PROS WING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSW
EFISIENSI EKSTRAKSI BAKTERIOKLOROFIL DAN KAROTENOID DARI Rhodopseudomonaspalustris DENGAN BERBAGAI RASIO PELARUT ASETON DAN METANOL Renny Indrawati1'2*, Wahyu Wijaya1,3, Monika Nur Utami Prihastyanti1,3, Heriyanto2, Budhi Prasetyo1, Leenawaty Limantara2" 1 Magister Biologi, Universitas Kristen Satyq Wacana, Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711 *Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments, Universitas Ma Chung, Villa Puncak Tidar N-l, Malang 65151 • 'Moch tar Riady Institute for Nanotechnology, Lippo Karawaci, Tangerang 15001 *
[email protected]; **
[email protected]
ABSTRAK Rhodopseudomonas palustris merupakan spesies bakteri dengan kemampuan tumbuh secara fototropik dan menghasilkan sejumlah pigmen fotosintetik. Masing-masing molekul pigmen memiliki kepolaran yang berbeda-beda dan membutuhkan pelarut yang sesuai untuk proses ekstraksinya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan efisiensi ekstraksi bakterioklorofil (BChl) dan karotenoid dari kultur Rps. palustris dengan berbagai rasio pelarut organik aseton dan metanol (10:0, 7:3, 5:5, 3:7, 0:10 v/v). Analisis pigmen dilakukan dengan spektrofotometer UV-Tampak serta Kromatografi Cair Kineija Tinggi (KCKT) dengan detektor Photo-Diode Array (PDA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi dengan berbagai rasio pelarut aseton dan metanol menghasilkan komposisi pigmen bakterioklorofil dan karotenoid yang berbeda-beda. Rasio pelarut asetommetanol 7:3 menunjukkan hasil terbaik untuk mengekstraksi baik karotenoid maupun bakterioklorofil. Keywords: Rps. palustris, pigmen, bakterioklorofil, ekstraksi, pelarut
PENDAHULUAN Pigmen-pigmen fotosintetik telah banyak diteliti terkait potensi aplikasinya sebagai pewama alami, antioksidan, antimutagenik, serta sebagai agen sensitizer dalam terapi fotodinamika tumor dan kanker (Chattopadhyay et al., 2008; Basu et al., 2001; Ferruzzi et al., 2006; Grimm et al., 2006). Pigmen fotosintetik dapat ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah, hingga mikroorganisme bersel tunggal. Dibandingkan tumbuhan, kultivasi mikroorganisme sebagai produsen pigmen fotosintetik memiliki prospek yang lebih baik (Dufosse et al, 2005). Produksi pigmen melalui kultivasi mikroorganisme memungkinkan pengaturan kondisi untuk produksi optimum serta produktivitas yang lebih tinggi karena siklus hidupnya yang pendek. Bakteri fotosintetik merupakan salah satu kelompok mikroorganisme yang memiliki antena pemanen cahaya (light harvesting) dengan kelompok pigmen bakterioklorofil serta karotenoid. Rhodopseudomonas palustris (Rps. palustris) merupakan spesies bakteri fotosintetik dengan kemampuan tumbuh yang baik melalui berbagai jalur metabolisme seperti fotoautotrof, fotoheterotrof. kemoautotrof, maupun kemoheterotrof (Larimer et al., 2004 dalam Fejes, 2004). Rps. palustris merupakan bakteri fototropik dengan sel berbentuk batang dan bereproduksi dengan cara membentuk tunas. Saat ditumbuhkan dalam keadaan fotoautotrof Rps. palustris mengikat CO: dan menyediakan donor elektron anorganik PL, SjOf ', dan sedikit PLS (Carlozzi dan Sacchi, 2001). Ekstraksi dengan berbagai komposisi pelarut organik diduga akan mempengaruhi jumlah dan komposisi pigmen yang dihasilkan (Plolm-PIansen dan Riemann, 1978; Porra, 1989). Tujuan
51
PROSIMNG SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAX SAINS UKSW
dari penelitian ini adalah menentukan dan membandingkan komposisi pigmen yang dihasilkan kultur Rps. palustris melalui ekstraksi dengan berbagai rasio pelarut aseton dan metanol.
BAHANDAN METODE Kultur bakteri fotosintetik yang digunakan adalah Rps. palustris strain 2.1.6 yang diperoleh dari University of Glasgow, Inggris. Kultur dikultivasi dalam medium suksinat dan ditempatkan dalam botol pipih (volume 1500 mL) selama 4 hari dengan pencahayaan lampu (1170 lux). Kultur dipanen dengan ODgsj sebesar 3,73. Pellet bakteri didapatkan dengan mensentrifugasi kultur bakteri menggunakan sentrifuse dingin (Kubota 6500, Jepang, 4 0C, 8000 rpm, 10 menit). Variasi pelarut yang digunakan adalah perbandingan volume aseton dan metanol 10:0, 7:3, 5:5, 3:7, dan 0:10 v/v. Sebanyak 1 gram pellet sel ditimbang serta diekstraksi dalam 20 mL pelarut, dengan ditambahkan CaCOj untuk menetralkan asam-asam yang ada, serta asam L(+)-askorbat sebagai antioksidan untuk mencegah terjadinya oksidasi pigmen. Ekstraksi diawali dengan sonikasi menggunakan sonikator (Misonix, USA) pada amplitude 30 yang bertujuan memecah dinding sel bakteri sehingga pigmen lebih mudah terekstrak. Ekstrak hasil sonikasi diendapkan dan difiltrasi, sedangkan sisa pellet diekstraksi lebih lanjut (250 rpm, 10 menit) dengan komposisi pelarut yang sesuai serta difiltrasi kembali. Ekstrak kasar pigmen dipekatkan untuk dianalisis lebih lanjut dengan spektrofotometer UVTampak (Shimadzu, Jepang) serta KCKT yang diperlengkapi dengan detektor PDA (Shimadzu, Jepang) menggunakan kolom fase terbalik Shim pack VP-ODS C-18. Ease gerak adalah asetonitril : metanol : diklorometan 70:15:15 (v/v) dengan laju alir 1 mL/menit, dielusi selama 30 menit (Nelis dan De Leenheer. 1989, yang telah dimodifikasi). Analisis dengan spektroskopi UV-Tampak dilakukan untuk membandingkan pola spektra ekstrak kasar yang dihasilkan dari masing-masing rasio pelarut. sedangkan analisis KCKT dilakukan untuk mengidentifikasi serta membandingkan komposisi pigmen yang terekstrak. Pengamatan kromatogram KCKT dilakukan pada panjang gelombang 450 nm. Data yang dihasilkan digambarkan serta dianalisis dengan bantuan software Plot32. Kandungan pigmen diidentifikasi berdasarkan urutan kepolaran (waktu tambat) serta kesesuaian puncak serapan yang terdeteksi dengan literatur yang ada. HASIL DAN D1SKUS1 Pola Spektra dengan Spektrofotometer UV-Tampak Hasil pengukuran absorbansi yang digambarkan sebagai pola spektra serapan ekstrak pigmen kasar menunjukkan perbedaan komposisi serta jumlah pigmen yang terekstrak dari masingmasing rasio pelarut. Perbedaan ini nampak pada puncak serapan di sekitar 450-540 nm yang semakin menurun seiring dengan berkurangnya rasio aseton. Selain itu, perubahan pola spektra juga dapat diamati pada panjang gelombang sekitar 580 dan 770 nm. Gambar 1 menampilkan pola spektra dari ekstrak pigmen kasar yang diekstraksi dengan berbagai rasio pelarut aseton dan metanol. Menuait Herek et al. (2002). pada antena penangkap cahaya Rhodopseudomonas acidophila, terdapat kandungan karotenoid yang memiliki puncak serapan sekitar 450-540 nm. Penurunan serapan di wilayah 450-540 seiring menurunnya rasio aseton dan meningkatnya rasio metanol menunjukkan bahwa komponen karotenoid tidak dapat diekstraksi dengan maksimal apabila menggunakan pelarut metanol dalam rasio tinggi. Hasil ini didukung oleh penelitian Craft dan Soares (1992) yang menunjukkan kelarutan karotenoid ((l-karoten) dalam pelarut metanol sangat minim. Fenomena ini disebabkan si fat karotenoid yang mayoritas non-polar sementara metanol bersifat semi-polar.
52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSW
55C 400 450 500 550 600 650
7
0C 750 S00
paiijauft ielombana / nm Gambar 1. Pola Spektra Hasil Pengukuran dengan Spektroskopi UV-Tampak: Ekstrak Pigmen dengan Rasio Pelarut ( ) aseton:nietanol 10:0, ( ) aseton:nietanol 7:3, ( ) aseton:nietanol 5:5, ( ) aseton:nietanol 3:7 dan ( ) asetonmietanol 0:10 Sebaliknya, nampak bahwa pada rasio terendah dari pelarut aseton (mayoritas metanol), kandungan bakterioklorofil yang terekstrak lebih banyak. Metanol yang bersifat semi polar sangat cocok untuk mengekstrak bakterioklorofil yang juga bersifat semi polar. Pada pola spektra, kehadiran klorofil ditandai dengan adanya puncak serapan Q, dan Qy masing-masing pada panjang gelombang sekitar 590 nm dan 770 nm (Alric, 2005; Visschers et ai, 1994). Apabila dibandingkan kuantitas serapan bakterioklorofil dan karotenoid pada 1 titik panjang gelombang yang sama, maka kita akan dapat menentukan rasio pelarut yang tepat untuk mengekstrak pigmen sesuai yang diinginkan. Tabel 1 menyajikan perbandingan absorbansi puncak serapan karotenoid dan Qy bakterioklorofil. Tabel 1. Perbandingan Absorbansi Absorbansi 1 maksimum 10:0 Karotenoid 0,438 (480 nm) Qy BChl 0,269 (770 nm) Rasio 1,628
Serapan Maksimum Karotenoid dan Qy BChl Rasio Aseton:Metanol 0:10 7:3 5:5 3:7 0,202 0,055 0,454 0,157 0,554
0,477
0,728
0,687
0,819
0,423
0,216
0,080
Dengan menentukan rasio serapan dapat ditentukan bahwa untuk mengekstrak karotenoid saja, rasio pelarut terbaik adalah asetommetanol 10:0. Ekstraksi bakterioklorofil maksimum dapat dilakukan dengan rasio asetommetanol 0:10. Untuk ekstraksi yang menghendaki baik bakterioklorofil maupun karotenoid, dipilih rasio serapan yang mendekati 1 yakni dengan rasio pelarut asetommetanol 7:3. Profll Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Analisis dengan KCKT dilakukan untuk mengidentifikasi pigmen yang nampak sebagai puncakpuncak dengan waktu tambat tertentu pada kromatogram, berikut menentukan komposisi pigmen dalam ekstrak kasar yang dianalisis. Ideiitifikasi pigmen telah dilakukan berdasar 53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PEN PI PI KAN SAINS UKSW
kepolaran (urutan vvaktu tambat) serta puncak serapan yang terdeteksi. Tabel 2 menampilkan hasil identifikasi beberapa pigmen dominan yang ditemui melalui pengamatan kromatogram pada panjang gelombang 450 nni. Tabel 2. Identifikasi Beberapa Pigmen Klorofil dan Karotenoid Dominan Waktu Serapan Pigmen Pustaka Tambat Makamum (menit) Grimm et al. (2006) 363, 598, 770 turunan BChI a 6,3 244, 319, 390, Feng et al. (2004), Monomethylated spirilloxanthin Feng et al. (2008) 498,531 243, 306, 364, Nelis dan De Leenheer (1989), Rhodovibrin dan Feng et al. (2004), Feng et al. 460, 488,519, turunan BChI a (2008), Grimm et al. (2006) 597, 769 Grimm et al. (2006) turunan BChI a 363, 598, 770 Nelis dan De Leenheer (1989), 3,4237, 307,375, Feng et al. (2004), Didehydrorhodopin 459, 485,519 Feng et al. (2008) Nelis dan De Leenheer (1989), 244,296,318, Rhodopin Feng et al. (2004), 448, 474, 504 Feng et al. (2008) 264 3 6 3 594 ' 7 7 0' '
BOda
236, 307, 359^ 376, 463, 488, 520, 748
Anhydrorhodovibrin
296,364, 448, 474,505
Likopen L,k01,en
242,358,526, 747
_ . . , _ . Baktenoteotitin Bakteriofeofitin
Grimm et al. (2006) Nelis dan De Leenheer (1989), Feng et al. (2004), Feng et al. (2008) Nelis dan De Leenheer (1989), Feng et al. (2004), Feng et al. (2008) Grimm et al. (2006), standar bakteriofeofitin mumi (Hugo Scheer, LMU)
Gambar 2 menampilkan perbandingan luas area puncak kromatogram yang sebanding dengan konsentrasi masing-masing pigmen dalam ekstrak kasar. Pada kelompok karotenoid likopen, rhodopin dan 3,4-didehydrorliodopin tampak adanya kecenderungan yang sama, yakni penumnan konsentrasi pigmen seiring makin berkurangnya rasio pelarut aseton. Penumnan konsentrasi pigmen karotenoid ini sesuai dengan hasil pengamatan yang ditunjukkan pada pola spektra serapan ekstrak kasar melalui pengukuran dengan spektrofotometer LTV-Tampak.
54
PROSWING SEMINA R NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSYV
Bakteriofeofitin Likopen Anhydrorhodovibrin BChi a Rhodopin 3,4-Didehydrorhodopin turunan BChi a Rhodovibrin dan turunan BChi a Monomethylated spirilloxanthin turunan BChi a O.OOE+OO 5.00E+05
1.00E+06
1.50E+06 2.00E+06 2.50E+06
Gambar 2. Diagram Batang Komposisi Beberapa Pigmen Dominan Berdasarkan Luas Area pada Kromatogram KCKT, masing-masing untuk Ekstrak Pigmen dengan Rasio Pelarut (0 ) aseton-.metanol 10:0, ( H ) aseton:metanol 7:3, (0 ) asetommetanol 5:5, ( CD ) aseton:metanol 3:7 dan ( H ) ascton.'mctanol 0:10 Pada beberapa jenis karotenoid lainnya serta bakterioklorofil dan bakteriofeofitin tidak terdapat pola kenaikan atau penurunan tertentu seiring perubahan rasio pelarut. Rasio pelarut tertentu (selain 10:0 dan 0:10) diduga dapat menghasilkan interaksi positif yang mampu meningkatkan kelarutan pigmen dan dengan demikian mengoptimalkan proses ekstraksi. KESIMPULAN Ekstraksi dengan berbagai rasio pelarut aseton dan metanol akan menghasilkan komposisi pigmen bakterioklorofil dan karotenoid yang berbeda-beda. Aseton cenderung mengekstrak karotenoid, sementara metanol cenderung mengekstrak bakterioklorofil. Pada rasio pelarut aseton : metanol 7:3, karotenoid dan bakterioklorofil dapat terekstrak bersama-sama dengan perbandingan terbaik (mendekati 1). Beberapa pigmen dominan yang dijumpai pada kultur Rps. palustris adalah bakterioklorofil a (BChi a), bakteriofeofitin, rhodopin, 3,4-didehydrorhodopin, rhodovibrin, anhydrorhodovibrin, monomethylated spirilloxanthin, dan likopen. UCAPAN TERIMA KASIII Renny Indrawati, Wahyu Wijaya, dan Monika Nur Utami Prihastyanti mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Nasional atas Program Beasiswa Unggulan 2009 bidang Klorofil dan Pigmen Alami, yang diselenggarakan di Program Pascasarjana Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Universitas Ma Chung atas kepercayaan dan kescmpatan yang diherikan untuk mcngikuti Program Beasiswa Unggulan 2009, serta dukungan peralatan laboratorium. Apresiasi khusus
55
PROS I DISC, SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSW
kcpada Tatas H. P. Brotosudanno (University of Glasgow, Inggris) unluk kultur Rps. palustris dan Prof. Hugo Scheer (Ludwig Maximillians University, Jerman) atas donasi sampel pigmen mumi. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3]
[4] [5]
[6]
[7] [8]
[9] [10]
[11]
[12] [13] [14]
[15]
[16]
Alric, J. 2005. In Vivo Carotenoid Triplet Formation in Response to Excess Light: a Supramolecular Photoprotection Mechanism Revisited, Photosynthesis Research 83 (3), 335-341. Basu, H.N.; A.J.D. Vecchio; F. Flider; F.T. Orthoefer. 2001. Nutritional and Potential Disease Prevention Properties of Carotenoids. J. Am. Oil Chem. Soc., 78 (7), 665-675. Carlozi, P. and A. Sacchi. 2001. Biomass Production and Studies on Rhodopseudomonas palustris Grown in an Outdoor, Temperature Controlled, Underwater Turbular Photobioreactor, Journal of Biotechnology, 88, 239-249. Chattopadhyay, P., S. Chatteijee and S.K. Sen. 2008. Biotechnological Potential of Natural Food Grade Biocolorants, African Journal of Biotechnology, 7 (17), 2972-2985. Craft, N.E. and J.H. Soares. 1992. Relative Solubility, Stability, and Absorptivity of Lutein and Beta-Carotene in Organic Solvents, Journal of Agricultural and Food Chemistry, 40 (3), 431-434. Dufosse, L.; P. Galaup; A. Yaron; S.M. Arad; P. Blanc; K.N.C. Murthy; G.A. Ravishankar. 2005. Microorganisms and Microalgae as Sources of Pigments for Food Use: a Scientific Oddity or an Industrial Reality? Trends in Food Science & Technology, 16(9), 389-406. Fejes, A.P. 2004. Mass Spectrometry of Rhodopseudomonas palustris Chro m a top ho res and a Method for Displaying Proteomes, Thesis, The University of British Columbia. Feng, J.; Wang, Q.; Wu, Y.; Ai, X.; Zhang, X.; Huang, Y.; Zhang, X.; Zhang, J. 2004. Triplet Excitation Transfer between Carotenoids in the LH2 Complex from Photosynthetic Bacterium Rhodopseudomonas palustris. Photosynthesis Research, 82, 83-94.' Feng, J. et al. 2008. Spectroscopy and Spectral Analysis, 28 (7), 1459-1463. Ferruzzi, M.G.; V. Bohm; P.D. Courtney; S.J. Schwartz. 2006. Antioxidant and Antimutagenic Activity of Dietary Chlorophyll Derivatives Detennined by Radical Scavenging and Bacterial Reverse Mutagenesis Assays, Journal of Food Science, 67 (7), 2589-2595. Grimm, B., RJ. Porra, W. Riidiger, H. Scheer (Eds.). 2006. Chlorophylls and Bacteriochlorophylls: Biochemistiy, Biophysics, Functions and Applications. The Netherlands: Springer. Herek, J.L.; W. Wohlleben; RJ. Cogdells; D. Zeidler; M. Motzkus. 2002. Quantum Control of Energy Flow in Light Harvesting, Nature, 417, 533-535. Holm-Hansen, O. and B. Riemann. 1978. Chlorophyll a Determination: Improvements in Methodology, Oikos, 30, 438-447. Nelis, H.J. and A.P. De Leenheer. 1989. Profiling and Quantitation of Bacterial Carotenoids by Liquid Chromatography and Photodiode Array Detection, Applied and Environmental Microbiology, 55 (12), 3065-3071. Porra, R.J.; W.A. Thompson; P.E. Kriedemann. 1989. Determination of Accurate Extinction Coeffiecients and Simultaneous Equations for Assaying Chlorophylls a and b Extracted with Four Different Solvents: Verification of the Concentration of Chlorophyll Standards by Atomic Absorption Spectroscopy, Biochimica et Biophysica Ada, 975, 384394. Visschers, R.W.; W. Crielaard; G.J.S. Fowler; C.N. Hunter; R. Grondelle. 1994. Probing the B800 Bactenochlorophyll Binding Site of the Accessory Light-Harvesting Complex from Rhodobacter sphaeroides Using Site-Directed Mutants. II. A Low-Temperature Spectroscopy Study of Structural Aspects of the Pigment-Protein Conformation, Biochimica et Biophysica Ada (BBA) — Bioenergitics, 1183 (3), 483-490. 56
PROSIDING SEMINAR NASIOSAL SAINS DAN PEN PI PI KAN SAINS UKSW
PENENTUAN KONSENTRASI SARI WORTEL (Daucus carota Linn) UNTUK DITERAPKAN KE DALAM ADONAN ROTI TAWAR BERDASARKAN EVALUASI SENSORIS Silvia Andini, Lusiawati Dewi Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana , Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711, Jaw a Tengah Telp. (0298) 321212 ext. 251, Fax. (0298) 321433
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Tujuan dari studi ini adalah menentukan konsentrasi sari wortel yang tepat untuk diaplikasikan ke dalam adonan roti tawar berdasarkan evaluasi sensoris. Evaluasi sensoris, yang terdiri dari (1) uji hedonik warna dan (2) uji perbandingan bau, tekstur, dan rasa, menggunakan 49 panelis sebagai ulangan. Evaluasi sensoris tersebut terdiri dari 5 perlakuan. Purata skor basil evaluasi antarperlakuan dibandingkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5 %. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi sari wortel yang tepat untuk diaplikasikan ke dalam roti tawar ialah 25 %. Keywords: evaluasi, sensoris, hedonik, roti, wortel.
PENDAHULUAN Warna merupakan salah satu aspek visual dari bahan pangan yang seringkali mendapat perhatian pertama oleh konsumen dan dijadikan salah satu faktor yang ikut menentukan penerimaan terhadap bahan pangan tersebut. Bahkan, warna dari bahan pangan menjadi suatu indikator mutu bahan pangan (Hutching dalam MacDougall, 2002). Sejak zaman dahulu, zat warna dari sumber alami, misalnya daun suji, kunyit, dan cabai, telah banyak digunakan sebagai pewama makanan. Namun, ketika ditemukannya pewama sintetik, penggunaan pewama alami semakin menurun meskipun tidak menghilang sama sekali. Beberapa dasawarsa terakhir ini, timbul usaha-usaha untuk memahami seluk-beluk pewama alami dan pemanfaatannya yang lebih luas, karena efek pencemaran lingkungan dan efek negatif terhadap kesehatan yang diakibatkan oleh penggunaan pewama sintetik. Pada penelitian sebelumnya, Andini dan Lusiawati (2009) telah membuat suatu inovasi pada suatu makanan, yaitu roti tawar wortel. Roti yang dimaksud berwama kuning akibat penambahan sari wortel. Peneliti juga telah mempelajari kinetika degradasi warna roti akibat cahaya dengan berbagai intensitas. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa warna roti tawar tidak stabil terhadap cahaya dengan intensitas di atas 2850 lux, dan kinetika degradasi sesuai orde ke-0. Roti tawar wortel merupakan produk pangan baru dan memiliki potensi untuk dikembangkan dalam dunia usaha kuliner. Roti tawar ini dengan sendirinya mengalami fortifikasi, terutama provitamin A, akibat sari wortel yang ditambahkan ke dalam adonannya. Sebagai produk bam, roti tawar wortel perlu untuk dilakukan uji sensoris terlebih dahulu sebelum dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut.
57
PROStDING SEMINAR NASH) SAL SAINS DAN PESO! PI KAN SAINS UKSW
Studi ini difokuskan pada penentuan konsentrasi penambahan sari wortel yang tepat sehingga dihasilkan produk roti tawar wortel yang disukai. Oleh karena itu, tujuan dari studi ini ialah menentukan konsentrasi sari wortel yang tepat untuk diaplikasikan ke dalam adonan roti tawar berdasarkan evaluasi sensoris. BAHANDAN METODE Bahan dan piranti Wortel (Daucus carota Linn) yang digunakan adalah wortel varietas lokal (varietas Ngablak) berumbi panjang, yang diperoleh dari pasar lokal Salatiga, Jawa Tengah. Bahan-bahan pembuatan roti tawar adalah tepung terigu Cakra Kembar, fennipan, garam, gula pasir, air dingin, sari wortel dingin, dan mentega putih. Bahan dasar roti diperoleh dari toko bahan roti di Salatiga. Piranti yang digunakan adalah juicer Signora, oven, inkubator yang dilengkapi dengan lampu Philips Essential 18 W, 23 W, dan 45 W, lightmeter Lutron LX-102, dan termometer. Metoda Resep Dasar Roti Tawar (Andini dan Lusiawati, 2009) 1 kg terigu Cakra Kembar ditambah 60 g gula pasir, 25 g fermipan, dan 5 g garam, lalu diaduk rata. Campuran ditambah 600 mL air dingin sedikit demi sedikit sambil diadon hingga setengah kalis. Adonan ditambah 100 g mentega lalu diadon kembali hingga kalis selama 30 menit. Adonan dibiarkan mengembang beberapa menit lalu diadon kembali selama 15 menit (diulangi sebanyak 4 kali). Adonan digulung dan dimasukkan ke dalam cetakan. Setelah mengembang selama 1 jam, adonan dipanggang dengan api sedang selama 30 menit. Pembuatan Roti Tawar Wortel Roti tawar wortel yang dimaksud ialah roti tawar, yang dibuat mengacu pada resep dasar, dengan mengganti 600 mL air dingin dengan sejumlah tertentu sari wortel dingin sesuai konsentrasinya (25, 50, 75, dan 100 %) dan volume digenapkan 600 mL dengan air dingin. Perhatikan Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Volume sari wortel dan air dingin yang ditambahkan ke adonan roti tawar wortel Roti tawar wortel Volume sari woitel dingin/mL Volume air dingin/mL 25 % 150 450 50 % 300 300 75% 450 150 100% 600 0 Uji Sensoris (Soekarto, 1985) Uji sensoris dilakukan terhadap parameter bau, tekstur, dan rasa roti tawar yang diberi pewarna makanan kuning tua sintetik dan roti tawar yang diberi sari wortel sebesar 25, 50, 75, dan 100 % dengan dasar uji perbandingan terhadap standar, yakni roti tawar biasa. Sedangkan untuk parameter wama, dilakukan uji sensoris dengan dasar uji hedonik terhadap 5 roti tawar tersebut. Analisa Data (Steel dan Torie, 1960) Data hasil uji sensoris dianalisa menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Uji sensoris menggunakan 49 panehs sebagai ulangan. Uji ini tcrdiri dari 5 perlakuan, yaitu roti tawar dengan penambahan pewama makanan kuning tua sintetik. roti tawar dengan penambahan sari wortel
58
PROS!DING SEMINAR \ AS ION A I. SAINS DAN PENDID1KAN SAINS UKSYV
sebesar 25, 50, 75, dan 100 %. Purata skor antarperlakuan dibandingkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5 %. HASIL DAN DISKUSI Uji Perbandingan Bau, Tekstur, dan Rasa Hasil uji organoleptik dengan dasar uji perbandingan untuk parameter bau, tektur, dan rasa roti tawar yang diberi penambahan pewama, baik dari pewama makanan kuning tua sintetik maupun dari sari wortel dengan variasi konsentrasi 25 % hingga 100 %, terhadap roti tawar standar (biasa) disajikan dalam Tabel 2. Pada uji ini, semua roti tawar dibuat dengan resep yang sama, perbedaan hanya terletak pada volume air dan volume pewama (sari wortel) yang ditambahkan, namun dengan volume total yang sama. Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa bau antara roti tawar wortel 25 % tidak berbeda dengan bau roti tawar wortel 50 %, namun berbeda signifikan dengan bau roti tawar wortel 75 dan 100 %.Bau roti tawar wortel 25 % paling mendekati bau roti tawar standar, dengan purata skor 2,63. ± 0,24 (mendekati skor 3 yang berarti sesuai standar). Di lain pihak, bau roti tawar yang diberi penambahan pewama makanan kuning tua sintetik pun memperoleh skor rendah, yakni 2,18, yang tidak berbeda secara bermakna dengan bau roti tawar wortel 75 dan 100 %. Hal ini berarti bahwa sari wortel hingga konsentrasi 50 % lebih baik digunakan sebagai pewama roti tawar dibandingkan pewama makanan sintetik, di mana pewama sintetik yang ditambahkan hanya sedikit (1 mL untuk 1 kg terigu). Tabel 2. Hasil Uji Perbandingan Bau, Tekstur, dan Rasa Perlakuan R.T.K.S R.T.W 25 R.T.W 50 R.T.W 75 R.T.W 100 X±SE 2,18 ±0,26 2,63 ± 0,24 2,39 ± 0,24 2,00 ± 0,22 1,94 ±0,22 Bau w = 0,43 (ab) (c) (be) (ab) (0 (a) X±SE 2,47 ±0,24 2,78 ±0,22 ± 0,22 2,71 ±0,24 2,82 ± 0,25 2,61 ±0,23 Tekstur w = 0.39 (a) (a) (a) (a) X±SE 2,27 ±0,23 2,29 ±0,23 2,16 ±0,22 2,14 ±0,26 2,18 ±0,23 Rasa w = 0,41 (a) (a) (a) (a) (a) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antarperlakuan tidak berbeda secara bermakna, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antarperlakuan berbeda secara bermakna, w = BNJ 5 % R.T.K.S = Roti tawar dengan penambahan pewarna makanan kuning tua sintetik. R.T.W 25 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 25 %. R.T.W 50 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 50 %. R.T.W 75 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 75 %. R.T.W 100 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 100%. Standar = Roti tawar biasa Skor 1 : Sangat kurang baik dari standar • 2 : Kurang baik dari standar 3 : Sesuai standar 4 : Lebih baik dari standar 5 : SangatTebih baik dari standar Untuk parameter tekstur dan rasa, tidak ada perbedaan nyata antara roti yang satu dengan lainnya. Tekstur roti tawar yang diberi penambahan pewarna makanan sintetik dan sari wortel mendekati 59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDWIKAN SAISS UKSW
standar, dengan purata skor 2,47 sampai 2,82. Namun dari segi rasa, penambahan pewama makanan sintetik dan sari wortel menyebabkan penurunan citarasa roti tawar, di mana purata skor yang diperoleh tiap roti (2,14 hingga 2,29) menunjukkan rasa yang kurang baik dari standar. Secara keseluruhan, karakteristik tekstur, rasa, dan bau roti tawar wortel berbeda dengan roti tawar biasa bila digunakan resep yang sama. Hal ini diduga akibat komponen-komponen yang terkandung dalam sari wortel. Oleh karena itu, untuk pengembangan roti tawar wortel, perlu ditemukan suatu formulasi yang epat sehingga dapat menutupi kekurangan yang ditimbulkan dari sari wortel yang ditambahkan. Uji Hedonik Warna Hasil uji hedonik, yang disajikan dalam Tabel 3, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kesukaan warna antara roti yang satu dengan lainnya. Purata skor tingkat kesukaan tiap roti berkisar 2,47 hingga 2,92. Nilai ini menunjukkan tingkat kesukaan antara tidak suka hingga suka. Sari wortel berpotensi untuk dijadikan sebagai pewama kuning roti tawar. Kemungkinan hasil skor ini akan semakin besar apabila konsumen mengetahui bahwa pewama yang digunakan ialah pewama alami, yang memiliki efek positif bagi kesehatan. Tabel 3. Hasil Uji Hedonik Warna Perlakuan R.T.K.S R.T.W 25 R.T.W 50 R.T.W 75 R.T.W 100 XiSE 2,57 ±0,20 2,61 ±0,28 2,92 ± 0,22 2,84 ±0,19 2,47 ± 0,26 w = 0,46 a a a a a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antarperlakuan tidak berbeda secara bermakna. vv = BNJ 5 % R.T.K.S = Roti tawar dengan penambahan pevvarna makanan kuning tua sintetik. R.T.W 25 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 25 %. R.T.W 50 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 50 %. R.T.W 75 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 75 %. R.T.W 100 = Roti tawar dengan penambahan sari daging umbi wortel sebesar 100%. Skor 1 : Sangat tidak suka 2 : Tidak suka 3 : Suka 4 : Sangat suka KESIMPULAN Berdasarkan studi awal ini, dapat disimpulkan bahwa menurut resep dasar yang digunakan maka konsentrasi penambahan sari wortel yang tepat untuk diaplikasikan ke dalam adonan roti tawar ialah 25 %. Dari studi awal ini, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi wortel sebagai pewama alami produk pangan, khususnya roti tawar, antara lain: 1. Resep dasar yang digunakan perlu dimodifikasi untuk menghasilkan roti tawar wortel yang memenuhi selera konsumen, baik rasa, tekstur, bau, dan warna,. 2. Perlu dilakukan penelitian sempa dengan variasi produk pangan lainnya dan aplikasi bubuk pigmen dari ekstrak wortel. 3. Perlu dilakukan penelitian mengenai kandungan gizi roti tawar wortel. DAFTAR PUSTAKA [1] MacDougall. D. B., 2002. Colour in Food: Improving Quality, p. 9-30. Boca Raton: CRC Press. 60
PROSIDING SEMINAR NASIOSAL SAINS DAS PENDIDIKAN SAINS l/KSYV
[2] Andini, S. dan Lusiawati Dewi. 2009. Pengaruh Intensitas Penyinaran Terhadap Perubahan Wama Roti Tawar Yang Diberi Sari Daging Umbi Wortel (Dancus Carota Linn). Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains IV. Salatiga: Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana. [3] Soekarto, Soewamo T., 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharatara Karya Aksara. [4] Steel, R. G. D. dan Torie J. H., 1960. Principles and Procedures of Statistics with Special Reference to the Biological Sciences. McGraw-Hill Book Company, Inc.
61