PROPOSAL DESERTASI
A. JUDUL : “Prinsip Etika Islam: Studi Filsafat Moral Muhammad Abed al-Jabiri” B. KONTEKS PENELITIAN Islam sebagai agama sejak kemunculannya membawa sistem nilai yang khas. Karena itu, al-Qur'an sebagai warisan Islam yang murni pertama-pertama diyakini sebagai kitab moral. Terlebih as-Sunnah (sejarah hidup Nabi Muhammad) dalam konteks ini merupakan formulasi lain dari apa yang terdapat dalam al-Qur'an mengenai nilai dan moral. Kedua sumber pokok ajaran Islam ini selalu dijadikan referensi utama oleh umat Islam jika hendak memecahkan berbagai masalah kehidupan, baik yang menyangkut persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan maupun yang menyangkut persoalan keagamaan umumnya. Keberadaan nilai-nilai dasar al-Qur'an dan as-Sunnah dalam etika keberagamaan Islam tidak berarti mengesampingkan nilai-nilai dasar lain yang dianut oleh kelompok-kelompok agama dan non-agama yang tumbuh berkembang sebelum hadirnya tawaran Islam. Sebaliknya, kehadiran nilai-nilai tersebut menjadi mitra dialog dalam memperkaya pemikiran Islam yang selanjutnya merangsang lahir dan berkembangnya kajian etika sebagai suatu disiplin tersendiri. Semenjak itu pula kajian tentang etika menunjukkan eksistensinya sebagai ilmu pengetahuan yang telah disistematisasikan dan dispesialisasikan dengan misi restorasi masyarakatnya.
2
Keterkaitan Islam dengan etika dapat pula dilihat dari ajarannya yang menekankan nilai-nilai yang harus dijadikan pegangan hidup oleh umatnya. Hal ini terutama karena Islam dalam konteks ini selalu berkembang. Islam –dalam kapasitasnya sebagai agama-agama Ibrahim (Abrahamic religions)– senantiasa mengacu pada moral yang terpuji, sekalipun berasal dari tradisi-tradisi lain di sekitarnya, serta menerima nilai-nilai terpuji (makarimul akhlaq) yang melekat pada tradisi tersebut. Bahkan Islam menganjurkan umatnya untuk menerima hikmah (kebijaksanaan) dari manapun asalnya. Dinamika yang terjadi di tubuh umat Islam yang penuh dengan pengalaman politis dan moral menunjukkan bahwa Islam adalah bagian dari budaya dan peradaban yang dinamis. Sejarah mencatat bahwa Islam telah banyak melahirkan pemikir-pemikir dan filsuf-filsuf terkemuka dalam bidang etika yang tak terbantahkan kontribusinya bagi perkembangan pemikiran etika Islam (Mahmud Shubhi, 2001: 18). Untuk menyebut di antaranya adalah; al-Kindi (w. 873 M), Abu Bakar al-Razi (w. 932 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibn Maskawaih (w. 1032 M), Ibn Sina (w. 1037 M) al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Rusyd (1126-1198 M), dan lain-lain. Bidang kajian etika yang menjadi titik tekan berkisar pada persoalanpersoalan; sifat-sifat bajik dan kebahagiaan jiwa, tiga daya jiwa dan pengaruhnya pada prilaku, kontrol jiwa atau penyucian jiwa melalui ilmu pengetahuan, disiplin dan hubungannya dengan masyarakat sehingga jiwa terbebas dari segala bentuk
3
kejahatan, mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan (as-sa'adah) yang tertinggi1. Bentuk-bentuk pemikiran etika Islam klasik pada prinsipnya tidak terlepas dari pengaruh fisafat Yunani Kuno, kendati harus diakui pula bahwa bangunan etika Islam merupakan percampuran antara ajaran Islam, termasuk warisan etika Arab klasik dan pengaruh peradaban Persia, dan pemikiran Yunani kuno. Hal ini dapat dimaklumi karena pemikiran Islam klasik yang mencakup berbagai bidang seperti keagamaan, bahasa, ilmu pengetahuan, tanpa terkecuali filsafat, merupakan kelanjutan dari periode kodifikasi (tadwin) yang terjadi kira-kira sejak awal abad ke-2 H. Kodifikasi pada awalnya hanya terfokus pada pembakuan bahasa Arab dengan menemukan orang-orang Arab Baduwi yang terasing dan terpencil. Melalui orang-orang Arab Baduwi ini kemudian dicari kata-kata dasar yang asing dan jarang dipakai di kalangan penutur bahasa. Sebagai suatu gerakan yang bersifat masif, kodifikasi melahirkan tokoh-tokoh bahasa seperti Abu Amr bin al-‘Ala (w. 154 H), Hammad al-Rawiyah (w. 155 H), dan Khalil bin Ahmad alFarahidi (w. 170 H)2. Priode tadwin menjadi tonggak pemikiran Islam karena setelah terjadi pembakuan bahasa Arab terjadi pula rekonstruksi priode pra-Islam sebagai akibat pembakuan ilmu-ilmu hadis, tafsir, fikih, dan teoretisasi keyakinan agama, serta terjadi proses penerjamahan dan penyalinan besar-besaran berbagai macam warisan
1
Nasir Ibn Omar, Mohd., 1995, "Ethics in Clasiccal Islam: A Brief Survey", dalam Hamdard Islamicus, Vol. 18/4, hlm. 104 2 Al-Jabiri, Muhammad Abed, 1991, at-Turats wa al-Hadasah: Dirasah wa Munaqasyah (Tradisi dan Modernitas: Kajian dan Perdebatannya), al-Markaz as-Saqafi, Bairut, hlm 143
4
yang ditinggalkan oleh kebudayaan-kebudayaan sebelumnya seperti kebudayaan Babilonia, Maroko, Syria, dan Mesir Iskandariyah/Yunani ke dalam satu kebudayaan yang bernama Islam3. Banyaknya unsur-unsur eksternal yang menjadi bagian pemikiran Islam melahirkan berbagai macam mazhab, pendapat, dan cara pandang baik pada wilayah keagamaan, ilmu pengetahuan, maupun filsafat. Khusus masalah etika, pluralitas itu ditunjukkan oleh beragamnya pandangan mengenai apa yang menjadi prinsip etika Islam. Setidaknya ditemukan empat warisan dalam sejarah Islam yang masingmasing mempunyai pandangan berbeda mengenai apa yang menjadi prinsip etika Islam. Pertama, warisan Yunani dengan kebahagiaan (as-sa'adah) sebagai prinsipnya. Kedua, warisan Persia yang meletakkan ketaatan (akhlaq at-tho'ah) sebagai prinsip nilai. Ketiga, etika peleburan (akhlaq al-fana') inti warisan tasawuf. Keempat, harga diri (muruah) warisan nilai Arab murni. Dinamika wacana filsafat moral Islam, harus diakui, merupakan percampuran dari berbagai sistem nilai yang telah ada sebelum Islam. Di tengah pluralitas nilai tersebut, kedatangan Islam dengan segenap nilainya yang baru ikut juga membentuk kekhasan dan keunikan wajah etika Islam. Ciri khas dimaksud adalah sintesa nilai-nilai yang dibawa Islam yang tertuang di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan berbagai sistem nilai yang telah ada sebelumnya. Dari situlah
3
Al-Jabiri, Muhammad Abed, 1994, al-Mas'alah as-Tsaqafiyah (Problem Budaya), Markaz Dirasah alWahdah al-Arabiyah, Bairut, hlm 36-37
5
prinsip etika Islam dapat digali dan ditelusuri lebih lanjut, termasuk perbedaannya dengan pemikiran-pemikiran etika yang lain yang masuk pada wilayah kebudayaan Islam. Pluralitas konsep dan pemaknaan tentang prinsip etika Islam lebih lanjut melahirkan pertanyaan: apakah sebenarnya yang menjadi prinsip etika yang murni warisan Islam? Salah satu tokoh pemikir muslim kontemporer yang mempunyai kegelisahan terhadap persoalan ini adalah Muhammad Abed Al-Jabiri, seorang pemikir muslim asal Maroko. Pandangan-pandangannya tentang etika Islam tertuang dalam karya utamanya al-'Aql al-Akhlaqi al-'Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Qyam fi as-Tsaqafat al-Arabiyah (Nalar Etika Arab: Analisis Kritis Terhadap Sistem Nilai dalam Kebudayaan Arab). al-'Aql al-Akhlaqi al-'Arabi merupakan rangkaian terakhir dari karya besarnya Naqd al-Aql al-Arabi (Kritik Nalar Arab) yang terdiri dari 1200 halaman lebih. Dari penjabaran panjangnya mengenai prinsip etika yang mewarnai pemikiran Islam, al-Jabiri sampai pada kesimpulan bahwa al-maslahah (kemanfaatan) merupakan prinsip etika Islam yang khas dan original4. Ini disimpulkan setelah dia mengemukakan kecenderungan-kecenderungan filsafat moral yang sempat mewarnai pemikiran Islam kelasik sejak priode tadwin (kodifikasi) yang diyakininya sebagai titik kulminasi kebudayaan Arab Islam.
4
Al-Jabiri, Muhammad Abed, 2001, al-'Aql al-Akhlaq al-'Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Qyam fi as-Tsaqafah al- 'Arabiyah, Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, Bairut, hlm. 593
6
Pemikiran filosofis al-Jabiri mengenai konsep etika yang khas Islam di atas menarik perhatian penulis untuk mengkajinya dalam perspektif kritis pula.
C. Perumusan Masalah Penelitian dengan judul “Prinsip Etika Islam: Studi Filsafat Moral Muhammad Abed al-Jabiri” mengambil objek material pemikiran etika Islam alJabiri, sementara objek formalnya adalah etika atau filsafat moral. Berdasarkan objek formal dan objek material ini serta berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pemikiran etika Islam secara historis menurut Muhammad Abed alJabiri? 2. Bagaimanakah konsep dasar Muhammad Abed al-Jabiri tentang al-maslahah (kemanfaatan/utility) sebagai prinsip etika Islam yang murni? 3. Sejauh mana kontribusi pemikiran etika Islam Muhammad Abed al-Jabiri dapat menjawab tantangan zaman modern yang di antaranya ditandai dengan krisis moral?
D. Keaslian Penelitian Satu hal yang perlu dikemukakan dalam konteks ini adalah bahwa etika atau filsafat moral secara umum termasuk disiplin yang jarang disentuh oleh para pengkaji keislaman. Penelitian ini berusaha untuk menemukan apakah sebenarnya yang menjadi prinsip etika dalam Islam (fundamentals of the Islamic ethics) menurut Muhammad Abed al-Jabiri, seorang pemikir dan filsuf Islam kontemporer. Dengan
7
mengambil objek material tersebut, dan setelah melakukan penelusuran literatur, penulis berkesimpulan bahwa penelitian yang khusus mengkaji pemikiran etika Islam al-Jabiri belum ditemukan. Di kalangan pengkaji keislaman kontemporer, nama al-Jabiri memang sudah tidak asing lagi. Pandangan-pandangannya yang revolusioner telah banyak menyita perhatian intelektual muda dan sejauh ini banyak pihak yang menjadikan pemikirannya sebagai objek penelitian. Akan tetapi objek penelitian yang penulis temukan selama ini berkisar pada persoalan konstruksi pemikiran Arab Islam, problem tradisi, negara dan demokrasi, dan penerapan syari'at. Dalam penelitian ini penulis mencoba menggali secara kritis pandangan al-Jabiri mengenai prinsip etika Islam yang tertuang dalam bukunya yang paling mutakhir, al-'Aql al-Akhlaqi al'Arabi. Sejauh ini, penelitian mengenai tema tersebut belum ditemukan, untuk itu penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
E. Manfaat Penelitian Setidaknya ada dua manfaat yang menjadi sasaran dalam setiap penelitian yang dilakukan, yaitu manfaat yang sifatnya teoritis-normatif dan manfaat yang sifatnya praktis-pragmatis. Terkait dengan hal tersebut maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis-praktis, penelitian ini diharapkan akan memperkaya khasanah keilmuan filsafat pada umumnya dan etika pada khususnya. Lebih khusus lagi,
8
penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan mengenai prinsip etika dalam Islam yang selama ini dirasakan kurang mendapat perhatian. Dari penelitian ini juga diharapkan dapat menambah literatur di bidang filsafat moral Islam. b. Secara praktis-pragmatis, mengingat etika merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan kehidupan praktis, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi alternatif yang bersifat normatif di tengah krisis nilai dan moral saat ini.
F. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan secara historis dasar-dasar pemikiran etika Islam Muhammad Abed al-Jabiri. Deskripsi di sini dianggap penting untuk mengetahui pemetaan warisan etika dalam Islam sebelum sampai pada kesimpulan al-Jabiri terhadap apa yang disebut dengan prinsip etika Islam. 2. Mendeskripsikan dan menganalisa pandangan dan argumen dasar Muhammad Abed al-Jabiri tentang al-maslahah (kemanfaatan/utility) sebagai prinsip etika Islam. 3. Mendeskripsikan dan menganalisa relevansi prinsip etika Islam Muhammad Abed al-Jabiri dengan berbagai pandangan etika serta kemungkinannya sebagai solusi normatif di tengah krisis moral dewasa ini.
G. Tinjauan Pustaka
9
Selama ini ada asumsi bahwa etika nyaris menjadi wilayah yang tak terjamah para pengkaji dan penulis peradaban Islam, baik klasik maupun modern. Setidaknya, dalam Islam, studi etika tidak mendapatkan porsi layaknya studi-studi yang lain. Ibn Kholdun, salah seorang sejarawan Islam terkemuka, dalam karya utamanya, Muqaddimah, sempat membahas secara panjang lebar cabang-cabang ilmu pengetahuan, pengajaran, dan selururuh dimensinya, serta menjelaskan tentang ilmu pengetahuan di tangan bangsa Arab. Akan tetapi tidak sedikitpun ia menyinggung disiplin etika, baik tokoh maupun karya-karyanya5. Faktor utama mengapa etika menjadi disiplin yang kurang populer di tengahtengah masyarakat Islam, klasik maupun modern, adalah adanya keyakinan bahwa prinsip agama dalam hal ini syari'ah dan hukum Islam mengatasi seluruh realitas kehidupan (shalih li kulli zaman wa makan), baik bentuk formal maupun substansinya. Padahal, sejatinya, ketentuan-ketentuan formal yang berupa teks-teks sangatlah sedikit dan umumnya terbatas pada hal-hal yang bersifat ritual. Sementara yang sifatnya substansional tidak terdapat ketentuan teks yang mengatur. Di sini agama –yakni teks-teks syari'at– bertindak tak ubahnya seperti undang-undang (perdata dan pidana) di mana seorang hakim memutuskan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini. Sebagai konsekuensinya, dalam Islam dibedakan antara hukum-hukum syari'at (ahkam as-syari'ah) dengan keutamaan syari'at (makarim as-syari'ah).
5
Subhi, Mahmud Ahmad, 2001, Filsafat Etika, Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionis Islam, Serambi, Yogyakarta, hlm. 15
10
Suatu hal yang belakangan berpengaruh terhadap bangunan fikih Islam itu sendiri karena adanya pembedaan antara hukum syari'at dan moralitas syari'at. Namun begitu, sepanjang sejarahnya, fikih Islam senantiasa sibuk dengan hukum dan postulat-postulatnya, metode penggalian hukum, dan model-model penerapannya, sementara moralitas syari'at dianggap sebagai unsur pelengkap atau disiplin kedua setelah hukum-hukum syari'at. Belakangan memang terdapat beberapa penulis etika syari'at. Akan tetapi, kecuali pada kuantitas, karya penulis-penulis tersebut tidak berbeda dengan bukubuku fikih lainnya. Karya-karya tersebut tidak lebih dari pelengkap kitab-kitab fikih, serta substansinya tidak berbeda dengan fikih. Artinya bahwa karya-karya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai alternatif karya etika6. Tokoh etika klasik yang berhubungan dengan konsep ahkam as-syari'ah dan makarim as-syari'ah adalah Raghib al-Isfahani. Amril M. dalam Etika Islam, Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib al-Isfahani mengatakan bahwa makarim assyari'ah sebagai tindakan moral yang dimaksud al-Isfahani tidak lain adalah pengembangan daya ruhaniah manusia sebagai prilaku potensial yang dianugrahkan Allah kepada setiap manusia. Dengan demikian, al-Isfahani menempatkan makarim as-syari'ah di atas ahkam as-syari'ah sebagai tindakan moral dogmatis. Dengan makarim as-syari'ah manusia semestinya tidak hanya mengejar kemuliaan prilaku yang tinggi untuk meraih jannah al-ma'wa (kebahagiaan surgawi) sebagai tujuan
6
Al-Jabiri, Muhammad Abed, 2001, al-'Aql al-Akhlaq al-'Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Qyam fi as-Tsaqafah al- 'Arabiyah, hlm. 102-103
11
tertinggi. Lebih dari itu, manusia harus menjalankan fungsinya sebagai khalifah (wakil) Allah dengan baik. Dengan ungkapan lain, bahwa capaian etika tidak hanya mengejar kebahagiaan tertinggi bagi pribadi, tetapi juga kemakmuran dunia dengan segala aktivitasnya. Di luar itu, menurut Ahmad Mahmud Subhi dalam Filsafat Etika, Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, kajian etika Islam tidak pernah bisa keluar dari paradigma filsafat Yunani Kuno. Salah satu di antaranya, menurut Subhi, adalah al-Farabi. Al-Farabi memang menyinggung pembahasan etika dan menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu sosial, ketika mendiskusikan cabang-cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi, seperti pemikir muslim klasik lainnya, nuansa etika Aristoteles sangat kuat membayanginya, baik ketika berbicara tentang klasifikasi ilmu maupun tentang etika. Al-Farabi juga telah memasukkan sejumlah cabang ilmu Islam, seperti fikih, ke dalam upaya pengklasifikasian itu. Kendati demikian, ia tidak pernah bisa keluar dari pandangan peripatetik (Aristoteles) dengan perspektif Plato. Penelitian mengenai etika Islam dalam konteks pengaruh filsafat Yunani Kuno juga dilakukan oleh Ghazali Munir dengan judul Pemikiran Etika Ibn Maskawaih Dalam Kitab Tahzim al-Akhlaq wa Tathir al-A'raq (tesis di IAIN Sunan Kalijaga, 1990). Dalam penelitiannya, Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa pandangan etika Ibn Maskawaih bermuara pada upaya mencari jalan tengah antara ajaran Islam yang disebut dengan syari'ah dengan teori etika dalam filsafat Yunani Kuno. Konsep etika Maskawaih masih sekitar tiga daya kekuatan jiwa, yang juga
12
disebut dengan tiga macam keutamaan besar. Keselarasan dari tiga keutamaan itu akan melahirkan keutamaan lainnya, sehingga ada empat macam keutamaan jiwa manusia, yakni kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Ajaran jalan tengah Maskawaih ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pandangan alIsfahani mengenai makarim as-syari'ah. Mengenai al-Ghazali, Amin Abdullah dalam The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant (1992), melalui perbandingannya dengan etika Kant, mengatakan secara garis besar corak etika al-Ghazali bersifat religius dan mistis serta mengandalkan etika kewahyuan partikular (Islam). Menurut Amin, orientasi etika al-Ghazali bertumpu pada penyelamatan individu di akhirat berdasarkan doktrin agama. Dari beberapa telaah di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa warna Platonisme sangat kental ditemukan dalam konsep tiga daya jiwa, bentuk fadila (kebajikan) yang dihasilkan serta capaian tertinggi dari akumulasi penyucian jiwa tersebut. Namun, jika dicermati lebih jauh, terutama pada Raghib al-Isfahani dan Ibn Maskawaih, konsep penyucian jiwa Platonisme diperluas ke dalam wacana Sufisme Islam sehingga tindakan moral yang dihasilkan tidak hanya sebatas eksoteris-eskatologis, tetapi juga mencakup tataran esoteris-eskatologis. Terhadap hal ini, Daniel H. Frank, dalam History of Islamic Philosophy Part II (1996: 959), mengatakan bahwa dalam Islam etika memiliki cakupan materi yang sangat luas mulai dari penafsiran terhadap al-Qur'an hingga kalam (teologi), dari komentar-komentar filsafat terhadap Aristoteles hingga teks-teks mistik sufi. Untuk
13
menggambarkan itu, dalam Ethical Theories in Islam, Majid Fakhry membagi tipe etika Islam ke dalam empat kelompok7: 1. Moralitas teks (scriptural morality); keputusan-keputusan etika diambil dari alQur'an dan as-Sunnah dengan memanfaatkan abstraksi-abstraksi dan analisisanalisis para filsuf dan teolog di bawah naungan metode-metode dan kategorikategori diskursif yang berkembang pada abad VIII dan IX. Kelompok ini pada umumnya ditemukan pada mufassirun (ahli tafsir), muhaddisun (ahli hadis), dan fuqaha' (ahli fikih). 2. Etika teologis (theological ethics); dasar keputusan mereka sepenuhnya bersumber pada al-Qur'an dan as-Sunnah. Tipe kelompok ini diwakili oleh Muktazilah dan Asy'ariyah. Mereka dikaitkan dengan etika sebagai akibat perdebatannya mengenai baik dan buruk. 3. Etika filosofis (philosophical ethics); keputusan etika berakar pada karya Plato dan Aristoteles yang telah diinterpretasikan oleh penulis-penulis Neo-Platonik dan Gelen yang digabung dengan doktrin Stoa, Platonik, Phitagorian dan Aristotelean. Tipe kelompok ini dapat ditemukan pada tokoh-tokoh yang disebutkan di atas seperti al-Isfahani, Maskawaih, dan para penerusnya. 4. Etika religius (religious ethics); keputusan etika didasarkan pada al-Qur'an, asSunnah, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan sedikit Sufisme.
7
Fakhry, Majid, 1991, Ethical Theories in Islam, E.J. Brill, Leiden, hlm. 7
14
Unsur utama etika ini biasanya terkonsentrasi pada dunia dan manusia. Tipe pemikiran etika ini lebih kompleks dan berciri Islami. Tokoh yang paling menonjol dari kelompok ini adalah al-Ghazali dan ar-Razi. Dari berbagai tokoh dan pendekatan etika di atas, penulis tertarik untuk mengetengahkan pandangan etika Islam Muhammad Abed al-Jabiri, seorang pemikir Islam kontemporer, terutama gagasannya mengenai persoalan apa yang menjadi prinsip etika dalam Islam. Secara keseluruhan, pendekatan etika al-Jabiri sangat berbeda dengan pendekatan yang pernah dilakukan oleh pemikir Islam klasik. Usahanya untuk menemukan orisinilitas etika Islam sangat menekankan asal-usul (origins) konsep etika dalam nalar pemikiran serta menghubungkannya dengan dinamika politik dalam suatu diskursus ideologi yang cukup rumit dan kompleks. Dengan pembacaan kritis-diskursif, al-Jabiri berusaha memisahkan aspek-aspek politis dan ideologis yang mengitarinya untuk selanjutnya berusaha menemukan konsep etika yang benar-benar murni berasal dari Islam. Dengan metodenya tersebut, sulit menggolongkan al-Jabiri pada tipe-tipe etika seperti disebutkan di atas. Di satu sisi, keputusan etikanya didasarkan langsung pada teks-teks al-Qur'an dan as-Sunnah, tetapi di sisi lain, menolak unsur-unsur mistik dan pengaruh ajaran Yunani Kuno dalam etika Islam. Kesimpulannya tentang al-maslahah (kemanfaatan/utility) sebagai prinsip etika Islam merupakan gagasan yang sangat revolusioner. Hal ini karena maslahah, sedikit banyak, memiliki kesamaan prinsip dengan Utilitarianisme
15
yang justru oleh kalangan agamawan dianggap sekuler dan tidak mungkin dijadikan solusi normatif saat ini.
H. Landasan Teori Dalam filsafat, istilah etika lazim dipahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Jika moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, maka etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang dipahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Franz Magnis-Suseno, etika bukanlah sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Karena itu, etika dan ajaranajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Etika tidak mengatakan bagaimana seseorang harus hidup. Etika merupakan cara pandang filosofis bagaimana
16
mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral8. Pendapat senada dikemukakan oleh Y. Vernon Bourke bahwa etika atau filsafat moral adalah ilmu pengetahuan normatif yang menyodorkan suatu tantangan dalam mengkaji perbedaan absolut antara baik dan buruk sebagai pedoman manusia. Filsafat moral berfungsi sebagai perencana penegakan norma-norma, aturan-aturan, atau pedoman prilaku manusia. Sebagai cabang filsafat yang mengkaji bidang moral, etika merupakan refleksi kritis dan rasional yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan prilaku hidup manusia, baik pribadi maupun kelompok9. Jadi, tugas utama seorang filsuf bukan memberikan petunjuk praktis secara detail terhadap aturan-aturan etis seperti bagaimana kita seharusnya bertindak dalam suatu kejadian tertentu, melainkan memberikan pengetahuan yang bersifat krusial menyangkut dilema baik dan buruk tersebut10. Pemaknaan etika seperti di atas, akan semakin jelas jika mencermati pendapat para ahli yang mengungkapkan secara eksplisit bahwa etika merupakan nama lain dari filsafat moral ketika etika tersebut dijadikan studi filosofis terhadap moral. Pemaknaan etika dengan filsafat moral sekaligus menunjukkan bahwa kajian dalam etika bukan dalam bentuk kajian deskriptif sebagai mana kajian-kajian
8
Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 14 9 Bourke, Y. Vernon, 1966, Ethics, The Macmillan Compani, New York, hlm. 13 10 Neilsen, Kai, "Problem of Ethics", dalam Paul Edwards (ed), 1972, The Encyclopedia of Philosophy, Jilid III, Macmillan Publishing co.,Inc, New York, hlm.117
17
sosiologi, psikologi, antropologi, dan sejarah, tetapi dalam bentuk kajian kritis yang mencakup dua aspek, yakni etika normatif dan aspek analitisnya11. Di samping itu, K. Bertens mengemukakan metode deskriptif untuk mempelajari moralitas. Akan tetapi, menurut Bertens, etika deskriptif hanya bersifat melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapananggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individuindividu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur tertentu, dalam suatu priode sejarah, dan sebagainya. Etika deskriptif hanya bersifat melukiskan dan tidak memberi penilaian apakah suatu perilaku tertentu dapat diterima atau harus ditolak12. Walaupun etika deskriptif dan etika filosofis tidak dapat disetarakan, namun tetap terdapat hubungan erat antara keduanya. Filsuf yang mempraktekkan etika, membutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang moralitas agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dengan kata lain, sebelum seorang filsuf mengemukakan pandangan, ada baiknya ia mengetahui terlebih dahulu pandangan sosiologis dan historis masalah tersebut. Sebaliknya, seorang antropolog, psikolog,
11
Taylor, Paul W., 1967, "Introduction: What is Morality" dalam Paul W. Taylor (ed), Problem of Moral Philosophy an Introduction to Ethics, Dickenson Publishing Company Inc, California,hlm.7 12
Bertens, K., 2002, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.15-16
18
sosiolog, atau sejarawan yang menyoroti fenomena moral, paling tidak mempunyai pengetahuan cukup mendalam tentang teori etis. Dari uraian di atas terlihat jelas perbedaan makna moral dengan etika. Moral memiliki makna tentang bagaimana berperilaku sesuai dengan aturan-aturan atau tuntunan-tuntunan norma atau nilai yang diakui oleh individu atau kelompok tertentu. Sementara pada etika atau filsafat moral selain seseorang dituntut untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu, melainkan juga dituntut mampu mengetahui dan memahami sistem-sistem, alasan-alasan dan dasardasar moral serta konsep-konsepnya secara rasional guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, dalam etika berperilaku moral sama pentingnya dengan mengetahui dan memahami asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip norma moral. Karena itu, dalam terminologi praktis, kajian etika dapat menawarkan paling tidak dua hal pokok: Pertama, akan membantu seseorang untuk menghargai pilihan yang dilakukan orang lain serta untuk mengevaluasi keputusan yang mereka pilih. Kedua, melibatkan ketajaman refleksi kesadaran moralnya sendiri –suatu pengujian kesadaran tentang nilai dan pilihan, mengenai bagaimana ia sejauh ini mempebaiki hidup seseorang, dan (lebih penting lagi) bagaimana ia dapat menata masa depannya dengan lebih baik13. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka makna etika yang dimaksud adalah makna etika sebagai bentuk kajian kritis filosofis dan mendasar tentang
13
Thompson, Mell, 2003, Ethics, Contemporary Books; a Division of the McGraw-Hill Companies, USA, hlm. 4-5
19
ajaran-ajaran moral. Terkait dengan ciri filosofis, etika yang dimaksud di sini adalah bukan kajian etika dengan pendekatan deskriptif, tetapi kajian etika dengan pendekatan normatif dan aspek analitisnya sebagaimana telah dikemukan sebelumnya. Kajian etika dengan pendekatan normatif ini biasanya mencermati bentukbentuk sistem yang konsisten dari norma-norma yang ditunjukkan validitasnya bagi manusia secara rasional oleh seorang filsuf moral. Sementara aspek analitis bahasa meliputi dua aspek; kajian tentang konsep-konsep yang dipakai dan kajian mengenai logika dari alasan-alasan moral. Kedua bentuk pendekatan kajian ini sejatinya tidak dapat dipisahkan. Sebab, berbicara tentang bahasa moral otomatis berbicara pula tentang prilaku moral yang ditunjukkan oleh bahasa itu. Demikian sebaliknya, berbicara tentang prilaku moral dengan sendirinya akan sampai pada refleksi tentang istilah-istilah dan bahasa yang digunakan14. Dari dua bentuk kajian etika di atas dapat diturunkan dua bentuk sistem pemikiran dalam etika atau filsafat moral, yaitu: sistem teleologis dan sistem deontologis. Teleologis merupakan sistem pemikiran filsafat moral dalam menetapkan suatu perbuatan tentang baik dan buruk sama sekali ditentukan pada nilai instrinsik dari konsekuensi perbuatan tersebut. Sebaliknya, bagi deontologis, untuk menetapkan sesuatu prilaku itu baik atau tidak baik sama sekali tidak
14
Bertens, K., 2002, Etika…..hlm. 21-22,
20
ditentukan pada nilai instrinsik dari konsekuensi perbuatan yang dilakukan, tetapi pada perbuatan itu sendiri . Implikasi dari dua sistem ini sangat nampak ketika menentukan benar dan baik (right and good). Menurut sistem teleologis, right mendahului good yang berarti bahwa setiap perbuatan yang dinilai benar (right) juga merupakan perbuatan yang baik (good). Sebaliknya, deontologis mengatakan bahwa antara right dan good tidak memiliki kaitan sama sekali. Bagi deontologis, perbuatan yang disebut benar adalah menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang tidak benar. Perbuatanperbuatan tersebut biasanya telah ditentukan oleh aturan-aturan, hukum, larangan, norma-norma, dan lain sebagainya15. Di samping dua sistem pemikiran etika tersebut juga terdapat dua aliran dalam menetapkan nilai (value) suatu perbuatan, yaitu Naturalisme dan nonNaturalisme. Bagi Naturalisme, apa yang disebut benar atau baik sebagai keputusan nilai adalah suatu fakta yang dapat diuji secara empirik, sebaliknya bagi nonNaturalisme, semua keputusan nilai itu disebut dengan moral intuition16 (Kant, 1967: 256). Karena menurut Naturalisme nilai adalah fakta, maka sifat perilaku yang baik seperti jujur, adil, dermawan, dan lain-lain begitu juga sebaliknya sifat perilaku
15
Davis, Nancy, "Contemporary Deontology" dalam Peter Singer (ed.), 1992, A Companion to Ethics, Black-well, New York, hlm. 205-206 16 Kant, Immanuel, 1967, "Fundamental Principles of the Metaphysic of Moral", dalam Paul W. Taylor (ed), Problem of Moral Philosophy an Introduction to Ethics, Dickenson Publishing Company Inc, California, hlm. 256
21
yang buruk merupakan indikator untuk memberi penilaian seseorang itu berperilaku baik atau tidak baik. Selain model pengujian seperti ini, konsekuensi dari setiap perbuatan juga menjadi indikator untuk menetapkan suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Dengan demikian, keputusan nilai pada Naturalisme bersifat faktual sehingga dapat diuji secara empirik. Sebaliknya, karena bagi non-Naturalisme nilai itu bersifat normatif dan bukan fakta, maka keputusan moral bagi kelompok ini tidak dapat diketahui melalui uji empirik dan verifikasi, tetapi hanya dapat diketahui melalui apa yang disebut dengan intuisi moral yang telah dimiliki manusia, yaitu kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar atau salah dalam setiap prilaku, objek, atau seseorang. Teori etika yang secara radikal menentang pandangan non-Naturalisme dan, karena itu, dapat digolongkan ke dalam kerangka Naturalisme selain teleologis adalah Utilitarianisme yang menganut pandangan bahwa tindakan itu benar tidak lain karena akibat (consequences) tindakan itu. Sebaliknya, jahat atau buruk adalah yang merugikan. Karena itu, baik atau buruknya perilaku ditentukan dari segi bermanfaat atau tidaknya perilaku tersebut. Dari prinsip ini, diturunkan teori tujuan perbuatan. Bagi Utilitarianisme, tujuan perbuatan adalah untuk memperoleh kemanfaatan, atau minimal, menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan17. Dengan prinsip tersebut, Utilitarianisme lahir menjadi teori etika baru yang radikal dan revolusioner.
17
Mangunhardjana, A., 1997, Isme-isme dalam Etika dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 228
22
Gagasan revolusioner Utilitarianisme terletak pada pengesampingan moral abstrak yang dipegang oleh moralitas lama. Moralitas tidak lagi dipahami sebagai kepercayaan pada aturan yang diturunkan oleh Tuhan atau sejumlah peraturan yang tidak bisa diubah. Prinsip moralitas hanya dipandang sebagai kebahagiaan makhluk di dunia ini, tidak lebih. Karena itu, manusia boleh –bahkan dituntut– untuk melakukan apa yang perlu untuk memperoleh kebahagiaan18. Dalam Islam, dinamika pemikiran etika mempunyai nuansa yang berbeda – atau bisa dikatakan tidak sepesat dibandingkan– dengan pemikiran etika yang terjadi dalam filsafat Barat dewasa ini. Kajian terhadap epistemologis nilai suatu perbuatan seperti disebutkan di atas, paling tidak telah diungkapkan oleh George F. Hourani dengan mengelompokkan aliran etika dalam Islam pada beberapa aliran sebagai berikut: pertama, Objektivisme; "benar" memiliki arti yang objektif, yaitu suatu perbuatan itu disebut benar apabila terdapat kausalitas benar pada perbuatan itu. Argumentasi ini biasanya dikemukakan oleh kelompok Mu'tazilah dan filsuf Muslim. Kedua, Subjektivisme; "benar" tidak memiliki arti yang objektif, tetapi sesuai dengan kehendak dan perintah dari seseorang atau bentuk lain. Aliran ini dibagi dua; a) benar itu sesuai dengan ketetapan dan kesepakatan umat b) benar itu adalah sesuai dengan perintah dan ketetapan Allah. Oleh George F Hourani, tipe ini
18
Rachels, James, 2004, Filsafat Moral, alih bahasa A. Sudiarja, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 171-172
23
disebut dengan theistic subjectivism atau devine subjectivism. Term ini selanjutnya disepadankan oleh Hourani dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga, Rasionalisme; "benar" itu dapat diketahui dengan akal semata atau akal yang bebas. Artinya, akal manusia dinilai mampu membuat keputusan etika yang benar berdasarkan data pengalaman tanpa merujuk kepada wahyu. Aliran ini oleh Hourani disamakan dengan kelompok intuitionis. Aliran rasionalis ini dikelompokkan menjadi dua, yakni; a) benar selalu dapat diketahui oleh akal secara bebas. b) benar dalam beberapa kasus dapat diketahui oleh akal semata, pada kasus yang lain dapat diketahui oleh wahyu, as-Sunnah, ijma' (konsensus) dan qiyas (analogi), atau dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan seterusnya. Aliran ini secara spesifik disebut dengan partial rationalism. Keempat, Tradisionalisme; "benar" tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal semata, tetapi hanya dapat diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang merujuk kepada wahyu. Menurut Hourani, aliran ini bukan tidak sama sekali memanfaatkan kemampuan akal, tetapi kemampuan akal hanya dipergunakan pada saat menafsirkan al-Qur'an dan as-Sunnah, menetapkan ijma' (konsensus) dan qiyas (analogi). Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para ahli fikih dan ahli kalam19.
19
Hourani, George F., 1985, Reason and Tradition in Islamic Ethicst, Cambridge University Pess, London, hlm. 23-25
24
I. Metode Penelitian 1. Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan objek material pemikiran etika Islam Muhammad Abed al-Jabiri dan objek formal filsafat moral. Karena itu, dalam penelitian ini dibutuhkan berbagai buku kepustakaan yang berkaitan dengan objek formal dan objek material di atas sebagai sumber data penelitian, baik yang bersifat primer maupun skunder. Data-data kepustakaan tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: a. Buku-buku karya Muhammad Abed al-Jabiri sendiri, terutama yang berkaitan dengan etika. b. Buku-buku yang membahas tentang Muhammad Abed al-Jabiri dan pemikirannya. c. Buku-buku yang membahas pandangan-pandangan etika, baik etika secara umum maupun etika Islam. d. Buku-buku yang berkaitan dengan filsafat Barat, Timur, maupun Islam.
2. Pengumpulan Data a. Persiapan pengumpulan data Tahap persiapan pengumpulan data terdiri atas langkah-langkah berikut: 1) Penentuan dan pengenalan lokasi pengumpulan data, seperti perpustakaan, toko buku, koleksi pribadi, dan internet.
25
2) Penentuan dan penyiapan instrumen pengumpulan data, seperti foto copy dan kartu data. 3) Penentuan klasifikasi sumber data yang relevan dengan ciri dan kategori, misalnya kategori data primer dan data sekunder. b. Pelaksanaan pengumpulan data Tahap pengumpulan data mencakup langkah-langkah sebagai berikut: 1) Pembacaan pada tingkat simbolik. Pembacaan ini dilakukan untuk menangkap sinopsis dari isi buku, bab yang menyusunnya, sub bab sampai pada bagian-bagian terkecil dalam buku. 2) Pembacaan pada tingkat semantik. Pembacaan dilakukan dengan lebih terinci, terurai dan menangkap esensi buku sebagai sumber data. Pembacaan juga disertai dengan analisis yang terlebih dahulu ditujukan pada sumber primer kemudian dilanjutkan pada sumber sekunder. 3) Pencatatan pada kartu data. Pencatatan didasarkan pada analisis, sehingga diketahui mana data yang hanya diambil intisarinya, dan mana data yang harus diambil secara utuh. Pencatatan dapat juga dilakukan secara quotasi, paraphrase, sinoptik atau precis. 4) Pengkodean pada kartu data. Pengkodean ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penumpukan dan pencampuradukan catatan. Pengkodean disesuaikan dengan masalah penelitian. Pengkodean tidak hanya dilakukan pada data tapi juga pada sumber data.
26
3. Analisis Data a. Analisi pada waktu pengumpulan data. Karena objek material dari penelitian ini adalah prinsip etika Islam menurut Muhammad Abed al-Jabiri, maka sumber data yang akan digunakan adalah bukubuku kepustakaan filsafat moral. Karena itu, dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode deskriptif. Di samping itu, untuk memahami rumusan alJabiri tentang prinsip etika Islam, penulis menggunakan metode interpretasi. b. Analisis setelah pengumpulan data Langkah-langkah dalam menerapkan analisis data dalam penelitian ini berturut-turut dilakukan sebagai berikut: reduksi data, klasifikasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan20. 1) Reduksi data Semua data yang telah dikumpulkan disederhanakan, dirangkum, dipilih halhal pokok, dan difokuskan pada hal-hal yang penting sesuai dengan pola dan peta penelitian. Langkah ini akan memberikan kemudahan kepada peneliti untuk melihat gambaran tentang hasil penelitian, sekaligus mempermudah peneliti untuk mencari data kembali bila data dirasakan belum memadai.
20
Kaelan, 2005, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Cet. I, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 68
27
2) Klasifikasi data Reduksi data dilanjutkan dengan klasifikasi data, yakni dengan mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing sesuai dengan objek formal penelitian. 3) Penyajian data Penyajian data dilakukan dengan menyusun data yang telah diklasifikasi dalam suatu peta sesuai dengan objek formal dan tujuan penelitian. Dengan demikian, maka masalah yang terdiri dari berbagai konteks dapat dikuasai petanya. 4) Penarikan kesimpulan Data yang telah tersedia dari awal mulai dipahami, dicari keteraturannya, dicari pola-polanya, dicari alur kausalitasnya, dan lain-lain. Kesimpulan pada awalnya tidak mengikat, namun berlahan-lahan mengarah pada kesimpulan yng lebih rinci dan kokoh. c. Metode analisis data Untuk mewujudkan konstruksi teoritis atau pola sistematis atas pandangan al-Jabiri mengenai prinsip etika Islam, maka selain dilakukan analisis data secara deskriptif digunakan pula metode analisis sebagai berikut: 1) Metode Historis
28
Metode Historis digunakan karena objek material penelitian yang ingin diteliti adalah pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang prinsip etika dalam Islam dalam konteks dan priode tertentu. Metode ini terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, metode deskriptif hirtoris yang digunakan untuk melihat beberapa hal, seperti pemikiran-pemikiran apa saja atau pemikira-pemikiran siapa saja yang mempengaruhi pemikiran al-Jabiri. Kedua, metode rekonstruksi biografis yang digunakan untuk mendeskripsikan riwayat hidup serta sejarah perkembangan pemikiran al-Jabiri. 2) Metode komparasi Metode komparasi digunakan untuk membandingkan pandangan etika alJabiri dengan pandangan-pandangan etika lainnya, baik dalam konteks Islam maupun Barat, sehingga ditemukan kelebihan dan kekurangan teorinya. 3) Metode interpretasi Metode ini digunakan pada saat pengumpulan data untuk menunjukkan dan mengungkapkan makna yang khas serta untuk menemuka esensi pemikiran etika alJabiri secara objektif. 4) Metode induksi dan deduksi Metode ini digunakan pada tahap penyimpulan akhir. Penyimpulan di sini tidak untuk merumuskan generalisasi tetapi untuk mewujudkan suatu konstruksi teoritis. Induksi penting agar dari pemikiran al-Jabiri dapat dibangun suatu sintesis,
29
sementara deduksi digunakan untuk memahami semua detil-detil pemikirannya dari visi dan karakter umum pemikirannya.
5) Metode heuristika Metode ini digunakan setelah dilakukan penyimpulan dengan metode induktif. Diharapkan dengan metode ini kesimpulan yang ada dapat melahirkan suatu jalan baru21.
4. Penyajian Hasil Tahap akhir dari penelitian ini adalah penyajian hasil dalam bentuk tesis. Penyajian hasil dilakukan dengan cara menuliskan hasil-hasil penelitian secara sistematis dan utuh.
21
Baker, Anton, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. IX, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 63-65
30
DAFTAR PUSTAKA Nasir Ibn Omar, Mohd., 1995, "Ethics in Clasiccal Islam: A Brief Survey", dalam Hamdard Islamicus, Vol. 18/4, hlm. 104 Al-Jabiri, Muhammad Abed, 1991, at-Turats wa al-Hadasah: Dirasah wa Munaqasyah (Tradisi dan Modernitas: Kajian dan Perdebatannya), al-Markaz as-Saqafi, Bairut, hlm 143 Al-Jabiri, Muhammad Abed, 1994, al-Mas'alah as-Tsaqafiyah (Problem Budaya), Markaz Dirasah alWahdah al-Arabiyah, Bairut, hlm 36-37 Al-Jabiri, Muhammad Abed, 2001, al-'Aql al-Akhlaq al-'Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Qyam fi as-Tsaqafah al- 'Arabiyah, Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, Bairut, hlm. 593 Subhi, Mahmud Ahmad, 2001, Filsafat Etika, Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionis Islam, Serambi, Yogyakarta, hlm. 15 Al-Jabiri, Muhammad Abed, 2001, al-'Aql al-Akhlaq al-'Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Qyam fi as-Tsaqafah al- 'Arabiyah, hlm. 102-103 Fakhry, Majid, 1991, Ethical Theories in Islam, E.J. Brill, Leiden, hlm. 7 Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 14 Bourke, Y. Vernon, 1966, Ethics, The Macmillan Compani, New York, hlm. 13 Neilsen, Kai, "Problem of Ethics", dalam Paul Edwards (ed), 1972, The Encyclopedia of Philosophy, Jilid III, Macmillan Publishing co.,Inc, New York, hlm.117 Taylor, Paul W., 1967, "Introduction: What is Morality" dalam Paul W. Taylor (ed), Problem of Moral Philosophy an Introduction to Ethics, Dickenson Publishing Company Inc, California,hlm.7 Bertens, K., 2002, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.15-16 Thompson, Mell, 2003, Ethics, Contemporary Books; a Division of the McGraw-Hill Companies, USA, hlm. 4-5 Davis, Nancy, "Contemporary Deontology" dalam Peter Singer (ed.), 1992, A Companion to Ethics, Black-well, New York, hlm. 205-206 Kant, Immanuel, 1967, "Fundamental Principles of the Metaphysic of Moral", dalam Paul W. Taylor (ed), Problem of Moral Philosophy an Introduction to Ethics, Dickenson Publishing Company Inc, California, hlm. 256 Mangunhardjana, A., 1997, Isme-isme dalam Etika dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 228 Rachels, James, 2004, Filsafat Moral, alih bahasa A. Sudiarja, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 171-172
31
Hourani, George F., 1985, Reason and Tradition in Islamic Ethicst, Cambridge University Pess, London, hlm. 23-25 Kaelan, 2005, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Cet. I, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 68 Baker, Anton, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. IX, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 63-65