Proses Pemilihan Pasangan dan Hidup Melajang Pada Seorang Wanita Karir di Jakarta Dea Adlina Krisna Putri Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak
Jumlah wanita hidup melajang semakin bertambah dewasa ini dan lebih menonjol terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta contohnya. Beberapa studi yang telah ada (baik kuantitatif maupun kualitatif) menunjukkan bahwa wanita yang hidup melajang lebih disebabkan karena faktor individual atau kesibukan karir, atau dengan kata lain lebih karena keputusan individu atau karena struktur, namun studi ini ingin menunjukkan bahwa fenomena ini justru lebih disebabkan oleh beberapa hal yaitu: jalur pengenalan yang tidak lengkap, jumlah unit sosial dimana ia tergabung menjadi anggota juga sedikit, aktivitas sosialnya rendah, serta tidak adanya tekanan kolektif yang memaksanya untuk segera menikah. Sehingga studi ini pun juga menunjukkan bahwa struktur dan keputusan individu sama-sama memiliki peran dalam menyebabkan wanita masih hidup melajang.
Kata Kunci : Struktur Sosial, Jalur Pengenalan, Unit Sosial, Aktivitas Sosial, Tekanan Kolektif.
Pendahuluan Di Indonesia, jumlah wanita melajang semakin bertambah, fenomena ini terdapat di masyarakat dan jauh lebih menonjol terdapat di perkotaan daripada di pedesaan. Mengapa lebih banyak terdapat di perkotaan karena di desa-desa yang ada di Indonesia justru lebih banyak dijumpai fenomenasebaliknya yaitu nikah muda, seperti hasil dari penelitian LPMPS Sosiologi FISIP UI (2011) mengenai tingginya kecenderungan wanita untuk melakukan kawin muda di desa. Media pun belakangan ini juga memiliki banyak peranan dalam memberikan berbagai macam informasi, termasuk informasi mengenai wanita karir yang menunda untuk menikah. Seperti berita yang penulis dapatkan dari wolipop.com dengan judul “4 Alasan Wanita Menunda untuk Menikah”, dan metrotvnews.com dengan judul “Hai Wanita, Pilih Karir atau Cinta?”, kedua artikel tersebut menggambarkan bahwa banyak wanita modern yang lebih mementingkan pendidikan serta karir daripada hubungan percintaan. Kesibukan mereka membuat mereka terlambat menikah atau sengaja menunda pernikahan. Tidak sedikit wanita yang membuat keputusan menunda pernikahan demi mengeksplor dunia karir mereka. Fenomena wanita hidup melajang ini pun lebih banyak dijumpai di kota-kota besar, terutama mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam karir dan pendidikan seperti Jakarta. Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia dan merupakan salah satu kota besar di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai ibu kota negara saja, melainkan juga menjadi pusat perekonomian, budaya, serta pendidikan. Saat ini Jakarta semakin tumbuh kuat dengan pertumbuhan ekonominya juga menyebabkan laju pertambahan jumlah penduduk. Pendapatan masyarakat di kota metropolitan Jakarta selama tahun 2011 dinilai naik 5,5 persen dibandingkan tahun 2010. Begitu pula dengan jumlah tenaga kerja yang meningkat 3 persen pada periode yang sama (VIVAnews.com, 2012). Peningkatan jumlah tenaga kerja ini juga diimbangi dengan peningkatan jumlah tenaga kerja wanita. Kesempatan kerja bagi wanita semakin lama semakin terbuka lebar serta semakin bertambah banyak secara kuantitatif, sehingga menyebabkan semakin banyaknya wanita yang masuk ke pasar kerja, terutama di kota Jakarta. Wanita memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat (VIVAnews.com, 2012). Pekerjaan yang sekarang dimiliki wanita tidak lagi terkonsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan rendah, kasar seperti pembantu rumah tangga atau Sales Promotion Girl (SPG), namun banyak pekerjaanpekerjaan lain yang memiliki prestise yang dahulunya biasa dipercayakan dijabat oleh kaum laki-laki, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang memiliki posisi „tinggi‟ seperti (minimal) manager, direktur, atau bahkan pemegang saham. Posisi-posisi tersebut dapat dikategorikan tinggi karena bersifat leading, desisif, mengatur, sudah membawahi dan memimpin karyawan lain yang ada di bawahnya. Hal ini juga terkait dengan pendidikan yang tinggi yang dimiliki oleh wanita karir tersebut (seperti sarjana, magister, doktor), dimana semakin tinggi pendidikan akan semakin besar partisipasinya dalam angkatan kerja. Disamping itu, menurut Ananta (2000) kesempatan yang lebih terbuka pada wanita untuk melanjutkan pendidikannya membawa konsekuensi untuk tidak segera memasuki jenjang perkawinan. Sehingga timbul gejala lain yang menonjol sebagai tren di kota-kota besar pada umumnya dan Jakarta pada khususnya, yaitu penundaan perkawinan. Seperti yang terjadi pada seorang wanita karir yang bekerja di suatu perusahaan yang ada di Jakarta memiliki posisi manager, dan berusia 37 tahun namun belum juga menikah. Kesimpulan tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sehingga, dengan berdasarkan data-data diatas, maka penelitian ini ingin mengetahui apa yang menyebabkan ada wanita yang bekerja di sebuah perusahaan dan memiliki posisi tinggi (manager) berusia diatas 35 tahun namun masih hidup melajang di kota Jakarta, serta manakah yang lebih berperan dalam mempengaruhi wanita tersebut untuk hidup melajang, pilihan individu itu sendiri, struktur, atau bahkan keduanya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu melalui wawancara mendalam maupun observasi langsung di tempat pelaksanaan penelitian. Wawancara mendalam dilakukan secara partisipatif, artinya penulis ikut bergabung bersama-sama dengan informan dalam aktivitasnya sembari melakukan percakapan, sedangkan observasi adalah menangkap semua gejala dan fakta yang ada di lapangan dengan menggunakan lima panca indera. Penelitian ini bisa dikatakan studi kasus karena subjek penelitiannya hanya satu orang dimana menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu peristiwa tertentu. Sehingga dalam studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalam, yaitu seorang wanita berinisial KT yang sekaligus menjadi
informan dalam penelitian ini, karena semua data sebagian besar berasal dari dirinya, sehingga KT pun juga bisa disebut sebagai kasus. Yang khas dari informan KT sehingga dipilih oleh penulis adalah karena ia memenuhi kriteria, yaitu tinggal di Jakarta, sekarang ini bekerja di Bank Mandiri dan memiliki posisi sebagai Manajer di bagian Financial Planning and Control, serta di usianya yang ke 37 tahun ini ia belum juga menikah.
Tinjauan Pustaka Terdapat studi-studi yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai wanita yang hidup melajang, seperti yang dilakukan oleh Bunga Larasati (2005) dimana penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana wanita bekerja usia 30 tahun ke atas yang masih lajang memandang status lajangnya dan bagaimana dinamika dan konsekuensi psikologis yang dialami wanita tersebut. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang membuat wanita bekerja usia 30 tahun ke atas yang sudah mapan masih melajang, ditinjau dari sudut pandang teori psikologi perkembangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode kasus deskriptif eksploratoris. Proses analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik penjodohan pola (pattern matching). Hasil dari penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana cara wanita bekerja usia 30 tahun ke atas yang masih lajang memandang status lajangnya, dan ternyata mereka memandang diri dan hidupnya secara positif. Kecenderungan lajang pada wanita bekerja ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kesibukan bekerja, kenaikan kriteria seiring dengan peningkatan karir, orang tua yang terlalu berorientasi prestasi, dan ketakutan akan keterikatan. Lalu penelitian yang dilakukan oleh Lukita Sari Dewi (2010), dengan metode kuantitatif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ekspektansi karir pada wanita karir lajang. Ekspektansi karir dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor prestasi kerja, status sosial, pengembangan karir, harapan hidup sejahtera, kenyamanan hidup, stimulasi yang menyenangkan, otonomi, afiliasi, harga diri, kesuksesan masa lalu, serta yang terakhir yaitu faktor kepercayaan diri. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita karir lajang yang bekerja di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 30 orang. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan menggunakan skala psikologis, yaitu skala ekspektansi karir yang kemudian dianalisis dengan teknik analisis persentase. Hasil penelitian menunjukkan diantara sebelas faktor yang mempengaruhi ekspektansi karir, faktor kepercayaan diri merupakan faktor yang memiliki kategori paling tinggi yang diikuti prestasi kerja, otonomi, afiliasi, harga diri, dan kesuksesan masa lalu. Sedangkan status sosial, pengembangan karir, harapan hidup sejahtera, kenyamanan hidup, dan stimulasi yang menyenangkan berada pada kategori sedang. Sedangkan faktor harapan hidup sejahtera merupakan faktor paling rendah yang mempengaruhi ekspektansi karir pada wanita karir lajang. Selanjutnya terdapat penelitian mengenai kemandirian pada wanita lajang oleh Liyanda Vinosa (2008), penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemandirian pada wanita karir yang hidup melajang serta mengapa wanita karir yang melajang ini menginginkan untuk hidup mandiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan Metode Fenomenologis dan melakukan wawancara mendalam. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan penandaan/pengkodean (coding). Dari hasil wawancara didapatkan gambaran mengenai kemandirian pada wanita karir yang melajang, yakni kemandirian instrumental atau kemandirian yang berfokus kepada tugas. Namun kemandirian emosional dirasakan kurang tampak dalam diri subyek. Hal ini dikarenakan masih minimnya kemandirian subyek dalam mengambil keputusan seorang diri. Selain itu, kemandirian wanita karir yang melajang diperoleh dari pengalaman – pengalaman masa lalu mereka. Dampak psikologis dari pengalaman masa lalu menyebabkan wanita karir melajang ini lebih mandiri dari sebelumnya. Sebagian besar penelitian yang serupa dengan topik penelitian ini cenderung dikaji dengan menggunakan teori Psikologi, penulis sejauh ini belum menemukan yang dikaji berdasarkan teori Sosiologi, sehingga untuk mengisi kekosongan studi Sosiologi khususnya bidang Gender dan Stuktur
Sosial, penulis mencoba melakukan studi ini dengan metode kualitatif dan mengakajinya dengan analisa Sosiologis. Pembahasan Profil Umum Informan Tabel. 1 Profil Umum Informan KT Nama Usia Posisi Agama Suku Status Berat Badan Tinggi badan Kulit
Style Domisili Bekerja di Jabatan Gaji
KT (inisial) 37 tahun Anak ke tiga dari tiga bersaudara Islam Jawa-Sunda Belum Menikah 65 kg 160 cm Putih Simple Feminin Cibubur & Kalibata BPPN (1999-2004) Bank Mandiri (2004-present) Manager >Rp.15.000.000,00/bulan
Untuk merahasiakan identitas yang sebenarnya subyek dalam penelitian ini, mari sebut saja dengan inisial KT, berusia 37 tahun. KT merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak NH dan Ibu SR. KT mempunya dua orang kakak perempuan bernama PT dan ST, dimana kakak pertamanya sudah berumah tangga dan dikaruniai dua orang anak, sedangkan kakak nomer dua, yaitu yang bernama ST belum menikah. KT beragama Islam, dan bersuku Jawa-Sunda, dimana ayah KT bersuku Sunda asli (tepatnya Bandung) dan ibunda KT bersuku Jawa (tepatnya Tegal dan Salatiga). KT merupakan seorang sarjana ekonomi lulusan Universitas Trisakti tahun 1999. Ia pernah bekerja di BPPN dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004, lalu ia pindah kerja ke Bank Mandiri (Sudirman, SCBD) dari tahun 2004 hingga sekarang. Saat ini ia menjabat sebagai Manager di bagian Financial Planning and Control (FPC) grup Strategy and Performance dan memiliki gaji yang berkisar Rp. 15.000.000-Rp. 20.000.000 perbulan. Hingga saat ini di usianya yang sudah hampir kepala 4, KT masih berstatus Single alias belum menikah. Ia tinggal bersama kakak kandungnya yang juga belum menikah di rumah peninggalan almarhumah Ibunya di daerah Cibubur, bersama satu orang pembantu rumah tangga. Rumah tersebut ia rombak menjadi rumah hunian minimalis yang sangat nyaman. Namun selain rumah di daerah Cibubur, KT juga memiliki satu kamar apartement yang terletak di daerah Kalibata (Kalibata Residence) yang ia beli sejak 3 tahun yang lalu seharga 165 juta rupiah untuk tujuan investasi dan sebagai tempat istirahat yang tidak permanen. Ia juga memiliki sebuah mobil Kijang Innova yang dibelinya pada tahun 2008, namun jika pergi bekerja ia jarang menggunakan mobil tersebut, karena ia lebih senang menggunakan taksi dengan alasan agar bisa istirahat selama diperjalanan. Informan pun juga memiliki gadget-gadget terbaru keluaran tahun 2011-2012, seperti iPhone, Samsung Galaxy, dan Nokia Lumia, karena menurut informan ia senang membeli gadget terbaru untuk mendukung pekerjaannya dan sebagai hiburan dikala bosan. Ini menunjukkan bahwa informan memiliki status sosial ekonomi menengah keatas. Informan tidak banyak berbicara dengan orang baru, di keluarga besar pun ia terkenal tidak terlalu banyak bicara, namun jika sudah kenal dan dekat dengannya ia merupakan sosok yang enak untuk
diajak mengobrol dan bertukar pikiran. Selain itu informan merupakan seorang yang santun dalam berbicara bukan orang yang cablak atau tidak dipikir dahulu sebelum bertindak dan berbicara. Berdasarkan penuturan dari kakak informan, bahwa KT merupakan seseorang yang pintar, pintar dalam pengertian memiliki wawasan yang luas dan enak untuk diajak bertukar pikiran. Dalam berbicara sehari-hari ia menggunakan bahasa Indonesia yang baik, bukan menggunakan bahasa sukunya baik itu Sunda atau pun Jawa. Informan memiliki tinggi badan 160 cm dan berat 65 kg serta memiliki kulit putih. Dalam hal berpakaian, informan bukanlah orang yang terlalu heboh, ia berpakaian sangat simple terutama jika bepergian yang santai seperti ke Mall atau sekadar hangout bersama teman-temannya, hanya mengenakan jeans dan atasan serta mengenakan jam tangan dan tas simple, tidak ada aksesoris-aksesoris dan make up heboh yang ia kenakan. Ia memiliki style yang cukup berbeda dengan kakaknya yang bernama ST, jika kakaknya berstyle „cukup tomboy‟, KT memiliki style feminin namun sangat simple. Barang-barang yang ia miliki bisa dikatakan barang-barang branded, seperti merk Charles and Keith, Zara, Guess, karena ia memiliki selera yang bisa dikatakan bagus dalam berpakaian dan berpenampilan, namun sekali lagi tetap simple, tidak heboh. Ia juga memiliki tempat hangout favoritnya seperti Mall Senayan City, Pacific Place, Grand Indonesia yang terletak di daerah Jakarta Selatan. Profil Keluarga Bisa dikatakan KT merupakan anak yang berasal dari keluarga broken home karena orang tuanya sudah bercerai sejak ia masih kecil yaitu ketika ia menginjak usia 7 tahun (kelas 2 SD). Sekarang ini bisa dikatakan KT merupakan anak Piatu, karena ibunda kandungnya sudah meninggal sejak tahun 2004. Ayahnya pun sudah menikah sebanyak 3 kali. Meskipun begitu ia tetap menyayangi ayahnya, terlebih karena ayahnya adalah satu-satunya orang tua yang ia miliki sampai sekarang, ia juga mengaggap ayahnya adalah seorang ayah yang hebat karena telah berhasil menyekolahkan ia dan kedua kakak kandungnya serta kelima saudara tirinya sampai menjadi sarjana, ia justru merasa salut karena ayahnya tidak pernah pilih kasih kepada anak-anak tirinya. Disamping itu, perceraian ayah dan ibu kandungnya tidak membuat KT trauma karena memang terjadi ketika usia KT masih sangat kecil, dan menurutnya tidak terlalu membekas buruk di hatinya dan kedua kakaknya. KT sangat dekat dengan ayah kandungnya yang masih hidup sampai saat ini, di akhir pekan, KT sering mengunjungi kediaman ayahnya (yang tinggal dengan istri ketiganya) di daerah Lebak Bulus. Biasanya ia menginap dan besok paginya berangkat kantor dari rumah ayahnya tersebut. Informan sangat sering telfon-telfonan dengan ayahnya untuk sekadar mengetahui kegiatan masing-masing, dalam sehari bisa 3 sampai 4 kali ia ditelfon atau menelfon ayahnya. Informan sangat sayang dengan ayahnya, sekarang apapun yang ia lakukan adalah untuk ayahnya, mulai dari hal yang paling kecil sampai yang paling besar. Kakak KT yang sampai sekarang tinggal dengannya juga masih berstatus single alias belum menikah, KT dan kakaknya sama-sama berkarir, jika KT memiliki jabatan sebagai manajer di bagian Financial Planning and Control Bank Mandiri, sedangkan kakaknya memiliki jabatan sebagai manajer HRD di salah satu restaurant ternama yang ada di Jakarta. Pandangan dirinya mengenai kakaknya yang masih single, ia melihat sebagai sesuatu yang biasa saja, karena memang kakaknya cukup tomboy dalam pergaulannya, dan ia melihat kakaknya sudah nyaman dengan kehidupan singlenya. Disisi lain penulis juga melihat pandangan keluarga baik keluarga inti maupun keluarga besar mengenai KT dan kakaknya yang masih single bahwa keluarga memandang sebagai hal yang biasa saja, wajar, dan tidak memalukan keluarga. Jika ada acara-acara keluarga besar seperti lebaran, ulang tahun atau perayaan tahun baru, sejauh yang penulis lihat sebagai bagian dari keluarga besar KT, bahwa ia dan kakaknya tidak pernah disindir atau dipaksa untuk segera memiliki pasangan hidup oleh keluarga inti dan keluarga besar. Profil Pertemanan KT kuliah di Trisakti jurusan Akuntansi, Semasa kuliah di Trisakti yaitu sekitar tahun 1996-1999, KT mempunyai kelompok bermain yang sering disebut “geng” yang anggotanya berjumlah sekitar 30 orang, namun rata-rata anggotanya adalah laki-laki, karena menurutnya teman KT semasa kuliah lebih banyak laki-laki daripada perempuan. KT merasa lebih nyaman bermain dengan kaum laki-laki, sedangkan jika bermain dengan kaum perempuan ia merasa kurang nyaman dan kurang nyambung. Tidak ada kriteria khusus untuk masuk ke dalam geng tersebut, menurutnya mereka-mereka yang tergabung dalam geng tersebut merupakan teman-teman main yang dekat saja. Rumah KT yang berada di Pancoran paling sering
manjadi “tempat singgah” untuk kumpul-kumpul, di dalam geng tersebut KT bertemu dengan seseorang yang bernama PR, yang akhirnya menjadi pacarnya selama kurang lebih 13 tahun, namun sekarang sudah tidak lagi menjadi pacarnya, karena hubungan mereka telah kandas sejak tahun 2006. Lalu setelah lulus dari kuliah di Trisakti, KT bekerja di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan menurutnya bekerja di BPPN sangat menyenangkan karena bekerja disana tidak ada karir, tidak ada persaingan antara yang satu dengan yang lain, dan yang paling utama adalah karena ia memiliki teman-teman yang sangat menyenangkan, yang sebagian besar seumuran dengannya, dan rata-rata berasal dari Universitas-Universitas ternama di Ibu kota, yaitu Universitas Indonesia (FEUI) dan Trisakti. Pada awal bekerja di BPPN, ia bermain dengan siapa saja, namun seiring berjalannya waktu ia dekat dengan empat orang sahabat perempuannya yang bisa dikatakan peer groupnya, yaitu berinisial YS, DS, DN, dan YN. Mereka sering mengobrol di kantor melalui yahoo messenger atau melakukan conference call untuk membahas mau makan siang dimana, mereka juga sering keliling-keliling ketika jam istirahat, mencoba tempat-tempat baru untuk makan siang, seperti menjelajah di daerah Bendungan Hilir, Menteng, Senopati, Senayan (Plaza Senayan), dan Plaza Indonesia. Selain memiliki teman dekat perempuan yang tadi telah disebutkan, KT juga memiliki beberapa teman dekat laki-laki, ada sekitar empat orang, yaitu JH, IB, KM, SU, dan AD. Sepulang kantor KT, YS dan YN sering hangout bareng dengan “geng cowo” tersebut, seperti pergi ke Mall, nonton bioskop, atau mengopi-ngopi di cafe, terutama ketika bulan puasa, menurut informan setiap hari kerja mereka selalu buka puasa bersama diluar. KT sangat menikmati masa-masa ia bekerja di BPPN karena memang sangat menyenangkan dan membekas di hatinya. Namun sayang bekerja di BPPN hanya selama 5 tahun, karena memang dirancang untuk 5 tahun. Setelah keluar dari BPPN, ia kemudian melamar di Bank Mandiri, dan ternyata ia diterima. Di awal masuk, tepatnya di Bank Mandiri daerah SCBD Sudirman, ia bekerja di bagian Financial Institution (FICS), lalu setelah 4 tahun bekerja ia pun pindah ke bagian Financial Planning and Control. Jabatannya pun juga ikut naik dari officer menjadi manager. Lalu situasi berbeda justru ia temukan ketika ia mulai bekerja di Bank Mandiri, dimana menurutnya bekerja disana benar-benar terasa persaingannya antara satu karyawan dengan karyawan yang lain. Tidak seperti di BPPN yang tidak ada persaingan sehingga membuatnya nyaman bekerja disana. Selain itu seperti kontras dengan teman-teman yang ia temui di BPPN, ketika ia bekerja di Bank Mandiri, teman-teman yang ia temukan justru sangat berbeda karena menurutnya teman-teman di Bank Mandiri (terlebih di bagiannya) kurang pergaulan (kuper) dan jarak umurnya juga sangat jauh. Ketika berada di bagian Financial Institution (FICS), ia hanya dekat dengan YS, terutama karena YS memang sudah menjadi sahabat dekatnya semenjak di BPPN, lalu ketika ia pindah ke bagian Financial Planning and Control dan ketika YS memutuskan untuk resign dari Bank Mandiri, ia mengaku tidak memiliki sahabat yang sangat dekat lagi, semua teman-teman di bagiannya yang sekarang menurutnya sama saja, tidak ada yang spesial seperti di BPPN. Inilah yang sering membuat informan merasa kurang nyaman bekerja di tempatnya yang sekarang, dan seringkali merindukan masa-masa bekerja di BPPN dimana ia bisa merasa sangat nyaman dan menemukan teman-teman yang menarik, seumuran, dan bisa dikatakan “gaul”. Selain itu menurutnya, bekerja di bagian FPC sangatlah tidak enak. Yang membuat informan merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya sekarang ini karena ia bekerja sangat sibuk bahkan sampai harus lembur-lembur jika sedang ada project, ia sering pulang larut bahkan sampai harus menginap di kantor, inilah yang membuat ia banyak menghabiskan waktunya di kantor dan membuatnya tidak bisa lagi hangout atau jalan-jalan ke Mall, sehingga bisa dikatakan aktivitas sosialnya menjadi rendah. Jalur pengelanan
Pada kerangka pembahasan di atas, jalur pertama yang berada di tengah dinamakan jalur alamiah, yaitu jalur yang di dalamnya terdapat unit-unit sosial yang melekat pada individu seiring bertambahnya usia, serta terdapat kegiatan utama yang dilakukan bersama secara rutin. Unit-unit sosial yang dimaksud dalam jalur alamiah contohnya seperti keluarga, tetangga, teman sekolah (SD, SMP, SMA), teman perguruan tinggi, rekan kerja, dan keluarga besar, dimana seseorang bisa mendapatkan pasangan yang berasal dari teman satu kompleks (tetangga), teman satu sekolah, teman satu kantor, dan lainnya. Orangorang pada umumnya cenderung mendapatkan pasangan pada jalur alamiah ini, karena mereka bersama dengan unit sosialnya cenderung melakukan aktivitas bersama dan adanya interaksi yang rutin, sehingga pada akhirnya menghasilkan sentimen-sentimen yang dapat memungkinkan seseorang untuk menjalin hubungan, seperti hubungan percintaan atau yang sering disebut sebagai “pacaran” atau “jadian”. Pada dasarnya penjelasan analitik ini mengikuti pemikiran Homans yang mengasumsikan bahwa suatu hubungan intim berkembang dari aktivitas, diikuti oleh interaksi lalu menghasilkan sentimen (Homans : 1950), sehingga setiap unit sosial berpotensi untuk memberikan pasangan (atau memberikan pilihanpilihan pada seseorang untuk menjalin cinta) jika terdapat aktivitas bersama yang melibatkan individu, dan pada akhirnya menimbulkan interaksi lalu menghasilkan emosi atau sentimen. Jalur kedua yaitu yang dinamakan jalur pengembangan. Peluang seseorang untuk mendapatkan pasangan akan lebih besar lagi jika ia memiliki dan dapat memanfaatkan jalur pengembangan ini, yaitu jalur yang di dalamnya terdapat unit-unit sosial yang masih memiliki relasi dengan unit sosial yang ada di jalur alamiah (merupakan pengembangan dari jalur alamiah) seperti relasi keluarga, relasi tetangga, relasi teman sekolah dan perguruan tinggi, serta relasi rekan kantor. Relasi dari setiap unit sosial tersebut juga akan memberi peluang untuk mendapatkan pasangan, karena seakan meluaskan kemungkinan yang ada. Misalnya seperti seseorang yang berpacaran dengan saudara temannya, atau teman keluarganya, dan sebagainya. Peluang tersebut akan semakin besar lagi jika ia memiliki dan memanfaatkan jalur ketiga yang dinamakan jalur khusus, yaitu jalur lain diluar jalur alamiah dan jalur pengembangan. Dimana di dalamnya terdapat unit-unit sosial yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan unit-unit sosial yang ada di dalam jalur alamiah dan jalur pengembangan, seperti kelompok musik, kelompok les, kelompok hobi, kelompok social media, dan sebagainya. Contohnya yaitu seorang individu mendapatkan pasangan dari kelompok
bimbingan belajar diluar sekolah. Sedemikian sehingga secara keseluruhan ia memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk mendapatkan pasangan, karena unit-unit sosial yang dilibatkan menjadi jauh lebih besar. Semakin banyak jalur yang dimiliki seseorang, serta semakin banyak unit sosial dimana ia menjadi anggota dan mengikuti kegiatan2 di dalamnya, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk memiliki pasangan, dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan ketiga jalur yang sudah dijelaskan di atas, untuk mendapatkan jodoh, informan KT cenderung hanya memanfaatkan jalur alamiah, karena orang-orang yang ia sukai, yang menyukai dirinya, orang yang menyukai dan disukai balik olehnya, serta yang menjadi pacarnya lebih banyak berasal dari jalur alamiah, sedangkan pada jalur pengembangan dan jalur khusus kurang ia manfaatkan. Lalu jika dilihat dari pola yang menggambarkan orang-orang (lawan jenis) yang dekat dengannya, terlihat bahwa polanya cenderung naik sampai satu titik lalu turun. Dimana polanya mirip seperti pohon cemara, yang menggambarkan perjalanan hidup terutama pada kaum wanita bahwa pada pada awal usia produktif yaitu usia 15 tahun unit-unit sosial bertambah banyak sampai satu titik usia tertentu, lalu semakin lama menjadi semakin berkurang. Tentunya kita tidak bisa mengatakan pembahasan ini berlaku dan bisa digeneralisasikan bagi semua wanita, namun ini menjadi ideal type wanita, yang berbeda dari kaum laki-laki pada umumnya, dimana untuk kaum laki-laki bisa diilustrasikan menjadi seperti pohon cemara terbalik, maksudnya yaitu dari awal usia produktif unit-unit sosial beserta orang-orang yang potensial di dalamnya akan terus berkembang dan seakan tidak ada batas. Gambar 1. Pohon Cemara yang Diilustrasikan Seperti Perjalanan Hidup Wanita, serta Pohon Cemara Terbalik Bagi Pria
Jalur Pengenalan, unit-unit sosial, orang-orang yang potensial
Wanita
Pria
Sumber : google.com Seperti pada contoh gambar di atas, batang pada pohon di atas menunjukkan perkembangan usia seorang individu, lalu daun dan rantingnya menunjukkan jalur pengenalan yang ia miliki, serta unit-unit sosial dimana ia bergabung dan menjadi angggota di dalamnya. Pada kaum wanita, terlihat bahwa semakin lama ranting dan daunnya semakin lama akan semakin berkurang, yang berarti jalur pengenalan, jumlah unit sosial, serta jumlah orang-orang yang potensial menjadi semakin berkurang, sedangkan bagi kaum
laki-laki sebaliknya, seiring bertambahnya usia, semakin lama justru semakin bertambah banyak daun dan rantingnya, yang berarti jalur pengenalan, jumlah unit sosial, serta jumlah orang-orang yang potensial di dalamnya semakin bertambah. Pria sebagai makhluk yang relatif individualis, cenderung tidak menetapkan batasan pada ruang perjodohannya, sehingga ruang perjodohannya seiring dengan perkembangan usia akan semakin terbuka lebar, di sisi lain, wanita sebagai makhluk sosial mempertimbangkan masyarakat dalam dirinya, maka dia membuat batasan-batasan dalam dirinya, mana yang boleh dan yang tidak boleh masuk dalam kriterianya, sehingga tanpa sadar wanita cenderung mendefinisikan ruang perjodohannya menjadi lebih kecil. Serta seringkali kita melihat lebih banyak janda yang bertahan hidup sendiri daripada duda, atau mendengar perkataan bahwa “wanita lebih bisa tahan menjanda daripada laki-laki yang menduda”. Hal ini pun karena seiring bertambahnya usia, wanita sudah malas untuk berhubungan sexual, terlebih ketika mulai memasuki usia menopause, tidak seperti kaum laki-laki yang seakan “tidak ada batasnya”. Tentunya sekali dikatakan bahwa penjelasan ini tidak bisa digeneralisasikan kepada semua perempuan dan laki-laki, namun ini hanya merupakan ideal type-nya saja. Berbicara mengenai mobilitas vertikal, dimana mobilitas vertikal informan KT bisa dikatakan meningkat atau naik seiring dengan bertambahnya usia, bahwa informan dari usia 5 tahun merupakan seorang pelajar sampai usia 18 tahun (pelajar TK, SD, SMP, dan SMA), setelah lulus SMA dan melanjutkan kuliah, ia menjadi seorang mahasiswa sampai usia 23 tahun, lalu setelah lulus kuliah ia menjadi seorang pegawai kantor (staff) sampai usia 32 tahun, dan diusia 33 tahun ia menjabat sebagai seorang manajer sampai sekarang usianya menginjak 37 tahun. Sehingga dapat terlihat dari bagan di atas adanya peningkatan mobilitas vertikal yang signifikan yang terjadi pada informan KT. Lalu berdasarkan pengalaman hidup informan KT, ia pun juga mengalami mobilitas spasial. Seperti yang bisa dilihat dari tabel, dari kecil sampai remaja, ia selalu berpindah-pindah tempat tinggal serta sekolahnya, karena sering mengikuti ayahnya yang berdinas di luar kota, terutama ketika ia SD, frekuensi pindahnya sangat tinggi sampai dengan ia SMP, namun berhenti ketika ia mulai masuk SMA, ia sudah tinggal di Pancoran bersama ayah dan kakak kandung beserta ibu dan saudara tirinya. KT tinggal di Pancoran cukup lama, dari tahun 1991 sampai 2005. Tahun 2006 ia akhirnya pindah ke Cibubur sampai sekarang. Mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal (spasial) dapat mempengaruhi beberapa perubahan, seperti unit-unit sosial seseorang yang berpeluang untuk memberikan pasangan, jalur pengenalan, dan jumlah orang-orang yang potensial seiring dengan bertambahnya usia, dimana mobilitas sosial dan mobilitas spasial membawa implikasi kepada penambahan atau justru pengurangan hal-hal tersebut. Seperti contohnya, seseorang yang sebelumnya merupakan pelajar SMA lalu ketika ia masuk ke perguruan tinggi dan menjadi seorang mahasiswa tentu unit sosialnya berubah, jika ia mudah bergaul, maka bisa bertambah jalur pengenalannya serta unit sosialnya, bisa dengan mengikuti kegiatan BEM, atau dengan mengikuti unit kegiatan kampus seperti tari, nyanyi, atau bela diri, namun jika ia pemalu dan sulit bergaul, bisa menjadi berkurang, karena ia sudah jauh dari teman-teman sewaktu di SMAnya dahulu. Atau seseorang yang sebelumnya tinggal di daerah Depok padat penduduk, lalu pindah ke daerah elit Pondok Indah, bisa jadi unit-unit sosialnya berkurang, karena mereka yang tinggal di perumahan besar cenderung tidak saling mengenal satu sama lainnya, dan sekalipun mereka kenal, mereka belum tentu bisa berinteraksi secara rutin dengan tetangga-tetangganya seperti yang biasa dilakukan oleh orang yang tinggal di daerah padat penduduk. Namun pada informan KT, unsur spasial tidak terlalu berpengaruh karena ia banyak mengalami pindah rumah dan sekolah sewaktu ia SD, sehingga kurang relevan jika dikaitkan dengan unit-unit sosial yang mengarah ke hubungan percintaan. Sedangkan mobilitas vertikal memberikan implikasi pada perubahan unit-unit sosial yang melekat pada diri KT, dimana semakin bertambahnya usia KT, jalur pengenalan serta unit sosialnya (yang memungkinkan untuk bisa menjalin hubungan percintaan) bertambah sampai titik tertentu lalu semakin lama menjadi berkurang. Karena sebagaimana temuan studi ini menemukan, yang terjadi pada informan ialah ketika KT beranjak remaja unit sosialnya bertambah banyak, yaitu seperti teman sekolah, teman peer group, atau teman les, kelompok belajar, namun ketika ia dewasa unit sosialnya justru semakin lama semakin berkurang, yang berimplikasi pada orang-orang yang potensial menjadi pasangannya pun bertambah sampai titik tertentu lalu semakin lama berkurang. Pada informan KT, ketika ia berusia 0-11 tahun, unit sosial yang ia miliki adalah keluarga, saudara, tetangga, serta teman SD (terlebih karena informan mengalami pindah sekolah sampai berkalikali), dimana belum terdapat sentiment yang mengarah kehubungan percintaan karena usia informan yang masih sangat muda sehingga jumlah orang yang potensialnya pun 0.
Lalu ketika ia beranjak remaja, tepatnya ketika ia duduk di bangku SMP, usia 12-15 tahun, unit sosialnya mulai bertambah, dari jumlah 0 menjadi 16 orang, yaitu berasal dari teman sekolah menengah pertama (SMP), teman peer group, dan tetangga (karena informan selama SMP pindah rumah dua kali). Pada masa ini, merupakan masa dimana unit sosial KT memungkinkan untuk terjadi aktivitas bersama yang menimbulkan interaksi lalu pada akhirnya menghasilkan sentiment ke arah hubungan percintaan. Di masa SMP ini pula ia pertama kalinya menyukai dan disukai oleh lawan jenis, terdapat 3 orang yang ia sukai, lalu 2 orang yang menyukai dirinya, dan satu orang yang menjadi pacarnya, dimasa ini informan sudah memiliki unit-unit sosial yang berpotensi untuk bisa menjalin hubungan, yang dalam konteks ini yaitu teman sekolah, tetangga dan teman peer group. Memasuki masa SMA, unit sosial yang memungkinkannya untuk menjalin hubungan percintaan serta orang-orang yang berpotensial menjadi pasangannya semakin bertambah, dari 16 menjadi 26 orang, yaitu berasal teman sekolah, teman belajar, dan teman les. Hal ini pun juga menunjukkan bahwa di masa SMA, informan KT menemui unit-unit sosial yang berpotensial untuk menjalin hubungan percintaan di dalamnya, karena terdapat aktivitas bersama yang menimbulkan interaksi, seperti belajar bersama baik belajar di sekolah maupun di tempat les, lalu pada akhirnya menghasilkan sentimen atau munculkan perasaan suka tehadap lawan jenis. Terlihat dari jumlah orang yang ia sukai ada 3 orang, orang yang menyukai dirinya ada 2 orang, 1 orang yang menyukai dan disukai balik olehnya, serta 2 orang yang menjadi pacarnya. Selanjutnya di masa kuliah, merupakan masa dimana ia bertemu dan berkenalan dengan banyak orang, bisa dikatakan juga masa dimana individu mulai “mengepakkan sayapnya” untuk mencari jodoh atau pasangan yang terbaik, terlebih karena sumber daya yang ada sangat banyak dan berlimpah. Jika Terdapat 33 orang yang potensial menjadi pasangannya, 4 orang yang pernah ia suka, 3 orang yang pernah menyukai dirinya, serta 1 orang yang menjadi pacarnya selama 13 tahun. Sedemikian sehingga bisa dikatakan masa kuliah merupakan masa dimana informan memiliki banyak sumber daya yang berlimpah, terlebih sumber daya tersebut banyak yang seumuran dengannya atau hanya berbeda usia sedikit dengannya. Sekaligus juga menjadi titik atau puncak dimana informan memiliki banyak pilihan yang memungkinkannya untuk menjalin hubungan percintaan, karena setelah lulus kuliah, yaitu ketika ia bekerja di BPPN, ia sudah tidak banyak memiliki “pilihan” tersebut. Maksutnya informan sudah tidak banyak memiliki orang yang disukai atau menyukai dirinya. Bahkan ketika bekerja di Bank Mandiri, dan seiring dengan bertambahnya usia informan, unit sosial yang memungkinkannya untuk menjalin hubungan percintaan dan orang-orang yang potensial juga semakin berkurang, meskipun satu bagiannya terdiri dari 15 orang laki-laki, namun tidak semuanya potensial, karena kebanyakan dari mereka sudah menikah, atau usianya terpaut jauh di bawah KT. Di tambah lagi sekarang ini ia sudah disibukkan dengan pekerjaan yang membuatnya lembur sehingga ia sudah jarang untuk hangout dengan temantemannya. Kondisi seperti ini sangat berbeda ketika ia masih SMA dan kuliah, yang memiliki banyak jalur pengenalan dan sumber daya yang potensial, serta ia memiliki banyak waktu untuk bermain dan melakukan aktivitas bersama dengan teman-temannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada usia-usia tertentu dimana individu lebih memungkinkan untuk mendapatkan pasangannya, seperti dalam kasus KT yaitu dimasa SMA dan kuliah. Sedikit membahas mengenai tekanan kelompok, dimana pada informan KT ia tidak mendapatkan tekanan kelompok baik dari keluarga, maupun teman-teman untuk segera menikah atau setidaknya memiliki pacar. Di usianya yang sekarang ini, ia hanya bergantung kepada keluarga inti saja terutama ayah kandungnya dan juga kakaknya yang bernama ST yang tinggal serumah dengannya. Sejauh penulis melakukan penelitian baik wawancara maupun pengamatan, informan KT tidak mendapatkan tekanan sosial dari pihak keluarga untuk segera berkeluarga. Ayahnya hanya pernah sekali menanyakan kepadanya apakah ia sedang dekat dengan seseorang atau tidak, dan itu sekitar 2-3 tahun yang lalu, sekarang jangankan mendesak, menanyakan saja tidak. Dan juga dari pihak kakaknya bernama ST, sejauh pengamatan penulis, informan KT tidak mendapat tekanan sosial dari kakak kandungnya, karena kakaknya sendiri belum juga menikah diusianya yang sudah 39 tahun. Sedangkan kakak kandungnya satu lagi yang bernama PT sudah menikah dan berkeluarga, KT pun juga jarang bertemu dengan kakak kandungnya tersebut, dan ibu tirinya yang sekarang masih menjadi istri ayahnya pun sangat terlihat tidak memiliki power untuk menanyakan dan mengurusi kehidupan pribadi informan, apalagi hal yang sifatnya sensitif, berbeda dengan ibu tiri yang sebelumnya bernama MaEn. Tekanan kolektif tidak hanya berasal dari keluarga saja, namun juga bisa berasal dari teman. Seperti yang sudah dijelaskan pada deskripsi temuan lapangan, selama ia bekerja di Bank Mandiri, ia sudah tidak memiliki sahabat-sahabat dekat seperti di BPPN, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan
pekerjaan dan lemburnya. Namun bukan berarti ia sudah tidak pernah bertemu dengan teman-temannya sewaktu di BPPN, ia masih suka bertemu walaupun frekuensinya sangat jarang, dan teman-temannya pun sebagian besar juga masih single alias masih hidup melajang, sehingga tekanan kelompok untuk segera menikah atau setidaknya mencari pacar dari pihak teman/sahabat juga sifatnya sangat rendah. Lalu mencoba untuk menjawab pertanyaan penelitian, dimana studi ini menemukan bahwa penundaan usia perkawinan merupakan akibat dari beberapa hal yaitu: Pertama, jalur pengenalannya untuk mendapatkan pasangan tidak lengkap dimana ia cenderung hanya memanfaatkan jalur alamiah, sedangkan jalur lainnya yaitu jalur pengembangan dan jalur khusus kurang ia manfaatkan. Maksudnya adalah, dalam mencari pasangan yang tepat, ia cenderung hanya mencari dari unit-unit sosial yang melekat dengan kegiatan utamanya, baik itu dari teman sekolahnya, teman kuliah, atau teman kantor. Kedua, seiring dengan bertambahnya usia, jumlah unit sosial dimana ia tergabung menjadi anggota juga sedikit yang berimplikasi kepada orang-orang yang potensial untuk menjadi pasangannya semakin lama menjadi semakin berkurang. Ketiga, aktivitas sosialnya rendah, ia sudah jarang berkumpul dan bertemu baik dengan teman-teman dekatnya maupun temannya yang lain. Keempat, tidak adanya tekanan kolektif yang memaksanya untuk segera menikah. Sehingga dalam penelitian ini menunjukkan bahwa struktur memang lebih berperan dalam menyebabkan wanita terlambat menikah atau masih hidup melajang, terutama struktur pekerjaan yang sangat menyita waktunya, namun bukan berarti tidak ada unsur individu sama sekali, di dalam diri KT juga terdapat unsur individu. Dimana jika dilihat dari penjabaran data yang ada di bab 4, ketika di satu sisi struktur berperan dalam memberikan pilihan-pilihan kepada diri KT mengenai pasangan hidupnya kelak, namun di sisi lainnya, individu juga berperan dalam membuat putusan-putusan. Seperti pertama, struktur menyediakan pilihan laki-laki yang bermacam-macam, ada yang satu prinsip (keyakinan), ada pula yang berbeda, ada yang satu etnis dan ada pula yang berbeda, ada yang masih single dan ada pula yang sudah menikah, ini merupakan gambaran pilihan-pilihan yang disediakan oleh struktur, namun ketika diri KT membuat putusan-putusan mengenai dirinya, seperti ia lebih memilih lakilaki yang masih single, ia menolak untuk berhubungan dengan atasannya yang sudah memiliki istri, lalu ia pun juga sangat mementingkan agama, dimana ia lebih memilih pasangan yang satu agama, ini menggambarkan bahwa di dalam dirinya juga terdapat unsur individu dalam hal membuat putusanputusan mana yang ia harus pilih, mana yang tidak. Contoh kedua, yaitu ketika KT ditinggalkan oleh mantan kekasihnya setelah menjalani hubungan selama kurang lebih 13 tahun, struktur tetap menyediakan pilihan-pilihan kepada dirinya untuk mendapatkan pasangan (meskipun pilihan tersebut terbatas), namun KT membuat keputusan untuk tidak berhubungan atau berpacaran dulu dengan orang lain setelah hubungannya berakhir dengan orang tersebut. Selama kurang lebih satu tahun ia memutuskan untuk sendiri, ia berusaha untuk membenahi dirinya, melakukan introspeksi mengenai dirinya selama menjalani hubungan dengan mantannya, ia pun juga berusaha untuk tidak berlarut dalam kesedihan. Contoh ketiga ketika pada akhirnya usianya semakin lama semakin menjauhi angka 30, ia pun akhirnya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan pernikahan karena ia menganggap usianya yang sudah melewati batas usia normal menikah serta ditunjang dengan tidak adanya tekanan sosial baik dari keluarga maupun teman-temannya untuk segera menikah. Sedemikian sehingga jika selama ini sebagian besar orang menganggap wanita tidak menikah karena pilihan pribadi (trauma akan kegagalan, choosy), dan karir dimana studi ini menemukan ternyata bukan semata-mata hanya karena karir dan karena pilihan pribadinya yang membuat ia menjadi tidak menikah, namun sesuai dengan pemahaman teori sosiologi masa kini yang berusaha menggabungkan teori makro dan mikro, yaitu mengintegrasikan individu dan structure, penulis bisa menganggap di satu sisi memang ditentukan oleh struktur dalam memberikan pilihan-pilihan kepada dirinya, namun di sisi lain individu juga memiliki peran dalam membuat keputusan-keputusan mana dari pilihan tersebut yang harus ia ambil, yang pada akhirnya membuat dirinya sampai di usia yang ke 37 masih hidup melajang, yang jika digambarkan akan seperti : Structur
Agency
Kolektif
Individu
Pilihan
Putusan
Tentunya karena studi ini hanya dilakukan pada satu orang, sehingga tidak bisa digeneralisasikan kepada semua wanita yang masih hidup melajang, namun pada batas tertentu bisa digeneralisasikan kepada wanita-wanita yang memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, seperti mengejar pendidikan tinggi, bekerja dan memiliki karir, serta hanya mengandalkan unit sosial yang ada di dalam jalur pengenalan alamiahnya. Dengan melakukan studi ini pun penulis bisa meramalkan bahwa informan kemungkinan besar tidak ada akan menikah, dikarenakan hal-hal tersebut di atas.
Kesimpulan Beberapa studi-studi yang telah ada selama ini menunjukkan bahwa wanita yang hidup melajang (belum menikah atau bahkan memilih untuk tidak menikah) disebabkan karena faktor individual atau yang berasal dari pilihan pribadi, seperti karena mereka memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penundaan usia perkawinan akan memberikan keuntungan bagi mereka, baik keuntungan dari segi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi, selain itu, adanya ketakutan menghadapi krisis pernikahan yang akan berujung pada perceraian, ketakutan akan keterikatan, atau karena sifat mereka yang pemilih (choosy) dan sebagainya. Dan di sisi lain disebabkan karena pengaruh struktur seperti kesibukan karir. Karenanya, mencoba berbeda dari beberapa studi-studi sebelumnya yang telah ada, penelitian ini justru ingin melihat apakah benar bahwa para wanita yang hidup melajang itu hanya disebabkan karena pilihan pribadi (suatu keputusan yang berasal dari keinginan individu itu sendiri) atau yang media katakan karena kesibukan karir dan bekerja, serta penelitian ini sekaligus ingin mengetahui apa yang menyebabkan ada seorang wanita berusia diatas 35 tahun tinggal di Jakarta, memiliki karir yang bagus, dan bisa dikatakan mampu untuk melakukan pernikahan namun belum juga menikah, apakah karena keputusan pribadi, struktur sosial atau bahkan keduanya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, penulis menentukan subyek penelitiannya hanya satu orang yaitu berinisial KT, yang memiliki kriteria seperti yang dibutuhkan oleh penulis dalam penelitian ini, yaitu berusia 37 tahun, bekerja di suatu perusahaan dan memiliki posisi tinggi (manager) serta belum menikah. Dalam mencari data, penulis melakukan wawancara mendalam secara partisipatif, artinya penulis ikut bergabung bersama-sama dengan informan dalam aktivitasnya sembari melakukan percakapan, serta penulis juga melakukan observasi dan mengumpulkan data sekunder lainnya seperti dokumentasi berupa foto dan artikel dari media. Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih 3 bulan, dengan mengumpulkan data sebanyakbanyaknya serta melakukan pengolahan data, penulis akhirnya menemukan penundaan usia perkawinan bukan semata-mata karena karir dan kesibukan bekerja, atau karena sifat pemilih, namun merupakan akibat dari beberapa hal yaitu: Pertama, jalur pengenalannya untuk mendapatkan pasangan tidak lengkap dimana ia cenderung hanya memanfaatkan jalur alamiah, sedangkan jalur lainnya yaitu jalur pengembangan dan jalur khusus kurang ia manfaatkan. Maksudnya adalah, dalam mencari pasangan yang tepat, ia cenderung hanya mencari dari unit-unit sosial yang melekat dengan kegiatan utamanya, baik itu dari teman sekolahnya, teman kuliah, atau teman kantor. Kedua, seiring dengan bertambahnya usia, jumlah unit sosial dimana ia tergabung menjadi anggota juga sedikit yang berimplikasi kepada orang-orang yang potensial untuk menjadi pasangannya semakin lama menjadi semakin berkurang. Ketiga, aktivitas sosialnya rendah, ia sudah jarang berkumpul dan bertemu baik dengan teman-teman dekatnya maupun temannya yang lain. Keempat, tidak adanya tekanan kolektif yang memaksanya untuk segera menikah. Sehingga dalam penelitian ini menunjukkan bahwa struktur dan keputusan individu sama-sama berperan dalam menyebabkan ia belum menikah. Struktur terlihat dari keempat hal yang sudah dijelaskan diatas, lalu keputusan individu terlihat dari mengenai manakah yang harus dipilih dan dilakukan olehnya dari yang telah “disediakan” oleh struktur tersebut. Tentunya karena studi ini hanya dilakukan pada satu orang, sehingga tidak bisa digeneralisasikan kepada semua wanita yang masih hidup melajang, namun pada batas tertentu bisa digeneralisasikan kepada wanita-wanita yang memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, seperti mengejar pendidikan tinggi, bekerja dan memiliki karir, serta hanya mengandalkan unit sosial yang ada di dalam jalur pengenalan alamiahnya.
Daftar Pustaka
Buku Coleman, James Samuel. 1990. Foundations of Social Theory. New York: Harvard University Press. Collins, Randall. 1988. Theoritical Sociology. Orlando: Harcourt Brace Jovanovich. Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches Second Edition. London: SAGE Publication Inc. Davidson, J. Kenneth dan Moore, Nelwyn B. 1996. Marriage and Family: Change and Continuity. Boston: Allyn and Bacon. Giddens, Anthony. 1989. Sociology. Cambridge, Oxford : Polity Press. Homans, George C. 1973. Social Behavior: Its Elementary Forms. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Homans, George C. 1950. The Human Group. New York : Harcourt, Brace and Company. Horton, Paul B. Dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Edisi keenam. International Student Edition. Tokyo: McGrawHill. Kerckhoff, Alan C. dan Keith E. Davis. 1962. “Value Consensus and Need Complementarity in Mate Selection.” American Sociological Review 27: 295–303. Kornblum, William. (1988). Sociology in a Changing World. New York: Holt, Rinchart and Winston Lasswell, Marcia dan Thomas Laswell. 1987. Marriage and the Family. Edisi kedua. Belmont, California: Wadsworth. Linton, Ralph. 1967. Status and Role. Dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosernberg (ed.), Sociological Theory: A Book of Readings. New York: The Macmillan. Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press Mills, C. Wright. 1968. The Sociological Imagination. London: Oxford University Press Orthner K. Dennis. 1981. Intimate relationships: An introduction to marriage & the family. Canada: AddisonWesley Pub Popenoe, David. 1971. Sociology. New York: Appleton-Century-Crofts. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern, Edisi ke 6. Jakarta: Kencana Schefft, Jen. 2006. Better Single Than Sorry. Published by Harper Collins. Smelser, Neil J. 1968. The Theory of Collective Behavior. New York: The Free Press
Karya Akademis Larasati, Bunga. 2005. Kecenderungan Lajang pada Wanita Bekerja Usia 30 Tahun. Skripsi Program Psikologi. Universitas Airlangga
Dewi, Lukita Sari. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspektansi Karir pada Wanita Karir Lajang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Dafrina, Prima. 2009. Fenomena Pilihan Hidup Tidak Menikah (Studi Deskriptif pada Wanita Karir Etnis Batak Toba di Kota Medan). Skripsi Program Ilmu Sosial Politik. Universitas Sumatra Utara. Vinosa, Liyanda. 2008. Kemandirian pada Wanita Karir yang Melajang. Skripsi Program Psikologi. Universitas Islam Indonesia. Damayanti, Ariska. 2011. Analisis Penawaran Tenaga Kerja Wanita Menikah dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Studi Kasus 30 Responden Wanita Menikah di Kota Semarang. Skripsi Program Sarjana Fakultas Ekonomi. Universitas Diponegoro. Kelompok C. 2011. “Kecenderungan KawinMuda di DesaNanggung, Jawa Barat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”. Penelitian LPMPS Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Jurnal Sa‟diyah, EH. “Jurnal PsikoIslamika VII”. Fakultas Psikologi UIN Malang, mengutip Hurlock, 1993. Internet : http://restuonline.com/10-alasan-pria-dan-wanita-menunda-pernikahan/ diakses pada Minggu 22 Januari pukul 15.05 WIB. http://www.averroes.or.id/research/hubungan-sikap-terhadap-penundaan-usia-perkawinan-denganintensi-penundaan-usia-perkawinan.html, diakses pada Kamis 26 Januari 2012 pukul 12.38 WIB. http://bisnis.vivanews.com/news/read/294141-jakarta--kota-metro-terproduktif-ke-17-dunia pada Rabu, 11 April 2012 pukul 19.12 WIB.
diakses
http://wolipop.detik.com/read/2012/06/01/215222/1930893/854/4-alasan-wanita-menunda-untukmenikah diunduh pada Rabu, 06 Juni 2012 pukul 21.00 WIB http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/01/09/77969/Hai-Wanita-Pilih-Karir-atau-Cinta?/11 diakses pada Rabu, 06 Juni 2012 pukul 21.13 WIB http://ardhana12.wordpress.com/2008/02/08/metode-penelitian-studi-kasus/ diakses pada Kamis, 27 Desember 2012 pukul 10.00 WIB http://www.infed.org/thinkers/george_homans.htm diakses pada Selasa, 11 Desember 2012 pukul 17.10 WIB