PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
MENGENDUS JEJAK KAPITALISME DI INDONESIA: Studi Terhadap Perubahan Status Kawasan Merapi-Merbabu Menjadi Taman Nasional
Jenis Kegiatan PKM Penulisan Ilmiah
Diusulkan Oleh : Slamet Haryono NIM 412000011 Angkatan 2000
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2006
MENGENDUS JEJAK KAPITALISME DI INDONESIA : Studi Terhadap Perubahan Status Kawasan Merapi-Merbabu Menjadi Taman Nasional
Slamet Haryono Jurusan Biologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
ABSTRAK Perubahan status kawasan Merapi-Merbabu dari Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak. Kebijakan tersebut menjadi perdebatan yang sengit melihat sejumlah Taman Nasional yang telah ada cenderung tidak terawat dan bahkan terjadi kerusakan yang parah. Hal ini disebabkan karena ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan konservasi lingkungan, sebab upaya konservasi tersebut lebih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomis. Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang konservasi lebih menguntungkan pemilik modal daripada masyarakat sekitar. Melalui penelitian ini diharapkan dapat membangun kesadaran lebih dini akan ancaman kapitalisme global. Untuk itu telah dilakukan studi deskriptif dengan melihat perkembangan penanganan kawasan Merapi-Merbabu di media cetak yang kemudian hasilnya dipadukan dengan data sekunder lainnya. Dari data tersebut diperoleh kronologis penanganan kawasan Merapi-Merbabu. Pada pembahasan diuraikan beberapa permasalahan mendasar serta kemungkinan adanya campur tangan kapitalisme global. Kesimpulkan dari penelitian ini adalah bahwa konservasi yang dilakukan haruslah melibatkan masyarakat setempat secara proaktif, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan baik untuk kesejahteraan masyarakat ataupun untuk kelestarian alam itu sendiri. Kata kunci : Taman Nasional, Merapi-Merbabu, Kapitalism, Lingkungan
1
PENDAHULUAN Kawasan Merapi-Merbabu terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang meliputi wilayah Kabupaten Boyolali, Klaten, Sleman, Magelang dan Kabupaten Semarang. Dengan mengacu pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 134 dan 135 Tahun 2004 tentang perubahan fungsi hutan Merapi dan Merbabu, menyebutkan bahwa hutan Merapi mempunyai luas +
6.410 ha sedangkan hutan Merbabu + 5.725 ha, yang
sebelumnya merupakan kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (Departemen Kehutanan, 2004). Pro-kontra seputar perubahan status kawasan tersebut menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan Merapi-Merbabu? sehingga pemerintah pusat, dalam hal ini melalui Departemen Kehutanan giat memperjuangkan perubahan status tersebut. Di sisi lain jika untuk kepentingan konservasi alam dan masyarakat mengapa terjadi reaksi penolakan oleh masyarakat, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok Pecinta Alam? Sementara itu di tingkatan global sedang berlangsung proses perputaran modal dengan sangat cepat sekali. Menurut Dietz (1996), secara teoritis kapitalisme merupakan suatu ideologi yang bertujuan melakukan penumpukan modal melaui proses-proses penumpukan modal. Sedangkan Beilharz (2002) menerangkan bahwa kapitalisme bukan hanya sekedar paham tetapi merupakan sebuah mesin ekonomi yang pintar, yang mampu melipatgandakan laba dan juga menyangkut soal politik kekuasaan. Kondisi di atas merupakan bagian dari rencana Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund). Kedua lembaga tersebut didirikan pada tahun 1944 di Bretton Woods, Amerika Serikat, pada masa pemerintahan presiden Ronald Reagen, dengan mandat untuk menolong dan mencegah konflik di masa depan dengan cara memberi pinjaman untuk rekonstruksi dan pembangunan dan dengan melicinkan pembayaran temporer (George, 2002). Selanjutnya pada tahun 1995 dibentuk WTO (World Trade Organization) yang memberikan angin segar kepada Trans National Corporation (TNC) yaitu dengan adanya kemudahan untuk memindahkan modal, teknologi, barang dan jasa secara bebas kemanapun
2
di dunia tanpa dihalangi oleh regulasi dan pemerintahan demokratis negara tersebut. Di Indonesia kehadiran Bank Dunia dan IMF semakin kelihatan jelas pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Akibat dari paket deregulasi perbankan yang ditawarkan IMF Indonesia harus menanggung utang domestik sejumlah Rp 650 trilyun (George, 2002). Melihat fenomena tersebut, maka keberadaan hutan lindung dan Taman Nasional menjadi semakin terancam seiring dengan meningkatnya tekanan dari Bank Dunia dan IMF. Tekanan tersebut berupa upaya menggeser batas kawasan, merubah status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi dan desakan untuk segera melakukan amandemen terhadap UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Padahal sampai sejauh ini terdapat 17,669 juta Ha atau 37,5% dari total luas lahan kontrak karya berada di kawasan hutan lindung (Walhi, 10 April 2002). Meski upaya konservasi terus dilakukan - merubah status kawasan hutan menjadi hutan lindung ataupun Taman Nasional, serta pembuatan peraturan pelarangan penambangan di kawasan hutan lindung - namun tetap juga tidak dapat membendung laju kerusakan hutan (Tempo, 18-24 Maret 2002). Ironisnya sampai pada tahun 2002 pemerintah telah memberikan ijin pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi seluas 11, 5 juta Ha (Tempo, 30 Juni-Juli 2002). Sementara itu konsep pengelolaan Taman Nasional selama ini sangat sentralistik dan kerap mengabaikan masyarakat lokal yang justru telah hidup di kawasan tersebut dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik antara pihak pengelola dan masyarakat setempat. Untuk pengelolaan hutan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Taman Buru, Hutan Wisata dan Hutan Lindung dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional, sehingga memberikan kesan bahwa pengelolaan hutan masih jauh dari “hutan rakyat” bahkan cenderung kawasan konservasi tersebut harus “steril” dari rakyat. Sekilas nampak bahwa permasalahan tersebut hanya menyangkut setuju dan tidak setuju terhadap program Taman Nasional Merapi-Merbabu (TNMM). Namun demikian penyusun juga mencermati akan adanya kemungkinan pengaruh
3
dari luar yang cukup kuat. Lebih lanjut penyusun akan mengupas bahwa isu TNMM bukan hanya sekedar permasalahan kebijakan pusat yang tidak aspiratif dan relevan terhadap kebutuhan masyarakat, tetapi mencari suatu keterkaitan antara kepentingan kapitalisme global dan kepentingan politik lokal. Diharapkan melalui tulisan ini kita dapat mengetahui dan menyadari lebih dini akan ancaman kapitalisme global terhadap keberlangsungan TNMM serta kesejahteraan masyarakat.
METODE PENELITIAN Karya tulis ini disusun secara deskriptif dengan mengikuti perkembangan penanganan kasus TNMM melalui media cetak dan internet (data sekunder) untuk selanjutnya dikaji ulang dengan memperhatikan berbagai informasi langsung (wawancara) dengan masyarakat sekitar Merapi-Merbabu, LSM yang terlibat dalam penanganan TNMM misalnya SPPQT (Serikat Paguyuban Petani Qaryah Tayyibah). Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai Mei 2005. Langkah pertama adalah dengan mengumpulkan informasi seputar TNMM melalui media cetak dan internet dan wawancara . Dari informasi yang diperoleh kemudian dibuat kronologis pro-kontra perubahan status kawasan MerapiMerbabu. Langkah ke dua adalah mencari referensi penunjang. Langkah ke tiga adalah menarik kesimpulan dan rekomendasi.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan dari bulan Maret hingga Mei 2006 maka diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 1. Kronologi Perubahan Status Kawasan Gunung Merapi-Merbabu menjadi Taman Nasional. No
Tanggal
1
12 Mei 2001
2
14 Juni 2001
Agenda Kunjungan kerja Menhutbun Marzuki Usman ke DIY. Pertama kali diusulkannya kawasan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi DIY melalui Nomor 174/Kwl-l/2001, mengajukan surat
4
3
14 Juli 2001
4
15 Januari 2002
5
27 April 2002
6
19 Agustus 2002
7
22 Agustus 2002
8
23-25 Agustus 2002
9
AgustusSeptember 2002 Agustus 2002September 2003
10
11
17 Oktober 2002
12 13
NopemberDesember 2003 11 Pebruari 2004
14
30 April 2004
15
4 Mei 2004
16
26 Mei 2004
17
9 Juli 2004
kepada Gubernur tentang rencana Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Gubernur menyetujui kemudian mengajukan surat ke Menteri Kehutanan dengan Nomor 522.52182 Pertama kali dilakukan penolakan atas rencana Taman Nasional oleh Paguyuban Sabuk Gunung Merapi, dan Kelompok Pecinta Alam disebabkan karena ketidakjelasan rencana tersebut dan tidak adanya keterlibatan masyarakat setempat. Gubernur DIY mengajukan surat ke Menhut yang baru (M. Prakosa) dengan Nomor 522/118, tentang permohonan penunjukan kawasan hutan Gunung Merapi Menjadi TNGM. Gubernur Jawa Tengah Mengajukan surat permohonan penunjukan kawasan hutan Gunung Merbabu menjadi Taman Nasional. Masyarakat mulai resah akan kemungkinan dibangunnya berbagai fasilitas wisata seperti, hotel dan taman hiburan di sekitar kawasan Gunung Merapi dan kuatir akan hancurnya budaya masyarakat sekitarnya. Studi Orientasi ke Taman Nasional Gede Pangrango yang terdiri dari unsur DPRD Propinsi DIY, DPRD Kabupaten Sleman, Eksekutif Pemda Propinsi DIY ad Tokoh Masyarakat tingkat Kecamatan, Desa dan Dusun. Sosialisasi kepada masyarakat sekitar kawasan meliputi Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Seminar/Saresehan/Diskusi yang diselenggarakan oleh berbagai pihak, antara lain: Fakultas Kehutanan UGM, Pusat Studi Lingkungan UGM, Pecinta Alam IAIN, UPN dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Presiden Megawati Soekarnoputri Mencanangkan Tahun Ekowisata di Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali. Komunikasi Legislatif Eksekutif Pemerintah kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, Klaten. Rapat dengar pendapat dengan Sub Komisi Energi dan Sumberdaya Mineral Komisi VIII DPR RI tentang rencana pembentukan kawasan Merapi-Merbabu menjadi Taman Nasional yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah beserta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jawa tengah, Wakil Gubernur DIY beserta Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi DIY Pengkajian dan Pembahasan Tim Terpadu atas usulan pembentukan TNGM. Menteri Kehutanan Mengeluarkan keputusan dengan Nomor SK.134/MENHUT-II/2004 dan SK. 135/MENHUTII/2004 tentang perubahan Fungsi hutan kawasan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu menjadi Taman Nasional. Dekan Fakultas Kehutanan UGM Merasa Kecolongan dengan digunakannya Studi Kelayakan yang dilaksanakan oleh timnya dipakai sebagai legitimasi SK perubahan fungsi kawasan Hutan Gunung Merapi-Merbabu tersebut. WALHI bersama masyarakat setempat melakukan gugatan kepada Menteri Kehutanan atas SK -Perubahan fungsi hutan
5
18
29 Juli 2004
19
12 Agustus 2004
kawasan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional- yang dikeluarkannya dan diminta segera mencabutnya. Sidang ditunda kemudian dilanjutkan pada tanggal 12 agustus 2004. Sidang pertama gugatan terhadap Menteri Kehutanan, Sidang dilanjutkan 12 Agustus 2004 Sidang lanjutan.
Sumber : (1) Indriyo,17 September 2002. (2,3,5,6,8,9,10,12,13,14) Badan Informasi Daerah, Pemerintah Propinsi DIY, 2002. Dalam Laporan Kegiatan Workshop Konservasi-Advokasi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah, 2004. (4) Suara Merdeka, 15 Januari 2002. (7)Suara Merdeka, 22 Agustus 2002. (11) Suara Merdeka, 12 Oktober 2002. (15) Departemen Kehutanan, 4 Mei 2004. (16) Suara Merdeka, 26 Mei 2004. (17) WALHI, 9 Juli 2004. (18,19) WALHI, 29 Juli 2004.
PEMBAHASAN Berdasarkan
hasil
penelitian,
berikut
adalah
beberapa
temuan
permasalahan mendasar mengenai TNMM dari berbagai versi: Versi pemerintah menunjukan indikasi memang awal mula pengusulan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terlihat bahwa rencana perubahan status kawasan hutan Gunung Merapi berasal dari pemerintah pusat, yang kemudian secara formalitas pemerintah daerah mengajukan surat permohonan penunjukan kawasan hutan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional. Dari berbagai kesempatan sosialisasi yang diadakan pihak pemerintah mengarah kepada perlunya dilakukan kawasan konservasi atas kawasan hutan Gunung Merapi. Konservasi tersebut bertujuan untuk optimalisasi aspek lingkungan, sosial, ekonomi secara komprehensif dari sumberdaya alam yang ada. Dengan Taman Nasional tersebut diharapkan lingkungan akan terjaga kelestariannya dan kesejahteraan penduduk akan meningkat. Dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pecinta Alam, berpendapat bahwa dengan mengacu pada pengalaman pemerintah dalam mengelola Taman Nasional yang ada dan hasil penelitian serta observasi yang dilakukan, mereka menyerukan untuk menolak pelaksanaan Taman Nasional di kedua kawasan tersebut. Dengan pertimbangan bahwa Taman Nasional yang ada telah banyak yang mengalami kerusakan, hal ini berarti bahwa dengan merubah status kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam menjadi Taman Nasional tidaklah menjamin kelestarian kawasan tersebut. Bahkan dikawatirkan malah justru akan menimbulkan kerusakan. Pertimbangan kedua adalah, jika pihak pemerintah kawatir akan kelestarian lingkungan maka yang diperlukan adalah penegakan hukum yang ada, 6
bukan malah mengganti status hutan menjadi Taman Nasional. Kalaupun sudah menjadi Taman Nasional Tanpa adanya penegakan hukum yang tegas, maka kerusakan lingkunganpun tidak terhindarkan, seperti di beberapa Taman Nasional yang lain ( Kompas, 21 september 2001). Pertimbangan ketiga adalah sebagai konsekuensi logis dengan adanya Taman Nasional yaitu dibangunnya sarana penunjang, misalnya hotel, areal parkir dan taman hiburan di sekitar lokasi. Dengan demikian akan berakibat kerusakan secara ekologis maupun kerusakan sosial yang diakibatkan oleh karena pengaruh budaya dari luar yang dibawa setiap pengunjung. Di sisi lain masyarakat setempat tidaklah terlalu muluk-muluk untuk melakukan konservasi seperti yang digembar-gemborkan pemerintah. Mereka tahu bagaimana harus melestarikan lingkungan mereka, misalnya dengan tidak merusak hutan lindung dan mereka hanya sekedar memanfaatkan rumput untuk keperluan pakan ternak mereka (Tempo, 4-10 Oktober 2004). Mereka tidak menghendaki adanya Taman Nasional ataupun taman-taman yang lainnya, kalaupun harus ada Taman Nasional mereka sangat tidak mengharapkan adanya gusur-menggusur tempat tinggal ataupun ladang mereka, dan mereka menuntut untuk tetap dapat mengakses hutan tersebut. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab adalah “adakah jejak kapitalisme global di Indonesia?”. Berikut beberapa kemungkinan yang mengindikasikan adanya campur tangan kapitalisme global atas perubahan status kawasan TNMM: Bagi kaum oportunis, jika keadaan sudah tenang maka pembangunan fasilitas penunjang Taman Nasionalpun segera dilaksanakan. Tentunya hal ini akan mengundang para investor asing (TNC) berduyun-duyun untuk menanamkan modalnya. Seperti yang disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Jawa Tengah Hertiarto, bahwa Taman Nasional selanjutnya akan menjadi milik dunia, danadana internasional bisa mengalir untuk konservasi Taman Nasional (Kompas, 18 Juni 2004). Tentulah hal itu disambut baik oleh pemerintah pusat ataupun daerah, seperti halnya kebiasaan yang sudah-sudah bahwa pemerintah sangat gemar dengan proyek, karena dari situ diharapkan akan memberikan masukan ke masing-masing pejabat terkait.
7
Selain itu ada juga kemungkinan mengenai kekayaan bahan Tambang di kawasan TNMM, seperti penuturan Chafied Fandeli Dosen Fakultas Kehutanan UGM “ekosistem Hutan Gunung Merapi-Merbabu menghasilkan Sumber Daya Alam yang melimpah, berupa bahan tambang mineral golongan C. Dalam sekali meletus skala kecil saja, Gunung Merapi mengeluarkan pasir dan batu sekitar 10 juta meter kubik. Nilai pertambangan dari mineral golongan C tersebut mencapai Rp 357.984.000,- “ (Kompas, 24 September 2002). Memang sampai sejauh ini hanya bahan tambang golongan C saja yang diketahui, namun tidak menutup kemungkinan terdapat kandungan mineral lainnya yang lebih berharga. Hal ini cukup beralasan jika kita kembali melihat kronologi perubahan status kawasan Gunung Merapi-Merbabu menjadi Taman Nasional pada tanggal 11 Pebruari 2004 dilakukan rapat dengar pendapat dengan Sub Komisi Energi dan Sumberdaya Mineral Komisi VIII DPR RI tentang rencana pembentukan kawasan Merapi-Merbabu menjadi Taman Nasional yang dihadiri oleh pejabat terkait. Jika memang Merapi-Merbabu tidak terdapat bahan tambang dan mineral yang berharga, mengapakah harus dilaksanakan rapat dengar pendapat tersebut? Hal ini menjadi semakin mengkawatirkan jika kita melihat Peraturan Menteri Kehutanan No 12 tahun 2004 tentang Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Penambangan akan tetap jalan terus Baik di kawasan Hutan Lindung ataupun Taman Nasional jika sudah mengantongi ijin dari Depatemen Kehutanan, seperti halnya di Taman Nasional yang lain. Hal ini akan menjadi semakin mudah karena perijinannya tidaklah terlalu sulit, mengingat Taman Nasional adalah wewenang pemerintah pusat. Singkat cerita perubahan status tersebut mempermudah hambatan birokrasi. Kemungkinan terakhir yang justru lebih mengkawatirkan adalah tentang kekayaan air yang ada di TNMM. Sangatlah masuk akal jika setelah dikeluarkannya UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air kemudian segera dikeluarkan SK perubahan status kawasan Merapi-Merbabu menjadi Taman Nasional. Hal ini cukup beralasan mengingat di lereng Gunung Merapi-Merbabu terdapat 38 mata air dengan debit 10.055 liter/detik dalam setahun terdapat 312.75 milyar meter kubik (Kompas, 24 September 2002).
8
Jumlah air yang sebanyak itu tentu akan sangat bernilai, apalagi untuk 20 tahun mendatang dimana lingkungan semakin rusak dan masyarakat akan kesusahan memperoleh air bersih. Memang sampai sejauh ini belum ada tindakan nyata dari para investor, tetapi setidaknya kita perlu waspada untuk dapat menjaga Sumber Daya Alam yang kita miliki seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33.
KESIMPULAN Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat kita ambil beberapa pokok-pokok yang harus diperhatikan, yaitu : Bahwasanya kawasan hutan Gunung Merapi-Merbabu mutlak harus dilakukan konservasi, dalam pengertian untuk kelestarian masyarakat sekitar dan kawasan tersebut. Untuk melakukan konservasi terhadap kawasan hutan Gunung Merapi-Merbabu terlepas apapun statusnya, mutlak melibatkan masyarakat secara aktif baik dalam persiapan ataupun pelaksanaan. Sehubungan dengan kakayaan alam yang terdapat di kawasan TNMM maka perlu kewaspadaan yang tinggi terhadap sepak terjang kapitalisme global dalam rangka penguasaan terhadap Sumber Daya Alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal yang lebih penting dari pada membuat Taman Nasional adalah melakukan penegakan hukum yang berlaku secara tegas. Di sisi lain juga perlu dilakukan amandemen ataupun penyusunan kebijakan dan perundangundangan yang lebih berpihak pada rakyat kecil.
9
DAFTAR PUSTAKA Beilharz, P., 2002. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Penyunting Kamdani. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Departemen Kehutanan. 2004. Surat Keputusan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Merapi-Merbabu menjadi Taman Nasional. Dalam http://www.dephut.go.id/INFORMASI/skep/skep2004 .htm Dietz, T., 1996. Hak atas Sumberdaya Alam. Terjemahan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. George, S. 2002. Republik Pasar Bebas: Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil Society kepada Kapitalisme Global. terjemahan. International NGO Forum on Indonesian Development. Kompas, 21 September 2001. Bila Tak Mampu Selamatkan Taman Nasional, CGI Ancam Hentikan Bantuan. ______, 24 September 2002. Meski Gunung Merapi jadi Taman Nasional Masyarakat Tetap Boleh Memanfaatkan Sumber Daya Alam Merapi. ______, 18 Juni 2004. Taman Nasional Tak Akan Rugikan Rakyat. Indriyo, D. 17 September 2002. Merapi, Polemik Taman nasional dan Ideologi Konservasi. Artikel dalam http://kappala.com/articles/7.shtml Serikat Paguyuban Petani Qaryah Tayyibah. 2004. Laporan Workshop Konservasi-Advokasi. Suara Merdeka, 15 Januari 2002. Tangguhkan Pembuatan Taman MerapiMerbabu. ______, 22 Agustus 2002. Masyarakat Diminta Tak resah. ______, 12 Oktober 2002. LSM Bereaksi, Ekowisata Jalan Terus. ______, 26 Mei 2004. Fakultas Kehutanan UGM Merasa kecolongan. Tempo, 18-24 Maret 2002. Lingkungan Kembali Ditelikung Bisnis. ______,30 Juni-Juli 2002. Kontrak Karya Menepis Hutan Lindung. ______,4-10 Oktober 2004. Kecemasan di Lereng Merapi. WALHI, 2002. Ancaman Global terhadap Kerusakan Hutan.
Dalam
http://www.jatam.org/indonesia/case/konservasi/uploaded/Siaran_Pers_Ta mbang_di_hutan_10_april_2002.pdf ______, 29 Juli 2004. WALHI dan Warga Gugat SK Menhut Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Gunung Merapi. ______, 2004. SK Nomor 134/MENHUT-II/2004 awal Kehancuran Merapi. Dalam http://www.walhi.or.id
10
HALAMAN PENGESAHAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA 1. Judul Kegiatan
: MENGENDUS JEJAK KAPITALISME DI INDONESIA:
Studi Terhadap Perubahan Status Kawasan Merapi-Merbabu Menjadi Taman Nasional 2. Bidang Ilmu
: Sosial Ekonomi
3. Ketua Pelaksana Kegiatan/Penulis Utama a. Nama Lengkap
: Slamet Haryono
b. NIM
: 412000011
c. Jurusan
: Biologi
d. Universitas
: Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
e. Alamat
: Jl. Somopuro Kidul No 38, Salatiga 50711 No Hp 085640017793
4. Anggota Pelaksanan Kegiatan : 5. Dosen Pendamping a. Nama lengkap
: Izak Lattu, S.Si., MA.
b. Alamat Rumah
: Jl. Monginsidi IV/169 Salatiga-Jateng
Salatiga, 29 Mei 2006
Menyetujui
Ir. Ferry F. Karwur, M.Sc, Ph.D
Slamet Haryono
Ketua Program Studi
Ketua Pelaksana Kegiatan
Umbu Rauta, SH., M.Hum
Izak Lattu, S.Si., MA.
Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan
Dosen Pendamping
11
LEMBAR PENGESAHAN SUMBER PENULISAN ILMIAH PKMI
1. Judul Tulisan yang Diajukan
: MENGENDUS JEJAK KAPITALISME
DI INDONESIA : Studi Terhadap Perubahan Status Kawasan Merapi-Merbabu Menjadi Taman Nasional 2. Sumber penulisan (beri tanda x pada yang dipilih) (
) Kegiatan Praktek Lapang/Kerja dan sejenisnya, KKN, Magang,
Kegiatan Kewirausahaan, (pilih salah satu) dengan keterangan lengkap: _________________________________________________________ Tulis Lengkap : Nama Penulis. Tahun. Judul Karya. Tempat Kegiatan _________________________________________________________
(
X ) Kegiatan Ilmiah lainnya dengan keterangan lengkap :
Lomba karya Tulis Ilmiah Mahasiswa, Senat Mahasiswa Universitas. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. 2005
Tulis Lengkap : Nama Penulis. Tahun. Judul Karya. Tempat Kegiatan Haryono, S. dkk. 2005. MENGENDUS JEJAK KAPITALISME DI INDONESIA : Suatu Studi Kasus terhadap Perubahan Status Kawasan Merapi-Merbabu Menjadi Taman Nasional dengan Referensi pada Beberapa Taman Nasional yang ada. UKSW Salatiga.
Keterangan ini kami buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 29 Mei 2006
Ir. Ferry F. Karwur, M.Sc, Ph.D
Slamet Haryono
Ketua Program Studi
Ketua Pelaksana Kegiatan
12