,
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
Z Seminar Fisika d an A plikasinya
ISSN: 2086 - 0773
PROSIDING
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013 Surabaya, 18 Juni 2013
Sumber Energi Baru dan Terbarukan Untuk Kemandirian Bangsa Jurusan Fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
ISSN: 2086-0773 1
http://www.seminar.physics.its.ac.id
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013 18 Juni 2013
Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Kemandirian Bangsa
Prosiding Dewan Editor: Endarko Gatut Yudoyono Lila Yuwana
Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengerahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember SURABAYA
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
i
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ii
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PENGANTAR REDAKSI Kebutuhan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) merupakan isu strategis baik tingat nasional maupun internasional. Energi alternatif baru dan terbarukan sangatlah mendesak diperlukan untuk pemenuhan energi nasional yang semakin hari dirasakan semakin mengalami penurunan karena minimnya ketersedian BBM sebagai energi utama. Fisika merupakan ujung tombak (the frontier) ilmu pengetahuan dan teknologi. Memasuki globalisasi yang semakin kompetitif, pengembangan dan penerapan sains fundamental khususnya Fisika merupakan keniscayaan bagi setiap bangsa terlebih Indonesia yang sangat luas secara geografis dan mempunyai potensi alam luar biasa. Tidak salah ungkapan tanpa Fisika tidak ada sains dan tanpa sains tidak ada masa depan. Seminar Fisika dan Aplikasinya merupakan kegiatan rutin tingkat nasional yang diselenggarakan Jurusan Fisika, FMIPA-ITS dalam rangka berperan aktif menjawab tantangan besar tersebut. Kurangnya penelitian yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan industri mengakibatkan belum banyaknya industri yang bersedia membiayai penelitian di perguruan tinggi. Selain itu, belum adanya sinergi antar perguruan tinggi, industri dan instansi-instasi terkait menyebabkan belum selarasnya mata kuliah yang ditawarkan serta topik-topik penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Hal ini mengakibatkan adanya kesan tidak adanya nilai tambah penelitian terhadap persoalanpersoalan di lapangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Melalui pengembangan penelitian yang berkelanjutan diharapkan keterkaitan antara peneliti, pendidikan dan penerapan IPTEK, serta manajemen dapat ditingkatkan. Peserta berasal dari perguruan tinggi dan instansi di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi Kalimantan, dan Merauke. Abstrak yang masuk ke panitia berjumlah 65, yang tidak terseleksi atau mengundurkan diri sejumlah 15 abstrak. Makalah yang dipresentasikan dan dumuat dalam prosiding ini ada sebanyak 37 judul makalah. Selain menyediakan sarana komunikasi ilmiah bagi dosen,mahasiswa, maupun instansi di Indonesia, seminar ini juga bertujuan secara khusus untuk memfasilitas para peneliti, mahasiswa dan instansi untuk melakukan tukar pikiran dan pengalaman dalam menyusun perencanaan dan penerapan penelitian inovatif yang berkualitas dan berkelanjutan dan tepat sasaran. Dalam jangka panjang diharapkan penelitian-penelitian yang dihasilkan dapat memberikan kontribusi lebih terhadap pembangunan nasional dan kemandirian indonesia. Surabaya, 10 Juli 2013 Redaksi, ttd Endarko, Ph.D.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
iii
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
iv
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
KATA SAMBUTAN Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah Tuhan seluruh sekalian alam. Atas petunjuk dan nikmatNya kegiatan Seminar Fisika dan Aplikasinya tahun 2013 dengan tema “Sumber Energi baru dan terbarukan untuk Kemandirian Bangsa” dapat terlaksana setelah sekali tertunda karena beberapa kendala. Seminar Fisika dan Aplikasinya ini sebagai bagian program pengembangan jurusan Fisika FMIPA yang terintegrasi dengan program kerja jurusan Fisika lainnya seperti penelitian mahasiswa, staf pengajar, seminar rutin (mingguan) jurusan, serta kegiatan akademik lainnya. Seminar ini meliputi berbagai bidang kajian Fisika, seperti Fisika Material, Fisika Bumi, Optoelektronika, Fisika Komputasi dan Instrumentasi, dan Fisika Teori, sebagai sarana komunikasi di antara para peneliti terkait dengan program penelitian yang telah, sedang dan akan dilakukan. Selain daripada itu, kegiatan ini merupakan satu dari sekian banyak forum – forum ilmiah, seperti: pertemuan tahunan Fisika, simposium Fisika Nasional, pertemuan regional Himpunan Fisika Indonesia dan lain lain yang terkait dengan riset dasar dan terapan bidang Fisika. Kegiatan seminar ini direncanakan akan diadakan secara periodik tiap 2 tahun sekali. Pada kesempatan ini, kami mengucapkaan terima kasih kepada para pembicara tamu di Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013 yang telah berkenan hadir: 1) Prof. Dr.rer.nat. Agus Rubiyanto, Atase Pendidikan dan Kebudayaan, KBRI Berlin Jerman 2) Dr. Prabowo, Kepala Pusat Studi Energi, LPPM ITS Surabaya 3) Peserta seminar yang telah mengirimkan makalah atau karya ilmiah lainnya, sehingga seminar ini bisa dilaksanakan. 4) Panitia seminar yang telah bekerja keras, sungguh – sungguh dan penuh dedikasi dalam mengorganisasi kegiatan ini. 5) Pihak – pihak yang secara langsung atau tidak telah ikut andil dalam penyelenggaraan seminar ini. Semoga apa yang telah dilakukan membawa kemanfaatan dan keberkahan untuk kita semua. Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Ketua Jurusan Fisika FMIPA ITS ttd Dr. Yono Hadi Pramono, M.Eng.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
v
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
SUSUNAN PANITIA Penanggung Jawab: 1. Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan, M. Sc. (Dekan FMIPA ITS) 2. Dr. Yono Hadi Pramono, M.Eng. (Ketua Jurusan Fisika FMIPA ITS) 3. Dr. Melania Suweni M., MT (Sekretaris Jurusan Fisika FMIPA ITS)
Penitia Pelaksana: 1. 2. 3. 4.
Ketua : Endarko, M.Si, Ph.D. Wakil Ketua: Gatut Yudoyono, MT. Sekretaris : Lila Yuwana, M.Si. Bendahara : Yudi Astanto
Kesekretariatan: 1. Isminarti, S.Kom. 2. Devy Fitri Astatik, A.Md. 3. Feriana Zairini, S. Ak.
Redaksi Prosiding: 1. Endarko, M.Si, Ph.D. 2. Gatut Yudoyono., MT. 3. Lila Yuwana, M.Si.
Acara: 1. Drs. Ec. Suparno 2. Lila Yuwana, M.Si.
Konsumsi: Sri Suyanti, A.Md. Perlengkapan dan dokumentasi: Suko Widyatmoko
vi
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
DAFTAR ISI iii
Pengantar Redaksi Kata Sambutan Susunan Panitia
v vi
Daftar Isi
vii Pembicara Tamu
Prabowo, Andre GT, Ekadewi
Delphi Programming for Performance Analysis of Organics Rankine Cycle in Different Refrigerants for Low Tmperature Geothermal
1-8
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya
Pembentukan Pusat Keunggulan Energi Geothermal Indonesia-Jerman
9-18
Aplikasi Fisika Nanang Sudrajat dan Tony Kristiantoro
Fabrikasi Magnet Permanen Menuju Industri Rumahan
19-24
Sri Suryani
Penggunaan Konsep Fisika Dalam Pertimbangan Untuk Mementukan Posisi Persalinan
25-30
Totok Mulyono, Erma Suryani, Rully Agus Hendrawan
Integrasi Model Sistem Dinamik dan Sistem Informasi Geografis Dalam Mendukung Distribusi dan Produksi Beras Untuk Mengatur Keseimbangan Antara Kebutuhan dan Pasokan Pangan (Studi Kasus : Propinsi Jawa Timur, Indonesia)
31-39
Yayat Iman Supriyatna dan Suharto
Kajian Awal Pembuatan Kapur Tohor Memanfaatkan Tungku Blast Furnace UPT BPML - LIPI
41-50
Fisika Teori M. Arief Bustomi, Agustina Tri Wahyudi, Endah Purwanti
Pengaruh Jumlah Titik Data Syarat Batas Pada Pendekatan Kartesian Untuk Sistem Potensial Listrik Geometri Polar
51-57
Nofa Ria Sagita dan Agus Purwanto
Karakteristik Grup Permutasi Genap A4
59-70
Yohanes Dwi Saputra dan Agus Purwanto
Algoritma Deutsch - Jozsa Untuk Sistem Kuantum Dua dan Tiga Qubit
71-78
Fisika Material A. Indra Wulan Sari R, Abdul Haris, dan Subaer
Pengaruh Penambahan Matriks Geopolimer
γ-Al2O3 Terhadap Homogenitas
79-86
Armayani. M, Abdul Haris, dan Subaer
Pengaruh Agregat Serat Baja - Karbon Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Komposit Geopolimer Berbasis Abu Terbang (Fly Ash)
87-94
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
vii
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
Harmadi, Neneng Fitrya, dan Sandra
Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill) Berbasis Speckle Imaging
95-102
F.U. Ermawati, S. Pratapa, S. Suasmoro
A Dissolving Route in Synthesis of High Purity Mg0.5Zn0.5TiO3 Nanocrystals
103-106
Fitriani Tresnaputri dan Abu Khalid Rivai
Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS (Oxide Dispersion Strengthened) MA957 Dengan Variasi Waktu Milling Benefisiasi Bijih Besi Dengan Cara Fisik Menggunakan Metode Magnetic Separator
107-114
121-126
Qudsiyyatul Lailiyah, Nurul Fitria A, Darminto
Sintesis Kalsium Karbonat Presipitat dari Material alam (Dolomit dan Batu Kapur yang Didoping Dengan Mg) Dengan Metode Karbonasi Fabrikasi Kalsium Karbonat Presipitat (CaCO3) Fase Vaterit Dengan Metode Pencampuran Larutan
Rifan Satiadi, Erlyta Septa Rosa, dan Shobih
Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer Hibrid Berbasis MDMO-PPV:ZnO Substrat Fleksibel
133-140
Tony Kristiantoro dan Nanang Sudrajat
Sifat Magnetik Ba1-xGdxFe12O19 (x=0,10; 0,15; 0,20) Disintesis dengan Proses Autocombustion Sol-gel
141-144
Vicran Zharvan, Muris, Subaer
Studi Struktur Mikro dan Kuat Lentur Komposit Geopolimer Serat Bambu Dengan Suhu Curing Berbeda
145-152
Linda Silvia, Kurniawati Choirur Rosyidah, M. Zainuri
Pengaruh Ion Doping Zn Terhadap Sifat Kemagnetan barium M-Heksaferit BaFe12-xZnxO19 Berbasis Pasir Besi Tulungagung
153-158
Bambang Prihandoko
Singkong sebagai Bahan Baku Carbon Black pada Aplikasi Batere Lithium
159-164
,
Muhammad Amin Suharto, Yayat Imam, M. Yunus, Agus Junaedi Nurul Fitria Apriliani , Qudsiyyatul Lailiyah, Darminto
115-120
127-132
Optoelektronika Yono Hadi Pramono, Sefi Novendra, Wahyu Hendra Yono Hadi Pramono, Wina Indra Lavina, Yasin Agung Sahodo
Antena Mikrostrip Loop Simetris Terpisah Oleh GAP Dengan Feed Line CPW Untuk Frekuensi 2,4 GHz
165-170
Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional berbasis Mach Zehnder Interferometer
171- 176
Anwaril M., Lucky Putri R, Retno FM., G. Yudoyono
Aplikasi Directional Pergeseran Mikro
Sensor
177-180
Lucky Putri R, Retno FM., Anwaril M., G. Yudoyono
Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Single Coupler dan Directional Double Coupler Serat Optik Multimode
181-188
Ice Trianiza, G. Yudoyono
Fabrication DSSC (Dye Sensitized Solar Cell) With Conductive Glass and Variation Dye Extract Red Ginger (Zingiber officinale Linn Var. Rubrum) With Spin Coating Method
189-196
Nurrisma Puspitasari, Nurul Amalia Silvi, dan Endarko
Fabrikasi dan Karakterisasi Sel Tunggal Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) Berbasis TiO2 Menggunakan Ekstraksi Buah Manggis, Kunyit dan Klorofil dengan Variasi Dye dan Elektrolit
197-202
viii
Double
Coupler
http://www.seminar.physics.its.ac.id
Sebagai
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
Nurul Amalia Silvi, Nurrisma Puspitasari, dan Endarko
Analisis Perbandingan Nilai Efisiensi Pada Pembuatan Protype Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) Berbasis TiO2 Single Layer dan Double Layer
203-208
Yasin Agung S., Wina I.N., Yuni N.H.,Mefina Y., Banatul M., Yono HP., G. Yudoyono
Karakterisasi Divais Multimode Interference Imaging (MMI) Untuk Power Spliter 1 X 3 Berbahan Polimer
209-214
Yono Hadi P., Ayu Kusumawardhani, Vira Rahayu
Disain dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Dipole Bersudut Untuk Frekuensi WI-FI 2,4 GHz
215-220
Yuni NH, Yasin AS., Wina IN, Mefina Y., Banatul M., G. Yudoyono, A.Y. Rohedi
Studi Awal Pengaruh Temperatur Pada Pandu Gelombang Planar Asimetri Berbahan Methyl Methacrylate (MMA) dengan Metode Spin Coating
221-226
Komputasi dan Instrumentasi Pratondo Busono
A Comparative Study of Various Methods of Respiratory Frequency Estimation From Electro Cardiogram
227-234
Pratondo Busono
Development of A Three-Lead Electro Cardiograph With Embedded Digital Filter On FPGA For Noise Removal
235-242
Hadziqul Abror dan Melania Suweni M
Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Macrobending Serat Optik
243-248
Indah Ayu dan Melania Suweni M
Analisis Pengaruh Jari - jari dan Jumlah Lilitan Terhadap Power Loss pada Serat Optik Menggunakan Optical Spectrum Analyzer
249-254
Triswantoro Putro dan Endarko
Pengaruh Variasi Penempatan Kutub Medan Magnet Terhadap Pengukuran Kadar CaCO3 Dalam Air
255-260
Suyatno, Harijono A. Tjokronegoro, IGN. Merthayasa, R. Supanggah Bachtera Indarto, Melania S M , Darminto
Karakteristik Akustik Gamelan Jawa Studi Kasus Gamelan Milik PSTK ITB
261-268
Pembuatan Magnetometer untuk Menentukan Karakteristik Bahan Superkonduktor
269-278
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ix
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
x
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
DELPHI PROGRAMMING FOR PERFORMANCE ANALYSIS OF ORGANIC RANKINE CYCLE IN DIFFERENT REFRIGERANTS FOR LOW TEMPERATURE GEOTHERMAL Prabowo, Andre GT, Ekadewi
Dept. of Mechanical Engineering, ITS Surabaya Kampus ITS – Sukolilo, Surabaya 60111
[email protected]
Abstract A software has been developed in a Windows-based Delphi programming for analyzing the influence of the transport and thermodynamic properties of the refrigerants on the performance of the Organic Rankine Cycle (ORC). Its user-friendly drag and drop icon format and excellent color graphics make it an interactive tool for the preliminary design of the ORC system. The research was carried out by analyzing the performance of the system components and the overall ORC based on the ideal cycle of the various working fluids within R22, R123, R134a and RC318. The pressure of evaporator was changed in three steps 7, 10 and 12 bar, while the condenser was kept constant pressure at 1 bar. The turbine inlet temperature was moved in the range 100 0C to 140 0C. Contribution of the transport and thermodynamic properties of the working fluids towards the performance of the components and the system were then comparatively. R22 has a high turbine work output and also high cycle efficiency than R123, R134a and RC318 by increasing turbine inlet temperature. RC318 will give good efficiency if it is operated at saturated vapor condition. RC318 has low latent heat of vaporization thus vaporizes under relatively very low evaporator heat supply.
Keywords : Organic Rankine Cycle, Delphi programme, Performance analysis
1. INTRODUCTION Geothermal heat sources vary in temperature from 50 to 300 0C, and can either be superheated, mainly saturated steam, a mixture of steam and water or just liquid water. Generally, the high temperature (>170 0C) and pressure (> 6 bar) are suitable for commercial production of electricity. In such condition, however, only very small probability during exploration geothermal well can produce steam in high temperature. In MatalokoNTT east part of Indonesia, almost 50% exploration geothermal wells were producing steam in low temperature (< 150 0C) and became un-useful. Organic Rankine Cycle (ORC) with refrigerant as working fluid are the most technology for utilizing such low temperature resources for electricity generation [1-3]. Like the Rankine Cycle, the main components of this system consist of the evaporator, condenser, pump and turbine. This system requires only low temperature and pressure heat sources to produce vapor that turns the turbine to generate electricity and this system also does not require a furnace as the heating component which has pollution effects to the environment. A regenerative cycle improves the efficiency of an ORC and reduces irreversibility when he use various classes of organic working fluid [4]. The cycle power will increase by increasing the mass flow rate of geothermal steam entering the evaporator by mixing the steam from the source with a portion of recirculated steam from the evaporator exit [5]. Experimental study was also proposed to improve the thermal efficiency by using solar energy, a displacement-type scroll expander and compound parabolic concentrator solar collector are used [6] The research on the Organic Rankine Cycle that has emphasized on the overall performance of the system in producing power; including the efficiency, power produced and performance of the various components with change in enthalpy, but there hasn’t yet been an adequate explanation behind the increase in power or efficiency in connection with the thermodynamic and transport properties of the refrigerants. As such this research seeks to carry out an analysis into the influence of these properties to the individual components and the overall performance of the system. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
1
Prabowo, Andre GT, Ekadewi / Delphi Programming for Performance Analysis ...
SFA 2013
2. Methodology 2.1 Analysis of an ORC System The schematic of the ORC system is shown in Figure 1. Low temperature heat sources (low grade geothermal energy) is passed through the evaporator heating the working fluid and is converted from liquid to a high pressure vapor. The vapor is used to drive a turbine and is changed into a low pressure vapor. At the same time, the thermal energy of the vapor is converted to mechanical energy and will be producing electricity if generator is connected to turbine shaft. The vapor leaving the turbine is then condensed at the condenser and pumped back to the evaporator. The working fluid then passes through a series of devices in a closed cycle. By modeling each device, a complete cycle simulation is achieved. The simulation requires such condition as the turbine inlet pressure P1 is changed in three steps 7, 10 and 12 bars, besides that the turbine outlet pressure P2 was kept at constant 1 bar. The turbine inlet temperature is set between 100 to 140 0C to be a superheated phase. The working fluid passing through the condenser is assumed to be a saturated liquid. In this simulation, each stage of the working fluid is expressed by the equation (1) to (5) [8]. The equations are used to determine the cycle efficiencies for basic ORC configurations are presented in this section. The thermodynamic model presented in this chapter assumes the following: 1) steady state conditions, 2) no pressure drop in the evaporator, condenser, and pipes, and 3) isentropic process for the turbine and pump.
Process 1-2 (Turbine): The superheated vapor of the working fluid passes through the turbine to generate mechanical power. The vapor expands in the casing and it will be depressurized by the turbine blades. The vapor comes out of the turbine at lower pressure P2. The turbine power is given by:
WT = h1 − h2 s m&
(1)
& is the working fluid mass flow rate, and h1 and h2s are the enthalpies of the working fluid at the Where m inlet and outlet of the turbine for isentropic process.
Figure 1. Schematic of the ORC system
Process 2-3 (Condenser): The vapor of the working fluid goes through a constant pressure phase change process in the condenser into a state of saturated liquid. The condenser heat rejection rate is expressed as,
Qcondenser = h2 s − h3 m&
2
(2)
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Prabowo, Andre GT, Ekadewi / Delphi Programming for Performance Analysis ...
SFA 2013
Process 3-4 (Pump): The working fluid (saturated liquid) leaving the condenser at low pressure P3 regains high pressure here to P4. The working fluid is pumped back into the evaporator. The pump power can be expressed as,
Wp m&
= h4 s − h3 = v f ( P4 − P3 )
(3)
where h3 and h4s are the enthalpies of the working fluid at the inlet and outlet of the pump for the ideal case.
Process 4-1 (Evaporator): In the evaporator, the low temperature geothermal heats the working fluid from the pump outlet to the turbine inlet condition. Taking a control volume enclosing the evaporator, the heat transfer rate from the energy source into the working fluid is given by,
Qevaporator m&
= h1 − h4 s
(4)
Cycle efficiency: The thermal efficiency is defined as the ratio between the net power of the cycle to the evaporator heat rate. It gives a measure about how much of the waste heat input to the working fluid passing through the evaporator is converted to the net work output and can be expressed as,
η=
WT / m& − W p / m& Qevaporator / m&
× 100
(5)
2.2 Description of Software A window-based Delphi programming have been created to determine the influences of the transport and thermodynamics properties including density, viscosity, thermal conductivity, latent heat and enthalpy for different refrigerant in performance trend of ORC. Thermodynamics properties of common refrigerant where have been taken from NIST [7] are included in the software. These kind of properties are automatically calculated based on input fluid temperatures and pressure in every stage. The existing database of refrigerant properties cater for R22, R123, R134a and RC318. In simulation process, the software will display each components of the ORC system (Turbine, Reheat Turbine, Condenser, Pump and Evaporator) as shown in Fig. 2 for the beginning form.
Figure 2. The beginning form
Figure 3. Design ORC system with drag and drop
Then, the user can drag the select components/icons and drop to the empty form. Connecting these components to make organic Rankine cycle system as shown in Fig. 3. This simulator is user friendly with attractive icon and easy to operate.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
3
Prabowo, Andre GT, Ekadewi / Delphi Programming for Performance Analysis ...
SFA 2013
3. Results and Analysis 3.1. Numerical Simulation Results
Figure 4. Input data and calculation results
Figure 5. T-s diagram and model process
After finishing the design of ORC system, pressure and temperature will be inputted for each component like evaporator, turbine, condenser and pump. The user also can choose the kind of working fluid will be used. The software will automatically calculate turbine and pump work, heat rejection condenser, cycle efficiency, properties in each stage of the process, etc, based on data inputted by the user. The output from this process was shown in Fig. 4. Besides that, the simulator will displayed T-s diagram and state of condition for working fluid in each stage as shown in Fig. 5. Figure 6 (a) and (b) show the dependence of the turbine work (KJ/kg) on the different turbine inlet temperature under superheated vapor condition for pressure 7 bar and 12 bar respectively, with constant pressure 1 bar at condenser. In the case of R22 and R134a at pressure 7 bar, the work turbine significantly increases with increase in the turbine inlet temperature. The work turbine is calculated by Eq. (1).
(a) Pevaporator =7 bar
(b) Pevaporator =12 bar
Figure 6. Effects of the turbine inlet temperature on turbine work for P=7 bar and P=12bar As this equation, increasing the value of enthalpy inlet turbine will formulate the turbine work output become enlarge. For R123 and RC318, it only slightly increases and also the value of the turbine work output is small. Accordingly the relationship the work turbine and the temperature inlet turbine is expressed as a straight line.
4
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Prabowo, Andre GT, Ekadewi / Delphi Programming for Performance Analysis ...
SFA 2013
For the evaporator pressure 12 bar, the turbine work has same tendency with Fig. 6 (a) only the value relatively higher than pressure 7 bar. Figure 7 (a) and (b) present the effect of the turbine inlet temperature on the cycle efficiency under superheated vapor condition for pressure 7 bar and 12 bar respectively, with constant pressure 1 bar at condenser. From the point view of the ideal system, these values of the cycle efficiencies are very strict.
(a) Pevaporator =7 bar
(b) Pevaporator =12 bar
Figure 7. Effects of the turbine inlet temperature on cycle efficiency for P=7 bar and P=12 bar R22 has highest cycle efficiency and increases trend with enhancing in the turbine inlet temperature. Therefore raising the temperature inlet turbine and pressure, give us much higher system performance. Inline with R22, R123 and R134a have also increase trend. Conversely, RC318 has lowest the cycle efficiency and decreases tendency for increasing turbine inlet temperature. Thus RC318 will give the best efficiency if it is operated at saturated vapor condition. For the pressure 12 bar, the cycle efficiency has same gradient with Fig. 7 (a) only the value slightly higher than pressure 7 bar. These results, however, tell us the characteristics of each working fluid and the effect of the temperature inlet turbine.
3.2. Component Transport Properties Analysis Tabel 1. Thermal properties of working fluids Working Fluid
Molecular Weight (gr/mol)
Critical Pressure (KPa)
Critical Temp. (°C)
R22
86.48
4977.4
96
R123
152.93
3668
183.68
R134a
102.03
4067
101.1
RC318
200.04
2781
115.3
There are several criteria that the working fluid should ideally satisfy. Stability, non fouling, non corrosiveness, non toxicity, and non flammability are few preferable physical and chemical characteristics. Also, the working fluid should have relatively low boiling point to be used in a organic Rankine cycle, since we deal with low temperature geothermal. However, in a cycle design, not all the desired general requirements can be
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
5
Prabowo, Andre GT, Ekadewi / Delphi Programming for Performance Analysis ...
SFA 2013
satisfied. Table 1 lists the thermal properties of these working fluids. R22 has the smallest molecular weight, this mean R22 has the density smaller than the others. Contrary, RC318 has the biggest molecular weight, this mean using the same pump capacity, RC318 has the highest mass flow rate. Figure 8 (a) and (b) present T-s diagram for R22 and RC318, respectively. The different of entropy between saturated gas and saturated liquid (sfg) represents big or small latent heat. In addition, a highest latent heat means the largest portion of the energy supplied is taken up during phase change at constant temperature and pressure. The working fluid, R22, has wider T-s than the other organic fluids, this is taking up more heat during evaporation. Contrary, RC318 has narrower T-s diagram, thus less heat during evaporation. The state condition of RC318 has always superheated steam out from turbine even inlet turbine in saturated vapor condition. Figure 9 (a) and (b) show the effect of the turbine inlet temperature on specific volume of the working fluid for P=7 bar and 12 bar respectively. In the case of each working fluid, the specific volume increases proportionally with increase in the turbine inlet temperature. The working fluid, RC318, has the lowest specific volume and the value will enlarge in higher pressure P=25 bar. Additionally, the work pump was calculated by Eq. (3). This equation reveals that an increase in specific volume is also associated with increase the pump work.
(a) R22
(b) RC318
Figure 8. T-s Diagram for working fluid considered
(a) Pevaporator =7 bar
(b) Pevaporator =12 bar
Figure 9. The effects of the turbine inlet temperature on specific volume of the working fluid for
6
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Prabowo, Andre GT, Ekadewi / Delphi Programming for Performance Analysis ...
SFA 2013
P=7 bar and P=12 bar
hfg Vs Evaporator Pressure
hfg (Kj/kg)
250 200 150 100 50 0 0
5
10
15
Pre ssure (bar) R134a
R22
RC318
R123
Figure 10. The impact of the evaporator pressure on enthalpy of vaporization
Figure 10 shows the impact of evaporator pressure on the enthalpy of vaporization (hfg). Almost all working fluids have same trend with decreasing latent heat of vaporization as the evaporator pressure increase. RC318 has the lowest enthalpy of vaporization thus vaporizes under relatively very low evaporator heat supply.
4. Conclusion The simulation and analysis have been done on the effect of thermodynamic and transport properties of R22 (Chlorodifluoromethane), R123 (Dichlorotrifluoroethane), R134a (Tetrafluoro-ethane), and RC318 (Octafluorocyclobutane) on the ideal Organic Rankine cycle, it has been found : 1. With the same rate of flow working fluid, R22 has a high turbine work output and also high cycle efficiency than R123, R134a and RC318, thus more suitable for use as the ORC working. 2. RC318 has lowest the cycle efficiency and decreases tendency in enlarge the turbine inlet temperature. RC318 will give good efficiency if it is operated at saturated vapor condition 3. R22 has a high enthalpy of vaporization, since in the evaporator much heat is absorbed during the phase change at constant temperature and pressure; it thus takes up more heat from the source resulting to high efficiency. 4. Low specific volume as in RC318 is favorable as it increases cycle efficiency by reducing the pumping energy. 5. RC318 has low latent heat of vaporization than R123, R134a and R22, thus vaporizes under relatively very low heat supply. Despite being superheated, the refrigerants has lower cycle efficiencies than R22.
References [1] Yamamoto T, Furuhata T, Arai N, Mori K, "Design And Testing Of The Organic Rankine Cycle", Energy Journal, vol.26, pp 239-251, 2001 [2] Madhawa HD, Mihajlo G, William MW, Ikegami Y, "Optimum Design Criteria For An Organic Rankine Cycle Using Low-Temperature Geothermal Heat Sources", Energy Journal, vol.32, pp 1698-1706, 2007 [3] Donghong W, Xuesheng L, Zhen L, Jianming G, "Performance Analysis And Optimization Of Organic Rankine Cycle (ORC) For Waste Heat Recovery", Energy Conversion and Management Journal, vol.48, pp 1113-1119, 2007 [4] Pedro JM, Louay MC, Kalyan S, Chandramohan S, "An Examination of Regenerative Organic Rankine Cycle Using Dry Fluid", Applied Thermal Engineering Journal, vol.28, pp 998-1007, 2008 [5] Aleksandra BG, Wladyslaw N, "Maximising The Working Fluid Flow As A Way Of Increasing Power Output Of Geothermal Power Plant", Applied Thermal Engineering Journal, vol.27, pp 2074-2078, 2007 [6] Saitoh T, Yamada N, Wakashima S, "Solar Rankine Cycle System Using Scroll Expander", Journal of Enviroment and Engineering, vol.2, no.4, pp 708-719, 2007
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
7
Prabowo, Andre GT, Ekadewi / Delphi Programming for Performance Analysis ...
SFA 2013
[7] National Institute of Standards and Technology, Standard Reference Database 23, Reference Fluid Thermodynamic and Transport Properties-Refprop 7.0, US, 2002. [8] Andrian B. Advanced Engineering Thermodynamics, New York; Wiley, 1997.
8
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PEMBENTUKAN PUSAT KEUNGGULAN ENERGI GEOTHERMAL INDONESIA-JERMAN Agus Rubiyanto1, Makky S. Jaya2 1
Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Berlin, Jerman, Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 2
International Center for Geothermal Research, German Research Center for Geosciences (GFZ), Helmholtz Center Potsdam, Germany
Abstrak: Saat ini hubungan bilateral Negara Indonesia dan Jerman telah memasuki kerjasama lebih dari 60 tahun. Indonesia secara alami dianugerahi kandungan sumber daya geothermal dengan kapasitas pembangkit listrik sampai dengan 29000 MW yang terbesar di dunia. Sampai dengan tahun 2015 diharapkan Indonesia akan membangun sebesar 3967 MW dari tenaga geothermal ini, sedangkan tahun 2025 menjadi 9500 MW. Sebaliknya Jerman merupakan salah satu negara maju yang memiliki kapasitas untuk pengembangan teknologi dan investasi pembangkit listrik. Jerman berencana akan menggantikan pembangkit listrik dari tenaga nuklir dengan energi terbarukansampai dengan tahun 2022, termasuk diantaranya dari tenaga geothermal. Melihat kesamaan target antara pemerintah Indonesia pada tahun 2025 dan Jerman pada tahun 2022, perlu kiranya ditingkatkankerjasama ke uda Negara untukpengembangan energi geothermal. Pada kurun waktu 2010-2012 telah terbentuk jaringan kompetensi Indonesia-Jerman di bidang energi geothermal. Jaringan kompetensi ini merupakan muara dari aktifitas kerjasama penelitian dan pengembangan kedua negara yang dilakukan oleh peneliti dan profesional dari lembaga pemerintah, universitas dan industri di bidang energi geothermal melalui aktifitas kerjasama penelitian. Dalam upaya untuk mencapai target pemenuhan kapasitas terpasang sebesar 9500 MW pada tahun 2025, program intensifikasi kerjasama Indonesia-Jerman untuk pengembangan energi geothermal diusulkan suatu mengimplentasikan langkah strategis membuat platform pusat keunggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal. Pusat keunggulan tersebut merupakan titik temu yang sangat strategis dan sinergis antara Indonesia dan Jerman yang secara operasional merupakan pusat bagi kedua negara dalam bidang peningkatan kapasitas, pengembangan teknologi, pusat informasi dan pusat kerjasama industri geothermal.Kerjasama ini meliputi meliputi tiga (3) aspek yaitu : peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui kerjasama penelitian dan pendidikan; penguasaan teknologi melalui penelitian bersama yang berorientasi pada penyelesaian masalah dilapangan (field-based operational research); dan membuka kesempatan bagi perusahaan dan pengembang Jerman untuk berinvestasi dan berpartisipasi dalam pengembangan energi geothermal di Indonesia dengan terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan penelitian dan pengembangan. Kata kunci: energi geothermal, kerjasama Indonesia-Jerman, investasi, teknologi
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
9
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
1. PENDAHULUAN Hubungan bilateral Indonesia dan Jerman pada tahun 2012 ini memasuki babak baru yang secara resmi telah terjalin selama 60 tahun. Era baru ini ditandai oleh peningkatan hubungan dengan terjalinnya sebuah Kemitraan Strategis (Strategic Partnership) antara kedua negara. Kedatangan Kanselir Jerman Dr. Angela Merkel ke Indonesia pada 10-11 Juli 2012 semakin memperkokoh hubungan kedua negara. Selama ini hubungan bilateral Indonesia-Jerman sejak dibukanya hubungan diplomatik kedua negara tahun 1952 telah berlangsung dengan baik. Langkah menuju Kemitraan Strategis ini sebagai respons terhadap peningkatan hubungan antara Indonesia-Jerman di berbagai bidang terkini, sebagaimana telah dirintis dalam kunjungan Presiden Jerman saat itu, Christian Wulff, pada akhir tahun 2011. Peluncuran Jakarta Declaration: Indonesian-German Joint Declaration for a Comprehensive Partnership “Shaping Globalisation and Sharing Responsibility”, menandai kunjungan Kanselir Merkel ke Indonesia. Deklarasi ini mencerminkan keinginan kuat dari kedua negara untuk terus meningkatkan hubungan yang telah terjalin dengan baik sejak lama. Lima bidang kerja sama yang telah disepakati pada saat kunjungan Presiden Christian Wulff, yaitu bidang perdagangan dan investasi, riset dan teknologi, kedokteran, pendidikan dan pertahanan akan diperkuat dengan tiga bidang tambahan yaitu ketahanan pangan, energi terbarukan, dan transportasi. Berbagai kerjasama yang telah disepakati di atas bisa terwujud karena Pemerintah Jerman memandang Indonesia sebagai negara yang memiliki peran penting di kawasan serta salah satu negara tujuan utama investasi di kawasan Asia Tenggara. Jerman juga sangat memuji kemajuan demokrasi di Indonesia. Hal ini tercermin dari kunjungan Angela Merkel ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI. Angela Merkel menilai sejak adanya Mahkamah Konstitusi, penegakan hak azasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami peningkatan yang bagus. Kanselir Merkel juga memandang penting peran Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu upaya pengembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Sebaliknya, Indonesia juga memandang Jerman sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Uni Eropa. Jerman juga tercatat salah satu investor terbesar di Indonesia dan salah satu negara donor terbesar di bidang kerjasama pembangunan dengan Indonesia. Terlebih lagi, Jerman dikenal memiliki sistem pendidikan dan universitas berkualitas baik, teknologi tinggi dalam produksi alat kesehatan dan obat-obatan, kemampuan riset dan teknologi yang maju serta teknologi industri pertahanan strategis. Dalam bidang-bidang lain, hubungan Indonesia-Jerman juga menunjukkan peningkatan. Kedua negara secara rutin menyelenggarakan dialog antar-agama dan antar budaya, forum konsultasi reguler dan pemberian beasiswa baik bagi mahasiswa Indonesia untuk belajar di Jerman, maupun sebaliknya. Dalam kerangka dialog antar-agama dan antar-budaya, Indonesia akan memberikan 10 beasiswa bagi mahasiswa Jerman untuk belajar kajian Islam di Indonesia, sebaliknya pihak Jerman menawarkan pelatihan kejuruan bagi santri madrasah di Indonesia. Di bidang pendidikan, saat ini telah diluncurkan program debt-swap yang dialokasikan untuk membiayai pendidikan program doktor bagi dosen-dosen Indonesia guna melanjutkan pendidikan tingkat S-3 ke Jerman. Di sisi lain, Jerman tetap merupakan salah satu tujuan utama mahasiswa Indonesia untuk menimba ilmu, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan terdapat peningkatan mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman.
2. Tantangan Pengembangan Energi Geothermal di Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat istimewa dicirikan dengan keberadaan berbagai macam fenomena geologis, vulkanik dan tektonik yang mengelilingi wilayahnya dari timur ke barat dan dari selatan ke utara. Paparan daratan yang membentuk kepulauan di Indonesia adalah merupakan pertemuan dari berbagai lempeng tektonik berasal dari berbagai macam usia geologi. Karena pertemuan (tumbukan) dari berbagai macam lempeng tektonik tersebut kepulauan di Indonesia terbentuk deretan gunung-gunung berapi yang membentang mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Flores sampai dengan Sulawesi Utara. Gambar 1a adalah peta kompilasi GIS yang menunjukkan fenomena geologis, vulkanis dan tektonik dari negara Indonesia [1].
10
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
Deretan gunung api yang membentang sepanjang kurang lebih 5000 km tersebut sering dinamakan para ahli sebagai Pacific Ring of Fires. Keberadaan dari deretan gunung api ditambah dengan lokasi palung akibat adanya pertemuan dua lempeng tektonik membuat Indonesia rentan dengan fenomena bencana alam geologis berupa gempa bumi (baik tektonis dan vulkanis), semburan lava dan lahar dari gunung api, longsor dan banjir akibat tatanan geomorfologi pegunungan api. Meskipun rentan dengan fenomena bencana alam geologis, keberadaan dari deretan gunung api dan tata letak geomorfologis memberikan anugrah bagi Indonesia sebagai negara dengan potensi energi panas bumi (geothermal energy) yang sangat besar. Hasil penyelidikan dari Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi Indonesia di Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), ditemukan 276 lokasi sumber daya panas bumi yang tersebar sebagian besar didekat deretan gunung api. Gambar 1b menunjukkan peta lokasi sumber daya panas bumi (kotak berwarna biru).Dihitung dalam potensi energi listrik yang bisa dihasilkan dari geothermal, potensi sumber daya geothermal total diperkirakan mencapai 29000 MW (mega watt). Sampai dengan bulan April 2012, dari 276 lokasi sumber daya geothermal, sebanyak 1226 MW telah dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB), yang berarti baru sekitar 4% kapasitas potensial total. Selain itu dari gambar tersebut bisa dilihat bahwa kebanyakan PLTPB yang sudah berproduksi berada di pulau Jawa, khususnya di propinsi Jawa Barat.
a)
b)
Gambar 1.a) Wilayah Indonesia dikelilingi oleh fenomena tektonik dan vulkanik. Segitiga merah menunjukkan gunung api aktif besar (tidak semua gunung api di Indonesia ditampilkan). Lingkaran hijau adalah lokasi gempa besar dari tahun 1992-2012.Batas-batas tumbukan lempeng tektonik ditunjukkan oleh garis warna hitam, biru (putus-putus) dan jingga (putus-putus).Tanda panah dan angka pada gambar tersebut menunjukkan arah dan besar dari gerakan lempeng dalam centimeter per tahun.b) . Lokasi potensi sumber daya panas bumi (kotak berwarna biru), dipadukan dengan lokasi gunung api aktif (segitiga berwarna merah). Grafik balok berwarna hijau menunjukkan sumber daya panas bumi yang sudah dimanfaatkan dalam bentuk energi listrik.Gambar adalah kompilasi Geographical Information System (GIS) dengan menggunakan ArcMAP oleh Jaya et al. (2012) [1].
Menurut Peraturan Menteri ESDM No 15 tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 pemerintah akan membangun 43 PLTPB baru dengan kapasitas sampai dengan 3967 MW dari lokasi sumber daya geothermal yang ada mulai dari propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sampai dengan Maluku Utara. Dengan demikian diharapkan sampai dengan 2015 kurang lebih 5000 MW listrik dihasilkan dari energi geothermal yang merupakan angka kontribusi ideal untuk mencapai 9500 MW energi listrik dari panas bumi pada tahun 2025.Target capaian 5000 MW sampai dengan 2015 atau 9500 MW pada tahun 2025, ditinjau dari berbagai macam aspek adalah merupakan target yang penuh tantangan dan jika tidak diperhatikan akan menjadi target yang ambisius. Secara umum tahapan pengembangan energi geothermal mulai dari menemukan lokasi sumber daya geothermal sampai dengan produksi listrik digambarkan dalam diagram yang ditunjukkan pada Gambar 2. Tergantung dari paparan geologis masing-masing wilayah secara umum waktu pengembangan mulai dari
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
11
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
tindakan explorasi sampai dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi akan memakan waktu dari 7-10 tahun. Keberhasilan pengembangan pembangkit listrik dari panas bumi sangat ditentukan oleh keberhasilan memahami proses keseluruhan secara integral dan inter-disipliner. Hal ini berarti sintesa tentang hubungan antara singkapan atau manifestasi geothermal di permukaan dengan system geothermal di bawah permukaan bumi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pengembangan energi geothermal. Tujuannya untuk mengidentifikasi sumber daya geothermal secara lebih pasti dan dengan demikian mengurangi resiko dan biaya pengembangan secara keseluruhan [2,3]. Dalam setiap tahapan investasi biaya dan resiko yang terkandung tidak kecil. Oleh karena itu pengembangan energi geothermal, sebagaimana pengembangan sumber daya alam lain, selain berdampak pada biaya tinggi, juga memerlukan teknologi tinggi dan sekaligus beresiko tinggi. Hal ini sesuai dengan revenue yang nantinya akan dihasilkan dari pengembangan energi tersebut. subsurface Basicexploration, geological model, rock properties, temperature, stress-field
Target, licences
Geology
deepened prospection e.g. geophys. fieldwork, preliminary reservoirmodel
1.Feasibility estimation
Geophysical exploration
surface
1.well, logging, testing, stimulation detailled feasibility-study
Site development doublette, Performance test
2.Feasibility estimation
Drillingand reservoirengineering
Utilisationconcept
Doubletconception, technology thermalwaterloop
Geothermal plant (power or heat) engineering, construction, operation
Systemperformance
Technology of the plant systemqualifying
Geothermics-research fields, depending on site
Gambar 2. Konsep pengembangan energi geothermal mulai dari explorasi sumber daya geothermal sampai dengan produksi energi listrik [4].
Secara keseluruhan tantangan dalam pengembangan energi geothermal disajikan dalam bentuk diagram seperti dalam Gambar 3. Proses pengembangan energi geothermal mensyaratkan investasi awal yang tinggi, terutama dikaitkan dengan pengeboran explorasi (exploratory drilling) dalam rangka mengkonfirmasi ketersediaan kapasitas yang akan dipasang. Kemudian untuk melakukan pengembangan energi geothermal secara teknis, diperlukan perangkat dan peralatan yang berteknologi tinggi, mulai dari peralatan explorasi, pengeboran, pengkajian reservoir, instalasi peralatan di permukaan (pipa, penukar panas, dlsb.) sampai dengan pembangkit listrik. Pada akhirnya, perangkat dan peralatan berteknologi tinggi menuntut kecakapan dan kehandalan dari sumber daya manusia (SDM) yang akan menjalankannya. Pemenuhan SDM yang mempunyai kualifikasi merupakan masalah kunci yang dihadapi oleh semua institusi dalam mengembangan energi geothermal dalam kurun waktu sebagaimana yang diharapkan. Kurangnya ahli dalam bidang explorasi atau pengeboran, bisa diatasi dengan memanggil ahli asing yang selalu berkorelasi dengan biaya personal yang tinggi, dampaknya adalah biaya investasi yang tinggi. Demikian pula dengan peralatan berteknologi tinggi. Oleh karena itu, tiga permasalahan pokok dalam mengembangan energi geothermal yang dipaparkan dalam diagram pada Gambar 3 tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain yang membuat pengembangan energi geothermal merupakan tantangan baik dalam hal penguasaan teknologi dan peningkatan kualitas SDM, serta kemauan dan keberanian untuk berinvestasi.
12
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
Gambar 3.Diagram faktor-faktor yang mempengaruhi biaya pengembangan energi geothermal.
3. Kerjasama Indonesia-Jerman Dalam Pengembangan Energi Geothermal Negera Republik Federal Jerman merupakan salah satu negara maju yang sudah dikenal dalam penemuan dan inovasi teknologi.Penemuan dan inovasi teknologi berkorelasi sangat erat dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kapasitas pendidikan dan penelitian.Porsi penelitian dan pengembangan pada gross domestic product (GDP) dengan rata-rata sebesar 2,7% GDP (rata-rata sekitar 65 milyar EURO atau 700 trilyun RUPIAH per tahun) dari tahun 2005-2010 menunjukkan bahwa Jerman menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi basis bagi keberlangsungan daya saing produksi negara mereka. Pada tanggal 6 Juni 2011, parlemen Jerman (Bundestag) setelah melalui debat yang panjang telah memutuskan untuk tidak bergantung pada energi nuklir pada tahun 2022. Saat ini, 23% dari bauran energi di Jerman berasal dari energi nuklir. Sedangkan dari energi terbarukan berjumlah 16%. Sampai dengan tahun 2022, porsi dari energi terbarukan (renewable energy) ditingkatkan menjadi 40% (dimana 2% diantaranya berasal dari energi geothermal atau kira-kira sebesar 7500 MW kapasitas thermal dan listrik terpasang) disertai dengan efisiensi energi untuk menggantikan porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional. Jika dikaitkan dengan target pemerintah Indonesia dalam memenuhi 15% porsi energi tarbarukan, dimana 5%nya (sebesar 9500 MW) diharapkan berasal dari sektor energi geothermal pada tahun 2025, ditemukan suatu korelasi yang sangat menarik dengan target pemerintah Jerman dalam pemanfaatan energi terbarukan (khususnya geothermal) dalam konsep bauran energi di tahun 2022. Beda utamanya adalah, negara Jerman tidak memiliki sumber daya geothermal sebagaimana di Indonesia yang didominasi oleh kekayaan gunung api yang membuat Indonesia mengandung 40% dari cadangan geothermal dunia. Selain pengembangan energi geothermal di dalam negeri, pemerintah Jerman juga sangat aktif dalam berpartisipasi untuk mengembangan energi geothermal, khususnya di Indonesia. Peran aktif pemerintah Jerman dalam pengembangan energi geothermal di Indonesia dapat dilihat dari ditanda tanganinya Joint Declaration antara Kementrian Negara Riset dan Teknologi Indonesia (KMNRT) dengan Kementrian Riset dan Pendidikan Jerman (BMBF) pada tanggal 27 April 2010 di Bali, Indonesia.Melalui kerjasama penelitian dan pengembangan dalam bidang energy geothermal ini, periset dari Indonesia dan Jerman melakukan penelitian dan pengembangan dalam aspek antara lain: teknologi explorasi, pengkajian reservoir dan teknologi pembangkit listrik yang didalamnya memasukkan aspek pengembangan kapasitas (capacity development) institusi dan sumber daya manusia. Dalam kerjasama ini BMBF telah mengalokasikan biaya sebesar 10 juta EURO untuk proyek penelitian dan pengembangan kapasitas. Selaini itu Kementerian Kerjasama Ekonomi (BMZ) berinvestasi sebesar 300 juta EURO untuk proyek pembangunan PLTPB di Seulawah Agam di Propinsi Aceh dan Kotamobagu di Propinsi Sulawesi Utara.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
13
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
Melihat target pemerintah Indonesia pada tahun 2025 dan target pemerintah Jerman pada tahun 2022, intensitas kerjasama Indonesia dan Jerman dalam pengembangan energi geothermal masih perlu ditingkatkan. Peningkatan intensitas kerjasama antara Indonesia dan Jerman dalam bidang ini secara khusus bagi Indonesia akan memberikan kontribusi pada tiga (3) aspek:Peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui kerjasama penelitian dan pendidikan;Penguasaan teknologi melalui penelitian bersama yang berorientasi pada penyelesaian masalah dilapangan (field-based operational research); dan Membuka kesempatan bagi perusahaan dan pengembang Jerman untuk berinvestasi dan berpartisipasi dalam pengembangan energi geothermal di Indonesia dengan terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan penelitian.
4. Jaringan Kompetensi Indonesia-Jerman Dalam Pengembangan Energi Geothermal Dalam kurun waktu 2010-2012, peneliti Indonesia dan Jerman bekerja di empat (4) wilayah di Indonesia dalam rangka program kerjasama penelitian dibidang pengembangan energi geothermal. Ke-empat wilayah tersebut adalah: 1) Sipaholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara; 2) Wayang Windu, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat; 3) Tiris, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur; dan 4) Lahendong, Kabupaten Tomohon, Propinsi Sulawesi Utara. Fokus penelitian dan institusi kerjasama dimasing-masing wilayah berbeda-beda mulai dari Explorasi, Kajian Reservoar dan Pembangkit Listrik Geothermal.
Gambar 4. Lokasi kerjasama dan fokus kerjasama penelitian Indonesia Jerman 2010-2012.
Dalam fase kerjasama tersebut, beberapa lembaga pemerintah dan universitas Indonesia dan Jerman serta industri geothermal di Indonesia telah terbentuk dalam suatu jaringan kerjasama penelitian antara Indonesia dan Jerman (Gambar 6). Lembaga yang terlibat baik lembaga pemerintah, universitas maupun industri memiliki kompetensi yang unik untuk masing-masing fokus penelitian. Sebagai contoh, untuk kerjasama di bidang Explorasi, divisi explorasi dari German Research Center for Geosciences (GFZ) sebagai lembaga Jerman yang memiliki keahlian di bidang kebumian bersama-sama dengan Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi (GA) dan perusahaan pengembang energy geothermal (Star Energy/SE). Dibidang pembangkit listrik, divisi Pembangkit Listrik GFZ bersama dengan Lembaga Jerman dibidang Ilmu Bahan (BAM) bekerjasama dengan BPPT dan Pertamina Geothermal Energy (PGE).
14
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
Gambar 5. Jaringan lembaga pemerintah, universitas dan industri dalam kerjasama Indonesia-Jerman dibidang Pengembangan Energi Geothermal.
Pada fase kerjasama 2010-2012 dari jaringan kerjasama terbentuk suatu jaringan kompetensi Indonesia-Jerman dibidang energi geothermal.Jaringan kompetensi Indonesia-Jerman (Indonesian-German Competence Network) merupakan basis dalam membentuk jaringan keunggulan Indonesia-Jerman yang akan menjadi faktor pemicu meningkatnya intensitas kerjasama Indonesia dan Jerman dalam pengembangan energi geothermal.
5. Pusat Keunggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal Langkah awal yang telah dicapai dalam kurun waktu kerjasama sebelumnya berupa terbentuknya Jaringan Kompetensi Indonesia-Jerman di Bidang Geothermal harus dilanjutkan untuk menjawab tantangan pengembangan energi geothermal baik di Indonesia maupun di Jerman.Hal ini didasarkan kepada beberapa fenomena perkembangan di masing-masing negara yang bisa menjadi motivasi intensifikasi kerjasama Indonesia-Jerman di bidang energi geothermal.Sampai dengan tahun 2015 pemerintah Indonesia akan membangun PLTPB sampai 3967 MW. PLTPB ini kebanyakan adalah modul pembangkit listrik berkapasitas 55 MW. Artinya, lebih kurang sebanyak 600 modul dalam waktu 3 tahun akan dibangun, atau kurang lebih 200 modul setiap tahun. Ini merupakan peluang investasi pembangkit listrik bagi negara Jerman yang sangat terkenal dengan teknologi pembangkit listrik. Langkah strategis dalam melakukan intensifikasi kerjasama Indonesia-Jerman dalam pengembangan energi geothermal adalah dengan merealisasikan Pusat Keunggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal (Indonesian-German Excellence Center on Geothermal Energy).Pusat keunggulan (excellence center) ini merupakan muara dari jaringan keunggulan (excellence network) sebagai langkah konkrit dan logis lebih lanjut dari jaringan kompetensi yang sudah terbentuk dalam kurun waktu kerjasama sebelumnya. Pusat Keunggulan Energi Geothermal memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Memperkuat dan memperluas skala, ruang lingkup dan pengaruh dari kerjasama Indonesia-Jerman dalam pengembangan energi geothermal melalui a. Aktifitas kerjasama penelitian dan pengembangan teknologi pemanfaatan sumber daya geothermal dan PLTPB; b. Promosi jaringan dan sinergi antara lembaga pemerintah, penelitian, pendidikan dan industri dalam program pengembangan dan aplikasi teknologi mutakhir. 2) Peningkatan fokus pada pengembangan kapasitas (capacity development) baik dari sisi institusi maupun pengetahuan dan teknologi yang berorientasi pada tantangan di lapangan. 3) Titik temu dan sinergis (focal and synergy point) dari semua pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pengembangan energy geothermal.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
15
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
Untuk merealisasikan langkah strategis tersebutdibutuhkan langkah operasional dalam mewujudkan Pusat Keunggulan Energi Geothermal yaitu dengan melakukan beberapa aktifitas sebagai berikut (Gambar 6): 1) Pusat Pengembangan Kapasitas. Sebagai pusat pengembangan kapasitas (capacity development), pusat keunggulan ini memfasilitasi, mengkoordinasi dan menginisiasi forum-forum pelatihan dan pendidikan, baik yang bersifat peningkatan kapasitas individual (ilmu pengetahuan dan teknologi) maupun kapasitas institusional. 2) Pusat Pengembangan Teknologi. Pusat keunggulan adalah platform kerjasama dalam penelitian dan pengembangan teknologi pemanfaatan sumber daya geothermal, mulai dari hulu (explorasi, kajian dan pemanfaatan reservoar) sampai ke hilir (instalasi fasilitas di permukaan, pembangkit tenaga listrik dan jaringan listrik). Sebagai negara dengan potensi energi geothermal terbesar di dunia, Indonesia sudah sewajarnya harus bisa menjadi rujukan dari negara lain dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya geothermal. 3) Pusat Informasi. Tahapan pengembangan energi geothermal tidak melibatkan hanyak aspek teknologi, namun juga aspek sosial. Pada aspek sosial teruatma adalah melibatkan unsur memberikan informasi yang akurat dan bisa diterima oleh publik dalam proses pengembangan energi geothermal yang biasanya ditemukan di daerah-daerah terpencil. Informasi dalam hal ini sangat penting untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman dan mis-persepsi dari tentang pengembangan energi geothermal, misalnya dalam hal manfaatnya dan dampaknya. 4) Pusat Kerjasama Industri. Pemanfaatan sumber daya geothermal secara optimal akan terjadi jika industri pengembang energi geothermal terlibat secara langsung dalam proses pengembangan dari awal. Pada fase awal pengembangan biasanya industri geothermal memerlukan kepastian bahwa investasi yang akan dilakukan nantinya akan berdampak positif secara ekonomis bagi perusahaannya. Oleh karena itu, pusat keunggulan bisa menjadi platform kerjasama industri tidak hanya dalam hal kerjasama ekonomi namun dalam hal tantangan pengembangannya dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi. Aktifitas penelitian dan pengembangan yang dilakukan di pusat pengembangan teknologi bisa disinergikan dengan program perancanaan pengembangan dari industri geothermal sehingga terjadi sinergi kepentingan dan akselerasi tercapainya tujuan pengembangan energi geothermal tersebut. Pusat Pengembangan Kapasitas
Pusat Kerjasama Industri
Pusat Keunggulan
Pusat Informasi
Pusat Pengembangan Teknologi
Gambar 6.Diagram langkah operasional dari Pusat Keunggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal.
16
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
PLTPB Biner di Lahendong: Proyek Percontohan Pusat Unggulan Indonesia-Jerman Bidang Energi Geothermal Sebagai contoh proyek percontohan untuk Pusat Unggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal adalah penelitian yang saat ini dikerjakan di Lahendong, Kabupaten Tomohon, Propinsi Sulawesi Utara.Kerjasama ini merupakan prototip Pusat Unggulan di Bidang Energi Geothermal yang melibatkan lembaga penelitian (BPPT dari Indonesia, GFZ dan BAM dari Jerman), universitas (ITB dan ITS dari Indonesia, KIT dari Jerman) dan industry (PGE dari Indonesia, CYPLAN dari Jerman). Proyek percontohan ini bertujuan untuk membuat PLTPB biner ber-skala kecil dengan memanfaatkan air panas (brine) yang tidak dipakai dari hasil produksi PLTPB besar milik PGE. Skema operasional proyek percontohan dipaparkan dalam diagram pada Gambar 7. Pola kerjasama seperti ini menjadikan aktifitas penelitian dan pengembangan sebagai titik temu dan titik sinergi dari pemangku kepentingan dari sektor penelitian, pendidikan dan industri.Dalam proyek percontohan ini baik pihak Indonesia maupun pihak Jerman berpartisipasi dari sisi finansial, personal dan infrastruktur.Dampak multiplikatif dari proyek percontohan seperti ini adalah, pihak industri dari Jerman tidak enggan untuk masuk dan berinvestasi karena mempunyai ruang untuk melakukan aktifitas kerjasama dalam kerangka kerjasama yang jelas dan menguntungkan.Bagi pihak Indonesia, investasi dari Jerman berupa pembangunan PLTPB biner selain bermanfaat untuk industri yang terkait (PGE), juga bermanfaat bagi lembaga penelitian dan pendidikan sebagai sarana pendidikan dan latihan.
Gambar 7.Skema kerjasama pengembangan PLTPB Biner di Lahendong kerjasama Indonesia dan Jerman sebagai prototip Pusat Unggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal.
Pusat Unggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal bisa menjadi platform untuk mengkontruksi pola kerjasama yang serupa di daerah lain.
6. Kesimpulan Negara Indonesia dan Jerman telah menjalin kerjasama lebih dari 60 tahun. Indonesia adalah negara yang diberikan anugerah kandungan sumber daya geothermal terbesar di dunia, dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga geothermal sampai dengan 29000 MW.Sedangkan Jerman adalah salah satu negara maju yang memiliki kapasitas dalam pengembangan teknologi dan kapasitas investasi pengembangan pembangkit listrik. Dalam kurun waktu 2007-2012 telah terbentuk jaringan kompetensi (competence network) Indonesia-Jerman di bidang energi geothermal. Jaringan kompetensi ini merupakan muara dari aktifitas kerjasama penelitian dan
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
17
Agus Rubiyanto, Makky S. Jaya/ Pembentukan Pusat Keunggulan Energi...
SFA 2013
pengembangan kedua negara yang dilakukan oleh peneliti dan profesional dari lembaga pemerintah, universitas dan industri di bidang energi geothermal melalui aktifitas kerjasama dari 2010-2012. Dalam upaya untuk mencapai target pemenuhan kapasitas terpasang sebesar 9500 MW pada tahun 2025, program intensifikasi kerjasama Indonesia-Jerman di bidang pengembangan energi geothermal diusulkan dengan mengimplentasikan langkah strategis dengan membentuk Pusat Keunggulan Indonesia-Jerman di Bidang Energi Geothermal. Pusat keunggulan tersebut merupakan titik temu dan titik sinergis antara Indonesia dan Jerman yang secara operasional merupakan pusat bagi kedua negara dalam hal sebagai pusat peningkatan kapasitas, pusat pengembangan teknologi, pusat informasi dan pusat kerjasama industri.
7. Daftar pustaka [1] Jaya, M. S., Erbas, E., Huenges, E. (2012): Überblick über die Geothermie-Vorkommen im Niedrig-, Mittel- und Hochtemperaturbereich in Indonesien, Informationsveranstaltung „Geothermie in Indonesien“ – Exportinitiative Erneuerbare Energien, Bundesministerium für Wirtschaft und Technologie, Berlin. [2] Jaya, M. S., S. A. Shapiro, D. Bruhn, H. Milsch, and E. Huenges, 2008, Temperature-dependent liquid substitution analysis of geothermal rocks at in-situ reservoir conditions: Society of Exploration Geophysics Publication, Vol. 27, 1774–1778, (doi:10.1190/1.3059249). [3] Jaya, M. S., S. A. Shapiro, L. H. Kristinsdóttir, D. Bruhn, H. Milsch, and E. Spangenberg, 2010, Temperature depenn dence of seismic properties in geothermal rocks at reservoir conditions: Geothermics, 39, 115–123. [4] Huenges, E. (Ed.) (2010): Geothermal Energy Systems : Exploration, Development and Utilization, Wiley-VCH, 463 p. [5] Kedutaan Besar Republik Indonesia Berlin (2012): 60th Indonesia Jerman from friends to partner
Prof. Dr.-rer.nat. Agus Rubiyato Menyelesaikan S1 di bidang Fisika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan S2 di bidang Optoelektronika dan Aplikasi Laser, Universitas Indonesia dan S3 di bidang Optoelektronika di Universitas Paderborn, Jerman. Lebih dari 20 tahun aktif didunia penelitian Optoelektronika dan energi terbarukan.Menulis lebih dari 20 publikasi pada peer-reviewed jurnal dan konferensi internasional.Sejak 2012 bekerja sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Republik Federasi Jerman. Selain meneliti, penulis juga bekerja sebagai professor dan supervisi mahasiswa S3 di Jurusan Fisika ITS, Surabaya dan Universitas Airlangga, Indonesia.
Dr.-rer.nat. Makky Sandra Jaya Menyelesaikan S1 di bidang Fisika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di bidang Geofisika Explorasi di Universitas Karlsruhe. Lebih dari 15 tahun aktif didunia penelitian kebumian, dengan fokus pada explorasi sumber daya migas dan geothermal. Menulis lebih dari 20 publikasi pada peer-reviewed jurnal dan konferensi internasional. Tahun 2001-2003 penerima riset grant dari Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG, German Research Association) untuk ilmuwan muda dan tahun 2004-2005 dari Indonesia Toray Science Foundation (ITSF).Sejak 2007 bekerja sebagai peneliti senior di International Center for Geothermal Research di Helmholtz Center Potsdam, German Research Center for Geosciences.Selain meneliti, penulis juga bekerja sebagai asisten professor untuk supervisi mahasiswa S3 di FU Berlin dan Universitas Potsdam, Jerman.
18
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
FABRIKASI MAGNET PERMANEN MENUJU INDUSTRI RUMAHAN Nanang Sudrajat dan Tony Kristiantoro Pusat Penelitian Elektronika & Telekomunikasi (PPET) - LIPI Jl. Sangkuriang Komp.LIPI Gd.20 Bandung Tlp. (022) 2502660, Fax. (022) 2504659 email :
[email protected]
ABSTRAK Fabrikasi magnet permanen sudah dapat dilakukan menjadi industri rumahan dengan proses dan peralatan yang sederhana, tidak memerlukan investasi yang sangat besar. Magnet permanen yang dapat dibuat dengan skala industri rumahan adalah magnet permanen bonded. Dalam kegiatan ini diujicobakan fabrikasi magnet permanen bonded dengan mencampurkan bahan serbuk magnet Neodymium Iron Boron (NdFeB) komersil type MQP 16-7 dengan bahan polimer serbuk phenol formaldehyde (bakelite) dan serbuk resin pvc. Proses pembentukan sampel dikompaksi dengan sistem hot press dan dimagnetisasi oleh sebuah solenoida. Kekuatan medan magnet permanen hasil magnetisasi dapat diukur dengan alat gauss meter. Proses sederhana ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum untuk pemenuhan kebutuhan magnet permanen sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Kata Kunci : Industri rumahan magnet permanen, magnet bonded, neodymium iron boron
1.
PENDAHULUAN
Magnet permanen mempunyai fungsi yang berbeda dalam berbagai aplikasinya sebagai komponen elektronik, seperti dalam mesin-mesin listrik, magnet berfungsi sebagai konverter mekanik ke listrik atau sebaliknya, dalam alat-alat ukur listrik dan bearing magnetik [1], magnet berfungsi sebagai kopling magnetik, dan banyak aplikasi yang lainnya. Pada saat ini, magnet permanen yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi adalah magnet dari golongan rare earth khususnya neodymium dengan senyawa NdFeB (Neodymium Iron Boron) karena nilai magnet remanen dan energinya yang tinggi, walaupun tidak sedikit juga yang masih menggunakan magnet permanen hexaferit dengan senyawa BaFe12O19 karena keunggulan tahan korosif dan temperatur curie yang tinggi. Data dan estimasi penjualan material rare earth sebagai bahan baku material magnet selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti terlihat dalam gambar 1 di bawah.
Gambar 1. grafik data dan estimasi penjualan material rare earth [2]
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
19
Nanang Sudrajat, dkk. / Fabrikasi Magnet Permanen Menuju Industri Rumahan 2013
SFA
Peningkatan penjualan bahan baku magnet tidak terlepas dari permintaan pasar akan produk magnet permanen dan banyaknya kebutuhan untuk berbagai aplikasi mulai dari kebutuhan perusahaan-perusahaan besar, perusahaan kecil, penelitian, dunia pendidikan sampai perorangan kalangan masyarakat umum untuk sebuah hobi berinovasi ataupun kebutuhan lainnya. Magnet permanen sebagai sebuah komponen yang sudah teraplikasikan didapat melalui dua tahapan, pertama adalah pembuatan raw material magnet dan yang kedua fabrikasi magnet permanen sesuai design bentuk yang diperlukan. Raw material magnet dibuat dalam skala besar, begitu juga fabrikasi magnet permanen dilakukan oleh pabrikan dengan bentuk dan ukuran yang umum. Perusahaan kecil, para peneliti, akademisi dan masyarakat umum yang mempunyai hobi khususnya dalam aplikasi magnet akan terhambat untuk mencari bentuk dan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan magnet permanen bonded merupakan solusi untuk pemecahan masalah di atas dan dapat dilakukan dengan peralatan sederhana sehingga biaya produksi menjadi rendah, dapat dilakukan dalam volume produksi kecil maupun besar dan presisi dalam ukuran dan bentuk yang rumit sekalipun [3]. Pada eksperimen ini akan dilakukan fabrikasi magnet permanen bonded dengan menggunakan material komersil NdFeB MQP-16-7 yang dilindungi karbon produk Magnequench dicampur dengan polimer bakelit atau pvc resin powder. Karakteristik bahan NdFeB MQP 16-7 mempunyai nilai Br = 9,85 kG, Hci = 7,0 kOe, Bhmax = 17,1 MGOe, Densitas 7,62 gr/cm2. Pabrikan raw material Magnequench telah mengujicobakan NdFeB bonded pada motor-motor listrik kendaraan menggantikan magnet hexa ferit[4]. Pada eksperimen ini akan lebih fokus pada variasi arus DC pada proses magnetisasi secara manual dengan sebuah solenoida.
2.
METOGOLOGI PENELITIAN
Fabrikasi magnet permanen bonded dilakukan dengan tahapan pertama mencampurkan bahan raw material magnet NdFeB dengan binder bakelit atau serbuk pvc resin. Pencampuran dapat dilakukan dengan cara diaduk langsung atau dengan mesin milling seperti yang terlihat pada gambar 2. Apabila pencampuran dilakukan dengan mesin milling, tidak diperbolehkan menggunakan bola-bola milling yang besar karena akan memecahkan karbon yang melindungi serbuk NdFeB dari korosi. Pada Eksperimen ini hanya akan dilakukan pencampuran antara NdFeB 90% berat dengan binder bakelit 10% berat, karena dianggap mempunyai karakteristik yang baik dan mempunyai fisik yang tidak rapuh. Semakin sedikit binder pengikat, karakteristik magnet semakin baik tetapi bentuk fisik rapuh karena kurangnya pengikat [5].
(a)
pengadukan manual
(b) pengadukan dengan mesin milling
Gambar 2. Proses pencampuran serbuk NdFeB dengan binder bakelit atau serbuk pvc resin
Tahap selanjutnya adalah proses kompaksi atau pembentukan sesuai dengan bentuk yang diinginkan, tetapi terlebih dahulu harus dipersiapkan dies atau cetakannya. Proses kompaksi dapat dilakukan dengan cara berbeda untuk masing-masing binder.
20
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nanang Sudrajat, dkk. / Fabrikasi Magnet Permanen Menuju Industri Rumahan
SFA 2013
Untuk binder bakelit, kompaksi dilakukan pada tekanan 200 kg/cm2 sambil dipanaskan pada temperatur 200 C karena binder bakelit akan meleleh dan kembali mengeras ketika dipanaskan sambil ditekan. Alat kompaksi dirancang secara sederhana menggunakan sebuah dongkrak kendaraan yang dikopelkan dengan alat ukur tekanan analog. Elemen pemanas disisipkan pada alas mesin pres dan dipasangkan sensor panas untuk memantau panas yang diinginkan. 0
Sedangkan untuk binder powder pvc resin, kompaksi dilakukan dengan proses dingin kemudian dipanaskan pada temperatur 2500C selama 1 jam. Alat pemanas dapat menggunanakan oven yang biasa digunakan di rumah tangga. Proses kompaksi dan pemanasan menggunakan peralatan berkelas industri kecil atau industri rumahan dapat dilihat pada gambar 3. Proses kompaksi dan pemanasan pada temperatur rendah ini menjadi pembeda dengan pembuatan magnet permanen dengan sistem sinter yang memerlukan proses pemanasan atau sintering dengan temperatur tinggi sekitar 12500C yang hanya dapat dilakukan perusahaan besar atau industri.
(a) kompaksi dengan hotpress (b) kompaksi pres dingin dan pemanasan
Gambar 3. Peralatan proses kompaksi dan pemanasan
Agar bentuk fisik sampel magnet bonded tidak mudah rapuh, maka dilakukan proses pelapisan nikel terhadap sampel magnet dengan proses elektroplating. Proses elektropalting dilakukan selama 15 menit dengan tegangan yang diberikan 2 Volt DC dengan arus 0,3 ampere. Peralatan dan proses elektroplating diperlihatkan pada gambar 4.
Gambar 4 Proses elektroplating
Setelah proses kompaksi, pemanasan dan pelapisan, maka didapat sampel magnet yang siap untuk dimagnetisasi. Proses magnetisasi dilakukan dengan alat maggnetisasi berupa sebuah solenoida yang diberi arus listrik DC bervariasi mulai dari 1 sampai dengan 10 amper. Solenoida dibuat dengan ukuran diameter dalam = 118 mm, diameter luar = 315 mm, tinggi = 210mm, kawat email yang digunakan berdiameter 2mm, untuk menghasilkan medan elektromagnetik sebesar 0,5 Tesla ketika dialirkan arus dc maksimum 10 A [6]. Sampel magnet diletakkan di tengah solenoida dan dijepit oleh metal yang dapat menyalurkan medan magnet ke sampel, pada penelitian ini metal yang digunakan terbuat dari besi berbentuk tabung padat. Alat dan proses magnetisasi diperlihatkan pada gambar 5 di bawah.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
21
Nanang Sudrajat, dkk. / Fabrikasi Magnet Permanen Menuju Industri Rumahan
SFA 2013
Sampel Magnet
Gambar 5 proses magnetisasi dalam solenoida
3.
HASIL DAN DISKUSI
Dari hasil percobaan, didapat sampel magnet permanen yang difabrikasi secara sederhana sesuai dengan bentuk yang diinginkan seperti terlihat pada gambar 6 dan gambar grafik karakterisasi dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 6 Sampel magnet bonded hasil fabrikasi
Gambar 7. Grafik karakterisasi permagraph
Dari grafik karakterisasi diperoleh nilai Br = 5,18 kG, HcJ = 5,737, BHmax = 4,40 MGOe, Densitas = 4,95 gram/cm2. Apabila dibandingkan dengan datasheet dari pabrikan Magnequench maka nilai karakteristik 22
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nanang Sudrajat, dkk. / Fabrikasi Magnet Permanen Menuju Industri Rumahan
SFA 2013
yang didapat berkisar antara 50% sampai dengan 67%, kecuali nilai BHmax hanya didapat 40%, hal ini disebabkan karena binder polimer bakelit yang mempunyai unsur mayoritas karbon mempunyai sifat diamagnetik tetapi mempunyai sifat mudah dibentuk pada temperatur rendah. Juga kurang maksimalnya tekanan kompaksi dapat menurunkan sifat magnetik terutama nilai energi produk (BHmak), magnet bonded yang dikompaksi dengan injection molding pada tekanan 5 ton/m2 mempunyai sifat magnetik 65% sampai dengan 70% dan nilai BHmax 82,3% [7]. Nilai magnet remanen (Br) diukur dengan alat Gauss Meter setelah proses magnetisasi dengan variasi arus DC 1 sampai dengan 10 amper diperoleh seperti pada tabel 1. Nilai Br sangat tergantung pada proses material dan besarnya arus yang dialirkan pada solenoida saat proses magnetisasi.
Tabel 1. Nilai magnet remanen hasil magnetisasi Arus DC (amper)
Magnet Remanen Br (Gauss)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
86 169 249 340 417 499 573 645 743 997
Nilai magnet remanen Br berbanding lurus dengan arus magnetisasi Br = µ.N.i.l Tesla, semakin besar arus yang dialirkan pada solenoida semakin besar pula kemungkinan nilai Br meningkat. Alat magnetiser produsen magnet skala besar menggunakan sistem charge-recharge capasitor dengan besarnya arus 30.000 amper dalam satu detik.
4.
SIMPULAN
Fabrikasi magnet permanen sudah dapat dilakukan dengan peralatan sederhana skala industri rumahan (home industri) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terbatas dengan bentuk dan dimensi yang khusus meskipun kuat medan magnet permanen hanya 997 Gauss belum setinggi klasifikasi produk pabrikan industri besar. Proses dan peralatan magnetisasi perlu ditingkatkan agar lebih optimal.
5.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai melalui kegiatan Tematik LIPI tahun anggaran 2013. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) - LIPI, yang telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian ini. 6.
DAFTAR ACUAN [1] Andrew J. Provenza, (July 28 – August 2, 2002 ), “An Integrated Magnetic Circuit Mode and Finite Element Model Approach to Magnetic Bearing Design”, 37th Intersociety Energy Conversion Engineering Conference sponsored by the Institute of Electrical and Electronics Engineers, Electron Devices Society Washington, DC,. [2] Steve Constantinide (December 6, 2010), “Rareearth and Critical Materials, The Magnetics Material Challenge”, ARPA-E Workshop, Arlington, VA..
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
23
Nanang Sudrajat, dkk. / Fabrikasi Magnet Permanen Menuju Industri Rumahan
SFA 2013
[3] Zhang Xiao-lei, ZOO Ming-yuan, LI Ying, YANG Qiu-ping, JIN Hong-ruing, JIANG Juan, TIAN Ye, LUO Yang (2008), “Study on Fabrication Process of Anisotropic Injection Bonded Nd-Fe-B Magnets”, Proceedings of 19th International Workshop on Rare Earth Permanent Magnets & Their Applications, pp. 286-288. [4] J. Herchenroeder, D. Miller, N. K. Sheth, M. C. Foo, and K. Nagarathnam(2011), “High performance bonded neo magnets using high density compaction”, JOURNAL OF APPLIED PHYSICS 109, pp 109111. [5] Tony K. dan Nanang S. (12-13 Juli 2011), “Pembuatan dan Karakterisasi Magnet Bonded NdFeB”, Seminar Nasional Fisika Pusat Penelitian Fisika LIPI, hal. 366-371. [6] N. Sudrajat, Novrita I, Tony K., “Kompaksi Bahan Magnet Barium Ferit Anisotrop Nanopartikel dalam Solenoida 0,5 T”, September 2009, Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Vol.9 No.2. [7] A.Z. Liu, I.Z. Rahman, M.A. Rahman, and E.R. Petty, 1996, “Fabrication and Measurments on Polimer Bonded NdFeB Magnets, Journals of Materials Processing Technology, pp.571-580.
24
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PENGGUNAAN KONSEP FISIKA DALAM PERTIMBANGAN UNTUK MENENTUKAN POSISI PERSALINAN SRI SURYANI JURUSAN FISIKA – FMIPA – UNIVERSITAS HASANUDDIN Kampus UNHAS - Jln. Perintis Kemerdekaan, Tamalanrea, Makassar 90245 e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi setelah 40 minggu. Proses kehamilan dan persalinan adalah proses alamiah yang telah berlangsung sejak manusia ada di bumi ini. Oleh sebab itu proses persalinan sebaiknya mengikuti kaidah ilmu alam. Salah satu bagian dalam ilmu alam adalah ilmu Fisika. Hukum Newton yang membahas tentang gaya grafitasi merupakan bagian konsep Fisika yang dapat digunakan dalam mempertimbangkan posisi seorang ibu hamil untuk bersalin. Berdasarkan hal tersebut di atas, di dalam makalah ini akan dibahas tentang bentuk tubuh janin, posisi janin di dalam rahim, proses persalinan, dan posisi persalinan dipandang dari sisi ilmu Fisika. Hasil pembahasan ini dapat dimanfaatkan untuk pertimbangan dalam menolong seorang ibu hamil untuk bersalin, agar proses persalinan tersebut tidak meninggalkan trauma baik pada ibu maupun pada bayi yang dilahirkan. Kata kunci : Hukum Newton, Grafitasi bumi, posisi persalinan.
1. PENDAHULUAN. Proses persalinan atau dikenal juga sebagai proses melahirkan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi setelah 40 minggu. Konsepsi atau pembuahan dikatakan juga sebagai pertemuan antara sel telur dan sperma. Sel telur yang telah dibuahi akan membelah dan berkembang menjadi embrio dan selanjutnya setelah usia kehamilan 12 minggu, disebut sebagai janin. Proses kehamilan normal umumnya berlangsung selama lebih kurang 40 minggu, dan setelah itu janin akan siap untuk keluar dari rahim, karena setelah 40 minggu, kualitas air ketuban menurun yang dapat meracuni janin, dan ukuran rahim sudah terlalu kecil untuk janin. Seperti telah diketahui bahwa proses kehamilan dan persalinan adalah proses alamiah yang telah berlangsung sejak adanya manusia di bumi ini. Oleh sebab itu perkembangan janin dalam rahim akan mengikuti proses alamiah. Janin akan tumbuh dalam rahim dan menempati posisi yang sedemikian rupa, dengan tujuan untuk memudahkan proses persalinan. Ilmu Fisika yang merupakan bagian dari ilmu alam, dapat digunakan untuk menjelaskan proses perkembangan janin ini dalam ketuban, sehingga ilmu Fisika khususnya dalam bidang mekanika dapat dimanfaatkan untuk mempertimbangkan posisi persalinan.
2. TINJAUAN TEORI. Proses perkembangan janin di dalam rahim diawali dengan proses konsepsi atau pembuahan atau bertemunya sel telur dan sperma. Minggu pertama hingga mencapai hari ke 50, pertumbuhan embrio belum nampak jelas berwujud manusia, karena pada saat ini sedang dibentuk organ luar, seperti tangan, kaki, telinga, wajah, dan jantung. Setelah 50 hari sejak terjadi konsepsi, embrio mulai terlihat seperti manusia, dan organ dalam mulai terbentuk, demikian pula jantung sudah mengambil alih peredaran darah, yang sebelumnya dilakukan oleh tali pusat. Selama perkembangan ini, posisi janin adalah duduk dengan kepala di sebelah atas, dan agak menunduk (gambar 1). Ukuran janin pada usia 8 minggu sekitar 40 mm, sedangkan pada saat lahir mencapai 50 cm. Oleh karena proses pertumbuhan tubuh berlangsung sangat cepat, maka pada minggu ke 28, janin mulai berputar, dan mempunyai posisi kepala di bawah dan bokong di atas. Posisi ini menetap hingga usia kehamilan 40 minggu, saat janin siap untuk lahir (gambar 1). ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
25
SRI SURYANI/ Penggunaan Konsep Fisika dalam …
SFA 2013
a. b. Gambar 1 : a) Janin usia 9 minggu, dan (b) Janin usia 40 minggu [1] Proses persalinan adalah proses pengeluaran janin dari rahim. Berbeda dengan perkiraan masyarakat awam yang menganggap bahwa proses ini sangat mudah, maka pada kenyataannya, pada saat proses persalinan, janin akan melakukan tiga gerakan utama, yaitu memutar kepala dengan sudut 90° sambil menunduk agar dapat memasuki rongga panggul yang berbentuk oval. Setelah berada di rongga panggul dengan posisi belakang kepala di depan, maka janin siap meluncur keluar. Dalam istilah kebidanan, saat seperti ini disebut sebagai kala satu, yang ditandai dengan pembukaan serviks hingga 10 cm. Kala dua adalah kala pengeluaran, yaitu proses janin ke luar yang ditandai dengan adanya kontraksi otot atau his, dan dorongan ibu untuk mengeran. Dan setelah kepala keluar, janin akan melakukan perputaran kembali dengan sudut 90°, untuk mengeluarkan bahu dan badan. Selanjutnya kala tiga adalah saat uri plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Yang terakhir adalah kala empat yaitu lahirnya plasenta [2]. Proses persalinan adalah suatu proses yang dapat mengakibatkan traumatik baik pada ibu maupun pada janin. Rasa sakit yang berkepanjangan yang diakibatkan oleh proses persalinan yang lama dapat meninggalkan perasaan trauma pada ibu, bahkan pada bayi hingga di masa anak-anak dapat timbul halusinasi, seperti yang ditemukan oleh ahli psikoanalisis dr. Elizabeth Fehr [3]. Oleh sebab itu pertimbangan dalam memilih posisi persalinan menjadi sangat penting. Akibatnya dalam memilih posisi persalinan, maka ibu hamil berhak memutuskan sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Doris Haire (1974) tentang hak pasien untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang melibatkan kesejahteraan dirinya dan anak yang akan dilahirkan, kecuali ada kedaruratan medis, dalam buku The Pregnant Patient’s Bill of Rights, yang diedarkan oleh Committee on Patient’s Rights In New York [4].
3. DISKUSI DAN PEMBAHASAN. Pada awal kehamilan, janin mempunyai posisi duduk. Posisi ini baik untuk mengatur peredaran darah tubuh, karena pada saat ini terjadi pembentukan organ, seperti jantung, paru-paru, ginjal, dan lain sebagainya. Pada trimester kedua atau usia kehamilan sekitar 20 minggu, seluruh organ sudah terbentuk walaupun belum mencapai ukuran yang seharusnya. Mulai saat ini janin akan tumbuh dengan cepat hingga mencapai ukuran 50 cm. Pada saat persalinan nanti, janin harus membuka jalan lahir. Untuk memudahkan pembukaan jalan diperlukan sesuatu yang berwujud bulat, dan pada tubuh manusia benda yang mempunyai wujud bulat adalah kepala bagian belakang dan juga bokong. Oleh sebab itu kepala bagian belakang atau bokong harus berada pada posisi di bawah pada saat janin siap lahir. Untuk mendapatkan posisi tersebut, maka gaya grafitasi bumi yang akan membantu memutarnya. Telah diketahui bahwa gaya grafitasi akan mudah menarik benda yang massanya besar. Dengan tujuan agar gaya grafitasi dapat mudah memutar kepala janin ke bawah, maka kepala janin mempunyai massa yang lebih besar dari badannya, atau sering dikatakan bahwa perkembangan kepala janin lebih cepat dari badan. Hal itulah yang menjadikan alasan agar ibu hamil mulai awal trimester ke dua dianjurkan banyak berjalan agar posisi janin baik. Ibu hamil yang tidak banyak bergerak mempunyai resiko mendapatkan janin pada posisi sungsang, karena tidak dapat berputar, dan persalinan hanya dapat dilakukan melalui pembedahan.
26
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
SFA 2013
SRI SURYANI/ Penggunaan Konsep Fisika dalam …
Posisi melintang
Gambar 2: Posisi janin normal dan sungsang (breech) [5] Janin mempunyai posisi yang umum atau normal adalah kepala berada di bawah dengan bokong di bagian atas, dan posisi janin menyamping ibu. Bila janin sudah cukup umur yaitu setelah 40 minggu kehamilan, maka saatnya janin keluar, dan selanjutnya berkembang menjadi seorang manusia. Pada proses persalinan, umumnya dibantu oleh bidan ataupun dokter. Oleh sebab itu, posisi persalinan lebih sering ditentukan berdasarkan kenyamanan bidan atau dokter dalam bekerja. Posisi persalinan yang umum digunakan hingga abad ke 18 adalah tegak (berdiri atau duduk), dan saat ini posisi yang sering digunakan adalah berbaring dengan punggung (dorsal recumbent), litotomi, berbaring dengan samping kiri, dan duduk setengah tegak (semi fowler) [6] (gambar 3).
a. b. c. Gambar 3 : Beberapa posisi persalinan: (a) dorsal recumbent, (b) litotomi, dan (c) berbaring ke samping kiri. [7] Posisi berbaring digunakan agar dokter mudah bekerja, tetapi pada posisi ini, proses persalinan menjadi lebih lama karena kontraksi otot rahim harus lebih kuat, bahkan leher rahim terlipat. Sebaliknya pada posisi tegak, posisi dokter sangat sulit atau tidak nyaman, tetapi untuk janin tidak ada hambatan untuk mendorong serviks, sehingga akan mendorong ibu untuk mengeran, dan akibatnya persalinan akan lebih cepat. Di lain pihak, hukum Newton yang membahas tentang kesetimbangan statis (Hukum pertama) dan juga kesetimbangan dinamis (Hukum kedua) dapat digunakan untuk mengkaji gaya-gaya yang bekerja pada proses persalinan, sehingga akan diperoleh posisi yang tepat, dan akan menghasilkan suatu proses persalinan yang cepat dan aman. Pada makalah ini, hanya akan dibahas tentang proses persalinan normal, karena untuk posisi tidak normal, persalinan hanya dapat dilakukan melalui pembedahan. Menentukan posisi persalinan dapat dilakukan dari pandangan ilmu Fisika, khususnya mekanika. Di dalam mekanika, dikenal besaran yang disebut gaya atau force (F). Gaya ini merupakan besaran vektor, dan mempunyai beberapa jenis seperti gaya grafitasi atau berat / weight, gaya gesek, gaya pegas, dan lain-lain. Oleh karena gaya merupakan besaran vektor, maka operasi gaya harus menggunakan vektor analisis. Dalam membahas tentang gaya, maka hukum yang menyertainya adalah hukum Newton, yang terdiri dari 3 hukum :[8] 1. 2. 3.
Hukum I Newton adalah hukum kesetimbangan translasi atau Σ F = 0 Hukum II Newton adalah hukum dinamika atau Σ F = (Σ m) a dengan m adalah massa benda, dan a adalah percepatan benda. Hukum III Newton adalah hukum aksi – reaksi.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
27
SFA 2013
SRI SURYANI/ Penggunaan Konsep Fisika dalam …
Proses persalinan normal kenyataanya adalah proses keluarnya janin, yang dalam hal ini dapat diartikan sebagai gerakan suatu benda dengan massa m. Akibatnya dengan mengetahui jenis gaya yang bekerja, serta memanfaatkan hukum Newton dengan operasi penjumlahan vektor, maka dapat dijelaskan kelebihan dan keuntungan berbagai posisi persalinan normal. Pada saat proses persalinan, penentuan posisi untuk persalinan memerlukan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah kenyamanan ibu dan juga janin. Ibu hamil dan juga janin seharusnya tidak perlu merasakan sakit yang berkepanjangan, karena proses persalinan dapat berjalan dengan cepat. Dengan mempertimbangkan gaya yang bekerja pada proses persalinan, yaitu gaya kontraksi otot rahim, gaya grafitasi bumi, dan gaya dorong (gaya eran), maka dengan menggunakan mekanika yaitu hukum Newton, dapat disarankan beberapa posisi persalinan, sebagai berikut :
1. Posisi tegak (berdiri, duduk, dan jongkok).
Fk adalah gaya kontraksi otot rahim W adalah gaya tarik grafitasi bumi yang setara dengan massa bayi Fd adalah gaya eran atau gaya dorong yang dilakukan oleh ibu. Untuk gaya gesek tidak ada, karena adanya air ketuban yang pecah sesaat sebelum proses persalinan berlangsung, sehingga jalan lahir menjadi licin.
Fk
W Fd
Arah keluarnya janin Fk W Fd m a Arah keluarnya janin
Bila ditinjau dari vektor gaya, maka semua gaya yang bekerja pada janin mempunyai arah yang sama, sehingga kecepatan keluarnya janin sangat ditentukan oleh gaya dorong /eran ibu, karena diasumsikan gaya kontraksi otot dan grafitasi adalah konstan atau tidak berubah. Bila Σ F = m a , maka Fk + W + Fd = m a atau Fd = m a - (Fk + W ). Selain itu dengan bantuan gaya grafitasi, maka kekuatan ibu untuk mengeran atau mendorong tidak perlu besar.
2. Posisi berbaring (berbaring samping ke kiri, dorsal recumbent, dan litotomi)
atau Gunakan diagram vektor gaya : Fk m
F
a atau arah keluar janin
W Dari diagram dapat terlihat bahwa W pada posisi berbaring sama dengan nol atau tidak ada bantuan gaya tarik grafitasi bumi, sehingga kecepatan keluarnya janin hanya ditentukan oleh gaya kontraksi otot rahim dan gaya eran ibu, atau dalam bentuk matematika m a = Fk + Fd . Dengan kata lain, kecepatan proses persalinan sangat ditentukan oleh kekuatan ibu mengeran. Dengan kata lain, ibu harus mendorong dengan kuat. Dalam ilmu kebidanan, posisi berbaring ke kiri atau ke kanan bergantung pada posisi punggung janin, sambil merangkul satu kaki yang ada di atas, dan posisi dapat dilakukan untuk mengeran.
28
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
SFA 2013
SRI SURYANI/ Penggunaan Konsep Fisika dalam …
3. Posisi setengah duduk dan tegak atau semi fowler. Posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk, dengan besar sudut yang dibentuk antara kaki dan badan adalah antara 35° - 45°.
Diagram vektor gaya dapat diasumsikan sebagai sebuah benda yang berada di bidang miring. Fd
Fk Sudut α besarnya 35° - 45° W cos α α
arah keluar janin. W Dengan menggunakan hukum II Newton yaitu Σ F = m a , maka Fk + W cos α + Fd = m a atau Fd = m a - (Fk + W cos α). Hal ini dapat diartikan bahwa pada posisi semi fowler gaya grafitasi bumi masih memberi pengaruh, walaupun tidak besar, yaitu 82 % untuk sudut α sama dengan 35°, dan 71% untuk sudut α sama dengan 45° dari berat janin (W). Akibatnya ibu hamil tidak harus mendorong atau mengeran dengan kuat, karena masih ada bantuan dari gaya tarik grafitasi bumi, dan proses persalinan dapat lebih cepat. Posisi semi fowler ini dapat dilakukan dengan cara merangkul ke dua paha sampai batas siku, dan kepala sedikit diangkat, sehingga dagu mendekati dada, dan ibu dapat melihat perutnya. Keadaan ini dilakukan bila tempat tidur yang dapat diatur ketinggiannya, tidak tersedia. Dari pembahasan di atas, yang meliputi tiga posisi utama, yaitu berdiri, berbaring, dan setengah duduk, dapat terlihat beberapa kelebihan dan kekurangan baik bagi ibu hamil sendiri ataupun bagi dokter. Oleh sebab itu, saat ini seorang bidan wajib memberi informasi tentang kelebihan dan kekurangan posisi persalinan yang akan dipilih oleh seorang ibu hamil, sehingga ibu hamil dapat memutuskan posisi yang nyaman bagi dirinya dan tidak terlalu menyulitkan dokter atau bidan.
4. KESIMPULAN Proses persalinan adalah proses alami, demikian pula hukum Newton yang membahas tentang alam. Bentuk tubuh janin dan posisi janin di dalam rahim diciptakan agar persalinan dapat berlangsung dengan cepat dan mengurangi trauma persalinan pada ibu. Dengan menggunakan hukum Newton, hal tersebut di atas dapat dipahami, sehingga dalam menentukan posisi bersalin dapat menggunakan vektor gaya dan hukum kesetimbangan Newton sebagai salah satu pertimbangan.
5. DAFTAR PUSTAKA. [1] Wikipedia, Fetus, [Internet] available from : http://en.wikipedia.org/wiki/File:40_weeks_pregnant.jpg, dan diakses tanggal 10 Mei 2011. [2] Hanifa Wiknyosastro, Ilmu Kebidanan, edisi 3, editor : Abdul Bari Saifuddin dkk., Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2007. [3] Diagram group, Woman’s Body, terjemahan oleh Penerbit Gunung Jati, Penerbit Gunung Jati, Jakarta, 1998.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
29
SRI SURYANI/ Penggunaan Konsep Fisika dalam …
SFA 2013
[4] Varney H, Jan M Kriebs, Carolyn Gegor, Varney’s Midwifery, 4-th ed, 2004, terjemahan oleh Ana Lusiyana dkk, Penerbit EGC, Jakarta, 2006 [5] Fisher R, Breech Presentation, emedicinehealth, Editor : David Chelmow, MD, up-date tanggal 14 April 2011, [Internet] available from : http://www.emedicinehealth.com/script/main/ art.asp?articlekey =136587&ref=128675, dan diakses tanggal 10 Mei 2011. [6] Tuty Oktaviany, Posisi Melahirkan Tren 2010, Okezone.com : Lifestyle, 25 Januari 2010. [7] Scribd.com, Dorsal Recumbent, [internet] available from : http://www.scribd.com/doc/42938773/Posisi-Dorsal-Recumbent, dan diakses tanggal 10 Mei 2011 [8] Halliday, D, dan Robert Resnick, Physics – Parts I and II, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1980. [9] Cameron J.R., James G. Skofronick, Medical Physics, A Wiley-Interscience Publication, John Wiley & Sons, Canada, 1978.
30
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
INTEGRASI MODEL SISTEM DINAMIK DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MENDUKUNG DISTRIBUSI DAN PRODUKSI BERAS UNTUK MENGATUR KESEIMBANGAN ANTARA KEBUTUHAN DAN PASOKAN PANGAN (STUDI KASUS: PROPINSI JAWA TIMUR, INDONESIA) Totok Mulyono1*), Erma Suryani2), Rully Agus Hendrawan3) 1) Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Sistem Informasi, Jurusan Teknik Informatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 60111, Indonesia
e-mail:
[email protected] 2) Dosen Program Studi Sistem Informasi, Jurusan Teknik Informatika, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Propinsi Jawa Timur dengan jumlah penduduk mencapai ± 37 juta jiwa, sebagian besar mengkonsurnsi beras sebagai makanan pokok. Data SUSENAS tahun 2010 menunjukkan bahwa konsurnsi beras masyarakat Jatim tercatat sebesar 125 kg/kapita/tahun. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 76 % per tahun maka penduduk Jawa Timur bertambah sebanyak 3.659 jiwa setiap tahun. Penambahan jumlah penduduk ini membawa konsekuensi pada membengkaknya tambahan kebutuhan beras sebanyak 457.409 ton/tahun. Dengan asurnsi produktivitas rata-rata 5,9 ton beras per hektar, maka tambahan kebutuhan beras tersebut setara 4.743 ha/tahun lahan padi.. Dengan integrasi kemajuan teknologi dan pangan, memungkinkan adanya inovasi baru. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan untuk menyusun dan menganalisis informasi kondisi geografis suatu daerah sebagai bahan masukan pemerintah dalam mengambil keputusan strategik jangka panjang di bidang pangan. Teknik pemodelan menggunakan SIG telah banyak dikembangkan, namun pemodelan sering tidak dapat menangani integrasi menyeluruh antara proses spasial dan dinamika sistem yang kompleks. Pendekatan model System Dynamics (SD) dikembangkan sebagai framework atau kerangka kerja distribusi beras nasional khususnya di Jawa Timur dengan mengintegrasikan output geografis yang diperoleh melalui SIG untuk menggambarkan perilaku sistem ketahanan pangan berdasarkan kondisi saat ini. Pemilihan sistem dinamik didasarkan pada pertimbangan bahwa sistem dinamik menawarkan kemampuan dalam menggabungkan pengetahuan, data, informasi yang dikembangkan menjadi sebuah model yang dapat merepresentasikan perilaku non-linear. Hasil penelitian tercipta suatu model SSD yang diperoleh dari integrasi antara Sistem Informasi geografis (SIG) dan Sistem Dinamik (SD) sehingga dapat menunjang pengambilan keputusan strategis Pemerintah melalui beberapa skenario penunjang keputusan pembangunan, penunjang keputusan pasokan beras dan penunjang keputusan pembatasan ekspor beras guna mendukung pasokan dan kebutuhan beras nasional khususnya di Jawa Timur.
Kata kunci: Sistem Informasi Geografis, Spasial Sistem Dinamik, Pemodelan, Kebutuhan Pangan
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
31
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
SFA 2013
1. PENDAHULUAN Beras sampai saat ini masih tetap menjadi konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia dan Jawa Timur, khususnya. Mudah dimasak, harga yang terjangkau dan tersedia di hampir pelosok negeri, menjadikan masyarakat sulit untuk memilih bahan makanan pokok lain yang sebanding dengan beras. Apalagi kandungan gizi beras relatif lebih baik, bila dibandingkan dengan bahan pokok lain, seperti : ketela pohon, jagung serta umbi-umbian. Sehingga wajar bila pemerintah menempatkan komoditas ini sebagai komoditas pangan strategis, dan bahkan politis. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian RI merilis provinsi Jawa Timur masih merupakan andalan utama produksi beras di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan potensi sumber daya lahan seluas 1,147 hektar. Kementerian Pertanian juga melansir data BPS 2011 yang menunjukkan bahwa kontribusi padi di Jawa Timur untuk kebutuhan pangan nasional mencapai 16,08 persen, jagung 30,85 persen dan kedelai 43,11 persen. Memasuki tahun 2012, provinsi Jawa Timur telah menargetkan produksi padi sebesar 12,31 juta ton atau meningkat sebesar 1,777 juta ton dari tahun lalu yang mencapai 10,533 juta ton. Produksi padi ini dihasilkan oleh areal tanaman seluas 2,142 juta ha, dengan luas panen sekitar 2,057 juta ha. Mengutip keterangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian RI, Jumat (20/7) menyebutkan berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur, hingga posisi Mei 2012, realisasi fisik implementasi Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) cukup menggembirakan. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui penggunaan benih varietas unggul bermutu termasuk benih padi hibrida, pemupukan berimbang dan pemakaian pupuk organik serta pupuk biohayati, pengelolaan pengairan dan perbaikan budidaya disertai pengawalan, pemantauan, dan pendampingan yang intensif. [1] Oleh karena itu dalam penelitian ini diusulkan kerangka kerja dalam mengembangkan dinamika sistem distribusi beras di Jawa Timur dengan mengintegrasikan output geografis (pemetaan lokasi, pasokan dan kebutuhan daerah, perubahan, dan kuantitas pasokan / permintaan) yang di capture oleh GIS untuk menggambarkan perilaku pasokan dan kebutuhan dan menghasilkan skenario kebijakan di masa depan untuk meningkatkan pasokan dan kebutuhan beras. Pendekatan dinamika sistem didasarkan pada pertimbangan bahwa metode SD menawarkan kemampuan untuk menggabungkan pengetahuan ahli dalam kemampuan memodelkan perilaku non-linear. Gambaran integrasi antara Sistem Dinamik dan Sistem Informasi Geografis dikenal sebagai Spatial System Dynamics (SSD) dapat digambarkan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Diagram alur SSD [2]
32
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
SFA 2013
Pada gambar 1.1 pendekatan System Spatial Dynamics (SSD) dijalankan secara terpisah, kedua program mengintegrasikan dua arah data dinamis dan pertukaran informasi antara System Dynamics (SD) dan Sistem Informasi Geografis (SIG), yang memberikan umpan balik dalam ruang dan waktu. GIS menyediakan informasi spasial dengan model SD. Model SD, melalui pemodelan dinamis, mengidentifikasi perubahan dalam fitur spasial dengan waktu dan berkomunikasi kembali ke GIS. Perubahan-perubahan dalam ruang adalah dampak pergantian keputusan / kebijakan dalam waktu. Dengan demikian, proses dapat dimodelkan dalam ruang dan waktu secara terpadu saat menangkap umpan balik [2]. Penelitian ini mengusulkan pendekatan model System Dynamics (SD) dan pemodelan spasial dari pasokan dan kebutuhan beras. Tujuan dari model adalah untuk mengidentifikasi perilaku pasokan dan kebutuhan beras dengan menangkap beberapa output geografis (pemetaan lokasi, daerah pasokan dan kebutuhan, perubahan, dan kuantitas pasokan / permintaan) untuk meningkatkan pasokan dan kebutuhan beras di masa depan.
2. DASAR TEORI Beras merupakan makanan pokok utama masyarakat Indonesia. Beras menyediakan lebih dari 50 persen kalori dan hampir 50 persen dari asupan protein. Beras juga unik dan penting dalam perekonomian Indonesia, dengan nilai pasar tahunan hampir Rp. 2.000 miliar, atau 3,2 miliar dolar AS. Permintaan beras meningkat karena peningkatan populasi yang tajam dan konsumsi yang tinggi per kapita beras dan harga relatif lebih murah dibandingkan makanan karbohidrat lainnya. Konsekwensinya adalah bahwa pasokan beras harus ditambah dengan impor yang besar. Impor besar membutuhkan devisa yang signifikan. Fungsi pasokan beras dinyatakan sebagai fungsi 'rata-rata harga produsen padi untuk tahun berjalan, perbedaan harga rata-rata produsen padi, rata-rata harga jagung, rata-rata harga singkong, dan tren waktu. Elastisitas pasokan beras sehubungan dengan perbedaan rata-rata harga gabah adalah 0.58 [3]. Konseptualisasi yang paling berguna menggambarkan sistem pangan sebagai rangkaian kegiatan dari produksi ('lapangan) untuk konsumsi (' tabel '), dengan penekanan khusus pada pengolahan dan pemasaran dan transformasi beberapa makanan yang diperlukan. Kecenderungan global umum dalam sistem makanan modern didokumentasikan dengan baik dan dirangkum dalam Tabel 2.1. Ini menggambarkan aktor yang terlibat dalam sistem pangan, susunan yang luas dari interaksi lingkungan dan sosial yang mencakup dalam sistem pangan, dan kebijakan beberapa tantangan yang ditimbulkan. Tabel 2.1 Perbandingan beberapa fitur sistem pangan tradisional dan modern
Fitur sistem pangan
sistem pangan tradisional
sistem pangan modern
Pokok pekerjaan di sektor pangan Supply chain
Produksi pangan
Pengolahan pangan, kemasan dan ritel
Lokal, pendek
Sistem produksi pangan
Beragam variasi produktivitas
Tipikal pertanian
Berbasis keluarga, kecil sampai menengah Bahan pokok dasar
panjang dengan banyak makanan bermil dan simpul Sedikit hasil panen dominan, secara intensif, input tinggi Industri besar
Tipikal pangan yang dikonsumsi Pembelian pangan dari Perhatian nutrisi Sumber utama gejolak pangan nasional Sumber utama gejolak pangan rumah tangga Masalah utama lingkungan Skala pengaruh
toko lokal atau pasar kecil Kurang gizi Curah hujan buruk; gejolak produksi Curah hujan buruk; gejolak produksi Degradasi tanah, pembukaan lahan Lokal ke nasional
Olahan makanan dengan nama merek, produk hewani Rantai supermarket besar Kronis penyakit pada pola makan Harga internasional dan masalah perdagangan Gejolak pendapatan menyebabkan kemiskinan pangan Gizi loading, limpasan kimia, kebutuhan air, emisi gas rumah kaca Nasional ke global
Sumber : diadaptasi dari Maxwell dan Slater 2003.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
33
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
SFA 2013
Peraturan Menteri Pertanian No. 65/Permentan/OT.140/12/2010 tanggal 22 desember 2010 tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota lampiran 1. Standar Pelayanan Minimal (SPM) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: 1. Bidang ketersediaan dan cadangan pangan; 2. Bidang distribusi dan berupa ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat Jawa Timur. 3. Bidang penganekaragaman dan keamanan pangan; 4. Bidang penanganan pasokan dan kebutuhan. Tabel 2.2 SPM bidang ketahanan pangan tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota
Standar Pelayanan Minimal Ketersediaan dan cadangan pangan
Indikator • Ketersediaan Energi Dan Protein Per Kapita • Penguatan Cadangan Pangan Distribusi dan akses pangan • Ketersediaan informasi pasokan harga • Stabilisasi harga dan pasokan pangan Penanganan pasokan dan kebutuhan • Rawan Pangan Kronis • Rawan Pangan Transien Sumber : diadaptasi dari Lampiran 1 Peraturan Menteri Pertanian (Suswono,2010)
Menurut kajian ekonomi Bank Indonesia (2012) p,25 [4], penguatan pasokan dan kebutuhan beras di tingkat nasional hingga daerah merupakan isu yang krusial bagi Indonesia. Beras merupakan komoditas strategis karena sekitar 25,4 juta penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani dengan padi sebagai tanaman utama. Selain itu, beras merupakan kebutuhan pangan pokok bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Guncangan pada sisi penawaran dan harga beras tidak hanya akan mempengaruhi perekonomian nasional saja karena masalah tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang baik dari aspek sosial, politik, maupun budaya. Ketahanan pangan beras terutama dilihat dari aspek ketersediaan (produksi, konsumsi, maupun distribusi) dan stabilitas harga. Distribusi pangan merupakan salah satu subsistem ketahanan pangan yang peranannya sangat strategis, apabila tidak dapat terselenggara secara baik dan lancar, bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat tidak akan terpenuhi. Ketahanan pangan beras terutama dilihat dapat ditinjau dari aspek ketersediaan yang meliputi produksi, konsumsi, distribusi dan stabilitas harga [4]. Distribusi pangan ini diharapkan dapat terlaksana secara efektif, efisien dan merata di setiap lokasi berlangsungnya transaksi bahan pangan kebutuhan masyarakat. Gangguan distribusi pangan ini berdampak terhadap kelangkaan bahan pangan dan kenaikan harga pangan serta berpengaruh terhadap rendahnya akses pangan masyarakat karena daya beli bahan pangan menjadi menurun [5]. Salah satu perangkat SIG yang berhubungan dan berkonsentrasi di lautan adalah Google Ocean yang dirilis pada bulan Februari 2009 [8]. Sebuah add-on gratis untuk Google Earth dan sangat populer, Google Ocean memungkinkan pengguna melakukan perjalanan kedalam laut untuk melihat gunung api bawah laut, mengikuti margasatwa laut atau menyelidiki bagaimana lautan berubah dengan fitur sejarah. Google Earth dibuat sebagai tanggapan pada tanggal 24 Maret 2006 sebuah artikel di Science, bahwa ada kenaikan permukaan laut berpotensi akibat pencairan gletser atau es mencair. Menurut Sterman [6], terdapat lima tahapan dalam mengembangkan model sistem dinamik seperti terlihat dalam yaitu: Step 1: Problem articulation: Pada tahap ini, kita perlu menemukan masalah yang sebenarnya, mengidentifikasi variabel kunci dan konsep, menentukan horison waktu dan mencirikan masalah secara dinamis untuk memahami dan merancang kebijakan menyelesaikannya. Step 2: Dynamic hypothesis: Pembuat model harus mengembangkan sebuah teori tentang bagaimana masalah tersebut muncul. Dalam step ini, perlu dikembangkan diagram causal loop yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel dan 34
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
SFA 2013
mengkonversi diagram causal loop ke dalam diagram flow, yang terdiri dari tiga variabel seperti yang digambarkan pada Tabel 2.3. Step 3: Formulation: Untuk menentukan model sistem dinamik, setelah mengubah diagram causal loop ke dalam diagram flow, selanjutnya harus menerjemahkan deskripsi sistem menjadi level, rates dan membuat persamaan / auxiliary equations. Untuk mengestimasi sejumlah parameter, hubungan perilaku, dan kondisi awal. Pembuatan equations akan mengungkapkan kesenjangan dan inkonsistensi yang harus diperbaiki dalam deskripsi sebelumnya. Step 4: Testing: Tujuan pengujian adalah untuk membandingkan perilaku simulasi model terhadap perilaku aktual dari sistem. Step 5: Policy Formulation and evaluation: Sejak pembuat model mengembangkan keyakinan dalam struktur dan perilaku model, pemodel dapat memanfaatkan model yang valid untuk merancang dan mengevaluasi kebijakan bagi perbaikan. Interaksi kebijakan yang berbeda juga harus diperhatikan, karena sistem nyata sangat nonlinear dan dampak kombinasi kebijakan biasanya tidak berupa dampaknya saja.
3. METODOLOGI PENELITIAN Dalam rangka membangun komponen penelitian, ketersediaan data yang dibutuhkan harus dikumpulkan dan diperiksa. Sumber daya prinsip untuk semua data berasal dari, Dinas Pertanian, BULOG JATIM , Dinas Ketahanan Pangan JATIM dan Statistik BPS. Data geospasial dari basis data Badan Ketahanan Pangan JATIM. Spasial Sistem Dynamic mengintegrasikan Sistem Informasi Geografis dan Sistem Dinamik sebagai bagian dari Spasial System Dynamics. Pemodelan pertanian padi dan hasil panen akan dibantu oleh SIG, tidak hanya memetakan seperti pada dunia nyata, tetapi juga menganalisis dan membuat beberapa skenario untuk memudahkan seluruh stakeholder dalam membuat beberapa keputusan yang terkait dengan keamanan pangan terutama keamanan padi.
Gambar 3.1 Flow Model Spatial system dynamics
Setelah itu hasil simulasi akan divalidasi untuk memastikan bahwa model yang dibuat benar-benar dapat merepresentasikan kondisi riil sistem. Validasi model dilakukan dengan dua cara pengujian, yaitu validasi model denganstatistik uji perbandingan rata-rata (mean comparison) dan validasi model dengan uji perbandingan variasi amplitudo ( % error variance) [7]. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
35
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
a.
SFA 2013
Statistik Uji perbandingan rata-rata (Mean Comparison)
E1 =
[S − A] A
S = nilai _ rata − rata _ hasil _ simulasi A = nilai _ rata − rata _ data Dimana model dianggap valid bila E1 ≤ 5 % b.
Statistik Uji perbandingan variasi amplitudo ( % error variance)
E2 =
Ss− Sa Sa
Ss = standard deviasi mode Sa = standard deviasi data Dimana model dianggap valid bila E2 ≤ 30% Dalam penentuan suatu wilayah termasuk kategori ketahanan pangan yang mana, maka setelah didapatkan indeks komposit semua aspek dapat dilihat range indeksnya yaitu (FIA.2010): Tabel 3.1 Kategori ketahanan pangan
> 0,8 0,64 - < 0,8 0,48 - < 0,64 0,32 - < 0,48 0,16 - < 0,32 < 0,16
sangat rawan pangan rawan pangan agak rawan pangan cukup tahan pangan tahan pangan sangat tahan pangan
4. HASIL DAN DISKUSI Distribusi perdagangan beras dimulai dari petani kepada pengepul. Pengepul sebagian besar berada di kabupaten/kota yang sama dengan petani yang kemudian melakukan penjualan lintas daerah. Dari pedagang pengepul, beras mayoritas dijual ke pedagang besar kemudian ke pedagang pengecer dan konsumen. Produksi yang terus meningkat merupakan sebuah prestasi yang luar biasa bagi propinsi Jawa Timur. Akan tetapi di sisi lain, meningkatnya produksi dalam negeri akan menjadi sebuah masalah sendiri bagi harga di tingkat produsen. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka stabilitas produksi gabah/beras dalam negeri di masa selanjutnya akan terganggu. Berikut blok diagram distribusi dan produksi beras untuk ketahanan pangan propinsi jawa timur seperti gambar 4.1. Hubungan sebab akibat distribusi dan produksi beras dalam mendukung ketahanan pangan di Jawa Timur pada Gambar 4.2 dapat dijelaskan bahwa jumlah produksi padi dapat dipenuhi dengan cara meningkatkan produktifitas lahan/ha dengan menerapkan revitalisasi lahan menggunakan pupuk dan insektisida. Teknologi pengolahan pangan untuk meningkatkan jumlah produksi padi dengan pengolahan tanah sawah secara bertahap yaitu perbaikan saluran dan galengan agar tidak kehilangan air pengairan dan mengurangi rumput gulma masuk kedalam petakan-petakan sawah. Proses lain dalam pengelolaan pangan yaitu pembajakan lahan, menyediakan bibit berkualitas, persemian padi, pengaturan irigasi, pengendalian hama serta penanganan panen dan pasca panen yang tepat. Teknologi pengolahan pangan untuk mendukung kesuburan tanah dipengaruhi oleh kondisi tata udara tanah dan tata air tanah yang optimal serta pemberian bahan organik atau kompos. Jumlah produksi padi juga dipengaruhi oleh luas lahan tanam padi dan luas panen padi dapat ditingkatkan dengan cara pembukaan lahan baru ataupun alih fungsi lahan. 36
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
SFA 2013
Ketahanan Pangan Sistem distribusi & Produksi padi Produksi Padi Distribusi padi Kebutuhan pangan Petani Rasio pemenuhan Penggilingan Padi
Penggilingan padi
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengumpul
Petani
Impor
Luas lahan tanam padi
Pedagang besar (grosir)
Penggilingan padi
Pedagang Pengecer
Pedagang Pengecer
Penggilingan padi
Pedagang besar (grosir)
BULOG
RTS Raskin
Produktifitas lahan
Teknologi pengolahan
Intensifikasi lahan
Bibit berkualitas
Ekstensifikasi lahan
Revitalisasi lahan
Luas panen padi
Penanganan panen Produksi padi
Masyarakat
Gambar 4.1 Diagram distribusi dan produksi beras Jawa Timur
Gambar 4.2 Diagram kausatik distribusi dan produksi beras Propinsi Jawa Timur
Berdasarkan karakteristik biofisik wilayah yang meliputi kondisi iklim, fisiografi dan sumberdaya lahan, dibedakan menjadi 5 zona agroekologi, sedangkan zona agroekologi sesuai dengan pengembangan komoditas pertanian di Jawa Timur terbagi 4 zona, yaitu: Tabel 4.1 karakteristik lahan komoditas padi
Zona 1. 2. 3. 4.
ISSN: 2086-0773
Kelerengan 40% 15 - 40% +8 – 15 % 0 – 8%
Ketinggian tempat
> 300 m 50 – 300 m +10 - 50 m < 10 m
Pemanfaatan Lahan Buah-buahan Tanaman tahunan buah-buahan Kacang-kacangan & sayuran Padi, Kacang-kacangan & sayuran
http://www.seminar.physics.its.ac.id
37
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
SFA 2013
Secara geografis tanaman padi dapat tumbuh dengan baik di daerah antara 350 Lintang Selatan sampai 50 lintang Utara dan tersebar didaerah rendah hingga ketinggian 2.000 meter diatas permukaan laut. 0
Dalam penentuan suatu wilayah termasuk kategori ketahanan pangan yang mana, maka setelah didapatkan indeks komposit semua aspek dapat dilihat range indeksnya yaitu : Hasil Analisis Aspek Ketersediaan Pangan Tingkat Kabupaten Propinsi Jawa Timur Tabel 4.2 Tingkat ketersediaan pangan di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Timur
Indeks ketersediaan
Kategori
Pacitan
0.00
ST
Ponorogo
0.03
ST
Trenggalek
0.05
ST
Tulungagung
0.18
ST
Blitar
0.16
ST
Kediri
0.14
ST
Malang
0.19
ST
Lumajang
0.10
ST
Jember
0.15
ST
Banyuwangi
0.13
ST
Bondowoso
0.04
ST
Situbondo
0.11
ST
Probolinggo
0.11
ST
Pasuruan
0.12
ST
Kabupaten
Sidoarjo
1.00
AG
Mojokerlo
0.20
ST
Jombang
0.18
ST
Nganjuk
0.11
ST
Madiun
0.10
ST
Magetan
0.14
ST
Ngawi
0.05
ST
Bojonegoro
0.11
ST
Tuban
0.07
ST
Lamongan
0.07
ST
Gresik
0.19
ST
Bangkalan
0.13
ST
Sampang
0.06
ST
Pamekasan
0.23
ST
Sumenep
0.10
ST
Ket: AG = Agak Rawan, ST = Sangat Tahan
Gambar 4.3 Spasial Ketersediaan Pangan Tingkat Kabupaten Propinsi Jawa Timur
38
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Dari hasil analisis dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa langkah-langkah Strategis dalam pemetaan rawan pangan dengan cara: 1. Pembuatan Peta rawan pangan sampai level kecamatan dan desa 2. Pemantapan ketersediaan pangan yang disertai dengan peningkatan nilai tambah melalui penanganan pasca panen. 3. Pengentasan kemiskinan melalui : Percepatan pembangunan infrastruktur publik bersifat padat tenaga kerja , Percepatan industrialisasi pedesaan dengan skala kecil dan rumah tangga, peningkatan layanan lembaga keuangan untuk pembiayaan usaha mikro, subsidi untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin : pangan, kesehatan , pendidikan. 4. Pengembangan prasarana dan sarana penting pedesaan (jalan, irigasi, listrik air minum. 5. Peningkatan layanan kesehatan di pedesaan 6. Revitalisasi kelembagaan pangan ,gizi dan kesehatan di pedesaan 7. Pengelolaan sumberdaya alam 8. Percepatan pembangunan daerah rawan pangan melalui program desa mandiri pangan
6. DAFTAR ACUAN [1] http://erabaru.net/nasional/60-lingkungan/31094--jawa-timur-andalan-utama-produksi-beras. [2] S., Ahmad, dan S. P. Simonovic. “Spatial System Dynamics: New Approach for Simulation of Water Resources Systems.” J. Comp. in Civ. Engrg., 2004: 18: 331 [3] Gordon, E, Won, W.K dan Maman H.K. Analysis Of Demand And Supply Of Rice In Indonesia. Department of Agricultural Economics. North Dakota Agricultural Experiment Station North Dakota State University Fargo, North Dakota ,1985 [4] Bank Indonesia. “Pengembangan Pilot Project Program Ketahanan Pangan Beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.” Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan. Jakarta: Bank Indonesia, 2012. 25. [5] http://bkpp.jogjaprov.go.id/content/page /244/Bidang -Distribusi-Pangan) [6] Sterman, Jhon D. Business Dynamics: Systems Thinking and Modeling for a Complex World. Boston: McGraw-Hill; 2000 [7] Barlas, Yaman. “Multiple tests for validation of system dynamics type of simulation models.” European Journal of Operational Research, 1989: 42:59-87. [8] Hartt, dan Maxwell D. Geographic Information Systems and System Dynamics - Modelling the Impacts of Storm Damage on Coastal Communities. Canada: University of Ottawa, 2011
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
39
Totok Mulyono, dkk. / Integrasi Model Sistem Dinamik ….
40
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
KAJIAN AWAL PEMBUATAN KAPUR TOHOR MEMANFAATKAN TUNGKU BLAST FURNACE UPT. BPML – LIPI Yayat Iman Supriyatna, Suharto UPT.Balai Pengolahan Mineral Lampung – LIPI JL.Ir.Sutami KM.15 Tanjung Bintang Lampung Selatan Telp.(0721) 350054 Fax.(0721) 35005
[email protected]
Abstrak Batu kapur (CaCO3) merupakan salah satu mineral industri yang banyak dibutuhkan dan digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penggunaan secara langsung batu kapur yaitu pada industri semen dan gula, keramik, bahan imbuh pada proses smelter dan bahan bangunan. Namun selama untuk mencukupi kebutuhan tersebut masih impor dari Malaysia. Kebutuhan akan kapur yang sangat besar dan perbedaan harga antara kapur mentah dan kapur bakar merupakan peluang investasi yang akan signifikan terhadap kegiatan perekonomian adalah berdirinya pabrik pengolahan batu gamping, yang mengolah bahan tambang berupa batu kapur ini. Oleh karena itu, sebagai Unit Pelaksana Teknis Balai Pengolahan Mineral Lampung (UPT.BPML) – LIPI yang bergerak dalam mineral logam dan non-logam sudah selayaknya menguasai teknologi pembuatan kapur dengan mempertimbangkan aspek sosial dan ekonominya Berdasarkan studi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari aspek pemasaran peluang produk powder kapur dan kapur tohor masih sangat terbuka. Bahan baku cukup tersedia di daerah Lampung dan sekitarnya minimal untuk jangka waktu 10 tahun, teknologi pengolahan cukup sederhana dan dapat dikuasai oleh LIPI. Sebagian besar prasarana seperti tanah, gedung juga peralatan telah tersedia. Dari aspek keuangan untuk merenovasi tungku Blast Furnace menjadi pabrik pengolahan kapur dengan kapasitas 30 ton/hari diperlukan modal investai sebesar ± 640.000.000 rupiah, modal kerja sebesar 567.500.000 rupiah. Kata kunci: batu kapur, blast furnace, kapur tohor, pembakaran
1. PENDAHULUAN Batu kapur (CaCO3) merupakan salah satu mineral industri yang banyak dibutuhkan dan digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penggunaan secara langsung batu kapur yaitu pada industri semen dan gula, keramik, bahan imbuh pada proses smelter dan bahan bangunan. Sedangkan penggunaan secara tidak langsung masih perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu yang dapat berupa light calcium carbonat ataupun kapur tohor/bakar (CaO). Light calcium carbonat dan kapur tohor/bakar sama banyaknya dibutuhkan untuk kebutuhan industri cat, pasta gigi, pemutih kertas, kosmetika, netralisasi tanah, bahan bangunan dan lain-lain [1]. Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah aragonit (CaCO3), yang merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit (CaCO3). Mineral lainnya yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur atau dolomit, tetapi dalam jumlah kecil adalah Siderit (FeCO3), ankarerit (Ca2MgFe(CO3)4), dan (MgCO3)/magnesit [2].
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
41
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
SFA 2013
Gambar 1. Potensi batu kapur di Indonesia [3]
Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar cadangan batu kapur Indonesia terdapat di Sumatera salah satunya Lampung. Sumber daya kapur diantaranya ada di Desa Timbul Rejo, Kec. Bangun Rejo dan Desa Gunung Kapur Kec. Selagai Lingga dengan cadangan kurang lebih 164.960.000 ton, selain itu ada di Desa Sindang Sari kec Tanjung Bintang dengan cadangan berkisar 1.003.000 ton [4]. Daerah lampung lainnya yang memiiki seumber daya batu kapur yaitu way kanan, pringsewu, lampung barat. Batu kapur mempunyai sifat yang istimewa, bila dipanasi akan berubah menjadi kapur tohor/bakar atau quick lime yaitu kalsium oksida (CaO) melalui proses dekarbonasi (pengusiran CO2) yang dapat dihidrasi secara mudah menjadi kapur hydrant atau kalsium hidroksida (Ca(OH)2). Pada proses ini air secara kimiawi bereaksi dan diikat oleh CaO menjadi Ca(OH)2 dengan perbandingan jumlah molekul sama. Kapur tohor/bakar (CaO) adalah hasil dari pemanasan batuan kapur, yang dalam perdagangan dapat dijumpai bermacam-macam hasil pembakaran kapur ini, antara lain [5]: • Kapur tohor / quick lime : yaitu hasil langsung dari pembakaran batuan kapur yang berbentukoksidaoksida dari kalsium atau magnesium. • Kapur padam/ hydrated lime : adalah bentuk hidroksida dari kalsium atau magnesium yang dibuat dari kapur keras yang diberi air sehingga bereaksi dan mengeluarkan panas. Digunakan terutama untuk bahan pengikat dalam adukan bangunan. • Kapur hydraulik : disini CaO dan MgO tergabung secara kimia dengan pengotor-pengotor. Oksida kapur ini terhidrasi secara mudah dengan menambahkan air ataupun membiarkannya di udara terbuka, pada reaski ini timbul panas. Reaksi dalam pembuatan kapur [6]: CaCO3 + panas
] CaO + CO2
CaCO3.MgCO3 + panas
] CaO.MgO + 2CO2
CaO + H2O
]Ca(OH)2 + panas
CaO.MgO + H2O
]Ca(OH)2.MgO + panas
CaO.MgO + H2O
]Ca(OH)2.Mg(OH)2 + panas
Pada industri peleburan baja dibutuhkan kapur sebagai fluks. Salah satu industri peleburan yang membutuhkan kapur adalah PT. Krakatau Steel Cilegon dengan kebutuhan sebesar 150 ton per hari. Selama ini
42
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
SFA 2013
kebutuhan kapur tersebut di suplai oleh anak perusahaan dari Krakatau Steel Cilegon, dengan harga Rp.800,per kg dan itupun masih belum mencukupi. Berdasarkan data pemasaran Krakatau Steel disebutkan bahwa harga kapur mentah (CaCO3) yang sudah di packing sekitar Rp.300 per kg dan harga kapur tohor/bakar (CaO) sebesar Rp.800 – Rp.900 tiap kg-nya. Industri lain yang membutuhkan kapur cukup besar adalah pabrik gula, sebagai contoh Gunung Madu Plantation (GMP) membutuhkan sekitar 70 ribu ton/tahun kapur mentah dalam bentuk bongkahan atau powder dengan ukuran mesh tertentu. Selama ini untuk mencukupi kebutuhan tersebut masih impor dari Malaysia. Dari sini terlihat bahwa sangat besar kebutuhan akan kapur dan sangat signifikan perbedaan harga antara kapur mentah dan kapur bakar. Peluang investasi yang akan signifikan terhadap kegiatan perekonomian adalah berdirinya pabrik pengolahan batu gamping, yang mengolah bahan tambang berupa batu kapur ini. Oleh karena itu, sebagai Unit Pelaksana Teknis Balai Pengolahan Mineral Lampung (UPT.BPML) – LIPI yang bergerak dalam mineral logam dan non-logam sudah selayaknya menguasai teknologi pembuatan kapur dengan mempertimbangkan aspek sosial dan ekonominya.
2. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah sebagai kajian awal untuk mengetahui potensi pengolahan batu kapur menjadi kapur tohor memanfaatkan tungku blast furnace UPT. BPML – LIPI dari segi teknis dan ekonomis.
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dengan data penunjang adalah data dan informasi kuantitatif dan kualitatif dari instansi pemerintah terkait, dan survey langsung ke lapangan. Kemudian informasi tersebut digunakan dalam menganalisa dan mengolah data terkait dengan potensi batu kapur sebagai sebagai bahan bakupembuatan kapur tohor. Pemanfaatan batu kapur menjadi kapur tohor perlu dikaji kelayakan ekonomi, dampak lingkungan, serta dampak sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Untuk keperluan tersebut perlu diketahui konfigurasi yang efisien untuk penggunaan blast furnace.
4. HASIL DAN DISKUSI TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI TUNGKU
Gambar 2. Tungku pendam pembakaran batu kapur [7]
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
43
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
SFA 2013
Selama ini tungku yang digunakan untuk memproses batu kapur menjadi kapur tohor berupa tungku pendam sistem berkala berbentuk silinder yang terpendam dalam tanah dengan sedikit bagian terbuka untuk pelaksanaan proses pembakaran berkapasitas ± 60 ton batu kapur [7]. Dinding tungku pendam dibuat dari susunan batu kuarsa (batu gongsol) atau jenis batu kali tertentu, dapat juga dibuat dari batu bata biasa. Batu bata tidak tahan terhadap api reduksi sehingga dinding dari batu bata mudah rusak sehingga mengharuskan dilakukan perbaikan secara berkala. Pemasukan bahan bakar dilakukan dari bukaan pada dinding yang berhubungan dengan bukaan tempat juru bakar melakukan tugasnya memasukkan bahan bakar. Bahan bakar masuk ke dalam rongga di dalam tungku yang dibuat dari susunan batu kapur yang akan dibakar [7]. Sedangkan tungku yang akan digunakan oleh UPT.BPML adalah tungku bekas peleburan bijih besi yang berdimensi lebar diameter dalam heart 3 m, diameter dalam bagian top tungku 2,5 m, tinggi kurang lebih 20 m. Diperkirakan dapat memuat sekitar 100-150 ton batu kapur untuk sekali produksi dengan proses batch. Sedangkan bagian dalam dari tungku yang sudah ada tersusun dari bata tahan api dan bagian luar dari tungku terbuat dari plat besi setebal 10 mm sehingga kondisi tungku sangat bagus untuk menjaga kehilangan panas,mencegah kebocoran dan ketahanan terhadap api reduksi yang mengakibatkan dinding bagian dalam tidak mudah rusak.
PENYUSUNAN BATU KAPUR Penyusunan batu kapur di dalam tungku pendam merupakan langkah penting untuk terlaksananya proses pembakaran yang efisien dan merata ke seluruh umpan batu kapur yang akan dibakar sehingga seluruhnya terkalsinasi dengan baik menjadi kapur tohor/bakar [7]. Di bagian dasar disusun batu kapur berukuran besar 20 - 30 cm x 30 - 40 cm. Susunan ini berfungsi sebagai fondasi untuk menopang susunan batu kapur selanjutnya sampai ke bagian atas tungku. Fondasi ini harus cukup kuat dan stabil pada temperatur tinggi (1000-1200°C) sampai proses pembakaran selesai yaitu sekitar 3-10 hari masing-masing untuk kapasitas 20 dan 100 ton batu kapur. Untuk ini sifat fisik batu kapur yang digunakan pada suhu tinggi harus sudah diketahui [7]. Semakin ke atas, batu kapur yang disusun semakin kecil ukurannya dan susunan dibuat semakin ke tengah dan akhirnya bertemu pada ketinggian ± 1/3 tinggi umpan dari dasar tungku atau 1-2 m. Terbentuklah sebuah rongga berbentuk setengah bola. Lubang pengapian dari luar tungku tembus ke dalam rongga ini. Karena bentuk yang demikian mengakibatkan terciptanya turbulensi yang tinggi dalam rongga pembakaran ini, setelah suhu meningkat. Kondisi ini cukup ideal untuk proses pembakaran batubara halus [7]. Kemudian di permukaan tumpukan batu kapur tersebut ditutup dengan batu kapur kecil-kecil berukuran 2-3 cm setebal 5 cm guna menahan laju panas yang keluar. Selanjutnya proses pembakaran dapat dimulai [7].
Gambar 3. Susunan Batu Kapur di dalam Tungku (dilihat dari atas) [7]
44
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
SFA 2013
TEKNIK PEMBAKARAN Pembakaran dimulai dengan api kecil menggunakan kayu bakar untuk mengeringkan batu kapur. Api dapat dibesarkan setelah batu kapur hampir kering sehingga uap air tidak terlalu banyak. Banyaknya uap air akan mengganggu draft (tarikan) sehingga pembakaran kurang lancar, banyak menghasilkan jelaga yang mengganggu proses pembakaran selanjutnya [7]. Jika unggun batu kapur sudah hampir kering, draft sudah cukup kuat, api dapat semakin dibesarkan. Setelah api besar dan stabil, batubara halus dapat dimasukkan. Ukuran butir batubara halus adalah 30 mesh dan cara pemasukannya adalah dengan mengalirkannya ke dalam pipa yang ditiup blower. Untuk tungku pendam berkapasitas 40 ton batu kapur, dapat digunakan blower 3 inci 440 watt dan pipa untuk peniupan 4 - 5 inci [7]. Batubara halus atau biomassa masuk ke pipa peniupan dari pipa pengumpan. Pemasukan batubara halus/biomassa ke pipa pengumpan untuk kemudian ditiupkan ke dalam ruang bakar dilakukan dengan sistem pengumpan. Sistem pengumpan dapat berupa pengumpan ulir (screw feeder) dengan kecepatan yang dapat diatur atau dapat juga secara manual [7]. Cara manual dapat dilakukan dengan menyediakan meja dengan lubang di salah satu sudutnya untuk menyalurkan batubara/biomassa di atas meja dengan mendorong batubara ke dalam pipa pengumpan dengan tangan melalui lubang tersebut [7]. Pipa peniup batubara/biomassa dipasang sedemikian rupa sehingga batubara halus menyebar secara merata di dalam rongga pembakaran yang berisi kayu bakar yang sedang terbakar dengan posisi malang melintang. Pemerataan ini dibantu dengan adanya turbulensi yang tinggi dalam rongga pembakaran. Turbulensi tercipta karena draft yang kuat dari unggun kapur dan udara luar masuk ke dalam rongga melalui lubang pengapian yang sempit. Kondisi ini sangat membantu proses pembakaran batubara sehingga batubara dengan cepat terbakar dan kayu terbakar lebih lambat [7].
Gambar 4. Sketsa susunan pengumpan batubara halus [7]
ISSN: 2086-0773
Gambar 5. Tungku pembakaran batu kapur [8]
http://www.seminar.physics.its.ac.id
45
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
SFA 2013
Gambar 6. Penggunaan pengumpan batubara halus untuk pembakar kapur [7]
Karena pemasukan batubara/biomassa secara terus menerus tanpa henti maka peningkatan suhu juga terus menerus sehingga waktu pembakaran dengan kombinasi batubara/biomassa - kayu ini lebih singkat dibanding pembakaran dengan kayu yaitu sekitar 2/3-nya. Untuk perbandingan, dibawah ini adalah hasil pembakaran 36 ton batu kapur [7]. Pembakaran dihentikan setelah seluruh muatan batu kapur telah terkalsinasi.Hal ini dapat diketahui dengan mengukur suhu sekitar 5 cm di bawah permukaan batu kapur.Setelah temperatur bertahan 2-3 jam pada 900°C atau lebih maka batu kapur telah terkalsinasi [7]. Dapat juga dilihat dari penurunan permukaan batu kapur di dalam tungku. Setelah terkalsinasi volume produk CaO menyusut sehingga permukaan batu kapur menurun 40 - 80 cm, tergantung kapasitas tungku dan sifat batu kapur yang dibakar. Perjalanan suhu pembakaran kapur dengan kombinasi batubara-kayu terlihat dalam gambar 7 [7]. Batubara muda berkalori rendah, kurang dari 5500 kkal/kg, kurang efektif untuk digunakan membakar kapur dengan teknik ini. Batubara ini baik untuk membakar kapur tanpa campuran kayu dalam tungku pendam yang dimodifikasi atau tungku tegak dengan pembakar siklon [7]. Batubara peringkat lebih tinggi yang bernilai kalor lebih dari 6000 kkal/kg kurang baik untuk membakar kapur dengan teknik batubara halus tanpa campuran kayu dalam tungku tersebut di atas sebab api pembakarannya dapat mencapai lebih dari 12000C. Panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya sintering di permukaan kapur tohor (berwarna kehitaman) sehingga sukar diseduh menjadi Ca(OH)2 [7].
Gambar 7. Api di bagian atas tungku pada temperatur 9000C [7]
46
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
(a)
(b)
SFA 2013
(c)
Gambar 8. Keadaan tanur blast furnace saat ini yang akan digunakan sebagai tungku kalsinasi, (a) tungku tampak luar, (b) tungku tampak dalam,(c) kondisi bata api tungku
Industri pembakaran kapur termasuk industri yang padat energi karena 50-60% biaya produksinya merupakan biaya energi. Untuk tungku berisi 100 ton batu kapur memerlukan 50 ton kayu pinus yang baik (10 truk) untuk pembakaran selama 9-10 hari. Untuk mengurangi konsumsi kayu dapat digunakan batubara halus tanpa melakukan modifikasi tungku. Untuk itu hanya diperlukan peralatan tambahan yaitu blower dan meja pengumpan batubara. Namun dengan penggunaan batubara ini masih cukup mahal biaya energinya karena masih 60% terhadap harga jual. Sedangkan dengan penggunaan biomassa hanya 22% dari harga jual biaya energinya. Setiap pemasukan satu ton batubara/biomassa dapat mengurangi penggunaan kayu bakar sebanyak 8 - 9 ton. Kecepatan pemasukan batubara antara 40 - 60 kg/jam. Kayu bakar juga terus ditambahkan sehingga api dari kayu dan batubara/biomassa berimbang dan dicapai efisiensi pembakaran yang maksimum. Ø SKALA PRODUKSI Berdasarkan data kebutuhan akan kapur tohor yang tinggi yaitu sebagai contoh kebutuhan pabrik gula mencapai 9.900 ton/tahun dan kapasitas alat yang ada maka perencanaan produksi kapur tohor adalah sebesar 30 ton/batch. Dengan perencanaan produksi sebesar 30 ton/batch maka diperlukan pengembangan alat yang ada dan renovasi untuk menyesuaikan tungku yang tadinya digunakan sebagai tungku peleburan bijih besi menjadi tungku kalsinasi kapur. Ø LOKASI PROYEK UPT. Balai Pengolahan Mineral Lampung (BPML) – LIPI berlokasi di Jalan Ir. Sutami Km.15 Kecamatan Tanjung Bintang, berbatasan dengan Kota Madya Bandar Lampung. Lokasi tersebut berada di Kawasab Indusrti Lampung dengan sarana listrik dan telepon yang memadai. Akses jalan raya kelas I yang terpelihara baik memudahkan transport ke pelabuhan Bakauheni, stasiun Kereta Api Panjang dan Pelabuhan Internasional Panjang. Lokasi UPT. BPML sangat strategis, salah satu kekurangan adalah belum adanya pemasukan air PDAM. Relatif jauh dari sungai sumber air permukaan, sehingga pasokan air diambil dari sumur bor. Ø PERALATAN YANG DIGUNAKAN DALAM PRODUKSI Peralatan yang diperlukan dalam pengolahan kapur tohor antara lain: • Tungku kalsinasi/dekarbonisasi Tungku ini digunakan untuk proses kalsinasi/dekarbonisasi batu kapur menjadi kapur tohor/bakar. Tungku yang digunakan merupakan tungku bekas peleburan bijih besi milik UPT.BPML.Namun tungku ini perlu beberapa perbaikan dan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan sebagai tungku kalsinasi kapur.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
47
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor ....... •
SFA 2013
Ball mill/hammer roller mill Ball mill digunaan untuk membuat produk kapur baik kapur pertanian atau kapaur tohor/bakar dengan ukuran mesh 100-300 sesuai permintaan dari industri yang akan menggunakannya. Dimana penggunaan saat ini yang dibutuhkan industri dengan ukuran sekitar 150-300 mesh.
Ø PENYEDIAAN BAHAN BAKU DAN PENGGUNAANNYA Rendemen untuk menghasilkan kapur tohor dari kapur tohor sekitar ± 50% sehingga dengan kapasitas 60 ton bahan baku maka dihasilkan 30 ton kapur tohor/batch. Dimana per batch proses membutuhkan waktu ± 4-10 hari. Pasokan batu kapur dapat diperoleh dari daerah Tegineneng, Negeri Katon dan Padang Cermin dengan kadar CaCO3 ≥ 95%, daerah tambang Baturaja yang mencapai 76,5 juta ton dan baru dieksploitasi 22,8 juta ton sehinga ketersediaan dapat terpenuhi [9]. Sedang untuk kebutuhan batubara, kayu, biomassa tersedia melimpah di Lampung. Khususnya untuk biomassa seperti sekam padi dan bongkol jagung yang merupakan buangan dari hasil pertanian yang belum banyak digunakan. Untuk penggunaan kayu sangat terpenuhi karena terdapat perkebunan karet yang luas,tersebar luas dan pada periode tertentu ditebang dan dijual. Ø PELUANG PASAR Adanya pabrik semen, gula dan industri lain merupakan pasar untuk produk kapur yang keberadaanya dapat terjamin. Sebagai contoh untuk pabrik gula dalam proses produksinya kapur sudah lama digunakan sebagai bahan pembantu pemurnian nira tebu. Di Indonesia sekitar 60 pabrik gula sebagian besar (lebih dari 90%) kapur semakin banyak digunakan dalam pemurnian nirasehubungan dengan kualitas bahan baku tebu yang terus menurun. Penurunan kualitas tebu sebesar 14,16% menyebabkan kenaikan pemakaian kapur 8,4%. Pada dasawarsa yang lalu pemakaian kapur hanya 141,5 kg per 100 ton tebu sedang dasawarsa terakhir mencapai 153,3 kg per 100 ton tebu [10]. Kebutuhan kapur ini juga dapat berupa kapur pertanian yang jumlahnya cukup signifikan juga karena digunakan sebagai pengatur pH tanah oleh pabrik kapur sebelum dilakukan proses penanaman tebu. Ø ANALISA EKONOMI Dalam mengevaluasi kelayakan usaha dibutuhkan evaluasi keuangan. Untuk evaluasi keuangan kegiatan ini dapat dilihat pada uraian di bawah ini [11].
a. bahan baku b. bahan pembantu air c. listrik
nilai Rp 540.000.000 Rp 5.000.000 Rp 5.000.000
d. pemeriksaan mutu d. pengepakan & transportasi e. tak terduga f. promosi
Rp Rp Rp Rp
2.000.000 10.000.000 12.800.000 72.000.000
TOTAl
Rp
646.800.000
jenis investasi
BIAYA PRODUKSI PER BULAN
48
Rp 1.233.175.000
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
Hari 30 30
Produk CaO powder kapur
Jumlah produk (kg) 15.000 15.000 Jumlah Penjualan
SFA 2013
Harga/kg Rp 950 Rp 2.300
Total penjualan Rp 405.000.000 Rp 1.035.000.000 Rp 1.440.000.000
Hasil penjualan jenis a. kapur bongkahan b. kapur powder TOTAL PENJUALAN (G) Perhitungan Keuntungan jenis a. hasil penjualan b. biaya produksi c. keuntugan kotor d. pajak perusahaan e. keuntungan bersih per bulan
BEP =
POT =
nilai Rp 405.000.000 Rp 1.035.000.000 Rp 1.440.000.000
Rp Rp Rp Rp Rp
nilai 1.440.000.000 1.233.175.000 206.825.000 41.365.000 165.460.000
Fa + 0.3Ra × 100% Sa − Va − 0.7 Ra
FCI × 100% keuntungan+ 0.1FCI
(Aries, 1955)
(Stewart, 1955)
Berdasarkan analisa keungan tersebut diatas dengan kondisi: - Produk kapur tohor = 15 ton/hari - Produk powder kapur = 15 ton/hari - Harga kapur tohor = 950/kg - Harga powder kapur = 2300/kg - Tingkat bunga pinjaman = 16% per tahun - Diperroleh POT = 7 bulan, - BEP = 74% Ø DAMPAK SOSIAL EKONOMI KEEGIATAN Dengan adanya kegiatan ini diharapkan akan berdampak sosial dan ekonomi serta bermanfaat bagi masyarakat, dan mitra usaha kecil dan menengah, antara lain : Terbentuknya lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Ketergantungan akan bahan kapur baik kapur tohor atupun kapur pertanian impor mulai dapat dikurangi. Kepercayaan diri akan kemampuan teknologi anak bangsa akan semakin meningkat. Kontribusi untuk pendapatan asli daerah melalui sektor pajak dan retribusi. LIPI sebagai lembaga litbang dapat menjadi motor penggerak dalam memperkenalkan teknologi tepat guna sebagai jawaban atau solusi dalam memanfaatkan sumber daya alam. Terjalinnya hubungan kerjasama / kemitraan antara LIPI dengan sektor industri di tanah air.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
49
Yayat IS dan Suharto / Kajian awal Pembuatan Kapur Tohor .......
SFA 2013
5. SIMPULAN Berdasarkan study yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: a. b. c. d. e.
Dari aspek pemasaran peluang produk powder kapur dan kapur tohor masih sangat terbuka Bahan baku cukup tersedia di daerah Lampung dan sekitarnya minimal untuk jangka waktu 10 tahun Teknologi pengolahan cukup sederhana dan dapat dikuasai oleh LIPI Sebagian besar prasarana seperti tanah, gedung juga perralatan telah tersedia Dari aspek keuangan untuk merenovasi tungku Blast Furnace menjadi pabrik pengolahan kapur dengan kapasitas 30 ton/hari diperlukan modal investai sebesar ± 640.000.000 rupiah, modal kerja sebesar 567.500.000 rupiah
6. DAFTAR ACUAN [1] Herianto, E., (2003), “Pengembangan Industri Kapur di kalimantan Timur”, Semiloka Nasional Metalurgi 2003. Hal 110-118. [2] Kelompok Program Teknologi Informasi Pertambangan, (2005), “Batu Kapur/Batu Gamping”; [http://www.tekmira.esdm.go.id/data/Batukapur/Ulasan], (diakses tanggal 20 April 2013). [3] Indonesian Investment Coordinating Board, (2012), “Potensi batu Gamping di Lampung”; [http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/commodityarea.php?ia=18&ic=618], (diakses tanggal 1 Mei 2013). [4] Indonesian Investment Coordinating Board, (2012), “Invest in Remarkable Indonesia”; [http://regionalinvestment.bkpm.go.id], (diakses tanggal 3 Mei 2013). [5] Alim, A., (2012), “Industri Kapur”; [http://kuliah.wikidot.com/kapur], diakses tanggal 10 Januari 2013. [6] Sido, CV., (2009), “Garis Besar Kegiatan Operasional Perusahaan“; [http://cvsidourip.blogspot. com/], (diakses tanggal 3 Januari 2013). [7] Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, (2010), “Pembakaran Kapur Dalam Tungku Sistem Berkala Dengan Kombinasi Bahan Bakar Batubara-Kayu”; [http://www.tekmira.esdm.go.id/kp/ Batubara/ PembakaranKapur], (diakses tanggal 4 januari 2013). [8] Sulaiman, Slamet, (2012) “Bahan Bakar Sekam padi/Tongkol Jagung Pada Terapan Teknologi Gasifikasi”; [http://www.tender-indonesia.com], (diakses tanggal 1 Maret 2013). [9] Tender Indonesia Commercial, PT., (2012), “”Profil Sebelas Smelter yang siap di bangun”, [http://www.tender-indonesia.com], (diakses tanggal 13 Februari 2013). [10] Sunantyo dan theresia Harisutji W., 2005, “Pemakaian Batuan Kapur dan Belerang sebagai bahan Pembantu Proses Pemurnian Nira untuk Meningkatkan Kualitas Gula Produk”, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Hal. 1- 7. [11] Wicky Moffat and M. R. W. Walmsley, (2006), “Understanding Lime Calcination Kinetics for Energy Cost Reduction,” Auckland, New Zealand. [12] Aries & Newton, (1955), “Chemical Engineering Cost Estimation”, Mc. Graw Hill Book Co, New York. [13] Stewart, R.D., Wyskida, R.M., Johannes, J.D. (1995), “Cost estimatorr’s Reference Manual,” John Wlley & Sons, Inc.Singapore.
50
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PENGARUH JUMLAH TITIK DATA SYARAT BATAS PADA PENDEKATAN KARTESIAN UNTUK SISTEM POTENSIAL LISTRIK GEOMETRI POLAR M. Arief Bustomi 1), Agustina Tri Wahyudi 2), Endah Purwanti 3) 1)
Jurusan Fisika-FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya-61111 Email:
[email protected]
2)
Jurusan Fisika-FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya-61111
3)
Dept. Fisika, Fak. Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Kampus C UNAIR, Surabaya Email :
[email protected]
Abstrak Sistem potensial listrik dalam koordinat polar dapat dianalisa dengan menggunakan pendekatan kartesian. Dalam penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh jumlah sampling titik data syarat batas pada pendekatan kartesian. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu: melakukan perhitungan analitik dalam koordinat polar, menentukan syarat batas untuk pendekatan kartesian, menghitung potensial listrik dengan pendekatan kartesian untuk masing-masing jumlah sampling titik data syarat batas dan membandingkannya dengan hasil perhitungan menggunakan koordinat polar. Dalam penelitian ini, jumlah sampling titik data syarat batas yang digunakan adalah 16, 32, 64, 128, 256, dan 512. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin banyak jumlah sampling titik data syarat batas yang digunakan dalam pendekatan kartesian akan memberikan hasil yang semakin mendekati perhitungn langsung dalam koordinat polar. Kata kunci : potensial listrik, pendekatan kartesian, jumlah sampling titik data syarat batas, sistem geometri polar
1. PENDAHULUAN Sebagian besar persoalan fisika adalah persoalan penyelesaian persamaan differensial yang merupakan representasi matematis dari hukum fisika untuk suatu persoalan tertentu. Penyelesaian persamaan differensial untuk sistem fisis harus memperhatikan kondisi syarat batas dari bagian-bagian batas (ujung) dari sistem. Untuk menggambarkan kondisi dari sistem digunakan 3 sistem koordinat, yaitu kartesian, silinder dan bola dimana penggunaan masing-masing koordinat disesuaikan dengan bentuk geometri sistemnya [1]. Artinya, sistem geometri kartesian dianalisa dengan koordinat kartesian, sistem geometri silinder dianalisa dengan koordinat silinder, dan sistem geometri bola dianalisa dengan koordinat bola. Tapi pada kenyataannya tidak semua sistem dapat dinyatakan dengan bentuk geometri kartesian, silinder, atau bola. Sebagai contoh, untuk sistem geometri yang campuran seperti kartesian silinder, kartesian bola, atau silinder bola. Padahal dalam analisanya tetap harus dipakai salah satu sistem koordinat. Permasalahan sistem dengan bentuk geometri campuran merupakan topik yang perlu untuk diteliti [2]. Sebagai langkah awal pengembangan metode analisa untuk sistem dengan bentuk geometri campuran adalah mencoba mengembangkan suatu metode analisa untuk suatu sistem dengan
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
51
M. Arief Bustomi, dkk./ Pengaruh Jumlah Titik Data ….
SFA 2013
bentuk geometri tertentu menggunakan sistem koordinat yang tidak sesuai dengan bentuk geometrinya. Dalam penelitian sebelumnya telah dicoba menggunakan pendekatan polar untuk sistem geometri kartesian dengan hasil yang cukup baik [2]. Dalam penelitian yang akan disajikan dalam makalah ini, dilakukan hal sebaliknya yaitu pendekatan kartesian untuk sistem geometri polar. Adapun variabel yang diteliti adalah pengaruh dari pemilihan jumlah titik sampling data dalam melakukan pendekatan polar untuk suatu sistem gemetri polar.
2. DASAR TEORI Metode Separasi Variabel Koordinat Kartesian Metode Pemisahan Variabel dilakukan dengan memisalkan fungsi potensial listrik V(x,y) = X(x)Y(y). Substitusi ke persamaan Laplace
∇ 2 ϕ = 0 , kemudian dibagi dengan V(x,y) akan menghasilkan [3]:
1 d2X 1 d 2Y + =0 X ( x) dx 2 Y ( y) dy 2
(1)
Karena persamaan ini harus sama dengan nol untuk semua nilai x dan y maka kedua sukunya bisa disamakan dengan konstanta, misalnya:
1 d2X = −k 2 2 X ( x) dx
1 d 2Y = k2 2 Y ( y) dy
(2)
dimana k adalah konstanta separasi variabel. Masing-masing differensial biasa yang memiliki penyelesaian analitis :
persamaan di atas merupakan persamaan
X(x)=Cs sin (kx) + Cc cos (kx) Y(y)=Cs ’ sinh (ky) + Cc’ cosh (ky)
(3)
dimana C dan C’ adalah konstanta yang bisa dicari apabila syarat batas diberikan. Misalkan syarat batasnya adalah : V(x,y=0) = V(x=0,y) = V(x=Lx,y) =0, V(x,y=Ly)=Vo
(4)
y
V(x,Ly)=Vo
V(Lx,y)=0
V(0,y)=0
V(x,0)=0
x
Gambar 1. Syarat batas koordinat kartesian
52
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
M. Arief Bustomi, dkk./ Pengaruh Jumlah Titik Data ….
SFA 2013
Maka syarat ini hanya dipenuhi apabila Cc = 0 dan C’c = 0. Kemudian pada x = Lx akan terpenuhi apabila k = n.π / Lx. Oleh sebab itu, penyelesaian persamaan Laplace adalah superposisi:
V (x , y ) =
∞
∑C n =i
n
sin
nπx nπx sinh Lx Lx
(5)
Koefisien Cn dapat diperoleh dengan memasukkan nilai syarat batas pada y = Ly, yaitu Vo sehingga penyelesaian akhirnya adalah:
V ( x, y ) = Vo
∞
∑C
n =1,3,5,...
n
h nπx nπy sin sinh(nπy / Lx ) / sinh nπ Lx Lx
(6)
Metode Separasi Variabel Koordinat Silinder Persamaan Laplace dalam koordinat silinder yang hanya merupakan fungsi dari dua variable dalam koordinat silinder, yaitu ρ dan φ adalah [4]:
1 ∂ ∂Φ 1 ∂ 2Φ + =0 ρ ∂ρ ∂ρ ρ 2 ∂φ 2
(7)
Φ
Metode separasi variabel digunakan untuk menyelesaikan potensial dalam koordinat silinder, yaitu merupakan hasil kali dari dua fungsi Φ = R ( ρ )Y (φ ) . Substitusi ke persamaan (7) akan menghasilkan :
R d dR 1 d 2Y ρ =− ρ dρ dρ Y dφ 2
(8)
Kedua ruas dari persaman (8) akan disamakan dengan K2, dimana K merupakan konstanta separasi variabel.
d 2Y + K 2Y = 0 2 dφ
(9)
Persamaan (9) Mempunyai solusi cos(K φ ) dan sin(K φ ). Besaran dari K harus dibatasi dalam orde tertentu untuk membuat solusi ini mempunyai nilai fungsi tunggal dari
φ . Atau dengan kata lain, solusi untuk membuat
pengertian fisikanya seharusnya sama setelah diputar 2 π , yaitu : cos K( φ + 2 π ) = cos (K φ ) sin K( φ + 2 π ) = sin (K φ )
(10)
dimana menghendaki bahwa K = n, dan n adalah nol atau suatu bilangan positif. Suatu sifat penting dari solusi ini adalah kenyataan bahwa sin dan cos orthogonal: 2π
2π
0
0
2π
∫ cos(mφ ) cos(nφ )dφ = ∫ sin(mφ ) sin(nφ )dφ = πδ ∫0 cos(mφ ) cos(nφ )dφ =0 mn
dimana
(11)
δ mn adalah delta kronecker. Kebergantungan radial dari potensial dapat diperoleh dengan pengaturan
sisi sebelah kiri persamaan (8) dan dengan menyamakan K2= n2 didapatkan :
d dR n 2 R ρ − =0 dρ dρ ρ
(12)
Untuk n = 0, potensial memenuhi persamaan dimana potensial listriknya tidak mempunyai kebergantungan anguler, yaitu:
d dR ρ =0 dρ dρ dengan solusi R(ρ) = konstan dan R(ρ) = ln ρ. Untuk n ≠ 0 persamaan memiliki dua solusi
(13)
ρ n dan ρ − n . Oleh
karena itu, solusi yang paling umum adalah ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
53
M. Arief Bustomi, dkk./ Pengaruh Jumlah Titik Data ….
∞
[ (
)
(
SFA 2013
)
Φ(ρ, θ ) = A0 ln ∑ An ρn + ρ−n cosnθ + Bn ρn + ρ−n sinnθ n=1
]
∞
Φ(ρ , θ ) = A0 + A0 ' ln p + ∑ [ An cos nθ + Bn sin nθ ]ρ n n =1
∞
+ ∑ [ An ' cos nθ + Bn ' sin nθ ]ρ − n
(14)
n =1
dimana An , An ' , Bn , Bn ' untuk n ≥ 0, adalah konstanta untuk nilai dari syarat batas. Penghitungan koefisienkoefisien An dan Bn adalah sebagai berikut [5] :
An = Bn =
2 n−1
2π
∫ V (θ ) cos nθdθ
π 2
0
n −1 2π
π
(15)
∫ V (θ ) sin nθdθ 0
3. METODOLOGI PENELITIAN Urut-urutan langkah dalam penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut : 1. Menetapkan terlebih dahulu sistem geometri polar akan diteliti beserta kondisi syarat batas potensial listriknya. 2. Melakukan perhitungan analitik secara langsung menggunakan koordinat polar. 3. Menentukan syarat batas untuk pendekatan koordinat kartesian. 4. Melakukan variasi jumlah titik sampling data syarat batas yang digunakan dalam pendekatan kartesian untuk sistem geometri polar tersebut. 5. Membandingkan hasil perhitungan langsung menggunakan koordinat polar dan hasil perhitungan menggunakan pendekatan kartesian untuk masing-masing jumlah sampling titik data. 6. Melakukan analisa seberapa baik pendekatan kartesian dapat dilakukan terhadap sistem geometri polar. Dalam penelitian ini, sistem geometri polar yang diteliti beserta kondisi syarat batas potensial listriknya diperlihatkan pada Gambar 2 :
Gambar 2. Potensial listrik dalam koordinat polar dengan syarat batas potensial listriknya untuk r = 0,5 m adalah sebagai berikut : V(Ө) = sin Ө untuk 0< Ө< π V(Ө) = 0 untuk π < Ө< 2π
(16)
Perhitungan secara langsung dalam koordinat polar menggunakan Pers. (14) dengan konstanta-konstantanya diperoleh menggunakan Pers. (15) dan (16). Perhitungan menggunakan pendekatan kartesian dilakukan dengan
54
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
M. Arief Bustomi, dkk./ Pengaruh Jumlah Titik Data ….
SFA 2013
terlebih dulu memilih posisi untuk potensial syarat batas kartesian yang akan digunakan. Gambar 3 berikut memperlihatkan posisi untuk potensial syarat batas yang digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 3. Pemilihan potensial syarat batas untuk pendekatan kartesian Dalam penelitian ini dilakukan variasi jumlah sampling titik data sebanyak 6 macam pada potensial batas untuk perhitungan pendekatan kartesian, yaitu 16 titik ( 4 titik pada masing-masing sisi persegi syarat batas potensial), 32 titik (8 titik pada masing-masing sisi persegi syarat batas potensial ), 64 titik, 128 titik, 256 titik, dan 512 titik. Untuk masing-masing jumlah sampling titik data dapat ditentukan fungsi potensial listrik untuk pendekatan kartesiannya menggunakan Pers. (5) dengan konstanta-kontantanya ditentukan menggunakan sifat ortogonalitas fungsi sinus dan cosinus dan nilai potensial listrik sepanjang sisi-sisi pada persegi syarat batas tersebut. Hasil perhitungan untuk masing-masing variasi jumlah sampling titik data ini akan dibandingkan dengan hasil perhitungan langsung dalam koordinat polar. Selanjutnya akan dilihat bagaimana pengaruh variasi jumlah sampling titik data pada pendekatan kartesian terhadap perhitungan langsungnya dalam koordinat polar.
4. HASIL DAN DISKUSI Dalam penelitian ini telah dipilih 40 buah titik yang berada dalam persegi syarat batas. Titik-titik sebanyak 40 titik tersebut tersebar secara merata dalam persegi syarat batas tersebut. Pada masing-masing dari 40 titik tersebut dihitung selisih antara pendekatan kartesian dan perhitungan langsung polarnya. Selanjutnya dari nilai selisih potensial listrik dari ke 40 titik tersebut dapat dihitung nilai rata-ratanya untuk merepresentasikan seberapa baik pendekatan polar untuk masing-masing fungsi potensial listrik dari jumlah sampling titik data. Adapun hasilnya diperlihatkan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1 Rata-rata selisih untuk masing-masing fungsi potensial listrik Jumlah sampling titik data 16 titik 32 titik 64 titik 128 titik 256 titik 512 titik
Rata-rata selisih terhadap polar 0,06104250 0,01543250 0,01166375 0,01072500 0,01051125 0,01046500
Dari Tabel 1 terlihat bahwa semakin banyak jumlah titik data yang digunakan maka nilai potensial listrik pendekatan kartesian akan semakin mendekati nilai potensial listrik perhitungan langsung dalam polar. Artinya selisih antara potensial listrik dalam perhitungan polar dengan potensial listrik pendekatan kartesian semakin kecil. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa semakin banyak jumlah titik data yang digunakan maka hasilnya semakin mendekati nilai yang sebenarnya.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
55
M. Arief Bustomi, dkk./ Pengaruh Jumlah Titik Data ….
SFA 2013
Setelah dilakukan analisa perbandingan hasil perhitungan koordinat polar dan pendekatan kartesian sehingga diperoleh data selisih untuk masing-masing jumlah suku yang digunakan, selanjutnya dapat dibuat grafik dengan maksud untuk mengetahui pengaruh penambahan jumlah sampling titik data terhadap konvergenitas nilai potensial listrik di suatu titik posisi tertentu. Untuk keperluan tersebut dipilihlah empat buah titik posisi, yaitu titik-titik dengan koordinat (0,25 ; 0), (0,25 ; 0,5), (0,5 ; 0,25) dan (0 ; 0,25). Tabel 2 memperlihatkan bagaimana pengaruh variasi jumlah sampling titik data pada nilai selisih perhitungan potensial listrik antara polar dan pendekatan kartesian untuk masing-masing keempat titik tersebut. Tabel 2 Pengaruh variasi jumlah sampling titik data pada nilai selisih perhitungan potensial Jumlah sampling titik data 16 titik 32 titik 64 titik 128 titik 256 titik 512 titik
Titik A (0,25 ; 0) 0,0574 -0,0197 -0,0211 -0,0214 -0,0215 -0,0216
Titik B (0,25 ; 0,5) 0,052 0,021 -0,015 -0,024 -0,026 -0,027
Titik C (0,5 ; 0,25) 0,0462 0,0039 0,0004 -0,0004 -0,0006 -0,0007
Titik D (0 ; 0,25) -0,0144 -0,0190 -0,0204 -0,0208 -0,0208 -0,0209
Dari data padaTabel 2 dapat dibuat grafik pengaruh variasi jumlah sampling titik data pada nilai selisih perhitungan potensial listrik antara polar dan pendekatan kartesian untuk masing-masing keempat titik data A, B, C dan D sebagai berikut :
0.06
0.1
0.04
0.05
0.02
0 16
-0.05
32
64 128 256 512
(a)
16 32 64 128 256 512
-0.02
titik A
0.06
(b)
titik B
0
0.04
-0.01
0.02
16 32 64 128 256 512
-0.02
0 -0.02
0
16 32 64 128 256 512
-0.03
(c) titik C (d) titik D Gambar 4 . Grafik selisih potensial listrik terhadap jumlah sampling titik data
Dari Gambar 4 terlihat bahwa untuk keempat titik posisi tersebut, selisih potensial listrik antara perhitungan polar dan pendekatan kartesian mulai konvergen pada jumlah sampling titik data sebanyak 64.
56
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
M. Arief Bustomi, dkk./ Pengaruh Jumlah Titik Data ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan : 1. Variasi jumlah titik sampling data syarat batas berpengaruh pada hasil analisa menggunakan pendekatan kartesian. 2. Dari pemilihan 6 variasi pengambilan sampling titik data yaitu 16, 32, 64, 128, 256, dan 512 titik data, ternyata diperoleh grafik selisih potensial listrik polar dan pendekatan kartesian terhadap jumlah sampling titik data yang mulai konvergen pada jumlah sampling titik data sebanyak 64. 3. Transformasi syarat batas dari polar ke kartesian untuk sistem geometri polar akan menghasilkan solusi dalam koordinat kartesian yang nilainya mendekati solusi dalam koordinat polar
6. DAFTAR ACUAN [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]
Andrews, M. , (2006), “Alternative Separation of Laplace’s Equation in Toroidal Coordinates and its Application to Electrostatics ”, Journal of Electrostatics, Vol. 64, pp. 664-672. Bustomi, M.A. & Kushidayati, I.A., (2010), ”Pendekatan Polar untuk Potensial Listrik Sistem Geometri Kartesian”, Simposium Fisika nasional ke 23, di ITS Surabaya. Nayfeh, M.H. & Brussel, M.K., (1985), Electricity and Magnetism, 2nd e., Willey, New York. Vanderlinde, J., (2004), Classical Electromagnetic Theory, 2nd ed., Wiley, New York. Al-Khaled, K., (2005), “Numerical Solutions of The Laplace’s Equation”, Applied Mathematics and Computation, Vol. 170, pp. 1271-1283. Bottner, C.U. & Sommerfeld, M., (2002), “Numerical Calculation of Electrostatic Powder Painting using The Euler/Lagrange Approach”, Powder Technology, Vol. 125, pp. 206-216. Lavery, J. E., (2002), “Shape-Preserving, Multiscale Interpolation by Univariate Curvature-based Cubic L1 Splines in Cartesian and Polar Coordinates”, Computer Aided Geometric Design, Vol. 19, pp. 257-273.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
57
M. Arief Bustomi, dkk./ Pengaruh Jumlah Titik Data ….
58
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
KARAKTERISTIK GRUP PERMUTASI GENAP A4 Nofa Ria Sagita dan Agus Purwanto Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) Jurusan Fisika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111 e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Perkembangan terakhir kajian matriks bauran neutrino menuju pada bentuk matriks bauran tri-bimaksimal. Bentuk empiris matriks bauran ini menuntun pada simetri dasar yang mendasari teori bauran neutrino. Simetri alternatif yang diduga mendasari adalah simetri famili permutasi genap A4. Di dalam penelitian ini akan dikaji semua sifat, perkalian, representasi, dan karakter grup simetri A4. Kata kunci: bauran neutrino, simetri, permutasi, tribimaksimal, grup A4
1. PENDAHULUAN Neutrino merupakan salah satu partikel elementer yang membangun jagad raya. Berdasarkan asumsi ketiadaan medan neutrino kiralitas kanan pada model standar, neutrino dikatakan tidak bermassa. Namun demikian pada tahun 1998, kolaborasi Super-Kamiokande memberikan bukti kuat mengenai kehadiran fenomena osilasi neutrino di alam dari data eksperimen neutrino atmosferik [1]. Osilasi neutrino mensyaratkan massa taknol dan nondegenerasi massa. Penemuan massa dan sudut baur neutrino telah menjadi tonggak penting dalam sejarah fisika partikel. Untuk menjelaskan massa neutrino yang tidak nol, model standar diperluas dengan menghadirkan medan neutrino kiralitas kanan. Kehadiran dua sudut besar dan satu sudut kecil pada sudut bauran di sektor lepton [2-3] menunjukkan bahwa matriks bauran neutrino adalah sangat kompatibel dengan bentuk yang disebut Tri-Bimaksimal (TB) [4]. Bentuk TB diperkenalkan oleh Harrison, Perkins, dan Scott. Bauran TB ini berdasar pada ide bahwa terdapat baik bauran bimaksimal juga bauran tri-maksimal pada sektor lepton [5]. Bentuk sederhana dari matriks bauran TB menyiratkan suatu simetri famili (family simmetry) yang mendasari teori bauran neutrino. Simetri alternatif yang diduga mendasari pola bauran untuk neutrio tiga generasi adalah simetri famili permutasi genap A4. Grup A4 memiliki tiga representasi tak tereduksi satu dimensi dan satu representasi tiga dimensi : 1,1',1'' dan 3. Di dalam penelitian ini akan dikaji semua sifat, perkalian, representasi, dan karakter grup simetri A4.
2. TEORI GRUP Grup adalah sekumpulan elemen G = { g1 , g 2 , g 3 ,...} dan operasi perkalian {o} yang memenuhi sifat-sifat : 1) tertutup (closure), bila g1 , g 2 ∈ G maka g1 o g 2 ∈ G
2) asosiatif, bila g1 , g 2 , g 3 ∈ G maka ( g1 o g 2 ) o g 3 ∈ g1 o ( g 2 o g 3 ) 3) Elemen satuan g 0 sehingga g 0 o g i = g i o g 0 = g i untuk semua gi ∈ G 4) Elemen invers gi−1 sehingga gi−1 o gi = gi o gi−1 = g0 untuk semua gi ∈ G
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
59
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
A. Elemen Sekawan dan Kelas Dua elemen g i dan g j dari grup G dikatakan sekawan satu dengan yang lain jika ada elemen g k ∈ G sehingga gk gi g k−1 = g j (1) gk gi = g j g k himpunan elemen grup yang sekawan diantara elemen tersebut dikatakan membentuk kelas sekawan dari grup. B. Representasi Grup Representasi grup adalah realisasi spesifik dari perkalian elemen grup oleh matrik. Representasi merupakan pemetaan dari grup abstrak G = { g } pada sekumpulan matrik T = {Γ ( g )} T g →Γ(g)
(2)
yang memenuhi kaidah perkalian yang sama dengan grup G = { g } misalnya g1 g 2 = g 3 → Γ ( g1 ) Γ ( g 2 ) = Γ ( g 3 )
(3)
Representasi Γ ( g ) berdimensi m + n dikatakan sebagai ’representasi tereduksi’ jika dapat dibentuk menjadi Γ (g) α ( g) (4) Γ ( g ) = 1 Γ 2 ( g ) 0 dengan dimensi Γ1 ( g ) = m × m , Γ 2 ( g ) = n × n , α ( g ) = m × n . Perkalian 2 representasi tersebut diperoleh Γ1 ( g ) α ( g ) Γ1 ( g ′ ) α ( g ′ ) Γ ( g ) Γ ( g ′) = 0 Γ 2 ( g ) Γ 2 ( g ′ ) 0 Γ1 ( g ) Γ1 ( g ′ ) Γ1 ( g ) α ( g ′ ) + α ( g ) Γ 2 ( g ′ ) Γ ( gg ′ ) = 0 Γ2 ( g ) Γ 2 ( g ′) Γ ( gg ′ ) C ( gg ′ ) = 1 0 Γ 2 ( gg ′ ) maka Γ1 ( g ) Γ1 ( g ′ ) = Γ1 ( gg ′ )
(5)
(6)
Γ 2 ( g ) Γ 2 ( g ′ ) = Γ 2 ( gg ′ )
Diperoleh bahwa Γ1 ( g ) dan Γ 2 ( g ) adalah representasi dari grup G dengan dimensi [ m ] dan [ n ] .
Jika terdapat suatu matriks similaritas M sehingga matriks Γ ( g ) dapat dibentuk menjadi matriks diagonal Γ (g) 0 Γ(g) = 1 0 Γ 2 ( g ) (7)
= Γ1 ( g ) ⊕ Γ 2 ( g ) maka dikatakan representasi tereduksi penuh.
Selanjutnya jika tidak ada matriks similaritas M yang dapat mendiagonalisasi matriks Γ ( g ) secara serempak untuk seluruh g ∈ G , maka representasi tersebut dikatakan sebagai ’representasi tak tereduksi’. Jumlah representasi tak tereduksi pada grup berhingga sama dengan jumlah kelas pada grup tersebut [6]. Setiap representasi T = {Γ ( g )} dari grup berhingga G = { g } adalah ekuivalen terhadap representasi
matriks uniter, sehingga dipenuhi Γ ( g ) Γ † ( g ) = I . Untuk itu didefinisikan matriks hermitian g
H = ∑ T ( gi ) T † ( gi )
(8)
i
60
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
Selanjutnya setiap matriks hermitian dapat didiagonalisasi menggunakan matriks uniter (9) U −1 HU = H d dengan H d adalah matriks diagonal dengan elemen nilai eigen riel dari H . Menggunakan persamaan (8) g
H d = ∑ U −1T ( gi ) T † ( gi ) U i
g
= ∑ U −1T ( gi ) UU −1T † ( gi ) U
(10)
i
g
= ∑ T ′ ( gi ) T ′† ( gi ) i
untuk elemen ke-k, g
n
( H d )kk = ∑∑ Tkj ( gi ) T jk† ( gi ) i
j
g
n
i
j
g
n
i
j
= ∑∑ Tkj ( g i ) T jk∗ ( g i ) = ∑∑ Tkj ( g i )
(11)
2
diperoleh d k > 0 . Untuk d k = 0 hanya diberikan jika determinan semua representasi matrik nol dan keadaan ini kita tolak. Berlaku pula
(( H ) ) p
d
kk
= ( dk )
p
(12)
untuk sembarang p baik positif maupun negatif. Selanjutnya diambil matriks V = UH d1 2 untuk transformasi similaritas T ′′ ( gi ) = V −1T ( gi ) V
(13)
= UH d−1 2U −1T ( gi ) UH d1 2 =H
T ′ ( gi ) H
−1 2 d
(14)
12 d
Maka diperoleh
(
T ′′ ( gi ) T ′′† ( gi ) = H d−1 2T ′ ( g i ) H d1 2 =H
−1 2 d
)(H
12 d
T ′† ( gi ) H d−1 2
T ′ ( gi ) H d T ′ ( gi ) H †
)
−1 2 d
g = H d−1 2T ′ ( gi ) ∑ T ′ g j T ′† g j T ′† ( gi ) H d−1 2 j
( ) ( )
g
( (
= H d−1 2 ∑ T ′ gi g j j
) ) (T ′ ( g g ) )H †
i
j
−1 2 d
(15)
g
= H d−1 2 ∑ T ′ ( g l ) T ′† ( gl )H d−1 2 l
=H
−1 2 d
HH d−1 2
=I
Representasi yang lain adalah representasi reguler. Representasi reguler dari grup berhingga dapat disusun dengan elemen representasi dari grup G = { g1 , g 2 , g 3 ,...g N } dipenuhi :
dengan Γ reg ( g s ) yaitu bernilai 1.
ISSN: 2086-0773
1, untuk g s gl = gk Γ reg ( g s )kl = (16) 0, untuk g s gl ≠ gk berdimensi N × N dimana setiap baris pada matriks memiliki satu elemen yang tidak nol
http://www.seminar.physics.its.ac.id
61
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
C. Karakter Grup Karakter dari elemen g dengan representasi Γ ( g ) didefinisikan sebagai penjumlahan elemen diagonal dari representasi χ ( g ) = TrΓ ( g ) = ∑ Γkk ( g ) (17) ν
dari definisi tersebut jelas bahwa untuk dua elemen sekawan g , g ′ g ′ = gi−1 ggi
dipenuhi
(18)
( )
Γ ( g ′ ) = Γ gi−1 Γ ( g ) Γ ( gi )
maka
(19)
χ ( g ′ ) = Tr Γ ( g ′ )
{( ) } = Tr {Γ ( g ) Γ ( g ) Γ ( g )} = Tr Γ g i−1 Γ ( g ) Γ ( g i ) −1 i
i
(20)
= Tr Γ ( g ) = χ (g)
dari sifat ini terlihat bahwa dua elemen sekawan/elemen dalam satu kelas memiliki karakter yang sama. Karena karakter adalah penjumlahan elemen diagonal dari matriks representasi, maka karakter dari elemen identitas grup adalah dimensi dari representasi itu sendiri. (21) χ ν ( e ) = nν dengan nν adalah dimensi dari representasi. Untuk elemen invers dari g i yaitu gi−1 memenuhi gg −1 = e
( ) Γ(g ) = Γ (g)
Γ ( g ) Γ g −1 = Γ ( e ) −1
maka karakter dari elemen invers
(22)
−1
χ ( g −1 ) = TrΓ ( g −1 ) = TrΓ −1 ( g ) = TrΓ† ( g )
( ) = Tr ( Γ ( g ) ) = (Tr Γ ( g ) ) = Tr Γ∗ ( g )
T
(23)
∗
∗
= χ∗ ( g) Selain memenuhi sifat-sifat di atas, karakter juga harus memenuhi teorema ortogonalitas karakter sebagai berikut [6]
∑N i
∗
Ci
χ µ ( Ci ) χ ν ( Ci ) = N δ µν
∑ν χ ν ( C ) χν ( C ) i
∗
j
=
(24)
N N Ci
(25)
dengan Ci kelas ke-i, C j kelas ke-j, N Ci jumlah elemen kelas ke-i, dan N jumlah elemen grup. Representasi reguler dari grup berhingga ditunjukkan oleh persamaan (16), sehingga karakter dari representasi reguler dapat dituliskan 0, untuk g ≠ e χ reg ( g ) = (26) N , untuk g = e
62
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
Selanjutnya representasi reguler dapat dinyatakan dalam representasi tak tereduksi dan karakter untuk masing-masing kelas ke-i adalah χ reg ( Ci ) = ∑ aν χ ν ( Ci ) (27) ν
dengan koefisien aν akan dihitung kemudian. Dalam hal khusus kelas C1 adalah elemen identitas sehingga
χ reg ( C1 ) = χ reg ( e ) = N χ ν ( C1 ) = χ ν ( e ) = nν
dengan demikian persamaan (27) menjadi
N = ∑ aν nν
(28)
(29)
ν
Dengan menggunakan hubungan ortogonalitas (24) maka persamaan (27) dapat dievaluasi menjadi
∑N
Ci
Ci
= ∑ aν ν
χ reg ( Ci ) χ µ ( Ci )
∑N
Ci
∗
χν ( Ci ) χ µ ( Ci )
∗
Ci 14444 244443 ortogonalitas
= ∑ aν N δ µν ν
= av N
(30) Diperoleh
aν =
1 N
∑N Ci
Ci
χ reg (Ci ) χ µ ( Ci )
∗
(31) dengan menggunakan persamaan (16) maka hanya i = 1 yang eksis ∗ 1 aν = NC1 χ reg ( C1 ) χ µ ( C1 ) N 1 = (1)( N ) χ µ ( C1 ) N = χ µ ( C1 ) = nν
(32) dengan demikian persamaan (29) menjadi
N = ∑ nν2
(33)
ν
persamaan di atas menunjukkan hubungan antara jumlah elemen grup dengan dimensi dari representasi.
3. GRUP PERMUTASI GENAP A4 Sebelum menjelaskan tentang Grup Permutasi Genap A4 , akan dijelaskan terlebih dahulu tentang grup permutasi dari 4 obyek secara keseluruhan. Grup permutasi dari 4 obyek dapat digambarkan sebagai 4 objek α , β , γ dan δ yang dapat menempati posisi 1, 2, 3 dan 4 , dan dapat dituliskan
α (1) β ( 2 ) γ ( 3) δ ( 4 )
(34)
yang berarti bahwa obyek α menempati posisi 1, obyek β menempati posisi 2, obyek γ menempati posisi 3, dan obyek δ menempati posisi 4. Keempat obyek tersebut dapat memiliki sejumlah 24 kemungkinan posisi/keadaan, berikut diberikan contoh 3 keadaan tersebut yaitu:
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
63
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
ψ 2 = α (1) β ( 3 ) γ ( 4 ) δ ( 2 ) ψ 8 = α ( 2 ) β (1) γ ( 4 ) δ (3 )
ψ 12 = α ( 3) β (1) γ ( 2 ) δ ( 4 ) Keempat obyek tersebut juga dapat dipindah-pindah dengan 24 kemungkinan pemindahan (permutasi), yaitu 12 kemungkinan pemindahan genap atau disebut permutasi genap dan 12 kemungkinan pemindahan ganjil atau disebut permutasi ganjil. Berikut diberikan 3 contoh pemindahan tersebut yaitu 1 2 3 4 A2 = 1 3 4 2
1 2 3 4 A8 = 2 3 1 4 1 2 3 4 A16 = 3 4 1 2 Empat bilangan berurutan pertama (1 2 3 4 ) pada baris pertama menunjukkan posisi mula-mula keempat obyek. Sedangkan empat bilangan dibawahnya
(2
3 1 4 ) menyatakan posisi baru atau posisi
pertukaran obyek dari posisi sebelumnya yakni angka diatasnya pada kolom yang sama, sehingga 1 2 3 4 A8 = ↓ ↓ ↓ ↓ 2 3 1 4
(35)
menyatakan bahwa obyek pada posisi pertama dipindah ke posisi kedua, obyek pada posisi kedua dipindah ke posisi ketiga, obyek pada posisi ketiga dipindah ke posisi pertama, sedangkan obyek pada posisi keempat tetap. Sehingga jika permutasi A8 dioperasikan terhadap keadaan ψ 2 diperoleh 1 2 3 4 A8ψ 2 = α (1) β ( 3) γ ( 4 ) δ ( 2 ) 2 3 1 4 = α ( 2 ) β (1) γ ( 4 ) δ ( 3 )
(36)
=ψ8
Untuk dua permutasi berurutan yang dioperasikan pada satu keadaan diperoleh 1 2 3 4 A2 A8ψ 2 = α ( 2 ) β (1) γ ( 4 ) δ ( 3) 1 3 4 2 = α ( 3) β (1) γ ( 2 ) δ ( 4 )
(37)
= ψ 12
Di sisi lain dapat dihitung 1 2 3 4 A16ψ 2 = α (1) β ( 3 ) γ ( 4 ) δ ( 2 ) 3 4 1 2 = α ( 3 ) β (1) γ ( 2 ) δ ( 4 )
(38)
= ψ 12
dengan demikian diperoleh A2 A8ψ 2 = A16ψ 2
(39)
A2 A8 = A16
(40)
atau
64
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
dan dapat diperlihatkan dengan mudah untuk dua operasi permutasi berurutan 1 A2 A8 = 1 1 = 3
2 3 41 2 3 4 3 4 22 3 1 4 2 3 4 4 1 2
(41)
= A16
sesuai dengan persamaan (40). Harus diperhatikan bahwa operasi permutasi selalu dimulai dari kanan, sehingga operasi di atas menyatakan bahwa obyek pada posisi 1 dipindah ke posisi 2, dilanjutkan posisi 2 dipindah ke posisi 3; posisi 2 dipindah ke posisi 3, dilanjutkan posisi 3 dipindah ke posisi 4; posisi 3 dipindah ke posisi 1, dilanjutkan posisi 1 tetap; dan terakhir posisi 4 dipindah ke posisi 4, dilanjutkan posisi 4 dipindah ke posisi 2. Dengan demikian dari posisi mula-mula (1 2 3 4 ) menjadi posisi akhir ( 3 4 1 2 ) seperti terlihat pada persamaan (41). A. Elemen dan Perkalian Elemen Grup A4 Grup A4 merupakan grup permutasi dari 4 obyek dengan sejumlah genap pemindahan (permutasi genap). Elemen dari grup A4 adalah sebagai berikut 1 A0 = 1 1 A2 = 1
2 3 4 1 A8 = 2 3 4 2 2 3 4 1 A10 = 3 4 2 2 1 2 3 4 1 A4 = A12 = 1 4 2 3 3 1 2 3 4 1 A6 = A14 = 2 1 4 3 3
2 3 4 1 A16 = 3 1 4 3 2 3 4 1 A18 = 4 3 1 4 2 3 4 1 A20 = 1 2 4 4 2 3 4 1 A22 = 2 4 1 4
2 3 4 4 1 2 2 3 4 1 3 2 2 3 4 2 1 3 2 3 4 3 2 1
Dengan melakukan perhitungan seperti pada persamaan (41), dapat disusun tabel perkalian dari seluruh elemen grup A4 sebagaimana Tabel . Tabel 1 Perkalian elemen grup
ISSN: 2086-0773
A4
http://www.seminar.physics.its.ac.id
65
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
B. Elemen Kelas Grup A4 Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (1) dan memanfaatkan tabel I dapat dengan mudah dibuktikan bahwa grup A4 memiliki empat kelas dengan elemen masing-masing kelas sebagai berikut
C1 = A0 C2 = A2 , A10 , A12 , A20
(42)
C3 = A4 , A8 , A14 , A18 C4 = A6 , A16 , A22 C. Representasi dan Tabel Karakter Grup A4
Grup merupakan grup berhingga, karena grup memiliki 4 kelas maka grup memiliki 4 representasi tak tereduksi. Sesuai dengan persamaan (33), dimensi dari representasi memenuhi (43) ∑ nν2 = N = 12 ν
dipenuhi oleh n1 = n2 = n3 = 1 dan n4 = 3 . Dengan demikian grup A4 memiliki tiga representasi satu dimensi 1, 1', dan 1'', serta satu representasi tiga dimensi. Bentuk ini yang menjadi alasan mengapa grup A4 diharapkan cocok untuk mereproduksi pola bauran tri-bimaksimal untuk neutrino tiga generasi.
Untuk menyusun tabel karakter bagi grup dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini : 1) Pada grup berhingga, jumlah representasi tak tereduksi sama dengan jumlah kelas grup N irr = 4 2) Telah dibuktikan di persamaan (43), dimensi dari representasi adalah 1,1',1'', dan 3. 3) Karakter dari elemen identitas sama dengan dimensi dari representasi χ ν ( A0 ) = nν maka χ 1 ( A0 ) = 1 χ 1′′ ( A0 ) = 1
χ 1′ ( A0 ) = 1
χ 3 ( A0 ) = 3
(a) Karakter elemen sekawan/elemen satu kelas adalah sama χ ( g ′ ) = χ ( g ) dengan g ′ = gi−1 ggi (b) Karakter elemen invers
χ ( g −1 ) = χ ∗ ( g )
(44)
(45)
(46)
(47) (48)
Kelas C4 memiliki elemen beserta inversnya, karena karakter dalam satu kelas harus sama maka :
χ ( C4 ) = χ −1 ( C4 ) = χ ∗ ( C4 ) = riel
dapat disimbolkan
χ 1 ( C4 ) = p
χ 1′ ( C4 ) = g
χ 1′′ ( C4 ) = r
χ 3 ( C4 ) = s
(49)
(50)
4) Elemen kelas C3 merupakan invers dari elemen kelas C2 , maka :
χ ( C3 ) = χ −1 ( C3 ) = χ ∗ ( C2 )
dapat disimbolkan
(51)
χ 1 ( C2 ) = α → χ 1 ( C3 ) = α ∗
χ 1′ ( C2 ) = β → χ 1′ ( C3 ) = β ∗ χ 1′′ ( C2 ) = γ → χ 1′′ ( C3 ) = γ ∗
(52)
χ 3 ( C2 ) = µ → χ 3 ( C3 ) = µ ∗
66
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
Dari keempat langkah di atas dapat dibentuk tabel karakter sebagaimana tabel 2. Tabel 2 Karakter grup
A4
Selanjutnya dengan menerapkan syarat ortogonalitas (25) dan (26)
∑N
∗
Ci
i
χ µ ( Ci ) χν ( Ci ) = N δ µν
χ ν ( C ) χ ν (C ) ∑ ν i
∗
=
j
N δ ij N Ci
(53)
Untuk grup A4 , Ci = C1 , C2 , C3 , C4 dan χ ν = χ 1 , χ 1′ , χ ,1′′ χ 3 . Baris pertama merupakan representasi [1] dan dapat ditentukan terlebih dahulu nilai α , α ∗ dan p yang memenuhi syarat ortogonalitas yaitu α = α ∗ = p = 1 , sehingga dapat dibuktikan untuk µ = ν = 1 :
∑N
χ 1 ( Ci ) = 12 2
Ci
(54)
i
Sesuai dengan syarat ortogonalitas pertama. Untuk seluruh representasi [1] , karakter harus tetap memenuhi kaidah perkalian seperti pada grup. Dari tabel perkalian grup A4 diperoleh bahwa
C2 C4 = C2 → χ ( C2 ) χ ( C4 ) = χ ( C2 )
βq = β γr =γ C3C4 = C3 → χ ( C3 ) χ ( C4 ) = χ ( C3 )
(55)
β ∗q = β ∗ γ ∗r = γ ∗ Maka diperoleh q = r = 1 . Selanjutnya menerapkan syarat ortogonalitas untuk i = 1 dan j = 4 : ∗ N χν ( C1 ) χ ν ( C4 ) = δ14 ∑ NC1 ν
(56)
s = −1
Untuk µ = ν = 3
∑N
χ 3 ( Ci ) = N 2
Ci
i
8 µ =0 2
(57)
µ=µ =0 ∗
Untuk µ = 1 dan ν = 1′
∑N i
∗
Ci
χ 1 ( Ci ) χ 1′ ( Ci ) = N δ11′
(58)
β + β = −1 ∗
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
67
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
dimisalkan β = a + ib , maka ( a - ib) + ( a + ib) = -1 a=-
(59)
1 2
sehingga
1 2
1 2
β = − + ib
β ∗ = − − ib
(60)
1 1 1 = − + ib − − ib 2 2 1 b=± 3 2
(61)
Untuk µ = ν = 1′
∑N
χ 1′ ( Ci ) = N 2
Ci
i
1= β
2
sehingga
1 1 3 2 2 1 1 3 β∗ = − mi 2 2
β = − ±i
Untuk µ = 1 dan ν = 1′′
∑N
(62)
∗
Ci
i
χ 1 ( Ci ) χ 1′′ ( Ci ) = N δ11′′
(63)
γ + γ = −1 ∗
dimisalkan
γ = c + id
maka
(64)
( c − id ) = −1 c=−
(65)
1 2
sehingga
1 2 1 ∗ γ = − − id 2
γ = − + id
Untuk µ = 1′ dan ν = 1′′
∑N i
(66)
∗
Ci
χ 1′ ( Ci ) χ 1′′ ( Ci ) = N δ1′ 1′′
(67)
βγ ∗ + β ∗γ = −1 Dengan memilih
1 1 3 2 2 1 1 β∗ = − −i 3 2 2
(68)
1 3 2
(69)
β = − +i
substitusi persamaan (68) ke persamaan (67) diperoleh
d=−
68
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
sehingga
1 1 3 2 2 1 1 3 γ∗ = − +i 2 2
γ = − −i
(70)
Bentuk β dan γ dapat dinyatakan dalam eksponensial menjadi 2π 1 1 3 = e 3 =ω 2 2 4π 1 1 β∗ = γ = − −i 3 = e 3 = ω2 2 2
β = γ∗ = − +i
(71)
dengan (ω 2 ) = ω . Sehingga diperoleh tabel karakter untuk grup permutasi genap A4 sebagaimana tabel 3. ∗
Tabel 3 Karakter Grup
A4
4. SIMPULAN Grup A4 merupakan grup permutasi dari 4 obyek dengan sejumlah genap pemindahan (permutasi genap). Grup A4 memiliki 12 elemen yang terbagi dalam 4 kelas konjugasi. Dengan demikian grup A4 memiliki tiga representasi satu dimensi 1,1', dan 1'', serta satu representasi tiga dimensi. Bentuk ini yang menjadi alasan mengapa grup A4 diharapkan kompatibel untuk mereproduksi pola bauran tri-bimaksimal untuk neutrino tiga generasi. Karakteristik grup A4 secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 3.
5. DAFTAR ACUAN [1] Y. Fukuda dkk., Phys.Rev.Lett. 81, 1158(1998); M.H. Ahn dkk.,Phys.Rev.Lett. 90, 041801(2003); Q.R. Ahmad dkk., Phys.Rev.Lett. 89, 011301; 011302(2002); K.Eguchi dkk., Phys.Rev.Lett. 90, 021802(2003). [2] T. Schwetz, M. Tortola and J. W. F. Valle, arXiv:1103.0734 [hep-ph]; T. Schwetz, M. A. Tortola and J. W. F. Valle, New J. Phys. 10, 113011 (2008) [arXiv:0808.2016 [hep-ph]]; M. Maltoni and T. Schwetz, arXiv:0812.3161 [hep-ph]. [3] G. L. Fogli, E. Lisi, A. Marrone, A. Palazzo and A. M. Rotunno, Phys. Rev. Lett. 101 (2008) 141801 [arXiv:0806.2649 [hep-ph]]; G. L. Fogli, E. Lisi, A. Marrone, A. Palazzo and A. M. Rotunno, arXiv:0809.2936 [hep-ph]. [4] G. Altarelli and F. Feruglio, New J. Phys. 6 (2004) 106 [arXiv:hep-ph/0405048]. [5] P. F Harrison, D. H. Perkins and W. G. Scott, Phys. Lett. B 530 (2002) 167 [arXiv:hep-ph/0202074]; P. F. Harrison and W. G. Scott, Phys. Lett. B 535 (2002) 163 [arXiv:hep-ph/0203209. [6] Stancu, Fl. (1996), Group Theory in Subnuclear Physics, Clarendon Press, Oxford.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
69
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
SFA 2013
[7] Balachandran A. P and Trahern C. G.( 1986), Lectures on Group Theory For Physicist, Bill Academic Publishing. [8] Purwanto. (2004), Teori Grup dalam Fisika, Laoratorium Fisika dan Filsafat Alam Jurusan Fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
70
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
ALGORITMA DEUTSCH-JOZSA UNTUK SISTEM KUANTUM DUA DAN TIGA QUBIT Yohanes Dwi Saputra1) dan Agus Purwanto2) Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) Jurusan Fisika FMIPA-ITS, Kampus ITS Keputih-Sukolilo, Surabaya 60111 e-mail:
[email protected]),
[email protected]) Abstrak Komputer kuantum menjanjikan penyelesaian banyak persoalan dengan lebih efisien daripada komputer klasik. Beberapa algoritma kuantum yang beroperasi pada sistem kuantum dua keadaan telah diciptakan untuk memenuhinya. Salah satu satu algoritma yang telah dibuat adalah algoritma Deutsch-Jozsa. Algoritma Deutsch-Jozsa diformulasikan untuk menentukan suatu fungsi tertentu sebagai fungsi konstan atau fungsi seimbang (fungsi yang outputnya bernilai 0 untuk setengah jumlah input dan bernilai 1 untuk setengah jumlah input sisanya). Algoritma Deutsch-Jozsa dapat menentukan jenis fungsi tersebut dengan lebih efisien daripada menentukannya secara klasik. Pada penelitian ini akan dikaji algoritma Deutsch-Jozsa untuk sistem dua dan tiga qubit. Kata kunci: algoritma Deutsch-Jozsa, komputer kuantum, qubit
1. PENDAHULUAN Ada persoalan-persoalan yang belum bisa diselesaikan secara efisien oleh komputer klasik (Neilsen dkk, 2000). Pada tahun 1985, Deutsch merancang algoritma kuantum pertama yaitu algoritma Deutsch pada sistem dua qubit untuk menentukan suatu fungsi tertentu sebagai fungsi konstan atau fungsi seimbang (Deutsch dkk, 85). Algoritma ini dapat digeneralisasi pada sistem yang terdiri dari lebih dari dua qubit menjadi algoritma Deutsch-Jozsa untuk menentukan sebuah fungsi termasuk tetap (constant) atau seimbang (balanced) (Deutsch dkk, 85). Pada penelitian ini akan dikaji lebih mendalam tentang aspek-aspek algoritma Deutsch-Jozsa untuk 2 dan 3 qubit.
2. QUBIT Pada komputer klasik yang menerapkan qubit klasik, dikenal dua keadaan yaitu 0 atau 1. Pada komputer kuantum terdapat qubit (quantum bit) yang memiliki keadaan 1 (1) 0 ≡ 0 atau 0 1 ≡ 1 (2)
atau superposisi (kombinasi linier) dari keduanya
ψ =α 0 + β 1 .
(3)
Koefisien α dan β merupakan bilangan kompleks yang memenuhi ortonormalitas
α + β =1 2
2
(4)
sedangkan |0> dan |1> disebut vektor basis ortonormal (basis komputasional) dari vektor keadaan |ψ> (Neilsen dkk, 2000).
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
71
Yohanes Dwi Saputra, dkk. / Algoritma Deutsch-Jozsa untuk Sistem Kuantum ….
SFA 2013
3. ALGORITMA DEUTSCH Diberikan sebuah fungsi kotak hitam yang memetakan qubit tunggal ke qubit tunggal f: {0,1}→{0,1}. Permasalahan yang muncul adalah fungsi tersebut termasuk fungsi konstan (f(0) = f(1)) atau fungsi seimbang/balance (f(0) ≠ f(1)). Penyelesaian secara klasik memerlukan dua langkah: langkah ke-1: x = 0 → f(0) langkah ke-1: x = 1 → f(1) dan selanjutnya diamati untuk f(0) dan f(1). Penyelesaian secara kuantum hanya memerlukan satu langkah dengan menggunakan algoritma Deutsch dengan rangkaian sesuai Gambar 1. Qubit |x> = |0> sedangkan |1> dinamakan qubit tambahan. Pada qubit tunggal ada empat jenis fungsi kotak hitam Uf-c-N sesuai Pers. (5) dan diperinci pada Tabel 1. Setiap operator dari fungsi ini merupakan operator satuan I atau σz sesuai Pers. (5).
Gambar 1. Skema algoritma Deutsch.
fk 0 = 0 f k1 = 1 fs0 = x f s1 = x
→ U ko f −c − N = I k1 → U f −c − N = − I → U fso−c − N = σ z → U fs1−c − N = −σ z
(5)
Tabel 1. Jenis fungsi yang mungkin pada algoritma Deutsch qubit tunggal Konstan Seimbang x f s 0 = x f s1 = x fk0 = 0 fk0 = 1 0 1
0 0
1 1
0 1
1 0
Vektor keadaan akhir |ψ3> diperoleh dengan perhitungan seperti berikut ini.
ψ 0 = 0 ⊗ 1 = 01
(6)
ψ1 = ( H ⊗ H ) ψ 0 =
1 ( 00 − 01 + 10 − 11 2
(7)
)
ψ 2 = U f − n− N ψ 1 =
72
1 f 0 f 1 ( −1) ( ) 0 + ( −1) ( ) 1 ( 0 − 1 2
http://www.seminar.physics.its.ac.id
)
(8)
ISSN: 2086-0773
Yohanes Dwi Saputra, dkk. / Algoritma Deutsch-Jozsa untuk Sistem Kuantum ….
SFA 2013
ψ3 = (H ⊗ I ) ψ2 ( −1) f ( 0) + ( −1) f (1) 0 0 −1 = 2 2
(9)
( −1) f (0) − ( −1) f (1) 1 0 −1 + 2 2 Dengan meninjau setiap fungsi dari Tabel 1 maka dihasilkan
ψ3
0 −1 → fungsi konstan ± 0 2 = ± 1 0 − 1 → fungsi seimbang. 2
(10)
Jadi pengamatan qubit masukan akan menghasilkan |0> untuk fungsi konstan dan |1> untuk fungsi seimbang.
4. ALGORITMA DEUTSCH-JOZSA 2 QUBIT Algoritma Deutsch dapat diperluas untuk menyelesaikan permasalahan jenis fungsi kotam hitam Uf-c-N yang memetakan n qubit ke qubit tunggal f: Sn{0,1}n→{0,1} dengan syarat bahwa fungsi tersebut termasuk fungsi konstan atau fungsi seimbang sesuai diagram pada Gambar 2. Penentuan jenis fungsi secara klasik membutuhkan 2n-1+1 langkah sementara penyelesaian dengan algoritma Deutsch-Jozsa hanya membutuhkan satu langkah. Pada n qubit, jumlah fungsi konstan ada dua jenis sedangkan jumlah fungsi seimbang ada
2n
C2n−1
jenis.
Gambar 2. Syarat fungsi konstan dan fungsi seimbang. Ditinjau sebuah fungsi kotak hitam yang memetakan 2 qubit ke qubit tunggal f: Sn{00,01,10,11}→{0,1} dengan syarat bahwa fungsi ini termasuk fungsi konstan atau fungsi seimbang. Secara klasik, misalkan telah didapatkan f(00) = f(01) = 0 maka masih diperlukan f(10) atau f(11) untuk memastikan bahwa fungsi ini konstan atau seimbang. Jadi diperlukan tiga langkah untuk menentukan jenis fungsinya. Secara kuantum, jenis fungsi dapat ditentukan dengan satu langkah lewat algoritma Deutsch-Jozsa 2 qubit sesuai Gambar 3. Qubit |x1x0> = |00> merupakan qubit masukan sedangkan |1> sebagai qubit tambahan. Pada algoritma 2 qubit ini terdapat delapan jenis fungsi kotak hitam Uf-c-N sesuai Pers. (11) dan diperinci pada Tabel 2. Dapat diamati bahwa operator Uf-c-N untuk kedelapan fungsi dapat dinyatakan sebagai perkalian langsung (direct product) operator satuan I dan σz yang berarti belum ada keadaan terbelit (entanglement).
fk 0 = 0
→
U ko f −c − N = I ⊗ I
f k1 = 1
→
U kf 1−c − N = − I ⊗ I
f s 0 = x1
→
U so f −c − N = σ z ⊗ I
f s1 = x0
→
U sf 1−c − N = I ⊗ σ z
f s 2 = x1 ⊕ x0
→
U sf 2−c − N = σ z ⊗ σ z
f s 3 = x1
→
U sf 3−c− N = −σ z ⊗ I
f s 4 = x0
→
U sf 4−c− N = − I ⊗ σ z
_________
f s 5 = x1 ⊕ x0
ISSN: 2086-0773
(11)
→ U fs 5−c − N = −σ z ⊗ σ z
http://www.seminar.physics.its.ac.id
73
Yohanes Dwi Saputra, dkk. / Algoritma Deutsch-Jozsa untuk Sistem Kuantum ….
SFA 2013
Tabel 2. Jenis fungsi yang mungkin pada algoritma Deutsch-Jozsa 2 qubit Konstan Seimbang x x1x0 fk0 fk1 fs0 fs1 fs2 fs3 fs4 fs05 0 00 0 1 0 0 0 1 1 1 1 01 0 1 0 1 1 1 0 0 2 10 0 1 1 0 1 0 1 0 3 11 0 1 1 1 0 0 0 1
Gambar 3. Skema algoritma Deutsch-Jozsa 2 qubit.
Dari Gambar 3 diperoleh perhitungan sebagai berikut.
ψ 0 = 001
(12)
ψ1 = ( H ⊗ H ⊗ H ) ψ 0 =
1 ( 00 + 01 + 10 + 11 2
)
0 −1
(13)
2
ψ 2 = U f −n− N ψ 1 =
0 −1 1 f ( 00 ) f ( 01) f (10 ) f (11) −1) 00 + ( −1) 01 + ( −1) 10 + ( −1) 11 ( 2 2
(14)
ψ3 = (H ⊗ I ) ψ2 ( −1) f ( 00 ) + ( −1) f (01) + ( −1) f (10 ) + ( −1) f (11) 00 0 − 1 = 4 2 ( −1) f (00 ) − ( −1) f (01) + ( −1) f (10 ) − ( −1) f (11) 01 0 − 1 + 4 2
(15)
( −1) f (00 ) + ( −1) f ( 01) − ( −1) f (10 ) − ( −1) f (11) 10 0 − 1 + 4 2 ( −1) f (00 ) − ( −1) f (01) − ( −1) f (10 ) + ( −1) f (11) 11 0 − 1 + 4 2
74
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yohanes Dwi Saputra, dkk. / Algoritma Deutsch-Jozsa untuk Sistem Kuantum ….
SFA 2013
Vektor keadaan yang terukur dari setiap fungsi yaitu
ψ3
0 −1 untuk f k0 00 2 0 −1 untuk f k1 − 00 2 0 −1 10 untuk f s0 2 0 −1 01 untuk f s1 2 = 11 0 − 1 untuk f s2 2 0 −1 untuk fs3 − 10 2 0 −1 untuk f s4 − 01 2 0 −1 untuk fs5 − 11 2
(16)
Jadi hasil pengukuran qubit masukan menunjukkan |00> untuk fungsi seimbang dan hasil selain |00> menunjukkan fungsi seimbang.
5. ALGORITMA DEUTSCH-JOZSA 3 QUBIT Diketahui sebuah fungsi kotak hitam yang memetakan 3 qubit ke qubit tunggal f: Sn{000,001,010,011,100,101,110,111} → {0,1} dengan syarat bahwa fungsi ini termasuk fungsi konstan atau fungsi seimbang. Secara klasik diperlukan lima langkah untuk menentukan jenis fungsinya. Jenis fungsi dapat ditentukan hanya dengan satu langkah menggunakan algoritma Deutsch-Jozsa 3 qubit sesuai Gambar 4. Qubit |x2x1x0> = |000> merupakan qubit masukan sedangkan |1> adalah qubit tambahan. Terdapat 70 jenis fungsi pada algoritma 3 qubit ini yang tertera pada Pers. (17) dan diperinci pada Tabel 3. Pers. (17) menunjukkan bahwa operator
U sf 4−c − N sampai U sf 9−c − N tidak bisa dinyatakan sebagai perkalian langsung
dari operator satuan I dan σz (terjadi keadaan terbelit yang hanya muncul pada sistem kuantum).
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
75
Yohanes Dwi Saputra, dkk. / Algoritma Deutsch-Jozsa untuk Sistem Kuantum ….
SFA 2013
fk 0 = 0
→
U ko f −c− N = I ⊗ I ⊗ I
f s 0 = x2
→
U so f −c − N = σ z ⊗ I ⊗ I
f s1 = x2 ⊕ x1
→
U sf1−c − N = σ z ⊗ σ z ⊗ I
f s 2 = x2 ⊕ x1 ⊕ x0
→
U sf 2−c − N = σ z ⊗ σ z ⊗ σ z
f s3 = x2 x1 ⊕ x0
→
U sf3−c − N = ( I ⊕ σ z ) ⊗ σ z
f s 4 = x2 x1 ⊕ x2 ⊕ x0
→
U sf 4−c − N = I ⊕ ( −σ z ) ⊗ σ z
f s5 = x2 x1 ⊕ x2 ⊕ x1 ⊕ x0
→
U sf 5−c − N = σ z ⊕ ( − I ) ⊗ σ z
f s 6 = x2 x1 ⊕ x1 x0 ⊕ x2
→
U sf 6−c − N = I ⊕ σ z ⊕ ( − I ) ⊕ σ z
f s 7 = x2 x1 ⊕ x1 x0 ⊕ x2 ⊕ x1
→
U sf 7−c − N = I ⊕ ( −σ z ) ⊕ ( − I ) ⊕ ( −σ z )
f s8 = x2 x1 ⊕ x1 x0 ⊕ x0 x2
→
U sf 8−c − N = I ⊕ σ z ⊕ σ z ⊕ ( − I ) U sf 9−c − N = I ⊕ ( −σ z ) ⊕ ( −σ z ) ⊕ ( − I )
f s9 = x2 x1 ⊕ x1 x0 ⊕ x0 x2 ⊕ x2 ⊕ x1 →
(17) Tabel 3. Jenis fungsi yang mungkin pada algoritma Deutsch-Jozsa 3 qubit x
x2x1x0
Seimbang
fk0
fk1
fs0
fs1
fs2
fs3
fs4
fs5
fs6
fs7
fs8
fs9
0
000
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
001
0
1
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
2
010
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
0
1
3
011
0
1
0
1
0
1
1
0
1
0
1
0
4
100
0
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
1
5
101
0
1
1
1
0
1
0
0
1
1
1
0
6
110
0
1
1
0
0
1
0
1
0
1
1
1
7
111
0
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
6
6
2
6
12
6
12
12
2
6
Banyak Fungsi
76
Konstan
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yohanes Dwi Saputra, dkk. / Algoritma Deutsch-Jozsa untuk Sistem Kuantum ….
SFA 2013
Gambar 4. Skema algoritma Deutsch-Jozsa 3 qubit.
Dari Gambar 4 diperoleh perhitungan seperti berikut ini.
ψ 0 = 0001
(18)
ψ1 = ( H ⊗ H ⊗ H ) ψ 0 =
1 ( 000 + 001 + 010 + 011 + 100 + 101 + 110 + 111 23/ 2 ψ 2 = U f −n− N ψ 1 0 −1 1 f ( 000 ) f ( 001) −1) 000 + ( −1) 001 3/ 2 ( 2 2 0 −1 1 f ( 010 ) f ( 011) + 3 / 2 ( −1) 010 + ( −1) 011 2 2
)
0 −1
(19)
2
=
(20)
0 −1 1 f (100) f (101) 100 + ( −1) 101 −1) 3 / 2 ( 2 2 0 −1 1 f (110) f (111) 110 + ( −1) 111 + 3 / 2 ( −1) 2 2 +
Vektor keadaan yang terukur dari setiap fungsi yaitu
ψ3
0 −1 untuk f k0 000 2 = selain 000 0 − 1 untuk f , f ,L , f k1 k2 k9 2
(21)
Dapat diamati bahwa hasil pengukuran qubit masukan menunjukkan |000> untuk fungsi seimbang dan hasil selain |000> menunjukkan fungsi seimbang.
6. SIMPULAN Kesimpulan yang didapat adalah pengukuran qubit masukan pada algoritma Deutsch-Jozsa yang menunjukkan |00...0> maka fungsinya adalah konstan sedangkan pengukuran selain hasil ini menunjukkan bahwa fungsinya seimbang. Pada kasus qubit tunggal dan 2 qubit belum terlihat adanya keadaan terbelit sedangkan pada 3 qubit sudah muncul.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
77
Nofa RS, dkk./Karakteristik Grup Permutasi ….
7.
SFA 2013
DAFTAR ACUAN [1] M.A.Neilsen and I.L.Chuang. (2000), Quantum Computation and Quantum Information, Cambridge University Press. [2] D. Deutsch. (Jan 1985). Quantum theory, the Church-Turing principle and the universal quantum computer. Proceedings of the Royal Society of London Series A, 400:97–117. [3] D. Deutsch and R. Jozsa. (Jan 1992). Rapid solution of problems by quantum computation. Proceedings of the Royal Society of London Series A, 439:553–558.
78
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PENGARUH PENAMBAHAN γ-Al2O3 TERHADAP HOMOGENITAS MATRIKS GEOPOLIMER A. Indra Wulan Sari R, Abdul Haris, dan Subaer Pusat Penelitian Geopolimer – Lab. Fisika Material Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Makassar Jalan Daeng Tata Raya, Makassar, 90224 e-mail:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang struktur mikro geopolimer dengan bahan adisi γAl2O3. Bahan dasar yang digunakan adalah metakaolin yang diperoleh dari dehidroksilasi mineral kaolin pada suhu 750oC selama 6 jam. Mineral γ-Al2O3 yang digunakan sebagai bahan adisi diperoleh dari mineral kaolin melalui prosedur ekstraksi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Studi ini bertujuan untuk mempelajari morfologi dan homogenitas matriks permukaan geopolimer dengan atau tanpa bahan adisi γ-Al2O3. Sintesis komposit geopolimer dilakukan melalui metode aktivasi larutan alkali mineral metakaolin. Mineral γ-Al2O3 ditambahkan ke dalam campuran pasta geopolimer, diaduk perlahan hingga campuran bersifat homogen lalu dimasukkan ke dalam cetakan plastik polycarbonate, diikuti dengan curing pada suhu 60oC selama 1 jam. Karakterisasi dengan X-Ray diffraction (XRD) Rigaku MiniFlexII dilakukan dengan mempelajari fase bahan dasar kaolin dan metakaolin, mineral γ-Al2O3 yang diperoleh dari hasil ekstraksi, serta produk geopolimer. Hasil karakterisasi dengan XRD memperlihatkan bahwa prosedur ekstraksi mineral kaolin berhasil menghasilkan γ-Al2O3 dengan persentase antara 7 – 12wt%. Sampel geopolimer yang diproduksi dan berusia 28 hari selanjutnya dikarakterisasi dengan menggunakan SEM-EDS. Hasil karakterisasi SEM menunjukkan bahwa sampel geopolimer dengan bahan adisi γ-Al2O3 memiliki struktur mikro permukaan (matriks) yang lebih homogen dibandingkan geopolimer tanpa adisi γ-Al2O3. Hasil ini diharapkan berkorelasi positif dengan sifat fisis dan mekanik geopolimer. Kata kunci: Ekstraksi γ-Al2O3, Komposit Geopolimer, Mikrostruktur 1. PENDAHULUAN Material geopolimer menjadi salah satu topik penelitian yang semakin intensif dikembangkan sebagai material rekayasa untuk berbagai aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan geopolimer memiliki potensi aplikasi yang sangat luas, baik dalam bentuk murni maupun dengan tambahan penguat (reinforced). Salah satu material rekayasa yang dikembangkan dengan memanfaatkan geopolimer sebagai prekursor adalah komposit geopolimer. Komposit sendiri merupakan material rekayasa yang banyak dikembangkan karena mampu menggabungkan beberapa sifat material yang sangat berbeda karakteristiknya menjadi sifat yang baru dan sesuai dengan yang dikehendaki. Namun demikian, sebagai material dasar komposit, geopolimer juga ditemukan mudah pecah dan memiliki kekuatan tarik yang rendah [1]. Salah satu upaya yang banyak diteliti untuk memperbaiki sifat mekanik komposit geopolimer adalah penambahan serat pendek seperti polyvinyl alcohol (PVA), polypropylene (PP), serat basalt serta serat karbon. Kehadiran serat sebagai agregat matriks komposit geopolimer berperan untuk mencegah keretakan serta menambah kekuatan tarik matriks geopolimer [2]. Dias and Thaumaturgo (2005) melaporkan peningkatan kekuatan tarik beton geopolimer yang diperkuat dengan serat basalt. Zhao, et. al. juga menemukan bahwa penambahan 10 vol% serat pendek Nextel 610 mampu meningkatkan kuat tarik dan kekerasan matriks geopolimer [1]. Hasil yang sama dilaporkan secara terpisah oleh Lin (2009) tetapi dengan menggunakan serat karbon dan jaring stainless steel sebagai agregat. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa optimalisasi matriks akan meningkatkan sifat mekanik komposit geopolimer. Penelitian ini memanfaatkan material γ-Al2O3 sebagai adisi matriks geopolimer.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
79
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hosseini, et. al. menunjukkan bahwa mineral γ-Alumina (γ-Al2O3) dapat disintesis dari mineral kaolin (Al2Si2O5(OH)4). γ-Alumina diperoleh dengan mengekstraksi alumina dari metakaolin menggunakan H2SO4 serta ethanol sebagai agen aluminium sulfat [3]. Merujuk hasil penelitian di atas, penelitian ini diarahkan untuk melihat pengaruh penambahan γ-Al2O3 terhadap homogenitas matriks geopolimer. 2. DASAR TEORI a. Geopolimer Geopolimer pertama kali diperkenalkan oleh Davidovits, J., diawal tahun 1980-an [4]. Geopolimer termasuk Inorganic polymer yang didefinisikan sebagai polimer yang atom-atom utamanya tidak tersusun atas rantai karbon dan terhubung antara yang satu dengan yang lainnya melalui ikatan kovalen. Geopolimerisasi melibatkan reaksi kimia berbagai oksida aluminasilikat (Al3+ dalam koordinasi IV) dengan larutan silikat pada kondisi alkali tinggi, dan menghasilkan material polimerik dengan ikatan Si-O-Al-Si [4, 5]. Material yang dihasilkan memiliki struktur amorf dengan jaringan polimer tiga-dimensi. Material baru ini digolongkan sebagai keluarga poly(sialate)(PS) yang terdiri atas jaringan tetrahedral SiO4 dan AlO4 dengan membagi rata semua atom oksigen serta berasosiasi dengan ion Na+ atau K+. Model polimerik geopolimer serupa dengan formasi pembentukan zeolite. Rumus empiris dari poly(sialate) dinyatakan sebagai berikut [4]. Mn [(-SiO2)z-AlO2]n. wH2O
(1)
Mn adalah kation (elemen alkali), n derajat polikondensasi, w ≤ 3, dan z = 1, 2 atau 3. Menurut Davidovits, J., (1991) [4] geopolimer terdiri atas poly(sialate) dasar dengan struktur jaringan seperti ditunjukkan pada gambar 1 berikut. Kristalin poly(sialate) dapat diperoleh secara hidrothermal, sedangkan pengerasan (setting) pada temperatur tinggi akan menghasilkan sistem amorf atau gelas yang derajat ketidakteraturan atom-atom penyusunnya dapat dipelajari dengan X-ray diffraction (XRD) Struktur kaolin dibentuk oleh lapisan-lapisan berulang dan diikat oleh gaya elektrostatik dan membentuk struktur tiga dimensi (3D). Lembaran tetrahedral dibentuk oleh ion Si4+ yang berkoordinasi dengan anion O2dan lembaran oktahedral dibentuk oleh kation Al3+ yang berkoordinasi dengan anion OH-. Kedua lembaran dihubungkan oleh oksigen yang berasal dari lembaran tetrahedral. Metakaolin merupakan produk dehidroksilasi dari kaolin. Proses dehidroksilasi kebanyakan kaolin berlangsung pada temperatur 500°C dan diikuti oleh kehilangan berat sekitar 14%. Reaksi eksotermal dehidroksilasi kaolin dinyatakan menurut persamaan, Al2Si2O5(OH)4 → Al2Si2O5(OH)xO2-x + (2-x/2) H2O
(2)
Dengan nilai x sekitar 10% dari residu grup hidroksil di dalam metakaolin. Reaktivitas metakaolin sangat bergantung pada parameter kalsinasi seperti temperatur, waktu, dan jenis klin yang digunakan. Temperatur kalsinasi yang ideal terletak antara 700°C and 800°C dengan waktu kalsinasi sekitar 6 jam. Kalsinasi kaolin di bawah 700°C serta proses kalsinasi yang cepat dengan rotary kiln akan menghasilkan metakaolin yang kekurangan Al koordinasi IV-V dan sulit bereaksi dengan sodium atau potasium silikat [6]. b. Alumina Alumina (Al2O3) merupakan salah satu mineral utama dunia industri dan teknologi, khususnya yang berkaitan dengan sintesis keramik dan komposit. Terdapat dua modifikasi fase kristalin Al2O3 yakni α-Al2O3 dan γ-Al2O3. Fase α-Al2O3 memiliki tingkat kristalin yang tinggi dan merupakan fase alumina paling stabil secara termodinamika. Tingkat kekristalan fase γ-Al2O3 lebih rendah dan mudah larut dalam larutan alkali. Alumina adalah material keramik dengan sifat isolator thermal dan listrik yang menunjukkan chemical inertness yang sangat baik dan transparansi optik yang tinggi. Alumina terdiri dari beberapa fase metastabil (κ, χ, θ, η, γ, δ) dan fase yang paling stabil secara termodinamika yaitu fase α dengan titik leleh tinggi (2047oC) dan memiliki kekerasan relatif tinggi. Jumlah fase metastabil terjadi dengan meningkatnya temperatur annealing
80
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
sampai pada pembentukan fase α – Al2O3 stabil dan rentang suhu keberadaannya bergantung pada kedua komposisi dan struktur awal bahan (diaspore, gibbsite, tohdit, boehmite, bayerite) [7]. Sumber utama oksida alumina adalah mineral bauxites yang diekstrak melalui proses Bayer. Sintesis alumina dari mineral non-bauxites seperti alunite, sillimanite, andalusite, kyanite, kaolin, mica, dan fly ash banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini dengan menggunakan sulfates, nitrates, dan chlorides sebagai precursor alumina. Alumina yang dihasilkan memiliki tingkat kemurnian yang tinggi [1]. Hal ini sangat menguntungkan karena selain jumlah mineral non-bauxite berlimpah, proses sintesis tidak memerlukan energi tinggi. γ-Al2O3 merupakan sumber produksi material berukuran nano, digunakan sebagai katalis dan substrat katalis pada industri otomotif dan petrolium, komposit struktural untuk pesawat terbang, pelapis (coating) abrasif dan thermal wear. Fase tunggal serbuk γ-Al2O3 dapat menurunkan temperatur densifikasi dibandingkan dengan fase α-Al2O3. Pada umumnya, mineral kaolin mengandung sekitar 20 – 26 wt% alumina. Produksi γAl2O3 dari mineral kaolin akan dilakukan menurut prosedur yang dikembangkan oleh Hosseini, et al., (2011) [3]. Tingkat kekristalan dan kemurnian γ-Al2O3 yang diproduksi diukur dengan menggunakan XRD dan XRF sedangkan morfologi struktur mikronya diukur dengan menggunakan SEM. Gambar 6a dan 6b masing-masing memperlihatkan difraktogram dan morfologi γ-Al2O3 yang diproduksi dari kaolin [3]. Kinerja oksida logam, secara umum, sebagai katalis dan substrat katalis sangat tergantung dari struktur kristal dan sifat teksturnya.
a
b Gambar 1 (a) Difraktogram γ-Al2O3, (b) Morfologi mikro γ-Al2O3 yang diproduksi dari kaolin [4].
Prosedur ekstraksi γ-Al2O3 dari mineral kaolin lainnya dikembangkan oleh Yang, et.al., (2009) [8] . Prosedur sintesis nano γ-Al2O3 berasal dari kaolin yang telah dikalsinasi dengan bantuan zat asam. Aluminium hidroksida dipresipitasi dengan amonia dari proses pelepasan polyethylene glycol. Serbuk putih dari partikel nano γ-Al2O3 diamati setelah dikalsinasi, adapun karakterisasi yang dilakukan menggunakan XRD, DSC–TG, TEM, FTIR dan MAS NMR. . γ-Al2O3 yang dihasilkan menunjukkan morfologi seperti batang dengan lebar 7 nm dan panjang sekitar 20 nm. Kaolin tersebut lalu dikalsinasi menjadi metakaolin dengan menggunakan furnace dengan laju pemanasan 10oC / menit dan suhu tersebut bertahan selama 3 jam. Metakaolin lalu diaktivasi dengan HCl 6M pada suhu 90oC dan distirrer selama 2,5 jam, larutan tersebut lalu difilter dan hasil filtrasi yang terkumpul menghasilkan aluminium hidroksida. Setelah penambahan polyethylene glycol (PEG, massa molar 6000), amonia 2,6 M kemudian ditambahkan. Hasil presipitasi dicuci dengan menggunakan aquades dan dikeringkan, selanjutnya dikalsinasi hingga menghasilkan partikel nano γ-Al2O3. Berikut ini adalah hasil karakterisasi dari partikel nano γ-Al2O3 yang dihasilkan menurut prosedur yang dikembangkan oleh Yang et,al., (2009) [8]. Gambar 2 menunjukkan mekanisme sintesis γ-Al2O3, mulai dari dehidroksilasi kaolin hingga menjadi metakaolin. Pada proses dehidroksilasi ini, kaolin terjadi perubahan fasa dari kristal menjadi amorf. Selain itu, pada saat dehidroksilasi gugus hidroksil dari kaolin dilepaskan hingga menjadi metakaolin. Mekanisme selanjutnya adalah proses filtrasi dengan menggunakan asam kuat yang bertujuan untuk memisahkan antara kandungan silika dan alumina yang terdapat pada metakaolin. Setelah itu dilanjutkan dengan proses presipitasi
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
81
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
aluminium sulfat dengan menggunakan alkohol dan dicuci dengan aquades. Setelah proses presipitasi dilanjutkan dengan proses kalsinasi.
Gambar 2. Skema mekanisme sintesis γ-Al2O3
Gambar 3 a memperlihatkan difraktogram sinar-x yang menunjukkan fasa γ-Al2O3 yang terletak antara sudut 20o – 70o 2θ. Pada gambar 3b tampak morfologi γ-Al2O3 yang berbentuk batang yang diambil dengan TEM. Difraksi Elektron (gambar 3c) memperlihatkan bahwa γ-Al2O3 bersifat amorf.
a
b c Gambar 3 (a)Difraktogram Al(hydr)oxide dan setelah dikalsinasi pada temperatur yang berbeda. (b) Gambar TEM dari γ-Al2O3 (c) pola SAED
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini diarahkan untuk mensintesis komposit geopolimer dengan agregat γ – Alumina (Al2O3). γ– Alumina diperoleh dengan mengekstraksi kaolin dengan menggunakan dua prosedur yaitu prosedur yang dikembangkan oleh Hosseini et. al (2011) [3] dan prosedur yang dikembangkan oleh Yang, et. al (2009) [8]. Hasil sintesis komposit geopolimer kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan SEM-EDS (Tescan Vega3SB) untuk mengetahui struktur mikro dan morfologi komposit serta komposisis elementalnya. Serta dilakukan karakterisasi XRD (Rigaku MiniFlexII) untuk memperoleh informasi kulaitatif dan kuantitatif fase
82
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
yang terbentuk dari proses ekstraksi alumina. Difraksi sinar x dilakukan pada sudut 2θ antara 5o – 80o dengan scan speed 2o/s dan step 0,02o. Sintesis komposit geopolimer dilakukan melalui metode aktivasi larutan alkali mineral metakaolin. Mineral γ-Al2O3 ditambahkan ke dalam campuran pasta geopolimer, diaduk perlahan hingga campuran bersifat homogen lalu dimasukkan ke dalam cetakan plastik polycarbonate, diikuti dengan curing pada suhu 60oC selama 1 jam. Selama proses curing berlangsung air reaksi dipertahankan dengan menutup cetakan rapat – rapat. Karakterisasi dengan X-Ray diffraction (XRD) Rigaku MiniFlexII dilakukan dengan mempelajari fase bahan dasar kaolin dan metakaolin, mineral γ-Al2O3 yang diperoleh dari hasil ekstraksi, serta produk geopolimer. 4. HASIL DAN DISKUSI
(1 0 1)(0 1 1)
Penelitian ini menggunakan dua prosedur ekstraksi γ – Alumina, yaitu prosedur ekstraksi 1 (eks – 1) yang dikembangkan oleh Hosseini et. al (2011) [3] dan prosedur ekstraksi 2 (Eks – 2) yang dikembangkan oleh Yang et.al (2009) [8]. Berikut ini adalah difraktogram hasil ekstraksi 1: 2.0e+004
1.5e+004
(0 0 3)
(1-1 1(1 -1) (1 (1-100) 0) (0 2 -1) -1)
5.0e+003
(0 0 1)
0.0e+000 20
0
60
80 Quartz, syn, Si O2
(0 0 3)
(0 0 1)
0 100
(1 -1 0) 1 -1) (1(1 -1 (0 -1) 2 -1)
50
50
40 (1 0 0)
100
(1 0 1)
Intensity (cps)
1.0e+004
Pyrophyllite-1A, dehydroxylated, Al2 ( Si4 O10 ) O
20
40
60
80
2-theta (deg)
b
a
Gambar 4. Difraktogram hasil ekstraksi γ-Al2O3 (Eks -1). (a) Hasil pengukuran (b) Analisis dengan search and match
Gambar 4 menunjukkan bahwa setelah dilakukan autosearch dengan PDXL 2 tampak bahwa fasa dominan hasil ekstraksi 1 adalah Pyrophylite – 1A dehydroxilated (Al2(Si4O10)O). Hal ini menunjukkan bahwa hasil ekstraksi dengan prosedur Eks – 1 belum menunjukkan terbentuknya fase γ-Al2O3. Fasa Pyrophyllite yang terbentuk masih memiliki gugus hidroksil walaupun menggunakan precursor yang disintering hingga suhu 800oC dan 850oC, namun sifat kristal dari kaolin justru kembali muncul di atas suhu 750oC. Hal ini juga menunjukkan bahwa larutan asam sulfat 2M yang digunakan tidak mampu memisahkan antara kandungan alumina dan silika dari precursor dengan baik. Selain itu juga terlihat fasa Quartz syn (SiO2) pada sudut 2θ sebesar 26,709o dengan intensitas sebesar 13649 counts. Fasa ini merupakan pengotor yang berasal dari kaolin yang digunakan.
Gambar 5. Foto SEM hasil ekstraksi γ-Al2O3 (Eks -1).
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
83
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
Gambar 5 menunjukkan bahwa butir yang terlihat dari hasil ekstraksi tidak homogen. Adapun bar chart dengan menggunakan EDS menunjukkan bahwa elemen dengan komposisi terbanyak adalah oksigen. Aluminium dalam bentuk unsur ditemukan sebesar 4,7%wt, Silikon 30,4%wt, Natrium 2,0%wt dan Fluor 2,0%wt.
a b Gambar 6. (a) Bar chart komposisi elemental (b) Spektrum EDS hasil ekstraksi γ-Al2O3 (Eks -1)
(1 0 1)(0 1 1)
Berikut ini adalah difraktogram hasil ekstraksi γ-Al2O3 dengan menggunakan prosedur ekstraksi 2 (Eks – 2) yang merunut pada prosedur ekstraksi yang dikembangkan oleh Yang et.al (2009) [8]. Hasil search and match dengan PDXL 2 menunjukkan bahwa hasil ekstraksi γ-Al2O3 dengan kode prosedur Eks–2, fasa yang terbentuk berupa γ-Al2O3 yang berada pada rentang 2θ 35 – 70o. 6.0e+003 5.0e+003 4.0e+003
20
50 20
(5 1 1)(3 3 3)
(4 0 0)
(3 1 1) (2 2 2)
(4 4 0)
80
40
(4 4 0)
Sodium Sulfate, Na2 S2 O3
(5 1 1)
(1 1 1)
0 100
(4 0 0)
50
(2 0 0)
(1 1 0)
0 100
60
Quartz, syn, Si O2
(2 2 0)
50
0
40 (1 0 0)
100
(3 1 1) (2 2 2)
0.0e+000
(2 0 0)
1.0e+003
(2 2 0)
(1 1 1) (1(1100)0)
2.0e+003
(1 0 1)
Intensity (cps)
3.0e+003
gamma-Al2 O3, Al2 O3
60
80
2-theta (deg)
a
b
Gambar 7. Difraktogram Hasil Ekstraksi γ-Al2O3 (Eks – 2) (a) sebelum Search and Match (b) Setelah Search and Match
Fasa lain yang muncul adalah fasa Quartz syn (SiO2) yang sebenarnya merupakan pengotor yang berasal dari kaolin yang digunakan (kaolin yang disuplai dari Intraco, Makassar) yang akan tetap ada pada hasil ekstraksi. Gambar 8a merupakan difraktogram geopolimer tanpa agregat γ-Al2O3. Dari gambar tersebut tampak bahwa geopolimer tanpa agregat ini bersifat amorf. Fasa yang terbentuk didominasi oleh fasa Silicon dioxide yang berasal dari kaolin yang digunakan. Sedangkan gambar 8b gambar difraktogram komposit geopolimer dengan agregat γ-Al2O3. Selain itu, juga tampak bahwa hump (gundukan) difraksi berbeda dengan hump pada gambar 8a. Hal ini dikarenakan kehadiran γ-Al2O3 merubah jaringan matriks geopolimer. Gambar 9b merupakan foto SEM sampel komposit geopolimer dengan agregat γ-Al2O3 (KG2D). Berdasarkan gambar tampak bahwa agregat belum menyatu dengan matriks melainkan hanya melekat pada matriks geopolimernya. Jika dibandingkan dengan Gambar 9a terlihat bahwa kondisi permukaan matriks geopolimer menjadi lebih baik dengan keberadaan agregat γ-Al2O3 . Spektrum EDS menunjukkan bahwa komposit geopolimer dengan agregat Al2O3 (KG2D) secara elemental komposisinya terdiri dari atom Silikon sebesar 3,37 %wt, Aluminium 2,89 %wt, dan sodium sebesar 3,00 %wt.
84
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
Gambar 8. Difraktogram Hasil Ekstraksi γ-Al2O3 (Eks – 2) (a) tanpa agregat γ-Al2O3 (b) dengan agregat γ-Al2O3
a b Gambar 9. (a)Foto SEM Sampel Geopolimer tanpa agregat (KG2T). (b) Foto SEM Sampel Komposit Geopolimer dengan Agregat γ-Al2O3 (KG2D)
Pada sampel KG2D, kehadiran agregat berpengaruh terhadap perbaikan struktur mikro permukaan matriks, namun agregat γ-Al2O3 yang ditambahkan hanya melekat di permukaan matriks. Adapun sampel KG4D yang ditunjukkan pada Gambar 10 menunjukkan bahwa struktur mikro permukaan sampel jauh lebih homogen dibandingkan dengan KG2D. Morfologi ini menyerupai morfologi gelas yang dibuat dari bahan Na2O3 [9].
a
b
Gambar 10. (a) Spektrum EDS Komposit Geopolimer dengan agregat (KG2D). (b) Komposit Geopolimer dengan agregat (KG4D)
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
85
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Telah disintesis mineral γ – Al2O3 dari bahan dasar mineral kaolin serta komposit geopolimer dengan bahan dasar metakaolin dengan adisi agregat γ–Al2O3. Penambahan agregat γ–Al2O3 pada komposit geopolimer mampu memperbaiki struktur permukaan matriks geopolimer ditandai dengan berkurangnya pori dan tidak ditemukannya kristal sodium carbonate yang tumbuh di permukaan matriks.
6. DAFTAR ACUAN [1] Zhao Q, B. Nair, T. Rahimian, P. Balaguru, (2007), J. Mater. Sci. Vol. 42 pp. 3131–3137. [2] Zhang, Y., Sun, W., Li, Z., Zhou, X., Eddie, C. Chau, Construct. (2008), Build. Mater. Vol. 22 pp. 370–383. [3] Hosseini, Sayyed Ali., Aligholi Niaei, Dariush Salari. 2011. Production of γ-Al2O3 from Kaolin.Open Journal of Physical Chemistry 2011 Vol.1, 23-27. [4] Davidovits, J. (1991). Inorganic polymeric new materials. Jurnal journal of thermal analysis. Vol. 37. Pp. 1633-1656. [5] Subaer & Arie van Riessen. 2006. Thermo-Mechanical and Mocrostructural Characterization of Sodium-Poly(Sialate-Siloxo) (Na-PSS) Geopolymers. Journal of Materials Science, Vol. 42, p. 3117– 3123 [6] Kamisawati. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Keramik Geopolimer Berbahan Dasar Kaolin dan Pasir Kuarsa dengan Difraksi Sinar-X. Skripsi : Universitas Negeri Makassar [7] Musil,J., J. Blazek., P. Zeman , S. Proksová. , M. Sasek., R. Cerstv´y., 2010. Thermal stability of alumina thin films containing γ–Al2O3 phase prepared by reactive magnetron sputtering. Applied Surface Science. [sciencedirect] [8] Yang, Huaming., Mingzhu Liu., Jing Ouyang. 2009. Novel synthesis and characterization of nanosized γ-Al2 O3 from kaolin. Applied Clay Science. [sciene direct] [9] Subaer. 2007. Pengantar Fisika Geopolimer. DP2M Dikti Jakarta.
86
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PENGARUH AGREGAT SERAT BAJA-KARBON TERHADAP MORFOLOGI DAN SIFAT MEKANIK KOMPOSIT GEOPOLIMER BERBASIS ABU TERBANG (FLY ASH) Armayani. M, Abdul Haris, dan Subaer*) Pusat Penelitian Geopolimer - Lab. Fisika Material Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Makassar Jalan Daeng Tata Raya, Makassar, 90224 *) Hp : 081342211874, e-mail :
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh agregat serat baja-karbon terhadap morfologi dan sifat mekanik komposit geopolimer berbasis abu terbang (Fly Ash). Abu terbang yang digunakan diperoleh dari PLTU Asam-Asam Kalimantan Timur. Material geopolimer diproduksi dengan metode aktivasi larutan alkali Na2O.3SiO2danNaOH. Serat baja-karbon disusun berbanjar di dalam pasta geopolimer searah dengan panjang sampel dengan massa serat yang bervariasi yaitu 0,50 g, 1,00 g dan 2,00 g. Sampel kemudian dicuring pada suhu 60-700C selama 30 menit, selanjutnya disimpan selama 28 hari sebelum berbagai pengukuran dilakukan. Struktur mikro bahan dasar dan produk komposit geopolimer diteliti dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM) Tescan3 Vega yang dilengkapi dengan electron dispersive spectroscopy (EDS). Struktur kekristalan bahan dasar dan sampel komposit geopolimer dikarakterisasi dengan x-ray diffraction (XRD) Rigaku MiniFlexII pada rentang sudut 2θ 5o – 90o. Hasil pengujian XRD menunjukkan abu terbang yang digunakan merupakan abu terbang tipe F dengan konsentrasi kimia paling besar berupa oksida MgO dan Fe2O3. Selain itu, geopolimer yang diproduksi terdiri atas fase amorf dan kristal. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan tiga sampel untuk setiap komposisi. Hasil karakterisasi dengan SEM memperlihatkan morfologi butiran abu terbang yang digunakan di dalam penelitian ini umumnya berbentuk bola dengan ukuran butir yang berkisar antara 0,125 µm – 6,875 µm. Morfologi permukaan komposit geopolimer memperlihatkan matriks yang terdiri atas fase pasta geopolimer yang disertai butiran abu terbang yang tidak bereaksi secara sempurnadengan aktivator larutan alkali. Ikatan antara matriks geopolimer dengan agregat baja-karbon tampak cukup baik dan tidak ditemukan adanya zona antar muka (interfacial transision zone – ITZ). Kuat lentur sampel komposit geopolimer diukur dengan teknik three bending points flexural strength.Nilai rata-rata kuat lentur (flexural strength) komposit geopolimer untuk tiga komposisi sampel masing-masing sebesar 3,66 MPa, 4,12 MPa dan 3,80 MPa. Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh massa serat baja-karbon terhadap kuat lentur komposit geopolimer. Selain itu, nilai kuat lentur sampel yang diproduksi memiliki potensi yang cukup baik untuk digunakan sebagai bahan struktur seperti beton. Keywords: Komposit, Geopolimer, dan Kuat Lentur (flexural strength).
1. PENDAHULUAN Komposit geopolimer mulai banyak dikembangkan untuk industri konstruksi teknologi bahan bangunan (beton) yang memiliki sifat mekanik-dinamik tinggi atau tahan terhadap guncangan berat. Penggunaan material komposit yang ramah lingkungan dan bisa didaur ulang, merupakan tuntutan teknologi saat ini. Salah satu upaya yang banyak diteliti saat ini yaitu untuk memperbaiki sifat mekanik komposit geopolimer adalah penambahan serat pendek seperti serat karbon. Kehadiran serat sebagai agregat matriks komposit geopolimer berperan untuk mencegah keretakan serta menambah kekuatan tarik matriks geopolimer [1]. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa optimalisasi matriks akan meningkatkan sifat mekanik komposit geopolimer [2].
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
87
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
Geopolimer dapat disintesa dari material dasar seperti tanah lempung, kaolin, abu terbang (fly ash), abu sekam padi (rice husk ash), geopolimer ciri umum adalah keras, berpori, mudah dipoles dan mampu bertahan pada suhu yang tinggi [3].
2. DASAR TEORI a. Abu Terbang (Fly Ash) Abu terbang atau fly ash adalah hasil limbah padat yang utama dari pembakaran batu bara untuk menghasilkan listrik pada pusat pembangkit listrik tenaga uap PLTU. Abu terbang yang dihasilkan dari proses ini sangat banyak jumlahnya dan selalu meningkat setiap tahun [4]. Abu terbang sendiri tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen. Tetapi dengan kehadiran air dan ukuran partikelnya yang halus, oksida silika yang dikandung oleh abu terbang akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat. Abu terbang (fly ash) memiliki butir halus (0,31-300,74 nm), dengan distribusi 80% berukuran 0,31-40,99 nm, bentuk butiran membulat dan tidak berikatan satu sama lain (terlepas), komposisi mineralnya adalah kuarsa (SiO2) dan sedikit mulite (M). Komposisi kimia SiO2 = 72,9%, Al2O3 = 11,4% dengan kadar pengotor cukup tinggi seperti Besi (6%), Titan (0,8%), Oksida natrium (1,5%) serta Kapur(3,2%) [5].
b. Serat Baja-Karbon Baja karbon atau carbon steel adalah paduan antara besi (Fe) dan karbon (C) dimana unsur karbon sangat menentukan sifat -sifatnya. Sedang unsur-unsur paduan lainnya yang biasa terkandung di dalamnya terjadi karena proses pembuatannya. Serat baja dapat berupa potongan-potongan kawat atau dibuat khusus dengan permukaan halus/rata atau deform, lurus atau bengkok untuk memperbesar lekatan dengan betonnya [6].
c. Geopolimer Geopolimer adalah material yang disintesis dari bahan alumina silikat dan diaktivasi dengan menggunakan larutan alkali yang terdiri Na2OH, H2O, dan NaO2.3SiO2. Geopolimerisasi dilakukan melalui proses polikondensasi dengan suhu curing 60-700C selama 30 menit.
d. Komposit Material komposit dibangun dari dua atau lebih jenis bahan. Contoh komposit yang terkenal adalah serat gelas (glass fiber) yang dibungkus dengan bahan polimer dan digunakan sebagai kabel komunikasi. Serat berfungsi memperkuat matriks karena umumnya, serat jauh lebih kuat dari matriks. Matrik berfungsi melindungi serat dari efek lingkungan dan kerusakan akibat benturan. Serat dapat terbuat dari karbon, aramid, boron, silicon carbide, alumina atau material lain. Matriks terbuat dari polimer seperti epoksin, keramik dan logam.. Komposit didesain untuk mengkombinasikan karakteristik yang terbaik dari komponen-komponen penyusunnya. Fiber gelas misalnya memiliki sifat keras dan polimer bersifat fleksibel.
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini diarahkan pada pengembangan komposit-geopolimer berbahan dasar abu terbang (Fly Ash) dengan menggunakan serat baja-karbon. Abu terbang (Fly Ash) diperoleh dari PLTU Asam-asam Kalimantan Selatan. Komposit geopolimer serat baja karbon, diaktivasi dengan larutan alkali. Bahan dasar, dicampur sedikit demi sedikit diaduk secara kontinu hingga diperoleh gel dengan workability yang cukup tinggi. Campuran tersebut lalu dituangkan ke dalam cetakan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 11.0 cm, lebar 3.5 cm, dan tinggi 1.0 cm. Selanjutnya serat baja-karbon di tata berbanjar, separuh campuran sisanya dituangkan kemudian diratakan. Geopolimerisasi dilakukan melalui proses polikondensasi dengan suhu curing 60-700C selama 30 menit dan dibiarkan selama 28 hari. Sampel yang dihasilkan sebanyak 11 buah dengan komposisi serat yang berbeda (Tabel 1).
88
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
Tabel 1 Komposisi komposit geopolimer serat baja-karbon Massa Bahan
KF I
Abu Terbang (Fly Ash) (gram) 90
0.5
27
KF II
90
1.0
27
KF III
90
2.0
27
Geo
90
0
27
Komposisi
Serat BajaKarbon (gram)
Larutan alkali (gram)
4. HASIL DAN DISKUSI 4.1 Bahan Dasar 4.1.1
SEM-EDS (Scanning Electron Microscopy) Abu Terbang (Fly Ash) Morfologi permukaan abu terbang (fly ash) di uji dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) di perlihatkan pada gambar 1 berupa butiran dengan ukuran yang bervariasi. Ukuran butir abu terbang (Fly Ash) dari yang paling kecil hingga yang paling besar berkisar antara 0,125 µm hingga 6,875 µm.
Analisis EDS (Energy Dispersive Spectorscopy) memberikan informasi mengenai komposisi kimia abu terbang (Fly Ash) diperlihatkan pada grafik 1 dan tabel 2. Fly Ash yang digunakan mengandung FeO sebesar 70,54 wt%, CaO sebesar 13,49 wt%, SiO2 sebesar 12,81 wt%, Al2O3 sebesar 2,96 wt% dan K2O sebesar 0,20 wt%. Komposisi oksida ini menunjukkan abu terbang tersebut merupakan tipe F.
Gambar 1. Bahan dasar abu terbang (Fly Ash) hasil karakterisasi SEM
x 0.001 cps/eV Fe 16 0
14 0
12 0 O
Si Ca
10 0
80
60
Al
40 K 20
K Fe Ca
0 2
4
6
8
10 keV
12
14
16
18
20
Grafik 1. Spektrum hasil uji EDS abu terbang (Fly Ash)
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
89
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
4.1.2 X-Ray Diffraction (XRD) Abu Terbang (Fly Ash)
Analisis XRD yang diperoleh dari bahan dasar abu terbang (fly ash) diperlihatkan pada gambar 2.
20
20
(1 1 6)
(2 2 0)
(1 1 3)
40
60
80
(1 1 6)
(1 0 4)
quartz low HP, syn, Si O2 Quartz low, Si O2 Aluminum Oxide, Al2 O3 Magnetite, Fe3 O4 Magnesium Peroxide, Mg O2
(2 2 0)
(2 0 0)(2 0 0)(3 1 1)
100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0
(1 1 3)
0.0e+000
(1(3 0 4)1) (2 (2 0010) 0)
(1 0 1)(0 1 1) (0 1 2)
2.0e+003
(0 1 1)
Karakterisasi XRD terlihat puncak yang paling dominan yaitu pada bidang hkl d(011) pada sudut 2θ sebesar 26,75o berupa mineral silika (SiO2) dengan nilai FWHM sebesar 0,194. Dan pada bidang hkl d(011) pada sudut 2θ sebesar 35,70 untuk fase Magnetite (Fe3O4).
(0 1 2)(0 1 1)
Intensity (cps)
4.0e+003
(1 0 1)(0 1 1)
6.0e+003
40
Lime, syn, Ca O
60
80
2-theta (deg)
Gambar 2. Hasil karakterisasi dengan analisis bahan dasar abu terbang (Fly Ash) dengan menggunakan XRD.
4.1.3 SEM-EDS (Scanning Electron Microscopy) Serat Baja-Karbon Mikrograf serat baja-karbon yang digunakan dalam penelitian ini diameter rata-rata serat karbon 50 µm diperlihatkan pada gambar 3.
Gambar 3. Serat baja-karbon hasil karakterisasi SEM 5
cps/eV
4
3
Fe 2
C
O
Mg Na
Al
Si
Fe
1
0 1
2
3
4 keV
5
6
7
Grafik 2. Spektrum hasil uji EDS serat baja-karbon
Spektrum hasil uji EDS pada grafik 2 dan tabel 3 menunjukkan komposisi serat baja-karbon. Tampak bahwa unsur Iron sebesar 71,43 wt%, Silicon sebesar 19,31 wt%, Aluminium 5,73 wt%, Sodium sebesar 1,84 wt%, dan Magnesium sebesar 1,70 wt%. 90
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
Gambar 4. Bentuk ukuran komposit geopolimer
SFA 2013
Grafik 3. Hasil pengukuran kuat lentur (flexural strength) komposit geopolimer fly ash dengan komposisi serat baja-karbon yang berbeda-beda
4.2 Kekuatan Lentur (Flexural Strength) Komposit geopolimer yang dihasilkan berbentuk persegi panjang dengan dimensi panjang 11.0 cm, lebar 3.5 cm, dan tinggi 1.0 cm. Pengujian dilaksanakan setelah sampel berumur 28 hari. Dari grafik 3. Terlihat bahwa produk komposit geopolimer dengan serat baja-karbon 1.0 gram memiliki kelenturan lebih tinggi dibandingkan dengan produk komposit geopolimer dengan serat baja-karbon 0.5 gram. Hal ini menunjukkan bahwai serat berperan sebagai agregat yang memperkuat matriks. Pada penambahan serat baja-karbon 2.0 gram terjadi penurunan kuat lentur karena pasta geopolimer tidak cukup banyak untuk mengikat agregat tersebut. Gambar 5 memperlihatkan morfologi geopolimer. Tampak butiran partikel fly ash yang tidak bereaksi serta retakan sekunder yang terjadi ketika sampel dipotong. Pori dipermukaan sampel terbentuk pada proses polikondensasi saat curing berlangsung.
Gambar 5. Produk geopolimer berbahan dasar abu terbang (Fly Ash) hasil karakterisasi SEM
Analisis EDS (Energy Dispersive Spectorscopy) memberikan informasi mengenai komposisi kimia geopolimer tersebut sebagaimana diperlihatkan pada tabel 4. Dari hasi pengukuran diketahui bahwa komposisi geopolimer terdiri atas SiO2 sebesar 45.32 wt% dengan Al2O3 sebesar 15.79 wt%.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
91
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
cps/eV 9
8
7
6 Ti Mn 5 K Mg Na CaO Si 4 Fe Al
K
Mn Ca
Ti
Fe
3
2
1
0 2
4
6
8
10 keV
12
14
16
18
20
Grafik 4. Spektrum hasil uji EDS geopolimer bahan dasar abu terbang (Fly Ash)
Grafik 5 memperlihatkan struktur kristal geopolimer dibandingkan dengan struktur kristal abu terbang hasil karakterisasi XRD.
Grafik 5. Hasil karakterisasi bahan dasar abu terbang (Fly Ash) dan geopolimer abu terbang (Fly Ash) dengan X-Ray Diffraction (XRD).
Gambar 6 memperlihatkan permukaan komposit geopolimer dengan agregat serat baja-karbon. Terlihat retakan antara serat dan geopolimer yang terjadi akibat tekanan mekanik saat pengujiaan kuat lentur.
Gambar 6. Komposit geopolimer serat baja-karbon hasil karakterisasi SEM
92
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Struktur mikro komposit geopolimer menunjukkan bahwa ikatan antar muka ITZ (Interfacial transition Zone) serat baja dan geopolimer belum begitu baik sehingga kuat lentur komposit geopolimer yang dihasilkan masih rendah. Retakan antara serat dan geopolimer menunjukkan bahwa serat dapat menahan beban yang diberikan pada sampel. 2) Pengujian kuat lentur (Flexural Strength) menunjukkan massa serat berpengaruh terhadap kuat lentur (Flexural Strength) komposit geopolimer.
6. DAFTAR ACUAN [1] Zhang, Y., Sun, W., (2006), J. Master. Sci. Vol. 41 pp. 2787 – 2794. [2] Lin, T.,. Jia, D., M. Wang, P. He, Liang, D., (2009), Bull. Mater. Sci. Vol. 32 pp. 77 – 81. [3] Davidovits, J. (1999). Chemistry of geopolymeric system, terminology. Geopolymere '99,Saint-Quentine, France, 9-39. [4] Panias, D., Giannopolou, I. P., dan Perraki, T., (2007), “Effect of Synthesis Parameters on Mechanical Properties of Fly Ash-Based Geopolymers”. Colloids and Surfaces A: Physiochem. Eng. Aspect Vol. 301. Hal 246-254. [5] Samsiah. 2008. Sintesis dan Karakterisasi Geopolimer Berbahan Dasar Abu Terbang (Fly Ash) Batu Bara PLTU Asam-Asam. Skripsi: Universitas Negeri Makassar. [6] Ariatama, Ananta. 2007. Pengaruh Pemakaian Serat Kawat Berkaitan Pada Kekuatan Beton Mutu Tinggi Berdasarkan Optimasi Diameter Serat. Tesis : Universitas Diponegoro Semarang. [7] Lin, T., Jia, D., P. He, M. Wang, Liang, D., (2008), Master. Sci. Eng. A 497, p 181 – 185.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
93
Indra Wulan Sari, dkk./ Pengaruh Penambahan γ-Al2O3 terhadap ….
94
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill) Berbasis Speckle Imaging Harmadi1, Neneng Fitrya1, dan Sandra2 1
2
Departemen Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang 25163 Departemen Teknik Pertanian FATETA Universitas Andalas, Padang 25163
[email protected]
Abstrak Pendeteksian formalin pada sampel buah tomat secara non-invasive dan non-destructive telah dilakukan dengan menggunakan metode speckle imaging (pencitraan spekel). Modulasi cahaya dalam bentuk spekel diperoleh dengan meluruskan atau melewatkan berkas laser mengenai sampel sehingga terjadi back-scattering dan dideteksi dengan menggunakan detektor CCD camera. Hasil yang diperoleh detektor direkam pada personal computer (PC) dalam bentuk citra 640 x 480 piksel, dan ditampilkan dalam bentuk pola spekel. Pola spekel dianalisa dengan menggunakan software imageJ akan diperoleh karakteristik histogram distribusi intensitas gray level, dan didapatkan perubahan nilai kontras spekel. Pendeteksian dilakukan terhadap sampel buah tomat sebelum dan sesudah direndam larutan formalin. Perlakuan sampel buah tomat dilakukan dengan variasi konsentrasi formalin dan variasi waktu perendaman. Diperoleh hasil korelasi nilai kontras spekel dengan sampel yaitu semakin tinggi konsentrasi formalin dan waktu perendaman maka nilai kontras spekel semakin kecil. Kata kunci: formalin, tomat, speckle
1. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan biofotonik, berbagai teknik imaging (pencitraan) non-invasive (tidak menyentuh) dan non-destructive (tidak merusak) yang digunakan pada sistem biologi telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Di antaranya yang paling baru adalah penggunaan metode speckle imaging (pencitraan spekel) untuk mendeteksi sinyal optik yang dihasilkan oleh sistem biologi [1-3]. Penelitian yang telah dikembangkan dengan menggunakan suatu sistem pencitraan spekel terhadap media atau jaringan biologi yang merupakan kontras citra optis dari jaringan, ternyata pola radiasi yang teramati adalah dalam bentuk speckle pattern (pola spekel) dari hamburan (scattering) berkas laser yang secara serempak/bersama melewati medium sampel jaringan [1]. Sistem pencitraan spekel laser mendeteksi perubahan intensitas spekel laser yang didifraksikan pada sampel dengan analisis kontras spekel [4-6]. Image (citra) terbentuk sebagai kumpulan modulasi spekel yang ditangkap oleh CCD dengan pengaturan perekaman yang sesuai (Li Nan, 2005). Di dalam beberapa penelitian, analisis kontras yang digunakan adalah analisis intensitas gray level (tingkat keabu-abuan) dari hasil citra suatu sistem pencitraan spekel dengan menggunakan histogram yang digunakan untuk klasifikasi dan pencocokan pola [7]. Media massa banyak memberitakan buah berformalin beredar luas di tengah masyarakat. Buah-buahan yang mengandung formalin banyak ditemukan di pasaran dengan alasan agar kelihatan lebih segar dan dapat bertahan lama. Penggunaan formalin untuk mempertahankan kesegaran produk tidak hanya dilakukan pada
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
95
Harmadi, dkk./ Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat ….
SFA 2013
produk olahan bahan pangan, tetapi juga digunakan pada produk pangan segar seperti daging ayam, daging sapi, ikan segar, dan buah-buahan segar [8]. Penggunaan bahan berbahaya seperti formalin sebagai pengawet dipicu karena harga yang lebih murah, sehingga mendatangkan untung yang besar dalam penjualan. Pendeteksian zat formalin pada buah cukup sulit dilakukan jika hanya dilihat dari segi fisiknya, sehingga diperlukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan teknik imaging non-invasive dan non-destructive yang digunakan untuk sistem biologi. Salah satu teknik imaging non-destructive yang digunakan adalah metode pencitraan spekel untuk mendeteksi sinyal optik dari jaringan biologi [3]. Permasalahan utama pada buah tomat setelah dipanen adalah sifatnya yang mudah rusak oleh pengaruh mekanis serta kandungan air yang tinggi, sehingga memungkinkan adanya aktivitas enzim dan mikroorganisme pembusuk. Kulit tomat sangat mudah mengalami kerusakan karena goresan atau gesekan sehingga diperlukan penanganan pasca panen yang benar [9], agar sesampainya di tangan konsumen tomat tetap dalam keadaan segar dengan warna yang menarik. Beberapa pihak melakukan penanganan pasca panen yang tidak wajar dengan melakukan pengawetan menggunakan bahan berbahaya seperti formalin. Formalin sangat berbahaya bagi tubuh. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa luka bakar pada kulit, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi dan bahaya kanker pada manusia. Pengembangan metode pencitraan spekel dapat diaplikasikan pada buah tomat untuk melihat apakah buah tomat tersebut berformalin atau tidak dengan prinsip hamburan cahaya laser yang ditembakkan pada buah tomat sehingga didapatkan pola spekel dari buah tersebut. Analisis terhadap perubahan pola spekel diperoleh nilai kontras yang dapat digunakan untuk membedakan buah tomat berformalin dengan tidak berformalin.
2. DASAR TEORI Pola spekel merupakan pola distribusi intensitas dengan variasi acak dalam indeks bias yang teramati ketika berkas laser melalui obyek medium atau permukaan medium bahan, yang digunakan untuk mendapatkan informasi fisis tentang suatu bahan atau permukaan suatu bahan [3]. Medan cahaya pada suatu titik P di dalam ruang (x,y,z) suatu pola spekel harus merupakan penjumlahan dari sejumlah besar N komponen, yang merupakan kontribusi dari semua titik pada permukaan hamburan [3]. Pada pencahayaan dengan menggunakan cahaya monokromatik dan cahaya terpolarisasi sepenuhnya, kontribusi untuk medan pada titik P yang dihasilkan oleh berbagai elemen permukaan j, diberikan oleh :
u j (P) = u j e
iφ j
= uj e
ikr j
(1)
rj adalah jarak (variasi acak) dari elemen hamburan permukaan ke j pada titik P. Amplitudo kompleks dari medan hamburan pada titik P dapat ditulis sebagai
U ( P) =
1
N
∑u N j =1
j
( P) =
1
N
∑u N j =1
j
e
iφ j
=
1
N
∑u N j =1
j
e
ikr j
(2)
Penjumlahan dalam (Persamaan 2) dapat dianggap sebagai cara acak dalam bidang kompleks, dengan fase acak
φ j = kr j . Goodman telah menunjukkan bahwa bagian riel dan imajiner dari medan resultan adalah asimtotik Gaussian [10,11]. Fungsi densitas probabilitas bersama diberikan oleh
96
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Harmadi, dkk./ Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat ….
p r ,i (U ( r ) ,U (i ) ) =
SFA 2013
(U ( r ) ) 2 + (U (i ) ) 2 exp 2πσ 2 2σ 2 1
N
Dikenal sebagai Circular Gaussian, dimana
σ 2 = lim ∑ N →∞
j =1
uj
(3)
2
(4)
2
Dari Persamaan 3, dan dengan mempertimbangkan bahwa intensitas I dan fase Ф medan resultan terkait dengan bagian riel dan imajiner dari medan sesuai dengan :
U ( r ) = I cos Φ
(5)
U (i ) = I sin Φ Mengikuti bahwa densitas probabilitas dari intensitas p(I) dan probabilitas dari fase p(Ф), diberikan oleh : I I
1 − p( I ) = e I dan p(Φ) =
untuk
I ≥0
(6)
1 untuk − π ≤ Φ ≤ π 2π
Secara berturut-turut di dalam Persamaan 6,
(7)
I adalah nilai rata-rata intensitas pada diagram spekel. Menurut
dua persamaan terakhir tersebut, distribusi intensitas mengikuti hukum eksponensial negatif, sedangkan fase terdistribusi secara seragam dalam interval ( −π , π ) . Distribusi intensitas beberapa saat didefinisikan sebagai :
(
I n = n! 2σ 2
)
n
= n! I
n
(8)
dan khusus pada saat orde kedua dinyatakan
I2 = 2 I
2
dan
σ I2 = I 2 − I
2
= I
2
(9)
Persamaan ini menunjukkan bahwa standar deviasi dari pola spekel terpolarisasi sama dengan nilai rata-rata intensitas. Ukuran umum dari tingkat modulasi pola spekel disebut dengan kontras, yang didefinisikan sebagai :
C=
Dimana
σI
(10)
I
I adalah nilai rata-rata intensitas, σ I adalah standar deviasi dari intensitas, dan C adalah kontras
spekel, dan ketika rasio (perbandingan) adalah 1 maka pola disebut memiliki kontras maksimum [3].
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
97
Harmadi, dkk./ Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat ….
SFA 2013
3.METODOLOGI PENELITIAN Pengujian pada sampel buah tomat menggunakan metode pencitraan spekel dengan prinsip hamburan cahaya laser. Menurut Goodman (2007) [12] ketika berkas koheren yang berasal dari sinar laser dikenakan pada permukaan bahan, maka terbentuklah pola interferensi yang khas dalam bentuk suatu granular (butiran) bernama spekel. Pencitraan spekel digunakan untuk mendeteksi formalin pada buah tomat, dengan menggunakan sumber laser continous wave (CW) dari laser He-Ne. Sumber cahaya laser He-Ne yang diaplikasikan pada bahan bersifat tidak merusak (nonperturbing) atau tidak memberikan efek nyata terhadap sampel. Susunan rancangan peralatan yang digunakan untuk mengamati pola spekel dapat dilihat pada Gambar 1 .
Gambar 1. Susunan peralatan untuk pengamatan pola spekel pada buah tomat
Pola spekel didapat dengan menggunakan perangkat yang terdiri dari sumber laser He-Ne dengan λ = 632,8 nm berdaya keluaran 0,8 mW, sensor kamera CCD 30 fps seri A4tech model PK-836F dan PC (Personal Computer) dengan software Ulead VideoStudio-7 sebagai komponen display visual untuk merekam dan menampilkan pola spekel. Perlakuan sampel buah tomat yang diamati pola spekelnya adalah sebelum dan sesudah perendaman dengan larutan formalin. Perendaman dengan larutan formalin dilakukan dengan variasi konsentrasi 0,5%, 1%, 2%, 3%, selama 15 menit dan 30 menit. Pola spekel kemudian diolah dengan menggunakan software ImageJ, sehingga dapat ditentukan nilai kontras spekel dari sampel buah tomat tersebut. Sebagai pembanding dilakukan juga pengamatan dengan mikroskop optik stereo Carton SPZT50 untuk melihat struktur permukaan buah tomat sebelum dan setelah direndam formalin. Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 50 kali. 4. HASIL DAN DISKUSI Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bentuk pola spekel dari pencitraan spekel buah tomat yang berformalin dengan yang tidak berformalin. Pola spekel yang dihasilkan berupa pola gelap dan terang yang merupakan hamburan acak dari buah tomat yang disinari laser dan hamburan balik tersebut ditangkap detektor. Berdasarkan hasil pengamatan pola spekel yang dipaparkan pada Gambar 2 (dalam skala keabuabuan), terlihat secara umum bintik gelap dan terang terjadi dengan frekuensi kemunculan berbeda, dimana bintik gelap jauh lebih banyak daripada bintik terang.
98
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Harmadi, dkk./ Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat ….
SFA 2013
Gambar 2. Perbandingan pola spekel terhadap variasi konsentrasi dan waktu perendaman
Hasil pengamatan pola spekel citra sampel yang telah diperoleh, diproses menggunakan software ImageJ untuk mendapatkan karakterisasi histogram distribusi intensitas tingkat keabu-abuan pada kondisi sebelum dan setelah direndam formalin. Analisis secara statistik menggunakan karakteristik histogram menampilkan distribusi intensitas tingkat keabu-abuan citra yang bervariasi di setiap titik dalam citra, sehingga dapat ditentukan nilai rata-rata intensitas
dan simpangan baku intensitas σI yang merupakan ukuran variasi simpangan intensitas dari keseluruhan citra tersebut. Berdasarkan perolehan nilai rata-rata intensitas dan simpangan baku intensitas keseluruhan citra, maka dapat ditentukan kuantitas citra dalam bentuk kontras spekel C, yang merupakan rasio antara simpangan baku intensitas σI dengan nilai rata-rata intensitas . Secara keseluruhan diperoleh perubahan nilai kuantitas citra pola spekel dalam bentuk kontras spekel sampel buah tomat. Nilai kuantitas ini dilakukan pada kondisi sebelum dan setelah direndam formalin dengan konsentrasi tertentu dan variasi waktu perendaman.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
99
Harmadi, dkk./ Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat ….
SFA 2013
Gambar 3. Nilai kontras spekel sampel buah tomat sebelum direndam dengan formalin Niai kontras spekel buah tomat sebelum direndam formalin berkisar 0.382873 a.u, 0.384283a.u, 0.383769 a.u, 0.382369 a.u. Sedangkan setelah direndam formalin dengan variasi konsentrasi selama 15 menit nilai kontras tomat berkisar 0.341931 a.u, 0.341383 a.u, 0.336946 a.u, 0.335523 a.u, ketika direndam selama 30 menit nilai kontras berkisar 0.330686 a.u, 0.328041 a.u, 0.315479 a.u, dan 0.310615 a.u. Secara umum pada sampel buah tomat terjadi perubahan nilai kontras spekel sebelum dan setelah direndam dengan formalin, dimana nilai kontras spekel setelah direndam formalin mengalami penurunan dibandingkan dengan nilai kontras sebelum direndam formalin. Pada Gambar 4 diperlihatkan pengaruh konsentrasi dan variasi waktu perendaman terhadap nilai kontras.
Gambar 4. Nilai kontras spekel sampel buah tomat setelah direndam formalin dengan variasi konsentrasi dan waktu perendaman Penurunan nilai kontras secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5. Secara keseluruhan menunjukkan perubahan nilai kontras spekel terhadap variasi konsentrasi dan waktu perendaman. Setiap perubahan konsentrasi memperlihatkan perubahan nilai kontras spekel citra yang dihasilkan.
100
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Harmadi, dkk./ Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat ….
SFA 2013
Gambar 5. Perubahan nilai kontras terhadap variasi konsentrasi dan waktu perendaman Pada konsentrasi kecil nilai kontras tidak terlalu berpengaruh tetapi semakin tinggi konsentrasi formalin nilai kontras semakin turun, sedangkan dengan penambahan waktu perendaman nilai kontras cenderung semakin turun untuk setiap variasi konsentrasi. Hal ini juga ditunjukkan dengan arah regresi yang semuanya negatif. Nilai regresi mengindikasikan semakin lama perendaman, nilai kontras semakin turun. Secara umum pengamatan kontras spekel jika dikaitkan dengan keberadaan formalin pada buah tomat, menunjukkan bahwa formalin terdeteksi dengan perubahan kontras spekel pada tomat tersebut. Buah tomat yang mengandung formalin memiliki nilai kontras yang kecil dibandingkan dengan buah tomat tanpa formalin, karena adanya lapisan yang terbentuk setelah direndam formalin. Semakin tebal lapisan nilai kontras akan semakin kecil.
Gambar 6. Pengamatan permukaan buah tomat dengan mikroskop optik
Lapisan pada permukaan yang terbentuk setelah direndam formalin diperlihatkan pada Gambar 6. Jika penambahan konsentrasi dan lama perendaman dihubungkan dengan nilai kontras spekel maka dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya konsentrasi dan lama perendaman berbanding terbalik dengan nilai kontras spekel yang dihasilkan.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
101
Harmadi, dkk./ Pendeteksian Formalin Pada Buah Tomat ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh beberapa kesimpulan yaitu pola spekel sampel buah tomat dapat dihasilkan dengan menggunakan metode pencitraan spekel. Nilai kontras spekel buah tomat dapat digunakan untuk membedakan buah tomat tanpa formalin dengan buah tomat berformalin. Nilai kontras buah tomat berformalin lebih kecil dibanding dengan nilai kontras tanpa formalin. Konsentrasi larutan formalin dan lama perendaman berbanding terbalik dengan nilai kontras spekel yang dihasilkan, semakin tinggi konsentrasi dan waktu perendaman, nilai kontras akan semakin kecil.
6. DAFTAR ACUAN [1] Selb J., Leveque F.S., Lionel P., and Boccara A.C., (2001), ’3D Acousto-Optic Modulated-Speckle Imaging in Biological Tissues’, Appl. Phys. Biophys. C. R. Acad. Sci. Paris, t.2, serie IV, p.1213-1225. [2] Leveque F.S., Juliette S., Lionel P., and Albert C.B., (2001), ’In Situ local Tissue Characterization and Imaging by Backscattering Acousto-optic Imaging', Elsevier Science, Opt. Comm., 196 : 127-131. [3] Rabal H. J., and Braga R.A., (2009), Dynamic Laser Speckle and Applications, Optical science and engineering : 139, Taylor & Francis Group, LLC. [4] Tamaki, Araie, Kawamoto, Eguchi, and Fujii, (1994), ’Non-Contact, Two Dimensional Measurement of Retinal Microsirculation Using Laser Speckle Pfenomenon’, Invest. Opt. Mol. Vis. Sci. 35 ; pp 3825-34. [5] Vo-Dinh T., (2003), Biomedical Photonics Handbook, CRC Press, New York. [6] Li Nan, Tong S., Ye D., Shun, and Thakor, (2005), Cortical Vascular Blood Flow Pattern by Laser Speckle Imaging, Biomedical Engnineering Departement, Jhons Hopkins School of Medicine, Baltimore. [7] Harmadi, Yudoyono G., Rubiyanto A., Zainuddin M., dan Suhariningsih, (2012), ’Analisis Pola Spekel Akusto-Optik untuk Pendeteksian Vibrasi Akustik Pada Dental Plaque Biofilm’, J. Fis. dan Apl., Vol. 8, No.1 : 1201021-1201026. [8] Setyabudi A.D., Winarti C., Risfaheri., (2008), ’Perlunya Standar Mutu Buah Impor: Studi Kasus Kontaminan Pada Buah-Buahan Impor’, Prosiding Ppi Standardisasi, 25 Nov. [9] Rahmawati IS., Hastuti ED., Darmanti S., (2011), Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Kalsium Klorida (CaCl2) dan Lama Penyimpanan terhadap Kadar Asam Askorbat Buah Tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNDIP. [10] Goodman J.W., (1976), ’Some Fundamental Properties of Speckle’, J. Opt. Soc. Am., 66, 1145. [11] Goodman J.W., (1984), Statistical Properties of Laser Speckle Patterns, in Laser Speckle and Related Phenomena, 2nd ed., Dainty, J.C., Ed., Springer Verlag, New York. [12] Goodman J.W., (2007), Speckle Phenomena in Optic; Theory and Application, Robert and Co., Englewood, Colorado.
102
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
A DISSOLVING ROUTE IN SYNTHESIS OF HIGH PURITY Mg0.5Zn0.5TiO3 NANOCRYSTALS F.U. Ermawati1, 2, S. Pratapa1, S. Suasmoro1 1
Physics Dept. Fac. of Mathematics and Natural Sciences, Institute of Technology Sepuluh November (ITS) Surabaya 60111 2
Physics Dept. Faculty of Mathematics and Natural Sciences, State University of Surabaya (UNESA) Email: [email protected]
Abstract Effort to synthesize high purity Mg0.5Zn0.5TiO3 (MZT5) nanocrystals from a dissolving route of magnesium, titanium and zinc metal powders in hydrochloric acid is reported. Analyses due to TGA/DTA was employed to study thermal events in the sample, XRD data and the Rietveldbased Rietica were used to obtain information on the phase formation and its quantification data. The role of stoichiometrically excessive Mg in the Mg:Ti molar ratio in the production of high purity MZT5 powder was also discussed. A TEM image and particle size analyzer result both justified nanoscale of grains size and homogeneous distribution of particle size. Findings and evidence are presented and discussed clearly in this paper. (105 words) Keywords: liquid mixing method, magnesium titanate, Mg0.5Zn0.5TiO3, nanocrystals.
1. Introduction Ilmenite MgTiO3 has many interesting applications, in particular with regards to their dielectric properties mainly due to high dielectric constant, low dielectric loss and near zero coefficient of resonance frequency [1,2]. Those including as buffer layer materials in fabricating ferroelectric memory devices [3] and in the production of multilayer ceramic capacitors [4]. The most important use of this material, however, is in ceramics exposed to microwave frequencies [5]. Magnesium titanate is normally synthesized at relatively high temperatures from a standard solid-state route. Such conditions generally lead to powders of relatively large and varied grain sizes, varying impurity content and coexistence of intermediate magnesium titanate phases MgTi2O5 or Mg2TiO4 [6]. Some efforts to gain phase purity have been reported [7, 8]. We reported our effort to synthesize high purity Mg0.5Zn0.5TiO3 (abbreviated as MZT5) nanocrystals with undetected intermediate phase, named a liquid mixing method. In this method, metal powders as starting materials were independently and completely dissolved in a high concentrated hydrochloric acid before being homogeneously mixed together to allow an intimate mixing. By the mixture, an easy reaction at lower temperatures is possible and such condition leads to nanoscale of product and may cause the formation of pure magnesium titanate with no intermediate phase.
2. Experiment
High purity (>95%) magnesium, titanium and zinc metal powder provided by Merck were used as the raw materials. Each powder of the recommended composition according to proper Mg:Ti molar ratio was prepared and dissolved separately in hydrochloride acid (37%) using a stirring hotplate. To gain higher purity of the product, stoichiometrically excessive Mg [8] with some various compositions of Mg:Ti was also examined. Magnesium and zinc powders were stirred at room temperature (RT), each to obtain a light yellow solution and a clear white solution. Titanium, however, was stirred at 60 °C for a clear purple solution. All solutions were then homogeneously mixed at RT and dried at 110 °C. To ensure homogeneity, stirring was carried out during drying. Agglomeration of the dried powder was removed by a manual grinding. After grinding, the product was calcined at different temperatures. Thermal events were studied using TGA/DTA data recorded from a TGA/DSC1 Stare System of Mettler Toledo from RT to 600 °C with step of 10 °C/min. Phase composition was studied from CuKα X-ray diffraction data and the Rietveld-based Rietica software [9]. Nanocrystallinity of crystallites was examined using a JEM-1400 TEM while homogeneity of particle sizes was studied by a Particle Size Analyzer integrated with Zetasizer Nano Series Version 7.01.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
103
F.U. Ermawati, at al./A Dissolving Route in ...
SFA 2013
3. Results and Discussions Thermal events and phase identification Figure 1 shows TGA/DTA curves of the dried powder of the mixture Mg-Zn-Ti solutions. Two main mass losses were recorded in the range RT-200 °C and 400-500 °C, respectively. In between, however, the loss is minor. The first main loss corresponds to emission of 4 mol H2O gas from MgCl2⋅6H2O while the second suits to release of 1 mol HCl gas presumably from Mg0.5Zn0.5(OH)Cl. Meanwhile, in between RT-200 °C, the DTA curve shows several minor thermodynamic events that unfortunately cannot be detected by XRD but clearly suggests dynamic reactions exist in the sample; in between 400-500 °C, however, the DTA records an important endothermic peak that most probably matches to the formation of the desired Mg0.5Zn0.5TiO3 phase initiated at 420 °C. Above 500 °C, the TGA curve horizontally flat meaning that no further mass loss takes place and hence the formation of the Mg0.5Zn0.5TiO3 is complete.
Fig.1: TGA/DTA curves of the dried powder of a mixed solution Mg-Zn-Ti dissolved in hydrochloric acid.
Fig.2: XRD patterns of MZT5 without and with different stoichiometrically excessive Mg with respect to Ti and that was calcined at 600 °C for 2h. M=Mg0.5Zn0.5TiO3, R=TiO2 rutile and P=MgO periclase.
The XRD patterns of the calcined MZT5 powders at 600 °C for 2h with proper Mg:Ti molar ratio and with stoichiometrically excessive Mg at different amount are given in Fig.2. It is clear that Mg0.5Zn0.5TiO3 (PDF#6-494), rutile (12-1276) and periclase (45-0946) are the only phases present in all compositions and no intermediate MgTi2O5 or Mg2TiO4 phase is detected. MZT5 is also the dominant phase in all samples. These findings also suggest that the synthesis route employed in this work can potentially offer no intermediate and disadvantageous magnesium titanate phases in the final product. The excessive Mg in the Mg:Ti molar ratio seemingly plays an important role in the formation of high purity MZT5 sample.
The role of stoichiometrically excessive Mg and calcination temperatures Some interesting remarks on the influence of excessive Mg can be drawn from Fig.2. First, without excessive Mg, a relative weight fraction of periclase as small as 0.1% but visible is detected at 2θ=42.5° in the spectrum labeled 1.00:1.00. The amount of wt% gradually vanished when an extra amount of Mg is added into the system. Second, rutile of more than 30 wt% is also identified in the spectrum with no extra Mg. The significant wt% amount is considerably reduced to 13.5% in the 1.21:1.00 spectrum, to 10.8% in the 1.23:1.00 and to 11.7% in the 1.25:1.00 (Fig.3). It is therefore advantageous to select the Mg:Ti molar ratio of 1.23:1.00 for the rest experiments. Further investigation on the effect of excessive portion of Mg in Mg:Ti molar ratio was carried out by varying calcination temperatures from 500-800 °C for 2 h in the MZT5 powders (Fig.4). As shown, the desired MZT5 phase was formed at the temperature as low as 500 °C though a tiny amount but visible of a rutile peak at 2θ=27.5° accompanying it. Two MZT5 satellite peaks at 2θ=19.0 and 21.3° unfortunately were not formed yet at that temperature. XRD patterns at higher temperatures of 550, 600, 700 and 800 °C found that only the spectrum with labeled 550 °C exhibits all MZT5 peaks with only small fraction of a rutile peak at 2θ=27.5°. The Rietveld analysis using Rietica for the 550 °C sample also gave relative weight fraction for MZT5 and rutile of around 97.5 and 2.5%, respectively. In contrast, patterns at 600 °C and higher show additional rutile peaks at 2θ=36.0, 41.2 and 54.3°. A small but noticeable periclase peak at 2θ=42.5° in fact is also recorded at the pattern
104
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
F.U. Ermawati, at al./A Dissolving Route in ...
SFA 2013
at 800 °C. These results obviously explain the role of excessive Mg and calcinations temperature on the formation of high purity MZT5.
Fig.3: Relative weight fraction due to Rietveld-based Rietica of Mg0.5Zn0.5TiO3, TiO2 rutile and MgO periclase phases found in MZT5 powders calcined at 600 °C for 2h as a function of portion of Mg in Mg:Ti molar ratio.
Fig.4: XRD patterns of MZT5 powders synthesized from 1.23:1.00 molar ratio of Mg:Ti and calcined at different temperatures for 2 h. M=Mg0.5Zn0.5TiO3, R=TiO2 rutile and P=MgO periclase.
Particle size distribution and nanosize of crystallites. Broadened peaks of the spectra recorded at 500 and 550 °C in Fig.4 suggest that the MZT5 phase is indeed present in nanometric crystallite size. Fig. 5 shows a particle size distribution in MZT5 sample calcined at 550 °C for 2h. The size is distributed in a log-normal single-mode from 91 to 531 nm, the average size is 212 nm with deviation of around 9%. Based on the fact that the distribution curve is single mode and the deviation of the average size is small, it can be concluded that particles in MZT5 are homogeneously distributed. Fig. 6 depicts a bright field TEM image of crystallite sizes and morphology taken from the same sample. Circle and tapering shape of crystallites are distributed with diameter ranging from 20 to 80 nm. Based on the particle size distribution data above, we therefore concluded that the particles in MZT5 consist of 4-5 crystallites.
Fig.5: Distribution of particle sizes of MZT5 powder contains 1.23 portion of Mg in Mg:Ti molar ratio and calcined at 550 °C for 2h as a function of intensity. Fig.6: A TEM image of MZT5 powder contains 1.23 portion of Mg in Mg:Ti molar ratio and calcined at 550 °C for 2h.
4. Conclusion Synthesis of high purity Mg0.5Zn0.5TiO3 nanocrystals with no intermediate magnesium titanate phase are successfully demonstrated via the liquid mixing method. Particles consist of 4-5 crystallites are distributed homogeneously in the sample with the average size of 212 nm. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
105
F.U. Ermawati, at al./A Dissolving Route in ...
SFA 2013
References 1. 2.
3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
106
Ferreira, V. M. and J. L. Baptista (1994). "Preparation and microwave dielectric properties of pure and doped magnesium titanate ceramics." Materials Research Bulletin 29(10): 1017-1023. Pan, C.-L., C.-H. Shen, et al. (2010). "Characterization and dielectric behavior of a new dielectric ceramics MgTiO3-Ca0.8Sr0.2TiO3 at microwave frequencies." Journal of Alloys and Compounds 503(2): 365-369. Ferreira, V., J. Baptista, et al. (1993). "Dielectric-spectroscopy or MgTiO3-based ceramics in the 1091014 Hz region " Journal of Materials Science 28(21): 5894 - 5900 Bernard, J., D. Houivet, et al. (2004). "MgTiO3 for Cu base metal multilayer ceramic capacitors." Journal of the European Ceramic Society 24(6): 1877-1881. Huang, C.-L. and K.-H. Chiang (2007). "Structures and dielectric properties of a new dielectric material system xMgTiO3–(1−x)MgTa2O6 at microwave frequency." Journal of Alloys and Compounds 431(1–2): 326-330. Zhou, X., Y. Yuan, et al. (2007). "Synthesis of MgTiO3 by solid state reaction and characteristics with addition." Journal of Materials Science 42(16): 6628-6632. Abothu, I. R., A. V. Prasada Rao, et al. (1999). "Nanocomposite and monophasic synthesis routes to magnesium titanate." Materials Letters 38(3): 186-189. Sreedhar, K. and N. R. Pavaskar (2002). "Synthesis of MgTiO3 and Mg4Nb2O9 using stoichiometrically excess MgO." Materials Letters 53(6): 452-455. Hunter, B. (1998). Rietica - A visual Rietveld program. Newsletter of International Union of Crystallography. Commission on Powder Diffraction. 20.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
SINTESIS DAN KARAKTERISASI SERBUK BAJA FERITIK ODS (OXIDE DISPPERSION STRENGTHENED) MA957 DENGAN VARIASI WAKTU MILLING Fitriani Tresnaputri1 dan Abu Khalid Rivai2 1
Jurusan Teknik Material Dan Metalurgi – ITS Institut Teknologi Sepuluh Nopember Sukolilo, Surabaya 60111 2 Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir – BATAN Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan PUSPIPTEK Gedung 71 Tangerang Selatan Banten, Indonesia Email: [email protected], [email protected]
Abstrak Baja Oxide Dispersion Strengthened (ODS) merupakan salah satu jenis baja maju yang dikembangkan dengan teknik powder metallurgy dan mechanical alloying. Dengan teknik ini, partikel oksida seperti Y2O3 disebar secara merata di dalam matriks yang berfungsi sebagai pusat penjepit (pinning center) untuk menahan gangguan sehingga meningkatkan properti mekanik. Baja ODS dikembangkan untuk aplikasi pada sistem dengan temperatur tinggi seperti untuk material reaktor nuklir fisi maju (Generation IV reactors) dan reaktor nuklir fusi. Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis dan karakterisasi serbuk baja feritik ODS. Sintesis dilakukan dengan menggunakan serbuk Fe, Cr, Ti, Mo, dan Y2O3 dengan komposisi persen berat sama dengan baja ODS MA957 yaitu berturut – turut 84,45:14:1:0,3:0,25. Serbuk – serbuk tersebut di-milling menggunakan HEM (High Energy Milling) selama 10, 40 dan 100 jam dengan perbandingan bola dan serbuk adalah 5:1. Pada tabung vial yang berisi bola baja dan serbuk tersebut ditambahkan larutan toluena untuk menghindari oksidasi pada saat proses milling. Hasil pemaduan mekanik ini kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD (X-ray Diffraction) spectroscope dan SEM-EDS (Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive Spectroscope). Hasil karakterisasi SEM-EDS menunjukkan bahwa adanya kecenderungan pengecilan ukuran serbuk dengan bertambahnya waktu milling. Fenomena ini diperkuat dengan hasil analisis XRD yang menunjukkan bahwa semakin lama waktu milling terjadi penurunan puncak dan pelebaran spektrum akibat pengecilan ukuran partikel dan kristal. Kata kunci: Baja, ODS, powder metallurgy, mechanical alloying, High Energy Milling
1. PENDAHULUAN Saat ini perkembangan sektor perekonomian dan perindustrian di Indonesia memiliki kecenderungan yang positif. Hal ini tentunya berakibat pada peningkatan pada kebutuhan akan energi yang salah satu sumber energi yang belum dimanfaatkan adalah energi nuklir. Selain itu, terkait dengan efisiensi proses industri maka kebutuhan sistem operasi pada temperatur tinggi akan semakin meningkat. Terkait hal tersebut, maka kebutuhan akan material untuk aplikasi pada temperatur tinggi akan meningkat di Indonesia seperti halnya kecenderungan di dunia pada umumnya. Salah satu material temperatur tinggi yang dikembangkan di dunia adalah baja ODS (oxide dispersion strengthened). Baja ODS merupakan salah satu jenis baja maju yang dikembangkan dengan teknik powder metallurgy dan mechanical alloying. Baja ODS dikembangkan untuk aplikasi pada sistem dengan temperatur tinggi seperti untuk material kelongsong bahan bakar dan struktur reaktor nuklir fisi maju (Generator IV reactors) dan material struktur reaktor nuklir fusi [1]. Pada aplikasi lainnya baja ODS ini dikembangkan untuk material interconnect SOFC (Solid Oxide Fuel Cell) [2], material struktur pembangkit listrik tenaga fosil temperatur tinggi [3] serta instalasi kimia temperatur tinggi [4]. Karakteristik utama baja ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
107
Fitriani T / Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS…
SFA 2013
ODS adalah adanya sebaran partikel-partikel oksida berukuran nano-meter di dalam matriks melalui proses mechanical alloying. Partikel-partikel oksida ini berfungsi sebagai pusat penjepit (pinning center) untuk menahan gangguan seperti deformasi pada saat baja ODS digunakan pada temperatur tinggi. Baja ODS telah dikembangkan skala industri di dunia baik jenis feritik maupun austenitik. Di antara baja ODS komersil yang telah dikembangkan, baja ODS feritik MA957 memiliki properti mekanik yang baik bila dibandingkan dengan baja ODS feritik lainnya yaitu MA956 dan PM2000 [5]. Dalam rangka mempersiapkan dan meningkatkan kemandirian bangsa maka perlu dilakukan penelitian dan pengembangan material temperatur tinggi baja ODS. Sebagai bagian dari langkah penguasaan teknologi pembuatan baja ODS, dalam penelitian ini dilakukan sintesis pembuatan baja ODS dengan komposisi persen berat bahan penyusun sama dengan MA957. Sintesis dilakukan dengan menggunakan serbuk Fe, Cr, Ti, Mo, dan Y2O3 dengan komposisi persen berat adalah berturut-turut 84,45:14:1:0,3:0,25. Sintesis dilakukan dengan menggunakan HEM (High Energy ball Milling) dengan variasi waktu milling. Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti karakteristik serbuk baja ODS MA957 hasil mechanical alloying yang dilakukan dengan variasi waktu 10, 40, dan 100 jam.
2. DASAR TEORI Baja Oxide Dispersion Strengthened (ODS) Baja ODS merupakan baja yang dikembangkan untuk penggunaan pada temperatur tinggi. Daya tahan baja ODS terhadap temperatur tinggi diperoleh dengan partikel terdispersi. Ada pun metode yang digunakan untuk mensintesis baja ODS yang sampai saat ini dikembangkan adalah menggunakan mechanical alloying dan powder metallurgy. Terdapat beberapa jenis baja ODS yang dikembangkan yaitu ODS austenitik dan ODS feritik. Baja ODS austenitik merupakan baja Fe-Cr yang dikembangkan dengan salah satu unsur pemadu adalah logam nikel (Ni) sekitar 8% untuk membentuk fasa gamma (γ) sehingga memiliki struktur kristal FCC (Face-Centered Cubic). Material ini digunakan diantaranya sebagai material mata pisau yang digunakan pada turbin gas. Sedangkan baja ODS feritik merupakan baja Fe-Cr yang dikembangkan tanpa unsur pemadu logam nikel sehingga memiliki fasa alpha (α) dengan struktur kristal BCC (Body-Centered Cubic). Baja ODS feritik ini dikembangkan untuk penggunaan ruang turbin, sensor dan pemanas dengan temperatur tinggi, komponel mesin diesel, serta komponen sistem energi konversi lanjut [6]. Pada penelitian ini yang dikembangkan adalah baja ODS ferritik. Partikel Oksida Partikel oksida merupakan partikel keramik berukuran nano-meter yang didispersikan pada baja ODS. Penggunaan partikel oksida ini didasari pada titik lelehnya yang tinggi yaitu di atas logam penyusun baja sehingga terbentuk komposit pada baja ODS. Tujuan dari penambahan partikel ini adalah sebagai penahan agar tidak terjadi deformasi ketika baja ODS diaplikasikan pada temperatur yang tinggi. Umumnya (Al2O3), titania (TiO2), thoria (ThO2), yttria (Y2O3), lanthana (La2O3) dan beryllia (BeO) digunakan sebagai partikel yang didispersikan [7]. Namun perkembangan saat ini untuk paduan Oxide Dispersion Strengthened (ODS) partikel oksida Y2O3 digunakan karena paling tahan terhadap temperatur tinggi [8]. Baja ODS MA957 MA 957 adalah baja feritik Oxide Dispersion Strengthened (ODS) komersil yang berbahan dasar besi (Fe). MA 957 memiliki unsur paduan kromium, titanium, molibdenum, serta yttria sebagai stabilizer. Baja ODS komersial MA 957 memiliki komposisi Fe-14Cr-1Ti-0.3Mo-0.25Y203. MA957 memiliki mikrostruktur yang kompleks dengan butir yang sangat halus, densitas dislokasi yang tinggi, sub-ukuran struktur sel, serta bermacam – macam tipe presipitasi akibat penambahan partikel yttria oksida [9].
108
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Fitriani T / Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS…
SFA 2013
Mechanical Alloying Mechanical alloying merupakan suatu proses yang melibatkan perulangan welding, fracturing, serta rewelding dari partikel serbuk yang dilakukan di dalam suatu ball mill energi tinggi [1]. Terdapat beberapa teknik sintesis baja ODS sebelumnya, yaitu, teknik pencampuran sederhana, teknik pengapian lapisan, teknik oksidasi internal, serta proses reduksi selektif. Namun keempatnya dinilai belum mampu mensintesis baja ODS [10]. Kemudian diperkenalkan metode mechanical alloying yang dinilai mampu untuk mensintesis bermacam – macam fasa baik fasa ekuilibrium maupun non-ekuilibrium dari unsur – unsur yang dicampur (prealloyed powders) [1]. Adapun cara kerja dari pemaduan mekanik ini adalah memecah, deformasi, kemudian menumbuk partikel. Proses penumbukan partikel ini bertujuan untuk menghaluskan partikel sebelum nantinya dipadatkan. Pada proses penghalusan (milling) nantinya akan terdapat empat tipe kejadian yang terjadi, yaitu penumbukan (impact), atrisi (attrition), gesekan (shear), serta kompresi atau pemadatan.
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan menggunakan serbuk Fe, Cr, Ti, Mo, dan Y2O3 dengan komposisi persen berat sama dengan baja ODS MA 957 komersil yaitu 84,45:14:1:0,3:0,25 untuk komposisi berat Fe, Cr, Ti, Mo, dan Y2O3 berturut – turut. Bola milling yang digunakan terbuat dari baja dengan ukuran diameter 8 mm. Perbandingan bola dan serbuk yang digunakan adalah 5:1. Serbuk dimasukkan ke dalam vial stainless steel bersamaan dengan bola milling, kemudian ditambahkan larutan toluena sebanyak 10 ml. Penambahan toluena bertujuan sebagai PCA (process control agent) untuk menghindari terjadinya oksidasi pada saat proses mechanical alloying berlangsung. Vial yang berisi serbuk dan bola di-milling menggunakan HEM 700i dengan kecepatan 1000 rpm selama 10, 40, dan 100 jam. Ada pun proses mechanical alloying dilakukan menggunakan HEM tanpa injeksi gas luar. Serbuk hasil mechanical alloying kemudian dikeringkan dan dikarakterisasi menggunakan XRD Shimadzu serta SEM-EDS JEOL SM-6510LA. Proses sintesis dan karakterisasi dilakukan di Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir – BATAN Puspiptek Tangerang.
4. HASIL DAN DISKUSI Karakterisasi XRD serbuk MA 957 hasil milling selama 10, 40 dan 100 jam ditunjukkan oleh Gambar 1. Serbuk hasil mechanical alloying selama 10 jam menunjukkan puncak tunggal yang tajam. Puncak – puncak yang terdeteksi didominasi oleh unsur Fe dan Cr. Sedangkan pada serbuk MA 957 40 jam hanya mengalami sedikit penurunan puncak. Namun terlihat adanya pelebaran spektrum. Hal ini disebabkan oleh mechanical alloying berhasil mereduksi ukuran kristalin dan juga oleh penurunan ukuran partikel [11]. Secara umum fasa yang terdeteksi pada serbuk 40 jam sama dengan serbuk MA 957 10 jam. Serbuk MA 957 100 jam menunjukkan hasil yang menunjukkan kecenderungan ke arah amorf karena puncak Fe serta Cr yang masih muncul pada 40 jam telah menurun drastis serta kemudian membentuk fasa FeC serta FeMo. Amorfisasi pada mechanical alloying lazim terjadi bila waktu milling yang lama digunakan, seperti pada serbuk MA 957 100 jam [1]. Terdeteksi juga terbentuknya fasa Cr3C2 pada puncak yang lain. Semakin lama waktu milling yang digunakan dapat merujuk terhadap pembentukan struktur yang amorf seperti yang ditunjukkan pada serbuk hasi mechanical alloying selama 100 jam. Terbentuknya fasa lain seperti Cr3C2 menunjukkan bahwa selama mechanical alloying telah terdapat kontaminasi yang juga mempengaruhi terbentuknya karbida.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
109
Fitriani T / Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS…
SFA 2013
(a)
(b) Gambar 1. Grafik XRD serbuk hasil pemaduan mekanik selama 10, 40 dan 100 jam (a) masing-masing spektrum (b) disatukan
Hasil karakterisasi SEM serbuk MA 957 menunjukkan bahwa pada serbuk MA 957 10 jam masih belum dapat dikatakan homogen. Selain karena ukuran antarpartikel yang masih belum sama, penyebaran komposisi serbuk awal pun masih belum merata. Dapat dilihat pada gambar 2a, partikel pada serbuk MA 957 10 jam sebagian masih menunjukkan bentuk aslinya, namun terdapat pula partikel yang menempel satu sama lain. Partikel ini bukanlah aglomerasi, karena masih terdapat pada proses awal mechanical alloying sehingga pada tahap ini serbuk masih mengalami proses welding. Hal yang berbeda ditunjukkan pada serbuk MA 957 40 jam. Dapat dilihat pada gambar bahwa ukuran antarpartikel membesar. Hal ini disebabkan oleh proses welding dan re-welding yang terus menerus terjadi selama 40 jam seperti yang ditunjukkan pada gambar 2b. Pada serbuk MA 957 40 jam ini pun serbuk masih belum dapat dikatakan homogen karena penyebaran komposisi serbuk awal pada tiap partikel masih belum merata. Serbuk yang homogen baru didapat setelah proses mechanical alloying selama 100 jam. Ukuran serbuk yang dihasilkan lebih kecil dari serbuk MA 957 40 jam. Aglomerasi terjadi karena selama rentang 100 jam serbuk mengalami proses welding serta refracturing sehingga dapat dilihat bahwa terdapat serbuk yang ukurannya sudah halus, namun juga terdapat serbuk yang teraglomerasi, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2c. Lamanya waktu milling pada rentang waktu lebih dari 50 jam akan membuat terjadinya partikel mengalami aglomerasi [12].
110
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Fitriani T / Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS…
SFA 2013
Gambar 2. Morfologi serbuk MA 957 (a) 10 jam, (b) 40 jam, dan (c) 100 jam
Detektor EDS mendeteksi adanya unsur O serta C pada ketiga sampel serbuk MA 957. Hasil karakterisasi serbuk MA 957 10 jam menunjukkan adanya kedua unsur tersebut seperti yang ditunjukkan pada gambar 3. Namun, pada beberapa titik (point) yang diambil, tidak semuanya mengandung unsur O dan C. Lain halnya dengan serbuk MA 957 40 dan 100 jam dimana pada setiap area maupun titik (point) terdeteksi unsur O dan C, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4 dan 5.
Gambar 3. Hasil karakterisasi SEM serbuk MA 957 10 jam
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
111
Fitriani T / Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS…
SFA 2013
Gambar 4. Hasil karakterisasi SEM serbuk MA 957 40 jam
Gambar 5. Hasil karakterisasi SEM serbuk MA 957 100 jam
Seperti beberapa yang telah dilaporkan pada jurnal, mechanical alloying dapat menghasilkan serbuk paduan homogen, namun proses ini juga menuntun kepada terdapatnya unsur O yang berlebih di dalam paduan, serta terdapatnya karbida seperti pada fasa yang telah terdeteksi dari pengujian XRD [12]. Unsur O menunjukkan bahwa pada selama proses mechanical alloying berlangsung telah terjadi oksidasi. Oksidasi ini sebenarnya dapat dikurangi dengan penggunaan toluena sebagai PCA (Process Control Agent). Namun pada komposisi MA 957 terdapat unsur O pada Y2O3 serta unsur Ti yang reaktif sehingga oksidasi tetap tidak bisa dihindari [1]. Penggunaan alat milling juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya proses oksidasi, karena alat HEM yang digunakan ber-atmosfer udara sehingga kurang dapat mencegah terjadinya oksidasi selama mechanical alloying berlangsung. Unsur C bisa saja didapatkan dari preparasi sampel, namun carbon tape pada preparasi sampel untuk karakterisasi menggunakan SEM juga diprediksi merupakan penyebab terdeteksinya unsur ini pada saat sampel dikarakterisasi. Serbuk yang di-milling selama 10, 40 dan 100 jam mengalami penurunan persen berat seperti yang ditunjukkan pada gambar 6, yang menunjukkan bahwa selama proses mechanical alloying berlangsung serbuk bereaksi membentuk fasa baru.
112
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Fitriani T / Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS…
SFA 2013
Gambar 6. Persentase berat (%) serbuk MA 957 awal, 10, 40, dan 100 jam
Dapat dilihat dari gambar 6 bahwa terdapat perbedaan persentase berat serbuk awal, setelah milling 10 jam, 40 jam, serta 100 jam. Serbuk Fe yang pada awal terdapat sebanyak 84,5% setelah milling 10, 40, serta 100 jam persentasenya semakin menurun. Lain halnya dengan Cr, Ti, Mo, dan Y yang cenderung tetap. Adanya unsur O yang bertambah menunjukkan bahwa selama milling berlangsung terdapat oksidasi, tidak hanya berasal dari Y2O3. Dari data tersebut dapat diprediksi bahwa oksida yang terbentuk adalah besi oksida sehingga persen berat besi semakin menurun dengan bertambahnya waktu milling. 5. SIMPULAN Telah dilakukan sintesis serbuk baja ODS feritik dengan komposisi berat unsur penyusun sama dengan baja ODS MA957 menggunakan metode mechanical alloying dengan variasi waktu milling 10, 40 dan 100 jam. Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya waktu milling maka ukuran partikel serbuk baja ODS menjadi semakin kecil. Hasil karakterisasi SEM-EDS menunjukkan bahwa adanya fenomena kecenderungan pengecilan ukuran serbuk tersebut. Fenomena ini diperkuat dengan hasil analisis XRD yang menunjukkan penurunan puncak dan pelebaran spektrum akibat pengecilan ukuran partikel dan kristal karena bertambahnya waktu milling. Selain itu, waktu milling yang terlalu lama telah membentuk aglomerasi serta terbentuknya struktur yang amorf seperti pada hasil milling 100 jam. Lebih lanjut lagi, semakin lama waktu milling pula akan membuat serbuk membentuk fasa – fasa baru seperti FeMo dan FeC serta peningkatan jumlah pembentukan oksida besi. 6. DAFTAR ACUAN
[1] [2] [3]
[4]
Suryanarayana, C. (2001), `Mechanical Alloying and Milling`, Progress in Materials Science, Vol. 46, pp: 1-184. Fergus, Jeffrey W. (2005), `Metallic interconnects for solid oxide fuel cells`, Materials Science and Engineering A 397, Vol. 217, pp: 271–283. US-DOE (2008), `United States-United Kingdom Collaboration on Fossil Energy Research and Development, “Advanced Materials-Oxide Dispersion-Strengthened Alloys` [http://us-uk.fossil.energy. gov/Public/DECC%20task%2008.pdf] (tanggal akses 22 April 2013). US-DOE (2002), `High-Performance, Oxide-Dispersion-Strengthened Tubes For Production of Ethylene and Other Iindustrial Chemicals, Project Fact Sheet`, [https://www1.eere.energy.gov/manufacturing/ industries_technologies/imf/pdfs/mtu_tubes.pdf], (tanggal akses 22 April 2013).
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
113
Fitriani T / Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Baja Feritik ODS…
[5] [6]
[7] [8] [9] [10] [11]
[12]
[13] [14]
114
SFA 2013
Klueh, R.L. dkk. (2005). `Oxide Dispersion-Strengthened Steels: A Comparison of Experimental and Commercial Steels`, Journal of Nuclear Materials, Vol. 341, pp: 103 – 114. Dubiel, B. dkk. 1997. Mechanically Alloyed, Ferritic Oxide Dispersion Strengthened Alloys: Structure and Properties. Faculty of Metallurgy and Materials Engineering, University of Mining and Metallurgy: Krakow. Neikov, Oleg D. dkk. (2009), Handbook of Non-Ferrous Metal Powders: Technologies and Applications. Elsevier. Swamy, V., N.A. Dubrovinskaya, dan L.S. Dubrovinsky. (1999), `High-Temperature Powder X-ray Diffraction of Yttria to Melting Point`. Journal of Materials Research, Vol. 14, pp: 456–459. Gan, Jian dan Bruce A. Hilton. 2007. TEM Examination of Advanced Alloys Irradiated in ATR. Idaho National Laboratory Nuclear Fuels and Materials Division: Idaho. Soni, P.R. (2001), Fundamental and Application Mechanical Alloying. Cambridge International Science Publishing: Inggris. Iwata, Noriyuki Y. dkk. (2007). `Effect of Milling on Morphological and Microstructural Properties of Powder Particles for High-Cr Oxide Dispersion Strengthened Ferritic Steels`, Journal of Nuclear Materials 367–370, pp: 191–195. Zinzuwadia, Mayur dkk. (2011), Characterization of Yitria Dispersed Mechanically Alloyed (ODS) Ferritic Stainless Steel Powders. Department of Metallurgical and Materials Engineering, Indian Institute of Technology Roorkee, Roorkee, India. De Castro, V, dkk. (2011), `Analytical Characterisastion of Oxide Dispersion Strengthed Steels for Fusion Reactors`. Materials Science and Technology, Vol. 27 (4), pp: 719-723. Dai, Lei, Yongchang Liu dan Zhizhong Dong (2012), `Size and Structure Evolution of Yttria In ODS Ferritic Alloy Powder during Mechanical Milling and Subsequent Annealing` Journal of Powder Technology, pp: 281 – 287.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
BENEFESIASI BIJIH BESI DENGAN CARA FISIK MENGGUNAKAN METODE MAGNETIC SEPARATOR Muhammad Amin, Suharto, Yayat Imam, M. Yunus, Agus Junaedi UPT.Balai Pengolahan Mineral Lampung Jl.Ir.Sutami.km.15 Tanjung Bintang Lampung Selatan e-mail: [email protected].
Abstrak Dewasa ini kebutuhan baja dunia makin meningkat seiring meningkatnya industri secara global, berdasarkan laporan dari Internasional Iron and Institute produksi baja dunia meningkat dari 1.028,8 juta metrik ton pada tahun 2005 menjadi 1.120 jt ton pada tahun 2006. Untuk membuat baja bahan baku yang digunakan adalah pasir besi atau bijih besi, akan tetapi pada pasir besi masih banyak mengandung pengotor atau berasosiasi dengan mineral lainnya yaitu TiO2,SiO2,CaO dan lain-lain. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kadar Fe (benefesiasi) pada pasir besi dengan cara fisik menggunakan metode magnet separator yang berkekuatan atau medan magnet sebesar 20.000 gauss. Pada penelitian ini pasir besi dimasukan kedalam bin sebanyak 20 kg, dicurah lalu dibawa dengan menggunakan ban konveyer yang pada ujung konveyer tersebut telah terpasang magnet sehingga pada saat pasir besi melalui ujung konveyer Fe yang ada pada pasir besi akan tertangkap (1x magnet) dan diambil sample untuk dianalisa kandungan Fe sedangkan bagian pengotor dari pasir besi akan lepas dan tertampung ditempat lain. Untuk selanjutnya pasir besi yang telah mengalami benefesiasi 1 x tadi dimasukan kembali kedalam bin dan magnet lagi sehingga akan terpisah lagi Fe dengan pengotor (2 x magnet) perlakuan yang sama dilakukan sebanyak 4 x magnet pada bagian pasir besi yang sama sehingga akan terlihat nantinya kandungan Fe yang tertinggi pada benefesiasi yang berapa kali sehingga memenuhi persyaratan untuk peleburan besi dan baja. Setelah dilakukan 4 kali magnet pada magnetic separator maka dapat dilihat bahwa pada benefesiasi pasir besi yang ke 4 x dengan speed/kecepatan 10 rpm didapat kadar Fe = 59,03 % yang semula bahan baku kandungan Fe adalah 46,60 %. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa benefesiasi dengan menggunakan magnetic separator cukup efektif bila jumlah magnet ditambah dan hasil yang dicapai sangat baik dalam peningkatan kadar Fe pada pasir besi. Kata Kunci: Magnet separator, benefesiasipasir besi, kadar Fe, Pengotor.
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Bijih besi/pasir besi merupakan bahan baku tambang yang sangat banyak jumlah cadangannya dan tersebar di Indonesia Kalimantan, Sulawesi Selatan, Lampung, akan tetapi masing-masing daerah mempunyai karakter bijih/pasir besi yang berbeda-beda sesuai dengan komposisi kimia yang terkandung di dalam bijih/pasir besi tersebut. Pada karakter bijih/pasir besi unsur yang terpenting adalah % Fe semakin besar % Fe semakin baik dan semakin kecil jumlah pengotor yang ada. Unsur Fe sangat penting karena semakin tinggi Fe yang ada di pasir/bijih besi semakin mudah untuk melakukan proses peleburan nantinya dan pengotor yang dihasilkan pun semakin sedikit. Karenanya untuk mengastasi karakter pasir/bijih besi yang berbeda tersebut harus dilakukan benefesiasi terlebih dahulu guna menghilangkan pengotor dan meningkatkan kandungan Fe pada pasir/bijih besi. Ada dua cara untuk melakukannya yaitu cara basah dan cara kering, cara basah yaitu dengan jalan di plotasi dengan menggunakan alat plotaion yang menggunakan media air dan berdasarkan perbedaan densitas maka antara pengotor dan Fe akan terpisah sedangkan cara kering yaitu dengan menggunakan alat magnetic separator berdasarkan kekuatan medan magnet maka Fe yang terkandung pada pasir/bijih besi akan tertangkap oleh magnet dan terpisah.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
115
Muhammad Amin, dkk./ Benefesiai Bijih Besi dengan …
SFA 2013
2. DASAR TEORI Pada bijih besi/pasir besiunsur utama pengotor yang tidak dikehendaki adalah silica dan lempung sedangkan kapur dan magnesium dalam jumlah sedikit sehingga semua pengotor tersebut masuk dalam lumpur dan harus dipisahkan dengan pencucian karena lumpur mudah larut dengan air dan berdasarkan perbedaan kerapatan oksida besi dan lempung serta silica. Untuk mempermudah pencucian perlu dilakukan penggilingan bijih besi, agar silica dapat terlepas dari struktur Kristal mineral utamanya [1]. Bijih besi laterit merupakan hasil pelapukan yang berlangsung cukup lama dari batuan ultra basa, salah satu spesies laterit adalah bijih besi laterit yang mineral utamanya Goethite FeOOH atau Limonite Fe2O3.3H2O yang mempunyai kandungan Fe = 40 – 58 % dan kandungan Fe ini relatif rendah belum dipakai sebagai bahan baku pembuatan baja, untuk itu perlu dilakukan optimalisasi bijih laterit agar dapat digunakan sebagai bahan baku besi baja dengan cara ditingkatkan kadar Fe.[2]. Dengan teknik magnetic separator, bijih besi/pasir besi yang kadar Fe dibawah 30 % bisa diolah secara ekonomis menjadi 60 % [3]. Magnetic separator adalah alat yang digunakan untuk memisahkan material padat berdasarkan sifat kemagnetan suatu bahan, alat ini terdiri dari pully yang dilapisi dengan magnet baik berupa magnet alami atau magnet yang berada disekitar arus listrik, sehingga padatan logam akanmenempel (tertarik) pada medan magnet oleh karena adanya garis-garis medan magnet. Medan magnet sendiri adalah ruangan disekitar kutub magnet yang gaya tarik/tolaknya masih dirasakan magnet lain, kuat medan magnet adalah besar gaya pada suatu satuan kuat kutub dititik itu dalam medan magnet, m adalah kuat kutub yang menimbulkan medan magnet dalam amper meter.A.m, R adalah jarak kutub magnet sampai titik yang bersangkutan dalam meter dan H adalah kuat medan titik itu dalam N/A.m [4]. Pengolahan bahan galian merupakan metode yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kualitas bahan galian terutama mineral dominannya, sedangkan yang dimaksud bahan galian adalah bijih (ore) mineral industri atau bahan galian golongan c dan batubara. Bijih besi mineral utama adalah kandungan Fe yang dibutuhkan dalam industry besi, akan tetapi seringkali berasosiasi dengan mineral logam lainnya sehingga perlu dilakukan peningkatan kadar Fe dengan menggunakanalat magnetic separator. Magnetic separator adalah alat yang digunakan untuk memisahkan material padat berdasar sifat kemagnetan suatu benda [5]. Bijih besi atau pasir besi mempunyai sifat kemagnetan yang tinggi bila dibandingkan dengan mineral ganggu lainya, perbedaan sifat ini yang dimanfatkan untuk memisahkan kedua jenis mineral tersebut, karena sifat magnet yang digunakan untuk memisahkan maka alat yang digunakan adalah magnetic separator. [6].
Gambar 1. Respon mineral dalam medan magnet
Mineral magnetite merupakan mineral yang mempunyai sifat kemagnetan yang tinggi. Magnetite akan tertarik oleh medan magnet yang relative rendah sekalipun. Karena sifatnya ini maka mineral magnetite dikelompokan dengan besi sebagai ferromagnetic. Pada Gambar 1 diatas dapat dilihat respon dari tiga mineral yang memiliki susceptibility berbeda. Ketiga mineral berada dalam medan magnet dengan kuat medan dalam satuan A/m. Mineral magnetite memberikan respon sangat kuat, intensitas magnetisasinya meningkat secara 116
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Muhammad Amin, dkk./ Benefesiai Bijih Besi dengan …
SFA 2013
eksponesial hingga mencapai nilai saturasinya, setelah jenuh berapapun kuat medan yang diberikan tidak lagi mempengaruhi perubahan intensitas kemagnetannya.
Gambar 2. Gaya-gaya yang bekerja pada partikel mineral
Pada gambar 2 menunjukan gaya-gaya pada partikel mineral yang berada dalam pengaruh medan magnet dipermukaan drum yang berputar. Partikelmineral akan tertarik atau terlempar dari permukaan drum tergantung pada nilai entrapment ratio-nya. Entrapmen ratio adalah rasio gaya magnet terhadap gaya sentrifugal, gaya gravitasi dan gaya drag. Entrapment ratio dinyatakan dalam persamaan berikut ini: ER = Fm / (Fc + Fg + Fd) Jika partikel mineral memeiliki nilai entrapment rasio lebih daripada satu, ER>1, maka partikel tersebut akan tertarik dan tetap nempel dipermukaan drum separator. Pada kondisi ER>1, artinya medan magnet memberikan pengaruhnya jauh lebih besar disbanding dengan total dari tiga gaya lainya [7].
Gambar 1. Proses magnet separaor bijih/pasir besi
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
117
Muhammad Amin, dkk./ Benefesiai Bijih Besi dengan …
SFA 2013
3. Metode Penelitian Metode penelitian ini meliputi studi literatur yang berkaitan dengan penelitian dan dilanjutkan dengan metode percobaan langsung dengan melakukan peningkatan kadar Fe pada pasir/bijih besi halus dengan metode magnet separator. Untuk selengkapnya prosedur percobaan dapat dilihat pada diagram alir proses peningkatan kadar Fe pada bijih besi dengan metode magnetic separator.
Bijih/Pasir Besi Pengayakan Lolos 5 mm Magnet Separator (1x) Kecepatan 10, 15,20 rpm
Tertangkap Magnet
Magnet Separator (2x)
Non Magnet (buang)
Analisis
Tertangkap Magnet
Magnet Separator (3x)
Non Magnet (buang)
Analisis
Tertangkap Magnet
Magnet Separator (4x)
Non Magnet (buang)
Analisis
Tertangkap Magnet
Non Magnet (buang)
Gambar 2. Diagram Alir Proses Magnet Separator Bijih Besi Halus
4. HASIL DAN DISKUSI Data dan Hasil Percobaan Tabel 1. Spesifikasi Alat Magnetic Separator
118
No.
Suku Cadang
Spesifikasi
Satuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7 8.
Kuat Medan Kuat Arus Tebal Kumparan Jumlah Magnet Panjang Kawat Resistansi Total Tegangan DC
20 1 500 476,19 4 671721,78 95,12 95,12
K.gauss Amper Mm Lilit Unit mm Ω Volt
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Muhammad Amin, dkk./ Benefesiai Bijih Besi dengan …
SFA 2013
Tabel 2. Hasil Penimbanagan dan Waktu Pemagnetan
Speed
Berat
Sblm
Dimagnet (kg)
1 x Magnet
2 x Magnet
3 x Magnet
t
M
NM
t
M
NM
t
M
NM
Speed 10
20
10,0
14,3
5,5
7,51
12,7
1,5
6,36
11,2
1,4
Speed 15
20
4,11
11,8
8,1
3,11
9,5
2,3
1,54
7,55
1,8
Speed 20
20
4,11
11,3
8,5
2,31
8,7
2,6
1,43
6,70
1,9
4 x Magnet t
M
NM
t
M
NM
t
M
NM
3,49
9,70
11,2
1,44
6,45
1
1,35
5,50
1,1
Keterangan: t = Waktu pemagnetan M = Berat Tertangkap Magnet NM=Berat Non Magnet
Tabel 3. Hasil Analisa Berat Jenis (BJ) dan % Fe Sebelum dan Sesudah Dimagnet
KODE
BJ
% Fe
Sebelum
3,39
46,60
KODE
BJ
% Fe
KODE
BJ
% Fe
KODE
BJ
% Fe
1/10
3,42
49,03
1/15
3,44
49,72
1/20
3,34
46,43
2/10
3,56
50,64
2/15
3,50
50,05
2/20
3,40
48,29
3/10
3,81
58,90
3/15
3,52
50,28
3/20
3,58
51,14
4/10
3,85
59,03
4/15
3,69
56,27
4/20
3,62
54,09
Diskusi 1.
2.
3.
4.
Kecepatan atau speed pada konveyer mempengaruhi pada waktu pemagnetan bijih/pasir besi kalau speed 10 waktu pemagnetan cenderung lama dan hasil yang didapatpun pada bijih besi non dan magnet (kg) cukup banyak akan tetapi pada speed 15 dan 20 waktu cenderung lebih cepat dan hasil yang didapatpun lebih sedikit bila dibandingkan dengan speed 10 dan ini berlaku baik pada pemagnetan 1 x sampai 4 x magnet Berdasarkan data tabel 3 hasil analisa berat jenis yang didapat sebelum dimagnet dan setelah dimagnet ada peningkatan yang tadinya sebelum dimagnet berat jenis = 3,39 kg/cm3 setelah dimagnet 1 x sampai 4 x cenderung naik terus menjadi 3,34 kg/cm3 pada 1 x magnet dan speed 20 yang terendah dan 3,85 kg/cm3 pada 4 x magnet dan speed 10 yang tertinggi. Untuk kandungan % Fe pada pasir/bijih besi ada peningkatan juga dari sebelum dimagnet dan setelah dimagnet, sebelum dimagnet % Fe = 46,60 menjadi 59,03 % Fe pada 4 x magnet dan speed 10. Sehingga kandungan Fe yang tertinggi adalah kecepatan/speed 10 dengan 4 x magnet dan sudah memenuhi syarat untuk peleburan. Untuk spesifikasi alat magneict separator dengan medan magnet sebesar 20 k gauss dan jumlah magnet sebanyak 4 buah masih dirasa kurang untuk menangkap bijih/pasir besi yang bersifat magnet ini dapat dilihat dari efektivitas alat magnet saat menangkap bijih/pasir yang bersifat magnet dengan 1 x magnet masih sedikit jumlahnya (kg), sehingga untuk itu perlu ditambah jumlah magnet sehingga akan dapat menangkap yang bersifat magnet lebih banyak dan tak perlu sampai 4 x magnet.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
119
Muhammad Amin, dkk./ Benefesiai Bijih Besi dengan …
SFA 2013
5. SIMPULAN Magnet separator dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kadar Fe pada bijih/pasir besi (benefesiasi) sehingga kadar Fe yang sebelumnya rendah Fe = 46,60 % dapat ditingkatkan menjadi 59,03 % dengan cara dilakukan pemagnetan yang berulang sampai 4 x dan kecepatan atau speed conveyer diatur 10 rpm sehingga akan didapat hasil yang maksimum dan alat magneict separator ini perlu ditambah lagi jumlah magnet agar efektifitas magnetic separator dapat meningkat.
6. DAFTAR ACUAN [1] Adil.j, 2009, Peningkatan Kadar Bijih Besi Dengan Metode Pencucian, Proseding Seminar Material Metalurgi, Puslit Metalurgi LIPI, Serpong,, 13-17 [2] Basso.D, dkk, 2009, Karakteristik Reduksi Bijih Besi Laterit, Proseding Seminar Material Metalurgi, Puslit Metalurgi LIPI, Serpong, , 36-43 [3] Anonim, http: //www.scribd.com, dikases tgl 21 Mei 2012 [4] Anonim, http://opsokisakti.blogspot.com, diakses tgl 9 September 2010 [5] Anonim, Taman Geologi, blogspot.com, diakses tgl 14 Januari 2011 [6] Anonim, Potensi Pasir Besi di Banten, http://pertambangan.geologi.blogspot.com, diakses tgl 20 Mei 2012 [7] Hartikainen,JP dkk, 2005, Magnetic Separation Of Industrial Waste Waters Asan Environ Metal Application Of Superconductivity, IEEE, Trans, Appl, Supercond.
120
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
SINTESIS KALSIUM KARBONAT PRESIPITAT DARI MATERIAL ALAM (DOLOMIT DAN BATU KAPUR YANG DIDOPING DENGAN Mg ) DENGAN METODE KARBONASI Nurul Fitria Apriliani , Qudsiyyatul Lailiyah, Darminto Jurusan Fisika ITS Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya Jawa Timur, 60111 e-mail: [email protected]
Abstrak Kalsium karbonat presipitat telah disintesis dari material alam yaitu dolomit dan batu kapur . Sintesis dilakukan dengan melakukan proses karbonasi pada larutan hasil pelarutan dari batukapur yang didoping Mg dan dolomit dengan larutan asam (HCl) sampai pH netral .Sintesis dilakukan dengan tiga variasi perlakuan, yaitu pada temperatur 30 oC dengan laju karbonasi 2 SCFH, temperatur 30 oC dengan laju karbonasi 7 SCFH dan temperatur 80 oC dengan laju karbonasi 2 SCFH. Hasil sintesis berupa serbuk dikarakterisasi dengan pengujian XRD ( X- Ray Diffraction). Analisis yang dilakukan diantaranya yaitu komposisi, fraksi berat, dan ukuran kristal masing-masing fasa. Fasa kalsit dominan terbentuk pada sintesis dengan temperatur 30 oC dengan laju karbonasi 2 SCFH yaitu dengan fraksi berat 76,20 wt %, pada sintesis dengan temperatur 30 oC dengan laju karbonasi 7 SCFH dominan terbentuk fasa vaterit dengan fraksi berat sebesar 60,19 wt%, sedangkan pada sintesis dengan temperatur 80 oC dengan laju karbonasi 2 SCFH fasa aragonit terbetuk dengan fraksi berat 72,33 wt%. Sintesis kalsium karbonat presipitat dari dolomit menghasilkan fasa kalsit pada semua perlakuan sintesis. Ukuran kristal yang lebih kecil dapat diperoleh dengan mendoping atom Mg ke dalam sintesis kalsium karbonat dari batu kapur. Sedangkan sintesis kalsium karbonat. Kata kunci: Batu kapur, Dolomit, Doping Mg, Kalsium karbonat presipitat, Karbonasi
1. PENDAHULUAN Kalsium karbonat presipitat merupakan bahan baku utama dalam berbagai industri, seperti industri cat, tinta, kertas, plastik, sampai kosmetik [1], suplemen nutrisi [2], pipa polimer [3] dan filler bahan komposit. Dalam penelitian ini kalsium karbonat presipitat berhasil disintesis dari bahan alam yaitu dolomit dan batu kapur yang didoping Mg. Penambahan Mg dilakukan dengan tujuan untuk memperkecil ukuran kristal. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kalsium karbonat presipitat yang mempunyai morfologi bervariasi dengan menggunakan dolomit dan dopan Mg melalui metode karbonasi, mengetahui pengaruh dolomit dan dopan Mg terhadap fasa dan ukuran kristal kalsium karbonat presipitat, dan mengetahui perbedaan kalsium karbonat presipitat yang disintesis dari batu kapur yang mengandung dolomit dibandingkan dengan bila menggunakan dopan Mg. Kalsium karbonat presipitat yang digunakan dalam penelitian ini disintesis dari material alam batu kapur, dimana batu kapur Indonesia mempunyai kandungan unsur kalsium (Ca) yang sangat tinggi yaitu mencapai 98% [4]. Dalam merekayasa ukuran partikel dan fasa yang terbentuk maka dalam penelitian ini digunakan dolomit dan dopan Mg dalam sintesis kalsium karbonat yang dimaksudkan untuk mengecilkan ukuran partikel sehingga kualitas produk yang dihasilkan lebih bagus. Dolomit termasuk rumpun mineral karbonat yang mengandung unsur magnesium (Mg). Dolomit di alam jarang yang murni, karena umumnya mineral ini selalu terdapat bersama-sama dengan batu gamping, kwarsa, rijang, pirit dan lempung. Sedangkan atom Mg merupakan ion yang paling dekat dengan Ca. Selain itu, ion Mg2+ dikenal sebagai ion yang paling efektif dalam sintesis kalsium karbonat presipitat dengan struktur aragonit [5]. Apriliani [6], dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa pemberian Mg akan berpengaruh memperkecil
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
121
Nurul Fitria A., dkk. / Sintesis kalsium karbonat presipitat dari material ….
SFA 2013
ukuran partikel kalsium karbonat presipitat bila dibandingkan dengan tanpa penambahan Mg. oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan sintesis kalsium karbonat presipitat dari batu kapur dengan doping Mg dan morfologi yang lebih bervariasi. Metode yang dilakukan adalah metode karbonasi yaitu dengan mengalirkan gas CO2, metode ini dipilih karena tergolong murah dan mudah dilakukan. Dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh penggunaan dolomit dan dopan Mg dalam sintesis kalsium karbonat presipitat dari batu kapur. Pengaruh yang dimaksud dapat meliputi komposisi fasa yang terbentuk serta ukuran kristal kalsium karbonat presipitat.
2.DASAR TEORI Kalsium karbonat terdapat secara berlimpah di beberapa mineral alam. Kalsium karbonat dapat mengkristal dengan berbagai macam morfologi sehingga dapat dimanfaatkan dalam banyak hal. Kalsium karbonat presipitat adalah produk kalsium karbonat yang dikontrol melalui proses sintesis serta menghasilkan sifat-sifat yang diinginkan seperti morfologi serta ukuran ukuran partikel. kalsium karbonat presipitat ketika disintesis dengan media air akan membentuk tiga macam kristal, yaitu kalsit, vaterit, dan aragonit. Terbentuknya macam-macam bentuk kristal ini dipengaruhi oleh temperatur, pH larutan, derajat saturasi, kecepatan aliran CO2 apabila menggunakan metode karbonasi, serta adanya bahan aditif. Kalsit memiliki struktur kristal trigonal yang biasanya berbentuk rhombohedral dengan densitas teoretik 3
2,7 gr/cm . Kalsit mempunyai grup ruang R-3c, dengan parameter kisi a= b= 4,9900A , c =17,0610A, α = β = 90 dan ɣ=120 . Kalsit merupakan fasa yang paling stabil pada variabel temperatur dan tekanan. Ditinjau dari konstanta kelarutannya, fase kalsit memiliki sifat termodinamika yang paling stabil (log Ksp = -8,47). Kalsit akan mengalami transformasi menjadi fasa lain dengan re-kristalisasi. Vaterit memiliki struktur hexagonal o
o
dengan parameter kisi a = 4,130Å, b = 4,130 Å, c = 8,490 Å, α = β = 90 , γ = 120 yang biasanya berbentuk spherulitic dan tidak berwarna. Vaterit merupakan fasa metastabil di dalam suhu kamar.Vaterit memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan fasa kalsit dan aragonit. Oleh karena itu, bila vaterit terkena air, maka pada suhu rendah, akan berubah ke fasa kalsit dan bila pada suhu tinggi sekitar 600C akan berubah menjadi aragonit. Vaterit jarang terjadi secara alami di alam. Vaterit terbentuk pada tingkat saturasi yang tinggi [7]. Aragonit memiliki struktur orthorhombic dengan parameter kisi a = 5,379Å, b = 4,961Å, c = 7,97Å, α = β = o
γ = 90 . Bentuknya biasanya disebut needle-like. Aragonit dapat terbentuk secara alami dari proses biologi dan fisika. Aragonit adalah termodinamika tidak stabil pada suhu dan tekanan standar, dan cenderung berubah menjadi kalsit. Proses karbonasi merupakan proses membuat kalsium karbonat presipitat yang paling sering dilakukan dibandingkan dengan proses yang lain karena proses ini tergolong murah. Pada proses ini kalsinasi dilakukan pada suhu sekitar 1000oC dimana batu kapur mengalami dekomposisi menjadi kalsium oksida dan karbon dioksida. Ukuran partikel, distribusi ukuran partikel, bentuk partikel,dan perubahan sifat permukaan pada partikel kalsium karbonat dapat dikontrol dengan mengontrol temperatur, tekanan parsial karbon dioksida, konsentrasi larutan dan kecepatan agitator. Pada awal proses, pH pada larutan berkisar 12 atau lebih, tetapi nilai pH tersebut akan semakin menurun seiring dengan lama reaksi. Tekanan biasanya dilakukan pada range 1-10 bar, dimana direkomendasikan menggunakan tekanan sebesar 2-3 bar. Secara keseluruhan untuk produksi kalsium karbonat presipitat secara komersial digunakan Ca(OH)2 sebanyak 0,5-1,5 g/lmenit [8]. Magnesium mempunyai pengaruh yang signifikan pada presipitasi kalsium karbonat. Rasio Mg:Ca yang rendah pada larutan dapat mengakibatkan tergabungnya ion Mg2+ ke dalam kisi kalsit, sedangkan bila Mg diberikan pada konsentrasi yang tinggi dalam larutan maka akan menginduksi presipitasi aragonit [9]. Penggunaan dopan Mg akan memberikan pengaruh terhadap fase dan ukuran kristal yang terbentuk. Penambahan MgCl2 dengan cara menambahkan massa Mg akan mengubah pola difraksi dibandingkan dengan
122
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nurul Fitria A., dkk. / Sintesis kalsium karbonat presipitat dari material ….
SFA 2013
tanpa penambahan Mg. Muncul fasa baru yaitu kalsit magnesian [(Ca,Mg)CO3] dan magnesit (MgCO3). Kalsit magnesian ditunjukkan dengan adanya pergeseran puncak dari kalsit akibat adanya ion Mg yang mensubstitusi Ca. Penambahan massa Mg yang hanya 1 gram akan menggeser pola difraksi kalsit, tetapi hanya sedikit. Ketika penambahan dilakukan pada 2 gram, fasa kalsit magnesian juga akan semakin bertambah. Fasa akan sepenuhnya menjadi fasa kalsit magnesian ketika Mg yang ditambahkan adalah 3 gram. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin banyak massa Mg yang ditambahkan, semakin banyak ion Mg2+ yang mensubstitusi ion Ca2+.[6]. Dolomit termasuk rumpun mineral karbonat, mineral dolomit murni secara teoritis mengandung 45,6% MgCO3 atau 21,9% MgO dan 54,3% CaCO3 atau 30,4% CaO. Rumus kimia mineral dolomit dapat ditulis meliputi CaCO3.MgCO3, CaMg(CO3)2 atau CaxMg1-xCO3, dengan nilai x lebih kecil dari satu. Dolomit di alam jarang yang murni, karena umumnya mineral ini selalu terdapat bersama-sama dengan batu gamping, kwarsa, rijang, pirit dan lempung. Dalam mineral dolomit terdapat juga pengotor, terutama ion besi. 3.METODOLOGI PENELITIAN CaO hasil kalsinasi batu kapur dilarutkan dengan HCl sehingga dihasilkan larutan CaCl2. Larutan MgCl2 dibuat dengan melarutkan juga serbuk Mg ke dalam larutan HCl dengan perhitungan tertentu sehingga didapatkan rasio mol Mg:Ca adalah 1:8. Kedua larutan dicampurkan kemudian dilakukan proses karbonasi dengan metode bubbling menggunakan noozle. Selama proses karbonasi berlangsung larutan NH4OH diteteskan sedikit demi sedikit. Sintesis dilakukan pada tiga variasi keadaan, yaitu pada temperatur 300 laju karbonasi 2 SCFH, temperatur 300 laju karbonasi 7 SCFH, temperatur 800 laju karbonasi 2 SCFH. Proses karbonasi dihentikan ketika pH larutan netral. Hasil karbonasi disaring dengan kertas saring. Endapan yang dihasilkan dikeringkan pada suhu 800C selama 24 jam untuk menghilangkan kadar air. Serbuk akhir hasil presipitasi dikarakterisasi dan dianalisis. Sedangkan untuk membuat kalsium karbonat presipitat dari dolomit dilakukan dengan cara melarutkan dolomit ke HCl, proses karbonasi dan proses-proses selanjutnya sama dengan membuat kalsium karbonat presipitat dari batu kapur. Kalsinasi dilakukan menggunakan furnace (Nobertherm, laboratorium zat padat Fisika ITS). Pencampuran dan pemanasan larutan menggunakan hot plate strirrer. Karakterisasi yang dilakukan adalah Xray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Analisis komposisi fasa dilakukan dengan proses refinement(penghalusan) pola difraksi dengan menggunakan perangkat lunak rietica sedangkan ukuran kristal masing-masing fasa yang terbentuk dianalisis dengan Material Analysis Using Diffraction (MAUD). SEM digunakan untuk melihat morfologi yang terbentuk dari kalsium karbonat presipitat. 4. HASIL DAN DISKUSI 4.1 Analisis fasa kalsium karbonat presipitat dari batu kapur di doping Mg Gambar 1 menampilkan pola difraksi yang terbentuk ketika sintesis kalsium karbonat presipitat dari batu kapur.yang didoping Mg. Analisis kualitatif komposisi fasa terhadap pola difraksi yang terbentuk yang telah dilakukan kemudian dilanjutkan dengan analisis kuantitatif fraksi berat dari masing-masing fasa. Dari perhitungan dengan perangkat lunak Rietica didapatkan hasil yang ditampilkan dalam tabel 1. Tabel 1. Fraksi berat fasa kalsium karbonat presipitat dari batu kapur Kalsit Vaterit Aragonit 30 oC, 2 SCFH 76,20 wt% 23,80 wt% 30 oC, 7 SCFH 39,81 wt% 60,19 wt% 80 oC, 2 SCFH 14,55 wt% 13,12 wt% 72,33 wt%
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
123
Nurul Fitria A., dkk. / Sintesis kalsium karbonat presipitat dari material ….
SFA 2013
Gambar 1. Pola difraksi yang terbentuk pada sintesis kalsium karbonat dari batu kapur didoping Mg Sintesis pada temperatur 30 oC dan laju karbonasi 2 SCFH menghasilkan fasa kalsit sebagai fasa yang dominan, fasa lain yang terbentuk yaitu fasa vaterit. Secara teoritis fasa kalsit memang terbentuk pada laju karbonasi rendah dan sangat mudah terbentuk diberbagai perlakuan sintesis. Laju aliran yang rendah yaitu sebesar 2 SCFH mengakibatkan jumlah ion CO32- yang terbentuk sedikit sehingga berakibat pula rasio [Ca 2+] / [CO32-] semakin besar. Dalam kondisi ini fasa kalsit cenderung terbentuk. Munculnya fasa vaterit merupakan pengaruh dari kondisi temperatur sintesis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Riyanto [10], dan Ogino [11], bahwa pada temperatur di sekitar temperatur ruang maka fasa yang terbentuk adalah kalsit dan vaterit. Fasa vaterit akan dominan terbentuk pada sintesis dengan temperatur 30 oC dan laju karbonasi 7 SCFH, pada kondisi sintesis ini fasa kalsit juga terbentuk. Karbonasi yang diberikan dengan laju aliran yang besar diharapkan agar terbentuk fasa vaterit yang lebih dominan. Besarnya laju aliran karbonasi mengakibatkan bertambahnya jumlah ion-ion seperti CO32- yang menambah supersaturasi larutan sehingga dalam proses pengintian (nukleasi) akan menghambat bertransformasinya fasa vaterit ke kalsit. Seperti diketahui bahwa kondisi supersaturasi tinggi merupakan syarat terbentuknya fasa vaterit. Terbentuknya fasa kalsit karena adanya fasa-fasa vaterit yang sudah bertransformasi menjadi fasa yang lebih stabil yaitu kalsit. Sintesis dengan temperatur 80 oC dan laju karbonasi 2 SCFH menghasilkan ketiga polimorf kalsium karbonat yaitu aragonit, vaterit, dan kalsit . Menurut Han [12], sintesis aragonit membutuhkan supersaturasi rendah sehingga digunakan laju karbonasi yang rendah. Temperatur merupakan salah satu parameter yang berpengaruh dalam pembentukan polimorf kalsium karbonat. Perubahan polimorf akibat perubahan temperatur dianggap karena adanya vibrasi termal. Munculnya fasa kalsit dimungkinkan disebabkan karena perubahan fasa aragonit ke fasa kalsit ketika temperatur lebih dari 80 oC, hal ini dipengaruhi karena sulitnya menjaga temperatur agar konstan sehingga pada saat karbonasi berlangsung dimungkinkan temperatur melebihi 80 oC walaupun pemanasan telah dihentikan. Seperti yang diketahui menurut [1] bahwa fraksi aragonit maksimum akan terbentuk pada 80 oC, jika melebihi temperatur tersebut maka fraksi aragonit akan semakin berkurang dan bisa bertransformasi ke fasa kalsit yang lebih stabil.
4.2 Analisis fasa kalsium karbonat presipitat dari dolomit Pola difraksi kalsium karbonat presipitat dari bahan dasar dolomit ditampilkan dalam gambar 2. Dolomit dari alam mempunyai fasa tunggal yaitu dolomit. Sedangkan puncak-puncak pola difraksi pada saat sintesis dengan temperatur 30o laju karbonasi 2 SCFH , temperatur 30o laju karbonasi 7 SCFH , maupun temperatur 80o laju karbonasi 2 SCFH menunjukkan fasa kalsit.
124
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nurul Fitria A., dkk. / Sintesis kalsium karbonat presipitat dari material ….
SFA 2013
Fraksi berat fasa yang terbentuk dari pengolahan data pola difraksi sinar-x ditampilkan pada tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada semua perlakuan sintesis yaitu pada temperatur 30 oC laju karbonasi 2 SCFH, temperatur 30 oC dan laju karbonasi 7 SCFH, serta temperatur 80 oC dengan laju karbonasi 2 SCFH menghasilkan fasa kalsit.
Gambar 2. Pola difraksi yang terbentuk pada sintesis kalsium karbonat dari dolomit Tabel 2. Fraksi berat fasa kalsium karbonat dari dolomit Kalsit Vaterit Aragonit 30 oC, 2 SCFH 100 wt% 30 oC, 7 SCFH 100 wt% 80 oC, 2 SCFH 100 wt% 4.3 Analisis ukuran kristal produk kalsium karbonat presipitat Ukuran kristal masing-masing fasa dihitung dari pengolahan data difraksi sehingga didapatkan keluaran yang ditampilkan pada tabel 3. Tabel 3. Ukuran kristal fasa kalsium karbonat presipitat dari batu kapur Kalsit Vaterit Aragonit 30 oC, 2 SCFH 627,91 ±1,42 nm 43,70±35,80 nm 30 oC, 7 SCFH 394,13 ±5,39 nm 43,64 ±14,66 nm 80 oC, 2 SCFH 564,93 ±0,44 nm 220,52 ±0,08 nm 56,64±36,47 nm Tabel 4. Ukuran kristal fasa kalsium karbonat presipitat dari dolomit Kalsit Vaterit Aragonit 30 oC, 2 SCFH 674,34 ±0,28 nm 30 oC, 7 SCFH 417,67 ±0,39 nm 80 oC, 2 SCFH 782,84 ±0,60 nm Tabel 3 dan 4 menampilkan ukuran kristal fasa kalsium karbonat presipitat dari batu kapur maupun dolomit. Tabel tersebut menunjukkan bahwa penambahan Mg dalam sintesis kalsium karbonat dari batu kapur menghasilkan kalsium karbonat presipitat dengan ukuran mencapai nanometer untuk fasa-fasa yang dominan pada masing-masing keadaan sintesis. Hal ini diduga disebabkan karena kehadiran atom Mg dapat menganggu pertumbuhan fasa kalsium karbonat yang terbentuk sehingga ukuran kristal yang dihasilkan akan menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan yang disintesis tanpa penambahan Mg.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
125
Nurul Fitria A., dkk. / Sintesis kalsium karbonat presipitat dari material ….
SFA 2013
Dolomit yang digunakan dalam sintesis ini mempunyai kandungan Mg sebesar 6,5 % dan Ca sebesar 92,40 %. Kandungan Mg di dalam dolomit diharapkan dapat memperkecil ukuran kristal kalsium karbonat presipitat yang disintesis dari dolomit sehingga dapat digunakan sebagai alternatif kalsium karbonat presipitat tanpa harus mensintesis dari batu kapur yang didoping Mg. Tetapi dari hasil perhitungan tersebut ternyata kandungan Mg yang cukup kecil dibandingkan dengan Ca hanya memberikan pengaruh sedikit dalam memperkecil ukuran kristal.
5. SIMPULAN Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa kalsium karbonat presipitat bisa disintesis dari material alam yaitu batu kapur dan dolomit. Bila disintesis dari batu kapur, fasa kalsit dominan terbentuk pada sintesis dengan temperatur 30 o C dan laju karbonasi 2 SCFH, fasa vaterit dominan terbentuk pada sintesis dengan temperatur 30 o C dan laju karbonasi 7 SCFH, sedangkan fasa aragonit terbentuk pada sintesis dengan temperatur 80 o C dan laju karbonasi 2 SCFH. Sintesis kalsium karbonat presipitat dari dolomit menghasilkan fasa kalsit pada semua perlakuan sintesis. Untuk menghasilkan kalsium karbonat dengan kualitas yang lebih bagus maka salah satu yang mempengaruhi adalah ukuran kristal. Ukuran kristal yang cukup kecil untuk morfologi tertentu dapat diperoleh dengan mendoping atom Mg ke dalam sintesis kalsium karbonat dari batu kapur.
6. DAFTAR ACUAN [1] [2]
Wang et al., (2010), “Combination of adsorption by porous CaCO3 microparticles”, International Journal of Pharmaceutics, Vol. 308, p. 160–167. Ghamgui, et al., (2007), “Immobilization studies and iochemical properties of free and immobilized Rhizopus oryzae lipase onto CaCO ”, Gargouri Biochemical Engineering Journal, Vol. 37, hal. 34–41. 3
[3] [4]
[5] [6]
[7] [8] [9] [10] [11] [12]
126
Hu et al., (2009), ” Synthesis of needle like aragonite from limestone in the presence of magnesium chloride”, Journal of Materials processing technology,Vol.209. p.1607-1611. Apriliani, Nurul Fitria, dkk. (2011) ,”Identifikasi dan karakterisasi batu kapur Tuban untuk pengembangan produk CaCO3”, laporan coop penelitian Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Park et al., (2008), ”Effect of magnesium chloride and organic additives on the synthesis of Aragonite Precipitated calcium carbonate”Journal of Crystal growth,Vol.310, p.2593-2601. Apriliani, Nurul Fitria.,(2012), “efek penambahan larutan MgCl2 dalam sintesis kalsium karbonat presipitat berbahan dasar batu kapur dengan metode karbonasi”. Tugas akhir jurusan fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Flaten et al., (2002), ” Polymorphism and morphology of calcium carbonate precipitated in mixed solvents of ethylene glycol and water”, Journal of Crystal Growth ,Vol.311, p.3533-3538 Mathur K., (2001), “High speed manufacturing process for precipitated calcium carbonate employing sequential pressure carbonation”. US Pat. 6,251,356 Loste et al., (2003), “ The role of magnesium in stabilishing amorphous calcium carbonate and controlling calcite morphologies”, Journal of crystal growth, Vol.254. p. 206-218. Riyanto, Agus.2010. ”Sintesis CaCO3 presipitat dengan morfologi bervariasi dari batu kapur”. Laporan Tesis Magister Fisika. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Ogino,T et al., (1987), “The formation and transformation mechanism of calcium carbonate in water”, Geochimica at Cosmochimica Acta. Vol. 51, pp. 2757-2767. Han et al., (2008), “Factors affecting the phase and morphology of CaCO3 prepared by a bubbling method”, Journal of the European Ceramic Society, Vol. 26, hal. 843–847.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
FABRIKASI KALSIUM KARBONAT PRESIPITAT (CaCO3) FASE VATERIT DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN
Qudsiyyatul Lailiyah, Nurul Fitria A, Darminto Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 e-mail: [email protected]
Abstrak Kalsium karbonat presipitat (PCC) mendapat perhatian lebih karena aplikasinya di dunia industri antara lain di bidang cat, kertas, farmasi, dan sebagainya. Salah satu faktor yang mempengaruhi aplikasi PCC adalah fase yang terbentuk. PCC fase vaterit telah berhasil disintesis denngan menggunakan metode pencampuran larutan. Penelitian sebelumnya dengan menggunakan metode karbonasi menghasilkan fase vaterit dengan fraksi berat relatif yang cukup kecil. Penelitian ini menggunakan bahan baku batu kapur alam yang diperoleh dari daerah Tubah, Jawa Timur. Pada penelitian ini digunakan metode pencampuran larutan. Larutan CaCl2 dicampurkan dengan larutan Na2CO3 untuk menghasilkan endapan CaCO3 dengan fase vaterit. Dalam penelitian ini digunakan variasi konsentrasi larutan dan temperatur sintesis dilakukan 50oC yang sebelumnya dilakukan variasi temperatur untuk mengetahui temperatur terbentuknya fraksi berat relatif maksimum dari fase vaterit. Karakterisasi yang dilakukan menggunakan X-Ray Diffaction (XRD) untuk mengetahui fase yang terbentuk. Berdasarkan analisis data diperoleh hubungan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan yang digunakan maka fraksi berat relatif dari fase vaterit semakin kecil dan juga sebaliknya. Pada penelitian ini didapatkan fraksi berat relatif maksimum dari fase vaterit sebesar 95,74 wt%. Kata kunci: Kalsium karbonat presipitat, vaterit, X-Ray Difffraction
1. PENDAHULUAN Kalsium karbonat (CaCO3) memiliki banyak aplikasi didunia industri diantaranya dalam industri kertas, cat, plastik, lingkungan, makanan berkalsium, dan masih banyak lagi. Kalsium karbonat dengan fase vaterit biasanya digunakan dalam sebagai katalis, filler, dan dalam dunia farmasi. Kalsium karbonate mempunyai tiga bentuk kristal yaitu kalsit, aragonit, dan vaterit dengan struktur kristal berturut-turut rhombohedral, orthorombic, dan hexagonal [1]. Kalsit merupakan fase yang paling stabil pada temperatur ruang, sedangkan aragonit dan vaterit merupakan fase metastabil yang siap bertransformasi mejadi fase yang stabil [2]. Vaterit merupakan fase yang paling tidak stabil dan akan bertransform kebentuk stabil apabila berada dalam air. Hal inilah yang membuat pembuatan fase vaterit cukup sulit karena memerlukan perlakuan khusus. Meskipun begitu vaterit mempunyai aplikasi dalam berbagai bidang karena mempunyai sifat-sifat khusus seperti kelarutan yang tinggi dan luas permukaan spesifik yang tinggi jika dibandingkan dengan kalsit dan aragonit [3]. Pada penelitian sebelumnya [4] menyebutkan bahwa dengan menggunakan metode karbonasi bubbling, fase vaterit berhasil disintesis pada temperatur 30ºC dengan kecepatan laju aliran 7 SCFH. Namun dengan menggunkan metode tersebut fraksi berat relatif fase vaterit yang diperoleh masih cukup kecil yaitu sekitar 32,26 wt%. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
127
Qudsiyyatul Lailiyah / Fabrikasi Kalsium Karbonat Presipitat ….
SFA 2013
Pada penelitian ini digunakan metode pencampuran larutan. Larutan CaCl2 dicampurkan dengan larutan Na2CO3 untuk menghasilkan endapan CaCO3 dengan fase vaterit. Dalam penelitian ini digunakan variasi konsentrasi larutan dan temperatur sintesis dilakukan pada temperatur 35oC dan 50oC. Karakterisasi yang dilakukan menggunakan X-Ray Diffaction (XRD) untuk mengetahui fase yang terbentuk. 2. DASAR TEORI 2.1 Batu Kapur Alam Batu kapur didefinisikan sebagai batuan yang banyak mengandung kalsium karbonat, mempunyai warna kuning, abu-abu kuning tua, abu-abu kebiruan, jingga dan hitam. Dalam keadaan murni mempunyai bentuk kristal kalsit, yang terdiri dari CaCO3 dan memiliki berat jenis 2,6 – 2,8 gr/cm3 [5]. Batu kapur merupakan sumber utama kalsium karbonat karena memiliki kemurnian tinggi dan ketersediaannya yang berlimpah di alam. Batu kapur dikatakan mempunyai kemurnian tinggi karena berdasarkan penelitian sebelumnya batu kapur di daerah Rengel Kabupaten Tuban mempunyai fraksi kalsium mencapai 98%. Kemurnian batu kapur bervariasi bergantung material tambahan yang terkandung di dalamnya seperti besi, kalium, iodin, dan logam berat yang dapat mempengaruhi kualitas produk CaCO3 yang dihasilkan [4]. 2.2 Kalsium Karbonat Presipitat Kalsium kabonat presipitat sering disebut dengan PCC mempunyai tiga macam bentuk kristal yaitu kalsit, aragonit, dan vaterit dengan struktur kristal berturut-turut rhombohedral, orthorombic, dan hexagonal. Kalsit merupakan fase yang stabil pada temperatur ruang, sedangkan vaterit dan aragonit merupakan fase metastabil yang dapat bertransformasi ke dalam fase stabil (kalsit) [2]. 2.3 Metode Sintesis Kalsium Karbonat Presipitat Terdapat bermacam bahan baku dan metode untuk mensintesis PCC, baik skala industri maupun skala laboratorium. Metode presipitasi yang biasa dilakukan pada sintesis kalsium karbonat adalah solution route (pencampuran larutan) dan carbonation route (bubbling CO2) Metode pertama merupakan sintesis CaCO3 dengan mereaksikan larutan CaCl2 dan larutan Na2CO3. Metode ini umumnya digunakan pada sintesis CaCO3 untuk aplikasi farmasi karena parameter raw-material (seperti kemurnian) yang terukur. Konsentrasi dan perbandingan ion–ion reaktan pada metode ini mudah dikontrol, sehingga hubungan produk akhir dan kondisi reaksi mudah dianalisis. Berdasarkan pertimbangan ini, metode pencampuran lebih dipilih dalam studi transformasi maupun rekayasa morfologi CaCO3. Metode kedua yaitu metode karbonasi. Pada metode ini, CaCO3 terbentuk dengan mengalirkan gas CO2 ke dalam larutan Ca(OH)2. Bahan baku yang lebih murah dan proses yang relatif lebih sederhana menjadikan metode ini banyak diterapkan pada aplikasi industri, tentunya terbatas pada morfologi tertentu. 2.4 Aplikasi Kalsium Karbonat Presipitat Kalsit merupakan fase PCC yang paling stabil dan banyak digunakan dalam industri cat, kertas, magnetic recording, industri tekstil, detergen, plastik, dan kosmetik. Berbeda dengan kalsit, aragonit mempunyai aplikasi sebagai filler kertas yang menjadikan sifat-sifatnya lebih baik seperti high bulk, kecerahan, tak tembus cahaya, dan kuat. Sebagai filler aragonit lebih baik dari pada kalsit dalam polivinil alkohol atau polipropilen komposit [5]. Vaterit biasanya digunakan sebagai katalis, teknologi separasi, dan agrochemical [1]. Partikel vaterit berongga merupakan partikel dari CaCO3 yang digunakan dalam aplikasi kelas tinggi yaitu sebagai filler, granula, dan aditif dalam makanan maupun industri farmasi [7]. Kalsium karbonat presipitat berpori banyak digunakan dalam dunia farmasi khususnya mengatur durasi pemberian obat ke sel tertentu atau ke jaringan. PCC berpori merupakan salah satu material organik yang mempunyai stabilitas biologi yang baik dan sifatnya mudah dikendalikan. PCC berpori yang mempunyai luas pori berukuran nano memungkinkan obat masuk didalamnya [8]. 2.5 Pengaruh Temperatur terhadap Pembentukan Fase dengan Menggunakan Metode Bubbling
128
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Qudsiyyatul Lailiyah / Fabrikasi Kalsium Karbonat Presipitat ….
SFA 2013
Pada penelitian sebelumnya tentang pengaruh temperatur dan laju aliran gas CO2 telah menghasilkan morfologi yang bervariasi dan fase yang berbeda. Penelitian tersebut menggunakan metode karbonasi dimana gas CO2 dialirkan kedalam larutan CaCl2 dengan cara bubbling. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan morfologi dan fase kalsium karbonat presipitat dipengaruhi oleh temperatur reaksi dan laju aliran gas CO2. Kalsium karbonat presipitat memiliki tiga fase yang masingmasing memiliki morfologi berbeda. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan diperoleh bahwa vaterit terbentuk pada temperatur rendah dengan laju aliran gas CO2 tinggi dengan fraksi berat relatif maksimum 32,26% pada temperatur 30ºC dengan laju aliran 7 SCFH, aragonit terbentuk pada temperatur tinggi dengan laju aliran gas CO2 rendah dengan fraksi berat relatif maksimum 90,7% pada temperatur 70ºC dengan laju aliran 2 SCFH, sedangkan kalsit tebentuk pada setiap variasi perlakuan yang dilakukan karena kalsit merupakan fase yang paling stabil [4].
: Kalsit : VA te rit : Ara gonit tem peratur 7 0
Intensitas
tem peratur 5 0
tem peratur 30
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Gambar 1. Pola difraksi sinar-x pada temperatur bervariasi dengan menggunakan metode karbonasi bubbling 3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode pencampuran larutan CaCl2 dan larutan Na2CO3. Larutan CaCl2 disintesis dari batu kapur alam yang telah dikalsinasi menjadi CaO kemudian dilarutkan ke dalam HCl. Sedangkan larutan Na2CO3 diperoleh secara komersial. Penelitian ini diawali dengan mencampurkan 50 mL larutan CaCL2 0,25M dengan 50 mL larutan Na2CO3 0,25M dan diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 400 rpm selama 2 menit. Temperatur yang digunakan adalah 35ºC dan dijaga konstan selama pencampuran larutan begitu juga dengan kecepatan pengadukan yang digunakan. Setelah terjadi pencampuran kedua larutan, endapan disaring menggunakan kertas saring kemudian dikeringkan di udara selama kurang lebih 24 jam. Serbuk CaCO3 yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction dengan range 2Ɵ dari 20ºC sampai 70ºC. Langkah tersebut diulang untuk temperatur yang berbeda.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
129
Qudsiyyatul Lailiyah / Fabrikasi Kalsium Karbonat Presipitat ….
SFA 2013
4. HASIL DAN DISKUSI Pada penelitian ini digunakan metode pencampuran larutan dengan mencampurkan larutan CaCl2 dengan larutan Na2CO3 sehingga menghasilkan endapan CaCO3 berdasarkan persamaan reaksi :
CaCl2 + Na2CO3 à CaCO3 + 2NaCl
4.1 Pengaruh Temperatur Salah satu faktor penting dalam pembentukan fase kalsium karbonat presipitat adalah temperatur. Perlakuan variasi temperature ini dilakukan untuk mengetahui temperatur pembentukan vaterit. Perlakuan ini dilakukan dengan memvariasikan temperatur larutan pada 35ºC, 50ºC, 80ºC, dan 90ºC. Sintesis dilakukan pada konsentrasi kedua larutan 0,25M dan dengan kecepatan pengadukan 400 rpm.
Gambar 2. Pola difraksi sinar-x dengan temperatur bervariasi Berdasarkan Gambar.2 terlihat bahwa pada temperatur 35ºC - 80ºC terbentuk fase kalsit dan vaterit dan pada temperatur 90ºC terlihat fase aragonit mulai terbentuk dan fase vaterit lenyap. Dari gambar.2 juga terlihat bahwa fase kalsit selalu terbentuk pada setiap variasi temperatur, hal ini dikarenakan fase kalsit merupakan fase yang paling stabil. Hal ini dapat disimpulkan bahwa vaterit terbentuk pada temperatur rendah dan pada temperatur tinggi vaterit mulai hilang dan diikuti pembentukan fase aragonit. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur mempengaruhi pembentukan fase kalsium karbonat presipitat. Perubahan fase terhadap temperatur disebabkan oleh vibrasi termal atom-atom di dalamnya. Atom – atom akan memperoleh energi vibrasi yang lebih ketika berada pada temperatur tinggi. Berdasarkan analisa lebih lanjut didapatkan fraksi berat relatif maksimum fase vaterit sebesar 95,74 wt% (Tabel.1) terjadi pada temperatur 50ºC.
4.2 Variasi Konsentrasi Larutan Konsentrasi larutan divariasikan 0,25M; 0,5M; 0,75M; dan 1M dan disintesis pada temperatur 50ºC. Setiap perlakuan kedua konsentrasi larutan dibuat sama. Hasil pola difraksi sinar-x dengan variasi konsentrasi dapat dilihat pada Gambar.3.
130
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Qudsiyyatul Lailiyah / Fabrikasi Kalsium Karbonat Presipitat ….
SFA 2013
Dari Gambar.3 terlihat bahwa fase yang terbentuk untuk masing-masing variasi konsentrasi pada temperature 50ºC adalah vaterit dan kalsit. Dapat dilihat pada Gambar 4.3 diatas bahwa puncak kalsit (104) mengalami kenaikan yang cukup tinggi pada konsentrasi larutan 0,75M, kemudian menurun seiring penurunan konsentrasi larutan. Namun pada konsentrasi 1M puncak kalsit mengalami kenaikan dan hal sebaliknya terjadi pada puncak vaterit.
Gambar.3 Pola difraksi sinar-x dengan variasi konsentrasi larutan pada temperatur 50ºC
No 1 2 3 4 5 6
Tabel.1 Hasil fraksi berat relatif fase, ukuran kristal, dan jumlah produk akhir yang dihasilkan % wt ukuran (nm) Jumlah Konsentrasi Temperatur produk (M) (ºC) Vaterit Kalsit Vaterit Kalsit akhir (gr) 0,25 50 95,74 ± 6,26 4,26 ± 0,79 77,6 ± 51,1 233,2 1,821 0,5 50 94,13 ± 6,53 5,87 ± 0,92 86,3 ± 67,4 236,4 ± 2,9 2,983 0,75 50 67,67 ± 2,64 32,33 ± 1,35 67,2 ± 30,2 581,13 ± 1,5 3,931 1 50 91,21 ± 6,56 8,79 ± 1,09 63,1 ± 30,5 329,6 ± 16,5 4,992 0,25 35 89,71 ± 4,15 10,29 ± 1,36 73,9 ± 56,1 298,7 ± 1,5 1,839 0,25 80 94,72 ± 4,8 5,28 ± 0,76 126,1 ± 67,8 213,2 ± 0,9 1,795
Berdasarkan pola difraksi sinar-x pada Gambar.3 dan Tabel.1 dapat dikatakan bahwa variasi konsentrasi larutan yang digunakan tidak berpengaruh pada jumlah fraksi berat relatif fase yang dihasilkan karena setiap perlakuan sintesis digunakan perbandingan mol 1:1 antara kedua larutan. Variasi konsentrasi ini hanya berpengaruh pada jumlah produk akhir (endapan CaCO3) yang dihasilkan dimana pada konsentrasi larutan tinggi akan menghasilkan jumlah produk akhir yang lebih bnyak. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi larutan tinggi memiliki asupan ion Ca2+ dan ion CO32- lebih banyak yang menyebabkan endapan yang dihasilkan pun semakin bnyak. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
131
Qudsiyyatul Lailiyah / Fabrikasi Kalsium Karbonat Presipitat ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa fase vaterit kemurnian tinggi berhasil disintesis dengan menggunakan metode pencampuran larutan. Larutan yang digunakan adalan larutan CaCl2 dan Na2CO3. Fraksi berat relatif maksimum dari fase vaterit yang dihasilkan sebesar 95,74 wt% terjadi pada temperatur 50ºC dengan konsentrasi larutan 0,25M.
6. DAFTAR ACUAN [1] Hadiko, G., Han, Y.S., Fuji, M., Takahashi, M. (2005), ‘Synthesis of Hollow Calcium Carbonate Particles by the Bubble Templating Method’, Materials Letters., Vol. 59, pp. 2519 – 2522. [2] Han, Y.S., Hadiko, G., Fuji, M., Takahashi, M. (2006), ‘Factors Affecting the Phase and Morphology of CaCO3 Prepared by a Bubbling Method’, Journal of the European Ceramic Society., Vol. 26, pp. 843-847. [3] Chen, Yinxia., Xianbing Ji., Xiaobo Wang. (2010), ‘Facile synthesis and characterization of hydrophobic vaterite CaCO3 with novel spike-like morphology via a solution route’, Materials Letters., Vol. 64, pp. 2184–2187. [4] Lailiyah, Q. (2012), ‘Pengaruh Temperatur dan Laju Aliran Gas CO2 Pada Sintesis Kalsium Kerbonat Presipitat dengan Metode Bubbling’, Tugas Akhir: Jurusan Fisika FMIPA ITS. Surabaya. [5] Oates J.A.H. (1998), ‘Lime and Limestone, Chemistry and Technology’, Production and Uses, WileyVch. [6] Hu, Z dkk. (2009), ‘Synthesis of Needle-Like Aragonite from Limestone in The Presence of Magnesium Chloride’, Journal of Materials Processing Technology., Vol. 209, pp. 1607–1611. [7] Wanatabe, Hideo., Mizuno, Y., Endo, T dkk. (2009), ‘Effect of Initial pH on Formation of Hollow Calcium Carbonate Particles by Continuous CO2 Gas Bubbling into CaCl2 Aqueous Solution’, Advanced Powder Technology., Vol. 20, pp. 89-93. [8] Wang Chaoyang., He Chengyi., dkk. (2006), ‘Combination of Adsorbtion by Porous CaCO3 Microparticles and Encapsulation by Polyelectrolyte Multilayer Films for Sustained Drug Delivery’, International Journal of Pharmaceutics., Vol. 308, pp. 160-167.
132
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
STUDI KARAKTERISTIK LISTRIK SEL SURYA POLIMER HIBRID BERBASIS P3HT-ZNO DI ATAS SUBSTRAT FLEKSIBEL Rifan Satiadi1), Erlyta Septa Rosa2), dan Shobih2) 1) Program Studi Fisika, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr Setiabudi No. 229 Bandung Telp./Fax : 022-2004548 2) Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi-Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (PPET-LIPI) Kampus LIPI Jl. Sangkuriang Bandung 40135 Telp./Fax : 022-2504660/2504659 Email : [email protected]
Abstrak Kebutuhan untuk memperoleh sumber energi yang bersih dan terbarukan telah mendorong para peneliti untuk mengembangkan sel surya sebagai salah satu energi alternatif. Sel surya dengan bahan organik telah dikembangkan karena mempunyai potensi untuk diproduksi dengan biaya yang lebih murah, proses yang lebih mudah, dan dapat dikembangkan dengan substrat yang fleksibel/plastik. Salah satu pengembangan sel surya organik adalah sel surya polimer berbahan dasar polimer. Tulisan ini melaporkan hasil studi karakteristik listrik sel surya polimer hibrid menggunakan lapisan aktif campuran polimer P3HT dan semikonduktor ZnO diatas substrat fleksibel (PET). Sel surya polimer hibrid tersebut mempunyai struktur PET/ITO/PEDOT: PSS/P3HT-ZnO/Al dengan luas daerah aktifnya sebesar 2,6 cm2. Karakterisasi sifat listrik dilakukan dengan menyinari sel menggunakan sumber cahaya lampu xenon dengan intensitas penyinaran cahaya 270 W/m2, 600 W/m2, dan 1000 W/m2. Karakteristik listrik pada intensitas penyinaran 270 W/m2 memiliki performansi yang paling baik dengan efisiensi konversi 0,024%, fill factor 0,63, tegangan open circuit sebesar 0,477 V, arus short circuit sebesar 5,6 x 10-5 A, dan daya maksimum yang dihasilkan sebesar 1,68 x 10-5 Watt. Kata kunci: sel surya polimer hibrid, karakteristik listrik, P3HT:ZnO
1. PENDAHULUAN Kebutuhan untuk memperoleh sumber energi yang bersih dan terbarukan telah mendorong para peneliti untuk mengembangkan sel surya sebagai salah satu energi alternatif. Sampai saat ini sel surya yang ada di pasaran industri menggunakan bahan semikonduktor anorganik sebagai material utamanya, yaitu silikon. Silikon mendominasi bahan sel surya karena karena teknologi fabrikasinya memang sudah mapan. Di satu sisi tingkat efisiensi sel surya anorganik mencapai angka yang tinggi, tetapi di sisi lain proses pembuatan divais tersebut tidak sederhana, membutuhkan biaya pembuatan yang tinggi dan bentuknya cenderung kaku [1]. Disamping itu dalam pembuatan divais fotovoltaik anorganik terdapat limbah yang dapat merusak lingkungan disekitarnya seperti racun silikon dan polusi udara dari industri pembuatan divais tersebut [2]. Hal ini membuat para peneliti berusaha mencari divais sejenis yang dapat dibuat dengan proses yang sederhana, ramah lingkungan serta ongkos pembuatan yang murah. Salah satu bahan yang terus dikembangkan oleh para peneliti untuk mengatasi masalah tersebut adalah bahan organik. Beberapa material yang dapat digunakan sebagai lapisan aktif dalam sel surya organik antara lain adalah molekul kecil, polimer terkonjugasi, kombinasi dari molekul kecil dengan polimer terkonjugasi, atau kombinasi material organik dan anorganik [3]. Sel surya dengan bahan polimer terkonjugasi telah dikembangkan karena mempunyai potensi untuk diproduksi dengan biaya yang lebih murah, proses yang lebih mudah, dan dapat dikembangkan dengan substrat yang fleksibel/plastik [4]. Meskipun demikian efisiensi yang dihasilkan masih lebih rendah dibandingkan ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
133
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
SFA 2013
dengan sel surya silikon, sehingga masih banyak peluang yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sel surya berbasis polimer ini secara intensif. Polimer terkonjugasi dapat juga dikombinasikan dengan semikonduktor anorganik tipe-n seperti ZnO dan TiO2 [5]. Pada sel surya hibrid polimer/semikonduktor anorganik, kelebihan dari kedua material ini digabungkan. Material polimer terkonjugasi merupakan semikonduktor yang dapat dilarutkan dalam proses fabrikasi sedangkan material semikonduktor anorganik memiliki mobilitas elektron yang tinggi [3]. Ji [6] melaporkan hasil penelitian sel surya hibrid campuran polimer P3HT poly(3-hexythiophene) dengan nanopartikel ZnO (Zinc Oxide) dengan efisiensi 0,020%. Dalam tulisan Wang [7], arus mengalami peningkatan dari 6,35 mA/cm2 menjadi 9,55 mA/cm2 pada saat penambahan Perylene derivative (PDI) ke campuran P3HT-ZnO. Li [8] melaporkan efisiensi sel surya polimer hibrid P3HT:DOPO-ZnO sebesar 0,077% . Baik Ji [6] dan Li [8] penelitian sel surya polimer hibrid dibuat diatas substrat kaca. Sekarang ini penggunaan substrat yang bersifat fleksibel sebagai pengganti kaca telah menjadi penelitian yang sangat menarik karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan substrat kaca. Beberapa kelebihannya adalah proses serta penanganan yang lebih mudah, aplikasi yang lebih luas, suhu proses fabrikasi rendah (<150oC), serta mudah diproduksi secara massal atau dalam skala industri menggunakan sistem roll to roll [4]. Tulisan ini melaporkan hasil studi karakteristik listrik sel surya polimer hibrid menggunakan lapisan aktif campuran polimer P3HT dan semikonduktor ZnO diatas substrat fleksibel (PET). Karakterisasi sifat listrik dilakukan dengan menyinari sel menggunakan sumber cahaya lampu xenon dengan intensitas penyinaran cahaya 270 W/m2, 6000 W/m2 dan 1000 W/m2. 2. DASAR TEORI 2.1 Hybrid Bulk Heterojunction Bulk heterojunction (BHJ) merupakan konsep yang umum diterapkan pada pembuatan sel surya polimer. Pengembangan dari konsep bulk heterojunction adalah hybrid bulk heterojunction, yaitu mencampurkan material semikonduktor organik dan material semikonduktor anorganik sebagai lapisan aktif sel surya [3]. 2.2 Prinsip Dasar Sel Surya Polimer Hibrid Prinsip dasar dalam sel surya bahan polimer hibrid hampir sama dengan bahan sel surya polimer/fullerene. Bagian teratas dari keadaan yang ditempati oleh elektron pada pita valensi disebut Highest Occupied Molecular Orbital (HOMO), sedangkan bagian terbawah dari keadaan yang tidak ditempati elektron pada pita disebut dengan Lowest Unoccupied Molecular Orbital (LUMO) [9].
Gambar. 1. Skema level energi sel surya polimer hibrid [11]
134
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
SFA 2013
Pada sel surya polimer hibrid ini yang berperan sebagai donor adalah polimer P3HT dan material anorganik ZnO sebagai akseptor [5]. Level energi pada P3HT adalah HOMO 5.2 eV dan LUMO 3.53 eV [10], sedangkan level energi pada ZnO adalah pita valensi 7.6 eV dan pita konduksi 4.4 eV relatif terhadap level vakum [3]. Skema level energi dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Saunders pembentukan arus penyinaran pada sel surya hibrid ini terdapat beberapa langkah yaitu [12]: 1. Penyerapan foton oleh material polimer yang terdapat pada lapisan aktif. Foton ini kemudian akan membangkitkan eksiton (pasangan elektron-hole) 2. Difusi eksiton 3. Pemisahan eksiton menjadi muatan bebas terjadi pada interface donor-akseptor. 4. Transport muatan 5. Pengumpulan muatan terjadi pada masing-masing elektroda, pada anoda akan terkumpul hole (pembawa muatan positif) dan pada katoda akan terkumpul elektron (pembawa muatan negatif). 2.3 Karakterisasi Salah satu dari pengukuran dasar untuk menentukan karakteristik sel surya baik anorganik atau organik adalah pengukuran arus – tegangan (I – V). Pengukuran arus – tegangan (I – V) di lakukan dengan menyinari divais sel surya dibawah penyinaran standar spektrum matahari AM1.5 (1000W/m2). Dari hasil pengukuran I-V tersebut dapat diperoleh kurva I-V seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva IV sel surya Beberapa parameter yang penting yang digunakan untuk mengkarakterisasi sel surya dapat diperoleh dari kurva I - V adalah arus short-circuit (Isc), tegangan open-circuit (Voc), daya maksimum (Pm), fill factor (FF), dan efisiensi konversi daya (η). Efisiensi konversi η didefinisikan sebagai perbandingan antara daya listrik maksimum dan daya matahari yang datang pada sel surya:
=
=
100%
(1)
Arus short circuit (Isc) didefinisikan arus ketika rangkaian terhubung pendek (V=0) merupakan parameter fotovoltaik yang menggambarkan arus foto maksimum yang dapat dihasilkan oleh sel surya [13]. Tegangan open-circuit (Voc) menggambarkan mekanisme tidak adanya arus yang mengalir di dalam sel (I=0). Pada keadaan ini pita energi dari material berada dalam keadaan sejajar sehingga tidak ada medan listrik di dalam material, akibatnya tidak ada muatan yang dapat di konversi menjadi arus [13]. Fill faktor sel surya merupakan perbandingan antara daya keluaran maksimum terhadap daya teoritisnya atau dapat dinyatakan sebagai berikut:
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
135
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
=
SFA 2013
(2)
Kualitas dari sel surya biasanya dinyatakan dengan nilai fill factor (FF) yang menunjukkan besarnya kemampuan sel surya menyerap cahaya yang diterimanya. Dalam kaitan dengan kualitas dioda, batas nilai fill factor adalah kurang dari nilai ideal yaitu 1. Karakteristik dioda akan menyimpang dari nilai ideal, terutama diakibatkan oleh rekombinasi yang terjadi pada junction. Untuk sel surya organik dan sel surya hibrid junction yang dimaksud adalah interface donor-akseptor, yang mana terdistribusi di seluruh lapisan aktif [13].
Gambar 3. Skema sel surya hybrid bulk heterojunction
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Fabrikasi Struktur sel surya dibuat hybrid bulk heterojunction dengan konfigurasi pada Gambar 3. Substrat PET yang telah dilapisi oleh ITO (Aldrich) dengan dimensi 1 cm x 7,5 cm ketebalan ITO 1000 Å dan resitansi permukaan 60 Ω/sq. ITO ditutupi oleh fotoresist, kemudian disinari dengan sinar UV selama 2 menit dengan masker ITO (Gambar 4) diletakkan diatasnya. Kemudian ITO di etching dengan menggunakan HCl 50% selama 3 menit. Setelah etching, dilanjutkan proses stripping menggunakan aseton untuk menghilangkan fotoresist. Substrat dicuci menggunakan DI water, sabun cair dan IPA (isopropyl alcohol) di dalam ultrasonic cleaner.
Gambar 4. Pola masker
Gambar 5. Sel surya polimer hibrid substrat fleksibel
136
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
SFA 2013
PEDOT:PSS (Agfa) dilapisi dengan teknik screen printing sesuai masker PEDOT:PSS (Gambar 4). Drying suhu kamar 10 menit, lalu dipanaskan selama 60 menit pada suhu 100 oC keadaan vakum. P3HT (Aldrich) dilarutkan kedalam chlorobenzene dan ZnO (Aldrich) dilarutkan kedalam chlorobenzene ditambah methanol (rasio massa P3HT-ZnO = 2,5 : 1). Setelah ± 24 jam campurkan kedua larutan dan kocok hingga merata. Pelapisan polimer hibrid sesuai masker P3HT-ZnO (Gambar 4) dilakukan dengan teknik spin coating 1500 rpm selama 0,5 menit, drying suhu kamar ± 24 jam dalam keadaan vakum. Evaporasi aluminium dengan masker aluminium (Gambar 4) pada tekanan 5 – 6 x 10-5 mBar selama 5 menit dengan ketebalan 50 nm, membentuk daerah aktif sebesar 2,6 cm2. PET ukuran 6,5 cm x 0,7 cm dibuat untuk menutupi bagian belakang sel surya. Sealant (Dyesol) diletakkan antara sel surya dengan PET dan di oven pada temperatur 100 oC selama 10 menit dalam keadaan vakum. Prototipe sel surya polimer hibrid substrat fleksibel dapat dilihat pada Gambar 5. 7.00E-05 6.00E-05
Arus (A)
5.00E-05 4.00E-05
270 W/m2
3.00E-05
600 W/m2
2.00E-05
1000 W/m2
1.00E-05 0.00E+00 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Tegangan (V) Gambar 6. Kurva I-V sel surya polimer hibrid P3HT-ZnO pada berbagai intensitas cahaya penyinaran
1.2 Pengukuran arus tegangan Pengukuran arus–tegangan (I–V) di lakukan dengan menyinari divais sel surya dibawah penyinaran standar spektrum matahari AM1.5 (1000W/m2) menggunakan solar simulator dengan lampu xenon. Intensitas penyinaran sebesar 270 W/m2, 600 W/m2, dan 1000 W/m2 dengan temperatur 27oC. Alat pengukuran menggunakan I-V Measurement dari National Instrument. 4. HASIL DAN DISKUSI Gambar 6 menunjukan kurva I-V saat penyinaran dengan intensitas penyinaran 270 W/m2, 600 W/m2, dan 1000 W/m2. Karakteristik listrik sel surya polimer hibrid berbasis P3HT-ZnO ditunjukan dalam tabel 1. Nilai Voc dan Isc mengalami peningkatan ketika intensitas penyinaran meningkat. Intensitas penyinaran menyebabkan elektron-elektorn yang terlepas semakin banyak sehingga arus listrik meningkat. Nilai R series mengalami penurunan ketika intensitas penyinaran meningkat, hal ini juga berpengaruh pada peningkatan Isc ketika intensitas penyinaran meningkat. Hasil ini sebanding dengan hasil yang diperoleh oleh Beek yang menggunakan polimer hibrid MDMO-PPV:ZnO [3], disebutkan bahwa nilai Voc dan Isc meningkat dengan meningkatnya intensitas penyinaran. Menurut Scharber dkk pada sel surya polimer/fullerene, nilai maksimum Voc adalah selisih dari level HOMO pada material donor (polimer) dengan level LUMO material akseptor (fullerene) [14], memenuhi persamaan :
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
137
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
=
|
|−
SFA 2013
− 0,3
(3)
Pada sel surya polimer hibrid, semikonduktor anorganik berperan sebagai akseptor. Sehingga persamaan (3) dapat digunakan untuk sel surya polimer hibrid, dengan perbedaan pada level energi konduksi akseptor. Sehingga nilai maksimum Voc dari sel surya polimer hibrid P3HT:ZnO adalah sekitar 0,5 V. Pada intensitas 1000 W/m2, Voc paling tinggi bernilai 0,652 V. Hasil ini masih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Ji [6] sebesar 0,32 V dan Li [8] sebesar 0,341. Tabel 1. Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer Hibrid berbasis P3HT-ZnO Karakteristik Listrik Tegangan Open circuit Voc (V) Arus Short circuit Isc (A) Tegangan Maksimum Vm (V) Arus Maksimum Im (A) Daya Maksimum Pm (Watt) Fill factor FF R series (Ohm) Efisiensi koversi η (%)
Intensitas Penyinaran (W/m2) 270 600 1000 0,477 0,538 0,652 5,6 x 10-5 5,83 x 10-5 6,04 x 10-5 0,348 0,342 0,505 4,34 x 10-5 3,59 x 10-5 4,83 x 10-5 1,68 x 10-5 1,49 x 10-5 1,81 x 10-5 0,63 0,47 0,46 4204 1675 1223 0,024 0,009 0,007
Akibat arus keluaran yang dihasilkan kecil sekitar 6,04 x 10-5 A, maka daya maksimum juga kecil yaitu dalam orde mikrowatt jika dibandingkan dengan sel surya ideal dengan orde miliwatt. Rapat arus yang dihasilkan sebesar 0,023 mA/cm2. Hasil ini lebih rendah dari hasil yang dilaporkan oleh Ji [6] sebesar 0,16 mA/cm2 dan Li [8] sebesar 1,05 mA/cm2. Pada substrat kaca umumnya arus yang dihasilkan akan lebih besar dibaindingkan dengan substrat PET, karena sheet resistivity ITO pada substrat kaca lebih rendah (12 Ω/□) dibandingkan dengan PET (60 Ω/□). Pada intensitas penyinaran 270 W/m2 ke 600 W/m2, daya maksimum mengalami penurunan. Namun pada intensitas penyinaran 1000 W/m2, daya maksimum mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan Pm merupakan perkalian antara Vm dan Im, dimana Vm mengalami penurunan pada intensitas 270 W/m2 ke 600W/m2 dan mengalami peningkatan pada intensitas penyinaran 1000 W/m2. Sedangkan Im mengalami penurunan ketika intensitas penyinaran meningkat. Pada intensitas penyinaran 1000 W/m2, nilai FF sel surya ini adalah 0,46. Nilai FF ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh peneliti lain yang menggunakan substrat kaca seperti Ji [6] sebesar 0,39 dan Li [8] sebesar 0,21. Untuk meningkatkan nilai FF salah satunya adalah dengan mengurangi nilai resistansi sel surya. Efisiensi konversi sel surya pada intensitas penyinaran 1000 W/m2 adalah sebesar 0,007% masih rendah dibandingkan dengan hasil-hasil yang diperoleh peneliti dahulu yang menggunakan substrat kaca seperti Ji [6] sebesar 0,020% dan Li [8] sebesar 0,077%. Rendahnya efisiensi konversi diakibatkan oleh rendahnya arus yang dihasilkan akibat dari tingginya sheet resistivity kontak ITO yang ada pada substrat fleksibel. Berdasarkan kurva I-V pada Gambar 6, peningkatan intensitas penyinaran mengakibatkan semakin rendahnya gradien pada kurva IV. Hal ini menggambarkan peningkatan intensitas penyinaran menyebabkan FF mengalami penurunan. Hasil ini sebanding dengan hasil yang diperoleh oleh Beek [3] yang menggunakan substrat kaca, dimana disebutkan bahwa FF mengalami penurunan terhadap peningkatan intensitas penyinaran. Penurunan FF ini mengakibatkan nilai efisiensi konversi mengalami penurunan ketika intensitas penyinaran meningkat. Meningkatnya intensitas penyinaran akan mengakibatkan terjadinya degradasi pada sel surya polimer hibrid, sehingga FF dan efisiensi konversi mengalami penurunan.
138
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Pada sel surya polimer hibrid berbasis P3HT-ZnO, semakin besar intensitas penyinaran cahaya, tegangan open circuit dan arus short circuit semakin besar. Hambatan series dan arus maksimum mengalami penurunan ketika intensitas penyinaran bertambah. Daya maksimum dan tegangan maksimum mengalami peningkatan pada intensitas 270 W/m2 ke 600 W/m2 dan mengalami penurunan pada intensitas penyinaran 1000 W/m2. Sedangkan efisiensi dan fill factor mengalami penurunan ketika intensitas penyinaran bertambah. Karakteristik listrik pada intensitas penyinaran 270 W/m2 memiliki performansi yang paling baik dengan efisiensi konversi 0,024%, fill factor 0,63, tegangan open circuit sebesar 0,477 V, arus short circuit sebesar 5,6 x 10-5 A, dan daya maksimum yang dihasilkan sebesar 1,68 x 10-5 Watt.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas pendanaan dari DIPA TEMATIK PPET-LIPI 2013. 7. DAFTAR ACUAN 1. Nielsen, Torben D., Cruickshank, Craig., Foged, Søren., Thorsen, Jesper. & Krebs, Frederik C. (2010), ‘Business, market and intellectual property analysis of polymer solar cells’, Solar Energy Materials & Solar Cells 94, 1553–1571. 2. Nath, Ishan. (2010), ‘Cleaning up after clean energy: Hazardous waste in the solar industry’, Stanford Journal of International Relations Vol XI No 2, 6-16. 3. Beek, W J E., Wienk, M M.,Kemerink, M.,Yang, X N. & Janssen, R A J. (2005), ‘Hybrid Zinc Oxide conjugated polymer bulk heterojunction solar cells’, Journal Phys. Chem B 109, 9505-9516. 4. Krebs, F. (2009), ‘Polymer solar cell modules prepared using roll-to-roll methods: knife-over-edge coating, slot-die coating and screen printing’, Solar Energy Materials & Solar Cells 93, 465-475. 5. Chandrasekaran, J., Nithyaprakash, D., Ajjan, K.B., Maruthamuthu, S., Manoharan, D. & Kumar, S. (2011), ‘Hybrid solar cell based on blending of organic and inorganic materials- an overview’, Renewable and Sustaninable Energy Reviews 15, 1228-1238. 6. Ji, L W., Shih, W S., Fang, T H., Wu, C Z., Peng, S M., & Meen, T H. (2007), ‘Preparation and characteristics of hybrid ZnO-polymer solar cells’, Jornal Material Sciences 45, 3266-3269. 7. Wang, M. & Wang, X. (2008), ‘P3HT/ZnO bulk-heterojunction solar cell sensitized by a perylene derivative’, Solar Energy Materials & Solar Cells 92, 776-771. 8. Li, F., Du, Y., Chen, Y., Chen, Lie., Zhao, J. & Wang, P. (2010), ‘Direct application of P3HTDOPO@ZnO nanocomposite in hybrid bulk heterojunction solar cells via grafting P3HT onto ZnO nanoparticle’, Solar Energy Materials & Solar Cells 97, 64-70. 9. Rockett, (2007), The materials science of semiconductors, Springer, University of Illinois. 10. Al-Ibrahim, M., Roth, H K., Schroedner, M., Konkin, A., Zhokhavets, U., Gobsch, G., Scharff, P. & Sensfuss, S. ‘The influence of optoelectronic properties of poly(3-alkylthiophenes) on the devices parameters in flexible polymer solar cells’. Organic Electronics 6, 65-77. 11. Spanggaard, H & Krebs, FC. (2004), ‘A brief history of the development of organic and polymeric photovoltaics’, Solar Energy Materials & Solar Cells 83, 125–146. 12. Saunders, Brian. (2012), ‘Hybrid nanoparticle/polymer solar cell : preparation, principles, and challanges’, Journal of Colloid and Interface Science 369, 1–15. 13. Wright, Matthew., Uddin, Ashraf. (2012), ‘Organic-inorganic hybrid solar cells: A comparative review’, Solar Energy Materials & Solar Cells 107, 87–111. 14. Scharber, Markus., Mühlbacher, David., Koppe, Markus., Denk, Patrick., Waldauf, Christoph., Heeger, Alan J. & Brabec, Christoph J. (2006), ‘Design rules for donors in bulk-heterojunction solar cells— towards 10% energy-conversion efficiency’, Journal Advanced Materials 18, 789–794.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
139
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
140
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
Sifat Magnetik Ba1-xGdxFe12O19 (x=0,10; 0,15; 0,20) Disintesis dengan Proses Autocombustion Sol-gel Tony Kristiantoro dan Nanang Sudrajat Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi – LIPI Jl. Sangkuriang Gd. 20 Lt. 4 Bandung 40135 [email protected]
Abstrak Doping Gd pada barium ferite, Ba1-xGdxFe12O19 (x=0,10; 0,15; 0,20) telah berhasil dilakukan dengan metode sol-gel autocombustion. Sampel yang telah disintering dikarakterisasi dengan XRD. Semua pola XRD menunjukkan fasa tunggal tanpa ada fasa yang lain. Sifat magnetik dari sampel dianalisis dengan Permagraph Magnet Physik Germany. Saturasi magnetisasi dan nilai koersivitas sampel mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah doping yang diberikan. Kata kunci : barium ferite, doping, rear earth
1.
PENDAHULUAN
Barium heksaferit telah banyak digunakan sebagai magnet permanen karena beberapa kelebihan yang dimilikinya, di antaranya adalah koersifitas dan magnetisasi yang tinggi serta stabilitas kimia yang baik [1,2]. Selain itu, material ini telah diaplikasikan secara luas sebagai media perekam data atau sebagai penyerap gelombang elektromagnetik [3]. Sifat magnetik material heksagonal ferit ditentukan oleh sifat intrinsik magnet tersebut. Sifat intrinsik magnet barium ferite menjadi lebih baik secara signifikan dengan doping pada sisi Ba atau Fe atau keduanya. Perbaikan sifat intrinsik magnetik tersebut terkait dengan perbaikan koersivitasnya dan anisotropi kristal magnet (magneto-crystalline anisotropy) [4]. Barium ferit yang didoping dengan unsur tanah jarang La dan La-Co menunjukkan adanya peningkatan koersivitas tanpa disertai menurunnya remanen [5,6]. Doping dengan unsur tanah jarang menjadi menarik karena ion tanah jarang memungkinkan berkontribusi terhadap perubahan interaksi magnetik sehingga dapat memperbaiki sifat intrinsik magnet. Dengan metode sol-gel autocombustion, peningkatan magnetisasi saturasi ditunjukkan pada doping Pr [7]. Selain itu, dengan metode yang sama, doping Nd pada sistem barium ferit dapat meningkatkan koersivitas yang signifikan seiring dengan peningkatan konsentrasi unsur pengotor [8]. Peningkatan magnetisasi saturasi juga ditunjukkan pada doping Sm yang rendah dengan metode sol-gel autocombustion tersebut [9]. Di sisi lain dengan metode mechanical milling, unsur tanah jarang Sm juga berhasil disubstitusikan pada sistem barium ferit [10]. Upaya untuk melakukan doping Gd dan Gd-Co pada sistem barium ferit juga telah dipublikasikan dengan metode mechanical milling, tetapi substitusi unsur pengotor tersebut tidak berhasil dengan sempurna yang ditunjukkan dengan adanya fasa sekunder pada sistem barium ferit [5,6]. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dilaporkan hasil penelitian doping Gd pada sistem barium ferit dengan metode sol-gel autocombustion.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
141
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
2.
SFA 2013
METODE PERCOBAAN
Barium ferit dengan doping Gd disintesis dengan metode sol-gel autocombustion. Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah Ba(NO3)2, Fe(NO3)3.9H2O, GdX, dan asam sitrat dilarutkan dalam air de-ionazed. Bahan GdX ditambahkan secara bervariasi sehingga memenuhi formula GdX ditambahkan secara bervariasi sehingga memenuhi formula Ba1-xGdxFe12O19 (x=0,10; 0,15; 0,20). Rasio antara logam kation dengan asam sitrat adalah 1:13. Tingkat keasaman larutan diatur dengan menambahkan amonia sehingga pH larutan sama dengan 7. Larutan yang telah dihasilkan selanjutnya dipanaskan hingga terbentuk gel. Gel yang telah terbentuk dipanaskan pada 100°C selama 15 jam sehingga gel mengembang dan dikeringkan kembali pada suhu 200°C selama 3 jam. Serbuk yang dihasilkan dikalsinasi pada 1200°C dan didapatkan serbuk magnet barium ferit yang telah didoping Gd (barium-gadolinium ferit). PENIMBANGAN BAHAN PEMBUATAN SOL GEL DIPANASKAN 100OC PENGERINGAN 200 OC SELAMA 3 JAM
KALSIN 1200 OC
XRD
KARAKTERISASI INTRINSIK MAGNET
Gambar 1. Alur Proses Pembuatan Barium Ferrite Doping Gd
Fasa serbuk barium-gadolinium ferit yang telah dihasilkan dianalisis dengan XRD. Sifat magnetik dari sampel dianalisis dengan Permagraph Magnet Physik Germany.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola XRD dari serbuk barium-gadolinium ferit terlihat pada Gambar 2.
intensitas (au)
Ba1-xGdxFe12O19 600 500 400 300 200 100 0
Gd 5 Gd 10 Gd 15 0
20
40
60
80
2ө Gambar 2. Pola XRD barium ferrite doping Gd
142
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013 Pola XRD untuk barium ferit tanpa doping menunjukkan bahwa pada proses ini telah terbentuk barium ferit fasa tunggal. Selanjutnya pada semua pola XRD pada serbuk yang didoping dengan Gd menunjukkan bahwa fasa yang terbentuk adalah fasa tunggal tanpa adanya fasa yang lain. Dengan demikian unsur Gd telah berhasil disubstitusikan pada barium ferite. Selanjutnya untuk sifat magnetik intrinsiknya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat intrinsik magnet permanen barium ferrite dari variasi doping Gd Sifat Magnet BrFe12O19 Gd 10 % Gd 15 % Gd 20 % Br ( kG ) 1.60 1.15 1.41 1.84 HcJ ( kOe ) 3.383 0.979 3.398 2.061 BHmax ( MGOe ) 0.56 0.20 0.29 0.68 Gauss 720 470 680 980 Densitas (grcm-3) 3.2 4.57 3.36 4.37
Pada Tabel 1 terlihat bahwa sifat intrinsik magnet permanen barium ferrite mengalami kenaikan seiring dengan peningkatan konsentrasi Gd yang ditambahkan. Pada penambahan Gd sebesar 10 % dan 15 % belum terlihat solid, ini terlihat dari nilai- nilai intrinsik sifat magnet yang terukur, dimana besaran residu magnetik dan koersifitasnya masih terlihat memiliki tren yang acak. Peningkatan sifat intrinsik secara signifikan terlihat pada sifat koersifitas magnet permanen barium ferrite ketika dilakukan peningkatan konsentrasi Gd 20 % dimana nilai koersifitas dari 3.383 kOe berubah naik menjadi 3.983 kOe pada penambahan Gd 10 % dan turun lagi menjadi 2.061 kOe pada penambahan Gd 20 %, ini sesuai dengan sifat unsur rear earth yang rata- rata memiliki angka koersifitas yang lebih kecil dibandingkan dengan barium ferrite.Nilai residu magnetik memiliki tren yang meningkat dan memiliki nilai terbesar diperoleh pada peningkatan konsentrasi Gd 20 % yaitu sebesar 1.84 kG. Pengaruh peningkatan konsentrasi Gd juga terlihat pada peningkatan kuat medan magnet ( Rapat fluks / flux density), dimana rapat fluks tertinggi diperoleh sebesar 980 Gauss pada penambahan konsentrasi Gd 20 %.
4.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, penambahan konsentrasi Gd berpengaruh terhadap sifat intrinsik magnet permanen barium ferrite, dimana sifat intrinsik memiliki tren yang seuai antara barium ferrite dan unsur tanah jarang. Sifat intrinsik tertinggi magnet permanen barium ferrite diperoleh pada penambahan konsentrasi Gd 20%, yaitu diperoleh nilai remanen, Br sebesar 1. 84 kG dan koersifitas, HcJ sebesar 2.061 kOe.
5.
DAFTAR ACUAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
H. SÖZERI, Journal of Magnetism and Magnetic Materials 321 (2009) 2717-2722 J. LEE, M. FUGER, J. FIDLER, D. SUESS, T. SCHREFL, and O. SHIMIZU. Journal of Magnetism and Magnetic Materials 322 (2010) 3869-3875 M. K. TEHRANI, A. GHASEMI, M. MORADI, and R. S. ALAM, Journal of Alloys and Compounds 509 (2011) 8398-8400 H. MOCUTA, L. LECHEVALLIER, J.M. LE BRETON, J.F. WANG, and I.R.HARRIS. Journal of Alloys and Compounds 364 (2004) 48-52 G. LITSARDAKIS, I. MANOLAKIS, C. SERLETIS, and K.G. EFTHIMIADIS, Journal Magnetism and Magnetic Materials 310 (2007) e884-e886 G. LITSARDAKIS, I. MANOLAKIS, and K.G. EFTHIMIADIS, Journal of Alloys and Compounds 427 (2007) 194-198 S. OUNNUNKAD, Solid State Communications 138 (2006) 472-475 R. QIAN G., HONG GUI L., PEIMEI S., YUN-JIAO L., ZHONG-WEI Z., and MAO-SHENG L., Journal of Central South University of Technology 8 (2001) 130-134
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
143
Rifan Satiadi, dkk. / Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer ….
SFA 2013
9.
H. YANBING, SHA JIAN, SUN LINAB, TANG QUAN, LU QIN, JIN HONGXIAO, JIN DINGFENG, BO HONG, GE HONGLIANG, and WANG XINQING, Journal of Alloys and Compounds 486 (2009) 348-351 10. W. LIXI, H. QIANG, M. LEI, and Z. QITU, Journal of Rare Earths 25 (2007) 216-219
144
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
STUDI STRUKTUR MIKRO DAN KUAT LENTUR KOMPOSIT GEOPOLIMER SERAT BAMBU DENGAN SUHU CURING BERBEDA Vicran Zharvan, Muris, Subaer*) Pusat Penelitian Geopolimer – Lab. Fisika Material Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Makassar Jalan Daeng Tata Raya, Makassar 90223 *) Hp: 081342211874, e-mail: [email protected] Abstrak Telah dilakukan studi struktur mikro dan kuat lentur komposit geopolimer berbahan dasar metakaolin dan penguat (agregat) serat bambu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai kuat lentur komposit geopolimer sebagai fungsi variasi massa serat bambu (0.4 g,0.6 g, dan 0.8 g) serta variasi temperatur curing (150oC, 450oC dan 750oC). Komposit geopolimer serat bambu disentesis dari bahan dasar metakaolin dengan aktivator larutan alkali kemudian didiamkan selama 28 hari. Metakaolin diperoleh melalui proses dehidroksilasi kaolin pada suhu 750oC selama 6 jam. Serat bambu diproduksi secara mekanik dari batang bambu yang berusia antara 1 – 2 tahun kemudian dipresipitasi dengan larutan NaOH selama 1 jam. Sampel komposit geopolimer diproduksi dengan model sandwich berbentuk persegi panjang dengan massa serat yang berbeda lalu di curing pada suhu 60oC selama 1 jam. Sampel yang telah siap selanjutnya di recurring masing-masing pada suhu 150oC, 450oC dah 750oC, kemudian didiamkan selama 7 hari dan siap untuk dilakukan pengujian. Karakterisasi morfologi bahan dasar dan produk komposit geopolimer dilakukan dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM) Tescan Vega3SB yang dilengkapi dengan electron dispersive spectroscopy (EDS). Struktur kristal bahan dasar dan produk keramik geopolimer dikarakterisai dengan xray diffraction (XRD) Rigaku MiniFlexII. Sifat termal serat bambu yang digunakan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan differential scanning caloritmetry (DSC) 400 Perkin Elmer.Hasil karakterisasi SEM menunjukkan matriks geopolimer yang cukup homogen, namun ikatan antara matriks dengan penguat serat bambu tampak belum sempurna akibat kehadiran celah yang cukup besar.Hasil karakterisasi dengan XRD memperlihatkan bahwa matriks komposit geopolimer yang dihasilkan bersifat amorf. Uji mekanik berupa three bending points flexural strength dilakukan terhadap 3 sampel untuk setiap komposisi dan suhu curing yang berbeda. Hasil pengukuran menunjukkan kuat lentur tertinggi diperoleh dengan penambahan serat bambu sebesar 0.6 g (1.5% dari volume sampel) untuk setiap variasi temperatur curing dengan nilai berturut-turut sebesar 665.90±98.40 KPa, 947.29±287.13 KPa dan 1155.62±98.30 KPa. Keywords: komposit, geopolimer, kuat lentur, curing, SEM, dan XRD
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
145
Vicran Zharvan / Studi Struktur Mikro Dan Kuat Lentur Komposit …..
SFA 2013
1. PENDAHULUAN Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) khususnya pada bidang material seperti komposit berlangsung sangat cepat.Secara umum, komposit merupakan penggabungan dua buah material atau lebih yang berbeda sifatnya menjadi sebuah material yang mempunyai sifat baru yang berbeda dari sifat material induknya. Dewasa ini, aplikasi material komposit khususnya polimer komposit sebagai material rekayasa menempati posisi tertinggi. Untuk memperoleh komposit rekayasa yang bermutu tinggi, diperlukan desain baru dengan cara memilih komposisi dan cara pengerjaan yang tepat. Terdapat banyak kemungkinan untuk membuat komposit yang terdiri atas isian atau penguat yang berbeda. Indonesia merupakan negara tropis yang tanahnya subur.Salah satu tumbuhan yang melimpah adalah bambu dengan serat yang mengandung selulosa.Selulosa dalam bambu berfungsi menjaga struktur dan kekakuan dari tanaman.Selain itu, serat selulosa merupakan serat yang paling banyak didapatkan pada kayu ataupun rerumputan.Serat ini memberikan keuntungan yang menarik seperti kerapatan yang rendah, mudah didaur ulang, dan ketersediannya melimpah.Keseluruhan sifat ini membuatnya menjadi material yang baik untuk penguat matriks, seperti komposit polimer atau aplikasi semen-serat [1].
2. DASAR TEORI Komposit merupakan gabungan dua bahan atau lebih yang berbeda sifatnya menjadi satu kesatuan yang menghasilkan material baru yang memiliki sifat berbeda dari material dasarnya.Secara umum, komposit terdiri atas matriks dan penguat. Pada tingkat atom (struktur mikro), material seperti logam alloy dan polimer dapat disebut komposit karena terdiri atas kelompok atom yang berbeda. Pada tingkat atau struktur mikro, plastik yang diperkuat dengan serat-gelas (fiber-glass reinforced plastics) dapat disebut komposit (serat-gelas dapat dilihat jelas dengan mata).Dalam dunia industri, material yang disebut komposit umumnya terdiri atas campuran materi dengan ukuran rentang mikro hingga makro [2]. Matriks pada komposit merupakan material yang memiliki volume yang lebih banyak dibandingkan penguatnya.Dalam studi ini, komposit direkayasa dengan menggunakan pasta geopolimer berbahan dasar metakaolin sebagai matriks. Metakaolin merupakan mineral hasil dehidroksilasi kaolin pada temperatur 750oC selama 6 jam. Proses ini bertujuan untuk meruntuhkan gugus (OH)-mineral kaolin dan membuat metakaolin reaktif terhadap larutan alkali. Selain itu, sifat kekristalan dari mineral kaolin juga menghilang dikarenakan lapisan struktur heksagonal dari kaolin runtuh sebagian pada tempertur tersebut [3]. Reaksi eksotermal dari kaolin dapat dilihat pada persamaan berikut: 2Al2Si2O5(OH)4
2Al2Si2O7 + 4H2O
(1)
Geopolimer dihasilkan melalui aktivasi alkali mineral.Rasio komposisi antara prekursor geopolimer dan larutan alkali sangat berperangaruh pada sifat mekanik material yang dihasilkan.Metakaolin sebagai hasil dehidroksilasi kaolin sangat reaktif terhadap larutan alkali. Sebagai penguat untuk komposit, serat alam memiliki keunggulan antara lain sifatnya yang dapat diperbarui, dapat didaur ulang serta dapat terdegradasi di lingkungan [4]. Serat alam juga memiliki keunggulan pada sifat mekanik dan memiliki harga yang relatif murah dibandingkan serat sintetik.Namun, serat alam juga
146
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Vicran Zharvan / Studi Struktur Mikro Dan Kuat Lentur Komposit …..
SFA 2013
memiliki kelemahan terutamakemudahannya dalam menyerap air, kualitas yang tidak seragam, serta memiliki kestabilan yang rendah terhadap panas [5]. Bambu betung (Dendrocalamus asper) adalah jenis bambu yang kuat, tingginya bias mencapai 20-30 m dan diameter batang 8-20 cm. Bambu jenis ini banyak digunakan untuk bahanbangunan rumah maupunjembatan. Komponen kimia yang terdapat pada bambu betung adalah holoselulosa 53%, pentosan 19%, lignin 25%, abu 3% [6]. Komposit yang menggunakan serat harus memperhatikan beberapa faktor seperti faktor serat, panjang serat, letak serat, bentuk serat, faktor matriks, faktor ikatan antara serat dan matriks, void. Secara umum penguat yang berupa serat harus memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh matriks sehingga keberadaaan serat dalam matriks mampu menransferkan beban yang diterima oleh matriks dan komposit dapat bertahan dari pengaruh gaya dari luar.
3. METODOLOGI PENELITIAN Studi ini diarahkan pada pengembangan komposit geopolimer berbahan dasar kaolin dan penguat serat bambu. Mineral kaolin didehidroksilasi pada suhu 750oC selama 6 jam dan menghasilkan fase metakaolin yang bersifat amorf. Bambu yang digunakan merupakan jenis bambu betung yang berasal dari Kabupaten Bone. Untuk mendapatkan serat bambu, bambu terlebih dahulu dibersihkan dari kulit luarnya kemudian dipotong-potong sepanjang kira-kira 10cm. Bambu yang telah bersih tersebut selanjutnya dimasak selama 12 jam kemudian dikeringkan. Bambu yang telah kering selanjutnya diserut menggunakan pisau cuttersehingga diperoleh serat bambu. Hasil serutan selanjutnya direndam dengan lauran NaOH selama 1 jam. Setelah itu, serat bambu kemudian dicuci dengan pH netral lalu didiamkan selama 24 jam.Serat bambu hasil rendaman selanjutnya dibilas dengan pH netral hingga bersih.lalu dikeringkan dan siap untuk digunakan. Dalam pembuatan komposit, metakaolin diaktivasi dengan larutan alkali pada komposisi yang tepat sehingga diperoleh material gel yang homogen. Sebagiam material tersebut dituang ke dalam cetakan yang berukuran 12,0x3,0x1,1cm lalu diisi dengan serat bambu yang berbentuk lempeng. Sisa material gel kembali dituangkan di atas serat hingga isi cetakan penuh. Sampel kemudian di-curing pada suhu 60oC selama 1 jam lalu didiamkan selama 28 hari.Setelah sampel berumur 28 hari, sampel kemudian di-curing pada temperatur berbeda yakni 150oC, 450oC dan 750oC selama 17 jam.Sampel lalu kembali didiamkan selama 7 hari.Setelah berumur 7 hari, sampel siap untuk dilakukan uji kelenturan dengan menggunakan metode three point bending test. Sifat termal serat diukur dengan menggunakan DSC (Differential Scanning Calorimetry).Untuk mengetahui morfologi permukaan sampel serta komposisi kimia (wt% oksida) digunakan Tescan Vega3SB Analitical SEM-EDS (Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-ray Spectroscopy).Struktur kekristalan serta fase yang dikandung sampel diuji dengan XRD (X-Ray Diffraction).
4. HASIL DAN DISKUSI •
Karakterisasi bahan dasar Gambar 1 memperlihatkan morfologi kaolin yang digunakan.Ukuran dari partikel kaolin yang digunakan berkisar 5µm berbentuk lempeng dan pipih.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
147
Vicran Zharvan / Studi Struktur Mikro Dan Kuat Lentur Komposit …..
SFA 2013
Gambar 1. Morfologi mineral kaolin yang digunakan dalam penelitian
Dari hasil pengukuran denganEDSdiperoleh komposisi utama penyusun kaolin seperti pada tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis EDS mineral kaolin pada Gambar 1 Komponen Al2O3
wt (%) 49,68
SiO2
49,47
K2O
0,85
Pada tabel 1 memperlihatkan perbandingan Al2O3 dan SiO2 mendekati 1.Hal ini berkesesuaian dengan hasil yang diperoleh Zuhua [7] yang memperoleh nilai perbandingan ini sebesar 1.18 untuk kaolin yang berasal dari Cina. Setelah mineral kaolin didehidroksilasi menjadi metakaolin nilai komposisi SiO2 meningkat menjadi 65.54 wt% dan komposisi Al2O3 menurun menjadi 34.46 wt% atau dua komposisi ini memiliki perbandingan 2:1 (Tabel 2). Penurunan volume Al2O3disebabkan oleh penguapan alumunium pada saat dehidroksilasi.
Tabel 2. Hasil analisis EDSmetakaolin yang digunakan dalam penelitian ini Komponen
wt (%)
Al2O3 34,46 SiO265,54
Gambar 2 memperlihatkanmorfologi permukaan serat bambu yang digunakan.Terlihat serat bambu memiliki bentuk serabut. Dengan menggunakan fasilitas EDS pada SEM diperoleh komposisi penyusun dari serat bambu adalah seperti yang tertera pada tabel 3.
148
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Vicran Zharvan / Studi Struktur Mikro Dan Kuat Lentur Komposit …..
SFA 2013
Gambar 2. Morfologi dari serat bambu
Tabel 3 memperlihatkan komposisi kimia serat bambu.Sebagai jenis rerumputan kandungan silika sangat tinggi.Prosentase silika yang tinggi menunjukkan upaya tanaman tersebut melindungi dirinya dari lingkungan [8].
Tabel 3. Hasil analisis EDSdari serat bambu Komponen
wt (%)
Al2O3 22,66 SiO251,11 Na2O
26,24
Selanjutnya, gambar 3 memperlihatkan hasil analisis difraksi sinar-x dari serat bambu yang digunakan.Pada gambar tersebut terlihat bahwa penyusun dari serat bambu ini adalah SiO2 pada bidang (101) dan H2CO pada bidang (110).Hasil yang sama juga diperoleh oleh Sun [9].
Gambar 3. Hasil analisis XRD serat bambu
Bidang (101) merupakan puncak difraksi zona amorf dan zonakristaldengan derajat kekristalan 46.27%.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
149
Vicran Zharvan / Studi Struktur Mikro Dan Kuat Lentur Komposit ….. •
SFA 2013
Uji lentur komposit geopolimer Kuat lentur komposit geopolimer diukur dengan metode three point bending test. Tujuan dari pengujian kuat lentur ini adalah untuk mengetahui pengaruh massa serat bambu relatif terhadap volume sampel (0.4, 0.6 dan 0.8 gram) serta temperatur curing (150oC, 450oC dan 750oC) terhadap kuat lentur sampel. Hasil pengujian kuat lentur sebagai fungsi massa serat bambu untuk setiap temperatur dapat dilhat pada gambar 4. Pada gambar 4 terlihat bahwa nilai kuat lentur tertinggi diperoleh pada massa serat bambu sebesar 0.6 gram atau 1.5% dari volume sampel untuk setiap kenaikan temperatur curing. Nilai kuat lentur sampel yang diuji berturut-turut sebesar 665.90±98.40 KPa, 947.29±287.13 KPa dan 1152.62±98.30 KPa. Nilai Kuat Lentur Komposit Geopolimer Sebagai Fungsi Temperatur Curing Kuat Lentur (KPa)
1400 1200
1017.75
1000
1155.62 947.29
800
794.21
600
665.9
659.8 562.14 412.14
573.58
400
150oC 450oC 750oC
200 0 0.3
0.5
0.7
0.9
Massa serat Bambu (g)
Gambar 4. Kuat lentur komposit geopolimer sebagai fungsi massa serat dan suhu curing
Hasil analisis termal dari serat bambu seperti yang terlihat pada gambar 5 berikut:
Gambar5. Hasil analisis DSC serat bambu
Berdasarkan Gambar 5 tersebut dapat diperoleh data perubahan entalpi serat bambu sebesar 651.8790 J/g dan bersifat endotermik.Selain itu, diperoleh juga informasi mengenai suhu kristalisasi serat bambu yakni 353.69oC.Hal ini menunjukkan bahwa pada temperatur tersebut serat bambu mulai mengeristal sehingga kekuatan mekaniknya ikut meningkat.Hal inilah yang menyebakan nilai kuat lentur bertambah seiring dengan bertambahnya temperatur curing yang diberikan. Studi tentang kuat lentur juga telah dilakukan oleh Velosa [10]. Hasil penelitian yang diperoleh adalah nilai kuat lentur MK3 memiliki kuat lentur sebesar 700 KPa dan mortar semen sebesar 900 KPa.Jika hasil ini dibandingkan dengan nilai kuat lentur komposit geopolimer yang diperoleh memiliki nilai yang lebih baik.Hal ini berarti penguat serat bambu bekerja dengan baik dalam meningkatkan kuat lentur dari sampel. 150
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Vicran Zharvan / Studi Struktur Mikro Dan Kuat Lentur Komposit ….. •
SFA 2013
Struktur mikro komposit geopolimer Gambar 6 memperlihatkan morfologi komposit geopolimer berpenguat serat bambu.Tampak adanya celah kosong (void) antara penguat dan matriks. Hal ini dapat berpengaruh terhadap nilai kuat lentur karena menjadi penyebab munculnya retakan (cracks) sehingga komposit akan gagal diawal.
Gambar 6.Morfologi dari komposit geopolimer dengan insert bagian yang diperbesar
Tabel 4. Hasil analisis EDS komposit geopolimer Komponen
wt (%)
Al2O3 39,57 SiO248,07 Na2O
11,91
CaO
0,46
Untuk analisis elemental yang berada pada komposit geopolimer berpenguat serat bambu digunakan fasilitas EDS. Dan diperoleh Al2O3 sebesar 39.57 wt%, SiO2 sebesar 48.07 wt%, Na2O sebesar 11.91 wt% dan CaO sebesar 0.46 wt% lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 4.
5. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penambahan serat bambu sebesar 1.5% volume sampel (0.6 gram) menghasilkan nilai kuat lentur paling tinggi dari komposit geopolimer yang diproduksi. 2. Kuat lentur komposit geopolimer merupakan fungsi temperatur curing. 3. Hasil karakterisasi mikrostruktur memperlihatkan morfologi komposit geopolimer yang belum sempurna.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
151
Vicran Zharvan / Studi Struktur Mikro Dan Kuat Lentur Komposit …..
SFA 2013
6. DAFTAR ACUAN 1.
Tonoli dkk, (2009),‘Cellulose Modified Fibres in Cement Based Composites’,Journal of Composites: Part A, Vol. 40, pp. 2046-2053. 2. Subaer dan Abdul Haris.(2007), Fisika Material I. Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar: Makassar. 3. Kamaruddin dkk.(2011), ‘Investigating The Possibility Of Utilization Of Kaolin And The Potential Of Metakaolin To Produce Green Cement For Construction Purposes-A Review’.Australian Journal of Basic and Applied Sciences, vol 9, pp. 441-449. 4. Zimmermann dkk.(2004),‘Cellulose Fibrils for Polymer Reinforcement’,Journal of Advanced Engineering Science, Vol. 6(9), pp. 754-761. 5. Oksman dkk.(2003),‘Natural Fibers as Reinforcement in Polylactid Acid (PLA) Composites’.Composites Science Technology, Vol 63, pp. 1317-1324. 6. Dranzfield, E., Widjaja, E.A.(1995),‘Bamboo’,Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. 7. Zuhua Z, dkk.(2009),‘Role of Water in The Synthesis of Calcined Kaolin Based Geopolymer’,Journal of Applied Clay Science, Vol. 43, pp. 218-223. 8. Fatriasari, Widya.(2006), Analisis Morfologi Serat dan Sifat Fisis Kimia Beberapa Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas.Laporan Teknik Akhir Tahun 2006 UPT BPP Biomaterial.LIPI. 9. Sun dkk.(2008),‘Structure of bamboo in formic acid’,Bioresources.Vol 3. pp. 297-315. 10. Velosa dkk, (2009),‘Influence of chemical and mineralogical composition of metakaolin on mortar characteristics’,Journal of Acta Geodyn, Vol. 153, pp. 121-126.
152
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PENGARUH ION DOPING Zn TERHADAP SIFAT KEMAGNETAN BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe12-xZnxO19 BERBASIS PASIR BESI TULUNGAGUNG Linda Silvia, Kurniawati Choirur Rosyidah, M. Zainuri Jurusan Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Arif Rahman Hakim Sukolilo Surabaya e-mail: [email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh ion doping Zn terhadap sifat kemagnetan Barium M-Heksaferit (BaFe12-xZnxO19) berbasis pasir besi Tulungagung. Sintesis serbuk Barium M-Heksaferit (BaM) menggunakan metode kopresipitasi dengan bahan dasar pasir besi dari daerah Tulungagung. Eksperimen dilakukan dengan mengontrol konsentrasi Zn dengan variasi nilai x= 0 , 0.3, dan 0.7 dengan temperatur kalsinasi 1000 ⁰C. Karakterisasi sampel dilakukan dengan Difraksi Sinar-X (XRD), VSM, dan SEM. Pembentukan fase BaM dikonfirmasi melalui data XRD, dimana pembentukan fase BaM terbentuk pada temperatur kalsinasi 1000 ⁰C, sedangkan untuk variasi doping didapatkan untuk BaM tanpa doping medan koersivitasnya 0.09 T dan remanensi magnetiknya 7.72 emu/gr dan untuk konsentrasi doping x= 0.3 medan koersivitas 0.04 T dan remanensi magnetiknya 11.81 emu/gr, dimana nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanensi pertikel BaM bervariasi bergantung pada konsentrasi ion doping yang ditambahkan. Partikel BaM yang terbentuk berstruktur heksagonal dengan ukuran partikel rata-rata ±1μm. Kata kunci: kopresipitasi, koersivitas, magnetisasi remanensi, VSM
1.
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan teknologi yang terus berkembang terutama kebutuhan untuk mempermudah aktifitas kehidupan manusia, perkembangan teknologi merambah pula hingga di dunia kemiliteran, yang lebih spesifik lagi dalam bidang pertahanan keamanan, salah satunya dalam perkembangan material sebagai penyerap gelombang mikro. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu dikembangkannya teknologi berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan membuat material yang dapat berperan sebagai material penyerap gelombang mikro dengan memanfaatkan bahan yang murah, mudah didapat, dan kelimpahannya tinggi. Material tersebut dapat berupa pasir besi yang dapat dimanfaatkan dalam aplikasi teknologi tinggi. Salah satu material yang dapat dimanfaatkan sebagai material penyerap gelombang mikro adalah Barium M-Heksaferit (BaM). BaM dengan struktur molekul heksagonal merupakan material menjanjikan untuk magnet permanen, perekam data, dan penyerapan gelombang mikro karena magnetokristalin anisotropik yang tinggi, magnetisasi relatif tinggi, stabilitas kimia yang baik, dan ketahanan korosi yang baik, dimana sifat magnet dan listrik dapat diatur sesuai aplikasi yang dibutuhkan [1]. Penelitian telah dilakukan [2] mengenai sintesis dan karakterisasi struktur Barium M-Heksaferit BaFe12-xCoxZn xO19 (0 ≤ x ≥ 1) dengan metode kopresipitasi menggunakan bahan sintetis, sehingga dalam penelitian ini akan dibuat material penyerap gelombang mikro
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
153
Linda Silvia, dkk. / Pengaruh Ion Doping Zn terhadap Sifat Kemagnetan ....
SFA 2013
berupa Barium M-Heksaferit (BaFe12-xZnxO19) dengan memanfaatkan material alam berupa pasir besi dari daerah Tulungagung, Jawa Timur. Pada penelitian ini BaM disubstitusi dengan menggunakan ion Zn. Pengaruh ion Zn diharapkan dapat merekayasa sifat kemagnetan dari BaM tanpa merubah struktur dari BaM itu sendiri, sehingga sifat magnetik dari BaM ini menjadi suatu hal mendasar yang harus diteliti. Material BaM pada penelitian ini akan disintesis dengan metode kopresipitasi, yang divariasikan dengan konsentrasi ion doping Zn pada temperatur kalsinasi 1000⁰C sehingga terbentuk BaM sebagai material magnetik. Material magnetik yang diperoleh akan diselidiki dengan X-Ray Diffractometer (XRD) untuk mengidentifikasi fasa, Vibrating Sample Magnetometer (VSM) untuk mengetahui sifat kemagnetannya, dan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui struktur mikro dari BaM.
2. DASAR TEORI Barium M-Heksaferit (BaM) merupakan bahan oksida dengan struktur kristal heksagonal yang dicirikan dengan dua parameter kisi yaitu lebar dari bidang heksagonal a = 0.588 nm, dan tinggi dari kristal, c = 2.32 nm dengan space group P63/mmc serta memiliki temperatur melting yang sangat tinggi yaitu 1390 ⁰C [3]. Gambar struktur kristal BaM (BaFe12O19) diperlihatkan pada Gambar 1.
(a) (b) Gambar. 1. (a) Struktur kristal BaFe12O19 dengan kode database 1008841CIF, (b) Hasil SEM dan TEM BaFe12O19 [4] BaM termasuk Hexagonal ferrit memiliki resistifitas, anisotropik magnetokristalin, dan magnetisasi saturasi yang tinggi, serta tegangan hilang dielektrik yang rendah pada stabilitas termal [5] . BaM memiliki magnetisasi saturasi (Ms) sebesar 72 emu/g, nilai medan koersivitas (Hc) sebesar 6700 Oe dan temperatur Curie sebesar 450oC [6]. Salah satu cara yang digunakan untuk merekayasa sifat kemagnetan BaM yaitu dengan memberikan doping. Syarat material yang dapat digunakan sebagai doping yaitu memiliki jari-jari ionik yang hampir sama, sebagai contohnya Zn yang dapat menggantikan Fe pada struktur BaM. Zn (Zinc) bersifat diamagnetik dan secara umum memiliki keadaan oksidasi +2. Jari-jari ionik Zn2+ adalah 0.074 nm, sedangkan ion Fe3+ dengan jari-jari ioniknya 0.065 nm, sehingga dimungkinkan kehadiran ion Zn2+ akan menggantikan Fe3+. Hal ini dikarenakan kemiripan dimensi ionik antara ion Fe3+ dengan Zn2+. Kehadiran ion Zn2+ ini sebagai pengganggu dalam kemagnetan Barium M-Heksaferit. Dalam struktur Barium M-Heksaferit, penyisipan ion Zn2+ pada struktur M-heksagonal menggantikan ion Fe3+ tidak merubah stuktur kristal yang sudah ada. Kehadiran Zn2+ ini untuk menurunkan sifat kemagnetan Barium M-Heksaferit sehingga sifatnya menjadi lebih lunak.
154
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Linda Silvia, dkk. / Pengaruh Ion Doping Zn terhadap Sifat Kemagnetan ....
SFA 2013
3. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini serbuk Barium M-Heksaferit (BaM) disintesis dengan menggunakan metode kopresipitasi. Bahan utama yang digunakan yaitu pasir besi dari daerah Tulungagung, Barium karbonat (BaCO3), Zink (Zn), HCl 37%, NH4OH 98%, dan aquades. Serbuk pasir besi yang telah diekstrak dilarutkan dalam HCl 12M dan diaduk menggunakan magnetic stirrer selama ± 2 jam pada temperatur ~70 ⁰C dan disaring. Kemudian serbuk BaCO3 dilarutkan dalam larutan HCl dan ditambahkan Zn dengan variasi x=0.0, 0.3, dan 0.7 sampai terlarut sempurna. Kedua larutan tersebut diaduk dengan magnetic stirrer selama 15 menit. kemudian ditambahkan larutan NH4OH secara perlahan untuk membentuk endapan sambil diaduk selama 15 menit dengan stirrer. Endapan yang terbentuk (berwarna kecoklatan) dicuci dengan aquades sampai pH 10 dan disaring. Endapan yang telah disaring dikeringkan pada temperatur 80 ⁰C dan didapatkan serbuk prekursor BaM. Prekursor BaM kemudian dikalsinasi pada temperatur 1000 ⁰C untuk mendapatkan kristalin BaM yang kemudian dikarakterisasi dengan XRD, VSM, dan SEM.
4. HASIL DAN DISKUSI Analisa struktur kristal Barium M-Heksaferit (BaM) dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Diffractometer (XRD) pada jangkau sudut antara 15⁰ - 65⁰ yang bertujuan untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang terbentuk pada Barium M-Heksaferit (BaM). Gambar 2 menunjukkan pola XRD dari sampel BaM tanpa pendopingan Zn dan dengan pendopingan Zn.
Gambar 2. Pola difraksi sinar-X BaM (BaFe12-xZnxO19) dengan variasi konsentrasi doping Zn
Dari gambar terlihat bahwa adanya karakteristik puncak struktur BaM, dan ada satu fasa lain berupa hematite (Fe2O3). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, komposisi fasa relatif hasil penghalusan (refinement) Rieveld dengan perangkat lunak Rietica untuk sampel serbuk Barium M-Heksaferit yang dikalsinasi pada temperatur 1000 ⁰C teramati bahwa pada konsentrasi doping 0.3 menghasilkan nilai yang optimum, dimana terlihat fasa dominan BaM [PDF 00-039-1433] dan fasa minor Hematite [PDF 00-033-0664], seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
155
Linda Silvia, dkk. / Pengaruh Ion Doping Zn terhadap Sifat Kemagnetan ....
SFA 2013
Tabel 1. Komposisi Fase Relatif Hasil Penghalusan (refinement) Rieveld dengan perangkat lunak Rietica untuk sampel serbuk BaM dengan variasi konsentrasi doping Zn Sample BaM
Parameter Kecocokan GoF
Komposisi Fase Relatif (%) BaFe12O19
Fe2O3
x=0.0
1.9 1.7 2.7
43.45 62.52 58.76
56.55 37.48 41.24
x=0.3 x=0.7
Dari Tabel 1, menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian dari penghalusan Rietveld sampel serbuk BaM dengan software Rietica diperoleh tingkat kesesuaian yang cukup baik karena diperoleh nilai GoF yang cukup kecil dimana penghalusan Rietveld dapat diterima menurut kriteria yang disyaratkan oleh Kisi, yaitu GoF < 4% dan Rwp < 20% [7]. Sifat magnetik hasil pengukuran dengan VSM ditunjukkan pada Gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa partikel BaM dengan konsentrasi doping 0.3 mempunyai nilai magnetisasi lebih besar yaitu 11.81 emu/gr dengan nilai medan koersivitas sebesar 0.04 T yang lebih tinggi dibandingkan dengan doping pada 0.7. Sedangkan BaM tanpa pendopingan menunjukkan kurva histeresis yang melebar, dimana bersifat hard magnetic. Nilai magnetisasi remanensi BaM tanpa pendopingan Zn sebesar 7.72 emu/gr lebih rendah dibandingkan BaM dengan konsentrasi doping 0.3. Untuk lebih jelasnya nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanensi dari masing-masing sampel berdasarkan Gambar 3. dapat dilihat pada Tabel 2.
40
M (emu/gr)
30
-2.00
20 10
BaM 0.0
0 -1.00
-10 0.00
1.00
2.00
-20
BaM 0.3 BaM 0.7
-30 -40 H (T) Gambar 3. Kurva histerisis BaM (BaFe12-xZnxO19) dengan variasi konsentrasi doping Zn Penambahan Zn2+ yang bersifat diamagnetik sebagai pengganggu dalam kemagnetan ferit oksida, dimana dengan momen magnet yang lebih rendah akan mereduksi sifat magnetik BaM. Dengan adanya penambahan konsentrasi doping Zn telah mereduksi sifat hard magnetic dari BaM, sehingga diperoleh BaM yang bersifat soft magnetic, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Ramli [8] mengenai sifat kemagnetan BaM tanpa doping menunjukkan kurva histeresis yang lebar dengan magnetisasi remanensi dan medan koersivitas besar, tetapi ketika dilakukan pendopingan Zn mengalami kenaikan magnetisasi remanensi dan menurunkan medan koersivitas yang menjadikannya soft magnetic, dimana ditandai dengan adanya kurva histeresis yang mempunyai urut balik hampir simetris ketika dikenai medan magnet maupun ketika medan magnet ditiadakan, dan dapat dilihat dari luasan kurva histeresis yang menyempit.
156
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Linda Silvia, dkk. / Pengaruh Ion Doping Zn terhadap Sifat Kemagnetan ....
SFA 2013
Tabel 2. Nilai medan koersivitas (Hc) dan Magnetisasi remanensi (Mr) BaM dengan variasi konsentrasi doping Zn Sampel BaM
Hc (T)
Mr (emu/gr)
x = 0.0 x = 0.3 x = 0.7
0.09 0.04 0.04
7.72 11.81 7.10
Nilai koersivitas dan magnetisasi remanensi dari partikel BaM tanpa pendopingan Zn berbeda jika dibandingkan dengan pendopingan Zn yang menghasilkan kecenderungan yang berlawanan. Perbedaan ini cukup menarik perhatian, sehingga memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun demikian, terlihat jelas bahwa kekuatan magnetik partikel dipengaruhi oleh pendopingan Zn yang dilakukan. Gambar 4 menunjukkan foto SEM dari sampel BaM (BaFe12-xZnxO19) dengan doping 0.3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sampel tersebut memiliki morfologi yang hampir sama yaitu berbentuk heksagonal, dimana struktur kristal heksagonal merupakan struktur kristal BaM sesuai dengan kode database 1008841 mengacu pada data crystallographic information file (CIF) BaFe12O19 (http//www.crystallography. net) dan sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pullar [3]. Pada foto SEM tersebut menunjukkan bahwa BaM yang terbentuk dengan komposisi cukup banyak dengan rata-rata ukuran partikel yang terbentuk ± 1 μm, sehingga ukuran partikel BaM tersebut dalam skala orde mikron.
Gambar 4. Hasil pengamatan morfologi BaM (BaFe11.7Zn0.3O19) dengan SEM
5. SIMPULAN Pembuatan partikel BaM dengan metode kopresipitasi menghasilkan partikel dengan struktur heksagonal dengan ukuran rata-rata partikel ±1 μm. Penambahan ion doping Zn berpengaruh terhadap sifat kemagnetan BaM. Penambahan Zn menyebabkan BaM bersifat softmagnetik, dimana partikel BaM dengan konsentrasi doping 0.3 mempunyai nilai magnetisasi lebih besar yaitu 11.81 emu/gr dengan nilai medan koersivitas sebesar 0.04 T. Sifat kemagnetan BaM tanpa doping menunjukkan kurva histeresis yang lebar dengan magnetisasi remanensi dan medan koersivitas besar, tetapi ketika dilakukan pendopingan Zn mengalami kenaikan magnetisasi remanensi dan menurunkan medan koersivitas yang menjadikannya soft magnetic dengan kecenderungan yang masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk dapat dimanfaatkan sebagai material penyerap gelombang mikro.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
157
Linda Silvia, dkk. / Pengaruh Ion Doping Zn terhadap Sifat Kemagnetan ....
SFA 2013
6. DAFTAR ACUAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
158
Paul, K.B.M., (2007). Physica B, 388. Pangga, D., (2011), Sintesis dan Karakterisasi Struktur Barium M-Hexaferrite BaFe12-xCoxZnxO19 (0 ≤ x ≥ 1), Tesis Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Pullar, R.C., (2012). Hexagonal ferrites: A review of the synthesis, properties and applications of hexaferrite ceramics. Prog. Mater. Sci. 57, pp. 1191–1334. Ting, T.-H., Wu, K.-H., (2010). Synthesis, characterization of polyaniline/BaFe12O19 composites with microwave-absorbing properties. J. Magn. Magn. Mater. 322, 2160–2166. Hahn, D.W., Han, Y.H., (2006). C02Z Type Hexagonal Ferrites Prepared by Sol–gel Method. Materials Chemistry and Physics 95, pp. 248–251. Zainuri, M., (2010). Laporan Akhir Studi Absorbsi Elektromagnetik pada M-Hexaferrites untuk Aplikasi Anti Radar. ITS Surabaya. Kisi,E.H., (1994), Rietveld Analysis of powder diffraction patterns. Materials Forum Ramli, I., (2012). Sintesis dan Karakterisasi Struktur, Sifat Magnet, dan Listrik Barium MHeksaferrite/Polianilin Berstruktur Core Shell, Laporan Thesis Jurusan Fisika. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. COD 1008841, Crystallography Open Database (online). http://www.crystallography.net/
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU CARBON BLACK PADA APLIKASI BATERE LITHIUM Bambang Prihandoko Pusat Penelitian Fisika LIPI Komplek PUSPIPTEK, Serpong – Tangsel, Banten e-mail: [email protected]
Abstrak Tepung singkong mempunyai potensi sebagai sumber bahan baku energi alternatif baik biofuel maupun bahan carbon. Penelitian ini melakukan pengembangan potensi sebagai bahan baku carbon black. Tepung singkong mengandung ikatan carbon yang sangat tinggi, sehingga tepung singkong ataupun tapioka dengan metoda pirolisa dapat dijadikan carbon black. Proses pirolisa dilakukan dengan pemanasan 5000C dalam 2 jam, kemudian 9000C dalam 2 jam di kondisi inert gas nitrogen. Kandungan fixed carbon setelah pembakaran 9000C menunjukkan sekitar 95%. Carbon black mempunyai koduktifitas 0,198 S/cm. Bentuk carbon black dalam foto SEM adalah amorf seperti kaca/gelas. Aplikasinya sebagai bahan aditif tidak memberikan fungsi negatif dalam pembuatan komponen anoda. Kata kunci: singkong, carbon black, aditif, batere lithium, pirolisa.
1. PENDAHULUAN Ketela pohon, ubi kayu, atau singkong (Manihot utilissima) adalah perdu tahunan tropika dan subtropika dari suku Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran. Singkong pada dasarnya adalah sumber karbohidrat. Komposisinya menunjukkan 60-65 persen kelembaban, 20-31 persen karbohidrat, protein kasar 1-2 persen dan kandungan relatif rendah vitamin dan mineral. Namun, akar kaya kalsium dan vitamin C dan mengandung sejumlah nutrisi penting dari tiamin, riboflavin dan asam nikotinat. Pati singkong mengandung 70 persen amilopektin dan 20 persen amilosa. Pati singkong dimasak memiliki daya cerna lebih dari 75 persen [1].
Gambar 1. Singkong dan pohonnya serta tepung tapioca Singkong, pohon merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionina [1]. Di negara negara maju, singkong dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan alkohol. Tepung tapioka juga digunakan dalam industri lem, kimia dan tekstil. Indonesia adalah penghasil singkong keempat di dunia. Dari luas areal 1,24 juta hektar tahun 2005, produksi singkong Indonesia sebesar 19,5 juta ton. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
159
Bambang Prihandoko /Singkong Sebagai Bahan Baku Carbon black ....
SFA 2013
Dalam pengembangan batere lithium, carbon black sangat dibutuhkan sebagai bahan aditif yang dicampurkan di pembuatan lembaran elektroda. Singkong yang mempunyai kandungan karbohidrat dapat menjadi bahan baku dalam pembuatan carbon black.
2. DASAR TEORI Baterai ion litium (biasa disebut Baterai Li-ion atau LIB) adalah salah satu anggota keluarga baterai isi ulang. Di dalam baterai ini, ion litium bergerak dari elektroda negatif ke elektroda positif saat dilepaskan, dan kembali saat diisi ulang. Baterai Li-ion memakai senyawa litium interkalasi sebagai bahan elektrodanya, berbeda dengan litium metalik yang dipakai di baterai litium non-isi ulang [1]. Bagian baterai lithium dapat dilihat di Gambar 2.
macroscopic
microscopic
atomic
Gambar 2. Skematik bagian dari batere lithium dari macroscopic sampai atomic. Carbon black menjadi salah satu bagian dari campuran komponen katoda yang sebenarnya berlaku juga untuk komponen anoda. Carbon black sudah menjadi satu bagian dari teknologi batere seperti di Tabel 1 [3]. Tabel 1. Penggunaan carbon pada beberapa jenis batere
Carbon black digunakan sebagai jalur perantara dalam proses transportasi elektron. Pengukuran konduktifitas dilakukan dengan Electrochemical Impedance Spectrometer (EIS). Profil EIS semicirlce yang dihasilkan adalah mempunyai kemiripan dengan model yang telah digambarkan pada Gambar 3. Penulis mendapatkan beberapa gambar yang merepresentasikan analisa Rgi dan Rgb dari bentuk setengah lingkaran.
160
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yono HP, dkk. / Antena Mikrostrip Loop Simetri….
SFA 2013
Gambar 3. Interpretasi bentuk semicirle dari grafik impedansi komplek [4].
Nilai Rg dan Rgb didapatkan dengan menentukan garis semicircle yang memotong sumbu-x. Selanjutnya nilai konduktifitas dihitung berdasarkan persamaan
l A R = hambatan yang terukur [ Ω ] ρ = resistivitiy [ Ω .cm] l = dimensi tebal sampel [cm] A= luas penampang sampel [cm2] Ri = ρ i
dengan
(1)
Konduktifitas adalah σ = 1/ρ = t / (R.A)
(2)
3. METODOLOGI PENELITIAN Tepung singkong yang digunakan adalah tepung tapioka ataupun tepung singkong. Tepung singkong dibakar dengan metoda pirolisa dalam tungku yang dialiri gas nitrogen. Pembakaran dilakukan dua kali, yaitu suhu 5000C selama 2 jam dan kemudian suhu 9000C selama 2 jam. Carbon black hasil pembakaran dilakukan pengukuran kandungan fixed carbon, SEM dan konduktifitas. Dalam uji battery cycler, carbon black dicampur dengan bahan aktif anoda Li5Ti4O12/C untuk membuat setengah sel.
4. HASIL DAN DISKUSI Pembuatan bahan aditif carbon black dilakukan melalui dua tahap proses pirolisa untuk mendapat proses yang efisien. Proses pirolisa bekerja dengan bagus dalam menghindarkan terjadinya abu. Hasil pembuatan karbon black dari dua suhu berbeda dapat dilihat di Gambar 4. Pembakaran pada suhu 5000C merupakan proses awal pirolisa. Carbon black yang didapat masih menggumpal dalam aglomerat yang cukup besar. Sehingga penghalusan perlu dilakukan sebelum proses pembakaran kedua. Hasil dari pembakaran ini tentu mempunyai kandungan fixed carbon yang rendah, yaitu 54,11%,. Pembakaran kedua pada suhu 9000C dilakukan untuk menaikan fixed karbon sampai di sekitar 94,6%.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
161
Bambang Prihandoko /Singkong Sebagai Bahan Baku Carbon black ....
a
SFA 2013
b 0
Gambar 4. Hasil pembakaran pirolisa tepung tapioca pada suhu 500 C (a) dan 9000C (b).
Bentuk carbon black dari hasil photo SEM terlihat transparan seperti kaca (lihat Gambar 5). menunjukan bahwa fase carbon black merupakan amorf.
Hal ini
Gambar 5. Hasil photo SEM carbon black dari tepung tapioka Konduktifitas sampel dengan pembakaran 5000C hanya mencapai 10-8 S/cm. Sesuai hasil uji fixed carbon carbon black masih belum terbentuk dengan sempurna dan masih mengandung banyak bahan serat yang belum terbakar sempurna. Konduktifitas sampel dengan pembakaran 9000C menunjukkan 0,198 S/cm. Besar konduktifitas ini memberikan keterangan bahwa carbon black bisa digunakan sebagai bahan aditif batere lithium.
No
Tabel 2. Konduktifitas dari pembakaran. 5000C dan 9000C t A R Ρ Sampel 2 [cm] [cm ] [ohm] [ohm.cm]
σ [S/cm]
1
ct500
0.92
9.6359
4.89E+07
5.12E+07
1.95E-08
2
ct900
1.05
9.6359
5.5
5.05E+00
1.98E-01
Gambar 7 merupakan grafik charge dan discharge dari pengujian setengah sel Li4Ti5O12/C dengan aditif karbon black dari tepung singkong. Siklus charge dan discharge dapat berjalan denga baik, walaupun kapasitas setengah sel masih.kecil. Grafik ini menunjukan bahwa karbon black dapat digunakan sebagai bahan aditif batere lithium.
162
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yono HP, dkk. / Antena Mikrostrip Loop Simetri….
SFA 2013
Gambar 7. Grafik charge dan discharge setengah sel Li4Ti5O12/C dengan aditif carbon black dari tepung singkong
5. SIMPULAN Carbon black dari tepung singkong melalui proses pirolisa 9000Cdapat digunakan sebagai bahan aditif batere lithium dengan karakteristik fixed carbon 94,6%, konduktifitas 0,198 S/cm. Carbon black membentuk fase amorf. Dalam proses charge –discharge carbon black tidak menghalangi kinerja bahan aktif elektroda, seperti anoda Li4Ti5O12/C.
6. DAFTAR ACUAN 1.
Cassava, Available:[ https://en.wikipedia.org/wiki/Cassava] (tanggal akses : 14 Juni 2013)
2.
Ketela pohon, Available : [http://id.wikipedia.org/wiki/Ketela_pohon] (tanggal akses : 14 Juni 2013).
3.
Jean-Yves Huot. (2008) Carbon Materials for Lead Acid Batteries Presentation at the 11th
4.
H.Y.P. Hong, (1976) Materials Result Bulletin, 11, hal. 173-178.
5.
European Lead Battery Conference, September 23-26, 2008 Warsaw, Poland
.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
163
Bambang Prihandoko /Singkong Sebagai Bahan Baku Carbon black ....
164
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
ANTENA MIKROSTRIP LOOP SIMETRIS TERPISAH OLEH GAP DENGAN FEED LINE CPW UNTUK FREKUENSI 2,4GHz Yono Hadi Pramono, Sefi Novendra, Wahyu Hendra Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 e-mail: [email protected]
Abstrak Antena mikrostrip loop simetris yang terpisah oleh gap dengan feed line CPW (Co-Planar Waveguide) pada frekuensi kerja 2,4GHz telah didisain dan dikarakteristisasi dengan menggunakan metode FDTD(Finite Different Time Domain). Dimensi antena ini 68x100mm menggunakan substrat FR-4 dengan permitivitas relatif sebesar 4.3. Struktur loop antena bentuknya menyerupai question tag karena adanya sisipan gap dan ekor pendek pada ujungnya. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa pada panjang ekor 2 sampai 4 mm sangat menentukan nilai optimal return loss yang bervariasi antara -26 dB hingga -32 dB dengan Bandwidth 120MHz. Pola radiasi dari antena ini dalam dua arah dengan HPBW 80o Kata Kunci: antena mikrostrip, FDTD, FR-4, return loss, CPW, Pola radiasi, HPBW
1.
PENDAHULUAN
Teknologi di bidang informasi dan komunikasi yang tengah populer saat ini adalah sistem komunikasi nirkabel (wireless) dimana pengiriman informasi tidak lagi menggunakan media kabel sebagai perambatan gelombangnya. Perangkat yang berperan penting dalam sistem komunikasi nirkabel adalah antena. Antena harus memenuhi kebutuhan teknologi komunikasi baik dari segi kemampuan atau ukuran yang fleksibel dan kompatibel. Salah satu jenis antena yang memenuhi kriteria tersebut adalah antena mikrostrip. Pada dasarnya, proses pengiriman informasi dengan sistem komunikasi nirkabel adalah dengan prinsip penjalaran gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik yang dikirimkan dari suatu pemancar yang jauh akan mengakibatkan tejadinya pelemahan sinyal sehingga penerima akan menerima sinyal yang kurang. Oleh sebab itu diperlukan penguatan dan efisiensi antena yang besar.
2. DASAR TEORI Antena CPW Antena merupakan perangkat yang biasanya terbuat dari material konduktor untuk memancarkan dan menangkap gelombang radio. Antena juga dapat dikatakan sebagai suatu struktur transisi antara ruang hampa (free-space) dengan pemandu gelombang [1]. Antena yang telah dibuat merupakan salah satu jenis antena CPW (Coplanar Waveguide). CPW merupakan salah satu bentuk saluran transmisi yang dapat mentransmisikan sinyal microwave. CPW dibentuk oleh lempengan konduktor tipis yang diletakkan diatas suatu bahan dielektrik, yang disebut substrat, secara paralel [2]. Antena mikrostip ini memiliki ground plane berada pada sisi bawah substrat. Jenis ini disebut dengan grounded coplanar waveguide (GCPW) dan dibentuk untuk mengatasi desipasi daya dari CPW [3].
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
165
Yono HP, dkk. / Antena Mikrostrip Loop Simetri….
SFA 2013
y
s w
w
εr
h
x
z
Gambar 1. Geometri Coplanar Waveguide (CPW) Parameter Antena Bandwidth dari antena didefinisikan sebagai kisaran frekuensi kerja antena dalam suatu karakteristik yang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Nilai bandwith dapat dihitung menggunakan persamaan [4]: =
(1)
= %
− =
(2) 100%
(3)
dimana fH: frekuensi tinggi yang diterima fL: frekuensi rendah yang diterima fC: frekuensi center. Return Loss adalah perbandingan antara amplitudo dari gelombang yang direfleksikan terhadap amplitudo gelombang yang dikirimkan. Return Loss digambarkan sebagai peningkatan amplitudo dari gelombang yang direfleksikan (V0-) dibanding dengan gelombang yang dikirim (V0+). Pola radiasi merupakan representasi matematika atau grafik dari radiasi medan jauh dari suatu properti antena sebagai fungsi arah. Pola radiasi dapat terbentuk akibat pengaplikasian arus listrik pada antena yang selalu dikelilingi medan magnet. Arus listrik AC membrikan perceptan pada muatan-muatan dalam antena sehingga timbul medan elektomagnetik [5].
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode simulasi dan karakterisasi antena yang didesain. Material yang digunakan sebagai substrat antena mikrostrip ini adalah material yang terbuat dari bahan dielektrik FR4 (Flame Retardancies) dengan nilai permitivitas efektif 4,3 dan ketebalan 1,6 mm.
Gambar 2. Desain antena CPW dengan variasi L5 = 0 mm
166
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yono HP, dkk. / Antena Mikrostrip Loop Simetri….
SFA 2013
Gambar 3. Desain antena CPW dengan variasi L5 = 15 mm
Gambar 4. Desain antena CPW dengan variasi L5 terhubung dengan feed line
Gambar 5. Desain antena CPW tampak samping
Gambar 6. Desain antena CPW tampak belakang
Nilai dimensi antena mikrostrip CPW yang diharapkan bekerja pada frekuensi 2,4 GHz ini ditentukan adalah 125 mm. Sedangkan untuk nilai feed line ditentukan sebesar ⁄4 untuk tiap sisinya dimana nilai sebesar nilai ⁄2 dimana antena memiliki nilai 70,2 mm.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
167
Yono HP, dkk. / Antena Mikrostrip Loop Simetri….
SFA 2013
Tabel 1. Dimensi antena mikrostrip CPW yang telah di desain No Dimensi Nilai (mm) 1 W 100 2 L 68 3 h 1,6 4 t 0,035 5 s 2 6 W1 1,054 7 W2 30 8 W3 1 9 W4 29,999 10 W5 0,999 11 L1 33,375 12 L2 1 13 L3 30 14 L4 1,072 15 L5 0 (divariasikan) 4 30 16 L6 29,26 Setelah itu antena difabrikasi dengan menggunakan metode etching. Sebelum dilakukan etching, desain antena tampak depan dan tampak belakang digambar dengan software Auto Cad atau CorelDraw, kemudian gambar desain dicetak pada kertas scotlight dan dipotong sesuai dengan bentuk antenna. Kertas scotlight ditempelkan pada kedua sisi permukaan PCB berbahan subtrat FR-4.
4. HASIL DAN DISKUSI Geometri antena mikrostrip loop simetris CPW terpisah gap ini telah digambarkan pada gambar 2 – 6 dengan ukuran 100 x 68 mm2. Antena didesain diatas substrat FR-4 yang memiliki ketebalan 1,6 mm dan nilai permitivitas 4,3. Struktur loop antena bentuknya menyerupai question tag karena adanya sisipan gap dan ekor pendek pada ujungnya. Ekor pendek inilah yang divariasikan panjangnya untuk mengetahui pengaruhnya dalam parameter antena. Variasi yang diberikan sebanyak 3 ukuran, yang pertama tanpa ekor, yang kedua dengan ekor sepanjang 4 mm dan ketiga dengan ekor yang tersambung langsung dengan feed line CPW sehingga lebih menyerupai huruf P yang simetris. Simulasi karakterisasi antena mikrostrip loop simetris CPW terpisah gap ini dilakukan dengan metode finite different time domain dan hasilnya tampak seperti pada gambar 7 (a) hingga 7 (c). Gambar tersebut adalah grafik S11 yang menunjukkan frekuensi kerja antena dan nilai RL (return loss) antena. Berdasarkan gambar 7, dapat diketahui bahwa ketiga variasi antena tepat bekerja pada frekuensi 2,4 GHz dan bandwidth 120MHz dengan nilai RL yang bervariasi kurang dari -10 dB. Variasi panjang ekor antena ternyata berpengaruh pada nilai RL antena, hanya saja nilai pertambahan ekor antena tidak berbanding terbalik dengan nilai parameter RL. Untuk antena pertama dengan nilai L5 = 0 mm memiliki nilai RL sebesar -29,2 dB, antena kedua dengan nilai L5 = 4 mm memiliki nilai RL sebesar -31,9 dB, sedangkan antena ketiga dengan nilai L5 = 30 mm memiliki nilai RL sebesar -30,3 dB. Dari ketiga antena hasil simulasi, antena kedua merupakan antena terbaik karena memiliki nilai RL paling kecil.
168
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yono HP, dkk. / Antena Mikrostrip Loop Simetri….
SFA 2013
(a)
(b)
(c) Gambar 7. Grafik nilai frekuensi dan return loss dari antena mikrostrip loop simetris CPW terpisah gap untuk (a) variasi L5 = 0 mm, (b) variasi L5 = 4 mm, dan (c) variasi L5 = 30 mm.
5. SIMPULAN Berdasarkan desain dan karakterisasi yang telah dilakukan pada antena mikrostrip loop simetris CPW terpisah gap dapat disimpulkan bahwa: a. b. c. d.
Desain antena dapat digunakan untuk komunikasi wireless yang bekerja pada frekuensi 2,4 GHz dan nilai return loss yang bervariasi antara -26 dB hingga -32 dB dengan Bandwidth 120MHz . Antena mikrostrip CPW pertama dengan variasi L5 = 0 mm memiliki nilai RL sebesar -29,2 dB. Antena mikrostrip CPW kedua dengan variasi L5 = 4 mm memiliki nilai RL sebesar -31,9 dB. Antena mikrostrip CPW ketiga dengan variasi L5 = 30 mm memiliki nilai RL sebesar -30,3 dB.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
169
Yono HP, dkk. / Antena Mikrostrip Loop Simetri….
SFA 2013
6. DAFTAR ACUAN 1. 2.
3. 4.
5.
170
Balanis, Constantine A. (1938), Antena Theory: Analysis and Design 2nd Edition, John Wiley & Sons Inc, Canada. Putri, Geoidy A., (2012), Karakterisasi dan Fabrikasi Desain Antena Mikrostrip Slot Berstruktur F Daya Feed Line CPW (Coplanar Waveguide), Program Sarjana Bidang Keahlian Optoelektronika Jurussan Fisika FMIPA-ITS, Surabaya. Huang, Yi dan Kevin B., (2008), Antennas from Theory to Practice, Wiley & Sons, Ltd, United Kingdom. Rahayu, Vira, (2012), Fabrikasi dan Karakterisasi Dessain Antena Mikrostrip Line Berstruktur F dengan Feed Stripline, Program Sarjana Bidang Keahlian Optoelektronika Jurussan Fisika FMIPA-ITS, Surabaya. Fadillah, U. (2004), ‘Simulasi Pola Radiasi Antena Dipole Tunggal’, Jurnal Teknik Elektro dan Komputer Emitor. Vol.4, No. 2
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional berbasis Mach Zehnder Interferometer Yono Hadi Pramono, Wina Indra Lavina, Yasin Agung Sahodo Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail: [email protected]
Abstrak Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional berbasis Mach Zehnder Interferometer (MZI) telah dianalisa dengan menggunakan metode beda hingga (Finite Difference). Dimensi total dari divais ini adalah 30x3000 mikron dengan lebar masing-masing waveguide sebesar 6 mikron terdiri dari 2 kanal input dan 2 kanal output. Dua kanal input tersebut masing-masing terdiri dari input signal dan input kontrol yang terpisah sejauh parameter gap sekitar 1-7 mikron. Hasil analisa propagasi gelombang LaserDiode (LD) menunjukkan bahwa prinsip MZI dapat diterapkan dalam divais ini dengan sempurna, yaitu propagasi signal LD dalam struktur salah satu tangkai loop dapat diganggu fase gelombangnya oleh propagasi kontrol LD. Perbedaaan fase gelombang dalam struktur loop mengakibatkan superposisi gelombang yang saling meniadakan dibagian kanal output. Sehingga divais ini cocok untuk diaplikasikan sebagai gerbang logika NOR optik dalam sistem Opto-Electronic Integrated Circuit (OEIC). Kata kunci: MZI, OEIC, Optical Waveguide, Beda Hingga, signal, Laser Diode
1. PENDAHULUAN Dalam sistem komunikasi dan pemrosesan data optik, devais switches dalam dasawarsa ini sangat berkembang pesat, terbukti akhir akhir ini pandu gelombang optik tetap menjadi topik yang menarik bagi para peneliti dalam perkembangan Opto-Electronic Integrated Circuit. Pandu gelombang terdiri dari bermacam macam struktur antara lain: Y- branching, X-crossing,Microring dan Directional-Coupler yang berfungsi sebagai pembagi daya atau power distributor [1,2]. Dalam perkembangannya gabungan fungsi pandu gelombang telah digunakan dalam devais Switches yang memanfaatkan pergeseran fasa dari perubahan lebar gap akan memberikan efek elektro-optik yang terintegrasi. Untuk memenuhi akan berbagai macam bentuk switching optik maka dirancang kombinasi loop dari dari gabungan dua Y-branching dan directional dengan menggunakan bahan linear berbasis Inferometer Mach Zehnder. Propagasi gelombang dalam struktur ini dianalisa dengan metode simulasi beda hingga. Metode FDBPM (finite Difference Beam Propagation Method) sangat akurat untuk menganalisa perambatan pandu gelombang meskipun dalam struktur yang sulit.
2. DASAR TEORI Aplikasi dengan menggunakan pandu gelombang sesuai struktur mach zehnder inferometrik dibuat dengan gabungan Y-branching bermode tunggal dengan panjang dan kemiringan yang identik sehingga menjadi loop yang terkoneksi antara satu dengan yang lainnya pada input signal dan satu pandu gelombang larik bermode tunggal pada input kontrol. Tangkai tangkai interferometer dibuat dengan substrat yang sama dan bermode tunggal. Pada input signal berkas cahaya masuk pada pandu gelombang terbagi menjadi dua bagian, masing masing menjalar pada pandu gelombang yang identik. Bila input kontrol belum diberikan pada salah ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
171
Yono HP / Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional ....
SFA 2013
satu tangkai loop, maka cahaya yang terpandu melalui kedua tangkai interferometer mempunyai fasa sama dan tidak berubah. Tetapi bila input kontrol dengan lebar gap tertentu telah diberikan sehingga terjadi pergeseran fasa sebesar π radian pada berkas cahaya yang melaluinya maka berkas cahaya menjalar pada kedua lengan interferometer mengalami superposisi yang saling meniadakan atau disebut juga interferensi destruktif sehingga tidak ada berkas yang diteruskan atau ditransmisikan melalui kanal input signal [3]. Karakter desain pandu gelombang ini dapat diterapkan dalam Opto-Electronic Integrated Circuit (OEIC) yang berfungsi sebagai gerbang logika. Analisa propagasi gelombang menggunakan metode perambatan berkas beda hingga, metode FDBPM (Finite Different Beam Propagation) sangat akurat untuk menganalisa perambatan pandu gelombang meskipun dalam sistem yang sulit [4]. Gelombang optik yang merambat pada pandu gelombang loop berbasis Mach Zehnder ini merambat pada modus TE0. Dengan menggunakan persamaan (1) dapat disimulasikan pada FDBPM berupa medan dan daya output optimal yang dapat digunakan sebagai gerbang logika dengan memvariasi lebar gap antara input signal dan input kontrol. Distribusi medan dalam pandu gelombang bermode tunggal ini akan ditunjukkan dengan superposisi moda yang mungkin, termasuk mixing ratio yang medan profil dari mode TE0 awal yang mungkin direplika sebisa mungkin. Didalam simulasi ini terdapat metode numerik Crank Nicholsan, Matrik Tridiagonal dan syarat batas transparant [5]. 3.METODOLOGI PENELITIAN Penggabungan struktur loop dan directional ini berdasarkan modifikasi kombinasi dua pandu gelombang Y-Branching dan pemberian input kontrol. Gelombang planar diasumsikan bahwa secara geometri pada arah sumbu y adalah sama, oleh karena itu / = 0dengan bahan linear adalah sebagai berikut:
+
+
( , )
=0
(1)
dengan adalah bilangan gelombang dalam ruang hampa dan n (x,z) menyatakan indeks bias pada bahan linear. Dalam melakukan karakterisasi ini diperlukan parameter parameter yang jelas dan panjang gelombang yang sesuai. Parameter yang digunakan pada struktur pandu gelombang ini adalah w = 6,0 µm, λ = 1,32 µm, l1 = 300 µm, l2 = 200 µm, l3 = 600 µm, l4 = 600 µm, l5 = 600 µm, l6 = 200 µm, l7 = 600 µm. Konstanta propagasi β/k0 dari Moda TE0 yaitu 1.4909940358344373 dimana k0 merupakan bilangan gelombang dalam ruang hampa ketika α = 0.
Gambar 1. Struktur Pandu Gelombang gabungan loop dan directional
172
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yono HP / Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional ....
SFA 2013
Metode yang digunakan dalam analisis pandu gelombang adalah metode beda hingga FDBPM (Finite Different Beam Propagation) dengan daerah analisa terletak pada ׀x< ׀xmaks dengan xmaks =100 dan interval ʌx = 0.05 µm pada arah transversal sedang pada arah longitudinal ʌz=1 µm [5,6]. Perhitungan dimulai dengan menghitung titik titik tepi cladding, kemudian menghitung titik titik disebelahnya yang berjarak ʌx dan diteruskan ketitik titik yang berjarak ʌz demikian seterusnya hingga titik sampel pada bagian keluaran. Harga medan listrik hasil perhitungan dikuadratkan untuk mendapat nilai intensitasnya dan dijumlahkan secara integral menggunakan persamaan (2) dan (3). Intensitas medan listrik pada titik titik sampel hasil perhitungan akan ditampilkan melalui garis garis lengkungan dengan ketinggian sesuai harganya.Dalam mencari karakteristik medan moda TE pada pandu gelombang gabungan loop dan directional ini diperlukan variasi lebar gap antara pandu gelombang pada input signal dan input kontrol yang diperlukan dalam pengamatan propagasi medan TE dan besar daya optik. Daya optik terdiri dari medan medan listrik yang dipandu dari hasil bagian keluaran dari masing masing struktur pandu gelombang baik loop maupun directional. Untuk menghitung daya masukan dan keluaran untuk tiap tiap kanal dapat dihitung dengan :
=
| ( )|2
∫
0
(2)
0
=
∫
0
0
| ( )| 2
(3)
−1
4. HASIL DAN DISKUSI Karakteristik daya keluaran P1out (daya dari pandu gelombang MZI) dan P2out (daya dari pandu gelombang lurus) sebagai fungsi gap ditunjukkan dalam gambar 2. Terlihat dalam gambar bahwa untuk gap kurang dari 1,7 µm P2out mendominasi keluaran dengan nilai optimal pada gap sekitar 0-0,1 µm. Sedangkan untuk gap lebih dari 1,7 µm, P1out mendominasi keluaran dengan nilai optimal pada saat gap lebih dari 3 µm. Fenomena ini terjadi karena superposisi dua gelombang yang merambat dalam pandu dari salah satu lengan MZI dengan pandu gelombang lurus sepanjang dl4. Pada saat gap antara keduanya sempit, maka hasil superposisi mengakibatkan adanya perbedaan fase antara gelombang yang merambat di lain lengan dalam MZI, sehingga keluaran MZI menjadi saling melemahkan. Pada saat gap diperlebar, maka superposisi kedua lengan menjadi berkurang sehingga keluaran dari MZI (P1out) menjadi besar seiring perbedaan kedua fase gelombang dalam MZI mendekati sama kembali. Panjang kopling dl4 menjadi sangat penting peranannya dalam perolehan jumlah putaran optimal dan minimal antara kedua output. Jika dl4 hanya satu panjang kopling maka putaran optimal minimal hanya sekali terjadi. Gambar 3 menunjukkan perambatan intensitas gelombang cahaya laser pada saat gap 5,8 µm.
Daya Keluaran (W/m)
0.12 0.1 0.08
P1out
0.06 0.04 0.02
P2out
0 0
5
10
Gap (µm) Gambar 3. Karakteristik daya keluaran sebagai fungsi gap
ISSN: 2086-0773
15
Nampak dalam gambar 3. bahwa superposisi gelombang dalam lengan MZI sepanjang dl4 dengan pandu gelombang lurus menghasilkan nilai daya keluaran kecil pada P1out dan besar pada P2out . Sedangkan gambar 4, menunjukkan perambatan intensitas gelombang cahaya laser pada saat gap 1,7 µm yang menghasilkan nilai kedua keluaran sama besar.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
173
Yono HP / Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional ....
Gambar 3. Perambatan intensitas cahaya laser pada saat gap 5.8 µm
Gambar 5. Propagasi cahaya MZI dengan Input Signal dan Input Kontrol dengan Pin 1,43 W/m dengan gap 10 µm
SFA 2013
Gambar 4. Propagasi cahaya MZI dengan Input Signal dan Input Kontrol dengan Pin 1,43 W/m dengan gap 1,7 µm
Dalam gambar 5. nampak bahwa pada jarak gap 10 µm lebih tidak ada superposisi yang terjadi antara pandu gelombang MZI dengan pandu gelombang lurus. Dalam hal ini MZI tetap sefase karena tidak tepengaruh oleh gelombang dari pandu gelombang lurus, sehingga keluaran dari MZI tetap optimal. Nilai daya keluaran keduanya berbeda karena pada MZI sekitar 20% daya hilang selama perambatan dalam loop MZI. Kehilangan daya ini dapat diperkecil dengan merubah struktur geometri kemiringan lengan loop MZI atau dengan struktur “O” yang memperhalus belokan lengan pandu gelombang. Untuk mengurangi siklus puncak gelombang dalam daerah kopling dl4 dapat dilakukan dengan cara memperpendek panjang dl4.
5. SIMPULAN Hasil analisis struktur kombinasI loop dan directional berbasis interferometer mach zehnder dengan daya masukan 1,5 W/m didapatkan daya keluaran yang kecil yaitu sebesar 0,208 W/m pada jarak gap 1 µm dengan gap = 0,2 µm. Hal ini dapat diterapkan dalam rangkaian optoelektronik terpandu (computer optic). Penelitian ini dalam simulasi program dan harapannya dapat ditindaklanjuti dalam penelitian eksperimen dalan sebuah lapisan tipis.
6. DAFTAR ACUAN 1. 2. 3.
4. 5.
174
Fifin, Pramono, Y.H(2005)’ Karakterisasi Beam Splitter Pandu Gelombang Tapered Directional Coupler’, ITS Pratama, Pramono,Y.H,(2004). Analisis Pandu Gelombang Optic Array 1x5 dengan FDBPM, Seminar Nasional dan Aplikasi Mutmainnah, Pramono,Y.H(2006) ‘Karakteristik Pandu Gelombang Optis Kombinasi Larik dan Y branch Dengan Cladding Bahan Tak Linear Untuk Gerbang Logika X-OR’, Jurnal Ilmu Dasar.,vol.7,No13-18 Chung, Y., and Dagli .N(1990)’An Assessment of Finite Different Beam Propagation Method IEEE J.Quantum Elektron., volQE-26,.No8,pp1335-1339 Pramono,Y.H, Geishiro,M.,Sawa, S(1996) ‘Analysis Of a Non Linear 2x3 Intersecting Waveguide By A finite Difference Method’, Proc Int Symp. Antennas and Prop., vol.3,pp 653-656. http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yono HP / Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional ....
6. 7. 8. 9.
SFA 2013
Asnawi,Pramono,Y.H(2006)’Analisis Pandu Gelombang Model Interferometer Machzehnder dengan Sisipan Bahan Tak Linear Untuk Gerbang NOT, ITS Nishihara, H.Mamamitsu Haruna Toshiaki Suhara, (1989) Optical Integrated Circuit, Ohmsha Ltd Pramono,Y.H, Geishiro,M.,Kitimura,T S(1999) ‘Selfswitching in crossing Waveguide with Three Channel Consisting of Non Linear Material’, IEICE Trans. Elektron.,vol E82-C,no.1,pp 111-118 Pramono,Y.H, Geishiro,M.,Kitimura,T S(2000) ‘Optical Logic OR-AND-NOT and NOR Gates In Waveguide Consisting Of Non Linear Material’, IEICE Trans. Elektron.,vol E83-c,no.1,pp 1755-1762
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
175
Yono HP / Optical Waveguide berstruktur gabungan antara Loop dan Directional ....
176
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
APLIKASI DIRECTIONAL DOUBLE COUPLER SEBAGAI SENSOR PERGESERAN MIKRO Anwaril Mubasiroh, Lucky Putri R., Retno Fatma M., Gatut Yudoyono Jurusan Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Jl. Arif Rahman Hakim, Keputih, Sukolilo, Surabaya 60111 e-mail: [email protected]
Abstrak Eksperimen directional double coupler sebagai sensor pergeseran berdimensi mikro telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh daerah kerja yang terbaca oleh detektor dan besar sensitivitasnya. Directional double coupler yang dipakai berasal dari serat optik multimode yang telah dikarkterisasi. Eksperimen dilakukan menggunakan 2 buah BF5RD1-N, yang masing-masing bertindak sebagai sumber dan detektor. Pergeseran cermin dilakukan dengan memutar mikrometer dengan resolusi setiap 20 μm. Hasil eksperimen memberikan hasil bahwa directional double coupler dapat dimanfaatkan sebagai sensor pergeseran mikro dengan daerah kerja mencapai 1,9 mm dengan sensitivitas sebesar 0,0445Au/μm. Kata kunci: directional double coupler, sensor pergeseran mikro, serat optik multimode
1.
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1996 hingga sekarang sudah banyak pengembangan dalam hal aplikasi serat optik baik dalam teknologi komunikasi maupun teknologi sebagai sensor [1]. Serat optik bekerja dengan prinsip pemanduan dalam total dengan memanfaatkan hukum Snellius [2]. Serat optik banyak dimanfaatkan sebagai sensor karena memiliki banyak keunggulan, yaitu tidak kontak langsung dengan obyek pengukuran, akurasi pengukuran yang tinggi, relatif kebal terhadap induksi listrik dan magnet, dapat di monitor dari jarak jauh, dan memiliki dimensi yang kecil [3]. Prinsip kerja directional coupler sebagai sensor dapat dilakukan dengan memanfaatkan losses pada koplingnya. Kajian teoritis dan aplikasi dari directional coupler dari serat optik singlemode ataupun multimode telah banyak dilakukan, salah satunya adalah pemanfaatan directional double coupler sebagai ring redonator yang berasal dari serat optik singlemode [4]. Selain itu penelitian tentang sensor pergeseran dengan memanfaatkan directional coupler 2 x 2 juga sudah dilakukan dengan menggunakan sumber laser He-Ne [3]. Sehingga pada eksperimen ini akan di coba menggunakan directional double coupler dengan memanfaatkan losses pada dua coupling-nya dengan harapan untuk mendapatkan hasil pergeseran yang lebih baik. Esperimen ini menggunakan digital indicating type fiber optic sensor (BF5R-D1-N) sebagai sumber dan detektornya.
2. DASAR TEORI Directional Coupler merupakan divais optik yang tersusun atas dua pandu gelombang kanal sejajar yang saling berdekatan dalam orde panjang gelombang optik yang di tanam pada suatu substrat [5]. Divais ini dapat mendistribusikan daya optik ke dua port atau lebih, atau sebaliknya mengumpulkan daya optik ke satu port. Secara sederhana directional coupler dapat di buat dari serat optik singlemode ataupun multimode dengan cara menggabungkan dua buah serat optik dengan panjang interaksi tertentu menggunakan teknik FBT (Fused Biconical Taperred) [3,6]. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
177
Anwaril M., dkk. /Aplikasi Directional Double Coupler ....
SFA 2013
Proses pemindahan daya optik di dalam directional coupler liner dapat dijelaskan dengan teori moda terkopel dengan didasarkan pada interaksi medan-medan evanescent dari masing-masing pandu gelombang. Sedangkan panjang koplingnya ditentukan dari kuat kopling, yaitu kuantitas saling tumpang tindih (overlapping) antara medan di pandu gelombang satu dengan medan evanescent dari pandu gelombang kedua. Secara kualitatif penjelasan teori moda terkopel ini telah sesuai dengan fakta ekperimen, namun secara kuantitatif, untuk directional coupler yang lebar gapnya relative kecil, panjang kopling dan porsi daya yang dipindahkan masih jauh dari akurat [8].
Gambar. 1. Prinsip kerja directional double coupler sebagai sensor pergeseran
Adapun prinsip kerja directional double coupler sebagai sensor pergeseran berdimensi mikro dapat di lihat seperti Gambar 1. Port B1 merupakan port input dimana sinar dari sumber dilewatkan pertama kali melalui port ini. Port A1 bertidak sebagai port sensing, yaitu pengumpan dan penerima berkas cahaya yang berasal dari pantulan cermin yang berada di depan port tersebut. Sedangkan pergeseran cermin akan mempengaruhi besarnya daya optik yang di deteksi melalui port B2. Berkas keluaran dari directional double coupler ini berbentuk seperti pola berkas Gaussian dengan persamaan umum sebagai berikut [7].
=
1−
−
( )
(1)
3. METODOLOGI PENELITIAN Susunan alat yang digunakan pada eksperimen diperlihatkan seperti Gambar 2 di bawah ini. Directional double coupler yang digunakan merupakan hasil fabrikasi dari serat optik multimode yang telah di karakterisasi. Sumber yang digunakan adalah digital indicating type fiber optic sensor (BF5R-D1-N) yang disambungkan pada power supply. BF5R-D1-N merupakan sensor khusus untuk menganalisa daya keluaran yang di terima dari fiber optik. Sensor ini memiliki lubang input berupa cahaya merah (660 nm) dan lubang output berupa fotodetektor. Sehingga pada eksperimen ini digunakan dua buah BF5R-D1-N yang masing-masing berperan sebagai input dan yang satu sebagai output. Sebagai fariasi pergeseran, digunakan mikrometer scrup dengan ketelitian 0,01 mm yang telah di pasang cermin pada ujung poros putarnya. Eksperimen dilakukan dengan menggeser cermin sejauh 20 μm menjauhi port sensing dengan memutar pemutar micrometer scrup berlawanan arah jarum jam. Pengambilan data dilakukan dari jarak z = 0 atau port sensing menempel cermin hingga oergeseran cermin sudah tidak terdeteksi lagi oleh detektor. Data yang di dapat merupakan daya keluaran dari port A1 (output) yang dideteksi oleh detektor, pembacaan nilai dilakukan dengan membaca nilai daya pada display yang terdapat pada BF5R-D1-N yang berfungsi sebagai detektor.
4. HASIL DAN DISKUSI Data hasil eksperimen directional double coupler sebagai sensor pergeseran berupa daya optik yang keluar dari port deteksi. Daya optik yang berupa intensitas tersebut di deteksi dengan detektor, sehingga dapat terbaca pada display. Pada saat z = 0 daya yang terbaca adalah 242,5 , besarnya daya optik tersebut akan terus turun secaara paraksial seiring dengan bertambah besarnya pergeseran.
178
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Anwaril M., dkk. /Aplikasi Directional Double Coupler ....
SFA 2013
Suatu sensor, hubungan antara variabel sensor berupa daya optik dan daerah pergeseran adalah linier. Daerah linier pada grafik menunjukkan dari kerja dari directional double coupler terhadap pergeseran. Karena bentuk berkas yang dipancarkan port sensing merupalan sinar paraxial, maka pada Gambar 3. tidak seluruhnya slop membentuk garis linier. Untuk mengetahui daerah kerja pergeseran yang paling efektif dari directional double coupler sebagai sensor pergeseran, perlu dilakukan pemilihan daerah linier dengan cara uji linieritas. Uji linieritas dilakukan dengan memilih data-data dari daerah yang di asumsikan paling linier.
Gambar. 2. Set up alat sensor pergeseran mikro
300 250 P (Au)
200 150 100 50 0 -1000
1000
3000
5000
7000
z(μm) Gambar. 3. Grafik hubungan daya optik terhadap pergeseran
Hasil uji linieritas pada Gambar 4. menghasilkan faktor linieritas sudah mendekati 1 yaitu sebesar 0,9951. Hal ini meunjukkan bahwa hubungan daya optik terhadap pergeseran yang di pilih sudah cukup linier. Nilai sensitivitas sensor dapat di cari dari perbandingan perubahan daya optik terhadap pergeseran cermin. Sehingga dari fungsi transfer dapat dilihat bahwa nilai sensitivitas sensor sebesar 0,0445 au/μm. Tanda (-) pada transfer daya menunjukkan bahwa grafik berupa back slope . Nilai parameter directional double coupler sebagai sensor pergeseran dirangkum dalam Tabel 1.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
179
Anwaril M., dkk. /Aplikasi Directional Double Coupler ....
300
y = -0.0445x + 238.58 R² = 0.9951
250 P (Au)
SFA 2013
200 data experimen
150 100
Linear (data experimen)
50 0 0
500
1000
1500
2000
z(μm) Gambar. 4. Grafik linier daerah kerja directional double coupler
Tabel 1. Nilai parameter directional double coupler sebagai sensor pergeseran Parameter
Nilai
Pergeseran alat Rentang/jangkauan Daerah kerja Sensitivitas
20 μm 4700 μm 0 – 1900 μm 0,0445 au/μm
Secara teoritis, dapat dijelaskan bahwa dengan menggunakan detektor dari BF5R-D1-N dengan respon time sebesar 500 μs, directional double coupler sebagai sensor pergeseran dapat mendeteksi pergeseran cermin dari jarak 0-1900 μm dengan sensitivitas 0,0445 au/μm. Rentang pergeseran
5. SIMPULAN Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, maka dapat disimpulakan bahwa directional double coupler ini dapat dimanfaatkan sebagai sensor pergeseran berdimensi mikro dengan daerah kerja mencapai 1,9 mm dengan sensitivitas sebesar 0,0445 Au/μm.
6. DAFTAR ACUAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
180
Hoss, R.J., Edward A, 1993. Fiber Optics, 2nd ed. Prentice-Hall, New Jersey. Krohn, D.A., 2000. Fiber Optics Sensor: Fundamentals and Applications, 3rd ed. ISA, New York. Samian, 2008. Directional Coupler sebagai Sensor Pergeseran Mikro, Thesis Magister, Fisika-FMIPA, ITS. Ja, Y.H., 1991. A double-coupler optical fibre ring-loop resonator with degenerate two wave mixing. Optics Communications 81, 113–122. Rubiyanto, A., Waluto, A., Prajitno, G., Rohedi, A.Y., 2006. Analisa Directional Coupler sebagai Pembagi Daya untuk Mode TE. JFA 2, 060105–1 – 060105–5. Supadi, Pramono, Y.H., Yudoyono, G., 2006. Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Coupler sebagai Devais Pembagi Daya. JFA 2, 060106–1 – 060106–6. Saleh, B.E.A., Teich, M.C., 2007. Fundamentals of Photonics, 2nd ed. John Wiley & Sons, New York. Samian, Pramono, Y.H., Rohedi, A.Y., 2008. Aplikasi Directional Coupler Serat Optik sebagai Sensor Pergeseran. JFA 4, 080204–1 – 080204–3.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DIRECTIONAL DOUBLE COUPLER PADA BAHAN SERAT OPTIK PLASTIC STEP INDEX MULTIMODE TIPE FD-620-10 Lucky Putri Rahayu, Retno Fatma Megawati, Anwaril Mubasiroh , Gatut Yudoyono Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 e-mail: [email protected]
Abstrak Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi Directional double coupler pada bahan serat optik plastic step index multimode tipe FD-620-10 dengan panjang kopling 28 mm dan 34 mm sebagai pembagi daya (power diveder) dengan pendekatan metode Fused Biconical Tapered (FBT). Hasil fabrikasi directional double coupler dengan variasi panjang kopling 28 mm dan 34 mm menghasilkan directional double coupler dengan hasil karakterisasi yang berbeda. Hasil karakterisasi directional double coupler menggunakan web camera dan BF5R-D1-N didapatkan bahwa nilai CR (Coupling Ratio), Le (Excess Loss) dan D (Directivity) sudah memenuhi standar directional coupler pada kedua variasi panjang kopling dan nilai CR yang mendekati 0,5 yaitu pada kopling 3,4 mm dengan input B2. Dengan menggunakan web camera nilai CR=0,498; Le=0,109 dB; D=16,072 dB. Dan dengan menggunakan BF5R-D1-N didapatkan nilai CR=0,492; Le=0,148 au; D=14,755 au. Kata Kunci: directional double coupler, serat optik step index multimode, fabrikasi
1. PENDAHULUAN Dalam perkembangannya, serat optik tidak hanya berfungsi mentransmisikan informasi, tapi berkembang menjadi peranti optik dengan fungsi lebih luas. Peranti optik yang dikembangkan saat ini adalah directional coupler yang berfungsi sebagai komponen optical switching, multiplexing, demultiplexing pada perangkat WDM (Wavelength Division Multiplexing), pemecah berkas (splitter) dan pemecah daya atau power divider. Kajian teoritis dan eksperimen tentang directional coupler sebagai peranti multiplexing sudah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu diantaranya adalah pembuatan directional coupler menggunakan substrat LiNbO3, gelas, dan semikonduktor yang berbentuk pandu gelombang slab. Fabrikasi directional coupler singlemode maupun multimode berbentuk pandu gelombang slab masih sangat sulit dilakukan dan membutuhkan peralatan dengan biaya yang mahal. Sementara itu directional coupler serat optik yang dibutuhkan sebagai sensor dan perangkat interferometri serat optik sangat sulit diperoleh dipasaran. Untuk mengatasi kendala tersebut telah dilakukan fabrikasi directional coupler dengan metode Fused Biconical Tapered (FBT) pada bahan serat optik plastic step index multimode tipe FD-320-05 (diameter serat optik 0,5 mm) telah dilakukan dengan metode yang sederhana yang digunakan untuk pembagi daya (power divider). Directional coupler yang dihasilkan memiliki coupling ratio 0,31 dengan daerah panjang interaksi kopling antar serat optik 25 mm [1]. Selanjutnya digunakan directional coupler pada bahan serat optik plastic step index multimode tipe FD-620-10 (serat optik diameter core yang cukup besar) yang mudah diperoleh di pasaran dengan panjang kopling lebih besar dari 25 mm untuk memperoleh CR yang sesuai untuk divais pembagi daya (power divider). Dalam penelitian ini, directional double coupler menggunakan serat optik plastik mode jamak (multimode) dari bahan serat optik plastic step index multimode tipe FD-620-10 dengan panjang kopling 2,8 mm dan 3,4 mm.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
181
Lucky Putri Rahayu, dkk./ Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Double Coupler….
SFA 2013
2. DASAR TEORI Sistem Moda Terkopel Dalam mode terpandu, masing-masing mode normal saling ortogonal dan saling bebas tanpa kopling dan mengangkut daya cahaya dengan tidak dipengaruhi oleh perambatan mode gelombang yang lain. Tetapi dalam sistem pandu gelombang yang terkopel, mode-mode normal satu sama lain tidak lagi merambat saling bebas, melainkan saling terkopel bersama [2]. Jika kedua pandu gelombang I dan II cukup jauh, masing-masing mode normal Ψa dan Ψb merambat saling bebas di dalam masing-masing pandu gelombang dengan tetapan propagasi βa dan βb. Ketika jarak pisah antara kedua pandu gelombang mengecil, maka kedua pandu gelombang terkopel bersama dan muncul normal baru yaitu mode simetri dan mode asimetri Ψe dan Ψo yang masing-masing merambat dengan tetapan propagasi βe dan βo. Jika βe dan βo berbeda sedikit, maka kedua mode gelombang yang tereksitasi serentak menghasilkan layangan (beat) [2]. Jika mode normal masing-masing pandu gelombang diekspresikan dalam bentuk [2]:
( , , , )= ( ) ( , , , )= ( )
( , ) ( , )
(2.1) (2.2)
Dengan fa (x,y) dan fb (x,y) adalah fungsi-fungsi distribusi medan ternormalisasi manakala daya mengalir melalui penampang transversal luasan setiap pandu gelombang. A(z) dan B(z) adalah amplitudo masing-masing medan yang nilainya bervariasi di sepanjang arah rambatnya (sumbu z). Kuantitas kopling tergantung seberapa besar overlaping secara spasial antara mode normal pada satu daerah pandu gelombang. Jika cahaya dieksitasi melalui pandu gelombang I, maka daerah overlap dimaksud adalah pandu II dengan koefisien kopling diberikan sebagai :
=
= ∬
∗
( , )∆
( , )
(2.3)
Dengan batas integrasi adalah luas penampang pandu gelombang II dan c adalah tetapan yang berkaitan dengan normalisasi Ψa dan Ψb. Koefisien kopling Kab = Kba terjadi manakala pandu gelombang tidak memiliki rugi-rugi, dan K = 0, terjadi saat pandu gelombang terpisah relatif jauh. Pada directional coupler, perpindahan daya optic terjadi silih berganti dan berlangsung secara periodic dari pandu gelombang I dan II. Efek kopling semakin kuat jika nilai βe dan βo mendekati sama. Kondisi sinkron kedua fasa gelombang menghasilkan daya maksimum pada jarak yang disebut satu panjang kopling [1]: = (2.4) Directional coupler Salah satu peralatan yang merupakan sistem moda terkopel adalah Directional Coupler. Divais optik tersebut tersusun atas dua pandu gelombang yang saling berdekatan dalam orde panjang gelombang optik. Divais ini dapat mendistribusikan daya optic ke dua port atau lebih, atau sebaliknya menggumpulkan daya optik ke port tunggal. Directional coupler dapat berifat aktif maupun pasif. Secara sederhana divais coupler dapat buat dari serat optik multimode yaitu dengan cara memadukan atau menggabungkan dua buah serat optik multimode dengan panjang interaksi tertentu dengan tekhnik FBT (Fused Biconical Taperred) [1]. Sebuah directional coupler 2 x 2 dapat dinyatakan sebagai matrik transfer yang mempunyai komponenkomponen diagonal yang sama dan tidak nol (t11 = t 22 dan t12 = t21).
182
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Lucky Putri Rahayu, dkk./ Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Double Coupler….
SFA 2013
Gambar 1. Medan amplitudo sinyal optik input dan output dan matriks transfer [3]
Sesuai dengan Gambar 1, ketika tidak ada losses, matrik transfer adalah uniter dan dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan [3]:
=
cos sin
sin cos
(2.5)
Ketika parameter θ sebesar π/4, daya optik dibagi sama besar ke port output , dan divais disebut 3 dB coupler. Gambar 1 menunjukkan efek kopling yang tejadi ketika suatu berkas dipindahkan dari satu pandu gelombang ke pandu gelombang yang lainnya pada pandu gelombang singlemode [3].
Parameter-parameter pokok dalam divais Directional coupler optik antara lain: 1.
Splitting atau Coupling ratio (CR), proporsi perbandingan antara daya input terhadap masing-masing daya output [4,5]
= 2.
(
)
(2.6)
Insertion loss, (Lins), yaitu rugi yang terjadi akibat daya dari saluran masukan coupler serat optic terdistribusi di antara saluran keluaran dngan port A2 dan port B2. Insertion loss diukur sebagai perbandingan daya output tunggal terhadap daya inputnya [1,4]
3.
= −10 log 4.
Exceess loss (Le), adalah Rugi daya total yang dinyatakan dengan persamaan [1,4]:
= −10 log 5.
(2.7)
∑
= −10 log
(2.8)
Direktivitas (directivity) atau Crosstalk dari coupler optik diukur antar port-port masukan directional coupler , yaitu [1,4]
=
= −10 log
(2.9)
Standar parameter-parameter directional coupler secara internasional ditunjukkan pada Tabel 1. berikut ini:
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
183
Lucky Putri Rahayu, dkk./ Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Double Coupler….
SFA 2013
Tabel 1. Karakteristik Coupler standar hasil fabrikasi industry untuk serat optik (Jones Jr dan William B., 1988) (Supadi dkk, 2006). Design Jumlah CR Toleransi Le D(dB) Class Port (%) CR (dB) 2 0.5 40-55 2x2 2 - 15 % 0.07 2 0.25 Single -1 Mode 2 0.1
2x2 Multi Mode
2
0.5
2
0.25
2
0.1
2
0.0625
<1 5 – 10 %
35-40
1-2
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu persiapan, fabrikasi dan karakterisasi directional double coupler. serat optik plastik mode jamak (multimode) dari bahan serat optik plastic step index multimode tipe FD620-10 dengan panjang kopling 2,8 mm dan 3,4 mm. Skema penelitian diperlihatkan pada Gambar 2. Pada tahap persiapan, pembuatan alat pengupas coating dan cladding dirancang untuk mengupas serat optik dengan panjang kupasan 2,8 mm dan 3,4 mm. Pembuatan set up alat pada proses karakterisasi menggunakan web camera dimaksudkan agar cahaya yang keluar dapat langsung ditangkap oleh web camera pada kedua port keluarannya. Selain itu juga dimaksudkan agar dari sumber langsung dapat diterima oleh directional double coupler pada port masukan sehingga cahaya tidak keluar. Desain alat pengupas coating dan cladding akan diperlihatkan pada Gambar 3.
Tahap Persiapan 1. Pembuatan Alat Pengupas Coating dan Cladding. 2. Pembuatan Set up alat pada proses karakterisasi menggunakan web camera.
Tahap Fabrikasi Directional Double Coupler 1. Tahap Pengupasan Coating dan Cladding 2. Tahap Pemolesan 3. Tahap Penggandengan
Karakterisasi Directional Double Coupler Hasil Fabriksi 1. Menggunakan web camera. 2. Menggunakan BF5R-D1-N.
Gambar 2. Skema penelitian
184
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Lucky Putri Rahayu, dkk./ Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Double Coupler….
Coupler 1
A1
Coupler 2 A2
SFA 2013
Web Camera
Laser Dioda B2
B1
Personal Computer (PC)
Gambar 3. Set up Alat pada karakterisasi menggunakan web camera
Coupler 1
Coupler 2
BF5R-D1-N
B1
Power Supply
Gambar 4. Set up Alat pada karakterisasi menggunakan BF5R-D1-N
Pada tahap fabrikasi terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap pengupasan coating dan cladding, pemolesan dan penggandengan. Pada tahap pengupasan coating dan cladding, serat fiber optik yang akan dilukai dimasukkan ke dalam alat pengupas coating dan cladding yang sudah dibuat sebelumnya dengan panjang kupasan 2,8 mm dan 3,4 mm. Untuk pengupasan fiber optik pada coupler kedua berjarak 10 cm dari coupler pertama. Pada tahap pemolesan, digunakan alkohol 70%. Serta pada tahap penggandeng digunakan benang jahit ini dimasudkan agar proses penggandengan dapat maksimal, selanjutnya di beri lem epoxy untuk merekatkan. Pada tahap karakteriasi directional double coupler terdiri dari dua tahapan yaitu menggunakan web camera dengan sumber yaitu laser diode dan menggunakan BF5R-D1-N. Sebelum dikarakterisasi, hasil fabrikasi directional double coupler yang telah dibuat, pada masing-masing portnya digosok dengan kertas gosok dan diberi alkohol 70%. Pada tahap ini, web camera yang digunakan dua buah yang masing-masing berperan ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
185
Lucky Putri Rahayu, dkk./ Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Double Coupler….
SFA 2013
sebagai perekam output pada kedua port keluaran dan yang satu sebagai output yang kembali. Sumber yang digunakan adalah digital indicating type fiber optic sensor (BF5R-D1-N) yang disambungkan pada power supply. BF5R-D1-N merupakan sensor khusus untuk menganalisa daya keluaran yang di terima dari fiber optik. Sensor ini memiliki lubang input berupa cahaya merah (660 nm) dan lubang output berupa fotodetektor. Pada penelitian ini digunakan dua buah BF5R-D1-N yang masing-masing berperan sebagai input dan yang satu sebagai output. Set up alat pada proses karakterisasi ini akan disajikan pada Gambar 4.
4. HASIL DAN DISKUSI Salah satu hasil fabrikasi directional double coupler diperlihatkan pada Gambar 5. Pada fabrikasi port-port dinamakan a1, b1, a2 dan b2.pada proses karakterisasi menggunakan web camera, diperoleh image pada ketiga port keluaran yang kemudian data diolah. Dan didapatkan grafik dan nilai puncak pada masing-masing grafik, seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Dari nilai puncak yang didapatkan pada proses karakterisasi menggunakan web cameradan kemudian di kareteristik diperoleh data-data yang diperlihatkan pada Tabel 2-3.
Gambar 6. Grafik hubungan distance (pixels) dengan intensitas pada port masukkan a1 dan keluaran a2b2.
Tabel 2. Hasil karaterisasi directional double coupler pada panjang kopling 2,8 mm dengan menggunakan web camera. INPUT OUTPUT (dB) CR Le Lins D (dB) (dB) (dB) A1 A2 B1 B2 A1 A2 B1 B2
11.494 12.036 0.4146 16.735
8.2229 0.2979
0.321
12.462
0.52
0.058
3.247
18.789
11.9
0.3708 8.3875
0.497 0.495 0.481
0.072 0.107 0.037
3.072 3.075 2.882
17.855 16.135 20.714
18.08
Tabel 3. Hasil karaterisasi directional double coupler pada panjang kopling 3,4 mm dengan menggunakan web camera. INPUT A1 A1 A2 B1 B2
186
OUTPUT (dB) A2 B1 13.183
18.356 0.5583 5.1167
7.5479 0.2604
0.419 18.13 5.162
CR
Le (dB)
Lins (dB)
D dB)
0.493 0.497 0.497 0.498
0.069 0.034 0.157 0.109
3.017 3.017 3.145 3.1
17.998 21.132 14.499 16.072
B2 12.804 0.2833 7.6271
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Lucky Putri Rahayu, dkk./ Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Double Coupler….
SFA 2013
Pada hasil karakterisasi yang telah didapatkan dibandingkan dengan karakterisasi coupler standar hasil fabrikasi industri untuk serat optik yang diperlihatkan pada tabel 1., yaitu didapatkan bahwa nilai CR, Le dan D sudah memenuhi standar directional coupler. Dari hasil karakterisasi menggunakan web camera ini dapat dilihat bahwa nilai CR yang mendekati 0,5 yaitu pada panjang kopling 3,4 mm dengan input B2. Sehingga diharapkan intensitas cahaya yang akan diteruskan ke port deteksi cukup besar untuk diukur perubahannya.
Tabel 4. Hasil karaterisasi directional double coupler pada panjang kopling 2,8 mm dengan menggunakan BF5R-D1-N INPUT OUTPUT (Au) CR Le Lins D (Au) (Au) (Au) A1 A2 B1 B2 A1 A2 B1 B2
435 439 20 433
434 28
27 422
426 24 487
469
0.495 0.49 0.471 0.48
0.134 0.119 0.093 0.133
3.099 3.045 2.861 2.973
15.17 15.667 16.726 15.213
Tabel 5. Hasil karaterisasi directional double coupler pada panjang kopling 3,4 mm dengan menggunakan BF5R-D1-N INPUT OUTPUT (Au) CR Le Lins D (Au) (Au) (Au) A1 A2 B1 B2 A1 A2 B1 B2
397 440 21 384
411 27
22 344 396
358 30 462
0.474 0.439 0.471 0.492
0.125 0.163 0.103 0.148
2.916 2.672 2.867 3.092
15.48 14.335 16.291 14.755
Serta pada hasil karaterisasi menggunakan BF5R-D1-N juga diperoleh nilai CR, Le dan D yang memenuhi standar directional coupler. Dari hasil karakterisasi menggunakan BF5R-D1-N dapat dilihat bahwa nilai CR yang mendekati 0,5 yaitu pada panjang kopling 3,4 mm dengan input B2. Sehingga dari dua metode karakterisasi ini, didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Maka dapat disimpulkan bahwa dari hasil karakterisasi directional double coupler yang paling mendekati dengan karakteristik coupler standar hasil fabrikasi industri serat optik yaitu pada panjang kopling 3,4 mm dengan input B2. Sehingga nantinya dari hasil karakterisasi ini dapat dipergunakan sebagai devais pembagi daya dalam sensor pergeseran mikro untuk penelitian selanjutnya.
5. SIMPULAN Berdasarkan hasil fabrikasi dan karakterisasi directional double coupler yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: a. Hasil fabrikasi directional double coupler dari serat optik plastic step index multimode tipe FD-620-10 dengan pendekatan metode FBT (Fused Biconical Taperred) dengan variasi panjang kopling 28 mm dan 34 mm menghasilkan directional double coupler dengan hasil karakterisasi yang berbeda. b. Hasil karakterisasi directional double coupler menggunakan web camera didapatkan bahwa nilai CR,Le dan D sudah memenuhi standar directional coupler pada kedua variasi panjang kopling. Nilai CR yang mendekati 0,5 yaitu pada panjang kopling 3,4 mm dengan input B2, dengan nilai CR=0,498 ; Le=0,109 dB ; D=16,072 dB. c. Hasil karakterisasi directional double coupler menggunakan BF5R-D1-N didapatkan bahwa nilai CR,Le dan D sudah memenuhi standar directional coupler pada kedua variasi panjang kopling. Nilai CR yang mendekati 0,5 yaitu pada panjang kopling 3,4 mm dengan input B2, dengan nilai CR=0,492; Le=0,148 au; D=14,755 au. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
187
Lucky Putri Rahayu, dkk./ Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Double Coupler….
SFA 2013
6. DAFTAR ACUAN 1. Supadi, Pramono, Y. hadi, Yudhoyono, G. (2006), Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Coupler sebagai Devais Pembagi Daya (Power Divider), JFA, Vol.2, No.1, hal 060106–1–060106–6, Institut Tekhnologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 2. Rubiyanto, A., Rohedi, A.Y. (2003), Optika Terpadu. Buku ajar Jurusan Fisika, Institut Tekhnologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 3. Iga, K., Kokubun, Y. (2006), Encyclopedic Handbook of Integrated Optics, Taylor & Francis group, LLC. 4. Crisp, J., Elliott, B. (2005), Introduction to Fiber Optics, Jordan Hill, Oxford. 5. Farrei. (2002), Optical Communication System Optical Fibre Couplers and Switch, Dublin Institute of Technology. 6. Hariyanto, Edy, (2011), Aplikasi Directional Coupler Serat Optik Mode Jamak Sebagai Sensor Getaran Berbasis Modulasi Intensitas, Institut Tekhnologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 7. Jones Jr, William B. (1988), Introduction to optical fiber communication systems. Holt, Rinehart & Winston, Universitas Michigan.
188
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
FABRICATION DSSC (Dye Sensitized Solar Cell) WITH CONDUCTIVE GLASS AND VARIATION DYE EXTRACT RED GINGER (Zingiber officinale Linn Var. Rubrum) WITH SPIN COATING METHOD Ice Trianiza, GatutYudoyono Physics Department, Mathematics and Natural of Science Sepuluh November Institute Of TechnologySurabaya Jl. AriefRahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:[email protected] Abstract Fabrication of DSSC has been done using conductive glass with variation dye extract of red ginger using Spin Coating Method. Natural coloring substance used was isolated in the mixture of TMAH and then the phytochemical screening was done. Characterization of red ginger extract was determined using UV-Vis spectrometry. Variations of red ginger (fruit leather and fruit flesh) using dye from fruit Leather (sample A) and fruit flesh (sample B). The solar cell was constructed in sandwich system. DSSC performance efficiency was obtained from measurement of resulted voltage and current at different conditions, which are under the halogen light. The content of anthocyanin showed on the maximum wavelength as long as 601 nm. At the diffractogram of the thin layer of TiO2 Nano-phase anatase shows the relatively high intensity of diffraction pattern as the anatase polycrystal with the measurement of 1416nm. Based on test results using a halogen light source. acquired the characteristics of DSSC is Voc 500 mV, Isc 0.05 mA, P max 15.87 mWatt, FF 0.64 for sample A. As for the B sample obtained Voc 296 mV, Isc 0.02 mA, P max 1.7368 mWatt, FF 0.35. With the technique variation sample A dye extract red ginger will produce value greater efficiency and preparation time more efficient. Keywords: DSSC, anatase TiO2, dye Red Ginger extract, Spin Coating
1. PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Kebutuhan energi terus meningkat, sehingga perlunya upaya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif yaitu energi terbarukan. Potensi energi terbarukan, seperti: biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera, sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan, padahal potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah besar. Energi surya merupakan salah satu energi yang sedang giat dikembangkan saat ini. Energi matahari yang sampai ke bumi diabsorb oleh atmosfer direfleksikan kembali, hanya sedikit digunakan membantu siklus air dan yang ditangkap untuk fotosintesis. Sebagian besar energi matahari diradiasikan sebagai panas. Indonesia sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadikan sel surya sebagai salah satu sumber energi masa depan mengingat posisi Indonesia pada garis khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di hampir seluruh Indonesia sepanjang tahun. Masalah yang paling penting untuk merealisasikan sel surya sebagai sumber energi alternatif adalah efisiensi piranti sel surya dan harga pembuatannya. Sel surya atau sel fotovoltaik merupakan alat yang mampu merubah energi sinar matahari menjadi energi listrik. Efek fotovoltaik merupakan dasar dari proses konversi sinar matahari (foton) menjadi listrik [1]. Perkembangan yang menarik dari teknologi sel surya saat ini salah satunya adalah sel surya yang dikembangkan oleh Gratzel pada tahun 1991. Sel ini terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya TiO2)
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
189
Ice Trianiza, d kk. / Fabrikasi DSSC dengan Teknik Pelapisan ....
SFA 2013
yang direndam dalam sebuah fotosensitizer (pemeka cahaya) Yang disebut dengan Dye Sensitized Sollar Cell (DSSC). Keunggulan dari DSSC adalah selain teknik fabrikasinya relatif sederhana juga tidak memerlukan teknologi yang rumit sehingga biaya produksinya relatif rendah. Berbeda dengan sel surya konvensional yang semua proses melibatkan bahan silikon itu sendiri, pada DSSC absorpsi cahaya dan separasi muatan listrik terjadi pada proses yang terpisah. Absorpsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik nanokristal yang memiliki celah pita lebar. Bahan semikonduktor yang sering digunakan sebagai elektroda dalam DSSC adalah TiO2 (Titanium Dioxide). Hal itu dikarenakan TiO2 memiliki fase kristal yang reaktif terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar daripada celah energinya. Selain itu TiO2 relatif murah, inert, banyak dijumpai dan tidak beracun. . Sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan pembuatan sel surya tersintesis dye (DSSC) menggunakan ekstraksi Jahe Merah (Zingiber officinale Var Rubrum.) yang diharapkan dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif tenaga surya masa depan.
2. DASAR TEORI 2.2 DSSC (Dye Sensitized Sollar Cell) Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan sel surya yang terbuat dari semikonduktror yang dilapisi oleh zat warna untuk meningkatkan efisiensi konversi sinar matahari. DSSC tersusun atas elektroda kerja, elektroda counter dan elektrolit. DSSC bekerja pada daerah sinar tampak hingga sedikit infra merah. Sinar tampak merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 390-770 nm.
Gambar 1 Struktur Dye Sensitized Sollar Cell [2]
Berdasarkan materi penyusunnya DSSC dapat dikategorikan sebagai sel surya hibrida organik-anorganik. Hal ini di karenakan penyusun utama DSSC adalah semikonduktor (anorganik) yang disensitisasi oleh bahan pewarna (organik). Selain itu, cara pengubahan energi cahaya (foton) menjadi energi listrik pada DSSC tidak sama persis dengan pengubahan foton menjadi listrik pada sel surya anorganik. Pada DSSC, foton akan diserap oleh lapisan pewarna dan membentuk eksiton yang dipisahkan pada antarmuka lapisan penerima elektron (akseptor) berupa semikonduktor oksida logam sehingga pewarna menjadi elektron.
Gambar 2 Skema Prinsip Kerja DSSC [3]
190
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Ice Trianiza, d kk. / Fabrikasi DSSC dengan Teknik Pelapisan ....
SFA 2013
Prinsip kerja dari DSSC sendiri disajikan pada gambar 2.3, material semikonduktor ditempatkan pada plat transparan berkonduktifitas membentuk lapisan tipis. Kemudian lapisan monolayer dye ditempatkan pada permukaan lapisan nanokristalin semikonduktor. Fotoeksitasi yang dialami oleh dye menghasilkan elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi dye (1) yang kemudian masuk ke pita konduksi dari logam oksida (2), injeksi elektron ini melalui hubungan antara titanium dengan gugus karboksil pada zat warna. Proses ini menghasilkan dye yang bermuatan positif dan partikel TiO2yang bermuatan negatif. Elektron tersebut selanjutnya keluar melalui sirkuit eksternal menuju caunter elektrode (3), aliran elektron ini dimanfaatkan sebagai energi listrik. Kekosongan elektron pada pita valensi dye digantikan oleh elektron yang berasal dari elektrolit, elektrolit yang digunakan pada DSSC biasanya adalah pelarut organik yang mengandung sistem redoks, contohnya adalah pasangan iodida-triiodida. Regenerasi sensitiser oleh iodida terjadi dengan proses pendonoran elektron pada pita valensi dari dye yang teroksidasi (5). Iodida diregenerasi kembali dengan reduksi triiodida pada counter electroda, dengan memanfaatkan elektron yang berasal dari eksternal sirkuit (4), proses ini berlangsung terus-menerus sebagai suatu siklus sehingga dihasilkan arus yang kontinyu.
2.3 Komponen-komponen DSSC 2.3.1 Substrat (Kaca FTO dan Kaca ITO) Tempat melekatnya material-material DSSC disebut dengan substrat. Pada penelitian sebelumnya di gunakan Kaca indium-doped tin oxide (ITO) yang merupakan salah satu dari jenis kaca yang digunakan untuk melakukan pelapisan yang terdiri dari oksida konduktif transparan (transparent conducting oxide, TCO). Oksida yang umumnya dipakai antara lain alumunium-doped zinc oxide (AZO), fluorine-doped tin oxide (FTO), Indium-doped tin oxide (ITO), dan antimony-doped tin oxide (ATO).
Gambar 3 Kaca FTO (fluorine-doped tin oxide) [4]
Adapun dalam penelitian disini digunakan kaca FTO sebagai substrat yang mana kaca TCO memiliki keunggulan konduktif secara elektrik dan dapat ditembus cahaya [5].
2.3.2. Dye (zat pewarna) Zat pewarna alami yang digunakan pada penelitian ini menggunakan jahe merah yang berperan sebagai lapisan penyerap elektron foton cahaya dan akan menjadi eksiton. Dalam proses penyinaran, pewarna akan bertugas mengisi elektron ke pita konduksi dari semikonduktor. Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitizer diantaranya ekstrak klorofil, karoten, dan antosianin. Jahe merah merupakan tumbuhan berimpang yang memiliki batang berbentuk bulat kecil, berwarna hijau kemerahan, dan agak keras, serta memiliki bulu-bulu lembut. Susunan daunnya berselang-selang dan teratur.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
191
Ice Trianiza, d kk. / Fabrikasi DSSC dengan Teknik Pelapisan ....
SFA 2013
Gambar 4 Jahe merah (Zingiber officinale) [6] Ditinjau dari karakteristiknya jahe memiliki kandungan antosianin yang mana memiliki pigmen larut air secara alami yang terdapat pada berbagai jenis tumbuhan dan merupakan pewarna yag paling penting dan paling tersebar luas dalam tumbuhan. Senyawa ini tergolong pigmen dan pebentuk warna pada tanaman yang ditentukan oleh Ph dari lingkungannya. Dalam keadaan asam berwarna merah dan basa berwarna biru. Struktur dasar antosianin ini terdiri atas 2-fenzil benzopirilium atau plavilium klorda dengan jumlah substitusi gugus hidroksi dan metoksi. Sebagian besar antosianin memilik struktur 3,5,7-trihidroksiflavilium klorida dan bagian gula biasanya terikat pada gugus hidroksil.
2.3.3 Semikonduktor DSSC Semikonduktor yang digunakan pada DSSC memiliki celah pita yang lebih lebar daripada semikonduktor yang dgunakan pada sel surya anorganik biasa. Untuk penggunaan DSSC, semikondukor yang paling banyak digunakan adalah TiO2 (titanium dioxide) terutama yang memiliki ukuran dalam skala nanometer. Titanium dioksida adalah jenis logam oksida disebut juga sebagai titanium (IV) oksida atau titania. Material ini merupakan material oksida alami dari titanium, dengan rumus kimia TiO2. Titania berbentuk serbuk dan berwarna putih, selain itu juga memiliki tiga fasa yaitu anatase, rutile dan brookite. Titanium dioksida merupakan salah satu semikonduktor oksida yang memiliki energi celah pita yang sangat lebar (3,2 eV – 3,8 eV). Pada sel surya fotoelektrokimia, titania berperan sebagai lapisan aktif yang mengabsorbsi energi cahaya matahari untuk dikonversi menjadi energi listrik. Titanium dioksida murni mempunyai efisiensi absorbsi sangat kecil, yaitu hanya sebesar 5% [1].
Gambar 5 Titanium Dioksida [6] Titania mempunyai banyak keunggulan, yaitu memiliki konstanta dielektrik tinggi, memiliki indeks bias yang besar, dan memiliki transmitansi optik yang baik pada daerah cahaya tampak dan dekat infra merah. Titania juga memiliki stabilitas kimia yang tinggi, tidak beracun, memiliki potensial tinggi sebagai foto-oksidasi, dan harganya murah. Sehingga titania bisa digunakan dalam berbagai variasi bentuk, misalnya koloid, pasta, lapisan tipis, maupun serbuk nano.Sifat fisis dan kimia dari TiO2 nano bergantung pada ukuran, morfologi dan struktur kristalnya. TiO2 terdiri dari tiga bentuk kristal yaitu anatase, rutile, dan brookite. Kristal TiO2 fase anatase memiliki kemampuan yang lebih aktif daripada rutile. Rutile secara termodinamika lebih stabil daripada anatase dan brookite. Anatase dianggap sebagai fase yang paling menguntungkan untuk fotokatalisis dan konversi solar energi [7]. Dalam pembuatan material nano TiO2 dapat dilakukan dengan metode co-presipitasi kondisi hidrotermal menggunakan bahan TiO2, TiCl4, atau TiOCl2 dan bisa juga menggunakan metode sol gel menggunakan titanium alkosida.
192
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Ice Trianiza, d kk. / Fabrikasi DSSC dengan Teknik Pelapisan ....
SFA 2013
2.3.4 Elektrolit Elektrolit yang digunakan pada DSSC terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) sebagai pasangan redoks dalam pelarut. Karakteristik ideal dari pasangan redoks untuk elektrolit DSSC yaitu, 1. Potensial redoksnya secara termodinamika berlangsung sesuai dengan potensial redoks dari dye untuk tegangan sel yang maksimal. 2. 2. Tingginya kelarutan terhadap pelarut untuk mendukung konsentrasi yang tinggi dari muatan pada elektrolit. 3. Pelarut mempunyai koefisien difusi yang tinggi untuk transportasi massa yang efisien. 4. Tidak adanya karakteristik spektral pada daerah cahaya tampak untuk menghindari absorbsi cahaya datang pada elektrolit. 5. Kestabilan yang tinggi baik dalam bentuk tereduksi maupun teroksidasi. 6. Mempunyai reversibilitas tinggi. 7. Inert terhadap komponen lain pada DSSC [2] 2.4 Metode Pelapisan Putar (Spin coating) Salah satu cara pengolahan lapisan tipis adalah menggunakan metode spin coating. Adapun proses spin coating adalah dengan meneteskan sedikit larutan film di atas substrat yang kemudian di putar dengan kecepatan tertentu, yang berputar secara konstan agar diperole hendapan film di atas substrat dengan kerataan baik. Prinsip pada metode spin coating adalah keseimbangan antaraviskositas larutan dengan gaya sentrifugal yang dikontrol oleh kecepatan spin.
Gambar .6 Proses pelapisan metode Spin Coating [6]
3. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Grafik Hubungan Kemampuan Absorbansi Ekstraksi Dye Kulit dan daging buah Jahe Merah Terhadap Panjang Gelombang
Grambar 7 Grafik kemampuan absorbansi dye ekstrak kulit dan daging buah jahe merah diperoleh dari pengujian dengan menggunakan Spektrofotometer HR11000 UV-NIR
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
193
Ice Trianiza, d kk. / Fabrikasi DSSC dengan Teknik Pelapisan ....
SFA 2013
Dari hasil uji spektrofotometer uv-vis pada dye jahe merah menggunakan dua variabel yaitu, kulit buah dan daging buah, dapat dilihat ada perbedaan absorbansi yang didapat, uji absorbansi pada kedua sampel ini dilakukan menggunakan spektrofotometer HR11000 UV-NIR dengan pengambilan rentang 300-800nm, ukuran ini ditentukan berdasarkan panjang gelombang cahaya untuk radiasi ultraviolet dengan rentang 300-800nm. Untuk data absorbansi pada kulit jahe merah di dapatkan cahaya tampak dimulai dari panjang gelombang 335 nm – 775 nm dengan rentang penyerapan 2 - 1,902. Adapun absorbansi paling tinggi terdapat pada panjang gelombang 438nm dengan absorbansi 2,61 sedangkan pada pengukuran absorbansi daging buah jahe merah dimulai dari panjang gelombang 383-647nm dengan penyerapan 2,797-2,209 dan didapatkan absorbansi paling tinggi 2,797 pada panjang gelombang 383nm sehingga dapat dilihat dari dua grafik diatas bahwa absorbansi dari kulit jahe merah lebih stabil dengan rentang yang lebih panjang dari daging buah jahe merah yang mana hasil pengolahan dye dari dua variabel ini berpengaruh terhadap performa DSSC.Hal ini menunjukkan tingginya ketebalan konsentrasi larutan dye dalam menyerap radiasi energi yang diberikan. Sehingga, semakin banyak pula foton yang bisa dieksitasi untuk dikonversikan oleh sel surya menjadi energi listrik. Pada bagian panjang gelombang kurang dari 700 nm juga terdapat beberapa puncak yang merupakan area radiasi ultraviolet dimana hampir semua benda gelap dapr menyerap radiasi ini. Dengan memiliki kemampuan absorbansi pada rentang panjang gelombang UV-Vis hingga NIR dapat dimungkinkan jahe merah ini mampu menyerap energi sinar matahari untuk memaksimalkan kinerja dari DSSC [8]. Adapun ekstrak jahe merah mengandung senyawa flovanoid yang mengandung gugus kromofor atau adanya ikatan rangkap yang terkonjungasi. Syarat pemilihan dye dalam DSSC adalah adanya guugs karbonil dan gugus hidroksil yang bertindak sebagai ligan pada permukaan TiO2 [1].
4.2. Hasil Uji XRD pada Serbuk TiO2 Sebagai Bahan Semikonduktor
Gambar 8 Grafik Uji XRD Pada serbuk TiO2
Semikonduktor yang digunakan pada DSSC ini mengunakan TiO2 nanopartikel fase anatase murni dengan pengadukan 25 jam Gambar 10 memperlihatkan pola difraksi sinar X dari bahan keramik titania, Adapun Pengidentifikasian fasa selanjutnya dari data difraksi menggunakan software search match. Hasil search match titania pada pengadukan 25 jam didapat Puncak difraksi dimulai dari 2θ = 25o dan tidak ada puncak difraksi pada 2θ = 27o, sehingga sampel tersebut memiliki satu fasa, yaitu anatase.Adapun penggunaan TiO2 nanopartikel dengan fase anatase disini sebagai semikonduktor dikarenakan dengan struktur partikel nano maka permukaan dari TiO2 yang akan dilapiskan menjadi lebih luas sehingga memperbanyak dye yang terserap dan elektron yang akan tereksitasi mengakibatkan meningkatnya efisiensi. Pada DSSC absorpsi cahaya dan separasi muatan listrik terjadi pada proses yang terpisah [9]. Absorpsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik nanokristal yang memiliki celah pita lebar, salah satunya yang sering digunakan sebagai elektroda dalam DSSC adalah TiO2. Hal ini dikarenakan TiO2 memiliki fase kristal yang reaktif terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar daripada celah energinya. Selain itu TiO2 realtif murah, inert, banyak dijumpai, dan tidak beracun . Dari hasil diatas dapat diketahu bahwa fasa kristal anatase memilik kemampuan fotoaktif yang tinggi. Selain itu derajat kristalinitas sampel cukup baik dilihat dari intensitas puncak difraksi
194
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Ice Trianiza, d kk. / Fabrikasi DSSC dengan Teknik Pelapisan ....
SFA 2013
yang tinggi dan tegas, dengan derajat kristalinitas yang baik maka proses difusi elektron pada di TiO2 akan lebih tinggi sehingga akan meningkatkan efisiensi sel surya. 4.3 PengujianKetahananDaya yang dihasilkanVariasi DSSC PadaSubstrat ITO dan FTO 2x2 cm Arus dan tegangan daya maksimum dapat diketahui pada karakterisasi kurva I-V seperti ditunjukkan Gambar 9. Dari proses pengukuran didapatkan arus rangkaian pendek (Isc) yang paling tinggi pada kaca ITO dengan menggunkan kulit jahe merah sebagai dye sebesar 0,167mA. sedangkan arus rangkaian pendek (Isc) yang paling rendah didapatkan pada Kaca FTO dengan dye daging jahe merah yaitu sebesar 0,0204 mA. Sedangkan tegangan rangkaian terbuka (Voc) tertinggi dari empat sampel diperoleh pada sampel kaca FTO menggunakan kulit sebagai dye di hari ke-3 sebesar 0,713V dan tegangan rangkaian terbuka (Voc) terenah didaptkan pada sampel kaca FTO dengan daging jahe merah sebebsar 0,0311V pada hari ketujuh yaitu sebesar, pada Voc dan Isc tertinggi di dapatkan pada pengukuran di hari ketiga dan kedua hal ini disebabkan ketika proses pengukuran dilakukan langsung dihari pertama sandwich DSSC yang dibentuk belum tercampur maksimal sehingga timbul proses ketidakstabilan antar material dan komponen material yang dipergunakan, proses kestabilan pengukuran didapatkan ketika di hari kedua dan ketiga dengan estimasi setiap kali pengukuran selalu ditambahkan 1 tetes elektrolit cair. Dari Penelitian sebelumnya didapat nilai intensitas halogen sebesar 1.040 lux dengan Pin 2,08 [10]. Efisiensi sel surya merupakan daya yang dihasilkan sel (Pmax) dibagi daya cahaya yang diiluminasikan pada area tertentu dari sel (Pcahaya). Efisiensi sel surya dipengaruhi kualitas iluminasi yang diterima sel surya. Apabila iluminasi yang diterima oleh sel surya bagus maka arus dan tegangan yang dihasilkan oleh sel surya tinggi. Apabila sel surya dapat menghasilkan arus dan tegangan yang tinggi maka daya yang dihasilkan akan tinggi pula. Dari proses perhitungan didapat nilai efisiensi tertinggi pada kacaITO dengan kulit jahe merah yaitu 0,0223 pada hari ketiga dan efisiensi terendah pada kaca FTO di hari ketujuh yaitu 0,0009
Gambar 9 Karakteritik I-V
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
195
Ice Trianiza, d kk. / Fabrikasi DSSC dengan Teknik Pelapisan ....
SFA 2013
5 SIMPULAN Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain absorbansi pada kulit jahe merah lebih bagus dibandingkan dengan daging jahe merah dengan rentang 335 nm – 775 nm. Dari proses perhitungan didapat nilai efisiensi tertinggi pada kacaITO dengan kulit jahe merah yaitu 0,0223 pada hari ketiga dan efisiensi terendah pada kaca FTO di hari ketujuh yaitu 0,0009.
6 DAFTAR ACUAN 1. 2. 3.
Greg P. Smestad, 2002, “Optoelectronics of Solar Cells”, SPIE PRESS. R. Sastrawan, 2006, “Photovoltaic modules of dye solar cells”, Disertasi University of Freiburg. Http://material-sciences.blogspot.com/2010/03/dye-sensitized-solar-cell-dssc.html/diakses 17 februari 2013 4. (www.kacaITO.blogspot.com) 5. Ricter, P., M.I. Toral, and C. Toledo, 2006. Subcritical Water Extraction and Determination of Nifedipine in Pharmaceutical Formulation. Drugs, Cosmetics, Forensic Sciences. J. of AOAC International. Vol. 89, No.2. 6. Http://www.chem-is-try.org/fotokatalis pada permukaan tio2/diakses 12 Februari 2013. 7. Nasori, (2012), Pengembangan dan fabrikasi Dye Sensitized Solar Cell berbasis jahe Merah Dengan metode deposisi Spin Coating dan Docot Blade. Thesis, Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITS Surabaya. 8. Ekasari.Vitriany, (2013), “Studi Awal Pembuatan Prototype Dye Sensitizer Solar Cell (DSSC) Menggunakan ekstraksi Rosella (Hibiscus Sabdariffa) Sebagai Dye Sensitizer Dengan variabel Luas permukaan lapisan TiO2”, Tugas Akhir, ITS Surabaya. 9. O’regan dan Gratzel, M.”A low –Cost, High Efficiency Solar Cell Based On Dye Sensitized Colloidal TiO2 Films”. Nature Vol.353. Issue 6346, 737.1991 10. Hidayat, (2013), “Pengaruh Pemberian Space (bantalan) untuk Mendapatkan Kestabilan Arus dan Tegangan Prototipe DSSC dengan Ekstraksi Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Sebagai Dye Sensitizer”, Tugas Akhir, ITS Surabaya. 11. Athanassios I. Kontos, 2008. Nanostructured TiO2 films for DSSCS prepared by combining doctorblade and sol–gel techniques. Elsevier, hal 243-248.
196
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL TUNGGAL DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) BERBASIS TiO2 MENGGUNAKAN EKSTRAKSI BUAH MANGGIS KUNYIT DAN KLOROFIL DENGAN VARIASI DYE DAN ELEKTROLIT Nurrisma Puspitasari, Nurul Amalia Silvi, dan Endarko Jurusan Fisika, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya 60111 e-mail: [email protected]
Abstrak Sel tunggal Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) tersensitisasi dye dari buah manggis, kunyit dan klorofil dibuat untuk mengetahui pengaruh variasi natural dye terhadap efisiesi DSSC dan pengaruh elektrolit terhadap efisiensi DSSC pada dye klorofil telah dilakukan. DSSC dibentuk dengan struktur sandwich dimana terdapat lima bagian antara lain: kaca ITO (Indium Tin Oxide) sebagai substrat; TiO2 sebagai bahan semikonduktor; dye buah manggis, kunyit dan korofil sebagai donor elektron; elektrolit sebagai transfer elektron; dan karbon sebagai katalis. Serbuk nano TiO2 dibuat dengan metode kopresipitasi. Metode pelapisan TiO2 dengan menggunakan metode Doktor Blade dengan tebal lapisan 10 μm. Perendaman lapisan TiO2 pada dye dilakukan selama satu hari. Pembuatan elektrolit gel menggunakan KI, iodine, aquades, acetonitrile dan PEG 1000. Hasil efisiensi masing – masing DSSC yang diperoleh untuk variasi natural dye adalah 0,006 % untuk dye buah manggis, 0,004 % untuk dye kunyit, 0,006 % untuk dye klorofil, dan 0,013 % untuk mixing dye. Dan hasil efisiensi untuk variasi elektrolit adalah 0,012 % untuk DSSC dengan elektrolit gel jenis pertama dan 0,02 % untuk DSSC dengan elektrolit gel jenis kedua. Kata Kunci : Dye Sensitized Solar Cell, natural dye, elektrolit gel
1.
PENDAHULUAN
Sumber energi cahaya matahari di Indonesia sangat melimpah dan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang aman dan nyaman bagi manusia maupun lingkungan. Dan cahaya matahari telah banyak digunakan sebagai sumber energi pada sel surya. Sel surya merupakan suatu peralatan yang dapat mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. Efisiensi sel surya konvensional sampai saat ini mencapai 18% [1]. Akan tetapi penggunaan sel surya sebagai sumber energi listrik masih terbatas karena kendala oleh mahalnya bahan utama dari sel tersebut, yaitu silikon. Namun, setelah melewati perkembangan zaman, teknologi sel surya juga ikut berkembang. Pengembangan tersebut telah sampai pada sel surya generasi ketiga yang dikembangkan oleh Gratzel [2]. Sel ini sering juga disebut dengan sel Grätzel atau dye sensitized solar cells (DSSC) atau sel surya berbasis pewarna tersensitisasi (SSPT). Dye Sensitized Solar Cell (DSSC), sejak pertama kali ditemukan oleh Professor Michael Gratzel pada tahun 1991, telah menjadi salah satu topik penelitian yang dilakukan intensif oleh peneliti di seluruh dunia [2]. Pada penelitian ini akan dianalisa nilai effiensi DSSC dengan bahan semikonduktor TiO2 dengan dye alam berupa buah manggis, kunyit dan klorofil serta juga akan dianalisa perbandingan nilai efisiensi DSSC dengan variasi elektrolit untuk DSSC mixing dye.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
197
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
2. DASAR TEORI Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan sel surya tersensitisasi zat pewarna dan terdiri dari 5 bagian yang tersusun secara sandwich . Bagian tersebut antara lain : Kaca Indium Tin Oxide (ITO) sebagai substrat menempelnya bahan semikonduktor, nano TiO2 sebagai bahan semikonduktor, zat pewarna (dye) donor elektron, elektrolit sebagai transfer elektron, dan karbon sebagai katalis.
Gambar. 1. Strutur dan prinsip kerja Dye Sensitized Solar Cell saat penyinaran oleh sumber cahaya [3].
Gambar 1 diatas menjelaskan prinsip kerja DSSC. Sama halnya dengan prinsip kerja sel surya konvensional, pada sel surya ini terdapat pembawa muatan positif (hole) dan pembawa muatan negatif (elektron). Saat cahaya yang dipancarkan mengenai sel, cahaya yang terdiri dari foton – foton tersebut diserap oleh zat pewarna yang tersentisisasi pada semikonduktor TiO2. Energi gap dari TiO2 adalah 3,2 eV dan hanya dapat menyerap cahaya dibawah 380 nm. Oleh karena itu, dibutuhkan energi tambahan berupa donor elektron pembawa energi foton dari zat pewarna (dye). Dengan begitu elektron memiliki energi yang cukup untuk terkesitasi dan diinjeksikan pada pita konduksi TiO2 yang menyebabkan dye teroksidasi. Kemudian elektron yang diinjeksikan tersebut terkumpul pada kaca konduktif (ITO) dan melintas keluar melalui rangkaian luar menuju elektroda karbon. Elektron yang masuk dalam elektroda karbon mereduksi sebuah donor teroksidasi pada elektrolit. Kemudian dye yang teroksidasi menerima sebuah elektron dari donor tereduksi dan tergenerasi kembali menjadi molekul awal [4]. Pada Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) ini, efisiensi dipengaruhi oleh : dye misalnya lama perendaman, jenis dye dan lain – lain; elektrolit misalnya jenis elektrolit dan kandungannya; bahan semikonduktor misalnya jenis semikonduktor, tebal lapisan semikonduktor dan luas permukaan semikonduktor. Selanjutnya akan diteliti mengenai pengaruh jenis dye dan jenis elektrolit terhadap efisiensi DSSC.
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sintesis Semikonduktor Nano TiO2 Sintesis TiO2 dilakukan dengan metode kopresipitasi, Pertama dituangkan aquades sebanyak 50 ml ke dalam gelas kimia yang kemudian ditambahkan asam pekat berupa HCl (Merck) 2M 37% sebanyak 20 ml dan TiCl3 (Merck) 20 ml. Kemudian di aduk selama 30 menit. Setelah tercampur, ditambahkan NH4OH (Merck) 25% sebanyak 50 ml. Kemudian diaduk kembali selama 60 menit dan di endapkan selama 1 hari, setelah itu dilakukan penyaringan endapan dan kemudian endapan yang tersaring dikeringkan menggunakan furnice dengan suhu 400o C selama 3 jam [5]. Sehingga menghasilkan TiO2 nano berfase anatase dengan ukuran kristal 12 nano.
198
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
3.2 Ekstraksi Dye Dye yang digunakan adalah dye dari ekstraksi buah manggis, ekstraksi kunyit, klorofil, dan mixing ketiga dye. Digunakan mixing dye agar penyerapan foton lebih banyak ([6]. Dye klorofil didapat dari K-Link sedangkan dye antosianin dan curcumin didapatkan dari ekstrak manggis dan kunyit (PT. Borobudur, Indonesia). Ekstrak manggis dan kunyit dibuat dengan metode maserasi yaitu 10 gr ekstrak ditambahkan dalam 100 ml ethanol dan HCl 1%. Larutan yang terbentuk disaring untuk dipisahkan dari residu, sehingga di dapat larutan dye. Kemudian untuk mixing dye, larutan dye klorofil, antosianin dan curcumin dicampur dengan komposisi 1:1:1. Dilakukan proses perendaman pada masing – masing dye selama 1 hari.
3.3 Pembuatan Elektrolit Gel Elektrolit yang digunakan pada DSSC ini berupa elektrolit gel yang berbasis polimer PEG (polyethylene glycol) dengan berat molekul (BM) 1000. Dibuat 2 jenis elektrolit gel yaitu elektrolit gel jenis pertama : 7 g PEG (Merck) + 25 ml kloroform + elektrolit cair berupa (0,8 gram KI yang dilarutkan pada 10 ml aquades dan 5 tetes larutan iodine (Merck)). Campuran tersebut diaduk dengan pengaduk magnetik sambil dipanaskan pada suhu 80°C selama satu jam hingga homogen dan membentuk gel [7]. Untuk elektrolit gel jenis kedua : 7 g PEG (Merck) + 25 ml kloroform + elektrolit cair (3 gram KI yang dilarutkan pada 10 ml acetonitrile (VWR) dan 3 ml larutan iodine).
3.4 Pembuatan Sandwich DSSC Sebelum dilakukan pelapisan TiO2 pada kaca konduktif, dilakukan pelarutan TiO2 yaitu 1 gr TiO2 dilarutkan pada 4 ml asam asetat dan 3 tetes Triton X-100 (Merck) kemudian diaduk selama 20 menit [2]. Pelapisan semikonduktor pada kaca konduktif dilakukan dengan metode Doktor Blade yang diatur ketebalannya dengan menggunakan plastik wrap dengan tebal 10 mikro. Setelah itu dipanaskan pada suhu 450°C selama 20 menit agar bahan yang digunakan sebagai larutan dapat menguap. Selanjutnya dibuatlah elektroda kerja yang terdiri dari lapisan TiO2 pada kaca konduktif yang tersenstisisasi dye dilapisi oleh elektrolit. Kemudian elektroda karbon dibuat dengan mengarsir kaca konduktif dengan karbon dari pensil 8B yang kemudian dibakar dengan api lili sampai terbentuk lapisan karbon yang rata. Setelah elektroda kerja dan elektroda karbon selesai dibuat, elektroda kerja dan elektroda karbon disusun berhadapan secara flip over sehingga terbentuk susunan sandwich DSSC seperti pada Gambar 2.
(a)
(b) Gambar 2. (a) Hasil fabrikasi DSSC menggunakan dye manggis, kunyit, klorofil dan mixing dye, (b) Hasil Fabrikasi DSSC menggunakan mixing dye untuk variasi elektrolit gel jenis pertama dan elektrolit gel jenis kedua
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
199
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
4. HASIL DAN DISKUSI 4.1 Absorbansi Dye
Pengujian dye dilakukan dengan menggunakan Spektrometer UV-Vis (HR 4000, Ocean Optics) untuk mengetahui hubungan absorbansi zat pewarna terhadap panjang gelombang tertentu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. 3.5
Klorofil-Kunyit-Manggis klorofil manggis kunyit
Absorbansi (a.u.)
3 2.5 2 1.5 1 0.5
300 323 346 369 392 415 438 461 484 507 530 553 576 599 622 645 668 691 714 737 760 783
0
Gambar 3. Grafik Absorbansi dye klorofil, manggis, kinyit dan mixing dye
Hasil pada Gambar 3 menunjukkan bahwa absorbansi DSSC untuk keempat dye terletak pada rentang panjang gelombang cahaya UV, dan jangkauanya lebih lebar daripada rentang panjang gelombang cahaya tampak. Sehingga DSSC akan memperoleh efisiensi maksimum jika menggunakan sumber cahaya yang rentangnya sama dengan rentang panjang gelombang cahaya UV. Cahaya UV (Ultraviolet), yaitu panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya matahari pada pagi hari dan sore hari yang memiliki rentang panjang gelombang 100 − 400 nm [8]. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengukuran dibawah cahaya matahari.
4.2 Hasil Karakterisasi Arus Dan Tegangan Pada Variasi Natural Dye dan Elektrolit Berdasarkan pada penilitian yang telah dilakukan, hasil tegangan dan arus pada variasi natural dye menunjukkan hasil yang lebih bagus untuk DSSC menggunakan mixing dye seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. 70 60 Arus (μA)
50
Klorofil Kunyit Manggis Klorofil-Manggis-Kunyit
40 30 20 10 0 0
100
200
300 Tegangan (mV)
400
500
600
Gambar 4. Grafik Arus dan Tegangan untuk DSSC dengan variasi natural dye
200
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
Pada DSSC yang telah berhasil dibuat, sesuai dengan teknik Gratzel [9], tegangan timbul akibat adanya perbedaan tingkat energi konduksi dari kerja semikonduktor TiO2 dengan potensial dari elektrolit yang dipakai. Arus yang timbul dipengaruhi oleh intensitas dari sumber cahaya yang akan menentukan jumlah foton yang diserap oleh dye dalam proses konversinya. Pada kurva I-V (Gambar 4) diketahui hasil VOC dan Isc untuk masing - masing DSSC, hasilnya terangkum pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Voc, Isc, Daya Maksimum dan Efisiensi Pada DSSC Natural Dye Natural Dye Klorofil Kunyit Manggis Mixing Dye
Voc (mV) 376 460 377 504
Isc(μA) 53 18,9 27,4 62,2
Pmax (nW) 2811,9 1780 2881,9 5795,5
FF (%)
Efisiensi (%)
14,11 20,47 27,89 18,48
0,006 0,004 0,006 0,013
Terlihat bahwa arus dan tegangan tertinggi didapatkan pada DSSC mixing dye. Sehingga efisiensi DSSC pada mixing dye lebih tinggi daripada ketiga dye yang lain. Hal tersebut disebabkan karena pada DSSC ini, dye berpengaruh dalam penyerapan energi foton yang dipancarkan cahaya matahari dan membantu TiO2 yang hanya bisa menyerap energi pada panjang gelombang cahaya ultraviolet yaitu dibawah 380 nm untuk menyerap foton [4]. Pada mixing dye diharapkan lebih banyak foton yang diserap oleh dye karena rentang panjang gelombang dye yang lebar. Sehingga jika banyak foton yang diserap, maka banyak pula elektron yang mengalir sehingga arus yang dihasilkan semakin tinggi. Dan hasil tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh [10] bahwa arus dan tegangan pada mixing dye menunjukkan hasil yang lebih bagus daripada single dye. Untuk variasi elektrolit, digunakan DSSC pada mixing dye. Berdasarkan pada penilitian yang telah dilakukan, hasil tegangan dan arus pada variasi elektrolit gel menunjukkan hasil yang lebih tinggi untuk DSSC menggunakan elektrolit gel jenis kedua seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 . 60 50 40 30 20 10 0
Arus (μA)
TiO2 1 Gel 1
0
100
200
300 400 Tegangan (mV)
500
600
Gambar 5. Grafik Arus dan Tegangan untuk DSSC dengan variasi elektrolit
Pada kurva I-V (Gambar 5) diketahui hasil Voc dan Isc untuk masing - masing DSSC, hasilnya terangkum pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Voc, Isc, Daya Maksimum dan Efisiensi Pada DSSC dengan Variasi Elektrolit Elektrolit Jenis 1 Jenis 2
Voc (mV) 493 554
Isc(μA) 21 56
Pmax (nW) 5350,8 8702,5
FF (%)
Efisiensi (%)
51,68 28,05
0,012 0,019
Terlihat bahwa arus dan tegangan tertinggi didapatkan pada DSSC menggunakan elektrolit jenis kedua. Hal tersebut terjadi karena pada elektrolit gel, konsentrasi KI dan iodine yang diberikan diperbesar. Sehingga elektrolit lebih padat dan cadangan ion untuk transfer elektron pada dye yang teroksodasi lebih banyak.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
201
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
5. SIMPULAN Pada Karakterisasi Dye Sensitized Solar Cell berbasis TiO2 ini, diperoleh hasil yang lebih tinggi untuk DSSC mixing dye dibanding dengan DSSC pada single dye yaitu : 0,006 % untuk dye buah manggis, 0,004 % untuk dye kunyit, 0,006 % untuk dye klorofil. Dan hasil efisiensi untuk elektrolit jenis kedua lebih tinggi dibanding dengan jenis elektrolit pertama yaitu : 0,012 % untuk DSSC dengan elektrolit gel jenis pertama dan 0,02 % untuk DSSC dengan elektrolit gel jenis kedua.
6. DAFTAR ACUAN 1. 2.
Engelhart, P. (2011), ‘R&D pilot line production of multi-crystalline Si solar cells O’regan, Gratzel, M. (1991), ‘A Low-Cost, High Efficiency Solar Cell Based On Dye-Sensitized Colloidal Tio2 Films’, Nature Vol. 353, Issue 6346, 737. 3. Puspitasari, Nurrisma. (2012), Studi Awal dilakukan pembuatan prototipe Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) menggunakan ekstraksi rosela (Hibiscus Sabdariffa) sebagai dye sensitizer dengan variasi luas permukaan lapisan TiO2. ITS Surabaya 4. Byranvand, M. Malekshahi., Kharat, A. Nemati., Badiei,A.R. (2012), ‘Electron Transfer in DyeSensitized Nanocrystalline TiO2 Solar Cell’, Journal of Nanostuctures JNS 2 19-26. 5. Nur Widaryanti, H., n.d. (2010), Pembentukan Nanopartikel TiO2 Fasa Anatase dan Rutile dengan Metode Bervariasi, ITS Surabaya. 6. Bandara, J., Weerasinghe, H. (2006), ‘Design of high-efficiency solid-state dye-sensitized solar cells using coupled dye mixtures’, Solar Energy Materials and Solar Cells 90, 864–871. 7. Maddu, A., Zuhri, M., Irmansyah,. (2010), ‘Penggunaan Ekstrak Antosianin Kol Merah Sebagai Fotosintezer pada Sel Surya TiO2 Nanokristal Tersensitasi Dye’, MST 11. 8. Giancoli, C.Douglas. (2001), Fisika Edisi Kelima, Jakarta, Erlangga.hal 227 9. Grätzel, M., (2004), ‘Conversion of Sunlight to Electric Power by Nanocrystalline Dye Sensitized Solar Cells’, Journal of Photochemistry and Photobiology A, Chemistry 164, 3–14. 10. Abidin, A. Z. ,Noezar,I. (2012), ‘Identification of Potential Dyes and Developing Methods to Improve Dye-sensitized Solar Cell's Efficiency’, Regional Symposium on Chemical Engineering. 11. exceeding cell efficiencies of 18 %’, Energy Procedia 8 383-387.
202
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
ANALISA PERBANDINGAN EFFISIENSI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN BAHAN SEMIKONDUKTOR TiO2, ZnO dan MgO SEBAGAI PHOTOELEKTRODA Nurul Amalia Silviyanti S, Nurrisma Puspitasari, dan Endarko. Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam Institut Teknologi sepuluh Nopember Surabaya Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya 60111 [email protected]
ABSTRAK Telah berhasil dibuat Dye Senstized Solar Cell (DSSC) menggunakan bahan semikonduktor TiO2, ZnO dan MgO serta dye alam yang berupa klorofil, curcumin dan antosianin. Selain itu, digunakan karbon sebagai katalis, sedangkan untuk meningkatkan lifetime digunakan elektrolit gel. Fabrikasi DSSC dilakukan dengan menggunakan photoelektroda yang direndam pada dye dan ditetesi elektrolit gel, kemudian ditutup menggunakan elektroda karbon. Setelah sel selesai difabrikasi, maka sel siap diuji arus dan tegangan untuk melihat efisiensi yang dihasilkan. Dari fabrikasi sel menggunakan semikonduktor TiO2, ZnO dan MgO menghasilkan efisiensi masingmasing 0.012879%, 0.003633 % dan 0.002792%. Sel menggunakan semikonduktor TiO2 menghasilkan arus short circuit (Isc) paling baik yakni 62,2 µA, sedangkan tegangan open circuit (Voc) paling tinggi 607 mV dihasilkan dari sel menggunakan semikonduktor MgO. Kata kunci: semikonduktor, dye alam, elektrolit gel, DSSC
1. PENDAHULUAN Salah satu tantangan terbesar manusia saat ini adalah mencari pengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi terbarukan yang murah dan ramah lingkungan. Matahari adalah sumber energi yang bersih dan murah, selama ini alam telah menggunakannya untuk menunjang semua kebutuhan makhluk di bumi. Bagaimanapun, menggunakan energi matahari dengan tekhnologi photovoltaic merupakan jawaban yang tepat untuk menjawab krisis kebutuhan energi [1]. Salah satu penggunaan konversi energi matahari dengan teknik photovoltaic, mayoritas menggunakan solar sel yang terbuat dari silikon. Tekhnologi ini telah mencapai efisiensi 15%, namun proses pembuatan cukup sulit dan harganya relatif mahal. Pada tahun 1991 Dye Sensitized Solar Sels (DSSC) ditemukan oleh Professor Gratzel dkk disebut sebagai generasi ketiga solar sel. DSSC sedikit berbeda dengan solar sel konvensional, dimana kita tidak memerlukan silikon pada pembuatannya [2]. Sejak itu DSSC (dye sensitized solar cell) telah banyak menarik perhatian banyak ilmuwan sebagai sumber energi alternatif terbarukan, ramah lingkungan dan murah [3]. Fokus dari makalah penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan nilai effiensi DSSC yang terbuat dari variasi 3 bahan semikonduktor yaitu TiO2, ZnO dan MgO dengan bahan dye alam yang berupa klorofil, curcumin dan antosianin. Selain itu juga diamati tentang tegangan open circuit (VOC) dan arus short circuit (ISC) pada setiap bahan semikonduktor untuk prototype DSSC.
2. DASAR TEORI DSSC tediri dari substrat transparan yang mempunyai sifat konduktif (fluorine tin oxide/FTOdan indium tin oxide/ITO), semikonduktor berukuran nano (TiO2), dye sebagai pengumpul foton, elektrolit iodide sebagai transfer elektron dan karbon sebagai katalis reaksi pada elektrolit [4].
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
203
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
Gambar 1. Skema DSSC [5].
Gambar 1 merupakan skema dari DSSC dimana prinsip kerja DSSC dimulai saat dye menyerap sebuah foton mengakibatkan elektron tereksitasi pada molekul dye. Dye tereksitasi menginjeksi sebuah elektron ke dalam pita konduksi semikonduktor. Elektron tersebut melintas melewati partikel-partikel semikonduktor menuju kontak belakang berupa lapisan konduktif transparan ITO (indium tin oxide), selanjutnya ditransfer melewati rangkaian luar menuju elektroda lawan. Elektron masuk kembali ke dalam sel dan mereduksi sebuah donor teroksidasi (I+) yang ada di dalam elektrolit. Dye teroksidasi akhirnya menerima sebuah elektron dari donor tereduksi (I3-) dan tergenerasi kembali menjadi molekul awal [6]. Pada DSSC semikonduktor yang digunakan haruslah tahan korosi karena adanya penggunaan elektrolit. Selain itu semikonduktor yang digunakan berukuran nano agar luas permukaan lebih besar sehingga dye yang terikat semakin banyak dan dapat menyerap foton lebih banyak [7]. Semikonduktor yang telah banyak digunakan adalah TiO2 dengan band gap 3,2 eV. Beberapa paper telah mencoba semikonduktor lain seperti ZnO, Fe2O3 dan Nb2O5 [8-10]. Pada penelitian ini digunakan semikonduktor TiO2, ZnO dan MgO. Penggunaan TiO2 sebagai semikonduktor yang telah sering digunakan pada DSSC, dan ZnO sebagai altenatif kedua dengan band gap 3,3 eV sedangkan MgO sebagai alternatif berikutnya dengan band gap 8,9 eV. Selanjutnya akan dianalisa perbandingan ketiga semikonduktor diatas sebagai photoelectrode pada DSSC.
3. METODE PENELITIAN 3.1 Sintesis Semikonduktor Sebelum sintesis, disiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan yaitu: TiCl3, HCl 37%, NH4OH 25%, dan Mg, semua bahan di dapat dari Merck. Sintesis TiO2 dilakukan dengan metode kopresipitasi, Pertama dituangkan aquades sebanyak 50 ml ke dalam gelas kimia yang kemudian ditambahkan asam pekat berupa HCl 2M 37% sebanyak 20 ml dan TiCl3 20 ml. Kemudian di aduk selama 30 menit. Setelah tercampur, ditambahkan NH4OH 25% sebanyak 50 ml. Kemudian diaduk kembali selama 60 menit dan di endapkan selama 1 hari,setelah itu dilakukan penyaringan endapan dan kemudian endapan yang tersaring dikeringkan menggunakan furnice dengan suhu 400o C selama 3 jam [11]. Sintesis MgO juga menggunakan metode kopresipitasi. Serbuk Mg sebanyak 2 gr dicampurkan dengan 18 ml HCl 37%, diaduk selama 20 menit. Ditambahkan NH4OH sebanyak 115 ml dan diaduk sampai larutan basa (pH 11). Cuci larutan sampai pH netral, kemudian saring. Keringkan endapan yang didapatkan dibawah lampu 100 watt dalam ruang tertutup selama 4 jam, kemudian panaskan serbuk yang di dapat pada suhu 500°C selama 30 menit. Sedangkan serbuk ZnO nano didapat dari BRATACO. Dari hasil sintesis didapatkan serbuk TiO2 dengan ukuran partikel 12 nm dan serbuk MgO dengan ukuran partikel 10 nm. Untuk serbuk ZnO dari BRATACO partikelnya berukuran 40 nm.
3.2 Ekstraksi Dye Dye yang digunakan adalah campuran tiga dye klorofil, curcumin dan antosianin. Digunakan campuran 3 dye agar penyerapan foton lebih banyak [12]. Karena masing-masing dye alam seperti klorofil, curcumin dan antosianin mempunyai serapan panjang gelombang yang berbeda sesuai pigmen warna yang dibawa. Dengan mencampurkan ketiga dye tersebut diharapkan absorbansi cahaya lebih lebar dan foton yang terserap lebih banyak. Gambar 2 menunjukkan struktur kimia dari dye klorofil, curcumin dan antosianin.
204
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
a. klorofil
SFA 2013
b. antosianin
c. curcumin
Gambar 2. (a) struktur kimia klorofil (b) antosianin [18] dan (c) curcumin [14].
Dye klorofil didapat dari K-link sedangkan dye antosianin dan curcumin didapat dari ekstrak manggis dan kunyit (PT. Borobudur, Indonesia). Ekstrak manggis dan kunyit diberi perlakuan yang sama untuk mendapatkan larutan ekstrak. 10 gr ekstrak ditambahkan dalam 100 ml ethanol dan HCl 1%. Larutan yang terbentuk disaring untuk dipisahkan dari residu, sehingga di dapat larutan dye. Kemudian larutan dye klorofil, antosianin dan curcumin dicampur dengan komposisi 1:1:1. Dilakukan proses perendaman pada dyeklorofil, antosianin dan curcumin, kaca ITO yang telah dilapisi semikonduktor direndam pada larutan dye selama 1 hari (24 jam).
3.3 Elektrolit Gel Elektrolit padat yang digunakan berbasis polimer PEG (polyethylene glycol) dengan berat molekul (BM) 1000. Sebanyak 7 g PEG dari Merck dilarutkan dengan 25 ml kloroform yang juga didapat dari Merck. Campuran tersebut diaduk hingga membentuk gel, selanjutnya dimasukkan elektrolit cair yang mengandung 3 gram KI, 10 ml aquades dan 10 tetes larutan iodide. Kedua larutan yang telah dicampur diaduk dengan pengaduk magnetik sambil dipanaskan pada suhu 80°C selama satu jam hingga homogen dan membentuk gel [13].
3.4 Pembuatan DSSC Serbuk semikonduktor dilarutkan pada pelarutnya agar dapat dilapiskan pada kaca substrat. Karena ketiga bahan semikonduktor berbeda, maka pelarut yang digunakan juga berbeda. Untuk TiO2, serbuk sebanyak 1 gr dilarutkan pada 4 ml asam asetat dan 3 tetes Triton X-100 kemudian diaduk selama 20 menit. Larutan semikonduktor MgO dibuat dari serbuk MgO yang dilarutkan dalam HCl 0.1 M dengan perbandingan 1:5 atau 1 gr MgO dalam 5 ml HCl. Sedangkan untuk larutan semikonduktor ZnO dibuat dari serbuk ZnO dalam ethanol 70% dengan perbandingan 1:5 yakni 1 gr serbuk ZnO dilarutkan dalam 5 ml ethanol. Setelah semikonduktor dalam bentuk larutan, dideposisikan pada subsrat ITO dengan ketebalan ± 13µm menggunakan metode Doctor blade. Kemudian dipanaskan pada suhu 450°C selama 20 menit agar bahan yang digunakan sebagai larutan menguap. Semikonduktor yang telah dilapiskan pada ITO di rendam dalam larutan 3 dye selama 1 hari/24 jam. Lapisan karbon dibuat dengan melapisi kaca ITO menggunakan karbon dari pensil 8B yang diarsir secara merata pada permukaan konduktif kaca. Setelah dilapisi karbon dari pensil, kaca dibakar diatas api lilin hingga hitam merata. Gambar 3 menunjukkan hasil fabrikasi dye sensitized solar cell menggunakan semikonduktor TiO2, ZnO dan MgO. Photoelectrode yang telah direndam dye dibersihkan kemudian ditetesi elektrolit gel dan di tutup menggunakan elektroda karbon. Sel yang telah difabrikasi dijepit menggunakan klip kertas agar tidak mudah lepas.
a
b
c
Gambar 3. Sel DSSC dengan menggunakan (a) TiO2, (b) ZnO dan (c) MgO
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
205
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
4.
SFA 2013
HASIL DAN DISKUSI
4.1 Absorbansi dye Pada penelitian ini digunakan 3 macam dye alam yakni klorofil, curcumin dan antosianin. Dimana curcumin merupakan dye yang terbuat dari ekstrak kunyit dan antosianin dari ekstrak manggis. Ketiga dye ini diuji menggunakan spektometer UV-Vis (HR-4000, Ocean Optics) untuk mengetahui nilai absorbansi panjang gelombang dari masing-masing dye. Gambar 4 menampilkan grafik nilai absorbansi pada rentang panjang gelombang 300-800 nm untuk dye klorofil, curcumin, antosianin dan larutan campuran dari 3 dye. Dye klorofil mempunyai absorbansi panjang gelombang hingga 500 nm dengan puncak pada panjang gelombang 400 nm dan nilai absorbansi 2,137 (a.u). Dye antosianin dari ekstrak manggis memiliki nilai absorbansi 3 (a.u) sampai panjang gelombang 330 nm. Sedangkan dye curcumin dari ekstrak kunyit mempunyai serapan panjang gelombang hingga 480 nm dan dengan nilai absorbansi tertinggi 1,5 (a.u). Campuran 3 dye mempunyai serapan panjang gelombang hingga 500 nm dan nilai absorbansi tertinggi 3 (a.u). 3.5 absorbansi (a.u.)
3 3 dye
2.5
klorofil
2
manggis 1.5
kunyit
1 0.5 300 324 348 372 396 420 444 468 492 516 540 564 588 612 636 660 684 708 732 756 780
0
Panjang gelombang (nm) Gambar 4. Grafik absorbansi dye klorofil, curcumin, antosianin dan campuran 3 dye.
Untuk mendapatkan kedua sifat unggul yang dimiliki dye ( serapan panjang gelombang lebar dan nilai absobansi tinggi) tidak bisa menggunakan rasio 1:1 namun menggunakan rasio tertentu sesuai jenis dye [14]. Hal ini menjelaskan mengapa absorbansi dan serapan panjang gelombang pada campuran 3 dye tidak dapat mengambil keunggulan dari masing-masing 3 dye. Namun absorbansi dan panjang gelombang dari campuran 3 dye dapat mewakili ketiga dye dimana nilai absorbansi tertinggi 3 (a.u) dan rentang panjang gelombang 500 nm.
4.2 Hasil pengukuran dan perbandingan semikonduktor Penggunaan TiO2dan ZnO sebagai lapisan photoelectrode pada DSSC telah banyak dilaporkan pada beberapa peneliti sebelumnya [5,8]. Namun penggunaan MgO pada DSSC tidak digunakan sebagai photoelektode, melainkan sebagai campuran elektrolit [15]. Ketiga sel yang telah dibuat diuji tegangan dan arus yang dihasilkan. Dari hasil pengujian kita akan melihat karakteristik sel menggunakan tiga semikonduktor yang berbeda.
arus (µA)
70 60
TiO2
50
ZnO
40
MgO
30 20 10 0 0
200
400
600
800
Tegangan (mV) Gambar 5. Kurva I-V dengan 3 macam semikonduktor yang berbeda sebagai photoelektrode.
206
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
SFA 2013
Perbandingan kinerja sel yang tebuat dari semikonduktor TiO2, ZnO dan MgO dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 1. Sel menggunakan semikonduktor TiO2 memiliki nilai efisiensi paling baik0.012879% dibandingkan sel menggunakan semikonduktor ZnO dengan efisiensi 0.003633 % dan MgO dengan 0.002792%. TiO2 cenderung menghasilkan arus lebih besar dibandingkan kedua semikonduktor yang lain dengan Isc 62,2 µA. Sedangkan MgO cenderung menghasilkan tegangan paling tinggi (607mV) dibandingkan yang lain. Hal ini sesuai dengan teori dari Gratzel [9] tegangan yang dihasilkan merupakan hasil dari perbedaan energi Fermi pada semikonduktor dan energi gap pada elektrolit. Sedangkan arus yang dihasilkan merupakan indikasi dari banyaknya foton yang terkonversi menjadi energi listrik. Mengingat bahwa energi gap yang dimiliki MgO 8,9 eV jauh lebih tinggi dibandingkan TiO2 3,2 eV dan ZnO 3,3 eV maka tegangan yang dihasilkan oleh semikonduktor MgO lebih besar dibandingkan kedua semikonduktor lain. Dari arus yang dihasilkan, terbukti bahwa TiO2 merupakan semikonduktor yang dapat mengikat lebih banyak dye dibandingkan semikonduktor lain sehingga foton yang terkumpul lebih banyak dan efisiensi pada sel menggunakan TiO2 lebih besar. Tabel 1. Karakteristik Dye sensitized solar cells dengan 3 semikonduktor yang berbeda Semikonduktor Voc (mV) Isc (µA) Pmax (nW) FF % η% TiO2 single
504
62.2
5795.5
18.48715
0.012879
ZnO single
460
19
1635
18.70709
0.003633
MgO single
607
10.3
1256.5
20.09725
0.002792
Faktor yang sangat mempengaruhi efisiensi DSSC adalah dye. Selain betugas mengumpulkan foton perbedaan energi level pada dye dengan semikonduktor dan elektrolit dapat mempengaruhi arus yang dihasilkan. LUMO (lowest unoccupied molecular orbital) pada dye harus berada pada level energi yang lebih tinggi dari semikonduktor sehingga dye dapat menginjeksi elektron pada pita konduksi semikonduktor. Sedangkan HOMO (highest occupied molecular orbital ) pada dye harus lebih positif dari potensial redox pasangan ion iodine. Jika perbedaan antara HOMO elektrolit terlalu kecil akan memperlambat difusi elektron untuk mereduksi dye [16]. Hal ini menjelaskan bahwa dye dan elektrolit yang digunakan sesuai dengan struktur partikel TiO2. Oleh karena itu dari hasil yang telah diperoleh kita tidak bisa semata-mata menyimpulkan bahwa semikonduktor ZnO dan MgO tidak dapat digunakan pada DSSC. Beberapa penelitian lain menggunakan ZnO [8, 10, 17] menghasilkan nilai efisiensi yang lebih baik dengan menggunakan dye dan elektrolit yang berbeda dimana kedua bahan tersebut disesuaikan dengan struktur partikel pada ZnO agar dye yang terikat lebih banyak dan elektrolit dapat bereaksi lebih cepat pada ZnO [19]. Artinya kita dapat menggunakan ZnO dan MgO sebagai photoelektroda, namun perlakuannya tidaklah sama dengan penggunaan TiO2 sehingga efisiensi yang dihasilkan lebih maksimal.
5. SIMPULAN Pembuatan DSSC menggunakan semikonduktor TiO2, ZnO dan MgO telah berhasil dilakukan. Perbandingan kinerja ketiga sel menggunakan semikonduktor berbeda menunjukkan bahwa TiO2 menghasilkan sel dengan arus paling baik yakni 62,2 µA. Sedangkan sel menggunakan semikonduktor MgO menghasilkan tegangan paling besar 607 mV. Secara keseluruhan TiO2 menghasilkan sel dengan efisiensi paling baik 0.012879%. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa semikonduktor TiO2 merupakan pilihan utama pada pembuatan DSSC, namun tidak menutup kemungkinan semikonduktor ZnO dan MgO dapat dijadikan altenatif lain sebagai photoelektrodapada DSSC.
6. DAFTAR ACUAN 1. 2. 3. 4.
Nazeeruddin, M. K., Baranoff, E., & Grätzel, M. (2011),' Dye Sensitized Solar Cells: A Brief Overview', Solar Energy, 85(6), 1172–1178. Jensen, K. F. (2008, August 29), Performance Comparison of a Dye-Sensitized and a Silicon Solar Cell under Idealized and Outdoor Conditions (thesis), Technical University of Denmark, Denmark. Nithyanandam, K., & Pitchumani, R. (2012),' Analysis and Design of Dye Sensitized Solar Cells', Solar Energy, 86(1), 351–368. Yeji, L., Jinho, C., & Misook, K. (2010), 'Comparison of the photovoltaic efficiency on DSSC for nanometer sized TiO2 using a conventional sol–gel and solvothermal methods', Journal of Industrial and Engineering Chemistry. 16, 609–614
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
207
Nurul ASS,dkk./ Analisa perbandingan effisiensi DSSC ….
5. 6. 7. 8.
9. 10.
11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
18. 19.
208
SFA 2013
Chen, Y. S., Lee, J. N., Tsai, S. Y., & Ting, C. C. (2008),' Manufacture of Dye-Sensitized Nano Solar Cells and their I-V Curve Measurements', Materials Science Forum, 594, 324–330. Calogero, G., & Marco, G. D. (2008), 'Red Sicilian Orange and Purple Eggplant Fruits as Natural Sensitizers for Dye Sensitized Solar Cells', Solar Energy Materials and Solar Cells, 92(11), 1341–1346. Handini, W. (2008), Performa Sel Surya (Thesis), Universitas Indonesia, Indonesia. Chergui, Y., Nehaoua, N., & E., D. (2011),' Comparative Study of Dye-Sensitized Solar Cell Based on ZnO and TiO2 Nanostructures', In L. A. Kosyachenko (Ed.), Solar Cells - Dye-Sensitized Devices. InTech. Retrieved from http://www.intechopen.com/books/solar-cells-dye-sensitizeddevices/comparative-study-of-dye-sensitized-solar-cell-based-on-zno-and-tio2-nanostructures Grätzel, M. (2004),' Conversion of Sunlight to Electric Power by Nanocrystalline Dye Sensitized Solar Cells', Journal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry, 164(1–3), 3–14. Uthirakumar, A. P. (2011), 'Fabrication of ZnO Based Dye Sensitized Solar Cells. In L. A. Kosyachenko (Ed.)', Solar Cells Dye-Sensitized Devices. InTech. Retrieved from http://www.intechopen.com/books/solar-cells-dye-sensitized-devices/fabrication-of-zno-based-dyesensitized-solar-cells Nur Widaryanti, H. (n.d.). (2010), Pembentukan Nanopartikel TiO2 Fasa Anatase dan Rutile dengan Metode Bervariasi, Jurusan Fisika MIPA ITS. Bandara, J., & Weerasinghe, H. (2006), 'Design of high-efficiency solid-state dye-sensitized solar cells using coupled dye mixtures', Solar Energy Materials and Solar Cells, 90(7–8), 864–871. Maddu, A., Zuhri, M., & Irmansyah. (2010),' Penggunaan Ekstrak Antosianin Kol Merah Sebagai Fotosintezer pada Sel Surya TiO2 Nanokristal Tersensitasi Dye', MAKARA of Technology Series, 11(2). Furukawa, S., Iino, H., Iwamoto, T., Kukita, K., & Yamauchi, S. (2009),' Characteristics of dyesensitized solar cells using natural dye', Thin Solid Films, 518(2), 526–529. Mohanty, S. P., & Bhargava, P. (2013), 'Magnesia Nanoparticles in Liquid Electrolyte for Dye Sensitized Solar Cells: An Effective Recombination Suppressant', Electrochimica Acta, 90(0), 291–294. Calogero, G., Yum, J.-H., Sinopoli, A., Di Marco, G., Grätzel, M., & Nazeeruddin, M. K. (2012), 'Anthocyanins and betalains as light-harvesting pigments for dye-sensitized solar cells', Solar Energy, 86(5), 1563–1575. Dunkel, C., Wark, M., Oekermann, T., Ostermann, R., & Smarsly, B. M. (2013),' Electrodeposition of Zinc Oxide on Transparent Conducting Metal Oxide Nanofibers and its Performance in Dye Sensitized Solar Cells', Electrochimica Acta, 90, 375–381. Hao, S., Wu, J., Huang, Y., & Lin, J. (2006), ' Natural dyes as photosensitizers for dye-sensitized solar cell', Solar Energy, 80(2), 209–214. Masaki, M., Masaya, K., Yasuhiro, K., Kazumasa, F., Jiye, J., Tsukasa, Y., Shinji, H., et al. (2011), ' Comparison of performance between benzoindoline and indoline dyes in zinc oxide dye-sensitized solar cell', Dyes and Pigment, 91, 145–152.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
KARAKTERISASI DIVAIS MULTIMODE INTERFRENCE (MMI) UNTUK POWER SPLITTER 1 X 3 BERBAHAN POLIMER Yasin Agung S., Wina I.N., Yuni N.H.,Mefina Y., Banatul M., Yono Hadi P., Gatut Yudoyono Jurusan Fisika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 [email protected]
Abstrak Pembuatan divais power splitter 1x3 telah difabrikasi menggunakan bahan polimer dan dikarakterisasi dengan metode simulasi Finite Difference Beam Propagation Method (FDBPM). Simulasi dilakukan dengan menerapkan fenomena Multimode Inteference (MMI). Pandu gelombang jenis kanal dengan bahan polimer difabrikasi dengan parameter substrat dan kover akrilik berindeks bias 1,49 dan film Methyl Methacrylate (MMA) berindeks bias 1,4905. Nilai konstanta propagasi yang digunakan dalam simulasi yaitu 1.4903412 dengan panjang gelombang 0.6328µm. Lebar kanal pandu gelombang daerah film 50µm dan panjang kanal 5000µm. Hasil simulasi menunjukkan perbandingan daya output terhadap input pada masing-masing kanal output sebesar 11%, 37%, dan 11% secara berurutan, sedangkan hasil fabrikasi sebesar 13 %, 16 %,dan 12 %. Dari kedua hasil simulasi dan fabrikasi menunjukkan bahwa divais ini dapat diaplikasikan dalam komunikasi optik untuk power splitter atau devider. Kata Kunci : Power Splitter, FD-BPM, MMI, polimer MMA, Waveguide optik
1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi berbasis optik banyak di manfaatkan dalam bidang telekomunikasi, sensor, sistem kontrol yang di fokuskan pada akurasi dan kecepatan respon. Pengaplikasian piranti optik diantaranya YJuction, X-crossing, micro ring resonator, Directional Coupler dengan berbagai fungsi sesuai kebutuhan. Piranti optik saat ini dibutuhkan untuk membentuk kinerja suatu teknologi mikro tetapi memiliki kemampuan kerja yang sangat baik, sehingga dikembangkan piranti optika terpadu. Salah satu piranti optika terpadu memanfaatkan fenomena MMI [1]. Fenomena MMI terjadi akibat pemantulan cahaya berulang dalam susunan core dan cladding pandu gelombang. Pemantulan yang berulang dalam core menyebabkan inteferensi internal sehingga terjadi perubahan pola cahaya yang keluar dari core secara periodik. MMI dapat terjadi akibat susunan indeks bias secara step dalam pandu gelombang dengan dimensi core yang memungkinkan untuk dilewati oleh beberapa moda cahaya [2,3]. Analisa divais MMI dapat menggunakan pendekatan analisa perambatan tiap-tiap moda yang telah dilakukan oleh Soldano dkk. Metode lain yang dikembangkan untuk menganalisa MMI adalah pendekatan simulasi menggunakan FD-BPM. FD-BPM adalah metode untuk menganalisa propagasi cahaya di dalam pandu gelombang. FD-BPM banyak digunakan untuk menganalisa pandu gelombang dan menghasilkan analisa yang cukup baik pada struktur material linear maupun non linear. FD-BPM menghasilkan nilai permodelan secara numerik yang lebih efesien dan stabil dibandingkan dengan FFT-BPM dan perumusan yang lebih sederhana dibandingkan analisis [4,5]. Power splitting berbasis MMI dapat difabrikasi secara sederhana dengan menggunakan pandu gelombang jenis planar yang memiliki ketebalan core tertentu. Pandu gelombang planar dapat difabrikasi secara sederhana menggunakan metode spin coating dengan cara melapisi film pada substrat. Lapisan tipis berbahan MMA berada antara substrat berbahan akrilik yang berfungsi sebagai core. Pada penelitian ini dilakukan fabrikasi dan karakterisasi divais MMI yang difungsikan sebagai pembagi daya. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
209
Yasin Agung S, dkk./ Karakterisasi Divais Multimode Intefrence (MMI)….
SFA 2013
FINITE DIFFERENCE BEAM PROPAGATION METHOD UNTUK MODA TE Persamaan gelombang mode TE untuk satu buah lapisan serat optik yaitu
+ Medan gelombang elektromagnetik yaitu
+
=0
yang merambat ke arah sumbu (
( , , )= ( , , ) (
dengan ( , , ) adalah fungsi gelombang dan menghasilkan
2 dengan mengabaikan
≫
(1)
−
)
diasumsikan menggunakan pendekatan )
(2)
adalah faktor fase. Substitusi persamaan 1 ke 2
=
+
−
(3)
≈ 0 sehingga persamaan tersebut menjadi 2
=
+
−
(4)
yang merupakan persamaan FD-BPM dengan pendekatan sinar paraksial atau pendekatan Fresnel [6]. Penyelesaian persamaan 4 dilakukan secara numerik dengan proses mendiskritisasi persamaan diferensial untuk koordinat arah perambatan ke sumbu dan ke sumbu dengan menggunakan parameter sebagai berikut
= Δ = Δ
(5a) (5b)
sehingga
→ →
dengan = , ( ) dengan ( ) =
(6) (7)
( )
dan yang merupakan bilangan bulat (integer) untuk masing-masing langkah penyelesaian secara numerik. Penyelesaian persamaan 4 secara numerik sebagai berikut
= −
−
=
=
( )−
(
(8)
)
(9)
Substitusi persamaan 8 dan 9 ke 4
2
=
(
dengan menggunakan definisi sebagai berikut
+
)
=(
)
,
( )− =(
)
, dan
(10)
= −(
)
maka persamaan 10
menjadi
2
210
,
,
=
+
+
http://www.seminar.physics.its.ac.id
+
( )−
(11)
ISSN: 2086-0773
Yasin Agung S, dkk./ Karakterisasi Divais Multimode Intefrence (MMI)….
SFA 2013
Persamaan 11 adalah solusi numerik untuk satu langkah iterasi, selanjutnya dengan menggunakan metode , → , → , dan central difference didapatkan solusi hingga iterasi ke N dengan , dengan memisahkan iterasi ke + 1 dan ke maka penyusuanan ulang
−
+ −
+
+
4 − Δ + +
( )−
−
( )−
=
+
(12)
Gambar 1. Analisa penyelesaian medan menggunakan FD-BPM, daerah dan yang menjadi daerah batas analisa
PERHITUNGAN DAYA Daya optik bergantung pada jumlah nilai medan listrik yang terpandu dalam struktur divais MMI [4]. Daya input dapat dievaluasi menggunakan persamaan integral
=
| ( )|
∫
(13)
Daya masukkan dihitung untuk semua daerah lebar divais MMI , pada FD-BPM nilai lebar | | < Daya output pada divais MMI dihitung seperti daya masukkan dengan persamaan ( )
=
∫
| ( )|
, = 1,2,3, … ..
.
(14)
2. METODOLOGI PENELITIAN Material yang dugunakan dalam pembuatan divais MMI untuk bagian cladding adalah akrilik dan untuk bagian core adalah MMA. Larutan MMA diteteskan sebanyak 0.05 − 0.06 pada akrilik kemudian dispin hingga kecepatan 1000 selama 60 detik. Akrilik yang digunakan memiliki dimensi panjang 5000 . Akrilik yang terlapisi di anilling pada suhu 70 ℃ . Hasil anilling pada suhu tersebut membuat MMA memiliki nilai indeks bias 1.4905 [7]. Pengamatan ketebalan hasil fabrikasi dan karakterisasi kinerja MMI untuk pembagi daya sesuai Gambar 2. Perbesaran yang ditunjukkan mikroskop memiliki ketelitian hingga 1.67 / .
Gambar 2. Set Up Karakterisasi Divais MMI
3. HASIL DAN DISKUSI Karakterisasi divais MMI sebagai pembagi daya dilakukan menggunakan sumber cahaya LASER He-Ne dengan = 0.6328 dan indeks bias akrilik 1.49 [8]. Pada proses karakterisasi, LASER dihubungkan dengan serat optik singlemode diameter core 9 . Hasil pemanduan oleh serat optic ditunjukkan oleh Gambar 3.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
211
Yasin Agung S, dkk./ Karakterisasi Divais Multimode Intefrence (MMI)….
SFA 2013
Gambar 3. Intensitas menggunakan nilai tingkat keabuan (grey value) 8 bit
Gambar 3 menunjukkan pola intensitas permukaan ujung serat optik sebagai sumber cahaya yang masuk ke divais MMI. Divais MMI memiliki ketebalan film 50 yang di amati menggunakan mikroskop, bentuk film ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 4. Hasil Fabrikasi divasi MMI
Pengukuran ketebalan film menggunakan kalibrasi manual, dengan cara menaruh objek di meja mikroskop, kemudian meja mikroskop digeser sejauh 50 dan terjadi perbedaan perubahan letak film. Perubahan letak objek akan memberikan perubahan koordinat pixel yang ditunjukkan oleh Gambar 4. Selanjutnya didapatkan nilai kalibrasi ketebalan dengan persamaan . (
=
/
)
(15)
Nilai ketebalan dapat di cari menggunakan persamaan =
×
(16)
Persamaan 15 dan 16 dapat digunakan untuk menentukkan jarak terpandu dan daerah terpandu pada divais MMI yang dikenai sumber LASER He Ne. Divais MMI yang di beri sumber LASER He Ne di tunjukkan oleh Gambar 5.
(b) (a) Gambar 5. Pengolahan citra MMI (a) Respon MMI sebagai Power Spliiter (b) Hasil nilai intensitas dalam grey value 8 bit
212
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yasin Agung S, dkk./ Karakterisasi Divais Multimode Intefrence (MMI)….
SFA 2013
Gambar 5(a) menunjukkan hasil fabrikasi divais MMI dan terlihat cahaya yang keluar terbagi menjadi tiga buah. Gambar 5(a) merupakan respon pemanduan divais MMI secara kualitatif yang difoto. Pengolahan data dilakukan menggunakan pengolahan citra berbasis software Image J dan di ambil citra intensitas nilai keabuan (gray value) seperti proses yang dilakukan pada Gambar 3 [9]. Hasil gray value ditunjukkan oleh Gambar 5(b). Gambar 5(b) menunjukkan nilai titik-titik data sesuai jumlah pixel yang menunjukkan respon kerja MMI dengan nilai gray value yang bervariatif. Gambar tersebut di fitting dan dihasilkan hubungan Grafik yang kontinu dari hasil fitting yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Hasil eksperimen disimulasi untuk menentukan kevalidan data eksperimen dan simulasi FD-BPM. Hubungan simulasi FD-BPM dan eksperimen MMI di tunjukkan oleh Gambar 6 dan selanjutnya dilakukan perhitungan nilai daya pada masing-masing keluran cahaya yang terbagi oleh divais MMI.
Gambar 6. Perbandingan Intensitas Simulasi FD-BPM dan fabrikasi pada divais MMI
Perhitungan data berupa daya dilakukan secara simulasi FD-BPM dan eksperimen sesuai dengan persamaan 13 dan 14 . Hasil perhitungan daya ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1. Hasil perhitungan daya divais MMI Port Efesiensi ( . ) ( ) Output (%) Simulasi Port 1 0.108 -9.67 11 FD-BPM
Hasil Fabrikasi
Port 2
0.367
-4.36
37
Port 3
0.108
-9.67
11
Port 1
0.128
-8.91
13
Port 2
0.157
-8.05
16
Port 3
0.124
-9.05
12
Terlihat bahwa pada port 2 hasil simulasi menunjukkan nilai daya yang lebih besar dibandingkan dengan hasil eksperimen. Pada port 1 dan port 2 nilai daya hasil eksperimen justru lebih besar dibandingkan dengan hasil simulasi dengan perbedaan masing-masing 1 % dan 2 %. Nilai eksperimen menjadi lebih besar karena perhitungan daya yang digunakan mengacu pada lebar pulsa eksperimen lebih besar dibandingkan dengan lebar pulsa hasil simulasi. Hasil eksperimen hanya dapat menunjukkan fenomena MMI pada bagian port output dan tidak dapat menunjukkan fenomena MMI tebentuk sepanjang kanal berukuran 5000 . Fenomena pembentukan efek MMI dapat dipelajari menggunakan simulasi FD-BPM [4]. Hasil pola medan ditunjukkan oleh Gambar 7. Hasil Simulasi FD-BPM bermanfaat untuk menentukan dimensi lebar kanal dan panjang kanal dalam melakukan perancangan piranti optika terpadu.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
213
Yasin Agung S, dkk./ Karakterisasi Divais Multimode Intefrence (MMI)….
SFA 2013
Gambar 7. Hasil Simulasi FD-BPM untuk divais MMI dengan core MMA , cladding akrilik, dan sumber cahaya LASER He-Ne
4. SIMPULAN Hasil karakterisasi divais MMI dengan lebar core 50 menggunakan material core Methyl Methacrylate dan cladding akrilik menghasilkan pembagi daya 1 x 3 dengan menggunakan sumber cahaya LASER He-Ne. Hasil eksperimen menunjukkan nilai efisiensi pada masing-masing port 13 %, 16 %, dan 12 % dan hasil simulasi 11 %, 37 %, dan 11 %. Perbedaan yang terjadi antara simulasi dan eksperimen dipengaruhi oleh faktor lebar pulsa yang terbentuk. Pengamatan eksperimen perlu dilakukan menggunakan instrument yang lebih akurat agar hasil yang diharapkan sesuai dengan eksperimen.
5. DAFTAR ACUAN 1. Soldano, L. B., & Pennings, E. C. M. (1995). Optical multi-mode interference devices based on selfimaging: principles and applications. Lightwave Technology, Journal of, 13(4), 615-627. doi: 10.1109/50.372474 2. Rinawati. (2009). Fabrikasi dan Karakterisasi Directional Coupler Struktur Slab Berbasis Polimer Polystyrene Dan Polymethyl Methacrylate (PMMA). Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 3. Sudarsono. (2009). Fabrikasi dan Karakterisasi Devais MMI Sebagai Pembagi Daya Modus TE dan Modus TM. Magister, Jurusan Fisika FMIPA - ITS, Surabaya. 4. Pramono, Y. H. (2000). Studies on All-Optical Switching in Crossing Waveguide Consisting of Nonlinear Material. Doctoral, Osaka Prefecture University, Osaka. 5. Rashed, A. M., & Selviah, D. R. (2004, 8-10 Dec. 2004). Modeling of a Polymer 1 x 3 MMI Power Splitter for Optical Backplane. Paper presented at the Optoelectronic and Microelectronic Materials and Devices, 2004 Conference on. 6. Kawano, K., & Kitoh, T . (2004). Introduction to Optical Waveguide Analysis: Solving Maxwell's Equation and the Schrödinger Equation: Wiley. 7. Tanio, N., & Nakanishi, T. (2006). Physical Aging and Refractive Index of Poly(methyl methacrylate) Glass. Polym. J, 38(8), 814-818. 8. Weber, M. J. (2010). Handbook of Optical Materials: Taylor & Francis. 9. Grove, C., & Jerram, D. A. (2011). jPOR: An ImageJ macro to quantify total optical porosity from blue-stained thin sections. Computers & Geosciences, 37(11), 1850-1859. doi: http://dx.doi.org/ 10.1016/j.cageo.2011.03.002 10. Obayya, S. (2011). Computational Photonics: Wiley.
214
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
DESAIN DAN FABRIKASI ANTENA MIKROSTRIP DIPOLE BERSUDUT UNTUK FREKUENSI WI-FI 2,4 GHz Yono Hadi Pramono, Ayu Kusumawardhani, Vira Rahayu Jurusan Fisika Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Kampus ITS Keputih, Sukolilo, Surabaya 60111 [email protected]
Abstrak Antena mikrostrip dipole bersudut telah didesain dengan menggunakan metode FDTD (Finite Differences Time Domain). Dimensi total antena adalah 36x61 mm dengan panjang dipole 50mm untuk dapat bekerja pada sistem komnikasi wireless 2,4GHz. Fabrikasi antena dilakukan dengan menggunakan Print Circuit Board (PCB) pada FR4 single side dengan permitivitas relative substrat εr=4,6 dan tebal 1,6mm. Panjang antena dipole menentukan frekuensi kerja, sedangkan parameter sudut antar dipole akan memengaruhi nilai VSWR, Return Loss dan pola radiasi. Return Loss yang diperoleh bergeser antara -10 hingga -15 dB. Kata kunci: FDTD, Dipole Antenna, Mikrostrip, VSWR, Return Loss, FR4
1. PENDAHULUAN Perkembangan IPTEK di bidang sistem komunikasi dan informasi telah berkembang semakin pesat seiring dengan kemajuan jaman. Banyak aplikasi dari sistem komunikasi yang telah diterapkan oleh masyarakat. Contohnya adalah wireless untuk mendukung sistem komunikasi tanpa kabel. Untuk mendukung cara keja dari wireless ini, adalah dengan menggunakan antena [1]. Salah satu penerapan dari antena tersebut adalah aatena dipole untuk komunikasi wi-fi pada frekuensi kerja 2,4 GHz yang telah difabrikasi dan diuji karakterisasinya dengan alat RF Network Analyzer di LIPI-Bandung untuk mengetahui nilai dari Return Los (RL) dan Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) [2]. Melalui penelitian ini, sebuah antena mikrostrip dipole bersudut akan didesain dan dianalisa parameterparameter hasilnya. Antena ini memiliki feedline berupa coplanar stripline. Antena ini didesain untuk dapat bekerja pada frekuensi 2,4GHz. Salah satu parameter yang akan dianalisa didalam pengamatan ini adalah Return Loss (RL) dari antena tersebut karena RL berhubungan dengan impedansi input pada antena. Selain itu, juga untuk mencapai matching impedance antara impedansi input antena mikrostrip dengan impedansi kabel konektor yang umumnya bernilai 50 Ohm.
2. DASAR TEORI Antena dipole merupakan sebuah antena yang terbuat dari kawat tembaga yang disesuaikan ukurannya agar dapat bekerja pada frekuensi yang diinginkan. Agar dapat bekerja, maka panjang total dari sebuah antena dipole sebaiknya adalah 1/2λ. Antena dipole memiliki nilai impedansi sebesar 50 Ohm sehingga dapat dipasang feedline berupa kabel koaksial. Dan untuk arah pancaran antena dipole, antena ini memiliki arah pancaran tegak lurus pada arah kawat antena dan sejajar dengan arah ground [3]. Sementara untuk antena dipole bersudut, antena ini tersusun dari strip tembaga yang sejajar dan masingmasing dari kawat tersebut membentuk sudut sesuai yang diinginkan agar dapat bekerja pada frekuensi yang tepat. Pada antena ini, terdapat logam strip yang sangat tipis (t<< λ) yang ditempatkan di bagian kecil dari suatu panjang gelombang (h<< λ) diatas bidang. Diantara bagian strip dengan bagian bidang, dipisahkan oleh lapisan dielektrik. [5] ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
215
Yono HP, dkk. / Desain dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Dipole….
SFA 2013
Gambar 1 Antena dipole
Dimensi antena mikrostrip dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: [5] =
(1)
f adalah frekuensi antena, c adalah kecepatan gelombang elektromagnetik dan λo adalah panjang gelombang dalam ruang bebas. Sementara untuk mendapatkan dimensi panjang antena, digunakan persamaan berikut: =
(2)
Kemudian untuk menentukan lebar (a) dari dimensi antena pada gambar diatas, digunakan persamaan: =
(3)
Sedangkan untuk menentukan panjang (w), digunakan persamaan: =
(4)
dengan nilai s=1,8mm. Sementara nilai k didapatkan dari persamaan impedansi awal pada antena mikrostrip dipole, yaitu: =
(
)
(
)
(5)
dengan, (
)
(
)
= [
(
√ √
(6)
)
]
Setelah didapatkan semua ukuran dimensi untuk antena dipole bersudut ini, kemudian dilakukan analisa pada parameter-parameter umum dari antena ini, seperti nilai Return Loss (RL), Voltage Standing Wave Ratio (VSWR), Smith Chart, Pola Radiasi, Gain dan Half Power Beam Width (HPBW).
3. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode karakterisasi antena. Sementara substrat PCB yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan bahan FR4 yang memiliki nilai permitivitas relatif sebesar 4,6. Selain itu, untuk bahan pada antena mikrostrip, digunakan cooper atau tembaga. Dan pada feedline, akan disambungkan dengan konektor. Sedangan dalam proses fabrikasi, dilakukan dengan menggunakan software komputer, yaitu CorelDRAW. Gambar desain antena dicetak pada kertas scotlight yang dipotong sesuai dengan bentuk desain antena dan kemudian kertas tersebut direkatkan pada PCB fiber double side. Langkah selanjutnya adalah tahap pelarutan (etching method). Pelarutan dilakukan dengan cara PCB yang sudah ditempeli scotlight lalu ) . Setelah logam konduktor yang tidak tertutup scotlight terlarut, PCB dimasukan pada larutan ( diangkat dan dibersihkan dengan air.
216
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yuni Nur H, dkk./ Study Awal Pengaruh Temperatur ….
SFA 2013
Langkah-langkah dibawah menunjukan diagram alur untuk mendesain, memfabrikasi dan menganalisa antena mikrostrip dipole bersudut dengan feed coplanar stripline.
mulai studi literatur
menentukan substrat merancang model
simulasi software
FDTD fabrikasi
karakterisasi dengan VNA
analisa data
cocok
tidak
selesai
Gambar 2 Diagram alur penelitian
Untuk ukuran pada setiap masing-masing dimensi antena yang dapat dilihat pada gambar 1, dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 1. Ukuran dimensi antena mikrostrip dipole bersudut dengan fcoplanar stripline No
Dimensi
Nilai (mm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
a b w x p q s h t
36 61 8.6 3.298 50 11 1.8 1.6 0.035
Ukuran dari tiap masing-masing dimensi antena, dapat dilihat pada penjelasan di persamaan (1) hingga pada persamaan (6).
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
217
Yono HP, dkk. / Desain dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Dipole….
SFA 2013
4. HASIL DAN DISKUSI Setelah dilakukan fabrikasi, antena tersebut kemudian diukur dengan menggunakan Network Analyzer dan diperoleh data berupa VSWR, Return Loss, smith chart dan pola radiasi. Pada pengukuran antena ini, dilakukan dua kali pengamatan yaitu pengamatan indoor dan pengamatan outdoor. Pada pengamatan indoor, didapatkan hasil data berupa VSWR, Return Loss dan smith chart. Sedangkan pada pengamatan outdoor, didapatkan hasil data berupa pola radiasi. Berikut adalah data hasil untuk hubungan SWR terhadap frekuensi:
Gambar 3 Hubungan antara frekuensi dengan nilai VSWR dengan rentang frekuensi 2.2-2.6 GHz
Sedangkan untuk plot data hubungan antara return loss terhadap frekuensi dapat dilihat pada gambar 4
Gambar 4. Hubungan antara frekuensi dengan nilai Return Loss pada frekuensi 2.4 GHz
Sementara untuk hasil pengukuran pada smith chart, dapat dilihat pada gambar 5 pada hasil ini, dapat diketahui nilai impedansi dari antena, yaitu berkisar 47 Ohm.
218
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yuni Nur H, dkk./ Study Awal Pengaruh Temperatur ….
SFA 2013
Gambar 5 Hubungan antara frekuensi dengan pola smith pada frekuensi 2.4 GHz
Kemudian, untuk hasil pengamatan outdoor yaitu pengamatan pada pola radiasi, didapatkan hasil data seperti gambar 6.
Pola Radiasi pada Frekuensi 2 ,4 GHz 0.00E+00 360 340 -5.00E+07 320 300 -1.00E+08 280 260 240 220
20
40
60 80 120
200
140 160 180
Series2
Gambar 6 Hasil data pada pola radiasi antena
5. SIMPULAN Pada penelitian ini, telah difabrikasi antena mikrostrip line dipole bersudut dengan feed coplanar stripline dengan menggunakan PCB single side dengan substrat FR4 yang memiliki permitivitas 4,6. Dimensi ukuran antena adalah 61mm x 36mm dan berikut adalah kesimpulan dari penelitian ini. 1. 2. 3.
Hasil pengukuran dan fabrikasi desain antena mikrostrip line dipole bersudut dengan feed coplanar stripline yang memiliki frekuensi kerja terbaik 2,4GHz dengan nilai VSWR yaitu 1,13 Return Loss dari antena ini adalah bergeser sekitar -12 dB hingga -27 dB Hasil dari smith chart menunjukkan bahwa pada antena ini memiliki nilai impedansi sebesar 47 Ohm
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
219
Yono HP, dkk. / Desain dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Dipole….
SFA 2013
6. DAFTAR ACUAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
220
Khasanah, Uswatun, Pramono, Y.H. (2009), ’Fabrikasi dan Karakterisasi Dipole Biquad Antenna untuk Komunikasi Wi-fi’, Jurnal Fisika dan Aplikasinya., Vol. 5, no.2 Imam, S, Pramono, Y.H. (2013), Desain dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Berstuktur 4 Larik Double Biquad dengan Feedline 2λ untuk Komunikasi Wi-Fi 2.4 GHz, ITS, Surabaya Sabhani, N.H. dan Rao, B.V. (1983), 'Analysis of a Novel Offset Parallel Strip Transimition Line on a Dielectric Substrate’, Microwave Conference, 1983, 13th European 438-443 Balanis, C.A. (1997), Antenna Theory and Design, 2nd ed., Wiley, Ney York Abbosh, Amin,M. (2008), ’Design of CPW-Fed Band-Notched UWB Antennas Using a Feeder Embedded Slotline Resonator’, Internal journal antenna and propagation., Vol. 52, pp. 3335-3345 Colin, A., Febvre,P. (2009), ’Design of a Wideband Slot Bowtie Antenna Excited by a Microstrip to CPW Transition for Aplications in the Milimeter Wave Band’, dalam PIERS Proceedings, Moscow, Rusia Vol. 20, Sydney, p. 1421-1425.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
STUDY AWAL PENGARUH TEMPERATUR PADA PANDU GELOMBANG PLANAR ASIMETRI BERBAHAN METHYL METHACRYLATE (MMA) DENGAN METODE SPIN COATING Yuni N.H., Yasin Agung S., Wina I.N., Mefina Y., Banatul M., Gatut Yudoyono, A.Y. Rohedi Jurusan Fisika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 [email protected]
Abstrak Pandu gelombang planar difabrikasi dengan bahan pelapisnya menggunakan Methyl Methacrylate (MMA) yang mempunyai indeks bias sebesar 1,4908. Substrat dan cover yang digunakan berupa akrilik dengan dimensi 12 x 9 mm2 dan memiliki indeks bias 1,49. Proses pembuatannya menggunakan metode Spin Coating dengan speed putaran 2000 rpm, waktu putarannya 60 detik serta dipanaskan pada suhu 60 C selama 10 menit. Pengamatan ketebalan pandu gelombang dilakukan dengan melewatkan sinar laser He-Ne pada lapisan melalui serat optik single mode dan didapatkan tebal lapisannya sebesar 9 µm dengan ketelitian hingga 2.22 µm/pixel. Selanjutnya dilakukan pengamatan pengaruh suhu terhadap lapisan tipis pemandu gelombang yang dilakukan dengan cara meletakkan sebuah elemen sebagai sumber panas di atas waveguide lapisan tipis MMA dan gambar hasil pengamatan diambil tiap kenaikan suhu sebesar 0.5 ºC. Analisa dalam penelitian ini dilakukan menggunakan program imageJ. Dari hasil analisa didapatkan sensitivitas pengukuran suhu dari sensor pandu gelombang slab asimetri sebesar 2 /℃ atau 0.5 ºC/pixel. Kata Kunci : Methyl Methacrylate(MMA), Pandu Gelombang Planar, Spin Coating.
1. PENDAHULUAN Pada awal abad ke-20 ketertarikan orang-orang pada bidang lapisan tipis sangat terbatas.Pada saat itu penggunaan lapisan tipis hanya dibatasi untuk film refleksi pada interferometer. Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat luar biasa, berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan piranti-piranti yang canggih dan efisien [1]. Salah satunya adalah dengan cara melapisi piranti-piranti tersebut dengan lapisan tipis yang terbuat dari bahan tertentu seperti polimer. Lapisan tipis polimer merupakan bagian yang sangat penting dalam perkembangan teknologi fotonik seperti untuk integrated optics, laser, LED, sel surya, lensa kaca mata, dan peralatan astronomi. Pandu gelombang planar sangat cocok dikembangkan untuk integrated optics (IO) karena mudah difabrikasi dan dapat diintegrasi dengan komponen optik yang lainnya. Pandu gelombang planar dapat dibuat dari lapisan tipis dengan indeks bias yang sesuai. Lapisan tipis untuk pandu gelombang harus transparan, mempunyai indeks bias dan ketebalan yang homogen, dan mempunyai permukaan yang halus [2]. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendapatkan lapisan tipis dengan kualitas yang baik. Sehingga ditemukan beberapa metode yang bisa digunakan dalam pembuatan lapisan tipis, salah satunya adalah dengan metode Spin Coating. Metode ini cukup sederhana dan mudah dilakukan serta mampu menghasilkan lapisan tipis dengan kualitas optik yang baik [3]. Prinsip dari metode Spin Coating ini adalah dengan meneteskan suatu lapisan tipis berindeks bias tinggi (dari bahan Methyl Methacrylate dengan indeks bias 1,4908) di atas substrat yang berindeks bias lebih rendah (berupa akrilik dengan indeks bias 1,49). Proses ini akan menghasilkan lapisan tipis pemandu gelombang diantara daerah berindeks bias rendah, yaitu substrat dan udara. Sebagai aplikasinya, pandu gelombang planar ini dapat digunakan sebagai sensor suhu yang mana harus diketahui terlebih dahulu pengaruh suhu dan sensitivitasnya terhadap pandu gelombang planar.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
221
Yuni Nur H, dkk./ Study Awal Pengaruh Temperatur ….
2.
SFA 2013
TEORI
Pandu gelombang planar terdiri dari film tipis (indeks bias nf) yang terletak diantara substrat (ns) dan kover (nc) yang berupa udara [2]. Pemanduan cahaya pada pandu gelombang akan terjadi bila nf > ns > nc, karena gelombang optik yang terpandu dalam lapisan film merupakan gelombang optik yang mengalami pantulan internal total [4]. Menurut hukum Snellius, hubungan antara gelombang datang dan gelombang yang diteruskan yaitu =
sin
sin
(1)
untuk nf > nk maka pada = /2, tidak ada gelombang yang merambat pada daerah kover sehingga dapat dikatakan gelombang mengalami pemantulan dalam total pada daerah film, sehingga untuk sudut kritis dapat dituliskan =
sin
(2)
Sehingga dapat pula dikatakan bahwa pemantulan dalam total dapat terjadi bila sudut masukannya lebih besar daripada sudut kritis. Struktur bahan pandu gelombang mempunyai indeks bias substrat (ns) lebih besar dari pada indeks bias kover (nc), sehingga θs lebih besar dari θk. Mengacu pada kriteria tersebut secara umum moda gelombang optik akan terpandu, maka rentang sudut datang yang mungkin untuk perambatan sinar optik tersebut ada tiga interval, yaitu θkritis-substrat< θi< 90 , θkritis-kover< θi< θkritis-substrat, dan θs> θk. Ketika sudut datang sinar berada dalam rentang θkritis-substrat< θi< 90 , sinar yang terpantul sempurna saat menumbuk bidang batas, terkurung dan menjalar di sepanjang film menurut lintasan zig-zag. Jika bahan penyusun suatu pandu gelombang tidak terdapat rugi-rugi(losses), maka cahaya yang terpandu tidakalami atenuasi [4].
Gambar 1. Lintasan gelombang yang terpandu dalam film
Proses pemanduan gelombang optik pada pandu gelombang planar hanya berlangsung sepanjang arah sumbu x dan arah perambatannya sepanjang arah sumbu z. Menurut teori perambatan gelombang elektromagnetik, medan listrik dan medan magnet tangensial untuk moda TE yang terpandu berturut-turut dalam pandu gelombang planar adalah =−
(3)
dan =
−
(4)
dengan = √−1 Hubungan kedua medan transversal tersebut dituliskan dalam bentuk +
=−
( )
.
(5)
jika kedua ruas Pers.(2.5) dideferensialkan terhadap x maka didapatkan persamaan gelombang Helmholtz moda TE
222
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yuni Nur H, dkk./ Study Awal Pengaruh Temperatur ….
+
SFA 2013
= 0.
.(6)
dengan, = tetapan propagasi gelombang optik sepanjang sumbu z di dalam bahan =
−
adalah tetapan propagasi dalam ruang hampa adalah indeks bias dalam film adalah tetapan propagasi efektif dari setiap gelombang optik yang terpandu Harga tetapan propagasi efektif ini tergantung pada nilai indeks bias efektif (N) dan tetapan propagasi dalam ruang hampa (k0) dengan hubungan = .Selanjutnya nilai indeks bias efektif (N) bergantung pada indeks terpandu ternormalisasi (b) dengan hubungan
=
( )
Pada proses pemanduan gelombang optik, nilai tetapan propagasi untuk masing-masing daerah dapat dinyatakan sebagai [5] =
−
=
−
=
−
(7) .
(8) (9)
dengan, adalah tetapan propagasi untuk daerah film adalah tetapan propagasi untuk daerah substrat adalah tetapan propagasi untuk daerah kover
3.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan Methyl Methacrylate (MMA) sebagai lapisan tipis (film tipis), akrilik dengan ukuran 9 x 12 mm2 sebagai substrat yang akan dilapisi film. Larutan Methyl Methacrylate sebanyak 0,04-0,05 ml diteteskan di atas akrilik kemudian diputar pada kecepatan 1000 dan 2000 rpm selama 60 detik dengan menggunakan spin coater kemudian dipanaskan diatas hotplate pada suhu 60ºC selama 10 menit. Pada saat fabrikasi, akrilik dipastikan dalam keadaan yang benar-benar bersih agar lapisan dapat merekat dengan sempurna pada substrat. Pengamatan ketebalan dan karakterisasi pandu gelombang hasil fabrikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop seperti pada gambar 2. Perbesaran yang ditunjukkan mikroskop memiliki ketelitian hingga 2.22 / .
Gambar 2. Set Up Karakterisasi Pandu Gelombang
Untuk pengamatan pengaruh suhu pada lapisan tipis pemandu gelombang dilakukan dengan cara elemen setrika diletakkan di atas waveguide lapisan tipis MMA dan perubahan gambar yang terjadi diambil/ difoto setiap kenaikan suhu 0,5 ºC.Untuk menganalisa gambar hasil pengamatan digunakan program imageJsehingga didapatkan grafik hubungan antara suhu dan pergeseran pixel. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
223
Yuni Nur H, dkk./ Study Awal Pengaruh Temperatur ….
SFA 2013
4. HASIL DAN DISKUSI Lapisan tipis yang telah difabrikasi ditunjukkan pada Gambar 3 yang menunjukkan lapisan pandu gelombang asimetri dengan substrat akrilik, film MMA , dan over berupa udara. Lapisa tipis ini di analisa menggunakan pendekatan pandu gelombang slab asimetri.
Gambar 3. Hasil Lapisan Tipis untuk pandu gelombang slab asimetri
Pengukuran ketebalan lapisan film MMA menggunakan perkalian antara range jumlah pixel pada MMA dengan skala ketelitian mikroskop sebesar 2.22 / . Berdasarkan pengukuran di dapatkan nilai ketebalan lapisan film 9 . Nilai ketebalan lapisan film sangat berpengaruh kepada jumlah moda-moda yang terpandu.Hasil analisa pengaruh ketebalan terhadap jumlah moda yang terpandu di tunjukkan oleh Gambar 4.Gambar 4 menunjukkan jumlah moda yang terpandu dalam film MMA, agar dapat terpandu dengan baik maka nilai konstanta propagasi harus sesuai dengan simulasi pada Gambar 4. Berdasarkan eksperimen nilai berupa sudut masukan sumber cahaya ke dalam pandu gelombang slab, hasil terpandu dalam eksperimen ditunjukkan oleh Gambar 5 dengan sumber cahaya LASER He-Ne 0,6328 . Pada Gambar 5 jumlah moda terpandu terlihat hanya satu buah saja, yang ditunjukkan secara visual dari pengamatan mikroskop dan berdasarkan hasil pengolahan gambar menggunakan ImageJ. Gambar 5(b) dilakukan regresi polynomial orde 6 dengan persamaan y = -0.0689x6 + 1.723x5 - 15.329x4 + 57.019x3 - 83.872x2 + 74.487x.
Gambar 4. Jumlah moda terpandu berdasarkan pengaruh ketebalan film MMA dengan sumber cahaya LASER He-Ne 0,6328 , indeks bias substrat akrilik 1.49, indeks bias film MMA 1.4908, dan indeks kover udara 1,0003.
224
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Yuni Nur H, dkk./ Study Awal Pengaruh Temperatur ….
(a)
SFA 2013
(b)
Gambar 5. Hasil terpandu dari lapisan tipis film MMA dengan ketebalan 9 (a) Hasil pengamatan mikroskop (b) Hasil pengolahan gambar menggunakan Image J
Hasil lapisan tipis yang digunakan sebagai pandu gelombang slab asimetri diaplikasikan untuk sensor pendeteksi perubahan suhu lingkugan sekitar.Gambar 6 menunjukkan perubahan posisi terpandu terhadap perubahan suhu.
Gambar 6. Perubahan posisi terpandu (pixel) terhadap perubahan suhu
Keuntungan menggunakan sensor pandu gelombang slab asimetri adalah sesnsitivitas yang diperoleh tinggi. Pemberian perubahan suhu dilakukan pada daerah kover pandu gelombang. Pemanasan udara di sekitar lapisan kover akan mempertinggi suhu lingkungan tersebut dan mempengaruhi lapisan MMA sebagai film. Lapisan MMA memiliki indeks bias yang sensitif terhadap perubahan suhu, perubahan indeks bias disebabkan oleh ikatan-ikatan dalam lapisan MMA memiliki jari-jari antar ikatan yang berubah akibat pemanasan lingkungan sekitar. Perubahan indeks bias menyebabkan nilai sudut masukan optimum berubah dari kondisi sebelum diberi pengaruh suhu, sehingga posisi terpandu akan berubah yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa pergeseran posisi terpandu linear terhadap perubahan suhu dengan persamaan = 0.4939 + 28.9516. sehingga didapatkan nilai sensitivitas pengukuran suhu dari sensor pandu gelombang slab asimetri sebesar 2 /℃ atau 0.5 ºC/pixel.
5. KESIMPULAN Lapisan tipis yang dimanfaatkan sebagai pandu gelombang slab asimetri dapat difabrikasi menggunakan teknik spin coating dengan kecepatan putaran 2000 rpm diperoleh ketebalan lapisan sampai dengan 9 pada larutan MMA. Berdasarkan analisa jumlah moda terpandu untuk MMA di dapatkan jumlah moda terpandu yang selanjutnya diaplikasikan sebagai sensor pendeteksi perubahan suhu. Sensitivitas pengukuran adalah suhu dari sensor pandu gelombang slab asimetri adalah 2 /℃ atau 0.5 ºC/pixel.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
225
Yuni Nur H, dkk./ Study Awal Pengaruh Temperatur ….
SFA 2013
6. DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
4. 5.
226
Muniroh, Kiswatul. (2008). Pengaruh Temperatur pada Ketebalan Lapisan Tipis Polymethyl Methacrylate (PMMA) Hasil Fabrikasi dengan Spin Coating.Jurusan Fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Bahtiar, Ayi. dkk. 2006. Fabrikasi dan Karakterisasi Pandu Gelombang Planar Polimer Terkonjugasi. Jurusan Fisika FMIPA UNPAD. Bandung. Hamidah, Nur. 2008. Analisis Pandu Gelombang Lapisan Tipis Struktur Tiga Lapis Bahan Polymethyl Methacrylate (PMMA) dan Polystyrene Hasil Fabrikasi dengan Teknik Spin Coating. Tugas Akhir. Jurusan Fisika FMIPA ITS. Surabaya. Rubiyanto, Agus. dkk. 2003. Optika Terpadu. Buku Ajar Jurusan Fisika FMIPA.Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Gontjang, P. 2003. Disain Piranti WDM (Wavelength Division Multiplexing) Berbasis Directional Coupler. Tesis Magister. Jurusan Fisika FMIPA ITS. Surabaya.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
A COMPARATIVE STUDY OF VARIOUS METHODS OF RESPIRATORY FREQUENCY ESTIMATION FROM ELECTROCARDIOGRAM Pratondo Busono Division of Biomedical Engineering Technology Center for the Pharmaceutical and Medical Technology, BPPT, Jakarta e-mail:[email protected]
Abstrak This paper presents a comparative study of the performance of the recent development techniques for estimating the respiratory frequency proposed by researcher. The goal of this study in general is to obtain the simple, fast and accurate technique which can be implemented into the ECG machine. For each method, time and frequency correlation between the ECG derived respiration and the real respiration were computed. In this evaluation, MATLAB programs were developed for all the techniques. The performance of those techniques will be investigated under various conditions: free breathing signals and noisy signals recorded with motion of the patient. Keywords: electrocardiogram, respiration measurement, respiration rate.
1. INTRODUCTION Respiration is one of the main body functions. Respiration monitors and measurements are importance in providing timely information regarding pulmonary function in adults and the incidence of Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) in neonates. Several approaches have been designed to measure respiration and they can be categorised into direct and indirect methods. In direct methods, a sensor is coupled to the airway and measures the movement or other properties of air transported into and out of the mouth and nose. Respiration can also be monitored indirectly by measuring changes in body volume; examples of such techniques are transthoracic inductance and impedance plethysmographs, strain gauge measurement of thoracic circumferences and whole body plethysmographs [1]. It is well recognised that there are breathing-related characteristics in the ECG. The effects on the ECG of heart displacements produced by respiratory movements were frst systematically analysed by Einthoven et al. (1913). Nowadays it is a well known fact that respiratory action produces a rotation of the cardiac vector as is the effect of the Respiratory Sinus Arrhythmia on the ECG signal. Analysis of ECG with respect to respiration can give important understanding about cardiac arrhytmias, apnea, heart failure and chronic lung disease. Certain ardiac arrhythmias can be understood only with reference to respiration. Apnea or breathing disorder may be associated with tachycardia, increased ventricular ectopy, or asystole. Stress, heart failure, and chronic lung disease may result in both tachypnea and tachyarrhythmia. The main advantage of this technique is that no additional hardware or sensors are required for implementing it. Several techniques to estimate respiratory information from the ECG are available in literature. Some techniques are based on respiration-induced variations in beat-to-beat morphology, while others attempt to extract from heart rate variability. In this paper, a comparative study of the performance of the recent development techniques for estimating the respiratory frequency proposed by researcher was conducted and the goal of this study in general is to obtain the simple, fast and accurate technique which can be implemented into the ECG machine. For each method, time and frequency correlation between the ECG derived respiration and ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
227
Pratondo Busono/ A Comparative Study of Various Method ….
SFA 2013
the real respiration were computed and compared. In this evaluation, MATLAB programs were developed for all the techniques. The performance of those techniques will be investigated under various conditions: free breathing signals and noisy signals recorded with motion of the patient.
2. METHOD Data Acquisition ECG signals were acquired simultaneously at 300 Hz using a 12-lead PC based ECG monitor (Nasiff, USA) as shown in Fig. 1. The ECG-derived respiration signals were compared with simultaneously measured belt respiration signal obtained using RSP100C (Biopac, USA).
Figure 1. 12-lead PC based ECG (Nasiff, USA) with PS410 ECG Simulator (Fluke)
Extraction algorithms of ECG derived respiration The algorithm for extraction of ECG derived respiration usually consists of pre-processing stage which contains notch filter for removing power-line interference and banpass filter for baseline wandering and QRSwave detection. The following methods were selected to obtain the EDR signals: Heart Rate Variability method uses the beat-to-beat intervals for the construction of the EDR signal [2] Bandpass filter is used to extract the EDR signal arising from the ECG signal in the respiratory frequency band. Bandpass filter with frequency range of 0.2-0.4 Hz provides accurate respiratory signals [3]. Amplitude method calculates the EDR from the change in the amplitude of each QRS complex. The movement during respiration generates slow amplitude changes in the ECG. These changes are used to extract a respiratory signal by interpolating between the amplitudes of successive QRS peaks with respect to the baseline. Removal of the baseline wander is performed by the application of 2 bandpass filters for removing the P waves and T wave [4]. Area method computes the area of the QRS complex against its baseline. The baseline is defined as the mean value around each beat. The baseline is subtracted to the ECG and the area is calculated within a 100 ms time window around the R peak [5]. Angle of Mean Electrical Axis (AMEA) method estimates the EDR as the variations of the heart axis. The area of two ECG leads is calculated. The angle of the mean electrical axis is obtained as arctangent of the ratio of these areas [6]. 228
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Pratondo Busono/ A Comparative Study of Various Method ….
SFA 2013
Evaluation Parameters Three parameters were computed to evaluate the performance of the methods. First is the correlation between the real respiration measurements and the EDR signals obtained using above mentioned algorithms. Second is the correlation of the spectra of both the real respiration and EDR signals in the range of interest. The third is the relative error in detecting the respiration rate between the EDR signals and the real respiration measurements using thoraic belt.
4. RESULTS The ECG data and respiration signals are acquired from 10 male and female patients with ages in between 40-65 year old and weight in between 65-85 kg. Other 5 patients are male and female students with ages below 25 years. Such biosignal data are taken for 15 minute duration. Among the patients, 2 patients are indicated having cardiovascular diseases. The patients are in the free breathing condition. The placement of the electrodes is shown in Figure 2. The data are acquired from right arm, chest and left arm.
LA
RA
Figure 2. Placement of ECG electrodes on the body Original ECG Signal
Voltage [Volts]
1.5
1
0.5
0
0
2
4
6
8 10 12 Time [second] ECG Signal after LPF
14
16
18
20
Voltage [Volts]
1
0.5
0
0
1
2
3 Time [second]
4
5
6
Figure 3. ECG signals between electrode at position RA and V6 position
Figure 3 shows the ECG waveforms with electrodes placed at the position of right arm and the V6 position. The ECG signals had been digitally filtered using LPF with cut off frequency of 0.05 Hz, high pass filter with cut off frequency of 150 Hz and the notch filter. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
229
Pratondo Busono/ A Comparative Study of Various Method ….
SFA 2013
Figure 4 (top) shows the respiration signal obtained using thoraic belt sensor. Iregular pattern is observed in the measured signals for patient with heart diseases. Figure 4 (bottom) shows the respiration signals after passing the low pass filter. Original Respiration Signal
Respiration [Volts]
2 1 0 -1 -2
0
5
10
15 20 Time [second] Respiration Signal after LPF
25
30
Respiration [Volts]
2 1 0 -1 -2
0
5
10
15
Time [second]
Figure 4. Respiration signals : original signal (top) and after passing low pass filter (bottom)
Figure 5 shows the ECG derived respiration signal (EDR) extrated from the aboved ECG signals using the band filter method. A bandpass filter with band frequency of 0.2 and 0.4 Hz is used. 1 0.8 0.6 0.4
EDR(Volt)
0.2 0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1
0
1000
2000
3000
4000 Time(ms)
5000
6000
7000
8000
Figure 5. The ECG derived respiration (EDR) with ECG electrodes at the position right arm and V6 position (band pass filter method) 1 0.9 0.8
EDR [Volt]
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 15
20
25
30
Time [second]
Figure 6 The ECG derived respiration (EDR) with ECG electrodes at the position right arm and V6 position (AMEA method)
Figure 6 shows the EDR extracted from ECG signals using AMEA method. It is seen that EDR signals have the similar pattern with the repiration signals. The validity for each algorithms was demonstrated by 230
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Pratondo Busono/ A Comparative Study of Various Method ….
SFA 2013
comparing that the results between the ECG derived respiration signals obtained by the algorithms and the respiration signal measured by the thoracic belt method. Tabel 1. Correlation between the thoraic measurement and EDR
Lead I II III aVR aVF aVL V1 V2 V3 V4 V5 V6
Correlation Time
Frequency
0.71 0.69 0.69 0.70 0.71 0.68 0.65 0.63 0.59 0.67 0.69 0.72
0.87 0.84 0.83 0.84 0.85 0.85 0.86 0.87 0.87 0.88 0.88 0.89
In this work, effect of the electrode placement on the body surface on respiration pattern was also investigated. With this objective, different lead configuration were recorded. Tabel 1 shows the median values of correlation between EDR and respiration signals in both time and frequency domains for various lead position. It is seen that correlation between RA electrode and V6 elecetrode gives the highest value. Tabel 2 shows the sensitivity and relative errors of beat detection between the EDR signals extracted for various electrode positions from I(RA) to V6. The amplitude base algorithm is used to extract the EDR signals. The error is measured between EDR signals and the thoracic belt respiration signals as real respiration (gold standard). It shows that EDR signals from lead I to lead V6 reflect respiration well since the relative error is less than 5%. The best performance was obtained with the electrode positions corresponding to position I (RA) and V6 posisition with relative error of 1.72%. Tabel 2. Sensitivity and Relative Error for Various Lead
Lead I II III aVR aVF aVL V1 V2 V3 V4 V5 V6
ISSN: 2086-0773
Parameter Sensitivity(%)
Relative Error (%)
98.61 98.49 98.79 98.52 98.31 98.58 97.45 97.53 98.39 98.37 98.69 99.22
2.27 2.54 2.73 2.94 2.85 2.95 2.86 1.87 1.87 2.18 2.08 1.72
http://www.seminar.physics.its.ac.id
231
Pratondo Busono/ A Comparative Study of Various Method ….
SFA 2013
The best sensitivity value is also observed at such correspoding position with the value of 99.22%. It means that most of the beat can be detected using the amplitude based algorithm. Tabel 3 shows the relative error versus the method used to extract the EDR signals for free breathing condition. Amplitude method gives the best performance among other method. Tabel 3. Relative Error vs Method
Method
Relative Error (%)
Bandpass filter Amplitude Area HRV AMEA
9.8 1.56 2.07 12.45 2.65
Table 4 shows respiration rates which were measured from thoracic belt signals, respiration rate obtained various EDR algorithms. The respiration rate measured using thoraic belt is used as gold standard (reference). In this measurements the objets are the male and female patients. The data tabeled are the mean value of the respiration rates taken 1 hour. In most cases, it can be seen all EDR and real respiration signals are almost identical in terms of respiration rate. As shown in Table 4, the difference of respiration rate was not distinctive regardless of which one was used among the methods. Tabel 4 Respiration rates calculated using Thoraic belt and EDR Respiration Rate (bpm) Object
EDR Signals
Thoraic Belt Measurement
Filter
Amplitude
HRV
AMEA
Area 22,1
1
22
21,3
21,2
21,4
22,1
2
20
20,2
20,2
21
19,5
20
3
18
18,1
18,2
18
18,3
18,2
4
19
19
19,1
20
20
20
5
16,7
17
17,3
17
17,1
17,2
6
18,2
18,4
18
18,7
19,1
19,1
7
21,1
21,2
21,1
21,3
21,8
21,3
8
20,2
20,1
20,3
21,6
21,8
21,6
9
16
16,2
16
16,1
16,5
16,4
10
17,2
17,3
17,1
17,4
17,5
17,4
11
12
12,3
12,1
12,2
12,2
12,2
12
16,1
16
16,1
16,3
16,2
16,1
13
17,7
17,6
17,6
17,8
18
18,1
14 15
18,2 23,1
18,3 23,4
18,2 23,1
18,6 23,4
18,6 23,7
18,5 22,8
Since there is no extra sensor and no hardware required for ECG-derived respiration extraction, it is a useful method for long-term home monitoring of sleep, and further makes it possible to measure respiration signals as well as ECG and heart rate variation. However, the EDR signals are thoroughly dependant on ECG, so that specific ECG caused by a certain disease can disturb the precise ECG-derived respiration extraction. 232
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Pratondo Busono/ A Comparative Study of Various Method ….
SFA 2013
5. CONCLUSION Evaluation of various methods for extraction of respiratory frequency from the ECG signal had been conducted. A dataset of ECG and respiration signal taken from direct measurement was collected. When the respiration rate was constant, all methods had high performance obtaining a good estimation of the respiration signal.
6. REFERENCES 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
14.
Moody GB, Mark RG, Bump MA, Weinstein JS (1986), ‘Clinical validation of ECG-derived respiration technique’, Comput Cardiol, 13:507–510. Schafer A, Krakty K. (2008),’ Estimation of breathing rate form respiratory sinus arrhythmia: comparison of various methods’, Annals of Biomedical Engineering, pp. 476-485. Boyle J., Bidargaddi N., Sarela A, and Karunanithi .( 2009), ‘Automatic Detection of Respiration Rate From Ambulatory Single-Lead ECG’, IEEE Trans. On Inform. Tech. On Biomedicine. Vol. 13, No. 6., pp. 890-896. O’Brien C, Heneghan C (2007), ‘A comparison of algorithms for estimation of a respiratory signal from the surface electrocardiogram’, Comput Biol Med, 37:305–314. Correa L, Laciar E, Torres A & Jane R. (2008), ‘Performance evaluation of three methods for respiratory signal estimation from the electrocardiogram’ in the 30th Annual International IEEE EMBS Conference Moody GB, Mark RG, Zoccola A, Mantero S (1985), ‘Derivation of respiration signals from multi-lead ECGs’, Comput Cardiol, 12:113–116. Zhao L, Reisman S, Findley T. (1994), Derivation of respiration from electrocardiogram during heart rate variability studies’, Computers in Cardiology, pp. 53-56. Caggiano D, Reisman S. (1996), ‘ Respiration derived from the electrocardiogram: a quantitative comparison of three different methods. in Bioengineering Conference, pp.103- 104. Bianchi A, Pinna G, Croce M, Rovere M, Maestri R, Locati E. (2003), Cerutti S. Estimation of the respiration activity from orthogonal ECG leads’, Computers in Cardiology, pp.30:85-88. Mazzanti B, Lamberti C, Bie J (2003) ‘Valiation of an ECG-derived respiration monitoring method’, Comput Cardio, l 30:613–616. Mietus JE, Peng CK, Ch Ivanov P, Goldberger AL (2000), ‘Detection of obstructive sleep apnea from cardiac interbeat interval time series’, . Comput Cardiol, 27:753–756. Boyle J, Bidargaddi N, Sarela A, Karunanithi M. (2009), ‘Automatic detection of respiration rate from ambulatory single lead ECG’, IEEE Transactions on Information Technology in Biomedicine, 13(6):890– 896. Sobron A., Romero I, & Lopetegi T (2013), Evaluation of Methods for Estimation of Respiratory Frequency from the ECG’, Available : [http://cinc.mit.edu/current/preprints/117.pdf] (accessed date : 2 April 2013). ECG Leads , Available : [http://lessons4medicos.blogspot.com/2008/06/ecg-leads.html] (accessed date: 2 April 2013).
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
233
Pratondo Busono/ A Comparative Study of Various Method ….
234
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
DEVELOPMENT OF A THREE-LEAD ELECTROCARDIOGRAPH WITH EMBEDDED DIGITAL FILTER ON FPGA FOR NOISE REMOVAL Pratondo Busono Division of Biomedical Engineering, Center for Pharmaceutical and Medical Technology,BPPT, Jakarta [email protected]
Abstrak An ECG is a bioelectrical signal which has important correlation with electrical activity of the heart. The ECG reflects important information regarding the performance of the heart. ECG devices are currently made for different settings applications including patient’s home, ambulance, general practioner offices, emergency wards or public health center. Most of the commercial ECG machine available today is still expensive for public health service in the rural area. Therefore, there is a need to develop a low and high performance of three-lead ECG machine which can be used for the medical doctor or health practitioner in the rural area. In general, the ECG machine consits of differential amplifier, filters, isolation amplifier,buffer, analog to digital converter, microcontroller with digital signal processor and displaying unit. However, the biggest problem in designing the ECG machine is on the problem with low signal-to-noise ratio. Since, there are many sources of noise such power line interference, DC drift, EMC contraction, electronic noise, and motion artifacts. The goal of the work is to design and develop a low cost ECG machine with digital signal processor for noise removal. For that purpose, a series of digital filters will be embedded in the Xillinx Spartan 6 FPGA as part of digital signal processor. Results show that the prototype of ECG machine can be successfully recording and displaying the ECG signals with the good performance. Keywords: ECG, digital filter, FPGA, embedded system
1. INTRODUCTION Based on the report released by WHO [1], the cardiovascular diseases are still the number one killer in the world. Each year, there are an estimated seven million deaths around the world and more than 60,000 deaths in Indonesia due to cardiac arrhythmias. The electrocardiogram is a surface measurement of the electrical potential generated by electrical activity in cardiac tissue. Current flow, in the form of ions, signals contraction of cardiac muscle fibers leading to the heart’s pumping action [2]. The study of this electrical signal can help in determining many abnormalities related to the heart’s function. It has a wide variety of applications throughout the medical field in determining whether the heart is functioning properly or suffering from any abnormalities. It helps to screen and diagnosis cardiovascular diseases. Early diagnosis of heart diseases is typically by analysing the electrocardiogram of the ECG machine. However, most of the commercial ECG machine operated in the hospital and public health center today is still imported and is expensive for public health service in the rural area. Therefore, there is a need to develop a low and high performance of three-lead ECG machine which can be used for the medical doctor or health practitioner in the rural area. The goal of this work is to design and develope a three-lead ECG machine with embedded digital filter algorithm. The digital filter for noise removal and electrical power interference is embedded on the FPGA chip. A simple algorithm for detecting the heart beat was also implemented in the device. The devices are currently made for public health center in the rural area. Results show that the prototype of ECG machine can be successfully recording and displaying the ECG signals with the good performance. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
235
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
The prototipe had been calibrated with ECG simulator and the results shows the prototype had demonstrated its ability for measuring and monitoring the electrical heart activity. The prototype had been applied to the patients for measuring the heart rate. A comparison between commersial PC based ECG (Cardio Card of Nasiff, USA) had been also conducted. It shows that a good agreement is observed between the results measured by prototype and the commersial one.
2. HARDWARE DESIGN The typical ECG signal obtained from the Ag-AgCl electrodes is 1 mV in amplitude and it is easily corrupted by noise. The main sources of noise include respiration, motion artifacts, muscle contraction, electrode contact noise, power line interference, and electromagnetic interference (EMI). Noise can completely override the ECG waves and make the amplified signal useless. To remove unwanted noise and preserve the useful components of ECG signals, the signal conditioning sequence are needed. A block diagram of PC based ECG machine is shown in Figure 1. In general, this system is composed to two main part: analog front end, digital back end.
Lead Selector & Differential Amplifier
Filter: LPF, HPF, Notch
Isolation Amplifier, Buffer
Analog Front End Electrodes
ADC LCD
Microcontroller Unit
PC Mi
FPGA
Keypad
Digital Back End Figure 1. Block diagram of 3-lead PC based ECG Electrode Three disposable electrodes attached to the patient are connected to the analog front end section of the ECG system. Two electrodes are used to record the ECG signals, while other is for noise reduction. To minimize the drop in contact potential and the polarization effect, a gelly based Ag/AgCl electrode is used. This type of electrode essentially acts as a transducer which converts the ionic current inside the body to an electronic current in the outer circuit.
Differential Amplifier The weak ECG signals acquired from electrodes is amplified using a differential amplifier with high input resistance, typically more than a few Mega ohms. The analog front end section must be able to deal with extremelly weak signals ranging from 0.5mV to 2.0mV, combined with a dc component of up to ±300mV [3]. A Burr-Brown INA 118 instrumentation amplifier was used to amplify the potential difference between the right arm and left arm electrodes. Its gain is determined by the gain resistor RG. If the desired gain is 20, the gain resistor can be written following relation,
236
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Pratondo Busono / Development of Three Lead Electrocardiograph ….
RG =
50 kΩ 50 10 3 = = 2 . 632 k Ω (G − 1) ( 20 − 1)
SFA 2013
(1)
The electrical output of the differential amplifier is further fed to filter sections before passing to Analog to Digital Converter.
Band Pass Filter ECG signal has a frequency range approximately from 0.05 to 150 Hz. Low pass filter will be needed to eliminate the high frequency noise above 150 Hz. The electrical output of the differential amplifier is further fed to the filter section before passing to Analog to Digital Converter. The filter section consists of Low Pass Filter, High Pass Filter and Twin-T Notch Filter. LPF and HPF forms a band pass filter with frequency range in between 0.05 Hz and 150 Hz. The HPF will be a one stage passive one, the LPF will be built by two stages active LPF as shown in figure 2.
Figure 2. Band Pass Filter Circuit [3] The high and low pass filter cut-off frequency is 0.05 Hz and 150 Hz, respetively. The value of R1 are 680 kΩ and C2 is 4.7 nF. Notch Filter A notch filter is used to suppress the 50 Hz power line interference which is still left in the ECG signal and needs to be rejected. This requires a small transition bandwidth or high Q factor to achieve the steeper deep notch. An active Twin-T notch filter which consits of two T-shape RC filters combined with operational amplifier is capable of providing an infinite deep notch at a particular frequency. The Q factor can be raised from the usual 0.3 to 2.5. Further, the op-amp provides low output impedance and high input impedance, making it possible to use large resistance values in the T so that only small capacitors are required, even at low frequencies [4]. The cut off frequency of notch filter (fc) is to 50 Hz.
2. SOFTWARE DESIGN The design of embedded digital filter on the FPGA involves the following steps: determining filter specifications, calculating the filter coeficient, determining the transfer function, converting the transfer function into a suitable filter structure, writing the VHDL code, implementing the code into the hardware, and testing its functionality. Tabel 1 shows the filter specification used in this work. This filter specification includes sampling frequency, word length of the input data, pass band frequency and stop band frequency. MATLAB tools is used to generate the filter coeficients.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
237
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
Tabel 1. Design specification of band pass filter Parameters
Unit
Band Pass Filter
Sampling Frequency
Hz
300
Attenuation at the pass band
dB
1
Attenuation at the stop band
dB
60
Edge of the stop band frequency
Hz
0.04
Edge of the pass band frequency
Hz
0.06
Closing edge of the pass band frequency
Hz
145
Edge of the second stop band
Hz
154
Attenuation at the second stop band Ripple allowed in the pass band
dB
60
dB
1
4. RESULT Figure 3 shows the prototip of the ECG analog front end connected to the ECG wire. The enclosure had been covered with conductive protection paint to minimize of the noise due to the electromagnetic radiation. The output of the ECG analog front end is first digitized by ADC inside the Microcontroller before connected to the FPGA development board. The output of the Spartan 6 FPGA board as shown in Figure 4 is connected to computer via USB port. The filter coefficients of the all filters (BPF and Notch ) were obtained with the filter builder function of the MATLAB Filter Design Toolbox. Figure 5, 6 and 7 show the magnitude response of the edge of the lower part pass band filter, closing edge of the upper part of the passband filter, and notch filter, respectively. Specifications for notch filter are given as follows, Q factor of 10, pass band riple of 1 dB, center frequency of 50 Hz, corner frequencies of 47-53 Hz, stop band attenuation of 100 dB and maximum order of filter of 180.
Figure 3. Prototip 3-lead PC based ECG
Figure 4. Xillinx Spartan 6 FPGA Development Board
238
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Pratondo Busono / Development of Three Lead Electrocardiograph ….
SFA 2013
Magnitude Response (squared) 1
0.9
0.8
Magnitude squared
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0 0.02
0.03
0.04
0.05
0.06 Frequency ( Hz)
0.07
0.08
0.09
0.1
Figure 5. Edge of the pass band filter (lower part) Magnitude Response (squared) 1
0.9
0.8
Magnitude squared
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0 20
40
60
80 Frequency (Hz)
100
120
140
Figure 6. Closing edge of the pass band filter (upper part) Magnitude Respons e (dB) 0
-5
-10
-15
Magnitude (dB)
-20
-25
-30
-35
-40
-45
-50
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Normalized Frequency (×π rad/sample)
Figure 7. Notch filter
Figure 8 shows the ECG simulator (PS410, Fluke Biomedical, USA). It provides the 3-lead ECG test signals using for calibration purposes. The amplitude of the P wave, R wave and T wave as well as the distance between the peak are set from the simulator. The simulator is used as gold standard for calibration.
Figure 8. ECG simulator
Figure 9 shows the graphical user interface (GUI) of three-lead ECG machine. The value of teh gain, filter and QRS detection algorithm can be set externally.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
239
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
Figure 9. Graphical User Interface for 3-lead ECG
Voltage [Volts]
Voltage [Volts]
Voltage [Volts]
Available QRS algorithms that can be selected at the user interface (GUI) are Wavelet Transform [5] and Pan-Tomkins algorithm [6]. Heart rate was calculated by detecting the QRS pulse for certain duration of time [6]. The value of heart rate was displayed on the top right of the GUI. Inside the GUI, there is an area for displaying the ECG charts for either one lead, two lead or three leads, simultaneously. 1 Original ECG Signal (LEAD I) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
5
6
1 ECG Signal after DC Drift Removal (LEAD I) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
5
6
5
6
1 ECG Signal after BPF (LEAD I) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
Figure 10. ECG signals from lead I : original ECG signal (top), ECG signal after DC drift removal (midle) and ECG signal after BPF (bottom).
Figure 10, 11 and 12 show the ECG signals from Lead-I, Lead-II and Lead-III. ECG signals are taken from real patient, male with 41 year old and weight of 70 kg. The data are taken from the patient for 1 hour duration. Top of figure 10, 11 and 12 represents the original signals generated from the lead (I,II, and III). The signals are corrupted from electronic noise and DC drift. Signals from lead-I, II and III give the different shape and features. Signals lead I gives the clear QRS peak and it is used for heart beat calculation. The midle of the figures 10, 11 and 12 shows the ECG signals after DC drift removal. It is seen that the ECG signals are still corrupted by noise. When these signals passing the band pass filter, all the noise are removed and smooth signals appear as shown in Figure 10, 11, and 12 (bottom part).
240
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Voltage [Volts]
Voltage [Volts]
Voltage [Volts]
Pratondo Busono / Development of Three Lead Electrocardiograph ….
SFA 2013
1 Original ECG Signal (LEAD II) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
5
6
1 ECG Signal after DC Drift Removal (LEAD II) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
5
6
5
6
1 ECG Signal after BPF (LEAD II) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
Voltage [Volts]
Voltage [Volts]
Voltage [Volts]
Figure 11. ECG signals from lead II : original ECG signal (top), ECG signal after DC drift removal (midle) and ECG signal after BPF (bottom) 1 Original ECG Signal (LEAD III) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
5
6
1 ECG Signal after DC Drift Removal (LEAD III) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
5
6
5
6
1 ECG Signal after BPF (LEAD III) 0 -1
0
1
2
3 Time [second]
4
Figure 12. ECG signals from lead III: original ECG signal (top), ECG signal after DC drift removal (midle) and ECG signal after BPF (bottom). Tabel 2 shows the comparison between Fluke simulator reading and the ECG result. It can be seen that ECG machine can display the simulated ECG wave and its features close to that of the simulator. After taking 20 measurements (1 hour duration) and compared to the simulator reading, the statistical error is leas than 0.5%. It means that ECG machine has demonstrated its acceptable acuracy. Tabel 2 . Comparison between ECG simulator and 3-lead ECG Parameter
ECG Simulator
3-lead ECG
Heat Beat Rate (mean) ECG Amplitudes (mean) Square wawe Sine wave
80 2.5 mV 2 Hz 5 Hz 2 Hz
79.97 2.49 mV 2 Hz 5 Hz 2 Hz
Triangle wave
Tabel 3 shows the comparison between 3-lead ECG and 12-lead PC based ECG , Cardio Card Model CUSB (Nasiff Associates, USA) for measuring heart beat of 5 patients. From Tabel 3, it shows that heart rate measured usig prototip 3-lead ECG is similar with the measurement value conducted using commersial 12-lead PC based ECG Cardio Card.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
241
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
Tabel 3. Comparison of heart rate measured by prototype 3-lead ECG and 12-lead PC based ECG-Cardio Card Model CUSB (Nasiff, USA) Heart Beat rate (mean) Object
3-lead ECG
Cardio Card (Nasiff)
1
64 ± 2
65 ± 2
2
64 ± 2
63 ± 2
3
73 ± 2
72 ± 2
4
78 ± 2
5
72 ± 2
77 ± 2 73 ± 2
5. CONCLUSION The analog front end for signal conditioning of ECG signals acquired from three electrodes had been developed and succesfully tested its functionality. The digital back end which consits of digital filter embeddeds on Xillinx FPGA was also developed.
Prior to the hardware implementation, the filter specification and filter coeficients was generated using MATLAB Filter Design Toolbox. The design specifications of the filter includes sampling frequency, pass band cutoff frequency, stop band cutoff frequency, stop band deviation and pass band deviation. The resulted three lead ECG hardware had been intergrated with the software and had been sucessfully tested its functionality. The calibration had been conducted for the ECG machine.
6. REFERENCES 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
242
World Health Organization, 2013 http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/index.html, Accessed date [Mei 2, 2013] Webster, J. G. (1998), Medical Instrumentation: Application and Design. 3rd ed., W.B. Saunders Company, Philadelphia. Fountain, M. & Wenshuai L.(2007), ‘ECG Monitoring Module, in Hardware Design Specification, Analog Device, CAST, pp. 1-23. Zumbahlen, H., ‘Twin-T Notch Filter’, Available at [http://www.analog.com], accessed date, [April 6, 2013] Addison P., Watson J., Clegg G., Holzer M., Sterz F., & Robertson C. (2000), ‘Evaluating arrhythmias in ECG signals using wavelet transforms’, IEEE Engineering in Medicine and Biology., pp. 104–109. Pan J. and Tompkins W.J. (1985), ‘A Real-Time QRS Detection Algorithm’, IEEE Transaction on Biomedical Engineering, vol. BME-32, no. 3, pp. 230-236. Joshi, S. & Ainapure, B. (2010), ‘FPGA Based FIR filter’, International Journal of Engineering Science and Technology, vol. 2(12), pp. 7320-7323.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
FABRIKASI SENSOR PERGESERAN BERBASIS RUGI DAYA AKIBAT MACROBENDING SERAT OPTIK Hadziqul Abror, Melania Suweni Muntini Jurusan Fisika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail: [email protected]
Abstrak Telah dibuat sensor pergeseran berbasis macrobending serat optik. Prinsip dasar dari sensor ini adalah adanya rugi daya akibat lekukan makro pada serat optik. Sumber cahaya yang dipakai adalah LED inframerah serta receiver berupa fototransistor. Elemen sensor terdiri atas dua lekukan serat optik. Ketika terjadi pergeseran, maka serat optik akan mengalami perubahan sudut lekukan, sehingga terjadi perubahan intensitas yang diterima fototransistor. Intensitas tersebut dikonversi menjadi resistansikemudian tegangan. Kalibrasi sensor dilakukan dengan kalibrator penggaris. Kemudian dilakukan pengujian sensor pergeseran serat optik. Sensor pergeseran yang dibuat memiliki jangkauan pengukuran sebesar sebesar 2.199 Volt dengan jarak maksimal pergeseran 3.5 cm. Grafik pergeseran terhadap tegangan sensor mendekati referensi persamaan polynomial orde-3. Nilai error relatif sebesar 1,03 %. Kata kunci: Sensor, serat optik, rugi daya, macrobending
1. PENDAHULUAN Serat optik (Optical fiber) banyak digunakan dalam sistem komunikasi karena memiliki kecepatan transmisi tinggi serta paling efisien. Namun demikian, serat optik juga bisa digunakan sebagai sensor. Sensorsensor tersebut memanfaatkan adanya rugi daya yang terjadi padanya, baik rugi daya tersebut karena adanya lengkungan, atenuasi jarak, perubahan nilai indeks bias dan sebagainya. Telah dipelajari terkait karakterisasi rugi daya akibat kelengkungan fiber optik serta penggunaannya, salah satunya adalah pemanfaatan rugi kelengkungan untuk sensor pergeseran tanah. Sensor ini menggunakan detector berupa Optical Time Domain Reflectometer (OTDR) yang harganya sangat mahal serta membutuhkan fiber optik lebih dari seratus meter agar memungkinkan pengukuran dengan OTDR. Sehingga dilakukan perancangan sebuah sensor pergeseran berbasis serat optik dengan memanfaatkan prinsip dasar adanya rugi daya akibat lekukan pada serat optik (macrobending) yang dapat mendeteksi pergeseran sehingga bisa digunakan untuk sistem monitoring. Selain memodelkan sensor pergeseran juga akan dikarakterisasi sensor yang telah dibuat menurut karakter-karakter statis sensor.
2. DASAR TEORI 2.1 Sensor Sensor adalah alat yang dapat menerima rangsangan dan merespon dengan suatu sinyal elektrik.Rangsangan adalah kuantitas, sifat, atau kondisi yang dirasakan dan dikonversi ke dalam sinya elektrik.Tujuan dari suatu sensor adalah untuk merespon suatu masukan sifat fisis (rangsangan) dan mengkonversikannya ke dalam suatu sinyal elektrik melalui kontak elektronik.Sensor dapat dikatakan sebagai suatu translator dari nilai non elektrik menjadi nilai elektrik.Elektrik artinya sinyal yang dapat disalurkan, dikuatkan dan dimodifikasi oleh alat elektronik.Sinyal keluaran sensor dapat berupa tegangan atau arus. Sinyal keluaran juga dapat digambarkan sebagai masukan amplitude, frekuensi, face atau kode digital [1].
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
243
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
Karakterisasi sensor dilakukan untuk mengetahui kinerja sistem sensor yang telah dirancang, dalam ditentukan oleh hubungan antara pergeseran dan tegangan. Karakteristik statik ditentukan oleh sifat sensor yang perubahan responnya tidak berubah terhadap waktu, beberapa hal yang termasuk dalam karakteristik statik sensor meliputi kalibrasi, linieritas, sensitivitas, jangkauan pengukuran, dan saturasi.
2.2 Serat Optik Serat Optik merupakan pemandu gelombang dielektrik yang beroperasi pada frekuensi optik. Serat optic membatasi energi elektromagnetik dalam bentuk cahaya didalam permukaannya dan memandu cahaya dalam arah paralel terhadap aksisnya. Pada umumnya serat optik terdiri dari dua bahan dengan karakter optis yang berbeda untuk cladding dan core. Komposisi core menduduki 85 % dari total fiber yang memandu cahaya, yang tersusun dari bahan silikon oksida, dan dilapisi dengan serat kaca, dan pada umumnya core memiliki index bias yang lebih tinggi daripada cladding [2]. Prinsip pemanduan cahaya dalam serat optik berdasarkan pemantulan dalam sempurna(total internal reflection). Sudut yang menentukan terjadinya total internal reflection dinamakan sudut kritis. Gelombanggelombang dalam pandu gelombang tertahan karena pemantulan sempurna dari dinding gelombang, sehingga propagasi dalam pandu gelombang kira-kira dapat digambarkan seperti “zig-zag” diantara dinding-dinding pandu gelombang. Deskripsi ini tepat untuk gelombang elektromagnetik dalam tabung berongga yang berbentuk persegi atau lingkaran [3].
2.3 Rugi Daya Akibat Kelengkungan Kelengkungan serat optik yang menyebabkan sebagian sinar datang pada perbatasan core dan cladding dengan sudut lebih kecil daripada sudut kritis menyebabkan sebagian sinar terbiaskan ke cladding. Untuk mempertahankan bentuk muka gelombang, maka sinar yang merambat pada bagian dalam kelengkungan serat optik harus memiliki kecepatan rambat lebih kecil daripada bagian luarnya. Ini berarti nilai indeks bias inti pada bagian tersebut lebih kecil bila dibandingkan saat serat dalam keadaan lurus. Semakin kecil jari-jari kelengkungan maka nilainya semakin mendekati indeks bias cladding sehingga makin banyak sinar yang terbiaskan keluar dari inti serat [4]. Gambar 1 adalah profil indeks bias pada serat optic.
Gambar 1. (a). profil indeks bias efektif saat fiber optik lurus (b). profil indeks bias fiber optik saat ada lengkungan
Semakin kecil radius tikungan semakin besar akan menjadi fraksi bergerak cepat terpengaruh dan karenanya lebih besar adalah persentase cahaya hilang di tikungan [3].
2.4 Fototransistor dan Mikrokontroller Fototransistor adalah semikonduktor photovoltage atau semikonduktor fotokonduktif yang dioperasikan pada tegangan bias balik negatif. Detektor photovoltage adalah detektor aktif yang membangkitkan tegangan diri pada saat tersinari. Piranti ini kemudian mengubah energi radiasi yang datang menjadi energi listrik. Tegangan keluaran sensor kemudian deprogram dengan mikrokontroller. Sistem minimum mikrokotroler adalah rangkaian elektronik minimum yang diperlukan untuk beroperasinya IC mikrokontroler.Kemudian system ini dihubungkan dengan rangkaian lainnya untuk menjalankan fungsinya.Ada banyak seri pada mikrokontroler tetapi yang sering digunakan yaitu seri 8535. Ada beberapa komponen yang dibuat untuk merangkai system ATmega AVR 8535 diantaranya yaitu :
244
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
1. IC Mikrokontroler ATmega 8535 2. 1 XTAL 4 Mhz 3. Kapasitor 4. Resistor 5. Tombol reset pushbutton 6. Diperlukan power supply untuk memberikan tegangan 5V.
3. METODE PENELITIAN Sistem instrumentasi sensor pergeseran menggunakan blok elemen sensor yang terdiri dari LED Inframerah sebagai transmitter cahaya, fototransistor sebagai receiver, serat optik sebagai pemandu cahaya; catu daya; minimum system ATMega 8535; serta LCD. Serat optik lekukan berbentuk z agar ketika ada pergeseran pada bidang geser, terjadi perubahan intensitas cahaya yang diterima oleh basis fototransistor. Sinyal keluaran dari elemen sensor ini kemudian dihubungkan dengan ADC pada mikrokontroller.
Gambar 2 Rangkaian elemen sensor
Gambar 3. Tampilan sensor pergeseran yang dibuat
4. HASIL DAN DISKUSI Prinsip dasar sensor ini adalah adanya cahaya (infra merah) yang dipandu oleh serat optik. Kemudian diterima oleh fototransistor. Serat optik dibuat dengan variasi lekukan sehingga dengan adanya lekukan, maka berbeda pula intensitas yang diterima oleh fototransistor. Hal ini terjadi karena adanya rugi daya akibat lekukan. Intensitas tersebut kemudian dikonversi menjadi hambatan, semakin tinggi intensitas, maka hambatan semakin kecil dan begitu pula sebaliknya. Proses konversi cahaya ke hambatan itu terjadi ketika cahaya mengenai permukaan basis fototransistor, pembawa muatan akan mengalami transisi dari suatu pita energi ke pita energi lainnya, hal ini menyebabkan meningkatnya konduktivitas semikonduktor akibat meningkatnya pembawa muatan. Konduktivitas berbanding terbalik dengan hambatan. Karena ada hambatan inilah maka ada tegangan, tegangan berbanding terbalik dengan intensitas. Tegangan ini kemudian disebut tegangan keluaran sensor. Tegangan ini kemudian dimasukkan ke sistem komparator dengan pengondisi sinyal berupa penguat differensial. Sehingga besar tegangan keluaran kemudian bisa atur. Tegangan yang dikondisikan ini berbentuk analog dan kemudian dikonversi dengan ADC (analog digital converter) dengan mikrokontroler ATmega 8535 serta ditampilkan ke dalam LCD dalam bentuk tampilan tegangan dan jarak. Pergeseran ini dapat dibaca karena dengan adanya pergeseran pada bidang uji, menyebabkan adanya perubahan pula pada sudut kelengkungan serat optik. Dari sini maka dengan memasukkan persamaan yang diperoleh pada mikrokontroller, maka diperoleh keluaran pada tampilan LCD berupa tegangan dan jarak.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
245
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
Pergeseran (cm)
Sebelum diimplementasikan, dilakukan kalibrasi pada sensor pergeseran yang dibuat. Kalibrasi dilakukan dengan non zero calibration pada tegangan. Alat ukur panjang yang dipakai sebagai kalibrator adalah penggaris. Kalibrasi sensor dilakukan dengan cara menggeser bidang geser dengan pergeseran setiap 0,5 cm dari pergeseran 0 – 3,5 cm. Ketika bidang geser tidak ada pergeseran, yakni berimpit dengan bidang yang diam, maka disebut titik nol dan pada saat ini besar tegangan keluaran sensor pada voltmeter dicatat. Kemudian bidang geser digeser setiap kenaikan 0,5 cm. begitu pula untuk ketika bidang geser dilepas, yakni kembali ke titik nol. Kemudian tegangan keluaran sensor pada voltmeter dicatat. Data tersebut direpresentasikan dalam grafik dengan pergeseran sebagai sumbu x dan tegangan sebagai sumbu y. Karena output yang diinginkan pada LCD adalah jarak pergeseran, maka dilakukan pengubahan variabel, yakni tegangan (V) sebagai sumbu x dan jarak pergeseran (cm) sebagai sumbu y (Gambar 4.6). Data hasil kalibrasi tersebut apabila didekati dengan polynomial orde 3 menghasilkan persamaan y = 1,9133x3-15,422x2 +42,6x -40,239 dalam satuan cm; dengan nilai R² = 0,9936. Pergeseran media uji diatur agar tepat sesuai penunjukkan pada kalibrator yang dipakai, misalnya saat pergeseran 0,5 cm harus dipastikan bahwa itu benar sesuai penunjukkan skala pada kalibrator karena jika pada saat proses kalibrasi ini kurang tepat akan mempengaruhi performa dari sensor yang telah dibuat. Persamaan hasil kalibrasi yang didapatkan merupakan karakteristik sensor pergeseran yang menghubungkan antara pergeseran dengan tegangan keluaran sensor. Persamaan yang dihasilkan kemudian dimasukkan sebagai persamaan program pada mikrokontroller. Sehingga sensor pergeseran ini dapat mendeteksi pergeseran yang terjadi. Berdasarkan gambar diketahui bahwa respon keluaran terhadap masukan (tegangan) tidak linear karena perubahan indeks bias pada serat ptik juga tidak linear. Secara keseluruhan sistem instrumentasi, blok-blok rangkaian elektronik yang terdiri dari blok elemen sensor, catu daya, penguat differensial, mikrokontroler dan display telah menunjukkan performa yang baik. Rangkaian catu daya didesain untuk menghasilkan tegangan +5V, +12 V, -12 V dan ground. Rangkaian mikrokontroler yang mengaplikasikan ATMega8535 digunakan untuk mengubah tegangan analog ke digital dan antarmuka pada LCD. 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
y = 1.9133x3 - 15.422x2 + 42.6x - 40.239 R² = 0.9936
2.5
3
3.5
4
Tegangan (Volt) Gambar 4. Grafik kalibrasi sensor
5. SIMPULAN Telah dilakukan fabrikasi sensor pergeseran dengan memanfaatkan prinsip rugi daya akibat macrobending serat optik. Serat optik dibuat berbentuk “Z” dengan sudut minimum 600 agar serat optik tidak mengalami lekukan yang tajam. Receiver intensitas cahaya berupa fototransistor. Semakin banyak intensitas, maka hambatan fototransistor semakin kecil. Dengan prinsip pembagi tegangan yang dibuat, serta tegangan keuaran tersebut dikondisikan dengan penguat differensial dan di konversi oleh ADC mikrokontroller ATMega 8535. Fabrikasi sensor pergeseran yang dibuat memiliki jangkauan pengukuran sebesar 1,2 Volt dengan jangkauan pergeseran 3,5 cm. Grafik pergeseran terhadap tegangan sensor mendekati referensi persamaan polynomial orde-3. Nilai error relatif pergeseran sensor terhadap kalibrator sebesar 1,03%.
246
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
SFA 2013
6. DAFTAR ACUAN 1.
Freden, Jacob.(2003), Handbook Of Modern Sensor, Physics, Designs, and Application, Springer San Diego, USA.
2. Schot, Shibata and S. Takashimashi. (1976), Effect Of Some Manufacturing Condition On the Optical Loss Of Compound Glass Fibers, Ibaraki Electrical Communication Laboratory, Nippon Telegraph and Telephone Public Corporation, Tokai. 3. 4. 5.
Keiser, Gerd. (1991), Optical Fiber Communication, McGraw-Hill Book, Singapure. Dutton, harry J.R. (1998), Understanding Optical Communication,1st ed., IBM Corp. International technical support organization Martin, Andre et all.(2006), ‘Modeling of Bend Losses in Single-Mode Optical Fibers’, Santoago, FCT through FEFOF (PTDC/EEA-TEL/72025) project.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
247
Hadziqul Abror, dkk. / Fabrikasi Sensor Pergeseran Berbasis Rugi Daya....
248
http://www.seminar.physics.its.ac.id
SFA 2013
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
ANALISIS PENGARUH JARI-JARI DAN JUMLAH LILITAN TERHADAP RUGI DAYA PADA SERAT OPTIK MENGGUNAKAN OPTICAL SPECTRUM ANALYZER Indah Ayu P, Melania Suweni Muntini Jurusan Fisika, Fakultas IPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 [email protected]
Abstrak Telah berhasil dilakukan percobaan analisis pengaruh jari-jari dan jumlah lilitan terhadap rugi daya pada serat optik menggunakan Optical Spectrum Analyzer (OSA). Penelitian dilakukan menggunakan prinsip hukum Snellius dan resonansi optik, sehingga sudut datang, lilitan dan radius lilitan pada penelitian ini merupakan hal yang penting. Penelitian dilakukan dengan dua variasi yaitu radius dan lilitan. Radius yang diambil pada penelitian ini sebesar 0,5cm hingga 4,5cm, untuk setiap radius dilakukan variasi lilitan sebanyak satu hingga lima lilitan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah semakin kecil radius maka semakin besar kerugian yang terjadi dengan penurunan daya ( W) paling kecil sebesar 0,25µW dan paling besar sebesar 70,35µW, begitu juga dengan lilitan semakin banyak lilitan yang diberikan semakin besar rugi daya yg terjadi. Selain itu, semakin banyak lilitan maka semakin besar juga rugi daya yang terjadi. Pada percobaan tracing grafik, didapatkan standar deviasi maksimum dari data sebesar 0,271; 3,871; dan 4,921 berturut-turut untuk lilitan 1; lilitan 2; dan lilitan 3. Kata kunci: rugi daya, hukum snellius, resonansi optik, OSA
1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi di bidang hardware, software, dan komunikasi dimasa ini berkembang semakin pesat. Hal tersebut karena digunakannya piranti baru. Salah satu piranti tersebut adalah serat optik. Serat optik pertama kali diteliti oleh Alexander Graham Bell (awal tahun 1970) dengan sistem yang sederhana mencapai kapasitas transmisi 10 Gb.km/s. Pada tahun 1988, Linn F.Mollenauer mempelopori sistem komunikasi optik soliton. Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa kapasitas transmisi yang telah diuji mencapai 35.000 Gb.km/s [1]. Seperti diketahui, serat optik merupakan piranti yang sangat sensitif terhadap gangguan luar, misal sedikit getaran. Getaran tersebut dapat mempengaruhi daya pada serat optik yang menyebabkan terjadinya rugi daya. Rugi daya bisa didapatkan dengan beberapa cara misal dengan perhitungan menggunakan rumus yang sudah tersedia dan dengan pengukuran menggunakan alat. Alat yang biasa digunakan untuk mengukur daya serat optik adalah Optical Time Domain Reflectometer (OTDR). OTDR merupakan alat yang dapat mengukur daya dan mendeteksi kerusakan yang terjadi pada serat optik. Selain OTDR, terdapat alat yang juga dapat digunakan untuk mengukur daya pada serat optik yaitu Optical Spectrum Analyzer (OSA). OSA dapat digunakan untuk mengukur daya dengan melihat grafik spektrum daya pada serat optik tersebut. Pada penelitian ini perlu diperhatikan sprektrum daya dari serat optik yang digunakan. Selain itu, grafik yang terbentuk pada OSA dapat menunjukkan gejala apa saja yang terjai pada serat optik moda tunggal yang digunakan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengukuran rugi daya yang terjadi pada serat optik menggunakan Optical Spectrum Analyzer (OSA) dan kemudian dianalisa gejala-gejala apa saja yang terjadi jika terdapat suatu perbedaan antara hasil dari setiap variasi.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
249
Indah Ayu P, dkk. / Analisis Pengaruh Jari-Jari dan Jumlah Lilitan ....
SFA 2013
2. DASAR TEORI Serat optik merupakan salah satu pandu gelombang yang terbuat dari bahan yang tembus cahaya seperti kaca dan plastik, meskipun kabel serat optik mempunyai panjang yang besar, cahaya masih dapat dipancarkan dari ujung ke ujung lainnya. Ukuran Serat optik relative kecil dengan diameter kurang lebih 120µm.
2.1 Susunan Dasar Serat Optik Serat optik terdiri dari 3 bagian, yaitu cladding, core, dan coat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Cladding adalah selubung dari core (inti). Cladding mempunyai indek bias lebih rendah dari pada core, oleh karena itu cladding akan memantulkan kembali cahaya yang mengarah keluar dari core kembali kedalam core lagi. Selain itu, cladding berfungsi juga untuk memperkecil rugi-rugi daya pada permukaan core akibat adanya cahaya yang terpantulkan tadi. Fungsi core (inti) adalah sebagai penyalur gelombang cahaya. Bagian coat (jaket) berfungsi sebagai pelindung mekanis dan juga sebagai tempat kode warna serat optik [2]. Gelombang yang melewati suatu medium akan memiliki lintasan optik tersendiri, begitu pula dengan gelombang yang merambat melalui serat optik. Jika terdapat gelombang yang merambat melalui serat optik, gelombang tersebut tidak langsung dilewatkan begitu saja tanpa hambatan. Hal tersebut dikarenakan struktur dari serat optik yang mengakibatkan gelombang-gelombang tersebut dipantulkan dan dibiaskan. Tetapi karena pada serat optik nilai indeks bias dari cladding lebih rendah dibandingkan nilai indeks bias core, maka terjadi pemantulan sempurna. Gelombang bias tersebut dipantulkan kembali ke dalam core dari serat optik. Sehingga meminimalisir rugi daya akibat pembiasan.
Gambar. 1. Susunan serat optik
2.2
Serat Optik Moda Tunggal
Serat optik moda tunggal memiliki banyak arti dalam teknologi serat optik. Dilihat dari faktor properti sistem transmisinya, serat optik moda tunggal adalah sebuah sistem transmisi data berwujud cahaya yang didalamnya hanya terdapat satu buah indeks sinar tanpa yang merambat sepanjang media tersebut dibentang. Serat optik moda tunggal dilihat dari segi strukturalnya merupakan teknologi serat optik yang bekerja menggunakan inti (core) serat fiber yang berukuran sangat kecil yang diameternya berkisar 8 sampai 10 mikrometer. Dengan ukuran inti serat yang sedemikian kecil, sinar yang mampu dilewatkannya hanyalah satu moda sinar saja. Sinar yang dapat dilewatkan hanyalah sinar dengan panjang gelombang 1300 atau 1550 nanometer. Serat optik moda tunggal dapat membawa data dengan bandwidth yang lebih besar dibandingkan dengan serat optik moda jamak, tetapi teknologi ini membutuhkan sumber cahaya dengan lebar spektral yang sangat kecil pula dan ini berarti sebuah sistem yang mahal. Serat optik moda tunggal dapat membawa data dengan lebih cepat dan 50 kali lebih jauh dibandingkan dengan multi mode. Tetapi harga yang harus dikeluarkan untuk penggunaannya juga lebih besar. Core yang digunakan lebih kecil dari multi mode dengan demikian gangguangangguan di dalamnya akibat distorsi dan overlapping pulsa sinar menjadi berkurang. Inilah yang menyebabkan serat optik moda tunggal menjadi lebih reliabel, stabil, cepat, dan jauh jangkauannya.
250
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indah Ayu P, dkk. / Analisis Pengaruh Jari-Jari dan Jumlah Lilitan ....
SFA 2013
2.3 . Bending / pembengkokan Bending merupakan pelemahan yang terjadi akibat perubahan struktur serat optik karena dibengkokkan sehingga terjadi perubahan indeks bias dan sudut sinar datang cahaya yang mengenai cladding. Bending terdiri atas microbending dan macrobending. Macrobending terjadi ketika cahaya melalui serat optik yang dilengkungkan dengan diameter lebih lebar dibandingkan dengan radius diameter serat optik sehingga menyebabkan loss. Pelemahan microbending terjadi karena ketidakrataan pada permukaan batas antara core dengan cladding. Struktur serat optik yang menyebabkan pelemahan ditunjukkan pada Gambar 2. Sedangkan untuk perbedaan antara radius pembengkokan dan radius serat optik ditunjukkan pada gambar 3 [3].
Gambar 2 Faktor Atenuasi serat optik (a) makrobending (b) mikrobending
. Sudut sinar datang yang lebih kecil daripada sudut kritis menyebabkan cahaya tidak dipantulkan sempurna dan sebgaian dibiaskan. Sehingga mengakibatkan perubahan daya yang terpandu oleh serat optik. Pelemahan akibat bending memiliki faktor yaitu faktor berkaitan dengan nilai pelemahan A serat optik dan panjang serat optik L . Pelemahan mempengaruhi daya yang ditransmisikan serat optik T. Secara umum hubungan pelemahan, transmisi dan faktor dinyatakan dengan :[4] = dengan α Pout Pin L A
=
=
/
(1)
= Redaman sinyal / pelemahan gelombang (atenuasi) = Daya output optik = Daya input optik = Panjang serat optic = Nilai pelemahan
Mikrobending dapat juga disebabkan oleh pembengkokan kecil pada serat optik akibat ketidakseragaman pembentukan serat atau akibat tekanan yang tidak seragam saat fabrikasi. Salah satu cara untuk menguranginya adalah dengan menggunakan jaket yang tahan terhadap tekanan [5]. Rugi daya pelengkungan terjadi saat sinar melalui serat optik yang dilengkungkan, dimana sudut datang lebih kecil dari pada sudut kritis sehingga sinar tidak dipantulkan sempurna tapi dibiaskan.
Gambar 3 Radius (a) pembengkokan (b) serat optik
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
251
Indah Ayu P, dkk. / Analisis Pengaruh Jari-Jari dan Jumlah Lilitan ....
SFA 2013
Lengkungan yang tidak tepat ini dapat dikenali selama proses instalasi. Secara empiris, rugi daya makro dapat diekspresikan sebagai berikut. [6] = 10
dengan,
(
)
.................................................. (2) ∆
: beda indeks bias core dan cladding R a
: radius kelengkungan : radius inti serat optik : 2 (parabolic profile)
3. METODOLOGI PENELITIAN Peralatan yang dipakai dalam eksperimen ini adalah perangakat Optical Spectrum Analyzer (OSA), dan software Inkscape. OSA merupakan alat yang dapat mengukur dan menggambarkan grafik daya dari serat optik moda tunggal dengan variasi perlakuan tertentu. Dalam penelitian ini serat optik tersebut dililit dengan variasi radius dan jumlah lilitan yang telah ditentukan. Grafik daya dari serat optik itu sendiri direpresentasikan dalam bentuk intensitas yang digambarkan dalam bentuk menyerupai grafik gaussian. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat optik moda tunggal tipe smf28 corning dan sebuah disket 3,5 inchi.
Gambar 4. Skema Percobaan
4. HASIL DAN DISKUSI Pada penelitian ini dilakukan percobaan dengan menggunakan Optical Spectrum Analizer (OSA). OSA merupakan sebuah alat yang dapat menampilkan intensitas sumber cahaya yang dilewatkan pada serat optik dalam bentuk grafik Gaussian. Sumber cahaya yang digunakan merupakan infra merah yang berasal dari OSA tersebut dengan range panjang gelombang 1500nm-1550nm. Sumber yang digunakan berasal dari OSA karena pada OSA tersebut masih belum dilengkapi oleh socket yang mendukung sumber dari luar. Penelitian ini dilakukan dengan cara menggulung serat optik dengan radius jari-jari lilitan tertentu dan jumlah lilitan tertentu. Pada penelitian ini dilakukan pada radius 0,5cm hingga 4,5cm dengan variasi jumlah lilitan 1 hingga 5 lilitan. Variasi radius yang dilakukan hanya 0,5cm hingga 4,5cm karena jika dilakukan pada radius dibawah 0,5cm, serat akan sulit untuk digulung karena jari-jari telalu kecil. Pada radius diatas 4,5cm; tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap intensitas cahaya yang lewat pada serat optik sehingga pengukuran hanya dilakukan hingga radius 4,5cm. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2. Gambar 4.1 merupakan grafik intensitas pada serat optik dengan radius lingkaran 75cm, serat optik tersebut dibuat lingkaran yang besar. Cahaya yang lewat diminimalisir agar pantulan yang terjadi tidak terlalu banyak sehingga dapat diasumsikan kondisi tersebut hampir sama saat serat lurus. Setelah dilakukan pecobaan, didapatkan nilai penurunan daya pada serat optik sebagai berikut.
252
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Indah Ayu P, dkk. / Analisis Pengaruh Jari-Jari dan Jumlah Lilitan ....
SFA 2013
Tabel 1.Penurunan Daya Penurunan Daya = W (uW) lilitan lilitan lilitan 2 3 4
Range Radius
lilitan 1
lilitan 5
0,5cm-0,75cm
44,17
22,80
15,50
8,64
7,65
0,75cm-1cm
48,25
63,1
66,5
71,36
70,35
1cm-3cm
-14,4
3,7
-1,4
15,75
12,7
3cm-4,5cm
16,4
5,3
15,4
0,25
4,3
Dari data pada Tabel 1 terlihat bahwa terjadi penurunan daya pada setiap penurunan radius. Penurunan daya paling kecil terjadi dengan nilai 0,25µW saat radius 4,5cm dan 3cm dengan jumlah lilitan 4. Hal ini terjadi karena radius lilitan yang diberikan pada serat masih besar, sehingga rugi daya pada serat optik yang digunakan relatif kecil. Penurunan daya yang relatif besar terjadi pada radius 0,75cm dan 1cm dengan nilai 48,25µW; 63,1µW; 66,5µW; 71,36µW; dan 70,35µW berturut-turut untuk serat optik dengan jumlah lilitan 1; jumlah lilitan 2; jumlah lilitan 3; jumlah lilitan 4; dan jumlah lilitan 5. Hal ini terjadi karena radius lilitan yang diberikan pada serat optik semakin kecil dibandingkan dengan radius yang diberikan sebelumnya. Tanda negatif W bukan berarti daya yang ditimulkan nagatif tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa daya pada radius 1cm lebih besar dibandingkan dengan daya pada radius 3cm. Sehingga didapatkan nilai W negatif karena nilai tersebut merupakan hasil selisih daya. Agar penurunan daya dapat dilihat dengan jelas, maka dibuat grafik gabungan dari grafik-grafik hasil pengukuran pada OSA untuk setiap radius dengan jumlah lilitan tertentu seperti pada gambar 5.
Gambar 5 Grafik gabungan penurunan daya pada setiap radius dengan jumlah lilitan 1
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa distribusi daya pada radius 75cm dan 4,5cm tidak terlalu berbeda jauh kemudian terus menurun seiring mengecilnya radius lilitan. Tetapi penurunan tersebut tidak terjadi pada radius 3cm dengan jumlah lilitan 1 dan 3. Radius tersebut memiliki daya yang lebih besar dibandingkan dengan daya pada radius sebelumnya yang lebih besar.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
253
Indah Ayu P, dkk. / Analisis Pengaruh Jari-Jari dan Jumlah Lilitan ....
SFA 2013
5. SIMPULAN Berdasarkan analisis data grafik hasil pengukuran daya menggunakan Optical Spectrum Analizer dengan variasi radius lilitan dan banyak lilitan, didapatkan bahwa semakin kecil radius lilitan maka semakin besar rugi daya yang terjadi dengan penurunan daya ( W) paling kecil sebesar 0,25µW dan paling besar sebesar 70,35µW. Rugi daya yang terjadi pada serat optik tidak hanya terjadi akibat radius lilitan tetapi juga akibat banyaknya lilitan yang diberikan. Semakin banyak lilitan maka semakin besar juga rugi daya yang terjadi akibat faktor penjalaran cahaya pada serat optik moda tunggal.
6. DAFTAR ACUAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
254
Shizuo, Y. & Francis, T. S. Y., 2002. Fiber Optic Sensor. New York: Marsel Dekker.INC. Akhiruddin Maddu dkk (2006)’ Pengembangan Probe Sensor Kelembapan Serat Optik dengan Cladding Gelatin’ Volume 10. Nugraha, A. R., 2006. Serat Optik. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET. Ray, T.,(2002) ‘Optoelectronics and Fiber Optic Technology’ Amsterdam: Plant A Tree ISBN 0750653701. Michael, B., Eric, W. & Van , S., 2002. Fiber Device and Systems for Optical COmmunication. New York: Mc-GRAW-HILL. Brown, T., 2000. Optical Fiber and Fiber Optic Communications. In: Handbook of Optics. s.l.:McGraw-Hill, pp. 144-147.
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PENGARUH VARIASI PENEMPATAN KUTUB MEDAN MAGNET TERHADAP PENGURANGAN KADAR CaCO3 DALAM AIR Triswantoro Putro dan Endarko Fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya [email protected]
ABSTRAK Penelitian tentang pengurangan kadar CaCO3 dalam air dengan menggunakan variasi kutub medan magnet telah dilakukan. Medan magnet berpengaruh langsung terhadap proses pengurangan kadar CaCO3 dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kutub medan magnet yang di letakkan secara seri pada larutan sampel dengan konsetrasi CaCO3 dalam air 1040 gr/L menghasilkan prosentase pengurangan maksimum sebesar 30,55 % selama 80 menit, sedangkan untuk penempatan kutub magnet paralel menghasilkan pengurangan maksimum sebesar 57,69 % selama 120 menit. pH dan konduktivitas larutan air sampel juga di ukur dan didapatkan bahwa terjadi penurunan pH dan konduktivitas setelah air sampel diolah selama 120 menit adalah berturut-turut sebesar 23,43% dan 69,23%. Kata Kunci : Air Kapur, medan magnet, pH, konduktivitas.
1. PENDAHULUAN Air merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap hari, baik untuk minum, mandi ataupun mencuci. Ketersediaan air bersih untuk minum semakin hari semakin sedikit karena ekploitasi sumber air yang berlebihan. Selain itu, ada beberapa daerah memiliki sumber air yang mengandung kadar kapur (kalsium karbonat) cukup tinggi. Sehingga air tersebut tidak layak minum karena tingginya kadar kapur dalam air jika diminum bisa mengendap dalam tubuh dan akan mengganggu kesehatan. Ada beberapa metode untuk mengendapkan kapur dalam air. Salah satu metode tersebut adalah dengan menggunakan medan magnetik [1]. Medan magnet dapat membantu proses pengendapan air berkapur tanpa harus menggunakan campuran bahan kimia sehingga air hasil olahan tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan lain. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Alimi fathi dkk menunjukkan bahwa medan magnet berpengaruh pada proses presipitasi CaCO3. Hasilnya menunjukkan terjadi pengendapan sebesar 7 – 22 % dengan aliran air sebesar 0.54 L/menit dibandingkan dengan tanpa perlakuan medan magnet. Fathi menggunakan pengontrol pH sebagai salah satu variable. pH yang di gunakan adalah 6, 7 dan 7.5 [1]. Penelitian lain yang dilakukan oleh Banejad [2] pada tahun 2009 juga meneliti tentang pengaruh medan magnet terhadap presipitasi CaCO3. Variable yang diubah dalam penelitian tersebut adalah besarnya aliran air dan besarnya medan magnet yang digunakan. Tetapi dalam paper yang ditulis tidak menunjukkan berapa prosentase penurunan kadar kapur dalam air hanya menunjukkan bahwa terjadi perunan kadar kapur dalam air atau tidak. Makalah penelitin ini adalah fokus terhadap pengaruh variasi penempatan kutub medan magnet terhadap jumlah prosentase pengurangan kadar CaCO3 dalam air. Selain itu, perubahan pH dan konduktivitas dalam air juga dilihat untuk mengetahui kualitas air hasil olahan.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
255
Triswantoro Putro dan Endarko/Pengaruh Variasi Penempatan Kutub....
SFA 2013
2. DASAR TEORI Batu kapur atau kalsium karbonat (CaCO3) merupakan bagian dari batuan sedimen, non- klastik yang tebentuk dari proses kimia atau proses biologi. Batuan ini banyak mengandung kalsium karbonat, mempunyai warna kuning, abu-abu kuning tua, abu-abu kebiruan, jingga dan hitam disebut juga batu gamping atau limestone. Kalsium karbonat akan membentuk tiga macam Kristal dalam media air, yaitu kalsit, vaterit dan aragonite dengan struktur Kristal berturut-turut rhombohedral, orthorombic, dan hexagonal. Terbentuknya macam-macam bentuk Kristal ini dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu temperatur, pH larutan[3], derajat saturasi [4], kecepatan aliran CO2 bila menggunakan metode karbonasi, serta adanya bahan aditif . Air sadah merupakan air yang terkontaminasi ion Ca2+, Mg2+, CO32-. Ion – ion tersebut dikelilingi oleh molekul air atau yang disebut dengan hydration shell seperti terlihat pada Gambar 1. Hydration shell ini adalah sebuah lapisan yang menahan ion – ion tersebut untuk membentuk sebuah molekul seperti CaCO3. Ikatan antara molekul air dengan ion relatif lebih kuat jika dibandingkan dengan ikatan hydrogen antar molekul air sehingga ion Ca2+ sukar melepaskan diri dari lapisan tersebut. Tetapi ikatan antara molekul air dengan ion bisa terlepas jika diberikan beberapa perlakuan antara lain agitasi mekanik, suhu, medan magnet, dan lain-lain. Perlakuan tersebut dapat mengganggu hidrat ion sehingga akan terjadi tumbukan antar ion Ca2+ dan ion CO32- membentuk CaCO3 [5].
Ca2+
CO32
-
Gambar 1. Orientasi molekul air terhadap ion Ca2+ dan CO32Sumber : http://bioap.wikispaces.com
Adanya ikatan antara ion dalam larutan dengan molekul air sangat berpengaruh pada proses presipitasi CaCO3. Semakin kuat ikatan tersebut maka semakin susah untuk terjadi presipitasi. Pemberian perlakuan medan magnet pada air sampel akan mengganggu ikatan tersebut. Akan terjadi gaya Lorentz jika sebuah ion (Ca2+ atau CO32-) dialirkan melewati sebuah medan magnet dengan arah kaidah tangan kanan dengan besar = ( × ). Efek gaya Lorentz ini diteliti oleh Gabrielli pada tahun 2001 dengan melakukan percobaan magnetisasi larutan CaCO3 dengan aliran sirkulasi. Setelah diamati konsentrasi ion Ca2+ sebelum dan sesudah magnetisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi pengurangan kadar ion Ca dalam larutan [6]. Efek dari gaya Lorentz berfungsi untuk memecah ikatan antara molekul air dengan ion sehingga memudahkan ion-ion berikatan. Sebuah simulasi dilakukan oleh Kozic tentang efek gaya Lorentz. Hasil simulasi menunjukkan terjadi persegesar ion sebesar 0,2 – 10 nm dan pergeseran partikel 0,2 nm – 2 µm [7]. Besarnya pergeseran tersebut yang bisa menyebabkan terganggunya hydration shell sehingga ion Ca2+ dan CO32- dapat bertumbukan dan berikatan membentuk CaCO3.
3. EKSPERIMEN Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan magnet sebesar 0.1 T yang dihasilkan dari solenoid yang dialiri arus. Besarnya medan magnet tersebut hasil pengukuran dengan alat pengukur medan magnet tipe U11300 merk 3B Net log produksi Jerman. Banyaknya lilitan solenoid yang
256
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Triswantoro Putro dan Endarko/Pengaruh Variasi Penempatan Kutub....
SFA 2013
digunakan adalah 1000 dengan tegangan dan arus yang dikonsumsi sebesar 12 V dan 1.8 A. Gambar 2 adalah skematik peralatan yang digunakan dalam pengujian air sampel. Proses perlakuan dilakukan dengan memasukkan sampel larutan CaCO3 (1040 gr/L) kedalam tangki penampungan kemudian di pompa melewati medan magnet dengan kecepatan aliran 375 mL/menit. Sirkulasi air sampel dilakukan selama 2 jam dan pada waktu 10, 20, 30, 45, 60, 80, 100 dan 120 menit dilakukan pengambilan sampel untuk dilakukan pengujian kadar kapurnya. Suhu larutan dianggap sama antara 28 – 29 ºC. Pengujian dilakukan dengan metode titrasi kompleksiometri EDTA untuk mengetahui banyaknya pengendapan yang terjadi. Pengukuran pH dan konduktivitas larutan sampel juga dilakukan dengan menggunakan alat ukur Benchtop pH/ORP/Conductivity/TDS/Salinity Meter 86505.
Tangki penampung Pompa
u
u
u Pipa
s
s
s
Gambar 2. Set-up experimen untuk pengujian air sampel.
Variasi kutub medan magnet yang mengenai larutan sampel dilakukan untuk mengetaui pengaruhnya, seperti terlihat pada Gambar 3.
u
u
u
u
Pipa s
s
s
u
Pipa s
s
(a)
u
s
(b)
Gambar 3. Variasi penempatan medan magnet (a) kutub magnet seri (b) kutub magnet paralel
4. HASIL DAN DISKUSI Penelitian pengaruh medan magnet terhadap presipitasi CaCO3 telah dilakukan. Medan magnet dibuat dengan memanfaatkan solenoid dengan jumlah lilitan sebanyak1000. Lilitan di beri arus listrik sebesar 1.8 A dan tegangan 12 V. Besar medan magnet yang dihasilkan setelah diukur dengan alat pengukur medan magnet U11300 adalah 0.1 Tesla. Gambar 4 menunjukkan pengaruh variasi kutub medan magnet terhadap prosentase presipitasi CaCO3. Maksimum presipitasi yang terjadi setelah perlakuan kutub magnet seri (Gambar 3.a) adalah sebesar 30,55 % sedangkan untuk perlakuan kutub magnet paralel (Gambar 3.b) adalah sebesar 57,69 %. Besarnya presipitasi CaCO3 sangat di pengeruhi oleh ikatan ion dengan molekul air. Pemberian medan magnet pada air sampel akan mengganggu ikatan tersebut. Jika sebuah ion (Ca2+ atau CO32-) melewati sebuah medan magnet makan akan terjadi gaya Lorentz dengan arah kaidah tangan kanan dengan besar = ( × ). Efek dari gaya Lorentz inilah yang akan memecah ikatan antara molekul air dengan ion sehingga memudahkan ion-ion berikatan. Kozic
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
257
Triswantoro Putro dan Endarko/Pengaruh Variasi Penempatan Kutub....
SFA 2013
pada tahun 2003 melakukan sebuah simulasi tentang efek gaya Lorentz. Hasil simulasi menunjukkan terjadi persegesar ion sebesar 0,2 – 10 nm dan pergeseran partikel 0,2 nm – 2 µm [7]. Besarnya pergeseran tersebut yang bias menyebabkan terganggunya hydration shell sehingga ion Ca2+ dan CO32- dapat bertumbukan dan berikatan membentuk CaCO3.
Prosentase Pengurangan (%)
Penggunaan medan magnet yang disusun paralel dapat meningkatkan efisiensi medan magnet yang digunakan. Penelitian tersebut menunjukkan terjadi pengurangan jumlah ion Ca2+ dalam larutan 23% jika dibandingkan dengan magnet yang disusun seri [6]. Perbedaan prosentase pengurangan ketika diberi perlakuan medan magnet seri dan paralel adalah karena penempatan medan magnet tersebut berpengaruh pada orientasi ion – ion terhadap kutub magnet. Perubahan orientasi arah medan magnet menyebabkan pergerakan ion berosilasi mengikuti kutub magnet yang di berikan sehingga akan memberikan pengaruh lebih besar untuk memperlemah interaksi hidrat ion. Sehingga memudahkan ion – ion keluar dari ikatan molekul air dan saling bertumbukan antar ion dan dapat membentuk persipitasi CaCO3.
0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 0
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit) Pengolahan Paralel
Pengolahan Seri
tanpa pengolahan
pH
Gambar 4. Prosentase pengurangan kadar kapur dalam air dengan variasi penempatan kutub medan magnet
12 11.5 11 10.5 10 9.5 9 8.5 8 7.5 7 0
20
40 60 80 Waktu (menit)
100
120
Gambar 5. pH air sampel setelah pengolahan
pH air sampel di ukur dengan menggunakan alat AZ 86505. Dari hasil pengukuran (Gambar 5) didapatkan bahwa terjadi penurunan pH untuk sampel setelah di olah dengan medan magnet sebesar 23,43% untuk waktu pengolahan 120 menit. Penurunan pH ini diakibatkan berkurang nya ion – ion Ca2+ dan CO32dalam larutanyang membentuk presipitasi CaCO3. 258
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Triswantoro Putro dan Endarko/Pengaruh Variasi Penempatan Kutub....
SFA 2013
1400 Conductivity (µs)
1200 1000 800 600 400 200 0 0
20
40
60 80 Waktu (menit)
100
120
Gambar 6. Konduktivitas air sampel setelah pengolahan
Selain pH, dilakukan juga pengukuran terhadap konduktivitas air sampel yang telah diolah. Hasil pengukuran (Gambar 6) menunjukkan bahwa terjadi penurunan konduktivitas larutan setelah diolah selama 120 menit dengan medan magnet sebesar 69,23%. Menurut Holysz tahun 2007 menyakatan penurunan konduktivitas larutan disebabkan adanya pelemahan interaksi hidrat ion. Jika interaksi hidrat ion melemah maka terjadinya nukleasi CaCO3 akan lebih mudah [8].
5. SIMPULAN Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penempatan kutub magnet pada proses pengolahan air kapur berpengaruh terhadap terbentuknya presipitasi CaCO3 dengan prosentase pengurangan maksimum sebesar 30,55 % untuk medan magnet disusun seri dengan waktu pengolahan 80 menit sedangkan untuk perlakuan kutub magnet paralel menghasilkan pengendapan maksimum adalah sebesar 57,69 % dalam waktu 120 menit. pH dan konduktivitas larutan juga mengalami penurunan sebesar 69,23% untuk konduktivitas dan 23,43% untuk pH dengan waktu pengolahan 120 menit.
6. DAFTAR ACUAN 1. Fathi A, Mohamed T, Claude G, Maurin G, Mohamed BA (2006) Effect of a magnetic water treatment on homogeneous and heterogeneous precipitation of calcium carbonate. Water Research 40(10):19411950 2. Banejad H, Abdosalehi E (2009) THE EFFECT OF MAGNETIC FIELD ON WATER HARDNESS REDUCING. Thirteenth International Water Technology Conference, IWTC 13 2009, Hurghada, Egypt 3. Chen P-C, Tai CY, Lee KC (1997) Morphology and Growth Rate of Calcium Carbonate Crystals in a Gas-Liquid-Solid Reactive Crystallizer. Chemical Engineering Science 2, No. 21-22:4171-4177 4. Fairchild GH, Thatcher RL (2000) Acicular Calcite and Aragonite Calcium Carbonate. US Patent 6, 022:517 5. Saksono N, Wijaya A, Budikania T (2010) Pengaruh Medan Elektromagnet Terhadap Presipitasi CaCO3. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” G03-1 - G03-6 6. Gabrielli C, Jaouhari R, Maurin G, Keddam M (2001) Magnetic water treatment for scale prevention. Water Research 35(13):3249-3259
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
259
Triswantoro Putro dan Endarko/Pengaruh Variasi Penempatan Kutub....
SFA 2013
7. Kozic V, Lipus LC (2003) Magnetic Water Treatment for a Less Tenacious Scale. Journal of Chemical Information and Computer Sciences 43(6):1815-1819 doi:10.1021/ci0102719 8. Holysz L, Szczes A, Chibowski E (2007) Effects of a static magnetic field on water and electrolyte solutions. Journal of Colloid and Interface Science 316(2):996-1002 doi:http://dx.doi.org /10.1016/j.jcis.2007 .08.026
260
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
KARAKTERISTIK AKUSTIK GAMELAN JAWA STUDI KASUS GAMELAN MILIK PSTK ITB Suyatno1,2, Harijono A. Tjokronegoro2, IGN. Merthayasa2, , R. Supanggah3 1)
JurusanFisika FMIPA ITS DepartemenTeknik Fisika FTI ITB 3) Jurusan Karawitan ISI Surakarta
2)
Email: [email protected]
Abstrak Dalam paper ini akan bahas tentang karakteristik akustik instrumenGamelan Jawa. Sebagai sumber bunyi yang dimainkan dengan dipukul (perkusi), karakteristik kekerasan (level) instrumenGamelan Jawa (mendekati respons impuls)akanberbeda sesuai dengan kekerasan gaya yang digunakan untuk memukulnya.Melalui pengukuran responimpuls instrumen Gamelan Jawa diperoleh karakteristik akustik yang objektif dan dapat di-kuantifikasi menjadi komponen spectral, temporal dan spatial.Secara keseluruhan karakteristik Gamelan Jawa adalah unik ditinjau dari frekuensi dasar (fundamental), timbre, level serta sound envelope.Karakteristik yang dimiliki oleh Gamelan Jawa secara umum berbeda antara satu dan yang lainnya. Untuk notasi dan jenis yang sama, Gamelan Jawa memiliki timbre yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh kondisi fisik dan proses pembuatannya. Nilai kekerasan (level) bunyi yang dihasilkan oleh Gamelan Jawa tergantung pada gayaserta garap pada permainan. Nilai karakteristik level yang dihasilkan oleh instrumen Gamelan pada permainnan tertentu bisa mencapai 105 dB.Karakteristik frekuensi Gamelan Jawa milik PSTK ITB,hasil pengukuran di ruang secretariat PSTK ITB berada pada rentang 50 Hz sampai 2550 Hz dan cenderung memiliki harmonisa frekuensi yang tidak tepat n kali frekuensi dasar atau fundamental (nxfo). Sementara nilai sounds envelope dari Gamelan Jawa bervariasi dengan rentang antara 0,57 s sampai 10,07 s tergantung pada jenis Gamelan dan kekerasan gaya pada saat memainkan. Karakteristik akustik tersebut bisa berbeda untuk jenis ensembles Gamelan Jawa, namun secara garis besar mendekati sama. Kata kunci: Gamelan Jawa, respon impuls, karakteristik akustik, Level, frekuensi fundamental, timbre, sounds envelope.
1. PENDAHULUAN Karakteristik Gamelan Jawa yang unik dimulai dari proses pembuatan hingga sistem penalaan. Akibatnya, setiap individu Gamelan (instrumen) mempunyai karakteristik akustik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan Gamelan yang berasal dari pembuatan yang samapun dapat berbeda. Proses penalaan yang dilakukan oleh ahli umumnya bersifat subjektif dan berdasarkan kondisi fisik dan psikologis ahli (empu)-nya. Kondisi subjektif ini menyebabkan tidak semua orang bisa melakukannya sehingga regenerasi terhadap ahli penalaan menjadi lambat. Proses penalaan yang baik akan membuat kualitas suara yang dihasilkan menjadi baik meskipun tidak ada standar baku tentang sistem penalaan tersebut. Belum adanya karakteristik akustik kuantitatif Gamelan Jawa yang diperoleh menggunakan alat ukur dan berdasarkan kaidah pengukuran menyebabkan kualitas suara hanya ditentukan secara subjektif para pemain atau penikmat Gamelan Jawaitu sendiri. Dalam pengidentifikasian karakteristik tersebut, salah satu cara yang digunakan adalah menentukan karakteristik spektral, spatial, dan temporal dari instrumen Gamelan Jawa. Karakteristik-karakteristik tersebut ditentukan dengan cara mengetahui komponen frekuensi fundamental, timbre, arah suara, dan sound envelope dari alat musik Gamelan Jawa. ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
261
Suyatno, dkk. / Karakteristik Akustik Gamelan Jawa ....
SFA 2013
2. DASAR TEORI Sebuah pagelaran Gamelan Jawa bukan saja untuk dapat dinikmati keindahannya tetapi juga agar dapat menyampaikan “pesan seni” yang terkandung di dalam karya seni di balik pagelarannya. Untuk mendapatkan kualitas sebuah pegelaran, terdapat sejumah parameter amat penting yang terbagi menjadi faktor objektif (terukur) dan faktor subjektif (tak terukur). a.
Parameter objektif
Untuk menilai sebuah pagelaran perlu kiranya dicari nilai-nilai yang terukur (kuantitatif). Faktor objektif didasarkan pada nilai kuantitatif yang diberikan oleh suatu alat ukur mengikuti kaidah-kaidah pengukuran yang ditentukan [1], seperti: 1. Tingkat Kekerasan bunyi (Listening Level, LL) dalam dBA Yang dimaksud tingkat kekerasan bunyi dalam pagelaran Gamelan adalah kuat lemahnya bunyi yang dihasilkan oleh instrumenGamelan baik secara tunggal maupun gabungan. 2. Waktu tunda pantulan awal (Δt1) dalam ms Waktu tunda pantulan awal (Δt1) adalah waktu tunda yang terjadi antara suara langsung dan suara pantulan. Dari nilai Δt1 ini dapat diketahui keluasan medan bunyi dalam ruang (seberapa jauh jangkauan bunyi atau coverage area). 3. Waktu dengungsub-sekuen (Tsub) dalam detik. Waktu dengung sub-sekuen menyatakan waktu dengung efektif untuk medan suara dalam suatu ruang. Waktu dengung sendiri menggambarkan respon impuls ruang yang berkaitan dengan lamanya bunyi untuk hidup dalam ruang. Untuk instrumen tunggal, karakteristik ini berhubungan dengan sounds envelope. 4. Korelasi sinyal antar kedua telinga (inter-aural cross correlation, IACC ) IACC merupakan besaran korelasi silang dari respon akustik yang diterima telinga kiri dan kanan. IACC juga dapat menggambarkan keterarahan sebuah sumber bunyi. Dari ke-empat parameter tersebut parameter 1,2 dan 3 adalah parameter temporal/spectral yang berdimensi waktu/frekuensi. Sementara parameter ke-4 merupakan parameter spatialyang berdimensi ruang (dipengaruhi oleh ruang).
b. Parameter subjektif Faktor subjektif merupakan besaranyang relatif, bersifat subjektif, yang didasarkan pada selera serta latar belakan budaya dari pendengar atau sering disebut subjective judgement. Meskipun bersifat subjektif, namun besaran-besaran ini dapat juga dinyatakan secara kuantitatif berbasis kepada komponen atau kombinasi komponen-komponen parameter utama medan suara (terutama sekali berbasis kepada respon impuls antara sumber dan penerima). Secara umum (secara teknis), faktor subjektifitas sebuah pagelaran musik (musik barat) dapat berupa [2]: 1.Clarity (Kejelasan bunyi) 2.Loudness (kekerasan bunyi) 3.Intimacy (kedekatan dengan sumber) 4.Timbre (kandungan frekuensi) 5.Tempo (cepat lambatnya irama musik yang dimainkan), dll.
c.
Karakteristik akustikGamelan Jawa
Karakteristik akustikGamelan Jawa merupakan sifat fisis yang dimiliki oleh instrumen Gamelan yang mampu mempengaruhi (membentuk) suatu karakter permainan Gamelan Jawa, sedangkan karakter Gamelan Jawa diartikan sebagai kesan yang muncul dari sebuah instrumenGamelan Jawa. dalam sebuah permainan seperti lembut, gagah dan dinamis, Karakter Gamelan Jawa merupakan kombinasi dari karakteristik akustik Gamelan
262
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Suyatno, dkk. / Karakteristik Akustik Gamelan Jawa ....
SFA 2013
Jawa serta unsur akustik ruang. Secara garis besar karaketristik akustik instrumen Gamelan Jawa antara lain adalah : a. Frekuensifundamental Frekuensi adalah jumlah getaran yang terjadi dalam satu detik. Namun frekuensi yang dihasilkan memiliki frekuensi harmonisa serta overtone yang berbeda-beda. b. Timbre Timbre diartikan sebagai warna suara yang dihasilkan oleh sebuah alat musik. Akibat dari timbre maka telinga manusia mampu membedakan suara yang dihasilkan oleh alat musik meskipun dengan frekuensi fundamental (fo) yang mendekati sama. Timbre terjadi karena pada alat musik akan menghasilkan pula frekuensi harmonisa yang besarnya nxfoataufo, 2fo, 3fo, 4fo, dst. Besarnya frekuensi harmonisa pada Gamelan Jawa tidak tepat nxfo. Nilai ini sering disebut sebagai over tone yang akhirnya menyebabkan keunikan dari suara yang dihasilkan oleh Gamelan Jawa [3].Gambar 1.menunjukkan komponen timbre dari sebuah instrumen.
Gambar 1.Komponen timbre instrumen. c. Tempo Tempo diartikan sebagai kecepatan atau laju irama dalam memainkan alat musik yang menentukan keserasian nada yang dihasilkan. Di dalam Gamelan Jawa, ukuran dari tempo ditentukan antara lain oleh jenis lagu, garap, jumlah ansamble serta laras. d. Kekerasan (level) Besarnya energi yang mampu dibangkitkan oleh instrumen Gamelan melalui nada-nada yang dihasilkan, biasanya identik dengan kekerasan atau level suara. Keras lemahnya level yang dihasilkan tergantung pada jenis dan kuatnya gaya yang digunakan untuk memukul (memainkan). Dinamika permainan Gamelan yang berbeda juga akan menghasilkan level suara yang berbeda pula. Hal ini tergantung pada garap serta gending yang dimainkan. e. Keterarahan (directivity) Keterarahan merupakan respon yang dihasilka oleh sumber bunyi untuk bisa merambat mengikuti arah perambatan tertentu. Nilai keterarahan suara merupakan perbandingan antara level yang terjadi pada sudut tertentu dengan level pada sudut referensi (0o). Secara garis besar, keterahan (direktifitas) Gamelan Jawa merupakan omnidirectional yang artinya akan merambat dalam segala arah dengan energi yang mendekati sama [4]. f. Soundenvelope Sound envelope menyatakan karakter dinamik dari suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi. Karakter ini menyebabkan lamanya bunyi yang dihasilkan hidup (reverb). Gambar 2. menggambarkan proses terjadinya sound envelope yang merupakan kombinasi dari attack, decay, sustain dan release. Sound envelope terjadi karena alat musik menghasilkan variansi kekerasan (amplitude) seiring perubahan waktu. Waktu yang diperlukan sebuah sumber bunyi mulai dari mulai dimainkan sampai energi bunyi tersebut habis disebut sebagai waktu sounds envelope.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
263
Suyatno, dkk. / Karakteristik Akustik Gamelan Jawa ....
SFA 2013
Gambar 2.Komponen pembentuk sound envelope
3. METODOLOGI PENELITIAN Proses penalaan yang masih tradisional (menggunakan kepekaan telinga dan perasaan) berakibat pada ketergantungan pada kondisi fisik dari penala. Namun kondisi ini menyebabkan karakter akustik Gamelan yang unik dan tidak pernah ada yang sama antara ricikan yang satu dengan yang lainnya, meskipun jenis dan notasinya sama, bahkan dari tempat pembuatan yang sama (penala yang sama). Proses karaketisasi Gamelan Jawa dimaksudkan utuk mengetahui karakteristik akustik dari Gamelan Jawa (meski berbeda untuk jenis instrumen yang lain) menggunakan alat ukur sesuai kaidah-kaidah pengukuran. Pada pengukuran karakteristik Gamelan Jawa, mikropon sebagai sensor diletakkan pada posisi 1 m di atas instrumen. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan medan bunyi murni (original) serta sesuai dengan karakteristik terbaik mikropon. Gambar 5. menunjukkan skema pengukuran yang dilakukan untuk mendapatkan karakteristik tersebut.
Gambar 3. Set-up pengukuran karakteristik Gamelan
Pengukuran karaketristik akustik Gamelan Jawa dilakukan di ruang dengan noise sekecil mungkin (ruang anechoic). Data perekaman (recording) yang diperoleh kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan Sound analyzer untuk mendapatkan parameter akustik dari karakteristik Gamelan Jawa diantaranya adalah ListeningLevel, frekuensi fundamental, harmonic content, timbreserta Soundenvelope.
4. HASIL DAN DISKUSI Dengan mendasarkan pada ekstraksi data audio hasil perekaman dengan menggunakan sound analyzers, maka diperoleh parameter akustik yang menggambarkan karakteristik akustik Gamelan Jawa.
4.1 Kekerasan (ListeningLevel) Karakteristik Gamelan Jawa yang dalam permainannya dilakukan dengan jumlah instrumen yang bisa mencapai 75 instrumen berakibat pada kekerasan (level suara ) yang berbeda-beda. Posisi instrumen di
264
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Suyatno, dkk. / Karakteristik Akustik Gamelan Jawa ....
SFA 2013
panggung juga akan menyebabkan level suara berbeda pada setiap posisi pendengar terutama bagi pemain. Sebagai contoh adalah pada permainan garap “gambyong pare anom”, sumber bunyi (Gamelan) akan menghasilkan level di panggung sebesar 75 – 97 dB,pada permainan garap tententu nilai Level dapat mencapai 105 dB. Nilai ini cukup keras untuk sampai pada pendengar yang berada pada ruang (sebagai penonton). Sementara untuk pemain, nilai ini merupakan stimulus untuk melakukan permainan (sarana komunikasi) [5]. Berdasarkan nilai level yang dihasilkan tersebut maka penambahan sistem tata suara elektronik pada pagelaran Gamelan Jawa cenderung tidak diperlukan. 4.2 Frekuensi Frekuensi diartikan sebagai jumlah osilasi (getaran) yang terjadi setiap detik. Frekuensi merupakan komponen yang penting dalam instrumen, terutama yang hubungannya dengan batas pendengaran manusia.Secara teori batas pendengaran manusia pada rentang 20 Hz sampai dengan 20 kHz. Sebagai contoh hasil pengukuran karakteristik Gamelan Jawa yang ada di PSTK (Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan Jawa) ITB memiliki karakteristik frekuensi antara 60 Hz sampai 2550 Hz. Nilai frekuensi yang diperoleh merupakan frekuensi dasar (fundamental) yang dibangkitkan. Setiap Gamelan Jawa memiliki nilai frekuensi fundamental yang tidak persis sama meskipun jenis ricikan dan notasi yang sama. Table 1.dan Tabel 2. menunjukkan nilai frekuensi hasil pengukuran Gamelan Jawa yang ada di PSTK ITB. Table 1. Karakteristik akustik frekuensi instrumen GamelanJawalaras Slendro Notasi (Nada)
6
1
2
3
5
6
1
Ricikan
2
3
5
6
1
2
3
5
6
1
Frekuensi (Hz)
Saron peking
928 1073 1246 1418 1639 1854 2167
Saron
465
535
621
707
810
928 1084 1246
Demung
271
309
352
405
465
541
Bonang barung
271
320
357
406
465
546
632
707
815
928 1084 1246 1418 1644 1829 2550
Bonang Penerus
538
Gambang pl br
621
702
815
934 1078
153
164
174
218
228
309
325
379
438
471
600 648 697 869 939 1127
Gender penerus
121
153
164
174
223
234
301
325
347
438
465
605 634 697
Slenthem
121
137
158
180
201
234
271
Kempyang
1084
Kethuk
314
Kenong
309
352
406
465
541
Kempul
137
158
180
201
228
Gong suwukan
137
158
Gong ageng
49
Table 2. Karakteristik akustik frekuensi instrumen GamelanJawalaras pelog. Notasi (Nada)
1
2
3
4
5
Saron peking
6
7
1
2
3
4
5
6
7
Frekuensi (Hz)
Ricikan 1208
1300
1391
1639
1757
1854
2059
Saron
605
643
697
810
874
928
1036
Bonang Penerus
605
648
697
810
874
928
1036
1208
1391
1396
1655
1752
1886
2075
Bonang barung
304
325
352
411
438
465
514
605
643
697
815
880
928
1036
Demung
304
325
347
406
438
465
514
Kenong
223
325
347
406
444
471
514
600
648
Slenthem
153
164
174
201
223
234
255
Kempul
153
164
88
Kempyang
858
Kethuk
239
Gong suwukan
83
Gong ageng
60
218
131
Berdasarkan Table 1 dan Tabel 2.diatas terlihat bahwa harmonic content yang diimiliki oleh Gamelan Jawa tidak sama dengan nxf. Sebagai contoh adalah pada saron dimana untuk nada dengan notasi 1 memiliki frekuensi dasar adalah 538 Hz sementara untuk nadaÍ(1 oktaf diatasnya) memiliki frekuensi dasar 1084 Hz. Nilai ini juga terlihat pada notasi yang sama namun untuk jenis ricikan yang berbeda serta pada ensemble yang berbeda pula. Tabel 3. menunjukkan contoh adalah nilai frekuensi antara demung dengan bonang.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
265
Suyatno, dkk. / Karakteristik Akustik Gamelan Jawa ....
SFA 2013
Tabel 3.Nilai frekuensi Demung dan Bonang. Notasi Demung
1
2
3
5
271
309
352
405
6 465
1 541
Bonang 271 320 357 406 465 546 4.3 Timbre Berdasarkan hasil perekaman dan ekstraksi parameter akustik diperoleh diagram timbre pada Demung laras slendro notasi 1 (a) dan gong Ageng (b) seperti tampak pada Gambar 4. Gambar 4 (a). menunjukkan nilai frekuensi fundamental dari demung notasi 1 adalah 271 Hz, namun terdapat frekuensi lain yang nilainya lebih besar dan juga lebih kecil dari 271 Hz. Begitu juga pada Gambar 4 (b) yang menggambarkan karakteristik timbre dari Gong Ageng
(a)
(b) Gambar 4. Spektral / timbre untuk (a) Demung laras slendro notasi 1, (b) Gong Ageng Nilai frekuensi selain frekuensi fundamental ini menyebabkan timbre (warna bunyi) yang dimiliki oleh instrumen Gamelan Jawa. Kondisi yang sama juga terjadi pada nada-nada yang lain. 4.4 Soundenvelope Gamelan Jawa sebagai sumber bunyi yang dimainkan dengan cara dipukul berakibat pada bunyi yang dihasilkan merupakan mendekati impulse. Sebagai sumber bunyi yang mendekati impulse, maka instrumen Gamelan Jawa akan memiliki waktu sustain yang sangat kecil. Sehingga bunyi akan langsung meluruh (release). Lamanya waktu release untuk Gamelan Jawa tergantung jenis ricikan (instrumen) Gamelan. Gambar 5. menunjukkan diagram Sound envelope dari Demung laras slendro notasi 1 sebesar 3,80 s.
266
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Suyatno, dkk. / Karakteristik Akustik Gamelan Jawa ....
SFA 2013
Gambar 5.Sounds envelope untuk instrumen Demung notasi 1. Nilai sound envelope Gamelan Jawa dipengaruhi oleh gaya pukulan yang diberikan, hal ini berpengaruh pada level (power) yang dihasilkan oleh jenis instrumen, dan kondisi fisik (jenis material, rongga resonansi). Akibat adannya nilai sound envelope yang berbeda dari instrumen Gamelan Jawa berakibat pada permainan garap tertentu sehingga perlu dilakukan pemegangan setelah dipukul (pethet) agar dengung (reverb) yang dihasilkan tidak menyebabkan masking (penutupan) terhadap nada yang lain. Sebagai contoh nilai sounds envelope untuk gong Ageng sebesar 10,07 s, nilai ini akan mengganggu nada lain jika pada permainan garap yang memiliki tempo cepat, sehingga perlu dilakukan penghentian dengan dipegang setiap kali setelah dipukul. Proses karakterisasi Gamelan Jawa yang didasarkan pada subjektifitas Empu (seorang yang ahli) membuat karakterstik akustik Gamelan Jawa bervariasi (tidak ada yang sama). Namun kondisi karakteristik akustik tersebut (Level, frekuensi fundamental, timbre dan sound envelope) mampu menunjukkan karakteristik unik Gamelan Jawa yang mampu membingkai serta membentuk komposisi musik yang unik dan berbeda dengan musik modern (barat).
5. SIMPULAN Nilai frekuensi fundamental yang dimiliki oleh Gamelan Jawa cenderung tidak sama untuk notasi yang sama, sementara nilai frekuensi harmonik juga tidak tepat pada nxf, hal ini menyebabkan panjangnya reverb (sound envelope) dan timbre Gamelan Jawa yang berbeda-beda, akibatnya membuat mampu saling menguatkan dan menghadirkan roh (jiwa) dari pagelaran Gamelan Jawa. Nilai karakteristik akustik Gamelan jawa hasil pengukuran pada Gamelan di PSTK ITB diperoleh frekuensi berada pada rentang 60 Hz – 2550 Hz, sound envelope untuk Gamelan Jawa berada pada kisaran 0,5 s sampai 10.07 s. Nilai ini bisa berbeda untuk jenis Gamelan Jawa yang lain (selain di PSTK ITB).
6. DAFTAR ACUAN 1.
Baranek, “Concert Hall Akustiks-2008”, Journal Audio Eng. Soc., Vol. 56, No. 7/8, 2008.
2.
Suyatno, Harijono A. T., IGN. Merthayasa, “Pengaruh Tata Letak Instrumen Gamelan Jawa Di Panggung Terhadap Parameter Akustik Bagi Pengendang”, submit KIM LIPI, 2013
3.
IGN. Merthayasa and B. Pratomo, “The Temporal and Spectral characteristics of Gamelan Sunda Musik”, Euro noise Forum, Paris, 2008
4.
Y. Ando, “Architectural Acousticss”, Springer, Japan, 1998
5.
W. A. Sethares, “Tuning, Timbre, Spectrum, Scale”, 2nd, Springer, 2004
6.
F. Okdinursa, “Pengukuran Dan Analisis Karakteristik Akustik Alat Musik Gamelan Jawa”, ITB, UnPublish
7.
R. Supanggah, “Bothekan - Garap Karawitan”, ISI Pers Surakarta, 2011.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
267
Suyatno, dkk. / Karakteristik Akustik Gamelan Jawa ....
SFA 2013
8.
Bram palgunadi, “Serat Kandha Seni Karawitan Jawa”, ITB, 2002
9.
Iwan Budi Santosa, “Perekaman Gamelan Jawa dengan Teknik Stereofonik”, Tesis Magister, ISI Surakarta, 2010.
268
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2013
PEMBUATAN MAGNETOMETER UNTUK MENENTUKAN KARAKTERISTIK BAHAN SUPERKONDUKTOR Bachtera Indarto , Melania S M , Darminto Jurusan Fisika FMIPA-ITS Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
ABSTRAK Dibuat sebuah magnetometer untuk menentukan karakteristik magnetik bahan superkonduktor. Magnetometer yang dibuat terdiri dari pembangkit intensitas medan magnet H dan pengukur induksi medan magnet B. Pembangkit intensitas medan magnet H solenoida inti udara. Sumber arus untuk arus pembangkit berkemampuan 0-12500 mA Pengukur induksi medan magnet B menggunakan sensor elemen Hall dengan kemampuan ukur maksimum (25 ± 0,1) Gauss. Kalibrasi menggunakan data karakteristik sensor Hall A-1302. Hasil pengukuran untuk 3 jenis bahan adalah Tc Bi-2212 = [ (84 – 85 ) ± 1 ] °K, Tc (Bi,Pb) 2212 = [ (78 – 79 ) ± 1 ] °K
1. PENDAHULUAN Magnetometer terdiri dari dua bagian yaitu pembangkit intensitas medan H, dan pengukur induksi medan B. Pembangkit intensitas medan magnet H adalah solenoida yang dialiri arus [1], dari sebuah sumber arus [2]. Besar dan pola intensitas medan magnet H diatur komputer dengan memberikan data digital yang dikonversi menjadi data analog oleh DAC (Digital to Analog Converter) [3]. Pengukur besar induksi medan magnet B menggunakan elemen Hall [4]. Keluaran elemen Hall berorde mV diperkuat menggunakan penguat instrumentasi [5]. Keluaran penguat instrumentasi yang berupa besaran analog diubah mejadi besaran digital oleh ADC (Analog to Digital Converter) untuk diolah komputer [3]. Bahan superkonduktor, pada kondisi superkonduktivitas bersifat diamagnetik. Pengukuran sifat magnetik saat kondisi superkondukivitas memberikan informasi besarnya Tc Perangkat lunak komputer mengolah data intensitas medan magnet H dan induksi medan magnet B menjadi kurva karakteristik B - H yang memberikan karakteristik bahan yang diuji [6]. Besaran magnet yang akan diukur adalah besaran skalar maka yang dibuat adalah scalar magnetometer, sedangkan yang
diamati adalah bahan superkonduktor. Maka dari itu batasan masalahnya adalah : a. Pengamatan bahan superkonduktor: Ø Pembangkit magnet berupa solenoida dengan aliran arus yang menghasilkan intensitas magnet 0 - 3.000 A/m. Ø Pengukur medan magnet menggunakan transduser elemen Hall dengan kemampuan ukur 30 Gauss dengan ketelitian 0,1 Gauss Ø Sistem pendingin menggunakan nitrogen cair sebagai pendingin b. Komputer digunakan untuk : v Mengatur variasi pembangkitan medan magnet v Merekam hasil pengukuran
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
269
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
2. Tinjauan Pustaka 2.1 Pembangkit Medan Magnet H 2.1.1 Sumber Arus Sumber arus adalah alat yang dapat mengalirkan / memberikan arus tanpa terpengaruh oleh besarnya beban yang dipasang [7]. Sebuah sumber arus dapat dibuat dengan konfigurasi op-amp dan transistor dengan beban ditanahkan seperti Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Rangkaian dasar sumber arus [7].
Pada Gambar 2.1 kedua masukan op-amp dalam keadaan terhubung singkat semu sehingga kedua masukan mempunyai teganganyang sama. Akibatnya tegangan pada R1 sama dengan Vi , sehingga arus yang mengalir di R1 adalah : V I = i R1
( 2.1 )
Variasi arus I diatur dengan mengatur besarnya Vi sehingga arus yang juga mengalir di R2 (beban) dapat dibuat bervariasi.
2.1.2 Solenoida Pembangkit Medan Magnet H Pembangkit magnet H yang sering digunakan adalah solenoida yaitu kawat lingkaran ditumpuk sehingga berbentuk silinder seperti Gambar 2.2 [6].
Gambar 2.2 Solenoida pembangkit medan magnet H
Besar medan magnet H di titik tengah kedua solenoida adalah M
N
µ0lai2
^
B(z) = 2∑[∑{ 2 2 3/ 2 }rJ ] J =1 i=1 2(ai + rJ )
(2.2 )
Distribusi induksi medan magnet B untuk solenoida dengan jari-jari a dan panjang solenoida L = 4 a seperti pada Gambar 2.3.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
270
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
Gambar 2.3 Pola distribusi induksi medan magnet dalam solenoid
Pada Gambar 2.3 tampak bahwa induksi maksimum di bagian tengah solenoida pada jarak 2a dari tepi solenoida dan besarnya mendekati nI = NI/L.
2.2 Pengukur Induksi Medan B 2.2.1 Elemen Hall Elemen Hall adalah keping bahan semi konduktor untuk mengkon versi medan magnet ke tegangan berda sarkan fenomena efek Hall. Ada 2 jenis bahan semikonduktor yang digunakan yaitu tipe n dan p. Masing masing tipe berinteraksi dengan medan magnet seperti yang pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Elemen Hall semikonduktor tipe n dan p dalam medan magnet
Pada Gambar 2.4, aliran arus searah sumbu x positif dan medan magnet searah sumbu z positif. Untuk semi konduktor tipe n, pengaruh gaya Lorentz menyebabkan sisi sumbu y negatif berpolaritas negatif dan sisi sumbu y positif berpolaritas positif. Hal yang sebaliknya terjadi pada semikonduktor tipe p.
2.2.2 Pengkondisi Sinyal Pengkondisi sinyal yang diguna kan adalah penguat instrumentasi yang merupakan penguat diferensial dengan CMMR tinggi, untuk menjamin tegang an keluaran penguat hanya bergantung pada perbedaan sinyal masukan [8]. Konfigurasi penguat instrumentasi yang umum digunakan seperti Gambar 2.9.
Gambar 2.5. Rangkaian Penguat Instrumentasi R + R3 AV = m = 1 + 1 R2
R 6 R 4
(2.8)
Tegangan keluaran penguat instrumentasi adalah :
VOUT = m(E1 − E 2 )
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
(2.9)
271
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
2.3 Komputer untuk Pengatur dan Sebagai Pengolah Data Perangkat lunak komputer mengatur intensitas medan magnet H dengan mengatur sumber arus. Penga turan dilakukan dengan melalui DAC . Tegangan keluaran dari elemen Hall dan sensor temperatur berupa tegangan analog. diubah menjadi besaran digital ADC untuk disimpan dan diolah oleh komputer
2.4 Karakterisasi dan Kalibrasi Karakterisasi dan kalibrasi dilakukan untuk setiap bagian magnetometer. Pada bagian pembangkit H dilakukan untuk catu daya, sumber arus dan solenoida pembangkit magnet. Bagian pengukur induksi, karakterisasi dan kalibrasi dilakukan untuk transduser efek Hall, penguat instrumentasi dan gabungan keduanya. Karakterisasi dan kalibrasi magnetometer menggunakan 2 cara, yaitui menggunakan Gaussmeter dan menggunakan bahan magnet uji yang sudah dikalibrasi.
3. PERANCANGAN 3.1 Rancangan Magnetometer Diagram blok rancangan magnetometer yang akan dibuat seperti Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Blok Diagram Perangkat Keras.
Gambar 3.1 merupakan rancangan magnetometer yang terdiri dari adalah komputer, DAC, sumber arus, catu daya, lilitan, transduser efek Hall, penguat instrumentasi dan ADC. 3.1.1 Perancangan Sumber Arus Rancangan rangkaian sumber arus yang akan dibuat adalah seperti Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Rangkaian sumber arus
Sesuai persamaan (2.1), hambatan R1 merupakan penentu arus maksimum dan sekaligus menjadi pembatas hambatan maksimum beban R2 yang digunakan 3.1.2 Perancangan Pengukur Induksi Medan Magnet B Pengukur induksi terdiri elemen Hall dan penguat instrumentasi dengan konfigurasi seperti Gambar 3.3
Gambar 3.3 . Rangkaian pengukur induksi medan magnet B
272
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
Pada Gambar 3.3, Resistor R1 berfungsi untuk pembatas arus elemen Hall Faktor penguatan tergantung pada nilai resistor eksternal yang dipasang. Keluaran Vo diatur sebesar 5 Volt untuk nilai induksi maksimum disesuaikan dengan maksi mum masukan ADC. 3.1.3 Magnetometer Bahan Superkonduktor Magnetometer dengan sistem pendingin sampel dibuat seperti Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Sistem pendingin sampel
Seperti tampak pada Gambar 3.4, sistem pendingin berupa wadah dari bahan isola si termal, dilengkapi termokopel untuk pengukuran temperatur. Transduser efek Hall dan termokopel dirangkai menjadi satu kesatuan dengan wadah untuk memudahkan proses pengamatan. Media pendingin menggunakan nitrogen cair yang langsung dituang kedalam wadah.bagian pendingin. 3.1.4 Rancangan Perangkat Lunak Koordinasi pengamatan bahan pada temperatur ruang dengan pola intensitas medan magnet H : 0 – maksimum 0 – minimum – 0 sesuai dengan diagram alir seperti Gambar 3.5.
Gambar 3.5 Diagram alir perangkat lunak pengamatan bahan
Diagram alir pada Gambar 3.5 menunjukkan proses pengamatan bahan dengan sapuan 1 siklus. Pada ½ siklus awal sapuan dilakukan medan magnet dari 0 sampai maksimum dan dari mak simum ke 0. Kemudian aliran arus dirubah dengan membalikkan polaritas lilitan sehingga arah medan berbalik arah. Proses ½ siklus diulang sehingga sapuan lengkap 1 siklus. Pada akhir proses, data direkam dalam format Excel.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
273
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
4. PERAKITAN DAN ANALISIS DATA PENGUKURAN 4.1 Perakitan dan Kalibrasi 4.1.1 Digital to Analog Converter (DAC) Rangkaian DAC 12 bit menggu nakan komponen utama DAC1220 dirakit seperti Gambar 4.3.
Gambar 4.1 Rangkaian DAC1220 (Burr-Brown)
Pada Gambar 4.1 jalur data dihubungkan ke komputer melalui Printer port. Karakterisasi menunjukkan rata rata setiap data memberikan nilai tegangan setiap bit seperti grafik Gambar 4.2.
Tegangan keluaran (mV)
Data DAC
Gambar 4.2 Grafik tegangan setiap bit untuk data DAC
Grafik Gambar 4.2 menunjukkan bit terkecil memberikan keluaran sebesar 1,25 mV, dengan minimum 0 volt dan maksimum 5120 mV. 4.1.2. Analog to Digital Converter (ADC) Rangkaian ADC menggunakan ICL-7109 (Intersil) yang dibuat seperti Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Rangkaian ADC ICL-7109 (Intersil)
274
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
Jalur keluaran hasil konversi sinyal analog rangkaian Gambar 4.3 dihubungkan ke komputer melalui Printer Port. Hasil karakterisasi dan kalibrasi ADC DAC seperti grafik pada Gambar 4.4.
Data ADC
Data DAC Gambar 4.4 Grafik masukan ADC terhadap keluaran DAC
Tampak pada Gambar 4.4, masukan yang dikonversi oleh ADC tidak sampai 4096. Dari data yang diperoleh, daerah kerja linier ADC mulai dari 0 sampai 3800. Sedangkan besar tegangan terkecil yang dapat di konversi oleh ADC sama dengan keluaran DAC yaitu 1,25 mV. 4.1.3. Sumber Arus Perakitan sumber arus hasilnya seperti yang ditunjukkan Gambar 4.5.
Gambar 4.5 Rangkaian sumber arus
Gambar 4.5 menunjukkan konverter tegangan ke arus yang menerima masukan dari DAC, dihubungkan dengan penguat arus yang terdiri dari 6 buah transistor daya dengan kemampuan masing-masing 10 Amp . Hambatan referensi sebesar 0,22 Ohm yang menjaga aliran arus selalu tetap. Uji coba sumber arus dilakukan dengan memberikan data dari DAC dari 0 sampai 3800 dengan perubahan 4 bit. Aliran arus dibaca oleh ADC dan hasilnya seperti yang ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 4.6.
Arus (mA )
(mA Data DAC
Gambar 4.6 Grafik aliran arus dari sumber arus terhadap data DAC(0-3800).
Gambar 4.6 menunjukkan arus maksimum 12644,3 mA untuk data DAC 3800, artinya. arus paling kecil adalah 3,3 mA/bit data DAC.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
275
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
4.1.4. Pembangkit Magnet, Sistem Pendingin dan Pengukur Magnet Pembangkit magnet dalam sistem pendingin seperti Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Magnetometer bahan superkonduktor
Pada Gambar 4.7, dalam sistem pendingin ditempatkan pembangkit magnet jumlah lilitan 200 dan panjang 10 cm, pengukur medan induksi magnet, pengukur temperatur dan wadah sampel. Pengujian dan kalibrasi pem bang kit medan hasilnya ditampilkan pada Gambar 4.8.
B(Gauss)
H (X 2 Amp/m)
Gambar 4.8 Grafik hasil pengujian pembangkit medan magnet
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa pemberian medan dari 0 sampai 3.400 Amp/m memberikan hasil pengukuran maksimum 22,7 Gauss dengan ketelitian 0,1 Gauss. Hasil pengukuran karakteristik sistem pendingin seperti Gambar 4.9
Temperatur pendingin °C H (X 2 Amp/m)
Gambar 4.9 Grafik kenaikan dan penurunan temperatur dalam pendingin
Gambar 4.9 menunjukkan perubahan temperatur sistem pendingin mulai diisi nitrogen sampai kembali ke temperatur ruang. Penambahan nitrogen pada wadah pendingin, temperatur dalam pendingin dapat dipertahankan sebesar -194,7 °C. Penurunan dapat diatur selang waktunya dengan mengatur besarnya lubang pada bagian penutup pendingin. Adanya diskontinyu pada grafik Gambar 4.18 disebabkan adanya penambahan nitrogen pada saat pengukuran untuk mencapai temperatur -194,7 °C.
276
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
4.2. Pengukuran dan Pengolahan Data Proses pengukuran karakteristik sampel adalah memberi sapuan medan H berbentuk segitiga seperti Gambar 4.10.dan mengukur medan induksi B.
H(Amp/m
Waktu (detik)
Gambar 4.10 Pola sapuan medan magnet
Gambar 4.10 besar medan maksimum disesuaikan dengan karakteristik sampel, sedangkan waktu sapuan dapat diatur dengan memberi delay. Waktu sapuan paling minimum sama dengan besarnya waktu konversi dari ADC. 4.2.1 Pengukuran Karakteristik Bahan Superkonduktor Bahan superkonduktor yang diamati adalah Bi-2212 dan (Bi,Pb) 2212 .Hasil pengukuran bahan Bi-2212 ditampilkan dalam bentuk grafik perubahan suseptibilitas terhadap temperatur diperlihatkan pada Gambar 4.11.
106 105 χ(a. u)
104 103 102 101 100 81
82
83
84
85
86
87
88
T (Kelvin)
Gambar 4.11 Perubahan suseptibilitas Bi-2212 terhadap temperatur
Gambar 4.11 menunjukkan Bi-2212 memiliki temperatur transisi sekitar 84 K sampai dengan 85 K yang berarti bahan tersebut bersifat superkonduktif sebagian. Sedang diatas 85 K bahan tersebut tidak bersifat superkonduktif. Karena perlakuan adalah penurunan temperatur, maka temperatur kritis bahan adalah 85 K.
Hasil pengukuran bahan (Bi,Pb)2212 setelah diolah menghasilkan grafik perubahan suseptibilitas terhadap temperatur seperti Gambar 4.12. Gambar 4.12. menunjukkan (Bi,Pb)2212 memiliki temperatur transisi sekitar 77 K sampai dengan 79 K yang berarti bahan tersebut bersifat superkonduktif sebagian. Sedang diatas 79 K bahan tersebut tidak bersifat superkonduktor dan Tc bahan adalah 79 K.
ISSN: 2086-0773
http://www.seminar.physics.its.ac.id
277
Bachtera I., dkk./ Pembuatan Magnetometer ....
SFA 2013
188 187 186 185 χ(a. u)
184 183 182 181 180 179 178 76
77
78
79
80
81
82
83
T (Kelvin)
Gambar 4.12 Perubahan suseptibilitas (Bi,Pb) 2212 terhadap temperatur
5. SIMPULAN Magnetometer pengukur karakteristik magnetik superkonduktor yang dibuat mempunyai pembangkit intensitas magnet dengan kemampuan memberi kuat medan maksimum 3.400 Amp/m dan pengukur medan magnet maksimum (22,7 ± 0,1) Gauss. Hasil pengukuran temperatur kritis (Tc) superkonduktor untuk bahan Bi-2212 adalah (85 ± 1) K dan (Bi,Pb) 2212 (78 ± 1) K.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
278
Paul A Tipler, Fisika Untuk Sains dan Teknik, alih bahasa Dr. Bambang Soegiono, Erlangga, Jakarta, 2004 Yahya E , Indarto B, 1996, Perencanaan dan Pembuatan Sumber Arus untuk Furnace Bebas medan Magnet Berubah yang Dapat Dikendalikan dengan Komputer, Lemlit ITS, Surabaya Verlag, Franzis, 1990, Pengukuran, Pengendalian dan Pengaturan dengan PC, alih bahasa Margunadi, Elex Media Komputindo, Jakarta. Fraden Y, 2003, Hand Book of Modern Sensors, Physics Designs & Applications, Springer, NewYork Indarto B, Rohedi A. Y. , 1995, Automatisasi Pengukuran Arus Kritis Jc Bahan Super Konduktor, Lemlit ITS , Surabaya Cullity B.D., 1972, Introduction to Magnetic Material, Addison-Wesley Publishing Company, Indiana Sutrisno, 1994, Elektronika Lanjutan, Teori Dasar dan Penerapannya, FMIPA-ITB, Bandung Coughlin F., Robert and Frederick F. Driscoll, 1998, Penguat Operasional dan Rangkaian Terpadu Linier , Penerbit Erlangga, Jakarta. Honeywell,xxxx, Hall Effect Sensing and Application, MICRO SWITCH Sensing and Control, USA www.wikipedia.com
http://www.seminar.physics.its.ac.id
ISSN: 2086-0773