PROSES TERTANGKAPNYA IKAN KARANG DENGAN SMALL BOTTOM SETNET
BARU SADARUN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Proses Tertangkapnya Ikan Karang dengan Small Bottom Setnet” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi dimanapun. Sumber informasi berasal dari hasil penelitian saya sendiri dan dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain. Semuanya telah saya sebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi.
Bogor,
Januari 2011
Baru Sadarun NRP. P266 00001
ABSTRACT BARU SADARUN. “Reef Fish Capture Process by Small Bottom Setnet”. Under supervision of Mulyono S. Baskoro, Daniel R. Monintja, dan M. Fedi A. Sondita.
Marine protected areas (MPA) have been re-empahasized as a management tool to promote sustainability of reef fisheries. While reef fish are source of food, fishermen should use environment-friendly fishing gear. Setnet is a type of fishing gear deployed to intercept fish migration. This research was aimed to compare effectiveness between yellow and green leadernets, and to assess impacts of set net operation on reefs. A number of experiments were conducted in several areas and Seribu Islands for the main experiment from October 2007 until October 2008. The yellow leader net appeared to be more effective than the green leader net in directing fish into the bagnet. Pattern of fish response to leader net appeared to be different between the two colored leadernets. Response of fish was also different among species, as indicated by fish acuity measured from density or distribution of cone cells of the eye retine. Fish with low density one cells (sergeant major / Abudefduf sp) tend to recognize net presence in short distance while those with high density can recognize it from further (tiger grouper / Epinephelus sp). Deployment and operation of small bottom setnet had no siginficant physical impact, except for limited area around leadernet where setnet posts were located. Further studies are required before wide expansion of small bottom setnet as an alternative type of gears for sustaining reef fisheries.
Keywords: small bottom setnet, reef fish, marine protected area, swimming pattern, fishing impact.
RINGKASAN
BARU SADARUN. “Proses Tertangkapnya Ikan Karang dengan Small Bottom Setnet”. Komisi Pembimbing: Mulyono S. Baskoro, Daniel R. Monintja, dan M. Fedi A. Sondita.
Setnet adalah alat tangkap yang dipasang atau diset secara menetap di daerah penangkapan. Small bottom setnet adalah alat tangkap yang dipasang secara menetap dengan satu leadernet yang berfungsi menghadang gerakan ikan dan menuntun ikan masuk ke badan jaring/daerah perangkap. Pengoperasian alat ini mudah dan bersifat pasif, yaitu dengan cara menunggu ikan masuk yang terperangkap. Komponen utama dari small bottom setnet adalah leadernet, playground, dan bagnet. Small bottom setnet dapat digunakan oleh nelayan tradisional dengan skala kecil dan juga dapat dipergunakan oleh nelayan modern dengan skala ukuran yang sangat besar. Tujuan penelitian ini sebagai berikut: (1) Membandingkan pengaruh leadernet warna hijau dan kuning dalam menggiring ikan karang; (2) Mengidentifikasi pola tingkah laku ikan terhadap leadernet; (3) Mengkaji potensi kerusakan terumbu karang akibat pengoperasian smallbottom setnet. Penelitian ini diharapkan, dapat memberikan informasi tentang respon tingkah laku ikan pada leadernet dan informasi dampak kerusakan terumbu karang di kawasan konservasi akibat pemasangan small bottom setnet. Informasi ini penting bagi pengambil kebijakan dalam bidang perikanan tangkap untuk menyusun rencana pengembangan usaha penangkapan ikan karang di masa yang akan datang. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan konservasi laut dengan pertimbangan kawasan konservasi laut memiliki ikan karang yang cukup melimpah dan harus dapat dimanfaatkan tanpa merusak terumbu karang. Lokasi penelitian tepatnya di kawasan konservasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian ini dimulai dari bulan Oktober 2007 sampai dengan bulan Oktober 2008. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: small bottom setnet; buku untuk identifikasi ikan karang; alat tulis menulis bawah air; kamera foto bawah air; video bawah air; meteran transek; dan peralatan SCUBA diving. Metode ujicoba dalam penelitian ini adalah experimental fishing yaitu mengoperasikan langsung small bottom setnet dengan perlakuan warna yang berbeda pada leadernet. Ada dua perlakuan pertama adalah pemasangan small bottom setnet dengan leadernet berwarna hijau. Perlakuan kedua adalah pemasangan small bottom setnet dengan leadernet berwarna kuning. Respons ikan terhadap leadernet berwarna hijau dan kuning kemudian dicatat, difoto dan direkam secara langsung di dalam air. Pengamatan tingkah laku ikan pada small bottom setnet dilakukan dengan melihat jenis ikan yang lolos, tergiring, dan kembali berbalik arah menjauhi leadernet. Ujicoba ini dilakukan setiap hari secara bergantian antara leadernet berwarna hijau dan leadernet berwarna kuning selama 28 hari (14 hari untuk
setiap perlakuan). Data hasil pengamatan ditabulasikan dan dianalis secara deskriptif terhadap tingkah laku ikan terutama responsnya terhadap perbedaan warna leadernet. Selain itu, dilakukan pula pengambilan data kerusakan terumbu karang akibat pengoperasian small bottom setnet di lokasi penelitian. Metode yang digunakan untuk melihat kerusakan terumbu karang adalah point intercept transect dan metode yang digunakan untuk melihat respons pada leadernet adalah belt transect yang dimodifikasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) analisis deskriptif terkait jenis warna leadernet yang tepat untuk menggiring ikan karang dan terkait dengan jenis maupun jumlah hasil tangkapan small bottom setnet, (2) analisis ChiSquare untuk mengetahui dampak operasi small bottom setnet terhadap karang Hasil penelitian menunjukan bahwa warna pada leadernet berpengaruh dalam operasi small bottom setnet, dimana leadernet berwarna kuning lebih efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan. Jumlah ikan yang tergiring leadernet berwarna kuning sekitar 84,12%, sedangkan yang tergiring leadernet berwarna hijau sekitar 45,59%. Tingkah laku ikan terhadap leadernet terlihat bahwa pada leadernet berwarna hijau ikan cenderung menabrak dan tidak tergiring, berbeda dengan pada leadernet berwarna kuning dimana ikan cenderung tergiring dan tidak tersangkut. Hasil penelitian dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kerusakan terumbu karang sangat rendah dan masih bisa ditolerir. Dari beberapa paremater yang dianalisis (kecuali kehadiran ikan karang), pengaruh operasi small bottom setnet terhadap ekosistem terumbu karang tidak berdampak nyata (X2 Hitung < X2 Tabel). Kata Kunci:
small bottom setnet, ikan karang, kawasan konservasi laut, pola renang ikan, dampak pengoperasian alat tangkap
@Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh
karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PROSES TERTANGKAPNYA IKAN KARANG DENGAN SMALL BOTTOM SETNET
BARU SADARUN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Disertasi
:
Proses Tertangkapnya Ikan Karang dengan Small Bottom Setnet
Nama
:
Baru Sadarun
NIM Program Studi
: :
P266 00001 Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua
Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja Anggota
Dr.Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 8 November 2010
Tanggal Lulus :
Kupersembakan karya ini untuk : Orang-Orang yang Membutuhkan Karya Ini Terutama Istri, Anak, dan SaudaraSaudari Tercinta Peneliti dan Pemerhati Setnet di Tanah Air serta Almamáter Institut Pertanian Bogor
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada ALLAH SWT atas tuntunan dan bimbingannya maka penulisan disertasi dengan judul “Proses Tertangkapnya Ikan Karang dengan Small Bottom Setnet” dapat terwujud. Pada kesempatan ini tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak terutama: Ditjen Pendidikan Tinggi yang sudah membantu penulis memberikan bantuan beasiswa pascasarjana (BPPS), Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dan staf administrasi yang sudah membantu penulis selama menimbah Ilmu di IPB. Terima kasih pula disampaikan kepada komisi pembimbing : Pof. Dr.Ir Mulyono S. Baskoro, M.Sc (Ketua Komisi Pembibing), Prof. Dr. Daniel R. Monintja dan Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc (Anggota Komisi Pembimbing) dengan tulus dan sabar telah membimbing penulis mulai dari awal penelitian sampai akhir penulisan. Ketua Program Studi, Staf Dosen dan Staf Administrasi Program Studi TKL yang sudah banyak membantu penulis dalam memberi ilmu pengetahuan, dan memperlancar administrasi selama penulis mengikuti studi. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Rektor Universitas Haluoleo, Dekan Faperta, dan Dekan FPIK atas dukungan dan bantuannya selama penulis melanjutkan studi. Ucapan terima kasih pula ditujukan kepada Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, dan Pengelola proyek COREMAP II, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dana penelitian dan dana penulisan tugas akhir. Terima kasih ditujukan pula kepada keluarga tercinta : Istri (Ibu Nurlian Ilyas) dan anak (Steven Muhamad) atas segala doa, kesabaran, dorongan dan pengertian yang diberikan secara tulus ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Bapak Kino Pure (Alm) dan Ibu Waode Safiah yang sudah membesarkan dan menyekolahkan penulis sampai tingkat Perguruan Tinggi. Bapak Mertua H. Ilyas dan Ibu Mertua Hj. Nuraeni yang telah memberikan dukungan moril dan materi selama studi. Serta saudara-saudara tercinta yang
senantiasa memberikan dukungan baik secara moril maupun materil selama penulis menempuh studi. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak Yaya Mulyana,
Bapak Agus Dermawan, dan Ibu Elfita Nezon yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasi. Mas Fis Purwangka bersama tim penyelamnya yang telah banyak membantu selama di lapangan, dan Mas Mustarudin yang juga telah banyak memberikan sumbangan konstruktifnya. Dosen dan rekan-rekan sesama mahasiswa Teknologi Kelautan serta teman-teman HIWACANA Sultra juga kami ucapkan terima kasih atas kebersamaan yang telah terjalin dan interaksi positif dalam suatu supporting system dengan penulis selama mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih pula ditujukan kepada semua pihak atas jasa dan bantuannya baik secara langsung maupun tidak sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan tersebut dengan rahmat dan pahala berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun penulis mengharapkan kiranya tulisan ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dalam usaha perikanan setnet di Tanah Air.
Bogor,
Januari 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Baru Sadarun, dilahirkan di Raha, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 23 Juli 1971, anak ke tujuh dari pasangan suami istri Kino Pure (Almarhum) dan Waode Safiah. Penulis masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pure tahun 1978 dan tamat tahun 1984. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Pure dan tamat tahun 1987. Pada tahun yang sama penulis masuk Sekolah Menengah Atas (SMAN) II Raha dan tamat pada tahun 1990. Pada tahun yang sama pula penulis masuk Perguruan Tinggi Unsrat Manado, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Program Studi Ilmu Kelautan dan tamat pada tahun 1995. Pada tahun 1997 penulis mendapat kesempatan melanjutan pendidikan pada Program Magister Fakultas Matematika dan IPA di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang dinyatakan lulus dan berhak memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada tanggal 20 Juli 1999. Tahun 1999 penulis diangkat sebagai tenaga pengajar tetap pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Unhalu. Pada tahun 2000 penulis kembali melanjutkan studi Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Kelautan (TKL). Pada tahun 2001 penulis dipekerjakan pada Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (sekarang KP3K), Departemen Kelautan dan Perikanan yang selanjutnya mulai tahun 2002 dipercaya sebagai Kepala Seksi Rehabilitasi Ekosistem Laut. Selama berstatus mahasiswa TKL, penulis pernah mendapat penghargaan Man And Biosphere dari UNESCO PBB tahun 2001 sebagai Peneliti Muda Pengelola Lingkungan yang Peduli pada Perkembangan, Pengelolaan, Konservasi Lingkungan dan Keragaman Hayati di Indonesia. Tahun 2008 penulis dipercaya sabagai Asdir Public Awarrenes COREMAP II. Tahun 2010 penulis dipecaya sebagai tim survei terumbu karang di kawasan CTI yang diinisiasi oleh KKP, TNI-AL, dan P2O LIPI. Dibidang penyelaman, penulis adalah Instruktur selam POSSI-B2 dengan nomor registrasi 0226 B2 Instructor. Juga penulis adalah Instruktur pada Association of Diving School International. Selain itu penulis adalah pengajar selam pada Marine and Fisheries Diving Club (MFDC-KKP) dan pada Bintang Samudra Diving Club (BS-DC). Pada tahun 2009 penulis dipercaya sebagai danru penyelam KKP pada pemecahan rekor dunia di Bunaken. Sampai saat ini penulis adalah President Scientific Diving POSSI Jakarta. Publikasi ilmiah penting yang dibuat oleh penulis diantaranya: • Tahun 2003 – 2007 “Buku Pengenalan Jenis Karang di Kawasan Konservasi Edisi I, II, III, IV dan V”. • Pada tahun 2007 “ Buku Pedoman Rehabilitasi Ekosistem Karang”. • Pada tahun 2008 “Buku Petunjuk Pelaksanaan Transplantasi Karang”. • Pada tahun 2009, Artikel Jurnal dengan Judul “Kajian” Dampak Pengoperasian Small Bottom Setnet Terhadap Kondisi Terumbu Karang di Perairan Kepulauan Seribu “dan” Pengaruh Warna Leadernet Terhadap Tingkah Laku Ikan Pada Small Bottom Setnet di Perairan Kepulauan Seribu “, yang telah dimuat pada Aqua Hayati Jurnal Biosains Perairan, Perikanan dan Kelautan. FPIK – UNHALU.
DAFTAR ISTILAH
Alat penangkap ikan
: Suatu alat tangkap menangkap ikan.
yang
digunakan
untuk
Atoll
: Salah satu tipe terumbu karang; merupakan terumbu yang bermodifikasi, berbentuk cincin, tumbuh di perairan dalam yang jauh dari massa daratan benua serta melingkari sebuah gobah dangkal.
Barrier reef
: Terumbu karang yang terdapat di sekitar massa daratan yang dipisahkan oleh suatu gobah atau saluran dengan berbagai ukuran.
Carrying capacity
: Batas kapasitas kemampuan daya dukung suatu daerah dalam mendukung suatu kondisi sumberdaya dan fenomena yang ada.
CCRF
: Code of Conduct for Responsible Fisheries yaitu tata laksana untuk perikanan yang bertanggung jawab.
CPUE
: Catch per unit effort (hasil tangkapan persatuan upaya penangkapan) yaitu hasil tangkapan ikan dalam jumlah atau berat yang diambil oleh suatu upaya penngkapan tertentu yang biasanya digunakan sebagai indeks dari kelimpahan relatif.
Crescupular
: Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu siang dan malam hari.
Diurnal
: Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu siang hari.
Duri
: Tonjolan tulang yang runcing atau tonjolan kulit yang keras dan runcing.
Efektivitas
: Tingkat pencapaian hasil terhadap suatu tujuan.
Ekosistem
: Suatu unit fungsional yang tersusun atas mahluk hidup dan non mahluk hidup yang saling berinteraksi.
Feeding habits
: Tingkah laku mahluk hidup dalam mencari makan.
Fish behaviour
: Tingkah laku ikan dalam hidupnya, dipelajari untuk kegiatan perikanan.
Fishing effort
: Upaya penangkapan ikan yaitu ukuran kegiatan penangkapan yang dilakukan dalam priode waktu tertentu.
Fishing ground
: Daerah yang menjadi tujuan penangkapan.
Fringing reef
: Terumbu karang yang terbentuk di dekat massa daratan.
Habitat
: Tempat hidup alami suatu organisme.
Herbivora
: Binatang pemakan tumbuh-tumbuhan.
Karnivora
: Binatang pemakan daging.
KKL
: Kawasan Konservasi Laut: suatu wilayah di laut dengan batas geografis yang tegas dan jelas, ditetapkan untuk dilindungi melalui perangkat hukum atau aturan mengikat lainnya, dengan tujuan konservasi sumberdaya hayati dan kegiatan penangkapan ikan karang yang berkelanjutan.
MSY
: Maximum Sustainable Yield adalah hasil tangkapan maksimum lestari yaitu jumlah suatu tangkapan maksimum yang dapat dipanen dari suatu sumberdaya ikan tanpa memngganggu kelestrian.
Nocturnal
: Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu malam hari.
Over exploited
: Kondisi sumberdaya perikanan dimana produksi tahun terakhir sudah melebihi hasil tangkapan maksimum lestari.
Over fishing
: Tangkap lebih yaitu jumlah upaya penangkapan yang melebihi upaya maksimum.
Patch reef
: Terumbu karang yang tubuh dari dasar laut dan belum muncul ke permukaan.
Recruitment
: Penambahan individu-individu muda pada suatu stok ikan, yaitu proses terjadinya peremajaan dari spesies ikan setelah terjadinya proses penetasan telur ikan tersebut di alam.
Setting
: Pemasangan alat tangkap.
Stakeholder
: Pemangku kepentingan.
Sustainable fisheries
: Kegiatan perikanan yang berkelanjutan.
Habitat ikan karang
: Terumbu karang yaitu hamparan yang sebagian besar penyusun biotanya adalah koloni karang.
Trap
: Alat penangkapan ikan yang prinsip kerjanya menjebak ikan untuk masuk ke dalam alat.
Vision response
: Respons ikan terhadap rangsangan yang diterima dengan menggunakan organ penglihatan.
Penguji Luar Komisi pada : Ujian Tertutup :
1. Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc (Staf pengajar FPIK , IPB) 2.
Ujian Terbuka :
Dr.Ir. Mohammad Imron, M.Si (Staf pengajar FPIK , IPB)
1. Dr.Ir.Toni Ruchimat, M. Sc (Direktur Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil) 2.
Dr.Ir.Wudianto, M. Sc (Peneliti Utama Balitbang KP)
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................... i DAFTAR TABEL .................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... iv 1
PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................4 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................................5 1.4 Hipotesis .............................................................................................5 1.5 Kerangka Pemikiran ...........................................................................6
2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................9 2.1 Perikanan Setnet ..................................................................................9 2.2
Konstruksi Setnet ..............................................................................10
2.3
Hubungan Antara Setnet dengan Tingkah Laku Ikan .......................15 2.3.1 Tingkah laku ikan terhadap leadernet .....................................16 2.3.2 Tingkah laku ikan terhadap playground .................................17
2.4
Sumberdaya Ikan Karang ..................................................................18 2.4.1 Klasifikasi dan anatomi ikan karang ......................................18 2.4.2 Ikan karang yang umum ditemukan di kawasan konservasi laut .....................................................19 2.4.3 Pengelompokkan ikan karang .................................................21 2.4.4 Karateristik ikan karang ..........................................................23
2.5
Penglihatan dan Warna pada Ikan Karang ........................................29 2.5.1 Penglihatan ikan karang .........................................................29 2.5.2 Warna dan pengaruhnya pada ikan karang ............................31
2.6
Terumbu Karang sebagai Habitat Ikan Karang ................................34 2.6.1 Habitat ikan karang ................................................................34 2.6.2 Klasifikasi, bentuk dan tipe terumbu karang .........................35 2.6.3 Penyebab kerusakan terumbu karang ......................................37 Kawasan Konservasi Laut .................................................................40 2.7.1 Kawasan konservasi laut di Indonesia .....................................40 2.7.2 Landasan hukum kegiatan konservasi......................................49 2.7.3 Analisis penentuan kawasan konservasi laut ...........................52
2.7
3
GAMBARAN UMUM KAWASAN KONSERVASI LAUT DI LOKASI PENELITIAN ......................................................................40 3.1.1 Wilayah administratif, geografis, dan topografi ......................40
i
3.1.2 Potensi perikanan .....................................................................43 4
5
6
METODOLOGI PENELITIAN .................................................................45 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................45 4.2
Bahan dan Alat Penelitian .................................................................45 4.2.1 Small bottom setnet .................................................................45 4.2.2 Sampel mata ikan ....................................................................51 4.2.3 Peralatan pengambilan data.....................................................51 4.2.4 Peralatan pendukung ...............................................................52
4.3
Pengambilan Data Penelitian ............................................................54 4.3.1 Data tingkah laku ikan karang.................................................54 4.3.2 Data sampel mata ikan karang ................................................58 4.3.3 Data kerusakan terumbu karang ..............................................63
4.4
Analisis Data .....................................................................................65 4.4.1 Analisis komposisi ..................................................................65 4.4.2 Analisis visual axis..................................................................66 4.4.3 Analisis maximum sighting distance .......................................87 4.4.4 Analisis chi-square .................................................................69
HASIL PENELITIAN ...............................................................................71 5.1 Respons Ikan pada Leadernet Hijau dan Kuning..............................71 5.1.1 Komposisi jumlah ekor ikan pada leadernet...........................71 5.1.2 Pola tingkah laku ikan pada leadernet ....................................74 5.1.3 Sebaran jarak ikan di sekitar leadernet ...................................78 5.1.4 Lama waktu ikan di leadernet .................................................80 5.1.5 Lama waktu ikan di playground .............................................82 5.2
Pengamatan Contoh Mata Ikan Karang yang Tertangkap ................86 5.2.1 Tipe reseptor mata ikan karang ...............................................86 5.2.2 Sumbu penglihatan (visual axis) .............................................94 5.2.3 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) .......95
5.3
Dampak Pengoperasian Small Bottom Setnet ...................................95 5.3.1 Dampak terhadap kondisi terumbu karang .............................96 5.3.2 Dampak terhadap lingkungan terumbu karang .....................104
PEMBAHASAN .....................................................................................144 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat Pada Leadernet ................................144 6.2
Pengamatan Contoh Mata Ikan Karang yang Tergiring oleh Leadernet .......................................................................................116 6.2.1 Tipe reseptor mata ikan .........................................................116 6.2.2 Sumbu penglihatan (visual axis) ...........................................116 6.2.4 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) .................................................117
6.3
Pengoperasian Small Bottom Setnet Pada Kawasan Konservasi Laut ..............................................................................118
ii
6.3.1 Pengaturan interaksi small bottom setnet dengan terumbu karang......................................................................118 6.3.2 Aktualisasi small bottom setnet sebagai alat tangkap ...........119
7
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................121 7.1 Kesimpulan .....................................................................................121 7.2 Saran................................................................................................121
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................122
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Warna dan panjang gelombang cahaya .............................................................33
2
Spesifikasi small bottom setnet .........................................................................46
3
Peralatan pengambilan data selama penelitian small bottom setnet ..................52
4
Peralatan scuba diving yang digunakan dalam penelitian .................................54
5
Komposisi jumlah ekor ikan terhadap leadernet hijau dan kuning ...................72
6
Sebaran jarak ikan terhadap leadernet hijau dan kuning ..................................79
7
Proporsi lama waktu ikan berada pada leadernet hijau dan kuning ..................81
8
Proporsi lama waktu ikan berada di dalam playground dengan leadernet hijau dan kuning ................................................................................83
9
Jarak pandang maksimum ikan sersan mayor terhadap objek berdiameter 3 mm (benang jaring leadernet) ........................................................................91
10
Jarak pandang maksimum ikan kerapu terhadap objek berdiameter 3 mm (benang jaring leadernet) ........................................................................91
11
Jarak pandang maksimum ikan sersan mayor terhadap objek berdiameter 4 mm (simpul jaring leadernet) .........................................................................92
12
Jarak pandang maksimum ikan kerapu terhadap objek berdiameter 4 mm (simpul jaring leadernet) .........................................................................93
13
Proporsi lokasi karang hidup di sekitar pemasangan small bottom setnet ...........................................................................................97
14
Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap karang hidup ..................................................................................................................98
15
Proporsi kehadiran ikan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet ...........................................................................................99
16
Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kehadiran ikan karang ..............................................................................................................100
17
Proporsi keutuhan karang (koloni karang tidak mengalami patahan) akibat pemasangan small bottom setnet .........................................................102
iv
18
Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap keutuhan karang .........103
19
Proporsi penyinaran matahari di sekitar pemasangan small bottom setnet .....105
20
Dampak pengoperasian small bottom setnet penyinaran matahari .................106
21
Proporsi sirkulasi air di sekitar pemasangan small bottom setnet ...................108
22
Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap sirkulasi air .................109
23
Proporsi kejernihan perairan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet ..........................................................................................111
24
Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kejernihan perairan ....112
25
Beberapa alternatif strategi kebijakan untuk penanganan faktor kunci ..........143
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran............................... .............................................................8
2
Anatomi ikan karang .........................................................................................19
3
Penampang dan pola mosaik fotoreseptor .........................................................30
4
Bahan penyusun small bottom setnet ................................................................45
5
Bagian-bagian small bottom setnet ...................................................................47
6
Pembuatan leadernet di darat ............................................................................50
7
Perakitan small bottom setnet di dasar perairan ................................................50
8
Peralatan SCUBA diving dan perahu motor yang digunakan selama penelitian small bottom setnet di Kepulauan Seribu .............................53
9
Pengambilan data tingkah laku ikan pada leadernet dengan metode belt transect .......................................................................................................55
10
Leadernet warna hijau yang digunakan dalam penelitian .................................56
11
Leadernet warna kuning yang digunakan dalam penelitian ..............................57
12
Urutan pengambilan spesimen retina mata ikan................................................59
13
Contoh mata ikan yang masih segar ..................................................................59
14
Fiksasi preparat mata ikan kerapu dan ikan sersan mayor di laboratorium FPIK IPB .................................................................................60
15
Prosedur fiksasi untuk analisis histologi sampai pengamatan mata ikan ..........61
16
Metode pengambilan data kerusakan terumbu karang di lokasi pemasangan small bottom setnet .......................................................................63
17
Sebaran posisi pengambilan data kerusakan terumbu karang di lokasi pemasangan small bottom setnet. ......................................................64
18
Penarikan sumbu penglihatan pada retina mata ikan .......................................67
19
Skema perhitungan jarak pandang maksimum .................................................69
20
Proporsi ikan karang pada leadernet hijau dan kuning ....................................74
vi
21
Pola tingkah laku ikan pada small bottom setnet dengan leadernet berwarna hijau ...................................................................................................75
22
Pola tingkah laku ikan pada small bottom setnet dengan leadernet berwarna kuning ................................................................................................75
23
Proses tertangkapnya ikan karang dengan small bottom setnet ........................76
24
Tingkah laku ikan dari playground ke bagnet...................................................77
25
Proporsi sebaran jarak ikan terhadap leadernet hijau dan kuning ................80
26
Proporsi lama waktu ikan berada pada leadernet hijau dan kuning ............82
27
Proporsi lama waktu ikan berada di dalam playground dengan leadernet hijau dan kuning .............................................................................84
28
Rata-rata lama waktu yang dibutuhkan oleh ikan untuk berpindah dari leadernet hijau ke playground ...........................................................................85
29
Rata-rata lama waktu yang dibutuhkan oleh ikan untuk berpindah dari leadernet kuning ke playground........................................................................86
30
Fotomicrograf single cone cells dan twin cone cells ikan sersan mayor ........87
31
Fotomicrograf single cone cells dan twin cone cells ikan kerapu ...................88
32
Sumbu penglihatan ikan sersan mayor ..............................................................94
33
Sumbu penglihatan ikan kerapu ........................................................................95
34
Proporsi lokasi karang hidup di sekitar pemasangan small bottom setnet ........98
35
Proporsi lokasi kehadiran ikan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet .........................................................................................100
36
Proporsi lokasi keutuhan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet ..........................................................................................103
37
Proporsi lokasi penyinaran matahari di sekitar pemasangan small bottom setnet ..........................................................................................106
38
Proporsi lokasi sirkulasi air di sekitar pemasangan small bottom setnet ........109
39
Proporsi lokasi kejernihan perairan di sekitar pemasangan small bottom setnet ..........................................................................................112
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Karang hidup (koloni karang yang tidak mengalami kematian) di lokasi pemasangan small bottom setnet ......................................................130
2
Kehadiran ikan karang di lokasi pemasangan small bottom setnet .................131
3
Keutuhan karang di lokasi pemasangan small bottom setnet ..........................................................................................132
4
Penyinaran matahari di lokasi pemasangan small bottom setnet ....................133
5
Sirkulasi air di lokasi pemasangan small bottom setnet ..................................134
6
Kejernihan perairan di lokasi pemasangan small bottom setnet......................135
7
Jenis dan sebaran ikan yang lolos, tergiring dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna hijau ........................................................................136
8
Jenis dan sebaran ikan yang lolos, tergiring dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna kuning .....................................................................137
9
Respons tingkah laku ikan yang lolos, tergiring dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna hijau ........................................................................138
10
Respons tingkah laku ikan (lolos, tergiring dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna kuning .....................................................................139
11
Hasil tangkapan small bottom setnet ...............................................................140
12
Lokasi penelitian di kawasan konservasi laut (TNL Kepulauan Seribu) ........144
13
Supervisi oleh komisi pembimbing di lokasi penelitian .................................145
14
Hasil tangkapan small bottom setnet dalam keadaan hidup ............................146
15
Tabel distribusi chi-square ..............................................................................147
16
Peta Kepulauan Seribu ....................................................................................148
viii
1
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang berada di daerah segitiga
terumbu karang dunia (the coral triangle area of the world) yang merupakan pusat keanekaragaman karang dan ikan karang dunia. Keanekaragaman dan tutupan karang sangat berkaitan dengan kelimpahan ikan karang. Dengan kata lain jumlah jenis ikan karang sebanding dengan jenis karang yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah perairan Indonesia yang kaya akan keragaman jenis karang juga mempunyai sumberdaya ikan karang yang melimpah. Dalam rangka menjaga keanekaragaman sumberdaya ikan karang dan jenis karang tetap lestari, beberapa negara telah mengambil kebijakan dengan menetapkan suatu wilayah perairan sebagai marine protected area atau di Indonesia lebih dikenal dengan Kawasan Konservasi Laut (KKL). Kawasan Konservasi Laut didefinisikan sebagai suatu wilayah di laut dengan batas geografis yang tegas dan jelas, ditetapkan untuk dilindungi melalui perangkat hukum atau aturan mengikat lainnya, dengan tujuan konservasi sumberdaya hayati dan kegiatan perikanan yang berkelanjutan di sekitar wilayah KKL (Ward et al. 2001). Sampai akhir tahun 2007 pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan telah menunjuk kawasan konservasi laut daerah seluas 3,115,572,40 ha dan calon kawasan konservasi laut daerah seluas 13,591,406.15 ha serta hasil inisiasi Departemen Kehutanan seluas 5,426,092.85 ha. Sehingga sampai akhir tahun 2007 total kawasan konservasi perairan di Indonesia 22,175,610.53 ha (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2007). Salah satu tujuan pembentukan KKL adalah agar pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan. Upaya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan karang di kawasan konservasi laut harus memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang. Alat yang digunakan untuk menangkap ikan karang di kawasan konservasi laut jangan sampai merusak terumbu karang. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, dalam arti selektif, tidak
2
merusak hasil tangkapan dan tidak merusak ekosistem terumbu karang (Baskoro 1995). Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya secara kesinambungan dalam meningkatkan mutu serta kualitas hasil tangkapan tanpa mengganggu dan merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Bebarapa kriteria yang digunakan untuk melihat tingkat bahaya alat tangkap terhadap kelestarian sumberdaya (Monintja 2000) adalah hasil tangkapan tidak boleh melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, menggunakan bahan bakar sedikit, secara hukum alat tangkap tersebut legal, investasi yang dibutuhkan kecil, dan produk mempunyai pasar yang baik. Salah satu alat tangkap yang memenuhi kriteria tersebut adalah setnet. Secara khusus small bottom setnet adalah alat tangkap yang dipasang secara menetap dengan satu leadernet yang mana fungsinya, menghadang gerakan ikan dan menuntun ikan masuk ke badan jaring/daerah perangkap (Baskoro 1995). Menurut Nomura (1981), setnet terbagi atas tiga kategori yaitu: large setnet, medium set net dan small setnet. Menurut Martasuganda (2008), setnet adalah alat tangkap yang dipasang atau diset secara menetap di daerah penangkapan. Pengoperasian alat ini mudah dan bersifat pasif, yaitu dengan cara menunggu ikan masuk yang terperangkap. Komponen utama dari alat small bottom setnet adalah leadernet, playground, dan bagnet. Alat tangkap setnet dapat digunakan oleh nelayan tradisional dengan skala kecil dan juga dapat dipergunakan oleh nelayan modern dengan skala ukuran yang sangat besar (Purbayanto dan Baskoro 1999). Menurut Baskoro (1995), beberapa kelebihan setnet adalah sebagai berikut: (1) dapat dioperasikan sepanjang hari, (2) ekonomis karena umumnya dioperasikan di daerah pesisir yang dekat dengan pantai sehingga hanya memerlukan sedikit bahan bakar, (3) mudah dalam pengoperasian, (4) memerlukan sedikit waktu dalam pengoperasian sekitar dua sampai tiga jam, (5) hasil tangkapan dalam keadaan hidup sehingga ikan tetap segar dan yang berukuran kecil dapat dibudidayakan, (6) alat tangkap yang menetap dan selektif karena hanya menangkap spesies yang bermigrasi.
3
Kemampuan setnet dalam menangkap ikan sangat tergantung dari kemampuan leadernet dalam menggiring ikan-ikan yang bermigrasi. Ikan akan mudah tergiring ke playground oleh leadernet apabila leadernet tersebut terlihat dengan jelas. Menurut Guthrie and Muntz (1993), ikan memiliki kemampuan penglihatan dengan resolusi yang baik terhadap ruang dan mampu membedakan warna karena memiliki tipe sel kerucut yang merupakan fotoreseptor dan mengandung pigmen. Menurut Kawamura et al. (1996), setiap ikan mempunyai respons tersendiri terhadap setiap jenis warna pada lingkungan termasuk pada alat pengumpul dalam kegiatan penangkapan ikan. Kemampuan ikan dalam membedakan warna tersebut juga terlihat dalam kegiatan penangkapan ikan. Menurut Kawamura et al. (1996), ikan lebih mudah menghindari alat tangkap/pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah daripada berwarna biru dan hijau. Jumlah hasil tangkapan pada alat pengumpul berwarna biru dan hijau cenderung lebih banyak daripada alat pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah. Disamping jumlah berbeda, jenis ikan yang terkumpul tersebut juga berbeda untuk setiap jenis warna alat pengumpul tersebut. Perbedaan tersebut terjadi karena setiap ikan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon atau membedakan warna benda yang mirip maupun berbeda /kontras dengan warna lingkungan perairan. Respons ikan terhadap warna tersebut sangat bermanfaat untuk pengembangan alat tangkap ramah lingkungan (small bottom setnet) yang mengandalkan prinsip perangkap dengan menggunakan bahan jaring. Small bottom setnet merupakan alat tangkap dengan sistem perangkap berbahan jaring yang dapat diandalkan dalam penangkapan pada kawasan konservasi laut atau perairan pantai yang dangkal. Small bottom setnet dioperasikan dalam keadaan diam sehingga relatif lebih aman bagi ekosistem dasar di perairan. Menurut LIPI (2007) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian suatu alat tangkap termasuk small bottom setnet di kawasan terumbu karang, yaitu tidak merusak karang secara fisik, tidak menganggu pertumbuhan dan sirkulasi oksigen dan arus di sekitar karang, tidak menganggu pergerakan dan habitat ikan karang serta biota laut lainnya. Penelitian ini diharapkan dapat memastikan hal tersebut
4
dalam pengoperasian small bottom setnet bila dipilih sebagai teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan terutama pada ikan karang. Pemilihan warna leadernet yang tepat dalam operasi small bottom setnet dapat meningkatkan efektivitas alat tangkap tersebut secara ramah lingkungan. Efektivitas alat tangkap secara ramah lingkungan adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Tujuan penangkapan yang dimaksud adalah usaha penangkapan yang tetap menjaga keberlangsungan sumberdaya ikan, yaitu operasi penangkapan dengan mempertimbangkan faktor keramahan terhadap lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responssible Fisheries (Baskoro et al. 2006). Bila hal ini dapat dipertahankan tentu dapat meningkatkan kelayakan alat tangkap tersebut sebagai alat tangkap yang handal dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan sekaligus kelestarian sumberdaya ikan dan perairan. 1.2
Perumusan Masalah Selama ini pemahaman masyarakat nelayan dan pelaku perikanan lainnya
tentang alat tangkap setnet masih sangat minim, termasuk alat tangkap small bottom setnet yang potensial untuk menangkap ikan karang. Untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan guna mendukung pengembangannya ke depan, maka berbagai data yang diperlukan akan dikaji dalam penelitian ini. Dengan mengacu kepada ulasan latar belakang, hal-hal yang menjadi masalah dan perlu dikaji dalam penelitian ini untuk mendukung maksud tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan : (1) Apakah warna leadernet berpengaruh dalam menggiring ikan karang ? (2) Apakah ikan karang dapat membedakan warna? (3) Bagaimana jarak dan lama waktu ikan pada small bottom setnet dengan warna leadernet yang berbeda? (4) Apakah pengoperasian small bottom setnet secara nyata dapat merusak ekosistem terumbu karang? (5) Bagaimana pola tingkah laku ikan pada small bottom setnet dengan perbedaan warna leadernet?
5
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: (1) Membandingkan pengaruh leadernet warna hijau dan kuning dalam menggiring ikan karang. (2) Mengidentifikasi pola tingkah laku ikan karang pada small bottom setnet. (3) Mengkaji potensi kerusakan terumbu karang di kawasan konservasi laut akibat pengoperasian small bottom setnet. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Menjadi masukan bagi pemerintah untuk merumuskan berbagai kebijakan/program
perikanan
tangkap
dalam
memanfaatkan
sumberdaya ikan karang di kawasan konservasi. (2) Memberikan informasi bagi pelaku usaha perikanan tentang teknologi penangkapan ikan karang yang ramah lingkungan dalam arti selektif, tidak merusak hasil tangkapan dan tidak merusak terumbu karang. (3) Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang tingkah laku ikan terhadap small bottom setnet. 1.4
Hipotesis Hipotesis penelitian ini sebagai berikut: (1) Warna leadernet dapat meningkatkan atau mengurangi jumlah ikan karang yang dapat digiring masuk ke badan jaring. (2) Pola tingkah laku ikan karang pada small bottom setnet berkaitan dengan kemampuan ikan membedakan warna. (3) Pengoperasian small bottom setnet berpotensi merusak terumbu karang.
6
1.5
Kerangka Pemikiran Sumberdaya ikan karang di Kawasan Konservasi Laut (KKL) cukup
melimpah, tersebar di sepanjang perairan dangkal yang memiliki terumbu karang. Pemanfaatan sumberdaya ikan karang oleh nelayan di tanah air telah berlangsung sejak dulu dengan menggunakan beragam alat dan metode penangkapan. Tak sedikit dari metode yang digunakan ikut mengancam dan berkontribusi merusak terumbu karang seperti penggunaan bahan peledak dan bahan beracun serta serta peralatan lain yang tidak ramah lingkungan. Bila kerusakan habitat ikan karang (terumbu karang) ini terjadi maka stok populasi ikan karang juga ikut terganggu dan terancam mengalami kepunahan. Hal di atas bisa dihindari dengan mengembangkan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan seperti setnet. Dari tipe setnet yang ada (large, medium, small), tipe small setnet cocok dikembangkan di wilayah perairan dangkal. Pada kawasan konservasi laut yang memiliki potensi sumberdaya ikan karang dengan kedalaman kurang dari 10 meter cocok dikembangkan alat tangkap setnet tipe small bottom setnet. Secara garis besar, kerangka pemikiran dalam melaksanakan penelitian proses tertangkapnya ikan karang dengan small bottom setnet dapat dilihat pada Gambar 1. Usaha perikanan small bottom setnet pada penangkapan ikan karang ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan karang yang tersedia di KKL dengan tetap memperhatikan faktor lingkungan. Penggunaan alat ini sangat baik karena dapat menangkap ikan karang tetapi tidak merusak terumbu karang di KKL sehingga small bottom setnet cocok dikembangkan sebagai teknologi penangkapan ikan karang di KKL. Kelebihan lain adalah memanfaatkan tingkah laku ikan untuk dapat menangkap ikan karang dalam keadaan hidup sehingga kualitasnya akan tetap terjaga yang diikuti dengan harga jual yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini akan diujicobakan alat tangkap small bottom setnet dengan perlakuan warna yang berbeda pada leadernet yaitu berwarna hijau dan berwarna kuning. Hal ini dimaksudkan untuk melihat warna leadernet yang paling efektif dalam menggiring ikan ke playground sehingga hasil tangkapan small bottom setnet dapat lebih optimal.
7
Pemilihan lokasi yang tepat untuk pemasangan small bottom setnet dilakukan dengan metode manta taw. Analisis tingkah laku ikan dilakukan dengan metode belt transect yang dilanjutkan dengan analisis visual axis dan analisi maximum sighting distance (MSD). Penelitian ini juga melakukan analisis dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap terumbu karang di kawasan konservasi laut dengan metode point intercept transect.
8
Permasalahan penangkapan ikan karang di KKL Metode penangkapan ikan karang di KKL
Alat tangkap yang tidak merusak: • Setnet • Pancing, lain-lain
Alat tangkap yang merusak: Bahan peledak, bahan beracun, lain-lain
Large setnet
Small setnet
Medium setnet
Small bottom setnet Pemilihan lokasi : Manta tow method Pemasangan alat Analisis tingkah laku ikan
Analisis dampak terhadap terumbu karang di KKL
Belt transect method Point intercept transect method Leadernet hijau
Leadernet kuning
Kondisi terumbu karang di KKL Analisis visual axis dan MSD Mengalami kerusakan
Tetap baik
Efektivitas leadernet dalam menggiring ikan
Small bottom setnet yang tidak merusak terumbu karang
Pengembangan small bottom setnet sebagai teknologi penangkapan ikan karang di kawasan konservasi laut
Gambar 1 Kerangka pemikiran
9
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Setnet Setnet adalah salah satu jenis alat tangkap yang dikategorikan pada alat tangkap bentuk perangkap dan menetap sifatnya. Baik dalam konstruksi maupun dalam pengoperasiannya jenis alat tangkap bentuk perangkap bukan lagi merupakan sesuatu yang asing bagi nelayan di Indonesia. Alat penangkap ikan bentuk perangkap yang mirip dengan setnet adalah sero, perbedaannya sero terbuat dari bilah-bilah bambu sedangkan setnet terbuat dari bahan jaring. Alat alat tangkap setnet sendiri masih dalam tahap ujicoba dan belum banyak berkembang di tanah air. Menurut Nasution et al. (1986), ujicoba pertama setnet di Indonesia dilakukan di Pacitan dan Teluk Segarawedi Prigi pada tahun 1982, dengan hasil tangkap utamanya adalah Carangidae, Trichiuridae, Priacanthidae, Sphyraenidae, Scombridae, Stromateidae dan Clupeidae. Menurut Baskoro (1995), beberapa kelebihan setnet adalah sebagai berikut: (1) dapat dioperasikan sepanjang hari, (2) ekonomis karena umumnya dioperasikan di daerah pesisir yang dekat dengan pantai sehingga hanya memerlukan sedikit bahan bakar, (3) mudah dalam pengoperasian, (4) memerlukan sedikit waktu dalam pengoperasian sekitar dua sampai tiga jam, (5) hasil tangkapan dalam keadaan hidup sehingga ikan tetap segar dan yang berukuran kecil dapat dibudidayakan, (6) alat tangkap yang menetap dan selektif karena hanya menangkap spesies yang bermigrasi. Ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan dengan setnet adalah ikan yang datang beruaya ke arah pantai. Ikan yang dalam ruayanya dihadang dan diusahakan dengan penghadangan itu, ikan akan merubah arah ruayanya menuju jaring yang telah dipasang. Ikan yang menjadi target penangkapan adalah ikan yang beruaya maka jaring haruslah dipasang pada tempat yang dilalui ikan sehingga diperlukan pengetahuan tentang “jalan yang dilalui ikan” dan untuk menemukan hal ini menghendaki pengamatan dan pengalaman (Ayodhyoa 1981). Jalan yang dilalui oleh ikan ini, dihadang oleh leadernet sehingga ikan diharapkan menuju ke arah jaring. Karena struktur dari jaring besar dan dipasang
10
disuatu musim, maka sukar untuk dipindah-pindahkan, maka faktor penentuan tempat sangat penting. Kemudian jaring itu sendiri merupakan suatu bangunan dalam air, maka perlu perhitungan yang teliti tentang material, kekuatan, ketahanan dan lain-lain terhadap arus, gelombang, angin serta faktor oseanografi lainnya. Fishing ground alat tangkap setnet harus berlumpur, pasir, ataupun campuran keduanya. Arus pada daerah fishing ground harus sekecil mungkin. Akibat dari arus jaring akan mengalami perubahan bentuk, menghalang-halangi ikan untuk memasuki jaring dan akan mengalami kesukaran pada waktu pengangkatan
jaring.
Prinsip-prinsip
pengoperasian
setnet
telah
lama
dimanfaatkan di Indonesia, misalnya pada jermal, sero, kelong, dan lain-lain sebagainya. Umumnya ikan yang tertangkap oleh setnet dalam keadaan hidup sehingga alat ini cocok dikembangkan untuk menangkap ikan karang dan ikan hias. Untuk lebih mengoptimalkan hasil tangkapan, perlu terus dilakukan pengkajian dan penelitian yang mendalam mengenai setnet. Dengan melihat kondisi negara kita yang merupakan lintasan beberapa jenis ikan, luas terumbu karang dan perairan dangkal Indonesia yang sangat besar, jumlah pulau-pulau yang banyak dengan bentuk teluknya yang beraneka ragam, maka jenis alat tangkap ini dapat berkembang pesat, sebagai salah satu usaha atau cara memodernisasi perikanan rakyat dalam memanfaatkan sumberdaya ikan sebagai alternatif alat pemanfaat sumberdaya ikan karang, yang berarti pula memajukan sumberdaya manusia khususnya nelayan.
2.2 Konstruksi Setnet Konstruksi setnet yang paling umum terdiri dari leadernet, playground, dan bagnet. Konstruksi yang paling sederhana hanya terdiri dari leadernet dan bagnet sedangkan konstruksi setnet yang paling rumit terdiri dari leadernet, playground, Ascending/descending slope net, bagnet dan bagnet. Secara detail konstruksi dan fungsi bagian-bagian setnet dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Leadernet; berfungsi untuk membimbing dan mengarahkan ikan-ikan menuju badan jaring
11
(2) Playground, merupakan bagian badan jaring paling depan yang berfungsi untuk menampung ikan-ikan yang telah berhasil dibimbing dan digiring oleh leadernet (3) Ascending/descending slope net; yaitu bagian jaring yang berfungsi untuk mengarahkan ikan-ikan yang tertampung pada playground agar terus bergerak menuju kantong jaring (4) Bagnet, kantong jaring yang merupakan bagian akhir dari badan jaring berfungsi untuk mengumpulkan ikan yang kemudian ditangkap dan diangkat. Beberapa jenis setnet memiliki bagian tambahan berupa bagnet kecil atau perangkap-perangkap kecil tambahan agar lebih mudah dalam memanen hasil tangkapan.
Besar
kecilnya
skala
setnet
biasanya
disesuaikan
dengan
jenis
ikan/perairan yang akan dijadikan target tangkapan, kondisi dan karakter daerah penangkapan/fishing ground. Setnet skala besar ukuran jaring utamanya (dari ujung bagnet sampai ujung playground) mencapai lebih dari 45 meter. Setnet skala menengah ukuran jaring utamanya (dari ujung bagnet sampai ujung playground) berkisar antara 25 meter sampai 45 meter. Setnet skala kecil ukuran jaring utamanya (dari ujung bagnet sampai ujung playground) kurang dari 25 meter. Daerah
penangkapan
ikan
untuk
pemasangan
setnet
harus
memperhitungkan faktor-faktor keberadaan ikan, arah ruaya ikan, faktor oseanografi, lingkungan sekitar seperti sarana dan prasarana transportasi, penyimpanan hasil tangkapan, adanya usaha perikanan di bidang pengolahan, adanya pelabuhan perikanan atau tempat pelelangan ikan dan faktor pendukung lainnya. Menurut Martasuganda (2008) secara lengkap bagian-bagian dari setnet jenis trap net dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Leadernet (penaju/penggiring) (2) Playground (serambi/ruang bermain) : serambi membujur, serambi bagian laut, serambi bagian darat, serambi bagian ujung (3) Wings (sayap pintu) : bagian serambi, bagian jaring menaik
12
(4) Ascending slope net (jaring menaik) - Jaring menaik luar : bagian laut, bagian darat, bagian bawah - Jaring menaik dalam : bagian laut, bagian darat, bagian bawah (5) Bagnet (kantong) : bagian laut, bagian darat, bagian bawah, bagian pangkal, bagian ujung (6) Kantong tambahan : bagian ujung, bagian pangkal (7) Pelampung (8) Pelampung rangka utama (9) Pelampung rangka (10) Pemberat rangkan utama (11) Pemberat rangka (1) Leadernet Leadaernet adalah bagian setnet yang bentuknya menyerupai pagar. Dalam bahasa Jepang disebut kaki ami, sedang dalam Bahasa Indonesia disebut penaju. Bentuk penaju umumnya menyerupai bentuk gillnet yang fungsinya untuk menghadang dan mengarahkan kelompok ikan supaya mau menuju ke arah jaring utama. Pemasangan penaju yang baik adalah dipasang secara lurus atau tidak berbelok-belok dan harus bisa menghadang arah ruaya ikan agar ikan menuju ke jaring utama. Pemasangan biasanya disesuaikan dengan jenis setnet, daerah penangkapan, jenis ikan dan jarak jaring dari garis pantai. Tingginya jaring penaju disesuaikan dengan kedalaman perairan yang dilewati penaju. Sebagai patokan tinggi jaring penaju disamakan dengan kedalaman perairan yang dilewati penaju pada saat pasang tertinggi. Panjang jaring penaju tergantung dari jarak jaring utama ke garis pantai, makin jauh jaring utama dari garis pantai maka semakin panjang pula penaju yang akan dipasang. Ukuran mata jaring (mesh size) penaju harus disesuaikan dengan musim, ikan ikan, ukuran ikan yang menjadi target tangkapan yang beruaya ke tempat pemasangan setnet. Bahan jaring untuk penaju terbuat dari bahan alami seperti ijuk, manila rope, straw dan yang terbuat dari bahan sintetis seperti saran, nylon, cremona, vynilon dan lainnya.
13
(2) Playground Playground atau serambi dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai jaring pengurung sedang dalam Bahasa Jepang disebut undojo atau kakoi ami, untuk Bahasa Inggris playground. Bagian serambi ada yang dilengkapi dengan jaring serambi dasar dan ada yang tidak. Fungsi serambi adalah sebagai penampungan sementara sebelum ikan atau kelompok ikan diarahkan untuk memasuki jaring bagian kantong. Ukuran luas serambi berbeda sesuai dengan jenis dan skala setnet yang dipergunakan, pada umumnya semakin luas serambi, kelompok ikan akan semakin lama berada di dalam serambi. Semakin lama kelompok ikan berada dalam serambi maka akan semakin besar pula kemungkinan kelompok ikan menuju ke arah jaring menaik yang selanjutnya ikan akan memasuki bagian kantong. (3) Sayap pintu Sayap pintu atau disebut juga daun pintu, dalam bahasa Jepang disebut Soji atau Ha guchi sedangkan dalam bahasa Inggris disebut winkers. Fungsi dari daun pintu atau sayap pintu adalah untuk mencegah atau mempersulit gerombolan ikan yang telah masuk ke dalam serambi supaya tidak mudah keluar lagi, dengan demikian kelompok ikan diharapkan bisa mengarah ke bagian kantong. Panjang daun pintu berkisar antara 0,3-0,5 kali kedalaman pada pintu masuk. Besarnya mesh size daun pintu yang dipakai untuk tujuan penangkapan ikan yellowtail berkisar antara 15-18 cm dengan hang-in ratio berkisar antara 0,3-0,4. (4) Ascending slope net Ascending slope net dalam bahasa Jepang disebut nobori ami, dalam bahasa Inggris diartikan ramp, funnel, ascending slop atau climb way. Jaring menaik terdiri dari dua bagian yaitu jaring menaik bagian dalam kantong yang disebut jaring menaik bagian dalam. Jaring menaik bagian dalam merupakan lanjutan dari jaring menaik bagian luar. Fungsi jaring menaik adalah untuk mengarahkan ikan yang berada di bagian serambi ke bagian kantong dan akan mempersulit ikan tidak meloloskan diri dari jaring bagian kantong.
14
Panjang jaring menaik bagian dalam dan bagian luar antara 1,4 – 1,9 kali kedalaman pada pintu masuk, sudut kemiringan bagian luar berkisar 16 - 220 dan jaring menaik bagian dalam lebih kecil dari 16 - 220.
(5) Bagnet Bagnet (kantong) dalam perikanan setnet adalah bagian akhir dari alat tangkap setnet yang merupakan bagian tempat penampungan ikan dan sekaligus tempat pengambilan hasil tangkapan. Dalam bahasa Jepang disebut hako ami, fukuro ami, uo dori yang artinya jaring kantong. dalam bahasa Inggris diartikan bagnet, kip, cod end, crimb, main net of setnet. Untuk menampung ikan pada bagian kantong diperlukan jaring yang kuat dan bahan jaring di bagian kantong ini umumnya memakai benang sintetis seperti saran atau benang sintetis lainnya dengan nomor benang 1000 d28 - 36, jaringnya yang dirangkap memakai mata jaring kecil dengan nomor benang yang besar. (6) Kantong tambahan Kantong tambahan biasanya dipasang pada salah satu bagian atau beberapa bagian jaring kantong utama baik di bagian ujung atau bagian pangkal kantong utama. Bentuk dari kantong tambahan ada bermacam-macam bentuk seperti kerucut, persegi atau bentuk lain. Bagian kantong tambahan, umumnya dilengkapi dengan jaring penutup bagian atas. Ukuran dari jaring kantong tambahan sangat bervariasi dan disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Bahan jaring yang dipakai biasanya terbuat dari bahan sintetis seperti saran atau bahan sintetis lainnya. Nomor benang yang di pakai untuk tujuan penangkapan yellowtail nomor 1000 d/28 50, mesh size 7,6 – 9,1 cm dengan hang-in ratio berkisar 0,3 – 0,4. Fungsi utama pemasangan kantong tambahan adalah : Untuk mencegah supaya ikan tidak keluar dari kantong utama; Pada saat kondisi perairan tidak mendukung untuk memanen hasil tangkapan dari kantong utama, pengambilan ikan dari kantong tambahan bisa dilakukan; Untuk memprediksi keberadaan,
15
jenis dan jumlah ikan yang ada di dalam kantong utama sebelum dilakukan pengambilan. (7) Pelampung Pelampung terdiri dari dua bagian yaitu pelampung jaring utama atau pelampung pondasi (main buoy) dan pelampung rangka float. Pelampung jaring utama terdiri dari pelampung jaring utama yang berada di sebelah serambi dan sebelah kantong. Jenis, bentuk, ukuran dan daya apung dari pelampung rangka utama biasanya disesuaikan dengan jenis setnet dan kondisi perairan. Bahan pelampung rangka utama terdiri dari sintetis atau metal. Fungsi dari pelampung rangka utama dan pelampung rangka adalah untuk menjaga bentuk rangka setnet supaya tidak berubah dan posisi setnet selalu menetap dan stabil di dalam air. (8) Pemberat Pemberat terdiri dari dua macam yaitu pemberat rangka dan pemberat jaring. Bentuk pemberat yang dipakai ada yang berbentuk jangkar, balok-balok beton atau pemberat yang terbuat dari kantong berisi pasir. Untuk pemberat yang terbuat dari kantong berisi pasir disebut ”pemberat karung berisi pasir”. Pemberat pada setnet umumnya mempergunakan balok-balok beton atau jangkar yang bisa diangkat kembali setelah pemasangan setnet di perairan. Pemberat yang dipakai biasanya disesuaikan dengan besar kecilnya skala setnet, dasar perairan, kondisi perairan seperti kecepatan arus dan lainnya. Untuk daerah penangkapan berarus kuat, berat satu pemberat berkisar antara 10 - 22 kg untuk berarus sedang berkisar antara 6 - 11 kg sedang untuk berarus lemah beratnya antara 4 - 6 kg. Ketebalan atau diameter pemberat yang memakai wire rope berkisar antara 12 - 22 mm dan untuk bahan dari manila rope antara 24 - 39 mm.
2.3 Hubungan Antara Setnet dengan Tingkah Laku Ikan Dibandingkan alat tangkap lain, setnet banyak berhubungan erat dengan tingkah laku ikan. Setnet merupakan jenis alat tangkap diam tidak bergerak, sifatnya hanya menunggu kelompok ikan yang datang menghampiri dan tertangkap di dalam jaring. Harapan untuk memperoleh hasil tangkapan sangat
16
tergantung pada leadernet dalam membimbing dan mengarahkan ikan menuju badan jaring.
2.3.1
Tingkah laku ikan terhadap leadernet Fungsi leadernet adalah membimbing, menggiring serta mengarahkan
ikan-ikan menuju badan jaring. Leadernet umumnya dipasang pada posisi memotong garis pantai. Leadernet terbuat dari benang dengan ukuran mata jaring yang besar dan beragam antara 35 - 45 cm. Ukuran mata demikian berarti jauh lebih besar daripada ukuran tinggi tubuh ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Menurut Gunarso (1992) menunjukkan hasil telahaan adanya hubungan linier antara banyaknya ikan yang terjerat pada leadernet dengan banyaknya ikan yang tertangkap pada kantong jaring. Hampir sebanyak 10 - 20% kelompokkelompok ikan yang bergerak sepanjang leadernet akan memasuki badan jaring. Ikan yellowtail yang umumnya bergabung dalam kelompok-kelompok biasanya berenang dengan kecepatan 80 cm per detik sepanjang leadernet dengan tetap menjaga jarak sekitar 10 - 15 m dari leadernet. Saat mendekati jaring kelompokkelompok tersebut akan menyelam secara tiba-tiba pada kedalaman sekitar 70 150 m. Lebih lanjut Gunarso (1992) menyatakan bahwa ada beberapa reaksi ikan yang diperoleh pada pengamatan dan telaahan baik merupakan rangkaian pengamatan tingkah laku ikan maupun pengamatan waktu yang lama antara lain : (1) Ikan sardin membentuk kelompok besar dan berenang sepanjang leadernet mereka akan tetap membentuk dan mempertahankan jarak terhadap leadernet. Jarak tersebut akan semakin besar bila kelompok tersebut melawan arus. Kelompok ikan sardin berenang dekat permukaan dan datang dari arah lepas pantai biasanya mereka akan menyelam ke lapisan yang lebih dalam bila mendekati leadernet. (2) Jenis ikan yellowtail yang berenang dalam kelompok besar akan memperlambat kecepatan renangnya menjelang tiba pada leadernet. Kelompok ini akan segera menyelam bila menjumpai gosong-gosong karang maupun tali jangkar.
17
(3) Kelompok ikan yang berada dalam ketakutan misalnya diburu oleh predator, akan berenang menerobos jaring ataupun menyelamatkan diri dengan bolakbalik menerobos leadernet. (4) Kelompok ikan yang besar datang dengan tegak lurus terhadap leadernet, mereka tidak akan segera merubah arah renang untuk mengikuti arah rentangan leadernet. Setelah beberapa selang kemudian barulah mereka lakukan dengan tetap membuat jarak tertentu terhadap leadernet. Bila ada yang berenang menembus leadernet melalui mata jaring yang besar-besar, maka selang beberapa waktu barulah ikan-ikan yang berada di sebelah belakang akan mengikuti teman-teman terdahulu. (5) Pada umumnya ukuran mata jaring pada leadernet sesuatu alat penangkap setnet akan lebih besar daripada ukuran tinggi tubuh ikan. Hal ini akan semakin jelas bila yang datang kelompok ikan sardin atau ikan jack mackerel yang ukuran tinggi tubuhnya relatif rendah bila dibandingkan dengan jenis ikan salmon. (6) Pada saat leadernet terjurai dari bahan benang serat alami dengan ukuran mata jaring yang besar, seringkali ikan yellowtail akan melarikan diri dengan jalan menerobos dinding jaring leadernet tersebut. (7) Leadernet yang berada dalam air dalam waktu yang lama akan menjadi kotor dan fungsinya sebagai pembimbing dan penggiring ikan untuk bergerak ke arah mulut jaring akan semakin turun. Hal ini berarti bahwa hasil tangkapan akan semakin turun. (8) Mekanisme leadernet dalam membimbing ikan berkait erat dengan tingkat visibilitas atau terlihatnya bahan jaring serta getaran arus eddy sebagai akibat terpaan arus pasang surut terhadap jaring.
2.3.2
Tingkah laku ikan terhadap playground Tingkah laku ikan pada setnet khususnya pada bagian playground dapat
diuraikan bahwa setelah melewati mulut jaring, ikan-ikan akan memasuki bagian tubuh jaring. Ikan-ikan yang memasuki tubuh jaring dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok yang melanjutkan gerak renangnya menuju bagian funnelnet setelah terlebih dahulu melewati bagian yang menanjak, sedang kelompok lainnya
18
adalah ikan-ikan yang tidak langsung menuju ke bagian funnelnet akan tetapi mereka bermain-main dan berputar-putar pada playground (Gunarso 1992). Derajat penentuan ikan-ikan melewati bagian setnet berkaitan erat dengan beberapa faktor seperti faktor ukuran mata jaring pada bagian leadernet, ukuran mulut jaring, ukuran bagian funnel net, ukuran mulut kantong serta jenis ikan itu sendiri. Rasio ikan yang masuk ternyata berbeda untuk masing-masing jenis ikan dapat dikategorikan menjadi tipe “approaching dan non-approaching” dalam Gunarso (1992) yaitu tipe pertama adalah jenis-jenis ikan yang mudah dan cepat mendekat serta memasuki jaring, namun ikan-ikan ini cepat dan mudah meninggalkan jaring. Contoh ikan jenis ini antara lain yellowtail, black sea bream, sea bass, shad, grunt, cod, flounder, atka mackerel, plaice dan lainnya. Tipe kedua, tipe non-approaching adalah jenis-jenis ikan yang sukar untuk dibimbing agar memasuki jaring, akan tetapi sekali memasuki jaring, mereka akan sukar untuk melarikan diri saat mereka tertangkap. Contoh ikan-ikan jenis ini adalah mackerel, jack mackerel, scad, cakalang, tuna, saury pike, Spanish mackerel dan lain-lain.
2.4 Sumberdaya Ikan Karang 2.4.1
Klasifikasi dan anatomi ikan karang Dalam Indonesian Coral Reef Foundation (2004), dikemukakan bahwa
klasifikasi ikan karang adalah sebagai berikut : Philum
: Chordata Klas
: Osteichthyes Ordo
: Perciformes Famili
: contoh (Lutjanidae) Genus
: Contoh (Lutjanus) Spesies
: Contoh ( Lujanus kasmira)
Sedangkan anatomi ikan karang, secara umum dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
19
Keterangan Gambar eye = Mata dorsal fin = Sirip punggung caudal fin = Sirip ekor mouth = Mulut, alat makan gill cover = Insang sebagai organ pernapasan anal fin = Sirip bawah dekat ekor lateral line = Gurat sisi sebagai alat sensor pectoral fin = 2 sirip dekat kepala ventral fin = 2 sirip pada perut
Gambar 2 Anatomi ikan karang (Indonesian Coral Reef Foundation 2004)
2.4.2
Ikan karang yang umum ditemukan di Kawasan Konservasi Laut Salah satu sumberdaya hayati penting yang ada di Kawasan Konservasi
Laut (KKL) adalah sumberdaya ikan karang. Bermacam jenis ikan karang dapat ditemukan di KKL pada daerah yang memiliki terumbu karang. Jenis ikan yang melimpah di KKL antara lain ikan kepe-kepe (Chaetoddontidae), betok laut (Pomacentridae) yang berwarna-warni, ikan kakatua (Scaridae), ikan trigger (Balistidae), dan lain sebagainya. Sumberdaya ikan karang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu golongan ikan hias (ornamental fish) dan golongan ikan konsumsi (food fish).
20
Secara lengkap, jenis-jenis family ikan karang yang umum ditemukan di kawasan konservasi laut adalah sebagai berikut: (1)
Labridae (ikan cina-cina)
(2)
Scaridae (ikan kakatua)
(3)
Pomacentridae (ikan betok)
(4)
Acanthuridae (ikan butana/surgeon fish)
(5)
Siganidae (ikan beronang)
(6)
Zanclidae (Moorish idol)
(7)
Chaetodontidae (ikan kepe-kepe/butterfly fish)
(8)
Pomacantridae (ikan kambing-kambing/angel fish)
(9)
Blennidae yang bersifat demersal dan menetap
(10) Gobiidae yang bersifat demersal dan menetap (11) Apogonidae (ikan beseng), nokturnal, memangsa avertebrata, karang dan ikan kecil. (12) Ostaciidae yang menyolok dalam bentuk dan warna (13) Tetraodontidae yang menyolok dalam bentuk dan warna (14) Balistidae (ikan pakol) yang menyolok dalam bentuk dan warna (15) Serranidae (ikan kerapu) pemangsa dan pemakan ikan (16) Lutjanidae (ikan kakap) pemangsa dan pemakan ikan (17) Lethrinidae (ikan lencam) pemangsa dan pemakan ikan (18) Holocentridae (ikan swangi) pemangsa dan pemakan ikan Terdapat sepuluh famili utama ikan karang yang berperan sebagai penyumbang produksi perikanan yakni: (1) Caessiodidae, (2) Holocentridae, (3) Serranidae (4) Siganidae, (5) Scaridae, (6) Lethrinidae, (7) Priacanthidae, (8) Labridae, (9) Lutjanidae, (10) Labridae (11) Siganidae (12) Harpodontidae dan (13) Haemulidae. Dari ketiga belas famili utama ini yang tergolong ikan karang konsumsi diantaranya Caesiodidae (ekor kuning), Labridae (napoleon), Scaridae (kakatua), Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Harpodontidae (nomei) dan Siganidae (baronang). Sebagian besar sumberdaya ikan karang bertulang keras (teleostei) dan merupakan ordo Percicormes. Ikan karang merupakan jenis ikan demersal yang hidup di daerah perairan dengan dasar yang ditumbuhi karang. Ikan karang ini
21
merupakan sumberdaya yang penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia (Adrim 1997).
2.4.3
Pengelompokan ikan karang Menurut Pentury et al. (1995), Pengelompokkan ikan karang berdasarkan
cara makannya dibedakan menjadi: benthic feeder, mid water feeder, dan plankton feeder. Lebih lanjut ditegaskan oleh Mc Connaughey dan Zottoli (1983) dan Syukur (2000) diacu oleh Nasution (2001) bahwa ikan yang tergolong herbivora adalah ikan yang aktif mencari makan pada siang hari, sedangkan ikan karnivor umumnya aktif mencari makan pada malam hari. Pengelompokan ikan karang berdasarkan pola distribusi dibedakan menjadi: (1) distribusi vertikal ikan karang; dan (2) distribusi harian ikan karang. Menurut Hamelin-Vivien (1979) diacu oleh Marschiavelli (2001) mengemukakan bahwa ikan-ikan karang yang dikelompokkan berdasarkan distribusi vertikal adalah sebagai berikut : (1) Spesies ikan karang yang hidup di dalam sedimen , seperti famili Gobiidae, Ophichtidae, Trichonotidae, dst; (2) Spesies ikan karang yang hidup di permukaan sedimen, seperti famili Torpedinidae, Nemipteridae, Bothidae, Soleidae, Mullidae, Sydnathidae, dst; (3) Spesies ikan karang yang hidup di dalam gua-gua karang, seperti famili Serranidae, Apogonidae, Holocentridae, Pomacanthidae, Malacanthidae, dst; (4) Spesies ikan karang yang hidup di permukaan terumbu karang, seperti famili Pomacendtridae, Blenidae, Synodonthidae, Monacantidae, dst; (5) Spesies ikan karang yang hidup di sekitar terumbu karang, seperti famili Labridae, Chaetodontidae, Scaridae, Acanthurdae, Balistidae, Zanclidae, dst; (6) Spesies ikan karang yang hidup di kolam air, sperti famili Tylosuridae, Carangidae, Sphyraenidae, Clupeidae, dst. Ikan-ikan karang yang mengikuti pola distribusi harian dibagi dalam 2 kelompok utama yaitu: kelompok ikan diurnal dan kelompok ikan nokturnal. Ikan diurnal (ikan siang) merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang. Termasuk kelompok
ikan diurnal adalah famili Pomacentridae, Labridae,
Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Pomacanthidae, Lutjanidae, Balistidae,
22
Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan Gobiidae. Mereka makan dan tinggal di permukaan karang serta memakan plankton yang lewat di atasnya (Allen dan Steenes (1990) dan Syukur (2000) diacu oleh Marschiavelli (2001). Pada malam hari kelompok ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam terumbu karang dan digantikan oleh kelompok ikan nokturnal (ikan malam). Pada malam hari kelompok ikan nokturnal keluar mencari makan dan disiang hari ikan-ikan ini masuk ke gua-gua atau ke celah-celah karang. Termasuk ikan
nokturnal
adalah
famili
Holocentridae,
Apogonidae,
Haemulidae,
Muraenidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae. Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan dibedakan menjadi : (1) Ikan nocturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Holocentridae (swanggi), Suku Apogoninade (beseng), Suku Hamulidae, Priacanthidae (bigeyes), Muraenidae (eels), Seranidae (jewfish) dan beberapa dari suku dari Mullidae (goatfishes) dan lain-lain. (2) Ikan diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Labraidae
(wrasses),
Chaetodontidae
(butterflyfishes)
Pomacentridae
(damselfishes), Scaridae (parrotfishes), Acanthuridae (surgeonfishes), Bleniidae
(blennies),
Balistidae
(triggerfishes),
Pomaccanthidae
(angelfishes), Monacanthidae, Ostracionthidae (boxfishes), Etraodontidae, Canthigasteridae, dan beberapa dari Mullidae (goatfishes). (3) Ikan crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari suku Sphyraenidae (baracudas), Serranidae (groupers), Carangidae (jacks), Scorpaenidae (lionfishes), Synodontidae (lizardfishes), Carcharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae (sharks) dan beberapa dari Muraenidae (eels). Pengelompokan ikan karang berdasarkan peranannya dibedakan menjadi : (1) Ikan target; ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti; Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae (chelinus, himigymnus, choerodon) dan Haemulidae.
23
(2) Ikan indikator; sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari famili Chaetodontidae (kepe-kepe). (3) Ikan lain (mayor famili); ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae, dan lain-lain).
2.4.4
Karakteristik ikan karang Dalam Indonesian Coral Reef Foundation (2004), dikemukakan
karateristik ikan karang terdiri dari ikan target, ikan indikator, dan ikan famili utama. Ikan target merupakan ikan yang menjadi target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi. Karakteristik dari berbagai famili ikan target sebagai berikut : (1) Serranidae Famili Serranidae umumnya lebih dikenal dengan nama grouper, rock cods, coral trout, kerapu, sunu, lodi. Famili ini mempunyai banyak subfamili seperti Anthiniinae (anthias), Ephinephelinae, Gramministinae (soapfish) dan Pseudogrammitinae (podges). Umumnya famili serranidae lebih senang hidup soliter (jarang ditemukan berpasangan). Biasanya famili ini bersembunyi di gua-gua atau di bawah karang. Ukuran panjang dapat mencapai 2 m dengan berat badan dapat mencapai 200 kg. Tergolong karnivora yang memakan ikan, udang dan crustacea. Beberapa spesies dari famili Serranidae Anyperodon
leucogramminicus,
Chephalopolis
miniata,
Epinephelus
quoyanus dan Plectropomus maculates. Subfamili Anthiinae disebut basslets, sea-perch, nona manis. Biasanya berukuran kecil, mempunyai warna terang, merah, orange, kuning dan biru. Hidup pada daerah tubir terumbu karang dan jauh dari pantai atau daerah yang mempunyai kadar garam tinggi dan selalu bermain di atas celah-celah karang. (2) Lutjanidae Famili ini lebih terkenal dengan nama snappers, seabass, kakap, jenahan, jambihan dan samassi. Famili Lutjanidae dapat dijumpai hidup di perairan dangkal sampai laut dalam. Bentuk tubuh memanjang, agak pipih, badan
24
tinggi dan mempunyai gigi taring. Famili Lutjanidae memiliki warna merah, putih, kuning kecoklatan dan perak. Sebagian dari famili ini hidup bergerombol. Merupakan predator ikan, crustacea, dan plankton feeders. Mengalami perubahan bentuk pada ikan yang masih kecil dan setelah menjadi dewasa. Sebagai contoh dapat dilihat pada ikan Lutjanus kasmira, Lutjanus biguttatus, Lutjanus sebae, dan Macolor niger. (3) Lethrinidae Famili ini dikenal dengan nama emperor, asual, asuan, gotila, gopo, ketamba lencam, mata hari, ramin dan sikuda. Famili Lethrinidae umumnya ditemukan di daerah berpasir dan patahan karang (rubbel) pada daerah tubir. Famili Lethrinidae memiliki warna tubuh bervariasi untuk setiap jenis, tetapi ada beberapa jenis dapat berubah dengan cepat. Hal ini hampir mirip dengan famili Lutjanidae tetapi memiliki kepala agak runcing. Ukuran panjang tubuh famili ini bisa mencapai 1 meter. Tergolong karnivora dengan memakan bermacam hewan di pasir dan patahan karang, (4) Acanthuridae Famili ini umumnya dikenal dengan nama surgeons, botana, maum, marukut dan kuli pasir. Famili Acanthuridae memiliki duri
pada pangkal ekor
berjumlah 1 dan 2. Duri ini sangat tajam seperti pisau operasi dan mengandung bisa. Famili ini memiliki kulit tebal dengan sisik halus. Tergolong herbivora dan hidup secara bergerombol di daerah karang yang dangkal, contoh : Naso vlamingii, Zebrasoma scopes. (5) Mullidae Famili ini umumnya dikenal dengan nama goatfishes, biji nangka, kambing. Famili Mullidae memiliki jenggot (barbell). Umumnya famili ini memiliki warna merah, kuning dan siver. Hidup dan mencari makan di dasar perairan atau pasir. Contohnya : Parupeneus bifasciatus dan Upeneus tragula. (6) Siganidae Famili ini umumnya dikenal dengan nama rabbit fishes, baronang, cabe, lingkis, sumadar. Famili Siganidae memiliki tubuh lebar dan pipih ditutupi sisik halus. Famili ini memiliki warna yang bervariasi, pada punggung terdapat bintik-bintik putih, coklat, kelabu atau keemasan. Famili Siganidae
25
memiliki duri-duri sirip yang berbisa, racunnya dapat menyebab rasa perih bila tertusuk durinya. Ukuran panjang tubuh berkisar 30 - 45 cm. Famili ini umumnya memakan rumput laut dan alga. (7) Haemulidae Famili ini umumnya dikenal dengan nama sweetlips, tiger, grunts dan bibir tebal. Famili Haemulidae ini ditemukan hidup pada gua-gua karang memiliki kulit halus dan licin. Salah satu ciri Haemulidae adalah memiliki bibir yang tebal. Famili ini memiliki warna yang terus berubah selama masa pertumbuhan. Ukuran medium sampai 90 cm. Contoh : Plectrorincus orientalis. (8) Labridae Famili Labridae khusus genus Cheilinus, Chaerodon dan Hemigymnus dinamakan wrasses raksasa karena mempunyai ukuran tubuh yang agak besar (medium size 20-130 cm). Famili ini aktif mencari makan pada waktu siang hari (diurnal). Famili ini tergolong ikan yang sulit untuk didekati (pemalu). sering ditemukan pada air yang bersih dan pada tubir karang di kedalaman 10-100 m. Makanannya moluska, bulu babi, udang kecil dan invertebrata. Contoh Thallasoma sp, Cheilinus undulatus, Epibulus insidiator, Choerodon anchorago, Cheilinusb fasciatus, Labroides sp. (9) Nemipteridae Famili ini umumnya dikenal dengan nama spine cheeks, monocle-bream, pasir-pasir, alooumang, ijaputi, palosi pumi dan ronte. Memiliki warna yang terang. Famili ini sering ditemukan pada dasar perairan berpasir dan patahanpatahan karang (rubble). Sepintas terlihat selalu selalu diam, tapi bila terusik akan segera berenang dengan cepat. Famili ini agresif pemakan invertebrata, ikan kecil, udang, kepiting dan cacing (benthic feeders). Famili ini sebagian hidup soliter dan sebagian lagi bergerombol. Ikan ini tergolong diurnal yang aktif disiang hari dan pada malam beristirahat diantara karang-karang. Famili ini mengalami perbedaan pada saat masih kecil dan berubah setelah tumbuh dewasa. (10) Priacanthidae
26
Famili ini dikenal dengan sebutan big eyes, belanda mabuk dan mata besar. Famili Priacanthidae ini memiliki ciri-cirinya bermata besar dan umumnya berwarna merah. Sebagian hidup pada laut dalam. Tergolong ikan nokturnal yang aktif mencari makan pada malam hari, dan sebaliknya pada siang hari bersembunyi di gua-gua karang. Famili ini sangat sulit diidentifikasi di bawah air karena antara spesies memiliki kemiripan, untuk itu sebaiknya diambil spesimen. (11) Carangidae Famili ini umumnya dikenal dengan nama gabua, putih dan kue. Famili Carangidae termasuk ikan perenang cepat, dan tergolong ikan pelagis. Umumnya carangidae hidup secara bergerombol (schooling) dan bersifat karnivora (waktu kecil makan zooplanton). Ukuran tubuh famili carangidae dapat mencapai 2 meter. (12) Sphraenidae Famili ini umumnya dikenal dengan nama baracuda dan alu-alu. Famili Sphraenidae tergolong ikan perenang cepat. Biasanya hidup secara bergerombol (schoooling). Famili Sphraenidae ini memiliki gigi-gigi yang tajam dan runcing.
Karateristik ikan indikator sebagai berikut : (1) Chaetodontidae Famili ini dikenal dengan sebutan butterfly, daun-daun, dan kepe-kepe. Famili Caetodontidae umumnya hidup berpasangan, walaupun ada juga sebagian hidup yang bergerombol (scooling). Famili ini memiliki ukuran tubuh kurang dari 6 inchi, dengan tubuh berbentuk bulat dan pipih. Pola gerakannya lamban atau lemah gemulai. Cara makan di atas karang seperti kupu-kupu. Warna tubuh umumnya cemerlang, kuning, putih dengan tompel hitam dan pola bergaris pada mata serta mata selalu ditutupi strip hitam. Makanan utamanya adalah polip karang, algae, cacing dan invetebrata lain. Famili Caetodontidae tergolong ikan diurnal yang aktif mencari makan disiang hari.
27
Karateristik dari berbagai ikan famili utama sebagai berikut : (1) Pomacentridae Famili ini umumnya dikenal dengan nama damselfish, betok laut, dan dakocan. Memilik bentuk badan yang pipih dan nampak dari samping berbentuk bulat. Famili Pomacentridae meruapakan ikan kecil terbanyak di terumbu karang. Makanan utamnya adalah plankton, invetebrata, dan alga. Sebagian ada yang bersimbiosis dengan anemon (Amphiprion). Famili Pomacentridae mempunyai banyak genus diantaranya adalah: Genus Cromis, Genus Pomacentrus, Genus Abudefduf , Genus Dascyllus dan Genus Amphiprion. (2) Caesionidae Famili ini umumnya dikenal dengan nama fusilier, ekor kuning, sulih, suliri, dan sunin. Contoh dari Famili ini adalah Genus Caesio yang merupakan ikan perenang cepat. warna umumnya biru, kuning bagian belakang dan perak. Sering ditemukan di luar karang (tubir karang). Makanannya zooplankton. Contoh: Pterocaesio sp, dan Caesio sp. (3) Scaridae Famili ini umumnya dikenal dengan nama parrotfishes, kakatua, dan bayam. Gigi hanya dua atas dan bawah (seperti kakak tua), warna kebanyakan biru dan hijau, sering ditemukan bergerombol, kadang-kadang ditemukan sedang memakan karang keras dan sulit untuk diidentifikasi karena banyak yang mirip. Sering mencari makan di perairan dangkal waktu pasang tinggi. (4) Holocentridae Famili ini dikenal dngan sebutan squirrel, swanggi, baju besi, sirandang, murjan, olelo, mahinai. Hidup di bawah gua-gua karang, biasanya berpasangan, kadang-kadang juga bergerombol, kulit dan sisik keras, kepala dan sirip berbisa dan banyak mirip antar spesies. Warna tubuh merah, perak dan mempunyai tompel dan garis. (5) Pomacanthidae Famili ini dikenal dengan sebutan anggel, injel, betmen, napoleon, anularis. Warna mencolok dan cantik dengan ukuran tubuh dewasa antra 30-39 cm. Warna dan bentuk tubuh berubah selama pertumbuhan. Hidup soliter (sendiri)
28
dan berpasangan. Hampir mirip dengan kepe-kepe, tapi lebih tebal dan di bawah tutup insang berduri dan makananya alga dan spongs. Contoh: Centropyge sp, Pomachantus sp.
(6) Apogonidae Famili ini dikenal dengan sebutan cardinal, beseng, belalang, seriding, capungan. Banyak ditemukan pada ranting karang, bulu babi dengan ukuran lebih kecil antara 5-15 cm, agak buntek, sirip-sirip transparan, warna kuning, merah, coklat, putih transparan sebagian berbintik dan bergaris. Contoh : Apogon cyanosoma, Cheilodipterus artus. (7) Scorpaenidae Famili ini dikenal dengan sebutan scorpion, lepu, linga-linga, lapo. Ikan ini penuh dengan duri yang berbisa 3-5 duri, bergerak lambat. Termasuk ikan predator, menangkap ikan yang lewat di depanya. Makanannya udang, kepiting, ikan-ikan kecil, warna umumnya coklat, merah, putih, hitam dan kuning. Di Indo-Pasifik ada 80 genus, dari 350 spesies dan semua memiliki duri beracun. (8) Balistidae Famili ini dikenal dengan sebutan triger, cepluk, papakulu, pakol, mendut, gogot. Kulit tebal, bentuk seperti bola ruqby, mulut kecil dengan gigi yang kuat, hidup soliter, jika malam hari bersembunyi di lubang-lubang karang. Makanannya kepiting, moluska, bulu babi, sponge, hydroids, coral dan algae. Bagi penyelam harus hati-hati, karena ada spesies yang menyerang penyelam ketika ikan itu sedang bertelur dan sirip keras dan kaku. (9) Aulostomidae Famili ini dikenal dengan sebutan shimpfish, pisau-pisau. Ditemukan bergorombol pada karang bercabang, berenang secara vertikal, dan juvenil bermain pada bulu babi. (10) Phempheridae Famili ini dikenal dengan sebutan keeled sweeper. Warna umumnya coklat kekuningan, bentuk tubuh sperti segi tiga dan spesies kebanyakan mirip. Ditemukan pada gua-gua karang dan ukuran tubuh antara 15-25 cm.
29
(11) Tetraodontidae Famili ini dikenal dengan sebutan puffers, Ostraciidae disebut boxfhish dan Monacanthidae disebut leather jackets. Ada yang punya mata palsu, bentuk tubuh agak runcing, dan flexibel bisa seperti balon. Hidup soliter dan aktif pada waktu malam. Memiliki organ racun dan perenang lambat dan potensial bagi predator. Habitat beragam seperti lumpur, pasir dan karang. (12) Zanclidae Famili ini dikenal dengan sebutan morish idol. Hidup pada terumbu karang, berhidung panjang dan sirip dorsal panjang, warna tubuh kuning dan belakang hitam. (13) Ephippidae Famili ini dikenal dengan sebutan batfishes, platak. Bentuk seperti kelelawar, perenang lambat/tenang. Makanan algae, invertebrata (ubur-ubur) dan plankton.
2.5
Penglihatan dan Warna pada Ikan Karang
2.5.1
Penglihatan ikan karang Kualitas pandangan di bawah air sangat minim sehingga sebagian besar
ikan akan tergantung kepada indera penglihatannya untuk mendapatkan informasi disekelilingnya (Guthrie and Muntz 1993).. Menurut Tamura (1957), menentukan sumbu penglihatan terlebih dahulu mengetahui kepadatan cone cells yang biasanya terletak pada area dorsotemporal, temporal dan ventro-temporal di retina mata ikan. Bidang penglihatan yang dihasilkan dari menarik garis lurus dari bagian retina menuju ke titik lensa mata, biasanya menghadap arah depan menurun (lower-fore), arah depan (fore) dan arah depan-naik (upper-fore). Matsuoka (1999) menjelaskan bahwa retina ikan umumnya terdiri dari tiga tipe pada lapisan indera penglihat (visual cell layer), yaitu single cone, double/twin cone dan rod cells. Ada beberapa spesies ikan yang memiliki cone cells tunggal yang bergabung dengan ukuran yang serupa, dikenal dengan twin cone. Menurut Myrberg and Fuiman (2002), fotoreseptor merupakan salah satu bagian lapisan sel neural khusus pada retina mata. Bentuk cone cells
30
dan rod cells dan macam pola mosaik fotoreseptor terlihat pada Gambar 2. Menurut Fujaya (2004), cone cells dipakai pada aktifitas siang hari dan rod cells pada aktivitas malam hari. Cone cells bertanggung jawab pada penglihatan cahaya terang (penglihatan fotopik), rod cells bertanggung jawab pada penglihatan cahaya samar (penglihatan scotopik). Cone cells merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan ketajaman penglihatan (visual acuity). Menurut Gunarso (1985), jenis-jenis ikan dasar atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di daerah yang hampir tidak dicapai lagi oleh cahaya matahari umumnya hanya memiliki rod cell.
Keterangan: a) S: single cone, D: double cone pada penampang longitudinal. b-d) Pola mosaic pada single dan double cone. c) Pola mosaik 2 single cone dan double cone. e) Penampang sel double cone dengan menggunakan perbedaan stimulasi kromatik.
Gambar 3 Penampang dan pola mosaik fotoreseptor (Sumber: Anonim 2008)
Herring et al. (1990) menjelaskan bahwa penglihatan untuk membedakan warna memerlukan adanya fotoreseptor yang berbeda jenis dan lebih dari satu tipe cone cells. lkan-ikan yang dapat melihat warna umumnya
31
memiliki dua tipe cone cells atau tiga tipe pada retina matanya. Kepadatan cone cells akan tetap selama ikan hidup, yang perubahan
kekuatannya
mungkin
akan
meningkat
sejalan
dengan
pertumbuhan lensanya (Tamura 1957). Shiobara et al. (1998), semakin tajam daya penglihatan mungkin diakibatkan hubungan antara panjang fokus lensa yang lebih meningkat daripada kepadatan cone cells-nya. He (1989), menjelaskan bahwa sudut pembeda terkecil pada ikan berhubungan erat dengan karakteristik pemantulan sinar ke lensa dan ketepatan mengenai retina. Dengan makin bertambah panjang tubuh ikan, maka akan semakin tinggi ketajaman penglihatannya dengan nilai sudut pembeda terkecil yang semakin kecil. Diameter lensa ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh, sementara itu kepadatan cone cells cenderung menurun dengan meningkatnya pertambahan panjang tubuh (Purbayanto 1999).
2.5.2
Warna dan pengaruhnya pada ikan karang Menurut Cromer (1994) apa yang dilihat hewan tergantung pada sifat-sifat
fisik khusus dari cahaya yang sensitif untuk matanya. Pada serangga hanya dapat mendeteksi warna dan polarisasi. Sedangkan pada ikan yang matanya sangat mirip mata manusia dan mempunyai kemampuan untuk membedakan warna. Beberapa hasil penelitian mengenai respons warna cahaya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku ikan menunjukan adanya perbedaan. Seperti penelitian Kuroki yang menyimpulan bahwa warna efektif untuk mengumpulkan ikan adalah warna biru dan oranye, sedangkan Kawamoto mendapatkan bahwa warna efektif untuk mengumpulkan ikan biru dan kuning (Gunarso, 1985). Penelitian mutakhir Mubarak (2003) mendapatkan bahwa cahaya biru mampu menarik juvenil ikan kerapu tikus paling dekat dengan sumber cahaya dan memiliki nilai iluminasi paling besar dibandingkan cahaya putih dan merah. Suatu objek berupa benda terlihat berwarna karena sifat selektifnya terhadap penyerapan panjang gelombang tertentu dan merefleksikannya pada kisaran optik tectum cahaya tampak (400-750 nm). Kemampuan suatu benda menyerap panjang gelombang tertentu sehingga terlihat sebagai warna karena
32
adanya gugus fungsional yang disebut kromofor. Adsorpsi maksimum kromfor tersebut tergantung tidak hanya pada gugus molekul yang terlibat tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungannya seperti pelarut dan suhu. Pada ikan nokturnal fotoreseptornya mengalami modifikasi dimana kepadatan selsel batangnya-nya 106-107 per mm2 yang lebih banyak dari pada ikan karang diurnal. Demikian juga ketebalan lapiasan fotoreseptor pada ikan nocturnal juga lebih tebal dari pada ikan karang diurnal. Perbedaan jenis ikan yang menyebabkan variasi yang besar pada matanya disebabkan oleh adanya jumlah jenis sel kerucut dan jumlah jenis pigmen penglihatan yang terdapat pada matanya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang merupakan tempat dimana ikan hidup (Partridge dalam Herring et al., 1990). Pada ikan karang yang hanya memiliki pigmen visual tunggal maka ikan tersebut hanya mampu melihat cahaya putih (monochromatic vision). Sebaliknya pada ikan karang yang memiliki pigmen visual lebih dari satu jenis maka ada kemungkinan mampu untuk membedakan warna. Umumnya pigmen visual terdapat pada sel kerucut karena kemapuan membedakan warna secara eksklusif berhubungan kondisi terang (photopic). Pigmen visual pada sel batang dari beberapa jenis ikan karang Pasifik memiliki kemampuan menyerap gelombang warna berkisar 480-502 nm (rata-rata = 493 nm + 4.5 sd). Kisaran tersebut berbeda dan lebih sempit kisarannya dibandingkan dengan laporan sebelumnya yang menyebutkan bahwa kisaran spektrum gelombang untuk pigmen sel batang untuk ikan tawar dan ikan laut berkisar 467-551 nm. Hal ini sesuai dengan penelitian Lythgoe (1966) yang mendapatkan nilai yang hampir sama (490-503 nm) pada tujuh sample ikan dari laut Mediterania. Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa adaptasi absorbsi gelombang maksimal dari pigmen visual ikan karang adalah berkisar 493 nm, dan hasil itu berasal dari tekanan selektif yang kuat.
33
Tabel 1 Warna dan panjang gelombang cahaya (Spotte, 1992 dalam Razak et al, 2005)) No
WARNA CAHAYA
PANJANG GELOMBANG (nm=10-9m)
1
Ultraviolet
Lebih pendek dari 400
2
Violet
400-450
3
Biru
450-500
4
Hijau
500-570
5
Kuning
570-590
6
Oranye
590-610
7
Merah
610-700
8
Inframerah
Lebih panjang dari 700
Mosaik sel kerucut dan sel batang menunjukkan kepekaan penglihatan pada ikan. Spesies yang hidup pada kondisi remang-remang memiliki banyak sel batang, sedangkan yang hidup pada kondisi cahaya terang dengan penglihatan yang luas, mosaik lebih banyak tersusun dari kumpulan selkerucut baik tunggal maupun ganda. Ikan yang memiliki sel kerucut dengan pola mosaik menunjukkan bahwa ikan tersebut sangat intensif menggunakan penglihatannya. Susunan mosaik ini dapat berubah pada satu individu tergantung keadaan habitatnya (Fujaya, 2002).
34
2.6
Terumbu Karang sebagai Habitat Ikan Karang
2.6.1
Habitat ikan karang Terumbu karang merupakan habitat bagi sumberdaya ikan dan biota non
ikan yang ada di seluruh perairan laut. Karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap terumbu karang, maka kerusakan sedikit pada bagian terumbu karang dapat menjadi malapetaka besar bagi kehidupan di laut termasuk pada ikan ekonomi yang di konsumsi manusia. Oleh karena perannya yang sangat penting, maka ekosistem terumbu karang harus selalu dijaga dari tindakatan destruktif apapun, demi kelestarian kehidupan laut sekaligus sumber protein terbesar dan murah bagi kehidupan manusia. Sebagai habitat ikan karang, terumbu karang merupakan tempat tinggal, berkembang biak dan mencari makan ratusan jenis biota laut. Bagi kehidupan manusia terumbu karang merupakan sumberdaya hayati laut yang mempunyai nilai potensi ekonomi tinggi untuk sumberdaya perikanan, pariwisata, dan untuk bahan farmakologi. Disamping itu terumbu karang berfungsi untuk melindungi pantai sebagai peredam gelombang dan arus menuju pantai. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif yang penting yang berasal dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang batu (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan tambahan alga berkapur dan organisme-organisme lainnya yang menghasilkan kalsium karbonat. Perairan Indonesia yang memiliki terumbu karang terbesar di dunia, juga memiliki potensi sumberdaya ikan karang yang sangat besar. Ikan-ikan karang dan berbagai biota laut lainnya diketahui mempunyai habitat di terumbu karang. Dengan demikian keberadaaan jenis-jenis ikan dan organisme yang berasosiasi dengan karang sangat bergantung dari kondisi terumbu karang. Keberadaan ikan karang pada habitatnya di kawasan terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan karang. Sebagai habitat berbagai jenis organime laut, terumbu karang merupakan ekosistem yang sensitif. Berbagai aktivitas penangkapan ikan karang bila tidak
35
dilakukan secara bertanggung jawab akan berdampak negatif terhadap kondisi terumbu karang.
2.6.2
Klasifikasi, bentuk dan tipe terumbu karang Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium
karbonat yang dihasilkan oleh karang (filum Cndaria, klas Antozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan tambahan dari alga berkapur dan organismeorganisme lainnya yang menghasilkan kalsium carbonat.
Binatang
karang
merupakan mahluk hidup sederhana yang berbentuk tabung dengan mulut dibagian atas dan mulut ini pula berfungsi juga sebagai anus. Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan, selanjutnya terdapat tenggorokan pendek yang menghubungkan mulut dengan rongga perut. Rongga perut berisi semacam usus yang disebut mesenteri filamen dan berfungsi sebagai alat pencernaan. Karang memiliki dinding yang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderm, endoderm dan mesoglea. Karang dibagi atas kelompok yang membentuk terumbu (reef building) dan kelompok yang tidak membentuk terumbu. Kelompok yang membentuk terumbu dikenal dengan nama karang hermatipik yang memerlukan sinar matahari untuk kelangsungan hidupnya, dan yang tidak membentuk terumbu dikenal dengan nama karang ahermatipik yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari. Klasifikasi karang menurut Veron (2000) adalah sebagai berikut :
36
Phylum Kelas Ordo Famili
: Coelenterata (Cnidaria) : Anthozoa : Scleractinia (Madreporaria) : 1. Acroporidae Genus : Acropora, Astreopora, Anacropora, Montiopora. 2. Agariciidae Genus : Coeloseris, Gardineroseris, Leptoseris, Pachyseris, Pavona. 3. Astrocoeniidae Genus : Madracis, Palauastrea, Stylocoeniella 4. Pocilloporidae Genus : Pocillopora, Stylophora, Seriatopora 5. Poritidae Genus : Alveopora, Goniopora, Porites 6. Siderastreidae Genus : Coscinaraea, Psammocora, Pseudosiderastrea 7. Fungiidae Genus : Ctenactis, Cycloseris, Diaseris, Fungia, Halomitra, Heliofungia, Herpolitha, Lithophyllon, Podabacea, Poliphylla, Sandalolitha, Zoopilus. 8. Oculinidae Genus : Archelia, Galaxea. 9. Pectinidae Genus : Echinophyllia, Mycedium, Oxypora, Pectinia. 10. Mussidae Genus : Acanthastrea, Australomussa, Blastomussa, Cynarina, Lobophyllia, Scolymia, Symphyllia. 11. Merulinidae Genus : Boninastrea, Clavarina, Hydnophora, Merulina, Paraclavarina, Scapophyllia. 12. Faviidae Genus : Australogyra, Echinophora, Favites, Favia, Barabattoia, Caulastrea, Cyphastrea, Goniastrea, Diploastrea, Leptoria, Leptastrea, Montastrea, Moseleya, Oulastrea, Oulophyllia, Platygyra, Plesiastrea. 13. Dendrophylliidae Genus : Dendrophyllia, Tubastrea, Turbinaria, Heterosammia. 14. Caryophylliidae Genus : Catalophyllia, Euphyllia, Heterocyathus, Physogyra, Plerogyra, Neomenzophyllia. 15. Trachypylliidae Genus : Trachyphyllia, Welsophyllia.
37
Dilihat dari bentuk pertumbuhan (life form), karang dibedakan menjadi 6 (enam) kategori utama yaitu (1) Karang bercabang (branching); (2) Karang padat (massive); (3) Karang merambat (encrusting); (4) Karang meja (tabulate); (5) Karang berbentuk daun (foliose); (6) Karang jamur (mushroom). Berdasarkan struktur geomorphologi dan proses pembentukannya, terumbu karang terdiri dari 4 (empat) tipe terumbu yaitu (1). Terumbu karang tepi (fringing reef); (2). Terumbu karang penghalang (barrier reef); (3). Terumbu karang cincin (atoll); (4). Terumbu karang takat/gosong (patch reef).
2.6.3
Penyebab kerusakan terumbu karang Desawa ini, kerusakan terumbu karang yang merupakan sumber kehidupan
biota laut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemboman ikan bukan saja mematikan ikan tetapi berdampak pada kerusakan seluruh biota laut. Menurut LIPI (2007), Program Coral Reef Rehabilitation and Management Program II (Coremap II) telah melakukan pemetaan terumbu karang di seluruh Indonesia, dengan luasan terumbu karang tercatat sekitar 75 ribu km persegi yang tersebar di sekitar 841 lokasi di seluruh wilayah Indonesia. Coremap melaksanakan pemetaan di tiga wilayah Indonesia, yaitu Indonesia Barat, Tengah dan Timur. Penelitian di wilayah Indonesia Tengah termasuk perairan NTT yakni Kupang dan Maumere. Hasil penelitian tersebut menyebutkan, sekitar 75 persen terumbu karang di Teluk Maumere, Kabupaten Sikka mengalami kerusakan akibat cara penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menggunakan bom dan racun-racun lainnya. Terumbu karang yang rusak tersebut dapat menganggu habitat ikan terutama bagi penetasan telur ikan dan perkembangbiakan plankton yang dibutuhkan oleh ikan, sehingga jumlah ikan yang hidup di laut berkurang. Dampak lanjutannya adalah penghasilan nelayan menurun dan sumber nutrisi untuk manusia pun ikut berkurang.
Kondisi ini bagaikan bola salju dengan
dampak yang terus berkembang. Kerusakan terumbu karang tersebut dapat terjadi karena adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bom ikan, interaksi alat tangkap yang berlebihan pada terumbu karang dari alat tangkap, sirkulasi arus yang terganggu, pencahayaan yang kurang, pengambilan batu karang, dan lainnya. Pengambilan
38
batu karang biasanya terjadi untuk keperluan bahan bangunan dan pembuatan kapur. Bahan baku pembuatan kapur tersebut membuat para penambang tidak saja mengambil karang laut di tepi pantai, namun sudah masuk hingga ke dalam laut. Menurut Kompas (2009), tekanan terhadap terumbu karang mengancam keberlanjutan ketersediaan pangan dan akan memaksa masyarakat di daerah pesisir berpindah karena kehilangan sumber makanan dan sumber pendapatan. Jika dunia tidak mengambil tindakan efektif untuk menekan dampak perubahan iklim, maka kawasan terumbu karang di Segitiga Karang (Coral Triangle) akan hilang pada akhir abad ini. Hal itu membuat kemampuan daerah pesisir untuk menghidupi populasi di daerah sekitarnya akan berkurang 80 persen. Menurut Leape (2009), pengaruh terumbu karang terhadap bahan pangan dunia dapat terjadi karena keberadaan terumbu karang sangat memengaruhi kelangsungan ekosistem laut, termasuk kehidupan sumber daya hayati di dalamnya. Segitiga Karang yang meliputi kawasan Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste mencakup 30 persen dari terumbu karang di dunia dan 76 persen dari spesies karang yang membentuknya merupakan tempat bertelur jenis ikan strategis, seperti ikan tuna. Penyebab kerusakan habitat ikan karang di Kawasan Konservasi Laut cukup beragam, namun yang paling umum dan sering dilakukan oleh nelayan adalah aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. antara lain :
(1) Penggunaan bahan peledak Penggunaan bom untuk menangkap ikan hampir dapat ditemukan di seluruh pelosok tanah air. Akibat penggunaan bom tidak hanya populasi ikan yang rusak akan tetapi terumbu karang sebagai tempat hidup juga rusak (Suharsono, 1998). Kerusakan yang diakibatkan oleh bom merupakan kontribusi terbesar terhadap kerusakan karang. Tidak semua ikan dapat terambil, diperkirakan 20% merupakan potensi ikan yang berada agak jauh ikan terlihat lebih lentur dan lemas karena seluruh tulangnya remuk.
39
(2) Penangkapan ikan dengan kalium sianida Racun ini digunakan untuk menangkap ikan dalam keadaan hidup. Pengaturan konsentrasi “potas” menjadi sangat penting agar ikan yang terkena hanya dalam kondisi mabuk atau terbius sehingga mudah ditangkap. Penentuan konsentrasi yang tepat susah sekali, sehingga ikan yang mati kadang lebih banyak dari ikan yang hidup. Konsentrasi potas 0,1 mg/liter sudah cukup untuk membunuh ikan. Diperkirakan ikan yang pernah terkena potas yang kemudian tetap selamat hidup akan mengalami kelainan dalam pertumbuhan dan proses produksinya. Selanjutnya dalam Country Status Overview (Departemen Kelautan dan Perikanan, Telapak Indonesia, dan Internatiol Marinelife Alliance. 2001), menyatakan bahwa sianida (potas) menyebabkan ketahanan ikan hasil tangkapan rendah. Sekitar 80 % ikan hias dan 50 % ikan konsumsi mati dalam penampungan dan pengangkutan mulai dari perairan tangkap hingga tangan pembeli. Akibatnya nelayan ikan karang hidup berusaha memperoleh ikan karang lebih banyak untuk memenuhi pesanan walaupun dengan cara yang merusak.
40
3 GAMBARAN UMUM KAWASAN KONSERVASI LAUT DI LOKASI PENELITIAN 3.1 Wilayah Administratif, Geografis dan Topografi Secara Administratif, lokasi peneltian di kawasan konservasi laut (TNL Kepulauan Seribu) berada dalam Provinsi DKI Jakarta. Wilayah Kepulauan Seribu saat ini berstatus Kabupaten Administratif. Kabupaten Kepulauan Seribu resmi terbentuk pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001. Sejak saat itu pula perangkat organisasi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu ditata. Perangkat organisasi mulai dilengkapi dengan Sekretariat Kabupaten, yang meliputi bagian-bagian serta sub bagian. Kemudian unsur Teknis kepanjangan unsur Dinas di Propinsi dalam hal ini Suku Dinas. Lalu Badan sampai dengan Seksi Dinas serta Pelaksana tugas Kantor. Perangkat organisasi Kabupaten ini berperan melaksanakan tugas-tugas dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kepulauan Seribu. Secara geografis, wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu berada pada lintang antara 06°00’40” dan 05°54’40” Lintang Selatan dan 106°40’45” dan 109°01’19” Bujur Timur. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu hampir 11 kali luas daratan Jakarta, yang terbagi dari luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan Kepulauan Seribu mencapai 699.750 ha. Wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa/Selat Sunda; sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa; sebelah Selatan berbatasan dengan daratan utama Pulau Jawa, yaitu Kecamatan Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Tangerang; sementara sebelah Barat berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Provinsi Lampung. Jumlah keseluruhan pulau yang terdapat di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu mencapai 110 buah. Berdasarkan luasannya, pulau-pulau tersebut dapat dibagi dalam tiga kelas, yaitu adalah Pulau dengan luas kurang dari 5 Ha berjumlah 50 pulau; pulau dengan luas antara 5-10 Ha berjumlah 26 pulau; pulau dengan luas lebih dari 10 Ha berjumlah 24 pulau. Diantara 110 pulau tersebut, terdapat Pulau Sebira yang merupakan Pulau Paling Utara, terletak di jarak sekitar 100 mil dari daratan Teluk Jakarta. Bila posisi strategis ini dikaitkan dengan Jakarta sebagai sebuah kota Bandar, maka
41
Kepulauan Seribu merupakan bagian muka dari Jakarta. Pada separuh teluk bagian barat Jakarta, terdapat beberapa pulau kecil yang sebagian besar telah dipergunakan sebagai wilayah pemukiman penduduk dan sebagian lainnya dipergunakan sebagai tempat peristirahatan dan lokasi wisata. Secara topografi, Kepulauan Seribu termasuk pulau yang landai (0-15% dengan ketinggian 0-2 meter di bawah permukaan laut). Luas daratan masingmasing pulau terpengaruh oleh adanya pasang surut yang mencapai 1-15 meter. Pada beberapa pulau khususnya pada daratan pantai sering ditumbuhi oleh pohon bakau sehingga dijumpai lapisan tanah organik yang sangat lunak berasal dari pelapukan tumbuh-tumbuhan serta material yang terbawa oleh arus laut dan tertahan pada akar pohon bakau. Jenis tanah di daratan Kepulauan Seribu umumnya berupa pasir coral yang berasal dari pelapukan dari batu gamping terumbu coral dengan ketebalan umumnya < 1 m dan di beberapa tempat dapat mencapai ketebalan 5 m. Pasir koral tersebut merupakan hancuran (detrital) yang berwarna putih keabuan dan gampang lepas. Secara umum keadaan laut mempunyai kedalaman yang berbedabeda yaitu berkisar antara 0-40 meter. Hanya ada 2 tempat yang mempunyai kedalaman lebih dari 40 meter, yaitu sekitar Pulau Payung dan Pulau Tikus/Pulau Pari. Pada umumnya keadaan geologi Kepulauan Seribu terbentuk dari batuan kapur, karang/pasir dan sedimen yang berasal dari Pulau Jawa dan Laut Jawa, terdiri dari susunan bebatuan malihan/metamorfosa dan batuan beku, di atas batuan dasar diendapkan sedimen epiklasik, batu gamping, batu lempung yang menjadi dasar pertumbuhan gamping terumbu karang. Sebagian besar terumbu karang yang ada masih mengalami pertumbuhan adan ada yang sudah menyatu menjadi tidak terpisahkan dari daratan. Sumber hidrologi permukaan seperti sungai, dan mata air tidak dijumpai di Kabupaten Kepulauan Seribu. Kondisi air tanah sangat tergantung dengan kepadatan vegetasinya. Selama ini, air tanah untuk kebutuhan masyarakat diperoleh dari penyulingan air laut atau penampunga air hujan. Untuk pulau-pulau yang mempunyai vegetasi yang padat dan mempunyai lapisan tanah yang cukup tebal, maka air hujan bisa meresap dan dimanfatkan (sumur) sebagai sumber air minum, meskipun jumlah sangat terbatas.
42
Musim hujan di Kepulauan Seribu biasanya terjadi antara bulan Nopember-April dengan hari hujan antara 10-20 hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Curah hujan tahunan berjumlah sekitar 1.700 mm. Pada musim kemarau kadang-kadang juga terjadi hujan dengan jumlah hari hujan antara 4-10 hari per bulannya. Biasanya curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus. Hari hujan antara 10-20 hari/bulan tersebut mempunyai curah hujan cukup tinggi dimana bulan terbasah yaitu pada Januari. Curah hujan yang tercatat mencapai 100-400 mm. Sedang pada bulan-bulan kering yaitu bulan Juni dengan September, curah hujan bermusim yang dominan di wilayah Kepulauan Seribu yaitu Musim Barat (musim angin barat disertai hujan lebat) dan Musim Timur (musim angin timur serta kering). Pola musim tersebut berpengaruh besar bagi kehidupan penduduk terutama untuk kegiatan melaut.
Selama ini, kegiatan
nelayan sangat terganggu pada saat musim Angin Barat terutama untuk kegiatan penangkapan ikan bermobilitas tinggi. Tipe iklim yang terdapat di pulau-pulau pemukiman termasuk jenis tropika panas dengan suhu minimum 21,6°C, suhu rata-rata 27°C, dan suhu maksimum 32°C. Sedangkan kelembaban udara di 11 pulau pemukiman tersebut mencapai 80%. Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim Barat berkisar antara
28.5°C-30.0°C.
Pada
musim
Timur
permukaan
antara
28.5°C-
31.0°C. Suhu udara rata-rata antara 26.5°C-28.5°C dengan suhu udara maksimum tahunan 29.5°C-32.9°C dan minimum 23.0°C-23.8°C. Kelembaban nisbi rata-rata berkisar antara 75%-99%, tekanan udara rata-rata antara 1009.0-1011.0 mb. Salinitas permukaan berkisar antara 30%-34% pada musim barat maupun pada musim timur. Arus laut pada musim barat berkecepatan maksimum 0.5 m/detik dengan arah dari timur menuju tenggara. Pada musim timur kecepatan arus laut mencapai 0.5 m/detik. Gelombang laut pada musim barat mempunyai ketinggian antara 0.5 1.75 meter dan musim timur 0.5 - 1.0 meter. Untuk angin yang bertiup di daratan maupun lautan Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin Monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat dan angin musim timur. Angin musim barat terjadi
43
antara bulan Desember-Maret, sedangkan angin musim timur terjadi antara JuniSeptember. Musim pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan OktoberNopember. Kecepatan angin pada berkisar antara 7-20 knot, biasanya terjadi pada bulan Desember-Pebruari. Pada musim Timur kecepatan angin berkisar antara 715 knot yang bertiup dari arah Timur Laut sampai Tenggara. Cuaca baik di Kepulauan Seribu adalah sekitar bulan Maret, April sampai dengan Mei.
3.1.2 Potensi perikanan Saat ini kegiatan pembangunan di bidang perikanan, sangat ditekankan orientasi pada pembenahan kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Keadaan ini dilakukan mengingat masyarakat sekitar mengutamakan kegiatan penangkapan (45,2 %) dan budidaya (23,5 %) sebagai pekerjaan utama mereka, dibandingkan dengan kegiatan pengolahan, pemasaran dan lainnya. Jenis-jenis alat tangkap yang banyak dioperasikan di perairan Kabupaten Kepulauan Seribu adalah pancing, bubu, moroami, jaring rajungan, dan bagan. Pancing merupakan alat tangkap yang dominan digunakan di perairan Kabupaten Kepulauan Seribu. Pancing selektif dan ramah lingkungan dalam penggunaannya, sehingga sangat mendukung fungsi perairan Kabupaten Kepulauan Seribu sebagai kawasan konservasi laut.
Payang termasuk alat tangkap yang cukup rendah
tingkat penggunaannya di perairan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Sedangkan
setnet belum digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu. Masyarakat Kepulauan Seribu menggunakan jatilap (jaring trammel) jaring insang dasar serta cangtan untuk menangkap udang laut. Ini berbeda dengan jenis ikan tuna cakalang dan cucut. Ikan-ikan itu harus ditangkap dengan penangkap seperti rawai tuna, rawai tegak lurus, pancing tonda, hutate, pukat cincin ukuran besar, jaring insang, serta rawai cucut. Adapun jenis ikan pelagis kecil misalnya lemuru, tembang, japuh, kembung dan lain-lain. alat penangkap yang digunakan adalah pukat cincin, payang, bagan, pukat tepi, jaring insang, jaring insang dan pakaya. Sementara itu, untuk ikan demersal lainnya seperti petek, kakap, kerapu, ikan sebelah dll, dapat ditangkap dengan dogol, jogol, cantrang, jaring insang dasar, rawai dasar, bubu dasar, pukat tepi, serta pancing tangan (hand line).
44
Dilihat dari segi kemampuan usaha nelayan, jangkauan daerah laut serta jenis alat penangkapan yang digunakan para nelayan Kepulauan Seribu dapat dibedakan antara usaha nelayan kecil, menengah, dan besar. Dalam melakukan usaha penangkap ikan dari tiga kelompok nelayan tersebut digunakan sekitar 15 s/d 25 jenis alat penangkap yang dapat dibagi dalam empat kelompok. Kelompok tersebut yaitu kelompok pukat misalnya payang dan pukat cincin; kelompok jaring misalnya jaring lingkar dan jaring trammel; jaring angkat misalnya bagan perahu dan bagan tancap; pancing misalnya rawai tuna dan pancing tonda. Kegiatan perikanan di Kabupaten Seribu berjalan beriringan dengan kegiatan kegiatan perikanan yang terjadi di DKI Jakarta secara keseluruhan. Hal ini karena kegiatan perikanan DKI Jakarta hanya terpusat di Kota Jakarta Utara dan Kabupaten Kepulauan Seribu, dan wilayah lautnya sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu.
45
4
4.1
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di Kawasan Konservasi Laut, tepatnya di Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan selama 13 (tiga belas) bulan dimulai dari persiapan sampai analisis data. Waktu pelaksanaan penelitian di mulai dari pembuatan bagian-bagian small bottom setnet 7 (tujuh) bulan,
pemasangan sampai
pengamatan di dasar perairan 3 (tiga) bulan, tabulasi hingga analisis data 3 (tiga) bulan, terhitung sejak bulan Oktober 2007 sampai dengan bulan Oktober 2008.
4.2
Bahan dan Alat Penelitian
4.2.1
Small bottom setnet Bahan setnet yang digunakan adalah tipe small bottom setnet dengan
konstruksi utama terdiri dari leadernet, wings, playground, bagnet, pemberat dan pelampung seperti terlihat pada Gambar 4.
A
B Keterangan: A = jaring B = pelampung C = desain
Gambar 4 Bahan penyusun small bottom setnet
C
46
Spesifikasi dan gambar bagian-bagian small bottom setnet yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2, dan Gambar 5.
Tabel 2 Spesifikasi small bottom setnet No
Bagian
1
Leadernet (penaju)
2
Material
Ukuran
Jumlah
PE (mesh size 2 inci)
20 x 2,5 m2
2 set
Wings (sayap)
PE (mesh size 2 inci)
2,5x 12 m2
2 set
3
Playground (badan jaring)
PE (mesh size 1 ¼ inci)
3 x 3 x 2,5 m3
1 set
4
Bagnet (kantong)
PA knotless (mesh size ½ inci)
3 x 1 x 1 m3
3 set
5
Pelampung kecil
Sinthetic rubber
∅ 20 cm
200 buah
6
Pelampung besar
Plastik
∅ 30 cm
10 buah
7
Pemberat
Rantai timah
8
Tali ris
PA
66 m
20 kg
∅ 6 mm
200 m
47
1 9 2
8
3 4 7
5 6
escaped
Bagnet portable
Bagnet permanent
Keterangan: 1 = Tali ris 2 = Leadernet
6 = Waring selubung
3 = Pemberat
7 = Playground
4 = Wings
8 = Pelampung besar
5 = Bagnet
9 = Pelampung kecil
Gambar 5 Bagian-bagian small bottom setnet
48
Secara lengkap ukuran dan desain masing-masing bagian dari small bottom setnet yang digunakan dalam penelitian dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Leadernet Leadernet yang dikenal sebagai penaju diharapkan dapat berfungsi sebagai penghadang dan pembimbing arah renang ikan yang sedang berenang atau beruaya menuju dan masuk ke badan trap dan kantong. Di dalam pekerjaan ini digunakan satu unit leadernet yang mempunyai bahan dan konstruksi sama dengan sayap. Leadernet yang digunakan mempunyai panjang 20 meter dan tinggi 2,5 meter. (2) Wings Small bottom setnet yang digunakan dalam penelitian ini memiliki wings (sepasang sayap), yaitu sayap kiri dan sayap kanan. Bentuk sayap merupakan bidang empat persegi panjang. Masing-masing sayap mempunyai panjang 12 meter dengan lebar 2,5 meter. Badan sayap terbuat dari bahan jaring PE, ukuran mata jaring 2 inci. Sayap dilengkapi dengan rantai timah sebagai pemberat pada bagian kaki dan pelampung pada bagian atasnya. Penggunaan bahan PE yang mempunyai sifat lebih kaku ini dimaksudkan agar bagian kaki sayap tidak mudah tersangkut pada karang. Selain sebagai penguat kaki jaring juga berfungsi untuk menggantungkan pemberat. Secara teknis pada saat di setting, kedua sayap ini merupakan perpanjangan dari badan trap. Bila dimisalkan sebagai sebuah bangunan segitiga, maka kedua sayap merupakan kaki-kaki segitiga. (3) Playground Playground dikenal sebagai ruang bermain ikan atau penampungan sementara sebelum kelompok ikan masuk ke bagian bagnet. Bahan dan konstruksi playground terdiri dari jaring, tali ris, pelampung dan pemberat serta tiang penyangga. Playground yang dipakai dalam penelitian ini berdiameter 3 m x 3 m x 2,5 m3.
(4) Bagnet Bagnet (kantong) merupakan bagian utama dari small bottom setnet. Kantong terdiri dari satu tipe yaitu kotak yang dibentuk oleh rangka besi dengan dinding jaring.
49
Dimensi kantong yang berbentuk kotak adalah sebagai berikut : lebar 1 meter, tinggi 1 meter, dan panjang 3 meter. Seluruh sisi samping diberi dinding jaring dengan bahan jaring Polyamide (PA) yang mempunyai ukuran mata jaring ½ inci knotless (tanpa simpul). Pada bagian kantong ini dibuatkan sisi kantong yang dapat dibuka untuk memudahkan menyeleksi hasil tangkapan. (5) Pemberat dan pelampung Small bottom setnet di dalam pengoperasiannya diletakkan di dasar, untuk itu diperlukan dan dilengkapi atau dibantu dengan pemberat. Pemberat yang digunakan berupa rantai timah dipasang di sepanjang tali ris bawah (ground rope) pada leadernet, sayap dan playground. Total pemberat rantai timah untuk sebuah small bottom setnet dapat mencapai seberat 20 kg. Kemudian, agar leadernet, sayap dan playground dapat terentang sempurna secara vertical ke atas, maka pada tali ris atas (head rope) di sepanjang leadernet, sayap dan playground
dipasang pelampung berukuran kecil dan besar.
Pelampung dengan ukuran besar terbuat dari plastik dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah dan pelampung kecil dari sinthetic rubber (4 x 3 cm) sebanyak 200 buah. Penelitian small bottom setnet dilakukan secara experimental fishing yaitu mengoperasikan langsung small bottom setnet di kawasan konservasi laut. Untuk menjadi sebuah small bottom setnet maka bagian-bagian jaring terlebih dahulu dilakukan perakitan di darat dan kemudian dilanjutkan di dasar perairan. Pemilihan lokasi penempatan small bottom setnet dilakukan dengan menggunakan metode manta tow. Perlakuan warna leadernet yang digunakan dalam penelitian tingkah laku ikan ini adalah warna hijau dan warna kuning. Proses pembuatan leadernet di darat dapat dilihat pada Gambar 6.
50
Gambar 6 Pembuatan leadernet di darat
Perakitan bagian-bagian jaring (leadernet, sayap, playground, kantong, pelampung kecil, pelampung besar, pemberat, tali ris dan waring selubung) menjadi small bottom setnet dilakukan di dasar perairan dengan menggunakan peralatan selam scuba seperti terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Perakitan small bottom setnet di dasar perairan
Kedalaman dasar perairan tempat pemasangan small bottom setnet di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu berkisar 4-10 meter. Jarak antara small bottom setnet dari pantai (fishing base) Pulau Pramuka sekitar 400 meter.
51
Pemasangan small bottom setnet di dasar perairan disesuaikan dengan kondisi terumbu karang dalam hal ini leadernet harus diletakkan pada jarak yang dekat dengan terumbu karang. Bagian leadernet diletakkan pada daerah dangkal dengan kedalaman sekitar 4 meter. Sebaliknya bagian bagnet diletakkan pada daerah yang lebih dalam dan masih dijumpai gugusan terumbu karang walaupun ukurannya kecil atau berupa gundukan-gundukan kecil. Jadi small bottom setnet diletakkan di sekitar terumbu karang tetapi tidak di atas terumbu karang. Hal ini dimaksudkan agar small bottom setnet ini tidak merusak terumbu karang tetapi masih bisa menangkap ikan-ikan karang.
4.2.2 Sampel mata ikan Sampel mata ikan karang yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari keterwakilan ikan dasar dan ikan permukaan. Selain itu sampel ini juga mewakili ikan yang hidup secara soliter dan ikan yang hidup secara berkelompok. Sampel pertama adalah ikan sersan mayor yang mewakili ikan permukaan dan ikan yang hidup secara berkelompok. Dalam penelitian ini contoh mata ikan yang diambil adalah ikan sersan mayor dan ikan kerapu masing-masing 10 ekor. Ikan sersan mayor mewakili ikan yang hidup di lapisan air permukaan, sekaligus mewakili ikan yang selalu hidup berkelompok (school). Sedangkan ikan kerapu mewakili ikan yang hidup di dasar perairan, sekaligus mewakili ikan yang selalu hidup secara soliter.
4.2.3 Peralatan pengambilan data Peralatan pengambilan data yang digunakan dalam penelitian small bottom setnet di kawasan konservasi laut adalah mistar plastik, kaliper, mikrotom, mistar fiber, gulungan pita pengukur panjang. seichi disc, dan beberapa alat pengukur kualitas air lainnya. Alat yang digunakan secara lengkap terlihat pada Tabel 3.
52
Tabel 3. Peralatan pengambilan data selama penelitian small bottom setnet No
Nama Alat
Kegunaan
Satuan
1
mistar plastik
mengukur panjang ikan karang
centimeter
2
kaliper
mengukur diameter lensa dan mata milimeter ikan
3
mikrotom
memotong retina mata ikan secara mikrometer mikroteknik
4
mistar fiber
mengukur luasan belt transect
centimeter
5
roll meter
gulungan pita pengukur panjang
centimeter
6
seicchi disc
mengukur penyinaran matahari pada meter small bottom setnet
7
refraktometer
mengukur
salinitas
pada
lokasi per seribu
pemasangan small bottom setnet 8
current meter
mengukur kecepatan arus di lokasi meter/ menit pemasangan small bottom setnet
9
termometer
mengukur
suhu
di
loaksi celcius
pemasangan small bottom setnet 10
sediment trap
mengukur
sedimen
di
lokasi gram
pemasangan small bottom setnet
4.2.4
Peralatan pendukung Peralatan pendukung yang digunakan selama penelitian diantaranya adalah
perahu motor, peralatan SCUBA diving (Selft Contained Underwater Breathing Apparatus), alat tulis bawah air, camera under water dan video bawah air serta buku identifikasi ikan karang. Perahu motor yang digunakan selama pengoperasian alat tangkap small bottom setnet adalah perahu motor milik nelayan dengan mesin tempel merk Yamaha berkekuatan 15 PK. Perahu yang digunakan memiliki ukuran panjang 5 meter, lebar 1 meter dan tinggi 1 meter. Peralatan SCUBA diving yang digunakan selama pengoperasian small bottom setnet
terdiri dari masker, snorkel, fins, tank, regulator, bouyancy
53
compensator device, boot, wet suit, weight belt, computer dive dan beberapa alat tambahan seperti kompas bawah air dan pisau selam. Peralatan selam scuba dan perahu motor yang digunakan selama penelitian small bottom setnet dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 4.
A
B Keterangan: A = Peralatan Selam B = Perahu Motor
Gambar 8 Peralatan SCUBA diving dan perahu motor yang digunakan selama penelitian small bottom setnet di Kepulauan Seribu
54
Tabel 4 Peralatan scuba diving yang digunakan dalam penilitian No 1
Nama Alat Masker
Kegunaan
Jumlah
Menghindari kontak mata dengan
8 buah
air 2
Snorkel
Menghubungkan
udara
dari
8 buah
permukaan 3
Fins
Mempercepat berenang
8 pasang
4
Boot
Melindungi kaki penyelam
6 pasang
5
Bouyancy
Membantu daya apung
6 buah
compensator device 6
Weight belt
Membantu daya tenggelam
6 buah
7
Scuba tank
Tempat penyimpanan udara
12 buah
8
Regulator
Menyimbang antara tekanan tabung
6 buah
dan tekanan di sekitar penyelam
4.3
Pengambilan Data Penelitian
4.3.1
Data tingkah laku ikan karang
Metode pengambilan data tingkah laku ikan karang dilakukan dengan menggunakan metode belt transect. Panjang belt transect adalah 20 meter yang mengikuti panjang leadernet sebagai garis utama. Lebar belt transect adalah 4 meter yang terdiri dari 2 meter disebelah kiri leadernet, dan 2 meter di sebelah kanan leadernet. Pengambilan data tingkah laku ikan hanya dilakukan pada areal yang berada dalam belt transect. Metode pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 9.
55
A
B
Keterangan: A = panjang leadernet ( panjang belt transect) B = garis batas lebar belt transect (panjang 20 m)
Gambar 9 Pengambilan data tingkah laku ikan pada leadernet dengan metode belt transect. Pencatatan data tingkah laku ikan karang dilakukan dengan melihat respon ikan karang pada leadernet yang berbeda. Perbedaan leadernet dilakukan dalam bentuk perbedaan warna sebagai perlakuan yang akan diamati. Perlakuan yang dicobakan pertama pemasangan small bottom setnet dengan leadernet berwarna hijau seperti terlihat pada Gambar 10.
56
A D B
C
Keterangan: A = pelampung kecil B = simpul jaring leadernet warna hijau C = benang jaring leadernet warna hijau D = tali ris leadernet
Gambar 10 Leadernet warna hijau yang digunakan dalam penelitian
Warna hijau mewakili warna mirip dengan lingkungan perairan dan warna kuning mewakili warna kontras dengan warna lingkungan perairan. Respons ikan terhadap leadernet berwarna hijau kemudian dicatat, difoto dan direkam secara langsung di dalam air. Selanjutnya perlakuan kedua yang dicobakan adalah pemasangan small bottom setnet dengan leadernet berwarna kuning yang dapat dilihat pada Gambar 11. Seperti halnya pada leadernet berwarna hijau, respon ikan terhadap leadernet berwarna kuning juga dilakukan pencatatan, pemotretan, dan perekaman secara langsung di dalam air.
57
A C D
B
Keterangan: A = pelampung kecil B = benang jaring leadernet warna kuning C = tali ris leadernet D = simpul jaring leadernet warna kuning
Gambar 11 Leadernet warna kuning yang digunakan dalam penelitian
Pengamatan tingkah laku ikan pada small bottom setnet dilakukan dengan melihat jenis ikan yang lolos menembus leadernet, tergiring mengikuti arah leadernet, dan kembali berbalik arah menjauhi leadernet. Uji coba ini dilakukan secara bergantian untuk leadernet berwarna hijau dan leadernet berwarna kuning setiap hari selama 14 hari masing-masing leadernet. Total lama pemasangan small bottom setnet di dasar perairan 28 hari. Data hasil pengamatan ditabulasikan dan dianalis secara deskriptif terhadap tingkah laku ikan terutama responsnya terhadap perbedaan warna leadernet.
58
4.3.2
Data sampel mata ikan karang Terdapat banyak metode yang dapat digunakan untuk menganalisis
penglihatan ikan yaitu metode histologi, metode tingkah laku ikan, dan metode elektro fisiologi (elektro retinogram/ERG). Metode histologi digunakan untuk menentukan ketajaman penglihatan mata ikan, arah pandang ikan (sumbu penglihatan), jarak pandang maksimum, kemampuan membedakan warna dan adaptasi terang-gelap (Purbayanto et al. 2010). Metode histologi merupakan metode yang umum digunakan dalam menganalisis ketajaman penglihatan ikan. Hal ini dikarenakan metode ini memiliki kemudahan, waktu analisis yang lebih singkat, hasilnya pasti, biaya yang lebih rendah, dan akurasi yang cukup tinggi (Purbayanto et al. 2010). Pengambilan sampel retina mengacu pada optic cleft mata ikan sehingga memudahkan dalam penentuan bagian dorsal, ventral, nasal dan caudal dari spesimen mata tersebut. Spesimen retina selanjutnya dipotong dalam 25 bagian untuk keperluan pembuatan preparat histologi dapat dilihat pada Gambar 12. Sampel mata ikan diambil dari ikan segar yang masih dalam keadaan hidup dan baru saja tertangkap oleh alat small bottom setnet. Ikan segar tersebut kemudian dipotong bagian kepala untuk diambil matanya (Gambar 13), dan disimpan ke dalam suatu wadah yang berisi larutan fiksatif (larutan Bouin's) sekurang-kurangnya selama 24 jam. Analisis retina mata ikan dilakukan di laboratorium dengan menggunakan prosedur histologi melalui pemotongan retina secara tangensial dengan ketebalan 4 pm sehingga dapat diamati di bawah mikroskop.
59
Gambar 12 Urutan pengambilan spesimen retina mata ikan
Contoh mata ikan segar yang siap diambil retinanya Gambar 13
Gambar 13 Contoh mata ikan yang masih segar
60
Fiksasi preparat mata ikan kerapu dan ikan sersan mayor yang dilakukan di laboratorium FPIK IPB dapat dilihat pada Gambar 14
A
B
C E D
Keterangan: A = sampelikan kerapu segar B = sampel ikan sersan mayor segar C = sampel preparat mata ikan D = meja pengamatan E = rak penyimpanan sampel
Gambar 14 Fiksasi preparat mata ikan kerapu dan ikan sersan mayor di laboratorium FPIK IPB
Prosedur fiksasi mata ikan sersan mayor dan mata ikan kerapu dapat dilihat pada Gambar 15.
61
MULAI Ikan sampel
FIXATION
Sampel mata ikan Larutan Bouins (24 jam)
DEHIDRATION
Alkohol 70% (2 jam)
Alkohol 95% (2 jam)
Alkohol 80% (2 jam)
Alkohol absolut I (12 jam)
Alkohol 90% (2 jam)
Alkohol absolut II (1 jam)
Xylol-Alkohol (30 menit)
CLEARING
Xylol I (30 menit)
Xylol II (30 menit)
Xylol III (30 menit)
Parafin I 70º (45 menit)
INFILTRATION
Parafin II 70º (45 menit) Parafin III 70º (45 menit Isi cetakan dengan parafin setengah penuh
EMBEDDING
Masukkan jaringan dan ditata Tunggu hingga parafin agak mengeras, lalu isi cetakan sampai penuh Letakkan blok parafin di mikrotom
SECTIONING Sayat blok parafin dengan ketebalan 5µm hingga berbentuk pita
A
Letakkan sayatan tersebut pada object glass
Gambar 15 Prosedur fiksasi untuk analisa histologi sampai pengamatan mata ikan
62
Xylol I (3 menit)
A
Cuci dengan air mengalir (3 menit)
Xylol II (3 menit) Eosin (3 menit ) Alkohol absolut I (3 menit) Alkohol 50 % (2 menit) Alkohol absolut II ( 3 menit) Alkohol 70 % (2 menit) Alkohol 95 % (3 menit)
STAINING
Alkohol 80 % (2 menit) Alkohol 90 % (3 menit) Alkohol 90 % (2 menit) Alkohol 80 % (3 menit) Alkohol 95 % (2 menit) Alkohol 70 % (3 menit) Alkohol absolut I (2 menit) ) Alkohol 50 % (3 menit) Alkohol absolut II (2 menit ) Cuci dengan aquades ( 1 menit ) Xylol I (2 menit) Hematoxylene (5 menit) Xylol II (2 menit)
Rekatkan cover glass pada object glass dengan perekat Antellan
AFIXATION Jaringan siap diamati
Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 400x
PENGAMATAN Jaringan sel kon yang baik kemudian difoto
SELESAI
63
4.3.3
Data kerusakan terumbu karang
Pengambilan data kerusakan terumbu karang akibat pengoperasian small bottom setnet di kawasan konservasi laut dilakukan dengan metode point intercept transect. Jarak antara point transect adalah 5 meter yang terletak di sekitar lokasi pemasangan small bottom setnet. Jumlah point transect adalah 20 titik mengikuti ukuran small bottom setnet. Pengambilan data dilakukan secara langsung di dalam air dengan menggunakan peralatan scuba diving. Daerah pengamatan kerusakan terumbu karang lebih difokuskan pada lokasi pemasangan small bottom setnet pada
radius 10 meter. Pengambilan data kerusakan terumbu karang dengan
metode point intercept transect dan posisi pengambilan data di sekitar pemasangan small bottom setnet dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.
B
A
∞
∞
C D
Keterangan: A = alat tulis bawah air B = pengambil data kerusakan karang C = point intercept transect D = karang
Gambar 16 Metode pengambilan data kerusakan terumbu karang di lokasi pemasangan small bottom setnet.
64
4
10
7
3
9
2
8 11
12
16
17
1
6
5
13
18
14
19
15
20
Keterangan: = Konstruksi small bottom setnet = Garis point intercept transect 1
-
20
Gambar 17
= Titik pengambilan sampel kerusakan karang
Sebaran posisi pengambilan data kerusakan terumbu karang di lokasi pemasangan small bottom setnet.
65
4.4
Analisis Data Analisis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah : (1) Analisis
deskriptif (komposisi) terkait jenis warna leadernet yang tepat dalam menggiring ikan karang, (2) Analisis visual axis terkait dengan sumbu penglihatan mata ikan karang (3) Analisis maximum sighting distance terkait dengan jarak pandang maksimum pada leadernet, dan (4) Analisis chi-square terkait dengan dampak operasi small bottom setnet terhadap karang di Kawasan Konservasi Laut.
4.4.1
Analisis komposisi Analisis komposisi (deskriptif) ini digunakan untuk menjelaskan hasil
ujicoba operasi small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut. Analisis ini diharapkan dapat menentukan jenis warna leadernet yang tepat dalam menggiring ikan karang. Untuk mendukung hal tersebut, maka dalam analisis data hasil uji coba akan dideskripsikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar hasil/dampak uji coba. Sedangkan untuk mengetahui jenis warna leadernet yang paling tepat dihubungkan dengan tingkah laku ikan, maka data tingkah laku ikan akan dirinci lebih detail yang terdiri dari jumlah dan perbandingan ikan yang lolos menembus leadernet, jumlah dan perbandingan ikan yang tergiring mengikuti arah leadernet, serta jumlah dan perbandingan ikan yang kembali berbalik arah menjauhi leadernet (komposisi jumlah ekor ikan terhadap leadernet hijau dan kuning). Di samping itu, juga akan dilakukan analisis sebaran jarak ikan terhadap leadernet hijau dan kuning, proporsi lama waktu ikan terhadap leadernet hijau dan kuning dan proporsi lama waktu ikan berada dalam playground terhadap leadernet hijau dan kuning. Penentuan komposisi jumlah ekor ikan terhadap leadernet hijau dan kuning, sebaran jarak ikan terhadap leadernet hijau dan kuning, proporsi lama waktu ikan terhadap leadernet hijau dan kuning, serta proporsi lama waktu ikan berada dalam playground terhadap leadernet hijau dan kuning. Menggunakan perhitungan sebagai berikut :
66
Proporsi (P)
=
ni N
Dimana : P
= Proporsi setiap spesies ikan
ni
= Jumlah jenis ke-i
N = Jumlah total seluruh spesies
4.4.2
Analisis visual axis Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasi untuk mengetahui kebiasaan
ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter, 1980 diacu oleh Geonita, 2004). Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan cone cells tiap bagian dari retina mata diketahui yaitu dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan cone cells tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Cone cells diamati bentuk dan tipenya berkaitan dengan pola mosaik. Kepadatan cone cells per luasan 0,01 mm2 akan menentukan sumbu penglihatan, artinya daerah terpadat (bagian caudal, temporal, dorsal dan ventral) merupakan titik point dalam penarikan arah sumbu penglihatan melalui titik pusat lensa mata. Sebelum
menentukan
sumbu
penglihatan
dicari
densitas
atau
kepadatan cone cells. Preparat cone cells difoto dengan fototomicrograf dengan perbesaran 400 kali. Klise foto dicetak kemudian dihitung berapa kepadatan cone cells dalam per luasan 0,01 mm 2 . Cara perhitungan dilakukan dengan menempel hasil foto preparat (bagian caudal, temporal, dorsal dan ventral) pada plastik transparan yang ukurannya seluas foto ukuran 2R kemudian ditandai dengan menggunakan spidol sehingga perhitungan lebih cermat dan akurat. Penandaan dilakukan untuk cone cells, baik tunggal maupun ganda. Sumbu penglihatan diperoleh dari penarikan garis densitas
67
terpadat dari cone cells mata ikan. Densitas terpadat merupakan titik point ditariknya garis lurus menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Penarikan sumbu penglihatan dari bagian retina terlihat pada Gambar 18.
Dorsal (D)
Caudal (C)
Nasal (N)
Ventral (V)
Gambar 18 Penarikan sumbu penglihatan pada retina mata ikan
4.4.3
Analisis maximum sighting distance Jarak pandang maksimum atau maximum sighting distance adalah
kemampuan ikan untuk melihat objek pada jarak terjauh berdasarkan nilai ketajaman penglihatan yang dimilikinya (Zhang dan Arimoto, 1993). Skema perhitungan jarak pandang maksimum dapat dilihat pada Gambar 19. Untuk mengetahui kemampuan jarak pandang maksimum ikan, terlebih dahulu perlu diketahui nilai sudut pembeda terkecil minimum separable angle dalam satuan menit. Dalam perhitungan diasumsikan bahwa keadaan perairan adalah jernih (clear water) dan tingkat pencahayaan dalam keadaan terang (ideal light condition). Menurut Zhang et al. (1993) bahwa kemampuan jarak pandang maksimum ikan akan berbeda seiring dengan perbedaan ukuran panjang tubuhnya. Perhitungan jarak pandang maksimum ikan terhadap objek pada jaring dilakukan dengan asumsi sebagai berikut : (1) Kondisi perairan cerah (clear water condition);
68
(2) Sudut pembeda terkecil ( α ) yang digunakan adalah dalam satuan menit; (3) Objek penglihatan dalam bentuk noktah dan dinyatakan dalam ukuran diameter objek (point aquity).
Mata ikan
α
d
D
F
Gambar 19 Skema perhitungan jarak pandang maksimum
dimana : D : jarak pandang maksimum (meter) ; d : diameter objek (mm) ;
α : Sudut pembeda terkecil (menit) ; dan F : jarak titik fokus
Adapun jarak pandang maksimum (maximum sighting distance, D) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
tan (0,5) α
=
D =
(0,5) d D (0,5)d tan(0,5)α
69
dimana
:
D : diameter objek pandang (mm); dan α : sudut pembeda terkecil (menit) 4.4.4
Analisis chi-square Analisis ini digunakan untuk menganalisis dampak operasi small bottom
setnet terhadap kerusakan karang.
chi-square (χ2) digunakan untuk menguji
signifikansi atau ada tidaknya hubungan/dampak antar variabel. Uji ini membandingkan antara data yang diperoleh setelah pemasangan small bottom setnet (observasi) dengan data yang diperoleh sebelum pemasangan small bottom setnet (harapan). Apakah frekuensi hasil observasi menyimpang dari frekuensi harapan. Jika nilai chi-square (χ2) kecil, berarti kedua frekuensi tersebut sangat dekat, mengarah pada penerimaan hipotesa nol (H 0 ). Untuk mempertajam analisis, maka dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kerusakan karang di kawasan konservasi laut yang dilakukan dalam penelitian ini akan dianalisis dari beberapa parameter. Parameter pengukuran yang digunakan untuk maksud tersebut mencakup : (1) Karang hidup (karang tidak mengalami kematian). (2) Keutuhan karang (karang tidak mengalami patahan). (3) Kehadiran ikan karang (jumlah spesies tidak mengalami penurunan). (4) Penyinaran matahari (penetrasi cahaya). (5) Sirkulasi air laut (pola arus). (6) Kejernihan perairan (berbanding terbalik dengan sedimentasi) Adapun rumus pengujian chi-square (χ2) adalah :
χ 2 = ∑∑
(O − E )2 E
Dimana : χ2 = chi-square hasil hitungan (χ2 Hitung) O = data yang diperoleh setelah pemasangan alat (observed) E = data yang diperoleh sebelum pemasangan alat (expected)
70
Dalam rangka mengetahui ada tidaknya dampak operasi small bottom setnet terhadap kerusakan karang, maka chi-square hasil hitungan (χ2 Hitung) harus dibandingkan Chi-Square Tabel (χ2 Tabel). Adapun formula pendukung untuk maksud tersebut adalah :
(1) Formulasi hipotesis H 0 = tidak ada dampak nyata operasi terhadap parameter H 1 = ada dampak nyata operasi terhadap parameter (2) Taraf nyata (α) dan nilai χ2 (α)(db) -
nilai taraf nyata biasanya dipilih 0.05 atau 0.01
-
χ2 (α)(db) = chi-square pada taraf nyata (α) dan db = (b-1)(k-1)
(3) Kriteria pengujian H 0 diterima (H 1 ditolak) apabila χ2 Hitung ≤ χ2 Tabel H 0 ditolak (H 1 diterima) apabila χ2 Hitung > χ2 Tabel (4) Membuat kesimpulan dalam penerimaan dan penolakan H 0
71
5 HASIL PENELITIAN
5.1 Respons Ikan pada Small Bottom Setnet Hijau dan Kuning 5.1.1
Komposisi jumlah ekor ikan pada leadernet Hasil experimental fishing selama masa penelitian small bottom setnet
untuk dua perlakuan yang berbeda yakni penggunaan leadernet berwarna hijau dan penggunaan leadernet berwarna kuning secara umum teramati tingkah laku ikan mengalami perbedaan, baik dilihat dari jenis spesies yang lolos melewati leadernet, tergiring oleh leadernet, maupun yang berbalik arah menjauhi leadernet. Jenis ikan yang teramati dan tergiring ke playground pada ujicoba menggunakan leadernet berwarna kuning berjumlah 25 (dua puluh lima) spesies yang terdiri dari Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Gnathanodon Myripristis
speciosus, murdjan,
Halichoeres
Parupeneus
hortulanus,
macronema,
Lutjanus
carponotatus,
Pomacanthus
imperator,
Pterocaesio chrysozona, Pterois volitans, Sargocentron spiniferum, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Selar crumenophthalmus, Siganus margaritiferus dan Zanclus cornutu (Tabel 5).
72
Tabel 5 Komposisi jumlah ekor ikan terhadap leadernet hijau dan kuning Jenis
Komposisi
Leadernet
(jumlah
Jenis Ikan
Jumlah
Proporsi (%)
ekor) Leadernet
Lolos
hijau
Tergiring
Berbalik menjauh
Apogon sealei, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Halichoeres hortulanus, Pterocaesio chrysozona, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, dan Selar crumenophthalmus. Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Gnathanodon speciosus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus carponotatus, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Pterois volitans, Sargocentron spiniferum, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Selar crumenophthalmus, Siganus margaritiferus dan Zanclus cornutus. Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaetodon baronessa, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Gnathanodon speciosus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus carponotatus, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Sargocentron spiniferum, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Selar crumenophthalmus, Siganus margaritiferus dan Zanclus cornutus.
178
29,62
274
45,59
149
24,79
Total
601
100
73
Leadernet
Lolos
kuning
Tergiring
Berbalik menjauh
Apogon sealei, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Halichoeres hortulanus, Pterocaesio chrysozona, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Selar crumenophthalmus. Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Gnathanodon speciosus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus carponotatus, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Pterois volitans, Sargocentron spiniferum, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Selar crumenophthalmus, Siganus margaritiferus dan Zanclus cornutus. Tidak ditemukan spesies yang berbalik arah menjauhi leadernet. Total
67
15,88
355
84,12
0
0
422
100
Jenis ikan yang lolos menembus leadernet berwarna hijau berjumlah 14 (empat belas) spesies yaitu Apogon sealei, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaerodo anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Halichoeres hortulanus, Pterocaesio chrysozona, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, dan Selar crumenophthalmus. Data yang berbeda diperlihatkan oleh leadernet berwarna kuning dengan jumlah ikan yang lolos sebanyak 13 (tiga belas) spesies yaitu Apogon sealei, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Halichoeres hortulanus, Pterocaesio chrysozona, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, dan Selar crumenophthalmus. Perbandingan respon ikan terhadap penggunaan warna leadernet hijau dan leadernet kuning dapat dilihat pada Gambar 20.
74
Gambar 20 Proporsi ikan karang pada leadernet hijau dan kuning Berdasarkan Gambar 20 tersebut, bila dilihat dari jumlah rata-rata (ekor) yang lolos antara penggunaan leadernet hijau dan leadernet kuning mengalami perbedaan yang sangat mencolok masing-masing 178 ekor (29,62%) dan 67 ekor (15,88%). Jumlah rata-rata (ekor) yang tergiring pada leadernet hijau dan leadernet kuning masing-masing 274 ekor (49,59%) dan 355 ekor (84,12%).
5.1.2 Pola tingkah laku ikan pada leadernet Pada pengoperasian small bottom setnet dengan menggunakan leadernet berwarna hijau ditemukan sebanyak 19 (sembilan belas) jenis ikan karang yang setelah mendekati leadernet kemudian berbalik arah menjauhi leadernet yaitu Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaetodon baronessa, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Gnathanodon speciosus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus
carponotatus,
Myripristis
murdjan,
Parupeneus
macronema,
Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Sargocentron spiniferum, Scarus
ghobban,
Scolopsis
bilineatus,
Scolopsis
bimaculatus,
Selar
crumenophthalmus, Siganus margaritiferus dan Zanclus cornutus. Pada pengoperasian small bottom setnet dengan menggunakan leadernet berwarna kuning tidak ditemukan adanya ikan yang berbalik arah menjauhi leadernet. Pola tingkah laku ikan pada perlakuan leadernet berwarna hijau dapat dilihat pada Gambar 21, dan untuk pola tingkah laku ikan pada perlakuan leadernet berwarna
75
kuning dapat dilihat pada Gambar 22. Untuk proses tertangkapnya ikan karang
Tot al 274
pada small bottom setnet dapat dilihat pada Gambar 23.
Tot al 601
24,79 %
Tot al 136
.
.
.
45,59%
Arah dangkal
29,62 % Tot al 178
Gambar 21 Pola tingkah laku ikan pada small bottom setnet dengan leadernet berwarna hijau
Tot al 191
Gambar 22 Pola tingkah laku ikan pada small bottom setnet dengan leadernet berwarna kuning
Total 422
84,12 %
Tot al 355
Arah dangkal
15,88 %
76
Ikan bermigrasi
Tergiring leadernet
Tidak
Menembus leadernet
Berbalik arah menjauhi leadernet
Ya Tergiring
Wings
Tidak
Keluar
Ya
Playground
Tidak
Keluar
Ya Mesh size Bagnet
Tidak
Keluar Escaped
Ya Tertangkap Gambar 23 Proses tertangkapnya ikan karang dengan small bottom setnet Secara umum ikan yang menerobos leadernet hijau maupun leadernet kuning karena memiliki ukuran badan yang lebih kecil dari mesh size jaring. Namun bila dicermati lebih jauh, pada leadernet berwarna kuning terlihat bahwa
77
ikan yang meloloskan diri (menerobos leadernet) baik jumlah maupun ukurannya lebih sedikit dibanding dengan pada leadernet berwarna hijau. Hal ini diduga karena jaring berwarna kuning terlihat lebih kontras oleh ikan. Sebaliknya fenomena yang terjadi pada leadernet berwarna hijau dimana sebagian besar ikan yang datang banyak menghabiskan waktunya di sekitar leadernet bermain-main dan kemudian setelah itu baru berusaha menerobos leadernet dan sisanya yang tidak lolos sebagian akan tergiring ke playground dan sebagian lagi akan berbalik arah
menjauhi leadernet. Hal ini diduga karena
leadernet warna hijau tidak terlihat oleh ikan secara jelas akibat warnanya yang mirip dengan warna air laut. Fenomena ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Baskoro dan Effendie (2005), bahwa faktor rangsangan menyangkut daya penglihatan lebih dominan dalam menentukan reaksi atau sebagai faktor penting bagi beberapa jenis ikan untuk merespon terhadap alat tangkap. Rangsangan yang menyangkut daya penglihatan merupakan faktor yang menentukan reaksi atau tingkah laku ikan dalam merespons adanya alat tangkap. Tingkah laku ikan setalah masuk ke small bottom setnet (bagian playground menuju bagian bagnet ditunjukkan pada Gambar 24.
Gambar 24 Tingkah laku ikan dari playground ke bagnet
78
Persentase jumlah ikan yang masuk ke kantong dari total yang tergiring, pada kedua leadernet hampir sama. Dari rata-rata 274 ekor ikan yang tergiring pada operasi small bottom setnet dengan leadernet berwarna hijau sekitar 49,64 % (136 ekor) masuk/tergiring sampai ke kantong. Pada operasi small bottom setnet dengan leadernet berwarna kuning, dari rata-rata 355 ekor yang tergiring sekitar 53,80 % (191 ekor) masuk/tergiring sampai ke kantong. Bila melihat jumlah hasil tangkapan, maka operasi small bottom setnet dengan leadernet berwarna kuning cenderung lebih efektif. Seperti disebutkan sebelumnya, hal ini diduga karena warna leadernet yang lebih kontras, sehingga ikan tidak berani menerobos, tetapi tergiring ke body small bottom setnet hingga akhirnya terkurung di dalam kantong. 5.1.3
Sebaran jarak ikan di sekitar leadernet
Pengamatan jarak ikan di sekitar leadernet hijau dan kuning dilakukan setiap hari. Jarak di setiap spesies ikan di leadernet hijau dan kuning berbeda-beda menurut jenis ikan (Tabel 6). Jumlah ikan yang hadir dalam leadernet hijau sebanyak 25 spesies dari jumlah tersebut ada 14 spesies (56%) berada dengan jarak 0-0,5 meter pada leadernet hijau. Untuk leadernet kuning jumlah ikan yang hadir sebanyak 25 spesies dari total jumlah tersebut tidak dijumpai spesies yang berada dengan jarak 0-0,5 meter pada leadernet kuning. Proporsi sebaran jarak ikan terhadap leadernet hijau dan kuning dapat dilihat pada Gambar 25.
79
Tabel 6 Sebaran jarak ikan terhadap leadernet hijau dan kuning Jenis
Jarak
Leadernet
(meter)
Leadernet
0-0,5
hijau
0,5-1
>1
Jenis Ikan
Proporsi (%)
Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Pterois volitans, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Siganus margaritiferus Zanclus cornutus. Sargocentron spiniferum, Halichoeres hortulanus, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Terapon jarbua. Ephinephelus fuscogutattus, Gnathanodon speciosus, Lutjanus carponotatus, Selar crumenophthalmus.
Total Leadernet
Jumlah
14
56
6
24
5
20
25
100
0-0,5
-
0
0
0,5-1
Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Parupeneus macronema, Pterois volitans, Zanclus cornutus, Siganus margaritiferus. Terapon jarbua, Cheilinus fasciatus, Ephinephelus fuscogutattus, Gnathanodon speciosus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus carponotatus, Myripristis murdjan, Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Sargocentron spiniferum, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Selar crumenophthalmus.
11
44
14
56
Total
25
100
kuning
>1
80
Gambar 25 Proporsi sebaran jarak ikan terhadap leadernet hijau dan kuning
5.1.4 Lama waktu ikan di leadernet Hasil pengamatan lama waktu ikan di leadernet menunjukkan bahwa lama waktu setiap jenis ikan yang hadir disekitar leadernet hijau dan leadernet kuning berbeda menurut jenis ikan. Pengelompokkan spesies ikan berdasarkan lama waktu hadir disekitar leadernet dibagi dalam tiga kategori yaitu : 0-5 menit, 5-10 menit, dan >10 menit. Jenis spesies ikan yang hadir di leadernet hijau sebanyak 25 spesies ternyata 15 spesies (60%) dengan lama waktu >10 menit, kemudian 6 spesies (24%) dengan lama waktu antara 5-10 menit dan 4 spesies (16%) dengan lama waktu 0-5 menit. Pada leadernet kuning ikan yang hadir sebanyak 25 spesies ternyata 18 spesies (72%) berada disekitar leadernet dengan lama waktu 0-5 menit, kemudian 4 spesies (16%) dengan lama waktu 5-10 menit dan 3 spesies (12%) dengan lama waktu >10 menit. Nama jenis ikan dan lama waktu secara lengkap terlihat pada Tabel 7. Proporsi lama waktu ikan berada pada leadernet hijau dan kuning dapat dilihat pada Gambar 26.
81
Tabel 7 Proporsi lama waktu ikan berada pada leadernet hijau dan kuning Jenis Leadernet Leadernet hijau
Lama Waktu (menit) 0-5
5-10
>10
Jenis Ikan
Jumlah
Proporsi (%)
Terapon jarbua, Gnathanodon speciosus, Pterocaesio chrysozona, Selar crumenophthalmus. Cheilinus fasciatus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus carponotatus, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Sargocentron spiniferum. Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Pomacanthus imperator, Pterois volitans, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Siganus margaritiferus, Zanclus cornutus.
4
16
6
24
15
60
25
100
Terapon jarbua, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Ephinephelus fuscogutattus, Gnathanodon speciosus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus carponotatus, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Sargocentron spiniferum, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Selar crumenophthalmus, Siganus margaritiferus. Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Chaetodon baronessa, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus. Apogon sealei, Pterois volitans, Zanclus cornutus.
18
72
4
16
3
12
Total
25
100
Total
Leadernet kuning
0-5
5-10
>10
82
Gambar 26 Proporsi lama waktu ikan berada pada leadernet hijau dan kuning
5.1.5
Lama waktu ikan di playground
Pengamatan lama waktu ikan di playground dengan menggunakan leadernet hijau dan kuning dilakukan setiap hari. Pada pengamatan lama waktu ikan di playground ternyata jumlah ikan yang hadir di dalam playground dengan leadernet hijau sebanyak 25 spesies ternyata 12 spesies (48%) berada di dalam playground dengan lama waktu >30 menit, kemudian 7 spesies (28%) dengan lama waktu 10-30 menit dan 6 spesies (24%) dengan lama waktu 0-10 menit. Pada leadernet kuning jumlah ikan yang hadir di dalam playground sebanyak 25 spesies ternyata 22 spesies (88%) berada di dalam playground dengan lama waktu >30 menit, kemudian 3 spesies (12%) dengan lama waktu 10-30 menit dan tidak ditemukan spesies ikan yang lama waktu di playground <10 menit. Secara lengkap terlihat pada Tabel 8. Proporsi lama waktu ikan berada di dalam playground dengan leadernet hijau dan kuning dapat dilihat pada Gambar 27.
83
Tabel 8 Proporsi lama waktu ikan berada di dalam playground dengan leadernet hijau dan kuning Jenis Leadernet
Lama Waktu (menit)
Jenis Ikan
Jumlah
Proporsi (%)
Leadernet hijau
0-10
Gnathanodon speciosus, Halichoeres hortulanus, Lutjanus carponotatus, Pterocaesio chrysozona, Sargocentron spiniferum, Selar crumenophthalmus.
6
24
10-30
Terapon jarbua, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Siganus margaritiferus.
7
28
>30
Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Pomacanthus imperator, Pterois volitans, Zanclus cornutus.
12
48
Total
25
100
0-10
-
0
0
10-30
Gnathanodon speciosus, Lutjanus carponotatus, Selar crumenophthalmus. Apogon sealei, Arothron mappa, Abudefduf vaigiensis, Terapon jarbua, Chaetodon baronessa, Chaerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Chilomycterus spilostylus, Diodon holocanthus, Ephinephelus fuscogutattus, Halichoeres hortulanus, Myripristis murdjan, Parupeneus macronema, Pomacanthus imperator, Pterocaesio chrysozona, Pterois volitans, Sargocentron spiniferum, Scarus ghobban, Scolopsis bilineatus, Scolopsis bimaculatus, Siganus margaritiferus, Zanclus cornutus.
3
12
22
88
25
100
Leadernet kuning
>30
Total
84
Gambar 27 Proporsi lama waktu ikan berada di dalam playground dengan leadernet hijau dan kuning
Pengamatan terhadap lama waktu ikan selama bergerak dari leadernet ke playground berbeda untuk setiap warna leadernet yang berbeda. Pada penggunaan leadernet hijau, umumnya ikan menghabiskan waktu selama 10 menit 30 detik untuk mencapai playground. Lama waktu ikan bermain di daerah playground adalah 20 menit 20 detik. Pada penggunaan leadernet kuning, umumnya ikan menghabiskan waktu selama 4 menit 30 detik untuk mencapai playground. Lama waktu ikan bermain di daerah playground adalah 46 menit. Secara lengkap terlihat pada Gambar 28 dan Gambar 29.
85
Playground 20’45” Leadernet hijau
30’50”
10’30”
5’20”
1’35”
Bagnet 0’00”
Gambar 28 Rata-rata lama waktu yang dibutuhkan oleh ikan untuk berpindah dari leadernet hijau ke Playground
Pada Gambar 28 memperlihatkan pergerakan kelompok ikan sersan mayor yang mendekati leadernet hijau dan kemudian tergiring ke playground. Umumnya kelompok ikan memperlihatkan gerakan yang lebih lambat bila menghadapi leadernet berwarna hijau. Berbeda halnya, pada Gambar 29 memperlihatkan pergerakan kelompok ikan sersan mayor yang tergiring lebih cepat oleh leadernet kuning menuju playground.
86
Playground 10’10” Leadernet kuning
50’30”
4’30”
2’45”
1’30”
Bagnet 0’00”
Gambar 29. Rata-rata lama waktu yang dibutuhkan oleh ikan untuk berpindah dari leadernet kuning ke Playground
5.2
Pengamatan Contoh Mata Ikan Karang yang Tertangkap
5.2.1
Tipe reseptor mata ikan karang Hasil pengamatan preparat histologi jaringan retina mata ikan sersan
mayor ditemukan bahwa terdapat single cone cells dan twin cone cells sebagai fotoreseptor. Hal ini secara jelas dapat terlihat pada Gambar 30. Terdapatnya single cone cells dan twin cone cells pada retina mata ikan sersan mayor menunjukan bahwa ikan ini dapat membedakan warna. Hal ini senada dengan pendapat Fujaya (2004), menyatakan bahwa cone cells merupakan fotoreseptor untuk color vision. Cone cells bertanggung jawab pada penglihatan cahaya terang (penglihatan fotopik).
87
A
B
A
B
Keterangan: A = single cone cells B = twin cone cells
Gambar 30 Fotomicrograf single cone cells dan twin cone cells ikan sersan mayor (menggunakan microskop foto olympus 400 x) Lebih lanjut Herring at al. (1990) menjelaskan bahwa penglihatan untuk membedakan warna memerlukan adanya fotoreseptor yang berbeda jenis dan lebih dari satu tipe cone cells. Ikan yang dapat melihat warna umumnya memiliki dua tipe cone cells atau tiga tipe fotoreseptor pada retina matanya.
88
Demikian pula hasil Hasil pengamatan preparat histologi jaringan retina mata ikan kerapu ditemukan bahwa terdapat single cone cells dan twin cone cells sebagai fotoreseptor. Hal ini secara jelas dapat terlihat pada Gambar 31.
B
A
B A
Keterangan: A = single cone cells B = twin cone cells
Gambar 31 Fotomicrograf single cone cells dan twin cone cells ikan kerapu (menggunakan microskop foto olympus 400 x) Terdapatnya single cone cells dan twin cone cells pada retina mata ikan sersan mayor menunjukan bahwa ikan ini dapat membedakan warna. Hal ini senada dengan pendapat Fujaya (2004), menyatakan bahwa cone cells merupakan
89
fotoreseptor untuk color vision. Cone cells bertanggung jawab pada penglihatan cahaya terang (penglihatan fotopik). Lebih lanjut Herring at al. (1990) menjelaskan bahwa penglihatan untuk membedakan warna memerlukan adanya fotoreseptor yang berbeda jenis dan lebih dari satu tipe cone cells. Ikan yang dapat melihat warna umumnya memiliki dua tipe cone cells atau tiga tipe fotoreseptor pada retina matanya. Perbedaan yang nampak antara kedua mata ikan sersan mayor dan ikan kerapu adalah diameter lensa mata ikan. Ukuran diameter lensa pada ikan sersan mayor adalah 3 mm. Pada ikan kerapu,ukuran diameter lensa adalah 4,6 mm. Selain itu, perbedaan
antara kedua mata ikan tersebut terlihat pada jumlah
kepadatan cone cells (densitas cone cells) dan jarak pandang maksimum (MSD). Jumlah kepadatan cone cells dan jarak pandang maksimum mata ikan sersan mayor dapat dilihat Tabel 9 dan Tabel 10. Pada ikan kerapu jumlah kepadatan cone cells dan jarak pandang maksimum mata ikan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12.
90
Tabel 9 Jarak pandang maksimum ikan sersan mayor terhadap objek berdiameter 3 mm (benang jaring leadernet)
No Sampel
Diameter lensa (mm)
Diameter objek (m)
Kepadatan sel kon tertinggi (mm)
Jarak focus (mm)
Sudut pembeda terkecil (menit)
Sudut pembeda terkecil (rad)
VA (Visual Acuity)
(Jarak pandang maksimum)
1
3
0.003
43
3.75
34.97
0.0102
0.0286
0.30
m
2
3
0.003
53
3.75
31.50
0.0092
0.0317
0.33
m
3
3
0.003
47
3.75
33.45
0.0097
0.0299
0.31
m
4
3
0.003
58
3.75
30.11
0.0088
0.0332
0.34
m
5
3
0.003
50
3.75
32.43
0.0094
0.0308
0.32
m
6
3
0.003
Rusak
3.75
0.00
0.0000
0.0000
0.00
m
7
3
0.003
Rusak
3.75
0.00
0.0000
0.0000
0.00
m
8
3
0.003
71
3.75
27.21
0.0079
0.0367
0.38
m
9
3
0.003
75
3.75
26.48
0.0077
0.0378
0.39
m
10
3
0.003
60
3.75
29.60
0.0086
0.0338
0.35
m
11
3
0.003
63
3.75
28.89
0.0084
0.0346
0.36
m
12
3
0.003
58
3.75
30.11
0.0088
0.0332
0.34
m
13
3
0.003
88
3.75
24.44
0.0071
0.0409
0.42
m
14
3
0.003
54
3.75
31.20
0.0091
0.0320
0.33
m
15
3
0.003
69
3.75
27.60
0.0080
0.0362
0.37
m
16
3
0.003
48
3.75
33.10
0.0096
0.0302
0.31
m
17
3
0.003
59
3.75
29.85
0.0087
0.0335
0.35
m
18
3
0.003
53
3.75
31.50
0.0092
0.0317
0.33
m
19
3
0.003
48
3.75
33.10
0.0096
0.0302
0.31
m
20
3
0.003
70
3.75
27.41
0.0080
0.0365
0.38
m
21
3
0.003
80
3.75
25.64
0.0075
0.0390
0.40
m
22
3
0.003
90
3.75
24.17
0.0070
0.0414
0.43
m
23
3
0.003
87
3.75
24.58
0.0071
0.0407
0.42
m
24
3
0.003
71
3.75
27.21
0.0079
0.0367
0.38
m
25
3
0.003
68
3.75
27.81
0.0081
0.0360
0.37
m
91
Tabel 10 Jarak pandang maksimum ikan kerapu terhadap objek berdiameter 3 mm (benang jaring leadernet)
No Sampel
Diameter lensa (mm)
Diameter objek (m)
Kepadatan sel kon tertinggi (mm)
Jarak focus (mm)
Sudut pembeda terkecil (menit)
Sudut pembeda terkecil (rad)
VA (Visual Acuity)
(Jarak pandang maksimum)
1
4.6
0.003
64
5.75
18.69
0.0054
0.0535
0.55
m
2
4.6
0.003
40
5.75
23.64
0.0069
0.0423
0.44
m
3
4.6
0.003
53
5.75
20.54
0.0060
0.0487
0.50
m
4
4.6
0.003
Rusak
5.75
0.00
0.0000
0.0000
0.00
m
5
4.6
0.003
Rusak
5.75
0.00
0.0000
0.0000
0.00
m
6
4.6
0.003
46
5.75
22.05
0.0064
0.0454
0.47
m
7
4.6
0.003
58
5.75
19.64
0.0057
0.0509
0.53
m
8
4.6
0.003
48
5.75
21.58
0.0063
0.0463
0.48
m
9
4.6
0.003
62
5.75
18.99
0.0055
0.0527
0.54
m
10
4.6
0.003
60
5.75
19.31
0.0056
0.0518
0.53
m
11
4.6
0.003
77
5.75
17.04
0.0050
0.0587
0.61
m
12
4.6
0.003
70
5.75
17.87
0.0052
0.0559
0.58
M
13
4.6
0.003
87
5.75
16.03
0.0047
0.0624
0.64
M
14
4.6
0.003
58
5.75
19.64
0.0057
0.0509
0.53
M
15
4.6
0.003
62
5.75
18.99
0.0055
0.0527
0.54
M
16
4.6
0.003
74
5.75
17.38
0.0051
0.0575
0.59
M
17
4.6
0.003
68
5.75
18.13
0.0053
0.0551
0.57
M
18
4.6
0.003
52
5.75
20.74
0.0060
0.0482
0.50
M
19
4.6
0.003
72
5.75
17.62
0.0051
0.0567
0.59
M
20
4.6
0.003
96
5.75
15.26
0.0044
0.0655
0.68
M
21
4.6
0.003
98
5.75
15.11
0.0044
0.0662
0.68
M
22
4.6
0.003
87
5.75
16.03
0.0047
0.0624
0.64
M
23
4.6
0.003
74
5.75
17.38
0.0051
0.0575
0.59
M
24
4.6
0.003
81
5.75
16.62
0.0048
0.0602
0.62
M
25
4.6
0.003
75
5.75
17.27
0.0050
0.0579
0.60
M
92
Tabel 11 Jarak pandang maksimum ikan sersan mayor terhadap objek berdiameter 4 mm (simpul jaring leadernet) Kepadatan sel kon tertinggi (mm)
Jarak focus (mm)
Sudut pembeda terkecil (menit)
Sudut pembeda terkecil (rad)
VA (Visual Acuity)
(Jarak pandang maksimum)
0,004
43
3,75
34,97
0,0102
0,0286
0,39
m
3
0,004
53
3,75
31,50
0,0092
0,0317
0,44
m
3
3
0,004
47
3,75
33,45
0,0097
0,0299
0,41
m
4
3
0,004
58
3,75
30,11
0,0088
0,0332
0,46
m
5
3
0,004
50
3,75
32,43
0,0094
0,0308
0,42
m
6
3
0,004
rusak
3,75
0,00
0,0000
0,0000
0,00
m
7
3
0,004
rusak
3,75
0,00
0,0000
0,0000
0,00
m
8
3
0,004
71
3,75
27,21
0,0079
0,0367
0,51
m
9
3
0,004
75
3,75
26,48
0,0077
0,0378
0,52
m
10
3
0,004
60
3,75
29,60
0,0086
0,0338
0,46
m
11
3
0,004
63
3,75
28,89
0,0084
0,0346
0,48
m
12
3
0,004
58
3,75
30,11
0,0088
0,0332
0,46
m
13
3
0,004
88
3,75
24,44
0,0071
0,0409
0,56
m
14
3
0,004
54
3,75
31,20
0,0091
0,0320
0,44
m
15
3
0,004
69
3,75
27,60
0,0080
0,0362
0,50
m
16
3
0,004
48
3,75
33,10
0,0096
0,0302
0,42
m
17
3
0,004
59
3,75
29,85
0,0087
0,0335
0,46
m
18
3
0,004
53
3,75
31,50
0,0092
0,0317
0,44
m
19
3
0,004
48
3,75
33,10
0,0096
0,0302
0,42
m
20
3
0,004
70
3,75
27,41
0,0080
0,0365
0,50
m
21
3
0,004
80
3,75
25,64
0,0075
0,0390
0,54
m
22
3
0,004
90
3,75
24,17
0,0070
0,0414
0,57
m
23
3
0,004
87
3,75
24,58
0,0071
0,0407
0,56
m
24
3
0,004
71
3,75
27,21
0,0079
0,0367
0,51
m
25
3
0,004
68
3,75
27,81
0,0081
0,0360
0,49
m
Diameter lensa (mm)
Diameter objek (m)
1
3
2
No Sampel
93
Tabel 12 Jarak pandang maksimum ikan kerapu terhadap objek berdiameter 4 mm (simpul jaring leadernet) Kepadatan sel kon tertinggi (mm)
Jarak focus (mm)
Sudut pembeda terkecil (menit)
Sudut pembeda terkecil (rad)
VA (Visual Acuity)
(Jarak pandang maksimum)
0,004
64
5,75
18,69
0,0054
0,0535
0,74
m
4,6
0,004
40
5,75
23,64
0,0069
0,0423
0,58
m
3
4,6
0,004
53
5,75
20,54
0,0060
0,0487
0,67
m
4
4,6
0,004
rusak
5,75
0,00
0,0000
0,0000
0,00
m
5
4,6
0,004
rusak
5,75
0,00
0,0000
0,0000
0,00
m
6
4,6
0,004
46
5,75
22,05
0,0064
0,0454
0,62
m
7
4,6
0,004
58
5,75
19,64
0,0057
0,0509
0,70
m
8
4,6
0,004
48
5,75
21,58
0,0063
0,0463
0,64
m
9
4,6
0,004
62
5,75
18,99
0,0055
0,0527
0,72
m
10
4,6
0,004
60
5,75
19,31
0,0056
0,0518
0,71
m
11
4,6
0,004
77
5,75
17,04
0,0050
0,0587
0,81
m
12
4,6
0,004
70
5,75
17,87
0,0052
0,0559
0,77
m
13
4,6
0,004
87
5,75
16,03
0,0047
0,0624
0,86
m
14
4,6
0,004
58
5,75
19,64
0,0057
0,0509
0,70
m
15
4,6
0,004
62
5,75
18,99
0,0055
0,0527
0,72
m
16
4,6
0,004
74
5,75
17,38
0,0051
0,0575
0,79
m
17
4,6
0,004
68
5,75
18,13
0,0053
0,0551
0,76
m
18
4,6
0,004
52
5,75
20,74
0,0060
0,0482
0,66
m
19
4,6
0,004
72
5,75
17,62
0,0051
0,0567
0,78
m
20
4,6
0,004
96
5,75
15,26
0,0044
0,0655
0,90
m
21
4,6
0,004
98
5,75
15,11
0,0044
0,0662
0,91
m
22
4,6
0,004
87
5,75
16,03
0,0047
0,0624
0,86
m
23
4,6
0,004
74
5,75
17,38
0,0051
0,0575
0,79
m
24
4,6
0,004
81
5,75
16,62
0,0048
0,0602
0,83
m
25
4,6
0,004
75
5,75
17,27
0,0050
0,0579
0,80
m
Diameter lensa (mm)
Diameter objek (m)
1
4,6
2
No Sampel
94
Tabel 9 danTabel 10 merupakan hasil perhitungan kepadatan atau densitas cone cells ikan sersan mayor. Kepadatan cone cells dari retina mata pada luasan per 0,01 mm2 ikan sersan mayor 33-90. Tabel 11 dan Tabel 12 memperlihatkan hasil perhitungan kepadatan atau densitas cone cells ikan kerapu. Kepadatan cone cells dari retina mata pada luasan per 0,01 mm2 ikan kerapu 40-98.
5.2.2
Sumbu penglihatan (visual axis) Sumbu
penglihatan
(visual
axis)
diidentifikasikan
untuk
mengetahui kebiasaan ikan untuk melihat obyek atau melihat makanan (Blaxter 1980). Menurut Tamura (1957), sumbu penglihatan ditentukan dengan mengetahui kepadatan cone cells tertinggi, yang biasanya terletak pada bagian dorso-caudal, caudal dan ventro-caudal. Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa pada ikan sersan mayor cone cells terpadat terletak pada bagian ventrocaudal. Berdasarkan letak densitas cone cells tertinggi pada retina mata ikan sersan mayor diatas maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya yaitu arah depan-naik (upper-fore) (Gambar 32).
Visual axis
Garis horizontal
Gambar 32 Sumbu penglihatan ikan sersan mayor
Demikian pula pada Tabel 11 dapat diketahui bahwa pada ikan kerapu cone cells terpadat terletak pada bagian ventro-caudal. berdasarkan letak densitas cone cells tertinggi pada retina mata ikan kerapu di atas maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya yaitu arah depan-naik (upper-fore) (Gambar 33).
95
Visual axis
Garis horizontal
Gambar 33 Sumbu penglihatan ikan kerapu
5.2.4
Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD)
adalah kemampuan ikan untuk melihat suatu objek benda secara jelas pada jarak tertentu (Zhang et al. 1993). Hasil perhitungan jarak pandang maksimum kedua jenis ikan sersan mayor dan ikan kerapu terlihat pada Tabel 17, Tabel 18, Tabel 19 dan Tabel 20. Data Tabel 17 dan Tabel 19 memberikan informasi bahwa jarak pandang maksimum (MSD) ikan sersan mayor yaitu 0,30 – 0,43 m dan 0,39 – 0,57 m. Data Tabel 18 dan Tabel 20 memberikan informasi bahwa jarak pandang maksimum (MSD) pada ikan kerapu yaitu 0,44 – 0,68 m dan 0,58 – 0,91m. Jarak ini menunjukan jarak pandang maksimum ikan terhadap objek leadernet.
5.3
Dampak Pengoperasian Small Bottom Setnet Dalam penelitian ini, dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap
kerusakan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut (KKL) diukur dengan menggunakan metode point intercept transect. Jumlah titik pengambilan data sebanyak dua puluh (20) point untuk setiap parameter yang tersebar di lokasi pemasangan small bottom setnet. Pengambilan data dilakukan setiap hari selama 28 hari. Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang dibagi dalam dua kelompok yaitu (1) Dampak terhadap karang dan ikan karang; (2) Dampak terhadap lingkungan terumbu karang.
96
5.3.1 Dampak terhadap karang dan ikan karang Pengamatan dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap karang dan ikan karang dilakukan dengan mengukur parameter karang hidup (koloni karang yang tidak mengalami kematian), karang utuh (koloni karang yang tidak mengalami patahan), dan ikan karang (jumlah kelompok kehadiran ikan karang). Pengambilan data dilakukan sebelum pengoperasian small bottom setnet dan setelah pengoperasian small bottom setnet. Data yang diambil dibagi dalam tiga kategori yaitu (1) terganggu, apabila gangguan terjadi sebanyak 14 sampai 28 kali selama pengamatan (gangguan ≥ 50%) ; (2) sedikit terganggu, apabila gangguan terjadi sebanyak 1 sampai 13 kali selama pengamatan (gangguan < 50%) , dan (3) tidak terganggu (apabila sama sekali tidak terjadi gangguan). Hasil pengukuran parameter karang hidup Tabel 13, Tabel 14 dan Gambar 34.
97
Tabel 13 Proporsi lokasi karang hidup di sekitar pemasangan small bottom setnet Pengoperasian small bottom setnet Sebelum operasi
Karang Hidup
Titik Pengambilan
Jumlah Titik
Proporsi
Data
Lokasi
(%)
Terganggu
[4]
1
5
Sedikit
[3], [7], [6], [10]
4
20
[1], [2], [5], [8], [9],
15
75
Total
20
100
Terganggu
[3], [4]
2
10
Sedikit
[5], [6], [7], [9], [10]
5
25
[1], [2],
13
65
20
100
terganggu Tidak terganggu
[11], [12], [13], [14], [15], [16], [17], [18], [19], [20]
Setelah operasi
terganggu
Tidak terganggu
[8], [11],
[12], [13], [14], [15], [16], [17], [18], [19], [20]
Total
Keterangan : Karang hidup = koloni karang yang tidak mengalami kematian
98
Tabel 14 Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap karang hidup
No
Status Operasi
Terganggu
Karang Hidup Sedikit Tidak Terganggu Terganggu
Jumlah Titik Lokasi
Sebelum 1 4 15 20 Operasi Setelah 2 2 5 13 20 Operasi X2 Hitung = 1,517 Taraf Nyata 95 % = 0.05 X2 Tabel = X2 (0.05) (2) = 5.99 Kesimpulan : X2 Hitung < X2 Tabel = tidak beda nyata (tidak ada dampak) 1
Gambar 34
Proporsi lokasi karang hidup di sekitar pemasangan small bottom setnet
Dari 20 titik lokasi yang dimonitor, karang hidup dengan kategori terganggu meningkat dari 1 (satu) titik lokasi sebelum operasi menjadi 2 titik lokasi setelah operasi small bottom setnet. Sedangkan yang sebelumnya hanya 4 titik lokasi dengan kondisi karang hidup sedikit terganggu meningkat menjadi 5 titik lokasi. Bila melihat nilai X2 Hitung-nya (1,517), nilai tersebut masih lebih
99
kecil daripada nilai X2 Tabel (5,99). Dengan demikian, maka pengoperasian small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, tidak memberikan dampak yang nyata yang dapat mengganggu karang hidup. Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kondisi ekosistem terumbu karang dapat ukur dari frekuensi kehadiran ikan karang. Hasil monitoring dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap frekuensi kehadiran ikan pada terumbu karang perairan di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta disajikan pada Tabel 15, Tabel 16 dan Gambar 35.
Tabel 15 Proporsi kehadiran ikan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet Pengoperasian small bottom setnet
Kehadiran Ikan Karang
Sebelum operasi
Terganggu
Setelah operasi
Titik Pengambilan Data
Jumlah Titik Lokasi
Proporsi (%)
[7], [10]
2
10
Sedikit terganggu
[11], [12], [14], [15], [16], [17], [19], [20]
8
40
Tidak terganggu
[1], [2], [3], [4], [5], [6], [8], [9], [13], [18],
10
50
Total
20
100
Terganggu
[7], [10], [17], [19]
4
20
Sedikit terganggu
[1], [2], [5], [8], [9], [11], [12], [13], [14], [15], [16], [20]
12
60
Tidak terganggu
[4], [3], [6], [18],
4
20
Total
20
100
100
Tabel 16 Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kehadiran ikan karang
No
Status Operasi
Kehadiran Ikan Karang Sedikit Tidak Terganggu Terganggu Terganggu
Jumlah Titik Lokasi
Sebelum 2 8 10 Operasi Setelah 2 4 12 4 Operasi X2 Hitung = 7.6 Taraf Nyata 95 % = 0.05 X2 Tabel = X2 (0.05) (2) = 5.99 Kesimpulan : X2 Hitung >X2 Tabel = beda nyata (ada dampak) 1
20 20
Gambar 35 Proporsi lokasi kehadiran ikan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet
Pada Tabel 23 dan Tabel 24 terlihat bahwa kehadiran ikan karang dengan kategori terganggu meningkat dengan adanya operasi small bottom setnet, yaitu dari hanya tidak ada pada 2 titik lokasi menjadi tidak ada pada 4 titik lokasi setelah operasi small bottom setnet. Yang termasuk kategori sedikit terganggu
101
disekitar terumbu karang meningkat dari 8 titik lokasi sebelum operasi menjadi 12 titik lokasi setelah operasi small bottom setnet. Dengan demikian, dari 20 titik lokasi yang dimonitor secara normal (kategori tidak terganggu) setelah operasi small bottom setnet hanya terjadi di 4 titik lokasi, sedangkan sebelum operasi small bottom setnet terjadi secara normal di 10 titik lokasi. Kehadiran secara normal (kategori ada) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ikan karang datang dan pergi dengan frekuensi dan populasi yang biasa seperti sebelum dioperasikannya small bottom setnet. Bila lebih jauh melihat hasil analisis chi-square terkait kehadiran ikan karang, maka data Tabel 23 dan Tabel 24 menunjukkan nilai X2 Hitung (7,6) lebih tinggi dari X2 Tabel (5,99). Hal ini berarti bahwa operasi small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta telah menimbulkan dampak nyata yang mengganggu kehadiran ikan-ikan karang di sekitar terumbu karang areal small bottom setnet dipasang. Dampak nyata ini bisa terjadi, dominan karena sifat ikan termasuk ikan karang yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi perairan, sehingga bila dirasakan menyancam atau tidak aman, maka ikan-ikan tersebut cenderung menjauh dan mencari lokasi habitat yang baru. Tabel 17, Tabel 18 dan Gambar 36 menyajikan hasil monitoring kehadiran biota non ikan akibat pengoperasian small bottom setnet yang diamati pada 20 titik lokasi di sekitar small bottom setnet.
102
Tabel 17 Proporsi keutuhan karang (koloni karang tidak mengalami patahan) akibat pemasangan small bottom setnet Pengoperasian
Keutuhan
Titik Pengambilan
Jumlah Titik
Proporsi
small bottom setnet
Karang
Data
Lokasi
(%)
Sebelum operasi
Terganggu
[13]
1
5
Sedikit
[4], [16], [17], [18],
6
30
terganggu
[19], [20]
Tidak terganggu
[1], [2], [3], [5], [6],
13
65
Total
20
100
Terganggu
[4], [13]
2
10
Sedikit
[1], [2], [3], [8], [9],
7
35
terganggu
[18], [19],
Tidak terganggu
[4],
11
55
[7],
[8],
[9],
[10],
[11], [12], [14], [15]
Setelah operasi
[5],
[6],
[7],
[10], [11], [12], [15], [16], [17], [20] Total
20
100
103
Tabel 18 Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap keutuhan karang
No
Status Operasi
Keutuhan Karang Sedikit Tidak Terganggu Terganggu Terganggu
Jumlah Titik Lokasi
Sebelum 1 6 13 20 Operasi Setelah 2 2 7 11 20 Operasi X2 Hitung = 1,475 Taraf Nyata 95 % = 0.05 X2 Tabel = X2 (0.05) (2) = 5.99 Kesimpulan : X2 Hitung < X2 Tabel = tidak beda nyata (tidak ada dampak) 1
Gambar 36 Proporsi lokasi keutuhan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet
Secara sepintas dari Tabel 25 dan Tabel 26 tersebut, pengoperasian small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta juga berpengaruh terhadap keutuhan karang. Bila sebelum operasi small bottom setnet, dapat dikatakan hanya satu titik (dari 20 titik lokasi yang diamati) yang terganggu. Namun setelah setelah operasi small bottom setnet menjadi 2 titik lokasi. Sedangkan lokasi yang keutuhan karangnya sedikit terganggu terdapat 6 lokasi sebelum pemasangan small bottom
104
setnet
meningkat menjadi 7 titik lokasi setelah operasi small bottom setnet.
Jumlah titik lokasi yang tidak terganggu keutuhan karangnyaberkurang dari 13 lokasi sebelum pemasangan small bottom setnet menjadi sebelas lokasi. Namun demikian, perlu dibuktikan apakah pengoperasian small bottom setnet berdampak buruk secara nyata (pengaruh serius) atau tidak bagi keutuhan di lokasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa X2 Hitung (1,475) dari parameter ini masih lebih kecil dari X2 Tabel (5,99). Hasil ini memberi indikasi bahwa sebenarnya pengoperasian small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta tidak memberi dampak nyata yang secara serius mengganggu keutuhan karang.
5.3.2 Dampak terhadap lingkungan terumbu karang Pengamatan dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap lingkungan terumbu karang dilakukan dengan mengukur parameter penyinaran matahari, sirkulasi air, dan kejernihanperairan. Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap penyinaran matahari khususnya penyinaran matahari terhadap karang disajikan pada Tabel 19, Tabel 20 dan Gambar 37. Pada Tabel 19, Tabel 20 dan Gambar 37 terlihat bahwa penyinaran matahari dengan kategori terganggu meningkat dengan adanya operasi small bottom setnet, yaitu dari 1 (satu) meningkat menjadi 2 titik lokasi setelah operasi small bottom setnet sedangkan yang sedikit terganggu meningkat dari 2 titik lokasi sebelum operasi menjadi 4 titik lokasi setelah operasi small battom setnet. Akibat kondisi ini, maka penyinaran karang yang benar-benar tidak terganggu oleh operasi small bottom setnet berjumlah 14 titik lokasi (sebelum operasi ada 17 titik lokasi). Gangguan penyinaran matahari oleh operasi small bottom setnet terjadi karena bentangan small bottom setnet tersebut menyebabkan sinar matahari sebagian tertahan, sehingga sinar matahari yang sampai ke karang tidak sempurna.
105
Tabel 19 Proporsi penyinaran matahari di sekitar pemasangan small bottom setnet Pengoperasian
penyinaran
Titik Pengambilan
Jumlah Titik
Proporsi
small bottom setnet
matahari
Data
Lokasi
(%)
Sebelum operasi
Terganggu
[13]
1
5
Sedikit
[1], [2],
2
10
[3], [4], [5], [6], [7],
17
85
Total
20
100
Terganggu
[1], [13]
2
10
Sedikit
[2], [3], [5], [8]
4
20
14
70
terganggu Tidak terganggu
[8], [9], [10], [11], [12], [14], [15], [16], [17], [18], [19], [20]
Setelah operasi
terganggu
Tidak terganggu
[4],
[6],
[7],
[9],
[10], [11], [12], [14], [15], [16], [17], [18], [19], [20] Total
20
100
106
Tabel 20 Dampak pengoperasian small bottom setnet penyinaran matahari Status Operasi
No
Penyinaran matahari Sedikit Tidak Terganggu Terganggu Terganggu
Jumlah Titik Lokasi
Sebelum 1 2 17 20 Operasi Setelah 2 2 4 14 20 Operasi X2 Hitung = 3,529 Taraf Nyata 95 % = 0.05 X2 Tabel = X2 (0.05) (2) = 5.99 Kesimpulan : X2 Hitung < X2 Tabel = tidak beda nyata (tidak ada dampak) 1
Gambar 37
Proporsi lokasi penyinaran matahari di sekitar pemasangan small bottom setnet
Analisis lanjut menggunakan metode chi-square menunjukkan bahwa nilai X2 Hitung parameter penyinaran matahari sekitar 3,529. Nilai X2 Hitung ini lebih rendah dari nilai X2 Tabel. Dengan demikian, maka pengoperasian small bottom setnet tidak mempunyai dampak nyata yang mengganggu penyinaran matahari.
Kalaupun selama ini dampak tersebut ada, tetapi tidak termasuk
kategori serius yang dapat menghambat proses fotosintesis terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
107
Terkait dengan sirkulasi air laut / pola arus di sekitar small bottom setnet juga menjadi hal yang sangat penting untuk dianalisis karena sirkulasi air laut membawa makanan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan karang. Oleh karena itu, penelitian ini juga mengamati dampak operasi small bottom setnet terhadap sirkulas air laut tersebut .
Hasil monitoring pada 20 titik lokasi di areal
pemasangan small bottom setnet terkait dampak operasi tersebut disajikan pada Tabel 21, Tabel 22 dan Gambar 38. Pada Tabel 21, Tabel 22 dan Gambar 38 terlihat bahwa dengan adanya operasi small bottom setnet ini, sirkulasi air laut di sekitar karang untuk kategori terganggu meningkat dari 1 (satu) menjadi 2 titik lokasi. Gangguan ini bisa berupa arus tertahan atau belok karena terhalang oleh bagian small bottom setnet yang membentang.
108
Tabel 21 Proporsi sirkulasi air di sekitar pemasangan small bottom setnet Pengoperasian Small Bottom
Sirkulasi Air
Titik Pengambilan
Jumlah Titik
Proporsi
Data
Lokasi
(%)
Setnet Sebelum operasi
Terganggu
[13]
1
5
Sedikit
[7], [10], [14]
3
15
[1], [2], [3], [4], [5],
16
80
Total
20
100
Terganggu
[13], [14]
2
10
Sedikit
[1], [5], [10]
[7],
[8],
5
25
[2],
[4],
[6],
13
65
20
100
terganggu Tidak terganggu
[6], [8], [9], [11], [12], [15], [16], [17], [18], [19], [20]
Setelah operasi
terganggu
Tidak terganggu
[3],
[9], [11], [12], [15], [16], [17], [18], [19], [20] Total
109
Tabel 22 Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap sirkulasi air Sirkulasi Air Jumlah Status Titik No Sedikit Tidak Operasi Terganggu Lokasi Terganggu Terganggu Sebelum 1 1 3 16 20 Operasi Setelah 2 2 5 13 20 Operasi X2 Hitung = 2,896 Taraf Nyata 95 % = 0.05 X2 Tabel = X2 (0.05) (2) = 5.99 Kesimpulan : X2 Hitung < X2 Tabel = tidak beda nyata (tidak ada dampak)
Gambar 38
Proporsi lokasi sirkulasi air di sekitar pemasangan small bottom setnet
Untuk kategori sedikit terganggu (arus yang mengalir sedikit belok/pecah) juga mengalami peningkatan dengan adanya operasi small bottom setnet tersebut. Bila sebelumnya kategori sedikit terganggu ini hanya teramati pada 3 lokasi, setelah small bottom setnet benar-benar dioperasikan terjadi pada 5 titik lokasi. Titik lokasi yang tidak terganggu sirkulasi air/arusnya menurun dari 16 titik lokasi sebelum operasi menjadi 13 titik lokasi setelah adanya operasi small bottom setnet ini.
110
Bila melihat hasil monitoring tersebut, terlihat ada perbedaan sirkulasi air laut / pola arus sebelum dan setelah operasi small bottom setnet. Hasil analisis Chi-Square menunjukkan bahwa dari kombinasi data sirkulasi air laut / pola arus tersebut didapatkan nilai X2 Hitung (2,896) yang lebih kecil dari nilai X2 Tabel. Terkait dengan ini, maka perbedaan atau perubahan sirkulasi air laut / pola arus sebelum dan setelah operasi small bottom setnet tersebut tidak membawa dampak nyata yang merusak bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Pengoperasian small bottom setnet juga dapat mempengaruhi kejernihan perairan (berbanding terbalik dengan sedimentasi) di karang dengan adanya kotoran-kotoran yang tersuspensi maupun yang larut tertahan dan mengendap di sekitar pemasangan small bottom setnet. Tabel 23, Tabel 24 dan Gambar 39 menyajikan data kejernihan perairan di karang akibat pengoperasian small bottom setnet yang diamati pada 20 titik lokasi di sekitar small bottom setnet.
111
Tabel 23 Proporsi kejernihan perairan karang di sekitar pemasangan small bottom setnet Pengoperasian Small Bottom Setnet Sebelum operasi
Kejernihan
Titik Pengambilan
Jumlah Titik
Proporsi
perairan
Data
Lokasi
(%)
Terganggu
[7], [10]
2
10
Sedikit
[2], [3], [6], [9]
4
20
14
70
Total
20
100
Terganggu
[7], [10], [14]
3
15
Sedikit
[9], [2], [6], [3], [4]
5
25
[1],
12
60
20
100
terganggu Tidak terganggu
[1],
[4],
[5],
[8],
[11], [12], [13], [14], [15], [16], [17], [18], [19], [20]
Setelah operasi
terganggu
Tidak terganggu
[5],
[8],
[11],
[12], [13], [15], [16], [17], [18], [19], [20] Total
112
Tabel 24
No
Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kejernihan perairan Status Operasi
Kejernihan Perairan Sedikit Tidak Terganggu Terganggu Terganggu
Sebelum 2 4 14 Operasi Setelah 2 3 5 12 Operasi X2 Hitung = 1,036 Taraf Nyata 95 % = 0.05 X2 Tabel = X2 (0.05) (2) = 5.99 Kesimpulan : X2 Hitung < X2 Tabel = tidak beda nyata (tidak ada dampak) 1
Gambar 39
Jumlah Titik Lokasi 20 20
Proporsi lokasi kejernihan perairan di sekitar pemasangan small bottom setnet
Berdasarkan Tabel 23 dan Tabel 24, jumlah titik lokasi yang kategori kejernihan perairan karangnya terganggu meningkat dari 2 titik lokasi sebelum operasi menjadi 3 titik lokasi saat operasi small bottom setnet. Sedangkan titik lokasi yang kategori sedikit terganggu kejernihan perairan karangnya meningkat dari 4 titik lokasi sebelum operasi menjadi 5 titik lokasi setelah operasi small bottom setnet. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan, kategori kejernihan
113
perairan terganggu tersebut umumnya terjadi pada titik lokasi yang sebelum operasi small bottom setnet sudah terjadi sedikit terganggu kejernihannya meskipun dengan kategori rendah. Hasil analisis chi-square terkait sedimentasi ini memperlihatkan nilai X2 Hitung untuk parameter ini sekitar 1,036. Nilai X2 Hitung ini lebih kecil dari pada nilai X2 Tabel. Dengan demikian, maka dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap kejernihan perairan karang termasuk tidak nyata (tidak menyebabkan sedimentasi yang nyata merusak terumbu karang) di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
114
6 PEMBAHASAN 6.1
Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 5, leadernet berwarna kuning lebih
efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan. Proporsi ikan yang tergiring leadernet berwarna kuning sekitar 84,12%, sedangkan yang tergiring leadernet berwarna hijau sekitar 45,59%, pada saat penggunaan leadernet berwarna hijau ikan cenderung menabrak dan tidak tergiring, berbeda dengan pada saat menggunakan leadernet berwarna kuning ikan cenderung tergiring dan tidak tersangkut. Hal ini terjadi karena leadernet berwarna kuning relatif lebih kontras sehingga ikan menghindar untuk menabraknya. Terkait dengan ini, pemilihan warna dan jenis bahan sangat penting dalam operasi penangkapan sehingga didapat hasil yang maksimal. Menurut Mumby et al. (1999), pemilihan alat merupakan bagian yang penting dalam operasi penangkapan. Pengenalan bahan jaring sintetis dengan warna kontras dan mutu yang tinggi akan merangsang perkembangan pemakaian alat tangkap. Hal ini disebabkan efisiensi penangkapan dengan cara menggiring ikan jauh lebih baik 2-13 kali pada PA monofillament yang kontras dalam dibanding dengan bahan serat alami (kapas, rami, rami halus) dan warna samarsamar. Hal ini karena persyaratan efisiensi penangkapan pada small bottom setnet memerlukan leadernet yang baik dalam memnggiring ikan. Hasil penelitain Bab 5, juga terlihat tingkah laku ikan (lolos, tergiring dan kembali menjauh) pada leadernet kuning masing-masing adalah 15,88%; 84,12%; dan 0%, sedangkan tingkah laku ikan (lolos, tergiring dan kembali menjauh) pada leadernet hijau masing-masing adalah 29,62%; 45,59%; dan 24%. Hal ini terjadi karena karena perbedaan daya tampak leadernet yang mempengaruhi tingkah laku ikan. Warna jaring yang sesuai pada leadernet dapat mengarahkan ikan menuju playground. Menurut Risamasu (2007), warna jaring dalam air akan dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman dari perairan, transparansi, sinar matahari, sinar bulan dan lain-lain faktor, dan pula sesuatu warna akan mempunyai perbedaan derajat “terlihat”
oleh
ikan-ikan
yang
berbeda-beda.
Warna
tersebut
sangat
115
mempengaruhi tingkah laku ikan dan hal tersebut terlihat jelas pada beberapa alat tangkap misalnya gillnet dan lainnya. Pada gillnet, tingkah laku ikan dalam menubruk atau menerobos jaring sangat dipengaruhi oleh warna jaring. Serat jaring yang terlalu tipis juga kurang terlihat. Bahan yang daya mulurnya tinggi untuk beban kecil tidak sesuai untuk setnet (termasuk small bottom setnet). Hal ini sesuai dengan pendapat Subani dan Barus (1989) yang menyatakan bahwa untuk mendukung pemilihan warna yang tepat dalam menggiring ikan, jaring perlu memiliki kekuatan simpul yang stabil dan ukuran mata jaring tidak boleh dipengaruhi air. Menurut Risamasu (2007), di samping warna yang tepat, kekuatan bahan jaring juga harus diperhatikan, sehingga ikan hasil tangkapan dengan tingkah laku memberontak dapat ditahan. PA continous filament adalah bahan yang paling lunak dari semua bahan sintetis dalam kondisi basah, warna putih mengkilat yang alami adalah jauh lebih terlihat dalam air jernih. Warna hijau, biru, abu-abu dan kecoklatan merupakan warna-warna yang nampak digunakan paling umum pada perikanan komersial. Ikan yang datang dan kemudian berbalik arah menjauhi leadernet hijau berjumlah 149 ekor atau sekitar 24,79%. Fenomena ini tidak terlihat pada leadernet warna kuning atau dengan kata lain tidak seekorpun dari ikan yang datang mendekat kemudian berbalik arah menjauhi leadernet kuning. Diduga ini terjadi karena warna hijau pada leadernet mirip dengan warna air laut sehingga tidak ditakuti oleh ikan bahkan sebagian besar ikan tersebut mendekat dan memakan lumut yang ada pada leadernet. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Kawamura et al. (1996), bahwa ikan lebih mudah menghindari alat tangkap/pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah daripada berwarna biru dan hijau. Jumlah hasil tangkapan pada alat pengumpul berwarna biru dan hijau cenderung lebih banyak daripada alat pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah. Disamping jumlah berbeda, jenis ikan yang terkumpul tersebut juga berbeda untuk setiap jenis warna alat pengumpul tersebut. Perbedaan tersebut terjadi karena setiap ikan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon atau membedakan warna benda yang mirip maupun berbeda/kontras dengan warna lingkungan perairan. Menurut Risamasu (2007), warna jaring yang
116
sesuai untuk tujuan menangkap jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan sebaiknya diperhatikan karena sangat mempengaruhi hasil tangkapan.
6.2
Pengamatan Contoh Mata Ikan Karang yang Tergiring oleh Leadernet
6.2.1
Tipe reseptor mata ikan karang Berdasarkan gambar preparat histologi di atas, pada retina mata ikan
sersan mayor dan ikan kerapu ditemukan cone cells yang merupakan fotoreseptor utama. Cone cells yang ditemukan terdiri dari dua tipe yaitu tipe single cone cell dan tipe twin cone cell. Menurut pendapat Matsuoka (1957), pada ikan bertulang sejati, ditemukan twin cone dan single cone. Adanya dua tipe cone cells pada ikan sersan mayor dan ikan kerapu menunjukan kedua ikan tersebut dapat mengenal warna. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitri (2002), menyatakan bahwa ikan yang memiliki fotoreseptor cone cells, baik tunggal maupun ganda/kembar dan membentuk susunan mosaik maupun tidak mengindikasikan bahwa ikan tersebut mampu membedakan warna. Penelitian yang telah dilakukan oleh Razak (2005) pada kelompok ikan karang Chaetodontidae menunjukkan pada fotoreseptor terdiri cone cells ganda dominan yang tersusun membentuk mosaik bujur sangkar memiliki
ketajaman
mata
yang
kuat
agar
mampu
menangkap
invertebrata kecil yang menjadi makanannya disamping polip koral. Berdasarkan uraian diatas, jika dihubungkan antara tipe cone cells ikan sersan mayor dan kerapu dengan warna leadernet maka dapat dikatakan bahwa kedua ikan karang tersebut yaitu ikan sersan mayor dan ikan kerapu dapat membedakan warna leadernet hijau dan leader kuning pada small bottom setenet. 6.2.2
Sumbu penglihatan (visual axis) Menurut Purbayanto et al. (2010) sumbu penglihatan mata ikan
dapat ditentukan dengan terlebih dahulu mengetahui kepadatan cone cells pada area dorso-caudal, caudal, atau ventro-caudal pada retina mata ikan. Selanjutnya menurut Fitri (2008) sumbu penglihatan mata ikan dapat
117
ditentukan dengan melihat kebiasaan makan dan posisi densitas cone cell tertinggi pada ikan tersebut. Kebiasaan makan ikan kerapu dilakukan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya (Sale 2002). Ikan kerapu yang dipelihara pada kolam pemeliharaan akan mempunyai kebiasaan makan dengan menyergap pakan yang diberikan satu per satu sebelum pakan itu sampai ke dasar. Demikian juga kebiasaan makan ikan sersan mayor dengan cara menyantap makanannya sebelum sampai ke dasar perairan. Hasil pengamatan densitas cone cells tertinggi retina mata ikan sersan mayor terletak pada nomor sampel 22 dengan jumlah 90. Selanjutnya hasil
pengamatan densitas cone cells tertinggi retina mata ikan kerapu
terletak pada nomor sampel 21 dengan jumlah 98. Nomor sampel 21 dan 22 terletak pada bagian ventro-caudal, sehingga dapat dikatakan bahwa kepadatan cone cells ikan sersan mayor dan ikan kerapu berada pada bagian ventro-caudal. Berdasarkan kebiasaan makan dan posisi densitas cone cells tertinggi ikan sersan mayor dan ikan kerapu di atas maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya yaitu arah depan ke atas. Menurut Blaxter (1980) kepadatan tertinggi cone cells di bagian ventro-caudal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 30°. 6.2.3
Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) Hasil yang terlihat pada Bab 5, menunjukan bahwa semakin besar
diameter objek yang dilihat oleh ikan sersan mayor dan ikan kerapu maka akan semakin besar pula angka jarak pandang maksimum (MSD). Hasil analisis jarak pandang maksimum pada ikan sersan mayor dengan diameter objek 3 mm berkisar antara 0,30 m sampai 0,43m sedangkan jarak pandang maksimum pada ikan kerapu dengan diameter objek 3 mm berkisar antara 0,44 m sampai 0,68 m. Demikian halnya hasil analisis jarak pandang maksimum pada ikan sersan mayor dengan diameter objek 4 mm berkisar antara 0,39 m - 0,57 m sedangkan jarak pandang maksimum pada ikan kerapu dengan diameter objek 4 mm berkisar antara 0,58 m - 0,91 m.
118
6.3
Pengoperasian Small Bottom Setnet pada Kawasan Konservasi Laut
6.3.1
Pengaturan interaksi small bottom setnet dengan terumbu karang Small bottom setnet hanya berdampak nyata terhadap frekuensi kehadiran
ikan karang. Sedangkan gangguan terhadap karang hidup, kecerahan perairan yang mempengaruhi penyinaran karang, sirkulasi air/arus di sekitar karang, sedimentasi di karang, kehadiran biota laut non ikan tidak berdampak nyata dari adanya operasi small bottom setnet. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum pengoperasian small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, relatif aman dan tidak mengganggu kelestarian terumbu karang dan ekosistemnya.
Kalaupun ada pengaruh terhadap kehadiran ikan
karang tidaklah begitu riskan dibandingkan dengan seandainya terjadi kerusakan fisik dan pertumbuhan pada terumbu karang, karena terumbu karang merupakan kehidupan semua biota laut dan habitat termasuk ikan karang itu sendiri. Menurut Mumby et al. (1999) menyatakan bahwa terumbu karang dan padang lamun memiliki berbagai peran dan fungsi vital bagi kehidupan bawah laut. Terumbu karang dan padang lamun menjadi daerah asuhan (nursery ground) dan daerah perlindungan bagi berbagai ikan karang,udang, dan biota laut lainnya. Ekosistem terumbu karang dan padang lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut dan menjadi sumber utama produktivitas primer serta sumber makanan penting bagi berbagai ikan laut yang di tangkap nelayan. Mengacu kepada hal ini, maka menurut Subani dan Barus (1989), bila terjadi kepunahan pada karang, kehidupan bawah laut termasuk dari jenis ikan karang akan punah pula. Sedangkan menurut Gomez dan Yap (1988), dampak negatif terhadap kehadiran ikan dapat dihindari dengan memilih lokasi pemasangan small bottom setnet yang agak dalam sehingga tidak mengganggu pergerakan biota laut di sekitar karang. Operasi dan pengembangan small bottom set tersebut akan berhasil baik bila semua pihak mematuhi peraturan kaidah dan ketentuan hukum terkait pemanfaatan biota laut menggunakan small bottom set tersebut, serta tidak mengoperasikan alat tangkap yang telah dilarang/merusak lingkungan.
Bila
119
mengacu kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, maka menurut Mamuaya et al (2007), pengembangan alat tangkap yang sesuai peraturan yang berlaku terkait pemanfaatan sumberdaya mempunyai dua sasaran, yaitu : (1) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; (2) terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, dimana hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat tersalurkan dengan baik. Pengaturan small botom senet terhadap hasil tangkapan ikan dapat dilakukan dengan pengaturan ukuran mata jaring pada leadernet, playground, dan bagnet. Ikan yang memiliki ukuran badan lebih kecil dari ukuran mata jaring tersebut akan dapat meloloskan diri. Sebaliknya ikan yang memiliki ukuran badan lebih besar dari ukuran mata jaring tersebut akan dapat tertangkap oleh small botom senet. Selanjutnya pengaturan terhadap hasil tangkapan dapat dilakukan dalam beberapa hal antara lain: bila ikan yang tertangkap berukuran lebih besar dari mata jaring tetapi merupakan jenis ikan yang dilindungi dan dikonservasi misalnya penyu atau ikan yang bertelur maka ikan tersebut dapat dengan mudah dilepas dalam keadaan hidup yang relatif tidak mengalami stress karena small bottom setnet adalah alat tangkap yang bersifat pasif (diam di tempat). Bila ikan yang tertangkap lebih besar dari ukuran mata jaring tersebut tetapi ikan tersebut belum layak ukuran pasar (masih dianggap kecil) misalnya ikan kerapu maka ikan tersebut dapat ditangkap dalam keadaan hidup untuk selanjutnya dipelihara dan dibesarkan dalam keramba sampai mencapai ukuran yang diharapkan.
6.3.2
Aktualisasi small bottom setnet sebagai alat tangkap Dampak operasi small bottom setnet terlihat tidak membahayakan
lingkungan, karena itu small botom setnet dapat dijadikan sebagai alat tangkap alternatif di kawasan konservasi Kepulauan Seribu. Supaya tidak konflik bila dikembangkan
secara luas sebagai alat tangkap alternatif, maka wilayah
pemasangan small bottom setnet tersebut dapat dibagi-bagi, misalnya berdasarkan kedekatan dengan tempat tinggal atau alur melaut yang dilakukan selama ini. Pembagian wilayah penangkapan/pemasangan alat tangkap dapat mencegah
120
terjadi illegal fishing. Hal ini karena nelayan satu dengan lainnya tidak ada yang mengganggu atau mencuri ikan pada lokasi tangkap yang lainnya. Disamping itu, sebagian besar wilayah laut menjadi terjaga sehingga kegiatan penangkapan ikan illegal dari pihak luar dapat dicegah. Pemilihan lokasi pemasangan small bottom setnet di dekat tempat tinggal sangat cocok dilakukan mengingat small bottom setnet merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara tetap di suatu lokasi, dan untuk mengambil hasil tangkapannya tidak perlu membutuhkan armada penangkapan ukuran besar. Untuk menghemat biaya, maka sangat wajar bila lebih dipilih lokasi operasi yang berdekatan dengan tempat tinggal nelayan. Disamping itu, dampak pencemaran lebih bisa dihindari karena manusia biasanya tidak mau mencemari tempat tinggalnya.
121
7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian proses tertangkapnya ikan karang dengan small bottom setnet diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Ikan cenderung tergiring dan tidak tersangkut pada leadernet kuning dari pada leadernet hijau. (2) Respons tingkah laku ikan pada small bottom setnet berkaitan dengan kemampuan ikan membedakan warna dan jarak pandang maksimum mata ikan. (3) Penelitian
ini tidak menunjukkan adanya dampak yang signifikan
terhadap kerusakan terumbu karang.
7.2
Saran Dampak pengoperasian small bottom setnet terhadap terumbu karang bisa
lebih diperkecil dengan mengurangi jumlah tiang leadernet yang bersinggungan dengan terumbu karang.
122
DAFTAR PUSTAKA Adrim M. 1997. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya dalam kursus Pelatihan Metodologi Penelitian dan Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Puslitbang Oseanografi. LIPI. Jakarta. Hal 1-7. Alen G. 2000. Marine Fishes of Southeast Asia. Periplus Edition Western Australian Museum. 292 p. [Anonim]. 2008. Fish Bait. http://www.wipo.int/pctdb/en/wo [1 April 2008]. [Anonim]. 2008. http://ilc00f.facbacs.uq.edu.au/ [20 April 2008]. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Penerbit oleh Yayasan Dewi Sri. Fakultas Perikanan IPB – Bogor. 85 hal. Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. 2000. Buku Informasi Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Direktorat JenderalPerlindungan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Jakarta. 30 hal. Baskoro MS dan Effendy A. 2005. Tingkah laku ikan hubungannya dengan metode pengoperasian alat tangkap ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Baskoro MS. 1995. A study on Fish Behavior in Relation to The Capture Process of the Small Scale Set Net. Master Thesis. Tokyo University of Fisheries, Dept. Of Marine Sciences end Technology, Fish Behavior Dynamic Section. Tokyo Japan. P. 52. Baskoro MS. 1995. Perikanan Set Net dan Tingkah Laku Ikan. Diklat Kuliah (tidak dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan IPB. 23 hal. Baskoro MS, Mawardi W, Purwangka F dan Sadarun B. 2006. Ujicoba Small bottom Setnet di Kawasan Konservasi Laut. Laporan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi laut (tidak dipublikasikan). Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. 38 p. Baskoro MS. 2008. Alat Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Penangkapan Ikan Yang Bertanggungjawab. Kenangan Purnabakti Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Blaxter JHS and Jones MP. 1967. The Development of Retina and Retinomotor Respons in The Herring. Journal of The Marine Biological Association (of
123
The United Kingdom). Cambridge, at The University Press, USA. Vol 47 No.1.p: 677-697. Blaxter JHS. 1980. Vision and Feeding of Fishes. In: Fish Behaviour and its Use in the Capture and Culture of Fishes. ICLARM Conf. proc. (5): 32-56. Debelius H. 2002. Fish Guide Southeast Asia. Dive Supply. Frankfurt Germany. 153 p. [Dit KTNL] Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. 2007. Informasi Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. 32 p. [Ditjen PHPA] Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1995. Pedoman Penetapan Kriteria Baku Kawasan Konservasi Laut. Departemen Kehutanan. Indonesia. English S, Wilkinson C and Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville; Australian Institute of Marine Science. 390 p. Fitri ADP. 2008. Respon Penglihatan Dan Penciuman Ikan Kerapu Terhadap Umpan Dalam Efektivitas Penangkapan [disertasi] Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 213 hal. Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan: Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. Guma’a SA. 1982. Retinal Development and Retinomotor Respnses in Perch (Perch fluviatilis L). Journal Fish Biology. The Fisheries Society of The British Isles No. 20. p:611-618 Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring reef conditions. In: Kenchington RA, Hudson BT (eds) Coral reef management handbook. UESCO/ROSTSEA. Jakarta. Pp 187-195. Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode dan Taktik penangkapan. Diktat Matakuliah (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hlm. Gunarso W. 1992. Tingkah Laku Ikan dan Set Net. 20 hal. Guthrie DM and Muntz WRA. 1993. Role of Vision in Fish Behaviour. Di dalam: Tony J. Pitcher, editor. Behaviour of Teleost Fishes. Ed ke-2. Chapman dan Hall. Pp: 89-128 Hanafiah dan Saefuddin. A. M. 1986. Tata Niaga Perikanan. UI Press. Jakarta.
124
Hanna S. 1995. Efficiencies of User Participation in Nautral Resource Management. In Hanna S and Munasinghe M (eds.) In Property Rights and the Environment Social and Ecological Issues. Biejer International Institute of Ecological Economics and The World Bank. Washington, D.C. Hendriwan, Sondita MFA, Haluan J, dan Wiryawan B. 2008. Analisis Optimasi Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Strategi Pengembangannya di Teluk Lampung. Buletin PSP Volume XVII No.1 April 2008. Hal 44-70. He P. 1989. Fish Behaviour and its Application in Fisheries. New Foundland Canada: Labrador Institute of Fisheries and Marine Technology. Pp: 157 Herring PJ, Campbell AK, Whitfield M, Maddock L. editor. 1990. Light and Life in The Sea. London: Cambridge University Press. pp: 421 Imron M. 2003. Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan. Jurnal Masyarakat dan Budaya, PMB-LIPI 7 : 88 – 92. [IJRF] Indonesian Coral Reef Foundation. 2004. Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. TERANGI. Jakarta. 24 hlm. [ICOFE] International Cooperation On Fisheries And Environment. 2000. Regional Cooperation In Fisheries and Environment (edited by Line Kjelstrup et al.). Page 37 -41. Kanagawa International Fisheries Training Centre. 2000. Fish Behaviour for Improving Fish Capture Technology and Selectivity of Fishing Gear. Cooperation Agency. Japan International. 108 p. Kawamura G, Matshushita T, Nishitai M, Matsuoka T. 1996. Blue and Green Fishing Aggregation Devices Are More Attarctive to Fish. Fisheries Research Journal. 28 : 99 -108. Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1. An Introduction of Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No. 118. Rome. 43 hal. http://sains.kompas.com/read/2009/05/13/17482666/ Kompas. 2009. kerusakan.terumbu.karang.ancam.keamanan.pangan. 13 Mei. Kompas. 2001. Otonomi Daerah Menantang Kreativitas. Jakarta. 30 Maret. Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York. Harper and Row Publisher. 688 p. Kuiter RH. 2002. Fishes Of The Maldives. Atoll Editions. National Library of Australia Cataloguing-in-Publiction Data. Australia. 257 p.
125
Leape J. 2009. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Bagi Kelangkaan Pangan. World Wildlife Fund (WWF) Internasional. Liana TM, Elmer MF, Lenore PC, and Alan GC. 2001. The Bolinao CommunityBased Coastal Resource Management Project. Jurnal of Community Organizer, Haribon Foundation. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. Manusia, Penyebab Kerusakan Terumbu Karang. http://regional.coremap.or.id/sikka/berita/article.php?id=744. Mamuaya GE., Haluan J, Wisudo SH, dan Astika IW. 2007. Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai : Penelaahan Kasus di Kota Manado. Buletin PSP Vol. XVI. 1 : 146-160. Mantjoro E. 1997. An Ecological and Human History of Bentenan and Tumbak Villages. Coastal Resource Management Project - Indonesia, Manado. Marschiavelli MIC. 2001. Analisa struktur dan kondisi ikan karang pada ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Nusa Penida Bali [skripsi]. Bogor : Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Martasuganda S. 2008. Set Net (Teichi Ami) Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 169 hal. Martin VA and Tony LLR. 1996. The Ecology of The Deep Ocean and Its Relevance to Global Waste Management. Journal of Essay Review. Southampton Oceanography Centre\ Empress Dock\ Southampton So03 2zh. United Kingdom. Matsuoka M. 1999. Histological Characteristics and Development of The Retinal Basis of Vision. Amsterdam: Elsivier. Pp: 211. Monintja DR. 2000. Prosiding Pelatihan Untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 167 hal. Monintja DR. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mulyono S. 1991. Operasi Research. Universitas Indonesia.
Lembaga Peneliti Fakultas Ekonomi
126
Mumby PJ, Green EP, Edwards AJ, and Clark CD. 1999. The cost-effectiveness of remote sensing for tropical coastal resources assessment and management. Journal of Environmental Management (1999) 55, 157–166. Musick JA, Berkeley SA, Cailliet GM, Camhi M, Huntsman G, Nammack M, and Warren ML. 2008. Protection of Marine Fish Stocks at Risk of Extinction. Fisheries of Jr. Maret 2008. Myrberg AA and Fuiman JLA. 2002. Sensory World of Coral Reef Fishes. In Sale PF (eds.). Coral Reef Fishes (Dynamics and Diversity in A Complex Ecosystem). San Diego: Academic Press. Pp: 123-148. Nasution C, Wudianto, dan Barus HR. 1986. Uji Coba Setnet di Teluk Segarawedi Prigi Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 34 Th. 1986. Hal 19. Nasution HA. 2001. Ujicoba Bubu Buton Di Perairan Pulau Batanta, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua [skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nomura M. 1981. Fishing Techniques 2. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. Pentury B, Iskandar HBH, dan Mawardi W. 1995. Studi tentang tingkah laku ikan karang di Pulau Pari, Kepulauan Seribu Jakarta [laporan penelitian]. Bogor : Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Pinkerton E. 1989. Co-Operative Management of Local Fisheries – A New Directions for Improved Management and Community Development. Jurnal of Fisheries Vol 32. Vancouver: University of British Columbia Press. Pomeroy RS. 1998. A Process for Community-Based Fisheries Co-Management. AFSSRNews Section. Phuket, Thailand. Purbayanto A. 1999. Behavioural Studies for Improving Survival of Fish in Mesh Selectivity of Sweeping Trammel Net. (Ph. D. Tesis). Tokyo: Graduate School of Fisheries. Tokyo University of Fisheries. Pp: 217. Purbayanto A, Baskoro MS. 1999. Tinjauan Singkat Tentang Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Mini Review on the Development of Enviromental Friendly Fishing Technology. Garduate Student at Tokyo University of Fisheries. Dept. of Marine Science and Technology. Tokyo. 5 hal.
127
Purbayanto A, Riyanto M, dan Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan pada Perikanan Tangkap. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Pp.208. Putra S. 2000. Konflik Pengelolaan Sumber Daya Kelautan di Sulawesi Utara Dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Depdagri Vol 12. Jakarta. Razak A. 2005. Adaptasi Ekologi Mata Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) dan Responnya Terhadap Racun Potas (KCN) (disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 172 hlm. Risamasu FJL. 2007. Inovasi Teknologi Penangkapan Ikan Karang dengan Bubu Dasar Berumpon [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 256 hal. Rossiter WW. 1997. Fisheries Conservation Crisis in Indonesia: Massive Destruction of Marine Mammals, Sea Turtles and Fish Reported from Trap Nets In Pelagic Migratory Channels. This information is taken from internet: William Rossiter, President Cetacean Society International and Steve Morris. Ruddle KE, Hviding and Johannes RE. 1992. Marine Resource Management In The Context Of Customary Tenure. Marine Resource Economics, (7), pp. 249-273. Sheppard CRC, Matheson K, Bythell JC, Edwards AJ, Murphy P, Blair-Myers C, and Blake B. (1995). Habitat mapping in the Caribbean for Management and conservation: use and assessment of aerial photography. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems. 5, 277–298. Shiobara Y, Akiyama S and Arimoto T. 1998. Develomental Changes in The Visual Acuity of Red Seam Bream (Pagus major). Journal Fisheries Science. Vol. 64 No.6. Departement of Marine Science and Technology, Tokyo University of Fisheries. Tokyo. Jepang. P: 944-947. Solimun. 2002. Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Fakultas MIPA Universitas Brawijaya. Malang. Subani W. dan Barus HR. 1989. Alat Tangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 50, 248 hal. Suharsono. 1998. Kesadaran Masyarakat Tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang Di Indonesia). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Bagian Proyek Ekosistem Pesisir. Jakarta. 77 hal.
128
Suku Dinas Perikanan Jakarta Utara. 2001. Laporan Tahunan Tahun 2000. Kantor Walikota Jakarta Utara. Jakarta. Hal 33-88. Sulaiman W. 2003. Statistik Non Parametrik. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Tamura T. 1957. A Study of visual perception in fish, especilly on resolving power and accommodation. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries. Vol 22, No. 9. Fisheries Institute, Faculty of Agriculture, Japan. p : 536-557 [UNCLOS] United Nations Convention on the Law of the Sea. 1982. Konvensi Hukum Laut International. UNCLOS. Ward TJ, Heinemann D, and Evans N. 2001. The Role of Marine Reserves as Fisheries Management Tools: a review of concepts, evidence and international experience. Bureau of Rural Sciences, Canberra, Australia. 192pp. Wilson S. 1999. Fisheries Impact Assessment. Theme Part an Associated Development. ERM Hongkong. Hongkong. P 9: 1-13. Zerner C. 1994. Tracking Sasi. The Transformation of A Central Moluccan Reef Management Institution in Indonesia. In White, A.L. Hale, L.Z. Renard, Y. and Cortesi, L. Collaborative and Community Based Management of Coral Reef: lessons from experience. Kumarian Press, Inc., West Hartford, Connecticut. Zhang XM and Arimoto T. 1993. Visual physiology of walleye pollock (Theragrachalcogramma) in relation to capture by trawl nets. ICES Marine Science Symposium. 196 : 113-116
129
LAMPIRAN
130
Lampirn 1 Karang hidup (koloni karang tidak mengalami kematian) di lokasi pemasangan small bottom setnet Titik Pengambilan Data
Terganggu (15-28 gangguan)
Sedikit Terganggu (1-14 gangguan)
Tidak Terganggu (0 gangguan)
-
+ + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + -
-
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
Sebelum Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20 Setelah Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20 Keterangan : + = ada; - = tidak ada
131
Lampiran 2
Kehadiran ikan karang di lokasi pemasangan small bottom setnet
Titik Pengambilan Data Sebelum Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20 Setelah Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20
Terganggu
Sedikit Terganggu
Tidak Terganggu
+ + -
+ + + + + + + +
+ + + + + + + + + -
+ + + + -
+ + + + + + + + + + + + + +
+ + -
Keterangan : + = ada; - = tidak ada
132
Lampiran 3
Keutuhan karang di lokasi pemasangan small bottom setnet
Titik Pengambilan Data Sebelum Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20 Setelah Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20
Terganggu
Sedikit Terganggu
Tidak Terganggu
-
+ + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + -
+ + -
+ + + + + + + + + +
+ + + + + + + + -
Keterangan : + = ada; - = tidak ada
133
Lampiran 4
Penyinaran matahari di lokasi pemasangan small bottom setnet
Titik Pengambilan Data Sebelum Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20 Setelah Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20
Terganggu
Sedikit Terganggu
Tidak Terganggu
-
+ + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ -
+ + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + +
Keterangan : + = ada; - = tidak ada
134
Lampiran 5
Sirkulasi air di lokasi pemasangan small bottom setnet
Titik Pengambilan Data Sebelum Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20 Setelah Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20
Terganggu
Sedikit Terganggu
Tidak Terganggu
-
+ + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + -
+ + + + + -
+ + + + + + + + + + + + +
Keterangan : + = ada; - = tidak ada
135
Lampiran 6
Kejernihan perairan di lokasi pemasangan small bottom setnet
Titik Pengambilan Data Sebelum Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20 Setelah Operasi Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9 Titik 10 Titik 11 Titik 12 Titik 13 Titik 14 Titik 15 Titik 16 Titik 17 Titik 18 Titik 19 Titik 20
Terganggu
Sedikit Terganggu
Tidak Terganggu
+ + -
+ + + + -
+ + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + -
+ + + + + -
+ + + + + + + + +
Keterangan : + = ada; - = tidak ada
136
Lampiran 7 Jenis dan sebaran ikan yang lolos, tergiring, dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna hijau Nama spesies
Leadernet berwarna hijau Lolos Tergiring Berbalik
Total
Apogon sealei
+
+
-
+
Arothron mappa
-
+
-
+
Abudefduf vaigiensis
+
+
+
+
Terapon jarbua
+
+
+
+
Chaetodon baronessa
-
+
+
+
Chaerodon anchorago
+
+
-
+
Cheilinus fasciatus
+
+
-
+
Chilomycterus spilostylus
+
+
+
+
Diodon holocanthus
+
+
+
+
Ephinephelus sp
+
+
-
+
Gnathanodon speciosus
-
+
+
+
Halichoeres hortulanus
+
+
+
+
Lutjanus carponotatus
-
+
+
+
Myripristis murdjan
-
+
+
+
Parupeneus macronema
-
+
+
+
Pomacanthus imperator
-
+
+
+
Pterocaesio chrysozona
+
+
+
+
Pterois volitans
-
+
-
+
Sargocentron spiniferum
-
+
+
+
Scarus ghobban
+
+
+
+
Scolopsis bilineatus
+
+
+
+
Scolopsis bimaculatus
+
+
+
+
Selar crumenophthalmus
+
+
+
+
Siganus margaritiferus
-
+
+
+
Zanclus cornutus
-
+
+
+
Keterangan : + = ada; - = tidak ada
137
Lampiran 8
Jenis dan sebaran ikan yang lolos, tergiring, dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna kuning
Nama spesies
Leadernet berwarna kuning Lolos Tergiring Berbalik Total
Apogon sealei
+
+
-
+
Arothron mappa
-
+
-
+
Abudefduf vaigiensis
+
+
-
+
Terapon jarbua
+
+
-
+
Chaetodon baronessa
-
+
-
+
Chaerodon anchorago
+
+
-
+
Cheilinus fasciatus
+
+
-
+
Chilomycterus spilostylus
+
+
-
+
Diodon holocanthus
+
+
-
+
Ephinephelus sp
+
+
-
+
Gnathanodon speciosus
-
+
-
+
Halichoeres hortulanus
+
+
-
+
Lutjanus carponotatus
-
+
-
+
Myripristis murdjan
-
+
-
+
Parupeneus macronema
-
+
-
+
Pomacanthus imperator
-
+
-
+
Pterocaesio chrysozona
+
+
-
+
Pterois volitans
-
+
-
+
Sargocentron spiniferum
-
+
-
+
Scarus ghobban
-
+
-
+
Scolopsis bilineatus
+
+
-
+
Scolopsis bimaculatus
+
+
-
+
Selar crumenophthalmus
+
+
-
+
Siganus margaritiferus
-
+
-
+
Zanclus cornutus
-
+
-
+
Keterangan : + = ada; - = tidak ada
138
Lampiran 9 Respons tingkah laku ikan yang lolos, tergiring, dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna hijau No
Nama spesies 1 Apogon sealei
Leadernet berwarna hijau Lolos Tergiring Berbalik
Total
13
5
-
18
2 Arothron mappa
-
3
-
3
3 Abudefduf vaigiensis
2
17
30
49
4 Terapon jarbua
1
3
1
5
5 Chaetodon baronessa
-
15
6
21
6 Chaerodon anchorago
26
21
-
47
7 Cheilinus fasciatus
22
17
-
39
8 Chilomycterus spilostylus
7
4
1
12
9 Diodon holocanthus
4
2
1
8
19
12
-
31
11 Gnathanodon speciosus
-
9
14
23
12 Halichoeres hortulanus
2
3
2
8
13 Lutjanus carponotatus
-
5
4
9
14 Myripristis murdjan
-
6
8
14
15 Parupeneus macronema
-
5
3
8
16 Pomacanthus imperator
-
12
9
21
17 Pterocaesio chrysozona
29
20
8
57
18 Pterois volitans
-
2
-
2
19 Sargocentron spiniferum
-
12
3
15
20 Scarus ghobban
2
10
8
20
21 Scolopsis bilineatus
4
12
6
22
22 Scolopsis bimaculatus
2
15
8
25
45
32
20
97
24 Siganus margaritiferus
-
27
14
41
25 Zanclus cornutus
-
5
3
8
178
274
149
601
29,62
45,59
24,79
100
10 Ephinephelus sp
23 Selar crumenophthalmus
Jumlah rata-rata (ekor) Jumlah (%)
139
Lampiran 10 Respons tingkah laku ikan yang lolos, tergiring, dan berbalik arah menjauh pada leadernet berwarna kuning No
Nama spesies
Leadernet berwarna kuning Lolos Tergiring Berbalik Total
1 Apogon sealei
8
11
-
19
2 Arothron mappa
-
4
-
4
3 Abudefduf vaigiensis
2
20
-
22
4 Terapon jarbua
1
4
-
5
5 Chaetodon baronessa
-
16
-
16
6 Chaerodon anchorago
15
24
-
39
7 Cheilinus fasciatus
13
20
-
33
8 Chilomycterus spilostylus
3
8
-
11
9 Diodon holocanthus
2
3
-
5
10 Ephinephelus sp
8
17
-
21
11 Gnathanodon speciosus
-
11
-
11
12 Halichoeres hortulanus
1
4
-
5
13 Lutjanus carponotatus
-
7
-
7
14 Myripristis murdjan
-
10
-
10
15 Parupeneus macronema
-
5
-
5
16 Pomacanthus imperator
-
14
-
14
17 Pterocaesio chrysozona
5
31
-
36
18 Pterois volitans
-
2
-
2
19 Sargocentron spiniferum
-
13
-
13
20 Scarus ghobban
-
15
-
15
21 Scolopsis bilineatus
2
16
-
18
22 Scolopsis bimaculatus
1
19
-
20
23 Selar crumenophthalmus
6
47
-
53
24 Siganus margaritiferus
-
29
-
29
25 Zanclus cornutus
-
5
-
5
67
355
0
422
15,88
84,12
0
100
Jumlah rata-rata (ekor) Jumlah (%)
140 Lampiran 11 Hasil tangkapan small bottom setnet (sumber KTNL 2007)
Zanclus cornutus Moorish Idol Ikan Bendera
Diodon holocanthus Fine-spotted porcupinefish
Pomacanthus imperator Emperor angelfish
Chaetodon baronesa Pacific triangular butterflyfish
Pterois volitans Pacific lionfish
Myripristis murdjan Crimson soldierfish
141
Lampiran 11 (lanjutan)
Cheilinus fasciatus Banded maori wrasse
Terapon jarbua Crescent-banded grunter
Gnathanodon speciosus Golden trevally
Chaerodon anchorago
Lutjanus carponotatus Stripey Seaperch
Sargocentron spiniferum Saber squirrelfish
142
Lampiran 11 (lanjutan)
Selar crumenophthalmus Big-eye scad
Epinephelus fuscogutattus Bullhead grouper
Chilomycterus spilostyuls Yellow spotted porcupinefish
Halichoeres hortulanus Checkerboard wrasse
Apogon sealei Cheek-bar cardinalfish Siganus margaritiferus Pearly-spotted rabbitfish
Scarus ghobban Blue-barred parrotfish
143
Lampiran 11 (lanjutan)
Scolopsis bimaculatus Thumbprint threadfin bream
Pterocaesio chrysozona Yellow-fusilier stripe
Parupenenus macronema Long-barbel goatfish
Abudefduf vaigiensis Sergeant major
Arothron mappa Scribbled pufferfish
Scolopsis bilineatus Two-line threadfin bream
144
Lampiran 12 Lokasi penelitian di kawasan konservasi laut (TNL Kepulauan Seribu)
145
Lampiran 13
Supervisi oleh komisi pembimbing di lokasi penelitian
146
Lampiran 14 Hasil tangkapan small bottom setnet dalam keadaan hidup
147
Lampiran 15
Tabel distribusi chi-square
d.f:
X2 0.995
X2 0.99
X2 0.975
X2 0.95
X2 0.05
X2 0.025
X2 0.01
X2 0.005
Dt
1
.0000393
.000157 .000982 .00393
3.811
5.024
6.635
7.879
1
2
.0100
.0201
.0306
.103
5.991
7.378
9.210
10.597
2
3
.0717
.115
.216
.352
7.815
9.348
11.345 12.838
3
4
.207
.297
.484
.711
9.488
11.143 13.277 14.860
4
5
.412
.334
.831
1.145
11.070 12.832 15.058 16.750
5
6
.676
.872
1.237
1.635
12.392 14.449 16.812 18.548
6
7
.939
1.239
1.690
2.167
14.067 16.013 18.475 20.278
7
8
1.314
1.616
2.180
2.733
16.507 17.535 20.090 21.955
8
9
1.735
2.088
2.700
3.325
16.919 19.023 21.666 23.589
9
10
2.156
2.558
3.247
3.940
18.307 20.483 23.209 25.188
10
11
2.603
3.053
3.816
4.575
19.675 21.920 24.725 26.757
11
12
3.074
3.371
4.404
5.226
21.026 23.337 26.217 28.300
12
13
3.365
4.107
5.009
5.892
22.382 24.736 27.688 29.819
13
14
4.075
4.660
5.629
6.571
23.635 26.119 29.141 31.319
14
15
4.601
5.229
6.262
7.261
24.996 27.468 30.578
32.01
15
16
5.142
5.912
6.908
7.962
28.96
34.27
16
17
5.697
6.408
8.672
27.587 30.191 33.409 35.718
17
18
6.265
7.015
8.231
9.390
28.889 31.526 34.805 37.156
18
19
6.814
7.633
8.907
10.117 30.144 32.852 36.191
38.58
19
20
7.434
8.260
9.391
10.851 31.410 34.170 37.566 39.997
20
21
8.034
8.597
10.233
11.591 32.671 35.479 38.932 41.401
21
22
8.613
9.512
10.982
12.338 33.924 36.781 40.289 42.790
22
23
9.260
10.196
11.689
13.091 35.172 38.076 41.638 44.181
23
24
9.856
10.856
12.401
13.818 36.415 39.364 42.980 45.558
24
25
10.320
11.524
13.120
14.611 37.652 40.646 44.314 46.928
25
26
11.160
12.198
13.844
15.379 38.885 41.923 45.612 48.290
26
27
11.806
12.879
14.573
16.151 40.113 43.194 46.963 49.615
27
28
12.461
13.565
15.308
16.928 41.337 44.461 48.278 50.993
28
29
13.121
14.256
16.147
17.708 42.557 45.722 49.558 52.336
29
30
13.787
14.953
16.791
18.493 43.773 46.979 50.892 53.672
30
7.564
8.845
32.000
148
Lampiran 16 Peta Kepulauan Seribu