Transformasi Indonesia @transformasi_id
PROGRESIF
Agustus 2015
Dua Kunci Pemulihan Ekonomi Analisis : Revolusi Fiskal untuk Mendorong Pertumbuhan hal. 2
Mendorong Peran TIK dalam Penataan Kota Strategi Komunikasi untuk Kebijakan Publik hal. 9
Foto : Aris Subekti
hal. 5
Agustus 2015
Salam Transformasi
Salam Hangat dan Sejahtera! Puji syukur ke hadirat Tuhan atas terbitnya Progresif Edisi III bulan Agustus 2015. Tema utama edisi ini adalah tentang peluang yang bisa ditempuh oleh Indonesia untuk memulihkan kondisi perekonomian yang cenderung lesu. Meningkatkan ekspor dan mendorong investasi adalah dua kunci untuk meraih peluang pemulihan tersebut. Artikel-artikel dalam edisi ini ditulis oleh para peneliti dan penulis di Pusat Transformasi Kebijakan Publik atau Transformasi. Kami juga membuka diri bila Anda para pembaca berminat mengirimkan artikel. Kami di Pusat Transformasi Kebijakan Publik berupaya menampilkan berita dan analisis kebijakan di sektor yang menjadi prioritas kami, yaitu pengelolaan perkotaan, pengelolaan pesisir, kelautan dan perikanan, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan berkelanjutan, serta e-learning. Tujuan kami adalah mendorong perbincangan di antara peneliti, pengambil kebijakan di daerah dan pusat, lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta dan masyarakat, dalam mengembangkan kebijakan publik yang transformatif di Indonesia. Besar harapan kami, Anda sudi memberikan masukan dalam rangka peningkatan mutu isi dan tema tulisan, dengan mengirim email ke
[email protected]. Terima kasih dan selamat membaca. Semoga bermanfaat. Nugroho Wienarto Direktur Eksekutif
1 Foto : Mohamad Burhanudin
HEADLINE
PROGRESIF
Dua Kunci Pemulihan Ekonomi Strategi ekonomi Pemerintah yang baru berkuasa sejak Oktober 2014 adalah mengalihkan pemborosan belanja subsidi ke investasi di bidang infrastruktur. Pada tahap awal, strategi ini diimplementasikan dengan cepat saat Presiden Joko Widodo mencabut sekitar Rp234 triliun subsidi bahan bakar minyak pada bulan Desember 2014. Dari jumlah itu, sekitar Rp195 triliun dialokasikan untuk investasi publik setelah dikurangi kerugian pendapatan pajak dari harga yang lebih rendah untuk ekspor minyak dan gas negara. Tiga masalah utama muncul dari strategi ini. Pertama, anggaran sebesar Rp 195 triliun tersebut mungkin terdengar sangat besar. Namun, dengan besaran hanya sekitar dua persen dari produk domestik bruto, jumlah tersebut tidak cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Masalah kedua adalah meskipun relatif kecil, anggaran investasi publik tambahan tersebut ternyata sangat sulit direalisasikan. Pembebasan lahan masih menjadi masalah serius. Kompas melaporkan, setengah dari proyek-proyek irigasi yang direncanakan oleh pemerintah tertunda karena masalah pembebasan lahan. Masalah serupa juga terjadi pada proyek pembangunan jalan tol, pelabuhan, dan kelistrikan. Selain itu, belanja pemerintah umumnya di bawah target pada paruh pertama 2015, karena hambatan birokrasi. Belanja tahun ini, bahkan, lebih lambat dari biasanya, karena pemerintah baru lebih banyak menghabiskan waktu untuk konsolidasi. Masalah ketiga adalah anggaran pemerintah didasarkan pada pertumbuhan pendapatan sebesar 30 persen dari tahun lalu. Target yang ambisius tersebut sebenarnya sulit dicapai meski perekonomian sedang kuat. Dengan pertumbuhan yang lambat menjadi semakin pasti bahwa target akan sulit dicapai. Investasi dan ekspor Merealisasikan proyek-proyek yang telah direncanakan dan menarik investasi swasta tambahan ke infrastruktur, merupakan tugas penting. Tapi, belanja pemerintah tidak akan cukup. Di sebagian besar sektor perekonomian, pengeluaran konsumsi relatif stabil. Belanja makanan, pakaian, biaya sekolah, dan kebutuhan lainnya, tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Perubahan besar dalam pendapatan nasional disebabkan oleh dua faktor lain: keputusan di sektor investasi dan ekspor. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia konsisten dengan pola ini. Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan konsumsi cenderung stabil pada kisaran lima persen secara riil. Perbedaan besar antara tahun baik dan tahun buruk adalah tingkat investasi dan pertumbuhan ekspor. Apa artinya ini bagi kebijakan ekonomi? Pertama, orang-orang yang mengklaim bahwa Indonesia harus fokus pada konsumsi domestik dan melupakan ekspor adalah salah. Untuk mencapai peningkatan signifikan ... ke halaman 7
2
PROGRESIF
Agustus 2015
ANALISIS
Andika Pambudi
Peneliti Bidang Ekonomi Transformasi
Sumber : Kementerian Keuangan RI
Revolusi Fiskal untuk Mendorong Pertumbuhan Tim Redaksi Penasihat
Sarwono Kusumaatmadja Jonathan Pincus
Pemimpin Umum Nugroho Wienarto
Deputi Pemimpin Umum Nazla Mariza Fardila Astari Ethika Fitriani
Pemimpin Redaksi Mohamad Burhanudin
Staf Redaksi
Andika Pambudi Buyung Y Setiawan Hira Almubarokah Joanna Octavia Muhammad Syarifullah Wicaksono Prayogie
Produksi
Andryanto Suswardoyo Erick Harlest Budi R
Administrasi & Keuangan Ratna Diektikana Arif Santoso Priska Apriliasari
Alamat Redaksi
Graha Iskandarsyah lt.11. Jl Raya Sultan Iskandarsyah 66C. Melawai. Kebayoran Baru. Jakarta 12160. Indonesia Phone +62-21-2702-401/2 Fax +62-21-7209-946 Web : www.transformasi.org
[email protected]
P
eran pemerintah dalam perekonomian suatu negara diterjemahkan dengan kebijakan fiskal yang dilakukan melalui pengaturan pajak dan belanja pemerintah. Kebijakan ini seringkali menjadi instrumen penyelamat aktivitas perekonomian tatkala diterjang krisis. Sejalan dengan perekonomian nasional yang sedang menghadapi tantangan berat, Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla melalui APBN-Perubahan 2015 dan Rencana APBN 2016 berusaha agar fundamental pertumbuhan ekonomi semakin kokoh dan berkualitas. Oleh karena itu, stimulus fiskal yang dilakukan lebih diprioritaskan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing industri. Guna memompa perekonomian Indonesia agar mencapai pertumbuhan (setidaknya) tujuh persen, kebijakan fiskal ekspansif merupakan langkah yang paling efektif dan rasional. Upaya tersebut, saat ini sedang ditempuh pemerintah dengan banyak memberikan insentif fiskal bagi pelaku-pelaku ekonomi strategis, melonggarkan ruang fiskal, serta meningkatkan belanja produktif khususnya pembangunan infrastruktur. Diharapkan, dampak berganda (multiplier effect) dari ekspansi fiskal ini dapat menyentuh sektor riil dan menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi rumah tangga. Sementara itu, agar semua ini dapat berjalan dengan berkelanjutan, rasio defisit anggaran perlu dikendalikan sekitar dua persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Di sektor penerimaan negara, intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan sebaiknya hanya pada barang tertentu saja. Sebagai contoh, tarif pajak penghasilan (PPh) atas barang impor tertentu akan dinaikkan menjadi 10 persen. Agar iklim investasi tidak terganggu oleh strategi perluasan pajak, maka bagi sektor-sektor tertentu pemerintah memberikan insentif perpajakan, seperti kelonggaran pajak atau tax allowance dan tax holiday hingga pemotongan pajak pertambahan nilai (PPn) untuk barang modal. Fasilitas tax allowance diberikan khusus untuk perusahaan yang menciptakan lapangan kerja, menggunakan kandungan lokal, memproduksi produk yang berorientasi ekspor dan bernilai tambah tinggi. Pada APBN-P 2015, alokasi belanja infrastruktur mencapai sebesar Rp 290 triliun. Alokasi anggaran belanja modal ke pembangunan infrastruktur berperan vital bagi mendorong pertumbuhan ekonomi. Studi Bank dunia menyebutkan, kenaikan satu persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB minimal tujuh persen. Selain sebagai lokomotif pembangunan, dalam konteks mikroekonomi ketersediaan infrastruktur sangat berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi khususnya biaya logistik, dan pada akhirnya menaikkan daya saing ekonomi. Tantangan terbesar yang dihadapi untuk menjalankan strategi ini adalah rendahnya penyerapan anggaran. Sampai sekarang, masih banyak program belanja anggaran pemerintah yang belum jalan. Bahkan, pembangunan infrastruktur di daerah juga masih terasa lambat. Hingga akhir Juni 2015, belanja modal hanya terserap Rp 25,9 triliun atau sekitar 9,4 persen. Karena itu, sisa tahun anggaran selama enam bulan ini harus dimanfaatkan pemerintah untuk mengakselerasi penyerapan anggaran pembangunan dengan maksimal. Dengan revolusi fiskal ini, cita-cita ekonomi tumbuh 10 persen di akhir 2019 diharapkan tercapai. Semoga.
PROGRESIF
Foto : Mohamad Burhanudin
KELAUTAN & PERIKANAN
Agustus 2015
Membangkitkan Industri Perikanan A
genda menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia membutuhkan kekuatan dan daya saing dari produk-produk domestik terutama hasi dari sumberdaya kelautan dan perikanan. Nilai yang sangat memengaruhi terciptanya daya saing pasar adalah industrialisasi perikanan. Namun, hingga kini kelesuan industri perikanan Indonesia terus menjangkiti dan belum terlihat lompatannya. Tren 10 tahun terakhir menunjukkan, manajemen perikanan kita masih eksploitatif dan minim nilai tambah. Fakta yang tak mendukung Uniknya, infrastruktur penunjang industri pengolahan hasil perikanan masih tersentral di wilayah barat Indonesia. Dari 1.375 pelabuhan perikanan yang tersebar di Indonesia, hanya tujuh persen yang berada di Indonesia bagian timur dan 25 persen di Indonesia bagian tengah. Sedangkan, 68 persen selebihnya terpusat di Indonesia bagian barat yang didominasi Pulau Jawa dan Sumatera. Senada dengan fakta tersebut, sebaran unit pengolahan ikan (UPI) pun didominasi Jawa dan Sumatera. Sebanyak 26.805 UPI (44,55 persen) berada di Pulau Jawa, 13.602 (22,61 persen) di Sumatera, dan hanya 1.524 (2,53 persen) berada di Maluku dan Papua. Padahal, potensi perikanan tangkap di timur Indonesia lebih besar dibandingkan di Laut Jawa yang telah mengalami overfishing. Berdasarkan data Kementerian Kelautan Perikanan (2014) tentang estimasi potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI (WPP NRI) , bila diasumsikan Indonesia timur adalah agregasi dari WPP NRI 715, 716, 717, dan 718, maka total potensi produksinya adalah sebesar 2.084 ton per tahun. Jauh lebih besar ketimbang potensi yang terdapat di Laut Jawa yang hanya 836,6 ton per tahun. Fakta statistik di atas memberikan gambaran betapa timpangnya infrastruktur penunjang industri pengolahan hasil perikanan kita. Tidak mengherankan bila hingga kini Indonesia unggul sebagai negara produsen Ikan ketiga di dunia, namun merosot tajam peringkatnya ketika berbicara
ekspor hasil perikanan. Alih alih memperbaikinya, perjanjian bilateral Indonesia dan Jepang yang tertuang di dalam Indonesia Japan Economy Partnership Agreement (IJEPA), memosisikan Indonesia sebagai pemasok ikan mentah ke Jepang. Kesepakatan terjadi dengan tidak seimbang. Terdapat pelarangan pemberian subsidi kepada pengusaha lokal untuk mengolah hasil perikanan domestik. Sebaliknya, memberikan tarif nol persen kepada produk impor. Menguatkan domestik Inilah problematika yang pengelolaan perikanan di Indonesia. Tanpa dideklarasikan pun, Indonesia secara geoposisi telah menjadi persimpangan jalur pelayaran dunia dengan keanekaragaman spesies ikan yang kaya. Sehingga, geoposisi ini harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Untuk menguatkan kembali industri perikanan Indonesia, setidaknya terdapat empat tindakan strategis. Pertama, memperbaiki iklim investasi. Kedua, fokus mengembangan industri perikanan di Indonesia bagian timur, dengan perimbangan pemasaran yang kuat. Ketiga, politik anggaran yang tidak lagi beorientasi darat dan Jawa. Dan keempat, pendampingan dan penguatan pemasaran bagi usaha mikro kecil menengah, serta pengolahan hasil perikanan untuk menguatkan daya saing domestik. (Muhammad Ziaul Haq)
Progresif
Quotes
“Seorang pendengar yang baik mencoba memahami sepenuhnya apa yang dikatakan orang lain. Pada akhirnya mungkin saja ia sangat tidak setuju, tetapi sebelum ia tidak setuju, ia ingin tahu dulu dengan tepat apa yang tidak disetujuinya.” - Kenneth A. Wells
3
4
PROGRESIF
Agustus 2015
EKONOMI
Pekerjaan Rumah di Sektor Investasi
P
emerintah Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang tak ringan. Di satu sisi harus membuka 2-3 juta lapangan kerja baru tiap tahun, di sisi lain anggaran negara lebih akrab dengan defisit. Investasi pun menjadi harapan. Namun, mutlak diperlukan kerja yang sangat keras untuk menarik investasi, mengingat daya saing negeri ini yang masih kurang menggembirakan. Dalam laporannya tentang kemudahan menjalankan bisnis di 189 negara tahun 2015, Bank Dunia mencatat, Indonesia hanya menempati peringkat 114. Peringkat tersebut jauh di bawah negara-negara Asia yang menjadi kompetitor utama menarik investasi, seperti Thailand (26), Vietnam (78), dan Filipina (95). Kategori penilaian mencakup kemudahan memulai bisnis, prosedur berinvestasi, waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha, biaya, kelistrikan, dan modal minimum. Jumlah izin dan lembaga pemberi perizinan masih terlalu banyak. Perizinan untuk usaha baru di sektor manufaktur, misalnya, membutuhkan 794 hari menurut undang-undang di Indonesia (data Transformasi, 2015). Berita kurang menggembirakan tentang daya saing ini juga hadir dari hasil laporan World Economic Forum (WEF) 2014-2015, yang menyebutkan, Indonesia hanya menempati peringkat 34. WEF juga mencatat, faktor paling problematik menjalankan bisnis di Indonesia adalah korupsi, dengan indeks sebesar 15,7. Dalam kategori kemudahan melakukan usaha, masih menurut WEF, hal yang dinilai sebagai aspek terlemah Indonesia adalah kepastian hukum. Indonesia hanya menempati peringkat 172 dari 189 negara. Dari hasil analisis Transformasi berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, peringkat yang rendah ini terutama disebabkan oleh korupsi yang masih tinggi di sistem peradilan. Di samping itu, diskresi staf pemberi perizinan yang terlalu besar, sehingga menimbulkan suap. Dalam satu dekade terakhir, sejak kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), citra korupsi Indonesia sebenarnya relatif membaik. Dunia bisnis memberikan persepsi yang positif. Transparency International mencatat, Indonesia memperbaiki peringkatnya, dari 114 pada tahun 2013 menjadi 107 pada tahun 2014. Jika sebelum ada KPK Indonesia, bahkan, lebih sering di bawah Bangladesh, sejak kehadiran komisi tersebut, Indonesia berada di atas negara yang dipandang paling korup di Asia itu. Ini merupakan pencapaian yang baik, karena negara lain juga berusaha memerangi korupsi dan berupaya memperbaiki peringkat mereka. Oleh karena itu, sejumlah hal yang belakangan cenderung melemahkan KPK, seperti kriminalisasi komisioner dan staf KPK, serta rencana revisi Undang Undang KPK oleh parlemen, dikhawatirkan akan dapat memperburuk persepsi korupsi Indonesia kembali. Dalam laporan berjudul “Kemudahan Melakukan Bisnis di Indonesia” yang dirilis akhir Juli 2015 lalu, Transformasi mencatat, setidaknya ada empat tantangan yang masih harus dijawab oleh Pemerintah Indonesia
melalui kebijakan dan implementasi yang tepat. Pertama, mengurangi jumlah perizinan. Kedua, membuat aplikasi dan sistem pembayaran online berfungsi dengan baik. Ketiga, transisi yang mulus dari sistem lama ke sistem baru. Keempat, integrasi sistem perizinan pusat dan daerah. Layanan satu pintu bukan terobosan besar jika banyaknya aturan yang dipersyaratkan tidak dikurangi. Diskresi pejabat pemerintahan yang masih terlalu besar dalam membuat keputusan dalam pemberian izin harus dibatasi, agar tak memberi peluang mereka untuk meminta pungutan liar dari investor. Selain itu, agenda pemberantasan korupsi harus terus didorong, dengan memperkuat institusi penegakan hukum yang antikorupsi. (Mohamad Burhanudin)
Pojok (Silakan mengirimkan surat berisi komen, keluhan, atau kritikan mengenai layanan publik atau isi newsletter ini ke Interaktif alamat email kami di
[email protected], dengan menyertakan alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi)
Busway oh Busway.... Transportasi publik di Jakarta tidak lagi aman dan nyaman. Bus Transjakarta yang katanya akan menjadi transportasi aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat, ternyata tidak efektif. Pemerintah perlu menyadari banyaknya masalah akibat adanya bus Transjakarta seperti bus mogok, terbakar, juga tindak kriminal di dalam bus, walaupun sudah ada petugas satuan pengamanan di setiap unit bus. Tingkat kecelakaan pun cukup tinggi karena banyak pengendara melanggar masuk jalur busway dan menjadi korban kecelakaan. Menurut saya Bus Transjakarta membuat macet di Jakarta tak lagi terurai, jalur bus seharusnya dibuat khusus tanpa mengambil lajur/jalan yg telah ada. Banyak jalan besar di ibukota akhirnya menjadi semrawut. Ada baiknya penyelesaian masalah ini menjadi poin penting pemerintah. Saya sebagai masyarakat hanya ingin transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau. (Melati Syah Putri Zein, warga Jakarta Timur)
Agustus 2015
5
Foto : Mohamad Burhanudin
PEMBANGUNAN PERKOTAAN
PROGRESIF
Mendorong Peran TIK dalam Penataan Kota
P
opulasi penduduk dunia mengalami pertumbuhan cepat, terutama di wilayah perkotaan. Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada 2015, 69 persen populasi dunia atau sekitar hampir 6,3 miliar orang akan hidup di wilayah perkotaan. Untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi yang cepat ini, kota-kota harus memiliki strategi perencanaan dan tata kelola yang tepat. Karena, kota akan menghadapi tantangan dan masalah kian kompleks, seperti perumahan, ketersediaan infrastruktur pendukung lingkungan, kesehatan, kemacetan, energi, dan lain sebagainya. Dengan strategi dan tata kelola yang tepat maka kota tetap menjadi tempat yang layak bagi kehidupan penduduknya. Teknologi komunikasi dan informasi (TIK) memiliki potensi besar dalam membantu meningkatkan kinerja para pengambil keputusan di kota, terutama untuk mengatasi permasalahan yang membutuhkan waktu sesingkat mungkin. Dengan TIK, pemerintah dapat mengakses dan menanggapi data secara tangkas dan cepat, serta segera membuat keputusan untuk mengantisipasi permasalahan, sebelum masalah benar-benar muncul. Salah satu contoh yang menarik dalam pemanfaatan TIK terkait perencanaan perkotaan adalah di Jepang yang merupakan negara terdepan dalam pengembangan kota cerdas. Setelah kejadian bencana gempa dan tsunami yang dahsyat melanda Jepang pada Maret 2011, Pemerintah Jepang membangun paradigma baru. Kota cerdas yang semula ditujukan semata untuk mencapai efisiensi dan kenyamanan bagi warga yang tinggal di wilayah perkotaan, setelah bencana besar tersebut, berubah menjadi konsep yang mengarah kepada keberlanjutan dan ketahanan. TIK dimanfaatkan untuk tujuan mengatasi risiko kelompok masyarakat lanjut usia dan mengatasi risiko pertumbuhan penduduk. Selain itu, TIK juga dimanfatkan untuk mengurangi risiko kerusakan bencana alam, serta untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi warganya. Kunci keberhasilan pemanfaatan TIK di Jepang
adalah pengembangan perangkat dan aplikasi teknologi baru yang multidevice, mulai dengan pemanfaatan berbagai media sosial, komputasi cloud, hingga pemanfaatan big data. Jepang juga menciptakan berbagai aplikasi layanan online yang mudah diakses warganya seperti e-mobility, smart and (compact) city, e-health, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pemanfaatan TIK masih sebatas pada penerapan konsep e-government (e-gov) di sejumlah daerah. E-gov diterapkan dalam rangka meningkatkan efisiensi manajemen dan pelayanan oleh pemerintah daerah. Melalui e-gov diharapkan akan tercipta sebuah sistem yang terpadu dan terintegrasi di semua tingkat pemerintahan. Meski kebijakan e-gov ini didukung dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, namun dalam implementasinya tidak semua pemerintah daerah sukses menerapkannya. Mengapa demikian? ada beberapa faktor penyebabnya. Ketiadaan infrastruktur seperti jaringan telekomunikasi yang belum menjangkau merata di seluruh wilayah perkotaan, ketiadaan peralatan yang memadai, adalah dua persoalan di antaranya. Ketiadaan anggaran serta mahalnya biaya investasi menjadi faktor pemicu dua hal diatas. Hal lainnya adalah minimnya sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan di bidang TIK. Diperlukan sebuah masterplan yang dapat menerjemahkan semua kebutuhan pengembangan TIK di daerah-daerah, agar sistem-sistem yang telah diciptakan saling mendukung dan saling terintegasi. Selain pemerintah, peran warga masyarakat, swasta dan tenaga ahli atau pakar, juga harus ada dalam proses perencanan dan pelaksaaannya. Masyarakat harus diedukasi keterampilan dalam pemanfaatan TIK yang baik. Apalah artinya apabila berbagai sistem TIK yang dibuat pemerintah, tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. (Ika Dahlia)
PROGRESIF
Agustus 2015
INOVASI
E-Government, Reformasi Birokrasi ala Kota Pekalongan
S
ebagaimana kebanyakan kabupaten dan kota di Indonesia pada era otonomi daerah, Kota Pekalongan juga menghadapi problem klasik yang menghambat percepatan pembangunan daerah. Persoalan klasik tersebut adalah birokrasi gemuk, lamban dan tak efisien, minim inovasi, serta terbatasnya belanja pembangunan dalam APBD. Menyadari hal tersebut, sejak tahun 2008, di bawah kepemimpinan Wali Kota Muhammad Basyir Ahmad Syawie, Pemkot Pekalongan menginisiasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung kinerja birokrasi dan pelayanan publik, atau yang lebih akrab disebut e-government. Hasilnya, Kota Batik tersebut kini dikenal sebagai salah satu kota yang sukses menata birokrasi dan menghadirkan layanan publik yang lebih baik. Tak kurang dari 20 penghargaan tingkat lokal maupun nasional telah diterima oleh kota ini terkait penerapan e-government dalam lima tahun terakhir. Langkah pertama yang ditempuh Pemkot Pekalongan untuk mengimplementasikan e-government adalah menyusun regulasi terkait program pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kerja pemerintahan. Regulasi ini merupakan dasar hukum pelaksanaan e-government, yang jumlahnya lebih dari 20 keputusan dan peraturan wali kota. Sejak tahun 2008, secara bertahap infrastruktur e-government dibangun, baik menyangkut jaringan maupun sarana dan prasarana yang menyangkut perangkat keras. Hal pertama yang dilakukan adalah memastikan semua titik layanan publik, baik kantor pemerintahan, kelurahan, sekolah, puskesmas terkoneksi dalam jaringan internet satu sama lain, melalui infrastruktur fiber optic. Perangkat keras yang digunakan untuk menunjang e-government tersebut dikendalikan dengan sebuah data center, yang menjadi pusat database dan layanan server untuk seluruh Kota Pekalongan. Mereka juga membuat data center cadangan atau disaster recovery center (DRC). Hal itu memungkinkan inovasi aplikasi beserta adaptasinya secara cepat. FOSS Untuk perangkat lunak, sejak tahun 2011, Pemkot Pekalongan berhasil melakukan migrasi ke penggunaan perangkat lunak legal yang berbasis free-open source software (FOSS) hingga 100 persen, yang meliputi hingga 3.000 unit komputer di SKPD, kelurahan, sekolah-sekolah, sistem informasi dan manajemen (SIM) keuangan daerah, dan SIM rumah sakit. Hal paling krusial dalam pengembangan infrastruktur e-government adalah pengembangan aplikasi. Pemkot
Foto : Mohamad Burhanudin
6
Pekalongan telah mengembangkan beragam aplikasi untuk kebutuhan tersebut, di antaranya aplikasi government to government (G2G), government to business (G2B), dan government to citizen (G2C). Penggunaan FOSS yang tidak berbayar menghemat anggaran hingga Rp 40 miliar. Sebab, dengan memanfaatkan FOSS, Pemkot Pekalongan tak perlu lagi mengeluarkan anggaran untuk pengadaan office and application system, olah foto, grafis, dan lain sebagainya. Selain dari FOSS, penghematan yang cukup besar juga hadir dari sistem paperless office dalam penerapan e-government. Paperless office memungkinkan bagi Pemkot Pekalongan tak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli kertas dan alat tulis kantor lainnya, karena kegiatan surat-menyurat, serta pengiriman memo dan disposisi, cukup dilakukan secara digital. Diperkirakan, dalam setahun tak kurang dari Rp 20 miliar dana yang dihemat dari penerapan paperless office ini. Terintegrasinya sistem pelayanan kesehatan di puskemas-puskesmas dan rumah sakit, setiap data pasien yang di-input di puskesmas secara otomatis masuk ke database rumah sakit. Jika seorang pasien dari puskesmas harus dirujuk ke rumah sakit, maka rumah sakit tak perlu lagi meng-input data pasien tersebut. Dengan begitu, waktu layanan bisa dihemat dan pasien beserta keluarganya tak direpotkan oleh hal-hal yang bersifat administratif. Pelaksanaan e-government juga mendukung upaya reformasi birokrasi. Salah satunya dengan berhasil dikuranginya belanja pegawai di Kota Pekalongan. Jika sebelum e-government rata-rata belanja pegawai dalam APBD mencapai kisaran 63 persen. Di Kota Pekalongan, melalui intensitas pelaksanaan TIK tersebut, belanja pegawai menurun menjadi hanya 45 persen.
(Mohamad Burhanudin)
PROGRESIF
HEADLINE
Agustus 2015
Dua Kunci Pemulihan Ekonomi (dari hal.1)
Figure 1. Year on year changes in consumption, investment and exports 25% 20% 15% 10% 5%
Private consumption
Seperti kebanyakan negara berkembang, Indonesia menghadapi kendala pada neraca pembayaran, atau sederhananya, kekurangan devisa.
dalam tingkat pertumbuhan, kita perlu menemukan cara untuk meningkatkan investasi dan ekspor bersih (ekspor dikurangi impor). Oleh karena itu, selain infrastruktur, pemerintah harus fokus menarik investasi guna meningkatkan ekspor atau memroduksi barang yang dapat menggantikan impor. Investasi yang berorientasi ekspor dan industri pengganti impor saat ini sangat penting ketika harga ekspor mineral dan pertanian rendah. Seperti kebanyakan negara berkembang, Indonesia menghadapi kendala pada neraca pembayaran, atau sederhananya, kekurangan devisa. Mengurangi impor melalui kebijakan tarif tinggi dan kuota dapat membantu menghemat devisa, tetapi mengorbankan konsumen domestik, yang harus membayar harga lebih tinggi untuk makanan dan kebutuhan lainnya. Hal ini juga menaikkan harga impor barang modal, yang membuat perusahaan-perusahaan Indonesia kurang
Investment
2011Q1
2014Q4
2014Q3
2014Q2
2014Q1
2013Q4
2013Q3
2013Q2
2013Q1
2012Q4
2012Q3
2012Q2
2012Q1
2011Q4
2011Q3
-10%
2011Q2
-5%
2011Q1
0%
Exports
kompetitif secara global. Jadi, tabungan dollar dari impor dapat mengakibatkan kehilangan dollar ekspor, yang mana tidak memecahkan masalah. Kesimpulannya jelas, Indonesia perlu menemukan cara untuk menarik investasi ke industri ekspor. Apakah investasi ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing atau domestik tidak terlalu menjadi masalah. Yang penting adalah kita mampu meningkatkan investasi dan ekspor bersih guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Bagaimana mewujudkannya? Di sinilah investasi infrastruktur menjadi penting. Jalan, pelabuhan, dan bandara yang macet menaikkan biaya dalam melakukan bisnis dan membuat perusahaan kurang kompetitif. Pasokan listrik yang tak memadai bagi perusahaan memaksa mereka membeli generator cadangan dengan harga mahal. Hambatan birokrasi juga masih menjadi masalah besar di Indonesia. Meskipun pemerintah telah membuat kebijakan penyederhanaan izin investasi tujuan utama, investor masih mengeluh bahwa tidak ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, atau antar lembaga, baik di pusat maupun daerah. Korupsi adalah masalah serius yang menghambat investasi domestik maupun asing untuk melanjutkan rencana investasi mereka. Memang, hal tersebut tak mudah, namun bukan berarti tak mungkin. Langkah pertama adalah menyadari bahwa prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tergantung kepada upaya menarik investasi baru, terutama untuk industri-industri berorientasi ekspor.
(Jonathan Pincus)
7
PROGRESIF
Agustus 2015
PENDIDIKAN
Foto : Mohamad Burhanudin
8
Mendewasakan Pendidikan Tinggi K
Foto : Istimewa
emitraan pendidikan internasional tengah naik daun di negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Negara tuan rumah memperoleh akses ke pengetahuan dan pengajaran kelas dunia, dan mahasiswa setempat mendapatkan lebih banyak pilihan program pendidikan berkualitas, tanpa harus meninggalkan negaranya. Universitas internasional perlu membangun reputasi global mereka, terutama di wilayah seperti Asia Tenggara, yang rata-rata pendapatan rumah tangga dan populasi usia kuliahnya terus bertumbuh. Anehnya, mengapa Indonesia tidak memiliki kemitraan serupa? Jawabannya sederhana: kemitraan itu tidak sah secara hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20012 tentang Pendidikan Tinggi dan undang-undang sebelumnya, melarang pendirian kampus cabang dari universitas internasional. Pembatasan ini dijustifikasi sebagai cara untuk melindungi pendidikan tinggi di Indonesia karena dinilai masih terlalu lemah untuk bersaing dengan universitas global. Ini merupakan versi akademik dari “proteksi terhadap industri bayi,” dimana pemerintah memblokir impor suatu barang – misalnya semen atau baja – sampai perusahaan domestik cukup kuat untuk bersaing dengan perusahaan asing. Permasalahan dengan proteksi industri bayi adalah “para bayi” lokal ini tidak memiliki insentif untuk tumbuh dewasa. Asumsinya, daripada membuang waktu dan uang untuk mencoba mengikuti perkembangan teknologi baru, perusahaan lokal melobi pejabat pemerintah untuk memastikan impor diblokir. Konsumen paling dirugikan dengan cara ini karena harus membayar harga tinggi untuk semen dan baja produksi dalam negeri, yang sebagian tidak memenuhi standar kualitas internasional. Pemerintah telah memroteksi universitas di Indonesia dari persaingan asing selama bertahun-tahun. Namun, hasilnya sangatlah mencengangkan, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini tidak mempunyai satu pun lembaga di The Times Higher World University 400. Situasi ini menghambat pertumbuhan ekonomi. Universitas menghasilkan terlalu banyak lulusan dari program manajemen umum, dan tidak cukup banyak insinyur dan ilmuwan. Pemberi kerja melaporkan bahwa insinyur Indonesia dibayar dua kali lipat dari insinyur India, tapi membutuhkan lebih banyak pelatihan kerja.
Uang yang lebih banyak tidak akan berhasil selama universitas Indonesia masih menikmati proteksi industri bayi. Kebijakan pemerintah saat ini dirancang untuk menghilangkan semua bentuk kompetisi dari sektor ini. Kenaikan jabatan dosen, misalnya, dilakukan berdasarkan senioritas dan bukan karena penelitian dan kinerja pengajaran. Mereformasi sistem tidak akan mudah. Sebagian besar lembaga dan akademisi akan secara akif menentang perubahan yang berupaya memasukkan lebih banyak akuntabilitas dan kompetisi ke dalam pengaturan pendanaan, remunerasi, perekrutan, dan kenaikan jabatan. Masalah dalam kebijakan investasi dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan pendidikan tinggi kita. Mengurangi hambatan investasi seringkali sulit secara politis, karena industri yang diproteksi menggunakan pengaruh para politisi untuk menghalang-halangi reformasi. Kawasan ekonomi khusus (KEK) seringkali dianggap sebagai cara yang tidak mengancam secara politis untuk menarik investasi yang dibutuhkan dengan tidak adanya reformasi yang lebih dalam. Dalam dunia pendidikan, kurang masuk akal untuk menciptakan celah di lokasi geografis tertentu, karena akademisi dan lembaga yang berpola pikir reformasi belum tentu berada di lokasi yang saling berdekatan. Daripada melakukan hal itu, pemerintah dapat menciptakan suatu program ilmu pengetahuan dan teknologi khusus yang memungkinkan universitas internasional dan domestik menetapkan kemitraan pengajaran dan penelitian baru dalam disiplin ilmu tertentu yang saat ini kurang terwakili di universitas di Indonesia. Menurut Bank Dunia, 30 persen tenaga kerja Indonesia yang berusia 30-45 tahun membutuhkan pelatihan kembali. Pemerintah dapat mendorong akademi, perguruan tinggi, dan universitas untuk bekerja sama dengan industri untuk membentuk program kejuruan khusus untuk mengatasi kekurangan keterampilan tertentu di pasar tenaga kerja. Ada banyak eksperimen serupa yang menciptakan inovasi. Intinya adalah reformasi sektor pendidikan tinggi mungkin akan dimulai dengan langkah-langkah kecil, dan bukan pula sebuah lompatan raksasa. Seiring waktu, pemerintah dan akademisi di Indonesia semoga menyadari, persaingan dan keterbukaan merupakan hal yang baik untuk mendewasakan pendidikan tinggi di negeri ini. (Jonathan Pincus)
PROGRESIF
Foto : Istimewa
WAWANCARA KHUSUS
Agustus 2015
Teknologi Digital Hanyalah Alat P
ermasalahan perkotaan yang kian kompleks menuntut adanya sebuah cara tepat yang dapat menjadi simpul solusi mengatasi ragam permasalahan yang ada. Salah satu konsep penanganan perkotaan yang mutakhir saat ini adalah kota cerdas (smart city). Sebuah model penataan kota yang berbasis pada penggunaan jaringan teknologi digital. Di Indonesia, sejumlah kota juga telah mengampanyekan diri sebagai kota cerdas, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Namun, kota cerdas bukan sekadar pengadaan teknologi digital belaka. Diperlukan sumber daya manusia yang cerdas dan kebijakan yang berkelanjutan agar kota cerdas berkesinambungan. Nah, bagaimana kota cerdas semestinya diterapkan, berikut wawancara Progresif dengan pakar perkotaan, yang sekaligus Konsultan Senior Transformasi, Wicaksono Sarosa, beberapa waktu lalu. Konsep kota cerdas kini sangat mengemuka dalam wacana penataan kota di Indonesia. Apakah kota cerdas sekadar tren atau sebuah cara yang disadari sebagai upaya mengatasi masalah perkotaan? Mungkin ini sekarang sedang tren, tapi juga bisa kesadaran bahwa teknologi bisa membantu menyelesaikan persoalan. Kalau ini sekadar tren, lalu pasang-pasang wifi di taman-taman, jalan-jalan, itu kegunaannya menjadi sangat terbatas dan mahal, akhirnya kegunaannya tidak banyak. Kalau memang kesadaran bahwa teknologi digital itu bisa menjadi salah satu alat untuk membantu memecahkan berbagai persoalan perkotaan, supaya fungsi-fungsi kota bisa berjalan, itu memang ada.
Jangan sampai ketergantungan. Kalau kita tergantung kepada gadget, kita terdehumanisasi. Sekali-kali tinggalkan gadget-nya, dan nikmati hidupmu.
Tujuannya apa? untuk tinggal dengan nyaman di kota, bisa meningkatkan kesejahteraan, dan berkelanjutan. Saya kira teknologi bisa membantu itu semua terjadi, tetapi teknologi bukan tujuan. Apa yang harus dipenuhi sebuah kota agar layak disebut sebagai kota cerdas? Macam-macam persyaratannya. Termasuk di dalamnya smart government dan smart governance. Government termasuk interelasi dengan pemangku kebijakan lain, bisnis, dan lain sebagainya. Di smart governance itu di dalamnya ada smart government, yang di dalamnya lagi ada e-kinerja. Tapi, itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan kota cerdas, bisa juga mencakup mobilitas, yang mengatur supaya pengaturan transportasi dan lalu lintas menjadi lebih efisien, dan juga supaya energi yang digunakan oleh kota menjadi lebih efisien. Teknologi digital bisa membantu ini, tetapi bukan satu-satunya. Yang mengambil sampah tetap manusia, tetapi pengaturan dan informasi tentang sampah bisa dikelola lewat teknologi digital. Selain smart governance, mobility, smart energy use, smart building, dan segala aspek kehidupan perkotaan itu bisa dibuat cerdas. Yang tentunya yang penting juga adalah smart citizen. Bagaimana agar penggunaan teknologi digital di kota cerdas tak mendehumanisasi masyarakat kota? Manusia tak boleh dikuasai teknologi, manusia yang harus mengusai teknologi. Karena, manusia sangat mudah dikuasai teknologi. Lebih parah lagi apabila teknologi itu bikinan pihak lain, lalu kita dikuasai oleh pihak lain itu atau menjadi tergantung. Misalnya, kota menggunakan perangkat lunak tertentu yang milik merek tertentu, yang kemudian tergantung. Ini tentunya bukan cerdas. Jangan sampai ketergantungan. Kalau kita tergantung kepada gadget, kita terdehumanisasi. Sekali-kali tinggalkan gadget-nya, dan nikmati hidupmu. Kota Cerdas berkelanjutan itu seperti apa? Yang penting kotanya yang berkelanjutan, bukan teknologinya. Teknologinya akan berganti. Selalu akan ada yang tumbuh. Sekarang media sosialnya pakai Facebook, Twitter, tapi 10 tahun lagi sudah berganti. (Mohamad Burhanudin)
9
Agustus 2015
KOMUNIKATIF
Foto : Mohamad Burhanudin
10 PROGRESIF
Strategi Komunikasi untuk Kebijakan Publik
S
ering terdengar di masyarakat tentang kebijakan pemerintah yang sekadar menjadi peraturan dan tidak terimplementasikan dengan baik. Akibatnya, pelanggaran pun kerap terjadi, baik disebabkan oleh kesengajaan maupun ketidaktahuan tentang peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan. Sosialisasi dan implementasi kebijakan publik yang buruk, bahkan, menciptakan kesempatan praktik korupsi yang merajalela di instansi-instansi pemerintahan. Jika pemerintah bersungguh-sungguh dalam hal implementasi kebijakan publik, maka hal-hal teknis di luar kebijakan itu harus diperhatikan. Berkaca kepada keseriusan korporasi atau perusahaan swasta dalam meluncurkan produk, maka pemerintah pusat maupun daerah bisa belajar banyak agar produk kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui untuk diimplementasikan dengan baik, pun oleh jajaran aparat maupun masyarakat. Kesuksesan perusahaan dalam meluncurkan suatu produk tergantung dari strategi komunikasi yang dimiliki. Menyangkut strategi komunikasi pemerintah dalam hal implementasi kebijakan publik bisa dibagi menjadi dua, yaitu strategi komunikasi internal dan eksternal. Strategi komunikasi internal terkait pedoman bagi seluruh pegawai negeri sipil yang terlibat langsung dengan kebijakan yang dikeluarkan. Buku manual harus dibuat, dan dipahami sebagai panduan terutama hal-hal yang berkenaan dengan menjelaskan kebijakan itu kepada masyarakat. Kalau hal ini dipenuhi, isu-isu seperti mutasi, promosi, dan lain-lain tidak akan mengganggu implementasi kebijakan. Kedua, strategi komunikasi eksternal. Strategi komunikasi pemerintah berbeda antara satu dengan yang lain. Namun yang pasti ada beberapa aspek yang bisa dijadikan rujukan dalam melakukan komunikasi publik, yaitu penyampai kebijakan (communicator), karakteristik masyarakat atau penerima kebijakan (recipients’ character), kejelasan penyampaian kebijakan (clarity of message), dan media yang digunakan.
Selain pemerintah, biasanya penyampai kebijakan diwakili oleh sosok lain yang dianggap mewakili. Sosok ini harus memenuhi persyaratan, seperti popularitas, pola perilaku yang baik, dan memiliki karakter yang sesuai dengan isi kebijakan yang dikeluarkan.
Dalam menyampaikan kebijakan, pemerintah harus memperhatikan masyarakat yang dipimpinnya. Dalam menyampaikan kebijakan, pemerintah harus memperhatikan masyarakat yang dipimpinnya. Berbicara dengan masyarakat pedesaan berbeda dengan masyarakat kota. Bicara dengan masyarakat desa harus menggunakan pola komunikasi yang interkatif dan bukan pola instruktif. Tidak mengherankan jika banyak pemerintah daerah mengalami kegagalan dalam menegakkan kebijakan publik di daerah-daerah pelosok. Sering menjadi keluhan masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama ketika berhadapan dengan sanksi yang akan diterapkan. Oleh karena itu kebijakan harus memenuhi unsur kejelasan pesan dalam penyampaiannya. Unsur what, who, when, where, why, dan how harus dengan jelas disampaikan, terutama jika terdapat sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Aspek terakhir yang harus diperhatikan, yaitu media yang digunakan dalam menyosialisakan kebijakan. Banyaknya media yang bisa digunakan bisa menjadi kelebihan tersendiri dalam menyosialisakan kebijakan. Pemilihan media yang tepat harus menjadi perhatian dan disesuaikan dengan demografis masyarakat. Kedua aspek di atas sangat bergantung dari kemampuan agen-agen komunikasi yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun daerah. (Muhammad Syarifullah)
PROGRESIF
GALERI Transformasi Cities Forum Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta, 8 Juni 2015
Agustus 2015
11
Agustus 2015
UMUM
P
ersoalan mendasar dalam penegakan hukum di negeri ini adalah jauh lebih lemahnya institusi hukum dibanding orang kuat. Orang kuat dalam hal ini adalah mereka yang memiliki basis ekonomi dan politik yang besar. Orang-orang kuat inilah yang akrab disebut sebagai kaum oligarkh atau kelompok oligarki. Menurut pakar politik dari Northwestern University, Jeffrey Winters, oligarki sebenarnya sudah ada dalam sistem perpolitikan Indonesia sejak masa Orde Baru. Soeharto membangun basis oligarkinya dan menempatkan dirinya sebagai pusat dari oligarki tersebut. Dalam relasi itu, siapapun yang hendak memperoleh akses politik, hukum, maupun ekonomi yang baik, maka harus berhubungan dengan lingkar oligarki, di mana Soeharto adalah penentu akhirnya. Pada masa reformasi, oligarki ini tak serta merta mati. Bahkan, cenderung liar. Namun, berbeda dengan era Orde Baru, oligarki pada masa reformasi cenderung menyebar. Yang terjadi kemudian adalah politik bagi-bagi. Hebatnya, dari waktu ke waktu oligarki ini semakin menguat, terutama sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa. Melonjaknya harga komoditas produk ekstraktif, seperti batubara, minyak bumi, dan bahan tambang lainnya di pasaran internasional, membuat kumpulan oligarki ini semakin kuat, karena terhidupi oleh sumber daya ekonomi yang besar. Tidak heran, pada masa itu, muncul oligark-oligark yang kaya raya, kuat secara politik, dan kebal hukum (terutama dari kewajiban pajak dan korupsi), yang memiliki basis ekonomi pada komoditas ekstraktif tersebut. SBY menempatkan diri di pusat koalisi oligarki, namun dengan metode bagi-bagi, tawar menawar, jual-beli. Mimpinya, membuat semua oligark tersenyum dan mengerahkan dukungan kepada dia. Bagi-bagi yang utama, penegakan hukum nomor-nomor berikutnya. Pada era Joko Widodo, konstelasi oligarki berubah. Sebagai presiden, Jokowi relatif lemah dalam peta oligarki tersebut karena tak memiliki partai politik. Saat di puncak kekuasaan, Jokowi lebih disibukkan mengamankan posisinya dari kepungan oligarki dengan cara menerapkan gaya politik akomodatif. Dia mencoba mengkomodasi semua mata rantai oligarki, yang mengincar remah-remah ekonomi politik di sekeliling kekuasaan. Gaya politik akomodatif ini membuatnya makin menjauh dari sikap politik yang transformatif. Berkebalikan
Foto : Aris Subekti
Oligarki dan Ketimpangan Ekonomi
Foto : Mohamad Burhanud
12 PROGRESIF
dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang memilih jalan transformatif daripada akomodatif. Hal ini sangat disadari oleh Jokowi, mengingat pengalaman buruk Gus Dur yang hanya bertahan 1,5 tahun di kursi kepresidenan, akibat pilihan sikap politik yang mementingkan transformasi itu. Ketimpangan ekonomi Mengapa oligarki di Indonesia cenderung menguat di tengah demokratisasi? Neoliberalisme yang diterapkan Soeharto dalam sistem perekonomian, menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, namun sekaligus ketimpangan kesejahteraan. Ketika harga komoditas ekstraktif membumbung tinggi sejak tahun 2005, jurang ketimpangan itu kian lebar. Elite-elite politik yang berada di sekitar kekuasaan mendapatkan banyak konsesi-konsesi tambang dan mineral. Kesenjangan kekuasaan material dalam masyarakat Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Data tahun 2010 memperlihatkan, rata-rata kekayaan bersih 40 oligark terkaya di Indonesia lebih dari 630.000 kali lipat produk domestic bruto (PDB) per kapita Indonesia (di Thailand dan Korea Selatan kesenjangannya hanya 190.000 dan 69.000). Meskipun kaum oligark itu kurang dari 2 per 1.000.000 jumlah penduduk, gabungan aset mereka setara dengan 10 persen PDB (Jeffrey Winters, 2014). Sekalipun kita memperluas lensa pengamatan hingga mencakup 43.000 orang Indonesia dengan aset keuangan lancar sekitar 1 juta dollar AS, hasilnya masih menunjukkan konsentrasi sumber daya kekuasaan material sangat besar tetap di tangan segelintir orang. Menguatnya oligarki juga didukung situasi lemahnya gerakan kelas menengah kritis di negeri ini. Mereka sebenarnya ada. Suara mereka, bahkan, nyaring terdengar setiap saat di media arus utama, maupun media sosial. Namun, orang-orang yang kerap dilabeli aktivis dan intelektual itu jauh berjarak dengan masyarakat. Teriakan dan gerakan kelas menengah kritis tersebut cenderung parsial, tak terstruktur, insidentil, dan melupakan mobilisasi massa akar rumput. Akibatnya, gerakan mereka sangat mudah dipatahkan oleh para oligark, yang tak hanya menguasai institusi politik, tetapi juga menguasai roda perekonomian dan, bahkan, media massa dengan sangat mapan. (Mohamad Burhanudin)
INFOGRAFIK
Kemudahan Melakukan Usaha di Indonesia
Seberapa kompetitif proses perizinan usaha di Indonesia? Kemudahan melakukan usaha 2015
1
26
Mendaftarkan sebuah usaha 2014 Prosedur
1
Thailand
189
78 95 114 142 173
Peringkat
Peringkat
Vietnam Filipina Indonesia India
189
Bangladesh
Sumber : Bank Dunia
Thailand
4
34
Bangladesh
9
20
Vietnam
10
28
Indonesia
10
53
India
12
29
Filipina
16
34
75 115 125 155
Jumlah Hari
158
161
Sumber : Bank Dunia
Permasalahan dalam Pemberian Izin Usaha Jumlah izin yang terlalu banyak dan waktu pemrosesan yang terlalu lama
Contoh: Perizinan untuk usaha baru di bidang manufaktur membutuhkan 794 hari menurut UU Dibutuhkan 82 izin agar sebuah produsen furnitur multinasional dapat beroperasi secara sah Rp
Diskresi staf perizinan yang terlalu besar, sehingga menimbulkan suap
Rp
Nilai Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi adalah
0
34
34
100
sangat korup
tidak korup
Sumber : Transparency International
Solusi Kebijakan Saat Ini
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di tahun 2015 Mengambil alih otoritas perizinan dari 22 kementerian dan badan pemerintah Menerbitkan seluruh 147 izin di tingkat nasional (kecuali pembiayaan & minyak dan gas bumi) Integrasi sistem awal paling lambat akhir 2015 (24 provinsi, 120 kabupaten) 34 provinsi, 561 kabupaten, Kawasan Integrasi sistem penuh paling lambat 2016 (Perdagangan Bebas, Kawasan Ekonomi Khusus)
Tantangan Berikutnya Mengurangi jumlah perizinan
Membuat sistem aplikasi dan pembayaran berfungsi dengan baik
Transisi yang mulus dari sistem lama ke sistem baru
Mengintegrasikan sistem perizinan pusat dan daerah
Sumber : Bank Dunia, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta Post, Asia Foundation
www.transformasi.org
[email protected]
+62 21 7209946
@transformasi_id
Transformasi Indonesia
+62 21 2702401/2
Didukung oleh :
RAJAWALI FOUNDATION
[email protected]
+62 21 7209946
+62 21 2702401/2
Transformasi Indonesia
Graha Iskandarsyah 11th floor. Jl Raya Sultan Iskandarsyah 66C. Melawai, Kebayoran Baru. Jakarta 12160. Indonesia Kunjungi situs kami di www.transformasi.org untuk informasi lebih lanjut tentang kegiatan dan kesempatan bekerja sama dengan kami Please visit us at www.transformasi.org for more information about our activities and opportunities to work with us
@transformasi_id