perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PROSES KREATIF DINDA NATASYA DALAM DIALOG CINTA OASE SAMUDRA BIRU: Sebuah Pendekatan Ekspresif
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh HIDAYATUR RIYANA C0208067
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “Perjuangan tak akan berhenti sebelum kaki menginjak pintu surga” (Ali bin Abi Thalib) “Karena begitu lembutnya, banyak cinta yang terlambat disadari. Jangan pernah menyimpan kata-kata cinta pada orang yang kita sayangi jika tak ingin kehilangan Lebih baik cepat menyatakan bila cinta itu mulai terasa Janganlah terlalu lama menyimpannya hingga kehilangan kesempatan untuk mengatakan Jangan tunda hingga cintamu mati Akan menyedihkan jika akhirnya kita terpaksa hanya mencatatkan kata-kata cinta itu pada pusarannya. Karena belahan jiwamu hanya satu, dan temukanlah!!” (Dinda Natasya)
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Skripsi ini dipersembahkan untuk: Umi dan Abi tercinta, abang Zamrony dan adinda Al-Amalus Sulwana yang kusayang. Sahabat-sahabat yang telah memberi motivasi kepada peneliti.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Pertama dan terutama peneliti memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat, inayah, hidayah dan karunia-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan guna melengkapi gelar sarjana sastra Jurusan Sastra Indonesia. Peneliti sangat berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi. Oleh karena itu, peneliti dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed. Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag. selaku Pembimbing Akademik dan Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Dra. Murtini, M.S. selaku dosen pembimbing bagi peneliti yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi. 4. Drs. Wiranta, M.S. selaku dosen penelaah bagi peneliti yang telah membantu sebagian proses penyusunan skripsi. 5. Kedua orangtuaku Umi dan Abi tersayang, atas dukungan materi dan kasih sayang yang tak pernah putus sepanjang perjalanan hidup peneliti. Abang Muhammad Zamrony, atas kasih dan nasihat terbaiknya untuk menjadikan peneliti seorang muslimah berjiwa mulia dan adinda Al-Amalus Sulwana yang cantik, tumbuhlah menjadi pribadi muslimah yang “utuh”. commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Untuk sahabat-sahabat yang selalu setia memanjakan dan memberi motivasi, M. Fuad, Kartina Devianti, mami Anna, dan warek-warek IPA 3.Juga sahabatsahabat di ranah juangku Anggraini, Farhana Aulia, Kusnul, Siti Kaswarini, Yan Ayu dan Inas Adila. 7. Bunda Dinda Natasya, sebagai informan yang banyak memberikan informasi dan wawasan guna membantu penyusunan skripsi, juga Om Yudi Kusumo yang telah memberikan motivasi. 8. Seluruh keluarga besar kos Raihana dan kos Azzahra atas dukungan dan kekeluargaannya selama ini. 9. Teman-teman Jurusan Sastra Indonesia UNS dan angkatan 2008 khususnya. 10. Teman-teman organisasi BEM FSSR dan BEM UNS kabinet Perlawanan. 11. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini. Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu peneliti dengan kerendahan hati menerima saran dan kritik yang bersifat membangun. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Terima kasih.
Surakarta, 20 Juni 2012
Peneliti
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii PERNYATAAN ....................................................................................................
iv
MOTTO .................................................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................
vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii DAFTAR ISI .........................................................................................................
ix
HALAMAN LAMPIRAN……………………………………………………….
xii
ABSTRAK ............................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………..
1
B. Pembatasan Masalah ……………………………………………........ 6 C. Perumusan Masalah………………………………………….............. 7 D. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7 E. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7 F. Sistematika Penulisan ………………………………………………..
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka ...................................……………………………….
10
1. Tinjauan Pengarang ………………………………………………. 10 2. Penelitian Terdahulu ……………………………………………...
13
B. Landasan Teori ............................……………………………………
16
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Pendekatan Ekspresif ……………………………………………..
16
2. Proses Kreatif ……………………………………………………..
20
C. Kerangka Pikir ………………………………………………………. BAB III METODE PENELITIAN
22
A. Jenis Penelitian .........………………………………………………...
24
B. Populasi dan Sampel .....................................………………………..
24
1. Populasi ......……………………………………………………...
24
2. Sampel .........................…………………………………………..
25
C. Data dan Sumber Data ......................................................................... 25 1. Data .........………………………………………………………... 25 2. Sumber Data ..........................................……………………........
26
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................
27
E. Teknik Pengolahan Data ...................................................................... 27 1. Tahap Deskripsi Data ……………………………………………
27
2. Tahap Klasifikasi Data ...................................................................
28
3. Tahap Analisis Data .......................................................................
28
4. Tahap Interpretasi Data ..................................................................
28
F. Teknik Penarikan Kesimpulan .............................................................
29
BAB IV PEMBAHASAN A. Proses Kreatif Kepengarangan Dinda Natasya ……………………… 30 1. Tahap Persiapan …………………………………………………..
30
2. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan/Meditasi) …………………..
36
3. Tahap Inspirasi/Munculnya Ide …………………………………..
45
4. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan ………………… 54 commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Konkretisasi Persoalan-persoalan Sosial dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru ………………………….............................................
64
1. Hubungan Manusia dengan Tuhannya ……………………………
69
2. Hubungan Cinta Kasih antara Remaja ……………………………
73
3. Hubungan dan Konflik Sosial antara Sesama Manusia …………..
76
4. Konflik dengan Batinnya Sendiri …………………………………
84
BAB V PENUTUP A. SIMPULAN …………………………………………………………. 91 B. SARAN ……………………………………………………………… 97 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 98
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN LAMPIRAN Halaman Lampiran I Wawancara Email Dinda Natasya…………………………....
100
Lampiran II Biodata dan Profil Dinda Natasya…………………………...
102
Lampiran III Transliterasi Wawancara Telepon Dinda Natasya………….
106
Lampiran IV Foto-foto Kegiatan Dinda Natasya………………………....
113
Lampiran V Profil Padepokan Lindu Aji…………………………………
114
Lampiran VI Beberapa Kisah dan Puisi Dialog Cinta Oase Samudra Biru
119
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pengarang adalah pencipta karya sastra, sehingga kehadiran pengarang erat kaitannya dengan penciptaan karya sastra yang berkualitas, yaitu karya sastra yang
mampu
memunculkan
keindahan
bagi
pembacanya.
Pengarang
menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan pemikirannya untuk kemudian diekspresikan ke dalam karya sastra. Karya sastra membicarakan manusia dengan segala kompleksitas persoalan hidupnya, maka antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang di dalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan, perasaan, imajinasi, serta spekulasi mengenai manusia itu sendiri. Sastra sebagai cabang kesenian mempunyai fungsi untuk memperjelas, memperdalam, dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan mereka. Dengan adanya penghayatan yang lebih baik terhadap kehidupannya, manusia dapat berharap untuk menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera (Sumardjo dan Saini, 1986:16). Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan (Sumardjo dan Saini, 1986:1). Penelitian ini adalah model penelitian ekspresivisme, karena merupakan studi sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya (kajian semipsikologis). Penelitian yang mengharuskan peneliti untuk berhubungan langsung dengan pengarangnya. Penelitian ekspresivisme lebih memandang karya sastra commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
sebagai ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, kehendak, dan pengalaman batin pengarang yang telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang sehingga menjadi pendorong yang kuat bagi lahirnya karya sastra (Suwardi Endraswara, 2011:29). Kejadian atau peristiwa yang terjadi dituangkan oleh pengarang dengan karya-karya ekspresif dalam setiap karyanya. Hal ini mengingat sebuah karya sastra juga merupakan sebuah aktivitas proses kreatif pengarang, yaitu ketika pengarang melukiskan watak dan pribadi tokoh yang ditampilkan atau dihadirkannya dan menggambarkan tokoh yang dikehendakinya. Seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan segala persoalannya, baik pengalaman pribadi maupun orang lain. Pengarang memegang peranan penting dalam penciptaan watak tokoh yang dilukiskannya dalam karya sastra. Demikian juga yang terdapat dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru Karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo. Penelitian ini difokuskan kajian pada proses kepengarangan Dinda Natasya, meski karya tersebut ditulis berdua dengan Anto Hprastyo. Hal itu karena Dinda Natasya lebih kuat dalam persoalanpersoalan sosial yang disebabkan oleh cinta pada karyanya. Anto HPrastyo yang dikenal dengan nama Samudra Biru dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru, merupakan kesatuan dari sang Oase yaitu Dinda Natasya. Pertemuan Dinda Natasya dengan Samudra Biru di situs jejaring sosial facebook, telah memberi banyak perubahan cara pandang Dinda Natasya terhadap dunia kepenulisan. Tulisan-tulisan Samudra Biru dalam status akun facebooknya, menggelitik Dinda Natasya untuk merespon dan mulai terpengaruh untuk menuliskan beberapa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
komentar dalam bahasa cinta. Tidak pernah terpikir di benak keduanya bahwa tulisan-tulisan itu sudah terkumpul banyak hingga kemudian melahirkan buku Dialog Cinta Oase Samudra Biru jelang pertengahan tahun 2010. Dinda Natasya sebagai pengarang mencoba memberikan gambaran mengenai realitas kehidupan dengan berbagai macam persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia modern. Dinda Natasya yang terlahir dengan nama Rr. Putri Dwirahayu Sipmi Cahayaningsih, kelahiran Salatiga, seorang pribadi dengan profesi Dokter Cinta Pertama di Indonesia. Dinda Natasya adalah orang pertama yang memproklamasikan diri sebagai “dokter cinta”, dengan keseharian sebagai praktisi konselor sekaligus pemerhati dan pengamat permasalahan remaja dan rumah tangga khususnya yang disebabkan oleh urusan cinta (Dinda Natasya menuliskan cinta dengan penulisan C.I.N.T.A.). Cinta tersebut dimaknai bahwa cinta itu sangat penting karena segala persoalan kehidupan berawal dari hati dan perasaan, kedua hal tersebut yang menjadi penggerak utama kehidupan. Kesehariannya itu juga yang membuat Dinda Natasya meminjam istilah dokter sebagai orang yang mampu menyembuhkan penyakit, kemudian digunakan dalam penyebutan dirinya sebagai “dokter cinta” yang diasumsikan sebagai orang yang mampu menyembuhkan luka hati karena persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Dinda Natasya juga seorang penyiar di PAS FM Radio Bisnis Jakarta dan siaran langsung setiap malam mengudarakan program Curhat mulai pukul 00.0002.00 WIB serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Bandung, Jogja, Balikpapan dan 70 kota lain seluruh wilayah Indonesia. Persoalan-persoalan sosial dari “pasien-pasien” dan pendengar setianya inilah yang juga menginspirasi Dinda commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Natasya untuk menulis dan mengemas nasihat-nasihatnya dalam sebuah rangkaian sajak atau puisi tanpa menggurui (Dinda Natasya, http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB). Latar belakang kehidupan Dinda Natasya itulah yang menjadikan Dialog Cinta Oase Samudra Biru ini menarik untuk diteliti dengan pendekatan ekspresif. Selain itu juga karena menyajikan beberapa persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta berupa: (1) hubungan manusia dengan Tuhannya dalam puisi Kalah (hal 70-71) (2) hubungan cinta kasih antara remaja dalam puisi Puisi Para Mantan (hal 112) dan Bingung (hal 111) (3) hubungan dan konflik sosial antara sesama manusia dalam puisi Mimpi 18 hari (hal 15-16), Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (hal 17-18), KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101), Kisah Seorang Pramuria (hal 19), Sombong (hal 68), dan Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106). (4) konflik dengan batinnya sendiri, dalam puisi-puisi berikut: Cinta Tak Bertuan Antara Oase, Samudra Biru dan Pandeka (hal 96), Romansa (hal 75), Dialog Tanpa Suara (hal 64), dan Menunggu Cintaku 1 & 2 (hal 84-85). Juga beberapa kisah dan puisi yang mendukung analisis dalam penelitian ini yaitu kisah Tentang Cinta dan Persahabatan 1 dan 2 (hal 5-9), kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 12-14), Dialog Oase dan Samudra Biru 1 sampai 4 (hal 27-57), puisi Jatuh Hati (hal 74), puisi Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (hal 78-79), Samudra Biru (hal 89), Menyapa dengan Cinta (hal 93), dan Memilih Cinta (hal 98). Beberapa kisah dan puisi tersebut yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Isi dari Dialog commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Cinta Oase Samudra Biru ini juga sarat akan unsur-unsur psikologi, namun peneliti ingin mencoba untuk lebih mengungkap proses kreatif. Penelitian ini bertitik tumpu pada proses kreatif dengan meneliti Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk menentukan keekspresifan Dinda Natasya. Karya sastra yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya. Dengan sendirinya hanya orang yang jiwanya berisi saja yang mampu mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya. Manusia kosong tidak dapat mengekspresikan apaapa. Karya sastra seseorang mencerminkan isi kepribadian orang itu. Pribadi sastrawan yang dalam pemikirannya, luas pandangannya, pekat perasaannya, suci dan tulus hatinya, akan tercermin dalam karya-karya sastranya (Sumadjo dan Saini, 1986:7). Jiwa yang berisi merupakan jiwa/manusia yang memiliki kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan untuk diekspresikan, sedangkan jiwa/manusia yang kosong adalah jiwa yang tidak memiliki kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan apapun untuk diekspresikan. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, prosa dan puisi, pada awalnya berangkat dari imajinasi yang dituangkan dalam karya-karyanya. Pengarang mencoba untuk mengkaji hidup dengan merespon dan menanggapi masalahmasalah yang terdapat di lingkungannya. Puisi ekspresif adalah puisi lirik yang menonjolkan ekspresi pribadi penyairnya. Perasaan, pemikiran, pandangan hidup, lambang-lambang, dan persoalan yang dilontarkan dalam sajak adalah milik khas penyairnya yang akan berubah pula kalau kepribadiannya juga berubah (Sumardjo dan Saini, 1986:27). Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan secara rinci alasan penelitian adalah sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
1. Sebagai “dokter cinta”, bagaimana Dinda Natasya menyikapi persoalanpersoalan sosial yang disebabkan oleh cinta, kemudian diangkat dalam karyanya Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang mampu melahirkan pemikiran kemanusiaan yang luar biasa dari seorang pengarang yang benar-benar ekspresif. 2. Bagaimana persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru dapat memikat pembaca dengan keindahan kata-kata dan pesan yang disampaikan di dalamnya. 3. Analisis ini diperlukan guna menentukan konkretisasi dari persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang dijadikan sampel untuk memahami aspek hidup dan kehidupan melalui proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya. Berdasarkan paparan di atas, peneliti menganalisis Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo dengan judul ”Proses Kreatif Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru: Sebuah Pendekatan Ekspresif”.
B. Pembatasan Masalah Penelitian
ini
membatasi
permasalahan
pada
proses
kreatif
kepengarangan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk menemukan keekspresifannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7 C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan? 2. Bagaimanakah konkretisasi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya?
D. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas, sehingga hasil dari penelitian dapat diketahui. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan. 2. Mendeskripsikan konkretisasi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berhasil dengan baik dan dapat mencapai tujuan penelitian secara optimal, mampu menghasilkan laporan yang sistematis dan bermanfaat baik secara umum. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
1. Manfaat Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi analisis terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian puisi Indonesia yang memanfatkan pendekatan ekspresif. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam mengaplikasikan teori sastra dan proses kreatif pengarang untuk mengungkapkan keekspresifan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak psikologis tersendiri kepada pembaca dengan adanya pengungkapan proses kreatif, makna, dan pesan yang tersirat dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru. b. Melalui pemahaman mengenai persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta yang diungkap dalam penelitian ini, pembaca jadi mudah berempati, dapat menjadikan persoalan orang lain sebagai pembelajaran, dan memiliki semangat baru untuk menjalani hidup.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini memberikan gambaran yang jelas mengenai langkah-langkah penelitian sekaligus permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Sistematika penulisan dalam penelitian sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan. Pendahuluan ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini menjelaskan tentang arah penelitian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
yang berusaha mengamati proses kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai alasan-alasan atau latar belakang perlunya dilakukan penelitian ini. Bab II merupakan kajian pustaka dan kerangka pikir yang terdiri dari tinjauan pengarang berupa riwayat hidup pengarang dan studi terdahulu maupun penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pendekatan ekspresif. Bab ini juga membahas tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mengenai pendekatan ekspresif dan kerangka pikir. Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, populasi dan sampel, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik penarikan kesimpulan. Data yang digunakan bersumber dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru dan hasil wawancara dengan Dinda Natasya. Bab IV merupakan inti dari penelitian yaitu analisis data. Berupa analisis proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan. Bab ini juga menganalisis konkretisasi persoalan-persoalan sosial pada Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menenetukan keekspresifan Dinda Natasya. Bab V adalah penutup yang berisi simpulan dan saran yang merupakan akhir dari penelitian. Penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran yang berisi email hasil wawancara dan karya yang diambil dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka 1.
Tinjauan Pengarang Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri: Sang
Pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra (Wellek dan Warren, 1993:82). Begitu juga dalam penelitian ini yang mengkaji pendekatan ekspresif pengarang melalui kepribadian dan kehidupan pribadi atau riwayat hidup pengarang. Pendekatan ekspresif dalam penelitian ini juga dikaji melalui proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Dinda Natasya adalah Dokter Cinta kelahiran Salatiga, 16 Mei 1968, terlahir dengan nama Rr. Putri Dwirahayu Sipmi Cahayaningsih. Seorang pribadi dengan profesi Dokter Cinta Pertama di Indonesia, karena Dinda Natasya adalah orang pertama yang memproklamasikan diri sebagai “dokter cinta”. Dengan keseharian sebagai praktisi konselor sekaligus pemerhati dan pengamat permasalahan remaja dan rumah tangga khususnya yang disebabkan oleh urusan cinta (Dinda Natasya menuliskan cinta dengan penulisan C.I.N.T.A.). Cinta tersebut dimaknai bahwa cinta itu sangat penting karena segala persoalan kehidupan berawal dari hati dan perasaan, kedua hal tersebut yang menjadi penggerak utama kehidupan. Kesehariannya itulah yang membuat Dinda Natasya meminjam istilah dokter sebagai orang yang mampu menyembuhkan penyakit, kemudian digunakan dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
penyebutan dirinya sebagai “dokter cinta” yang diasumsikan sebagai orang yang mampu menyembuhkan luka hati karena persoalan-persoalan sosial yang di sebabkan oleh cinta. Setiap malam mengudara secara nasional sebagai narasumber dan juga pembawa acara radio PDKTDOTCOM melalui PAS FM Radio Bisnis Jakarta yang disiarkan secara langsung mulai pukul 00.00-02.00 WIB. Di waktu yang lain sibuk menerima konsultasi langsung permasalahan remaja dan rumah tangga sekaligus juga melayani pengobatan untuk umum di Klinik Dokter Cinta. Pengobatan yang dilakukan Dinda Natasya yaitu berupa konsultasi langsung dengan “pasien” mengenai persoalan hidupnya. Di klinik miliknya tersebut juga menyediakan obat-obatan herbal yang baik untuk kesehatan jiwa dan raga. Dinda Natasya juga sibuk di organisasi yang dipimpinnya yaitu Pondok Curhat Dinda Natasya Indonesia. Dinda Natasya juga pernah bekerja sama dengan Yayasan Padepokan Lindu Aji yang bergerak di bidang pendidikan dan olah raga, sosial kemanusiaan,
dan
keagamaan
(Padepokan
Lindu
Aji,
http://wspamungkassidoarjo.blogspot.com, tanggal 16 Februari 2012 pukul 13.00 WIB). Dinda Natasya berpendapat jika seseorang sedang dilanda kedukaan di dalam perjalanan hidupnya: rasa sendiri, bingung, kecewa dan putus asa mungkin akan menjadi penyebab utama hancurnya sebuah kehidupan baik itu dalam hal karir, prestasi maupun rumah tangga. Jika hati sedang gelap, pikiran tak bisa digunakan dengan baik. Mata juga tak bisa melihat dengan baik, jika tak menemukan orang-orang yang bisa dipercaya dan tak ada lagi solusi yang ditemukan maka hal-hal yang muncul justru akan semakin memperburuk keadaan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Akhirnya seseorang yang tengah putus asa lebih memilih mati saja karena sudah tak
sanggup
menanggung
penderitaan
yang
ada
(Dinda
Natasya,
http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB). Dinda Natasya adalah orang yang mampu melihat penderitaan “pasien” tanpa harus mengatakannya. Jika “pasien” di dalam keterpurukan, namun di hatinya tetap ada semangat untuk paling tidak berusaha menemukan seseorang yang bisa memberinya dukungan tanpa menyalahkan tanpa menghakimi, seseorang yang membuatnya tetap sadar dan terjaga untuk menghadapi masalah, seseorang yang mampu membawa petunjuk sekaligus membantunya untuk menghadapi bahkan melewati kedukaan dan penderitaan dengan ikhlas dan sukses,
tentunya
hal
itu
akan
sangat
membantu
(Dinda
Natasya,
http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB). Dinda Natasya mampu menyembuhkan penderitaan “pasien” tanpa harus bertemu dengannya. Dinda Natasya adalah sebuah pribadi, manis, baik hati, dan tidak sombong yang dapat dijadikan teman, sahabat, kakak, Ibu, bahkan kekasih. Dinda Natasya adalah orang yang mampu memberikan kesejukan bagi orang lain hanya mulalui suara dan kata-katanya. Dinda Natasya mampu mengenali pribadi karakter dan masalah yang dihadapi oleh seseorang hanya dari membaca tulisannya. Karena semua kepekaan dan kebaikan hatinya itulah, Dinda Natasya mampu menjadikan dirinya sebagai penerang dan penyejuk hati bagi siapa saja yang datang padanya dengan membawa berbagai macam persoalan hidup. Demikianlah pendapat Dinda Natasya tentang dirinya dan kehidupan (Dinda Natasya, http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
Perempuan Jawa yang suka tirakat ini mudah beradaptasi, suka berbagi, dan memiliki hobi di bidang sosial. Dinda Natasya juga berkarya sambil beramal sekaligus belajar, karena itu mendengarkan dan mempelajari karakter orang lain sudah menjadi kesenangan yang juga sudah menjadi bagian hidup Dinda Natasya. Menjunjung tinggi tata krama, budaya dan budi pekerti, menikmati semua seni budaya anak manusia tanpa terkecuali sebagai bagian dari ekspresi diri, cinta terhadap sesama manusia dan lainnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kodrat wanita adalah perhatian utama, menjadi wanita ratu rumah tangga itulah citacitanya. Seperti lilin yang bersinar sampai padam walau meleleh, seperti karang tetap tegar diterpa ombak itulah semboyan hidup Dinda Natasya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:179). Dinda Natasya menggunakan pemikirannya itu ke dalam kenyataan. Kini semua catatan yang mewarnai di setiap perjalanannya tertuang di dalam bukunya Dialog Cinta Oase Samudra Biru (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:2). Menariknya latar belakang kehidupan Dinda Natasya inilah yang dijadikan landasan dalam penelitian ini untuk lebih mengungkap keekspresifan Dinda Natasya melalui proses kreatif kepengarangannya. 2. Penelitian Terdahulu Penelitian ini memaparkan penelitian dan analisis terdahulu yang telah dipublikasikan diantaranya: a. Skripsi Andry Khristian C0298008 (2006), Sastra Indonesia FSSR UNS. Judul penelitian “Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film ELIANA, ELIANA”. Objek penelitian ini adalah skenario film “ELIANA, ELIANA” oleh Riri Riza. Dengan rumusan masalah dalam penelitian (1) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Bagaimana “Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film ELIANA, ELIANA” ditinjau secara umum, yaitu mulai dari munculnya ide, masa pengendapan, penulisan sampai proses penyempurnaan? (2) Bagaimana “Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film “ELIANA, ELIANA” ditinjau secara khusus, yaitu bagaimana proses pencarian tema, amanat, penokohan, setting, dan alur? Penelitian ini menggunakan teori proses kreatif. Menurut Mochtar Lubis dalam skripsi
Andry Kristian, kreativitas
seorang sastrawan
adalah
kemampuannya untuk menyuling manusia dan kehidupannya, pengalaman masyarakat,
sejarah bangsanya dan negerinya, lingkungan hidupnya,
kebudayaan dan sistem nilai bangsanya baik yang homogen maupun yang beragam-ragam, dan kemudian menuangkannya dalam kerangka ciptaannya, berbentuk puisi atau prosa, dan menandai ciptaannya ini dengan citra kepribadiannya, keyakinannya, kejujurannya, nilai-nilai yang dipegangnya, keberaniannya, kebenarannya, dan rasa keindahannya. Dari analisis ini dapat disimpulkan beberapa hal: (1) ide cerita “ELIANA, ELIANA” tumbuh karena ketertarikan Riri Riza tentang sosok wanita Minang yang dikenalnya, yaitu istrinya. Proses penulisan skenario “ELIANA, ELIANA” Riri Riza dilakukan dari bulan Juni 2000 sampai bulan Agustus dibantu Prima Rusdi. Tahapan proses kreatif Riri Riza menganut Triangel System, yaitu sutradara, penulis skenario dan produser film
duduk dalam
satu
kursi. Pada tahap
penyempurnaan, dilakukan penajaman karakter, perubahan judul, dan pemotongan adegan, (2) dalam menulis skenario film “ELIANA, ELIANA”, Riri Riza banyak dipengaruhi oleh pengalaman kerjanya dan orang-orang yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
berada di sekelilingnya. Dalam cerita “ELIANA, ELIANA” Riri Riza ingin menghadirkan persoalan alur cerita “ELIANA, ELIANA” hanya berkisar pada pertemuan, pembicaraan, pertengkaran untuk mempertahankan harga diri yang terjadi saat Eliana dan Bunda bertemu. Film karya Riri Riza tidak sedang menjual mimpi, tidak ada jagoan, juga tidak ada tokoh utamanya menderita kemudian menjadi pengusaha sukses pada ending. Setting yang dimunculkan adalah “kawasan belakang” yaitu perkampungan kumuh, yang sempit, air comberan, kamar kontrakan yang mirip kapal pecah, suasana toko-toko setelah tutup, atau gudang tua dengan dinding yang penuh dengan grafiti di daerah Kota Jakarta. b. Skripsi Budi Waluyo C0294009 (2000), Sastra Indonesia FSSR UNS, dengan judul “Obsesi Pengarang dalam Naskah Lakon Pedati Kita di Kubangan Karya Hanindawan (Sebuah Pendekatan Ekspresif)”. Objek penelitian ini adalah naskah lakon “Pedati Kita di Kubangan” karya Hanindawan yang berisi tentang manusia-manusia yang berada di dalam kegelapan, kegulitaan dalam kehidupan yang tak mampu dipahami oleh manusia yang berada di dalamnya. Sumber data primer adalah naskah lakon “Pedati Kita di Kubangan” yang diterbitkan oleh ISI Press Surakarta, sedangkan sumber data sekunder berasal dari berbagai artikel dalam koran. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu suatu metode yang berusaha untuk menjabarkan apa yang menjadi masalah, menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Pendekatan yang digunakan adalah struktural yang dipadukan dengan pendekatan ekspresif. Pendekatan struktural menurut Teeuw dalam skripsi Budi Waluyo adalah pendekatan yang mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masingcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Pendekatan ekspresif ialah pendekatan yang memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis. Pendekatan ini mendefinisikan puisi atau karya sastra sebagai sebuah ekspresi curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:27). Penelitian ini mengungkap tentang tinjauan ekspresif sebagai salah satu cara untuk mendekati sastra. Peneliti berusaha mengupas pandangan pengarang (Hanindawan) yang diwujudkan melalui naskah lakonnya. Untuk mengetahui jiwa pengarang (yang tertuang dalam karyanya), dapat diketahui melalui keterlibatan sosial, biografi pengarang, ideologi, sikap, dan posisi ekonomi. Dari analisis dapat disimpulkan bahwa ekspresi pengarang dalam naskah lakon ini meliputi lima hal yaitu: gaya bahasa dan gaya penulisan, obsesi tentang kemerdekaan,
pandangan
tentang kemerdekaan
ideal,
obsesi
tentang
kepemimpinan dan tentang kepemimpinan yang ideal.
B. Landasan Teori 1.
Pendekatan Ekspresif Pendekatan ekspresif menurut M. H. Abrams dalam bukunya The Mirror
and The Lamp: Romantic Theory and The Tradition menyimpulkan bahwa secara umum kecenderungan utama teori ekspresif dapat dirangkum dengan cara ini: sebuah hasil seni pada dasarnya sesuatu dari dalam yang dibuat eksternal, dari hasil proses kreatif yang bekerja di bawah dorongan perasaan yang diwujudkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
dalam hasil kombinasi persepsi, pemikiran, dan perasaan seorang penyair (M. H. Abrams, 1971:22). Dalam koordinasi beberapa kritik seni Abrams memaparkan empat elemen dalam situasi total suatu karya seni yang dideskriminasi dan dibuat menonjol oleh satu sinonim atau lainnya, dalam hampir semua teori yang bertujuan untuk menjadi komprehensif (M. H. Abrams, l971:6). Berkenaan dengan itu Abrams mengatakan: First, there is the work, the artist product itself. And since this is a human product, an artifact, the second common element is the artificer, the artist. Third, the work is taken to have a subject which, directly or deviously, is derived from existing things-to be about, or signify, or reflect something which either is, or bears some relation to, an objective state of affairs. This third element, whether held to consist of people and actions, ideas and feelings, material things and events, or super-sensible essences, has frequently been denoted by that word-all-work, „nature‟; but let us use the more neutral and comprehensive term, universe, instead. For the final element we have the audience: the listeners, spectators, or readers to whom the work of art is addressed, or to whose attention, at any rate, it becomes available (Abrams, l971:6). Melalui teori di atas, kita mengetahui bahwa pertama, ada suatu karya sastra (karya seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat, ada penikmat karya sastra (pembaca). Menurut Abrams keempat hal ini dapat dijadikan sebagai teori perbandingan agar lebih mudah untuk menganalisis dalam ranah kritik seni (M. H. Abrams, 1971:6-7). Berdasarkan teori di atas, karya sastra dapat dipandang dari empat sudut pandang: (a) mimetik (b) pragmatis (c) ekspresif dan (d) objektif (M. H. Abrams, 1971:8-29). Cara pandang terhadap karya sastra semacam itu dalam memahami atau menelaah karya sastra bisa difokuskan pada: (a) penjelasan seni sebagai dasar commit to user mimetik, (b) efek karya sastra tiruan dari aspek-aspek alam adalah pendekatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
terhadap pembaca bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatis, (c) pengarang bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekspresif, dan (d) karya sastra sebagai karya yang mandiri adalah pendekatan objektif. Tetapi dalam penelitian ini kajian difokuskan pada teori pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis. Pendekatan ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya. Pendekatan ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokannya dengan visium (penglihatan batin) individual penyair/pengarang atau keadaan pikirannya. Sering pendekatan itu melihat ke dalam karya sastra untuk menerangkan tabiat khusus dan pengalaman-pengalaman pengarang, yang secara sadar atau tidak ia telah membukakan dirinya di dalam karyanya (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:27). Dalam proses penciptaan, karya sastra dapat dikatakan sebagai pengalaman. Pengalaman di sini ialah jawaban (response) yang utuh dari jiwa manusia ketika kesadarannya bersentuhan dengan kenyataan (realitas). Disebut utuh karena tidak hanya meliputi kegiatan pikiran atau nalar, akan tetapi juga kegiatan perasaan dan khayal atau imajinasi (Sumardjo dan Saini, 1986:10). Menurut Mursal Esten dalam bukunya Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah bahwa seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas objektif dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentukbentuk realitas objektif yang ada dalam masyarakat. Apabila seorang pengarang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
merasa tidak puas dengan realitas objektif itu, mungkin saja pengarang lalu merasa “gelisah”. Berangkat dari kegelisahannya itulah, pengarang dengan caranya sendiri memprotes, memberontak, mendobrak realitas yang menurutnya tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka pengarang mencoba untuk mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas objektif yang sementara ini ditolak pengarang. Hal inilah yang kemudian diungkapkan melalui karya sastra yang diciptakan pengarang. Pengarang mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang ditemukannya. Pengarang ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia (Mursal Esten, 1993:9). Karya sastra dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra tersebut. Karena sifatnya yang kreatif-imajinatif, karya sastra menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya. Karya sastra novel misalnya, menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari pengarangnya. Sebagai karya seni, karya sastra diciptakan dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya (Fatchul Mu’in, http://pbingfkipunlam.wordpress.com, tanggal 16 Februari 2012 pukul 15.30 WIB). Karena
sifatnya
yang
menghibur
sehingga
karya
sastra
tidak
menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral secara langsung, melainkan mengajarkan kepada pembaca melalui keindahannya. Pesan moral disampaikan oleh pengarang melalui keindahan karya sastra. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
2.
Proses Kreatif Proses kreatif seorang pengarang maupun penulis adalah ruang istimewa
yang tidak bisa diabaikan, karena hal itu menentukan mutu karya ciptaannya (Naning Pranoto, 2011:30). Pengarang yang sering membicarakan proses kreatifnya lebih suka menyinggung prosedur teknik yang dilakukan dengan sadar daripada membicarakan “bakat alam”, atau pengalaman yang menjadi bahan karya, atau karyanya sebagai cermin atau prisma dari pribadi mereka. Cukup jelas alasan seniman-seniman yang sadar diri untuk menyatakan bahwa karya mereka bersifat tidak personal. Jadi seakan-akan mereka memilih tema seperti seorang editor yang menghadapi masalah estetika (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:101). Hal yang menunjang dalam penelitian proses kreatif adalah biografi pengarang, namun biografi hanya bernilai sejauh memberi masukan tentang penciptaan karya sastra. Tetapi biografi dapat juga dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intertektualnya, yang tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:82). Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak terlepas dari latar belakang sosial budayanya. Maka semuanya itu tercermin dalam karya sastranya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:108). Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif (Wellek dan Warren, 1993:97). Williem Miller dalam buku Jakob Sumardjo yang berjudul Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen memaparkan tentang berbagai pengalaman penulis terkenal, yaitu menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan. Banyak yang melakukan secara spontan, tetapi juga ada yang berkalikali mengadakan koreksi dan penulisan kembali. Artikel ini ditulis sekitar sejam, tapi ada juga penulis yang melakukannya berhari-hari. Potensi dan tabiat orang memang tidak sama. Namun dalam kerja menulis, cepat atau lamban, selalu mengalami proses kreatif yang hampir sama (Jakob Sumardjo, 1997:69). Dalam buku Jakob Sumardjo tersebut juga memaparkan bahwa terdapat empat tahap proses kreatif menulis. Pertama, tahap persiapan, dalam tahapan ini seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis dan bagaimana ia akan menuliskannya. Apa yang akan ditulis adalah gagasan, isi tulisan. Sedang bagaimana ia akan menuangkan gagasan itu adalah soal bentuk tulisannya. Soal bentuk tulisan inilah yang menentukan syarat teknis penulisan. Kedua, tahap inkubasi (masa pengendapan atau meditasi). Pada tahap ini gagasan yang telah muncul tadi disimpannya dan dipikirkannya matang-matang, dan ditunggunya waktu yang tepat untuk menuliskannya. Selama masa pengendapan ini biasanya konsentrasi penulis hanya pada gagasan itu saja. Di mana saja dia berada dia memikirkan dan mematangkan gagasannya. Ketiga, saat inspirasi (munculnya ide), tahapan inilah tahap yang menggelisahkan. Inilah saat “Eureka” yakni saat yang tiba-tiba seluruh gagasan menemukan bentuknya yang amat ideal. Gagasan dan bentuk ungkapnya telah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
jelas dan padu. Ada desakan kuat untuk segera menulis dan tidak bisa ditunggutunggu lagi. Kalau saat inspirasi ini dibiarkan lewat, biasanya bayi gagasan akan mati sebelum lahir. Gairah menuliskannya lama-lama akan mati. Keempat, tahap penulisan. Kalau saat inspirasi telah muncul maka segeralah lari ke mesin tulis atau komputer atau ambil bolpoin dan segera menulis. Keluarkan segala hasil inkubasi selama ini. Tuangkan semua gagasan yang baik atau kurang baik, muntahkan semuanya tanpa sisa dalam sebuah bentuk tulisan yang direncanakannya. Rasio belum boleh bekerja dulu. Bawah sadar dan kesadaran dituliskan dengan gairah besar. Hasilnya masih suatu karya kasar, masih sebuah draft belaka. Spontanitas amat penting di sini. Kelima, tahap revisi. Setelah “melahirkan” bayi gagasan di dunia nyata ini berupa tulisan, maka istirahatkanlah jiwa dan badan anda. Biarkan tulisan masuk laci. Kalau saat-saat dramatis melahirkan telah usai dan otot-otot tak kaku lagi, maka bukalah laci dan baca kembali hasil kasar dulu itu. Periksalah dan nilailah berdasarkan pengetahuan dan apresiasi yang kau miliki. Buang bagian yang dinalar tak perlu, tambahkan yang mungkin perlu ditambahkan (Jakob Sumardjo, 1997:69-72).
C. Kerangka Pikir Kerangka pikir dalam mendeskripsikan penelitian ini dituangkan sebagai berikut. 1. Berdasarkan rumusan masalah, dilakukan penelitian mengenai proses kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang menentukan keekspresifan Dinda Natasya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
2. Penentuan klasifikasi karya-karya Dinda Natasya dalam tataran proses kreatif yang dijadikan sampel untuk penelitian ini. 3. Tahap selanjutnya melakukan wawancara mendalam dengan narasumber, guna mengetahui sisi kekhasan kepengarangan Dinda Natasya. 4. Tinjauan pengarang atau riwayat hidup pengarang juga dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. 5. Tahap akhir penelitian ini adalah analisis terhadap data-data untuk mengerucutkan menjadi satu simpulan berupa proses kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya. Bagan Kerangka Pikir Penelitian Proses Kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya
Klasifikasi karya Dinda Natasya dalam tataran proses kreatif
Wawancara dengan Dinda Natasya
Riwayat hidup Dinda Natasya
Analisis proses kreatif dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya
Simpulan keekspresifan Dinda Natasya yang didapat dari proses kreatif kepengarangannya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Atar Semi dalam buku Suwardi Endraswara penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar-konsep yang sedang dikaji secara empiris (Suwardi Endraswara, 2011:5). Penelitian ini juga dilakukan dengan memenuhi ciri
penting dari
penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antara lain: (1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama (Suwardi Endraswara, 2011:5).
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel itu hendak digeneralisasikan (Sutrisno Hadi, 1983:70). Populasi penelitian ini adalah Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Adapun populasi sampling dari penelitian ini adalah beberapa puisi dan kisah yang diambil dari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang berkaitan erat dengan latar belakang masalah. 1. Sampel Sampel adalah sebagian individu yang diselidiki. Satu persoalan penting yang dihadapi oleh seorang penyelidik jika ia hendak mengadakan research sampling adalah bagaimana ia dapat memperoleh sampel atau sampel-sampel yang dapat “mewakili” populasi. Tentulah yang dimaksud dengan “mewakili” bukanlah duplikat atau “replika” yang cermat, melainkan hanya sebagai “cermin yang dapat dipandang menggambarkan secara maksimal keadaan populasi (Sutrisno Hadi, 1983:70). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan pada ciri-ciri atau sifatsifat yang dipandang mempunyai sangkut paut dengan populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Sutrisno Hadi, 1983:82). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sampel yang disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah beberapa puisi dan kisah yang diambil dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang berkaitan erat dengan latar belakang masalah sehingga mampu menentukan masing-masing standar estetis untuk penelitian ini.
C. Data dan Sumber Data 1. Data Data yang digunakan adalah data kualitatif yaitu data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Data dalam bentuk kata commit to user verbal sering muncul dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama, atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
sebaliknya; sering muncul dalam kalimat panjang lebar, yang lain singkat melainkan perlu dilacak kembali maksudnya:dan banyak lagi ragamnya. Data kata verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan sistematis (Noeng Muhadjir, 1996:29). Data dapat berupa pemakaian bahasa (ungkapan, kalimat, dan diksi), perilaku masyarakat, buku-buku, dokumen, arsip dan lainlain. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa kisah dan puisi dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk menentukan proses kreatif pengarang dan keekspresifan Dinda Natasya. 2. Sumber Data Sumber data merupakan asal muasal data-data penelitian itu diperoleh yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Data-data penelitian itu juga berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Datadata yang diperoleh dalam penelitian ini mempunyai sumber yang jelas dan pasti. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a.
Informan Sumber data dalam penelitian ini adalah informan, yaitu Dinda Natasya.
Dinda Natasya dijadikan sumber data karena penelitian ini membicarakan masalah proses kreatif penulisan sebuah karya. Sehingga informasi penulis sangat penting dalam memberikan data-data yang diharapkan peneliti. b.
Kepustakaan Sumber kepustakaan dalam penelitian ini adalah Dialog Cinta Oase
Samudra Biru karya Dinda Natasya dan Anto Hprastyo yang diterbitkan pada tahun 2010 oleh Mata Aksara dan hasil wawancara dengan Dinda Natasya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27 D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan untuk memperoleh data yang berkualitas. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini adalah melalui penggolongan klasifikasi Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang sesuai dengan tujuan penelitian dan wawancara terhadap pengarang (teknik kerja sama dengan informan). Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan individu maupun individu kelompok (Nyoman Kutha Ratna, 2010:222).
E. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data merupakan tahap analisis setelah seluruh data terkumpul. Teknik analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi dan sejenis itu (Tatang M. Amirin, 1990:95). Sesuai dengan penelitian ini yang berupa penelitian kualitatif, maka teknik analisis data dari penelitian ini berupa pendeskripsian data penelitian secara kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yaitu sebagai berikut. 1.
Tahap Deskripsi Data Tahap deskripsi data bertujuan untuk membuat gambaran sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, dan hubungannya dengan fenomena yang diteliti. Deskripsi data merupakan pendefinisian tentang pengertian-pengertian yang berhubungan dengan karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:183). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
2.
Tahap Klasifikasi Data Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan data-data yang telah
dideskripsikan sesuai dengan permasalahan. Tahap klasifikasi data merupakan penggolongan yang memilah-milahkan data sesuatu dengan kelompoknya, kategori pengelompokkan bersifat natura (Suwardi Endraswara, 2011:154). 3.
Tahap Analisis Data Dalam penelitian ini data dianalisis dari segi proses kreatif pengarang
untuk menemukan keekspresifannya. Analisisnya berdasarkan tahap pengambilan sampel untuk menentukan klasifikasi, penentuan konflik sosial dalam klasifikasi, dan pengolahan data hasil wawancara terhadap objek penelitian. Knox C Hill dalam buku Rachmat Djoko Pradopo memaparkan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur kompleks, maka untuk memahaminya perlu adanya analisis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsurunsurnya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:93). 4.
Tahap Interpretasi Data Tahapan ini memberikan pemaknaan pada data yang telah dianalisis
dalam kesesuaian dengan tujuan penelitian tanpa mengurangi keobjektifannya. Tahap ini adalah tahap untuk memberikan penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:93).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29 F. Teknik Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian diperoleh melalui data yang telah diolah, dianalisis, dan dievaluasi pada rangkaian tahap sebelumnya. Teknik penarikan kesimpulan ini melalui ragam induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus konkret itu ditarik generalisasigeneralisasi yang mempunyai sifat umum. Dalam generalisasi semacam ini sudah tentu hal-hal atau peristiwa-peristiwa khusus yang dijadikan dasar generalisasi itu masih termasuk dalam daerah generalisasi yang dianggap benar itu. Artinya, jika suatu generalisasi dikenakan pada peristiwa-peristiwa khusus dari mana generalisasi itu diambil, maka harus ada kococokan hakekat (Sutrisno Hadi, 1983:42).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
BAB IV PEMBAHASAN
A.
Proses Kreatif Kepengarangan Dinda Natasya
1. Tahap Persiapan Setiap pengarang memiliki cara masing-masing untuk melalui tahap persiapan dalam proses penciptaan karya sastranya. Tahap persiapan tergantung pada sejauh mana pemikiran dan pengalaman yang dialami oleh pengarang. Karya sastra yang berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan pengarang juga tidak terlepas dari peran pengarang dalam mengolah tahapan ini. Peran pengarang sangat penting dalam mengolah dan mengembangkan pemikirannya untuk kemudian dituangkan ke dalam karya sastra. Tahap persiapan, dalam tahapan ini seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis dan bagaimana ia akan menuliskannya. Apa yang akan ditulis adalah gagasan, isi tulisan. Sedang bagaimana ia akan menuangkan gagasan itu adalah soal bentuk tulisannya. Soal bentuk tulisan inilah yang menentukan syarat teknis penulisan (Jakob Sumardjo, 1997:69-70). Pada tahap ini Dinda Natasya memiliki gambaran akan bagaimana karyanya nanti. Meski tidak banyak persiapan yang dilakukan Dinda Natasya dalam proses perciptaan karya sastranya. Dinda Natasya menulis hanya karena apa yang dilihat dan didengarnya. Dinda Natasya selalu menempatkan dirinya pada posisi mereka yang menjadi inspirasinya agar dapat ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Dinda Natasya melakukannya dengan cara spontan. Bahkan ia mengaku dirinya lebih cepat berbicara daripada menulis. Bagi Dinda Natasya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
begitu ada topik yang “dilemparkan” untuknya maka dengan cepat sajak-sajak akan mengalir dari ucapannya. Hal ini disebabkan dari kebiasaan Dinda Natasya sebagai penyiar yang telah terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Spontan adalah serta merta; tanpa dipikir; atau tanpa direncanakan lebih dulu; melakukan sesuatu karena dorongan hati, tidak karena dianjurkan dsb (Dendy Sugono, 2008:1335). Kespontanan Dinda Natasya tersebut tercermin pada puisi yang terdapat dalam judul dan lariknya. Seperti dalam puisi PadaMu (hal 72), Tak Sepi (hal 73), dan Romansa (hal 75). Judul-judul dan larik-larik yang terdapat di dalamnya tergolong singkat atau pendek-pendek dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain. Dinda Natasya mengungkapkan curahan hatinya tanpa berpikir panjang. Berkaitan dengan pengertian spontan, hal itu menunjukkan bahwa puisi tersebut memang merupakan puisi yang bersifat ekspresi spontan dari Dinda Natasya. Berikut kutipan salah satu dari ketiga puisi di atas yang menunjukkan ekspresi spontan dalam tulisannya. ROMANSA Di dinding kamarku Putih susu Diam memandang Kala mataku pejam. Disudut ranjangku Bayang keemasan Hangat menyusup Saat tubuhku tergetar Di langit-langit malamku Romansa tertinggal Penuh bisik lirih Saat anganku terkenang Wangi cendana membingkai indah commit to user Wajah cinta dalam rona pelangi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Indah tercium Walau hasrat tengah tenggelam Wahai Kidung asmarandana Kau di sini Tinggal di kamar hati Menebar romansa asmara Malam minggu sendiri. Jakarta, 30 Januari 2010. (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:75) Meski demikian kespontanan Dinda Natasya tersebut juga berkaitan dengan profesinya sebagai penyiar yang terbiasa berpikir cepat dan dapat langsung mengungkapkan pendapatnya dengan cepat ketika ada topik yang diberikan untuknya. Sama halnya ketika dalam tahap persiapan ini, Dinda Natasya tidak memerlukan banyak persiapan untuk menulis. Karena sebagai penyiar yang sudah cukup berpengalaman selama lebih dari 25 tahun, Dinda Natasya juga banyak menyimpan pengalaman, baik itu dari dirinya maupun dari pendengarnya atau orang lain (“pasien-pasiennya”). Kespontanan Dinda Natasya tersebut juga diungkapkannya dalam kutipan hasil wawancara berikut. Jadi, ketika itu Bunda tulis peristiwanya, hal-hal yang penting apa. Nanti kalau sudah ada waktu, tidak lama sih, maksudnya beberapa waktu kalau itu pagi atau malamnya yang penting tidak jauh dan masih ingat langsung dibikin. Tapi, tulisan tangan itu ya dicatatan... Karena Bunda dipakai siaran, dipakai siaran itu tidak menganggap. Beda ya, jadi ga pakai laptop, kalau orang kan tulis dulu di .... terus pakai laptop. Ngomongnya kita cepat ya kalau nulis, dalam hitungan menit kita harus sudah, ada kasus hitungan menit, Bunda harus On Air lagi. Jadi kalau ada ide sekelebat masuk ya langsung catat, sampaikan, nanti kan kalau itu penting ke belakangnya itu baru dikembangkan di..di apa, ditulis lebih luas gitu kan wawasannya ditambahin supaya membaca juga itu bisa jadi ilmu gitu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012). Dinda Natasya menggunakan pemikirannya dalam mempersiapkan tahap ini untuk menciptakan karya-karyanya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru, commit to user terutama persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Cinta dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
pengertian yang luas yaitu cinta kepada Tuhan, sesama mahkluk sosial, kisah kasih pria dan wanita, orang tua kepada anak, dan sebagainya. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut. Ya Allah Padamu bersimpuh di ujung sajadah Menggenggam tasbih Pejam tertunduk Hingga basah mata Mengigil ngilu Merindui hadirmu di setiap waktuku Engkaulah hidupku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:72) Wujud cinta kepada Tuhan sangat terlihat dalam kutipan puisi PadaMu di atas. Dinda Natasya mengungkapkan bahwa wujud cinta itu dilakukan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah sholat yang diakhiri dengan membaca tasbih yang tampak dalam puisi tersebut merupakan wujud nyata kecintaan Dinda Natasya pada Tuhannya. Wujud cinta Dinda Natasya yang lain yaitu sesama mahluk sosial tampak dalam kutipan berikut. ...Boleh kau ingatkan belenggu atasku Dan kau rantai kehidupanku Tapi kemanakah nurani Jika aku merasa belenggu ini bukan milikku Kebebasan itu terbatas tipis Apakah aku ini bersalah? Apakah aku ini pendosa? (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:102) Persoalan sosial seperti yang tampak dalam kutipan puisi di atas merupakan contoh tipisnya kecintaan antar-sesama makhluk sosial berupa ketidakpedulian dengan bertindak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menghakimi sesamanya. Cinta dalam pengertian antar sesama makhluk sosial juga tampak dalam kutipan puisi Cinta Tak Bertuan Antara Oase, Samudra Biru dan Pandeka, yaitu “...Dan sesungguhnya cinta tak bertuan. Ia milik siapa commit to2010:96). user saja” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Maksud dari judul dan kutipan puisi yang saling berkaitan di atas adalah cinta Dinda Natasya, Samudra Biru, dan Pandeka dapat dimiliki oleh siapa saja. Hal ini barkaitan dengan profesinya sebagai “dokter cinta” yang menerima dengan tangan terbuka bagi siapa saja yang datang padanya untuk mencurahkan isi hatinya. Dinda Natasya selain menjadi pendengar setia, ia juga mampu memberi kenyamanan dan kedamaian serta membantu memberi solusi semampunya kepada “pasien-pasiennya”. Sebab itulah Dinda Natasya banyak dicintai oleh “pasienpasiennya” dan orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan Samudra Biru sebagai penulis, karena tulisan-tulisannya yang bersifat menghibur dan dapat memberi nasihat-nasihat atau pesan secara tidak langsung. Sebagian besar “pasien-pasien” Dinda Natasya datang dengan membawa persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta, termasuk persoalan percintaan antara pria dan wanita. Hal tersebut tampak dalam kutipan puisi Menyapa dengan Cinta (hal 93) berikut. Aduhai Betapa indah cinta menyapa dunia Santunmu sesakkan dada Bukan lembut buai angin menerpa ilalang Senja itu milikku, biarlah kubingkai dengan hatiku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:93) Pengertian cinta dalam kutipan di atas merupakan cerminan kisah seseorang yang sedang jatuh cinta kepada lawan jenis atau dapat dikatakan mabuk cinta. Mabuk adalah berbuat di luar kesadaran; sangat gemar (suka); tergila-gila; sangat birahi; mabuk asmara (Dendy Sugono, 2008:852). Dalam kaitannya dengan hal ini kisah percintaan tak selalu sesuai harapan, ada yang patah hati karena cinta. Hal tersebut tampak dalam judul puisi Puisi Para Mantan, yang commit to user mencerminkan tentang kisah cinta yang sudah berakhir sehingga orangnya disebut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
dengan mantan (misalnya mantan kekasih). Mantan adalah bekas (Dendy Sugono, 2008:514), sedangkan kekasih merupakan (orang) yang dicintai; buah hati (Dendy Sugono, 2008:397). Jadi sebenarnya pengertian mantan kekasih tidak hanya ditujukan untuk pacar tetapi juga merupakan istilah penyebutan bagi bekas atau orang yang pernah dikasihi. Pengertian cinta yang begitu luas sehingga tidak menutup kemungkinan cinta hadir kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja. Termasuk cinta orang tua kepada anaknya yang tidak pernah pudar dan tercermin dalam puisi berjudul Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106) dan Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79). Dari judul puisinya saja sudah sangat terlihat bahwa Dinda Natasya ingin menunjukkan betapa besar rasa cintanya untuk kedua anaknya. Menuliskan puisi khusus untuk anak-anak istimewanya itu. Cinta Dinda Natasya juga layaknya cinta seorang ibu sepanjang masa, hal tersebut tampak dalam kutipan puisi Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79), yaitu“...May Allah bless you: little princess. Cinta ibu hidup dalam jiwamu tak pernah mati” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:79). Hal tersebut juga merupakan bentuk ungkapan atau penyataan cinta Dinda Natasya untuk kedua anaknya. Pada larik “...May Allah bless you: little princess” memiliki arti “...semoga Allah memberkahimu: putri kecil”, bermakna bahwa Dinda Natasya mendoakan anaknya yang pada saat itu sedang berulang tahun di usia 21 tahun. Meski putrinya telah memasuki usia dewasa Dinda Natasya masih menganggapnya sebagai putri kecil atau “little princess” karena commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
rasa sayangnya yang tidak pernah berkurang sejak putrinya berusia dini hingga dewasa. Demikian itu pengertian cinta yang luas, cinta yang tak mengenal ruang, jarak, dan waktu. Cinta yang dapat singgah di hati siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dinda Natasya mengemas pengertian-pengertian cinta itu ke dalam larik-larik puisi yang apik dan penuh nasihat. Dalam tahap persiapan ini Dinda Natasya banyak mendapat dorongan dari pendengar pada acara siaran langsungnya di PAS FM Radio Bisnis Jakarta dan orang-orang yang sudah sering membaca beberapa petikan tulisan Dinda Natasya di status dinding akun facebook miliknya. Tuntutan dari orang-orang terdekatnya itulah yang sedikit memaksa Dinda Natasya untuk membukukan tulisan-tulisannya. 2. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan atau Meditasi) Pengarang melalui tahap pengendapan dalam proses penciptaan karya sastra sebelum akhirnya menuliskan apa yang telah menjadi gambaran pengarang. Masa
pengendapan
adalah
tahapan
yang
dilakukan
dengan
mencari,
mengumpulkan, mengolah, sekaligus memikirkan hal-hal yang dianggap perlu untuk memperkuat ide pengarang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari tahapan-tahapan tersebut adalah, (1) mencari adalah beusaha mendapatkan (menemukan, memperoleh), (2) mengumpulkan adalah membawa sesuatu dan menyatukan dengan yang lain agar dapat berkumpul, (3) mengolah adalah memasak (mengerjakan, mengusahakan) sesuatu (barang dsb) supaya menjadi lain atau lebih sempurna, dan (4) memikirkan di sini adalah mencari upaya untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akal budi; mempertimbangkan; merenungkan (Dendy Sugono, 2008:245-1073). Pengertian-pengertian
tersebut
dalam
kaitannya
dengan
masa
pengendapan merupakan tahapan yang harus dilalui sebelum pada akhirnya menuliskan. Tidak sulit bagi Dinda Natasya untuk mencari dalam tahapan ini, karena ia banyak mendapat inspirasi dari pengalaman hidup baik diri sendiri maupun orang lain. Dari pengalaman pendengar dan “pasien-pasiennya” itu dengan tidak disadari telah terkumpul banyak hal sehingga menjadi konsep berpikir Dinda Natasya. Kemudian Dinda Natasya mengolahnya sekaligus memikirkan dengan memilah-milah hal-hal yang dianggap perlu dalam membagikan konsep berpikirnya tentang pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam tulisan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Salah satu yang menjadi cerminan dari hal tersebut terdapat dalam pernyataan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yaitu Catatan Lain Tentang Penjara. Terdapat suatu pernyataan tentang pengalaman Dinda Natasya yang menghasilkan puisi Mimpi 18 Hari (hal 15) dan kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 12-14) itu sendiri, berikut kutipannya. ...Ini adalah pengalamanku ketika aku banyak mendengar suara-suara dari balik penjara. Merasakan pahit getirnya kehidupan dan indahnya persahabatan yang tersampaikan lewat forum curhat baik yang melalui SMS, telepon pribadi ataupun yang online melalui acara di radio. Aku seakan tinggal di dalam (ruang tahanan) selama 18 hari (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:13). Kedua, tahap inkubasi (masa pengendapan atau meditasi). Pada tahap ini gagasan yang telah muncul tadi disimpannya dan dipikirkannya matang-matang, dan ditunggunya waktu yang tepat untuk menuliskannya. Selama masa commitpenulis to userhanya pada gagasan itu saja. Di pengendapan ini biasanya konsentrasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
mana saja dia berada dia memikirkan dan mematangkan gagasannya (Jakob Sumardjo, 1997:70). Pada beberapa karya Dinda Natasya merupakan curahan hatinya ketika berhadapan atau merasakan suatu keadaan yang mengganggu pikirannya. Menurutnya, menulis adalah cara pelampiasan untuk menjadikan perasaan dan pikiran negatif menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain dan juga dirinya secara pribadi. Dinda Natasya mengaku tidak banyak melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti apakah pesan yang disampaikan lewat tulisannya itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemikiran Dinda Natasya atau tidak. Juga apakah bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak oleh pembaca (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Cara yang dilakukan Dinda Natasya tersebut merupakan kompensasi sebagai salah satu penyeimbang untuk mendapatkan katarsis yaitu penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan (Dendy Sugono, 2008:635). Bentuk pelampiasan yang dilakukan Dinda Natasya ini sebagai pengalihan dari pikiran negatifnya terhadap suatu keadaan yang kemudian diolah dan dituangkan ke dalam tulisannya agar lebih bermanfaat untuk pembacanya. Namun tidak semua pemikiran setiap pembaca itu sama, karena pembaca memiliki cara pandang yang berbeda. Cara pandang tersebut juga bergantung pada latar belakang kehidupan, wawasan, dan pengalaman hidup pembaca sehingga mempengaruhi daya tangkap mereka. Dalam kaitannnya dengan hal tersebut, peneliti dapat menangkap hal positif dari hasil bacaannya sehingga dapat menjadi hal yang lebih bermanfaat dan dijadikan sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
pembelajaran tanpa mengalaminya secara langsung. Karena selain dari pengalaman yang dialami oleh diri sendiri, kita juga dapat belajar dari pengalaman orang lain. Bagi peneliti, orang yang tidak memiliki banyak pengalaman bacaan, mungkin tulisan Dinda Natasya tersebut hanya sekedar bacaan yang menghibur sehingga tetap bermanfaat. Hal di atas tercermin dalam puisi Dinda Natasya yaitu Kalah (hal 70-71) dan Puisi Para Mantan (hal 112-113), berikut kutipannya. KALAH Ya Allah Engkau mengajariku cinta Dalam kegalauan mencoba mencari Apa makna yang telah kau beri Tentang memberi dan menerima Tentang ketulusan dan keikhlasan Ya Allah Hari ini aku tersesat jauh Dalam perjalananku meraih cintamu Seseorang datang menghadang langkahku Aku gagal mendapatkanmu Karena aku memberi seluruh cintaku Dan menerima fatamorgana ini Yang telah menjauhkanku darimu Ya Allah Inilah tipu muslihat cinta Yang ku lihat adalah kesenangan dunia Kebahagiaan semu yang ternyata membuatku menderita Karena cintaku telah melebihi persembahanku padamu Ya Allah Jika akhirnya tangis dan sesal Tak bisa lagi menolong Siapakah yang akan selamatkanku dari siksa ini Jika bukan karena kasih sayangmu Ampunilah aku ya Tuhanku Karena cinta ini telah membutakan matahatiku Ya Allah commit Bebaskan aku dari penjara cinta ini to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
Biarkan aku kembali padamu Jangan kau hukum aku atas semua kesalahan ini Karena mencintainya melebihi cintaku padamu Seperti yang seharusnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71). Puisi di atas merupakan curahan hati Dinda Natasya yang menuliskan tentang kekalahan manusia, ketika manusia itu kalah dalam menempatkan dirinya di posisi sebagai manusia. Karena hidup, mati, rezeki, dan terutama jodoh adalah milik Tuhan artinya manusia semestinya tunduk dan patuh terhadap takdir yang menjadi kehendak Tuhan. Kemudian dalam puisi Kalah (hal 70-71), Dinda Natasya mengemas bentuk kekalahan tersebut berupa kalahnya intuisi manusia terhadap nafsunya sendiri. Dalam menulis puisi tersebut, Dinda Natasya banyak melihat “kekalahan” orang-orang dalam menjalin hubungan, meski taat dalam agamanya namun cinta mereka bisa mengalahkan keimanan. Misalnya manusia lebih berani meninggalkan Tuhan untuk kekasihnya daripada meninggalkan kekasihnya untuk Tuhan sehingga sama halnya dengan nekat meninggalkan agama. Demikian yang diungkapkan Dinda Natasya dalam kutipan hasil wawancara melalui telepon berikut. Kalau di Kalah itu Bunda menuliskannya itu kekalahan manusia ketika ia kalah menempatkan dirinya di posisinya sebagai manusia. Karena kalau jodoh, mati, rejeki, itu milik Tuhan artinya kan manusia tunduk patuh sama takdir sama kehendak-Nya kan. Nah, ketika kekalahan itu adalah kalah karena intuisinya ya kalah sama nafsunya sendiri maka kekalahan itu kan kekalahan mutlak. Karena ia tidak mungkin tidak bangkit, kecuali kalau Tuhan sendiri yang datang menolong ya, ... ...Kalau bicara tentang menganalisa permasalahan remaja, percintaan yang gagal, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan ketuhanan yang kemudian menjadi abu-abu ketika cinta masuk dan manusia menjadi Kalah tadi kan. Ee akhirnya itu lebih berani meninggalkan Tuhan daripada ee apa ya namanya, berani meninggalkan kekasihnya untuk Tuhan. Kan lebih pada nekat ninggalin agama (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012). Dinda Natasya merasa banyak manusia telah “mengkhianati” Tuhan commit to userkepada Tuhan sehingga ia merasa dengan mencintai seseorang melebihi cintanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
tertekan dan bersalah atas apa yang terjadi dengan hatinya. Maka dari itu, puisi tersebut juga merupakan doa yang disampaikan Dinda Natasya dalam memohon ampun dan petunjuk kepada Tuhan agar manusia tersebut dapat kembali menjadi makhluk yang bertakwa, yaitu terpeliharanya sifat diri untuk tetap tata melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya; kesalehan hidup (Dendy Sugono, 2008:1382). Seperti yang diungkapkan Dinda Natasya dalam kutipan wawancara berikut. Kemudian mungkin bisa menyerahkan, menyerah kalah „Ya Tuhan aku kalah, dan aku kembalikan lagi kepada-Mu gitu, jangan sampai aku meneruskan ini tapi dengan kemenangan yang salah‟ kan gitu. Jadi intinya begitu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012). Dari pergulatan pikiran negatif Dinda Natasya itulah, yang kemudian Dinda Natasya mengolahnya ke dalam tulisan sehingga lebih bermanfaat untuk pembacanya atau orang lain. Hal tersebut tentunya dengan tujuan agar pembaca dapat mengambil sisi positif dari tulisan Dinda Natasya dan dapat dijadikan sebagai pembelajaran dan doa. Seperti yang diungkapkan Dinda Natasya berikut. “Semuanya itu adalah doa untuk pembicaraan permohonan pencerahan ya, merujuk pada Tuhan. Untuk puisi Kalah semuanya begitu.” (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012) Dalam pengetikan puisi Kalah tersebut, peneliti juga mengkritisi penggunaan ejaan yang salah pada kata ganti “-Mu” dalam larik: “…Dalam perjalananku meraih cintamu”, “…Aku gagal mendapatkanmu”, “…Yang telah menjauhkanku darimu”, “…Karena cintaku telah melebihi persembahanku padamu”, “…Jika bukan karena kasih sayangmu”, “…Biarkan aku kembali padamu”, dan “…Karena mencintainya melebihi cintaku padamu” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71). Kata ganti “-Mu” dalam larik-larik to user puisi tersebut dituliskan dengan commit ejaan “m” kecil dan tanpa tanda hubung (-) di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
depan huruf “m”. Hal tersebut merupakan kesalahan editor dalam menafsirkan puisi dari rekaman siar Dinda Natasya ke dalam tulisan saat menyusun buku Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Karena seharusnya kata ganti tersebut ditulis menggunakan huruf “m” kapital dengan tanda hubung (-) di depan huruf “m” kapital. Jadi, kata ganti “-Mu” tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk semua kebesaran dan segala milik Tuhan, sehingga “-Mu” adalah Tuhan. Hal tersebut juga karena penulisan “Mu” tanpa tanda hubung (-) yang dilakukan oleh Dinda Natasya dapat diartikan sebagai penyatuan yang sangat antara mahluk dan Tuhannya. Berikut kutipan ungkapan hasil wawancara dengan Dinda Natasya. Kalau dipenulisan, sorry, kalau Bunda itu kan menulis gunanya untuk disiarkan ya. Di siaran itu tidak bisa dibaca antara “Mu” besar “Mu” kecil, jadi kalau misalnya kitanya sudah disiarkan direkam kemudian di, ee sesuatu yang direkam kemudian ditulis. Ejaan dibaca sama ejaan ditulis kan tidak, tidak bisa dimengerti oleh orang yang mengedit...” Bunda kan biasa menggunakan tulisan untuk siaran, untuk audio bukan visual jadi karena kebiasaan bekerja di radio kadang-kadang orang selalu akan salah menafsirkan kata-kata “Mu” besar “Mu” kecil kecuali kalo diapa ya, ditunjukkan dalam kalimat yang memang diartinya ada perbedaan antara menulis “Mu” besar dan “Mu” kecil. Semua kata “Nya”, “Mu” atau yang menjadi nama dengan huruf besar pasti adalah katakan di Tuhan, kan gitu. Ya, penafsiran editornya saya rasa yang berbeda (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012). Kompensasi lain yang dilakukan oleh Dinda Natasya sebagai salah satu penyeimbang untuk mendapatkan katarsis terdapat dalam puisi berikut. PUISI PARA MANTAN Untuk yang patah hati : Bangun! Dulu aku ada Kau puja kau sayang kau cinta Kini ku tak ada Kau buang kau hina kau nista Roda memang telah berputar Musim telah berganti Mana janji manismu, cinta setia sampai mati commit to user Kini tak ada tersisa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
Pergimu disaat ku jatuh sendiri terpuruk Aku memang pantas Hanya mantanmu Sakit teriris hati, sepi saat cinta pergi Tapi aku sudah berusaha Tak apa Sendiri tanpamu tak buatku takut Luka yang kau toreh tak membunuhku Sedih itu tak sesatkan langkah Memang mantanmu Masih sang juara Tak apa Dulu kau tiada Kujaga kubawa kuserta Kini kau tiada Kuterjaga kuasa kuberusaha Roda kembali berputar Musim kini milikku Biarkan janji, tak harus setia untuk mati Biarkan janji, tak perlu mati untuk setia Semua hanya ada asa Pergimu bangunkanku dari jatuh Aku tak pantas Memang tak pantas jika hanya meratap Tak akan terkikis hati. Cinta sudah pergi Aku selalu terjaga asa Tak apa Sendiriku kan salut taklukkanmu Duka menoreh semangat, ini hidupku! Sedih bawaku tempatkan lebih baik Walau dulu mantanmu Aku masih juara Sungguh, tak apa! (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112-113) Dari puisi di atas Dinda Natasya mencoba mencurahkan pemikirannya tentang kisah cinta seseorang yang sedang patah hati. Dinda Natasya mengemasnya dalam bahasa yang ringan dan menyelipkan pesan di dalamnya sehingga mampu membangkitkan semangat meski telah patah hati. Seperti dalam kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
...Sendiri tanpamu tak buatku takut Luka yang kau toreh tak membunuhku Sedih itu tak sesatkan langkah Memang mantanmu Masih sang juara Tak apa... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112) Masa pengendapan yang dialami oleh Dinda Natasya memang diasumsikan tidak memakan waktu yang lama, karena pengalamannya sebagai penyiar selama lebih dari 25 tahun menjadi pendukung utama dalam terciptanya Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Hal tersebut diakuinya karena bahasa yang digunakan seorang penyiar adalah bahasa tutur, sehingga jarang menulis. Dinda Natasya juga mengakui bahwa Dialog Cinta Oase Samudra Biru adalah buku pertama dan untuk pertama kalinya ia menulis dan mencoba memindahkan apa yang biasa disampaikan di udara ketika sedang siaran ke dalam tulisan (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:viii). Pernyataan Dinda Natasya dalam bukunya tersebut juga didukung dengan pernyataannya dalam email yang dikirimkan kepada peneliti. Berikut kutipannya. ...Saya lebih cepat bicara dari pada menulis. Bisa seketika saya lakukan begitu ada topik yang menggelitik pikiran saya. Mungkin kebiasaan saya siaran yang menyebabkan saya terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah. (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Hal tersebut juga yang melatarbelakangi kespontanitasan gaya menulis Dinda Natasya. Banyaknya pengalaman yang mengendap dalam diri dan pikirannya sehingga membuat Dinda Natasya seperti memiliki gudang gagasan atau dapat dikatakan juga memiliki wawasan yang luas. Maka saat Dinda Natasya ingin menulis atau diberi suatu topik sebagai bahan pembahasan, ia akan dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
cepat mengutarakan dan mengeluarkan satu per satu pendapat dan curahan hatinya. 3. Tahap Inspirasi atau Munculnya Ide Karya sastra merupakan satu hal yang tidak terlepas dari proses kreatif pengarangnya. Seorang pengarang melahirkan suatu karya sastra dengan pemikirannya tentang suatu realitas objektif yang ada di sekitarnya. Setelah melalui tahap persiapan dan pengendapan, maka dari pemikiran pengarang tentang suatu realitas objektif tersebut akan memunculkan inspirasi atau ide untuk kemudian dituangkan melalui tulisan-tulisannya. Seperti yang tampak pada kutipan Kisah Seorang Pramuria berikut. BERJALAN DI SEPANJANG Hayam Wuruk semua ada dijual. Termasuk harga diri! Penjaja cinta mereka yang terpaksa menjual diri, terpaksa apa terpaksa? Lha kok wajahnya senang dan menikmati profesi begitu to ya! Ya Allah HambaMu ini berjalan di tengah malam bekerja karena ibadah kepadamu. Saya hanya ingin mencari makanan untuk sahur, bukan ingin melihat kehidupan malam yang muram di Jakarta. Kuatkan langkahku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:19). Puisi di atas merupakan contoh salah satu realitas objektif sebagai inspirasi yang dituangkan ke dalam karya oleh Dinda Natasya. Realitas objektif merupakan suatu kenyataan mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi (Dendy Sugono, 2008:975). Realitas objektif tersebut tampak dalam Kisah Seorang Pramuria di atas yaitu menggambarkan seorang pekerja seksual yang pada awalnya terpaksa melakukan pekerjaan itu karena tuntutan ekonomi. Namun pada akhirnya menikmati pekerjaan tersebut karena mudah dan cepat mendapatkan uang serta tidak capek. Tahapan inspirasi, inilah tahap yang menggelisahkan. Inilah saat “Eureka” yakni saat yang tiba-tibacommit seluruhtogagasan user menemukan bentuknya yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
amat ideal. Gagasan dan bentuk ungkapnya telah jelas dan padu. Ada desakan kuat untuk segera menulis dan tak bisa ditunggu-tunggu lagi. Kalau saat inspirasi ini dibiarkan lewat, biasanya bayi gagasan akan mati sebelum lahir. Gairah menuliskannya lama-lama akan mati. Dalam tahap inspirasi atau munculnya ide ini, Dinda Natasya juga melakukannya dengan spontan seperti pada tahapantahapan sebelumnya. Hal tersebut tampak dalam kutipan hasil wawancara melalui telepon berikut (Jakob Sumardjo, 1997:71). Engga, biasanya ada ide dikit, ada ide langsung sedikit baru ditulis, ditulis bentuk puisinya sesudahnya, jadi engga seketika. Yang seketika itu biasanya ide, karena kan disaat seketika muncul. Kalo Bunda tuh ngeliat orang, bicara sama orang, terus melihat berita atau wajah-wajahnya, kebetulan mengalami sesuatu Bunda bisa merasakannya secara emosional jadi otak masuk secara emosi seolah ikut terlibat, merasakan betul gitu, gitu kan. Jadi, ketika itu Bunda tulis peristiwanya, hal-hal yang penting apa. Nanti kalo sudah ada waktu, engga lama sih, maksudnya beberapa waktu kalau itu pagi atau malamnya yang penting tidak jauh dan masih inget langsung dibikin. Tapi, tulisan tangan itu ya dicatatan... (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012). Karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo dalam bukunya Dialog Cinta Oase Samudra Biru banyak dipengaruhi dari orang-orang di sekitarnya. Awal mula ketertarikan Dinda Natasya dalam dunia kepenulisan adalah bermula dari pertemuannya dengan Anto HPrastyo atau dikenal dengan nama Samudra Biru dalam buku Dinda Natasya melalui situs jejaring sosial facebook. Anto telah banyak memberi perubahan cara pandang Dinda Natasya terhadap dunia tulis menulis. Dalam siaran langsungnya di PAS FM Radio Bisnis Jakarta, cinta adalah pokok bahasan utama yang harus selalu ada dalam setiap pembicaraan Dinda Natasya. Tulisan-tulisan Anto dalam status akun facebooknya juga menggelitik Dinda Natasya untuk merespon dan mulai terpengaruh untuk menuliskan beberapa komentar dalam bahasa cinta (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
2010:viii). Bahasa cinta hanya merupakan istilah yang digunakan oleh Dinda Natasya, karena yang dimaksudkan bahasa cinta adalah isi tulisan-tulisan Dinda Natasya yang berkaitan erat dan membahas semua hal tentang cinta. Dinda Natasya juga mendapatkan banyak inspirasi dari para pendengar dan teman-teman facebooknya. Persoalan-persoalan yang diangkat oleh Dinda Natasya sebagian besar merupakan persoalan dalam masa pubertas yang kebanyakan mengenai persoalan tentang cinta. Persoalan-persoalan cinta inilah yang kemudian berbias pada persoalan-persoalan sosial. Dinda Natasya banyak mendapatkan pesan melalui SMS dan facebook dari pendengar dan teman-teman facebooknya yang berisi tentang seputar kisah kasih mereka. Kisah-kisah itulah yang menjadi salah satu inspirasi Dinda Natasya dalam memunculkan ide untuk setiap karyanya. Dalam proses pemunculan ide Dinda Natasya juga banyak membaca beraneka ragam status teman-teman facebooknya terutama para penulis dan penyair yang sudah cukup dikenal banyak orang dan telah menerbitkan buku (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Masa pubertas biasanya terjadi di usia 13 tahun pada remaja putri dan 14 tahun pada remaja putra. Pada masa ini seorang anak mengalami masa peralihan dari anak-anak ke masa remaja. Dalam masa peralihan ini anak-anak juga mengalami pencarian jati diri dan melewati proses sebagai pendewasaan bagi anak-anak. Pencarian jati diri biasa dilakukan dengan mencoba segala hal yang berasal dari rasa ingin tahunya yang besar. Pendewasaan adalah proses, cara perbuatan mendewasakan (Dendy Sugono, 2008:323). Sumber asli pengertian masa pubertas menyebutkan seperti berikut. Puberty: the achievement of full generative pouers, together with the to user secondary sex characteristicscommit assosiated therewith.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Puberty age: roughly, about age 14 in boys and 13 in girls, though with wide variations. Puberty rites: in cultural anthropology, the ceremonies of initiation whereby the elders of tribe recognize the new status of these who have reached the puberal growh stage (Harriman, 1963:146). Pengertian masa pubertas di atas juga tercermin dalam puisi Dinda Natasya berikut. PUISI PARA MANTAN Untuk yang patah hati : Bangun! Dulu aku ada Kau puja kau sayang kau cinta Kini ku tak ada Kau buang kau hina kau nista Roda memang telah berputar Musim telah berganti (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112) Dari judulnya saja puisi tersebut sebenarnya dapat diperuntukkan secara umum, karena kata “mantan” di atas tidak hanya dimaksudkan sebagai “mantan kekasih”, tapi dapat juga sebagai “mantan istri/suami”. Namun pada larik-lariknya tampak Dinda Natasya ingin mempersembahkan puisinya untuk para remaja “...Untuk yang patah hati : Bangun!” bahwa yang sedang mengalami kegagalan dalam percintaan dan dirundung patah hati. Karena dalam masa pubertas tersebut, remaja lebih mudah patah semangat hidupnya setelah mengalami patah hati oleh karena pada usia ini mereka cenderung masih labil. Namun Dinda Natasya mengemas nasihatnya dengan apik bahwa justru dengan patah hati seseorang dapat kembali bangkit menjadi pribadi yang kuat. Seperti dalam kutipan “…Roda memang telah berputar. Musim telah berganti” bahwa kesedihan akan berganti dengan kebahagiaan karena roda kehidupan terus berputar. Pada larik tersebut juga menunjukkan bahwa kesedihan pun dapat diolah menjadi power atau kekuatan untuk menghadapi ujiancommit hidup. to Meski user demikian, saat sedih tidak lantas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
seseorang dapat kembali bahagia, namun ada proses yang harus dilalui untuk bahagia, tergantung orang tersebut memilih larut dalam kesedihan atau segera bangkit. Dinda Natasya menggunakan puisi ini sebagai pengingat untuk remaja agar mampu mengendalikan diri sehingga tidak lari pada hal-hal negatif dan dapat segera bangkit dari kesedihan. Dari judul puisi di atas juga dapat dilihat penggunaan tanda baca yang belum lazim digunakan oleh kebanyakan penulis yaitu tanda titik dua (:) seperti dalam larik “...Untuk yang patah hati : Bangun!”. Tanda titik dua (:) seharusnya digunakan yaitu (1) pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian, (2) tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau pemerian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan, (3) dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian, (4) dipakai dalam teks drama sesudah kata yang
menunjukkan
pelaku
dalam
percakapan,
(Pusat
Pembinaan
dan
Pengembangan Bahasa, 1993:43). Namun Dinda Natasya menuliskannya dalam judul puisi yang berbeda dengan kefungsian tanda titik dua (:). Dinda Natasya menggunakannya dengan maksud untuk memperkuat atau mempertegas kata-kata “Bangun”, karena menurutnya itu adalah hal yang paling penting dari keseluruhan isi puisi tersebut yaitu bangun dari keterpurukan yang disebabkan oleh cinta. Dinda Natasya mengeksplorasi tanda titik dua (:) sebagai jeda sekaligus penekanan untuk mempertegas kata setelahnya dan ia menjadikan itu sebagai kekhasan kepenulisannya. Hal tersebut juga dapat dibuktikan dari beberapa puisi berikut yang menggunakan tanda baca titik dua (:) secara tidak lazim. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
DIALOG OASE DAN SAMUDRA BIRU 3 Ia Symphoni agung dari langit Bersahut merdu melagukan : Cinta… (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:46) SAMUDRA BIRU : Sungguh Kumerasa ini ada (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:89) MEMILIH CINTA Walau hati berkata Lillahita‟ala: kupilih dia karena agamanya Bagaimanapun pilihan harus diambil… (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:98) Dinda Natasya merupakan salah satu penulis yang dapat melahirkan karya dengan spontan. Hal ini disebabkan dari kebiasaan Dinda Natasya sebagai penyiar yang telah terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah. Jadi, saat ide muncul Dinda Natasya dapat melakukannya dengan cara spontan pula. Bahkan ia mengaku dirinya lebih cepat berbicara daripada menulis. Bagi Dinda Natasya, begitu ada topik yang “dilemparkan” untuknya maka dengan cepat sajaksajak akan mengalir dari ucapannya (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Kespontanan Dinda Natasya yang terjadi pada tahap persiapan juga terjadi pada tahap ini. Namun dalam tahap ini kespontanan Dinda Natasya lebih diolah untuk memunculkan ide. Kespontanan tersebut tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan telah banyak pengalaman yang mengendap dalam pemikiran Dinda Natasya sehingga ketika ada topik yang berkaitan dengan pengalamannya, maka ia akan dengan cepat mengutarakan pemikiran-pemikirannya tersebut. Hal itu terbukti dalam beberapa puisi Dinda Natasya yaitu Dialog Cinta Oase dan Samudra Biru 1 sampai dengan 4 (hal 27-57). Dinda Natasya memposisikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
dirinya sebagai Oase dan Anto HPrastyo sebagai Samudra Biru. Berikut kutipan salah satu dari puisi-puisi tersebut. SAMUDRA BIRU: Hai! Gadis di awan malam, kemarilah! Agar kudapat berenang di telaga matamu Lelahku luluh hilang terangkan terangkum angan malam Hingga jelang di sepertiga jalan nanti Kan kukecup nafasmu hingga didih darah dalam nadiku OASE: Kan kujawab segera wahai yang menunggu Berenanglah engkau malam ini di telaga mataku Tenggelamlah engkau di malamku Sebab kini kupenuhi dunia dengan roh cinta jika saja kau mau... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:27) Begitu banyak remaja mengalami stress dan depresi. Tanpa disadari mereka sudah terjebak di ranah kegilaan. Banyak remaja kehilangan konsentrasi, pikiran kalut, mudah emosi, suka berbohong, berani dan durhaka kepada orang tua, putus sekolah dan hamil di luar nikah, kehilangan masa depan dan semangat hidup sehingga ingin bunuh diri. Banyak pula perbuatan mereka melanggar kesusilaan serta hukum. Semua disebabkan oleh putus cinta (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:1). Hal-hal yang berkaitan dengan hal di atas tampak dalam kutipan puisi Jatuh Hati (hal 74), yaitu “...Itulah kenapa aku tak mau. Jatuh hati..!” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:74). Dari larik tersebut dapat dilihat bahwa pengalaman buruk tentang percintaan di masa lalu dapat membuat seseorang atau anak remaja menjadi berpikiran sempit, tidak bersemangat atau lemah sehingga hampir kehilangan masa depan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
Dinda Natasya juga merefleksikan persoalan tersebut dalam kisah Tentang Cinta dan Persahabatan 1 (hal 5-6) dan kisah Tentang Cinta dan Persahabatan 2 (hal 7-9). Berikut kutipannya. ...cemburu karena merasa diduakan. Kekhawatiran karena dikhianati. Kau akan sakit hati karena ditinggalkan. Cinta membuatmu ingin memiliki. Cinta menyuruhmu untuk menguasai. Cinta membuatmu ingin mengatur. Dan cinta bisa membuatmu buta... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:5-6) ...Mencintai bukan harus memiliki Apakah maksud ungkapan tersebut adalah tindakan penyelewengan, perselingkuhan atau perbuatan dosa, jika kata „memiliki‟ diartikan sebagai suatu ikatan hubungan... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:7) Kutipan-kutipan kisah di atas mengungkapkan beberapa hal yang terjadi karena cinta. Perasaan cinta mampu menguasai orang yang merasakannya sehingga halhal tersebut dapat terjadi. Perasaan cinta yang dapat menimbulkan hal-hal negatif berupa sakit hati, lemah sehingga patah semangat, dsb. Dari kutipan “Cinta membuatmu ingin mengatur. Dan cinta bisa membuatmu buta...”, tampak sekali bahwa perasaan cinta yang menguasai seseorang dapat membuat orang tersebut menjadi buta atau tidak dapat melihat kebenaran atau kebaikan dalam suatu hubungan. Orang yang sedang dibutakan oleh cinta juga menjadi over protective atau terlalu melindungi pasangannya dan membatasi ruang gerak pasangan sehingga terkadang akan menimbulkan cemburu yang berlebihan. Namun perasaan cinta yang terkesan negatif tersebut tidak melulu buruk, melainkan ada juga sisi positif darinya. Kesan negatif yang dimunculkan sesudah orang merasa sakit hati dan lemah, maka akan timbul semangat baru dalam kehidupan orang tersebut. Seperti yang tampak dalam kutipan puisi Puisi Para Mantan (hal 112-113) berikut. ...Sendiriku kan salut taklukkanmu Duka menoreh semangat, ini hidupku! commit Sedih bawaku tempatkan lebih baik to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Walau dulu mantanmu Aku masih juara Sungguh, tak apa! (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:113) Puisi di atas menyampaikan pesan bahwa kegagalan dalam suatu hubungan tidak lantas membuat hidupnya berhenti. Karena semangat hidupnya orang akan dapat segera bangkit dari keterpurukan. Hasil dari “pembacaan” Dinda Natasya tentang realitas di sekitarnya itulah yang dijadikannya sebagai pendukung pemikirannya. Kemudian hal tersebut membuatnya selalu tergelitik untuk menuangkan segala hal yang menjadi “kegelisahan” hatinya itu ke dalam karya sastra. Kegelisahan tersebut tertuang dalam kutipan puisi Sombong (hal 68-69) berikut. Wahai Tak berotakkah kau Bengis dan sombong Keji picik menghujam perih Di setiap laku dan ucapmu Bak sumpah serapah Pendusta penjilat nista Jika tak disebut munafik Sungguh kesal... ...Sisakan jiwa suci Agar hidup lebih berarti Bertobatlah segera Sungguh mulia (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:68-69). Dinda Natasya merasa gelisah atas realitas objektif yang terjadi di sekitarnya, yaitu orang-orang yang sombong dengan harta dan kekuasaannya agar segera bertobat. Karena, harta dan kekuasaan tidak lantas menjadikan hidup seseorang bahagia. Kutipan puisi tersebut juga mencerminkan persoalan-persoalan sosial lain, Dinda Natasya merasa gelisah dan menyampaikan pesan agar segera bertobat. Persoalan sosial lain yang tampak dalam puisi tersebut berupa commit to user dan dari kutipan “...Keji picik penggambaran orang yang munafik, pendusta,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
menghujam perih. Di setiap laku dan ucapmu...” juga mencerminkan orang yang licik karena kesombongannya akan harta dan kekuasaan yang dimilikinya. Hal tersebut menggerakkan hati Dinda Natasya untuk mempersembahkan seluruh waktu dan pikirannya untuk mereka. Tidak lain agar mereka mampu berpikir positif, bermental andal dan selalu memiliki semangat, cita-cita yang tinggi dengan segudang prestasi serta tidak mudah menyerah dalam berbagai rintangan kehidupan. Dinda Natasya ingin memberikan sumbangsih untuk negeri ini demi terciptanya generasi penerus bangsa yang lebih baik lewat tulisan dan perannya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:2). 4. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan Pada tahap ini, Dinda Natasya menuliskan dengan cepat dan spontan. Barangkali jika tidak, maka kemungkinan besar ide yang baru saja muncul akan cepat hilang atau mati. Bagi Dinda Natasya tidak perlu waktu berlama-lama lagi untuk menuliskan ide atau gagasannya. Karena seperti yang telah dibahas dalam tahapan inspirasi bahwa kespontanitasan Dinda Natasya yang lantas membuatnya tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penulisan sampai penyempurnaan. Hal tersebut juga dikarenakan profesinya sebagai penyiar yang dituntut serba cepat dalam berpikir dan lebih banyak bicara. Berikut kutipan hasil wawancara Dinda Natasya yang mencerminkan hal di atas. Iya, kayak gini, kadang-kadang kayak gini, kalau puisi seketika itu pada, pada artinya mungkin bisa langsung lebih tajam ya karena kan seketika itu kan murni, orisinil gitu. Tapi kalau digubah, kepentingannya kan estetika untuk kepenyiarannya. Harus ada suara yang, untuk cara membacanya di radio itu didengarkan itu nyaman, enak, lurus tidak kudruh atau ruwet gitu loh. Jadi, sesuatu yang mudah dicerna dan enak untuk dinikmati walaupun itu sebuah kalimat yang dibaca dengan bergaya kan gitu. Jadi kalo, puisi mungkin Bunda kan tidak berpuisi seperti para puitis ee apa ya itu para ee itulah seniman yang begitu puitis di panggung seperti itu ya karakternya. to userhanya karakter suaranya karena Kalo Bunda kan suaranyacommit betul-betul
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
menampilkan orang tanpa ee apa namanya ee figur ya, sosok, jadikan benarbenar hanya duduknya sangat santai ya jadi penguasaan suara itu yang penting (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012). Pada tahap penulisan, kalau saat inspirasi telah muncul maka segeralah lari ke mesin tulis atau computer atau ambil bolpoin dan segera menulis. Keluarkan segala hasil inkubasi selama ini. Tuangkan semua gagasan yang baik atau kurang baik, muntahkan semuanya tanpa sisa dalam sebuah bentuk tulisan yang direncanakannya. Rasio belum boleh bekerja dulu. Bawah sadar dan kesadaran dituliskan dengan gairah besar. Hasilnya masih suatu karya kasar, masih sebuah draft belaka. Spontanitas amat penting di sini (Jakob Sumardjo, 1997:71-72). Namun bagi Dinda Natasya, dirinya tidak banyak melakukan proses penyempurnaan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti. Apakah pesan yang disampaikan lewat tulisannya itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemikiran Dinda Natasya atau tidak dan bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak oleh pembaca. Proses penyempurnaan yang dilakukan Dinda Natasya ini juga terkait dengan tahap inkubasi atau pengendapan. Hal tersebut tampak dalam kutipan email yang dikirimkan oleh Dinda Natasya kepada peneliti berikut. Saya termasuk orang yang bisa menulis secara spontan. Saya tak banyak melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti apakah pesan yang saya tulis sesuai dengan maksud saya atau tidak dan apakah bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak. Saya lebih cepat bicara dari pada menulis. Bisa seketika saya lakukan begitu ada topik yang menggelitik pikiran saya. Mungkin kebiasaan saya siaran yang menyebabkan saya terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah (Email Dinda Natasya, 03 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan tahap persiapan dan user dapat menulis dengan spontan. dari kutipan email di atas, bahwacommit Dinda to Natasya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Dinda Natasya menulis karena apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Dinda Natasya mengaku kadang menempatkan dirinya sebagai mereka yang menjadi objek pemikirannya dan berusaha ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan. Terkadang Dinda Natasya menjadikan menulis hanya sebagai kebiasaannya dalam memotret peristiwa, tetapi bukan menggunakan kamera melainkan mata pena (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Kespontanan dari gaya kepenulisan Dinda Natasya tersebut telah menjadi kekhasan tersendiri bagi Dinda Natasya sebagai seorang penulis yang berprofesi penyiar dan konsultan persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Sedikit banyak profesinya tersebut sangat mempengaruhi karena sebagai penyiar dan konsultan, Dinda Natasya selain memiliki banyak pengalaman dan bertemu banyak orang, ia juga banyak mendengarkan pengalaman-pengalaman atau kisah-kisah dari orang lain tentang kehidupan mereka. Dari hal tersebut Dinda Natasya juga banyak belajar dari pengalaman orang lain tanpa harus mengalaminya sendiri. Pengalaman Dinda Natasya tersebut telah mengendap lama dalam batin dan pikirannya sehingga saat Dinda Natasya diberi topik atau pertanyaan maka akan dengan cepat Dinda Natasya mengekspresikan dalam bentuk puisi. Selain itu, Dinda Natasya juga mengolah pengalaman-pengalaman tersebut menjadi karya yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pembacanya seperti yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya. Tidak banyaknya bahkan relatif tidak adanya proses penyempurnaan bagi Dinda Natasya dalam tahap ini tampak dalam ungkapannya pada kutipan hasil wawancara berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
ee..apa..ee ada sih, catetannya kalo tak copyin, tapi kalo diKalah itu ga ada gantinya gitu, Kalah itu asli, asli sekali tulis langsung jadi tanpa ralat. Kalo ga salah ada, kalau ga salah ada... ...atau mungkin satu aja, satu aja udah cukup kalo „Kalah‟ paling karena itu coretan tangan ya. Kalau misalnya garis-garis atau apa itu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012). Kemudian berikut juga peneliti mencantumkan tulisan asli beberapa puisi
yang
digunakan
sebagai
bukti
kerelatifan
tidak
adanya
proses
penyempurnaan, yaitu puisi Kalah (hal 70-71), Puisi Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (17-18), dan puisi KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101-103).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
KALAH Ya Allah Engkau yang mengajariku cinta Dalam kegalauan mencoba mencari Apa makna yang telah kau beri Tentang memberi dan menerima Tentang ketulusan dan keikhlasan Ya Allah Hari ini aku tersesat jauh Dalam perjalananku meraih cintamu Seseorang datang menghadang langkahku Aku gagal mendapatkanmu Karena aku memberi seluruh cintaku Dan menerima fatamorgana ini Yang telah menjauhkanku darimu Ya Allah Inilah tipu muslihat cinta Yang kulihat adalah kesenangan dunia Kebahagiaan semu yang ternyata membuatku menderita Karena cintaku telah melebihi persembahanku padamu Ya Allah Jika akhirnya tangis dan sesal Tak bisa lagi menolong Siapakah yang akan menyelamatkanku dari siksa ini Jika bukan karena kasih sayangmu Ampunilah aku ya Tuhanku Karena cinta ini telah membutakan matahatiku Ya Allah Bebaskanlah aku dari penjara cinta ini Biarkan aku kembali padamu Jangan kau hokum aku atas semua kesalahan ini Karena mencintainya melebihi cintaku padamu Seperti yang seharusnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
PENJARA CINTA, LEWAT TENGAH MALAM Jam satu lewat tengah malam Ruang itu begitu sunyi Kepala berat karena kantuk Hatiku melayang entah kemana Mencoba berjalan menembus lorong Dinding tebal yang basah Pintu yang terkunci Gembok menggantung Bisu Angin kepayahan menyusup diantara jeruji besi Menghitung waktu yang terbuang di kamat ini Berapa lama lagi? Wajah-wajah asing dating dan pergi Cerita pilu anak manusia silih berganti Aku merenung wajah siapa yang masih kuingat Samar-samar semua gambar memudar Perasaanku bercampur aduk Hampir hilang kesadaran Antara mimpi dan kenyataan Aku melihat neraca keadilan bergerak Seiring robohnya tembok penjara Jeruji besi meleleh Pintu-pintu terbuka Aku merasa tubuhku melayang di atasnya Hatiku bebas tak ada lagi beban Ringan melepaskan pasungan Terbang membawa kemenangan dan kebenaran Didalam tidurku wajah-wajah tersenyum Menyambut pejuang yang pulang Jam satu dini hari Diruang ini lewat tengah malam Aku bahagia dengan keikhlasanku Jakarta 9 Januari 2008 *** (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:17-18)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
KPK UNTUK SIAPA KAU ADA? KPK, oh KPK Apakah engkau ini sebenarnya Seperti tsunami memporak-porandakan tatanan Begitu banyak kehidupan yang engkau renggut Begitu banyak harapan kau sirnakan Apakah engkau ini musibah Apakah engkau ini anugerah? KPKku malang Kemanakah nurani jika mata tak lagi melihat Kemanakah serunai jika telinga tak lagi mendengar Apakah engkau ini buta Apakah engkau ini pekak? Jika mulut tak lagi bicara Inilah saatnya tangan menyeru hati Lewat lukisan dalam belenggu kanvas Tak bisa pergi tak bisa berlari Namun anganku bebas mengembara KPK, oh KPK Aku bicara atas nama cinta Ketika gerhana tiba dan gelap melanda Kau tak akan mengalahkanku Boleh kau ikatkan belenggu atasku Dan kau rantai kehidupanku Tapi kemanakah nurani Jika aku merasa belenggu ini bukan milikku Kebebasan itu berbatas tipis Apakah aku ini bersalah? Apakah aku ini pendosa? KPK, oh KPK Jubah mana yang kau kenakan Apakah kau ini malaikat Apakah kau ini petunjuk Kemanakah perginya sang penyeru Pemberi ingat jiwa yang lupa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
Jika hari ini aku di sini terkunci Kau ada di sana Jika hari ini aku ada di sana Kau di sini terkunci Siapakah yang kuasa atas kebebasan? Saat kau kalah maka aku yang menang Saat kau meresa menang, maka aku tetap menang Karena hatiku bebas dari tekanan Karena kebenaranku suci dari politisi Karena kebebasanku adalah nurani KPK, oh KPK Kemanakah hatimu Jika nurani terbelenggu jeruri besi Dimanakah tempatmu? Jika saja engkau bermata Maka siapakah engkau ini sebenarnya 6 Januari 2008 (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:101-103)
Tampak jelas dari perbandingan ketiga puisi di atas dan dari pemaparan sebelumnya bahwa tidak banyak perubahan atau penyempurnaan yang dilakukan oleh Dinda Natasya. Ada beberapa perubahan dalam teknis penulisan yaitu berupa penggunaan tanda baca, eksplorasi tanda baca titik dua (:), dan perubahan kata. Seperti pada judul puisi Kalah, yang dilakukan penghilangan dua tanda seru (!!) dan tanda tiga titik (…) dari tulisan asli yaitu pada larik “Ya Allah…” pada saat dicetak menjadi “Ya Allah”, hal tersebut merupakan perbedaan penulisan pada tulisan asli dan pada saat dicetak. Tanda tiga titik (…) sebenarnya merupakan tanda baca yang penting dalam larik puisi karena tanda tiga titik (…) dapat dikatakan juga sebagai pendukung estetika dalam puisi. Dalam tulisan aslinya, puisi Kalah dituliskan tidak berjarak atau tidak ada pembaitan, namun pada saat commit to user dicetak lariknya ditulis dengan pembaitan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Begitu juga pada tulisan asli puisi Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam, judul dalam tulisan asli dituliskan tanpa tanda koma (,) namun pada cetakan ditulis dengan tanda koma (,) yaitu ada di antara kata “Penjara Cinta” dan “Lewat Tengah Malam”. Kemudian juga terdapat perbedaan pada judul tulisan asli dan cetakan yaitu dalam tulisan asli “Penjara Cinta”dituliskan hanya pada huruf “P” dan “C” saja yang menggunakan hurul kapital, sedangkan pada cetakan judulnya ditulis dengan menggunakan huruf kapital semua “PENJARA CINTA, LEWAT TENGAH MALAM”. Pada tulisan asli puisi tersebut lajur baitnya dituliskan tidak berjarak atau dapat dikatakan tidak ada pembaitan, sedangkan pada cetakan dituliskan berjarak atau terdapat pembaitan. Dalam puisi tersebut juga terdapat penghilangan tanda tiga titik (…) pada larik “hatiku melayang entah kemana…” dan “bisu…”, hal tersebut merupakan hal yang sama seperti pada puisi Kalah. Kemudian dalam puisi tersebut terdapat penggantian kata yaitu pada larik tulisan aslinya “…aku merasa diriku melayang di atasnya…” lalu pada saat dicetak diganti dengan “aku merasa tubuhku melayang di atasnya…”. Penambahan kata pada beberapa larik puisi, yaitu (a) pada larik tulisan aslinya “…hatiku bebas tak ada beban…” lalu pada saat dicetak lariknya mengalami penambahan kata “lagi” “…hatiku bebas tak ada lagi beban…”. (b) pada larik tulisan aslinya “…di ruang ini…” lalu pada saat dicetak lariknya mengalami penambahan yaitu “…di ruang ini lewat tengah malam…”. Selain itu juga terdapat penghilangan kata dalam larik tulisan aslinya “…jam satu pagi dini hari…” lalu pada saat dicetak lariknya mengalami penghilangan kata “pagi” yaitu menjadi “…jam satu dini hari”. Sama halnya dengan kedua puisi di atas, puisi KPK Untuk Siapa Kau Ada? ada penambahan tanda tanya (?) setelah pada kata “ada” yaitu “KPK commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
UNTUK SIAPA KAU ADA?”. Pada puisi tersebut juga terdapat penghilangan tanda tiga titik (…) dalam beberapa larik puisi yang dapat dilihat pada halaman depan dan terdapat pembaitan pada cetakan, tidak seperti tulisan aslinya yang tidak terdapat pembaitan. Pada judul puisi tersebut juga terdapat perubahan yaitu penghilangan tanda titik dua (:) yang seharusnya ada di antara kata “KPK” dan “Untuk” saat dicetak. Kemudian dalam puisi tersebut juga terdapat satu penggantian kata, yaitu pada larik sebelumnya adalah “…apakah engkau ini anugerah…” kemudian diganti dengan “…apakah engkau ini pekak”. Digantinya kata “anugerah” yang pada mulanya Dinda Natasya berkesan positif, lalu karena persoalan sosial yang dicerminkan oleh puisi tersebut berkesan mengkritisi kemudian Dinda Natasya mengubah arah berpikirnya menjadi berkesan negatif dengan menggantinya menjadi “pekak”. Pada larik “KPK..oh KPK” dalam tulisan asli dituliskan dengan tanda dua titik (..) setelah kata “KPK”, namun terjadi perubahan pada saat dicetak yaitu diganti dengan tanda koma (,) yaitu “KPK, oh KPK”. Terdapat juga penambahan kata dan tanda, larik dalam tulisan aslinya “…Jubah mana kau kenakan…” kemudian ditambah dengan kata “yang”
di antara kata “mana” dan “kau” yaitu “…Jubah mana yang kau
kenakan…”. Selain itu juga terdapat kata yang diganti dalam tulisan aslinya yaitu “…Boleh kau timpakan belenggu atasku…”, kemudian saat dicetak diganti dengan “…Boleh kau ikatkan belenggu atasku…”. Demikianlah perbedaanperbedaan yang peneliti temukan saat membandingkan kedua tulisan, yaitu tulisan asli dan tulisan yang telah dicetak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
B. Konkretisasi Persoalan-Persoalan Sosial dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru Sebagai pengarang, Dinda Natasya hidup di masyarakat beserta kehidupan sosialnya. Dinda Natasya juga berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas objektif) berupa peristiwa-peristiwa, normanorma dan pandangan hidup. Banyaknya interaksi Dinda Natasya dalam kehidupan sosialnya tersebut, seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan di halaman depan, membuatnya menjadi sangat peka terhadap realitas objektif yang ada di sekitarnya. Terlebih lagi profesinya sebagai penyiar dan “dokter cinta” yang banyak memberinya pengalaman dan inspirasi dari kisah-kisah pendengar maupun “pasien-pasiennya. Persoalan-persoalan sosial yang diangkat oleh Dinda Natasya dalam karyanya yaitu berupa persoalan-persoalan remaja khususnya yang disebabkan oleh cinta, konflik keluarga, abnormalitas masyarakat karena himpitan ekonomi serta ketidakadilan hukum negara. Persoalan-persoalan sosial itulah yang kemudian dimunculkan sebagai karya sastra oleh Dinda Natasya. Dinda Natasya mengungkapkan apa yang dilihat dan didengarnya melalui tulisan ke dalam karya. Dinda Natasya juga menuliskan pengalaman dan pemikirannya tentang realitas objektif yang ada di sekitarnya. Persoalan sosial atau masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang menghambat kehidupan kelompok sosial (Soerjono Soekanto, 2002:358). Masalah sosial juga timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
(kemiskinan, pengangguran, dll), biologis (penyakit menular, keracunan makanan, dsb), biopsikologis (penyakit syaraf, aliran sesat, dsb), dan kebudayaan (perceraian,kenakalan remaja, kejahatan, dll). Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang merupakan masalah sosial (Soerjono Soekanto, 2002:360). Masalah sosial muncul karena sebab-sebab dari individu sendiri (intrinsik)
dan
luar
individu
(ekstrinsik).
Masalah
yang
mula-mula
menggambarkan kondisi individu kemudian menjadi masalah yang menjelaskan kondisi dari sistem di tempat masyarakat hidup yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak pada sebagian besar anggota masyarakat. Sebabsebab ekstrinsik berasal dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Misalnya persoalan individu sendiri (intrinsik) yang berupa persoalan konflik batin seseorang dengan Tuhannya atau persoalan kebutuhan berupa desakan ekonomi. Kemudian luar individu (ekstrinsik) misalnya persoalan sosial masyarakat di mana pada suatu kondisi tertentu kedua persoalan tersebut dapat saling mempengaruhi. Seperti perceraian, kemiskinan, pelanggaran, kejahatan, dan abnormalitas masyarakat yang dapat pula penyebabnya berawal dari persoalan individu (intrinsik) kemudian berkembang menjadi persoalan luar individu (ekstrinsik). Misalnya himpitan ekonomi yang menuntut seseorang untuk dapat melakukan kejahatan apa saja termasuk abnormalitas masyarakat, seperti yang tampak dalam Kisah Seorang Pramuria (hal 19-22) berikut yang juga merupakan cerminan persoalan sosial yang ada di lingkungan Dinda Natasya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
...Setiap malam bertemu dengan mereka. Dari sekedar pemandu karaoke, tukang pijat (plus), hostess di klub malam dan diskotik serta pekerja sex dari yang di hotel sampai yang tercecer di sepanjang jalan Hayam Wuruk (belum yang nyelip di sudut warung gelap yang kumuh)... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:19-20). Kisah di atas merefleksikan suatu realitas objektif tentang kehidupan penjaja seks yang terjadi dalam masyarakat di jalan Hayam Wuruk. Sebagian besar dari mereka terdesak oleh kebutuhan ekonomi atau karena kemiskinan dan sebagian lain karena tidak memiliki pekerjaan. Seperti yang tampak dalam kutipan “...kebanyakan perempuan yang saya temui, 90% terjun sebagai penjaja cinta karena faktor ekonomi...” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:20). Dari pekerjaan menjadi penjaja seks itu mereka juga tidak terhindarkan dari penyakit-penyakit biologis maupun biopsikologis seperti dalam kutipan “(walau resikonya juga besar, dari mulai penyakit kelamin, ancaman garukan dan juga pemerasan dari germok masing-masing)” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:20). Penyakit biologis berupa penyakit kelamin dan biopsikologis berupa kejahatan pemerasan dari germo atau muncikari mereka masing-masing. Hal di atas merupakan karya Dinda Natasya yang merasa gelisah akan ketidakpuasannya terhadap suatu realitas objektif. Berangkat dari kegelisahannya itulah, Dinda Natasya dengan caranya sendiri memprotes, memberontak, mendobrak realitas yang menurutnya tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Berikut pengetian-pengertian hal di atas: (a) memprotes adalah menyatakan tidak setuju; menyangkal menentang, (b) memberontak adalah melawan; tidak mau menurut perintah; melawan pemerintah (kekuasaan dsb) secara serentak, (c) mendobrak adalah menembus pertahanan; menghapuskan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
secara berani dan tegas (tentang tradisi, adat, kebiasaan) (Dendy Sugono, 2008:180-1107).
Dinda Natasya mengekspresikan semua hal tersebut melalui beberapa kutipan karyanya dalam puisi Mimpi 18 Hari (hal 15-16), puisi Sombong (hal 6869), dan puisi KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101-103) berikut. MIMPI 18 HARI Suatu hari terasa tubuh begitu letih Deru kehidupan dunia membuat perih tak berasa lagi Mata telinga mulut terkunci Jantung berdegup kencang saat prahara datang Aksi dorong mendorong memaksaku menyerah pada nasib Dilorong kehidupan antara mimpi dan kenyataan Dipintu kematian antara hukuman dan pengampunan Kubiarkan tubuh ini terbaring Menikmati mimpi 18 hari... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:15) SOMBONG Wahai Tak berotakkah kau Bengis dan sombong Keji picik menghujam perih Di setiap laku dan ucapmu Bak sumpah serapah Pendusta penjilat nista Jika tak disebut munafik Sungguh kesal Wahai Berlari menghindar maut Sembunyilah dari kematian jika kau bisa Bawa anak istrimu serta Kemas semua harta benda dan tahta Bawa jika kau bisa Jika kau pergi akankah ada yang turut Sungguh sombong… (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:68) KPK UNTUK SIAPA KAU ADA? KPK, oh KPK Apakah engkau ini sebenarnya Seperti tsunami memporak-porandakan tatanan Begitu banyak kehidupan yang kau renggut Bagitu banyak harapan kau sirnakan Apakah engkau ini musibahcommit to user Apa engkau ini anugerah? (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:101)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Melalui puisi-puisi di atas Dinda Natasya menyuarakan kegelisahannya dengan memprotes, memberontak, dan mendobrak menggunakan bahasa sebagai media. Dinda Natasya memprotes karena merasa ada ketidakadilan dalam hukum negara yang ditunjukkan dalam puisi Mimpi 18 Hari (hal 15-16) berikut “Dipintu kematian antara hukuman dan pengampunan...”. Karena puisi tersebut juga menggambarkan kepasrahan seseorang atas ketidakberdayaannya melawan hukum yang tidak adil. Persoalan sosial lain yaitu adanya kesenjangan sosial berupa kesombongan atas kekayaaan dan kekuasaan sehingga membuat seseorang bersikap sewenang-wenang. Kekayaan dan kekuasaan itu tercermin dalam kutipan “...Kemas semua harta benda dan tahta. Bawa jika kau bisa...”. Dinda Natasya mengekspresikannya dengan memberontak atau melawan penguasa melalui puisinya yang juga digunakan untuk mengingatkan para penguasa yang sombong agar segera bertaubat. Kemudian juga persoalan sosial mengenai peran KPK yang masih dipertanyakan dalam masyarakat luas. Peran Lembaga Pemberantasan Korupsi yang seharusnya memberantas para koruptor, dewasa ini banyak media mengabarkan justru menjatuhkan orang-orang yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan atau tidak terlibat dalam skandal korupsi menjadi tersangka. Maka dari itu Dinda Natasya mencoba mendobrak atau menghapuskan tatanan yang sudah ada secara berani untuk mengulas tentang peran KPK. Selain mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang ditemukannya. Dinda Natasya juga ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia tersebut. Hal ini bertujuan agar pihak-pihak yang bersangkutan dapat mendengar dan melihat kebenaran dengan benar. Namun bagi Dinda Natasya, ia hanya sekedar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
menuliskan dan meluapkan apa yang ada di sekitarnya dengan ikut merasakan apa yang terjadi. Dinda Natasya juga tidak banyak berharap tulisannya akan dibaca oleh pihak-pihak bersangkutan, namun dengan mengutarakan pendapatnya dengan menuliskan ke dalam sebuah karya ia sudah merasa cukup. Berkaitan dengan hal tersebut, telah diketahui dalam penelitian ini Dinda Natasya menggunakan pemikirannya terhadap realitas objektif yang merupakan cerminan perilaku masyarakat. Berikut terdapat 4 (empat) persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dan konkretisasinya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang dapat menentukan keekspresifan Dinda Natasya. 1. Hubungan Manusia dengan Tuhannya Pada suatu kondisi tertentu seseorang akan dapat merasakan kedekatan yang intim dengan Tuhannya. Hubungan ini termasuk ke dalam persoalan sosial karena seperti yang telah dikemukan di atas bahwa masalah sosial muncul dari individu sendiri (intrinsik) yang kemudian menjadi masalah dan berdampak besar bagi luar individu (ekstrinsik). Misalnya ketika dalam keadaan sedang sendiri di malam hari yang hening seseorang merasa sedih, bersyukur dan bahkan bahagia, ia tidak lagi merasa tertekan oleh persoalan hidupnya maka orang-orang di sekitarnya pun akan merasa nyaman berkomunikasi dengannya. Hal tersebut juga karena pada hakikatnya manusia memiliki hubungan yang vertikal atau garis tegak lurus dari bawah ke atas atau sebaliknya dengan Tuhannya sebagai mahluk ciptaan-Nya. Hubungan manusia dengan Tuhan dalam posisi secara pribadi adalah cinta yang oleh kalangan ahli sufi dikategorikan sebagai buah mahabbah (cinta) adalah rasa mahabbah (cinta) kepada Allah atau Al-Uns yaitu puncak rasa suka cita dalam jiwa. Pada hakikatnya Uns adalah rasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
suka dan kegembiraan yang tiada tara karena terjadinya mukasyafah kepada Tuhan dengan segala
keindahan dan keparipurnaan-Nya saat
taqarrub
(berdekatan) dengan Tuhan (Asrifin, 2001:195). Kemudian karena cinta di sini kaitannya dengan keyakinan maka akan berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya. Menurut Al-Ghazali, manakala seorang hamba dibukakan pesona Al-Haq dan ia tenggelam di dalamnya maka itu disebut wushul. Karena ia memandang kepada yang dipandang, maka tiada lain kecuali Tuhan. Jika memandang pada cita-cita tujuannya, tiada pula cita-cita itu, selain Tuhan. Hal tersebut karena wushul adalah buah dari musyahadah yaitu satu penyaksian seorang hamba pada Al-Haq setelah terbukanya tirai (mukasyafah) dan merasakan betapa terpesonanya hamba tersebut atas keagungan dan keindahan-Nya. Kedua hal tersebut akan melahirkan satu keterpukauan, ketertakjuban, keterpesonaan, dan keindahan yang merupakan satu kata yang memiliki hubungan dekat dengan kata cinta (Asrifin, 2001:197). Itulah secara teori, cinta di antara hubungan manusia dengan Tuhannya dalam posisi sosial. Hubungan sosial yang melahirkan cinta karena Tuhan. Tidak terlepas dengan Dinda Natasya juga merasakan hal yang sama. Dinda Natasya adalah seseorang yang suka tirakat dan ia akan merasa teramat dekat dengan Tuhannya saat melaksanakan dua rakaat pada sepertiga malam. Karena di saat itulah ia merasa dapat berdoa dengan khusyuk untuk memohon ampunan dan pertolongan sehingga Tuhan akan mengabulkan doa-doanya. Kesehariannya itulah yang juga tercermin dalam beberapa karya-karyanya. Tirakat merupakan menahan hawa nafsu (seperti berpuasa, berpantang); mengasingkan diri ke tempat yang sunyi (di gunung dsb) (Dendy Sugono, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
2008:1472). Dinda Natasya menjadi suka tirakat saat dirinya masih bekerja sama dengan Padepokan Lindu Aji seperti yang telah di bahas pada pembahasan sebelumnya. Dinda Natasya melakukan ritual pengasingan diri dan berendam di air untuk mencari ketenangan dengan berusaha menyatukan jiwanya dengan alam. Dinda Natasya menuliskan semua curahan hatinya itu ke dalam karyanya sebagai kisah-kisah inspiratif yang mengandung motivasi perubahan, terutama tentang sifat dasar manusia, ajaran budi luhur, dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam pengaruhnya terhadap cara orang bertahan hidup dan menyelesaikan masalah (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Hubungan Dinda Natasya dengan Tuhannya tampak dalam puisi Kalah (hal 70-71) dan PadaMu (hal 72). Dalam sepenggal puisi Kalah, Dinda Natasya tampak merasa resah karena banyak “kekalahan” orang-orang dalam menjalin hubungan yang nekat meninggalkan agama untuk kekasihnya, berikut kutipannya. ...Ya Allah Bebaskan aku dari penjara cinta ini Biarkan aku kembali padamu Jangan kau hukum aku atas semua kesalahan ini Karena mencintainya melebihi cintaku padamu Seperti yang seharusnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:71) Barangkali Dinda Natasya ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain yaitu mencintai sesuatu atau seseorang melebihi cintanya kepada Tuhan. Maka dari itu, Dinda Natasya merasa telah ikut bersalah dan puisi tersebut dijadikan sebagai doa olehnya untuk memohon ampunan bagi dirinya maupun orang lain. Karena tidak seharusnya manusia mencintai sesuatu melebihi cintanya kepada Sang Penciptanya. Bagi Dinda Natasya, mencintai sesuatu atau seseorang melebihi cinta kita commit to user dan air mata di sepanjang hidup kepada Tuhan, maka hanya akan ada penderitaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
kita. Oleh karena bahagia hanya dapat diraih dengan pemahaman cinta yang benar dan harus bermuara pada sang pemilik cinta sejati yaitu Tuhan. Sebab Dialah hakikat cinta yang sesungguhnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:x). Rasa cinta Dinda Natasya pada Tuhannya juga tampak dalam puisi PadaMu (hal 72) berikut. Ya Allah Padamu bersimpuh di ujung sajadah Menggenggam tasbih Pejam tertunduk Hingga basah mata Mengigil ngilu Merindui hadirmu di setiap waktuku Engkaulah hidupku Bila nafas terucap namamu Bila mati pula untukmu Di sajadah biruku Dalam tidur yang panjang Biarlah jangan bangunkan Karena hanya engkau yang bisa (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:72) Dari puisi di atas, Dinda Natasya terlihat ingin menjadi manusia yang pandai bersyukur, taat, dan menjadi muslimah sejati. Hatinya dipenuhi kepiluan akan kerasnya kehidupan yang sedang dihadapinya, namun ia ikhlas menjalaninya. Puisi tersebut mencerminkan keseharian Dinda Natasya yang merasa dapat begitu dekat dengan Tuhannya ketika melaksanakan perintah dan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu salat. Salat adalah salah satu cara terbaik yang dilakukannya, kemudian melafazkan bacaan tasbih dan berdoa. Semua itu karena Dinda Natasya sangat mencintai Tuhannya sebagai seorang hamba.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
2. Hubungan Cinta Kasih antara Remaja Dinda Natasya mendapat banyak pengetahuan dari pengalaman para pendengar dan “pasien-pasiennya” tentang kisah seputar percintaan remaja yang sedang mengalami masa pubertas yaitu masa peralihan dari anak-anak ke masa remaja yang mencari jati diri. Mereka mengirimkan banyak pesan kepada Dinda Natasya melalui SMS dan inbox di facebooknya yang berisi seputar kisah percintaan mereka seperti hubungan antar teman dan kekasih. Selain itu kisah tersebut tidak hanya didapat dari para remaja, tetapi juga kisah cinta dari kehidupan rumah tangga suami istri, antara anak kepada orang tua dan sebaliknya. Pada suatu kondisi seseorang yang sedang mengalami kegagalan dalam urusan percintaan, maka akan sangat mempengaruhi suasana hati sehingga menjadi “gelap” dan tidak dapat berpikir dengan baik. Mata juga tidak bisa melihat dengan baik, jika tidak menemukan orang-orang yang bisa dipercaya dan tidak ada lagi solusi yang ditemukan. Maka hal-hal yang muncul justru akan semakin memperburuk keadaan. Hal tersebut yang membuat Dinda Natasya terdorong untuk peduli dan membantu meringankan beban mereka. Dinda Natasya menyediakan sebuah rumah bagi mereka yang ingin didengar dan ingin bicara tentang kata hati. Rumah ini adalah rumah solusi, sebuah pondok yang dipenuhi aroma cinta dan kasih sayang. Sebuah pondok yang membiarkan semua penghuninya mencurahkan isi hati tanpa rasa takut. Rumah ini bernama Pondok Curhat Dinda Natasya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:2).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
Beberapa realita percintaan tersebut juga tidak luput dari sentuhan Dinda Natasya, tampak dalam kutipan puisi Puisi Para Mantan (hal 112-113) dan Bingung (hal 111) berikut. PUISI PARA MANTAN ...Mana janji manismu, cinta setia sampai mati Kini tak ada tersisa Pergimu disaat ku jatuh sendiri terpuruk Aku memang pantas Hanya mantanmu Sakit teriris hati, sepi saat cinta pergi Tapi aku sudah berusaha Tak apa Sendiri tanpamu tak buatku takut Luka yang kau toreh tak membunuhku Sedih itu tak sesatkan langkah Memang mantanmu Masih sang juara Tak apa Dulu kau tiada Kujaga kubawa kuserta Kini kau tiada Kuterjaga kuasa berusaha Roda kembali berputar Musim kini milikku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112-113) Dari puisi tersebut, tampak Dinda Natasya ingin menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya bahwa saat kisah cinta harus berakhir maka tidak lantas membuat kita lemah, berhenti melangkah, meratapi yang telah terjadi, dan terus mengingat masa lalu yang menyakitkan karena cinta. Seperti tampak dalam larik “...Pergimu disaat ku jatuh sendiri terpuruk...” dan “Sakit Teriris hati, sepi saat cinta pergi”. Tetapi dalam puisi tersebut juga terdapat larik menjadikan diri kita sebagai pribadi yang tangguh terhadap cobaan sehingga dapat terus melangkah menuju masa depan, yaitu “Tapi aku sudah berusaha”, “Sendiri tanpamu tak buatku takut”, dan “Sedih itu tak sesatkan langkah”. Hal tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
juga tampak dalam bait “musim kini milikku...”, karena Dinda Natasya ingin menunjukkan bahwa tidak ada kesedihan yang abadi, begitu juga dengan kebahagiaan. Maka dari itu, setiap cobaan pasti akan ada hikmah sesudahnya dan kesedihan akan berganti dengan kebahagiaan. Begitu juga dalam puisi Bingung berikut. Kau ini siapa sebenarnya Memarahiku seenaknya hingga membuatku menangis Mengatur kehidupanku hingga aku merasa terpasung Kau, membuatku sungguh merasa takut Kau anggap aku ini siapa Memelukku begitu erat hingga membuatku sesak Menyayangku begitu lembut Hingga merasa tersanjung Kau membuatku sungguh bingung Kadang kau begitu cinta dan penuh perhatian Tapi kemudian kau menghilang entah kemana Kadang kau begitu jahat dan sombong Tapi kemudian kau kembali dengan segenap rindu Apa yang kau cari sebernarnya? Apa yang kau inginkan dariku? Aku tak tahu di manakah akan kau tempatkan diriku Karena kau sungguh membuatku bingung (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:111). Dari puisi di atas, bait-baitnya mencerminkan kegelisahan seseorang tentang suatu hubungan percintaan yang tidak jelas atau tanpa status yang dialaminya. Kebimbangan yang dimunculkan disebabkan oleh suatu kehilangan seseorang yang seolah datang dan pergi dikehidupannya. Hal tersebut membuat si “aku” kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Hubungan cinta kasih antara pria dan wanita semacam ini banyak terjadi di lingkungan sosial terutama kalangan yang sedang dalam masa pubertas. Oleh karena pada masa ini, remaja cenderung masih labil dalam menyikapi suatu permasalahan dalam hidupnya tertutama dalam hal cinta yang masih ingin tahu dan mencoba segala hal commit to user seperti berganti-ganti pasangan atau pacar yang menurutnya cocok dengannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
Dinda Natasya menyampaikannya ke dalam bahasa yang sederhana dan ingin memperlihatkan bahwa ada hubungan percintaan yang gagal dan menjadi patah hati. Namun setidaknya pengalaman tersebut akan membuat seseorang tidak akan mengulang kegagalan yang sama setelahnya. Nasihat-nasihat Dinda Natasya dalam setiap bait puisinya tersebut telah mendapat ruang tersendiri di hati para pembacanya. Hal tersebut karena selain sajaknya yang sederhana, juga pesan yang disampaikan merupakan realitas objektif yang banyak terjadi dalam kehidupan setiap orang. 3. Hubungan dan Konflik Sosial antara Sesama Manusia Konfilk sosial ini banyak terjadi di kalangan masyarakat segala lapisan, baik secara pribadi maupun kelompok yang menyadari adanya perbedaanperbedaan misalnya ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, dan pola perilaku, dan seterusnya. Hal tersebut juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, (a) perbedaan antara individu-individu, (b) perbedaan kebudayaan, (c) perbedaan kepentingan, dan (d) perubahan sosial (Soerjono Soekanto, 2002:98-99). Konflik juga merupakan proses yang terjadi ketika tindakan satu orang menganggu tindakan orang lain. Potensi konflik meningkat bila dua orang menjadi saling interdependen. Saat interaksi lebih sering terjadi dan mencakup lebih banyak aktivitas dan isu, ada lebih banyak peluang terjadinya perbedaan pendapat (Taylor, Shelley E. et.al. 2009:346). Dari perbedaan pendapat tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya komunikasi di antara keduanya. Namun Dinda Natasya memanfaatkan konflikkonflik sosial ke dalam karyanya agar terarah ke arah yang lebih baik dengan mengungkapkan konflik sosial bersamaan dengan menyampaikan pesan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
tersirat di dalamnya. Karena selain bergelut dalam dunia kepenyiaran, pendidikan dan keagamaan, Dinda Natasya juga terjun dalam bidang sosial seperti kemanusiaan. Dinda Natasya banyak berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik itu rekan kerja, pasien, teman, keluarga, maupun orang-orang yang baru ditemuinya. Dinda Natasya pun akhirnya banyak mengenali pribadi karakter dan masalah yang dihadapi seseorang. Kemudian berdasarkan hal-hal tersebut peneliti menyatakan bahwa konflik-konflik sosial yang terjadi jika dapat disikapi dengan baik maka akan membuat manusia dapat lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan sosial. Sepanjang pertentangan tidak berlawanan dengan pola-pola hubungan sosial di dalam struktur sosial yang tertentu, maka pertentangan-pertentangan tersebut bersifat positif. Karena suatu pertentangan dapat pula menghasilkan kerja sama, yang mana dengan terjadinya pertentangan, masing-masing pihak akan mengadakan introspeksi dan kemudian mengadakan perbaikan-perbaikan (Soerjono Soekanto, 2002:100-101). Banyaknya kegiatan sosial yang dilakukan oleh Dinda Natasya dengan berbagi, berkarya sambil beramal, membuatnya banyak belajar mendengarkan dan mempelajari karakter orang lain (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,2010:179). Seperti yang telah dipaparkan pada bagian depan. Beberapa hal yang berkaitan dengan kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukannya dan keprihatinannya terhadap suatu kondisi sosial yang buruk, diabadikan oleh Dinda Natasya melalui sebagian tulisannya yaitu puisi Mimpi 18 hari (hal 15-16), Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (hal 17-18), KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101-103), Kisah Seorang Pramuria (hal 19-22), Sombong (hal 68-69), dan Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
Konflik sosial yang banyak diungkap oleh Dinda Natasya merupakan cerminan dari rusaknya moral masyarakat itu sendiri. Meski begitu, ada juga persoalan-persoalan sosial dalam ranah politik yang dialami oleh seseorang bukan hasil dari ulahnya sendiri melainkan menjadi korban pemfitnahan atau kambing hitam dari kesalahan orang lain, manipulasi hukum, dedikasi yang dipertanyakan oleh lingkungannya, dan sebagainya. Hal tersebut tampak dalam puisi-puisi Dinda Natasya berikut. MIMPI 18 HARI ...Suatu pagi terbangun ditengah kebingungan Dimana tubuhku terbaring Tidurkah aku semalam ini Mata telingan mulut terpana Dilorong penjara seseorang memaksaku bangun Dipintu besi berdiri orang-orang asing Wajah-wajah polos senyum Menyambut tubuh lemah ditempat yang begitu pengap Selamat datang dunia mimpi Ku nikmati rumah asing ini 18 hari... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:15) PENJARA CINTA, LEWAT TENGAH MALAM ...Wajah-wajah asing datang dan pergi Cerita pilu anak manusia silih berganti Aku merenung Wajah siapa yang masih ku ingat Samar-samar semua gambar memudar Perasaanku bercampur aduk Hampir hilang kesadaran Antara mimpi dan kenyataan Aku melihat neraca keadilan bergerak Seiring robohnya tembok penjara Jeruji besi meleleh Pintu-pintu terbuka... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:17-18) Tampak dalam penggalan kedua puisi di atas yang menceritakan tentang masih adanya ketidakadilan hukum negara. Bagi yang tidak bersalah justru dipenjara, sedangkan yang bersalah tetapto bebas commit user dengan kekuasaannya. Terlihat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
bahwa orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan, hanya dapat menerima dengan pasrah apa yang terjadi padanya. Peristiwa buruk yang tidak pernah disangkanya. Berharap hal itu akan segera berakhir bagaikan mimpi yang akan segera berakhir saat kembali terjaga dari tidurnya. Mereka yang lemah itu terus berharap, dengan berangan neraca keadilan tetap bisa ditegakkan dan kebenaranlah yang akan menang. Oleh karena penjara itu hampir membuat mereka lupa pada wajah-wajah di masa lalunya. Sepetak ruang yang pengap, yang telah memupuskan harapan karena harus menjalani hukuman yang entah kesalahan apa yang telah mereka perbuat. Lain halnya dengan puisi berikut. KPK UNTUK SIAPA KAU ADA? ...KPK, oh KPK Apakah engkau ini sebenarnya Seperti tsunami memporak-porandakan tatanan Begitu banyak kehidupan yang kau renggut Bagitu banyak harapan kau sirnakan Apakah engkau ini musibah Apa engkau ini anugerah? .... KPK, oh KPK Jubah mana yang kau kenakan Apakah kau ini malaikat Apakah kau ini petunjuk Kemanakah perginya sang penyeru Pemberi ingat jiwa yang lupa... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:101-102) Suatu dedikasi dan peranan yang masih dipertanyakan oleh suatu kalangan masyarakat tertentu. Apakah neraca keadilan yang dipegang oleh KPK seutuhnya adalah kebenaran, hal tersebut juga masih menjadi pertanyaan. Hal ini juga disebabkan adanya eksplorasi hukum ketika ternyata masih ada ketidakadilan di dalam hukum yang diberlakukan oleh KPK, lalu masyarakat akan memandang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
bahwa adanya KPK juga merupakan musibah bagi orang-orang yang jujur. Kekuasaan juga masih digunakan di dalamnya, karena yang paling berkuasa yang memegang wewenang dan dapat berlaku dengan sesuka hatinya. Hal tersebut akhirnya membuat suatu wacana bahwa KPK akan dibubarkan karena dianggap tidak begitu penting dan tidak banyak membantu pemberantasan koruptor di negara ini karena justru banyak memenjarakan orangorang yang tidak bersalah. Meski begitu, hadirnya KPK untuk membasmi para “tikus berdasi” atau koruptor di negara ini disambut hangat oleh sebagian masyarakat lainnya. Kekuasaan-kekuasaan itu tampak dalam larik “Jubah mana yang kau kenakan. Apakah kau ini malaikat?. Apakah kau ini petunjuk?”. Jubah merupakan baju panjang (sampai di bawah lutut), berlengan panjang, seperti yang dipakai orang Arab, padri, hakim (Dendy Sugono, 2008:590). Namun dalam konteks larik puisi ini adalah jubah hitam yang juga biasanya digunakan oleh hakim yang menunjukkan kekuasaannya sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam persidangan. Berbeda dengan persoalan sosial yang terdapat dalam penggalan kisah berikut. Sebuah kisah yang jauh dari bau politik, namun mereka merupakan korban perpolitikan negara. Kisah ini adalah realitas objektif yang dilihat dan dikenal dekat oleh Dinda Natasya yang kemudian diungkapkan ke dalam karyanya. Mereka itu juga adalah “pasien-pasien” Dinda Natasya. KISAH SEORANG PRAMURIA ...Setiap malam bertemu dengan mereka. Dari sekedar pemandu karaoke, tukang pijat (plus), hostess di klub malam dan diskotik serta pekerja sex dari yang di hotel sampai yang tercecer di sepanjang jalan Hayam Wuruk (belum yang nyelip di sudut warung gelap yang kumuh). Bahkan mereka para profesional, istri direktur, dan pejabat yang mencari kepuasan batin diluar rumah, dari yang normal hingga pecinta sesama jenis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
Mereka ini beberapa saya kenal walau tidak terlalu dekat namun saya berusaha untuk tidak mengabaikan mereka ... Dan mereka ini kebanyakan adalah pasien-pasien yang datang pada saya dengan kasus yang sama yaitu masalah remaja dengan krisis kepercayaan diri dan masalah rumah tangga dengan segala persoalan di dalamnya. Ini bukanlah solusi yang dapat memperbaiki semua keadaan seperti yang saya sampaikan di atas, hanya saja saya sangat berharap: SEANDAINYA: Semua laki-laki di dunia ini menjalankan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga dengan benar dan sebaik-baiknya sesuai tuntunan agamanya masing-masing dan konsekuen tentu tidak akan seperti ini jadinya... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:19-20). Dinda Natasya mengungkapkan keprihatinannya dan kepeduliannya terhadap orang-orang yang dianggap “sampah masyarakat”. Bagi Dinda Natasya, itu bukanlah keinginan mereka yang sebenarnya. Tuntutan ekonomi yang mencekik keluarga mereka, memaksa para perempuan itu menjual harga diri. Mereka memilih jalan pintas yang pada mulanya terpaksa namun pada akhirnya pun menikmatinya karena mudah dan cepat mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Seperti yang tampak dalam kutipan lain dari kisah ini “Penjaja cinta mereka yang terpaksa menjual diri, terpaksa apa terpaksa? Lha kok wajahnya senang dan menikmati profesi begitu to ya!” dan “Kebanyakan perempuan yang saya temui, 90% terjun sebagai penjaja cinta karena faktor ekonomi. Hanya sayangnya kemudian mereka malah menikmatinya karena mudah, cepat dan tidak capek”. Dinda Natasya berusaha untuk tidak mengabaikan mereka, menurutnya toh mereka juga manusia yang berhak hidup. Hanya saja jalan kehidupan yang mereka pilih itu salah di mata masyarakat. Pada larik “terpaksa apa terpaksa? Lha kok wajahnya senang dan menikmati profesi begitu to ya!”, peneliti menganalisisnya sebagai tuntutan profesinya sebagai “wanita penghibur” yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
diharuskan menunjukkan wajah cerianya untuk mempromosikan diri agar dapat lebih menarik di hadapan lelaki “hidung belang”, meski di sisi lain sebenarnya mereka mengalami tekanan batin akan hal tersebut. Kemudian saat mereka ingin kembali ke jalan yang benar dan kehidupan yang normal, sebagian besar dari mereka tidak dapat diterima kembali oleh tanggapan di masyarakat tertentu itu sehingga mereka memilih untuk tetap melakukan pekerjaan itu. Hal tersebut merupakan hasil eksplorasi oleh Dinda Natasya terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya sebagai “dokter cinta”. Eksplorasi penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumbersumber alam yang terdapat di tempat itu; penyelidikan; kegiatan untuk memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru (Dendy Sugono, 2008:359). Eksplorasi yang dilakukan Dinda Natasya ini bukan dengan terjun langsung ke lapangan, namun justru mereka para pelaku penjaja seks itulah yang mendatangi Dinda Natasya sebagai “pasien-pasiennya”. Persoalan sosial ini terjadi juga tidak hanya karena ekonomi, namun justru ada juga yang hanya untuk mencari kepuasan diri seperti kutipan berikut: “Bahkan mereka para profesional, istri direktur, dan pejabat yang mencari kepuasan batin diluar rumah,”. Tidak adanya keharmonisan dalam sebuah rumah tangga adalah penyebab utamanya. Percintaan antara suami-istri yang tidak dibangun dengan pondasi komunikasi yang kuat, maka akan mudah runtuh seperti tampak dalam kutipan di atas. Dinda Natasya juga mengungkapkan pemikirannya dalam kutipan kisah di atas, bahwa hal tersebut dapat terjadi karena laki-laki yang seharusnya dapat menjadi imam dan kepala keluarga yang baik untuk istri, anak, dan keluarganya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
namun justru mengabaikan tugas dan kewajibannya. Begitu juga dengan seorang perempuan yang seharusnya menyadari fitrahnya sebagai seorang istri dan ibu. Persoalan sosial lain yang banyak terjadi di masyarakat sebagai contoh adalah seperti dalam kutipan puisi berikut. SOMBONG ...Wahai Berlari menghindar maut Sembunyilah dari kematian jika kau bisa Bawa anak istrimu serta Kemas semua harta benda dan tahta Bawa jika kau bisa Jika kau pergi akankah ada yang turut Sungguh sombong... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:68). Puisi di atas dapat dikatakan merupakan sebagai cerminan realitas objektif yang terjadi dalam lingkungan sosial kemanusiaan. Harta dan kekuasaan dapat membuat orang lupa diri dan menjadi pribadi yang angkuh dan sombong. Padahal harta dan kekuasaan bukanlah hal yang abadi, termasuk hidup ini. Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas harta dan kekuasaan yang dimiliki semasa hidupnya. Dinda Natasya ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Harta dan kekuasaan tidak akan dibawa mati, hanya amalan kebaikan yang dapat menyelamatkan setiap manusia. Dinda Natasya selalu mengembalikan segala persoalan-persoalan sosial tersebut kepada fitrah manusia dan Tuhan. Banyaknya kegiatan-kegiatan sosial dan pekerjaan yang dilakukan Dinda Natasya yang banyak menyita waktunya tidak lantas membuatnya melupakan kodratnya sebagai wanita dan sebagai ibu. Karena menjadi wanita ratu rumah tangga merupakan cita-citanya. Seperti lilin yang bersinar sampai padam walau meleleh dan seperti karang yang tetap tegar walau diterpa ombak, itulah commit to user perannya sebagai seorang ibu semboyan hidupnya. Dinda Natasya melakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
yang luar biasa dan mendidik kedua putranya dengan baik. Hal tersebut tampak dalam penggalan puisi Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106) sebagai berikut. ...Jika kini ibu hanya bisa memandangmu dari jauh Antara ada yang tiada Lebih bermakna dari tak ada! Kenanglah ibu dalam jiwa kalian Jika kalian merasa sendiri Dan memang demikianlah hidup kalian selama ini Ingatlah Ibu masih di sini bersama kalian Walau hanya lewat belaian malam tanpa berwujud Hanyalah suara Semoga engkau dapat rasakan Cinta dan kasih sayang Ibu selalu ada... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:105) Dinda Natasya ingin menyampaikan rasa kasih untuk kedua putra yang sangat dicintainya itu. Pekerjaan yang menuntut Dinda Natasya untuk berada di luar kota sehingga jauh dengan keberadaan anak-anaknya, tidak membuat rasa cinta itu luntur. Justru Dinda Natasya semakin menanamkan cintanya kepada kedua putranya melalui tulisan dan bait-bait doa untuk kebaikan keduanya yang dipanjatkannya meski mereka sedang berjauhan. Dinda Natasya berjuang dalam karirnya dan kedua putranya juga sedang berjuang di kota lain untuk menyelesaikan pendidikan mereka. Bagi Dinda Natasya, jarak bukanlah halangan untuk saling menyayangi dan mendoakan. Itulah bentuk cinta kasih Dinda Natasya sebagai seorang ibu kepada kedua putranya. 4. Konflik dengan Batinnya Sendiri Konflik dengan batinnya sendiri merupakan masalah sosial yang timbul dari individu sendiri (intrinsik). Karena pada suatu kondisi tertentu seseorang pasti pernah mengalami tekanan batin atau dapat dikatakan sebagai konflik dengan batinnya sendiri. Bagi sebagian besar orang, hal ini akan sangat to seseorang. user menganggu kondisi psikis atau commit kejiwaan Misalnya seseorang yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
sedang dilanda kedukaan dalam perjalanan hidupnya berupa rasa bingung, merasa sendiri, kecewa, dan putus asa yang mungkin akan menjadi penyebab utama hancurnya sebuah kehidupan baik itu dalam hal karir, prestasi maupun rumah tangga. Dalam kondisi frustrasi seperti itu seseorang tidak akan dapat berpikir dengan baik dan tidak dapat menemukan solusi, kecuali dengan meminta bantuan kepada orang lain untuk memberinya saran dan motivasi. Hal tersebut termasuk sebagai pertentangan karena perasaan memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut sedemikian rupa. Perasaan mana biasanya berwujud amarah dan rasa benci yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk melukai atau menyerang pihak lain, atau untuk menekan dan menghancurkan individu (Soerjono Soekanto, 2002:98). Demikian juga dengan Dinda Natasya sebagai manusia biasa yang dapat merasakan keresahan dan kegundahan di dalam hatinya setelah melihat dan merasakan realitas objektif yang ada di sekitarnya. Namun Dinda Natasya dapat melakukan pengontrolan terhadap dirinya sendiri dengan meluapkan segala yang menjadi gangguan dalam pikirannya dengan mencurahkan ke dalam sebuah tulisan. Hal tersebut juga merupakan sifat filantropi dari Dinda Natasya yaitu ia lebih banyak memikirkan persoalan orang lain yang membutuhkan pemikirannya. Dinda Natasya berharap, dengan membagi pikiran negatif dan pengalaman yang dituliskannya tersebut dapat lebih bermanfaat untuk orang lain dan dirinya pribadi. Karena dapat dijadikan sebagai pelajaran dan agar dapat lebih berempati terhadap orang lain. Dinda Natasya juga selalu mengembalikan persoalanpersoalan sosial termasuk konflik batin ini kepada Tuhan dan personal yang mengalaminya untuk mendapat penyelesaian. Seperti yang telah diungkapkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
pada pembahasan sebelumnya, karena hal ini juga berkaitan dengan hubungan manusia itu sendiri dengan Tuhannya. Pemikiran-pemikiran Dinda Natasya tersebut dapat dilihat dalam puisipuisi berikut: Cinta Tak Bertuan (hal 95-96), Romansa (hal 75), Dialog Tanpa Suara (hal 64-65), dan Menunggu Cintaku 1 & 2 (hal 84-85). CINTA TAK BERTUAN Antara Oase, Samudra, dan Pandeka ...Samudra birumu tlah melayariku Ke batas bibir langit Layarku tersapa awan nan biru Semoga ada pelangi yang berjejak dalam Di aksara kita Dan sesungguhnya cinta tak bertuan Ia milik siapa saja (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:95-96) Puisi di atas menggambarkan sosok Dinda Natasya yang memiliki banyak cinta untuk orang-orang di sekitarnya. Meski mungkin awalnya Dinda Natasya merasa bahwa cintanya yang tidak bertuan atau tidak dimiliki oleh seseorang saja itu sebenarnya milik siapa. Namun pada akhirnya Dinda Natasya tahu kemana ia harus membagi rasa kasihnya, yaitu kepada “pasien-pasiennya”, teman, sahabat, orang tua, dan siapa saja yang mengenal dirinya. Cinta Dinda Natasya mungkin memang tidak bertuan namun cintanya berhak dimiliki untuk siapa pun. Hal itu dikarenakan perannya sebagai “dokter cinta” yang dibutuhkan banyak orang yang sedang membutuhkan “pengobatan” untuk sembuh dari penyakit hatinya mengenai persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Konflik batin lainnya yang dialami oleh Dinda Natasya juga tampak dalam kutipan puisi berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
ROMANSA Di dinding kamarku Putih susu Diam memandang Kala mataku pejam. Disudut ranjangku Bayang keemasan Hangat menyusup Saat tubuhku tergetar Di langit-langit malamku Romansa tertinggal Penuh bisik lirih Saat anganku terkenang .... Malam minggu sendiri. Jakarta, 30 Januari 2010 (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:75) Puisi tersebut merupakan curahan hati Dinda Natasya ketika sedang sendiri pada malam minggu. Karena malam minggu merupakan kebudayaan para remaja untuk mengunjungi kekasih mereka dan melewati malam bersama. Namun Dinda Natasya melewatinya seorang diri. Dinda Natasya menyelami perasaannya untuk merasakan indahnya kerinduan yang sedang dirasakannya. Tidak dapat dipungkiri memang suasana malam yang hening dapat memutar kembali semua kenangan dalam angan-angan seseorang. Episode-episode kehidupan yang telah dilewatinya pun bisa kembali terkenang saat ia hendak tidur. Pada suatu kondisi lain yang berbeda, Dinda Natasya mendapati konflik batin yang luar biasa. Pergulatan batin yang dialaminya ini adalah bentuk betapa besar cinta Dinda Natasya untuk orang-orang di sekitarnya sehingga mampu membuat mereka jatuh cinta pada dirinya. Jatuh cinta dalam pengertian menyayangi Dinda Natasya sebagai sosok ibu, kakak, dan sahabat atau teman commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
dalam persaudaraan. Kebaikan hati dan keramahannya telah membuat banyak orang jatuh hati pada sosoknya. Hal tersebut tampak dalam puisi berikut. DIALOG TANPA SUARA Dalam kutermangu rasanya aku mendengar seseorang bicara padaku sepertinya marah sepertinya resah Dindaa! Kamu ini kurang ajar! Sungguh tak tahu malu, tak punya otak, tak punya perasaan Apa yang ada dipikiranmu sampai kau tega melakukan ini.” Kataku: Oh, aku sedang malamun. Pikiranku kosong Aku tidak melihatmu sebelumnya Aku juga sudah berusaha menghindar Kenapa kau berdiri di sana? Jika tahu akan menyakitimu Aku pun tak tega menabrakmu dengan sengaja… …Dindaa! Kamu ini sungguh terlalu! Dasar pencuri!... Kataku: Ah, jangan salahkan aku Toh ini sebuah kecelakaan dan bukan tabrak lari Aku juga bukan pencuri Jika memang ada milikmu yang kubawa, itu bukan sengaja Akan ku kembalikan jika kau minta Dinda! Kamu memang keras kepala! Kamu sengaja mencuri melukai Kau pergi seenakmu tanpa merasa bersalah Harusnya kau dihukum dan dipenjara! Kataku: Hhh, kenapa kau maki aku Jika aku mencuri perhatianmu Melukai hatimu dengan sengaja Aku pasti akan merasa bersalah Jika begitu, hukuman dan penjara Justru akan membuatku ingin mencuri dan melukai Karena itu jangan tuntut aku Bebaskanlah aku. Dinda!, Aku tak bisa Karena hatiku yang terpenjara Karena hatiku telah dihukum commit to user Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:64-65) Karena mencintaimu! (Dinda
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
Dialog batin Dinda Natasya tersebut merupakan salah satu cerminan konflik batin yang juga pernah dialami oleh setiap orang. Namun dengan persoalan yang berbeda tentunya. Ada semacam pergolakan pendapat di dalam hati seseorang yang hanya dirinya sendiri yang dapat mengatasinya. Perasaan bersalah, menyesal, kecewa, dan sejenisnya juga menjadi penyebab dalam persoalan-persoalan
semacam
ini.
Imajinasi
dan
hati
bergulat
untuk
memenangkan pemikiran logis untuk memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Dinda Natasya sebagai “dokter cinta” tentu bukan hal yang sulit untuk mengatasi konflik batinnya sendiri. Dinda Natasya justru menampilkan konflik batin yang dialaminya tersebut ke dalam karyanya untuk menunjukkan bahwa pikiran negatif dapat menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain jika disampaikan dan diolah dengan bahasa yang apik. Agar pembaca juga dapat mengambil pesan dari setiap bait-bait puisinya. Masih dalam ranah persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Cinta dapat membuat setiap orang rela berkorban dan melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya termasuk menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama misalnya. Seperti yang tampak dalam kutipan puisi berikut. MENUNGGU CINTAKU 1 Orang dicintai, karena dia memang dicintai! Tak perlu ada alasan untuk mencintai Jangan tanyakan kenapa aku menunggumu Sebab aku melihat kau adalah bagian hidupku Kau adalah sebagian dari takdirku Aku ingin memberimu kebebasan Untuk meraih mimpimu sepenuhnya Sama seperti yang engkau berikan padaku... (Dinda Natasya dan Anto commit to user HPrastyo, 2010:84)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
Pada kondisi seseorang sedang menunggu pasti terselip harapan di dalamnya. Orang yang dicintainya tersebut akan kembali dengan membawa kebahagiaan, misalnya kesuksesan bagi orang yang sedang merantau jauh demi cita-citanya. Dirasa Dinda Natasya mengkhususkan kedua puisinya ini untuk kedua putranya yang juga sedang berjuang untuk meraih cita-cita masing-masing. Meski Dinda Natasya sangat mencintai keduanya dan sebenarnya ingin selalu dekat dengan mereka. Tidak lantas membuat Dinda Natasya mementingkan keinginannya, namun justru rasa cintanya mengizinkan keduanya untuk meraih kehidupan di masa depan yang lebih baik. Hal tersebut tampak dalam kutipan puisi berikut. MENUNGGU CINTAKU 2 ...Raihlah tujuanmu dan wujudkan mimpimu Jika aku menjadi bagian dari hidupmu Maka engkau akan melihatku di sepanjang perjalananmu Jika kau membawa hatiku dalam keyakinanmu Maka aku akan bersabar Aku akan menunggumu, dengan penuh harap dan cinta... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:85) Dinda Natasya mencurahkan rasa cintanya ke dalam tulisan-tulisan tersebut untuk kedua putranya. Di balik penantian Dinda Natasya sebagai seorang ibu juga tersimpan harapan besarnya akan kesuksesan kedua putranya. Dalam larik “…Maka engkau akan melihatku di sepanjang perjalananmu…”, Dinda Natasya juga menunjukkan betapa besar rasa cintanya untuk kedua putranya, rasa cinta yang selalu ada meski tidak selalu bersama-sama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan dua hal yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut simpulan dari penelitian ini. 1. Proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan yang dijabarkan sebagai berikut. a. Tahap Persiapan Pada tahapan ini, Dinda Natasya memiliki gambaran bagaimana karyanya nanti. Profesi Dinda Natasya sebagai penyiar dan “dokter cinta” banyak berpengaruh terhadap karyanya sehingga dalam hal ini pun ia tidak banyak melakukan persiapan, karena ia menulis apa yang dilihat dan didengarnya. Dinda Natasya mengangkat persoalan-persoalan cinta dari para pendengar dan “pasien-pasiennya” yang berbias pada persoalan sosial. Dinda Natasya menempatkan dirinya pada posisi mereka agar dapat ikut merasakan apa yang mereka rasakan sehingga ia mampu melakukannya secara spontan. Kespontanitasannya tersebut terjadi karena profesinya sebagai penyiar dan “dokter cinta” yang terbiasa berpikir cepat. Judul dan larik yang terdapat di dalam puisinya tergolong singkat atau pendek-pendek dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain, seperti tampak dalam puisi PadaMu (hal 72), Tak Sepi (hal 73), dan Romansa (hal 75). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
b. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan atau Meditasi) Pada masa pengendapan ini, Dinda Natasya tidak memakan waktu yang lama. Hal itu karena profesinya sebagai penyiar selama lebih dari 25 tahun dan perannya sebagai “dokter cinta” sehingga menyimpan banyak pengalaman. Pengalaman ia dapatkan dari dirinya sendiri dan orang lain yaitu pengalaman para pendengar dan “pasien-pasiennya”. Seperti tampak dalam suatu pernyataan pada kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 13-14) yang juga menghasilkan puisi Mimpi 18 Hari (hal 15). Banyaknya pengalaman yang mengendap dalam diri dan pikirannya tersebut membuat Dinda Natasya seperti memiliki gudang gagasan atau dapat dikatakan juga memiliki wawasan yang luas. Maka saat Dinda Natasya ingin menulis atau diberi suatu topik sebagai pembahasan, ia akan dengan cepat mengutarakan satu per satu pendapat dan curahan hatinya. c. Tahap Inspirasi atau Munculnya Ide Pada tahapan ini kespontanitasan Dinda Natasya juga terjadi, namun kespontanitasan itu kemudian diolah untuk memunculkan ide. Sama halnya dengan tahapan sebelumnya, Dinda Natasya banyak mendapatkan inspirasi dari para pendengar dan “pasien-pasiennya”. Selain itu, inspirasi juga didapatkan dari hasil “pembacaan” Dinda Natasya tentang realitas objektif yang terjadi di sekitarnya. Hal itu kemudian membuatnya tergelitik untuk menuangkan segala hal yang menjadi “kegelisahan” hatinya ke dalam karya. Kegelisahan tersebut tertuang dalam puisi Sombong (hal 68-69). Dalam puisi tersebut Dinda Natasya merasa gelisah kemudian menyampaikan pesan agar orang-orang yang sombong dengan harta dan kekuasaannya segera commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
bertobat. Persoalan sosial lain yang tampak berupa penggambaran orang yang munafik, pendusta, dan dari kutipan “...Keji picik menghujam perih. Di setiap laku dan ucapmu...” juga mencerminkan orang yang licik karena kekuasaan dan kesombongannya akan harta yang dimilikinya. d. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan Pada tahapan ini, Dinda Natasya mengaku dirinya tidak banyak melakukan proses penyempurnaan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti. Agar pesan yang disampaikan lewat tulisannya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemikiran Dinda Natasya dan bisa dipahami atau dicerna dengan mudah oleh pembaca. Proses penyempurnaan yang dilakukan Dinda Natasya ini juga terkait dengan tahap inkubasi atau pengendapan. Hal tersebut tampak dalam kutipan email yang dikirimkan Dinda Natasya kepada peneliti,“…Saya tak banyak melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti…” (Email Dinda Natasya, 03 Februari 2012 pukul 21.59 WIB). Kemudian peneliti juga memaparkan hasil perbandingan naskah asli dan naskah yang telah dibukukan sebagai bukti pada pembahasan sebelumnya. 2. Dinda Natasya mengolah pemikirannya tentang realitas objektif di sekitarnya menjadi karya sastra. Berikut 4 (empat) konkretisasi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang dapat menentukan keekspresifan Dinda Natasya. a. Hubungan Manusia dengan Tuhannya Persoalan ini lebih dikaitkan dengan kecintaan Dinda Natasya kepada Tuhannya. Karena pada hakikatnya manusia memiliki hubungan vertikal atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
garis tegak lurus dari bawah ke atas atau sebaliknya dengan Tuhannya. Dinda Natasya juga suka tirakat dan mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan menaati segala perintah dan larangan-Nya. Rasa cinta Dinda Natasya pada Tuhannya tampak dalam puisi Kalah (hal 70-71) dan PadaMu (hal 72). Dalam puisi PadaMu Dinda Natasya terlihat ingin menjadi manusia yang pandai bersyukur, taat, dan menjadi muslimah sejati. Hatinya dipenuhi kepiluan akan kerasnya kehidupan namun ia ikhlas menjalani. Puisi tersebut juga mencerminkan keseharian Dinda Natasya yang merasa dapat begitu dekat dengan Tuhannya ketika melaksanakan salat dan tirakat. Hal itu karena Dinda Natasya sangat mencintai Tuhannya sebagai seorang hamba/manusia. b. Hubungan Cinta Kasih antara Remaja Pada persoalan ini, Dinda Natasya banyak mengangkat pengalaman pendengar dan “pasien-pasiennya” seputar kisah percintaan remaja dalam melewati masa pubertas yang cenderung masih labil, yaitu masa peralihan dari anak-anak ke masa remaja sebagai hasil karyanya. Seperti yang tampak dalam puisi Bingung (hal 111) dan Puisi Para Mantan (halaman 112-113). Dalam puisi Puisi Para Mantan Dinda Natasya ingin menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya bahwa saat kisah cinta berakhir maka tidak lantas membuat lemah, berhenti melangkah, dan terus mengingat masa lalu yang menyakitkan karena cinta. Tetapi justru menjadikan kesedihan sebagai kekuatan untuk diri kita menjadi pribadi yang tangguh terhadap cobaan sehingga dapat terus melangkah menuju masa depan, seperti dalam larik “…Sedih itu tak sesatkan langkah”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
Dinda Natasya mengolah nasihatnya sedemikian rupa agar pembaca mudah memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Kemudian mampu menjadikan kegagalan itu sebagai kekuatan untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik dan tidak mengulang kesalahan yang menyebabkan patah hati. c. Hubungan dan Konflik Sosial antara Sesama Manusia Dalam hal ini, persoalan yang diungkapkan Dinda Natasya pada karyanya yaitu, (1) cinta seorang ibu dan anak yang tidak mengenal jarak dan waktu dalam karyanya seperti tampak pada puisi Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106). (2) persoalan-persoalan sosial dalam ranah politik, berupa dedikasi yang dipertanyakan oleh lingkungannya, manipulasi hukum sehingga terjadi pemfitnahan terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah. Seperti yang tampak dalam puisi Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (hal 17-18). (3) Dinda Natasya juga mengungkap keabnormalan masyarakat, keprihatinan, dan kepeduliannya terhadap orang-orang yang dianggap “sampah masyarakat”. Abnormalitas masyarakat yang disebabkan oleh himpitan ekonomi tersebut tampak dalam Kisah Seorang Pramuria (hal 19-22). Hal-hal itulah yang menjadikan Dinda Natasya merasa
“gelisah” sehingga membuatnya
memberontak dengan memprotes dan mengkritisi realitas objektif yang ada di sekitarnya melalui karyanya. d. Konflik dengan Batinnya Sendiri Pada persoalan ini Dinda Natasya sebagai manusia biasa yang pernah mengalami konflik dengan batinnya sendiri. Namun Dinda Natasya dapat melakukan pengontrolan terhadap dirinya dengan meluapkan segala yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
menjadi gangguan dalam pikirannya dengan mencurahkan ke dalam tulisan. Dinda Natasya berharap, dengan membagi pikiran negatif dan pengalaman yang dituliskannya tersebut dapat lebih bermanfaat untuk orang lain dan dirinya pribadi. Karena dapat dijadikan sebagai pelajaran dan agar dapat lebih berempati terhadap orang lain. Itulah mengapa tulisan Dinda Natasya tidak hanya dikhususkan untuk dirinya sendiri melainkan juga bagi orang lain. Hal tersebut kemudian memunculkan sifat filantropi dari Dinda Natasya yaitu ia lebih banyak memikirkan persoalan orang lain yang membutuhkan pemikirannya. Dinda Natasya juga selalu mengembalikan persoalan-persoalan sosial termasuk konflik batin ini kepada Tuhan dan personal untuk mendapat penyelesaian. Pada suatu kondisi tertentu Dinda Natasya pernah mengalami pergulatan batin dalam bentuk betapa besar cinta Dinda Natasya untuk orang-orang di sekitarnya sehingga mampu membuat mereka jatuh cinta pada dirinya. Jatuh cinta dalam pengertian menyayangi Dinda Natasya sebagai sosok ibu, kakak, dan sahabat atau teman dalam persaudaraan. Kebaikan hati dan keramahannya telah membuat banyak orang jatuh hati pada sosoknya. Hal tersebut tampak dalam puisi Dialog Tanpa Suara (hal 64-65). Dalam puisi tersebut ada semacam pergolakan pendapat di dalam hatinya di mana hanya dirinya sendiri yang dapat mengatasinya. Perasaan bersalah, menyesal, kecewa, dan sejenisnya juga menjadi penyebab dalam persoalan-persoalan semacam ini. Imajinasi dan hati bergulat untuk memenangkan pemikiran logis untuk memikirkan apa yang harus dilakukan dalam mengatasi suatu persoalan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97 B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini peneliti memberikan saran sebagai berikut. 1. Hasil penelitian dan pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru telah memberi dampak psikologis tersendiri kepada peneliti, yaitu peneliti dapat merasa lebih peka terhadap lingkungan sekitar, mudah berempati, tidak menilai orang lain hanya dari “luarnya” saja, dapat menjadikan persoalan orang lain sebagai pembelajaran, dan memiliki semangat baru untuk menjalani hidup. Hal tersebut diharapkan juga dapat dirasakan oleh pembaca setelah membaca karya dan hasil penelitian. 2. Peneliti berharap akan ada peneliti lain yang juga meluaskan penelitiannya dengan turut memberi apresiasi kepada pengarang pemula atau pengarang yang belum “mapan”, yaitu demi membuka peluang bagi mereka dalam memasuki ranah karya sastra dengan membantu memperkenalkan kualitas tulisannya pada masyarakat seperti pada penelitian ini. 3. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini jauh dari hasil yang sempurna, maka peneliti berharap ada penelitian lebih lanjut mengenai buku Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Karena selain belum banyak yang meneliti buku ini, juga dapat dilakukan pengembangan penelitian dengan tinjauan yang lain, misalnya dari sisi psikologi.
commit to user