PROPOSAL L OPERAS SIONAL TA A 2013
ANALISIS S MAN NAJEME EN RAN NTAI P PASOK K (SUPP PPLY CH HAIN MANAG M GEMEN NT) KOM MODIT TAS UN NGGAS LOKAL L
Tim Pene eliti : Saptan na Wahyyuning Kussuma Sejatii Sri Wahyyuni Jeffferson Situ umorang R Rangga Dityya Yofa
PUSAT T SOSIAL L EKONO OMI DAN N KEBIJA AKAN PERTANIA AN N PENELIITIAN DA AN PENG GEMBAN NGAN PE ERTANIA AN BADAN K KEMENTERIAN P PERTANIIAN 2012
Ringkasan Indonesia mempunyai potensi ternak unggas lokal untuk dikembangkan sebagai usaha ekonomi yang berperan dalam mengatasi pengangguran, peningkatan pendapatan RT di pedesaan dan melestarikan sumber plasma nutfah. Pesatnya perkembangan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner yang sudah ada menciptakan peluang dan sekaligus tantangan bagi para pelaku agribisnis unggas lokal, sehingga perlu dilakukan pendekatan baru untuk meresponnya. Sumbangan ternak unggas lokal dalam hal produksi pangan hewani sangat besar mendampingi ayam ras. Permasalahan pokok yang dihadapi adalah bahwa sebagian besar ternak unggas ini masih diusahakan secara ekstensif dengan sepenuhnya menggunakan sumberdaya lokal dan belum terintagrasinya sistem produksi dengan pasar. Kondisi tersebut menyebabkan keterkaitan supply chain management (SCM) antar pelaku dalam rantai pasok produk unggas lokal lemah. Penelitian bertujuan untuk (1) Mengevaluasi kinerja program pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal; (2) Mendeskripsikan rantai pasok (supply chain) komoditas unggas lokal dari hulu hingga hilir; (3) Menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok (supply chain management) komoditas unggas lokal; (4) Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pokok yang dihadapi dalam membangun manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal; dan (5) Merumuskan kebijakan untuk mengembangkan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing. Penelitian ini dilakukan di pulau Jawa dan luar Jawa, dengan metoda survey dengan responden penelitian terdiri dari peternak, pedagang, pemasok input dan pejabat pemerintah dari instansi yang terkait. Kata kunci: manajemen, rantai pasok, ayam buras, itik, agribisnis
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis unggas lokal dapat dijadikan basis pengembangan ekonomi rakyat yang berpotensi dapat menciptakan pertumbuhan yang berkualitas (inclusive growth), yaitu pertumbuhan yang disertai pemerataan (growth with equity). Sumber pertumbuhan unggas lokal dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi permintaan (demand
side) dan sisi penawaran (supply side). Sumber pertumbuhan unggas lokal dari sisi permintaan ditentukan oleh jumlah penduduk, tingkat pendapatan, preferensi konsumen, serta berkembangnya industri kuliner. Produk unggas lokal memiliki karakteristik permintaan yang unik dan tergolong produk bernilai tinggi (high value products). Dari sisi penawaran, jumlah populasi, tingkat efisiensi dan produktivitas, serta daya saing produk unggas lokal sangat terkait erat dengan karakteristik usahaternak unggas
1
lokal yang sebagian besar masih diusahakan secara tradisional, bersifat sambilan, dan menggunakan pakan lokal seadanya. Ketersediaan bahan pakan lokal dan harga pakan utama (dedak/bekatul, jagung), perubahan tekonologi, skala usaha, dan berbagai kebijakan pendukung akan mempengaruhi penyediaan produk unggas lokal. Indonesia termasuk negara yang tergolong net importer untuk produk ternak secara keseluruhan, di mana nilai impor masih lebih besar dari pada nilai ekspornya. Statistik Peternakan (2010) memperlihatkan bahwa volume perdagangan daging di Indonesia mengalami defisit pada tahun 2008, di mana volume ekspor hanya sebesar 61,5 ton dengan total nilai ekspor US$ 11,39 ribu, sedangkan impor daging mencapai 45.709 ton dengan nilai impor sebesar US$ 277.733 ribu atau mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 277.722 ribu. Pada tahun 2009 ekspor daging sangat kecil hanya 5,90 ton dengan nilai US$ 20,71 US$
dan impor daging sebesar 67.908 ton dengan nilai sebesar US$
293.136 ribu. Impor juga terjadi dalam bentuk sapi bibit 100 ekor (2009), sapi bakalan 657 ribu ekor (2009), unggas relatif kecil 2.687 ribu ekor. Untuk produk telur juga mengalami hal yang sama di mana pada tahun 2009 volume impor telur konsumsi mencapai 1.250 ton dengan nilai US$ 51.172 ribu dan tidak ada ekspor sama sekali. Dengan ketergantungan kepada produk ternak dan bahan baku pakan impor untuk unggas komersial, maka sudah saatnya pemerintah dan masyarakat perunggasan Indonesia memberikan perhatian yang lebih baik dalam pengembangan agribisnis unggas lokal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramalkan akan terus meningkat pada masa lima tahun mendatang, dan pertumbuhan ini akan memacu peningkatan konsumsi produkproduk unggas lokal yang bersifat elastis terhadap pendapatan. Bidang usaha agribisnis unggas lokal harus melakukan antisipasi terhadap peningkatan konsumsi tersebut, terutama untuk membuka kesempatan berusaha dan kesempatan kerja melalui pengembangan manajemen rantai pasok (supply chain management).
Jika unggas lokal dikelola secara
serius oleh tenaga kerja muda terampil, memiliki kapabilitas manajerial dengan kandungaan kewirausahaan yang tinggi, serta memiliki budaya industrial maka agribisnis unggas lokal dapat dijadikan basis pengembangan ekonomi rakyat. Beberapa permasalahan utama dalam pengembangan agribisnis unggas lokal cukup komplek, yaitu masih lemahnya budaya industrial dan usahaternak yang masih bersifat tradisional. Masalah tidak tersedianya bibit unggul lokal secara cukup, kualitas pakan yang rendah, rentan terhadap serangan wabah penyakit dan stres, serta struktur pasar yang
2
dikuasai pedagang besar (broker), menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah. Berdasarkan
permasalahan
tersebut
perlu
difikirkan
bagaimana
mengembangakan
manajemen rantai pasok (supply chain management) dalam mendukung pengembangan agribisnis unggas lokal secara berdayasaing dan berkelanjutan, sehingga terbangun koordinasi proses maupun koordinasi antar pelaku usaha agribisnis. 1.2. Dasar Pertimbangan (Justifikasi) Ketergantungan produksi hasil ternak dalam bentuk daging dan telur asal unggas komersil (ayam ras petelur dan broiler) yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku pakan impor menyebabkan pasar produk unggas selalu bergejolak. Sementara itu, disisi lain terdapat potensi pegembangan usaha ternak unggas lokal (ayam kampung dan itik) yang dapat dikelola dengan pakan ternak berbahan baku lokal. Pengembangan unggas lokal secara integratif dengan pertanian setempat, serta dengan model kelembagaan manajemen rantai pasok (supply chain management) yang tepat akan meningkatkan ketersediaan, distribusi dan daya saing produk ternak unggas lokal. Pentingnya unggas lokal adalah (Haryono, 2012): (a) merupakan sumber daya genetik asli Indonesia, (b) Mampu menjadi sandaran pemenuhan protein hewani sampai ke pelosok negeri, dan (c) Melibatkan keikutsertaan peternak rakyat yang besar, sehingga dapat menjadi media pengembangan ekonomi masyarakat miskin. Usahaternak unggas lokal dapat dijadikan tambahan mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan sumber pendapatan bagi rumah tangga di pedesaan. Pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia selama ini masih bertumpu pada pangan nabati, khususnya beras yang diindikasikan oleh tingginya starchy staple ratio hingga 63 persen. Adanya gejala pergeseran permintaan konsumen dari komoditas bernilai rendah (padi, palawija) ke arah komoditas bernilai ekonomi tinggi (produk hortikultura, peternakan, dan ikan) dalam literatur dinamakan “value
ladder” atau struktur peningkatan nilai tambah pertanian (Daryanto, 2011). Dengan demikian terdapat ruang untuk memperbesar pangsa pasar produk unggas lokal, seperti ayam kampung dan itik. Diversifikasi konsumsi pangan perlu didorong bukan saja untuk produk pangan lokal tetapi juga produk pangan hewani yang dapat mempercepat peningkatan indeks pembangunan manusia (human development index) dan Pola Pangan Harapan (PPH) penduduk Indonesia.
3
Tingkat konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat Indonesia masih di bawah rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu sebesar 6 gr/kap/hari. Saat ini pencapaian untuk daging adalah 3.35 gr/kap/hari, telur 1.77 gr/kap/hari dan susu 0.6 gr/kap/hari, total 5.72 gr/kap/hari.
Tingkat konsumsi dalam satu tahun untuk daging
adalah 5,13 Kg/kapita/tahun, telur 6,78 Kg/kapita/tahun, dan susu 3,13 Kg/kapita/hari (Ditjenak, 2008).
Peluang produk unggas (termasuk unggas lokal) baik berupa daging
unggas maupun telur menunjukkan trend yang terus meningkat baik di Indonesia maupun level dunia seperti yang diungkapkan dimuka (Taha, 2003; Ilham, 2006). Pertumbuhan konsumsi daging dan telur di negara-negara berpendapatan menengah adalah yang paling tinggi (China, India, Brazil, Mexico, Argentina, Iran, Rusia, Mesir, Malaysia dan Polandia), disusul negara-negara berpendapatan tinggi (AS, UE, Jepang, Canada), dan stagnan untuk negara-negara berpendapatan rendah (sebagian negara-negara sub sahara). Ternak unggas lokal mempunyai potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan. Potensi itu terdiri atas penyediaan bibit ternak unggas lokal unggul yang cukup tinggi, bahan baku pakan berbasis sumberdaya lokal, pengalaman peternak yang dinilai cukup, dan teknologi budidaya yang masih dapat ditingkatkan secara bertahap. Jika pemerintah berhasil mendorong masyarakat beternak unggas lokal secara komersial, maka terbuka peluang peningkatan pendapatan petani, kesempatan kerja yang luas di pedesaan, dan peningkatan produksi pangan dalam negeri. Upaya pengembangan komoditas unggas lokal melalui manajemen rantai pasok (supply chain management) mendapatkan momentumnya dengan industri kuliner berbasis unggas lokal yang marak di kota-kota besar di Indonesia. Penelitian ini mempunyai tujuan umum mengembangkan kelembagaan agribisnis yang dapat menangani kegiatan agribisnis secara sinergis bekerjasama meningkatkan pemanfaatan keunggulan komparatif dan daya saing. Tujuan khusus adalah melakukan identifikasi permasalahan ternak unggas tradisonal, kemudian disusul dengan penawaran opsi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengembangkan usaha ternak unggas tradisional.
Penelitian ini jelas memberikan sumbangan pemikiran yang besar
kepada pemerintah dalam kerangka membuat kebijakan pengembangan usahaternak unggas tradisional.
4
1.3. Tujuan Tujuan kegiatan penelitian adalah: (1) Mengevaluasi kinerja program pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal; (2) Mendeskripsikan rantai pasok (supply chain) komoditas unggas lokal dari hulu hingga hilir; (3) Menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok (supply chain management) komoditas unggas lokal; (4) Menganalisis rantai nilai (value chain anaysis) komoditas unggas lokal; dan (5) Merumuskan kebijakan untuk mengembangkan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing. 1.4. Keluaran yang Diharapkan Keluaran yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah informasi mengenai: (1) Hasil evaluasi kinerja program pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal; (2) Deskripsi manajemen rantai pasok (supply chain management) komoditas unggas lokal dari hulu hingga hilir; (3) Hasil analisis kelembagaan rantai pasok komoditas unggas lokal; dan (4) Hasil analisis rantai nilai (value chain anaysis) komoditas unggas lokal; dan (5) Rumusan kebijakan untuk mengembangkan manajemen rantai pasok komoditas ungas lokal secara terpadu dan berdayasaing. 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Penerima manfaat langsung dari kegiatan ini adalah rumah tangga peternak unggas lokal dan pelaku usaha yang terkait dalam rantai nilai produk-produk unggas lokal. Penerima manfaat tidak langsung dari kegiatan ini adalah para pelaku usaha yang ikut menerima manfaat dari berkembangnya manajemen rantai pasok, seperti industri pembibitan (breeding farm), pedagang input, pedagang output, dan industri kuliner. Pemecahan masalah ini akan memberikan dampak teknis dan ekonomi serta kelembagaan manajemen rantai pasok terutama dalam mendorong pengembangan usaha ternak unggas lokal secara komersial. Dampak ekonomi yang lebih luas adalah pemecahan masalah dalam hal menyediakan pangan hewani yang berbasis sumberdaya lokal, kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan para petani, serta berkembangnya industri kuliner berbasis produk unggas lokal. Melalui hasil-hasil penelitian ini,
pemerintah dapat membangun konsep kebijakan bagi pengembangan manajemen
pemasaran produk unggas lokal secara terpadu sehingga meningkatkan dayasaing produk
5
unggas lokal.
Hasil penelitian ini juga mempunyai dampak penyediaan informasi yang
berguna bagi investor dalam negeri baik dalam skala kecil atau besar. Luaran
kegiatan
ini
sangat
berguna
bagi
Kementerian
Pertanian
untuk
menyempurnakan kebijakan dan program pengembangan manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM) di daerah sentra produksi. Pengembangan manajemen rantai pasok di daerah-daerah pertumbuhan baru, sehingga SCM ini memiliki dampak yang lebih luas dan dapat menjangkau kelompok masyarakat miskin. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Rantai pasok dan manajemen rantai pasok berasal konsep logistik. Rantai pasok (Supply Chain) adalah semua kegiatan yang melibatkan semua pihak baik yang memproduksi barang atau jasa, mulai dari produsen dan atau supplier bahan baku sampai pada konsumen akhir. Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management/SCM) adalah kegiatan mengelola penawaran (pasokan) dan permintaan, termasuk di dalamnya pengadaan bahan baku, input produksi, kegiatan atau proses produksi dan perakitan, kegiatan penyimpanan hasil produksi dan pengelolaan inventory, proses pengiriman dan penanganannya serta distribusi, sampai kepada delivery ke konsumen akhir. Indrajid dan Djokopranoto (2002) mendefinisikan rantai pasokan (supply chain) sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada palanggannya. Managemen rantai pasok merupakan alat bantu pendekatan untuk mengintegrasikan efisiensi pemasok (supplier), perusahaan, distributor, pengecer (retail), sehingga alat-alat tersebut dapat menghasilkan dan menyalurkan produk dengan jumlah, lokasi dan waktu yang tepat, agar dapat mengurangi biaya keseluruhan dalam sistem rantai pasok sebagai syarat memberikan untuk tingkat kepuasan dalam pelayanan. Hines (2004) mengemukakan bahwa strategi rantai pasok dapat dilihat dalam perspektif sistem secara keseluruhan yang menunjukkan adanya keterkaitan dalam rantai yang bekerja sama secara efisien untuk menciptakan kepuasan pelanggan atau konsumen. Sebagai konsekuensinya biaya harus cukup rendah pada seluruh rantai pasok dan memusatkan
perhatian
pada
penciptaan
nilai
tambah,
meningkatkan
efisiensi,
menghindarkan dari kemacetan. Pengukuran kinerja manajemen rantai pasok difokuskan pada efisiensi keseluruhan sistem dan distribusi insentif nilai tambah dilakukan secara adil terhadap semua pihak yang tercakup dalam rantai pasok.
6
Forum rantai nilai global (Supply Chain Forum Global) mengemukakan manajemen rantai pasok adalah integrasi proses bisnis utama di seluruh rantai pasokan untuk tujuan menciptakan nilai bagi pelanggan dan stakeholder (Lambert, 2008). Profesional
Manajemen
Rantai
Pasok
(The
Council
Supply
Menurut Dewan
Chain
Management
Professionals/CSCMP), manajemen rantai pasok meliputi perencanaan dan pengelolaan semua kegiatan dari sumber (sourcing), konversi, pengadaan, dan manajemen logistik. Selain itu, juga termasuk komponen penting koordinasi dan kolaborasi dengan mitra usaha dalam rantai pasok, yang dapat berperan sebagai pemasok, perantara, dan pihak ketiga penyedia layanan, dan pelanggan. Pada intinya, manajemen rantai pasok mengintegrasikan manajemen penawaran dan permintaan di dalam dan di seluruh perusahaan. 2.2. Hasil-Hasil Penelitian Terkait 2.2.1. Kinerja Pengembangan Agribisnis Unggas Lokal Ternak unggas lokal seperti ayam buras, itik, entok dan puyuh mempunyai peran yang besar sejak lama dalam menyediakan produksi daging dan telur unggas masyarakat Indonesia. Pada tahun 2004-2005 peran ternak ini secara nasional masih tinggi dengan sumbangan sekitar 20 persen dari total produksi unggas, sedangkan telur unggas tradisional menyumbang sebesar 45 persen dari produksi telur (Yusdja et al, 2006). Kondisi terkini, sumbangan unggas lokal (ayam buras dan itik) terhadap daging unggas nasional adalah sebesar 287.8 ton (18,77%) dari total produksi unggas sebesar 1.533 ton, sementara itu sumbangan telur unggas lokal (ayam buras dan itik) sebesar 420,50 ton (23,45 %) dari produksi telur nasional sebesar 1792.9 ton (Ditjennak, 2010). Unggas lokal yang tetuanya berasal dari Indonesia adalah Ayam Lokal/Buras, Itik Lokal/Petelur, Entok dan Puyuh Jepang (Peni, 2009).
Selanjutnya dikatakan bahwa
kelebihan unggas lokal adalah: (a) memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat tinggi, (b) lebih toleran terhadap penyakit terutama jenis parasit, dan (c) toleran terhadap kualitas pakan yang berkualitas rendah. Selain itu, ternak unggas lokal juga mempunyai keunggulan dari sisi konsumen, yaitu sangat disukai oleh konsumen dalam negeri dan luar negeri. Beberapa kekurangan unggas lokal adalah: (a) komposisi genetiknya menghasilkan produktivitas yang rendah, (b) belum ada jenjang bibit yang jelas, dan (c) belum ada sistem pembibitan dan industri pembibitan belum berkembang secara memadai.
7
Secara empiris usaha ternak unggas lokal belum berkembang menjadi usaha komersial, maka masalahnya ada pada sistem dan usaha agribsinis ternak unggas yang belum dapat mendukung pengembangannya. Beberapa faktor penyebabnya adalah: (a) pengadaan bahan baku pakan yang disediakan justru bersaing dengan kebutuhan lain, (b) modal yang dimiliki peternak rendah, (c) resiko kegagalan usahaternak unggas lokal besar, (d) profitabiltas yang rendah jika diusahakan secara komersil, produktivitas bibit rendah dibandingkan korbanan yang dikeluarkan dan (e) pasar seakan-akan jenuh karena sangat banyak pembeli dan sangat banyak produsen sehingga tidak ada insentif memproduksi dalam skala besar (Yusdja, et al, 2006). Dengan ciri-ciri utama peternak yang memelihara ternak unggas lokal adalah berpendapatan rendah, tidak mempunyai akses pada lembaga keuangan, dan tidak mempunyai akses pasar input dan output, atas dasar itu masalah kelembagaan manajemen rantai pasok menjadi masalah utama. Pertanyaannya adalah seberapa jauh sistem kelembagaan manajemen rantai pasok yang mengatur produk-produk unggas lokal memberikan insentif kepada peternak?. Bagaimana bentuk kelembagaan manajemen rantai pasok yang dibutuhkan bagi kemudahan dalam pemasaran yang menguntungkan bagi mereka?. Masalah-masalah ini mempunyai relevansi yang kuat untuk diteliti sehubungan dengan peningkatan produksi pangan hewani dalam negeri dengan menggandalkan sumberdaya lokal. Ternak unggas lokal yang diteliti adalah ayam lokal (buras) dan itik/bebek. Kedua jenis komoditas tersebut akan dilihat secara terpisah, karena masing-masing komoditas mempunyai karakteristik komoditas dan pasar yang berbeda. Kedua jenis ternak unggas lokal ini telah lama diusahakan masyarakat dengan berbagai sistem pengelolaan yang berbeda. Ayam lokal (buras) pada umumnya sekitar 90 persen dari populasi diusahakan secara ekstensif dengan skala usaha tidak lebih dari 1-10 ekor, sisanya berkembang dalam bentuk usaha-usaha semi intensif dan intensif (Yusdja, et al, 2005). Untuk usaha ternak itik/bebek lazim dipelihara dalam bentuk semi intensif, namun dalam 5 tahun terakhir telah berkembang usaha semi intensif dan intensif di berbagai daerah terutama di pulau Jawa. 2.2.2. Deskripsi Rantai Pasok Unggas Lokal Ayam Lokal (Buras) Ekstensif dan Tradisional. Indonesia memiliki kekayaan hayati yang sangat beragam, diantaranya adalah keanekaragaman plasma nutfah ayam
8
lokal (buras). Ayam kampung sering dikenal dengan istilah ayam keluarga (poultry family), ayam belakang rumah (backyard poultry) atau ayam pedesaan (village/rural poultry) (Naipospos, 2009). Hasil penelitian Balai Penelitian Ternak, Ciawi yang diacu dalam
poultrycom (2012), Indonesia memiliki 15 jenis plasma nutfah ayam lokal yang keberadaannya benar-benar asli Indonesia. Meskipun secara keseluruhan belum berhasil teridentifikasi secara lengkap dan rinci. Jenis ayam lokal tersebut di antaranya adalah Ayam Cemani, Ayam Kapas, Ayam Pelung, Ayam Arab Golden, Ayam Merawang, Ayam Arab Silver, Ayam Kedu, Ayam Kedu Putih, Ayam Kate, Ayam Gaok, Ayam Sentul, Ayam Wareng, Ayam Tolaki, ayam Kalosi, dan Ayam Nunukan. Pengelolaan secara ekstensif yang dimaksudkan di sini bahwa peternak memiliki ayam lokal (buras) tetapi tidak memberikan pakan, kandang dan perawatan kesehatan secara khusus (Yusdja et al, 2005). Pemeliharaan ayam lokal (buras) dilepaskan begitu saja, mencari makan dan melakukan perkawinan di alam bebas. Dengan kata lain ayam lokal (buras) yang dipelihara secara tradisional, kurang mendapatkan sentuhan teknologi budidaya dan manajemen, karena itu biaya yang dikeluarkan untuk satu unit produksi daging ayam lokal dan telur relatif sangat kecil, hampir mencapai “zero cost”. Karena biaya pemeliharaan mendekati nol, maka peternak sebenarnya memperoleh keuntungan hampir sama dengan harga jual yang mereka terima yang pada umumnya melebihi harga jual ayam broiler. Namun, sekalipun pada sistem intensif produksi relatif tinggi, tetapi tidak mampu mendorong usaha produksi telur/daging ayam buras tradisional dalam bentuk satu sistem usahaternak intensif. Keberadaan ayam lokal (buras) secara ekonomi sangat membantu kebutuhan rumah tangga di perdesaan, namun dengan pola pemeliharaan masih secara ekstensif maka pertumbuhan secara ekonomi masih sangat terbatas. Salah satu alasan yang menyebabkan ayam lokal lebih dominan dipelihara secara ekstensif adalah karena sumber bibit asalan (tanpa melalui proses seleksi), kurangnya keterampilan teknis dan kapabilitas manajerial, dan keterbatasan permodalan, sehingga ayam lokal cenderung di beri pakan sisa dapur dan minum seperlunya selanjutnya dilepas untuk mencari pakan sendiri dari pagi sampai sore. Pola pemeliharaan yang demikian menjadi pilihan banyak peternak karena pola ini mampu memberikan biaya yang sangat rendah. Disamping itu kesulitan dalam mendapatkan bibit/ DOC ayam lokal unggul masih merupakan kendala serius bagi pengembangan ayam buras (Anonim, 2003).
9
Pemerintah telah melakukan kegiatan pengembangan usaha ternak ayam lokal (buras) untuk meningkatkan kinerja agribisnis ayam lokal melalui pendekatan teknis dan agribisnis. Pendekatan teknis dilakukan melalui program pengendalian penyakit melalui kebijakan Intensifikasi Vaksinasi (INVAC) yang dilanjutkan melalui Intensifikasi Ternak Ayam Buras (INTAB). Sementara pendekatan agribisnis telah dilakukan melalui beberapa kebijakan proyek diantaranya adalah proyek gerakan pembangunan kawasan peternakan. Dengan demikian untuk lebih memacu perkembangan kinerja budidaya ternak ayam lokal (buras) dan sejenisnya maka tidak ada cara lain kecuali dipelihara secara semi intensif hingga intensif dan ditangani melalui pola manajemen rantai pasok (supply chain
management) sehingga dapat meningkatkan keterpaduan proses dan pelaku usaha agribisnis unggas lokal. Pemerintah
juga
telah
melaksanakan
berbagai
progam
dalam
usaha
mengembangkan ayam lokal. Diantaranya adalah kegiatan untuk mengembangkan agribisnis ayam lokal (buras) secara terpadu dan berkelanjutan di dalam satu kawasan yang didalamnya dibentuk satu pusat pengembangan pembibitan dan budidaya ayam buras yang dilengkapi dengan unit pabrik pakan mini, unit pemotongan dan unit penetasan serta unit pengolahan (Anonym, 2002; Yusdja, dkk., 2005). Program agribisnis yang dilaksanakan tahun 2001 ini disebut RRMC (Rural Rearing Multiplication Center). Beberapa kajian mengemukakan bahwa proyek ini kurang berhasil, namun dari proyek ini memberikan indikasi bahwa ayam lokal (buras) mempunyai potensi dan prospek untuk dikembangkan (Anonym, 2003). Kemudahan dalam pemeliharaan ternak unggas lokal tersebut, justru menyebabkan minat masyarakat untuk mengembangkan ternak tersebut menjadi usaha komersial cenderung semakin menurun. Data sensus penduduk selama empat periode menunjukkan angka pertumbuhan rumah tangga peternak ayam buras cenderung menurun sangat tajam. Hasil sensus penduduk tahun 1963 jumlah rumah tangga peternak ayam buras sebesar 9,98 juta, tahun 1973 meningkat menjadi 13.86 juta, tahun 1983 turun tajam menjadi 0,41 juta dan hasil sensus terakhir tahun 1993 hanya naik sedikit menjadi 0,47 juta rumah tangga. Suatu angka pertumbuhan yang sebenarnya cukup memprihatinkan (Yusdja, et al, 2005). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dengan turunnya jumlah rumah tangga yang memelihara ayam lokal semakin sedikit, sementara populasi ayam buras semakin berkembang.
Hal ini mengindikasikan bahwa rasio penguasaan ternak ayam buras per
10
kepala rumah tangga cenderung semakin besar. Meskipun demikian peningkatan populasi ayam lokal tersebut tampaknya belum mampu mengimbangi kebutuhan konsumsi daging ayam kampung yang terus meningkat. Melihat fenomena diatas memberikan suatu harapan bahwa pengembangan ternak unggas lokal khususnya ayam lokal (buras) dan sejenisnya yang umumnya belum ditangani secara profesional, tampaknya masih ada peluang besar untuk melakukan usahaternak unggas lokal dari berbasis sumberdaya lokal dan tenaga kerja tidak terampil ke kebudayaan industrial dengan berbasis sumberdaya lokal yang sudah diramu oleh tenaga kerja terampil. Agar komoditas tersebut tidak hanya sebagai pendapatan sampingan bagi masyarakat peminat budidaya unggas, namun lebih dari itu adalah dapat dijadikan andalan sebagai sumber matapencaharian utama keluarga. Permasalahan adalah bagaimana mencari pola pengembangan yang cocok sesuai dengan kinerja sistem agribisnis ayam lokal (buras) tersebut. Dengan berkembangnya industri kuliner berbasis ayam lokal, maka pada usahaternak perlu transformasi usahaternak dari sistem tradisional ke arah usaha semi hingga intensif, namum tetap berbasis utama sumberdaya lokal. Sementara itu, pada aspek pemasaran dapat menggunakan pendekatan manajemen rantai pasok (supply chain
management). Ayam Lokal (Buras) Intensif. Telah banyak dilakukan penelitian kelayakan usaha ayam buras dalam 20 tahun terakhir, yang keseluruhannya melaporkan bahwa ayam buras layak diusahakan secara semi intensif dan intensif. Penelitian mengenai agribisnis ayam buras dilakukan oleh Sajuti (2001) setelah terjadi krisis ekonomi. Sajuti melaporkan usahaternak ayam lokal (buras) intensif layak diusahakan dan memberikan keuntungan kepada peternak. Semakin besar skala usaha semakin besar keuntungan yang diperoleh peternak. Keuntungan yang diperoleh peternakan akan lebih besar jika petenak hanya menghasilkan satu komoditi saja yakni telur atau daging ayam saja. Dengan kata lain spesialisasi dalam usahaternak ayam lokal lebih menjanjikan. Hasil analisis usahaternak ayam kampung super per 300 ekor dan Itik Pajajaran per 100 ekor
yang dimuat dalam (Trobos, 2010) layak diusahakan.
Diasumsikan peternak
dapat mencapai tingkat mortalitas standar berkisar antara 5-10% (20 ekor), maka pada saat panen jumlahnya 280 ekor dengan berat rata-rata 0,8 – 1 kg. Harga ayam adalah Rp 21.000,-/kg dengan kisaran harga antara Rp 18.000 - Rp. 23.000,- /Kg.
Diperkirakan
usahaternak ayam kampung super mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.371.000/300
11
ekor/siklus produksi.
Efektivitas pengembalian modal dengan R/C ratio ayam kampung
super tergolong baik, yaitu 1,32. Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan rupiah penerimaan sebesar 1,32. Itik, semi intensif dan intensif.
Itik seperti Indian Runner yang banyak dan
dominan ada di Indonesia merupakan ternak unggas lokal yang sudah lama diusahakan peternak. Berbeda dengan ayam lokal (buras), itik/bebek relatif mempunyai wilayah-wilayah lebih spesifik dalam pengembangannya terutama kebutuhan ekologis yang relatif tinggi terhadap air. Ternak itik membutuhkan air untuk perkawinan dan sebagai tempat sumber pakan. Usahaternak secara semi intensif dan intensif berkembang ditentukan oleh tiga hal yakni pasar output, ketersedian bahan baku pakan dan persediaan air (Yusdaja et al, 2005). Sebagai contoh itik Alabio yang berkembang di daerah rawa-rawa Kalimantan Selatan yang terdapat banyak ikan dapat menjadi sumber makanan itik. Di Jawa itik berkembang disepanjang aliran sungai, daerah pantai dan daerah sawah irigasi seperti bagian utara Provinsi Jawa Timur. Perkembangan usaha itik semi intensif dan intensif akhir-akhir ini berkembang di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Solo, Yogyakarta dan kota-kota satelitnya, karena tingginya permintaan untuk industri kuliner perkotaan. Hasil penelitian tentang produktivitas Itik dilakukan oleh Andayani et al, (2001), pengaruh pemberian Ikan Pirik terhadap produksi telur Itik dilakukan oleh Subiharta et al, (2001), potensi produksi Itik Turi oleh Wardhani, (2001) dan kinerja pembesaran Itik siap telur oleh Sumanto et al, (2001), yang menunjukkan bahwa potensi produksi Itik masih dapat ditingkatkan. Pada umumnya penelitian yang telah dilakukan lebih terfokus pada usahaternak dan potensi produksi. Salah satu penelitian yang mencakup pemasaran dan kelembagaan kemitraan adalah penelitian uji multilokasi bibit niaga itik petelur yang dilakukan oleh Juarini et al, (2003). Laporan ini memberikan gambaran produktivitas Itik, pemasaran dan kemitraan usaha secara terbatas. Hasil kajian tentang analisis usahaternak Itik Pajajaran dimuat dalam Majalah Trobos, (2010). Itik Pajajaran yang merupakan persilangan Itik Magelang dengan karakter (jinak, tenang dengan tingkat stres rendah, produksi telaur stabil) dengan Itik Tasikmalaya dengan karakter (penampilan postur tinggi dan besar dengan bobot mencapai lebih 2 Kg/ekor) menghasilkan Itik dengan sifat unggul. Selama usia produktif (6-7 bulan) dari 100 ekor Itik Pajajaran untuk petelur yang dipelihara dengan tingkat produksi sebesar (65 %)
12
dapat memberikan keuntungan bersih
sekitar Rp. 5,5 juta/100 ekor/siklus produksi.
Efektivitas pengembalian modal dengan R/C ratio Itik Pajajaran tergolong tingi, yaitu 1,38. Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan rupiah penerimaan sebesar 1,38.
Usahaternak itik petelur layak diusahakan dan bisnis ini cukup
menguntungkan. 2.2.3. Kelembagaan Rantai Pasok Komoditas Unggas Lokal Karakteristik dasar bisnis perunggasan termasuk unggas lokal adalah sebagai industri biologi yang mempunyai implikasi pada tuntutan pengelolaannya, yang akan berpengaruh terhadap struktur, perilaku, dan kinerja industri perunggasan (Saragih, 1998). Pengelolaan dan pengembangan industri pembibitan unggas lokal harus memperhatikan karakteristik sebagai industri biologi serta memanfaatkan sifat-sifat unggul pada unggas lokal.
Bibit adalah teknologi inti dalam industri perunggasan, sehingga pengembangan
agribisnis unggas lokal sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas bibit. Penggunaan manajemen rantai pasok memberikan manfaat beragam. Manfaat tersebut antara lain: mengurangi inventory barang,
menjamin kelancaran penyediaan
barang, dan menjamin mutu (Indrajit, 2002). Terdapat empat manfaat dengan menerapkan manajemen rantai pasok, yaitu (Saptana dan Arief Daryanto, 2012): (a) Adanya penambahan nilai yang antara lain meliputi kesesuaian dengan pesanan, ketepatan dalam distribusi, dan kesesuaian dalam pembebanan biaya produksi; (b) Pengurangan biaya transaksi yang berdampak pada timbulnya respon terhadap pasar yang lebih berorientasi pada kepentingan pedagang pengecer; (c) Pengurangan risiko bisnis, yaitu memberikan jaminan pemasaran produk dan pengembangan modal yang disesuaikan dengan adopsi teknologi serta peningkatan efisiensi maupun penambahan nilai produk yang dihasilkan; dan (d) SCM dalam industri perunggasan yang merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi dapat dijadikan sarana alih teknologi dari perusahaan-perusahaan yang menguasai teknologi modern kepada petani rakyat sebagai mitra kerjanya. 2.2.4. Kendala dan Permasalahan Pokok Perencanaan penetapan kelembagaan manajemen rantai pasok (supply chain
management) kegiatan usahaternak unggas lokal yang sedang dan akan terus berjalan, seyogyanya dilakukan sejak dini, sebelum dihadapkan pada permasalahan-permasalahan
13
pokok, baik aspek teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan, dan aspek kebijakan. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa beberapa usahaternak unggas lokal yang dilakukan secara bersamaan berdasarkan pola trend usaha lebih banyak mendatangkan kompleksitas permasalahan. Hal tersebut terutama yang berkaitan dengan permasalahan penjualan hasil produksi dan fluktuasi harga jual produk yang tinggi, sehingga pada akhirnya
harga
menjadi rendah dan pendapatan peternak tidak sebanding dengan biaya produksi yang dihasilkan, akibatnya para peternak mengalami kerugian di kemudian hari. Kendala dan permasalahan yang menghambat pengembangan agribinis unggas lokal antara lain adalah: (1) Belum adanya sistem seleksi yang baik terhadap unggas unggul lokal baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat peternakan unggas lokal; (2) Belum berkembangnya industri pembibitan unggas unggul lokal; (3) Pakan masih bertumpu pada limbah konsumsi rumah tangga, sedangkan biji-bijian dan limbah industri pengolahan hasil belum dimanfaatkan untuk usahaternak unggas lokal; (4) Kurang tersedianya bahan baku industri pakan perunggasan, sehingga Indonesia masih harus mengimpor bahan baku pakan unggas (jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, dan tepung tulang) yang menyebabkan biaya produksi relatif tinggi; (5) Belum adanya penataan pengembangan sentra-sentra produksi atau kawasan industri unggas lokal; (6) Keterbatasan modal peternak unggas lokal sehingga menghambat pengembangan usaha secara intensif dan skala komersial; (7) Mewabahnya penyakit menular terutama flu burung (Avian Influenza); dan (8) Masalah kompetisi penggunaan komoditas pangan seperti jagung, dedak/bekatul, ubikayu dan kedelai untuk ternak dan unggas komersial. Kendala dan permasalahan pokok pengembangan unggas Lokal terkait dengan kesiapan pabrik pakan ternak adalah sebagai berikut (Utomo, 2012): (1) Kesiapan pabrik pakan (feedmill) dalam menunjang pengembangan unggas lokal, industri akan sedikit banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pasokannya jika usahaternak unggas lokal masih tersebar dengan skala usaha yang sangat kecil; (2) Sedikitnya informasi akan berapa kebutuhan nutrisi dari unggas lokal dari masing-masing strain/spesies yang ada.
Sekali kendala skala usaha dan pola pemeliharaan sudah memenuhi pola usaha
komersial (bukan sambilan) maka akan sangat mudah sekali industri (pabrik) pakan untuk memasok dan memenuhi kebutuhan pasokan tersebut; dan (4) Masih ada idle capacity (35%) pabrik pakan yang ada dan tersebar secara nasional.
14
III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mencakup empat hal pokok yaitu evaluasi kinerja program pengembangan agribisnis unggas lokal, deskripsi rantai pasok komoditas unggas lokal, menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal, menganalisis rantai nilai komoditas unggas lokal, serta merumuskan kebijakan pengembangan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing. Indrajid dan Djokopranoto (2002) mendefinisikan rantai pasokan (supply chain) sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada palanggannya. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang tersebut.
Managemen rantai pasok merupakan
sekelompok alat bantu pendekatan untuk mengintegrasikan efisiensi pemasok (supplier), perusahaan, distributor, toko atau retail, sehingga alat-alat tersebut dapat menghasilkan dan menyalurkan produk dengan jumlah, lokasi dan waktu yang tepat, agar dapat mengurangi biaya keseluruhan sistem rantai pasok sebagai syarat memberikan tingkat kepuasan dalam pelayanan (Levi et al., 2000 dalam Indrajit dan Djokonoto, 2002). Managemen rantai pasok menurut (Heizer & Rander, 2004) yang diacu oleh Siagian (2005) merupakan kegiatan pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah tersebut menjadi barang dalam proses atau barang setengah jadi dan barang jadi kemudian mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi. Manajemen rantai pasokan komoditas unggas lokal (Supply Chain manajemen) adalah pengelolaan arus dan penyimpanan (penampungan) komoditas unggas lokal serta alur informasi yang dibutuhkan dari hilir ke hulu yang ditujukan untuk memuaskan (memenuhi) kebutuhan pelanggan/konsumen (www. wikipedia. com, 2005). Chopra dan Meidl (2007) mengemukakan bahwa rantai pasokan (supply chain) mencakup seluruh pelaku yang terkait dalam sistem produksi serta distribusi dan pemasaran untuk memenuhi permintaan pelanggan. Sejalan dengan definisi tersebut, Daryanto (2008) mengemukakan manajemen rantai pasokan (SCM) merujuk pada manajemen keseluruhan proses produksi, distribusi dan pemasaran dimana konsumen dihadapkan pada produk-produk yang sesuai dengan
15
keinginannya dan produsen dapat memproduksi produk-produknya dengan jumlah, kualitas, waktu dan lokasi yang tepat. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sistem manajemen rantai pasok (SCM) adalah satu kesatuan sistem pemasaran tepadu yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku guna memberikan kepuasan pada pelanggan. Pelaku dalam supply chain antara lain adalah: (1) Produsen baik individu maupun kelompok; (2) Pemasok (supplier); (3) Pengolah (manufacture); (4) Pendistribusi (distributor); (5) Pengecer (retail outlet); serta (6) Pelanggan (customer). Dari sisi permintaan produk yang dihasilkan oleh agribisnis unggas lokal (ayam lokal, itik/bebek, dan puyuh) ke depan, harus disadari bahwa permintaan konsumen semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (consumer’s value perception). Kalau di masa lalu, konsumen hanya mengevaluasi produk berdasarkan atribut utama yaitu jenis dan harga, maka sekarang ini dan di masa yang akan datang, konsumen sudah menuntut atribut yang lebih lengkap dan rinci seperti atribut keamanan produk (safety attributes), atribut nutrisi (nutritional
attributes), atribut nilai (value attributes), atribut pengepakan (package attributes), atribut lingkungan (ecolabel attributes) dan atribut kemanusiaan (humanistic attributes). Dari sisi penawaran, peternak unggas lokal dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan merespons atribut produk yang diinginkan oleh konsumen secara cepat dan efisien baik untuk tujuan konsumen pasar tradisional, pasar modern, dan industri kuliner. Artinya peternak harus mampu menghasilkan produk-produk unggas lokal yang memenuhi dimensi jenis, kuantitas, kualitas, kontinyuitas, cita rasa, serta atribut yang dinginkan konsumen dengan harga yang bersaing. Tujuan managemen rantai pasok bagi kerjasama antar perusahaan di dalam rantai pasok suatu komoditas atau produk adalah: (1) Mengurangi resiko pasar; (2) Meningkatkan nilai tambah, efisiensi dan keunggulan kompetitif; dan (3) Berguna dalam menyusun strategi pengembangan produk; serta (4) Strategi untuk memasuki pasar baru. Sementara itu bagi pedagang pengecer SCM diharapkan dapat biaya operasi, pengadaan, pemasaran, dan biaya distribusi.
Kemampuan untuk menghasilkan produk yang standar dan sistem
distribusi yang efisien akan meningkatkan dayasaing suatu produk di pasar dan dapat menghambat masuknya pelaku baru di pasar.
16
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka pentingnya dibangun kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal yang dapat menjamin sistem pemasaran pada berbagai pola berjalan efisien.
Bila SCM dapat komoditas unggas lokal berjalan
dengan baik minimal terdapat empat keuntungan yang dapat diraih, antara lain adalah : (1) Adanya penambahan nilai yang antara lain meliputi kesesuaian dengan pesanan, ketetapan dalam distribusi, dan kesesuaian dalam pembebanan biaya produksi; (2) Pengurangan biaya transaksi yang berdampak pada timbulnya respon terhadap pasar yang lebih berorientasi pada kepentingan pedagang pengecer (ritel); (3) Pengurangan resiko bisnis unggas lokal, yaitu memberikan jaminan pemasaran produk unggas lokal dan pengembangan modal yang disesuaikan dengan adopsi teknologi serta peningkatan efisiensi maupun penambahan nilai produk unggas lokal yang dihasilkan; dan (4) SCM dalam industri peternakan unggas lokal dapat dijadikan sarana alih teknologi dari perusahaan-perusahaan, pusat pembibitan, dan industri kuliner yang menguasai teknologi modern kepada peternak-peternak kecil sebagai jaringan rantai pasoknya.
Secara ringkas kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.
17
Aspek Produksi Sumberdaya : Kondisi Agroklimat Sumberdaya genetik Sarana dan prasarana pendukung SDM Pelaku Usaha Agribisnis Kelembagaan di tingkat peternak : Kelembagaan Kelompok Ternak Assosiasi Peternak Kelembagaan Pendukung Kelembagaan Penyuluhan Kelembagaan sapronak Permasalahan Aspek Produksi : Sistem usahaternak tradisional Skala usahaternak kecil Adopsi teknologi rendah Belum sistem seleksi bibit dan GAP Efisiensi dan Produktivitas rendah Kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pasokan belum terjamin Kelembagaan peternak Kurangnya informasi dan akses pasar
Kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal pada daerah-daerah sentra produksi yang bersifat ekstensi-tradisional hingga semi intensif, parsial, jangka pendek, tidak berkelanjutan.
Aspek Pemasaran Infrastruktur Pasca Panen dan pemasaran: Pasar Unnggas, Pasar tradisional, Pasar Modern Usaha Penaganan Pasca Panen belum optimal Rendahnya kualitas produk shg belum mampu memenuhi dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen Sarana transportasi belum mendukung Standarisasi dan managemen mutu belum mendukung
Analisis Kelembagaan manajemen rantai pasok : 1. Evaluasi kebijakan agribisnis komoditas unggas lokal 2. Deskripsi pola-pola kelembagaan manajemen rantai pasok produk unggas lokal 3. Melakukan analisis peran dan pola interaksi antar pelaku dalam kelembagaan manajemen rantai pasok produk unggas lokal; 4. Identifikasi permasalahan dan kendala pokok pengembangan manajemen rantai pasok pada produk unggas lokal 5. Merumuskan syarat-syarat membangu kelembagaan manajemen rantai pasok yang efektif dan efisien; 6. Kebijakan pengembangan manajemen rantai pasok produk unggas lokal secara terpadu dan berdataasaing.
Pedagang Pengumpul, Pedagang Besar Pasar (Broker), Perusahaan Mitra, Industri Pemasok Kuliner, Industri Kuliner Ritel, Pedagang Pengecer Pasar
Permasalahan Aspek Pemasaran : Karakteristik pasar modern dan tradisional belum dipahami Kelembagaan pelaku usaha rantai pasok belum efisien Koordinasi berdasarkan harga belum berdasarkan pelaku Sistem informasi rantai pasok belum mendukung Belum mampu mengembangkan rantai pasok menurut segmen pasar.
Pelaku agribisnis unggas lokal yang mampu : 1. Meningkatkan kualitas pelaku usaha 2. Memperkuat usaha secara berkelompok 3. Memanfaatkan peluang pasar 4. Meningkatkan skala dan intensifikasi usaha 5. Meningkatkan keterpaduan antar pelaku Produk unggas lokal pada daerah sentra produksi : 1. Produktivitas tinggi 2. Berkualitas 3. Menciptakan nilai tambah Manajemen Rantai Pasok: 1. Efektif 2. Efisien 3. Berkelanjutan
Kelembagaan manajemen rantai pasok produk unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing : sistem usahaternak unggas lokal intensif, komersial, terintegrasi dengan hulu dan hilir, jangka panjang, berkelanjutan.
Penyempurnaan pengembangan model kelembagaan rantai pasok yang berdayasaing: Berbasis permintaan pasar Berbasis pengaturan produksi Berbasis kelembagaan kemitraan rantai pasok bersifat spesifik
Gambar 1. Kerangka Pikir Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Produk Komoditas Hortikultura
18
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang
lingkup
kegiatan
penelitian
meliputi:
(1)
Evaluasi
kinerja
program
pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal. Kegiatan ini dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi tentang implementasi program-program pembangunan agribisnis unggas lokal yang ada di masing masing lokasi; (2) Deskripsi rantai pasok komoditas unggas lokal dari hulu hingga hilir. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara dengan pelaku terkait yang memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan terhadap pengembangan manajemen kelembagaan rantai pasok unggas lokal; (3) Analisis kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal. Kegiatan yang dilakukan mencakup: pemahasan aturan main antar pelaku dalam kelembagaan rantai pasok, serta saran perbaikan dalam manajemen kelembagaan rantai pasok; dan (4) Analisis rantai nilai komoditas unggas lokal. Fokus kajian mencakup informasi tentang nilai tambah pada masing-masing tingkatan rantai pasok dan distribusinya di antara pelaku, yang diarahkan untuk membangun rantai nilai yang berpihak pada kaum miskin. 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Justifikasi untuk pertimbangan pemilihan lokasi berbeda untuk kedua jenis komoditas yang diteliti karena perbedaan lokasi sentra produksi, pusat-pusat pengembangan, sifat penyebaran dalam satu wilayah, serta tujuan pasarnya. Bisa terkonsentrasi dalam satu wilayah maupun menyebar hampir merata di berbagai wilayah. Berikut adalah justifikasi pemilihan lokasi penelitian untuk setiap komoditas yang diteliti. 3.3.1.1. Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian Ayam Lokal (Buras) Pertimbangan pertama dalam pemilihan lokasi adalah bahwa ayam lokal mempunyai daya adaptasi yang tinggi dalam berbagai bentuk agroklimat sehingga populasi ayam lokal (buras) menyebar di seluruh provinsi dan wilayah dari provinsi sampai ke perdesaan. Namun dari data yang tersedia terlihat bahwa ayam lokal (buras) berkembang semakin baik di wilayah sentra produksi jagung dan padi. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa peternak di sebagian wilayah
tersebut memelihara ayam dengan sistem semi
intensif dan diperkirakan pemeliharaan semakin intensif baik pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan lokasi pusat konsumsi (wilayah urban). Pertimbangan terakhir adalah unit lokasi penelitian analisis untuk ternak unggas lokal yang bersifat semi intensif adalah sebuah desa. Atas dasar itu ditetapkan ketentuan pemilihan lokasi yang memenuhi syaratsyarat sebagai:
19
1.
Wilayah sentra populasi dan produksi dari tingkat provinsi sampai ke desa berdasarkan data sekunder yang tersedia.
2.
Wilayah sentra produksi biji-bijian (grain) khususnya jagung dan padi dengan agroekosistem lahan sawah dataran rendah, lahan kering, dan pantai.
3.
Wilayah yang berada dekat dengan pusat-pusat konsumsi (urban) atau wilayah yang mempunyai fasilitas transportasi yang mudah ke wilayah konsumsi atau wilayah yang mempunyai kelembagaan pasar yang relatif maju.
4.
Terdapat kelembagaan kelompok ternak unggas lokal dan atau kelembagaan kemitraan usaha unggas lokal.
3.3.1.2. Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian Itik Pemilihan lokasi penelitian itik yang diusahakan secara semi intensif mengikuti prosedur yang sama dangan ayam lokal (buras) yang dipelihara semi intensif tetapi tidak sampai kepada unit lokasi desa, mengingat pemeliharaan itik semi intensif tidak terpusat dalam suatu wilayah sehingga lokasi akan mengikuti sebaran responden. Demikian juga dengan pemilihan lokasi penelitian untuk itik intensif akan sangat ditentukan oleh sebaran responden yang dapat bersifat lintas desa, kecamatan, dan bahkan kabupaten. 3.3.1.3. Dasar Pertimbangan Pemilihan Responden Pada dasarnya penelitian ini mencakup masalah pengembangan ternak unggas lokal yang sebagian besar diusahakan oleh masyarakat di perdesaan, karena itu jenis responden penelitian ini akan mencakup individu responden dan responden intitusi sebagai berikut: 1. Peternak unggas lokal terdiri atas : 1)
Peternak Ayam Lokal (Buras) a. Peternak ayam lokal (buras) semi intensif yang berada dalam desa/kecamatan terpilih, dengan skala usaha sekitar 25-100 ekor. b. Peternak
ayam buras intensif yang berada dalam wilayah propinsi terpilih,
dengan skala usaha lebih dari 100 ekor. Kelompok intensif dibedakan berdasarkan kategori tujuan usaha yakni
petelur, pedaging, penangkar atau kombinasi
tergantung seberapa pemisahan itu terjadi dalam pengusahaannya. 2)
Peternak Itik/Bebek a. Peternak itik/bebek semi intensif yang berada dalam desa/kecamatan terpilih, dengan skala usaha kurang dari 50-100 ekor. b. Peternak itik intensif yang berada dalam wilayah propinsi terpilih, dengan skala usaha lebih dari 100 ekor. Kelompok itik intensif dibedakan berdasarkan kategori
20
tujuan usaha yakni petelur, pedaging, penangkar atau kombinasi sejauh terjadi pemisahan usaha di lapang. 2. Pedagang Hasil Ternak Unggas Lokal yang terdiri atas (PHTL) 1)
Pedagang Telur Ayam Buras (P-TAB) a. Pedagang Pengumpul Desa b. Pedagang Pengumpul Pasar c. Pedagang Besar/Broker/Supplier d. Pedagang Eceran Pasar Desa/Kecamatan
2)
Pedagang Ayam Buras (P-AB) a. Pedagang Pengumpul Desa b. Pedagang Pengumpul Pasar c. Pedagang Besar/Broker/Supplier d. Pedagang Eceran Pasar Desa/Kecamatan
3)
Pedagang Itik/Bebek (P-I) a. Pedagang Pengumpul Desa b. Pedagang Pengumpul Pasar c. Pedagang Besar/Broker/Supplier d. Pedagang Eceran Pasar Desa/Kecamatan
3. Kelembagaan kelompok ternak/organisasi/assosiasi unggas lokal 4. Dinas Peternakan Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan pada lokasi terpilih 3.3.2. Lokasi dan Responden Untuk Desa Ayam Buras (Semi Intensif). Langkah pertama dalam setiap provinsi adalah mengelompokkan kabupaten dalam dua zone yakni zone lahan sawah dan lahan kering. Dari setiap zone dipilih sebuah kabupaten yang mempunyai jumlah ayam buras terbanyak. Dalam setiap kabupaten terpilih desa urban dan desa non urban yang relatif mempunyai ayam buras terbanyak. Kemudian dari setiap desa akan dipilih 5 orang peternak yang memelihara ayam buras kurang dari 100 ekor. Untuk Usaha Ayam Lokal (Buras) Intensif. Pemilihan lokasi mengikuti pola pemilihan untuk ayam semi intensif. Namun demikian, kemungkinan lokasi tidak menentukan karena jumlah usaha ayam buras intensif yang sedikit dan tersebar di seluruh provinsi atau sebagian tersebar dalam jumlah banyak dalam satu kabupaten. Karena itu pemilihan lokasi jika syarat-syarat tidak dapat dipenuhi maka pemilihan lokasi bedasarkan sebaran jumlah usaha ayam lokal (buras)
dan jumlah responden yang dibutuhkan. Jumlah responden
minimal 5 usaha ternak ayam buras dalam satu propinsi (Kecuali DIY Yogyakarta) yang
21
dibedakan berdasarkan kategori skala
usaha dan jenis kelembagaan (mandiri dan
kemitraan). Untuk Itik semi intensif dan intensif mengikuti pola pada pemilihan lokasi untuk ayam lokal (buras).
Pemilihan lokasi cukup menentukan karena jumlah usaha itik semi
intensif dan intensif relatif cukup memadai dan relatif terkonsentrasi pada provinsi dan kabupaten tertentu.
Oleh karena itu, pemilihan lokasi harus memenuhi sarat-sarat
bedasarkan daerah sentra produksi, ketersediaan jumlah peternak Itik semi intensif dan intensif secara memadai, dan pelaku usaha lain dalam rantai pasok cukup memadai.
Tabel 1. Distribusi Jumlah Contoh Menurut Kategori Contoh untuk Kegiatan Analisis Manajemen Rantai Pasokan Komoditas Unggas Lokal Uraian
Jawa Timur
DIY
1. 2. 3. 4. 5. 6.
20 4 2 4 2 4
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Total
Peternak unggas lokal Kelompok Ternak Organisasi/assosiasi peternak Pedagang Pengumpul Perusahaan Besar /Supplier Retail Outlet (Supermarket/hyper market, pengecer pasar) Pengusaha pasca panen (TPA/RPA/RPU) Industri Kuliner (Restaurant/Rumah Makan) BPS Provinsi/Kabupaten Dinas Peternakan Provinsi/Kabupaten BPTP Perguruan Tinggi/Universitas
Total
20 4 2 4 2 4
Kalimantan Selatan 20 4 2 4 2 4
2
2
2
6
4
4
4
12
2 2
2 2
2 2
6 6
1 1
1 1
1 1
3 3
48
48
48
144
60 12 6 12 6 12
3.4. Data dan Metoe Analisis 3.4.1. Jenis dan Sumber Data Sumber data dapat dikelompokkan menjadi sumber data primer (primary data
sources) dan sumber data sekunder (secondary data sources). Data primer dikumpulkan dengan menggunakan prosedur pengambilan contoh (sampling) dalam suatu survey penelitian. Dalam penelitian ini selain dikumpulkan dengan metode survey, juga dengan metode semi partisipatif untuk menangkap informasi kualitatif secara lebih mendalam terutama yang berkaitan dengan kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal.
22
Tabel 2. Jenis Data Sekunder dan Sumber Data Sekunder No. 1.
Jenis data sekunder Data dan informasi tentang kebijakan pengembangan agribisnis perunggasan khususnya unggas lokal dan peraturan peraturan tentang kemitraan usaha perunggasan khususnya unggas lokal Juklak dan Juknis tentang program pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha perunggasan Data dan informasi tentang inventarisasi kemitraan usaha perunggasan Data perusahaan peternakan (perusahaan pembibitan, perusahaan peternakan, pedagang, industri pengolah) komoditas atau unggas lokal Data petani/kelompok tani peternakan unggas lokal Data kapasitas sumberdaya peternakan (sumberdaya genetik) unggas lokal
Sumber data sekunder Ditjen Bina Produksi Peternakan, Biro Perencanaan Deptan, Sekjen Deptan.
8.
Perkembangan populasi komoditas unggas lokal
9.
Kelembagaan pasar input, pasar output, serta kelembagaan penunjang (layanan informasi, teknologi, dan permodalan) Data informasi tentang pelaksanaan program/proyek pengembangan agribisnis unggas lokal
Ditjen Peternakan, BPS, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPP/KCD/PPL
2. 3. 4.
5. 6.
10.
11. 12. 13. 14.
15.
dan
produksi
Perkembangan harga bulanan di tingkat produsen, perdagangan besar dan konsumen untuk komoditas unggas lokal terpilih Perkembangan perdagangan antar wilayah, ekspor dan impor komoditas perunggasan Data dan informasi sebaran kelembagaan peternakan, kelembagaan ekonomi, dan jumlah pedagang hasil perunggasan Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal Berbagai bahan atau studi yang berkaitan pengembangan kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal di lokasi penelitian
Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Kabupaten, BPTP. Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPTP. Ditjen Peternakan, BPS, Dinas perindustrian perdagangan dan koperasi, Dinas Peternakan, BPTP, dan Kadin Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPTP Dinas Peternakan, BPS/Kantos Statistik
Ditjen Peternakan, Pultitbangnak, Balitnak Ciawi, Dinas Peternakan Provinsi, dan Dinas Peternakan Kabupaten BPS, Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Dinas Perdagangan BPS, Ditjen Peternakan, dan organisasi/assosiasi pelaku agribisnis perunggasan BPS, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, assosiasi pelaku agribisnis perunggasan Puslitbangnak, Balitnak, Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Kadin
Sumber data sekunder (secondary data sources) adalah data yang sudah dipublikasikan dan dikumpulkan untuk “tujuan yang lain” daripada tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Secara terperinci data sekunder dan data primer yang dibutuhkan dapat disimak pada Tabel 2 dan 3.
23
Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sumber Data Primer No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
Jenis data primer Karakteristik rumah tangga peternak Penguasaan sumberdaya lahan dan ternak unggas lokal Pola dan Siklus Usahaternak Sistem usahaternak komoditas unggas lokal dan tingkat adopsi teknologi usahaternak unggas lokal Struktur input dan output usahaternak unggas lokal Biaya dan keuntungan usahaternak unggas lokal Persepsi peternak unggas lokal tentang proses managemen dan manfaat Manajemen Rantai Pasok Peternakan Unggas Lokal Persepsi pelaku usaha agribisnis unggas lokal tentang proses managemen dan manfaat melakukan kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal Karakteristik pasar modern dan tradisional, industri kuliner
10.
Pola-Pola kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal
11.
Pola interaksi dan aturan main (rules of the game) dalam kelembagaan manajemen rantai
12.
13.
14.
pasok hortikultura Kinerja kelembagaan pasok unggas lokal
manajemen
rantai
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal baik teknis, ekonomi, managemen-kelembagaan, dan aspek kebijakan Data dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilaksanakan
Sumber data primer Peternak unggas lokal Peternak, pamong desa, PPL/KCD/BPP, ketua kelompok peternak Peternak unggas lokal, kelompok ternak unggas lokal Peternak unggas lokal, Kelompok Ternak Unggas Lokal, BPP/KCD/PPL Peternak unggas lokal, kelompok ternak unggas lokal Peternak unggas lokal, kelompok ternak unggas lokal Peternak unggas lokal, Kelompok ternak unggas lokal, Perusahaan unggas lokal, pedagang, assosiasi peternakan, Pasar Hewan/Unggas, Koperasi, TPA/RPA/RPU dan informan kunci lainnya Kelembagaan pasar modern (supermarket, perusahaan pengolah), pedagang pasar, dan industri kuliner Ditjen Peternakan, Perusahaan Inti, Dinas Peternakan, BPP/KCD/PPL, Kelompok peternak Kelompok ternak unggas lokal, Perusahaan mitra, Dinas Peternakan, BPP/KCD/PPL Kelompok ternak unggas lokal, Perusahaan Mitra, Dinas Peternakan, Pedagang/Industri Pemasok kuliner, Industri Kuliner Peternak unggas lokal, Kelompok Ternak, Dinas peternakan, BPP/KCD/PPL, Pelaku tataniaga, Supermarket, Perusahaan mitra/inti, Industri pemasok kuliner, Industri kuliner Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, dan instansi terkait lain
3.4.2. Analisis Data Data kuantitatif
terkait dengan aspek supply chain management (SCM) akan
dianalisis dengan menggunakan alat analisis statistik dan ekonometrik, sedangkan data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif. Alur kelembagaan rantai pasok, ditelusuri pada seluruh pelaku rantai pasok mulai dari peternak unggas lokal hingga berbagai tujuan pasar.
Di samping itu dilihat juga rantai
pasok penyedia sarana produksi peternakan terutama benih/bibit, pakan, pembiayaan serta
24
sistem
penunjang
lainnya
seperti
kebijakan
pemerintah
daerah,
penelitian
dan
pengembangan, serta penyuluhan peternakan. Penelitian ini merupakan kajian terhadap kelembagaan manajemen rantai pasok sehingga analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan manajemen rantai pasok dan analisis pemasaran pada setiap mata rantai pasok komoditas unggas lokal.
Analisis
kelembagaan manajemen rantai pasok ditujukan untuk melihat pola interaksi antar pelaku dan kinerja manajemen rantai pasok, sedangkan analisis pemasaran untuk melihat keterpaduan komoditas atau produk unggas lokal.
Dengan demikian pendekatan studi
dalam penelitian ini adalah studi kasus pada berbagai kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal terpilih dengan fokus kajian untuk tujuan pasar modern dan tradisional.
Aliran komoditas atau produk diikuti dengan pendekatan snowbolling untuk
setiap rantai pasok. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
Analisis Evaluasi Kinerja Program Pengembangan Agribisnis Ungas Lokal Analisis kebijakan ialah proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk hasilhasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan publik (Williams, 1971; Weimer and Vining, 1989; Weimer and Vining, 1999). Kebijakan publik ialah keputusan atau tindakan pemerintah yang berpengaruh terhadap atau mengarah tindakan individu dalam kelompok masyarakat. Analisis evaluasi kinerja kebijakan pengembangan agribisnis komoditas unggas lokal akan dilakukan secara deskriptif kualitatif dan . Kajian akan difokuskan pada implementasi program-program pembangunan agribisnis unggas lokal yang ada di masing-masing lokasi.
Deskripsi Rantai Pasok Komoditas Unggas Lokal dari Hulu hingga Hilir Para perancang kegiatan kelembagaan kemitraan rantai pasok (supply chain
management) komoditas unggas lokal harus memahami bahwa banyak pelaku yang terlibat dan memiliki kepentingan yang berbeda dalam pengembangan agribisnis unggas lokal. Dengan demikian tahap awal yang perlu dilakukan dalam mengkaji kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal yang efektif dan efisien adalah dengan menetapkan siapa saja pelaku yang berkepentingan dan memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan pengembangan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal. Tahapan identifikasi pelaku ini dapat dilakukan dengan menggunakan konsep analisis pelaku.
Melalui metode ini penjaringan seluruh pelaku yang berpengaruh dan
berkepentingan memungkinkan untuk dapat dilakukan. Penjaringan dari sekian banyak
25
pelaku sehingga menghasilkan beberapa pihak yang benar-benar memiliki derajad kepentingan dan pengaruh cukup tinggi sampai tinggi.
Analisis ini dipergunakan untuk
mengkaji seberapa besar tingkat pengaruh dan tingkat kepentingan dari setiap pelaku terhadap kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal di lokasi penelitian. Tahapan dalam analisis pelaku adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi pelaku kunci dalam keseluruhan rantai pasok; (2) Menganalisis kepentingan (interest) dan dampak potensial pada pelaku-pelaku usaha; (3) Menganalisis tingkat pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (importance) pada masing-masing pelaku.
Analisis Kelembagaan Manajemen Rantai Pasok Unggas Lokal Untuk mendorong penguatan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal, maka terdapat beberapa pelaku ekonomi yang tercakup yaitu kelembagaan pada sub sistem pengadaan sapronak, usaha produksi (kelompok ternak), kelembagaan penaganan pasca panen dan industri pengolahan, dan kelembagaan distribusi dan pemasaran.
Mengacu pada berbagai pendapat yang membahas tentang kelembagaan,
maka untuk membahas kelembagaan ada beberapa aspek yang harus dilihat yaitu pelaku sekaligus dengan status dan perannya, juga aturan main yang berlaku dan dikonstruksi oleh para pelaku. Selain itu, dengan mengacu pada konsep kelembagaan yang diajukan oleh Gilin dan Gilin (1954) tentang tingkat kemantapan tertentu dari kelembagaan, Horton dan Hunt (1984) tentang rutinisasi dari kelembagaan, dan Uphoff (1986) yang menyatakan bahwa kelembagaan sebagai pola perilaku yang stabil, dihargai dan berlaku dalam waktu yang lama, maka bagian pokok lainnya yang penting untuk diperhatikan dalam pembahasan mengenai kinerja kelembagaan adalah tentang pola-pola perilaku atau pola interaksi yang terjalin antar pelaku dalam suatu kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal. Pembahasan tentang pelaku bukan hanya mencakup pelaku individu maupun organisasi, namun dalam keterlekatannya dengan masyarakatnya.
Peternak selaku
produsen dalam rantai pasok ini, merupakan titik tolak dalam melihat keseluruhan pelaku rantai pasok yang ada. Analisis mengenai pelaku dan pola perilakunya akan terkait dengan posisi dan perannya masing-masing sangat ditentukan oleh penguasaan aset, akses dan aktivitasnya (Scoones, 1984 dalam Saptana dkk., 2006). Pembahasan mengenai aturan main, akan melihat aturan main yang ada, bagaimana aturan main tersebut dikonstruksi oleh para pelaku, pelaku mana yang menjadi penentu aturan main, pelaku mana yang memperoleh manfaat terbesar (diuntungkan) oleh aturan main yang berlaku. Juga akan digali mengenai kemungkinan adanya perubahan aturan main yang berlaku, bagaimana dan mengapa proses perubahan itu terjadi.
26
Pembahasan tentang pola perilaku, dalam konteks ini akan mempelajari dan menganalisis kemampuan pelaku mengenali dan memahami pasar, memenuhi keinginan dinamika pasar dan preferensi konsumen, melakukan manajemen aktivitas dan usahanya. Terkait dengan tujuan penelitian mengenai kelembagaan manajemen rantai pasok maka penting pula untuk dipelajari kemampuan pelaku membuat jaringan dengan pelaku lain, menjaga komitmen (mentaati aturan main yang berlaku), dan mengembangkan usahanya dalam satu kesatuan rantai pasok. Analisis ini dipergunakan untuk mengkaji lebih jauh tentang struktur, peran dan fungsi, aturan main (rule of the game), pola interaksi atau sistem koordinasi antar pihakpihak yang bermitra dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas unggas lokal. Dengan analisis kelembagaan manajemen rantai pasok diharapkan dapat dibangun sistem koordinasi yang efektif antar pihak-pihak dalam satu kesatuan manajemen rantai pasok, sehingga dapat dibangun kelembagaan manajemen rantai pasok secara terpadu. Analisis managemen akan difokuskan pada lima komponen manajemen pada masing-masing pelaku rantai pasok komoditas unggas lokal, yaitu perencanaan (planning), sumber barang (sourching), pengolahan (manufacturing), pengiriman (delivery), dan penerimaan barang (receiving) pada masing-masing rantai pasok. Manajemen perencanaan di arahkan untuk pengembangan sebuah strategi untuk mengatur seluruh sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Manajemen perolehan komoditas unggas lokal (sourcing) merupakan proses memilih pemasok (supplier) yang akan mengirim komoditas unggas lokal yang dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Analisis manajemen sourcing mencakup juga masalah penentuan harga, pengiriman dan proses pembayaran dengan supplier dan bagaimana menjaga dan meningkatkan hubungan baik. Manajemen pengolahan (manufacturing) mencakup kegiatan produksi, tes produk, pengemasan dan persiapan untuk pengiriman. Tolok ukur terpenting yang menjadi bagian insentif supply chain adalah tingkat kualitas dan hasil produksi. Pengiriman (delivery), sering kali disebut juga logistik merupakan sebuah proses bisnis yang melibatkan pergerakan fisik dari komoditas unggas lokal yang berada dalam satu jalur supply chain.
Dalam analisis supply chain management seringkali muncul seperti
bahan mentah telah berubah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi dan selanjutnya bergerak ke arah konsumen.
Beberapa penyedia jasa logistik memberi
tambahan service seperti pergudangan, persiapan untuk promosi produk, dan pengepakan kembali.
27
Analisis Rantai Nilai Konsep Value Chain Analysis (VCA) adalah bagaimana mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam suatu rantai nilai dan membagi informasi secara transparan di dalam rantai untuk memperoleh efisiensi proses aliran produk dan keuntungan yang adil bagi setiap pelakunya (Andri dan Stringer, 2010). Pemikiran rantai nilai belum lebih memfokuskan kepada bagaimana menghasilkan lebih banyak keuntungan dengan meningkatkan nilai tambah. Peningkatan biaya produksi, biaya prosesing atau biaya pengepakan bukan merupakan permasalahan utama
sepanjang konsumen dapat
memberikan nilai dengan kemauan untuk membayarnya. Penambahan nilai suatu produk adalah semua aktivitas yang dilakukan tentang bagaimana menghasilkan keuntungan lebih dari produk yang dihasilkan. Rantai nilai dapat dianalisis dari sudut pandang pelaku yang terlibat di dalamnya. Analisis rantai nilai dapat membantu merancang program untuk memberikan dukungan terhadap suatu rantai nilai tertentu, untuk dapat mencapai hasil pembangunan yang diharapkan (ACIAR, 2012). Beberapa contoh hasil pembangunan yang diharapkan mencakup: (a) dapat mengakses pasar modern, (b) dapat mengakses pasar ekspor, (c) penciptaan lapangan kerja untuk petani kecil, (c) pemberian manfaat bagi kelompok masyarakat miskin, (d) memprioritaskan penggunaan bahan baku lokal, (e) pemusatan manfaat pembangunan di daerah yang masih tertinggal. Analisis rantai nilai dapat diarahkan untuk membangun rantai nilai yang lebih berpihak pada kaum miskin. Oleh karena itu, berbagai alat yang digunakan dalam analisis diarahkan pada upaya menganalisis rantai nilai dari sudut pandang kaum miskin. Terdapat dua tujuan akhir peningkatan rantai nilai untuk kaum miskin. Pertama, meningkatkan keseluruhan jumlah dan nilai produk yang dijual kaum miskin di dalam rantai nilai. Hal ini akan mengakibatkan diperolehnya pendapatan absolut yang lebih tinggi bagi kaum miskin serta bagi para pelaku lainnya dalam rantai nilai. Kedua, mempertahankan bagian kaum miskin dalam sektor usaha tertentu atau meningkatkan margin persatuan output sehingga kaum miskin tidak hanya memperoleh pendapatan absolut namun sekaligus pendapatan relatif dapat ditingkatkan. Kaplinsky dan Morris (2001) mengemukakan terdapat empat aspek analisis rantai nilai di sektor pertanian yang dianggap penting. Pertama, di tingkat paling bawah, suatu analisis rantai nilai secara sistematis memetakan para pelaku yang berpartisipasi dalam produksi, distribusi, pemasaran, dan penjualan suatu produk tertentu. Pemetaan ditujukan untuk mengkaji karakteristik berbagai pelaku, struktur usaha, aliran produk sepanjang
28
rantai, karakteristik tenaga kerja, serta tujuan dan volume penjualan domestik dan ekspor (Kaplinsky dan Morris 2001). Kedua, analisis rantai nilai dapat memainkan peran penting dalam mengidentifikasi distribusi manfaat bagi para pelaku dalam rantai nilai. Melalui analisis margin dan keuntungan, di dalam rantai nilai, dapat dilihat siapa saja yang memperoleh manfaat dari partisipasi dalam rantai nilai dan pelaku mana yang dapat memperoleh manfaat dari dukungan atau pengorganisasian yang lebih baik. Hal ini khususnya penting dalam konteks sektor peternakan tradisonal di perdesaan, mengingat bahwa kaum miskin rentan terhadap proses globalisasi (Kaplinsky dan Morris 2001). Ketiga, analisis rantai nilai dapat digunakan untuk mengkaji peran peningkatan (upgrading) dalam rantai nilai. Peningkatan dapat mencakup peningkatan dalam hal kualitas produk, desain produk, diversifikasi produk dalam lini produk yang dilayani, yang memungkinkan produsen mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi. Analisis terhadap proses peningkatan mencakup adanya kajian atas seberapa besar keuntungan yang dapat diperoleh para pelaku di dalam rantai nilai dan informasi tentang keterbatasan yang ada. Selain itu, struktur regulasi, hambatan untuk masuk, pembatasan perdagangan, dan berbagai jenis standar yang harus dipenuhi juga dapat membentuk dan mempengaruhi lingkungan tempat terjadinya peningkatan. Terakhir, analisis rantai nilai menggaris bawahi peran tata kelola dalam rantai nilai, yang dapat bersifat internal maupun eksternal. Tata kelola dalam suatu rantai nilai mengacu pada struktur hubungan dan mekanisme koordinasi yang terjadi antara para pelaku dalam rantai nilai. Tata kelola merupakan konsep yang luas yang pada dasarnya memastikan bahwa interaksi antara para peserta di dalam rantai nilai telah terorganisir dengan baik. Umumnya, tata kelola dalam rantai nilai terjadi ketika beberapa pelaku dalam rantai nilai bekerja dengan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pelaku lainnya dalam rantai nilai tersebut, misalnya standar mutu atau ketepatan waktu pengiriman dan volume yang ditetapkan oleh industri pengolahan. Aturan-aturan komersial yang mengatur hubungan bisnis dalam rantai nilai global ataupun lokal dapat membatasi atau menghambat peran kaum miskin, namun dapat pula menciptakan pembelajaran yang penting serta peluang peningkatan kinerja usaha yang digelutinya. Dari sudut pandang kebijakan, tata kelola eksternal merupakan hal penting, dengan mengidentifikasi pengaturan kelembagaan yang mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemampuan di dalam rantai nilai, misalnya penelitian dan pengembangan, memperbaiki bekerjanya mekanisme pasar, menghapuskan distorsi pasar, menghapuskan gangguan distribusi, dan meningkatkan nilai tambah. Dengan
29
pemahaman secara sistematis atas keterkaitan dalam rantai tersebut, kita dapat menguraikan rekomendasi kebijakan dengan lebih baik. Beberapa
tahapan
dalam
pelaksanaan
VCA
adalah:
(1)
Mengindentifikasi
permasalahan dan peluang pengembangan komoditas atau produk dalam rantai pasok; (2) Mengetahui keinginan pasar, menentukan tujuan yang ingin dicapai, sebagai contoh: (i) membantu produsen/petani untuk masuk pasar modern, (ii) memahami kondisi/kebijakan distribusi, peran pelaku dalam rantai, peluang kerja, kompetisi pasar, (iii) memahami peran perusahaan agribisnis/agroindustri, serta (iv) memahami bentuk partisipasi dari pelaku rantai pasok terkait dengan ukuran, standar, kualitas; (3) Pemahaman preferensi pelaku pengguna kunci/pengguna komoditas unggulan terpilih. Beberapa sumber informasi yang dapat digunakan antara lain: (i) petani/kelompok tani, (ii) perusahaan pengolahan/agroindustri, (iii) pedagang pengumpul, (iv) pedagang besar/supplier, (v) pedagang besar pasar induk, (vi) pedagang pengecer pasar tradisional, (vii) ritel pasar modern (super market/hypermarket). Analisis Pemasaran Rantai Pasok Komoditas Unggas Lokal Analisis pemasaran akan dilakukan pada setiap rantai pasok (supply chain) dengan menfokuskan pada structure, performance, and conduct dari sistem pemasaran. Analisis pemasaran akan difokuskan pada analisis saluran atau rantai pemasaran dan analisis pasar yang mencakup stucture-conduct-performance. Analisis ini mencakup analisis saluran atau rantai pemasaran, struktur dan perilaku pasar, serta analisis keragaan dan margin pemasaran dengan fokus untuk tujuan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner.
Analisis Saluran Pemasaran Kegiatan pemasaran komoditas atau produk unggas lokal merupakan jembatan antara petani produsen dengan berbagai tingkat pelaku tataniaga (pedagang pengumpul, bandar/pedagang besar kecamatan, pedagang besar kabupaten, pedagang besar propinsi, supplier dan pedagang pengecer-supermarket, dan industri kuliner) hingga sampai ke konsumen akhir.
Apabila hubungan antara produsen dengan pelaku tataniaga hingga
konsumen bisa dipandang sebagai suatu aliran komoditas maka akan dapat kita lihat permasalahan yang menyebabkan lemahnya keterkaitan satu dengan lainnya pada pasar modern dan tradisional.
Analisis struktur dan perilaku pasar. Struktur dan perilaku pasar akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Beberapa indikator digunakan untuk menentukan struktur pasar komoditas unggas lokal yang terbentuk: (1) jumlah dan skala dari pelaku tataniaga atau perusahaan yang ada di
30
pasar, (2) bagaimana sistem jaringan kerja antar pelaku, (3) bagaimana tingkat konsentrasi pasar, (4) tingkat defferensiasi produk, (5) tingkat integrasi antar pelaku baik secara vertikal maupun secara horisontal; (6) ada tidaknya hambatan masuk dan keluar pasar; dan (7) cakupan dan skala ekonomi. Derajad konsentrasi pasar dapat dilihat pada derajad pemusatan pedagang dengan menggunakan perhitungan nilai Indeks Herfindahl (Ferguson, 1995). Indeks ini akan mengukur tingkat konsentrasi pasar yang terjadi dengan menghitung penjumlahan hasil kuadrat dari fungsi pasar setiap pedagang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: IH = S12 + S22 + ........ + Sn2 Dimana :
S = pangsa pasar setiap pedagang N = jumlah pedagang IH = Indeks herfindahl
Jika IH mendekati 1 menunjukkan bahwa pasar semakin terkonsentrasi, jika IH = 1 menunjukkan bahwa pasar diikuasai oleh satu pedagang, sedangkan jika IH mendekati 0 menunjukkan bahwa pasar semakin kompetitif. Perilaku pasar (market conduct) mencakup perilaku persaingan dan perilaku kerjasama antar pelaku dalam kelembagaan manajemen rantai pasok untuk tujuan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner. Perilaku dalam persaingan dapat direfleksikan dalam kebijakan penetapan harga, tingkat output yang dihasilkan dan dipasarkan, pengembangan produk, promosi produk, dan volume penjualan. Sementara itu perilaku dalam kemitraan direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar pelaku. Dengan demikian perilaku pasar dapat diukur juga dengan menggunakan tingkat integrasi pasar. Korelasi harga produk unggas lokal ditingkat peternak dan ditingkat pasar dianalisis dengan menggunakan model integrasi Ravallion dan Heytes (1986), seperti yang dikemukakan Hutabarat (1988). Pada model integrasi Ravallion dan Heytes dibangun suatu model
yang menunjukkan bahwa harga komoditas atau produk unggas lokal ditingkat
peternak merupakan fungsi dari harga produk unggas lokal di tingkat peternak tahun sebelumnya dan harga produk unggas lokal di tingkat pengecer pada tahun sebelumnya. Secara matematis model integrasi pasar Ravallion dan Heytes adalah sebagai berikut: Pft = (1+b1) Pft-1 + b2 (Prt – Prt-1) + (b3 – b2) Prt-1 + et Dimana : Pft = harga di tingkat petani produsen pada waktu t Pft-1 = harga di tingkat petani produsen pada waktu t – 1 Prt = harga di tingkat pengecer pada waktu t Prt-1 = harga di tingkat pengecer pada waktu t – 1
31
Koefisien (1 + b1) dan (b3 – b1) menggambarkan berturut-turut kontribusi harga produk unggas lokal periode sebelumnya di tingkat peternak dan harga produk unggas lokal periode sebelumnya di tingkat pasar pengecer terhadap harga produk ungas lokal di tingkat peternak saat ini. Untuk menangkap besarnya pengaruh kedua variabel tersebut terhadap harga di tingkat petani/peternak, Timmer (1987) mengembangkan suatu indeks hubungan pasar yang dikenal dengan nama IMC (Index of Market Conection), merupakan rasio dari koefisien dua variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat petani/peternak, yaitu (1 + b1)/( b3- b1). Apabila nilai indeks IMC = 0 yaitu b1 = -1, dikatakan pasar terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~, yaitu jika b1 = b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi. Untuk melengkapi informasi perilaku pasar akan dilakukan analisis perkembangan harga bulanan.
Keragaan Pasar dan Analisis margin Pemasaran Keragaan pasar (market performance) mencakup tingkat efisiensi teknis (processes) dan efisiensi alokatif (inputs, resource use), margin pemasaran, kapasitas penggunaan atau pemanfaatan, proses inovasi dan insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk, dan kepuasan konsumen). Dahl dan Hamond (1977) menyatakan bahwa marjin pemasaran menggambarkan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga-harga yang diterima produsen. Termasuk dalam marjin pemaasaran adalah seluruh biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga (marketing cost) dan keuntungan yang diterima pelaku tataniaga (marketing profit) mulai dari pintu gerbang produsen ke konsumen akhir. Secara matematis digunakan rumus sebagai berikut: M= Dimana :
m
n
i 1
j 1
Ci j M = marjin pemasaran Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m) m = jumlah jenis pembiayaan
j = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j = 1,2,3, …,;n n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian dalam proses pemasaran tersebut. Dengan menggunakan persamaan ini dimana rata-rata Ci dan j melalui survey, maka
dikumpulkan
marjin pemasaran dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang
diterima peternak produsen dari harga pedagang besar atau pengecer baik untuk tujuan pasar modern maupun pasar tradisional dapat ditentukan.
32
Dari hasil analisis diatas, hasil pendalaman studi, serta studi pustaka maka akan dicoba dirumuskan beberapa alternatif kebijakan pengembangan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas unggas lokal secara terpadu dan berdayasaing. IV. ANALISIS RISIKO 4.1. Daftar risiko, penyebab dan dampak No 1
Risiko Komposisi tim kurang optimal
Penyebab Terkonsentrasi pada kelompok tua
2
Tugas-tugas kantor untuk kegiatan non penelitian bersifat dadakan dan sporadis Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
Tuntutan pekerjaan dari atas yang kurang terjadwal dengan baik
3
4
Perkembangan agribisnis unggas lokal belum meluas Serangan penyakit flu burung pada unggas lokal
5
Perubahan lingkungan yang mengharuskan dilaksanakan justifikasi perubahan anggaran Pengembangan agribisnis unggas lokal masih terbatas Pengusahaan dilaksanakan secara tradisional dan menyebar
Dampak Daya eksplorasi dan jelajah lapangan kurang sehingga informasi yang dikumpulkan menjadi kurang luas dan mendalam Mengganggu pelaksanaan kegiatan penelitian
Ketepatan perencanaan dan pelaksanaan terganggu sehingga dapat memperlambat pelaksanaan Kesulitan mencari lokasi untuk bench marking studi manajemen rantai pasok Banyak unggas lokal di daerah sentra produksi mati secara masal sehingga pengumpulan data terganggu
4.2. Daftar Penanganan Risiko No 1 2
Risiko Komposisi anggota tim tidak optimal Tugas-tugas kantor yang sporadis
3
Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
4
Pengembangan agribisnis unggas lokal masih terbatas
5
Serangan penyakit flu burung pada unggas lokal
33
Penanganan Membuat rencana kerja secara rinci dan menjaga kekompakan tim Mengatur pembagian tugas dan tanggungjawab diantara tim pelaksana penelitian Membuat perencanaan penelitian dengan strategi Plan-A dan Plan-B, sehingga jika terjadi perubahan anggaran tinggal dilaksanakan salah satu dari plan tersebut Akan diusahakan pemilihan lokasi yang telah melaksanakan SCM produk unggas lokal secara terpadu Pengambilan lokasi pada daerah sentra produksi yang tidak terserang atau terserang ringan flu burung
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN 5.1. Susunan Tim Pelaksana No.
Nama
Gol.
1. 2. 3. 4. 5.
Dr. Saptana Ir. Wahyuning Kusuma Sejati MSi Ir. Sri Wahyuni, MS Ir. Jefferson Situmorang, MS Rangga Ditya Yofa, SP
IV/d IV/b IV/e IV/a IIIa
Jabatan Fungsional/ Bidang Keahlian Peneliti Utama Peneliti Madya Peneliti Utama Staf Peneliti Staf Peneliti
Kedudukan dalam Tim Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota
5.2. Jadual Pelaksanaan Kegiatan
1
2
3
4
1. Persiapan: -Studi Pustaka -Pembuatan / penyempurnaan proposal - Penyusunan kuesioner 2. Pengumpulan data 3. Pengolahan dan Analisa data 4. Penulisan laporan 5. Seminar 6. Perbaikan laporan 7. Laporan akhir 8. Penggandaan
34
5
Bulan 6 7
8
9
10
11
12
DAFTAR PUSTAKA Andri, K.B. dan R. Stringer. 2010. Panduan Pedoman Pelaksanaan Penerapan VCA (Analisa Rantai Nilai) untuk Staf Peneliti BPTP dan BBP2TP. Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian. Bogor. Andayani. D, M. Yanis dan B. Bakrie. 2001. Perbandingan Produktiitas Itik Mojosari dan Itik Lokal Pada Pemeliharaan Secara Intensif di DKI Jakarta. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor. Chopra, S. Dan P. Meindl. 2007. Supply Chain Management : Strategi Planning and Operation. Third Edition. Pearson Prentice Hall, Singapore. Dahl, D. dan J. W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. Mc. Graw Hill Book Company. USA. Ditjen Peternakan. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Ditjen Peternakan. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Ditjen Peternakan. 2011. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Daryanto, Arief. 2011. Nilai Tambah Peternakan Melalui Agroindustri. TROBOS. No. 137 Februari 2011 Tahun XII. Ferguson, Paul R. 1988. Industrial Economic : Issue and Perpectives. Macmillan Education Ltd. Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. General Featureof Social Institutions. Dalam Soemardjan, S. dan Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Rampai Sosiologi. LP-FE UI. Jakarta. Horton, B.P. dan C.L. Hunt. 1984. Sociology. Mc.Graw-Hill Inc. Singapore. Heytes, P. J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institit Studies, Vol XX No1. Hutabarat, B. 1998. Analisis Keterpaduan Pasar Gula Pasir di Jawa. Journal Agronomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hardjosworo, P.S. dan L.H. Prasetyo. 2009. Unggas dan Perunggasan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Disampaikan pada Seminar “Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global”Fakultas Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) Bogor, 26 Oktober 2009. Haryono, 2012. Prospek Ayam Lokal Merebut Pasar Nasional. Disampaikan dalam Workshop Nasional “Pengembangan Peran Unggas Lokal dalam Industri Perunggasan Nasional “. Jakarta Convention Center , Kamis 5 Juli 2012 Indrajit, R. E. Dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Managemen Suplply Chain : Cara Baru Memandang Rantai Penyediaan Barang. Grasindo, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Ilham, Nyak. 2009. Kelangkaan Produksi Daging : Indikasi dan Implikasi Kebijakannya. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 Nomor 1, Maret 2009. Hal : 43-63. Juarini. E, Sumanto dan B. Wibowo. 2003. Uji Multilokasi Bibit Niaga Itik Petelur. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 2003. Puslitbang Peternakan.Bogor.
35
Kaplinsky, R. (1999). “Globalisation and Unequalization: What Can Be Learned from Value Chain Analysis.” Journal of Development Studies 37(2): 117-146. Kaplinsky, R. and M. Morris (2001). A Handbook for Value Chain Research. Brighton, United Kingdom, Institute of Development Studies, University of Sussex. Lins. A. D. 1980. Agricultural Finance. An Introduction to Micro and Prentice-Hall Inc. New York.
Macro Conscepts.
Naipospos, T. S. P., 2009. Ayam Kampung Proletar yang Siap Dilirik. TROBOS. No. 112 Januari 2009 Tahun IX. Saragih, B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga, Penelitian Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sajuti, R. 2001. Analisis Agribisnis Ayam Buras Melalui Pendekatan Fungsi Keuntungan MultiOutput (Kasus Jawa Timur). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Subiharta, Hartono dan Wartiningsih. 2001. Pengaruh Penggunaan Ikan Pirik (Leiognathidae) Kering dan Segar Terhadap Produksi Telur Itik Tegal Pada Pemeliharaan Intensif. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor. Sumanto. E. Juarini, B. Wibowo dan Prasetyo, L. H. 2001. Kinerja Pembesaran Itik MA Siap Petelur di Pedesaan. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor. Saptana, A. Agustian, Sunarsih, dan H. Mayrowani. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sartika, T. 2012. Ketersediaan Sumberdaya Genetik (SDG) Unggas Lokal dan Strategi Pengembangan Bibit pada Tingkat PS (Parent Stock) dan GPS (Grand Parent Stock). Makalah disampaikan pada acara seminar Indolive Stock tanggal 4-6 Juli 2012, JCC Jakarta. Taha, A. F. 2003. The Poultry Sector in Middle-Income Countries and Its Feed Requirement : The Case of Egypt. Agriculture and Trade Report WRS-03-02. United State Department of Agriculture. Hal: 1-42. Trobos, 2010. Itik Pajajaran Hasil Pencarian Sifat Unggul Persilangan Itik Magelang dengan Sifat Jinak dan Penampilan Baik serta Produksi Telurnya Tinggi. Trobos No. 125 Februari 2010 Tahun XI, hal 30-40. Timer, C. P. 1997. “ Corn Marketing dalam C. P. Timer (ed) The Corn Economy of Indonesia”. Cornell University Press. Ithaca. New York. Utomo, D. B. 2012. Dukungan Industri Pakan Dalam Pengembangan Unggas Lokal. Indolivestock Expo-Jakarta, 4-6 July 2012. Uphoff. N.1986. Local Institutionnal Development: An Analytical Sourcebook With
Cases.Kumarian Press. Whethly, Ch. 2004. Theory, method and approach of Supply Chain Management. Workshop on supply chain management of Agricultural Product, IAARD, Jakarta, November 2004.
36
Yusdja. Y, N. Ilham dan S. Wahyuning. 2002. Outlook Peternakan 2002. Laporan Hasil Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Yusdja, Y., R. Sajuti, W.K. Sejati, I.S. Anugrah, I.S. Sadikin, B. Winarso. 2009. Pengembangan Model Kelembagaan Agribisnis Unggas Tradisional (Ayam Buras, Itik, dan Puyuh). Laporan Penetitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Wibawan, I.W.T., Susanti R., Soejoedono R.D., Mahardika G.N.K., Setyaningsih S., Handayani, E., dan Murtini S. 2012. Penyakit Utama pada Ayam Lokal dan Strategi Penanggulangannya. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Makalah disampaikan pada acara seminar Indolive Stock tanggal 4-6 Juli 2012, JCC Jakarta.
37