STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
BAB 2
P R O S E S P E M U L I H A N E KO N O M I H A S I L A NA L I S A I N D I K A TO R D I N I
Seperti telah diuraikan di atas, indikator dini dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk meramalkan ekonomi jangka pendek. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian saat ini indikator dini cukup baik untuk menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan melihat perilaku suatu variabel ekonomi. Dalam bagian ini akan diuraikan ringkasan hasil regresi beberapa variabel ekonomi untuk melihat pengaruhnya terhadap perekonomian. Secara lengkap teori dan hasil regresi variabel ekonomi tersebut dapat dilihat dalam lampiran. 1. Pergerakan Kurs Dan Uang Beredar Sebagai Leading Indicator Inflasi. Perubahan nilai tukar, uang beredar, dan harga BBM dalam negeri merupakan leading indicator yang cukup baik untuk memperkirakan laju inflasi bulanan. Pengaruh nilai tukar terhadap inflasi lebih besar dari uang beredar dan diperkirakan berlangsung selama 3 bulan. Setiap 1 persen kenaikan harga BBM akan memberi tambahan inflasi sekitar 0,085 persen. Laju inflasi tahun 2001 dapat ditekan di bawah 2 digit apabila kurs menguat hingga Rp 10.000,- per dolas AS. 2. Suku Bunga Nominal Sebagai Leading Indicator Ekspektasi Inflasi. Berdasarkan hipotesa Fisher suku bunga nominal yang digambarkan oleh yield curve dapat digunakan sebagai leading indicator untuk melihat ekspektasi inflasi. Karena pasar sekunder obligasi pemerintah di Indonesia belum berkembang, yield curve didekati dengan selisih antara suku bunga deposito jangka panjang dengan jangka yang lebih pendek. Hasil pengujian menunjukkan bahwa selisih suku bunga deposito di Indonesia dapat digunakan sebagai leading indicator terhadap ekspektasi inflasi. Meskipun demikian ia tidak mempunyai prediction power yang tinggi sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat forecasting. 3. Perilaku Shock. Perilaku shock suatu variabel terhadap variabel lainnya dianalisa dengan melihat impulse response dalam model vector autoregression (VAR). Dalam studi ini dilakukan analisa impulse response antara nominal dan real shock serta diantara kurs nominal, pertumbuhan uang primer, laju inflasi, dan tingkat suku bungan pada dua periode waktu yaitu sebelum, selama, dan sesudah krisis. Hasil analisa menunjukkan perbedaan perilaku shock antara dua periode sebelum serta selama dan sesudah krisis.
II-1
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
4. Indicator of Policy Severity.. Selain melalui perubahan uang beredar, stance kebijakan moneter dapat dilihat dengan indicator of policy severity. Dari hasil perhitungan, kebijakan moneter yang relatif ketat hanya ditemukan antara pertengahan tahun 1997 hingga triwulan I/1998 serta menjelang Pemilu tahun 1999. 5. Model Ekspor Non-migas. Perubahan impor bahan baku dan barang modal dengan lag tertentu merupakan salah satu leading indicator yang baik untuk memperkirakan perubahan ekspor non-migas selain variabel lain. Model pertama menunjukkan bahwa pengaruh perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal terhadap nilai ekspor nonmigas bersifat positif pada lag 12 dan bersifat negatif pada lag 14 meskipun pengaruh perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal pada lag 12 lebih besar daripada pada lag 14. Model kedua menunjukkan bahwa perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal pada lag 12 sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai ekspor nonmigas sebesar 0,318 persen. Pada tahun 2001 diperkirakan nilai ekspor nonmigas akan mencapai US$ 48,137 miliar. 6. Model Harga Minyak Mentah. Perilaku harga minyak bumi (crude oil) adalah sama dengan perilaku harga komoditas lainnya yang mengalami perubahan harga yang cukup besar pada saat kelebihan penawaran atau permintaan. Secara umum permintaan akan minyak bumi pada tingkat dunia adalah relatif stabil. Namun, dari sisi penawaran akan sangat dipengaruhi oleh produksi negara-negara penghasil minyak bumi. Untuk memberikan keyakinan penetapan harga minyak mentah sebesar US$ 24 per barrel di dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) perlu didukung oleh suatu model. Untuk mengetahui besarnya kemungkinan harga minyak mentah sepanjang tahun 2001 (Juli – Desember) apakah akan mencapai US$ 24 per barel, maka dapat digunakan model Brownian Motion dengan mean reversion. 7. Siklus Bisnis Indonesia. Siklus bisnis dengan menggunakan perilaku PDB riil sebagai acuannya adalah dasar yang paling utama untuk memperkirakan indikator-indikator yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Meskipun tidak terlalu nyata, hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa sekali dalam 5 tahun perekonomian Indonesia mengalami tingkat perekonomian terendah. Hal ini terjadi pada tahun terakhir pada setiap akhir periode/awal jabatan presiden. 8. Output Gap dan Inflasi. Output potensial adalah sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal. Dalam jangka pendek, perkiraan terhadap gap antara output aktual dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Hasil regresi dalam studi ini memperlihatkan bahwa output gap (selisih antara PDB aktual dengan PDB potensial) yang positif cenderung akan menekan inflasi, baik dengan tidak maupun dengan
II-2
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
menggunakan lag satu triwulan. Ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya output gap dalam suatu periode. 9. Model Investasi. Meskipun porsi investasi dalam sisi pengeluaran PDB sekitar 20 persen, namun investasi sangatlah penting sebagai salah satu penyebab business cycle. Selanjutnya, berbagai kebijakan utama ekonomi dilakukan untuk mendorong investasi. Dengan demikian dibutuhkan pemahaman mengenai perilaku dan faktor yang menentukan investasi. Pendekatan yang digunakan dalam model ini adalah investasi sebagai fungsi dari suku bunga dan PDB potensial yang dihitung menggunakan metoda Hodrick-Prescott Filter. Dari regresi diperoleh bahwa besarnya investasi pada suatu waktu dipengaruhi oleh trend PDB satu triwulan sebelumnya dan suku bunga deposito dua triwulan sebelumnya. 10. Konsumsi Semen Sebagai Leading Indicator Sektor Konstruksi. Sebagian besar kegiatan sektor konstruksi membutuhkan semen. Umumnya kebutuhan semen sangat tinggi pada awal atau pertengahan aktivitas konstruksi. Dengan demikian, konsumsi semen berpotensi untuk dijadikan sebagai leading indicator kegiatan konstruksi. 11. IHK Sebagai Leading Indicator PDB Deflator. Untuk mengkonversi hasil proyeksi ekonomi riil (PDB riil) ke dalam nilai nominal dibutuhkan perkiraan PDB deflator. Mengingat bahwa komponen pengeluaran terbesar dalam PDB adalah konsumsi maka digunakan elastisitas IHK terhadap PDB deflator sebagai dasar perhitungan perkiraan PDB deflator. Dari hasil regresi IHK terhadap double log PDB deflator diperoleh elastisitas sebesar 0,96 yang berarti setiap kenaikan 1 persen IHK akan menyebabkan kenaikan 0,96 persen PDB deflator. 12. Model Nilai Tukar. Berdasarkan pendekatan moneter, faktor faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar adalah keseimbangan yang terjadi antara fungsi permintaan uang dan fungsi penawaran uang. Berdasarkan pendekatan ini disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar adalah perbedaan jumlah uang beredar antara dalam negeri dan luar negeri; perbedaan pendapatan riil dalam negeri dan luar negeri; dan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri. KONDISI EKONOMI SAAT INI
Dalam tahun 2000 proses pemulihan ekonomi terus berlangsung. Perekonomian tumbuh sekitar 4,8 persen dengan ekspor dan investasi sebagai penggeraknya (masing-masing tumbuh sekitar 16,1 persen dan 8,9 persen); sedangkan konsumsi rumah tangga tumbuh lebih lambat (sekitar 3,6 persen). Dari sisi produksi, semua sektor menunjukkan pertumbuhan yang positif. Industri pengolahan nonmigas tumbuh sekitar 7,2 persen; pertanian sekitar 1,7 persen; dan sektor-sektor lainnya sekitar 5,1 persen. Di dalam kelompok industri nonmigas, sub-sektor (a) alat angkut, mesin, dan peralatan, (b) logam dasar, besi, dan baja, (c) pupuk, kimia, dan barang karet, (d) tekstil, barang kulit dan alas kaki, serta (e) kertas dan barang cetakan, tumbuh dua digit.
II-3
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Di sektor pertanian, produksi beras meningkat menjadi 51,2 juta ton dan turut menyumbang bagi stabilnya harga beras di dalam negeri. Harga beras rata-rata mutu sedang di ibukota propinsi dalam tahun 2000 sekitar Rp 2.300 per kg, menurun dari tahun 1999 sekitar Rp 2.600 per kg. Sumbangan kenaikan harga beras terhadap inflasi dalam tahun 2000 tercatat sekitar 11 persen. Beberapa leading indicator menunjukkan perkembangan yang searah. Konsumsi listrik oleh sektor industri tumbuh sekitar 8,5 persen dan bahkan sudah melebihi masa sebelum krisis; impor bahan baku/penolong dan barang modal masing-masing sekitar 40,2 persen dan 59,4 persen; serta konsumsi semen sekitar 23,5 persen. Penjualan mobil dan sepeda motor naik ke tingkat yang mendekati sebelum krisis. Arus wisatawan asing juga menunjukkan peningkatan meskipun tidak merata pada semua bandara. Pertumbuhan ekonomi membantu menciptakan lapangan kerja bagi tambahan angkatan kerja dan pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka dalam tahun 2000 menurun menjadi 6,1 persen angkatan kerja. Sejalan dengan itu upah riil pekerja di berbagai daerah dan kegiatan ekonomi meningkat mendekati masa sebelum krisis. Pendapatan per kapita masyarakat mencapai Rp 6,3 juta atau setara dengan US$ 756. Meskipun terjadi perbaikan di sektor riil, pertumbuhan ekonomi tahun 2000 lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami krisis serupa. Perekonomian Korea Selatan tumbuh 10,9 persen dan 8,8 persen dalam tahun 1999 dan 2000 setelah mengalami kontraksi sekitar 6,7 persen pada tahun 1998. Demikian pula perekonomian Thailand tumbuh sekitar 4,2 persen dan 4,3 persen setelah mengalami kontraksi sekitar 10,2 persen dalam kurun waktu yang sama. Pertumbuhan ekonomi tahun 2000 juga belum didukung oleh pulihnya kepercayaan masyarakat. Minat investasi dalam tahun 2000 masih jauh di bawah tingkat sebelum krisis. Persetujuan PMDN dan PMA hanya mencapai masing-masing Rp 60,1 triliun dan US$ 14,9 miliar atau sekitar 50,2 persen dan 44,1 persen dari investasi yang disetujui dalam tahun 1997 yang lalu. Arus keluar penanaman modal asing (neto) masih meningkat, dari US$ 2,7 miliar pada tahun 1999 menjadi US$ 3,9 miliar pada tahun 2000. Fungsi intermediasi perbankan juga belum sepenuhnya pulih antara lain karena sebagian nasabahnya sedang dalam proses restrukturisasi utang. Sedangkan untuk nasabah baru, perbankan masih diliputi oleh kekuatiran mengingat masih besarnya unsur ketidakpastian. Sampai dengan akhir tahun 2000, jumlah kredit dalam rupiah hanya naik 8,5 persen. Adapun kenaikan kredit dalam valuta asing lebih didorong oleh melemahnya rupiah. Sehingga meskipun dalam nilai rupiah, kredit valuta asing meningkat sekitar 37,7 persen, namun dalam dolar AS hanya naik sekitar 1,8 persen.
II-4
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO HINGGA TRIWULAN II/2001 Dalam tahun 2000 proses pemulihan ekonomi terus berlangsung. Perekonomian tumbuh 4,8% dengan ekspor dan investasi sebagai penggeraknya. Namun memasuki tahun 2001, terjadi peningkatan ketidakpastian yang mengganggu proses pemulihan ekonomi. Sidang Paripurna DPR-RI tanggal 30 April dan 30 Mei 2001, yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian politik, menimbulkan kekuatiran yang berlebihan akan timbulnya konflik horisontal di kalangan masyarakat. Terutama pada hari-hari menjelang Sidang Paripurna DPR. Ketidakstabilan politik ini selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat luar dan dalam negeri. Kepercayaan masyarakat luar negeri yang masih lemah tercermin antara lain dari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat internasional. Pada tanggal 21 Mei 2001 Standard and Poor’s (S&P) menurunkan peringkat utang pemerintah (sovereign rating) yaitu untuk utang jangka panjang dalam valuta asing dari B− menjadi CCC+; sedangkan dalam mata uang lokal dari B menjadi B− karena penyesuaian fiskal dianggap tidak memadai, beban utang pemerintah yang berat, dan tidak pastinya pembiayaan defisit anggaran tahun 2001. S&P juga menempatkan prospek utang pemerintah pada negative outlook. Penurunan peringkat ini adalah kedua kalinya sejak bulan Maret 2001 yang lalu. Pada tanggal 8 Maret 2001, S&P menurunkan dari B− stable outlook menjadi negative outlook. Sementara itu rating yang dilakukan oleh Moody’s tidak mengalami perubahan dalam penilaian yang diumumkan awal Juni 2001. Meskipun demikian Moody’s mengingatkan akan besarnya resiko melakukan transaksi dengan perbankan di Indonesia. Sebagai catatan pada tanggal 6 Maret 2001 Moody’s menurunkan sovereign rating dari B3 positive outlook menjadi stable outlook. Rendahnya peringkat ini kembali menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit terutama dalam upaya meningkatkan peluang dan iklim investasi. Survei yang dilakukan oleh Danareksa Research Institute menyimpulkan sentimen konsumen yang semakin melemah selama semester I/2001. Sampai dengan Juni 2001, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang dipengaruhi oleh Indeks Situasi Sekarang (ISS) dan Indeks Ekspektasi (IE), melemah untuk kelima kalinya (dari 103,3 pada bulan Januari menjadi 101,1 pada bulan Februari; 98,5 pada bulan Maret; 97,9 pada bulan April; 96,3 pada bulan Mei; dan 91,6 pada bulan Juni 2001). Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, dalam bulan Juni 2001 ISS turun sekitar 6,2% didorong oleh kondisi ekonomi dan politik yang masih belum stabil; sedangkan IE turun sekitar 4,2% didorong oleh keraguan masyarakat atas perkembangan politik di dalam negeri. Selanjutnya pembicaraan dengan tim kaji ulang Dana Moneter Internasional (IMF) sampai dengan semester I/2001 yang belum menghasilkan kesepakatan mengenai pelaksanaan Letter of Intent (LoI) dan revisi APBN 2001 telah menimbulkan keraguan masyarakat akan keberhasilan upaya pemerintah menunda pembayaran utang luar negeri melalui Paris Club II; meskipun Jepang telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan restrukturisasi utang Indonesia. II-5
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Minat asing pada pasar modal di dalam negeri masih rendah. Apabila pada akhir tahun 1999 nilai saham yang dimiliki asing mencapai Rp 122,2 triliun (atau sekitar 27% dari nilai kapitalisasi pasar) maka pada akhir triwulan I/2001 telah menurun menjadi Rp 45,3 triliun (atau sekitar 20% dari nilai kapitalisasi pasar). Pada akhir triwulan II/2001 minat asing sedikit meningkat menjadi sekitar Rp 54,2 triliun atau sekitar 20,4% dari nilai kapitalisasi pasar. Namun angka tersebut masih jauh dibandingkan posisi akhir tahun 1999. Ketidakpastian ini selanjutnya mempengaruhi pasar uang dan pasar modal. Faktor-faktor non-ekonomi yang tidak menguntungkan, seperti kekuatiran adanya kerusuhan massa dan pemogokan buruh, terus melemahkan kurs rupiah harian hingga pada sesi penutupan sempat melebihi Rp 12.000,- per dolar AS dalam bulan April 2001 dan menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bawah 400. Dengan amannya pelaksanaan Sidang Paripurna DPR-RI pada tanggal 30 April dan 30 Mei 2001, nilai tukar rupiah dan IHSG sempat menguat. Namun peningkatannya masih sangat lemah. Melemahnya rupiah turut mendorong laju inflasi. Dalam lima bulan pertama tahun 2001 (Jan − Mei 2001), laju inflasi telah mencapai 3,73%, lebih tinggi dari kurun waktu yang sama tahun 2000 (sekitar 2,35%). Rupiah yang melemah selanjutnya menimbulkan kekuatiran mengenai ketahanan fiskal sehingga diperlukan penyesuaian APBN antara lain dengan mengurangi subsidi BBM. Terhitung sejak tanggal 16 Juni 2001 harga BBM di dalam negeri dinaikkan rata-rata sekitar 30,1%. Kenaikan harga BBM ini memberi dorongan inflasi bulan Juni dan Juli 2001 berturut-turut sekitar 1,67% dan 2,12%. Dengan demikian selama setahun (year-on-year, yaitu sejak Agustus 2000 hingga Juli 2001), laju inflasi mencapai 13,04%. Sementara itu, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan pada akhir triwulan II/2001 meningkat menjadi 16,7% dari 15,8% pada akhir triwulan I/2001 Hal ini juga ikut menambah kekuatiran mengenai ketahanan fiskal. Grafik II.1
PERKEMBANGAN UANG PRIMER 140 130
Rp Triliun
120 110 100 90 80 70 60
Jan '99
Jul
Jan' 00
Jul
Target Indikatif
II-6
Realisasi
Jan' 01
Jul
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Selain oleh melemahnya rupiah, tingginya laju inflasi juga didorong oleh pertumbuhan uang beredar yang relatif masih tinggi dan announcement effects dari pelaksanaan kebijakan penyesuaian harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah (administered price). Kecuali untuk bulan Februari 2001, sampai dengan Juli 2001 pertumbuhan uang primer selalu di atas target yang ditetapkan. Target indikatif dan realisasi uang primer dapat dilihat pada Grafik II.1. Adapun announcement effects terutama didorong oleh ketidakpastian pelaksanaan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang selanjutnya mengakibatkan kebingungan pelaku ekonomi serta mendorong timbulnya antisipasi masyarakat yang berlebihan. Pada akhir triwulan II/2001 penyaluran kredit meningkat menjadi Rp 306,3 triliun. Meskipun penyaluran kredit tersebut naik 7,3% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, fungsi intermediasi perbankan belum sepenuhnya pulih antara lain karena sebagian nasabahnya sedang dalam proses restrukturisasi utang; sedangkan untuk nasabah baru, perbankan masih diliputi oleh kekuatiran mengingat masih besarnya unsur ketidakpastian. Sementara itu perekonomian dunia mengalami perlambatan termasuk perekonomian tiga negara tujuan ekspor terbesar, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Dalam triwulan II/2001 (y-o-y) perekonomian AS, Jepang, dan Singapura berturut-turut tumbuh 0,2%, −0,7%, dan –0,8%. Perlambatan perekonomian dunia berpengaruh terhadap harga-harga komoditi terutama komoditi primer di luar migas. Pada akhir triwulan II/2001, harga karet RSS-1 di bursa New York, kayu lapis di bursa Tokyo, minyak kelapa sawit Sumatera di bursa Rotterdam, kopi robusta Lampung di bursa New York, lada putih di bursa Singapura, timah di bursa Kuala Lumpur, alumunium di bursa London turun berturut-turut 10,7%, 5,2%, 14,7%, 37,2%, 51,8%, 77,1%, dan 3,5%. Menurunnya permintaan eksternal dan merosotnya harga komoditi tersebut turut menyumbang bagi perlambatan kinerja ekspor nasional. Total nilai ekspor dalam bulan Juni 2001 hanya mencapai US$ 4,80 miliar, turun sekitar 1% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut selama semester I/2001, total nilai ekspor mencapai US$ 29,30 miliar atau lebih rendah 0,2% dibandingkan dengan semester yang sama tahun 2000. Penurunan tersebut terutama didorong oleh nilai ekspor nonmigas yang tumbuh negatif sekitar 2,2%; sedangkan nilai ekspor migas naik sekitar 6,7% dengan masih tingginya harga ekspor minyak mentah di pasar internasional selama semester I/2001. Total nilai impor selama semester I/2001 mencapai US$ 17,75 miliar atau naik sekitar 29,1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan terutama didorong oleh impor nonmigas yang naik sekitar 37,2%; sedangkan impor migas menurun sekitar 5,0%. Sementara itu kondisi neraca transaksi berjalan mengalami perbaikan. Dalam semester I/2001, surplus transaksi berjalan meningkat menjadi US$ 3,8 miliar dari US$ 3,3 miliar dalam semester I/2000.
II-7
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Masih besarnya defisit pada arus modal swasta (neto) dan terhambatnya pencairan pinjaman luar negeri mempengaruhi cadangan devisa. Defisit neraca modal meningkat dari US$ 2,7 miliar dalam semester I/2000 menjadi US$ 5,0 miliar pada semester I/2001. Cadangan devisa turun dari US$ 29,4 miliar pada akhir tahun 2000 menjadi US$ 28,6 miliar pada akhir semester I/2001. Ringkasan neraca pembayaran dapat dilihat pada Tabel II.1.
Transaksi Berjalan
Tabel II.1 NERACA PEMBAYARAN (US$ miliar) 2000 1999 Twl. I Twl. II Twl. III Twl. IV 5,8 1,9 1,4 2,2 2,5
Neraca Modal Modal Pemerintah Modal Swasta
-4,6 5,4 -9,9
-0,7 1,3 -2,0
-2,0 0,8 -2,8
-1,6 0,6 -2,2
-1,4 0,6 -2,0
-2,9 -0,1 -2,8
-2,1 -0,0 -2,1
Cadangan Devisa Sumber: Bank Indonesia
27,1
29,3
27,5
28,1
29,4
28,7
28,6
2001 Twl. I Twl. II 1,6 2,2
P ERKEMBANGAN E KONOMI M AKRO PASKA SI-MPR Dalam upaya menciptakan kepastian politik yang sangat diperlukan bagi lancarnya penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan Sidang Istimewa MPR (SI-MPR) pada tanggal 23 Juli 2001. Pelaksanaan SI-MPR yang berlangsung dengan aman dan lancar tersebut telah memberi dorongan bagi pulihnya kepercayaan masyarakat. Secara umum respon awal yang diberikan oleh pasar paska SI-MPR sangat positif. Kurs rupiah menguat secara tajam dari Rp 11.366,- per US$ pada akhir minggu II Juli 2001 menjadi Rp 9.525,- per US$ pada akhir Juli 2001 dan bahkan menguat hingga Rp 8.425,- per US$ pada sesi penutupan 14 Agustus 2001. Dengan demikian kurs harian menguat sekitar 30% dari kurs terendah dalam 4 bulan terakhir. Relatif sama dengan penguatan kurs harian saat pemilu tahun 1999 yang lalu berjalan lancar (sekitar 28%). Sejalan dengan penguatan rupiah, kegiatan pasar modal mulai bergairah. Nilai kapitalisasi pasar meningkat dari Rp 266,3 triliun pada akhir Juni 2001 menjadi Rp 283,2 triliun pada akhir Juli 2001. Perubahan kepemimpinan nasional yang berlangsung secara demokratis mengurangi ketidakpastian politik serta memberi landasan yang kokoh bagi pemerintah yang baru. Kepercayaan masyarakat internasional mulai menunjukkan perbaikan. Pada tanggal 30 Juli 2001, Standard and Poor’s (S&P) merevisi prospek (outlook) peringkat utang jangka panjang dari II-8
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
′negatif′ menjadi ′stabil′, meskipun peringkat utang pemerintah (sovereign rating) yaitu untuk utang jangka panjang dalam valuta asing masih CCC+; sedangkan mata uang lokal masih B−. Survei yang dilakukan oleh Danareksa Research Institute menunjukkan peningkatan yang signifikan pada ekspektasi konsumen dan dunia usaha. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) yang dipengaruhi oleh Indeks Situasi Sekarang (ISS) dan Indeks Ekspektasi (IE) meningkat dari 91,6 pada bulan Juni 2001 menjadi 94,1 pada Juli 2001; kemudian naik lagi menjadi 112,3 pada bulan Agustus 2001. Demikian pula Indeks Kepercayaan Bisnis (IKB) yang dipengaruhi oleh Indeks Situasi Sekarang (ISS) dan Indeks Ekspektasi (IE), meningkat dari 109,0 pada bulan JuniJuli 2001 menjadi 116,0 pada bulan Agustus-September 2001. Ekspektasi konsumen dan dunia usaha belum tentu terealisasikan dalam kegiatan di sektor riil karena disamping itu dibutuhkan kebijakan yang kondusif untuk mewujudkannya. Namun mulai pulihnya kepercayaan masyarakat merupakan modal awal yang diperlukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Perkembangan IKK dan IKB dapat dilihat pada Grafik II.2. Grafik II.2 Indeks Kepercayaan Konsumen dan Indeks Kepercayaan Bisnis INDEKS KEPERCAYAAN KONSUMEN 160 140 120 100 80 60
Oct-99
Feb-00
Jun-00 IKK
Oct-00 ISS
Feb-01
Jun-01
IE
INDEKS KEPERCAYAAN BISNIS 140 130 120 110 100 90 80
Oct-Nov 99
Apr-May 00 IKB
Oct-Nov 00 ISS
II-9
Apr-May 01 IE
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Selanjutnya pada tanggal 27 Agustus 2001 dicapai kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang paket program kebijakan ekonomi dan keuangan. Pokok-pokok kebijakan mencakup 6 bidang utama yaitu yang berkaitan dengan kerangka dan kebijakan ekonomi makro, desentralisasi fiskal, reformasi sistem perbankan, asset recovery, restrukturisasi perusahaan dan reformasi hukum, serta reformasi sektor publik. Dengan tercapainya kesepakatan ini diharapkan upaya penundaan pembayaran utang pemerintah melalui Paris Club II dan pertemuan CGI berjalan lancar. Dalam triwulan III/2001, perekonomian Indonesia tumbuh sekitar 3,5% (y-o-y), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III/2000 yang mencapai 4,4%. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, serta ekspor barang dan jasa yang berturut-turut naik sekitar 11,9%, 7,1%, dan 6,6%. Sementara itu pembentukan modal tetap bruto turun sekitar 4,3% Dari sisi produksi, semua sektor tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan triwulan III/2000 kecuali sektor listrik gas dan air bersih; perdagangan, hotel, dan restauran; jasa-jasa; serta sub-sektor industri migas. Bahkan sektor industri pengolahan non-migas hanya tumbuh sekitar 5,8% dibandingkan triwulan sama tahun sebelumnya yang meningkat sekitar 6,5%. Dengan perkembangan tersebut, selama tiga triwulan pertama tahun 2001 perekonomian tumbuh sekitar 3,3%, lebih rendah dari kurun waktu yang sama tahun 2000 yang mencapai 4,6%. Ringkasan pertumbuhan ekonomi sampai dengan triwulan III/2001 dapat dilihat pada Tabel II.2.
Tabel II.2 RINGKASAN PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN III/2001 (dalam persen, y-o-y) Triwulan Triwulan Triwulan III/2000 I-III/2000 III/2001 PDB 4,4 4,6 3,5 PDB Nonmigas 5,0 5,0 4,1 Konsumsi Rumah Tangga 4,0 3,3 7,1 Konsumsi Pemerintah 11,7 4,7 11,9 Pembentukan Modal Tetap Bruto 22,3 18,7 -4,3 Ekspor Barang dan Jasa 14,1 16,7 6,6 Impor Barang dan Jasa 20,1 9,7 -1,7 Pertanian 3,4 -0,5 -0,1 Industri 5,1 6,8 5,3 Industri Nonmigas 6,5 7,7 5,8 Lainnya 4,4 5,3 3,7 Sumber: BPS
Triwulan I-III/2001 3,3 4,0 5,9 7,3 5,0 14,0 23,1 0,9 4,6 5,3 3,4
Perlambatan ini sejalan dengan perkembangan beberapa leading indicator. Dalam tiga triwulan pertama tahun 2001 konsumsi listrik oleh sektor industri hanya tumbuh 5,5% (y-o-y), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2000 yang tumbuh sekitar 10,6%. Demikian II-10
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
pula penjualan mobil yang melambat drastis menjadi sekitar 6,9% dalam tiga triwulan pertama tahun 2001 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2000 yang tumbuh lebih dari 300%. Meskipun demikian beberapa leading indicator masih menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Penjualan sepeda motor misalnya dalam tiga triwulan pertama tahun 2001 masih tumbuh sekitar 78% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (lihat Boks II.1). Perkembangan beberapa leading indicator dapat dilihat pada Grafik II.3. BOKS II.1 Mengapa Penjualan Sepeda Motor Meningkat? Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan perlambatan. Beberapa faktor yang memperlambat pertumbuhan ekonomi tersebut adalah melemahnya kinerja ekspor dan investasi. Selama tiga bulan terakhir, penjualan mobil menunjukkan kecenderungan yang datar; sementara pengeluaran konsumen untuk barang kebutuhan rumah tangga sedikit menurun. Namun, penjualan sepeda motor terus meningkat; bahkan bila dibandingkan dengan tahun 2000 maka penjualan sepeda motor dalam tiga triwulan pertama tahun 2001 telah meningkat sebesar 78%; dan diperkirakan mencapai tingkat sebelum krisis akhir tahun ini. Tiga faktor utama yang mempengaruhi naiknya permintaan sepeda motor dalam 12 bulan terakhir: (a) perbaikan pendapatan riil masyarakat; (b) pengucuran kembali kredit perbankan; serta (c) perubahan pola permintaan para pembeli pertama yang bergeser dari mobil ke sepeda motor dan lebih oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Pendorong perubahan pola permintaan ini adalah tingginya persaingan dari produk negara Cina yang memproduksi sepeda motor dengan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Faktor-Faktor yang Mempeng ar uhi Peningkatan Per mintaan PENINGKATAN PENDAPATAN. Berdasarkan data dari Astra-Honda, pemulihan di sektor industri pada tahun 2000, khususnya di sektor ekspor serta pertanian yang tumbuh berkembang di Pulau Jawa ikut mendorong penjualan sepeda motor. Pembeli terbesar adalah pedagang kecil dan menengah (bukan pedagang lepas) serta pegawai (baik swasta maupun negeri). Peningkatan arus uang ke daerah (dalam rangka desentralisasi) juga mendorong perekonomian di daerah yang kaya sumber daya alam, tercermin dari kenaikan penjualan sepeda motor di Riau dan Kaltim. SUMBER PEMBIAYAAN. Pengucuran kembali kredit pada akhir tahun 2000 merupakan salah satu faktor tingginya pertumbuhan penjualan sepeda motor. Sumber pendanaan terbesar untuk pembelian sepeda motor di tahun 2001 ini adalah melalui sistem kredit. Sekitar 55% dari keseluruhan penjualan didanai oleh kredit, dan sisanya dilakukan secara tunai. Pola pembiayaan ini sama yang dilakukan pada masa sebelum krisis, dimana 57% dari total penjualan didanai oleh sistem kredit. Pada tahun 1998 banyak terjadi kredit macet, tercermin dari besarnya tingkat penjualan sepeda motor secara tunai (sekitar 65% dari keseluruhan penjualan). Sejalan dengan perubahan pola pembiayaan yang telah kembali ke masa sebelum krisis, komposisi sumber-sumber kredit telah berubah secara drastis. Jika pada tahun 1997 perbankan menyumbang sekitar 45% dari pemberian kredit, maka pada tahun 2001 ini turun menjadi hanya sekitar 9%. Kenaikan paling tinggi untuk pemberian kredit berasal dari para pedagang (dealers), dimana sumbangan mereka meningkat dari 9% pada tahun 1997 menjadi sekitar 25% pada tahun 2001.
II-11
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
PERUBAHAN PERMINTAAN AKIBAT DARI PERUBAHAN HARGA RELATIF. Walaupun pengucuran kembali kredit telah meningkatkan penjualan selama lebih dari 18 bulan terakhir, menurunnya harga relatif antar merk sepeda motor juga turut mendorong penjualan tahun ini. Persaingan dari sepeda motor merk Cina telah menurunkan harga sepeda motor secara keseluruhan, yang berakibat meningkatnya pangsa pasar sepeda motor untuk kalangan konsumen penghasilan rendah. Persaingan harga merupakan dampak langsung dari liberalisasi impor untuk perangkat built-up selama beberapa tahun terakhir. Sebagian besar importir adalah produsen lokal yang memproduksi barang selain sepeda motor dan memiliki jaringan distribusi yang kuat atau penyalur domestik. Ini mencerminkan bahwa jaringan distribusi bukan merupakan hambatan untuk masuk (entry barrier) ke dalam persaingan di sektor ini. Beberapa importir bahkan telah mendirikan perusahaan perakitan sehingga mereka dapat merakit sendiri kebutuhan impornya. Persaingan yang ada telah memberikan keuntungan bagi konsumen. Pertama, kini terdapat lebih banyak pilihan sepeda motor. Kedua, harga sepeda motor impor relatif lebih murah bila dibandingkan dengan buatan dalam negeri. Sepeda motor Cina dijual dengan harga sekitar Rp 8,7 juta per unit, sehingga dapat dijangkau oleh hampir semua lapisan masyarakat. Sebagai respons terhadap tingginya tingkat persaingan harga ini, Astra-Honda berusaha untuk mempertahankan harga jual yang rendah. Pada bulan Juni ini diperkenalkan ′Legenda′ yaitu sepeda motor dengan harga jual yang relatif terjangkau; sekitar Rp. 9,4 juta.
Grafik II.3 Perkembangan Beberapa Leading Indicator
200
40
160
Mobil (ribu unit)
50
30
120
20
80
10
40
0
Jan '97 Jul Jan '98 Jul Jan '99 Jul Jan' 00 Jul Jan' 01 Jul
Mobil
Sepeda Motor
II-12
0
Sepeda motor (ribu unit)
PENJUALAN MOBIL DAN SEPEDA MOTOR Jan. 1997 - Sept. 2001
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Grafik II.3 (Lanjutan) PENJUALAN SEMEN DAN LISTRIK Jan. 1997 - Sept. 2001 3,5
Semen (juta ton)
2,5
3
2
2,5
1,5
2
1
0,5
Listrik (miliar KWH)
3
1,5 Jan '97 Jul Jan '98 Jul Jan '99 Jul Jan' 00 Jul Jan' 01 Jul
Semen
1
Listrik kepada Industri
JUMLAH WISATAWAN ASING Jan. 1997 - Sept. 2001
ribu orang
180 160 140 120 100 80 60 40
Jan '97
Jul
Jan '98
Jul
Jan '99
Bandara Soekarno-Hatta
Jul
Jan' 00
Jul
Jan' 01
Jul
Bandara Ngurah Rai
K A R A K T E R I S T I K P E M U L I H A N E K O N O M I M A S A DA TA N G
Meskipun terjadi perbaikan pada beberapa indikator makro setelah SI-MPR, tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian nasional masih sangat besar. Besarnya tantangan tersebut tercermin dalam beberapa leading indicator. Pertama adalah meningkatnya ketidakpastian global berkaitan dengan melambatnya perekonomian dunia dan dampak lanjutan dari tragedi World Trade Center (WTC), New York. World Economic Report, IMF, September 2001 memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 2,6%, jauh lebih rendah dari tahun 2000 yang mencapai 4,7%. Perlambatan diperkirakan hampir terjadi pada semua kelompok negara. Pertumbuhan negara industri maju (major advanced economies) diperkirakan melambat dari 3,4% pada tahun 2000 menjadi 1,1% pada II-13
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
tahun 2001. Perekonomian AS dan Jepang berturut-turut diperkirakan melambat dengan pertumbuhan sekitar 1,3% dan −0,5%. Sedangkan Singapura sebagai salah satu negara tujuan ekspor terbesar diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar −0,3%.1 Perlambatan ekonomi dunia mengakibatkan menurunnya perdagangan dunia. Pertumbuhan impor negara industri paling maju melambat dari 11,5% pada tahun 2000 menjadi 3,6% pada tahun 2001. Sejalan dengan itu ekspor negara berkembang menurun dari 15,1% menjadi 5,0% dalam kurun waktu yang sama. Melambatnya perekonomian dunia tahun 2001 ini antara lain disebabkan oleh menurunnya kepercayaan dunia usaha (dimulai dari AS kemudian meluas ke Eropah) didorong oleh menurunnya investasi di bidang teknologi informasi. Revolusi teknologi umumnya mengakibatkan unsustainable financial boom karena dorongan investasi yang berlebihan. Dengan penggunaan teknologi informasi yang sudah sangat luas, maka penurunan invetasinya akan memberi pengaruh bagi perekonomian dunia. Disamping itu perlambatan ekonomi dunia juga disebabkan oleh relatif ketatnya penyaluran kredit di beberapa negara emerging market serta meningkatnya resiko usaha. Perlambatan ekonomi dunia tersebut diperkirakan akan mempengaruhi kinerja ekspor dalam keseluruhan tahun 2001. Selama sembilan bulan pertama (Januari – September 2001), total nilai ekspor turun 5,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ekspor terbesar pada periode tersebut terutama terjadi pada kelompok nonmigas dengan pertumbuhan negatif sebesar 6,0%.2 Penurunan ekspor nonmigas dalam sembilan bulan pertama tahun 2001 terutama terjadi pada kelompok komoditi pertanian dan industri pengolahan masing-masing turun 16,1% dan 9,0%. Sementara itu nilai ekspor komoditi pertambangan dan lainnya mengalami kenaikan sebesar 60,3%. Selama 9 bulan pertama tahun 2001, ekspor nonmigas ke AS, Jepang, dan Singapura berturut-turut turun sekitar 5,3%. 2,2%, dan 17,4%. Dari 9 negara tujuan ekspor terbesar, hanya ekspor ke Korea Selatan yang mengalami kenaikan yaitu sebesar 4,9%. Perkembangan ekspor dapat dilihat pada Grafik II.4.
1
Studi lain oleh Bank Dunia (Global Economic Prospect 2002) yang memasukkan dampak dari tragedi WTC, New York, memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia melambat dari 3,8% pada tahun 2000 menjadi 1,3% pada tahun 2001; serta pertumbuhan volume perdagangan dunia melemah dari 13,3% menjadi 1% dalam kurun waktu yang sama. 2 Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia, penurunan nilai ekspor Indonesia tidak terlalu buruk. Dalam 8 bulan pertama tahun 2001, total nilai ekspor Thailand, Malaysia, dan Filipina turun berturut-turut sebesar 3,7%, 6,0% sampai Juli 2001), dan 13,8%. Untuk 8 bulan pertama tahun 2001, ekspor Thailand, Malaysia, dan Filipina berturut-turut turun sebesar 3,6%, 5,7% (sampai Juli 2001), dan 22,4%.
II-14
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Grafik II.4
PERKEMBANGAN EKSPOR 6
US$ miliar
5 4 3 2 1 0 Jan '97
Jul
Jan '98
Jul
Hasil Industri
Jan '99
Jul
Nonmigas
Jan' 00
Jul
Jan' 01
Jul
Total Ekspor
Serangan pemerintah AS terhadap Afghanistan telah mendorong reaksi yang berlebihan di dalam negeri antara lain dengan ancaman adanya sweeping terhadap warga negara asing, terutama Amerika Serikat. Kekuatiran yang dapat ditimbulkannya perlu dicermati dengan baik karena dapat mengganggu investasi tidak saja yang berasal dari luar tetapi juga dalam negeri serta arus wisatawan asing, yang pada gilirannya akan memperburuk citra Indonesia di luar negeri. Padahal investasi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2002 nanti di saat permintaan ekspor masih lemah.3 Kedua, berkaitan dengan yang pertama, adalah melemahnya kembali beberapa indikator ekonomi makro antara lain menurunnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya kecenderungan inflasi. Kebutuhan devisa bagi swasta dan pemerintah untuk membayar utang luar negerinya serta meningkatnya kemungkinan gangguan keamanan di dalam negeri antara lain menyangkut ancaman sweeping bagi warga asing di Indonesia mendorong melemahnya nilai tukar rupiah dari sekitar Rp 8.860,- pada akhir bulan Agustus 2001 menjadi Rp 9.675,- per US$ pada akhir bulan September 2001. Selanjutnya melemahnya nilai tukar dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) turut mendorong laju inflasi pada bulan September 2001 menjadi sebesar 0,64%. Dengan demikian, laju inflasi tahun kalender (Januari-September) 2001 mencapai 8,16%. Selama setahun (year-onyear, yaitu sejak Oktober 2000–September 2001), laju inflasi mencapai 13,01%. Perkembangan inflasi dapat dilihat pada Grafik II.5.
3
Selama 9 bulan pertama tahun 2001, kedatangan wisatawan asing ke Indonesia meningkat sekitar 6%. Dengan adanya tragedi WTC, kunjungan wisatawan asing diperkirakan turun. Sebagai contoh, sebelum tragedi WTC, tingkat hunian hotel di Bali mencapai sekitar 70%; pada pertengahan Oktober 2001 turun menjadi 20 – 30%.
II-15
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Grafik II.5
Bulanan (%)
14 12 10 8 6 4 2 0 -2
Jan '98
Jul
Jan '99
Jul
Jan' 00
Bulanan
Jul
Jan' 01
Jul
100 85 70 55 40 25 10 -5 -20
Y-O-Y (%)
LAJU INFLASI
Y-O-Y
Tragedi WTC dan meningkatnya ancaman gangguan keamanan di dalam negeri turut melemahkan pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya turun masing-masing dari 435,6 dan 260,8 pada akhir Agustus 2001 menjadi 392,5 dan 229,6 pada akhir September 2001. Pergerakan kurs rupiah dan IHSG dapat dilihat pada Grafik II.6. Grafik II.6 12500
475
11600
445
10700
415
9800
385
8900
355
8000 02-Apr-01 02-May-01 01-Jun-01 02-Jul-01
Kurs
IHSG-BEJ
Kurs (Rp/US$)
KURS HARIAN DAN IHSG-BEJ
325 31-Jul-01 28-Aug-01 26-Sep-01
IHSG-BEJ
Ketiga adalah menurunnya ketahanan fiskal. Lambannya pemulihan ekonomi, beratnya beban utang pemerintah terutama utang dalam negeri, melemahnya beberapa indikator moneter, lambatnya penjualan aset yang berada di bawah pengawasan BPPN, belum optimalnya privatisasi, serta belum mantapnya pelaksanaan desentralisasi dapat menurunkan ketahanan fiskal dan keseimbangan fiskal (fiscal sustainability). Keempat adalah masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat tercermin antara lain dari besarnya jumlah pengangguran terbuka, tidak terhitungnya tenaga kerja yang terdesak ke sektor yang kurang produktif, serta kemungkinan meningkatnya jumlah penduduk miskin terutama mereka yang hidup di sektor pertanian. Dalam tahun 2000, angka pengangguran terbuka mencapai 5,9 juta orang atau sekitar 6,1% dari total angkatan kerja. Sementara itu jumlah setengah penganggur mencapai sekitar 30 juta orang atau sekitar 33,5% dari seluruh orang yang II-16
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
bekerja. Dari jumlah tersebut terdapat sekitar 10,6 juta orang yang menginginkan pindah ke pekerjaan yang lebih baik. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi sekitar 3,5% pada tahun 2001, jumlah penganggur terbuka diperkirakan masih meningkat menjadi 6,80 juta jiwa atau sekitar 7,0% dari total angkatan kerja. Jumlah penganggur terbuka akan terus bertambah apabila lapangan kerja yang diciptakan melalui kegiatan ekonomi tidak mampu menampung angkatan kerja baru yang masuk ke pasar tenaga kerja. Keadaan ini juga akan lebih diperparah apabila pengguna pekerja merasakan adanya peningkatan dalam biaya yang berkaitan dengan penggunaan pekerja. Salah satu penyebab meningkatnya biaya pekerja adalah kewajiban untuk membayar upah sesuai dengan patokan Upah Minimum Regional (UMR) yang terus meningkat. UMR yang dinaikkan tanpa mempertimbangkan peningkatan produktivitas justru dapat menghambat penciptaan lapangan kerja baru. Selain itu tuntutan pekerja yang berlebihan terhadap peningkatan hak perlindungan, seperti uang pesangon, uang ganti rugi, uang penghargaan pada saat pekerja berhenti berpotensi meningkatkan biaya pekerja yang pada gilirannya dapat mengurangi penciptaan lapangan kerja baru. Situasi ini juga akan diperburuk apabila hubungan pengusaha dan pekerja makin tidak harmonis yang pada gilirannya akan merugikan kepentingan kedua belah pihak. Kesemuanya ini dapat mengakibatkan ketidakpastian dalam pasar tenaga kerja yang pada gilirannya dapat mendorong kegiatan ekonomi lebih padat modal daripada padat tenaga kerja. Pada akhir bulan Maret 2001 upah riil buruh tani yang merupakan indikator daya beli penduduk miskin di desa menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan terutama terjadi di propinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Sementara itu dibandingkan dengan semester I/1997 (sebelum krisis), upah riil buruh tani pada bulan Maret/April 2001 masih jauh lebih rendah. Indeks upah riil buruh tani di Jawa dan Luar Jawa diberikan pada Grafik II.7. Grafik II.7
INDEKS UPAH RIIL BURUH TANI 120
Jan 1996 = 100
110 100 90 80 70 60 01-96
01-97
01-98
Jawa
01-99
01-00
01-01
Luar Jawa
Kelima adalah melambatnya proses reformasi di bidang hukum yang salah satu penyebabnya adalah belum dikembangkannya konsep reformasi legislasi (legislation reform) secara lebih terarah dan konseptual. II-17
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Beberapa masalah pokok yang berkaitan dengan reformasi legislasi antara lain: (i) peraturan perundang-undangan seringkali tidak dapat diimplementasikan dengan baik atau bahkan tidak dapat diimplementasikan setelah diundangkan. Ketidakmampuan suatu legislasi untuk diimplementasikan salah satunya diakibatkan oleh tidak adanya atau sangat kurangnya peran dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan dan penyusunan keputusan publik, sehingga peraturan perundang-undangan yang disusun tidak mencerminkan kebutuhan pengaturan yang sesungguhnya diperlukan oleh masyarakat; (ii) sering ditemukan pertentangan atau konflik pada substansi dan materi pengaturan diantara perangkat perundang-undangan yang telah diundangkan; serta (iii) adanya kebutuhan masyarakat, yang sampai saat ini belum diakomodasikan oleh penyelenggara negara, akan suatu sistem penilaian dan pengawasan atas konsistensi dan keterkaitan antar materi atau substansi suatu peraturan dengan peraturan lainya maupun dengan UUD 1945 dan Ketetapan MPR; demikian pula terhadap putusan suatu pengadilan sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.
Selain leading indicator yang telah disebutkan di atas (ekspor, inflasi, nilai tukar, IHSG-BEJ) dalam triwulan III/2001, beberapa indicator lain juga menunjukkan perlambatan. Pertumbuhan konsumsi listrik oleh industri, serta penjualan mobil dan sepeda motor melambat dibandingkan dengan triwulan III/2000. Tantangan-tantangan yeng telah disebutkan di atas tampaknya belum akan dapat diatasi Pemerintah pada triwulan IV/2001, terutama kepercayaan masyarakat terhadap pemulihan ekonomi. Kecenderungan melemahnya rupiah, meningkatnya suku bunga SBI, meningkatnya inflasi, melambatnya pertumbuhan ekspor khususnya nonmigas, masih tingginya ketidakstabilan politik dan keamanan akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi ekonomi. Hasil Survei Ekspektasi Konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam bulan November 2001 yang menunjukkan bahwa konsumen kembali pesimis terhadap perekonomian untuk 6 - 12 bulan mendatang. Dengan perkembangan ini, dalam triwulan IV/2001 kepercayaan masyarakat diperkirakan masih tetap rendah. Pertumbuhan ekspor dan investasi diperkirakan melambat sehingga pertumbuhan ekonomi dalam triwulan IV/2001 diperkirakan melambat sekitar 3,2 dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi tahun 2001 diperkirakan sekitar 3,3% lebih rendah dibandingkan perkiraan semula sebesar 4,5-5,5 %. Pola pertumbuhan ekonomi triwulan I – IV/2001 dapat dilihat pada tabel berikut. Sementara itu, prospek ekonomi tahun 2002 akan dibahas pada bab berikutnya.
II-18
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Tabel 2.3 P ROYEKSI P ERTUMBUHAN E KONOMI T AHUN 2001
Y-O-Y I/2001 Konsumsi Rumah Tangga 5,9 Pengeluaran Pemerintah 6,0 PMTB 2) 12,9 Ekspor Barang dan Jasa 18,4 Impor Barang dan Jasa 46,6 Produk Domestik Bruto 3,1 1) proyeksi 2) tidak termasuk perubahan stok
II/2001 4,8 4,2 7,1 17,4 29,0 3,3
II-19
III/2001 7,1 11,9 -4,3 6,6 -1,7 3,5
IV/20011) 7,0 13,9 -8,0 3,0 -15,6 3,2
20011) 6,2 9,0 1,6 11,2 11,5 3,3
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
P E R G E R A K A N K U R S D A N UA N G BEREDAR SEBAGAI LEADING INDICATOR INFLASI ABSTRAK
Perubahan nilai tukar, uang beredar, dan harga BBM dalam negeri merupakan leading indicator yang cukup baik untuk memperkirakan laju inflasi bulanan. Pengaruh nilai tukar terhadap inflasi lebih besar dari uang beredar dan diperkirakan berlangsung selama 3 bulan. Setiap 1 persen kenaikan harga BBM akan memberi tambahan inflasi sekitar 0,085 persen. Laju inflasi tahun 2001 dapat ditekan di bawah 2 digit apabila kurs menguat hingga Rp 10.000,- per dolar AS.
L A N DA S A N T E O R I
Model disusun dengan menggunakan basis data bulanan (monthly base) dan dimaksudkan untuk memperkirakan laju inflasi dalam setahun. Persamaan disusun dengan menggunakan peubah yang utamanya adalah perubahan nilai tukar, dan laju pertumbuhan uang beredar, dan perubahan harga BBM di dalam negeri. Dalam kaitannya dengan leading indicator, model yang dikembangkan berguna untuk melihat terutama pengaruh nilai tukar mata uang dan uang beredar terhadap inflasi. Model inflasi untuk Indonesia diturunkan melalui persamaan permintaan akan uang (money demand) dalam perekonomian terbuka dimana selain uang beredar, nilai tukar mata uang juga mempengaruhi laju inflasi melalui harga komoditi yang diimpor. Apabila uang beredar, tingkat harga, PDB riil, dan suku bunga jangka pendek pada waktu t dinyatakan berturut-turut sebagai M, P, Y, dan R, maka permintaan akan uang dapat dinyatakan dalam Persamaan (L-1-1) sebagai berikut: Mt = L(Yt , Rt ) Pt
(L-1-1)
Dalam bentuk natural logarithm, persamaan di atas selanjutnya dapat dituliskan sebagai Persamaan (L-1-2). mt − pt = c0 + c1 yt + c2 Rt
(L-1-2)
Selanjutnya dalam perekonomian terbuka nilai tukar riil dapat dinyatakan dalam persamaan (L-13) sebagai berikut:
II-20
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Qt =
St Pt * Pt
(L-1-3)
dimana Q, S, P, dan P* berturut-turut menyatakan nilai tukar riil, nilai tukar nominal, serta tingkat harga dalam dan luar negeri. Dalam bentuk natural logarithm, persamaan di atas selanjutnya dapat dituliskan dalam persamaan (L-1-4) sebagai berikut: qt = st − ( pt − pt* )
(L-1-4)
Dengan asumsi bahwa dalam jangka pendek nilai tukar riil rupiah dan harga luar negeri konstan, maka perubahan dalam harga-harga di dalam negeri merupakan fungsi dari perubahan nilai tukar mata uang nominalnya atau dinyatakan dalam Persamaan (L-1-5) sebagai berikut: pt = pt ( st )
(L-1-5)
Selanjutnya dengan memasukkan persamaan (L-1-5) ke dalam persamaan permintaan uang (L-1-2) dan mengasumsikan bahwa suku bunga riil dan pertumbuhan ekonomi adalah konstan dalam jangka pendek serta memperhitungkan lag dari pengaruh perubahan uang beredar dan kurs nominal terhadap inflasi, maka persamaan inflasi dapat dituliskan sebagai Persamaan (L-1-6).
π t = c0 + ∑ ai ∆ mt − i + ∑ b j ∆ st − j + ε t
(L-1-6)
dimana persamaan di atas memenuhi standar ordinary least square (OLS).
A S U M S I YA N G D I P E RG U NA K A N
Dalam penyusunan model ini digunakan beberapa asumsi dan variabel tambahan antara lain sebagai berikut: Dalam jangka pendek, pergerakan kurs tidak dipengaruhi oleh uang beredar sehingga hubungan antara uang beredar dan kurs adalah independent. Kurs dalam jangka pendek bergerak sesuai dengan perkembangan sentimen pasar yang terjadi. Untuk menggambarkan periode dimana terjadi dampak yang berlebihan perubahan kurs terhadap laju inflasi sebagai akibat dilepaskan kurs intervensi (hard bandwidth) serta kerusuhan sosial, digunakan dummy variable antara bulan September 1997 hingga Januari 1999. Peubah dummy ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak serial correlation yang terjadi sebagai akibat ekspektasi inflasi yang berlebihan. Dalam persamaan dimasukkan peubah kenaikan harga BBM (weighted average) yang merupakan unsur cost push terhadap inflasi. Sementara itu kenaikan gaji (income policy) tidak ditambahkan dengan pertimbangan bahwa pengaruhnya sudah tercermin dari pergerakan uang primer. II-21
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Persamaan inflasi dalam model ini tidak menggunakan teori velocity of money, MV = PY, dimana M, V, P, dan Y berturut-turut menyatakan uang beredar, velocity of money, tingkat harga, dan pendapatan nasional (riil), didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, data pendapatan nasional hanya tersedia tiga bulan sekali sehingga dibutuhkan estimasi untuk setiap bulannya yang pada gilirannya bertentangan dengan aksioma OLS. Dalam terminologi ekonometrik estimasi PDB triwulan kepada PDB bulanan dapat menimbulkan masalah error dalam independent variable. Kedua, secara teoritis dalam jangka pendek velocity of money tidak stabil. Dalam persamaan tidak digunakan pengaruh inertia inflation (laju inflasi bulan sebelumnya) atas dasar dua pertimbangan. Pertama, mengakibatkan koefisien yang didapatkan dari OLS biased dan tidak konsisten (inconsistent). Dengan demikian ukuran Durbin-Watson tidak dapat digunakan. Kedua, tidak dapat mengetahui pengaruh lag baik uang primer maupun nilai tukar rupiah karena pengaruh lag semua variable yang ada dicakup oleh inflasi bulan sebelumnya.
HASIL PENGUJIAN
Model persamaan inflasi ini menggunakan data uang primer sebagai proxy uang beredar, kurs rata-rata harian, dan Indeks Harga Konsumen (IHK) setiap akhir bulan. Model disusun dengan menggunakan data sejak Januari 1983 hingga Juni 2001 dengan menggunakan 2 x 2 skenario yaitu kurs menguat dan melemah serta distribusi pengaruh kenaikan BBM selama 4 dan 5 bulan (uniform). Sedangkan pertumbuhan uang primer hanya dibuat dalam satu skenario yaitu rata-rata sekitar 17,0 persen setiap bulannya (y-o-y). Misalnya untuk skenario kurs menguat secara bertahap hingga mencapai Rp 10.000 per dolar AS pada akhir Desember 2001 dan distribusi pengaruh kenaikan harga BBM di dalam negeri terjadi selama 4 bulan secara merata, hasil estimasi dan proyeksi diberikan dalam persamaan dan grafik sebagai berikut. Dependent Variable: DLCPI Method: Least Squares Date: 07/18/01 Time: 21:39 Sample(adjusted): 1983:05 2001:06 Included observations: 218 after adjusting endpoints Variable C DLER(-1) DLER(-2) DLER(-3) DLMO(-1) DLMO(-2) DLFUEL IDUL DKRISIS
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.003411 0.070703 0.044832 0.031243 0.008813 0.016483 0.084538 0.009171 0.029389
0.000497 0.006148 0.005871 0.005743 0.007316 0.007334 0.010753 0.001917 0.001951
6.862282 11.49970 7.636542 5.440466 1.204636 2.247435 7.861878 4.782886 15.06366
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2297 0.0257 0.0000 0.0000 0.0000
II-22
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.804240 0.796747 0.006345 0.008414 798.3734 1.924350
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.008662 0.014073 -7.241958 -7.102231 107.3294 0.000000
.12 Forecast: D LC PIF_HK 4 Actual: DLCPI Forecast sample: 1983:01 2002:06 Adjusted sample: 1983:05 2002:06 Included observations: 218
.10 .08 .06
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error T heil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
.04 .02 .00 -.02
0.006212 0.004439 167.5080 0.195476 0.000000 0.054411 0.945589
-.04 84
86
88
90
92
94
96
98
00
02
DLCPIF_HK4
dimana dlcpi, dler, dlm0, dlfuel menggambarkan perubahan tingkat harga (laju inflasi), nilai tukar rupiah, uang primer, harga BBM. Sedangkan peubah idul dan dkrisis menggambarkan peubah dummy untuk Hari Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru serta kondisi dimana perubahan nilai tukar memberi dampak yang berlebihan terhadap laju inflasi didorong oleh perubahan sistem nilai tukar mata uang dan kerusuhan sosial yang terjadi sejak September 1997 hingga Januari 1999. Dari persamaan di atas dapat disimpulkan beberapa butir pokok sebagai berikut. Pertama secara statistik, hasil estimasi cukup baik. Pengaruh nilai tukar rupiah dan uang primer menunjukkan direction sebagaimana yang diharapkan. Durbin-Watson yang berada sekitar 2 menunjukkan tidak adanya masalah serial autocorrelation. Kemampuan prediksi memang tidak terlalu tinggi (R2 sekitar 0,8) namun dapat digunakan untuk prediksi selama setahun. Kedua, pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap inflasi berlangsung selama 3 bulan. Ketiga, pengaruh perubahan nilai tukar rupiah lebih besar daripada perubahan uang primer. Keempat, setiap 1 persen kenaikan harga BBM akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,085 persen. Secara lengkap perkiraan laju inflasi tahun 2001 dengan 2 skenario perubahan nilai tukar rupiah dan 2 skenario distribusi kenaikan harga BBM dapat dilihat pada tabel berikut. Dari tabel di bawah dapat dilihat bahwa laju inflasi tahun 2001 diperkirakan antara 9,4 – 13,1 persen. Laju inflasi dapat berada di bawah 2 digit apabila kurs menguat hingga mencapai Rp 10.000 per dolar AS.
II-23
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
PERKIRAAN LAJU INFLASI TAHUN 2001 Posisi Uang Beredar (M0), Rp Triliun Kurs Melemah Kurs (Rp/US$) Distribusi Pengaruh BBM 5 bulan IHK Distribusi Pengaruh BBM 4 bulan IHK Kurs Menguat Kurs (Rp/US$) Distribusi Pengaruh BBM 5 bulan IHK Distribusi Pengaruh BBM 4 bulan IHK
Juni 110,634
Juli 110,674
Agt 110,608
Sept 113,605
Okt 114,075
Nop 117,187
Des 146,970
11335 1,67 233,46 1,67 233,46
11440 1,58 237,16 1,71 237,45
11600 0,96 239,43 1,07 239,99
11700 1,07 241,98 1,17 242,80
11800 1,07 244,57 0,58 244,20
11900 0,66 246,18 0,66 245,81
12000 1,70 250,37 1,70 249,99
11335 1,67 233,46 1,67 233,46
11440 1,15 236,14 1,25 236,38
11000 0,78 237,97 0,87 238,44
10750 0,51 239,20 0,60 239,87
10500 0,43 240,23 0,03 239,93
10250 -0,00 240,22 -0,00 239,92
10000 0,94 242,48 0,94 242,18
II-24
Inflasi Y-O-Y 13,10 12,93
9,54 9,40
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
SUKU BUNGA NOMINAL SEBAGAI L E A D I N G I N D I C A T O R E K S P E K TA S I INFLASI ABSTRAK
Berdasarkan hipotesa Fisher suku bunga nominal yang digambarkan oleh yield curve dapat digunakan sebagai leading indicator untuk melihat ekspektasi inflasi. Karena pasar sekunder obligasi pemerintah di Indonesia belum berkembang, yield curve didekati dengan selisih antara suku bunga deposito jangka panjang dengan jangka yang lebih pendek. Hasil pengujian menunjukkan bahwa selisih suku bunga deposito di Indonesia dapat digunakan sebagai leading indicator terhadap ekspektasi inflasi. Meskipun demikian ia tidak mempunyai prediction power yang tinggi sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat forecasting.
DA S A R P E M I K I R A N
Salah satu metoda untuk melihat ekspektasi inflasi adalah dengan menggunakan yield curve yang menggambarkan hubungan antara pendapatan (dari suku bunga) dengan jangka waktunya. Metoda ini didasarkan pada hipotesa Fisher yang menyatakan bahwa suku bunga nominal memiliki hubungan one-to-one dengan ekspektasi inflasi. Dari persamaan Fisher apabila suku bunga nominal, suku bunga riil, dan inflasi berturutturut dinyatakan sebagai i, r, dan π, maka ekspektasi inflasi dari waktu (t) hingga (k) dimana k>t dapat dituliskan dalam persamaan (L-2-1) sebagai berikut. Et (π k ,t ) = ik ,t − rk ,t
(L-2-1)
Dengan asumsi ekspektasi masyarakat adalah rasional (rational expectation), maka persamaan inflasi dapat dinyatakan dalam persamaan (L-2-2) sebagai berikut.
π k ,t = Et (π k ,t ) + ek ,t
(L-2-2)
dimana e merupakan white noise. Dengan mensubstitusikan persamaan (L-2-2) ke dalam persamaan (L-2-1) didapatkan persamaan (L-2-3) sebagai berikut.
π k ,t = ik ,t − rk ,t + ek ,t
(L-2-3)
II-25
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Selanjutnya dikurangi dengan informasi pada periode (m) pada waktu (t) dan diasumsikan bahwa suku bunga riil adalah konstan, didapatkan persamaan inflasi (L-2-4) sebagai berikut.
π k ,t − π m,t = α k ,m + β k ,m (ik ,t − im,t ) + υ t
(L-2-4)
Persamaan (L-2-4) di atas menyatakan bahwa selisih inflasi periode (k) dan (m) dapat dijelaskan oleh selisih suku bunga nominal untuk periode yang sama. Di negara-negara maju yield curve (ik,t - im,t) dihitung dari selisih suku bunga obligasi pemerintah. Mengingat pasar modal di negara ketiga, terutama untuk obligasi pemerintah, belum berkembang, maka yield curve dapat didekati dengan menggunakan selisih suku bunga deposito misalnya suku bunga deposito 12 bulan terhadap suku bunga deposito 1 bulan. Adapun transmisi moneter dari Fisher identity ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Misalnya seorang penabung berada pada akhir bulan Desember dan berkeinginan untuk menempatkan uangnya pada dua instrumen deposito misalnya deposito 12 bulan dan 1 bulan. Agar pendapatan dari suku bunga deposito tersebut secara riil konstan, maka selisih antara suku bunga deposito 12 bulan dengan 1 bulan haruslah menggambarkan risk premium selama 12 bulan mendatang. Di dalam hipotesa Fisher, risk premium ini digambarkan dari ekspektasi inflasi selama 12 bulan mendatang. Dengan demikian transmisi kebijakan moneter akan terjadi dari suku bunga jangka pendek ke suku bunga jangka panjang yang pada gilirannya akan mempengaruhi laju inflasi.
HASIL PENGUJIAN
Dengan menggunakan data inflasi (year-on-year basis) dan suku bunga sejak bulan Januari 1994 hingga bulan Maret 2001 dilakukan pengujian untuk melihat hubungan antara yield curve terhadap ekspektasi inflasi. Dari uji stasionaritas, variabel baik selisih ekpektasi inflasi maupun suku bunga memiliki tingkat signifikansi 5% (MacKinnon Critical Value, Augmented DickeyFuller Test) kecuali untuk selisih suku bunga deposito 12 bulan terhadap suku bunga deposito 3 bulan. Selanjutnya regresi dilakukan terhadap selisih ekspektasi inflasi 12 bulan dengan 1 dan 3 bulan terhadap selisih suku bunga deposito dan SBI 1 bulan serta deposito 3 bulan. Hasil regresi sederhana yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Selisih Ekspektasi Inflasi (12 Bulan dengan 1 Bulan) terhadap Yield Curve (Suku Bunga Deposito 12 Bulan - Suku Bunga Deposito 1 Bulan).
II-26
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Dependent Variable: DINFLASI12_1 Method: Least Squares Date: 06/18/01 Time: 04:41 Sample(adjusted): 1994:12 2000:05 Included observations: 66 after adjusting endpoints Variable C DRDEP12_1 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
1.601195 1.171374
4.295860 0.319773
0.372730 3.663143
0.7106 0.0005
0.173325 0.160409 32.64554 68206.80 -322.6912 0.065211
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-3.962653 35.62787 9.839128 9.905481 13.41862 0.000507
80
40
0
-40
-80 94
95
96
97
98
DINFLASI12_1
99
00
01
DRDEP12_1
2. Selisih Ekspektasi Inflasi (12 Bulan dengan 1 Bulan) terhadap Yield Curve (Suku Bunga Deposito 12 Bulan - Suku Bunga SBI 1 Bulan). Dependent Variable: DINFLASI12_1 Method: Least Squares Date: 06/18/01 Time: 06:59 Sample(adjusted): 1994:12 2000:05 Included observations: 66 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DRDEP12_SBI1
-0.269038 1.424439
3.659219 0.250270
-0.073523 5.691601
0.9416 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.336060 0.325686 29.25640 54779.95 -315.4570 0.076008
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
II-27
-3.962653 35.62787 9.619908 9.686261 32.39432 0.000000
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
80
40
0
-40
-80 94
95
96
97
98
99
DINFLASI12_1
00
01
DRDEP12_SBI1
3. Selisih Ekspektasi Inflasi (12 Bulan dengan 3 Bulan) terhadap Yield Curve (Suku Bunga Deposito 12 Bulan - Suku Bunga Deposito 3 Bulan) Dependent Variable: DINFLASI12_3 Method: Least Squares Date: 06/18/01 Time: 05:03 Sample(adjusted): 1994:10 2000:05 Included observations: 68 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
3.449584 1.923161
3.488932 0.373677
0.988722 5.146592
0.3264 0.0000
C DRDEP12_3 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.286389 0.275577 26.79968 47402.71 -319.0833 0.088220
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-3.081810 31.48716 9.443628 9.508907 26.48741 0.000003
80
40
0
-40
-80 94
95
96
97
98
DINFLASI12_3
99
00
01
DRDEP12_3
Dari hasil regresi di atas dapat disimpulkan bahwa yield curve dapat digunakan untuk melihat ekspektasi inflasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh direction dari peubah eksogen (selisih suku bunga deposito) yang bernilai positif dan t-statistics yang signifikan pada tingkat
II-28
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
1%. Meskipun demikian yield curve di Indonesia tidak mempunyai kekuatan prediksi (prediction power) yang besar sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya R2.
II-29
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
PERILAKU SHOCK ABSTRAK
Perilaku shock suatu variabel terhadap variabel lainnya dianalisa dengan melihat impulse response dalam model vector autoregression (VAR). Dalam studi ini dilakukan analisa impulse response antara nominal dan real shock serta diantara pergerakan kurs nominal, pertumbuhan uang primer, laju inflasi, dan tingkat suku bunga pada dua periode waktu yaitu sebelum serta selama dan sesudah krisis. Hasil analisa menunjukkan perbedaan perilaku shock antara dua periode, sebelum serta selama dan sesudah krisis.
KERANGKA PEMIKIRAN
Untuk melihat perilaku suatu variabel terhadap suatu shock dapat digunakan model vector autoregressive (VAR). Secara umum VAR digunakan sebagai sistem peramalan dari data time series yang terkait satu sama lain dan untuk menganalisa dampak dari random shock pada sistem yang ada. Sebagaimana persamaan simultan dan model struktural, VAR menggunakan pendekatan dimana setiap peubah endogen di dalam sistem sebagai fungsi dari nilai sebelumnya dan semua peubah endogen dalam sistem. Persamaan VAR diberikan dalam bentuk Persamaan (L-3-1) sebagai berikut. y t = u + ∆ 1 y t −1 + ...+ ∆ p y t − p + + v t
(L-3-1)
dimana y dan v adalah M x 1 vector dari random variable; sedangkan ∆ adalah M x M parameter matrices. Dalam model VAR, random shock (impulse response) dari variabel -i tidak hanya berpengaruh pada variabel -i tetapi juga ditransmisikan pada peubah endogen lainnya melalui dynamic lag dalam model VAR. Secara umum impulse response function dapat dinyatakan dalam persamaan (L-3-2) 4 sebagai berikut.
φ ml (i ) = unsur m, l di dalam ∆ i Di dalam studi ini dianalisa perilaku shock antara kurs nominal dan kurs riil serta perilaku shock antara kurs nominal, uang beredar, laju inflasi, dan tingkat suku bunga.
4
Penjelasan secara detail lihat William E. Greene, Econometric Analysis, 3rd edition, Prentice Hall, hal. 816-818.
II-30
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
IMPULSE RESPONSE ANTARA KURS NOMINAL DAN KURS RIIL
Shock antara kurs nominal dan kurs riil didasarkan pada hipotesa dan teknik Blanchard dan Quah (1989). Apabila r, e, p*, dan p berturut-turut menyatakan logaritma dari kurs riil, kurs nominal, tingkat harga di luar negeri, dan tingkat harga di dalam negeri, maka kurs rupiah riil dapat dinyatakan dalam persamaan (L-3-3) sebagai berikut. rt = e t + p *t − p t
(L-3-3)
Untuk menjelaskan deviasi kurs dari purchasing power parity (PPP) dimisalkan terdapat dua macam shock yaitu real shock dan nominal shock. Teori menyatakan bahwa real shock dapat mengakibatkan perubahan yang bersifat permanen terhadap nilai tukar riil; tetapi nominal shock hanya mengakibatkan perubahan sementara dalam kurs riil. Dengan menggunakan data bulanan sejak Januari 1971 hingga Desember 2000 dianalisa perilaku shock nominal dan real ini terhadap pergerakan kurs rupiah di Indonesia dalam dua periode yaitu sebelum shock (1971:01 – 1997:06) serta selama dan sesudah shock (1997:07 – 2000:12). Impulse response pada periode sebelum krisis serta selama dan sesudah krisis dapat dilihat pada grafik di bawah ini. T ABEL L.3.1 P ERIODE S EBELUM K RISIS (1971:01 – 1997:06)
Kurs Riil Terhadap Kurs Nominal
Kurs Nominal Terhadap Kurs Riil
0,03
0,03
0,02
0,02
0,01
0,01
0
0
-0,01 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Bulan
-0,01 1
2
3
4
5
6
7
Bulan
II-31
8
9 10 11 12
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
T ABEL L.3.2 P ERIODE S ELAMA DAN S ESUDAH S HOCK (1997:07 – 2000:12)
Kurs Riil Terhadap Kurs Nominal
Kurs Nominal Terhadap Kurs Riil
0,2
0,2
0,15
0,15
0,1
0,1
0,05
0,05
0 -0,05 1
0 3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23
-0,05 1
Bulan
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 Bulan
Dari hasil perhitungan impulse response di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pengaruh real shock terhadap nominal lebih besar dari pengaruh nominal shock terhadap real. Fluktuasi yang disebabkan oleh shock baik nominal maupun real pada periode selama dan sesudah krisis lebih lama dari periode sebelum krisis. Fluktuasi kurs nominal sebagai akibat dari real shock pada periode selama dan sesudah krisis berlangsung selama 17 bulan. Sedangkan pada periode sebelum krisis hanya berlangsung selama 6 bulan. IMPULSE RESPONSE ANTARA KURS NOMINAL, UANG PRIMER, INFLASI, DAN SUKU BUNGA
Selanjutnya dilakukan analisa impulse response antara pergerakan kurs nominal, pertumbuhan uang primer, laju inflasi, dan suku bunga SBI 1 bulan dalam dua periode yaitu periode sebelum krisis serta periode selama dan sesudah krisis. Dari impulse response yang dihasilkan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pengaruh shock dari pergerakan kurs rupiah terhadap pertumbuhan uang primer, laju inflasi, dan suku bunga SBI pada periode selama dan sesudah krisis lebih besar dibandingkan dari periode sebelum krisis. Pengaruh ini diperkirakan sebagai akibat dilepasnya kurs intervensi rupiah yaitu dengan diterapkannya sistem kurs mengambang penuh sejak pertengahan tahun 1997. Pengaruh laju inflasi terhadap suku bunga SBI lebih besar pada masa sebelum krisis dibandingkan masa selama dan sesudah krisis berkaitan dengan penggunaan suku bunga sebagai instrumen untuk mencapai stabilitas harga dan nilai tukar pada masa selama dan sesudah krisis. Pengaruh pergerakan uang primer terhadap laju inflasi lebih cepat menuju convergence pada masa sebelum krisis dibandingkan periode selama dan sesudah krisis. Pada masa sebelum krisis, pengaruh shock uang primer terhadap laju inflasi menghilang setelah 4 bulan II-32
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
berlangsung. Sedangkan pada periode selama dan sesudah krisis baru hilang setelah 8 bulan berlangsung. Pengaruh shock suku bunga SBI terhadap pergerakan kurs nominal relatif kecil pada periode sebelum krisis. Sedangkan pada periode selama dan sesudah krisis meningkat dengan direction yang berlawanan (dalam arti meningkatnya kurs nominal tidak diiringi dengan menguatnya kurs rupiah). Pengaruh shock suku bunga SBI terhadap laju inflasi relatif kecil dan lebih cepat menuju convergence dibandingkan periode selama dan sebelum krisis.
II-33
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
INDICATOR OF POLICY SEVERITY ( I P S ) S E B A G A I I N D I K A T O R S TA N C E KEBIJAKAN MONETER ABSTRAK
Selain melalui perubahan uang beredar, ′stance′ kebijakan moneter dapat dilihat dengan indicator of policy severity (IPS). Dari hasil perhitungan kebijakan moneter yang relatif ketat hanya ditemukan antara pertengahan tahun 1997 hingga triwulan I/1998 serta menjelang Pemilu tahun 1999.
DA S A R P E M I K I R A N
Selain melalui perubahan uang beredar, stance kebijakan moneter (longgar atau ketat) pada suatu periode waktu dapat dilihat dengan Indicator of Policy Severity (IPS). Perhitungan IPS didasarkan pada formula sebagai berikut:
IPS =
A − Mean( A) Stdev ( A) B − Mean( B) Stdev ( B)
dimana A adalah tingkat suku bunga riil jangka pendek dan B adalah selisih antara suku bunga jangka panjang dan suku bunga jangka pendek (nominal). Di Indonesia IPS disusun dengan menggunakan suku bunga SBI 1 bulan (riil) sebagai proksi dari A serta selisih antara suku bunga deposito 12 dan 1 bulan (nominal) sebagai proksi dari B. Mean menyatakan nilai rata-rata dari variabel dan Stdev menyatakan standar deviasinya.
HASIL PERHITUNGAN
Hasil perhitungan IPS dengan menggunakan data sejak Januari 1994 hingga Maret 2001 diberikan dalam grafik di bawah ini.
II-34
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
INDICATOR OF POLICY SEVERITY
5 0 -5 -10 -15
-20 94
95
96
97
98
99
00
01
IPS
Grafik yang meningkat menunjukkan kebijakan moneter yang ketat, sedangkan yang menurun menunjukkan kebijakan moneter yang longgar. Dari hasil grafik di atas dapat dilihat bahwa dari tahun 1993 hingga pertengahan tahun 1995 kebijakan moneter relatif longgar. Antara pertengahan tahun 1997 hingga triwulan I/1998 kebijakan moneter relatif ketat; kemudian melonggar lagi hingga pertengahan tahun 1999. Kebijakan moneter relatif ketat menjelang Pemilu tahun 1999, namun menjelang akhir tahun 1999 hingga Maret 2001 kebijakan moneter bersifat longgar lagi.
II-35
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
MODEL EKSPOR NON-MIGAS ABSTRAK
Perubahan impor bahan baku dan barang modal dengan lag tertentu merupakan salah satu leading indicator yang baik untuk memperkirakan perubahan ekspor non-migas, di samping variabel lain. Model pertama menunjukkan bahwa pengaruh perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal terhadap nilai ekspor non-migas bersifat positif pada lag 12 dan bersifat negatif pada lag 14 meskipun pengaruh perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal pada lag 12 lebih besar daripada pada lag 14. Model kedua menunjukkan bahwa perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal pada lag 12 sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai ekspor non-migas sebesar 0,318 persen . Pada tahun 2001, diperkirakan nilai ekspor non-migas akan mencapai US$ 48,137 milyar.
L A N DA S A N T E O R I
Pada waktu krisis keuangan melanda Indonesia pada semester II tahun 1997, nilai tukar nominal Rupiah terhadap dolar AS mulai merosot tajam. Merosotnya nilai tukar tersebut mengakibatkan kinerja ekonomi nasional terganggu, yang pada gilirannya terlihat dengan menurunnya laju PDB. Pada saat krisis tersebut, terlihat bahwa sektor-sektor yang berbasis pada sumber daya lokal (local resource-based) tampak memberikan sumbangan yang positif terhadap PDB, seperti sektor pertanian. Sedangkan kebalikannya terjadi, sektor-sektor yang berbasis sumber daya dari luar negeri (foreign resouce-based) mengalami kemerosotan yang tajam dan memberikan sumbangan yang negatif pada pertumbuhan PDB. Sejalan dengan itu, ekspor non-migas mengalami penurunan, begitu pula dengan impor. Berdasarkan kondisi tersebut, ada anggapan bahwa proses produksi produk non-migas Indonesia masih sangat bergantung kepada impor bahan baku dan barang modal. Dengan merosotnya nilai tukar nominal, produk impor untuk bahan baku dan barang modal menjadi lebih mahal, yang pada gilirannya menurunkan produk ekspor dan meningkatkan biaya produk akhir. Berdasarkan anggapan tersebut, model peramalan ekspor non-migas yang sedang disusun ini didasarkan pada impor bahan baku dan barang modal sebagai variabel yang mempengaruhi ekspor produk non-migas serta digunakan basis data bulanan (monthly base). Di samping itu, terkait dengan leading indicator, ekspor non-migas merupakan salah satu sumber dinamis dalam perekonomian Indonesia, terutama bagi PDB non-migas. II-36
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
A S U M S I YA N G D I P E RG U NA K A N
Dalam melakukan penyusunan model ini, dipergunakan beberapa asumsi yang dapat dikemukakan sebagai berikut: • •
Persamaan ekspor non-migas dalam model ini hanya berlaku untuk peramalan jangka pendek karena ketergantungan ekspor non-migas terhadap impor bahan baku dan barang modal hanya bersifat sementara dan didasarkan oleh struktur industri Indonesia yang berlaku; Dalam jangka panjang, struktur industri tersebut dapat berubah sehingga validitas model persamaan di atas dapat dianggap sudah tidak sesuai lagi.
HASIL PENGUJIAN
Data ekspor non-migas serta impor bahan baku dan barang modal merupakan data yang non-stasioner, sesuai dengan karakteristik data runtun waktu pada umumnya. Hal ini terlihat dari hasil perhitungan uji unit root. Data ekspor non-migas adalah lebih bersifat deterministic trend sedangkan data impor bahan baku dan barang modal adalah bersifat stochastic trend. Namun demikian, walaupun bersifat non-stasioner, model persamaan tersebut diupayakan agar tetap menggunakan data level yang non-stasioner tersebut. Berdasarkan data tersebut, diperoleh dua model persamaan, pertama, model yang didasarkan data level dan kedua, model yang didasarkan data deviasi data level dari nilai rata-ratanya. MODEL BERDASARKAN LEVEL
Dalam model ini, ekspor non-migas (X) diregresikan terhadap impor bahan baku dan barang modal pada lag 12 (Mt-12), variabel otoregresif/AR(2), dan waktu (TREND = 1, 2, ...). Akan tetapi, korelasi serial pada model yang menggunakan variabel terikat lag t sebagai salah satu variabel independennya tidak dapat dihitung berdasarkan statistik Durbin-Watson. Untuk itu, korelasi serial dapat dilacak dengan menggunakan uji LM serial korelasi. Uji LM ini membandingkan nilai Obs*R2 dengan nilai χ2 pada df sama nilainya dengan lagnya. Apabila nilai Obs*R2 lebih besar daripada χ2 dengan nilai df sebesar lagnya, maka tidak ada serial korelasi. Hasil estimasi dan proyeksi ditunjukkan dalam persamaan dan grafik sebagai berikut:
II-37
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Dependent Variable: X Method: Least Squares Date: 08/23/01 Time: 10:15 Sample(adjusted): 1993:03 2001:04 Included observations: 98 after adjusting endpoints Convergence achieved after 9 iterations Variable
Coefficient Std. Error t-Statistic 1.308089 0.220638 5.928671 0.287756 0.066446 4.330686 0.017570 0.001670 10.52103 0.430327 0.093250 4.614779 0.797877 Mean dependent var 0.791426 S.D. dependent var 0.263785 Akaike info criterion 6.540735 Schwarz criterion -6.416994 F-statistic 1.105342 Prob(F-statistic)
C M(-12) TREND AR(2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Obs*R2
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 3.168245 0.577590 0.212592 0.318101 123.6877 0.000000
38.36966
Hasil estimasi di atas tersebut dapat dituliskan kedalam bentuk persamaan sebagai berikut: Xt = 0,745 + 0,430 Xt-2 + 0,288 Mt-12 – 0,124 Mt-14 + 0,010 t + εt 5.0
Forecast: Xf Actual: X Forecast sample: 1992:01 2001:12 Adjusted sample: 1993:03 2001:12 Included observations: 98
4.5 4.0 3.5
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
3.0 2.5 2.0 1.5 93
94
95
96
97
98
99
00
Xf
II-38
01
0.286236 0.214101 6.787940 0.044535 0.000017 0.056060 0.943923
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
MODEL BERDASARKAN DEVIASI DATA LEVEL DARI NILAI RATA-RATANYA
Untuk model ini, data yang digunakan berdasarkan nilai deviasi antara nilai data aktual tingkat level dengan nilai rata-ratanya. xt = Xt - Xbar mt = Mt - Mbar
untuk ekspor non-migas. untuk impor bahan baku dan barang modal.
Adapun hasil estimasi dan proyeksi ditunjukkan dalam persamaan dan grafik sebagai berikut. Dependent Variable: x Method: Least Squares Date: 08/23/01 Time: 10:40 Sample(adjusted): 1993:01 2001:04 Included observations: 100 after adjusting endpoints Convergence achieved after 18 iterations Backcast: 1992:12 Variable C M(-12) TREND MA(1)
Coefficient -0.962665 0.317916 0.017593 0.652911
Std. Error 0.088283 0.054669 0.001280 0.077982
t-Statistic -10.90429 5.815292 13.74550 8.372573
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.860103 0.855731 0.224115 4.821835 9.706924 1.581812
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Obs*R2
15.52632
χ2 (99%)
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.129224 0.590043 -0.114138 -0.009932 196.7389 0.000000 13.277
Hasil estimasi di atas tersebut dapat dituliskan kedalam bentuk persamaan sebagai berikut: Xt = 1,230 + 0,318 Mt-12 + 0,018 t + εt + 0,653 εt-1
II-39
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
2.0
Forecast: xf Actual: x Forecast sample: 1992:01 2001:12 Adjusted sample: 1993:01 2001:12 Included observations: 100
1.5 1.0 0.5
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
0.0 -0.5 -1.0 -1.5
0.286059 0.210223 728.3951 0.249559 0.000010 0.040099 0.959890
-2.0 93
94
95
96
97
98
99
00
01
xf
Dari kedua model persamaan tersebut di atas, beberapa kesimpulan dapat diperoleh sebagai berikut. Pertama, arah pengaruh impor bahan baku dan barang modal terhadap ekspor non-migas sejalan dengan yang diharapkan. Kedua, hasil estimasi cukup baik dengan koefisien determinasi sekitar 80 persen dan tidak adanya serial korelasi yang ditunjukkan dengan nilai Obs*R2 yang lebih besar dari χ2 dengan df=4 pada tingkat keyakinan 99%. Ketiga, pengaruh perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal terhadap nilai ekspor non-migas pada model kedua lebih besar daripada model pertama. Keempat, pada model kedua, perubahan nilai impor bahan baku dan barang modal sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai ekspor nonmigas sebesar 0,318 persen dan diperkirakan akan mencapai US$ 48,137 milyar. Perkiraan ekspor non-migas pada tahun 2001 secara lengkap dapat dikemukakan sebagai berikut:
II-40
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
T ABEL L.5.1 P ERKIRAAN E KSPOR N ON -M IGAS T AHUN 2001 ( DALAM BILLIONS OF US$)
Bulan Januari Februari Maret April Mei* Juni* Juli* Agustus* September* Oktober* November* Desember* Total Catatan: Xbar = 3.018
Model 1
Model 2 3.505 3.612 3.863 3.742 3.911 3.966 4.041 4.174 4.281 4.301 4.354 4.308 48.057
II-41
3.505 3.612 3.863 3.742 3.900 3.959 4.041 4.185 4.302 4.322 4.379 4.327 48.137
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
MODEL H A R G A M I N Y A K M E N TA H ABSTRAK
Perilaku harga minyak bumi (crude oil) adalah sama dengan perilaku harga komoditas lainnya yang mengalami perubahan harga yang cukup besar pada saat kelebihan penawaran atau permintaan. Secara umum permintaan akan minyak bumi pada tingkat dunia adalah relatif stabil. Namun, dari sisi penawaran akan sangat dipengaruhi oleh produksi negara-negara penghasil minyak bumi. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi sangat menaruh perhatian terhadap perubahan harga yang terjadi pada komoditi minyak mentah. Perubahan harga komoditi minyak mentah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan Indonesia dari sektor minyak dan gas (migas). Perkiraan peranan minyak bumi pada tahun 2001 di dalam penerimaan dalam negeri adalah didasarkan kepada harga minyak mentah sebesar US$ 24 per barrel. Berkaitan dengan hal tersebut ketergantungan perekonomian Indonesia kepada harga minyak mentah dunia sangatlah besar. Untuk memberikan keyakinan bahwa penetapan harga minyak mentah sebesar US$ 24 per barrel di dalam penyusunan perkiraan pendapatan Indonesia dari sektor minyak dan gas perlu didukung oleh suatu model. Untuk mengetahui besarnya kemungkinan harga minyak mentah sepanjang tahun 2001 (Juli – Desember) akan lebih rendah dari US$ 24 per barrel akan dipergunakan suatu model Brownian Motion dengan mean reversion. Di samping itu akan dihitung pula harga keseimbangan jangka panjang serta volatilitas harga minyak mentah.
L A N DA S A N T E O R I
Di dalam perhitungan nilai atau harga suatu komoditi yang nilainya tergantung kepada besaran lain (contingent claim), aliran dana pasti (certainty cash flow) dapat dengan relatif mudah diketahui melalui observasi harga komoditi tersebut pada suatu bursa berjangka (futures market). Oleh karena itu, untuk menghitung harga atau nilai komoditi yang diperdagangkan pada bursa berjangka (futures market) akan lebih mudah mempergunakan metode keyakinan ekivalen (certainty equivalent method) dibandingkan dengan mempergunakan metode discounted cash flow (DCF method). Berdasarkan hal tersebut kita akan mempergunakan certainty equivalent method di dalam menghitung nilai atau harga minyak mentah. Perilaku harga komoditi yang bersifat acak (random) memegang peranan penting di dalam model menentukan nilai atau harga suatu komoditi. Penawaran suatu komoditi akan mengikuti perubahan harga komoditi tersebut. Ketika harga komoditi tersebut cukup tinggi akan diikuti oleh meningkatnya penawaran yang akan mendorong harga komoditi tersebut untuk turun. Sementara itu, ketika harga komoditi cukup rendah akan diikuti oleh berkurangnya penawaran II-42
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
yang akan menyebabkan naiknya harga komoditi tersebut. Sebagai akibat dari perubahan harga yang disebabkan oleh kurang atau lebihnya penawaran akan mengakibatkan suatu gejala yang dinamakan mean reversion pada harga komoditi tersebut. Suatu proses yang mengalami mean reversion mengikuti persamaan sebagai berikut: dS = κ ( µ − S )dt + σS γ dZ
(L-6-1)
Suatu proses menuju harga keseimbangan jangka panjang (mean reversion process) disebut sebagai Ornstein-Uhlenbeck Process ketika nilai γ = 1. Persamaan (L-6-1) adalah merupakan suatu proses dimana variabel S dikatakan menuju harga keseimbangan jangka panjangnya (mean reversion process) dengan variabel kecepatan perubahan (speed of the adjustment parameter) κ, harga keseimbangan jangka panjang (long run mean) µ, dan volatilitas (volatility) σ. Proses tersebut adalah sesuai untuk suatu variabel ekonomi yang nilai atau harganya selalu menuju ke harga jangka panjangnya tetapi dapat dipengaruhi oleh perubahan negatif yang bersifat jangka pendek.
A S U M S I YA N G D I P E RG U NA K A N
Terdapat tiga komponen atau variabel utama di dalam menentukan kualitas minyak mentah. Ketiga variabel utama tersebut adalah ladang tempat minyak mentah (crude oil) tersebut berasal, tingkat muatan API dan kadar sulfur. Ladang asal minyak mentah berperan sebagai acuan karakteristik fisik dari minyak mentah. Karakteristik fisik tersebut mencakup unsur warna, kekentalan, titik pembakaran, persentase kandungan air, hasil penyulingan dan kandungan logamnya. Pendapat Gibson dan Schwartz5 yang menyatakan tidak ada harga minyak mentah yang benar di pasar spot (spot market), maka harga spot minyak mentah tidak dapat diamati secara langsung. Sebagai salah satu pendekatan (proxy) di dalam menentukan harga spot minyak mentah akan dipergunakan suatu perhitungan berdasarkan harga penyelesaian transaksi (settlement) perdagangan futures contract dengan waktu jatuh tempo terdekat (closest maturity) dengan waktu penyelesaian transaksi yang diperdagangkan di NYMEX. Harga spot sebagai hasil pendekatan perhitungan tersebut dinamakan shadow spot price. Sehubungan dengan tidak adanya minyak mentah Indonesia yang diperdagangkan pada bursa berjangka (futures market), maka sebagai pendekatan akan dipergunakan data perdagangan futures contract minyak mentah dari New York Mercantile Exchange (NYMEX). Sebagai dasar acuan kualitas (par grade) minyak mentah yang diperdagangkan pada bursa NYMEX tersebut adalah West Texas Intermediate (WTI) yang memiliki 40 derajat tingkat API dan 0,4 persen belerang atau sulfur. Penyelesaian transaksi (settlement) terbaru futures contract untuk komoditi minyak mentah pada bursa komoditi NYMEX adalah tanggal 30 Maret 2001.
Gibson, Rajna and E. S. Schwartz. 1990. “Stochastic Convenience Yield and the Pricing of Oil Contingent Claims.”. Journal of Finance 45: 959-976. 5
II-43
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Data kontrak berjangka (futures contracts) dikumpulkan dari Wall Street Journal dengan waktu penyelesaian transaksi (settlement) dari 30 November 1987 sampai dengan 30 Maret 2001. Sehubungan dengan tidak adanya pasar spot untuk minyak mentah, kita mempergunakan dua buah kontrak berjangka (futures contracts) yang waktu jatuh temponya berdekatan (satu dan dua bulan) serta dua buah kontrak T-Bill dengan waktu jatuh tempo yang sangat dekat dengan kontrak berjangka (futures contract) minyak mentah tersebut.
HASIL PENGUJIAN
Berdasarkan data-data tersebut, selanjutnya dilakukan regresi antara (St-St-1)/St-1 yang dilambangkan variabel tak bebas PRICE_CHANGE terhadap St-1 yang dilambangkan variabel bebas OVER_PRICE dengan mempergunakan metode ordinary least square (OLS) untuk melakukan estimasi nilai dari variabel-variabel kecepatan menuju harga jangka panjang (κ), harga jangka panjang (µ), dan volatilitas dari shadow spot price minyak mentah (σ). Adapun hasil regresi tersebut adalah sebagai berikut: Dependent Variable: PRICE_CHANGE Method: Least Squares Date: 07/27/01 Time: 20:33 Sample: 1988:03 2001:05 Included observations: 159 Variable C OVER_PRICE R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
-0.094831 1.711064 0.043274 0.037180 0.092156 1.333344 154.4953 1.482129
t-Statistic
Prob.
0.033765 -2.808579 0.642095 2.664815 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.0056 0.0085 -0.006987 0.093918 -1.918180 -1.879577 7.101241 0.008508
Berdasarkan regresi tersebut dapat dilihat bahwa nilai dari variabel κ dan µ masingmasing adalah 0,095 dan US$ 18,043. Koefisien-koefisien tersebut ditunjang dengan nilai t-statistic yang menyatakan bahwa variabel-variabel κ (t-statistic = 2,809) dan µ (t-statistic = -2,665) adalah signifikan pada 95% level of confidence. Nilai absolut dari t-statistics untuk kedua koefisien variabelvariabel tersebut adalah cukup tinggi. Dikarenakan kita tidak melakukan regresi dari data harga minyak runtun waktu (time-series), maka nilai R2 yang cukup rendah (R2 = 0,04) masih dapat ditolerir. Positifnya nilai κ memberikan jaminan bahwa proses mean reversion terjadi pada shadow spot price minyak mentah dari sampel data yang dipergunakan. Sementara itu, nilai volatilitas tahunan (annual volatility) dari shadow spot price minyak mentah adalah 31,9 persen.
II-44
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Sementara itu, Value at Risk (VaR) merupakan suatu metode yang dipergunakan untuk memperkirakan kemungkinan resiko di masa datang dengan mempergunakan ilmu statistik sebagai dasar perhitungannya. Value at Risk (VaR) mengandung pengertian kemungkinan kerugian maksimum yang mungkin dialami oleh suatu perusahaan atau individu dalam suatu jangka waktu dan tingkat kepastian tertentu (level of confidence). Berdasarkan definisi tersebut kita juga dapat mengartikan Value at Risk (VaR) sebagai pernyataan berapa besar kemungkinan harga suatu aset dalam suatu jangka waktu tertentu lebih kecil dari suatu nilai tertentu. Pada mulanya Value at Risk (VaR) merupakan suatu metode yang dipergunakan sebagai alat untuk berkomunikasi diantara para pengelola perusahaan mengenai kemungkinan kerugian atau perubahan harga suatu aset yang mungkin dialami dari kepemilikan aset tersebut. Data yang diperlukan untuk melakukan simulasi Monte Carlo shadow spot price minyak mentah adalah shadow spot price minyak mentah untuk bulan terakhir (Juni 2001) serta volatilitas dari shadow spot price minyak mentah. Data shadow spot price minyak mentah untuk bulan Juni 2001 sebesar US$ 26,64 per barrel didapat dari futures contract untuk pengiriman bulan Juni 2001. Value at Risk (VaR) shadow spot price minyak mentah dapat dihitung berdasarkan perbandingan banyaknya kejadian (frekuensi) simulasi shadow spot price minyak mentah yang nilainya lebih kecil dari suatu nilai tertentu terhadap total simulasi (1.000 sampel). Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kemungkinan harga minyak mentah pada bulan Juli 2001 berada di bawah US$ 24 per barrel adalah 23,1 persen. Sementara itu, perhitungan Value at Risk (VaR) untuk simulasi enam bulan adalah hampir sama dengan simulasi satu bulan. Perbedaannya adalah volatilitas yang dipergunakan adalah disesuaikan untuk jangka waktu enam bulan. Volatilitas enam bulan shadow spot price minyak mentah dapat dihitung berdasarkan volatilitas bulanan. Berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan nilai volatilitas enam bulan shadow spot price minyak mentah, σε = 22,6%. Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kemungkinan harga minyak mentah pada semester kedua (bulan Juli-Desember) tahun 2001 berada di bawah US$ 24 per barrel adalah 38,5 persen.
II-45
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
SIKLUS BISNIS INDONESIA ABSTRAK
Siklus bisnis, dengan menggunakan prilaku GDP riil sebagai acuannya, adalah dasar yang paling utama untuk memperkirakan indikator-indikator yang berkaitan dengan dengan aktivitas ekonomi. Meskipun tidak terlalu nyata, hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa sekali dalam 5 tahun perekonomian indonesia mengalami tingkat perekonomian terendah. Hal ini terjadi pada tahun terakhir pada setiap akhir periode/awal jabatan presiden.
L A N DA S A N T E O R I SIKLUS BISNIS
Siklus bisnis ini adalah dasar yang paling utama untuk memperkirakan indikator-indikator yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Siklus bisnis ini diperoleh melalui 2 komponen utama, yaitu trend dan siklus. Trend adalah kecenderungan ekspansi ekonomi dalam jangka panjang, sedangkan siklus merupakan fluktuasi ekonomi di sekitar trend dalam jangka pendek.6 Siklus bisnis didefinisikan sebagai pergerakan naik-turunnya (fluktuasi) produksi atau output yang terjadi secara periodik dengan pola yang tidak teratur disekitar trend, dimana meskipun polanya tidak teratur, namun pola dari periodanya dapat diperkirakan.7 Sebagai payung untuk memperkirakan indikator-indikator yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, penyusunan siklus bisnis umumnya dilakukan terhadap perilaku GDP riil. Trend GDP riil merupakan GDP potensial atau keadaan full-employment dalam perekonomian. Kinerja GDP riil yang lebih kecil dari trendnya menunjukkan, output yang dihasilkan berada di bawah kemampuan potensial yang tersedia dan kebalikannya GDP riil yang lebih besar dari trendnya menunjukkan perekonomian dalam keadaan over full-employment. Di dalam siklus bisnis, setiap siklus terdiri dari 2 phase yang meliputi peak and trough. Peak merupakan titik maksimum dalam satu siklus, sedangkan trough merupakan titik minimum dalam satu siklus yang sama. Kontraksi merupakan keadaan dimana perekonomian sedang bergerak dari peak menuju trough, sedangkan ekspansi merupakan keadaan dimana perekonomian sedang bergerak dari trough menuju peak. Kontraksi yang terjadi untuk lebih dari 2 periode berturut-turut disebut dengan resesi. Kontraksi dalam persentase yang sangat besar dan diiringi dengan inflasi yang tinggi disebut dengan depresi.
6 Growth: Trends and Cycles, “Guide to Economic Indicators,” The Economist, John Wiley & Sons, Inc, 1998, page 39. 7 Douglas Mc Taggart, Christoper Findlay, Michael Parkin, “Economics,” Addison Wesley Longman, Australia, 1999
II-46
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
SEASONAL ADJUSTMENT
Data time series yang diamati untuk series dalam bulanan atau triwulan cenderung untuk dipengaruhi oleh siklus musiman. Sesaonal adjustment bertujuan untuk menghilangkan fluktuasi yang diakibatkan oleh pengaruh siklus musiman tersebut. HP-FILTER
HP-filter merupakan metoda yang umum digunakan untuk memperoleh perkiraan komponen tren yang lebih smooth dari suatu variabel. Metode ini dikembangkan oleh Hodrick dan Prescott pada tahun 1980 dalam risetnya untuk menentukan siklus bisnis USA. Metode ini menerapkan filter dua sisi untuk mendapatkan series s yang telah dismoothkan dari series y. Hal ini dilakukan dengan meminimalkan variance y di sekitar s dengan pinalti parameter λ sebagai konstrain dari second difference series s. Dengan demikian HP-filter memilih s untuk meminimumkan: T
∑ t=1
T-1
(yt-st)2
+ λ ∑ [(st+1 – st) – (st – st-1)]2 t=2
Pinalti parameter λ mengontrol series σ, dimana semakin besar λ, semakin smooth σ. Untuk λ=4, s mendekati trend linier.
A S U M S I YA N G D I G U NA K A N
Dalam penyusunan siklus bisnis ini, data-data dan asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: • •
Diasumsikan data PDB riil triwulanan dipengaruhi oleh siklus musiman. Dengan demikian perlu dibersihkan terlebih dahulu dari pengaruh siklus musiman dengan menggunakan seasonal adjustment. Trend dari PDB riil diasumsikan sebagai potensial PDB.
P E R H I T U N G A N DA TA S I K L U S B I S N I S I N D O N E S I A
Penyusunan siklus bisnis ini dilakukan dengan menggunakan data PDB riil triwulan dengan periode 1983:1-2000:4. Karena ditengarai ada pengaruh siklus musiman, maka data tersebut dibersihkan terlebih dahulu dari pengaruh siklus musiman dengan menggunakan proses seasonal adjustment. Hasil dari data yang telah menglami proses seasonal adjustment tersebut disebut dengan PDBSA Selanjutnya, data yang pengaruhi siklus musimannya telah dikeluarkan tersebut digunakan untuk mendapatkan trend dari PDB riil. II-47
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Perhitungan trend PDB riil (PDBT) dilakukan dengan menggunakan HP-filer. Selanjutnya dihitung selisih antara PDBSA dengan PDBT, disebut dengan PDBBC. Fluktuasi dari PDBSA ini merupakan data yang menunjukkan siklus bisnis. Data siklus bisnis dan plottingnya dalam grafik adalah sebagai berikut. T ABEL L.7.1 D ATA S IKLUS B ISNIS I NDONESIA
Periode
PDBBC
Periode
PDBBC
Periode
PDBBC
Periode
PDBBC
1983.1 1983.2 1983.3 1983.4 1984.1 1984.2 1984.3 1984.4 1985.1 1985.2 1985.3 1985.4 1986.1 1986.2 1986.3 1986.4 1987.1 1987.2 1987.3 1987.4
-2072 2108 586 1269 1891 1043 943 -706 198 75 -587 -796 -956 -525 562 637 -1030 847 -253 -1160
1988.1 1988.2 1988.3 1988.4 1989.1 1989.2 1989.3 1989.4 1990.1 1990.2 1990.3 1990.4 1991.1 1991.2 1991.3 1991.4 1992.1 1992.2 1992.3 1992.4
-2527 381 -933 -190 150 -1055 -703 -205 -355 105 -105 -720 869 -361 -306 -547 -641 -1246 -630 -1198
1993.1 1993.2 1993.3 1993.4 1994.1 1994.2 1994.3 1994.4 1995.1 1995.2 1995.3 1995.4 1996.1 1996.2 1996.3 1996.4 1997.1 1997.2 1997.3 1997.4
-2020 -1408 -1401 -1118 -1410 -549 -1027 -1724 369 1057 954 1777 1449 3945 5596 8719 6249 7644 9732 9068
1998.1 1998.2 1998.3 1998.4 1999.1 1999.2 1999.3 1999.4 2000.1 2000.2 2000.3 2000.4
708 -6670 -7534 -10256 -4906 -4032 -4606 -4115 -86 1676 301 1762
II-48
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
E VA L UA S I S I K L U S B I S N I S I N D O N E S I A PERKIRAAN RENTANG WAKTU SIKLUS BISNIS INDONESIA
Secara umum data siklus bisnis di tiap-tiap negara cenderung menunjukkan fluktuasi yang kontinu di sekitar trendnya. Oleh sebab itu untuk menentukan rentang waktu satu siklus yang terjadi, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengamati rentang waktu antara dua titik ekstrim dari peak atau trough. Perhitungan siklus bisnis Indonesia juga menunjukkan perekonomian Indonesia dari triwulan ke triwulan berfluktuasi secara kontinu disekitar GDP potensialnya. Oleh sebab itu penentuan rentang waktu satu siklus di Indonesia menggunakan titik-titik ekstrimnya, dan dalam hal ini digunakan titik-titik ekstrim terendah (through) dari siklus yang terjadi. Dengan mengunakan data-data periode 1983:1-2000:4, hasil perhitungan menunjukkan, bahwa titik-titik ektrim terendah terdri dari: 1983.1 1988.1 1993.1 1998.4
-2072 -2827 -2020 -10256
Dari keempat titik ekstrim terendah tersebut, siklus bisnis Indonesia akan terjadi pada setiap 20 triwulan (5 tahun). Dikaitkan dengan sistem pemerintahan Indonesia, hal ini terjadi pada saat satu masa periode pemerintahan berakhir dan dimulainya satu masa pemerintahan yang baru. Memang dari hasil yang diperoleh ditemukan satu penyimpangan, yaitu pada periode 1998.4. Namun penyimpangan ini wajar karena pada saat tersebut Indonesia dilanda krisis moneter yang berdampak pada GDP riil secara keseluruhan. Dengan demikian penyimpangan
II-49
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
yang merupakan shock terhadap GDP riil harus dikeluarkan dari pengukuran rentang waktu siklus bisnis yang terjadi di Indonesia. DEPRESI DAN BOOMING
Penentuan suatu negara dalam keadaa depresi atau booming dapat dilakukan melalui pengamatan data siklus bisnis. Suatu negara dikatakan mengalami booming apabila data siklus bisnisnya pada saat tersebut berada di atas batas atas fluktuasi siklus bisnisnya yang dianggap normal, sedangkan suatu negara dikatakan dalam keasaan depresi apabila data siklus bisnisnya pada saat tersebut berada di bawah bawah fluktuasi siklus bisnisnya yang dianggap normal. Penentuan batas atas dan batas bawah umumnya ditentukan melalui standard deviasinya, dimana penentuan 1 atau 2 standard deviasi tergantung oleh keyakinan penganalisa atau pengambil keputusan yang menetapkan kebijaksanaan ekonomi. Penggaplikasian penggunaan standard deviasi tersebut untuk menentukan periode depressi/booming bukannya tidak mengandung perdebatan. Terjadinya shock yang besar akan meningkatkan standard deviasi dalam jumlah persentase yang cukup besar sehingga range untuk fluktuasi siklus bisnis yang dikategorikan normal menjadi sangat besar. Oleh sebab itu ada perlu dipertimbangkan 2 hal sebagai berikut: (1) penentuan depressi/booming dengan menggunakan seluruh data yang tersedia; dan (2) penentuan depresi/booming dengan mengeluarkan periode terjadinya shock. (a) Penentuan Depressi/booming Dengan Menggunakan Seluruh Data Yang Tersedia. Metode ini menggunakan seluruh data dari periode 1983:1 sampai dengan periode 2000:4. Dari perhitungan diperoleh bahwa rata-rata dari fluktuasi tersebut adalah 0.01389. Standard deviasinya adalah 3248.986. Dengan menggunakan perhitungan ini, batas normal fluktuasi siklus bisnis Indonesia adalah ∈ [-3248.959, 3248.999] untuk 1 (satu) standard deviasi, dan ∈ [–6497.958, 6497.986] untuk 2 (dua) standard deviasi. Dengan menggunakan metode ini, dapat ditentukan bahwa pada tahun 1996 sampai awal akhir 1997 ekonomi Indonesia mengalami booming dimana aktivitas perekonomian meningkat dengan sangat pesat. Selanjutnya pada tahun 1998 Indonesia mengalami depresi yang berat dengan terjadinya krisis moneter pada akhir tahun 1997.periode depresi dan booming yang terjadi pada perekonomian Indonesia dari periode 1993.1 sampai dengan periode 2000.12 sebagai berikut: (b) Penentuan Depressi/booming Dengan Mengeluarkan Periode Terjadinya Shock. Metode ini menggunakan data periode 1983:1 sampai dengan 1995:4 untuk menentukan standard deviasi karena dari sejak tahun 1996:1 sampai dengan periode 200:4 data siklus bisnis Indonesia mengalami fluktuasi yang sangat besar dan dapat dikategorikan sebagai shock. Dengan menggunakan mengeluarkan periode-perode shock ini, mean dari data siklus bisnis Indonesia adalah –281.596 dan standard deviasinya adalah 1033.778. Oleh karena itu, range dari data siklus bisnis Indonesia yang tidak mengalami depressi/booming adalah [1315.674, 752.182] untuk 1 (satu) standard deviasi dan [-2067.556, 1785.96] untuk 2 (dua) standard deviasi. Hasil dari penentuan betas depresi/booming ini dapat diaplikasikan pada
II-50
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
data siklus bisnis Indonesia untuk menentukan periode dimana perekonomian Indonesia mengalami depresi/booming.
II-51
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
OUTPUT GAP DAN INFLASI ABSTRAK
Output potensial adalah sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan pada inflasi. Dalam jangka menengah, perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal. Dalam jangka pendek, perkiraan terhadap gap antara output aktual dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Hasil regresi dalam studi ini memperlihatkan bahwa output gap (selisih antara PDB aktual dan PDB potensial) yang positif cenderung akan menekan inflasi. Ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantsipasi dengan menganalisa besarnya output gap dalam suatu periode.
L A N DA S A N T E O R I FUNGSI PRODUKSI
Output potensial dan output gap adalah dua besaran yang tidak dapat diobservasi dan sangat sulit untuk diperkirakan dengan hasil yang memadai. Namun mengingat kegunaan output potensial yang sangat penting sebagai alat untuk menilai kegiatan ekonomi, maka berkembang beberapa pendekatan untuk menghitungnya meskipun masing-masing tidak lepas dari kesulitan dan keterbatasan. Salah satu cara yang sering digunakan untuk memperkirakan besarnya output potensial adalah aplikasi terhadap metoda fungsi produksi. Pendekatan ini secara eksplisit memodelkan perkiraan output berdasarkan faktor input pokok (underlying factor inputs). Pendekatan tersebut secara spesifik mengestimasi fungsi produksi yang menghubungkan output dengan kapital, tenaga kerja, dan total factor productivity. Output potensial dihitung dengan asumsi bahwa tingkat utilitas kapital adalah “normal”, input tenaga kerja konsisten dengan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment), dan total factor productivity (TFP)8 adalah pada tingkat kecenderungannya (trend level).
TFP dapat dihitung melalui formulasi: ¶A/A = ¶Y/Y - Ó.¶K/K – (1 - Ó).¶L/L ¶A/A adalah perubahan dalam output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam input. Oleh karena itu, perubahan TFP dihitung sebagai residual, yaitu sisa pertumbuhan output yang tidak dapat dijelaskan oleh sumbangan input. ¶A/A biasanya disebut sebagai Solow residual.
8
II-52
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Metoda fungsi produksi didasarkan atas bentuk fungsional dari proses produksi namun tidak diperlukan perumusan model untuk permintaan dan penawaran faktor produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi TFP. Metode ini secara implisit mengasumsikan bahwa: (i) dalam jangka pendek, input potensial dari kapital dan tenaga kerja dapat didekati dengan deviasi output terhadap tingkat normalnya dan perilaku pengangguran relatif terhadap tingkat alamiahnya; dan (ii) pertumbuhan dari kapital, tenaga kerja, dan TFP yang tercakup dalam memperkirakan output potensial dapat pula didasarkan atas kecenderungan dalam perekonomian. Pendekatan tersebut mempunyai beberapa keuntungan diantaranya adalah memungkinkan untuk secara eksplisit memperkirakan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dari kapital, tenaga kerja, dan TFP. Dengan demikian dimungkinkan untuk menganalisa dampak dari gangguan perekonomian di masa lalu serta perkiraan gangguan di masa depan terhadap output potensial. Namun demikian, ada beberapa konsekuensi yang perlu diperhatikan. Kebutuhan akan data yang dapat dipercaya dalam jangka waktu yang cukup panjang, meskipun memang data stok kapital sangat sulit untuk diukur dan diperbaharui. Kesulitan lain adalah data realisasi output selalu berbeda dengan output yang memperhitungkan faktor input. Perbedaan ini biasanya disebut pertumbuhan total factor productivity. Namun karena TFP tidak dapat secara langsung diamati, maka perkiraan terhadap kecenderungannya (trend) menjadi sangat sulit khususnya dalam memperkirakan output potensial. METODA HODRICK-PRESCOTT FILTER
Ada beberapa alternatif lain dalam memperkirakan output potensial, salah satunya adalah metoda Hodrick-Prescott (HP) Filter. Metoda ini digunakan untuk melihat kecenderungan (trend) dari output dalam jangka panjang. Trend output () yang diperoleh dengan menggunakan HP filter dihasilkan dengan meminimkan kombinasi gap antara aktual output (y) dan trend output. Tingkat perubahan output diperoleh dengan: T
Min ∑ (yt t=0
T-1
)2
+ λ ∑ [(t+1 - t) – (t - t-1)]2 t=2
dimana λ adalah tingkat smoothness dari trend. Kesulitan metoda ini adalah dalam mengidentifikasi besarnya parameter λ. Namun demikian, paket software ekonometrik seperti Eviews dapat digunakan untuk memperkirakan trend output ini.
II-53
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
HASIL REGRESI PERKIRAAN OUTPUT GAP
Dalam tulisan ini, untuk memperkirakan output potensial digunakan pendekatan HP filter. Data tenaga kerja triwulanan yang belum tersedia menyebabkan kesulitan dalam menggunakan pendekatan fungsi produksi. Hasil perkiraan output potensial dan output gap dapat dilihat dalam grafik berikut ini: G RAFIK L-8-1 T REND PDB
120.000
100.000
(miliar rupiah)
80.000
60.000
40.000
20.000
3
2 .0
00
1
2
3
4
1
4
.0
99
.0
98
.0
98
.0
97
.0
96
.0
95
2
95
.0
3
.0
94
1
2
3
4
4
.0
93
.0
92
.0
92
.0
91
.0
90
2
3
4
1
2
3
4
1
.0
89
.0
89
.0
88
.0
87
.0
86
.0
86
.0
85
.0
84
.0
83
83
.0
1
-
(20.000)
Tahun GDPRSA
PDB_Potensial
PDB_Gap
OUTPUT GAP DAN INFLASI
Langkah berikutnya adalah melihat hubungan antara output gap dan inflasi untuk melihat apakah terdapat tekanan terhadap inflasi apabila output (PDB) melebihi potensialnya? Demikian pula sebaliknya.
II-54
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Dari hasil regresi dengan menggunakan data triwulanan tahun 1983 hingga 1997 (sebelum krisis) diperoleh hasil sebagai berikut: •
Hasil regresi dengan tidak menggunakan lag pada peubah bebasnya. Hasil ini memperlihatkan bahwa perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi.
Dependent Variable: LCPI Method: Least Squares Date: 07/30/01 Time: 10:17 Sample(adjusted): 1983:2 1997:2 Included observations: 25 Excluded observations: 32 after adjusting endpoints Variable C LGDP_GAP R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
3.59506166663 0.398615598914 0.166222648183 0.0569396156414
9.0188684949 2.91927942103
5.16803274432e-09 0.00771775746223
0.270355318141 0.238631636321 0.357172018176 2.93415256307 -8.69274897787 0.0974136480853
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
4.73989393717 0.409336068659 0.85541991823 0.952929984219 8.52219233806 0.00771775746223
dimana: LCPI : LGDP_GAP : Output gap :
logaritma indeks harga konsumen; logaritma output gap, aktual PDB – PDB potensial
• Hasil regresi dengan menggunakan lag (-1) pada peubah bebasnya. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dampak inflatoir dari perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya akan terus terjadi pada triwulan berikutnya. Ini mungkin dapat menjadi sinyal kebijakan pada triwulan berikutnya terutama yang terkait dengan kebijakan moneter.
II-55
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Dependent Variable: LCPI Method: Least Squares Date: 07/27/01 Time: 14:42 Sample(adjusted): 1983:3 1997:2 Included observations: 24 Excluded observations: 32 after adjusting endpoints Variable C LGDP_GAP(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
3.69398045156 0.42344784706 0.153301360166 0.0612984343858
8.72357830418 2.50090172289
1.36173461075e-08 0.0203270758581
0.221363228535 0.185970648014 0.362398374495 2.88931680041 -8.65011970794 0.0701332974409
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
II-56
4.7366971926 0.401667051806 0.887509975662 0.985681128191 6.25450942756 0.0203270758581
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
M O D E L I N V E S TA S I ABSTRAK
Meskipun porsi Investasi dalam pengeluaran sekitar 20 persen, namun penting sebagai salah satu penyebab business cycle. Selanjutnya, berbagai kebijakan utama ekonomi dilakukan untuk mendorong investasi. Dengan demikian, dibutuhkan pemahaman mengenai perilaku dan faktor yang menentukan investasi. Pendekatan yang digunakan dalam model ini, investasi sebagai fungsi dari suku bunga dan GDP potenseial yang dihitung menggunakan metoda Hodrick-Prescott Filter. Dari regressi diperoleh bahwa besarnya investasi pada suatu waktu dipengaruhi oleh trend GDP satu triwulan sebelumnya dan sukubunga deposito dua triwulan sebelumnya.
L A N DA S A N T E O R I
Investasi merupakan bagian PDB yang paling berfluktuasi. Meskipun proporsinya tidaklah terlalu besar, tetapi merupakan bagian yang penting dari PDB karena salah satu penyebab siklus bisnis. Investasi terdiri dari dua jenis yaitu investasi untuk membentuk modal tetap bruto dan inventory (simpanan barang di gudang). Yang akan diamati dalam model ini adalah bagian pertama. Perilaku investasi pembentuk modal tetap ditentukan oleh keputusan dunia usaha (maneger finansial) yang didasarkan pada apakah investasi tersebut akan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dari biaya penggunaan modal tersebut atau tidak. Selain itu, keputusan tersebut juga dilakukan dengan membandingkan beberapa alternatif pemanfaatan dana yang dimiliki tersebut. Berdasarkan hal tersebut disusun teori keputusan investasi. Perhitungan tersebut dihitung dengan mempertimbangkan suku bunga. Salah satu cara yang mudah untuk melihat prospek iklim investasi adalah dengan melihat angka perbandingan “q” (q teori). Angka q adalah merupakan perbandingan antara nilai pasar dari saham dan obligasi perusahaan dengan biaya pengganti aset modal fisisk. Jika q lebih besar dari 1 maka aset-aset perusahaan oleh pasar modal dinilai lebih tinggi dari nilai fisik aset tersebut. Teori lain yang didasarkan ekonomi makro dikenal sebagai teori akselerator. Teori tersebut berdasarkan asumsi bahwa tergantung dari pada persediaan modal (Capital stock) dan tenaga kerja. Namun, sebagai mana umumnya negara berkembang maka supply tenaga kerja melimpah sehingga dapat disederhanakan bahwa output nasional hanya tergantung pada kapital. Kdt = αYt
(L-9-1)
Dimana Kdt Yt dan α masing-masing adalah modal, GDP pada saat T, dan rasio output dengan modal. Investasi terdiri dari investasi untuk mengganti peralatan yang rusak dan memperbesar kapasitas produksi (investasi neto). Karena tingkat investasi merupakan fungsi dari
II-57
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
perubahan output maka asas ini disebut asas akselerasi. Karena Kt – Kd atas dapat dirubah menjadi:
t-1
maka persamaan di
Kt+1 = α Yt-1 Sehingga diperoleh persamaan: It = Kt – Kd t-1 = α (Yt - Yt-1 )
(L-9-3)
Terdapat dua pendekatan, pendekatan pertama mengasumsikan bahwa α adalah konstan dan kedua menggangap adalah suatu fungsi dari biaya kapital. Kelemahan teori ini adalah tidak secara eksplisit menyatakan suku bunga berpengarayuh terhadap investasi. Sebagaimana disebutkan teori-terori sebelumnya, suku bunga berperan besar dalam menentukan keinginan investasi. Untuk itu, beberapa ekonom memformulasikan investasi dengan persamaan sederhana sebagai: I = I (i, DY)
(L-9-4)
Dimana i adalah suku bunga dan DY adalah perubahan output. Namun demikian dalam model ini kami mengasumsikan bahwa DY kami asumsikan sebagai GDP potensial atau dengan kata lain bahwa dunia usaha berinvestasi tidak berdasar perhitungan jangkan pendek tetapi jangka panjang. GDP potensial kami dekati sebaga trend yang dihitung menggunakan formula HodricPrescott filter.
HASIL PERHITUNGAN
Dari hasil perhitungan regresi Y = c0 + c1.HPTGDPRt-1+ c2.RITDt-2 + AR(1) dimana :
Y adalah GDP, HPTGDPRt-1 adalah perhitungan HP-Trend yang digunakan sebagai proksi terhadap potensial GDP RITDt-2 adalah suku bunga deposito
Diperoleh hasil sebagai berikut:
II-58
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Dependent Variable: IR Method: Least Squares Date: 08/03/01 Time: 14:12 Sample(adjusted): 1983:4 2000:1 Included observations: 66 after adjusting endpoints Convergence achieved after 9 iterations Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C HPTGDPR(-1) RITD(-2) AR(1)
-2983.620 0.344920 -196.5046 0.820832
5146.585 0.064587 68.30341 0.083625
-0.579728 5.340384 -2.876938 9.815684
0.5642 0.0000 0.0055 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.946049 0.943438 1890.792 2.22E+08 -589.5403 1.886818
Inverted AR Roots
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
19071.39 7950.274 17.98607 18.11878 362.3950 0.000000
.82
40000 30000 10000
20000
5000
10000 0
0
-5000 -10000 84
86
88 Residual
90
92
94 Actual
II-59
96
98 Fitted
00
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
KONSUMSI SEMEN SEBAGAI LEADING INDIKATOR SEKTOR KONSTRUKSI ABSTRAK
Sebagian besar kegiatan sektor konstruksi membutuhkan semen. Umumnya kebutuhan semen sangat tinggi pada awal atau pertengahan aktivitas konstruksi. Dengan demikian, konsumsi semen berpotensi untuk dijadikan leading indikator kegiatan konstruksi.
HASIL PERHITUNGAN
Dari hasil regresi data pertumbuhan sektor konstruksi terhadap konsumsi semen diperoleh: Dependent Variable: GKONSTRUKSI METHOD: LEAST SQUARES Date: 08/03/01 Time: 12:21 Sample(adjusted): 1995:3 2000:4 Included observations: 22 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GSEMEN(-1) DUMMY
2.513662 0.306702 -5.615698
2.689999 0.097812 3.360585
0.934447 3.135614 -1.671048
0.3618 0.0054 0.1111
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.396514 0.332989 7.581795 1092.189 -74.17051 1.552584
II-60
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.262791 9.283367 7.015501 7.164279 6.241868 0.008248
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
30 20 10 0 20
-10
10
-20 -30
0 -10 -20 95:3
96:1
96:3
97:1
97:3
98:1
Residual
98:3 Actual
99:1
99:3
00:1
00:3
Fitted
Arah persamaan tampak sudah benar, yaitu pertumbuhan konsumsi semen pada waktu T sebesar satu persen akan diikuti pertumbuhan sektor konstruksi sebesar 0,35 persen. Namun konstata termasuk dummy memiliki tingkat kepercayaan yang rendah. Mengingat, hasil uji lain memberikan angka yang cukup baik termasuk DW test, yang mengindikasikan tidak terdapatnya serial corelation. Maka dengan demikian, meskipun tidak memuasakan hasil regresi ini kami dapat digunakan.
II-61
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
IHK SEBAGAI LEADING INDICATOR PDB DEFLATOR ABSTRAK
Untuk mengkonversi hasil proyeksi ekonomi riil (GDP riil) ke dalam nilai nominal dibutuhkan perkiraan GDP deflator. Mengingat bahwa komponen pengeluaran terbesar dalam GDP adalah konsumsi maka digunakan elastisitas inflasi terhadap GDP deflator sebagai dasar perhitungan perkiraan GDP deflator.
HASIL PERHITUNGAN
Dari hasil regresi double log GDP deflator terhadap indeks harga konsumen (CPI) diperoleh elastisitas sebesar 0,96 yang artinya kenaikan 1 persen CPI akan menyebabkan kenaikan 0,96 persen GDP deflator. Dummy diberikan untuk kondisi saat krisis ekonomi terjadi yaitu triwulan III/1997 yang diperkirakan terjadi perubahan komposisi komponen pengeluaran. Regresi ini menggunakan data triwulanan tahun 1983 hingga 2000. Dependent Variable: LOG(DEFLATOR) Method: Least Squares Date: 08/03/01 Time: 09:19 Sample(adjusted): 1987:2 2000:4 Included observations: 55 after adjusting endpoints Variable C LOG(CPI(-1)) DUMMY R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient 0.199744 0.961697 0.052884
Std. Error
t-Statistic
0.069585 0.013896 0.004713 0.991017 Mean dependent var 0.990671 S.D. dependent var 0.050492 Akaike info criterion 0.132572 Schwarz criterion 87.72741 F-statistic 1.968496 Prob(F-statistic)
II-62
2.870511 69.20770 11.22018
Prob. 0.0059 0.0000 0.0000 5.051482 0.522767 -3.080997 -2.971506 2868.228 0.000000
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
6.5 6.0 5.5 0.2
5.0
0.1
4.5
0.0
4.0
-0.1 -0.2 -0.3 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 Residual
Actual
Fitted
Dari plot data residual tampak bahwa terdapat kemungkinan masalah heteroskedasitas. Untuk itu perlu dilakukan uji White, dengan hasil seperti berikut: T ABEL L-11-1 W HITE H ETEROSKEDASTICITY T EST F-statistic Obs*R-squared
4.87213944288 15.4251392144
Probability Probability
0.00213859000517 0.0038960079923
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares DATE: 08/03/01
TIME: 09:31
Sample: 1987:2 2000:4 Included observations: 55 Variable C LOG(CPI(-1)) (LOG(CPI(-1)))^2 DUMMY DUMMY^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-0.519385885181 0.214963334154 -0.0221322454266 0.0286522712164 -0.00260839244031
0.163000259428 0.0649660527986 0.00646691684164 0.00725325236781 0.000656129353457
-3.18641140207 3.3088563164 -3.42237977828 3.95026531044 -3.97542409369
0.00248303799277 0.00174183303144 0.00124626457626 0.00024512602232 0.000226259894565
0.280457076625 0.222893642755 0.00940788877773 0.00442541856271 181.220779668 2.29437047907
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
II-63
0.00241039490289 0.0106721505601 -6.40802835156 -6.22554351654 4.87213944288 0.00213859000517
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Selanjutnya untuk menghilangkan pengaruh heteroskedastisitas dilakukan koreksi terhadap model dengan menggunakan metode regresi Weighted Least Square dan diperoleh elastisitas sebesar 0,9642. Dependent Variable: LOG(DEFLATOR) Method: Least Squares Date: 08/03/01 Time: 09:43 Sample(adjusted): 1987:2 2000:4 Included observations: 55 after adjusting endpoints Weighting series: 1/LOG(CPI(-1)) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 0.187487549318 0.068638727543 2.73151260272 LOG(CPI(-1)) 0.964152670624 0.0139555752294 69.0872754994 DUMMY 0.052856856743 0.00454507390062 11.629482358 Weighted Statistics R-squared 0.722309138595 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.711628720849 S.D. dependent var S.E. of regression 0.0471915424018 Akaike info criterion Sum squared resid 0.115806167062 Schwarz criterion Log likelihood 91.4455733933 F-statistic Durbin-Watson stat 1.96056345549 Prob(F-statistic) Unweighted Statistics R-squared 0.991010875574 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.990665140019 S.D. dependent var S.E. of regression 0.0505082299465 Sum squared resid Durbin-Watson stat 1.97015490326
II-64
Prob. 0.00858985647135 7.74732435446e-53 4.39423575988e-16 5.00281896499 0.0878796199469 -3.21620266885 -3.10671176784 2876.06956373 0 5.0514822964 0.522767096642 0.132656227201
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
MODEL NILAI TUKAR ABSTRAK
Berdasarkan pendekatan moneter, faktor faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar adalah keseimbangan yang terjadi antara fungsi permintaan uang dan fungsi penawaran uang. Berdasarkan pendekatan ini disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar adalah perbedaan jumlah uang beredar antara dalam negeri dan luar negeri; perbedaan pendapatan riil dalam negeri dan luar negeri; dan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri.
L A N DA S A N T E O R I
Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar dapat dilihat melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan neraca pembayaran (lebih sering disebut Keynes Approach); pendekatan moneter (Monetary Approach); dan pendekatan keseimbangan portofolio (Portfolio Balance Approach). Dalam pendekatan moneter (Monetary Approach), untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar dilandasi oleh permintaan dan penawaran uang. Sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi permintaan uang dan fungsi penawaran uang. Pendekatan ini didasari dengan cara menggabungkan antara teori kuantitas uang (Quantity Theory of Money) dan doktrin paritas daya beli (Purchasing Power Parity). Fungsi permintaan uang adalah sebagai berikut: Mdt/Pt = L (Yt, Rt). Dalam bentuk natural logarithm persamaan ini dapat ditulis menjadi mdt = pt + - Μyt + 8rt , Bila permintaan uang (Ms) = penawaran uang (Md), maka didapatkan persamaan L-12-1 untuk kondisi keseimbangan didalam negeri dan persamaan 2 untuk kondisi keseimbangan luar negeri (*), yaitu: mst = pt + Μyt - 8rt ms*t = p*t + Μy*t - 8r*t
(L-12-1) (L-12-2)
Dimana mst; ms*t; pt; p*t; yt; y*t ; yt; rt dan r*t berturut-turut adalah jumlah uang beredar dalam negeri; jumlah uang beredar luar negeri; harga dalam negeri; harga luar negeri; pendapatan nasional rill dalam negeri; pendapatan nasional riil luar negeri; tingkat bunga dalam negeri dan tingkat bunga luar negeri. Dikarenakan nilai tukar yang akan dilihat adalah Rp/US$ maka dalam negeri adalah Indonesia; dan luar negeri yang dimaksud adalah USA.
II-65
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Berdasarkan doktrin paritas daya beli: Et = Pt/P*t. . Dalam bentuk natural logarithm maka dapat ditulis menjadi Persamaan (L-12-3), yaitu: et = pt - p*t
(L-12-3)
dimana et adalah nilai tukar spot nominal. Dengan mengkombinasikan persamaan (L-12-1); (L-12-2); dan (L-12-3) maka didapatkan persamaan (L-12-4), yaitu: et = (mdt - md*t) - Μ (yt - y*t) + 8 (rt - r*t)
(L-12-4)
Sehingga berturut turut berdasarkan persamaan (L-12-4), berdasarkan pendekatan moneter, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar adalah: perbedaan jumlah uang beredar antara dalam negeri dan luar negeri (mdt - md*t); perbedaan pendapatan riil dalam negeri dan luar negeri (yt - y*t); dan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (rt - r*t).
A S U M S I YA N G D I G U NA K A N
Persamaan (L-12-4) diatas berdasarkan beberapa asumsi dasar yang dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pendekatan moneter ini tidak menekankan aliran perdagangan (current account) dan aliran modal (capital account) sebagai faktor kunci dalam menentukan perubahan nilai tukar sebagaimana pendekatan neraca pembayaran (Keynes Approach). b. Faktor faktor yang mempengaruhi nilai tukar hanyalah fenomena moneter semata-mata yaitu permintaan dan penawaran uang. c. Parameter Μ dan 8 diasumsikan sama untuk dalam negeri dan luar negeri. d. Berlakunya doktrin paritas daya beli.
H A S I L YA N G D I H A R A P K A N M E N U RU T T E O R I
Berdasarkan pendekatan moneter maka hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut: a. Model ini memprediksikan bahwa kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan kenaikan harga domestik secara proporsional, dan oleh karena itu melalui doktrin paritas daya beli akan mendorong terjadinya depresiasi mata uang domestik. b. Hubungan antara nilai tukar dan pendapatan riil relatif adalah negatif. Adanya kenaikan pendapatan riil domestik menyebabkan kelebihan permintaan uang; sehingga untuk mencapai tingkat keseimbangan (tanpa melakukan perubahan jumlah uang beredar) hanya dapat dipenuhi dengan dengan penurunan harga domestik. Sehingga berdasarkan doktrin paritas daya beli, penurunan harga domestik akan menyebabkan apresiasi mata uang domestik. II-66
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
c. Model ini memprediksikan bahwa semakin tinggi perbedaan suku bunga akan menyebabkan turunnya permintaan akan uang domestik, yang pada gilirannya menyebabkan depresiasi mata uang domestik, sehingga koefisisen perbedaan suku bunga bertanda positip.
DA TA YA N G D I G U NA K A N
Periode waktu yang digunakan adalah kurun waktu 1997 hingga tahun 2000 dengan menggunakan data bulanan. Digunakannya data sejak tahun 1997 ini dikarenakan Indonesia sejak Juli 1997 telah mulai menganut floating exchange rate regime. Dikarenakan data untuk GDP yang ada hanyalah data triwulananan, maka digunakan Wholesale Price Index sebagai indikator untuk mengisi data bulanan GDP baik untuk Indonesia maupun USA. Berikut ini adalah data mentah yang digunakan berikut sumbernya: T ABEL L-12-1 D ATA DAN S UMBER D ATA Keterangan Nilai Tukar Nominal Pendapatan Nasional Nominal Indonesia Pendapatan Nasional Nominal USA Jumlah Uang Beredar Indonesia
Data Yang Digunakan Data Akhir Bulanan GDP Nominal Triwulanan GDP Nominal Triwulanan Uang Dalam arti sempit (M1)
Jumlah Uang Beredar USA Tingkat Suku Bunga Indonesia
Uang Dalam Arti sempit (M1) Tingkat Suku Bunga Bank Rata-rata 3 bulan Discount Rate
Tingkat Suku Bunga Indonesia
Indeks Harga Baik Untuk Indonesia dan Consumer Price Index; Whole Price USA Index
Sunber IFS BPS IFS BI IFS BI IFS IFS
HASIL PENGUJIAN
Dengan menggunakan OLS sederhana maka didapatkan persaman nilai tukar dengan pendekatan moneter, yaitu: a. Pengaruh perbedaan jumlah uang beredar antara Indonesia dan USA; perbedaan pendapatan nasional riil antara Indonesia dan USA; perbedaan suku bunga Indonesia dan USA telah menunjukkan direction sebagaimana yang diharapkan dalam teori. b. Bila dilihat dari tingkat signifikansi pengaruh independent variables terhadap dependent variable, nilai t statistik untuk perbedaan jumlah uang beredar tidak terlalu tinggi yaitu 1,228. Sedangkan untuk independent variable lainnya sagat signifikan.
II-67
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
c. Kemampuan prediksi sangat tinggi, hal ini terlihat dengan nilai R2 = 0,994 adjusted R2 = 0,993. d. Nilai Durbin-Watson sebesar 1,16 tidak dapat digunakan untuk menguji ada tidaknya serial korelasi untuk persamaan ini. Mengingat salah satu independent variable -nya merupakan lag variable dari dependent variable nya yaitu e (-4). Sehingga alat uji yang relevan untuk melihat serial korelasi untuk persamaan ini adalah dengan uji LM serial korelasi. Uji LM ini membandingkan nilai Obs* R-squared dengan nilai Chi-squared pada df yang sama dengan nilai lagnya. Bila didapatkan nilai Obs*R-squared lebih besar dari pasa Chi-squared dengan df terntentu, maka dapat disimpulkan tidak terdapat serial korelasi. e. Hasil regresi terlihat sebagai berikut: Dependent Variable: E Method: Least Squares Date: 08/06/01 Time: 13:11 Sample(adjusted): 1997:05 2000:12 Included observations: 44 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 5.097340 0.569953 8.943442 DM1 0.129615 0.105485 1.228746 DY -0.812732 0.026819 -30.30415 DR 0.002402 0.001028 2.337133 E(-4) -0.129207 0.028416 -4.546989 R-squared 0.994382 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.993806 S.D. dependent var S.E. of regression 0.033980 Akaike info criterion Sum squared resid 0.045030 Schwarz criterion Log likelihood 89.02812 F-statistic Durbin-Watson stat 1.165448 Prob(F-statistic)
Prob. 0.0000 0.2265 0.0000 0.0247 0.0001 8.876850 0.431745 -3.819460 -3.616711 1725.746 0.000000
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
5.047154 16.09570
f. Hasil Forecasting Secara lengkap terlihat hasil proyeksi perkiraan nilai nominal Rp/US$ selama tahun 2001. Terlihat bahwa Rp terus mengalami depresiasi terhadap US$ tiap bulannya sebesar 2%.
II-68
STUDI PENGEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Tahun 2001
Hasil Proyeksi Nilai Tukar Nominal
2001.1 2001.2 2001.3 2001.4 2001.5 2001.6 2001.7 2001.8 2001.9 2001.1 2001.11 2001.12
9744.02933 9877.453356 10094.95426 10292.11143 10510.13176 10739.5772 10962.95345 11195.02766 11430.1628 11669.82816 11916.66357 12168.75646
10.0 Forecast: EF Actual: E Sample: 1997:05 2001:12 Include observations: 44
9.5
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
9.0
8.5
8.0
7.5 97:07 98:01 98:07 99:01 99:07 00:01 00:07 01:01 01:07 EF
± 2 S.E.
II-69
0.031162 0.024050 0.272109 0.001753 0.000047 0.002008 0.997945