PROSES PRODUKSI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN PROSES SEMI KERING DENGAN KOMBINASI FERMENTASI
ABDUL MAJID
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015 Abdul Majid NRP F351110041
RINGKASAN ABDUL MAJID. Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan BAMBANG HARYANTO Kebutuhan tentang pati dan tepung meningkat seiring dengan berkembangnya pola konsumsi masyarakat dan industri baik itu peruntukan pangan dan non pangan. Ditunjang dengan potensi kandungan pati dalam batang sagu cukup besar sebagai tanaman palma pertama yang ketersediaannya cukup besar di Indonesia dan kandungan patinya cukup tinggi. Sementara dalam proses untuk mendapatkan pati sagu, yang pada umumnya dilakukan proses ektraksi dengan media air dan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Disisi lainnya, ketersediaan air akan berkurang baik secara kuantitas maupun kualitas yang akan berpengaruh pada mutu pati sagu yang dihasilkan. Selain itu sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara fermentasi dengan stater yang mudah didapat. Penelitian ini bertujuan memperoleh kondisi terbaik pengembangan proses produksi tepung sagu semi kering dengan perlakuan fermentasi yang meliputi variasi stater yang mudah didapat dipasaran dan variasi lama perendaman, mendapatkan alternatif proses produksi tepung sagu dengan meminimalisasi penggunaan air, menurunkan kadar serat kasar pada tepung sagu yang dihasilkan. Penelitian diawali dengan persiapan bahan baku dengan pengujian karakterisitik bahan baku sagu serta dilakukan pengecilan ukuran dengan cara pemarutan. Kemudian dilakukan pelaksanaan penelitian di Laboratorium. Penelitian di laboratorium dimulai dengan pemilihan stater yang selanjutnya dilakukan proses inkubasi dan penepungan, pengujian distribusi ukuran partikel tepung sagu serta pengujian mutu tepung. Setelah itu dilakukan analisis kelayakan. Rancangan percobaan yang digunakan rancangan acak lengkap 2 faktor, yaitu faktor proses fermentasi (jenis starter) dan yaitu : Bimo CF, Ragi tape, Spontan, sedangkan level faktor untuk lama perendaman adalah 5 taraf, yaitu : 1,2,3,4 dan 5 hari dengan 2 ulangan. Penelitian ini dilaksanakan selama Lima bulan yaitu pada bulan Januari 2014 sampai dengan Mei 2014. Pembuatan tepung jagung dilakukan di Laboratorium Teknologi Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong. Pengujian tepung jagung dilakukan di Laboratirum Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Uji dan Analisa LABTIAB – PUPSPIPTEK Serpong. Proses produksi tepung sagu semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape dapat dijadikan sebagai alternatif pengolahan sagu. Tepung sagu yang dihasilkan mempunyai kadar serat yang berkisar antara 1 % sampai dengan 2 %. Dimana sebagai syarat sagu untuk industri sebesar 1 % (MS468, 1976), granula pati sesuai standar SNI 01-3729-1995, memiliki pH yang memenuhi standar untuk pangan SIRIM MS 470:1992 sebesar 4.5 sampai 6.5 dan rendemen tertinggi pada waktu perendaman 2 hari sebesar 26.40 % dan waktu perendaman 3 hari sebesar 26.50 % pada penggunaan starter Bimo CF dan rendemen tertinggi untuk penggunaan stater ragi tape sebesar 24.75 % pada waktu perendaman 1 hari. Perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape serta fermentasi spontan berpengaruh nyata terhadap kehalusan. Kehalusan tepung sagu yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan standar SNI 01-3729-1995.
Hasil pengamatan dengan SEM menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman secara umum menghasilkan granula pati yang mempunyai bentuk oval atau berbentuk telur dan sebagian diantaranya memiliki ujung yang rata atau pepat dan serupa dengan granula pati standar SNI 01-3729-1995. Proses produksi tepung sagu secara proses semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape pada waktu inkubasi 1 sampai 3 hari dapat memperbaiki sifat gelatinisasi yaitu menurunkan waktu dan suhu gelatinisaasi, mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi dan terjadi perbaikan dibanding pati sagu yang diproduksi oleh UKM, tetapi daya pengentalannya tidak tahan pada kondisi suhu tinggi dan tidak berpengaruh nyata terhadap breakdown viscosity serta viskositas panas, tahan terhadap retrogradasi adonan sehingga adonan lebih lunak jika dibandingkan pati sagu dan fermentasi dengan variasi starter dan waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap viskositas dingin dan setback viscosity. Tepung sagu yang dihasilkan berpotensi sebagai bahan pangan dan untuk industri namun perlu ada upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kecerahan tepung sagu sehingga lebih diminati oleh industri pengguna. Proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape layak secara finansial. Dengan nilai NPV DF 16% sebesar Rp. 362.167.291,-, IRR sebesar 20.53 %, net B/C ratio sebesar 2.24 dan Pay Back Period sebesar 4.68 tahun untuk penggunaan stater Bimo CF. dan untuk penggunaan stater ragi tape nilai NPV DF 16% sebesar Rp. 321.531.459,-, IRR sebesar 19.44 %, net B/C ratio sebesar 2.18 dan Pay Back Period sebesar 4.89 tahun. Penggunaan kedua stater tersebut lebih sensitiv terhadap peubahan harga jual produk tepung sagu disbanding terhadap perubahan harga bahan baku sehingga perlu dicari terobosan pasar dan pengembangan produk hilir.
Kata kunci : sagu, pati, tepung sagu, fermentasi, serat, stater.
SUMMARY
ABDUL MAJID. The Process Of Sago Flour Production use Semi-Dry Process Combine With Fermentation. Supervised by DWI SETYANINGSIH and BAMBANG HARYANTO Requirement about starch and flour increase with the growing society and industry consumption patterns either food and non food. potential of sago starch content in the trunk is quite large as the palm tree first availability in Indonesia pretty large and pretty high starch content. While in the process to obtain sago starch, which is generally done with the water extraction process and the accumulation of waste water sago starch resulting in environmental pollution. The other hand, the availability of water will diminish in quantity and quality that would affect the quality of sago starch is produced. In addition sago most of the material is skin and pulp making it difficult to make flour directly. It is necessary to the development of processing sago starch is fermented with a starter that is easily obtainable. This study aimed to obtain the best conditions the development of the production process sago flour semi-arid with the treatment of fermentation include variations stater easily available in the market and variations of incubation time, get an alternative production process sago flour to minimize water use, reduce levels of crude fiber in corn starch produced. The study begins with the preparation of raw materials to testing the characteristics of raw materials sago and size reductions. Then the implementation of the research conducted in the laboratory. Research in the laboratory begins with the selection of the starter is then performed incubation process and flouring, testing the particle size distribution of corn starch and flour quality testing. Once the feasibility analysis. The experimental design used randomized design with two factors, the fermentation process (type of starter): Bimo CF, yeast, Spontaneus, level of long incubation factor is 5 levels: 1,2,3,4 and 5 days with 2 replications. The research was conducted during the five months that in January 2014 to May 2014. Making sago flour done in the Laboratory of Agro-Industry Technology, LABTIAB PUSPIPTEK Serpong. Tests is done in Laboratirum analysis IPB Department of Agricultural and Industrial Technology Laboratory Testing and Analysis LABTIAB - PUPSPIPTEK Serpong. Sago flour production processes combined with a semi-dry fermented using yeast starter Ben CF can be used as an alternative treatment of sago. Corn starch produced has a fiber content between 1% to 2%. Where as a condition for the sago industry amounted to 1% (MS468, 1976), starch granule according to the standard of SNI 01-3729-1995, has a pH that meet the standards for food SIRIM MS 470: 1992 of 4.5 to 6.5 and the highest yield at the time of incubation 2 days amounted to 26.40% and the incubation time 3 days amounted to 26.50% in the use of starter Bimo CF and the highest yield for yeast starter usage by 24.75% at 1 day of incubation time. Fermentation using yeast and starter Bimo CF with spontaneous fermentation significant effect on fineness. Fineness sago starch produced in accordance with the standard requirements of SNI 01-3729-1995. The observation by SEM showed treatment with a variation starter fermentation and incubation time generally produces starch granule that have an oval shape or egg-shaped, and some of them have a flat tip or oblate, and similar to the standard starch granule SNI 013729-1995.
The production process sago flour semi-dry combined with fermented using starter Bimo CF and yeast on the incubation time of 1 to 3 days can improve of gelatinization which decreases the time and gelatinization temperature, has a good stable viscosity at high temperatures and there is improvement compared sago starch produced by UKM. Fermentation significant effect on the final viscosity, setback viscosity and pasting temperature but had no effect on peak time, breakdown viscosity, through viscosity, and peak viscosity and the potential of sago flour as food. The production process of corn starch with a combination of semi-dry fermented using yeast starter Bimo CF and yeast financially feasible. With NPV DF 16% price of Rp. 362 167 291, -, IRR of 20:53%, net B / C ratio of 2:24 and Pay Back Period amounted to 4.68 years for using starter Bimo CF. and to using yeast starter NPV DF 16% the price of Rp. 321 531 459, -, IRR of 19:44%, net B / C ratio of 2:18 and Pay Back Period amounted to 4.89 years. The second use of the starter is more sensitive to changes in selling prices of sago flour to change in raw material prices that is necessary to find a market breakthrough and development of downstream products. Key word : sago, starch, sago flour, fermentationi, fiber, starter.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PROSES PRODUKSI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN PROSES SEMI KERING DENGAN KOMBINASI FERMENTASI
ABDUL MAJID
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi : Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si.
Judul Tesis Nama NRP
: Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi. : Abdul Majid : F351110041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si.
Prof. Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS.
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Machfud, MS.
Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 18 Agustus 2015
Tanggal Lulus : 31 Agustus 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah tepung sagu, dengan judul Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan selama penyelesaian tesis ini. Rasa terima kasih juga penulisa sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Machfud, MS. selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan studi di Program Studi Teknologi Industri Pertanian. Tak lupa terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. yang telah bersedia memberikan masukan dan tambahan wawasan untuk perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, terima kasih juga penulis sampaikan rekanrekan Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009 serta semua pihak di Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Priyo Atmaji, M.Eng, Ir. Nenie Yustingsih, M.Sc. selaku Direktur Pusat Teknologi Agroindustri, Dr. Aton Yulianto, S.Si, M.Eng., Ir. Irshan Zainudin, M.Si dan Drs. Agus Triputranto, MM. selaku atasan langsung di Bidang Teknologi Agroindustri Pangan dan Hortikultura dan para pihak terkait di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah membantu terlaksananya studi karya siswa penulis di IPB, serta kepada rekan-rekan di Laboratorium Teknologi Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih yang tidak terkira disampaikan kepada mereka yang tercinta Bapak, Emih, Mama, Papa, Erni, Faiha, Farras, Jiyad, Barra serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Abdul Majid
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Ruang Lingkup
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Sagu Pati Sagu Tepung Sagu Fermentasi Tepung Sagu
4 4 6 7 7
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Tahapan Penelitian
8 8 8 9
PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Pengaruh Fermentasi Terhadap Komponen Kimia Tepung Sagu Pengaruh Fermentasi Terhadap Distribusi Partikel Tepung Sagu Pengaruh Fermentasi Terhadap Rendemen Tepung Sagu Pengaruh Fermentasi Terhadap Ukuran Partikel Tepung Sagu Pengaruh Fermentasi Terhadap Sifat Visco Amilografi Pengukuran pH Derajat Putih Optimasi Proses Desain Proses Analisa Kelayakan Finansial Kriteria Kelayakan Investasi Analisa Sensitivitas
18 18 20 25 28 30 32 38 39 40
KESIMPULAN Kesimpulan
46 46
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
47
42 43 44
DAFTAR TABEL
2.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11
4.12
Perkiraan Areal Agihan Sagu Dunia (Louhenapessy 2010) Karakteristik Bahan Baku Sagu Kadar serat dari tepung pada beberapa sumber karbohidrat Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan ragi tape pada berbagai variasi waktu perendaman Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan Bimo CF pada berbagai variasi waktu perendaman Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi spontan pada berbagai variasi waktu perendaman Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil pengujian kontrol positif pada berbagai variasi waktu perendaman Hasil analisa rendemen terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman Perbandingan sifat amilografi tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman. Perbandingan nilai respon kadar serat tepung sagu pada berbagai kondisi. Hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi. Perbandingan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat bahan baku sagu naik 10%. Perbandigan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat harga jual produk utama turun 10%.
5 18 19 21 22 23 25 29 33 40 43 44
44
DAFTAR GAMBAR
3.1 3.2 4.1 4.2 4.3 4.4
4.5 4.6 4.7 4.8
Grafik perubahan viskositas (amilogrm) pada tepung Skema Pelaksanaan Penelitian Bagian batang sagu (Louhenapessy, 2010) (A) dan struktur anatomi batang (B). Grafik persentase tepung yang tidak lolos ayakan +30 mesh terhadap waktu perendaman pada berbagai variasi stater Grafik presentase tepung sagu lolos ayakan 100 mesh terhadap waktu perendaman dan pada berbagai variasi stater Foto hasil SEM untuk (A) tepung sagu hasil fermentasi dengan stater Bimo CF. (B) stater ragi tape. (C) fermentasi spontan (1,2,3,4 = waktu inkubasi/hari). (D) dan kontrol positif (1 = waktu inkubasi 1 hari, 2 = waktu inkubasi 3 hari). (E) pati sagu standar SNI 01-3729-1995. Grafik sifat amilograpi tepung sagu (A) stater Bimo CF, (B) stater ragi tape (C) fermentasi spontan. Grafik hasil pengukuran pH terhadap waktu perendaman dan pada berbagai variasi starter Grafik hasil pengukuran derajat putih terhadap waktu perendaman dan pada berbagai variasi starter. Desain proses produksi tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi
14 17 26 27 27 31
35 38 40 41
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tumbuh kembangnya suatu negara mempengaruhi pola hidup masyarakatnya, terutama dalam hal mengkonsumsi makanan yang diakibatkan karena keterbatasan waktu dan tempat, sehingga pola konsumsi makanan masyarakat beralih dari makanan konvensional ke makanan yang serba praktis. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat yang hidup di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia mulai terbiasa mengkonsumsi makanan siap saji maupun siap konsumsi yang banyak tersedia di pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar modern di berbagai kota di Indonesia. Makanan-makanan siap saji maupun siap konsumsi tersebut utamanya didominasi oleh mie/bihun/bubur instan, roti dan biskuit. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan terigu sebagai bahan baku utamanya. Kondisi ini akan menjadikan bangsa kita mempunyai ketergantungan yang tinggi kepada bangsa-bangsa lain untuk pemenuhan kebutuhan pangan, terutama beras dan terigu (BPPT, 2010). Sebagai Negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat dan mampu menjadi sumber karbohidrat terbesar di dunia. Pada umumnya karbohidrat tersebut diperoleh dari biji-bijian seperti beras, gandum, jagung, sorgum dan semacamnya, disamping itu juga diperoleh dari umbi-umbian seperti ubi kayu, talas, garut, ganyong dan semacamnya. Selain itu ada juga jenis tanaman lain yang menyimpan karbohidrat atau pati pada bagian batang seperti Aren (Arenga piñata), Sagu (Metroxylon sp) dan sebagainya (Haryanto, 1994). Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta Ha atau 51.3% dari 2.201 juta Ha areal sagu dunia, dengan potensi produktivitasnya cukup tinggi sebesar ± 30 ton/ha/tahun, jauh melebihi sumber pangan lainnya seperti padi 10 sampai 16 ton/ha/tahun dan jagung 8 sampai 10 ton/ha/tahun (Alfons dan Rivaie, 2011). Indonesia mempunyai banyak daerah yang berpotensi ditanami sagu. Tercatat, sekitar 183 kabupaten yang tersebar di 27 provinsi dinilai potensial untuk pengembangan tanaman sagu. Total pati sagu yang dapat dihasilkan seluruh Indonesia potensinya dapat mencapai 6.84 juta ton/tahun (Syakir dan Elna, 2013). Kandungan terbesar dalam sagu ialah karbohidrat, dalam 100 g sagu kering terdapat 94 sampai 96 g karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan beras 80.4 g, jagung 71.7 g, maupun kentang 16.3 g (Ni’mah et al., 2013). Pengolahan batang sagu saat ini titik beratnya adalah menghasilkan pati sagu, walaupun di pedesaan pemanfaatan bagian lain dari tumbuhan sagu seperti daun (pinae) untuk atap, pelepah (rachis) untuk dinding dan plafond dan lainlainnya. Pengolahan empulur sagu yang umumnya disebut pengolahan sagu terdiri dari kegiatan-kegiatan penebangan pohon sagu, pembelahan batang sagu/pemotongan tual sagu, penghancuran empulur sagu, ekstraksi, pengendapan dan pengemasan pati (Louhenapessy, 2010).
2 Pengolahan batang sagu dilakukan proses ekstraksi dengan bantuan air. Dengan media air, pati sagu dapat dipisahkan dengan seratnya. Pada umumnya pengolahan sagu dilakukan di dekat sumber air seperti di pinggir sungai ataupun anak sungai. Pada industri pengolahan sagu dengan kapasitas besar, air sungai akan terakumulasi dengan sisa pati sagu hasil ekstraksi tersebut. Bila hal ini berlangsung terus menerus akan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang berdampak pada pencemaran air sungai (Amos, 2010). Untuk mengantisipasi berkurangnya ketersediaan air baik secara kualitas maupun kuantitas perlu dicari alternatif metode pengolahan sagu yang tidak banyak menggunakan air sekaligus adanya perbaikan kualitas produk olahan sagu. Menurut Schuiling dan Flach (1985) dalam Louhenapessy et al. (2010) pati adalah hasil ekstraksi secara mekanik dalam keadaan basah dari empulur pohon, sedangkan tepung adalah hasil yang didapat dari penggilingan kering dari suatu bahan yang tetap mengandung serat dan bahan kasar lainnya. Dalam proses pembuatan tepung sagu diduga akan menghemat air dibanding dengan pembuatan pati sagu. Oleh karena itu perlu dilakukan rekayasa proses produksi tepung sagu. Rekayasa proses tepung sagu sudah dilakukan oleh (Saripudin, 2006) dengan cara sagu dibuat chips kemudian ditepung dengan menggunakan disk mill yang sebelumnya dilakukan perendaman dengan menggunakan natrium metabisulfit, namun tepung sagu yang dihasilkan masih mengandung kadar serat yang tinggi, yakni 10.10 %. Selain belum memenuhi standar maksimum kandungan serat yang disyaratkan SNI 01-3729-1995 sebesar 0.1 % dan syarat sagu untuk industri sebesar 1 %. Kandungan serat yang tinggi dalam tepung sagu juga akan membatasi penggunaan tepungnya. Sehingga untuk memperluas penggunaan tepung sagu perlu ada upaya pengembangan rekayasa proses produksi tepung sagu dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Batang sagu mempunyai kadar air yang cukup tinggi sebesar 50 sampai 66 % sementara kadar patinya rendah sebesar 20 sampai 29 %, selain itu batang sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara fermentasi. Upaya meningkatkan mutu tepung dengan sasaran menurunkan kadar serat kasar melalui fermentasi telah dilakukan menggunakan starter Bimo CF (Rachmadi, 2011), fermentasi pada beberapa sumber karbohidrat menggunakan ragi tape terjadi penurunan kandungan serat kasar (Rahmawati dan Luwihana, 2013), adanya perubahan sifat fisika kimia (Mukhamad dan Yunianta, 2014). Stater Bimo CF dan ragi tape mudah didapatkan di pasaran sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan proses produksi tepung sagu semi kering dengan perlakuan fermentasi menggunakan kedua starter tersebut.
Rumusan Masalah
Kebutuhan tentang pati dan tepung meningkat seiring dengan berkembangnya pola konsumsi masyarakat dan industri baik itu peruntukan pangan dan non pangan. Ditunjang dengan potensi kandungan pati dalam batang sagu cukup besar sebagai tanaman palma pertama yang kandungan patinya cukup
3 tinggi dan ketersediaannya cukup besar di Indonesia. Sementara dalam proses untuk mendapatkan pati sagu, yang pada umumnya dilakukan proses ektraksi dengan media air dan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Disisi lainnya, ketersediaan air akan berkurang baik secara kuantitas maupun kualitas yang akan berpengaruh pada mutu pati sagu yang dihasilkan. Selain itu sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara fermentasi dengan stater yang mudah didapat. Oleh karena itu, rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah pengembangan proses produksi tepung sagu secara fermentasi sebagai alternatif proses produksi tepung sagu dengan menggunakan stater yang mudah didapat di pasaran akan menurunkan kadar serat pada tepung sagu serta menghasilkan tepung sagu sesuai yang diharapkan yaitu tepung dengan standar mutu yang mengacu kepada mutu patinya.
Tujuan
Tujuan kegiatan penelitian ini adalah : 1. Memperoleh kondisi terbaik pengembangan proses produksi tepung sagu semi kering dengan perlakuan fermentasi yang meliputi variasi stater yang mudah didapat dipasaran dan variasi lama perendaman. 2. Mendapatkan alternatif proses produksi tepung sagu dengan meminimalisasi penggunaan air. 3. Menurunkan kadar serat kasar pada tepung sagu yang dihasilkan.
Ruang Lingkup
Pengembangan proses produksi tepung sagu dengan meminimalkan penggunaan air secara fermentasi dengan menggunakan stater yang mudah didapat di pasaran sebagai alternatif proses produksi tepung sagu dan untuk memperoleh produk tepung sagu dengan kadar serat yang dapat memperluas penggunaannya. Minimal kandungan seratnya sesuai yang disyaratkan untuk sagu industri sebesar 1 %.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sagu
Pengertian sagu dijelaskan secara gamblang dalam (Louhenapessy, 2010) istilah sagu telah digunakan secara luas untuk pati atau tepung yang dihasilkan oleh batang tumbuhan palma, pakis atau umbi akar. Deinum membatasi genus Metroxylon sebagai sagu sejati (true sago palm) baik yang berbunga satu kali maupun dua kali, tetapi Heyne membatasi pengertian sagu sejati hanya pada genus Metroxylon yang berbunga dan berbuah satu kali yaitu Metroxylon spp., sedangkan yang berbunga lebih dari satu kali yaitu M. elatum Mart. Dan M. filare Mart., tidak termasuk sagu sejati malah dikeluarkan dari genus Metroxylon. Schuiling dan Flach membatasi sagu sejati lebih khusus lagi yaitu hanya termasuk M.sagus Rottb. (sagu molat), karena selain produksinya tinggi, tepungnya termasuk mutu perdagangan internasional. Walaupun demikian kenyataannya di Maluku spesies M. rumphii Mart. (sagu tuni) merupakan penghasil tepung tertinggi dan mutu tepung tidak berbeda dengan sagu molat. Dari berbagai pendapat diatas dan kenyataan perkembangan saat ini maka pendapat Heyne-lah yang digunakan dan nama sagu sudah merupakan nama umum untuk Metroxylon spp., di Maluku dan Papua sebagai pusat agihan sagu dunia. Dari uraian diatas maka yang disebut sagu adalah tepung atau pati yang dihasilkan dari Metroxylon spp., dan tumbuhan sagu adalah genus Metroxylon yang berbunga satu kali. Untuk menjernihkan pengertian maka dapat disepakati bahwa palma lain atau pohon lain yang bukan genus Metroxylon yang menghasilkan tepung atau pati dari pokok batangnya dapat dinamakan tumbuhan sagu-saguan. Secara taksonomi tumbuhan, sitematika tumbuhan sagu (Metroxylon spp.) adalah sebagai berikut : Devisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae Ordo : Arecales Famili : Palmae Subfamili : Lepidocaroideae (Calamoideae) Genus : Metroxylon Spesies : Eumetroxylon Menurut Haryanto (1994) sagu yang berbunga atau berbuah sekali sangat penting nilai ekonominya karena kandungan acinya tinggi, golongan ini terdiri dari lima jenis atau spesies yaitu : Metroxylon rumphii Martius, Metroxylon sagus Rottbol, Metroxylon Sylvester Martius, Metroxylon longispinum Martius, Metroxylon micracantum Martius.Walaupun secara umum dikenal lima jenis sagu yang berbunga sekali dan bernilai ekonomi penting, tetapi di Pulau Seram terdapat beberapa jenis sagu yang berbunga atau berbuah sekali, dan morfologinya sangat berbeda dengan kelima jenis utama tadi, jenis-jenis sagu tersebut dikenal dengan nama sagu “molat berduri”, sagu “duri putih” dan sagu “tuni hitam”.
5 Menurut Widjono et al. dalam Kanro et al. (2003) telah mengidentifikasi 61 jenis sagu pada empat lokasi di Papua. Identifikasi dilakukan menurut sifat-sifat kualitatif yang meliputi warna pucuk, bentuk duri, pelepah daun, diameter batang, warna tepung, bentuk tajuk, dan produksi tepung. Dari 61 jenis yang ditemukan, 32 di antaranya mempunyai produksi tinggi dan telah banyak dimanfaatkan oleh penduduk. Novarianto et al.(1996) telah mengidentifikasi 17 sampai 20 jenis sagu di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Jenis-jenis tersebut sudah mempunyai nama lokal dan sudah dikenal oleh masyarakat pengelola sagu di Papua. Namanama lokal sagu tersebut adalah sebagai berikut: Yakhali, Fikhela, Phane, Osoghulu, Yoghuleng, Rena, Hobolo, Yebha, Hili, Wanni, Follo, Habela, Yaghalobe, Phui, Phara Waliha, Rondo, Ebesung, Manno, Ruruna, dan Phara. Sagu jenis Osoghulu, Ebesung, dan Yebha termasuk penghasil tepung sangat tinggi, masing-masing menghasilkan 207.50 kg, 207.50 kg, dan 191.50 kg tepung per pohon setelah berumur 7 sampai 10 tahun. Jenis Follo, Wanni, Yaghalobe, Ruruna, Hobolo, Phui, Fikhela, Rondo, dan Yakhali termasuk penghasil tepung cukup tinggi dengan produksi berkisar antara 126.,50 sampai 176.50 kg tepung/pohon/tahun. Inventarisasi tumbuhan sagu di Indonesia telah dilakukan pada awal sampai dengan akhir 1980-an oleh BPPT dan UNPATTI, BAKOSURTANAL dan UNCEN maupun peneliti-peneliti kelompok atau peorangan. Taksiran agihan sagu Indonesia dan dunia yang dibudidaya maupun alami tercantum pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perkiraan Areal Agihan Sagu Dunia NEGARA ALAMI (Ha) 1,000,000 Papua New Gunea 500,000 - Propinsi Sepik 400,000 - Propinsi Gulf 100,000 - Propinsi Lain 1,250,000 Indonesia 1,200,000 - Papua 50,000 - Maluku - Sulawesi - Kalimantan - Sumatera - Kepulauan Riau - Kepulauan Mentawai Malaysia - Sabah - Serawak - Malaysia Barat Thailand Filipina Negara Lain Total 2,250,000 Sumber : Louhenapessy (2010)
BUDI DAYA (Ha) 20,000 5,000 5,000 10,000 148,000 14,000 10,000 30,000 20,000 30,000 20,000 30,000 45,000 10,000 30,000 5,000 3,000 3,000 5,000 224,000
Secara alami tanaman sagu akan tumbuh di daerah dekat sungai, rawa bergambut, dan rawa-rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dimana
6 tanaman lain tidak dapat tumbuh. Sagu merupakan tanaman yang dapat memproduksi pati dan tumbuh dengan baik sampai ketinggian 1000 meter dari permukaan laut. Pada wilayah yang kurang baik, para petani sagu hanya dapat menebang tanaman sagu sebanyak 5 pohon/ha/tahun. Tetapi pada hutan sagu yang baik, para petani bisa menebang tanaman sagu hingga 30 pohon/ha/tahun. Produksi tanaman sagu bervariasi dari 200 sampai 350 kg setiap pohonnya, pati dari pohon sagu sekitar 153 sampai 345 kg setiap pohonnya. jika pohon sagu ditebang secara reguler setiap bulan maka produksinya akan menurun sampai 25 sampai 50 kg. Tepung sagu kering hasil pengolahan industri pengolahan sagu hanya dapat memanfaatkan 16 % sampai 28 % dari berat batang sagu. Persentase pemanfaatan sagu tersebut relatif sangat kecil dan merupakan pemborosan sumberdaya alam. Sebagian besar material berupa kulit dan ampas sebesar ± 85 % terbuang sebagai sisa produk. Empulur batang sagu mengandung 20.2 sampai 29 % pati, 50 sampai 66 % air dan 13.8 sampai 21.3 % bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54 sampai 60 % pati dan 40 sampai 46 % ampas (Saripudin, 2006).
Pati Sagu
Selama ini produksi dan penelitian sagu sebagian besar menggunakan pati sagu. Untuk mengolah batang sagu menjadi pati sagu perlu dilakukan proses ekstraksi dengan bantuan air. Dengan media air ini pati sagu dapat dipisahkan dengan seratnya. Pada umumnya pengolahan sagu dilakukan didekat sumber air seperti di pinggir sungai ataupun anak sungai. Pada industri pengolahan sagu dengan kapasitas besar, air sungai akan terakumulasi dengan sisa pati sagu hasil ekstraksi tersebut. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka akan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang akan mengakibatkan pencemaran air sungai (Haryanto, 2004). Pati sagu mengandung 27 % amilosa (polimer linear) dan 73 % amilopektin, polimer bercabang. Kandungan amilosa pati sagu sebesar 21.7 %. Ini bisa menjadi indikasi bahwa mungkin untuk penambahan kandungan amilosa. Distribusi ukuran butir 16.0 sampai 25.4 um. Ini adalah kemungkinan bahwa ukuran butir meningkat dengan usia bagasi, sampai inisiasi perbungaan. Jumlah viskositas maksimum 960 bu, dan gelatinisasi suhu 70o C. Viskositas menurun dengan penurunan kualitas pati, karena aktivitas mikroba. Dalam industri pati modern, pati dapat dimodifikasi untuk keperluan tertentu. Asalkan ada nilai tambah dengan harga murah, bersih dan tidak terjadi kerusakan pati, sagu akan jelas lebih kompetitif dibanding semua pati lainnya, dan untuk beberapa tujuan bahkan mungkin lebih disukai (Flach, 1997). Secara mikroskopik bahwa granula pati terkonsentrasi pada empulur dalam bentuk sel-sel atau ”vascular bundles” dengan diameter sel berkisar antara 40 sampai 50 µm. Bentuk granula pati sagu adalah oval (bulat telur). Untuk melepaskan granula pati dari jaringan pengikatnya dilakukan pemarutan atau dengan penggilingan, proses pelepasan granula pati akan lebih efektif dengan arah tegak lurus susunan serat ”vascular bundles. Perbandingan amilosa dan
7 amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air (Saripudin, 2006).
Tepung Sagu
Selama ini nama pati dan tepung disamakan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian pati dan tepung disamakan baik sebagai hasil ekstraksi dari pokok batang palma maupun hasil penghancuran (penggilingan) umbi atau biji-bijian seperti ubi kayu, gandum dan padi. Menurut Schuiling dan Flach dalam Louhenapessy et al. (2010) pati adalah hasil ekstraksi secara mekanik dalam keadaan basah dari empulur pohon, sedangkan tepung adalah hasil yang didapat dari penggilingan kering dari suatu bahan yang tetap mengandung serat dan bahan kasar lainnya. Tepung sagu banyak digunakan sebagai bahan baku untuk makanan atau industri kosmetik. Banyak industri makanan yang telah menggunakan tepung sagu sebagai bahan utamanya seperti produksi bihun, kwe tiau, biskuit, kue dan makanan lain. Produk berbasis tepung sagu memiliki potensi besar untuk memperluas pasar terutama jika ada perbaikan kapasitas produksi dan kualitas produk (Mazlina et al.,2007). Perkembangan penelitian tepung sagu masih sangat terbatas, selama ini teknologi penepungan ataupun proses fermentasi sagu selalu disandingkan dengan proses ekstraksi. Seperti yang dilakukan oleh (loreto et al., 2006) yang melakukan pengembangan proses pengolahan sagu tradisional di Filipina secara mekanisasi dengan hasil penyederhanan proses dari 22 tahap sebanyak 50 %. Begitu juga apa yang dilakukan oleh (Mazlina et al., 2007) mengenai pengembangan proses tepung sagu dengan teknik sequeezing dan hasilnya dapat meningkatkan yield. Rekayasa proses tepung sagu yang dilakukan (Saripudin, 2006) menghasilkan tepung sagu dengan rendemen 21.85%, kadar karbohidrat 87.78 % dan serat 10.10 %. Kajian berbagai macam cara ektraksi pati sagu yang salah satunya dengan fermentasi alami telah dilakukan oleh (Sudrajat, 1985) mengungkapkan pati sagu hasil ekstraksi dengan cara fermentasi menghasilkan yield 24.80% Kadar serat 0.28 %, namun keasaman pati masih tinggi.
Fermentasi Tepung Sagu
Fermentasi ialah proses yang menghasilkan berbagai produk yang melibatkan aktivitas mikroba atau ekstraknya dengan aktivitas mikroba terkontrol. Fermentasi merupakan proses yang telah lama dikenal manusia. Fermentasi adalah proses untuk mengubah suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia. Proses fermentasi telah mengalami perbaikan-perbaikan dari segi proses
8 sehingga dihasilkan produk fermentasi yang lebih baik. Fermentasi memiliki berbagai manfaat, antara lain untuk mengawetkan produk pangan, memberi cita rasa atau flavor terhadap produk pangan tertentu, memberikan tekstur tertentu pada produk pangan. Dalam penelitian Wahyu dan Ikhsan (2010) yang dilakukan sebagai upaya menurunkan kadar serat kasar dengan fermentasi substrat padat menggunakan Aspegillus niger. Secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna daripada bahan asalnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fermentasi juga berfungsi sebagai salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang dikandunng suatu bahan. Penggunaan Bakteri Asam Laktat (BAL) pada stater mocaf Bimo CF dalam proses fermentasi tepung selain tepung ubi kayu dilakukan oleh (Rachmadi, 2011) yang meneliti pemanfaatan fermentasi rebung untuk bahan suplemen pangan dan tepung serat menggunakan starter mocaf sebagai salah satu starter fermentasinya dengan hasil uji tepung rebung dengan perlakuan fermentasi dengan menggunakan stater mocaf dapat menurunkan kadar seratnya. Hal ini terjadi karena serat dipecah oleh bakteri yang terdapat pada starter. Fermentasi pada beberapa sumber karbohidrat menggunakan ragi tape terjadi penurunan kandungan serat kasar (Arif dan Anan, 1996). Berdasarkan kajian Widodo (2011) disebutkan bahwa ragi tape sebenarnya merupakan campuran mikroba yaitu kapang Amilomyces rouxii yang bersifat aminolitik, khamir Saccharomyces cerevisiae yang besifat aminolitik, Candida dan Hansnula yang dapat mendegradasi gula menjadi alkohol dan zat organik lainnya, Sedang jamur yang ada dalam ragi tape adalah jenis Aspergillus flavus dan Aspergillus orizae yang mampu mendegradasi selulosa dan juga menghidrolisis xylon menjadi gula sederhana, serta bakteri Acetobacter yang mengubah alkohol menjadi cuka.
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penilitian Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada bulan Januari sampai dengan Mei 2014. Pembuatan tepung sagu dilakukan di Laboratorium Teknologi Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong. Pengujian tepung sagu dilakukan di Laboratirum Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Uji dan Analisa LABTIAB – PUPSPIPTEK Serpong. Bahan dan Peralatan Bahan Bahan-bahan utama penelitian adalah sagu gelondongan 50-60 cm dari industri pengolahan sagu di daerah Ciluar Bogor, starter mocaf Biologically Modified Casava Flour (Bimo CF) yang diperoleh dari PT. Multi Usaha Wisesa,
9 ragi tape merek Kereta Kencana yang diproduksi oleh Sinar Sekawan dan dibeli di pasar Lembang Ciledung Kota Tangerang, enzim selulosa ETHOL-GE yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM – IPB. dan sodium metabisulfit.
Peralatan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak perendaman, stopwatch, timbangan, pengaduk, wadah peniris, neraca analitik, pengering kabinet, oven, desikator, disk mill, siever, peralatan analisa, pH Meter, RVA Tech Master Newport Scientific.
Tahapan Penelitian
Secara garis besar penelitian dikelompokan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pertama persiapan bahan baku. Tahap kedua adalah tahap penepungan. Penepungan dimulai dengan proses fermentasi yang dilanjutkan dengan perendaman dengan sodium metabisulfit dan dilakukan proses penepungan. Tahap ketiga penelitian ini adalah analisis kelayakan ekonomi. Setelah diperoleh kondisi optimum dari proses produksi tepung sagu dan dibuat desain proses maka dilakukan analisa kelayakan secara ekonomi.
Tahap Persiapan Bahan Baku Bahan baku sagu yang masih berupa gelondongan sebesar 50 sampai 60 cm dilakukan karakterisasi dengan analisis kandungan proksimat yang bertujuan untuk mengetahui kandungan proksimat atau komponen kimia bahan sagu yang digunakan, selain itu juga analisis kandungan proksimat dilakukan terhadap bahan baku yang ditepung secarang langsung tanpa fermentasi menggunakan ball mill sebagai pembanding dengan kehalusan 100 mesh dan 200 mesh. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air bahan (metode AOAC), Kadar abu (metode AOAC), Kadar lemak (metode soxhlet), Kandungan protein (metoda kjeldahl), Kadar serat kasar (metode gravimetri), Kadar karbohidrat By Difference. Setelah bahan baku dikarakterisasi kemudian dilakukan pengecilan ukuran dengan cara pemarutan (Basir, 2012). Prosedur uji kadar air menggunakan metode AOAC (1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Timbang sampel kurang lebih sebanyak 2 g dalam cawan. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam. Pindahkan cawan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan.
10 Perhitungan : Kadar Air (% berat basah) =
[
(
)]
100 %
W1 = Berat cawan (g) W2 = Berat sampel (g) W3 = Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) Prosedur uji kadar abu menggunakan metode AOAC (1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 g di dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 sampai 600 o C selama 4 sampai 6 jam sehingga terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Perhitungan : Kadar abu (%) =
100%
Wa = berat abu (g) Ws = berat sampel (g) Prosedur uji kadar protein menggunakan metode mikro kjeldahl AOAC (1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3.8 ± 0.1 ml H2SO4. Tambahkan batu didih pada labu lalu didihkan sampel selama 1 sampai 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8 sampai 10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko. Perhitungan : Jumlah N (%) =
–
.
Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25) Prosedur uji kadar lemak menggunakan metode AOAC (1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), labu lemak disediakan sesuai dengan
11 ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC sampai 110oC kemudian dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Ditimbang sebanyak 5 g sampel dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 o C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, kemudian labu beserta lemak ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.
Kadar lemak (%) =
( ) ( )
100 %
Prosedur uji serat kasar menggunakan metode gravimetri yang dilakukan oleh Kartadisastra (1997) dalam Sugiyono (2008), Sampel sagu ditimbang sebanyak 1sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml, kemudian ditambahkan 50 ml H2SO4 1.25% panas dan direflux selama 30 menit, setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3.25% dan direflux selama 30 menit. Sampel yang telah dipanaskan, kemudian disaring panas - panas dengan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobotnya. Setelah disaring, lalu sampel dicuci dengan 50 ml H2SO4 1.25% dan 50 ml alkohol 36 %, kemudian endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C dan timbang sampai bobot konstan. Serat kasar dihitung dengan rumus : KS (%) =
(
)
100 %
(basis basah) Dimana : KS = kadar serat kasar (%) a = berat kertas saring ditambah sampel yang telah dikeringkan (g) b = berat kertas saring (g) c = berat sampel (g) Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunkan metoda by difference seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006). Perhitungan : Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (P + KA + A + L + KS) Di mana : P A KA L KS
= kadar protein (%) = abu (%) = kadar air (%) = kadar lemak (%) = kadar serat kasar (%)
12
Tahap Produksi Tepung Sagu Rancangan percobaan yang digunakan dalam Pengamatan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor dan 2 ulangan. Faktor-faktor tersebut adalah jenis proses fermentasi dan waktu inkubasi. Faktor I adalah jenis proses fermentasi menggunakan stater mocaf, ragi tape dan fermentasi spontan. Factor II adalah waktu inkubasi dengan lima taraf yaitu 1, 2, 3, 4 dan 5 hari. Pengaruh proses fermentasi dengan perlakuan waktu inkubasi lima taraf terhadap karakteristik mutu tepung sagu diketahui berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap parameter penurunan kadar serat, rendemen, kehalusan dengan mengukur distribusi partikel pada ayakan bertingkat, ukuran partikel berdasarkan hasil foto SEM, sifat amilografi menggunakan instrument RVA, keasaman, dan derajat putih. Dan dilakukan uji kontrol positif dengan menggunakan enzim selulosa untuk mengetahui perlakuan positif dari proses fermentasi terhadap faktor yang tergantung dalam hal ini kadar serat. Model linier umum penduga untuk rancangan acak lengkap adalah : Yik
= µ + τ + Σij
Keterngan : Yik = nilai pengamatan dari fermentasi ke-i pada ulangan ke-j µ = nilai tengah (nilai rata-rata umum) τ = pengaruh perlakuan ke-i Σij = pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i Analisa data dilakukan dengan menggunakan prosedur analisa sidik ragam, jika hasil analisa sidik ragam menunjukan pengaruh nyata, maka untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji beda wilayah ganda Duncan atau Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Tahap proses produksi tepung sagu meliputi fermentasi bahan yang sudah dilakukan pengecilan ukuran, perendaman dalam Sodium metabisulfit, pengeringan dan penepungan. Kemudian dilakukan uji mutu terhadapTepung sagu yang dihasilkan. Proses fermentasi menggunakan stater mocaf dan ragi tape pada suhu ruang (30 oC) selama 1, 2, 3, 4 dan 5 hari dengan rasio padatan terhadap cairan 1 : 2 atau terendam sempurna. 4 g ragi tape dilarutkan dalam 4 l aquades cukup untuk bahan sagu sawut 2 kg. Dosis starter mocaf adalah 4 g starter untuk 4 l air. untuk merendam 2 kg sagu sawut. Setelah proses fermentasi sagu sawut ditiriskan. Perendaman dalam larutan Sodium metabisulfit setelah proses fermentasi untuk membantu menambah derajat putih tepung, konsentrasi sodium metabisulfit yang ditambahkan 0.2 %. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari sampai sagu sawut kering, kemudian ditepung menggunakan disk mill. Dan diayak dengan siever 100 mesh. Tepung sagu yang dihasilkan diukur kandungan proksimatnya untuk mengetahui komposisi kimia dalam tepung sagu.
13 Produk utama dalam penelitian tepung sagu disini adalah tepung sagu yang lolos 100 mesh. Analisa rendemen dilakukan untuk mengetahui kehilangan berat bahan sagu ketika mengalami proses pengolahan menjadi tepung sagu. Analisa rendemen ini merupakan presentase produk yang di dapatkan dari perbandingan berat awal bahan sagu dengan berat tepung sagu yang lolos 100 mesh. Rendemen (%) =
100 %
Keterangan : a b
= berat sawut sagu awal (g) = berat tepung sagu 100 mesh (g)
Distribusi ukuran partikelnya menggunakan ayakan bertingkat dengan ukuran 30, 60, 80 dan 100 mesh. Hasil pengukuran dikelompokan menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu yang tidak lolos ayakan 30 mesh atau +30 mesh, 30/60 mesh, 60/80 mesh, 80/100 mesh dan 100/0 mesh. Yang lolos ayakan 100 mesh ditetapkan sebagai produk tepung sagu. Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) seperti yang dilakukan oleh Chen et al. (2003) dalam Mukhamad dan Yunianta (2014), sampel tanpa coating diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisis SEM dilakukan pada tiga perbesaran X50, X100 dan X250. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada permukaan tepung. Pada skala perbesaran yang sama 20 µm dan Nilai 2.50 kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM. Sifat amilografi diukur menggunakan alat RVA Tech Master Newport Scientific dengan metode AACC 22-12 dalam Mukhamad dan Yunianta (2014). Sebanyak 450 ml akuades diukur dengan menggunakan gelas ukur. Sampel sebanyak 45 g dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dilarutkan dengan sebagian akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan ke dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas gelas piala kemudian dimasukkan ke dalam bowl amilograph. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograph. Suhu awal diatur dengan termoregulator pada suhu 30oC kemudian di switch pengatur suhu berada dibawah suhu 97oC dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl berputar pada kecepatan 75 rpm dengan kenaikan suhu 1.5 oC per menit. Mesin amilograph dimatikan setelah pasta mencapai suhu 95oC selama 10 menit kemudian dinyalakan kipas angin untuk menurunkan suhunya sampai suhu 60 oC dengan laju penurunan suhu 1.5 oC per menit, setelah itu mesin dinyalakan kembali. Pada saat mencapai suhu 50 oC selama 10 menit mesin dimatikan kembali. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis oleh komputer menggunakan program amilografi. Hasil grafik perubahan viskositas dapat langsung dicetak dengan printer seperti pada Gambar 3.1.
14
Gambar 3.1. Grafik perubahan viskositas (amilogram) pada tepung Perhitungan analisis amilograph dilakukan dengan rumus : Suhu awal gelatinisasi = suhu pada saat kurva mulai naik Suhu puncak gelatinisasi = suhu saat viskositas maksimum dicapai ( kurva mencapai puncak ). Perhitungan suhu gelatinisasi = suhu awal + [waktu (menit) x 1.5 oC/menit] sebelum mencapai suhu holding 95oC. Viskositas maksimum = viskositas pasta pada puncak gelatinisasi Breakdown viscosity = viskositas maksimum – viskositas pada suhu 95oC setelah 10 menit. Setback viscosity = viskositas pada suhu 50 oC - viskositas pada suhu 95oC setelah 10 menit Stabilitas selama pemanasan = viskositas pada suhu 95 oC – viskositas Setelah holding 95oC. Stabilitas selama pendinginan = viskositas pada suhu 50 oC – viskositas suhu setelah holding 95oC selama 10 menit. Pengukuran pH (derajat keasaman) seperti yang dilakukan oleh Onwuka and Ogbogu (2007) dalam Mukhamad dan Yunianta (2014). Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter digital yang terlebih dahulu telah dikalibrasi dengan pH buffer 4 (buffer asetat) dan pH 7 (buffer fosfat). Sebanyak 1 g tepung didispersikan dalam akuades hingga 10 ml. dan dikocok dengan magnetic stirrer hingga basah sempurna, kemudian didiamkan selama 30 menit hingga mengendap. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam supernatan sehingga terbaca nilai pH yang terukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades. Derajat putih diukur menggunakan alat whiteness meter seperti yang dilakukan oleh Saripudin (2006). Sejumlah sampel ditempatkan pada wadah khusus alat Whiteness meter, lalu dipasang penutup kaca dan diletakkan dibawah lensa. Kemudian diukur nilai derajat putihnya yang berkisar antara 0 sampai 100 %. Kalibrasi alat dilakukan terlebih dahulu dengan plate standar warna putih 81,6 %. Hasil pembacaan dinyatakan dalam % derajat putih terhadap plate standar Barium Sulfat derajat putih 100%.
15 Tahap Analisa Kelayakan Ekonomi Tahap analisa kelayakan ekonomi meliputi penentuan kondisi optimum proses produksi tepung sagu, desain proses dan analisa kelayakan financial. Penentuan kondisi optimum dari rancangan percoban dan dengan menentukan batasan kadar serat, rendemen dan standar mutu tepung sagu. Hasil dari penentuan kondisi optimum dijadikan dasar dalam pembuatan desain proses tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi. Selain itu desain proses juga ditentukan oleh kapasitas pengolahan sagu yang ada di UKM pada umumnya, biasanya kapasitas olahnya sanggup mengolah antara 1.5 sampai 2.5 batang sagu per hari atau setara 1,500 sampai 2,500 kg empulur per hari. Analisis kelayakan financial pabrik tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi didasarkan pada peralatan sejenis untuk mengolah tepung karbohidrat lainnya dengan data-data terkini yang dihimpun berbagai sumber serta mengacu kepada pabrik pengolahan sagu milik Bapak Rovi di Ciluar Bogor Jawa Barat agar lebih mendekati keadaan sebenarnya di lapangan, sehingga bisa lebih operasional. Adapun parameter-parameter yang diukur adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net B/C ratio dan Pay Back Periode (PBP). Net Present Value (NPV) adalah metode yang dikenal sebagai metode Present Worth dan digunakan untuk menentukan apakah suatu pabrik mempunyai keuntungan dalam periode analisa, yaitu dengan menentukan base year market value dari proyek. Net Present Value dari suatu proyek merupakan nilai sekarang (present value) antara Benefit (manfaat) dibandingkan dengan Cost (biaya). Bentuk persamaan secara matematis adalah sebagai berikut : NPV = PVB – PVC Dimana : NPV = Net Present Value PVB = Present Value of Benefit PVC = Present Value of the Cost Pertama-tama menghitung nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan atas dasar discount rate tertentu, kemudian jumlah nilai sekarang dari jumlah investasi (initial outlay). Selisih nilai sekarang dari keseluruhan arus kas dengan nilai sekarang dari pengeluaran untuk investasi (initial outlay) dinamakan nilai bersih sekarang (Net Present Value). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
Dengan: i = Discount rate yang digunakan At = Arus kas tahunan setelah pajak dalam periode tahunan t t = Jumlah tahun analisa IO = Jumlah investasi (Initial Outlay) n = Periode yang terakhir dari arus kas yang diharapkan
16 Metode Internal Rate of Return (IRR) didefinisikan definisikan sebagai tingkat suku bunga yang akan dijadikan jumlah nilai sekarang dari pengeluaran modal proyek. Secara Matematis dirumuskan sebagai berikut :
Dengan ; i = Discount rate yang digunakan Bt = Jumlah benefit dalam periode tahun t t = Jumlah tahun analisa Ct = Jumlah cost dalam periode tahun t n = Periode yang terakhir dari arus kas yang diharapkan Net B/C ratio adalah perbandingan antara jumlah PV net benefit yang positif dengan jumlah PV net benefit yang negatif. Jumlah Present value positif sebagai pembilang dan jumlah present value negatif sebagai penyebut. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (benefit) ) yang diperoleh dari ( biaya (cost)) yang dikeluarkan. Apabila net B/C > 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan layak untuk dilaksanakan. Demikian pula pula sebaliknya, apabila net B/C < 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak untuk dilaksanakan. Net B/C ratio merupakan manfaat bersih tambahan yg diterima proyek dari setiap 1 satuan biaya yg dikeluarkan.
Dengan : Bt ( pada tahun ke-t = Manfaat (Benefit) Ct = Biaya (Cost) ( pada tahun ke-t = Discount Factor i t = Umur proyek Indikator NET B/C Ratio adalah : ( - Jika Net B/C > 1, maka proyek layak (go) untuk dilaksanakan - Jika Net B/C < 1 , maka proyek tdk layak (not go) untuk dilaksanakan Metode Payback Period (PP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk dapat mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan melalui keuntungan yang diperoleh dari suatu proyek. proyek PP =
17 Adapun skema penelitian sebagai berikut : PENEPUNGAN DENGAN BALL MILL Tepung 100 mesh dan 200 mesh
BAHAN BAKU SAGU Batang Sagu 50-60 cm
KARAKTERISASI Analisa Proksimat
PEMARUTAN Sagu Sawut
FERMENTASI Variasi Starter : Ragi Tape, Bimo CF 4 g starter + 4 l air + 2 kg Bahan Variasi Inkubasi : 1,2,3,4,5 hari Suhu Kamar
FERMENTASI ALAMI
UJI KONTROL POSITIF
4 l air + 2 kg Bahan Variasi Inkubasi : 1,2,3,4,5 hari Suhu Kamar
Enzim Selulosa Ethol Ge 1 % Bahan 4 l air + 2 kg Bahan Variasi Inkubasi : 1,2,3 hari Suhu 30-50oC
PERENDAMAN Sodium Metabisulfit, 0.2 %
PENGERINGAN Sawut Kering
PENEPUNGAN Tepung Sagu
PENGUJIAN UKURAN PARTIKEL
PENGUJIAN MUTU TEPUNG
Data Distribusi Ukuran
Analisa Proksimat Analisa Perhitungan Rendemen pH, Derajat Putih
OPTIMASI PROSES DESAIN PROSES
ANALISA KELAYAKAN EKONOMI
Gambar 3.2. Skema pelaksanaan penelitian
PENGAMATAN GRANULA PATI Foto Hasil SEM
18
4 PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku sagu yang digunakan dalam penelitian adalah sagu berupa gelondongan 50-60 cm yang didapat dari usaha pengolahan sagu milik Bapak Rovi di Ciluar Bogor dan berasal dari Pandeglang. Dilakukan analisa proksimat pada batang sagu gelondongan untuk diketahui karakteristiknya, sebagai perbandingan sagu dikeringkan dan langsung dihaluskan 100 dan 200 mesh menggunakan ball mill. Hasil uji kandungan proksimat disajikan dalam Tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Karakteristik bahan baku sagu. Parameter
Satuan
% b.b Protein Kasar % b.b Kadar Lemak Serat Kasar % b.b Kadar Abu % b.b Kadar Karbohidrat % b.b Keterangan : basis kering
Batang Sagu 2.61 0.90 33.59 7.06 55.84
Tepung sagu lolos 80 Mesh hasil Ball Mill 1.37 0.37 10.73 3.70 83.82
Tepung sagu lolos 200 Mesh hasil Ball Mill 0.86 0.11 3.84 2.14 93.06
Rendahnya kadar lemak pada tepung sagu menguntungkan dalam hal penyimpanan. Senyawa lemak pada bahan dapat mempercepat terjadinya rasa tengik akibat oksidasi lemak dan kadar air meningkat, sehingga kondisi bahan menjadi rusak, baik fisik maupun kadar nutrisinya. Dengan kadar lemak yang rendah menyebabkan tepung sagu mempunyai indeks glikemik yang rendah. Menurut Berthy dan Rivaie (2011) tepung sagu dan produk olahannya dapat dikelompokan sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan karbohidrat 84.7% dan serat pangan 3.69 sampai 5.96% yang cukup tinggi, indeks glikemik rendah sebesar 28. Kandungan pada tepung sagu yang berpengaruh tehadap penggunaannya adalah kadar serat kasar dan kadar abu. Kadar serat dapat mempengaruhi mutu tepung sagu dan membatasi penggunaannya pada industri pangan. Pada industri mie akan berpengaruh kepada kekuatan tarik putus dari mie, dan pada industri makanan olahan akan berpengaruh pada kerenyahan. Sedangkan untuk kadar abu yang tinggi berpengaruh kepada kandungan mineral, dalam Erliana dan Suprapto (2004) diungkapkan bahwa kadar abu yang tinggi pada bahan tepung kurang disukai karena cenderung memberi warna lebih gelap pada produknya. Kadar serat kasar dalam bahan baku sagu sebesar 33.59 % untuk perhitungan basis kering. Jika menggunakan teknologi penggilingan langsung tanpa perendaman yang sesuai dengan kondisi serat sagu yaitu menggunakan ball
19 mill dan tingkat reduksi lebih halus jika dibanding alat penepung yang lain, penurunan kadar seratnya menjadi 10.73 % dengan ayakan 80 mesh. Baru setelah ukuran kehalusannya ditingkatkan menjadi 200 mesh dapat menurunkan kadar seratnya menjadi 3.84 %. Dimana menurut Flach (1997) bahwa bentuk granula pati sagu adalah oval (bulat telur) dan untuk melepaskan granula pati dari jaringan pengikatnya dilakukan pemarutan atau dengan penggilingan, proses pelepasan granula pati akan lebih efektif dengan arah tegak lurus susunan serat ”vascular bundles”. Sementara untuk penggilingan kering yang memerlukan tingkat reduksi ukuran partikel yang sangat tinggi dapat dicapai dengan penggilingan ball mills. Atau menggunakan hammer mill seperti yang disarankan Colon dan Anokkee dalam (Flach 1997). Terpisahnya granula pati dari serat menunjukan kehalusan dan banyaknya serat yang terpisah sehingga terjadi penurunan kadar serat dalam tepung sagu. Penurunan kadar serat pada tepung sagu 80 mesh menghasilkan rendemen 18% dan untuk ukuran 200 mesh lebih kecil lagi dibawah 10 % sehingga untuk ukuran kapasitas produksi tidak memungkinkan, karena biasanya untuk produksi tepung dengan kehalusan sampai 200 mesh perlu waktu proses yang lebih lama sedangkan rendemen produknya sedikit. Dengan produksi tepung sagu semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi diharapkan dapat meningkatkan kehalusan dan rendemen tetapi kadar seratnya menurun sehingga dapat memenuhi standar sagu industri sebesar 1%. Tepung sagu dan pati sagu merupakan produk dari industri pengolahan sagu, namun sekarang ini yang banyak diproduksi adalah pati sagu dan yang beredar dipasaran walaupun produknya dinamakan tepung sagu sebenarnya adalah pati sagu. Tepung sagu dihasilkan dari proses penggilingan kering sedangkan kalau pati sagu dihasilkan dari proses ekstraksi basah. Mutu pati sagu sangat ditentukan bagaimana cara ektraksinya, begitu juga mutu tepung sagu ditentukan pula oleh bagaimana cara proses penepungannya. Proses penepungan yang dikombinasikan dengan fermentasi selain memperbiki mutu tepung sagu juga membantu mempermudah dalam proses penepungannya, sehingga tidak memerlukan alat seperti ball mill dalam prosesnya tapi cukup dengan disk mill sehingga biaya investasi alat lebih murah. Mutu tepung sagu diharapkan sama mutunya dengan tepung yang dihasilkan dari umbi-umbian ataupun biji-bijian. Yang arah penggunaannya sama seperti penggunaan dalam makanan olahan kering menghasilkan produk yang renyah dan dapat dibuat pasta noodle. Berikut adalah kandungan kadar serat pada berbagai sumber pangan karbohidrat. Tabel 4.2 Kadar serat dari tepung pada beberapa sumber karbohidrat No 1 2 3 4 5
Jenis Tepung Tepung kedelai Tepung sorghum Tepung jagung Tepung singkong Tepung mocaf
Kadar Serat (%) 5,91 1,05-2,04 1,05-3,12 1,0-4,2 1,9-3,4
Sumber Pustaka (Amani dan Harijono, 2013) (Suarni, 2009) (Suarni, 2009) (Muyyasaroh dan Anggita, 2010) (Muyyasaroh dan Anggita, 2010)
20 Pengaruh Fermentasi Terhadap Komponen Kimia Tepung Sagu
Proses fermentasi dilakukan pada pengolahan tepung sagu dikarenakan sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Proses fermentasi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk menurunkan kadar serat kasar tepung sagu. Fermentasi dengan menggunakan ragi tape bertujuan untuk menurunkan kadar serat kasar dengan menggunakan starter yang mudah didapat sehingga memudahkan dalam proses pembuatan tepung sagu sesuai standar penggunaannya. Menurut (Widodo, 2011) Ragi tape sebenarnya adalah berupa mikroba Saccharomyces cerevisiae yang dapat mengubah karbohidrat. Sedang jamur yang ada dalam ragi tape adalah jenis Aspergillus. Ragi tape merupakan inokulan yang mengandung kapang aminolitik dan khamir yang mampu menghidrolisis pati. Kapang tersebut adalah Amilomyces rouxii, sedangkan khamir tersebut adalah Saccharomyces. Adapun mikroflora yang berperan pada ragi tape adalah jenis Candida, Endomycopsis, Hansnula, Amilomyces rouxii dan Aspergillus orizae. Tabel 4.3 menunjukan hasil fermentasi menggunakan starter ragi tape dapat menurunkan kadar serat secara signifikan dibanding kadar serat tanpa perendaman, dimana perhitungan basis kering dilakukan pada kadar air tepung sagu rata-rata sebesar 18.54%. Penurunan kadar serat disebabkan jamur yang ada pada ragi tape yaitu spesies Aspergillus. Aspergillus flavus relatif tidak aktif bila dibandingkan dengan jamur selulolitik yang lain, tapi enzim yang dihasilkan oleh Aspergillus orizae dan Aspergillus flavus mampu mendegradasi sellulosa dan juga menghidrolisis xylon (Widodo, 2011). Aktivitas enzim yang disekresikan oleh Aspergillus orizae dan Aspergillus flavus mendegradasi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Proses hidrolisa xylon oleh enzim xylanase yang dihasilkan oleh Aspergillus orizae dan Aspergillus flavus dalam fermentasi adalah sebagai enzim yang berperan dalam mendegradasi polisakarida linear β-1,4-xylan menjadi xylosa serta memecah hemiselulosa, yang merupakan salah satu komponen utama dari dinding sel tumbuhan sagu. Hasil studi Sugiono (2008) serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah salah satu komponen serat yang merupakan polimer glukosa linier dengan ikatan β-1,4, glikosidik, sedangkan hemiselulosa terdiri dari araban, xylan dan heksosa tertentu. Selama fermentasi selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna oleh bakteri, sedangkan lignin tidak dapat dicerna sama sekali, selanjutnya selulosa dan hemiselulosa akan diubah menjadi asam laktat, butirat dan CO2 asam format dan H2. Menurut Gandjar (2003) ragi tape terdiri dari kapang (Rhizopus oryzae, Mucor), khamir (Sacharomyces cerevisiae, Sacharomyces verdomanni, Candida utilis) dan bakteri (Pediococcus sp. dan Bacillus sp.). dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu dan Ikhsan (2010) bahwa Bacillus sp. Efektif guna menurunkan kandungan serat kasar dengan lama waktu inkubasi 2 hari. Hal ini senada dengan hasil penelitian ini penurunan kadar serat terbesar hingga 1.69 % dengan waktu perendaman 2 hari. Dan setelah 3 hari kadar seratnya naik karena perkembangan kapang yang secara konsisten meningkat selama masa fermentasi
21 dapat menyumbang serat kasar melalui dinding selnya. Dan menurut Wahyu dan Ikhsan (2010) waktu generatif kapang 3 sampai 6 hari. Penurunan kadar serat berhubungan dengan kehalusan tepung sagu. Dalam Sugiono (2008) bahwa absorbsi selulosa pada permukaan selulosa biasanya lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan hidrolisa keseluruhan sehingga jumlah selulosa yang terbasorbsi sangat tergantung pada luas permukaan. Jadi semakin luas permukaan sampel akan meningkatkan kemampuan Aspergillus dalam merombak serat kasar. Fermentasi menggunakan ragi tape menyebabkan kemudahan giling bagi sagu, menurut Widodo (2011) ragi bersifat katabolik atau memecah komponen yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana. Pada waktu perendaman 2 hari, tepung sagu mencapai kehalusan tertinggi sebesar 65.76 % (Gambar 4.3) dengan penurunan kadar serat kasar tertinggi pula. Tabel 4.3 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan ragi tape pada berbagai variasi waktu perendaman Waktu Kadar Perendaman Karbohidrat (hari) (%) 0 55.84 1 93.86 2 94.42 3 92.42 4 93.02 5 89.83 Keterangan : basis kering
Kadar Protein (%) 2.61 0.99 0.44 0.57 0.59 1.86
Kadar Abu (%) 7.06 2.90 3.18 4.51 4.06 5.29
Kadar Lemak (%) 0.9 0.25 0.27 0.22 0.21 0.23
Kadar Serat (%) 33.59 2.01 1.69 2.28 2.13 2.78
Secara keseluruhan proses fermentasi terjadi penurunan kadar protein dibandingkan dengan tanpa pernedaman. Hal ini seperti yang diungkap dalam Mukhamad dan Yunianta (2014) dikarenakan adanya hidrolisa protein menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh mikroba yang ada dalam starter ragi tape khususnya Rhizopus sp. yang mampu menghasilkan protease. Sehingga semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi aktivitas enzim proteolitik atau protease dalam memecah molekul-molekul protein dengan cara menghidrolisa ikatan peptida menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti pepton, polipeptida dan sejumlah asam-asam amino. Pecahnya protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana memungkinkan senyawasenyawa tersebut untuk semakin terdegradasi. Namun pada Tabel 4.3 menunjukan setelah waktu perendaman 3 hari kadar protein cenderung mengalami peningkatan, hal ini sama dengan yang diungkap oleh Wahyu dan Ikhsan (2010) bahwa meningkatnya kadar protein selama fermentasi menggunakan kapang ada hubungannya dengan pertumbuhan kapang Aspergilus dimana makin subur pertumbuhan kapang makin tinggi pula kadar proteinnya, karena sebagian besar sel kapang merupakan protein. Ragi menghasilkan enzim pitase yang dapat melepaskan ikatan fosfor dalam phitin, sehingga dengan ditambahkan ragi tape dalam fermentasi akan menambah ketersediaan mineral. Ragi bersifat katabolik atau memecah komponen yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana sehingga dengan demikian berpengaruh pada penambahan kadar abu terukur seiring dengan bertambahnya
22 waktu perendaman. Kandungan kadar abu tepung sagu yang dihasilkan masih belum memenuhi standar SNI 01-3729-1995 sebesar 0.1 % dan syarat sagu untuk industri (MS468, 1976) sebesar 0.2 %. Hal ini menyebabkan tebatasnya penggunaan tepung sagu pada industri pangan. Kadar lemak tepung sagu yang dihasilkan dari hasil fermentasi dengan ragi tape cenderung konstan sebesar 0.2 %, kadar lemak tidak termasuk yang disyaratkan dalam standar mutu tepung sagu, namun seperti dalam (Hawani dan Yuliasri, 2012) bahwa kadar lemak yang tinggi berkorelasi dengan penurunan kejernihan pasta pati (sebagaimana pada serealia) dan menekan pembengkakan butiran pati. Selain itu kadar lemak juga akan berpengaruh terhadap umur simpan. Tabel 4.4 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan Bimo CF pada berbagai variasi waktu perendaman Waktu Kadar Perendaman Karbohidrat (hari) (%) 0 55.84 1 91.88 2 93.90 3 94.32 4 91.95 5 93.35 Keterangan : basis kering
Kadar Protein (%) 2.61 0.31 0.42 0.52 0.50 0.73
Kadar Abu (%) 7.06 4.63 3.16 3.19 5.17 3.72
Kadar Lemak (%) 0.9 0.29 0.28 0.23 0.24 0.25
Kadar Serat (%) 33.59 2.89 2.24 1.74 2.14 1.94
Isolat Bakteri Asam Laktat yang terkandung dalam stater Bimo CF sangat terkait dengan paten. Dalam (Haryadi, 2011) isolat Bakteri Asam Laktat yang dikembangkan dalam industri untuk fermentasi casava teridentifikasi 18 strain sebagai Lactobacillus plantarum, 4 strain sebagai Lactobacillus pentosus, 2 strain Leuconostoc fallax, 2 strain Weissella paramesenteroides, 2 strain Lactocaillus fermentum,1 strain Leuconostoc mesenteroides, 1 strain Weissela cibaria, sedangkan strain lainnya diduga kelompok L. plantarum. Kombinasi Isolat BAL yang Digunakan untuk Starter Tepung Mocaf dalam (Hawani dan Yuliasri, 2012) terdiri dari secara tunggal Lactobacillus plantarum ATCC 8014 dan Lactococcus lactis subsp.lactis ATCC 11454, atau campuran Lactobacillus plantarum ATCC 8014 dan Lactococcus lactis subsp.lactis ATCC 11454, campuran Lactobacillus plantarum (FSb1) dan Lactococcus lactis subsp.lactis (FStb4), campuran Lactobacillus plantarum (FSb1) dan Lactococcus lactis subsp.lactis (FStb4). Dan menurut (Ratih et al., 2011) isolat BAL, Pediococcus pentosaceus, Lactoccocus lactis subspesies lactis serta Lactobacillus plantarum tidak bersifat amilolitik. Tepung sagu hasil fermentasi dengan menggunakan starter Bimo CF dapat menurunkan kadar serat secara signifikan jika dibandingkan tanpa perendaman (Tabel 4.4), perhitungan basis kering pada saat kadar air rata-rata tepung sagu sebesar 19%. Penurunan kadar serat tersebut sesuai dengan hasil penelitian (Rachmadi, 2011) yang menyatakan bahwa isolat Bakteri Asam Laktat yang terkandung dalam stater Bimo CF dapat menurunkan kadar serat kasar. Dimana
23 penurunan kadar serat tertinggi pada waktu perendaman 3 hari sebesar 1.74 %. Menurut (Hawani dan Yuliasri, 2012) kadar serat kasar hasil implementasi starter mocaf berkisar antara 1.31 sampai 3.06% dan penurunan kadar serat ini disebabkan mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik. Mikroba yang tumbuh saat fermentasi menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel (Jeffry et al., 2014). Pada batang sagu selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tumbuhan bersama-sama dengan hemiselulosa dan pektin. Komponen serat kasar yang terbesar adalah polisakarida dan disebut sebagai selulosa. Menurut Winarno et al. dalam Rahmawati dan Luwihana (2013) bahwa kandungan serat kasar substrat fermentasi akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh aktivitas enzim tertentu terhadap bahan-bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan karbondioksida (CO2). Selain karbohidrat, protein juga dapat dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya. Maka dari hasil pengujian kadar proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan Bimo CF menunjukan kadar protein turun. Namun selama waktu perendaman, kadar lemak, kadar abu cenderung tetap. Penelitian fermentasi spontan dengan merendam bahan sagu dalam air steril (aquades) dengan tujuan mikroba yang tumbuh secara spontan dapat menurunkan kadar serat tepung sagu. Hasil penelitian Sudrajat (1986) yang melakukan pengolahan sagu dengan cara fermentasi spontan dimana batang sagu dibelah dan direndam dalam bak air, kemudian batang sagu tersebut ditumbuk-tumbuk dalam air pada bagian empulurnya dan dibiarkan terendam selama 24 jam sampai terbentuk endapan dan selama perendaman tersebut terjadi proses fermentasi karena mikroba yang ada pada batang sagu sehingga sagu lebih mudah terlepas dari batangnya, diperkirakan mikroba ini memecah pektin yang merupakan perekat sagu dalam batang pohon. Untuk melihat hasil fermentasi terhadap tepung sagu yang dihasilkan dapat dilihat pada Table 4.5 dibawah. Tabel 4.5 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi spontan pada berbagai variasi waktu perendaman Waktu Kadar Perendaman Karbohidrat (hari) (%) 0 55.84 1 94.39 2 94.23 3 93.42 4 92.92 5 93.57 Keterangan : basis kering
Kadar Protein (%) 2.61 1.00 0.78 0.65 0.59 0.68
Kadar Abu (%) 7.06 2.91 2.70 3.54 4.05 4.32
Kadar Lemak (%) 0.9 0.25 0.22 0.26 0.21 0.27
Kadar Serat (%) 33.59 1.45 2.08 2.13 2.23 1.16
Sama halnya dengan fermentasi menggunakan starter ragi tape dan Bimo CF, selama perendaman pada fermentasi spontan menurunkan kadar serat secara signifikan dibandingkan tanpa perendaman, perhitungan basis kering pada saat
24 kadar air rata-rata tepung sagu sebesar 19.63%. Namun besarnya penurunan kadar serat selama perendaman cenderung tidak terpola karena mikroba yang tumbuh saat fermentasi tidak terkontrol. Pada waktu perendaman 1 hari kadar serat turun hingga 1.45 % dan dari waktu perendaman 2 hari sampai 4 hari penurunan kadar seratnya konstan, baru setelah perendaman 5 hari mencapai penurunan tertinggi sebesar 1.16 %. Penurunan kadar serat ini terjadi diakibatkan oleh mikroba bawaan dari pohon sagu yang berpotensi menghasilkan aktivitas enzim yang dapat mendegradasi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Batang sagu yang berupa gelondongan dari tempat penimbunan pabrik pengolahan sagu merupakan bahan yang potensial untuk pertumbuhan mikroorganisma karena mengandung lignin, selulosa, pati, mineral dan vitamin yang digunakan sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Terbukti pada hasil penelitian (Wahyuni et.al., 2014) yang meneliti limbah bonggol sagu, dimana pada bonggol sagu tersebut menghasilkan 12 isolat bakteri yang 6 diantaranya positif terhadap uji selulase. Sedangkan hasil studi (Yanti dan Armawati, 2014) dari 25 isolat bakteri yang diisolasi dari ampas sagu dan limbah cair pengolahan sagu terdapat 21 isolat bakteri yang memiliki aktivitas amilolitik dan selulolitik. Pada Tabel 4.5 terjadi penurunan karbohidrat selama waktu perendaman, tetapi cenderung tidak terjadi penurunan terhadap kadar protein dan kadar lemak. Kontrol positif dilakukan sebagai perlakuan yang besar kemungkinannya menghasilkan efek atau perubahan pada variabel tergantung dalam hal ini penurunan kadar serat oleh enzim selulase. Kontrol positif bertujuan untuk membuktikan bahwa eksperimen yang digunakan sudah tepat dan dapat menghasilkan perubahan positif pada variabel tergantung tersebut. Apakah mikroba penghasil enzim selulolitik yang dihasilkan saat fermentasi menggunakan stater ragi tape, stater Bimo CF atau saat fermentasi spontan menurunkan kadar serat tepung sagu. Waktu perendaman yang diujikan pada kontrol positif hanya sampai 3 hari, sebab yang penting pembuktian pengaruh enzim selulosa baik pada kontrol positif maupun saat dilakukan fermentasi dengan menggunakan starter ragi tape, Bimo CF dan fermentasi spontan terhadap penurunan kadar serat tepung sagu. Dan jika waktu perendaman ditambahkan akan hanya menjadikan kerusakan pada granula pati dari tepung sagu. Kontrol positif dalam penelitian ini menggunakan Bio-enzyme, Ethanol Enzyme ETHOL-GE yang berupa serbuk dengan industrial grade. ETHOL-GE sebagai enzim selulase biasa digunakan oleh industri yang memproduksi ethanol. ETHOL-GE yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM – IPB. Komponen utama dan aktivitasnya dari ETHOL-GE terdiri dari Sellulase (FPA) 1,500u/g, Xylanase 200,000u/g, Pectase 6,000u/g, Protease 45,000u/g dengan suhu aktivasi pada 20 – 55 oC (http://www.ecvery.com). Pada Tabel 4.6 terlihat hasil pengujian kontrol positif menggunakan enzim selulase ETHOL GE penurunan kadar serat hampir sama dengan yang terjadi pada proses fermentasi menggunakan starter dan secara spontan berkisar 2.29 % sampai 1.30 % untuk waktu perendaman 1 sampai 3 hari. Hal ini menunjukan pengaruh positif peran enzim selulolitik yang tumbuh saat fermentasi menggunakan stater ragi tape dan stater Bimo CF.
25 Hasil pengujian komponen proksimat terhadap tepung sagu hasil uji Kontrol positif ditampilkan dalam table 4.6 berikut. Tabel 4.6 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil pengujian kontrol positif pada berbagai variasi waktu perendaman Waktu Kadar Perendaman Karbohidrat (hari) (%) 55.84 0 1 88.14 87.63 2 88.55 3 Keterangan : basis kering
Kadar Protein (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Lemak (%)
Kadar Serat (%)
2.61 0.50 0.62 0.61
7.06 8.41 9.84 8.22
0.9 0.66 0.62 0.43
33.59 2.29 1.30 2.18
Penurunan kadar karbohidrat disebabkan karena terjadi degradasi pati dan monosakarida atau gula-gula sederhana dikonversi menjadi alkohol. Produksi alkohol disebabkan pula oleh Pectase yang memecah pektin menjadi asam pektat dan methyl alkohol. Peran Xylanase dalam fermentasi adalah sebagai enzim yang berperan dalam mendegradasi polisakarida linear β-1,4-xylan menjadi xylosa serta memecah hemiselulosa, yang merupakan salah satu komponen utama dari dinding sel batang sagu. Xylanase mempunyai banyak kegunaan, salah satunya adalah untuk biokonversi sisa-sisa batang sagu yang mengandung lignoselulosa menjadi gula dan etanol. Pemecahan hemiselulosa ini yang menyebabkan material ampas menjadi lebih banyak sehingga berpengaruh pada tingginya kadar abu tepung sagu. Hasil proses fermentasi menunjukan penurunan kadar serat kasar pada tepung sagu berkisar 2 sampai 1 %, dan standar penggunaan sagu untuk industr1 kadar seratnya sebesar 1 % (Standar industri MS468, 1976). Hasil analisa sidik ragam menggunakan ANOVA menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman terhadap sagu tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar serat kasar.
Pengaruh Fermentasi Terhadap Distribusi Partikel Tepung Sagu
Sawut sagu kering yang sudah difermentasi kemudian dilakukan penepungan dengan disk mill dan diukur distribusi ukuran partikelnya menggunakan ayakan bertingkat dengan ukuran 30, 60, 80 dan 100 mesh. Hasil pengukuran dikelompokan menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu yang tidak lolos ayakan 30 mesh atau +30 mesh, 30/60 mesh, 60/80 mesh, 80/100 mesh dan 100/0 mesh. Yang lolos ayakan 100 mesh ditetapkan sebagai produk tepung sagu, sekaligus sebagai standar keberhasilan proses fermentasi yang diinginkan serta sebagai mutu tepung sagu. Tepung sagu dengan ukuran 80/100 mesh masih dapat digunakan sebagai tepung pangan dengan penggunaan yang terbatas, biasanya tepung-tepungan dari biji dan umbi diproduksi pada kehalusan 80/100 mesh. Sebagai tepung pangan kadar serat hingga 5,9 masih dapat diterima seperti pada tepung kedelai. Dan untuk tepung yang ukuran 60/80 mesh hingga +30 mesh
26 ditetapkan sebagai ampas. Ampas sagu hasil fermentasi bisa langsung dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dalam beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa introduksi bakteri selulolitik terbukti meningkatkan kecernaan serat kasar dan disukai sebagai pakan ternak. Yang tidak lolos ayakan 30 mesh diduga merupakan material batang sagu bagian ampas kulit yang tidak bisa dihaluskan lagi dengan penggilingan ulang. Yang menurut (Flach 1997) proporsi bagian cortex atau kulit luar untuk pohon sagu yang berasal dari Indonesia adalah sebesar 32 % dan tebalnya kurang 2,5 cm, untuk megupasnya harus hati-hati karena bagian dalamnya masih banyak mengandung pati. Louhenapessy (2010) menyebutkan bahwa dua bagian utama batang sagu ialah kulit luar yang keras (cortex) pada pangkal batang tebalnya 2,5 – 3,5 cm dan bagian dalam yaitu empulur (pith) yang merupakan bagian lebih lunak dan mengandung pati (Gambar 4.1A). Struktur anatomi batang diantaranya terdiri dari epidermis (kulit terluar batang), cortex, xylem/xylon, pith atau empulur (Gambar 4.1B) dan korteks bagian dalam mengandung amilum (floeterma/ sarung tepung). Dapat melunakan bagian cortex jelas sangat menguntungkan pada proses penepungan. Pengurangan bagian ampas kulit pada proses penelitian ini pada tahap persiapan bahan baku, dimana dilakukan pengupasan kulit dan terjadi pelunakan pada saat fermentasi.
A
B
Gambar 4.1 Bagian batang sagu (Louhenapessy, 2010) (A) dan struktur anatomi batang (B).
Widodo (2011) menyebutkan bahwa Ragi bersifat katabolik atau memecah komponen yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana. Dari study yang dilakukan oleh (Ratih, 2011) mengenai fermentasi spontan diungkapkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme selama perendaman diduga berperan dalam mempermudah penggilingan serta aplikasi kultur starter yang dibuat dengan Bakteri Asam Laktat (BAL) memiliki kemudahan giling serupa dengan fermentasi spontan. Proses pengupasan kulit dan pengaruh proses fermentasi terhadap persentase tepung yang tidak lolos ayakan +30 mesh ditunjukan pada gambar 4.2. Pada berbagai variasi stater menyebabkan penurunan persentase tepung yang tidak lolos 30 mesh dibandingkan kontrol uji tanpa perendaman. Namun persentase tepung tersebut kembali naik seiring dengan pertumbuhan mikroba saat fermentasi. Fermentasi alami atau perendaman dengan air lebih dapat melunakan bagian cortex sehingga persentasenya paling rendah 2.06 % pada taraf perendaman 2 hari. Selain itu tidak ada miselium yang menggumpal seperti pada
27 tepung sagu hasil fermentasi menggunakan starter yang menjadi bagian dari tepung yang tidak lolos 30 mesh.
Gambar 4. 2 Grafik rafik persentase tepung yang tidak lolos ayakan +30 mesh terhadap waktu perendaman an pada berbagai variasi stater.
Penetapan presentasi partikel tepung sagu yang lolos ayakan 100 mesh sebagai acuan mutu tepung sagu dimaksudkan untuk mengacu kepada standar SNI 01-3729-1995 yang mensyaratkan kehalusan, lolos ayakan 100 mesh minimal sebesar 95 %. Dan syarat untuk indutri (MS468, 1976) mensyaratkan ukuran partikel tepung sagu harus lolos ayakan 125 mesh sebesar minimum 65 %. Distribusi partikel tepung sagu hasil fermentasi dengan dengan variasi stater dan waktu perendaman ditunjukan pada gambar dibawah.
Gambar 4. 3 Grafik presentase tepung sagu lolos ayakan 100 mesh terhadap waktu perendaman dan pada berbagai variasi stater
28
Kehalusan tepung sagu merupakan satu sifat fisik penting karena perannya dalam unit operasi seperti pencampuran, pengeringan dan ekstrusi. Selain itu kehalusan penting dalam evaluasi kualitas dan sifat tepung sagu selama pengolahan. Gambar 4.3 menunjukan terjadinya peningkatan kehalusan akibat proses fermentasi pada semua variasi stater dan waktu perendaman dibanding tanpa perendaman. Kehalusan tertinggi dicapai pada fermentasi spontan hal ini disebabkan penurunan kadar seratnya juga tertinggi sebesar 1.49 % (Tabel 4.5) yang langsung dicapai pada waktu perendaman 1 hari sehingga hal ini menunjukan fermentasi spontan lebih menyebabkan kemudahan giling batang sagu. Dengan kehalusan tertinggi pada waktu perendaman 2 hari dengan persentase partikel yang lolos ayakan 100 mesh sebesar 86.78 %. Penggunaan stater Bimo CF meningkatkan kehalusan hingga mencapai 68.21 % pada waktu perendaman 2 hari dan 68.11 % pada waktu perendaman 3 hari dan pada titik inilah penurunan kadar serat tertinggi dicapai sebesar 1.74 % (Tabel 4.4) sedangkan untuk waktu perendaman lebih dari 3 hari tingkat kehalusan semakin menurun yang seiring dengan terjadinya trend kenaikan kadar seratnya. Fermentasi menggunakan stater ragi tape dapat menaikan tingkat kehalusan hingga mencapai 65.76 % untuk waktu perendaman 2 hari dan waktu perendaman lebih dari 2 hari kehalusannya menurun, pada waktu perendaman 2 hari ini kadar seratnya paling rendah sebesar 1.49 %. Jadi ada hubungan yang berkaitan antara terjadinya peningkatan kehalusan tepung sagu dengan penurunan kadar seratnya. Dari hasil analisa ragam menggunakan ANOVA terhadap perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman menunjukan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kehalusan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukan perlakuan fermentasi spontan berbeda nyata dengan perlakuan fermentasi dengan starter Bimo CF, dan starter ragi tape. Pengaruh Proses Fermentasi Terhadap Rendemen Tepung Sagu Produk utama dalam penelitian tepung sagu disini adalah tepung sagu yang lolos 100 mesh dan 80 mesh dengan catatan memenuhi persyaratan SNI 01-37291995 bahwa yang lolos 100 mesh minimal 95 %. Analisa rendemen dilakukan untuk mengetahui kehilangan berat bahan sagu ketika mengalami proses pengolahan menjadi tepung sagu. Analisa rendemen ini merupakan presentase produk yang di dapatkan dari perbandingan berat awal bahan sagu dengan berat tepung sagu yang ditetapkan menjadi produk. Rendemen sagu biasanya mengacu pada kadar pati yang terkandung dalam batang sagu dengan kisaran nilai sebesar 20 sampai 29 %. Dengan demikian yang perlu perhatian dalam produksi tepung sagu secara fermentasi adalah meminimalkan terjadinya degradasi pati. Biasanya sagu yang diolah menjadi pati mempunyai rendemen seperti dalam (Sudrajat, 1985) yang diolah secara tradisional sebesar 35.65 %, secara mekanis 38.23 % dan secara fermentasi sebesar 24.80 %. Sedangkan jika menggunakan teknologi mekanis terpadu rendemennya sebesar 25 sampai 30 % (KEMENTAN, 2014). Rendemen sagu yang diolah menjadi tepung sagu yang digiling langsung dengan menggunakan ball mill dan dihaluskan 100 mesh sebesar 18 % dan hasil rekayasa proses oleh (Saripudin, 2006) dengan menambahkan proses perendaman dengan natrium
29 metabisulfit rendemennya sebesar 21.85 % dengan kehalusan 100 mesh. Dengan demikian proses pengolahan tepung sagu semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi harus dapat menaikan rendemennya. Hasil analisa rendemen tepung sagu, produksi ampas dan losses yang diperoleh dari neraca massa pada saat proses produksi tepung sagu secara fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman disajikan sebagai berikut. Tabel 4.7 Hasil analisa rendemen terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman Perlakuan
Kontrol
Bimo CF
Ragi Tape
Spontan
Kontrol Positif
Waktu Rendemen Perendaman (%) (hari) 0 12.85 1 18.53 2 26.40 3 26.50 4 18.70 5 12.80
Ampas (%) 18.65 9.28 10.15 10.33 12.28 14.20
Losses Fermentasi Penepungan (%) (%) 0.80 3.30 0.65 3.55 0.70 5.30 0.68 9.80 0.50 12.85 0.55
1 2 3 4 5
24.75 22.15 21.75 20.03 13.00
10.58 8.68 9.88 11.48 16.10
6.28 6.25 7.25 9.60 11.78
0.38 0.25 0.85 0.40 0.40
1 2 3 4 5 1 2 3
18.63 24.15 17.38 21.18 18.93 13.70 13.45 12.25
6.08 3.25 5.15 5.75 7.95 8.75 8.70 8.65
12.13 15.03 15.53 14.95 16.28 20.70 20.10 20.40
1.53 0.15 0.50 0.50 0.30 1.07 0.66 0.10
Secara keseluruhan kondisi yang diharapkan dari pengolahan sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi selain rendemen tinggi juga produksi ampas sebagai limbah lebih sedikit serta losses saat fermentasi juga sedikit. Losses penepungan tidak secara langsung berpengaruh pada penilaian keberhasilan proses fermentasi yang dilakukan. Selain nilainya standar untuk semua perlakuan, losses penepungan lebih disebabkan karena alat dibanding karakteristik bahan hasil fermentasi. Dimana losses terjadi disebabkan adanya bahan yang tertinggal di disk mill dan tepung sagu yang terbang saat pengayakan. Fermentasi dengan menggunakan stater Bimo CF menghasilkan rendemen tertinggi pada waktu perendaman 2 hari sebesar 26.40 % dan waktu perendaman 3 hari sebesar 26.50 %, pada waktu perendaman tersebut terjadi peningkatan tertinggi pada kehalusan dan penurunan kadar serat tertinggi. dan rendemen ini yang paling tinggi dari variasi starter lainnya. Losses fermentasinya lebih sedikit
30 dibanding dengan fermentasi yang lain dengan nilai 3.55 % untuk perendaman 2 hari dan 5.30 % untuk perendaman 3 hari, ini menunjukan stater Bimo CF mempunyai karakter mendegradasi karbohidratnya lebih sedikit dibanding variasi stater yang lain. Losses fermentasi menunjukan kenaikan seiring dengan penambahan waktu perendaman begitu juga dengan produksi ampas sebagai limbahnya. Produksi ampas tidak lebih sedikit dibanding dengan penggunaan stater yang lain. Setelah waktu perendaman 3 hari rendemen mejadi turun hingga mencapai 12.80 % pada waktu perendaman 5 hari. Namun demikian penggunaan stater Bimo CF pada produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi telah berhasil meningkatkan rendemen dibanding dengan produksi tepung sagu secara langsung atau bahkan dengan produksi pati sagu secara fermentasi. Rendemen tertinggi untuk penggunaan stater ragi tape sebesar 24.75 % pada waktu perendaman 1 hari. Rendemen semakin menurun seiring dengan penambahan waktu perendaman. Hal ini sejalan dengan bertambahnya losses saat fermentasi. Sedangkan untuk ampasnya mengalami penurunan hingga waktu perendaman 2 hari dari 10.58 % sampai 8.68 % dan seterusnya terjadi kenaikan. Hal ini disebabkan material ampas yang diproduksi setelah waktu perendaman 3 hari meningkat seperti dalam (Wahyu dan Ikhsan, 2010) bahwa waktu generatif kapang 3 sampai 6 hari sedangkan kapang merupakan serat kasar sehingga kandungan serat kasar substrat tetap tinggi. Kapang dalam ragi tape tersebut adalah Amilomyces rouxii. Fermentasi spontan menghasilkan material ampas yang lebih sedikit dibandingkan penggunaan stater Bimo CF dan ragi tape, kondisi terbaik pada waktu perendaman 2 hari dengan rendemen sebesar 24.15 % dan ampasnya sebesar 3.25 %. Namun demikian pada fermentasi spontan menyebabkan losses fermentasi lebih tinggi dibanding dengan penggunaan stater Bimo CF ataupun ragi tape dan kenaikannya bertambah seiring dengan bertambahnya waktu perendaman. Berdasarkan analisis ragam menggunakan ANOVA yang telah dilakukan terhadap perlakuan fermentasi bahan sagu dengan variasi stater dan waktu perendaman menunjukan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kenaikan rendemen.
Pengaruh Fermentasi Terhadap Ukuran Partikel Pati Tepung Sagu Pengamatan dengan SEM memberikan informasi penting mengenai pengaruh perlakuan fermentasi terhadap ukuran partikel pati dari tepung sagu. Dengan foto SEM pada pembesaran tertentu dapat menjadi bahan perbandingan bentuk granula pati hasil ferlakuan fermentasi degan standar bentuk granula pati sagu. Standar bentuk granula pati sagu dicantumkan dalam SNI 01-3729-1995. Dalam Saripudin (2006) diungkap bahwa granula pati mempunyai bentuk oval atau berbentuk telur dan sebagian diantaranya memiliki ujung yang rata atau pepat. Gambar 4.6 menunjukan hasil pengamatan pati sagu hasil fermentasi dengan SEM pada perbesaran 250x tanpa coating.
31
A1
B1
C1
A2
B2
C2
A3
B3
C3
A4
B4
C4
D1
D2
E
Gambar 4. 4 Foto hasil SEM untuk (A) tepung sagu hasil fermentasi dengan stater Bimo CF. (B) stater ragi tape. (C) fermentasi spontan (1,2,3,4 = waktu inkubasi/hari). (D) dan kontrol positif (1 = waktu inkubasi 1 hari, 2 = waktu inkubasi 3 hari). (E) pati sagu standar SNI 01-3729-1995.
32 Pada gambar 4.6 terlihat granula pati hasil perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman secara umum masih mempunyai bentuk oval atau berbentuk telur dan sebagian diantaranya memiliki ujung yang rata atau pepat dan serupa dengan granula pati standar SNI 01-3729-1995 gambar 4.6 (E). Pada fermentasi dengan stater Bimo CF dan ragi tape setelah waktu inkubasi 3 hari terlihat adanya granula pati yang terpotong diduga akibat penggilingan saat penepungan yang sebelumnya pada saat fermentasi terjadi pembengkakan granula pati akibat penyerapan air seiring dengan penambahan waktu inkubasi yang akhirnya menyebabkan granula pati mudah rusak saat penggilingan. Pada waktu perendaman ini tepung sagu mencapai kehalusan tertinggi dan kadar seratnya terendah sehingga memungkinkan permukan granula pati lebih luas dan lebih mudah menyerap air. Pada gambar 4.6(A) granula pati hasil fermentasi menggunakan stater Bimo CF lebih cenderung terpisah antar partikel pati yang satu dengan partikel yang lainnya seperti pada kontrol positif, namun kondisi granulanya lebih baik tidak seperti pada kontrol positif dan fermentasi spontan dimana terjadi kerusakan pada granula pati. Dan jika dibandingkan dengan pati sagu hasil fermentasi menggunakan stater ragi tape 4.6(B) masih adanya pati yang saling terikat oleh dinding sel (B1, B2 dan B4), begitu juga dengan pati hasil fermentasi spontan (C1, C2 dan C4). Hal ini yang menyebabkan tepung sagu hasil fermentasi dengan stater Bimo CF mempunyai rendemen paling tinggi. Hal ini senada dengan hasil penelitian Aton (2013) yang mengamati pengaruh fermentasi terhadap pati jagung menyatakan bahwa meningkatnya granula pati yang tidak terikat dengan matrik protein berpotensi meningkatkan rendemen.
Pengaruh Fermentasi Terhadap Sifat Visco Amilografi
Pengujian sifat visco amilografi bertujuan untuk mempelajari sifat-sifat gelatinasi tepung sagu hasil fermentasi. Pengujian dilakukan dengan menggunakan RVA. Tepung sagu yang diujikan adalah sebelum dan sesudah fermentasi. Parameter amilografi yang diukur adalah suhu awal gelatinasi (pasting temperature), waktu gelatinasi (peak time), viskositas puncak (peak viscosity), viskositas panas (through viscosity), penurunan viskositas karena pemanasan (breakdown viscosity), viscositas akhir (final viscosity) dan peningkatan viskositas akibat pendinginan (setback viscosity). Hasil uji RVA tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman disajikan dalam tabel berikut. Sifat gelatinisasi pati sagu yang diharapkan diantaranya adalah granula pati lebih mudah pecah, waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih rendah, serta waktu dan suhu granula pati untuk pecah lebih rendah. Suhu awal gelatinisasi (pasting temperatur) menunjukan suhu awal meningkatnya viskositas pati saat dipanaskan atau awal terjadinya gelatinisasi. Pada Tabel 4.8 suhu awal gelatinisasi pada tepung sagu tanpa perendaman adalah 72 oC. Hasil penelitian (Shanti et al., 2010) suhu awal gelatinisasi pati sagu tanpa inkubasi yang diambil di daerah Riau sebesar 75.0 oC hal ini hampir sama dengan suhu awal gelatinisasi pati yang diproduksi oleh UKM sebesar 74.10 oC. Proses
33 penepungan tepung sagu yang dikombinasikan dengan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape untuk waktu perendaman 1 sampai 3 hari dapat menurunkan suhu awal gelatinisasi dibandingkan tepung dan pati tanpa perendaman serta pati yang diproduksi oleh UKM. Pada waktu perendaman 1 sampai 3 hari ini tepung sagu mempunyai kadar serat dan kadar abu yang lebih rendah serta kehalusan tinggi sehingga mempercepat terjadinya gelatinasi. Dan untuk waktu perendaman lebih dari 3 hari, suhu awal gelatinisasinya menjadi naik melebihi suhu awal gelatiniasasi tepung tanpa inkubasi dan pati yang diproduksi oleh UKM seiring dengan meningkatnya kadar serat dan kadar abu juga menurunnya kehalusan. Tabel 4.8 Perbandingan sifat amilografi tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman. Stater
Pati UKM Kontrol Bimo CF
Ragi Tape
Spontan
Peak Visc. (Cp)
Through Visc. (Cp)
8076 0
Final Visc. (Cp)
2135
Break down Visc. (Cp) 5941
5853
2309
1 2 3 4 5
5813 5806 5982 4635 5121
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Inkubasi (hari)
Peak Time (Menit)
Pasting Temp. (oC)
4022
Set back Visc. (Cp) 1887
6.47
74.10
3544
4152
1843
6.47
72.4
2189 1942 2091 1544 2550
3624 3864 3891 3091 2571
3872 3179 3458 2725 3968
1683 1237 1367 1181 1418
6.40 6.13 6.40 6.40 6.87
72.4 72.0 72.8 76.1 75.7
6026 5972 5422 5132 5052
1951 2150 2122 2214 2612
4077 3822 3300 2918 2440
3232 3576 3424 3487 3903
1281 1426 1302 1273 1291
6.07 6.27 6.93 6.67 6.93
72.4 72.1 73.7 76.1 76.1
4538 5775 5390 5539 5344
1416 1891 1727 2031 1916
3122 3884 3663 3508 3428
2392 3022 2856 3269 3212
976 1131 1129 1238 1296
6.53 6.67 6.80 6.67 6.53
79.7 78.5 79.8 78.9 78.9
Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat ikatan mulai melemah dan terjadinya pembengkakan granula pati. Pada tepung yang digunakan untuk bahan pangan dan industri, sifat yang diinginkan adalah granula pati yang lebih mudah pecah dan suhu gelatinisasi yang lebih rendah, sehingga pada waktu pengolahan memerlukan energi yang lebih sedikit. Menurut Yulianto (2013) semakin tinggi suhu awal gelatinisasi suatu jenis pati menunjukan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut dan besarnya energi yang dibutuhkan untuk memutuskan gaya tarik menarik pati di dalam granula pati. Perbaikan sifat gelatinisasi pada tepung sagu hasil fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape untuk waktu perendaman 1 sampai 3 hari tidak hanya pada pasting temperatur tetapi juga pada peak time. Pada Tabel 4.8
34 memperlihatkan tepung sagu hasil fermentasi tersebut mempunyai waktu granula pati untuk pecah lebih rendah dibandingkan tepung tanpa inkubasi dan pati yang diproduksi oleh UKM sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama saat pemasakan atau pengolahan menjadi bahan pangan. Perbaikan sifat gelatinisasi ini sama seperti hasil studi Widodo (2011) yang menganalisis penggunaan berbagai macam starter pada produksi Mocaf termasuk menggunakan Bimo CF dan ragi tape yang menyebutkan mikrobia yang tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelatinisasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut. Viskositas puncak (peak viscosity) merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Dimana pada titik ini granula yang mengembang mulai pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas. Sifat amilografi yang sesuai kebutuhan pasar adalah yang mempunyai kekentalan tinggi atau tidak lengket. Pada Tabel 4.8 nilai viskositas puncak tepung sagu dibawah viskositas pati sagu yang diproduksi oleh UKM, hal ini disebabkan ukuran partikel pati lebih halus dibandingkan tepung sehingga kemampuan tepung dalam menyerap air lebih kecil dan luas permukaannya tidak meningkatkan kapasitas penyerapan air sehingga viskositasnya cenderung lebih kecil. Hal ini menunjukan seperti yang dilaporkan Aini et al. (2010) bahwa semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar viskositas puncak tepung dan semakin kecil ukuran partikel tepung maka semakin luas permukaan sehingga penyerapan air semakin besar dan viskositas puncak menjadi meningkat. Dan pada tepung berukuran partikel besar, peningkatan kadar protein, serat kasar dan lemak meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah sehingga menurunkan viskositas puncak. Viskositas puncak tepung sagu tanpa inkubasi sebesar 5853 cp. Perlakuan fermentasi dengan menggunakan stater Bimo CF meningkatkan viskositas puncaknya pada waktu inkubasi 3 hari menjadi 5982 cp. Kenaikan viskositas puncak pada perlakuan fermentasi menggunakan stater ragi tape lebih besar dibandingkan stater Bimo CF dan terjadi pada waktu inkubasi selama 1 hari dengan kenaikan sebesar 6028 cp. Dan nilai ini hampir sama dengan viskositas puncak pati sagu yang diproduksi oleh UKM sebesar 6137 cp. Hal ini menunjukan tepung sagu hasil fermentasi dengan menggunakan starter ragi tape mempunyai tingkat kekentalan lebih tinggi dibanding tepung sagu tanpa fermentasi dan tepung sagu hasil fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan fermentasi spontan, serta produk olahan tepung sagu hasil fermentasi menggunakan starter ragi tape untuk waktu perendaman 1 hari mempunyai kemampuan mengembang yang mirip dengan pati sagu yang diproduksi oleh UKM. Pada waktu perendaman ini tepung sagu mempunyai kadar abu terendah dan rendemennya tertinggi. Dan hasil analisa statistik menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman menunjukan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pasting temperatur tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap peak time dan peak viscosity. Profil amilografi tepung sagu hasil fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman disajikan pada gambar 4.5.
35 Peak = 5982.00 Kontrol A3 A2
A5 Final
Hold
A4 A1
A
B
C Gambar 4.5 Grafik sifat amilograpi tepung sagu (A) stater Bimo CF, (B) stater ragi tape (C) fermentasi spontan. (1,2,3,4,5 = waktu inkubasi/hari)
36 Dalam profil amilografi tepung sagu disebutkan dalam (Nelis, 2012) bahwa ada fase-fase dalam pengukuran dengan menggunakan RVA. Pada fase pertama kurva, suhu masih berada di bawah suhu gelatinisasi pati, sehingga viskositas yang terukur rendah. Pada fase kedua, suhu lalu ditingkatkan secara perlahan sampai mencapai suhu gelatinsasi pati, yaitu suhu dimana granula pati mulai membengkak dan viskositas meningkat. Peningkatan suhu dan viskositas ini dikenal dengan istilah suhu puncak dan viskositas puncak (peak viscosity). Ketika sebagian besar granula pati membengkak, terjadi peningkatan yang cepat pada viskositas. Fase ketiga, saat temperatur-tetap meningkat dan pengadukan terus dilakukan (holding), granula pati akan pecah dan amilosa keluar dari granula ke cairan, yang menyebabkan viskositas menurun. Pada fase keempat, campuran kemudian didinginkan, yang menyebabkan asosiasi kembali antara molekul-molekul pati (setback), sehingga terbentuklah gel dan viskositas kembali meningkat hingga mencapai viskositas akhir. Sifat adonan selama pemanasan yaitu viskositas adonan panas, viskositas panas selama 15 menit dan breakdown viscosity (Aini et.al., 2010). Pengukuran viskositas panas (through viscosity) sebagai bentuk kestabilan pasta dapat dilakukan dengan melanjutkan pemanasan pada suhu 95 oC selama 5 menit. Atau selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pada suhu 95 oC yang dipertahankan selama 30 menit. Terjadinya pemanasan tersebut menyebabkan granula pati menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk polimer dan agregat serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Industri pengguna pati menginginkan pati yang mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi maupun rendah, mempunyai ketahanan baik terhadap perlakuan mekanis, dan daya pengentalannya tahan pada kondisi asam dan suhu tinggi. Hasil pengukuran viskositas panas tepung sagu hasil fermentasi terlihat pada Tabel 4.8. Semakin lama proses fermentasi meningkatkan viskositas panas. Hal tersebut menunjukan adanya perubahan struktur granula pati menjadi kuat dan kaku sehingga mencegah terjadinya leaching. Proses fermentasi menghasilkan tepung sagu dengan kestabilan adonan lebih baik dibandingkan dengan pati yang diproduksi oleh UKM, terutama pada waktu inkubasi 1 sampai 3 hari, Hal ini menunjukan pasta tepung sagu hasil fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape lebih stabil dan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman menunjukan tidak berpengaruh nyata (P> 0,05) terhadap viskositas panas. Penurunan viskositas karena pemanasan (breakdown viscosity) diartikan sebagai nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas minimum ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95 oC. Breakdown viscosity atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan dimana semakin rendah breakdown viscosity maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil terhadap panas. Perlakuan fermentasi pada tepung sagu menghasilkan kestabilan yang tidak lebih baik dari pati sagu yang diproduksi oleh UKM. Tetapi penggunaan starter Bimo CF dan ragi tape mempunyai kestabilan yang lebih baik jika dibandingkan dengan tepung sagu tanpa fermentasi dan fermentasi yang dilakukan secara spontan. Dalam Yulianto (2013) disebutkan bahwa besarnya breakdown viscosity menunjukan bahwa granula-granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan bersifat rapuh
37 dan tidak tahan terhadap proses pemanasan. Hasil analisa statistiknya menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman menunjukan tidak berpengaruh nyata (P> 0,05) terhadap breakdown viscosity. tetapi berpengaruh nyata (P< 0,05) terhadap viskositas dingin dan setback viscosity. Viskositas Akhir (final viscosity) adalah viskositas pada saat pasta didinginkan hingga mencapai suhu 50 oC, yaitu parameter yang menunjukan kemampuan tepung membentuk gel setelah dimasak dan didinginkan. Viskositas akhir dari semua perlakuan fermentasi menghasilkan tepung sagu dengan viskositas akhir yang menurun dibandingkan tanpa fermentasi (Gambar 4.13) hal ini disebabkan pasta sagu berbentuk gel setelah dimasak daripada saat dingin, sehingga tepung sagu mempunyai retrogradasi rendah selama pendinginan dan menurunkan viskositas akhir selama pendinginan. Pernyataan Aprianita (2010) dalam Erning et al (2012) viskositas final dipengaruhi oleh protein dan serat yang mengikat air sehingga ketersediaan air berkurang, kurangnya air yang dapat diserap oleh pati karena adanya protein dan serat akan menghambat proses gelatinisasi dan menurunkan viskositas final. Menurut Aini et al. (2010) semakin kecil ukuran partikel, semakin luas permukaan sehingga lebih besar kemungkinan terjadinya leaching amilosa dari granula pati. Semakin banyak terjadinya leaching meningkatkan retrogradasi adonan, semakin besar kemungkinan teretrogradasi, semakin besar kemungkinan terjadinya pengerasan produk selama proses pendinginan. Tepung sagu hasil fermentasi lebih tahan terhadap terjadinya leaching sehingga lebih tahan terhadap retrogradasi adonan. Tepung sagu hasil fermentasi menggunakan starter ragi tape dan fermentasi spontan dengan waktu inkubasi 1 hari menghasilkan adonan yang lebih lunak dibandingkan pati yang diproduksi oleh UKM dan dengan penambahan waktu inkubasi kemungkinan terjadinya retrogradasi bertambah. Dan untuk tepung sagu hasil fermentasi menggunakan starter Bimo CF menghasilkan adonan yang lebih lunak dari pati yang diproduksi oleh UKM setelah waktu inkubasi 2 hari dan setelahnya kemungkinan terjadinya retrotragadasi bertambah pula. Nilai kenaikan viskositas pasta pati pada saat didinginkan disebut setback viscosity atau perubahan viskositas selama pendinginan, nilai ini ditentukan dengan menghitung selisih antara viskositas pasta pati mencapai 50 oC dengan viskositas setelah holding 95 oC atau selisih antara viskositas akhir dengan viskositas setelah pemanasan. Sukmiyati (2011) menyebutkan semakin tinggi nilai setback viskosity maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback viscosity menunjukkan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Dalam Yulianto (2013) disebutkan pendinginan pada pasta pati mengakibatkan pasta pati mengalami kenaikan viskositas akibat retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen intermolekuler. Tabel 4.8 memperlihatkan nilai setback viscosity semua variasi perlakuan fermentasi menghasilkan tepung sagu dengan nilai setback viscosity yang lebih kecil dibanding dengan tanpa perlakuan fermentasi dan dari pati yang diproduksi oleh UKM hal ini menunjukan perlakuan fermentasi tepung sagu dapat meningkatkan daya tahan terjadinya retrogradasi pati. Retrogradasi yang terlalu tinggi tidak diharapkan karena menyebabkan produk yang dihasilkan cepat mengalami kekerasan dan kering (Yulianto, 2013). Nilai setback viscosity pada tepung sagu hasil fermentasi spontan dengan waktu inkubasi 1 hari lebih
38 kecil dibanding dengan tepung sagu hasil fermentasi dengan menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape yaitu sebesar 976 cp, hal tersebut menandakan proses retrogradasi pada tepung sagu hasil fermentasi spontan lebih rendah, diduga disebabkan kandungan amilosanya lebih rendah dibanding perlakuan lainnya.
Pengukuran pH
Pengukuran pH merupakan parameter kimiawi untuk mengetahui tepung yang dihasilkan bersifat asam atau basa. pH merupakan salah satu karakterisasi tepung sagu yang menyangkut mutu dari tepung sagu yang dihasilkan. Tingkat keasaman larutan (pH) dapat mempengaruhi dari kelarutan. Hasil pengukuran pH pada tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu inkubasi disajikan pada Gambar 4.6. 7
pH
6 Bimo CF Ragi Tape Spontan
5 4 3 1
2 3 Waktu Inkubasi (Hari)
4
5
Gambar 4.6 Grafik hasil pengukuran pH terhadap waktu perendaman dan pada berbagai variasi starter
Hasil pengukuran pH menunjukan tepung sagu yang diproduksi secara semi kering dengan kombinasi fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman memiliki pH yang memenuhi standar untuk pangan SIRIM MS470 1992 sebesar 4.5 – 6.5. Masing-masing perlakuan fermentasi memberikan efek yang berbeda terhadap pH hal ini disebabkan oleh pola pertumbuhan mikroba pada masing-masing perlakuan seiring dengan penambahan waktu perendaman. Pada perlakuan fermentasi yang mengandung Bakteri Asam Laktat (BAL) seperti pada fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan fermentasi spontan. Dengan meningkatnya jumlah asam yang diekskresikan oleh BAL karena proses akumulasi asam dalam substrat maka akan meningkatkan keasaman subtrat dan peningkatan akumulasi asam dalam substrat ini dapat diketahui dengan penurunan pH subtrat (Widowati & Migiyarta 2003). Pada fermentasi spontan BAL tumbuh sejak awal fermentasi hingga akhir fermentasi, kapang amilolitik tumbuh hingga
39 hari ke dua fermentasi, selama fermentasi khamir amilolitik mendominasi pertumbuhan (Ratih et al., 2011), kapang waktu generatifnya setelah 3 hari (Wahyu & Ikhsan, 2010), kisaran pertumbuhan khamir pada pH 3,5 – 6,5 (Azizah et al., 2012) sehingga dengan demikian kurva pH untuk fermentasi spontan dan penggunaan stater Bimo CF berbentuk turun naik. Berbeda dengan penggunaan stater ragi tape yang menunjukan kurva menurun hingga akhir fermentasi. Menurut (Azizah et al., 2012) penurunan nilai pH juga dipengaruhi oleh pembentukan CO2 saat fermentasi, peningkatan produksi gas CO2 yang seiring dengan meningkatnya waktu fermentasi diikuti dengan penurunan nilai pH karena gas CO2 memiliki sifat asam dan sering disebut gas asam, pembentukan CO2 saat fermentasi karena terjadi hidrolisa gula oleh mikroba menjadi air dan CO2 pada kondisi aerob dan pada kondisi anaerob gula akan diubah menjadi alkohol dan CO2. Hasil analisa sidik ragam menggunakan ANOVA satu arah menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman terhadap tepung sagu tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pH.
Derajat Putih Derajat putih tepung sagu hasil perlakuan fermentasi dengan menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape belum seputih patinya. Baik pati yang diproduksi oleh industri sebesar 91.96 ataupun pati yang diproduksi oleh UKM sebesar 51.14. Ataupun tepung sagu hasil peneilitian (Saripudin, 2006) yang memiliki derajat putih sebesar 73.22. Derajat putih tidak masuk sebagai syarat standarisasi. Dalam SNI 01-3729-1995 warna yang disyaratkan adalah normal. Tetapi biasanya industri pengguna berpatokan pada derajat putih dan faktor kesukaan dipengaruhi oleh kenampakannya. Derajat putih tepung sagu hasil fermentasi juga masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan derajat putih tepung terigu sebesar 82,17 (Meddiati., 2010) dan derajat putih tepung tepioka sebesar 90,3 (Husniati dan Wisnu, 2012) . Rendahnya derajat putih tepung sagu hasil perlakuan fermentasi dipengaruhi oleh kadar abu. Adanya peningkatan kadar abu dari tepung sagu hasil fermentasi dibandingkan bahan bakunya disebabkan dari alat pemarut yang permukaannya ikut luruh saat pembuatan sagu sawut. Sedangkan untuk kadar abu yang tinggi berpengaruh kepada kandungan mineral, dalam (Prabasini et al., 2013) diungkapkan bahwa kadar abu yang tinggi pada bahan tepung kurang disukai karena cenderung memberi warna lebih gelap pada produknya. Hasil pengukuran derajat putih pada tepung sagu hasil perlakuan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape dapat dilihat pada Gambar 6. Namun demikian hasil analisa sidik ragam menggunakan ANOVA satu arah menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman terhadap tepung sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH. Dan hasil uji lanjut Duncan menunjukan tepung sagu hasil fermentasi spontan berbeda nyata dengan tepung sagu hasil fermentasi menggunakan starter.
40 60 50
Derajat Putih
40 Pati UKM 30
Bimo CF Ragi Tape
20
Spontan 10 0 1
2 3 Waktu Inkubasi (Hari)
4
5
Gambar 4.7 Grafik hasil pengukuran derajat putih terhadap waktu perendaman dan pada berbagai variasi starter.
Desain Proses Produksi Tepung Sagu Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi
Desain teknologi proses produksi tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi didasarkan pada pabrik pengolahan sagu yang berkapasitas 2,000 kg empulur per hari atau setara dengan 2 batang sagu. Dengan desain proses disajikan pada Gambar 4.8. Proses produksi tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi didasarkan kepada pengaruh fermentasi terhadap komponen kimia terutama pada penurunan kadar serat, kehalusan, rendemen tertinggi dan parameter-paremeter lain dalam penelitian. Seperti yang sudah disampaikan dalam pembahasan sebelumnya, penggunaan starter Bimo CF dengan rendemen tertinggi pada waktu perendaman 2 hari sebesar 26.40 %, dengan kadar serat 1.82% dan waktu perendaman 3 hari sebesar 26.50 % dengan kadar serat sebesar 1.41 %, dengan kehalusan berturutturut sebesar 68.21 % dan 68.11 %. Losses fermentasinya lebih sedikit dibanding dengan fermentasi yang lain dengan nilai 3.55 % untuk perendaman 2 hari dan 5.30 % untuk perendaman 3 hari dan produksi ampasnya sebesar 10%. Dilihat dari keunggulan parameter maka untuk proses produksi tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan starter Bimo CF yang didesain adalah dengan waktu perendaman 2 hari. Desain proses produksi tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan ragi tape pada waktu perendaman 1 hari dengan rendemen sebesar 24.75 % dan kadar serat sebesar 1.62 %. Losses fermentasi sebesar 6.28 % dan produksi ampasnya sebesar 10 %. Proses fermentasinya memperbaiki sifat gelatinisasi yaitu menurunkan waktu dan
41 suhu gelatinisaasi, mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi, tahan terhadap retrogradasi adonan sehingga adonan lebih lunak. Sedangkan untuk fermentasi spontan didesain pada waktu perendaman 2 hari dengan rendemen sebesar 24.15 %, kadar seratnya sebesar 1.68% dan ampasnya sebesar 3.25 %. Batang Sagu Gelondongan
Pemarutan
Fermentasi rasio padatan dan cairan 1:2
Perendaman Dengan natrium meta bisulfit 0,2%
Penirisan
Pengeringan
Penggilingan dengan Disk Mill Pengayakan dengan Siever
Ampas sagu
Tepung sagu
Gambar 4.8 Desain proses produksi tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi. Desain proses disetting secara kontinyu, implikasinya memerlukan 2 buah alat perendaman. Untuk menghemat biaya dibuat dari bak semen dengan ukuran 1x3x6 m3, alat perendaman sagu dari bak semen seperti pada industri pengolahan
42 sagu skala UKM. Untuk penirisan dan pengeringan diperlukan beberapa tampah atau tray. Alat penepungan dengan menggunakan disk mill dengan model roda gigi reduksi. Pemisahan tepung dengan siever bertingkat dan penggerak mekanis.
Analisa Kelayakan Finansial Analisis finansial dilakukan untuk berbagai variasi perlakuan fermentasi untuk mengetahui perbedaan biaya investasi, biaya produksi, perkiraan pendapatan, parameter-parameter finansialnya, serta sensitivitasnya terhadap kenaikan bahan baku maupun harga jual produknya. Dalam penyusunan analisa financial digunakan beberapa asumsi-asumsi dasar yang mengacu pada hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan pada aspek yang lain, standar pembangunan sebuah pabrik dan peraturan-peraturan yang berlaku, serta mengacu kepada pabrik pengolahan pati sagu skala UKM yang berada di daerah Ciluar Bogor milik Bapak Rovi agar asumsi yang digunakan mendekati keadaan sebenarnya dilapangan sehingga lebih operasional. Asumsi – asumsi dasar yang dipakai secara garis besar adalah sebagai berikut : 1. Umur ekonomis proyek adalah 16 tahun, dimana 1 tahun merupakan masa persiapan lahan dan konstruksi serta 15 tahun adalah periode produksi/operasi sesuai dengan umur ekonomis mesin dan peralatan. 2. Kapasitas produksi pabrik pengolahan tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater Bimo CF adalah 2000 kg empulur/hari atau setara dengan dua pohon sagu per hari dengan proses inkubasi tetap berjalan selama 48 (empat puluh delapan) jam untuk waktu produksi selama 8 (delapan) jam per hari. 3. Kapasitas produksi pabrik pengolahan tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan ragi tape adalah 2000 kg empulur/hari atau setara dengan dua pohon sagu per hari dengan proses inkubasi tetap berjalan selama 24 (dua puluh empat) jam untuk waktu produksi selama 8 (delapan) jam per hari. 4. Kapasitas produksi ekonomis pabrik pengolahan tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi spontan adalah 2500 kg empulur/hari atau setara dengan dua setengah pohon sagu per hari dengan proses inkubasi tetap berjalan selama 48 (empat puluh delapan) jam untuk waktu produksi selama 8 (delapan) jam per hari. 5. Waktu operasi pabrik dalam satu tahun adalah 12 (dua belas) bulan, dan 25 (dua puluh lima) hari dalam sebulan. 6. Rendemen pengolahan tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater Bimo CF adalah a. 26.40 % tepung sagu 100 mesh b. 2.28% tepung sagu 80 mesh c. 10.15% ampas sagu fermentasi d. 3.55% losses saat fermentasi e. 0.70 losses saat penepungan
43 7. Rendemen pengolahan tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater ragi tape adalah a. 24.75 % tepung sagu 100 mesh b. 3.30% tepung sagu 80 mesh c. 10.58% ampas sagu fermentasi d. 6.28% losses saat fermentasi e. 0.38% losses saat penepungan 8. Rendemen pengolahan tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi spontan adalah a. 24.15 % tepung sagu 100 mesh b. 1.61% tepung sagu 80 mesh c. 3.25% ampas sagu fermentasi d. 15.03% losses saat fermentasi e. 0.15% losses saat penepungan 9. Produk akhir untuk proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater Bimo CF adalah a. 158 ton tepung sagu 100 mesh per tahun b. 14 ton tepung sagu 80 mesh per tahun c. 60.9 ton ampas sagu fermentasi per tahun 10. Produk akhir untuk proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater ragi tape adalah a. 149 ton tepung sagu 100 mesh per tahun b. 20 ton tepung sagu 80 mesh per tahun c. 63.5 ton ampas sagu fermentasi per tahun 11. Produk akhir untuk proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi spontan adalah a. 181 ton tepung sagu 100 mesh per tahun b. 12 ton tepung sagu 80 mesh per tahun c. 24.4 ton ampas sagu fermentasi per tahun 12. Untuk keperluan analisa finansial (penentuan IRR) struktur modal adalah 100% modal sendiri. 13. Discount factor per tahun diasumsikan adalah 16% untuk kredit investasi dan 16% untuk kredit modal kerja. 14. Perhitungan finansial dilakukan dalam mata uang rupiah dengan nilai tukar (exchange rate ) 1 US$ = Rp. 10.000,- (data per 24 Nopember 2014). 15. Harga bahan baku sagu gelondongan ditentukan berdasarkan rata-rata tahun 2014 sebesar Rp.1.333,-/kg. 16. Harga jual produk tepung sagu 100 mesh ditetapkan dibawah harga pabrik dari pati sagu dan untuk tepung sagu 80 mesh dibawah harga tepung terigu dan tepung beras, dengan rincian sebagai berikut a. Tepung sagu 100 mesh Rp. 6.750,-/kg b. Tepung sagu 80 mesh Rp. 5.000,-/kg c. Ampas sagu fermentasi Rp. 850,-/Kg 17. Pabrik mulai beroperasi pada tahun ke-1 dengan kapasitas 75%, tahun ke-2 sampai ke-15 pabrik beroperasi penuh (100%) dan tahun ke-0 digunakan untuk masa persiapan dan konstruksi. 18. Biaya penyusutan dihitung dengan metode garis lurus (straight-line method) yang disesuaikan dengan umur ekonomis masing-masing modal tetap.
44 19. Biaya perbaikan dan perawatan modal tetap dengan kisaran 2,5-5 % per tahun dari nilai investasi barang.
Kriteria Kelayakan Investasi
Kriteria kelayakan yang dipakai meliputi NPV, PBP, Net B/C dan IRR yang dapat menggambarkan apakah proyek masih atraktif untuk direalisasikan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 4.9. Tabel 4.9 Hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi. Parameter NPV DF 16% (Rp) IRR (%) Net B/C Pay Back Period (Tahun)
Stater Bimo CF 362.167.291 20.53 2.24 4.68
Nilai Stater Ragi Tape 321.531.459 19.44 2.18 4.89
Spontan 189.494.418 8.68 1.65 8.31
Hasil perhitungan Net Present Value (NPV) berdasarkan aliran kas bersih pada proyeksi arus kas unit produksi tepung sagu dengan perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF lebih besar dibandingkan perlakuan fermentasi lainnya hal ini disebabkan walaupun pada perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF memerlukan modal kerja per bulan dan biaya investasi peralatan yang lebih besar karena disesuaikan dengan keperluan proses inkubasi berjalan tetapi menghasilkan rendemen produk tepung sagu yang lebih besar. Nilai IRR atau tingkat pengembalian internal unit produksi tepung sagu dengan perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape lebih besar dari bunga bank saat ini yaitu 14 %, melihat dari nilai IRR nya unit produksi tepung sagu dengan perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape layak secara finansial. Kelayakan finansial juga ditentukan oleh net B/C. Nilai net B/C untuk kedua perlakuan lebih dari satu sehingga layak dilakukan investasi. Selain itu Pay Back Period (PBP) yang merupakan ukuran lama waktu unit produksi mencapai titik impasnya dari kedua unit produksi tersebut masih kurang dari lima tahun. Untuk produksi tepung sagu dengan perlakuan fermentasi spontan yang menunjukan tidak layak secara finansial hal ini diduga karena losses saat fermentasi yang lebih besar serta produksi ampas sagu yang dapat dimanfaatkan oleh industri pakan ternak juga sedikit, selain itu kapasitas produksi ekonomisnya juga lebih besar sebesar 2.500 kg empulur per hari atau setara dengan dua setengah pohon sagu per harinya.
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai kemungkinan yang terjadi di pasar seperti gejolak harga bahan baku ataupun
45 harga jual produk terhadap parameter finansial. Selain itu analisis sensitivitas juga dilakukan jika terjadi kesalahan ataupun perubahan-perubahan pada asumsi dasar. Pengukuran sensitivitas dilakukan pada perubahan nilai NPV DF 16%, IRR, Net B/C Ratio dan PBP. Hasil pengukuran sensitivitas pada proses produksi tepung sagu dengan perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape pada perubahan harga bahan baku sebesar 10% baru menunjukan kelayakan jika kapasitas produksi ditingkatkan menjadi 2.500 kg empulur per hari. Berikut perbandingan hasil pengukurannya.
Tabel 4.10 Perbandingan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat bahan baku sagu naik 10%. Parameter
Kenaikan Kapasitas Produksi (Kg empulur/hari) NPV DF 16% (Rp) IRR (%) Net B/C Pay Back Period (Tahun)
Stater Bimo CF 2.500
Nilai Stater Ragi Tape 2.500
260.813.428 14 1.89 6.27
210.046.684 11.4 1.77 7.13
Spontan 4.000 209.611.713 10 1.72 7.61
Untuk kenaikan kapasitas produksi hingga 2.500 kg empulur per hari atau setara dengan dua setengah pohon sagu per hari masih memungkinkan dengan kapasitas peralatan yang sudah ada sebelumnya sehingga tidak perlu menambah biaya investasi. Dari Tabel 4.10 terlihat bahwa jika terjadi kenaikan harga bahan baku sagu sebesar 10% akibat perubahan harga pasar ataupun terjadi kesalahan asumsi dasar maka proses produksi tepung sagu menggunakan stater Bimo CF masih layak secara finansial dengan nilai IRR sama dengan acuan bunga bank sebesar 14 % dan nilai net B/C masih lebih besar dari satu. Sedangkan untuk perlakuan fermentasi dengan menggunakan stater ragi tape walaupun nilai net B/C masih lebih besar dari satu namun nilai IRR sebesar 11.4% masih dibawah acuan bunga bank. Sedangkan untuk perlakuan fermentasi spontan dengan penambahan kapasitas produksi sebesar 4.000 kg empulur per hari menjadi tidak memungkinkan untuk kapasitas peralatan yang ada. Jika terjadi perubahan pada harga jual produk utama (tepung sagu 100 mesh). Hasil pengukuran sensitivitas pada saat terjadi penurunan harga jual produk utama sebesar 10% disajikan pada tabel 4.11. Pengaruh penurunan harga jual produk utama sebesar 10 % menyebabkan semua proses produksi tepung sagu dengan berbagai perlakuan fermentasi mempunyai nilai IRR jauh dari acuan bunga bank sebesar 14%. Sehingga investasi di proyek pengolahan tepung sagu secara proses semi kering dengan kombinasi fermentasi menjadi tidak menarik. Namun produksi masih tetap berjalan sebab net B/C masih lebih besar dari satu dengan nilai provit lebih kecil 3.5 x dibanding kondisi normal dan dibawah acuan bunga bank.
46 Tabel 4.11 Perbandigan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat harga jual produk utama turun 10%. Parameter
Kenaikan Kapasitas Produksi (Kg empulur/hari) NPV DF 16% (Rp) IRR (%) Net B/C Pay Back Period (Tahun)
Stater Bimo CF 2.500
Nilai Stater Ragi Tape 2.500
106.303.245 1.44 1.36 13.51
93.862.941 0.97 1.35 14.00
Spontan 4.000 46.016.744 -5.69 1.16 25.09
Dari hasil analisis sensitivitas pada proyek produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menunjukan proyek lebih sensitive jika terjadi perubahan harga jual produk utama dibandingkan dengan perubahan harga bahan baku. Sehingga pengembangan proyek seharusnya ditekankan pada pangsa pasar dan produk hilir.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Proses produksi tepung sagu semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape dapat dijadikan sebagai alternatif pengolahan sagu. Tepung sagu yang dihasilkan mempunyai kadar serat yang tidak jauh dari 1 % sebagai syarat sagu untuk industri (MS468, 1976), granula pati sesuai standar SNI 01-3729-1995, memiliki pH yang memenuhi standar untuk pangan SIRIM MS 470:1992 sebesar 4.5 – 6.5 dan rendemen tertinggi pada waktu perendaman 2 hari sebesar 26.40 % dan waktu perendaman 3 hari sebesar 26.50 % pada penggunaan starter Bimo CF dan rendemen tertinggi untuk penggunaan stater ragi tape sebesar 24.75 % pada waktu perendaman 1 hari. 2. Penggunaan stater Bimo CF dan ragi tape meningkatkan rendemen tepung sagu dibandingkan dengan proses penepungan secara langsung menggunakan ball mill atau yang ditambahkan perlakuan perendaman dengan natrium metabisulfit bahkan proses produksi pati sagu secara fermentasi spontan, kelebihan lainnya dari penggunaan stater Bimo CF dan ragi tape pada proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi dapat menurunkan losses saat fermentasi dibanding fermentasi spontan. Dengan produksi ampas fermentasi sebesar 10% yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh industri pakan ternak.
47 3. Perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape serta fermentasi spontan berpengaruh nyata terhadap kehalusan. Kehalusan tepung sagu yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan standar SNI 01-3729-1995. 4. Hasil pengamatan dengan SEM menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater dan waktu perendaman secara umum menghasilkan granula pati yang mempunyai bentuk oval atau berbentuk telur dan sebagian diantaranya memiliki ujung yang rata atau pepat dan serupa dengan granula pati standar SNI 01-3729-1995. Dan hasil pengamatan SEM juga menunjukan granula pati hasil fermentasi menggunakan stater Bimo CF lebih cenderung terpisah antar partikel pati yang satu dengan partikel yang lainnya sehingga membuktikan penyebab rendemen tepung sagu yang dihasilkan lebih tinggi. 5. Proses produksi tepung sagu secara proses semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape pada waktu inkubasi 1 sampai 3 hari dapat memperbaiki sifat gelatinisasi yaitu menurunkan waktu dan suhu gelatinisaasi, mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi dan terjadi perbaikan dibanding pati sagu yang diproduksi oleh UKM, tetapi daya pengentalannya tidak tahan pada kondisi suhu tinggi dan tidak berpengaruh nyata terhadap breakdown viscosity serta viskositas panas, tahan terhadap retrogradasi adonan sehingga adonan lebih lunak jika dibandingkan pati sagu dan fermentasi dengan variasi starter dan waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap viskositas dingin dan setback viscosity. Tepung sagu yang dihasilkan berpotensi sebagai bahan pangan dan untuk industry namun perlu ada upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kecerahan tepung sagu sehingga lebih diminati oleh industri pengguna. 6. Hasil pengukuran pH menunjukan tepung sagu yang diproduksi secara semi kering dengan kombinasi fermentasi pada berbagai variasi stater dan waktu perendaman memiliki pH yang memenuhi standar untuk pangan SIRIM MS470:1992 sebesar 4.5 – 6.5. 7. Proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape layak secara finansial. Dengan nilai NPV DF 16% sebesar Rp. 362.167.291,-, IRR sebesar 20.53 %, net B/C ratio sebesar 2.24 dan Pay Back Period sebesar 4.68 tahun untuk penggunaan stater Bimo CF. dan untuk penggunaan stater ragi tape nilai NPV DF 16% sebesar Rp. 321.531.459,-, IRR sebesar 19.44 %, net B/C ratio sebesar 2.18 dan Pay Back Period sebesar 4.89 tahun. Penggunaan kedua stater tersebut lebih sensitiv terhadap peubahan harga jual produk tepung sagu disbanding terhadap perubahan harga bahan baku sehingga perlu dicari terobosan pasar dan pengembangan produk hilir. Saran Tepung sagu sebagai alternatif proses pengolahan sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi dengan sasaran meminimalisasi penggunaan air, penurunan kadar serat dan memperbaiki sifat fungsional lebih utama dengan menggunakan starter Bimo CF dengan lama waktu perendaman 2 hari.
48 6 DAFTAR PUSTAKA
Aini N., Hariyadi P, Muchtadi T.R dan Andarwulan N. 2010. Hubungan Antara Waktu Fermentasi Grits Jagung Dengan Sifat Gelatinisasi Tepung Jagung Putih Yang Dipengaruhi Ukuran Partikel. Jurnal Teknol Indust Pangan. 21(1):18-24. Alfons J. B., Rivaie A.A.. 2011. Sagu Mendukung Ketahanan Pangan Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim. Perspektif 10(2):81-91. Amani B, Harijono. 2013. Formulasi dan Pembuatan Makanan Padat Berbahan Dasar Tepung Bekatul dan Tepung Kacang Kedelai Sebagai Alternatif Pangan Darurat Menggunakan Teknik Linear Programming, [Tesis] Malang (ID) : Universitas Brawijaya. Amos. 2010. Dampak Limbah Pengolahan Sagu Skala Kecil Terhadap Mutu Air Anak Sungai di Kelurahan Cibuluh Bogor. Jurnal Industri Hasil Perkebunan 5(1289):32-39. Arif A., Anan M.. 1996. Daya Cerna Bahan Kering dan Protein dari Beberapa Sumber Karbohidrat dan Difermentasi Dalam Upaya Menekan Biaya Produksi. Surabaya (ID): Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Yulianto A. 2013. Rekayasa Proses Produksi Tepung Jagung Secara Enzimatis Menggunakan Papain. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Azizah N., Baarri A. N., Mulyani S.. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH dan Produksi Gas pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 1(2):72-77. Haryanto B, Pangloli P. 1994. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta (ID) : Kanisius. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2010. Program Manual : Pengkajian dan Penerapan Teknologi Produksi Pangan dan Bioeknologi Bibit Unggul. (ID) Jakarta. Basir A.. 2012. Pengaruh Dimensi Mata Pemarut Terhadap Pengolahan Empelur Batang Sagu Menjadi Bahan Dasar Tepung. Jurnal Polimedia (15)1. Berthy J., Rivaie A.A.. 2011. Sagu Mendukung Ketahanan Pangan Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim. Perspektif 10(2):81-91. [BSN] Badan Standar Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia : SNI 01-37291995. Tepung Sagu. (ID) Jakarta. Erliana G, Suprapto. 2004. Pemanfaatan Pati Ubi Jalar Sebagai Substitusi Terigu Pada Pembuatan Roti Manis. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian.2010 Mei 27; Bogor, Indonesia. Bogor (ID). Erning I, Harijono, Bambang S.. 2012. Karakteristik Tepung Uwi Ungu (Dioscorea alata L.) Yang Direndam dan Dikeringkan Sebagai Bahan Edible Paper. Jurnal Teknologi Pertanian 13(3):169-176. Flach M., 1997, Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy. Ganjar I., 2003. Tapai from Cassava and Sereals. Di dalam : First International Symposium and Workshop on Insight into the World of Indigenous
49 Fermented Foods for Technology Development and Food Safety; Bangkok, hal 1–10. Haryadi. 2011. Teknologi Modifikasi Tepung Kasava. Agritech 31(2): 86-92 Hawani L. E. & Yuliasri R.M.. 2012. Pembuatan Starter Mocaf Terimobilisasi dari Isolat Bakteri Asam Laktat dan Aplikasinya Pada Proses Produksi Mocaf. Hasil Penelitian Industri 25(1):35-47. Husniati, Wisnu A. A.. 2010. Analisis Fasa dan Struktur Mikro Pada Tepung Tapioka Dengan Penambahan Natrium Metabisulfit. Jurnal Sains Materi Indonesia. 13(2): 83-89. Jeffry T. Mintoko D.K., Gunawan S.. 2014. Pengaruh Fermentasi pada Pembuatan Mocaf (Modified Cassava Flour) dengan Menggunakan Lactobacillus plantarum terhadap Kandungan Protein. Jurnal Teknik Pomits 3(2):143-145. Kanro M. Z., Rouw A., Widjono A., Syamsuddin, Amisnaipa, Atekan. 2003. Tanaman Sagu dan Pemanfaatannya di Propinsi Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 22(3) : 116-124. [KEMENTAN BALITKA] Kementrian Pertanian, Badan Litbang dan Pengembangan Tanaman Palma. 2014. Alat Pengolahan Sagu Mekanis Sistem Terpadu Tipe Balitka [Internet], [diunduh 2014 Mei 20] tersedia pada : http://balitka.litbang.deptan.go.id/Aalat-pengolahan-sagu-mekanissistem-terpadu-tipe-balitka. Loreto A.B, Quevedo M. A, Mariscal A. M, Okazaki M, Toyota K. 2006. Improvement of the Traditional Sago Starch Processing the Philippines Through Mechanization, Sago Palm 14(1) : 4-9. Louhenapessy J.E., Luhukay M., Talakua S., Salampessy H., Riry J.. 2010. Sagu Harapan dan Tantangan, Cetakan Pertama, Jakarta (ID) : Bumi Aksara. Mazlina M.K.S., Siti N.M, Siti A.H., Fakhrul R.A. 2007. Improvement on Sago Flour Processing, International Journal of Engineering and Technology 4(1): 8-14. Meddiati F. P.. 2010. Kandungan Gizi dan Sifat Fisik Tepung Ampas Kelapa Sebagai Bahan Pangan Sumber Serat. TEKNUBUGA 2(2): 32-43. Murdani. 2012. Analisis Berbagai Macam Stater pada Fermentasi MOCAF, [Internet] : 2012 Desember 06, [diunduh 1 Nopember 2013] tersedia pada http://bbppketindan.bppsdmp.deptan.go.id/arsip/artikel/artikel-pertanian/120analisis-berbagai-macam-starter-pada-fermentasi-mocaf
Mukhamad R.A., Yunianta. 2014. Pengaruh Lama Perendaman Na2S2O5 Dan Fermentasi Ragi Tape Terhadap Sifat Fisik Kimia Tepung Jagung. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2(2):91-102. Muyassaroh A.R., Anggita A.D. 2010. Pembuatan Tepung Ketela Yang Dimodifikasi dengan Proses Fermentasi Sebagai Substitusi Tepung Terigu, [Skripsi] Surakarta (ID) : Univrsitas Sebelas Maret. Nelis I.. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-Tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Penel Gizi Makan. 35(1) : 13-12. Ni’mah S., Achmad R.T., Heru s., 2013. Desain Pabrik Pengolahan Tepung Sagu, Jurnal Teknik Pomits 2(1) : 1-3. Novarianto H, Miftahorrachman, I. Maskromo, Mangindaan. 1996. Keragaman dan Kemiripan Tipe-Tipe Sagu Asal Desa Kehiran, Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura Irian Jaya. Jurnal LITTRI 1(5) : 227-239.
50 Prabasini H., Ishartini D., Rahadian D., 2013. Kajian Sifat Kimia dan Fisik Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata) dengan Perlakuan Blanching dan Perendaman dalam Natrium Metabisulfit (Na2S2O5). Jurnal Teknosains Pangan. 2(2) : 93-102. Rachmadi A. T., 2011. Pemanfaatan Fermentasi Rebung Untuk Bahan Suplemen Pangan dan Tepung Serat. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan 3(1): 37-41. Rachmawati R., Luwihana D., 2013. Variasi Penambahan Inokulan Yeast Terhadap Sifat Kimia, Fisika dan Tingkat Kesukaan Konsumen Oyek. Jurnal Agrisains 4(7): 1-10. Sari I. M., Noverita, Yulneriwarni, 2008. Pemanfaatan Jerami Padi dan AlangAlang Dalam Fermentasi Etanol Menggunakan Kapang Trichoderma viride dan Khamir Saccharomycess cerevisiae. Vis Vitalis 01(2): 55-62. Saripudin U., 2006, Rekayasa Proses Tepung Sagu (Metroxylon sp) Dan Beberapa Karakternya, [Skripsi] : Institut Pertanian Bogor (ID). Suarni. 2009. Potensi Tepung Jagung dan Sorghum sebagai Substitusi Terigu dalam Produk Olahan, Jurnal Iptek Tanaman Pangan. 4(2) : 181-193. Sudrajat R., 1985. Pengaruh Cara Ekstraksi Terhadap Sifat Fisika dan Kimia Sagu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(1):18-21. Sugiyono. 2008. Kadar Protein dan Serat Kasar Ampas Sagu (Metroxylon sp) Terfermentasi dengan Lama Pemaraman yang Berbeda. Jurnal Ilmiah Inkoma. 19(1):11-23. Syakir M. dan Elna K., 2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon sp.) Sebagai Bahan Baku Bioenergi. Perspektif 12(2) : 57-64. Ratih D., Hariyadi P., Richana N., 2011. Penambahan Kultur Starter (Bakteri Asam Laktat) untuk Menurunkan Afltoksin pada Pembuatan Grits dan Tepung Jagung. 2011; Bogor. Bogor (ID) ; [Institut Pertanian Bogor] [No abstr tidak diketahui]. Roida E.S., 2013. Karakterisasi Enzim Selulase dan Aplikasinya Pada Substrat Limbah Pertanian, [Thesis] : (ID) Institut Pertanian Bogor. Sukmiyati A., 2011. Efek Polisakarida Non Pati Terhadap Karakteristik Gelatnisasi Tepung Sukun. Jurnal Teknologi Pertanian. 7(1) : 28-35. Wahyu P, Ikhsan K, 2010. Efektivitas Bacillus sp. Untuk Peningkatan Nilai Nutrisi Bungkil Kelapa Sawit Melalui Fermentasi. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 : 699-774. Wahyuni S., Lianto, Andi K., 2014, Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Manolitikasal Bonggol Pohon Sagu. Jurnal Agroteknos 4(3):174-179. Widodo W., 2011. Fermentasi Ragi Tape, [Internet], [diunduh 2014 April 8] tersedia pada : http://far71.wordpress.com/2011/06/16/fermentasi-ragi-tape/ Widowati S., Misgiyarta, 2003, Efektifitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Pembuatan Produk Fermentasi Berbasis Protein/Susu Nabati. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman 2003 : Hal 360-373. Yanti N.A., Asmawati M., 2014, Screening Bakteri Amilolitik dan Selulolitik dari Limbah Sagu, Jurnal Bio Wallacea 1(1):228-231. .
51 Lampiran 1. Neraca Bahan Kadar Air Bahan Baku = 58 %, %-w (g) BAHAN BAKU Ulangan ACB1
Sagu 2000
ACB2
2000
A1B1
2000
A1B2
2000
A2B1
2000
A2B2
2000
A3B1
2000
A3B2
2000
A4B1
2000
A4B2
2000
A5B1
2000
A5B2
2000
C1B1
2000
C1B2
2000
C2B1
2000
C2B2
2000
C3B1
2000
C3B2
2000
C4B1
2000
C4B2
2000
C5B1
2000
C5B2
2000
D1B1
2000
D1B2
2000
D2B1
2000
D2B2
2000
D3B1
2000
D3B2
2000
D4B1
2000
D4B2
2000
D5B1
2000
D5B2
2000
E1B1
2000
E2B1
2000
E3B1
2000
E4B1
2000
E5B1
2000
E6B1
2000
FERMENTASI
PENEPUNGAN 80 100 mesh % mesh
Sawut
Losses
%Losses
%Losses
Rendemen
519
321
16.05
195
9.75
23
1.15
745
95
4.75
373
18.65
135
6.75
297
1.15
14.85
217
6.75
10.85
774
66
3.3
164
8.2
44
2.2
360
2.2
18
617
223
11.15
207
10.35
757
83
4.15
225
11.25
19
0.95
381
0.95
19.05
33
1.65
489
1.65
24.45
781
59
2.95
181
9.05
35
1.75
528
1.75
26.4
757
83
4.15
711
129
6.45
182
9.1
28
1.4
530
1.4
26.5
231
11.55
20
1
458
1
22.9
643
197
9.85
254
12.7
22
1.1
365
1.1
18.25
645 578
195
9.75
237
11.85
18
0.9
383
0.9
19.15
262
13.1
258
12.9
48
2.4
265
2.4
13.25
588
252
12.6
310
15.5
12
0.6
247
0.6
12.35
740
100
5
208
10.4
39
1.95
495
1.95
24.75
689
151
7.55
215
10.75
57
2.85
422
2.85
21.1
685
155
7.75
197
9.85
31
1.55
358
1.55
17.9
726
114
5.7
150
7.5
36
1.8
443
1.8
22.15
742
98
4.9
215
10.75
47
2.35
438
2.35
21.9
648
192
9.6
180
9
29
1.45
432
1.45
21.6
596
244
12.2
213
10.65
20
1
359
1
17.95
700
140
7
246
12.3
17
0.85
442
0.85
22.1
687
153
7.65
341
17.05
14
0.7
321
0.7
16.05
522
318
15.9
303
15.15
21
1.05
199
1.05
9.95
616
224
11.2
122
6.1
10
0.5
374
0.5
18.7
579
261
13.05
121
6.05
12
0.6
371
0.6
18.55
529
311
15.55
55
2.75
8
0.4
470
0.4
23.5
550
290
14.5
75
3.75
10
0.5
496
0.5
24.8
575
265
13.25
99
4.95
15
0.75
332
0.75
16.6
484
356
17.8
107
5.35
15
0.75
363
0.75
18.15
541
299
14.95
129
6.45
14
0.7
413
0.7
20.65
552
288
14.4
101
5.05
12
0.6
434
0.6
21.7
537
303
15.15
123
6.15
12
0.6
404
0.6
20.2
492
348
17.4
195
9.75
12
0.6
353
0.6
17.65
550
290
14.5
213
10.65
17
0.85
296
0.85
14.8
542
298
14.9
181
9.05
16
0.8
291
0.8
14.55
539
301
15.05
219
10.95
27
1.35
287
1.35
14.35
466
374
18.7
175
8.75
17
0.85
274
0.85
13.7
458
382
19.1
174
8.7
18
0.9
269
0.9
13.45
432
408
20.4
173
8.65
19
0.95
245
0.95
12.25
Ampas
%
52 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 13 Februari 1977 dari ayah Wastria dan ibu Siti Mu’iroh. Penulis adalah putra ke dua dari empat bersaudara. Pada tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Majalengka dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi swasta di Jakarta. Institut Sains dan Teknologi Al Kamal yang Rektornya Prof. A.M. Satari (Alm) mantan Rektor IPB periode 1971-1978. Mengambil program studi jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten laboratorium Kimia Dasar dan laboratorium Fisika Dasar dari tahun 1996-1998, serta aktif di organisasi profesi sebagai ketua di Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia tahun 1998-1999 dan anggota Badan Koordinasi Kegiatan Mahasiswa Teknik Kimia Indonesia (BKKMTKI). Pada tahun 2000 penulis praktek kerja lapangan di PT. GT Petrochem Industries Tbk. yang memproduksi Etilen Oksida/Etilen Glikol, kemudian pada tahun yang sama dilanjutkan dengan melakukan Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Methyl Epoksi Oleat dari Olein Kapasitas 6.500 Ton/Tahun. Serta skripsi dengan judul Proses Pengolahan Serat Alam (Yute, Kenaf dan Rosela) dengan Menggunakan Larutan Urea. Mulai tahun 2003, penulis bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sebagai staff kereyasaan bidang pangan dan hortikultura di Pusat Teknologi Agroindustri. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai Engineering Staff Pengkajian Teknologi Industri Sawit Oleochemical Food, Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri (Prototipe Teknologi Produksi Turunan Minyak Sawit) tahun 2010-2011. Engineering Staff Rancang Bangun dan Diseminasi Teknologi, Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pangan Karbohidrat dan Bibit Unggul tahun 2004-2011, Engineering Staff Program Teknologi Produksi Tepung Jagung 80 Mesh Dalam Rangka Substitusi Terigu tahun 2010. Engineering Staff Teknologi Proses, Program Teknologi Produksi Pati Jagung Terpragelatinasi dan Aplikasinya Pada Sediaan Farmasi tahun 2011. Selain itu juga penulis mengikuti kursus atau pelatihan baik dalam dan luar negeri. E-Learning on the Information Security Management System: ISO27000, Asian Productivity Organization 6-9 April 2010, E-Learning Course on TQM for the Service Industri, Asian Productivity Organization 4-7 Oktober 2010, Bimbingan Draft dan Subtantif Paten, Biro Umum dan Humas BPPT 07-09 Februari 2011, Pelatihan Menulis Artikel Ilmiah Populer dan Teknik Pengambilan Gambar Video, Biro Umum dan Humas BPPT 10 Mei 2011. Karya ilmiah yang akan diterbitkan dalam jurnal nasional antara lain; Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering Dengan Kombinasi Fermentasi (direncanakan akan diterbitkan pada Buletin Palma Volume 16 No.1 Juni 2015). Pengaruh Kombinasi Fermentasi Terhadap Sifat Gelatinasi Tepung Sagu yang di Produksi Secara Semi Kering (proses review jurnal Current Biochemistry IPB). Analisa Kelayakan Ekonomi Pabrik Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering Dengan Kombinasi Fermentasi (dalam proses penulisan).