MODEL KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA PARTICIPATIVE LEADERSHIP MODEL IN ENDEAVORING SOCIETY AND VILLAGE Oleh: Budi Sayogo Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Kampus Bulaksumur Yogyakarta (Diterima: 5 Desember 2005; disetujui: 23 Maret 2006) ABSTRACT Local leadership was demanded to have a number of capacities so that they can be able to conduct their roles and functions as changing and reforming agensiats in any community. Some of those capacities were articulative, aspirative, and accommodative capabilities toward the adjacent developing social dynamic. Therefore, the local leader for their own credibility must be will do and able to be actively involved in initiative form for every substantially and strategically decision maker activity at the local level.
PENDAHULUAN Keberadaan lembaga lokal, baik berupa organisasi, sistem kepemimpinan, peningkatan kapasitas kelembagaan yang menyangkut profesionalisme dan pengembangan organisasi, pengelolaan konflik, maupun macam atau jenis kegiatan yang dilakukan, sebenarnya bukanlah hal baru. Berbagai lembaga lokal khususnya sistem kepemimpinan di tingkat lokal, telah tumbuh dan berkembang cukup lama di masyarakat. Fungsi dan peran sistem kepemimpinan ini telah terlihat banyak memberikan sum-bangan dalam mengatasi aneka persoalan yang ada pada suatu komunitas. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga kepemimpinan lokal ini memiliki posisi strategis dan sangat menentukan kualitas hidup suatu sistem sosial. Pada kurun waktu cukup panjang, pe-merintah telah menghasilkan aneka kebijakan dan keputusan yang ditujukan sebagai dasar pijakan bagi berjalannya sistem
administrasi pemerintahan pada aras lokal. Kebijakan yang diperkenalkan diharapkan dapat mewujudkan sosok pemimpin lokal (baik formal maupun takformal) yang mampu melaksanakan peran sebagai agensia perubahan dan pembaharuan pada sebuah komunitas. Di samping itu, pemimpin lokal ini diharapkan dapat menjadi mediator yang menjembatani kepentingan pemerintah dan aspirasi warga masyarakat. Sosok pemimpin lokal yang hendak diwujudkan itu dengan demikian memiliki sejumlah kapasitas individu yang sangat dibutuhkan bagi upaya pemberdayaan rakyat. Kapasitas itu mencakup kemampuan artikula-tif, aspiratif, dan akomodatif terhadap dina-mika sosial yang berkembang di sekitarnya. Oleh karenanya, sosok ideal seorang pemimpin lokal hendaknya mampu untuk mencerna dan sekaligus menerapkan kebijakan pembangunan dan kemudian menyalurkannya ke segenap lapisan masyarakat. Singkatnya, para pemimpin lokal ini harus mau dan mampu
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. 6 No. 1, April - Juli 2006: 49-56
ISSN. 1411-9250
50 lemahnya kemampuan mereka untuk membangun partisipasi warga secara optimum. Hal ini disebabkan adanya keragaman peran dan pengaruh pemimpin lokal itu sendiri. Tulisan ini ingin menunjukkan kenyataan yang ada di tengah masyarakat bahwa ada sebagian pemimpin lokal yang memiliki porsi peran dan pengaruh dominan serta kuat. Namun demikian, ada juga pemimpin lokal yang hanya memiliki porsi peran dan pengaruh yang lemah serta berada di pinggiran. Pada pengambilan keputusan di tingkat lokal, sebagian pemimpin mendominasi dan berada pada posisi yang sangat sentral. Sebagian yang lain, ada yang hanya sekedar menjadi subordinasi pemimpin lain, serta bukan merupakan figur diteminan, bahkan hanya sekedar menjadi doormant yang tercampakkan dari penentuan kebijakan lokal. Keragaman posisi, fungsi, peran dan pengaruh dari kepemimpinan pada aras lokal ini tentu bukan suatu hal yang bersifat alami, namun lebih disebabkan adanya dinamika sosial politik di sekitar keberadaan pemimpin lokal itu (Usman, 1995). PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN Menurut James A.T. Stoner, istilah kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yaitu seseorang yang menempati suatu peranan sentral atau posisi yang dominan dan berpe-ngaruh dalam suatu kelompok. Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan dari pengaruh dan otoritas di dalam suatu hubungan sosial atau kelompok oleh seseorang atau lebih di antara anggotanya. Jadi dapat dikatakan bahwa konsep kepemimpinan adalah suatu situasi, yang sekelompok orangnya bertugas dan ikut membimbing atau mengarahkan
Model Kepemimpinan Partisipatif ... (Budi Sayogo)
masyarakat dalam sebuah sistem sosial (Stoner, 1986). Masalah kepempimpinan secara sosiologis dapat dikaji dalam tiga ranah, yaitu; (1) Ranah legitimasi, (2) Ranah
visibilitas,
dan
(3)
Ranah
pengaruh. Ranah legitimasi, memandang keberadaan pemimpin dari posisi yang dimilikinya (dalam berbagai macam orga-nisasi), yang dari ranah ini kemudian melahir-kan sebutan pemimpin formal (dikukuhkan dan memperoleh legitimasi resmi) dan pemimpin takformal (berdasakan pengakuan adat dan kebiasaan). Ranah visibilitas melihat tingkat pengakuan kepemimpinan seseorang baik dari massa yang dipimpinnnya maupun dari pemim-pin lainnya. Pada ranah visibilitas, seseorang pemimpin digolongkan sebagai visiable leader, apabila kepemimpinannya diakui oleh massa yang dipimpin sekaligus oleh pemimpin lain. Akan tetapi, apabila ia hanya diakui oleh massa yang dipimpin dan tidak diakui oleh pe-mimpin lainnya, maka ia dikatagorikan sebagai simbolic leader (pemimpin simbol). Apabila ia hanya diakui oleh pemimpin lain dan tidak banyak memperoleh pengakuan massa, maka ia digolongkan sebagai concealed leader (pemimpin tersembunyi). Ranah pengaruh dalam konteks kepemimpinan melihat luas ajang atau kiprah seorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat berpengaruh dalam beberapa bidang sekaligus atau lazim disebut menyandang kepemimpinan yang bersifat polymorphic. Di lain pihak, se-orang pemimpin hanya berpengaruh pada satu bidang saja atau lazim disebut menyandang kepemimpinan yang bersifat monomorphic. Dimensi pengaruh ini biasanya berkaitan dengan struktur
51 masyarakat yang berstruktur kekuasaan monolis (elitis) (Usman, 1995). Perlu kiranya dicermati UU No. 22/1999 untuk melihat dimensi legitimasi atau melihat posisi pemimpin (dalam berbagai macam bentuk organisasi). Undang-undang ini menjanjikan terciptanya suatu kehidupan desa yang lebih demokratis. Salah satu petunjuknya adalah adanya pemisahan antara fungsi eksekutif (dalam UU No. 22/1999 disebut “pemerintah desa” yaitu terdiri atas kepala desa dan perangkat desa) dan fungsi legislatif yaitu badan perwakilan desa (BPD). Anggota dan pimpinan BPD tidak dibenarkan merang-kap jabatan dengan kepala desa dan perangkat desa (pasal 41, Kepmedagri No. 64 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa). Sementara pada UU No 05/1979, seorang kepala desa sekaligus merangkap sebagai ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD), yang merupakan lembaga lokal tempat k e p a l a d e s a h a r u s mempertanggungjawabkan tugas dan kewajibannya (pasal 10 ayat 2 butir b versus pasal 17 ayat 2). Oleh karena itu, dengan dibentuknya BPD diharapkan akan menjadi suatu lembaga lokal yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mendorong proses demokrasi desa. Berdasarkan ketentuan yang ada pada pasal 7 dari Kepmendagri No 63/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Penyesuaian Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintah Desa dan Kelurahan, ditegaskan bahwa LMD masih tetap melaksanakan tugasnya hingga terbentuknya BPD. Hal ini memberikan suatu pemahaman bahwa LMD (tempat terjadinya dualisme fungsi seorang kepala desa yang
kontroversial), sudah tidak lagi difungsikan atau dibubarkan dengan terbentuknya BPD. Hal ini berarti bahwa pemisahan fungsi eksekutif dan legislatif di tingkat desa secara tegas diharapkan akan lebih mendinamiskan proses demokrasi. Badan Perwakilan Desa diharapkan juga dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menyalurkan aspirasi warga, dan penyusun aturan terutama berkaitan dengan pelaksanaan dan implementasi proyek pembangunan di pedesaan. Oleh karena itu, keberadaan BPD sangat strategis bagi upaya tumbuh-kembangnya nuansa demokratis di aras lokal. Keberadaan lembaga BPD sebagai sebuah alat dalam menegakkan iklim demokrasi tercermin dalam argumen ketika lembaga ini hendak didirikan. Argumen itu menyebutkan bahwa pendirian lembaga BPD menghormati perbedaan (pluralisme), keberagaman aspirasi, terbuka, partisipatif, demokrasi, adil, men-junjung tinggi supremasi hukum, menghargai hak azasi manusia, dan hak asal usul desa (hak adat). Pada saat argumen tersebut benar-benar terimplementasi secara optimum, keberadaan lembaga ini sangat nyata bagi terciptanya iklim politik yang sehat dan membangun di pedesaan. Pada sisi lain, keberadaan elit lokal dalam konteks pedesaan harus dapat berjalan secara sinergis. Antara pemimpin formal (the rolling elite) dan para pemimpin takformal (the strategic elite) diharapkan dapat bekerjasama secara sepadan dalam mewujudkan tatanan masyarakat lokal yang sejahtera. Namun, hal ini masih baru sebatas wacana, karena dalam kenyataannya, fungsi dan peran pemimpin formal lebih dominan. Di dalam menjalankan fungsi sosialnya, pemimpin formal dapat berlaku sebagai
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. 6 No. 1, April - Juli 2006: 49-56
ISSN. 1411-9250
52 masih belum beranjak jauh dari paradigma pembangunan pada masa Orde Baru. Derap pembangunan pedesaan masih dominan dikuasai oleh strategi yang bercorak teknokratis dan bersifat top down. Pengenalan dan perluasan berbagai macam program pemerintah masih terasa kental menyelimuti kehidupan di pedesaan. Perencanaan, organisasi, pengawasan, serta alokasi dana pembangunan desa sampai sekarang masih ditentukan oleh pemerintah. Kondisi ini tentu saja membuat para pemimpin formal selalu tampil di depan atau selalu dominan hampir di semua lini. Mereka berperan ganda, sebagai administratur pemerintahan sekaligus sebagai agensia pembangunan. Di satu sisi, sangat didambakan menjabarkan ide yang dituangkan dari atas, sementara di sisi lain dipercaya menampung dan menyalurkan keinginan, aspirasi serta kepentingan rakyat kepada pemerintah. Kecenderungan ini membuat peranan pimpinan takformal semakin mengecil dan kurang diperhitungkan dalam pengambilan keputusan penting. Konsekuensinya kemudian adalah semakin sedikit di antara mereka yang dapat dikategorikan sebagai visible leader atau yang memperoleh pengakuan massa, sekaligus pengakuan dari pemimpin lain (Al Fitri, 1992). Pada uraian di atas telah dipaparkan bahwa dalam ranah pengaruh, seorang pemimpin dapat dikategorikan sebagai menyandang kepemimpinan yang bersifat monomorphic ataukah bersifat polimorphic. Istilah pengaruh dalam konteks ini berbeda dengan wewenang, suatu bentuk kekuasaan yang berlakunya memperoleh suatu persetuju-an. Di pedesaan saat ini (pasca-Orde Baru) kebanyakan para
Model Kepemimpinan Partisipatif ... (Budi Sayogo)
pemimpin formal masih tetap bertahan menyandang kepemimpinan yang bersifat polimorphic. Meskipun seorang kepala desa dipilih langsung oleh rakyat, namun dalam banyak hal mereka lebih banyak mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada aparatur pemerintah di tingkat kecamatan ataupun kabupaten, karena mereka adalah kepanjangan birokrasi di tingkat lokal atau desa. Sebaliknya, para pimpinan takformal sekarang ini justru hanya menyandang kepemimpinan yang bersifat monomorphic. Di era reformasi saat ini, masih sedikit jumlah informal leader (misal: ulama) yang memiliki peran, seperti yang digambarkan oleh beberapa pengamat sosial, sebagai cultural broker atau, seperti yang digambarkan oleh Horikhoshi, mampu membangun hubungan dengan masyarakat secara stabil, awet, dan saling mengisi. Secara politis, para pemimpin tak-formal sekarang berada pada posisi marginal, bahkan dalam banyak hal mungkin memper-oleh perlakuan seperti massa. Sebaliknya, posisi para pemimpin formal semakin tegar dan melambung pada posisi superordination dalam puncak struktur kekuasaan. Pada dimensi legitimasi, mereka mendominasi posisi kunci dalam organisasi sosial pedesaan. Pada dimensi visibilitas, mereka sekarang tetap tegar menjadi visible leader, yang kepemim-pinannya memperoleh pengakuan bulat baik dari massa yang dipimpin maupun dari pemimpin lain. Mereka berada di sekitar center of the network system dalam perencana-an maupun implementasi pembangunan di desanya. Selanjutnya, dari dimensi pengaruh, mereka sampai sekarang semakin menguasai banyak isu terutama karena mereka adalah bagian
53 namun kalau dilihat dari jumlahnya tentu saja tidak terlalu nyata dan juga biasanya pemimpin takformal yang memiliki peran sosial ini adalah mereka yang memiliki akses dengan kalangan birokrasi (Al Fitri, 1992). Keadaan seperti di atas mencerminkan tidak terbukanya partisipasi pada aras kepemimpinan dan kelembagaan bukan formal akibat dominasi pemimpin formal dalam struktur kekuasaan lokal. Lebih jauh, keadaan ini dapat “membahayakan” implementasi pem-bangunan desa, dalam arti dapat mengurangi timbulnya partisipasi yang luas dan spontan dari rakyat desa dalam pembangunan lokal. Escobar (1995) menulis: “A development program can succeed only if it is design both for the people and with the people. It must express their desires aspiration and values... the local population will participate actively in development plan if it is elaborated together with their representatives, if it accepted by them and if they have a fair share in it basic decision”. Seorang pemimpin yang efektif seharusnya menyadari bahwa perilaku kekuasaannya selalu berada pada satu kontinum antara perilaku kekuasaan otoritatif - demokratis - delegatif. Faktor ruang dan waktu (spatio temporal) berpengaruh besar terhadap pilihan perilaku kekuasaan pemimpin. Seorang manager yang berhasil itu tidaklah dapat dicirikan sebagai pemimpin yang kuat atau bebas, tetapi seorang dapat mempertahankan ratarata penilaiannya terhadap kekuatan yang dapat menentukan atau memengaruhi peri-lakunya secara tepat pada waktu tertentu dan mampu secara aktual berperilaku yang sesuai. Those the successfull
manager of man can be primarily characterized neither as a strong leader nor as a permissive one. Rather, he is one who maintained a high beating average in accurately assessing the forces that determine what his most appropriate behaviour at any given time should be and in actually being able to behave accordingly (Goble, 1987). Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa pemimpin formal pada tingkat lokal seringkali ditengarai sebagai tidak berada dalam satu kontinum. Tugas berat kepala desa di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyara-katan telah mendorong dirinya cenderung mengutamakan perilaku kekuasaan yang berdasar pada posisi atau organisasi saja. Perilaku otoritatif dan koersif seringkali muncul sebagai bentuk perilaku kekuasaan yang dominan pada kepala desa. Hal ini adalah jalur formal yang dipersepsi oleh kebanyakan pemimpin formal pada tingkat lokal sebagai dapat memberikan hasil dengan cepat. Lemahnya komitmen masyarakat desa terhadap kepemimpinan kepala desa menim-bulkan lemahnya partisipasi mereka dalam pembangunan, sehingga menyebabkan tidak berhasilnya pembangunan desa. Masyarakat desa tidak menyukai perilaku kekuasaan kepala desanya yang otoritatif dan koersif, namun mereka mendambakan sentuhan perilaku kekuasaan yang lain. Sektor pembangunan pada aras lokal yang semakin melebar, rumit, dan beraneka ragam, tidak mungkin hanya ditangani oleh pemimpin di pusat kekuasaan formal. Pergeseran struktur kekuasaan di desa walaupun secara kuantitatif proses timbulnya masih pelan, tetapi secara kualitatif keberada-annya perlu
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. 6 No. 1, April - Juli 2006: 49-56
ISSN. 1411-9250
54
MEMBANGUN MODEL KEPEMIMPIN-AN YANG PARTISIPATIF Di dalam kegiatan pembangunan pedesaan, Sartono Kartodirdjo melihat suatu permasalahan mendasar dari model pemba-ngunan “manut pak Lurah” yang instruktif itu. Menurutnya, program pembangunan yang instruktif akan menghasilkan pembangunan semu, memperlakukan rakyat sebagai objek dan membuat pemimpin lokal sebagai pelaksana buta (Kartodirdjo, 2001). Dengan kata lain, partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti itu tidak dilandasi oleh kesadaran yang tinggi, melainkan oleh karena ikut-ikutan atau keseganan terhadap atasannya. Oleh karena itu, keberlanjutan keberhasilan program tidak terjamin atau hanya berjangka pendek. Pada kondisi demikian, partisipasi rakyat desa hanya pada tahap pelaksana pembangunan dan tidak pada tahap perumusan kebijakan pembangunan tersebut. Kepala desa sebagai wakil yang harus memperjuangkan kepentingan rakyat desa tidak tampak atau kurang jelas perannya. Dominasi pemimpin lokal (kepala desa) dalam pengambilan keputusan memarginalkan peran elit lokal dan warga masyarakatnya. Hal ini adalah suatu gejala umum saat kepala desa telah direkayasa oleh penguasa agar lebih mengedepankan pengamanan pelaksanaan program pemerintah daripada harus bersusah payah menumbuhkan partisipasi murni masyarakat desa di dalam setiap bidang pembangunan (Islamy, 1996). Situasi ini berakibat pada tidak optimumnya keberhasilan program pembangunan yang dilaksanakan. Keterbatasan kapasitas administratif kepala desa, membuat mereka tidak mampu melaksanakan Model Kepemimpinan Partisipatif ... (Budi Sayogo)
secara efektif tugas pembangun-an itu. Hal ini memberikan suatu petunjuk, betapa pentingnya partisipasi aktif semua pihak dalam pembangunan. Kepala desa harus segera mengubah orientasi dan pola perilaku kekuasaannya, supaya lebih kondusif dengan tantangan dan kondisi yang sedang berubah. Lebih-lebih kekuasaan itu tidaklah berjalan dalam fakum atau terisolasi, ia selalu berada dalam situasi hubungan dengan orang lain (relasional) dalam suatu konteks atau lingkung-an tertentu. Kekuasaan selalu berada secara implisit dalam proses saling ketergantungan, artinya pihak yang berada dalam suatu hubungan kekuasaan akan terikat satu sama lain oleh ketergantungan bersama. Pembangunan masyarakat desa membu-tuhkan pemimpin desa yang bukan hanya mampu menumpuk dan memelihara kekuasa-annya dengan baik, tetapi yang lebih penting adalah yang mampu menggunakan berbagai jenis sumber dan dasar kekuasannya secara efektif (Islamy, 1996). Keberhasilan pemba-ngunan desa akan dapat memperkuat kekuasaan kepala desa, tetapi sekaligus juga akan merangsang kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya, termasuk kesadaran akan kekuasaan untuk terlibat dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, pembangunan di tingkat lokal membutuhkan pemimpin yang lebih demokratis, kolegial, partisipatif, dan humanis, yang mampu meletakkan rakyat bukan sekedar sebagai objek tetapi juga subjek pembangunan. Tipe perilaku kepemimpinan seperti itu disebut sebagai pemimpin yang people and job centered. Di dalam sistem kepemimpinan yang demikian, pola kepemimpinannya
55 yang sederajat. Namun demikian, perbedaan antara manusia tetap diakui. Seperti lazimnya perbedaan antarunsur alam, perbedaan antarmanusia dipandang sebagai hanya bersifat fungsi dan bukan bersifat hierarkhis vertikal. Jadi, perbedaan manusia adalah pada fungsi dan perannya menurut harkat dan kodrat yang diberikan alam kepadanya, tetapi nilainya tetaplah sama (Al Fitri, 1992). Struktur masyarakat yang seperti itulah akan menyebabkan hubungan di antara pemimpin dan masyarakat bukanlah bersifat superordinat - subordinat yang bersifat instruktif, melainkan dalam bentuk kolegial yang persuasif. Oleh karenanya, hubungan di antara pemimpin dan masyarakat dan antarmasyarakat ditandai oleh semangat kebersamaan yang tinggi. Dengan prinsip seperti itu, pembangunan akan dirasakan sebagai tugas dan tanggungjawab bersama dan bukan para pemimpin saja. Idealnya, sistem kepemimpinan di tingkat lokal hendaklah bersifat demokratis dan populis. Praktik kepemimpinan pada aras lokal ditandai oleh semangat kebersamaan melalui lembaga formal maupun takformal yang ada. Oleh karena itu, kegiatan atau gerakan komunitas terjadi melalui interaksi yang positif antara pemimpin atau pemukanya dengan rakyat. Pada kondisi ini, pendekatan instruktif dan merasa benar sendiri menjadi tidak produktif. Pada saat hal itu dapat terjadi, akan menimbulkan peluang terjadinya partisipasi warga dalam dinamika gerak pembangunan secara optimum. Dominasi kepala desa dalam struktur kekuasaan lokal dapat diminimumkan, warga akan lebih terlibat secara aktif dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangun-an,
dan partisipasi yang luas serta spontan dari rakyat desa dalam pembangunan lokal dapat terwujud (Islamy, 1996). Segala keputusan dan kesepakatan yang dicanangkan harus benar-benar mewakili aspirasi warga desa. Dominasi elit lokal yang akan merusak semangat kebersamaan sedini mungkin harus dihindari, sehingga masyarakat merasa terwakili kepentingannya. Ketergan-tungan warga desa pada elit lokal harus dihilangkan, karena ketergantungan ini berdampak hilangnya otonomi warga masyarakat dalam memberdayakan dirinya dan keterlibatan warga desa dalam menentukan prioritas pembangun-annya tersimpangkan. Kepemimpinan lokal yang bermakna adalah suatu sistem dan proses kepemimpinan yang dapat merevitalisasi warga masyarakat agar mampu mengentaskan kelemahan dan kekurangan diri dalam keswadayaan, kemandirian, partisipasi solidaritas sosial, ketrampilan, sikap kritis sistem komunikasi personal, dan wawasan perubahan (Priono, 1996). Pelaksanaan kepemimpinan lokal juga diarahkan untuk menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah nyata, menampung berbagai keluhan, menyediakan sarana dan prasarana (baik fisik maupun sosial) yang dapat diakses oleh masyarakat bawah, serta dapat melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Di dalam membangun sosok pemimpin lokal yang akomodatif, aspiratif, dan artikulatif, ada beberapa agenda aksi yang secara serius terus menerus dilakukan (Latif, 2001), yaitu (1) penyelenggaraan pendidikan politik dalam arti yang seluas-luasnya harus
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. 6 No. 1, April - Juli 2006: 49-56
ISSN. 1411-9250
56 (policy reform) dan penciptaan peraturan (Perda) yang tidak mengekang “kebebasan bergerak” masyarakat desa, atau dengan kata lain mampu mendorong demokrasi desa, (3) pada masa peralihan ini penting dikaji pemberian semacam “insentif politik” atau “kuota politik” bagi kaum petani kecil (buruh tani) dalam keanggotaan lembaga lokal yang bersifat formal, yaitu BPD. Tujuannya ialah agar BPD tidak hanya diisi oleh elit desa yang “itu itu saja”, yang selama ini telah menerima banyak privilege, (4) Kenyataan bahwa desa dalam sejarahnya senantiasa ditindas oleh kaum atasan atau elit, yang menunjukkan bahwa akar demokrasi desa adalah kecil sekali (remangremang), inipun terus dierosi oleh rezim yang berkuasa dengan suatu pemben-tukan pola hubungan antara negara dan rakyat yang besifat “kawulo gusti”. Oleh karena itu, perlu kemauan politik yang tinggi dan sungguhsungguh dari rakyat untuk memposisikan diri menjadi warga dari negara yang berdaulat. Pengalaman pada tahun 1940 - 1950an, membuktikan bahwa desa mengalami kebangkitan menjadi tulang pung-gung perlawanan terhadap penjajah Belanda. Penduduk desa terbukti memiliki ketahanan lebih tinggi dibanding tentara dan pegawai. PENUTUP Kepemimpinan lokal yang efektif ada-lah sosok pemimpin lokal (baik formal maupun takformal) yang mampu melaksanakan peran sebagai agensia perubahan dan pembaharuan pada sebuah komunitas. Sosok pemimpin ini juga harus mampu menjadi mediator yang menjembatani kepentingan pemerintah dan aspirasi warga
Model Kepemimpinan Partisipatif ... (Budi Sayogo)
masyarakat. Di dalam mewu-judkan hal itu, sosok pemimpin lokal harus memiliki sejumlah kapasitas individu yang dibutuhkan bagi upaya pemberdayaan rakyat. Kapasitas itu di antaranya kemampuan artikulatif, aspiratif, dan akomodatif terhadap dinamika sosial yang berkembang di sekitarnya. Oleh karenanya, sosok ideal seorang pemimpin lokal hendaknya mampu mencerna dan sekaligus menerapkan kebijakan pembangunan dan kemudian menyalurkan ke segenap lapisan masyarakat. Dengan kata lain, ia harus mau dan mampu terlibat secara aktif mengambil bagian dalam bentuk prakarsa untuk setiap aktivitas pengambilan keputusan yang sebenarnya dan strategis di tingkat lokal. DAFTAR PUSTAKA Al Fitri. 1992. Kepemimpinan, dan Struktur kekuasaan Lokal. Tesis S-2. Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. (Tidak diterbitkan). Escobar, A. 1995. Encountering Development. Princeton University Press, New York. Goble, F. 1987. Excellent in Leadership. American Management Inc., USA. Islamy, I.M. 1996. Perilaku Kekuasaan Pemimpin Lokal. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Unair, Surabaya. (Tidak diterbitkan). Kartodirdjo, S. 2001. Dilema Dinamika Demokrasi di Pedesaan. Jurnal Politik Sosial dan Humaniora RENAI 1(2):33-42. Latief, S.M. 2001. BPD, DPRD dan DPRK - GR, Legitimasi Sosial Elit Lokal dalam Perubahan Sosial. Jurnal Politik Sosial & Humaniora RENAI 1(2):43-51. Priono, O.S. 1996. Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS, Jakarta.