No. Registrasi:
PROPOSAL
PENELITIAN KOMPETITIF DOSEN PENELITIAN TINGKAT PEMULA
VALIDITAS DAN PEMAHAMAN HADIS TENTANG HEWAN JALLALAH (HEWAN PEMAKAN KOTORAN DAN NAJIS) DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
JURUSAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR 2016
1
DAFTAR ISI Halaman Judul Biodata Peneliti………………………..……………………………..
i
Daftar Isi… ……………………………………………………
iv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah………………………….…..
1
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah.......................
3
C. Sasaran Dan Tujuan Penelitian……..……….…………
4
D. Definisi Operasional………….…………….……...
4
E. Kajian Riset Sebelumnya…………..……………… .
5
BAB II. KAJIAN TEORI A. Kritik Sanad dan Kritik Matan Dikalangan Muhadditsin... . 1. Acuan Kritik Sanad…...………………………. 2. Acuan Kritik Matan…………………………….. B. Metode Istinbath Hukum………………………......
7 7 14 18
1. Metode Istinbath dari Segi Bahasa…………………
19
2. Metode Penetepan Hukum Melalui Maqashid Syariah..
20
3. Ta’ârud dan Tarjih…………………………………
22
C. Bagan Kerangka konseptual…………………………..
23
BAB. III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian…………………………………..
24
B. Jenis Penelitian………………………………………
25
BAB IV. PEMBIAYAAN Daftar Kepustakaan
2
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Allah memerintahkan manusia untuh mengkonsumsi makanan yang bukan cuma halal, tapi juga baik (halalan thayyiban) dengan tujuan agar tidak membahayakan bagi tubuh manusia. Bahkan perintah ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai perintah yang sangat tegas dan jelas (al-Maidah ayat 88). Perintah ini juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti yang terdapat pada Surat Al Baqarah : 168 yang artinya:
م الش أيطا م ض ح اَل اًل طايمبا واًل تاتَّبمعوا ُخطُو م َّ ات ي ان إمنَّهُ لا ُك أم اع ُد ٌّو ُمبم ن ُ َّاس ُكلُوا ِمَّا مِف أاْل أار م ا ا ا ا ُ اَيأايُّ اها الن “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu” Makanan yang tidak dihalalkan dalam al-Quran diantaranya adalah bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih selain nama Allah dan lainnya. Selain halal, makanan juga harus baik. Meski halal tapi jika tidak baik, hendaknya tidak dimakan. Di antara kriteria makanan yang baik adalah: 1. Bergizi tinggi 2. Makanan lengkap dan berimbang, seperti 4 sehat 5 sempurna berupa nasi/jagung, lauk/pauk, sayuran, buah-buahan, dan terakhir susu. Semua makanan tersebut mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. 3. Tidak mengandung zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan, misalnya mengandung kolesterol tinggi atau bisa memicu meningkatnya kadar gula dalam darah. 4. Alami, tidak mengandung berbagai zat kimia seperti pupuk kimia, pestisida kimia, pengawet kimia (misalnya formalin), pewarna kimia, perasa kimia (misalnya biang gula/aspartame, MSG, dsb) 5. Masih segar, tidak membusuk atau basi sehingga warna, bau, dan rasanya berubah 6. Tidak berlebihan.
3
Hadis Nabi juga telah menguraikan lebih rinci makanan yang hal dan yang tidak halal untuk dikonsumsi, seperti binatang yang mati karena tercekik, bagian dari tubuh hewan yang terlepas sementara binatang tersebut masih hidup, hewan yang bertaring dan bercakar, serta hewan-hewan yang disuruh membunuhnya. Pada hadis Nabi terdapat suatu istilah hewan yang halal dimakan, tetapi dilarang untuk dimakan dikarenakan binatang tersebut makanan utamanya berasal dari kotoran dan najis. Hewan ini dikenal dengan istilah al-jallȃlah, hewann jenis ini bisa berupa hewan berkaki empat, hewan berkaki dua (unggas), hewan tidak berkaki (ikan). Kata jallȃlah adalah satu kata dalam bahasa Arab yang dibaca fathah huruf jim-nya dan di tasydid huruf lam-nya. Didefinisikan ulama dengan hewan yang memakan kotoran baik berupa sapi, kambing, unta atau jenis unggas seperti burung dan yang lainnya. Dari definisi ini jelaslah seluruh binatang yang diberi makanan kotoran termasuk dalam kategori jallȃlah baik itu ikan lele, ayam, bebek, atau yang lainnya yang banyak dijumpai ditengah masyarakat saat ini. Maksud hewan jalȃlah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran, seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. Menurut Imam Zakariya Al-Anshari Asy-Syafii dalam kitab Syarhul Minhaj mengatakan hewan jallalah adalah hewan halal yang mengkonsumsi makanan najis, dan bisa merusak rasa dagingnya, bau dagingnya atau warna daging. Dengan demikian, jika ada hewan halal yang memakan makanan najis namun tidak merubah rasa dagingnya, bau dagingnya atau warna daging, maka ia tidak termasuk hewan jallȃlah. Sementara itu Zaghlul An-Najjar memberi pengertian bahwa jallȃlah adalah hewan yang terbiasa memakan najis dan kotoran-kotoran, seperti sisa-sisa dan kotorannya sendiri atau kotoran hewan lain. Diantara hadis yang melarang memakan hewan jallȃlah adalah sebagai berikut:
اعن ُُا م، يح اع من ابأ من، اِ ٍد ٍ اع من ابأ من أماِب امَن، اع أن ُُما َّم مد بأ من إم أس احا اق، ُ اح َّدثاناا اع أب ادة، اح َّدثاناا عُثأ اما ُن بأ ُن أماِب اش أي باةا أ ول م )هللا صلى هللا عليه وسلم اع أن أا أك مل ا أْلاَلَّلا مة اوأالأبا ماِناا (رواه ايو داود ُ نا اهى ار ُس: ال قا ا، عُ ام ار Artinya: Telah menyampaikan kepada kami Utsman bin Abi Syibah, telah menyampaikan kepada kami dari Muhammad bin Ishaq, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, dari Ibnu Umar ra dia berkata, “Rasulullah saw melarang memakan hewan jalalah dan meminum susunya (HR. Abu Dawud)
4
Hadis lainnya adalah
ٍ اع أن اع أم مرو بأ من ُش اع أي، وس ٍ اع من ابأ من طا ُاو، ب ال قا ا، اع أن اَ مد مه، اع أن أابم ميه، ب اح َّدثاناا ُو اِ أي ن، اح َّدثاناا اس أه ُل بأ ُن با َّكا ٍر م ناهى رس ُ م: اعن رُك م، و اع من اْلَلَّلا مة، وم ا أُلم مر اْل أاِلميَّ مة وِباا اوأا أك مل ا ُا ا ا ُ ُ ُ يا أو ام اخ أي با ار اع أن ُُل: ول هللا صلى هللا عليه وسلم ُ أ .اُلأ مم اها Artinya: Telah menyampaikan kepada kami Sahl bin bakkar, telah menyampaikan Wuhaib dari Ibnu Thawus, dari Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari dari kakeknya, ia berkata: “Rasulullah Saw melarang pada saat perperangan khaibar menungangi keledai jinak, dan hewan al-Jallah, begitu juga mengkonsumsi dagingya (HR. Abu Dawud) Hadis-hadis yang membicarakan tentang hewan jallȃlah cukup banyak diriwayatkan oleh berbagai mukharrij dengan berbagai jalur sanad. Dari sekian banyak hadis yang diriwayatkan tidak satupun diriwayatkan dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim. Pada kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim yang ada hanyalah pelarangan mengkonsumsi himar alAhliyah (keledai kampung/jinak), tidak ada penyebutan tentang hewan jallȃlah Berdasarkan berbagai hadis yang membicarakan hewan jallȃlah, bentuk pelarangan dalam tiga hal yaitu memakan dagingnya, meminum susunya dan menungganginya. Hewan jallȃlah yang terdapat di dalam hadis hanya dua jenis yaitu hewan berkaki empat seperti unta dan kambing dan hewan berkaki dua seperti ayam. Berdasarkan masalah di atas penulis dalam penelitian ini ingin membahas tentang hadis-hadis tentang hewan jallȃlah yaitu dari segi kualitas hadis, pemahamn hadis dan implikasinya terhadap hukum mengkosumsi dagingnya, memium susunya, dan implikasi hukumnya. B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah Agar penelitian ini lebih fokus dan terarah maka berikut ini penulis membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut: a. Bagaimana kualitas hadis-hadis tentang hewan al-jallalah? b. Bagaimana memahami hadis-hadis tentang hewan al-jallalah? c. Sejauhmana Implikasi hukum dari hadis yang melarang mengkosumsidaging hewan, meminum susunya dan menunggangi hewan jallalah? 5
Adapun hadis-hadis yang akan diteliti penulis batasi hanya hadis-hadis yang terdapat dalam kutub al-tis’ah, sedangkan hadis yang terdapat dalam kitab lainnya penulis posisikan sebagai penguat dan penjelasnya.
C. Sasaran dan Tujuan Sasaran dari penelitian ini yang pertama adalah untuk menjelaskan kualitas hadishadis tentang hewan al-jallȃlah, sehingga hadis ini dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah, selain itu juga akan melihat apakah hadis ini memiliki syawahid dan mutabaat sebagai penguat (taqwiyah). Sasaran yang kedua adalah jika hadis hadis tentang hewan al-jallȃlah tersebut maqbul (dapat diterima), bagaimana memahaminya dalam hal ini kan ditinjau adalah fikhul hadisnya. Sehinnga hadis ini tidak hanya dipahami tekstualnya saja tetapi lebih kepada konteksnya. Sasaran yang ketiga adalah implikasi hukum tentang larangan memakan daging, meminum susu dan menunggangi hewan al-jallalah. Implikasi hukum disini di batasi hanya dalam persoalan lafaz naha yang terdapat dalam hadis, apakah pengharaman secra mutlak, makruh atau lainnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan kualitas, pamahaman hadis tentang hewan jallalah. 2. Memberikan pemahaman hadis yang berangkat dari syarah hadis kemudian pemahaman tekstual dan kontekstualnya 3. Menjelaskan tentang hukum hewan al-jallalah, penyebab larangan, dan menganalogikan dengan hewan-hewan lain yang tidak disebutkan didalam hadis. 4. Hasil penelitian ini dapat dilanjutkan dalam betuk penelitian lanjutan yaitu berupa penelitan lapangan dan penelitian labor untuk melihat perbedaan dan kandungan yang terdapat dalam daging dan susu hewan jallȃlah. 5. Untuk menambah khazanah keilmuan hadis dan ulumul hadis. D. Definisi Operasional Validitas yang dimaksud dalam hadis ini adalah melihat kesahihan hadis melalui kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad (naqd al-sanad) yang dilakukan adalah dari segi kebersambungan sanad yaitu dengan meluhat riwayat hidup perawi, ketsiqahan atau dapat dipercaya atau tidaknya seorang perawi, bersihnya sanad dari syaz dan illat. Sedangkan aspek 6
yang diteliti dalam naqd al-matan (kritik matan) antara lain sama atau tidaknya matan antara yang diriwayatkan mukhrij yang satu dengan yang lainnya, ada atau tidaknya sisipan pada matan, ada atau tidaknya perbedaan susunan kalimat, dan ada atau tidaknya kerancuan dalam mengutip redaksi matan. Pemahaman hadis yaitu makna atau kandungan suatu hadits, baik pemaknaan secara tekstual maupun kntekstual. Pemahaman ini dapat dapat diteliti dengan menggunakan metode tahlili. Aspek yang diteliti dalam bidang makna hadits dengan menggunakan metode tahlili, antara lain makna mufradat hadis, essensi atau isi hadis, asbab wurud hadis, munasabat hadits dengan ayat al-Qur`an, munasabat al-Hadis dengan hadis lain, dan nilai-nilai yang terkandung dalam hadits. Studi terhadap suatu hadits merupakan salah satu usaha meneliti otentisitas, validitas dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan mengetahui otentisitas dan validitas suatu hadits maka dapat menentukan sikap, apakah hadits yang diteliti itu bisa diamalkan ataukah tidak, serta bagaimana cara mengamalkannya. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk melihat hadis-hadis tentang hewan jallalah apakah merupakan hadis maqbul atau dapat dijadikan hjjah atau tidak. Jika merupakan hadis maqbul maka penelitian selajutnya melihat makna-makna yang terkandung dalam hadis tersebut. Implikasi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah melihat apakah hadis hadis tentang pelarangan memakan daging, meminum susu dan menunggangi hewan jallalah merupakan larangan haram secara mutlak atau tidaknya. Hal ini dapat diteliti dengan melihat lafaz dan qarinah-qarinah yang terdapat pada hadis tersebut. E. Kajian Riset Sebelumnya Penelitian atau kajian yang relevan dengan penelitian ini sudah ada yang membahasnya, diantaranya sebagai berikut: 1. Sugito dalam karya Karya ilmiah yang dilombakan dengan judul “Menelusuri Ikan Lele (clarias bathracus), Binatang Jallalah (pemakan kotoran) dalam Islam dan Sains”. Dalam karya imiah ini ia mengungkapkan bahwa lele dapat dikosumsi setelah terlebih dahulu dikarantina, lele dapat menyehatkan tubuh karena mengandung asam amino dan omega 3 yang tinggi. 7
2. Fatwa MUI No 52 Tahun 2012 tentang Hukum Hewan Ternak yang diberi Pakan dari Najis. Pengertian jallalah menurut fatwa MUI No 52 ini adalah Hewan ternak pemakan barang najis atau pakan dari barang najis baik sedikit maupun banyak. Ada tiga hal yang difatwakan pertama jika hewan tersebut diberi pakan najis lebih sedikit dari pakan yang suci maka halal di makan. Kedua jika pakan dari unsur produk haram jika tidak berbahaya maka halal, tetapi jika berbahaya jika dikunsumsi maka hukmnya haram. Ketiga jika pakan ternak tersebut dari unsur babi atau hewan najis lainnya dan turunannya maka hukumnya haram. 3. Nurhidayah Pauzi dan Saadan Man, arikel dalam Jurnal fiqh, no 12 (2015) 57-58 “Analisis Fatwa malaysia dan Negara brunei Darussalam”. Artkel ini membahas tentang perbedaan antara fatwa Negara Malaysia dengan Negara Brunei Darussalam, Hasil muzakarah jawatan Fatwa Kebangsaan Malaysia menyatkan bahwa hewan ternak dalam kolam air najis dan sengaja di beri makan najis seperti bangkai, daging babi dan lainnya hukumnya haram. Sedangkan fatwa majlis ulama kerajaan Brunei menyifatkan ikan yang diberi makan yang tidak halal oleh peternak maka hewan tersebut hukumnya makruh. 4. Zaghlul al-Najjar juga membahas pada salah satu sub bab dalam bukunya I’jaz ilmi fi al-Sunnah al-Nabawiyah. Ia menjeleskan tentang hewan jallalah dari konsep sains. Selain dari yang penulis paparkan diatas masih ada berbagai makalah yang membicarakan seputar hewan jallalah. Penulis merasa penelitian yang akan penulis lakukan ini juga penting dilakukan, karena dalam penelitian ini ada perbedaan dengan kajian yang telah ada yaitu melihat sejauhmana kevalidan hadis-hadis tentang hewan jallalah dan bagaimana pemahaman hadis tersebut dari segi tekstual dan kontekstualnya, kemusian bagaimana implementasi hukumnya.
8
BAB II Kajian Teori
Hadis maqbûl yang dapat dijadikan hujjah yaitu hadis sahih dan hadis hasan dengan macam-macamnya. Sedangkan hadis yang ditolak (mardûd) yaitu hadis dhaif dengan macam macamnya. Hadis sahih harus memenuhi lima kriteria yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, tidak terdapat illat dan tidak syâz. 1 Adapun hadis dhaif yaitu hadis yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari lima kriteria hadis shahih. Sedangkan hadis hasan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang kurang kedhabitannya, adapun empat syarat hadis sahih lainnya terpenuhi. Hadis hasan terbagi kepada hasan lizâtihi dan hasan lighairihi. Hadis hasan lighirihi pada prinsipnya adalah hadis dhaif yang tidak terlalu berat tingkat kedhaifannya kemudian dikuatkan dengan jalur sanad lain sehingga naik menjadi hadis hasan lighairihi. Sasaran utama kritik sanad dan kritik matan adalah terhadap lima kriteria hadis sahih ini. Hadis yang akan diteliti adalah hadis-hadis yang membicarakan tentang hewan aljallalah.yang terdapat di dalam kitab hadis yang sembilan (kutub al-tis’ah). Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pada kitab-kitab hadis (kutub al-mutun) lainnya, jika ada perbedaan lafaz matannya.
A. Kritik Sanad dan Kritik Matan Dikalangan Muhadditsin 1. Acuan Kritik Sanad Kelima syarat hadis sahih dijadikan oleh ulama sebagai acuan kritik sanad. Adapun penjelasan dari masing-masing syarat tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Sanad Bersambung
1
Ibn Shalah, al-Muqadimah h. 20, lihat juga al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi h.64-66, Nuruddin al-Itr, alMadkhal ila Ulum al-Hadits, (maktabah al Ilmiyyah, al-Madinah al-Munawarah: 1972) h. 15.
9
Unsur pertama dari kesahihan sanad hadis ialah sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya; dan keadaan seperti itu berlangsung sampai akhir sanad dari hadis itu.2 Jadi, seluruh rangkaian perawi dalam sanad, mulai dari perawi yang disandari oleh mukharrij (penghimpun hadis dalam karya tulisnya) sampai kepada perawi tingkat sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW bersambung dalam transmisi (periwayatan). Hadis yang seperti ini disebut “al-musnad” karena bersambungnya sanad sampai kepada Nabi SAW, tetapi ia juga disebut al-muttasil atau al-mawshûl karena terjadinya persambungan rangkaian perawi. Hanya saja dibedakan antara “al-musnad” dan “almuttashil”, yakni dikatakan al-musnad bila bersambungnya rangkaian perawi sampai kepada Nabi SAW. dengan kata lain ia harus marfû’ kepada Nabi SAW, sedang al-muttasil bila rangkaian perawinya bersambung meskipun tidak sampai kepada Nabi SAW dan bisa terjadi pada hadis mawqûf. Jadi, setiap hadis al-musnad pasti al-muttashil, dan tidak setiap hadis almuttasil adalah al-musnad.3 2. Perawinya Bersifat adil (adl) Lafaz adil berasal dari bahasa Arab “al-‘adl” atau “al-‘adâlah” yang memiliki arti etimologi banyak sekali. Ibn Manzhûr,4 Al-Jurjâniy,5 Louis Ma’lûf,6 dan Atabik Ali7 memberikan arti etimologinya, antara lain: keadilan, pertengahan, keseimbangan, lurus, condong kepada kebenaran, pembalasan atau kesederhanaan. Sifat “adil” yang dipakai untuk menyifati seorang perawi hadis, memiliki arti banyak sekali dan berbeda dengan arti etimologinya secara umum. M. Syuhudi Ismail merangkum pendapat 15 ulama yang memberikan arti “adil” yang berkaitan dengan pemakaian ini. Paling tidak ada 15 artinya yang bisa diuraikan di sini, yakni: (1) beragama Islam; (2) baligh; (3) 2
Muhammad al-Shabbâgh, al-Hadîts al-Nabawiy, (ttp.: Al-Maktab al-Islâmiy, 1972), h. 162. Al-Suyûthiy, Al-Tadrîb,., h. 63. 4 Muhammad ibn Mukarram ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Mesir, al-Dâr al-Mishriyyah, tth), Jilid 13, h. 456 – 463 5 ‘Aliy ibn Muhammad Al-Jurjâniy, Kitab al-Ta’rîfât, (Singapura: Al-Haramayn, tth.), h. 147 – 148 6 Louis Ma’lûf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1975), Cetakan ke-26, h. 491 – 492 7 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer: Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), Cetakan ke-1, h. 1277 3
11
berakal; (4) taqwa; (5) memelihara kehormatan/ harga diri (muru’ah); (6) teguh dalam beragama; (7) tidak berbuat dosa besar, misalnya syirik; (8) menjauhi (tidak selalu berbuat) dosa kecil; (9) tidak berbuat bid’ah; (10) tidak berbuat maksiat; (11) tidak berbuat kefasikan (fisq); (12) menjauhi hal-hal yang dibolehkan, yang tidak merusak muru’ah; (13) berakhlak baik; (14) dapat dipercaya beritanya; dan (15) biasanya benar.8 Lima belas syarat tersebut satu dan lainnya bisa digabungkan, sehingga semuanya bisa disempitkan hanya menjadi empat syarat, yaitu: (1) beragama Islam, (2) mukallaf, (3) melaksanakan ketentuan agama, dan (4) memelihara muru’ah. 3. Perawimya Bersifat Dâbith Dâbith berasal dari bahasa Arab dan mempunyai arti bermacam-macam. Louis Ma’lûf,9 dan Al-Fayyumi10 menjelaskan artinya, antara lain: yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna, yang mengontrol keabsahan sesuatu, dan yang mengatur. Ibn Hajar11 dan M. Syuhudi Ismail12 mengatakan bahwa menurut arti terminologinya, orang yang dhâbith ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Sedang menurut AlJurjani dan Muhammad Abû Zahrah,13 orang dhâbith ialah orang yang mendengarkan suatu pembicaraan sebagaimana mestinya, memahami isinya secara benar dan baik, kemudian menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan sempurna, sehingga mampu mentransmisi hafalannya kepada orang lain dengan baik. Ada pula yang berpendapat, orang tersebut harus dapat dipercaya riwayatnya, yakni bahwa dia benar-benar hafal dan secara sadar meriwayatkannya. Di samping itu, ia pun memahami benar makna apa yang diriwayatkannya, dan bila meriwayatkannya secara maknawi, ia harus memahami perubahan maksud yang akan terjadi dengan lafaz yang dipakainya.14 Perwujudan dari sifat dhâbith seorang perawi harus ditunjukkan oleh kecermatannya dalam riwayat, pendengaran dan hafalan. Hal mana tidak boleh ada keraguan tentang hafalannya, sehingga ia tetap berada dalam sifat dhâbith dari saat mendengarkan riwayat dari gurunya sampai ketika mentransmisikan riwayat itu kepada orang lain. Sebab ada kalanya hafalan seorang perawi dan kecermatannya mengalami perubahan pada akhir usianya atau
8
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Kritik Hadis., h. 130 Louis Ma’lûf, al-Munjid fi Lughah al-Arabiyyah wa al-Alam, h. 445 10 Ahmad ibn Muhammad al-Fayyûmi, Al-Mishbâh al-Munîr fi Gharîb al-Syarh al-Kabîr li al-Râfi’iy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978), Jilid 2, h. 420 – 421 11 Ibn Hajar, Syarh al-Nuzhat, , h. 13ـ 12 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis h. 135 13 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, tth.), h. 232 14 ‘Umar Hâsyim, Qawâi'd Ushûl al-Hadîts, h. 41 9
11
disebabkan sesuatu hal seperti gangguan kejiwaan. Dalam hal ini para ulama hadis membedakan antara riwayatnya ketika masih belum tejadi perubahan dengan sesudahnya. Biasanya mereka menjelaskan dalam kritiknya dengan kata-kata “telah terjadi perubahan di akhir hayatnya”.15 Adapun sifat dabth tersebut ada dua macam, yaitu: (1) dâbith shadr, bila perawi itu hafal apa yang didengarnya dan tetap dalam kondisi itu, serta mengerti maksudnya sehingga mampu menghadirkan hafalannya kapan saja dikehendaki; dan (2) dhabth kitâb, bila perawi itu mampu memelihara dan menjaga tulisannya dari kemungkinan terjadinya perubahan sejak ia mendengar dan mencatatnya sampai ia mentransmisikannya kepada orang lain; selain itu, ia tidak pernah menyerahkan catatan itu kepada siapa saja yang diduga bisa merubah isinya.16 4. Sanad Hadis Terhindar dari Syudzûdz Menurut etimologi sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Manzhûr17 lafaz syudzûdz berarti: jarang, menyendiri, asing, menyalahi aturan, dan menyalahi pendapat banyak orang. Ada pun secara terminologis, pengertian lafaz tersebut diperselisihkan oleh para ulama; dan yang paling menonjol adalah antara Al-Syâfi’i, Al-Hâkim (w. 405 H.), dan Abû Ya’lâ al-Khalîliy (w. 446 H.). Menurut Al-Syâfi’i dan sekelompok ulama Hijâz, hadis syâdzdz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah dan riwayat tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh beberapa perawi (yang juga tsiqah); dan tidak dikatakan hadis syâdzdz apabila hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah, sedang perawi yang lain tidak meriwayatkannya.18 Definisi al-Syâfi’i tersebut dipegangi oleh kebanyakan ulama hadis sebagai definisi dari “hadis syâdzdz” sebagaimana yang dikatakan Ibn Hajar19 dan Ibn Al-Shalâh.20 Hanya saja Hanya saja menurut ‘Umar Hâsyim 21 dan Shubhiy al-Shâlih,22 ada yang menambahkan, atau hadis yang diriwayatkan seorang perawi yang tsiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah juga, dan ia lebih tsiqah atau lebih râjih dari perawi pertama.
15
Umar Hasyim, Qawaid Usul al-Hadits Umar Hasyim, Qawaid Usul al-Hadits 17 Ibn Manzhûr, Lisân a-Arab, Jilid 5, h. 28 – 29 18 Al-Suyûthiy, Al-Tadrîb, h. 232. 19 Ibn Hajar, Syarh al-Nukhbah, , h. 14 20 Ibn al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh., h. 48 21 ‘Umar Hâsyim, Qawâi'd Ushûl al-Hadît, h. 42 22 Shubhiy al-Shâlih, Ulûm al-Hadits wa Mustalahuhu, h. 196 16
12
Dari penjelasan Al-Syâfi’i tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa suatu hadis disebut syâdzdz apabila: (a) hadis ini memiliki lebih dari satu sanad; (b) para perawi hadis tersebut seluruhnya tsiqah; dan (c) matn dan atau sanad hadis itu ada yang mengandung pertentangan. Menurut Imam al-Hakim al-Naisâbûriy, seperti dikutip oleh Al-Suyûthiy,23 Ibn alShalâh,24 dan Shubhiy al-Shâlih,25 hadis syâdzdz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah, sedang perawi tsiqah yang lainnya tidak meriwayatkannya. Dengan kata lain hadis tersebut tidak mempunyai mutâbi’ atau syâhid, sebab kalau ada mutâbi’ atau syâhid-nya, hadis tersebut tidak lagi dikatakan syâdzdz. Sebagian ulama ada yang membedakan pengertian “hadis mutâbi’ dari “hadis syâhid” dan sebagian lagi menyamakannya. Ulama yang membedakannya menyatakan bahwa hadis mutâbi’ ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi lebih dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat Nabi SAW. Apabila perawi yang lebih dari satu orang itu menerima hadis tersebut dari guru hadis yang sama, maka hadis itu disebut hadis mutâbi’ tâmm; dan bila mereka menerima riwayat dari guru hadis yang berbeda-beda, maka hadis dimaksud disebut hadis mutâbi’ qâshir. Sedang hadis syâhid ialah hadis yang perawi di tingkat sahabat terdiri dari lebih seorang. Pembahasan lebih lanjut tentang pengertian kedua istilah tersebut bisa dilihat dalam kitab karya Al-Suyûthiy,26 ‘Ajjâj al-Khatîb,27 dan Shubhiy al-Shâlih.28 Definisi Al-Hâkim di atas bertentangan dengan pernyataan Al-Syâfi’iy yang mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah dan tidak diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah lainnya bukanlah hadis syâdzdz, dan hadis seperti ini menurut sebagian ulama hadis disebut hadis fard muthlaq.29 Pernyataan seperti ini didukung oleh Ibn Qayyim al-Jawziyah yang diungkapkan dalam pernyataannya: “… yang disebut syâdzdz ialah bila hadis itu bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh beberapa perawi tsiqah; adapun bila seorang perawi tsiqah meriwayatkan hadis sendirian dan tidak ada perawi-perawi tsiqah lain yang meriwayatkan hadis bertentangan dengannya, maka yang demikian itu tidak disebut syâdzdz…”.30 Menurut Abû Ya’lâ al-Khalîliy, hadis syâdzdz ialah hadis yang sanadnya hanya satu macam, baik perawinya bersifat tsiqah maupun tidak. Apabila perawinya tidak bersifat
23
Al-Suyûthiy, Al-Tadrîb, , h. 233 Ibn al-Shalâh, Muqaddimah 25 Shubhiy al-Shâlih, Ulûm al-Hadits wa Musthâlahu., h. 19 26 Al-Suyûthiy, Al-Tadrîb, h. 241 – 245 27 ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts, h. 366 – 368 28 Shubhiy al-Shâlih, Ulûm al-Hadits wa Mustalahuhu, h. 241 – 244 29 Al-Suyûthiy, Al-Tadrîb, h. 249 30 Shubhiy al-Shâlih, Ulûm al-Hadits wa Mustalahuhu, h. 197 24
13
tsiqah, maka hadis itu ditolak sebagai dalil (hujjah), sedang bila perawinya tsiqah maka hadis itu dibiarkan (mutawaqqif), dalam arti tidak ditolak dan tidak pula dijadikan hujjah.31 Bandingkan pendapat tersebut dengan uraian Al-Suyûthiy32 dan Shubhiy Al-Shâlih33 tentang masalah tersebut. Pendapat Al-Khalîliy ini hampir sama dengan pendapat al-Hakîm; hanya saja mereka berbeda pendapat dalam hal kualitas perawi yang riwayatnya bertentangan dengan riwayat perawi lain. Al-Hakîm mensyaratkan perawi tersebut harus seorang yang berkualitas tsiqah, sedang al-Khalîliy tidak mensyaratkannya. 5. Sanad terhindar dari ‘illat Pengertian ‘illat menurut etimologi sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Manzhûr34 dan Louis Ma’lûf,35 ialah: cacat, sebab, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Sedang arti terminologinya manurut Ibnu Al-Shalâh36 dan M. Syuhudi Ismail,37 ialah sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak bernilai sahih menjadi tidak sahih. M. Syuhudi Ismail menjelaskan, bahwa pengertian ‘illat di sini bukanlah pengertian umum tentang sebab kecacatan hadis, misalnya karena perawinya pendusta atau tidak kuat hafalan; sebab cacat umum seperti ini dalam ilmu hadis disebut tha’n atau jarh, meskipun kadangkala disebut ‘illat dalam arti umum. Terhadap cacat umum seperti ini, ulama hadis pada umumnya tidak menjumpai banyak kesulitan untuk menelitinya. Sedangkan terhadap ‘illat yang dimaksud dalam bahasa ini, tidak banyak ulama hadis yang mampu menelitinya, karena hadis yang terkontaminasi ‘illat ini, tampak pada zahirnya berkualitas sahih.38 Berkaitan dengan sulitnya mengetahui ‘illat ini, ‘Abd al-Rahmân Ibn Mahdiy (w. 194 H./ 814 M.) menyatakan, untuk mengetahui ‘illah hadis diperlukan intuisi (ilham).39 Sedang ulama hadis lainnya, seprti Ibn al-Shalâh,40 Ibn Hajar41 dan M. Syuhudi Ismail42 berpendapat bahwa orang yang mampu meneliti ‘illah hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham akan hadis yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhâbith-an perawi, dan ahli dalam bidang sanad dan matn hadis. Semua 31
Ibn al-Shalâh, , Muqaddimah Ibnu al-Shalâh, h. 69 Al-Suyûthiy, Al-Tadrîb, h. 233 33 Shubhiy al-Shâlih,, Ulûm al-Hadits wa Mustalahuhu, h. 201 34 Ibn Manzhûr, Lisan al-Arab., Jilid 13, h. 498 35 Louis Ma’lûf, al-Munjid fi Lughah al-Arabiyyah wa al-Alam , h. 523 36 Ibn al-Shalâh, Muqaddimah., h. 81 37 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, h. 147 38 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis 39 Al-Suyûthiy, Tadrîb al-Râwi. 40 Ibn al-Shalâh, , Muqaddimah Ibnu al-Shalâh . 41 Ibn Hajar, Syarh al-Nukhbah, , h. 33 42 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis. 32
14
pernyataan yang dikemukakan para ulama hadis di atas, menunjukkan betapa sulit dan rumitnya untuk mengetahui ‘illat hadis. ‘Illat hadis bisa terjadi pada matan, sanad, atau matn dan sanad hadis sekaligus; akan tetapi terbanyak terjadi pada sanad-nya. Adapun ‘illat tersebut kebanyakan berbentuk: (1) sanad yang tampak muttashil dan marfû’; ternyata muttashil tapi mawqûf; (2) sanad yang tampak muttashil dan marfû’; ternyata muttashil tapi mursal; (3) terjadi percampuran antara satu hadis dengan bagian hadis lain; dan (4) terjadi kesalahan penyebutan nama perawi, karena ada beberapa perawi yang memiliki nama hampir sama sedang kualitasnya berbeda. 43 Pendapat ini juga merupakan pendapt Ibn Shalâh44 dan Al-Suyûthiy.45 Inilah lima persyaratan kesahihan hadis yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn yang sampai kini masih terus dipegangi oleh ulama. Meskipun syarat-syarat kesahihan hadis di atas telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama hadis, namun ada beberapa perasyaratan yang tidak disepakati yang dikemukakan oleh para beberapa ulama hadis, antara lain:46 a)
Seorang perawi hadis haruslah orang yang dikenal haus akan ilmu, sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullâh ibn ‘Awn: “Ilmu itu tidak didapatkan kecuali oleh seseorang yang dikenal haus akan ilmu (masyhûr bi al-thalab).” Sesungguhnya, unsur “aldhabth” tidak bisa dipisahkan dari unsur “haus akan ilmu” ini.
b)
Kesahihan hadis bisa diketahui dengan pemahaman dan pengetahuan yang baik, serta banyak mendengar dan mendiskusikannya. Dibutuhkannya syarat ini untuk mengetahui terhindarnya hadis dari ‘illah, sebab untuk mengetahui apakah hadis itu cacat atau tidak, baru bisa diketahui dengan pemahaman yang baik dan adanya diskusi yang intensif.
c)
Sebagian ulama mensyaratkan pemahaman makna hadis dengan baik apabila hadis diriwayatkan secara maknawi. Syarat ini sebenarnya sudah dicakup esensinya dalam unsur “al-dhabth”.
d)
Imam Abû Hanîfah mensyaratkan “baiknya pemahaman” bagi seorang perawi. Dalam kaitan dengan ini, Ibn Taimiyah berkata bahwa syarat ini diperlukan bila terjadi perbedaan paham atau ketika adanya pemahaman yang eksklusif terhadap sesuatu yang sudah dipahami secara sepakat oleh umum.
Syuyudi Ismail, Kaedah kesahihan hadis, h. 148 – 149 Ibn al-Shalâh, , Muqaddimah Ibnu al-Shalâh, h. 82 45 Al-Suyûthiy, Tadrib al-Râwi., h. 253 – 254 46 ‘Umar Hâsyim, Qawâi'd Ushûl al-Hadîts, h. 43 – 44 43 44
15
e) Sebagian ulama hadis mensyaratkan “bilangan tertentu” dalam periwayatan seperti dalam kesaksian. Misalnya Abû Muhammad al-Juwayniy (w. 437 H.), ayah dari Imam al-Haramayn, berpendapat bahwa hadis sahih haruslah diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang pada setiap tingkat (thabaqah) sanad-nya.47
2. Acuan Kritik Matan Al-Idlibiy mengemukakan beberapa alasan tentang urgensi penelitian matan hadis ini, antara lain:48 a. Untuk menghindari terjadinya benyaknya/menggampangkan dan keengganan dalam meriwayatkan hadis. Sebab dengan terlalu terlalu gampangnya ulama meriwayatkan suatu hadis, padahal pengetahuan dan kemampuan mereka untuk memilah-milah antara yang sahih dan dha’if sangat sedikit, membuat orang-orang yang tidak senang dengan hadis mendapat jalan untuk lebih menjauhinya dengan alasan meragukan validitas hadis-hadis tersebut. Sebaliknya, sedikitnya hadis yang diriwayatkan menjadikan sebagian orang akan memposisikan hadis agar tunduk terhadap akal atau orang lebih mendahulukan pendapat seseorang daripada hadis. b. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan pada para perawi. Seperti diketahui bahwa para ulama hadis terdahulu sangat ketat dalam meneliti kualitas para perawi dari segi keadilan dan ke-dhabth-an, akibatnya mereka sangat longgar dalam menilai kesahihan matan. Kelonggaran dalam penilaian materi ini membuat kemungkinan terjadinya kesalahan para perawi menjadi lebih besar. c. Untuk membendung serangan orang-orang yang ingin menjatuhkan Islam dengan menggunakan hadis yang sahih sanad-nya sedang materinya tidak benar. Banyak orang yang ingin menjatuhkan Islam dan meragukan keabsahan hadis Nabi SAW. sebagai sumber ajaran Islam, mendapatkan hadis-hadis yang sanad-nya sahih secara lahiriah, sedangkan kandungan materinya bertentangan jauh dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Mereka menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai bahan objek kajian dan bahan untuk mendiskriditkan Rasulullah SAW. dan menjatuhkan Islam. Dan bagi umat Islam, apabila suatu hadis diriwayatkan oleh orang-orang yang dhâbith, mereka terpaksa harus menerima keabsahan materi ‘Abd al-Rahîm ibn al-Husayn al-‘Irâqiy, Al-Taqyîd wa al-‘Idhâh Syarh Muqaddimah Ibn al-Shalâh (Al-Madînah al-Munawwarah: Al-Maktabah al-Salafiyyah, 1400 H.), h. 22 48 Al-Idlibiy, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamâ al-Hadîts al-Nabawiy.,h. 15 – 19 47
16
hadis karena terikat oleh doktrin agama. Sehingga hadis –yang materinya masih dipertanyakan– tersebut akan menjadi wacana yang mereka diskusikan dan interpretasikan secara metaforis agar dapat sejalan atau tune-in dengan prinsipprinsip ajaran Islam dan pengetahuan-pengatahuan tentang agama ini yang harus dipegangi secara pasti. Jadi, mereka harus memegangi suatu hadis yang oleh para perawinya sendiri sebenarnya diragukan validitasnya, sebab tidak mungkin Nabi SAW mengatakan suatu yang bertentangan dengan ajaran agama yang dibawanya. Karena itu, penelitian terhadap materi hadis sangat diperlukan untuk menghindari fenomena seperti ini. d. Untuk menghindari terjadinya pertentangan antara hadis yang satu dengan lainnya. Banyak terdapat hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW kandungannya bertentangan sangat jauh antara yang satu dengan lainnya. Hal yang sangat tidak mungkin terjadi pada Rasulullah SAW. Dalam hal ini, harus dilakukan penelitian yang komprehensif terhadap hadis-hadis tersebut, dan dilakukan tarjîh (penguatan) terhadap hadis yang lebih dekat dengan prinsipprinsip ajaran Rasulullah SAW. serta mengugurkan hadis yang bertentangan dengannya. Apabila tidak mungkin dilakukan tarjîh, maka hadis-hadis tersebut digugurkan semua meskipun sanad-nya sahih lahiriah. Sebagaimana banyak diketahui bahwa para ulama hadis dalam melakukan tarjîh, mereka berpegangan pada kekuatan sanadnya saja, seperti jumlah perawi yang lebih banyak pada salah satu hadis, atau mereka lebih terpercaya (awtsaq); padahal penelitian pada kesahihan materi tidak boleh diabaikan. Sebab jika masing-masing hadis tersebut sahih dari segi sanadnya, yang apabila berdiri sendiri-sendiri, hadis itu harus diamalkan; maka ketika terjadi pertentangan antara yang satu dengan lainnya yang tidak mungkin dilakukan al-jam’ (kompromi) atau al-tarjîh (menguatkan salah satunya), berarti masing-masing hadis itu mengandung keraguan akan keabsahannya. Dalam hal ini, harus dilihat bahwa terjadinya pertentangan itu hanya secara lahir, dan apabila ditelaah lebih dalam ternyata terjadinya hal itu karena adanya kondisi yang berbeda yang menjadi sebab turunnya hadis-hadis tersebut. Maka dari itu, penelitian terhadap materi hadis akan bisa menjawab persoalan-persoalan seperti ini, sehingga kita tidak segera memvonis bahwa hadis-hadis tersebut bertentangan; tetapi bisa mengamalkan masing-masing dalam kondisi yang berbeda tetapi serupa dengan ketika hadis itu disampaikan.
17
Dari lima kriteria hadis shahih, tiga kriteria pertama berkenaan dengan kesahihan sanad, dan dua terakhir berkenaan dengan kriteria kesahihan sanad dan matn. Jadi, dari lima kriteria kesahihan hadis semuanya masuk dalam kriteria kesahihan sanad, dan hanya dua kriteria terakhir yang berkenaan dengan kriteria kesahihan matn. Dengan demikian, menurut para ulama hadis, suatu hadis dinilai sahih apabila sanad-nya memenuhi lima kriteria tersebut di atas, dan matn-nya memenuhi dua kriteria, yaitu: (1)
hadis tersebut tidak janggal (syâdzdz), yakni sanad-nya sahih karena telah memenuhi lima kriteria, tetapi ada diriwayatkan hadis lain yang sanad-nya lebih sahih, kuat dan terpercaya daripada hadis pertama dan hadis tersebut bertentangan dengannya, dimana kedua hadis tersebut tidak mungkin datang dari Nabi SAW. Maka hadis pertama sanad-nya sahih tetapi matn-nya syâdzdz, dan derajatnya dha’îf, sedang hadis kedua sanad-nya sahih dan matn-nya terpelihara (mahfûzh), dan derajatnya sahih,
(2)
hadis tersebut tidak mu’allal, misalnya suatu hadis sanad-nya sahih dan tidak syâdzdz, tetapi salah seorang kritikus yang cermat mengatakan bahwa dalam hadis tersebut terdapat cacat yang menurunkan derajatnya, umpamanya: karena salah seorang perawinya lemah hafalan sehingga memasukkan kata-kata yang bukan merupakan ucapan Nabi SAW. tanpa diketahuinya.49
Adapun acuan kritik matn (maqâyîs naqd al-matn) yang dikemukakan oleh para ulama tidak seragam. Menurut Al-Khathîb al-Baghdâdiy (w. 463 H./1072 M.), suatu hadis dinyatakan sebagai maqbûl (diterima karena berkualitas sahih), apabila matn-nya: a. tidak bertentangan dengan akal yang sehat; a. tidak bertentangan dengan hukum al-Quran yang muhkam (ketentuan hukumnya telah pasti); b. tidak bertentangan dengan hadis mutawâtir; c. tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama salaf; d. tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; dan e. tidak bertentangan dengan hadis âhâd yang kualitas kesahihannya lebih kuat.50 Keenam butir tolok ukur tersebut tampak masih tumpang-tindih. Selain itu, masih ada tolok ukur penting yang tidak disebutkan, misalnya tentang susunan bahasa dan fakta sejarah.
49
Al-Idlibiy, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamâ al-Hadîts al-Nabawiy, h. 32 – 33 Abû Bakar Ahmad ibn ‘Aliy al-Baghdâdiy, Kitâb al-Kifâyah fi ‘Ilm al-Riwâyah (Mesir: Mathba’ah al-Sa’âdah, 1972), h. 206 – 207 50
18
Butir-butir di atas oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai tolok ukur untuk meneliti apakah suatu hadis berstatus palsu ataukah tidak. Pendapat ini memang terlalu ekstrim sebab suatu matn hadis yang tidak memenuhi salah satu tolok ukur di atas sesungguhnya tidak bisa secara serta merta dinyatakan sebagai hadis palsu (mawdhû’). Dalam hal ini, mungkin saja hadis itu berstatus mansûkh (hukumnya dibatalkan) dan tidak dipegangi sebagai dalil atau hujjah, sekiranya yang tidak dipenuhi adalah butir kedua, ketiga, kelima dan keenam. Selain tolak ukur di atas, Shalâh al-Dîn Al-Idlibiy, mengemukakan bahwa pokokpokok tolak ukur penelitian kesahihan matn ada empat macam, yaitu:51 a) tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran; b)tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat; c)tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; dan
d) susunan
pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi. Sedang Musfir ‘Azmullâh al-Damîniy menyebutkan tujuh tolok ukur (maqâis) yaitu:52 a) tidak bertentangan dengan prtunjuk Alquran; b) tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat; c) tidak bertentangan dengan fakta sejarah dan ilmu pengetahuan; d) tidak mengandung kata-kata rancu yang konotasi maknannya sangat jauh; e) tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam; f) tidak mengandung perintah untuk melakukan perbuatan tercela atau mustahil; dan g) tidak menyalahi perbuatan yang sudah umum diketahui dan dilakukan umat Islam. Meskipun telah ada tolok ukur yang bisa dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian terhadap matn hadis, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penelitian tersebut, sehingga penerapan tolok ukur seperti diuraikan di atas tidak bersifat kaku, yakni bahwa: 1) sebagian hadis Nabi berisi petunjuk yang bersifat targhîb dan tarhîb dengan maksud untuk mendorong umatnya agar gemar melakukan kebajikan tertentu dan menjauhi larangan-larangan agama; 2) dalam bersabda, Nabi selalu menggunakan pernyataan atau ungkapan yang disesuaikan dengan kadar intelektualitas dan keislaman orang yang diajak bicara, walaupun ucapan Beliau tersebut secara umum berlaku untuk semua umatnya; 3) terjadinya hadis, ada yang didahului oleh suatu peristiwa yang menjadi sebab lahirnya hadis tersebut (sabab al-wurûd); 4) sebagian hadis Nabi ada yang telah terhapus masa berlakunya (mansûkh);
51 52
Al-Idlibiy, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamâ al-Hadîts al-Nabawiy, h. 238 Al-Damîniy, Maqâis Naqd Mutûn al-Sunnah, h. 115 – 233
19
5) menurut petunjuk al-Quran (misalnya QS. Al-Kahfi, 18: 110), Nabi Muhammad itu selain Rasulullah juga manusia biasa. Dengan demikian, ada hadis yang erat kaitannya dengan kedudukan Beliau sebagai utusan Allah, di samping ada pula yang terkait dengan kemanusiaan Beliau; sebagian hadis Nabi ada yang berisi hukum dan ada yang berisi himbauan dan dorongan demi kebajikan hidup di dunia (al-irsyâd).53 Ibnu Hazm adalah ulama bermadzhab Zhahiri yang menguasai berbagai cabang ilmu keislaman. Dalam ilmu ushul fikih, beliau juga banyak memberikan kontribusi yang sangat besar. Bahkan banyak ulama yang menyatakan bahwa kitab al-Ihkâm fî Ushûli'l Ahkâm setara dengan kitab ar-Risâlah karya imam Syafii. Ibnu Hazm dianggap peletak dasar ilmu ushul fikih zhahiri atau ushul fikih burhani. Dalam penulisan kitabnya, beliau berbeda dengan para ulama-ulama lainnya. Jika pada umumnya para ulama ushul banyak menggunakan epistem bayan, maka Ibnu Hazm menggunakan epistem burhan. Jika para ulama banyak menggunakan ilmu semantik sebagai dasar ijtihad, Ibnu Hazm menggunakan logika aristetolian. Ibnu Hazm juga menggunakan berbagai macam istilah ushul yang tidak dipakai oleh para ulama ushul pada umumnya. Ibnu Hazm lebih melihat pada sisi makna daripada lafal dari suatu lafal. B. Metode Pemahaman Hadis Untuk pemahaman hadis dipakai metode tahlilisl-hadits dengan menggunakan ilmu syarah al-hadits ditempuh langkah naqli atau al-Riwayat dan langkah ‘aqly atau al-Dirayat. Langkah naqli merupakan syarah al-hadits bi al-Ma’tsur, terdiri atas: 1. munasabat al-hadits dengan al-Qur’an; 2. munasabat al-hadits dengan hadits lainnya; 3. pandangan shahabat dan tabi’in tentang hadits yang diteliti; 4. menginventarisir pandangan ulama syarah hadits. Sedangkan dalam langkah ‘aql atau bi al-Ra`yi terdiri atas: 1. menerjemahkan hadits ke dalam bahasa Indonesia; 2. menerangkan makna kata-kata yang tercantum dalam hadits; 3. menjelaskan istilah; 4. menentukan essensi hadits; 5. menginventarisir nilai-nilai yang terkandung dalam hadits yang diteliti;
53
M. Syuhudi Ismail, Kriteria Hadis Sahih, h. 129
21
6. menganalisis hadits yang disoroti dari berbagai sudut, untuk mendapatkan implikasinya terhadap kehidupan.
C.Metode Istinbath Hukum Istinbath hukum Hukum menurut pakar bahasa dan seorang fakih (Muhammad bin Ali al-Fayûmi (w. 770 H) adalah upaya menarik hukum dari al-Quran dan Sunnah dengan Jalan Ijtihad.54 Ushul Fikih menyajikan berbagai cara dari berbagai aspek untuk menggali pesanpesan yang terdapat dalam kandungan al-Quran dan Sunnah. Hal ini disebabkan baik alQuran maupun Hadis memiliki berbagai bentuk ungkapan dalam menyampaikan pesannya. Adakalanya secara am dan khas, ada melalui makna tekstual dan kontekstual, ada yang jelas dan ada yang samar, adakalanya juga seperti terdapat perbedaan atau berbenturan antara satu dalil dengan dalil yang lainnya. Secra garis besar dalam ushul fikih metode istinbath hukum dapat dibagi kepada tiga bagian; dari segi kebahasaan, segi maqashid al-syari’ah dan segi penyelesaian beberapa dalil yang berlawanan.
I. Metode Istinbath dari Segi Bahasa Al-Quran di turunkan dalam Bahasa Arab, begitu juga sunnah di-wurud-kan dengan bahasa Arab. Oleh karena itu para ulama telah menyusun semacam semantik untuk praktik penalaran fikih. 1. Amar (Perintah), Nahi (larangan), Takhyir memberikan pilihan) Baik al-Quran maupun al-Sunnah dalam menyampaikan pesannya adakala dalam bentuk perintah (amar), larangan (nahi) dan memberikan pilihan (takhyir). Dari tiga katagori inilah dapat di tetapkan hukum-hukum seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. 2. Lafal Umum (Am) dan lafal Khusus (khas) Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umumsesuai dengan pengertian lafal itu tanpa ada batasan dengan jumlah tertentu. Banyak kata kata yang dipergunakan mennunjukkan am (umum) diantaranya: كلdan جمع Adapun lafal khâs adalah lafal yang mengandung pengertian tunggal atau beberapa penegertian yang terbatas. Menurut Abu Zahrah lafaz khas dalam nash syara’ menunjukan kepada pengertian yang khas secara pasti (qath’i) dan hukum yang dikandungnya secara pasti, selama tidak ada indikasi menunjukkan kepada pengertian lain. Tetapi jika ada indikasi 54
Satria Efendi, Ushul Fikih, Prenada media Grup, jakarta: 2005, h. 1777
21
yang menunnjukkan bahwa makna yang dimaksud bukan makna hakikatnya, tetapi makna majazinya maka terjadilah apa yanng disebut ta’wil yaitu perpalingan dari makna hakiki ke makana majazi. Lafaz khas ada yang mutlaq dan ada yang muqayyad. 3. Manthûq dan Mafhum Mantuq menurut istilah Ushul Fikih berarti pengertian harfiah yang diucapakan. Alquran dan Hadis bisa menunjukkan kapada hukum melalui mantûq dan bisa juga malalui mafhum.
Baik mantuq sharih maupun ghairu sharih dan mafhum muwafawah maupun
mafhum mukhalafah 4. Lafal dari segi jelas dan tidak jelas maknanya Ulama Ushul membagi lafal dari segi jelas dan tidaknya menjadi nash, zhahir dan mujmal. Nash menurut Imam Syafi’I (w. 204) adalah teks al-Quran dan Hadis baik secara tegas maupun tidak tegas. Sedangkan zahir merut ulama ushul adalag lafal yang hanya menunnjukan pada level zhanni (diduga kuat). Maksudnya zahir adalah lafal yang dapat ditangkap secra cepat dari lafal tersebut padahal ada kemungkinan makna lain selain yang dipahamain secara cepat. Contoh kata yad zahirnya adalah tangan, tetapi ada bisa makna lain yang yaitu kekuasaan. Mujamal menurut Abu Ishaq al-Syirazi adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga butuh penjelasan dari luar (bayan). Seperti kata shalat, puasa, zakat dan haji dalam al-Quran sangat mujmal tidak mungkin difahami kecuali melalui penjelasan dari luar berupa hadis Rasulullah. Ulama hanafiyah membagi lafal dari segi kejelasan makanya yaitu zahir, nash, mufassar dan muhkam. Sedangkan dari segi ketidak jelasannya dibagi menjadi khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. 5. Lafal ditinjau dari segi pemakaiannya. Lafal ditinjau dari segi pemakaianya dibagi menjadi lafal hakikat dan lafal majazi. Lafal hakikat seperti “asad” untuk binatang buas dan sedangkan lafal majazinya adalah orang yang pemberani 6. Ta’wil Takwil menurut ulama ushul adalah perpalingan suatu lafal dari makna zahir ke makna lain yang tidak cepat dapat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukan bahwa makan itulah yang dimaksud oleh lafal tersebut
II.
Metode Penetapan Hukum Melalui Maqashid Syari’ah Selain hukum yang ditunjukkan melalui bunyi bahasanya, juga ada hukum yang
ditunjukkan oleh ruh tasyri’ atau maqashid al-syariah. Melalui maqashid al-syariah inilah 22
ayat-ayat dan hadis-hadis hukum dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan al-Sunnah. Pengembangan tersebut dilakukan dengan metode istinbath seperti; qias, istihsan, mashlahah al-murshalah, ‘urf, yang pada sisi lain disebut juga sebagai dalil. Maqashid al-Syari’ah berarti tujuan Allah dan RasulNya dalam merumuskan hukumhukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemashlahatan umat manusia. Al-Syathibi55 mengatakan bahwa hasil dari kajian ulama terhadap ayat-ayat al-Quran dan al-Sunnah bahwa hukum-hukum disyariatkan oleh Allah untuk kemaslahatan umata manusia. Selanjutnya al-Syatibi merumuskan kemaslahatan yang akan diwujudkan itu terbagi tiga tingkatan yaitu kebutuhan dharuri, kebutuhan hajjiayat dan kebutuhan tahsiniyat. Kebutuhan dharuriyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Al-Syatibi menyatakan bahwa ada lima hal yang termasuk kebutuhan dharuriyat ini yaitu memelihara agam, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan. Adapun kebutuhan hajjiayat adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder, apabila tidak terpenuhi tidak akan mengakibatakan mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangakan segala kesulitan tersebut.
Salah satu contoh
kemudahan yang diberikan dalam syariat adalah hukum rukhshah (keringanan). Dalam lapangan ibadah, Islam menyariatkan beberapa hukum rukhshah, jika dalam kenyataanya menemukan kesulitandalam menjalankan perintah-perintah taklif, seperti boleh tidak berpuasa bagi orang yang musafir dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain. Begitu juga menqashar shalat merupakan pemenuhan kebutuhan hajjiayat. Sedangkan kebutuhan tahsiniyat adalah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Kebutuhan tahsiniyât ini merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak
55
Al-Syâtiby. Al-Muafaqât fi Ushûl al-Fiqhi, Thaba’ah al-Maktabah al-Tijariayah, Mesir: t,th), jilid 6,
h. 2
23
enak di pandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak. Menurut Abdul Wahab Khalaf, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadah Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis maupun dari hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Begitu juga Islam menganjurkan untuk berhias ketika hendak ke mesjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah. Pada lapangan muamalah Islam juga mensyriatkan untuk tidak berlaku kikir, boros, menaikan harga, monopoli dan lainnya. Sedangkan dalam hal uqubat dilarang menyiksa mayat dan mengharamkan membunuh anak-anak dan wanita dalam perperangan. III. Ta’ârud dan Tarjih Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian ta’ârud adalah satu dari dua dalil menhendaki hukum yang berbeda dengan nyang dikehendaki oleh hukum yang lain. Lebih lanjut Wahbah mengatakan bahwa tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan rasulNya. Ta’ârud hanya ada dalam pandangan mujtahid dan tidak ada dalam hakikatnya. Jika terjadi ta’ârud dalam pandangan mujtahid maka harus dicarikan jalan keluarnya. Menurut ulama Hanafiyah jalam keluarnya pertama melalui nâsikh dan mansûkh, jika tidak mungkin melalui tarjih, jika tidak dapat ditarjih selanjutnya dikompromikan. Jika tidak bisa juga maka kedua dalil tersebut tidak bisa di pakai.56 Adapun
menutut
ulama
syafi’i
langkah
yang
ditempuh
adalah
pertama
dikompromikan, jika tidak bisa maka dilakukan tarjih. Apabila tarjih tidak bisa dilakukan maka berlaku nasikh dan mansukh. Jika tidak diketahui mana dalil yang datang kemudian maka mujtahid merujuk kepada dalil yang lebih rendah bobotnya.57 Tarjih menurut ulama ushul dari kalangan Syafiiah adalah menguatkan salah satu dari dalil yang zhanni untuk diamalkan. Ada tiga cara tarjih yang dilakukan: 2) Tarjih dari segi sanad. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak lebih didahulukan dari hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih sedikit. 3) Tarjih dari segi matan. Jika terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum satu masalah maka dalil yang melarang didahulukan atas hukum yang membolehkan. 4) Tarjih dari segi adanya faktor yang mendukung salah satu dalil, maka dalil yang ada pendukungnya didahulukan.
56 57
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Dar al-Fikr, Beirut: 1986) h.1173-1174 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h.1182
24
A. Bagan Kerangka Konseptual
Hadis-hadis tentang hewan al-jallâlah
Takhrij alHadis
Hadis Dhaif
Hadis Sahih
Haram Makruh Mubah
Pemahaman: larangan memakan daging, meminum susu dan menunggangi hewan al- jallalah Hadis-hadis semakna dan riwayat lain sebagai pendukung pemahaman
Hukum larangan (istinbath bahasa, Maqashid al-Syariyah dan taarud dan tarjih
25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah pertama metode takhrij al-hadis. Metode ini diawali dengan menelusuri keberadaan hadis-hadis tentang hewan al-jallalah dalam kutub al-tis’ah. Selanjutnya meneliti apakah hadis ini memenuhi persyaratan kesahihan sanad hadis dan matan. Kedua metode Pemahaman hadis, jika telah dilakukan takhrij al-hadis dan ternyata hadis tersebut memenuhi standar kesahihan maka dilanjutkan dengan pemahaman hadis tersebut. Untuk memahami muatan teks hadis-hadis tentang hewan al-jallalah, harus melihat semua teks-teks hadis yang berkaitan dengannya. Apakah ada pertentangan di antara hadis-hadis tersebut atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka akan dilihat asbab al-wurudnya serta situasi dan kondisi hadis tersebut diwurudkan oleh Rasulullah. Metode pemahaman hadis yang dipakai adalah metode tahlili berupa naqli dan aqli.Metode naqli yaitu memahami Hadis Nabi dengan al-quran dan hadis lainnya sedangkan metode aqli yaitu memahami Hadis Nabi dengan berbagai kaidah yang ditetapkan dari hasil pemikiran, pengalaman dan penelitian manusia.
Langkah-langkah yang lazim digunakan dalam memahami suatu hadis adalah analisis kebahasaan. Bentuk semacam ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab syarah hadis. Selain itu juga ditemukan upaya pemahaman melalui asbab al-wurud hadis (analisis sosio historis), sosiologis, dan antropologis. Cara mendapatkan pemahaman hadis yang utuh dan komprehensif adalah dengan menganalisis yang cukup memadai atas berbagai sisi terutama bagaimana makna suatu hadis tersebut ketika diwurudkan. Upaya ini perlu merujuk berbagai hadis yang setema dengan menggunakan Miftah Kunuz al-Sunnah atau melalui program Maktabah Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah dan Maktabah Syamilah, perkembangan pemahaman suatu hadis oleh generasi 26
sesudahnya baik sahabat maupun ulama lainnya dan baru melaksanakan kontekstualisasi. Upaya tersebut dapat dilaksanakan jika status suatu hadis yang akan dikaji tersebut sudah jelas sahihnya. Jika tidak maka diperlukan alternatif mencari hadis lain yang lebih kuat. Prinsip yang harus dipegangi dalam rangka melaksanakan kontekstualisasi hadis adalah: prinsip ideologi, perinsip otoritas, prinsip klasifikasi, dan prinsip regulasi terbatas Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu sebuah metode yang bertujuan memecahkan permasalahan yang ada, dengan menggunakan teknik deskriptif yakni penelitian, analisa dan klasifikasi.
B. Jenis Data Penelitian Penelitian ini adalah kepustakaan (library research) yaitu penelitian literatur. Sebagai data primernya adalah hadis-hadis tentang hewan jallalah dalam kutub al-tis’ah. Sedangkan sebagai data sekundernya adalah hadis-hadis lain yang semakna atau menjelaskan hadis tersebut dalam kitab lainnya. Dengan demikian sumber data utama adalah Kutub al-tis’ah, sedangkan sumber data sekunder yaitu kitab-kitab atau buku-buku lainnya yang membicarakan masalah hadis-hadis yang berkaitan dengan hewan jallalah. Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan ialah dengan koding data, yaitu mengumpulkan
semua
hadis
yang
berbicara
tentang
hewan
jallalah.
Kemudian
mengklasifikasikan hadis-hadis tersebut dalam bentuk tema yang sama, mukharrij yang sama, dan pengklasifikasian berdasarkan perawi pertamanya (tingkat sahabat/tabi’in). setelah itu dilakukan kritk sanad dan matan untuk melihat validitas hadis-hadis tersebut.
27
BAB IV PEMBIAYAAN
RENCANA ANGGARAN BELANJA KEGIATAN PENELITIAN KOMPETITIF DOSEN STAIN BATUSANGKAR TAHUN ANGGARAN 2016
Nama Peneliti NIP/NID N
:
Dr. Hj. Fitri Yeni M.Dalil, Lc, M.Ag
:
19680101 199803 2 004/20 010168 01
Judul Penelitian
:
Validitas dan Pemahaman Hadis tentang Hewan Jallalah
:
(Hewan Pemakan Kotoran dan Najis) dan Implikasi Hukumnya
Klasifikasi Penelitian
:
Penelitian Tingkat Pemula
Alokasi Dana
:
Rp10.000.000,-
PERHITUNGAN ANGGARAN 2015 No
PROGRAM/KEGIATAN/OUTPUT/SUBOUTPUT/KOMPONEN/ SUBKOMPONEN/AKUN/DETIL
1
2
Volume
Harga Satuan (Rp.)
Jumlah Biaya (Rp.)
3
4
5
KEGIATAN PENELITIAN DOSEN TINGKAT MUDA A
Belanja Barang Operasional Lainnya
1
Penggandaan proposal pasca pelaksanaan
2
Penggandaan instrumen pasca pelaksanaan
14
eks
x
1
800
lbr
x
1
judu l judu
14
eks
800
eks
15,000
210,000 140,000
28
l 3
penggandaan laporan Akhir Pasca pelaksanaan
10
eks
x
1
judu l
175 10
eks
40,000
Jumlah B
Belanja Bahan
1.
ATK Kegiatan*
2
a.
Kertas HVS 70 gr
b.
Flash Disk
c.
750,000
5
4
1
Rim
x
1
Bh
x
Pena
5
Bh
x
e.
Agenda
1
Bh
x
f.
Materai
6
bh
x
g.
CD Kosong
3
bh
x
h.
Map Plastik
5
bh
x
i.
Tinta Refill
4
bh
x
org
x
4
org
x
1
hr
10
pkt
x
1
hr
1 1 1 1 1 1 1
Keg
5
Rim
40,000
200,000
Keg
1
Bh
90,000
90,000
Keg
5
Bh
10,000
50,000
Keg
1
Bh
24,000
24,000
Keg
6
bh
6,000
36,000
Keg
3
bh
5,000
15,000
Keg
5
bh
5,000
25,000
Keg
4
bh
40,000
160,000
10
OH
35,000
350,000
4
OH
35,000
140,000
10
OH
35,000
350,000
Konsumsi (Nasi dan Snack) Pengumpulan Data a. -Nasi Kotak dan snack 10
3
Konsumsi pelaksanaan Nasi kotak dan snack a.
1
hr
Kosumsi peserta diskusipasca kegiatan Jumlah
C
400,000
1,440,000
Honor output kegiatan a.
Honor Peneliti 1. Honor Uji Instrumen
20
org
x
1
hr
20
jdl
1,500,000
29
75,000 2.
Honor pengolah data pelaksanaan 1
org
x
1
Keg
1
jdl
1,450,000
1,450,000
Jumlah D
2,950,000
Belanja Jasa Profesi 2
x
1
jpl
x
1
jpl
1. Nara Sumber Penyempurnaan Proposal 2
org
2. Nara sumber Ekspos Penelitian
2
jdl
200,000
400,000
2
jdl
900,000
1,800,000
Jumla h E
2,200,000
Belanja Perjalanan Dinas a.
Transport Nara Sumber Pra Pelaksanaan 1 Pengumpul data 2 Penyusunan Laporan 3 Pennyusunan Laporan 4
2
Org
x
2
pjl
2
Pejl
110,000
220,000
10
org
x
1
hr
10
perj
200,000
2,000,000
2
org
x
1
hr
2
perj
110,000
220,000
2
Org
x
1
hr
2
perj
110,000
220,000
Jumlah
2,660,000 TOTAL
10,000,000 Batusangkar, 26 April 2016 Peneliti
Dr. Hj. Fitri Yeni M. Dalil, Lc, M.Ag NIP. 19680101 199803 2 004
31
31
DAFTAR PUSTAKA
Abadî, Abu al-Thib Muhammad Syams al-Haq. Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud, Bairut: Dar al-Fikr, 1979 H. Cet.III. Abd al-Latîf, Abd al-Maujûd Muhammad. Ilm al-Jarh wa at-Ta'dîl Dirâsah wa Tathbîq, Kuwait; Dar al-Salâfiyah, 1988 M, Cet.I Abd al-Rahîm ibn al-Husayn al-‘Irâqiy, Al-Taqyîd wa al-‘Idhâh Syarh Muqaddimah Ibn alShalâh (Al-Madînah al-Munawwarah: Al-Maktabah al-Salafiyyah, 1400 H.), Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirat ibn Bardizbat alBukhariy, Shahih al-Bukhariy, (Dar al-Qalam, Beirut:, 1987 M) Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasa`iy, Sunan al-Nasa`iy, Beirut: Dar alMa’rifah, 1991 Abû Bakar Ahmad ibn ‘Aliy al-Baghdâdiy, Kitâb al-Kifâyah fi ‘Ilm al-Riwâyah (Mesir: Mathba’ah al-Sa’âdah, 1972 Abu Dâwud, Sulaimân al-Asy`ats al-Sijistânî. Sunan Abî Dâwud, naskah ditahqiq oleh Shidiq Muhammad Jamîl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M.Abu Dzaid, Bakar bin Abdullah. Al-Ta`shil li Ushûl al-Takhrîj wa Qawâ`id al-Jarh wa al-Ta’dîl, Riyadh: Dâr al-‘Ashimah, 1413 M. Cet.I Abu al-Husayn Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy al-Naysaburiy, Al-Jami’ alShahih,( Dar al-Turats al-‘Arabi: t.tp., 1954) Abu Lawî, Amîn. Ushûl al-Jarh wa at-Ta'dîl, Dâr Ibnu Affan, Saudi Arabia: 1997, Cet. I Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat al-Tirmidziy, Sunan al-Tirmidziy (al-Jami’ alShahih), [t.tp.]:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, [t.th.] Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawiy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Mesir: Mathba’at al-Mishriyyah, [t.th.] Al-Adhlabî, Shalâh al-Dîn Ibn Ahmad. Manhaj Naqd al-Matan ‘inda Ulamâ` al-Hadîts alNabawî, Bairut: Dar al-Affaq al-Jadîdat, 1983. Cet.I. Al-Albânî, Muhammad Nâshir al-Dîn. Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah wa Syai` min Fiqhihâ wa Fawâ`iduhâ, al-Riyadh: al-Maktabah al-Ma’ârif, 1420 H/2000 M. Cet. II. Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadîts, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000), Al-Asqalânî, Ahmad ibn Alî ibn Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh shahih al-Bukhârî, Bairut: Dâr Fikr 1420 H/ 2000M 32
Abu al-‘Ali Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuriy, Tuhfat alAhwadzyi bi Syarh Jami’al-Tirmidziy, (Ed.) ‘Abd al-Rahman Muhammad ‘Utsman, [t.tp.]: Dar al-Fikr, [t.th.] Busrih al-Tunisi, Thaha bin Ali, al-Manhaj al-Naqdi Inda al-Hafiz ibn Abd al-Bar, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2008 Djazuli, H.A, Ilmu Fikih, Penggalian, Islam,(Kencana, Jakarta: 2005)
Perkembangan,
dan
Penerapan
Hukum
Efendi, Satria, Ushul Fiqih, ,(Kencana, Jakarta: 2005) Al-Falûdzah, Abu Ibrâhîm Muhammad Ilyas Abdurrahman. Madkhal ilâ ilm al-Thabaqât ‘Inda al-Muhaditsîn, (t,t) (t.p) 1410 H. Cet. II Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, Rajawali Press, Jakarta: 1996 M. Isa H. A. Salam. Bustamin. Metodelogi Kritik Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004 Zaghrul An-Najjar. Sains dalam Hadis. Jakarta: Amzah. Cet I, Juni 2011. Zuahili Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut: 1986
33