PROFIL MODEL DESA KONSERVASI YANG TERTINGGAL (Profile of under-developed village designated as conversation village model) Oleh/by: 1) 2) 3) 4) Setiasih Irawanti , Handoyo , Prasmadji Sulistyanto , Kuncoro Ariawan
ABSTRACT Alang-alang village is one of under-developed villages in Jambi Province, located nearby Nature Sanctuary (NS), that is, now, designated as Conservation Village Model (CVM). This paper describes information on ecological and NS' natural resource potential changes, its socioeconomical potential, development of village institutions, and profile of home economy at house hold level. It is created based upon primary and secondary data analysis, field observation, focal group discussion with 30 participants (villagers), interview with key persons, and data analysis by using tabulation method and simple economic counting. Due to conversion into village territory and palm estate, NS' forest area experiences ecological changes, such as sea water intrusion (from tidal wave), abrasion of coast line, off shore sedimentation where mangrove forest grows. People collect and sell various sea produces and honey from NS, for their income. It needs some 6 meters width, 4 kilometers long and 1.5 meters high blockade to prevent sea water intrusion into palm estate. To connect site with ibu kota kecamatan (capitol of sub-district), a 12.8 kilometers of asphalt road needed to be built to make economic activity, particularly, optimal utilization of potential produces from the village, possible. To enable people working and or carrying out socio-economical activities during night, it needs electricity connection from Perusahaan Listrik Negara (PLN), from closest installation at ibu kota kecamatan (capitol of sub-district). Some of procurement to be met, to make existing CVM developed, are development of health and education services, establishment of vilfager'sl farmer's market, co-operation agent, and financial/ capital institution. A simple, practical but useful technology is also needed to process langko (as waste) into valuable products for reducing waste as well as increasing villagers' income. Key words: Alang-alang, Conservation Village Model (CVM), under-developed. ABSTRAK Desa Alang-Alang merupakan salah satu desa tertinggal di Indonesia, kini ditunjuk sebagai Model Desa Konservasi (MDK) di sekitar Cagar Alam (CA). Menggunakan metoda pengumpulan data pengamatan lapangan, diskusi kelompok terarah dengan 30 orang penduduk, dan wawancara dengan tokoh masyarakat, serta analisis data menggunakan metoda tabulasi dan perhitungan ekonomi sederhana,
1, 2, 3, 4)
Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Jl. Gunung Batu no. 5 Bogor Jawa Barat
Profil model desa konservasi yang tertinggal (Setiasih Irawati et al.)
267
maka diperoleh profil MDK yang menyajikan informasi tentang perubahan ekologi dan potensi sumberdaya alam CA, potensi sosial-ekonomi dan perkembangan kelembagaan desa, serta profil ekonomi rumah tangga. Kawasan hutan di sekitar CA secara ekologis telah berubah karena dikonversi menjadi wilayah desa dan perkebunan kelapa, pasang surut air laut masuk ke daratan, abrasi telah menggeser garis pantai masuk ke daratan, sebaliknya terbentuk tanah timbul menjorok kearah laut yang ditumbuhi hutan bakau. Berbagai biota laut dan madu lebah alam di kawasan CA telah menjadi sumber mata pencaharian penduduk. Desa Alang-Alang membutuhkan tanggul di kiri-kanan parit selebar 6 m, tinggi 1,5 m, panjang 4 km agar tanaman kelapa tidak terkena rembesan air laut. Agar tidak terisolasi, diperlukan jalan aspal sepanjang 12,8 km yang akan menghubungkannya dengan ibukota Kecamatan sehingga sumberdaya lokal yang potensial dapat dimanfaatkan secara optimal. Agar aktivitas sosial dan ekonomi penduduk dapat dilakukan di malam hari, diperlukan penerangan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dapat disambungkan dari instalasi terdekat di ibukota Kecamatan. Diperlukan teknologi pedesaan tepat guna untuk mengolah limbah langko menjadi produk bernilai ekonomi. Sarana prasarana dasar lainnya seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pasar desa, koperasi, dan lembaga keuangan juga perlu segera dipenuhi. Kata kunci: Alang-Alang, MDK, tertinggal I.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang sangat melimpah. Hutan dan kandungan bumi yang sangat kaya merupakan anugerah (endowment) untuk kemakmuran rakyatnya. Namun sampai saat ini potensi besar tersebut belum nyata memberi kemakmuran bagi rakyatnya. Penduduk desa yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya hutan jumlahnya sekitar 48,8 juta orang, dan 10,2 juta (21%) diantaranya tergolong miskin (Santoso, 2007). Penduduk miskin di Indonesia yang jumlahnya cukup banyak tersebut ditandai oleh ketidakberdayaan, kerentanan, keterisolasian, dan ketidakmampuan. Pada akhir tahun 2006, 45% atau 32.379 desa dari 70.611 desa di seluruh Indonesia termasuk kategori desa tertinggal. Banyak faktor yang dijadikan tolok ukur suatu desa termasuk desa tertinggal, yaitu (1) ketersediaan jalan utama desa, (2) lapangan usaha bagi mayoritas penduduk, (3) fasilitas pendidikan, (4) fasilitas kesehatan, (5) fasilitas komunikasi, (6), kepadatan penduduk per m2, (7) sumber air minum, (8) sumber bahan bakar, (9) persentase penggunaan listrik, dan (10) persentase pertanian. Ketertinggalan dan kemiskinan antara lain mengakibatkan (1) tingginya beban sosial ekonomi masyarakat, (2) rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (3) rendahnya partisipasi aktif masyarakat, (4) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (5) kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Kompas, 2006). Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menyampaikan tiga hal yang diprioritaskan dalam pembangunan pedesaan, yaitu (1) pembangunan infrastruktur jalan, irigasi, dan sarana prasarana, (2) pengembangan ekonomi lokal, 268
Vol. 8 No. 4 Desember Th. 2008, 267 - 278
dan (3) perbaikan pelayanan publik (Kompas, 2006). Penyediaan infrastruktur perdesaan diharapkan dapat membuka akses dan mendukung kegiatan produksi, ekonomi, dan sosial yang merupakan komponen penting dalam pengembangan pedesaan, sehingga sumber daya potensial di desa dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Di wilayah Indonesia bagian barat, desa tertinggal banyak terdapat di Propinsi Sumatera Selatan, dari 2.788 desa yang ada sebanyak 1.535 desa (55,26%) termasuk kategori desa tertinggal (Kompas, 2006). Di Propinsi Jambi, desa Alang-Alang di Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan salah satu desa tertinggal di Indonesia. Jumlah penduduknya 340 kepala keluarga (KK) dan 141 KK (41%) diantaranya termasuk KK miskin. Desa Alang-Alang juga ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) sebagai MDK disekitar kawasan konservasi Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur. Mengacu kepada Kebijakan Pembangunan Desa Model dari Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Ditjen PHKA (2006), Desa Model (MDK) adalah desa yang dijadikan model dalam upaya memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan konservasi, dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya, dan akan menjadi contoh dalam pemberdayaan masyarakat di tempat lainnya. Menggunakan metoda pengumpulan data pengamatan lapangan, diskusi kelompok terarah dengan 30 orang penduduk, dan wawancara dengan tokoh masyarakat, selanjutnya analisis data menggunakan metoda tabulasi dan perhitungan ekonomi sederhana, tulisan ini menyajikan profil MDK yang meliputi informasi tentang perubahan ekologi dan potensi sumberdaya alam CA, potensi sosial-ekonomi dan perkembangan kelembagaan desa, serta profil ekonomi rumah tangga. Data dan informasi ini bermanfaat untuk menyusun rencana pemberdayaan masyarakat dan rencana pembangunan MDK yang bersangkutan. II. METODOLOGI A. Lokasi Kajian MDK dilakukan di Desa Alang-Alang Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang berada disekitar CA Hutan Bakau Pantai Timur Jambi. B. Pengumpulan Data Data dan informasi diperoleh dengan cara melakukan pengamatan lapangan di wilayah administrasi desa dan kawasan CA, melakukan diskusi kelompok terarah dengan 30 orang wakil-wakil kelompok masyarakat, wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dan 2 orang penduduk. C. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metoda tabulasi dan perhitungan ekonomi sederhana.
Profil model desa konservasi yang tertinggal (Setiasih Irawati et al.)
269
III. CAGAR ALAM HUTAN BAKAU PANTAI TIMUR JAMBI A. Gambaran Umum Kawasan Hutan Bakau Pantai Timur ditunjuk sebagai CA berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 507/Kpts-Um/6/1981 tanggal 14 Juni 1981 dengan luas 6.500 ha. Setelah ditata batas pada tahun 1986 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 14/Kpts-II/2003 tanggal 7 Januari 2003, luasnya tinggal 4.126,60 ha dan panjang batasnya 109,333 km. Secara administratif CA ini terhampar di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat yaitu desa Sungai Dualap Kecamatan Betara serta Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang meliputi 4 desa (Simbur Naik, Lambur, Alang-Alang, Kampung Laut) di Kecamatan Muara Sabak, 3 desa (Mendahara Ilir, Lagan, Pangkal Duri) di Kecamatan Mendahara, dan P.Waitabi, P.Tengah, P.Mudo di Kecamatan Nipah Panjang. CA Hutan Bakau Pantai Timur merupakan habitat tumbuhan bakau yang menghampar sepanjang pantai timur Propinsi Jambi yang menjadi habitat bagi berbagai jenis biota laut, burung air dan burung migran. Secara fisik kestabilan dan pertumbuhan hutan bakau juga dapat menjaga daratan pantai dari erosi dan abrasi. B. Perubahan Ekologi Kawasan hutan di wilayah ini mulai dikonversi menjadi penggunaan lain sejak tahun 1954. Saat suku Bugis dan suku Melayu membuka lahan di wilayah desa Alang-Alang, kawasan CA Hutan Bakau Pantai Timur dan sekitarnya masih berupa hutan dataran rendah yang sangat lebat. Sekitar 4 atau 5 keluarga suku Melayu dan suku Bugis pertama-tama membangun 1 batang parit lebar 1 depa (1,7 m) dan panjang 300 depa (0,51 km) dari arah pantai memasuki daratan. Parit berfungsi sebagai saluran pengairan, pengangkutan, dan pembuangan zat asam dari lahan gambut agar tidak jenuh air. Pembuatan parit relatif mudah dilakukan karena lahannya berupa lahan gambut yang sarang. Konversi hutan menjadi satu batang parit, ladang dan pemukiman dikiri kanannya dilakukan sekitar 5-6 tahun antara tahun 1954 s/d 1960. Mereka datang dan bermukim di wilayah tersebut untuk bercocok tanam jagung dan padi, sehingga ladang dikiri-kanan parit selanjutnya dikonversi menjadi sawah. Tanaman jagung dapat dipanen setelah berumur 3 bulan, dan tanaman padi dipanen setelah berumur 8 bulan. Selain bercocok tanam, mereka juga menangkap ikan yang tersedia sangat berlimpah namun tidak ada yang membeli karena pemukimannya terisolasi, sehingga dipandang tidak ada harganya. Penduduk yang datang belakangan kemudian membeli ladang kepada pembuat dan pemilik parit, yang disebut Mangku. Mangku adalah pembuat, pemilik, dan penguasa parit karenanya menjadi kepala parit. Transaksi jual beli ladang pada waktu itu menggunakan uang ringgit emas. Satu keping ringgit emas memiliki berat 33,3 gram. Ladang seluas 100 x 150 depa memiliki harga 1 ringgit. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, parit yang dikuasai oleh Mangku menjadi batang sungai. Penduduk yang datang belakangan kemudian membangun batang-batang parit baru dikiri-kanan sungai yang panjang masing-masing sekitar 2,5 km dan bermuara di sungai tersebut. 270
Vol. 8 No. 4 Desember Th. 2008, 267 - 278
Mulai akhir tahun 1960-an harga kelapa sangat tinggi, nilai tukar 1 kaleng padi setara dengan 5 butir kelapa. Karena itu pada tahun 1968 masyarakat Desa Alang-Alang mulai mengkonversi lagi lahan sawah yang biasa ditanami padi dan jagung dijadikan kebun kelapa. Upaya konversi lahan dimulai dari tanggul sawah yang tanahnya sudah cukup kuat. Sampai tahun 1982 seluruh lahan sawah milik masyarakat telah dikonversi menjadi kebun kelapa. Di dalam kebun kelapa dibangun anak parit (tersier) yang bermuara pada parit kongsi (sekunder). Parit tersier tersebut khusus digunakan oleh pemilik kebun sedangkan parit kongsi dapat digunakan oleh sesama anggota masyarakat. Di pinggir parit sekunder dibangun tanggul lebar 6 m dan tinggi 1,5 m agar cukup kuat untuk ukuran lahan gambut. Parit dan parit kongsi memiliki fungsi tambahan yaitu untuk menghanyutkan kelapa yang dipanen dari kebun menuju tempat pengolahan kelapa menjadi kopra yang disebut langko. Pengangkutan kelapa menggunakan tenaga air ini memanfaatkan tenaga pasang surut air laut yang terjadi pada setiap harinya. Semua kelapa yang telah dipetik dari pohonnya diturunkan ke anak parit. Saat pasang naik, air akan masuk ke anak parit sehingga semua kelapa akan mengapung di anak parit. Setelah 2 jam anak parit dan parit kongsi terendam, airnya akan surut sehingga kelapa akan terangkut dari anak parit di dalam kebun sambil diarahkan menuju parit kongsi dan langko dimana kelapa tersebut akan diolah menjadi kopra. Pintu air di parit kongsi dekat langko saat itu ditutup agar kelapa terhenti dipinggir langko dan siap untuk dinaikan ke halaman langko. Hasil dari beberapa tahap konversi kawasan hutan dataran rendah tersebut kini menjadi wilayah desa Alang-Alang beserta hamparan kebun kelapanya. Saat ini jumlah penduduknya 1.793 orang, terdiri dari 896 laki-laki dan 897 perempuan. Jumlah seluruh KK desa tersebut adalah 340 KK, dimana 141 KK diantarnya merupakan keluarga miskin. Jumlah parit saat ini ada 9 batang di sebelah timur dan 6 batang di sebelah barat sungai. Kondisi lingkungan di sekitar kawasan CA saat ini telah banyak mengalami perubahan, terutama karena telah mengalami beberapa tahapan konversi menjadi areal pemukiman penduduk atau desa dan perkebunan kelapa. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa di sekitar Desa Alang-Alang dan Sungai Ular, pasang surut air laut sudah jauh masuk ke daratan sehingga ratusan hektar kebun kelapa milik masyarakat mengalami kerusakan, ukuran buahnya menjadi lebih kecil atau bahkan pohonnya mati karena terendam air laut. Di sekitar Desa Lambur telah mengalami abrasi cukup berat sehingga garis pantai terus masuk ke daratan. Namun sebaliknya di daerah-daerah tertentu cenderung terbentuk daratan baru atau tanah timbul yang menjorok kearah laut dan ditumbuhi bakau seperti di sekitar Mendahara, Lagan dan Kampung Laut. C. Potensi Sumberdaya Alam di CA Jenis mangrove yang dominan tumbuh di pantai timur Jambi adalah bakau merah (Rhizophora sp), pedada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera sp), api-api atau bakau hitam (Avicinnia sp). Zonasinya, disepanjang pantai ditumbuhi oleh pedada, pada daerah dengan genangan pasang agak rendah ditumbuhi jenis api-api dan tanjang, pada daerah dengan kedalaman pasang tertinggi dan di kiri kanan sungai ditumbuhi bakau. Di sepanjang sungai dan tempat tertentu di pantai ditumbuhi jenis nipah diselingi pedada dan bakau. Profil model desa konservasi yang tertinggal (Setiasih Irawati et al.)
271
Potesi sumberdaya pantai oleh masyarakat setempat dimanfaatkan sebagai mata pencaharian pokok selain perkebunan dan pertanian. Berbagai jenis biota laut yang hidup diperairan pantai di kawasan CA seperti berbagai jenis ikan, berbagai jenis kerang, udang, kepiting, siput, dan berbagai jenis biota lainnya, serta lebah madu alam, kini telah menjadi sumber mata pencaharian penduduk setempat. Menurut keterangan sebagian masyarakat, potensi sumberdaya perikanan saat ini sudah semakin menurun dibandingkan 20 tahun lalu yang dapat mencapai 40 s/d 50 ton per wilayah tangkapan. IV. KONDISI MODEL DESA KONSERVASI YANG TERTINGGAL A. Perkembangan Kelembagaan MDK Kata Alang-Alang memiliki arti kepalang tanggung, maksudnya diteruskan tanggung tetapi ditinggalkan sayang. Pada tahun 1954 penduduk membuka hutan untuk dijadikan pemukiman, dan saat itu belum ada pemerintahan desa. Kelompok pemukiman tersebut dipimpin oleh Mangku yang membawahi Kepala-Kepala Parit yang memimpin warga. Pada tahun 1968 kelompok pemukiman tersebut membangun Sekolah Dasar Swasta secara swadaya. Antara tahun 1968 s/d 1980, guru yang mengajar di SD Swasta tersebut digaji dengan 1 kuintal padi / tahun yang dipungut dari murid-muridnya. Pada tahun 1972 Desa Alang-Alang resmi menjadi desa definitif. Mangku menjadi Kepala Desa, tetapi masih membawahi Kepala Parit. Mangku memiliki atasan Perhulu (Camat) dan Pasirah (Bupati). Namun sejak berlaku Undang-Undang Pemerintahan Desa tahun 1978, struktur organisasi Pemerintahan Desa Alang-Alang harus mengikuti Undang-Undang tersebut, yaitu dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu oleh para Aparat Desa. Meskipun sudah menjadi desa definitif sejak tahun 1972, namun sampai dengan tahun 1982 transaksi jual beli di wilayah desa Alang-Alang dan sekitarnya masih menggunakan uang Ringgit Emas yang beratnya 33,3 gram. Kalau Alang-Alang dikatakan sebagai desa tertinggal, jawabnya ya karena hampir seluruh tolok ukurnya terpenuhi. Pemerintah belum menyediakan saranaprasarana dasar yang memadai di desa tersebut. Transportasi yang tersedia ke desa lain atau ke luar desa terutama adalah sarana angkutan air pompong atau speedboat. Namun fasilitas dermaganya sangat kurang memadai. Di desa ini tidak terdapat jalan darat yang memadai. Perumahan penduduk berupa rumah-rumah panggung yang dibangun diatas lahan pasang surut. Perumahan ini secara periodik akan terendam air selama 6 bulan setiap tahunnya, yaitu pada musim angin utara. Jalan yang menghubungkan antar rumah penduk karenanya berupa jalan papan. Ada jalan tanah yang menghubungkan desa Alang-Alang dengan desa Sungai Ular dan desa lain sampai ke pelabuhan di pinggir sungai Batanghari, namun jalan ini tidak dapat dilalui kendaraan roda dua apabila diguyur hujan. Kebutuhan air rumah tangga umumnya dipenuhi dengan cara menampung air hujan. Setiap rumah penduduk memiliki drum penampung air hujan untuk memenuhi semua kebutuhan air rumah tangga. Ada beberapa keluarga yang mampu membuat sumur bor, namun untuk mendapatkan air bersih harus mencapai kedalaman 14 batang pipa atau sekitar 60 m. 272
Vol. 8 No. 4 Desember Th. 2008, 267 - 278
Demikian pula kebutuhan penerangan rumah penduduk pada malam hari dipenuhi menggunakan gen set yang dioperasikan secara berkelompok. Gen set tersebut hanya menyala selama 3 jam per hari, yaitu sejak jam 6 sore sampai sekitar jam 9 malam. Setelah itu seluruh penduduk tidak menggunakan penerangan sama sekali. Hal tersebut antara lain karena harga bensin untuk gen set di desa Alang-Alang sangat mahal. Harga minyak tanah di desa tersebut juga sangat mahal. Dalam kondisi demikian, maka seluruh penduduk tidak dapat melakukan aktivitas sosial atau ekonomi di malam hari. Fasilitas umum untuk pendidikan, kesehatan, perdagangan, olah raga, komunikasi dan lain-lain juga belum tersedia secara memadai. Sebuah Gedung SD Negeri yang ada di desa tersebut berasal dari gedung SD Swasta yang awalnya dibangun melalui swadaya masyarakat. Prasarana umum berupa satu buah masjid yang dibangun pada tahun 1984 juga dibiayai secara swadaya. Demikian pula dengan satu unit Puskesmas pembantu. Di desa tersebut tidak terdapat pasar yang sangat diperlukan oleh penduduk untuk menjual hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat. Ketergantungan penduduk kepada pedagang tingkat desa menjadi sangat tinggi, sehingga menurunkan posisi tawar mereka. Sinyal handphone di desa Alang-Alang juga sering menghilang, sehingga komunikasi dengan dunia luar sangat terkendala. Sebuah lapangan olah raga yang berfungsi sebagai lapangan voly dan lapangan batminton yang dibangun secara swadaya hanya dapat dimanfaatkan antara bulan April s/d Oktober karena akan terandam air selama musim utara. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia memang menjadi tolok ukur bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat, dimana konsep ini telah dikembangkan sejak tahun lima puluhan. Batasan miskin dan tertinggal agaknya lebih banyak mengungkapkan ukuran material dari suatu rumah tangga atau kelompok masyarakat. Kata-kata itu dipandang kurang tepat untuk mengungkapkan ukuran tidak-sejahtera. Hal ini karena ukuran sejahtera lebih lanjut dijabarkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan lahiriah dan batiniah, atau jasmani dan rohani, atau material dan spiritual, bagi diri, keluarga, dan masyarakat, agar diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin (Biro Pusat Statistik, 1993). Karena itu dalam tolok ukur sejahtera masih terkandung nilai-nilai yang tidak dapat diukur dengan materi, apalagi bagi rumah tangga atau kelompok masyarakat yang hidup terisolasi dari hiruk pikuknya pembangunan, modernisasi dan materialisme. B. Potensi Ekonomi MDK Potensi ekonomi desa Alang-Alang adalah buah kelapa, pinang, dan sarang burung walet. Kedua komoditas kelapa dan pinang menjadi sumber pendapat utama hampir seluruh penduduk desa Alang-Alang, sedangkan budidaya sarang burung walet baru dirintis beberapa tahun terakhir oleh 6 KK. Sarang burung walet merupakan produk bernilai ekonomi tinggi yang sangat potensial dikembangkan di desa Alang-Alang sebagai desa pesisir. Di desa Alang-Alang terdapat 12 batang parit, dan di setiap parit terdapat 5 langko, sehingga jumlah langko ada 60 buah. Kapasitas langko sekitar 9.000 s/d 13.000 butir kelapa atau sekitar 2,5 s/d 3 ton kopra. Untuk menghasilkan 1 ton kopra diperlukan sekitar 4.000 butir kelapa. Dengan kapasitas rata-rata 11.000 butir kelapa Profil model desa konservasi yang tertinggal (Setiasih Irawati et al.)
273
per hari serta apabila rata-rata kapasitas langko dimanfaatkan 70%, maka produksi kelapa di desa Alang-Alang sekitar 462.000 butir kelapa atau 115,5 ton kopra per hari. Produk utama langko adalah kopra, tetapi masih terdapat limbah pengolahan kopra yang belum dimanfaatkan secara optimal, seperti sabut kelapa, tempurung, air kelapa, dan kentos. Kentos merupakan salah satu jenis limbah langko yang jumlahnya sangat melimpah, namun saat ini baru dimanfaatkan untuk makanan bebek. Demikian pula dengan air kelapa yang saat ini juga hanya dibuang begitu saja di langko. Setiap 2.000 butir tersedia 700 - 800 liter air kelapa yang dapat menghasilkan 140 - 160 kg sari kelapa (D. Allorerung, 1988). Karena itu di desa Alang-Alang setiap hari terbuang sekitar 161.700 s/d 184.800 liter air kelapa atau 32,340 s/d 36,960 ton sari kelapa atau nata de coco. Sabut dan sebagian tempurung kelapa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mengeringkan kelapa menjadi kopra di langko. Ada sebagian tempurung kelapa yang kini diolah menjadi arang. Kopra dan pinang merupakan komoditas andalan bagi perekonomian masyarakat. Terdapat 5 orang pedagang pengumpul kopra dan buah pinang di desa Alang-Alang. Mereka menjual kopra dan buah pinang kering keluar desa. Ketergantungan para pemilik kebun kelapa kepada para pedagang ini sangat tinggi. Karena itu masih terbuka peluang untuk mengembangkan koperasi untuk membantu pemasaran berbagai produk yang dihasilkan oleh penduduk serta memperkuat perekonomian masyarakatnya. C. Potensi Sosial MDK Kelompok etnis yang sampai saat ini bermukim di sepanjang pantai timur Jambi adalah etnis Bugis, Melayu, Banjar dan Jawa. Melayu merupakan penduduk asli. Bugis merupakan pendatang dari Sulawesi Selatan sejak tahun 1950-an, umumnya bermukim di muara-muara sungai dan muara parit yang mereka bangun sendiri, serta memiliki mata pencaharian sebagai petani padi dan kelapa serta nelayan. Suku Banjar sebagian besar bermukim di Muara Sabak dan Kuala Tungkal, datang dari Kalimantan, memiliki mata pencaharian sebagai petani sawah pasang surut dan petani kelapa. Kondisi spesifik daerah timur Jambi dengan hembusan ombak laut, terik matahari tanpa naungan, dan produktifitas lahan pasang surut yang rendah, telah membentuk penduduk menjadi pribadi yang kokoh, tangguh, ulet, tahan tantangan, dan mandiri. Kondisi lingkungan alam telah membentuk kehidupan masyarakat pantai timur Jambi sangat tergantung pada alam. Sebagian besar diantara mereka adalah pelaut/nelayan yang memperoleh pendapatan keluarga dari menangkap ikan di laut, namun saat ombak besar mereka hidup dari berkebun kelapa, bertanam padi dan jagung di sawah atau berladang. Kegiatan menangkap ikan yang mereka lakukan sangat berfluktuasi dipengaruhi oleh musim. Pada musim utara yang berlangsung antara bulan November s/d Maret, angin bertiup dari laut ke daratan sekitar 4 bulan dengan kecepatan tinggi disertai gelombang besar, sehingga penduduk tidak dapat pergi kelaut untuk menangkap ikan. Penduduk desa tidak membiarkan dirinya menjadi penganggur akibat pola musiman dari kegiatan penangkapan ikan. Pada musim utara mereka bekerja disektor non perikanan laut, seperti petani sawah pasang surut, berkebun 274
Vol. 8 No. 4 Desember Th. 2008, 267 - 278
kelapa, atau berladang. Dengan demikian selalu tersedia pekerjaan bagi penduduk setempat sepanjang tahun. Sebagian penduduk desa Alang-Alang yang tidak memiliki kebun kelapa atau sawah padi/jagung serta tidak menjadi nelayan/melaut, mereka mempunyai mata pencaharian sebagai buruh atau pekerja, seperti buruh mengupas dan menjemur pinang, mencungkil kelapa, membuat arang tempurung kelapa, mengurus kebun kelapa milik orang lain (babat rumput / nyabit, manjat pohon, petik kelapa, dan menghanyutkan kelapa sampai ke langko), bekerja di langko, serta pembuat tungku arang atau anglo. Sebagai contoh, produktivitas pekerja langko dipandang sangat tinggi, seperti mengupas sabut kelapa dapat mencapai sekitar 1.500 butir/hari, dan membelah buah kelapa sekitar 4.000 butir/hari. Selain pekerjaan tersebut, semua penduduk desa Alang-Alang juga biasa mencari ikan, udang, kepiting, sumbun (sejenis udang yang hidup dalam lumpur pada kedalaman 30 cm), kerang hijau, kerang-kerangan, siput dan biota laut lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga maupun dijual. D. Profil Ekonomi Penduduk 1.
Rumah tangga ibu Edah Ibu Edah adalah janda dengan 2 anak yang memiliki 6 baris kebun kelapa, namun lahannya tidak diusahakan karena tidak mampu mengolahnya. Lahan lain yang dimiliki hanya disekitar rumah tinggalnya. Rumah tinggalnya seperti halnya rumahrumah warga desa lainnya yaitu rumah panggung. Anaknya yang besar sudah kerja di pabrik udang di Lampung namun belum mampu bantu-bantu orang tua. Anak yang kecil masih sekolah SMP di desa Kampung Laut, desa seberang sungai Batanghari, tinggal numpang dirumah saudara agar lebih hemat biaya. Sekolahnya gratis, tetapi ia harus memberi uang untuk membeli beras keperluan makan anaknya. Ibu Edah mencari nafkah dengan beberapa jenis pekerjaan. Bekerja mengupas dan menjemur pinang milik orang lain dapat dilakukan dirumahnya sendiri. Upah yang diterima Rp 1.500 per kaleng pinang kupasan kering. Kaleng yang digunakan sebagai takaran adalah kaleng minyak 20 liter yang setara dengan 2,5 kg pinang kupasan kering. Dalam satu hari dapat diselesaikan 4 kaleng atau 10 kg pinang kupasan, sehingga mendapat upah Rp 6.000 per hari. Kadangkala ia bekerja mencungkil kelapa di langko, namun tidak diupah dengan uang. Upah yang diterima adalah tempurung hasil kupasannya. Kelapa yang dicungkil adalah kelapa terbelah dua yang telah dikeringkan di langko, sehingga lebih mudah mengerjakannya. Pencungkilan dapat dilakukan tanpa memecah belahan kelapa, sehingga tempurungnya rata-rata utuh berbertuk separoh butir kelapa. Tempurung tersebut kemudian dibakar di halaman langko menjadi arang, dengan teknik sangat sederhana. Tanah dihalaman langko digali berbentuk bundaran dengan diameter sekitar 2 m dan kedalaman 25 cm. Ditengah lobang disiram minyak tanah terlebih dahulu, lalu tempurung dimasukan dan ditumpuk di dalamnya, kemudian dibakar. Bila api sudah besar, sisa tempurung dimasukan semua kedalam api. Setelah semua tempurung terbakar menjadi arang, selanjutnya disiram dengan air yang diambil dari parit kongsi dipinggir langko. Harga jual 1 karung arang tempurung ukuran 50 kg adalah Rp 20.000.
Profil model desa konservasi yang tertinggal (Setiasih Irawati et al.)
275
Ibu Edah juga dapat membuat tungku arang atau anglo. Bahan baku tanah liatnya diambil dari pinggir sungai. Tanah liat sebanyak 3 ember ditambah dengan 1 sak abu sekam padi dapat menghasilkan 3 buah anglo. Campuran kedua bahan tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik atau tikar bekas sehingga bentuknya seperti kayu bulat. Setelah agak kering, diiris-iris dan disayat dibentuk menjadi anglo. Setelah itu, anglo mentah ini dibakar dengan abu sekam padi dan sabut kelapa sehingga matang dan berwarna merah. Harga abu sekam padi Rp 10.000/sak dan harga anglo Rp 15.000/buah sehingga upah kerjanya sekitar Rp 35.000 per 3 buah anglo. Kemampuannya menjual anglo maksimal 5 buah per bulan. Untuk biaya hidup, yang utama harus dibeli adalah beras yang harganya Rp 20.000 per gantang (1 gantang setara 4 kg). Lauk sehari-hari berupa ikan, kepiting, kerang-kerangan, siput, atau sejenisnya, dapat diperoleh dari hutan mangrove saat air surut. Meski tidak mampu mengungkapkan permasalahan yang dihadapi serta harapan kedepan yang diinginkannya, namun tampak dari raut wajahnya bahwa menerima apa adanya adalah bagian dari hari-hari dalam kehidupannya. 2.
Rumah tangga pak Rasyid Pak Rasyid adalah seorang kepala keluarga dengan 7 orang anggota di dalam rumahnya. Pak Rasyid tidak memiliki kebun kelapa, namun memiliki lahan padi 0,5 ha di desa Sungai Ular, tetangga desa. Tanaman padi hanya dapat panen 1 kali per tahun, yaitu ditanam pada bulan Oktober dan dipanen pada bulan Mei. Jenisnya adalah padi lilin, padi lokal yang umurnya sekitar 6 bulan. Untuk menanam padi, pak Rasyid kadangkala meminjam bibit dari orang lain dan dikembalikan dalam bentuk bibit lagi setelah panen. Sawah 0,5 ha memerlukan 4 kaleng bibit. Hampir seluruh pekerjaan mengolah sawah dikerjakan sendiri. Bulan Agustus menyemprot sawah, bulan September menugal dan mencabut bibit, bulan Oktober menanam bibit, selanjutnya menyiangi / menyabit dan menyemprot obat, dan pada bulan Mei dipanen (disabit, dikumpul, dideros jadi gabah, diangkut ke rumah). Biaya tenaga kerja mengusahakan tanaman padi sekitar Rp 900.000, sedangkan hasil panennya 20 karung (setara 25 kg gabah kering) atau 500 kg gabah kering. Hasil panen padi hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan lainnya adalah mengurus kebun kelapa 2 ha milik orang lain, yang sudah tetap dikerjakan. Panen kelapa dilakukan 4 bulan sekali. Kegiatannya meliputi menyabit/membersihkan rumput di kebun dan parit-parit tersier, memanjat pohon dan petik kelapa, serta menghanyutkan kelapa sampai ke langko. Kebun kelapa seluas 2 ha dapat menghasilkan 10.000 s/d 13.000 buah kelapa per panen. Bila buah kelapa dijual butiran, harga jualnya Rp 500/butir. Upah kerja yang diterima oleh pak Rasyid adalah 40% dari nilai jual seluruh buah kelapa. Pemilik kebun mendapat bagian 60% dari nilai jual. Namun pembagian hasil ini setelah dikurangi biaya-biaya kas desa (Perdes) sebesar Rp 3/butir, dan sewa pompong dari langko ke tempat pembeli sebesar Rp 30/butir. Hasil penjualan kelapa sebesar Rp 5.000.000, biayanya Rp 429.000 sehingga hasil bersih yang diterima pak Rasyid sekitar Rp 1.828.400 per panen kelapa. Seperti penduduk lainnya, saat air surut pak Rasyid sekaliwaktu pergi ke hutan mangrove untuk mencari kepiting. Ada tiga ukuran kepiting, yaitu size A beratnya 5 ons/ekor, size AB beratnya 4 ons/ekor, size B adalah size AB yang hilang capitnya. Harga jual size A Rp 40.000/kg, size AB Rp 27.000/kg, dan size B Rp 26.000/kg. Size C beratnya 2 ons/ekor, ditangkap tetapi tidak untuk dijual. Sekali menangkap
276
Vol. 8 No. 4 Desember Th. 2008, 267 - 278
kepiting dapat memperoleh uang sekitar Rp 50.000. Kegiatan menangkap kepiting hanya dapat dilakukan sekitar 6 bulan per tahun antara Mei s/d Oktober, karena pada bulan Oktober s/d April berlangsung musim angin utara, air tidak pernah surut disiang hari, sehingga tidak dapat masuk ke hutan mangrove. Penghasilan lainnya adalah honor sebagai Kepala Dusun (Kadus) sebesar Rp 150.000 per bulan, meskipun diterimakan setiap 4 bulan sekali. Anaknya berjualan pakaian jadi namun pendapatannya tidak seberapa. Meskipun tidak mampu mengungkapkan permasalahan yang dihadapinya, namun Pak Rasyid selalu berharap agar selalu sehat sehingga dapat bekerja untuk menghidupi keluarganya. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1.
2. 3.
Desa Alang-Alang masih terisolasi sehingga sumberdaya lokal yang potensial belum dapat dimanfaatkan secara optimal, serta harga bahan bakar bensin dan minyak tanah sangat mahal. Kondisi ini mengendalai upaya penduduk untuk memandirikan perekonomian rumah tangga mereka sendiri. Penduduk juga tidak dapat melakukan aktivitas sosial dan ekonomi di malam hari karena tidak tersedia penerangan yang memadai. Potensi ekonomi yang dominal adalah buah kelapa, pinang dan sarang burung, namun belum dimanfaatkan secara optimal.
B. Saran 1. 2. 3.
4. 5.
Untuk membuka isolasi desa Alang-Alang, diperlukan jalan aspal sepanjang 12,8 km yang menghubungkannya dengan kota Muara Sabak, ibukota Kecamatan Sabak Timur. Diperlukan penerangan listrik PLN yang dapat disambungkan dari instalasi terdekat di Muara Sabak, ibukota Kecamatan Sabak Timur. Sarana prasarana dasar yang sangat dibutuhkan oleh Desa Alang-Alang saat ini adalah tanggul di kiri-kanan parit selebar 6 m, tinggi 1,5 m, dan panjang 4 km untuk melindungi tanaman kelapa agar tidak terkena rembesan air laut. Apabila rembesan air laut berlangsung terus dan benar-benar terjadi perubahan ekologi yang menyeluruh, maka hancurlah sumber perekonomian masyarakat desa Alang-Alang. Sudah saatnya perubahan ekologi yang sedang berlangsung dihentikan agar kehancuran perekonomian masyarakat dapat dihindarkan. Kebutuhan sarana prasarana dasar lainnya adalah pelayanan kesehatan, pendidikan, pasar desa, koperasi, dan lembaga keuangan. Diperlukan teknologi pedesaan tepat guna untuk mengolah limbah langko menjadi produk yang bernilai ekonomi.
Profil model desa konservasi yang tertinggal (Setiasih Irawati et al.)
277
DAFTAR PUSTAKA Allorerung, D. 1988. Kemungkinan pengembangan pengolahan buah kelapa secara terpadu skala pedesaan, Prosiding Konperensi Nasional Kelapa IV Bandar Lampung 21-23 April 1998, Puslitbang Tanaman Industri, Bogor. Winarti, C., Rumini, W. 1988. Perbaikan dan peningkatan mutu sari kelapa (nata de coco) di tingkat petani, Prosiding Konperensi Nasional Kelapa IV Bandar Lampung 21-23 April 1998, Puslitbang Tanaman Industri, Bogor. Biro Pusat Statistik. 1993. Analisis perkembangan kesejahteraan rumah tangga di Indonesia 1983 1991 Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional, Biro Pusat Statistik, Jakarta. Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam. 2006. Kebijakan Pembangunan Desa Model, Makalah Temu Karya Penyuluh Kehutanan Ahli Tahun 2006, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Ditjen PHKA, Jakarta. Kompas. 2006. Validitas data desa tertinggal dipertanyakan, Kompas Rabu 13 September 2006, http://www.kompas.com Yunita, K. 2006. 45% Desa di Indonesia masuk kategori desa tertinggal, detikom 12 September 2006, http://www.detiknews.com Santoso, H. 2007. Dukungan penelitian dan pengembangan hutan tanaman dalam menunjang pembangunan hutan tanaman rakyat, Seminar Sehari Forum Komunikasi Kelitbangan, Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan, Jakarta.
278
Vol. 8 No. 4 Desember Th. 2008, 267 - 278