Prolog
K
eranjang belanjaanku sudah penuh. Kali ini, belanja bulananku begitu banyak. Persediaan selama bulan kemarin telah habis aku pakai. Hiperbola. Kenyataan sebenarnya, aku hanya menghabiskan jatah belanja bulanan yang sudah aku atur cukup besar. Maklumlah, printilan perempuan begitu banyak. Mulai dari kebutuhan primer, sekunder, tersier. Tiga istilah ekonomi itu tidak berlaku bagi perempuan sepertiku. Alokasi dana untuk kecantikan ektra yang meliputi perawatan tubuh, gym dan hal-al berbau kecantikan termasuk didalamnya sudah aku siapkan. Tetapi, kewajiban sebagai seorang anak pertama dari tiga bersaudara,membantu financial Ayah Ibuku adalah sesuatu hal yang tidak dapat aku tinggalkan. Sebagai bentuk bhakti dan rasa terima kasihku kepada beliau, dan merupakan tanggungjawab yang harus aku ingat. Malam ini bukan hanya supermarket menjadi incaranku, melainkan beberapa boutique ternama – tidak bisa aku sebutkan satu per satu - yang
akan menjadi sasaran empuk nafsu belanjaku. Pemiliknya pun begitu antusias dengan senyum ramah mereka dan siap sedia membantu. Namun, dibalik senyumnya itu, - buat kalian kebanyakan akan setuju dengan pendapatku kali ini – ayo datanglah kesini, habiskan uang kalian dengan koleksi bodoh kami musim ini – sangat tergambar jelas diwajah palsu mereka. Hampir semua tempatempat yang aku datangi, menampilkan senyum seperti itu. Seusai menyelesaikan pembayaran di stand kasir supermarket, aku lanjutkan acara malam ini dengan santap malam. “Kita makan dimana jadinya?” tanya Yudis, sepupuku, berjalan beriringan menuju parkir. “Tempat biasa aja ya?” kataku menimpali, sementara perhatianku tidak lepas dari blackberry.
Dian Krisnhayanti - side
Ikan Bakar Cianjur malam ini tidak begitu ramai. Dapat kuhitung meja-meja yang terisi oleh tamu pengunjung restoran ini. Adalah kali ketiga kedatanganku dalam minggu ini. Hari Senin aku kesini bersama calon suamiku dan keluarganya. Acara rutin bulanan, arisan keluarga dan perkenalanku dengan anggota keluarga calon suamiku yang tidak terhitung jumlahnya itu. Dan hari Rabu, acara dinner bareng teman-teman kantor sekaligus acara perpisahan Sumadi yang berpindah kantor ke Palangkaraya, kota kelahirannya. Entah kenapa, tidak ada pilihan lain selain restoran ini, karena suasananya memang sangat nyaman dan membuat acara kumpul-kumpul seperti ini terasa hawa kekeluargaanya. Awalnya, aku tidak begitu tertarik dengan restoran ini. Karena ekspetasi yang begitu tinggi terhadap penampilan yang disuguhkan oleh tempat ini. Lokasi yang strategis di kawasan Renon, tepat dibelakang monument Bajra Sandhi dan masih dalam satu kawasan perkantoran terpadu pemkot Denpasar.
Dan tempat inilah menjadi saksi kunci dalam sejarah terbesar pengalaman hidupku. Ketika seseorang hidup didunia sudah menapaki masamasa menuntut ilmu pengetahuaa yang dikenal dengan istilah Brahmacari, maka ketika umur sudah cukup matang dan kewajiban sebagai seorang anak untuk meneruskan silsilah generasi berikutnya yang terwujud dalam sebuah ikatan pernikahan, maka aku pun harus menapaki jenjang hidup yang dikenal dengan istilah Grehastha. Keputusanku bukan sekedar latah karena iri dengan teman-teman yang lain. Bukan pula dengan tangis bayi mungil yang kurindukan, kelak akan lahir dari rahim perutku ini. Dan bukan karena faktor pertimbangan klise bagi kebanyakan wanita seperti aku, faktor financial si calon mempelai priaku. Namun lebih dari itu, ada lubang yang ingin segera aku tutup dengan sebutan masa lalu yang tidak ingin aku ungkit lagi ketika benarbenar status baru itu aku sandang, dan menambahkan nama baru dibelakang nama pemberian orang tuaku, Gumilang.
Namun, masa suci nan ritual itu masih terhitung jauh dari waktuku sekarang, setidaknya terhitung delapan bulan tersisa unutk menikmati masa-masa lajang. Dan disinilah aku, duduk melingkar di meja kayu persegi, berdampingan satu sama lain. Yudis disebelah kiri, Sintia disebelah kanan dan Agung tepat duduk lurus berhadapan dengan batang hidungku. Sosok Agung dimataku tidak berubah, masih sama seperti dulu. Ketika aku mengamatinya pertama kali Masa-masa Orientasi Siswa SMK Negeri 1 Negara, di kota kelahiranku, kabupaten Jembrana. Waktu begitu cepat berlalu. Bagiku lebih dari itu. Pendam rasa yang lama aku pelihara dan membiarkannya sedikit demi sedikit tumbuh dalam liang tersubur dalam rongga hatiku, berbuah ranum dan tidak mungkin aku tumbangkan begitu saja. Aku, Lala dan Tari adalah tiga sekawan yang dipertemukan di jenjang sekolah ini dan siapa sangka persaudaraan terselubung pertemanan baik ini makin erat ketika masa-masa SMK ini kami lalui dengan begitu dinamis. Seperti muffin
cokelat yang baru diangkat dari oven, segar untuk dinikmati, ingatan itu masih seperti itu. Terlalu sayang untuk dibuang, dan tidak akan pernah ku buang. Lala yang memiliki kepribadian cerdas dan cerewet, menyeimbangi kepribadian aku yang sedikit introvert dan keibuan – menurut lala – dan padu padan kepribadian centil dan sederhana dari Tari. Kami pikir, hubungan pertemanan ini tidak lebih seperti grup vocal Trio Bebek – plesetan dari Trio Kwek-kwek yang terkenal di era 90-an – yang kemana-mana selalu bertiga, kemanapun Lala berjalan, disanalah Aku dan Tari berjalan membuntuti satu sama lain. Ini sedikit aneh mungkin bagi yang melihat, karena keakraban yang timbul dari bahasa tubuh kami mengalahkan pesona cowok-cowok baru di kelas Penjualan, begitu dekat begitu nyata (korban iklan ☺). Sampai akhirnya, aku pun sedikit melenceng dari kekompakan yang terbina dengan manis itu. Perhatianku tertuju kepada sosok yang berkharisma, teduh dengan sorot mata misterius dan gagah. Secara fisik, ia adalah sosok laki-laki bertubuh 176 cm, dengan berat idael 65 kg. Siapa
sangka, aku bisa menera postur tubuh itu. Kekagumanku makin bertambah – I love saying this – senyumnya menawan. Mengalahkan senyum idola teman SMPku, Bintang Nugraha. Bintang Nugraha menjadi bulan-bulanan idola yang tidak pernah tergantikan bagiku saat itu, dan hanya sebatas idola. Aku cukup menghentikan langkah egoku untuk memuja dia sebagai idola. Aku berhala kepada senyum yang ia miliki, senyum pemungkas yang bisa saja aku robek dari wajah tirusnya itu – saking gemasnya - dan sekali lagi hanya sebatas idola, mengingat rekam jejak kisah asmara yang ia miliki dan berlabel pemain wanita. Mungkin terlalu kasar, mari kita istilahkan sebagai Playboy.