert., 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons. New York.
166
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
KEANEKARAGAMAN JAMUR MIKORIZA ARBUSKULAR DI BAWAH TEGAKAN SUNGKAI (Peronema Canescens Jack.) Maliyana Ulfa1 dan Maman Suparman2)
ABSTRAK Eksplorasi jamur mikoriza arbuskular di bawah tegakan sungkai (Peronema canescens Jack.) dilakukan sebagai upaya untuk mendapat jamur mikoriza arbuskular indigenous dan penggunaan yang dapat diaplikasikan untuk mendukung produktivitas sungkai sebagai tanaman revegetasi. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel tanah, dilanjutkan dengan pembuatan spora tunggal dan kemudian dilakukan identifikasi jenis berdasarkan morfologi spora. Pengambilan sampel dilakukan di bawah tegakan pohon induk, yang ditemukan di beberapa daerah sebaran tempat tumbuh sungkai di Sumatera Selatan. Pembuatan spora tunggal dan identifikasi dilakukan selama 6 bulan di Laboratorium Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 2 (dua) jenis jamur, yaitu Glomus sp. dan Acaulospora sp. Kata kunci: Acaulospora sp, Glomus sp, sungkai
I. PENDAHULUAN Tumbuhan dan jasad renik mempunyai asosiasi simbiotik tertentu. Mikoriza merupakan simbion yang memberikan keuntungan secara mutualistik terhadap tumbuhan. Hal tersebut terjadi ketika jamur memperoleh karbohidrat hasil fotosintesis tanaman, sedangkan tanaman mendapatkan unsur hara khususnya fosfat dari jamur (Brundrett et al., 1996; Hadi, 2001; Mansur, 2007). Asosiasi simbiotik mutualisme tersebut mampu meningkatkan persentase hidup dan pertumbuhan yang optimal (Hayman, 1983), yang juga ditemukan secara khusus pada vegetasi jenis cepat tumbuh dan yang mempunyai fiksasi nitrogen (Osonubi et al., 1991). Manfaat tersebut akibat penyerapan fosfor dan hara unsur mikro yang meningkat (Danielson, 1982; Harley and Smith, 1983), serta ion-ion yang kurang mobil yaitu Cu, Zn, dan amonium (Bowen and Smith, 1981). Kecenderungan keberadaan mikoriza muncul di lahan yang miskin hara. Pada kondisi kekeringan, proses metabolisme berlangsung secara aktif di tiap individu mikoriza. Selama proses tersebut keuntungan diperoleh tanaman, hifa yang dimiliki mikoriza membantu proses penyerapan air yang terikat cukup kuat pada pori mikro tanah, sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun (Notohadinagoro, 1997). Tanaman bermikoriza dilaporkan lebih tahan terhadap serangan patogen akar karena adanya mantel jamur mikoriza, yang berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar (Hadi, 2001).
1 2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
167
Jamur mikoriza arbuskular mempunyai kecenderungan kesesuaian yang lebih luas, yaitu 93% jika dibandingkan jenis ektomikoriza yang hanya 7% (Santoso dkk., 2003). Manfaat mikoriza jenis tersebut memunculkan kemungkinan untuk dikembangkan dalam rangka mendukung penyediaan bibit berkualitas untuk kebutuhan pembangunan hutan tanaman, karena tidak semua lahan yang dikembangkan sebagai hutan tanaman mempunyai kesesuaian lahan yang optimal. Dengan mengetahui adanya jamur mikoriza arbuskular terutama yang mampu hidup pada kondisi yang sangat buruk, merupakan potensi yang dapat dikembangkan sebagai bekal hidup tanaman hutan yang akan dikembangkan di lahan yang mempunyai kendala kesuburan. Hal tersebut dapat diupayakan dengan melakukan isolasi jamur mikoriza arbuskular endemik (indigenous) fungsional, terutama di lahan dengan kondisi kesuburan yang rendah. Tujuan penelitian adalah menginventarisasi dan identifikasi jamur-jamur mikoriza arbuskular yang terdapat di bawah tegakan sungkai.
II. BAHAN DAN METODE 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilakukan di beberapa daerah sebaran sungkai di Provinsi Sumatera Selatan (Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Banyuasin), berupa pengambilan sampel tanah dan pengamatan vegetasi bawah di bawah tegakan sungkai. Penelitian skala laboratorium, berupa pembuatan spora tunggal dan identifikasi spora jamur mikoriza arbuskular, dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Seluruh kegiatan penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Oktober 2010. 2.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alumunium foil, beaker glass, botol semprot, cawan petri, corong diameter 6 cm, gelas bekas aqua, gelas preparat dan penutup, kapas, mikroskop compound, pinset mikro, saringan tanah berukuran 0,5 mm dan 0,25 mm, saringan mikro 0,045 mm dan sentrifuge. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah dan perakaran, larutan sukrosa 50%, Mountant PVLG (Polyvinyl lactoglycerol), dan Reagent Melzer yang terdiri atas iodine, potassium iodine dan aquadest. 2.3. Metode Penelitian Sampel tanah rhizosfer diambil di daerah proyeksi pohon. Pada saat pengambilan sampel dilakukan juga pencatatan vegetasi bawah tegakan Sungkai (Peronema canescens Jack.), yang diduga juga merupakan tanaman inang bagi fungi mikoriza arbuskular. Spora jamur mikoriza arbuskular diperoleh dengan cara ekstraksi 100 gram sampel tanah dan perakaran, menggunakan metode wet-sieving dari Gerdemann dan Nicolson (1963) dan menggunakan metode teknik sentrifugasi (Brundertt et al., 1996) yang dimodifikasi. Spora kemudian diidentifikasi berdasarkan bentuk, struktur tambahan dan reaksinya terhadap larutan Melzer’s (Trappe dan Schenck, 1982).
168
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
2.4. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisa secara deskriptif kuantitatif berupa hasil identifikasi jenis fungi mikoriza arbuskular di bawah tegakan sungkai dan karakteristik ekologinya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi spora Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) di bawah tegakan sungkai (Peronema canescens Jack.) menunjukkan keragaman jenis (Tabel 1). Adanya variasi jenis FMA erat hubungannya dengan penyebaran, ekologi dan tingkat kompetensi antar jamur FMA. Bagyaraj & Powell (1984) menyebutkan bahwa spora jamur FMA berbeda dalam tingkat penyebaran dan kemampuannya untuk mempertahankan koloni suatu jenis FMA terhadap gangguan jenis FMA lain pada rizosfer tanaman. Tabel 1. Hasil isolasi dan identifikasi jenis-Jenis spora fungi mikoriza arbuskular di bawah tegakan sungkai (Peronema canescens Jack.) Nama Fungi Mikoriza Arbuskular
Gambar
Asosiasi Vegetasi
Glomus sp.
Melastoma affine
Glomus sp.
Melastoma affine
Acaulospora sp.
Archidendron pauciflorum
Glomus sp.
Archidendron pauciflorum
Glomus sp.
Lengkunai
Identifikasi dan taksonomi FMA dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan morfologi spora jamur FMA. Menurut Morton (1993) dalam Brundrett et al. (1996), taksonomi FMA dapat dilakukan sebagian besar struktur spora yang dikoleksi dari tanah, tetapi untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dilakukan pengamatan terhadap proses perkembangan spora yang dikulturkan atau secara biokimia. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
169
Menurut Suhardi (1990), jenis jamur yang telah dikenal membentuk fungi mikoriza arbuskular digolongkan ke dalam empat genus yakni Acaulospora, Gigaspora, Glomus dan Sclerocystis. Hal ini diperjelas oleh Gardemann dan Trappe (1974) yang menyatakan bahwa klasifikasi ini didasarkan pada ciri-ciri bentuk spora dan hifa pembawa, struktur dinding spora, cara perkecambahan spora dan susunan spora di dalam sporocarp. Genus Acaulospora ditemukan berupa spora dalam bentuk tunggal, dinding dalam bersifat membranus, hyaline dan beberapa spora mempunyai dinding luar yang berornamentasi, tipis, terwarnai oleh Melzer’s reagent, seperti yang dijelaskan pada hasil penelitian oleh Berch (1988), yang menyatakan bahwa dinding spora dapat terpisah-pisah dengan jelas, beberapa diantaranya memiliki pigmen, berlapis-lapis dengan susunan dan lapisan yang jelas. Brundrett et all. (1996) dan Hall (1984) menyebutkan bahwa ciri khusus spora Acaulospora adalah adanya ornamentasi pada permukaan dinding spora. Spora Glomus berupa spora berbentuk bulat atau oval dan pada beberapa spora memiliki subtending hifa yang melekat pada ujung spora. Menurut Schenck & Perez (1988), bahwa spora jenis Glomus mempunyai subtending hifa yang melekat secara langsung pada spora dengan dinding hifa yang tipis dan bentuk spora bulat, oval atau tidak teratur, serta tidak mengalami perubahan warna setelah diberi PVLG + Melzer’s reagent (Brundrett et al., 1996). Perkembangan spora Glomus adalah dari ujung hifa. Ujung hifa akan membesar sampai mencapai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut ohlamydospora. Hifa yang ada juga kadang-kadang bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk ohlamyspora dan membentuk sporocarp. Karateristik khasnya adalah pada glomus, sering terlihat sisa dinding hifa pada permukaan spora (Catur, 2010). Acaulospora memiliki struktur dinding yang kompleks terdiri dari lapisan dinding luar yang tebal dan satu atau lebih lapisan dinding bagian dalam. Spora ini memiliki perubahan warna setelah diberi PVLG + Melzer’s reagent. Hal ini dijelaskan oleh Brundett et al. (1996) bahwa reaksi oleh pewarnaan PVLG + Melzer’s reagent dapat terjadi di dalam atau di luar lapisan dinding spora dari semua genus, tapi reaksi pewarnaan tidak akan terjadi pada spora yang sudah tua, rusak atau telah terkena bahan pengawet. Proses perkembangan spora Acaulospora sp pertama-tama ada hifa yang ujungnya membesar seperti spora yang disebut “hinomal terminus”. Di antara hinomal terminus dan subtending hinomal akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar. Selama proses perkembangan spora, hifa terminus akan rusak dan hancur dan isi hifa terminus akan masuk ke spora. Rusaknya hifa terminus akan meninggalkan bekas lubang kecil disebut cloatrio. Karateristik khasnya adalah Acaulospora, mempunyai satu cyoatrix menyerupai sepotong hifa yang menempel pada spora yang disebut hyphal impression (Catur, 2010). Menurut Safir dan Duniway (1982), eksistensi fungi mikoriza arbuskular terbentuk ketika mikroriza tersebut mengambil peran dalam membantu ketidakmampuan akar secara fisik dan kimia, untuk mendapatkan nutrisi dari tanah. Fungi mikorisa arbuskular mempunyai sifat patogen yang masuk pada jaringan tumbuhan. Ketika jaringan tumbuhan tersebut mengalami kekurangan fosfat, maka kebutuhan fosfat disuplai dari tanah secara terus menerus melalui kinerja hifa mikorisa,
170
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
yang disampaikan ke apoplas dan ditangkap oleh tumbuhan. Keuntungan yang diperoleh tidak hanya itu saja, namun kemudian berkembang menjadi pelindung tumbuhan dari serangan patogen yang lain (Newsham et al., 1995). Keberadaan jamur mikorisa arbuskular cenderung ditemukan di tanah yang mempunyai pH rendah, sesuai dengan pendapat Sieverding (1991) bahwa fungi mikorisa arbuskular dari tanah masam cenderung lebih menyukai pH rendah. Glomus sp. ditemukan pada kondisi areal yang netral dan alkalin (Zambolin dan Siqueira, 1985 dalam Silva et al., 2005), pada kondisi yang relatif subur dan tidak masam (Mosse dan Bowen, 1968; Abbott dan Robson, 1977). Sedangkan Acaulospora sp. banyak ditemukan di tanah yang mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi, yang mendominasi di lahan bekas tambang (Brundrett et al., 1996).
IV. KESIMPULAN 1. Jenis spora fungi mikoriza arbuskular yang terdapat di bawah tegakan Sungkai (Peronema canescens Jack.) yaitu Acaulospora sp. dan Glomus sp. 2. Jenis fungi mikoriza arbuskular yang berkolonisasi di lahan yang mempunyai pH tanah masam, mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber inokulum fungsional untuk rehabilitasi lahan kritis.
DAFTAR PUSTAKA Abbott, L. K. dan Robson, A. D. 1977. The distribution and abundance of vesiculararbuscular endophytes in some Western Australian soils. Australian Journal Botany. 25 : 515-522. Bagyaraj, D. J., dan Powell, C.LI., 1984. V A Mycorrhiza. CRC Press, Boca Raton, Florida. Berch, S. M., 1988. Acaulospora Sporacarpia, A New Sporocarpic Spesies and Emendation of The Genus Acaulospora. In Schenck, N. C., dan Perez, Y (eds). Manual for the Identification of VA Mycorrhizal Fungi. Gainesville, Florida. Bowen, G. D. dan Smith, S. E. 1981. The effects of mycorrhizas on nitrogen uptake by plants. In F.E. Clarks and T. Rosswall (Ed.). Terresterial Nitrogen Cycles. Processes, Ecosystem Strategies and Management Impacts. Swedish National Science Research Council, Stockholm. Ecol. Bull. 33 : 237-247. Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Groe, T., dan Malajczuk, N., 1996. Working With Mycorrhizas In Forestry and Agriculture. Australian Center For International Agricultural Research. Canberra, Australia. Catur, W. A. 2010. Identifikasi Fungi mikoriza arbuskular. http:wahyukdephut. wordpress.com/2010/02/23/Identifikasi fungi mikoriza arbuskular-berdasarkan-morfologi-spora. Diakses tanggal 10 Oktober 2010. Danielson, R. M. 1982. Taxonomic affinities and criteria for identification of the common ectendomycorrhizal symbiont of pine. Canadian Journal Botany. 60:7-18.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
171
Gademann, dan Nicolson, 1974 The endogonaceae in Pasific Northwest. Mycologia Mem. 5 : 1-76. Hadi, S. 2001. Fungsi dan Peran Mikoriza pada Ekosistem Hutan. Dalam Hadi, S. 2001. Patologi Hutan, Perkembangannya di Indonesia. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hall, L. R., 1984. Taxonomy of VA Mycorrhizal Fungi. In Bagyaraj, D. J., dan Powell, C. LI. (eds). VA Mycorrhizae. CRC Press. Boca Rato, Florida. Harley, J. L. dan Smith, S. E. 1983. Mycorrhyzal Symbiosis. Academic Press. London. Hayman, D. S. 1983. The physiology of vesicular-arbuscular endomycorrhizal symbiosis. Canadian Journal of Botany. 61 : 944-963. Mansur, I. 2007. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Simbiosis Mikoriza. Makalah Workshop dalam rangka Kongres Asosiasi Mikoriza II. Bogor, 17 – 21 Juli 2007. Mosse, B. dan Bowen, G. D. 1968. A key to recognition of some endogone spore types. Trans. Br. Mycol. Soc. 51 : 485-492. Newsham, K. K., A. H. Fitter, dan A. R. Watkinson. 1995. Multi-functionality and biodiversity in arbuscular mycorrhizas. Trends in Ecology and Evolution. 10 : 407-411. Notohadinagoro, T. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember. Osonubi, O., Mulongoh, K., Awotoye, O.O., Atayese, M.O. and Okali, D.U.U. 1991. Effect of ectomycorrhizal and VAM fungi on drought tolerance of four leguminous woody seedlings. Plant Soil. 136 : 131-143. Safir, G. R. dan Duniway, J. W. 1982. Evaluation of Plant Response to Colonization by Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi (Environmental Variables). In Schenck, N. C. (eds). Method and Principles of Mycorrhizal Research. APS Press. The American Phytopathological Society. St. Paul. Minnesota. Santoso, E., R.S.B. Irianto, dan M. Turjaman. 2003. Teknologi Mikoriza. Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta. Schenck, N. C., dan Perez, Y., 1988. Manual for the Identification of VA Mycorrhizal Fungi. Gainesville, Florida. Sieverding, E. 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Development in Tropical agrosystems. GTZ, Eschborn, German. Silva, G. A., S. F. B. Trufem, O. J. S. Junior, dan L. C. Maia. 2005. Arbuscular mycorrhizal fungi in a semiarid copper mining area in Brazil. Mycorrhiza. 15 : 47-53. Suhardi. 1990. Mikoriza VA. PAU-Bioteknologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Trappe, J. M. dan Schenck, N. C. 1982. Vesicular-arbuscular Mycorrhizal Fungi (Endogonales). In Schenck, N. C. Methods and Principles of Mycorrhizal Research. The American Phytopathology Society. St. Paul, Minnesota.
172
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PEMANFAATAN HEWAN UNTUK KEGIATAN PENYARADAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN EMPAT LAWANG PROVINSI SUMATERA SELATAN Agus Baktiawan Hidayat1 dan Deni Mulyana2)
ABSTRAK Penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) atau ke pinggir jalan angkutan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengangkutan jarak pendek. Penyaradan kayu rakyat di Kabupaten Empat Lawang dilaksanakan dengan bantuan hewan jenis kerbau. Kondisi topografi Kabupaten Empat Lawang yang relatif datar sehingga mendukung untuk dilaksanakan penyaradan dengan bantuan hewan. Kegiatan penyaradan biasanya dilaksanakan pada pagi dan sore hari. Jenis kayu yang dipanen dari hutan rakyat di daerah Kabupaten Empat Lawang adalah bambang lanang, durian, balam, dan jenis kayu lainnya. Kata kunci: hutan rakyat, Kabupaten Empat Lawang, kayu bambang lanang, penyaradan dengan hewan
I. PENDAHULUAN Produksi kayu dari hutan alam produksi dari tahun ke tahun terus mangalami penurunan. Beberapa penyebab berkurangnya produksi kayu dari hutan alam produksi adalah adanya pencurian kayu, perambahan kawasan, kebakaran hutan, pengelolaan hutan alam produksi yang buruk dan faktor-faktor lainnya. Penurunan produksi kayu tersebut dapat mengganggu stabilitas kebutuhan kayu secara nasional maupun internasional. Salah satu solusi terhadap permasalahan pemenuhan kebutuhan kayu adalah dengan adanya pembangunan hutan tanaman dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat, meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani, yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam (Anonim, 2010). Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Pola pengembangan hutan rakyat adalah suatu cara pengembangan kegiatan hutan rakyat yang dianggap sesuai dengan kondisi dan situasi sosial budaya daerah setempat (Anonim, 2004). Luas
1 2
Teknisi Likayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah Sumatera
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
173
hutan rakyat di Sumatera Selatan tercatat 55.443,95 ha atau 4,36% dari total luas hutan rakyat di Indonesia (Direktorat Jenderal RLPS, 2006). Kabupaten Empat Lawang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Kabupaten Empat Lawang diresmikan pada 20 April 2007 setelah sebelumnya disetujui oleh DPR dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undangnya pada 8 Desember 2006 tentang pembentukan Kabupaten Empat Lawang bersama 15 kabupaten/kota baru lainnya. Kabupaten Empat Lawang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lahat. Kabupaten Empat Lawang mempunyai letak geografis sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lahat dan Kabupaten Bengkulu Selatan (Provinsi Bengkulu), sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong (Provinsi Bengkulu), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat. Luas wilayah 225.644 km2 (Anonim, 2011b). Kabupaten Empat Lawang merupakan sentra produksi kayu rakyat jenis bambang lanang (Michelia alba) dan beberapa jenis kayu rimba lainnya. Untuk kayu bambang lanang terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu bambang lilin dan bambang tanduk. Bambang lilin memiliki karakteristik pertumbuhan kayu yang cepat tumbuh. Sedangkan kayu bambang tanduk memiliki karakteristik pertumbuhan kayu yang relatif lambat namun memiliki kualitas kayu yang lebih baik di bandingkan jenis kayu bambang lilin. Kayu rakyat dari berbagai jenis seperti durian, balam, bambang lanang dan berbagai macam kayu rimba lainnya setiap hari di panen di beberapa kecamatan di Kabupaten Empat Lawang. Salah satu kecamatan yang merupakan daerah penghasil kayu rakyat di kabupaten ini adalah Kecamatan Tebing Tinggi. Pemanenan kayu di Kecamatan Tebing Tinggi dilaksanakan dengan menggunakan mesin gergaji rantai (chain saw) sedangkan kegiatan penyaradan masih dilaksanakan secara tradisional yaitu menggunakan hewan jenis kerbau dalam kegiatan penyaradan kayu. Kayu-kayu tersebut biasanya diolah menjadi kayu persegian (balok, papan, kaso, reng, dan ukuran lainnya) di dalam areal penebangan sebelum disarad ke jalan desa untuk selanjutnya diangkut kepada konsumen langsung, pedagang antara atau pedagang langsung. Kerbau adalah binatang memamah biak yang masih termasuk dalam subkeluarga bovinae. Kerbau liar atau disebut juga Arni masih dapat ditemukan di daerah-daerah Pakistan, India, Bangladesh, Nepal, Bhutan, Vietnam, Cina, Filipina, Taiwan, Indonesia dan Thailand. Penjinakan kerbau sangatlah umum di Asia, Amerika Selatan, Afrika Utara, dan Eropa. Salah satu ciri yang membedakan kerbau liar dengan kerbau domestik adalah bahwa kerbau domestik memiliki perut yang bulat. Dengan adanya percampuran keturunan antara kerbau-kerbau antara populasi yang berbeda, berat badan kerbau dapat bervariasi. Kerbau diperkirakan berasal dari Asia Selatan (Anonim, 2011a).
II. PEMANENAN KAYU A. Penebangan Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon dalam tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari diameter batas yang ditentukan. Kegiatan penebangan pohon meliputi pekerjaan penentuan arah rebah, pelaksanaan penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengupasan, dan pengangkutan kayu bulat dari Tempat Pengumpulan (TPn) ke Tempat Penimbunan
174
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Kayu (TPK). Termasuk rangkaian dalam rangkaian penebangan adalah persiapanpersiapan yang dilakukan oleh penebang dalam hubungan dengan tugasnya, memotong ujung dan pangkal batang setelah pohon rebah serta membersihkan batang dari cabang-cabang menjadi sortimen-sortimen tertentu sehingga batang siap untuk disarad (Departemen Kehutanan, 1999). Anggota penebang biasanya terdiri dari seorang operator dan seorang pembantu yang merupakan pasangan tetap. Alat yang digunakan adalah gergaji mesin satu orang dari ukuran sedang sampai berat dengan berbagai merk. Perbedaan merk tersebut berpengaruh terhadap prestasi kerja. Penebangan pohon dilakukan dengan memperhatikan arah rebah pohon yang tepat, yaitu diusahakan agar arah rebah diarahkan pada tempat-tempat yang sedikit mungkin merusak pohon inti dan pohon induk, diarahkan ke bukit atau tempat yang datar dan searah dengan jalan sarad yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memudahkan penyaradan kayu dari tempat tebangan ke TPn serta diusahakan agar arah rebah pohon tidak menuju ke jurangjurang. Pembuatan takik rebah dibuat serendah mungkin sehingga tonggak pohon hampir rata dengan tanah, kemudian dibuat takik balas. Setiap pohon yang telah ditebang agar dicatat dalam buku ukur, dan cara pencatatannya agar sesuai dengan ketentuan dalam Tata Usaha Kayu/Hasil Hutan. Dalam melaksanakan kegiatan penebangan keselamatan pekerja harus diutamakan, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: jarak antara masingmasing pekerja harus berjauhan, para pekerja diharuskan pakai topi pengaman, orangorang yang tidak ada hubungan dengan penebangan dilarang berada di areal penebangan (Departemen Kehutanan, 1999). B. Penyaradan Penyaradan adalah fungsi suatu proses kegiatan memindahkan kayu (log) dari tempat tebangan (stump) atau petak tebang (block harvesting) ke tempat pengumpulan kayu (Tpn) atau pinggir jalan angkutan (Muhdi, 2005). Penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) atau ke pinggir jalan angkutan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengangkutan jarak pendek. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan (tanah maupun tegakan tinggal) yang ditimbun oleh kegiatan penyaradan kayu, seharusnya dilakukan sesuai dengan rute penyaradan yang sudah direncanakan di atas peta kerja. Selain itu juga dimaksudkan agar prestasi kerja yang dihasilkan cukup tinggi. Perencanaan jalan sarad ini dilakukan satu tahun sebelum kegiatan penebangan dimulai. Letak jalan sarad ini harus ditandai di lapangan sebagai acuan bagi pengemudi atau penyaradan kayu. Hal ini terutama berlaku untuk penyaradan yang menggunakan traktor. Metode penyaradan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: secara manual, menggunakan hewan, memanfaatkan gaya gravitasi, skidding atau yarding, menggunakan kabel, pesawat atau helikopter (Anonim, 2008). Sistem pemanenan kayu dalam pelaksanaan TPTI di hutan alam yang selama ini dipakai oleh para pemegang HPH adalah long wood system, dengan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penyaradan adalah traktor crawler 110-130 PK, yang dilengkapi dengan pisau dozer dan winch. Crawler memiliki “flotation” dan traksi yang baik di atas berbagai permukaan, dapat berputar pada satu titik dan dapat bergerak ke mana saja pada cuaca apa saja. Kekurangannya adalah kecepatannya rendah, dan baja merusak perakaran pohon dan mengaduk tanah di musim hujan. Ini mengakibatkan
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
175
perlumpuran sungai, bila beroperasi pada lereng. Wheel skidder berban karet memiliki kelebihan: kecepatan tinggi dan mobil, terutama di atas permukaan yang telah di bolduzer, seperti pada jalan roading. Kekurangannya adalah traksi dan flotation-nya kurang baik, dan tidak memiliki keserbagunaan seperti crawler. Kekurangan dalam traksi dan flotation dapat diatasi sebagian dengan pemasangan ban berdiameter besar dengan tekanan rendah (Muhdi, 2005). Penyaradan kayu gelondongan hasil penebangan dapat dilaksanakan dengan alat traktor di hutan tanah kering, dan system kuda-kuda di hutan rawa. Apabila dalam pelaksanaan kegiatan penyaradan terpaksa harus memakai peralatan yarder, maka sebelumnya harus dilaporkan rencana-rencana penggunaannya kepada instansi kehutanan di daerah dan dimintakan persetujuan penggunaannya terlebih dahulu dari Departemen Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Penyaradan kayu gelondongan hasil penebangan dilakukan setelah bagian tajuk pohon dipotong. Penyaradan kayu gelondongan harus dilaksanakan melalui jalan sarad yang telah direncanakan dan dibuat terlebih dahulu. Dalam kegiatan penyaradan agar diupayakan sesedikit mungkin terjadi kerusakan pada pohon tinggal lainnya serta kerusakan tanah hutan. Penyaradan dimulai pada saat kayu diikatkan pada rantai penyaradan di tempat tebangan, kemudian disarad ke tempat tujuan (TPn, tepi sungai, tepi jalan rel atau tepi jalan mobil) dan berakhir setelah rantai dilepas dari rantai penyarad (Departemen Kehutanan, 1999). Jenis hewan yang dapat digunakan untuk menyarad kayu antara lain sapi, kuda, kerbau dan gajah. Penyaradan kayu dengan sapi sudah lama dilakukan di hutan jati di Jawa, yaitu semenjak pemanenan yang pertama dilakukan. Ukuran kayu yang disarad berukuran antara 2 – 4 m. Jarak sarad kurang dari 750 m. Penyaradan dengan sapi menggunakan alat bantu yang disebut dengan kesser atau rakitan. Kesser adalah alat yang menopang salah satu ujung kayu di tanah, sedangkan rakitan adalah alat yang dipasang di leher sapi yang gunanya untuk mengikat beban yang disarad. Penyaradan dengan sapi dapat menggunakan hanya 1 ekor sapi atau berpasangan. Produktivitas penyaradan dengan sapi relatif rendah, yaitu sebesar 0,75-0,85 m3/jam pada jarak sarad antara 400 – 600 m. Sapi termasuk hewan yang kurang tahan terhadap panas, sehingga penggunaan sapi tidak sampai sepanjang hari, umumnya hanya sampai pukul 11.00 WIB (Anonim, 2008). C. Pembagian Batang Setelah penebangan, cabang, ranting dan benjolan dipapras rata dengan badan kayu, dilakukan pembagian batang dan pengupasan kulit. Jenis kayu yang mudah terserang oleh jamur biru dan kumbang ambrosia, tidak harus dikuliti. Pembagian batang dilakukan dengan memperhatikan asas peningkatan mutu dan peruntukannya. Bontos kayu dipotong dengan siku dan rata. Kayu bundar yang mudah diserang jamur atau serangga penggerek, harus segera diawetkan antara lain dengan cara dilabur atau disemprot dengan pestisida (insektisida/fungsida). Kayu yang tidak dikuliti harus dilabur pada kedua bontosnya (Departemen Kehutanan, 1999). D. Pengangkutan Pengangkutan kayu dilakukan dari tempat pengumpulan di hutan (TPn) ke tempat pengumpulan antara atau tempat penimbunan (TPK). Pengangkutan di bidang kehutanan adalah pengangkutan kayu gelondongan dari tempat penebangan sampai
176
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
ke tempat tujuan akhir seperti pabrik pengolahan kayu atau Tempat Penimbunan Kayu (TPK). Pengangkutan meliputi kegiatan pemuatan dan pembongkaran (muat bongkar). Pemuatan adalah menaikan log di TPn ke atas logging truck untuk diangkut ke TPK, sedangkan pembongkaran kayu merupakan kegiatan menurunkan kayu dari atas truck ke TPK. Pengangkutan kayu gelondongan hasil penebangan dapat dilaksanakan dengan menggunakan logging truck di hutan tanah kering dan lori di hutan rawa. Sistem pengangkutan dipengaruhi oleh: letak dan topografi lapangan, geologi, tanah dan iklim, luas areal HPH, volume dan ukuran kayu, kondisi jalan, jenis prasarana angkutan, jarak dan biaya angkutan (Departemen Kehutanan, 1999). E. Penimbunan Kayu Setelah penyaradan kayu gelondongan perlu dilakukan pengupasan kulit di tempat pengumpulan kayu hasil tebangan di sekitar tempat tebangan yang bersangkutan. Tempat pengumpulan kayu disini disebut (TPn). Kemudian dilakukan pengukuran dan pengujian kayu untuk bahan pembuatan Laporan Hasil Produksi (LHP) (Departemen Kehutanan, 1999). F. Penggergajian Kayu Penggergajian dapat diartikan sebagai proses perubahan bentuk kayu bulat atau dolok menjadi kayu persegian seperti papan, balok, kaso, reng dan lain-lain untuk tujuan pemanfaatan kayu yang lebih efektif dan efisien sebagai bahan bangunan, mebel, alat-alat rumah tangga atau barang kerajinan. Penggergajian yang paling sederhana, tetapi masih ditemui saat ini adalah ‘wantilan’ yaitu gergaji yang digerakkan oleh dua orang tenaga manusia (Departemen Kehutanan, 1999). Rendemen adalah perbandingan volume kayu gergajian yang dihasilkan dan volume dolok yang digunakan, secara umum dalam satuan persen. Nilai rendemen dapat digunakan sebagai kriteria keberhasilan proses produksi, sebagai dasar perhitungan biaya produksi (harga pokok) dan untuk mengetahui besarnya limbah yang terjadi dalam proses penggergajian. Pengukuran rendemen di lapangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: cara percobaan penggergajian dan cara statistik. Dengan cara percobaan, hasil yang diperoleh cukup teliti dan dapat diperinci sampai kepada nilai rendemen menurut komposisi sortimen yang dihasilkan. Untuk mendapatkan nilai rendemen yang dapat dipercaya biasanya menggunakan sekitar 100 dolok. Cara statistik dilakukan dengan menggunakan rumus:
Nilai rata-rata rendemen di Indonesia dewasa ini adalah sekitar 50%. Sebagai perbandingan, nilai rata-rata rendemen di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 54% dan di Inggris nilai rata-rata rendemen mencapai 55%. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi rendemen adalah keadaan dolok, lebar irisan gergaji, ukuran kayu gergajian, ukuran kayu gergajian basah, personel, kondisi dan pemeliharaan mesin dan pola penggergajian (Departemen Kehutanan, 1999).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
177
III. PEMANENAN KAYU RAKYAT DI KECAMATAN TEBING TINGGI Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa masyarakat di Desa Pajar Bakti, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang menggunakan gergaji rantai untuk pemanenan kayu rakyat. Proses penebangan, pembagian batang hingga pembuatan kayu olahan menggunakan gergaji rantai (chain saw) dilaksanakan di dalam areal tebangan. Untuk kebutuhan tertentu kayu-kayu rakyat dibuat dalam bentuk kayu balok dalam istilah masyarakat adalah balok kaleng. Balok kaleng biasanya disarad dari areal tebangan menuju jalan angkutan untuk diproses lebih lanjut. Penggunaan gergaji rantai dalam pengolahan kayu menghasilkan rendemen kayu yang cukup rendah. Berdasarkan pengamatan di lapangan rendemen kayu rakyat di Kabupaten Empat Lawang adalah sekitar 40% apabila dilaksanakan pengolahan menggunakan gergaji rantai. Secara teknis ukuran rantai pada gergaji rantai adalah memiliki lebar rantai kurang lebih 10 mm. Penurunan lebar irisan gergaji akan meningkatkan nilai rendemen karena mengurangi limbah serbuk gergaji dan kemungkinan penambahan jumlah sortimen sebagai akibat akumulasi pengurangan lebar irisan gergaji. Pengurangan lebar irisan dari 9,5 mm menjadi 7,1 mm akan meningkatkan rendemen sekitar 7% (Departemen Kehutanan, 1999). Kegiatan penyaradan terhadap kayu rakyat dilaksanakan dengan menggunakan hewan jenis kerbau. Kapasitas angkut kerbau bervariasi tergantung dari umur kerbau dan jenis kelaminnya. Rata-rata dalam satu trip kegiatan penyaradan 1 kerbau mampu menyarad kayu bambang lanang sejumlah 0,5 m 3 - 0,7 m3. Kerbau yang sudah berumur 1 (satu) tahun sudah bisa digunakan untuk kegiatan penyaradan, tetapi kapasitas angkutnya masih rendah yaitu antara 0,2 m 3 sampai dengan 0,3 m3 untuk satu trip penyaradan. Seiring dengan bertambahnya umur kerbau maka kapasitas angkut dalam penyaradan semakin meningkat. Biaya penyaradan yang berlaku di Desa Pajar Bakti adalah Rp. 100.000,- per m3. Jarak yang ditempuh untuk satu trip penyaradan dapat mencapai 1-3 km dari tempat tebangan ke tepi jalan desa. Dalam 1 regu penyaradan biasanya terdiri dari 3 (tiga) kerbau dan 2 (dua) orang pemandu kerbau. Produktivitas 1 regu penyarad dalam 1 hari dapat mencapai 2-3 m3 kayu yang disarad. Penyaradan kayu rakyat dengan menggunakan hewan kerbau di desa ini biasanya dilaksanakan pada pagi dan sore hari. Menurut pemilik kerbau yang biasa menyarad kayu rakyat, kerbau memiliki kelemahan bila terkena panas akan malas bekerja. Sehingga waktu siang hari biasanya digunakan kerbau untuk merumput, berendam di air atau berkubang di lumpur hal ini dilaksanakan oleh kerbau untuk mengurangi pengaruh cuaca di sekitar. Menurut Kepala Desa Pajar Bakti, di desanya terdapat sekitar kurang lebih 11 (sebelas) kerbau masyarakat yang digunakan untuk kegiatan penyaradan kayu rakyat. Di desa sekitarnya pada umumnya menggunakan hewan kerbau dalam kegiatan penyaradan kayu rakyat. Selain menggunakan kerbau, kegiatan penyaradan dengan bantuan hewan dapat dilaksanakan menggunakan sapi dengan produktivitas berkisar 0,48-6,94 m3/jam atau rata-rata 0,85 m3/jam (2,70 m3/ hari) dan jarak sarad rata-rata 50 m, volume kayu yang disarad per trip 0,18-0,23 m3. Kapasitas produksi penyaradan dengan gajah per tahun adalah 450-600 m3 per tahun di areal datar dan 300-450 m3 di areal sedang dan permukaan tanah kasar. Pada umumnya kemampuan menyarad seekor gajah maksimum hanya mencapai 2 ton. Kemampuan maksimum mengangkat kayu dengan belalai dan gadingnya adalah 700 kg. Penyaradan dengan tenaga manusia memiliki prestasi
178
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
kerja penyaradan dengan pemikulan di hutan Pinus berkisar antara 1,05-4,77 m3/jam dengan rata-rata 2,24 m3/jam dan jarak sarad rata-rata 0,32 hm. Volume kayu yang dipikul per rit rata-rata 0,05 m3 kelerengan jalan sarad rata-rata –12,62% (Elias, 2009). Berbeda dengan penyaradan pada lahan kering, penyaradan pada lahan rawa dilaksanakan dengan sistem kuda-kuda. Pekerjaan pembuatan jalan sarad dilakukan oleh semua anggota regu sarad yang terdiri 6-10 orang. Produktivitas penyaradan dengan sistem Kuda-Kuda sekitar 5-6 (m3/jam) (Elias, 2009). Sistem penyaradan kayu di hutan rawa gambut dilakukan secara manual dengan menggunakan alat kuda-kuda. Elemen kerja penyaradan kayu di hutan rawa gambut meliputi: (1) berjalan kosong menuju log; (2) memuat kayu ke atas alat sarad; (3) menyarad kayu ke betou (TPn) dan (4) membongkar kayu di betou. Kegiatan penyaradan meliputi pembuatan jalan sarad dan menyarad kayu. Produktivitas kerja pembuatan jalan sarad adalah 16,67 m/jam dan produktivitas kerja penyaradan adalah 5,764 m3/jam dengan jarak sarad rata-rata 176,166 meter dan volume kayu rata-rata yang disarad per trip adalah 0,982 m3, serta satu regu sarad berjumlah 6-8 orang (Muhdi, 2002).
IV. PENUTUP Teknik penyaradan kayu rakyat yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Empat Lawang adalah dengan menggunakan hewan jenis kerbau. Penyaradan dengan menggunakan bantuan hewan biasanya dilaksanakan untuk menyarad kayu pada tipe lahan kering dengan topografi wilayah yang relatif datar dan kapasitas sarad yang tidak terlalu besar.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. http://www.dephut.go.id/ files/l15 p03_04.pdf. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011. Anonim.
2008. Teknik Penyaradan Kayu. http://ocw.usu.ac.id/course/kkh301 handout_teknik penyaradan_kayu.pdf. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011.
Anonim. 2010. Hutan Rakyat. http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan Rakyat. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011. Anonim. 2011a. Kerbau. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerbau. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011. Anonim. 2011b. Kabupaten Empat Lawang. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_ Empat_Lawang. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011. Departemen Kehutanan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2006. Data potensi hutan rakyat di indonesia. Direktorat Jenderal RLPS, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
179
Elias. 2009. Penyaradan dan Pengangkutan. http://www.bpphp17.web.id/database/ modul/wasganis_nenhut/Penyaradan%20dan%20Pengangkutan.pdf. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011. Muhdi, 2002. Penyaradan kayu dengan sistem kuda-kuda Di hutan rawa gambut (studi kasus di areal hph pt kurnia musi plywood industrial co. Ltd, prop. Sumatera selatan). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/863/1/hutanmuhdi2.pdf. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011. Muhdi. 2005. Penyaradan Kayu dengan Sistem Traktor Di Hutan Alam Indonesia. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/899/1/hutan-muhdi14.pdf. Diakses pada tanggal 4 Juni 2011.
180
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
POTENSI TUMBUHAN BAWAH GADUNG (Dioscorea hispida) DI BAWAH TEGAKAN TEMBESU PADA LAHAN DENGAN TIPE PENYIAPAN LAHAN BERBEDA DI KHDTK KEMAMPO PROVINSI SUMATERA SELATAN Etik Erna Wati Hadi1 dan Nesti Andriani2)
ABSTRAK Pemilihan teknik penyiapan lahan sangat penting, hal ini dikarenakan kondisi lahan yang akan ditanami merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan tanaman yang dikembangkan. Teknik penyiapan lahan yang dikenal antara lain untuk mengendalikan tumbuhan tanaman bawah atau gulma sehingga tidak mengganggu pertumbuhan awal tanaman. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan gadung (Dioscorea hispida) sebagai tumbuhan pengganggu pada tiga tipe penyiapan lahan yang berbeda. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase pertumbuhan gadung pada lahan dengan tipe penyiapan mekanik dan manual dibawah 10%, dengan tipe penyiapan lahan bekas terbakar cukup tinggi sebesar 16%. Pertumbuhan gadung didukung oleh musim, pertumbuhan akan sangat pesat pada saat musim hujan. Pertumbuhan gadung sangat pesat, batangnya melilit batang tanaman pokok dan mengalahkan pertumbuhan tanaman yang masih muda, sehingga perlu dikendalikan untuk menghindari kerugian akibat rusaknya batang pokok. Untuk menghindari munculnya gadung, sebaiknya dihindari kegiatan penyiapan lahan dengan membakar karena akan meningkatkan persentase pertumbuhan gadung serta segera dikendalikan pada saat persentase tumbuhan gadung masih kecil agar tidak menimbulkan kerugian dimasa yang akan datang. Kata kunci: gadung, penyiapan lahan
PENDAHULUAN Sumatera sebagai pulau terbesar ketiga di Indonesia memiliki luas 16,5 juta hektar. Hutan alam di Sumatera didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Saat ini kondisi hutan alam di Sumatera semakin memprihatinkan. Oleh sebab itulah mulai dikembangkan pembangunan hutan tanaman. Pembangunan hutan tanaman saat ini dilakukan dengan menanam jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing) yang berasal dari luar daerah. Saat ini mulai dikembangkan jenis-jenis lokal untuk menghindari masuknya hama, penyakit dan gulma. Pembangunan hutan tanaman dimulai dengan tahap penyiapan lahan, pemilihan jenis, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sebagai kegiatan awal, pemilihan teknik penyiapan lahan sangat penting, hal ini karena kondisi awal lahan yang akan ditanami merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan tanaman yang dikembangkan. 1 2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
181
Ada beberapa teknik penyiapan lahan yang dikenal, antara lain manual, mekanis, ataupun kombinasi antara manual dan mekanis (Anonim, 2010). Yudistira (2010) menyebutkan bahwa tahap awal penyiapan lahan dapat dilakukan dengan dua cara utama yaitu dengan cara manual membabat dan membakar (slash and burn) atau dengan cara mekanis memakai alat-alat besar seperti buldozer. Namun saat ini mulai dikembangkan teknik penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB) Dalam teknik ini terdapat beberapa pekerjaan pokok yaitu penebangan, pemotongan dan pengumpulan hasil dari tebangan yang disertai dengan pembersihan lahan. Teknik ini mulai dikembangkan untuk menghindari penyiapan lahan dengan pembakaran yang tidak terkendali sehingga sering menyebabkan asap pekat yang mengganggu masyarakat, baik disekitarnya bahkan sampai ke luar negeri. Tumbuhan bawah tidak selalu menjadi pengganggu atau gulma bagi tanaman yang dikembangkan, namun pada penyiapan lahan awal penting diketahui potensi jenis-jenis tumbuhan bawah sebagai gulma sehingga tidak mengganggu pertumbuhan awal tanaman. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman bawah gadung (Dioscorea hispida) pada tiga tipe penyiapan lahan yang berbeda.
TEKNIK PENYIAPAN LAHAN Dalam ilmu kehutanan terdapat beberapa teknik dalam penyiapan lahan, salah satunya adalah teknik penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB). Teknik PLTB diatur dalam: 1. Surat Edaran DIRJEN pemukiman dan Lingkungan No. SE256A/PL/1996 tentang Pekerjaan penyiapan Lahan Tahun Anggaran 1995/1996. 2. Keputusan DIRJEN Pengusahaan Hutan No. 222/kpts/IV-BPH/1997 tanggal 10 Oktober 1997 tentang Pedoman Penyiapan Lahan Untuk Pembangunan HTI Tanpa Bakar. 3. Keputusan DIRJEN Perkebunan No. 38/KB.110/SK/J.BUN/05.95 tentang Petunjuk Teknis Pembukaan Lahan Pembakaran Untuk Pengembangan perkebunan. Teknik ini bisa dilakukan dengan cara mekanis dan cara kombinasi mekanis dan manual (Anonim, 2010). Penyiapan lahan secara mekanis dengan menggunakan alat berat seperti traktor dan buldozer, sedangkan kombinasi menggunakan alat manual, contohnya kayak, gergaji atau chainsaw. Keuntungan pemilihan teknik PLTB antara lain: 1) Kandungan bahan organik dalam tanah ditingkatkan sehingga tanah menjadi subur, 2) Humus dan mulsa terbentuk secara alami dan terlindungi, 3) Tidak terjadi kebakaran yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekonomi, 4) Biaya perawatan lebih sedikit bila dikerjakan dengan alat mekanis karena tunggul-tunggul pohon telah dicabut, 5) Limbah tebangan dapat dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomis, 6) Keasaman tanah terjaga, dan 7) Tidak terjadi kekeringan atau penguapan yang besar dan kelembaban tanah dapat dipertahankan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan aturan dan petunjuk teknis penyiapan lahan, namun masih banyak masyarakat yang masih menggunakan teknik bakar, hal ini karena diyakini lebih murah, mudah dan areal bekas terbakar lebih subur, karena biomas tumbuhan bawah yang terbakar masuk ke dalam tanah, sehingga banyak dijumpai jenis-jenis tumbuhan pioner, salah satunya adalah gadung (Dioscorea hispida).
182
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
GADUNG (Dioscorea hispida) Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) merupakan salah satu anggota famili Dioscoreaceae. Gadung mudah dibedakan dari famili Dioscorea lainnya dengan melihat daunnya yang berbentuk segitiga dan berbulu kasar. Gadung tumbuh liar dan bisa ditemukan hampir di seluruh wilayah nusantara, juga mulai banyak ditanam orang di pekarangan. Gadung biasa tumbuh di hutan-hutan, pinggiran kampung dan semak belukar. Tumbuhan asli India ini memiliki tinggi 5 sampai 10 meter. Tumbuhan ini hidup merambat, dan tumbuh pada tanah dengan ketinggian sampai 850 m dpl, kebanyakan ditanah yang agak terlindung. Batangnya kecil dan bulat, ditumbuhi bulu, dan duri yang tajam. Daunnya adalah daun majemuk yang terdiri dari tiga helai daun atau lebih, berbentuk jantung, dan berurat seperti jala. Bunga tumbuhan ini terletak pada ketiak daun, tersusun dalam bulir dan berbulu. Umbinya merupakan kumpulan beberapa umbi menjadi satu dengan rambut kaku dan kasar. Umbi jenis gadung liar bisa terdiri dari 20, 30 atau bahkan 50 umbi per batangnya. Ada 2 (dua) kelompok gadung, yaitu: 1) gadung berdaging umbi putih (gadung punel, ketan, srintil, kapur dan putih), 2) gadung berdaging umbi kuning (gadung kunyit (bunganya harum) dan padi. Sebelum dapat dikonsumsi umbi gadung diolah terlebih dahulu karena mengandung zat racun, yaitu dioscorine.
PERSENTASE PERTUMBUHAN GADUNG PADA TIPE PENYIAPAN LAHAN BERBEDA Persentase pertumbuhan gadung yang dihitung adalah gadung yang tumbuh di bawah tanaman tembesu (Fagrarea fragrans) yang ditanam dengan 3 (tiga) tipe penyiapan lahan, yaitu mekanis menggunakan dozer dan loader 40 W, bekas terbakar dan secara manual. Persentase intensitas kemunculan gadung dengan rumus: Intensitas pertumbuhan gadung =
jumlah gadung dalam petak contoh x 100% Jumlah tanaman pokok dalam petak contoh
Kegiatan pengamatan dilakukan di lokasi demplot Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dengan tanaman pokok tembesu di KHDTK Kemampo. Hasil pengamatan jumlah tanaman gadung di bawah tegakan Tembesu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase pertumbuhan pertumbuhan tembesu No. 1. 2. 3.
Penyiapan lahan Mekanik Manual Bekas terbakar
Jumlah gadung 27 13 40
gadung
yang
menyebabkan
Jumlah tanaman pokok 296 223 250
gangguan
Persentase gadung (%) 9.12 5.83 16.00
Hasil pengamatan yang disajikan dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase pertumbuhan gadung pada lahan dengan tipe penyiapan mekanik dan manual dibawah 10%. Persentase pertumbuhan gadung di lahan dengan tipe penyiapan lahan bekas terbakar cukup tinggi sebesar 16%. Hal ini dikarenakan gadung memerlukan tanah dengan drainase baik, subur, kandungan bahan organik tinggi serta tekstur tanah yang ringan (Anonim, 2009). Pernyataan yang biasa dilontarkan petani yang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
183
dilansir oleh ICRAF pada lembar informasi seri: Wanatani Karet (2001) menyebutkan bahwa alasan petani melakukan pembakaran pada persiapan lahan antara lain karena: 1) Penambahan unsur hara secara gratis, 2) Perbaikan struktur tanah, 3) Penekanan populasi gulma dan 4) Pengurangan masalah hama dan penyakit. Pada saat pembakaran, peningkatan suhu permukaan tanah bisa memberikan pengaruh yang menguntungkan maupun merugikan, tergantung pada suhu bakarnya. Jika suhu permukaan tanah antara 150-3000C maka dapat menguntungkan namun saat suhu permukaan tanah > 4000C justru merugikan. Oleh karena itu persentase pertumbuhan gadung di lahan bekas terbakar lebih tinggi dibandingkan pada penyiapan lahan manual maupun mekanis dikarenakan adanya unsur hara dari dalam hasil pembakaran yang masuk ke lahan. Persentase pertumbuhan gadung pada penyiapan lahan manual dan mekanis dibawah 10%, hal ini disebabkan pada penyiapan lahan mekanis terjadi pemadatan tanah akibat penggunaan alat berat, sehingga pertumbuhan gadung agak terhambat namun demikian pertumbuhan gadung juga didukung oleh musim dimana pertumbuhan akan sangat pesat pada saat musim hujan (Anonim, 2009), sehingga perlu mendapat perhatian dan harus segera dikendalikan untuk menghindari gangguan terhadap tanaman pokok. Gadung menggunakan batang tanaman pokok (tembesu) sebagai tempat batangnya merambat, hal ini tentu saja merusak karena semakin besar batang gadung akan semakin melilit dan bisa berakibat patahnya batang pokok tanaman tembesu (Gambar 1, 2 dan 3). Pertumbuhan gadung sangat pesat dan akan mengalahkan pertumbuhan tanaman pokok yang masih muda, sehingga perlu dikendalikan untuk menghindari kerugian akibat rusaknya batang pokok tembesu. Selain itu kerugian yang ditimbulkan adalah menyulitkan kegiatan pemeliharaan tanaman pokok, karena batang gadung berduri dan merambat kemana-mana. Pengendalian gadung sebagai tumbuhan pengganggu yang efektif adalah dengan cara mencongkel dan mengambil umbinya. Umbinya dibakar sehingga tidak tumbuh lagi, karena jika dibuang atau dibiarkan begitu saja saat musim hujan umbi tersebut akan tumbuh. Gadung bisa dimasukkan dalam kategori gulma karena mengganggu pertumbuhan dan menyebabkan kerugian ekonomi dan menambah biaya pemeliharaan.
a
b
c
d
Gambar 1. a dan b) Batang gadung melilit batang pokok tanaman tembesu c dan d) Batang gadung melilit sampai pada pucuk tanaman tembesu
PENUTUP Gadung merupakan jenis tumbuhan pioneer. Pertumbuhan sangat cepat, pada lahan terbuka maupun ternaungi. Dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat
184
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
perlu diwaspadai potensinya sebagai tanaman pengganggu atau gulma. Persentase pertumbuhan gadung di lahan dengan persiapan lahan bekas terbakar lebih tinggi dibandingkan tipe penyiapan lahan yang lain, hal ini dikarenakan gadung mendapat suplai nutrisi dari abu bekas kebakaran, hal ini memacu pertumbuhan semakin cepat. Untuk menghindari munculnya gadung yang memiliki potensi sebagai gulma, sebaiknya dihindari kegiatan penyiapan lahan dengan membakar karena akan meningkatkan persentase pertumbuhan gadung serta segera dikendalikan pada saat persentase tumbuhan gadung masih kecil agar tidak menimbulkan kerugian dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. a. http://cancer-boys.blogspot.com/2009/03/penyiapan-Lahan-TanpaBakar_814.html. Diakses tanggal 23 April 2010. Anonim.2009.b.Pengenalan Gadung. http://bukabi.wordpress.com/2009/02/02/umbigadung. Diakses tanggal 3 Maret 2010. ICRAF. 2001. Tebas Bakar dan Pemanfaatan Pembakarannya. Lembar informasi : Seri Wanatani Karet. http://www.icraf.cgiar.org/sea. Diakses tanggal 23 April 2010. Usman, Marzuki. 2008. Jangan Rusak Alam!. http://www.prakarsa-rakyat.org/ artikel/ artikel.php?aid=27095. Diakses tanggal 3 Maret 2010. Yudistira, G., et. al. 2010. Pembukaan lahan Secara Manual (Land clearing) di Kebun percobaan Cikabayan. Laporan Ilmu Tanaman Perkebunan. hhtp://www. scrbd.com/doc/28384321/Pembukaan-Lahan-Secara-Manual-Land-Clearing. Diakses tanggal 23 April 2010.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
185
186
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
SILVIKULTUR TANAMAN AREN Junaidah1 dan R. Dody Prakosa2)
ABSTRAK Aren selain ditanam monokultur dapat juga ditanam bersama-sama tanaman lainnya, seperti kopi, tanaman kayu-kayuan dan lain-lain atau disebut dengan agroforestri. Tanaman aren merupakan tanaman serbaguna karena banyak yang dapat dimanfaatkan dari tanaman ini. Nira adalah produk utama yang dihasilkan dari tanaman aren. Produk olahan nira telah dipasarkan secara luas dan mempunyai nilai jual cukup tinggi seperti gula aren. Salah satu sentra pengolahan nira sebagai bahan baku gula aren adalah di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Pengolahan nira dilakukan secara tradisional tanpa ditambah bahan pengawet. Selain nira, yang dapat dihasilkan dari tanaman ini berupa ijuk, kolang-kaling dan tepung aren. Mengapa tanaman aren dapat menjadi tanaman campuran atau tanaman pagar pada hutan rakyat? Hal ini disebabkan hasil tanaman aren dapat mendukung produk hutan rakyat berupa kayu, bahkan dapat menjadi penghasil utama, karena produk berupa nira dapat dipanen setiap hari. Selain itu pengolahan nira menjadi gula aren membutuhkan kayu bakar yang cukup besar, sehingga campuran tanaman aren dengan tanaman lainnya, kayu bakar dan tanaman kopi merupakan pola yang menguntungkan. Kata kunci: agroforestri, aren, hutan rakyat, tanaman campuran
I. PENDAHULUAN Pohon aren sejak lama dikenal masyarakat sebagai pohon yang dapat menghasilkan bahan-bahan untuk industri kerajinan. Hampir semua bagian atau produk tanaman ini dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi. Bagian-bagian fisik pohon aren yang dimanfaatkan, misalnya akar (untuk obat tradisional), batang (untuk berbagai peralatan), ijuk (untuk kerpeluan bangunan) dan daun (daun muda untuk pembungkus dan merokok). Demikian pula hasil produksinya seperti buah dan nira dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman. Selama ini pemenuhan permintaan bahan baku industri yang berasal dari bagianbagian pohon aren, masih dilayani dengan mengendalikan tanaman aren yang tumbuh di alam. Permintaan produk-produk yang dihasilkan dari tanaman ini akan selalu meningkat sejalan dengan perkembangan pembangunan yang ada. Oleh karena itu penanaman atau pembudidayaan tanaman aren mempunyai harapan atau prospek yang baik di masa yang akan datang. Saat ini telah tercatat ada empat jenis pohon yang termasuk kelompok aren yaitu: Arenge pinata (Wurmb) Merr., Arenge undulatitolia Bree., Arenge westerhoutii Grift. dan Arenge ambcang Becc. Di antara keempat jenis tersebut yang sudah dikenal 1 2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
187
manfaatnya adalah Arenge pinata (Wurmb) Merr., yang dikenal sehari-hari dengan nama aren atau enau. Usaha pengembangan atau pembudidayaan tanaman aren di Indonesia sangat dimungkinkan. Di samping masih luasnya lahan-lahan tidak produktif, juga dapat memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri atas produk-produk yang berasal dari tanaman aren, sekaligus meningkatkan pendapatan petani dari usaha tani tanaman aren dan dapat pula ikut melestarikan sumber daya alam serta lingkungan hidup. Dengan demikian campuran antara tanaman aren dan tanaman kayu-kayuan merupakan pola yang sangat baik karena di samping menghasilkan nira dan hasil sampingan lainnya, juga menghasilkan kayu. Kayu yang berasal dari dahan dan ranting dapat digunakan sebagai kayu bakar dalam pengolahan nira menjadi gula aren. Untuk meningkatkan produktivitas nira, maka pemilihan bibit unggul perlu segera dilakukan, agar hasil niranya meningkat. Selain itu pemeliharaan tanaman aren sangat diperlukan agar pertumbuhannya lebih cepat. Semakin cepat pertumbuhannya, maka semakin cepat pula tanaman aren dapat dipanen niranya. Dengan demikian usaha untuk mengetahui sifat-sifat tanaman aren ini sangat diperlukan, agar dapat ditentukan teknik silvikultur tanaman aren yang optimal.
II. MENGENAL SILVIKULTUR TANAMAN AREN A. Bentuk pohon, bunga dan buah Aren termasuk suku Aracaceae (pinang-pinangan). Batangnya tidak berduri, tidak bercabang, tinggi dapat mencapai 25 meter dan diameter pohon dapat mencapai 65 cm. Batang pohon aren ini sangat kotor karena batangnya terbalut oleh ijuk sehingga pelepah daun yang sudah tua sulit diambil atau lepas dari batangnya. Oleh karena itulah, batang pohon aren sering ditumbuhi oleh banyak tanaman jenis paku-pakuan. Tangkai daun aren panjangnya dapat mencapai 1,5 meter, helaian daun panjangnya dapat mencapai 1.45 meter, lebar 7 cm dan bagian bawah daun ada lapisan lilin. B. Penyebaran dan persyaratan tumbuh Wilayah penyebaran aren terletak antara garis lintang 200LU-110LS yaitu meliputi: India, Srilangka, Banglades, Burma, Thailand, Laos, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Hawai, Philipina, Guam dan berbagai pulau di sekitar Pasifik. (Burkil, 1935); Miller, 1964; Pratiwi (1989). Di Indonesia tanaman aren banyak terdapat dan tersebar di seluruh wilayah Nusantara, khususnya di daerah perbukitan dan lembah. Tanaman aren sesungguhnya tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus (Hatta-Sunanto, 1982) sehingga dapat tumbuh pada tanah-tanah liat, berlumur dan berpasir, tetapi aren tidak tahan pada tanah yang kadar asamnya tinggi (pH tanah terlalu asam). Aren dapat tumbuh pada ketinggian 9-1.400 meter di atas permukaan laut. Namun yang paling baik pertumbuhannya pada ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan lebih dari 1.200 mm setahun atau pada iklim sedang dan basah menurut Schmidt dan Ferguson (1955). C. Nama-nama daerah Aren (Arrenge pinnata) mempunyai banyak nama daerah seperti: bakjuk/bakjok (Aceh), pola/paula (Karo), bagot (Toba), agaton/bargat (Mandailing), anau/neluluk/
188
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
nanggong (Jawa), aren/kawung (Sunda), hanau (dayak, Kalimantan), Onau (Toraja, Sulawesi), mana/nawa-nawa (Ambon, Maluku). D. Kegunaan pohon aren Pohon aren dapat dimanfaatkan, baik berfungsi sebagai konservasi, maupun fungsi produksi yang menghasilkan berbagai komoditi yang mempunyai nilai ekonomi. 1. Fungsi konservasi Pohon aren dengan perakaran yang dangkal dan melebar akan sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya erosi tanah. Demikian pula dengan daun yang cukup lebat dan batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, akan sangat efektif untuk menahan turunnya air hujan yang langsung kepermukaan tanah. Di samping itu pohon aren dapat tumbuh baik pada tebing-tebing, akan sangat baik sebagai pohon pencegah erosi longsor. 2. Fungsi produksi Fungsi produksi dari pohon aren dapat diperoleh dari akar, batang, daun, bunga dan buah. Di Jawa akar aren digunakan untuk berbagai Obat Tradisional (Heyne, 1927; Dongen, 1913 dalam Burkil 1935). Akar segar dapat menghasilkan arak yang dapat digunakan sebagai obat sembelit, obat disentri dan obat penyakit paru-paru. Batang yang keras digunakan sebagai bahan pembuat alat-alat rumah tangga dan ada pula yang digunakan sebagai bahan bangunan. Batang bagian dalam dapat menghasilkan sagu sebagai sumber karbohidrat yang dipakai sebagai bahan baku dalam pembuatan roti, soun, mie dan campuran pembuatan lem (Miller, 1964). Sedangkan ujung batang yang masih muda (umbut) yang rasanya manis dapat digunakan sebagai sayur (Burkil, 1935). Daun muda, tulang daun dan pelapah daunnya, juga dapat dimanfaatkan untuk pembungkus rokok, sapu lidi dan tutup botol sebagai pengganti gabus. Tangkai bunga bila dipotong akan menghasilkan cairan berupa nira yang mengandung zat gula dan dapat diolah menjadi gula aren atau tuak (Steenis et al., 1975). Buahnya dapat diolah menjadi bahan makanan seperti kolang-kaling yang banyak digunakan untuk campuran es, kolak atau dapat juga dibuat manisan kolang-kaling. E.
PENANAMAN AREN
1.
Pengumpulan dan pemilihan biji Tanaman aren dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji). Dengan cara ini akan diperoleh bibit tanaman dalam jumlah besar, sehingga dapat dengan mudah mengembangkan (membudidayakan) tanaman aren secara besar-besaran. Langkah yang perlu dilakukan dalam pengumpulan dan pemilihan biji aren adalah sebagai berikut: Pengumpulan buah aren yang memenuhi persyaratan. Berasal dari pohon aren yang pertumbuhannya sehat dan berdaun lebat. Buah aren masak benar (warna kuning kecoklatan dan daging buah lunak). Buah berukuran besar (diameter minimal 4 cm) Kulit buah halus (tidak diserang penyaklit). Keluarkan biji aren buah yang telah dikumpulkan dengan membelahnya.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
189
Memilih biji-bijian aren yang memenuhi syarat: Ukuran biji relatif besar Berwarna hitam kecoklat-coklatan Permukaan halus (tidak keriput) Biji dalam keadaan sehat/tidak berpenyakit. Yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan biji adalah bahwa buah aren terkandung asam oksalat yang apabila mengenai kulit kita akan menimbulkan rasa sangat gatal. Oleh Karena itu dilakukan pencegahan antara lain dengan cara: Memakai sarung tangan apabila kita sedang mengambil biji dari buahnya. Hindari agar tangan kita tidak menyentuh bagian tubuh lain, ketika mengeluarkan biji-biji aren tersebut dari buahnya. Cara lain untuk mencegah agar tidak terkena getah aren ketika kita mengeluarkan bijinya dari buah yaitu dengan memeram terlebih dahulu buah-buah aren yang sudah tua sampai membusuk. Pemeraman dapat dilakukan dengan memasukan buah aren ke dalam kotak kayu dan ditutup dengan karung goni yang selalu dibasahi. Setelah ± 10 hari, buah aren menjadi busuk yang akan memudahkan pengambilan biji-bijian (wawancara dengan petani, 12 Juni 2009). 2.
Pembibitan Pengadaan bibit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu bibit dari permudaan alam dan bibit dari hasil persemaian biji. a. Pengadaan bibit dari permudaan alam/anakan liar. Proses pembibitan secara alami dibantu oleh binatang yaitu musang. Binatang tersebut memakan buah-buahan aren dan bijinya keluar secara utuh dari perutnya bersama kotoran. Bibit tumbuh tersebar secara tidak teratur dan berkelompok. Untuk menanamnya di lapangan, dapat dilakukan dengan mencabut secara putaran (bibit diambil bersama-sama dengan tanahnya). Pemindahan bibit ini dapat langsung segera ditanam di lapangan atau melalui proses penyapihan dengan memasukan anakan ke dalam kantong plastik (polybag) selama 2-4 minggu. b. Pengadaan bibit melalui persemaian Untuk mendapatkan bibit dalam jumlah besar dengan kualitas yang baik, dilakukan melalui pengadaan bibit dengan persemaian. Proses penyemaian biji aren berlangsung agak lama. Untuk mempercepatnya dapat dilakukan upaya perlakuan biji sebelum disemai (Wibowo dkk., 2005) yaitu: i. Merendam biji dalam larutan HCL dengan kepekatan 95% dalam waktu 1525 menit. ii. Merendam biji dalam air panas bersuhu 500 selama 3 menit. iii. Mengikir biji pada bagian dekat embrio. Media penyemaian dapat dibuat dengan kantong plastik ukuran 20x25 cm yang diisi dengan kompos, pasir dan tanah 3 : 1 : 1 dan lubangi secukupnya pada bagian bawahnya sebagai saluran drainase. Biji-biji yang telah diperlakukan tersebut dimasukan ke dalam kantong plastik tersebut sedalam sekitar ¾ bagian biji di bawah permukaan tanah dengan lembaga menghadap ke bawah dengan posisi agak miring. Untuk mencapai bibit siap tanam di lapangan (ukuran = 40 cm) diperlukan waktu persemaian 12-15 bulan.
190
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Pemeliharaan bibit di persemaian dilakukan dengan cara: i. Penyiraman 2 kali sehari, pagi jam 08.00-09.00 dan sore hari jam 15.00-6.00 ii. Penyiangan persemaian yaitu menghilangkan rumput pengganggu. iii. Pemberantasan hama dan penyakit, apabila ada gejala serangan hama dan penyakit. 3.
Cara dan pola penanaman Teknik penanaman aren dapat dilakukan dengan sistim monokultur atau dengan sistem agroforestri/tumpangsari. Dengan sistim monokultur terlebih dahulu dilakukan pembersihan lapangan dari vegetasi yang ada (land clearing) dan pengolahan tanah dengan pembajakan atau pencangkulan serta pembuatan lubang tanam. Pembuatan lubang tanaman dengan ukuran 30x30x30 cm dan jarak antar lubang (jarak tanam) 5x5 m atau 9x9 m. untuk mempercepat pertumbuhan pada lubang tanaman diberi tanah yang telah dicampur dengan pupuk kandang, urea, TSP, sekitar 3-5 hari setelah lubang tanaman disiapkan, baru dilakukan penanaman. Bibit yang baru ditanam, sebaiknya diberi naungan atau peneduh. Sistem agroforestri/tumpangsari, ini dapat dilakukan dengan menanam aren yang dicampur dengan kopi atau tanaman keras. Hasil dari tanaman kopi dapat memberikan hasil tambahan karena tidak bisa dipanen setiap hari. Tanaman kayukayuan juga sebagai hasil tambahan karena harus menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama (10-15 tahun). Namun demikian dahan dan cabang-cabangnya dapat digunakan sebagai bahan bakar pada pengolahan nira menjadi gula aren. Oleh karena kebutuhan kayu bakar untuk pengolahan nira ini cukup besar, maka penanaman tanaman penghasil kayu bakar (kayu energi) sangat diperlukan. Hal ini diperlukan karena pengolahan nira membutuhkan kayu bakar setiap hari. Dengan demikian sambil menunggu hasil dari tanaman kayu-kayuan, petani dapat memperoleh penghasilan setiap hari dari penjualan gula aren. Dengan demikian masyarakat akan lebih tertarik untuk menanam tanaman hutan rakyat yang berupa tanaman kayu pertukangan, karena untuk penghasilan setiap hari dapat dipenuhi dari hasil penjualan gula aren. Oleh karena itu, untuk menciptakan usaha produksi gula aren yang lestari dan tidak merusak hutan, maka tanaman campuran antara aren, kopi, tanaman kayu-kayuan dan tanaman kayu bakar harus dilakukan. Tanpa adanya persediaan kayu bakar yang cukup, maka masyarakat dapat masuk hutan untuk mengambil kayu bakar, sehingga dapat membuat hutan terdegradasi (Anonim, 2009a).
4.
Pemeliharaan tanaman Agar budidaya aren dapat berhasil dengan baik diperlukan pemeliharaan tanaman yang cukup. Pemeliharaan tanaman aren meliputi: 4.1. Pengendalian hama penyakit Hama dan penyakit pohon aren belum terlalu banyak di ketahui. Namun sebagai langkah pencegahan dapat didekat dengan mengetahui hama dan penyakit yang biasa menyerang jenis palmae yang lain seperti kelapa, kelapa sawit dan sagu. Hama pada tanaman jenis Palmae antara lain berupa kumbang badak (Oryctes thinoceros), kumbang sagu (Rhinochophorus ferrugineus), belalang (Sexava
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
191
spp.). Hama lain untuk pohon aren ini adalah pengisap nira dan bunga seperti lebah, kelelawar dan musang. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan cara: 1. Mekanis, yaitu pohon-pohon aren yang mendapat serangan hama ditebang dan dibakar. 2. Kimiawi, yaitu dengan penyemprotan pestisida tertentu seperti Heptachlor 10 gram, Diazonin 10 gram dan BHC. Jenis penyakit yang sering menyerang pohon aren di persemaian adalah bercak dan kuning pada daun yang disebabkan oleh Pestalotia sp., Helmiathosporus sp. penanggulangan penyakit ini dapat dilakukan dengan fungisida seperti Dithane N-45, Delsene NX200. 4.2. Penanggulangan tanaman pengganggu (gulma) Tanaman pengganggu (gulma) pada tanaman aren sangat mengganggu pertumbuhannya. Oleh karena itu, pengendalian gulma harus dilakukan. Gulma pada tanaman/pohon aren umumnya terdapat di dua tempat yaitu pada bagian batang (seperti benalu dan kadaka) dan pada tanah di sekitar pangkal teratur yaitu 4 kali setahun sampai tanaman berumur 3-4 tahun. Teknis pemberantasannya dilakukan dengan cara mekanis yaitu dengan menghilangkan tanaman pengganggu tersebut dari pohon aren. 4.3. Pemupukan Pemupukan dilakukan untuk merangsang pertumbuhan agar lebih cepat. Pemupukan dilakukan pada tanaman berumur 1-3 tahun dengan memberikan seperti pupuk urea, NPK, pupuk kandang dan KCL yang ditaburkan pada sekeliling batang pohon aren yang telah digemburkan tanahnya.
F. PEMUNGUTAN HASIL 1. Jenis hasil Seperti telah diuraikan di muka, hampir semua bagian dari pohon aren dapat dimanfaatkan atau menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi. Jenis produk yang dihasilkan dari pohon aren yaitu sebagai berikut: Ijuk sebagai bahan baku pembuatan peralatan keperluan rumah tangga. Nira sebagai bahan baku gula merah, tuak, dan cuka. Kolang-kaling yang dihasilkan dari buah pohon aren. Tepung aren sebagai bahan baku pembuatan sabun, mie dan dawet (cendol). Batang pohon sebagai bahan bangunan dan peralatan rumah tangga. Apabila penanaman dilakukan dengan pola agroforestri, maka hasilnya bertambah yaitu berupa kayu bakar, kayu pertukangan dan kopi. 2. Hasil pemanenan 2.1. Ijuk Ijuk dihasilkan dari pohon aren yang telah berumur lebih dari 5 tahun sampai dengan tongkol-tongkol bunganya keluar. Pohon yang masih muda produksi ijuknya kecil. Demikian pula pohon yang mulai berbunga kualitas dan hasil ijuknya tidak baik. Pemungutan ijuk dapat dilakukan dengan memotong 192
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
pangkal pelepah-pelapah daun, kemudian ijuk yang bentuknya berupa lempengan anyaman itu lepas dengan menggunakan parang dari tempat ijuk itu menempel. Lempengan-lempengan anyaman ijuk yang baru dilepas dari pohon aren, masih mengandung lidi-lidi ijuk. Lidi-lidi ijuk dapat dipisahkan dari serat-serat ijuk dengan menggunakan tangan. Untuk membersihkan serat ijuk dari berbagai kotoran dan ukuran serat ijuk yang besar, digunakan sisir kawat. Ijuk yang sudah dibersihkan dapat dipergunakan untuk membuat tambang ijuk, sapu ijuk, atap ijuk dan lain-lain. 2.2. Nira Nira aren dihasilkan dari penyadapan tongkol (tandan) bunga, baik bunga jantan maupun bunga betina. Akan tetapi biasanya, tandan bunga jantan yang dapat menghasilkan nira dengan kualitas baik dan jumlah yang banyak. Oleh karena itu, biasanya penyadapan nira hanya dilakukan pada tandan bunga jantan. Sebelum penyadapan dimulai, dilakukan persiapan penyadapan yaitu: Memilih bunga jantan yang siap disadap, yaitu bunga jantan yang tepung sarinya sudah banyak yang jatuh di tanah. Hal ini dapat dilihat jika disebelah batang pohon aren, permukaan tanah tampak berwarna kuning tertutup oleh tepungsari yang jatuh. Pembersihan tongkol (tandan) bunga dan memukul-mukul serta mengayunayunkannya agar dapat memperlancar keluarnya nira. Pemukulan dan pengayunan dilakukan berulang-ulang selama tiga minggu dengan selang dua hari pada pagi dan sore dengan jumlah pukulan kurang lebih 250 kali. Untuk mengetahui, apakah bunga jantan yang sudah dipukul-pukul dan diayunayun tersebut sudah atau belum menghasilkan nira, dilakukan dengan cara menoreh (melukai) tongkol (tandan) bunga tersebut. Apabila torehan tersebut mengeluarkan nira maka bunga jantan sudah siap disadap. Penyadapan dilakukan dengan memotong tongkol (tandan) bunga pada bagian yang ditoreh. Kemudian pada potongan tongkol dipasang bumbung bamboo sebagai penampung nira yang keluar. Penyadapan nira dilakukan 2 kali sehari (dalam 24 jam) pagi dan sore. Pada setiap penggantian bumbung bamboo dilakukan pembaharuan irisan potongan dengan maksud agar saluran/ pembuluh kapiler terbuka, sehingga nira dapat keluar dengan lancar. Setiap tongkol (tandan) bunga jantan dapat dilakukan penyadapan selama 3-4 bulan sampai tandan mengering. Hasil dari air aren dapat diolah menjadi gula aren, tuak, cuka dan minuman segar. 2.3. Tepung aren Tepung aren dapat dihasilkan dengan memanfaatkan batang pohon aren dengan proses sebagai berikut: Memiliki batang pohon aren yang banyak mengandung pati/tepungnya dengan cara: Umur pohon relative muda (15 – 25 tahun)
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
193
Menancapkan pahat ke dalam batang sedalam 10 – 12 cm pada dari ketinggian 1,5 m dari permukaan tanah. Periksa ujung kampak atau pahat tersebut apakah terdapat tepung/pati yang menempel. Apabila terdapat tepung/pati, tebang pohon aren tersebut. Potong batang pohon yang sudah ditebang menjadi beberapa bagian sepanjang 1,5 – 2,0 m. Belah dan pisahkan kulit luar dari batang dengan empelurnya. Empelur diparut atau ditumbuk, kemudian dicampur dengan air bersih (diekstraksi) Hasil ekstraksi diendapkan semalaman (± 12 jam), lalu dilakukan pemisahan air dengan endapannya. Lakukan pencucian kembali dengan air bersih dan diendapkan lagi, sampai menghasilkan endapan yang bersih Hasil endapan dijemur sampai kering. Tepung aren dapat dipergunakan sebagai bahan baku seperti mie, soun, cendol dan campuran bahan perekat kayu lapis. 2.4. Kolang Kaling Kolang kaling dapat diperoleh dari inti biji buah aren setengah masak. Tiap buah aren mengandung tiga biji buah. Buah aren setengah masak memiliki kulit biji buah yang tipis, lembek dan berwarna kuning, inti biji (endosperm) berwarna putih agak bening dan lembek. Endosperm inilah yang diolah menjadi kolang-kaling. Adapun cara untuk membuat kolang-kaling: Membakar buah aren dengan tujuan agar kulit luar dari biji dan lendir yang menyebabkan rasa gatal pada kulit dapat dihilangkan. Biji-biji yang hangus, dibersihkan dengan air sampai dihasilkan inti biji yang bersih. Merebus buah aren dalam belanga/kuali sampai mendidih selama 1-2 jam. Dengan merebus buah aren ini, kulit biji menjadi lembek dan mudah untuk melepas/memisahkan dengan inti biji. Inti biji ini dicuci berulang-ulang sehingga menghasilkan kolang-kaling yang bersih. Untuk menghasilkan kolang-kaling yang baik (bersih dan kenyal), inti biji yang sudah dicuci diendapkan dalam air kapur selama 2-3 hari. Setelah direndam dlam air kapur, maka kolang-kaling yang terapung inilah yang siap untuk dipasarkan. 2.5. Kayu Pertukangan Di samping 4 jenis hasil panen di atas, hasil lainnya berupa kayu pertukangan, yang dapat digunakan untuk pembuatan rumah atau dijual dalam bentuk pohon, kayu gelondongan atau kayu gergajian. Dahan dan ranting dari pohonnya dapat digunakan sebagai kayu bakar dalam pengolahan nira menjadi gula aren. Dengan demikian petani tidak perlu lagi masuk kawasan hutan untuk mencari kayu untuk membuat rumah ataupun dijual, karena waktunya sudah habis untuk kegiatan pengolahan nira. Dengan demikian pola agroforestri ini lebih sesuai untuk daerah pemukiman yang berbatasan dengan kawasan hutan.
194
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PENUTUP Berdasar manfaat yang begitu besar dari tanaman aren, maka budidaya aren perlu mendapat perhatian secara khusus. Pemilihan bibit unggul sangat diperlukan pada budidaya tanaman aren, karena sampai saat ini bibit aren masih diperoleh dari anakan yang tumbuh bebas di alam. Teknik silvikultur tanaman aren perlu dikembangkan agar diperoleh hasil nira yang optimal. Agar pemeliharaan tanaman aren ini lebih efisien dan hasilnya meningkat, maka pencampuran tanaman kopi di bawah tanaman aren perlu dilakukan, karena tanaman aren baru bisa diambil niranya setelah umur tanaman aren kurang lebih 7 tahun. Pemupukan perlu dilakukan pada saat tanaman masih muda agar pertumbuhan tanaman aren lebih cepat. Penanaman aren di sepanjang batas (pohon batas) antara kawasan hutan dan lahan milik masyarakat, diharapkan dapat memperjelas batas kawasan hutan, baik dilihat dari lapangan maupun dari citra satelit. Dengan demikian akan memudahkan bagi siapa saja yang ingin mengetahui batas kawasan hutan. Pola agroforestri atau penanaman campuran antara tanaman kayu-kayuan, tanaman kayu bakar, kopi dan tanaman aren merupakan pola yang sangat baik untuk menciptakan usaha hutan rakyat yang lestari dan menguntungkan. Selain itu pola penanaman di atas dapat mencegah kerusakan kawasan hutan apabila diterapkan di daerah yang berbatasan dengan kawasan hutan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Kabupaten Rejang Lebong dalam Angka 2007/2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Rejang Lebong. Anonim. 2009a. Data Klimatologi Stasiun Geofisika Kepahiyang. Badan Meterologi dan Geofisika. Anonim. 2009b. Potensi pengembangan Gula Aren/Gula Merah. Sumber : http://www. gorontalo.go.id. Diakses pada : 22 Oktober 2009. Efendi, D.S. 2009. Aren Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. . 31. No.2 Th. 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Sumber: http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/ wr312091.pdf. Diakses pada : 22 Oktober 2009. Wibowo, Santiyo dan Sentot Adi Sasmuko. 2005. Kajian Pengolahan dan Sistem Pemasaran Gula Merah Aren di Desa Kuta Raja, Tiga Binanga-Tanah Karo, Sumatera Utara. Info Hasil Hutan. Vol. 11 No.1, April 2005. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor, Indonesia. Hal : 41-49 Wibowo, Santiyo. 2006. Beberapa Jenis Pohon Sebagai Sumber Penghasil Bahan Pengawet Nabati Nira Aren (Arenga pinnata Merr.). Info Hasil Hutan Vol. 12 No. 1, April 2006. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor, Indonesia. Hal: 67-7
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
195
196
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
STEK BATANG NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN Agus Baktiawan Hidayat1, Sahwalita2) dan Nanang Herdiana2)
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang besarnya pengaruh zat pengatur tumbuh dan media terhadap pertumbuhan stek batang Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Penelitian dilaksanakan di persemaian dan laboratorium balai penelitian kehutanan palembang pada bulan Maret sampai Juli 2010. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diujikan meliputi 3 (tiga ) taraf hormon (K 0: kontrol; K1: Rootone-F (pasta) dan K2: Rootone-F 5000 ppm) dan media 2 (dua) taraf (M1: Pasir dan M2: arang sekam: cocofeat (9:1 v/v). Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan media campuran arang sekam: cocofeat tanpa hormon menunjukkan pertumbuhan terbaik untuk stek batang nyamplung. Kata kunci: hormon, media, nyamplung, stek batang
I. PENDAHULUAN Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan jenis pohon yang dapat menghasilkan kayu dan non kayu. Hasil kayu dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan pertukangan seperti untuk bangunan perumahan, mebel, perkapalan, alat-alat olah raga, dan untuk keperluan lainnya. Hasil non kayu dari buahnya yang dapat diolah menjadi biofuel. Penggunaan biofuel sebagai alternatif untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil. Di Indonesia jenis pohon ini memiliki daerah sebaran alami yang cukup luas meliputi daerah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (Martawijaya dkk., 2005). Upaya untuk mendukung penyediaan bahan baku biofuel adalah melakukan budidaya nyamplung. Budidaya pohon nyamplung untuk tujuan produksi kayu dapat dilaksanakan pada areal hutan produksi maupun pada lahan usaha masyarakat. Untuk mendukung pengembangan nyamplung diperlukan bibit dalam jumlah banyak dan berkualitas. Penyediaan bibit secara massal dengan menjaga kualitas pertumbuhannya menjadi salah satu upaya dalam peningkatan produktivitas tanaman. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perbanyakan melalui stek batang. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan perbanyakan stek nyamplung ini melalui pemanfaatan zat pengatur tumbuh dan variasi media untuk memberikan lingkungan yang tepat.
1 2
Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
197
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Rootone-F dan macam media terhadap pertumbuhan stek batang nyamplung.
II. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di persemaian dan laboratorium Balai Penelitian Kehutanan Palembang selama 4 (empat) bulan, dari bulan Maret sampai dengan Juli 2010. B. Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan adalah bibit nyamplung umur 1 (satu) tahun, pasir, arang sekam, cocofeat, polybag dan hormon (Rootone F). Sedangkan peralatan yang digunakan adalah sungkup plastik, gunting stek, pisau cutter, gunting, ember plastik, handsprayer, timbangan analitik, kamera digital, oven, label plastik, fungisida, spidol permanen, mistar ukur dan tallysheet. C. Prosedur Kerja 1. Persiapan Bahan Stek Bahan stek diambil dari bibit nyamplung yang telah berumur 1 (satu) tahun. Bagian batang yang diambil sebagai bahan stek adalah batang bagian bawah dan tengah. Stek direndam di dalam air dingin selama 15 menit untuk menghilangkan getah yang menempel pada bekas potongan batangnya. 2. Persiapan Media Media stek yang digunakan adalah pasir, arang sekam dan cocofeat. Komposisi media stek yang digunakan adalah pasir (M1), dan campuran antara arang sekam dengan cocofeat (9:1v/v) (M2). Media stek yang telah dibuat kemudian dimasukan ke dalam polybag dan disusun di bawah sungkup. Sterilisasi media dilaksanakan dengan cara menyemprotkan fungisida pada media yang telah disusun untuk mencegah timbulnya jamur. Penyemprotan dilaksanakan 1 (satu) hari sebelum bahan stek ditanam. 3. Persiapan Hormon Tumbuh Hormon tumbuh yang digunakan adalah Rootone-F. Perlakuan yang digunakan adalah kontrol/tanpa hormon (K0), Rootone-F pasta (K1) dan Rootone-F larutan (5000 ppm) (K2). 4. Aplikasi Perlakuan Bahan stek yang telah terpilih diberikan perlakuan hormon sesuai dengan rancangan yang telah ditentukan. Setelah perlakuan hormon dilaksanakan maka bahan stek dimasukan ke dalam media stek yang telah disusun sesuai rancangan penelitian di dalam sungkup. 5. Pemeliharaan Pemeliharaan stek dilakukan secara tentatif sesuai dengan kondisi cuaca yang ada di dalam sungkup. Penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan, apabila kelembaban dan suhu di dalam sungkup mengalami perubahan. Penyiraman terhadap stek batang nyamplung dilaksanakan apabila suhu di dalam sungkup mengalami 198
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
kenaikan. Indikator kenaikan dan penurunan suhu dan kelembaban di dalam sungkup menggunakan alat ukur suhu dan kelembaban yang di letakan di dalam sungkup. 6. Pengamatan Respon yang diamati adalah pertumbuhan tunas dan akar. Pengamatan data perakaran dan pertunasan stek dilaksanakan di akhir penelitian (4 bulan setelah perlakuan dilaksanakan), dimana stek akan dicabut dari media stek untuk mengetahui tingkat perakarannya. Data pendukung yang diambil adalah suhu dan kelembaban sungkup. Pengamatan dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam satu hari yaitu pada pukul 09.00; 12.00 dan 15.00 WIB. D. Rancangan Percobaan dan Analisa Data Perlakuan yang diuji pada kegiatan penelitian ini adalah faktor hormon dan faktor media stek. - Faktor hormon terdiri dari 3 (tiga) taraf yaitu: K0 : kontrol/tanpa perlakuan K1 : Rootone-F (pasta) K2 : Rootone-F (larutan/5000 ppm) - Faktor media stek terdiri dari 2 (dua) taraf yaitu: M1 : Pasir M2 : Arang sekam : cocofeat = 9 : 1 (v/v) Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) secara Faktorial dengan 3 (tiga) kali ulangan dan jumlah satuan pengamatan sebanyak 10 (sepuluh) stek, sehingga jumlah satuan pengamatan sebanyak 3 x 2 x 3 x 10 = 180 batang stek. Parameter pengukuran yang diamati dalam penelitian ini meliputi: panjang tunas, jumlah tunas, panjang akar, jumlah akar, persentase hidup, persentase bertunas, persentase berakar, persentase bertunas dan berakar. Untuk mengetahui respon pertumbuhan stek batang nyamplung terhadap perlakuan yang diuji maka dilakukan analisis keragaman terhadap perlakuan yang diamati dan Uji Lanjut Jarak Berganda Duncan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil analisa sidik ragam parameter yang diukur selengkapnya disajikan pada Tabel 1. hasil sidik ragam menunjukkan bahwa semua berpengaruh tidak nyata terhadap parameter yang diujikan kecuali persentase bertunas, sedangkan uji lanjut disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Analisis keragaman panjang tunas, jumlah tunas, panjang akar, jumlah akar, persentase hidup, persentase bertunas, persentase berakar, persentase bertunas dan berakar Sumber Keragaman 1 Panjang Tunas (mm) KT Fhitung
Blok
Hormon
Media
Interaksi
Galat
2
3
4
5
6
146,71 2,95ns
15,56 0,31ns
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
119,50 2,41ns
102,29 2,06ns
49,67
199
1 Jumlah Tunas (buah) KT Fhitung Panjang Akar (mm) KT Fhitung Jumlah Akar (helai) KT Fhitung Persentase Hidup (%) KT Fhitung Persentase Bertunas (%) KT Fhitung Persentase Berakar (%) KT Fhitung Persentase Bertunas dan Berakar (%) KT Fhitung Keterangan: ns = non significant/ tidak nyata * = nyata (α 5%) ** = sangat nyata (α 1%)
2
3
4
5
6
4,32 0,53ns
6,87 0,85ns
5,77 0,71ns
17,28 2,13ns
8,13
0,57 0,25ns
2,03 0,87ns
2,59 1,12ns
1,11 0,48ns
2,33
1,42 4,82*
0,27 0,90ns
0,00 0,00ns
0,19 0,67ns
0,29
46,29 0,05ns
3657,37 3,76ns
247,01 0,25ns
200,69 0,21ns
972,28
185,09 0,91ns
3380,28 16,59**
246,94 1,21ns
15,45 0,08ns
203,72
36311,72 1,05ns
34829,97 1,00ns
31250,25 0,90ns
40880,57 1,18ns
34663,76
200,66 0,73ns
1728,71 6,29*
61,75 0,22ns
247,01 0,90ns
274,74
Tabel 2. Uji lanjut perlakuan hormon terhadap persentase bertunas stek nyamplung Hormon K0 K1 K2 Persentase bertunas (%) 63,89 a 16,66 b 36,11 c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata Perlakuan
B. Pembahasan Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan hormon dan media tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter kecuali persentase bertunas. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa hasil terbaik untuk persentase bertunas adalah 63,89% pada kontrol (tanpa rootone-F) diikuti larutan rootone-F 5000 ppm dengan persentase bertunas 16,66% dan pasta rootone-F dengan persentase bertunas 36,11% (Gambar 1). Hasil penelitian di atas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Jayusman (1997), stek kemenyan durame (Styrax benzoine Dryand) dengan menggunakan rootone-F 20 gr/ltr diperoleh persen tumbuh 67,14%. Percobaan stek damar mata kucing (Shorea javanica K & V) dari beberapa tingkat umur bibit dengan pemberian hormon Rootone F menghasilkan persen berakar (77,77%), persen bertunas (80,00%), persen hidup (80,00%), jumlah tunas (1,25), panjang tunas (3,33 cm), berat kering tunas (0,0757 g) dan jumlah berat kering akar dan tunas (0,0814 g) (Lukman dan Sofyan, 2000). Tidak tampaknya pengaruh Rootone-F kemungkinan disebabkan oleh sifat batang nyamplung yang memiliki getah. Getah ini dapat menjadi hambatan hormon rootone-F untuk menempel pada bagian potongan stek batang. Reaksi yang terjadi
200
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
adalah pengentalan getah pada bagian bawah stek batang nyamplung dan selanjutnya membentuk gumpalan. Adanya gumpalan getah pada ujung stek batang menjadi hambatan pada proses pembentukan akar, sehingga secara perlahan kondisi stek batang akan membusuk. Pembusukan batang dimulai dari bagian bawah karena media yang lembab akan mempercepat proses pembusukan. Pembusukan batang secara otomatis akan menyebabkan proses metabolisme pada stek terganggu bahkan berhenti. Oleh karena itu perlu diperhatikan proses pengeluaran getah pada batang nyamplung hingga tuntas sebelum pemberian rootone-F. Selain itu, perendaman yang dilakukan belum efektif untuk menghilangkan getah, sehingga perlu dilakukan cara lain. Perendaman terhadap stek selain menghilangkan getah juga bertujuan agar jaringan pembuluh pada batang yang dipotong terisi oleh air, sehingga memudahkan penyerapan zat makanan (Wudianto, 1999).
Gambar 1. Hubungan hormon terhadap parameter panjang tunas, jumlah tunas, panjang akar, jumlah akar, persentase hidup, persentase bertunas, persentase berakar, persentase bertunas dan berakar Pembentukan tunas pada stek batang nyamplung dapat berlangsung selama persediaan karbohidrat dari batang masih tersedia. Walaupun tidak terbentuk akar, batang nyamplung masih memiliki persediaan makanan untuk pembentukan tunas baru. Kondisi ini masih dapat berlangsung sampai batang mengalami krisis karbohidrat, dan secara perlahan akan mengalami gangguan pertumbuhan yaitu layu. Jika batang layu atau busuk maka fungsi pokok batang akan terganggu. Menurut Sutedjo dkk., (1989) fungsi pokok batang adalah sebagai tempat menempelnya organ-organ seperti daun dan akar, selain itu terhimpun saluran-saluran yang berfungsi untuk mengalirkan zat ke bagian tumbuhan. Hasil penelitian terhadap media adalah media campuran arang sekam dan cocofeat memberikan hasil yang terbaik dengan nilai persentase bertunas sebesar 42,59% (Gambar 2.). Media tersebut mendukung pertumbuhan stek nyamplung karena
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
201
memiliki pori dan mampu menyimpan kelembaban. Media yang digunakan untuk menyemaikan stek diusahakan agar gembur dan halus, sehingga akar yang baru keluar tidak terhalang pertumbuhannya (Wudianto, 1999). Media stek harus selalu dijaga suhu dan kelembabannya di dalam sungkup. Rata-rata suhu dan kelembaban harian di dalam sungkup juga terjaga yaitu 30,2˚C dan 77,2%. Media arang sekam dan cocofeat memiliki karakter yang berbeda dengan media pasir. Campuran media arang sekam dan cocofeat diduga dapat menahan air lebih lama dibandingkan dengan media pasir sehingga kelembaban media dapat terjaga lebih lama. Dengan adanya kelembaban media yang terjaga maka stek batang dapat melaksanakan proses metabolisme dengan baik sehingga stek batang akan mengalami proses pertumbuhan. Pasir tidak menyimpan kelembaban sehingga membutuhkan frekuensi penyiraman yang lebih (Hartman dan Kester, 1983). Hasil penelitian terhadap media stek tersebut di atas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Jayusman (1996), yaitu stek batang dengan media pasir pada pembiakan vegetatif Podocarpus blumei merupakan perlakuan paling baik dibandingkan dengan penggunaan stek pucuk atau penggunaan media lainnya (tanah atau tanah dicampur pasir) karena dapat memberikan perakaran dan jumlah daun paling banyak. Sejauh ini pasir dianggap memadai dan sesuai jika digunakan sebagai media untuk penyemaian benih, pertumbuhan bibit tanaman, dan perakaran stek batang tanaman. Sifatnya yang cepat kering akan memudahkan proses pengangkatan bibit tanaman yang dianggap sudah cukup umur untuk dipindahkan ke media lain. Keunggulan media tanam pasir adalah kemudahan dalam penggunaan dan dapat meningkatkan sistem aerasi serta drainase media tanam (Nugroho, 2008).
Gambar 2. Hubungan media terhadap parameter panjang tunas, jumlah tunas, panjang akar, jumlah akar, persentase hidup, persentase bertunas, persentase berakar, persentase bertunas dan berakar Untuk mengetahui hormon dan media yang memiliki pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan stek batang nyamplung dilakukan analisis bilangan ordinansi, yaitu menggabungkan (menjumlahkan) nilai masing-masing peubah pada perlakuan. Tabel 3 menunjukkan peringkat tertinggi yaitu pada kontrol (tanpa Rootone-F) dengan media campuran arang sekam dengan cocofeat.
202
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Tabel 3. Analisis bilangan ordinansi perlakuan hormon dan media terhadap parameter pada stek nyamplung No. Perlakuan
1 2 3 4 5
K0 K1 K2 M1 M2
Pjg Jumlah Panjang Jumlah Persen Persen Persen Persen Total tunas tunas akar akar hidup bertunas berakar bertunas dan (mm) (buah) (mm) (helai) (%) (%) (%) berakar (%) 11.79 4.05 2.88 1.18 94.44 63.89 50.00 50.00 278.23 11.92 5.62 2.62 1.01 47.22 16.66 27.8 16.66 129.51 9.07 3.57 1.77 1.43 58.33 36.11 16.94 38.88 166.1 8.35 3.85 2.8 1.2 62.96 35.18 24.07 37.04 175.45 13.51 4.99 2.04 1.21 70.37 42.59 40.74 33.33 208.78
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Hormon Rootone-F tidak berpengaruh nyata terhadap pengembangan stek batang nyamplung. 2. Media yang baik untuk pertumbuhan stek batang nyamplung adalah campuran arang sekam dengan cocofeat. 3. Perlunya dilaksanakan penelitian lanjutan mengenai bagaimana caranya menghilangkan getah yang keluar dari batang nyamplung setelah dipotong sehingga dapat meningkatkan keberhasilan pertumbuhan stek batang nyamplung.
DAFTAR PUSTAKA Hartman, H.T. and D.E. Kester. 1983. Plant Propagation Principles and Practices. Prentice Hall, Inc. Englewood. New Jersey. Jayusman. 1996. Percobaan Stek Jenis Podocarpus blumei Endl. dan Medang Kuning (Litsea sp.) Pada Media Semai yang Berebeda.Buletin Penelitian Kehutanan No. 1 Volume 12 April 1996. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jayusman. 1997. Percobaan Stek Pucuk Kemenyan Durame (Styrax benzoine Dryand) Pada Beberapa Jenis Hormon Pertumbuhan. Buletin Penelitian Kehutanan volume 13 No. 1 April 1997. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Lukman, A.H dan A. Sofyan. 2000. Percobaan Stek Damar Mata Kucing (Shorea javanica K & V) Dari Beberapa Tingkat Umur Bibit. Buletin Teknoogi Reboisasi No.10 tahun 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan. Martawijaya, A., Iding K., Kosasi K., S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Nugroho. 2008. Media tanam. http://www.nugrohoakt.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 Juni 2010.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
203
Sutedjo, M.M., dan S. Kartasapoetra. 1989. Tumbuhan dan Organ-Organ Pertumbuhannya. Bina Aksara. Jakarta. Wudianto, R. 1999. Membuat Stek, Cangkok dan Okulasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
204
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PERTUMBUHAN TEMBESU PADA POLA CAMPURAN DENGAN KARET DI HUTAN RAKYAT Agus Sumadi1 dan Teten Rahman Saepuloh2)
ABSTRAK Tembesu merupakan jenis yang banyak tumbuh di wilayah Sumatera Selatan. Kayu tembesu memiliki fungsi untuk kayu pertukangan dan bahan baku utama ukiran mebel palembang. Pembudidayaan tembesu masih terbatas dan salah satu daerah yang telah membudidayakan tembesu melalui pola campuran dengan karet berada di Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Informasi persamaan model matematik melalui pembuatan petak ukur permanent/temporer pada lokasi hutan rakyat tembesu pola campuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter optimal tegakan tembesu tercapai pada umur lima tahun, sehingga pada periode ini dapat diterapkan perlakuan silvikultur untuk mengoptimalkan pertumbuhan tembesu. Persamaan yang terbentuk untuk pertumbuhan diameter Y=9.6142 Ln(x)-4.8432 dengan nilai R2 96.33% dan pertumbuhan tinggi dengan persamaan y= 7.178 ln(x)-1.8829 dengan nilai R2 97.41%. Kata kunci: OKU Timur, pertumbuhan diameter, pertumbuhan tinggi, pola campuran, tembesu
PENDAHULUAN Hutan di Indonesia tiap tahunnya mengalami penurunan potensi dan terdegradasi terus-menerus sehingga menyebabkan terjadinya penurunan yang drastis terhadap pasokan kayu. Kondisi kerusakan hutan telah menyebabkan terjadinya ketimpangan antara kebutuhan kayu dengan pasokan kayu, sehingga keberadaan hutan tanaman baik hutan tanaman rakyat maupun hutan tanaman industri menjadi sangat penting sebagai salah satu pemasok kayu. Hutan rakyat merupakan salah satu solusi bagi pemenuhan kebutuhan kayu. Sistem yang sering dikembangkan dalam hutan rakyat berupa pola campuran dengan tanaman perkebunan atau tanaman pertanian dengan tujuan untuk mendapatkan hasil secara kontinyu sebelum tanaman kehutanan bisa ditebang. Hutan rakyat yang ada di Sumatera Selatan khususnya Kabupaten OKU Timur banyak yang mengembangkan pola campuran antara tanaman kehutanan berupa jenis tembesu dan tanaman perkebunan berupa karet. Pengembangan pola campuran dalam pengelolaan lahan dapat memberikan produktivitas yang cukup tinggi dan memberikan pendapatan yang berarti bagi petani serta mudah diadopsi dan dilaksanakan oleh masyarakat khususnya petani (Widianto dkk., 2003). 1 2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
205
Di Indonesia jenis tembesu tersebar di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya (Martawijaya dkk., 2005). Keunggulan kayu tembesu adalah termasuk kelompok kayu berkualitas (kelas kuat I-II), kelas awet I, kelas ketahanan terhadap jamur II, tidak mudah retak dan mempunyai nilai komersial tinggi. Tembesu telah dikenal lama dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Kayu tembesu digunakan sebagai pondasi rumah, lantai, papan, dan di Sumatera Selatan dijadikan bahan baku utama industri kerajinan ukiran kayu khas Palembang yang telah terkenal sampai negara-negara Asia Tenggara. Tulisan ini akan memberikan gambaran pertumbuhan tegakan tembesu yang dikembangkan dengan pola campuran dengan karet. Pertumbuhan atau riap menurut Prodan (1968) dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increament, disingkat CAI) dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increament, disingkat MAI). Pertumbuhan tegakan yang menjadi kajian adalah pertumbuhan diameter dan pertumbuhan tinggi, serta riap rata-rata tahunan (MAI).
PENGEMBANGAN TEMBESU POLA CAMPURAN Tembesu merupakan jenis pohon yang memiliki pertumbuhan lambat dengan daur sekitar 30 tahun. Pola pembangunan tembesu cocok dikembangkan dengan sistem campuran dengan tanaman lain yang memiliki hasil cepat seperti karet yang dapat diproduksi mulai umur 5 tahun. Pengembangan pola campuran untuk jenis tembesu merupakan salah satu solusi tepat yang dapat diterapkan pada hutan rakyat. Winarno dan Waluyo (2007) menjelaskan bahwa pola tanam yang dikembangkan di hutan rakyat disesuaikan dengan kondisi dan luas lahan yang tersedia serta kondisi pasar dan kebutuhan masyarakat. Salah satu pola tanam yang ada berupa pola campuran antara tanaman kehutanan dan tanaman perkebunan. Pengembangan tembesu pola campuran banyak kita temukan pada hutan rakyat di Kabupaten OKU Timur. Tradisi masyarakat untuk membudidayakan tembesu telah ada sejak lama. Tembesu di lokasi tersebut tumbuh secara alami pada saat pembukaan lahan untuk melakukan penanaman karet. Pada kegiatan pembukaan lahan masyarakat dengan sengaja memeliharan trubusan atau anakan tembesu liar yang ada di lahan. Rata-rata kondisi pohon tembesu saat pembukaan lahan masih kecil atau berumur sekitar satu tahun. Setelah penanaman karet masyarakat terus memelihara tembesu yang ada di antara sela-sela karet. Berdasarkan pengamatan di lapangan antara pertumbuhan tembesu dan tanaman perkebunan berupa karet tidak saling mengganggu. Informasi yang diperoleh dari masyarakat yang membudidayakan tembesu pola campuran, produksi getah karet tidak mengalami penurunan. Komposisi pohon tembesu yang ada jumlahnya hanya sekitar 20–30 batang tiap hektar tanaman karet. Tanaman perkebunan masih dominan dalam pengembangan hutan rakyat pola campuran ini. Komposisi karet yang lebih besar secara langsung berdampak pada pendapatan masyarakat dari penyadapan getah karet tetap tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryanto dkk. (2006) bahwa pola campuran banyak menjadi pilihan prioritas dalam sistem pertanaman karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pola monokultur, di antarannya produk ganda yang dihasilkan sepanjang pengelolaan (baik kayu maupun non kayu dan termasuk jasa lingkungan).
206
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PERTUMBUHAN DIAMETER TEMBESU Diameter merupakan parameter yang mudah diukur dan memiliki keakuratan tinggi. Pengukuran diameter dilakukan setinggi dada atau pada ketinggian 1.3 m dari lokasi tempat tumbuh. Hasil pengukuran tegakan tembesu pada hutan rakyat pola campuran berumur 2 tahun memiliki rata-rata diameter sebesar 3.41 dengan riap ratarata tahunan (MAI) 1.71 cm/tahun. Umur 3 tahun memiliki rata-rata diameter sebesar 5.47 cm dengan MAI sebesar 1,82 cm/tahun sedangkan tegakan tertua yang teridentifikasi umurnya pada tegakan berumur 18 tahun memiliki diameter setinggi dada 24.15 cm dengan nilai MAI 1.34 cm/tahun. y = 9.6142Ln(x) - 4.8432 R2 = 0.9633
30.00
25.00
Dbh (Cm)
20.00 Dbh 15.00
Log. (Dbh)
10.00
5.00
0.00 0
5
10
15
20
Um ur (Thn )
Gambar 1. Perkembangan diameter tegakan tembesu berdasarkan umur tegakan Pemodelan hubungan antara umur dan diameter tegakan dibangun berdasarkan regresi logaritmik. Persamaan regresi disusun berdasarkan data pengukuran petakpetak tegakan pada berbagai umur dan berbagai lokasi. Persamaan yang tersusun merupakan persamaan sementara dalam menduga diameter tegakan berdasarkan umur. Persamaan regresi hubungan antara diameter setinggi dada dan umur tegakan dilakukan pada petak-petak tanaman yang diketahui informasi umurnya. Sebaran data diameter berdasarkan umur tegakan dan grafik persamaan logaritmik seperti pada gambar berikut ini. Persamaan penduga diameter pohon berdasarkan umur pohon Y=9.6142 Ln(x)4.8432 dengan nilai R2 sebesar 96.33%. Persamaan regresi ini merupakan persamaan sementara dalam menduga pertumbuhan diameter berdasarkan umur tegakan. Riap rata-rata tahunan berjalan (MAI) sebagai perbandingan antara dimensi diameter tegakan dengan umur tegakan. Riap memberikan gambaran penambahan dimensi pohon tiap tahunnya pada saat umur tertentu. Persamaan regresi dalam menggambarkan MAI diameter berdasarkan persamaan y = a b x xc. Pola sebaran data dan grafik hasil regresi persamaan MAI diameter disajikan dalam Gambar 2. Persamaan regresi hubungan antara umur tegakan dan MAI yang terbentuk sebagai berikut y = 1.5811992 (0.9501509x ) (x0.2614666) (Hoerl Model) dengan nilai R 2 sebesar 83,6%. Persamaan regresi ini memberikan gambaran perkembangan riap tahunan berjalan sesuai dengan perkembangan umur tegakan. Pola grafik MAI pada tegakan tembesu memberikan gambaran pertumbuhan diameter relatif cepat pada awal-awal pertumbuhan sampai dengan umur lima tahun, kemudian pertumbuhan diameter pohon cenderung mengalami penurunan dengan bertambahnya umur tegakan. Pertumbuhan diameter menunjukkan tegakan umur lima tahun memiliki
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
207
pertumbuhan tertinggi. Trend atau pola pertumbuhan diameter tegakan tembesu dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan tegakan dalam rangka memperoleh pertumbuhan optimal. Salah satu manfaat dari pola pertumbuhan ini dapat digunakan dalam memberikan perlakukan silvikultur tegakan tembesu yaitu dengan memberikan perlakukan pemupukan atau perlakukan lain yang akan mempercepat pertumbuhan tegakan terutama pada tegakan berumur muda atau tegakan yang memiliki kecenderungan pertumbuhan cepat. S = 0.13264676 r = 0.83603349
0 2. 2 0 2. 0
MAI Dbh (cm/Thn)
0 1. 8 0 1. 6 0 1. 4 0 1. 2 0 1. 0 0 0. 8 0 0. 6 0 0. 4 0 0. 2 0 0. 0
1.0
3.0
5.0
7.0
9.0
11.0
13.0
15.0
17.0
19.0
Umur (Thn)
Gambar 2. Riap tahunan berjalan (MAI) diameter jenis tembesu pola campuran
PERTUMBUHAN TINGGI TEMBESU Tinggi tegakan merupakan parameter yang sering digunakan dalam perhitungan potensi tegakan karena tinggi pohon akan mempengaruhi volume suatu pohon. Tinggi juga sering digunakan sebagai parameter untuk mengetahui kesuburan atau kelas bonita suatu lahan atau yang umum digunakan peninggi. Dalam penelitian growth and yield jenis tembesu pada awal penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran perubahan tinggi berdasarkan umur tegakan. Persamaan dibangun berdasarkan persamaan regresi logaritmik antara umur tegakan dan tinggi rata-rata tegakan. Persamaan yang tersusun merupakan persamaan sementara yang perlu terus diperbaiki berdasarkan pengukuran berulang tegakan tembesu. Analisis regresi dilakukan pada tegakan yang informasi umurnya diperoleh dari masyarakat yang membudidayakan. Umur tegakan ditentukan menggunakan pendekatan umur karet dengan asumsi saat dilakukan pembukaan lahan untuk membangun kebun karet, pohon tembesu telah ada dan dipelihara dengan umur sekitar satu tahun lebih tua dari tegakan karet. Pola sebaran antara umur dan tinggi tegakan digambarkan pada Gambar 3. Berdasarkan analisi data hubungan antara umur tegakan dengan tinggi tegakan dibangun persamaan logaritmik y= 7.178 ln(x) -1.8829 dengan nilai R2 sebesar 97.41%. Besarnya nilai R2 ini memberikan gambaran keragaman tinggi pohon yang diterangkan oleh variabel umur tegakan sebesar 97.41% sedangkan 2.59% dipengaruhi oleh varibel lain. Berdasarkan informasi ini terdapat hubungan yang erat antara umur tegakan dengan tinggi tegakan.
208
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
y = 7.178Ln(x) - 1.8829 R2 = 0.9741 25.00
Tinggi (m)
20.00
T Total
15.00
Log. (T Total) 10.00
5.00
0.00 0
5
10
15
20
Um ur (Thn)
Gambar 3. Perkembangan tinggi tegakan tembesu berdasarkan umur tegakan Riap MAI tinggi berguna untuk memberikan gambaran pertambahan tinggi tembesu yang dikembangkan dengan pola campuran. Perkembangan riap MAI tinggi tembesu digambarkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Riap tahunan berjalan (MAI) tinggi jenis tembesu pola campuran Persamaan regresi hubungan antara umur tegakan dan MAI tinggi yang terbentuk sebagai berikut y = 2.0315556 (0.9516784 x ) ( x0.0785038 ) (Hoerl Model) dengan nilai R2 sebesar 95%. Berdasarkan gambar di atas riap tinggi tegakan tembesu yang dikembangkan dengan pola campuran dengan karet memberikan gambaran pada umur muda riap tinggi lebih cepat dan terus mengalami penurunan dengan bertambahnya umur pohon. Perkembangan MAI tinggi tegakan tembesu dibangun berdasarkan persamaan Y= abxXc (Model Hoerl) dimana Y merupakan MAI tinggi tembesu, X adalah umur tegakan dan a, b dan c merupakan nilai koefisien regresi. Pola grafik dari persamaan yang terbentuk memberikan gambaran pertumbuhan tinggi mencapai optimal sampai dengan umur dua tahun. S = 0.11539668 r = 0. 95011212
MAI Tinggi (m/thn)
2 .05 1 .90 1 .75 1 .60 1 .45 1 .30 1 .15 1 .00 0.5
3.0
5.5
8.0
10.5
13.0
15.5
18.0
20.5
Umur
Gambar 5. Tegakan tembesu umur 2 tahun pola campuran dengan karet
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
209
Gambar 6. Tegakan tembesu umur 6 tahun pola campuran dengan karet
KESIMPULAN Pembangunan hutan campuran antara tembesu dan karet merupakan solusi untuk pemenuhan kebutuhan kayu yang terus meningkat. Pola ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat yang ada di Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Pengembangan sistem ini dapat memberikan hasil ganda bagi masyarakat baik berupa getah karet, kayu tembesu dan kayu karet itu sendiri. Hasil pengukuran terhadap dimensi tegakan tembesu memberikan informasi pertumbuhan tembesu meliputi persamaan pertumbuhan diameter Y=9.6142 Ln(x)-4.8432 dengan nilai R2 96.33% dan persamaan pertumbuhan tinggi y= 7.178 ln(x)-1.8829 serta nilai R2 97.41%. Dari hasil analisis riap MAI diameter dapat memberikan gambaran pertumbuhan optimal tegakan tembesu yang dapat tercapai sampai dengan umur 5 tahun, sehingga sampai dengan umur tersebut perlakukan silvikultur dapat diterapkan secara maksimal untuk mengoptimalkan pertumbuhan diameter tembesu.
DAFTAR PUSTAKA Martawijaya, A., I. Kartasujaya., YI. Mandang, S. A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indoneisa Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor, Indonesia. Prodan M. 1968. Forest Biometrics. Gardiner SH, penerjemah. Oxford: Pergamon Press. Terjemahan dari: Forstliche Biometrie. Suryanto P., W.B. Aryono Dan M.Sambas Sabarnurdin. 2006. Model Bera Dalam Sistem Agroforestri. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 2 : 15-26. Widianto, N. Wijayanto dan D. Suprayogo. 2003. Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor.Indonesia Winarno, B. dan E.A. Waluyo. 2007. Potensi Pengembangan Hutan Rakyat dengan Jenis Tanaman Lokal. Di dalam: Hendromono, Illa A, KM Sallata, editor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian: Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Revitalisasi Kehutanan. Pkln. Balai: 21 Agt 2007. Bogor: P3HT. hlm 28-34.
210
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
KONSERVASI IN-SITU JELUTUNG DARAT (Dyera costulata Hook f.) PADA KAWASAN PUSAT LATIHAN GAJAH (PLG) SEBLAT Hengki Siahaan1
ABSTRAK Jelutung darat (Dyera costulata Hook f.) saat ini merupakan salah satu jenis langka. Upaya penanaman di luar habitatnya sebagai bentuk konservasi ex-situ umumnya mengalami kegagalan. Keberadaan Kawasan Konservasi PLG Seblat yang selama ini hanya digunakan sebagai areal konservasi gajah ternyata mempunyai potensi yang besar sebagai areal konservasi in-situ jelutung darat karena kawasan ini merupakan areal sebaran alami jelutung darat. Potensi ini juga didukung oleh tingkat keamanan kawasan dari berbagai gangguan seperti perambahan dan kebakaran hutan yang relatif terjaga. Kata kunci: jelutung darat, konservasi, PLG seblat
I. PENDAHULUAN Pohon jelutung (Dyera spp.) merupakan jenis pohon yang termasuk dalam suku (famili) Apocynaceae, yang terdiri dari dua jenis yaitu Dyera lowii Hook dan D. costulata Hook. (Martawijaya dkk., 1981). Dyera lowii adalah jenis jelutung yang tumbuh di rawa (swamp jelutong) sedangkan D. costulata merupakan jenis jelutung yang hidup di darat (hill jelutong) (Coppen, 1995). Perbedaan kedua jenis jelutung ini antara lain adalah ukuran pohonnya setelah dewasa, warna dan ketebalan daunnya, serta ukuran buah. Pohon jelutung darat dewasa mempunyai tinggi dan diameter yang lebih besar, yaitu dapat mencapai tinggi 45 meter dan diameter hingga 200 cm sedangkan jelutung rawa biasanya hanya mencapai tinggi 30 meter dan diameter hingga 100 cm. Demikian pula ukuran buah, jelutung darat mempunyai buah dengan ukuran yang lebih besar, yaitu dengan diameter 3-4 cm, sedangkan buah jelutung rawa hanya mencapai 2-2,5 cm. Di samping perbedaan tersebut, terdapat juga perbedaan masa reproduksi antara kedua jenis. Jelutung rawa telah mulai memasuki periode reproduksi pada umur 5 tahun, sementara jelutung darat diperkirakan setelah berumur lebih dari 30 tahun. Hal ini mengakibatkan ketersediaan benih untuk budidaya jelutung darat sangat terbatas. Di samping umur reproduksi yang lama, keterbatasan persediaan benih jelutung darat juga disebabkan semakin habisnya pohon induk yang dapat menghasilkan buah. Kedua jenis jelutung ini terdapat di Sumatera Bagian Selatan, tetapi jelutung darat telah mengalami penurunan potensi yang jauh lebih besar. Jelutung darat tergolong jenis pohon yang ideal, batangnya tinggi, lurus, slindris, serta mempunyai bebas cabang yang tinggi. Kondisi inilah yang mengakibatkan terjadinya over eksploitasi terhadap jenis ini. Saat ini tegakan jelutung darat hanya dapat dijumpai 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
211
pada daerah-daerah konservasi seperti Taman Nasional, Kebun Raya, dan Taman Hutan Rakyat (Tahura). Di Sumatera Bagian Selatan, jelutung darat dapat dijumpai pada daerah-daerah konservasi, antara lain pada Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Tahura Senami dan Kebun Raya Bukit Sari di Provinsi Jambi, serta pada Kawasan Pusat Latihan Gajah Seblat di Provinsi Bengkulu. Di antara berbagai lokasi sebaran tersebut, kawasan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat merupakan kawasan yang masih mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi tegakan jelutung darat.
II. KONDISI IKLIM DAN TANAH PADA KAWASAN PLG SEBLAT Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat secara administrasi pemerintahan meliputi dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Bengkulu Utara dan Mukomuko dengan luas areal mencapai 6.865 Ha. Kawasan ini merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Fungsi Khusus PLG berdasarkan SK Menhut No. 658/Kpts-II/1995 tanggal 8 Desember 1995 dan pengelolaannya diserahkan pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bengkulu. Sebelum ditetapkan sebagai HPT fungsi khusus PLG, kawasan ini merupakan kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi. Sejak tahun 1974 kawasan ini dikelola oleh HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dengan Keputusan Menteri kehutanan No. 422/Kpts/Um/8/1974, dan kawasan PLG sekarang merupakan blok tebangan tahun 1989/1990. Namun demikian pada kawasan ini, selain jenis jelutung, masih dijumpai jenis pohon lain seperti pulai (Alstonia sp), kayu gadis (Cinnamomum porectum), kempas (Melaleuca leucadendron), jabon (Anthochepalus cadamba), laban (Vitex pubescen), sungkai (Peronema canescen), dan meranti (Shorea sp) (Sub BKSDA, 1999). Kondisi Iklim Data iklim diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Pulau Baai. Data 30 tahunan (1971-2000) menunjukkan bahwa Curah hujan tahunan rata-rata untuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dan Mukomuko adalah 3319 mm/thn dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Nopember dengan rata-rata sebesar 345 mm dan terendah pada bulan Juni sebesar 205 mm. Suhu rata-rata tahunan adalah sebesar 26,4oC dengan suhu minimum rata-rata 23,7oC dan suhu maksimum rata-rata 30,7oC (Tabel 1). Berdasarkan klasifikasi iklim Smidth-Fergusson, wilayah ini termasuk pada tipe iklim A, sedangkan berdasarkan tipe agroklimat termasuk pada tipe agroklimat B1 (meliputi wilayah Ipuh, Air Muring, dan Mukomuko Utara). Tabel 1. Data karakteristik tegakan dan kondisi tempat tumbuh sebaran alami jelutung di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu Kriteria 1 1. Drainase (w) 2. Retensi Hara (a)
3. Toksisitas (t) 212
Karakteristik Tapak
Nilai
2 - Kondisi Drainase - KTK sub soil (me/100 g) - pH permukaan - Kejenuhan Al (%) - Salinitas sub soil
3 Baik 11,96 4,60 1,17 -
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
1 4. Media Perakaran (s)
5. Kedalaman Tanah 6. Ketersediaan Air
7. Erosi (e) 8. Hara Tersedia (n)
9. Kemudahan Pengolahan (p)
2 - Tekstur (pasir : debu : liat) - Lereng (%) - Batuan Permukaan (%) - Batuan Singkapan (%) - Kedalaman Efektif (cm) -Bulan Kering (CH < 100 mm) - Curah Hujan Tahunan (mm) -Suhu tahunan rata-rata - Bahaya Banjir - Tingkat Bahaya Erosi - N-total (%) - P-tersedia (ppm) - K-tersedia (me/100 g) - Tekstur - Struktur
3 55,16 : 21,85 : 22,99 Datar hingga curam 0 0 115 2 bulan 3319 26,4oC Tidak ada Sedang 0,27 9,15 0,19 Pasir berlempung Gumpal bersudut
Kondisi Tempat Tumbuh Berdasarkan peta ikhtisar geologi Sumatera Bagian Selatan skala 1:1.000.000 (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1970), geologi kawasan HPT Fungsi khusus PLG Seblat tersusun dari batuan Druit dan Liparit. Sedangkan berdasarkan Peta Tanah Eksploitas Sumatera Bagian Selatan skala 1:1.000.000 yang dibuat oleh Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan, 1964 dan disempurnakan oleh Sub Direktorat Tata Guna Tanah Bengkulu tahun 1975, wilayah HPT fungsi khusus PLG ini memiliki jenis tanah Podsolik dan Latosol.
III. POTENSI PLG SEBLAT SEBAGAI AREAL KONSERVASI IN-SITU JELUTUNG DARAT Potensi Tegakan Konservasi in-situ merupakan konservasi jenis pada habitat alaminya. Kawasan PLG Seblat, oleh pengelolanya (BKSDA Bengkulu) hanya difokuskan sebagai areal konservasi dan pelatihan gajah padahal pada kawasan ini terdapat berbagai jenis tumbuhan yang langka, salah satunya adalah jelutung darat (Gambar 1). Kawasan PLG Gajah Seblat merupakan wilayah sebaran alami jelutung darat dengan potensi yang cukup besar, sehingga kawasan ini dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi in-situ dan sekaligus dapat berfungsi sebagai lokasi sumber benih. Regenerasi tegakan secara alami dapat berlangsung dengan baik yang dapat diketahui dengan dijumpainya tegakan yang berbuah dan berbunga (Gambar 1) serta dijumpainya anakan di sekitar beberapa tegakan yang berdiameter besar (> 60 cm). Kondisi tegakan jelutung darat yang dijumpai di kawasan ini cukup baik dengan batang tinggi lurus dan kondisi tajuk yang cukup baik. Hasil pengukuran terhadap beberapa karakteristik tegakan dari 61 pohon yang dijumpai di lapangan disajikan pada Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat bahwa potensi jelutung darat di areal PLG Seblat masih tinggi. Di samping terdapat pohon-pohon yang berdiameter lebih dari 60 cm sebagai sumber benih untuk permudaan alami, juga terdapat tegakan-tegakan muda yang dapat menggantikan posisi pohon dewasa tersebut.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
213
Gambar 1. Kondisi tegakan jelutung darat di HPT Fungsi Khusus Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat Tabel 2. Sebaran kelas diameter dan karakteristik tegakan jelutung di Kawasan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat
No.
Kelas diameter (cm)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
10-19,9 20-29,9 30-39,9 40-49,9 50-59,9 > 60
Jumlah individu
Diameter rata-rata (cm)
Tinggi total rata-rata (m)
Tinggi bebas cabang (m)
8 14 10 8 11 10
15,8 24,5 35,0 45,5 53,8 71,7
17,9 21,4 24,1 24,3 28,1 34,4
11,8 14,4 18,4 19,5 18,5 24,5
Diameter tajuk rata-rata (cm) 3,5 5,3 7,1 5,1 9,2 13,6
Potensi Gangguan Gangguan merupakan ancaman terhadap keberadaan suatu jenis yang tumbuh pada suatu kawasan. Kawasan konservasi in-situ harus bebas dari gangguan, terutama dari aktivitas manusia. Potensi gangguan terhadap kawasan PLG Seblat dari perambahan dan kebakaran hutan relatif rendah karena adanya pengamanan yang intensif yang dilakukan oleh pengelola kawasan (BKSDA Bengkulu). Salah satu gangguan yang terjadi pada tegakan jelutung di kawasan ini adalah adanya serangan hama babi dan tapir yang memakan kulit batang dari pangkal batang hingga pada ketinggian 122 cm dari permukaan tanah, tetapi jelutung darat mempunyai tingkat pemulihan yang baik, sehingga gangguan tersebut tidak sampai mengganggu pertumbuhan pohon ataupun mengakibatkan kematian (Gambar 1). Kegiatan perlindungan terhadap serangan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas tegakan tersebut.
IV. PENUTUP Konservasi ex-situ jelutung darat (Dyera costulata Hook f.) melalui kegiatan penanaman di luar habitat alaminya umumnya mengalami kegagalan. Berdasarkan 214
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
fakta tersebut dan berbagai kegiatan penelitian yang dilakukan, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan jenis ini ancaman kepunahan adalah dengan melakukan konservasi pada habitat alaminya. Saat ini jelutung darat hanya dapat dijumpai pada kawasan-kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat (Tahura), Kebun Raya, dan pada areal konservasi satwa seperti Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat. Diantara berbagai lokasi sebaran tersebut, kawasan (PLG) Seblat merupakan kawasan yang masih mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi tegakan jelutung darat. Pada kawasan ini masih terdapat pohon-pohon yang berdiameter lebih dari 60 cm yang dapat berfungsi sebagai sumber benih untuk permudaan alami dan juga terdapat tegakan-tegakan muda yang dapat menggantikan posisi pohon dewasa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Coppen, J.J.W. 1995. Non Wood Forest Product 6. Gum, Resins and Latexes of Plant Origin. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan. 1964. Peta Tanah Eksploitas Sumatera Bagian Selatan. Bogor. Lembaga Penelitian Tanah, 1970. Peta Iktisar Geologi Sumatera Bagian Selatan. Bogor. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Sub BKSDA, 1999. Buku Informasi Kawasan Konservasi Provinsi Bengkulu. Sub BKSDA Bengkulu. Bengkulu.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
215
216
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
ROTAN JERNANG: TANAMAN UNGGULAN DALAM AGROFORESTRI Agung Wahyu Nugroho1
ABSTRAK Rotan jernang merupakan tanaman lokal yang mempunyai manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang tinggi. Di sisi lain, permintaan jernang yang tinggi tidak diimbangi dengan upaya pembudidayaannya. Informasi tentang karakter habitat dan pola penanaman untuk pembudidayaan rotan jernang menjadi penting untuk diketahui. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran secara singkat tentang kondisi habitat dan teknik penanaman dalam pembudidayaan rotan jernang. Dari hasil analisis tanah terhadap lokasi sebaran rotan jernang (alam dan budidaya), didapatkan data bahwa rotan jernang adalah jenis tanaman yang dapat tumbuh pada tanah bertekstur geluh lempung pasiran dan kesuburan tanah yang relatif rendah dengan kandungan C organik, N, C/N, P, KTK, K, Ca, Mg, Na, Kejenuhan Basa, Kejenuhan Al yang rendah dan kemasaman yang tinggi. Penanaman rotan jernang dapat dilakukan dengan sistem agroforestri dengan tanaman perkebunan dan kehutanan (karet, gaharu). Kata kunci: agroforestri, rotan jernang, tanaman lokal
I. PENDAHULUAN Keberadaan kawasan hutan yang semakin berkurang dan digantikan dengan perkebunan kelapa sawit, karet, dan HTI menyebabkan semakin sulitnya mendapatkan jenis-jenis tanaman lokal yang mempunyai manfaat tinggi. Jenis-jenis tersebut menjadi sulit didapat dan bahkan hilang sebelum dikenal luas oleh masyarakat. Salah satu jenis yang sekarang diburu oleh banyak orang baik di dalam negeri maupun luar negeri adalah rotan penghasil jernang yang menghasilkan getah jernang. Jernang (dragon’s blood) merupakan getah termahal (saat ini berharga antara Rp 500.000,-Rp. 800.000,- per kg) yang dihasilkan dari kulit buah rotan penghasil jernang seperti Daemonorops draco dan Daemonorops didymophylla. Kondisi aktual mengindikasikan bahwa permintaan ekspor jernang terus meningkat. Pada tahun 2006, China membutuhkan 400 ton jernang tiap tahunnya dan Indonesia baru mampu memasok sekitar 27 ton pertahun (Pasaribu, 2005). Selain itu, jernang sangat dibutuhkan bagi pengembangan pengobatan modern dan sebagai bahan pewarna berkualitas tinggi. Sebagai bahan ramuan obat-obatan, jernang digunakan untuk mengurangi rasa sakit, menyembuhkan luka, dan menghentikan pendarahan. Senyawa aktif drakorhodin yang terdapat dalam jernang, mengandung kation basa flavilium. Dalam suasana asam (saat muncul luka dalam tubuh), kation itu menjadi sangat reaktif dan mengunci zat oksidan yang masuk lewat jaringan terbuka atau peredaran darah (Anonim, 2011). 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
217
Dengan nilai guna yang tinggi tersebut, menjadikan jernang sebagai salah satu produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mempunyai prospek cukup menjanjikan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan di masa sekarang dan akan datang. Jernang merupakan salah satu produk NTFPs (non-timber forest products) bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai peluang untuk dikembangkan di sekitar kawasan hutan (Purwanto dkk., 2005). Meskipun demikian, ada beberapa hal yang patut mendapat perhatian yaitu potensi produksi resin jernang yang semakin menurun dan menjadi langka disebabkan oleh pola produksi yang tidak lestari seperti pengambilan buah rotan dengan cara ditebang, ekspansi lahan untuk perkebunan, kebakaran hutan, terbatasnya pengetahuan tentang teknik budidaya, meningkatnya kebutuhan lahan untuk berladang dan illegal logging. Tulisan ini memberi gambaran secara singkat tentang kondisi habitat dan pembudidayaan rotan jernang. Diharapkan masyarakat khususnya sekitar hutan dapat melestarikan rotan jernang dan dimanfaatkan sebagai tanaman agroforestri untuk meningkatkan pendapatannya.
II. SEBARAN DAN KARAKTER HABITAT ROTAN JERNANG Jernang adalah resin yang menempel dan menutupi bagian luar buah rotan penghasil jernang (Daemonorops sp.) dimana untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi buah. Jenis rotan yang dapat menghasilkan jernang berjumlah 12 jenis yaitu: Daemonorops acehensis, D. brachystachys,, D. didymophylla, D. draco, D. dracuncula, D. dransfieldii, D. maculate, D. micracantha, D. rubra, D. siberutensis, D. uschdraweitiana dan D. sekundurensis. Sedangkan kandungan senyawa kimia dari jernang adalah 5,7-Dihydroxy-6-methylflavan, 7-hydroxy-5-methoxyflavan, Dracoflavan A, 5,5’,7,7’-Tetrahydroxy-4,8’-biflavan, Dracoflavan B1, Dracoflavan B2, Dracoflavan C, Dracoflavan C1, Dracoflavan C2, Dracoflavan D1, Dracoflavan D2, Dracooxepine, Dracorubin, Nordracorubin, 12-Ursene-3,38-diol (Purwanto dkk., 2005). Hasil survey terhadap sebaran alami maupun budidaya menunjukkan rotan jernang tersebar di Kabupaten Bungo (Sei Telang, Sungai Batu Asah), Merangin (Pulau Aro), Sarolangun (Lamban Sigatal, Sepintun, Lubuk Napal), kawasan Taman Nasional Bukit 12 (Sungai Bernai, Pematang Kabau) dan Linggau (Sungai Nilau). Dari lokasi sebaran yang ditemukan, rotan jernang tumbuh secara merumpun atau berkelompok. Dari wawancara, populasi rotan jernang yang masih agak banyak berada di daerah Hutan Kapas (Nawai, Parkat, Bintialo, Sako Suban) yaitu daerah perbatasan antara Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi (Nugroho dkk., 2010). Rotan jernang seperti halnya tanaman tahunan mempunyai satu kali musim berbuah dalam satu tahun. Namun demikian, pemanenan buah jernang dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun. Pemanenan pertama disebut juga dengan panen buah pertama atau panen raya dan biasanya dilakukan sekitar bulan Agustus tiap tahun. Pemanenan kedua disebut juga panen selang, biasanya dilakukan pada bulan Desember setiap tahun (Elwamendri dkk., 2008). Rotan jernang di daerah sungai Kapas, umumnya berbuah sepanjang tahun, tapi ada musim panen raya (Juli dan Desember) dan panen selang (selain bulan Juli dan Desember). Rotan termasuk jenis tanaman penyusun tumbuhan tropika sehingga tidak begitu menuntut persyaratan tempat tumbuh yang khusus. Rotan yang mendapat sinar matahari cukup dapat mencapai pertumbuhan lebih dari 5 m/tahun, sedang yang
218
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
tidak mendapat sinar matahari cukup, tingkat pertumbuhan batangnya hanya berkisar antara 1-1,5 m/tahun (Januminro, 2000). Pengamatan dan pengukuran terhadap karakteristik habitat rotan jernang menunjukkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan rotan jernang adalah intensitas cahaya berkisar 182-2.180 lux, suhu tanah berkisar 23,4-31,90 C, kelembaban tanah berkisar 55-62%, suhu udara berkisar 23-29,40 C, kelembaban udara berkisar 60-92%, dan ketinggian tempat antara 66-403 m dpl (Nugroho dkk., 2010). Sedang menurut Sumarna (2009), kondisi optimal untuk pengembangan penanaman rotan jernang pulut adalah suhu udara antara 22 0-20C, kelembaban sekitar 81%, intensitas cahaya matahari sekitar 56% dan dengan dukungan curah hujan 1.450-2.000 mm per tahun. Rotan jernang kurang cocok ditanam di daerah dengan curah hujan di atas 2.000 mm per tahun karena dapat menghambat pembungaan. Tanaman ini hanya membutuhkan curah hujan 1.0001.500 mm per tahun (Sumarna, 2011). Dari hasil analisis tanah, didapatkan data bahwa rotan jernang adalah jenis tanaman yang dapat tumbuh baik pada tanah bertekstur geluh lempung pasiran dan kesuburan tanah yang relatif rendah dengan kandungan C organik, N, C/N, P, KTK, K, Ca, Mg, Na, Kejenuhan Basa, Kejenuhan Al yang rendah dan kemasaman yang tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Rekapitulasi sifat tanah rotan jernang (Nugroho dkk., 2010) Kedalaman Kedalaman Kedalaman Harkat* Harkat* (0-20) cm (20-40) cm (40-60) cm 1 C-organik (%) 0,91 – 2,09 R-S 0,49 – 1,32 R 0,21 – 0,42 2 N-total (%) 0,08 – 0,14 SR - R 0,01 – 0,12 SR - R 0,03 – 0,04 3 C/N Rasio 9,09 – 11,38 R-S 9,63 – 70 R-S 7 – 10,5 4 P-Bray I (ppm) 1,5 – 12,45 SR - R 1,2 – 7,5 SR 1,35 – 3,75 5 KTK (me/100 gr) 11,05 – 19,58 R - S 14,05 – 17,4 R -S 14,23 – 19,23 6 K-dd (me/100 gr) 0,12 – 0,24 SR - R 0,12 – 0,24 SR - R 0,06 – 0,12 7 Ca (me/100 gr) 0,35 – 1,88 SR 0,28 – 1,9 SR 0,28 – 2,2 8 Mg (me/100 gr) 0,18 – 2,1 SR - T 0,07 – 2,2 SR - T 0,27 – 2,5 9 Na (me/100 gr) 0,32 – 0,54 R-S 0,33 – 0,65 R - S 0,32 – 0,54 10 Kejenuhan basa (%) 0,09 – 0,24 SR 0,08 – 0,27 SR 0,09 – 0,28 11 Kejenuhan Al (%) 0,02 – 0,22 SR 0,02 – 0,19 SR 0,01 – 0,17 12 pH H2O 3,24 – 4,76 SM - M 3,46 – 4,84 SM - M 3,75 – 4,81 13 Kelas tekstur (pasir: 36,11-72,21: geluh 29,92-67,59: geluh** 31,79-61,35: debu:liat) 12,47-43,62: lempung 16,52-43,73: 14,61-43,97: 9,29-34,22 pasiran** 15,53-41,18 22,02-34,15 Keterangan: SR = sangat rendah, R = rendah, S = sedang, T = tinggi, SM = sangat masam, M = masam * = sumber: Pusat Penelitian Tanah (1983) ** = sumber: Segi tiga kelas tekstur tanah menurut USDA-Jenny (1980) No.
Sifat tanah
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Harkat* R SR R SR R-S SR - R SR - R SR - T R-S SR SR SM - M geluh**
219
a)
b)
Gambar 1. Kondisi habitat rotan jernang di a) Sungai Telang, b) Bukit Dua Belas
III. POLA TANAM AGROFORESTRI Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya (Huxley, 1999). Sehingga tujuan agroforestri dapat mencakup pemaksimalan penggunaan energi matahari, mengoptimalkan efisiensi penggunaan tanah dan air, meminimalkan hilangnya unsur hara dari dalam sistem dan meminimalkan run-off dan erosi. Rotan jernang merupakan tanaman lokal yang sudah dikenal lama oleh masyarakat terutama Jambi, dan saat ini merupakan tanaman bernilai ekonomi tinggi sehingga dapat diproyeksikan sebagai tanaman unggulan lokal. Tanaman unggulan lokal merupakan tanaman kehutanan (kayu-kayuan) jenis asli daerah tertentu yang mempunyai nilai perdagangan tinggi (Permenhut, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) memberikan informasi bahwa pada tahun 2010, potensi jernang di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi sebesar 226,66 ton/tahun tersebar di Kecamatan Air Hitam sebesar 96,51 ton/tahun dan Kecamatan Pauh sebesar 130,16 ton/tahun. Dengan potensi tersebut, dapat memberi peluang kepada masyarakat untuk mengembangkannya secara luas sebagai sumber pendapatan. Keuntungan yang diperoleh dari budidaya rotan jernang lebih besar dibandingkan dengan hasil dari berkebun sawit atau karet. Estimasi keuntungan per tahun dari 1 ha kebun sawit adalah 13-17 juta rupiah dan 20-23 juta untuk 1 Ha karet. Sedangkan estimasi keuntungan yang diperoleh dari 1 ha Jernang per tahun adalah 3538 juta rupiah (Arifin, 2008). Selain manfaat ekonomi, pembudidayaan rotan jernang akan memberi manfaat ekologis dan sosial. Manfaat ekologis karena rotan jernang tergolong kelompok tumbuhan perdu yang tidak parasit terhadap pohon penegak, tapi hanya memanfaatkannya untuk mencapai kondisi mikroklimat yang ideal meliputi intensitas sinar matahari, aliran udara dan kelembaban relatif (Wijaya, 2010), sehingga dengan membudidayakan rotan jernang berarti menjaga kelestarian hutan (tegakan pohon). Selain itu, rotan jernang memiliki sistem perakaran serabut dengan akar yang bergerak vertical sangat sedikit dibanding dengan akar yang bergerak sejajar dengan permukaan tanah sehingga tidak mengganggu tanaman sekitarnya. Manfaat sosialnya, dengan 220
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
menanam rotan jernang berarti melestarikan peninggalan nenek moyang (Puyang) karena rotan jernang merupakan tumbuhan asli masyarakat Jambi (Arifin, 2008). Dari uraian di atas, mengindikasikan budidaya rotan jernang dapat dikategorikan dalam sistem agrisilvikultur dan sub sistem kebun rotan (Nair, 1993 dalam Sardjono dkk., 2003). Agrisilvikultur merupakan sistem agroforestri yang mengombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Teknologi penanaman rotan jernang yang dikombinasikan dengan tanaman keras (a.l. karet) merupakan konsep yang berdimensi ekologis dan ekonomis. Adapun manfaat dan kemudahan yang dapat diperoleh dari teknik penanaman semacam ini adalah (Arifin, 2008): 1. Petani dapat memperoleh dua keuntungan sekaligus yaitu dari hasil produksi getah karet dan hasil produksi resin jernang. 2. Tanaman jernang tidak membunuh batang karet seperti pada rotan manau karena jernang memiliki batang lebih yang kecil dan tumbuh dengan lurus tegak ke atas. 3. Tanaman jernang sangat sulit dan riskan pertumbuhannya sehingga membutuhkan pemeliharaan yang ekstra. Melalui teknik penanaman dengan karet, pertumbuhan tanaman jernang dapat diawasi pertumbuhannya secara intensif sambil melakukan kegiatan penyadapan. 4. Keberlanjutan. Tanaman jernang adalah jenis tanaman tua dimana usia satu batang jernang dapat berumur 25-30 tahun. Selain itu dalam satu rumpun jernang yang telah berusia 10 tahun ke atas telah memiliki anakan sekitar 10-15 batang dan ini terus berlanjut hingga pernah ditemukan dalam satu rumpun terdapat 30-40 batang. 5. Pembuatan kebun karet akan menjadi starting point dalam melestarikan tanaman jernang yang telah langka dan peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat. Rotan jernang dapat ditanam disela tanaman kehutanan atau perkebunan seperti karet dan gaharu. Mulai tahun 2005, di Desa Pulau Aro Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin Jambi, rotan jernang ditanam di sela pohon karet dan gaharu. Masyarakat Desa Sepintun dan Lamban Sigatal Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Jambi mulai menanam jernang pada tahun 2006 di kebun pada sela-sela tanaman karetnya. Pertumbuhan riap rotan per tahun dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dan genetik. Jenis rotan yang termasuk Daemonorops mempunyai riap pertumbuhan antara 21-94 cm per tahun (Sinaga, 1997). Rotan jernang berumur 5 tahun yang ditanam di sela tanaman karet menunjukkan performa pertumbuhan yang relatif baik yaitu dengan rata-rata diameter batang rotan (1,5 m dari pangkal) sebesar 2,65 cm, rata-rata panjang batang rotan (s.d. bebas pelepah) sebesar 6,15 m, jumlah batang rotan dalam satu rumpun antara 1-7, dan sudah mulai belajar berbuah dengan jumlah tandan dalam satu rumpun antara 0-13 tandan, jumlah buah per tandan antara 288545 buah, dan rata-rata jumlah buah per kg sebanyak 1.866 buah (Nugroho dkk., 2010).
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
221
Gambar 2. Teknologi penanaman rotan jernang dikombinasikan dengan karet (Foto: Agung, 2010)
IV. PENUTUP Selama ini, sebagian besar produk jernang dihasilkan dari hutan alam, masih sedikit yang dihasilkan dari usaha budidaya. Akibatnya akan timbul eksploitasi secara berlebihan yang mengancam kelestarian populasi rotan jernang di alam. Untuk mencegah hal tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan usaha pembudidayaannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan budidaya adalah mengetahui karakter habitat tumbuh dan teknik budidayanya (teknik penanaman). Dengan pembudidayaan rotan yang baik dan benar diharapkan akan menghasilkan produk jernang yang berkuantitas dan berkualitas tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. Panen jernang di pekarangan. Trubus 494 – Januari 2011. Arifin,
W., 2008. Jernang: tanaman konservasi bernilai tinggi.weinarifin.wordpress. com diakses tanggal 18 Juni 2011.
ekonomis
Elwamendri, F. Lambok, dan Hendryanto, 2008. Studi tata niaga jernang di Provinsi Jambi. Kerjasama antara Sumatra Sustainable Support dengan Yayasan Gita Buana Jambi. Huxley, P., 1999. Tropical agroforestri. Blackwell science. Januminro, C.F.M., 2000. Rotan Indonesia: potensi, budidaya, pemungutan, pengolahan, standar mutu, dan prospek pengusahaan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Nugroho, A.W., J. Muara, dan N. Adriani. 2010. Teknik budidaya jenis-jenis rotan penghasil jernang. Laporan hasil penelitian. Tidak dipublikasikan. Pasaribu, H., 2005. China Butuh 400 ton jernang rotan dari www.kapanlagi.com. Diakses tanggal 1 Desember 2010.
Indonesia.
Permenhut, 2004. Pedoman dan petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan. Permenhut Nomor P.03/MenhutV/2004.
222
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Purwanto, Y., R. Polosakan, S. Susiarti, dan E.B. Walujo, 2005. Ekstraktivisme jernang (Daemonorops spp.) dan kemungkinan pengembangannya: studi kasus di Jambi, Sumatra, Indonesia. Laporan Teknik. Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Puspitasari, L., 2011. Pemanenan dan pengolahan buah rotan jernang (Daemonorops draco) dalam upaya peningkatan produksi serta mutu jernang. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sardjono, M.A., T. Djogo, H.S. Arifin, dan N. Wijayanto, 2003. Klasifikasi dan pola kombinasi komponen agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Sinaga, M., 1997. Teknik budidaya rotan. Aisuli Vol. I No. 2. Sumarna, Y., 2009. Ekologi dan teknik perkecambahan dan pembibitan rotan jernang pulut (Daemonorops draco). Info hutan. Vol. VI No. 1 Hal 31-39. Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Konservasi Alam. Bogor. Sumarna, Y., 2011. Panen jernang di pekarangan. Hal: 138-139. Trubus 494-Januari 2011. Wijaya, A., 2010. Ini dia getah termahal. Hal: 126-127. Trubus 492-November 2010
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
223
224
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA KEMIRI (Aleurites mollucana Wild.) Agus Sofyan1
ABSTRAK Kemiri merupakan salah satu tanaman perkebunan yang sudah cukup lama dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil-hasil penelitian yang mendukung teknologi budidaya kemiri sudah cukup banyak dilakukan, namun demikian pengembangannya dalam skala besar belum cukup berkembang. Peningkatan produktivitas budidaya kemiri dapat dilakukan melalui penerapan teknologi (teknik silvikultur) yang tepat serta penggunaan benih atau bibit bermutu yang mempunyai keunggulan secara genetik. Perolehan benih unggul dapat dilakukan melalui kegiatan seleksi secara bertahap, seleksi pada tingkat pohon induk yaitu pohon-pohon yang mempunyai pertumbuhan serta produksi buah yang unggul serta seleksi lanjutan pada tingkat bibit yang berasal dari pohon-pohon induk hasil seleksi. Namun demikian untuk memperoleh jaminan mutu bibit secara genetik harus dibangun sumber-sumber benih kemiri melalui uji keturunan dalam bentuk kebun benih semai uji keturunan. Pembangunan sumber benih merupakan salah komponen yang sangat penting dalam upaya merealisasikan hutan tanaman kemiri yang produktif. Kata kunci: benih unggul, kemiri, produktivitas, sumber benih, teknologi
I. PENDAHULUAN Kemiri (Aleurites moluccana Willd.) merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang telah lama diusahakan sebagai usahatani di berbagai daerah di Indonesia. Tanaman kemiri mempunyai peran yang cukup penting sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat pada beberapa daerah di Indonesia seperti, Kabupaten Dairi di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Maros di Sulawesi Selatan. Menurut Simatupang (2001), usahatani kemiri merupakan sektor basis bagi perekonomian di wilayah Kecamatan Pinem, Kabupaten Dairi, yang memberikan dampak signifikan (nyata) terhadap perekonomian di wilayah tersebut. Sementara di Kabupaten Maros khususnya daerah pegunungan Bulusaraung, kemiri pernah menjadi sumber utama bagi pendapatan masyarakat terutama pada periode 1960-1980, sehingga ada ungkapan haji kemiri pada periode tersebut (Yusran, 2005). Tanaman kemiri menyebar dari sebelah timur Asia hingga Fiji di Kepulauan Pasifik. Di Indonesia kemiri tersebar luas di hampir seluruh wilayah Nusantara. Luasnya penyebaran kemiri terlihat dari keragaman nama daerahnya. Di Sumatera, kemiri disebut kereh, kemili, kembiri, tanoan, kemiling, atau buwa kare; di Jawa, disebut midi, pidekan, miri, kemiri, atau muncang (Sunda); sedangkan di Sulawesi disebut sapiri, 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
225
boyau, bontalo dudulaa atau saketa; di Maluku disebut sebagai kemiri, kemwiri, nena dan nyenga; di Nusa Tenggara disebut sebagai tenu dan di Papua disebut anoi (Martawijaya dkk., 1989). Tanaman kemiri berkembang di Indonesia di daerah-daerah seperti Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimanatan Timur, Bali, Lombok, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Bau-Bau dan sekitarnya. Walaupun tanaman kemiri sudah cukup lama dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia, namun sampai saat ini pengusahaannya hanya dilakukan oleh petani (kebun rakyat) dalam skala kecil. Pengembangan dalam skala besar belum cukup berkembang. Menurut Rosman dan Djauhariya (2005), hasil-hasil penelitian yang mendukung teknologi budidaya kemiri sudah cukup banyak dilakukan, namun demikian hingga saat ini kemiri belum banyak dibudidayakan sebagai hutan tanaman berskala besar. Data menurut Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, Direktorat Jenderal Perkebunan (2008), luas pertanaman kemiri pada tahun 1991 tercatat sebesar 130.122 ha, yang terdiri dari 130.018 berupa perkebunan rakyat dan 184 ha perkebunan swasta, sementara pada tahun 2000 luas areal pertanaman kemiri meningkat menjadi 205.532 ha dengan 205.435 ha perkebunan rakyat dan 97 ha perkebunan swasta. Produksi kemiri pada tahun 2000 mencapai 74.319 ton, dimana 679 ton di antaranya di eskpor dengan nilai US$ 483.000. Beberapa negara tujuan ekspor kemiri antara lain Singapura, Belanda, Saudi Arabia dan Malaysia. Namun menurut Rosman dan Djauhariya (2005) sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 Indonesia tidak lagi mengekspor kemiri, bahkan menjadi negara pengimpor. Rata-rata impor kemiri setiap tahunnya sebanyak 11 ton dengan nilai US $ 21.000. Pemanfaatan kemiri secara umum masih sebagai pelengkap bumbu dapur. Namun demikian saat ini pemanfaatan kemiri sudah mulai berkembang dan telah digunakan sebagai salah satu bahan baku industri dalam pembuatan cat, pernis, tinta, sabun, pengawet kayu, minyak rambut, bahan campuran batik bahkan dimungkinkan sebagai bahan pulp (Koji, 2002 dan Heyne, 1987). Selain untuk keperluan industri sebagaimana tersebut di atas, kemiri juga dapat dimanfaatkan sebagai obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit kulit, obat pinggang, sakit kepala, demam, bisul, disentri dan sariawan (Hadad dan Suryana, 1995 dalam Rosman dan Djauhariya, 2005)). Di Indonesia, tanaman kemiri mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas. Beberapa daerah yang mempunyai pertanaman cukup luas per tahun 2004 menurut Rosman dan Djauhariya (2005), antara lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur (81,297 ha), Sulawesi Selatan (56.858 ha), Nangroe Aceh Darussalam (22.944 ha) dan Sumatera Utara (17.646 ha). Sementara di Sumatera Selatan, luas pertanaman kemiri masih relatif sedikit yaitu hanya seluas 1.784 ha. Melihat peluang wilayah penyebaran dan pengembangannya yang sangat luas serta peranannya yang cukup penting sebagai salah satu sumber pendapatan serta perekonomian masyarakat pada beberapa daerah di Indonesia, maka pengembangan tanaman kemiri mempunyai prospek serta peluang yang sangat besar, baik untuk pemenuhan kebutuhan lokal maupun sebagai komoditas ekspor. Dalam rangka mendorong dan mendukung upaya pengembangan kemiri dalam skala yang lebih luas dan berskala besar, tentunya perlu dukungan berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholder) untuk merealisasikannya, terutama peran pemerintah sebagai pemegang dan penentu kebijakan.
226
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
II. TEKNOLOGI BUDIDAYA Status riset budidaya kemiri telah cukup maju. Penelitian-penelitian terkait teknik pemecahan dormansi benih, pembibitan serta teknologi budidayanya sudah cukup banyak dilaporkan. 1.1. Tempat dan Persyaratan Tumbuh
Tanaman kemiri dapat tumbuh dan berproduksi baik pada ketinggian 0-800 m dpl, namun demikian di beberapa tempat, kemiri dapat tumbuh juga pada ketinggian 1.200 m dpl. Pada beberapa lokasi di daerah Sumatera Barat tanaman kemiri tumbuh baik pada ketinggian sampai 500 m dpl. Kemiri tumbuh baik pada tanah berkapur, tanah-tanah berpasir, namun dapat tumbuh pula pada tanah-tanah podsolik yang kurang subur, andosol serta pada tanah latosol dengan drainase baik (Anonimous 1986 dalam Rosman dan Djauhariya, 2005). Kemiri tumbuh pada lahan datar, bergelombang dan bertebing-tebing curam. Ditinjau dari kondisi iklimnya, tanaman kemiri dapat tumbuh di daerah-daerah yang beriklim kering dan basah. Tanaman kemiri dapat tumbuh di daerah dengan jumlah curah hujan 1.500-2.500 mm per tahun dan suhu 20o-27oC. Tanaman kemiri membutuhkan periode bulan kering guna mendukung proses fenology (pembungaan dan pembuahan) yang maksimal. Pada daerah curah hujan 1000-4000 mm/tahun dengan 2-3 bulan kering pada ketinggian 300-600 m dpl, kemiri dapat tumbuh dengan baik. Sementara pada daerah agak kering dengan suhu 20-27oC dengan curah hujan 10002500 dan 4-5 bulan kering, tanaman kemiri dapat tumbuh secara baik. Jumlah curah hujan yang terlalu tinggi dapat berpengaruh terhadap pembungaan dan pembuahan. 1.2. Pembibitan
Kemiri mempunyai biji yang berkulit tebal dan keras, karenanya upaya mempercepat proses perkecambahan merupakan hal yang sangat penting dalam pembuatan bibit. Sebelum penyemaian, terhadap benih kemiri perlu dilakukan perlakuan pendahuluan (skarifikasi). Beberapa perlakuan pendahuluan yang dapat dilakukan dalam mematahkan masa dormansi benih kemiri, antara lain adalah sebagai berikut: a. Pembakaran Dalam penerapan perlakuan pembakaran, benih disemai dalam bedengan, kemudian ditutup dengan mulsa jerami atau alang-alang kering dengan ketebalan 3-10 cm secara merata, kemudian dilakukan pembakaran mulsa pada salah satu ujung bedengan hingga seluruh mulsa terbakar dan sesegera mungkin disiram dengan air dingin sesaat setelah selesai pembakaran dengan menggunakan embrat. Penyiraman akan mengakibatkan benih menjadi retak-retak. Umumnya benih akan berkecambah pada 15-20 hari setelah penyemaian, sementara benih-benih yang tidak diberi perlakuan umumnya akan berkecambah setelah 38-150 disemai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika benihnya bermutu baik, dengan perlakuan pembakaran tersebut, persentase berkecambah dapat mencapai rata-rata sebesar + 85%, sebagaimana yang dilaporkan Rosman dan Djauhariya (2005). b. Perendaman dalam larutan kimia Selain perlakuan pembakaran, upaya mematahkan dormansi kulit benih kemiri dapat pula dilakukan dengan perlakuan perendaman dalam larutan kimia yaitu Asam
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
227
Sulfat (H2SO4) pekat selama 15 menit atau menggunakan larutan KNO 3 0,2% (2 gr KNO3 dilarutkan dalam 1 liter air). Setelah direndam, benih dibilas dengan air, kemudian disemai dalam media yang telah disediakan. Hasil perlakuan dengan metode perendaman selengkapnya disajikan dalam Tabel 1, sebagaimana dilaporkan oleh Udarno at al. (1990) dalam Rosman dan Djauhariya (2005). Hasil pengujian menunjukkan bahwa perendaman dengan larutan KNO 3 memberikan hasil perkecambahan terbaik ditinjau dari kecepatan tumbuh dan daya berkecambah. Tabel 1.
Pengaruh perlakuan fisik dan perendamam terhadap perkecambahan benih kemiri
Perlakuan
Daya berkecambah
Keserempakan tumbuh Kontrol 11.20 11.25 Direndam H2SO4 pekat 53.75 36.25 Direndam KNO3 0.2%, 30 menit 86.25 75.00 Direndam air, 10 hari 41.25 41.25 Sumber: Udarno at al. (1990) dalam Rosman dan Djauhariya (2005) c. Pengikiran Pengikiran dengan kikir atau benda keras yang kasar (batu) bertujuan untuk menipiskan kulit benih, guna mempermudah proses imbibisi/masuknya air ke dalam benih, sehingga perkecambahan bisa lebih cepat. Cara ini cukup efektif karena dapat memperpendek waktu berkecambah dari 2 bulan menjadi 15-20 hari dengan persen kecambah mencapai + 70% (Rosman dan Djauhariya, 2005). d. Ketok atau pemukulan Perlakuan pemukulan atau pengetokan yang dimaksud adalah dengan cara memukul benih pada bagian kepalanya yang runcing (Anonim, 1988 dalam Rosman dan Djauhariya, 2005). Pemukulan dapat menggunakan batu, martil atau benda keras lainnya dengan tidak terlalu keras (agar benih tidak hancur/rusak). Pemukulan ditujukan agar kulit benih menjadi retak, sehingga air akan dapat masuk dan proses perkecambahan dapat berlangsung. Dengan cara ini perkecambahan dapat dipersingkat dari 2 bulan (tanpa perlakuan) menjadi 15-20 hari, dengan persentase tumbuh mencapai + 70%. 2.3. Penyemaian Benih yang telah diberi perlakuan pendahuluan kemudian disemai dalam media tabur (campuran antara pasir dan tanah (2:1)), benih dibenamkan sedalam + 2.5-4 cm. Semai siap disapih setelah mempunyai sepasang daun yang terbentuk sempurna. Bibit kemiri dapat ditanam di lapangan setelah 4-6 bulan dari masa perkecambahan, saat ketinggian bibit berkisar antara 25-60 cm dengan 0,8-1,2 cm (Wahid, 1991 dalam Rosman dan Djauhariya, 2005). 2.4. Penanaman dan pemeliharaan Penanaman dilakukan pada awal musim hujan dengan terlebih dahulu dilakukan pembersihan lahan dari gulma atau tanaman lain yang tidak bermanfaat. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 50x50x50 cm, kemudian tanah galian tersebut dicampur 228
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
dengan pupuk kandang secara merata (1:1), kemudian campuran tanah dan pupuk kandang tersebut dibiarkan sementara waktu (1 bulan) untuk menurunkan tingkat kemasaman tanah. Setelah 1 bulan dan tanah dalam keadaan sudah mengering, maka bibit dapat segera ditanam (Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008). Pemeliharaan awal berupa penyiangan pada tahun pertama dilakukan 4 kali (3 bulan sekali), kemudian setiap 6 bulan sampai umur 3 tahun (Dali dan Gintings, 1993). Penyiangan dilakukan secara jalur di sepanjang larikan tanaman pokok dengan radius 1 meter. Selain penyiangan, pemupukan juga sangat penting bagi maksimalnya pertumbuhan tanaman. Untuk mendapatkan produksi buah/biji yang maksimal, tanaman perlu dipupuk secara rutin. Jenis pupuk yang diberikan dapat pupuk organik (kandang) atau pupuk anorganik (kimia). Pemberian pupuk kandang dapat dilakukan sekali setahun, dosis pada tanaman muda cukup 2 kg/pohon. Sedangkan untuk tanaman yang sudah berproduksi dapat diberikan pupuk kandang sebanyak 10-30 kg per pohon. Jika pupuk yang diberikan jenis pupuk anorganik, maka dosis untuk masingmasing pupuk disesuaikan dengan umur tanaman. Pupuk kimia ini sebaiknya diberikan dua kali dalam setahun, yaitu awal dan akhir musim hujan. Dosis pemupukan adalah sebagai berikut: pada tanaman muda umur 1 tahun diberikan 20 gr Urea, 10 gr SP36, dan 10 gr KCl per pohon, sedangkan pada umur 2-6 tahun dapat diberikan 100-250 gr Urea, 80-75 gr SP36, dan 20-100 gr KCl per pohon, pada umur lebih dari 7 tahun diberikan 500 gr Urea, 250 gr KCl per pohon per tahun (Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008). Dalam budidaya tanaman kemiri, selain penyiangan dan pemupukan, perlakuan pemangkasan tanaman juga merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Selain memperbanyak percabangan yang akan meningkatkan jumlah buah yang dapat dihasilkan, pemangkasan juga dapat merangsang dan mempercepat terjadinya pembungaan serta waktu berbuah. Selain itu pemangkasan juga berfungsi sebagai sarana regenerasi tanaman dengan merangsang pertumbuhan tunas-tunas baru. Pemangkasan sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, penanaman kemiri dapat dilakukan dengan sistem wanatani (tumpangsari dengan tanaman lain). Jarak tanam yang disarankan untuk penanaman dengan sistem wanatani adalah 6 m x 6 m atau 8 m x 8 m. Sementara untuk penanaman secara monokultur disarankan menggunakan jarak tanam 3 m x 3 m atau 4 m x 4 m (Dali dan Gintings, 1993). Pada masa pertumbuhan awal, sebelum tanaman kemiri dewasa dan tajuknya masih relative ringan, dapat dilakukan tumpang sari dengan jenis-jenis tanaman yang tahan terhadap cahaya matahari dan pada saat tanaman sudah dewasa dimana tajuknya sudah relative rapat, dapat dipilih jenis tanaman yang tahan terhadap naungan. Beberapa jenis tanaman yang digunakan dalam budidaya kemiri dengan pola penanaman campuran di Sumatera Selatan, khususnya di daerah Ulu Musi dan Pendopo Lintang, Kabupaten Empat Lawang adalah tanaman bambang lanang, karet, kopi, cacao dan merambung. 2.5. Panen Dalam kondisi yang sesuai tanaman kemiri mulai berbuah pada umur 3.5-4 tahun. Tanaman kemiri berbuah sepanjang tahun. Panen dapat dilakukan setelah 75% buah masak hal ini ditandai dengan mulai banyaknya buah yang jatuh ke tanah (sebagai ciri masak fisiologis). Benih-benih atau buah yang jatuh tersebut sangat baik untuk
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
229
dijadikan benih atau bahan tanaman. Secara umum dalam 1 kg benih jumlahnya berkisar antara 80-90 butir benih. Produksi buah akan bertambah dengan bertambahnya umur tanaman. Produksi buah per pohon per tahun bervariasi antardaerah. Salah satu laporan menyebutkan bahwa di Aceh pohon berumur 8-10 tahun mampu berproduksi 50-60 kg, sementara laporan lain menyebutkan bahwa pada umur 15 tahun rata-rata produksi buah sekitar 20 kg/pohon/tahun dan di Ambon pada tanah-tanah yang subur produksinya sebesar 25 kg/pohon/tahun. Produksi buah meningkat sampai dengan umur 25 tahun dan mulai menurun pada umur 70 tahun (Rosman dan Djauhariya, 2005).
III. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS Upaya peningkatan produktivitas dalam budidaya dan pengembangan kemiri, selain dengan penerapan sistem wanatani yang didukung dengan penerapan teknologi (teknik silvikultur) yang tepat, juga harus didukung dengan status kesesuaian lahan serta iklim yang sesuai, karena terkait erat dengan persyaratan tumbuh yang dibutuhkan, terlebih untuk tanaman kemiri yang produk hasilnya berupa buah. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas adalah faktor benih atau bibit yang digunakan. Benih atau bibit yang digunakan sebaiknya merupakan benih/bibit hasil seleksi, terutama hasil pengujian dalam program pemuliaan pohon. Seleksi Tahapan seleksi dalam kegiatan penanaman (pembangunan hutan tanaman) sesungguhnya dimulai dari pemilihan atau seleksi pohon-pohon induk yang akan digunakan sebagai sumber benih (materi genetik) dalam pembuatan bibit atau bahan tanaman. Kemudian seleksi dilanjutkan pada tingkat bibit. Seleksi pada tingkat pohon induk dimulai dengan melakukan langkah inventarisasi pohon-pohon induk kemiri pada berbagai populasi atau provenan. Mengingat produk hasilnya berupa buah, maka karakter atau sifat yang digunakan sebagai standar seleksi adalah sifat pertumbuhan pohon yang baik secara fenotipe serta hasil/produksi buah yang lebat. Dari hasil inventarisasi yang berasal dari berbagai populasi tersebut kemudian diseleksi berdasarkan rangking sesuai dengan karakter/sifat yang diinginkan. Dengan demikian benih/bibit yang akan digunakan dalam penanaman adalah bibit yang berasal dari hasil seleksi terhadap pohon-pohon induk dengan pertumbuhan dan produksi buah terbaik. Guna terjaminnya kualitas bibit yang akan digunakan dalam program penanaman, maka tahapan seleksi lanjutan pada tingkat bibit (calon bibit) tentunya sangat penting untuk dilakukan dalam rangka merealisasikan pertumbuhan atau produktivitas tegakan yang akan dihasilkan. Pada tingkat ini, bibit-bibit yang mempunyai pertumbuhan terbaik (dominan) dari masing-masing pohon induk akan dijadikan sebagai calon bibit yang akan digunakan dalam penanaman. Dengan demikian bibit yang digunakan dalam penanaman merupakan bibit yang mempunyai kinerja pertumbuhan terbaik yang akan menghasilkan produktivitas maksimal melalui penerapan teknologi budidaya yang tepat, tentunya pada lahan yang sesuai.
230
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Untuk kepentingan pembangunan hutan tanaman kemiri dalam jangka panjang, tentunya sangat perlu dibangun sumber-sumber benih yang dapat menjamin mutu benih secara genetik yang didasarkan pada hasil pengujian dalam program pemuliaan pohon. Benih-benih hasil seleksi, selain digunakan untuk keperluan penanaman, dapat juga digunakan sebagai materi atau bahan dalam pembangunan kebun benih dalam bentuk uji keturunan (Kebun Benih Semai Uji Keturunan). Melalui pembangunan kebun benih tersebut akan dihasilkan benih dengan mutu yang lebih baik secara genetik. Penggunaan benih bermutu (unggul secara genetik) dari hasil pengujian dalam program pemuliaan, secara teori dapat lebih menjamin dalam peningkatan produktivitas hutan tanaman yang akan dibangun.
IV. PENUTUP Peningkatan produktivitas dalam pembangunan dan pengembangan hutan tanaman kemiri, baik dalam bentuk hutan rakyat maupun hutan tanaman rakyat, dapat dilakukan secara bertahap melalui pemenuhan komponen-komponen utama yaitu penerapan teknik budidaya (silvikultur) yang tepat pada lahan yang sesuai serta penggunaan benih atau bibit unggul yang bermutu secara genetik, yang dihasilkan dari program-program pemuliaan. Pembangunan sumber benih kemiri merupakan salah komponen yang sangat penting dalam upaya merealisasikan hutan tanaman kemiri yang produktif.
DAFTAR PUSTAKA Dali, J. Dan Gintings, A.N. 1993. Cara Penanaman Kemiri. Informasi Teknis. No. 38. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Indonesia. Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan. 2008. Budidaya Kemiri. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta. Koji. T. 2002. Kemiri (Aleurites moluccana Wild) and Forest Resource Management in Eastern Indonesia : An Eco-historical Perspective. International Symposium and Workshop, “The Beginning of 21st Century: Endorsing Regional Autonomy, Understanding Local Cultures, Strengthening National Integration. 1st to 5th August, 2000. Hasanuddin University, South Sulawesi. Indonesia. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A. dan Kadir, K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Indonesia. Rosman. R dan Djauhariya. E. 2005. Status Teknologi Budidaya Kemiri. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
231
Simatupang. J. T. 2001. Analisis Ekonomi Usahatani Kemiri Serta Hubungannya Dengan Pengembangan Wilayah di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi. Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Yusran. 2005. Mengembalikan Kejayaan Hutan Kemiri Rakyat. Governance Brief. No. 5. Center for Internatioal Forestry Research.
232
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT Aquilaria malacensis Lamk. ASAL ANAKAN ALAM DI PERSEMAIAN Sahwalita1
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi tentang besarnya pengaruh dosis dan frekuensi pemberian pupuk NPK terhadap pertumbuhan bibit Aquilaria malacensis Lamk. asal anakan alam, dilakukan di persemaian Desa Gunung Karto, Kecamatan Kikim Timur, Kabupaten Lahat dan Laboratorium Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada bulan Januari sampai Mei 2009. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Kelompok dengan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diuji meliputi empat taraf dosis (0; 1; 2 dan 3 gram/bibit) dan dua taraf frekuensi pemupukan (satu dan dua bulan sekali). Parameter yang diamati adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter serta indeks kualitas semai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang memberikan kecenderungan pengaruh terbaik terhadap parameter pertumbuhan adalah dosis pupuk 1 gram/bibit dan frekuensi dua bulan sekali. Kata kunci: diameter, indeks kualitas semai, persentase hidup, tinggi
I. PENDAHULUAN Pohon penghasil gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.) termasuk tanaman dilindungi yang masuk ke dalam APPENDIX II CITES pada tahun 1994. Walaupun dilindungi, namun perburuan terhadap jenis ini masih terus dilakukan. Hal ini disebabkan banyaknya permintaan baik di dalam maupun di luar negeri dengan harga yang tinggi. Permintaan terhadap gaharu tinggi karena kegunaannya beranekaragam seperti pewangi ruangan, bahan obat, minyak wangi, kosmetik, dupa dan sebagai aroma terapi untuk mencegah dan menghilangkan stress (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1998). Negara-negara yang mengimpor gaharu antara lain Arab Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat, Korea, Jepang, Cina, Taiwan, Singapura dan India yang permintaannya secara total mencapai 40 ton/tahun. Sampai saat ini, permintaan gaharu baru terpenuhi 10-20% per tahun yang berarti ekspor gaharu masih dibawa kuota ekspor 25-40% per tahun dari permintaan dunia (Sumarna, 2002). Dalam upaya menunjang permintaan konsumen, produksi gaharu tidak bisa mengandalkan hutan alam. Selain tidak ada jaminan produksi, keberadaan pohon Aquilaria malacensis Lamk. di alam sudah hampir punah. Bahkan pada pertemuan Komisi Tumbuhan CITES tanggal 17 sampai 22 Maret 2009 di Argentina ada upayaupaya beberapa pihak untuk memberikan sanksi kepada Indonesia berupa pelarangan perdagangan gaharu (Anonim, 2009a). Untuk itu perlu dilakukan budidaya, selain sebagai usaha penyelamatan juga membuktikan kepada dunia bahwa gaharu dari 1
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
233
Indonesia merupakan hasil dari budidaya akibat pohon penghasil gaharu hampir punah dan semakin sulit memperoleh benih dari pohon induknya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan anakan alam sebagai bahan perbanyakan. Usaha budidaya jenis ini memerlukan dukungan bibit yang berkualitas, karena akan menentukan keberhasilan penanaman di lapangan. Faktor yang menentukan kualitas bibit antara lain cara pengelolaan dan media yang digunakan di persemaian (Hendromono, 2003). Di persemaian, anakan alam memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan dari perkecambahan. Hal tersebut disebabkan periode pemulihan (recovery) akibat pencabutan membutuhkan waktu yang cukup lama dan perubahan kondisi tempat tumbuh. Upaya memacu pertumbuhan anakan alam di persemain adalah dengan pemberian pupuk, sehingga dihasilkan bibit yang berkualitas. Salah satu jenis pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk yang diaplikasikan melalui akar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai dosis dan frekuensi pemupukan dengan pupuk NPK pada bibit Aquilaria malacensis Lamk. berumur empat bulan. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk pemeliharaan bibit di persemaian dan mendukung penyediaan bibit yang berkualitas untuk budidaya Aquilaria malacensis Lamk.
II. BAHAN DAN METODA A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Persemaian Desa Gunung Karto, Kecamatan Kikim Timur, Kabupaten Lahat dan Laboratorium Balai Penelitian Kehutanan di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian dimulai pada bulan Januari sampai Mei 2009. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit Aquilaria malacensis Lamk. asal anakan alam dari kebun masyarakat, pupuk NPK 15-15-15, topsoil (hasil analisis media disajikan pada Lampiran 1), polybag ukuran 15x20 cm, gembor, timbangan analitik, kamera digital, oven, label plastik, amplop, kertas label, spidol, kaliper digital, mistar ukur dan tally sheet. C. Prosedur Penelitian 1. Tahapan Kegiatan Anakan alam Aquilaria malacensis Lamk. dari lapangan diseleksi dan dirapikan dengan memotong sebagian akar dan daunnya kemudian ditanam pada polybag berisi media tanam topsoil dan diletakkan dalam sungkup. Perlakuan penyungkupan dilakukan selama dua bulan dan pada bulan ketiga dilakukan pembukaan sungkup secara bertahap sampai terbuka 100%. Setelah bibit beradaptasi dengan lingkungan, kemudian dilakukan seleksi kembali untuk memperoleh bibit dengan ukuran yang seragam dan sehat. Selanjutnya ditempatkan dalam bedeng pengujian yang diberi alas plastik sesuai dengan faktor perlakuan yang diujikan.
234
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
2. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Perlakuan yang diuji pada kegiatan penelitian ini adalah dosis pupuk dan frekuensi pemupukan. Tingkatan masing-masing faktor perlakuan yang diujikan: a. Faktor D (dosis pupuk) NPK yang terdiri dari 1) D0 = 0,00 gram/bibit 2) D1 = 1,00 gram/bibit 3) D2 = 2,00 gram/bibit 4) D3 = 3,00 gram/bibit b. Faktor F (frekuensi pemupukan) yang terdiri dari 1) F1 = 1 bulan sekali 2) F2 = 2 bulan sekali Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Pola Kelompok berukuran 4 x 2 dengan tiga kali ulangan dan jumlah satuan pengamatan pada masing-masing ulangan adalah 10 bibit, sehingga jumlah satuan pengamatan sebanyak 240 batang bibit. Analisa data yang dilakukan adalah analisis varian. Jika hasil analisa varian terhadap parameter yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, akan dilakukan Uji Lanjut Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980). Pengamatan dilakukan selama empat bulan di persemaian dengan parameter yang diamati meliputi persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter serta indeks kualitas semai (IKS).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil sidik ragam parameter pertumbuhan bibit selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa semua berpengaruh tidak nyata terhadap parameter pertumbuhan yang diamati. Sedangkan interaksi antarperlakuan yang diuji terhadap semua parameter pertumbuhan bibit disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Analisis keragaman persentase hidup, pertumbuhan tinggi, diameter dan indeks kualitas semai Aquilaria malacensis Lamk. Sumber keragaman
Persentase Pertumbuhan hidup tinggi Kuadrat Kuadrat Fhitung F tengah tengah hitung Blok 116.6666 0.29 ns 6.4138 0.29 ns Dosis 777.7777 1.93 ns 14.5029 0.67 ns Frekuensi 600.0000 1.49 ns 8.5801 0.39 ns Dosis*Freku 777.7777 1.93 ns 1.7828 0.08 ns -ensi Galat 402.3809 21.7632 Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata
Pertumbuhan diameter Kuadrat F tengah hitung 0.4707 2.09 ns 0.3694 1.09 ns 0.0009 0.01 ns 0.1078 0.96 ns 0.1126
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Indeks kualitas semai Kuadrat Fhitung tengah 0.0020 0.44 ns 0.0009 0.22 ns 0.0022 0.48 ns 0.0008 0.19 ns 0.0045
235
Tabel 2. Interaksi antar perlakuan yang diuji terhadap pertumbuhan bibit Aquilaria malacensis Lamk. No
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
D0F1 D0F2 D1F1 D1F2 D2F1 D2F2 D3F1 D3F2
Persentase hidup (%) 100,00 86,67 100,00 100,00 80,00 93,33 53,33 93,33
Pertumbuhan tinggi 4 bulan (cm/4 bulan) 4,73 6,80 6,04 5,74 5,10 7,03 8,47 9,54
semua
Pertumbuhan diameter (mm/4 bulan) 0,45 0,82 1,02 0,76 0,66 0,56 0,56 0,59
parameter
Indek kualitas semai 0,13 0,13 0,11 0,15 0,12 0,16 0,11 0,11
B. Pembahasan 1. Persentase Hidup
100
93,33
100
93,33
86,67 73,33
75
83,33
50
Persentase hidup
25 0 D0
D1
D2
D3
F1
F2
Gambar 1. Hubungan persentase hidup dengan dosis pupuk dan frekuensi pemupukan Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan frekuensi pemupukan NPK yang diujikan berpengaruh tidak nyata terhadap parameter persentase hidup bibit Aquilaria malacensis Lamk. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa hasil tertinggi pada dosis 1 gram/bibit (D1) dengan frekuensi pemupukan 2 bulan sekali (F2). Gambar 2 menunjukkan kecenderungan penurunan persentase hidup bibit sejalan dengan peningkatan dosis dan sebaliknya semakin sering frekuensi pemupukan yang diujikan. Penurunan persentase hidup bibit Aquilaria malacensis Lamk. tersebut sangat jelas pada perlakuan dosis 3 gram/bibit (D 3) yaitu 73,33%. Begitu pula pada perlakuan frekuensi pemupukan, persentase hidup bibit lebih baik pada perlakuan pemupukan dua bulan sekali dibanding satu bulan sekali. Walaupun interaksi antara kedua faktor perlakuan yang diuji tidak berbeda nyata, tetapi kombinasi perlakuan dosis pupuk 3 gram/bibit yang diberikan satu bulan sekali mempunyai persentase hidup yang paling rendah, yaitu sebesar 53,33% (Tabel 2). Tetapi persentase hidup bibit tanpa perlakuan (kontrol) mecapai 93,34%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang ada (tanpa tambahan perlakuan) telah mampu mendukung bibit untuk dapat hidup. Kemampuan hidup bibit yang tinggi menunjukkan bahwa faktor lingkungan telah memberikan berbagai sarana yang cukup bagi tanaman, seperti air, hara dan udara serta bebas dari gangguan hama dan penyakit yang potensial menyerang tanaman. Respon kemampuan hidup bibit yang rendah akibat pemberian pupuk NPK dalam dosis yang tinggi berhubungan dengan tingginya sensitivitas akar bibit Aquilaria 236
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
malacensis Lamk. terhadap kandungan unsur N dalam pupuk NPK. Dengan semakin tingginya asupan unsur hara N akibat semakin tingginya dosis pupuk NPK yang diujikan akan menimbulkan efek negatif terhadap akar. Seperti yang diungkapkan oleh Koesrining-roem dan Setyati (1979) dalam Rosman dkk. (2004), nitrogen dalam konsentrasi yang tinggi akan menghambat perakaran. Terhambatnya perakaran berimplikasi terhadap berkurangnya kemampuan penyerapan unsur hara lainnya yang dibutuhkan oleh tanaman dan pada akhirnya akan berpengaruh pada rendahnya pertumbuhan tanaman. Pada pengujian ini, respon tanaman akibat tingginya asupan unsur N tidak hanya menyebabkan terganggunya pertumbuhan, tetapi juga menyebabkan kematian tanaman. Hal ini terjadi pada bulan-bulan pertama penelitian, akibat bibit Aquilaria malacensis Lamk. masih dalam masa recovery dan menyesuaikan dengan lingkungan. Secara umum, persentase hidup bibit pada pengujian ini termasuk baik dengan rata-rata persentase hidup 88,33%. Tetapi dibandingkan dengan penelitian pembibitan Aquilaria malacensis Lamk. dari anakan alam yang dilakukan Irawan (2009) yaitu 99,72%; Sahwalita (2009) yaitu 85,17% dan Kosasih dan Mindawati (2001) yaitu 60%, hasil yang diperoleh pada penelitian ini termasuk sedang. Adanya variasi persentase hidup ini menunjukkan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kondisi bibit, lingkungan dan perlakuan yang diberikan. 2.
Pertumbuhan Tinggi
12 9.01 9 6
6.08
5.76 5.89 6.07
7.28 Pertumbuhan tinggi
3 0 D0
D1
D2
D3
F1
F2
Gambar 2. Hubungan pertumbuhan tinggi dengan dosis pupuk dan frekuensi pemupukan Pertumbuhan tinggi tanaman selama empat bulan pengamatan akibat perlakuan pemberian pupuk NPK yang diujikan berpengaruh tidak nyata (Tabel 1). Hasil pengukuran pertumbuhan tinggi bibit Aquilaria malacensis Lamk. menunjukkan hasil tertinggi pada perlakuan dosis pupuk 3 gram/bibit yaitu, 9,01 cm dan frekuensi pemupukan dua bulan sekali yaitu 7,28 cm. Gambar 2 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan pertumbuhan tinggi sejalan dengan semakin tingginya dosis pupuk NPK yang diberikan. Pemupukan dengan NPK yang dilakukan dua bulan sekali memberikan respon pertumbuhan tinggi yang lebih baik dibandingkan dengan satu bulan sekali. Hal tersebut juga terlihat pada kombinasi perlakuan yang diuji, walapun interaksi antarperlakuan yang diuji juga tidak berbeda nyata, tetapi kombinasi perlakuan D3F2 memberikan respon pertumbuhan tinggi yang lebih baik, yaitu 9,54 cm dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa pertumbuhan bibit Aquilaria malacensis Lamk. membutuhkan pupuk NPK dalam dosis yang tinggi dan frekuensi aplikasi yang jarang. Dosis pupuk yang tinggi berhubungan dengan kecepatan pertum-
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
237
buhan bibit, terutama pada bulan-bulan terakhir setelah bibit dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Akibat tingginya dosis pupuk yang diberikan, maka ketersediaan unsur hara dibutuhkan untuk dapat bertahan cukup lama, sehingga frekuensi pemupukan yang diperlukan jarang. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dipengaruhi oleh jumlah unsur hara yang diserap oleh tanaman. Pemberian pupuk NPK ini sesuai karena media memiliki kandungan unsur N yang rendah yaitu, 0,09% (Lampiran 1). Unsur N yang diserap tanaman dalam bentuk NO 3- NH4+ berperan dalam pembentukan klorofil yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis (Anonim, 2009b). Pertambahan tinggi tanaman sebagai salah satu ciri pertumbuhan tanaman disebabkan oleh aktivitas pembelahan sel pada meristem apikal. Pertambahan tinggi tanaman diawali dengan bertambahnya pucuk yang semakin panjang dan dilanjutkan dengan perkembangannya menjadi daun dan batang. Dalam pertumbuhan pucuk pada tanaman mengalami tiga tahapan, yaitu pembelahan sel, perpanjangan, dan diferensasi atau pendewasaan. Pada fase pembelahan sel, tanaman memerlukan karbohidrat karena komponen utama penyusun dinding sel terbuat dari glukosa (karbon) atau dengan kata lain bahwa pembelahan sel tergantung dari persediaan karbohidrat. Sementara karbohidrat hanya dihasilkan dari proses fotosintesis yang melibatkan klorofil dan unsur N berperan dalam pembentukan klorofil. Menurut Anonim (2009b), hasil fotosintesis berupa fotosintat dikirim ke jaringan-jaringan yang terdekat dan membutuhkan, seperti bagian pucuk untuk membentuk tunas dan selanjutnya berkembang menjadi daun dan batang. Berdasarkan pengalaman bibit Aquilaria malacensis Lamk. dari anakan alam memiliki pertumbuhan relatif lambat, bahkan bibit dapat ditanam di lapangan setelah dirawat 1,5-2 tahun (Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, 2004). 3. Pertumbuhan Diameter 1
0.89
0.8 0.63
0.61
0.6
0.67
0.68
0.58
Pertumbuhan diameter
0.4 0.2 0 D0
D1
D2
D3
F1
F2
Gambar 3. Hubungan pertumbuhan diameter dengan dosis pupuk dan frekuensi Perlakuan pemupukan (dosis pupuk dan frekuensi pemupukan), baik secara tunggal maupun interaksi keduanya secara statistik berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit Aquilaria malacensis Lamk. (Tabel 1). Respon pertumbuhan diameter bibit Aquilaria malacensis Lamk. tertinggi pada dosis 1 gram/bibit (D1) yaitu, 0,89 mm dan frekuensi pemupukan dua bulan sekali (F 2) yaitu, 0,68 mm. Gambar 3 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan pertumbuhan diameter dengan semakin rendahnya dosis pupuk yang diberikan dan frekuensi pemupukan yang jarang. Sedangkan kombinasi perlakuan yang memberikan nilai tertinggi adalah D0F2 yaitu, 0,82 mm. Pemberian dosis yang rendah sesuai dengan kandungan kedua unsur hara P dan K pada media tanam adalah 1,35% dan 0,51% (Lampiran 1). Unsur P diserap oleh tanaman dalam bentuk H2PO4-, HPO4- dan unsur K dalam bentuk K+. Fungsi unsur P
238
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
merangsang pertumbuhan akar terutama pada tanaman muda, mempercepat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa dan sebagai pembentuk protein, sedangkan unsur K membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat batang dan meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit (Anonim, 2009c). Selain itu, unsur K juga berperan penting dalam aktivitas pembelahan sel dan perkembangan jaringan meristematik tanaman yang berakibat dalam pembesaran batang. Dengan penambahan unsur P dan K yang diperoleh dari pupuk NPK yang diberikan akan membantu dalam proses perkembangan diameter batang tanaman. Pupuk NPK yang digunakan dalam pengujian ini termasuk pupuk majemuk lengkap dengan kandungan unsur N, P, dan K yang seimbang, yaitu 15–15-15. Di samping itu, hasil analisis media tanam menunjukkan bahwa kandungan unsur P termasuk tinggi dibandingkan dengan unsur lainnya, sehingga pertumbuhan diameter bibit Aquilaria malacensis Lamk. telah terpacu hanya dengan penambahan unsur P yang sedikit, yang diperoleh dari perlakuan pemupukan dengan dosis yang rendah (1 gram/bibit). Indeks kualitas semai (IKS) merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kelayakan suatu bibit untuk siap tanam di lapangan. Penentuan besaran ini melibatkan beberapa peubah yang terkait dengan pertumbuan tanaman, yaitu berat kering total, kekokohan bibit yang merupakan perbandingan tinggi dan diameter bibit serta nisbah pucuk akar. Sidik ragam menunjukkan pengaruh tidak nyata pada indek kualitas semai (Tabel 1). Hasil pengukuran perlakuan tunggal seperti yang tercantum pada Gambar 4 memperlihatkan nilai IKS tertinggi diperoleh pada perlakuan dosis pupuk 2 gram/bibit (D2) sebesar 0,14, sedangkan nilai IKS terendah terdapat pada perlakuan dosis 3 gram/bibit (D3) sebesar 0,11. Frekuensi pemberian pupuk berpengaruh tidak nyata terhadap parameter IKS bibit Aquilaria malacensis Lamk., tetapi pemberian pupuk NPK yang dilakukan dua bulan sekali memberikan respon IKS yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan satu bulan sekali. 0.15
0.13
0.13
0.14
0.14 0.11
0.12
0.1
Indek kualitas semai 0.05
0 D0
D1
D2
D3
F1
F2
Gambar 4. Hubungan indeks kulaitas semai dengan dosis pupuk dan frekuensi pemupukan Besarnya indeks kualitas semai yang ditentukan adalah > 0,09, sedangkan jika nilainya kurang dari 0,09 termasuk kurang baik dan biasanya akan sukar tumbuh di lapangan. Tabel 2 menunjukkan IKS pada pengujian ini termasuk sedang berkisar 0,110,16. Indeks kualitas semai terkecil diperoleh pada kombinasi perlakuan D 1F1, D3F1 dan D3F2. Kecilnya nilai IKS pada perlakuan ini terkait dengan rendahnya biomasa yang dihasilkan akibat pertumbuhan yang lambat serta banyaknya daun tanaman yang terserang penyakit. Untuk penggunaan yang tepat dalam skala operasional dilakukan pertimbangan teknis dan ekonomis melalui analisis bilangan ordinansi, yang menggabungkan (menjumlahkan) nilai masing-masing peubah pada perlakuan.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
239
Tabel 3. Analisis bilangan ordinansi perlakuan dosis pupuk NPK terhadap parameter pada bibit Aquilaria malacensis Lamk. No Perlakuan
Persentase Hidup
1 2 3 4 5 6
93.33 100.00 86.67 73.33 83.33 93.33
D0 D1 D2 D3 F1 F2
Pertumbuhan Pertumban Tinggi Diameter 5.76 5.89 6.07 9.01 6.08 7.28
0.63 0.88 0.61 0.58 0.67 0.68
Indeks Kualitas Semai 0.13 0.13 0.14 0.11 0.12 0.14
Jumlah Peringkat
99.85 106.90 93.49 83.03 90.20 101.43
3 1 4 6 5 2
Berdasarkan Tabel 3 terlihat peringkat tertinggi pada dosis 1 gram/bibit (D1), dengan frekuensi 2 bulan sekali (F2), maka dosis pupuk dan frekuensi pemupukan tersebut merupakan aplikasi operasional dalam aplikasi di lapangan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Perlakuan dosis pupuk NPK mempunyai kecenderungan pengaruh yang sama
terhadap semua parameter pengukuran, makin rendah dosis dan semakin jarang pemupukan maka pertumbuhan bibit Aquilaria malacensis Lamk. akan makin baik. 2. Aplikasi pupuk lambat urai dengan dosis 1,0 gram/bibit dan frekuensi dua bulan sekali memberikan kecenderungan yang terbaik pada pertumbuhan bibit Aquilaria malacensis Lamk. 3. Pengamatan terhadap parameter pertumbuhan bibit Aquilaria malacensis Lamk. asal anakan alam dilakukan lebih dari empat bulan supaya dapat diperoleh hasil yang optimal. B. Saran Pemupukan NPK terhadap bibit Aquilaria malacensis Lamk. asal anakan alam sebaiknya menggunakan dosis pupuk yang rendah dan frekuensi yang jarang, karena ketersediaan unsur hara bagi tanaman masih terjamin.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009a. Budidaya Gaharu di Sagaranten, Jawa Barat, Mudah, Cepat dan Berkualitas Baik. Majalah Kehutanan Indonesia. MKI Edisi IV Tahun 2009. Jakarta. Anonim. 2009b. Fotosintesis. Website: wikipedia. Diakses pada tanggal 20 Maret 2009. Anonim. 2009c. Khasiat Unsur Hara Bagi Tanaman. Website: http://pusri. wordpress. com. Diakses tanggal 20 Maret 2009. Hendromono. 2003. Peningkatan Mutu Bibit Pohon Hutan dengan Menggunakan Medium Organik dan Wadah yang Sesuai. Bulletin Penelitian dan
240
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Pengembangan Kehutanan Vol. 4 No.2. Hal. 135-143. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Irawan H.S. 2009. Pengaruh Konsentrasi dan Frekuensi Penyemprotan Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Bibit Karas (Aquilaria malacensis Lamk.) Asal Cabutan Alam. Skripsi Mahasiswa Jurusan Budidaya Fakultas Kehutanan STIPER Sriwigama. Palembang (tidak diterbitkan). Kosasih A.S dan Nina Mindawati. 2001. Pembibitan Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk.). INFO Hutan No. 139. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Departemen Kehutanan. Jakarta. Rosman, R., S. Soemono dan Suhendra. 2004. Pengaruh Konsentrasi dan Frekuensi Pemberian Pupuk Daun terhadap Pertumbuhan Panili di Pembibitan. Buletin TRO XV No. 2, 2004. http://www.balittro.go.id/index.php?pg=pustaka&child= buletin&page=lihat&tid=5&id=25. Diak-ses tanggal 8 April 2006. Sahwalita. 2009. Aplikasi Pupuk Lambat Urai pada Bibit Aquilaria malacensis Lamk. Asal Anakan Alam di Persemaian. Laporan penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. (tidak dipublikasikan). Sumadiwangsa, S. dan Zulnely. 1998. Catatan Mengenai Gaharu di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Info Hasil Hutan Vol. 5 No. 2 hal. 80–90. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Sumarna, Y. 2002. Budi Daya Gaharu. Penebar Swadaya. Jakarta. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu pendekatan biometrik. Bambang Sumantri (pen.). 1989. Gramedia. Jakarta. Lampiran 1. Hasil analisis media bibit yang digunakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Karakteristik pH H2O pH KCl C-Organik (C-Organic), % N-Total, % P-Bray, ppm K, me/100 g Na, me/100 g Ca, me/100 g Mg, me/100 g KTK (CEC), me/100 g Al-dd (Al-exchangable), me/100 g H-dd (H-exchangable), me/100 g Tekstur (Texture): - Pasir (Sand), %
Nilai 4,72 4,25 1,01 0,09 1,35 0,51 0,65 1,33 0,32 15,23 1,03 0,25 43,56
- Debu (Silt), % 19,15 - Liat (Clay), % 37,29 Catatan: Dianalisis oleh Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
241
Lampiran 1.
Susunan Acara Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang; Musi Rawas, 13 Juli 2011
Waktu 08.00-08.30 08.30-08.40 08.40-08.50 08.50-09.00 09.00-09.10 09.10-09.30 09.30-09.45
Materi
Pelaksana/Pembicara
- Pendaftaran - Pembukaan - Sambutan Panitia - Sambutan dan Pembukaan Seminar - Pembacaan Doa - Rehat/Pameran Poster Keynote Speech
Panitia MC Kepala BPK Palembang Bupati/SEKDA MURA Panitia
Sesi I
Moderator: Kapuslitbang Produktivitas Hutan
09.45-10.00 - Pembangunan Hutan Tanaman dengan Pola Tanam Campuran Karet dan Kayukayuan 10.00-10.15 - Aplikasi Perangkat Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Lokal 10.15-10.30 - Mikoriza dan Agroforestry: Perpaduan Teknologi untuk Pembangunan Hutan Rakyat 10.30-10.45 - Peningkatan Produktivitas Lahan melalui Penanaman Pola Campuran 10.45-12.00 Diskusi
Kapuslitbang Produktivitas Hutan
Ir. H.M. Jahidin Rosyid, MS
Hengki Siahaan, S.Hut., MSi Maliyana Ulfa, SP., MSc
Sahwalita, S.Hut., MP
12.00-13.30 - Ishoma Sesi II
Moderator: Edwin Martin, S.Hut., Msi
13.30-13.45 - Dampak Pembangunan Hutan Tanaman terhadap Lingkungan 13.45-14.00 - Pembangunan Hutan Rakyat oleh Kelompok Tani 14.00-14.45 Nilai ekonomi Pengusahaan Lahan Milik dengan Tanaman jenis lokal 14.45-15.00 - Serangan Rayap pada Tanaman Tembesu: Potensi Kerusakan dan Peluang Pengendaliannya. 15.00-16.15 Diskusi
Fatahul Azwar, S.Hut. Suryatin (Ketua Kelompok Tani Gumanti Lestari Jaya (Musi Rawas) Bambang T. Premono, S.Hut., M.Si Ir. Asmaliyah, MSc.
16.15-16.30 Rehat 16.30-16.45 Pembacaan Rumusan 16.45-17.00 Penutupan
242
Tim Perumus MC
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
Lampiran 2. Panitia Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang; Musi Rawas, 13 Juli 2011
1.
Pengarah
:
2.
Panitia Pelaksana Ketua Sekretaris
: : :
Kepala Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas
Iwan Setiawan, SE Rahma Dewi, S.Hut
Seksi - seksi : a. Materi & Persidangan Koordinator Anggota
b.
c.
3.
4.
Humas & Dokumentasi Koordinator Anggota
Seksi Transportasi dan Akomodasi Koordinator Anggota
Tim Perumus Ketua Anggota Tim Pameran Koordinator Anggota
: Syaiful Islam : 1. Hendra Priatna, ST 2. Dishut Mura
: Kusdi Mulyadi, S.Hut : 1. Sarino 2. Rista Novalina 3. PM (Dishut Mura)
: Drs. Yulius Ibrahim : 1. Lely Heriyani 2. PM (Dishut Mura) 3. Pengemudi
: Ir. Abdul Hakim Lukman, M.Si : 1. Drs. Agus Sofyan, M.Sc 2. Edwin Martin, S.Hut., M.Si : Nasrun Sagala, S.Hut : Nesti Andriyani
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
243
Lampiran 3.
No. 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 244
Daftar Peserta Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Kehutanan (BPK) Palembang; Musi Rawas, 13 Juli 2011 Nama
Instansi
2 H. M. Jahiddin R. Nibuansyaah Suwarjio M. Ali Hasan Nuddin A Fuad, Sp Sarwanto Kalono Luhur Budi Santoso Suwarno Ahmad zaini Edi Cahyono, S.Hut Yosef Kurniawan Sola Sohar, SP M. Ichwan, S.Hut A. Jousun Abassia, SP Herwansyah M Zainudin, SP Parwito, SP Risman Sudarisman, S.Hut Maryanto, SP ABD Hamid, S.Sis Eko Sutrisno, SP Suhartamo M. Sari R. Supriadi Yudi H Riza Y Agus Setiawan Dedi Hariyanto, A.Md Ariyadi, Sp Subwanto, SP Basromi Deni Permada Lubis, Spi, M.Si Saeyono Bambang Partisto, SP Marsudi, SP Seroja, Sp Nasirin Eko Siswoyo, SP
3 Balit Sembawa, Puslit Karet Pengelola Wst Alam BCL Pengelola BCL Pengelola KUPT. W II BTSU KA. UPT Bp Kr. Jaya Staf Balai Teknis Pendamping HTR Pendamping HTR Pengelola BCL Pengelola KPHPLakitan Pemdamping HTR KA. UPT Bp Kr. Jaya Kjf Bapeluh PPK LSM Kriksi Bapeluh BPK UPT BP Muara Kelingi BPTNKS SPTN Wil V Lubuk Llinggau Bapeluh DIHUT Mura DIHUT Mura DIHUT Mura BPHPS Kuok BB 2K Kab Mura UPT BP Muara Kelingi BPHPS Kuok BPTH Sumatera BPTH Sumatera Pendamping HTR DISHUT Buntamben IV Lawang Bapeluh UPTBP Sumber Harta DISHUT Mura UPTBP Sungai Baung Bapeluh PPK Kab Musi Rawas Bapeluh PPK Kab Musi Rawas UPTBP Trautas UPTBP Tuah Negeri DINAS Kehutanan Kab Mura
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
1 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85.
2 Sumana Sridarwanta, ST Zabaidi, SP Nugroho Setiarno Iskandar Junaidi Nunung Patimah Dewi Ratna Kurniasari Indartik Pentie Salaka Harahab, SH Agus Yanto Asep Diriyanto Wardoyo, SP Firdinal Wahyudi Karudin Isma Herlian Herdiyanto, S.Hut Suneliyat, S.Hut Hidayat, SP, M.Si Kasium Sumarno Kartimah Zulkifli Himawan Susanto Suid Sofyan Risdan Antoni, S.Hut Rudi Gumelar H., ST Firdaus Suwarti, SP Sudaryono, AMd Abdul, SP Hendri Sofiawan Trimilaida Widi Antoni Amsul Efendi Heriawan, SP Wartati Nasrullah Aliansyah Ahmad Riyadi Abdul fikri, S.Hut Novi Widyastuti Abdullah, SP Arif Dermawan P Hapisol Im Marssidi, SP Suramto Purwanto
3 Bapeluh PPK Kab Musi Rawas BP IV Musi Rawas Bapeluh BPK Mura UPTBP Ulu Rawas Bogor Puspijak Bogor Puspijak Bogor Puspijak Kemen Hut Bogor Puspijak DISHUB Mura UPTD KPHP wil V BPK Aek Nauli BPHPS KUDK BP4K Musi Rawas UN Mura UN Mura DINAS Tan pangan Perkebunan dan Kehutanan DINAS Tan pangan Perkebunan dan Kehutanan DINAS TPH Kab Mura UPTBP Bukit Pancang Mulia Kab Mura UPTBP Jaya Loka UPTBP Tuah Negeri UPTBP Bukit Panca Mulia BTS Ulu DINAS Kehutanan Prop. Bengkulu DINAS Kehutanan Kab Mura Ketua Umum LSM Kriksi SUMSEL Ket Tani UPTBP Yuda Karya UPTBP Tlarias UPTBP selangit Ketua Kelompok Tani BPTP Baya Surat Kabar Independen Patroli Media Sumatera News Bapeluh BPK Mura DINAS TPPK Kota Lubuk Linggau Media Transpran Lubuk Linggau Nuansa Indonesia Lubuk Linggau MPA UN Mura DTPPK Kota Lubuk Linggau BAPEDA Kab Mura BT2K Kab Mura DISHUT Kab Mura Karya Tani Bapeluh SDA Kelompok Tani
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011
245
1 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94 95 96 97 98. 99.
246
2
3
M. Riawan, SP H. Ahmad Halik A.Md Rizal SP Berta Rahmayani, S.Hut H. Ifwan Setiabudi, SP, M.Si Bambang Irawan Herwan Suwandi Suparjiono, SP Ahmad Subhiri S.Hut Maaya Widiasari Arif Candra, S.Hut Erika Dian, S.Hut Sudarmaji, SP Hendri Patomo
Bapeluh PPK LSM Keriksik SUMSEL UPT AP TPK DISHUTBUN empat Lawang Bapeluh PPK Kab Mura UPT BP Sumber Harta DISHUT Mura HPT BP Tuah Negeri Bapeluh PPK Kab Mura MPA UN mura DISHUT Musi Rawas Bapeluh PPK Kab Mura Penyuluh Kehutanan UN Mura
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2011