Program Based Learning Trauma Pelvis
TRAUMA PELVIS
Seorang laki-laki dewasa mengalami kecelakaan lalu lintas terjatuh dari sepeda motor menabrak pohon dengan riwayat kehilangan kesadaran (+) dan daerah selangkangannya terkena stang motor lalu dibawa berobat ke UGD RSUD. Oleh dokter yang memeriksanya didapatkan : A, B, C : baik, GCS : 15 St. Lokalis :Regio Orbita Dextra Inspeksi
: visus : 1/60 dan tak terkoreksi ; hematoma palpebra ; konjunctiva bulbi : injeksi siliaris (+), oedem kornea, darah di COA/ BMD ; pupil : bulat, refleks cahaya (+) ; fundus : sulit dievaluasi ; : normal perpalpasi.
Regio Pelvis : Inspeksi
: jejas di daerah supra pubic, bulging (+), hematoma penis dan skrotum : ada bercak darah di meatus orificium eksterna yang sudah mengering.
Palpasi
: kistik, nyeri tekan daerah supra pubic.
STEP I 1. Memahami dan menjelaskan trauma pelvis dan trauma uretra 1.1. Definisi, manifestasi klinis, diagnosis dan pemeriksaan penunjang, serta penatalaksanaan trauma pelvis 1.2. Definisi, manifestasi klinis, diagnosis dan pemeriksaan penunjang, serta penatalaksanaan trauma uretra 2. Memahami dan menjelaskan gangguan kesadaran 2.1. Gangguan kesadaran 2.2. Pusat pengatur kesadaran 2.3. Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara kualitatif dan kuantitatif 3. Memahami dan menjelaskan trauma tumpul pada mata 3.1. Jenis-jenis trauma tumpul pada mata 3.2. Hifema
STEP II Tugas Mandiri
STEP III 1. Memahami dan menjelaskan trauma pelvis, uretra dan buli – buli 1.1. Definisi, manifestasi klinis, diagnosis dan pemeriksaan penunjang, serta penatalaksanaan trauma pelvis Cedera pelvis dibagi : 1) Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh a. Fraktur avulsi. Fraktur ini biasanya ditemukan pada olahragawan dan atlet. b. Fraktur langsung. Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi. Dalam hal ini memerlukan bed rest total sampai nyeri mereda. c. Fraktur tekanan. Fraktur pada rami pubis cukup ditemukan dan sering dirasakan tidak nyeri. Pada pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. 2) Fraktur pada cincin pelvis Tekanan anteroposterior, cedera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal saat kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan berotasi keluar disertai kerusakan simpisis. Fraktur ini biasa disebut open book. Bagian posterior ligamen sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior ilium.
Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan patah. Di bagian anterior rami pubis pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur. Tile (1988) membagi fraktur pelvis : a. Fraktur stabil. Ini termasuk avulse dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau tanpa pergeseran. b. Fraktur yang secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut fraktur open book. c. Fraktur yang secara rotasi dan vertikal tidak stabil. Terdapat kerusakan pada ligamen posterior yang keras dengan cedera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertikal pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.
Gambaran klinis : Pada fraktur stabil pasien tidak mengalami syok berat, tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis. Foto polos pelvis dapat memperlihatkan fraktur. Pada fraktur tidak stabil, pasien mengalami syok berat, sangat nyeri, dan tidak dapat berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalami anastesik sebagian arena mengalami cedera saraf skiatika. Dalam penanganan patah tulang pelvis, selain penanganan patah tulangnya, perlu ditangani komplikasi yang menyertainya yang dapat berupa perdarahan besar, ruptur kandung kemih, atau cedera uretra. Patah tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hemtom di daerah pinggang, sakrum, pubis, atau perineum.
Diagnosis : Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan gerakan abnormal pada gelang panggul. Untuk itu pelvis ditekan ke belakang dan ke medial secara hati-hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya patah tulang panggul. Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau
perdarahan melalui uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan penilaian pada sakrum, atau tulang pubis dari dalam. Pada pemeriksaan penunjang, umumnya pemeriksaan radiologi diperlukan. Pada patah tulang yang meliputi asetabulum, CT Scan amat berguna untuk melihat dengan tepat posisi fraktur dan hubungan antara fragmen.
Penatalaksanaan : Penanganan darurat yang perlu dilakukan terutama adalah terhadap perdarahan dalam dan ekstravasasi urin. Fraktur yang merobek pembuluh darah dapat menyebabkan syok yang segera harus diatasi. Bila terdapat trauma kandung kemih atau trauma multipel, tindakan yang efektif pada fraktur pelvis yang tidak stabil adalah reposisi terbuka dengan fiksasi ekstern atau intern. Patah tulang pelvis terisolasi yang tidak merusak cincin pelvis dan tidak merusak kolom penunjang berat badan, tidak menggangu stabilitas pelvis dalam fungsinya sebagai penyangga dan mobilisasi sehingga tidak diperlukan reposisi. Fraktur os ilium akibat trauma langsung, menimbulkan rasa amat nyeri hanya diperlukan analgetik sampai nyeri hilang. Untuk fraktur yang merusak gelang pelvis tanpa pergeseran fragmen patah tulang yang terlampau hebat dan tidak merusak kontinuitas kolom penunjang berat badan, dianjurkan istirahat selama penderita belum dapat mengatasi nyerinya. Fraktur ramus os pubis akibat jatuh atau trauma kangkang bisa disertai robekan uretra atau ruptur buli-buli. Fraktur yang merusak gelang pelvis dibedakan atas tiga jenis : 1) Fraktur tulang kompres antero-posterior akibat benturan keras dari arah depan membuat kedua sendi sacroiliaca merekah. Perawatan yang dilakukan adalah perawatan ayunan pelvis di dalam kain ambin memenuhi syarat imobilisasi secara memadai. 2) Fraktur kompresi lateral akibat pukulan atau cedera keras pada 1 sisi pelvis yang menyebabkan fraktur ramus pubis sehingga bergeser dan merusak sacrum, sendi scaro-iliaca atau ala os ilium pada sisi trauma. Pada fraktur ini dapat terjadi reposisi spontan pada saat berbaring dan pemasangan ayunan pelvis untuk mendapatkan serta mempertahankan reposisi. 3) Fraktur trauma vertikal, tidak stabil dan memerlukan traksi skelet continue dengan pin pada femur untuk mereposisi dan mempertahankan reposisi. Apabila fraktur bawah terputar ke ventral, traksi diberikan dengan panggul extensi. Sedangkan bila fragmen distal terputar ke belakang traksi diberikan dalam panggul fleksi. Traksi harus dipertahankan dalam 3 bulan.
Kompilikasi : Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil. Cedera uretra berat dapat menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simpisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars prostate membranacea. Ruptur uretra anterior, cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cedera selangkangan) yaitu uretra terjepit di antara tulang pelvis dan benda tumpul.
1.2. Definisi, manifestasi klinis, diagnosis dan pemeriksaan penunjang, serta penatalaksanaan trauma uretra Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis (simpiolisis).
Etiologi : Penyebab terjadinya ruptur uretra karena adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genitalia eksterna maupun perineum. Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas ruptur uretra posterior yang terletak proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak distal diafragma urogenital. 1) Ruptur uretra posterior Hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranacea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranacea terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada ruptur total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke kranial. Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras dengan tulang simpisis. 2) Ruptur uretra anterior Selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh instrumensasi urologik, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.
Klasifikasi trauma uretra menurut Colapinto & McCallum (1977) : 1) Tipe I : uretra teregang (stretched) akibat ruptur ligamentum puboprostatikum dan hematom periuretra. Uretra masih intak. 2) Tipe II : uretra pars membranacea ruptur di atas diafragma urogenital yang masih intak. Ekstravasasi kontras ke ekstraperitoneal plevic space. 3) Tipe III : uretra membranacea ruptur. Diafragma urogenital ruptur. Trauma uretra bulbosa proksimal. Ekstravasasi kontras ke peritoneum.
Gambaran klinis : Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah supra pubic dan daerah abdomen bagian bawah, dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum. Pada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma, dan nyeri perut bagian bawah dan daerah supra pubic. Ppada perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh. Cedera uretra karena keteterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.
Diagnosis : Ruptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvis. Selain tanda setempat, pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang tidak teraba prostat lagi karena telah berpindah ke kranial. Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau instrumentasi dan darah yang menetes dari meatus uretra. Pemeriksaan radiologi dengan uretrogram retrograd dapat memberi keterangan letak dan tipe ruptur uretra.
Pemeriksaan radiologi : Pemeriksaan yang dikerjakan terhadap pasien ini adalah uretrocystografi bipoler. Pemeriksaan ini memang adalah pemeriksaan pilihan pada kecurigaan kasus cedera kandung kemih dan uretra. Pemeriksaan ini semestinya dikerjakan terlebih dahulu sebelum melakukan intervensi dan instrumensi pada pasien. Hasil dari pemeriksaan radiologi adalah pada urethrografi kontras mengisi uretra anterior sampai dengan pars membranosa tampak parauretra filling pada uretra anterior, tampak uretra pars membranosa sebagian refluks ke subkutis dengan tepi iregguler tak tampak pengisian kontras ke uretra posterior. Pada MCU kontras mengisi uretra posterior dinding licin. Pada sistografi kontras mengisi VU ± 200 cc. Dinding licin. Tampak additional filling defek. Pada fase voiding sisa urin minimal. Kesan ruptur uretra pars membranosa dengan uretritis. Anatomi dan fungsi voiding baik. Retensi dapat sebagian atau total. Retensi dapat berupa retensi akut dan kronis. Pada retensi akut, penderita sangat sulit untuk miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah supra pubic dan rasa ingin kencing yang hebat disertai mengejan. Seringkali urin keluar menetes atau sedikit-sedikit. Pada retensi urin kronis nyeri supra pubic sedikit atau tidak ada sama sekali meskipun buli-buli penuh sampai pusat. Pada keadaan normal produksi urin 100-150 cc/ 24 jam. Kapasitas buli-buli 300 cc sehingga frekuensi miksi 4-5 kali/ hari. Setelah miksi, tidak ada sisa urin di buli-buli.
Terapi : Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau organ lain, cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silikon selama tiga minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (rail roading). Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silikon selama tiga minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter Foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistostomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.
Komplikasi :
Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra. Khusus pada ruptur uretra posterior, dapat timbul komplikasi impotensi dan inkontinensia. 1.3. Definisi, manifestasi klinis, diagnosis dan pemeriksaan penunjang, serta penatalaksanaan trauma uretra
Trauma buli – buli merupakan keadaan darurat bedah yang membutuhkan penanganan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat menimbulkan komplikasi, seperti peritonitis dan sepsis. 1. Etiologi trauma buli - buli a. Trauma buli – buli terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis yang mencederai buli – buli b. Trauma iatrogenik, seperti operasi ginekologik dan operasi daerah pelvis atau akibat tindakan endoskopik, seperti operasi transurethral c. Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli – buli, terutama dalam keadaan penuh atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menimbulkan ruptur d. Trauma tajam akibat luka tusuk atau tembak yang jarang ditemukan 2. Patofisiologi trauma buli – buli a. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih. b. Pada kontusio buli – buli hanya terjadi memar pada dinding buli – buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin c. Ruptur buli – buli dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal d. Ruptura ekstraperitoneal biasanya terjadi oleh karena fragmen dari fraktur pelvis menusuk buli – buli sehingga perforasi. Hal ini mengakibatkan terjadi ekstravasasi urin di rongga perivesikal e. Ruptura intraperitoneal terjadi bila buli – buli dalam keadaan penuh dan terjadi trauma langsung pada daerah abdomen bawah (direct blow). Pada kasus ini, akan terjadi gejala – gejala peritonitis 3. Manifestasi klinis trauma buli – buli a. Tanda – tanda fraktur pelvis mudah didiagnosa dengan pemeriksaan fisik dengan ditemukannya nyeri tekan dan krepitasi daerah fraktur b. Kadang – kadang fraktur pelvis disertai perdarahan hebat sehingga penderita bisa datang dengan anemia bahkan syok c. Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapat nyeri tekan di daerah suprapubik tempat hematom d. Pada ruptur intraperitoneal, ditemukan tanda – tanda abdomen akut serta urin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberikan tanda ada cairan di abdomen dan ada ransang peritoneum e. Pada ruptur ekstraperitoneal, terdapat tanda adanya infitrasi urin di rongga peritoneal yang sering menyebabkan septisemia serta penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil dan kadang keluar darah dari uretra
4. Pemeriksaan penunjang pada trauma buli – buli a. Dilakukan foto pelvis atau foto polos perut yang mempertlihatkan adanya fraktur pelvis b. BNO-IVP: dibuat untuk memastikan trauma ginjal dan urethra, bila terdapat hematuria c. Pemeriksaan Sistogram: pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan kontras ke kandung kemih sebanyak 300-400ml, lalu dibuat foto antero-posterior pada waktu pengisian kontras dan kemudian dibuat foto lagi ketika kandung kemih sudah kosong • Jika tidak ditemukan ekstravasasi berarti kontusio buli – buli • Jika ada gambaran ekstravasasi terlihat seperti nyala api pada daerah perivesikal berarti ruptur ekstraperitoneal • Jika terlihat kontras masuk kedalam abdomen berarti ruptur intraperitoneal 5. Penatalaksanaan trauma buli – buli a. Bila terdapat syok, dilakukan resusitasi dan operasi dikerjakan dengan insisi insisi mediana suprapubik b. Pada ruptur ekstraperitoneal, setelah buli – buli dibuka, dilakukan repair. Dilakukan juga inspeksi rongga peritonium untuk memastikan adakah cairah berdarah, yang merupakan indikasi untuk eksplorasi rongga peritonium lebih lanjut c. Pada ruptur intraperitoneal, operasi dilakukan dengan langsung membuka peritonium, dan repair buli – buli dilakukan dengan membuka buli – buli. 6. Komplikasi trauma buli – buli a. Abses pelvik, bila urin terinfeksi b. Inkontinensia partial: bila laserasi sampai ke leher buli – buli c. Peritonitis
2. Memahami dan menjelaskan gangguan kesadaran 2.1. Gangguan kesadaran Kesaadaran adalah kesiagaan seseorang terhadap diri dan sekitarnya. Secara patofisiologi, kesadaran normal tergantung dari input sensorik ke otak dan aktivitas intrinsik sistem aktivasi retikular, formatio retikularis asenden di batang otak dan hubungan rostralnya, yang mempertahankan korteks serebri tetap dalam keadaan siaga. Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri yang intak dan formatio retikularis di batang orak. Gangguan pada hemisfer serebri atau formatio retikularis dapat menimbulkan gangguan kesadaran.
Etiologi : 1) Menurut kausa a. Kelainan otak : trauma, gangguan sirkulasi, radang, neoplasma, epilepsi. b. Kelainan sistemik : gangguan metabolisme dan elektrolit, hipoksia, toksik. 2) Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi a. Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial. b. Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial. c. Gangguan difus (gangguan metabolik).
Tata laksana : 1) Airway (jalan napas), hilangkan obstruksi, gunakan pipa orofaring atau endotrakea (ETT) jika perlu. 2) Breathing (pernapasan), berikan oksigen, lakukan ventilasii jika gerak pernapasan tidak adekuat. 3) Circulation (sirkulasi), cek nadi dan tekanan darah, pasang akses intravena, dan berikan pengganti darah yang hilang.
2.2. Pusat pengatur kesadaran Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan impuls sensorik protopatik, propioseptik dan perasa panca indra dari perifer ke daerah korteks perseptif primer disebut lintasan asendens spesifik atau lintasan asendens lem Niskal. Ada pula lintasan asendens aspesifik yakni formatio retikularis di sepanjang batang otak yang menerima dan menyalurkan impuls dari lintasan spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan difus ke seluruh permukaan otak. Pada hewan, pusat kesadaran (arousal centre) terletak di rostral formatio retikularis daerah pons sedangkan pada manusia pusat kesadaran terdapat didaerah pons, formatio retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut diffuse ascending reticular activating system (ARAS). Melalui lintasan aspesifik ini, suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri. Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asendens yang pada pokoknya berbeda. Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan asendens
aspesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke seluruh korteks serebri. Neuron-neuron di korteks serebri yang digalakkan oleh impuls asendens aspesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, sedangkan yang berasal dari formatio retikularis dan nuklei intralaminaris talami disebut neuron penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan menimbulkan gangguan kesadaran
Mekanisme gangguan kesadaran : 1) Lesi supratentorial Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro kaudal sepanjang batang otak. Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalanan proses tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul sindroma diensefalon, sindroma mesensefalon bahkan sindroma ponto meduler dan deserebrasi. Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentori. 2) Lesi infratentorial Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik. 3) Gangguan difus (gangguan metabolik) Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomik tertentu pada susunan saraf pusat. Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama akibat kekurangan-kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin. 4) Kekurangan O2 Otak yang normal memerlukan 3,3 cc 02/ 100 gr otak/ menit yang disebut Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMR 02). CMR 02 ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya pada kejang-kejang CMR 02 meningkat dan jika timbul gangguan fungsi otak, CMR 02 menurun. Pada CMR 02 kurang dari 2,5 cc/ 100 gram otak/ menit akan mulai terjadi gangguan
mental dan umumnya bila kurang dari 2 cc 02/ 100 gram otak/ menit terjadi koma. 5) Glukosa Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5,5 mgr glukosa/ menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai pada formatio retikularis dan kemudian menjalar ke bagian-bagian lain. Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini. 6) Gangguan sirkulasi darah Untuk mencukupi keperluan 02 dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, 02 dan glukosa darah juga akan berkurang.
7) Toksin Gangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar atau akibat infeksi.
2.3. Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara kualitatif dan kuantitatif Membuka mata Spontan
:4
Dengan perintah
:3
Terhadap nyeri
:2
Tidak ada
:1
Respon verbal terbaik Orientasi baik
:5
Bingung
:4
Kata-kata yang tidak tepat
:3
Suara yang tidak dapat dimengerti
:2
Tidak ada
:1
Respon motorik terbaik Mematuhi perintah
:6
Melokalisir nyeri
:5
Menarik lengan (withdraws)(fleksi normal)
:4
Fleksi abnormal (fleksi spastik)
:3
Ekstensi bila ada rangsang nyeri
:2
Tidak ada
:1
Total
: 3-15
Tingkat kesadaran : 1) Compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. 2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungn dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. 3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 4) Somnolen (obtundasi, letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. 6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
3. Memahami dan menjelaskan trauma tumpul pada mata 3.1. Jenis-jenis trauma tumpul pada mata 1) Hematoma palpebra Merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata. 2) Edema konjunctiva Akibat trauma tumpul, bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjunctiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjunctiva. Pada edema konjuntiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjunctiva. 3) Hematoma subkonjunctiva Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah konjunctiva. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranil, atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah. Pengobatan dini ialah dengan kompres hangat. 4) Edema kornea Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan edema kornea. Edema kornea akan memberi keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. 5) Erosi kornea Merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. 6) Erosi kornea rekuren Biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel akan sukar menutup dikarenakan terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea sebagai sebagai tempat duduknya sel basal epitel kornea. Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pemberian siklopegik bertujuan untuk mengurangi rasa sakit ataupun untuk mengurangi gejala radang uvea yang mungkn timbul. Antibiotik dapat diberikan
dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat pertumbuhan epitel baru dan mencegah infeksi skunder. Dapat digunakan lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren pada kornea dengan maksud untuk mempertahankan epitel.
7) Iridoplegia Adalah kelumpuhan otot sfingter pupil yang diakibatkan karena trauma tumpul pada uvea sehingga menyebabkan pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi dan merasakan silau karena gangguan pengaturan masuknya cahaya ke pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak bereaksi terhadap sinar. Penanganan pada pasien dengan iridoplegia post trauma sebaiknya diberikan istirahat untuk mencegah terjadinnya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia. 8) Iridosiklitis Radang pada uvea anterior yang terjadi akibat reaksi jaringan uvea pada post trauma. Mata akan terlihat merah akibat adanya darah di bilik mata depan, dan mengakibatkan visus menurun. Penatalaksanaan diberikan tetes midriatik dan steroid topikal, bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Penanganan dengan cara bedah mata. 9) Lubluksasi lensa Adalah lensa yang berpindah tempat akibat putusnya sebagian zonula zinn ataupun dapat terjadi spontan karena trauma atau zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada, maka lensa akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa yang cembung akan membuat iris terdorong ke depan sehingga bisa mengakibatkan terjadinya glaukoma sekunder. Penanganan dengan pembedahan. Bila tidak terjadi penyulit seperti glaukoma dan uveitis, maka diberi kaca mata koreksi yang sesuai. 10) Luksasi lensa anterior
Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa masuk ke dalam bilik mata depan. Pasien akan mengeluh penglihatan turun mendadak. Muncul gejala-gejala glaukoma kongestif akut yang disebabkan karena lensa terletak di bilik mata depan yang mengakibatkan terjadinya gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata. Terdapat injeksi siliar
yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Penanganan sebaiknya pasien segera dilakukan pembedahan untuk mengambil lensa. Pemberian asetazolamid dapat disesuaikan untuk menurunkan tekanan bola mata. 11) Luksasi lensa posterior Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya. Mata menunjukkan gejala afakia, bilik mata depan dalam, dan iris tremulans. Penanganan yaitu dengan melakukan ekstrasi lensa. Bila terjadi penyulit maka diatasi penyulitnya. 12) Edem retina
Terjadinya sembab pada daerah retina yang bisa diakibatkan oleh trauma tumpul. Warna retina lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Penglihatan pasien akan menurun. Penanganan dengan menyuruh pasien istirahat. Penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel. 13) Ablasi retina
Terlepasnya retina dari koroid. Pasien akan terdapat keluhan ketajaman penglihatan menurun, terlihat adanya selaput yang seperti tabir pada pandangannya. Penanganan dengan melakukan pembedahan oleh dokter mata. 14) Trauma koroid
Ruptur biasanya terletak pada polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik, biasanya terjadi perdarahan subretina akibat dari ruptur koroid. Bila ruptur koroid terletak atau mengenai daerah makula lutea maka akan terjadi penurunan ketajaman penglihatan. 15) Avulsi saraf optik
Saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul. Penderita akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan. Penderita perlu dirujuk untuk menilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.
3.2. Hifema
Hifema adalah darah di dalam kamera okuli anterior atau bilik mata depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan dalam cairan aqueus humor biasanya terlihat dengan mata telanjang. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat mengumpul di bagian bawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Adanya darah yang terdapat di bilik mata depan dapat menurunkan penglihatan. Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi : 1) Hifema traumatika. Adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen anterior bola mata. 2) Hifema akibat tindakan medis. 3) Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga pembuluh darah pecah. 4) Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah. 5) Hifema akibat neoplasma.
Berdasarkan terjadinya : 1) Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari kedua. 2) Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
Hifema dibagi menjadi beberapa grade menurut Sheppard berdasarkan tampilan klinisnya : 1) Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%) 2) Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%) 3) Grade III : darah mengisi hampir total COA (14%) 4) Grade IV : darah memenuhi seluruh COA (8%)
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Perdarahan di dalam bola
mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah. Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea. Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan. Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra okular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya glaukoma. Terdapat pula tanda dan gejala yang relatif jarang seperti penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat.
Pemeriksaan diagnosis : 1) Pemeriksaan ketajaman penglihatan, menggunakan kartu mata Snellen, visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina. 2) Lapangan pandang. Penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, glaukoma. 3) Pengukuran tonografi. Mengkaji tekanan intra okuler. 4) Slit Lamp B Biomicroscopy. Untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal contact, aqueous flare, dan sinekia posterior. 5) Pemeriksaan oftalmoskopi. Mengkaji struktur internal okuler. 6) Tes provokatif. Digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau meningkat ringan.
Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan hifema tanpa komplikasi glaukoma dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 45 derajat pada kepala dan mata ditutup (bukan dibebat tekan). Pada penderita yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Biasanya hifema akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari (4-7 hari) tergantung dari banyaknya darah. Selama perawatan harus dimonitor tekanan intra okuler untuk mencegah terjadinya glaukoma. Untuk mengurangi nyeri, dapat diberikan paracetamol. Tidak disarankan pemberian pereda nyeri jenis aspirin, karena salah satu efek aspirin akan menyebabkan perdarahan spontan kembali pada sumber perdarahan yang sudah berhenti. Obat-obatan untuk mengurangi tekanan intraokuler golongan penghambat anhidrase karbonat misalnya asetazolamid dapat diberikan. Prinsip penanganan adalah untuk mencegah perdarahan ulang dan mencegah tekanan intra okuler yang tinggi. Pada hifema yang telah disertai dengan glaukoma, maka penanganannya bertujuan untuk menghentikan perdarahan serta berusaha secepat mungkin menghilangkan darah yang berada di kamera anterior. Untuk menghentikan perdarahan dapat diberikan koagulansia agar darah dapat membeku dengan cepat, dapat pula dengan memperkuat dinding pembuluh darah. Mencegah perdarahan sekunder perlu pula dilakukan. Perdarahan sekunder sering terjadi akibat inflamasi, sehingga pemberian obat anti inflamasi dapat membantu mencegah perdarahan sekunder. Pada beberapa kasus, prosedur pembedahan parasentesis (mengeluarkan darah dari bilik mata depan) dilakukan bila terdapat hifema yang penuh dan berwarna hitam, imbibisi kornea, glaukoma akibat hifema, atau bila setelah 5 hari tidak ada tanda-tanda hifema akan berkurang. Parasentesis dilakukan dengan membuat insisi pada kornea dekat limbus, kemudian diberi salep mata antibiotik dan mata ditutup dengan verband.
Prognosis : Tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/ 60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan
;
Daftar Pustaka
Sjamsuhidajat.Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta.EGC:769 – 772
Kuhn F. Piramici DJ.2002.Hypema.In Ocular Trauma.Italy: Thieme